menderita memiliki akses
kepada pekerjaan, makanan, anggur, pakaian yang layak dan standar
kesehatan serta kehigienisan yang cukup baik. Paris masih memiliki
402
daerah kumuh—bahkan sepertinya tumbuh dan menyebar saat kota
berkembang melewati batas-batasnya pada abad ke-19 ke daerah yang
tidak dikenal dan belum terpetakan yang disebut la banlieue—tetapi
juga berisi janji kemajuan sosial, atau setidaknya prospek mendapat
pekerjaan dan perut yang kenyang bagi sebagian besar orang. Gairah
politik, walaupun masih tetap berbisa seperti sebelumnya, untuk
sementara waktu terbatasi dalam perdebatan tentang Dreyfus yang,
walaupun tajam dan memecah-belah, kecil kemungkinan akan
membangkitkan semangat revolusioner yang begitu sering membuat
gaduh ibukota selama beberapa ratus tahun terakhir.
Sebaliknya, Parisian menceburkan diri dalam seni rekreasi
dan konsumerisme. Kota yaitu kuil bagi dunia baru periklanan
komersial, dengan seluruh jalanan diabdikan untuk kesenangan
berkelana melalui hutan bahan publikasi, yang membujuk penonton
untuk ’lécher les vitrines’ (‘pergi melihat-lihat etalase’, atau secara
harfiah, ‘menjilat kotak tampilan kaca’). Salah satu bentuk hiburan
populer yaitu bioskop yang benar-benar menjadi salah satu daya
tarik Paris pada akhir dekade 1890-an. Bioskop hanya bisa disaingi
popularitasnya oleh teater populer di bulevar-bulevar yang, seperti
dipimpin oleh penulis drama komedi Georges Feydeau, bersukaria
dalam komedi segala macam. Pada 1913, sudah ada 37 bioskop di
Paris, termasuk Pathé Cinema di Les Invalides, yang mengklaim
memiliki layar terbesar di dunia. Pada 1920, sudah ada lebih dari 200
bioskop di Paris tengah, yang sering kali dibangun dengan rancangan
rumit dan megah untuk menangkap ‘semangat baru’ zaman (sisa-sisa
yang mengagumkan dari zaman ini, yaitu Le Grand Rex yang berdiri
di sudut Boulevard Poissonnière, masih menjadi biskop komersial
yang sibuk). Yang tidak kalah luar biasa yaitu pembangunan metro
Paris, yang dimulai pada 1898 dan berfungsi sepenuhnya pada 1900
(jalur pertama menghubungkan Vincennes ke Porte Maillot, termasuk
beberapa stasiun di sepanjang Champs-Élysées bagi pengunjung
pameran).
Pekerjaan pembangunan metro banyak menghadapi hambatan
saat pemerintah kota harus mempertengkarkan biaya proyek,
kehilangan momentum dan prestise dari London dan New York yang
sudah memiliki sistem kereta api bawah tanah yang beroperasi pada
403
Bagian Tujuh: Medan Magnet
dekade 1870-an. Namun demikian, sejak awal metro Paris sudah
membedakan diri. Bukan hanya sebagai hasil upaya rekayasa tetapi
sebagai keajaiban desain. Metro yaitu karya arsitek Hector Guimard
yang mendapatkan kontrak bagi proyek ini pada 1898. Ia yaitu
pengikut setia dan bergairah dari gaya yang saat itu disebut sebagai
le style moderne dan sekarang dikenal sebagai art nouveau. Ajaran
utama filsafat desain ini yaitu melawan impersonalitas dingin seni
monumental dan berjuang bagi kesatuan artistik yang ditentukan oleh
seniman secara individu. Dalam hal ini, gerakan art nouevau di Prancis
dan Eropa (yang dikenal sebagai Jugendstil di Jerman dan Modernista di
Spanyol) memiliki banyak kesamaan dengan, dan bahkan dipengaruhi
secara langsung oleh, gerakan Seni dan Kerajinan (Arts and Crafts)
Inggris yang diujungtombaki oleh John Ruskin dan William Morris.
Desain terkenal yang dibuat oleh Guimard bagi stasiun-stasiun metro
memiliki kontur mengalir kehidupan tanaman sebagai motif utamanya
dan dalam hal ini berlawanan dengan garis-garis lurus matematis dari
kota yang ter-Haussmannisasi. Parisian langsung menyambutnya,
mengagumi caranya memberikan kehidupan bagi jalanan kota
dan rasa keharmonisan dan individualitas yang hampir domestik.
Penggunaan teknologi baru oleh metro juga bersifat Utopis—Parisian
membayangkan sebuah kota masa depan dengan kecepatan mudah
dan momentum yang tidak bisa dihentikan—tetapi aplikasinya secara
langsung berbahaya. Pada 1903, sebuah jalur yang baru saja dipasang
antara Étoile dan Nation mengalami arus-pendek sesudah terjadi
lonjakan daya listrik. Setidaknya 84 orang terkubur dalam terowongan
gelap, berasap dan penuh gas beracun. Mayat-mayat mereka yang
tidak dimakamkan, dimakan oleh tikus.
Kecelakaan seperti itu dengan mudah diremehkan atas nama
kemajuan dan janji akan sebuah abad baru saat kebahagiaan
manusia dapat dicapai melalui prinsip-prinsip ilmiah dan rasional.
Visi abad ke-20 ini telah diformulasikan di Paris setidaknya sejak 1863
dalam novel Jules Verne berjudul Paris au vingtième siècle (‘Paris di
Abad Kedua Puluh’). Sekarang, Verne dikenal luas sebagai penulis
kisah-kisah petualangan dan pendiri fiksi ilmiah modern, yang
kisah-kisahnya secara umum bersifat positif dan positivis. Namun,
ia memiliki ambisi kesusastraan serius (karyanya dipenuhi dengan
404
kiasan atau kutipan dari orang-orang seperti Hugo, Baudelaire,
Diderot dan Edgar Allan Poe) dan kadang kala melihat nasib umat
manusia secara suram. Ini yaitu alasan utama mengapa penerbit
Verne yaitu Hertzel menolak manuskrip Paris au vingtièm siècle—
karya ini menampilkan impian kota masa depan pada dekade 1960-
an sebagai distopia yang diorganisasi di sekeliling kebutuhan modal
dan industri. Namun demikian, buku ini memang memiliki sejumlah
kebenaran yang aneh: salah satunya, ia memprediksi mesin faks,
sistem transportasi modern dan fakta bahwa para penulis Paris pada
dekade 1960-an akan mengabdikan diri untuk menuliskan buku-buku
tak terbaca yang bahkan tidak bisa dipahami oleh penulisnya sendiri.
Memandang masa depan sebagai bencana potensial memang
merupakan penghujatan luar biasa pada abad ke-19. Hal ini paling
terlihat pada pergantian abad saat Parisian dari semua kelas
sepertinya memiliki kebutuhan tak terkontrol untuk percaya bahwa
masa depan harus lebih baik daripada masa lalu mereka sendiri.
Para Raja Teror
Sisi sebaliknya dari optimisme tanpa henti yang memberi tenaga pada
pameran tahun 1900 dan memunculkan pembicaraan tentang ‘zaman
keemasan’ Paris baru di surat-surat kabar yaitu ketertarikan terhadap
kejahatan di kota yang semakin meningkat. Banyak dari kejahatan ini
dikaitkan dengan Montmartre, yang menikmati peran ganda sebagai
pusat ‘kesenangan’ kota dan fokus semua aktivitas melanggar hukum,
mulai dari perpolitikan revolusioner hingga seks komersial.
Paris tidak pernah kekurangan para penjahat selebriti sejak masa
Villon atau Cartouche. Sejak masa Pencerahan dan selanjutnya,
para penjahat paling terkenal dikagumi sebab ‘kegeniusan’ dan
kemampuan mereka untuk memperdaya otoritas borjuis. Tradisi
ini benar-benar dimulai oleh seorang gangster dan informan polisi
bernama Eugène Vidocq. Pada dekade 1790-an, ia terkenal sebab
berbagai macam penyamaran dan keahliannya untuk membaur dalam
berbagai lingkungan sosial, mulai dari masyarakat kelas atas hingga
canaille di daerah kumuh. Pada 1836, Pierre-François Lacenaire,
405
Bagian Tujuh: Medan Magnet
penyair gadungan, pembunuh dan pesolek, menyihir pengadilan
dengan retorika dan gayanya, menyatakan bahwa dirinya sendiri
berada di atas hukum dan musuh semua masyarakat (walaupun
demikian ia terbukti bersalah telah membunuh seorang banci dan
ibunya serta melakukan percobaan perampokan bank). Lacenaire
nantinya muncul kembali sebagai salah satu tokoh utama dalam
film berjudul Les Enfants du Paradis (‘Anak-Anak Surga’) karya
Marcel Carné produksi tahun 1945 dan kemungkinan besar menjadi
purwarupa master kejahatan Vautrin yang muncul di seluruh Comédie
humaine karya Balzac (dibahas dalam Bab 29).
Namun, ada bahaya di kota yang lebih mengancam dan nyata.
Salah satunya yaitu lonjakan kejahatan yang sangat mencolok,
dipimpin oleh geng-geng terorganisasi dan semi-terorganisasi yang
beranggotakan para bandit jalanan yang disebut apache (nama ini
terinspirasi oleh kemunculan Buffalo Bill pada pameran 1900). Namun,
mereka segera menjadi bahan legenda, terkenal sebab syal merah
yang mereka kenakan di leher, pisau yang mereka bawa, kemampuan
mereka untuk minum minuman keras serta kecenderungan untuk
memperlakukan para wanita dengan buruk (terlihat dalam tarian
apache yang tersisa dalam bentuk yang sudah sangat dilemahkan di
kabaret untuk para turis di Montmartre abad ke-21).
Pada kenyataannya, mereka yaitu berandalan kelas pekerja yang
menghindari kerja dan membalas dendam kepada dunia borjuis
dengan pencurian dan kekerasan. Agresi mereka cukup nyata. Sebuah
laporan dalam National Police Gazette yang berbasis di Amerika
Serikat pada 12 Oktober 1905 mendeskripsikan keberanian dan
teknik para apache, termasuk coup de Père François yang terkenal,
yang melibatkan setengah mencekik korban sebelum mengosongkan
kantongnya. Reporter juga mencatat bagaimana para apache pernah
menjadi bahan lagu yang merayakan tepi-tepi ‘eksentrik’ kota, tetapi
sekarang menjadi ancaman di pusat kota Paris:
Selama satu jam penuh Place de la Bastille di Paris tengah menjadi
daerah berdarah di mana polisi yaitu pihak yang berdarah. Mereka
berkelahi dengan knuckle duster (senjata logam kecil yang dikenakan di
punggung buku jari), yang disebut ‘pukulan Amerika’, dengan blackjack
(alat pemukul dengan gagang pendek yang fleksibel), tongkat berbahan
406
timbal, tongkat pedang dan revolver. Namun, senjata yang sangat mereka
sukai yaitu pisau tajam, tipis dan panjang yang disebut ‘zarin’. Mereka
menggunakannya untuk pukulan merobek. Seorang Amerika berkulit
hitam yang terdampar di Paris, yang melihat pertempuran ini dari jendela
sebuah toko anggur tempat ia bekerja, langsung berhenti bekerja pada
hari itu juga tanpa meminta upahnya, “Dat’s too sporty for Dan (Itu
terlalu berlebihan bagi Dan),” katanya kepada seorang teman, “dah kick
‘em in dah groin wit dah big boots and tramps on dah haid and shoot and
slash scandalous (mereka menendang kemaluan dengan sepatu besar dan
menginjak kepalanya dan menembak dan menebas sangat mengejutkan).”
Jika perkelahian dengan hanya berukuran setengahnya terjadi di distrik
Park Row di New York—atau bagaimana jika di Union Square?—koran-
koran di seluruh Eropa akan ramai memberitakannya. Di sini, insiden ini
akan dilupakan sebab , untuk satu hal, akan ada perkelahian baru setiap
hari.
Perkelahian ini mengingatkan pada pertempuran jalanan yang
terjadi secara berkala antara geng-geng banlieusard yang saling
bersaing di Les Halles dan Charles de Gaulle-Étoile, yang membuat
takut para pebelanja dan turis di abad ke-21. Memang, dalam meredam
energi kekerasan dari mereka yang dikecualikan dari pemandangan
komersial kota, sepertinya sedikit sekali yang telah berubah selama
seratus tahun terakhir (termasuk klise menggelikan dalam meniru
gaya berbicara orang Amerika berkulit hitam yang dilakukan polisi).
Para apache pada kenyataannya menjadi bagian dari tradisi lama
preman dan gangster yang berasal dari awal Abad Pertengahan. Di
abad baru, Paris dikejutkan oleh geng-geng seperti ‘Bande à Bonnot’
(‘Geng Bonnot’), yang disebut para ‘bandit tragis’. Mereka membuat
kejahatan mengikuti perkembangan zaman dengan melakukan
perampokan bank untuk pertama kalinya menggunakan senjata
otomatis dan mobil yang baru saja ditemukan. Geng juga bersifat
politis secara eksplisit, menyatakan bahwa diri mereka yaitu anarkis
dan mendapatkan kekaguman dari para pekerja yang tidak puas
dengan operasinya yang memesona dan berani seperti perampokan
bank Société Générale di Rue Ordener pada 1911. Pemimpin geng ini
yang bernama Jules Bonnot berasal dari Montbéliard. Ia terdampar
di Paris sesudah beraksi di Jenewa, Lyons dan pernah menjadi sopir
bagi Arthur Conan Doyle walaupun hanya sebentar di London. Ia
407
Bagian Tujuh: Medan Magnet
diakui sebagai musuh masyarakat borjuis dan menjustifikasi sejumlah
pembunuhan yang dilakukannya sebagai ‘propaganda revolusioner’.
Bonnot akhirnya tersudut oleh polisi di sebuah ‘rumah aman’
di Choisy-le-Roi. Ribuan orang datang dari seantero Paris untuk
menonton pengepungan selama lima jam. Pengepungan ini berakhir
dengan kematian Bonnot yang semi-heroik, dengan rumah tersebut
dilempari dinamit dan ia meloloskan diri dari rumah ke dalam
hujan peluru polisi. Diisukan bahwa ia meneriakkan kata ‘Salauds!’
(‘Bajingan!’) saat akhirnya ditembaki hingga roboh. Bonnot segera
menjadi pahlawan rakyat Paris, yang pengaruhnya berlanjut selama
abad ke-20. Misalnya selama percobaan pemberontakan pada bulan
Mei 1968, sebuah amfiteater di Sorbonne yang diduduki diberi nama
sesuai nama anarkis terkutuk ini, sementara aktivitasnya dihidupkan
kembali pada tahun yang sama dalam sebuah film yang dibintangi
oleh Jacques Brel.
Gelombang Pasang
Hujan turun setiap hari selama musim dingin 1909 dan 1910. Pada 29
Januari, air di sungai Seine telah naik sekitar delapan setengah meter.
Inilah ketinggian tertinggi yang pernah tercatat atau setidaknya sejak
banjir bandang terakhir pada 1740. Sungai yang meluap ini tidak lagi
bisa ditampung; halaman École des Beaux-Arts dan stasiun kereta api
di Quai d’Orsay keduanya tidak dapat dilalui. Tidak lama kemudian
metro, yang menjadi kebanggaan kota modern, juga menjadi lumpuh
bersama dengan seluruh bentuk transportasi lainnya. Jembatan-
jembatan terendam air dan penduduk dibuat takut oleh pers yang
melaporkan bahwa sejumlah buaya mematikan berenang keluar dari
kebun binatang. saat air akhirnya surut di musim semi, lebih dari
200.000 rumah rusak. Kota mengalami kerugian fisik dan harga diri
yang sangat besar.
Tahun yang sama menjadi saksi kembalinya gairah politik yang
telah lama tidur. Pada 1905, akhirnya dikeluarkan sebuah dekrit
yang memisahkan Gereja dari negara. Hasilnya yaitu oposisi yang
semakin keras antara kaum Kanan dengan kaum Kiri, yang sudah
408
terpecah sebab peristiwa Dreyfus, yang memperdebatkan di mana
otoritas tertinggi berada. Yang paling merusak yaitu bahwa angkatan
bersenjata secara efektif diambil alih bukan oleh para profesional
yang berpikiran praktis dan bijaksana yang pada dasarnya memiliki
pekerjaan sekuler, tetapi oleh penganut Katolik dari kaum Kanan.
Oleh sebab itu, kaum Kiri mengajarkan anti-militerisme
merusak yang menghasilkan pelemahan angkatan bersenjata secara
keseluruhan menjadi hanya berkekuatan sekitar 100.000 prajurit.
Petualangan Jerman di Maroko pada 1905 dan 1911 mengguncang
pemerintah, tetapi kehidupan di Paris bagi mayoritas penduduk
masih berjalan terus. Mereka tidak menyadari bahaya dari timur atau
masyarakat sejahtera bersifat ilusi yang diklaim oleh para politisi Paris
yang berpuas diri sebagai model bagi dunia.
Bagi sebagian besar penduduk, kehidupan politik Paris sepenuhnya
stagnan. Setiap pemerintah yang bergantian sejak pergantian abad
dan seterusnya terutama memikirkan untuk mendapatkan poin dan
memainkan ketegangan domestik yang muncul akibat peristiwa
Dreyfus dan bukan membangun pertumbuhan ekonomi yang telah
terjadi hampir secara kebetulan pada akhir abad ke-19. Walaupun
partai-partai Kanan hanya memiliki daya tarik massa terbatas,
ketakutan atas agitasi internal—dengan ingatan akan Komune tidak
pernah menjauh—ditambah setan kembar xenofobia (ketakutan
terhadap orang asing) dan anti-Semitisme menjamin konsensus
konservatif yang menjauhkan suara radikal apa pun di Kiri serta
mendorong kepuasan di tengah dan di tempat lain. Prancis sedang
berjalan sambil tidur menuju bencana.
Menciptakan Abad Kedua Puluh
Oleh sebab itu, perubahan terbesar yang sedang terjadi di Paris
bukanlah dalam bidang politik maupun teknik tetapi dalam bidang seni
dan terutama dalam kesusastraan. Dalam bidang musik, pertunjukan
pertama opera Pelléas et Mélisande, karya Debussy pada April 1902
yang didasarkan pada drama Simbolis karya Maurice Materlinck,
memasukkan semangat petualangan baru ke struktur operasi teater
409
Bagian Tujuh: Medan Magnet
yang secara tradisional bersifat linier. Tanggapan terhadap opera
ini bervariasi mulai dari menyambut hangat hingga permusuhan
secara terbuka. Kemarahan Maeterlinck sendiri yang begitu besar
didasarkan pada pilihan yang dijatuhkan Debussy kepada penyanyi
Skotlandia-Amerika bernama Mary Garden. Walaupun berutang
pada Simbolisme, opera ini dalam bentuknya yang kaya dan rumit
juga menampilkan cara baru dalam membuat teater musikal tidak
sekadar menjadi tontotan tetapi menjadi puisi hidup. Inilah hal yang
benar-benar baru. Yang kalah menakjubkan tetapi tetap memiliki
nada subversif yaitu nada yang dibuat dalam novel populer, dengan
kemunculan Claudine à Paris karya Colette pada tahun yang sama.
Novel ini menceritakan petualangan Colette sendiri yang relatif
lesbian, sebagai salah satu lesbian paling berenergi dan berani yang
berkeliaran di kota pria yang masih tidak benar-benar percaya bahwa
makhluk eksotis seperti ini memang ada.
Pada 1900-an, Parisian jatuh cinta kepada seorang anti-pahlawan
baru. Ia yaitu karakter fiksi bernama Fantômas, yang diciptakan
oleh penulis Pierre Souvestre dan Marcel Allain. Fantômas pertama
kali muncul dalam serial cerita pendek yang diterbitkan dalam serial
bulanan oleh Arthème Fayard. Publik Paris melahap kisah-kisah
ini yang menceritakan seorang genius yang elegan dan memukau
(Fantômas hampir selalu digambarkan mengenakan jas pagi, topi
tinggi, tongkat, dan topeng) yang menebar teror di kota hanya
sekadar untuk menerornya. Tindakan jahatnya termasuk memasang
asam sulfur dalam dispenser parfum di sebuah toserba mewah Paris,
mengirimkan segerombolan tikus pembawa penyakit ke atas sebuah
kapal samudra, membunuh seorang murid yang tidak setia dengan
menggantungnya sebagai anak genta dalam sebuah bel raksasa dan
membiarkannya terpukul hingga hancur berkeping-keping dan
membanjiri jalanan di bawahnya dengan darah. Putri Fantômas, la
belle Hélène’, yang seksualitasnya diragukan, mengenakan pakaian
pria dan merokok opium baik siang maupun malam. Adegan-adegan
tak terlupakan dari kisah-kisah ini termasuk Fantômas melucuti emas
dari kubah Les Invalides, menghancurkan kereta api penumpang dan
kapal uap, atau mengejar sebuah kereta kuda yang melaju dengan
kecepatan tinggi di jalanan Paris yang dikemudikan oleh sesosok
410
mayat bermata kosong.
Fantômas juga menjadi pahlawan awal dalam sinema Paris, muncul
dalam sebuah film serial sepanjang lima film yang dibuat oleh Louis
Feuillade pada 1913 dan 1914 (dan juga serial televisi pada dekade
1970-an). Para penonton datang berduyun-duyun untuk melihat
Fantômas seluloid melakukan trik-trik keterlaluan dan menyeramkan
terhadap borjuis yang lamban dan polisi yang selalu mengejarnya.
Sebagian dari daya tariknya terhadap pembaca (dan pemirsa) yaitu
petualangan-petualangan tersebut terjadi di latar belakang Paris yang
mudah dikenali. Terutama, petualangan tersebut terjadi di ujung timur
dan utara kota yaitu di Belleville, Ménilmontant atau Montmartre.
Lokasi lokal favorit yang digunakan termasuk Rue de Mouzaïa, Rue
Compans, Place Clichy, Barbès-Rochechouart, Place Pigalle, Rue des
Saules, dan Place du Rhin. Dengan menempatkan Fantômas yang
hanya merupakan tokoh khayalan di tempat-tempat biasa ini, yang
dapat dikunjungi oleh Parisian baik siang maupun malam, para
penulis memperkenalkan kualitas teatrikal ke dalam dekor dan pola
biasa kehidupan sehari-hari. Perlawanan inilah, selain samaran serta
rencana kejahatan dan melarikan diri yang mustahil, yang memesona
generasi avant-garde Paris pada saat itu dan masa depan, dari Max
Jacob hingga para Surealis. Penyair Robert Desnos mendeskripsikan
Fantômas sebagai “hantu bermata gelap, yang bangkit dari kesunyian.”2
Sebuah buku sampul tipis Fantômas tergeletak di sebuah meja kafe
dalam foto dari tahun 1915 berjudul Parisiana karya Juan Gris.
sebab berbagai alasan, para komentator sastra sering menganggap
tahun 1913 sebagai titik balik dalam sejarah awal abad ini. Tahun saat
abad ke-21 benar-benar dimulai. Ini yaitu tahun diterbitkannya Du
côté de chez Swann (‘Cara Swan’) karya Marcel Proust, André Gide
memberikan sentuhan terakhir kepada adikarya pertamanya yang
berjudul Les Caves du Vatican (‘Ruang-Ruang Bawah Tanah Vatikan’,
dan penyair Guillaume Apollinaire menyaksikan penerbitan koleksinya
berjudul Alcools. Masing-masing karya ini sepertinya mengumumkan
kepekaan baru yang menghargai visi subjektif individu di atas narasi
tetap dan tak bergerak dari abad ke-19 yang, dari Hugo hingga Zola,
telah didasarkan pada peran penulis yang selalu ada (‘semangat baru’
ini, setidaknya sebagian, untuk sementara membutakan para pembaca
411
Bagian Tujuh: Medan Magnet
pada homoseksualitas Gide dan Proust). Bagi Léon-Paul Fargue,
makna modernitas yaitu secara harfiah berada di jalanan Paris: Kota
yaitu dunia mimpi yang dibuat dari sensasi yang bernuansa dan
berkaitan erat. Cara ini dekat dengan Simbolisme, tetapi Fargue dalam
kehidupan jalanan juga merupakan pejalan kaki yang tidak kenal lelah
di kota dan Paris-nya sangat hidup dengan apa yang disebut Baudelaire
sebagai ‘anarki detail’ untuk ditemukan di jalanan kota. Inilah Fargue
dalam salah satu puisi prosa terbaiknya tentang kota: “Di trotoar yang
penuh dengan rumah bordil berjendela buram, para pelacur yang
kelihatannya berjaga-jaga di depan dinding mengerikan berisikan
iklan membuat tanda salib di dada saat petir menyambar. Berkas
cahaya yang menggelegar dari sebuah kedai minum musik menerangi
hantu-hantu yang menunggu … gambaran compang-camping dari
suatu sore.”3
Bagi Guillaume Apollinaire, modernitas berarti meragukan ke-
aslian dari segala bentuk ekspresi sastra yang ada sebelumnya. Puisi-
puisi Alcools, seperti lukisan-lukisan Kubisme yang merupakan rekan
se-zaman langsungnya, tidak mendeskripsikan dunia dalam konteks-
konteks konvensional (atau dalam kasus lukisan, menggambarkan
dunia dengan figur-figur yang mewakili) tetapi sebaliknya mencoba
untuk menggambarkan dunia kembali dalam cara berbeda.
Apollinaire, yang dilahirkan di Roma dari seorang ibu Polandia, tetap
saja memusatkan pandangannya ke Paris, tempat ia tiba tanpa uang
sepeser pun pada 1898. Lanskap kota yang dibangkitkannya sebagai
pendatang baru ke kota tidak lagi bisa dikenali sebagai wilayah
‘Paris Lama’ yang ramah. Sebaliknya, Apollinaire mendeskripsikan
kota dengan batas-batas, lanskap industri, bangunan yang hancur,
permukiman pekerja: setiap bagian kota hidup dengan hantu dan
mitosnya sendiri:
Sekarang kau berjalan di Paris sendirian di tengah kerumunan
Gerombolan bus bersuara keras bergerak melewatimu Penderitaan
Cinta tersangkut di tenggorokanmu
… Sekarang kau berjalan di Paris Para wanita bernoda
Darah dan apakah aku bisa melupakannya saat senja
Kecantikan4
412
Semuanya ini sangat anti-realistis dan dibangun dengan rujukan
pada mitos serta geografi dan sejarah Eropa dan bahkan dunia Kristen.
Paris yaitu ibukota modernitas tetapi, sebagaimana ditunjukkan
tidak lama kemudian dalam The Waste Land (1922) karya T. S. Elliot,
makna modernitas sendiri juga dipertanyakan.
Selain itu, energi halusinasi dan logika terdistorsi dari puisi ini
menangkap sempurna suasana hati perpolitikan dan kehidupan
budaya Prancis pada akhir ‘epos indah’, saat dunia berputar terlalu
cepat hingga terlepas dari porosnya dan Paris, sekali lagi, bergerak
menuju perang.
413
Bagian Tujuh: Medan Magnet
36
Perang-perang Baru
Datangnya perang pada Agustus 1914 memberi kejutan sangat
besar bagi hampir semua Parisian. Seakan-akan tidak seorang pun
di Paris telah memperhatikan strategi perpolitikan yang secara
cepat terdisintegrasi di seantero Eropa selain bahaya persekutuan
meragukan dan permainan yang telah dibuat untuk mengalahkan
para pesaing kolonial. Lebih tepatnya, tidak seorang pun pernah
menginginkan perang atau benar-benar memahami mengapa perang
harus dideklarasikan. Pada 31 Juli, pemimpin Sosialis Jean Jaurès
ditembak mati saat sedang makan malam di Café du Croissant di Rue
Montmartre. Jaurès yaitu penentang militerisme terkemuka, musuh
pakta Prancis dengan Rusia dan orang yang sangat percaya bahwa
para saudaranya yaitu Sosialis Jerman tidak akan pernah melancarkan
perang terhadap Prancis. Tak terelakkan bahwa pembunuhan Jaurès
membantu membakar krisis yang semakin panas.
Surat-surat kabar dan Parisian biasa di kafe-kafe dan bar-bar
menyebut pecahnya perang sebagai une bavure (‘kesalahan besar
administratif ’) dan mengeluhkan kebodohan pemimpin mereka.
Tetapi sesudah Austria menginvasi Serbia sebagai pembalasan dendam
atas pembunuhan Franz-Ferdinand dari Austria, sepertinya kegilaan
telah terlepas di Eropa. Pasukan disiagakan di seantero benua,
saat Prancis memobilisasi pasukan sebagai balasan atas mobilisasi
Jerman, yang pada gilirannya juga merupakan tanggapan atas gerak
maju Rusia, yang sepenuhnya didasarkan pada rasa takut. Di Paris,
penduduk yang pada awalnya tidak yakin memberi semangat kepada
pasukan pertama yang keluar dari Gare du Nord dalam suasana
riang, tanpa menghiraukan bencana yang selalu datang sesudah
petualangan seperti itu. Sejumlah Parisian yang lebih tua teringat
414
kembali akan tahun 1870, makanan tikus rebus dan peluru, dan
mulai menimbun bahan makanan. Orang-orang lainnya, yang merasa
gembira akan kemungkinan datangnya pertempuran, mengamuk di
Rue Montorgueil, menghancurkan papan-papan nama toko apa pun
yang menunjukkan nada ‘Teutonik’ walaupun tidak jelas: termasuk
pembuat sup Kub di Rue Tiquetonne di dekatnya yang dikatakan
bahwa peralatan makannya beracun. Penjahit Yarf, di jalan yang sama,
menggantungkan sebuah bendera dari tokonya dan menyatakan
bahwa ia sebenarnya bernama ‘Fray’ dan bersiap untuk bergabung
sesegera mungkin.1
Salah satu ketakutan pemerintah sesudah terjadinya deklarasi
perang yaitu pemogokan umum. Sebelumnya, sudah terjadi se-
jumlah gelombang ketidakpuasan pekerja di daerah Paris dalam
tahun-tahun menjelang 1914. Namun, pemerintah tidak yakin apakah
ini disebabkan oleh unionisme, anarkisme, atau Komunisme pekerja
baik yang sah atau semi-sah. Secara mengejutkan, banyak pekerja
yang bahkan dari pekerja paling anti-pemerintah telah termotivasi
oleh kebencian terhadap musuh yang lahir kembali. Rasa takut akan
revolusi menghilang saat para pekerja bergabung untuk berangkat ke
Front Timur, meninggalkan Gare du Nord atau Gare de l’Est diiringi
suara band resimen. Terjadi sejumlah pemberontakan kecil maupun
upaya pemberontakan di parit-parit, tetapi disiplin militer cukup
keras dan efektif.
Bagi semua Parisian, momen perang yang paling mengerikan dan
nyata terjadi untuk pertama kalinya pada 26 Agustus 1914. saat itu,
para penunggang kuda yang merupakan anggota barisan depan tentara
Jerman terlihat berada di pinggiran kota Paris sementara pasukan
Jerman telah tiba di sungai Marne. Kavaleri Jerman merebut tempat
pacuan kuda di Chantilly dan bergerak ke arah kota hingga mereka
bisa terlihat dari Menara Eiffel. Kota diliputi kepanikan. Ledakan
histeria terlihat di jalan-jalan, di toko-toko, dan di pasar-pasar saat
terlihat bahwa pengepungan tahun 1870 – 1871 yang mengerikan
akan kembali terjadi.
Paris segera mengangkat senjata. Menara Eiffel dikelilingi oleh sarang-
sarang senapan mesin. Lebih dari 300 meriam besar ditempatkan di
seantero kota. Porte-porte dibarikade. Hewan ternak dan bahan makanan
415
Bagian Tujuh: Medan Magnet
lainnya dibawa ke jantung Paris. Seperti di abad-abad sebelumnya, kota
dipenuhi oleh para pengungsi. Banyak dari mereka yaitu orang asing
beraksen berat yang membuat mereka dicurigai sebagai mata-mata
Jerman. Pada 2 September, pemerintah meninggalkan kota menuju
Bordeaux. Kereta lainnya membawa cadangan emas Bank Prancis
ke sebuah lokasi rahasia. Di kalangan borjuis, peralatan perak milik
keluarga dikubur di kebun. Parisian dari semua kelas sekali lagi berdoa
kepada Santa Geneviève meminta keajaiban untuk menyelamatkan
mereka dari para monster dari timur.
Jelas bagi semua pemikir militer bahwa Paris tidak bisa bertahan
menghadapi pengepungan lainnya. Apa yang tersisa dari perbentengan
lama tahun 1870 berada dalam kondisi sangat buruk dan dalam proses
kehancuran. Penduduk kota telah bertambah begitu banyak sehingga
persediaan makanan tidak bisa dijamin bahkan hanya untuk beberapa
minggu. Tidak ada pilihan bagi Jenderal Galliéni—komandan veteran
pasukan Prancis di Paris, yang pernah tertangkap di Sedan dan hidup
melewati masa Komune—selain melancarkan kontra-ofensif. Namun
pertanyaannya yaitu kapan dan bagaimana?
Peristiwa yang disebut sebagai ‘Keajaiban di sungai Marne’ yang
menyelamatkan kota sebenarnya yaitu kombinasi dari kecelakaan
dan nasib baik. Keberuntungan pertama yaitu ditemukannya peta
bernoda darah yang menginformasikan rencana serangan Jerman di
mayat seorang perwira kavaleri Jerman. Intelijen Prancis merebutnya
dan membawanya kepada Galliéni. Sang jenderal memperkirakan
bahwa gerak maju Jerman dimaksudkan untuk berbelok ke timur,
melewatkan Paris, dan menyudutkan pasukan Prancis yang tersisa
di perbatasan Swiss. Lebih penting lagi, gerakan ini membuat bagian
penting dari lambung pasukan Jerman terbuka. Galliéni bertekad untuk
memberi pukulan keras ke lambung ini. Pada 6 September, ia menyita
seluruh armada taksi Prancis untuk memindahkan pasukannya ke
posisi Jerman yang paling rentan. Manuver ini menyelamatkan kota,
memperlambat dan pada akhirnya membalik gerak maju Jerman.
Namun sedikit Parisian yang bisa melupakan bahwa, walaupun
keberanian mereka tidak diragukan lagi, banyak taxiste Paris meminta
pembayaran penuh atas ongkos mengangkut para prajurit ke momen
heroik pengorbanan diri bagi negara.
416
“Abad Kecepatan”
Suasana panas di Paris yang mengarah ke dan selama tahap-tahap
awal perang ditangkap secara sempurna dalam halaman-halaman
pembuka novel epik berjudul Voyage au bout de la nuit (‘Perjalanan
ke Ujung Malam’) karya Louis-Ferdinand Céline. Buku ini mendapat
sambutan hangat saat diterbitkan pada 1932 dan membuat Céline
yang sebelumnya tidak dikenal mendapat reputasi sebagai ‘Zola
baru’. Nama asli Céline sebenarnya yaitu Destouches dan ia bekerja
sebagai dokter medis di bagian-bagian termiskin di utara Paris. Di
sana, ia mendapatkan rasa kasih sayang mendalam dan juga kebencian
terhadap segala bentuk kekuasaan negara. sesudah terluka di parit
(tempat ia mendapatkan sejumlah medali atas keberaniannya), Céline
menjadi pencinta damai berbahaya dengan antipati mendalam
terhadap perang. Posisi ini nantinya berubah saat , pada dekade
1930-an (seperti akan kita lihat dalam Bab 38), ia menerbitkan pamflet
panjang (dan disusun secara indah) yang menentang Yahudi dan
‘Anglo-Saxon’, serta menyatakan pendapat yang mendukung Eropa
Raya di bawah Hitler.
Voyage dimulai dengan percakapan yang hiruk-pikuk dan lucu
antara dua orang mahasiswa kedokteran, karakter utama Bardamu
dan Arthur Ganate (yang segera menghilang dari pandangan), di
sebuah kafe di Place Clichy di musim panas 1913. Keduanya memiliki
kecenderungan anarkis, sesuatu yang lazim pada periode tersebut,
dan kemudian berupaya saling mengalahkan dalam mencela negara,
Tuhan, kaum kapitalis, pencinta perang, serta membacakan keras-
keras puisi anti-kapitalis dan anti-perang. “Begitulah cara semuanya
dimulai,” kata Bardamu. “Saya tidak pernah mengatakan apa pun.
Tidak satu pun.” Ganate melancarkan serangan umum kepada
kepuasan diri dan kelambanan yang menjadi ciri khas Paris dalam
tahun-tahun sebelum perang:
“Penduduk Paris selalu terlihat sibuk,” katanya, “tetapi sebenarnya apa
yang mereka lakukan yaitu berjalan berkeliling dari pagi hingga petang.
Buktinya yaitu saat cuacanya tidak baik untuk berjalan, terlalu panas
atau terlalu dingin, mereka semua berada di dalam ruangan meminum
café-crème atau bock. Seperti itulah adanya. Abad kecepatan? Jadi, apa
417
Bagian Tujuh: Medan Magnet
itu? Perubahan besar, kata mereka! Bagaimana bisa? Sebenarnya tidak
ada yang benar-benar berubah. Mereka terus saling mengagumi dan itulah
mereka! Dan tidak satu pun yang baru tentang hal itu. Mungkin ada sedikit
kata kecil yang berubah, tetapi tidak banyak juga. Dua atau tiga di sini
dan di sana…” Bangga telah menyatakan kebenaran tidak berguna ini,
kami duduk bersandar, merasa senang atas diri kami sendiri, melihat para
wanita di kafe.2
Tidak ada penulis abad ke-21 yang lebih baik dari Céline dalam
menggapai ritme bicara Parisian sehari-hari yang terlalu ringkas,
terputus-putus dan tak dapat diterjemahkan. Dengan kecepatan dan
ketidaklogisan yang tersentak-sentak dan dipercepat seperti film bisu
awal, adegan di kafe segera berpindah ke tahun 1914 tanpa diketahui
penyebabnya. Tiba-tiba Bardamu, yang pada halaman sebelumnya
telah mengucapkan banyak celaan pada bangsa Prancis, mendaftar
untuk membuang nyawanya di parit. Ia ‘tertangkap seperti tikus’. Ia
melihat dengan horor saat kepala seorang kolonel meledak, darah
di lehernya yang terputus ‘menggelegak seperti selai hangat’. Bardamu
yang terguncang jiwanya sebab ledakan bom yang terus-menerus
dikirim ke garis belakang ke Paris di masa perang, yang sekarang
diselubungi oleh kegelapan. Kehidupan biasa di Paris sudah hilang
dan digantikan oleh suasana tidak nyata permanen yang menyebar ke
seluruh kota.
Kebingungan di garis depan memang diiringi oleh suasana hati
yang bergejolak di kota selama masa ini. Hampir sepanjang perang,
Paris yaitu kota dalam pengepungan—walaupun tidak mendekati
tingkat tekanan yang diberikan oleh Jerman pada 1870—dan tempat
berlindung bagi para prajurit yang terluka, terguncang jiwanya sebab
ledakan bom dan kelelahan. Paris juga menjadi tempat berlindung bagi
para pengungsi dari seluruh Prancis. Kota juga terperangkap dalam
gelombang kebencian anti-Jerman yang bahkan mencapai kalangan
terpelajar yang paling berkelas dan paling bersopan santun. André,
yang salah satunya merupakan pengikut Nietzsche, menyebut orang
Jerman ‘brutal’. Marcel Proust menulis tentang orang Prusia yang
‘licik’. Octave Mirbeau, yang sebelumnya Simbolis dan secara pribadi
tidak asing dengan praktik seksual yang misterius, mendeskripsikan
homoseksualitas Berlin dengan efek yang sangat menghancurkan
418
reputasinya. Di tingkatan penduduk kota yang tidak terlalu tinggi,
Parisian biasa membicarakan orang Boche berwajah babi yang
menyeramkan, pembunuh bayi dan kanibal, yang mewakili antitesis
nilai-nilai peradaban. Teater, kabaret, dan bioskop penuh sesak kapan
pun mereka menampilkan propaganda anti-Jerman. Opéra-Comique
membatalkan pertunjukan Puccini berjudul La Bohème, yaitu
pertunjukan opera yang dicurigai bersimpati pan-Jerman. Bahkan
anak-anak berpartisipasi dalam kegairahan anti-Jerman. Karakter
kartun populer bernama ‘Pieds Nickelés’ meledakkan pabrik-pabrik
senjata Jerman sementara Bécassine, seorang gadis sekolah Breton
(orang yang berasal dari Britanny) yang manis tetapi sedikit bodoh,
merawat mereka yang terluka. Di bulevar-bulevar, para pedagang
kaki lima menjual prajurit mainan, bendera, cincin, dan syal yang
dibuat oleh para poilu (‘prajurit wajib militer’) dari amunisi yang
sudah terpakai. Telur paskah dan yule log (kayu besar yang dibakar
saat malam Natal) dibuat berbentuk meriam. Kelompok-kelompok
anak-anak tidak berdosa di sekolah dengan lantang menyanyikan
propaganda anti-Jerman seperti ‘La chasse aux barbares’ (‘memburu
orang barbar’) dan ‘Culot d’Alboche’ (‘Pipi orang Jerman’).3
Saat tekanan terhadap kota berkurang, kehidupan di Paris sebagian
kembali ke ritme lamanya. Terjadi kelangkaan—terutama minyak,
mentega, dan bahan makanan lainnya—tetapi tidak bisa dibandingkan
dengan serangan sebelumnya terhadap kota. Di atas segalanya,
penduduk lapar akan berita. Semua majalah dan jurnal melihat
peningkatan penjualan dan sirkulasi selama periode ini. Media paling
laris yaitu Le Parisien, tetapi selera akan surat kabar begitu besar
sehingga orang-orang akan berkumpul di persimpangan Boulevard
Poissonnière dan Rue Montmartre untuk menyikat edisi pertama apa
pun yang tersedia (inilah lokasi mayoritas kantor dan percetakan surat
kabar). Namun, Parisian tidak bisa menganggap remeh penyensoran.
Mereka terkejut dan merasa marah pada Januari saat , atas nama
mengamankan intelijen, surat-surat kabar tidak melaporkan adanya
rumah dan bangunan yang dibom oleh Jerman. Pemalsuan lainnya,
seperti klaim yang dibuat oleh Le Matin bahwa tidak seorang pun
bertugas lebih dari satu minggu di parit-parit, begitu jelas terlihat
dan dengan mudah dibantah sehingga menampilkan tantangan serius
419
Bagian Tujuh: Medan Magnet
bagi kredibilitas pemerintah. Pada satu tahap, pemerintah bahkan
melarang para peramal dan ahli nujum untuk membuat prediksi
yang tidak tepat. Jurnal satir Le Canard enchaîné (kurang-lebih sama
dengan Private Eye) didirikan pada 1916 sebagai tanggapan langsung
atas pendekatan keras ini.4
Atmosfer di jalanan terkenal akan campuran intensitas kesuraman
dan keriangan ingar-bingar yang membuat bingung. Bulevar, kafe,
dan teater selalu sibuk dengan para prajurit yang sedang cuti dan para
wanita yang ingin menghibur mereka. Namun, ada pula suasana
putus asa tentang mencari kesenangan selama hanya beberapa
jam dari kekejaman garis depan. Pada 21 Februari 1916 di Verdun,
dimulailah pertempuran terburuk dalam perang. Pertempuran ini
akan berlangsung hingga Desember tahun yang sama dan memakan
korban lebih dari 400.000 jiwa tentara Prancis. Namun di belakang
garis depan di Paris ada suasana yang tenang bahkan sombong.
Sebagian besar berita buruk dari Verdun diredam dan para prajurit
yang kembali dari garis depan sangat terkejut menemukan sebuah
kota yang berfungsi sepenuhnya, menawarkan makanan, minuman
keras, seks, dan kesenangan. Pembuatan croissant pernah dilarang
walaupun hanya sebentar pada 1915 untuk menghemat mentega yang
berharga. Pemerintah juga memerintahkan warga untuk tidak makan
daging setidaknya satu hari dalam seminggu tetapi sedikit sekali yang
mengikuti perintah ini. Barang-barang pasar gelap dan pedagang
gelap berkembang biak. Banyak prajurit yang merasa getir melihat
kondisi ini. Namun, itu tidak menghentikan mereka untuk mengambil
keuntungan dari kesenangan dan kenyamanan ibukota selama waktu
singkat yang tersedia.
Efek perang baru benar-benar menggigit dalam musim dingin
1916 – 1917 pasca-pembantaian di Verdun dan semakin sulitnya jalur
suplai ke kota. Pertempuran Verdun diumumkan sebagai kemenangan
besar dan jaya, tetapi terlalu banyak orang yang selamat darinya
mengetahui kebenaran tentang kekotoran, lumpur, dan barisan mayat
tanpa ujung yang dibabat habis di tanah kehancuran yang luasnya tidak
lebih dari 10 kilometer persegi. Musim dingin tahun tersebut lebih
dingin dan keras daripada biasanya. Saat Parisian mulai merasakan
sebagian kesulitan hidup seperti yang dialami warga Prancis lainnya,
420
berita buruk dari garis depan memasukkan keputusasaan baru dalam
upaya perang. Argumentasi-argumentasi para pengalah dari Kiri dan
Kanan sekarang semakin kencang dan semakin cepat. Suara paling
lantang yaitu jurnal Bonnet Rouge, yang awalnya mendukung perang
tetapi sejak lama berubah menjadi pendukung pasifisme. Pada 1917,
terungkap bahwa surat kabar ini dibiayai oleh para penyandang dana
dari Jerman yang juga mendorongnya untuk mendukung sejumlah
pemberontakan yang bermunculan di seantero garis depan. Skandal
semakin dalam saat terungkap bahwa menteri radikal bernama
Louis Malvy yaitu pendukung utama kebijakan surat kabar tersebut
dan secara langsung terkait dengan para penyandang dana dari
Jerman. Malvy diadili dengan tuduhan pengkhianatan tetapi lolos dari
hukuman mati yang diberikan kepada rekan-rekan sekomplotannya.
Kemauan politik di Paris terlihat jelas telah berantakan. Namun,
saat paling berbahaya belum datang. Situasi tersebut datang pada awal
1918 saat mundurnya Rusia dari perang telah membuat pasukan
Jerman mampu mengonsentrasikan upaya mereka secara langsung
terhadap Paris. Di bawah Jenderal Ludendorff, tentara Jerman
bergerak ke barat, menembus garis pertahanan Inggris dan bergerak
maju dengan cepat dan seakan tidak bisa dihentikan menuju kota.
Paris sekarang mengalami bombardemen terus-menerus dari
pesawat terbang yang dikenal sebagai ‘Gotha’ dan tidak lama kemudian
dari meriam besar berjuluk Bertha Besar. Parisian bisa diledakkan
di jantung kota dan tanpa peringatan. Di hari Jumat Agung, sebuah
peluru meriam diarahkan ke gereja Saint-Gervais selama Misa. Peluru
tersebut menewaskan 75 orang dalam satu ledakan sementara lebih
dari seratus orang lainnya terluka (hingga sekarang, bekas pecahan
peluru masih terlihat di gereja ini). Untuk pertama kalinya sejak
1914, Parisian mulai membicarakan kemungkinan meninggalkan
kota. Hanya tangan tegas Georges Clemenceau, yang hidup melewati
Komune dan yang pada usia 75 tahun telah mengambil alih komando
kota, yang mampu menenangkan rasa takut Parisian.
Perang berbalik di musim panas, saat momentum gerak maju
Ludendorff terhenti. Dengan dukungan tentara Amerika, yang baru
terlibat dalam perang dan belum lelah menjalaninya, dan tentara
Inggris, yang pada 8 Agustus menghancurkan garis pertahanan
421
Bagian Tujuh: Medan Magnet
Jerman, tentara Prancis keluar dari perangkap yang telah menahan
mereka selama dua tahun. Di bawah komando Marsekal Foch, secara
tiba-tiba dan dramatis mereka bergerak maju. Pada akhir Oktober,
tentara Jerman sudah berantakan dan hampir hancur berkeping-
keping. Tepat pada pukul 11 pada tanggal 11 November 1918, Perang
Besar berakhir.
Interzona
Reaksi Parisian terhadap berita gencatan senjata yaitu campuran
rasa lega dan kegembiraan. ‘Perang total’ pertama pada abad ke-
20 telah sangat menghancurkan bagi Prancis tetapi Paris lolos dari
horornya yang paling parah. Kota masih utuh dan tidak diduduki atau
dihancurkan oleh pengepungan dan bombardemen. Di Paris sendiri,
pagi hari 11 November lembap dan dingin. Saat bel-bel berbunyi
untuk memberitahukan kemenangan Sekutu, jalanan mulai terisi
oleh Parisian dari segala lapisan masyarakat dan para prajurit dari
berbagai kebangsaan. Kerumunan orang bergerak menyusuri Rue de
Rivoli ke Place de la Concodre dan Majelis Nasional untuk melihat
Clemenceau, yang bergetar sebab emosi, menyatakan kemenangan
dan memberi penghormatan kepada mereka yang tewas. Pidato ini
diikuti oleh perayaan yang hiruk-pikuk dan mabuk-mabukan selama
beberapa hari siang dan malam.
Namun, euforia ini hanya berumur pendek. Perang telah meng-
hancurkan hidup jutaan orang. Satu setengah juta orang Prancis
tewas—ini lebih banyak dari korban yang pernah diderita oleh negara
mana pun dalam sebuah konflik dalam sejarah manusia. Para janda
dan gadis perawan jatuh ke dalam perkabungan yang dalam dan tanpa
akhir. Epidemi flu Spanyol juga membunuh ratusan dan ribuan orang
lainnya, termasuk penyair Guillaume Apollinaire. Ia wafat sambil
mengigau sebab demam hanya beberapa hari sebelum berakhirnya
perang, dan percaya bahwa kerumunan orang di jalanan yang
sedang meneriakkan ‘À bas Guillaume!’ (“Enyahlah Kaisar Wilhelm
[Guillaume]!”) sebenarnya yaitu panggilan bagi kematiannya sendiri.
Pemerintahan Clemenceau, dengan sejumlah alasan, meng-
khawatirkan suasana hati orang-orang yang kembali dari parit-parit
422
yang ingin membalas dendam. Dengan melihat kejadian-kejadian
yang terjadi di Rusia setahun sebelumnya, mereka memutuskan untuk
menjaga para prajurit di bawah disiplin militer selama setidaknya dua
belas bulan lagi. Penjatahan dilanjutkan selama periode yang sama
dan terus terjadi kelangkaan bahan bakar dan makanan. Ketentuan
perdamaian yang keras yang dibebankan kepada Jerman oleh
Perjanjian Versailles pada 1919 cukup bisa mengurangi kemarahan
publik di Paris walaupun tidak lama. Namun, perjanjian ini tidak
bisa memecahkan perselisihan penuh dendam yang menjadi jantung
perang ini dan perang selanjutnya. Bahkan di Paris, Perjanjian
Versailles dipandang dengan sangat skeptis: Hari penandatanganan
ditandai oleh pemogokan angkutan yang dipimpin oleh kaum Komunis
tetapi didukung oleh semua faksi penting dari kaum Kiri Prancis yang
tidak puas, yang barisannya sekarang diperkuat oleh para poilu dan
warga sipil yang tidak puas. Argumentasi dari banyak orang di kaum
Kiri yaitu perang tidak benar-benar berakhir tetapi telah membuka
periode transisi baru, yang secara logika hanya bisa berpuncak pada
revolusi. Perang hanya memiliki makna jika perang dapat dilihat
telah membuka jalan bagi masa depan. Argumentasi seperti ini juga
menemukan pendengar yang mau menerima di kalangan orang-orang
seperti André Breton, Louis Aragon, Robert Desnos, dan lainnya.
Dalam waktu hanya beberapa tahun, mereka akan memimpin gerakan
avant-garde Paris ke depan untuk membuat konfrontasi yang paling
berani dan tidak mau kompromi dengan kekuatan-kekuatan kontrol
dan ketertiban.
Masalah yang segera dihadapi oleh pemerintah kota di Paris
yaitu bagaimana membangun kembali kota dalam cara yang
akan memulihkan kepercayaan publik dan memberikan semacam
kepercayaan kepada Parisian akan masa depan mereka. Prancis
telah memboroskan lebih dari seperempat cadangan keuangannya
selama perang dan sudah jelas bahwa investasi besar dalam industri
berat akan sulit atau tidak bisa sama sekali. Faktanya, Paris tidak
mengalami kerusakan parah selama perang tetapi kumuh dan
mengalami kemunduran serta hampir tidak bisa dikenali sebagai kota
model belle époque yang gemerlap. Diambil keputusan untuk sekali
lagi memperindah kota—merapikan ruang publik, menambahkan
423
Bagian Tujuh: Medan Magnet
furnitur jalanan dan memoles monumen-monumen yang sudah
ada—merupakan keputusan yang jauh lebih murah dan secara politik
lebih bijaksana daripada mengambil risiko investasi jangka panjang
dan kebijakan yang memicu inflasi untuk mendukungnya.
Daerah utama yang dikembangkan yaitu les fortif, perbentengan
tua di sekeliling kota yang terbukti tidak berguna dalam peperangan
dan yang sejak pertengahan abad ke-19 telah menyediakan tempat
berteduh dan rumah bagi penduduk kota yang terpinggirkan,
miskin dan jatuh miskin. ‘Zona’, sebagaimana sebutan bagi sabuk tua
mengelilingi Paris ini, juga menjadi sumber bagi cerita rakyat Paris
yang sangat kuat. Misalnya, tempat ini menjadi rumah bagi para
chifonnier, pemulung keliling yang dirayakan oleh Baudelaire dan
Walter Benjamin, yang hidup dengan bangga dan terpisah dari para
penghuni kota di bawah (sudut geografis yang tepat sangat penting di
sini: mayoritas proletar Paris, sejak Zola hingga Céline, dideskripsikan
sedang memandang ke bawah dari ketinggian pinggiran kota ke
pusat kota). Zona juga ditakuti sebagai rumah bagi para apache yang
legendaris dan ditakuti, para berandalan kelas pekerja yang, bahkan
saat mereka sudah tidak benar-benar eksis lagi sejak 1918, menjadi
bahan propaganda besar anti-proletar di Paris yang sedang tumbuh.
Meskipun demikian, pada 1919 dikeluarkan sebuah undang-undang
yang menetapkan perintah pembelian wajib kepada militer (yang
secara di atas kertas merupakan pemilik Zona) dan membukanya
untuk pembangunan.
Banyak ‘Zonard’ (penduduk Zona) menolak untuk pindah ke-
luar dari Zona atau pindah ke HBM (habitations à bon marché—
‘perumahan murah’) baru yang jelek yang sedang dibangun untuk
mengakomodasi mereka. Sebaliknya, mereka mempertahankan cara
hidup lama, dialek mereka sendiri. Diperlukan adanya perang lainnya
untuk menghancurkan mereka sepenuhnya dan membersihkan
jalan bagi pembangunan jalan dan jembatan layang yang mematikan
yaitu boulevard périphérique yang sekarang melingkari Paris. Zona
para pemulung, ‘bidadari’ penjahat dan penyair sudah sejak lama
menjadi ruangan tragis, yang terutama dihuni oleh para pelacur
bertatapan mata kosong yang menunggu di trotoar untuk melakukan
pekerjaannya.
424
37
Para Petani Paris
Berakhirnya perang membawa emosi yang bercampur aduk.
Pada satu sisi, Parisian senang sebab Alsace dan Lorraine berhasil
direbut kembali dan bahwa penghinaan tahun 1870 telah tersapu
bersih. Namun saat dekade kedua abad ke-20 hampir berakhir,
menjadi jelas bahwa kemenangan ini telah dibeli dengan harga
sangat mahal. Perang telah menghancurkan satu generasi. Suasana
kemarahan dan ketidakpuasan digambarkan secara sempurna dalam
film J’ Accusse! karya Abel Gance pada 1918. Dalam film tersebut,
mayat-mayat mereka yang terbunuh di garis depan dihidupkan
kembali oleh seorang penyair dan mereka bertanya mengapa mereka
telah dibunuh. Dampak film ini lebih menghancurkan sebab banyak
dari para prajurit yang terbantai dimainkan oleh orang-orang yang
selamat dari perang.
Mereka yang mati tidak pernah bisa digantikan dan ribuan wanita
Paris harus menghibur diri sebab menjadi janda pada usia muda atau
tetap perawan hingga paruh baya. “Jadikan saya tetap cantik saat
para pemuda kembali” yaitu doa yang sering diucapkan oleh para
gadis muda kepada Santa Geneviève: Sekarang tidak ada lagi pemuda
yang mereka tunggu, dan pemuda yang berhasil kembali terlalu sering
mengalami masalah psikologis atau termutilasi oleh peluru dan bom.
Di garis depan ekonomi saja, Prancis memerlukan waktu beberapa
dekade untuk memulihkan kualitas hidup umum hingga menyerupai
tingkat sebelum perang. Secara politik, hanya grande bourgeoisie—
kelas profesional dan elite yang berada di lapisan sosial teratas—yang
menikmati kekuasaan sebenarnya. Pemerintahan yang hadir silih
berganti yang mencoba melakukan apa pun seperti reformasi nyata
dihambat oleh para investor yang segera menarik diri dari kepemilikan
obligasi pemerintah. Kaum Kiri dan kaum Kanan saling berhadapan
425
Bagian Tujuh: Medan Magnet
pada 1924 dalam sebuah program yang dibuat oleh Cartel des Gauches,
sebuah koalisi Sosialis moderat yang dipimpin oleh Édouard Herriot
dan Aristide Briand yang mengusulkan untuk membatalkan satu per
satu kebijakan gagal Blok Nasional sayap-kanan yang sebelumnya
berkuasa dan gagal untuk mengumpulkan ganti rugi perang dari
Jerman. Cartel des Gauches runtuh pada 1926, dilawan oleh para
pengusaha kapitalis dan dirusak oleh faksi-faksi Kiri ekstrem, yang
menuntut revolusi dan bukan reformasi. Raymond Poincaré kembali
menjabat sebagai perdana menteri dengan dukungan kanan-tengah
yang cukup besar. Tujuannya yaitu pemerintahan konsensus:
Kenyataannya, hampir tidak ada kesatuan atau kewenangan. Dengan
cara ini, Prancis tersungkur ke arah Depresi dan polaritas tajam pada
dekade 1930-an.
Kaum Kiri juga terbagi atas petualangan yang sedang terjadi di
Uni Soviet. Aliansi kiri-tengah dan moderat berpegangan erat pada
reruntuhan union sacrée (‘uni suci’ dari semua partai politik yang telah
bertahan sepanjang perang, walaupun terputus dengan kaum Sosialis
sesudah terjadinya Revolusi Rusia pada 1917). Hal ini membuka
jalan bagi kaum nasionalis pembenci-Boche dan kekuatan-kekuatan
meragukan lainnya untuk mengatur agenda politik, yang sangat
tidak disukai oleh para liberal bergaya-lama seperti Clemenceau.
Konsekuensinya yaitu perpecahan tajam—yang akan semakin dalam
dan semakin kejam selama dekade selanjutnya—antara mereka yang
mengontrol pemerintahan dan bisnis dengan koalisi mengambang
orang-orang kiri yang tidak puas yang memandang perang sebagai
kemenangan Pyrrhic dan yang semakin lama semakin bertekad untuk
melakukan reformasi sosial. Ini yaitu kekuatan-kekuatan yang secara
berkala akan terlibat bentrokan di jalanan Paris pada dekade 1930-an.
Namun, meski terjadi perpecahan yang sangat mencolok dalam
masyarakat ini, pembicaraan di mana-mana yaitu tentang kebebasan.
Seakan-akan, perang telah menyediakan pelepasan bagi energi-energi
negatif tak terkendali yang, sebab sekarang telah dikeluarkan, telah
membuka jalan bagi kemajuan nyata. Keyakinan kuat di Kanan dan
Kiri bahwa Paris, ibukota dunia bagi peradaban Barat, sekali lagi
telah menang dari gerombolan barbar dari timur dan sekarang akan
menunjukkan potensi nyatanya. Dalam pers, menjadi semboyan yang
426
sering diucapkan bahwa Paris akan menjadi ibukota abad ke-20 seperti
penah menjadi ‘ratu dunia’ dalam abad sebelumnya.
Perubahan paling terlihat di tingkat jalanan yaitu perubahan
dalam laju kehidupan. Paris sekarang menjadi sebuah kota di mana
kehidupan sehari-hari didominasi dan dipercepat oleh mobil, bus,
dan metro. Sejalan dengan semangat modernitas ini, para wanita
sekarang mengklaim kebebasan baru (walaupun tidak termasuk hak
pilih): yaitu merokok di muka umum, berolah raga dan hidup secara
terbuka dengan kekasihnya (sebagian dari mereka yaitu wanita
lainnya), mengenakan rok pendek dan melingkar, serta gaya rambut
yang dipotong sangat pendek. Arsitektur periode ini mengekspresikan
kepercayaan naif terhadap desain geometris sebagai tanda modernitas
(monumen-monumen yang sangat buruk di Musée de l’Homme di
Trocadéro yaitu saksi bagi daya tarik estetika neo-Fasis ini).
Namun, semua ini hanyalah perubahan di permukaan. Bagi
sebagian besar Parisian pada 1919, masa depan terlihat sangat tidak
jelas. Berita dari Moskow, ibukota baru kelas pekerja internasional,
sering memicu pemogokan pekerja dan ketidakpuasan yang terjadi
secara perlahan di daerah Bellevile dan Ménilmontant serta distrik-
distrik kelas pekerja lain yang hampir tidak bisa dikontrol pemerintah.
Kenyataannya, Paris tidak begitu rusak dalam perang tetapi terlihat
terabaikan dan terluka. Parisian dari kelas pekerja dan petit-bourgeois
hidup dalam kondisi yang hampir tidak lebih baik dari mereka yang
hidup pada dekade 1850-an. Dalam beberapa kasus—seperti di
Faubourg Saint-Marcel, tempat polusi industri membawa penyakitnya
sendiri yang sangat menghancurkan seperti penyakit paru-paru—
situasinya jauh lebih buruk.
Saat para politisi dari semua warna politik beradu argumentasi
dengan mulia tentang kecepatan, teknologi dan misi pembudayaan
Prancis, penduduk miskin Paris terus saja mati seperti selalu mereka
lakukan: tidak dikenal dan tidak ditangisi, biasanya dalam rasa sakit
dan dengan sedikit harapan atas penebusan baik di dunia ini maupun
di dunia lainnya. Konsekrasi Sacré-Coeur pada 1919 dan kanonisasi
Joan of Arc pada 1920 dipandang sebagai penghinaan ganda oleh
Parisian yang telah dikhianati oleh kebohongan para pemimpin politik
dan religius mereka.
427
Bagian Tujuh: Medan Magnet
Revolusi Pemikiran
Konsekuensi lanjutan dari Perang Besar yaitu mempertanyakan
sifat alami dari makna ‘peradaban’. Ini bukan hanya pertanyaan
bagi kaum intelektual. Mereka yang pernah berada di parit-parit
dan melihat pembantaian secara langsung tidak pernah melupakan
pengalaman alami dan berdarah yang mereka jalani atas nama apa
yang disebut nilai-nilai kebudayaan Prancis yang lebih tinggi. Tidak
ada kultus kematian dalam militer Prancis, seperti yang ada dalam
resimen-resimen Jerman, dan tidak ada prajurit Prancis biasa yang
bisa mengidentifikasi dengan curahan perasaan semi-mistik seperti
para kesatria-intelektual Jerman, yang bersukaria di atas kehancuran
seperti kesatria Teuton zaman modern.
Sebaliknya, para prajurit Prancis yang kembali dari garis depan
ke Paris merasakan sedikit patriotisme, menyimpan energi mereka
untuk kebencian kepada para komandan militer dan bos mereka,
dan menempatkan keyakinan mereka dalam satu-satunya tanah air
sebenarnya pekerja internasional. Kaum Kiri Prancis juga terlalu
sering terpecah dan terbagi menjadi faksi-faksi, tetapi kepahitan
yang menyatukan para pekerja melawan semua nilai-nilai ‘beradab’
cukup nyata dan potensial. Untergang des Abendlandes (‘Kemerosotan
Barat’), yaitu tulisan karya filsuf Jerman bernama Oswald Spengler—
yaitu sebuah ratapan panjang dan muluk tentang kekecewaan dalam
peradaban Barat, memprediksi penggulingan yang nantinya terjadi
oleh gerombolan dari Timur Jauh. Tulisan ini menjadi tulisan utama
di sepanjang beberapa dekade selanjutnya sejak diterbitkan pada 1918
bagi siapa pun yang dikecewakan oleh perang.
Kata ‘peradaban’ memang menjadi keyakinan mendasar di kalangan
Parisian sejak masa Pencerahan dan dianggap sebagai kualitas integral
dalam kehidupan orang Prancis: nilai yang tidak bisa ditawar yang
sejajar dengan kebebasan, kesetaraan, atau persaudaraan. Revolusi
telah dilakukan atas nama semua nilai ini. Namun, perang telah
mengungkapkan secara kejam bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang
dianggap paling mulia ternyata hanyalah kebohongan. ‘Peradaban’
kapitalis abad ke-19, proyek besar kemajuan dan peningkatan yang
mengalir secara langsung keluar dari kepercayaan republiken dalam
428
Utopia buatan manusia, pada kenyataannya hanya menghasilkan
mesin-mesin untuk melakukan pembunuhan para pekerja secara
massal guna melindungi kepentingan tertentu.
Inilah retorika yang biasa diucapkan oleh semua partai Kiri
sepanjang dekade 1920-an. Retorika ini juga sangat penting bagi
kelompok-kelompok avant-garde yang sedang tumbuh yang juga mulai
muncul sebagai suara tidak puas yang paling kuat dan berpengaruh
di Paris sesudah Perang Besar. Suara paling lantang selama dan tepat
sesudah perang berakhir yaitu gerakan Dadaisme, yang didirikan di
Berlin dan Zurich pada 1916 dan dibawa ke Paris pada 1918. Dada
(nama ini pada dasarnya tidak bermakna walaupun bisa diartikan apa
pun mulai dari kuda-kudaan hingga ‘Daddy’ [‘Ayah’]) dibuat sebagai
negasi dari seluruh sistem moral yang mendasari pemikiran Barat.
Mereka menolak logika, keteraturan, makna dan hierarki, sementara
mendukung irasionalisme, pelanggaran hukum dan anarki tanpa
batas. Dadaisme tidak dimaksudkan sebagai gerakan seni tetapi
sebagai senjata politik, yang dikalibrasi dan diisi pelurunya dengan
saksama, dan diarahkan secara langsung ke jantung tatanan kapitalis
busuk yang masih berdetak yang telah membunuh jutaan orang.
saat tiba di Paris, dalam bentuk penyair Rumania bernama
Tristan Tzara, Dada menemukan pemirsa yang siap menyambut di
kalangan generasi pemuda yang tumbuh besar dengan melecehkan
semua yang ada di sekeliling mereka. Dada Manifesto 1918 yang ditulis
oleh Tzara dan diterbitkan dalam edisi ketiga buletin Dada, bahkan
berbicara secara langsung kepada semua orang yang kehilangan
keyakinan terhadap tanah air dan kebudayaannya sendiri:
Saya menulis manifesto ini untuk memperlihatkan bahwa engkau dapat
melakukan tindakan-tindakan yang bertolak belakang pada saat yang
sama, dalam satu tarikan napas segar dan berkelanjutan; saya menolak
aksi; sedangkan bagi kontradiksi berkelanjutan, dan juga afirmasi, saya
tidak mendukung maupun menolaknya, dan saya tidak akan menjelaskan
diri saya sendiri sebab saya memiliki akal sehat …
Tidak ada belas kasihan. sesudah pembantaian yang tersisa bagi kita
yaitu harapan kemanusiaan yang disucikan …
Biarkan setiap manusia menyatakan bahwa ada pekerjaan
penghancuran maha besar yang harus dilakukan …1
429
Bagian Tujuh: Medan Magnet
Di antara mereka yang paling memperhatikan ucapan Tzara
yaitu orang-orang seperti Louis Aragon, André Breton, dan Philippe
Soupault. Mereka yaitu para prajurit wajib militer muda yang telah
membenci perang dan sekarang memulai karier sebagai penyair dan
intelektual yang memiliki program pembalasan terhadap masyarakat
yang telah mencoba membunuh mereka. Kelompok Dadais seperti
itu (Tzara dan segelintir sekutunya) mengadakan pertunjukan, meng-
organisasi debat dan menerbitkan publikasi gratis. Soupault, Breton,
dan Aragon menugaskan diri sendiri untuk mendirikan jurnal
Littérature untuk menerbitkan puisi negasi baru ini (garis editorial
jurnal sangat anti-kesusastraan, judulnya secara sarkastik dipinjam
dari bait karya Verlaine, ‘tout le reste est littérature’—‘semuanya hal
lain hanyalah kesusastraan’).2 Saat kekuatan negatif Dada membuat
lelah dirinya sendiri, semangatnya dibawa ke sebuah gerakan baru,
Surréalisme, yang didirikan oleh Breton, Soupault, dan Aragon, yang
tetap setia kepada sensibilitas destruktif Dada tetapi kali ini bertujuan
untuk mendirikan masyarakat baru.
Kata ‘surealisme’ sebenarnya dibuat pada 1917 oleh Guillaume
Apollinaire untuk mendeskripsikan ‘drama’ proto-Dadais karyanya
yang berjudul Les Mamelles de Tirésias (‘Payudara Tiresias’), yang
telah berakhir dengan kerusuhan kecil dalam ruangan sempit Salle
Maubel di Montmartre. Di bawah kepemimpinan Breton, kaum
Surealis mengumumkan sebuah program untuk menciptakan kembali
masyarakat menurut hukum ketidaksadaran, menggantikan logika
dengan keinginan. Mengikuti program ini, tujuan mereka yaitu
mentransformasikan totalitas eksistensi manusia—revolusi pemikiran
yang diserukan Arthur Rimbaud satu generasi sebelumnya di atas
puing-puing Komune.
Wajar jika kaum Surealis menggunakan Paris sebagai medan
pertempuran untuk apa yang mereka pandang sebagai makna
modernitas sejati, tempat mereka akan menentang tuntutan-tuntutan
rasional dari ‘kebudayaan mesin’ menggunakan mimpi, puisi, dan
drama. Dalam kompendiumnya tentang pengalaman Surealis di kota
yang singkat tapi padat berjudul Le Paysan de Paris (‘Petani Paris’),
yang diterbitkan pada 1926, Louis Aragon menyerukan adanya sebuah
mitologi baru kota yang akan menjadikannya sebagai ibukota sebuah
430
Utopia subjektivitas dan visi tanpa batasan.
Ini yaitu tuntutan mahabesar yang menggelikan (dan begitu
khas kelompok Surealis secara keseluruhan). Namun Aragon
memang menyusun gambaran yang efektif dan meyakinkan tentang
Paris pada awal abad ke-20, sebuah tempat di mana kapitalis berdiri
dengan ditantang oleh semua orang yang masih berani memimpikan
kebebasan. Di atas segalanya, Aragon, seperti para Surealis lainnya,
memahami skala kemanusiaannya untuk menjadi kualitas penentu
pengalaman urban Parisian.
Kaum Surealis terobsesi dengan gambaran dan objek yang sebentar
lagi akan ketinggalan zaman dan kehilangan makna atau fungsi
aslinya. Mereka tanpa henti mematroli lorong-lorong beratap Tepi
Kanan (lihat Bab 28), sekarang menjadi jaringan arkade berdebu dan
lorong dengan atap hijauan yang membentang dari bulevar-bulevar
besar Haussmann dan yang masih dipenuhi oleh toko-toko spesialis
yang menjual apa pun mulai dari tiang penopang hingga manekin.
Lorong-lorong relatif masih utuh dalam bentuk ini: Anda masih dapat
berjalan selama berjam-jam tanpa pernah benar-benar yakin sedang
di bagian mana Anda berada di dalam kota dan apa yang Anda cari.
Inilah keseluruhan poin tentang aktivitas Surealis yang diteorikan
dan dipraktikkan pada awal dekade 1920-an: untuk menciptakan
pengalaman visioner dari pengalaman sehari-hari; untuk membuat
kota, dalam rumusan André Breton dan Phillippe Soupault, sebuah
‘medan magnet’ tempat sisa-sisa kehidupan modern secara ajaib
diubah melalui kekuatan pemikiran individu.3
Orang-Orang Asing
Salah satu foto André Breton yang terbaik dan paling terkenal diambil
pada awal 1920-an. Dalam foto ini, Breton diperlihatkan sedang
berdiri dalam pose angkuh yang menjadi ciri khasnya di Boulevard
Montparnasse, tepat di depan bar américain di restoran La Coupole.
Foto ini menarik sebab berbagai alasan—misalnya, walaupun kaum
Surealis sangat meyakini puisi dialektik urban yang mereka banggakan,
ini yaitu satu dari sedikit foto Breton di sebuah jalanan Paris. Foto
431
Bagian Tujuh: Medan Magnet
ini juga menangkapnya dalam puncak petualangan Surealis, sebelum
kemasyhuran dan politik melelahkannya. Selain itu, foto ini juga
menandai pergeseran pasca-perang dari Montmartre ke Montparnasse
sebagai pusat kesenangan dan perpolitikan kesusastraan Paris. Lebih
penting lagi, foto tersebut menempatkan dua lambang kehidupan
Parisian pada dekade 1920-an secara berdekatan—bar américain yang
mencolok dan baru saja modis dengan seorang pahlawan avant-garde
revolusioner. Walaupun keduanya dekat dan sering bertemu, jarak
budaya antara kedua ikon ini sangat besar: Breton yaitu musuh
besar bagi segala bentuk budaya Amerika di Paris; sebaliknya bar
américain tidak hanya merupakan invensi baru di kota tetapi juga
memperkenalkan bentuk perilaku kehidupan bebas kepada Paris
(jazz, tarian eksotis, dan koktail) yang, bahkan pada awal abad ke-20
ini, diidentifikasi sebagai musuh tradisi kota.
Hal yang sama sering dikatakan tentang orang-orang Amerika
di pengasingan yang datang ke Paris selama dekade 1920-an. Orang
Amerika pertama kali datang ke Prancis sebagai prajurit pada 1917.
saat kembali ke Amerika Serikat, mereka membawa serta cerita-
cerita tentang hedonisme tanpa batas dan rasa haus akan kehidupan
baik yang sepertinya tidak ada dari tanah air Protestan mereka yang
ketat. Para pelacur Paris menjadi legenda para Doughboy (prajurit AS)
dari New York hingga dusun Midwest yang paling terisolasi. Orang
Amerika kulit hitam memperhatikan bahwa mereka relatif bebas dari
batasan hukum dan sosial yang jika dibandingkan akan membuat
Amerika Serikat menjadi negara yang terpecah-belah dan tidak
adil. Para musisi kulit hitam yang menetap di Paris sesudah perang
menemukan bahwa mereka dikagumi sebab seni mereka dan sangat
dibutuhkan secara seksual oleh para Parisien dari semua kelas yang
ingin merasakan sesuatu yang eksotis. Ruveu Nègre, yang dibintangi
oleh penyanyi dan penari Josephine Baker, dengan orkestra Claude
Hopkins, yang termasuk orang-orang seperti bintang pemain saksopon
Sidney Bechet, dan penari seperti Joe Alex, yang berspesialisasi
dalam danse sauvage, dibuka di Champs-Élysées pada 1925. Opera
ini menarik banyak penonton dari seantero kota dan segera menjadi
sukses besar dalam musim tersebut. Kabaret Baker di Rue Fontaine
menikmati kesuksesan serupa di tahun-tahun selanjutnya. sesudah
432
kesuksesan ini dan kultus ‘negrofilia’ yang tumbuh darinya, yaitu le
jazz nègre (nantinya diubah menjadi le jazz hot) sebagaimana sebutan
Parisian untuknya, telah menginvasi Paris. Tempat pertunjukan utama
yaitu di Caveau de la Gaîté di Rue de la Gaîté di Montparnasse atau,
di sisi utara kota, Le Pigall’s atau Le Palace. Pada 1927, impresario
Hugues Panassié memperkenalkan Louis Amstrong dan Bessie Smith
yang segera memukau para penonton. Pada 1928, Duke Ellington dan
Fats Waller untuk pertama kalinya tampil di Paris. Sebuah pertunjukan
musik yang mengikuti model Revue Nègre dan diberi judul Black Birds
dimainkan di Moulin Rouge yang penuh sesak oleh penonton. Salah
satu penontonnya yaitu penulis, filsuf, dan erotomaniak Georges
Bataille, yang merasakan sensasi dari seksualitas penuh semangat
yang dipertunjukkan.4
Bukanlah kebetulan bahwa gairah akan kebudayaan Amerika
Kulit Hitam ini bersamaan dengan penemuan avant-garde terhadap
seni Afrika ‘primitif ’. Seni ini awalnya dipromotori oleh Picasso dan
nantinya dipuji oleh para Surealis sebab keautentikan dan pesona
liarnya (Philippe Soupault menerbitkan sebuah tulisan berjudul Le
Nègre pada 1927 sementara André Breton dikenal mengumpulkan
seni Afrika). Namun demikian, bukannya merasa dilindungi atau
dipermalukan, sebagian besar orang Amerika Kulit Hitam menikmati
rasa kebebasan seni dan kesetaraan sosial untuk pertama kalinya.
Selama bertahun-tahun kemudian, fakta ini telah memunculkan
kebohongan bahwa Paris yaitu ‘kota tanpa rasisme’. Frasa ini
memang berulang kali digunakan dalam merayakan ulang tahun ke-
50 pembebasan Paris di Place de la Bastille pada 2004. Kebohongan ini
sepertinya tidak banyak artinya bagi para tetangga saya saat itu di Rue
de Vertbois yaitu para pencari suaka dari Rwanda dan Kongo. Hotel-
hotel jelek tempat mereka tinggal berulang kali dilempari bom api
atau dirusak oleh kelompok-kelompok pemuda kulit putih berwajah
musang di sepanjang musim panas dan musim gugur tahun tersebut.
Pada kenyataannya, kehidupan bagi sekitar 5.000 orang kulit hitam,
terutama dari Afrika kolonial, yang menetap di Paris pada dekade
1920-an sangatlah sulit. Banyak dari mereka yaitu bujangan yang
dibebastugaskan dari tentara Prancis tetapi belum berkeluarga atau
meninggalkan penanda dalam masyarakat Prancis. Lainnya yaitu
433
Bagian Tujuh: Medan Magnet
para mahasiswa atau pelayan yang dibawa kembali dari koloni-koloni
oleh keluarga-keluarga yang pensiun dari penugasannya di luar negeri.
Sebagian besar orang berkulit hitam di Paris yaitu para pekerja yang
dibawa untuk bekerja dalam jam kerja panjang dengan gaji rendah di
pabrik-pabrik mobil Renault atau Citroën, pabrik cokelat di Amieux
atau fasilitas lainnya. Para wanita Paris dari segala kelas memenuhi
kabaret-kabaret di Rue Blomet di arrondissement ke-15, yang dikenal
sebagai wilayah populasi orang Karibia (ada antagonisme tertentu
antara orang Karibia dengan orang Afrika yang sering dipandang
sebagai orang bodoh dari koloni). Namun pada kenyataannya, hampir
tidak ada yang ‘sensual secara eksotis’ tentang tidur di permukiman
kumuh di Zona dan bangun di waktu fajar untuk bekerja keras mencari
nafkah dengan cara ini.5
Orang-orang Amerika di pengasingan yang paling awal pergi ke
Paris ini kemudian diikuti oleh rombongan kaya dari kelas atas pada
awal dekade 1920-an. Motivasinya tidak terlalu berbeda: kebebasan
sosial dan pan-seksual Paris jauh lebih maju dan lebih banyak tersedia
daripada di Amerika Serikat. Misalnya, lesbianisme semakin dianggap
bergaya (salah satu bar lesbian paling terkenal yaitu Le Monocle di
Montparnasse). Biseksualitas dan homoseksualitas menjadi kebiasaan
di bagian-bagian lain kota. Orang pengasingan yang jumlahnya
sedikit kemudian menjadi sangat banyak pada akhir 1920-an saat
generasi orang pengasingan muda datang ke Paris untuk memuaskan
rasa haus mereka akan minuman keras, kebuday