ng mereka pandang sebagai pemerintah yang
menindas dan tidak patriotis. Teriakan “À Berlin!” di jalan-jalan Paris
sekarang digantikan oleh “À Versailles!”
Perjalanan ke Versailles dimulai pada tengah malam. Ratusan orang
berangkat dari Paris, banyak dari mereka sedang mabuk atau setengah
mabuk, dan semuanya terbakar oleh kepercayaan bahwa sesudah
‘saudara-saudara’ proletar mereka memahami sifat alami konflik—
yaitu perang antara orang miskin melawan orang kaya—mereka akan
segera meletakkan senjata dan bergabung dengan kekuatan keadilan
sosial. Dinding-dinding kota ditempeli dengan poster-poster yang
mengumumkan hal ini bersama propaganda tulus yang memprediksi
kemenangan dan pembalasan. Salah satu poster berbunyi:
Para pekerja, jangan tertipu! Ini yaitu perjuangan besar. Parasitisme
dan tenaga kerja, eksploitasi dan produksi-lah yang sedang dipertaruhkan.
Jika engkau merasa lelah hidup dalam ketidakpedulian dan batuk dalam
penderitaan, jika engkau ingin putra-putramu menjadi pria dan bukan
binatang yang dibesarkan untuk medan tempur, jika engkau tidak ingin
putri-putrimu—yang tidak bisa kau besarkan dan lindungi—menjadi
instrumen kesenangan di tangan aristokrat kaya, jika engkau ingin melihat
kekuasaan Keadilan—Para Pekerja Bangkitlah!6
Para Communard mungkin bisa mendapatkan kemenangan
menentukan jika, sebagaimana ditunjukkan oleh Karl Marx di
kemudian hari, mereka langsung bergerak ke Versailles dengan
membawa 200 senjata api yang direbut kembali. Kenyataannya,
Komune telah menghabiskan waktu berharga dalam membuat
sejumlah pengumuman yang sebagian besar tidak relevan—
menghapuskan giliran malam di toko-toko roti, mendirikan koperasi-
koperasi pekerja, menuntut ‘likuidasi properti’, menetapkan gaji
tertinggi semua pejabat sebesar 6.000 franc (sama seperti tukang batu
dan tukang kayu)—dan bukan mengambil inisiatif lalu menyerang
pasukan Versaillais (pasukan kontra-revolusi yang berbasis di
369
Bagian Enam: Ratu Dunia
Versailles) yang kebingungan dan bersenjata ringan. Oleh sebab nya,
pasukan Versaillais mendapatkan waktu yang berharga untuk
memulihkan diri dan berkumpul kembali saat para Communard
memberi nasihat dan memutarbalikkan fakta. Serangan dari Paris
dengan mudah dipukul mundur—Thiers, yang bertanggung jawab
atas perbentengan yang dibangun di sekitar Paris pada 1840, sangat
mengetahui titik lemahnya baik dari dalam maupun dari luar. Saat
anggur dan euforia menghilang di cahaya kelabu pagi dini hari, para
pekerja ditumbangkan dalam puluhan dan kemudian ratusan orang
saat mereka berupaya keluar dari kota. Ratusan Communard yang
tertangkap kemudian dipaksa berjalan menuju kamp penjara di Satory
dekat Versailles. Di sana, mereka segera dieksekusi sebagai contoh
bagi segala pemberontak di masa depan.
Pertempuran terus berlangsung selama sporadis selama beberapa
hari selanjutnya. Bentrokan yang cukup berdarah terjadi di Issy
dan Vanves. Saat berita perlakuan brutal terhadap para tawanan
oleh pasukan Versaillais sampai ke Paris, para wanita Paris mulai
mengorganisasi diri mereka sendiri. Dengan berpakaian hitam dan
menempelkan hiasan berbentuk mawar merah di topinya, mereka
berencana untuk berbaris ke Versailles dan meminta perdamaian.
Namun, Garda Nasional—yang berpihak pada Communard—
yang bertekad bahwa kemenangan masih mungkin diraih, segera
menghentikan ‘omong kosong’ seperti itu.
Sebaliknya, sikap dan tindakan di kota semakin keras. Hal ini
sebagian sebagai tanggapan atas pembantaian di Vanves dan tempat-
tempat yang rentan lainnya di selatan kota dan sebagian sebab
tindakan prefect polisi yang juga Communard. Ia yaitu bekas
Bohemian berusia 24 tahun, bekas penghuni Café Madrid dan teman
penyair Paul Verlaine. Namanya yaitu Raoul Rigault. Ia akan terbukti
sama menarik dan menjijikkannya seperti fanatik mana pun di abad
ke-20. Rigault yaitu mahasiswa yang cemerlang, terlibat dalam
segala macam gaya hidup berkelebihan mahasiswa Bohemian sebelum
mengubah dirinya sendiri menjadi jurnalis politik yang tajam. Ia yaitu
pengikut Auguste Blanqui, ‘le Viveux’, yang mengajarkan kebebasan
total dan perlawanan secara keras dan tanpa ampun terhadap negara.
Blanqui dipilih sebagai perwakilan Komune tetapi sedang di penjara
370
selama konflik berlangsung. Rigault berjanji untuk mempraktikkan
teori-teorinya.
Rigault pada saat itu sudah dikenal oleh pers sayap kanan sebagai
fanfaron de perversité (‘pembual yang suka menantang’), bambin
méchant (‘anak jahat’), canaille (‘sampah’), dan aristocrate de la
voyoucratie (‘aristokrat elite berandalan’.) Ia menikmati lelucon-lelucon
provokatif, seperti mengklaim telah menciptakan sebuah guilotin yang
bisa memotong tiga ratus kepala dalam satu jam. Di kantor barunya
sebagai prefect dan kemudian procureur de la Commune (jabatan
dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas), ia mengenakan pakaian
kebesaran yang dirancangnya sendiri (jas berwarna ungu, dihiasi
dengan emas dan ditambah sarung tangan kuning). Ia menggoda
wanita secara efisien dan tanpa ampun (“Aku ingin persetubuhan
seksual; pergundikan yaitu dogma sosial” yaitu salah satu pepatah
favoritnya).7 Pada saat yang sama, ia juga mengatakan ungkapan yang
mengerikan, seperti “hukum revolusioner tidak pernah cukup kuat,”
atau menganjurkan sistem keadilan baru di mana “para putra akan
menghakimi para ayah, orang-orang terhukum menjadi hakimnya.”8
Tanggapan Rigault terhadap kegagalan para Communard untuk
mengalahkan pasukan Versaillais yaitu memerintahkan penangkapan
beberapa belas tokoh terkemuka di Paris, sebagian besar dari mereka
yaitu pejabat gereja, dan termasuk Uskup Agung Paris. Kemudian
ia menyatakan mereka sebagai sandera. Uskup agung, Monseigneur
Darboy, ditahan seorang diri di penjara di Mazas.
Rigault, sebagai ahli estetika yang kejam dan tanpa kompromi, tidak
punya waktu untuk menghadapi orang-orang liberal itu, termasuk
Victor Hugo yang menentang tindakan tersebut. Namun, selera
humor kelamnya, sisa-sisa dari masa Bohemian, dan kekagumannya
terhadap marquis de Sade, belum sepenuhnya meninggalkannya dan
ia menikmati wawancara dengan para pendeta. Dalam wawancara itu,
ia menyatakan bahwa Tuhan ‘yaitu gelandangan’ dan mengancam
akan mengeluarkan surat perintah untuk menangkapnya. Dengan
rasa humor dingin inilah ia memerintahkan untuk membunuh siapa
pun tawanan yang membuatnya tidak senang, termasuk akhirnya sang
uskup agung yang tidak beruntung itu.
371
Bagian Enam: Ratu Dunia
“Api dari surga”
Paris di bawah kekuasaan Komune bukanlah festival mengalir bebas
yang dibayangkan oleh para penganut paham kebebasan dan anarkis
yang bernostalgia selama dekade 1960-an. Namun, Paris juga bukan
pendahulu langsung bagi pemerintahan totaliter mematikan abad
ke-20 sebagaimana pendapat begitu banyak sejarawan reaksioner.
Pada saat itu, pemerintahannya terdiri atas faksi-faksi berbeda—faksi
Jacobin, faksi anarkis, faksi Komunis, faksi eksentrik, faksi sadis, faksi
petualang, faksi tentara bayaran—yang tidak memiliki program sosial
yang dapat dipahami dan pengetahuan militernya ditertawakan. Walau
demikian, tidak diragukan lagi bahwa Komune merupakan gerakan
yang benar-benar populer. Hal ini ditunjukkan oleh antusiasme
Parisian biasa, baik itu pria, wanita dan anak-anak, yang bergegas
menjemput kematian atas nama Komune. Selain itu, antusiasme ini
juga ditunjukkan dalam cara kehidupan sehari-hari yang diubah dan
disambut oleh orang-orang biasa dengan semangat yang tidak pernah
dikenal di bawah rezim-rezim mana pun sebelumnya dan tentu saja
tidak pada waktu-waktu mengerikan baru-baru ini. Mungkin ada
benarnya, seperti pendapat banyak sejarawan, bahwa penjelasan
paling sederhana bagi Komune yaitu kelas-kelas pekerja, yang
diperlakukan dengan brutal dan diasingkan dari kota oleh kekuatan
kembar kapitalisme borjuis dan Haussmannisme (keduanya tentu saja
berhubungan), ingin mengklaim kembali tempat mereka di kota.
Bagi banyak pengamat, Paris sepertinya memang selalu en fête (dalam
suasana pesta). Pada 16 Mei, sekelompok Communard meledakkan
kolom di Place Vendôme. Ini yaitu aksi penghujatan politik yang
dilakukan di bawah pengawasan seniman Gustave Courbet dan
dalam suasana keburukan yang riang gembira, didampingi oleh suara
marching band dan ditonton oleh para penonton yang bersemangat.9
Tidak lama sesudah tengah malam di malam yang sama, sekitar 300
Communard menerobos masuk ke ruang-ruang bawah tanah Grand
Hôtel du Louvre dan minum minuman keras hingga mabuk berat
atas nama kebebasan, sambil mengisap cerutu yang besar dan mahal
atau memakan persediaan makanan hotel. Pada hari Minggu tanggal
21 Mei, para Communard menyelenggarakan konser musik sangat
372
besar, dengan lebih dari 1.500 musisi, di taman-taman Tuileries. Saat
menjelang malam, tidak jauh dari Place de Goncourt, penulis catatan
harian dan sosialita Édmond de Goncourt mencatat bahwa kerumunan
orang yang sangat besar telah berkumpul mengelilingi sebuah kereta
kuda yang membawa seorang pria yang mengklaim bahwa ia telah
melihat pasukan Versaillais sedang memasuki kota.10
Laporan ini ternyata benar. saat Parisian meminum minuman
keras, tidur atau bermabuk-mabukan hingga larut malam, pasukan
Versaillais telah memasuki ujung barat kota dan berbaris melalui Passy
dan Trocadédro hingga Arc de Triomphe. Mereka hanya menghadapi
sedikit perlawanan dan tidak ada barikade. Hari berikutnya, mereka
menyelinap masuk melalui gerbang di Point du Jour, yang telah
dibiarkan tidak terjaga dan tidak diawasi. Mereka bergerak ke arah
Saint-Germain-des-Prés dan boulevard Saint-Michel, menyebar ke
arah Faubourg Saint-Antoine, kuali revolusi tradisional. Beberapa
hari selanjutnya menjadi saksi pembantaian dalam skala yang tidak
pernah terjadi sebelumnya di kota yang sudah melihat begitu banyak
pembantaian.
***
Salah satu alasannya yaitu bahwa pasukan Versaillais mendapat
perintah tersurat untuk tidak memberi ampun. Alasan kedua yaitu
para Communard, yang tidak memiliki strategi koheren dan tidak
memiliki rasa organisasi apa pun, hanya melakukan pertahanan
yang kacau-balau. Saat daerah-daerah kunci di kota jatuh ke tangan
Versaillais tanpa adanya perlawanan bersenjata yang efektif, para
Communard melancarkan kebijakan bumi hangus. Bahkan pada tahap
akhir seperti ini, tidak seorang pun cukup yakin siapa yang memberi
perintah atau mengapa perintah ini diberikan. Namun, saat pasukan
Versaillais semakin dekat ke pusat kota Paris, bangunan-bangunan
utama dan monumen-monumen kota dibakar. Pemandangan
mengagumkan dilaporkan ke seluruh dunia. Tindakan ini hampir
tidak memiliki nilai militer tetapi tetap saja menjadi klimaks dramatis
luar biasa bagi perjuangan.
Kebingungan ini juga memunculkan banyak desas-desus yang
373
Bagian Enam: Ratu Dunia
saling bertentangan, termasuk cerita bahwa para wanita kelas
menengah—atau bahkan kemungkinan para gadis yatim—yang
dikenal sebagai pétroleuse, bertanggung jawab atas kebakaran tersebut.
ada sejumlah laporan tentang kelompok-kelompok wanita
paruh baya yang lusuh, biasanya berpakaian hitam dengan ikat kepala
merah, yang dengan bayaran 10 franc akan melempar bom bakar ke
sebuah bangunan menggunakan kaleng susu yang diisi penuh dengan
minyak tanah menyala. Tidak seorang wanita pun pernah dihukum
tetapi pers penuh dengan desas-desus liar dan karikatur para wanita
buruk rupa bermata liar yang menyelinap dalam bayang-bayang, siap
untuk melemparkan bom setiap saat. Aktris dan pelacur kelas atas
Maris Colombier mendeskripsikan kota di bawah bayang-bayang para
pengebom dalam istilah-istilah bersifat hari kiamat yang memang
sesuai:
Saat senja datang, selama hari-hari pengasingan, kami biasa berkumpul
di teras di Saint-Germain, yang menghadap ke Paris; dari kejauhan
Paris terlihat sebagai tanah yang dijanjikan. Suatu malam, kami melihat
cahaya muncul, dan secara bertahap semakin besar; cahaya tersebut
menyebar menjadi semburan api, membentang ke luar dan dalam
lembaran-lembaran memerah, dan mengisi seluruh cakrawala, fajar seram
kebakaran besar. Kami saling memandang dan memahami: “Ya Tuhan!
Orang-orang gila itu baru saja membakar Paris!” Pada kenyataannya
Komune yang menaikkan bendera merah di atas ibukota. Api bergemuruh
seperti suara bass yang terus-menerus, kadang kala diselingi oleh suara
kemeretak. Cahaya menjadi begitu terang sehingga menerangi seluruh
teras: perwujudan sempurna yang menakutkan … sesudah seribu delapan
ratus tahun, kejahatan ini begitu mengerikan, bersinar menakutkan seperti
penjarahan Roma, terbakar di bawah ketenangan surga yang berbintang:
Paris sedang terbakar … tidak ada apa-apa lagi sekarang, kecuali tarian
para pétroleuse.11
Tidak diragukan lagi bahwa rasa takut yang terinspirasi oleh fantasi
ini di kalangan kelas menengah telah dikompori oleh partisipasi
dan kepemimpinan wanita nyata dalam Komune—inilah salah satu
pencapaiannya yang paling terlihat. Wanita yang paling terkenal di
antara mereka, setidaknya dalam benak pers sayap kanan, yaitu
Louise Michel, yang dijuluki ‘Perawan Merah’. Pada kenyataannya,
374
Michel yaitu seorang penyair, guru dan anarkis yang, selama dekade
1850-an, telah membuat sekolah-sekolah gratis untuk menyebarkan
kepercayaan republiknya. Hal ini membuatnya menjadi sasaran
gangguan polisi dan membuatnya semakin dekat dengan kelompok-
kelompok orang yang tidak puas seperti Jules Vallès. Selama hari-
hari Komune, ia menjadi anggota Garda Nasional, bertempur sama
kerasnya dengan pria mana pun, dan mengorganisasi komite pusat
Serikat Wanita. Michel selalu meyakini bahwa para wanita secara
mendasar lebih revolusioner daripada pria sebab mereka menderita
penindasan yang lebih besar. Michel dijuluki ‘Perawan Merah’ sebab
ia menolak untuk menikah. Tetapi, hal ini tidak menghentikannya
untuk menikmati daftar panjang kekasih, yang diambilnya atas nama
kebebasan penuh. Ia menjadi legenda di barikade-barikade pada
tanggal 18 Maret. saat itu, ia tidak mengabaikan meriam dan peluru
untuk mengibarkan Bendera Merah di hadapan pasukan Versaillais.
Namun tindakan seperti itu sia-sia. saat pusat kota Paris
terbakar, pasukan Communard mundur, bergerak ke belakang
dalam gerakan kacau ke bagian timur kota. Sepanjang jalan, pasukan
Versaillais mengeksekusi semua yang ada di hadapannya. Para korban
ini termasuk anak-anak jalanan yang telah bertempur secara gagah
berani dalam jumlah ratusan di Châteu d’Eau hanya untuk ditembaki
sehingga jalanan menjadi hitam oleh darah. Pembantaian ini lebih
mengganggu sebab cara pelaksanaannya yang kasual dan mekanis;
ratusan dan kemudian ribuan orang diseret ke hadapan regu-regu
tembak di seantero kota dan ditembak. Mayat-mayat mereka ditumpuk
tinggi sampai mereka bisa dipindahkan. Jalanan berasap sekarang
berbau daging terbakar, darah mengering dan daging busuk.
Pers pro-Versaillais mendorong para prajurit untuk melakukan
tugas mereka yang mematikan. “Paris secara moral sudah tidak lagi
menjadi ibukota Prancis,” tulis Le Soir dengan gegap gempita pada 24
Mei. “Jika saat ini Paris bisa lolos dari api besar dari surga, Paris tidak
bisa melarikan diri dari rasa kasihan dan kemuakan manusia.” Banyak
sekali kemuakan tetapi sedikit sekali rasa kasihan saat pembunuhan
berlangsung terus selama hari-hari terakhir bulan tersebut. Marquis de
Gallifet, yang pada masa sebelum perang sudah terkenal sebagai pria
perlente yang sadis, mengalahkan kekejamannya sendiri di masa lalu.
375
Bagian Enam: Ratu Dunia
Sambil membuat lelucon kepada gundik yang sedang dirangkulnya,
kepada orang-orang ia menunjukkan siapa yang akan hidup dan siapa
yang akan mati.
Perlawanan terakhir Komune yaitu di permakaman Père
Lachaise, di pusat distrik kelas pekerja Belleville. Para pembela
terakhir yang gagah berani tetapi sudah pasti akan kalah ini dibabat
habis di lorong-lorong antara makam-makam Balzac, Nerval, Nodier,
dan Delavigne. Para Communard yang masih selamat kemudian
dibariskan di hadapan dinding timur permakaman dan ditembak.
Tempat ini menjadi lokasi favorit untuk mengeksekusi ‘para tersangka’,
yang dikumpulkan selama beberapa hari dan bulan kemudian dan
ditembaki hingga terbelah dengan teknologi baru yaitu senapan mesin
yang bisa membunuh ratusan orang setiap hari tanpa perlu membuat
lelah para pengeksekusinya. Di seantero kota, di belakang dinding-
dinding tinggi dan di publik, mayat-mayat Communard ditumpuk
tanpa upacara. Para penonton yang bisa tahan terhadap baunya
tersandung-sandung oleh hampir seribu mayat yang digeletakkan
di Trocadéro. Hujan sudah turun selama berhari-hari dan jalanan
sekarang menjadi labirin berlumpur dan berbahaya, yang masih tidak
jelas sebab asap. Jalanan juga menjadi rumah bagi para penembak jitu
Communard yang dikejar-kejar atau regu-regu pembunuh Versaillais
yang berpatroli. Suasana di kalangan pendukung Versaillais riuh dan
gegap gempita oleh kemenangan: Charles Louandre, seorang jurnalis
dan ‘musuh rakyat’, menyatakan bahwa yaitu berkah untuk bisa
melihat akhir dari “pesta pora kekuasaan, anggur, wanita dan darah
ini yang dikenal sebagai Komune.”12
Barikade terakhir dihancurkan di rue Ramponneau di Belleville
pada 28 Mei. Seorang penembak jitu menahan pasukan Versaillais
selama beberapa jam sebelum menghilang, tanpa bisa dikenali
dan masih bebas. “Hari ini, pertempuran diakhiri,” demikianlah
pernyataan Marsekal MacMahon, komandan kontra-pemberontak
Versaillais yang telah memberikan pembalasan dendam mengerikan
seperti itu.
376
34
sesudah Pesta Pora
Tahun-tahun antara dekade 1880-an hingga Perang Dunia
Pertama awalnya disebut la belle époque pasca-pembantaian massal
dalam Perang Besar. Ekspresi ini digunakan oleh para jurnalis dan
sejarawan Prancis yang telah dibuat trauma oleh kekejaman perang
total dan bernostalgia akan kehidupan di Paris yang dianggap polos
dan indah sebelum pembantaian dimulai. Kota Paris sendiri sudah
dikenang sebagai pusat seni, seks, musik, puisi, makanan, kesusastraan,
filsafat, serta hedonisme yang tak kenal henti dan tak terkendali. Salah
satu alasannya yaitu sebab Paris selama dekade-dekade terakhir
abad ke-19 mulai terlihat indah. Kehidupan budaya kota juga sangat
tinggi dengan banyak kabaret, bar, teater, dan restoran yang menarik
para intelektual, seniman, dan pencari kesenangan dari seluruh dunia.
Penggambaran Paris seperti inilah yang telah membantu tercipta-
nya versi fantasi kota yang masih menjadi sumber inspirasi bagi turis
dari seluruh dunia. Namun, bahkan di puncak masa yang disebut ‘epos
indah’ ini—saat ‘Ville-Lumière’ memang benar-benar membuat
kagum dunia dengan gaya dan pesonanya—ini yaitu tempat yang
selalu dipenuhi ketegangan mengerikan. Lebih jelasnya lagi, tidak
mudah untuk menghapus beban kekerasan selama lebih dari seratus
tahun dalam beberapa dekade yang singkat. Reputasi tahun-tahun ini
sebagai masa kepolosan didasarkan pada ilusi dan mitos berbahaya.
Pada kenyataannya, bencana yang sedang menunggu bagi Paris berasal
dari masa ini yaitu konflik yang tidak terselesaikan dan dendam
beracun.
Penyebab pertama dan yang paling signifikan secara historis
yaitu tingginya harga yang harus dibayar oleh Parisian untuk
Komune. Dalam minggu-minggu dan bulan-bulan sesudah perlawanan
377
Bagian Enam: Ratu Dunia
terakhir Communard, lebih dari 40.000 orang ditangkap dan segera
diadili sebagai ‘tersangka’ atau ‘pemberontak, di mana 20.000 orang
di antaranya ditembaki. Sisanya, hampir semua dipenjarakan atau
dikirim untuk membusuk di penjara-penjara tropis seperti Pulau
Setan yang terkenal. Pasukan pemerintah hanya kehilangan kurang
dari seribu orang dalam konflik tersebut. Walaupun demikian, Thiers
masih terus melakukan kekejaman tinggi dan memerintahkan bahwa
semua perlawanan harus dihabisi.
Banyak dari eksekusi massal ini terjadi di taman-taman Luxembourg
atau Parc Monceau. Ini yaitu daerah-daerah yang dirancang secara
khusus untuk menggambarkan manfaat dan menyampaikan pesan
modernitas tetapi sekarang diubah menjadi lokasi pembantaian dan
teror. Republik Ketiga diproklamasikan, tetapi rakyat tidak dipercaya
oleh pemerintah. Di bawah kepresidenan Marshal MacMahon, yang
pernah terluka di Sedan, pemerintah tetap tinggal di Versailles hingga
1789. Selanjutnya, secara berhati-hati dan perlahan-lahan pemerintah
kembali ke pusat kota.
Pihak berwenang menyerukan penyesalan, tetapi permintaan ini
disambut dengan perlawanan cemberut, bahkan oleh banyak orang
yang tidak secara aktif mendukung Komune. Walaupun demikian,
sebagai tanda penebusan dosa, pemerintah pada 1873 memerintahkan
pembangunan basilika Sacré-Coeur di bukit Montmartre. Kelas-kelas
pekerja Paris mungkin telah dikalahkan tetapi mereka menolak untuk
memaafkan kelas borjuis dengan mudah. Para tukang bangunan yang
datang bekerja setiap hari untuk memulai pembangunan kubah selalu
disambut dengan teriakan “Vive le Diable!” dari orang-orang yang
lewat. Lagu populer lainnya pada masa itu yaitu ‘L’Bon Dieu dans la
merde’ (‘Tuhan yang Baik dalam kotoran’), bagian ulangannya yang
riang mendorong para pekerja untuk meludah di wajah “para bos,
borjuis, dan pendeta,’ sebelum mengarahkan mereka ke ‘la lanterne’
(‘untuk digantung dari lampu jalan’).1 Sacré-Coeur baru diselesaikan
jauh sesudah memasuki abad ke-20 dan tetap menjadi monumen
kontroversial. Bangunan ini dibenci oleh banyak Parisian, bukan
hanya sebab meniru gaya Romawi-Byzantium, tetapi juga sebab
mewakili kemenangan mengerikan dari kekuatan keteraturan sosial
terhadap orang tertindas. Walaupun demikian, gereja ini menjadi
378
perlambang kunci identitas Paris bagi orang-orang pedalaman dan
juga para turis.
***
Masa pasca-Komune kaya dengan ironi historis serupa. Ironi
paling terlihat yaitu kebijakan bumi hangus yang dilakukan para
Communard dalam gerak mundur mereka menuju timur kota
yang secara tidak sengaja membantu menyelesaikan proyek urban
Haussmann. Dalam tahun-tahun menjelang 1870, proyek ini sudah
kehabisan uang dan momentum. Sebaliknya pada 1876, pemerintah
kota memutuskan bahwa proyek besar pembangunan perkotaan
yaitu cara yang tepat untuk membantu menyembuhkan pembagian
di kota. Dewan kota telah menegosiasikan pinjaman yang sangat
besar untuk melakukan proyek ini dan proyek-proyek lainnya serta
melanjutkan pengerjaan avenue de l’Opéra (menghubungkan dengan
rue de Rivoli) dan boulevard Henri IV.
Pelaksanaan rencana-rencana ini bahkan lebih kejam dan mahal
daripada sebelum 1870: avenue de l’Opéra dibangun dengan memotong
kemiringan Butte de Moulin dan menghancurkan ratusan bangunan
tua dengan memberi kompensasi kepada para pemiliknya. Secara
keseluruhan, kota menghabiskan biaya sekitar 45 juta franc untuk jalan
raya ini. Biaya sejumlah ini tidak bisa dibayangkan sebelumnya pada
periode ini. Biaya tersebut kurang-lebih setengah dari biaya-biaya di
distrik Arsenal yang lebih miskin, tempat boulevard Henri IV dengan
boulevard Saint-Germain. Garis-garis jalan diluruskan di seantero
Tepi Kanan; rue de Franche-Comté dihubungkan dengan boulevard du
Temple; rue du Louvre, rue Réaumur dan rue Jean-Jacques Rousseau
diperlebar, sehingga menyediakan akses dan sanitasi lebih baik tetapi
dalam satu pukulan telah menghancurkan quartier-quartier historis
di bagian pusat kota Paris. Ribuan bangunan dengan gaya anonim
berwarna abu-abu yang sekarang menjadi akrab bermunculan di
seantero kota. Paris akhirnya mengambil perannya sebagai kota paling
maju dan dirancang paling baik di dunia tetapi, sebagaimana diprotes
oleh para seniman, penulis, insinyur, arsitek, dan juga Parisian biasa,
hal ini dilakukan dengan mengorbankan identitas unik kota ini.
379
Bagian Enam: Ratu Dunia
‘Epos indah’ menjadi saksi menyebarnya ketidakrasionalan dalam
segala bidang pengalaman, dari politik hingga puisi. Inilah salah satu
aspek kebudayaan kota yang membuat Paris menjadi wilayah yang
subur secara unik bagi para seniman, penyair, penulis, dan aktivis
politik dari Prancis dan seluruh Eropa, yang menyambut semua
bentuk ekstremisme sebagai jalan menuju abad baru. Ini yaitu kota
kontras yang tajam, berbenturan tetapi kreatif tanpa akhir. Misalnya,
‘agama-agama’ baru Komunisme dan Sosialisme didampingi oleh
kebangkitan Katolik di kalangan kelas menengah pada tahun-tahun
sesudah 1870. Kontradiksi yang bekerja dalam kehidupan budaya
kota juga mengambil bentuk fisik. Sungai Seine, misalnya, tidak lagi
menjadi sekadar perbatasan dekoratif antara Tepi Kiri dan Tepi Kanan
tetapi juga menjadi saluran sibuk menembus kota, yang dipenuhi
oleh bateaux-lavoir (rumah-cuci mengapung), dan bateaux-mouche
yang membawa para komuter dari pinggiran kota, barkas dan perahu
nelayan. Champs-Élysées memang megah tetapi juga menjadi tempat
ideal bagi pejalan kaki, orang yang suka bermalasan atau bahkan
menunggang kuda. Montmartre tentu saja masih bersuasana pedesaan
dan menjadi rumah bagi kincir angin, kebun anggur, dan binatang
yang jumlahnya sebanyak manusia. Sebaliknya, pusat kota yaitu
mesin industri dan perdagangan yang berputar tanpa henti, penuh
kendaraan dan orang.
Langkah perubahan yang cepat ditangkap oleh generasi pelukis—
Claude Monet, Auguste Renoir, Edgar Degas, Berthe Morisot, Mary
Cassatt. Mereka menangkap realitas sebagai cahaya dan pergerakan
yang kabur, alih-alih sebagai gambar yang tetap. Mereka dijuluki
sebagai ‘Impresionis’ oleh para kritikus yang melihat pameran pertama
mereka pada 1874 sebab karya-karyanya terdiri atas ‘impresi’ dan
bukan adegan statis. Pada awalnya, mereka tidak menyukai label
ini, dengan menyatakan bahwa lukisan-lukisan mereka ‘sudah
selesai’ (berbeda dengan sketsa ‘impresionistik’) dan selain itu
mereka mewakili kenyataan apa adanya. Saat gagasan, teknologi, dan
eksperimen dipercepat di seluruh bidang upaya manusia, tantangan
terbesar bagi para Impresionis dan para seniman yang mengikuti
mereka yaitu bagaimana mengikuti kecepatan kemajuan dengan
berjalannya abad.
380
Pemakaman Kenegaraan
Pada malam tanggal 31 Mei 1885, suasana di Paris anehnya menjadi
meriah dan saat malam semakin gelap suasananya berubah seperti
pesta pora. Kafe-kafe masih penuh sesak; bahkan para pria terhormat
pun menenggak banyak minuman keras pada malam itu.
Peristiwanya yaitu pemakaman kenegaraan bagi Victor Hugo,
momen yang nantinya terbukti menjadi salah satu titik balik besar
dalam sejarah Paris pada akhir abad ke-19. sebab alasan-alasan yang
tidak jelas tetapi sangat dirasakan oleh sebagian besar Parisian pada
tingkatan yang sulit dipahami, pemakamannya menandai kematian
sebuah zaman sambil mengumumkan kedatangan zaman lainnya.
Dari sudut pandang sejarah, kematian Hugo menandai pergeseran
dari kepastian mematikan abad ke-19 ke arah abad ke-20 yang
belum terpetakan. Bagi Parisian yang hidup pada zaman tersebut,
pemakaman Hugo yaitu tragedi sekaligus pembebasan.
Pada saat yang sama, Hugo telah mampu menduduki peran
sebagai nabi yang hebat, pencatat kronik terbesar bagi Parisian yang
kehilangan hartanya, dan bagi semua orang tua bodoh yang sakit dan
sentimental. Selain itu, semua Parisian memandangnya—bahkan
mereka yang belum pernah membaca karyanya—sebagai inkarnasi
langsung masa lalu kota. Ia telah dilahirkan di masa kejayaan
kekaisaran, hidup melalui sejumlah revolusi, pembantaian dan
pemberontakan atas nama kebebasan, dan akhirnya berdamai dengan
Tuhan dan dunia. Surat wasiatnya sederhana, jelas dan sama besarnya
dengan pernyataan yang pernah ia buat: ‘Saya memberikan lima puluh
ribu franc kepada orang miskin. Saya ingin dibawa ke permakaman
menggunakan salah satu kereta jenazah mereka. Saya menolak doa
dari semua gereja. Saya hanya meminta doa dari semua makhluk
hidup. Saya percaya pada Tuhan.”2 Jenazahnya disemayamkan secara
kenegaraan selama dua puluh empat jam dalam sebuah guci raksasa
di atas Arc de Triomphe, dijaga oleh sekumpulan penyair muda yang
memakai jubah seperti orang Yunani kuno. Para pelacur berhenti
bekerja untuk menghormati penyair besar ini. Sebagai gantinya,
mereka menghibur diri dengan mengajak orang-orang asing untuk
melakukan seks secara gratis di sudut-sudut tidak jelas di Champs-
381
Bagian Enam: Ratu Dunia
Élysées (“Pesta pora seks terjadi,” catat seorang pengamat asing, “yang
sangat Paris dan sekaligus tidak pernah terjadi sebelumnya.”). Hari
berikutnya, lebih dari tiga juta orang memadati jalan-jalan. Iring-
iringan jenazah memerlukan waktu hampir enam jam untuk tiba di
Panthéon. Bangunan ini awalnya dibangun oleh Jacques Germain
Soufflot sebagai gereja pada 1764 tetapi sekarang telah diubah menjadi
tempat permakaman dan diselimuti warna hitam sebagai mausoleum
bagi orang-orang besar Prancis.3
Di hari-hari sesudah pemakaman, beban masa lalu seakan-akan
telah terangkat dan masa depan mengungkapkan dirinya sendiri dalam
kehidupan jalanan kota baru yang hiruk-pikuk dan seperti teater.
Perubahan ini terjadi di tingkat kehidupan sehari-hari. Misalnya,
semua Parisian terkesan oleh etalase toko yang sedang dikembangkan
di sepanjang grands boulevard dan sedang mengubah Paris menjadi
kota komersial modern pertama.
Grand magasin sebenarnya yang pertama yaitu Au Bon Marché
yang dibuka di rue du Bac pada 1876 di sebuah bangunan yang dirancang
oleh Louis-Charles Boileau dan Gustave Eiffel. Konstruksinya sendiri
juga menjadi karya seni—tangga-tangga lebar yang monumental,
menyamai tangga yang ada di Opéra, menghubungkan galeri-galeri
dan lantai-lantai bertingkat, semuanya bermandikan cahaya dari
langit-langit kaya. Barang-barang yang ditawarkan memiliki harga
pasti dan menarik perhatian, setidaknya dalam teori, bagi semua
tingkatan penghasilan. Pada akhir dekade 1870-an, toko ini sukses
besar dan pada dekade 1880-an toko-toko serba ada dengan gaya
serupa menyebar ke seantero Tepi Kanan, mulai dari rue du Louvre
hingga ujung bawah Belleville. Toko-toko ini termasuk nama-nama
yang sekarang sangat akrab bagi Parisian seperti Aur Printemps, La
Belle Jardinière (berada di quartier kelas pekerja di dekat Gare de
Lyon) dan Galeris Lafayette.
Argumentasi banyak orang di Kiri yaitu ekspansi aktivitas
komersial telah ‘mendemokratisasi’ bulevar-bulevar, mengubahnya
menjadi tempat di mana semua kelas bercampur. Namun, ini yaitu
ironi kedua dan tunggal bahwa perkembangan komersial yang tidak
dapat diputarbalikkan lagi telah dilahirkan dari reruntuhan Komune.
sesudah peristiwa Komune, pembagian antarkelas menjadi sulit
382
didamaikan walaupun para politisi dan pedagang berupaya sebaik
mungkin untuk menyambut masa depan di mana perbedaan kelas
akan dilebur dalam konsumerisme. Penciptaan kembali Paris oleh
Haussmann mungkin telah menjadi pukulan bagi pencinta nostalgia,
revolusioner dan segala macam pemimpi puitis dalam tradisi Victor
Hugo, tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa, tidak seperti ‘Paris
Tua’, hal ini memang bisa berhasil. Dari sistem sanitasi hingga toko,
teater, kantor surat kabar, kafe dan restoran di bulevar, Paris sekarang
menjadi lingkungan percontohan yang benar-benar berfungsi. Ini
yaitu sesuatu yang tidak pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah
manusia. Bahkan pencelanya yang paling keras harus mengakui
bahwa dalam kehidupan kreatif dan energi yang tanpa ampun, kota
baru yang telah didirikan pada 1880-an liar dan juga mengagumkan.
Kebangkitan Kehidupan Rendah
Baru beberapa saat sebelumnya, Arthur Rimbaud, penyair muda,
penyodomi dan santo pelindung generasi yang disebut ‘Bohemian’,
telah menyebut generasi yang akan datang sebagai ‘parade liar’ para
anarkis, pemalas dan pemabuk, yang menolak abad ‘borjuis’ ilmu
pengetahuan dengan sihir, seni dan kemuakan revolusioner terhadap
semboyan kemajuan dan logika.
Salah satu mitos belle époque yang tak sepenuhnya tidak benar
yaitu bahwa sekarang Paris menjadi ibukota kesenangan duniawi.
Sebagian dari ini yaitu fenomena murni ekonomi yang terhubung
dengan naik dan turunnya kota. ada sekitar 30.000 kafe atau
tempat minum di Paris pada 1789. Pada 1885, saat peraturan
tentang kehidupan kafe yang dikeluarkan oleh Kekaisaran Kedua telah
lama dihapuskan, ada sekitar 30.000 tempat yang mendapat izin
untuk menjual minuman keras. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada
kota mana pun di dunia (London hanya memiliki sekitar 5.000 pub
dan New York hanya memiliki 10.000 bar). Tempat-tempat ini dikenal
dengan berbagai macam nama: selain nama-nama yang akan dikenal
hingga abad ke-20 (bistro, kafe, kabaret, brasserie), boc, bibine, boîte,
cabremont, caboulot, cargot, abreuvoir, assommoir, bastringue, boucon,
383
Bagian Enam: Ratu Dunia
bouffardière, bousin, cabermon, dan troquet semuanya biasanya
digunakan. Apa yang sama-sama mereka miliki, dari tempat borjuis
yang paling terhormat hingga tapis franc (‘sarang pencuri’), yaitu
bar yang terbuat dari seng, patron yang sangat kuat dan klien yang
kehausan.4
Kafe juga memainkan bermacam peran dalam kehidupan kota.
Mereka tidak hanya menawarkan makanan, minuman, dan (di banyak
tempat) seks komersial, tetapi juga gagasan, argumen, pertemanan,
tempat berlindung dari pekerjaan, tempat pertemuan, tempat untuk
disewa atau diajak bersetubuh, dan tidak lupa kehangatan dan cahaya.
Tidak heran jika kafe-kafe di Paris dicurigai oleh semua lembaga
pemerintah, yang sangat menyadari peran yang mereka mainkan,
sejak 1789, sebagai pembawa virus revolusi. Para ahli kesehatan,
dokter dan filantropis sosial yang mudah terkejut akan mengecam
keras kejahatan alkohol dan bahaya mematikan lisensi seksual, tetapi
siapa pun yang pernah menikmati salah satu hobi ini tidak pernah
mau mendengarnya. Penyakit yang disebut ‘alkoholisme’ ditemukan
pada 1853 oleh seorang dokter Swedia bernama Magnus Huss. Ia orang
pertama yang mengisolasi minuman keras sebagai penyebab utama
dan asal-usul berbagai macam penyakit patologis. Ia juga menyatakan
bahwa alkoholisme sendiri juga merupakan penyakit kronis. Namun,
teori ini ditentang keras di Paris oleh otoritas kesehatan tertinggi,
yang mengklaim alkohol sebagai tonik penyelamat hidup bagi pria
pekerja dan peningkat kehidupan bagi orang berada. Diperdebatkan
bahwa alkoholisme, jika memang benar-benar ada, yaitu masalah
bagi penduduk utara yang dingin yang menenggak minuman keras
berbahaya dan yang, bagaimanapun juga, dianugerahi kesuraman dan
introspeksi sebab iklimnya. Pada 1873, sebuah masyarakat penentang
‘penyalahgunaan minuman keras’ diluncurkan di Académie de
Médicine. Di bawah perlindungan orang-orang seperti Hippolyte
Taine, Louis Pasteur, dan Baron Haussmann, masyarakat ini menjadi
‘Sociéte Française de Tempérance’. Namun, masyarakat ini tidak lebih
dari sekelompok eksentrik. Minuman favorit pada saat itu tetap saja
fée verte (‘peri hijau’) yang terkenal, walaupun dengan berbagai nama
lainnya, yang tersedia di seluruh Paris, sering kali dengan kadar
alkohol lebih dari 72 persen.
384
Polisi tidak peduli pada moralitas atau kesehatan, namun tetap
saja melakukan pengawasan ketat terhadap para peminum dan
tempat-tempat penjual minuman keras, terutama di distrik-distrik
kelas pekerja. Sebagian besar pengawasan ini dikonsentrasikan pada
aktivitas kriminal biasa. Sarang-sarang ‘terkenal’ seperti Chez Paul
Niquet di 36 rue aux Fers dan Lapin Blanc di rue aux Féves disapu
oleh Haussmannisasi yang sangat melegakan gendarmerie (polisi)
lokal. Perpolitikan yaitu urusan lain. Selama Kekaisaran Kedua,
telah diterapkan serangkaian undang-undang yang ditujukan untuk
mengurangi kemabukan di muka umum, termasuk denda, peringatan,
dan pemenjaraan. Hal ini sedikit sekali menghambat gelombang
alkohol yang pada dasarnya yaitu pelumas kehidupan Parisian.
Selain itu, kafe-kafe menjadi tempat pertemuan bagi para
intelektual Kiri dan ‘kelas-kelas berbahaya’ yang misi sejarahnya
yaitu untuk membuat sejarah. Tidak mengherankan jika sebagian
besar kerusakan yang terjadi selama Komune dipersalahkan pada
kemabukan yang menyebar luas yang tertumpah keluar dari kafe ke
jalanan. Oleh sebab itu, pembakaran Paris selama semaine sanglante
di mata para sejarawan sayap-kanan telah direduksi menjadi tindakan
‘piromania alkoholik’ semata. Dengan demikian, kelas penguasa
memandang kehidupan kafe kelas pekerja Paris sebagai ancaman dan
juga sumber kekaguman. Kedua tanggapan ini memiliki nada seksual.
Misalnya, dipercaya secara luas bahwa semua wanita di kafe-kafe kelas
pekerja yaitu pelacur, tetapi ini tidak benar. Pada kenyataannya,
wanita semacam itu bisa menenggak minuman keras, merokok,
dan memperdebatkan politik di kafe-kafe lokal mereka dengan cara
yang akan mengejutkan saudari-saudari borjuis mereka di terrasse-
terrasse di bulevar-bulevar (di mana setiap wanita kemungkinan besar
memang merupakan pelacur profesional atau amatir).
Paris di Malam Hari
Di atas semuanya ini, Paris sekarang yaitu kota berisikan energi-
energi panas yang saling bertolak belakang, semuanya direfleksikan
dan direpresentasikan dalam kehidupan malamnya yang kaya dan
385
Bagian Enam: Ratu Dunia
padat. Di jantungnya, ada desa tua Montmartre, yang selama
periode ini menjadi tempat bermain utama bagi Parisian dari semua
kelas dalam mengejar minuman keras, seks, dan sensasi yaitu seakan
merasakan sendiri persenggolan dengan canaille nyata dan kelas-kelas
kriminal dari Belleville dan Ménilmontant yang berdekatan. Ini yaitu
tempat diciptakannya kabaret, menunjukkan tempat untuk minum,
makan, dan mendapatkan hiburan yang biasanya bersifat politis dan
satir. Salah satu kabaret pertama yaitu Le Chat Noir di boulevard de
Rochechouart, yang dibuka pada 1881 oleh pelukis gagal Rodolphe
Salis. Asal-usul kabaret yaitu sekelompok penyair dan mahasiswa
Bohemian yang pernah terkenal walaupun tidak lama pada akhir
dekade 1870-an yang menyebut diri mereka sendiri ‘Hydropathe’
(dengan alasan bahwa mereka selalu ‘haus’ akan minuman keras
dan kebudayaan). Salah satu pemimpin kelompok ini yaitu penyair
Charles Cros, teman Rimbaud dan Verlaine yang juga terkenal atas
sarkasme-nya, serta penulis Alphonse Allais. Para Hydropathe yaitu
konsumen dan juga hiburan di Le Chat Noir, dengan menawarkan
berbagai macam drama komedi pendek, lagu, dan ‘acara’ (yang
mengambil bentuk sandiwara bayangan kasar atau drama pendek)
untuk para pengunjung, yang dihina oleh Salis saat memasuki
tempat tersebut dan disindir oleh konsumen tetap. Suasananya
sangat patriotik dan nostalgia (para pelayan yang mudah naik darah
mengenakan daun palma hijau Académie Française; di dinding
tempat itu yang berhiaskan jaring laba-laba, Salis menggantungkan
‘gelas-gelas asli’ yang digunakan oleh Villon, Rabelais, dan Julius
Caesar). Hal ini sangat berlawanan dengan suasana Kiri penuh arti
yang ditemukan di Tepi Kiri tetapi membuat tempat ini lebih populer.
Le Chat Noir bahkan memiliki surat kabarnya sendiri, yang awalnya
disunting oleh para Hydropathe dan kemudian oleh seluruh galaksi
bintang cakrawala kesusastraan yang berumur pendek.5
Kesuksesan luar biasa Le Chat Noir ditiru oleh banyak pihak. Salah
satunya yaitu Le Mirliton yang dituanrumahi oleh Aristide Bruant,
yang berjalan ke mana-mana secara provokatif di antara penontonnya.
Ia menyanyikan lagu tidak sopan dan kisah-kisah kehidupan Parisian
yang mengolok-olok dan mengeksploitasi suasana hati periode
tersebut. Tempat ini kemudian diikuti oleh lebih dari selusin tempat
386
serupa, termasuk Le Moulin Rogue pada 1889 dan serombongan
diva lebih rendah yang semuanya menawarkan seni, minuman keras,
gagasan, dan bahaya dalam takaran yang kurang-lebih sama.
Kira-kira pada saat inilah istilah ‘avant garde’ mulai memasuki
leksikon Parisian. Ekspresi ini pada awalnya memiliki makna
militer, yang merujuk pada sekelompok kecil prajurit infanteri yang
bertugas untuk membuat lubang dalam pertahanan musuh. Istilah
ini digunakan sebagai metafora politik pascakejadian-kejadian pada
1848, saat digunakan sebagai nama oleh berbagai jurnal yang
semuanya mengklaim telah memimpin revolusioner Kiri menuju
kemenangan historisnya. Kata ini dikaitkan dengan seni pada 1863 di
masa Napoleon III, yang mempromosikan pameran sejumlah seniman
(termasuk Manet, Cézanne, dan Pissarro) yang tidak diikutsertakan
dalam Salon de Paris resmi. Pada dekade 1880-an, ‘avant-garde’
merujuk pada sekelompok kecil seniman dan penulis yang karyanya,
bahkan yang tidak politis secara eksplisit, merupakan tantangan
kepada tatanan yang sudah ada.
Banyak dari orang yang menyebut dirinya sendiri ‘avant-gardis’
pada periode ini juga menyebut dirinya sendiri décadent—istilah yang
kemungkinan awalnya digunakan secara menghina oleh penyair Jules
Laforgue—dan membentuk masyarakat sastra sangat kecil yang dikenal
sebagai ‘Les Hirsutes’, ‘Les Zutistes’, atau bahkan ‘Les Hydrophates’.
Dalam kesusastraan dan filsafat, mereka memperdebatkan kebaruan
mengalahkan kebosanan, horor mengalahkan kedangkalan kecantikan.
Pahlawan mereka yaitu Baudelaire, Rimbaud, dan semua penulis lain
yang mendukung pemberontakan dan melawan masyarakat ortodoks.
Tulisan-tulisan yang beragam dan terlihat tidak berhubungan karya J.
K. Huysmans, Lautréamont, atau Stéphane Mallarmé—tidak satu pun
dari mereka yaitu décadent dalam konteks mereka tidak menjadi
bagian dari sebuah gerakan tunggal—semuanya ditarik bersama-
sama oleh ikonoklasme bertujuan sama ini. Ironisnya, suasana hati
ini, yang menjadi kekuatan penentu di Paris pada abad ke-20, berasal
dari gejolak budaya ‘epos indah’. Kehidupan malam Paris pada
periode itu, dan terutama di Montmartre, telah menjadi klise turis;
bagaimanapun juga, semangat pembangkangan yang berasal dari sana
masih merupakan mitologi paling berpengaruh di Paris masa kini.
387
Bagian Enam: Ratu Dunia
Peperangan Kelas
Namun, suasana bergejolak ini tidak hanya tersangkut dalam pen-
carian kesenangan sangat ganas yang menyibukkan sebagian besar
kota, tetapi juga dalam kekerasan teroris acak. Figur pengebom
anarkis, yang membunuh borjuis dan pekerja tanpa irama atau alasan
jelas, menghantui imajinasi semua Parisian dan dalam mayoritas pers
menjadi tokoh utama kekerasan proletar yang masih ditakui pada saat
itu yang bergerak ke seantero kota.
Pemisahan geografis, antara kelas-kelas pekerja revolusioner di
bagian timur kota dengan kelas-kelas borjuis di beaux quartier di barat,
sekarang benar-benar menjadi jurang yang sangat dalam. (Walaupun
baru-baru ini terjadi gentrifikasi parsial di bagian timur, ketegangan
ini masih ada hingga sekarang. Saya tinggal di Ménilmontant selama
beberapa saat dan saya pergi ke metro dalam perjalanan saya menuju
kantor di jantung borjuis arrondissement ke-16. Dalam perjalanan
tersebut, saya yang sering kali berusaha menghilangkan bekas mabuk,
berulang kali dibuat heran—dan kagum—oleh para penduduk quartier
yang rutin menenggak minuman keras yang, pada pukul 6.48 pagi
sudah meneguk kembali rouge dalam wadah plastik literan dengan
ketidakpedulian seperti seorang perlente. Janggutnya yang ganas dan
pandangannya yang menantang seperti keluar langsung dari halaman
Le Père Peinard, lembar propaganda anarkis haus darah pada dekade
1880-an. Quartier yaitu miliknya dan bukan milik saya.)
Pada kenyataannya, revolusi anarkis berasal dari kota-kota kecil
dan besar di selatan Prancis dan terutama berkembang di Lyons.
Di sana, sebuah gerakan kelas pekerja yang bersatu dan kuat secara
berkala berbenturan (dan kadang kala memenangkannya) melawan
negara dan otoritas keuangan. Gerakan ini telah menyebar ke arah
utara pada pertengahan abad tetapi tumbuh paling baik di tanah
subur Paris sesudah Komune, tempat antimiliterisme, antikapitalisme,
dan antiklerikalisme bersatu menjadi kekuatan anarkis.
Rumah para anarkis yaitu Bellevile, yang sekarang menjadi
markas besar tidak resmi bagi gerakan-gerakan revolusioner di kota.
Para intelektual seperti Jean Grace dan Émile Gauthier, keduanya
pemimpin anarkis, mendirikan jurnal-jurnalnya di Tepi Kiri, masing-
388
masing di dekat rue Soufflot dan rue Mouffetard. Namun, pekerjaan
propaganda sebenarnya terjadi di Paris timur. ada berbagai
kelompok yang bekerja di Belleville pada dekade 1870-an, dengan
nama-nama seperti ‘Les Libertaires’, ‘Les Travailleurs Communistes’,
‘Le Drapeau Noir’, atau ‘Le Groupe Anarchiste du Père-Lachaise’.
Mereka tidak memiliki organisasi pusat atau teori pemandu namun
demikian disatukan dalam filosofi yang mendorong ketidaktertiban
terkontrol sebagai cara menuju masyarakat ideal yang terdiri atas
‘komune-komune otonom’, yang diorganisasi oleh pekerja untuk
pekerja, yang membuat kapitalisme dan hierarki-hierarki sosial yang
dihasilkannya menjadi tidak relevan. Hal ini sangat menarik bagi
para perajin dan tukang di bagian Paris ini, yang menyadari bahwa
pekerjaan dan produk mereka secara sistematis dieksploitasi oleh
para kapitalis dan yang lebih menyukai ekonomi lokal yang rumit di
quartier mereka sendiri daripada mesin impersonal kota komersial
yang mereka sebut ‘Babilonia Baru’.
Para anarkis yaitu bagian integral dari kain sosial bagian kota
ini, namun tidak tersentuh oleh Haussmannisasi dan mentalitas
pedagangnya yang tak berperasaan. Namun, mata-mata polisi
selalu mengawasi gerakan para anarkis yang dikenal, melihat dan
mencatat saat mereka bermanuver di kafe-kafe dan bar-bar di rue
Ménilmontant dan rue Belleville, boulevard Charonne (Café de la
Nation yaitu tempat favorit di sini) dan rue du Faubourg du Temple.
Ini yaitu dunia yang keras dan berat, yang terpisah jauh tidak hanya
dari cahaya bulevar tetapi juga dari kesembronoan santai Tepi Kiri
serta populasi Bohemian dan mahasiswanya. Para penganjur anarkis
menargetkan orang canggung, pemabuk, pengelana, kriminal—
semua anggota ‘kelas-kelas berbahaya’ yang dikecualikan dari ke-
hidupan gemerlap kota dan yang tidak akan kehilangan apa pun
serta mendapatkan apa pun dalam memajukan filosofi politik yang
mendorong kehancuran sebagai pendahuluan bagi pembentukan
dunia baru.
Anarkis paling terkenal yaitu François-Claudius Ravachol, yang
juga dikenal sebagai Kenigstein dan Léon Léger. Ravachol menjadi
nama kata kerja baru, ravacholer (‘menyapu;), yang populer walaupun
hanya sebentar di kalangan Bohemian muda. Ia terkenal atas lima
389
Bagian Enam: Ratu Dunia
pembunuhan dan beberapa upaya pembunuhan terhadap para hakim
terkemuka, dan dikirim ke guilotin pada 1892. Penyair Stéphane
Mallarmé, yang karyanya dikagumi dalam lingkaran-lingkaran
paling intelek sebab abstraksinya yang tajam dan tanpa kompromi,
membela Ravachol di pengadilan. Ia menyejajarkannya dengan
avant-garde kesusastraan yang sedang berkembang yang tujuannya
yaitu menghapuskan moralitas borjuis. Penulis Octave Mirbeau,
yang secara terbuka menyatakan dirinya sebagai pendukung anarki,
bergerak satu langkah lagi, membela kekerasan Ravachol sebagai
satu-satunya cara untuk menghancurkan kebudayaan kapitalis dan
mendukungnya melawan siapa pun yang mendeskripsikannya sebagai
tidak lebih dari pembunuh biasa (di antara pelanggaran kurang
puitis dan mengesankan yang dilakukan Ravachol yaitu memukuli
dengan palu seorang wanita pekerja keras pemilik toko perkakas
dan putrinya hingga mati). Menurut Mirbeau, para anarkis berhak
untuk “melakukan apa pun yang mereka mau untuk mengantarkan
dirinya sendiri dari reaksi ketakutan … pemerintah tidak akan bisa
mencegah yang tak terelakkan. Dunia lama runtuh sebab berat
kejahatannya. Dunia itu sendirilah yang menyalakan bom yang akan
menghancurkannya.”6 Sentimen semacam itu direduksi menjadi
rumusan oleh kritikus sastra Laurent Tailhade, yang sering dikutip
telah mengatakan pada saat makan malam “apalah arti sedikit nyawa
manusia, saat gerakannya indah [le geste est beau].” Walaupun dua
tahun kemudian, salah satu matanya menjadi buta oleh bom anarkis
yang dilemparkan ke dalam restoran yang sama, Tailhade dengan
keras kepala menolak untuk mengakui bahwa opini yang ia utarakan
sebelumnya mungkin memang salah.7
Aksi-aksi Ravachol ditiru oleh pemuda lainnya yang bersemangat
dan mudah dipengaruhi, termasuk seorang borjuis muda bernama
Émile Henry yang ditangkap oleh polisi saat sedang memasang
bom di Café Terminus di Gare Saint-Lazare. Walaupun sebagian besar
aksi ini kelihatannya tidak jelas tujuannya dan mematikan, di Paris
masih ada dukungan yang cukup besar bagi para anarkis. Sebagian
merupakan reaksi alami kelas pekerja, yang melihat para pengebom
anarkis sebagai prajurit lapangan dalam perang revolusioner
panjang melawan kekuatan kapitalisme yang selalu bermutasi tetapi
390
kelihatannya tidak bisa dihentikan. Pengeboman teroris dipuji di
bar-bar dan kafe-kafe Belleville sebagai ‘tindakan berani’ dan lagu-
lagu dinyanyikan untuk menghormati Ravachol dan para ‘musuh
keteraturan’ lainnya.
Aspek Promethean dari upaya teroris juga menarik dukungan
dari kalangan sastra—bukan hanya tokoh semi-terkemuka seperti
Mallarmé tetapi juga generasi pemuda dan pemudi yang merangkul
kesia-siaan, teror dan kejahatan sebagai satu-satunya tanggapan logis
bagi masyarakat yang berada dalam keadaan kolaps. sebab alasan
ini, pengadilan massal bagi para anarkis—yang termasuk penulis Félix
Fénéon, pendukung Impresionis—pada 1894 menarik dukungan
rakyat yang cukup besar di kalangan Parisian. Pengadilan mencapai
akhir yang lucu saat pengacara pemerintah membuka sebuah paket
yang dikirimkan kepadanya di pengadilan. Ia meyakini bahwa paket
tersebut berisikan bahan peledak tetapi sebenarnya terisi penuh oleh
kotoran manusia yang licin dan berbau busuk. Saat pengacara pergi ke
belakang untuk mencuci tangannya, Fénéon berteriak “tidak pernah
ada, sejak Pontius Pilate, seorang pengacara mencuci tangannya
dengan pertunjukan seperti itu!” kata-katanya disambut dengan tepuk
tangan meriah dari galeri penonton.8
Pada dekade 1890-an, ancaman anarkis menghilang secepat dan
setiba-tiba kemunculannya. Namun saat masih berlangsung, ancaman
itu memperkenalkan benang halus rasa takut dan gangguan ke dalam
kain kota yang meski tidak cenderung untuk memberi selamat kepada
dirinya sendiri sebab telah menghilangkan aspek-aspek kotor dan
kumuh dari kehidupan sehari-hari atas nama logika dan kemajuan.
“Komedi telah usai!”
Kota berisikan ide-ide dan kepentingan-kepentingan yang saling
bertolak belakang ini menyediakan banyak inspirasi bagi novelis
Émile Zola, yang tiba di Faubourg Saint-Marcel dari Aix-en-Provence
sebagai seorang pemuda, dan menghabiskan masa hidupnya bertekad
untuk memahami kebudayaan bawah tanah Paris.
Zola menganggap dirinya seorang ilmuwan dan mengembangkan
391
Bagian Enam: Ratu Dunia
teori naturalisme untuk membenarkan novelnya yang mengamati
secara saksama tetapi sering kali menjemukan. Antara 1871 dan 1893, ia
menerbitkan dua puluh novel Les Rougon-Macquart, dengan subjudul
Histoire naturelle et sociale d’une famille sous le Second Empire (‘Sejarah
Alam dan Sosial sebuah Keluarga di masa Kekaisaran Kedua’), yang
bertujuan untuk mendokumentasikan setiap detail ‘kehidupan nyata’
Paris pada masa Kekaisaran Kedua (kota menjadi lokasi utama dalam
sepuluh novelnya). Namun, Zola paling baik saat melupakan teori-
teorinya dan kisah-kisahnya mulai hidup sendiri dengan menangkap
esensi dari kota yang bergejolak dan padat.
Deskripsi terbaik yang dibuat Zola untuk Paris ada dalam novel
Le Ventre de Paris (‘Perut Paris’) pada 1873 dan Au Bonheur des
dames (‘Kebahagiaan Wanita’) pada 1883 yang masing-masing ber-
latar belakang pusat jajan serba ada di Les Halles dan toserba fiksi
di bulevar. Zola tidak malu menjadi orang Kiri dan novel-novelnya
menggambarkan kota dari sudut pandang mereka yang tertindas
atau dihancurkan. Paris digambarkan sebagai mesin, yaitu mesin
penghancur sangat besar yang memakan segalanya atas nama
kapitalisme. Kota sendiri terancam oleh kekuatan internal perdagangan
dan modal yang lebih kuat daripada sejarah. “Denah Paris terbentang
di bawah,” tulisnya di akhir Au Bonheur des dames, “tetapi itu yaitu
denah Paris yang sudah berkurang, termakan oleh monster ini.
Rumah-rumah, sesederhana pondok pedesaan, menghilang dalam
kekacauan cerobong-cerobong asap yang tidak terbedakan. Bahkan
monumen-monumen sepertinya menghilang: di sebelah kiri ada
dua garis untuk Notre-Dame, di sebelah kanan sirkumfleks untuk
Les Invalides, dan di kejauhan ada Panthéon, dipermalukan dan
terabaikan dan bahkan tidak sebesar kacang.”9
Di ujung berlawanan spektrum politik Zola, kesibukan utama
semua partai Kanan yaitu pembalasan dendam terhadap Jerman
sebab telah mempermalukan Prancis pada 1870. Fakta bahwa
Prancis, dan khususnya Paris, telah berkembang sejak saat itu
bukanlah kompensasi bagi rasa ketidakdilan dan malu yang masih
tersisa yang hanya bisa ditebus dalam perang. Pameran yang diadakan
di Paris pada 1878, saat kemenangan industrialisasi dan kolonisasi
Prancis dipamerkan ke hadapan dunia, telah cukup bisa memulihkan
392
sebagian kepercayaan pada potensi negara. Namun hal itu bukanlah
pengganti bagi wilayah yang hilang atau rasa percaya diri yang terluka.
Kaum nasionalis menemukan pahlawan yang tidak disangka-
sangka dalam bentuk Jenderal Georges Boulanger—seorang patriot,
republiken, dan orang yang sangat memercayai tugas tentara sebagai
penyelamat Prancis. Boulanger juga terkenal sebagai perayu dan
politisi populis yang tidak takut untuk memenangkan suara dengan
menyerukan penghancuran musuh Prusia. Boulanger diangkat menjadi
menteri peperangan pada 1886. Ia membuat Parisian terkesan akan
janggutnya (tanda republiken sejati), kuda perangnya yang berwarna
hitam legam dan sebab membuat pernyataan-pernyataan termasyhur
seperti ‘tentara tidak berpihak’. Boulanger memasuki cerita rakyat dalam
lagu populer ‘En revenant de la revue’ (‘Kembali dari parade militer’),
yaitu lagu yang merayakan 14 Juli: ‘Moi, j’faisais qu’armirer, / Not’brav’
général Boulanger’ (‘Yang bisa kulakukan hanyalah mengagumi,
jenderal Boulanger kita yang berani’). Pada 1889, Boulanger dipilih
menjadi anggota Majelis Nasional dan popularitasnya semakin besar.
Ia bergaul dengan Pendukung Kerajaan, Pendukung Bonaparte, dan
radikal secara bergantian. Mengkhawatirkan popularitasnya yang
tidak dapat dipahami tetapi tidak diragukan lagi, pemerintahan
Georges Clemenceau mengatur agar gundik Boulanger yang bernama
Madame de Bonnemain dideportasi ke Belgia dengan mengetahui
bahwa Boulanger akan mengikutinya. Titik kritis terjadi pada sore
hari sebelum pendeportasian Bonnemain, saat kerumunan massa
berkumpul di jalanan dan menyerukan kepada Boulanger untuk
bergerak ke Istana Élysée guna mengambil alih kekuasaan. Boulanger
terkenal senang makan malam di restoran Durand, tempat ia bisa
mendengar teriakan dari jalanan. Ia ragu-ragu dan sehari kemudian
mengikuti gundiknya ke Belgia. Bonnemain meninggal setahun
kemudian. Setahun sesudah kematiannya, mayat Boulanger ditemukan
di makam Bonnemain, tempat Boulanger bunuh diri.
Parisian menikmati kombinasi melodrama dan intrik dalam
kisah seperti ini, yang pada akhirnya yaitu lelucon. Saat mendengar
kematian Boulanger, Clemenceau mengomentari dalam gaya khasnya
yang tepat tetapi brutal, “Sekarang komedi sudah usai.”10 Namun,
sebuah tragedi yang jauh lebih besar terjadi sepanjang dekade 1890-
393
Bagian Enam: Ratu Dunia
an. Tragedi disebut ‘Peristiwa Dreyfus’, yang mulai terbuka pada 1894.
saat itu, sebuah surat tanpa tanda tangan yang berisikan sejumlah
rahasia militer Prancis dan sepertinya sedang dalam perjalanan
menuju atase militer Jerman di Paris berhasil dicegat oleh intelijen
Prancis. Surat tersebut dituduhkan kepada Kapten Alfred Dreyfus,
seorang perwira tentara Prancis yang tidak bersalah yang satu-satunya
kesalahannya yaitu menjadi seorang Yahudi pada saat ‘kebencian
terhadap Yahudi’ sedang memuncak di kalangan Parisian dari segala
aliran politik (ada banyak deputi Majelis Nasional yang, misalnya,
terpilih sebab kebijakan anti-Semit mereka yang terang-terangan).
saat akhirnya terungkap (pada 1896) bahwa surat tersebut ditulis
oleh Mayor Esterhazy, seorang perwira yang integritasnya terbukti
diragukan, Kantor Peperangan berusaha menyembunyikan informasi
ini. saat detail cara membuat Dreyfus menjadi tersangka muncul
dalam persidangan Esterhazy (dan ia diputuskan bersalah), Prancis
ditelan oleh krisis yang mengungkapkan betapa dalamnya jurang
pemisah antara mereka yang memercayai kesempurnaan pemerintah
Prancis, dengan mereka yang melihatnya dengan cacat yang tidak bisa
diperbaiki lagi.
Dreyfus berhadap-hadapan dengan orang-orang yang membela
peraturan hukum dan keteraturan militer. Sebaliknya, para pen-
dukungnya mengajukan pendapat yang meyakinkan bahwa hukum
tidak bisa berdiri jika tidak didasarkan pada kebenaran dan keadilan
alami. Titik puncak konflik ini yaitu pamflet J’Accuse!, yang di-
terbitkan oleh Émile Zola pada 1898. Dalam tulisannya, sang novelis
meminta diadakannya pengadilan ulang dan melancarkan polemik
cemerlang melawan kebusukan negara yang telah kehilangan semua
kepercayaan atas kemampuan untuk menghadapi kebenaran tentang
dirinya sendiri. Pamflet ini membuatnya sangat tidak populer—
bahkan membuat hidupnya dalam bahaya—sehingga ia terpaksa
menghabiskan satu tahun dalam pengasingan di London. Sejak
saat itu, polemik Zola telah dipandang sebagai kelahiran gagasan
‘intelektual’ abad ke-20 sebagai penulis atau pemikir yang kewajiban
historisnya yaitu terlibat dengan masanya dan jika memungkinkan,
atau jika diperlukan, mengubahnya. Dalam konteks ini, Zola yaitu
ayah bagi generasi ‘berkomitmen’ Sartre dan Camus. Urusan Dreyfus
394
sendiri yaitu pendahulu bagi atmosfer politik beracun di Paris pada
dekade 1930-an di mana orang Yahudi sering kali difitnah sebagai
‘pengkhianat’ dan ‘pengkhianat republik’.
Firasat
Pembangunan Menara Eiffel dimaksudkan untuk menunjukkan
simbol supremasi negara kepada dunia. Menara ini direncanakan
sebagai pameran utama dalam pameran pada 1889. Pameran ini
sendiri dimaksudkan untuk menandai seratus tahun pencapaian
Prancis sejak Revolusi 1789. Tidak terlalu jelas bagi para pengunjung
asing, tetapi menjadi sumber keresahan yang jelas bagi Parisian, yaitu
pameran dan menara ini juga dimaksudkan sebagai penanda untuk
kembali ke keunggulan dunia yang diklaim oleh Paris sendiri sebelum
‘tahun-tahun mengerikan’ 1870 dan 1871. Hanya sebab alasan
ini saja Parisian sudah merasa skeptis dan sering kali menyatakan
ketidakpuasan mereka secara terang-terangan tentang ‘asparagus
logam’ atau ‘supositoria’ yang sedang dibangun di tengah-tengah
mereka. Sebagian orang lainnya menolak sebab alasan estetika,
dengan berpendapat bahwa menara ini tidak enak dipandang mata,
‘monster baja’, yang merusak cakrawala langit Paris. Pendapat paling
umum, yang disuarakan di tempat-tempat minum paling rendah dan
salon-salon paling terhormat, yaitu menara ini merupakan tindakan
keangkuhan dan hampir pasti menjadi pertanda buruk.
Tidak bijaksana untuk meremehkan kekuatan pemikiran takhayul
seperti itu di sebuah kota yang, pada saat mendekati tahun-tahun
terakhir abad tersebut, telah menyambut kebangkitan okultisme, agama
Katolik fanatik dan kepercayaan akan akhir dunia yang menyebar
luas (bahkan menjadi populer bagi puisi Simbolis yang dikatakan
merupakan bagian dari kepercayaan terhadap irasionalisme yang
menyebar luas dan kualitas takdir yang mematikan). Tanda-tanda lain
bagi bencana yang segera datang, atau setidaknya pengakuan terang-
terangan bahwa modernitas membawa bahayanya sendiri, dapat
ditemukan di jalan-jalan kota Paris. Kemungkinan, penanda yang
paling terkenal, dan yang menyatukan keajaiban ganda masyarakat
395
Bagian Enam: Ratu Dunia
yang sedang berkembang dan teknologi baru gambar film, yaitu
bencana di Bazar de la Charité pada 1897.
Bazar de la Charité yaitu struktur yang terbuat dari kain, kayu,
dan kanvas di Champs-Élysées yang telah didirikan dan diorganisasi
oleh para wanita kelas atas untuk menunjukkan segala macam
daya tarik yang sedang modis bagi pengunjung dari semua kelas,
tetapi terutama bagi orang berada dan memiliki koneksi baik. Pada
4 Mei 1897, para wanita Bazar menyelenggarakan pertunjukan
cinématographe karya Lumière bersaudara yang baru saja ditemukan
dan sedang diperbincangkan di Paris. Kilat muncul dari lampu eter
yang rusak, yang melejitkan api ke seantero ruangan saat seorang
petugas berupaya untuk menyalakannya kembali. Dinding-dinding
kanvas langsung tersambar api dan dalam hitungan detik seluruh
bangunan tipis ini menjadi neraka. Ratusan pria, wanita, dan anak-
anak terperangkap dalam pintu putar atau terhambat oleh dinding
yang terbakar. Jumlah korban sebenarnya tidak pernah benar-benar
diketahui—lebih dari dua ratus orang yaitu perkiraan konservatif.
Keterkejutan dan horor semakin besar sebab korban yang tewas
termasuk lusinan anggota masyarakat kelas atas Paris dan sebagian
besar yaitu wanita.
Bencana ini tidak memiliki makna politis tertentu, tetapi memang
menggemparkan semua Parisian dari berbagai lapisan masyarakat
yang sudah cukup punya alasan secara historis untuk takut pada
api, kerumunan orang, dan mesin. Bencana ini juga memunculkan
anekdot yang mengerikan dan benar-benar aneh tentang comte
Robert de Montesquiou yang istrinya tewas dalam kebakaran.
Montesquiou terkenal sebab keanggunannya yang perlente dan
kecerdasannya. Konon, ia menginspirasi karakter Des Esseintes dalam
novel À Rebours (‘Melawan Alam’, 1884) karya Huysmans. Novel ini
merupakan perlambang tentang ahli estetika ‘dekaden’ yang menolak
realitas objektif dan menerima realitas kecantikan ‘lebih tinggi’ dalam
pembangkangannya. Montesquiou sudah pasti juga menjadi model
bagi tokoh bermoral buruk yaitu Baron de Charlus karya Proust.11
Des Esseintes kemungkinan besar yaitu salah satu karakter paling
sakit dan menjijikkan dalam dunia fiksi, tetapi dalam dunia nyata
sangat mirip dengan Montesquiou, yang terlihat telah menyodok
396
mayat istrinya dengan sebatang tongkat, mengangkat sisa-sisa
pakaian istrinya yang telah terbakar dengan ujung tongkatnya agar
bisa mengenalinya. Penyair Simbolis Henri de Régnier nantinya
menuduh bahwa Montesquiou telah berjuang keluar dari bazar
dengan tongkatnya dan meninggalkan istrinya mati dalam kebakaran.
Sebuah duel dipertarungkan tetapi argumentasi ini tidak terselesaikan.
Namun, faktanya yaitu sebagian besar Parisian dari semua kelas
percaya bahwa tuduhan sang penyair menggambarkan sejauh mana
mereka memiliki pandangan bebas tentang bagaimana berlebih-
lebihannya abad mereka dan monster-monster yang dihasilkannya.12
397
Bagian Tujuh: Medan Magnet
BAGIAN TUJUH
Medan Magnet
1900 – 1939
Pada akhirnya engkau akan lelah dengan dunia kuno ini
Wahai Menara Eiffel
perempuan penggembala kawanan jembatan yang pagi
ini mengembik
Engkau sudah cukup lama hidup dalam masa Yunani
dan Romawi kuno
Aku cinta keindahan jalan industri ini
Terletak di Paris
antara Rue Aumont-Thiéville dan Avenue des Ternes
Guillaume Apollinaire, Zone, 1917
Lanskap yang menghantui seintens opium …
Stéphane Mallarmé, 1888
398
Rencana metro Paris pada 1900
399
Bagian Tujuh: Medan Magnet
35
Semangat Baru
Selama seratus tahun selanjutnya, Paris akan tumbuh lebih
padat dan lebih kaya daripada sebelumnya dalam sejarah. Namun,
Paris masih akan terkunci dalam lingkaran rapat yang dibentuk oleh
jalan lingkar luar yaitu boulevard périphérique atau ‘le périph’. Jalan
ini menandai Paris sebagai kota yang pada dasarnya berdimensi
abad pertengahan dan tidak seperti Los Angeles atau London.
Dalam cara yang sama, sejarah Paris pada abad ke-20 akan dibentuk
oleh serangkaian konflik—antara kaum kaya dengan kaum miskin,
kemajuan dan tradisi—yang berakar kuat di masa lalu tetapi juga
begitu berakar mendalam sehingga tidak bisa digerakkan.
Ini yaitu masa trauma hebat. Dari kengerian medan-medan
pertempuran Perang Dunia Pertama, penyakit yang menyerang kota
di masa sesudah perang, kerusuhan dan perang saudara yang hampir
terjadi pada dekade 1930-an, hingga Pendudukan Nazi pada dekade
1940-an, orang Paris terlalu sering dikhianati dan dipermalukan oleh
para pemimpin politik mereka, yang mengatakan kebohongan dan
tidak peduli pada penderitaan mereka. Janji-janji revolusioner dari
kelas pekerja dan ‘kelas-kelas berbahaya’ abad ke-19 sudah hilang
dalam ingar-bingar argumentasi antara Partai Komunis yang, selama
terlalu lama dalam abad ini, memandang Moskow sebagai satu-
satunya mercusuar harapan bagi kemanusiaan dengan berbagai sayap
Kanan yang merangkul quietisme (diamisme), sinisme dan kadang
kala Fasisme atas nama Republik yang benar-benar mereka percayai.
Paris akan menjadi ibukota dunia gagasan dan ideologi yang juga
merupakan tempat bagi para intelektual dari berbagai pihak untuk
membuat sejumlah alasan bagi sejumlah kejahatan terbesar yang
dilakukan atas nama memajukan umat manusia. Hitler, Mao, dan
400
Stalin pernah menjadi pahlawan di sini pada suatu titik selama abad
ini.
Awal abad ke-20 juga menjadi saksi bangkitnya pergerakan avant-
garde, dari Kubisme hingga Surealisme dan Eksistensialisme, serta
segala sempalannya. Kelompok-kelompok ini beranggapan bahwa
mereka memberi perlawanan budaya dan politik bagi kekejaman
kekuatan-kekuatan sejarah yang berulang kali mengancam untuk
menelan kota. Namun, terlepas dari segala janji penebusan dosa ini,
mereka hanya bisa menjadi bagian dari elite dan berulang kali gagal
untuk berhubungan dengan massa.
Namun, isu-isu seperti itu jauh dari benak rakyat selama musim
dingin 1899, saat Parisian memasuki abad baru dalam suasana
hati yang sangat tenang. Musim gugur telah begitu dingin dan basah.
Penduduk gemetar kedinginan dan bersin-bersin sambil menjalani
bulan-bulan tergelap. Sedikit sekali rasa keterputusan historis
dengan masa lalu dalam perpolitikan, kesusastraan, dan kehidupan
sehari-hari. Sebagian besar Parisian memang lebih memikirkan cara
bertahan hidup dan mendapatkan penghasilan di kota yang berulang
kali menyatakan dirinya sebagai model bagi masa depan, tetapi dalam
banyak hal masih terperosok dalam pemisahan masa lalu.
Masih sering terjadi adu argumentasi yang berkaitan dengan
peristiwa Dreyfus dan skandal Kanal Panama pada 1893, yaitu
penipuan finansial yang membuat banyak Parisian jatuh miskin
dan hanya memperdalam sikap anti-Semit di seantero kota. Anti-
Semitisme memang hanya disamai oleh sentimen anti-Inggris. Surat-
surat kabar dengan gembira melaporkan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi orang Inggris di Afrika Selatan (wafatnya Ratu Victoria
pada 1901 juga menjadi sasaran bagi banyak komik satire. sesudah
pemakamannya, Parisian yang modis mulai mengenakan topi beledu
yang dianggap sebagai sikap yang cukup pro-Boer).1
Pemerintah kota menginginkan agar pergantian abad diumumkan
melalui percampuran kabur seni, teknologi dan fantasi yang memesona.
Menara Eiffel berkilau di udara yang kelabu dan lembap, baru saja
dicuci oleh badai musim dingin dan bertemu sebagai simbol terbaik
bagi pertemuan rancangan, rekayasa dan keinginan Utopis. Inilah tema
pameran Paris pada 1900, yang dimaksudkan untuk mengalahkan
401
Bagian Tujuh: Medan Magnet
semua pencapaian sebelumnya—termasuk pameran 1889, yang
tidak hanya memperkenalkan Menara Eiffel kepada publik yang
terbelalak matanya tetapi juga trotoar berjalan yang mengagumkan.
Hal ini dilakukan dengan cukup mudah dengan merayakan kota
Paris sendiri sebagai ibukota modernitas dan kemajuan dunia. Fakta
ini didemonstrasikan dalam keahlian dan keberanian luar biasa yang
dimasukkan ke konstruksi besi dan kaca yaitu Grand Palais, Petit
Palais, dan Pont Alexandre III, yang semuanya khusus dibangun untuk
pameran. Status Paris sebagai pusat kebudayaan dunia digarisbawahi
oleh penaklukan-penaklukan kolonialnya. Hal ini diwakili dalam
berbagai pameran eksotis di sekitar lokasi pameran yang membawa
dunia ke Paris dan bukan sebaliknya.
Pameran dibuka hingga November yang ditonton oleh lebih dari
50 juta pengunjung. Jumlah ini lebih banyak dari jumlah penduduk
Prancis. Seluruh lokasi sepanjang lebih dari lima kilometer ditenagai
oleh listrik. Sepanjang malam, Istana Listrik diterangi oleh lebih dari
lima ribu lampu peri, yang membuat semua orang yang melihatnya
terkesiap. ‘Paris Tua’ sekarang benar-benar sudah tinggal sejarah dan
memasuki cerita rakyat dalam bentuk quartier palsu dengan rumah-
rumah buatan dengan puncak menara dan atap pelana di Tepi Barat
sungai Seine. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada
Parisian apa yang mereka tinggalkan dan seperti apa masa depan
mereka. Dalam cara yang sama, Parisian dan lainnya datang untuk
mengagumi tanah impian Orientalis berupa souk, kedai-kopi, menara
masjid dan harem yang telah dibangun untuk menggambarkan
pencapaian kolonial Prancis. sesudah melihat dunia lain dan asing
yang telah ditaklukkan oleh Paris, mereka pergi dengan sangat kagum
sementara rasa patriotisme dan kebanggaan terhadap bangsanya
tertanam semakin dalam.
Atau setidaknya begitulah niatnya. Tidak diragukan lagi memang
benar bahwa kehidupan di Paris dan provinsi-provinsi sudah
banyak meningkat sejak pertengahan abad ke-19. Negara secara
keseluruhan lebih kaya daripada sebelumnya. Bahkan petani paling
miskin atau penduduk kota yang paling