nta untuk dimakamkan di makam Santo Denis,
tetapi kontribusi nyatanya bagi generasi selanjutnya yaitu menjadi
sasaran lagu antimonarki pada Revolusi 1789. Raja yang lebih terkenal
sebab telah melakukan urusan kerajaan dengan menggunakan
celana ketat terbalik ini menjadi contoh nyata bagi para penulis lagu
Revolusioner tentang kebodohan, kecanggungan dan kekonyolan
kerajaan. (Dagobert mungkin saja memang bodoh, tetapi ia juga
pembunuh massal: pada 631 ia memerintahkan pembantaian di
malam hari terhadap sekitar 9.000 orang Bulgaria, yang kehilangan
tanahnya dan datang kepadanya untuk meminta perlindungan.)
Denis terbukti menjadi santo yang sangat tidak efektif dalam cara
lain. Ia sering kali secara keliru dikaitkan dengan Dionysos, dewa
kemabukan Yunani, atau filsuf dari masa awal Kristen yaitu Denys
the Areopagite. Kehadiran Santo Denis saat ini menikmati status
rendahan tetapi bersahaja yaitu sebagai santo yang kekuatan utamanya
yaitu menyembuhkan penyakit akibat gigitan anjing dan, kadang
kala, sakit kepala. Bagi orang Jerman, ia dikaitkan dengan sifilis yang,
sesudah pendudukan mereka terhadap kota Paris pada 1870, mereka
sebut le mal français. Sejumlah ahli teologi menganggapnya secara
serius. Bahkan, keluhan paling terkenal dan mengejek dari mereka
yang bekerja dalam ordo-ordo religius yaitu Paris ‘bukanlah sebuah
kota Kristen’. Mungkin kota ini tidak pernah benar-benar menjadi
kota Kristen. Sekarang, tempat di mana Denis melangkahkan kakinya
untuk kali terakhir ini menjadi jantung industri seks kota. Selain itu,
jalan yang didedikasikan untuknya, yaitu bentangan rue Saint-Denis
23
yang menurun di kota menuju sungai, menjadi tempat ditawarkannya
kenikmatan-kenikmatan pagan dengan harga 40 euro dalam jarak
yang berdekatan.
Berbicara dalam Berbagai Bahasa
Hampir semua penduduk Lutetia menggunakan dua bahasa dalam
batas tertentu, bahasa Galia dan bahasa Latin, jauh sebelum kedatangan
agama Kristen dan Santo Denis. Ada banyak pelaku perniagaan cerdas
yang sering kali menguasai bahasa-bahasa lain yang penting bagi
bisnis, seperti bahasa Yunani, dialek Breton Lama (walaupun Breton
sendiri baru tiba di Prancis pada abad ke-6, sebagai bahasa impor dari
Britania) atau bahasa-bahasa Germanik. Sebelum kedatangan orang
Romawi, bangsa Galia menggunakan alfabet Yunani. Lama sesudah
penaklukan, kontrak-kontrak bisnis sering kali dibuat dalam bahasa
Yunani, yang menunjukkan bahwa bahasa ini bukan hanya milik elite
aristokrat. Hal ini juga sebagian mendukung tesis sejarawan nasionalis
Camille Julian bahwa jika perang-perang Caesar gagal, sebagian
besar Galia, termasuk Lutetia, kemungkinan akan berakhir seperti
Marseilles, sebagai bagian yang terintegrasi dari kebudayaan Yunani
Mediterania.4
Mungkin saja, awalnya orang Romawi memang memaksakan
bahasa dan agama mereka sendiri, namun suku Parisii yaitu bangsa
yang mudah berasimilasi. Pada akhir abad pertama eksistensinya,
Lutetia yaitu kota bilingual dan multikultural: perdagangan, agama
dan perpolitikan dilakukan dalam bahasa Latin; urusan sehari-hari
seperti seks, makanan dan pertanian, diekspresikan dalam bahasa
lama. Perbedaan yang sama menjadi ciri kehidupan di tingkat jalanan.
Lutetia pada dasarnya yaitu sebuah kota pasar, sebuah tempat yang
sibuk dan keras. Walaupun suku Parisii sudah mencetak uang sendiri
sampai pendudukan Romawi, sebagian besar bisnis dan perdagangan
dilakukan dengan sistem barter. Sekarang, koin-koin yang dicetak di
Roma yaitu mata uang umum. Jauh ke dalam era Gallo-Romawi,
sebagian besar pria masih berpakaian sesuai cara Galia, memelihara
kumis dan rambut panjang serta mengenakan cucculus—sehelai
selimut panjang yang disampirkan pada bahu. Para wanita juga tidak
24
terkesan oleh gaya pakaian Romawi dan biasanya lebih menyukai
rambut dikepang, bros, jimat, serta pakaian bergaya Keltik.5
Walaupun cara-cara Keltik sangat kuat, bahasa Galia pada akhirnya
runtuh dari dalam dan nyaris hilang atau dilupakan sepenuhnya pada
abad ke-4. Sulit untuk menentukan kapan tepatnya bahasa Galia
menghilang. Pada 363 M, ada dialog dalam bahasa Latin yang mencatat
tentang seorang Romawi yang memberi perintah kepada seorang Galia
untuk ‘berbicara dalam bahasa Keltik jika kau lebih menyukainya.’6
Bahasa ini tetap bertahan di area pedalaman hingga abad ke-5, saat
Sidonius Apollinaris, seorang sejarawan Galia yang cerdik dan pada
dasarnya sangat teliti, mencatat bahwa para petani Auvergne baru saja
membersihkan dirinya sendiri ‘dari sampah kebodohan yaitu bahasa
Galia.’7 Urusan administratif kekaisaran tentu saja dilakukan dalam
bahasa Latin. Hal yang sangat dekat dengan orang Kelt yaitu tradisi
Druid juga tidak bisa membawa pengaruh apa pun sebab merupakan
tradisi oral.8
Kekuatan-kekuatan sentrifugal juga berpengaruh terhadap bahasa
Romawi: walaupun pada abad ke-7 dan ke-8 bahasa Latin tulisan
masih sesuai dengan kaidah klasik, bahasa Latin oral kota ini—yang
dipenuhi oleh ungkapan-ungkapan dengan arti baru yang didapatkan
dari bahasa Galia dan bahasa-bahasa lainnya—pada abad ke-6 tidak
lagi bisa dikenali sebagai bahasa Romawi. Pada akhir milenium
pertama, muncul sebuah bahasa baru yang merupakan leluhur jauh
Bahasa Prancis Standar Modern.
Namun demikian, kata-kata tertua dalam bahasa Prancis dapat
ditelusuri kembali ke masa saat bahasa Galia Keltik yaitu bahasa
utama kota ini. Contohnya, kata seine, senne atau saine dalam bahasa
Prancis Kuno berarti ‘jaring penangkap ikan’. Penggunaannya secara
tertulis untuk kali pertama dapat ditelusuri kembali ke Étienne
Boileau, yang menggunakan kata ini pada 1269 dalam bukunya
berjudul Livre des métiers (‘Kitab Pekerjaan), yaitu sebuah inventori
tentang kehidupan kerja di Paris. Versi Gallo-Romawi dari kata ini
yaitu sagena—yang kemungkinan diturunkan dari kata Galia untuk
‘keranjang penangkap ikan’ atau ‘jaring’—sin-ane atau sôghane yang
berarti ‘sungai berarus pelan’.9 Kata seine digunakan dengan makna
lamanya sebagai jaring penangkap ikan oleh Balzac. Kata ini bahkan
25
sering kali muncul dalam kesusastraan abad ke-19 namun merujuk
pada sungai sejauh yang bisa dipastikan oleh siapa pun. Kata Galia lain
yang berhasil masuk ke bahasa Latin Sehari-Hari dan pada akhirnya
ke Bahasa Prancis Modern (diperkirakan ada sekitar 400 kata
seperti ini) merujuk pada pakaian, makanan, perkakas, binatang,
burung, kendaraan, dan senjata: menjadi bukti sifat praktis bahasa ini.
Bentuk penghinaan Parisian kepada non-Parisian yang paling awal
dapat ditelusuri kembali ke kata kuno plouc. Kata ini masih memiliki
penggunaan yang sama, memiliki arti yang sama di masa sekarang
seperti juga bagi suku Parisii, yaitu orang luar yang bodoh dan udik.10
Tepian Dunia yang Tajam
Parisian pertama, baik yang merupakan keturunan orang Kelt maupun
orang Romawi, sangat percaya takhayul, terutama pada masa-masa
ketidakpastian politik. Mereka takut terhadap sungai dan juga hutan.
Hutan-hutan yang dimaksud yaitu rimba cukup lebat di sebelah
barat dan barat daya, antara Le Gâtinais dan La Laye; dan yang paling
tak tertembus yaitu hutan rimba Bière, Brie, dan Senlis.
Pulau-pulau dan tepi selatan sungai saat ini sepenuhnya menjadi
lingkungan urban dan menyerupai pusat-pusat ter-Romawi-sasi
lainnya di seantero wilayah Galia. Orang-orang Gallo-Romawi
Lutetia terutama hidup di vila atau insulae yaitu permukiman kota
yang padat. Area-area pedalaman di luar kota dipenuhi oleh bahaya,
mulai dari serigala lapar hingga bandit pembunuh. Wilayah ini juga
memberikan ancaman psikologi sebagai tempat-tempat tidak dikenal
yang menantang insting mencari perlindungan dan yang telah
membuat orang-orang Kelt masa lalu dan kemudian suku Parisii untuk
berkumpul bersama dalam desa-desa pertama mereka. Nantinya,
saat kota Gallo-Romawi tumbuh melewati batas-batas pertamanya,
melewati ager atau laboratorium yaitu tanah yang dibudidayakan
di pinggirannya, maka hutan—dalam cerita Lutetia—bukan hanya
menjadi tempat bahaya yang sebenarnya, tetapi juga perlambang dunia
nafsu yang belum dijinakkan dan tidak dapat dijinakkan, sesuatu yang
berada di luar kontrol kota yang memiliki hierarki dan terorganisasi
dengan kaku. Hutan dan rimba belantara, dalam konteks paling
26
harfiah, menjadi ‘bagian luar’ yaitu tempat roh-roh jahat dan kaum
barbar memerkosa para perawan muda, bahwa Perayaan dilakukan
bagi Setan, dan langit terbuka tampak gelap bagaikan malam bahkan
di tengah hari. Konon, hanya penjahat atau orang tidak waras yang
mau mengendarai kuda menembus hutan lebat di waktu malam.
Terlepas dari kecemasan ini, hutan-hutan di sekeliling Lutetia
juga sudah lama memiliki peran ekonomis. Hutan ini menyediakan
lahan merumput bagi kawanan hewan ternak. Selama masa darurat
yang kadang kala terjadi saat hanya sedikit jerami yang tersedia,
dedaunan (terutama daun pohon elm dan dan pohon ek) akan
dikumpulkan sebagai persediaan makanan musim dingin bagi domba
dan sapi. Dedaunan ini juga digunakan untuk mengisi kasur atau
sebagai kompos. Selain itu, hutan juga menyediakan bahan bakar
untuk memasak, untuk penghangat dan untuk berbagai macam
industri, termasuk pembuatan minuman beralkohol, pandai besi,
pembuatan kaca dan penyulingan; kayu-kayunya digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan tong, bahan bangunan (rumah, dinding kota)
dan transportasi (perahu, gerobak). Dengan demikian, harga kayu
menjadi faktor kunci dalam kesejahteraan ekonomi kota.11 Selain itu,
kayu yaitu senjata politik, terutama pada masa krisis, kelaparan, atau
ketidakstabilan konstitusional.
Ketakutan terhadap apa yang ada di luar batas kota menemukan
pembuktiannya dalam sejarah. Hingga sekitar 330 M, sudah menjadi
kesepakatan umum bahwa ancaman utama bagi stabilitas Lutetia,
bahkan terhadap provinsi Galia mana pun, datang dari suku Galia
yang memberontak, orang Kristen yang suka menghasut atau budak
yang unjuk rasa. Kemudian, pada abad ke-4 saat Kekaisaran Romawi
mulai runtuh di daerah pinggirannya, sesuatu yang secara potensial
jauh lebih berbahaya menjadi terlihat jelas. Lutetia tiba-tiba disadari
terletak di garis patah politik dan geografis: hanya beberapa hari
berjalan kaki dari tanah perbatasan Germanik dan kota ini terletak
hampir tepat di perbatasan antara dunia Romawi dengan wilayah
Eropa lainnya.
Kekaisaran Romawi telah menunjukkan tanda kemerosotan selama
sekitar seratus tahun sebelum periode ini. Kebusukan ini paling terlihat
jelas di Roma sendiri, yang didominasi oleh ketidakstabilan politik
27
dan di mana dalam sembilan puluh tahun sejak 180 M telah ada
lebih dari 80 kaisar, yang masing-masing menunjukkan kegagalan
mengontrol kekacauan yang bertambah besar. Penjarahan Athena pada
268 M mengirimkan gelombang kejut ke seluruh wilayah Romawi. Di
Galia sendiri, ‘Kekaisaran Galia’ berumur pendek yang didirikan oleh
seorang Galia ter-Romawi-sasi bernama Postumus pada 258 M hanya
bisa berkembang dalam waktu singkat sebelum menambah kekacauan
yang semakin besar. Kerusakan tatanan politik sering kali disertai oleh
penyakit dan kelaparan; panen gagal, barang-barang dijarah atau tidak
bisa dikirim; kota-kota tidak terpelihara; pajak tidak dikumpulkan
dan koin Romawi universal jatuh nilainya. Salah satu masalah bagi
para administrator kekaisaran yaitu Romawi merupakan kekaisaran
yang sangat birokratis dan tersentralisasi (contohnya, semua dokumen
tentang prajurit berpangkat di atas centurion disimpan di Roma tidak
peduli di mana pun legiunnya ditugaskan). Dalam menanggapi hal
ini, Kaisar Diocletian memecah kekaisaran menjadi dua pada akhir
abad ke-3. Efisiensi administrasi dan militer meningkat walaupun
hanya sebentar, sementara ekonomi terus mengalami kehancuran.
Kekaisaran disatukan kembali oleh Constantine Agung, seorang
penduduk asli Serbia yang memindahkan ibukota ke Byzantium,
yang kemudian menjadi Konstantinopel. Pendirian kota suci yang
besar di Bosphorus pada 330 M dan penetapannya sebagai ibukota
resmi Kekaisaran Romawi serta tempat kedudukan kekuasaan Kristen
pada 331 M mungkin merupakan salah satu faktor yang memulihkan
keteraturan ke wilayah yang selama berabad-abad bergeser perlahan
ke arah kekacauan itu. Meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan.
Namun demikian, melalui keputusan tunggal yang dilakukan
dengan sangat cepat ini, Lutetia berada semakin jauh dari ibukota
kekaisaran dan perlindungannya. Pada saat yang sama, di utara dan
selatan, suku-suku Germanik dan Slavik sudah mulai bergerak ke arah
barat. Orang Goth telah bergerak dari sungai Vistula ke sungai Dnieper.
Orang Frank sekarang berkemah di kedua tepi sungai Rhine. Kekuatan-
kekuatan yang berkumpul ini nantinya akan menghancurkan provinsi
kekaisaran Galia hingga tinggal puing.
28
3
Dewa-dewa Laut
Pada akhir abad ke-4, Galia mengalami kemerosotan tajam
yang tidak dapat dipulihkan. Pemerintahan di pusat-pusat kota
menjadi lemah dan terbelah, sementara itu di pedalaman, pajak
yang lebih tinggi, kelaparan dan ancaman keruntuhan total selama
dekade-dekade terakhir memicu gelombang pemberontakan dengan
momentum yang tidak dapat dihentikan. Para pemberontak ini disebut
Bagudae ( ‘pejuang’, kata yang diambil dari kata baga dalam bahasa
Keltik, ‘berjuang’—istilah yang tetap ada dalam kata bahasa Prancis
bagarre, perjuangan atau perkelahian) dan tidak tunduk kepada
siapa pun. Ancaman lebih serius bagi otoritas Gallo-Romawi datang
dari kaum barbar—orang Saxon, orang Burgundian, orang Visigoth
dan orang Frank—yang diundang masuk ke wilayah Galia oleh para
pemberontak tadi; mereka saling melakukan jual beli tanah dan
binatang ternak, mempertukarkan uang, dan sepenuhnya bertindak
di luar jangkauan hukum. ‘Invasi besar’ tahun 406 M yang dipimpin
oleh seorang Visigoth bernama Radagaisus sebagian didorong oleh
perilaku ini. Invasi tersebut terjadi saat suku-suku dari timur
bergerak masuk melintasi perbatasan tanpa niatan untuk kembali.
Namun demikian, tidak ada momen pasti yang dapat dikatakan
sebagai masa berakhirnya kekuasaan Romawi di Galia sepenuhnya.
Bagi Parisian Galia, bagaimanapun, putusnya hubungan dengan Roma
terjadi pada akhir abad ke-5 saat orang Frank mengambil alih Paris.
Clovis, seorang Frank yang merupakan pembunuh dan bandit,
bergerak memasuki kota pada 486 M. Namanya, yang dilafalkan
dengan desisan, yaitu kontraksi dari ‘Chlodovech,’ dan belakangan
akan menjadi ‘Louis’ yaitu nama raja-raja pada masa selanjutnya.
Ia baru berusia 20 tahun dan belum lama mengalahkan gubernur
29
Romawi bernama Syragius dalam pertempuran, dan mempermalukan
pasukannya (tawanan perang secara rutin disodomi sambil tertawa-
tawa oleh para prajurit Frank). saat ayahnya meninggal pada 481
M, Clovis mengambil alih komando orang Frank Salian. Saat itu
usianya baru 16 tahun, tetapi sudah sangat berpengalaman dalam
pertempuran. Sekarang ia mengontrol sebuah kota.
Clovis menyebarkan kekacauan di berbagai kota dan desa sekitar
Paris, menjarah gereja-gereja dan menculik perempuan. Istrinya,
Clotilda, yaitu penganut Kristen, namun Clovis mencemooh
keyakinan tersebut, dan lebih memercayai ilmu sihir dari dewa-
dewa pagan ketimbang Kekuatan Ilahi. Kematian dua putranya
saat masih bayi memperkuat ketidakpercayaannya kepada agama
orang-orang lemah ini. Legenda paling bertahan lama tentang Clovis
sebenarnya diciptakan pada abad ke-17 oleh sejarawan Herni, comte
de Boulainvilliers, lalu diajarkan kepada generasi demi generasi anak-
anak sekolah Prancis sebagai parabel antimonarki.1 Puncak berdarah
dari kisah ini yaitu saat Clovis membelah kepala seorang prajurit
yang sedang berparade di Champ de Mars dengan menggunakan
kapak, atas tuduhan sebab bersikap kikuk. Pembunuhan ini juga
merupakan tindakan balas dendam terhadap prajurit yang sama,
yang telah menegur Clovis sesudah pertempuran sebelumnya sebab
mengambil sebuah vas (yang dikenal sebagai vas dari Soissons) sebagai
harta rampasannya sendiri. Sang prajurit berpendapat bahwa harta
yang dimenangkan dalam pertempuran menjadi milik semua orang
yang turut bertempur. Pada saat itu, Clovis menurutinya dengan berat
hati tetapi kemudian melakukan balas dendam.
Walaupun hanya rekaan, kisah ini merupakan anekdot yang sarat
dengan makna simbolis, bertujuan untuk menggambarkan kebiadaban
dan kesombongan orang-orang Frank yang tak terbantahkan. Hal ini
juga, seperti yang dinyatakan oleh komentator lain, menunjukkan
kecenderungan pemerintah Paris untuk memperkuat otoritas sipil
dengan kekuatan militer, mengarah pada rezim absolutis yang muncul
belakangan.2 Kendati demikian, kondisi ini belum tepat disebut
peradaban, dan lebih merupakan masyarakat baru dengan kondisi
rapuh, yang, menurut Flaubert, terperangkap antara ‘kematian Dewa-
dewa lama dan kedatangan Yesus.’3
30
Bagi Clovis sendiri, titik balik dalam kariernya terjadi dalam
pertempuran melawan orang Alamanni yang dibenci, sebuah
suku Germanik yang, meski kekuatan jauh lebih besar, kalah saat
menghadapi serangan orang Frank. Clovis bersumpah atas nama Santo
Rémi dari Rhemis bahwa ia akan menjadi pemeluk agama Kristen jika
mampu mengatasi rintangan yang mustahil itu. Di bawah pengaruh
Geneviève (seperti akan kita lihat, ia yaitu tokoh politik dan religius
paling penting pada masa itu), Clovis kemudian berpaling kepada
Tuhan walaupun tidak sepenuh hati, meski bukan kepada kemurahan
hati Kristen, dan menjadi raja Kristen Paris yang pertama.
Tindakan pertamanya sebagai seorang raja berdaulat, dan dengan
konsekuensi paling panjang, yaitu memproklamasikan bahwa semua
orang Frank yaitu manusia merdeka dan semua manusia merdeka
yaitu orang Frank. Sejak saat itu, istilah ‘frank’ tidak hanya dikaitkan
dengan wilayah ‘Francia’, yang secara perlahan tapi pasti menjadi
France—Prancis, tetapi juga dengan gagasan menjadi ‘manusia
merdeka.’ (Inilah makna yang terkandung dalam nama rue des Francs-
Bourgeois—diterjemahkan oleh Jack Kerouac yang pemabuk pada
1950-an sebagai ‘jalanan kelas menengah yang berbicara blakblakan’4—
yang membentang secara paralel dengan sungai Seine melewati Marais
masa kini. Pemberian nama itu pada abad ke-16 sebenarnya sebab
jalan tersebut menjadi lokasi pondokan seorang pemberi derma bagi
48 penduduk kota miskin sehingga mereka bisa hidup tanpa harus
membayar pajak—walaupun jika memandang status modernnya saat
ini, terjemahan Kerouac memang lebih mendekati kebenaran.)
Clovis juga memberlakukan ‘Hukum Salic’, yang melarang wanita
mewarisi tanah, dan begitu pula dengan takhta Prancis. Di bawah
kekuasaan orang Frank, Paris masih belum bisa dianggap kota besar,
tetapi sudah menjadi ibukota sebuah negara. Sejak saat itu, Paris
akan menduduki tempat yang menentukan dan sentral dalam sejarah
Francia.
Reruntuhan Pertama Paris
Orang Frank pada awalnya yaitu sebuah konfederasi longgar dari
orang-orang barbar yang berakar di Jerman barat. Para sejarawan
31
Romawi untuk pertama kalinya mencatat informasi tentang mereka
pada 241 M, dan menyebutkan bahwa markas utama mereka yaitu
kota Dispargum, yang sekarang menjadi kota Tongres nan rapi di
Belgia. Mereka yaitu para kesatria yang kejam namun flamboyan,
yang membiarkan rambut mereka panjang melewati bahu dan
mengklaim sebagai keturunan dewa laut.
Raja-raja Frank juga dikenal sebagai Merovingian, yang berasal dari
nama Mérovée—kakek dari Clovis. Dinasti yang didirikan oleh Clovis
bertahan hingga kematian Dagobert pada 638 M. Kala itu, kontrol
terhadap Paris dan semua wilayah Frank jatuh ke tangan maires du
palais (‘para mayor istana’) secara bergantian. Mereka yaitu kepala
rumah tangga kerajaan yang secara efektif memerintah negara. Garis
keturunan Merovingian berlanjut hingga pemerintahan Pépin le Bref,
ayah dari Charlemagne. Namun, berhubung para raja tidak memiliki
kekuatan nyata, mereka pun dikenal sebagai rois fainéants, ‘raja
pemalas’.
Orang Frank sangat ahli menciptakan teror. Pembunuhan
Brunhild, istri Raja Sigebert, di Austrasia (Prancis pada saat itu
terdiri atas kerajaan-kerajaan yang memiliki nama yang sama-sama
terdengar aneh) pada 613 M merupakan contoh kebrutalan hukum
Frank. Brunhild dianggap melakukan kejahatan atas perannya sebagai
kingmaker selama tiga dekade di daerah-daerah yang dikontrol oleh
Paris. Pada akhirnya ia dikhianati oleh orang-orang yang berusaha
dikontrolnya dan diputus bersalah di Paris atas tuduhan pembunuhan
10 raja. Wanita ini harus menjalani hukuman dengan diikat ke seekor
unta selama tiga hari, kemudian dipukuli dan diperkosa oleh siapa
pun yang melintas. Semua ini terjadi di titik pertemuan yang sekarang
menjadi rue Saint-Honoré dan rue de l’Arbre-Sec—persimpangan
ramai yang dipenuhi dengan kafe, bank, dan toko serba ada.5
Kota-kota orang Frank yang keras masih merupakan tempat
dengan kebudayaan pagan. Ini pusat perniagaan yang sibuk dan
sering dikunjungi oleh orang Suriah, Yahudi, dan Afrika Utara.
Gregory, Uskup Roma, menulis surat dengan nada marah kepada
Ratu Frank pada 586 M untuk mengeluhkan bahwa, menurut laporan
para pelancong, penduduk asli Paris masih belum mengikuti “disiplin
Gereja dan mereka harus berhenti menyembah pohon, berhenti
32
menggantungkan kepala binatang tumbal di muka umum secara
tidak beriman. Kami bahkan menerima informasi,” keluh sang uskup,
“bahwa sebagian umat Kristen—Betapa mengerikannya!—masih
menyembah setan di sana.”6
Orang Frank sendiri tidak sepenuh hati menjadi penganut Kristen.
Mereka senantiasa menambahkan kepercayaan barbar mereka
sendiri kepada begitu banyak takhayul Galia dan Romawi yang
masih berseliweran di sekitar kota. Mereka sangat memercayai ilmu
sihir simpatik, membawa jimat, merapalkan mantra dan meramal
pertanda dari usus musuh yang telah dibunuhnya. Gregory dari Tours
terlalu pengecut untuk menegur Clovis secara langsung saat ia
mendatanginya untuk mencari cara melihat masa depan lewat sihir;
tetapi, di belakang Clovis, Gregory mengutuk praktik-praktik barbar
yang dilakukannya. Pendeta-pendeta lain bahkan lebih penakut
lagi. Pada saat orang Frank berkuasa, mereka berhenti mengajarkan
moralitas Kristen. Kata-kata Kristus hanya diucapkan dalam
pelaksanaan upacara dan ritual tertentu yang kurang-lebih dapat
dipertukarkan dengan ritual pagan. Para raja Frank juga terkenal
akan kemalasan dan kebodohannya. Ada seorang cendekiawan,
yang terbukti tidak menyadari nuansa sensitivitas pada warisan
pascakolonial Prancis, telah mendeskripsikan para pemimpin Frank
sebagai orang yang “dengan keras kepala, berpegangan pada sobekan
kemegahan Romawi, seperti seorang raja Negro dalam balutan
pakaian bergaya Eropa.”7
Lutetia mulai hancur untuk selamanya. Bangunan-bangunan
Romawi yang megah mulai menjadi puing—batu bata dan marmernya
diambil untuk gereja dan rumah kaum Frank, yang menyebar ke
segala arah menuju desa-desa tua di sekeliling kota. Dewa-dewa lama
secara bertahap juga terhapus atau dibunuh oleh agama Kristen;
hukum Frank dibuat dan dilaksanakan dari basilika Romawi tua—
yang kini sudah lama terkubur di bawah alun-alun Notre-Dame—
dan gedung pengadilan yang sekarang berseberangan dengan Hôtel-
Dieu. Semakin berkembangnya kota itu, dengan dinding-dinding tua
Romawi berubah menjadi debu, semakin rentan pula pertahanannya.
33
Perawat dari Paris
Meskipun disebut sebagai periode yang keras dan tidak stabil dalam
sejarah Paris, periode ini juga merupakan saat munculnya teks-
teks kesusastraan yang dapat diidentifikasi sebagai bahasa Prancis
untuk pertama kalinya. Teks tersebut biasanya bercerita tentang para
martir Kristen, seperti Santo Denis, yang lebih memilih menjalani
penyiksaan dan kematian daripada melepaskan keyakinan agamanya.
Legenda-legenda ini pada awalnya dibuat oleh para pendeta gereja
sebagai propaganda politik. saat kota secara perlahan muncul dari
reruntuhan kebudayaan sebelumnya, popularitas teks tersebut, yang
menyebar luas dan cepat dari mimbar ke jalanan, menunjukkan bahwa
Paris yaitu tempat yang, sebab kurangnya bentuk pertahanan diri
konvensional, sangat membutuhkan mitologi untuk menopangnya.
Geneviève, yang akan menjadi santa pelindung Paris bersama
Santo Denis, tidak mengalami penyiksaan dan tidak dibunuh sebab
kesalehannya. Sebaliknya, ia yaitu manipulator ulung, yang sangat
mumpuni dalam teknik gelap negosiasi diplomatis, dan dengan kejam
mengintimidasi lawan-lawan politiknya yang lebih lemah sambil
tetap melingkupi diri dalam mistik sebagai wanita suci. Mitos tentang
Sainte Geneviève, bagi para sejarawan dan pemikir religius, dibangun
berdasarkan kedua muka karakternya ini.
Sebelum kedatangan orang Frank, ancaman terbesar kota Paris
datang dari orang-orang Mongol penunggang kuda di bawah pimpinan
Atilla. Pada 441 M, mereka tiba ke Rheims, sekitar satu hari perjalanan
dari dinding kota Paris. Penyelamat Paris pada masa ancaman maut ini
bukanlah seorang komandan ataupun kesatria di lapangan, melainkan
Geneviève, seorang wanita muda bertubuh ramping yang saleh dan
menerima wahyu dari Tuhan. Dalam wahyu tersebut, ia diberi tahu
bahwa kota ini akan diselamatkan. Penduduk Paris yang ketakutan
sangat butuh mendengar jaminan ini, dan Geneviève akan melakukan
apa pun untuk mencegah terjadinya pelarian massal dari kota itu
sebab rasa panik. Selain dimensi spiritual, kita juga dapat melihat
dimensi politik dalam kasus ini: secara efektif Geneviève berhasil
mencegah penyerahan diri pada satu titik dalam sejarah paris saat
hal tersebut hampir bisa dipastikan akan menghancurkan kota.
34
Salah satu penggambaran Geneviève yang paling terkenal yaitu
Sainte Geneviève gardant ses moutons, sebuah lukisan anonim dari
abad ke-16 yang tergantung di Musée Carnavalet. Di sini, Geneviève
digambarkan dengan wajah yang lembut dan keibuan serta berbadan
sehat. Gambaran ini bertolak belakang dengan catatan historis yang
mendeskripsikannya sebagai gadis muda bertubuh kurus kering
sebab berpuasa. Di latar belakang ada deretan tegakan batu
(rekaan lain dari sang pelukis) dan kota Paris, yang menunggu
untuk diselamatkan. Yang terpenting dalam lukisan tersebut yaitu
Geneviève ditunjukkan sebagai seorang gadis desa, terhubung dengan
masa lalu Keltik yang tidak terlalu jauh dan berada di luar pengaruh
Roma yang pagan serta korup.
Pada kenyataannya, Geneviève dilahirkan dalam keluarga
aristokrat Gallo-Romawi pada 420 M, di Nantere, tepat di luar Paris.8
Legenda populer tentang Geneviève menggambarkannya sebagai
gadis petani yang sering mengalami kerasukan. Pada kenyataannya,
ia dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya dan mapan yang memiliki
koneksi politik tingkat tinggi. Walaupun Paris Gallo-Romawi sedang
terdisintegrasi di hadapannya sendiri, Geneviève cukup cerdik dan
bijaksana untuk tidak kehilangan kepercayaan terhadap kekuasaan
jabatan politik. Kaum wanita pada masa itu dikecualikan dari semua
struktur kekuasaan kecuali agama (Geneviève menjadi biarawati di
bawah pimpinan Uskup Paris pada usia lima belas tahun). Reputasi
Geneviève dalam mistisme melontarkan dirinya pada usia muda,
mengikuti jejak ayahnya, ke dalam peran kunci sebagai penasihat bagi
otoritas penguasa kota.
Pada awalnya, ia tidak dipercaya dan tidak disukai oleh Parisian.
Tidak semua orang terkesan oleh klaim-klaim mistis yang dibuat
oleh gadis kurus dengan sorot mata tajam itu. Mayoritas orang
menanggapinya dengan rasa takut, ngeri, atau kagum. Namun,
kegelisahannya dengan sempurna menangkap suasana hati kolektif
pada masa itu. Kekaisaran Romawi sangat lemah dan sedang
diserang. saat pasukan Attila bergerak maju dan semakin dekat,
Paris menyambut gelombang demi gelombang pengungsi dari timur.
Mereka mencari perlindungan dalam perjalanan ke selatan yang
tenang dan makmur. Mereka menceritakan kisah-kisah pembantaian
35
mengerikan, kota dan desa yang dibumihanguskan, para gadis yang
diperkosa, ribuan pria yang dibantai. Warga Paris gemetar ketakutan
mendengar bahaya yang mengancam. Tuhan sedang murka, kata para
pengungsi kepada Parisian yang sangat ketakutan. Ini akhir sejarah
dan akhir dunia.
Geneviève mendengar semua ini dan menyaksikan para pengungsi
yang kelaparan dan sudah mengalami kejadian brutal sedang berdoa
kepada Tuhan. Ia berpuasa (hanya memakan jelai dan kacang dua kali
seminggu) dan merasa cemas. Roman mukanya bercahaya gara-gara
anoreksia. saat sepertinya Attila akan memasuki Paris, Geneviève—
masih sebagai seorang gadis perawan muda—melangkah dengan
tenang di jalan-jalan Île de la Cité, daerah berawa di sekitar sungai,
dan ke istana-istana yang kosong (Aétius, prefect Romawi, sudah sejak
lama melarikan diri ke Spanyol dengan alasan mencari pertolongan),
sambil berkata bahwa Tuhan telah berfirman bahwa Paris akan
dilindungi.
Sebagian besar Parisian, terutama para wanitanya, menganggap
Geneviève sebagai hipokrit dan penipu, atau wanita gila. Namun,
secara tiba-tiba dan ajaib, Atilla mengalihkan perhatiannya ke daerah-
daerah selatan yang lebih kaya dan prestisius dan dapat dengan mudah
dimenangkan (orang-orang yang sinis pada masa itu beranggapan
bahwa perubahan ini terjadi sebab Atilla telah diberi tahu bahwa
para wanita Paris tidak layak untuk diperkosa). Namun, ada juga
keajaiban yang lebih mencengangkan dilaporkan dari tempat-tempat
lain (seorang uskup di Orléans melempar tusukan pemanggang daging
yang masih membara kepada para penyerbu yang, sebab terkejut dan
panik menghadapi balasan militer ‘supranatural’ semacam itu, segera
menarik diri). Namun, tidak satu pun yang sama kuat atau sama
menyentuhnya dengan kisah tentang seorang gadis muda—sepertinya
tidak lagi dianggap sebagai seorang maniak religius yang egois—yang
menyelamatkan sebuah kota.
Di gereja-gereja terkemuka Paris, Geneviève (berdampingan
dengan Santo Denis) dielu-elukan sebagai penyelamat oleh para
pendeta yang gelisah. Mereka juga ingin mempertahankan posisi dan
keselamatannya di tempat yang, seperti para tetangganya di utara dan
timur, dengan mudah dapat diporak-porandakan dan dihancurkan.
36
Salah satu bangunan yang masih tersisa dari periode tersebut yaitu
gereja Saint-Julien-le-Pauvre, sekarang berada di jantung industri
wisata Tepi Kiri, tetapi pada masa Gregory dari Tours menjadi tempat
berlindung para pelancong dan Parisian yang mengkhawatirkan
keselamatan hidupnya selama serbuan-serbuan yang digencarkan
terhadap kota. Keberadaannya hingga saat ini merupakan bukti, bisik
warga Paris Kristen di kalangan mereka sendiri, tentang daya tahan
kota.
Namun, periode ini juga merupakan masa firasat dan pertanda
yang maknanya tidak pernah bisa dipahami dengan jelas. Gregory dari
Tours sendiri, kepala ahli propaganda pertama Gereja Paris, berbicara
dengan rasa takut tentang penemuan dua patung emas berbentuk
ular dan singa di sebuah saluran air Romawi yang tidak lagi terpakai.
Suatu kebakaran hebat di bagian selatan kota yang terjadi tak lama
kemudian tidak mengejutkan siapa pun. Pesan yang lebih besar sudah
jelas: masa lalu yang belum lama berlalu dan misteri-misteri pagannya
masih harus ditakuti. Peran religius Geneviève yang terpenting
yaitu membuat transisi dari dunia pagan menuju kebudayaan
Kristen menjadi perjalanan tanpa jalan kembali. sebab alasan ini
saja, generasi-generasi penerus biasanya mendeskripsikannya sebagai
‘perawat dan nyonya besar Paris’.
Visi Ibukota
Namun demikian, pencapaian Geneviève yang paling luar biasa
sepenuhnya bersifat politis. Ia hidup hingga usia yang sangat tua
pada masa itu (Geneviève meninggal dunia pada usia 80 tahun).
saat Clovis tiba, ia berusia 46 tahun dan sudah menjadi pialang
kekuasaan yang berpengalaman dan lihai, sudah terbiasa menghadapi
tingkah orang Frank yang kejam dan para kriminal ambisius lainnya.
Ia tidak hanya bertanggung jawab atas dibaptisnya Clovis, tetapi
juga membujuknya untuk menjadikan Paris sebagai ibukota wilayah
kekuasaannya. Orang Frank yang tidak tahu sopan santun dan haus
darah ini bahkan dibujuknya untuk mendirikan tempat belajar bagi
para siswa miskin di tempat yang sekarang bernama Montagne Sainte-
37
Geneviève dan pada akhirnya menjadi bagian dari Universitas Paris.
Kisah Denis dan Geneviève yaitu mitos pendiri ‘kebudayaan
besar’ di mana kota Paris-nya orang Kristen akan segera menjadi
ibukotanya.9 Namun yang paling krusial, seperti pendiri Paris
secara politik yaitu Clovis, kedua santo mengombinasikan bakat visi
kekerasan dengan propaganda teokratis pada momen krisis politik
yang tepat. Peran mereka sebenarnya yaitu menandai pendirian
sebuah mitos kota yang melampaui konstruksi religius, sosial, serta
politik kota Gallo-Romawi.
***
Orang Frank memerintah Prancis selama hampir dua abad. Meskipun
lewat jalan kekerasan, mereka berhasil menyatukan wilayah. Namun,
satu-satunya peninggalan mereka yang diakui yaitu membuat sistem
kelas sosial yang hierarkis serta kaku. Dalam sistem ini, kelas-kelas
sosial bawah diduduki oleh dunia Galia pedalaman yang tersisa
(petani, pekerja, seniman), sementara aristokrasi yang berkuasa
terdiri atas para kesatria yang ceroboh dan bodoh. Catatan ini tentu
saja sangat menarik bagi para sejarawan Prancis antimonarki.
Realitas sejarah, sebenarnya, jauh lebih kompleks: sejak masa
Clovis dan seterusnya, orang Galia, orang Gallo-Romawi dan
orang Frank dengan cepat bercampur baur dan bahkan melakukan
pernikahan antarras sehingga pembedaan secara ras maupun etnis
mustahil dilakukan. Namun, ada satu fakta yang tak bisa dimungkiri,
yaitu bahwa jabatan kerajaan lebih sering diduduki oleh orang-orang
bodoh yang merusak. Sifat-sifat orang Frank, atau lebih tepatnya
kekurangan mereka, diabadikan dalam sebuah pepatah Yunani, yang
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa sehari-hari oleh Éginhard,
seorang cendekiawan asal Frank abad ke-8 di biara Fulda dan penulis
kehidupan Latin Charlemagne, sebagai: “Anda dapat menganggap
seorang Frank sebagai teman, tetapi jangan pernah sebagai seorang
tetangga.”10 Pada 574 M, Frank Sigebiert, dalam demonstrasi sempurna
atas kebenaran pepatah ini, menghancurkan apa yang tersisa dari
kota tua yang masih utuh—vila, pemandian, tempat hiburan—dan
membakar beberapa bagian Paris sekaligus dalam perang melawan
38
saudaranya, Chilpéric.
Namun, masa kekuasaan raja-raja Frank tidak sepenuhnya bencana.
Walaupun terjadi pertumpahan darah antara para pangeran dan
pewaris takhta, stabilitas relatif dapat dipertahankan selama sebagian
besar periode tersebut, terutama sebab perbatasan Jerman lebih
tenang daripada selama berabad-abad sebelumnya. Barang-barang,
orang dan harta benda bergerak bebas di sekitar regnum francorum;
pasar dan pasar malam berkembang; di dekat Paris, pasar malam
Saint-Denis menarik para pedagang dan peziarah dari seluruh penjuru
Eropa dan Levant (wilayah Mediterania Timur). Namun, meski
selama periode ini kota-kota Galia kembali hidup dan perekonomian
terus-menerus tumbuh, perkembangan politik dan budaya berjalan
lambat dan biasa-biasa saja. Situasi ini dicerminkan oleh Paris sendiri
yang, walaupun sekarang merupakan ibukota militer dan politik yang
penting, hanya berukuran sedikit lebih besar saat orang Frank pergi
daripada saat mereka pertama datang.
Namun demikian, ada pula kekuatan-kekuatan historis lebih
besar yang sedang bekerja. Selama penaklukan Romawi terhadap
Galia, sungai telah menjadi perbatasan antara kebudayaan Latin
dengan wilayah utara barbar yang tidak dikenal dan menakutkan.
sesudah Clovis, wilayah utara dikaitkan secara erat dengan takdir
Prancis secara keseluruhan—sebuah inkarnasi dari takdir budaya,
politik, dan historisnya.
Bangsa Frank yang lahir bersama Clovis dan yang memiliki Paris
sebagai ibukotanya, menurut pendapat Michel Foucault, bukan hanya
sebuah instrumen administratif melainkan sebuah proyek visioner—
sebuah halusinasi kedaulatan tertinggi.11 Bentuk paling konkret
dari hak ini yaitu dijadikannya bangsa sebagai mesin perang aktif,
yang didedikasikan untuk menaklukkan rakyat Galia saat mereka
muncul dari kekacauan akibat runtuhnya Kekaisaran Romawi.
Foucault menyimpulkan bahwa negara Prancis sesudah itu, bahkan
dalam bentuknya yang paling hebat di masa Napoleon, tidak lebih dari
sekadar sublimasi hubungan tuan-budak ini.
Sungguh kebetulan yang puitis—dan kebetulan yang sangat
menunjukkan sifat alami ganda kekuasaan, baik spiritual maupun
politik, yang nantinya diupayakan di Paris—bahwa Montagne Sainte-
39
Geneviève, bukit kecil di Tepi Kiri yang didedikasikan kepada gadis
perawan pengidap anoreksia yang persuasif tadi, berakhir di rue Clovis.
Parisian masih memanjatkan doa untuk meminta pertolongan dari
santa tersebut di gereja Saint-Étienne-du-Mont, tempat jenazahnya
dimakamkan. Di seberang jalan, para calon pialang kekuasaan di kota
dididik di lingkungan keras Lycée Henri IV, yang dahulunya merupakan
bagian dari sebuah biara yang didedikasikan bagi Geneviève yang juga
menjadi tempat Clovis dan istrinya dimakamkan.
40
Paris selama periode Merovingian (sekitar 490 – 640 M)
41
4
Orang-orang Kafir
Kerajaan orang Frank selalu menjadi entitas yang rapuh.
Pada abad ke-8, kerajaan ini berubah menjadi tatanan yang ditetapkan
secara longgar, menjadi wilayah yang dikenal sebagai ‘Neustria’, yang
tidak lama kemudian diubah namanya menjadi ‘Francia Barat’. Tetapi
wilayah ini hanyalah sebagian kecil dari wilayah Prancis kontemporer.
Di sebelah selatan, wilayah ini dibatasi oleh sungai Loire. Dan
di sana ada orang Romani, sebagaimana Parisian Frank dan
Gallo-Romawi menyebutnya sekarang, dengan bahasa dan budaya
yang sangat berbeda. Di sebelah timur, ada sungai Rhine dan
sebuah perbatasan dengan pasukan serta suku yang memiliki budaya
kekerasan serupa dengan bangsa Frank. Ketidakstabilan politik dan
ekonomi membuat wilayah ini dan wilayah pedalamannya menjadi
daerah yang ditakuti. Di sebelah barat, pasukan penginvasi dari
Cornwall telah menaklukkan Armorica (yang sekarang kurang-lebih
sama dengan Brittany), membawa bahasa dan organisasi sosial baru
yang sangat khas Keltik yang berpusat di sekeliling klan dan kepala
suku.1
Semua perbatasan ini harus diawasi secara terus-menerus dan
saksama. Sebagai konsekuensinya, abad ke-8 dan ke-9 yaitu masa-
masa sulit bagi Paris dan Parisian. Selama periode ini, pergolakan dan
migrasi besar-besaran terjadi di seluruh penjuru Eropa. Perbatasan
antara dunia kuno dengan abad pertengahan sering kali dipastikan
pada 331 M, saat Konstantinopel ditetapkan sebagai ibukota
Kekaisaran Romawi Suci. Melalui gerakan ini, Kaisar Constantine
(Konstantinus I—peny.) bertekad menyatukan agama Kristen
dan kekaisaran. Namun hasilnya berpengaruh luas dan tak dapat
diprediksi saat, selama empat abad selanjutnya, komunitas-komunitas
42
kompleks serta plural yang ditoleransi di bawah otoritas kekaisaran
secara perlahan dihancurkan dan digeser oleh kebangkitan Kristiani.
Terhadap latar belakang ini, orang Frank meng-Kristen-kan kota
Paris-nya Gallo-Romawi dalam tahapan yang terus-menerus dan
mantap. Dampak terhadap kota cukup dramatis, saat ada gereja—
Saint-Germain l’Auxerrois, Sainte-Colombe dan Saint-Paul—yang
dibangun di Tepi Kanan di antara tempat yang sekarang menjadi
Louvre dan Bastille. Perkembangan ini tidaklah secanggih maupun
serumit perkembangan yang terjadi di sisa-sisa kota Lutetia Gallo-
Romawi di Tepi Kiri, namun tetap saja menandai perluasan kota ke
daerah-daerah pinggiran Charonne, Montmartre, dan La-Chapelle-
Saint-Denis. Umumnya, perkembangan bergeser ke arah timur; ujung
barat Paris pada masa itu masih merupakan daerah berawa. Sebuah
permukiman baru dibangun di Saint-Marcel di jalan menuju Lyons
dan Italia. Selama periode ini, Île de la Cité masih dikelilingi oleh
benteng dan hanya bisa dimasuki melalui dua pintu sangat besar di
perbatasan utara dan selatan. Di pulau itu sendiri, kehidupan masih
berlangsung dengan keras dan jalan-jalan berlumpur dipenuhi oleh
para pendeta, pelajar, bangsawan, petani, pekerja pelabuhan, pelacur
dan pedagang keliling.2
Salah satu tempat terbaik di Paris modern untuk merasakan
kembali kesan kota selama masa tersebut yaitu gereja Saint-Julien-
le Pauvre di jalan dengan nama yang sama. Struktur yang ada saat ini
berasal dari abad ke-12, tetapi ada sisa-sisa kapel asli untuk para
peziarah yang, sejak abad ke-6 dan seterusnya, berada di jejak-jejak
jalan utama Romawi dan kemudian jalan raya Frank yang membelah
kota. Tepat di seberang di utara, para raja Frank memuji Kristus di
katedral Saint-Étienne (sisa-sisa dari gereja ini dapat ditemukan di
ujung timur alun-alun Notre-Dame) sekaligus meremehkan Roma
sebagai kekuatan yang lemah serta sekarat.
Catatan para saksi mata seperti orang Romawi bernama Boethius
atau Gregory dari Tours, yang selalu bersikap skeptis terhadap orang
Frank, penuh malapetaka. Namun demikian, hampir semua orang bisa
memperkirakan dan membenarkan runtuhnya tatanan Romawi lama.
Walaupun agama Kristen diasosiasikan dengan perpolitikan tingkat
tinggi, menurut propagandanya sendiri, agama Kristen yaitu agama
43
orang yang tidak berdaya dan lemah. Selain itu, di tempat seperti
Paris, di mana orang-orang Frank dan Gallo-Romawi bekerja, berdoa
dan tidur bersama, mitos yang berkelanjutan mengenai pemisahan
antara dunia ‘beradab’ orang Romawi dengan ‘kaum barbar’ yang
dituding biadab jelas-jelas bersifat artifisial dan berlebihan.
sesudah kekuasaan orang Frank selama dua abad di Paris, pada
kenyataannya tidak ada lagi perbedaan mencolok antara orang
Gallo-Romawi dengan orang Frank. Pada masa Clovis, cukup
mudah untuk membedakan antara orang Frank dengan orang Gallo-
Romawi berdasarkan kelas sosial, nama, pakaian dan kemungkinan
bahasanya. Pada abad ke-8, perkawinan antarras sudah menjadi
kelaziman; itu juga berarti bahwa makam Frank dan orang Latin
terletak berdampingan. Jenazah dari kedua ras terbaring di bawah lalu
lintas modern persimpangan Gobelins, tempat nekropolis mahaluas
menelan penduduk kota yang sudah mati. Ini yaitu tempat keajaiban
dan visi; monster dan naga secara berkala terlihat di sini pada abad
ke-5, dan Parisian nantinya berdoa di sini kepada Santo Marcel, Uskup
Paris kesembilan, pada masa teror luar biasa.
Faktanya yaitu ada dua proses historis lebih besar yang
sedang bekerja selama berabad-abad. Keduanya tidak bisa dihentikan
oleh kekuatan militer sebesar apa pun atau administrasi seefektif apa
pun. Keduanya mendorong akhir kekaisaran lebih efektif daripada
konflik etnis lokal mana pun. Kekuatan pertama yaitu jarak budaya
dan politik antara belahan timur dan barat kekaisaran yang semakin
melebar selama berabad-abad, memperlemah apa yang tersisa dari
tatanan lama.
Proses kedua, sebagian merupakan hasil dari administrasi yang
tidak koheren ini, yaitu masuknya orang-orang yang disebut
barbar dari Eropa timur dan Asia secara terus-menerus ke dalam
wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah ‘Romawi’, baik sebagai
perampok maupun sebagai imigran. Penjarahan Roma pada 410
M oleh pasukan Goth mengirimkan gelombang kejut ke seantero
kekaisaran. Ini yaitu momen yang, seperti serangan 11 September
di New York pada 2001, menakutkan semua anggota peradaban yang
terbukti sangat rentan.
44
Islam di Pintu Gerbang
Elemen ketiga yang paralel dengan pergeseran historis ini di Eropa awal
abad pertengahan yaitu kebangkitan sebuah keyakinan radikal baru
yang mengejutkan dan sepertinya tidak dapat dihentikan di padang
pasir Timur Tengah, di mana Tuhan dikenal sebagai ‘Allah’ dan agama
tersebut yaitu ‘Islam’. Bagi orang luar yang pertama menjumpainya,
yaitu para pedagang Kristen dan Yahudi dari daerah tersebut, Islam
lebih menyerupai mesin perang efisien yang kejam daripada sebuah
agama.
Nabi Muhammad wafat pada 632 M. Sejak saat itu, pasukan-pasukan
Arab bergerak melintasi Arabia dan Afrika Utara, menaklukkan
semua yang menghalanginya atas nama agama yang telah ia bantu
kelahirannya dalam visi-visinya. Pada musim gugur 732 M, pasukan
Arab yang sama ini telah menaklukkan wilayah semenanjung Iberia
yang cukup luas. Tidak lama kemudian mereka sudah tiba jauh di
dalam wilayah Frank, mengancam kota Poitiers dan mengarah ke
Paris. Satu-satunya musuh mereka yaitu angin Oktober yang sangat
dingin dan pasukan prajurit Frank berambut panjang.
Ini bukan sekadar serbuan lintas batas untuk mencari harta jarahan
di ‘Dar-al Harb’, ‘Rumah Perang’ (istilah yang digunakan dalam
bahasa Arab untuk mendeskripsikan tanah-tanah non-Arab), tempat
pencurian dan penjarahan biasanya merupakan tujuan pertempuran
yang paling sah walaupun terbatas. Ini yaitu bagian dari perang yang
lebih luas yang mengklaim teritori atas nama Allah. Oleh sebab itu,
gerak maju pasukan Arab ke Poitiers yaitu serangan sengaja terhadap
integritas kerajaan Frank. Tujuan utamanya yaitu untuk menjarah
Tours dan Paris, pusat paling suci daerah ini selain pusat perdagangan
yang paling makmur.3
Pada 732, Charles, maire du palais di Paris, memimpin orang
Frank ke lokasi yang sekarang dikenal sebagai Moussais-la-Bataille,
tempat ia menghadapi pasukan Arab. Ia mengorganisasi prajuritnya
menjadi formasi kotak infanteri besar yang, dalam kata-kata kronik
kontemporer, menyerupai ‘dinding tak tergoyahkan’ dan ‘glasier’.4
Keahlian berpedang, kavaleri berat dan keteguhan hati pasukan Frank
mengalahkan pasukan Muslim, yang meninggalkan tenda-tenda
mereka sesudah pertempuran sengit selama sehari semalam di mana
45
dalam pertempuran tersebut pemimpin mereka, Abd-ar Rahman,
terbunuh. Kronik Arab tidak menceritakan hasil pertempuran ini.
Namun istilah ‘Frank’ sekarang memasuki legenda Arab sekitar dua
abad sebelum Perang Salib. Kata ini tetap bertahan dalam bahasa Arab
Standar Modern di mana ‘Eropa’ paling umum diterjemahkan sebagai
‘Bilad al Firanj’—‘wilayah orang Frank’. Charles sendiri kembali ke
Paris dengan julukan ‘Martel’, si palu.
Pertempuran Poitiers memiliki signifikansi historis yang sangat
besar. Tentu saja masih diperlukan waktu tujuh ratus tahun kemudian
sebelum orang Arab pada akhirnya benar-benar diusir dari Eropa
dengan ‘penaklukan kembali’ semenanjung Iberia oleh orang Kristen
pada 1492 M. Namun, kemenangan di Tours–Poitiers bukan hanya
pertahanan terhadap jalan ke Paris yang berhasil tetapi juga titik balik
yang menentukan dalam sejarah peradaban Barat.
Di Paris abad ke-21, tempat politik dan agama masih enggan
duduk bersama-sama, dan tempat Islam radikal yaitu kekuatan
budaya dominan di daerah-daerah pinggiran di sekitarnya, ada
banyak orang yang akan berpendapat bahwa konflik ini belum
usai. Salah satunya yaitu Tariq Ramadan, orang yang mengangkat
dirinya sendiri sebagai pemimpin pemuda Muslim di Prancis dan
menjadi tokoh kontroversial di kedua sisi Atlantik sebab dituduh
memiliki kaitan dengan terorisme Islam. Ramadan sendiri bukanlah
ahli ideologi kasar tetapi seorang pemikir urban dan canggih; inilah
sebabnya di mata pihak berwenang Prancis ia merupakan tokoh
berbahaya. Ia bahkan dilarang masuk ke Amerika Serikat pada 2004
sebab reputasinya yang berapi-api.
Namun pandangan Ramadan cukup sederhana: tidak akan ada
perdamaian di Barat hingga pesan Islam menjadi bagian integral dari
kebudayaan ‘Eropa’. “Ini bukanlah masalah benturan peradaban,”
katanya kepada saya di toko buku Islam di Saint-Denis yang
menjadi markasnya, “tetapi Muslim yang berdiri tegak menghadapi
ketidakpercayaan dan prasangka.” Tentu saja, ada ironi yang jelas
dalam fakta bahwa Ramadan menyampaikan pesan ini dari sebuah
kantor yang hanya berjarak beberapa jalan dari Basilique Saint-Denis
tempat para raja Kristen Prancis pertama dimakamkan selama lebih
dari seribu tahun.5
46
Pengepungan dan Pembantaian
Charles ‘Martel’ tidak hanya menyelamatkan Paris dari invasi Arab,
tetapi juga membuat namanya menjadi nama sebuah generasi baru
yaitu dinasti Carolingia (Charles dalam bahasa Latin yaitu Carolus—
peny.). Ia memang tidak diangkat menjadi raja, tapi kehormatannya,
yang diperoleh lewat pertempuran-pertempuran tersulit, memberi
jalan bagi putranya sendiri, Pépin, untuk menduduki takhta pada 754
M. Dinasti ini, atau ‘ras kedua’, menguasai Paris dan Prancis hingga 987
M. Perlakuan orang Carolingia tidak sepagan dan sebrutal ‘ras pertama’
orang Frank kepada rakyatnya. Namun seperti juga pendahulunya,
mereka tidak memiliki nilai-nilai kewajiban kewarganegaraan dan
dedikasi terhadap administrasi seperti orang Romawi. Paris menjadi
basis kekuasaan sebab alasan militer dan bukan alasan budaya.
Kekuatan militer Carolingia yang sangat hebat sebagian disebabkan
oleh cara mereka yang sering menggunakan kavaleri berat di medan
pertempuran. Ini taktik yang tidak dikenal oleh orang Romawi. Efek
penghancurnya dalam pertempuran jarak dekat membuat pasukan
kavaleri Carolingia pada abad ke-8 ekuivalen dengan kendaraan lapis
baja dan kapal meriam. Kuda-kuda ini paling baik dipelihara di daerah
pertanian oat di utara, dengan Paris yaitu basis yang paling mudah
dipertahankan dan paling setia.6
Banyaknya ancaman kepada kerajaan Frank dan Paris sendiri tidak
terlalu besar dan hanya bersifat sementara saat Paris jatuh ke bawah
kontrol Charlemagne pada 771 M. Dalam mitologi, ia sering dianggap
sebagai salah satu pahlawan terhebat kota ini. Namun, seperti sebagian
besar legenda yang melingkupi raja-raja, patung Charlemagne yang
berwarna hijau-keabu-abuan yang saat ini berdiri di luar Notre-Dame
sepenuhnya menyesatkan. Patung ini diletakkan di sana pada 1880
M di lokasi Hôtel-Dieu yang lama dan menampilkan raja yang mulia
dan penakluk segala di pusat kekaisaraannya, menyatukan semua
kerajaan Kristen. Charlemagne, kaisar dunia Barat, raja Carolingia
terhebat, pada kenyataannya bertubuh pendek gemuk dan botak.
Ia hanya datang dua kali ke Paris dan itu pun hanya dalam rangka
perayaan. Ibukota yang sebenarnya ditetapkan pada 800 M di Aix-
la-Chapelle (Aachen). Di bawah kontrolnya, Paris mulai menjauh
47
dari pusat kehidupan politik, walaupun pengaruhnya sebagai pusat
perniagaan dan perdagangan semakin besar. Charlemagne dan orang
Carolingia penerusnya mendorong proses ini untuk berlanjut. Jules
Michelet mendeskripsikan bahwa orang barbar yang datang untuk
menghancurkan Paris ‘gemetar’ saat melihat kebudayaan hebat yang
diwakilinya bahkan selama periode tergelapnya.7 Hal ini tidak benar:
Paris hampir selalu berada di bawah ancaman pengepungan selama
abad ke-9 dari para penyerbu baru dari utara dan selatan. sesudah
kembali menyusut menjadi seukuran pulau asal-usulnya, kadang kala
Paris tidak lebih luas atau lebih hebat daripada saat menjadi ibukota
suku Parisii pra-Romawi.
Serangan pertama dari utara datang sekitar 808 M, sesudah periode
kedamaian dan stabilitas relatif yang ditentukan oleh kekuasaan
Charlemagne yang kuat. Ia wafat pada 814 M, tetapi untuk sementara
waktu setidaknya Paris dan wilayah-wilayah lain yang membentuk
kekaisaran barat, yang membentang dari Samudra Atlantik ke sungai
Danube, menikmati pertumbuhan ekonomi dan kesatuan politik
tertentu. Namun di daerah perbatasan di semua garis depan, pasukan-
pasukan penginvasi Magyar (Hongaria), Avar (dari Eropa Timur),
Saracen (Arab Muslim), dan Norseman (Viking) bersiap untuk
membuka celah apa pun di garis pemisah.
Bangsa Norseman, yang telah membuat serangan di seantero
wilayah di utara Paris selama hampir 200 tahun, mengeksploitasi
rasa kekacauan yang terus berkembang di wilayah ini. Pada 820 M,
mereka mulai melakukan invasi pertamanya di tanah-tanah sekitar
sungai Seine. Invasi ini mayoritas tidak menghadapi tantangan dan
mendorong para penyerbu untuk melakukan serbuan ke hulu sungai.
Pada Minggu Paskah 845 M, dengan dipimpin oleh perampok
Ragenaire, sebuah pasukan yang berpotensi mematikan berkekuatan
125 kapal naga hitam, dari Inggris dan Rouen, tiba di jantung Paris.
Parisian sangat ketakutan tetapi sia-sia saja mencari bantuan
politik dan militer dari para sekutu niaganya di kota-kota tetangga.
Bahkan, tidak ada upaya simbolis untuk mempertahankan kota dan
banyak orang orang langsung pergi secepatnya. Orang yang paling
pertama pergi yaitu para biarawan dan pendeta, membawa serta
harta karun dan relik, yang mencari perlindungan di biara-biara di
48
sekitar Paris sebelum melanjutkan perjalanan ke selatan mencari
keselamatan. Sebuah kesepakatan tidak pantas yang diperantarai
oleh Charles si Botak—salah satu keluarga ‘Robertine’ yang dianggap
sebagai keluarga bangsawan—dibuat dengan para penyerang. Ia
menyuap para penyerang yang kemudian melanjutkan perjalanannya
ke Burgundy dengan dampak menghancurkan. Orang Burgundy tidak
pernah melupakan tindakan pengkhianatan yang dilakukan Paris ini
dan membalasnya dengan cara berkolaborasi dengan orang Inggris
selama pendudukan kota dalam Perang Seratus Tahun. Parisian
sendiri berterima kasih kepada semua santo yang bisa mereka ingat.
Menurut pendapat para pemimpin mereka, penyuapan ini bukanlah
tindakan memalukan, sebab suku Norseman telah dibeli seharga 700
livre—jumlah yang sangat besar pada masa itu—berupa perak dan
janji hasil rampasan yang kaya dari Burgundy.8
Penangguhan ini tidak berlangsung lama. Pada Desember 856
M, bangsa Norseman kembali dan mereka tidak berniat disuap atau
dibujuk untuk mengabaikan Paris. Kota ini masih tidak memiliki
sistem pertahanan yang memadai dan Louis, Kepala Biara Saint-
Denis, serta saudaranya Goslin dengan mudah ditangkap dan
dijadikan tawanan dengan jaminan yang luar biasa besar. Sementara
itu, para penyerang dengan gembira membuka jalan dengan tusukan,
tombakan, dan tebasan saat melintasi pulau-pulau. “Para perompak
Denmark menyerang kota Lutetia-nya Parisian,” tulis Santo Bertin
dalam Annales, “dan mereka menghancurkan dengan pedang semua
yang tidak bisa dihancurkan dengan api.”9 Mereka datang kembali
pada Januari 861 M dan membakar serta meratakan gereja Saint-
Vincent dan gereja Saint-Germain-des-Prés yang baru dibangun juga
daerah-daerah di sekitarnya, menghancurkan Jembatan Besar di ujung
utara Île de la Cité. Mereka kemudian terus bergerak ke pedalaman,
ke Marne, Meraux, dan Melun, berhenti sebentar untuk kembali
menghancurkan Paris dalam perjalanan pulang mereka ke pesisir.
Charles si Botak menyelamatkan diri di Senlis selama serangan-
serangan ini. Namun, ia bertekad untuk tidak membiarkan Paris
dijarah yang ketiga kalinya. Dengan bantuan dan saran dari Goslin,
ia melakukan serangkaian proyek pembangunan untuk memperkuat
pertahanan kota dan mencegah bangsa Norseman agar tidak pernah
49
bisa kembali memasuki kota. Hal yang terpenting yaitu ia membangun
kembali dan memperkuat Jembatan Besar yang dihancurkan dengan
begitu mudah oleh para penyerang dalam setiap serangan sebelumnya.
Pada 870 M, dengan menara-menara penjaga di tepiannya dan
dinding-dinding tinggi untuk para pemanah, jembatan ini menjaga
sungai dan kota. Selama dua puluh lima tahun, Paris menikmati
perdamaian. Sistem pertahanan memastikan stabilitas dan keyakinan
yang semakin tumbuh. Di dalam batas kota, dibangun gereja-gereja
baru yang penuh berisikan relik dan harta karun. Perekonomian
akhirnya mulai kembali berkembang dan populasi tumbuh, terutama
dengan datangnya para imigran yang tertarik oleh janji lingkungan
ekonomi dan sosial yang stabil.
Para penyerang kembali pada 885 M. Mereka berlayar ke hulu
sungai Seine menggunakan kapal-kapal naga hitam dan, sebagaimana
yang telah sering kali mereka lakukan sebelumnya, menuntut
dihancurkannya Jembatan Besar dan membebaskan mereka agar
berlayar ke wilayah-wilayah yang ada di seberang Seine. Mereka
berjanji untuk tidak akan membahayakan kota maupun penduduknya.
Sekali lagi, Parisian sangat ketakutan tetapi kali ini Goslin dan Count
Paris, Odo (anggota keluarga Robertine lainnya), bergeming dan
menolak untuk membiarkan suku Norseman memasuki kota. Para
pria Parisian segera berkumpul dan bersiap di dinding kota dengan
menunjukkan persenjataannya. Mereka mengarahkan senjata ke
orang-orang asing itu dari menara-menara yang ada di sekeliling kota.
Paris dikepung oleh 30.000 orang Norseman di bawah komando
Siegfried, seorang perompak yang terkenal kejam dan haus darah.
Ia menyatakan pengepungan terhadap Paris. Hal ini terjadi pada
November, saat butiran es keras pertama mulai menggigit dan
Siegfried mengharapkan kemenangan mudah. Ia memulai serangannya
dengan serbuan terhadap menara kayu yang menghadap ke jembatan
dan yang, sebab masih dalam proses pembangunan, jelas sekali
merupakan titik terlemah pertahanan kota. Pasukan Norseman sangat
terkejut saat mendapati bahwa lawan mereka merupakan pejuang
yang tangguh, berkomitmen, dan tegar. Para penyerang bahkan lebih
tertegun saat mereka terdorong mundur ke garis pertahanannya
sendiri. Delapan serangan lain terhadap kota terjadi selama 12
50
bulan selanjutnya dengan semakin rapatnya pengepungan. Goslin
tewas dalam salah satu serangan tersebut. Namun, Parisian masih
memberikan perlawanan keras, mereka mempertahankan menara di
atas sungai Seine sepanjang musim dingin. Banjir yang terjadi para
Februari 886 M menghanyutkan salah satu jembatan kecil dan semakin
memperlemah kota. Penduduk Paris pada akhirnya dikalahkan oleh
para penyerang pada musim semi 886 M. Para penyerang menggorok
leher semua orang yang mereka temukan di dalam kota.
Sepertinya, penyelamatan akhirnya datang saat Charles si
Gemuk tiba di Paris pada bulan November dengan membawa pasukan
yang berkemah di kaki bukit Montmartre. Seperti pendahulunya,
Charles si Botak, Charles ini bukan hanya tidak memiliki karisma fisik
tetapi juga seorang pengecut. Ia menolak menggerakkan pasukannya
mendekati kota dan membuat perjanjian memalukan dengan bangsa
Norseman yang melibatkan pembayaran 1.400 keping perak kepada
Siegfried dan anak buahnya pada Maret 887 M. Ini yaitu jumlah
yang luar biasa besar dan merupakan manuver yang sangat tidak
populer di mata Parisian yang telah bertempur begitu sengit tidak
hanya untuk mempertahankan kota tetapi juga kehormatan mereka.
Tidak mengherankan jika sesudah pengepungan ini, Charles yang
didiskreditkan dan berkhianat menemukan dirinya dicopot dari
kedudukannya dan digantikan oleh saudaranya Odo, salah satu
pembela kota yang heroik. Norseman kembali datang pada 890 M dan
925 M, tetapi kali ini mereka sudah senang menghancurkan distrik-
distrik di sekitarnya serta kota Beauvais dan Amiens. Terjadi sejumlah
pertempuran kecil dan bahkan pertempuran besar di sekitar kota
hingga 978 M, tetapi tidak ada pasukan asing yang akan memasuki
kota hingga beberapa ratus tahun kemudian.10
Membangun Kembali Kota
Walaupun hampir selalu berada dalam kondisi dikepung pada abad
ke-9, Paris pada abad ke-10 menghadapi masa depan dengan penuh
kelegaan dan keyakinan diri. Pembaruan kembali Paris memang dapat
dilacak hingga pasca-pengepungan tahun 885 M saat Odo, Count
51
Paris, memimpin perlawanan dan, saat menghadapi musuh yang
sangat menakutkan, memberikan rasa kekuatan dan nilai penting
sebenarnya kepada kota ini.
Faktor-faktor tersebut sangat penting dalam tahun-tahun akhir
milenium saat Hugues Capet (diberi nama sesuai cappa yang
dikenakannya sebagai tanda kepercayaan religius) mengawasi
penyatuan Neustria, yang diubah namanya menjadi Francia Barat,
dengan kota Paris. Penobatan Hugues pada 987 M memang menandai
momen yang menentukan dalam sejarah Paris. Pada saat itulah Prancis
dan Paris disatukan. Tidak seperti kota para raja Frank, Paris sekarang
tidak hanya menjadi ibukota secara nama tetapi juga secara fungsi.
Dalam aspek inilah dinasti Capetian, yang akan memerintah Prancis
hingga 1328 M mengubah negara ini untuk selamanya. Walaupun
keluarga ini menghasilkan garis keturunan para raja yang biasa saja
dan sering kali jujur, mereka kelak memimpin istana yang berisikan
para politisi yang terampil, para prajurit yang berani dan terlatih,
para administrator yang cerdas, dan sekumpulan cendekiawan yang
dikenal secara internasional dan para santo memastikan bahwa
reputasi Prancis pada abad ke-14 akan lebih tinggi daripada kerajaan
lainnya di Eropa barat.
Namun pada saat itu, kejadian-kejadian ini bukan hanya tidak
dramatis, tetapi sepertinya tidak relevan dengan tuntutan lebih
mendesak yang muncul dari ancaman militer dari timur dan selatan.
Parisian sendiri lebih tertarik dengan perubahan sosial yang terjadi
di sekeliling mereka dengan kecepatan yang tidak pernah terjadi
sebelumnya.
Aspek paling terlihat di Paris di bawah para raja Capetian pertama
yaitu naiknya vasal kebangsawanan ke tangga kekuasaan. Dalam
waktu singkat, banyak dari wilayah penting di dalam dan di sekitar
kota tidak lagi berada di tangan kerajaan tetapi dikontrol oleh para
vasal di istana Capetian, yang memberlakukan serangkaian peraturan
dan pajak yang kompleks yang mengatur pencarian ikan, penggunaan
penggilingan dan hak untuk memuat barang-barang di kedua tepi
sungai. Sebaliknya, kehidupan kelas hamba sahaya (serf atau servos
sebagaimana sebutan mereka dalam bahasa Latin hingga sekarang)
hampir tidak tercatat dalam kesusastraan. Namun kehadiran mereka di
52
kota, selain para prajurit, pekerja merdeka, pelacur dan pengembara,
yaitu sumber gangguan dan kecemasan potensial bagi kelas penguasa:
dengan secara harfiah tetap berada di luar kontrol hukum atau militer
raja maka orang-orang luar ini mampu menganyam benang halus
anarki ke dalam kain sosial.11
Paris belum menjadi kota pertama Eropa—sebagaimana akan
diklaim oleh seorang raja beberapa waktu kemudian. Bahkan dalam
sebagian besar sejarahnya hingga saat itu, paling baik Paris hanyalah
kota provinsi tempat perniagaan berkembang dan sebagai basis militer
bagi dua dinasti raja yang tidak memedulikan status kota ini. Paling
buruk, saat Kekaisaran Romawi tercerai-berai dan Paris semakin
menjauh dari pusat kekuasaan dan peradaban, kota ini hampir saja
hancur di tangan para penyerang.
Walaupun demikian, Paris muncul pada tahun-tahun awal menuju
milenium baru sebagai pusat keagamaan dan ekonomi yang sedang
berkembang. Sekitar satu abad sesudah kehancuran yang disebabkan
oleh bangsa Norseman, Paris sekali lagi mulai memperluas perbatasan
yang ditandai oleh desa-desa kuno di utara dan selatan. Di jantungnya,
jembatan-jembatan kembali dibangun dan gereja-gereja didirikan
di kedua sisi sungai. Semakin banyak kebun anggur di Tepi Kiri,
dari tempat yang sekarang menjadi rue Galande hingga rue Saint-
André-des-Arts.12 Para pendeta, yang tentu saja membangkitkan
kembali kisah Geneviève dan Denis, beranggapan bahwa keselamatan
kota yaitu hasil keberanian dan keyakinan penduduknya saat
menghadapi orang-orang kafir di semua garis depan.
“Dengarkanlah nyanyian Parisian!”
Hal ini, sebagian juga menjelaskan mengapa tanda pertama identitas
Parisian secara tradisional yaitu ketakutan terhadap dunia yang ada
di luar tembok kota. Annales karya Santo Bertin pada 891 melaporkan
bahwa daerah-daerah di luar Paris dipenuhi oleh bandit dan menjadi
korban ‘anarki yang menakutkan’. Orang-orang daerah menertawakan
pretensi Parisian (kota ini masih jauh sekali sebelum menjadi kota
terpenting di wilayah yang sebelumnya disebut sebagai Galia) dan
53
sering menuduhkan segala macam kejahatan kepada Parisian, mulai
dari pernikahan sedarah hingga kanibalisme. Namun sejak masa
awal Lutetia, kota ini yaitu ciptaan campuran dari orang Kelt, orang
Romawi dan orang Frank. Kemudian datanglah orang Burgundian,
orang Breton, orang Auvergnat, orang Norman, orang Picard, orang
Belgia, orang Yahudi, orang Alemanni, orang Yunani dan bahkan
orang Inggris, yang menetap di sini sebab alasan cinta, perdagangan
atau agama. Pada awal Abad Pertengahan, adanya gelombang migrasi
massa yang disebabkan dan dipertahankan oleh kelaparan dan
perang, membuat Parisian mendefinisikan dirinya sendiri dengan
cara membandingkan bahasa dan tingkah lakunya dengan bahasa
dan tingkah laku sepupunya dari pedalaman. Identitas Paris yaitu
masalah gaya dan perilaku dan tidak pernah merupakan masalah
wilayah.
Oleh sebab itu, bahasa rahasia Paris masa kini sekarang dibuat
dan disampaikan di luar kota, dalam banlieue tempat orang Arab,
orang Afrika berkulit hitam, orang Eropa Timur dan orang Asia
menempelkan identitas hibrida mereka sendiri kepada bahasa Prancis.
Kata-kata dalam bahasa Polandia, bahasa Arab, bahasa Rumania,
bahasa Turki dan bahasa Serbia-Kroasia sekarang, di mata para rasis
dan penganut purisme, mengontaminasi bahasa resmi dengan cara
yang sama seperti, selama berabad-abad, kata-kata dari bahasa Picardy,
bahasa Flander dan bahasa Konstantinopel, dari bahasa Yahudi, bahasa
Roma, bahasa Suriah dan bahasa Aramaik ‘menginfeksi’ bahasa dan
menjadi bagian dalam persenjataan linguistik sehari-hari Parisian
di tingkat jalanan. Bahasa utama di rue de Belleville saat ini yaitu
bahasa Cina Mandarin dan sebagian besar bar tradisional di bagian
Paris ini sekarang dikelola oleh orang-orang Asia Tenggara. Sebagian
besar pelacur di jalan-jalan Saint-Denis yaitu orang Albania atau
orang Kosovo atau dari Sub-Sahara Afrika.
Namun hingga sekarang, di Paris abad ke-21, masih ada sebuah
suku yang disebut Parisii—nama asli orang Kelt yang mendirikan
Paris. Sepanjang musim dingin dan hampir di sepanjang musim semi,
mereka berkumpul bersama-sama di Stand Boulogne R2 di Parc des
Princes, stadion di ujung barat kota. Mereka datang ke sini untuk
mendukung tim sepak bola Paris Saint-Germain (PSG). Anak-anak
54
berpenampilan Arab, sesama pendukung PSG tetapi dengan agenda
budaya yang sama sekali terpisah, berkumpul bersama-sama di ujung
stadion yang berseberangan, memberi tanda berbeda bagi diri mereka
sendiri dari fils de Clovis (‘para putra Clovis’—slang Afrika Utara
untuk Parisian kulit putih) menggunakan kaos tim Algérie berwarna
hijau-merah atau pakaian Italia yang mencolok. ada pula sebuah
kelompok lebih kecil yang mayoritas berkepala botak dan terlihat lebih
kejam bernama Lutèce Falco 91. Suku Parisii dan rekan-rekannya
dari kelompok ini, mencemooh sentimen pan-Mediterania atau pan-
Eropa. Patriotisme mereka sangat unik dan sangat khas Paris.
Sasaran favorit mereka bukanlah orang Arab melainkan penduduk
Marseilles. “Allons enfants du Grand Paris … Qu’un sang marseillais
abreuve nos sillons (Marilah, anak-anak Paris Raya … Biarkan darah
orang Marseilais mengalir melalui teras-teras kita),” demikian mereka
bernyanyi mengikuti nada lagu Marseillaise. Lagu kebangsaan ini
diikuti oleh ribuan suporter, bahkan saat tim Olympique Marseille
sedang tidak bermain di Paris dan bahkan bisa saja sedang berada
ratusan atau bahkan ribuan kilometer jauhnya.
Lagu-lagu Parisii modern juga membawa gema historis yang jelas.
‘Nous n’irons pas à Saint-Denis, /C’est au Parc que l’histoire s’écrit. /
Nous sommes rouge et bleu pour la vie, /Notre amour s’appelle Paris!
Écoutez chanter les Parisiens! (Kami tidak akan pergi ke Saint-Denis,
/Di Taman-lah sejarah sedang ditulis. /Kami merah dan biru seumur
hidup, /Cinta kami disebut Paris! Dengarkanlah nyanyian Parisian!)’.
Rujukan kepada Saint-Denis yaitu kepada stadion baru di luar Paris,
tempat tim nasional Prancis memenangkan Piala Dunia pada 1998,
dan tempat PSG tidak pernah bermain di sana. Lagu ini, dalam konteks
sepak bola, yaitu pertunjukan dukungan konvensional terhadap klub
di atas negara.
Namun rujukan Parisian kepada Saint-Denis—tempat permakaman
para raja Prancis—tidak pernah tanpa dosa. Hal ini menunjukkan
perlawanan antara sejarah Prancis dan Paris yang dimulai dari momen
saat Clovis menjadikan Paris sebagai pusat semua kekuasaan dan
otoritas di wilayah Prancis. Para raja Capetian memperkuat posisi
ini dan, oleh sebab nya, memperlebar pemisahan budaya dalam
kerajaan. Pada saat yang sama, kota menjadi magnet bagi orang yang
55
tamak, tidak puas dan ambisius: semua orang yang dibutuhkan untuk
menjadi penanda Paris, ibukota yang besar. Tidak pernah ada basis
rasial bagi antagonisme antara Parisian dengan non-Parisian. Bahkan,
salah satu penghinaan yang sering digunakan orang-orang daerah
kepada Parisian yaitu tidak pernah adanya ras yang disebut ras Paris
sebenarnya. Bagi Parisian, ledekan kasar ini hanya menunjukkan
keterkaitan pedalaman terhadap terroir (tanah asal) dan teritori yang
sudah sejak lama bisa mereka hilangkan.
Mereka terutama bangga dengan satu fakta bahwa—apa pun klaim
orang pedalaman, novelis atau sejarawan—tidak pernah ada, sejak
masa awal Lutetia, hal yang disebut Parisian tipikal.
56
57
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
BAGIAN DUA
Kota Kegembiraan
988 – 1460 M
Paris yaitu tempat yang baik untuk hidup
tetapi tempat yang buruk untuk mati.
Inilah tempat di mana para pengemis memanaskan
pantat mereka dengan membuat api dari tulang-
tulang orang mati.
Rabelais, Pantagruel, 1532
Paris yaitu kota kegembiraan tempat orang
naif dicengkeram lehernya dan dibuat pingsan di
panggung, dan tempat para penjahat menguasai
semuanya. Keluarlah dari dinding kota yang tebal
secepat yang engkau bisa! Para pemotong tas dan
penjahat berpisau mengintai di kegelapan. Berhati-
hatilah pada tambang!
François Villon, Ballades en jargon, 1460?
58
Pemandangan Paris pada abad ke-11 dari sebuah ukiran
karya Adolphe Rouargue (1810 – 1870)
59
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
5
Tempat yang Kejam nan Cemerlang
Pada akhir seribu tahun pertama sejarahnya, Paris belumlah
menjadi