Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 14

 


aan, dan seks dalam 

taraf yang relatif setara. Saat undang-undang Prohibition (Pelarangan) 

di Amerika Serikat mencapai puncaknya, Paris tidak hanya menjadi 

tempat berlindung bagi Bohemian dan mereka yang tidak puas tetapi, 

bagi orang-orang kaya Amerika, juga menjadi kombinasi ideal bar 

koktail yang sangat isinya bervariasi dan berlimpah dengan rumah 

bordil. Nama-nama paling terkenal termasuk Ernest Hemingway, Scott 

Fitzgerald, John Dos Passos, dan Gertrude Stein yang apartemennya 

di Rue de Fleurus berfungsi sebagai semacam kedutaan besar 

kesusastraan Amerika. Namun, markas besar sejati bagi kesusastraan 

orang Amerika di pengasingan yaitu  toko buku Shakespeare and 

Company di Rue de l’Odéon. Toko ini dipelihara dan dikelola oleh 

Andrienne Monnier yang tangguh, yang tidak gentar membiayai 



434

dan mempromosikan karya-karya James Joyce saat  semua otoritas 

berbahasa-Inggris telah mengutuknya baik secara resmi maupun tidak 

resmi sebab  dianggap tak terbaca atau cabul.

Dari sudut pandang orang sastra di pengasingan, Paris pada 

dekade 1920-an yaitu  istana modernisme yang sangat hebat. Pusat 

dari semua aktivitas ini, dalam hal seni lukis, sastra, minuman keras, 

dan seks yaitu  Montparnasse. Tidak seorang pun bisa menjelaskan 

dengan baik mengapa kelompok-kelompok avant-garde telah me-

ninggalkan Montmartre—yang kehidupan pribuminya masih tetap 

berlangsung seperti sebelumnya—dan bahkan sekarang ada  

teori-teori yang bertolak belakang tentang pergeseran demografi ini 

(Montparnasse pernah dipenuhi oleh orang Eropa Timur, termasuk 

Lenin dan Trotsky), perubahan dalam hal selera makanan, minuman, 

dan tata krama (Montparnasse pernah—dan bahkan masih—memiliki 

sejumlah bar paling elegan dan kosmopolitan di Paris di La Coupole 

atau Le Sélect). Fakta paling penting yaitu  bahwa Montparnasse 

sepertinya tepat secara fisik bagi puncak modernisme abad ke-20; 

Montparnasse tidak terlalu bersifat desa, tidak terlalu berharga dan 

tidak terlalu bersifat nostalgia dibandingkan Montmartre. Pada saat 

itu, dan sekarang, menjadi tempat bertemunya pandangan-pandangan 

tajam dan kebudayaan metropolitan yang tak kenal kompromi dan 

bertekad bulat.

Dampak kehadiran orang Amerika di Paris tidaklah besar, dan 

bahkan hampir tidak dirasakan oleh Parisian biasa pada periode 

tersebut. Sedikit sekali orang Amerika yang bisa berbicara dalam 

bahasa Prancis dan bukan sekadar kata-kata sederhana. Keterlibatan 

mereka sendiri dengan kebudayaan nyata Paris—berbeda dengan 

gosip kalangan sendiri dari elite kaya—terutama terbatas kepada para 

penulis, pelacur, atau mucikari. Dalam hal ini, komunitas Amerika 

mirip dengan sebuah koloni, walaupun tidak seperti orang Prancis 

mereka tidak memiliki kekaisaran. Di antara segelintir orang Amerika 

yang berupaya untuk memahami arus politik dan intelektual pada 

periode tersebut yaitu  penulis muda Paul Bowles, yang saat itu sedang 

berada di awal kariernya yang akan membawanya ke seantero dunia 

dalam mengejar perasaan selalu menjadi orang luar. Di Paris, Bowles, 

yang saat itu masih tidak yakin atas seksualitasnya, diperkenalkan 


435

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

kepada sekelompok kecil yang memiliki minat yang sama dengannya 

di sekitar Gertrude Stein. Namun, ketertarikannya sebenarnya yaitu  

dalam petualangan Surealis dan ia berupaya melakukan kontak dengan 

kelompok tersebut, bahkan menerbitkan sejumlah puisi sederhana 

dalam jurnal proto-Surealis bernama transitions. Bowles bahkan bisa 

melakukan wawancara dengan Tzara yang hebat dan mengagumi 

koleksi topeng Afrika miliknya. Namun bagi penulis muda ini, 

Tzara lebih terlihat sebagai ‘seorang dokter daripada seorang penyair 

surealis’. Bowles tidak terlalu kecewa tentang hal ini tetapi itu menjadi 

titik awal bagi kehanyutannya ke arah tanah Afrika Utara yang benar-

benar asing dan menantang daripada Paris yang intelektual dan kelabu 

yang dianggapnya sebagai tersia-sia dan hampa.6



436

38

Tibanya Kegelapan

Keriangan ingar-bingar dan hedonisme dekade 1920-an hanya 

berlangsung selama beberapa tahun dan bagaimanapun juga hanya 

dinikmati oleh elite istimewa yang sebagian besar anggotanya bukanlah 

Parisian ataupun orang Prancis. Di luar brasserie-brasserie krom dan 

baja Montparnasse yang bergaya, model-model telanjang, seniman-

seniman alkoholik dan para pengasingan yang hidup bebas, suasana 

hati yang mendominasi Paris pada akhir dekade tersebut yaitu  rasa 

takut. Perasaan paling umum yaitu  rasa takut akan adanya perang 

lain yang memang ada pembenarannya. Namun, ada  pula bahaya 

lain yang lebih dekat, yang sepertinya menampilkan ancaman tidak 

langsung terhadap kesejahteraan kelas pekerja Paris yang rentan dan 

diperoleh dengan kerja keras.

Kekhawatiran yang paling meluas terinspirasi oleh perubahan 

radikal dalam populasi Paris sejak pergantian abad yang telah 

dipercepat oleh perang. Pada akhir 1920-an dan awal 1930-an, Paris 

terisi penuh oleh banyak ras dan bahasa berbeda yang lebih banyak 

daripada masa sebelumnya, bahkan jika hal ini tidak terlihat oleh 

para turis budaya dari kalangan berada. Pada awal abad, Prancis pada 

dasarnya yaitu  negara berpenduduk jarang dan—tentu saja jika 

dibandingkan dengan London atau New York—Paris relatif masih 

merupakan kota yang lapang dan homogen secara ras. Hilangnya 

satu generasi sebab  perang harus digantikan entah dengan cara 

bagaimana dan pekerja migran yaitu  cara termudah dan termurah 

untuk mencapainya. Bahkan inilah satu-satunya solusi. Dampak 

imigrasi masif ke Prancis sangat besar. Di Paris pada 1921, orang asing 

mewakili 5 persen dari populasi. Pada 1930, angka ini telah berlipat 

ganda. Tingkat kejahatan melejit pada periode yang sama dan polisi 



437

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

dengan senang hati melaporkan bahwa seperempat kejahatan yang 

terjadi di kota telah dilakukan oleh orang asing.

Parisian dari kelas pekerja, yang gaya hidup dan mata pen-

cahariannya sering kali dianggap menghadapi bahaya oleh partai-

partai politik dari kedua ujung spektrum politik, sering kali merasakan 

ancaman nyata. Hal ini sebagian merupakan tanggapan yang bersifat 

insting dan tidak ada gunanya terhadap pergeseran campuran budaya 

kota, tetapi sering kali dimanipulasi di tingkat jalanan oleh para 

pemimpin politik yang mencoba menunjukkan kerapuhan bangsa 

Prancis. Bangkitnya Fasisme di Italia dan ketidakpastian iklim di 

seantero Eropa tidak mampu menghilangkan rasa takut Parisian akan 

terjadinya benturan dengan kekuatan kapitalisme dan pemerintah 

yang lebih besar. “Sampah dunia tiba di Prancis dan telah datang untuk 

mengambil alih Paris” yaitu  pandangan yang disuarakan secara luas 

di jalanan dan di surat kabar.

Kata yang juga banyak digunakan dalam pers pada saat itu 

yaitu  métèque, sebuah neologisme dari kata Yunani kuno yaitu 

metic yang digunakan untuk orang-orang asing yang tidak memiliki 

kewarganegaraan di sebuah kota Yunani. Kata ini diperkenalkan ke 

dalam bahasa Prancis oleh seorang sayap kanan bernama Charles 

Maurras pada dekade 1890-an, pada puncak peristiwa Dreyfus, dan 

menjadi terbiasa digunakan untuk orang-orang asing di Prancis. 

Penggunaannya selalu bersifat menghina terutama dalam konteks 

rasis. Dalam kaum Kanan dan kaum Kiri, saat krisis ekonomi semakin 

dalam sesudah  terjadinya Kejatuhan Wall Street pada 1929, semakin 

banyak jari yang ditudingkan kepada para métèque sebagai penyebab 

segala penyakit yang diderita Prancis. Kekerasan rasis menjadi biasa 

di seantero negeri seperti juga di Paris: orang-orang Italia berulang 

kali diserang di Lyons, orang-orang Maroko dibunuh di Marseilles. Di 

Saint-Denis, di enklave yang sekarang menjadi Komunis garis keras di 

luar Paris, ada  sorakan kencang di bar-bar, kafe-kafe, dan bioskop-

bioskop pada awal 1931 saat  pemerintah mengumumkan bahwa 

para pekerja asing mulai sekarang akan membayar pajak yang lebih 

tinggi daripada para pekerja Prancis. Slogan ‘La France aux Français’ 

(‘Prancis untuk orang Prancis’) menjadi teriakan slogan serbaguna 

bagi kaum Kiri, walaupun Maurice Thorez, pemimpin Komunis yang 



438

tangguh dan lihai, nantinya menjelaskan bahwa slogan itu hanyalah 

formula untuk membersihkan negara dari para mata-mata dan agen 

asing lainnya.1

Kelompok pertama yang cukup besar yang menetap di Paris 

selama periode ini yaitu  orang Italia. Banyak dari mereka melarikan 

diri dari rezim Mussolini (laju migrasi bertambah pesat sesudah  

Mussolini berbaris menuju Roma pada 1922). Mereka dikenal sebagai 

fuorisciti (secara harfiah ‘mereka yang berada di sisi luar’) oleh orang 

Italia lainnya dan menganggap pengasingan mereka sebagai lambang 

kehormatan. Sebagian lainnya tiba dari Italia dengan mata optimis 

mencari kehidupan yang baik dan memiliki pandangan politik yang 

tidak terlalu mulia. Mereka semua bergerak ke ujung timur laut kota. 

Di sana, mereka bertemu dengan orang Rusia, orang Polandia, orang 

Armenia (sebagian besar tiba pada 1923 sebab  melarikan diri dari 

pembantaian yang dilakukan orang Turki) dan orang Yahudi dari 

segala kebangsaan. Pekerjaan sulit diperoleh dan uang sangat sedikit. 

Namun demikian, Paris yaitu  basis dan juga tempat berlindung. 

Orang Italia tidak diterima secara luas—demikian pula kelompok 

migran mana pun ke Paris—tetapi setidaknya mereka yaitu  orang 

Latin dan dianggap sebagai bagian dari keluarga besar bangsa-bangsa 

berbahasa Roman, yang membentang dari Liguria hingga Rumania, 

dan oleh sebab  itu memiliki klaim yang sah terhadap nilai-nilai 

keberadaban.

Kelompok politik terbesar yang menetap di Paris pada dekade 

1920-an yaitu  orang Afrika Utara. Kehidupan sangat sulit bagi 

orang-orang Aljazair walaupun mereka pada dasarnya yaitu  warga 

negara Prancis tetapi selalu diperlakukan sebagai métèque atau 

orang luar sebab  alasan ras, bahasa, dan agama. Orang Aljazair 

biasanya dikaitkan dengan kriminalitas, seperti juga banyak orang 

Italia selatan. Diperdebatkan bahwa perbedaan antara orang Aljazair 

dengan orang Italia yaitu  bahwa orang Italia hanya menjadi kejam 

sebab  kebutuhan ekonomi sementara orang Aljazair yaitu  orang 

yang banyak tingkah, licik, dan sering melakukan kekerasan secara 

acak. Untungnya, ada  sejumlah pemimpin karismatik di kalangan 

orang Afrika Utara—misalnya Hadj Abdel Kader (Haji Abdul Kadir). 

Ia seorang bekas Komunis yang mendirikan ‘Étoile Nord-Africaine’ 


439

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

yaitu sebuah gerakan nasionalis yang mendukung para pekerja 

Aljazair yang dipekerjakan dalam industri.

Sikap orang Afrika Utara di Paris mengeras selama Perang Rif 

pada 1925 – 1927. Perang ini pada dasarnya yaitu  pemberontakan 

melawan kekuasaan Prancis di Maroko yang dipimpin oleh Emir 

Abd-el Karim (Emir Abdul Karim). Keberanian dan kenekatan sang 

emir dengan cepat membuatnya menjadi pahlawan bagi orang-

orang Afrika Utara yang tidak puas di metropolis. Pemberontakan 

itu ditumpas oleh kekuatan udara Prancis yang menghancurkan dan 

amat kejam. Suara penolakan paling keras dari kubu Kiri datang 

dari kaum Surealis, yang menolak peradaban yang memiliki asumsi 

superioritas di atas yang lain. Bukanlah suatu kecelakaan bahwa tahun 

saat Abdul-el Karim dipermalukan turut menjadi tahun pendirian 

Grande Mosquée de Paris di lantai paling atas Jardin des Plantes. 

Masjid ini yaitu  versi yang sangat indah dari mode arsitektur religius 

Hispano-Moorish (Andalusia-Spanyol) dan halamannya yaitu  salah 

satu lokasi terindah di Paris untuk minum teh pada suatu sore yang 

panas saat musim panas. (Masjid ini juga dipandang dengan penuh 

kebencian oleh banyak Muslim garis keras di Paris abad ke-21, yang 

melihatnya sebagai bunga rampai kolonial yang mengerikan dan suatu 

pengkhianatan terhadap kebebasan sesungguhnya yang belum dapat 

mereka raih.)

Zion Baru

Pada awal dekade 1930-an, sebagian besar Parisian belum pernah 

secara sadar bertemu dengan seorang Yahudi—hal ini sebab  banyak 

orang Yahudi lebih suka tetap berada dalam enklave mereka sendiri, 

atau telah sepenuhnya terasimilasi. Namun, hampir semua Parisian 

memiliki pandangan kuat tentang apa yang secara umum dijelaskan 

sebagai ‘masalah Yahudi’ dan banyak solusi potensialnya.2

Sebagian besar partai politik Kanan tidak malu-malu bersikap anti-

Semit dan bahkan, sejak dekade 1890-an dan peristiwa Dreyfus, sikap 

anti-Yahudi ini dianggap sebagai lambang kehormatan dan patriotisme. 

Organ utama perdebatan yaitu  jurnal La Libre Parole. Jurnal ini 



440

dahulu merupakan media cetak pendukung Dreyfus, yang sudah lama 

tidak terbit, yang diterbitkan kembali pada 1930 ke kalangan pembaca 

yang luas dan antusias serta mayoritas merupakan penganut Katolik. 

Salah satu kontributornya yaitu  Georges Bernanos—mantan tokoh 

utama dalam ‘Action Française’ yang dipimpin oleh Charles Maurras, 

gerakan aktivis kunci golongan Kanan—yang telah berpaling untuk 

membentuk nostalgia melankolis terhadap Abad Pertengahan yang 

termasuk kesusastraan yang mengutuk orang Yahudi. Walaupun tidak 

sepenuhnya diterima oleh banyak orang, versi anti-Semitisme ini 

setidaknya dipahami sebagai tradisi yang hampir setua Paris sendiri, 

yang setidaknya berasal dari pembantaian kelompok minoritas yang 

dilakukan oleh Philippe-Auguste.

Lebih meresahkan lagi, setidaknya bagi mereka yang menyatakan 

diri sebagai pendukung Kiri Revolusioner dan para avant-garde artistik 

(kedua faksi ini kurang-lebih tidak bisa dibedakan lagi pada 1930), 

yaitu  pertumbuhan rasa benci terhadap orang Yahudi di kalangan 

kelas pekerja dan dalam partai-partai Kiri—kekuatan kembar yang, 

di mata para pemikir radikal, dianggap membentuk bentuk dan isi 

modernitas Paris. Pada 1920, gelombang baru orang Yahudi tiba di 

Belleville pada saat yang sama dengan sebuah epidemi kolera: surat 

kabar Komunis L’Humanité dan surat kabar Sosialis L’Œuvre langsung 

meniru suara para pekerja di jalanan bahwa orang Yahudi membawa 

racun dan penyakit ke Paris. Saat mereka tidak digambarkan sebagai 

pembawa penyakit atau hama, orang Yahudi dipandang sebagai 

kapitalis gemuk dan tamak yang hanya bertujuan untuk menundukkan 

dan mengeksploitasi pekerja Paris pribumi.

Tidak satu pun dari sikap ini dianggap tidak semestinya pada tahun-

tahun awal dekade 1930-an. Kebencian terhadap orang asing yaitu  

hal biasa dan biasanya merupakan nilai yang dikagumi. Orang Yahudi 

pada awalnya tidak dibenci secara khusus daripada ras-ras lainnya yang 

tiba di Paris. Penulis novel dan diplomat Paul Morand, yang prasangka 

anti-Semitnya dipertajam sebab  ia pernah tinggal dalam waktu lama 

di Rumania, menolak sama kerasnya tentang kehadiran orang Kuba 

dan orang Brasil di Paris. Banyak penulis yang dihormati, termasuk 

André Gide, Romain Rolland, dan François Mauriac, menunjukkan 

sikap anti-Semit. Ini yaitu  prasangka yang, sebagaimana dikatakan 


441

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

oleh seorang komentator, sepenuhnya memiliki ‘hawa tidak bersalah’.3

Semua ini berubah pada 1933, saat  Jerman secara tiba-tiba 

dan secara tragis jatuh ke bawah bayangan gelap Partai Nazi. Pada 

akhir tahun tersebut, lebih dari 20.000 orang Jerman melarikan 

diri ke Prancis. Pada akhir dekade tersebut, lebih dari 55.000 orang 

pengasingan dari Jerman akan melewati negara ini. Sebagian besar dari 

mereka yaitu  Yahudi dan istilah ‘pengungsi’ segera menjadi sinonim 

dengan ‘Orang Yahudi’. Pemerintahan-pemerintahan Republik Ketiga 

yang silih berganti semakin rapuh saat tekanan terhadap mereka 

semakin keras untuk membela para pekerja dan borjuis Prancis dari 

apa yang sepertinya merupakan gelombang orang asing yang tidak 

bisa dihentikan.

“Paris telah menjadi Zion Baru,” tulis Morand. “Pertama-tama satu, 

kemudian sepuluh, kemudian seratus, kemudian lima puluh ribu.”4 

Kata ‘invasi’ sekarang menjadi kata yang biasa digunakan bahkan 

dalam lingkaran yang relatif moderat. Ketakutan lainnya yaitu  

bahwa orang-orang asing baru ini akan membuat persekutuan dengan 

‘orang Yahudi penetap’—orang Yahudi yang sudah lama menetap 

di Prancis—dalam sebuah komplotan melawan negara. Dua orang 

Yahudi yang sedang berbicara menggunakan bahasa Yahudi di dekat 

Gare de l’Est diserang oleh segerombolan orang yang mengklaim 

bahwa mereka memuji Hitler. Pasangan Yahudi lainnya hampir saja 

dipukuli hingga mati di Belleville oleh segerombolan massa kelas 

pekerja yang menuduh mereka mengucapkan “Hidup Hitler! Hidup 

Jerman!” dalam bahasa asing. saat  penulis novel Louis-Ferdinand 

Céline, yang sekarang terkenal sebagai penulis buku terlaris, pada 

1938 membuat cacian Bagatelles pour un massacre yang panjang (dan 

ditulis secara cemerlang walaupun sangat jahat), karyanya ini disambut 

sebagai karya yang hebat walaupun sangat provokatif. Tulisan ini 

yaitu  hujan racun sarkastis dan mencemooh yang diarahkan kepada 

orang-orang Anglo-Saxon dan para penyandang dananya yaitu orang 

Yahudi jahat. Tulisan ini sangat anti-Yahudi dan pro-Nazi. Bahkan 

lebih dari 70 tahun sesudah  penerbitannya, tulisan ini hanya sedikit 

kehilangan kekuatannya untuk membuat muak para pembacanya. 

Namun saat diterbitkan, tulisan ini hanya disambut sebagai ringkasan 

akal sehat dan kecerdasan dari seorang penulis ahli. “Perang untuk 



442

borjuis sudah cukup buruk,” tulis Céline, “tetapi sekarang perang 

untuk orang Yahudi! … setengah negro, setengah Asia, dan orang-

orang campuran dari ras manusia yang hanya ingin menghancurkan 

Prancis.”5

Kerusuhan dan Konspirasi

Gairah nihilistik seperti ini sulit sekali ditahan oleh pemerintah mana 

pun dan ada  rasa keniscayaan tertentu saat , pada Februari 1934, 

gairah tersebut tertumpah ke jalanan ibukota dalam pertempuran 

jalanan siang dan malam selama berhari-hari yang merupakan momen 

paling berbahaya yang dikenal oleh pemerintah mana pun sejak 1871.

Latar belakang kejadian ini yaitu  kekecewaan yang semakin besar 

terhadap pemerintahan Camille Chautemps yang berumur pendek 

yang diprovokasi oleh peristiwa panjang yang dikenal sebagai skandal 

Stavisky. Antara 1932 dan 1933, ada  lima pemerintahan berbeda 

tetapi personel di dalamnya sedikit sekali berubah, yang secara seragam 

sama sinisnya dengan publik yang memilih mereka. Serge Stavisky 

sendiri bukanlah seorang politisi melainkan seorang penyandang dana 

yang pernah disangka memiliki latar belakang Hungaria, Polandia, 

atau Rumania dan tentu saja Yahudi (faktanya ia yaitu  putra seorang 

dokter gigi Yahudi dari Ukrania). Ia dikenal memiliki hubungan erat 

dengan banyak tokoh terkemuka dalam dunia properti, politik, dan 

hukum. Pada 1933, ia diperiksa polisi sebab  dicurigai melakukan 

korupsi.

Desas-desus dan tuduhan terbukti memang benar tetapi investigasi 

polisi terperosok dalam inkompetensi. Di pers dan di jalanan, 

diperdebatkan bahwa polisi sendiri menjadi bagian dari jaringan jahat 

oleh Stavisky yang hidup mewah. Nantinya, diketahui bahwa Stavisky 

bukan hanya seorang métèque yang dibenci tetapi juga seorang 

Freemason. Pemerintahan Chautemps jatuh pada akhir Januari 1934 

dan hanya bertahan selama dua bulan. Mereka digantikan oleh koalisi 

yang dipimpin oleh Édouard Daladier yang memproklamasikan 

kesatuan republik. Namun, publik Paris sekarang sudah sangat muak 

dengan segala bentuk pemerintah yang dipilih. Panggung telah 


443

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

disiapkan untuk konfrontasi dramatis antara kekuatan-kekuatan di 

Kanan dengan kekuatan-kekuatan di Kiri, yang keduanya percaya 

bahwa tangan yang kuat dan tegas diperlukan untuk mengarahkan 

Prancis menjauh dari konflik dengan Jerman dan bencana. Kenangan 

bavure yang mengarah pada pembantaian Perang Dunia Pertama 

tidak pernah jauh dari ingatan.

Koalisi longgar liques (‘liga-liga’) memimpin kaum Kanan. Tidak 

satu pun dari liga ini benar-benar ‘Fasis’ dalam konteks yang ditetapkan 

oleh Mussolini di Italia dan memiliki kesamaan dengan ideologi 

revolusioner Partai Nazi di Berlin. Ligueurs memang gema dari Liga 

Katolik masa lalu yang telah membawa begitu banyak hasutan ke Paris 

selama Perang Agama (lihat Bab 16). Mereka termasuk ‘Camelots du 

Roi’, militan Katolik dan pendukung Kerajaan yang paling bersemangat 

yang dikaitkan dengan Action Française; ‘Jeunesse Patriote’, yang 

terutama memiliki agenda anti-Bolshevik; dan ‘Solidarité Française’, 

yaitu sebuah organisasi yang dipimpin oleh parfumier François 

Coty, yang para anggotanya berbaris berkeliling sambil mengenakan 

pakaian neo-Fasis berupa kemeja biru dan baret hitam yang kurang-

lebih meniru pelindung veteran Mussolini. Liga paling meyakinkan 

dan populer yaitu  ‘Croix de Feu’ yaitu sekelompok veteran perang 

yang dipimpin oleh Kolonel Casimir de la Rocque. Satu-satunya tujuan 

mereka yang dinyatakan yaitu  membersihkan korupsi dari jantung 

Republik Prancis atas nama prajurit biasa.

De la Rocque mengkoordinasi liga-liga lainnya untuk berbaris 

menuju Majelis Nasional pada 6 Feruari, yang dikatakan untuk 

mendemonstrasikan kelemahan dan ketidakstabilan pemerintah dan 

korupsinya sebagaimana ditunjukkan oleh peristiwa Stavisky. Stavisky 

sendiri sekarang sudah melakukan bunuh diri—atau dibuat ‘bunuh 

diri’: tidak seorang pun yakin—tetapi hantunya masih menyebabkan 

masalah.6

Terjadi sejumlah bentrokan singkat antara para ligueur dengan 

polisi sepanjang Januari. Namun, polisi hanya melakukan tindakan 

relatif ringan terhadap kelompok-kelompok yang pada dasarnya 

tujuan yang sama dengan mereka (bagaimanapun juga prefect Paris, 

Jean Chiappe, dikenal sebagai kroni Stavisky. Fakta ini membuat 

marah orang-orang sayap kiri). Terjadi kerusuhan kecil di Gare du 



444

Nord sebab  terjadi penundaan dalam perjalanan sejumlah kereta 

komuter dan pers sangat aktif mencari perkelahian, dengan kepala 

berita seperti ‘Akhir Rezim’ dan ‘Waktu untuk Pembersihan yang 

Dibutuhkan!’ Namun, suasana hati pada senja hari menjelang malam 

di tanggal 6 Februari, saat para veteran terhormat dan bermedali 

memimpin gelombang pertama para ligueur menyeberangi Place de 

la Concorde, relatif tenang. Selama dua jam kemudian, kerumunan 

massa berdiri diam di hadapan barisan penjaga bersenjata ringan, 

yang merupakan satu-satunya penghalang antara demonstran dengan 

pusat kekuasaan. Dalam hari-hari menjelang demonstrasi, pers 

banyak membuat berita liar tentang agresi pemerintah, memprediksi 

bahwa banyak tank, senapan mesin, dan regu prajurit Negro yang liar 

akan dikirim untuk mengamuk di antara orang Prancis yang patriotis. 

sebab  hal semacam itu tidak terjadi, atau sepertinya akan terjadi, 

kekosongan harus diisi.

Kekerasan datang dari sumber yang sama sekali berbeda. Sumber-

nya yaitu  antara para ligueur paling fanatik dengan faksi-faksi dari 

semua partai Kiri yang datang untuk memprotes para ‘Fasis’ yang 

melancarkan coup d’état potensial. Polisi kehilangan kendali: kios-

kios dan bus-bus digulingkan, lampu-lampu jalan diubah menjadi 

senjata, batu-batu trotoar sekali lagi dicongkel dan dilemparkan 

kepada kekuatan-kekuatan ketertiban atas nama martabat manusia. 

Saat nada Marseillaise digantikan oleh Internationale, selama sejenak 

yang membahagiakan bagi para perusuh dari Kiri tiba-tiba mereka 

merasa bahwa pemberontakan atau bahkan revolusi mungkin saja 

dapat kembali terjadi.

Tentu saja hal itu tidak terjadi. Pemerintahan Daladier meng-

undurkan diri sehari kemudian. Namun, walaupun terjadi demonstrasi 

dan kontra-demonstrasi yang meletus secara sporadis di seantero kota, 

tidak ada keinginan nyata dan umum terhadap transformasi dengan 

kekerasan. Secara keseluruhan, 16 orang tewas dari kerumunan massa 

sebesar 40.000 perusuh. Di seluruh Paris yang sedang tumbuh, ada  

banyak kebingungan selain kegembiraan: ketegangan nyata di kota—

perpecahan kelas yang belum pernah diperbaiki sejak Komune—tidak 

dapat lagi dihindari.


445

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

Ilusi Besar

Paris dengan cepat kehilangan solusi politik bagi rasa krisis permanen 

yang melumpuhkan pemerintahan-pemerintahannya. Di hari-hari 

sesudah  kerusuhan Februari 1934, kaum Kiri paling takut oleh momok 

kudeta sayap-kanan yang dipimpin oleh de la Rocque dan ‘liga-liganya’. 

Secara mengejutkan, berbagai faksi kiri mampu menyatukan tujuan 

dan bahkan menyatakan pemogokan umum sesudah  bulan tersebut. 

Pada Juli, pemimpin Partai Sosialis, Léon Blum, dan pemimpin Partai 

Komunis, Maurice Thorez, menandatangani kesepakatan kesatuan 

politik. Persatuan kedua kelompok secara paling mengagumkan 

terjadi dalam bentuk kekuatan sebesar hampir setengah juta orang, 

yang berkumpul di Bastille pada 14 Juli 1935 sebagai kontra-

demonstrasi bagi unjuk kekuatan oleh Croix de Feu di Champs-Élysées 

yang jaraknya hanya beberapa kilometer. Di bawah bendera ‘Front 

Populaire’, kaum Sosialis dan Komunis melancarkan gerakan dengan 

slogan ‘Perdamaian, Roti, Kebebasan’. Beredar desas-desus perang 

saudara, tetapi saat Bendera Merah kembali berkibar, pembicaraannya 

lebih berupa revolusi yang kali ini untuk selamanya.

Momen historis tiba kurang dari dua belas bulan kemudian saat  

Front Populaire merebut kursi kekuasaan dalam pemilihan umum 

pada Mei 1936. Ini yaitu  kudeta tanpa pertumpahan darah tetapi 

Parisian tidak segera memahami signifikansinya. Teriakan ‘Vive le 

Front Populaire!’ segera digantikan oleh ‘Vive le Commune!’ Sekitar 

400.000 Parisian berkerumun ke Mur des Fédérés di Père-Lachaise 

untuk menghormati para Communard yang terbantai yang mereka 

pandang sebagai leluhur sejati mereka.

Semuanya berubah di Prancis kurang-lebih dalam satu malam. Jam 

kerja maksimum selama 40 jam seminggu dan liburan dengan tetap 

menerima gaji diberlakukan untuk pertama kalinya dalam sejarah 

Eropa. Para pekerja mulai merasa bahwa pada akhirnya mereka 

mengendalikan keadaan. Masalahnya yaitu  sering kali mereka tidak 

memahami apa yang mereka kendalikan. Senjata tawar-menawar 

yang biasa digunakan yaitu  pemogokan. Hanya dalam waktu 

beberapa minggu sesudah  terpilihnya pemerintahan Front Populaire, 

serangkaian pemogokan menyebar ke seantero negara. Pemogokan 



446

ini menghentikan produksi di pabrik-pabrik militer dan sipil yang 

penting dan mengancam untuk menciptakan kerusakan terhadap 

ekonomi yang lebih parah daripada yang pernah dicapai oleh menteri 

paling korup. Pemogokan-pemogokan ini, yang sering kali bersuasana 

seperti pesta dan bermabuk-mabukan, tidak berhenti bahkan saat  

pemerintah memenuhi tuntutan para pekerja dan walaupun Thorez 

memberikan peringatan keras kepada rekan-rekannya sendiri yaitu 

kaum Komunis Paris.

Namun, sebagian besar kekacauan ini bersifat ramah—para 

pekerja menyanyikan lagu populer seperti ‘Auprès de ma blonde’ sama 

seringnya dengan Internationale selama demonstrasi—dan Parisian 

dari kelas pekerja menyenangi konsep baru waktu luang. Ingatan 

rakyat tentang Front Populaire biasanya berupa gambaran perjalanan 

bersepeda ke pedesaan, ekspedisi menggunakan kereta api menuju 

laut, kerumunan penonton sepak bola yang sangat besar, piknik hari 

Minggu dengan anggur dan menggoda serta, di atas semuanya dan 

pada akhirnya, rasa bermartabat bagi populasi pekerja. ada  

produk-produk baru, seperti losion pelindung sinar matahari 

oleh l’Oréal atau minuman soda Oragina, yang membawa barang-

barang yang sebelumnya mewah ke tangan masyarakat umum. Paris 

dideklarasikan sebagai surga pekerja yang setara dengan Moskow.7

Tentu saja, hal ini hanyalah ilusi. Tidak diperlukan waktu lama, 

saat inflasi dan upah yang ditekan mulai menggigit, sebelum tuntutan 

pekerja menciptakan kesulitan nyata bagi para pekerja sendiri. Pers 

sayap-kanan, yang selalu mewaspadai ‘Teror Merah’ di Paris, mulai 

menerbitkan kartun para pekerja yang memerkosa para wanita tua 

kaya atas nama ‘hak’. Rasa takut kembali sebagai tema dominan bagi 

kehidupan sehari-hari. Saat Franco mulai memblokade Madrid, desas-

desus mengatakan bahwa de la Rocque berencana untuk merebut 

Paris. Sentimen anti-Semit yang telah menghancurkan Stavisky mulai 

memindahkan diri ke Blum, seorang Yahudi dan pendukung Dreyfus 

yang riuh rendah yang—sekali lagi menurut desas-desus—berencana 

untuk menghancurkan Prancis dan mencari perlindungan bersama 

para rekan komplotannya yaitu orang Inggris yang berbahaya dan 

hipokrit. Pers sensasional ramai dengan tuduhan-tuduhan paling 

liar, yang tidak seorang pun berani menyangkal atau menantangnya 


447

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

kalau-kalau serangan tersebut menjadi lebih buruk. Pers yang sama 

secara berkala juga membuat prediksi mengerikan tentang perang 

menghancurkan di masa depan yang akan menghancurkan Prancis 

untuk selamanya.

Sementara itu, sebagian besar Parisian ingin bersenang-senang. 

Walaupun pengangguran meningkat dan upah menurun, bar, kabaret, 

dan restoran tetap saja hampir selalu penuh. Hal ini juga terjadi saat 

menonton bioskop menjadi populer di masyarakat. Alasannya bukan 

hanya sebab  sinema Prancis dan Amerika sedang mencapai puncak 

barunya, tetapi sebab  banyaknya kesempatan bagi hubungan seksual 

yang sah maupun tidak sah yang ditawarkan dalam ruangan gelap 

bioskop-bioskop baru yang elegan dan gemerlap di bulevar-bulevar. 

Parisian ingin dibuat tertawa atau disenangkan. Produk-produk 

Hollywood, dari Fred Astaire hingga Disney melalui Marx Brothers, 

selalu populer. Film-film Prancis sekarang juga populer dan cerdas. 

Film-film dari akhir dekade 1930-an seperti Pépé le Moko karya 

Julien Duvivier atau Hôtel du Nord atau Quai des Brumes (‘Pelabuhan 

Bayangan’) karya Marcel Carné dengan mudah menyaingi pesaingnya 

dari Hollywood dalam konteks popularitas ataupun kecerdasan.

Hal yang terutama menjadi ciri khas film-film ini yaitu  pandangan 

sentimental terhadap Paris yang bagi mayoritas Parisian dirasakan 

sudah mulai terlepas dari genggaman mereka. Para penonton terharu 

hingga menangis oleh lagu ‘Où est-il donc?’ yang dibawakan oleh 

penyanyi Fréhel. Ini yaitu  himne bagi Paris Tua yang dinyanyikan 

dari lubuk hati terdalam dan dari kedalaman kasbah Aljazair bagi 

Pépé (dimainkan oleh Jean Gabin) yaitu seorang gangster Paris yang 

sedang melarikan diri di Aljazair dan bernostalgia akan kota asalnya. 

Para penonton juga tertawa terpingkal-pingkal sebab  mengenali diri 

sendiri saat dalam Hôtel du Nord, Arletty—parigote (dalam konteks 

bahasa Inggris kontemporer, persilangan antara Barbara Windsor 

muda dan Twiggy) kelas pekerja tertinggi—dengan jijik menolak 

saran kekasihnya bahwa mereka seharusnya pindah ke pedesaan 

sebab  ‘atmosfernya’ dengan frasa terkenal yang sekarang menjadi 

bagian dari cerita rakyat Paris: ‘Atmosfer? Atmosfer? Dengar, kawan, 

apa aku terlihat seperti seorang gadis yang mencari atmosfer?’

Film paling kontroversial yaitu  adikarya Jean Renoir berjudul 



448

La Grande Illusion pada 1937. Ini yaitu  perumpamaan anti-perang 

yang pada awalnya disensor. Film ini dimainkan dalam bioskop-

bioskop yang terisi penuh dan para penonton turut bernyanyi dengan 

emosi kuat saat adegan menampilkan para tawanan menyanyikan 

Marseillaise. Tidak dirasa ironis bahwa banyak dari penonton 

melakukannya sambil membuat tanda penghormatan ala Fasis.8

“Naiknya gelombang pembunuhan”

Namun demikian, sudah menjadi posisi umum bahkan di kalangan 

Parisian yang disebut patriotis untuk menyatakan bahwa mereka telah 

kehilangan semua keyakinan terhadap para politisi dan sistem politik 

mereka sendiri dan menyambut momok Hitler sebagai pembersihan 

yang diperlukan. Seperti inilah posisi Céline yang, walaupun 

menggertak dalam Bagatelles maupun ‘pamflet-pamfletnya’ yang lain, 

telah mengungkapkan pandangan yang dimiliki orang banyak bahwa 

bencana lebih disukai daripada kondisi penghinaan memalukan yang 

ada saat ini. ada  pula para intelektual lainnya, lebih bernuansa 

dan berperilaku lebih halus daripada Céline (termasuk orang-orang 

seperti novelis dan kritikus berpengaruh Robert Brasillach dan Lucien 

Rebatet), yang berbaris di sisi Nazi sebab  alasannya sendiri yang 

kompleks, mulai dari simpati estetis terhadap Fasisme, anti-Semitisme 

borjuis kelas atas atau hanya sekadar memuja pemimpin. Anehnya, 

terjemahan Mein Kampf dalam bahasa Prancis, yang beredar di Paris 

pada saat itu, menghilangkan bagian di mana Hitler mendefinisikan 

Prancis sebagai musuh historis bagi Jerman sebab  kekuatan geografis 

dan takdir. Hasil dari kebutaan intelektual ini yaitu  mengerasnya 

posisi di Kiri dan Kanan. Proses ini dipercepat oleh Perang Saudara 

Spanyol, yang meletus pada 1936, yang menghapuskan semua 

kemungkinan dialog antara kedua pihak yang sekarang sama-sama 

mendeskripsikan dirinya sebagai kaum revolusioner.

Di antara segelintir orang di Kiri yang berupaya menembus misteri 

Fasisme dalam cara yang benar yaitu  penulis dan kritikus Georges 

Bataille. Ia nantinya terkenal sebagai pemberi pengaruh bagi generasi 

Michel Foucault dan sering kali dideskripsikan sebagai jembatan 


449

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

antara kelompok avant-garde modernis dari awal abad ke-20 dengan 

skeptisisme melankolis dari masa pasca-modernis. Di tahap ini dalam 

kariernya, Bataille yaitu  figur tidak dikenal yang bekerja sebagai 

pustakawan dan dikenal, jika ada yang mengenalnya, sebab  novela 

pornografi karangannya berjudul Histoire de l’œ (‘Kisah Mata’) yang 

diterbitkan pada 1928. Ini yaitu  kisah klasik tentang masturbasi 

dewasa bersama-sama dan pembunuhan. Ia juga dikenal sebab  

pernah beradu argumen secara terbuka dengan para Surealis, bahkan 

dengan André Breton sendiri (yang menyebut Bataille sebagai ‘pelaku 

penyelewengan seksual’).

Pada 1935, Bataille mulai menulis sebuah novel berjudul Le Bleu 

du criel (‘Langit Biru’). Karakter utama dalam novel ini yaitu  seorang 

Kiri yang tidak puas bernama Tropmann (nama ini dipinjam dari 

seorang pembunuh pada abad ke-19 yang juga membuat Rimbaud 

kagum). Tropmann menghabiskan sebagian besar waktunya untuk 

mabuk atau memulihkan diri dari efek minuman keras dalam sebuah 

Eropa halusinasi yang sepertinya akan segera runtuh. Ia berjalan 

dari Paris menuju Barcelona dan akhirnya ke Trier, tempat kelahiran 

Marx. Di sana, dalam kegilaan berbahaya dan nekrofilia ia melakukan 

hubungan seks dengan kekasihnya Dorothée (berjuluk ‘Dirty’), yang 

berpura-pura mati di sebuah pemakaman saat sebuah detasemen 

pemuda Nazi berbaris lewat di dekat mereka.

Le Bleu du ciel sekarang masih layak dibaca sebagai ramalan yang 

relatif apa adanya tentang Eropa yang mengarah pada kehancuran diri 

sendiri. Terutama, Bataille dengan cemerlang menangkap atmosfer 

di Paris yang kejam dan tidak stabil, tempat Kiri revolusioner telah 

dirusak oleh perpecahan dan tidak mampu untuk menghadapi 

kekuatan-kekuatan historis yang mengarahkan peradaban menuju 

kehancuran. Tropmann berjalan sambil mabuk melewati Paris, dari 

bar-bar Montparnasse yang paling bergaya, tempat obrolan kosong 

para intelektual yaitu  semacam derau putih yang membuatnya muak, 

hingga rumah-rumah bordil terendah tempat ia mencari pemusnahan 

diri dalam kabut beracun wiski dan pelacur.

Bataille berpendapat bahwa Fasisme yaitu  masalah religius dan 

bukan hanya masalah politik. Oleh sebab nya, pada 1935, bersama 

rekannya seorang seniman bernama André Masson, ia mendirikan 



450

jurnal Acéphale dan sebuah organisasi rahasia dengan nama yang 

sama. Jurnal ini akan didedikasikan untuk memahami sebuah 

masyarakat yang menggantikan keyakinannya dalam hal ritual dan 

agama dengan pemujaan seperti budak bagi kultus pemimpin. Apa 

yang tidak diungkapkan dengan benar oleh Bataille kepada orang 

lain selain tokoh-tokoh tertinggi dalam kelompoknya yaitu  rencana 

sebenarnya—yang mematikan dan sangat serius—yaitu untuk 

melakukan pengorbanan manusia secara nyata. Salah satu anggota 

Acéphale akan dipilih atau mengajukan diri, untuk dibunuh oleh 

tangan Bataille sendiri dalam sebuah ritual yang dilakukan di hadapan 

para anggota lainnya. Kejahatan ini akan menyatukan masyarakat ini 

dalam kesunyian dan kesedihan rahasia. Asal-usulnya, sebagaimana 

Bataille memandangnya (sangat menggantungkan diri pada The 

Golden Bough karya J. G. Frazer—yang saat itu merupakan bacaan 

wajib bagi para intelektual dari semua latar belakang politik), yaitu  

semua ‘agama’ terorganisasi, termasuk Fasisme.

Tidak ada pembunuhan yang pernah benar-benar dilakukan. 

Nantinya, pada dekade 1950-an, saat  ia menjadi editor jurnal 

Critique yang berpengaruh dan nama yang dipandang dalam 

lingkaran intelektual Paris, Bataille menjelaskan tindakannya sebagai 

upaya untuk mendirikan sebuah agama. Ini yaitu  satu-satunya cara, 

sebagaimana dipahaminya, di mana psikologi Fasisme dapat dipahami 

dengan benar: Sebagai pengalaman nyata teror suci dan bukan teori-

teori ilmiah semu yang didasarkan pada spekulasi filosofis.

Bukan kebetulan bahwa selama periode ini Bataille juga meng-

hadiri—bersama Jean-Paul Sartre dan lainnya—ceramah-ceramah 

yang diberikan oleh imigran Rusia Alexandre Kojève di Hegel. 

Pembacaan Kojève terhadap filsuf Jerman sering kali disebut 

versi ‘teroris’ dari Hegel—filsuf yang menyambut negativitas dan 

kehancuran sebagai nilai-nilai absolut dan diperlukan dalam dialektik 

historis. Saat diperdebatkan dari basis ini maka Marxisme dan Nazisme 

memiliki nilai-nilai etika dasar yang sama. Eksperimen berbahaya 

yang dilakukan Bataille dengan masyarakat rahasia Acéphale yaitu  

upaya untuk menguji dalam pengalaman nyata yang dijalani terhadap 

batas-batas gagasan ini. Proyek Acéphale tentu saja, sebagaimana 

dikatakan oleh Bataille sendiri, yaitu  ‘gila’.9


451

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

Namun dalam konteks akhir dekade 1930-an, saat Eropa sekali 

lagi berlomba menuju bencana, rencana Bataille tidak terlihat lebih 

gila daripada tindakan-tindakan yang disebut rasional daripada 

politisi, jenderal dan penyandang dana yang bertanggung jawab bagi 

apa yang dideskripsikan sebagai “gelombang pasang pembunuhan 

yang menyapu seantero Eropa.”10 Pada akhir dekade tersebut, seperti 

sebagian besar intelektual Paris yang satu generasi dengannya, Bataille 

merasa putus asa terhadap politik dan meninggalkan proyek komunitas 

atau kerja kolektif lainnya. Sebaliknya, ia berpaling kepada diri sendiri, 

mempraktikkan yoga dan melihat visi ‘dunia yang terbakar’, sebuah visi 

dalam yang akan segera menjadi ramalan mengerikan yang akurat.11



452

Pendahuluan:  Otopsi  terh

Pendahuluan:  Otopsi  terh


453

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

BAGIAN DELAPAN

Ibukota                                          

Pengkhianatan

1940 – 1944

Paris paling indah saat seseorang akan 

meninggalkannya.

Robert Brasillach,1945

adap Seorang Pelacur  Tua

adap Seorang Pelacur  Tua



454

Papan nama jalan berbahasa Jerman di Paris, 1942


455

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

39

Malam dan Kabut

Parisian biasa umumnya tidak mengetahui atau memedulikan 

kedatangan dan kepergian elite intelektual Tepi Kiri. Namun, dunia 

mereka jugalah yang akan dihancurkan selamanya oleh perang dan 

pendudukan. Saat dekade terus berjalan, dan langit menjadi gelap 

oleh datangnya konflik, suasana hati yang mendominasi di Paris 

bagi semua orang, selain rasa takut, yaitu  rasa ketidaknyataan. 

Sejak pertengahan dekade 1930-an dan seterusnya, sudah jelas bagi 

semua orang bahwa perang dengan Jerman akan segera terjadi dan 

tak terhindari. Pertanyaannya hanyalah kapan perang tersebut akan 

terjadi dan di pihak mana engkau akan berdiri.

Keluhan terhadap pemerintah mencapai puncaknya pada 1938, 

saat  Jerman menginvasi Austria. Front Populaire, yang sudah 

lama mengalami kehancuran dari dalam, sekarang sepertinya sudah 

ketinggalan zaman dan tidak relevan dalam dunia politik nyata. 

Tidak seorang pun di dalam kabinet Prancis yang memiliki keahlian, 

kelihaian, atau keberanian untuk menghadapi Jerman dengan benar 

saat populasi sekarang mempersiapkan dirinya sendiri menghadapi 

perang yang tidak diinginkannya. Pada September, Daladier, yang 

kembali memegang kendali pemerintahan, menandatangani ke-

sepakatan memalukan dengan Jerman di Munich yang secara 

efektif menyerahkan hak Prancis untuk menanggapi agresi Jerman. 

Kesepakatan Munich mendapat dukungan dari kalangan Fasis, 

tetapi mayoritas Parisian menganggapnya sebagai penghinaan besar. 

Kesepakatan ini juga menempatkan negara dalam kondisi perang dan 

selama berminggu-minggu sesudahnya jalanan di luar kota dipenuhi 

oleh mobil dan gerobak berkuda yang membawa seluruh keluarga 

keluar dari kota.




456

Tahun 1939 yaitu  masa ketegangan aneh di Paris. Salah satu 

efek tidak langsung dari undang-undang ketenagakerjaan yang 

diberlakukan oleh Front Populaire yaitu  tidak adanya keyakinan 

dari para investor di Prancis. Nilai mata uang franc jatuh bebas dan 

inflasi mulai melejit. Sementara itu, Mussolini dan Hitler membagi-

bagi wilayah-wilayah Eropa yang cukup luas dan sepertinya sesuka 

hatinya. Tanggapan pers Paris yaitu  mengabaikan tindakan agresi 

ini sebagai provokasi tak bermakna, menyalahkan konspirasi Inggris-

Amerika dan Yahudi atau menyerukan ketenangan. Tidak satu pun 

suara yang mengakui tanggung jawab Prancis atas kebangkitan Jerman 

yang berbisa dan baru saja terjadi dari abu perjanjian Versailles tahun 

1919. Lebih memalukan lagi, bahkan sebelum tembakan pertama 

dilepaskan, sudah ada kolaborasi aktif dan terbuka antara otoritas 

Jerman dengan para intelektual terkemuka seperti Pierre Drieu 

la Rochelle, Robert Brasillach, dan Abel Bonnard. Para penonton 

bioskop mulai terbiasa melihat aliran propaganda terus-menerus 

tentang ‘la patrie’ dan film-film berita yang suram tentang penjualan 

dan distribusi senjata. Hal ini terjadi dua tahun sebelum pemerintahan 

Vichy yang berkolaborasi benar-benar bekerja untuk membongkar 

semua yang telah diperjuangkan oleh Kiri Paris sejak 1789. Fakta 

bahwa tahun 1939 yaitu  ulang tahun ke-150 revolusi yang telah 

mendorong kehadiran dunia modern telah berlalu tanpa disadari oleh 

mayoritas Parisian.

Pada musim panas 1939, ruang berita yang diberikan bagi pers 

populer tentang pengadilan Eugène Weidmann, seorang Jerman yang 

merupakan seniman palsu dan pembunuh, sama banyaknya dengan 

ruang berita tentang tatanan Eropa yang hancur dengan cepat. 

Kejahatan Weidmann tidaklah spektakuler. Ia telah mencari korban di 

kalangan turis di Paris selama pameran pada 1937 dan telah menusuk 

mati seorang Amerika, seorang Alsatia, seorang Jerman lainnya dan 

orang-orang lain. Ia tidak mendapatkan banyak uang dari kejahatannya 

ini tetapi membuat kagum publik—terutama para wanita—dengan 

pembawaannya yang dingin dan tingkah laku seksualnya sebagai 

pemangsa. Para wanita dilarang mengenakan rok pendek di dalam 

ruang sidang selama pengadilannya, walaupun mereka muncul dalam 

jumlah ratusan. Mereka terkesima saat Weidmann dibawa ke guilotin 


457

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

dalam apa yang akan menjadi eksekusi publik untuk terakhir kalinya 

di Prancis.1

Meskipun ada yang berharap bahwa perang dapat dicegah, bahkan 

dengan harga penghinaan lain yang setingkat dengan kesepakatan 

Munich, ada  lebih banyak orang yang sadar bahwa perang 

tak terhindarkan. Satu fakta menyatukan kedua belah pihak: Ini 

yaitu  perang yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Mereka yang 

paling takut akan perang yaitu  para perwira senior dalam militer 

Prancis yang sangat mengetahui bahwa dari semua gertakan tentang 

Garis Maginot—sebuah barisan pertahanan yang tampak sangat 

mengagumkan yang membentang di sepanjang perbatasan timur 

negara—pasukan mereka tidak memiliki tekad ataupun sarana untuk 

secara efektif menghadapi kekuatan mesin perang Nazi yang tak dapat 

dihentikan.

Ketakutan Besar

Bulan Agustus 1939 juga tidak biasanya suram—langit kelabu oleh 

atmosfer yang kelam dan stagnan. Seperti biasa, Parisian-Parisian yang 

mampu melakukannya telah pergi ke laut atau ke pedalaman. Mereka 

yang tetap tinggal mengomentari atmosfer yang mendung dan pengap 

di jalanan kota. Kemudian, pada 22 Agustus, pengumuman adanya 

pakta antara Jerman Nazi dengan Uni Soviet Stalin menghancurkan 

kedamaian. Kurang dari seminggu kemudian, divisi-divisi Hitler 

menyeberangi perbatasan Polandia. Pada 3 September, Inggris dan 

Prancis berperang melawan Jerman.

Reaksi pertama terhadap perang di Paris yaitu  ketidakpercayaan 

yang mencengangkan, kemudian ketidakpedulian yang ironis saat 

bisnis kembali seperti sediakala, atau senormal mungkin. Heran-

nya, pertengkaran dan insiden korupsi kecil yang telah mengerosi 

kepercayaan publik terhadap para pejabat terpilih masih berlanjut. 

Sepanjang musim dingin dan musim semi 1939 dan 1940, ada  

semacam kondisi statis yang aneh pada saat, baik di masa sehat 

maupun sakit, kehidupan Parisian umumnya terus berlanjut 

seperti biasanya, sementara sebagian besar orang mengecilkan atau 



458

mengabaikan ancaman dari timur. Teater dan aula musik masih terus 

bermain di hadapan penonton yang penuh sesak, hanya kadang kala 

melewati jam malam yaitu pukul 10 malam, yang bagaimanapun 

juga baru diterapkan pada Januari 1940. Kebudayaan tinggi, untuk 

sementara waktu, memengaruhi ketidakacuhan tinggi: produser 

Gaston Baty mementaskan Phèdre di Théâtre Montparnasse. Cyrano de 

Bergerac dan Madame sans gêne (‘Madam tanpa Rasa Malu’) berhasil 

dipentaskan di Comédie Française. Penyair Paul Valéry, yang dikenal 

sebab  estetisismenya yang tinggi dan ketidakpeduliannya terhadap 

dunia material, memberikan ceramah yang diterima dengan baik 

tentang filsafat seni Prancis kepada para perwakilan dari lima akademi 

pusat di Paris. Walau terlambat, pembatasan terhadap konsumsi 

daging (warga diminta menjadi vegetarian selama dua hari dalam 

seminggu) pun diberlakukan, tetapi sekali lagi mayoritas masyarakat 

mengabaikannya (konsep tidak makan daging pada saat itu seperti 

juga di masa kini yaitu  sesuatu yang membingungkan bagi Parisian). 

Cerobohnya, konsumsi bensin masih belum dibatasi dan perjalanan 

ke pedesaan tetap menjadi rekreasi akhir pekan yang umum.

Sebagian besar Paris, mulai dari kelas pekerja ke atas, mengubur 

rasa takut mereka terhadap perang dalam hedonisme tanpa batas. 

ada  sejumlah lagu populer, seperti ‘On ira pendre notre linge sur 

la ligne Siegfried’ (‘Kami akan menggantung jemuran kami di garis 

Siegfried’) oleh Ray Ventura dan ‘Paris sera toujours Paris’ (‘Paris akan 

selalu menjadi Paris’) oleh Maurice Chevalier yang mempromosikan 

bentuk tantangan paling kasar. Argumentasi paling populer masih 

saja: “Mengapa kami kembali harus mati atau menderita bagi 

orang-orang yang tidak kami kenal atau tidak pernah akan kami 

temui?” atau “Biarkan Hitler mendapatkan Eropa jika ia sangat ingin 

mendapatkannya.” Tidak ada rasa malu dalam mengungkapkan sikap 

mengalah seperti itu bahkan dalam lingkaran-lingkaran paling radikal 

di Kiri. Sebuah traktat bernama Paix immédiate (‘Perdamaian Segera’) 

dibuat oleh anarkis Louis Lecoin, yang ditandatangani oleh rekan-

rekan terhormat dari kelas pekerja, seperti Jean Giono, dan diedarkan 

di kafe-kafe dan bar-bar di Belleville.2

Suasana hati di kalangan prajurit, jika ada, lebih mengalah 

lagi. ada  sejumlah perwira senior yang tanggap dan energik 


459

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

seperti Charles de Gaulle yang melihat kelemahan dalam Garis 

Maginot dan menyerukan pelatihan ulang bagi para prajurit untuk 

mengatasi taktik baru Jerman yaitu blitzkrieg (serangan kilat) yang 

menghancurkan (bentuk peperangan ini pada dasarnya yaitu  

penaklukan wilayah musuh yang sangat gesit dan sepenuhnya tanpa 

ampun). Tidak seorang pun mau mendengarkan mereka dan tidak 

ada yang bisa menggembleng para prajurit. Selain sifat mengalah, 

kemabukan yaitu  masalah utama di garis depan. Stasiun-stasiun 

kereta api Paris bahkan mendirikan salles de deséthylisation khusus 

untuk menghilangkan pengaruh alkohol dari para prajurit baru yang 

berangkat ke garis depan yang begitu mabuk sehingga mereka hampir 

tidak bisa berdiri. Sementara itu, di sepanjang garis depan sendiri, 

para prajurit menghabiskan waktu dengan bermain kartu, sepak bola 

atau mendengarkan suara-suara orang Jerman yang bersahabat di sisi 

lain garis depan yang memohon kepada mereka, “Jangan mati untuk 

Danzig! Jangan mati untuk orang Polandia atau orang Inggris! Kami 

tidak akan mulai menembak jika kamu tidak menembak.”3

Tentu saja ini semua hanyalah tipuan. Pada awal Mei 1940, 

divisi-divisi Jerman bergerak maju melalui Belanda dan Belgia, 

membersihkan apa pun yang ada di hadapannya. Saat tentara Jerman 

bergerak tanpa henti ke arah Paris, teater-teater dan restoran-restoran 

tetap saja beroperasi seperti biasa. Dengan semakin banyaknya 

pengungsi yang tiba di kota maka pemerintah, yang sekarang yaitu  

sebuah koalisi yang dipimpin oleh Paul Reynaud, terus mengeluarkan 

sejumlah instruksi. Sebagian besar instruksi ini membingungkan dan 

berlawanan, menegaskan bahwa pemerintah akan bertahan di ibukota, 

bahwa semua orang harus bersabar dan bahwa Paris akan bertempur.

Namun, banyak Parisian dan mereka yang melewati kota 

menganggap melarikan diri yaitu  satu-satunya pilihan realistis. 

Dalam minggu-minggu terakhir bulan Mei, jalan-jalan ke luar 

kota mulai dipenuhi oleh mobil, gerobak berkuda, bus dan gerobak 

dorong saat mereka yang bisa keluar kota mulai bergerak. Kepanikan 

ini disebut la grande peur (‘ketakutan besar’) oleh pers. Lebih dari 

seperempat penduduk berada di jalanan keluar dari kota dalam setiap 

saat. Mereka sering kali ditembaki oleh pesawat terbang Jerman hanya 

untuk bersenang-senang dan, jika mereka bisa, mereka kembali ke kota 



460

dengan perasaan terhukum dan takut tentang apa yang akan terjadi 

selanjutnya. Ribuan anak terpisah dari keluarga dalam kebingungan. 

Banyak dari mereka yang tidak akan pernah bertemu kembali dengan 

orangtuanya.

Pada 16 Mei, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, yang 

memimpin sebuah pemerintahan koalisi darurat yang baru berumur 

beberapa hari, datang ke kota untuk bertemu dengan pemerintah 

Prancis dan komando tinggi. Ia terkejut melihat kekacauan. Sementara 

Churchill kembali ke London, Reynaud memimpin doa kepada Santa 

Geneviève di Notre-Dame. Pada akhir minggu pertama Juni, dan 

walaupun sebelumnya mereka membantah akan melakukannya, 

pemerintah pergi menuju Tours.

Dalam hitungan hari, bombardemen berat Jerman dimulai. 

Hingga 10 Juni, saat jumlah pengungsi yang melarikan diri dari 

Paris menjadi begitu banyak, komando militer memperdebatkan 

cara mempertahankan kota. Akhirnya pada 11 Juni, Jenderal 

Maxime Weygand mengumumkan bahwa Paris yaitu  ‘kota terbuka’. 

Keputusannya diambil berdasarkan pertimbangan militer yang baik—

tidak mungkin kota bisa bertahan menghadapi serangan serius apa 

pun dari udara atau artileri dan sudah jelas bahwa pembantaian dan 

penderitaan lebih banyak dapat dicegah melalui taktik berani ini. Para 

prajurit dari angkatan darat ke-17 di bawah pimpinan Jenderal von 

Kuchler memasuki Paris pada tanggal 14 Juni pada pukul 5.30 pagi. 

Dua divisi bergerak maju secara beriringan menuju Menara Eiffel dan 

Arc de Triomphe. Pada tengah hari, Jenderal Bogislav von Studnitz 

telah mendirikan markasnya di Crillon Hotel di Place de la Concorde. 

Tidak ada pertempuran, atau tanda perlawanan sedikit pun. Bagi 

orang-orang Jerman, dan terutama bagi Hitler, ini yaitu  bukti atas 

teori yang diterima secara umum tentang kemerosotan moral orang 

Prancis.

“MATILAH orang Yahudi!”

Namun, ada  masalah ras yang lebih mendesak untuk diatasi oleh 

orang Jerman di Paris daripada kelemahan orang Prancis. Penyiksaan 


461

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

terhadap Parisian Yahudi dimulai hampir segera sesudah  orang Jerman 

mengambil alih kontrol kota. Orang Jerman menemukan banyak 

sekutu yang siap membantu dalam otoritas kota dan terutama polisi 

Paris, yang lebih dari senang untuk mengalihkan emosi campuran, 

yaitu penghinaan dan kebencian terhadap diri sendiri yang dipicu 

oleh Pendudukan, kepada musuh dari dalam yang diciptakan.

Orang Jerman mengumumkan sendiri kehadirannya secara tiba-

tiba dan sangat kuat di tingkat jalanan melalui berbagai rambu jalan 

dalam bahasa Teuton yang dibenci, mengarahkan para penutur bahasa 

Jerman menuju fasilitas-fasilitas militer dan hiburan di seantero kota. 

Salah satu pengunjung Jerman pertama ke Paris yaitu  Adolf Hitler 

sendiri. Ia melakukan tur ibukota selama tiga jam pada pagi hari 

tanggal 24 Juni dengan didampingi oleh arsitek Nazi Albert Speer dan 

seniman Arno Breker, keduanya yaitu  pengagum berat kota Paris. 

Untuk semakin mempermalukan Prancis, Hitler telah mengatur agar 

penyerahan kota dilakukan di gerbong kereta api di hutan Compiègne 

tempat orang Jerman sendiri dua puluh tahun sebelumnya telah 

dipermalukan oleh Perjanjian Versailles. Sebuah film propaganda 

Inggris diedit secara saksama untuk menampilkan Hitler menari 

seperti orang gila; para pemirsa di Jerman melihat versi yang lebih 

otoritatif dari adegan yang sama di mana Hitler mengentakkan kaki 

keras-keras ke lantai gerbong, mengambil sikap historisnya sebagai 

komandan militer terbesar sepanjang zaman.

Faktanya, inilah satu-satunya kunjungan Hitler ke kota. Sebagai 

tanda kemenangannya, diambil sebuah foto Hitler yang sedang berdiri 

di Trocadéro yang luas dan kosong, dibingkai oleh Menara Eiffel—

simbol besar modernitas abad ke-19 yang berdampingan dengan 

inkarnasi langsung fanatisme abad ke-20. Beberapa hari sesudah  

kunjungannya, Hitler mencatat pandangannya tentang Paris. “Saya 

sangat bersyukur kepada nasib sehingga dapat melihat kota yang 

auranya selalu merasuki saya,” katanya. “Sudah menjadi kewajiban 

kami di berbagai tingkatan untuk melestarikan keajaiban kebudayaan 

Barat ini tanpa kerusakan. Kami telah berhasil.”

Transformasi kota di bawah kekuasaan Jerman sangat cepat 

dan sepertinya tak terbendung. Selama periode awal Pendudukan, 

orang Jerman menempatkan sejumlah garnisun di seantero Paris 



462

selain sebuah markas besar Gestapo. Pusat semua operasi ini yaitu  

Hotel Majestic di Avenue Kléber, ‘Militärbefehlshaber in Frankreich’ 

(‘Komando Tinggi Prancis’) di bawah kontrol Hans Speichel dan tokoh 

penulis, prajurit dan mistik Ernst Jünger yang tahu bersopan santun 

tetapi kejam. Misi spesifik mereka tidak hanya untuk membangun nilai 

strategis Paris dari sudut pandang militer tetapi juga untuk memulai 

operasi yang lebih besar yaitu membersihkan kehadiran Prancis secara 

budaya di Eropa. Aspek khusus strategi ini dirancang dan diterapkan 

dari ‘Propagandastaffel der Gross Paris’ (‘Divisi Propaganda Paris 

Raya’), sebuah biro di bawah kendali Helmut Knochen yang tegas di 

57 Boulevard Lannes.4

Knochen yaitu  penggosip yang canggih dan licik. Sebagian besar 

waktunya di Paris dihabiskannya untuk mengorganisasi pesta-pesta 

makan malam yang rumit. Selama pesta-pesta tersebut, ia akan memuji 

tamu-tamunya baik yang mau berkolaborasi maupun yang tidak mau 

berkolaborasi dari industri, seni dan jurnalisme agar mau berbagi 

anggur, makanan dan informasi tentang perpolitikan dan ekonomi 

Prancis. Kerja keras penyiksaan dan pembunuhan diserahkan kepada 

deputinya, Kurt Lischka, penduduk asli Breslau, yang mendapatkan 

reputasi dalam lingkaran Nazi sebab  kekerasan dan keefektifan 

metodenya. Salah satu metode penyiksaan yang paling disukai 

Lischka—dan yang memicu gelak tawa dalam pesta-pesta Knochen 

sebab  kebaruan dan gaya lucunya—yaitu  hanya memberi makan 

ikan hering kering kepada para tawanan selama berhari-hari. Lischka 

sendiri memuji dirinya sendiri sebab  fakta bahwa tawanan paling 

tangguh sekalipun tidak bisa bertahan lebih dari dua hari menghadapi 

siksaan ini. Lischka juga dikagumi atas perhatiannya terhadap detail. 

Tugas pertamanya saat menduduki jabatan tersebut yaitu  memesan 

lebih banyak pasokan bagi markas besarnya sendiri di 11 Rue de 

Saussaie. Pasokan tersebut termasuk: lima puluh peti mati untuk 

ditambahkan kepada pasokan yang sudah ada; 150 pasang borgol; 

tirai tebal untuk mobil-mobil van yang membawa para tawanan untuk 

dieksekusi; 2.000 liter bahan bakar untuk membakar mayat-mayat 

orang yang dieksekusi di permakaman Père-Lachaise; wiski, anggur, 

dan makanan kecil untuk regu-regu eksekusi.

Salah satu tugas besar pertama Lischka di Paris yaitu  mulai 


463

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

menyortir ‘masalah Yahudi’. Dalam waktu beberapa minggu sesudah  

Pendudukan, para penonton bioskop diberi tahu bahwa jatuhnya 

negara mereka sepenuhnya yaitu  konspirasi orang Yahudi, 

Freemason dan Anglo-Saxon, yang satu-satunya kepentingan mereka 

yaitu  ketamakan dan kehancuran cara hidup orang Prancis pekerja 

biasa. Film-film ini, dengan judul seperti Le Péril juif (‘Bahaya Yahudi’, 

yang saat itu dianggap sebagai adikarya), Les Corrupteurs (‘Para 

Koruptor’) dan Forces occultes (‘Kekuatan Okultisme’), yaitu  drama-

drama mini yang tidak malu-malu dalam menggambarkan orang-

orang Yahudi jahat berhidung bengkok sedang terkekeh melihat 

kehancuran kebudayaan Kristen. Semua film ini dibuat skenarionya 

dengan sangat baik, diambil gambarnya dengan indah dan sangat 

akurat dalam menggunakan geografi Paris (Rue Cadet, markas besar 

Freemason Paris sejak abad ke-18 yaitu  motif yang sering muncul). 

Pada musim gugur 1941, sebuah pameran berjudul ‘Orang Yahudi dan 

Prancis’ diorganisasi oleh otoritas Prancis dan Jerman di Boulevard 

des Italiens. Pameran ini menarik ribuan pengunjung tetapi sedikit 

sekali atau tidak mendapat kecaman publik atau privat. Pameran ini 

disebut ‘sangat penting secara edukasi’ dan para pengunjung dengan 

cepat dipandu menuju laba-laba sangat besar yang tergantung di atas 

pintu masuk. Mereka diberi tahu bahwa ‘laba-laba tersebut mewakili 

orang Yahudi yang berpesta memakan darah Prancis kita’. Gambar 

lainnya yang diproyeksikan dalam pameran ini dan film-film yang 

mendampinginya yaitu  orang-orang Yahudi merupakan elite non-

Eropa yang jahat dan sangat kaya (‘seperti serangga, seperti parasit’) 

yang memakan hasil kerja orang Prancis yang baik.5 Sering kali 

disebutkan bahwa salah satu alasan mengapa banyak Parisian belum 

pernah melihat orang Yahudi yaitu  sebab  orang Yahudi semuanya 

tinggal di istana atau tempat-tempat seperti Riviera Prancis.

Pada kenyataannya, sebagian besar orang Yahudi Paris tinggal 

di Marais—Pletzel (‘tempat kecil’ dalam bahasa Yahudi)—tempat 

mereka datang dalam sejumlah gelombang sejak 1880 dan seterusnya, 

melarikan diri dari kemiskinan dan penindasan di Eropa timur. Marais 

yaitu  rumah bagi sebagian dari mereka dan bagi sebagian lainnya 

yaitu  tempat pemberhentian sebelum bermigrasi ke benua Amerika 

atau Palestina. Saat itu, Marais yaitu  salah satu tempat yang paling 



464

diabaikan dan kotor di Paris, tetapi setidaknya hingga awal dekade 

1930-an, tempat itu relatif bebas dan, sejauh mereka bisa, merupakan 

komunitas yang imun dari sentimen anti-Yahudi yang kadang kala 

beredar di kota. Sebagian besar Parisian ‘Gentile (non-Yahudi)’, apa 

pun pendapat mereka tentang masalah Yahudi, tidak memiliki urusan 

di bagian kota ini dan jarang sekali (jika mereka memang pernah ke 

sana) melakukan kontak dengan siapa pun yang hidup di sana.

Namun, pers Paris berkolaborasi menyerukan untuk melawan 

‘orang-orang asing beracun ini’. Retorika umum semacam itu dimuat 

dalam artikel di Au Pilori pada bulan Maret 1941 yang hampir saja 

menyerukan pemusnahan ras Yahudi:

MATILAH orang Yahudi! Kematian bagi semua orang yang jahat, jelek, 

kotor, menjijikkan, Negroid, blasteran, Yahudi! Matilah! Matilah orang 

Yahudi! Ya. Ulangi itu. MATI! M.A.T.I.L.A.H. ORANG YAHUDI! sebab  

orang Yahudi bukanlah manusia. Ia hewan yang bau. Kami membela diri 

terhadap kejahatan, terhadap kematian—dan oleh sebab  itu terhadap 

orang Yahudi!

Perlu disebutkan bahwa editorial ini tidak ditulis oleh seorang 

Jerman tetapi seorang penduduk asli Paris. Pada Agustus, undang-

undang pertama bagi orang Yahudi dikeluarkan dan hanya me-

munculkan sedikit komentar dari Parisian lainnya. Orang Yahudi 

dilarang menggunakan kolam renang, hanya diizinkan untuk 

berbelanja selama jam-jam tertentu dan dipaksa untuk menaiki 

gerbong terakhir metro. Mereka tidak diizinkan untuk menggunakan 

telepon, mengantre makanan, menjalankan bisnis atau mengendarai 

sepeda. Mereka juga tidak bisa pindah rumah, mengajar di pendidikan 

tinggi atau mengambil bagian dalam kehidupan publik. Pada 29 Mei 

1942, mereka dipaksa mengenakan Bintang David Kuning. Sebuah 

perusahaan Prancis bernama Barbet-Massin, Popelin Ltd dengan 

senang hati menyediakan 5.000 meter bahan yang dibutuhkan untuk 

membuat setidaknya 400.000 bintang, yang harus dikenakan oleh 

semua orang Yahudi yang berusia lebih dari enam tahun di muka 

publik—“cukup terlihat di dada sebelah kiri, dijahitkan secara hati-

hati ke pakaian,” menurut peraturan.6

Ketegangan publik naik satu tingkat pada malam 2 Oktober 1941, 


465

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

saat  ketenangan malam Paris dipecahkan oleh serangkaian ledakan 

di pagi buta. Bom-bom berledakan di seantero kota—di Rue des 

Tourelles, Rue Notre-Dame-de-Nazareth, dan Rue de la Victorie; 

yang semuanya ditujukan ke sinagoge. Tidak ada penjelasan yang 

baik tentang bom-bom tersebut. Orang Jerman—yang tentu saja telah 

membuat insiden ini—menjelaskannya sebagai pembunuhan spontan 

yang dibuat oleh Parisian yang marah atas kerusakan yang telah 

dilakukan orang Yahudi terhadap kota. Di fajar yang gelap, Parisian 

Yahudi gemetar dan menunggu situasi bertambah buruk.

***

Mereka tidak perlu menunggu lama. SS-Hauptstrumführer Theodor 

Dannecker telah ditugaskan di kota sejak September 1941. Dannecker, 

yang baru berusia 27 tahun, datang ke Paris dengan rekomendasi tinggi 

tidak kurang dari Adolf Eichmann sendiri, birokrat favorit Hitler. 

Ia berpikiran praktis dan merupakan manajer urusan Yahudi yang 

efisien dan kejam, yang akan segera memainkan peran kunci dalam 

pengembangan dan penerapan ‘Solusi Final’ di Prancis. Dannecker 

memiliki kebencian mendalam terhadap orang Yahudi, yang membuat 

tugas sangat besar dalam konteks logistik bagi perencanaan dan 

pelaksanaan pembunuhan massal menjadi lebih mudah.

Secara efektif, Dannecker datang ke Paris tidak untuk membuat 

propaganda tetapi untuk membunuh. Di bawah tangan tegasnya, 

aktivitas-aktivitas anti-Yahudi di Paris dengan cepat berpindah dari 

pameran, artikel surat kabar, film, dan lelucon, menjadi deportasi 

terorganisasi ke timur. Pada akhir 1944, sudah ada  perasaan anti-

Yahudi yang cukup besar di kalangan publik di kota—seorang ahli mata 

bernama Lissac telah menempelkan sebuah slogan yang mengatakan 

bahwa ‘Lissac bukanlah Issac’ dan Café Dupont yang populer di 

Quartier Latin telah memasang penanda lucu yang menyatakan bahwa 

kafe tersebut tertutup untuk ‘anjing dan orang Yahudi’. ‘Pengumpulan’ 

pertama atau rafle telah dimulai pada awal 1941, saat para imigran 

Yahudi miskin ke Paris ‘diundang’ untuk memberitahukan keberadaan 

mereka kepada polisi. Segera saja, orang-orang ini mendapati diri 

mereka di dalam penjara di Beaune-la-Rolande atau Pithiviers.



466

“Angin Musim Semi”

Bagi Dannecker, ini yaitu  cara yang amatir dan sangat lambat untuk 

mengatasi masalah. Ia tidak hanya memperhatikan orang Yahudi 

‘eksotis’ dari Eropa timur yang berkerumun di Pletzel tetapi juga 

kelas-kelas profesional yang sudah menjadi Galia, para ‘integrasionis’, 

yang bekerja di dalam tubuh kehidupan Prancis seperti kanker yang 

tersembunyi tetapi berbahaya. Solusi nyata bagi masalah ini yaitu  

untuk bertindak dalam skala lebih besar dan lebih ambisius. Di kantor-

kantor bangunan Gestapo di Avenue Foch, Dannecker menyampaikan 

sebuah rencana kepada para atasannya yang disebutnya ‘Vent 

Printainier’ (‘Angin Musim Semi’). Tujuan dari operasi ini yaitu , 

dengan koordinasi otoritas Paris, untuk mengirimkan 28.000 orang 

Yahudi ke timur atau mengurus mereka dengan cara lain. Rencana 

dengan skala seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya, 

tetapi jika berhasil, rencana ini akan menyediakan cetak biru untuk 

mengurus orang Yahudi di bagian-bagian lain Eropa yang diduduki 

oleh Nazi.

Dannecker didorong oleh ambisi dan kecintaan sejati pada 

pekerjaannya. saat  ia menerima persetujuan dari Komando Tinggi 

Jerman bagi operasi ‘Angin Musim Semi’, ia segera mulai bekerja 

dengan antusiasme yang tidak pernah terjadi sebelumnya yang 

bahkan diperhatikan oleh para koleganya sebagai melebihi panggilan 

tugas. Masalah utamanya yaitu  meyakinkan otoritas Paris dan 

otoritas militer tentang nilai penting dan kelayakan rencana ini. Ia 

kemudian bisa menonton rencana ini bergerak. Tidak seorang pun 

dalam otoritas Paris yang melakukan penolakan dalam pertemuan 

pertama maupun pertemuan-pertemuan lanjutan dengan Dannecker, 

walaupun ditunjukkan bahwa tanggal pertama yang diproyeksikan 

untuk rafle—malam tanggal 13 – 14 Juli—mungkin agak bermasalah 

sebab  penduduk akan merayakan Hari Bastille dan mereka mungkin 

tidak cukup sadar atau kooperatif. Dengan enggan, mengikuti saran 

kolega-kolega Prancisnya, Dannecker menggeser tanggalnya menjadi 

16 Juli.

Banyak orang dalam berbagai komunitas Yahudi di kota sudah lama 

menyadari bahwa sebuah operasi besar sedang direncanakan. Sebagian 


467

Bagian Delapan:  Ibukota  Pengkhianatan

sebab  akal sehat dan intuisi; sebagian lainnya seperti kelompok 

perlawanan Yahudi bawah tanah ‘Solidarité’ telah mendapatkan 

informasi konkret dari para informan dan simpatisan. Namun, tidak 

seorang pun tahu tanggal pastinya atau apa tepatnya yang akan terjadi. 

Kejadian-kejadian di jalanan Paris pada 16 Juli membuat terkejut 

Parisian Yahudi dan juga Parisian non-Yahudi.

Dannecker menjelaskan bahwa, agar operasi ini bisa berjalan, 

‘Angin Musim Semi’ harus dilihat sebagai sebuah operasi Prancis. 

Oleh sebab  itu, ia membentuk hampir sebanyak 900 tim petugas 

penahanan. Seluruh pihak penegak hukum kota yang berjumlah 

sekitar 9.000 orang dilibatkan. Perintah penahanan sudah jelas: “Segera 

sesudah  identitas orang Yahudi yang terdaftar telah dikonfirmasi, para 

penjaga melanjutkan dengan penangkapan, tanpa memperhatikan 

protes atau argumentasi apa pun”: “Setiap orang Yahudi akan dibawa 

ke pusat pengumpulan awal, tanpa memperhatikan kondisi kesehatan 

tawanan.”7 Pada pukul empat pagi, rumah semua orang Yahudi di 

seantero Paris didatangi oleh polisi Prancis. Pada awalnya, keluarga-

keluarga Yahudi merasa lega mendengar suara petugas penahanan 

yang berbahasa Prancis. Mereka kemudian melihat bahwa bangunan 

dikosongkan secara sistematis. Keluarga-keluarga Yahudi yang sedih 

membawa apa pun yang bisa mereka bawa menuruni tangga sementara 

bus-bus dan van-van dari Compagnie des Transports menunggu 

secara mengancam di sudut jalan. Sejumlah kecil Parisian non-Yahudi 

yang sudah bangun pada jam tersebut—para pekerja, pelayan restoran, 

pembantu rumah tangga, pengurus apartemen—melihatnya dengan 

tak berdaya dan sebagian besar dengan rasa kasihan.

Pada tengah hari, ada  sekitar 7.000 orang—4.000 di antaranya 

yaitu  anak-anak—dijejalkan ke dalam Vélodrome d’Hiver, arena 

bersepeda di Rue Nelatour yang dikenal Parisian sebagai ‘Vél d’Hiv’. 

Selama berminggu-minggu, arena ini menjadi kamp sementara untuk 

keluarga-keluarga yang memiliki anak-anak. Orang Yahudi lainnya 

langsung dikirim ke Drancy, sebuah stasiun kereta api di daerah 

pinggiran utara dan titik awal bagi perjalanan ke timur yang kejam. 

Walaupun Dannecker berupaya keras melakukan pengorganisasian, 

suasana di Vél d’Hiv kacau. Tidak ada makanan dan sedikit sanitasi 

(sepuluh toilet untuk 7.000 orang). ada  sejumlah percobaan 



468

bunuh diri—termasuk sepuluh yang berhasil: sebagian besar cukup 

hanya melompat dari atap tribun. Sebagian wanita melahirkan anak. 

Diare dan disentri datang dengan cepat; kematian bagi banyak orang 

segera menyusulnya. Otoritas Prancis dan Jerman memerintahkan 

agar hanya ada dua dokter yang tersedia setiap saat. Dalam momen 

kemurahan hati yang jarang terjadi, André Baur, sekretaris jenderal 

‘Union Générale des Israélites en France’, diizinkan untuk mengunjungi 

Vél d’Hiv pada malam tanggal 16 Juli. Ia nantinya menjelaskan suasana 

dari hari kiamat: “Para perawat menitikkan air mata,” tulisnya; “para 

polisi merasa sedih.” Seorang dokter dari organisasi yang sama 

menangis melihat seorang gadis muda memohon agar diizinkan 

melihat orangtuanya: “Ia sedang sakit. Dengan matanya terus menatap 

ke wajahku, ia memohon kepada saya untuk meminta para prajurit 

agar membiarkannya pergi. Ia telah menjadi gadis kecil yang baik 

sepanjang tahun; tentu saja ia tidak layak dimasukkan ke penjara.”8

Tidak perlu waktu lama sebelum Pierre Laval, kepala pemerintahan 

yang sekarang berada di Vichy, menandatangani perintah yang meng-

izinkan pendeportasian anak-anak Yahudi. Dalam hal ini, pemerintah 

Prancis yang berkolaborasi secara menjijikkan menunjukkan bahwa 

mereka tidak hanya mampu tetapi memiliki rasa tujuan yang 

dibutuhkan untuk melaksanakan sendiri ‘Solusi Final’. Herannya, 

operasi ‘Angin Musim Semi’ dianggap relatif gagal—terlalu banyak 

dari 28.000 orang Yahudi yang diproyeksikan telah melarikan diri atau 

melakukan bunuh diri. Adolf Eichmann memberikan komentarnya 

kepada Hitler bahwa ia selalu meragukan tekad Parisian untuk 

menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar. Dannecker sendiri 

dipanggil kembali ke Berlin dan digantikan oleh Heinz Rothke, yang 

tiba di Paris dengan perintah singkat untuk membiarkan program 

deportasi Prancis tetap dilaksanakan sepanjang otoritas Prancis 

sendiri menunjukkan komitmen kepada tujuan tersebut. Namun, tidak 

diperlukan waktu lama sebelum permesinan yang telah disiapkan oleh 

Dannecker mulai bekerja dan kereta-kereta api mulai memindahkan 

semua orang Yahudi ke Drancy—dijuluki ‘Pitchipoi’ oleh anak-anak 

yang berpikir bahwa mer


Related Posts:

  • Paris Perancis 14 aan, dan seks dalam taraf yang relatif setara. Saat undang-undang Prohibition (Pelarangan) di Amerika Serikat mencapai puncaknya, Paris tidak hanya menjadi tempat berlindung bagi Bohemian dan mereka yang … Read More