Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 13

 


menderita memiliki akses 

kepada pekerjaan, makanan, anggur, pakaian yang layak dan standar 

kesehatan serta kehigienisan yang cukup baik. Paris masih memiliki 



402

daerah kumuh—bahkan sepertinya tumbuh dan menyebar saat  kota 

berkembang melewati batas-batasnya pada abad ke-19 ke daerah yang 

tidak dikenal dan belum terpetakan yang disebut la banlieue—tetapi 

juga berisi janji kemajuan sosial, atau setidaknya prospek mendapat 

pekerjaan dan perut yang kenyang bagi sebagian besar orang. Gairah 

politik, walaupun masih tetap berbisa seperti sebelumnya, untuk 

sementara waktu terbatasi dalam perdebatan tentang Dreyfus yang, 

walaupun tajam dan memecah-belah, kecil kemungkinan akan 

membangkitkan semangat revolusioner yang begitu sering membuat 

gaduh ibukota selama beberapa ratus tahun terakhir.

Sebaliknya, Parisian menceburkan diri dalam seni rekreasi 

dan konsumerisme. Kota yaitu  kuil bagi dunia baru periklanan 

komersial, dengan seluruh jalanan diabdikan untuk kesenangan 

berkelana melalui hutan bahan publikasi, yang membujuk penonton 

untuk ’lécher les vitrines’ (‘pergi melihat-lihat etalase’, atau secara 

harfiah, ‘menjilat kotak tampilan kaca’). Salah satu bentuk hiburan 

populer yaitu  bioskop yang benar-benar menjadi salah satu daya 

tarik Paris pada akhir dekade 1890-an. Bioskop hanya bisa disaingi 

popularitasnya oleh teater populer di bulevar-bulevar yang, seperti 

dipimpin oleh penulis drama komedi Georges Feydeau, bersukaria 

dalam komedi segala macam. Pada 1913, sudah ada 37 bioskop di 

Paris, termasuk Pathé Cinema di Les Invalides, yang mengklaim 

memiliki layar terbesar di dunia. Pada 1920, sudah ada lebih dari 200 

bioskop di Paris tengah, yang sering kali dibangun dengan rancangan 

rumit dan megah untuk menangkap ‘semangat baru’ zaman (sisa-sisa 

yang mengagumkan dari zaman ini, yaitu Le Grand Rex yang berdiri 

di sudut Boulevard Poissonnière, masih menjadi biskop komersial 

yang sibuk). Yang tidak kalah luar biasa yaitu  pembangunan metro 

Paris, yang dimulai pada 1898 dan berfungsi sepenuhnya pada 1900 

(jalur pertama menghubungkan Vincennes ke Porte Maillot, termasuk 

beberapa stasiun di sepanjang Champs-Élysées bagi pengunjung 

pameran).

Pekerjaan pembangunan metro banyak menghadapi hambatan 

saat pemerintah kota harus mempertengkarkan biaya proyek, 

kehilangan momentum dan prestise dari London dan New York yang 

sudah memiliki sistem kereta api bawah tanah yang beroperasi pada 


403

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

dekade 1870-an. Namun demikian, sejak awal metro Paris sudah 

membedakan diri. Bukan hanya sebagai hasil upaya rekayasa tetapi 

sebagai keajaiban desain. Metro yaitu  karya arsitek Hector Guimard 

yang mendapatkan kontrak bagi proyek ini pada 1898. Ia yaitu  

pengikut setia dan bergairah dari gaya yang saat itu disebut sebagai 

le style moderne dan sekarang dikenal sebagai art nouveau. Ajaran 

utama filsafat desain ini yaitu  melawan impersonalitas dingin seni 

monumental dan berjuang bagi kesatuan artistik yang ditentukan oleh 

seniman secara individu. Dalam hal ini, gerakan art nouevau di Prancis 

dan Eropa (yang dikenal sebagai Jugendstil di Jerman dan Modernista di 

Spanyol) memiliki banyak kesamaan dengan, dan bahkan dipengaruhi 

secara langsung oleh, gerakan Seni dan Kerajinan (Arts and Crafts) 

Inggris yang diujungtombaki oleh John Ruskin dan William Morris. 

Desain terkenal yang dibuat oleh Guimard bagi stasiun-stasiun metro 

memiliki kontur mengalir kehidupan tanaman sebagai motif utamanya 

dan dalam hal ini berlawanan dengan garis-garis lurus matematis dari 

kota yang ter-Haussmannisasi. Parisian langsung menyambutnya, 

mengagumi caranya memberikan kehidupan bagi jalanan kota 

dan rasa keharmonisan dan individualitas yang hampir domestik. 

Penggunaan teknologi baru oleh metro juga bersifat Utopis—Parisian 

membayangkan sebuah kota masa depan dengan kecepatan mudah 

dan momentum yang tidak bisa dihentikan—tetapi aplikasinya secara 

langsung berbahaya. Pada 1903, sebuah jalur yang baru saja dipasang 

antara Étoile dan Nation mengalami arus-pendek sesudah  terjadi 

lonjakan daya listrik. Setidaknya 84 orang terkubur dalam terowongan 

gelap, berasap dan penuh gas beracun. Mayat-mayat mereka yang 

tidak dimakamkan, dimakan oleh tikus.

Kecelakaan seperti itu dengan mudah diremehkan atas nama 

kemajuan dan janji akan sebuah abad baru saat  kebahagiaan 

manusia dapat dicapai melalui prinsip-prinsip ilmiah dan rasional. 

Visi abad ke-20 ini telah diformulasikan di Paris setidaknya sejak 1863 

dalam novel Jules Verne berjudul Paris au vingtième siècle (‘Paris di 

Abad Kedua Puluh’). Sekarang, Verne dikenal luas sebagai penulis 

kisah-kisah petualangan dan pendiri fiksi ilmiah modern, yang 

kisah-kisahnya secara umum bersifat positif dan positivis. Namun, 

ia memiliki ambisi kesusastraan serius (karyanya dipenuhi dengan 



404

kiasan atau kutipan dari orang-orang seperti Hugo, Baudelaire, 

Diderot dan Edgar Allan Poe) dan kadang kala melihat nasib umat 

manusia secara suram. Ini yaitu  alasan utama mengapa penerbit 

Verne yaitu Hertzel menolak manuskrip Paris au vingtièm siècle—

karya ini menampilkan impian kota masa depan pada dekade 1960-

an sebagai distopia yang diorganisasi di sekeliling kebutuhan modal 

dan industri. Namun demikian, buku ini memang memiliki sejumlah 

kebenaran yang aneh: salah satunya, ia memprediksi mesin faks, 

sistem transportasi modern dan fakta bahwa para penulis Paris pada 

dekade 1960-an akan mengabdikan diri untuk menuliskan buku-buku 

tak terbaca yang bahkan tidak bisa dipahami oleh penulisnya sendiri.

Memandang masa depan sebagai bencana potensial memang 

merupakan penghujatan luar biasa pada abad ke-19. Hal ini paling 

terlihat pada pergantian abad saat  Parisian dari semua kelas 

sepertinya memiliki kebutuhan tak terkontrol untuk percaya bahwa 

masa depan harus lebih baik daripada masa lalu mereka sendiri.

Para Raja Teror

Sisi sebaliknya dari optimisme tanpa henti yang memberi tenaga pada 

pameran tahun 1900 dan memunculkan pembicaraan tentang ‘zaman 

keemasan’ Paris baru di surat-surat kabar yaitu  ketertarikan terhadap 

kejahatan di kota yang semakin meningkat. Banyak dari kejahatan ini 

dikaitkan dengan Montmartre, yang menikmati peran ganda sebagai 

pusat ‘kesenangan’ kota dan fokus semua aktivitas melanggar hukum, 

mulai dari perpolitikan revolusioner hingga seks komersial.

Paris tidak pernah kekurangan para penjahat selebriti sejak masa 

Villon atau Cartouche. Sejak masa Pencerahan dan selanjutnya, 

para penjahat paling terkenal dikagumi sebab  ‘kegeniusan’ dan 

kemampuan mereka untuk memperdaya otoritas borjuis. Tradisi 

ini benar-benar dimulai oleh seorang gangster dan informan polisi 

bernama Eugène Vidocq. Pada dekade 1790-an, ia terkenal sebab  

berbagai macam penyamaran dan keahliannya untuk membaur dalam 

berbagai lingkungan sosial, mulai dari masyarakat kelas atas hingga 

canaille di daerah kumuh. Pada 1836, Pierre-François Lacenaire, 


405

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

penyair gadungan, pembunuh dan pesolek, menyihir pengadilan 

dengan retorika dan gayanya, menyatakan bahwa dirinya sendiri 

berada di atas hukum dan musuh semua masyarakat (walaupun 

demikian ia terbukti bersalah telah membunuh seorang banci dan 

ibunya serta melakukan percobaan perampokan bank). Lacenaire 

nantinya muncul kembali sebagai salah satu tokoh utama dalam 

film berjudul Les Enfants du Paradis (‘Anak-Anak Surga’) karya 

Marcel Carné produksi tahun 1945 dan kemungkinan besar menjadi 

purwarupa master kejahatan Vautrin yang muncul di seluruh Comédie 

humaine karya Balzac (dibahas dalam Bab 29).

Namun, ada  bahaya di kota yang lebih mengancam dan nyata. 

Salah satunya yaitu  lonjakan kejahatan yang sangat mencolok, 

dipimpin oleh geng-geng terorganisasi dan semi-terorganisasi yang 

beranggotakan para bandit jalanan yang disebut apache (nama ini 

terinspirasi oleh kemunculan Buffalo Bill pada pameran 1900). Namun, 

mereka segera menjadi bahan legenda, terkenal sebab  syal merah 

yang mereka kenakan di leher, pisau yang mereka bawa, kemampuan 

mereka untuk minum minuman keras serta kecenderungan untuk 

memperlakukan para wanita dengan buruk (terlihat dalam tarian 

apache yang tersisa dalam bentuk yang sudah sangat dilemahkan di 

kabaret untuk para turis di Montmartre abad ke-21).

Pada kenyataannya, mereka yaitu  berandalan kelas pekerja yang 

menghindari kerja dan membalas dendam kepada dunia borjuis 

dengan pencurian dan kekerasan. Agresi mereka cukup nyata. Sebuah 

laporan dalam National Police Gazette yang berbasis di Amerika 

Serikat pada 12 Oktober 1905 mendeskripsikan keberanian dan 

teknik para apache, termasuk coup de Père François yang terkenal, 

yang melibatkan setengah mencekik korban sebelum mengosongkan 

kantongnya. Reporter juga mencatat bagaimana para apache pernah 

menjadi bahan lagu yang merayakan tepi-tepi ‘eksentrik’ kota, tetapi 

sekarang menjadi ancaman di pusat kota Paris:

Selama satu jam penuh Place de la Bastille di Paris tengah menjadi 

daerah berdarah di mana polisi yaitu  pihak yang berdarah. Mereka 

berkelahi dengan knuckle duster (senjata logam kecil yang dikenakan di 

punggung buku jari), yang disebut ‘pukulan Amerika’, dengan blackjack 

(alat pemukul dengan gagang pendek yang fleksibel), tongkat berbahan 



406

timbal, tongkat pedang dan revolver. Namun, senjata yang sangat mereka 

sukai yaitu  pisau tajam, tipis dan panjang yang disebut ‘zarin’. Mereka 

menggunakannya untuk pukulan merobek. Seorang Amerika berkulit 

hitam yang terdampar di Paris, yang melihat pertempuran ini dari jendela 

sebuah toko anggur tempat ia bekerja, langsung berhenti bekerja pada 

hari itu juga tanpa meminta upahnya, “Dat’s too sporty for Dan (Itu 

terlalu berlebihan bagi Dan),” katanya kepada seorang teman, “dah kick 

‘em in dah groin wit dah big boots and tramps on dah haid and shoot and 

slash scandalous (mereka menendang kemaluan dengan sepatu besar dan 

menginjak kepalanya dan menembak dan menebas sangat mengejutkan).” 

Jika perkelahian dengan hanya berukuran setengahnya terjadi di distrik 

Park Row di New York—atau bagaimana jika di Union Square?—koran-

koran di seluruh Eropa akan ramai memberitakannya. Di sini, insiden ini 

akan dilupakan sebab , untuk satu hal, akan ada perkelahian baru setiap 

hari.

Perkelahian ini mengingatkan pada pertempuran jalanan yang 

terjadi secara berkala antara geng-geng banlieusard yang saling 

bersaing di Les Halles dan Charles de Gaulle-Étoile, yang membuat 

takut para pebelanja dan turis di abad ke-21. Memang, dalam meredam 

energi kekerasan dari mereka yang dikecualikan dari pemandangan 

komersial kota, sepertinya sedikit sekali yang telah berubah selama 

seratus tahun terakhir (termasuk klise menggelikan dalam meniru 

gaya berbicara orang Amerika berkulit hitam yang dilakukan polisi).

Para apache pada kenyataannya menjadi bagian dari tradisi lama 

preman dan gangster yang berasal dari awal Abad Pertengahan. Di 

abad baru, Paris dikejutkan oleh geng-geng seperti ‘Bande à Bonnot’ 

(‘Geng Bonnot’), yang disebut para ‘bandit tragis’. Mereka membuat 

kejahatan mengikuti perkembangan zaman dengan melakukan 

perampokan bank untuk pertama kalinya menggunakan senjata 

otomatis dan mobil yang baru saja ditemukan. Geng juga bersifat 

politis secara eksplisit, menyatakan bahwa diri mereka yaitu  anarkis 

dan mendapatkan kekaguman dari para pekerja yang tidak puas 

dengan operasinya yang memesona dan berani seperti perampokan 

bank Société Générale di Rue Ordener pada 1911. Pemimpin geng ini 

yang bernama Jules Bonnot berasal dari Montbéliard. Ia terdampar 

di Paris sesudah  beraksi di Jenewa, Lyons dan pernah menjadi sopir 

bagi Arthur Conan Doyle walaupun hanya sebentar di London. Ia 


407

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

diakui sebagai musuh masyarakat borjuis dan menjustifikasi sejumlah 

pembunuhan yang dilakukannya sebagai ‘propaganda revolusioner’.

Bonnot akhirnya tersudut oleh polisi di sebuah ‘rumah aman’ 

di Choisy-le-Roi. Ribuan orang datang dari seantero Paris untuk 

menonton pengepungan selama lima jam. Pengepungan ini berakhir 

dengan kematian Bonnot yang semi-heroik, dengan rumah tersebut 

dilempari dinamit dan ia meloloskan diri dari rumah ke dalam 

hujan peluru polisi. Diisukan bahwa ia meneriakkan kata ‘Salauds!’ 

(‘Bajingan!’) saat  akhirnya ditembaki hingga roboh. Bonnot segera 

menjadi pahlawan rakyat Paris, yang pengaruhnya berlanjut selama 

abad ke-20. Misalnya selama percobaan pemberontakan pada bulan 

Mei 1968, sebuah amfiteater di Sorbonne yang diduduki diberi nama 

sesuai nama anarkis terkutuk ini, sementara aktivitasnya dihidupkan 

kembali pada tahun yang sama dalam sebuah film yang dibintangi 

oleh Jacques Brel.

Gelombang Pasang

Hujan turun setiap hari selama musim dingin 1909 dan 1910. Pada 29 

Januari, air di sungai Seine telah naik sekitar delapan setengah meter. 

Inilah ketinggian tertinggi yang pernah tercatat atau setidaknya sejak 

banjir bandang terakhir pada 1740. Sungai yang meluap ini tidak lagi 

bisa ditampung; halaman École des Beaux-Arts dan stasiun kereta api 

di Quai d’Orsay keduanya tidak dapat dilalui. Tidak lama kemudian 

metro, yang menjadi kebanggaan kota modern, juga menjadi lumpuh 

bersama dengan seluruh bentuk transportasi lainnya. Jembatan-

jembatan terendam air dan penduduk dibuat takut oleh pers yang 

melaporkan bahwa sejumlah buaya mematikan berenang keluar dari 

kebun binatang. saat  air akhirnya surut di musim semi, lebih dari 

200.000 rumah rusak. Kota mengalami kerugian fisik dan harga diri 

yang sangat besar.

Tahun yang sama menjadi saksi kembalinya gairah politik yang 

telah lama tidur. Pada 1905, akhirnya dikeluarkan sebuah dekrit 

yang memisahkan Gereja dari negara. Hasilnya yaitu  oposisi yang 

semakin keras antara kaum Kanan dengan kaum Kiri, yang sudah 



408

terpecah sebab  peristiwa Dreyfus, yang memperdebatkan di mana 

otoritas tertinggi berada. Yang paling merusak yaitu  bahwa angkatan 

bersenjata secara efektif diambil alih bukan oleh para profesional 

yang berpikiran praktis dan bijaksana yang pada dasarnya memiliki 

pekerjaan sekuler, tetapi oleh penganut Katolik dari kaum Kanan.

Oleh sebab  itu, kaum Kiri mengajarkan anti-militerisme 

merusak yang menghasilkan pelemahan angkatan bersenjata secara 

keseluruhan menjadi hanya berkekuatan sekitar 100.000 prajurit. 

Petualangan Jerman di Maroko pada 1905 dan 1911 mengguncang 

pemerintah, tetapi kehidupan di Paris bagi mayoritas penduduk 

masih berjalan terus. Mereka tidak menyadari bahaya dari timur atau 

masyarakat sejahtera bersifat ilusi yang diklaim oleh para politisi Paris 

yang berpuas diri sebagai model bagi dunia.

Bagi sebagian besar penduduk, kehidupan politik Paris sepenuhnya 

stagnan. Setiap pemerintah yang bergantian sejak pergantian abad 

dan seterusnya terutama memikirkan untuk mendapatkan poin dan 

memainkan ketegangan domestik yang muncul akibat peristiwa 

Dreyfus dan bukan membangun pertumbuhan ekonomi yang telah 

terjadi hampir secara kebetulan pada akhir abad ke-19. Walaupun 

partai-partai Kanan hanya memiliki daya tarik massa terbatas, 

ketakutan atas agitasi internal—dengan ingatan akan Komune tidak 

pernah menjauh—ditambah setan kembar xenofobia (ketakutan 

terhadap orang asing) dan anti-Semitisme menjamin konsensus 

konservatif yang menjauhkan suara radikal apa pun di Kiri serta 

mendorong kepuasan di tengah dan di tempat lain. Prancis sedang 

berjalan sambil tidur menuju bencana.

Menciptakan Abad Kedua Puluh

Oleh sebab  itu, perubahan terbesar yang sedang terjadi di Paris 

bukanlah dalam bidang politik maupun teknik tetapi dalam bidang seni 

dan terutama dalam kesusastraan. Dalam bidang musik, pertunjukan 

pertama opera Pelléas et Mélisande, karya Debussy pada April 1902 

yang didasarkan pada drama Simbolis karya Maurice Materlinck, 

memasukkan semangat petualangan baru ke struktur operasi teater 


409

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

yang secara tradisional bersifat linier. Tanggapan terhadap opera 

ini bervariasi mulai dari menyambut hangat hingga permusuhan 

secara terbuka. Kemarahan Maeterlinck sendiri yang begitu besar 

didasarkan pada pilihan yang dijatuhkan Debussy kepada penyanyi 

Skotlandia-Amerika bernama Mary Garden. Walaupun berutang 

pada Simbolisme, opera ini dalam bentuknya yang kaya dan rumit 

juga menampilkan cara baru dalam membuat teater musikal tidak 

sekadar menjadi tontotan tetapi menjadi puisi hidup. Inilah hal yang 

benar-benar baru. Yang kalah menakjubkan tetapi tetap memiliki 

nada subversif yaitu  nada yang dibuat dalam novel populer, dengan 

kemunculan Claudine à Paris karya Colette pada tahun yang sama. 

Novel ini menceritakan petualangan Colette sendiri yang relatif 

lesbian, sebagai salah satu lesbian paling berenergi dan berani yang 

berkeliaran di kota pria yang masih tidak benar-benar percaya bahwa 

makhluk eksotis seperti ini memang ada. 

Pada 1900-an, Parisian jatuh cinta kepada seorang anti-pahlawan 

baru. Ia yaitu  karakter fiksi bernama Fantômas, yang diciptakan 

oleh penulis Pierre Souvestre dan Marcel Allain. Fantômas pertama 

kali muncul dalam serial cerita pendek yang diterbitkan dalam serial 

bulanan oleh Arthème Fayard. Publik Paris melahap kisah-kisah 

ini yang menceritakan seorang genius yang elegan dan memukau 

(Fantômas hampir selalu digambarkan mengenakan jas pagi, topi 

tinggi, tongkat, dan topeng) yang menebar teror di kota hanya 

sekadar untuk menerornya. Tindakan jahatnya termasuk memasang 

asam sulfur dalam dispenser parfum di sebuah toserba mewah Paris, 

mengirimkan segerombolan tikus pembawa penyakit ke atas sebuah 

kapal samudra, membunuh seorang murid yang tidak setia dengan 

menggantungnya sebagai anak genta dalam sebuah bel raksasa dan 

membiarkannya terpukul hingga hancur berkeping-keping dan 

membanjiri jalanan di bawahnya dengan darah. Putri Fantômas, la 

belle Hélène’, yang seksualitasnya diragukan, mengenakan pakaian 

pria dan merokok opium baik siang maupun malam. Adegan-adegan 

tak terlupakan dari kisah-kisah ini termasuk Fantômas melucuti emas 

dari kubah Les Invalides, menghancurkan kereta api penumpang dan 

kapal uap, atau mengejar sebuah kereta kuda yang melaju dengan 

kecepatan tinggi di jalanan Paris yang dikemudikan oleh sesosok 



410

mayat bermata kosong.

Fantômas juga menjadi pahlawan awal dalam sinema Paris, muncul 

dalam sebuah film serial sepanjang lima film yang dibuat oleh Louis 

Feuillade pada 1913 dan 1914 (dan juga serial televisi pada dekade 

1970-an). Para penonton datang berduyun-duyun untuk melihat 

Fantômas seluloid melakukan trik-trik keterlaluan dan menyeramkan 

terhadap borjuis yang lamban dan polisi yang selalu mengejarnya. 

Sebagian dari daya tariknya terhadap pembaca (dan pemirsa) yaitu  

petualangan-petualangan tersebut terjadi di latar belakang Paris yang 

mudah dikenali. Terutama, petualangan tersebut terjadi di ujung timur 

dan utara kota yaitu di Belleville, Ménilmontant atau Montmartre. 

Lokasi lokal favorit yang digunakan termasuk Rue de Mouzaïa, Rue 

Compans, Place Clichy, Barbès-Rochechouart, Place Pigalle, Rue des 

Saules, dan Place du Rhin. Dengan menempatkan Fantômas yang 

hanya merupakan tokoh khayalan di tempat-tempat biasa ini, yang 

dapat dikunjungi oleh Parisian baik siang maupun malam, para 

penulis memperkenalkan kualitas teatrikal ke dalam dekor dan pola 

biasa kehidupan sehari-hari. Perlawanan inilah, selain samaran serta 

rencana kejahatan dan melarikan diri yang mustahil, yang memesona 

generasi avant-garde Paris pada saat itu dan masa depan, dari Max 

Jacob hingga para Surealis. Penyair Robert Desnos mendeskripsikan 

Fantômas sebagai “hantu bermata gelap, yang bangkit dari kesunyian.”2 

Sebuah buku sampul tipis Fantômas tergeletak di sebuah meja kafe 

dalam foto dari tahun 1915 berjudul Parisiana karya Juan Gris.

sebab  berbagai alasan, para komentator sastra sering menganggap 

tahun 1913 sebagai titik balik dalam sejarah awal abad ini. Tahun saat  

abad ke-21 benar-benar dimulai. Ini yaitu  tahun diterbitkannya Du 

côté de chez Swann (‘Cara Swan’) karya Marcel Proust, André Gide 

memberikan sentuhan terakhir kepada adikarya pertamanya yang 

berjudul Les Caves du Vatican (‘Ruang-Ruang Bawah Tanah Vatikan’, 

dan penyair Guillaume Apollinaire menyaksikan penerbitan koleksinya 

berjudul Alcools. Masing-masing karya ini sepertinya mengumumkan 

kepekaan baru yang menghargai visi subjektif individu di atas narasi 

tetap dan tak bergerak dari abad ke-19 yang, dari Hugo hingga Zola, 

telah didasarkan pada peran penulis yang selalu ada (‘semangat baru’ 

ini, setidaknya sebagian, untuk sementara membutakan para pembaca 


411

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

pada homoseksualitas Gide dan Proust). Bagi Léon-Paul Fargue, 

makna modernitas yaitu  secara harfiah berada di jalanan Paris: Kota 

yaitu  dunia mimpi yang dibuat dari sensasi yang bernuansa dan 

berkaitan erat. Cara ini dekat dengan Simbolisme, tetapi Fargue dalam 

kehidupan jalanan juga merupakan pejalan kaki yang tidak kenal lelah 

di kota dan Paris-nya sangat hidup dengan apa yang disebut Baudelaire 

sebagai ‘anarki detail’ untuk ditemukan di jalanan kota. Inilah Fargue 

dalam salah satu puisi prosa terbaiknya tentang kota: “Di trotoar yang 

penuh dengan rumah bordil berjendela buram, para pelacur yang 

kelihatannya berjaga-jaga di depan dinding mengerikan berisikan 

iklan membuat tanda salib di dada saat  petir menyambar. Berkas 

cahaya yang menggelegar dari sebuah kedai minum musik menerangi 

hantu-hantu yang menunggu … gambaran compang-camping dari 

suatu sore.”3

Bagi Guillaume Apollinaire, modernitas berarti meragukan ke-

aslian dari segala bentuk ekspresi sastra yang ada sebelumnya. Puisi-

puisi Alcools, seperti lukisan-lukisan Kubisme yang merupakan rekan 

se-zaman langsungnya, tidak mendeskripsikan dunia dalam konteks-

konteks konvensional (atau dalam kasus lukisan, menggambarkan 

dunia dengan figur-figur yang mewakili) tetapi sebaliknya mencoba 

untuk menggambarkan dunia kembali dalam cara berbeda. 

Apollinaire, yang dilahirkan di Roma dari seorang ibu Polandia, tetap 

saja memusatkan pandangannya ke Paris, tempat ia tiba tanpa uang 

sepeser pun pada 1898. Lanskap kota yang dibangkitkannya sebagai 

pendatang baru ke kota tidak lagi bisa dikenali sebagai wilayah 

‘Paris Lama’ yang ramah. Sebaliknya, Apollinaire mendeskripsikan 

kota dengan batas-batas, lanskap industri, bangunan yang hancur, 

permukiman pekerja: setiap bagian kota hidup dengan hantu dan 

mitosnya sendiri:

Sekarang kau berjalan di Paris sendirian di tengah kerumunan

Gerombolan bus bersuara keras bergerak melewatimu Penderitaan

Cinta tersangkut di tenggorokanmu

… Sekarang kau berjalan di Paris Para wanita bernoda

Darah dan apakah aku bisa melupakannya saat senja

Kecantikan4



412

Semuanya ini sangat anti-realistis dan dibangun dengan rujukan 

pada mitos serta geografi dan sejarah Eropa dan bahkan dunia Kristen. 

Paris yaitu  ibukota modernitas tetapi, sebagaimana ditunjukkan 

tidak lama kemudian dalam The Waste Land (1922) karya T. S. Elliot, 

makna modernitas sendiri juga dipertanyakan.

Selain itu, energi halusinasi dan logika terdistorsi dari puisi ini 

menangkap sempurna suasana hati perpolitikan dan kehidupan 

budaya Prancis pada akhir ‘epos indah’, saat  dunia berputar terlalu 

cepat hingga terlepas dari porosnya dan Paris, sekali lagi, bergerak 

menuju perang.


413

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

36 

Perang-perang Baru

Datangnya perang pada Agustus 1914 memberi kejutan sangat 

besar bagi hampir semua Parisian. Seakan-akan tidak seorang pun 

di Paris telah memperhatikan strategi perpolitikan yang secara 

cepat terdisintegrasi di seantero Eropa selain bahaya persekutuan 

meragukan dan permainan yang telah dibuat untuk mengalahkan 

para pesaing kolonial. Lebih tepatnya, tidak seorang pun pernah 

menginginkan perang atau benar-benar memahami mengapa perang 

harus dideklarasikan. Pada 31 Juli, pemimpin Sosialis Jean Jaurès 

ditembak mati saat  sedang makan malam di Café du Croissant di Rue 

Montmartre. Jaurès yaitu  penentang militerisme terkemuka, musuh 

pakta Prancis dengan Rusia dan orang yang sangat percaya bahwa 

para saudaranya yaitu Sosialis Jerman tidak akan pernah melancarkan 

perang terhadap Prancis. Tak terelakkan bahwa pembunuhan Jaurès 

membantu membakar krisis yang semakin panas.

Surat-surat kabar dan Parisian biasa di kafe-kafe dan bar-bar 

menyebut pecahnya perang sebagai une bavure (‘kesalahan besar 

administratif ’) dan mengeluhkan kebodohan pemimpin mereka. 

Tetapi sesudah  Austria menginvasi Serbia sebagai pembalasan dendam 

atas pembunuhan Franz-Ferdinand dari Austria, sepertinya kegilaan 

telah terlepas di Eropa. Pasukan disiagakan di seantero benua, 

saat Prancis memobilisasi pasukan sebagai balasan atas mobilisasi 

Jerman, yang pada gilirannya juga merupakan tanggapan atas gerak 

maju Rusia, yang sepenuhnya didasarkan pada rasa takut. Di Paris, 

penduduk yang pada awalnya tidak yakin memberi semangat kepada 

pasukan pertama yang keluar dari Gare du Nord dalam suasana 

riang, tanpa menghiraukan bencana yang selalu datang sesudah  

petualangan seperti itu. Sejumlah Parisian yang lebih tua teringat 




414

kembali akan tahun 1870, makanan tikus rebus dan peluru, dan 

mulai menimbun bahan makanan. Orang-orang lainnya, yang merasa 

gembira akan kemungkinan datangnya pertempuran, mengamuk di 

Rue Montorgueil, menghancurkan papan-papan nama toko apa pun 

yang menunjukkan nada ‘Teutonik’ walaupun tidak jelas: termasuk 

pembuat sup Kub di Rue Tiquetonne di dekatnya yang dikatakan 

bahwa peralatan makannya beracun. Penjahit Yarf, di jalan yang sama, 

menggantungkan sebuah bendera dari tokonya dan menyatakan 

bahwa ia sebenarnya bernama ‘Fray’ dan bersiap untuk bergabung 

sesegera mungkin.1

Salah satu ketakutan pemerintah sesudah  terjadinya deklarasi 

perang yaitu  pemogokan umum. Sebelumnya, sudah terjadi se-

jumlah gelombang ketidakpuasan pekerja di daerah Paris dalam 

tahun-tahun menjelang 1914. Namun, pemerintah tidak yakin apakah 

ini disebabkan oleh unionisme, anarkisme, atau Komunisme pekerja 

baik yang sah atau semi-sah. Secara mengejutkan, banyak pekerja 

yang bahkan dari pekerja paling anti-pemerintah telah termotivasi 

oleh kebencian terhadap musuh yang lahir kembali. Rasa takut akan 

revolusi menghilang saat para pekerja bergabung untuk berangkat ke 

Front Timur, meninggalkan Gare du Nord atau Gare de l’Est diiringi 

suara band resimen. Terjadi sejumlah pemberontakan kecil maupun 

upaya pemberontakan di parit-parit, tetapi disiplin militer cukup 

keras dan efektif.

Bagi semua Parisian, momen perang yang paling mengerikan dan 

nyata terjadi untuk pertama kalinya pada 26 Agustus 1914. saat  itu, 

para penunggang kuda yang merupakan anggota barisan depan tentara 

Jerman terlihat berada di pinggiran kota Paris sementara pasukan 

Jerman telah tiba di sungai Marne. Kavaleri Jerman merebut tempat 

pacuan kuda di Chantilly dan bergerak ke arah kota hingga mereka 

bisa terlihat dari Menara Eiffel. Kota diliputi kepanikan. Ledakan 

histeria terlihat di jalan-jalan, di toko-toko, dan di pasar-pasar saat  

terlihat bahwa pengepungan tahun 1870 – 1871 yang mengerikan 

akan kembali terjadi.

Paris segera mengangkat senjata. Menara Eiffel dikelilingi oleh sarang-

sarang senapan mesin. Lebih dari 300 meriam besar ditempatkan di 

seantero kota. Porte-porte dibarikade. Hewan ternak dan bahan makanan 


415

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

lainnya dibawa ke jantung Paris. Seperti di abad-abad sebelumnya, kota 

dipenuhi oleh para pengungsi. Banyak dari mereka yaitu  orang asing 

beraksen berat yang membuat mereka dicurigai sebagai mata-mata 

Jerman. Pada 2 September, pemerintah meninggalkan kota menuju 

Bordeaux. Kereta lainnya membawa cadangan emas Bank Prancis 

ke sebuah lokasi rahasia. Di kalangan borjuis, peralatan perak milik 

keluarga dikubur di kebun. Parisian dari semua kelas sekali lagi berdoa 

kepada Santa Geneviève meminta keajaiban untuk menyelamatkan 

mereka dari para monster dari timur.

Jelas bagi semua pemikir militer bahwa Paris tidak bisa bertahan 

menghadapi pengepungan lainnya. Apa yang tersisa dari perbentengan 

lama tahun 1870 berada dalam kondisi sangat buruk dan dalam proses 

kehancuran. Penduduk kota telah bertambah begitu banyak sehingga 

persediaan makanan tidak bisa dijamin bahkan hanya untuk beberapa 

minggu. Tidak ada pilihan bagi Jenderal Galliéni—komandan veteran 

pasukan Prancis di Paris, yang pernah tertangkap di Sedan dan hidup 

melewati masa Komune—selain melancarkan kontra-ofensif. Namun 

pertanyaannya yaitu  kapan dan bagaimana?

Peristiwa yang disebut sebagai ‘Keajaiban di sungai Marne’ yang 

menyelamatkan kota sebenarnya yaitu  kombinasi dari kecelakaan 

dan nasib baik. Keberuntungan pertama yaitu  ditemukannya peta 

bernoda darah yang menginformasikan rencana serangan Jerman di 

mayat seorang perwira kavaleri Jerman. Intelijen Prancis merebutnya 

dan membawanya kepada Galliéni. Sang jenderal memperkirakan 

bahwa gerak maju Jerman dimaksudkan untuk berbelok ke timur, 

melewatkan Paris, dan menyudutkan pasukan Prancis yang tersisa 

di perbatasan Swiss. Lebih penting lagi, gerakan ini membuat bagian 

penting dari lambung pasukan Jerman terbuka. Galliéni bertekad untuk 

memberi pukulan keras ke lambung ini. Pada 6 September, ia menyita 

seluruh armada taksi Prancis untuk memindahkan pasukannya ke 

posisi Jerman yang paling rentan. Manuver ini menyelamatkan kota, 

memperlambat dan pada akhirnya membalik gerak maju Jerman. 

Namun sedikit Parisian yang bisa melupakan bahwa, walaupun 

keberanian mereka tidak diragukan lagi, banyak taxiste Paris meminta 

pembayaran penuh atas ongkos mengangkut para prajurit ke momen 

heroik pengorbanan diri bagi negara.



416

“Abad Kecepatan”

Suasana panas di Paris yang mengarah ke dan selama tahap-tahap 

awal perang ditangkap secara sempurna dalam halaman-halaman 

pembuka novel epik berjudul Voyage au bout de la nuit (‘Perjalanan 

ke Ujung Malam’) karya Louis-Ferdinand Céline. Buku ini mendapat 

sambutan hangat saat  diterbitkan pada 1932 dan membuat Céline 

yang sebelumnya tidak dikenal mendapat reputasi sebagai ‘Zola 

baru’. Nama asli Céline sebenarnya yaitu  Destouches dan ia bekerja 

sebagai dokter medis di bagian-bagian termiskin di utara Paris. Di 

sana, ia mendapatkan rasa kasih sayang mendalam dan juga kebencian 

terhadap segala bentuk kekuasaan negara. sesudah  terluka di parit 

(tempat ia mendapatkan sejumlah medali atas keberaniannya), Céline 

menjadi pencinta damai berbahaya dengan antipati mendalam 

terhadap perang. Posisi ini nantinya berubah saat , pada dekade 

1930-an (seperti akan kita lihat dalam Bab 38), ia menerbitkan pamflet 

panjang (dan disusun secara indah) yang menentang Yahudi dan 

‘Anglo-Saxon’, serta menyatakan pendapat yang mendukung Eropa 

Raya di bawah Hitler.

Voyage dimulai dengan percakapan yang hiruk-pikuk dan lucu 

antara dua orang mahasiswa kedokteran, karakter utama Bardamu 

dan Arthur Ganate (yang segera menghilang dari pandangan), di 

sebuah kafe di Place Clichy di musim panas 1913. Keduanya memiliki 

kecenderungan anarkis, sesuatu yang lazim pada periode tersebut, 

dan kemudian berupaya saling mengalahkan dalam mencela negara, 

Tuhan, kaum kapitalis, pencinta perang, serta membacakan keras-

keras puisi anti-kapitalis dan anti-perang. “Begitulah cara semuanya 

dimulai,” kata Bardamu. “Saya tidak pernah mengatakan apa pun. 

Tidak satu pun.” Ganate melancarkan serangan umum kepada 

kepuasan diri dan kelambanan yang menjadi ciri khas Paris dalam 

tahun-tahun sebelum perang:

“Penduduk Paris selalu terlihat sibuk,” katanya, “tetapi sebenarnya apa 

yang mereka lakukan yaitu  berjalan berkeliling dari pagi hingga petang. 

Buktinya yaitu  saat  cuacanya tidak baik untuk berjalan, terlalu panas 

atau terlalu dingin, mereka semua berada di dalam ruangan meminum 

café-crème atau bock. Seperti itulah adanya. Abad kecepatan? Jadi, apa 


417

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

itu? Perubahan besar, kata mereka! Bagaimana bisa? Sebenarnya tidak 

ada yang benar-benar berubah. Mereka terus saling mengagumi dan itulah 

mereka! Dan tidak satu pun yang baru tentang hal itu. Mungkin ada sedikit 

kata kecil yang berubah, tetapi tidak banyak juga. Dua atau tiga di sini 

dan di sana…” Bangga telah menyatakan kebenaran tidak berguna ini, 

kami duduk bersandar, merasa senang atas diri kami sendiri, melihat para 

wanita di kafe.2

Tidak ada penulis abad ke-21 yang lebih baik dari Céline dalam 

menggapai ritme bicara Parisian sehari-hari yang terlalu ringkas, 

terputus-putus dan tak dapat diterjemahkan. Dengan kecepatan dan 

ketidaklogisan yang tersentak-sentak dan dipercepat seperti film bisu 

awal, adegan di kafe segera berpindah ke tahun 1914 tanpa diketahui 

penyebabnya. Tiba-tiba Bardamu, yang pada halaman sebelumnya 

telah mengucapkan banyak celaan pada bangsa Prancis, mendaftar 

untuk membuang nyawanya di parit. Ia ‘tertangkap seperti tikus’. Ia 

melihat dengan horor saat  kepala seorang kolonel meledak, darah 

di lehernya yang terputus ‘menggelegak seperti selai hangat’. Bardamu 

yang terguncang jiwanya sebab  ledakan bom yang terus-menerus 

dikirim ke garis belakang ke Paris di masa perang, yang sekarang 

diselubungi oleh kegelapan. Kehidupan biasa di Paris sudah hilang 

dan digantikan oleh suasana tidak nyata permanen yang menyebar ke 

seluruh kota.

Kebingungan di garis depan memang diiringi oleh suasana hati 

yang bergejolak di kota selama masa ini. Hampir sepanjang perang, 

Paris yaitu  kota dalam pengepungan—walaupun tidak mendekati 

tingkat tekanan yang diberikan oleh Jerman pada 1870—dan tempat 

berlindung bagi para prajurit yang terluka, terguncang jiwanya sebab  

ledakan bom dan kelelahan. Paris juga menjadi tempat berlindung bagi 

para pengungsi dari seluruh Prancis. Kota juga terperangkap dalam 

gelombang kebencian anti-Jerman yang bahkan mencapai kalangan 

terpelajar yang paling berkelas dan paling bersopan santun. André, 

yang salah satunya merupakan pengikut Nietzsche, menyebut orang 

Jerman ‘brutal’. Marcel Proust menulis tentang orang Prusia yang 

‘licik’. Octave Mirbeau, yang sebelumnya Simbolis dan secara pribadi 

tidak asing dengan praktik seksual yang misterius, mendeskripsikan 

homoseksualitas Berlin dengan efek yang sangat menghancurkan 



418

reputasinya. Di tingkatan penduduk kota yang tidak terlalu tinggi, 

Parisian biasa membicarakan orang Boche berwajah babi yang 

menyeramkan, pembunuh bayi dan kanibal, yang mewakili antitesis 

nilai-nilai peradaban. Teater, kabaret, dan bioskop penuh sesak kapan 

pun mereka menampilkan propaganda anti-Jerman. Opéra-Comique 

membatalkan pertunjukan Puccini berjudul La Bohème, yaitu 

pertunjukan opera yang dicurigai bersimpati pan-Jerman. Bahkan 

anak-anak berpartisipasi dalam kegairahan anti-Jerman. Karakter 

kartun populer bernama ‘Pieds Nickelés’ meledakkan pabrik-pabrik 

senjata Jerman sementara Bécassine, seorang gadis sekolah Breton 

(orang yang berasal dari Britanny) yang manis tetapi sedikit bodoh, 

merawat mereka yang terluka. Di bulevar-bulevar, para pedagang 

kaki lima menjual prajurit mainan, bendera, cincin, dan syal yang 

dibuat oleh para poilu (‘prajurit wajib militer’) dari amunisi yang 

sudah terpakai. Telur paskah dan yule log (kayu besar yang dibakar 

saat malam Natal) dibuat berbentuk meriam. Kelompok-kelompok 

anak-anak tidak berdosa di sekolah dengan lantang menyanyikan 

propaganda anti-Jerman seperti ‘La chasse aux barbares’ (‘memburu 

orang barbar’) dan ‘Culot d’Alboche’ (‘Pipi orang Jerman’).3

Saat tekanan terhadap kota berkurang, kehidupan di Paris sebagian 

kembali ke ritme lamanya. Terjadi kelangkaan—terutama minyak, 

mentega, dan bahan makanan lainnya—tetapi tidak bisa dibandingkan 

dengan serangan sebelumnya terhadap kota. Di atas segalanya, 

penduduk lapar akan berita. Semua majalah dan jurnal melihat 

peningkatan penjualan dan sirkulasi selama periode ini. Media paling 

laris yaitu  Le Parisien, tetapi selera akan surat kabar begitu besar 

sehingga orang-orang akan berkumpul di persimpangan Boulevard 

Poissonnière dan Rue Montmartre untuk menyikat edisi pertama apa 

pun yang tersedia (inilah lokasi mayoritas kantor dan percetakan surat 

kabar). Namun, Parisian tidak bisa menganggap remeh penyensoran. 

Mereka terkejut dan merasa marah pada Januari saat , atas nama 

mengamankan intelijen, surat-surat kabar tidak melaporkan adanya 

rumah dan bangunan yang dibom oleh Jerman. Pemalsuan lainnya, 

seperti klaim yang dibuat oleh Le Matin bahwa tidak seorang pun 

bertugas lebih dari satu minggu di parit-parit, begitu jelas terlihat 

dan dengan mudah dibantah sehingga menampilkan tantangan serius 


419

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

bagi kredibilitas pemerintah. Pada satu tahap, pemerintah bahkan 

melarang para peramal dan ahli nujum untuk membuat prediksi 

yang tidak tepat. Jurnal satir Le Canard enchaîné (kurang-lebih sama 

dengan Private Eye) didirikan pada 1916 sebagai tanggapan langsung 

atas pendekatan keras ini.4 

Atmosfer di jalanan terkenal akan campuran intensitas kesuraman 

dan keriangan ingar-bingar yang membuat bingung. Bulevar, kafe, 

dan teater selalu sibuk dengan para prajurit yang sedang cuti dan para 

wanita yang ingin menghibur mereka. Namun, ada  pula suasana 

putus asa tentang mencari kesenangan selama hanya beberapa 

jam dari kekejaman garis depan. Pada 21 Februari 1916 di Verdun, 

dimulailah pertempuran terburuk dalam perang. Pertempuran ini 

akan berlangsung hingga Desember tahun yang sama dan memakan 

korban lebih dari 400.000 jiwa tentara Prancis. Namun di belakang 

garis depan di Paris ada  suasana yang tenang bahkan sombong. 

Sebagian besar berita buruk dari Verdun diredam dan para prajurit 

yang kembali dari garis depan sangat terkejut menemukan sebuah 

kota yang berfungsi sepenuhnya, menawarkan makanan, minuman 

keras, seks, dan kesenangan. Pembuatan croissant pernah dilarang 

walaupun hanya sebentar pada 1915 untuk menghemat mentega yang 

berharga. Pemerintah juga memerintahkan warga untuk tidak makan 

daging setidaknya satu hari dalam seminggu tetapi sedikit sekali yang 

mengikuti perintah ini. Barang-barang pasar gelap dan pedagang 

gelap berkembang biak. Banyak prajurit yang merasa getir melihat 

kondisi ini. Namun, itu tidak menghentikan mereka untuk mengambil 

keuntungan dari kesenangan dan kenyamanan ibukota selama waktu 

singkat yang tersedia.

Efek perang baru benar-benar menggigit dalam musim dingin 

1916 – 1917 pasca-pembantaian di Verdun dan semakin sulitnya jalur 

suplai ke kota. Pertempuran Verdun diumumkan sebagai kemenangan 

besar dan jaya, tetapi terlalu banyak orang yang selamat darinya 

mengetahui kebenaran tentang kekotoran, lumpur, dan barisan mayat 

tanpa ujung yang dibabat habis di tanah kehancuran yang luasnya tidak 

lebih dari 10 kilometer persegi. Musim dingin tahun tersebut lebih 

dingin dan keras daripada biasanya. Saat Parisian mulai merasakan 

sebagian kesulitan hidup seperti yang dialami warga Prancis lainnya, 



420

berita buruk dari garis depan memasukkan keputusasaan baru dalam 

upaya perang. Argumentasi-argumentasi para pengalah dari Kiri dan 

Kanan sekarang semakin kencang dan semakin cepat. Suara paling 

lantang yaitu  jurnal Bonnet Rouge, yang awalnya mendukung perang 

tetapi sejak lama berubah menjadi pendukung pasifisme. Pada 1917, 

terungkap bahwa surat kabar ini dibiayai oleh para penyandang dana 

dari Jerman yang juga mendorongnya untuk mendukung sejumlah 

pemberontakan yang bermunculan di seantero garis depan. Skandal 

semakin dalam saat  terungkap bahwa menteri radikal bernama 

Louis Malvy yaitu  pendukung utama kebijakan surat kabar tersebut 

dan secara langsung terkait dengan para penyandang dana dari 

Jerman. Malvy diadili dengan tuduhan pengkhianatan tetapi lolos dari 

hukuman mati yang diberikan kepada rekan-rekan sekomplotannya.

Kemauan politik di Paris terlihat jelas telah berantakan. Namun, 

saat paling berbahaya belum datang. Situasi tersebut datang pada awal 

1918 saat  mundurnya Rusia dari perang telah membuat pasukan 

Jerman mampu mengonsentrasikan upaya mereka secara langsung 

terhadap Paris. Di bawah Jenderal Ludendorff, tentara Jerman 

bergerak ke barat, menembus garis pertahanan Inggris dan bergerak 

maju dengan cepat dan seakan tidak bisa dihentikan menuju kota. 

Paris sekarang mengalami bombardemen terus-menerus dari 

pesawat terbang yang dikenal sebagai ‘Gotha’ dan tidak lama kemudian 

dari meriam besar berjuluk Bertha Besar. Parisian bisa diledakkan 

di jantung kota dan tanpa peringatan. Di hari Jumat Agung, sebuah 

peluru meriam diarahkan ke gereja Saint-Gervais selama Misa. Peluru 

tersebut menewaskan 75 orang dalam satu ledakan sementara lebih 

dari seratus orang lainnya terluka (hingga sekarang, bekas pecahan 

peluru masih terlihat di gereja ini). Untuk pertama kalinya sejak 

1914, Parisian mulai membicarakan kemungkinan meninggalkan 

kota. Hanya tangan tegas Georges Clemenceau, yang hidup melewati 

Komune dan yang pada usia 75 tahun telah mengambil alih komando 

kota, yang mampu menenangkan rasa takut Parisian.

Perang berbalik di musim panas, saat momentum gerak maju 

Ludendorff terhenti. Dengan dukungan tentara Amerika, yang baru 

terlibat dalam perang dan belum lelah menjalaninya, dan tentara 

Inggris, yang pada 8 Agustus menghancurkan garis pertahanan 


421

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

Jerman, tentara Prancis keluar dari perangkap yang telah menahan 

mereka selama dua tahun. Di bawah komando Marsekal Foch, secara 

tiba-tiba dan dramatis mereka bergerak maju. Pada akhir Oktober, 

tentara Jerman sudah berantakan dan hampir hancur berkeping-

keping. Tepat pada pukul 11 pada tanggal 11 November 1918, Perang 

Besar berakhir.

Interzona

Reaksi Parisian terhadap berita gencatan senjata yaitu  campuran 

rasa lega dan kegembiraan. ‘Perang total’ pertama pada abad ke-

20 telah sangat menghancurkan bagi Prancis tetapi Paris lolos dari 

horornya yang paling parah. Kota masih utuh dan tidak diduduki atau 

dihancurkan oleh pengepungan dan bombardemen. Di Paris sendiri, 

pagi hari 11 November lembap dan dingin. Saat bel-bel berbunyi 

untuk memberitahukan kemenangan Sekutu, jalanan mulai terisi 

oleh Parisian dari segala lapisan masyarakat dan para prajurit dari 

berbagai kebangsaan. Kerumunan orang bergerak menyusuri Rue de 

Rivoli ke Place de la Concodre dan Majelis Nasional untuk melihat 

Clemenceau, yang bergetar sebab  emosi, menyatakan kemenangan 

dan memberi penghormatan kepada mereka yang tewas. Pidato ini 

diikuti oleh perayaan yang hiruk-pikuk dan mabuk-mabukan selama 

beberapa hari siang dan malam.

Namun, euforia ini hanya berumur pendek. Perang telah meng-

hancurkan hidup jutaan orang. Satu setengah juta orang Prancis 

tewas—ini lebih banyak dari korban yang pernah diderita oleh negara 

mana pun dalam sebuah konflik dalam sejarah manusia. Para janda 

dan gadis perawan jatuh ke dalam perkabungan yang dalam dan tanpa 

akhir. Epidemi flu Spanyol juga membunuh ratusan dan ribuan orang 

lainnya, termasuk penyair Guillaume Apollinaire. Ia wafat sambil 

mengigau sebab  demam hanya beberapa hari sebelum berakhirnya 

perang, dan percaya bahwa kerumunan orang di jalanan yang 

sedang meneriakkan ‘À bas Guillaume!’ (“Enyahlah Kaisar Wilhelm 

[Guillaume]!”) sebenarnya yaitu  panggilan bagi kematiannya sendiri.

Pemerintahan Clemenceau, dengan sejumlah alasan, meng-

khawatirkan suasana hati orang-orang yang kembali dari parit-parit 



422

yang ingin membalas dendam. Dengan melihat kejadian-kejadian 

yang terjadi di Rusia setahun sebelumnya, mereka memutuskan untuk 

menjaga para prajurit di bawah disiplin militer selama setidaknya dua 

belas bulan lagi. Penjatahan dilanjutkan selama periode yang sama 

dan terus terjadi kelangkaan bahan bakar dan makanan. Ketentuan 

perdamaian yang keras yang dibebankan kepada Jerman oleh 

Perjanjian Versailles pada 1919 cukup bisa mengurangi kemarahan 

publik di Paris walaupun tidak lama. Namun, perjanjian ini tidak 

bisa memecahkan perselisihan penuh dendam yang menjadi jantung 

perang ini dan perang selanjutnya. Bahkan di Paris, Perjanjian 

Versailles dipandang dengan sangat skeptis: Hari penandatanganan 

ditandai oleh pemogokan angkutan yang dipimpin oleh kaum Komunis 

tetapi didukung oleh semua faksi penting dari kaum Kiri Prancis yang 

tidak puas, yang barisannya sekarang diperkuat oleh para poilu dan 

warga sipil yang tidak puas. Argumentasi dari banyak orang di kaum 

Kiri yaitu  perang tidak benar-benar berakhir tetapi telah membuka 

periode transisi baru, yang secara logika hanya bisa berpuncak pada 

revolusi. Perang hanya memiliki makna jika perang dapat dilihat 

telah membuka jalan bagi masa depan. Argumentasi seperti ini juga 

menemukan pendengar yang mau menerima di kalangan orang-orang 

seperti André Breton, Louis Aragon, Robert Desnos, dan lainnya. 

Dalam waktu hanya beberapa tahun, mereka akan memimpin gerakan 

avant-garde Paris ke depan untuk membuat konfrontasi yang paling 

berani dan tidak mau kompromi dengan kekuatan-kekuatan kontrol 

dan ketertiban.

Masalah yang segera dihadapi oleh pemerintah kota di Paris 

yaitu  bagaimana membangun kembali kota dalam cara yang 

akan memulihkan kepercayaan publik dan memberikan semacam 

kepercayaan kepada Parisian akan masa depan mereka. Prancis 

telah memboroskan lebih dari seperempat cadangan keuangannya 

selama perang dan sudah jelas bahwa investasi besar dalam industri 

berat akan sulit atau tidak bisa sama sekali. Faktanya, Paris tidak 

mengalami kerusakan parah selama perang tetapi kumuh dan 

mengalami kemunduran serta hampir tidak bisa dikenali sebagai kota 

model belle époque yang gemerlap. Diambil keputusan untuk sekali 

lagi memperindah kota—merapikan ruang publik, menambahkan 


423

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

furnitur jalanan dan memoles monumen-monumen yang sudah 

ada—merupakan keputusan yang jauh lebih murah dan secara politik 

lebih bijaksana daripada mengambil risiko investasi jangka panjang 

dan kebijakan yang memicu inflasi untuk mendukungnya.

Daerah utama yang dikembangkan yaitu  les fortif, perbentengan 

tua di sekeliling kota yang terbukti tidak berguna dalam peperangan 

dan yang sejak pertengahan abad ke-19 telah menyediakan tempat 

berteduh dan rumah bagi penduduk kota yang terpinggirkan, 

miskin dan jatuh miskin. ‘Zona’, sebagaimana sebutan bagi sabuk tua 

mengelilingi Paris ini, juga menjadi sumber bagi cerita rakyat Paris 

yang sangat kuat. Misalnya, tempat ini menjadi rumah bagi para 

chifonnier, pemulung keliling yang dirayakan oleh Baudelaire dan 

Walter Benjamin, yang hidup dengan bangga dan terpisah dari para 

penghuni kota di bawah (sudut geografis yang tepat sangat penting di 

sini: mayoritas proletar Paris, sejak Zola hingga Céline, dideskripsikan 

sedang memandang ke bawah dari ketinggian pinggiran kota ke 

pusat kota). Zona juga ditakuti sebagai rumah bagi para apache yang 

legendaris dan ditakuti, para berandalan kelas pekerja yang, bahkan 

saat mereka sudah tidak benar-benar eksis lagi sejak 1918, menjadi 

bahan propaganda besar anti-proletar di Paris yang sedang tumbuh. 

Meskipun demikian, pada 1919 dikeluarkan sebuah undang-undang 

yang menetapkan perintah pembelian wajib kepada militer (yang 

secara di atas kertas merupakan pemilik Zona) dan membukanya 

untuk pembangunan.

Banyak ‘Zonard’ (penduduk Zona) menolak untuk pindah ke-

luar dari Zona atau pindah ke HBM (habitations à bon marché—

‘perumahan murah’) baru yang jelek yang sedang dibangun untuk 

mengakomodasi mereka. Sebaliknya, mereka mempertahankan cara 

hidup lama, dialek mereka sendiri. Diperlukan adanya perang lainnya 

untuk menghancurkan mereka sepenuhnya dan membersihkan 

jalan bagi pembangunan jalan dan jembatan layang yang mematikan 

yaitu boulevard périphérique yang sekarang melingkari Paris. Zona 

para pemulung, ‘bidadari’ penjahat dan penyair sudah sejak lama 

menjadi ruangan tragis, yang terutama dihuni oleh para pelacur 

bertatapan mata kosong yang menunggu di trotoar untuk melakukan 

pekerjaannya.



424

37 

Para Petani Paris

Berakhirnya perang membawa emosi yang bercampur aduk. 

Pada satu sisi, Parisian senang sebab  Alsace dan Lorraine berhasil 

direbut kembali dan bahwa penghinaan tahun 1870 telah tersapu 

bersih. Namun saat dekade kedua abad ke-20 hampir berakhir, 

menjadi jelas bahwa kemenangan ini telah dibeli dengan harga 

sangat mahal. Perang telah menghancurkan satu generasi. Suasana 

kemarahan dan ketidakpuasan digambarkan secara sempurna dalam 

film J’ Accusse! karya Abel Gance pada 1918. Dalam film tersebut, 

mayat-mayat mereka yang terbunuh di garis depan dihidupkan 

kembali oleh seorang penyair dan mereka bertanya mengapa mereka 

telah dibunuh. Dampak film ini lebih menghancurkan sebab  banyak 

dari para prajurit yang terbantai dimainkan oleh orang-orang yang 

selamat dari perang.

Mereka yang mati tidak pernah bisa digantikan dan ribuan wanita 

Paris harus menghibur diri sebab  menjadi janda pada usia muda atau 

tetap perawan hingga paruh baya. “Jadikan saya tetap cantik saat  

para pemuda kembali” yaitu  doa yang sering diucapkan oleh para 

gadis muda kepada Santa Geneviève: Sekarang tidak ada lagi pemuda 

yang mereka tunggu, dan pemuda yang berhasil kembali terlalu sering 

mengalami masalah psikologis atau termutilasi oleh peluru dan bom.

Di garis depan ekonomi saja, Prancis memerlukan waktu beberapa 

dekade untuk memulihkan kualitas hidup umum hingga menyerupai 

tingkat sebelum perang. Secara politik, hanya grande bourgeoisie—

kelas profesional dan elite yang berada di lapisan sosial teratas—yang 

menikmati kekuasaan sebenarnya. Pemerintahan yang hadir silih 

berganti yang mencoba melakukan apa pun seperti reformasi nyata 

dihambat oleh para investor yang segera menarik diri dari kepemilikan 

obligasi pemerintah. Kaum Kiri dan kaum Kanan saling berhadapan 



425

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

pada 1924 dalam sebuah program yang dibuat oleh Cartel des Gauches, 

sebuah koalisi Sosialis moderat yang dipimpin oleh Édouard Herriot 

dan Aristide Briand yang mengusulkan untuk membatalkan satu per 

satu kebijakan gagal Blok Nasional sayap-kanan yang sebelumnya 

berkuasa dan gagal untuk mengumpulkan ganti rugi perang dari 

Jerman. Cartel des Gauches runtuh pada 1926, dilawan oleh para 

pengusaha kapitalis dan dirusak oleh faksi-faksi Kiri ekstrem, yang 

menuntut revolusi dan bukan reformasi. Raymond Poincaré kembali 

menjabat sebagai perdana menteri dengan dukungan kanan-tengah 

yang cukup besar. Tujuannya yaitu  pemerintahan konsensus: 

Kenyataannya, hampir tidak ada kesatuan atau kewenangan. Dengan 

cara ini, Prancis tersungkur ke arah Depresi dan polaritas tajam pada 

dekade 1930-an.

Kaum Kiri juga terbagi atas petualangan yang sedang terjadi di 

Uni Soviet. Aliansi kiri-tengah dan moderat berpegangan erat pada 

reruntuhan union sacrée (‘uni suci’ dari semua partai politik yang telah 

bertahan sepanjang perang, walaupun terputus dengan kaum Sosialis 

sesudah  terjadinya Revolusi Rusia pada 1917). Hal ini membuka 

jalan bagi kaum nasionalis pembenci-Boche dan kekuatan-kekuatan 

meragukan lainnya untuk mengatur agenda politik, yang sangat 

tidak disukai oleh para liberal bergaya-lama seperti Clemenceau. 

Konsekuensinya yaitu  perpecahan tajam—yang akan semakin dalam 

dan semakin kejam selama dekade selanjutnya—antara mereka yang 

mengontrol pemerintahan dan bisnis dengan koalisi mengambang 

orang-orang kiri yang tidak puas yang memandang perang sebagai 

kemenangan Pyrrhic dan yang semakin lama semakin bertekad untuk 

melakukan reformasi sosial. Ini yaitu  kekuatan-kekuatan yang secara 

berkala akan terlibat bentrokan di jalanan Paris pada dekade 1930-an.

Namun, meski terjadi perpecahan yang sangat mencolok dalam 

masyarakat ini, pembicaraan di mana-mana yaitu  tentang kebebasan. 

Seakan-akan, perang telah menyediakan pelepasan bagi energi-energi 

negatif tak terkendali yang, sebab  sekarang telah dikeluarkan, telah 

membuka jalan bagi kemajuan nyata. Keyakinan kuat di Kanan dan 

Kiri bahwa Paris, ibukota dunia bagi peradaban Barat, sekali lagi 

telah menang dari gerombolan barbar dari timur dan sekarang akan 

menunjukkan potensi nyatanya. Dalam pers, menjadi semboyan yang 



426

sering diucapkan bahwa Paris akan menjadi ibukota abad ke-20 seperti 

penah menjadi ‘ratu dunia’ dalam abad sebelumnya.

Perubahan paling terlihat di tingkat jalanan yaitu  perubahan 

dalam laju kehidupan. Paris sekarang menjadi sebuah kota di mana 

kehidupan sehari-hari didominasi dan dipercepat oleh mobil, bus, 

dan metro. Sejalan dengan semangat modernitas ini, para wanita 

sekarang mengklaim kebebasan baru (walaupun tidak termasuk hak 

pilih): yaitu merokok di muka umum, berolah raga dan hidup secara 

terbuka dengan kekasihnya (sebagian dari mereka yaitu  wanita 

lainnya), mengenakan rok pendek dan melingkar, serta gaya rambut 

yang dipotong sangat pendek. Arsitektur periode ini mengekspresikan 

kepercayaan naif terhadap desain geometris sebagai tanda modernitas 

(monumen-monumen yang sangat buruk di Musée de l’Homme di 

Trocadéro yaitu  saksi bagi daya tarik estetika neo-Fasis ini).

Namun, semua ini hanyalah perubahan di permukaan. Bagi 

sebagian besar Parisian pada 1919, masa depan terlihat sangat tidak 

jelas. Berita dari Moskow, ibukota baru kelas pekerja internasional, 

sering memicu pemogokan pekerja dan ketidakpuasan yang terjadi 

secara perlahan di daerah Bellevile dan Ménilmontant serta distrik-

distrik kelas pekerja lain yang hampir tidak bisa dikontrol pemerintah.

Kenyataannya, Paris tidak begitu rusak dalam perang tetapi terlihat 

terabaikan dan terluka. Parisian dari kelas pekerja dan petit-bourgeois 

hidup dalam kondisi yang hampir tidak lebih baik dari mereka yang 

hidup pada dekade 1850-an. Dalam beberapa kasus—seperti di 

Faubourg Saint-Marcel, tempat polusi industri membawa penyakitnya 

sendiri yang sangat menghancurkan seperti penyakit paru-paru—

situasinya jauh lebih buruk.

Saat para politisi dari semua warna politik beradu argumentasi 

dengan mulia tentang kecepatan, teknologi dan misi pembudayaan 

Prancis, penduduk miskin Paris terus saja mati seperti selalu mereka 

lakukan: tidak dikenal dan tidak ditangisi, biasanya dalam rasa sakit 

dan dengan sedikit harapan atas penebusan baik di dunia ini maupun 

di dunia lainnya. Konsekrasi Sacré-Coeur pada 1919 dan kanonisasi 

Joan of Arc pada 1920 dipandang sebagai penghinaan ganda oleh 

Parisian yang telah dikhianati oleh kebohongan para pemimpin politik 

dan religius mereka.


427

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

Revolusi Pemikiran

Konsekuensi lanjutan dari Perang Besar yaitu  mempertanyakan 

sifat alami dari makna ‘peradaban’. Ini bukan hanya pertanyaan 

bagi kaum intelektual. Mereka yang pernah berada di parit-parit 

dan melihat pembantaian secara langsung tidak pernah melupakan 

pengalaman alami dan berdarah yang mereka jalani atas nama apa 

yang disebut nilai-nilai kebudayaan Prancis yang lebih tinggi. Tidak 

ada kultus kematian dalam militer Prancis, seperti yang ada dalam 

resimen-resimen Jerman, dan tidak ada prajurit Prancis biasa yang 

bisa mengidentifikasi dengan curahan perasaan semi-mistik seperti 

para kesatria-intelektual Jerman, yang bersukaria di atas kehancuran 

seperti kesatria Teuton zaman modern.

Sebaliknya, para prajurit Prancis yang kembali dari garis depan 

ke Paris merasakan sedikit patriotisme, menyimpan energi mereka 

untuk kebencian kepada para komandan militer dan bos mereka, 

dan menempatkan keyakinan mereka dalam satu-satunya tanah air 

sebenarnya pekerja internasional. Kaum Kiri Prancis juga terlalu 

sering terpecah dan terbagi menjadi faksi-faksi, tetapi kepahitan 

yang menyatukan para pekerja melawan semua nilai-nilai ‘beradab’ 

cukup nyata dan potensial. Untergang des Abendlandes (‘Kemerosotan 

Barat’), yaitu  tulisan karya filsuf Jerman bernama Oswald Spengler—

yaitu sebuah ratapan panjang dan muluk tentang kekecewaan dalam 

peradaban Barat, memprediksi penggulingan yang nantinya terjadi 

oleh gerombolan dari Timur Jauh. Tulisan ini menjadi tulisan utama 

di sepanjang beberapa dekade selanjutnya sejak diterbitkan pada 1918 

bagi siapa pun yang dikecewakan oleh perang.

Kata ‘peradaban’ memang menjadi keyakinan mendasar di kalangan 

Parisian sejak masa Pencerahan dan dianggap sebagai kualitas integral 

dalam kehidupan orang Prancis: nilai yang tidak bisa ditawar yang 

sejajar dengan kebebasan, kesetaraan, atau persaudaraan. Revolusi 

telah dilakukan atas nama semua nilai ini. Namun, perang telah 

mengungkapkan secara kejam bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang 

dianggap paling mulia ternyata hanyalah kebohongan. ‘Peradaban’ 

kapitalis abad ke-19, proyek besar kemajuan dan peningkatan yang 

mengalir secara langsung keluar dari kepercayaan republiken dalam 



428

Utopia buatan manusia, pada kenyataannya hanya menghasilkan 

mesin-mesin untuk melakukan pembunuhan para pekerja secara 

massal guna melindungi kepentingan tertentu.

Inilah retorika yang biasa diucapkan oleh semua partai Kiri 

sepanjang dekade 1920-an. Retorika ini juga sangat penting bagi 

kelompok-kelompok avant-garde yang sedang tumbuh yang juga mulai 

muncul sebagai suara tidak puas yang paling kuat dan berpengaruh 

di Paris sesudah  Perang Besar. Suara paling lantang selama dan tepat 

sesudah  perang berakhir yaitu  gerakan Dadaisme, yang didirikan di 

Berlin dan Zurich pada 1916 dan dibawa ke Paris pada 1918. Dada 

(nama ini pada dasarnya tidak bermakna walaupun bisa diartikan apa 

pun mulai dari kuda-kudaan hingga ‘Daddy’ [‘Ayah’]) dibuat sebagai 

negasi dari seluruh sistem moral yang mendasari pemikiran Barat. 

Mereka menolak logika, keteraturan, makna dan hierarki, sementara 

mendukung irasionalisme, pelanggaran hukum dan anarki tanpa 

batas. Dadaisme tidak dimaksudkan sebagai gerakan seni tetapi 

sebagai senjata politik, yang dikalibrasi dan diisi pelurunya dengan 

saksama, dan diarahkan secara langsung ke jantung tatanan kapitalis 

busuk yang masih berdetak yang telah membunuh jutaan orang. 

saat  tiba di Paris, dalam bentuk penyair Rumania bernama 

Tristan Tzara, Dada menemukan pemirsa yang siap menyambut di 

kalangan generasi pemuda yang tumbuh besar dengan melecehkan 

semua yang ada di sekeliling mereka. Dada Manifesto 1918 yang ditulis 

oleh Tzara dan diterbitkan dalam edisi ketiga buletin Dada, bahkan 

berbicara secara langsung kepada semua orang yang kehilangan 

keyakinan terhadap tanah air dan kebudayaannya sendiri:

Saya menulis manifesto ini untuk memperlihatkan bahwa engkau dapat 

melakukan tindakan-tindakan yang bertolak belakang pada saat yang 

sama, dalam satu tarikan napas segar dan berkelanjutan; saya menolak 

aksi; sedangkan bagi kontradiksi berkelanjutan, dan juga afirmasi, saya 

tidak mendukung maupun menolaknya, dan saya tidak akan menjelaskan 

diri saya sendiri sebab  saya memiliki akal sehat …

Tidak ada belas kasihan. sesudah  pembantaian yang tersisa bagi kita 

yaitu  harapan kemanusiaan yang disucikan …

Biarkan setiap manusia menyatakan bahwa ada  pekerjaan 

penghancuran maha besar yang harus dilakukan …1


429

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

Di antara mereka yang paling memperhatikan ucapan Tzara 

yaitu  orang-orang seperti Louis Aragon, André Breton, dan Philippe 

Soupault. Mereka yaitu  para prajurit wajib militer muda yang telah 

membenci perang dan sekarang memulai karier sebagai penyair dan 

intelektual yang memiliki program pembalasan terhadap masyarakat 

yang telah mencoba membunuh mereka. Kelompok Dadais seperti 

itu (Tzara dan segelintir sekutunya) mengadakan pertunjukan, meng-

organisasi debat dan menerbitkan publikasi gratis. Soupault, Breton, 

dan Aragon menugaskan diri sendiri untuk mendirikan jurnal 

Littérature untuk menerbitkan puisi negasi baru ini (garis editorial 

jurnal sangat anti-kesusastraan, judulnya secara sarkastik dipinjam 

dari bait karya Verlaine, ‘tout le reste est littérature’—‘semuanya hal 

lain hanyalah kesusastraan’).2 Saat kekuatan negatif Dada membuat 

lelah dirinya sendiri, semangatnya dibawa ke sebuah gerakan baru, 

Surréalisme, yang didirikan oleh Breton, Soupault, dan Aragon, yang 

tetap setia kepada sensibilitas destruktif Dada tetapi kali ini bertujuan 

untuk mendirikan masyarakat baru.

Kata ‘surealisme’ sebenarnya dibuat pada 1917 oleh Guillaume 

Apollinaire untuk mendeskripsikan ‘drama’ proto-Dadais karyanya 

yang berjudul Les Mamelles de Tirésias (‘Payudara Tiresias’), yang 

telah berakhir dengan kerusuhan kecil dalam ruangan sempit Salle 

Maubel di Montmartre. Di bawah kepemimpinan Breton, kaum 

Surealis mengumumkan sebuah program untuk menciptakan kembali 

masyarakat menurut hukum ketidaksadaran, menggantikan logika 

dengan keinginan. Mengikuti program ini, tujuan mereka yaitu  

mentransformasikan totalitas eksistensi manusia—revolusi pemikiran 

yang diserukan Arthur Rimbaud satu generasi sebelumnya di atas 

puing-puing Komune.

Wajar jika kaum Surealis menggunakan Paris sebagai medan 

pertempuran untuk apa yang mereka pandang sebagai makna 

modernitas sejati, tempat mereka akan menentang tuntutan-tuntutan 

rasional dari ‘kebudayaan mesin’ menggunakan mimpi, puisi, dan 

drama. Dalam kompendiumnya tentang pengalaman Surealis di kota 

yang singkat tapi padat berjudul Le Paysan de Paris (‘Petani Paris’), 

yang diterbitkan pada 1926, Louis Aragon menyerukan adanya sebuah 

mitologi baru kota yang akan menjadikannya sebagai ibukota sebuah 



430

Utopia subjektivitas dan visi tanpa batasan.

Ini yaitu  tuntutan mahabesar yang menggelikan (dan begitu 

khas kelompok Surealis secara keseluruhan). Namun Aragon 

memang menyusun gambaran yang efektif dan meyakinkan tentang 

Paris pada awal abad ke-20, sebuah tempat di mana kapitalis berdiri 

dengan ditantang oleh semua orang yang masih berani memimpikan 

kebebasan. Di atas segalanya, Aragon, seperti para Surealis lainnya, 

memahami skala kemanusiaannya untuk menjadi kualitas penentu 

pengalaman urban Parisian.

Kaum Surealis terobsesi dengan gambaran dan objek yang sebentar 

lagi akan ketinggalan zaman dan kehilangan makna atau fungsi 

aslinya. Mereka tanpa henti mematroli lorong-lorong beratap Tepi 

Kanan (lihat Bab 28), sekarang menjadi jaringan arkade berdebu dan 

lorong dengan atap hijauan yang membentang dari bulevar-bulevar 

besar Haussmann dan yang masih dipenuhi oleh toko-toko spesialis 

yang menjual apa pun mulai dari tiang penopang hingga manekin. 

Lorong-lorong relatif masih utuh dalam bentuk ini: Anda masih dapat 

berjalan selama berjam-jam tanpa pernah benar-benar yakin sedang 

di bagian mana Anda berada di dalam kota dan apa yang Anda cari.

Inilah keseluruhan poin tentang aktivitas Surealis yang diteorikan 

dan dipraktikkan pada awal dekade 1920-an: untuk menciptakan 

pengalaman visioner dari pengalaman sehari-hari; untuk membuat 

kota, dalam rumusan André Breton dan Phillippe Soupault, sebuah 

‘medan magnet’ tempat sisa-sisa kehidupan modern secara ajaib 

diubah melalui kekuatan pemikiran individu.3

Orang-Orang Asing

Salah satu foto André Breton yang terbaik dan paling terkenal diambil 

pada awal 1920-an. Dalam foto ini, Breton diperlihatkan sedang 

berdiri dalam pose angkuh yang menjadi ciri khasnya di Boulevard 

Montparnasse, tepat di depan bar américain di restoran La Coupole. 

Foto ini menarik sebab  berbagai alasan—misalnya, walaupun kaum 

Surealis sangat meyakini puisi dialektik urban yang mereka banggakan, 

ini yaitu  satu dari sedikit foto Breton di sebuah jalanan Paris. Foto 


431

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

ini juga menangkapnya dalam puncak petualangan Surealis, sebelum 

kemasyhuran dan politik melelahkannya. Selain itu, foto ini juga 

menandai pergeseran pasca-perang dari Montmartre ke Montparnasse 

sebagai pusat kesenangan dan perpolitikan kesusastraan Paris. Lebih 

penting lagi, foto tersebut menempatkan dua lambang kehidupan 

Parisian pada dekade 1920-an secara berdekatan—bar américain yang 

mencolok dan baru saja modis dengan seorang pahlawan avant-garde 

revolusioner. Walaupun keduanya dekat dan sering bertemu, jarak 

budaya antara kedua ikon ini sangat besar: Breton yaitu  musuh 

besar bagi segala bentuk budaya Amerika di Paris; sebaliknya bar 

américain tidak hanya merupakan invensi baru di kota tetapi juga 

memperkenalkan bentuk perilaku kehidupan bebas kepada Paris 

(jazz, tarian eksotis, dan koktail) yang, bahkan pada awal abad ke-20 

ini, diidentifikasi sebagai musuh tradisi kota.

Hal yang sama sering dikatakan tentang orang-orang Amerika 

di pengasingan yang datang ke Paris selama dekade 1920-an. Orang 

Amerika pertama kali datang ke Prancis sebagai prajurit pada 1917. 

saat  kembali ke Amerika Serikat, mereka membawa serta cerita-

cerita tentang hedonisme tanpa batas dan rasa haus akan kehidupan 

baik yang sepertinya tidak ada dari tanah air Protestan mereka yang 

ketat. Para pelacur Paris menjadi legenda para Doughboy (prajurit AS) 

dari New York hingga dusun Midwest yang paling terisolasi. Orang 

Amerika kulit hitam memperhatikan bahwa mereka relatif bebas dari 

batasan hukum dan sosial yang jika dibandingkan akan membuat 

Amerika Serikat menjadi negara yang terpecah-belah dan tidak 

adil. Para musisi kulit hitam yang menetap di Paris sesudah  perang 

menemukan bahwa mereka dikagumi sebab  seni mereka dan sangat 

dibutuhkan secara seksual oleh para Parisien dari semua kelas yang 

ingin merasakan sesuatu yang eksotis. Ruveu Nègre, yang dibintangi 

oleh penyanyi dan penari Josephine Baker, dengan orkestra Claude 

Hopkins, yang termasuk orang-orang seperti bintang pemain saksopon 

Sidney Bechet, dan penari seperti Joe Alex, yang berspesialisasi 

dalam danse sauvage, dibuka di Champs-Élysées pada 1925. Opera 

ini menarik banyak penonton dari seantero kota dan segera menjadi 

sukses besar dalam musim tersebut. Kabaret Baker di Rue Fontaine 

menikmati kesuksesan serupa di tahun-tahun selanjutnya. sesudah  



432

kesuksesan ini dan kultus ‘negrofilia’ yang tumbuh darinya, yaitu le 

jazz nègre (nantinya diubah menjadi le jazz hot) sebagaimana sebutan 

Parisian untuknya, telah menginvasi Paris. Tempat pertunjukan utama 

yaitu  di Caveau de la Gaîté di Rue de la Gaîté di Montparnasse atau, 

di sisi utara kota, Le Pigall’s atau Le Palace. Pada 1927, impresario 

Hugues Panassié memperkenalkan Louis Amstrong dan Bessie Smith 

yang segera memukau para penonton. Pada 1928, Duke Ellington dan 

Fats Waller untuk pertama kalinya tampil di Paris. Sebuah pertunjukan 

musik yang mengikuti model Revue Nègre dan diberi judul Black Birds 

dimainkan di Moulin Rouge yang penuh sesak oleh penonton. Salah 

satu penontonnya yaitu  penulis, filsuf, dan erotomaniak Georges 

Bataille, yang merasakan sensasi dari seksualitas penuh semangat 

yang dipertunjukkan.4

Bukanlah kebetulan bahwa gairah akan kebudayaan Amerika 

Kulit Hitam ini bersamaan dengan penemuan avant-garde terhadap 

seni Afrika ‘primitif ’. Seni ini awalnya dipromotori oleh Picasso dan 

nantinya dipuji oleh para Surealis sebab  keautentikan dan pesona 

liarnya (Philippe Soupault menerbitkan sebuah tulisan berjudul Le 

Nègre pada 1927 sementara André Breton dikenal mengumpulkan 

seni Afrika). Namun demikian, bukannya merasa dilindungi atau 

dipermalukan, sebagian besar orang Amerika Kulit Hitam menikmati 

rasa kebebasan seni dan kesetaraan sosial untuk pertama kalinya. 

Selama bertahun-tahun kemudian, fakta ini telah memunculkan 

kebohongan bahwa Paris yaitu  ‘kota tanpa rasisme’. Frasa ini 

memang berulang kali digunakan dalam merayakan ulang tahun ke-

50 pembebasan Paris di Place de la Bastille pada 2004. Kebohongan ini 

sepertinya tidak banyak artinya bagi para tetangga saya saat itu di Rue 

de Vertbois yaitu para pencari suaka dari Rwanda dan Kongo. Hotel-

hotel jelek tempat mereka tinggal berulang kali dilempari bom api 

atau dirusak oleh kelompok-kelompok pemuda kulit putih berwajah 

musang di sepanjang musim panas dan musim gugur tahun tersebut.

Pada kenyataannya, kehidupan bagi sekitar 5.000 orang kulit hitam, 

terutama dari Afrika kolonial, yang menetap di Paris pada dekade 

1920-an sangatlah sulit. Banyak dari mereka yaitu  bujangan yang 

dibebastugaskan dari tentara Prancis tetapi belum berkeluarga atau 

meninggalkan penanda dalam masyarakat Prancis. Lainnya yaitu  


433

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

para mahasiswa atau pelayan yang dibawa kembali dari koloni-koloni 

oleh keluarga-keluarga yang pensiun dari penugasannya di luar negeri. 

Sebagian besar orang berkulit hitam di Paris yaitu  para pekerja yang 

dibawa untuk bekerja dalam jam kerja panjang dengan gaji rendah di 

pabrik-pabrik mobil Renault atau Citroën, pabrik cokelat di Amieux 

atau fasilitas lainnya. Para wanita Paris dari segala kelas memenuhi 

kabaret-kabaret di Rue Blomet di arrondissement ke-15, yang dikenal 

sebagai wilayah populasi orang Karibia (ada  antagonisme tertentu 

antara orang Karibia dengan orang Afrika yang sering dipandang 

sebagai orang bodoh dari koloni). Namun pada kenyataannya, hampir 

tidak ada yang ‘sensual secara eksotis’ tentang tidur di permukiman 

kumuh di Zona dan bangun di waktu fajar untuk bekerja keras mencari 

nafkah dengan cara ini.5

Orang-orang Amerika di pengasingan yang paling awal pergi ke 

Paris ini kemudian diikuti oleh rombongan kaya dari kelas atas pada 

awal dekade 1920-an. Motivasinya tidak terlalu berbeda: kebebasan 

sosial dan pan-seksual Paris jauh lebih maju dan lebih banyak tersedia 

daripada di Amerika Serikat. Misalnya, lesbianisme semakin dianggap 

bergaya (salah satu bar lesbian paling terkenal yaitu  Le Monocle di 

Montparnasse). Biseksualitas dan homoseksualitas menjadi kebiasaan 

di bagian-bagian lain kota. Orang pengasingan yang jumlahnya 

sedikit kemudian menjadi sangat banyak pada akhir 1920-an saat 

generasi orang pengasingan muda datang ke Paris untuk memuaskan 

rasa haus mereka akan minuman keras, kebuday


Related Posts:

  • Paris Perancis 13  menderita memiliki akses kepada pekerjaan, makanan, anggur, pakaian yang layak dan standar kesehatan serta kehigienisan yang cukup baik. Paris masih memiliki 402daerah kumuh—bahkan sepertinya tumbuh dan … Read More