aan, dan seks dalam
taraf yang relatif setara. Saat undang-undang Prohibition (Pelarangan)
di Amerika Serikat mencapai puncaknya, Paris tidak hanya menjadi
tempat berlindung bagi Bohemian dan mereka yang tidak puas tetapi,
bagi orang-orang kaya Amerika, juga menjadi kombinasi ideal bar
koktail yang sangat isinya bervariasi dan berlimpah dengan rumah
bordil. Nama-nama paling terkenal termasuk Ernest Hemingway, Scott
Fitzgerald, John Dos Passos, dan Gertrude Stein yang apartemennya
di Rue de Fleurus berfungsi sebagai semacam kedutaan besar
kesusastraan Amerika. Namun, markas besar sejati bagi kesusastraan
orang Amerika di pengasingan yaitu toko buku Shakespeare and
Company di Rue de l’Odéon. Toko ini dipelihara dan dikelola oleh
Andrienne Monnier yang tangguh, yang tidak gentar membiayai
434
dan mempromosikan karya-karya James Joyce saat semua otoritas
berbahasa-Inggris telah mengutuknya baik secara resmi maupun tidak
resmi sebab dianggap tak terbaca atau cabul.
Dari sudut pandang orang sastra di pengasingan, Paris pada
dekade 1920-an yaitu istana modernisme yang sangat hebat. Pusat
dari semua aktivitas ini, dalam hal seni lukis, sastra, minuman keras,
dan seks yaitu Montparnasse. Tidak seorang pun bisa menjelaskan
dengan baik mengapa kelompok-kelompok avant-garde telah me-
ninggalkan Montmartre—yang kehidupan pribuminya masih tetap
berlangsung seperti sebelumnya—dan bahkan sekarang ada
teori-teori yang bertolak belakang tentang pergeseran demografi ini
(Montparnasse pernah dipenuhi oleh orang Eropa Timur, termasuk
Lenin dan Trotsky), perubahan dalam hal selera makanan, minuman,
dan tata krama (Montparnasse pernah—dan bahkan masih—memiliki
sejumlah bar paling elegan dan kosmopolitan di Paris di La Coupole
atau Le Sélect). Fakta paling penting yaitu bahwa Montparnasse
sepertinya tepat secara fisik bagi puncak modernisme abad ke-20;
Montparnasse tidak terlalu bersifat desa, tidak terlalu berharga dan
tidak terlalu bersifat nostalgia dibandingkan Montmartre. Pada saat
itu, dan sekarang, menjadi tempat bertemunya pandangan-pandangan
tajam dan kebudayaan metropolitan yang tak kenal kompromi dan
bertekad bulat.
Dampak kehadiran orang Amerika di Paris tidaklah besar, dan
bahkan hampir tidak dirasakan oleh Parisian biasa pada periode
tersebut. Sedikit sekali orang Amerika yang bisa berbicara dalam
bahasa Prancis dan bukan sekadar kata-kata sederhana. Keterlibatan
mereka sendiri dengan kebudayaan nyata Paris—berbeda dengan
gosip kalangan sendiri dari elite kaya—terutama terbatas kepada para
penulis, pelacur, atau mucikari. Dalam hal ini, komunitas Amerika
mirip dengan sebuah koloni, walaupun tidak seperti orang Prancis
mereka tidak memiliki kekaisaran. Di antara segelintir orang Amerika
yang berupaya untuk memahami arus politik dan intelektual pada
periode tersebut yaitu penulis muda Paul Bowles, yang saat itu sedang
berada di awal kariernya yang akan membawanya ke seantero dunia
dalam mengejar perasaan selalu menjadi orang luar. Di Paris, Bowles,
yang saat itu masih tidak yakin atas seksualitasnya, diperkenalkan
435
Bagian Tujuh: Medan Magnet
kepada sekelompok kecil yang memiliki minat yang sama dengannya
di sekitar Gertrude Stein. Namun, ketertarikannya sebenarnya yaitu
dalam petualangan Surealis dan ia berupaya melakukan kontak dengan
kelompok tersebut, bahkan menerbitkan sejumlah puisi sederhana
dalam jurnal proto-Surealis bernama transitions. Bowles bahkan bisa
melakukan wawancara dengan Tzara yang hebat dan mengagumi
koleksi topeng Afrika miliknya. Namun bagi penulis muda ini,
Tzara lebih terlihat sebagai ‘seorang dokter daripada seorang penyair
surealis’. Bowles tidak terlalu kecewa tentang hal ini tetapi itu menjadi
titik awal bagi kehanyutannya ke arah tanah Afrika Utara yang benar-
benar asing dan menantang daripada Paris yang intelektual dan kelabu
yang dianggapnya sebagai tersia-sia dan hampa.6
436
38
Tibanya Kegelapan
Keriangan ingar-bingar dan hedonisme dekade 1920-an hanya
berlangsung selama beberapa tahun dan bagaimanapun juga hanya
dinikmati oleh elite istimewa yang sebagian besar anggotanya bukanlah
Parisian ataupun orang Prancis. Di luar brasserie-brasserie krom dan
baja Montparnasse yang bergaya, model-model telanjang, seniman-
seniman alkoholik dan para pengasingan yang hidup bebas, suasana
hati yang mendominasi Paris pada akhir dekade tersebut yaitu rasa
takut. Perasaan paling umum yaitu rasa takut akan adanya perang
lain yang memang ada pembenarannya. Namun, ada pula bahaya
lain yang lebih dekat, yang sepertinya menampilkan ancaman tidak
langsung terhadap kesejahteraan kelas pekerja Paris yang rentan dan
diperoleh dengan kerja keras.
Kekhawatiran yang paling meluas terinspirasi oleh perubahan
radikal dalam populasi Paris sejak pergantian abad yang telah
dipercepat oleh perang. Pada akhir 1920-an dan awal 1930-an, Paris
terisi penuh oleh banyak ras dan bahasa berbeda yang lebih banyak
daripada masa sebelumnya, bahkan jika hal ini tidak terlihat oleh
para turis budaya dari kalangan berada. Pada awal abad, Prancis pada
dasarnya yaitu negara berpenduduk jarang dan—tentu saja jika
dibandingkan dengan London atau New York—Paris relatif masih
merupakan kota yang lapang dan homogen secara ras. Hilangnya
satu generasi sebab perang harus digantikan entah dengan cara
bagaimana dan pekerja migran yaitu cara termudah dan termurah
untuk mencapainya. Bahkan inilah satu-satunya solusi. Dampak
imigrasi masif ke Prancis sangat besar. Di Paris pada 1921, orang asing
mewakili 5 persen dari populasi. Pada 1930, angka ini telah berlipat
ganda. Tingkat kejahatan melejit pada periode yang sama dan polisi
437
Bagian Tujuh: Medan Magnet
dengan senang hati melaporkan bahwa seperempat kejahatan yang
terjadi di kota telah dilakukan oleh orang asing.
Parisian dari kelas pekerja, yang gaya hidup dan mata pen-
cahariannya sering kali dianggap menghadapi bahaya oleh partai-
partai politik dari kedua ujung spektrum politik, sering kali merasakan
ancaman nyata. Hal ini sebagian merupakan tanggapan yang bersifat
insting dan tidak ada gunanya terhadap pergeseran campuran budaya
kota, tetapi sering kali dimanipulasi di tingkat jalanan oleh para
pemimpin politik yang mencoba menunjukkan kerapuhan bangsa
Prancis. Bangkitnya Fasisme di Italia dan ketidakpastian iklim di
seantero Eropa tidak mampu menghilangkan rasa takut Parisian akan
terjadinya benturan dengan kekuatan kapitalisme dan pemerintah
yang lebih besar. “Sampah dunia tiba di Prancis dan telah datang untuk
mengambil alih Paris” yaitu pandangan yang disuarakan secara luas
di jalanan dan di surat kabar.
Kata yang juga banyak digunakan dalam pers pada saat itu
yaitu métèque, sebuah neologisme dari kata Yunani kuno yaitu
metic yang digunakan untuk orang-orang asing yang tidak memiliki
kewarganegaraan di sebuah kota Yunani. Kata ini diperkenalkan ke
dalam bahasa Prancis oleh seorang sayap kanan bernama Charles
Maurras pada dekade 1890-an, pada puncak peristiwa Dreyfus, dan
menjadi terbiasa digunakan untuk orang-orang asing di Prancis.
Penggunaannya selalu bersifat menghina terutama dalam konteks
rasis. Dalam kaum Kanan dan kaum Kiri, saat krisis ekonomi semakin
dalam sesudah terjadinya Kejatuhan Wall Street pada 1929, semakin
banyak jari yang ditudingkan kepada para métèque sebagai penyebab
segala penyakit yang diderita Prancis. Kekerasan rasis menjadi biasa
di seantero negeri seperti juga di Paris: orang-orang Italia berulang
kali diserang di Lyons, orang-orang Maroko dibunuh di Marseilles. Di
Saint-Denis, di enklave yang sekarang menjadi Komunis garis keras di
luar Paris, ada sorakan kencang di bar-bar, kafe-kafe, dan bioskop-
bioskop pada awal 1931 saat pemerintah mengumumkan bahwa
para pekerja asing mulai sekarang akan membayar pajak yang lebih
tinggi daripada para pekerja Prancis. Slogan ‘La France aux Français’
(‘Prancis untuk orang Prancis’) menjadi teriakan slogan serbaguna
bagi kaum Kiri, walaupun Maurice Thorez, pemimpin Komunis yang
438
tangguh dan lihai, nantinya menjelaskan bahwa slogan itu hanyalah
formula untuk membersihkan negara dari para mata-mata dan agen
asing lainnya.1
Kelompok pertama yang cukup besar yang menetap di Paris
selama periode ini yaitu orang Italia. Banyak dari mereka melarikan
diri dari rezim Mussolini (laju migrasi bertambah pesat sesudah
Mussolini berbaris menuju Roma pada 1922). Mereka dikenal sebagai
fuorisciti (secara harfiah ‘mereka yang berada di sisi luar’) oleh orang
Italia lainnya dan menganggap pengasingan mereka sebagai lambang
kehormatan. Sebagian lainnya tiba dari Italia dengan mata optimis
mencari kehidupan yang baik dan memiliki pandangan politik yang
tidak terlalu mulia. Mereka semua bergerak ke ujung timur laut kota.
Di sana, mereka bertemu dengan orang Rusia, orang Polandia, orang
Armenia (sebagian besar tiba pada 1923 sebab melarikan diri dari
pembantaian yang dilakukan orang Turki) dan orang Yahudi dari
segala kebangsaan. Pekerjaan sulit diperoleh dan uang sangat sedikit.
Namun demikian, Paris yaitu basis dan juga tempat berlindung.
Orang Italia tidak diterima secara luas—demikian pula kelompok
migran mana pun ke Paris—tetapi setidaknya mereka yaitu orang
Latin dan dianggap sebagai bagian dari keluarga besar bangsa-bangsa
berbahasa Roman, yang membentang dari Liguria hingga Rumania,
dan oleh sebab itu memiliki klaim yang sah terhadap nilai-nilai
keberadaban.
Kelompok politik terbesar yang menetap di Paris pada dekade
1920-an yaitu orang Afrika Utara. Kehidupan sangat sulit bagi
orang-orang Aljazair walaupun mereka pada dasarnya yaitu warga
negara Prancis tetapi selalu diperlakukan sebagai métèque atau
orang luar sebab alasan ras, bahasa, dan agama. Orang Aljazair
biasanya dikaitkan dengan kriminalitas, seperti juga banyak orang
Italia selatan. Diperdebatkan bahwa perbedaan antara orang Aljazair
dengan orang Italia yaitu bahwa orang Italia hanya menjadi kejam
sebab kebutuhan ekonomi sementara orang Aljazair yaitu orang
yang banyak tingkah, licik, dan sering melakukan kekerasan secara
acak. Untungnya, ada sejumlah pemimpin karismatik di kalangan
orang Afrika Utara—misalnya Hadj Abdel Kader (Haji Abdul Kadir).
Ia seorang bekas Komunis yang mendirikan ‘Étoile Nord-Africaine’
439
Bagian Tujuh: Medan Magnet
yaitu sebuah gerakan nasionalis yang mendukung para pekerja
Aljazair yang dipekerjakan dalam industri.
Sikap orang Afrika Utara di Paris mengeras selama Perang Rif
pada 1925 – 1927. Perang ini pada dasarnya yaitu pemberontakan
melawan kekuasaan Prancis di Maroko yang dipimpin oleh Emir
Abd-el Karim (Emir Abdul Karim). Keberanian dan kenekatan sang
emir dengan cepat membuatnya menjadi pahlawan bagi orang-
orang Afrika Utara yang tidak puas di metropolis. Pemberontakan
itu ditumpas oleh kekuatan udara Prancis yang menghancurkan dan
amat kejam. Suara penolakan paling keras dari kubu Kiri datang
dari kaum Surealis, yang menolak peradaban yang memiliki asumsi
superioritas di atas yang lain. Bukanlah suatu kecelakaan bahwa tahun
saat Abdul-el Karim dipermalukan turut menjadi tahun pendirian
Grande Mosquée de Paris di lantai paling atas Jardin des Plantes.
Masjid ini yaitu versi yang sangat indah dari mode arsitektur religius
Hispano-Moorish (Andalusia-Spanyol) dan halamannya yaitu salah
satu lokasi terindah di Paris untuk minum teh pada suatu sore yang
panas saat musim panas. (Masjid ini juga dipandang dengan penuh
kebencian oleh banyak Muslim garis keras di Paris abad ke-21, yang
melihatnya sebagai bunga rampai kolonial yang mengerikan dan suatu
pengkhianatan terhadap kebebasan sesungguhnya yang belum dapat
mereka raih.)
Zion Baru
Pada awal dekade 1930-an, sebagian besar Parisian belum pernah
secara sadar bertemu dengan seorang Yahudi—hal ini sebab banyak
orang Yahudi lebih suka tetap berada dalam enklave mereka sendiri,
atau telah sepenuhnya terasimilasi. Namun, hampir semua Parisian
memiliki pandangan kuat tentang apa yang secara umum dijelaskan
sebagai ‘masalah Yahudi’ dan banyak solusi potensialnya.2
Sebagian besar partai politik Kanan tidak malu-malu bersikap anti-
Semit dan bahkan, sejak dekade 1890-an dan peristiwa Dreyfus, sikap
anti-Yahudi ini dianggap sebagai lambang kehormatan dan patriotisme.
Organ utama perdebatan yaitu jurnal La Libre Parole. Jurnal ini
440
dahulu merupakan media cetak pendukung Dreyfus, yang sudah lama
tidak terbit, yang diterbitkan kembali pada 1930 ke kalangan pembaca
yang luas dan antusias serta mayoritas merupakan penganut Katolik.
Salah satu kontributornya yaitu Georges Bernanos—mantan tokoh
utama dalam ‘Action Française’ yang dipimpin oleh Charles Maurras,
gerakan aktivis kunci golongan Kanan—yang telah berpaling untuk
membentuk nostalgia melankolis terhadap Abad Pertengahan yang
termasuk kesusastraan yang mengutuk orang Yahudi. Walaupun tidak
sepenuhnya diterima oleh banyak orang, versi anti-Semitisme ini
setidaknya dipahami sebagai tradisi yang hampir setua Paris sendiri,
yang setidaknya berasal dari pembantaian kelompok minoritas yang
dilakukan oleh Philippe-Auguste.
Lebih meresahkan lagi, setidaknya bagi mereka yang menyatakan
diri sebagai pendukung Kiri Revolusioner dan para avant-garde artistik
(kedua faksi ini kurang-lebih tidak bisa dibedakan lagi pada 1930),
yaitu pertumbuhan rasa benci terhadap orang Yahudi di kalangan
kelas pekerja dan dalam partai-partai Kiri—kekuatan kembar yang,
di mata para pemikir radikal, dianggap membentuk bentuk dan isi
modernitas Paris. Pada 1920, gelombang baru orang Yahudi tiba di
Belleville pada saat yang sama dengan sebuah epidemi kolera: surat
kabar Komunis L’Humanité dan surat kabar Sosialis L’Œuvre langsung
meniru suara para pekerja di jalanan bahwa orang Yahudi membawa
racun dan penyakit ke Paris. Saat mereka tidak digambarkan sebagai
pembawa penyakit atau hama, orang Yahudi dipandang sebagai
kapitalis gemuk dan tamak yang hanya bertujuan untuk menundukkan
dan mengeksploitasi pekerja Paris pribumi.
Tidak satu pun dari sikap ini dianggap tidak semestinya pada tahun-
tahun awal dekade 1930-an. Kebencian terhadap orang asing yaitu
hal biasa dan biasanya merupakan nilai yang dikagumi. Orang Yahudi
pada awalnya tidak dibenci secara khusus daripada ras-ras lainnya yang
tiba di Paris. Penulis novel dan diplomat Paul Morand, yang prasangka
anti-Semitnya dipertajam sebab ia pernah tinggal dalam waktu lama
di Rumania, menolak sama kerasnya tentang kehadiran orang Kuba
dan orang Brasil di Paris. Banyak penulis yang dihormati, termasuk
André Gide, Romain Rolland, dan François Mauriac, menunjukkan
sikap anti-Semit. Ini yaitu prasangka yang, sebagaimana dikatakan
441
Bagian Tujuh: Medan Magnet
oleh seorang komentator, sepenuhnya memiliki ‘hawa tidak bersalah’.3
Semua ini berubah pada 1933, saat Jerman secara tiba-tiba
dan secara tragis jatuh ke bawah bayangan gelap Partai Nazi. Pada
akhir tahun tersebut, lebih dari 20.000 orang Jerman melarikan
diri ke Prancis. Pada akhir dekade tersebut, lebih dari 55.000 orang
pengasingan dari Jerman akan melewati negara ini. Sebagian besar dari
mereka yaitu Yahudi dan istilah ‘pengungsi’ segera menjadi sinonim
dengan ‘Orang Yahudi’. Pemerintahan-pemerintahan Republik Ketiga
yang silih berganti semakin rapuh saat tekanan terhadap mereka
semakin keras untuk membela para pekerja dan borjuis Prancis dari
apa yang sepertinya merupakan gelombang orang asing yang tidak
bisa dihentikan.
“Paris telah menjadi Zion Baru,” tulis Morand. “Pertama-tama satu,
kemudian sepuluh, kemudian seratus, kemudian lima puluh ribu.”4
Kata ‘invasi’ sekarang menjadi kata yang biasa digunakan bahkan
dalam lingkaran yang relatif moderat. Ketakutan lainnya yaitu
bahwa orang-orang asing baru ini akan membuat persekutuan dengan
‘orang Yahudi penetap’—orang Yahudi yang sudah lama menetap
di Prancis—dalam sebuah komplotan melawan negara. Dua orang
Yahudi yang sedang berbicara menggunakan bahasa Yahudi di dekat
Gare de l’Est diserang oleh segerombolan orang yang mengklaim
bahwa mereka memuji Hitler. Pasangan Yahudi lainnya hampir saja
dipukuli hingga mati di Belleville oleh segerombolan massa kelas
pekerja yang menuduh mereka mengucapkan “Hidup Hitler! Hidup
Jerman!” dalam bahasa asing. saat penulis novel Louis-Ferdinand
Céline, yang sekarang terkenal sebagai penulis buku terlaris, pada
1938 membuat cacian Bagatelles pour un massacre yang panjang (dan
ditulis secara cemerlang walaupun sangat jahat), karyanya ini disambut
sebagai karya yang hebat walaupun sangat provokatif. Tulisan ini
yaitu hujan racun sarkastis dan mencemooh yang diarahkan kepada
orang-orang Anglo-Saxon dan para penyandang dananya yaitu orang
Yahudi jahat. Tulisan ini sangat anti-Yahudi dan pro-Nazi. Bahkan
lebih dari 70 tahun sesudah penerbitannya, tulisan ini hanya sedikit
kehilangan kekuatannya untuk membuat muak para pembacanya.
Namun saat diterbitkan, tulisan ini hanya disambut sebagai ringkasan
akal sehat dan kecerdasan dari seorang penulis ahli. “Perang untuk
442
borjuis sudah cukup buruk,” tulis Céline, “tetapi sekarang perang
untuk orang Yahudi! … setengah negro, setengah Asia, dan orang-
orang campuran dari ras manusia yang hanya ingin menghancurkan
Prancis.”5
Kerusuhan dan Konspirasi
Gairah nihilistik seperti ini sulit sekali ditahan oleh pemerintah mana
pun dan ada rasa keniscayaan tertentu saat , pada Februari 1934,
gairah tersebut tertumpah ke jalanan ibukota dalam pertempuran
jalanan siang dan malam selama berhari-hari yang merupakan momen
paling berbahaya yang dikenal oleh pemerintah mana pun sejak 1871.
Latar belakang kejadian ini yaitu kekecewaan yang semakin besar
terhadap pemerintahan Camille Chautemps yang berumur pendek
yang diprovokasi oleh peristiwa panjang yang dikenal sebagai skandal
Stavisky. Antara 1932 dan 1933, ada lima pemerintahan berbeda
tetapi personel di dalamnya sedikit sekali berubah, yang secara seragam
sama sinisnya dengan publik yang memilih mereka. Serge Stavisky
sendiri bukanlah seorang politisi melainkan seorang penyandang dana
yang pernah disangka memiliki latar belakang Hungaria, Polandia,
atau Rumania dan tentu saja Yahudi (faktanya ia yaitu putra seorang
dokter gigi Yahudi dari Ukrania). Ia dikenal memiliki hubungan erat
dengan banyak tokoh terkemuka dalam dunia properti, politik, dan
hukum. Pada 1933, ia diperiksa polisi sebab dicurigai melakukan
korupsi.
Desas-desus dan tuduhan terbukti memang benar tetapi investigasi
polisi terperosok dalam inkompetensi. Di pers dan di jalanan,
diperdebatkan bahwa polisi sendiri menjadi bagian dari jaringan jahat
oleh Stavisky yang hidup mewah. Nantinya, diketahui bahwa Stavisky
bukan hanya seorang métèque yang dibenci tetapi juga seorang
Freemason. Pemerintahan Chautemps jatuh pada akhir Januari 1934
dan hanya bertahan selama dua bulan. Mereka digantikan oleh koalisi
yang dipimpin oleh Édouard Daladier yang memproklamasikan
kesatuan republik. Namun, publik Paris sekarang sudah sangat muak
dengan segala bentuk pemerintah yang dipilih. Panggung telah
443
Bagian Tujuh: Medan Magnet
disiapkan untuk konfrontasi dramatis antara kekuatan-kekuatan di
Kanan dengan kekuatan-kekuatan di Kiri, yang keduanya percaya
bahwa tangan yang kuat dan tegas diperlukan untuk mengarahkan
Prancis menjauh dari konflik dengan Jerman dan bencana. Kenangan
bavure yang mengarah pada pembantaian Perang Dunia Pertama
tidak pernah jauh dari ingatan.
Koalisi longgar liques (‘liga-liga’) memimpin kaum Kanan. Tidak
satu pun dari liga ini benar-benar ‘Fasis’ dalam konteks yang ditetapkan
oleh Mussolini di Italia dan memiliki kesamaan dengan ideologi
revolusioner Partai Nazi di Berlin. Ligueurs memang gema dari Liga
Katolik masa lalu yang telah membawa begitu banyak hasutan ke Paris
selama Perang Agama (lihat Bab 16). Mereka termasuk ‘Camelots du
Roi’, militan Katolik dan pendukung Kerajaan yang paling bersemangat
yang dikaitkan dengan Action Française; ‘Jeunesse Patriote’, yang
terutama memiliki agenda anti-Bolshevik; dan ‘Solidarité Française’,
yaitu sebuah organisasi yang dipimpin oleh parfumier François
Coty, yang para anggotanya berbaris berkeliling sambil mengenakan
pakaian neo-Fasis berupa kemeja biru dan baret hitam yang kurang-
lebih meniru pelindung veteran Mussolini. Liga paling meyakinkan
dan populer yaitu ‘Croix de Feu’ yaitu sekelompok veteran perang
yang dipimpin oleh Kolonel Casimir de la Rocque. Satu-satunya tujuan
mereka yang dinyatakan yaitu membersihkan korupsi dari jantung
Republik Prancis atas nama prajurit biasa.
De la Rocque mengkoordinasi liga-liga lainnya untuk berbaris
menuju Majelis Nasional pada 6 Feruari, yang dikatakan untuk
mendemonstrasikan kelemahan dan ketidakstabilan pemerintah dan
korupsinya sebagaimana ditunjukkan oleh peristiwa Stavisky. Stavisky
sendiri sekarang sudah melakukan bunuh diri—atau dibuat ‘bunuh
diri’: tidak seorang pun yakin—tetapi hantunya masih menyebabkan
masalah.6
Terjadi sejumlah bentrokan singkat antara para ligueur dengan
polisi sepanjang Januari. Namun, polisi hanya melakukan tindakan
relatif ringan terhadap kelompok-kelompok yang pada dasarnya
tujuan yang sama dengan mereka (bagaimanapun juga prefect Paris,
Jean Chiappe, dikenal sebagai kroni Stavisky. Fakta ini membuat
marah orang-orang sayap kiri). Terjadi kerusuhan kecil di Gare du
444
Nord sebab terjadi penundaan dalam perjalanan sejumlah kereta
komuter dan pers sangat aktif mencari perkelahian, dengan kepala
berita seperti ‘Akhir Rezim’ dan ‘Waktu untuk Pembersihan yang
Dibutuhkan!’ Namun, suasana hati pada senja hari menjelang malam
di tanggal 6 Februari, saat para veteran terhormat dan bermedali
memimpin gelombang pertama para ligueur menyeberangi Place de
la Concorde, relatif tenang. Selama dua jam kemudian, kerumunan
massa berdiri diam di hadapan barisan penjaga bersenjata ringan,
yang merupakan satu-satunya penghalang antara demonstran dengan
pusat kekuasaan. Dalam hari-hari menjelang demonstrasi, pers
banyak membuat berita liar tentang agresi pemerintah, memprediksi
bahwa banyak tank, senapan mesin, dan regu prajurit Negro yang liar
akan dikirim untuk mengamuk di antara orang Prancis yang patriotis.
sebab hal semacam itu tidak terjadi, atau sepertinya akan terjadi,
kekosongan harus diisi.
Kekerasan datang dari sumber yang sama sekali berbeda. Sumber-
nya yaitu antara para ligueur paling fanatik dengan faksi-faksi dari
semua partai Kiri yang datang untuk memprotes para ‘Fasis’ yang
melancarkan coup d’état potensial. Polisi kehilangan kendali: kios-
kios dan bus-bus digulingkan, lampu-lampu jalan diubah menjadi
senjata, batu-batu trotoar sekali lagi dicongkel dan dilemparkan
kepada kekuatan-kekuatan ketertiban atas nama martabat manusia.
Saat nada Marseillaise digantikan oleh Internationale, selama sejenak
yang membahagiakan bagi para perusuh dari Kiri tiba-tiba mereka
merasa bahwa pemberontakan atau bahkan revolusi mungkin saja
dapat kembali terjadi.
Tentu saja hal itu tidak terjadi. Pemerintahan Daladier meng-
undurkan diri sehari kemudian. Namun, walaupun terjadi demonstrasi
dan kontra-demonstrasi yang meletus secara sporadis di seantero kota,
tidak ada keinginan nyata dan umum terhadap transformasi dengan
kekerasan. Secara keseluruhan, 16 orang tewas dari kerumunan massa
sebesar 40.000 perusuh. Di seluruh Paris yang sedang tumbuh, ada
banyak kebingungan selain kegembiraan: ketegangan nyata di kota—
perpecahan kelas yang belum pernah diperbaiki sejak Komune—tidak
dapat lagi dihindari.
445
Bagian Tujuh: Medan Magnet
Ilusi Besar
Paris dengan cepat kehilangan solusi politik bagi rasa krisis permanen
yang melumpuhkan pemerintahan-pemerintahannya. Di hari-hari
sesudah kerusuhan Februari 1934, kaum Kiri paling takut oleh momok
kudeta sayap-kanan yang dipimpin oleh de la Rocque dan ‘liga-liganya’.
Secara mengejutkan, berbagai faksi kiri mampu menyatukan tujuan
dan bahkan menyatakan pemogokan umum sesudah bulan tersebut.
Pada Juli, pemimpin Partai Sosialis, Léon Blum, dan pemimpin Partai
Komunis, Maurice Thorez, menandatangani kesepakatan kesatuan
politik. Persatuan kedua kelompok secara paling mengagumkan
terjadi dalam bentuk kekuatan sebesar hampir setengah juta orang,
yang berkumpul di Bastille pada 14 Juli 1935 sebagai kontra-
demonstrasi bagi unjuk kekuatan oleh Croix de Feu di Champs-Élysées
yang jaraknya hanya beberapa kilometer. Di bawah bendera ‘Front
Populaire’, kaum Sosialis dan Komunis melancarkan gerakan dengan
slogan ‘Perdamaian, Roti, Kebebasan’. Beredar desas-desus perang
saudara, tetapi saat Bendera Merah kembali berkibar, pembicaraannya
lebih berupa revolusi yang kali ini untuk selamanya.
Momen historis tiba kurang dari dua belas bulan kemudian saat
Front Populaire merebut kursi kekuasaan dalam pemilihan umum
pada Mei 1936. Ini yaitu kudeta tanpa pertumpahan darah tetapi
Parisian tidak segera memahami signifikansinya. Teriakan ‘Vive le
Front Populaire!’ segera digantikan oleh ‘Vive le Commune!’ Sekitar
400.000 Parisian berkerumun ke Mur des Fédérés di Père-Lachaise
untuk menghormati para Communard yang terbantai yang mereka
pandang sebagai leluhur sejati mereka.
Semuanya berubah di Prancis kurang-lebih dalam satu malam. Jam
kerja maksimum selama 40 jam seminggu dan liburan dengan tetap
menerima gaji diberlakukan untuk pertama kalinya dalam sejarah
Eropa. Para pekerja mulai merasa bahwa pada akhirnya mereka
mengendalikan keadaan. Masalahnya yaitu sering kali mereka tidak
memahami apa yang mereka kendalikan. Senjata tawar-menawar
yang biasa digunakan yaitu pemogokan. Hanya dalam waktu
beberapa minggu sesudah terpilihnya pemerintahan Front Populaire,
serangkaian pemogokan menyebar ke seantero negara. Pemogokan
446
ini menghentikan produksi di pabrik-pabrik militer dan sipil yang
penting dan mengancam untuk menciptakan kerusakan terhadap
ekonomi yang lebih parah daripada yang pernah dicapai oleh menteri
paling korup. Pemogokan-pemogokan ini, yang sering kali bersuasana
seperti pesta dan bermabuk-mabukan, tidak berhenti bahkan saat
pemerintah memenuhi tuntutan para pekerja dan walaupun Thorez
memberikan peringatan keras kepada rekan-rekannya sendiri yaitu
kaum Komunis Paris.
Namun, sebagian besar kekacauan ini bersifat ramah—para
pekerja menyanyikan lagu populer seperti ‘Auprès de ma blonde’ sama
seringnya dengan Internationale selama demonstrasi—dan Parisian
dari kelas pekerja menyenangi konsep baru waktu luang. Ingatan
rakyat tentang Front Populaire biasanya berupa gambaran perjalanan
bersepeda ke pedesaan, ekspedisi menggunakan kereta api menuju
laut, kerumunan penonton sepak bola yang sangat besar, piknik hari
Minggu dengan anggur dan menggoda serta, di atas semuanya dan
pada akhirnya, rasa bermartabat bagi populasi pekerja. ada
produk-produk baru, seperti losion pelindung sinar matahari
oleh l’Oréal atau minuman soda Oragina, yang membawa barang-
barang yang sebelumnya mewah ke tangan masyarakat umum. Paris
dideklarasikan sebagai surga pekerja yang setara dengan Moskow.7
Tentu saja, hal ini hanyalah ilusi. Tidak diperlukan waktu lama,
saat inflasi dan upah yang ditekan mulai menggigit, sebelum tuntutan
pekerja menciptakan kesulitan nyata bagi para pekerja sendiri. Pers
sayap-kanan, yang selalu mewaspadai ‘Teror Merah’ di Paris, mulai
menerbitkan kartun para pekerja yang memerkosa para wanita tua
kaya atas nama ‘hak’. Rasa takut kembali sebagai tema dominan bagi
kehidupan sehari-hari. Saat Franco mulai memblokade Madrid, desas-
desus mengatakan bahwa de la Rocque berencana untuk merebut
Paris. Sentimen anti-Semit yang telah menghancurkan Stavisky mulai
memindahkan diri ke Blum, seorang Yahudi dan pendukung Dreyfus
yang riuh rendah yang—sekali lagi menurut desas-desus—berencana
untuk menghancurkan Prancis dan mencari perlindungan bersama
para rekan komplotannya yaitu orang Inggris yang berbahaya dan
hipokrit. Pers sensasional ramai dengan tuduhan-tuduhan paling
liar, yang tidak seorang pun berani menyangkal atau menantangnya
447
Bagian Tujuh: Medan Magnet
kalau-kalau serangan tersebut menjadi lebih buruk. Pers yang sama
secara berkala juga membuat prediksi mengerikan tentang perang
menghancurkan di masa depan yang akan menghancurkan Prancis
untuk selamanya.
Sementara itu, sebagian besar Parisian ingin bersenang-senang.
Walaupun pengangguran meningkat dan upah menurun, bar, kabaret,
dan restoran tetap saja hampir selalu penuh. Hal ini juga terjadi saat
menonton bioskop menjadi populer di masyarakat. Alasannya bukan
hanya sebab sinema Prancis dan Amerika sedang mencapai puncak
barunya, tetapi sebab banyaknya kesempatan bagi hubungan seksual
yang sah maupun tidak sah yang ditawarkan dalam ruangan gelap
bioskop-bioskop baru yang elegan dan gemerlap di bulevar-bulevar.
Parisian ingin dibuat tertawa atau disenangkan. Produk-produk
Hollywood, dari Fred Astaire hingga Disney melalui Marx Brothers,
selalu populer. Film-film Prancis sekarang juga populer dan cerdas.
Film-film dari akhir dekade 1930-an seperti Pépé le Moko karya
Julien Duvivier atau Hôtel du Nord atau Quai des Brumes (‘Pelabuhan
Bayangan’) karya Marcel Carné dengan mudah menyaingi pesaingnya
dari Hollywood dalam konteks popularitas ataupun kecerdasan.
Hal yang terutama menjadi ciri khas film-film ini yaitu pandangan
sentimental terhadap Paris yang bagi mayoritas Parisian dirasakan
sudah mulai terlepas dari genggaman mereka. Para penonton terharu
hingga menangis oleh lagu ‘Où est-il donc?’ yang dibawakan oleh
penyanyi Fréhel. Ini yaitu himne bagi Paris Tua yang dinyanyikan
dari lubuk hati terdalam dan dari kedalaman kasbah Aljazair bagi
Pépé (dimainkan oleh Jean Gabin) yaitu seorang gangster Paris yang
sedang melarikan diri di Aljazair dan bernostalgia akan kota asalnya.
Para penonton juga tertawa terpingkal-pingkal sebab mengenali diri
sendiri saat dalam Hôtel du Nord, Arletty—parigote (dalam konteks
bahasa Inggris kontemporer, persilangan antara Barbara Windsor
muda dan Twiggy) kelas pekerja tertinggi—dengan jijik menolak
saran kekasihnya bahwa mereka seharusnya pindah ke pedesaan
sebab ‘atmosfernya’ dengan frasa terkenal yang sekarang menjadi
bagian dari cerita rakyat Paris: ‘Atmosfer? Atmosfer? Dengar, kawan,
apa aku terlihat seperti seorang gadis yang mencari atmosfer?’
Film paling kontroversial yaitu adikarya Jean Renoir berjudul
448
La Grande Illusion pada 1937. Ini yaitu perumpamaan anti-perang
yang pada awalnya disensor. Film ini dimainkan dalam bioskop-
bioskop yang terisi penuh dan para penonton turut bernyanyi dengan
emosi kuat saat adegan menampilkan para tawanan menyanyikan
Marseillaise. Tidak dirasa ironis bahwa banyak dari penonton
melakukannya sambil membuat tanda penghormatan ala Fasis.8
“Naiknya gelombang pembunuhan”
Namun demikian, sudah menjadi posisi umum bahkan di kalangan
Parisian yang disebut patriotis untuk menyatakan bahwa mereka telah
kehilangan semua keyakinan terhadap para politisi dan sistem politik
mereka sendiri dan menyambut momok Hitler sebagai pembersihan
yang diperlukan. Seperti inilah posisi Céline yang, walaupun
menggertak dalam Bagatelles maupun ‘pamflet-pamfletnya’ yang lain,
telah mengungkapkan pandangan yang dimiliki orang banyak bahwa
bencana lebih disukai daripada kondisi penghinaan memalukan yang
ada saat ini. ada pula para intelektual lainnya, lebih bernuansa
dan berperilaku lebih halus daripada Céline (termasuk orang-orang
seperti novelis dan kritikus berpengaruh Robert Brasillach dan Lucien
Rebatet), yang berbaris di sisi Nazi sebab alasannya sendiri yang
kompleks, mulai dari simpati estetis terhadap Fasisme, anti-Semitisme
borjuis kelas atas atau hanya sekadar memuja pemimpin. Anehnya,
terjemahan Mein Kampf dalam bahasa Prancis, yang beredar di Paris
pada saat itu, menghilangkan bagian di mana Hitler mendefinisikan
Prancis sebagai musuh historis bagi Jerman sebab kekuatan geografis
dan takdir. Hasil dari kebutaan intelektual ini yaitu mengerasnya
posisi di Kiri dan Kanan. Proses ini dipercepat oleh Perang Saudara
Spanyol, yang meletus pada 1936, yang menghapuskan semua
kemungkinan dialog antara kedua pihak yang sekarang sama-sama
mendeskripsikan dirinya sebagai kaum revolusioner.
Di antara segelintir orang di Kiri yang berupaya menembus misteri
Fasisme dalam cara yang benar yaitu penulis dan kritikus Georges
Bataille. Ia nantinya terkenal sebagai pemberi pengaruh bagi generasi
Michel Foucault dan sering kali dideskripsikan sebagai jembatan
449
Bagian Tujuh: Medan Magnet
antara kelompok avant-garde modernis dari awal abad ke-20 dengan
skeptisisme melankolis dari masa pasca-modernis. Di tahap ini dalam
kariernya, Bataille yaitu figur tidak dikenal yang bekerja sebagai
pustakawan dan dikenal, jika ada yang mengenalnya, sebab novela
pornografi karangannya berjudul Histoire de l’œ (‘Kisah Mata’) yang
diterbitkan pada 1928. Ini yaitu kisah klasik tentang masturbasi
dewasa bersama-sama dan pembunuhan. Ia juga dikenal sebab
pernah beradu argumen secara terbuka dengan para Surealis, bahkan
dengan André Breton sendiri (yang menyebut Bataille sebagai ‘pelaku
penyelewengan seksual’).
Pada 1935, Bataille mulai menulis sebuah novel berjudul Le Bleu
du criel (‘Langit Biru’). Karakter utama dalam novel ini yaitu seorang
Kiri yang tidak puas bernama Tropmann (nama ini dipinjam dari
seorang pembunuh pada abad ke-19 yang juga membuat Rimbaud
kagum). Tropmann menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
mabuk atau memulihkan diri dari efek minuman keras dalam sebuah
Eropa halusinasi yang sepertinya akan segera runtuh. Ia berjalan
dari Paris menuju Barcelona dan akhirnya ke Trier, tempat kelahiran
Marx. Di sana, dalam kegilaan berbahaya dan nekrofilia ia melakukan
hubungan seks dengan kekasihnya Dorothée (berjuluk ‘Dirty’), yang
berpura-pura mati di sebuah pemakaman saat sebuah detasemen
pemuda Nazi berbaris lewat di dekat mereka.
Le Bleu du ciel sekarang masih layak dibaca sebagai ramalan yang
relatif apa adanya tentang Eropa yang mengarah pada kehancuran diri
sendiri. Terutama, Bataille dengan cemerlang menangkap atmosfer
di Paris yang kejam dan tidak stabil, tempat Kiri revolusioner telah
dirusak oleh perpecahan dan tidak mampu untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan historis yang mengarahkan peradaban menuju
kehancuran. Tropmann berjalan sambil mabuk melewati Paris, dari
bar-bar Montparnasse yang paling bergaya, tempat obrolan kosong
para intelektual yaitu semacam derau putih yang membuatnya muak,
hingga rumah-rumah bordil terendah tempat ia mencari pemusnahan
diri dalam kabut beracun wiski dan pelacur.
Bataille berpendapat bahwa Fasisme yaitu masalah religius dan
bukan hanya masalah politik. Oleh sebab nya, pada 1935, bersama
rekannya seorang seniman bernama André Masson, ia mendirikan
450
jurnal Acéphale dan sebuah organisasi rahasia dengan nama yang
sama. Jurnal ini akan didedikasikan untuk memahami sebuah
masyarakat yang menggantikan keyakinannya dalam hal ritual dan
agama dengan pemujaan seperti budak bagi kultus pemimpin. Apa
yang tidak diungkapkan dengan benar oleh Bataille kepada orang
lain selain tokoh-tokoh tertinggi dalam kelompoknya yaitu rencana
sebenarnya—yang mematikan dan sangat serius—yaitu untuk
melakukan pengorbanan manusia secara nyata. Salah satu anggota
Acéphale akan dipilih atau mengajukan diri, untuk dibunuh oleh
tangan Bataille sendiri dalam sebuah ritual yang dilakukan di hadapan
para anggota lainnya. Kejahatan ini akan menyatukan masyarakat ini
dalam kesunyian dan kesedihan rahasia. Asal-usulnya, sebagaimana
Bataille memandangnya (sangat menggantungkan diri pada The
Golden Bough karya J. G. Frazer—yang saat itu merupakan bacaan
wajib bagi para intelektual dari semua latar belakang politik), yaitu
semua ‘agama’ terorganisasi, termasuk Fasisme.
Tidak ada pembunuhan yang pernah benar-benar dilakukan.
Nantinya, pada dekade 1950-an, saat ia menjadi editor jurnal
Critique yang berpengaruh dan nama yang dipandang dalam
lingkaran intelektual Paris, Bataille menjelaskan tindakannya sebagai
upaya untuk mendirikan sebuah agama. Ini yaitu satu-satunya cara,
sebagaimana dipahaminya, di mana psikologi Fasisme dapat dipahami
dengan benar: Sebagai pengalaman nyata teror suci dan bukan teori-
teori ilmiah semu yang didasarkan pada spekulasi filosofis.
Bukan kebetulan bahwa selama periode ini Bataille juga meng-
hadiri—bersama Jean-Paul Sartre dan lainnya—ceramah-ceramah
yang diberikan oleh imigran Rusia Alexandre Kojève di Hegel.
Pembacaan Kojève terhadap filsuf Jerman sering kali disebut
versi ‘teroris’ dari Hegel—filsuf yang menyambut negativitas dan
kehancuran sebagai nilai-nilai absolut dan diperlukan dalam dialektik
historis. Saat diperdebatkan dari basis ini maka Marxisme dan Nazisme
memiliki nilai-nilai etika dasar yang sama. Eksperimen berbahaya
yang dilakukan Bataille dengan masyarakat rahasia Acéphale yaitu
upaya untuk menguji dalam pengalaman nyata yang dijalani terhadap
batas-batas gagasan ini. Proyek Acéphale tentu saja, sebagaimana
dikatakan oleh Bataille sendiri, yaitu ‘gila’.9
451
Bagian Tujuh: Medan Magnet
Namun dalam konteks akhir dekade 1930-an, saat Eropa sekali
lagi berlomba menuju bencana, rencana Bataille tidak terlihat lebih
gila daripada tindakan-tindakan yang disebut rasional daripada
politisi, jenderal dan penyandang dana yang bertanggung jawab bagi
apa yang dideskripsikan sebagai “gelombang pasang pembunuhan
yang menyapu seantero Eropa.”10 Pada akhir dekade tersebut, seperti
sebagian besar intelektual Paris yang satu generasi dengannya, Bataille
merasa putus asa terhadap politik dan meninggalkan proyek komunitas
atau kerja kolektif lainnya. Sebaliknya, ia berpaling kepada diri sendiri,
mempraktikkan yoga dan melihat visi ‘dunia yang terbakar’, sebuah visi
dalam yang akan segera menjadi ramalan mengerikan yang akurat.11
452
Pendahuluan: Otopsi terh
Pendahuluan: Otopsi terh
453
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
BAGIAN DELAPAN
Ibukota
Pengkhianatan
1940 – 1944
Paris paling indah saat seseorang akan
meninggalkannya.
Robert Brasillach,1945
adap Seorang Pelacur Tua
adap Seorang Pelacur Tua
454
Papan nama jalan berbahasa Jerman di Paris, 1942
455
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
39
Malam dan Kabut
Parisian biasa umumnya tidak mengetahui atau memedulikan
kedatangan dan kepergian elite intelektual Tepi Kiri. Namun, dunia
mereka jugalah yang akan dihancurkan selamanya oleh perang dan
pendudukan. Saat dekade terus berjalan, dan langit menjadi gelap
oleh datangnya konflik, suasana hati yang mendominasi di Paris
bagi semua orang, selain rasa takut, yaitu rasa ketidaknyataan.
Sejak pertengahan dekade 1930-an dan seterusnya, sudah jelas bagi
semua orang bahwa perang dengan Jerman akan segera terjadi dan
tak terhindari. Pertanyaannya hanyalah kapan perang tersebut akan
terjadi dan di pihak mana engkau akan berdiri.
Keluhan terhadap pemerintah mencapai puncaknya pada 1938,
saat Jerman menginvasi Austria. Front Populaire, yang sudah
lama mengalami kehancuran dari dalam, sekarang sepertinya sudah
ketinggalan zaman dan tidak relevan dalam dunia politik nyata.
Tidak seorang pun di dalam kabinet Prancis yang memiliki keahlian,
kelihaian, atau keberanian untuk menghadapi Jerman dengan benar
saat populasi sekarang mempersiapkan dirinya sendiri menghadapi
perang yang tidak diinginkannya. Pada September, Daladier, yang
kembali memegang kendali pemerintahan, menandatangani ke-
sepakatan memalukan dengan Jerman di Munich yang secara
efektif menyerahkan hak Prancis untuk menanggapi agresi Jerman.
Kesepakatan Munich mendapat dukungan dari kalangan Fasis,
tetapi mayoritas Parisian menganggapnya sebagai penghinaan besar.
Kesepakatan ini juga menempatkan negara dalam kondisi perang dan
selama berminggu-minggu sesudahnya jalanan di luar kota dipenuhi
oleh mobil dan gerobak berkuda yang membawa seluruh keluarga
keluar dari kota.
456
Tahun 1939 yaitu masa ketegangan aneh di Paris. Salah satu
efek tidak langsung dari undang-undang ketenagakerjaan yang
diberlakukan oleh Front Populaire yaitu tidak adanya keyakinan
dari para investor di Prancis. Nilai mata uang franc jatuh bebas dan
inflasi mulai melejit. Sementara itu, Mussolini dan Hitler membagi-
bagi wilayah-wilayah Eropa yang cukup luas dan sepertinya sesuka
hatinya. Tanggapan pers Paris yaitu mengabaikan tindakan agresi
ini sebagai provokasi tak bermakna, menyalahkan konspirasi Inggris-
Amerika dan Yahudi atau menyerukan ketenangan. Tidak satu pun
suara yang mengakui tanggung jawab Prancis atas kebangkitan Jerman
yang berbisa dan baru saja terjadi dari abu perjanjian Versailles tahun
1919. Lebih memalukan lagi, bahkan sebelum tembakan pertama
dilepaskan, sudah ada kolaborasi aktif dan terbuka antara otoritas
Jerman dengan para intelektual terkemuka seperti Pierre Drieu
la Rochelle, Robert Brasillach, dan Abel Bonnard. Para penonton
bioskop mulai terbiasa melihat aliran propaganda terus-menerus
tentang ‘la patrie’ dan film-film berita yang suram tentang penjualan
dan distribusi senjata. Hal ini terjadi dua tahun sebelum pemerintahan
Vichy yang berkolaborasi benar-benar bekerja untuk membongkar
semua yang telah diperjuangkan oleh Kiri Paris sejak 1789. Fakta
bahwa tahun 1939 yaitu ulang tahun ke-150 revolusi yang telah
mendorong kehadiran dunia modern telah berlalu tanpa disadari oleh
mayoritas Parisian.
Pada musim panas 1939, ruang berita yang diberikan bagi pers
populer tentang pengadilan Eugène Weidmann, seorang Jerman yang
merupakan seniman palsu dan pembunuh, sama banyaknya dengan
ruang berita tentang tatanan Eropa yang hancur dengan cepat.
Kejahatan Weidmann tidaklah spektakuler. Ia telah mencari korban di
kalangan turis di Paris selama pameran pada 1937 dan telah menusuk
mati seorang Amerika, seorang Alsatia, seorang Jerman lainnya dan
orang-orang lain. Ia tidak mendapatkan banyak uang dari kejahatannya
ini tetapi membuat kagum publik—terutama para wanita—dengan
pembawaannya yang dingin dan tingkah laku seksualnya sebagai
pemangsa. Para wanita dilarang mengenakan rok pendek di dalam
ruang sidang selama pengadilannya, walaupun mereka muncul dalam
jumlah ratusan. Mereka terkesima saat Weidmann dibawa ke guilotin
457
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
dalam apa yang akan menjadi eksekusi publik untuk terakhir kalinya
di Prancis.1
Meskipun ada yang berharap bahwa perang dapat dicegah, bahkan
dengan harga penghinaan lain yang setingkat dengan kesepakatan
Munich, ada lebih banyak orang yang sadar bahwa perang
tak terhindarkan. Satu fakta menyatukan kedua belah pihak: Ini
yaitu perang yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Mereka yang
paling takut akan perang yaitu para perwira senior dalam militer
Prancis yang sangat mengetahui bahwa dari semua gertakan tentang
Garis Maginot—sebuah barisan pertahanan yang tampak sangat
mengagumkan yang membentang di sepanjang perbatasan timur
negara—pasukan mereka tidak memiliki tekad ataupun sarana untuk
secara efektif menghadapi kekuatan mesin perang Nazi yang tak dapat
dihentikan.
Ketakutan Besar
Bulan Agustus 1939 juga tidak biasanya suram—langit kelabu oleh
atmosfer yang kelam dan stagnan. Seperti biasa, Parisian-Parisian yang
mampu melakukannya telah pergi ke laut atau ke pedalaman. Mereka
yang tetap tinggal mengomentari atmosfer yang mendung dan pengap
di jalanan kota. Kemudian, pada 22 Agustus, pengumuman adanya
pakta antara Jerman Nazi dengan Uni Soviet Stalin menghancurkan
kedamaian. Kurang dari seminggu kemudian, divisi-divisi Hitler
menyeberangi perbatasan Polandia. Pada 3 September, Inggris dan
Prancis berperang melawan Jerman.
Reaksi pertama terhadap perang di Paris yaitu ketidakpercayaan
yang mencengangkan, kemudian ketidakpedulian yang ironis saat
bisnis kembali seperti sediakala, atau senormal mungkin. Heran-
nya, pertengkaran dan insiden korupsi kecil yang telah mengerosi
kepercayaan publik terhadap para pejabat terpilih masih berlanjut.
Sepanjang musim dingin dan musim semi 1939 dan 1940, ada
semacam kondisi statis yang aneh pada saat, baik di masa sehat
maupun sakit, kehidupan Parisian umumnya terus berlanjut
seperti biasanya, sementara sebagian besar orang mengecilkan atau
458
mengabaikan ancaman dari timur. Teater dan aula musik masih terus
bermain di hadapan penonton yang penuh sesak, hanya kadang kala
melewati jam malam yaitu pukul 10 malam, yang bagaimanapun
juga baru diterapkan pada Januari 1940. Kebudayaan tinggi, untuk
sementara waktu, memengaruhi ketidakacuhan tinggi: produser
Gaston Baty mementaskan Phèdre di Théâtre Montparnasse. Cyrano de
Bergerac dan Madame sans gêne (‘Madam tanpa Rasa Malu’) berhasil
dipentaskan di Comédie Française. Penyair Paul Valéry, yang dikenal
sebab estetisismenya yang tinggi dan ketidakpeduliannya terhadap
dunia material, memberikan ceramah yang diterima dengan baik
tentang filsafat seni Prancis kepada para perwakilan dari lima akademi
pusat di Paris. Walau terlambat, pembatasan terhadap konsumsi
daging (warga diminta menjadi vegetarian selama dua hari dalam
seminggu) pun diberlakukan, tetapi sekali lagi mayoritas masyarakat
mengabaikannya (konsep tidak makan daging pada saat itu seperti
juga di masa kini yaitu sesuatu yang membingungkan bagi Parisian).
Cerobohnya, konsumsi bensin masih belum dibatasi dan perjalanan
ke pedesaan tetap menjadi rekreasi akhir pekan yang umum.
Sebagian besar Paris, mulai dari kelas pekerja ke atas, mengubur
rasa takut mereka terhadap perang dalam hedonisme tanpa batas.
ada sejumlah lagu populer, seperti ‘On ira pendre notre linge sur
la ligne Siegfried’ (‘Kami akan menggantung jemuran kami di garis
Siegfried’) oleh Ray Ventura dan ‘Paris sera toujours Paris’ (‘Paris akan
selalu menjadi Paris’) oleh Maurice Chevalier yang mempromosikan
bentuk tantangan paling kasar. Argumentasi paling populer masih
saja: “Mengapa kami kembali harus mati atau menderita bagi
orang-orang yang tidak kami kenal atau tidak pernah akan kami
temui?” atau “Biarkan Hitler mendapatkan Eropa jika ia sangat ingin
mendapatkannya.” Tidak ada rasa malu dalam mengungkapkan sikap
mengalah seperti itu bahkan dalam lingkaran-lingkaran paling radikal
di Kiri. Sebuah traktat bernama Paix immédiate (‘Perdamaian Segera’)
dibuat oleh anarkis Louis Lecoin, yang ditandatangani oleh rekan-
rekan terhormat dari kelas pekerja, seperti Jean Giono, dan diedarkan
di kafe-kafe dan bar-bar di Belleville.2
Suasana hati di kalangan prajurit, jika ada, lebih mengalah
lagi. ada sejumlah perwira senior yang tanggap dan energik
459
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
seperti Charles de Gaulle yang melihat kelemahan dalam Garis
Maginot dan menyerukan pelatihan ulang bagi para prajurit untuk
mengatasi taktik baru Jerman yaitu blitzkrieg (serangan kilat) yang
menghancurkan (bentuk peperangan ini pada dasarnya yaitu
penaklukan wilayah musuh yang sangat gesit dan sepenuhnya tanpa
ampun). Tidak seorang pun mau mendengarkan mereka dan tidak
ada yang bisa menggembleng para prajurit. Selain sifat mengalah,
kemabukan yaitu masalah utama di garis depan. Stasiun-stasiun
kereta api Paris bahkan mendirikan salles de deséthylisation khusus
untuk menghilangkan pengaruh alkohol dari para prajurit baru yang
berangkat ke garis depan yang begitu mabuk sehingga mereka hampir
tidak bisa berdiri. Sementara itu, di sepanjang garis depan sendiri,
para prajurit menghabiskan waktu dengan bermain kartu, sepak bola
atau mendengarkan suara-suara orang Jerman yang bersahabat di sisi
lain garis depan yang memohon kepada mereka, “Jangan mati untuk
Danzig! Jangan mati untuk orang Polandia atau orang Inggris! Kami
tidak akan mulai menembak jika kamu tidak menembak.”3
Tentu saja ini semua hanyalah tipuan. Pada awal Mei 1940,
divisi-divisi Jerman bergerak maju melalui Belanda dan Belgia,
membersihkan apa pun yang ada di hadapannya. Saat tentara Jerman
bergerak tanpa henti ke arah Paris, teater-teater dan restoran-restoran
tetap saja beroperasi seperti biasa. Dengan semakin banyaknya
pengungsi yang tiba di kota maka pemerintah, yang sekarang yaitu
sebuah koalisi yang dipimpin oleh Paul Reynaud, terus mengeluarkan
sejumlah instruksi. Sebagian besar instruksi ini membingungkan dan
berlawanan, menegaskan bahwa pemerintah akan bertahan di ibukota,
bahwa semua orang harus bersabar dan bahwa Paris akan bertempur.
Namun, banyak Parisian dan mereka yang melewati kota
menganggap melarikan diri yaitu satu-satunya pilihan realistis.
Dalam minggu-minggu terakhir bulan Mei, jalan-jalan ke luar
kota mulai dipenuhi oleh mobil, gerobak berkuda, bus dan gerobak
dorong saat mereka yang bisa keluar kota mulai bergerak. Kepanikan
ini disebut la grande peur (‘ketakutan besar’) oleh pers. Lebih dari
seperempat penduduk berada di jalanan keluar dari kota dalam setiap
saat. Mereka sering kali ditembaki oleh pesawat terbang Jerman hanya
untuk bersenang-senang dan, jika mereka bisa, mereka kembali ke kota
460
dengan perasaan terhukum dan takut tentang apa yang akan terjadi
selanjutnya. Ribuan anak terpisah dari keluarga dalam kebingungan.
Banyak dari mereka yang tidak akan pernah bertemu kembali dengan
orangtuanya.
Pada 16 Mei, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, yang
memimpin sebuah pemerintahan koalisi darurat yang baru berumur
beberapa hari, datang ke kota untuk bertemu dengan pemerintah
Prancis dan komando tinggi. Ia terkejut melihat kekacauan. Sementara
Churchill kembali ke London, Reynaud memimpin doa kepada Santa
Geneviève di Notre-Dame. Pada akhir minggu pertama Juni, dan
walaupun sebelumnya mereka membantah akan melakukannya,
pemerintah pergi menuju Tours.
Dalam hitungan hari, bombardemen berat Jerman dimulai.
Hingga 10 Juni, saat jumlah pengungsi yang melarikan diri dari
Paris menjadi begitu banyak, komando militer memperdebatkan
cara mempertahankan kota. Akhirnya pada 11 Juni, Jenderal
Maxime Weygand mengumumkan bahwa Paris yaitu ‘kota terbuka’.
Keputusannya diambil berdasarkan pertimbangan militer yang baik—
tidak mungkin kota bisa bertahan menghadapi serangan serius apa
pun dari udara atau artileri dan sudah jelas bahwa pembantaian dan
penderitaan lebih banyak dapat dicegah melalui taktik berani ini. Para
prajurit dari angkatan darat ke-17 di bawah pimpinan Jenderal von
Kuchler memasuki Paris pada tanggal 14 Juni pada pukul 5.30 pagi.
Dua divisi bergerak maju secara beriringan menuju Menara Eiffel dan
Arc de Triomphe. Pada tengah hari, Jenderal Bogislav von Studnitz
telah mendirikan markasnya di Crillon Hotel di Place de la Concorde.
Tidak ada pertempuran, atau tanda perlawanan sedikit pun. Bagi
orang-orang Jerman, dan terutama bagi Hitler, ini yaitu bukti atas
teori yang diterima secara umum tentang kemerosotan moral orang
Prancis.
“MATILAH orang Yahudi!”
Namun, ada masalah ras yang lebih mendesak untuk diatasi oleh
orang Jerman di Paris daripada kelemahan orang Prancis. Penyiksaan
461
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
terhadap Parisian Yahudi dimulai hampir segera sesudah orang Jerman
mengambil alih kontrol kota. Orang Jerman menemukan banyak
sekutu yang siap membantu dalam otoritas kota dan terutama polisi
Paris, yang lebih dari senang untuk mengalihkan emosi campuran,
yaitu penghinaan dan kebencian terhadap diri sendiri yang dipicu
oleh Pendudukan, kepada musuh dari dalam yang diciptakan.
Orang Jerman mengumumkan sendiri kehadirannya secara tiba-
tiba dan sangat kuat di tingkat jalanan melalui berbagai rambu jalan
dalam bahasa Teuton yang dibenci, mengarahkan para penutur bahasa
Jerman menuju fasilitas-fasilitas militer dan hiburan di seantero kota.
Salah satu pengunjung Jerman pertama ke Paris yaitu Adolf Hitler
sendiri. Ia melakukan tur ibukota selama tiga jam pada pagi hari
tanggal 24 Juni dengan didampingi oleh arsitek Nazi Albert Speer dan
seniman Arno Breker, keduanya yaitu pengagum berat kota Paris.
Untuk semakin mempermalukan Prancis, Hitler telah mengatur agar
penyerahan kota dilakukan di gerbong kereta api di hutan Compiègne
tempat orang Jerman sendiri dua puluh tahun sebelumnya telah
dipermalukan oleh Perjanjian Versailles. Sebuah film propaganda
Inggris diedit secara saksama untuk menampilkan Hitler menari
seperti orang gila; para pemirsa di Jerman melihat versi yang lebih
otoritatif dari adegan yang sama di mana Hitler mengentakkan kaki
keras-keras ke lantai gerbong, mengambil sikap historisnya sebagai
komandan militer terbesar sepanjang zaman.
Faktanya, inilah satu-satunya kunjungan Hitler ke kota. Sebagai
tanda kemenangannya, diambil sebuah foto Hitler yang sedang berdiri
di Trocadéro yang luas dan kosong, dibingkai oleh Menara Eiffel—
simbol besar modernitas abad ke-19 yang berdampingan dengan
inkarnasi langsung fanatisme abad ke-20. Beberapa hari sesudah
kunjungannya, Hitler mencatat pandangannya tentang Paris. “Saya
sangat bersyukur kepada nasib sehingga dapat melihat kota yang
auranya selalu merasuki saya,” katanya. “Sudah menjadi kewajiban
kami di berbagai tingkatan untuk melestarikan keajaiban kebudayaan
Barat ini tanpa kerusakan. Kami telah berhasil.”
Transformasi kota di bawah kekuasaan Jerman sangat cepat
dan sepertinya tak terbendung. Selama periode awal Pendudukan,
orang Jerman menempatkan sejumlah garnisun di seantero Paris
462
selain sebuah markas besar Gestapo. Pusat semua operasi ini yaitu
Hotel Majestic di Avenue Kléber, ‘Militärbefehlshaber in Frankreich’
(‘Komando Tinggi Prancis’) di bawah kontrol Hans Speichel dan tokoh
penulis, prajurit dan mistik Ernst Jünger yang tahu bersopan santun
tetapi kejam. Misi spesifik mereka tidak hanya untuk membangun nilai
strategis Paris dari sudut pandang militer tetapi juga untuk memulai
operasi yang lebih besar yaitu membersihkan kehadiran Prancis secara
budaya di Eropa. Aspek khusus strategi ini dirancang dan diterapkan
dari ‘Propagandastaffel der Gross Paris’ (‘Divisi Propaganda Paris
Raya’), sebuah biro di bawah kendali Helmut Knochen yang tegas di
57 Boulevard Lannes.4
Knochen yaitu penggosip yang canggih dan licik. Sebagian besar
waktunya di Paris dihabiskannya untuk mengorganisasi pesta-pesta
makan malam yang rumit. Selama pesta-pesta tersebut, ia akan memuji
tamu-tamunya baik yang mau berkolaborasi maupun yang tidak mau
berkolaborasi dari industri, seni dan jurnalisme agar mau berbagi
anggur, makanan dan informasi tentang perpolitikan dan ekonomi
Prancis. Kerja keras penyiksaan dan pembunuhan diserahkan kepada
deputinya, Kurt Lischka, penduduk asli Breslau, yang mendapatkan
reputasi dalam lingkaran Nazi sebab kekerasan dan keefektifan
metodenya. Salah satu metode penyiksaan yang paling disukai
Lischka—dan yang memicu gelak tawa dalam pesta-pesta Knochen
sebab kebaruan dan gaya lucunya—yaitu hanya memberi makan
ikan hering kering kepada para tawanan selama berhari-hari. Lischka
sendiri memuji dirinya sendiri sebab fakta bahwa tawanan paling
tangguh sekalipun tidak bisa bertahan lebih dari dua hari menghadapi
siksaan ini. Lischka juga dikagumi atas perhatiannya terhadap detail.
Tugas pertamanya saat menduduki jabatan tersebut yaitu memesan
lebih banyak pasokan bagi markas besarnya sendiri di 11 Rue de
Saussaie. Pasokan tersebut termasuk: lima puluh peti mati untuk
ditambahkan kepada pasokan yang sudah ada; 150 pasang borgol;
tirai tebal untuk mobil-mobil van yang membawa para tawanan untuk
dieksekusi; 2.000 liter bahan bakar untuk membakar mayat-mayat
orang yang dieksekusi di permakaman Père-Lachaise; wiski, anggur,
dan makanan kecil untuk regu-regu eksekusi.
Salah satu tugas besar pertama Lischka di Paris yaitu mulai
463
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
menyortir ‘masalah Yahudi’. Dalam waktu beberapa minggu sesudah
Pendudukan, para penonton bioskop diberi tahu bahwa jatuhnya
negara mereka sepenuhnya yaitu konspirasi orang Yahudi,
Freemason dan Anglo-Saxon, yang satu-satunya kepentingan mereka
yaitu ketamakan dan kehancuran cara hidup orang Prancis pekerja
biasa. Film-film ini, dengan judul seperti Le Péril juif (‘Bahaya Yahudi’,
yang saat itu dianggap sebagai adikarya), Les Corrupteurs (‘Para
Koruptor’) dan Forces occultes (‘Kekuatan Okultisme’), yaitu drama-
drama mini yang tidak malu-malu dalam menggambarkan orang-
orang Yahudi jahat berhidung bengkok sedang terkekeh melihat
kehancuran kebudayaan Kristen. Semua film ini dibuat skenarionya
dengan sangat baik, diambil gambarnya dengan indah dan sangat
akurat dalam menggunakan geografi Paris (Rue Cadet, markas besar
Freemason Paris sejak abad ke-18 yaitu motif yang sering muncul).
Pada musim gugur 1941, sebuah pameran berjudul ‘Orang Yahudi dan
Prancis’ diorganisasi oleh otoritas Prancis dan Jerman di Boulevard
des Italiens. Pameran ini menarik ribuan pengunjung tetapi sedikit
sekali atau tidak mendapat kecaman publik atau privat. Pameran ini
disebut ‘sangat penting secara edukasi’ dan para pengunjung dengan
cepat dipandu menuju laba-laba sangat besar yang tergantung di atas
pintu masuk. Mereka diberi tahu bahwa ‘laba-laba tersebut mewakili
orang Yahudi yang berpesta memakan darah Prancis kita’. Gambar
lainnya yang diproyeksikan dalam pameran ini dan film-film yang
mendampinginya yaitu orang-orang Yahudi merupakan elite non-
Eropa yang jahat dan sangat kaya (‘seperti serangga, seperti parasit’)
yang memakan hasil kerja orang Prancis yang baik.5 Sering kali
disebutkan bahwa salah satu alasan mengapa banyak Parisian belum
pernah melihat orang Yahudi yaitu sebab orang Yahudi semuanya
tinggal di istana atau tempat-tempat seperti Riviera Prancis.
Pada kenyataannya, sebagian besar orang Yahudi Paris tinggal
di Marais—Pletzel (‘tempat kecil’ dalam bahasa Yahudi)—tempat
mereka datang dalam sejumlah gelombang sejak 1880 dan seterusnya,
melarikan diri dari kemiskinan dan penindasan di Eropa timur. Marais
yaitu rumah bagi sebagian dari mereka dan bagi sebagian lainnya
yaitu tempat pemberhentian sebelum bermigrasi ke benua Amerika
atau Palestina. Saat itu, Marais yaitu salah satu tempat yang paling
464
diabaikan dan kotor di Paris, tetapi setidaknya hingga awal dekade
1930-an, tempat itu relatif bebas dan, sejauh mereka bisa, merupakan
komunitas yang imun dari sentimen anti-Yahudi yang kadang kala
beredar di kota. Sebagian besar Parisian ‘Gentile (non-Yahudi)’, apa
pun pendapat mereka tentang masalah Yahudi, tidak memiliki urusan
di bagian kota ini dan jarang sekali (jika mereka memang pernah ke
sana) melakukan kontak dengan siapa pun yang hidup di sana.
Namun, pers Paris berkolaborasi menyerukan untuk melawan
‘orang-orang asing beracun ini’. Retorika umum semacam itu dimuat
dalam artikel di Au Pilori pada bulan Maret 1941 yang hampir saja
menyerukan pemusnahan ras Yahudi:
MATILAH orang Yahudi! Kematian bagi semua orang yang jahat, jelek,
kotor, menjijikkan, Negroid, blasteran, Yahudi! Matilah! Matilah orang
Yahudi! Ya. Ulangi itu. MATI! M.A.T.I.L.A.H. ORANG YAHUDI! sebab
orang Yahudi bukanlah manusia. Ia hewan yang bau. Kami membela diri
terhadap kejahatan, terhadap kematian—dan oleh sebab itu terhadap
orang Yahudi!
Perlu disebutkan bahwa editorial ini tidak ditulis oleh seorang
Jerman tetapi seorang penduduk asli Paris. Pada Agustus, undang-
undang pertama bagi orang Yahudi dikeluarkan dan hanya me-
munculkan sedikit komentar dari Parisian lainnya. Orang Yahudi
dilarang menggunakan kolam renang, hanya diizinkan untuk
berbelanja selama jam-jam tertentu dan dipaksa untuk menaiki
gerbong terakhir metro. Mereka tidak diizinkan untuk menggunakan
telepon, mengantre makanan, menjalankan bisnis atau mengendarai
sepeda. Mereka juga tidak bisa pindah rumah, mengajar di pendidikan
tinggi atau mengambil bagian dalam kehidupan publik. Pada 29 Mei
1942, mereka dipaksa mengenakan Bintang David Kuning. Sebuah
perusahaan Prancis bernama Barbet-Massin, Popelin Ltd dengan
senang hati menyediakan 5.000 meter bahan yang dibutuhkan untuk
membuat setidaknya 400.000 bintang, yang harus dikenakan oleh
semua orang Yahudi yang berusia lebih dari enam tahun di muka
publik—“cukup terlihat di dada sebelah kiri, dijahitkan secara hati-
hati ke pakaian,” menurut peraturan.6
Ketegangan publik naik satu tingkat pada malam 2 Oktober 1941,
465
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
saat ketenangan malam Paris dipecahkan oleh serangkaian ledakan
di pagi buta. Bom-bom berledakan di seantero kota—di Rue des
Tourelles, Rue Notre-Dame-de-Nazareth, dan Rue de la Victorie;
yang semuanya ditujukan ke sinagoge. Tidak ada penjelasan yang
baik tentang bom-bom tersebut. Orang Jerman—yang tentu saja telah
membuat insiden ini—menjelaskannya sebagai pembunuhan spontan
yang dibuat oleh Parisian yang marah atas kerusakan yang telah
dilakukan orang Yahudi terhadap kota. Di fajar yang gelap, Parisian
Yahudi gemetar dan menunggu situasi bertambah buruk.
***
Mereka tidak perlu menunggu lama. SS-Hauptstrumführer Theodor
Dannecker telah ditugaskan di kota sejak September 1941. Dannecker,
yang baru berusia 27 tahun, datang ke Paris dengan rekomendasi tinggi
tidak kurang dari Adolf Eichmann sendiri, birokrat favorit Hitler.
Ia berpikiran praktis dan merupakan manajer urusan Yahudi yang
efisien dan kejam, yang akan segera memainkan peran kunci dalam
pengembangan dan penerapan ‘Solusi Final’ di Prancis. Dannecker
memiliki kebencian mendalam terhadap orang Yahudi, yang membuat
tugas sangat besar dalam konteks logistik bagi perencanaan dan
pelaksanaan pembunuhan massal menjadi lebih mudah.
Secara efektif, Dannecker datang ke Paris tidak untuk membuat
propaganda tetapi untuk membunuh. Di bawah tangan tegasnya,
aktivitas-aktivitas anti-Yahudi di Paris dengan cepat berpindah dari
pameran, artikel surat kabar, film, dan lelucon, menjadi deportasi
terorganisasi ke timur. Pada akhir 1944, sudah ada perasaan anti-
Yahudi yang cukup besar di kalangan publik di kota—seorang ahli mata
bernama Lissac telah menempelkan sebuah slogan yang mengatakan
bahwa ‘Lissac bukanlah Issac’ dan Café Dupont yang populer di
Quartier Latin telah memasang penanda lucu yang menyatakan bahwa
kafe tersebut tertutup untuk ‘anjing dan orang Yahudi’. ‘Pengumpulan’
pertama atau rafle telah dimulai pada awal 1941, saat para imigran
Yahudi miskin ke Paris ‘diundang’ untuk memberitahukan keberadaan
mereka kepada polisi. Segera saja, orang-orang ini mendapati diri
mereka di dalam penjara di Beaune-la-Rolande atau Pithiviers.
466
“Angin Musim Semi”
Bagi Dannecker, ini yaitu cara yang amatir dan sangat lambat untuk
mengatasi masalah. Ia tidak hanya memperhatikan orang Yahudi
‘eksotis’ dari Eropa timur yang berkerumun di Pletzel tetapi juga
kelas-kelas profesional yang sudah menjadi Galia, para ‘integrasionis’,
yang bekerja di dalam tubuh kehidupan Prancis seperti kanker yang
tersembunyi tetapi berbahaya. Solusi nyata bagi masalah ini yaitu
untuk bertindak dalam skala lebih besar dan lebih ambisius. Di kantor-
kantor bangunan Gestapo di Avenue Foch, Dannecker menyampaikan
sebuah rencana kepada para atasannya yang disebutnya ‘Vent
Printainier’ (‘Angin Musim Semi’). Tujuan dari operasi ini yaitu ,
dengan koordinasi otoritas Paris, untuk mengirimkan 28.000 orang
Yahudi ke timur atau mengurus mereka dengan cara lain. Rencana
dengan skala seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya,
tetapi jika berhasil, rencana ini akan menyediakan cetak biru untuk
mengurus orang Yahudi di bagian-bagian lain Eropa yang diduduki
oleh Nazi.
Dannecker didorong oleh ambisi dan kecintaan sejati pada
pekerjaannya. saat ia menerima persetujuan dari Komando Tinggi
Jerman bagi operasi ‘Angin Musim Semi’, ia segera mulai bekerja
dengan antusiasme yang tidak pernah terjadi sebelumnya yang
bahkan diperhatikan oleh para koleganya sebagai melebihi panggilan
tugas. Masalah utamanya yaitu meyakinkan otoritas Paris dan
otoritas militer tentang nilai penting dan kelayakan rencana ini. Ia
kemudian bisa menonton rencana ini bergerak. Tidak seorang pun
dalam otoritas Paris yang melakukan penolakan dalam pertemuan
pertama maupun pertemuan-pertemuan lanjutan dengan Dannecker,
walaupun ditunjukkan bahwa tanggal pertama yang diproyeksikan
untuk rafle—malam tanggal 13 – 14 Juli—mungkin agak bermasalah
sebab penduduk akan merayakan Hari Bastille dan mereka mungkin
tidak cukup sadar atau kooperatif. Dengan enggan, mengikuti saran
kolega-kolega Prancisnya, Dannecker menggeser tanggalnya menjadi
16 Juli.
Banyak orang dalam berbagai komunitas Yahudi di kota sudah lama
menyadari bahwa sebuah operasi besar sedang direncanakan. Sebagian
467
Bagian Delapan: Ibukota Pengkhianatan
sebab akal sehat dan intuisi; sebagian lainnya seperti kelompok
perlawanan Yahudi bawah tanah ‘Solidarité’ telah mendapatkan
informasi konkret dari para informan dan simpatisan. Namun, tidak
seorang pun tahu tanggal pastinya atau apa tepatnya yang akan terjadi.
Kejadian-kejadian di jalanan Paris pada 16 Juli membuat terkejut
Parisian Yahudi dan juga Parisian non-Yahudi.
Dannecker menjelaskan bahwa, agar operasi ini bisa berjalan,
‘Angin Musim Semi’ harus dilihat sebagai sebuah operasi Prancis.
Oleh sebab itu, ia membentuk hampir sebanyak 900 tim petugas
penahanan. Seluruh pihak penegak hukum kota yang berjumlah
sekitar 9.000 orang dilibatkan. Perintah penahanan sudah jelas: “Segera
sesudah identitas orang Yahudi yang terdaftar telah dikonfirmasi, para
penjaga melanjutkan dengan penangkapan, tanpa memperhatikan
protes atau argumentasi apa pun”: “Setiap orang Yahudi akan dibawa
ke pusat pengumpulan awal, tanpa memperhatikan kondisi kesehatan
tawanan.”7 Pada pukul empat pagi, rumah semua orang Yahudi di
seantero Paris didatangi oleh polisi Prancis. Pada awalnya, keluarga-
keluarga Yahudi merasa lega mendengar suara petugas penahanan
yang berbahasa Prancis. Mereka kemudian melihat bahwa bangunan
dikosongkan secara sistematis. Keluarga-keluarga Yahudi yang sedih
membawa apa pun yang bisa mereka bawa menuruni tangga sementara
bus-bus dan van-van dari Compagnie des Transports menunggu
secara mengancam di sudut jalan. Sejumlah kecil Parisian non-Yahudi
yang sudah bangun pada jam tersebut—para pekerja, pelayan restoran,
pembantu rumah tangga, pengurus apartemen—melihatnya dengan
tak berdaya dan sebagian besar dengan rasa kasihan.
Pada tengah hari, ada sekitar 7.000 orang—4.000 di antaranya
yaitu anak-anak—dijejalkan ke dalam Vélodrome d’Hiver, arena
bersepeda di Rue Nelatour yang dikenal Parisian sebagai ‘Vél d’Hiv’.
Selama berminggu-minggu, arena ini menjadi kamp sementara untuk
keluarga-keluarga yang memiliki anak-anak. Orang Yahudi lainnya
langsung dikirim ke Drancy, sebuah stasiun kereta api di daerah
pinggiran utara dan titik awal bagi perjalanan ke timur yang kejam.
Walaupun Dannecker berupaya keras melakukan pengorganisasian,
suasana di Vél d’Hiv kacau. Tidak ada makanan dan sedikit sanitasi
(sepuluh toilet untuk 7.000 orang). ada sejumlah percobaan
468
bunuh diri—termasuk sepuluh yang berhasil: sebagian besar cukup
hanya melompat dari atap tribun. Sebagian wanita melahirkan anak.
Diare dan disentri datang dengan cepat; kematian bagi banyak orang
segera menyusulnya. Otoritas Prancis dan Jerman memerintahkan
agar hanya ada dua dokter yang tersedia setiap saat. Dalam momen
kemurahan hati yang jarang terjadi, André Baur, sekretaris jenderal
‘Union Générale des Israélites en France’, diizinkan untuk mengunjungi
Vél d’Hiv pada malam tanggal 16 Juli. Ia nantinya menjelaskan suasana
dari hari kiamat: “Para perawat menitikkan air mata,” tulisnya; “para
polisi merasa sedih.” Seorang dokter dari organisasi yang sama
menangis melihat seorang gadis muda memohon agar diizinkan
melihat orangtuanya: “Ia sedang sakit. Dengan matanya terus menatap
ke wajahku, ia memohon kepada saya untuk meminta para prajurit
agar membiarkannya pergi. Ia telah menjadi gadis kecil yang baik
sepanjang tahun; tentu saja ia tidak layak dimasukkan ke penjara.”8
Tidak perlu waktu lama sebelum Pierre Laval, kepala pemerintahan
yang sekarang berada di Vichy, menandatangani perintah yang meng-
izinkan pendeportasian anak-anak Yahudi. Dalam hal ini, pemerintah
Prancis yang berkolaborasi secara menjijikkan menunjukkan bahwa
mereka tidak hanya mampu tetapi memiliki rasa tujuan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan sendiri ‘Solusi Final’. Herannya,
operasi ‘Angin Musim Semi’ dianggap relatif gagal—terlalu banyak
dari 28.000 orang Yahudi yang diproyeksikan telah melarikan diri atau
melakukan bunuh diri. Adolf Eichmann memberikan komentarnya
kepada Hitler bahwa ia selalu meragukan tekad Parisian untuk
menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar. Dannecker sendiri
dipanggil kembali ke Berlin dan digantikan oleh Heinz Rothke, yang
tiba di Paris dengan perintah singkat untuk membiarkan program
deportasi Prancis tetap dilaksanakan sepanjang otoritas Prancis
sendiri menunjukkan komitmen kepada tujuan tersebut. Namun, tidak
diperlukan waktu lama sebelum permesinan yang telah disiapkan oleh
Dannecker mulai bekerja dan kereta-kereta api mulai memindahkan
semua orang Yahudi ke Drancy—dijuluki ‘Pitchipoi’ oleh anak-anak
yang berpikir bahwa mer