g semuanya hidup
bersama dalam situasi yang diasumsikan harmonis. Nama-nama ini
juga mengungkapkan sebuah kota muda yang cukup mudah untuk
diidentifikasi, seperti seorang petani, sebagai Jehanot de Nanterre
(Johnny dari Nanterre), Jehane la Normande (Jeanne si orang
Normandia), Robert le Maçon (Robert si Tukang Batu), Julienne de la
Ruele (Juliene dari Jalan Kecil). Para wanita juga memiliki status yang
cukup untuk diidentifikasi secara independen seperti, contohnya,
Dame Agnès, atau Dame Agace, la Savonnière (Lady Agace, Pembuat
Sabun).3
93
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Inilah Paris-nya rakyat jelata tempat seorang penyair daerah yang
dikenal sebagai Rutebeuf menjadi terkenal sebab ia berkeliaran di
jalan-jalannya dan mengolok-olok penduduknya yang rakus, politisinya
yang tak jujur dan pendetanya yang korup. Rutebeuf bukanlah
Parisian asli. Ia dilahirkan di Champagne sekitar 1230 tetapi datang
ke Paris pada 1248, dengan cita-cita belajar di universitas. Di sana,
ia bergaul dengan Goliardi, seorang pendeta miskin yang walaupun
memiliki pendidikan tinggi tidak dapat menemukan pekerjaan di
dalam Gereja atau patronase kerajaan dan banyak mengeluh dalam
syair Latin yang kaku tentang penderitaan kondisi mereka. Mungkin
sebab kegetiran dan kekecewaan inilah yang membuat penyair muda
ini dijuluki ‘Rude Bœuf ’ atau ‘Rutebeuf ’ (‘Sang Sapi Pedesaan’) untuk
menunjukkan posisinya sebagai petani kikuk di kota besar.
Rutebeuf segera meninggalkan studinya dan menjadi seorang
jongleur di jalan-jalan, pasar-pasar, dan lapangan-lapangan kecil di
sekitar Montagne Sainte-Geneviève. Jongleur yaitu seorang penghibur
publik (istilah yang berasal dari kata bahasa Latin joculatores, ‘pemain’
atau ‘aktor’), sebagai keturunan langsung dari mimi dan histriones, para
musisi, penyanyi, pemain akrobat, dan pendongeng yang berkeliling
ke kota-kota di dunia Romawi.
Dalam sajaknya yang paling personal, ‘poèmes de l’infortune’
(‘puisi-puisi kemalangan’), Rutebeuf menggambarkan potret sebuah
kota yang keras, sangat jauh dari kemewahan istana-istana kerajaan.
Sajak-sajak yang rumit dan kadang kala mengerikan ini dimaksudkan
sebagai surat meminta-minta atau diucapkan di jalan-jalan sebagai
permohonan untuk mendapatkan makanan dan uang. Namun, puisi-
puisi ini secara brilian mengarah antara puisi dan ungkapan kesedihan,
terutama dalam baris-baris saat Rutebeuf menyerang dirinya sendiri
sebagai penjudi yang “tidak ingat akan penderitaan tetangganya tetapi
hanya menangisi penderitaannya sendiri.”
Orang-orang miskin di Paris pada masa Rutebeuf, seperti penjudi,
berkembang di atas kedekatan mereka dengan kehancurannya
sendiri. Mereka minum (“meneguknya seperti hujan deras”), makan
(“menyantap harapan”) dan berzina (“seperti tikus di atas tumpukan
jerami”) dengan energi seperti kesetanan. Namun Rutebeuf juga
bisa lembut. Dalam sajaknya ‘Le dit des ribaux de Greive’ (‘Pekerja
94
Pelabuhan di Place de la Grève’), ia merasa kasihan terhadap orang
miskin yang “tidak punya pakaian dan tidak punya sepatu untuk
berjalan, digigit oleh lalat-lalat hitam dan kemudian putih [salju dan
petir]”. Hal terpenting yaitu , tidak seperti syair-syair cendekiawan
yang disusun di seberang sungai pada masa itu, penyair ini berbicara
secara langsung kepada ‘pekerja pelabuhan’, orang miskin atau petani,
menyanjung sifat buruknya sebagai nilai kebajikan. Perasaan langsung
bagi warga Paris miskin semacam ini akan dinyatakan secara terang-
terangan dan terkenal dua abad kemudian lewat tulisan-tulisan
François Villon; tetapi di dalam karya Rutebeuf, kita dapat mengenali
lyricism yang khas Paris, gema asli dari jalan-jalan sempit tentang apa
yang nantinya disebut Baudelaire sebagai bayang-bayang bau kota.4
Polisi dan Pencuri
Paris pada masa Rutebeuf juga merupakan tempat tanpa hukum:
pembunuhan dan perbanditan dianggap kelaziman, dan prostitusi
dianggap sebagai bagian dari kain kota. Penyair sering kali menyindir
raja yang membawa amal meski bukan keadilan kepada ‘orang
jujur’ di kota. Namun, pada paruh kedua abad ke-13 ini sudah
ada beberapa upaya, walaupun tidak seluruhnya berhasil, untuk
menciptakan keteraturan sipil dalam batas tertentu ke Paris.
Sebagai contoh, salah satu pencapaian Philippe-Auguste yang paling
fundamental yaitu upayanya menerapkan sistem perpolisian yang
sederhana tetapi efektif bagi kota. Pada awalnya, tindakan ini berbentuk
pengangkatan sejumlah pejabat pengadilan untuk menegakkan
hukum dan peraturan di kota saat raja dan para bangsawannya
sedang pergi melakukan Perang Salib Ketiga pada 1190. Tindakan ini
lebih dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan subversi politik
daripada melawan kejahatan sehari-hari dan sebenarnya merupakan
versi perpanjangan dari pengawal pribadi Philippe. Para pejabat
pengadilan ini sendiri sering disebut sebagai ribauds atau ribauz,
sebuah kata yang berkaitan dengan kata bahasa Inggris ‘ribaldry (kata-
kata tak senonoh)’ dan digunakan untuk mendeskripsikan pasukan
tanpa hukum yang mengikuti kampanye militer untuk mendapatkan
Para pemimpin Galia bersatu melawan Julius Caesar (100 – 44 SM),
dari sampul luar buku sekolah, akhir abad ke-19.
Lutetia atau rencana kedua Paris pada abad ke-4 dan ke-5 Masehi,
Mazhab Prancis, 1722.
Sainte Genetiève gardant ses moutons, Mazhab Prancis, abad ke-16.
Membeli buku di sekitar Katedral Notre-Dame.
‘Weighing of Souls’, ukiran batu Prancis abad ke-15.
Puisi nisan François Villon
(1431 –?) dari le Grant
Testament Villon et le
petit, son codicille. Le
jargon et ses balades, 1489.
Potret Catherine
de Médicis (1519
– 1589), Mazhab
Prancis, abad ke-16.
Ukiran danse macabre, seniman tidak diketahui, 1493.
Ukiran Pembantaian Hari St Bartholonrew, Paris, 1572, oleh de Soligny.
‘La Cour des Miracles’
Taman dan Arena di Palais-Royal, Paris, oleh Fedor Hoffbauer,
sekitar 1885.
‘Le Cimetière des Innocents et le quartier des Halles 1750’,
ukiran oleh Fedor Hoffbauer, abad ke-19.
Scène grivoise oleh François Boucher (1703 – 1770).
‘The Sans-Culotte’, Mazhab Prancis, abad ke-19.
‘Pertemuan para Seniman, Pengikis Lumpur dan Pedagang Kain Lap’,
karikatur kafe populer di Palais-Royal di Paris, Mazhab Prancis, sekitar 1800.
95
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
kesenangan dalam memerkosa dan menjarah. Kata ini kemudian
digunakan secara luas di Paris sebagai istilah untuk menunjukkan
perilaku tak bermoral. sebab alasan yang sudah jelas, dengan senjata
dan kesombongannya, ‘ribald (orang yang suka melucu dengan kata-
kata vulgar dan kotor—penerj.)’ tidak menimbulkan kepercayaan
yang kuat di kalangan Parisian kebanyakan.
Tingkat keteraturan dan stabilitas yang sedikit lebih tinggi
dalam mengorganisasi kehidupan di jalanan dapat dicapai melalui
pembentukan jabatan grand prévôt (‘provost marshal [kepala
provost]’) Paris pada 1160. Pejabat pertama hanya disebut Étienne
tetapi menduduki jabatan yang sangat penting dalam perkembangan
kota. Prévôt biasanya bukan penduduk asli kota (jabatan ini bahkan
pernah diduduki oleh seseorang yang dicurigai sebagai orang Inggris
pada abad ke-15) untuk menjaga derajat kebebasan dari unsur-unsur
kriminal kota. Namun, begitu banyak prévôt memiliki hubungan
erat dengan geng-geng kriminal atau penjaga pribadi raja sendiri
yang buruk reputasinya sehingga jabatan tersebut secara tidak resmi
disebut roi des ribauds (‘raja para ribald’). Prévôt tidak terbebas dari
pembunuhan; sebagaimana ditunjukkan oleh Thomas, prévôt Paris
pada 1200, yang dicurigai terlibat dalam pembunuhan lima mahasiswa
Jerman. Prévôt lainnya dikucilkan atau digantung sebab kejahatan
menghina Tuhan. Nasib paling mengerikan dan menyedihkan dialami
oleh prévôt Guillaume de Tignonville yang, pada Oktober 1408, telah
memerintahkan penggantungan dua mahasiswa yang bersalah sebab
pembunuhan di Montfaucon. Universitas dan para pengacaranya
yang terkenal suka berperkara kemudian melawan dan akhirnya
menang dalam banding pada Mei tahun berikutnya. Guillaume yang
tidak beruntung diperintahkan untuk menurunkan mayat kedua
mahasiswa, yang dibiarkan membusuk di udara terbuka sepanjang
musim dingin, dan membawanya ke kesusteran Les Mathurins, tempat
mereka dikuburkan. Yang paling menakutkan yaitu hukuman yang
diminta oleh pengacara universitas, yang memerintahkan Guillaume
mencium bibir kedua mayat mahasiswa tersebut untuk menunjukkan
penyesalannya saat mayat bau tersebut diturunkan. Perintah ini
dilaksanakan.
Terlepas dari tindak kejahatan yang dilakukan para pemegang
96
jabatan ini selain kelemahan lainnya, jabatan prévôt yaitu bagian
dari tradisi perpolisian di Paris yang sudah terkenal sejak masa kota
Gallo-Romawi dan gagasan Yunani-Romawi tentang politia sebagai
bentuk pemerintahan sipil. Pada abad ke-7 dan ke-8, para count
di istana para raja Prancis melakukan tugas yang pada dasarnya
sama dengan administrator Romawi: menjaga ketertiban publik,
menangkap pelaku kejahatan, memastikan pasokan makanan yang
lancar ke kota pada harga yang pantas, menjaga moral publik (dengan
kata lain, mengontrol prostitusi) dan memberi keputusan menurut
undang-undang. Fungsi-fungsi ini kurang-lebih tetap sama hingga
tahun 1789. Titik pentingnya yaitu kewenangan prévôt berasal dari
raja dan bukan dari komunitas.
Jabatan seperti itu selalu terbuka terhadap korupsi, itulah sebabnya
Louis, sang religius fanatik yang menderita penyakit saraf, mengangkat
Étienne Boileau yang sepertinya tidak dapat disuap (kadang kala dalam
dokumen-dokumen disebut sebagai Boilèvre) untuk menduduki
jabatan tersebut pada 1261. Boileau biasa mengenakan jubah hitam
dan tutup kepala beledu, membawa pedang besar dan ditemani
oleh pengawal kehormatan. Penampilan seperti itu menjadikannya
figur yang mengesankan, baik saat sedang berada di kediaman
resminya di benteng Châtelet maupun saat menghadiri sidang raja
di istana. Salah satu tugas pertamanya yaitu mengatur, atau mencoba
mengatur, perekonomian kota, mempelajari statuta perusahaan
dan menyusun Livre des métiers (‘Buku Perdagangan’) 1268. Buku
ini mendokumentasikan apa yang dibuat, diimpor, diekspor dan
dikonsumsi di Paris pada abad ke-13. Ini yaitu tugas yang dianggap
lazim bagi seorang polisi.5
Boileau mendokumentasikan lebih dari 120 perusahaan, dengan
lebih dari 5.000 anggota, pemagang, dan master di serikat-serikat
dagang yang beragam dari pembuatan bir hingga pembuatan
pisau; serikat dagang ini sering kali dibagi menjadi subdivisi untuk,
misalnya, bagian terpisah dalam serikat dagang pembuat bir yang
berurusan dengan fermentasi hop (tanaman merambat yang buahnya
digunakan dalam pembuatan bir—penerj.), penjualan dan distribusi,
dan seterusnya. Para pencopet, pembunuh bayaran, dan pengemis
bahkan memiliki serikat tersendiri mengikuti model para tukang, dan
97
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
itu yaitu sesuatu yang tidak dianggap aneh ataupun menakutkan:
Setiap serikat memiliki kepentingan untuk menghasilkan uang
sebanyak-banyaknya dengan bekerja sesedikit mungkin. Para tukang
Paris terkenal di daerah lain sebab pendeknya jam kerja mereka dan
kegemarannya mabuk-mabukan. Pemogokan dengan kekerasan, yang
diprovokasi oleh kata-kata menghina atau kredit macet, sering terjadi.
Di bawah Boileau, ada barisan commissaires-enquêteurs,
hakim junior yang jabatannya paling sedikit berasal dari abad ke-
7, dan sergents, orang yang tangguh dan garang yang melakukan
sebagian besar pekerjaan tukang pukul dan kadang kala bertempur
di kota. Misi yang biasa dilakukan polisi, terutama dilakukan pada
malam hari, akan melibatkan sekelompok sergents yang dikirim untuk
memeriksa tuduhan praktik sihir, tukang daging atau tukang bir yang
meminta harga terlalu tinggi untuk produknya, atau kasus perzinaan.
Namun demikian, kekhawatiran raja sebenarnya yaitu terhadap
para pelacur, yang mengiklankan diri mereka sendiri di kota dengan
pita-pita mencolok yang dipasang di pinggang. Hal paling mengganggu
bagi kepekaan Louis yaitu kebiasaan filles publiques seperti mereka
untuk meneriaki para pendeta di jalanan saat para pendeta menolak
untuk berbisnis dengan para pelacur. Penghinaan paling umum yaitu
‘pelaku sodomi’. Bahkan Boileau tidak bisa mengusir gadis-gadis ini
terutama sebab takut memicu kekacauan publik jika melakukannya.
Di luar itu, baik raja maupun prévôt sudah puas untuk hidup bersama
kebohongan bahwa Paris yaitu tempat yang tertib.
Pada masa Philippe IV, kejahatan masih banyak terjadi di kota.
Hukumannya keras dan menjadi semakin keras, lebih untuk memenuhi
kebutuhan haus darah demi hiburan kejam alih-alih kebutuhan akan
keadilan. Para pencuri, pembunuh, dan pemalsu biasanya digantung.
Para pelaku kejahatan lain biasanya dicungkil matanya, dicambuk
atau dicap dengan besi panas (tidak hanya di bahu tetapi juga di pipi
atau dahi). Tidak ada undang-undang penghukuman yang pasti, dan
keputusan pengadilan bisa sewenang-wenang. Tidak ada yang berani
berjalan-jalan pada malam hari. Parisian kebanyakan tidak mengikuti
perintah untuk menjaga lampu tetap menyala di jendela-jendela depan
di malam hari (ini yaitu upaya awal sederhana untuk menerangi
jalan). Mereka membarikade pintu dan selalu menyiapkan senjata di
98
dekat mereka.
Ada pula para warga kota yang bertugas sebagai penjaga. Mereka juga
berpatroli di malam hari, tetapi tugas mereka, yang lebih tidak glamor
daripada pasukan prévôt, terutama hanyalah menjaga ketertiban dan
mencegah kejahatan. Kedekatan erat ini, bahkan kebingungan yang
disengaja, antara polisi dengan kewenangan yudisial akan memainkan
peran definitif dalam sifat perpolisian Paris selama beberapa dekade
selanjutnya: Tidak seperti perpolisian Inggris, yang terutama berkaitan
dengan pelarangan, sistem kepolisian Paris (dan oleh sebab itu
Prancis) telah, dan tetap saja, berurusan dengan tindakan penegakan
hukum, intervensi dan pengintaian. Yves Guyot menjelaskan secara
sempurna hubungan ambigu antara kebebasan dengan kontrol dalam
perpolisian Paris dalam komentarnya, yang dibuat sesudah terjadinya
pembantaian Komune, bahwa “Parisian bisa melakukan apa pun yang
ingin ia lakukan, selama itu dilakukan di bawah pengawasan polisi.”6
99
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
9
Menghancurkan ‘Temple’
Pelaku kejahatan paling besar, setidaknya di benak mayoritas
Parisian pada pergantian abad ke-13, yaitu raja sendiri. Pada
1300, kekejaman dan kebodohan finansial Philippe le Bel sudah
menghancurkan stabilitas ekonomi wilayah tersebut. Kemudian ia
memperburuk masalah dengan mengganggu keseimbangan kekuasaan
politik yang rumit di dalam Paris, mengalihkan perhatiannya kepada
Kesatria Templar, yang selama abad terakhir telah menduduki enklave
sangat besar tepat di luar dinding kota, mencakup wilayah yang
sekarang menjadi bagian timur Marais.
Enklave ini pada dasarnya yaitu sebuah lingkungan tertutup
yang tetap ada dalam berbagai bentuk hingga 1820 saat sisa-sisa
terakhirnya dihapus dalam gerakan cepat mengejar modernitas.
Sisa-sisa menara utama benteng besar ini masih dapat ditemukan
di Square du Temple, di ujung utara Marais, sementara enklavenya
sendiri kurang-lebih ditandai oleh rue du Temple masa kini (awalnya
Viae Militiae Templi pada 1235), rue de Bretagne dan rue de Picardie.
Kesatria Templar telah menetap di sini pada abad ke-11, membangun
tempat berlindung dan rumah sakit bagi prajurit-biarawan yang
terluka atau miskin yang kembali dari Perang Salib. Pada abad
ke-12, dengan persetujuan kerajaan, Villa Novi Templi—enklave
sangat luas yang pada akhirnya meluas ke arah apa yang sekarang
disebut Ménilmontant dan Charonne—selama bertahun-tahun telah
berkembang menjadi pusat pembelajaran dan kebudayaan yang
penting. Situasi ini secara efektif menjadikannya kota saingan bagi
Paris. Para Kesatria juga mengumpulkan kekayaan sangat banyak
yang, pada akhir abad ke-13, menarik terlalu banyak perhatian dari
orang-orang luar yang bermusuhan.
100
Ordo Kesatria Templar didirikan pada 1118, saat sembilan
Kesatria asli bepergian ke Yerusalem untuk menawarkan jasa mereka
kepada Raja Baldwin II dalam mengamankan perjalanan para peziarah,
mengikuti model Hospitaller dari Saint John. Mereka tinggal walau
tidak lama di sebuah masjid bernama Masjid-al-Aksa. Dalam bahasa
Arab kata ini berarti ‘tempat paling jauh’ dan dianggap sebagai tempat
suci ketiga dalam agama Islam sesudah Mekah dan Madinah. Masjid ini
dibangun di atas reruntuhan Kuil Sulaiman dan umumnya dianggap
sebagai pusat dunia (seperti itulah penampilannya dalam peta Arab
dan peta Eropa dari periode tersebut. Para Kesatria mengambil nama
mereka dari Templum Domini, tempat beribadah Kristen, yang
dibangun di dekat Kubah Batu (Dome of Rock atau Kubah Shakhrah),
sebuah tindakan vandalisme melawan Islam tetapi membuat orang
Kristen di seantero dunia Barat sangat senang.
Para Kesatria bersumpah untuk tidak memiliki harta benda tetapi
dalam dekade-dekade dan abad-abad selanjutnya mengumpulkan
kekayaan yang sangat banyak. Mereka melakukannya dengan ber-
tindak sebagai bankir, membiayai dan secara efektif mengontrol
ekspedisi ke Tanah Suci sekehendak mereka sendiri. Inilah cara
mereka bisa mendapatkan musuh yang sangat kuat seperti Louis IX.
Mereka pernah menolak untuk membayar tebusan kepada Mesir
atas salah satu ekspedisi Louis IX yang gagal total. Para Kesatria juga
dikenal akan ketamakan dan kesombongannya. Kampanye-kampanye
militer mereka sendiri di Tanah Suci, dalam kata-kata salah seorang
sejarawan, ‘sangat merusak’ dan ‘memalukan’ (fakta yang secara tidak
sengaja menggarisbawahi pendapat ahli abad pertengahan veteran
dari Prancis Jacques Le Goff bahwa satu-satunya benda bermanfaat
yang dibawa para prajurit Perang Salib ke Eropa yaitu buah aprikot).1
saat Philippe menyatakan perang terhadap Kesatria, ia mampu
memanfaatkan perasaan tidak senang yang mendalam kepada mereka.
Para Kesatria terkenal arogan di kalangan Parisian. Konon, para
prajurit-biarawan mempraktikkan sodomi, tetapi ini diterima sebagai
‘kejahatan standar’ para biarawan dan personel militer. Penyair Guyon
de Provins berbicara atas nama mayoritas Parisian saat menyerang
Kesatria atas ‘orgueil (‘kebanggaan’) mereka dan sebab cruels et
méchants (‘kejam dan jahat’).2
101
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Hubungan antara Kesatria Templar dan Philippe yang tamak pada
awalnya dimulai dengan baik, dengan pertukaran surat pada 1292 di
mana raja sepertinya mengonfirmasi persetujuannya atas ‘privilese’
mereka. Satu-satunya peringatan bahwa masalah ada di depan mata
datang pada 1296, saat kota Paris diperintahkan untuk memberi
hadiah sebanyak seratus ribu livre kepada raja, jumlah total yang
harus dibayarkan oleh para Kesatria sendiri. Wajar saja perintah
ini datang dari prévôt Paris yang berkewajiban untuk menegakkan
pembayaran pajak tanpa peduli bahwa pajak tersebut ditetapkan secara
sewenang-wenang. Para Kesatria menentang perintah ini dan sesudah
berargumentasi selama dua tahun di parlement (yang baru ada sejak
1250 dan secara umum tunduk kepada raja), mereka memenangkan
adu pendapat ini.
Secara pribadi, Philippe sangat marah tetapi menahan ke-
marahannya di muka publik. Ia selalu membutuhkan dana sebab
ketidakmampuan finansialnya secara berkala membawa kota ke tepi
jurang bencana. saat berlindung dari salah satu kerusuhan melawan
pemerintahannya pada 1305 di Menara Besar Temple (the Great Tower
of the Temple), kemarahan Philippe mencapai puncaknya. Ia datang
ke sana atas undangan Jacques de Molay, Master Agung Temple
(the Great Master of the Temple), yang kemudian bercerita kepada
Philippe tentang kekayaan yang dibawa kembali oleh anak buahnya
dari Yerusalem dan Siprus, dan terkubur di bawah menara. Sesaat
Philippe berjanji untuk merebut sendiri kekayaan tersebut.
Philippe tidak hanya menarik Paus Clement, seorang Prancis yang
lemah dan mudah dipengaruhi, ke pihaknya (raja memiliki peran
dalam pengangkatannya sebagai Paus di Avignon pada 1309) tetapi juga
membuat gerombolan Paris mau melawan Kesatria Templar dengan
mesin propagandanya. Ia menjelaskan bagaimana para Kesatria tidak
mengakui Kristus, meludahi Salib, melakukan pengorbanan manusia,
melakukan pesta seks, mempraktikkan sodomi dan Sufisme, memuja
setan bernama Baphomet dan memiliki hubungan erat dengan Hussan
Sabah, pemimpin Ordo Pembunuh, yaitu martir pemabuk hasis
yang bertempur sangat sengit melawan penyerbu Kristen di Tanah
Suci. Bahkan konon ada desas-desus bahwa Kesatria Templar “telah
menggali gua yang sangat gelap di tanah, tempat mereka membuat
102
gambar berbentuk manusia dari kulit manusia dan menggunakan
carbuncle (batu merah berharga—penerj.) untuk matanya.”3
Nama Baphomet jelas sekali yaitu pelesetan dari ‘Mahomet’ atau
‘Mohammed’ dan ini menjadi umpan bagi Islamofobia yang liar di
Paris Kristen. Tuduhan sodomi juga dikompori oleh fantasi Orientalis
tentang praktik seksual “tidak-Kristiani.” Namun, mungkin saja ada
kebenaran tertentu dalam propaganda hitam ini. Tentu saja, para
Kesatria telah melakukan kontak erat dengan sekte-sekte Muslim dan
pengetahuan Hermetic yang mereka miliki. Mereka bahkan bertemu
dengan naskah-naskah Hermetic Nag Hammadi yang katanya ditulis
oleh Tuhan, yang mengajukan argumentasi bahwa Kristus bukanlah
“orang yang disalib.”4 Dalam tingkat yang tidak terlalu spekulatif,
ada alasan untuk percaya bahwa sebagai ordo tertutup mereka
mengorganisasi ritual dan bentuk ibadah yang merupakan ancaman
langsung bagi kedaulatan tatanan Kristen.
Para Kesatria merasa terlalu terhormat untuk menjawab tuduhan
yang dibuat kepada mereka, tetapi pada akhirnya menyerah di bawah
inkuisisi raja. Inkuisisi, yang sudah lama terbiasa menggunakan teror,
mendapatkan pengakuan secara terpaksa dari sekitar 72 Kesatria.
Dalam satu operasi, lebih dari seratus Kesatria dibakar hidup-hidup,
masing-masing menyatakan tidak bersalah atas tuduhan yang dibuat
kepada mereka.
Paus, yang sadar betul akan motivasi Philippe sebenarnya, merasa
bimbang hingga 13 April 1313 saat ia akhirnya memerintahkan
penghapusan Temple. Ini yaitu keputusan yang hina dan penakut
serta momen yang bersejarah. Menanggapi keputusan Paus, Jacques
de Molay dan para perwira utamanya segera mencabut kembali peng-
akuan mereka. Atas tindakan ini, mereka diputuskan harus dibakar
mati dengan diikat di tiang. saat berjalan menuju eksekusinya di
Îlot des Juifs, yang sekarang terletak di Île du Square du Vert-Galant,
pulau mungil yang tepat di tengah-tengah Paris, Molay mengeluarkan
serangkaian kutukan kepada Paus dan raja. Ia meramalkan bahwa
keduanya tidak akan bisa melihat akhir tahun. Paus meninggal sekitar
satu bulan kemudian akibat penyakit misterius. Philippe tewas dalam
kecelakaan berkuda beberapa bulan kemudian.
103
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Ke dalam Zona ‘Sotadic’
Temple tetap ada seperti saat para Kesatria meninggalkannya selama
dua abad kemudian, bahkan saat kota menyebar di sekelilingnya.
Menara utamanya kadang kala digunakan sebagai garnisun atau
penjara, tetapi sebagian besar bangunan tetap berfungsi sebagaimana
fungsi aslinya yaitu tempat berdoa atau berdagang, sementara tanah-
tanah pertanian, kadang kala disebut sebagai Le Marais (daerah paya-
paya), terus berkembang. Pada abad ke-16 dan ke-17, Temple menjadi
rumah bagi tiga golongan—aristokrat, tukang dan pengutang—
yang memanfaatkan status tempat itu (yang dimenangkan oleh para
Kesatria pada abad ke-13) sebagai area bebas pajak. Pada titik ini,
Temple juga dikenal sebagai tempat dekaden di mana moral Kristen
menghadapi bahaya serius: Pesta seks, perjamuan makan dan mabuk-
mabukan digosipkan menjadi aktivitas sehari-hari.
Seabad kemudian, yaitu pada 1712, Philippe de Vendôme, filsuf
dan pencinta makan, pengikut Rabelais dan pemangsa sangat amoral
bagi kedua jelas kelamin, menyatakan bahwa Temple menjadi ibukota
dunia bagi Epicurnanisme spiritual, membuat tempat tersebut sangat
dibenci oleh mereka yang masih mencurigai bahwa penduduknya
meremehkan dan berkomplot melawan dunia luar Paris. Pepatah
‘boire comme un Templier’ (‘minum seperti seorang Templar’) biasa
diucapkan dengan jijik oleh Parisian.
Dalam novelnya yang berjudul Landscapes After the Battle yang
ditulis pada 1982, penulis Spanyol bernama Juan Goytisolo merujuk
daerah di sekitar ujung utara quartier yang sekarang disebut Temple dan
Le Sentier sebagai ‘zona sotadic’. Istilah ini dipinjamnya dari penjelajah
Inggris bernama Sir Richard Burton, untuk mendeskripsikan wilayah-
wilayah di selatan dan timur Mediterania di mana homoseksualitas
merajalela.5
Namun ‘zona sotadic’ di Paris menurut Goytisolo sama sekali tidak
eksklusif untuk homoseksual. Daerah ini melewati pusat perdagangan
dan sejarah Paris tetapi sebagian besar memang masih belum dikenal
oleh ribuan Parisian dan pengunjung asing yang melintasinya setiap
hari, dalam perjalanan menuju toko-toko seks di rue Saint-Denis,
pusat perbelanjaan di Les Halles atau kemegahan cantik grands
104
boulevards. Jalan-jalan sempit abad ke-19 yang begitu memukau Walter
Benjamin dan para Surealis (lihat Bab 28 dan bab 37) melewati ujung
barat distrik ini. Bentuk segitiga dari Le Sentier, dari rue d’Aboukir
hingga Place du Caire, sekarang terutama dikenal sebagai jantung
industri tekstil Paris. Daerah ini, yang membentang hingga stasiun
metro Temple, juga menjadi ‘rumah’, jika kata itu bisa dipakai, bagi
populasi pekerja dunia ketiga yang selalu mengambang. Jalan-jalan di
bagian utara distrik terutama dihuni orang Pakistan dan Afganistan,
sumbu-sumbu tengah oleh orang Turki dan Kurdi; berbagai bahasa,
dari bahasa Albania hingga beberapa variasi bahasa Yahudi, dapat di
dengar di jalan-jalan sekitarnya.
Tradisi-tradisi rahasia distrik lama ini terlihat jelas di abad ke-
21. Selama berabad-abad, Kesatria Templar telah dikaitkan dengan
pewaris sah takhta Prancis, selain berbagai jaringan rahasia dan semi-
rahasia. Jaringan tersebut termasuk Freemason, neo-Gnostic, Nazi,
okultisme dari berbagai jenis dan neo-medievalis yang membenarkan
semua teori konspirasi. Yang lainnya, seperti para Surealis dan
kelompok avant-garde lainnya, menemukan simpati dan keterpikatan
dalam legenda-legenda penganut aliran sesat yang terkutuk ini. Para
Kesatria baru-baru ini direpresentasikan dalam buku laris berjudul
The Da Vinci Code karya Dan Brown, yang kembali menggambarkan
ordo ini sebagai penjaga pengetahuan rahasia.6
Masih banyak pula orang di Paris masa kini yang memercayainya.
Markas kelompok-kelompok semacam ini di kalangan Parisian kini
dapat ditemukan di Bar-Tabac des Templiers, 35 rue de Rivoli. Ini
yaitu sebuah tempat berkumpul yang lusuh di malam hari yang
beralih fungsi menjadi tempat taruhan di siang hari. Barnya berada di
pojok rue de la Tacherie, sebelumnya disebut rue de la Juiverie namun
dinamai ulang saat Philippe le Bel, sesudah mengusir warga Yahudi
yang bermukim di sana, memberikannya sekehendak hati kepada
seorang pelayan laki-laki bernama Puvin.
Melalui asap rokok yang tebal dan suara berisik komentar dari
pacuan kuda di televisi, Anda akan memperhatikan bahwa setiap
inci dinding bar itu dipenuhi oleh gambar-gambar dan stupa yang
didedikasikan kepada tradisi Templar, meliputi patung-patung Joan of
Arc, wasiat terakhir Louis XVI dan foto pesaing untuk takhta Prancis
105
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
masa kini, Louis XX. Dalam lingkungan yang ganjil inilah para
penjaga api masa kini, seperti ‘Milice du Christ’ (milice berarti milisi)
dan ‘Ordre du Temple’ bertemu secara rutin untuk membahas dan
memperdebatkan warisan para Kesatria. Desas-desus mengatakan
bahwa lokasi ini dahulu merupakan markas besar Komando Tinggi
para Kesatria, dan kuil tempat mereka memuja dewa setan Baphomet
terkubur di suatu tempat di ruang bawah tanah.7
Di dekat tempat itu pula pada 1662 penyair Claude le Petit, dalam
karyanya Paris ridicule, memuji para Templar sebab menentang
hukum Tuhan, tetap setia pada visi mereka akan sebuah dunia yang
murni; Le Petit sendiri digantung tak lama kemudian sebab ateisme.
Di seberang jalan, tradisi-tradisi libertinisme dan entusiasme terhadap
sodomi yang dituduhkan pada penghuni Temple sebelumnya tetap
terpelihara di jalan-jalan sekitar rues du Temple, Sainte Croix de la
bretonnerie, Vieille du Temple dan des Mauvais Garçons. Di tempat
inilah kaum gay internasional dan kaum gay Paris bertemu dan
mendirikan markas, membentuk persaudaraan yang tertutup dan
kosmopolitan.
106
10
Pemberontak dan Kerusuhan
Philippe le Bel, sebagaimana telah kita lihat, meninggal dunia
secara tiba-tiba dan dalam usia relatif muda pada 1314. Sebagian
besar Parisian percaya bahwa ini yaitu akibat yang sangat jelas
dan tidak terhindarkan dari kutukan Templar. Reaksi terkejut atas
kematiannya semakin terasa sebab kontrol Philippe terhadap kota
Paris dan penduduknya selalu kuat dan mutlak. Kota telah tumbuh di
bawah kekuasaannya. Île de la Cité saja memiliki lebih dari dua puluh
gereja. Sebagai pusat studi atau ibadah, tidak diragukan lagi bahwa
Paris merupakan kota terpenting di Eropa barat, mungkin hanya
disetarakan oleh Venesia sebagai pusat perdagangan.
Semua ini dicapai walaupun pada faktanya ambisi utama Philippe
dalam hidupnya yaitu untuk merampok rakyatnya. Ironisnya, agar
bisa melakukannya, ia harus menciptakan berbagai institusi yang
terbukti kuat dan bertahan lama. Terutama, di bawah Philippe,
organisasi istana dibagi menjadi tiga divisi utama: dewan kerajaan,
yang menguasai seluruh Prancis; chambre des comptes, yang menangani
keuangan; dan parlement, yang mengelola pengadilan. Ketiga cabang
pemerintahan ini didominasi sesuai kehendak raja dan tetap bertahan
dan dipandu oleh prinsip ini hingga 1789. Kematian Philippe yang
cepat hanya menunda kemarahan publik yang tidak terhindarkan
terhadap pemerintah yang terorganisasi begitu baik dan berdedikasi
untuk menipu penduduknya.
Kepada penerusnya Louis X (‘le Hutin’—‘ si suka bertengkar’),
Philippe meninggalkan kota yang hancur secara moral dan finansial.
Ini yaitu apa yang disebut Fernand Braudel sebagai ‘abad setan’,
saat semua pencapaian abad-abad sebelumnya tampak mundur
dan Paris memasuki periode perang tanpa akhir, kekejaman yang
107
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
menghancurkan, penyakit dan kelaparan.1
Perubahan dalam populasi Paris disebabkan oleh kejadian-kejadian
bencana dalam skala luas. Bencana paling besar yaitu kelaparan pada
1315 – 1317, yang menyebar luas di seluruh Eropa tetapi datang sebagai
kejutan keras bagi Parisian yang baru satu generasi sebelumnya telah
membanggakan diri atas keberlimpahan makanan di kota mereka.
Ekonomi yang rapuh semakin mendapat tekanan dari kekacauan
tentang suksesi Capetian pada 1317. Dengan kematian Louis X
secara tiba-tiba, itu berarti tidak ada pewaris laki-laki bagi takhtanya.
Para pengacara saudara-saudara Louis berhasil memperjuangkan
pembuatan undang-undang yang melarang semua wanita untuk
menuntut hak atas takhta (ini yaitu pelaksanaan ‘Undang-Undang
Salic’ buatan Clovis, yang disebutkan dalam Bab 3). Namun pada
1328, takhta jatuh ke tangan pendiri garis keturunan baru, Philippe de
Valois. Raja Inggris yang suka memangsa, Edward III, cucu terakhir
Philippe le Bel yang masih hidup, mengambil kesempatannya untuk
membuat kekacauan di Paris dan memulai rangkaian tantangan
berdarah bagi raja Prancis yang kemudian dikenal sebagai Perang
Seratus Tahun.
Perang yang sepertinya tak berkesudahan ini memiliki banyak
dampak langsung dan tidak langsung. Bagi orang Inggris, perang
ini menyediakan mitos identitas nasional yang didasarkan pada
kemenangan di Crécy dan Agincourt dan fakta bahwa mereka bukan
orang Prancis. Dalam konteks lebih praktis, direbutnya Calais,
yang akan tetap dikuasai oleh orang Inggris selama dua ratus tahun
kemudian, membuka pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota Flanders
bagi perekonomian Inggris. Walaupun Inggris pada akhirnya akan
kalah dalam perang dan sekali lagi menjadi pulau, penambahan wilayah
yang dilakukan secara agresif atas nama kedaulatan dan perdagangan
akan menjadi ciri khas Kekaisaran Inggris di masa depan.
Bagi orang Prancis, perang ini juga menciptakan mitologi
nasional baru. Namun, mitologi ini lebih berhubungan dengan sikap
membesar-besarkan diri alih-alih pembelaan diri. Salah satu akibat
perang yaitu pecahnya identitas regional—seperti Picard, Gascon,
dan Normandia—saat orang-orang melarikan diri ketakutan dari
daerah asalnya. Paris, yang kemegahan dan posisinya merosot selama
108
abad tersebut, yaitu rumah alami bagi para pengungsi ini. Selain itu,
pengalaman mengerikan dalam Perang Seratus Tahun mendorong
warga Paris kebanyakan untuk mengambil kendali atas nasib politik
mereka sendiri. Jalan menuju ke sana panjang dan keras, yang dibuka
dengan huru-hara, pemberontakan dan revolusi skala kecil. Ini yaitu
tantangan langsung pertama dalam sejarah terhadap kewenangan
kerajaan. Dalam konteks jangka pendek, tindakan-tindakan tersebut
memang gagal, tetapi memainkan peran sangat penting dalam
menyadarkan monarki akan adanya fakta bahwa mereka tergantung
pada niat baik rakyat dan bukan sebaliknya. Pajak, gaji, kekurangan
makanan dan pemogokan yaitu isu-isu kontroversial dalam tahun-
tahun selanjutnya.
Perang gerilya yang panjang dan mematikan melawan orang
Inggris juga membuat kehidupan sehari-hari di Paris menjadi sulit
dan bahkan kadang kala mustahil. Ada banyak Parisian yang terlibat
dengan kedua belah pihak di dalam konflik ini, bertindak sebagai
perantara, kolaborator, mata-mata atau pedagang gelap. Sementara itu,
orang Inggris menyapu daerah pedesaan di luar dan di sekitar Paris,
mengklaim wilayah melalui kebijakan bumi-hangus yang membuat
para petani yang tidak dibantai atau terbunuh sebab kelaparan tidak
punya cara mendapatkan penghasilan. Mereka mundur ke balik
dinding kota, kelaparan dan merasa tidak puas. Perang telah membuat
Parisian, bahkan yang paling patriotik, melawan penguasanya. “Perang
terkutuk ini sudah menyebabkan begitu banyak penderitaan sehingga
saya percaya bahwa Prancis lebih banyak menderita dalam waktu dua
belas tahun terakhir daripada dalam enam puluh tahun sebelumnya,”
keluh salah seorang pengamat kontemporer. “Kami diperintah oleh
orang-orang muda dan bodoh.”2 Pada 1330, terjadi kerusuhan untuk
menentang perang di seluruh Paris. Pembalasan Philippe de Valois,
‘orang muda’ yang duduk di atas takhta, tanpa ampun.
saat Kematian Hitam tiba di pintu gerbang Paris pada 1348—
ditandai oleh bola api yang melintasi langit gelap di atas ibukota—
warganya berteriak bahwa mereka tidak bisa menanggung penderitaan
tambahan.3 Berita mengerikan tentang kehancuran yang disebabkan
oleh penyakit ini sudah sampai ke Paris dari Marseilles, tempat awal
munculnya penyakit ini di Eropa.
109
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Kota ini dengan cepat dicengkeram oleh epidemi dan tingkat
kematian segera mencapai beberapa ratus orang per hari. Labirin
penuh sesak di sekeliling Notre-Dame diubah menjadi rumah
jenazah yang bau: mayat-mayat bau tergeletak di jalanan, digerogoti
oleh tikus-tikus (kucing-kucing di Paris sudah dibantai oleh Parisian
sebab menyangka bahwa kucing yaitu pembawa penyakit).
Penyakit mewabah selama lebih dari satu tahun, mengurangi jumlah
penduduk hingga setengahnya dan menghancurkan perdagangan
sungai yang sebelumnya sibuk. Sejarawan Guy Bois dengan tepat
menggambarkannya, “seperti tendangan yang diarahkan pada bukit
semut manusia.”4
Pemberontakan
Selama abad selanjutnya, kota ini dipenuhi oleh konspirasi, eksekusi,
pengusiran, yang diiringi dengan meningkatnya tindak kejahatan
disertai kekerasan. Charles V naik takhta pada 1364 dengan niat
untuk mengontrol kekuatan nakal yang sedang bekerja di dalam
dan di luar kota. Langkah pertamanya yaitu memperluas dan
memperkuat pertahanan asli Philippe-Auguste dengan membangun
dinding baru di sekeliling kota. Di Tepi Kiri, ini berarti membangun
kembali dan memperkuat dinding Philippe yang tersisa. Namun di
Tepi Kanan, dinding baru harus dibangun hingga jauh ke utara ke
Temple, memotong daerah urban, membentang dari Porte Sainte-
Antoine ke Porte Saint-Honoré (saat ini kurang-lebih yaitu rue du
Faubourg Saint-Antoine dan ujung bawah rue Saint-Honoré). Salah
satu konsekuensi masa kini dari dinding ini yaitu pergeseran dalam
sumbu utara-selatan kota dari timur ke barat; oleh sebab itu, sebagian
besar lalu lintas di Tepi Kanan di Paris di bawah Porte Saint-Martin
sekarang kurang- lebih mengikuti kontur yang sebelumnya menjadi
dinding. Louvre tidak lagi menjadi titik tengah pertahanan kota,
tetapi ini tidak menghentikan Charles untuk memperkuat menara-
menaranya. Dalam iklim kerusuhan politik—sebagai dampak perang
dan kelaparan, upah sebagian besar penduduk Paris hampir sepanjang
pemerintahan Charles hampir tidak memenuhi kebutuhan mendasar
110
mereka—ini dilakukan untuk mengawasi dan mengontrol Parisian,
alih-alih mempertahankan mereka.
Dinding ini terbukti sia-sia. Kubu pertahanan di dinding dan parit
menyediakan tempat berlindung di waktu malam bagi masyarakat
kelas bawah yaitu petani putus asa, tentara desertir, tukang catut,
mucikari, pengintip, pencuri, dan pembunuh profesional. Charles
bertekad untuk membersihkan daerah pedesaan dan kota dari orang-
orang yang disebut écorcheurs ini. Namun di waktu malam, para
kriminal ini mengontrol jalan-jalan di pinggiran dan di pusat kota.
Jalanan memang kotor, gelap dan tidak bertanda, serta berbahaya,
namun, jalanan berarti rumah. Yang membuat warga Paris terkejut,
selama pengadilan atas kasus pemerkosaan yang terkenal pada
1333, yaitu bahwa seorang gadis berusia sepuluh tahun (bernama
‘Jehannette’) diculik saat sedang duduk di depan rumah ayahnya.
Anak yang mudah percaya ini dibujuk untuk mengikuti tetangganya,
Jacqueline, yang kemudian menyerahkannya kepada pemerkosa
Lombart dengan imbalan uang. Fakta paling menakutkan bagi semua
orang yaitu Jacqueline sebelumnya dikenal sebagai teman baik bagi
semua orang di jalan tersebut. Kisah ini membuktikan bahwa Setan
hadir di mana-mana.5
Sering terjadi pula sejumlah jacqueries atau pemberontakan rakyat
yang dipimpin oleh petani. Walaupun pemberontakan ini sering kali
tidak memiliki fokus—biasanya dipicu oleh rasa lapar atau kenaikan
pajak—tetapi sudah cukup membakar untuk merusak stabilitas
serangkaian pemerintahan yang sudah tidak stabil. Sepertinya,
tidak satu pun penerus Philippe le Bel yang memiliki intelektual dan
kekuatan moral untuk mengatasi atau membatasi masalah-masalah
ini, yang membuat mereka semakin sulit untuk memerintah kota
Paris. Salah satu tantangan pertama dan paling langsung terhadap
kewenangan kerajaan pada pertengahan abad ke-14 berasal dari
seorang pengusaha kaya yang terkenal yang, walaupun memiliki
latar belakang haut bourgeois, mampu membuat kota berlutut dalam
pemberontakan paling menghancurkan dalam periode tersebut.
Étienne Marcel pada kenyataannya dilahirkan pada 1320 di rue de la
Pelleterie di Île de la Cité dalam keluarga penukar uang dan pedagang
kain. Keluarga Marcel sudah lama menetap di distrik tersebut dan
111
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
selama bertahun-tahun telah berhasil mengumpulkan cukup banyak
uang untuk dianggap sebagai dinasti borjuis termashyur yang mudah
berhubungan dengan orang-orang seperti keluarga Barbou, keluarga
Cocatrix dan keluarga Dammartin. Bahkan, istri pertama Marcel
yaitu putri tertua keluarga Dammartin. Ia menikah untuk kali kedua
pada 1344 (istri pertamanya telah meninggal dunia), dengan keluarga
Des Essars, salah satu keluarga terkaya dan terkuat di Rouen yang
tidak jauh jaraknya. Marcel yang memiliki koneksi kuat, cerdik secara
politik dan bergaya flamboyan, sangat berhasil dalam bisnisnya. Ia
memperluas imperium perdagangannya hingga Flanders dan Brabant.
Marcel juga memiliki ambisi politik dan sangat skeptis terhadap
kemampuan monarki dalam mengatasi ancaman eksternal (terutama
dari orang Inggris) secara efektif atau dalam mengelola lingkungan
bisnis Paris yang kompleks dengan benar. Pada 1355, ia diangkat
sebagai anggota dewan kota dan kemudian dipilih sebagai prévôt des
marchands (‘provost para pedagang’). Ini yaitu posisi yang sangat
politis dan sensitif serta sejak lama menjadi hak dinasti-dinasti haut
bourgeois, termasuk keluarga Bourdon dan keluarga Arrode. Marcel
membuktikan dirinya lebih berani, dinamis, dan lebih arogan daripada
para pendahulunya. Langkah pertamanya yaitu membangun markas
besarnya di Place de la Grève, jantung aktivitas bisnis kota; sementara
langkah keduanya yaitu mendorong terbuatnya konstitusi baru yang
pada hakikatnya menghapuskan keluarga Dauphin, Charles, yang
bertindak sebagai wali raja bagi ayahnya yang sedang tidak ada di
tempat (ayahnya, Jean le Bon, yaitu tawanan di Inggris).6
Tujuan Marcel yaitu mengambil kembali kota dari penguasanya
yang malas dan tidak berguna, lalu mengembalikannya kepada
penduduknya. Prioritas utamanya yaitu mengorganisasi penduduk
Paris ke dalam milisi-milisi sehingga mereka bisa membela diri dari
orang Inggris. Tindakan mempermalukan wali raja diikuti dengan
pendirian Komite Pertahanan Nasional, yang didukung oleh kelas
borjuis, yang merebut Louvre, kediaman wali raja. Kemarahan massa
dipicu oleh berita bahwa Jean le Bon telah menandatangani perjanjian
yang memberi separuh Paris kepada orang Inggris. Anak buah Marcel
membunuh semua pengawal dan penasihat wali raja tetapi tidak
membunuh Charles muda. Marcel sengaja mempermalukan Charles
112
dengan mengaraknya di depan massa sambil mengenakan topi
perempuan berwarna merah dan biru. Charles kemudian melarikan
diri ke Picardy.
Dengan 3.000 orang di bawah komandonya, Marcel mulai
memperluas dan membangun dinding kota yang baru. sesudah
mengangkat diri sebagai gubernur Paris pada 1357, ia kemudian
berusaha menyebarkan pemberontakan melawan raja ke daerah
pedalaman. Namun ia mendapati bahwa dirinya diblokade secara
efektif oleh pasukan raja yang telah berkumpul kembali dan mengepung
Paris. Marcel mundur ke Paris dan dinding pertahanannya hampir
selesai saat wali raja, yang setahun sebelumnya melarikan diri dari
Paris, muncul membawa pasukan dan bertekad merebut kota kembali.
Saat itu, kaum borjuis berpihak pada raja. Perubahan kesetiaan ini
terutama terinspirasi oleh fakta bahwa Marcel semakin tergantung
pada tentara bayaran dari Inggris untuk mempertahankan kota dan
menjaga ketertiban di jalan-jalan. Ketidakpuasan di kalangan Parisian
mereda sebelum tiba-tiba meledak menjadi kekerasan sesaat . Pada
malam tanggal 21 Juli 1358, massa bersenjata membunuh tiga puluh
empat orang Inggris di tempat yang sekarang masih disebut rue des
Anglais—markas besar orang-orang Anglo-Saxon yang arogan dan
gemar mabuk-mabukan. Empat puluh tujuh orang lainnya ditawan
sebelum pihak berwenang terpaksa untuk menahan empat ratus
prajurit Inggris di Louvre demi keamanan mereka sendiri. Pada 27 Juli,
Marcel membuat kesalahan serius dengan melepaskan para prajurit
tersebut, hanya sehari sesudah sekelompok Parisian dipotong-potong
oleh para prajurit Inggris yang sedang berbaris menuju garnisun di
Saint-Cloud.
Jean Maillart, bendahara kota dan sebelumnya rekan setianya,
akhirnya mengkhianati Marcel. Maillart kembali mendukung Raja,
menuduh Marcel melakukan pengkhianatan dan bekerja sama dengan
orang Inggris. Marcel diburu lalu dibunuh oleh Maillart serta para
pendukungnya. Mayat Marcel yang telanjang dan dimutilasi dipajang
di gereja Sainte-Catherine-du-Val-des-Écoliers. Wali raja kemudian
memasuki kota.
Pemberontakan Marcel yaitu tindakan yang mendahului gejolak
di masa depan dan membuka cacat mendasar dalam kontrol kerajaan
113
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
terhadap Paris, dan bahkan Prancis. Tentu saja kekejaman dan
tantangan terhadap tatanan sosial memberi inspirasi bagi revolusi-
revolusi lain di masa selanjutnya. Kerusuhan paling terkenal yaitu
kerusuhan yang menyebar luas ke seantero kota pada Februari 1382
sebagai tanggapan atas tambahan pajak yang dibebankan oleh raja.
Kerusuhan ini mendapat pembenaran dari penolakan Marcel untuk
tunduk terhadap hukum yang semena-mena dan tidak adil. Para
perusuh disebut maillotins, sesuai nama palu berkepala besar dari
timbal yang mereka ambil dari Hôtel de Ville, yang secara harfiah
mereka gunakan untuk memalu para inspektur pajak hingga tewas.
Florentien Buonaccorso Pitti, yang saat itu menetap di kota, mencatat
bahwa kerusuhan ini dipimpin oleh ‘popolo minuto’, rakyat jelata
Paris, pemuda, mahasiswa, perajin, pelayan, pengangguran. Hal
yang membuat Pitti terkejut yaitu kemarahan dan keberaniannya:
Mereka menyerang, dan kadang kala membantai pemberi kredit,
borjuis kaya, polisi dan Yahudi.7 Pencurian, pembunuhan, dan
pemerkosaan menjadi hal biasa saat kelas menengah secara diam-
diam meninggalkan kota untuk sementara waktu. Banyak dari mereka
menuju Avignon dan mencari perlindungan Paus.
Dapat diperkirakan kejamnya pembalasan raja, yang mulai
mengembalikan ketertiban pada Maret 1382, dan membangun pola
mengerikan pembantaian dan kontra-pembantaian yang menjadi ciri
khas hubungan antara kaum miskin kota dengan elite penguasanya
selama dekade-dekade, atau bahkan abad-abad, selanjutnya.8 Lebih
dari itu, sebagai ekspresi atas kemarahan publik yang menemukan
fokus dalam pengejaran otonomi dan penghapusan otoritas, pem-
berontakan Marcel sering dideskripsikan sebagai ramalan bagi
kesulitan-kesulitan Paris hingga Komune pada 1871. Patung Marcel—
dicetak sebagai pejuang yang mulia dan menantang—yang sekarang
berdiri memandangi sungai dari Hôtel de Ville, tentu saja mempertegas
pandangan ini tetapi juga menunjukkan kebutahurufan sejarah dalam
batas tertentu. Lebih tepat lagi, walaupun ia tidak mengeksploitasi
jacqueries di pedesaan untuk tujuan pribadinya sendiri, Marcel
sangat menyadari ketinggian posisinya dalam hierarki sosial pada
periode tersebut dan tidak terlalu atau bahkan tidak memedulikan
penderitaan orang-orang di bawahnya. Ia juga tidak mencari dunia
114
yang lebih adil dan lebih setara; sebaliknya, ia menjadikan tahun
1200-an sebagai model zaman keemasan yang ingin ditirunya, yaitu
saat Paris berkembang dan meluas di bawah kontrol elite pedagang
yang tidak memedulikan pihak kerajaan yang tidak kompeten. Visi
Marcel digagalkan sedari awal saat penyakit, perang, dan kelaparan
menyapu kastanya sendiri dan membuat penduduk Paris lainnya
menderita kemiskinan spiritual serta material yang belum pernah
dikenal oleh kota ini.
***
Salah satu konsekuensi paling serius dari kedatangan Kematian Hitam
di kota dan kesejahteraan wilayah di sekitarnya yaitu bahwa Paris
sekarang hampir secara permanen terputus dari rute perdagangan
besar lintas Eropa. Tidak ada kapal Genoa atau Eropa lainnya yang
merapat di pelabuhan-pelabuhan Prancis kecuali dalam keadaan
darurat, sementara daerah-daerah perniagaan tetangganya di Jerman,
Flanders dan bahkan Inggris terus tumbuh pesat, yang memperlebar
perbedaan budaya dari daratan Paris. Pemberontakan dalam kota
hanya memperlebar dan memperdalam perbedaan antara Paris
dengan Eropa niaga lainnya.
Selama periode ini, motif utama kota yaitu kekacauan. Pada 1358,
universitas membuat keluhan formal kepada Charles V bahwa jalan-
jalan di sekitar rue de Fouarre, tempat mayoritas kelas diadakan, pada
waktu malam digunakan oleh para penjahat, yang membawa serta
pelacur dan femmes malpropres lainnya. Para mahasiswa dan profesor
merasa jijik setiap pagi sebab menemukan urine, feses, anggur
basi dan muntahan mengotori jalan-jalan. Dua pintu gerbang besar
dibangun di rue de Fouarre, Place Maubert, rue des Deux-Portes-
Saint-Sauveur dan tempat-tempat lain di kota. Para mahasiswa sendiri
menyukai tepian sungai Seine yang dikenal sebagai Prè aux Clercs
untuk berpesta memancing dan pesta pora lainnya. Kepala biara
Saint-Germain berupaya menghentikannya pada 1343, dan tindakan
ini memicu konflik berdarah yang akhirnya terdengar ke telinga Paus.
Tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai, tetapi kalangan gereja Paris
menambahkan kasus ini ke dalam daftar panjang dendam mereka
115
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
terhadap universitas.
Charles V berupaya mendorong seni, dan di bawah kekuasaannya,
jumlah koleksi buku di Louvre semakin bertambah. Namun,
perkembangan di dalam Paris menyusut hingga pada 1383, seperti
diperlihatkan dalam ‘peta besar’ Paris kelima, satu-satunya bangunan
yang cukup besar selama lima puluh tahun terakhir yaitu benteng
yang dibangun di gerbang-gerbang kota. Di luar gerbang, di tempat
yang sekarang menjadi La Villette dan Porte Saint-Martin, ada
daerah tidak bertuan, yang dihuni oleh orang kelaparan, penderita
lepra dan desertir, yang membentang beberapa kilometer ke arah
hutan.
116
11
Setan-setan Inggris
Salah satu bencana yang menimpa Paris dan Prancis, dari perang
dan bencana kelaparan hingga pemberontakan, yaitu kelemahan
dan kebodohan monarki. Raja yang paling mengganggu yaitu Raja
Charles VI yang memerintah negara sejak 1392 hingga 1422. Sikapnya
yang berubah-ubah tidak dapat diprediksi dan membahayakan, antara
benar-benar gila atau kebodohan yang paling gila. Kegilaan Charles
barangkali yaitu penyakit—kemungkinan besar yaitu varian dari
skizofernia atau ensefalitis—namun bagaimanapun gejala-gejalanya
memiliki konsekuensi yang dahsyat bagi kerajaan. Kemarahannya
bisa luar biasa hebat dan pernah sekali dalam ekspedisi berburu ia
menebas empat pejabat istana yang ia curigai telah berkhianat. Dalam
kesempatan lain, ia berpakaian seperti ‘orang liar’ dalam jamuan
resmi yang membuat terkejut para tamu dan membuat takut orang-
orang yang mengenalnya dengan baik. Dalam tahun-tahun terakhir
kehidupannya, Charles beranggapan bahwa ia terbuat dari kaca dan
meminta agar batang-batang besi dimasukkan ke dalam pakaiannya
sehingga ia tidak akan pecah berantakan saat melakukan kontak
dengan manusia lainnya.1
Konsekuensi paling langsung dan disayangkan dari kondisi
melemahkan ini yaitu dua orang saudara raja, duc de Bourgogne
(Burgundy), pemimpin orang Burgundian, dan duc d’Orléans, yang
memimpin faksi yang disebut Armagnacs, selalu terlibat dalam
pertarungan tentang siapa yang akan mengontrol Takhta. Persaingan
antar-saudara ini meluas ke dalam semua lingkup politik, di tanah
air dan di luar negeri, melingkupi perpolitikan kepausan, kebijakan
di Negara-Negara Rendah (Low Countries) dan pertarungan internal
tentang ukuran wilayah Prancis. Bagi Parisian, masalah ini semakin
117
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
rumit oleh fakta bahwa, tidak seperti pusat-pusat utama lainnya di
Prancis, kota Paris tidak memiliki piagam pendirian yang terpisah dari
monarki. Oleh sebab itu, lebih dari tempat-tempat lainnya di Prancis,
Paris menjadi subjek pemerintahan langsung dari Takhta dan, yang
paling krusial, dari caranya yang tak bisa diubah.
Perpecahan dalam keluarga ini semakin terlihat dalam tahun-
tahun pertama kekuasaan Charles VI. Ia raja yang masih muda saat
kembali bersama paman-pamannya ke Paris sepulangnya dari operasi
militer yang berhasil melawan orang Flemish pada 1392. Lebih dari
20.000 Parisian, yang bersenjata untuk menunjukkan dukungan
mereka terhadap Charles, muncul di atas dinding-dinding kota untuk
mengelu-elukannya sebagai penakluk.
Mereka sangat terkejut saat diberi tahu bahwa dukungan terbuka
semacam itu sangat mengganggu raja dan diminta pulang ke rumah.
Sehari kemudian, pasukan Charles yang veteran perang memasuki
kota, menangkap dan kemudian mengeksekusi para administrator
sipil senior. Denda yang sangat besar dan pajak yang sangat tinggi
dibebankan kepada kota. Warga Paris tidak bisa memahami perilaku ini
dan mencatatnya sebagai penyimpangan atau tanda kegilaan. Namun,
bukan kebetulan bahwa tahun berikutnya dimulailah pembangunan
Bastille, tempat yang akan dibenci dan ditakuti selama berabad-abad.
Lampu Padam
Persaingan antara Burgundy dan Orléans akhirnya pecah pada pukul
setengah delapan sore tanggal 23 November 1407. Di jalan sempit yang
gelap dekat Porte Barbette, duc d’Orléans dibunuh oleh delapan belas
centeng Burgundy di sebuah gang di dekat kesusteran Hospitaliers
Saint-Gervais. Jenazahnya langsung dibawa ke gereja Blancs-
Manteaux di jantung Marais. saat Jean sans Peur (‘Si Tak Kenal
Takut’)—penerus duc de Bourgogne tua, yang wafat pada 1404—pergi
melihat jenazahnya, jenazah mulai memuncratkan darah, membasahi
Jean dan dengan demikian mengidentifikasinya sebagai pembunuh.
Namun, opini publik sangat mendukung Burgundy. Ia dipandang
sebagai seorang berjiwa keras yang ingin menyatukan bangsa
118
menghadapi ancaman eksternal dan menyatukan faksi-faksi yang
bertengkar di bawah Raja. Charles VI, yang sudah menjadi gila
sepenuhnya, sekarang tidak relevan lagi. Burgundy mengambil alih
tanggung jawab efektif pemerintahan, menjanjikan reformasi dalam
administrasi dan mengurangi beban pajak. Para pejabat yang korup
dipecat atau dieksekusi. Namun, kekejaman Jean juga bisa dengan
cepat menjadi kekejaman yang sembrono, dengan konsekuensi yang
tidak terbayangkan sebelumnya.
Pada 1413, pasukan Burgundian membunuh pesaing mereka
yang tersisa dari faksi Armagnac di Paris. Mayat-mayatnya, menurut
seorang pengamat, “ditumpuk tinggi di jalan-jalan seperti babi dalam
lumpur.”2 Pembantaian ini tidak bisa dihindari, kemudian memicu
reaksi bermusuhan dari orang-orang yang sebelumnya moderat
seperti prévôt des marchands, Jean Jouvenal, yang pada akhirnya
memimpin kebangkitan kembali pasukan Armagnac. Pasukan berhasil
merebut kontrol atas ibukota dan mempertahankannya hingga 1418.
Kembalinya orang Burgundian pada tahun tersebut ditandai oleh
pembantaian baru.
Selama periode ini, administrasi politik di Paris hampir selalu
menghadapi kekacauan. Satu-satunya pihak yang mendapat ke-
untungan dari situasi tersebut yaitu orang Inggris. Perang antara
Prancis dengan Inggris telah mencapai klimaksnya. Orang Inggris,
yang mendapat keuntungan dari persekutuan mereka dengan orang
Burgundian, datang ke Paris pada 1420. Walaupun tidak disukai oleh
Parisian biasa, yang juga sudah lelah akan konflik antarsaudara selama
bertahun-tahun, mereka tetap saja menduduki posisi-posisi kunci
di tepian sungai di Tepi Kanan hingga melewati dekade selanjutnya,
saat gelombang perang kembali berbalik melawan mereka. Duke
Salisbury, Duke Suffolk dan Duke Willoughby bergerak jauh ke selatan
dan memiliki properti di tempat yang sekarang menjadi Saint-Michel.
Pada awalnya, orang Inggris datang dengan janji menciptakan
kestabilan dan mengakhiri pertumpahan darah. Namun, pendudukan
Inggris akan menjadi salah satu periode paling gelap dalam sejarah
Paris. Kewenangan prévôt dan empat orang anggota dewan kota
bawahannya (échevins) yang diperjuangkan dengan keras mulai
berantakan, bersama dengan polisi kota dan penjaga malam;
119
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
hampir tidak ada penghormatan atas legalitas di dalam atau di luar
pemerintahan. Bisnis mulai berjatuhan saat yurisdiksi pemerintah
kota terhadap penjualan anggur, kayu bakar, bahan makanan penting
dan bisnis sungai itu sendiri, terlihat mulai mengalami kegagalan.
Kota sekarang tergantung pada bantuan finansial dari Inggris, yang
tidak pernah datang, dan undang-undang Inggris, yang diterapkan
secara sporadis. Ada segelintir Parisian yang menyatakan kesetiaannya
kepada Inggris—konon mereka yang melakukannya sesudah itu terkena
kutukan—tetapi semuanya dipaksa untuk tunduk pada keperkasaan
Inggris yang semakin besar. Perwakilan Inggris berjalan-jalan di kota
dengan gaya seperti tuan sementara penduduk asli Paris kelaparan,
atau hanya mendapatkan ampas-ampasnya. Kesan tentang orang
Inggris sebagai setan hidup di dalam ingatan orang Prancis lama
sesudah pendudukan ini dalam ungkapan d’anglois couëz (‘ekor orang
Inggris’). Menurut cerita rakyat Paris, frasa ini didasarkan pada cerita
tentang Santo Augustine yang melakukan kunjungan keagamaan
ke Rochester. Di sana, ia dihina. Ekor babi dan sapi juga diikatkan
ke pakaiannya. Sebagai hukuman dari Tuhan, ras Inggris semuanya
mendapatkan ekor babi—penanda Anglo-Saxon sejati.3
Orang Inggris juga meninggalkan dua patung yang, menurut
legenda, menghancurkan dirinya sendiri secara ajaib saat Calais
akhirnya direbut kembali dari tangan mereka pada 1558. Semua jejak
pendudukan di Paris, secara bahasa maupun budaya, sudah sejak lama
dihapuskan sebab malu. Nama jalan di rue des Anglais, tempat orang
Inggris biasanya minum, bernyanyi, dan bertengkar, masih sering
mendapat serangan vandalisme sekitar enam ratus tahun sesudah
pendudukan.
Paris juga jatuh ke dalam kondisi tanpa hukum yang lebih dalam
daripada yang pernah dikenalnya dalam waktu lama. Berbagai
perintah dan undang-undang dibuat selama periode ini mengharuskan
warga untuk memasang lilin di jendela pada waktu malam, namun
tidak seorang pun melaksanakan instruksi tersebut sebab takut
akan menjadi sasaran. Dan pada akhir abad tersebut, satu-satunya
pencahayaan publik di kota yaitu , seperti di masa Philippe le Bel,
tiga obor besar yang dibakar di Grand-Châtelet, di Menara Nesle dan
di permakaman Saints-Innocents, di sebelah selatan kota.
120
Kegelapannya begitu pekat sehingga para penjaga kota bisa me-
laporkan terjadinya lima belas pembunuhan tak terpecahkan setiap
malam. Bukannya memercayai pemerintah, Parisian melihat ke langit
untuk mencari pertanda, berdoa mencari keselamatan dari kekacauan
seperti mimpi buruk kehidupan sehari-hari di kota. Pada Agustus
1400, guntur bergemuruh di atas kota, tetapi sulit untuk mencari tahu
apa yang dikatakan Tuhan kepada populasi yang terkepung ini. Salah
seorang saksi mata kontemporer melaporkan bahwa “guntur semacam
itu terdengar, antara pukul lima dan enam di pagi hari, bahwa patung
Bunda Maria, yang berada di altar di Saint-Ladre, yang dibuat dari batu
baru yang kuat, pecah berkeping-keping dan terlempar ke jalanan.”4
Sementara di La Villette de Saint-Ladre, dua pria tersambar petir—
sepatu, stoking, serta celana mereka hangus terbakar.
121
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
12
Tarian Machaberey
Pada awal abad ke-15, Parisian mengalami kehidupan yang
sangat berbahaya, bergejolak dan dibatasi oleh maklumat gereja yang
sedikit sekali pengaruhnya untuk mengontrol populasi. Paris sangat
padat penduduk dan kotor. Sejak masa Philippe-Auguste pada abad
ke-12, tidak ada lagi bangunan besar yang didirikan di luar dinding
kota oleh Charles V. Dinding ini mengelilingi kota dari Porte Saint-
Martin hingga Saint-Germain. Kendati banyaknya korban jiwa akibat
perang dan penyakit, populasi bertambah menjadi sekitar 200.000
orang. Hasilnya yaitu labirin yang jorok dan berpenyakit. Kehidupan
semacam ini dideskripsikan dalam karya anonim berjudul Journal
d’un bourgeois de Paris. Karya tersebut yaitu catatan kehidupan
suram dan pahit yang ditulis pada suatu waktu antara 1405 dan 1449
di kota yang sedang berperang dengan dirinya sendiri dan dengan
seluruh Prancis lain, serta bertahan dari pendudukan Inggris.
Walaupun sang ‘borjuis’ dalam catatan Journal mencatat pergerakan
lebih besar dalam perang saudara dan perang internasional, kesetiaan
pertamanya selalu bagi kota Paris. Perhatiannya juga selalu personal
dan domestik, seperti hawa dingin yang menusuk di musim dingin
dan wabah cockchafer (kumbang perusak tanaman—penerj.) di
musim panas, yang memiliki dampak bagi kehidupan sehari-hari. Hal
yang sama berlaku untuk catatannya tentang Perang Seratus Tahun,
yang menampilkan pandangan orang biasa terhadap sejarah. Setiap
kali pasukan musuh mendekati ibukota, ‘kaum borjuis’—salah satu
kelompok paling awal dalam deretan panjang kelas menengah Paris
penggerutu—mengeluhkan harga roti yang naik, keju dan telur yang
menghilang dari pasaran. Ini bukan hanya kesalahan orang Inggris
yang dibenci yang—Oh penyimpang dari agama!—merebus daging
122
serta membunuh anak-anak, tetapi juga para pendeta dan prajurit
serta orang-orang seperti Joan of Arc, yang jauh dari mewakili model
nilai patriotik dan religius, di sini dianggap sebagai pengganggu dan
pengaruh buruk bagi anak-anak muda.1 (Namun demikian, walaupun
ia hanya muncul secara singkat di Paris, dalam penyerbuan Porte Saint-
Honoré pada 1429, di mana ia terluka, Jeanne d’Arc memainkan peran
penting dalam sejarah Paris dengan cara memberikan keberanian
dan keyakinan kepada Charles VII untuk dinobatkan sebagai raja di
Rheims dan untuk menyatukan Prancis. Sebagai tandingan atas fakta
ini, ironis bahwa dalam tahun-tahun belakangan ini ia telah diangkat
sebagai pahlawan wanita kaum Kanan ekstrem, yang memanfaatkan
patungnya di rue de Rivoli sebagai titik berkumpul selama pemilihan
dan pada masa krisis nasional.)
Jelas sekali dari Journal dan naskah-naskah lain dari periode
yang hampir sama bahwa pada awal abad ke-15 penggunaan istilah
‘Parisian’ untuk mendeskripsikan bukan hanya penduduk kota tetapi
juga cara bertindak dan berpikir sudah menjadi kelaziman dan
mudah digunakan. Dalam Le Mesnagier de Paris (‘Ibu Rumah Tangga
Paris’)—buku yang ditulis pada 1393 oleh seorang haut bourgeois
sebagai panduan perilaku yang benar untuk istrinya di kota—sang
istri diperintahkan untuk mempelajari seni menari dan menyanyi,
bagaimana mengelola rumah tangga, memilih pelayan, berpakaian
dengan baik dan mengetahui tempatnya dalam masyarakat, serta siapa
yang harus dipandang rendah dan siapa yang harus dipandang tinggi.
Kelas-kelas menengah jelas sekali hidup dengan nyaman: Penulis,
misalnya, membahas cara terbaik untuk memasak dan mempersiapkan
daging rusa, jeruk dan makanan eksotis seperti sayur akar-akaran kecil
yang dikenal sebagai carotte. Walaupun istri dari sang haut bourgeois
diperintahkan untuk tidak bergaul dengan kaum bangsawan, ia juga
diberi tahu bahwa ia tidak lebih rendah dari mereka.2
Dua dari ciri-ciri khas utama mentalitas ‘Parisian’ yaitu
percaya takhayul dan ketertarikan praktis pada penyuapan. Namun
demikian, keyakinan pada intervensi Yang Maha Kuasa dan dampak
mendamaikan dari uang tunai, kadang kala bisa berbalik. Pada 1413,
Paris jatuh ke tangan Duke Bavaria dan comte d’Armagnac. Keduanya
memiliki dendam yang cukup besar terhadap kota dan sebab nya
123
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
tidak bisa dibeli dengan uang. Pada saat itu, sang ‘borjuis’ anonim
penulis Journal mencatat bagaimana populasi kota dibuat terbaring
sakit akibat wabah batuk misterius yang disebut tac atau horion.
Tidak seorang pun meninggal sebab penyakit ini tetapi dilaporkan
bahwa batuk tersebut cukup kuat sehingga para pria mengalami pecah
permanen alat kelaminnya dan para wanita hamil melahirkan secara
prematur; tidak ada pendeta yang bisa menyanyikan Misa agung di
mana pun di Paris. Pada awalnya, penyakit ini dipersalahkan pada
anak-anak kecil yang pergi mengambil anggur atau moster di sore
hari di rue Mouffetard, sambil menyanyikan baris dari rima populer:
“Keras sekali batuk yang kautangkap di kemaluan, gadis tua. Keras
sekali batuknya, keras sekali batuk yang kautangkap di kemaluan
(What a cough you’ve caught in the cunt, old girl. ‘W’hat a cough, what
a cough in the cunt).” Parisian suka bercanda setengah serius dengan
satu sama lain bahwa hal ini membuat Tuhan tidak senang yang
kemudian membuat udara “busuk dan korup, sehingga semuanya
membusuk,”3 dan yang sekarang benar-benar memberi mereka ‘a
cunt of a cough’ untuk membayarnya kembali. Tidak seorang dokter
pun bisa memberikan penjelasan alternatif, hingga tuduhan bergeser
sendiri kepada para duke serakah yang berkemah di gerbang kota.
saat situasi politik di Prancis bergeser, dan keseimbangan
kekuatan lepas dari tangan orang Bavaria, dan Armagnac dan kembali
ke Paris, kutukan ini tiba-tiba menghilang. Para pedagang kembali
mendapatkan uang, Misa kembali dinyanyikan, pelacur kembali
melacur, api unggun kembali dinyalakan dan kota terlahir. Sang
‘borjuis’ dengan gembira mencatat bahwa tidak satu pun anggur pada
tahun itu “menjadi kental atau lengket atau bau.”4
“Bajingan yang gesit; pencuri yang menyenangkan”
saat bangkit dari Perang Seratus Tahun, seperti sebagian besar kota
sesudah terjadinya konflik berdarah, Paris dicirikan dengan pelarian
diri ke dalam kesenangan. Ini yaitu dunia yang asing bagi sang
‘borjuis’ yang terkenal terhormat—salah satu perusak kebahagiaan
paling terkenal dalam sejarah kesusastraan Prancis—tetapi dijelaskan
dengan sangat baik oleh penyair François Villon, yang menyebut Paris
124
sebagai ‘Karnaval Raya’ dan menulis tentang para penjahat, perawan,
dan pemabuk.5
Villon juga bisa lembut. Ia mendeskripsikan anak-anak yang
berbelanja moster dan roti pada saat makan siang, wanita tua yang
bergosip di dekat perapian, para pengemis yang tidur di kehangatan
toko kue, para pelacur yang bertukar tip tentang keahlian profesional
dan protokol. Itu yaitu dunia kesenangan sensual kecil yang masih
dapat kita kenali saat ini. Itu yaitu kota yang telah mengalami kesulitan
yang sangat besar, dan di dalam kota, sebagian besar penduduknya
masih sering menghadapi kemiskinan, penyakit, dan kelaparan. Villon
memiliki hubungan yang sama dengan kotanya sebagaimana petani
dengan tanahnya: tidak satu pun bisa membatasinya dan melalui
puisinya ia mampu mencatat serta melaporkan bagaimana kehidupan
dijalankan di Paris, tidak hanya di pusat tetapi juga di pinggirannya.
Tidak seorang pun cukup yakin kapan dan di mana François
Villon dilahirkan atau siapa nama sebenarnya. Cukup wajar bahwa
sedikit kepingan kehidupan yang ditinggalkannya dapat ditemukan
dalam catatan-catatan kepolisian, yang di Paris tidak pernah menjadi
sumber informasi yang dipercaya bahkan pada waktu terbaik. Apokrif
dan anekdot yang dicatat hampir secara kebetulan dalam puisinya
bukan ditulis untuk generasi mendatang tetapi tanpa persiapan untuk
menghibur kerumunan pemabuk berisikan mahasiswa yang gagal,
desertir tentara, copet dan pengembara di tempat-tempat minum
di Tepi Kiri. Pada abad ke-17, Cotgrave mencatat kata villon, dan ia
mendefinisikannya sebagai “penadah, berandalan yang licik atau
cerdik; bajingan yang gesit; pencuri yang menyenangkan; (sebab
seperti itulah François Villon, yang kematiannya yaitu penghenti
yang sesuai bagi kehidupannya).6 Villon yaitu seorang penadah
berpendidikan, dengan minat pada kejahatan dan kebiasaan buruk.
Walaupun pernah dipenjara atas pembunuhan dan perampokan, ia
tidak pernah dihukum mati. Namun, ia sangat takut akan mati dan
sebagian baris terbaiknya didapatkan dari fakta bahwa ia yaitu
pendosa sekaligus orang beriman. saat George Orwell datang
ke Paris pada akhir 1920-an dan menginap di rue du Pot de Fer di
Quartier Latin, ia membeli salinan puisi Villon untuk digunakan
sebagai pemandunya.
125
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Paris yang dikenal oleh Villon pada kenyataannya yaitu daerah
yang relatif kecil, membentang dari wilayah yang sekarang yaitu Pont
des Arts ke ujung selatan Quartier Latin, dengan sesekali masuk ke
Cité atau menyeberang ke Tepi Kanan. Ia dilahirkan di dekat Pontoise,
tempat ayahnya meninggal dalam usia muda yang kemungkinan
sebab minuman. Ibunya tinggal di sana dalam waktu lama (setidaknya
hingga 1461) tetapi ia kemudian diadopsi oleh Guillaume de Villon,
Pendeta Saint-Benoît-le-Bétourné di Quartier Latin. Ia menempuh
pendidikan di universitas, mencapai status licencié dan kemudian
maistre-ès-arts, walaupun pada saat yang sama ia mendapat reputasi
sebagai mahasiswa yang sulit dan sering kali tidak bermoral.
Villon juga mengalami pergeseran identitas pada titik ini, sering kali
mengidentifikasikan dirinya menurut situasi sebagai ‘maître François
des Loges, autrement dit de Villon’, ‘Franciscus de Montcorbier’
atau ‘Moultcorbier’. Ia bermasalah dengan universitas dan berhenti
dari studinya (dalam bidang teologi) pada 1451. Penjelasan paling
mungkin bagi hal ini yaitu perannya dalam lelucon yang melibatkan
pemindahan sepotong patung batu kuno yang disebut pet-au-diable
(‘Kentut Setan’) oleh sekelompok mahasiswa yang mabuk dari
kediaman Mademoiselle de la Bruyère. Pihak berwenang meng-
anggap serius ‘kejahatan’ ini dan sebagai balasannya terjadi serangan
bersenjata yang kejam terhadap para mahasiswa di Tepi Kiri.
Sebagai balasannya, para profesor universitas yang marah kemudian
melakukan demonstrasi pada 1453 – 1554.
Villon sendiri, yang muak pada kebodohan dan kekotoran acak
yang dilakukan otoritas keagamaan maupun otoritas akademik (pada
saat itu keduanya hampir tidak bisa dibedakan), kemudian masuk ke
dalam kelompok proletar mahasiswa miskin. Ini kumpulan anak-anak
muda yang tidak memiliki keahlian, tidak memiliki dukungan yang
terlihat dan tidak tahu harus ke mana. Tidak seperti para mahasiswa
yang melekat pada sebuah komunitas atau kolese, kelompok ini
dibiarkan untuk berjuang sendiri sesudah mereka mendaftar di
universitas. Mereka diidentifikasi sebagai peminum, orang barbar
dan subversif dalam hal seksual. Polisi memperlakukan mereka sama
kerasnya dengan ‘kelas marjinal’ lain seperti pengembara atau desertir
tentara.
126
Kurang-lebih pada saat itulah Villon mulai berbaur dengan coquil-
lards—gerombolan berbahaya beranggotakan desertir, perampok
dan pembunuh, di ma