Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 1

 



Paris menimbulkan emosi yang kuat. “Kesan pertama saya terhadap 

Paris jauh berbeda dari apa yang semula saya harapkan,” demikian tulis 

Jean-Jacques Rousseau, salah seorang penjelajah pertama kota modern 

itu. “Tadinya saya membayangkan sebuah kota yang keindahannya 

setara dengan luasnya. Nyatanya, saya hanya melihat gang-gang 

kotor dan berbau, rumah-rumah hitam nan jelek, bau busuk kotoran 

serta kemiskinan. Ketidaksukaan saya masih bertahan.”1 Pengalaman 

pertama saya sendiri bertahun-tahun lalu, saat  menginjakkan 

kaki di jalanan Paris dari stasiun metro di Barbès, sama seperti yang 

dirasakan Rousseau serta tak terhitung banyaknya orang lain. Kota 

ini sama sekali jauh dari pembayangan saya semula. Jalan-jalannya 

membingungkan dan pada awalnya tidak mudah dipahami, sebuah 

huru-hara warna dan suara yang asing. Bertahun-tahun kemudian, 

Barbès tetap menjadi salah satu tempat favorit saya di Paris justru 

sebab  tempat itu semrawut, kadang kala jorok dan senantiasa tidak 

terkontrol. Saat itu Barbès membuat hati saya bergetar, dan sekarang 

pun tetap membuat saya terkagum-kagum; boleh dibilang sebab  

tempat itu merupakan milik beberapa abad sekaligus.

Justru sesudah  sekian lama tinggal di Paris, dan telah melakukan 

perjalanan tanpa ujung mengelilingi kota, akhirnya saya memahami 

kompleksitas akan fakta ini. Dalam sejarah kesusastraannya yang 

panjang dan luas, Paris telah direpresentasikan dalam berbagai bentuk 

seperti penjara, taman firdaus dan gambaran neraka. Paris juga telah 

dikarakterisasi sebagai wanita cantik, penyihir dan setan. Dalam kasus 

ini, kesusastraan bukanlah pembiasan melainkan refleksi akurat dari 

kehidupan sehari-hari: Paris secara radikal benar-benar terbentuk 

dari ranah yang berbeda dan kepribadian yang majemuk, yang selalu 

bertentangan dan sering kali berbenturan terhadap satu sama lain. 

Situasi ini sudah terjadi selama hampir dua ribu tahun.

Dalam rentang waktu yang lebih pendek, Paris telah direproduksi 

ke dalam poster, kartu pos dan gambar cetak yang dikirim ke seluruh 

dunia sebagai metonimia hampa atas seni, seks, makanan serta 

kebudayaan. Menara Eiffel, Sacré-Coeur dan Notre-Dame merupakan 

bagian dari budaya visual global ini—bahasa bayi di-Disney-kan yang 

mendistorsi dan menghancurkan makna sebenarnya. Proses ini rakus 

dan mewabah: Tidak hanya monumen dan gereja, tetapi juga lukisan-

lukisan karya Degas dan Manet, foto-foto karya Robert Doisneau atau 

Willy Ronis, film-film karya Marcel Carné atau François Truffaut, 

semuanya telah dipisahkan dari konteks sejati masing-masing dan 

tereduksi menjadi klise serta komoditas. Tidak mengherankan jika 

dalam beberapa tahun belakangan ini, wilayah-wilayah yang dinamis 

dan tidak terduga seperti Sydney, New York atau London-lah yang 

justru menarik perhatian dunia. Dan tidak mengherankan pula jika 

pada masa-masa paling muram yang baru saja berlalu, saat  pusat 

kotanya sekali lagi dicabuli oleh negara dan ibukota, salah seorang 

mantan pencinta Paris,  Ralph Rumney yang seorang seniman asal 

Inggris, menyamakan kota ini dengan “mayat seorang pelacur tua”.2

Namun, sang pelacur tua—baik yang masih hidup maupun sudah 

mati—tetap memiliki pesona yang kuat.

***

Buku ini tidak mengklaim menjadi sejarah Paris yang final. Bagaimana-

pun, jutaan kata yang telah didedikasikan bagi kota ini selama berabad-

abad menunjukkan bahwa sama sekali tak ada yang namanya sejarah 

final. Sebaliknya, Paris: Sejarah Rahasia berusaha memaparkan 

kisah Paris dari sudut pandang “kelas-kelas berbahaya,” istilah yang 

digunakan oleh para sejarawan Prancis untuk mendeskripsikan 

unsur-unsur marjinal dan subversif di kota ini—para pemberontak, 

pengembara, imigran, pelaku seksual menyimpang, penjahat—yang 

catatan pengalamannya bertentangan dengan sejarah resmi. 

Salah satu inspirasi di balik buku ini yaitu  London: The Biography 

karya Peter Ackroyd dan, terutama, gagasan Ackroyd bahwa sejarah 

bukanlah narasi pasti, melainkan sebuah dialog yang belum usai.3 

Dalam semangat ini, narasi Paris berupaya melacak geografi Paris 

yang selalu berubah, mempelajari sejarahnya dalam ruang, dalam 

waktu dan di jalanan. Buku ini bukanlah kisah perjalanan ataupun 

buku panduan, Paris terutama ditulis untuk dimanfaatkan. Ini sebuah 

buku sejarah yang dapat dibawa ke bar, kemudian ke metro, ke pusat 

labirin itu sendiri—dan di sana digunakan sebagai penerjemah, 

pemandu dan teman berbicara.

The Flâneur yang ramping dan elegan karya Edmund White juga 

berusaha “membaca” kota ini.4 Lebih tepatnya, investigasi White 

meminjam praktik Parisian abad ke-19 yaitu flânerie—berkelana 

tanpa tujuan menjelajahi Paris di mana dalam pengelanaan ini seorang 

pria terhormat (gentleman) dapat, meskipun ironis, menemukan 

kontradiksi terperinci dari kenikmatan urban, dari perjumpaannya 

dengan seorang pelacur sampai kegiatan menghabiskan senja di kabaret 

atau rumah opium. Tidak seperti The Flâneur, petualang bawah tanah 

di dalam buku ini tak hanya mencari kesenangan—walaupun saya 

tidak menghindarinya!—tetapi juga mencari signifikansi asosiatif dari 

situs-situs di kota ini. Sang penjelajah mencari hal yang memabukkan, 

dengan sengaja membuat dirinya tersesat di kota ini agar dapat 

menemukan jalan keluar. saat  yang akrab menjadi asing, makna 

baru dan lama dari bangunan, jalan, papan nama jalan, lapangan dan 

ruang terbuka pun akan terungkap.

saat  menggambarkan peta mental Paris pada 1930-an, Walter 

Benjamin yang seorang kritikus Jerman menegaskan bahwa kita 

dapat melihat sekilas apa saja yang membentuk sejarah Paris dalam 

pergerakan kesehariannya yang selalu berubah. Pendapat Benjamin 

bahwa pengalaman sehari-hari—berjalan-jalan tanpa tujuan, me-

minum kopi atau alkohol, bertemu dengan lawan jenis atau sesama 

jenis—selalu memiliki makna yang lebih besar dan lebih kompleks. 

Dilihat dari cara ini, kehidupan kota itu diungkapkan sebagai 

serangkaian gerak tanpa akhir, selalu bersifat sementara dan kadang 

kala membingungkan, yang juga merupakan sejarah riilnya.

Di atas segalanya, Paris, sebagaimana yang dinyatakan oleh 

Benjamin, yaitu  sebuah kota dari petualangan-petualangan rahasia. 

Misteri Paris muncul di permukaan kehidupan sehari-hari—senyum 

seseorang yang tak dikenal di metro, bar yang tidak pernah Anda 

kunjungi sebelumnya, kunjungan ke bagian terlupakan dari daerah 

pelosok perkotaan. Kesenangan kota juga bisa jadi tersumbat, tak 

tertembus dan adakalanya berbahaya. Paris selalu menjadi karnaval 

cahaya dan teror.5

Salah satu landasan mitologi Paris yaitu  gagasan bahwa 

arsitektur kota menjadi dekor ideal bagi kisah cinta. Metafora yang 

digunakan untuk mendeskripsikan Paris pada abad ke-19—seperti 

“ratu dunia”—menekankan pada sifat mewah dan sensual kota ini, 

memfemininkan serta menjadikannya objek kesenangan. Kematian 

Diana—perjalanan dengan mobil untuk kali terakhir dari Place 

Vendôme yang elegan namun murahan hingga menjadi rongsokan 

yang hancur di terowongan di bawah Pont d’Alma, tempat para turis 

masih meletakkan karangan bunga—hanya bisa terjadi di sini.

Tetapi orang-orang Paris atau Parisian tidaklah sentimental. 

Mereka percaya bahwa dunia diatur oleh teori ironis alih-alih oleh 

Tuhan. Stereotipe karakter parigot Parisian yaitu  penghuni kota 

asli yang humor tidak lucunya selalu dan secara konsisten bekerja 

melawan pemerintah serta negara. Memang benar bahwa cinta yaitu  

hal utama bagi mitos dan realitas di Paris, tetapi demikian pula halnya 

dengan makanan, minuman, agama, uang, perang, dan seks. Dengan 

semangat ini, Paris yaitu  sejarah yang disampaikan dalam bentuk 

sebuah perjalanan—atau lebih tepat lagi, beberapa perjalanan—

dari bar, tempat pelacuran dan ruang belakang, ke permukiman-

permukiman miskin di pinggiran kota serta salon elegan dan pusat 

kekuasaan, sambil selalu menginterogasi, membedah atau hanya 

digoda oleh mitos-mitos Paris yang memukau.

Dan Paris menggoda tanpa ampun. Diana hanyalah contoh 

paling akhir dan paling terkenal dari mereka yang mendapat godaan 

mematikan di sini. Tentu saja ini yaitu  paradoks paling kejam, 

seperti yang disadari oleh Diana secara terlalu tiba-tiba, dan kemudian 

terlalu terlambat, bahwa pesona pelacur tua juga merupakan kutukan 

mematikan.



Asal Mula Parisian

Sejarah Paris bukan hanya kisah para putri dan raja: dalam berbagai 

hal, justru sebaliknya. Bagaimanapun juga, Paris merupakan kota 

yang menjadi tempat terjadinya revolusi rakyat, terutama sesudah  

mengalami konflik berdarah selama berabad-abad. Paris boleh saja 

dianggap sebagai ibukota dunia bagi politik, agama dan kebudayaan, 

tetapi tak bisa dimungkiri bahwa sejarah kota Paris sebagian besar 

telah ditempa oleh kesulitan hidup yang dialami penduduknya—atau 

petites gens (rakyat jelata). Itulah sebabnya sangat penting bagi kita 

untuk dapat membedakan antara mitos, legenda serta cerita rakyat 

dengan bagaimana sebenarnya Parisian berperilaku dan memandang 

dirinya sendiri.

Seperti yang telah ditunjukkan oleh begitu banyak sejarawan Paris, 

bukanlah kebetulan bahwa kata ‘Parisian’ sudah lama disamakan 

dengan kata ‘agitator, penghasut’. Kecenderungan ini ada di dalam 

imajinasi Parisian dan warga pedalaman sejak Abad Pertengahan, 

saat  Parisian biasanya dideskripsikan sebagai trublions (‘pengganggu 

kedamaian’) atau maillotins (palu perang’).6 Istilah ini selalu memiliki 

makna yang spesifik dan juga politis. Kata maillotin, misalnya, diambil 

dari palu timah berat, atau maillet, yang digunakan para pemberontak 

pada abad ke-14 untuk menghancurkan patung dan kepala (biasanya 

kepala para pemberi pinjaman dan pejabat pajak, yang umumnya 

yaitu  orang Yahudi dan orang Lombard). Penghasut lainnya, 

trublions, memimpin pemberontakan yang sering kali spontan dan 

tidak teratur, atau jacqueries, melawan pemerintah dan raja atas 

nama kelaparan serta ketidakadilan. Jacqueries yang paling terkenal 

dan berhasil yaitu  gerakan yang dipimpin oleh Étienne Marcel pada 

1357 saat  ia melancarkan pemogokan kerja dan membunuh seorang 

pangeran dengan tangannya sendiri. Patung Marcel masih berdiri 

tegak di tepi sungai Seine di depan Hôtel de Ville.7

Di luar Paris, Parisian yang suka memberontak ini dihina sekaligus 

ditakuti. Pada pertengahan abad ke-16, Rabelais tanpa belas kasihan 

mendeskripsikan ‘Parisian’ sebagai ‘gros maroufle’8—kucing liar yang 

amoral, vulgar dan tak jujur. Dengan penuh percaya diri, ia berharap 

agar deskripsi ini memunculkan gelak tawa pengakuan tidak hanya 

di Paris, tapi juga di seluruh Prancis. Seiring dengan berjalannya 

waktu, kata ‘Parisian’ juga digunakan dalam bahasa Prancis untuk 

mendeskripsikan rokok yang modis, berbagai posisi seksual (umumnya 

varian dari sodomi yang tergantung di bagian Prancis mana Anda 

berada), celana dari bahan biru, biskuit, pelaut yang tidak berguna, 

sejenis masakan, dan pelat topografi. Bagi penduduk pedalaman, à 

la parisienne berarti sebuah pekerjaan yang tidak diselesaikan atau 

tidak dilakukan dengan benar. Ketidaksukaan penduduk pedalaman 

terhadap Parisian tergambar dalam lagu anak-anak ‘Parisien, tête de 

chien, parigot, tête de veau’ (‘Parisian dengan kepala anjing, Parisian 

dengan kepala anak sapi’). 

Namun demikian, di dalam kotanya sendiri, identitas Parisian 

sudah lama dibagi ke dalam basis kelas yang sangat hierarkis. Pada abad 

ke-18, Louis-Sébastien Mercier menghitung ada lebih dari 20 kelas 

yang berbeda; tetapi ia mengakui bahwa studinya baru menyentuh 

permukaan saja. Pada 1841, Balzac menggunakan kata parisiénisme 

(istilah yang pertama kali digunakan pada 1578) untuk merujuk 

pada serangkaian kode serta pola sosial unik yang mengadakan Paris 

dan sifat Parisian yang memuja diri sendiri. Ia menciptakan satire: 

‘L’atticisme moderne, ce parisiénisme . . . qui consiste à tout affleurer, à 

être profond sans en avoir l’air’ (‘Attisisme modern, Parisianisme ini … 

membuat segala hal dangkal menjadi mendalam tanpa terlihat seperti 

itu’).9 Parisian berkedudukan sosial tinggi secara sengaja menjadikan 

parisiénisme bermakna modis, terpelajar, sangat ringan, elegan serta 

cerdas. Ini yaitu  tipe Parisian yang secara sengaja menumbuhkan 

accent pointu—semua kata ‘didesiskan’, dengan penekanan pada 

pengucapan huruf vokal pendek yang tajam di akhir sebuah kata—

yang bagi banyak orang pedalaman merupakan ciri khas Parisian kelas 

atas yang sombong serta tinggi hati. Aksen ini masih terdengar dan 

terus mengganggu warga non-Parisian kontemporer, seperti halnya 

telah mengganggu Balzac. 

Pernah ada (dan pada kenyataannya masih ada) aksen Paris asli 

yang umum terdengar di jalanan. Aksen ini awalnya merupakan 

pertemuan antara bunyi-bunyian dari Picardy, Flandria, Normandia 

dan Breton. Kemungkinan besar aksen ini pertama terdengar 

pada awal 1100-an saat  bahasa Latin kelas bawah dari rue de 

Fouarre—kawasan kegerejaan dari kota yang baru tumbuh tersebut—

terdisintegrasi menjadi bahasa Prancis. Aksen ini dimodifikasi pada 

abad ke-16 dan ke-17 dengan masuknya para pekerja dari Berry, 

terutama tukang perahu dan pedagang, meskipun relatif tidak 

terganggu oleh pengaruh dari luar.10 Fitur umum di masa lalu (dan 

juga di masa kini) yaitu  kecenderungan untuk menggulung ‘r’. Suara 

er atau el sering kali diperpanjang atau dibuka menjadi suara ar atau 

arl. Ini yaitu  kecenderungan yang dapat ditelusuri kembali hingga 

abad ke-15 kepada penyair François Villon yang selalu melebur rima 

seperti ‘merle’ (‘jalak hitam’) menjadi ‘marle’. Sebuah drama komedi 

pada masa Louis XIV dengan seorang karakter bernama Piarot (dan 

bukan ‘Pierrot’) mengikuti kecenderungan peleburan yang sama, dan 

pada abad ke-19 bunyi ini dikenal sebagai karakteristik khas bagi aksen 

Belleville serta Ménilmontant, di mana concierge menjadi ‘conciarge’.

Inilah masa saat  istilah parigot digunakan secara luas untuk kali 

pertama guna mendeskripsikan kaum pria Parisian asli dari kelas 

pekerja. Pada awalnya, istilah ini digunakan untuk menertawakan 

serta mengejek orang-orang dari kelas lebih rendah. Dalam 

kesusastraan, parigot ditertawakan, dieksploitasi secara seksual 

atau dipandang sebagai karikatur. Dalam kehidupan nyata, mereka 

kelihatannya memang jahat: ‘Para Parigot terlahir jahat,’ demikian 

tulis seorang jurnalis. ‘Mereka mengagumi kejahatan, ambil bagian 

di dalamnya jika memungkinkan, menghindari pekerjaan, dan juga 

mencari keuntungan bagi diri sendiri setiap saat mereka bisa.’11 Ada 

istilah lain yang tidak terlalu agresif dan kurang menghina seperti 

parigot, yaitu titi, sebuah kata kekanak-kanakan yang digunakan 

pada abad ke-19 untuk mendeskripsikan pekerja muda dengan sikap 

kurang ajar, biasanya mengenakan topi, syal dan mengisap pipa. Gaya 

ini begitu umum sehingga dengan mudah dapat ditiru oleh para 

pemuda pemberontak dari keluarga berkecukupan yang mencoba 

untuk mengejutkan teman sebayanya: Tentu saja ada bahaya nyata 

dari penyamaran ini yaitu saat  penyamarannya terbongkar dan ia 

dipukuli sebagai peniru yang menghina oleh orang-orang dari kelas 

pekerja asli.

Demikian pula, para wanita Parisian dari kelas pekerja sama 

misterius dan mengancamnya. Wanita Parisian dari kelas pekerja 



xxii

sangat tidak bisa dipercaya—walaupun layak untuk dipelihara sebab  

ketersediaan seksualnya. Pada abad ke-19, kelas pekerja Parisienne 

juga disebut parigote—dan biasanya dideskripsikan sebagai wanita 

bermulut lancang yang tidak segan untuk mencaci maki kaum 

bourgeois terhormat mana pun yang kebetulan mereka jumpai. Para 

wanita ini juga, setidaknya dalam imajinasi kaum pria, sangat baik 

dalam berhubungan seks. Gambaran ini dapat ditelusuri kembali 

hingga akhir Abad Pertengahan kepada François Villon yang memiliki 

perasaan sayang terhadap kekasih pelacurnya, La Grosse Margot:

Puis paix se fait et me fait ung gros pet

Plus enflee qu’ung vlimeux escharbot.

Riant, m’assiet son poing sur mon sommet.

Gogo me dit et me fiert le jambot.

Tous deux yvres comme ung sabot

Et au resveil quant le ventre luy bruit

Monte sur moi que ne gaste son fruit.

[We make the peace then in bed. She takes my fill, 

Gorged like a dung beetle, blows me a bad

And mighty poisonous fart. I fit her bill,

She says, and laughing bangs my nob quite glad.

She thwacks my thigh and, after what we’ve had,

Dead drunk we sleep like logs—and let in the fleas.

Though when we sitr her quim begins to tease.]12

Gambaran pelacur berhati lembut ini bertahan lama hingga abad 

ke-20. La Grosse Margot terbukti menjadi leluhur para parigote paling 

terkenal—artis Arletty serta penyanyi Fréhel dan Édith Piaf. Namun 

demikian, sebab  alasan yang sangat jelas, tidak seorang pun dari 

wanita ini sepenuhnya merasa nyaman terhadap karikatur atas gender 

dan kelas sosial mereka. 

Arletty, contohnya, hidup dan meninggal dunia di sebuah 

apartemen mewah di sisi barat kota, yang dalam konteks apa pun sangat 

berlawanan dengan daerah Belleville atau daerah Ménilmontant—

tempat tokoh yang diperankannya dalam layar film dilahirkan. 

sesudah  dituduh berkolaborasi dengan Nazi (dan muncul desas-desus 

bahwa perlawanan Paris berencana untuk memotong payudaranya 



sebagai hukuman) dan terputus dari kebudayaan kota yang telah 

menginspirasinya, ia akhirnya meninggal dunia sebagai figur yang 

kesepian dan melankolis.

Fréhel pada kenyataannya yaitu  penduduk asli Brittany, dengan 

nama panggung yang diambilnya dari Cap Fréhel di wilayah asalnya. 

Ia datang ke Paris saat  masih kanak-kanak dan bekerja sebagai 

penyanyi jalanan, dan menjadi terkenal di ruang-ruang pertunjukan 

musik pada periode itu dengan campuran kecerdasan serta melodrama. 

Namun demikian, momennya yang paling terkenal datang saat  

ia sudah melewati puncak kejayaannya. Saat itu ia berperan sebagai 

Tania, seorang mantan bintang yang tak terurus, dalam film produksi 

1937 yang berjudul Pépé le Moko. Ia menghibur Pépé, seorang gangster 

Parisian penuh gaya (diperankan oleh Jean Gabin) yang sedang 

melarikan diri di kasbah Aljazair, dengan menyanyikan ‘Où est-il donc?’ 

(‘Di mana benda itu sekarang?’). Ini yaitu  ratapan kerinduan yang 

menghantui dan dipenuhi nostalgia terhadap Place Blanche di Paris 

Tua—kota Paris imajiner yang tidak pernah bisa kembali didatangi 

oleh Fréhel. Ia mengakhiri kariernya dalam kemiskinan dan hancur 

akibat minuman keras. Serge Gainsbourg, yang secara pribadi tidak 

asing akan bencana alkohol, menjadikannya sebagai inspirasi dan 

mengingat kembali dengan rasa sayang bahwa ia pernah mentraktir 

Fréhel, seorang wanita tua eksotis, yang bergetar sebab  kehausan, di 

sebuah bar di rue du Faubourg du Temple pada 1951.

Parigote yang paling ikonis dan bejat yaitu  Édith Piaf yang lahir 

di Belleville, pusat kotanya para kelas pekerja. Lagu-lagunya yang 

paling terkenal memuliakan mitos bahwa seorang anak parigote 

dari bagian kota ini dapat menemukan cinta dan kebahagiaan di ‘le 

Grand Paris’. Ia menyanyi dengan sangat baik tentang jalan-jalan 

berbatu, pemain akordeon, pelacur, kekasih-prajurit yang tangguh 

tetapi rapuh, dan menciptakan mitologi yang sepenuhnya baru bagi 

Paris. saat  menjadi sangat terkenal sesudah  Perang Dunia Kedua, 

Piaf tidak pernah dimaafkan oleh mereka yang mengenalnya dengan 

baik dan yang mengatakan bahwa aktingnya yaitu  kebohongan demi 

melayani kekuatan-kekuatan yang menjaga agar petites gens tetap di 

tempatnya. Teman dan pengagum dari masa awal kariernya, seperti 

pianis Georges van Parys, mencemooh Piaf pasca-perang sebagai 


‘palsu’ dan mendeskripsikannya sebagai pengkhianat terhadap asal 

usulnya. Tidak heran bahwa Piaf—yang cerdas, cerdik, memiliki nafsu 

seks tinggi, dan kalah oleh seseorang selebritas yang menghancurkan 

setiap inci identitas aslinya—berlindung dalam perselingkuhan cinta 

yang merusak dan alkohol. Anehnya, ‘ke-autentik-an’ Piaf-lah yang 

meruntuhkannya. Suatu kualitas pribadi yang dijunjungnya melebihi 

kualitas lain. saat  kualitas itu hilang, dan Piaf menyadari betapa jauh 

dirinya telah melangkah, ia akhirnya menenggelamkan diri dalam 

minuman keras.13 Parisian yang dahulu mencintainya, menerima 

kabar kematiannya yang dalam kemelaratan tanpa rasa sentimental 

sedikit pun.

Parisian dikenal sebagai ras yang keras kepala. Kaum parigot, titi 

atau gamins de Paris tak pernah atau jarang sekali menggambarkan diri 

mereka seperti itu; mereka melihat diri mereka sendiri sebagai penjaga 

toko, pengelola bar dan pelayan, buruh, tukang, musisi, pencopet, 

pemulung, pemabuk, sosialis dan anarkis. Di atas segalanya, Parisian 

memandang diri mereka sebagai sebuah kelas atau serangkaian kelas 

yang beragam dan kaya seperti kota itu sendiri. Gambaran Parisian 

yang diciptakan dalam literatur, seni dan sinema, oleh mereka 

sendiri hanya dipandang secara positif sebagai sekadar kisah rakyat, 

dan secara negatif sebagai upaya kelompok penguasa—siapa pun 

kelompok penguasa itu—untuk menundukkan serta menaklukkan 

gejolak pemberontakan alamiah dari Parisian. 

Satu dari sejumlah kalimat klise yang memang diakui oleh Parisian 

kelas pekerja yaitu  kebiasaan menggunakan gouaille (‘pipi’ atau ‘tipu 

daya’), biasanya bersamaan dengan l’esprit froundeur (penggunaan 

kecerdasan secara agresif—yang secara harfiah berarti ‘kecerdasan 

katapel’—dinamai menurut fronde, sebuah katapel yang digunakan 

dalam pemberontakan di jalan-jalan pada abad ke-17). Namun 

bahkan hal ini pun kini mendapat ancaman. Ancaman yang paling 

terkenal, di akhir tahun 2001, yaitu  adanya suatu gerakan untuk 

mengusir para pekerja seks komersial dari rue de Saint-Denis. Media-

media lokal segera bersatu menghadapi serangan terhadap salah 

satu dari sisa-sisa warisan Paris ini. Lebih spesifik lagi, menurut 

artikel-artikel yang paling keras dalam Le Parisien, para pekerja seks 

komersial yang lebih tua—disebut traditionnelles—disukai klien tak 



hanya sebab  daya tarik seksual tapi juga sebab  gouaille mereka. 

Mengusir para wanita ini dari jalan-jalan kota, yang diperdebatkan 

selama berminggu-minggu di televisi, radio dan pers, menunjukkan 

bahwa kota baru abad ke-21 yang berkilauan ini tak memiliki tempat 

untuk kebudayaan jalanan Parisian zaman dahulu. Ini sama seriusnya 

dengan, sebagai contoh, masalah yang dihadapi kafe dan bistro 

tradisional, yang juga mengalami pengusiran dari kota oleh tingginya 

harga sewa dan kebudayaan makanan cepat saji. Jika diperdebatkan 

lebih jauh, migrasi paksa terhadap para pelacur asli Paris ini memang 

merupakan sebuah metafora sangat kuat atas krisis identitas lebih 

besar yang telah dihadapi oleh kota tersebut sejak akhir abad ke-21. 

Berikut ini pertanyaan yang terus-menerus diajukan: Dapatkah 

apa pun dari Paris sungguhan tetap bertahan dalam gambaran, ilusi 

serta tontonan abad ke-21? Lebih jelasnya lagi, apa bagusnya kota 

Paris tanpa Parisian?

Paris, di Bawah Tanah

Di tengah musim panas tahun 2001—saat saya mulai menulis buku 

ini—ada satu dari sejumlah kafe yang tetap buka selama libur musim 

panas, sementara Parisian pada umumnya melarikan diri ke wilayah 

pegunungan atau ke wilayah pesisir. Kafe itu yaitu  La Palette di rue 

de Seine. 

Beberapa tahun lalu, kafe ini telah dikenal seluruh dunia sebagai 

lokasi iklan Kronenbourg di mana seorang langganan yang takut-istri 

dan pemurung menghindar dari omelan istrinya di balik bar, mencari 

hiburan dalam segelas dingin bir ringan Prancis yang ternama. Bagi 

jutaan orang yang tak mengenal namanya, La Palette, dengan bar 

kayunya yang tak bernoda, cermin keramik serta meja-meja kecil yang 

lucu, mewakili gambaran ideal dari relaksasi alkoholik Prancis. Dalam 

kehidupan nyata, bar ini yaitu  tempat berkumpulnya para pedagang 

seni, agensi, penerbit, pemilik galeri dan, sesekali, para seniman. La 

Palette yaitu  tempat terbaik di rue de Seine untuk menikmati segelas 

minuman dan melakukan kesepakatan. Bar ini, dalam tradisi Tepi Kiri 

klasik, sangatlah mewah dan berantakan pada saat yang sama. Bar ini 

eksklusif dan dapat mengintimidasi. Para pelayan berbagi lelucon 

pribadi dengan para pelanggan; sementara itu, mereka menyajikan 

sarkasme dan penghinaan yang dianggap sebagai hiburan gratis 

kepada pengunjung lain.

Namun, pada musim panas 2001, suasana La Palette pun tampak 

santai. Si pelayan gendut, yang mengenakan rompi kulit dan memiliki 

keahlian khusus untuk mempermalukan semua orang yang tidak 

dikenalnya, sedang mengolok-olok pengunjung yang terlihat asing, 

pengunjung yang bahkan tak dapat berbahasa Prancis. Pebisnis atau 

orang-orang berpengaruh yang merupakan pelanggan mereka tidak 

tampak di sana; meskipun mungkin saja mereka menyamar sebagai 

orang biasa yang tengah minum-minum, tertawa dan tampaknya 

sedang bersenang-senang. Untuk sejumlah alasan, keadaan di semua 

tempat di Paris selama musim panas tahun 2001 terasa bak karnaval—

misterius dan meriah pada saat yang sama. Semua orang berkomentar 

tentang fenomena yang baru dan membingungkan ini. Bahkan para 

waria Brasil di Bois de Boulogne melaporkan sebuah musim yang 

ramai, padahal pada saat itu umumnya mereka mengalami masa-masa 

sulit—seperti yang telah mereka tegaskan dalam halaman-halaman Le 

Figaro. 

Saat melihat pemandangan kota di sekitar, saya teringat pada buku 

L’Assassinat de Paris (“Pembunuhan Paris) karya Louis Chevalier, 

yang sedang saya baca di musim panas itu.14 Saya menikmati detail 

dari buku Chevalier tersebut. Buku itu menyampaikan wawasan 

baru ke dalam ke pojok-pojok tak kasat mata Paris dan kehidupan 

Parisian—wawasan yang bahkan tak dapat diketahui oleh pelajar yang 

tinggal seumur hidup di kota tersebut. Saya telah mengikuti peta serta 

perintah Chevalier, mengunjungi lokasi-lokasi yang menurutnya telah 

kehilangan daya tarik magis ataupun totemiknya. 

Namun saya tak memercayai tesisnya barang sejenak pun. 

Chevalier berargumen bahwa Paris Tua telah mati dan terkubur se-

lamanya. Dari sebuah meja kafe di rue de Seine, Anda dapat melihat 

bahwa argumentasi tersebut tidak benar. Selain itu, Chevalier 

mempertentangkan dirinya sendiri saat  ia berbicara tentang sejarah 

Paris yang telah hilang di bawah kaki kita. Di bawah tanah Paris, 

seperti metro, tentunya kita masih dapat menemukan suatu kehidupan 


tak kasat mata ke dalam inti sarinya, bukan? Dengan menggali lapisan 

demi lapisan dari kota tersebut, dalam sejarah oral, kesusastraan dan 

musiknya, menggali lebih dalam lagi, melampaui selokan-selokan 

dan katakomba-katakomba. Novelis Louis-Ferdinand Celine—bisa 

dibilang pengumpul sejarah rahasia Paris yang terbesar di abad ke-

21—telah menggambarkan kehidupan kota tersebut sebagai suatu 

‘métro émotif ’, gerakan bawah tanah tanpa henti antara cahaya dan 

kegelapan, dari satu tempat ke tempat lainnya, di antara ruang dan 

waktu yang berbeda.15 Metafora ini kini dapat dipahami. Saya letakkan 

buku Chevalier di meja kafe La Palette dan saya teguk sisa bir saya. 

Saya putuskan untuk menulis buku yang menunjukkan bahwa 

Chevalier telah melakukan kesalahan: Paris telah berubah dalam cara 

yang tak dapat diduga oleh siapa pun. Tak ada bedanya apakah Paris, 

sang pelacur tua, tengah sekarat atau bahkan mati, pesonanya yang 

menggoda dan mematikan masih terasa di udara malam.

Dengan mengikuti jejak Villon, Mercier, Restif de la Bretonne, 

André Breton, Walter Benjamin, Georges Perec dan lainnya, saya pun 

mulai membuat peta kota Paris versi saya sendiri.





Samudra Tua

Zaman Prasejarah – 987 Masehi

 

Old Ocean, your waters are bitter.

I salute you, Old Ocean!

(Samudra Tua, airmu pahit.

Aku menghormatimu, Samudra Tua!)

Comte de Lautréamont,

Les Chantes de Maldoror, 1868

Lutetia selama masa pendudukan Romawi (sekitar 50 SM hingga 400 M)


Perairan yang Kotor

Kota Tua masih ada di sana. Kota Romawi yang dibangun di 

pusat geografisnya di Île de la Cité pada akhirnya meluap hingga 

jantung Tepi Kiri di lereng terjal yang kini menjadi Montagne Sainte-

Geneviève. Bahkan kini Anda masih bisa menemukan jalurnya, dengan 

mengikuti sebuah garis diagonal, dipandu oleh batu-batu tua dari 

peradaban Romawi: sebuah arena, sebuah kuil untuk Yupiter, sebuah 

vomitorium, reruntuhan dari sebuah forum, sebuah pemandian dan 

sebuah dinding kota.

Dinding-dinding, batu bata, lukisan dinding serta ruang terbuka 

ini bukanlah jejak kehidupan paling kuno di sini, kendati jejak-jejak 

tersebut yaitu  jejak yang paling mudah diterjemahkan. Kapak 

tangan dengan rancangan khas komunitas Aljazair dan Maroko 

sering ditemukan di tepian sungai Seine dan anak-anak sungainya. 

Hal ini menunjukkan bahwa suku-suku pengelana dari Afrika Utara 

menyeberangi selat Gibraltar beberapa saat sesudah  penemuan tulisan 

di Mesopotamia—masa yang oleh sejarawan Prancis disebut sebagai 

periode proto-sejarah—namun jauh sebelum bangsa Eropa pertama 

dapat menggabungkan kalimat tertulis serta suara. Anak-anak 

panah asimetris yang tak dikenal di wilayah Eropa lainnya juga bisa 

ditemukan di sini. Para arkeolog dan sejarawan menyepakati bahwa 

tidak pernah ada suatu periode pun di mana lahan yang subur dan 

produktif ini tak dikuasai. Wilayah itu dijadikan permukiman tetap 

oleh bangsa pra-Keltik dan selanjutnya oleh bangsa Kelt. Di antara 

mereka ada  suku bernama Parisii, yang tiba di sini satu milenia 

sesudah  orang Afrika Utara.

Di atas segalanya, suku Parisii memuja air (cabang suku tersebut 

menetap di Humber di dekat Hull untuk alasan ini). Mereka 




4

membangun kapal, kano panjang serta perahu untuk menangkap 

ikan atau membawa barang, yang sisa-sisanya masih bisa ditemukan 

di penggalian di Bercy dan Seine-Oise-Marne. Kaum Parisii yaitu  

pedagang ulung. Mereka berbisnis dengan suku-suku lembah 

sungai Seine lainnya—suku Senones, Sequani dan Meldi—yang 

koin-koinnya juga telah ditemukan di pusat kota Paris. Pada masa 

kekuasaan Tiberius pada 14 M, orang-orang Kelt pembuat kapal 

dari sungai Seine ini telah mendirikan sebuah korporasi yang kuat, 

menguasai perdagangan sungai yang menguntungkan, yang sering 

kali secara bodoh diabaikan oleh bangsa Romawi. Contohnya yaitu  

perdagangan  keramik yang berkembang pesat, khususnya gelas-gelas 

anggur, dengan kota-kota Italia selatan. Perdagangan tadi telah terjalin 

jauh sebelum pendudukan bangsa Romawi atas permukiman tersebut 

di tahun 54 SM, yang saat itu bernama Lutetia. 

Orang Parisii selalu menghubungkan kesadaran komersial 

(commercial nous) dengan persepsi yang selalu muncul dari dunia 

lain. Karya seni keseharian mereka jarang sekali menggambarkan 

petani atau pedagang, namun amat kaya dalam bentuk dewa, iblis, 

putri raja dan pahlawan. Di tengah-tengah itu semua, dari dahulu 

hingga sekarang, ada  sungai yang berwarna abu-abu kehijauan, 

berliku-liku dan mengalir dengan cepat, membelah kota seperti 

seekor ular. Suku Parisii percaya bahwa sungai memiliki kekuatan 

sihir—itulah sebabnya mengapa mereka datang ke tempat ini—

dan mereka menyembahnya demi keberuntungan dalam pertanian 

dan perburuan. Pada 250 SM, permukiman mereka telah menjadi 

pusat bagi perdagangan dan perkapalan.1 Namun kota yang sedang 

tumbuh ini jauh dari kata memesona, setidaknya dalam artian yang 

tidak berbahaya. Di sana terjadi beragam penyakit yang berasal dari 

air dan iklim yang tak dapat diprediksi. Satu-satunya keuntungan 

yang dimilikinya sesudah  sekian lama yaitu  bahwa kota itu mudah 

dipertahankan, terutama sebab  didirikan di atas air, tapi juga sebab  

kota itu tak dianggap memiliki kekuatan militer oleh suku-suku 

predator yang bermukim di daerah utara dan selatannya.2

Suku Parisii membuat peta kota yang pertama, menandai bagian-

bagian sungai yang berbahaya, gelombang pasang dan betingnya. 

Sungai ini juga membawa serta mayat dan penyakit, menebar 


5


kepanikan terhadap populasi. Kali terakhir hal ini terjadi yaitu pada 

1961, saat mayat ratusan orang Aljazair dihanyutkan di sejumlah 

lokasi. Mayat-mayat tersebut dibuang ke sana oleh pihak kepolisian 

yang—sesudah  terjadinya unjuk rasa politik yang berakhir dengan 

pembantaian—cukup bodoh untuk mengira bahwa sungai itu akan 

menghapus bukti (lihat Bab 42).

Dari Parisii menjadi Parisian

Orang Kelt Paris bersikap sangat praktis dalam sebagian besar urusan. 

Mereka mencetak uang sendiri dan merupakan adidaya ekonomi di 

daerah tersebut lama sebelum bangsa Romawi tiba. Tetapi mereka juga 

percaya bahwa keuntungan praktis pulau-pulau ini tidak ada artinya 

jika dibandingkan sifat-sifat magisnya. Mayat-mayat orang yang 

dikorbankan kepada Dispater—dewa berkepala tiga yang disembah 

oleh suku Parisii—biasanya digantung di pohon, tetapi kadang-kadang 

dilemparkan ke air sungai yang hijau kotor. saat  mayat-mayat 

tersebut timbul ke permukaan, seperti yang juga terjadi pada orang-

orang Aljazair yang dibantai tahun 1961, ada  asumsi umum 

bahwa dewa-dewa sungai membenci kota itu serta penduduknya. 

Seluruh kota dilanda kesunyian dan warga kota berusaha mencari 

tahu cara menyelamatkan diri sendiri.

Sungai Seine pada saat itu dua kali lebih lebar daripada sekarang. 

Di tengah-tengah aliran sungai berwarna hijau yang berpusar-pusar 

tersebut ada  gugusan pulau yang terdiri atas sekitar 10 pulau, 

dengan total luas areanya sekitar 8 hektare (area Île de la Cité sekarang 

luasnya sekitar 17 hektare). Selama berabad-abad kemudian, pulau-

pulau ini, baik secara alami maupun oleh campur tangan manusia, 

menyatu menjadi Île de la Cité dan Île Saint-Louis masa kini. Pulau-

pulau tersebut membentang dari Bibliothèque de l’Arsenal masa kini 

di sebelah timur Tepi Kanan hingga Île aux Treilles (Pulau Pohon 

Anggur Merambat) di tempat yang sekarang bernama Les Invalides 

dan Île aux Cygnes (Pulau Angsa), yang sebelumnya disebut Île au 

Gros-Caillous (Pulau Batu Besar)—sebuah beting berbahaya yang 

dianggap suci oleh orang Kelt yang letaknya tidak jauh dari Menara 

Eiffel.



6

Pada zaman suku Parisii, satu-satunya cara untuk menuju 

atau melewati daratan pulau yang selalu berubah—yang sesudah  

penaklukan bangsa Romawi secara kolektif dikenal sebagai Lutetia—

yaitu  dengan melayari sungai yang juga menjadi arteri niaga utama 

permukiman ini. Oleh sebab  itu, salah satu upaya pertama bangsa 

Romawi saat  menduduki Lutetia yaitu  membangun jembatan-

jembatan kayu di tempat yang sekarang disebut Pont au Change dan 

Petit-Pont. Jembatan-jembatan tersebut menghubungkan gugusan 

pulau ini dengan tepi sebelah utara dan selatan Sungai Seine,3 dan pada 

akhirnya menuju dunia yang lebih besar yaitu pelabuhan-pelabuhan 

di utara dan jalan selatan menuju Orléans serta Roma. Hingga 

pendudukan Romawi, suku Parisii hidup sebagaimana mereka selalu 

hidup sebelumnya, yaitu dalam gugusan pondok dengan benteng 

kayu untuk memelihara ternak. Masyarakatnya didasarkan pada suku, 

klan serta keluarga dekat. Berhubung selalu setia pada asal-usulnya 

yang nomaden, suku Parisii dengan tegas tetap menjalani gaya hidup 

non-urban—mereka tidak membangun kuil ataupun jalanan—dan 

mengikuti urbanisasi dengan lambat serta enggan.

Penaklukan Romawi terhadap ‘bangsa Parisii’ (sebagaimana para 

komentator Romawi mendeskripsikan wilayah ini) pada 54 SM 

bersifat brutal tetapi final. Penaklukan tersebut menandai pergeseran 

yang menentukan dalam peruntungan Republik Romawi. Pada tahun 

itu, Julius Caesar sudah menaklukkan dan menundukkan sebagian 

besar Galia, yang perbatasannya membentang ke selatan di Lembah 

Po di Italia utara (sisi selatan Pegunungan Alpen di wilayah Galia) 

dan ke utara di Belgia. Motivasi awal bagi masuknya bangsa Romawi 

ke wilayah Galia yang dimulai pada 121 SM yaitu  sebagai manuver 

defensif melawan gerombolan-gerombolan perampok Keltik. Caesar 

telah mengubah pertahanan diri ini menjadi program penaklukan 

aktif, mengontrol wilayah ini melalui serangkaian pertempuran 

yang dilaksanakan dengan cemerlang. Ini yaitu  pendahuluan 

signifikan bagi perkembangan yang pada abad-abad selanjutnya 

akan menjadi jantung sebuah kekaisaran. Lebih penting lagi, Caesar 

telah menjadikan Galia sebagai basis kekuatan sebelum mengalihkan 

perhatiannya pada 49 SM untuk berperang melawan Roma yang 

akan menjadikannya sebagai diktator dengan kontrol absolut. Pada 


7


53 SM, bangsa-bangsa Galia utama, yaitu wilayah-wilayah milik 

suku Treviri, suku Carnute dan suku Senone, masih berada di luar 

kontrolnya. Yang lebih parah lagi, mereka secara terbuka menentang 

kekuasaannya dengan menolak untuk menghadiri pertemuan umum 

yang ia organisasi. Caesar mendapat informasi dari para mata-

matanya bahwa bangsa Parisii ini lemah secara militer dan sebab  

alasan tersebut mereka tidak ambil bagian dalam perlawanan umum 

terhadap dirinya. Sebagai konsekuensinya, ia mengadakan pertemuan 

baru di Lutetia, dengan satu-satunya tujuan yaitu  untuk melancarkan 

serangan terhadap suku-suku pemberontak dari pangkalan ini. 

Namun kesuksesan tidak datang secepat harapan Caesar. Dua belas 

bulan sejak serangan pertamanya, sebagian besar bangsa Galia masih 

bergabung melawannya.

Setahun sebelumnya, Caesar telah memutuskan untuk menjadikan 

permukiman Galia ini sebagai pangkalannya di utara. Ia mengirimkan 

salah seorang jenderalnya yang terbaik dan paling berpengalaman, 

Labienus, untuk merebut serta mengontrol tempat tersebut, yang 

oleh beberapa suku di sekitarnya juga telah dijadikan ibukota serta 

basis pemberontakan. Labienus, yang diuntungkan oleh badai besar 

yang menghancurkan posisi-posisi pengawas Galia, mengakali 

suku-suku tersebut dengan berlayar ke hulu sungai menggunakan 

sekitar 50 perahu dan beberapa ratus prajurit bersenjata lengkap. Di 

bawah pimpinan Camulogenus, suku Galia menanggapinya dengan 

membumihanguskan daerah yang sekarang disebut Quai de Grenelle. 

sebab  alasan ini, para sejarawan maupun kaum radikal sering kali 

mengklaim Camulogenus sebagai revolusioner pertama Paris yang 

sebenarnya. Namun, upayanya sia-sia. Labienus sekarang menjadi 

penguasa Lutetia dan, dengan demikian, menguasai bangsa Parisii.

Caesar tidak memiliki pertikaian khusus dengan suku Parisii. 

Bahkan, ia mengungkapkan kekagumannya terhadap mereka. Pada 

kenyataannya, ini yaitu  sikap yang tidak biasa di kalangan militer 

Romawi pada periode tersebut. Sebagian besar orang Romawi secara 

tradisional memandang suku Galia sebagai antitesis peradaban 

Romawi, yang menjadi salah satu alasan utama mengapa mereka 

harus ditundukkan. Lebih penting lagi, mereka sepenuhnya tidak 

memiliki nilai-nilai sederhana yaitu industria, gravitas, constantia 



8

dan severitas. Para komentator Romawi yang mengkritisi kehidupan 

orang Galia, termasuk komentator bermata tajam yang hidup 

hampir bersamaan dengan masa kehidupan Caesar seperti Diodorus 

Siculus, mendeskripsikan penduduk pribumi sebagai terbiasa akan 

‘kesederhanaan dan sangat bersemangat … suka membual dan sangat 

takut jika dikalahkan’.4 Stereotipe pertama terhadap orang Galia ini 

memperkenalkan kita kepada orang-orang yang suka pamer dengan 

mengenakan pakaian flamboyan, menyombongkan diri di setiap 

kesempatan dan terbiasa melakukan omong kosong tingkat tinggi; 

mereka juga dikenal sebagai penggemar seks dan makanan, dan secara 

berkala gemar meminum minuman keras sampai tak sadarkan diri.

Caesar sendiri mencatat bahwa, seperti semua orang Kelt, orang 

Galia menyembah banyak dewa. Dengan ketidakacuhan kolonial yang 

sudah terbiasa dilakukannya, ia segera mengasimilasi dewa-dewa ini ke 

dalam dewa-dewa Romawi yang setara, dan menyatakan bahwa hanya 

Merkurius, dewa perdagangan, yang bisa menikmati keistimewaan 

khusus di daerah ini. Caesar juga menyukai simulacra—patung-

patung simbolis—yang ditempatkan secara misterius di sekeliling 

permukiman. Patung-patung ini bukanlah imitasi dari bentuk 

penyembahan Romawi, melainkan merupakan emblem magis, yang 

dimaksudkan untuk menarik turun kekuatan-kekuatan supranatural 

dan menyatukannya ke dunia material.

Suku Parisii memang hampir tidak memiliki rasa takut terhadap 

dunia fisik. Mereka menggunakan pedang dan kapak—senjata yang 

normalnya digunakan untuk bertempur menghadapi manusia yang 

menjadi musuhnya—untuk melawan kekuatan-kekuatan alami dan 

supranatural yang menciptakan badai serta bencana alam lainnya. 

Tetapi mereka juga merasakan kekhawatiran kolektif kuat tentang 

akhir dunia, bahwa langit secara harfiah akan jatuh menimpa kepala 

mereka (ini yaitu  ketakutan terbesar penduduk desa dalam cerita 

Asterix si orang Galia). Demikian pula, seperti semua suku Keltik 

lainnya, suku Parisii melacak sejarah mereka sendiri menurut berbagai 

legenda yang dapat dipertukarkan.

Orang Romawi membawa mitos mereka sendiri dan menambah-

kannya ke dalam kumpulan cerita tentang permukiman ini. Salah 

satu mitos Romawi Kristen yang paling populer yaitu  bahwa Lutetia 


9


didirikan oleh Lucus, keturunan ketujuh dari Nabi Nuh, yang datang 

ke sini untuk membuat sebuah kota di atas air. Mitos lainnya yaitu  

bahwa Herkules telah memimpin sebuah suku bernama Parhassian 

dari Asia Minor kemari untuk membuat surga di dunia. ada  

pula desas-desus pada Abad Pertengahan tentang adanya hubungan 

dengan para pelarian dari Troya, yang menunjukkan adanya nostalgia 

terhadap masa lalu yang paling kuno dan pagan; selain kemungkinan 

adanya maksud untuk menyembunyikan sejarah Roma dengan sejarah 

Galia.

Mitos lainnya mengandung pesan politik: salah satu pesan yang 

paling lama bertahan hingga abad ke-19 dan sesudah nya, yaitu bahwa 

suku Parisii dari Lutetia, walaupun pada dasarnya masih merupakan 

penduduk pedalaman, yaitu  ‘sekutu bebas’ atau ‘kawan Roma’. Oleh 

sebab  itu, Lutetia bukanlah koloni melainkan rekan kota dari ibukota 

kekaisaran.5 Hal ini menandai persaingan besar antara Paris dengan 

Roma selama berabad-abad dan memang menjadi bukti bahwa Paris 

tidak pernah benar-benar tunduk kepada Roma. Tetapi sebenarnya, 

suku Parisii bukannya diberkati, juga bukan memiliki hubungan 

khusus dengan Roma. Mereka hanya cukup cerdas untuk mengetahui 

bahwa menghindari perang akan mendatangkan kemakmuran. 

Inilah alasan mengapa pertempuran memperebutkan Lutetia hanya 

berlangsung singkat dan dengan mudah dimenangkan oleh orang 

Romawi.6 Namun demikian, kita bisa menelusuri kembali kekaguman 

Parisian dalam meniru gaya, bahasa serta tingkah laku Roma, dan 

keyakinan yang serampangan terhadap kata ‘kekaisaran’ pada abad 

ke-19, sampai ke titik ini, dua ribu tahun yang lalu, saat  realitas 

Galia diubah menjadi mitos Romawi.

Pulau Tikus, Pulau Burung Gagak

Nama Romawi bagi permukiman ini pada kenyataannya berasal dari 

nama aslinya dalam bahasa Keltik. Orang Kelt memiliki kebiasaan 

untuk memberi nama bagi permukiman mereka dengan mengikuti 

sifat-sifat fisiknya. Pulau-pulau ini—dengan pinggirannya yang 

berbau dan berminyak yang membuat lokasi ini hampir mustahil 



10

dijadikan perhentian—pada awalnya diberi nama Louk-tier atau Louk 

Teih menurut sifat fisiknya, yaitu tempat berlumpur, berpaya-paya 

dan berawa. Etimologi lain yang diterima oleh sebagian orang yaitu  

Loutouchezi, yang konon merupakan istilah Keltik Galia yang berarti 

‘di antara perairan.’ Kata ini tetap dikenal di Paris hingga akhir abad 

ke-20.7 Selain itu, seorang penulis dan peneliti okultisme, Guy Breton, 

dalam bukunya Les Nuits secrètes de Paris (‘Malam-Malam Rahasia 

Paris’)—tentang tur tanpa akhir yang menarik ke dalam masyarakat-

masyarakat rahasia di Paris modern—telah mendeskripsikan per-

temuan dengan sebuah kelompok yang menyebut diri mereka sendiri 

‘Druid.’ Kaum Druid ini melakukan pemujaan di hutan Meudon dan 

merapalkan mantra yang memuji ‘orang-orang dari Loutouchezi’ 

serta ‘seksualitas mereka yang jantan dan kosmik’ (para pria Parisian 

dari segala masa selalu membanggakan diri bahwa mereka sedikitnya 

memiliki satu dari kualitas-kualitas ini; meskipun Parisiennes sering 

kali memiliki pandangan yang berbeda).8

Etimologi semacam itu tidak dikenal oleh orang Romawi, yang, 

dengan arogansi sejati khas kekaisaran, tidak pernah mau repot-

repot untuk menerjemahkan bahasa dari bangsa Kelt yang mereka 

taklukkan. Nama Louk Teih, pendekatan paling diterima dari bahasa 

Keltik, oleh orang Romawi hanya diserap ke dalam bahasa Latin 

sebagai ‘Lutetia’, dan membiarkan para penulis serta sejarawan masa 

depan untuk menerka apa arti sebenarnya nama ini pada awalnya. 

Strabo, sejarawan dan filsuf Yunani, menyebut permukiman ini 

sebagai Lucotocia; sementara Ptolemy, dengan sedikit pergeseran 

huruf vokal, menyebutnya Lucotecia. Namun, keduanya hanyalah versi 

bahasa Yunani dari nama yang sama. Terjemahan lain dari kata Louk 

Teih menyebutnya sebagai kata pra-Keltik yang memiliki berbagai 

makna seperti ‘pulau burung gagak’, ‘pulau tikus’, ‘perlindungan dari 

air’ (kata Ilygod dalam bahasa Welsh dan istilah luch dalam bahasa 

Irlandia, ‘tikus’, turut memainkan peranan dalam etimologi ini).9

Kata itu dapat pula diartikan sebagai ‘pulau putih’. Terjemahan ini 

berasal dari kata leukos dalam bahasa Yunani, yang merujuk pada 

deposit gipsum di dekat permukiman yang dibuat menjadi plester. 

Rabelais mengejek pendapat ini dan menyatakan bahwa bangsa 

Yunani sebenarnya merujuk pada paha mulus putih para wanita 


11


Lutetia. Sebelumnya, bangsa Romawi umumnya berasumsi bahwa 

nama Lutetia berasal dari lux, atau ‘cahaya’: realitas—sebuah nama 

yang diambil, sebagaimana yang kita ketahui, dari karakteristik fisik 

berbahaya situs itu—yang tampaknya mengindikasikan sebuah kisah 

yang lebih nyata dan tidak terlalu fantastis.10

Nama Lutetia hanya bertahan selama beberapa ratus tahun dalam 

kehidupan kota Gallo-Romawi. Kaisar Julian dikirim ke Lutetia 

pada 360 M dan ia menemukan bahwa kota itu cukup beradab 

untuk membuatnya melupakan Timur Tengah, wilayah tujuannya 

sebelumnya. ‘Saya menghabiskan musim dingin di dekat Lutetia yang 

sangat saya sukai,’ tulisnya di tahun yang sama:

[Lutetia] yaitu  sebutan orang Kelt bagi kota kecil yang didirikan oleh suku 

Parisii—pada kenyataannya tidak lebih dari sebuah pulau yang dikelilingi 

oleh air dengan jembatan-jembatan kayu dari kedua tepiannya. Air sungai 

sangat jarang membanjirinya, baik di musim dingin maupun di musim 

panas … Suhu di musim dingin tidak terlalu menusuk sebab , menurut 

penduduk daerah tersebut, pulau ini dihangatkan oleh samudra … 

tanahnya bagus untuk tanaman anggur dan suku Parisii bahkan menanam 

pohon ara, membungkusnya dengan jerami untuk melindunginya.11

Nama Lutetia—biasanya dilembutkan dalam bahasa Prancis 

menjadi Lutèce—masih bertahan lama di pelosok kota. Nama ini 

muncul sebagai nama sebuah hotel mewah (Hotel Lutetia juga menjadi 

sarang kolaborator selama Perang Dunia Kedua), nama begitu banyak 

bar, baik yang elegan maupun kumuh, dan bahkan sebagai nama 

sebuah bir gandum yang, walaupun mengklaim sebagai tradisi tertua 

di kota ini, sebenarnya dibuat di Brussels. 

Kota ini menjadi ‘Paris’ di masa kekuasaan Julian, yang memberinya 

nama Civitas Parisiorum, ‘kota suku Parisii.’ Alasan pemberian nama 

ini sepenuhnya bersifat politis. Hingga saat itu, nama Galia untuk kota 

ini dianggap sebagai undangan terbuka bagi suku-suku tetangga yang 

gemar menjarah untuk mengambil keuntungan dari pos-pos terdepan 

militer Romawi yang hanya dijaga oleh sedikit prajurit. Nama Galia 

tersebut mengindikasikan kemerdekaan relatif, dan juga sifat tidak 

terjaga dari permukiman ini. sesudah  serangkaian penyerbuan 

yang sangat merusak, Julian datang ke kota ini untuk memperkuat 



12

pertahanannya. Ia memberi nama tersebut sesuai nama penduduk 

utamanya, sebagaimana tradisi di kekaisaran untuk menyebarkan 

sinyal bahwa kota ini berada di bawah perlindungannya. Dengan 

menggunakan fraseologi ini, Julian juga menunjukkan bahwa per-

mukiman tersebut telah berkembang dari pagi menjadi civites, istilah 

Romawi yang digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan dari 

sebuah desa suku menjadi sebuah kota. Lebih dari itu, Julian memberi 

sinyal bahwa desa Galia kecil yang berlumpur ini sekarang menjadi 

bagian dari dunia Kekaisaran Romawi yang lebih besar dan lebih 

kompleks, dan menduduki posisi penting serta prestisius di dalam 

hubungan tersebut. Penghormatan lain yang diberikan Julian kepada 

Paris yaitu  dengan melakukan upacara pengangkatan dirinya sebagai 

kaisar di sana.

Julian bukan hanya seorang komandan Romawi tetapi juga seorang 

filsuf. Hal paling krusial yaitu  masuknya Julian ke dalam Misteri 

Eleusina, sebuah konsekuensi mistik dari neo-Platonisme yang sangat 

bertentangan dengan Agama Kristen yang baru lahir. Dengan dekrit 

toleransi agama, Julian berupaya memulihkan kembali praktik-praktik 

pagan sebagai agama utama kota Paris. Dengan memberi nama kota 

tersebut sebagai ‘kota suku Parisii,’ ia memberi penghormatan kepada 

asal-usul pra-Kristen permukiman ini. Ia berniat untuk memunculkan 

kembali kesan kesakralan yang sebelumnya hadir dari kota ini. Upaya 

Julian ini bisa dibilang hanya setengah berhasil; tetapi, tidak seperti 

bahasa Keltik, tradisi pagan bertahan lama hingga Abad Pertengahan 

dan selanjutnya.

Dalam satu mitos penciptaan—campuran kisah-kisah Romawi, 

Yunani, Mesir dan Keltik—Isis, peramal wanita dan ahli sihir terhebat, 

konon pernah mengunjungi kota tersebut dan memantrai roh udara 

serta roh air. Cerita ini pertama kali dikutip dalam kesusastraan oleh 

Abbon, Uskup Fleury-sur-Loire, pada akhir milenium pertama.12 

Namun demikian, kutipan ini sepenuhnya menyesatkan: Abbon 

yaitu  penipu kesusastraan yang anehnya mendeskripsikan dataran 

berlumpur tersebut sebagai ‘pelabuhan paling indah di dunia’ dan 

sering kali membuat permainan kata-kata. Dalam rujukannya 

terhadap Isis, ia hanya bermain dengan nama seorang Galia yaitu Iccius 

(seorang pemilik tanah yang namanya diambil sebagai nama tempat 


13


yang sekarang menjadi daerah pinggiran kota Issy-les-Moulineaux). 

Namun, mitos dalam bentuk membingungkan ini masih bertahan. 

Hingga abad ke-16, para wanita akan berdoa di hadapan sebuah 

patung kecil dalam bentuk wanita yang disebut Isis, yang dibawa 

ke Paris dari Issy, di pintu masuk gereja Saint-Germain-des-Prés.13 

Permainan kata-kata tersebut bergema kembali bertahun-tahun 

kemudian hingga pertengahan abad ke-20, saat  Joyce yang hampir 

buta membangkitkannya dalam dialog mimpi di Finnegan’s Wake: 

‘Parysis, tu sais, crucycrooks,’ kata Shem kepada Shaun, ‘menjadi milik 

mereka yang mempariskan dirinya sendiri’.14

Pada periode akhir abad pertengahan, penyair François Villon 

menyebut kota ini ‘Parouart’. Istilah ini berasal dari bahasa slang bagi 

pencuri dan desertir—sebuah kata sandi bagi kedai minum dan rumah 

pelacuran bawah tanah. Penyair Arthur Rimbaud datang ke Paris 

sekitar 400 tahun kemudian untuk minum, menulis dan menemukan 

seni sodomi di kamar-kamarnya di gang berliku gelap yang saat itu 

bernama Monsieur-le-Prince. Rimbaud tidak terlalu terkesan oleh 

Paris dan menggerutu dalam suratnya ke rumah bahwa, menurutnya, 

kota ini bukanlah ibukota yang berbinar melainkan ‘Parmerde’, sebuah 

tempat penuh penyakit yang berbau kotoran manusia baik siang 

maupun malam.15

Pada akhir abad ke-19, sekitar 1.600 tahun sesudah  Julian memberi 

nama kota ini untuk pertama kalinya, Parisian umumnya untuk 

menyebut Paris sebagai ‘Paname’. Istilah ini sebagian terinspirasi 

oleh ketenaran (dalam konteks negatif) Terusan Panama dan skandal 

finansial yang terkait dengannya yang melumpuhkan pemerintah 

Prancis pada 1890-an. Jadi, nama ‘Paname’ bermuatan manipulasi dan 

bencana. Namun, kata ini juga merujuk pada perairan yang membelah 

pusat kota seperti Panama yang merupakan terusan besar pembelah 

benua. Perairan ini termasuk kanal dan jalan air baru, juga sungai 

Biève yang sudah mengering—sebuah selat sempit berkabut yang 

memotong ujung timur Tepi Kiri.

‘Paname’ masih digunakan hingga sekarang di bidang media dan 

periklanan untuk membangkitkan kembali cerita rakyat Paris yang 

baru-baru ini menghilang. Kata tersebut juga sering digunakan 

dalam bahasa sehari-hari—terutama digunakan oleh para penyanyi 



14

rap, penceramah Islam, pedagang narkoba dan orang-orang miskin 

di tepi utara kota di daerah pinggiran Seine-Saint-Denis. Orang-

orang ini hanya mengidentifikasikan diri dengan komunitas mereka 

sendiri; dan, bagi mereka, Paris atau ‘Paname’, dianggap sebagai istilah 

penghinaan, yang merujuk pada tempat suram serta korup di perairan 

yang gelap dan tercemar. 

Penggunaan ini masih membawa pengaruh dari nama-nama kota 

yang paling kuno—walaupun sekarang semakin sulit dilacak.16

Rahasia Lutetia

Sejarah Paris kuno sudah lama diabaikan, sekurangnya hingga akhir 

masa Renaisans. Kalau memang ada Parisian yang pernah mengenal 

Lutetia sebelum masa ini, itu biasanya sekadar menjadi latar belakang 

bagi salah satu legenda berdarah tentang para martir religius kota 

ini. Dalam konteks lebih praktis, penduduk Île de la Cité dan bagian-

bagian Paris lain yang berdiri di atas kota Romawi terbiasa menjarah 

bebatuan dari jalan-jalan Lutetia yang telah lama terkubur untuk 

membangun rumah-rumah baru. Sejak abad ke-16 dan seterusnya, 

biar bagaimanapun ada  upaya untuk memahami masa lalu, 

bahkan jika pekerjaan tersebut sering kali dilakukan oleh para amatir, 

misalnya ahli benda-benda kuno seperti Gilles Corrozet, fantasist 

seperti pendeta Père de Breul atau—selama paruh kedua abad ke-17—

pengacara, politisi, sejarawan dan ahli filologi Henri Sauval.

Pahlawan yang sesungguhnya dari penemuan kembali Lutetia 

di abad kesembilan belas yaitu  seorang pria kecil prosais yang 

memiliki impian seumur hidup penuh hasrat dan tak rasional untuk 

memunculkan kembali kota Romawi itu. Théodore Vacquer, menurut 

teman-temannya, yaitu  orang yang ‘bijaksana namun keras kepala, 

amat sangat tidak fleksibel.’17 Namanya mulai dikenal pada 1844, 

saat diangkat sebagai Direktur Penelitian Sejarah Paris di usianya 

yang masih dua puluhan—sebuah departemen di bawah naungan 

pemerintah kota. Vacquer diperintahkan untuk menginspeksi 

pekerjaan pembangunan di sekeliling Paris, mencatat benda-benda 

atau penemuan yang memiliki nilai arkeologis. Pendekatannya 


15


terhadap sejarah sangat praktis: ‘Kami menilai fakta sebelum yang 

lainnya,’ tulisnya. ‘Kami menggunakan sedikit teks. Hingga sekarang 

sejarah Paris telah ditulis di dekat perapian.’18 

Oleh sebab  itu, anak buah Vacquer menjauhkan diri dari imajinasi 

kesusastraan dan mencari bukti di lapangan. Waktunya tidak bisa 

lebih tepat lagi sebab  pekerjaannya mendapatkan momentum dan 

urgensi terbesarnya selama 1850-an, periode saat  Baron Haussmann 

secara sistematis membongkar gang-gang tua dan permukiman bak 

labirin di bagian kota yang berasal dari abad pertengahan. Proyek 

Haussmann, seperti yang akan kita lihat pada Bab 31, yaitu  untuk 

membuka jalan bagi kota baru yang gemerlap dengan bulevar lebar 

dan jalan raya terbuka, sebuah kota dengan kesenangan spektakuler 

yang dengan sesaat  akan mendefinisikan modernitas dan membuat 

seluruh dunia iri (dalam memoarnya yang merupakan pembenaran 

bagi diri sendiri dan secara sengaja memutarbalikkan arti, Haussmann 

membangkitkan kembali makna asli Lutetia sebagai ‘daerah paya-paya 

yang kotor’ untuk membenarkan rencananya).19

Dengan antusiasme menggebu-gebu seorang fanatik penyendiri, 

Vacquer menemukan semacam kenyamanan dalam keberadaan kota 

rahasia bawah tanah ini. Mungkin, pencapaian terbesarnya yaitu  

ekskavasi Arena di jantung Tepi Timur di dekat rue Monge. Parisian 

sudah mengetahui situs ini sejak abad ketiga belas, tetapi Vacquer 

yaitu  orang pertama yang melakukan pekerjaan kompleks yaitu 

memetakan dan menggali peninggalan Romawi yang kurang-lebih 

masih utuh. Ia melakukannya sejak 1869 dan seterusnya dengan 

ketidakpedulian parah terhadap peristiwa-peristiwa besar yang terjadi 

di sekelilingnya—Perang Prancis–Prusia, Komune—dan penderitaan 

individual yang disebabkannya.

Pencarian Vacquer sebenarnya yaitu  pusat gravitasi kota kuno itu. 

Pertanyaan yang diajukannya kepada diri sendiri yaitu  kapan dan 

bagaimana permukiman Keltik itu telah berubah dari sekadar sebuah 

desa berlumpur menjadi sebuah ruang urban yang sesungguhnya. Ia 

memperkirakan bahwa kota awalnya didirikan di Île de la Cité dan 

kemudian menyebar terutama ke arah selatan ke daerah yang sekarang 

bernama Panthéon dan Jardins du Luxembourg. Intuisinya tentang 

dimensi Lutetia, yang membentang dari rue de Rivoli hingga Gobelins, 



16

telah membuktikan bahwa ia memang benar. Tapi ada masalah yang 

tidak pernah dapat dipecahkannya, yaitu bagaimana melacak dan 

memahami pergerakan populasi selama sejarah panjang Lutetia.

Ini juga merupakan salah satu pertanyaan besar yang dimunculkan 

pada abad kedua puluh oleh Michel Fleury. Seperti Vacquer, Fleury 

seorang fanatik. Ia seorang sejarawan yang penyendiri: para mahasiswa 

dan asistennya menggambarkan dirinya sebagai ‘le Grand Fleury’, 

si penyendiri yang sanggup bekerja berjam-jam dan akan membaca 

semua karya Hugo sekaligus hanya untuk membuktikan satu poin. 

Fleury yaitu  orang yang suka memamerkan ilmunya dan eksentrik 

(contohnya, ia bisa dibilang Anglophobe akut yang akan mengeja 

‘weekend’ sebagai ‘ouikènde.’ Anglophobe yaitu  fobia terhadap bangsa 

dan negara Inggris, penerj). ada  lebih dari sekadar kecenderungan 

mistisme dalam cara teman-teman dekatnya menyatakan bahwa ia 

‘memiliki hubungan sangat intim dengan makhluk tak kasatmata.’20

Sebagian besar penemuan Fleury juga didasarkan pada dugaan. 

Ia menelusuri bagian-bagian tertua Paris abad ke-20—rue Rataurd, 

rue des Feuillantines, rue de l’Arbalète dan rue Llomond, kesemuanya 

di Quartier Latin—untuk mencari serpihan seni pagan, yang akan 

membuktikan tesisnya bahwa kota Gallo-Romawi memang benar-

benar merupakan kota dengan dua budaya. Agenda tunggalnya 

yaitu  untuk memvalidasi argumentasi ini. Tesis Fleury yang paling 

kontroversial yaitu  bahwa Paris kurang-lebih tidak terpengaruh oleh 

perubahan pemerintah yang membawahinya pada abad-abad antara 

runtuhnya kekaisaran Romawi dengan berdirinya kerajaan Capetia 

pada 987, dan bahwa oleh sebab  itu warisan budaya Paris sebenarnya 

yaitu  Keltik. Ia melacak fluktuasi dan pergeseran populasi selama 

periode ini, bertanya-tanya mengapa pekuburan-pekuburan pagan 

Val-de-Grâce tiba-tiba ditinggalkan, menandai pertumbuhan per-

mukiman-permukiman Tepi Kiri dan hancurnya desa-desa luar.

Sebagai sebuah permukiman Galia, menurut pendapatnya, lokasi 

ini tergantung pada perdagangan sungai dan kehidupan pada mulanya 

berpusat di sekitar tempat barang-barang didaratkan. Awalnya, lokasi 

ini terletak di Place de la Grève (tempat Hôtel de Ville sekarang 

berdiri), sebuah rawa berpaya-paya di Tepi Barat, yang merupakan 

distrik bisnis asli Paris. Di Tepi Kiri, tempat Caesar pernah mendirikan 


17


perkemahannya, ada  biara, gereja dan kemudian nantinya 

Universitas Paris.

Dengan demikian, pemisahan kota menjadi Tepi Barat—wilayah 

kerja dan perniagaan yang tidak suci—dan Tepi Timur—pusat spiritual 

dan intelektual kota—sudah dimulai sejak asal-usul kota yang paling 

kuno. Fleury menyimpulkan bahwa semuanya dimulai dan diakhiri—

sebagaimana yang selalu diketahui oleh penduduk aslinya—di sungai, 

dengan suasana-suasana bawah tanahnya, gelombang dan bahayanya 

mirip dengan sifat laut yang tidak dapat ditebak.

Penemuan Fleury memberikan basis historis bagi sejarah 

panjang tulisan tentang Paris yang mendeskripsikan kota ini sebagai 

bentang laut. ‘Paris yaitu  sebuah samudra,’ tulis Balzac. ‘Engkau 

dapat melemparkan tali pengukur kedalaman, tetapi engkau tidak 

akan pernah bisa mengetahui kedalamannya.’21 Baudelaire juga 

mengutarakan hal yang serupa bahwa Paris yaitu  ‘samudra gelap’ 

yang dalam dan tanpa batas.22 Contoh paling aneh dan mengerikan 

tentang penggunaan gambaran ini yaitu  oleh Isidore Ducasse 

(yang hidup pada masa yang hampir bersamaan dengan Vacquer 

yang pemilih tetapi hampir bertolak belakang dengannya). Ducasse 

datang ke Paris pada 1860-an dari Montevideo, menyebut dirinya 

sendiri Comte de Lautréamont dan meninggal dunia di kota ini, 

kemungkinan sebab  minuman keras. Dalam puisi panjangnya Les 

Chants de Maldoror (‘Lagu Maldoror’) yang ditulisnya pada 1868, 

pahlawan eponimnya—yang pembunuh, impoten dan penyembah 

setan—mengamuk terhadap ‘Samudra Tua’ yang diracuni.

Tidak pernah jelas apakah ‘Samudra Tua’ yaitu  metafora untuk 

kedalaman Paris yang tidak dapat diketahui, kematian, keabadian, atau 

lautan alkohol tak bertepi yang telah mendorong Maldoror menjadi 

gila. Bagaimanapun juga, ini yaitu  penggugah yang sangat hidup dan 

menakutkan tentang efek mematikan dari perairan yang tercemar.



18

2

Kepala yang Terpenggal

Desa-desa dan permukiman nomaden kecil Louk Tieh pada 

awalnya didirikan di kelokan Sungai Seine di titik tengah bukit-bukit 

yang membentang dari utara ke selatan. Ini yaitu  perlindungan 

alami dari badai terburuk, yang bertiup liar dan buas dari timur 

dan utara. Bukit-bukit ini juga berfungsi sebagai dinding terhadap 

invasi dari suku-suku tetangganya. Para pemukim pertama yaitu  

petani yang datang dari Eropa Tengah dan selatan, dengan membawa 

serta bentuk pertanian yang maju serta pola permukiman yaitu desa 

berisikan rumah-rumah yang sangat berdekatan dengan 50 hingga 200 

penduduk (sisa-sisanya ada  di Meudon, Cormeilles-en-Parisis 

dan Choisy-le-Roi). Ini yaitu  model yang kemudian diasimilasi oleh 

suku Parisii di masa selanjutnya, yang menetap sebab  tanah, sungai, 

bentang alam dan iklimnya menawarkan makanan, minuman serta 

kenyamanan.

Pada awalnya, di sana hanya ada dataran tinggi berbatu gamping 

yang ditutupi oleh tanah subur berkapur. Pada musim hujan, secara 

alami air hujan menyerap ke dalamnya dan pada masa kekeringan 

airnya bisa ditarik ke permukaan. Ladang-ladang yang subur ini mudah 

dibajak dan digali. Para petani awal menyadari bahwa tempat ini lebih 

baik daripada dataran tinggi Beauce, Brie dan Soissonnais dengan 

lahan-lahannya yang tertutup oleh lumpur lembut. Pemandangan dari 

Montmartre selama periode Gallo-Romawi akan mengungkapkan 

ladang-ladang yang diolah secara intensif dan kebun-kebun buah 

yang menghasilkan aprikot, ara, asparagus serta anggur. Kebun-kebun 

anggur dibangkitkan kembali dalam nama-nama jalan di lereng 

Montmartre—rue de Clos, rue de Clos-Breton, rue de Clos-Bruneau 

dan seterusnya (clos yaitu  kebun anggur). Kosakata dan takhayul 



19


petani masih bisa didengar di pelosok kota dalam bentuk nama-nama 

jalan seperti rue de l’Abreuvoir (‘jalan penampungan air’), rue des 

Terres au Curé (‘jalan tanah pendeta’), rue du Puits de l’Ermite (‘jalan 

sumur pertapa’). ada  pula altar untuk Bacchus, dewa anggur, di 

tempat yang sekarang bernama Montagne Sainte-Geneviève. Julian 

juga mencatat bahwa suku Parisii ‘menggunakan pemberiannya 

dengan bebas dan murah hati.’1 Hal ini juga disadari oleh orang-

orang Romawi pertama yang menetap di Lutetia, yang melaporkan 

kembali kepada rekan sebangsanya yang skeptis bahwa mereka telah 

menemukan surga makanan dan bahwa orang-orang Galia merupakan 

orang dengan kebudayaan alkohol tinggi. Dewa pagan masih bertahan 

lama dalam memori kota Kristen, saat  ia diberi julukan Santo Bacch 

dan kesehatannya dirayakan pada 7 Oktober, festival pagan untuk 

panen anggur.2

Walaupun Louk Teih berkembang menjadi Lutetia secara perlahan, 

kota Gallo-Romawi ini sangat makmur dan stabil secara politik 

selama lebih dari 300 tahun. Permusuhan terhadap orang Romawi 

mayoritas sudah menghilang pada 100 M (contohnya, sebuah gerakan 

yang dianggap sebagai pemberontakan yang dilancarkan oleh dua 

orang bangsawan Galia menjelang akhir abad pertama kekuasaan 

Romawi digagalkan oleh suku Parisii sendiri sebab  mereka 

berpendapat bahwa pemberontakan ini mengganggu kepentingan 

ekonomi mereka). Pada abad ke-2, kota telah berkembang dengan 

keyakinan yang mengagumkan. Sebuah forum dibangun di dekat 

Montagne Sainte-Geneviève, sebuah amfiteater dibangun di tempat 

yang sekarang menjadi rue Racine, begitu pula sebuah Arena dengan 

kapasitas 18.000 penonton. Sebuah dinding dibangun mengelilingi 

daerah urban baru ini, yang sekarang membentang ke daerah yang 

masih menjadi batas utara serta selatan Paris abad ke-21. Denyut 

nadi dan pusat ekonomi kota yaitu  sebuah jalan, ungkap Vacquer, 

yang membentang menyeberangi dua jembatan dari utara ke selatan, 

melewati faubourg Saint-Martin (faubourg yaitu  daerah pinggiran 

kota berbahasa Prancis—penerj.) dan faubourg Saint-Denis, dan 

merupakan jalan pertama yang pernah dibangun menjauh dari Île de 

la Cité.

Pada saat itu, bahkan mereka yang dilahirkan di Roma atau mereka 



20

yang merasa sebagai keturunan Romawi mau tak mau mengagumi 

orang Galia Paris. Seperti yang dituliskannya dalam Epitome bellorum 

omnium annorum DCC (‘Epitome Sejarah Romawi’) pada 125 M, 

penyair dan sejarawan Florus merasa muak dengan dekadensi Itali. 

Sebagai gantinya, ia memuji orang Galia atas energi dan semangat 

ekonomi mereka dan sebagai kaum yang kemungkinan besar akan 

menjadi penyelamat kekaisaran. Kaum aristokrat Galia Lutetia 

sekarang menduduki posisi-posisi tertinggi komando, sebagai hakim, 

administrator dan prajurit. Mereka hanya sedikit memodifikasi 

tuntutan pajak dari Roma. Dari segala sudut pandang, tempat ini yaitu  

sebuah provinsi yang mapan dan berhasil, sebuah neksus ekonomi dan 

sepenuhnya terintegrasi dengan kekaisaran. ada  tradisi panjang 

bahwa komandan Romawi lokal, yang kadang kala yaitu  penutur 

bahasa Galia penduduk asli kota yang hanya memiliki sedikit prajurit 

garnisun, hampir tidak perlu melakukan apa pun kecuali memerintah 

dengan kekuatan minimum dan sentuhan lembut. Namun demikian, 

kepuasan ini terbukti akan menjadi sumber kehancuran Lutetia.

Gunung para Martir

Hingga para pendeta mulai menyebarkan kisah tentang Santo Denis 

kepada para jemaatnya yang sedang panik, Denis sendiri hanyalah 

salah satu dari sekian banyak orang Kristen yang dibunuh. Sebagian 

besar dari mereka dibunuh sebagai hiburan publik di Arena dan, 

seperti Santo Lucian atau para martir Kristen lainnya dari masa itu, 

sudah sejak lama dilupakan. Berkembangnya legenda Santo Denis erat 

kaitannya dengan rasa takut orang Kristen terhadap para penyerbu 

Barbar dari timur, dan kemudian terhadap Islam saat , pada akhir 

abad ke-8 dan abad ke-9, pasukan Muslim menembus jauh ke utara 

hingga Poitiers dan Tours. Tidak ada tanggapan spesifik terhadap 

ancaman Barbar maupun Muslim yang dapat ditemukan dalam kisah 

santo, tetapi kisah ini memberikan catatan pelajaran tentang daya 

tahan orang Kristen dalam menghadapi bahaya paling besar.

Bahaya ini tidak mendesak dan tidak jelas bagi penduduk Lutetia 

pada abad ke-2 dan abad ke-3. Namun demikian, mereka cukup 

terganggu oleh serbuan-serbuan lintas perbatasan yang dilakukan 


21


oleh suku Frank dan suku Alemanni untuk mencari penghiburan 

dalam agama Kristen yang baru tiba. Pada tahap ini, agama Kristen 

belum memiliki pijakan kuat di Galia dan terutama masih terbatas 

pada komunitas-komunitas penutur bahasa Yunani di Lyons atau 

Marseilles. saat  Santo Denis, santo patron pertama Paris, muncul 

pada abad ke-3—kemungkinan sekitar 250 M—agama Kristen masih 

menjadi agama pinggiran dan belum populer di Paris.3 Pada saat itu, 

Galia sendiri merasa terancam oleh para tetangga barbarnya, selain 

ancaman dari perbanditan massal dan pemberontakan petani yang 

dipimpin oleh penduduk pedalaman Galia yang tidak puas. Untuk 

pertama kalinya, yaitu pada 260 M, seorang perwira Galia, Postumus, 

dijadikan Kaisar Galia. Ia berhasil memukul mundur suku-suku 

penyerbu selama delapan tahun kemudian. Pada saat itu, hampir tidak 

ada bagian Galia yang belum pernah mendengar kisah-kisah kejam 

pembantaian di tangan para penyerbu.

Dalam versi pertama kisah tersebut, Denis dikirim ke Lutetia 

dari Athena untuk mengubah agama Parisian Gallo-Romawi, yang 

terkenal dengan cara-cara pagannya. Ia melakukannya terutama 

dengan menghancurkan patung-patung pagan. Tidak heran jika 

kesabaran tuan rumah Denis segera habis. Ia ditangkap di tambang 

batu faubourg Saint-Jacques, di dekat tempat yang sekarang menjadi 

titik kumpul aksial Denfert-Rochereau. Di tambang batu ini, deposit 

gipsum biasa digunakan untuk membuat plester simulacra atau ikon-

ikon bagi pemujaan pagan.

Bersama rekan-rekan evangelisnya yang lain, Eleuthère dan 

Rusticus, Denis dibawa ke penjara Glaucus, lokasi yang sekarang 

menjadi pasar bunga di Île de la Cité. Atas perintah prefek Sisianus 

Fesceninus, mereka disiksa selama beberapa hari sebelum digiring 

ke Montmartre—yang, walaupun tidak disepakati oleh para linguis 

historis, bisa saja merupakan pelesetan dari nama Mons martyrum, 

Bukit para Martir; atau Mons Mercurii, sebab  adanya sebuah kuil bagi 

Dewa Merkurius; atau bisa juga Mons Martis, untuk menghormati kuil 

bagi dewa Mars. Di tempat yang jauh dari pusat kota inilah mereka 

dipancung. Para prajurit yang mendampingi para evangelis melewati 

daerah paya-paya Tepi Barat merasa terlalu lelah untuk membawa 

mereka mendaki lereng yang terjal. Kemudian mereka memenggal 



22

para evangelis di depan Kuil Merkurius di kaki bukit, di tempat yang 

sekarang bernama Yvonne-le-Tac. Di tempat inilah konon Denis 

mengambil kepalanya, berjalan menuju air mancur, di sudut jalan 

yang sekarang menjadi rue Girardon dan rue de l’Abreuvoir, lalu 

melintasi Montmartre sambil mengucapkan doa hingga ia terkapar. 

Jenazah martir yang penuh semangat ini dimakamkan oleh Catulla, 

seorang janda Kristen taat, di sebuah tempat bernama Catolucus.

Santo tanpa kepala ini terbukti menjadi pahlawan yang tidak 

disangka-sangka selama bertahun-tahun kemudian. Konon ia 

pernah muncul di hadapan Dagobert, yang pernah menjadi raja Paris 

walaupun singkat pada abad ke-7, untuk melindunginya dari setan-

setan. Dagobert memi


Related Posts:

  • Paris Perancis 1 Paris menimbulkan emosi yang kuat. “Kesan pertama saya terhadap Paris jauh berbeda dari apa yang semula saya harapkan,” demikian tulis Jean-Jacques Rousseau, salah seorang penjelajah pertama kota modern i… Read More