Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 15

 


eka sedang menempuh perjalanan ke tempat 

bermain—dan kemudian ke timur, menuju kematian sebab  kelaparan 

atau kamar gas.9


469

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

Pengumpulan di Vél d’Hiv yaitu  salah satu momen menyedihkan 

dalam sejarah Paris. Reaksi di Paris pada saat itu masih membisu. 

Memang benar bahwa sejumlah kecil Parisian benar-benar mengetahui 

apa yang sedang terjadi—dan bahwa desas-desus dari bawah tanah 

Yahudi dianggap sebagai propaganda Yahudi. Namun demikian, 

bau, tangisan, dan urin yang menetes keluar dari tembok beton 

stadion sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan dunia luar bahwa 

kejahatan sedang terjadi di dalam. Dalam cara yang sama, jalanan di 

Marais yang kosong dan hanya terdengar suara sepatu bot di atas batu 

pelapis jalanan di daerah yang terkenal sebab  kelebihan populasinya 

dan suara ributnya, yaitu  sinyal jelas bagi siapa pun yang mengetahui 

kota bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi. Lebih buruk lagi, 9.000 

pria dan wanita Prancis mengambil bagian dalam ‘Angin Musim 

Gugur’. Mereka semua tahu apa yang sedang mereka lakukan; fakta 

sederhananya yaitu  mereka semua lebih suka untuk memalingkan 

wajah.

Yang tidak kalah memalukannya yaitu  cara di mana pemerintah-

pemerintah Prancis yang silih berganti serta otoritas-otoritas 

pemerintah sejak Pendudukan sepertinya mengalami amnesia akut 

tentang apa yang terjadi di kota antara 1942 dan 1944. Fakta tetap 

ada bahwa otoritas Prancis, dibantu oleh rekan senegaranya yang 

cukup banyak jumlahnya, dengan sukarela dan antusias mengirim 

ribuan orang yang tidak bersalah menuju kematian mereka di kamp-

kamp di timur. Bahkan saat pasukan Sekutu mendekati kota selama 

hari-hari terakhir perang, kereta-kereta kematian masih bergerak 

dengan efisiensi dan presisi yang mengerikan. Pada saat itu, sekitar 

80.000 orang Yahudi, dari seluruh Prancis, telah melewati Paris dalam 

perjalanan mereka menuju kelaparan, penyiksaan, dan pembantaian.

Tidak kurang traumatisnya, periode ini bagi orang-orang Yahudi 

Paris yaitu  keengganan pihak berwenang untuk mengakui kejahatan 

yang dilakukan atas nama mereka. René Bousquet, prefect polisi 

selama Pendudukan dan orang yang oleh sebab  itu bertanggung 

jawab secara langsung atas pengumpulan dan deportasi, baru diajukan 

ke pengadilan pada 1993 (ia ditembak mati oleh Christian Didier 

dalam sebuah kejahatan yang kelihatannya tanpa motif—membuat 

orang Yahudi tidak bisa mendapatkan pengadilan). Dalam filmnya 



470

tentang Auschwitz pada 1955 berjudul Nuit et brouillard (‘Malam 

dan Kabut’), Alain Resnais memberitahukan kepada Parisian para 

penonton bioskop tentang realitas apa yang ada di ujung perjalaan ke 

timur dan ia mengutuk “mereka yang tidak melihat, tidak mendengar 

tangisan hingga akhir masa.” Dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk 

menyadarkan Parisian tentang besarnya kejahatan yang dilakukan di 

tengah-tengah mereka. Tugu peringatan bagi deportasi yang sekarang 

berdiri di ujung timur Île de la Cité yaitu  pengakuan formal bagi 

hari-hari tergelap di kota. Bahkan di suatu sore musim semi yang 

berangin sepoi-sepoi, tempat ini begitu suram dan hal ini wajar saja.

Bawah Tanah

Hingga 1942, penderitaan orang Yahudi terutama bukanlah urusan 

Parisian. Ketidakmanusiawian pengumpulan di Vél d’Hiv dan kejadian-

kejadian mengerikan di Drancy, disaksikan tetapi jarang didiskusikan 

oleh para tetangga di apartemen-apartemen bertingkat di sekitarnya, 

menandai titik balik bahwa untuk pertama kalinya peristiwa yang 

menimpa orang Yahudi Paris telah memicu tanggapan simpatik. Sejak 

saat itu, ada  minoritas kecil yang membisikkan kata dukungan 

atau simpati kepada teman-teman atau kolega-kolega Yahudi di 

jalanan atau di metro. Sejumlah kecil orang yang berani—termasuk 

seorang pendeta Katolik—mengenakan Bintang Kuning sebagai 

tanda penentangan. Walau demikian, kombinasi anti-Semitisme 

yang tersisa dan instingtif serta kesibukan terhadap kesulitan mereka 

sendiri membuat hampir semua Parisian menjaga jarak dari kejadian-

kejadian brutal yang terjadi tepat di hadapan mereka sendiri.

Parisian bahkan lebih terkejut pada musim dingin 1940 oleh 

penembakan Jacques Bonsergent, seorang mahasiswa teknik, yang 

terlibat dalam perkelahian dengan seorang prajurit infanteri Jerman 

di luar sebuah bar. Ia berasal dari Brittanny dan merupakan salah satu 

anak dari sebuah keluarga miskin dengan sepuluh anak di Lorient. 

Bonsergent datang ke Paris pada 1939 untuk mencari kehidupan lebih 

baik. Ia ditangkap sesudah  perkelahian saat mabuk di dekat Gare Saint-

Lazare dan menolak untuk memberitahukan nama-nama temannya 


471

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

yang sudah melarikan diri dari lokasi perkelahian. Bonsergent 

membalas penghinaan yang diberikan oleh orang Jerman dan segera 

ditangkap dengan tuduhan terorisme. Insinyur muda ini menertawakan 

tuduhan ini dan berkata kepada salah satu saudara laki-lakinya, yang 

datang untuk mengunjunginya dari Lorient, bahwa ia yakin bahwa 

ia akan segera dilepaskan sebab  kejahatannya bukanlah politik dan 

ia memercayai kebenaran orang Jerman. Namun, ia tidak menyadari 

bahwa orang Jerman telah menggunakannya sebagai pion untuk 

memeras pemerintah Vichy agar mengembalikan kekuasaan Pierre 

Laval yang merupakan model kolaborasi terbaik. Marsekal Pétain 

sebelumnya telah memecat Laval sebab  bermuka dua dan semakin 

menghina Hitler secara pribadi dengan menolak untuk datang ke 

Paris guna menerima abu putra Napoleon, duc de Reichstadt, yang 

juga dikenal sebagai L’Aiglon. Abunya telah dipindahkan dari Wina, 

tempat L’Aiglon wafat, dan dikirim ke Paris atas perintah Hitler sebagai 

tanda kolaborasi.

‘Teroris’ Jacques Bonsergent dihadapkan ke regu tembak di pagi 

buta pada Malam Natal. Hal ini sangat mengejutkan dan membuat 

muak hampir semua Parisian. Pada pagi tanggal 24 Desember, 

poster-poster muncul di seluruh Paris yang mengumumkan bahwa 

“insinyur Jacques Bonsergent telah dijatuhi hukuman mati dengan 

cara ditembak oleh regu tembak militer Jerman sebab  tindakan 

kekerasan melawan seorang anggota tentara Jerman.” Secara spontan, 

para wanita membawa bunga dan meletakkannya di bawah poster. 

Setiap kali orang Jerman membersihkan bunga-bunga tersebut, para 

wanita membawa lebih banyak bunga. Parisian mengakui hal ini 

yaitu  tindakan kecil tetapi berani yang secara terbuka menentang 

para penindas dan pembunuh yang telah mengambil alih kota mereka.

Musim dingin itu sekeras yang bisa diingat semua orang. Saat 

itu begitu dingin dan kurangnya makanan mulai sangat terasa. 

Penjatahan mulai diberlakukan sejak Agustus. Daging dan mentega 

sudah semakin jarang. Bersepeda semakin banyak digunakan sebagai 

bentuk transportasi ke seantero kota. Walaupun mengganggu para 

pengelola apartemen dan tetangga yang cerewet, banyak keluarga 

mulai beternak kelinci dan burung merpati sebagai kebijakan asuransi 

menghadapi kekurangan makanan di masa depan.



472

Saat itulah sebagian besar Parisian mulai benar-benar membenci 

orang Jerman. Hal ini misalnya dapat dilihat di kalangan pemuda Paris 

yang kecanduan jazz, yang membenci orang Jerman dengan kebencian 

yang sama yang secara tradisional diarahkan kepada para guru atau 

pendeta. Pengikut master jazz Amerika yang paling setia mengadopsi 

pakaian baggy zoot dengan gaya rambut panjang dan berminyak 

yang mereka lihat dalam film-film Hollywood yang bisa menembus 

sensor Jerman, dan menyebut diri mereka ‘Zazous’—sepertinya 

korupsi bahasa Galia dari frase ‘zah-zuh-zah’ yang digunakan oleh 

pemimpin band Cab Calloway yang sangat dihargai. Setidaknya sejak 

1942, seorang jurnalis bernama Raymond Asso menulis dalam surat 

kabar kolaborasi Le Globe tentang ‘ancaman Zazou’, yang merujuk 

pada sekelompok pemuda tertentu yang tujuan utama hidup mereka 

sepertinya yaitu  mengganggu otoritas Jerman sebanyak yang 

mungkin dilakukan oleh manusia.

Mereka terutama berusia kurang dari 21 tahun (para Zazous 

menjuluki diri mereka sendiri ‘J3’—merujuk pada buku jatah yang 

diberikan kepada Parisian yang belum dewasa) dan biasa berkumpul 

di terrasse-terrasse di Champs-Élysées—di Pam-Pam atau La 

Capoulade—atau Quartier Latin, di Dupont-Latin, Le Petit Q atau Café 

Cluny. Mereka tidak hanya dibedakan dari pakaian Amerika mereka 

dan kecenderungan untuk membuat bahasa slang dari sisa-sisa bahasa 

Inggris yang mereka ambil dari lagu-lagu jazz, tetapi juga sebab  

detail yang bergaya, seperti mengenakan simpul dasi yang sangat 

kecil atau selalu membawa payung. Para wanita Zazous juga tidak 

malu-malu tampil seksi, mengenakan lipstik paling merah, pakaian 

tipis yang dihiasi oleh kotak-kotak modernis besar, rok pendek dan 

sepatu hak tinggi. Kedua jenis kelamin ini juga mengadopsi keisengan 

yang tak dapat dipahami tetapi modis sebagai tanda anggota suku. 

Contohnya yaitu  meminum bir dengan menggunakan grenadine 

(alat menjijikkan yang dikenal sebagai ‘Monaco’ yang masih disukai 

para mahasiswa) atau, lebih aneh lagi yaitu  memesan carotte râpée 

(‘wortel parut’) dengan setiap makanan.10

Para Zazous yaitu  pembuat tipuan dan remaja pemberontak 

satu dekade sebelum sikap seperti ini benar-benar dikodifikasi dalam 

kebudayaan pop Eropa pasca-perang. Akan menjadi sikap berlebihan 


473

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

yang lucu untuk mengatakan bahwa mereka benar-benar menjadi 

ancaman nyata bagi pasukan pendudukan. Namun, mereka benar-

benar mengganggu dan menjadi titik kumpul bagi para pemuda tidak 

puas yang, justru sebab  mereka berusia di bawah mayoritas penduduk, 

membuat mereka lebih sulit diawasi dan dikontrol daripada bagian 

populasi lainnya.

Kadang kala, walaupun sangat tidak disukai oleh keluarga-

keluarga kelas menengah tempat anak-anak muda ini berasal, para 

pemuda dan pemudi yang dituduh melakukan ‘kejahatan sosial’ 

oleh pihak berwenang akan dikirim ke pedalaman untuk bekerja 

berdampingan dengan para petani. Tindakan ini dimaksudkan untuk 

menghilangkan sikap metropolitan dari para penduduk kota tersebut. 

Namun, pengalaman ini biasanya memberikan efek berlawanan yaitu 

malah memperkeras sikap mereka. Tidak mengherankan jika, saat 

perang terus berlangsung, banyak pemuda kota ini memasuki gerakan 

perlawanan yang mulai tumbuh, tempat mereka menjadi ‘kamerad’ 

berdedikasi dengan rasa sejarah dan tujuan nyata.

Perlawanan

Dengan cara yang sama, Pendudukan Nazi telah mengguncang kota 

tetapi tidak menghancurkannya. Jika ada, Pendudukan semakin 

memperkuat tekad orang Prancis untuk melawan Jerman—kualitas 

yang sebelumnya tidak ada dalam periode pra-perang—dan, saat 

gerakan perlawanan mendapatkan momentumnya, pendudukan telah 

mengubah warga negara biasa menjadi penembak jitu, penyabotase, 

dan pemberontak yang mahir.

Pendudukan pada awalnya menjadi pukulan sangat besar 

bagi moral di seluruh Prancis dan Eropa. Dalam sebuah gerakan 

tunggal, Pendudukan telah menggubah ibukota dunia bagi Hak-Hak 

Manusia—kota tempat gagasan-gagasan dan tempat para intelektual 

pernah menjadi mercusuar bagi planet—menjadi sarang gelap bagi 

para pembohong, pengkhianat, dan pembunuh. Namun, saat kejutan 

awal sebab  Pendudukan sudah berkurang, untuk digantikan dengan 

trauma penundukan dan pembawahan, selain para kolaborator yang 



474

sudah sejak lama menyerahkan nasibnya bersama Nazi, bahkan 

Parisian yang paling mengalah sekalipun mulai melihat situasi saat itu 

benar-benar tidak bisa ditoleransi. Perlawanan dan pemberontakan 

sepertinya menjadi satu-satunya opsi yang mungkin.

Kekosongan moral Paris pada bulan-bulan awal Pendudukan 

tidak bisa bertahan selamanya. Pukulan serius pertama terhadap 

pasukan pendudukan diberikan pada pukul sembilan malam tanggal 

21 Agustus 1941 di stasiun metro di Barbés. Peristiwanya yaitu  

penembakan terhadap Alfons Moser, seorang perwira di angkatan laut 

Jerman, di quai stasiun saat ia sedang menunggu kereta ke barat kota. 

Pembunuhnya yaitu  Pierre Félix Georges, seorang militan Komunis 

berusia 21 tahun, yang sesudah  itu dikenal dengan nama samarannya 

yaitu ‘Le Colonel Fabien’. Georges menembak Moser di dadanya dan 

berjalan pergi, sepertinya dilindungi oleh kerumunan di stasiun, ke 

dalam sejarah dan legenda. Ini yaitu  momen, menurut sumber-

sumber resmi Partai Komunis, bahwa orang Prancis mengangkat 

kepalanya dan mulai melawan mereka yang mendudukinya. 

Pembunuhan ini membuat marah orang Jerman dan mengejutkan 

Parisian yang berkolaborasi, sementara Parisian lainnya sangat senang 

sebab  akhirnya perlawanan sebenarnya telah dimulai.

Namun, latar belakang momen ini tidak sejelas dan sesederhana 

pembunuhan tersebut. Walaupun masih muda, Pierre Georges 

sudah memiliki cukup pengalaman dalam Partai Komunis di semua 

tingkatan dan dianggap sebagai militan kelas satu, yang mampu 

melakukan kekejaman dan keberanian luar biasa. Aksi-aksi lain yang 

pernah dilakukannya termasuk melempar batu bata melalui jendela 

markas besar para kolaborator di Boulevard des Filles-du-Calvaire, 

berpengalaman sebagai seorang prajurit infanteri republiken dalam 

Perang Saudara Spanyol dan berpartisipasi dalam serangkaian 

demonstrasi dengan kekerasan melawan Pendudukan. Pemicu 

aksinya yaitu  invasi Hitler ke Rusia pada Juni 1941. Langkah Hitler 

ini banyak mengurangi ketegangan pada kaum Kiri Prancis dan Eropa 

dan membuka jalan bagi jenis perjuangan bersenjata melawan Nazi 

yang banyak dianggap oleh orang Komunis sebagai satu-satunya 

strategi yang mungkin sejak akhir dekade 1930-an.


475

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

Perubahan-perubahan ini juga ditentukan oleh perubahan dalam 

perang di luar Paris dan cara di mana, setiap manuver kekejaman 

dan kekerasan di dalam kota, orang Jerman mendorong pemisah 

yang semakin dalam antara mereka sendiri dengan Parisian biasa. 

Pergeseran nyata dalam suasana hati Parisian pada tahap ini dalam 

perang tidak dipicu oleh desas-desus deportasi orang-orang Yahudi 

dan orang-orang lainnya ke kamp-kamp kematian, atau bahkan 

pengalaman penindasan dan penderitaan sehari-hari yang semakin 

sering dan semakin sulit ditahan sepanjang musim dingin 1940 – 1941 

yang keras, tetapi oleh kepastian yang semakin jelas—yang terungkap 

saat cengkeraman Jerman semakin kuat terhadap kota—bahwa 

seluruh kebudayaan mereka sedang terancam bahaya.



476

40 

Patriot dan Pengkhianat

Namun, tidak semua orang menganggap kehadiran orang 

Jerman menjadi beban. Pada awalnya, orang-orang Jerman berperilaku 

sangat baik yang sepenuhnya sesuai dengan Parisian borjuis, yang 

lebih menyukai keeleganan kaku para prajurit sejati ini daripada 

para prajurit wajib militer yang tidak rapi dan pemabuk, baik prajurit 

Prancis maupun Inggris, yang baru saja melewati kota dalam gerakan 

mundur mereka. ada  alasan lain yang lebih kelam tentang kenapa 

sejumlah Parisian mengagumi orang Jerman. Dalam novel karya Paul 

Sartre berjudul Le Sursis (‘The Reprieve’ atau ‘Penangguhan’, 1945), 

salah satu karakter utamanya, Daniel, mengalami ereksi saat tentara 

Jerman memasuki kota, berbaris dalam formasi menyusuri Champs-

Élysés. Ia memandang seperti kerasukan penuh nafsu kepada para 

prajurit Wehrmacht yang semuanya berotot kuat, bermata biru dan 

berambut pirang. Ia berfantasi tentang memerkosa dan diperkosa, dan 

menemukan bahwa hal ini memberikan kesenangan kepadanya yang 

tidak bisa dipahaminya. Namun tetap saja ini yaitu  kesenangan.

Karakter Daniel secara eksplisit didasarkan pada Jean Genet, 

seorang pemuda yatim, pencuri, gigolo muda dan penulis, yang 

karakter dan tulisannya sangat menyibukkan Sartre selama periode ini. 

Terutama, Sartre terpesona oleh gagasan Genet yaitu ‘pengkhianatan’ 

dan ‘ketidaksetiaan’—nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam 

pembalikan langsung terhadap masyarakat borjuis yang dibencinya. 

Dalam tulisannya tentang pengembaraan di Eropa pada dekade 1930-

an, Le Journal du voleur (‘Jurnal Pencuri’), yang diterbitkan pada 1949, 

Genet berkelana menyusuri ujung selatan Spanyol dan memandang 

menyeberangi Selat Gibraltar ke arah kota Tangier, sebuah permata 

yang jauh dan gemerlap di pesisir Afrika Utara. Ia mengingatkan 



477

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

reputasinya sebagai sarang para gangster, pengkhianat, penyodomi, 

dan pembunuh jahat dan terangsang secara seksual oleh pemikiran 

bahwa ia akhirnya tiba di tempat yang disebutnya dengan kagum 

sebagai ‘Ibukota Pengkhianatan’.

Pada 1940, Genet tidak perlu melakukan perjalanan ke Afrika 

Utara: Paris sekarang sudah dipenuhi oleh para calon pengkhianat, 

baik dalam skala kecil maupun besar, yang akan terus memenuhi 

fantasi masokismenya yang paling dramatis. Daniel karangan Sartre 

juga memiliki konsekuensi wajar dalam kehidupan nyata dengan 

munculnya para intelektual pro-Nazi sebagai tokoh-tokoh utama 

Pendudukan. Para penulis ini—termasuk Robert Brasillach, Lucien 

Rebatet, dan Pierre Drieu La Rochelle—sering kali menyebut diri 

mereka sendiri sebagai ‘suara sejati Paris’ tetapi garis ideologis mereka 

telah ditentukan di Berlin, tempat banyak dari mereka telah pindah ke 

sana pada awal perang. Setidaknya, Genet dan Daniel karangan Sartre 

memiliki kecakapan pengetahuan-diri, mengakui bahwa mimpi-

mimpi mereka tentang kekuasaan dan penghinaan pada dasarnya 

tidak lebih dari fantasi seksual abnormal. Sebaliknya, para intelektual 

yang berkolaborasi ini memandang diri mereka sendiri sedang 

melancarkan perang suci moral yang akan memimpin orang Eropa 

putih yang heteroseksual ke arah tatanan dunia baru sebagaimana 

diimpikan oleh Komando Tinggi Nazi.

Jalan ke depan sudah ditunjukkan oleh pendirian pemerintahan 

Vichy di bawah komando Marsekal Pétain dan Pierre Laval di sebuah 

kota spa yang sepi tempat pemerintah Paris mundur. Pemerintahan 

Vichy, yang didirikan saat pemerintahan Prancis yang benar terpecah 

belah dalam kekacauan pada 1940, mendorong kolaborasi sebagai 

sebuah tugas patriotik. Anehnya, mereka memiliki ‘kedutaan besar’ 

di Rue de Grenelle di Paris yang seharusnya mendorong hubungan 

baik antara para intelektual Paris dengan Jerman. Di antara mereka 

yang sudah memimpin jalan menuju kolaborasi intelektual dan 

politik yaitu  Jacques Doriot, seorang bekas pemimpin Komunis 

yang pernah menjadi salah satu pendiri ‘Parti Populaire Français’ dan 

pernah menentang keras perang atas nama kelas pekerja.

Hal ini, setidaknya, yaitu  pergeseran berbasis prinsip; banyak 

jurnalis dan penulis dengan mudah disanjung oleh duta besar Jerman 



478

Otto Abetz dan tangan kanannya Ernst Jünger, yang memesona 

mereka dengan janji uang tunai dan jabatan editor dalam jurnal-

jurnal bersirkulasi luas. Jurnal Je Suis Partout, di bawah pimpinan 

Robert Brasillach, merupakan salah satu suara pro-Jerman paling 

keras di Paris sebelum perang. Sekarang mereka berada di barisan 

terdepan, bersama surat kabar Au Pilori, sebagai organ utama Kanan 

dan sisa-sisa Kiri Prancis yang membenci diri sendiri. Di antara para 

intelektual jurnalis yang berpaling ke sisi kolaborasi tanpa rasa malu 

ataupun keraguan yaitu  penulis Abel Bonnard, Fernand de Brinon, 

dan Jean Luchaire.1

Argumentasi ‘patriotis’ yang biasa digunakan oleh semua penulis 

ini yaitu  bahwa sebab  sejak Perang Dunia Pertama Prancis sudah 

mengalami kemerosotan parah dan bahwa, sebab  nilai pentingnya 

kebudayaan Prancis di Eropa dan bahkan dunia, ‘dekadensi’ ini 

akan memiliki dampak sangat buruk bagi kebudayaan Eropa secara 

keseluruhan. Fasisme yaitu  satu-satunya pertahanan terbaik 

melawan ancaman Komunisme. Kesepakatan Munich pada 1938 telah 

merusak sebagian argumentasi ini, tetapi persekutuan antara Nazi 

dengan Soviet hanyalah tindakan sementara menghadapi ancaman 

liberalisme demokratis ‘Anglo-Saxon’ yang lebih berbahaya, yang 

hanya dipandang sebagai kuda penguntit bagi kapitalisme liar tanpa 

tali pengekang.

Mengikuti pemikiran inilah maka strategi Abetz, sang duta besar 

Jerman, yaitu  bukan hanya untuk berurusan dengan kelompok 

Kanan atau ekstrem Kanan Prancis—faksi-faksi yang bagaimanapun 

juga dengan mudah sejalan dengan orang Jerman—tetapi untuk 

mendekati para penulis, intelektual, dan politisi yang sebelumnya 

pernah atau bahkan masih dikaitkan dengan kelompok Kiri, tetapi 

merasa kecewa dengan kehancuran lanskap politik dan budaya Paris. 

Hal ini menjelaskan situasi yang kelihatannya anomali pada 1941 

dan 1942 saat  para penulis yang dikenal bersimpati dengan sayap-

kiri—termasuk orang-orang seperti Raymond Queneau, Marguerite 

Duras, Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Jean-Paul Sartre—

menemukan bahwa diri mereka disanjung bahkan disambut di Paris 

yang Diduduki. Mantan Surealis yang menjadi Komunis Louis Aragon 

sekarang bahkan benar-benar dikenal secara nasional dengan ‘puisi-


479

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

puisi’ patriotisnya, yang bersifat reaksioner baik dalam hal bentuk 

maupun isi, yang menggemakan panggilan menggelegar Victor Hugo 

bagi solidaritas nasional melawan para penindas. Pada 1943, puisi 

‘Du poète à son parti’ (‘Penyair ke partainya’), Aragon menampilkan, 

misalnya, sebuah perkawinan khas Paris antara Komunisme dan 

Patriotisme yang, diedarkan oleh rumah penerbitan terkemuka 

Gallimard, yang mengelak dari sensor dan benar-benar memiliki daya 

tarik populer:

Partaiku telah memulihkan mataku dan memoriku

Aku telah melupakan apa yang diketahui semua anak

Bahwa darahku begitu merah dan hatiku yaitu  hati Prancis

… Partaiku telah memulihkan kepercayaanku terhadap heroisme

Aku melihat Joan of Arc aku mendengar trompet Roland 2

Aragon bukanlah pengecualian: walaupun sejumlah kecil intelek-

tual memilih untuk tidak menerbitkan apa pun selama perang 

(mereka termasuk penyair René Char dan Tristan Tzara), sebagian 

besar penulis dan seniman mampu berfungsi seakan-akan tidak ada 

apa pun yang terjadi. Kadang kala, hal ini sebab  sensor tidak mampu 

sepenuhnya memahami apa pun yang benar-benar anti-Jerman dalam 

karya (hal ini dikatakan telah menjelaskan reaksi kritis positif terhadap 

drama karya Sartre berjudul Les Mouches, ‘Para Lalat’, tahun 1942—

kritikus Jerman telah mengabaikan rujukan kiasan yang jelas terhadap 

Pendudukan). Mendekati para penulis Prancis juga menjadi taktik yang 

berguna bagi orang Jerman untuk mencegah munculnya para martir 

sastra potensial, mengurangi banyak keluaran kesusastraan periode 

tersebut hingga hanya menjadi kemarahan impoten: perdebatan 

politik dan filosofis berpusat pada isu-isu kekalahan, penderitaan dan 

diam, tetapi jarang menyerang musuh secara langsung. Inilah bukti, 

menurut pendapat di Kanan, bahwa model Prancis bagi kebudayaan—

demokrasi dan kesetaraan—tidak lebih dari sebuah ilusi berbahaya 

yang telah membawa negara menuju bencana.



480

Seorang Peramal

Rempah paling memabukkan dalam rebusan ide yang berbahaya ini 

tentu saja yaitu  anti-Semitisme mentah. Novelis pro-Nazi Louis-

Ferdinand Céline telah menulis dalam sebuah pamflet sebelum 

perang bahwa “sejuta orang Yahudi bau yang mati tidak setara dengan 

kuku jari seorang Aria.”3 Ia telah menyatakan bahwa kedatangan orang 

Jerman yaitu  ‘tonik yang dibutuhkan’. Satu-satunya kekecewaannya 

sekarang yaitu  bahwa perang tidak terlalu menghancurkan.

Sejak kesuksesan novel pertamanya, Voyageau bout de la nuit, pada 

1932, Céline telah digoda oleh ketenaran, uang, hotel berbintang lima, 

dan kesempatan untuk melakukan perjalanan yang datang bersama 

status barunya. Namun, suaranya dan kebenciannya tetap saja 

merupakan suara autentik daerah kumuh Paris; sikap anti-Semitnya 

datang dari sumber yang sama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini 

berguna bagi orang Jerman sebagai propaganda tetapi mustahil 

dikekang dan dikendalikan seperti juga sang penulisnya sendiri.

Céline benar-benar nihilis. Seperti itu, ia terbukti menjadi masalah 

bagi Jerman, yang lebih suka bahwa ideologi anti-Semit mereka 

setidaknya memiliki lapisan budaya dan bernuansa kepekaan—

Nazisme, misalnya, sering kali lebih suka dibandingkan dengan nilai-

nilai Yunani dan Romawi oleh orang-orang seperti Lucien Rebatet 

atau Robert Brasillach. Demikian pula, Jean Cocteau, yang walaupun 

tidak pernah menjadi kolaborator aktif, sama-sama kehabisan tenaga 

dalam rujukannya terhadap ‘kebudayaan Eropa’ dan berbaur dengan 

mudah dengan orang-orang yang cerdik, sinis, dan berselera tinggi 

yang menikmati makan malam di kediaman besar Otto Abetz di 

Rue de Lille. Céline tak hanya dipandang tidak berbudaya tetapi juga 

menjadi musuh aktif kebudayaan hautbourgeois.

Namun, Céline memiliki pendukung di kalangan orang Jerman. 

Tokoh paling terkenal di antara mereka yaitu  Karl Epting, yang 

mengagumi Céline sebagai seorang penata gaya selain sebagai pemikir, 

dan yang telah menulis kepada penulis itu setidaknya sejak 1938 untuk 

mengungkapkan kekagumannya atas Bagatelles pour un massacre, dan 

kembali pada 1941 dalam pujiannya terhadap polemiknya Les Beaux 

Draps. Epting pada saat itu yaitu  seorang atase budaya muda dan 


481

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

Les Beaux Draps, dengan tuduhannya yang liar dan kejam terhadap 

masyarakat Eropa yang berdarah hingga mati, sepertinya sangat jauh 

dari dogma resmi Nazi. Epting menulis bahwa ia mengagumi Céline 

sebagai penulis yang telah membangkitkan kembali bahasa Rabelais; 

ia juga memuji Céline sebagai seorang pemikir dan menganggap 

Bagatelles dan juga Les Beaux Draps (‘Seprai Halus’—merujuk pada 

pemerintah Prancis yang menyerah dan membiarkan dirinya untuk 

‘diambil’ oleh pemerintah Inggris dan pemerintah Amerika yang 

berkhianat melalui konspirasi Yahudi-Mason mereka) sebagai 

bijak dan meramalkan secara bijak. “Jika engkau ingin benar-benar 

menghilangkan orang Yahudi,”  tulis Céline, “maka tidak ada 36.000 

obat, 36.000 seringai: rasisme! yaitu  satu-satunya yang ditakuti oleh 

orang Yahudi: rasisme! Dan tidak hanya sedikit dengan ujung jari, 

tetapi sepenuhnya. Secara total, tak terelakkan lagi. Seperti sterilisasi 

Pasteur lengkap.”4

Saat Epting menjadi direktur Institut Jerman di Paris pada 1941, 

ia membawa Céline dan Jünger yang tahu sopan santun bersamanya 

dengan keyakinan bahwa keduanya yaitu  penulis yang paling 

memahami sifat dan konsekuensi perang modern (Der Kampf als 

Innererlebnis (‘Perang sebagai Pengalaman Dalam’) karya Jünger—

awalnya diterbitkan pada 1922—baru-baru ini diterjemahkan ke 

dalam bahasa Prancis sebagai La Guerre, Notre Mère, ‘Perang, Ibu 

Kami’, dan dibaca secara luas di Paris). Namun, Jünger menjaga 

jarak dari Céline, menjelaskannya sebagai seorang maniak dan orang 

Kelt yang tidak rasional (Céline dengan tegas mengklaim sebagai 

keturunan Breton), dan peran Céline dalam Institute of Jewish Affairs 

(Institut Urusan Yahudi)—organisasi propaganda anti-Semit—

hanyalah sebagai seorang penasihat. Walaupun demikian, Céline 

yaitu  pembenci-Yahudi yang antusias dan membuat terkesan para 

tokoh kolaborasi terkemuka seperti Henri Poulain, Marcel Déat, dan 

Pierre Constantini oleh kedahsyatan argumentasinya dalam sebuah 

pertemuan yang diorganisasinya pada 1941 di kantor Au Pilori yaitu 

sebuah surat kabar anti-Yahudi. Tidak mengherankan jika ia menjadi 

salah satu target utama perlawanan, yang mengirimkan peti-peti mati 

hitam kecil ke flatnya di Montmartre untuk memperingatkan bahwa ia 

telah mendapat hukuman mati.



482

Walaupun ia sangat anti-Semit, di masa kini Céline sering kali 

ditempatkan berdampingan dengan Proust sebagai salah satu penata 

gaya prosa terbaik abad ini. Kesaksiannya tentang sebuah kota yang 

sedang mengalami bombardemen membuktikan bahwa ia yaitu  

seorang penulis yang bersemangat dan kadang kala menghipnotis. 

Prosanya yang aneh, banyak menghilangkan kata dan terputus-putus 

menyampaikan dengan tepat seperti apa sebenarnya mengalami 

ketegangan mencekam dari sebuah kota yang sedang dikepung. Walau-

pun dibandingkan dengan Proust, gaya penulisannya sangat jauh 

dari nada elegi penulis À la recherche du temps perdu, sebagaimana 

diperlihatkan dengan jelas dalam deskripsinya ini tentang pengeboman 

Montmartre:

Bum! … Brum! … Mereka membakar kota! … Seluruh bangunan di pinggir 

jalan runtuh … guntur di Grand Café! … Sebuah meja terbang membelah 

udara! … meja itu berputar, menabrak jendela dalam penerbangannya 

menjadi ribuan serpihan … Semuanya daging! … Ini yaitu  kekacauan 

yang mengerikan … dunia runtuh! Lumpur dari sungai memercik ke sana-

kemari … mengaduk-aduk, melemparkan massa yang menjerit, terengah-

engah … jembatan bergoyang-goyang … Ini yaitu  saraband teror … 

sebuah karnaval di antara gemuruh kekacauan yang bergerak perlahan! 

… Tetapi kami tidak akan mati … masih berputar, berpusar, mengerang … 

Kami mati sambil berakrobat …! 5

Dalam kehidupan nyata, Céline mampu melakukan tindakan sangat 

jahat yang akan memiliki konsekuensi mematikan. Dalam bentuk 

cetakan, ia menuduh Menckietwickz, yaitu seorang tokoh senior di 

bidang medis, dan bahkan dokternya sendiri sebagai seorang Yahudi. 

Hal ini bukan hanya tidak benar (Menckietwick yaitu  seorang 

Katolik Polandia dan dokter Céline yang tidak beruntung yaitu  

seorang Kristen Armenia) tetapi secara langsung memprovokasi 

kunjungan pribadi dari polisi Jerman kepada keduanya yang hampir 

saja berpuncak pada sebuah tiket satu arah ke kamp kematian. sesudah  

perang, Céline hampir saja tidak bisa lolos dari regu tembak Prancis, 

kembali ke sarangnya tepat di luar kota Paris sesudah  dipenjara dalam 

waktu singkat, menggeram dan tidak menyesal, masih bergumam 

tentang konspirasi Yahudi dan akhir dunia. Jelas sekali bahwa 


483

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

kebenciannya terhadap orang Yahudi lebih bersifat patologis daripada 

politis.

Tapi itulah sebabnya sangat penting bagi kita untuk membaca 

karyanya, agar dapat memahami iklim emosional di Paris selama 

Pendudukan. Argumentasi ini—yang bukan merupakan pembelaan 

bagi Céline tetapi lebih sebagai kutukan—dibuat oleh Saul Bellow 

pada 1983 dalam sebuah perjalanan nostalgia kembali ke Paris, sebuah 

kota yang belum pernah ia kunjungi lagi sejak menetap di sana sebagai 

seorang mahasiswa sekitar tiga puluh tahun sebelumnya. Bellow, 

seorang Yahudi dan orang yang meyakini humanisme liberal, mencatat 

bahwa negara-negara berbahasa Inggris tidak pernah menganggap 

serius reservoar racun mendalam yang telah memakan dan 

menghancurkan kehidupan politik Prancis. Namun, tanda-tandanya 

sudah ada dalam seni dari periode tersebut: bahkan, kejahatan yang 

dilakukan pada dekade1940-an sudah diramalkan sebelumnya dalam 

teror dan kebencian pada dekade 1930-an. Lebih dari segalanya, kata 

Bellow, hal ini membuat Céline tidak hanya menjadi seorang penulis 

besar tetapi juga seorang peramal. “Kesusastraan hebat Eropa telah 

mengatakan kepada kita apa yang akan kita hadapi,” tulisnya. “Céline 

sudah menyebutkannya dengan cukup jelas dalam Voyage yang 

ditulisnya.”6

“Hanya satu musuh, penyerbu”

Saat realitas perang terungkap dalam tahun pertama Pendudukan, 

terjadi kebangkitan pertama perlawanan terorganisasi dan pem-

berontakan melawan otoritas Jerman. Paris sangat sesuai bagi aktivitas 

semacam ini: Parisian memiliki insting subversif dan sangat cocok bagi 

tuntutan pemberontakan rahasia; kota Paris sendiri, dengan gang-gang, 

labirin-labirin dan bangunan-bangunan bermuka dua, cukup besar 

untuk menghilang di dalamnya. Gelombang pertama pembangkangan 

terjadi pada musim panas 1940 dari anak-anak sekolah dan mahasiwa, 

yang mampu menyerukan pemogokan, melancarkan demonstrasi dan 

mengucapkan yel mendukung Jenderal de Gaulle dengan—setidaknya 

pada saat itu—impunitas relatif dari orang Jerman, yang belum mau 



484

dilihat sebagai seorang preman pembenci anak-anak. Grafiti muncul 

di seantero kota, biasanya dalam bentuk ‘V’ bagi tanda kemenangan 

atau Croix de Lorraine.

Salah satu jaringan perlawanan pertama yang layak disebut 

demikian bernama ‘Configuration Notre-Dame’ dan berkumpul 

di sekeliling ‘Colonel Rémy’, yang datang dari Nantes ke Paris atas 

perintah dari London. Kelompok ini dengan cepat dipecah belah oleh 

para informan tetapi segera diikuti oleh ‘Réseau Saint-Jacques’ dan 

Réseau Nemrod’ (réseau berarti ‘jaringan’), keduanya dipimpin oleh 

tokoh karismatis dan impresif ‘Capitaine d’Estienne d’Orves’, yang 

akhirnya dibunuh pada 1941.

Sel terpenting dari semuanya yaitu  sel yang beroperasi dari Musée 

de l’Homme di Trocadéro, yang secara keseluruhan berada di bawah 

kontrol Boris Vildé, seorang ahli bahasa dan akademisi. Aktivitas-

aktivitas kelompok ini termasuk membantu para awak udara Inggris 

dan Prancis untuk melarikan diri, aksi sabotase kecil-kecilan dan pada 

1942 menerbitkan traktat klandestin, Résistance, yang menyerukan 

kepada semua pria Prancis untuk menegaskan diri mereka sendiri 

melawan ‘satu musuh, satu penyerbu’, selain menyebarkan berita dari 

BBC dan pemerintah Prancis Bebas dari London. Kelompok Musée de 

l’Homme merasa terkejut melihat kemalasan dan kepengecutan rekan-

rekannya sesama Parisian. Untuk melawannya, pada tahun yang sama 

mereka menerbitkan sebuah traktat terkenal, Conseils aux occupés 

(‘Saran bagi Orang yang Diduduki’), tentang bagaimana berperilaku 

terhadap para penakluk. Nasihat tersebut termasuk berbagai macam 

aksi pembangkangan sehari-hari yang dirancang untuk membuat 

marah dan membingungkan musuh: “Anda tidak harus mengetahui 

bahasa mereka atau telah melupakannya,” tulis satu saran. “Jika 

seseorang memanggil Anda dalam bahasa Jerman, buatlah tanda tidak 

tahu dan pergilah tanpa ragu.” Atau: “Mereka berparade menghinamu. 

Perhatikanlah tanda-tanda di jendela toko dan jangan menonton” 

dan “Suara yang memberikan keberanian kepadamu yaitu  suara Dr. 

Goebbels.” Salah satu anggota kelompok yang paling berani, kepala 

petugas kebersihan museum, menghibur dirinya sendiri dengan 

mengendarai sepeda di belakang truk-truk Jerman dan menempelkan 

sejumlah stiker yang mendukung de Gaulle ke truk-truk tersebut.7


485

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

Kelompok Musée d l’Homme bertahan hingga 1942, saat mereka 

diinfiltrasi dan dikhianati oleh seorang pejabat Vichy. Semua 

anggotanya dieksekusi atau dideportasi, tetapi warisan mereka yaitu  

dengan mendorong kelompok-kelompok lainnya sehingga mereka 

bisa menantang dan memperdaya musuh yang tampaknya lebih kuat.

Walaupun jelas sekali cukup sulit untuk beroperasi di sebuah 

kota tempat semua orang bisa menjadi pengkhianat serta bahaya 

penyiksaan dan eksekusi terlalu nyata, gelombang résistant selanjutnya 

lebih tabah dan berdedikasi pada perjuangan. Mereka dibakar oleh 

propaganda patriotik dari London atau, saat Moskow memasuki 

peperangan melawan Hitler, dari ibukota surga pekerja. Otoritas 

Jerman memang senang melebih-lebihkan dan mendeskripsikan 

semua résistant sebagai Komunis. Tetapi, memang merupakan fakta 

bahwa banyak dari pelaku perlawanan paling berani dan paling efektif 

yaitu  pengikut Komunis dan didorong oleh kepercayaan mereka 

dalam pendirian sebuah dunia baru pasca-perang yang didasarkan 

pada kebebasan Sosialis sejati. Bagi banyak orang, hal ini bukan hanya 

posisi internasional tetapi juga sikap yang sepenuhnya sesuai dengan 

tradisi revolusi Paris tertua atas nama martabat manusia.

Pada musim semi 1942, saat Hitler bergerak maju menembus 

Rusia, sel-sel yang didukung oleh Soviet mengizinkan penggunakan 

para franc-tireur, atau penembak jitu melawan pasukan pendudukan. 

Dengan setiap gerakan baru dalam perang, résistant Komunis 

mengambil kekuatan dari visi mereka tentang dunia baru yang 

semakin dekat. Lebih dari 700 orang yang disebut Komunis dibantai 

oleh Jerman di Mont Valérien dalam sebuah upaya untuk menakut-

nakuti Parisian. Namun, orang-orang Komunis Paris bahkan menjadi 

semakin bersemangat sebab  kejadian ini sebagaimana mereka lakukan 

dari pertempuran epik di Stalingrad, yang sedang diperjuangkan 

ratusan kilometer jauhnya tetapi terasa sebagai realitas sehari-hari di 

lingkungan-lingkungan kelas pekerja di Ménilmontant dan Belleville 

yang penduduknya mengidentifikasikan diri dengan ‘kamerad-

kamerad’ mereka di timur. Pada 1943, saat perang memperebutkan 

Eropa mulai berubah tidak menguntungkan Jerman, tak terelakkan 

lagi bahwa jumlah résistant bertambah banyak untuk menyamai 

gelombang konflik yang mulai berbalik. Terjadi perang saudara yang 



486

tidak terucapkan antara kekuatan Komunis dengan sel-sel pendukung 

de Gaulle, yang masing-masing membayangkan sebuah Paris pasca-

perang yang sangat berbeda, tetapi untuk sementara waktu perjuangan 

untuk membuat kehidupan menjadi sangat sulit bagi tentara Jerman 

yang menduduki Paris yaitu  perhatian utama sebagian besar Parisian.

Paris Melawan

Perang gerilya melawan Jerman mencapai puncaknya pada 18 Agustus 

1944. Pada bulan Juni, terjadi pendaratan Sekutu di Normandia yang 

terutama dipimpin oleh pasukan Amerika dan Inggris. Panglima 

tertinggi Amerika Jenderal Eisenhower pada awalnya memutuskan 

untuk mengabaikan Paris saat ia mendorong maju pasukannya ke 

arah timur. Ia memperkirakan bahwa Paris hanya memiliki sedikit 

nilai strategis dan kekuatan perlawanannya kemungkinan tidak besar. 

Saat pasukan Sekutu semakin mendekati kota, Free French Forces of 

the Interior (Pasukan Prancis Merdeka Pedalaman)—yang merupakan 

sebutan berbagai kelompok perlawanan yang sedang beroperasi di 

Prancis pada saat itu bagi dirinya sendiri (mereka dijuluki ‘Fifis’)—

memutuskan untuk melancarkan pemberontakan di kota melawan 

otoritas Jerman.

Inspirasi utama di belakang pemberontakan ini berasal dari 

orang-orang Komunis yang bekerja dalam perlawanan. Tujuan utama 

mereka bukan hanya pembebasan Paris tetapi yaitu  revolusi yang 

penuh pertumpahan darah di Prancis, dengan Paris sebagai titik 

pusatnya. Revolusi dimulai pada 15 Agustus dengan pemogokan yang 

dilancarkan oleh kepolisian Paris. Hal ini dipicu oleh gerakan Jerman 

untuk melucuti senjata polisi dan faktor lainnya, yang lebih sinis, yaitu 

upaya dari para polisi ini, yang sebelumnya bertindak dengan pengecut 

dengan tunduk kepada orang Jerman, untuk menyelamatkan sebagian 

kehormatan mereka. Anehnya, banyak dari para polisi ini sekarang 

mulai mengklaim diri mereka sendiri sebagai Komunis. Ini yaitu  

perjudian dengan harapan bahwa asosiasi seperti ini akan membantu 

mereka keluar dari posisi sulit dalam kota pasca-perang.

Pemogokan polisi segera menjadi pemogokan umum saat para 


487

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

pekerja publik lainnya bergabung. Pemberontakan bersenjata dimulai 

dengan tembakan yang dilepaskan pada tanggal 18 Agustus pagi, saat 

selebaran Komunis bermunculan di seluruh Paris. Para penembak jitu 

perlawanan telah diperintahkan untuk bersiap menerima panggilan 

beraksi saat barikade-barikade mulai didirikan di seantero kota. Saat 

pertempuran dimulai dan mendapatkan momentumnya, para résistant 

pendukung de Gaulle, yang telah ditempatkan di dalam kota atas 

perintah langsung de Gaulle untuk memonitor dan jika memungkinkan 

untuk mengontrol peristiwa, tidak memiliki pilihan selain bergabung 

dengan pemberontakan yang dipimpin oleh Komunis.

Terjadi pertempuran jalanan yang sengit di hampir semua jalanan 

di Paris selama beberapa hari kemudian. Konflik ini terutama sangat 

sengit di sekitar Place Saint-Michel, tempat kendaraan-kendaraan 

Jerman disergap dan dibakar. Di Rue Saint André-des-Arts yang 

tidak jauh jaraknya, didirikan sebuah rumah sakit lapangan. Orang 

Jerman memiliki garis tembakan yang lurus menyusuri Rue de Seine. 

Atas perintah Fifis, barikade-barikade dibangun di seantero kota agar 

dapat menghentikan gerakan orang Jerman (ini yaitu  pelajaran 

yang dipetik para pemberontak Komunis dari pertempuran jalanan 

di Madrid dan Barcelona pada 1936). Barikade seperti ini secara 

mencolok tidak terlihat di daerah-daerah kaya di arrondissement ke-

16 dan arrondissement ke-8, tetapi di quartier-quartier yang secara 

tradisional sayap kiri di Belleville, Ménilmontant, dan Saint-Marcel, 

seluruh penghuni lingkungan keluar untuk membarikade jalan 

dengan batu-batu penutup jalanan dan apa pun yang bisa digunakan, 

untuk meminum minuman keras dan merayakan peristiwa yang 

terasa seperti sebuah festival revolusioner.

Orang-orang Jerman di bawah pimpinan Jenderal von Choltitz, 

berjuang sekuat tenaga untuk mengontrol kota. Para pejuang 

perlawanan hanya bersenjatakan ringan dan tidak mendapat pelatihan 

yang memadai. Walaupun diperkirakan ada  sekitar 15.000 pejuang 

perlawanan di kota, melawan garnisun tetap Jerman yang berkekuatan 

sekitar 16.000 orang, hanya ada senjata dan amunisi untuk 2.000 

pejuang. Di hari-hari menjelang pemberontakan, aktivitas utama sel-

sel perlawanan yaitu  menyerang para prajurit Jerman secara individu 

untuk merebut senjatanya. Bagi banyak orang dalam perlawanan, ini 



488

yaitu  pengalaman pertama mereka dalam pertempuran. Lebih dari 

2.000 pejuang tewas hanya dalam beberapa hari awal pertempuran.

Namun demikian, orang Jerman bukanlah tandingan kota yang 

sekarang berpaling memusuhinya dengan kebencian dan kesengitan 

yang begitu besar—kualitas yang semakin dalam bagi penghinaan 

yang telah menyertai cara pengecut takluknya kota ini pada awalnya. 

Bahkan orang-orang berpikiran logis seperti novelis dan filsuf Albert 

Camus—yang menghabiskan masa perang sebagai résistant yang 

berkomitmen dan sangat menentang segala macam kebencian yang 

telah mendorong orang-orang seperti Céline—sekarang memahami 

daya tarik pembalasan dendam. Dalam surat terakhirnya kepada 

seorang ‘Jerman temannya’—sebuah dialog internal dan catatan harian 

yang ditulis Camus dalam hari-hari terakhir perang—ia menyatakan 

bahwa ia menulis dari Paris, sebuah kota yang dikenal di seluruh 

dunia sebagai penjunjung hak-hak asasi manusia, yang sayangnya 

selama hari-hari gelap Pendudukan telah mengkhianati kemanusiaan. 

Penyebab hal ini, menurut pendapat Camus, ada di kaki para Nazi, 

para monster yang kejam tetapi elegan yang “telah memutilasi jiwa 

dan menghancurkan dunia.”8

Keberanian dari banyak résistant sangat menular. Patroli-patroli 

Jerman yang berkekuatan kurang dari lima prajurit kemungkinan 

besar akan dikepung dan dengan cepat dikalahkan oleh segerombolan 

pemuda, yang sering kali hanya bersenjatakan revolver dan pentungan, 

tetapi memiliki kemarahan yang memberikan energi yang sangat ganas 

kepada mereka dalam pertempuran. Orang Jerman menanggapinya 

dengan berkeliling kota menggunakan kendaraan lapis baja dan 

tank. Contohnya yaitu  lima kendaraan lapis baja dan satu skuadron 

infanteri dikirim ke Rue Soufflot untuk mengatasi para penembak jitu 

di Mairie di arrondissement ke-5. Pertempuran memperebutkan Paris 

juga menjadi pertunjukan bebas bagi mereka yang lebih memilih untuk 

menonton dari jendela dan balkon. Banyak dari aksi-aksi keberanian 

yang paling gila-gilaan—mencuri sebuah kendaraan Jerman atau 

menyerang seorang prajurit Jerman—juga merupakan penampilan 

yang disengaja bagi para penonton yang bertepuk tangan.

Pemberontakan ini baru berlangsung selama dua hari saat de 

Gaulle, yang baru tiba di Prancis dari pengasingan di Aljazair, 


489

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

mendapat berita tentang apa yang terjadi di Paris. Ia memiliki dua 

kekhawatiran. Pertama, pemberontakan ini akan mengarah pada 

kontrol Komunis terhadap kota. Kedua, kurangnya dukungan 

Sekutu terhadap pemberontakan ini akan menggagalkannya dan 

menyebabkan terjadinya pembantaian yang tak terhindarkan sebagai 

balasannya. Ia mendesak Sekutu untuk merebut kota, yang akhirnya 

mereka lakukan pada 22 Agustus. Pada saat yang sama, ia bertekad 

untuk memimpin pemberontakan secara langsung segera sesudah  ia 

tiba di Paris.

Prioritas lainnya bagi pasukan de Gaulle yaitu  untuk menyatakan 

fakta bahwa perebutan kembali Paris sepenuhnya dilakukan orang 

Prancis. Mengabaikan perintah Amerika untuk tetap bertahan, 

pasukan Prancis di bawah pimpinan Jenderal Leclerc memasuki kota 

dari selatan pada 25 Agustus. Pasukan langsung bergerak menuju 

Hôtel de Ville, di bawah hujan tembakan. Saat mereka terus bergerak 

memasuki kota, yang dengan segera diikuti oleh pasukan Amerika, 

lonceng gereja mulai berdentang. Radio memainkan lagu Marseillaise, 

yang telah dilarang dimainkan di muka umum selama empat tahun 

terakhir, keributan suaranya dilengkapi oleh suara tembakan senjata 

api atau dentuman roket. Von Choltitz menyerah kepada Pasukan 

Prancis Merdeka di Meurice Hotel di Rue de Rivoli pada 25 Agustus. 

Klaimnya terhadap kehormatan historis yaitu  bahwa ia telah 

mengabaikan perintah gila Hitler untuk membakar Paris hingga 

rata dengan tanah sebagai tindakan balas dendam yang disengaja 

untuk terakhir kalinya. Saat ia dibawa pergi untuk menandatangani 

pakta penyerahan diri secara formal di Hôtel de Ville, sekelompok 

orang berkumpul untuk melontarkan cemooh. Kemudian di hari 

yang sama, de Gaulle mengambil alih Kementerian Perang di Rue 

de Saint-Dominique dan memberikan pidato yang amat menggugah 

di Hôtel de Ville, dengan pernyataannya yang terkenal bahwa Paris 

kini akhirnya telah “membebaskan dirinya sendiri.” Sebagaimana 

biasanya, de Gaulle memiliki insting yang tajam terhadap aliran yang 

lebih dalam dari peristiwa-peristiwa politik. Pembebasan Paris oleh 

kelompok pemberontak mungkin sekali, sebagaimana dinyatakan 

Eisenhower, tak memiliki nilai militer dalam permainan lebih lama 

yang kini tengah dijalankan di penjuru Eropa. Namun fakta bahwa 



490

warga kota Paris sendiri dapat dilihat oleh dunia sebagai pihak 

yang telah menduduki kembali kota mereka memiliki kepentingan 

psikologis dan simbolik yang amat luas.


491


BAGIAN SEMBILAN

Masyarakat Tontonan

1945 – 2005

Keindahan berada di jalanan!

Poster di jalanan, Paris, Mei 1968





492

 ‘La Beauté est dans la rue’, grafiti, Mei 1968, Paris


493


41 

Lanskap Pasca-Pertempuran

Dalam beberapa minggu dan bulan pasca-Pembebasan, warga 

kota Paris mulai menyadari bahwa kediaman mereka memiliki 

keunikan dibandingkan kota-kota besar pasca-perang Eropa lainnya 

bahwa sebagian besar fitur fisiknya masih tetap utuh. Kota itu telah 

dibombardir oleh RAF dan Jerman—khususnya di wilayah pinggiran—

namun hanya sedikit dari monumen ternama di tengah kota Paris 

yang terkena. Dalam hal yang sama, tata letak jalan-jalan kota tak 

terpengaruh oleh artileri ataupun pertempuran jalanan. Kota pada 

tahun 1945 dapat segera dikenali oleh siapa pun yang mengenalnya 

pada tahun 1918, dan bahkan seorang warga kota Paris dari tahun 

1870-an tak akan mengalami kesulitan mengelilingi kompleks lanskap 

urban yang menjadi warisan dari perencanaan kota abad ke-19.

Namun kesamaan yang dimiliki kota Paris dengan kota Eropa 

lainnya yaitu  kota ini terlihat terabaikan dan setengah hancur. 

Bangunan-bangunan dipenuhi lubang peluru dan tertutupi kotoran. 

Jalanan gelap dan kotor. Dalam pertempuran akhir memperebutkan 

kota pada akhir Agustus 1945, para remaja dengan sedikit persenjataan 

yang bergabung dengan kelompok pemberontak telah sangat 

bergembira dalam darah tentara Jerman yang tewas, kembali menodai 

batu-batu penutup jalanan kota dengan warna merah (‘Chacun son 

Boche!’—‘Satu Jerman untuk semuanya!’—yaitu  pekik peperangan 

dari Kolonel Rol-Tanguy, pemimpin milisi Komunis). Kini, dalam 

suasana pasca-konflik, kota itu terluka. Udaranya dipenuhi dengan 

debu yang mencekik, yang tersangkut dalam tenggorokan semua 

orang, dan racun-racun tak bernama yang, menurut desas-desus, 

ditinggalkan pasukan Jerman sebagai tindakan pembalasan dendam 

terakhir.




494

Faktanya, pembagian pahit yang telah mengotori atmosfer 

kebudayaan dan politik kota Paris sepenuhnya diciptakan oleh 

warga kota Paris. Segera pasca-Pembebasan, gelombang amarah 

terhadap para ‘collabo’ segera diterjemahkan ke dalam penangkapan 

dan penyerangan terhadap siapa pun yang telah berkolaborasi atau 

dianggap telah berkolaborasi. Ini yaitu  épuration sauvage (‘purifikasi 

liar’). Tindakan balas dendam pertama, yang diluncurkan sepanjang 

musim gugur dan dingin tahun 1944 – 1945, menjanjikan keadilan, 

atau seperti itulah yang mereka maksudkan. Faktanya, mereka 

membentuk bagian dari hiruk-pikuk kelam dari kebencian diri dan 

balas dendam. Target pertama yaitu  para agen rahasia ternama dan 

informan polisi dan pedagang gelap, yang mungkin saja benar atau 

mungkin saja tidak benar telah dibayar oleh orang Jerman.

Sebagian besar dieksekusi tanpa persidangan. Pada tiga bulan 

pertama pasca-Pembebasan beredar desas-desus bahwa hampir 

100.000 kolaborator ternama telah dibunuh di penjuru Prancis—

angka ini kemudian diabaikan sebagai hal yang dibesar-besarkan oleh 

para korban yang ingin meningkatkan rasa kemartiran mereka dan 

mendiskreditkan pasukan ‘Liberationis’ sebagai orang liar haus darah. 

Tuduhan lebih jauh datang dari kubu Kanan bahwa ketidakteraturan 

dan kekerasan berkelompok yaitu  gema dari ‘Teror’ tahun 1793. Hal 

ini tidaklah sepenuhnya salah—sebagian besar pembersihan dilakukan 

dengan semangat pembalasan dendam belaka yang memiliki banyak 

kesamaan dengan mentalitas revolusioner dingin pada tahun 1790-

an. Terjadi setidaknya 10.000 pembunuhan (sebagaimana dinyatakan 

oleh pemerintah).1

Masalah sebenarnya dari Paris pasca-Pembebasan yaitu  me-

nentukan arti kata ‘kolaborasi’. Hal ini seharusnya amat mudah: 

sangatlah jelas siapa saja kolaborator-kolaborator yang aktif—mereka 

memiliki profil dan reputasi publik. Mereka juga memiliki suatu 

ideologi yang jelas: mereka yaitu  Fasis yang mengakuinya secara 

jujur, yang bermimpi akan sebuah ras utama Eropa dan, jika mereka 

orang Prancis, hendak membalas dendam terhadap peristiwa Dreyfus 

dan berbagai kejahatan lainnya yang, sebagaimana mereka melihatnya, 

dilakukan terhadap peradaban Eropa atas nama Sosialisme atau 

demokrasi. Untuk menjadi seorang kolaborator dalam artian ini 


495


yaitu  suatu keputusan aktif yang diambil tahun 1940, saat Marshal 

Pétain, dalam sebuah pengumuman radio pada 30 Oktober, telah 

mendeklarasikan bahwa sudah kewajiban bagi semua warga Prancis 

“untuk melakukan kolaborasi yang tulus. Hal ini harus mencakup 

usaha yang penuh kesabaran dan kepercayaan.” Tahun 1940, sebagian 

besar warga kota Paris telah menjadi ‘Pétainist’, jika tidak menjadi 

partisan yang nyata dari tujuan Fasis.

Namun arah pertempuran telah mengubah semua pengertian yang 

telah berlaku sebelumnya dari istilah ‘kolaborator’. Ambiguitas dari 

pengertian kolaborasi amat terlihat saat pengertian ini semakin dalam 

selama masa Pendudukan, di mana hampir setiap orang pada satu 

tahapan tertentu dipaksa memasuki suatu situasi harus berkompromi, 

biasanya kecil, dengan tentara pendudukan. Selanjutnya menjadi 

semakin tidak jelas di Paris tentang apa arti kolaborasi pasif—apakah 

menjadi suatu kejahatan, misalnya, untuk tidur dengan seorang 

prajurit Jerman terutama jika engkau sedang jatuh cinta? Apakah ini 

‘berarti kolaborasi politis’ untuk tersenyum saat menyajikan minuman 

kepada sekelompok perwira Jerman yang sopan dan berperilaku baik? 

Untuk bernyanyi atau menampilkan pertunjukan di muka publik, 

atau untuk menerbitkan sebuah buku? Untuk mengadukan seorang 

tetangga yang mencurigakan yang mungkin saja memang benar atau 

tidak benar sebagai seorang résistant Komunis atau seorang Yahudi? 

Sudah biasa untuk mengatakan bahwa pada akhir 1943 ‘semua orang 

berkolaborasi’. Tidak ada skala geser kejahatan.

Tontonan Keadilan

Pemandangan mengerikan dari masa ini mencakup tontonan dari 

ratusan perempuan yang mengalami penggundulan sebagai hukuman 

dari apa yang disebut ‘kolaborasi horizontal’—secara harfiah ‘tidur 

dengan musuh’. Di Paris, khususnya di distrik kelas pekerja, sudah 

menjadi hal yang biasa untuk bergabung bersama kerumunan yang 

menyerang wanita semacam itu dan mencemooh nasib mereka 

yang menyedihkan. Seorang pelacur yang melayani serdadu Jerman 

ditendangi hingga tewas oleh kerumunan yang bersukaria di 



496

arrondissement ke-18. Keadilan kasar serupa juga diberikan kepada 

kaum homoseksual yang diketahui menjual diri mereka sendiri kepada 

para penakluk mereka yang berambut pirang. Para pekerja kereta api, 

yang pada umumnya yaitu  pendukung setia Komunis, membalas 

dendam pada para pengawas mereka yang telah mengawasi dan 

menindas mereka selama empat tahun terakhir, memukul buah zakar 

mereka atau melakukan mutilasi terhadap mereka sehingga mereka 

tidak dapat bekerja. Desas-desus yang menyebar luas menyatakan 

bahwa Arletty—contoh ideal parigote yang secara terang-terangan 

bergaul dengan para Boche di salon dan hotel terbaik—akan dipotong 

payudaranya oleh sekelompok résistant muda. Dalam peristiwa 

itu, ia ditangkap dan mengenakan sebuah turban di depan umum, 

mengobarkan desas-desus bahwa ia telah digunduli (ia kemudian 

dibebaskan untuk sementara dari penjara untuk tampil dalam Les 

Enfants du Paradis karya Marcel Carné, yang saat itu difilmkan di 

Paris). Tubuh para wanita lainnya diolesi ter dan ditempeli bulu, serta 

diberi gambar swastika. Mereka kemudian diarak di jalan dan disiksa 

secara terang-terangan. Keriangan yang mendampingi penderitaan 

manusia semacam itu dengan segera menjadi subjek tabu di antara 

kelompok ‘Liberasionis’ dan pada kelompok Kiri pada umumnya.

‘Purifikasi’ ini tak kalah biadab di antara kaum intelektual dan 

politisi, perbedaannya hanyalah bahwa sebagian besar persidangan 

para pejabat dilakukan di bawah kekuasaan pemerintahan yang layak 

dan bukan pengadilan pura-pura yang tidak jujur yang digelar oleh 

kelompok résistant yang paling liar dan pendendam (banyak di antara 

mereka memiliki masa lalu kriminal yang mencurigakan). Persidangan 

dimulai pada musim semi tahun 1945, yang hangat dan cerah, dan 

sebuah tandingan langsung pada atmosfer gelap dan murung yang 

menggantung di atas cours de justice, persidangan yang dilakukan 

dengan terburu-buru yang dilaksanakan untuk menghadapkan 

sebanyak mungkin orang dalam waktu sesingkat mungkin. Rasa balas 

dendam di Paris semakin dipertajam oleh kepulangan orang-orang 

yang dideportasi yang berhasil keluar dari kamp-kamp kematian 

pada musim semi itu. Mereka dengan segera dapat dikenali di jalanan 

dengan langkah mereka yang sempoyongan, gigi menghitam, dan 

badan yang kurus kering. Banyak warga kota Paris pingsan sambil 


497


berurai air mata saat melihat mereka.

Dalam minggu-minggu dan bulan-bulan sesudah  Pembebasan, 

mereka yang mendukung Jerman menemukan diri mereka sendiri 

telantar di sebuah kota yang telah menjadi jebakan kematian potensial. 

Terjadi pembunuhan dan peristiwa orang hilang misterius. Yang 

lainnya menutup diri di flat-flat yang gelap, berharap agar badai akan 

berlalu. saat  persidangan akhirnya dimulai, persidangan tersebut 

dimulai hampir dengan rasa lega. Persidangan yang paling dinanti—

persidangan Marshal Pétain dan Pierre Laval—yang dilaksanakan di 

musim panas dan gugur tahun 1945, terasa hampir seperti antiklimaks. 

Bagi sebagian besar warga kota Paris, yang menyaksikan dengan 

perasaan bercampur baur antara marah, terkhianati dan malu, upaya 

bunuh diri dan eksekusi Laval serta hukuman seumur hidup Pétain 

tampaknya tak mampu menyamai besarnya kejahatan mereka.2

Banyak kolaborator utama menikmati kesempatan untuk setidak-

nya mengajukan kasus mereka di pengadilan—suatu momen yang 

selalu berbahaya bagi sistem peradilan yang dipimpin oleh pemerintah 

yang masih belum memantapkan kekuasaannya. Di antara mereka 

yaitu  Robert Brasillach, yang masih memiliki banyak teman 

berkuasa di Paris, termasuk Académie Française (di antara mereka 

yang menandatangani petisi menentang hukuman matinya yaitu  

Paul Valéry, François Mauriac, dan Paul Claudel). Namun kematian 

Brasillach hanya diratapi oleh segelintir orang. Jacques Benoist-

Méchin, seorang ahli estetika, homoseksual, ahli Arab, teman dekat 

Proust dan rekan kolaborator (dan juga seorang pendukung fanatik 

Hitler berjuluk ‘la Gestapette’), memberikan pernyataan pendukung 

yang aneh bagi Brasillach “Kita tidak membunuh seorang penyair!”3 

Bagi dirinya sendiri, Benoist-Méchin menghindari regu tembak 

dan kembali muncul ke kehidupan politik di akhir 1950-an sebagai 

penasihat rahasia terkait masalah Arab bagi pemerintahan de Gaulle.

Tidak ada keraguan bahwa Brasillach yaitu  seorang penjahat 

perang. Sikap kerasnya pada warga Yahudi di Paris telah mengejutkan 

bahkan perwira senior Nazi (dengan keras ia berkomentar pada 

Dannecker di saat penangkapan di Vél d’Hiv bahwa tak cukup banyak 

anak-anak Yahudi yang ditangkap). Ia ditangkap atas pengkhianatan 

dan ditembak mati pada 6 Februari 1945. “Paris terlihat paling 



498

indah saat  kita akan meninggalkannya,” demikian ia dikabarkan 

mengatakan hal ini saat akhirnya ditangkap.

Brasillach mungkin saja seorang penjahat yang sangat jelas, namun 

analisisnya akan perpolitikan épuration sangat tajam dan perseptif. 

Saat masih dalam persembunyian dan pelarian selama berbulan-bulan 

sesudah  Pembebasan, ia mengingat pemberontakan dan pendudukan 

kembali kota sebagai sebuah ‘pengkhianatan Sejarah’. “Saya memiliki 

sedikit ilusi tentang keberanian militer yang disebut ‘pekan kemuliaan’,” 

tulisnya:

Saya tahu hanya tersisa beberapa ribu tentara Jerman di kota. Saya 

tak pernah memercayai mitos dari kebangkitan heroik Paris… saya 

membaca sejumlah buku tentang Aragon, termasuk satu di mana ia 

berkata ‘terkutuklah seluruh pasukan Prancis’ dan di saat yang sama pada 

puisi patriotik terbarunya…. Surat kabar memberitahukan saya bahwa 

pembebasan Paris yaitu  prestasi bersenjata yang sangat gemilang, namun 

mereka tak mengungkap tentang pembunuhan, tindakan balas dendam 

pribadi dan kejahatan keji.4

Pernyataan bermusuhan Brasillach terhadap Louis Aragon—yang 

secara sinis menganggap dirinya sendiri sebagai penyair patriotik 

Paris selama masa Pendudukan—amat berdasar. Lama meninggalkan 

paham libertarianisme dari masa Surealisnya, Aragon kini seorang 

penganut Stalinis kejam yang terlihat jelas berusaha menggunakan 

pembersihan untuk mengubah periode pasca-Pembebasan untuk 

kepentingan Komunis. Untuk tujuan inilah, dalam jurnalnya Les Lettres 

françaises, Aragon berargumen untuk memberlakukan sepenuhnya 

keadilan résistant pada siapa pun yang mengkritik Partai Komunis. 

Hal ini termasuk melakukan kampanye melawan André Gide, novelis 

veteran yang kredensial anti-Nazinya sangat kuat sebagaimana rasa 

ketidaksukaannya terhadap Uni Soviet. Hal ini disamai dengan 

kampanye jahat dan tidak menyenangkan untuk menodai reputasi 

anumerta Paul Nizan, seorang novelis dan Komunis setia hingga 

pakta Nazi-Soviet pada 1939. Nizan juga seorang tentara pemberani 

yang tewas saat mundur ke Dunkirk tahun 1940. Upaya Aragon 

menggambarkannya sebagai seorang mata-mata polisi membuat 

tokoh-tokoh kesusastraan Paris yang berkuasa, termasuk André 


499


Breton dan Jean-Paul Sartre, membencinya namun para penggemar 

fanatik di sekeliling Aragon bersikeras dengan kebohongan itu. 

Aragon dengan segera memperoleh reputasi menakutkan sebagai 

‘Robespierre of the Liberation (Robespierre dari Pembebasan)’.5 Sikap 

keras, kredensial Stalinis memang tak dapat dipertanyakan, namun 

simpatinya tak dapat diprediksi. Ia telah, misalnya, membela Drieu 

La Rochelle sebagai seorang penulis yang ide-ide politiknya telah 

terdistorsi oleh sejarah dan kondisi. Merasa putus asa terhadap Eropa 

saat ini yang terpecah oleh Rusia dan Anglo-Saxon, Drieu La Rochelle 

bunuh diri tanggal 15 Maret. Hiruk-pikuk pembersihan tampak mulai 

mereda pasca-pemakamannya, yang dihadiri oleh tokoh ternama 

dan terkenal anti-Fasis seperti André Malraux. Tokoh Fasis lainnya 

berhasil menghindari hukuman mati. Sebaliknya, baik Lucien Rebatet 

maupun Charles Maurras (kini berusia hampir sembilan puluh tahun) 

diberi hukuman seumur hidup.

Keadilan yang diberikan selama periode ‘pemurnian’ Paris telah 

dikutuk sebagai ‘kejam dan lemah’.6 Penilaian ini memang ada 

dasarnya: bahkan résistant yang paling dipenuhi kebencian dengan 

segera merasa bosan atau muak oleh kejahatan yang sedang dilakukan. 

Para pejabat pengadilan kerap kali tergesa-gesa, tak terorganisasi atau 

melakukan korupsi. Hasil dari faktor-faktor ini yaitu  banyak tokoh 

utama yang bertanggungjawab atas kejahatan tergelap dalam sejarah 

kota Paris menerima hukuman ringan atau bahkan tak dijatuhi 

hukuman sama sekali. Kepercayaan pada pemerintahan selanjutnya 

tidak pernah benar-benar kuat sebagai hasil dari kegagalan ini. Di saat 

yang sama, sifat kebiadaban dan sewenang-wenang dari pembalasan 

di kota pasca-Pembebasan hanya bertujuan untuk meningkatkan 

ketegangan, tanpa memberikan rasa penyelesaian atau keadilan 

sesungguhnya. Warga kota Paris juga terhipnotis oleh tontonan balas 

dendam ini. Banyak dari mereka, termasuk para pialang-kekuasaan 

paling intelektual dan politis di masa itu, tak lagi memiliki rasa 

kepantasan atau rasa akan dunia di luar jalan-jalan yang berdebu, 

kelabu, dan miskin dari ibukota.



500

Masa Modern

Tindakan épuration pada umumnya memicu rasa jijik dan melankonlis. 

Saat persidangan datang dan pergi, hanya sedikit warga kota Paris, dari 

kubu Kanan atau Kiri, yang mau menggali masa lalu yang baru saja 

terjadi lebih dalam daripada yang seharusnya dilakukan. Alternatif dari 

memandang ke belakang tentu saja memandang ke masa depan, dan 

dorongan inilah yang sebagian besar dapat menjelaskan pengejaran 

gila-gilaan terhadap modernitas yang, pada tahun-tahun sesudah  1945, 

tampaknya mengambil bentuk yang lebih baru di wilayah Tepi kiri 

kota.

Fokus dari aktivitas ini tak lagi berada di Montparnasse, yang 

kini dikaitkan dengan melankolis dan bencana pra-perang, namun 

di terrasse-terrasse dari kafe-kafe ternama yang berada di sekitar 

persimpangan Saint-Germain-des-Prés, di mana Rue de Rennes ber-

temu dengan Boulevard Saint-Germain. Kafe yang paling terkenal 

yaitu  Café de Flore, Café Deux Magots, dan Brasserie Lipp, yang 

dikenal sebagai tempat berkumpulnya tidak hanya Jean-Paul Sartre, 

Simone de Beauvoir, dan Albert Camus, namun juga para editor 

berkuasa dan para penerbit dari jurnal Nouvelle Revue française, rumah 

penerbit Gallimard dan berbagai macam ulasan lainnya, jurnal-jurnal 

dan aktivitas para-kesusastraan lainnya. Di sinilah tempat di mana 

generasi pasca-perang—yang tentu saja belum mendefinisikan diri 

mereka seperti itu—tengah bereksperimen dengan bentuk-bentuk 

pemikiran dan perilaku baru, serta membuat teori-teori politik dan 

filosofis dari pengalaman-pengalaman ini. Setiap orang yang ingin 

terlibat dalam apa yang tengah terjadi secara intelektual di Paris di 

akhir 1940-an dengan segera pergi ke wilayah segitiga geografis kecil 

yang hanya berjarak beberapa menit jalan kaki dari sungai Seine.

Kata baru yang sering diucapkan banyak orang yaitu  ‘eksis-

tensialisme’. Kata ini pertama kali digunakan sebelum perang untuk 

menggambarkan jenis filsafat yang dikemukakan oleh orang Jerman 

seperti Martin Heidegger atau Martin Husserl yang berargumen 

bahwa keberadaan dalam dirinya pada intinya tak berarti apa pun 

dan moralitas yaitu  sebuah fiksi material. Generasi Jean-Paul Sartre 

dan ‘Eksistensialis’ lainnya pertama kali menemukan ide-ide ini di 


‘Gargantua’, karikatur Louis-Philippe I oleh Honoré Daumier, 1831.


Pemandangan Paris dari udara, sekitar I871, memperlihatkan bangunan-bangunan publik, 

banyak di antaranya hancur selama Komune Paris.

‘Pendudukan Paris, 1814—Pengunjung Inggris di Palais-Royal’, 

Mazhab Inggris, abad ke-19.


Bombardemen terhadap Paris, Mazhab Jerman, sekitar 1870.

Pengepungan Paris, bombardemen oleh orang Prussia, 1870 – 1871, 

Mazhab Prancis, abad ke-19. 


Barikade di sebuah jalan Paris selama Perang Prancis-

Prussia atau selama Komune Paris, sekitar 1870 – 1871.

Mayat 

pemberontak 

tidak dikenal 

selama Komune 

Paris, 1871.

Pembangunan 

avenue de l’Opéra, 

Paris, arrondissement 

pertama dan kedua, 1878.


Ilustrasi oleh Jacques Tardi dari 

Voyage au bout de la nuit oleh 

Louis-Ferdinand Céline, 1932.

André Breton, 

sekitar 1930.


‘Une maison close 

monacale, rue 

Monsieur-le-Prince 

(rasa malu pasangan)’, 

foto oleh Halisz Gyula 

Brassaï, sekitar 1931.

Adegan dari film Hôtel, du Nord, disutradarai oleh Marcel Carné, 

bersama Arletty dan Louis Jouvet, 1938.


Pejuang pembebasan di Paris, 1944.

Wanita Prancis dihukum sebab  berkolaborasi, 1944.


Kerusuhan di daerah pinggiran Paris, 28 Oktober 2005.

Seorang polisi melemparkan gas air mata untuk membubarkan 

massa selama kerusuhan mahasiswa di Paris, 17 Juni 1968.


501


Paris dan Berlin sebagai bagian dari pendahuluan umum terhadap 

metafisika. Di masa pasca-perang, Sartre telah membuat dirinya 

dihormati dengan mencoba mengawinkan filsafat yang pada dasarnya 

nihilistik dengan aliran-aliran dari pemikiran etik tradisional 

Prancis. Ini yaitu  premis awal dari jurnal Les Temps modernes, yang 

dibentuk oleh de Beauvoir dan Sartre pada 1945, dan yang mereka 

niatkan sebagai sebuah forum untuk memperdebatkan gerak maju 

dari reruntuhan Perang Dunia Dua. Yang lainnya yaitu  hasil dari 

sebuah ceramah berjudul ‘Eksistensialisme yaitu  suatu Humanisme’, 

yang diberikan Sartre di Club Maintenant pada 29  Oktober 1945. 

Sartre amat terkejut saat melihat bahwa aula yang disewa untuk acara 

itu di Rue Jean Goujon penuh sesak dan ia memberikan ceramah di 

hadapan para pengunjung yang antusias dan terdiri atas para gadis 

yang bersemangat dan para pemuda yang serius.7

Ceramah ini yaitu  demonstrasi pertama dari sejauh mana 

Eksistensialisme telah meninggalkan seminar universitas dan telah 

menjadi perasaan penentu dari generasi kaum muda yang berhasil 

bertahan dari perang namun sangat skeptis terhadap apa yang 

disebut keuntungan dari peradaban Barat. Mereka berkumpul dari 

berbagai penjuru Prancis ke Saint-Germain-des-Prés untuk menjadi 

bagian dari suatu ledakan kebudayaan yang akan menjadi salah satu 

dari manifestasi pertama kebudayaan pop pasca-perang. Sejauh ini, 

Eksistensialisme banyak terkait dengan gaya berpakaian sebagaimana 

dengan filsafat. Untuk para pendukung garis keras, ‘Germano-pratins’ 

dalam dialek masa kini, pakaian unisex yang dipakai pada umumnya 

berwarna hitam dan bergaya kasual. Bagi kaum pria, la canadienne—

sebuah mantel berbahan kain tebal yang dirancang untuk musim 

dingin Kanada yang keras—dan Montycoat, atau mantel wol kasar, 

dapat digunakan di musim dingin. Kaum wanita rambutnya berponi 

dan mengenakan sepatu balet; kedua jenis kelamin mengenakan kaos 

polo. Musik latar untuk aktivitas kebudayaan, seksual, dan politik 

yaitu  jazz, musik orang-orang yang diperbudak oleh kebudayaan 

kapitalis Amerika. Band yang paling populer saat itu yaitu  band 

Les Lorientais milik Claude Luter, band favorit Zazcus selama masa 

Pendudukan, dan yang memiliki kediaman di loteng Hotel Carmes. 

Jazz yaitu  musik yang dihargai secara intelektual dan penulis Boris 



502

Vian—yang menulis di antara banyak hal sebuah satire yang amat 

lucu tentang ‘Jean-Sol Partre’ dan sektenya, sangat bangga akan 

kemampuannya memainkan trompet sebagaimana ia menggunakan 

mesin tik.

Markas besar spiritual dari ‘generasi Eksistensialisme’ yaitu  

sebuah kelab malam bernama Le Tabou di Rue Dauphine yang awalnya 

digunakan oleh para tukang koran bagi harian surat kabar lokal, 

tempat di mana semua orang akan berkumpul pada dini hari sesudah  

menghabiskan malam di Bar Vert, Montana, Mabillon, Chez Cheramy, 

atau kafe lainnya di distrik itu. Tak perlu waktu lama sebelum surat 

kabar dan majalah datang untuk memberitakan fenomena remaja 

baru yang melanda Tepi Kiri. Pada Mei 1947, majalah berita Samedi 

Soir menerbitkan berita mengejutkan berjudul ‘Inilah bagaimana para 

pendeta Saint-Germain hidup!’, yang menggambarkan “pesta gila-

gilaan mahabesar yang diorganisasi oleh eksistensialis remaja yang 

kotor” yang menghabiskan waktu mereka “minum, berdansa, dan 

mencintai kehidupan mereka di loteng-loteng, hingga bom atom—

yang mereka idamkan—jatuh menimpa kota Paris.” Gaya hidup versi 

Eksistensialis seperti inilah yang disebarluaskan ke penjuru dunia 

dan memunculkan mitos kehidupan Saint-Germain-des-Prés yang 

bebas sebagai sebuah surga proto-beatnik dari kehidupan malam 

gemerlap yang dihuni oleh para pemuda susastra yang gemar minum 

minuman keras dan para pelajar putri yang gemulai, menawan, dan 

gemar melakukan seks bebas. Dunia ini juga dirayakan dalam lagu. 

Stéphane Golmann bernyanyi dengan penuh hasrat, ‘Quand vous 

passez sur Saint-Benoît, resnseignez-vous elle est là, pantalon noir et 

souliers plats, de l’écossais pas de falbala, elle a le regard fataliste, la 

petite existentialiste’ (‘saat  melewati Saint-Benoît, catatlah bahwa 

ia ada di sana, mengenakan celana hitam dan sepatu datar, tanpa 

rumbai dan lipatan, penampilannya fatalis, dari seorang Eksistensialis 

kecil’). Adegan ini juga turut disatirkan: nada jazz yang populer turut 

membawa serta lirik yang cerdik dan jenaka yang dinyanyikan oleh 

Juliette Gréco: 

J’ai lu tous les livres de Jean-Paul Sartre

Simone de Beauvoir et Merleau-Ponty


503


C’est tout le temps le mêne désastre

Même pauvre t’es libre, tu te choisis

J’ai bien essayé autre chose

Maurice Blanchot et Albert Camus

Absurde faux pas!

[Aku telah membaca semua buku karya Jean-Paul Sartre

Simone de Beauvoir dan Merleau-Ponty

Selalu saja bencana yang sama

Bahkan jika kau miskin kau tetap bebas, kau mengambil 

pilihan sendiri

Aku telah mencoba bacaan lain: Maurice Blanchot                                                             

dan Albert Camus

Absurd faux pas!]8

Namun di balik karya-karya dan lawakan sensasionalis, faktanya 

yaitu  bahwa filsafat Eksistensialis mengandung keseriusan mora


Related Posts:

  • Paris Perancis 15 eka sedang menempuh perjalanan ke tempat bermain—dan kemudian ke timur, menuju kematian sebab  kelaparan atau kamar gas.9469Bagian Delapan:  Ibukota  PengkhianatanPengumpulan di Vél d’Hiv yaitu&… Read More