kota yang hebat atau indah. Anna dari Kiev, yang datang
ke Paris pada 1051 untuk menjadi ratu dari Henri I yang menduda
dan tidak memiliki anak (yang naik takhta pada 1031) sangat
terkejut dengan kekotoran serta kemelaratan tempat itu. Paris yaitu
permukiman melarat dan berantakan yang tidak lebih baik, dan
dalam beberapa aspek malah lebih buruk, daripada kota Ukrania tua
yang ditinggalkannya. Pemikirannya tercatat dalam kronik-kronik
kota asalnya, tempat ia mengerang keras dan panjang, dalam bahasa
Yunani, mengenai pengasingannya di “sebuah negeri barbar yang
rumah-rumahnya suram, gereja-gerejanya jelek, dan adat istiadatnya
menjijikkan.”1
Keterkejutan Anna terhadap kondisi kota ini memang dapat
dibenarkan. Ibukota Clovis sekarang sudah menjadi reruntuhan
yang jorok. Gereja-gereja utama yang dijarah oleh bangsa Norseman
pada abad ke-9—Saint-Julien-le-Pauvre, Saint-Séverin, Saint-Baque,
Saint-Étienne-des-Grés—belum diperbaiki dan dalam beberapa kasus
dibiarkan tetap rusak. Demikian pula, walaupun rumah, toko, jalan
dan gang di Île de la Cité kurang-lebih tetap utuh, para raja Frank,
yang menyukai perang dan bermalas-malasan sebagai kegiatan utama
untuk menghabiskan waktu, tidak memiliki prioritas untuk membuat
permukiman tersebut menjadi indah atau bahkan layak huni.
Reruntuhan kota Gallo-Romawi yang hancur masih bisa dilihat dalam
dinding di bangunan-bangunan baru dan batu di jalanan, tetapi tidak
ada kesan keteraturan urban yang menjadi ciri kehidupan di sana lima
ratus tahun sebelumnya. Jalan-jalan yang menjauh dari pusat kota,
terutama di Tepi Kiri, yaitu labirin yang bau: Rawa kotor berisikan
60
hewan ternak, kotoran dan dinding kayu semi-pedesaan.2
Tahun-tahun pertama milenium baru cukup keras. Di pedesaan,
bencana kelaparan, yang disebabkan oleh kegagalan beberapa kali
panen secara berurutan, telah mendorong para petani yang kelaparan
untuk menggali mayat-mayat guna dimakan dagingnya. Di Paris,
keamanan dan ketertiban hampir runtuh di bawah kepemimpinan
para raja yang lemah. Hukum kejam yang dibawa oleh Charlemagne
masih berlaku dan di jalan-jalan dapat dilihat para pelaku kejahatan
yang dirantai dalam keadaan telanjang, para wanita yang dituduh
melanggar aturan moral dilucuti pakaian atasnya dan dicambuk,
dan mayat-mayat para pencuri yang terbukti bersalah yang digorok
lehernya seperti domba. Semua ini hampir tidak membawa pengaruh
apa pun sebab penduduk terus menderita akibat ketidakstabilan
politik dan perang-perang kecil yang menghabiskan energi.3
Sejarawan Fernand Braudel mendeskripsikan abad ini sebagai era
yang menandai dimulainya ‘kebangkitan Eropa’ sebagai kekuatan
budaya dan politik. Maksud Braudel yaitu inilah masa saat dunia
Kristen tidak hanya menjadi gagasan religius tetapi juga entitas politik
yang hidup, menyatukan serta mempersatukan basis-basis budaya
dari wilayah sangat luas yang membentang dari Eropa utara hingga
Mediterania timur. Proses ini telah dimulai berabad-abad sebelumnya,
yang berpuncak pada aliansi antara kerajaan Frank di bawah
pimpinan Charlemagne dengan kepausan Roma.4 Namun, mustahil
melihat perkembangan semacam ini di tingkat jalanan. Sebagian besar
Parisian pada masa itu gembira mengetahui bahwa diri mereka masih
hidup, lega bahwa kiamat, yang dijadwalkan akan berlangsung pada
awal abad yang baru, tidak terjadi. Namun, kadar kecemasan yang
meningkat tidak sepenuhnya menghilang di zaman baru, tak peduli
banyaknya jumlah bangunan suci yang didirikan di seluruh penjuru
Paris.
Ketakutan-ketakutan ini dihalau di jalan-jalan kota yang gelap oleh
gairah besar terhadap kesenangan, musik, anggur dan puisi, di mana
baik pria maupun wanita, tetap setia pada asal usul Galia mereka,
menyukai warna-warna cerah dan menggunakan, jika mampu,
perhiasan emas serta perak. Lebih dari itu, di akhir perjalanan panjang
dan lama akhir abad pertama, kendati masih ada keluhan-keluhan
61
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
dari Anna dari Kiev atau para pendeta yang berkunjung dari Roma,
Paris mulai mengambil bentuk, jika bukan substansi, sebuah kota
yang besar.
Salah satu kekuatan utama atas perubahan yaitu visi dan
kecakapan l’Abbe Suger, Biarawan Kepala Saint-Denis dan penasihat
utama bagi Louis VI. Di bawah kendali Suger, Paris menjadi
pemerintahan yang benar-benar tersentralisasi, menciptakan serikat-
serikat profesional dan pemeriksaan keuangan yang tangkas di
jalur padat Seine. Selain itu, Louis bukanlah seorang yang bodoh: ia
sesungguhnya seorang ahli siasat yang cakap dalam bidang politik dan
militer yang tak pernah menyerah kepada orang Inggris Normandia
ataupun para penguasa feodal Prancis. Ia juga cukup bijaksana untuk
memperbolehkan Suger agar kurang-lebih memerintah Paris, yang
dilakukannya selama tiga puluh tahun, menetapkan dirinya sebagai
orang pertama dari serangkaian panjang menteri yang benar-benar
memahami politik domestik dan yang memegang kendali kekuasaan
sesungguhnya. Suger, seorang pria bertubuh kecil dengan wajah pucat,
sangat lihai dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap situasi
yang berubah-ubah. Louis VI wafat akibat disentri pada 1137 tanpa
memiliki seorang ahli waris (putranya Philipe tewas dalam kecelakaan
sebab salah satu dari beberapa babi liar yang berkeliaran di jalan-
jalan Paris). Suger telah menjamin bahwa pengganti raja, Louis le Gros
(‘Louis si Gemuk’), memiliki pernikahan yang baik dengan Eleanor
dari Aquitaine, menjamin dominasi politik bagi Paris di barat daya
Prancis. Sebagai konsekuensi dari manuver-manuver politik ini, saat
Philippe-Auguste dilahirkan tahun 1165, kota itu, kendati tak lebih
dari sebuah permukiman yang setengah terbangun dan setengahnya
lagi hancur, telah siap menjadi sebuah ibukota Eropa yang besar.
Raja yang Diberikan oleh Tuhan
Saat lahir, Philippe-Auguste telah dijuluki Le Dieu-donné (‘anugerah
dari Tuhan’). Menurut satu kisah, ia diberi nama ini sebab terlahir
pada tahun kedua puluh delapan masa kekuasaan ayahnya, saat
semua harapan akan hadirnya seorang ahli waris telah hilang. Menurut
kisah lainnya, kekuatan takdir telah bekerja: di malam kelahiran
62
Philippe, dua wanita tua mendatangi seorang mahasiswa Inggris
di jalanan sekitar Montagne Sainte-Genevieve dan mengatakan
kepadanya, sambil terkekeh, bahwa “Tuhan telah memberi kami
seorang ahli waris kerajaan malam ini, di mana dengan tangannya,
rajamu akan menderita malu dan kecelakaan.”5 Philippe-Auguste
dilahirkan, menurut ramalan mereka, untuk menyelamatkan Paris
dari perbudakan.
Pada hari Minggu tanggal 27 Juli 1214, ramalan para wanita tua
itu menjadi nyata saat pasukan Philippe, melawan segala rintangan,
mengalahkan pasukan Plantagenet Raja John dari Inggris. Sebelum saat
itu, orang Inggris dengan sombongnya berkeliaran di Prancis hampir
tanpa hambatan, menambahkan Guyenne dan Gascony ke dalam
klaim teritorial mereka atas Flanders dan Normandia. Pertempuran
di Bouvines di Flanders akan menentukan nasib Prancis dalam arah
berlawanan sekitar tujuh ratus tahun kemudian. Pada kenyataannya,
kekalahan John seharusnya tidak atau tidak terlalu mengejutkan. Ini
yaitu kulminasi dari serangkaian pertempuran kecil dan strategi
militer panjang yang dilakukan Philippe kepadanya selama beberapa
tahun.6
Kemenangan ini langsung menghilangkan ancaman Plantagenet
dari semua wilayah Prancis yang penting—terutama Normandia, yang
sangat dekat dengan Paris. Kemenangan ini juga menjadikan Prancis
sebagai sebuah bangsa, dengan Paris sebagai ibukotanya. Perayaan
dilakukan di seluruh pelosok negeri—penduduk desa dan penduduk
kota berdansa di lapangan, bel-bel dibunyikan dan Misa-Misa khusus
diadakan. Penduduk pedalaman yang tidak pernah meninggalkan
desa mereka sejak lahir, bergegas ke Paris dari seluruh pelosok
kerajaan untuk mengelu-elukan raja dan menonton para tawanannya.
Kisah kemenangan ini menjadi lambang kebangsaan yang bertahan
selama tujuh abad kemudian.
Namun, bahkan sebelum kemenangan Philippe-Auguste yang
terkenal itu, Paris sudah sejak lama mulai terlihat seperti kota yang
penting dan berkuasa. Dinding pertahanan besar yang dibuat oleh
Philippe, awalnya direncanakan dua puluh tahun sebelumnya,
dapat diselesaikan tidak lama sebelum pertempuran. Walaupun ia
disibukkan dengan urusan perpolitikan eksternal dan militer, Philippe
63
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
sangat bangga akan benteng ini dan menunjukkan ketertarikan
besar dalam perencanaannya, bahkan mengawasi langsung sebagian
pekerjaan pembangunan saat ia sedang berada di Paris. Dinding
ini membentang dari Tepi Kanan, di dekat Pont des Arts, melalui
dataran rendah Marais, membentuk setengah lingkaran ke arah
Tepi Kiri di Quai de la Tournelle dan kembali ke arah tempat yang
sekarang menjadi Institut de France melalui bulevar Saint-Germain.
Salah satu tempat terbaik untuk melihat sisa-sisa dinding ini di Paris
modern yaitu di Jardins de Saint-Paul di Marais. Dinding benteng,
yang diekskavasi pada 1945, membentang sekitar 120 meter melintasi
halaman bermain sebuah sekolah. Struktur ini masih terlihat kuat, tebal
dan kokoh dan menghasilkan bayangan gelap di senja hari. Benteng
yang melingkari seluruh Paris ini dibangun untuk memastikan bahwa
kota tersebut tidak akan menghadapi serangan serius selama ratusan
tahun kemudian.
Hal lain yang tidak kalah penting bagi Philippe-Auguste yaitu
pembangunan Louvre dan pasar tertutup di Les Halles. Louvre
direncanakan sebab Philippe merasa terhambat dan terbatasi dalam
istana tua di Île de la Cité. Namun, bangunan ini bukan sekadar
monumen atas prestise. Ini yaitu bangunan sangat praktis yang
dirancang untuk mempertahankan Paris seandainya mendapat
serangan lagi dari sungai. Seutas rantai berat direntangkan melintasi
sungai Seine di mulut timur dan mulut barat. Rantai ini dinaikkan
dan diturunkan untuk memungkinkan mengalirnya lalu lintas sungai,
selain untuk menghambat para penyerang.7
Tepat di luar dinding kota di ujung barat, sebuah menara
megah setinggi sekitar 30 meter, dibangun untuk mengawasi dan
mempertahankan wilayah di sekitarnya. Menara ini diberi julukan
louver, istilah bahasa Prancis lama untuk ‘pekubuan (stronghold)’.
Menara ini menjadi titik pertahanan pertama bagi kota. Di dalam
dinding kota, dua buah menara, Grand-Châtelet dan Petit-Châtelet,
berdiri berhadapan di tiap-tiap pinggir sungai, memberikankan
garis pengawasan dan pertahanan kedua. Menara-menara ini juga
digunakan sebagai bangunan administratif dan, lebih terkenal lagi,
sebagai penjara. Dinding-dinding lama louver masih ada di bawah
museum kontemporer. Dinding tersebut dingin, padat dan tampak
64
tak dapat ditembus.
Pembangunan pasar Les Halles yaitu hasil dari keputusan untuk
mengambil setidaknya sebagian perdagangan dari Grève yaitu daerah
tepat di luar Grand-Châtelet. sesudah bertahun-tahun digunakan untuk
keperluan bermacam-macam yaitu sebagai dermaga pendaratan,
penyamakan kulit, rumah pemotongan hewan, lapangan penjualan
barang antik dan tempat pelacuran terbuka, daerah ini telah menjadi
ruangan yang terlalu padat, semrawut, dan dipenuhi penyakit.
Penghancuran kawasan tua ini berarti lebih banyak lagi lalu
lintas masuk dan keluar pulau serta daerah di sekitarnya. Lalu lintas
sungai juga bertambah cepat dan terlalu penuh lagi berbahaya selain
memperlambat perdagangan. Para pedagang anggur yaitu pihak
yang paling mengeluhkan lamanya waktu untuk mengangkut barang
dagangan mereka ke kota dan ke pasarnya. Dermaga-dermaga di Tepi
Kanan di tempat yang nantinya menjadi Place de la Grève (dan sekarang
daerah tersebut disebut Place de l’Hôtel de Ville) diperpanjang. Tetapi,
jembatan-jembatan yang menyeberangi sungai, yang dipenuhi oleh
rumah-rumah kayu dan toko-toko, memberikan halangan terbesar
bagi lalu lintas serta merupakan bahaya potensial. Namun, alih-alih
membangun jembatan-jembatan baru, otoritas kota memutuskan
untuk menggeser aktivitas kota ke arah utara. Para tukang jagal dan
penjual ikan berkumpul di sekeliling dermaga, yang memperluas
pasar ke arah rue Saint-Denis. Sementara itu, tepian sungai sendiri
dan jembatannya dipenuhi oleh para pedagang asing, penjual jasa
penukaran uang dan oportunis.
Phillipe-Auguste yaitu raja yang kejam dan para pengagumnya
di tingkat jalanan tak terelakkan lagi meniru sebagian besar energi
brutalnya. Paris yang sibuk dan penuh transaksi perdagangan ini
yaitu kota yang keras yang tidak sesuai untuk orang tua, orang lemah
atau orang sakit. Para petani takut terhadap Paris—yang dipenuhi
oleh penjahat berbahaya selain para pelacur yang tidak suci—dan
sesudah menyelesaikan bisnis mereka di pasar, mereka tidak cukup
cepat untuk kembali ke tanah pertaniannya. Namun, Philippe telah
membawa kecemerlangan politik dan militer ke Paris. Itu berarti kota
ini segera mengalahkan kecemerlangan pesaingnya yang paling kuat
dan paling ternama bahkan di tanah-tanah yang paling jauh. Seratus
65
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
tahun sesudah kematian Philippe, sebagian besar kota ini masih utuh,
dan menyediakan titik awal bagi perluasan sangat cepat yang terjadi
pada awal Renaisans.
Hama
Perubahan besar pertama yang terjadi di kota yang luas ini pada akhir
milenium pertama yaitu melonggarnya, walaupun tidak terlalu
kentara, ikatan hierarkis sosial masyarakat yang sebelumnya sangat
ketat. Walaupun Gereja dan masyarakat umum memiliki ide pasti
tentang dunia sosial yang didasarkan pada hubungan kekal antara,
apa yang disebut penulis kronik Raoul Glaber, maximi, mediocres
dan minimi—raja, kesatria, bangsawan, dan vasal-vasalnya—namun
kenyataannya sering kali membingungkan dan berubah-ubah. Ini
yaitu hasil dari otoritas politik yang terfragmentasi dan matriks
ambiguitas geografis.8
Namun demikian, kota ini sebenarnya tidak terlalu terbuka secara
sosial seperti yang terlihat. Tentu saja sekarang ada orang Yahudi di
dalam kota. Faktanya, mereka telah menetap sejak abad ke-5 (Gregory
dari Tours mencatat keberadaan mereka) dan telah, sepanjang
abad-abad terakhir milenium, berdagang dan tinggal di pinggiran
kota, membangun hubungan dengan kota-kota selatan dan Levant
(Mediterania Timur). Pada 1119 M, sebuah sinagoge dan sebuah
permandian umum didirikan di rue de la Juiverie yang, bersama
rue de la Lanterne, menghubungkan Petit-Pont dengan Grand-Pont.
ada pula permukiman-permukiman lain di rue de la Pelleterie
dan rue de la Vieille Draperie dan permakaman-permakaman penting
di tanah yang lebih murah di Tepi Kiri, di antara tempat yang sekarang
menjadi rue de la Harpe dan rue Pierre Sarrazin.
Kehadiran orang Yahudi yaitu bukti akan kekayaan dan ke-
tersohoran Paris secara internasional, tetapi gelombang pertama anti-
Semit segera datang. sesudah Perang Salib Pertama, para kesatria Paris
yang berangkat menuju Palestina telah memupuk ketidakpercayaan
mendalam terhadap peran orang Yahudi yang mendominasi dalam
perekonomian kota (mereka memberikan pinjaman, sering kali
66
dengan bunga sangat tinggi, kepada segala jenis bisnis kecil, mulai dari
tukang sepatu hingga petani anggur, yang mendukung ‘perang suci’
dengan uang mereka sendiri). Ketidakpercayaan ini mengeras menjadi
kekerasan aktif, saat seluruh Prancis diguncang oleh gelombang
kebencian menyala-nyala terhadap orang Yahudi pada 1180-an.
Pada akhir abad, banyak orang Yahudi meninggalkan Paris untuk
selamanya. Mereka kemudian menetap di selatan, atau di Champagne,
Burgundy, atau Alsace.9
Mereka yang pada akhirnya pulang, kembali menghuni rumah-
rumah lama mereka atau menuju kantong-kantong permukiman baru
di sekitar Place de la Grève atau pasar-pasar di Champeaux. Selama
periode inilah, pada pergantian abad ke-13, Paris juga menjadi pusat
bagi pembelajaran Yahudi. Para cendekiawan dari seantero negeri
Yahudi datang untuk mendengar master hebat Juda ben Isaac, yang
juga dikenal sebagai Rabbi Sire Léon—pemimpin intelektual Sekolah
Yahudi di Paris. Meskipun demikian, saat Perang-perang Salib dan
kemudian Inkuisisi mencengkeram imajinasi umat Kristiani Eropa,
perasaan anti-Yahudi tumbuh dan diiringi dengan tindakan-tindakan
penuh kedengkian serta kekejaman yang semakin meningkat. Agama
Yahudi juga dianggap sama dengan ajaran sesat Cathar yang pada saat
itu sedang menyebar di Prancis barat daya. Pada 1242, atas perintah
Paus Gregorius IX, dua puluh empat gerobak yang penuh berisi kitab
Talmud dibakar di Place de la Grève. ada pula pembunuhan
terhadap individu: seorang Yahudi bernama Jonathas dibakar hidup-
hidup pada 1290 atas tuduhan menghujat Tuhan dan riba. Ini menjadi
tuduhan populer terhadap orang Yahudi dan pembakaran seperti itu
tidak lama kemudian menjadi kelaziman.
Orang Yahudi diusir, dibantai, dihina dan dipermalukan selama
beberapa ratus tahun kemudian, tetapi tetap saja mereka kembali. Paris
membutuhkan mereka, terutama keahlian dan kecerdasan finansial
mereka. Sebagai manuver kompromi, penguasa kota, dengan otoritas
dari raja, memutuskan untuk melakukan pembatasan terhadap
perpindahan orang Yahudi; pertama-tama hanya memperbolehkan
mereka tinggal di dalam kota dan kemudian di jalan-jalan tertentu:
rue de Saint-Merry, rue du Renard, rue de Moussy, rue Saint-Bon dan
rue de la Tacherie. Mereka pada akhirnya menyebar ke arah timur
67
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
ke rue des Rosiers. Jalan ini sebelumnya merupakan benteng bagian
dalam dari dinding Philippe-Auguste dan sekarang menjadi jantung
permukiman Yahudi Paris, sebuah penggalan pusat kota Tel Aviv yang
sibuk dan berkembang di Paris modern.10
Daerah ini umumnya bersahabat tetapi dapat terbakar dengan
tegangan lambat. ada plakat-plakat untuk mengenang para
korban Holokaust dalam interval tertentu. Di antara kliping tentang
ulasan restoran Deli milik Jo Goldberg di sudut rue des Rosiers, ada
sejumlah artikel surat kabar yang sudah menguning dari seluruh dunia
yang ditulis pada 1982 saat para pria Arab menembak mati tujuh
pengunjung di restoran tersebut. Mungkin ini yaitu kejadian terbaru
tetapi tidak seorang pun di sini perlu diingatkan bahwa pembantaian-
pembantaian semacam ini merupakan fitur konstan kehidupan orang
Yahudi dalam sebagian besar masa lalu sejarah Paris.
68
6
Geometri Suci
Terlepas dari majunya kebudayaan pada awal abad ke-12, di Paris
tidak ada katedral besar dan, walaupun secara berkala dipenuhi oleh
para peziarah dan relik, kota itu belum menjadi pusat keagamaan yang
hebat. Klaim-klaim, yang sering kali dibuat oleh para pendeta selain
oleh Parisian kebanyakan, yang menyatakan bahwa Paris merupakan
kota suci yang ditempa dalam api keyakinan malah terdengar hampa
tanpa adanya kesaksian terhadap gairah keagamaan tersebut. Hal
lain yang tidak kalah penting bagi Parisian yaitu fakta bahwa tanpa
adanya katedral, kota ini tidak akan pernah sepenuhnya menyaingi
kota-kota besar di negeri Kristen dalam konteks apa pun. Namun
pada 1163, dua tahun sebelum kelahiran Philippe-Auguste, batu-batu
pertama Notre-Dame diletakkan di bawah pengawasan Maurice de
Sully, Uskup Paris yang merupakan putra seorang petani dari Loire.
Sully telah lama mengeluhkan ketiadaan sebuah katedral. Ini juga
menjadi mimpi l’Abbé Suger, penguasa lihai di belakang takhta, yang
pada 1150, setahun sebelum kematiannya, mendonasikan jendela
kaca patri berwarna untuk katedral yang tidak akan pernah ia lihat
(orang masa kini juga tidak akan pernah melihat jendela ini, sebab
jendela yang menggambarkan sang Perawan hancur dalam sebuah
kecelakaan pada 1731). ada pula pertimbangan politik yang
secara langsung memengaruhi keputusan untuk membangun sebuah
katedral. Paris masih memandang dirinya sendiri sebagai rival Roma
dan Parisian tidak suka merasa rendah diri terhadap monumen-
monumen intelektual serta estetika yang ada di kota Italia itu. Jika
Paris ingin dianggap serius sebagai ibukota religius, dan menjadi lebih
dari apa yang terbukti sudah dilakukannya—yaitu pos perdagangan
yang berhasil—maka kota ini perlu merayakan status tersebut secara
69
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
arsitektur.
Sully tidak hanya mengepalai pembangunan katedral, yang kerap
melakukan kunjungan harian ke lokasi pembangunan, namun juga
membiayai sebagian besar pekerjaan itu sendiri dengan penghasilan
dari lahan-lahannya di sekitar Paris. Tugas besar pertamanya yaitu
menghancurkan sisa-sisa bangunan gereja Merovingian tua Saint-
Étienne dan bekas pasar yang ada di dekat lokasi pekerjaan—kedua
bangunan tersebut pada saat itu sudah tinggal reruntuhan. Pekerjaan
dimulai dengan penuh semangat pada 1180 saat nave (bagian tengah
gereja—penerj.) akhirnya mulai terbentuk.
Rencananya yaitu untuk membangun sebuah katedral yang
“berada di atas permukaan air seperti kapal yang besar dan megah.”1
Pengamat yang jeli dapat melihat munculnya gaya khas Paris: ini
yaitu teknik dekorasi yang lebih menyukai detail rumit daripada
ekspresi kemegahan (para perajin Paris bangga terhadap sentuhan
ringan mereka dengan bebatuan), dan bahkan sangat berbeda dari
dekorasi di katedral-katedral wilayah tetangga di Saint-Denis dan
Senlis.
Bebatuannya dibawa dari Vaugirard dan Montrouge. Ruas jalan
yang baru dipahat melalui labirin Île de la Cité, untuk memberi jalan
bagi bebatuan dan bahan bangunan lain yang ditarik dari sungai Seine.
Pembangunan katedral ini baru selesai hingga 2 abad kemudian—
dalam waktu 10 tahun, Sully hanya bisa melihat bagian altar—namun
dari awal pendiriannya, kehidupan perkotaan yang bergairah dan
sibuk berkembang di wilayah dan sekitar lokasi pembangunan dan
lapangan utama, alun-alun Notre-Dame, yang masih dirancang
sebagai pusat geografis Prancis.
Bagian kota ini cabul dan keras, lebih kasar daripada lukisan
bersulam berisi kehidupan di penghujung abad pertengahan yang
digambarkan Victor Hugo dalam novel epiknya Notre-Dame de Paris
pada 1831. Wilayah ini dipenuhi oleh para pelacur, pengemis dan
pencuri, dan di masa epidemi yang sering terjadi (kolera yang dibawa
oleh air sering menjadi tamu di kota itu) bau busuk mayat tercium
hingga puluhan kilometer jauhnya ke arah hulu sungai. Namun, Sully
tetap, dan sudah sepatutnya, sangat bangga atas pencapaiannya, yang
mencapai puncak pada 1180 dengan pembaptisan Philippe Dieudonné
70
Auguste.
Di tingkat yang lebih mendasar, sebagaimana dinyatakan Victor
Hugo beberapa saat kemudian, Notre-Dame mengubah tatanan kota
dalam sebagian besar aspek yang paling mendasar. Perubahan yang
paling jelas, Notre-Dame berdiri lebih tinggi daripada bangunan
lain dalam sejarah kota. Notre-Dame dapat terlihat dari kejauhan
dan ketenarannya dengan cepat menyebar ke penjuru Eropa sebagai
lambang dari suatu peradaban baru. Di Paris sendiri, Parisian dapat
mendaki puncak menara Notre-Dame dan memandang ke bawah
ke arah kota mereka, melihat untuk pertama kalinya keluasan dan
kehalusan detailnya.
“Sebuah monumen hingga akhir masa”
Motif sentral dalam Notre-Dame de Paris yaitu signifikansi katedral
yang tersembunyi. Sebagaimana halnya para pemikir progresif di abad
kesembilan belas lainnya, Hugo mampu mengombinasikan keyakinan
pada ilmu pengetahuan dan perkembangan dengan minat yang tak
kalah bergairah pada okultisme. Pada 1830-an, arsitek Viollet-le-
Duc ditugaskan untuk merestorasi katedral. Proyek ini diselesaikan
tahun 1846, di bawah pengawasan sebuah komite yang sering kali
mengikutsertakan Victor Hugo sendiri. Selama bertahun-tahun,
pekerjaan ini telah dikritik sebagai campuran dari gaya Gotik abad
pertengahan. Dan fantasi abad pertengahan tersebut sepenuhnya
sesuai dengan adanya bebatuan-bebatuan tua.2
Apa yang menangkap imajinasi Hugo dengan amat jelas yaitu
legenda tua yang menyatakan bahwa gereja tak lebih dan tak kurang
merupakan sebuah bentuk geometri suci. Lebih tepatnya, konon
bahwa jendela, pintu, dan portal, memang arsitektur dari gereja itu
sendiri, terbuat dari simbol-simbol bersifat kiasan yang menyingkap
misteri dari ‘ilmu pengetahuan’ kuno yang sering kali disebut sebagai
‘filosofi Hermetik’ atau ‘alkimia spiritual’.
Inkarnasi setan milik Hugo dalam Notre-Dame de Paris yaitu
pendeta Claude Frollo, yang menghabiskan berjam-jam bermeditasi
di depan portal utama enigmatis katedral. Di tempat inilah Frollo
71
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
“mengambil risiko terhadap jiwanya, dan mendudukkan dirinya sendiri
di meja mistis dari para ahli Alkimia (ilmu kimia abad pertengahan
yang berupaya mencari ramuan keabadian dan mengubah logam
menjadi emas—penerj.), para Ahli Perbintangan, para Hermetik,
Guillaume de Paris, dan Nicolas Flamel yang memenuhi satu sisi dari
Abad Pertengahan, dan memiliki jangkauan yang jauh ke belakang
di Timur, di bawah sinar dari tempat lilin bercabang tujuh hingga
Sulaiman, Pythagoras, dan Zoroaster.”3 Ketertarikan Frollo pada
filosofi okultisme sangatlah tragis dan terutama bertujuan untuk
menggambarkan gagasan Hugo bahwa individu-individu tidak
berdaya menghadapi gerakan alam semesta yang dinamis, sangat kuat
dan tidak dapat dihentikan.
Cara berpikir ini dapat ditelusuri kembali melalui masa Kristen
dan pra-Kristen hingga mitologi Yunani dan ketuhanan yang sangat
dihormati oleh para ahli kimia kuno yang disebut Hermes Trismegistus,
dewa sihir dan tulisan yang dianggap telah menciptakan banyak teks
yang menjadi rujukan para ahli sihir abad pertengahan dan Renaisans
saat melakukan eksperimen dan mantra-mantra. Simbol tertinggi dari
‘seni besar’ para ahli kimia yaitu Batu Bertuah, sering kali disebut
Singa Hijau dalam bahasa kimia yang dikaburkan secara sengaja.
Sudut pandangan burung gagak di sisi kiri portal, yang melihat ke
arah katedral, dikatakan menunjukkan lokasi pasti Batu Bertuah yang
disembunyikan oleh Guillaume de Paris, salah satu uskup pertama
Notre-Dame.
Api hidup ‘filosofi alkimia’ dibawa ke abad ke-20 oleh para Surealis,
yang dipimpin pleh penyair André Breton. Kelompok ini (dibahas
lebih terperinci dalam Bab 37) didirikan di Paris pada 1924 dengan
tujuan melancarkan ‘revolusi pemikiran’, pergeseran dalam kesadaran
ras manusia yang akan membuka jalan menuju era baru.4 Para Surealis
yaitu kelompok yang religius—mereka memercayai alam semesta di
mana semua kontradiksi dimasukkan dalam Satu, atau prima materia
pemikiran alkimia; hanya saja mereka membenci agama Kristen.
Jika tidak dibuat kagum oleh Notre-Dame, para Surealis memahami
bahwa gereja memiliki makna yang terpisah oleh simbolisme Kristen.
Para Surealis mempelajari bahasa alkimia dari berbagai sumber—
terutama dari bacaan-bacaan awal André Breton tentang Hegel
72
selain Giordano Bruno dan Arthur Rimbaud. Namun, tidak ada yang
lebih misterius daripada tulisan-tulisan rekan kontemporer mereka
‘Fulcanelli’. Sebenarnya, tidak seorang pun yakin bahwa Fulcanelli
memang ada, walaupun kartu namanya sering kali ditinggalkan di
Le Chat Noir di Montparnasse dan tempat-tempat modern lainnya
pada periode itu. Buku karyanya yang paling terkenal, Le Mystére des
chathédrales (‘Misteri Katedral-Katedral), yang diterbitkan di Paris
pada 1926, mengklaim telah mengungkapkan rahasia Notre-Dame.
Fulcanelli bisa saja merupakan mitos atau seorang penipu, tetapi
bukunya ditulis dengan sangat baik namun, dengan kecerdasannya
bermain kata-kata dan rujukannya yang tidak jelas, sepenuhnya
membingungkan. Buku ini membuatnya menjadi legenda dalam dunia
bawah tanah okultisme Paris yang penuh perpecahan, selain lingkaran
Surealisme avant-garde dan psikiatri eksperimental (bahkan diisukan
bahwa Breton telah melakukan pertemuan rahasia dengan orang
yang berhasil melakukan perjalanan lintas waktu). Buku Fulcanelli
menjelaskan batu-batu katedral agung Notre-Dame sebagai alfa dan
omega Paris atau, menurut kata-katanya sendiri, “monumen hingga
akhir masa.”5
Di Paris masa kini, ada sejumlah kecil Parisian yang mengagumi
teknik sihir seperti penduduk Lutetia pagan dan Parisian Kristen awal.
Toko-toko buku okultisme berkembang di kedua sisi sungai. Toko
buku tersibuk dan paling berhasil—seperti La Table d’Émeraude di
21 rue de la Huchette—berada di Tepi Kiri dan secara harfiah berada
dalam bayang-bayang Notre-Dame. Di benak pihak-pihak yang
mengklaim bahwa mereka memahami dan mempraktikkan sihir, ini
jelas bukanlah kebetulan. Tempat Notre-Dame berdiri selalu menjadi
lokasi suci, tempat pelaksanaan pengorbanan Druid dan pemujaan
pagan. Bahkan saat gereja agung ini sedang dibangun, elemen
dari agama-agama sebelumnya, yang tetap ada dalam kepekaan
Parisian—baik sebagai takhayul sehari-hari maupun praktik aktual
masyarakat rahasia—terasimilasi dan masuk ke tubuhnya. ‘Fête des
Fous’, Saturnalia (festival Saturnus Romawi kuno—penerj.) yang
berlangsung selama empat hari di katedral serta sering kali berakhir
dengan pembunuhan dan seks kelompok, masih ditoleransi hingga
abad ke-16 sebagai gema dari ritual religius masa kuno.6
73
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Pada 1992, penyair Alain Jouffroy membuat tulisan singkat
tentang signifikansi magis Notre-Dame, sebagian untuk menghormati
Fulcanelli. Jouffroy pernah menjadi sekretaris André Breton dan
mengenal semua tokoh Surealis Paris terkemuka. Breton, Jouffroy
dan rekan-rekannya terbiasa mengunjungi berbagai gereja agar bisa
tertawa terbahak-bahak, sengaja menistakan agama dan menghina
para pendeta. Jouffroy mengenang kembali dalam buku Notre-
Dame-nya mengenai kunjungan ke sebuah gereja tua di Finistère di
Brittany bersama Breton yang sudah tua, dengan nada berkelakar
membandingkan gereja tersebut dengan sebuah akuarium.
Beberapa tahun sesudah ia menulis buku tersebut, saya bertemu
dengan Jouffroy yang sudah tua dan menanyakan apa yang telah ia
pelajari tentang Notre-Dame dari para Surealis. Ia berkata bahwa di
Paris, segala hal yang terlihat permanen pada kenyataannya senantiasa
berubah. Menurutnya, tidak ada contoh lebih baik atas gagasan ini
daripada Notre-Dame: bahwa bangunan tersebut pernah atau masih,
tergantung pada sudut pandang Anda dalam sejarah, menjadi simbol
harapan, lambang transenden, rumah para penyiksa dari Inkuisisi,
basis bagi para peziarah, kuil Logika, perlindungan bagi para ahli sihir
atau gereja para kaisar.
Atau hanya sebuah perangkap turis. Semuanya ini hanya masalah
sudut pandang.7
74
7
Pencinta dan Cendekiawan
Saat Philippe-Auguste wafat pada 1223, Paris telah menjadi
ibukota budaya Eropa barat. Reputasi ini diperoleh berkat aktivitas
intelektual alih-alih kualitas kehidupan sehari-harinya: Kota ini
diperkuat dan dikembangkan di bawah pimpinan raja, tetapi masih
menjadi tempat yang gelap, penuh dengan penyakit dan kebencian
yang berbahaya.
Walaupun demikian, kota Paris menarik para cendekiawan,
pedagang, politisi, dan penyair. Golongan ini datang sebab Paris
tersohor sebagai pusat pembelajaran dan pencapaian seni. Mereka
yang mempelajari hukum atau ilmu-ilmu klasik di Paris tidak hanya
mendapatkan prestise, tetapi juga manuskrip yang mencerahkan, kaca
patri, patung dan arsitektur bangunan religius besar yang sekarang
menutupi Île de la Cité ke selatan ke arah Montagne Sainte-Geneviève
dan ke barat ke arah Saint-Germain-des-Prés. Jalan-jalannya masih
kotor tetapi arsitekturnya mulai tampak megah. Reruntuhan gereja
Saint-Paul-des-Champs, yang dibangun pada 1107 dan merupakan
tempat beribadah yang populer pada abad ke-12, masih dapat dilihat
dalam bentuk dinding terbuka yang sudah hancur di 32 rue Saint-Paul
di Marais. Di Place du Louvre, Anda dapat melihat ukiran terperinci
di reruntuhan gereja Saint-Germain-l’Auxerrois di bawah lapisan
arsitektur gereja selama lima abad yang dimulai dari abad ke-6. Jalan-
jalan di dekatnya yaitu rue des Prêtes-Saint-Germain-l’Auxerrois dan
rue del’Arbre-Sec bukan satu-satunya jalan di kota masa kini yang
berasal dari abad ke-13, tetapi jalan tersebut kurang-lebih masih utuh.
Yang lebih penting lagi, jalan-jalan ini menandai ujung dari tempat
yang dahulu menjadi pusat religius kota abad pertengahan yang
berkembang.
75
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Paris belum menjadi ibukota politik yang hebat. Terutama sebab
Paris masih menghadapi ancaman eksternal yang kuat, terutama dari
orang Inggris yang energi dan ketamakannya terlalu sering mendorong
mereka ke arah gerbang kota sepanjang abad ke-13. Mesin politik
internal Paris semakin dirusak sebab terlalu terkait dengan kekuasaan
kerajaan. Meskipun hal itu berangsur-angsur menipis sepanjang abad
tersebut, sebab Philippe-Auguste digantikan oleh raja-raja lemah dari
keturunan Capetian yang terobsesi dengan agama, uang, atau status
mereka sendiri. Raja-raja ini hampir tidak memberi perhatian kepada
bentuk kota yang terus berubah, kekurangan dana atau populasinya
yang bertambah banyak.
Philippe-Auguste telah melakukan banyak upaya untuk meningkat-
kan kehidupan sehari-hari di kota, seperti membentuk pasukan polisi
sederhana hingga membangun sistem pembuangan air kotor. Philippe
sendiri merasa sangat muak dan jijik oleh bau yang ditemuinya saat
menjulurkan kepala dari jendela di Louvre yang baru selesai dibangun
(sekarang menjadi istana raja dan bukan sekadar menara pertahanan)
sehingga, menurut dokternya, ia bertekad untuk segera membersihkan
Paris. Ini yaitu pekerjaan yang nyaris mustahil di sebuah kota tempat
binatang ternak berkeliaran di jalan, tidak memiliki sistem drainase,
dan sebagian besar penduduknya membuang sampah serta feses
mereka ke jalanan.1
Tetapi Paris juga kota suci. Paris memiliki lebih dari 20 gereja,
sebuah katedral, dan universitas paling penting di Eropa. Philippe-
Auguste digantikan oleh Louis VIII yang wafat tiga tahun kemudian,
kemungkinan sebab disentri atau diracuni, saat melakukan
kampanye militer di barat daya. Louis IX baru berusia dua belas
tahun saat ia naik takhta. Kesalehan dan doa yang terus-menerus
diucapkannya sudah membuatnya tampil beda dan ia memiliki
reputasi sebagai raja paling suci dari garis keluarga Capetian-nya.
Ia selalu berpuasa dan mempraktikkan asketisme, penampilannya
pun agak menakutkan gara-gara hal itu. Pemerintahan Louis
membawa kemunduran bagi Prancis dalam banyak hal. Dan salah
satu pencapaiannya yang paling meragukan yaitu mendorong
diberlakukannya Inkuisisi di Prancis. Ia menganggap dirinya sendiri
sebagai seorang paranormal dan sering kali tidak kompeten dalam
76
urusan keduniawian. Sebagai contoh, ia dikritik sebab menyerahkan
wilayah Prancis yang cukup besar kepada Inggris melalui Perjanjian
Paris tahun 1259. Namun demikian, Louis dikelilingi oleh para
penasihat yang efisien dan berdedikasi. Di bawah pengawasan mereka
Paris, dan bahkan Prancis, tetap saja tumbuh semakin makmur.
Di bawah pemerintahan Louis, Paris juga mengalami proses
menjadi indah. Contohnya yaitu Sainte-Chapelle, yang dibangun
oleh raja dalam rangka memenuhi dorongan besarnya untuk berdoa
siang dan malam, memiliki relik-relik Kristen paling penting di Eropa,
termasuk mahkota berduri dan potongan Salib yang asli. Tempat ini
dikenal di seluruh Eropa sebagai karya seni dan arsitektur suci yang
sangat indah. Seni puisi, yang sering kali dipengaruhi oleh model
selatan, juga berkembang di sini. Hal terpenting yaitu kembalinya
ketertarikan terhadap kesusastraan klasik, terutama karya-karya
Ovid.2 Arus bawah budaya ini menyatu dalam legenda Abélard dan
Héloïse. Kisahnya terjadi pada abad ke-12, minimal dalam konteks
kronologi. Namun demikian, kisah ini baru memiliki signifikansi
penuh pada pertengahan abad ke-13. Pada saat itu, kisah ini dikenal
di seluruh Eropa dan dianggap sebagai peringatan simbolis terhadap
bahaya mencampuradukkan filosofi dengan nafsu.
Kisah ini juga mengerikan namun memuaskan dan, dari sudut
pandang psikoanalitis di kemudian hari, kaya dengan perincian
masokistik. Legenda ini menjadi cerita paling disukai tentang
Renaisans, terutama sebab Abélard sendiri yaitu model seorang
pemikir yang terbelah antara gairah mencari kebenaran dengan
kebenaran gairahnya. sebab alasan tersebut kisah ini dimasukkan,
misalnya, dalam Le Roman de la rose (‘Romansa Mawar’), yaitu puisi
panjang yang dimulai oleh Guillaume de Lorris pada paruh pertama
abad ke-13 dan diselesaikan oleh Jean de Meung antara 1275 dan
1280. Puisi ini dibaca di sejumlah negara sebagai panduan bagi
‘seni bercinta’ (mengikuti contoh Ovid) dan sebagai pemicu filosofis
bagi aspek-aspek seks dan pernikahan yang lebih praktis. Chaucer
menerjemahkan bagian pertama dan sebagian besar bagian kedua
puisi ini ke dalam bahasa Inggris, sementara di Italia desas-desus
mengatakan bahwa Petrarch saling bertukar manuskrip asli surat-
surat ini dengan para kekasihnya.
77
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Peristiwa-peristiwa dalam kisah Abélard dan Héloïse terjadi di
Paris pada 1100-an dan dalam suasana yang—secara relatif—penuh
toleransi intelektual. Namun nilainya sebagai legenda memiliki
prestise tertinggi pada 1250-an saat Universitas Paris benar-benar
berakar di kota dan mulai menyebarkan pengaruhnya yang tajam dan
kejam, terutama dalam urusan ajaran sesat dan iman, di seluruh Eropa.
Daya tarik Abélard dan Héloïse, bagi para intelektual Paris periode ini,
terletak dalam cara di mana kisah ini menyatukan spekulasi teologis
dan filosofis tinggi dengan bentuk kekerasan yang paling korup. Kisah
ini dianggap sebagai representasi akurat dari suasana hati intelektual
kota di bawah kekerasan suci Louis IX. Kenyataannya, kisah ini sulit
sekali untuk disebut sebagai sebuah kisah cinta.
“Kisah yang lebih manis dari anggur bermadu”
Piere, atau ‘Petrus’, Abélard si orang pedalaman datang ke Paris pada
1106 untuk mempelajari logika dan filsafat. Paris pada saat itu telah
mencapai puncak reputasi barunya sebagai ibukota intelektual. Para
siswa dari seluruh Eropa berdatangan ke Sekolah Katedral di Notre-
Dame untuk mempelajari logika, filsafat, dan teologi di bawah arahan
Uskup Agung Paris, Pierre Lombard, ahli moral Pierre le Chantre dan
ahli teologi Pierre le Mangeur, dan pelajaran-pelajaran tambahan lain
yang diadakan di bayang-bayang Montagne Sainte-Geneviève.3
Abélard yaitu murid Roscelin di Locmenach (sekarang disebut
Locminé di dekat Brest). Awalnya ia yaitu pengikut Doktrin
Nominalis ala Roscelin, yang menyatakan bahwa semua fenomena
bumi hanyalah gema redup dari pemikiran sempurna Tuhan.
saat Abélard tiba di Paris, ia belajar di bawah arahan William dari
Champeaux di Sekolah Katedral. Tidak butuh waktu lama sebelum
Abélard, yang sudah memiliki arogansi dogmatis, menolak Roscelin
dan mulai secara terbuka menantang intelektual serta otoritas
William. Terutama gagasan William bahwa semua fenomena alam
semesta menunjukkan adanya esensi eksistensi alam semesta; sehingga
menurut pendapatnya individualitas yaitu produk situasi yang tidak
disengaja. Abélard menolak pendapat ini dan tidak butuh waktu lama
78
sebelum ia menjadikan dirinya sebagai guru pesaing independen,
yang mendapatkan pemasukan tinggi dari para siswa yang terbujuk
pergi dari William yang marah dan pendendam.
Pada titik inilah Abélard jatuh cinta. Ia telah dipekerjakan oleh
kanon Notre-Dame, Fulbert, untuk menjadi guru bagi keponakannya
Héloïse dalam bidang teologi dan filsafat. Sebelum itu, Abélard sudah
tinggal di rumah Fulbert (bangunannya yang cukup besar masih dapat
ditemukan di rue de la Chanoinesse di Île de la Cité) dan tugas ini
pada awalnya terbukti bukanlah tugas berat, hanya untuk membalas
budi. Ia sangat percaya diri dan merasa penting, tidak henti-hentinya
mengagumi diri sendiri atas karier dan pemikirannya yang cemerlang
dan, sejauh berhubungan dengan wanita, ‘sangat yakin tidak akan
ditolak’.4 Wajahnya tampan dan pintar menyanyikan versi d’amore.
Héloïse pada saat itu berusia delapan belas tahun. Ia tidak hanya
dua puluh tahun lebih muda daripada Abélard tetapi juga jenaka,
cerdas, dan yang paling krusial bagi cendekiawan yang membujang
ini, diberkahi dengan “kualitas-kualitas lain yang biasa dimiliki oleh
pencinta.”5 Dengan kata lain, Héloïse sangat menarik dan jelas sekali
bersedia.
Hari-hari dihabiskan dalam bercinta dan “bercakap-cakap antar-
kekasih.” Sementara itu, pekerjaan kecendekiawanan Abélard meng-
alami penurunan dramatis dan publik (“ciuman jauh lebih banyak
daripada kata-kata berlogika,” yaitu ungkapan yang dinyatakannya
sendiri).6 Para mahasiswa mengeluh bahwa ia tidak siap untuk
mengajar dan menggerutu bahwa ia tidak menawarkan proposisi baru,
hanya pengerjaan ulang pertanyaan-pertanyaan lama atau membaca
puisi-puisi cinta. Dalam kebingungan, Abélard untuk sementara
waktu meninggalkan tanggung jawabnya di kota dan membawa
Héloïse kembali bersamanya ke Brittany, tempat mereka menikah
secara diam-diam. Héloïse kemudian melahirkan seorang putra
bernama Astrolabe. Namun demikian, Abélard, sebab kesombongan
dan rasa melalaikan kewajiban intelektual, tidak siap untuk men-
curahkan diri sepenuhnya bagi kehidupan keluarga. Sebaliknya, ia
berhasil mendapatkan kesepakatan dari Fulbert bahwa ia akan tetap
merahasiakan perkawinan tersebut dan kembali melaksanakan tugas-
tugas mengajarnya. (Walaupun tidak melawan hukum, sebelumnya
79
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
tidak pernah terdengar adanya seorang cendekiawan yang menikah
pada saat itu).
Sebelum kembali ke Paris, Abélard membuat kesalahann yang paling
fatal. Ia mengirim Héloïse untuk menjadi biarawati di Argenteuil.
Tidak salah jika Fulbert menganggapnya sebagai upaya Abélard
untuk mengusir Héloïse. Dengan Abélard kembali menginap di
rumahnya, Fulbert mulai merencanakan pembalasan kejam. “Mereka
membuat rencana terhadapku dengan kemarahan menyala-nyala,”
tulis Abélard, “dan pada suatu malam saat aku sedang beristirahat
dan tidur di kamar pribadi di penginapanku, mereka menyuap salah
satu pelayan, kemudian melakukan pembalasan yang paling kejam
dan memalukan.”7 Sekelompok orang, yang dipimpin oleh Fulbert,
menahannya agar tetap berbaring dan, dengan sangat cepat dan tanpa
ampun, memotong kedua testisnya.
Bahkan menurut standar keras masa itu, ini yaitu kejahatan
kejam. Orang yang melakukannya (tetapi tidak Fulbert sendiri)
dengan cepat diburu dan pada gilirannya juga dikebiri. Hal ini tidak
bisa menghibur Abélard, yang kemasyhurannya sekarang terletak
pada alat kelaminnya yang cacat selain keahliannya dalam perdebatan
teologis. Dalam upayanya untuk naik ke puncak kehidupan intelektual
Paris, ia telah menciptakan banyak musuh. Beberapa musuhnya
sekarang mengambil kesempatan untuk mengolok-olok filsuf yang
dikebiri ini.
Roscelin, yang tidak pernah memaafkan Abélard atas serangan
mantan muridnya ini di masa muda, memukulnya dengan keras me-
lalui sepucuk surat terbuka, yang dengan sinis melakukan permainan
filosofis terhadap tubuh Abélard yang termutilasi:
sebab bagian yang menjadikan seorang pria telah dihilangkan, kau
sekarang tidak boleh lagi dipanggil ‘Petrus’, tetapi ‘Petrus yang tak
sempurna’. Itu relevan bagi tumpukan aib manusia ini sebab dalam segel
yang kaugunakan untuk menyegel surat-suratmu yang bau, kau membuat
gambaran tentang manusia dengan dua kepala, satu seorang pria dan
satu lagi seorang wanita … Awalnya aku berniat untuk menyatakan
pendapatku secara benar dan tegas atas seranganmu dahulu, tetapi sebab
aku menulis untuk seorang pria yang tidak sempurna, kuputuskan untuk
tidak menyelesaikannya.8
80
Seorang pesaing bernama Fulco membuat daftar manfaat pengebirian
bagi Abélard—salah satunya yaitu fakta bahwa Abélard sekarang bisa
melewati kerumunan wanita menikah atau bermain dengan para wanita
muda dengan perilaku sopan santun terbaik. Ia kemudian memperingatkan
Abélard agar menjauh dari “pelarian rahasia para pelaku sodomi,”
mengeluarkan pernyataan yang sarkastis dan serius bahwa “terpujilah
mereka yang mengebiri diri sendiri untuk meraih kerajaan surgawi.”9
***
Seperti yang telah dilakukan Abélard sebelumnya, ia mengundurkan
diri ke sebuah biara, pertama-tama di Saint-Denis, kemudian
sebagai kepala biarawan di Saint-Gildas di Brittany. Ia kembali ke
teologi dan filsafat dengan penuh semangat, terus menemui bahaya
intelektual, “yang masih mengepung Paris.” Ia pada akhirnya dituduh
melakukan penistaan agama di Dewan Soissons, terutama gara-gara
argumentasinya tentang akurasi historis dalam Gereja, dan membuat
musuh baru yang kuat yang bernama Saint Bernard dari Clairvaux.
sesudah berupaya membangun kembali dirinya sendiri sebagai manusia
dengan ‘senjata logika dialektik’, ia mendapati dirinya dikebiri untuk
kali kedua saat Paus mengutuknya agar diam.
Ia tidak pernah berhenti mencintai Héloïse dan, saat berada di
bawah asuhan Kepala Biarawan Saint-Denis, membangun sebuah
tempat berdoa kecil yang disebut Paraclete yang didedikasikan
bagi wanita itu. Hal ini memperbarui skandal lama, dan terjadi
upaya pembunuhan terhadap Abélard. Pada saat yang sama, kisah
cinta terkenal ini sekarang mencapai tingkat kepedihan baru, yang
diungkapkan dalam surat-surat terkenal—mungkin satu-satunya
kontak yang saling mereka miliki—yang dikirimkan antara Abélard
dengan Héloïse di tahun-tahun terakhir kehidupan mereka.
Surat pertama yaitu Histoire de mes malheurs (‘Kisah Malapetaka’),
autobiografi Abélard yang terus terang namun kadang kala mengasihani
diri. Dalam surat itu ia secara terperinci menjelaskan argumentasi
filosofisnya, pengelanaannya, penderitaannya, dan terutama gairah-
nya yang tetap ada kepada Héloïse dan “tempat tidur mereka yang
bernasib buruk.” Walaupun dialamatkan secara misterius kepada
‘seorang teman’, surat ini jelas sekali dimaksudkan bagi Héloïse yang,
81
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
sesudah dibacanya, segera menulis jawaban yang panjang dan penuh
semangat. Dalam surat ini, Héloïse mengungkapkan dirinya sebagai
makhluk seksual sepenuhnya, intelektual yang cerdas dan pemikir
bebas yang tidak takut untuk membuat pernyataan yang, seabad
kemudian, akan membuatnya dibakar sambil diikat di tiang sebab
menganut ajaran menyimpang. Contoh yang paling mengagumkan
yaitu tanggapannya terhadap deklarasi dingin Abélard tentang
kesantoan dan ditinggalkannya kesenangan duniawi. Ia memohon
untuk menjaga wanita tetap berada dalam ranah duniawi yang
sama seperti pria, dan bukan menaikkannya (atau menurunkannya,
sebagaimana ia memandang) ke status martir atau santo. Héloïse
bahkan dengan berani melibatkan seksualitas sebagai mesin cinta;
“Dan jika nama istri terlihat lebih sakral dan lebih valid,” tulisnya,
“selalu lebih manis bagiku yaitu kata teman, atau, jika engkau tidak
malu, selir atau pelacur.”10
Seksualitas Héloïse yang terang-terangan jelas merupakan
tantangan bagi otoritas era tersebut. Tidak terhindarkan lagi bahwa
penyimpangan wanita seperti itu akan menghadapi kekerasan pria.
Hukuman Héloïse dikurangi menjadi pengasingan ganda—dari
masyarakat manusia biasa dan, yang lebih terasa, kehadiran Abélard
secara fisik.
Namun, kejahatan kedua pencinta ini bukan sebab mereka
berhubungan seks dengan satu sama lain—Paris pada periode tersebut
sama mesum dan perihnya dengan masa sebelumnya atau masa
selanjutnya jika ada hubungannya dengan seks—tetapi sebab hal
itu diketahui oleh publik. Di mata orang masa kini, pengebirian yang
dilakukan Fulbert terhadap Abélard dianggap kejam dan salah secara
moral tetapi dalam batas tertentu dianggap benar dan merupakan
pembalasan yang adil bagi pelanggaran tabu. ada pula getaran
sensasi teror dan senang dalam menceritakan kembali kisah ini.
Atas alasan tersebut, tidak mengherankan jika periode dalam sejarah
Paris ini kaya akan kisah-kisah mutilasi alat kelamin. Contohnya,
dalam autobiografinya, Guibert de Nogat menceritakan kisah-kisah
penyiksaan mengerikan seperti terhadap Thomas de Coucy, yang
menggantung musuh-musuhnya pada penis hingga organ tersebut
terobek dari tubuhnya. Legenda populer lainnya yaitu seorang
82
biarawati yang jatuh cinta kepada seorang kanon muda dan menjadi
hamil gara-gara hubungan itu, lalu ia dipaksa untuk mengebiri sang
pria dan kemudian kembali ke selnya. Fabliau (‘kisah moral’) ‘Prestre
Crucifie’ (‘Pendeta yang Disalib’) yaitu cerita tentang seorang
pendeta yang, sesudah tertangkap basah sedang berada di tempat tidur
bersama istri seorang pemahat, berupaya untuk menyembunyikan
dirinya dengan menyerupai posisi Kristus di sebuah Salib yang ada
di dekatnya. Pemahat yang istrinya tidak setia ini berpura-pura tidak
mengenali pendeta tersebut kemudian mencabut alat kelamin sang
pendeta, dengan alasan meningkatkan penampilan patung kayu
Kristus.
Kisah Abélard dan Héloïse, dalam jalur kekejaman nikmat yang
sama, dideskripsikan oleh seorang penyair selatan dari masa yang sama
sebagai “sebuah kisah yang lebih manis daripada anggur bermadu.”11
Para Mahasiswa dan Pejuang Jalanan
Hal lain yang tidak terlalu dramatis yaitu Abélard juga sering diklaim
sebagai tokoh pendiri Universitas Paris. Alasan utama klaim ini
yaitu ia merupakan orang pertama yang memperkenalkan praktik
dialektikal argumentatif ke dalam pengajarannya. Dengan risiko
menyebarkan ajaran sesat, ia membuang metode mistik yang hingga
saat itu masih bertahan dan mengajari mereka yang berkumpul di
Tepi Kiri untuk berpikir secara kritis.
Kedua, dengan meninggalkan biara-biara Notre-Dame dan pergi
ke Montagne Sainte-Geneviève, ia menggerakkan filsafat menjauh
dari Gereja dan ke dalam wilayah sekuler yang akan didudukinya
selama milenium selanjutnya. Memang tidak lama sesudah kematian
Abélard, berbagai kelompok di sekitar Montagne mulai berkumpul
untuk membentuk universitas pertama kota ini. Pada 1257, Robert de
Sorbon, pendeta bagi Louis IX, mendirikan kolese yang pada akhirnya
akan memberikan namanya bagi seluruh universitas. Nama Sorbonne
memang terkenal ke seluruh Eropa pada akhir abad.
Kolese ini pada awalnya didirikan untuk membantu para maha-
siswa miskin. Pada awalnya kolese menawarkan enam belas beasiswa
83
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
untuk menyokong para mahasiswa dari segala kebangsaan, tetapi
dengan cepat berkembang melewati ambisi sederhana ini saat
donasi mengalir dari seluruh dunia Kristen. Bangunan pertamanya
terletak di rue Coupe-Gueule (‘Jalan penggorok leher’, yang diberi
nama mengikuti reputasi mengerikannya sebagai sarang para pencuri
pembunuh), yang memanjang di depan rumah-rumah permandian
Romawi tua, dan kemudian di rue des Deux Portes dan rue des
Maçons, keduanya sedikit lebih dekat dengan lokasi yang sekarang
ditempati oleh Place de la Sorbonne. Reputasinya pertama-tama
terletak pada semangat para cendekiawannya untuk mempelajari
ajaran yang dianggap menyimpang dari gereja dan melawan, sebagai
contoh, pengaruh para biarawan peminta-minta terhadap warga Paris
kebanyakan. Hal ini membuatnya segera tidak populer di kalangan
biara dan keuskupan di dalam dan di sekitar Paris yang membuat diri
mereka kaya dengan mengorbankan penduduk yang sangat saleh dan
mudah tertipu. Tradisi Sorbonne yang antipendeta dan memberontak
jelas sekali sudah ada sejak asal mulanya.
Namun lebih dari itu, pendirian universitas inilah yang mendorong
Paris ke garis depan urusan Eropa, alih-alih pembangunan Notre-Dame
atau kemakmurannya yang semakin berkembang dari perdagangan
sungai. Sekali lagi, Paris menganggap dirinya sendiri sebagai pesaing
Roma dan iri atas kekuasaan Paus. Namun, walaupun Roma memiliki
kekuasaan teologi politis, di Paris, di universitas yang sedang tumbuh
di kaki Montagne Sainte-Geneviève, kekuatan intelektual sebenarnya
sedang dikembangkan.
Inilah tempat di mana, dalam lingkungan yang dibentuk oleh para
cendekiawan dari seluruh Eropa, milenium baru sedang ditempa. Para
mahasiswa dan cendekiawan tidak hanya tertarik oleh teologi dalam
konteks tradisional tetapi juga oleh pertanyaan, yang masih belum
terjawab dari masa klasik, tentang pemikiran dan substansi. Lebih
spesifik lagi, para pengajar dan mahasiswa berspekulasi tentang urusan
metafisik dengan kebebasan yang lebih mirip orang Yunani kuno
daripada batasan-batasan dunia Kristen pada abad pertengahan. Dari
fermentasi ini, dan dalam suasana yang tidak terstruktur, panas dan
sering kali terlalu panas, dibuat ide-ide dan argumentasi-argumentasi
yang akan membentuk pemikiran dan sejarah Eropa selama berabad-
84
abad kemudian. Namun, pendirian universitas ini yaitu proses
perkembangan yang lambat dan bertahap, lebih ditentukan oleh
faktor-faktor ekonomi dan sosial daripada loncatan besar ke masa
depan. saat orang-orang seperti Abèlard, sebagai contohnya, telah
mendominasi percaturan intelektual Paris, hal itu terjadi melalui
pengajaran di ruang terbuka di kaki Montagne Saint-Geneviève di
rue de Fouarre (diterjemahkan sebagai ‘jalan jerami’, untuk merujuk
pada atap seadanya yang dibuat oleh para mahasiswa). Gagasan
untuk mengorganisasi aktivitas semacam itu ke dalam sebuah lokasi
yang layak dengan akomodasi belum terpikirkan oleh para pengajar
maupun mahasiswanya.
Demikian pula, kisaran subjek yang diajarkan pada awalnya hanya
sedikit berubah dari masa Romawi. Subjek tersebut pada dasarnya
yaitu trivium, yang terdiri atas tata bahasa, retorika, dan dialetika
(biasanya terbatas pada terjemahan Plato atau Aristoteles yang telah
disetujui Gereja); dan quadrivium, yang terdiri atas musik, aritmetika,
geometri, dan astronomi. Tepi Kiri hampir sepenuhnya digunakan
oleh para mahasiswa dan aktivitas belajar-mengajar, yang hampir
semuanya dilakukan dalam berbagai versi bahasa Latin.
Pertumbuhan kelas intelektual diiringi oleh kelas sosial baru
yaitu para tukang dan perajin, mercatores, yang menempati satu
lokasi tertentu di kota. Hal itu berlawanan dengan para pedagang
keliling yang paling banyak dan populer di kota. Bersamaan dengan
pertumbuhan persaudaraan dan serikat, mulai muncul pula mentalitas
urban yang khas, yang dapat dibedakan dari individualisme pedesaan
dalam semangat upaya kolektif. saat kelas mercatores menetap
secara semi-permanen berdampingan dengan sekolah-sekolah dan
biara-biara, kota ini mulai secara pasti mengambil bentuk sebagai
entitas uban.
Paris juga semakin kosmopolitan. Luapan dari Sekolah Katedral di
Paris menciptakan permintaan bagi studia generale—tempat belajar
bagi para mahasiswa dari berbagai negara mengikuti model institusi
lain yang sudah mantap seperti di Bologna atau Salerno. Tempat-tempat
pertemuan ini menjadi Universitas masgistrorum et scholarium, yang
pada abad ke-13 memiliki empat fakultas—Teologi, Hukum Kanon,
Kedokteran, dan Seni Liberal. Para mahasiswa digolongkan menurut
85
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
‘bangsa’ tempat mereka berasal. Pada abad ke-13, ini berarti bahwa
mahasiswa ‘Prancis’ termasuk mahasiswa Spanyol dan mahasiswa
Italia; bangsa Inggris termasuk para mahasiswa Jerman dan bangsa
Picard tidak hanya mahasiswa Picard tetapi juga para mahasiswa dari
Negeri-Negeri Bawah (Low Countries—Belanda, Belgia, Luksemburg).
Oleh sebab itu, pendirian universitas membawa masuk para
intelektual muda ke dalam kota yang kemudian sering terlibat konflik
dengan Parisian asli dan pihak berwenang. Para mahasiswa memberi
julukan menghina kepada Parisian dari kalangan biasa yaitu ‘Jacques
Bonhomme’ yang memiliki rasa hamba sahaya. Pemogokan besar
mahasiswa pertama dalam sejarah dilancarkan pada 1229 untuk
memprotes harga anggur di sebuah kedai minum di Faubourg Saint-
Marcel. Dalam kesempatan ini, para mahasiswa menerima kekalahan
telak sebab para tetangga segera datang menolong pemilik kedai
minum. Mereka kembali keesokan harinya dengan bersenjata lengkap
bersama sekelompok rekan yang mabuk dalam jumlah cukup besar
yang bersedia untuk memukul kepala beberapa Parisian. Insiden ini
menjadi pertempuran jalanan besar, meluber ke daerah di sekitarnya
dan membuat takut orang-orang yang kebetulan lewat dan tidak terlibat.
Pasukan raja sendiri segera terlibat. Mereka membunuh dan membuat
sejumlah besar mahasiswa terluka serius. Sebagai balasannya, baik
mahasiswa maupun pengajar meninggalkan kota untuk sementara
waktu. Situasi ini diselesaikan hanya sesudah universitas memberikan
janji perlindungan.
Para mahasiswa membawa uang tunai dan prestise ke Paris dan
secara umum ditoleransi sebab alasan ini, walaupun tidak sepenuh
hati. Penulis kronik Jacques de Vitry mewaspadai muka-muka dan
tingkah laku asing yang dapat ditemukan di seluruh Paris, terutama di
sekitar universitas di Tepi Kiri. “Orang Inggris pemabuk dan pembual,”
tulisnya, menjelaskan kehidupan pemuda universitas. “Orang Prancis
[berarti penduduk Île de France tetapi bukan penduduk Paris]
yaitu orang yang angkuh, lembek, banci; orang Jerman agresif dan
lekas tersinggung; orang Normandia sombong dan suka membesar-
besarkan; orang Poitevin tidak dapat dipercaya; orang Burgundy brutal
dan bodoh; orang Breton lembut dan tidak konsisten; orang Sisilia
tiran; orang Lombard tamak dan jahat; orang Roma penghasut.”12
86
Terlepas dari apakah Vitry membesar-besarkan untuk mendapatkan
efek lucu atau tidak, memang benar bahwa jalan-jalan Tepi Kiri
di sekitar univeritas tidak selalu aman dan bahwa, walaupun Paris
mengumumkan statusnya sebagai ibukota dengan memproyeksikan
diri sebagai mikrokosmos dari dunia yang telah dikenal, Paris masih
merupakan tempat yang penuh gejolak.
87
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
8
Santo, Penyair, Pencuri
Abad ke-13 yaitu masa ekstrem. Pada satu sisi, pemerintahan
Philippe-Auguste telah menandai titik balik menentukan dalam sejarah
Paris, dan oleh sebab itu Prancis, seperti juga pemerintahannya, yang
berada di bawah kendali kuat Suger, terbukti berhasil dalam perang
dan mendapatkan wilayah dengan mudah. Prestise politik Prancis
tidak pernah lebih tinggi dari saat itu. Pada sisi lain, masa ini masihlah
masa keyakinan agama. Oleh sebab itu, pada awal abad ke-13, kelas
masyarakat kurang-lebih terbagi menjadi bangsawan, pendeta, dan
petani—meniru tatanan Ketuhanan yang telah berdiri tanpa bergerak
sejak hari-hari terakhir Lutetia. Namun hierarki ini akan terganggu
untuk selamanya dengan munculnya kelas menengah urban baru di
Paris dengan kepentingan yang sepenuhnya terpisah dari kepentingan
kelas penguasa. Insting pertama monarki dalam menghadapi per-
geseran kekuasaan ini yaitu mundur ke dalam kepastian Agama
Kristen. Kemunduran ini sangat jelas terlihat dalam pemerintahan
Louis IX, atau ‘Santo Louis’ (ia dinyatakan sebagai orang suci pada
1297), seorang petapa yang sangat tegang, dogmatis, dan kejam—
sebagaimana telah kita lihat, ia mengundang Inkuisisi untuk masuk
ke Paris selain membiayai beberapa serangan yang gagal total dan
memakan banyak korban jiwa ke Tanah Suci—membuatnya lebih
cocok disebut sebagai pembunuh berantai oleh orang masa kini alih-
alih memiliki perilaku yag sesuai sebagai raja Prancis.1
Namun, di luar semangat keagamaannya dan ketidaksukaannya
terhadap dunia material, Paris berkembang di bawah pemerintahan
Louis IX. Terutama, pada 1242 ia memerintahkan pembangunan
Sainte-Chapelle, yang bahkan hingga sekarang menjadi salah satu
situs keagamaan paling indah dan misterius di Paris. Situs ini yaitu
88
serangkaian kontras yang hampir merangsang antara pekerjaan
batu yang sangat halus dengan lukisan tentang visi surga dan langit
berbintang yang berasal dari dunia lain. Memandangi langit-langit
rendah kapel bawah, atau kaca patri yang sangat rumit di kapel atas,
masih mengguncang penontonnya ke dalam kesadaran langsung akan
misteri manusia dan bukan-manusia. Secara keseluruhan, tidak ada
karya lain yang bisa lebih baik dari Sainte-Chapelle dalam mewakili
hubungan saling memengaruhi antara mistisme dengan urusan solid
yang menjadi ciri suasana hati di abad ke-13.
sesudah kematian Louis, Paris secara perlahan mengalami
kemunduran. Hal ini sebagian disebabkan oleh kebijakan berbeda yang
dilakukan oleh penerusnya, Philippe III, yang dijuluki ‘le Hardi’ (‘sang
Pemberani’), yang menghabiskan sebagian besar waktunya pergi dari
kota untuk melakukan kampanye militer dalam perang-perang kecil
yang tidak ada gunanya. Kemunduran ini semakin terlihat di bawah
pemerintahan Philippe IV, yang naik takhta pada 1258 dan membawa
kota menuju kejatuhannya.
Pemberontakan Kelas Menengah
Di titik ini dalam sejarahnya, Paris dibagi oleh sungai Seine menjadi
tiga distrik berbeda: Le Quartier d’Outre-Grand-Pont (‘Kawasan Di
Luar Jembatan Besar’); Le Quartier d’Outre-Petit-Pont (‘Kawasan di
Luar Jembatan Kecil’); dan Le Quartier de la Cité (‘Kota’). Nama-nama
ini disingkat untuk disederhanakan menjadi La Ville, L’Université,
dan La Cité. Istilah ini tetap digunakan hingga akhirnya Paris dibagi
menjadi dua puluh kawasan terpisah beberapa abad kemudian.
Kawasan terkaya yaitu La Ville, sebuah distrik perdagangan dan
rumah bagi sebagian besar keluarga Paris terkemuka, dengan nama-
nama seperti Barbette, Bourdon, Popin, Bonne-Fille, dan Piz d’Oë. La
Ville juga menjadi rumah bagi Parisian lainnya dari tingkatan yang
lebih rendah dengan nama-nama yang jauh lebih biasa—Le Grand,
Le Gros dan Boulanger yaitu nama umum—tetapi sedikit sekali dari
mereka yang bisa menyewa tempat yang lebih besar dari penginapan
berkamar satu, dan banyak dari mereka tidur bersama binatang di
89
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
kamar-kamar pelayan.
La Ville pada dasarnya yaitu daerah di sekitar Saint-Denis. Banyak
jalan yang ada di sana, seperti rue de Male Parole (sekarang, rues des
Mauvaises Paroles, ‘jalan kata-kata buruk’) atau rue des Lombards
(orang Lombard dikenal sebagai tukang kredit), kurang-lebih tetap
sama nama dan strukturnya. Hampir ada seratus bankir Italia di
distrik ini (para pemberi kredit secara berkala diusir dari kota kecuali,
seperti Gandolfo Arcelli dari Piacenza, yang terkenal sebagai orang
terkaya di Paris, mereka bisa menyuap dan melicinkan jalan agar
menjadi penduduk tetap).
Namun, distrik yang dikenal sebagai L’Université cukup berbeda.
Tepi Kanan sudah dibentuk oleh tuntutan kekuasaan politik dan
perdagangan, yang berarti pembangunan gedung pemerintah yang
tak tergoyahkan dan, sedapat mungkin, jalan-jalan lurus dengan
persimpangan menyiku yang memungkinkan akses lalu lintas dan
barang yang bebas. Sebaliknya, Tepi Kiri dikembangkan menurut
kebutuhan kolese, kesusteran, gereja dan biara yang memperebutkan
mahasiswa dan ruangan serta yang hampir tidak memedulikan adanya
ruang publik kota di luar dinding mereka sendiri. Bahkan kehidupan
perdagangan di Tepi Kiri ditentukan oleh kebutuhan akademik. Satu-
satunya pembuat tinta di Paris, milik seorang wanita bernama Asceline
de Roie, ada di rue Saint-Victor, sementara delapan toko buku di Paris
terserak di daerah yang membentang dari rue Neuve-Nostre-Dame,
di bawah bayang-bayang gereja agung itu sendiri, hingga rue de la
Boucherie—sekarang rue Mouffetard, jalan arteri utama yang menuju
pinggiran Quartier Latin.
Pusat politik dan keagamaan kota yaitu daerah di sekitar katedral,
La Cité. Bangunan terkaya dan terpenting, Hôtel-Dieu, berlokasi di
sini, tepat di seberang Notre-Dame, dan dihuni oleh 30 biarawan
serta 25 biarawati. Hanya ada satu jembatan, Petit-Pont, yang
menghubungkan Tepi Kiri dengan La Cité; sementara Tepi Kanan
dihubungkan oleh dua struktur, Grand-Pont dan Pont des Planches
de Mibrai (mi-bras, atau ‘setengah jalan’ menyeberangi sungai Seine),
yang menghubungkannya dengan Petit-Pont, menyediakan rute
langsung dari Tepi Kanan ke Tepi Kiri. Namun, menyeberangi sungai
ini dari satu tepi ke tepi lainnya yaitu , bahkan pada tahap ini dalam
90
sejarah, seperti menyeberangi perbatasan geografis dan mental. Ada
Parisian yang benar-benar menolak untuk meninggalkan daerah
sendiri, dengan alasan bahwa tak ada apa pun di tepi lainnya yang bisa
mereka pelajari atau membuat mereka terkesan.
Periode ini juga merupakan periode yang melahirkan kelas borjois
atau ‘borjuis’ pertama Paris yang mengesalkan dan membingungkan
para bangsawan. Istilah ini sebenarnya digunakan untuk kali pertama
dalam sebuah dokumen kerajaan tahun 1134, yang dengan demikian
secara tanpa dosa menetapkan orang-orang merdeka penduduk kota
yang tidak masuk dalam kategori sosial tetap yang ada sebelumnya.
Mereka bukanlah hamba sahaya, bukan tukang dan bukan pula
bangsawan. Tentu saja Paris sekarang memiliki segala macam kelas
sosial—pengemis, petani, tukang, mahasiswa, pedagang, biarawan,
kesatria, bangsawan—bahkan cukup banyak untuk dideskripsikan
sebagai mikrokosmos dunia. Namun, ‘borjuis’ yaitu fenomena
baru yang, sebab tidak bisa diklasifikasikan, telah membuat gelisah
administrasi raja. Terutama, raja dan para bangsawannya tidak ingin
menyerahkan kekuasaan apa pun kepada kelas baru ini, yang tidak
dibatasi oleh janji kesetiaan lama kepada monarki.
Sekarang, borjuis telah menumbuhkan dan mengembangkan
hierarki beraneka macam, tergantung pada aksen, tata krama, serta
kekayaan dan bukan sebab keturunan. Hal terpenting yaitu periode
ini menjadi saksi munculnya haute bourgeoisie sebagai kekuatan
sosial, sebuah kelas yang berbaring mengancam tepat di bawah
kebangsawanan dan yang, walaupun menggunakan banyak tata krama
kebangsawanan, tetap terpisah darinya dalam hal kebutuhan dan
tuntutan.
Semua keluarga Paris yang paling terkenal dalam cara tertentu
berkaitan atau diturunkan dari kelas-kelas borjuis selama periode ini.
Paris pada tahap ini berpenduduk melonjak sekitar 100.000 orang,
sehingga sebagian besar wilayah kota sekarang berpenduduk sangat
padat. Sebagian besar rumah masih dibuat dari kayu (itulah mengapa
hampir tidak ada yang tersisa); bentuknya tinggi dan sempit dan
relatif tidak kokoh. Rumah-rumah ini juga sangat padat penghuni;
ukuran rata-rata sebuah kamarnya tidak lebih dari 10 meter persegi,
sementara keseluruhan rumah dari sebuah keluarga borjuis, termasuk
91
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
para pelayan, binatang dan halaman dalam, jarang melebihi 80 meter
persegi. Bahkan sebagian besar bangunan ini masih tertutupi dari
pandangan jalanan sebab fasad rumah tidak pernah lebih dari 6-7
meter lebarnya.
Jumlah keluarga berpengaruh di Paris tidak pernah lebih dari dua
puluh keluarga tetapi mereka memiliki kekuasaan yang sepenuhnya
tidak proporsional dengan jumlah. Namun, mereka semua berupaya
bersekutu dengan kelas pedagang yang sedang tumbuh. Keluarga
Bourdon, sebagai contoh, yang menjadi nama sejumlah jalan di Paris,
memiliki hubungan lebih erat dengan para pedagang dan pedagang
kecil di tepi sungai daripada hubungan mereka dengan raja. Hal
yang sama berlaku bagi keluarga Arrode, yang memiliki hubungan
dengan keluarga Bourdon melalui pernikahan dan membangun
sebuah kapel atas namanya. Bahkan keluarga Gentien, salah satu
keluarga terkaya di Paris, yang tinggal dalam kemewahan di Lambert
de Chiele (sekarang rue du Roi-de-Sicile), merasa berkewajiban untuk
membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan kelas
menengah yang baru tumbuh daripada tunduk terhadap tingkah
raja. Ketidaksukaan dan ketakutan terhadap kelas menengah yang
baru muncul ini dapat menjelaskan peraturan-peraturan aneh yang
dibuat oleh Philippe le Bel (‘si Adil’) pada 1294 yang melarang orang
borjuis mana pun untuk memiliki kereta kuda, mengenakan cerpelai
atau batu berharga, memiliki lebih dari satu set jubah per tahun dan
mengeluarkan keputusan bahwa mereka harus membatasi diri hanya
dengan makanan yang dihasilkan secara lokal. Peraturan seperti ini
dengan cepat diabaikan dan komersial Paris berkembang sebab para
pembuat anggur, pedagang rempah-rempah, penjahit, dan perajin
perhiasan berdatangan ke Paris dari seluruh Eropa untuk memenuhi
kebutuhan kelas pedagang kaya Paris yang semakin bertambah.
Philippe le Bel bukan hanya sangat iri kepada kelas Parisian baru
ini tetapi juga sangat memboroskan pemasukan yang mereka bawa
ke kota. Dalam De laudibus Parisius (‘Risalah dalam Memuji Paris’)
tahun 1323, Jean de Jandun mencatat megahnya pesta yang dibuat
oleh Philippe untuk menghormati Raja Edward II dari Inggris pada
Juni 1313. Selama dua hari, pesta kerajaan mengonsumsi tidak kurang
dari 380 domba jantan, 200 ikan moncong panjang, 189 babi, 94 lembu
92
dan 80 tong anggur. Paris sendiri, menurut Jean, yaitu “sebuah kota
yang menakjubkan,” dengan kemegahan dan kemewahan dalam hal
bangunan-bangunan kerajaan dan agamanya tak tertandingi di Eropa.2
Tak mengherankan jika di bawah kekuasaan Philippe le Bel, kota
itu hampir selalu bangkrut. Philippe terobsesi dengan membangun
monumen untuk dirinya sendiri seperti Palais-Royal—sebuah
bangunan tambahan dari Palais de la Cité milik Philippe-Auguste—
yang kendati diberikan aliran dana, bangunan itu tak pernah
diselesaikan pada masa hidupnya. Kegiatan-kegiatannya yang muluk
telah menghabiskan anggaran kota. Respons pertama Philippe yaitu
menyita kekayaan pribadi, membatalkan utang-utangnya sendiri
dan kemudian memberlakukan pajak yang tak populer, maltôte,
pada tempat-tempat usaha di kota. Bahkan semua upaya untuk
meningkatkan pendapatan Kerajaan tidaklah cukup, dan kendati
individu pelaku pemalsuan dapat dijatuhi hukuman direbus hidup-
hidup, Philippe sendiri tak merasa bersalah mencampur emas
yang digunakan dalam mencetak uang untuk mencapai berat yang
diinginkan.
Sang Lembu Pedesaan
Sensus pajak Philippe, Le Livre de la taille de Paris (‘Buku Pajak-
Pajak Kota Paris’), setidaknya menyediakan potret terperinci tentang
Paris selama periode ini. Sebagai contoh, buku ini mengungkapkan
bahwa di rue de Quincampois, berdampingan dengan Temple, para
kesatria, hamba sahaya, pembantu, dan tukan