Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 2

 


nta untuk dimakamkan di makam Santo Denis, 

tetapi kontribusi nyatanya bagi generasi selanjutnya yaitu  menjadi 

sasaran lagu antimonarki pada Revolusi 1789. Raja yang lebih terkenal 

sebab  telah melakukan urusan kerajaan dengan menggunakan 

celana ketat terbalik ini menjadi contoh nyata bagi para penulis lagu 

Revolusioner tentang kebodohan, kecanggungan dan kekonyolan 

kerajaan. (Dagobert mungkin saja memang bodoh, tetapi ia juga 

pembunuh massal: pada 631 ia memerintahkan pembantaian di 

malam hari terhadap sekitar 9.000 orang Bulgaria, yang kehilangan 

tanahnya dan datang kepadanya untuk meminta perlindungan.)

Denis terbukti menjadi santo yang sangat tidak efektif dalam cara 

lain. Ia sering kali secara keliru dikaitkan dengan Dionysos, dewa 

kemabukan Yunani, atau filsuf dari masa awal Kristen yaitu Denys 

the Areopagite. Kehadiran Santo Denis saat ini menikmati status 

rendahan tetapi bersahaja yaitu sebagai santo yang kekuatan utamanya 

yaitu  menyembuhkan penyakit akibat gigitan anjing dan, kadang 

kala, sakit kepala. Bagi orang Jerman, ia dikaitkan dengan sifilis yang, 

sesudah  pendudukan mereka terhadap kota Paris pada 1870, mereka 

sebut le mal français. Sejumlah ahli teologi menganggapnya secara 

serius. Bahkan, keluhan paling terkenal dan mengejek dari mereka 

yang bekerja dalam ordo-ordo religius yaitu  Paris ‘bukanlah sebuah 

kota Kristen’. Mungkin kota ini tidak pernah benar-benar menjadi 

kota Kristen. Sekarang, tempat di mana Denis melangkahkan kakinya 

untuk kali terakhir ini menjadi jantung industri seks kota. Selain itu, 

jalan yang didedikasikan untuknya, yaitu bentangan rue Saint-Denis 


23


yang menurun di kota menuju sungai, menjadi tempat ditawarkannya 

kenikmatan-kenikmatan pagan dengan harga 40 euro dalam jarak 

yang berdekatan.

Berbicara dalam Berbagai Bahasa

Hampir semua penduduk Lutetia menggunakan dua bahasa dalam 

batas tertentu, bahasa Galia dan bahasa Latin, jauh sebelum kedatangan 

agama Kristen dan Santo Denis. Ada banyak pelaku perniagaan cerdas 

yang sering kali menguasai bahasa-bahasa lain yang penting bagi 

bisnis, seperti bahasa Yunani, dialek Breton Lama (walaupun Breton 

sendiri baru tiba di Prancis pada abad ke-6, sebagai bahasa impor dari 

Britania) atau bahasa-bahasa Germanik. Sebelum kedatangan orang 

Romawi, bangsa Galia menggunakan alfabet Yunani. Lama sesudah  

penaklukan, kontrak-kontrak bisnis sering kali dibuat dalam bahasa 

Yunani, yang menunjukkan bahwa bahasa ini bukan hanya milik elite 

aristokrat. Hal ini juga sebagian mendukung tesis sejarawan nasionalis 

Camille Julian bahwa jika perang-perang Caesar gagal, sebagian 

besar Galia, termasuk Lutetia, kemungkinan akan berakhir seperti 

Marseilles, sebagai bagian yang terintegrasi dari kebudayaan Yunani 

Mediterania.4

Mungkin saja, awalnya orang Romawi memang memaksakan 

bahasa dan agama mereka sendiri, namun suku Parisii yaitu  bangsa 

yang mudah berasimilasi. Pada akhir abad pertama eksistensinya, 

Lutetia yaitu  kota bilingual dan multikultural: perdagangan, agama 

dan perpolitikan dilakukan dalam bahasa Latin; urusan sehari-hari 

seperti seks, makanan dan pertanian, diekspresikan dalam bahasa 

lama. Perbedaan yang sama menjadi ciri kehidupan di tingkat jalanan. 

Lutetia pada dasarnya yaitu  sebuah kota pasar, sebuah tempat yang 

sibuk dan keras. Walaupun suku Parisii sudah mencetak uang sendiri 

sampai pendudukan Romawi, sebagian besar bisnis dan perdagangan 

dilakukan dengan sistem barter. Sekarang, koin-koin yang dicetak di 

Roma yaitu  mata uang umum. Jauh ke dalam era Gallo-Romawi, 

sebagian besar pria masih berpakaian sesuai cara Galia, memelihara 

kumis dan rambut panjang serta mengenakan cucculus—sehelai 

selimut panjang yang disampirkan pada bahu. Para wanita juga tidak 



24

terkesan oleh gaya pakaian Romawi dan biasanya lebih menyukai 

rambut dikepang, bros, jimat, serta pakaian bergaya Keltik.5

Walaupun cara-cara Keltik sangat kuat, bahasa Galia pada akhirnya 

runtuh dari dalam dan nyaris hilang atau dilupakan sepenuhnya pada 

abad ke-4. Sulit untuk menentukan kapan tepatnya bahasa Galia 

menghilang. Pada 363 M, ada dialog dalam bahasa Latin yang mencatat 

tentang seorang Romawi yang memberi perintah kepada seorang Galia 

untuk ‘berbicara dalam bahasa Keltik jika kau lebih menyukainya.’6 

Bahasa ini tetap bertahan di area pedalaman hingga abad ke-5, saat  

Sidonius Apollinaris, seorang sejarawan Galia yang cerdik dan pada 

dasarnya sangat teliti, mencatat bahwa para petani Auvergne baru saja 

membersihkan dirinya sendiri ‘dari sampah kebodohan yaitu bahasa 

Galia.’7 Urusan administratif kekaisaran tentu saja dilakukan dalam 

bahasa Latin. Hal yang sangat dekat dengan orang Kelt yaitu tradisi 

Druid juga tidak bisa membawa pengaruh apa pun sebab  merupakan 

tradisi oral.8

Kekuatan-kekuatan sentrifugal juga berpengaruh terhadap bahasa 

Romawi: walaupun pada abad ke-7 dan ke-8 bahasa Latin tulisan 

masih sesuai dengan kaidah klasik, bahasa Latin oral kota ini—yang 

dipenuhi oleh ungkapan-ungkapan dengan arti baru yang didapatkan 

dari bahasa Galia dan bahasa-bahasa lainnya—pada abad ke-6 tidak 

lagi bisa dikenali sebagai bahasa Romawi. Pada akhir milenium 

pertama, muncul sebuah bahasa baru yang merupakan leluhur jauh 

Bahasa Prancis Standar Modern.

Namun demikian, kata-kata tertua dalam bahasa Prancis dapat 

ditelusuri kembali ke masa saat  bahasa Galia Keltik yaitu  bahasa 

utama kota ini. Contohnya, kata seine, senne atau saine dalam bahasa 

Prancis Kuno berarti ‘jaring penangkap ikan’. Penggunaannya secara 

tertulis untuk kali pertama dapat ditelusuri kembali ke Étienne 

Boileau, yang menggunakan kata ini pada 1269 dalam bukunya 

berjudul Livre des métiers (‘Kitab Pekerjaan), yaitu sebuah inventori 

tentang kehidupan kerja di Paris. Versi Gallo-Romawi dari kata ini 

yaitu  sagena—yang kemungkinan diturunkan dari kata Galia untuk 

‘keranjang penangkap ikan’ atau ‘jaring’—sin-ane atau sôghane yang 

berarti ‘sungai berarus pelan’.9 Kata seine digunakan dengan makna 

lamanya sebagai jaring penangkap ikan oleh Balzac. Kata ini bahkan 


25


sering kali muncul dalam kesusastraan abad ke-19 namun merujuk 

pada sungai sejauh yang bisa dipastikan oleh siapa pun. Kata Galia lain 

yang berhasil masuk ke bahasa Latin Sehari-Hari dan pada akhirnya 

ke Bahasa Prancis Modern (diperkirakan ada  sekitar 400 kata 

seperti ini) merujuk pada pakaian, makanan, perkakas, binatang, 

burung, kendaraan, dan senjata: menjadi bukti sifat praktis bahasa ini. 

Bentuk penghinaan Parisian kepada non-Parisian yang paling awal 

dapat ditelusuri kembali ke kata kuno plouc. Kata ini masih memiliki 

penggunaan yang sama, memiliki arti yang sama di masa sekarang 

seperti juga bagi suku Parisii, yaitu orang luar yang bodoh dan udik.10

Tepian Dunia yang Tajam

Parisian pertama, baik yang merupakan keturunan orang Kelt maupun 

orang Romawi, sangat percaya takhayul, terutama pada masa-masa 

ketidakpastian politik.  Mereka takut terhadap sungai dan juga hutan. 

Hutan-hutan yang dimaksud yaitu  rimba cukup lebat di sebelah 

barat dan barat daya, antara Le Gâtinais dan La Laye; dan yang paling 

tak tertembus yaitu  hutan rimba Bière, Brie, dan Senlis.

Pulau-pulau dan tepi selatan sungai saat ini sepenuhnya menjadi 

lingkungan urban dan menyerupai pusat-pusat ter-Romawi-sasi 

lainnya di seantero wilayah Galia. Orang-orang Gallo-Romawi 

Lutetia terutama hidup di vila atau insulae yaitu permukiman kota 

yang padat. Area-area pedalaman di luar kota dipenuhi oleh bahaya, 

mulai dari serigala lapar hingga bandit pembunuh. Wilayah ini juga 

memberikan ancaman psikologi sebagai tempat-tempat tidak dikenal 

yang menantang insting mencari perlindungan dan yang telah 

membuat orang-orang Kelt masa lalu dan kemudian suku Parisii untuk 

berkumpul bersama dalam desa-desa pertama mereka. Nantinya, 

saat  kota Gallo-Romawi tumbuh melewati batas-batas pertamanya, 

melewati ager atau laboratorium yaitu tanah yang dibudidayakan 

di pinggirannya, maka hutan—dalam cerita Lutetia—bukan hanya 

menjadi tempat bahaya yang sebenarnya, tetapi juga perlambang dunia 

nafsu yang belum dijinakkan dan tidak dapat dijinakkan, sesuatu yang 

berada di luar kontrol kota yang memiliki hierarki dan terorganisasi 

dengan kaku. Hutan dan rimba belantara, dalam konteks paling 



26

harfiah, menjadi ‘bagian luar’ yaitu tempat roh-roh jahat dan kaum 

barbar memerkosa para perawan muda, bahwa Perayaan dilakukan 

bagi Setan, dan langit terbuka tampak gelap bagaikan malam bahkan 

di tengah hari. Konon, hanya penjahat atau orang tidak waras yang 

mau mengendarai kuda menembus hutan lebat di waktu malam.

Terlepas dari kecemasan ini, hutan-hutan di sekeliling Lutetia 

juga sudah lama memiliki peran ekonomis. Hutan ini menyediakan 

lahan merumput bagi kawanan hewan ternak. Selama masa darurat 

yang kadang kala terjadi saat  hanya sedikit jerami yang tersedia, 

dedaunan (terutama daun pohon elm dan dan pohon ek) akan 

dikumpulkan sebagai persediaan makanan musim dingin bagi domba 

dan sapi. Dedaunan ini juga digunakan untuk mengisi kasur atau 

sebagai kompos. Selain itu, hutan juga menyediakan bahan bakar 

untuk memasak, untuk penghangat dan untuk berbagai macam 

industri, termasuk pembuatan minuman beralkohol, pandai besi, 

pembuatan kaca dan penyulingan; kayu-kayunya digunakan sebagai 

bahan dasar pembuatan tong, bahan bangunan (rumah, dinding kota) 

dan transportasi (perahu, gerobak). Dengan demikian, harga kayu 

menjadi faktor kunci dalam kesejahteraan ekonomi kota.11 Selain itu, 

kayu yaitu  senjata politik, terutama pada masa krisis, kelaparan, atau 

ketidakstabilan konstitusional.

Ketakutan terhadap apa yang ada di luar batas kota menemukan 

pembuktiannya dalam sejarah. Hingga sekitar 330 M, sudah menjadi 

kesepakatan umum bahwa ancaman utama bagi stabilitas Lutetia, 

bahkan terhadap provinsi Galia mana pun, datang dari suku Galia 

yang memberontak, orang Kristen yang suka menghasut atau budak 

yang unjuk rasa. Kemudian, pada abad ke-4 saat  Kekaisaran Romawi 

mulai runtuh di daerah pinggirannya, sesuatu yang secara potensial 

jauh lebih berbahaya menjadi terlihat jelas. Lutetia tiba-tiba disadari 

terletak di garis patah politik dan geografis: hanya beberapa hari 

berjalan kaki dari tanah perbatasan Germanik dan kota ini terletak 

hampir tepat di perbatasan antara dunia Romawi dengan wilayah 

Eropa lainnya.

Kekaisaran Romawi telah menunjukkan tanda kemerosotan selama 

sekitar seratus tahun sebelum periode ini. Kebusukan ini paling terlihat 

jelas di Roma sendiri, yang didominasi oleh ketidakstabilan politik 


27


dan di mana dalam sembilan puluh tahun sejak 180 M telah ada  

lebih dari 80 kaisar, yang masing-masing menunjukkan kegagalan 

mengontrol kekacauan yang bertambah besar. Penjarahan Athena pada 

268 M mengirimkan gelombang kejut ke seluruh wilayah Romawi. Di 

Galia sendiri, ‘Kekaisaran Galia’ berumur pendek yang didirikan oleh 

seorang Galia ter-Romawi-sasi bernama Postumus pada 258 M hanya 

bisa berkembang dalam waktu singkat sebelum menambah kekacauan 

yang semakin besar. Kerusakan tatanan politik sering kali disertai oleh 

penyakit dan kelaparan; panen gagal, barang-barang dijarah atau tidak 

bisa dikirim; kota-kota tidak terpelihara; pajak tidak dikumpulkan 

dan koin Romawi universal jatuh nilainya. Salah satu masalah bagi 

para administrator kekaisaran yaitu  Romawi merupakan kekaisaran 

yang sangat birokratis dan tersentralisasi (contohnya, semua dokumen 

tentang prajurit berpangkat di atas centurion disimpan di Roma tidak 

peduli di mana pun legiunnya ditugaskan). Dalam menanggapi hal 

ini, Kaisar Diocletian memecah kekaisaran menjadi dua pada akhir 

abad ke-3. Efisiensi administrasi dan militer meningkat walaupun 

hanya sebentar, sementara ekonomi terus mengalami kehancuran. 

Kekaisaran disatukan kembali oleh Constantine Agung, seorang 

penduduk asli Serbia yang memindahkan ibukota ke Byzantium, 

yang kemudian menjadi Konstantinopel. Pendirian kota suci yang 

besar di Bosphorus pada 330 M dan penetapannya sebagai ibukota 

resmi Kekaisaran Romawi serta tempat kedudukan kekuasaan Kristen 

pada 331 M mungkin merupakan salah satu faktor yang memulihkan 

keteraturan ke wilayah yang selama berabad-abad bergeser perlahan 

ke arah kekacauan itu. Meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan.

Namun demikian, melalui keputusan tunggal yang dilakukan 

dengan sangat cepat ini, Lutetia berada semakin jauh dari ibukota 

kekaisaran dan perlindungannya. Pada saat yang sama, di utara dan 

selatan, suku-suku Germanik dan Slavik sudah mulai bergerak ke arah 

barat. Orang Goth telah bergerak dari sungai Vistula ke sungai Dnieper. 

Orang Frank sekarang berkemah di kedua tepi sungai Rhine. Kekuatan-

kekuatan yang berkumpul ini nantinya akan menghancurkan provinsi 

kekaisaran Galia hingga tinggal puing.



28

Dewa-dewa Laut

Pada akhir abad ke-4, Galia mengalami kemerosotan tajam 

yang tidak dapat dipulihkan. Pemerintahan di pusat-pusat kota 

menjadi lemah dan terbelah, sementara itu di pedalaman, pajak 

yang lebih tinggi, kelaparan dan ancaman keruntuhan total selama 

dekade-dekade terakhir memicu gelombang pemberontakan dengan 

momentum yang tidak dapat dihentikan. Para pemberontak ini disebut 

Bagudae ( ‘pejuang’, kata yang diambil dari kata baga dalam bahasa 

Keltik, ‘berjuang’—istilah yang tetap ada dalam kata bahasa Prancis 

bagarre, perjuangan atau perkelahian) dan tidak tunduk kepada 

siapa pun. Ancaman lebih serius bagi otoritas Gallo-Romawi datang 

dari kaum barbar—orang Saxon, orang Burgundian, orang Visigoth 

dan orang Frank—yang diundang masuk ke wilayah Galia oleh para 

pemberontak tadi; mereka saling melakukan jual beli tanah dan 

binatang ternak, mempertukarkan uang, dan sepenuhnya bertindak 

di luar jangkauan hukum. ‘Invasi besar’ tahun 406 M yang dipimpin 

oleh seorang Visigoth bernama Radagaisus sebagian didorong oleh 

perilaku ini. Invasi tersebut terjadi saat  suku-suku dari timur 

bergerak masuk melintasi perbatasan tanpa niatan untuk kembali. 

Namun demikian, tidak ada momen pasti yang dapat dikatakan 

sebagai masa berakhirnya kekuasaan Romawi di Galia sepenuhnya. 

Bagi Parisian Galia, bagaimanapun, putusnya hubungan dengan Roma 

terjadi pada akhir abad ke-5 saat  orang Frank mengambil alih Paris.

Clovis, seorang Frank yang merupakan pembunuh dan bandit, 

bergerak memasuki kota pada 486 M. Namanya, yang dilafalkan 

dengan desisan, yaitu  kontraksi dari ‘Chlodovech,’ dan belakangan 

akan menjadi ‘Louis’ yaitu nama raja-raja pada masa selanjutnya. 

Ia baru berusia 20 tahun dan belum lama mengalahkan gubernur 



29


Romawi bernama Syragius dalam pertempuran, dan mempermalukan 

pasukannya (tawanan perang secara rutin disodomi sambil tertawa-

tawa oleh para prajurit Frank). saat  ayahnya meninggal pada 481 

M, Clovis mengambil alih komando orang Frank Salian. Saat itu 

usianya baru 16 tahun, tetapi sudah sangat berpengalaman dalam 

pertempuran. Sekarang ia mengontrol sebuah kota. 

Clovis menyebarkan kekacauan di berbagai kota dan desa sekitar 

Paris, menjarah gereja-gereja dan menculik perempuan. Istrinya, 

Clotilda, yaitu  penganut Kristen, namun Clovis mencemooh 

keyakinan tersebut, dan lebih memercayai ilmu sihir dari dewa-

dewa pagan ketimbang Kekuatan Ilahi. Kematian dua putranya 

saat  masih bayi memperkuat ketidakpercayaannya kepada agama 

orang-orang lemah ini. Legenda paling bertahan lama tentang Clovis 

sebenarnya diciptakan pada abad ke-17 oleh sejarawan Herni, comte 

de Boulainvilliers, lalu diajarkan kepada generasi demi generasi anak-

anak sekolah Prancis sebagai parabel antimonarki.1 Puncak berdarah 

dari kisah ini yaitu  saat  Clovis membelah kepala seorang prajurit 

yang sedang berparade di Champ de Mars dengan menggunakan 

kapak, atas tuduhan sebab  bersikap kikuk. Pembunuhan ini juga 

merupakan tindakan balas dendam terhadap prajurit yang sama, 

yang telah menegur Clovis sesudah  pertempuran sebelumnya sebab  

mengambil sebuah vas (yang dikenal sebagai vas dari Soissons) sebagai 

harta rampasannya sendiri. Sang prajurit berpendapat bahwa harta 

yang dimenangkan dalam pertempuran menjadi milik semua orang 

yang turut bertempur. Pada saat itu, Clovis menurutinya dengan berat 

hati tetapi kemudian melakukan balas dendam.

Walaupun hanya rekaan, kisah ini merupakan anekdot yang sarat 

dengan makna simbolis, bertujuan untuk menggambarkan kebiadaban 

dan kesombongan orang-orang Frank yang tak terbantahkan. Hal ini 

juga, seperti yang dinyatakan oleh komentator lain, menunjukkan 

kecenderungan pemerintah Paris untuk memperkuat otoritas sipil 

dengan kekuatan militer, mengarah pada rezim absolutis yang muncul 

belakangan.2 Kendati demikian, kondisi ini belum tepat disebut 

peradaban, dan lebih merupakan masyarakat baru dengan kondisi 

rapuh, yang, menurut Flaubert, terperangkap antara ‘kematian Dewa-

dewa lama dan kedatangan Yesus.’3



30

Bagi Clovis sendiri, titik balik dalam kariernya terjadi dalam 

pertempuran melawan orang Alamanni yang dibenci, sebuah 

suku Germanik yang, meski kekuatan jauh lebih besar, kalah saat 

menghadapi serangan orang Frank. Clovis bersumpah atas nama Santo 

Rémi dari Rhemis bahwa ia akan menjadi pemeluk agama Kristen jika 

mampu mengatasi rintangan yang mustahil itu. Di bawah pengaruh 

Geneviève (seperti akan kita lihat, ia yaitu  tokoh politik dan religius 

paling penting pada masa itu), Clovis kemudian berpaling kepada 

Tuhan walaupun tidak sepenuh hati, meski bukan kepada kemurahan 

hati Kristen, dan menjadi raja Kristen Paris yang pertama.

Tindakan pertamanya sebagai seorang raja berdaulat, dan dengan 

konsekuensi paling panjang, yaitu memproklamasikan bahwa semua 

orang Frank yaitu  manusia merdeka dan semua manusia merdeka 

yaitu  orang Frank. Sejak saat itu, istilah ‘frank’ tidak hanya dikaitkan 

dengan wilayah ‘Francia’, yang secara perlahan tapi pasti menjadi 

France—Prancis, tetapi juga dengan gagasan menjadi ‘manusia 

merdeka.’ (Inilah makna yang terkandung dalam nama rue des Francs-

Bourgeois—diterjemahkan oleh Jack Kerouac yang pemabuk pada 

1950-an sebagai ‘jalanan kelas menengah yang berbicara blakblakan’4—

yang membentang secara paralel dengan sungai Seine melewati Marais 

masa kini. Pemberian nama itu pada abad ke-16 sebenarnya sebab  

jalan tersebut menjadi lokasi pondokan seorang pemberi derma bagi 

48 penduduk kota miskin sehingga mereka bisa hidup tanpa harus 

membayar pajak—walaupun jika memandang status modernnya saat 

ini, terjemahan Kerouac memang lebih mendekati kebenaran.)

Clovis juga memberlakukan ‘Hukum Salic’, yang melarang wanita 

mewarisi tanah, dan begitu pula dengan takhta Prancis. Di bawah 

kekuasaan orang Frank, Paris masih belum bisa dianggap kota besar, 

tetapi sudah menjadi ibukota sebuah negara. Sejak saat itu, Paris 

akan menduduki tempat yang menentukan dan sentral dalam sejarah 

Francia.

Reruntuhan Pertama Paris

 

Orang Frank pada awalnya yaitu  sebuah konfederasi longgar dari 

orang-orang barbar yang berakar di Jerman barat. Para sejarawan 


31


Romawi untuk pertama kalinya mencatat informasi tentang mereka 

pada 241 M, dan menyebutkan bahwa markas utama mereka yaitu  

kota Dispargum, yang sekarang menjadi kota Tongres nan rapi di 

Belgia. Mereka yaitu  para kesatria yang kejam namun flamboyan, 

yang membiarkan rambut mereka panjang melewati bahu dan 

mengklaim sebagai keturunan dewa laut. 

Raja-raja Frank juga dikenal sebagai Merovingian, yang berasal dari 

nama Mérovée—kakek dari Clovis. Dinasti yang didirikan oleh Clovis 

bertahan hingga kematian Dagobert pada 638 M. Kala itu, kontrol 

terhadap Paris dan semua wilayah Frank jatuh ke tangan maires du 

palais (‘para mayor istana’) secara bergantian. Mereka yaitu  kepala 

rumah tangga kerajaan yang secara efektif memerintah negara. Garis 

keturunan Merovingian berlanjut hingga pemerintahan Pépin le Bref, 

ayah dari Charlemagne. Namun, berhubung para raja tidak memiliki 

kekuatan nyata, mereka pun dikenal sebagai rois fainéants, ‘raja 

pemalas’.

Orang Frank sangat ahli menciptakan teror. Pembunuhan 

Brunhild, istri Raja Sigebert, di Austrasia (Prancis pada saat itu 

terdiri atas kerajaan-kerajaan yang memiliki nama yang sama-sama 

terdengar aneh) pada 613 M merupakan contoh kebrutalan hukum 

Frank. Brunhild dianggap melakukan kejahatan atas perannya sebagai 

kingmaker selama tiga dekade di daerah-daerah yang dikontrol oleh 

Paris. Pada akhirnya ia dikhianati oleh orang-orang yang berusaha 

dikontrolnya dan diputus bersalah di Paris atas tuduhan pembunuhan 

10 raja. Wanita ini harus menjalani hukuman dengan diikat ke seekor 

unta selama tiga hari, kemudian dipukuli dan diperkosa oleh siapa 

pun yang melintas. Semua ini terjadi di titik pertemuan yang sekarang 

menjadi rue Saint-Honoré dan rue de l’Arbre-Sec—persimpangan 

ramai yang dipenuhi dengan kafe, bank, dan toko serba ada.5

Kota-kota orang Frank yang keras masih merupakan tempat 

dengan kebudayaan pagan. Ini pusat perniagaan yang sibuk dan 

sering dikunjungi oleh orang Suriah, Yahudi, dan Afrika Utara. 

Gregory, Uskup Roma, menulis surat dengan nada marah kepada 

Ratu Frank pada 586 M untuk mengeluhkan bahwa, menurut laporan 

para pelancong, penduduk asli Paris masih belum mengikuti “disiplin 

Gereja dan mereka harus berhenti menyembah pohon, berhenti 



32

menggantungkan kepala binatang tumbal di muka umum secara 

tidak beriman. Kami bahkan menerima informasi,” keluh sang uskup, 

“bahwa sebagian umat Kristen—Betapa mengerikannya!—masih 

menyembah setan di sana.”6

Orang Frank sendiri tidak sepenuh hati menjadi penganut Kristen. 

Mereka senantiasa menambahkan kepercayaan barbar mereka 

sendiri kepada begitu banyak takhayul Galia dan Romawi yang 

masih berseliweran di sekitar kota. Mereka sangat memercayai ilmu 

sihir simpatik, membawa jimat, merapalkan mantra dan meramal 

pertanda dari usus musuh yang telah dibunuhnya. Gregory dari Tours 

terlalu pengecut untuk menegur Clovis secara langsung saat  ia 

mendatanginya untuk mencari cara melihat masa depan lewat sihir; 

tetapi, di belakang Clovis, Gregory mengutuk praktik-praktik barbar 

yang dilakukannya. Pendeta-pendeta lain bahkan lebih penakut 

lagi. Pada saat orang Frank berkuasa, mereka berhenti mengajarkan 

moralitas Kristen. Kata-kata Kristus hanya diucapkan dalam 

pelaksanaan upacara dan ritual tertentu yang kurang-lebih dapat 

dipertukarkan dengan ritual pagan. Para raja Frank juga terkenal 

akan kemalasan dan kebodohannya. Ada seorang cendekiawan, 

yang terbukti tidak menyadari nuansa sensitivitas pada warisan 

pascakolonial Prancis, telah mendeskripsikan para pemimpin Frank 

sebagai orang yang “dengan keras kepala, berpegangan pada sobekan 

kemegahan Romawi, seperti seorang raja Negro dalam balutan 

pakaian bergaya Eropa.”7

Lutetia mulai hancur untuk selamanya. Bangunan-bangunan 

Romawi yang megah mulai menjadi puing—batu bata dan marmernya 

diambil untuk gereja dan rumah kaum Frank, yang menyebar ke 

segala arah menuju desa-desa tua di sekeliling kota. Dewa-dewa lama 

secara bertahap juga terhapus atau dibunuh oleh agama Kristen; 

hukum Frank dibuat dan dilaksanakan dari basilika Romawi tua—

yang kini sudah lama terkubur di bawah alun-alun Notre-Dame—

dan gedung pengadilan yang sekarang berseberangan dengan Hôtel-

Dieu. Semakin berkembangnya kota itu, dengan dinding-dinding tua 

Romawi berubah menjadi debu, semakin rentan pula pertahanannya.


33


Perawat dari Paris

Meskipun disebut sebagai periode yang keras dan tidak stabil dalam 

sejarah Paris, periode ini juga merupakan saat munculnya teks-

teks kesusastraan yang dapat diidentifikasi sebagai bahasa Prancis 

untuk pertama kalinya. Teks tersebut biasanya bercerita tentang para 

martir Kristen, seperti Santo Denis, yang lebih memilih menjalani 

penyiksaan dan kematian daripada melepaskan keyakinan agamanya. 

Legenda-legenda ini pada awalnya dibuat oleh para pendeta gereja 

sebagai propaganda politik. saat  kota secara perlahan muncul dari 

reruntuhan kebudayaan sebelumnya, popularitas teks tersebut, yang 

menyebar luas dan cepat dari mimbar ke jalanan, menunjukkan bahwa 

Paris yaitu  tempat yang, sebab  kurangnya bentuk pertahanan diri 

konvensional, sangat membutuhkan mitologi untuk menopangnya.

Geneviève, yang akan menjadi santa pelindung Paris bersama 

Santo Denis, tidak mengalami penyiksaan dan tidak dibunuh sebab  

kesalehannya. Sebaliknya, ia yaitu  manipulator ulung, yang sangat 

mumpuni dalam teknik gelap negosiasi diplomatis, dan dengan kejam 

mengintimidasi lawan-lawan politiknya yang lebih lemah sambil 

tetap melingkupi diri dalam mistik sebagai wanita suci. Mitos tentang 

Sainte Geneviève, bagi para sejarawan dan pemikir religius, dibangun 

berdasarkan kedua muka karakternya ini.

Sebelum kedatangan orang Frank, ancaman terbesar kota Paris 

datang dari orang-orang Mongol penunggang kuda di bawah pimpinan 

Atilla. Pada 441 M, mereka tiba ke Rheims, sekitar satu hari perjalanan 

dari dinding kota Paris. Penyelamat Paris pada masa ancaman maut ini 

bukanlah seorang komandan ataupun kesatria di lapangan, melainkan 

Geneviève, seorang wanita muda bertubuh ramping yang saleh dan 

menerima wahyu dari Tuhan. Dalam wahyu tersebut, ia diberi tahu 

bahwa kota ini akan diselamatkan. Penduduk Paris yang ketakutan 

sangat butuh mendengar jaminan ini, dan Geneviève akan melakukan 

apa pun untuk mencegah terjadinya pelarian massal dari kota itu 

sebab  rasa panik. Selain dimensi spiritual, kita juga dapat melihat 

dimensi politik dalam kasus ini: secara efektif Geneviève berhasil 

mencegah penyerahan diri pada satu titik dalam sejarah paris saat  

hal tersebut hampir bisa dipastikan akan menghancurkan kota.



34

Salah satu penggambaran Geneviève yang paling terkenal yaitu  

Sainte Geneviève gardant ses moutons, sebuah lukisan anonim dari 

abad ke-16 yang tergantung di Musée Carnavalet. Di sini, Geneviève 

digambarkan dengan wajah yang lembut dan keibuan serta berbadan 

sehat. Gambaran ini bertolak belakang dengan catatan historis yang 

mendeskripsikannya sebagai gadis muda bertubuh kurus kering 

sebab  berpuasa. Di latar belakang ada  deretan tegakan batu 

(rekaan lain dari sang pelukis) dan kota Paris, yang menunggu 

untuk diselamatkan. Yang terpenting dalam lukisan tersebut yaitu  

Geneviève ditunjukkan sebagai seorang gadis desa, terhubung dengan 

masa lalu Keltik yang tidak terlalu jauh dan berada di luar pengaruh 

Roma yang pagan serta korup.

Pada kenyataannya, Geneviève dilahirkan dalam keluarga 

aristokrat Gallo-Romawi pada 420 M, di Nantere, tepat di luar Paris.8 

Legenda populer tentang Geneviève menggambarkannya sebagai 

gadis petani yang sering mengalami kerasukan. Pada kenyataannya, 

ia dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya dan mapan yang memiliki 

koneksi politik tingkat tinggi. Walaupun Paris Gallo-Romawi sedang 

terdisintegrasi di hadapannya sendiri, Geneviève cukup cerdik dan 

bijaksana untuk tidak kehilangan kepercayaan terhadap kekuasaan 

jabatan politik. Kaum wanita pada masa itu dikecualikan dari semua 

struktur kekuasaan kecuali agama (Geneviève menjadi biarawati di 

bawah pimpinan Uskup Paris pada usia lima belas tahun). Reputasi 

Geneviève dalam mistisme melontarkan dirinya pada usia muda, 

mengikuti jejak ayahnya, ke dalam peran kunci sebagai penasihat bagi 

otoritas penguasa kota. 

Pada awalnya, ia tidak dipercaya dan tidak disukai oleh Parisian. 

Tidak semua orang terkesan oleh klaim-klaim mistis yang dibuat 

oleh gadis kurus dengan sorot mata tajam itu. Mayoritas orang 

menanggapinya dengan rasa takut, ngeri, atau kagum. Namun, 

kegelisahannya dengan sempurna menangkap suasana hati kolektif 

pada masa itu. Kekaisaran Romawi sangat lemah dan sedang 

diserang. saat  pasukan Attila bergerak maju dan semakin dekat, 

Paris menyambut gelombang demi gelombang pengungsi dari timur. 

Mereka mencari perlindungan dalam perjalanan ke selatan yang 

tenang dan makmur. Mereka menceritakan kisah-kisah pembantaian 


35


mengerikan, kota dan desa yang dibumihanguskan, para gadis yang 

diperkosa, ribuan pria yang dibantai. Warga Paris gemetar ketakutan 

mendengar bahaya yang mengancam. Tuhan sedang murka, kata para 

pengungsi kepada Parisian yang sangat ketakutan. Ini akhir sejarah 

dan akhir dunia.

Geneviève mendengar semua ini dan menyaksikan para pengungsi 

yang kelaparan dan sudah mengalami kejadian brutal sedang berdoa 

kepada Tuhan. Ia berpuasa (hanya memakan jelai dan kacang dua kali 

seminggu) dan merasa cemas. Roman mukanya bercahaya gara-gara 

anoreksia. saat  sepertinya Attila akan memasuki Paris, Geneviève—

masih sebagai seorang gadis perawan muda—melangkah dengan 

tenang di jalan-jalan Île de la Cité, daerah berawa di sekitar sungai, 

dan ke istana-istana yang kosong (Aétius, prefect Romawi, sudah sejak 

lama melarikan diri ke Spanyol dengan alasan mencari pertolongan), 

sambil berkata bahwa Tuhan telah berfirman bahwa Paris akan 

dilindungi.

Sebagian besar Parisian, terutama para wanitanya, menganggap 

Geneviève sebagai hipokrit dan penipu, atau wanita gila. Namun, 

secara tiba-tiba dan ajaib, Atilla mengalihkan perhatiannya ke daerah-

daerah selatan yang lebih kaya dan prestisius dan dapat dengan mudah 

dimenangkan (orang-orang yang sinis pada masa itu beranggapan 

bahwa perubahan ini terjadi sebab  Atilla telah diberi tahu bahwa 

para wanita Paris tidak layak untuk diperkosa). Namun, ada juga 

keajaiban yang lebih mencengangkan dilaporkan dari tempat-tempat 

lain (seorang uskup di Orléans melempar tusukan pemanggang daging 

yang masih membara kepada para penyerbu yang, sebab  terkejut dan 

panik menghadapi balasan militer ‘supranatural’ semacam itu, segera 

menarik diri). Namun, tidak satu pun yang sama kuat atau sama 

menyentuhnya dengan kisah tentang seorang gadis muda—sepertinya 

tidak lagi dianggap sebagai seorang maniak religius yang egois—yang 

menyelamatkan sebuah kota.

Di gereja-gereja terkemuka Paris, Geneviève (berdampingan 

dengan Santo Denis) dielu-elukan sebagai penyelamat oleh para 

pendeta yang gelisah. Mereka juga ingin mempertahankan posisi dan 

keselamatannya di tempat yang, seperti para tetangganya di utara dan 

timur, dengan mudah dapat diporak-porandakan dan dihancurkan. 



36

Salah satu bangunan yang masih tersisa dari periode tersebut yaitu  

gereja Saint-Julien-le-Pauvre, sekarang berada di jantung industri 

wisata Tepi Kiri, tetapi pada masa Gregory dari Tours menjadi tempat 

berlindung para pelancong dan Parisian yang mengkhawatirkan 

keselamatan hidupnya selama serbuan-serbuan yang digencarkan 

terhadap kota. Keberadaannya hingga saat ini merupakan bukti, bisik 

warga Paris Kristen di kalangan mereka sendiri, tentang daya tahan 

kota.

Namun, periode ini juga merupakan masa firasat dan pertanda 

yang maknanya tidak pernah bisa dipahami dengan jelas. Gregory dari 

Tours sendiri, kepala ahli propaganda pertama Gereja Paris, berbicara 

dengan rasa takut tentang penemuan dua patung emas berbentuk 

ular dan singa di sebuah saluran air Romawi yang tidak lagi terpakai. 

Suatu kebakaran hebat di bagian selatan kota yang terjadi tak lama 

kemudian tidak mengejutkan siapa pun. Pesan yang lebih besar sudah 

jelas: masa lalu yang belum lama berlalu dan misteri-misteri pagannya 

masih harus ditakuti. Peran religius Geneviève yang terpenting 

yaitu  membuat transisi dari dunia pagan menuju kebudayaan 

Kristen menjadi perjalanan tanpa jalan kembali. sebab  alasan ini 

saja, generasi-generasi penerus biasanya mendeskripsikannya sebagai 

‘perawat dan nyonya besar Paris’.

Visi Ibukota

Namun demikian, pencapaian Geneviève yang paling luar biasa 

sepenuhnya bersifat politis. Ia hidup hingga usia yang sangat tua 

pada masa itu (Geneviève meninggal dunia pada usia 80 tahun). 

saat  Clovis tiba, ia berusia 46 tahun dan sudah menjadi pialang 

kekuasaan yang berpengalaman dan lihai, sudah terbiasa menghadapi 

tingkah orang Frank yang kejam dan para kriminal ambisius lainnya. 

Ia tidak hanya bertanggung jawab atas dibaptisnya Clovis, tetapi 

juga membujuknya untuk menjadikan Paris sebagai ibukota wilayah 

kekuasaannya. Orang Frank yang tidak tahu sopan santun dan haus 

darah ini bahkan dibujuknya untuk mendirikan tempat belajar bagi 

para siswa miskin di tempat yang sekarang bernama Montagne Sainte-


37


Geneviève dan pada akhirnya menjadi bagian dari Universitas Paris.

Kisah Denis dan Geneviève yaitu  mitos pendiri ‘kebudayaan 

besar’ di mana kota Paris-nya orang Kristen akan segera menjadi 

ibukotanya.9 Namun yang paling krusial, seperti pendiri Paris 

secara politik yaitu Clovis, kedua santo mengombinasikan bakat visi 

kekerasan dengan propaganda teokratis pada momen krisis politik 

yang tepat. Peran mereka sebenarnya yaitu  menandai pendirian 

sebuah mitos kota yang melampaui konstruksi religius, sosial, serta 

politik kota Gallo-Romawi.

***

Orang Frank memerintah Prancis selama hampir dua abad. Meskipun 

lewat jalan kekerasan, mereka berhasil menyatukan wilayah. Namun, 

satu-satunya peninggalan mereka yang diakui yaitu  membuat sistem 

kelas sosial yang hierarkis serta kaku. Dalam sistem ini, kelas-kelas 

sosial bawah diduduki oleh dunia Galia pedalaman yang tersisa 

(petani, pekerja, seniman), sementara aristokrasi yang berkuasa 

terdiri atas para kesatria yang ceroboh dan bodoh. Catatan ini tentu 

saja sangat menarik bagi para sejarawan Prancis antimonarki.

Realitas sejarah, sebenarnya, jauh lebih kompleks: sejak masa 

Clovis dan seterusnya, orang Galia, orang Gallo-Romawi dan 

orang Frank dengan cepat bercampur baur dan bahkan melakukan 

pernikahan antarras sehingga pembedaan secara ras maupun etnis 

mustahil dilakukan. Namun, ada satu fakta yang tak bisa dimungkiri, 

yaitu bahwa jabatan kerajaan lebih sering diduduki oleh orang-orang 

bodoh yang merusak. Sifat-sifat orang Frank, atau lebih tepatnya 

kekurangan mereka, diabadikan dalam sebuah pepatah Yunani, yang 

diterjemahkan kembali ke dalam bahasa sehari-hari oleh Éginhard, 

seorang cendekiawan asal Frank abad ke-8 di biara Fulda dan penulis 

kehidupan Latin Charlemagne, sebagai: “Anda dapat menganggap 

seorang Frank sebagai teman, tetapi jangan pernah sebagai seorang 

tetangga.”10 Pada 574 M, Frank Sigebiert, dalam demonstrasi sempurna 

atas kebenaran pepatah ini, menghancurkan apa yang tersisa dari 

kota tua yang masih utuh—vila, pemandian, tempat hiburan—dan 

membakar beberapa bagian Paris sekaligus dalam perang melawan 



38

saudaranya, Chilpéric.

Namun, masa kekuasaan raja-raja Frank tidak sepenuhnya bencana. 

Walaupun terjadi pertumpahan darah antara para pangeran dan 

pewaris takhta, stabilitas relatif dapat dipertahankan selama sebagian 

besar periode tersebut, terutama sebab  perbatasan Jerman lebih 

tenang daripada selama berabad-abad sebelumnya. Barang-barang, 

orang dan harta benda bergerak bebas di sekitar regnum francorum; 

pasar dan pasar malam berkembang; di dekat Paris, pasar malam 

Saint-Denis menarik para pedagang dan peziarah dari seluruh penjuru 

Eropa dan Levant (wilayah Mediterania Timur). Namun, meski 

selama periode ini kota-kota Galia kembali hidup dan perekonomian 

terus-menerus tumbuh, perkembangan politik dan budaya berjalan 

lambat dan biasa-biasa saja. Situasi ini dicerminkan oleh Paris sendiri 

yang, walaupun sekarang merupakan ibukota militer dan politik yang 

penting, hanya berukuran sedikit lebih besar saat  orang Frank pergi 

daripada saat  mereka pertama datang.

Namun demikian, ada  pula kekuatan-kekuatan historis lebih 

besar yang sedang bekerja. Selama penaklukan Romawi terhadap 

Galia, sungai telah menjadi perbatasan antara kebudayaan Latin 

dengan wilayah utara barbar yang tidak dikenal dan menakutkan. 

sesudah  Clovis, wilayah utara dikaitkan secara erat dengan takdir 

Prancis secara keseluruhan—sebuah inkarnasi dari takdir budaya, 

politik, dan historisnya.

Bangsa Frank yang lahir bersama Clovis dan yang memiliki Paris 

sebagai ibukotanya, menurut pendapat Michel Foucault, bukan hanya 

sebuah instrumen administratif melainkan sebuah proyek visioner—

sebuah halusinasi kedaulatan tertinggi.11 Bentuk paling konkret 

dari hak ini yaitu  dijadikannya bangsa sebagai mesin perang aktif, 

yang didedikasikan untuk menaklukkan rakyat Galia saat  mereka 

muncul dari kekacauan akibat runtuhnya Kekaisaran Romawi. 

Foucault menyimpulkan bahwa negara Prancis sesudah  itu, bahkan 

dalam bentuknya yang paling hebat di masa Napoleon, tidak lebih dari 

sekadar sublimasi hubungan tuan-budak ini.

Sungguh kebetulan yang puitis—dan kebetulan yang sangat 

menunjukkan sifat alami ganda kekuasaan, baik spiritual maupun 

politik, yang nantinya diupayakan di Paris—bahwa Montagne Sainte-


39


Geneviève, bukit kecil di Tepi Kiri yang didedikasikan kepada gadis 

perawan pengidap anoreksia yang persuasif tadi, berakhir di rue Clovis. 

Parisian masih memanjatkan doa untuk meminta pertolongan dari 

santa tersebut di gereja Saint-Étienne-du-Mont, tempat jenazahnya 

dimakamkan. Di seberang jalan, para calon pialang kekuasaan di kota 

dididik di lingkungan keras Lycée Henri IV, yang dahulunya merupakan 

bagian dari sebuah biara yang didedikasikan bagi Geneviève yang juga 

menjadi tempat Clovis dan istrinya dimakamkan.



40

Paris selama periode Merovingian (sekitar 490 – 640 M)


41


Orang-orang Kafir

Kerajaan orang Frank selalu menjadi entitas yang rapuh. 

Pada abad ke-8, kerajaan ini berubah menjadi tatanan yang ditetapkan 

secara longgar, menjadi wilayah yang dikenal sebagai ‘Neustria’, yang 

tidak lama kemudian diubah namanya menjadi ‘Francia Barat’. Tetapi 

wilayah ini hanyalah sebagian kecil dari wilayah Prancis kontemporer. 

Di sebelah selatan, wilayah ini dibatasi oleh sungai Loire. Dan 

di sana ada  orang Romani, sebagaimana Parisian Frank dan 

Gallo-Romawi menyebutnya sekarang, dengan bahasa dan budaya 

yang sangat berbeda. Di sebelah timur, ada  sungai Rhine dan 

sebuah perbatasan dengan pasukan serta suku yang memiliki budaya 

kekerasan serupa dengan bangsa Frank. Ketidakstabilan politik dan 

ekonomi membuat wilayah ini dan wilayah pedalamannya menjadi 

daerah yang ditakuti. Di sebelah barat, pasukan penginvasi dari 

Cornwall telah menaklukkan Armorica (yang sekarang kurang-lebih 

sama dengan Brittany), membawa bahasa dan organisasi sosial baru 

yang sangat khas Keltik yang berpusat di sekeliling klan dan kepala 

suku.1 

Semua perbatasan ini harus diawasi secara terus-menerus dan 

saksama. Sebagai konsekuensinya, abad ke-8 dan ke-9 yaitu  masa-

masa sulit bagi Paris dan Parisian. Selama periode ini, pergolakan dan 

migrasi besar-besaran terjadi di seluruh penjuru Eropa. Perbatasan 

antara dunia kuno dengan abad pertengahan sering kali dipastikan 

pada 331 M, saat  Konstantinopel ditetapkan sebagai ibukota 

Kekaisaran Romawi Suci. Melalui gerakan ini, Kaisar Constantine 

(Konstantinus I—peny.) bertekad menyatukan agama Kristen 

dan kekaisaran. Namun hasilnya berpengaruh luas dan tak dapat 

diprediksi saat, selama empat abad selanjutnya, komunitas-komunitas 




42

kompleks serta plural yang ditoleransi di bawah otoritas kekaisaran 

secara perlahan dihancurkan dan digeser oleh kebangkitan Kristiani.

Terhadap latar belakang ini, orang Frank meng-Kristen-kan kota 

Paris-nya Gallo-Romawi dalam tahapan yang terus-menerus dan 

mantap. Dampak terhadap kota cukup dramatis, saat ada gereja—

Saint-Germain l’Auxerrois, Sainte-Colombe dan Saint-Paul—yang 

dibangun di Tepi Kanan di antara tempat yang sekarang menjadi 

Louvre dan Bastille. Perkembangan ini tidaklah secanggih maupun 

serumit perkembangan yang terjadi di sisa-sisa kota Lutetia Gallo-

Romawi di Tepi Kiri, namun tetap saja menandai perluasan kota ke 

daerah-daerah pinggiran Charonne, Montmartre, dan La-Chapelle-

Saint-Denis. Umumnya, perkembangan bergeser ke arah timur; ujung 

barat Paris pada masa itu masih merupakan daerah berawa. Sebuah 

permukiman baru dibangun di Saint-Marcel di jalan menuju Lyons 

dan Italia. Selama periode ini, Île de la Cité masih dikelilingi oleh 

benteng dan hanya bisa dimasuki melalui dua pintu sangat besar di 

perbatasan utara dan selatan. Di pulau itu sendiri, kehidupan masih 

berlangsung dengan keras dan jalan-jalan berlumpur dipenuhi oleh 

para pendeta, pelajar, bangsawan, petani, pekerja pelabuhan, pelacur 

dan pedagang keliling.2

Salah satu tempat terbaik di Paris modern untuk merasakan 

kembali kesan kota selama masa tersebut yaitu  gereja Saint-Julien-

le Pauvre di jalan dengan nama yang sama. Struktur yang ada saat ini 

berasal dari abad ke-12, tetapi ada  sisa-sisa kapel asli untuk para 

peziarah yang, sejak abad ke-6 dan seterusnya, berada di jejak-jejak 

jalan utama Romawi dan kemudian jalan raya Frank yang membelah 

kota. Tepat di seberang di utara, para raja Frank memuji Kristus di 

katedral Saint-Étienne (sisa-sisa dari gereja ini dapat ditemukan di 

ujung timur alun-alun Notre-Dame) sekaligus meremehkan Roma 

sebagai kekuatan yang lemah serta sekarat.

Catatan para saksi mata seperti orang Romawi bernama Boethius 

atau Gregory dari Tours, yang selalu bersikap skeptis terhadap orang 

Frank, penuh malapetaka. Namun demikian, hampir semua orang bisa 

memperkirakan dan membenarkan runtuhnya tatanan Romawi lama. 

Walaupun agama Kristen diasosiasikan dengan perpolitikan tingkat 

tinggi, menurut propagandanya sendiri, agama Kristen yaitu  agama 


43


orang yang tidak berdaya dan lemah. Selain itu, di tempat seperti 

Paris, di mana orang-orang Frank dan Gallo-Romawi bekerja, berdoa 

dan tidur bersama, mitos yang berkelanjutan mengenai pemisahan 

antara dunia ‘beradab’ orang Romawi dengan ‘kaum barbar’ yang 

dituding biadab jelas-jelas bersifat artifisial dan berlebihan.

sesudah  kekuasaan orang Frank selama dua abad di Paris, pada 

kenyataannya tidak ada lagi perbedaan mencolok antara orang 

Gallo-Romawi dengan orang Frank. Pada masa Clovis, cukup 

mudah untuk membedakan antara orang Frank dengan orang Gallo-

Romawi berdasarkan kelas sosial, nama, pakaian dan kemungkinan 

bahasanya. Pada abad ke-8, perkawinan antarras sudah menjadi 

kelaziman; itu juga berarti bahwa makam Frank dan orang Latin 

terletak berdampingan. Jenazah dari kedua ras terbaring di bawah lalu 

lintas modern persimpangan Gobelins, tempat nekropolis mahaluas 

menelan penduduk kota yang sudah mati. Ini yaitu  tempat keajaiban 

dan visi; monster dan naga secara berkala terlihat di sini pada abad 

ke-5, dan Parisian nantinya berdoa di sini kepada Santo Marcel, Uskup 

Paris kesembilan, pada masa teror luar biasa.

Faktanya yaitu  ada  dua proses historis lebih besar yang 

sedang bekerja selama berabad-abad. Keduanya tidak bisa dihentikan 

oleh kekuatan militer sebesar apa pun atau administrasi seefektif apa 

pun. Keduanya mendorong akhir kekaisaran lebih efektif daripada 

konflik etnis lokal mana pun. Kekuatan pertama yaitu  jarak budaya 

dan politik antara belahan timur dan barat kekaisaran yang semakin 

melebar selama berabad-abad, memperlemah apa yang tersisa dari 

tatanan lama.

Proses kedua, sebagian merupakan hasil dari administrasi yang 

tidak koheren ini, yaitu  masuknya orang-orang yang disebut 

barbar dari Eropa timur dan Asia secara terus-menerus ke dalam 

wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah ‘Romawi’, baik sebagai 

perampok maupun sebagai imigran. Penjarahan Roma pada 410 

M oleh pasukan Goth mengirimkan gelombang kejut ke seantero 

kekaisaran. Ini yaitu  momen yang, seperti serangan 11 September 

di New York pada 2001, menakutkan semua anggota peradaban yang 

terbukti sangat rentan.



44

Islam di Pintu Gerbang

Elemen ketiga yang paralel dengan pergeseran historis ini di Eropa awal 

abad pertengahan yaitu  kebangkitan sebuah keyakinan radikal baru 

yang mengejutkan dan sepertinya tidak dapat dihentikan di padang 

pasir Timur Tengah, di mana Tuhan dikenal sebagai ‘Allah’ dan agama 

tersebut yaitu  ‘Islam’. Bagi orang luar yang pertama menjumpainya, 

yaitu para pedagang Kristen dan Yahudi dari daerah tersebut, Islam 

lebih menyerupai mesin perang efisien yang kejam daripada sebuah 

agama.

Nabi Muhammad wafat pada 632 M.  Sejak saat itu, pasukan-pasukan 

Arab bergerak melintasi Arabia dan Afrika Utara, menaklukkan 

semua yang menghalanginya atas nama agama yang telah ia bantu 

kelahirannya dalam visi-visinya. Pada musim gugur 732 M, pasukan 

Arab yang sama ini telah menaklukkan wilayah semenanjung Iberia 

yang cukup luas. Tidak lama kemudian mereka sudah tiba jauh di 

dalam wilayah Frank, mengancam kota Poitiers dan mengarah ke 

Paris. Satu-satunya musuh mereka yaitu  angin Oktober yang sangat 

dingin dan pasukan prajurit Frank berambut panjang.

Ini bukan sekadar serbuan lintas batas untuk mencari harta jarahan 

di ‘Dar-al Harb’, ‘Rumah Perang’ (istilah yang digunakan dalam 

bahasa Arab untuk mendeskripsikan tanah-tanah non-Arab), tempat 

pencurian dan penjarahan biasanya merupakan tujuan pertempuran 

yang paling sah walaupun terbatas. Ini yaitu  bagian dari perang yang 

lebih luas yang mengklaim teritori atas nama Allah. Oleh sebab  itu, 

gerak maju pasukan Arab ke Poitiers yaitu  serangan sengaja terhadap 

integritas kerajaan Frank. Tujuan utamanya yaitu  untuk menjarah 

Tours dan Paris, pusat paling suci daerah ini selain pusat perdagangan 

yang paling makmur.3

Pada 732, Charles, maire du palais di Paris, memimpin orang 

Frank ke lokasi yang sekarang dikenal sebagai Moussais-la-Bataille, 

tempat ia menghadapi pasukan Arab. Ia mengorganisasi prajuritnya 

menjadi formasi kotak infanteri besar yang, dalam kata-kata kronik 

kontemporer, menyerupai ‘dinding tak tergoyahkan’ dan ‘glasier’.4 

Keahlian berpedang, kavaleri berat dan keteguhan hati pasukan Frank 

mengalahkan pasukan Muslim, yang meninggalkan tenda-tenda 

mereka sesudah  pertempuran sengit selama sehari semalam di mana 


45


dalam pertempuran tersebut pemimpin mereka, Abd-ar Rahman, 

terbunuh. Kronik Arab tidak menceritakan hasil pertempuran ini. 

Namun istilah ‘Frank’ sekarang memasuki legenda Arab sekitar dua 

abad sebelum Perang Salib. Kata ini tetap bertahan dalam bahasa Arab 

Standar Modern di mana ‘Eropa’ paling umum diterjemahkan sebagai 

‘Bilad al Firanj’—‘wilayah orang Frank’. Charles sendiri kembali ke 

Paris dengan julukan ‘Martel’, si palu.

Pertempuran Poitiers memiliki signifikansi historis yang sangat 

besar. Tentu saja masih diperlukan waktu tujuh ratus tahun kemudian 

sebelum orang Arab pada akhirnya benar-benar diusir dari Eropa 

dengan ‘penaklukan kembali’ semenanjung Iberia oleh orang Kristen 

pada 1492 M. Namun, kemenangan di Tours–Poitiers bukan hanya 

pertahanan terhadap jalan ke Paris yang berhasil tetapi juga titik balik 

yang menentukan dalam sejarah peradaban Barat.

Di Paris abad ke-21, tempat politik dan agama masih enggan 

duduk bersama-sama, dan tempat Islam radikal yaitu  kekuatan 

budaya dominan di daerah-daerah pinggiran di sekitarnya, ada  

banyak orang yang akan berpendapat bahwa konflik ini belum 

usai. Salah satunya yaitu  Tariq Ramadan, orang yang mengangkat 

dirinya sendiri sebagai pemimpin pemuda Muslim di Prancis dan 

menjadi tokoh kontroversial di kedua sisi Atlantik sebab  dituduh 

memiliki kaitan dengan terorisme Islam. Ramadan sendiri bukanlah 

ahli ideologi kasar tetapi seorang pemikir urban dan canggih; inilah 

sebabnya di mata pihak berwenang Prancis ia merupakan tokoh 

berbahaya. Ia bahkan dilarang masuk ke Amerika Serikat pada 2004 

sebab  reputasinya yang berapi-api.

Namun pandangan Ramadan cukup sederhana: tidak akan ada 

perdamaian di Barat hingga pesan Islam menjadi bagian integral dari 

kebudayaan ‘Eropa’. “Ini bukanlah masalah benturan peradaban,” 

katanya kepada saya di toko buku Islam di Saint-Denis yang 

menjadi markasnya, “tetapi Muslim yang berdiri tegak menghadapi 

ketidakpercayaan dan prasangka.” Tentu saja, ada  ironi yang jelas 

dalam fakta bahwa Ramadan menyampaikan pesan ini dari sebuah 

kantor yang hanya berjarak beberapa jalan dari Basilique Saint-Denis 

tempat para raja Kristen Prancis pertama dimakamkan selama lebih 

dari seribu tahun.5



46

Pengepungan dan Pembantaian

Charles ‘Martel’ tidak hanya menyelamatkan Paris dari invasi Arab, 

tetapi juga membuat namanya menjadi nama sebuah generasi baru 

yaitu dinasti Carolingia (Charles dalam bahasa Latin yaitu  Carolus—

peny.). Ia memang tidak diangkat menjadi raja, tapi kehormatannya, 

yang diperoleh lewat pertempuran-pertempuran tersulit, memberi 

jalan bagi putranya sendiri, Pépin, untuk menduduki takhta pada 754 

M. Dinasti ini, atau ‘ras kedua’, menguasai Paris dan Prancis hingga 987 

M. Perlakuan orang Carolingia tidak sepagan dan sebrutal ‘ras pertama’ 

orang Frank kepada rakyatnya. Namun seperti juga pendahulunya, 

mereka tidak memiliki nilai-nilai kewajiban kewarganegaraan dan 

dedikasi terhadap administrasi seperti orang Romawi. Paris menjadi 

basis kekuasaan sebab  alasan militer dan bukan alasan budaya.

Kekuatan militer Carolingia yang sangat hebat sebagian disebabkan 

oleh cara mereka yang sering menggunakan kavaleri berat di medan 

pertempuran. Ini taktik yang tidak dikenal oleh orang Romawi. Efek 

penghancurnya dalam pertempuran jarak dekat membuat pasukan 

kavaleri Carolingia pada abad ke-8 ekuivalen dengan kendaraan lapis 

baja dan kapal meriam. Kuda-kuda ini paling baik dipelihara di daerah 

pertanian oat di utara, dengan Paris yaitu  basis yang paling mudah 

dipertahankan dan paling setia.6

Banyaknya ancaman kepada kerajaan Frank dan Paris sendiri tidak 

terlalu besar dan hanya bersifat sementara saat  Paris jatuh ke bawah 

kontrol Charlemagne pada 771 M. Dalam mitologi, ia sering dianggap 

sebagai salah satu pahlawan terhebat kota ini. Namun, seperti sebagian 

besar legenda yang melingkupi raja-raja, patung Charlemagne yang 

berwarna hijau-keabu-abuan yang saat ini berdiri di luar Notre-Dame 

sepenuhnya menyesatkan. Patung ini diletakkan di sana pada 1880 

M di lokasi Hôtel-Dieu yang lama dan menampilkan raja yang mulia 

dan penakluk segala di pusat kekaisaraannya, menyatukan semua 

kerajaan Kristen. Charlemagne, kaisar dunia Barat, raja Carolingia 

terhebat, pada kenyataannya bertubuh pendek gemuk dan botak. 

Ia hanya datang dua kali ke Paris dan itu pun hanya dalam rangka 

perayaan. Ibukota yang sebenarnya ditetapkan pada 800 M di Aix-

la-Chapelle (Aachen). Di bawah kontrolnya, Paris mulai menjauh 


47


dari pusat kehidupan politik, walaupun pengaruhnya sebagai pusat 

perniagaan dan perdagangan semakin besar. Charlemagne dan orang 

Carolingia penerusnya mendorong proses ini untuk berlanjut. Jules 

Michelet mendeskripsikan bahwa orang barbar yang datang untuk 

menghancurkan Paris ‘gemetar’ saat  melihat kebudayaan hebat yang 

diwakilinya bahkan selama periode tergelapnya.7 Hal ini tidak benar: 

Paris hampir selalu berada di bawah ancaman pengepungan selama 

abad ke-9 dari para penyerbu baru dari utara dan selatan. sesudah  

kembali menyusut menjadi seukuran pulau asal-usulnya, kadang kala 

Paris tidak lebih luas atau lebih hebat daripada saat  menjadi ibukota 

suku Parisii pra-Romawi.

Serangan pertama dari utara datang sekitar 808 M, sesudah  periode 

kedamaian dan stabilitas relatif yang ditentukan oleh kekuasaan 

Charlemagne yang kuat. Ia wafat pada 814 M, tetapi untuk sementara 

waktu setidaknya Paris dan wilayah-wilayah lain yang membentuk 

kekaisaran barat, yang membentang dari Samudra Atlantik ke sungai 

Danube, menikmati pertumbuhan ekonomi dan kesatuan politik 

tertentu. Namun di daerah perbatasan di semua garis depan, pasukan-

pasukan penginvasi Magyar (Hongaria), Avar (dari Eropa Timur), 

Saracen (Arab Muslim), dan Norseman (Viking) bersiap untuk 

membuka celah apa pun di garis pemisah.

Bangsa Norseman, yang telah membuat serangan di seantero 

wilayah di utara Paris selama hampir 200 tahun, mengeksploitasi 

rasa kekacauan yang terus berkembang di wilayah ini. Pada 820 M, 

mereka mulai melakukan invasi pertamanya di tanah-tanah sekitar 

sungai Seine. Invasi ini mayoritas tidak menghadapi tantangan dan 

mendorong para penyerbu untuk melakukan serbuan ke hulu sungai. 

Pada Minggu Paskah 845 M, dengan dipimpin oleh perampok 

Ragenaire, sebuah pasukan yang berpotensi mematikan berkekuatan 

125 kapal naga hitam, dari Inggris dan Rouen, tiba di jantung Paris.

Parisian sangat ketakutan tetapi sia-sia saja mencari bantuan 

politik dan militer dari para sekutu niaganya di kota-kota tetangga. 

Bahkan, tidak ada upaya simbolis untuk mempertahankan kota dan 

banyak orang orang langsung pergi secepatnya. Orang yang paling 

pertama pergi yaitu  para biarawan dan pendeta, membawa serta 

harta karun dan relik, yang mencari perlindungan di biara-biara di 



48

sekitar Paris sebelum melanjutkan perjalanan ke selatan mencari 

keselamatan. Sebuah kesepakatan tidak pantas yang diperantarai 

oleh Charles si Botak—salah satu keluarga ‘Robertine’ yang dianggap 

sebagai keluarga bangsawan—dibuat dengan para penyerang. Ia 

menyuap para penyerang yang kemudian melanjutkan perjalanannya 

ke Burgundy dengan dampak menghancurkan. Orang Burgundy tidak 

pernah melupakan tindakan pengkhianatan yang dilakukan Paris ini 

dan membalasnya dengan cara berkolaborasi dengan orang Inggris 

selama pendudukan kota dalam Perang Seratus Tahun. Parisian 

sendiri berterima kasih kepada semua santo yang bisa mereka ingat. 

Menurut pendapat para pemimpin mereka, penyuapan ini bukanlah 

tindakan memalukan, sebab  suku Norseman telah dibeli seharga 700 

livre—jumlah yang sangat besar pada masa itu—berupa perak dan 

janji hasil rampasan yang kaya dari Burgundy.8

Penangguhan ini tidak berlangsung lama. Pada Desember 856 

M, bangsa Norseman kembali dan mereka tidak berniat disuap atau 

dibujuk untuk mengabaikan Paris. Kota ini masih tidak memiliki 

sistem pertahanan yang memadai dan Louis, Kepala Biara Saint-

Denis, serta saudaranya Goslin dengan mudah ditangkap dan 

dijadikan tawanan dengan jaminan yang luar biasa besar. Sementara 

itu, para penyerang dengan gembira membuka jalan dengan tusukan, 

tombakan, dan tebasan saat  melintasi pulau-pulau. “Para perompak 

Denmark menyerang kota Lutetia-nya Parisian,” tulis Santo Bertin 

dalam Annales, “dan mereka menghancurkan dengan pedang semua 

yang tidak bisa dihancurkan dengan api.”9 Mereka datang kembali 

pada Januari 861 M dan membakar serta meratakan gereja Saint-

Vincent dan gereja Saint-Germain-des-Prés yang baru dibangun juga 

daerah-daerah di sekitarnya, menghancurkan Jembatan Besar di ujung 

utara Île de la Cité. Mereka kemudian terus bergerak ke pedalaman, 

ke Marne, Meraux, dan Melun, berhenti sebentar untuk kembali 

menghancurkan Paris dalam perjalanan pulang mereka ke pesisir.

Charles si Botak menyelamatkan diri di Senlis selama serangan-

serangan ini. Namun, ia bertekad untuk tidak membiarkan Paris 

dijarah yang ketiga kalinya. Dengan bantuan dan saran dari Goslin, 

ia melakukan serangkaian proyek pembangunan untuk memperkuat 

pertahanan kota dan mencegah bangsa Norseman agar tidak pernah 


49


bisa kembali memasuki kota. Hal yang terpenting yaitu  ia membangun 

kembali dan memperkuat Jembatan Besar yang dihancurkan dengan 

begitu mudah oleh para penyerang dalam setiap serangan sebelumnya. 

Pada 870 M, dengan menara-menara penjaga di tepiannya dan 

dinding-dinding tinggi untuk para pemanah, jembatan ini menjaga 

sungai dan kota. Selama dua puluh lima tahun, Paris menikmati 

perdamaian. Sistem pertahanan memastikan stabilitas dan keyakinan 

yang semakin tumbuh. Di dalam batas kota, dibangun gereja-gereja 

baru yang penuh berisikan relik dan harta karun. Perekonomian 

akhirnya mulai kembali berkembang dan populasi tumbuh, terutama 

dengan datangnya para imigran yang tertarik oleh janji lingkungan 

ekonomi dan sosial yang stabil.

Para penyerang kembali pada 885 M. Mereka berlayar ke hulu 

sungai Seine menggunakan kapal-kapal naga hitam dan, sebagaimana 

yang telah sering kali mereka lakukan sebelumnya, menuntut 

dihancurkannya Jembatan Besar dan membebaskan mereka agar 

berlayar ke wilayah-wilayah yang ada di seberang Seine. Mereka 

berjanji untuk tidak akan membahayakan kota maupun penduduknya. 

Sekali lagi, Parisian sangat ketakutan tetapi kali ini Goslin dan Count 

Paris, Odo (anggota keluarga Robertine lainnya), bergeming dan 

menolak untuk membiarkan suku Norseman memasuki kota. Para 

pria Parisian segera berkumpul dan bersiap di dinding kota dengan 

menunjukkan persenjataannya. Mereka mengarahkan senjata ke 

orang-orang asing itu dari menara-menara yang ada di sekeliling kota.

Paris dikepung oleh 30.000 orang Norseman di bawah komando 

Siegfried, seorang perompak yang terkenal kejam dan haus darah. 

Ia menyatakan pengepungan terhadap Paris. Hal ini terjadi pada 

November, saat  butiran es keras pertama mulai menggigit dan 

Siegfried mengharapkan kemenangan mudah. Ia memulai serangannya 

dengan serbuan terhadap menara kayu yang menghadap ke jembatan 

dan yang, sebab  masih dalam proses pembangunan, jelas sekali 

merupakan titik terlemah pertahanan kota. Pasukan Norseman sangat 

terkejut saat  mendapati bahwa lawan mereka merupakan pejuang 

yang tangguh, berkomitmen, dan tegar. Para penyerang bahkan lebih 

tertegun saat  mereka terdorong mundur ke garis pertahanannya 

sendiri. Delapan serangan lain terhadap kota terjadi selama 12 



50

bulan selanjutnya dengan semakin rapatnya pengepungan. Goslin 

tewas dalam salah satu serangan tersebut. Namun, Parisian masih 

memberikan perlawanan keras, mereka mempertahankan menara di 

atas sungai Seine sepanjang musim dingin. Banjir yang terjadi para 

Februari 886 M menghanyutkan salah satu jembatan kecil dan semakin 

memperlemah kota. Penduduk Paris pada akhirnya dikalahkan oleh 

para penyerang pada musim semi 886 M. Para penyerang menggorok 

leher semua orang yang mereka temukan di dalam kota.

Sepertinya, penyelamatan akhirnya datang saat  Charles si 

Gemuk tiba di Paris pada bulan November dengan membawa pasukan 

yang berkemah di kaki bukit Montmartre. Seperti pendahulunya, 

Charles si Botak, Charles ini bukan hanya tidak memiliki karisma fisik 

tetapi juga seorang pengecut. Ia menolak menggerakkan pasukannya 

mendekati kota dan membuat perjanjian memalukan dengan bangsa 

Norseman yang melibatkan pembayaran 1.400 keping perak kepada 

Siegfried dan anak buahnya pada Maret 887 M. Ini yaitu  jumlah 

yang luar biasa besar dan merupakan manuver yang sangat tidak 

populer di mata Parisian yang telah bertempur begitu sengit tidak 

hanya untuk mempertahankan kota tetapi juga kehormatan mereka. 

Tidak mengherankan jika sesudah  pengepungan ini, Charles yang 

didiskreditkan dan berkhianat menemukan dirinya dicopot dari 

kedudukannya dan digantikan oleh saudaranya Odo, salah satu 

pembela kota yang heroik. Norseman kembali datang pada 890 M dan 

925 M, tetapi kali ini mereka sudah senang menghancurkan distrik-

distrik di sekitarnya serta kota Beauvais dan Amiens. Terjadi sejumlah 

pertempuran kecil dan bahkan pertempuran besar di sekitar kota 

hingga 978 M, tetapi tidak ada pasukan asing yang akan memasuki 

kota hingga beberapa ratus tahun kemudian.10

Membangun Kembali Kota

Walaupun hampir selalu berada dalam kondisi dikepung pada abad 

ke-9, Paris pada abad ke-10 menghadapi masa depan dengan penuh 

kelegaan dan keyakinan diri. Pembaruan kembali Paris memang dapat 

dilacak hingga pasca-pengepungan tahun 885 M saat  Odo, Count 


51


Paris, memimpin perlawanan dan, saat  menghadapi musuh yang 

sangat menakutkan, memberikan rasa kekuatan dan nilai penting 

sebenarnya kepada kota ini.

Faktor-faktor tersebut sangat penting dalam tahun-tahun akhir 

milenium saat  Hugues Capet (diberi nama sesuai cappa yang 

dikenakannya sebagai tanda kepercayaan religius) mengawasi 

penyatuan Neustria, yang diubah namanya menjadi Francia Barat, 

dengan kota Paris. Penobatan Hugues pada 987 M memang menandai 

momen yang menentukan dalam sejarah Paris. Pada saat itulah Prancis 

dan Paris disatukan. Tidak seperti kota para raja Frank, Paris sekarang 

tidak hanya menjadi ibukota secara nama tetapi juga secara fungsi. 

Dalam aspek inilah dinasti Capetian, yang akan memerintah Prancis 

hingga 1328 M mengubah negara ini untuk selamanya. Walaupun 

keluarga ini menghasilkan garis keturunan para raja yang biasa saja 

dan sering kali jujur, mereka kelak memimpin istana yang berisikan 

para politisi yang terampil, para prajurit yang berani dan terlatih, 

para administrator yang cerdas, dan sekumpulan cendekiawan yang 

dikenal secara internasional dan para santo memastikan bahwa 

reputasi Prancis pada abad ke-14 akan lebih tinggi daripada kerajaan 

lainnya di Eropa barat.

Namun pada saat itu, kejadian-kejadian ini bukan hanya tidak 

dramatis, tetapi sepertinya tidak relevan dengan tuntutan lebih 

mendesak yang muncul dari ancaman militer dari timur dan selatan. 

Parisian sendiri lebih tertarik dengan perubahan sosial yang terjadi 

di sekeliling mereka dengan kecepatan yang tidak pernah terjadi 

sebelumnya. 

Aspek paling terlihat di Paris di bawah para raja Capetian pertama 

yaitu  naiknya vasal kebangsawanan ke tangga kekuasaan. Dalam 

waktu singkat, banyak dari wilayah penting di dalam dan di sekitar 

kota tidak lagi berada di tangan kerajaan tetapi dikontrol oleh para 

vasal di istana Capetian, yang memberlakukan serangkaian peraturan 

dan pajak yang kompleks yang mengatur pencarian ikan, penggunaan 

penggilingan dan hak untuk memuat barang-barang di kedua tepi 

sungai. Sebaliknya, kehidupan kelas hamba sahaya (serf atau servos 

sebagaimana sebutan mereka dalam bahasa Latin hingga sekarang) 

hampir tidak tercatat dalam kesusastraan. Namun kehadiran mereka di 



52

kota, selain para prajurit, pekerja merdeka, pelacur dan pengembara, 

yaitu  sumber gangguan dan kecemasan potensial bagi kelas penguasa: 

dengan secara harfiah tetap berada di luar kontrol hukum atau militer 

raja maka orang-orang luar ini mampu menganyam benang halus 

anarki ke dalam kain sosial.11

Paris belum menjadi kota pertama Eropa—sebagaimana akan 

diklaim oleh seorang raja beberapa waktu kemudian. Bahkan dalam 

sebagian besar sejarahnya hingga saat itu, paling baik Paris hanyalah 

kota provinsi tempat perniagaan berkembang dan sebagai basis militer 

bagi dua dinasti raja yang tidak memedulikan status kota ini. Paling 

buruk, saat  Kekaisaran Romawi tercerai-berai dan Paris semakin 

menjauh dari pusat kekuasaan dan peradaban, kota ini hampir saja 

hancur di tangan para penyerang.

Walaupun demikian, Paris muncul pada tahun-tahun awal menuju 

milenium baru sebagai pusat keagamaan dan ekonomi yang sedang 

berkembang. Sekitar satu abad sesudah  kehancuran yang disebabkan 

oleh bangsa Norseman, Paris sekali lagi mulai memperluas perbatasan 

yang ditandai oleh desa-desa kuno di utara dan selatan. Di jantungnya, 

jembatan-jembatan kembali dibangun dan gereja-gereja didirikan 

di kedua sisi sungai. Semakin banyak kebun anggur di Tepi Kiri, 

dari tempat yang sekarang menjadi rue Galande hingga rue Saint-

André-des-Arts.12 Para pendeta, yang tentu saja membangkitkan 

kembali kisah Geneviève dan Denis, beranggapan bahwa keselamatan 

kota yaitu  hasil keberanian dan keyakinan penduduknya saat  

menghadapi orang-orang kafir di semua garis depan.

“Dengarkanlah nyanyian Parisian!”

Hal ini, sebagian juga menjelaskan mengapa tanda pertama identitas 

Parisian secara tradisional yaitu  ketakutan terhadap dunia yang ada 

di luar tembok kota. Annales karya Santo Bertin pada 891 melaporkan 

bahwa daerah-daerah di luar Paris dipenuhi oleh bandit dan menjadi 

korban ‘anarki yang menakutkan’. Orang-orang daerah menertawakan 

pretensi Parisian (kota ini masih jauh sekali sebelum menjadi kota 

terpenting di wilayah yang sebelumnya disebut sebagai Galia) dan 


53


sering menuduhkan segala macam kejahatan kepada Parisian, mulai 

dari pernikahan sedarah hingga kanibalisme. Namun sejak masa 

awal Lutetia, kota ini yaitu  ciptaan campuran dari orang Kelt, orang 

Romawi dan orang Frank. Kemudian datanglah orang Burgundian, 

orang Breton, orang Auvergnat, orang Norman, orang Picard, orang 

Belgia, orang Yahudi, orang Alemanni, orang Yunani dan bahkan 

orang Inggris, yang menetap di sini sebab  alasan cinta, perdagangan 

atau agama. Pada awal Abad Pertengahan, adanya gelombang migrasi 

massa yang disebabkan dan dipertahankan oleh kelaparan dan 

perang, membuat Parisian mendefinisikan dirinya sendiri dengan 

cara membandingkan bahasa dan tingkah lakunya dengan bahasa 

dan tingkah laku sepupunya dari pedalaman. Identitas Paris yaitu  

masalah gaya dan perilaku dan tidak pernah merupakan masalah 

wilayah.

Oleh sebab  itu, bahasa rahasia Paris masa kini sekarang dibuat 

dan disampaikan di luar kota, dalam banlieue tempat orang Arab, 

orang Afrika berkulit hitam, orang Eropa Timur dan orang Asia 

menempelkan identitas hibrida mereka sendiri kepada bahasa Prancis. 

Kata-kata dalam bahasa Polandia, bahasa Arab, bahasa Rumania, 

bahasa Turki dan bahasa Serbia-Kroasia sekarang, di mata para rasis 

dan penganut purisme, mengontaminasi bahasa resmi dengan cara 

yang sama seperti, selama berabad-abad, kata-kata dari bahasa Picardy, 

bahasa Flander dan bahasa Konstantinopel, dari bahasa Yahudi, bahasa 

Roma, bahasa Suriah dan bahasa Aramaik ‘menginfeksi’ bahasa dan 

menjadi bagian dalam persenjataan linguistik sehari-hari Parisian 

di tingkat jalanan. Bahasa utama di rue de Belleville saat ini yaitu  

bahasa Cina Mandarin dan sebagian besar bar tradisional di bagian 

Paris ini sekarang dikelola oleh orang-orang Asia Tenggara. Sebagian 

besar pelacur di jalan-jalan Saint-Denis yaitu  orang Albania atau 

orang Kosovo atau dari Sub-Sahara Afrika.

Namun hingga sekarang, di Paris abad ke-21, masih ada  sebuah 

suku yang disebut Parisii—nama asli orang Kelt yang mendirikan 

Paris. Sepanjang musim dingin dan hampir di sepanjang musim semi, 

mereka berkumpul bersama-sama di Stand Boulogne R2 di Parc des 

Princes, stadion di ujung barat kota. Mereka datang ke sini untuk 

mendukung tim sepak bola Paris Saint-Germain (PSG). Anak-anak 



54

berpenampilan Arab, sesama pendukung PSG tetapi dengan agenda 

budaya yang sama sekali terpisah, berkumpul bersama-sama di ujung 

stadion yang berseberangan, memberi tanda berbeda bagi diri mereka 

sendiri dari fils de Clovis (‘para putra Clovis’—slang Afrika Utara 

untuk Parisian kulit putih) menggunakan kaos tim Algérie berwarna 

hijau-merah atau pakaian Italia yang mencolok. ada  pula sebuah 

kelompok lebih kecil yang mayoritas berkepala botak dan terlihat lebih 

kejam bernama Lutèce Falco 91. Suku Parisii dan rekan-rekannya 

dari kelompok ini, mencemooh sentimen pan-Mediterania atau pan-

Eropa. Patriotisme mereka sangat unik dan sangat khas Paris.

Sasaran favorit mereka bukanlah orang Arab melainkan penduduk 

Marseilles. “Allons enfants du Grand Paris … Qu’un sang marseillais 

abreuve nos sillons (Marilah, anak-anak Paris Raya … Biarkan darah 

orang Marseilais mengalir melalui teras-teras kita),” demikian mereka 

bernyanyi mengikuti nada lagu Marseillaise. Lagu kebangsaan ini 

diikuti oleh ribuan suporter, bahkan saat  tim Olympique Marseille 

sedang tidak bermain di Paris dan bahkan bisa saja sedang berada 

ratusan atau bahkan ribuan kilometer jauhnya.

Lagu-lagu Parisii modern juga membawa gema historis yang jelas. 

‘Nous n’irons pas à Saint-Denis, /C’est au Parc que l’histoire s’écrit. /

Nous sommes rouge et bleu pour la vie, /Notre amour s’appelle Paris! 

Écoutez chanter les Parisiens! (Kami tidak akan pergi ke Saint-Denis, 

/Di Taman-lah sejarah sedang ditulis. /Kami merah dan biru seumur 

hidup, /Cinta kami disebut Paris! Dengarkanlah nyanyian Parisian!)’. 

Rujukan kepada Saint-Denis yaitu  kepada stadion baru di luar Paris, 

tempat tim nasional Prancis memenangkan Piala Dunia pada 1998, 

dan tempat PSG tidak pernah bermain di sana. Lagu ini, dalam konteks 

sepak bola, yaitu  pertunjukan dukungan konvensional terhadap klub 

di atas negara.

Namun rujukan Parisian kepada Saint-Denis—tempat permakaman 

para raja Prancis—tidak pernah tanpa dosa. Hal ini menunjukkan 

perlawanan antara sejarah Prancis dan Paris yang dimulai dari momen 

saat  Clovis menjadikan Paris sebagai pusat semua kekuasaan dan 

otoritas di wilayah Prancis. Para raja Capetian memperkuat posisi 

ini dan, oleh sebab nya, memperlebar pemisahan budaya dalam 

kerajaan. Pada saat yang sama, kota menjadi magnet bagi orang yang 


55


tamak, tidak puas dan ambisius: semua orang yang dibutuhkan untuk 

menjadi penanda Paris, ibukota yang besar. Tidak pernah ada basis 

rasial bagi antagonisme antara Parisian dengan non-Parisian. Bahkan, 

salah satu penghinaan yang sering digunakan orang-orang daerah 

kepada Parisian yaitu  tidak pernah adanya ras yang disebut ras Paris 

sebenarnya. Bagi Parisian, ledekan kasar ini hanya menunjukkan 

keterkaitan pedalaman terhadap terroir (tanah asal) dan teritori yang 

sudah sejak lama bisa mereka hilangkan.

Mereka terutama bangga dengan satu fakta bahwa—apa pun klaim 

orang pedalaman, novelis atau sejarawan—tidak pernah ada, sejak 

masa awal Lutetia, hal yang disebut Parisian tipikal.



56




57

Bagian Dua:  Kota  Kegembiraan

BAGIAN DUA

Kota Kegembiraan

988 – 1460 M

Paris yaitu  tempat yang baik untuk hidup                                                    

tetapi tempat yang buruk untuk mati.

Inilah tempat di mana para pengemis memanaskan 

pantat mereka dengan membuat api dari tulang-

tulang orang mati.

Rabelais, Pantagruel, 1532

Paris yaitu  kota kegembiraan tempat orang 

naif dicengkeram lehernya dan dibuat pingsan di 

panggung, dan tempat para penjahat menguasai 

semuanya. Keluarlah dari dinding kota yang tebal 

secepat yang engkau bisa! Para pemotong tas dan 

penjahat berpisau mengintai di kegelapan. Berhati-

hatilah pada tambang!

François Villon, Ballades en jargon, 1460?





58

Pemandangan Paris pada abad ke-11 dari sebuah ukiran                                                        

karya Adolphe Rouargue (1810 – 1870)


59

Bagian Dua:  Kota  Kegembiraan

Tempat yang Kejam nan Cemerlang

Pada akhir seribu tahun pertama sejarahnya, Paris belumlah 

menjadi 


Related Posts:

  • Paris Perancis 2 nta untuk dimakamkan di makam Santo Denis, tetapi kontribusi nyatanya bagi generasi selanjutnya yaitu  menjadi sasaran lagu antimonarki pada Revolusi 1789. Raja yang lebih terkenal sebab  telah … Read More