Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 12

 


ng mereka pandang sebagai pemerintah yang 

menindas dan tidak patriotis. Teriakan “À Berlin!” di jalan-jalan Paris 

sekarang digantikan oleh “À Versailles!”

Perjalanan ke Versailles dimulai pada tengah malam. Ratusan orang 

berangkat dari Paris, banyak dari mereka sedang mabuk atau setengah 

mabuk, dan semuanya terbakar oleh kepercayaan bahwa sesudah  

‘saudara-saudara’ proletar mereka memahami sifat alami konflik—

yaitu perang antara orang miskin melawan orang kaya—mereka akan 

segera meletakkan senjata dan bergabung dengan kekuatan keadilan 

sosial. Dinding-dinding kota ditempeli dengan poster-poster yang 

mengumumkan hal ini bersama propaganda tulus yang memprediksi 

kemenangan dan pembalasan. Salah satu poster berbunyi:

Para pekerja, jangan tertipu! Ini yaitu  perjuangan besar. Parasitisme 

dan tenaga kerja, eksploitasi dan produksi-lah yang sedang dipertaruhkan. 

Jika engkau merasa lelah hidup dalam ketidakpedulian dan batuk dalam 

penderitaan, jika engkau ingin putra-putramu menjadi pria dan bukan 

binatang yang dibesarkan untuk medan tempur, jika engkau tidak ingin 

putri-putrimu—yang tidak bisa kau besarkan dan lindungi—menjadi 

instrumen kesenangan di tangan aristokrat kaya, jika engkau ingin melihat 

kekuasaan Keadilan—Para Pekerja Bangkitlah!6

Para Communard mungkin bisa mendapatkan kemenangan 

menentukan jika, sebagaimana ditunjukkan oleh Karl Marx di 

kemudian hari, mereka langsung bergerak ke Versailles dengan 

membawa 200 senjata api yang direbut kembali. Kenyataannya, 

Komune telah menghabiskan waktu berharga dalam membuat 

sejumlah pengumuman yang sebagian besar tidak relevan—

menghapuskan giliran malam di toko-toko roti, mendirikan koperasi-

koperasi pekerja, menuntut ‘likuidasi properti’, menetapkan gaji 

tertinggi semua pejabat sebesar 6.000 franc (sama seperti tukang batu 

dan tukang kayu)—dan bukan mengambil inisiatif lalu menyerang 

pasukan Versaillais (pasukan kontra-revolusi yang berbasis di 


369

Bagian Enam: Ratu Dunia

Versailles) yang kebingungan dan bersenjata ringan. Oleh sebab nya, 

pasukan Versaillais mendapatkan waktu yang berharga untuk 

memulihkan diri dan berkumpul kembali saat  para Communard 

memberi nasihat dan memutarbalikkan fakta. Serangan dari Paris 

dengan mudah dipukul mundur—Thiers, yang bertanggung jawab 

atas perbentengan yang dibangun di sekitar Paris pada 1840, sangat 

mengetahui titik lemahnya baik dari dalam maupun dari luar. Saat 

anggur dan euforia menghilang di cahaya kelabu pagi dini hari, para 

pekerja ditumbangkan dalam puluhan dan kemudian ratusan orang 

saat mereka berupaya keluar dari kota. Ratusan Communard yang 

tertangkap kemudian dipaksa berjalan menuju kamp penjara di Satory 

dekat Versailles. Di sana, mereka segera dieksekusi sebagai contoh 

bagi segala pemberontak di masa depan.

Pertempuran terus berlangsung selama sporadis selama beberapa 

hari selanjutnya. Bentrokan yang cukup berdarah terjadi di Issy 

dan Vanves. Saat berita perlakuan brutal terhadap para tawanan 

oleh pasukan Versaillais sampai ke Paris, para wanita Paris mulai 

mengorganisasi diri mereka sendiri. Dengan berpakaian hitam dan 

menempelkan hiasan berbentuk mawar merah di topinya, mereka 

berencana untuk berbaris ke Versailles dan meminta perdamaian. 

Namun, Garda Nasional—yang berpihak pada Communard—

yang bertekad bahwa kemenangan masih mungkin diraih, segera 

menghentikan ‘omong kosong’ seperti itu.

Sebaliknya, sikap dan tindakan di kota semakin keras. Hal ini 

sebagian sebagai tanggapan atas pembantaian di Vanves dan tempat-

tempat yang rentan lainnya di selatan kota dan sebagian sebab  

tindakan prefect polisi yang juga Communard. Ia yaitu  bekas 

Bohemian berusia 24 tahun, bekas penghuni Café Madrid dan teman 

penyair Paul Verlaine. Namanya yaitu  Raoul Rigault. Ia akan terbukti 

sama menarik dan menjijikkannya seperti fanatik mana pun di abad 

ke-20. Rigault yaitu  mahasiswa yang cemerlang, terlibat dalam 

segala macam gaya hidup berkelebihan mahasiswa Bohemian sebelum 

mengubah dirinya sendiri menjadi jurnalis politik yang tajam. Ia yaitu  

pengikut Auguste Blanqui, ‘le Viveux’, yang mengajarkan kebebasan 

total dan perlawanan secara keras dan tanpa ampun terhadap negara. 

Blanqui dipilih sebagai perwakilan Komune tetapi sedang di penjara 



370

selama konflik berlangsung. Rigault berjanji untuk mempraktikkan 

teori-teorinya.

Rigault pada saat itu sudah dikenal oleh pers sayap kanan sebagai 

fanfaron de perversité (‘pembual yang suka menantang’), bambin 

méchant (‘anak jahat’), canaille (‘sampah’), dan aristocrate de la 

voyoucratie (‘aristokrat elite berandalan’.) Ia menikmati lelucon-lelucon 

provokatif, seperti mengklaim telah menciptakan sebuah guilotin yang 

bisa memotong tiga ratus kepala dalam satu jam. Di kantor barunya 

sebagai prefect dan kemudian procureur de la Commune (jabatan 

dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas), ia mengenakan pakaian 

kebesaran yang dirancangnya sendiri (jas berwarna ungu, dihiasi 

dengan emas dan ditambah sarung tangan kuning). Ia menggoda 

wanita secara efisien dan tanpa ampun (“Aku ingin persetubuhan 

seksual; pergundikan yaitu  dogma sosial” yaitu  salah satu pepatah 

favoritnya).7 Pada saat yang sama, ia juga mengatakan ungkapan yang 

mengerikan, seperti “hukum revolusioner tidak pernah cukup kuat,” 

atau menganjurkan sistem keadilan baru di mana “para putra akan 

menghakimi para ayah, orang-orang terhukum menjadi hakimnya.”8 

Tanggapan Rigault terhadap kegagalan para Communard untuk 

mengalahkan pasukan Versaillais yaitu  memerintahkan penangkapan 

beberapa belas tokoh terkemuka di Paris, sebagian besar dari mereka 

yaitu  pejabat gereja, dan termasuk Uskup Agung Paris. Kemudian 

ia menyatakan mereka sebagai sandera. Uskup agung, Monseigneur 

Darboy, ditahan seorang diri di penjara di Mazas.

Rigault, sebagai ahli estetika yang kejam dan tanpa kompromi, tidak 

punya waktu untuk menghadapi orang-orang liberal itu, termasuk 

Victor Hugo yang menentang tindakan tersebut. Namun, selera 

humor kelamnya, sisa-sisa dari masa Bohemian, dan kekagumannya 

terhadap marquis de Sade, belum sepenuhnya meninggalkannya dan 

ia menikmati wawancara dengan para pendeta. Dalam wawancara itu, 

ia menyatakan bahwa Tuhan ‘yaitu  gelandangan’ dan mengancam 

akan mengeluarkan surat perintah untuk menangkapnya. Dengan 

rasa humor dingin inilah ia memerintahkan untuk membunuh siapa 

pun tawanan yang membuatnya tidak senang, termasuk akhirnya sang 

uskup agung yang tidak beruntung itu.


371

Bagian Enam: Ratu Dunia

“Api dari surga”

Paris di bawah kekuasaan Komune bukanlah festival mengalir bebas 

yang dibayangkan oleh para penganut paham kebebasan dan anarkis 

yang bernostalgia selama dekade 1960-an. Namun, Paris juga bukan 

pendahulu langsung bagi pemerintahan totaliter mematikan abad 

ke-20 sebagaimana pendapat begitu banyak sejarawan reaksioner. 

Pada saat itu, pemerintahannya terdiri atas faksi-faksi berbeda—faksi 

Jacobin, faksi anarkis, faksi Komunis, faksi eksentrik, faksi sadis, faksi 

petualang, faksi tentara bayaran—yang tidak memiliki program sosial 

yang dapat dipahami dan pengetahuan militernya ditertawakan. Walau 

demikian, tidak diragukan lagi bahwa Komune merupakan gerakan 

yang benar-benar populer. Hal ini ditunjukkan oleh antusiasme 

Parisian biasa, baik itu pria, wanita dan anak-anak, yang bergegas 

menjemput kematian atas nama Komune. Selain itu, antusiasme ini 

juga ditunjukkan dalam cara kehidupan sehari-hari yang diubah dan 

disambut oleh orang-orang biasa dengan semangat yang tidak pernah 

dikenal di bawah rezim-rezim mana pun sebelumnya dan tentu saja 

tidak pada waktu-waktu mengerikan baru-baru ini. Mungkin ada 

benarnya, seperti pendapat banyak sejarawan, bahwa penjelasan 

paling sederhana bagi Komune yaitu  kelas-kelas pekerja, yang 

diperlakukan dengan brutal dan diasingkan dari kota oleh kekuatan 

kembar kapitalisme borjuis dan Haussmannisme (keduanya tentu saja 

berhubungan), ingin mengklaim kembali tempat mereka di kota.

Bagi banyak pengamat, Paris sepertinya memang selalu en fête (dalam 

suasana pesta). Pada 16 Mei, sekelompok Communard meledakkan 

kolom di Place Vendôme. Ini yaitu  aksi penghujatan politik yang 

dilakukan di bawah pengawasan seniman Gustave Courbet dan 

dalam suasana keburukan yang riang gembira, didampingi oleh suara 

marching band dan ditonton oleh para penonton yang bersemangat.9 

Tidak lama sesudah  tengah malam di malam yang sama, sekitar 300 

Communard menerobos masuk ke ruang-ruang bawah tanah Grand 

Hôtel du Louvre dan minum minuman keras hingga mabuk berat 

atas nama kebebasan, sambil mengisap cerutu yang besar dan mahal 

atau memakan persediaan makanan hotel. Pada hari Minggu tanggal 

21 Mei, para Communard menyelenggarakan konser musik sangat 



372

besar, dengan lebih dari 1.500 musisi, di taman-taman Tuileries. Saat 

menjelang malam, tidak jauh dari Place de Goncourt, penulis catatan 

harian dan sosialita Édmond de Goncourt mencatat bahwa kerumunan 

orang yang sangat besar telah berkumpul mengelilingi sebuah kereta 

kuda yang membawa seorang pria yang mengklaim bahwa ia telah 

melihat pasukan Versaillais sedang memasuki kota.10

Laporan ini ternyata benar. saat  Parisian meminum minuman 

keras, tidur atau bermabuk-mabukan hingga larut malam, pasukan 

Versaillais telah memasuki ujung barat kota dan berbaris melalui Passy 

dan Trocadédro hingga Arc de Triomphe. Mereka hanya menghadapi 

sedikit perlawanan dan tidak ada barikade. Hari berikutnya, mereka 

menyelinap masuk melalui gerbang di Point du Jour, yang telah 

dibiarkan tidak terjaga dan tidak diawasi. Mereka bergerak ke arah 

Saint-Germain-des-Prés dan boulevard Saint-Michel, menyebar ke 

arah Faubourg Saint-Antoine, kuali revolusi tradisional. Beberapa 

hari selanjutnya menjadi saksi pembantaian dalam skala yang tidak 

pernah terjadi sebelumnya di kota yang sudah melihat begitu banyak 

pembantaian.

***

Salah satu alasannya yaitu  bahwa pasukan Versaillais mendapat 

perintah tersurat untuk tidak memberi ampun. Alasan kedua yaitu  

para Communard, yang tidak memiliki strategi koheren dan tidak 

memiliki rasa organisasi apa pun, hanya melakukan pertahanan 

yang kacau-balau. Saat daerah-daerah kunci di kota jatuh ke tangan 

Versaillais tanpa adanya perlawanan bersenjata yang efektif, para 

Communard melancarkan kebijakan bumi hangus. Bahkan pada tahap 

akhir seperti ini, tidak seorang pun cukup yakin siapa yang memberi 

perintah atau mengapa perintah ini diberikan. Namun, saat  pasukan 

Versaillais semakin dekat ke pusat kota Paris, bangunan-bangunan 

utama dan monumen-monumen kota dibakar. Pemandangan 

mengagumkan dilaporkan ke seluruh dunia. Tindakan ini hampir 

tidak memiliki nilai militer tetapi tetap saja menjadi klimaks dramatis 

luar biasa bagi perjuangan.

Kebingungan ini juga memunculkan banyak desas-desus yang 


373

Bagian Enam: Ratu Dunia

saling bertentangan, termasuk cerita bahwa para wanita kelas 

menengah—atau bahkan kemungkinan para gadis yatim—yang 

dikenal sebagai pétroleuse, bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. 

ada  sejumlah laporan tentang kelompok-kelompok wanita 

paruh baya yang lusuh, biasanya berpakaian hitam dengan ikat kepala 

merah, yang dengan bayaran 10 franc akan melempar bom bakar ke 

sebuah bangunan menggunakan kaleng susu yang diisi penuh dengan 

minyak tanah menyala. Tidak seorang wanita pun pernah dihukum 

tetapi pers penuh dengan desas-desus liar dan karikatur para wanita 

buruk rupa bermata liar yang menyelinap dalam bayang-bayang, siap 

untuk melemparkan bom setiap saat. Aktris dan pelacur kelas atas 

Maris Colombier mendeskripsikan kota di bawah bayang-bayang para 

pengebom dalam istilah-istilah bersifat hari kiamat yang memang 

sesuai:

Saat senja datang, selama hari-hari pengasingan, kami biasa berkumpul 

di teras di Saint-Germain, yang menghadap ke Paris; dari kejauhan 

Paris terlihat sebagai tanah yang dijanjikan. Suatu malam, kami melihat 

cahaya muncul, dan secara bertahap semakin besar; cahaya tersebut 

menyebar menjadi semburan api, membentang ke luar dan dalam 

lembaran-lembaran memerah, dan mengisi seluruh cakrawala, fajar seram 

kebakaran besar. Kami saling memandang dan memahami: “Ya Tuhan! 

Orang-orang gila itu baru saja membakar Paris!” Pada kenyataannya 

Komune yang menaikkan bendera merah di atas ibukota. Api bergemuruh 

seperti suara bass yang terus-menerus, kadang kala diselingi oleh suara 

kemeretak. Cahaya menjadi begitu terang sehingga menerangi seluruh 

teras: perwujudan sempurna yang menakutkan … sesudah  seribu delapan 

ratus tahun, kejahatan ini begitu mengerikan, bersinar menakutkan seperti 

penjarahan Roma, terbakar di bawah ketenangan surga yang berbintang: 

Paris sedang terbakar … tidak ada apa-apa lagi sekarang, kecuali tarian 

para pétroleuse.11

Tidak diragukan lagi bahwa rasa takut yang terinspirasi oleh fantasi 

ini di kalangan kelas menengah telah dikompori oleh partisipasi 

dan kepemimpinan wanita nyata dalam Komune—inilah salah satu 

pencapaiannya yang paling terlihat. Wanita yang paling terkenal di 

antara mereka, setidaknya dalam benak pers sayap kanan, yaitu  

Louise Michel, yang dijuluki ‘Perawan Merah’. Pada kenyataannya, 



374

Michel yaitu  seorang penyair, guru dan anarkis yang, selama dekade 

1850-an, telah membuat sekolah-sekolah gratis untuk menyebarkan 

kepercayaan republiknya. Hal ini membuatnya menjadi sasaran 

gangguan polisi dan membuatnya semakin dekat dengan kelompok-

kelompok orang yang tidak puas seperti Jules Vallès. Selama hari-

hari Komune, ia menjadi anggota Garda Nasional, bertempur sama 

kerasnya dengan pria mana pun, dan mengorganisasi komite pusat 

Serikat Wanita. Michel selalu meyakini bahwa para wanita secara 

mendasar lebih revolusioner daripada pria sebab  mereka menderita 

penindasan yang lebih besar. Michel dijuluki ‘Perawan Merah’ sebab  

ia menolak untuk menikah. Tetapi, hal ini tidak menghentikannya 

untuk menikmati daftar panjang kekasih, yang diambilnya atas nama 

kebebasan penuh. Ia menjadi legenda di barikade-barikade pada 

tanggal 18 Maret. saat  itu, ia tidak mengabaikan meriam dan peluru 

untuk mengibarkan Bendera Merah di hadapan pasukan Versaillais.

Namun tindakan seperti itu sia-sia. saat  pusat kota Paris 

terbakar, pasukan Communard mundur, bergerak ke belakang 

dalam gerakan kacau ke bagian timur kota. Sepanjang jalan, pasukan 

Versaillais mengeksekusi semua yang ada di hadapannya. Para korban 

ini termasuk anak-anak jalanan yang telah bertempur secara gagah 

berani dalam jumlah ratusan di Châteu d’Eau hanya untuk ditembaki 

sehingga jalanan menjadi hitam oleh darah. Pembantaian ini lebih 

mengganggu sebab  cara pelaksanaannya yang kasual dan mekanis; 

ratusan dan kemudian ribuan orang diseret ke hadapan regu-regu 

tembak di seantero kota dan ditembak. Mayat-mayat mereka ditumpuk 

tinggi sampai mereka bisa dipindahkan. Jalanan berasap sekarang 

berbau daging terbakar, darah mengering dan daging busuk.

Pers pro-Versaillais mendorong para prajurit untuk melakukan 

tugas mereka yang mematikan. “Paris secara moral sudah tidak lagi 

menjadi ibukota Prancis,” tulis Le Soir dengan gegap gempita pada 24 

Mei. “Jika saat ini Paris bisa lolos dari api besar dari surga, Paris tidak 

bisa melarikan diri dari rasa kasihan dan kemuakan manusia.” Banyak 

sekali kemuakan tetapi sedikit sekali rasa kasihan saat  pembunuhan 

berlangsung terus selama hari-hari terakhir bulan tersebut. Marquis de 

Gallifet, yang pada masa sebelum perang sudah terkenal sebagai pria 

perlente yang sadis, mengalahkan kekejamannya sendiri di masa lalu. 


375

Bagian Enam: Ratu Dunia

Sambil membuat lelucon kepada gundik yang sedang dirangkulnya, 

kepada orang-orang ia menunjukkan siapa yang akan hidup dan siapa 

yang akan mati.

Perlawanan terakhir Komune yaitu  di permakaman Père 

Lachaise, di pusat distrik kelas pekerja Belleville. Para pembela 

terakhir yang gagah berani tetapi sudah pasti akan kalah ini dibabat 

habis di lorong-lorong antara makam-makam Balzac, Nerval, Nodier, 

dan Delavigne. Para Communard yang masih selamat kemudian 

dibariskan di hadapan dinding timur permakaman dan ditembak. 

Tempat ini menjadi lokasi favorit untuk mengeksekusi ‘para tersangka’, 

yang dikumpulkan selama beberapa hari dan bulan kemudian dan 

ditembaki hingga terbelah dengan teknologi baru yaitu senapan mesin 

yang bisa membunuh ratusan orang setiap hari tanpa perlu membuat 

lelah para pengeksekusinya. Di seantero kota, di belakang dinding-

dinding tinggi dan di publik, mayat-mayat Communard ditumpuk 

tanpa upacara. Para penonton yang bisa tahan terhadap baunya 

tersandung-sandung oleh hampir seribu mayat yang digeletakkan 

di Trocadéro. Hujan sudah turun selama berhari-hari dan jalanan 

sekarang menjadi labirin berlumpur dan berbahaya, yang masih tidak 

jelas sebab  asap. Jalanan juga menjadi rumah bagi para penembak jitu 

Communard yang dikejar-kejar atau regu-regu pembunuh Versaillais 

yang berpatroli. Suasana di kalangan pendukung Versaillais riuh dan 

gegap gempita oleh kemenangan: Charles Louandre, seorang jurnalis 

dan ‘musuh rakyat’, menyatakan bahwa yaitu  berkah untuk bisa 

melihat akhir dari “pesta pora kekuasaan, anggur, wanita dan darah 

ini yang dikenal sebagai Komune.”12

Barikade terakhir dihancurkan di rue Ramponneau di Belleville 

pada 28 Mei. Seorang penembak jitu menahan pasukan Versaillais 

selama beberapa jam sebelum menghilang, tanpa bisa dikenali 

dan masih bebas. “Hari ini, pertempuran diakhiri,” demikianlah 

pernyataan Marsekal MacMahon, komandan kontra-pemberontak 

Versaillais yang telah memberikan pembalasan dendam mengerikan 

seperti itu.



376

34 

sesudah  Pesta Pora

Tahun-tahun antara dekade 1880-an hingga Perang Dunia 

Pertama awalnya disebut la belle époque pasca-pembantaian massal 

dalam Perang Besar. Ekspresi ini digunakan oleh para jurnalis dan 

sejarawan Prancis yang telah dibuat trauma oleh kekejaman perang 

total dan bernostalgia akan kehidupan di Paris yang dianggap polos 

dan indah sebelum pembantaian dimulai. Kota Paris sendiri sudah 

dikenang sebagai pusat seni, seks, musik, puisi, makanan, kesusastraan, 

filsafat, serta hedonisme yang tak kenal henti dan tak terkendali. Salah 

satu alasannya yaitu  sebab  Paris selama dekade-dekade terakhir 

abad ke-19 mulai terlihat indah. Kehidupan budaya kota juga sangat 

tinggi dengan banyak kabaret, bar, teater, dan restoran yang menarik 

para intelektual, seniman, dan pencari kesenangan dari seluruh dunia.

Penggambaran Paris seperti inilah yang telah membantu tercipta-

nya versi fantasi kota yang masih menjadi sumber inspirasi bagi turis 

dari seluruh dunia. Namun, bahkan di puncak masa yang disebut ‘epos 

indah’ ini—saat  ‘Ville-Lumière’ memang benar-benar membuat 

kagum dunia dengan gaya dan pesonanya—ini yaitu  tempat yang 

selalu dipenuhi ketegangan mengerikan. Lebih jelasnya lagi, tidak 

mudah untuk menghapus beban kekerasan selama lebih dari seratus 

tahun dalam beberapa dekade yang singkat. Reputasi tahun-tahun ini 

sebagai masa kepolosan didasarkan pada ilusi dan mitos berbahaya. 

Pada kenyataannya, bencana yang sedang menunggu bagi Paris berasal 

dari masa ini yaitu konflik yang tidak terselesaikan dan dendam 

beracun.

Penyebab pertama dan yang paling signifikan secara historis 

yaitu  tingginya harga yang harus dibayar oleh Parisian untuk 

Komune. Dalam minggu-minggu dan bulan-bulan sesudah  perlawanan 



377

Bagian Enam: Ratu Dunia

terakhir Communard, lebih dari 40.000 orang ditangkap dan segera 

diadili sebagai ‘tersangka’ atau ‘pemberontak, di mana 20.000 orang 

di antaranya ditembaki. Sisanya, hampir semua dipenjarakan atau 

dikirim untuk membusuk di penjara-penjara tropis seperti Pulau 

Setan yang terkenal. Pasukan pemerintah hanya kehilangan kurang 

dari seribu orang dalam konflik tersebut. Walaupun demikian, Thiers 

masih terus melakukan kekejaman tinggi dan memerintahkan bahwa 

semua perlawanan harus dihabisi.

Banyak dari eksekusi massal ini terjadi di taman-taman Luxembourg 

atau Parc Monceau. Ini yaitu  daerah-daerah yang dirancang secara 

khusus untuk menggambarkan manfaat dan menyampaikan pesan 

modernitas tetapi sekarang diubah menjadi lokasi pembantaian dan 

teror. Republik Ketiga diproklamasikan, tetapi rakyat tidak dipercaya 

oleh pemerintah. Di bawah kepresidenan Marshal MacMahon, yang 

pernah terluka di Sedan, pemerintah tetap tinggal di Versailles hingga 

1789. Selanjutnya, secara berhati-hati dan perlahan-lahan pemerintah 

kembali ke pusat kota.

Pihak berwenang menyerukan penyesalan, tetapi permintaan ini 

disambut dengan perlawanan cemberut, bahkan oleh banyak orang 

yang tidak secara aktif mendukung Komune. Walaupun demikian, 

sebagai tanda penebusan dosa, pemerintah pada 1873 memerintahkan 

pembangunan basilika Sacré-Coeur di bukit Montmartre. Kelas-kelas 

pekerja Paris mungkin telah dikalahkan tetapi mereka menolak untuk 

memaafkan kelas borjuis dengan mudah. Para tukang bangunan yang 

datang bekerja setiap hari untuk memulai pembangunan kubah selalu 

disambut dengan teriakan “Vive le Diable!” dari orang-orang yang 

lewat. Lagu populer lainnya pada masa itu yaitu  ‘L’Bon Dieu dans la 

merde’ (‘Tuhan yang Baik dalam kotoran’), bagian ulangannya yang 

riang mendorong para pekerja untuk meludah di wajah “para bos, 

borjuis, dan pendeta,’ sebelum mengarahkan mereka ke ‘la lanterne’ 

(‘untuk digantung dari lampu jalan’).1 Sacré-Coeur baru diselesaikan 

jauh sesudah  memasuki abad ke-20 dan tetap menjadi monumen 

kontroversial. Bangunan ini dibenci oleh banyak Parisian, bukan 

hanya sebab  meniru gaya Romawi-Byzantium, tetapi juga sebab  

mewakili kemenangan mengerikan dari kekuatan keteraturan sosial 

terhadap orang tertindas. Walaupun demikian, gereja ini menjadi 



378

perlambang kunci identitas Paris bagi orang-orang pedalaman dan 

juga para turis.

***

Masa pasca-Komune kaya dengan ironi historis serupa. Ironi 

paling terlihat yaitu  kebijakan bumi hangus yang dilakukan para 

Communard dalam gerak mundur mereka menuju timur kota 

yang secara tidak sengaja membantu menyelesaikan proyek urban 

Haussmann. Dalam tahun-tahun menjelang 1870, proyek ini sudah 

kehabisan uang dan momentum. Sebaliknya pada 1876, pemerintah 

kota memutuskan bahwa proyek besar pembangunan perkotaan 

yaitu  cara yang tepat untuk membantu menyembuhkan pembagian 

di kota. Dewan kota telah menegosiasikan pinjaman yang sangat 

besar untuk melakukan proyek ini dan proyek-proyek lainnya serta 

melanjutkan pengerjaan avenue de l’Opéra (menghubungkan dengan 

rue de Rivoli) dan boulevard Henri IV.

Pelaksanaan rencana-rencana ini bahkan lebih kejam dan mahal 

daripada sebelum 1870: avenue de l’Opéra dibangun dengan memotong 

kemiringan Butte de Moulin dan menghancurkan ratusan bangunan 

tua dengan memberi kompensasi kepada para pemiliknya. Secara 

keseluruhan, kota menghabiskan biaya sekitar 45 juta franc untuk jalan 

raya ini. Biaya sejumlah ini tidak bisa dibayangkan sebelumnya pada 

periode ini. Biaya tersebut kurang-lebih setengah dari biaya-biaya di 

distrik Arsenal yang lebih miskin, tempat boulevard Henri IV dengan 

boulevard Saint-Germain. Garis-garis jalan diluruskan di seantero 

Tepi Kanan; rue de Franche-Comté dihubungkan dengan boulevard du 

Temple; rue du Louvre, rue Réaumur dan rue Jean-Jacques Rousseau 

diperlebar, sehingga menyediakan akses dan sanitasi lebih baik tetapi 

dalam satu pukulan telah menghancurkan quartier-quartier historis 

di bagian pusat kota Paris. Ribuan bangunan dengan gaya anonim 

berwarna abu-abu yang sekarang menjadi akrab bermunculan di 

seantero kota. Paris akhirnya mengambil perannya sebagai kota paling 

maju dan dirancang paling baik di dunia tetapi, sebagaimana diprotes 

oleh para seniman, penulis, insinyur, arsitek, dan juga Parisian biasa, 

hal ini dilakukan dengan mengorbankan identitas unik kota ini.


379

Bagian Enam: Ratu Dunia

‘Epos indah’ menjadi saksi menyebarnya ketidakrasionalan dalam 

segala bidang pengalaman, dari politik hingga puisi. Inilah salah satu 

aspek kebudayaan kota yang membuat Paris menjadi wilayah yang 

subur secara unik bagi para seniman, penyair, penulis, dan aktivis 

politik dari Prancis dan seluruh Eropa, yang menyambut semua 

bentuk ekstremisme sebagai jalan menuju abad baru. Ini yaitu  kota 

kontras yang tajam, berbenturan tetapi kreatif tanpa akhir. Misalnya, 

‘agama-agama’ baru Komunisme dan Sosialisme didampingi oleh 

kebangkitan Katolik di kalangan kelas menengah pada tahun-tahun 

sesudah  1870. Kontradiksi yang bekerja dalam kehidupan budaya 

kota juga mengambil bentuk fisik. Sungai Seine, misalnya, tidak lagi 

menjadi sekadar perbatasan dekoratif antara Tepi Kiri dan Tepi Kanan 

tetapi juga menjadi saluran sibuk menembus kota, yang dipenuhi 

oleh bateaux-lavoir (rumah-cuci mengapung), dan bateaux-mouche 

yang membawa para komuter dari pinggiran kota, barkas dan perahu 

nelayan. Champs-Élysées memang megah tetapi juga menjadi tempat 

ideal bagi pejalan kaki, orang yang suka bermalasan atau bahkan 

menunggang kuda. Montmartre tentu saja masih bersuasana pedesaan 

dan menjadi rumah bagi kincir angin, kebun anggur, dan binatang 

yang jumlahnya sebanyak manusia. Sebaliknya, pusat kota yaitu  

mesin industri dan perdagangan yang berputar tanpa henti, penuh 

kendaraan dan orang.

Langkah perubahan yang cepat ditangkap oleh generasi pelukis—

Claude Monet, Auguste Renoir, Edgar Degas, Berthe Morisot, Mary 

Cassatt. Mereka menangkap realitas sebagai cahaya dan pergerakan 

yang kabur, alih-alih sebagai gambar yang tetap. Mereka dijuluki 

sebagai ‘Impresionis’ oleh para kritikus yang melihat pameran pertama 

mereka pada 1874 sebab  karya-karyanya terdiri atas ‘impresi’ dan 

bukan adegan statis. Pada awalnya, mereka tidak menyukai label 

ini, dengan menyatakan bahwa lukisan-lukisan mereka ‘sudah 

selesai’ (berbeda dengan sketsa ‘impresionistik’) dan selain itu 

mereka mewakili kenyataan apa adanya. Saat gagasan, teknologi, dan 

eksperimen dipercepat di seluruh bidang upaya manusia, tantangan 

terbesar bagi para Impresionis dan para seniman yang mengikuti 

mereka yaitu  bagaimana mengikuti kecepatan kemajuan dengan 

berjalannya abad.



380

Pemakaman Kenegaraan

Pada malam tanggal 31 Mei 1885, suasana di Paris anehnya menjadi 

meriah dan saat  malam semakin gelap suasananya berubah seperti 

pesta pora. Kafe-kafe masih penuh sesak; bahkan para pria terhormat 

pun menenggak banyak minuman keras pada malam itu.

Peristiwanya yaitu  pemakaman kenegaraan bagi Victor Hugo, 

momen yang nantinya terbukti menjadi salah satu titik balik besar 

dalam sejarah Paris pada akhir abad ke-19. sebab  alasan-alasan yang 

tidak jelas tetapi sangat dirasakan oleh sebagian besar Parisian pada 

tingkatan yang sulit dipahami, pemakamannya menandai kematian 

sebuah zaman sambil mengumumkan kedatangan zaman lainnya. 

Dari sudut pandang sejarah, kematian Hugo menandai pergeseran 

dari kepastian mematikan abad ke-19 ke arah abad ke-20 yang 

belum terpetakan. Bagi Parisian yang hidup pada zaman tersebut, 

pemakaman Hugo yaitu  tragedi sekaligus pembebasan.

Pada saat yang sama, Hugo telah mampu menduduki peran 

sebagai nabi yang hebat, pencatat kronik terbesar bagi Parisian yang 

kehilangan hartanya, dan bagi semua orang tua bodoh yang sakit dan 

sentimental. Selain itu, semua Parisian memandangnya—bahkan 

mereka yang belum pernah membaca karyanya—sebagai inkarnasi 

langsung masa lalu kota. Ia telah dilahirkan di masa kejayaan 

kekaisaran, hidup melalui sejumlah revolusi, pembantaian dan 

pemberontakan atas nama kebebasan, dan akhirnya berdamai dengan 

Tuhan dan dunia. Surat wasiatnya sederhana, jelas dan sama besarnya 

dengan pernyataan yang pernah ia buat: ‘Saya memberikan lima puluh 

ribu franc kepada orang miskin. Saya ingin dibawa ke permakaman 

menggunakan salah satu kereta jenazah mereka. Saya menolak doa 

dari semua gereja. Saya hanya meminta doa dari semua makhluk 

hidup. Saya percaya pada Tuhan.”2 Jenazahnya disemayamkan secara 

kenegaraan selama dua puluh empat jam dalam sebuah guci raksasa 

di atas Arc de Triomphe, dijaga oleh sekumpulan penyair muda yang 

memakai jubah seperti orang Yunani kuno. Para pelacur berhenti 

bekerja untuk menghormati penyair besar ini. Sebagai gantinya, 

mereka menghibur diri dengan mengajak orang-orang asing untuk 

melakukan seks secara gratis di sudut-sudut tidak jelas di Champs-


381

Bagian Enam: Ratu Dunia

Élysées (“Pesta pora seks terjadi,” catat seorang pengamat asing, “yang 

sangat Paris dan sekaligus tidak pernah terjadi sebelumnya.”). Hari 

berikutnya, lebih dari tiga juta orang memadati jalan-jalan. Iring-

iringan jenazah memerlukan waktu hampir enam jam untuk tiba di 

Panthéon. Bangunan ini awalnya dibangun oleh Jacques Germain 

Soufflot sebagai gereja pada 1764 tetapi sekarang telah diubah menjadi 

tempat permakaman dan diselimuti warna hitam sebagai mausoleum 

bagi orang-orang besar Prancis.3

Di hari-hari sesudah  pemakaman, beban masa lalu seakan-akan 

telah terangkat dan masa depan mengungkapkan dirinya sendiri dalam 

kehidupan jalanan kota baru yang hiruk-pikuk dan seperti teater. 

Perubahan ini terjadi di tingkat kehidupan sehari-hari. Misalnya, 

semua Parisian terkesan oleh etalase toko yang sedang dikembangkan 

di sepanjang grands boulevard dan sedang mengubah Paris menjadi 

kota komersial modern pertama.

Grand magasin sebenarnya yang pertama yaitu  Au Bon Marché 

yang dibuka di rue du Bac pada 1876 di sebuah bangunan yang dirancang 

oleh Louis-Charles Boileau dan Gustave Eiffel. Konstruksinya sendiri 

juga menjadi karya seni—tangga-tangga lebar yang monumental, 

menyamai tangga yang ada di Opéra, menghubungkan galeri-galeri 

dan lantai-lantai bertingkat, semuanya bermandikan cahaya dari 

langit-langit kaya. Barang-barang yang ditawarkan memiliki harga 

pasti dan menarik perhatian, setidaknya dalam teori, bagi semua 

tingkatan penghasilan. Pada akhir dekade 1870-an, toko ini sukses 

besar dan pada dekade 1880-an toko-toko serba ada dengan gaya 

serupa menyebar ke seantero Tepi Kanan, mulai dari rue du Louvre 

hingga ujung bawah Belleville. Toko-toko ini termasuk nama-nama 

yang sekarang sangat akrab bagi Parisian seperti Aur Printemps, La 

Belle Jardinière (berada di quartier kelas pekerja di dekat Gare de 

Lyon) dan Galeris Lafayette.

Argumentasi banyak orang di Kiri yaitu  ekspansi aktivitas 

komersial telah ‘mendemokratisasi’ bulevar-bulevar, mengubahnya 

menjadi tempat di mana semua kelas bercampur. Namun, ini yaitu  

ironi kedua dan tunggal bahwa perkembangan komersial yang tidak 

dapat diputarbalikkan lagi telah dilahirkan dari reruntuhan Komune. 

sesudah  peristiwa Komune, pembagian antarkelas menjadi sulit 



382

didamaikan walaupun para politisi dan pedagang berupaya sebaik 

mungkin untuk menyambut masa depan di mana perbedaan kelas 

akan dilebur dalam konsumerisme. Penciptaan kembali Paris oleh 

Haussmann mungkin telah menjadi pukulan bagi pencinta nostalgia, 

revolusioner dan segala macam pemimpi puitis dalam tradisi Victor 

Hugo, tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa, tidak seperti ‘Paris 

Tua’, hal ini memang bisa berhasil. Dari sistem sanitasi hingga toko, 

teater, kantor surat kabar, kafe dan restoran di bulevar, Paris sekarang 

menjadi lingkungan percontohan yang benar-benar berfungsi. Ini 

yaitu  sesuatu yang tidak pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah 

manusia. Bahkan pencelanya yang paling keras harus mengakui 

bahwa dalam kehidupan kreatif dan energi yang tanpa ampun, kota 

baru yang telah didirikan pada 1880-an liar dan juga mengagumkan.

Kebangkitan Kehidupan Rendah

Baru beberapa saat sebelumnya, Arthur Rimbaud, penyair muda, 

penyodomi dan santo pelindung generasi yang disebut ‘Bohemian’, 

telah menyebut generasi yang akan datang sebagai ‘parade liar’ para 

anarkis, pemalas dan pemabuk, yang menolak abad ‘borjuis’ ilmu 

pengetahuan dengan sihir, seni dan kemuakan revolusioner terhadap 

semboyan kemajuan dan logika.

Salah satu mitos belle époque yang tak sepenuhnya tidak benar 

yaitu  bahwa sekarang Paris menjadi ibukota kesenangan duniawi. 

Sebagian dari ini yaitu  fenomena murni ekonomi yang terhubung 

dengan naik dan turunnya kota. ada  sekitar 30.000 kafe atau 

tempat minum di Paris pada 1789. Pada 1885, saat  peraturan 

tentang kehidupan kafe yang dikeluarkan oleh Kekaisaran Kedua telah 

lama dihapuskan, ada  sekitar 30.000 tempat yang mendapat izin 

untuk menjual minuman keras. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada 

kota mana pun di dunia (London hanya memiliki sekitar 5.000 pub 

dan New York hanya memiliki 10.000 bar). Tempat-tempat ini dikenal 

dengan berbagai macam nama: selain nama-nama yang akan dikenal 

hingga abad ke-20 (bistro, kafe, kabaret, brasserie), boc, bibine, boîte, 

cabremont, caboulot, cargot, abreuvoir, assommoir, bastringue, boucon, 


383

Bagian Enam: Ratu Dunia

bouffardière, bousin, cabermon, dan troquet semuanya biasanya 

digunakan. Apa yang sama-sama mereka miliki, dari tempat borjuis 

yang paling terhormat hingga tapis franc (‘sarang pencuri’), yaitu  

bar yang terbuat dari seng, patron yang sangat kuat dan klien yang 

kehausan.4

Kafe juga memainkan bermacam peran dalam kehidupan kota. 

Mereka tidak hanya menawarkan makanan, minuman, dan (di banyak 

tempat) seks komersial, tetapi juga gagasan, argumen, pertemanan, 

tempat berlindung dari pekerjaan, tempat pertemuan, tempat untuk 

disewa atau diajak bersetubuh, dan tidak lupa kehangatan dan cahaya. 

Tidak heran jika kafe-kafe di Paris dicurigai oleh semua lembaga 

pemerintah, yang sangat menyadari peran yang mereka mainkan, 

sejak 1789, sebagai pembawa virus revolusi. Para ahli kesehatan, 

dokter dan filantropis sosial yang mudah terkejut akan mengecam 

keras kejahatan alkohol dan bahaya mematikan lisensi seksual, tetapi 

siapa pun yang pernah menikmati salah satu hobi ini tidak pernah 

mau mendengarnya. Penyakit yang disebut ‘alkoholisme’ ditemukan 

pada 1853 oleh seorang dokter Swedia bernama Magnus Huss. Ia orang 

pertama yang mengisolasi minuman keras sebagai penyebab utama 

dan asal-usul berbagai macam penyakit patologis. Ia juga menyatakan 

bahwa alkoholisme sendiri juga merupakan penyakit kronis. Namun, 

teori ini ditentang keras di Paris oleh otoritas kesehatan tertinggi, 

yang mengklaim alkohol sebagai tonik penyelamat hidup bagi pria 

pekerja dan peningkat kehidupan bagi orang berada. Diperdebatkan 

bahwa alkoholisme, jika memang benar-benar ada, yaitu  masalah 

bagi penduduk utara yang dingin yang menenggak minuman keras 

berbahaya dan yang, bagaimanapun juga, dianugerahi kesuraman dan 

introspeksi sebab  iklimnya. Pada 1873, sebuah masyarakat penentang 

‘penyalahgunaan minuman keras’ diluncurkan di Académie de 

Médicine. Di bawah perlindungan orang-orang seperti Hippolyte 

Taine, Louis Pasteur, dan Baron Haussmann, masyarakat ini menjadi 

‘Sociéte Française de Tempérance’. Namun, masyarakat ini tidak lebih 

dari sekelompok eksentrik. Minuman favorit pada saat itu tetap saja 

fée verte (‘peri hijau’) yang terkenal, walaupun dengan berbagai nama 

lainnya, yang tersedia di seluruh Paris, sering kali dengan kadar 

alkohol lebih dari 72 persen.



384

Polisi tidak peduli pada moralitas atau kesehatan, namun tetap 

saja melakukan pengawasan ketat terhadap para peminum dan 

tempat-tempat penjual minuman keras, terutama di distrik-distrik 

kelas pekerja. Sebagian besar pengawasan ini dikonsentrasikan pada 

aktivitas kriminal biasa. Sarang-sarang ‘terkenal’ seperti Chez Paul 

Niquet di 36 rue aux Fers dan Lapin Blanc di rue aux Féves disapu 

oleh Haussmannisasi yang sangat melegakan gendarmerie (polisi) 

lokal. Perpolitikan yaitu  urusan lain. Selama Kekaisaran Kedua, 

telah diterapkan serangkaian undang-undang yang ditujukan untuk 

mengurangi kemabukan di muka umum, termasuk denda, peringatan, 

dan pemenjaraan. Hal ini sedikit sekali menghambat gelombang 

alkohol yang pada dasarnya yaitu  pelumas kehidupan Parisian.

Selain itu, kafe-kafe menjadi tempat pertemuan bagi para 

intelektual Kiri dan ‘kelas-kelas berbahaya’ yang misi sejarahnya 

yaitu  untuk membuat sejarah. Tidak mengherankan jika sebagian 

besar kerusakan yang terjadi selama Komune dipersalahkan pada 

kemabukan yang menyebar luas yang tertumpah keluar dari kafe ke 

jalanan. Oleh sebab  itu, pembakaran Paris selama semaine sanglante 

di mata para sejarawan sayap-kanan telah direduksi menjadi tindakan 

‘piromania alkoholik’ semata. Dengan demikian, kelas penguasa 

memandang kehidupan kafe kelas pekerja Paris sebagai ancaman dan 

juga sumber kekaguman. Kedua tanggapan ini memiliki nada seksual. 

Misalnya, dipercaya secara luas bahwa semua wanita di kafe-kafe kelas 

pekerja yaitu  pelacur, tetapi ini tidak benar. Pada kenyataannya, 

wanita semacam itu bisa menenggak minuman keras, merokok, 

dan memperdebatkan politik di kafe-kafe lokal mereka dengan cara 

yang akan mengejutkan saudari-saudari borjuis mereka di terrasse-

terrasse di bulevar-bulevar (di mana setiap wanita kemungkinan besar 

memang merupakan pelacur profesional atau amatir).

Paris di Malam Hari

Di atas semuanya ini, Paris sekarang yaitu  kota berisikan energi-

energi panas yang saling bertolak belakang, semuanya direfleksikan 

dan direpresentasikan dalam kehidupan malamnya yang kaya dan 


385

Bagian Enam: Ratu Dunia

padat. Di jantungnya, ada  desa tua Montmartre, yang selama 

periode ini menjadi tempat bermain utama bagi Parisian dari semua 

kelas dalam mengejar minuman keras, seks, dan sensasi yaitu seakan 

merasakan sendiri persenggolan dengan canaille nyata dan kelas-kelas 

kriminal dari Belleville dan Ménilmontant yang berdekatan. Ini yaitu  

tempat diciptakannya kabaret, menunjukkan tempat untuk minum, 

makan, dan mendapatkan hiburan yang biasanya bersifat politis dan 

satir. Salah satu kabaret pertama yaitu  Le Chat Noir di boulevard de 

Rochechouart, yang dibuka pada 1881 oleh pelukis gagal Rodolphe 

Salis. Asal-usul kabaret yaitu  sekelompok penyair dan mahasiswa 

Bohemian yang pernah terkenal walaupun tidak lama pada akhir 

dekade 1870-an yang menyebut diri mereka sendiri ‘Hydropathe’ 

(dengan alasan bahwa mereka selalu ‘haus’ akan minuman keras 

dan kebudayaan). Salah satu pemimpin kelompok ini yaitu  penyair 

Charles Cros, teman Rimbaud dan Verlaine yang juga terkenal atas 

sarkasme-nya, serta penulis Alphonse Allais. Para Hydropathe yaitu  

konsumen dan juga hiburan di Le Chat Noir, dengan menawarkan 

berbagai macam drama komedi pendek, lagu, dan ‘acara’ (yang 

mengambil bentuk sandiwara bayangan kasar atau drama pendek) 

untuk para pengunjung, yang dihina oleh Salis saat  memasuki 

tempat tersebut dan disindir oleh konsumen tetap. Suasananya 

sangat patriotik dan nostalgia (para pelayan yang mudah naik darah 

mengenakan daun palma hijau Académie Française; di dinding 

tempat itu yang berhiaskan jaring laba-laba, Salis menggantungkan 

‘gelas-gelas asli’ yang digunakan oleh Villon, Rabelais, dan Julius 

Caesar). Hal ini sangat berlawanan dengan suasana Kiri penuh arti 

yang ditemukan di Tepi Kiri tetapi membuat tempat ini lebih populer. 

Le Chat Noir bahkan memiliki surat kabarnya sendiri, yang awalnya 

disunting oleh para Hydropathe dan kemudian oleh seluruh galaksi 

bintang cakrawala kesusastraan yang berumur pendek.5

Kesuksesan luar biasa Le Chat Noir ditiru oleh banyak pihak. Salah 

satunya yaitu  Le Mirliton yang dituanrumahi oleh Aristide Bruant, 

yang berjalan ke mana-mana secara provokatif di antara penontonnya. 

Ia menyanyikan lagu tidak sopan dan kisah-kisah kehidupan Parisian 

yang mengolok-olok dan mengeksploitasi suasana hati periode 

tersebut. Tempat ini kemudian diikuti oleh lebih dari selusin tempat 



386

serupa, termasuk Le Moulin Rogue pada 1889 dan serombongan 

diva lebih rendah yang semuanya menawarkan seni, minuman keras, 

gagasan, dan bahaya dalam takaran yang kurang-lebih sama.

Kira-kira pada saat inilah istilah ‘avant garde’ mulai memasuki 

leksikon Parisian. Ekspresi ini pada awalnya memiliki makna 

militer, yang merujuk pada sekelompok kecil prajurit infanteri yang 

bertugas untuk membuat lubang dalam pertahanan musuh. Istilah 

ini digunakan sebagai metafora politik pascakejadian-kejadian pada 

1848, saat  digunakan sebagai nama oleh berbagai jurnal yang 

semuanya mengklaim telah memimpin revolusioner Kiri menuju 

kemenangan historisnya. Kata ini dikaitkan dengan seni pada 1863 di 

masa Napoleon III, yang mempromosikan pameran sejumlah seniman 

(termasuk Manet, Cézanne, dan Pissarro) yang tidak diikutsertakan 

dalam Salon de Paris resmi. Pada dekade 1880-an, ‘avant-garde’ 

merujuk pada sekelompok kecil seniman dan penulis yang karyanya, 

bahkan yang tidak politis secara eksplisit, merupakan tantangan 

kepada tatanan yang sudah ada.

Banyak dari orang yang menyebut dirinya sendiri ‘avant-gardis’ 

pada periode ini juga menyebut dirinya sendiri décadent—istilah yang 

kemungkinan awalnya digunakan secara menghina oleh penyair Jules 

Laforgue—dan membentuk masyarakat sastra sangat kecil yang dikenal 

sebagai ‘Les Hirsutes’, ‘Les Zutistes’, atau bahkan ‘Les Hydrophates’. 

Dalam kesusastraan dan filsafat, mereka memperdebatkan kebaruan 

mengalahkan kebosanan, horor mengalahkan kedangkalan kecantikan. 

Pahlawan mereka yaitu  Baudelaire, Rimbaud, dan semua penulis lain 

yang mendukung pemberontakan dan melawan masyarakat ortodoks. 

Tulisan-tulisan yang beragam dan terlihat tidak berhubungan karya J. 

K. Huysmans, Lautréamont, atau Stéphane Mallarmé—tidak satu pun 

dari mereka yaitu  décadent dalam konteks mereka tidak menjadi 

bagian dari sebuah gerakan tunggal—semuanya ditarik bersama-

sama oleh ikonoklasme bertujuan sama ini. Ironisnya, suasana hati 

ini, yang menjadi kekuatan penentu di Paris pada abad ke-20, berasal 

dari gejolak budaya ‘epos indah’. Kehidupan malam Paris pada 

periode itu, dan terutama di Montmartre, telah menjadi klise turis; 

bagaimanapun juga, semangat pembangkangan yang berasal dari sana 

masih merupakan mitologi paling berpengaruh di Paris masa kini.


387

Bagian Enam: Ratu Dunia

Peperangan Kelas

Namun, suasana bergejolak ini tidak hanya tersangkut dalam pen-

carian kesenangan sangat ganas yang menyibukkan sebagian besar 

kota, tetapi juga dalam kekerasan teroris acak. Figur pengebom 

anarkis, yang membunuh borjuis dan pekerja tanpa irama atau alasan 

jelas, menghantui imajinasi semua Parisian dan dalam mayoritas pers 

menjadi tokoh utama kekerasan proletar yang masih ditakui pada saat 

itu yang bergerak ke seantero kota.

Pemisahan geografis, antara kelas-kelas pekerja revolusioner di 

bagian timur kota dengan kelas-kelas borjuis di beaux quartier di barat, 

sekarang benar-benar menjadi jurang yang sangat dalam. (Walaupun 

baru-baru ini terjadi gentrifikasi parsial di bagian timur, ketegangan 

ini masih ada hingga sekarang. Saya tinggal di Ménilmontant selama 

beberapa saat dan saya pergi ke metro dalam perjalanan saya menuju 

kantor di jantung borjuis arrondissement ke-16. Dalam perjalanan 

tersebut, saya yang sering kali berusaha menghilangkan bekas mabuk, 

berulang kali dibuat heran—dan kagum—oleh para penduduk quartier 

yang rutin menenggak minuman keras yang, pada pukul 6.48 pagi 

sudah meneguk kembali rouge dalam wadah plastik literan dengan 

ketidakpedulian seperti seorang perlente. Janggutnya yang ganas dan 

pandangannya yang menantang seperti keluar langsung dari halaman 

Le Père Peinard, lembar propaganda anarkis haus darah pada dekade 

1880-an. Quartier yaitu  miliknya dan bukan milik saya.)

Pada kenyataannya, revolusi anarkis berasal dari kota-kota kecil 

dan besar di selatan Prancis dan terutama berkembang di Lyons. 

Di sana, sebuah gerakan kelas pekerja yang bersatu dan kuat secara 

berkala berbenturan (dan kadang kala memenangkannya) melawan 

negara dan otoritas keuangan. Gerakan ini telah menyebar ke arah 

utara pada pertengahan abad tetapi tumbuh paling baik di tanah 

subur Paris sesudah  Komune, tempat antimiliterisme, antikapitalisme, 

dan antiklerikalisme bersatu menjadi kekuatan anarkis.

Rumah para anarkis yaitu  Bellevile, yang sekarang menjadi 

markas besar tidak resmi bagi gerakan-gerakan revolusioner di kota. 

Para intelektual seperti Jean Grace dan Émile Gauthier, keduanya 

pemimpin anarkis, mendirikan jurnal-jurnalnya di Tepi Kiri, masing-



388

masing di dekat rue Soufflot dan rue Mouffetard. Namun, pekerjaan 

propaganda sebenarnya terjadi di Paris timur. ada  berbagai 

kelompok yang bekerja di Belleville pada dekade 1870-an, dengan 

nama-nama seperti ‘Les Libertaires’, ‘Les Travailleurs Communistes’, 

‘Le Drapeau Noir’, atau ‘Le Groupe Anarchiste du Père-Lachaise’. 

Mereka tidak memiliki organisasi pusat atau teori pemandu namun 

demikian disatukan dalam filosofi yang mendorong ketidaktertiban 

terkontrol sebagai cara menuju masyarakat ideal yang terdiri atas 

‘komune-komune otonom’, yang diorganisasi oleh pekerja untuk 

pekerja, yang membuat kapitalisme dan hierarki-hierarki sosial yang 

dihasilkannya menjadi tidak relevan. Hal ini sangat menarik bagi 

para perajin dan tukang di bagian Paris ini, yang menyadari bahwa 

pekerjaan dan produk mereka secara sistematis dieksploitasi oleh 

para kapitalis dan yang lebih menyukai ekonomi lokal yang rumit di 

quartier mereka sendiri daripada mesin impersonal kota komersial 

yang mereka sebut ‘Babilonia Baru’.

Para anarkis yaitu  bagian integral dari kain sosial bagian kota 

ini, namun tidak tersentuh oleh Haussmannisasi dan mentalitas 

pedagangnya yang tak berperasaan. Namun, mata-mata polisi 

selalu mengawasi gerakan para anarkis yang dikenal, melihat dan 

mencatat saat  mereka bermanuver di kafe-kafe dan bar-bar di rue 

Ménilmontant dan rue Belleville, boulevard Charonne (Café de la 

Nation yaitu  tempat favorit di sini) dan rue du Faubourg du Temple. 

Ini yaitu  dunia yang keras dan berat, yang terpisah jauh tidak hanya 

dari cahaya bulevar tetapi juga dari kesembronoan santai Tepi Kiri 

serta populasi Bohemian dan mahasiswanya. Para penganjur anarkis 

menargetkan orang canggung, pemabuk, pengelana, kriminal—

semua anggota ‘kelas-kelas berbahaya’ yang dikecualikan dari ke-

hidupan gemerlap kota dan yang tidak akan kehilangan apa pun 

serta mendapatkan apa pun dalam memajukan filosofi politik yang 

mendorong kehancuran sebagai pendahuluan bagi pembentukan 

dunia baru.

Anarkis paling terkenal yaitu  François-Claudius Ravachol, yang 

juga dikenal sebagai Kenigstein dan Léon Léger. Ravachol menjadi 

nama kata kerja baru, ravacholer (‘menyapu;), yang populer walaupun 

hanya sebentar di kalangan Bohemian muda. Ia terkenal atas lima 


389

Bagian Enam: Ratu Dunia

pembunuhan dan beberapa upaya pembunuhan terhadap para hakim 

terkemuka, dan dikirim ke guilotin pada 1892. Penyair Stéphane 

Mallarmé, yang karyanya dikagumi dalam lingkaran-lingkaran 

paling intelek sebab  abstraksinya yang tajam dan tanpa kompromi, 

membela Ravachol di pengadilan. Ia menyejajarkannya dengan 

avant-garde kesusastraan yang sedang berkembang yang tujuannya 

yaitu  menghapuskan moralitas borjuis. Penulis Octave Mirbeau, 

yang secara terbuka menyatakan dirinya sebagai pendukung anarki, 

bergerak satu langkah lagi, membela kekerasan Ravachol sebagai 

satu-satunya cara untuk menghancurkan kebudayaan kapitalis dan 

mendukungnya melawan siapa pun yang mendeskripsikannya sebagai 

tidak lebih dari pembunuh biasa (di antara pelanggaran kurang 

puitis dan mengesankan yang dilakukan Ravachol yaitu  memukuli 

dengan palu seorang wanita pekerja keras pemilik toko perkakas 

dan putrinya hingga mati). Menurut Mirbeau, para anarkis berhak 

untuk “melakukan apa pun yang mereka mau untuk mengantarkan 

dirinya sendiri dari reaksi ketakutan … pemerintah tidak akan bisa 

mencegah yang tak terelakkan. Dunia lama runtuh sebab  berat 

kejahatannya. Dunia itu sendirilah yang menyalakan bom yang akan 

menghancurkannya.”6 Sentimen semacam itu direduksi menjadi 

rumusan oleh kritikus sastra Laurent Tailhade, yang sering dikutip 

telah mengatakan pada saat makan malam “apalah arti sedikit nyawa 

manusia, saat  gerakannya indah [le geste est beau].” Walaupun dua 

tahun kemudian, salah satu matanya menjadi buta oleh bom anarkis 

yang dilemparkan ke dalam restoran yang sama, Tailhade dengan 

keras kepala menolak untuk mengakui bahwa opini yang ia utarakan 

sebelumnya mungkin memang salah.7

Aksi-aksi Ravachol ditiru oleh pemuda lainnya yang bersemangat 

dan mudah dipengaruhi, termasuk seorang borjuis muda bernama 

Émile Henry yang ditangkap oleh polisi saat  sedang memasang 

bom di Café Terminus di Gare Saint-Lazare. Walaupun sebagian besar 

aksi ini kelihatannya tidak jelas tujuannya dan mematikan, di Paris 

masih ada dukungan yang cukup besar bagi para anarkis. Sebagian 

merupakan reaksi alami kelas pekerja, yang melihat para pengebom 

anarkis sebagai prajurit lapangan dalam perang revolusioner 

panjang melawan kekuatan kapitalisme yang selalu bermutasi tetapi 



390

kelihatannya tidak bisa dihentikan. Pengeboman teroris dipuji di 

bar-bar dan kafe-kafe Belleville sebagai ‘tindakan berani’ dan lagu-

lagu dinyanyikan untuk menghormati Ravachol dan para ‘musuh 

keteraturan’ lainnya.

Aspek Promethean dari upaya teroris juga menarik dukungan 

dari kalangan sastra—bukan hanya tokoh semi-terkemuka seperti 

Mallarmé tetapi juga generasi pemuda dan pemudi yang merangkul 

kesia-siaan, teror dan kejahatan sebagai satu-satunya tanggapan logis 

bagi masyarakat yang berada dalam keadaan kolaps. sebab  alasan 

ini, pengadilan massal bagi para anarkis—yang termasuk penulis Félix 

Fénéon, pendukung Impresionis—pada 1894 menarik dukungan 

rakyat yang cukup besar di kalangan Parisian. Pengadilan mencapai 

akhir yang lucu saat  pengacara pemerintah membuka sebuah paket 

yang dikirimkan kepadanya di pengadilan. Ia meyakini bahwa paket 

tersebut berisikan bahan peledak tetapi sebenarnya terisi penuh oleh 

kotoran manusia yang licin dan berbau busuk. Saat pengacara pergi ke 

belakang untuk mencuci tangannya, Fénéon berteriak “tidak pernah 

ada, sejak Pontius Pilate, seorang pengacara mencuci tangannya 

dengan pertunjukan seperti itu!” kata-katanya disambut dengan tepuk 

tangan meriah dari galeri penonton.8

Pada dekade 1890-an, ancaman anarkis menghilang secepat dan 

setiba-tiba kemunculannya. Namun saat masih berlangsung, ancaman 

itu memperkenalkan benang halus rasa takut dan gangguan ke dalam 

kain kota yang meski tidak cenderung untuk memberi selamat kepada 

dirinya sendiri sebab  telah menghilangkan aspek-aspek kotor dan 

kumuh dari kehidupan sehari-hari atas nama logika dan kemajuan.

“Komedi telah usai!”

Kota berisikan ide-ide dan kepentingan-kepentingan yang saling 

bertolak belakang ini menyediakan banyak inspirasi bagi novelis 

Émile Zola, yang tiba di Faubourg Saint-Marcel dari Aix-en-Provence 

sebagai seorang pemuda, dan menghabiskan masa hidupnya bertekad 

untuk memahami kebudayaan bawah tanah Paris.

Zola menganggap dirinya seorang ilmuwan dan mengembangkan 


391

Bagian Enam: Ratu Dunia

teori naturalisme untuk membenarkan novelnya yang mengamati 

secara saksama tetapi sering kali menjemukan. Antara 1871 dan 1893, ia 

menerbitkan dua puluh novel Les Rougon-Macquart, dengan subjudul 

Histoire naturelle et sociale d’une famille sous le Second Empire (‘Sejarah 

Alam dan Sosial sebuah Keluarga di masa Kekaisaran Kedua’), yang 

bertujuan untuk mendokumentasikan setiap detail ‘kehidupan nyata’ 

Paris pada masa Kekaisaran Kedua (kota menjadi lokasi utama dalam 

sepuluh novelnya). Namun, Zola paling baik saat  melupakan teori-

teorinya dan kisah-kisahnya mulai hidup sendiri dengan menangkap 

esensi dari kota yang bergejolak dan padat.

Deskripsi terbaik yang dibuat Zola untuk Paris ada dalam novel 

Le Ventre de Paris (‘Perut Paris’) pada 1873 dan Au Bonheur des 

dames (‘Kebahagiaan Wanita’) pada 1883 yang masing-masing ber-

latar belakang pusat jajan serba ada di Les Halles dan toserba fiksi 

di bulevar. Zola tidak malu menjadi orang Kiri dan novel-novelnya 

menggambarkan kota dari sudut pandang mereka yang tertindas 

atau dihancurkan. Paris digambarkan sebagai mesin, yaitu mesin 

penghancur sangat besar yang memakan segalanya atas nama 

kapitalisme. Kota sendiri terancam oleh kekuatan internal perdagangan 

dan modal yang lebih kuat daripada sejarah. “Denah Paris terbentang 

di bawah,” tulisnya di akhir Au Bonheur des dames, “tetapi itu yaitu  

denah Paris yang sudah berkurang, termakan oleh monster ini. 

Rumah-rumah, sesederhana pondok pedesaan, menghilang dalam 

kekacauan cerobong-cerobong asap yang tidak terbedakan. Bahkan 

monumen-monumen sepertinya menghilang: di sebelah kiri ada  

dua garis untuk Notre-Dame, di sebelah kanan sirkumfleks untuk 

Les Invalides, dan di kejauhan ada  Panthéon, dipermalukan dan 

terabaikan dan bahkan tidak sebesar kacang.”9

Di ujung berlawanan spektrum politik Zola, kesibukan utama 

semua partai Kanan yaitu  pembalasan dendam terhadap Jerman 

sebab  telah mempermalukan Prancis pada 1870. Fakta bahwa 

Prancis, dan khususnya Paris, telah berkembang sejak saat itu 

bukanlah kompensasi bagi rasa ketidakdilan dan malu yang masih 

tersisa yang hanya bisa ditebus dalam perang. Pameran yang diadakan 

di Paris pada 1878, saat  kemenangan industrialisasi dan kolonisasi 

Prancis dipamerkan ke hadapan dunia, telah cukup bisa memulihkan 



392

sebagian kepercayaan pada potensi negara. Namun hal itu bukanlah 

pengganti bagi wilayah yang hilang atau rasa percaya diri yang terluka.

Kaum nasionalis menemukan pahlawan yang tidak disangka-

sangka dalam bentuk Jenderal Georges Boulanger—seorang patriot, 

republiken, dan orang yang sangat memercayai tugas tentara sebagai 

penyelamat Prancis. Boulanger juga terkenal sebagai perayu dan 

politisi populis yang tidak takut untuk memenangkan suara dengan 

menyerukan penghancuran musuh Prusia. Boulanger diangkat menjadi 

menteri peperangan pada 1886. Ia membuat Parisian terkesan akan 

janggutnya (tanda republiken sejati), kuda perangnya yang berwarna 

hitam legam dan sebab  membuat pernyataan-pernyataan termasyhur 

seperti ‘tentara tidak berpihak’. Boulanger memasuki cerita rakyat dalam 

lagu populer ‘En revenant de la revue’ (‘Kembali dari parade militer’), 

yaitu lagu yang merayakan 14 Juli: ‘Moi, j’faisais qu’armirer, / Not’brav’ 

général Boulanger’ (‘Yang bisa kulakukan hanyalah mengagumi, 

jenderal Boulanger kita yang berani’). Pada 1889, Boulanger dipilih 

menjadi anggota Majelis Nasional dan popularitasnya semakin besar. 

Ia bergaul dengan Pendukung Kerajaan, Pendukung Bonaparte, dan 

radikal secara bergantian. Mengkhawatirkan popularitasnya yang 

tidak dapat dipahami tetapi tidak diragukan lagi, pemerintahan 

Georges Clemenceau mengatur agar gundik Boulanger yang bernama 

Madame de Bonnemain dideportasi ke Belgia dengan mengetahui 

bahwa Boulanger akan mengikutinya. Titik kritis terjadi pada sore 

hari sebelum pendeportasian Bonnemain, saat  kerumunan massa 

berkumpul di jalanan dan menyerukan kepada Boulanger untuk 

bergerak ke Istana Élysée guna mengambil alih kekuasaan. Boulanger 

terkenal senang makan malam di restoran Durand, tempat ia bisa 

mendengar teriakan dari jalanan. Ia ragu-ragu dan sehari kemudian 

mengikuti gundiknya ke Belgia. Bonnemain meninggal setahun 

kemudian. Setahun sesudah  kematiannya, mayat Boulanger ditemukan 

di makam Bonnemain, tempat Boulanger bunuh diri.

Parisian menikmati kombinasi melodrama dan intrik dalam 

kisah seperti ini, yang pada akhirnya yaitu  lelucon. Saat mendengar 

kematian Boulanger, Clemenceau mengomentari dalam gaya khasnya 

yang tepat tetapi brutal, “Sekarang komedi sudah usai.”10 Namun, 

sebuah tragedi yang jauh lebih besar terjadi sepanjang dekade 1890-


393

Bagian Enam: Ratu Dunia

an. Tragedi disebut ‘Peristiwa Dreyfus’, yang mulai terbuka pada 1894. 

saat  itu, sebuah surat tanpa tanda tangan yang berisikan sejumlah 

rahasia militer Prancis dan sepertinya sedang dalam perjalanan 

menuju atase militer Jerman di Paris berhasil dicegat oleh intelijen 

Prancis. Surat tersebut dituduhkan kepada Kapten Alfred Dreyfus, 

seorang perwira tentara Prancis yang tidak bersalah yang satu-satunya 

kesalahannya yaitu  menjadi seorang Yahudi pada saat ‘kebencian 

terhadap Yahudi’ sedang memuncak di kalangan Parisian dari segala 

aliran politik (ada  banyak deputi Majelis Nasional yang, misalnya, 

terpilih sebab  kebijakan anti-Semit mereka yang terang-terangan).

saat  akhirnya terungkap (pada 1896) bahwa surat tersebut ditulis 

oleh Mayor Esterhazy, seorang perwira yang integritasnya terbukti 

diragukan, Kantor Peperangan berusaha menyembunyikan informasi 

ini. saat  detail cara membuat Dreyfus menjadi tersangka muncul 

dalam persidangan Esterhazy (dan ia diputuskan bersalah), Prancis 

ditelan oleh krisis yang mengungkapkan betapa dalamnya jurang 

pemisah antara mereka yang memercayai kesempurnaan pemerintah 

Prancis, dengan mereka yang melihatnya dengan cacat yang tidak bisa 

diperbaiki lagi.

Dreyfus berhadap-hadapan dengan orang-orang yang membela 

peraturan hukum dan keteraturan militer. Sebaliknya, para pen-

dukungnya mengajukan pendapat yang meyakinkan bahwa hukum 

tidak bisa berdiri jika tidak didasarkan pada kebenaran dan keadilan 

alami. Titik puncak konflik ini yaitu  pamflet J’Accuse!, yang di-

terbitkan oleh Émile Zola pada 1898. Dalam tulisannya, sang novelis 

meminta diadakannya pengadilan ulang dan melancarkan polemik 

cemerlang melawan kebusukan negara yang telah kehilangan semua 

kepercayaan atas kemampuan untuk menghadapi kebenaran tentang 

dirinya sendiri. Pamflet ini membuatnya sangat tidak populer—

bahkan membuat hidupnya dalam bahaya—sehingga ia terpaksa 

menghabiskan satu tahun dalam pengasingan di London. Sejak 

saat itu, polemik Zola telah dipandang sebagai kelahiran gagasan 

‘intelektual’ abad ke-20 sebagai penulis atau pemikir yang kewajiban 

historisnya yaitu  terlibat dengan masanya dan jika memungkinkan, 

atau jika diperlukan, mengubahnya. Dalam konteks ini, Zola yaitu  

ayah bagi generasi ‘berkomitmen’ Sartre dan Camus. Urusan Dreyfus 



394

sendiri yaitu  pendahulu bagi atmosfer politik beracun di Paris pada 

dekade 1930-an di mana orang Yahudi sering kali difitnah sebagai 

‘pengkhianat’ dan ‘pengkhianat republik’.

Firasat

Pembangunan Menara Eiffel dimaksudkan untuk menunjukkan 

simbol supremasi negara kepada dunia. Menara ini direncanakan 

sebagai pameran utama dalam pameran pada 1889. Pameran ini 

sendiri dimaksudkan untuk menandai seratus tahun pencapaian 

Prancis sejak Revolusi 1789. Tidak terlalu jelas bagi para pengunjung 

asing, tetapi menjadi sumber keresahan yang jelas bagi Parisian, yaitu  

pameran dan menara ini juga dimaksudkan sebagai penanda untuk 

kembali ke keunggulan dunia yang diklaim oleh Paris sendiri sebelum 

‘tahun-tahun mengerikan’ 1870 dan 1871. Hanya sebab  alasan 

ini saja Parisian sudah merasa skeptis dan sering kali menyatakan 

ketidakpuasan mereka secara terang-terangan tentang ‘asparagus 

logam’ atau ‘supositoria’ yang sedang dibangun di tengah-tengah 

mereka. Sebagian orang lainnya menolak sebab  alasan estetika, 

dengan berpendapat bahwa menara ini tidak enak dipandang mata, 

‘monster baja’, yang merusak cakrawala langit Paris. Pendapat paling 

umum, yang disuarakan di tempat-tempat minum paling rendah dan 

salon-salon paling terhormat, yaitu  menara ini merupakan tindakan 

keangkuhan dan hampir pasti menjadi pertanda buruk.

Tidak bijaksana untuk meremehkan kekuatan pemikiran takhayul 

seperti itu di sebuah kota yang, pada saat mendekati tahun-tahun 

terakhir abad tersebut, telah menyambut kebangkitan okultisme, agama 

Katolik fanatik dan kepercayaan akan akhir dunia yang menyebar 

luas (bahkan menjadi populer bagi puisi Simbolis yang dikatakan 

merupakan bagian dari kepercayaan terhadap irasionalisme yang 

menyebar luas dan kualitas takdir yang mematikan). Tanda-tanda lain 

bagi bencana yang segera datang, atau setidaknya pengakuan terang-

terangan bahwa modernitas membawa bahayanya sendiri, dapat 

ditemukan di jalan-jalan kota Paris. Kemungkinan, penanda yang 

paling terkenal, dan yang menyatukan keajaiban ganda masyarakat 


395

Bagian Enam: Ratu Dunia

yang sedang berkembang dan teknologi baru gambar film, yaitu  

bencana di Bazar de la Charité pada 1897.

Bazar de la Charité yaitu  struktur yang terbuat dari kain, kayu, 

dan kanvas di Champs-Élysées yang telah didirikan dan diorganisasi 

oleh para wanita kelas atas untuk menunjukkan segala macam 

daya tarik yang sedang modis bagi pengunjung dari semua kelas, 

tetapi terutama bagi orang berada dan memiliki koneksi baik. Pada 

4 Mei 1897, para wanita Bazar menyelenggarakan pertunjukan 

cinématographe karya Lumière bersaudara yang baru saja ditemukan 

dan sedang diperbincangkan di Paris. Kilat muncul dari lampu eter 

yang rusak, yang melejitkan api ke seantero ruangan saat  seorang 

petugas berupaya untuk menyalakannya kembali. Dinding-dinding 

kanvas langsung tersambar api dan dalam hitungan detik seluruh 

bangunan tipis ini menjadi neraka. Ratusan pria, wanita, dan anak-

anak terperangkap dalam pintu putar atau terhambat oleh dinding 

yang terbakar. Jumlah korban sebenarnya tidak pernah benar-benar 

diketahui—lebih dari dua ratus orang yaitu  perkiraan konservatif. 

Keterkejutan dan horor semakin besar sebab  korban yang tewas 

termasuk lusinan anggota masyarakat kelas atas Paris dan sebagian 

besar yaitu  wanita.

Bencana ini tidak memiliki makna politis tertentu, tetapi memang 

menggemparkan semua Parisian dari berbagai lapisan masyarakat 

yang sudah cukup punya alasan secara historis untuk takut pada 

api, kerumunan orang, dan mesin. Bencana ini juga memunculkan 

anekdot yang mengerikan dan benar-benar aneh tentang comte 

Robert de Montesquiou yang istrinya tewas dalam kebakaran. 

Montesquiou terkenal sebab  keanggunannya yang perlente dan 

kecerdasannya. Konon, ia menginspirasi karakter Des Esseintes dalam 

novel À Rebours (‘Melawan Alam’, 1884) karya Huysmans. Novel ini 

merupakan perlambang tentang ahli estetika ‘dekaden’ yang menolak 

realitas objektif dan menerima realitas kecantikan ‘lebih tinggi’ dalam 

pembangkangannya. Montesquiou sudah pasti juga menjadi model 

bagi tokoh bermoral buruk yaitu Baron de Charlus karya Proust.11

Des Esseintes kemungkinan besar yaitu  salah satu karakter paling 

sakit dan menjijikkan dalam dunia fiksi, tetapi dalam dunia nyata 

sangat mirip dengan Montesquiou, yang terlihat telah menyodok 



396

mayat istrinya dengan sebatang tongkat, mengangkat sisa-sisa 

pakaian istrinya yang telah terbakar dengan ujung tongkatnya agar 

bisa mengenalinya. Penyair Simbolis Henri de Régnier nantinya 

menuduh bahwa Montesquiou telah berjuang keluar dari bazar 

dengan tongkatnya dan meninggalkan istrinya mati dalam kebakaran. 

Sebuah duel dipertarungkan tetapi argumentasi ini tidak terselesaikan. 

Namun, faktanya yaitu  sebagian besar Parisian dari semua kelas 

percaya bahwa tuduhan sang penyair menggambarkan sejauh mana 

mereka memiliki pandangan bebas tentang bagaimana berlebih-

lebihannya abad mereka dan monster-monster yang dihasilkannya.12 


397

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

BAGIAN TUJUH 

Medan Magnet

1900 – 1939

Pada akhirnya engkau akan lelah dengan dunia kuno ini

Wahai Menara Eiffel

perempuan penggembala kawanan jembatan yang pagi 

ini mengembik

Engkau sudah cukup lama hidup dalam masa Yunani 

dan Romawi kuno

Aku cinta keindahan jalan industri ini

Terletak di Paris

antara Rue Aumont-Thiéville dan Avenue des Ternes

 Guillaume Apollinaire, Zone, 1917

Lanskap yang menghantui seintens opium …

Stéphane Mallarmé, 1888





398

Rencana metro Paris pada 1900


399

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

35 

Semangat Baru

Selama seratus tahun selanjutnya, Paris akan tumbuh lebih 

padat dan lebih kaya daripada sebelumnya dalam sejarah. Namun, 

Paris masih akan terkunci dalam lingkaran rapat yang dibentuk oleh 

jalan lingkar luar yaitu boulevard périphérique atau ‘le périph’. Jalan 

ini menandai Paris sebagai kota yang pada dasarnya berdimensi 

abad pertengahan dan tidak seperti Los Angeles atau London. 

Dalam cara yang sama, sejarah Paris pada abad ke-20 akan dibentuk 

oleh serangkaian konflik—antara kaum kaya dengan kaum miskin, 

kemajuan dan tradisi—yang berakar kuat di masa lalu tetapi juga 

begitu berakar mendalam sehingga tidak bisa digerakkan.

Ini yaitu  masa trauma hebat. Dari kengerian medan-medan 

pertempuran Perang Dunia Pertama, penyakit yang menyerang kota 

di masa sesudah  perang, kerusuhan dan perang saudara yang hampir 

terjadi pada dekade 1930-an, hingga Pendudukan Nazi pada dekade 

1940-an, orang Paris terlalu sering dikhianati dan dipermalukan oleh 

para pemimpin politik mereka, yang mengatakan kebohongan dan 

tidak peduli pada penderitaan mereka. Janji-janji revolusioner dari 

kelas pekerja dan ‘kelas-kelas berbahaya’ abad ke-19 sudah hilang 

dalam ingar-bingar argumentasi antara Partai Komunis yang, selama 

terlalu lama dalam abad ini, memandang Moskow sebagai satu-

satunya mercusuar harapan bagi kemanusiaan dengan berbagai sayap 

Kanan yang merangkul quietisme (diamisme), sinisme dan kadang 

kala Fasisme atas nama Republik yang benar-benar mereka percayai. 

Paris akan menjadi ibukota dunia gagasan dan ideologi yang juga 

merupakan tempat bagi para intelektual dari berbagai pihak untuk 

membuat sejumlah alasan bagi sejumlah kejahatan terbesar yang 

dilakukan atas nama memajukan umat manusia. Hitler, Mao, dan 




400

Stalin pernah menjadi pahlawan di sini pada suatu titik  selama abad 

ini.

Awal abad ke-20 juga menjadi saksi bangkitnya pergerakan avant-

garde, dari Kubisme hingga Surealisme dan Eksistensialisme, serta 

segala sempalannya. Kelompok-kelompok ini beranggapan bahwa 

mereka memberi perlawanan budaya dan politik bagi kekejaman 

kekuatan-kekuatan sejarah yang berulang kali mengancam untuk 

menelan kota. Namun, terlepas dari segala janji penebusan dosa ini, 

mereka hanya bisa menjadi bagian dari elite dan berulang kali gagal 

untuk berhubungan dengan massa.

Namun, isu-isu seperti itu jauh dari benak rakyat selama musim 

dingin 1899, saat  Parisian memasuki abad baru dalam suasana 

hati yang sangat tenang. Musim gugur telah begitu dingin dan basah. 

Penduduk gemetar kedinginan dan bersin-bersin sambil menjalani 

bulan-bulan tergelap. Sedikit sekali rasa keterputusan historis 

dengan masa lalu dalam perpolitikan, kesusastraan, dan kehidupan 

sehari-hari. Sebagian besar Parisian memang lebih memikirkan cara 

bertahan hidup dan mendapatkan penghasilan di kota yang berulang 

kali menyatakan dirinya sebagai model bagi masa depan, tetapi dalam 

banyak hal masih terperosok dalam pemisahan masa lalu.

Masih sering terjadi adu argumentasi yang berkaitan dengan 

peristiwa Dreyfus dan skandal Kanal Panama pada 1893, yaitu 

penipuan finansial yang membuat banyak Parisian jatuh miskin 

dan hanya memperdalam sikap anti-Semit di seantero kota. Anti-

Semitisme memang hanya disamai oleh sentimen anti-Inggris. Surat-

surat kabar dengan gembira melaporkan kesulitan-kesulitan yang 

dihadapi orang Inggris di Afrika Selatan (wafatnya Ratu Victoria 

pada 1901 juga menjadi sasaran bagi banyak komik satire. sesudah  

pemakamannya, Parisian yang modis mulai mengenakan topi beledu 

yang dianggap sebagai sikap yang cukup pro-Boer).1

Pemerintah kota menginginkan agar pergantian abad diumumkan 

melalui percampuran kabur seni, teknologi dan fantasi yang memesona. 

Menara Eiffel berkilau di udara yang kelabu dan lembap, baru saja 

dicuci oleh badai musim dingin dan bertemu sebagai simbol terbaik 

bagi pertemuan rancangan, rekayasa dan keinginan Utopis. Inilah tema 

pameran Paris pada 1900, yang dimaksudkan untuk mengalahkan 


401

Bagian Tujuh:  Medan Magnet

semua pencapaian sebelumnya—termasuk pameran 1889, yang 

tidak hanya memperkenalkan Menara Eiffel kepada publik yang 

terbelalak matanya tetapi juga trotoar berjalan yang mengagumkan. 

Hal ini dilakukan dengan cukup mudah dengan merayakan kota 

Paris sendiri sebagai ibukota modernitas dan kemajuan dunia. Fakta 

ini didemonstrasikan dalam keahlian dan keberanian luar biasa yang 

dimasukkan ke konstruksi besi dan kaca yaitu Grand Palais, Petit 

Palais, dan Pont Alexandre III, yang semuanya khusus dibangun untuk 

pameran. Status Paris sebagai pusat kebudayaan dunia digarisbawahi 

oleh penaklukan-penaklukan kolonialnya. Hal ini diwakili dalam 

berbagai pameran eksotis di sekitar lokasi pameran yang membawa 

dunia ke Paris dan bukan sebaliknya.

Pameran dibuka hingga November yang ditonton oleh lebih dari 

50 juta pengunjung. Jumlah ini lebih banyak dari jumlah penduduk 

Prancis. Seluruh lokasi sepanjang lebih dari lima kilometer ditenagai 

oleh listrik. Sepanjang malam, Istana Listrik diterangi oleh lebih dari 

lima ribu lampu peri, yang membuat semua orang yang melihatnya 

terkesiap. ‘Paris Tua’ sekarang benar-benar sudah tinggal sejarah dan 

memasuki cerita rakyat dalam bentuk quartier palsu dengan rumah-

rumah buatan dengan puncak menara dan atap pelana di Tepi Barat 

sungai Seine. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada 

Parisian apa yang mereka tinggalkan dan seperti apa masa depan 

mereka. Dalam cara yang sama, Parisian dan lainnya datang untuk 

mengagumi tanah impian Orientalis berupa souk, kedai-kopi, menara 

masjid dan harem yang telah dibangun untuk menggambarkan 

pencapaian kolonial Prancis. sesudah  melihat dunia lain dan asing 

yang telah ditaklukkan oleh Paris, mereka pergi dengan sangat kagum 

sementara rasa patriotisme dan kebanggaan terhadap bangsanya 

tertanam semakin dalam.

Atau setidaknya begitulah niatnya. Tidak diragukan lagi memang 

benar bahwa kehidupan di Paris dan provinsi-provinsi sudah 

banyak meningkat sejak pertengahan abad ke-19. Negara secara 

keseluruhan lebih kaya daripada sebelumnya. Bahkan petani paling 

miskin atau penduduk kota yang paling


Related Posts:

  • Paris Perancis 12 ng mereka pandang sebagai pemerintah yang menindas dan tidak patriotis. Teriakan “À Berlin!” di jalan-jalan Paris sekarang digantikan oleh “À Versailles!”Perjalanan ke Versailles dimulai pada tengah malam. Rat… Read More