Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 11

 



telah menggembleng perekonomian lawannya yang ditakuti, Inggris, 

dimulai sangat lambat, sebagian sebab  sifat kehidupan politik di 

Paris yang bergejolak, dan sebagian lain tak memercayai rel kereta api 

sebab  merupakan penemuan Anglo-Saxon.

Kendati demikian, sejak 1837 dan seterusnya, saat  didekritkan 

bahwa jalur kereta harus dibangun untuk mencapai semua perbatasan 

Prancis, jaringan kereta berkembang dalam kecepatan yang amat 



336

tinggi, mempermudah warga Paris untuk pertama kalinya menikmati 

perjalanan siang hari ke wilayah pedalaman, dan menghubungkan 

pusat-pusat industri besar (peningkatan pada jaringan rel kereta juga 

memicu spekulasi yang menyebabkan krisis keuangan pada 1840-an).

Teknologi baru menuntut arsitektur baru untuk merayakannya. 

Stasiun kereta api pertama di Paris (Gare Saint-Lazare dibangun pada 

1836, Gare du Nord yang asli dimulai tahun 1846 dan dikembangkan 

kembali pada 1860) merefleksikan kekaguman modern pada mesin, 

gerakan, kaca dan besi, cahaya dan udara. Warga Paris pada awalnya 

enggan bepergian—sebagian sebab  rasa takut (kecepatan dari 

mesin-mesin baru ini kerap digambarkan mematikan) dan sebagian 

sebab  mereka berpikir mesin itu mahal. Namun arus lalu lintas 

dengan segera mulai mengalir ke Paris dari berbagai provinsi, dan 

untuk memenuhi kebutuhan para pelancong ini, dan juga bisnis yang 

berkembang dalam perjalanan internasional (Brussels, London, dan 

Amsterdam semuanya dibawa lebih dekat ke Paris oleh jalur kereta 

api), jalan-jalan di sekitar stasiun kereta dipenuhi oleh hotel, brasserie 

yang menawarkan meja-meja penuh makanan laut dan bir, germo, 

pencopet, dan para pejabat yang meringis di hari pertama mereka 

berada di kota.

“Satu Lemparan Dadu”

Louis-Napoleon Bonaparte mengambil alih kota yang terbagi, 

bergejolak dan sibuk ini dengan segala keangkuhan yang dapat 

dikumpulkannya. Ia terlahir di Paris, putra ketiga Louis Bonaparte 

yang merupakan Raja Belanda dan adik Napoleon. Masa mudanya 

dihabiskan di Swiss sesudah  runtuhnya Kekaisaran Pertama dan ia 

pun bertugas di Tentara Federal Swiss. Pasca-kematian putra pertama 

Napoleon, duc de Reichstadt, Louis-Napoleon mengajukan klaim 

terhadap takhta Prancis atas nama Bonaparte dan melancarkan 

konspirasi secara rutin terhadap pemerintahan Louis-Philippe. Ia 

diasingkan pada 1836 ke Amerika Serikat namun segera kembali ke 

Eropa, menetap di London, yang ia gunakan sebagai markas untuk 

memublikasikan manifesto bagi Prancis yang akan mengembalikan 


337

Bagian Enam: Ratu Dunia

reformasi kejayaan dari Napoleon pertama. Ia kembali ditangkap dan 

diadili untuk pengkhianatan dan kali ini dipenjara di penjara-benteng 

Ham di Prancis utara. Ia melarikan diri dan kembali lagi ke London, 

di mana ia menerbitkan propaganda dan menanti hingga revolusi 

Februari 1848 berhasil menggulingkan pemerintahan. Dengan sangat 

mengejutkan, para pengamat di kedua faksi baik faksi radikal dan 

moderat Kiri, yang berharap akan kembalinya nilai-nilai republik 

mutlak, Napoleon III (sebagaimana ia menyebut dirinya sendiri) 

meraih kekuasaan melalui dukungan rakyat sebagai perwakilan 

jalan tengah antara pemerintahan revolusioner yang keras dan rezim 

konservatif yang sakit-sakitan serta sekarat.3 

Kendati ia memiliki aksen Swiss-Jerman, yang dikentalkan oleh 

pengasingan selama bertahun-tahun di Inggris dan Jerman, ia yaitu  

favorit rakyat, yang bersenandung ‘Poléon, nous l’aurons’ (‘Kami akan 

memiliki Napoleon’) dalam setiap penampilan publiknya. Banyak 

anggota kelas penguasa pada awalnya menganggap Louis-Napoleon 

yaitu  orang yang bodoh (Jenderal Rochefort menggambarkannya 

sebagai menyerupai ‘kakaktua yang melankolis’)4 dan pandangan 

para elite politik yang menyebutkan ‘cretin’ yang mudah dikendalikan 

(sebuah deskripsi yang dikaitkan dengan Adolphe Thiers, seorang 

jurnalis dan politisi ambisius yang akan memainkan peran penting 

dalam perang-perang berikutnya di Paris). Namun, terlepas dari 

reputasi dan penampilan para pendampingnya, dan sebagaimana 

berbagai peristiwa akan menunjukkan, Louis-Napoleon bukanlah 

badut melainkan seorang petualang ala Machiavelli yang satu-satunya 

kelemahan dia yaitu  terlalu menganggap besar takdirnya sendiri.

Sejak awal, walaupun ia menyatakan sangat memercayai hak 

pilih universal, Louis-Napoleon menunjukkan rasa muak yang 

tersamarkan terhadap demokrasi. Ia melancarkan serangan militer ke 

Italia pada 1849 untuk melestarikan pengaruh Prancis di kawasan itu 

dan untuk menyokong kekuasaan Gereja, yang tengah menghadapi 

pemberontakan liberal. Ia memprotes bahwa ia ‘tidak mengirimkan 

sepasukan tentara ke Roma untuk membungkam kebebasan Italia’ 

tetapi tak seorang pun di lingkaran politik tinggi di Paris yang 

memercayainya.5 Namun Louis-Napoleon yaitu  seorang manipulator 

opini publik yang cerdik. Secara menakjubkan, ia mendapatkan manfaat 



338

dari petualangan Italia, menggambarkan dirinya sendiri kepada kubu 

Kiri sebagai pengaruh moderat pada kekerasan reaksioner sementara 

menampilkan dirinya kepada kubu Kanan sebagai penjunjung tinggi 

nilai-nilai tradisional yaitu properti, keluarga, dan agama.6

Namun pihak konservatif-lah yang telah amat salah menilainya. 

Mereka meyakini bahwa mereka dapat menyingkirkannya pada tahun 

1852, saat masa jabatannya sebagai presiden berakhir. Pada saat yang 

sama, mereka melancarkan rencana untuk membatasi hak pilih, 

berharap dapat memenangkan suara mayoritas cukup besar di Majelis 

untuk memulihkan monarki yang sebenarnya daripada Bonaparte 

perebut takhta. Secara tidak sadar, mereka jatuh ke tangan Louis-

Napoleon dengan memberinya justifikasi untuk melakukan kudeta 

yang telah ia rencanakan sejak kedatangannya di Paris pada 1848. 

Rencana itu, yang dijuluki Operasi Rubicon oleh presiden dan 

rekan konspiratornya, terungkap pada 2 Desember 1851. Pada bulan-

bulan sebelumnya, keadaan terasa sangat tegang, dengan desas-

desus akan kekerasan pemberontakan dan kontra-pemberontakan 

berputar di sekitar posisi kekuasaan tertinggi dan jalan belakang 

yang terkejam. Pada malam 1 Desember, presiden mengadakan 

resepsi di Istana Élysée dan berbincang tentang masalah pembersihan 

permukiman kumuh, pendanaan program sanitasi, dan hal-hal biasa 

lainnya. Beberapa waktu kemudian di malam yang sama, tujuh puluh 

enam warga Paris terpandang, termasuk para pemimpin kelompok 

Sosialis dan radikal, ditangkap di tempat tidur mereka dan dibawa 

ke sel penjara di Vincennes. Pada saat yang sama, kelompok polisi 

mengambil alih penerbitan di sepenjuru Paris untuk mengawasi 

publikasi ‘seruan kepada rakyat’, menuduhkan adanya konspirasi oleh 

Thiers dan para pembangkang terkenal lainnya untuk ‘menggulingkan 

Republik’. Warga Paris terbangun pada pagi hari 2 Desember untuk 

menemukan pasukan berjaga di bulevar dan kedua bantaran sungai 

Seine dan menduduki Place de la Concorde, Tuileries, Palais-Royal, 

dan Champs- Élysées.

Pada awalnya, sentimen yang ada di jalanan yaitu  kelegaan, 

bahkan di wilayah kelas pekerja tradisional di mana kudeta dianggap 

sebagai kejahatan yang lebih rendah daripada kembalinya majelis 

yang pro-monarki. Pada akhirnya, dalam beberapa hari kemudian, 


339

Bagian Enam: Ratu Dunia

muncullah barikade-barikade dan berbagai unjuk rasa di wilayah 

Saint-Antoine, Saint-Martin dan Saint-Denis, yang berakhir dengan 

penembakan. Jasad 400 warga kelas pekerja Paris tergeletak selama 

berhari-hari di jalanan berbatu di Paris timur.

Kurang dari satu mil jauhnya, pasukan berbaris seakan dalam 

parade menyusuri grands boulevards yang disambut tepuk tangan 

warga dari kelas berada di restoran-restoran atau sekadar berkeliaran 

di jalan-jalan. ada  perintah untuk menjauh dari pusat kota Paris 

dan tidak mengganggu pekerjaan militer, namun distrik kelas pekerja 

amatlah jauh dari toko-toko yang rapi, lorong-lorong, dan kafé-kafé. 

Pembantaian yang terjadi di sana hanya dianggap seperti olahraga 

berdarah bagi kaum kaya.

saat  referendum diadakan pada 21 Desember, populasi Prancis 

secara menakjubkan mendukung kudeta Louis-Napoleon dengan 

keyakinan bahwa tindakannya telah menyelamatkan Prancis dari 

nasib yang lebih buruk. Te Deum dinyanyikan di Notre-Dame pada 

Hari Tahun Baru tahun 1852 dan Louis-Napoleon diangkat sebagai 

monarki absolut seluruh Prancis. Ini yaitu  saat di mana, seperti 

yang dinyatakan Karl Marx dalam esainya tentang subjek ini, slogan 

republik yaitu ‘Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan’ telah digantikan 

dengan ‘infantri, kavaleri, artileri’.7 

Sang Seniman Penghancur

Alkisah, Louis-Napoleon tiba pada 1848 di Gare du Nord dengan 

sebuah peta Paris di tangan dan visi sangat besar untuk membangun 

ulang kota dengan gayanya sendiri. Kisah ini bisa jadi benar, bisa juga 

tidak. Namun segera menjadi jelas saat ia meraih kekuasaan absolut 

sesudah  kudeta tahun 1851 bahwa kota itu yaitu  miliknya dan ia 

berniat untuk menjadikannya sebuah monumen bagi kekuasaannya. 

Model kota imajinasi Louis-Napoleon, seperti pamannya yang 

berkuasa sebelum dirinya, yaitu  kota kuno Roma dan ia berencana 

secara metodis untuk menjadikan Paris kota modern yang setara 

dengan Roma. Ia juga sangat kagum dengan energi dan kehebatan 

London dan memandang Paris sebagai kota yang kotor, penuh sesak 

serta kumuh dibanding dengan ibukota Inggris itu.



340

Pada 1853, Louis-Napoleon menunjuk Georges-Eugène Haussmann 

sebagai prefect kota Paris. Hingga saat itu, Haussmann yaitu  tokoh 

tidak jelas yang dikenal, jika pernah sama sekali, di Paris sebagai prefect 

dari wilayah Var yang jauh di selatan Prancis. Ia lahir di Paris pada 1809, 

di 55 rue du Faubourg-du-Roule (yang kini bernama rue du Faubourg 

Saint-Honoré). Ironisnya, ia lahir di semacam hôtel particulier—

sebuah mansion kecil dengan halaman dan taman pribadi—yang akan 

terkubur dalam sejarah oleh proyeknya nanti. Keluarganya cukup 

berada dan memiliki koneksi dengan keluarga kekaisaran. Ia belajar 

di Lycée Henri IV di Paris namun juga menghabiskan sebagian besar 

waktunya di pabrik ayahnya di Colmar, yang memberinya reputasi 

sebagai orang yang kaku dan kasar. Tentunya, sejumlah kecil rekan 

se-zaman Haussmann memiliki pendapat yang baik tentang dirinya 

(hanya George Sand yang menggambarkan dirinya dengan sesuatu 

yang mirip rasa kasih sayang sebagai “seorang pria muda yang sangat 

serius dengan hasrat atas ide-ide umum”).8

Tidak diketahui pasti bagaimana Haussmann menarik perhatian 

Louis-Napoleon, namun sang kaisar tampaknya mengagumi efisiensi 

administratif Haussmann maupun pengabdian tak tergoyahkannya 

untuk kepentingan kekaisaran (Haussmann memang melayani Louis-

Napoleon hampir selama masa kekuasaannya). Louis-Napoleon juga 

mengagumi cara Haussmann mengatasi ancaman ganda dari pemimpin 

republikanisme dan Sosialisme di wilayah Var dan memperoleh 

reputasi sebagai negosiator yang tak mau berkompromi selain seorang 

pendukung monarki yang bersemangat. Seperti Louis-Napoleon, 

Haussmann juga yaitu  orang luar di Paris (Louis-Napoleon hanya 

pernah tinggal di sana saat masih bayi) dan tak memiliki keterkaitan 

sentimental pada jalanan kota ataupun warganya.

Rekonstruksi kota dimulai dengan sungguh-sungguh dalam 

beberapa pekan pertama penugasan Haussmann, saat  ia meng-

gambarkan sebuah rencana yang dapat menyatukan pelayanan 

lokal dari setiap bagian kota di bawah pengendalian yang terpusat. 

Di saat yang sama, Haussmann mulai mengembangkan sebuah 

rencana penyerangan. Rencana ini akan segera terungkap dengan 

istilah percement jalanan—secara harfiah ‘menembus’ daerah padat 

penduduk yang kebingungan dan membingungkan yang berada 


341

Bagian Enam: Ratu Dunia

di jalur pembangunan dengan jalan lurus melaluinya. Tujuan 

keseluruhan yaitu  untuk membangun suatu persimpangan besar 

di pusat kota Paris yang mengarah ke utara dan selatan, timur dan 

barat. Dari persimpangan ini, serangkaian jalan yang lebar, bulevar, 

dan jalan raya akan dibangun untuk menghubungkan dengan stasiun 

kereta api dan pintu keluar utama ke kota. Jalan-jalan arteri ini juga 

dirancang dengan memudahkan orang melihat pemandangan terbaik 

dari monumen terbaru kota. Di pusat kota, dan awal sesungguhnya 

dari proyek Haussmann, yaitu  pembangunan ‘Fort de la Halle’, 

terdiri atas delapan bangunan dari besi dan kaca yang didirikan di 

situs pasar tradisional di pusat kota Paris. Proyek ini di kemudian 

hari akan digambarkan oleh Émile Zola sebagai ‘perut kota Paris’, 

‘sebuah mesin modern tak terkira’, yang merepresentasikan sumbu 

kota yang sebenarnya.9 Namun Les Halles akan secara ironis memicu 

munculnya mitos-mitos dan legenda-legendanya sendiri—semuanya 

sangat berpengaruh seperti kisah-kisah dari wilayah kota yang lebih 

tua; namun pada kali pertama dipersiapkan, monumen itu dirancang 

mengikuti garis-garis manfaat yang sama seperti bagian lain dari kota 

Paris karya Haussmann.

Sejak saat itulah, rencana ini dilaksanakan dengan efisiensi 

yang keras, dibiayai oleh persekutuan rumit antara investor swasta, 

spekulator, dan badan-badan pendanaan pemerintah. Pada 26 Maret 

1852, satu undang-undang disahkan yang memperbolehkan ‘Ville de 

Paris’ untuk membeli lahan atau properti mana pun yang menghalangi 

pembangunan proyek, dan pada tujuh belas tahun berikutnya Paris 

diubah menjadi satu lokasi pembangunan yang amat luas. Kawasan 

bersejarah yang telah ada selama berabad-abad dihancurkan. Tak 

terhitung ribuan warga Paris dipaksa pindah ke wilayah kota yang 

asing. Haussmann mendapatkan gelar ‘Attila dari Alsace’ (keluarganya 

berasal dari Alsace) dan secara tidak sadar menggambarkan dirinya 

sebagai ‘seniman penghancur’. Sementara itu, para pengembang 

properti bertambah kaya dengan membeli wilayah yang dijadwalkan 

untuk penghancuran dengan harga yang amat rendah dan menjualnya 

dengan harga beberapa kali lipat dari harga aslinya kepada pembangun 

dan arsitek.



342

Louis-Napoleon dan Haussmann turut berbagi sebuah visi—akan 

kota yang dirancang hanya atas dasar fungsional. Monumen Louis-

Napoleon untuk kekaisaran haruslah indah dan hebat namun di atas 

segalanya, seperti ibukota modern abad ke-19 yang menjadi contoh, 

monumen ini harus berfungsi. Pembangunan sebuah kota yang 

dengan efektif mengatasi masalah sanitasi, saluran pembuangan, dan 

aliran lalu lintas yang bebas lebih diprioritaskan daripada perhatian 

apa pun terhadap estetika. Paris akan menjadi indah, namun pertama-

tama Paris harus berbau harum dan warganya harus dapat menghirup 

udara segar.

Louis-Napoleon dan Haussman juga sama-sama tidak peduli pada 

masa lalu, bahkan meremehkannya. Pada tahun-tahun awal abad 

ke-19, Paris dianggap sebuah kota yang hebat oleh orang asing dan 

wisatawan sebab  kota ini yaitu  pusat kebudayaan, perdagangan dan 

politik Eropa, juga sebab , hampir di semua tempat di jalanan yang 

sibuk, Anda dapat melihat jejak masa lalu; sering kali sejumlah masa 

yang berbeda dapat dilihat sekilas pada arsitektur, gaya berpakaian 

dan tata krama di satu ruas jalan. Kawasan padat penduduk dengan 

gang-gang, jalan-jalan sempit, dan lorong-lorong sudah ditulis 

dalam konteks cerita rakyat yang teridealisasi di awal abad ke-19 dan 

digambarkan dengan penuh kasih sayang sebagai ‘le Vieux Paris’. 

Proses ini dipercepat oleh tulisan Victor Hugo dan Eugène Sue, yang 

merepresentasikan Paris sebagai sebuah penjara, negara, neraka 

berlumpur dan wadah kejahatan, namun juga selalu sebagai kediaman 

dari populasi yang pintar dan jenaka, agresif dan selalu berdaya cipta. 

Dalam puisinya ‘Le Cygne’ (‘Angsa’), Baudelaire menggambarkan 

Paris telah berubah selamanya dan berduka terhadap akhir seluruh 

balutan sejarah kota Paris; “Paris Tua kini sudah tiada,” tulisnya. 

“Wujud sebuah kota berubah lebih cepat, sayangnya, daripada hati 

seorang manusia fana.”10

Haussmann masih tetap menjadi tokoh kontroversial di Paris. 

Secara umum ia dicemooh dan diremehkan sebagai seorang Alsace 

kasar yang kontribusi utamanya pada kehidupan Paris yaitu  

menghancurkan makna yang telah terkumpul senilai beberapa abad 

di jalan-jalan kota tua dalam waktu kurang dari dua dekade. Ia juga 

dituding melayani tujuan politik Louis-Napoleon dalam caranya 


343

Bagian Enam: Ratu Dunia

mengorganisasi kota: bulevar-bulevar dan jalan-jalan raya besar yang 

melintasi kota dari barat ke timur, seperti yang diperdebatkan oleh 

kaum Kiri dari segala kecenderungan, dibangun bukan hanya sebab  

kemudahan akses melintasi kota namun juga untuk memudahkan 

pergerakan pasukan dan senjata di masa pemberontakan. Hal ini 

boleh jadi benar atau tidak benar, namun Haussmann sendiri tak 

mengambil keuntungan dari karyanya. Ia pensiun pada 1870 hanya 

dengan uang pensiun sebesar 6,000 franc (ini yaitu  masa saat  para 

spekulan properti dapat menghasilkan beberapa juta franc dari satu 

rumah saja). Ia meninggalkan kota dengan sistem sanitasi yang baik 

(meminum air di Paris kini tak lagi memiliki risiko terjangkit penyakit 

kolera), dengan sistem lampu jalan yang terorganisasi dan kemampuan 

untuk menghadapi tuntutan teknologi abad itu. Sama-sama memuja 

Inggris seperti Louis-Napoleon, ia memperkenalkan lapangan publik 

pertama kepada Paris mengikuti model Anglo-Saxon (Parc de Buttes-

Chaumont dan Bois de Boulogne yaitu  hasil dari hasratnya itu).

Apa yang telah hilang yaitu  kehidupan spontan di jalanan—dunia 

warga Paris yang intim akan petites gens yang menyambung hidup 

dengan cara apa pun yang dapat mereka lakukan, dari penjual air hingga 

tukang kayu keliling, juru tulis hingga penjual marionnette (wayang 

golek kecil ala Prancis). Louis-Napoleon menunjuk fotografer Charles 

Marville untuk mendokumentasikan kematian ‘Paris Tua’. Namun, hal 

ini tak dilakukan dengan semangat refleksi nyanyian sedih tetapi lebih 

selaras dengan hasrat untuk menyediakan saksi ilmiah bermata dingin 

akan kemajuan ini.



344

32 

Hantu di Siang Hari

Paris yang muncul pada paruh pertama abad ke-19 sedikit 

sekali menyentuh emosi atau memengaruhi kehidupan sehari-hari 

Parisian, selain membuat mereka merasa kering kantongnya (Paris 

monumental tidak murah dan pada satu tahapan pajak sebesar 80 

persen dibebankan kepada bagian-bagian tertentu dari populasi 

untuk menyelesaikan proyek-proyek pembangunan). Hal ini tidak 

bisa dikatakan bagi pembangunan kembali Paris selama Kekaisaran 

Kedua, saat  Napoleon III dan Haussman bertekad membuat Paris 

menjadi kota paling spektakuler di dunia. Proyek ini diterapkan oleh 

Haussmann dengan kekerasannya yang terkenal dan rasa merendahkan 

terhadap kehidupan Paris Tua yang intim dan sukar dimengerti.

Transformasi Paris di bawah Haussmann mirip dengan keajaiban. 

Dalam kekacauan suara, debu, dan penghancuran, saat  jalan-jalan 

dan bangunan-bangunan tua dihancurkan, Parisian dapat melihat 

sebuah dunia baru muncul secara langsung di depan matanya. 

Keteraturan dibangun di atas keketidakteraturan. Sebuah jalan raya 

baru yang lebar membentang dari Gare de l’Est selatan menyeberangi 

sungai menuju Observatoire. Di Tepi Kanan, sebuah jaringan bulevar 

yang sepenuhnya baru—termasuk Pereire, Malesherbes, Strasbourg, 

Sébastopol, Richard Lenoir, Magenta—dibangun antara Porte Maillot 

di barat dan Porte de Vincennes di timur (walaupun demikian, tidak 

satu pun Parisian yang bergaya mau tinggal di sebelah timur boulevard 

de Sébastopol). Di Tepi Kiri, boulevard Saint-Germain membuat jalur 

kejam dan melengkung yang memotong daerah-daerah yang dikenal 

sebab  contoh-contoh indah arsitektur Renaisans dan terutama grands 

hôtels yang telah menjadi bagian fundamental dari lanskap urban 

Paris.



345

Bagian Enam: Ratu Dunia

Salah satu ‘pembantaian’ paling terkenal yang dilakukan oleh 

Haussmann terjadi di Île de la Cité, saat  ia menyapu rumah-rumah 

abad pertengahan yang berkumpul di sekitar dan di depan Notre-

Dame. Daerah ini menjadi inspirasi bagi novel Hugo yang berjudul 

Notre-Dame de Paris (lihat Bab 6) dan selama berabad-abad telah 

menjadi sumber mitos dan cerita yang tak terhitung banyaknya, dan 

oleh sebab  itu menjadi bagian menentukan dalam cerita rakyat Paris. 

Di bawah tangan mati Haussmann, lokasi seperti totem ini menjadi 

titik pertemuan bagi tiga jalan utama yang menembus kota, sementara 

jalan-jalan yang sebelumnya pernah dipenuhi oleh orang terhukum, 

pencuri, germo, pelacur, dan pembunuh sekarang menjadi lokasi 

kantor polisi paling penting di kota, selain kompleks administratif 

yang besar dan melemahkan semangat yang menampung pengadilan 

dan pengacara.

Namun, aspek paling menonjol dari warisan Haussmann di Paris 

kontemporer bukanlah kontribusinya dalam membuat lalu lintas 

mengalir, atau memastikan bahwa pemerintah memiliki kontrol politik 

dan militer terhadap ‘pusat-pusat badai’ di bagian timur kota, tetapi 

pembuatan gaya umum bagi blok-blok apartemen yang dibangun 

di sepanjang jalan-jalannya yang luar biasa lurus. Tujuannya yaitu  

menciptakan efek kemegahan melalui dekorasi yang seragam ditambah 

perspektif horizontal panjang, yang dibakukan oleh barisan balkon-

balkon besi tempa yang berjajar sepanjang jalanan. Rasa individualitas 

kalah penting dari kesan jalan sebagai urutan yang terharmonisasi dan 

kontinyu. Sebaliknya, dekor interior apartemen borjuis standar sangat 

berat dan kaya, sering kali dimuati oleh berbagai lambang Romawi-

Byzantium atau pernak-pernik Oriental. Estetika kontradiktif seperti 

ini—yaitu hubungan saling memengaruhi antara kesederhanaan 

eksternal dan kemewahan internal—masih merupakan faktor 

penentu dalam perencanaan kota yang terinspirasi oleh Prancis, dari 

Rabat hingga Bukarest. Di Paris pertengahan abad ke-19, estetika ini 

tidak hanya mewakili bentuk baru modernitas di mana pemandangan 

urban lebih penting daripada gaya individu, tetapi juga menunjukkan, 

dalam penyempurnaannya atas seni paradoks, ketidakpastian besar 

yang ada di pusat rezim Louis-Napoleon.

Hal ini menjelaskan sebagian dari sifat sangat biasa dari banyak 



346

arsitektur yang disebut ‘Kekaisaran Kedua’. Kota yang dibangun 

oleh Haussmann luar biasa dan mendirikan bulu roma, mewakili 

kemenangan organisasi dan teknologi terhadap masa lalu. Namun, 

rancangan aristektur gereja dan monumen publik lainnya dari masa 

ini sangatlah terbelakang saat  bukan sekadar salinan atau sindiran 

dari gaya-gaya masa lalu.

Salah satu tempat terbaik untuk melihat ‘Kekaisaran Kedua’ 

bekerja dalam segala kevulgarannya yang monumental dan anehnya 

mengesankan yaitu  dengan memandangi Opéra baru, yang 

dibangun oleh Charles Garnier, dari pintu toko buku Brentano’s di 

avenue de l’Opéra. Jalan raya ini sendiri begitu mengagumkan dan 

tidak manusiawi, terlalu panjang untuk ditelusuri dengan berjalan 

kaki tanpa bosan atau lelah dan terlalu lebar untuk diseberangi 

tanpa menghadapi risiko tertabrak. Dimahkotai oleh Opéra dengan 

segala eksotismenya yang absurd dan penuh hiasan—kuil Romawi-

Byzantium yang dijejalkan ke persimpangan kota yang sibuk—

bangunan ini meneruskan segala kemegahan, ambisi, dan kebodohan 

Kekaisaran Kedua. Sepertinya memang tepat bahwa konstruksi 

Opéra belum diselesaikan hingga kekaisaran runtuh, yang pada saat 

itu bahkan arsiteknya sendiri harus membayar untuk mendapatkan 

tempat duduk dalam teater.

Para Pengelana

Salah satu aspek kehidupan kota yang paling terlihat selama Ke-

kaisaran Kedua yaitu  cara grands boulevard kota segera dipenuhi 

oleh grands magasin. Kuil-kuil bagi agama perdagangan baru ini 

membuat Paris menjadi kota modern sejati di dunia. Paris sekarang 

juga menjadi kota rambu jalan dan poster. Sebagian dari poster ini 

bersifat politis tetapi mayoritas mengiklankan kekaguman baru dari 

masa itu. Di sinilah kematian Paris Tua paling terlihat. Tradisi Paris 

berupa poster pemberontak atau grafiti subversif belum mati, tetapi 

penghancuran quartier-quartier lama juga merusak serikat-serikat 

kerja dan asosiasi-asosiasi yang masih berjalan di mana dalam kafe-

kafe mereka kesenangan pribadi dan hasutan revolusioner berjalan 


347

Bagian Enam: Ratu Dunia

beriringan. Parisian didorong untuk meninggalkan masa lalu politik 

dan mengagumi dunia baru yang telah dihamparkan bulevar-bulevar 

Haussmann di hadapan mereka.

Namun, walaupun ada  semua ketegangan besar itu, Paris 

pada masa Kekaisaran Kedua juga merupakan kota kesenangan yang 

hebat. Bahkan kota ini sekarang terkenal ke seluruh dunia sebagai 

ibukota segala bentuk hedonisme. Dalam Paris Guide yang diterbitkan 

tahun 1867, seorang penulis anonim ‘X’ sulit sekali menyembunyikan 

kesenangannya yang hampir bersifat seksual saat  menjelaskan sifat 

avenue de l’Impsératrice (sekarang avenue Foch) yang sangat menarik. 

“Hutannya! Danaunya! Barouche (kereta kuda berpenumpang empat) 

autentik, coupé (kereta kuda berpenumpang dua) sewaan, senyum 

di mana-mana, orang-orang berpakaian bagus sekali … Tetapi juga 

begitu elegan, dan begitu indah! Maskawin bagi siapa pun yang 

meminta, dan cinta melayang-layang mengikuti gelombang. Semua 

daya tarik dunia ada di sini, bekerja keras, siap untuk bertempur.”1

Pada sekitar waktu itulah istilah bohème dan bohémien memasuki 

bahasa Prancis untuk menunjukkan suatu generasi pemuda yang 

membenci uang dan kerja dan kenyamanan kaum borjuis yang biasa 

saja. Para pemuda ini yaitu  pengembara, pemabuk, orang canggung, 

penyair, jurnalis, penyatir, narsisis, filsuf dan sering kali kesemua ini 

pada saat yang sama.

Istilah bohémien pertama kali populer untuk mendeskripsikan 

para Romantis muda dekade 1830-an. Salah satu dari mereka yaitu  

penyair Théophile Gautier, yang menyewa kamar di impasse du 

Doyenné, sebuah kumpulan bangunan reyot yang berada di seberang 

Tuileries dan hanya beberapa langkah dari Louvre. Tempat ini yaitu  

pusat kota dan bahkan tepat berhadapan dengan monumen-monumen 

dan bangunan-bangunan monarki borjuis. Namun, bagi Gautier, 

tempat ini memiliki nilai perlambang, sebagai relik masa lalu yang 

terabaikan dan setengah rusak, mewakili hal yang tepat berseberangan 

dengan gagasan kemajuan rasional dan perkembangan ekonomi yang 

disebarluaskan oleh kelas pedagang dan kelas penguasa. “Jalan buntu 

berakhir di sebidang tanah yang dibatasi secara sangat kasar oleh 

pagar yang terbuat dari papan-papan lusuh yang diambil dari perahu,” 

tulis Gautier. “Reruntuhan sebuah gereja (sebuah kubah kecil, dua 



348

atau tiga pilar, dan di ujung sebuah arkade masih berdiri) membantu 

untuk membuat tempat itu menjadi liar dan seram … mungkin saja 

untuk menjalani kehidupan Robinson Crusoe, bukan di pulau Juan 

Fernandez, tetapi tepat di jantung Paris.”2

Salah satu dari kesenangan baru yang tersedia bagi para bohémien 

penghuni kota yang, seperti Gautier, berusaha mencari keanehan, 

luar biasa, puitis dan misterius yang berada di sekitar mereka, yaitu  

seni keluyuran tanpa tujuan menembus kota. Aktivitas ini, yang 

disebut flânerie—kata yang berasal dari abad ke-16 dan pada awalnya 

digunakan untuk berarti ‘berkelana’ atau ‘terhanyut’—sudah terlihat 

jelas pada abad ke-17 (lihat Bab 20). Pada awal abad ke-18, istilah ini 

sudah banyak digunakan oleh para bohémien seperti Arsène Houssaye, 

Camille Rogier dan Cèlestin Nanteuil untuk mendeskripsikan aktivitas 

berjalan kaki keliling kota untuk mengejar petualangan, stimulasi 

atau, jika memungkinkan, kesenangan.

Pada awalnya, aktivitas ini hanya dikaitkan dengan kemalasan oleh 

pers populer—pada 1829 jurnalis Jules Janin mendeskripsikan satu 

orang daerah yang baru tiba di Paris sebagai “malas, tidak peduli dan 

penganggur [flâneur]”—sebelum menjadi akhir pada dirinya sendiri. 

Pada 1837, Balzac mendeskripsikan salah satu karakternya “berkelana” 

[flâner] sepanjang hari di bulevar-bulevar, kembali ke rumah hanya 

untuk makan. Bagi Parisian pengelana [flâneur] sering kali yaitu  

“seseorang yang terdorong oleh keputusasaan selain keinginan untuk 

bermalas-malasan.”3 Namun, anehnya deskripsi ini juga berlaku bagi 

Balzac sendiri, yang sering kali ditemukan dengan berjalan-jalan di 

bulevar pada jam-jam yang aneh dan tidak wajar. Jurnalis Gustave 

Claudin, yang menulis kolom yang populer dan sangat dihargai untuk 

Le Figaro, mengingat kembali pertemuan antara seorang penjudi 

terkenal bernama Mérry, yang berulang kali berpapasan dengan 

Balzac dalam dua malam berurutan pada pukul empat dan lima pagi:

Pada hari ketiga, ia [Méry] bertanya kepada Balzac mengapa ia selalu 

bertemu dengannya di waktu sepagi itu. Balzac memasukkan tangan ke 

saku dan mengeluarkan sebuah almanak yang menyatakan bahwa matahari 

baru akan terbit pada 4:55. “Saya sedang dikejar-kejar oleh gardes de 

commerce [penagih utang]”, jelas Balzac, “dan saya terpaksa bersembunyi 

di siang hari; tetapi pada waktu ini saya bebas. Saya bisa berjalan-jalan 


349

Bagian Enam: Ratu Dunia

dan tidak seorang pun dapat menangkap saya. Matahari belum terbit.” 

“saat  saya menderita ketidaknyamanan yang sama,” jawab Méry, “saya 

tidak bersembunyi, saya pergi ke Jerman.” Mereka berdua kemudian saling 

berjabat tangan dan melanjutkan perjalanan masing-masing.4

saat  tidak sedang dikejar-kejar oleh kreditor, Balzac menikmati 

berjalan-jalan di sepanjang bulevar di sore hari dan menjelang malam 

dengan menerobos kerumunan menggunakan tongkat mayoret 

dengan ujung bersepuh emas. Kesombongan publik seperti itu di 

bulevar dan tempat-tempat publik lainnya sudah lama menjadi ciri 

khas kelas pria Paris yang membenci politik, bisnis dan kehidupan 

keluarga atas nama seni, kebebasan dan penampilan narsisisme 

yang disadari sepenuhnya. Pada akhir abad ke-18, para pria pesolek 

muda yang elegan ini dikenal sebagai Muscadin atau Incroyable, dan 

membedakan dirinya sendiri dengan pakaian yang mirip wanita, gaya 

rambut yang berlebihan dan parfum musk (para Incroyable disebut 

demikian sebab  mereka menyatakan tidak bisa mengeluarkan 

huruf ‘r’, yang menghasilkan kalimat dalam bahasa Prancis seperti 

‘En véité, c’estincoyable!’). Para wanita yang menjadi ekuivalennya 

disebut Merveilleuse. Mereka mengenakan pakaian Yunani dan 

mendukung nostalgia neo-klasik. Para pemuda perlente ini semuanya 

reaksioner dan pada 1793 di Lyons serta pada 1796 di Paris mereka 

mengambil bagian dalam demonstrasi anti-Jacobin. Mereka sangat 

tidak menyukai kelas pekerja dan melawan tentara dengan kebulatan 

tekad yang mengejutkan para tentara gagah berani yang menganggap 

mereka homoseksual.

Pada masa Louis-Philippe, kehidupan di bulevar-bulevar menjadi 

jauh lebih demokratis. Bagi para boulevardier pesolek musuh mereka 

bukan lagi kelas pekerja tetapi para borjuis, dengan tingkah laku 

yang malu-malu dan gaya hidup hiprokit, yang harus dihadapi ke 

mana pun mereka pergi. Walaupun demikian, bagian-bagian Paris 

ini terutama masih menjadi wilayah kelas orang kaya. Para pesolek 

bergaya disebut lion dan berperilaku tidak acuh seperti aristokrat di 

terrasse dan di jalanan. Dalam Physiologie du lion (‘Psikologi Singa’, 

1840), yaitu buku yang menangkap kebudayaan Paris pada saat itu oleh 

seorang jurnalis biasa saja bernama Félix Deriège (dengan ilustrasi 

oleh Honoré Daumier), boulevardier atau lion modern “melangkah 



350

tenang menyusuri bulevar seolah-olah ia pemiliknya, mengembuskan 

kepulan asap dari rokok Havana murninya ke wajah para wanita. Ia 

memasang roda bergerigi di hak sepatu botnya; hanya melepaskan 

saat  pergi tidur atau menaiki kuda.” Salah satu lokasi favorit untuk 

tampil di publik yaitu  boulevard de Gand (nantinya diubah namanya 

menjadi boulevard des Italiens), yang menjadi rumah bagi sejumlah 

restoran terbaik di Paris, seperti Café Anglais, Maison d’Or dan—di 

sudut boulevard dan rue Taibout—Café de Paris. Di kafe ini penulis 

dan sosialita comte Horace de Viel-Castel terkenal pernah memesan 

makan malam seharga 500 franc, termasuk pyramide de truffes entières 

yang ditutup dengan sebotol Clos Vougeot tahun 1819.

Jarak antarkelas ditandai dengan jam aktivitas harian: Jika para 

pekerja mulai bekerja sejak pukul enam pagi, pesolek bulevar sudah 

memikirkan déjeuner—makan siang panjang sambil meminum 

alkohol—pada pukul sebelas. Selanjutnya makan malam antara 

pukul enam dan tujuh malam. Teater menjadwalkan pertunjukannya 

dari jam delapan malam dan seterusnya dan kafe tetap buka hingga 

tengah malam. Untuk orang yang berjalan dalam tidur dengan penuh 

semangat, tersedia tempat-tempat khusus, seperti Café des Variétés, 

lokasi favorit para jurnalis dan aktor, dan boulangeries-pâtisserie di 

boulevard Montmartre dan rue de Richelieu yang menyediakan ayam 

panggang dan berbagai macam assiette di pagi buta.

Pada masa Napoleon III, saat  kota tumbuh dan berkembang 

dalam cara yang menarik para saksi mata ke pertunjukan urban, 

berjalan tanpa tujuan di Paris tidak lagi terbatas pada para seniman 

atau kelas Bohemia dan telah menjadi aktivitas yang khas borjuis. Di 

Paris pada masa Haussmann, flâneur menjadi tokoh utama pejalan 

kaki pria (flâneur pada tahap ini didominasi oleh pria) yang berjalan 

di panggung urban. Apa yang menjadi ciri khas flâneur pada periode 

ini yaitu  fakta bahwa ia selalu terpisah dari kesenangan yang ia amati 

dan nikmati.

Penyair Charles Baudelaire, walaupun bernostalgia akan Paris 

Lama dan bersimpati kepada orang miskin, yaitu  flâneur terhebat. 

Baudelaire menjadi sangat terkenal pada 1857 saat  ia diajukan ke 

pengadilan sebab  koleksi puisinya Les Fleurs du mal (‘Bunga-Bunga 

Kejahatan’) dengan tuduhan menghujat Tuhan dan menggunakan 


351

Bagian Enam: Ratu Dunia

kata-kata kotor. Enam puisinya dilarang (dan tetap dilarang hingga 

1947) dan bukunya hanya bisa dijual tanpa memasukkan puisi tersebut. 

Namun, salah satu aspek paling luar biasa dari karya ini yaitu  visi 

Baudelaire tentang Paris Tua dan baru. Terutama sebab  ia memiliki, 

setidaknya, sikap ambigu terhadap ‘kota spektakuler’ baru. Pada satu 

sisi, bagi banyak pengagumnya, fakta paling menarik tentang puisinya 

yaitu —sambil memetakan pengasingan dan keburukan suram 

kehidupan kota—mereka menetapkan Baudelaire sendiri sebagai 

penyair utama modernitas Paris.

Pada sisi lain, Baudelaire juga mengungkapkan dirinya sendiri 

setengah jatuh cinta dengan kota modern yang menyiksanya  itu. Ia 

juga berkelana tanpa akhir melalui sudut-sudutnya yang setengah 

terlupakan, masa lalu dan masa kininya. Dalam sebuah puisi yang 

didedikasikan kepada Victor Hugo, yang sangat bermusuhan dengan 

Louis-Napoleon, dan yang dipandang oleh Baudelaire sebagai 

satu-satunya pesaing sejati, ia mendeskripsikan Paris sebagai “kota 

kerumunan, kota penuh mimpi / Tempat para hantu di siang hari 

menarik lengan para pejalan kaki!”5 Hugo sedang mengasingkan 

diri di Guernsey dari rezim yang dianggapnya korup sekaligus jahat; 

Baudelaire memang musuh Louis-Napoleon tetapi melihat adanya 

kemungkinan di kota itu sendiri bagi perlawanan dan pemberontakan 

dengan cara membangunkan kembali hantu-hantu tua di jalan-jalan 

sebagai perlawanan aktif terhadap modernitas kota nan rapi yang 

sedang dibangun di sekelilingnya.

Ambiguitas utama dalam tulisan Baudelaire tentang Paris yaitu  

bahwa si penyair yang kecanduan ganja ini (digosipkan bahwa pada 

puncak keterkenalannya ia memakan ganja atau, jika tersedia, opium 

setiap hari sebagai sarapan) tetap menyambut dengan gembira 

bulevar, toko serba ada, galeri seni, aula musik dan brasserie yang ada 

di kota sebagai inspirasi, menyebur ke dalamnya seperti menyebur ke 

dalam “penampungan listrik yang sangat besar.”6 Paris bagi Baudelaire 

yaitu  kota fragmen, drama intim, mitos lama, penggantian, dan 

pengasingan—dalam konteks ini, tidak seperti panorama Hugo yang 

mengagumkan, Paris dikenali sebagai kota yang hidup oleh pembaca 

kontemporer.



352

Pemandangan dari Café Momus

Di masa tuanya, saat  penampilannya sudah kendur dan sepertinya 

lucu jika ia berjalan-jalan di kota dengan mengenakan pakaian yang 

bergaya, Baudelaire menjadi pengunjung tetap sebuah kedai minum 

yang bernama Au Petit Rocher di sudut rue de Navarin dan rue de 

Bréda, tidak jauh dari lokasi bangunan Opéra Garnier. Tempat ini 

juga dikenal secara akrab sebagai Chez Dinocheau mengikuti nama 

pemilik aslinya, Madame Dinocheau, yang menyerahkan bisnis ini 

kepada putranya Jean-Édouard. Makan malam sederhana di sini hanya 

menghabiskan biaya 2 franc, termasuk burgundy yang tak terbatas 

yang, menurut salah satu pelanggan, “sangat berbau tanah.”7 Restoran 

ini populer di kalangan penulis, seniman, dan arsitek. Suasana 

Bohemia di dalamnya—Jean-Édouard sering kali memainkan biola 

untuk menghibur para klien dan menerima bayaran dalam bentuk 

gambar atau puisi—menarik para pengunjung bahkan dari Tepi Kiri 

yang jauh.

Pada saat itu, Baudelaire menjadi legenda di Paris sebab  sindiran 

tanpa rasa takut yang dilakukannya terhadap kaum borjuis. Sikap 

provokatifnya meluas hingga saat memesan makan malam. Ia kadang 

kala mengganggu para pelanggan bahkan di tempat murahan seperti 

Chez Dinocheau. Salah satunya yaitu  Maxime Rude. Dalam karyanya 

berjudul Condifences d’un journaliste (‘Rahasia Seorang Jurnalis’) ia 

mengingat kembali Baudelaire dengan “rambut keriting memutih, 

halus dan panjang yang oleh Potrel, Parisian yang suka bergurau itu, 

dalam masa-masa terliarnya dipanggil dengan sebutan rambut soufflé 

(kue dadar telur).”8 Ia juga mencatat bahwa penyair yang jompo ini 

tidak kehilangan kemampuannya untuk mengguncang dengan bahasa, 

mengingat kembali bahwa

Baudelaire yaitu  salah satu dari orang berselera tinggi yang menghabiskan 

dua louis (koin emas lama Prancis sebelum mata uang franc—penerj.) 

untuk sebuah potongan daging. Ia kadang kala pergi ke sebuah restoran di 

Faubourg Saint-Germain, dan pernah memasaknya menggunakan garpu 

di kirsch, di atas punch menyala … Di suatu malam, di sebuah restoran 

tempat ia memang dikenal, Baudelaire memesan sepotong steik fillet matang. 

saat  steik dihidangkan, pemiliknya, seorang pria berkeluarga yang baik, 


353

Bagian Enam: Ratu Dunia

datang ke atas secara pribadi untuk melihat apakah konsumennya puas. 

“Tepat seperti fillet yang kuinginkan,” jawab Baudelaire. “Fillet ini selembut 

otak seorang anak kecil.”9

Salah satu instruksi terkenal Baudelaire bagi para penyair, sebagai 

metode dan teknik, yaitu  “mabuklah dan tetap mabuk selamanya!”10 

Di kalangan bohémien, minum alkohol secara berlebihan dan tanpa 

memedulikan konsekuensinya memang dianggap sebagai nilai 

terbaik. Hal ini dirayakan oleh peminum dan filsuf Fernand Desnoyers 

dalam lagu ‘Les rôdeurs de nuit’ (‘Pencari mangsa di malam hari’), 

yang ada  dalam koleksinya Chansons parisiennes (‘Lagu-Lagu 

Parisian’), tetapi paling dikenal oleh mereka yang mendengarnya 

bernyanyi selama penampilan berkalanya di Chez Dinocheau. Lagu 

Desnoyers yaitu  kesaksian lucu terhadap kualitas bermanfaat dari 

sore hari di dalam ruang bawah tanah ini hanya beberapa kaki dari 

bulevar:

Quand le bourgeois dort,

Il fait soif encore,

Passons la nuit à boire!

La rue est toute noire;

Mais les vitraux des boulevards

Sont en feu, comme des regards.

Atmosphere enflammée,

Filles dans la fumée,

Eau-de-vie et bruit,

Voilà notre nuit!

Boire est le vrai bien!

Après, il n’est rien!

Rien, sinon boire encore,

En attendant l’aurore!

[saat  borjuis tidur

Kami masih haus;

Ayo kita minum sepanjang malam!

Cukup gelap di luar;

Tetapi jendela-jendela di jalanan



354

Menyala seperti pandangan orang,

Atmosfer terbakar,

Gadis-gadis dalam asap,

Brandy dan suara,

Inilah malam kita!

Minum yaitu  kesenangan sebenarnya!

Tidak ada satu pun sesudahnya!

Tidak ada satu pun kecuali minum lagi,

Sambil kita menunggu datangnya fajar!]11

Tempat bersantai favorit lain para bohémien dari karnaval 

spektakuler Kekaisaran Kedua yaitu  Café Momus di rue des Prêtres-

Saint-Germain-l’Auxerrois, antara rue de l’Arbre-Sec dan rue du 

Louvre. Ini yaitu  enklave pemikiran dan kehidupan bebas di jantung 

kota komersial, tempat novelis Henry Murger dan rekannya Alexandre 

Schanne bertemu di ruang merokok, mengusir para konsumen 

borjuis dengan aliran makian beracun dan sarkastik yang tiada 

habisnya. Kehidupan di Café Momus nantinya dijadikan legenda oleh 

Murger dalam bukunya Scènes de la vie de Bohème (‘Adegan-Adegan 

Kehidupan Bohème’) pada 1848. Buku ini pertama diterbitkan dalam 

bentuk serial dalam jurnal Le Corsaire (Murger dibayar 15 franc per 

episode) sebelum menemukan penghargaan lebih luas sebagai drama 

dan sumber opera Puccini berjudul La Bohème. Bohemian karangan 

Murger yaitu  dunia indah yang cerdas, kehidupan bebas dan drama 

tingkat tinggi. Setidaknya dalam bentuk kesusastraan, karya ini paling 

terkenal dalam caranya membuat dunia buatan, yang didasarkan pada 

kenyataan, memberikan sekilas gaya hidup alternatif menarik kepada 

Parisian.

Kesuksesan karya ini terutama sebab  fakta bahwa dunia yang 

dideskripsikan oleh Murger memiliki daya tarik sangat besar bahkan 

bagi Parisian yang tidak berani memasuki pintu Café Momus 

sebab  takut dicemooh dan dipermalukan. Intinya yaitu  kafe dan 

para penghuninya berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap 

etos kepuasan diri sendiri borjuis yang berlaku yang, saat  proyek 

Haussmann bergerak maju, sepertinya menemukan ekspresi konkret 

dalam merestrukturisasi Paris. Kehidupan di Café Momus berdiri 


355

Bagian Enam: Ratu Dunia

sebagai nada pengiring radikal bagi konvensi dan standar rezim yang 

menjanjikan kembali ke kejayaan masa Napoleon pertama tetapi pada 

kenyataannya terkubur di bawah ambisi yang absurd dan biasa saja.

***

Lebih penting lagi, Louis-Napoleon ingin berpikir bahwa dirinya 

yaitu  seorang ‘tiran yang baik’ tanpa pernah menyadari bahwa, 

di bawah kondisi ekonomi dan sosial masa itu, mustahil untuk 

mendamaikan kepentingan borjuis yang nyaman dengan kepentingan 

kelas pekerja yang tidak puas yang, saat  ekonomi berkembang 

pesat, hanya semakin terpisah dari arus utama politik. Paris di 

bawah Haussmann, dibentuk oleh tuntutan kembar borjuis yaitu 

kenyamanan dan kemanfaatan kapitalis, menjadi perlambang bagi 

pembagian antara kaum borjuis dengan pekerja dalam apa yang 

disebut ‘kekaisaran liberal’.

Louis-Napoleon menjanjikan reformasi, dan mendapatkan gelar 

‘orang yang berniat baik’ sebab  berbagai proyeknya ditujukan untuk 

meningkatkan kehidupan kelas-kelas lebih miskin yang banyak 

jumlahnya. Ia memperkenalkan jam kerja yang lebih pendek, layanan 

kesehatan, menghancurkan penjara tua dan berbau (setidaknya 

hingga 1830, para terhukum diarak melalui kota Paris sambil dirantai), 

membangun rumah peristirahatan dan rumah sakit. Namun, seperti 

halnya semua orang, ia juga menyadari kesulitan yang ia hadapi. Ia 

memberikan komentar, sambil mengangkat bahu dan merendahkan 

diri sendiri, kepada seorang politisi Inggris bernama Richard Cobden 

bahwa “di Paris kami membuat Revolusi bukan Reformasi.”12 Bagi kelas 

pekerja sendiri, mereka memiliki pandangan politik yang dibentuk 

dari rangkaian revolusi yang baru saja terjadi, sejak 1789 hingga 1830 

dan 1848, mereka telah memberikan darah mereka tetapi hanya sedikit 

menerima atau tidak menerima apa pun sebagai balasannya.



356

33 

Petir Merah

Kelemahan utama Louis-Napoleon, dari sudut pandang 

sejarah, yaitu  ketidakmampuannya untuk memahami atau me-

ngendalikan urusan luar negeri. Sebaliknya, kejahatan terbesarnya di 

mata mayoritas Parisian yang hidup pada masa rezimnya yaitu  ia 

telah mengabaikan realitas penderitaan dan kemiskinan yang berada 

di bawah permukaan kekaisarannya yang spektakuler tetapi hampa. 

Kedua kelemahan ini sangat terlihat—bagi mereka yang cukup awas 

untuk melihatnya—selama ‘pameran dunia’ kedua, yang diorganisasi 

oleh Louis-Philippe untuk menunjukkan kekuatan, kemewahan, dan 

pencapaian rezimnya. Pameran pertama dari rangkaian pameran ini 

diadakan pada 1855 dan dikunjungi oleh Ratu Victoria (yang, dengan 

mengejutkan para pengiringnya, secara tidak terduga bermain mata 

dengan gaya seperti gadis remaja dengan kaisar Prancis yang selalu 

gagah berani).

Kunjungan ini dianggap sebagai momen besar, sebab  niat awal 

pameran ini yaitu  untuk menunjukkan bahwa kebudayaan Prancis 

dapat dengan mudah menyaingi atau melebihi apa pun yang bisa 

dibayangkan oleh orang Inggris yang begitu giat tetapi menjemukan. 

Pameran London pada 1851 menjadi tidak ada artinya, setidaknya 

di mata Louis-Napoleon, jika dibandingkan kota tenda dan paviliun 

besar yang bisa berpindah yang dibangun di batas-batas barat Tepi 

Kiri. Pameran kedua, yang dimaksudkan untuk melebihi kemegahan 

pameran pertama, diselenggarakan pada April 1867 di Champ de Mars 

dan dikunjungi oleh ribuan orang, dengan pengunjung yang datang 

dari seluruh dunia. Para proletar yang bingung dari Belleville dan 

Ménilmontant juga datang, memandang dengan penuh kekaguman 

dan sering kali kemuakan pada keajaiban-keajaiban mewah dari 



357

Bagian Enam: Ratu Dunia

dunia yang sangat jauh terpisah dari kehidupan mereka sendiri.

Paris pada masa Kekaisaran Kedua memang merupakan kota yang 

sangat terbagi. Bagi sebagian kecil masyarakat Paris, para aristokrat yang 

kembali ke Paris bersama Louis-Napoleon, tahun-tahun kekuasaan 

kekaisaran hampir menyerupai sebuah pesta mewah dan boros yang 

sangat panjang. Salah satu reaksi pertama haut monde terhadap 

kesadaran berhemat dan tidak berlebih-lebihan dari kaum borjuis 

yang menjadi ciri khas Paris pada masa Louis-Philippe yaitu  secara 

sengaja meniru tingkah laku masyarakat pra-Revolusi di masa Louis 

XVI. Hal ini berbentuk tontonan publik, yang lebih menjadi provokasi 

yang disengaja daripada nostalgia yang dipentaskan. Para aristokrat 

pemilik uang tidak memedulikan apa pun saat  mengorganisasi 

ekspedisi perburuan yang terperinci di Hutan Fontainebleau dengan 

menggunakan hiasan dan pakaian yang bagus dari akhir abad ke-

18. Kota sendiri menjadi ibukota haute couture (istilah yang berasal 

dari periode ini) saat  para pembuat pakaian, pembuat kostum dan 

perancang pakaian saling bersaing untuk mendapatkan perhatian 

keluarga kerajaan dan para penirunya. Gaya wanita pada masa itu 

yaitu  rambut keriting jatuh, belahan dada rendah, pinggang ramping 

dan bermeter-meter bahan mahal. Para pria menyukai jas warna gelap 

dengan ornamen yang tidak mencolok tetapi mahal—peniti dasi, 

kancing lengan, dasi sutra.

Bahkan jalan-jalan kota mulai didandani, setidaknya di beaux 

quartier di barat. Pada dekade 1860-an, Paris menarik pengunjung 

dari seluruh dunia, yang datang untuk mencicipi kesenangannya 

dan mengagumi kota baru ciptaan Haussmann. Colonnes Morris 

pertama—kolom-kolom hijau melingkar yang mengiklankan per-

tunjukan teater—muncul pada 1868. Ini yaitu  hasil pemikiran 

seorang pencetak di rue Amelot bernama Gabriel Morris yang melihat 

adanya celah dalam pasar untuk bisnis posternya. Sejumlah air terjun 

hijau yang elegan dan berliku-liku, yang disebut fontaines Wallace, 

mulai muncul tidak lama kemudian. Air terjun ini diberi nama sesuai 

nama seorang filantropis Inggris bernama Richard Wallace yang 

mendonasikan lima puluh air terjun sesudah  menyaksikan penduduk 

Paris meninggal kehausan sesudah  terjadinya pengepungan pada 1870. 

Pada 1900, ada  lebih dari seratus air terjun ini, yang menjadi 



358

bagian integral dari furnitur jalanan Paris seperti nama jalan berwarna 

biru, collones Morris, kios surat kabar berwarna hijau berbentuk 

segitiga, buvette (kios penjual makanan) atau vespasienne—tempat 

buang air kecil terbuka yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya 

para pencuri dan homoseksual. Sepertinya pada saat itu seluruh kota 

sedang diubah untuk kesenangan dan konsumsi publik.

Semasa Kekaisaran Kedua, pesta dansa bertopeng dengan cepat 

menjadi bentuk pertemuan paling bergaya di lingkaran atas (Louis-

Napoleon sendiri biasanya mengenakan kostum bangsawan Venesia 

abad ke-17). Dalam pesta dansa ini, udaranya dipenuhi oleh aroma 

seks. Dalam sebuah pesta dansa terkenal yang diadakan di Ministère 

de la Marine pada 1866, para tamu mengagumi tableaux vivants 

dari lima benua yang terutama terdiri atas ‘orang-orang pribumi’ 

telanjang atau berpakaian minim dalam pose-pose merangsang. 

Di ruang-ruang belakang dari aula pesta dansa, suasananya sudah 

berubah menjadi pesta seks. Pesta-pesta dansa seperti itu menjadi 

ciri khas masa tersebut dan hanya membuat terkejut para tamu 

asing, yang walau bagaimanapun juga memperhatikan payudara para 

wanita yang naik turun dan stamina para pria dalam kesempatan-

kesempatan tersebut.

Energi seksual kelas atas memang menular. Catatan polisi pada 

1866 mencatat bahwa ada  5.000 pelacur yang terdaftar di kota 

Paris. Dikatakan ada  lebih dari 30.000 pelacur paruh waktu 

lainnya, yang disebut dengan berbagai nama, termasuk comédiennes, 

lorettes, grisettes, dan concodettes—semuanya istilah yang lebih sopan 

bagi para anggota ‘profesi tertua’. Mereka biasanya yaitu  para gadis 

tangguh dari kelas pekerja yang menawarkan seks dengan imbalan 

kesempatan untuk mendapatkan makan malam, mengunjungi teater 

atau mencicipi kesenangan-kesenangan baru lainnya di kota.

Selera terhadap makanan yang lebih kaya dan lebih mewah diiringi 

oleh kerakusan seksual Parisian ini. Selama Kekaisaran Kedua inilah 

restoran-restoran terbaik Paris mendapatkan reputasi atas kebiasaan 

berlebih-lebihan yang sangat indah. Suara latar bagi segala hedonisme 

urban ini yaitu  suara ingar-bingar Offenbach. Cancan—tarian 

seksual eksplisit yang awalnya dijelaskan sebagai impor dari Aljazair 

yang eksotis dan liar—dipentaskan setiap malam di teater-teater dan 


359

Bagian Enam: Ratu Dunia

kabaret-kabaret di seantero kota dan mewakili, dalam banyak hal, 

perwujudan sempurna Kekaisaran Kedua.

Pertanda

Sisi pembalasan dari segala berkelebihan ini yaitu  penyakit sifilis dan 

kelaparan. Dua setan kembar yaitu kesopanan publik dan kehipokritan 

politik telah menuntut penyensoran terhadap Madame Bovary karya 

Flaubert yang diterbitkan pada 1857 dan memaksa para jurnalis untuk 

mengutuk Manet sebagai babi yang cabul dan korup sebab  karyanya 

Olympia dan Déjeuner sur l’herbe. Sementara itu, para pria dan wanita 

dari semua kasta sosial dilahap oleh penyakit sifilis. Tubuh-tubuh 

mereka yang bernanah dan lemah yaitu  pengingat yang cukup umum 

di kabaret-kabaret paling hidup. Korban-korbannya yang terkemuka 

termasuk Maupassant, Jules Goncourt, Baudelaire, dan Manet ‘yang 

tak bermoral’. Menyeberangi kota, di ujung utara dan timurnya, di 

Belleville, Ménilmontant, Saint-Antoine, dan daerah-daerah imigrasi 

baru yang dibangun di sekitar Gare du Nord dan Gare Saint-Lazarre, 

pembunuh terbesar bukanlah penyakit, penyakit kelamin atau lainnya, 

tetapi sekadar kelaparan.

Dengan latar belakang inilah pameran pada 1867 ditutup dengan 

parade militer—lebih dari 30.000 prajurit berbaris di Longchamp—

dan percobaan pembunuhan. Percobaan ini tidak dilakukan ter-

hadap Louis-Napoleon tetapi terhadap Tsar Alexander II, yang 

sedang menghadirinya. Sang tsar, yang bukannya tidak menyadari 

ketidakpuasan radikal yang berkembang di Rusia tetapi tidak meng-

harapkan akan mengikutinya ke Paris, sangat terguncang sebab nya. 

Sebaliknya, Louis-Napoleon menghadapi insiden ini dengan datar 

saja. Ia sendiri pernah menjadi korban percobaan pembunuhan serius 

pada 1858—sebuah bom dilemparkan oleh seorang patriot Italia 

bernama Felice Orsini yang memandang Louis-Napoleon sebagai 

penghalang bagi unifikasi Italia—dan menolak untuk membaca makna 

sebenarnya terhadap apa yang ia lihat hanyalah pekerjaan seorang 

fanatik. Namun, sang tsar memandangnya sebagai tanda kecerobohan 

mendasar Louis-Napoleon. Sebagai hasilnya, ia menjadi tidak yakin 



360

atas daya tahan pemerintahan Louis-Napoleon dan menolak untuk 

menandatangani perjanjian dengan Prancis.1

Hal ini sangat memukul keyakinan rezim yang hingga saat itu 

telah membanggakan stabilitas dan popularitasnya. Namun pada 

kenyataannya, ketidakpopuleran Louis-Napoleon sudah bertambah 

sangat cepat selama dekade 1860-an. Salah satu katalisnya yaitu  

operasi militer gagal total yang ia lancarkan ke Meksiko antara 

1864 hingga 1867. Petualangan kekaisaran ini sepenuhnya bersifat 

oportunis. Pada awalnya, Louis-Napoleon berupaya menagih utang 

dari pemerintah Meksiko tetapi sebaliknya malah mendirikan monarki 

kekaisaran, yang berakhir dalam bencana dan rasa malu bagi Prancis. 

Mayoritas Parisian tidak tertarik pada urusan luar negeri, tetapi 

mereka memang memperhatikan saat  kegagalan dalam kampanye 

seperti ini mengganggu kantong mereka.

Namun, peristiwa yang lebih buruk masih akan datang. Pada 1870, 

Louis-Napoleon terprovokasi dan termakan tipu daya negarawan besar 

Bismarck sehingga ia menyatakan perang terhadap Jerman. Sumber 

konflik—perselisihan yang berkaitan dengan suksesi takhta Spanyol—

yaitu  masalah yang sama sekali tidak penting bagi Parisian. Namun, 

konflik ini memicu perang sangat menghancurkan yang tidak hanya 

menghancurkan kekaisaran tetapi sekali lagi juga membawa teror dan 

kehancuran ke jalan-jalan ibukota.

Pada 19 Juli, saat  pemerintah Prancis menyatakan perang, berita 

ini disambut dengan teriakan gembira “À Berlin!” dari bar-bar, kafe-

kafe dan di bulevar-bulevar. Tetapi tentara Prancis, seperti telah 

diperhatikan secara diam-diam oleh Bismarck dalam kunjungannya 

ke Paris pada 1867, sama sekali tidak siap menghadapi konflik serius 

apa pun. Kaisar sendiri tak hanya tidak memiliki keahlian taktis 

Napoleon pertama tetapi juga bahkan sangat menderita akibat rasa 

sakit di batu empedu yang membuatnya hampir tidak bisa duduk di 

atas kuda. Kondisi ini terbukti menjadi metafora kejam bagi kebiasaan 

berlebih-lebihan dan kesombongan yang akan menghancurkan 

kekaisarannya. Dalam waktu enam minggu sesudah  pertukaran kata-

kata menghina yang kemudian melancarkan perang, tentara Prancis 

telah dikalahkan oleh mesin perang Prusia di Sedan. Louis-Napoleon 

sendiri tertangkap. Tidak lama kemudian, pasukan Jerman akan 


361

Bagian Enam: Ratu Dunia

mengepung Paris, mengarahkan meriam-meriam mereka dari dataran 

tinggi di sekitar kota kepada para penduduknya.

Hampir mustahil dibayangkan tiga tahun sebelumnya, selama 

pameran tahun 1867, bahwa lokasi pameran akan dipenuhi oleh 

mayat para prajurit Prancis yang babak belur dan bahwa penduduk 

Paris akan terpaksa memakan tikus untuk bertahan hidup. Louis-

Napoleon yaitu  orang yang bertanggung jawab membuat hal ini 

bisa terjadi melalui kurangnya kemampuan untuk beradu strategi 

ditambah penilaian terhadap kekuatan militer Prancis yang terlalu 

tinggi. Dalam waktu hanya beberapa tahun sesudah  menyatakan Paris 

sebagai ‘ratu dunia’ ia telah hampir saja menghancurleburkan ibukota. 

Dalam waktu sembilan bulan yang singkat, dari September 1870 

hingga Mei 1871, di puncak perkembangan dan prestisenya dalam 

abad kemajuan yang besar, kota dan penduduknya akan mengalami 

penderitaan yang belum pernah dialami oleh orang lain dalam ingatan 

orang yang hidup pada saat itu.

Pengepungan

Dengan bodohnya, Louis-Napoleon jatuh ke dalam perangkap 

Bismarck dan sedikit sekali Parisian yang bersedia memaafkannya atas 

kesalahan ini. Namun, bahkan para pengkritiknya yang paling keras 

menjadi sangat terkejut oleh tuntutan yang dengan sengaja dibuat 

oleh kanselir Prusia kepada pemerintah Paris dan mustahil dipenuhi. 

Tanggapan Bismarck yaitu  mengepung kota dan melihat apa yang 

akan terjadi. Pada 4 September, Kamar Deputi menurunkan kaisar 

(yang melarikan diri ke pengasingan di London) dan mengumumkan 

pemerintahan sementara. Pada saat yang sama, massa yang tidak puas 

menduduki istana Tuileries dan menuntut dibentuknya republik. 

Tuntutan ini dengan cepat dipenuhi namun sama sekali tidak memberi 

solusi nyata atas krisis. Pada 25 September, kota benar-benar berada 

dalam cengkeraman ketat tentara Prusia.

Kepercayaan diri Parisian masih tinggi selama minggu-minggu 

pertama pengepungan. Kota dipenuhi oleh 350.000 prajurit Garda 

Nasional dan dinding-dindingnya—yang telah diperkuat pada 

1840 selama masa kehati-hatian yang sama sekali bukan ciri khas 



362

Kekaisaran Kedua—padat, tebal dan mudah dipertahankan. Namun, 

orang Prusia tidak berminat menyerbu kota. Mereka menonton 

dengan tanpa ekspresi balon-balon udara yang meninggalkan Paris 

untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Salah satu balon udara 

ini mengangkut Léon Gambetta keluar dari kota dalam upaya yang 

gagal total untuk membentuk tentara wajib militer putra daerah 

yang akan membantu Paris. Upaya Gambetta yang nekat terlihat 

sembrono tetapi sangat berani, jika tidak dikatakan gila-gilaan. 

Balon udara yaitu  kendaraan yang tidak stabil dan tidak dapat 

diandalkan hampir sepanjang waktu dan menjadi sasaran menarik 

bagi penembak jitu Prusia yang kebosanan. Kombinasi keberanian 

luar biasa dan keberanian yang sia-sia dalam kegiatan seperti ini 

sepertinya merangkum suasana hati Kekaisaran Kedua pada saat 

kemundurannya.2

Segera terlihat jelas bahwa taktik orang Prusia yaitu  membuat 

seluruh kota kelaparan. Pada awalnya, taktik ini tidak terlalu 

menyusahkan Parisian dari kalangan paling kaya. Bagaimanapun juga, 

banyak orang dari kalangan borjuis Paris sudah menimbun makanan 

sejak sebelum kekalahan di Sedan. Restoran-restoran kelas atas terus 

menawarkan makanan terbaik sepanjang pengepungan. Satu-satunya 

yang dikeluhkan para konsumen terkaya yaitu  kurangnya makanan 

laut yang masih segar dan buruknya kualitas sayuran. Namun, mereka 

menikmati hal baru yang menarik di meja-meja terbaik seperti steik 

gajah, ginjal unta, atau berang-berang rebus yang baru saja dipotong 

dari kebun binatang. Penggemar makanan dan minuman enak 

mendiskusikan keunggulan relatif berbagai spesies tikus. Daging tikus 

tergemuk dijual oleh para tukang daging sebagai persilangan antara 

‘babi dan ayam hutan’. Selalu tersedia berbagai macam anggur terbaik, 

sampanye dan minuman keras lainnya untuk menemani makanan 

enak ini. Suasana hati di dalam kota berada di antara ketegangan 

tinggi—diungkapkan dalam ‘demam mata-mata’ yang membayangkan 

adanya agen Jerman di mana-mana—dan kepercayaan diri yang 

hampir maniak. Seorang saksi mata kontemporer bernama M. Dabot, 

yang sangat mengagumi negara dan bangsa Inggris, mencatat suasana 

umum di sebuah toko pembuat sepatu bot di kota pada akhir musim 

gugur:


363

Bagian Enam: Ratu Dunia

“Saya ingin membaca surat kabar Inggrismu sekarang,” kata seseorang. 

“Times-mu mengatakan bahwa kami harus menyerahkan Alsace dan 

Lorraine, tetapi editornya sekarang harus mengakui bahwa Paris tidak 

terkalahkan.” Saya mengatakan kepadanya bahwa saya yakin ia telah 

melakukannya secara berkala setiap pagi. “Tidak ada perdamaian,” teriak 

si penjahit kecil, yang sedang berjingkrak-jingkrak seperti sedang menaiki 

kuda imajiner, membunuh orang Prusia imajiner. “Kami telah membuat 

perjanjian dengan kematian; dunia tahu konsekuensi menyerang kami.” 

Pertanyaan tentang makanan yang menjadi pikiran semua orang kemudian 

muncul, dan seseorang berkomentar bahwa daging sapi akan lebih cepat 

habis daripada daging domba. “Kita harus belajar,” kata seorang penjual 

berwajah gembira, “untuk menaklukkan prasangka perut. Bahkan mereka 

yang tidak menyukai daging domba harus membuat pengorbanan selera 

mereka bagi negaranya.” Saya dengan berhati-hati mengatakan bahwa 

mungkin dalam waktu beberapa minggu, perut yang memiliki prasangka 

terhadap tikus juga harus mengatasinya. Pada saat itu, suara-suara yang 

sedang bergosip berhenti saat  pembuat sepatu bot, sesudah  secara misterius 

menutup pintu, berbisik: “Sebuah rahasia telah diteruskan kepada saya 

pagi ini oleh seorang teman dekat Jenderal Trochu. Ada sebuah terowongan 

yang menghubungkan Paris dengan daerah-daerah luar dan melaluinya 

kawanan domba dan kawanan sapi sedang memasuki kota.” Berita ini 

segera membuat kami bergembira.3

Jauh dari bagian kota yang kaya dan terrasse di bulevar-bulevar, 

bagaimanapun juga orang miskin Paris hampir selalu setengah 

kelaparan. saat  pengepungan semakin ketat, orang-orang paling 

putus asa di kalangan mereka mulai menggali mayat di berbagai 

permakaman di sekitar kota, mencincang tulang untuk membuat 

semacam bubur yang hanya menyediakan sedikit nutrisi tetapi 

setidaknya membuat mereka tetap hangat. Kota mulai benar-benar 

merasakan penderitaan pengepungan pada pertengahan Oktober, 

menandai datangnya musim dingin yang lebih keras daripada biasanya. 

Bahan bakar tidak banyak tersedia. Pohon-pohon di Champs-Élysées 

dan bulevar-bulevar besar lainnya mulai ditebangi untuk kayu bakar. 

Kurangnya bahan makanan tidak lagi menjadi bahan lelucon dan 

menjadi kesulitan nyata bagi semua orang kecuali Parisian terkaya. 

Pada 10 November, ramalan Dabot menjadi kenyataan: Ia mencatat 

bahwa tikus dijual di Les Halles dengan harga 25 centime seekor. 



364

Seorang Amerika bernama Wickham Hoffman yang ditugaskan di 

kedutaan besar Amerika juga mencatat bahwa “anjing dijual seharga 

80 sen ke atas, menurut ukuran dan lemaknya. Terjadi peningkatan 

rasa terkait dengan tikus. Tikus-tikus itu dikenal sebagai tikus gudang 

anggur dan tikus selokan. Tentu saja tikus gudang anggur yaitu  

makanan kecil.”4

Lebih buruk lagi, Bismarck dengan cepat kehilangan kesabarannya 

untuk merebut ibukota yang bangga dan arogan ini. Pada 5 Januari 1871, 

saat  udara dingin musim dingin semakin terasa, ia memerintahkan 

artilerinya untuk mulai meneror Parisian dengan bombardemen tanpa 

henti. Kota diserang selama tiga minggu. Jalan-jalan dan bangunan-

bangunan hancur dan setidaknya empat ratus Parisian terbunuh oleh 

meriam Prusia dari model yang sama dengan yang telah ditampilkan 

dengan bangga di jantung kota pada pameran tahun 1867.

Walaupun menghadapi penderitaan akibat pengepungan, Parisian 

biasa bahkan semakin menantang menghadapi serangan Bismarck. 

Sebaliknya, kelas-kelas yang lebih kaya semakin gelisah menghadapi 

prospek hilangnya segala yang mereka miliki dalam peperangan 

panjang dan perdamaian Prusia yang penuh dendam. Pada awal 

Februari 1871, Majelis Nasional kembali dengan mayoritas borjuis 

dan konservatif yang sangat besar, yang segera merundingkan 

perdamaian. Pada tanggal 21 bulan yang sama, pemerintahan ini 

menandatangani Perjanjian Frankfurt dengan pemerintah kekaisaran 

Jerman di Galerie des Glaces di Istana Versailles. Ketentuan dalam 

perjanjian yaitu  penghinaan luar biasa bagi Prancis. Isinya termasuk 

menyerahkan Alsace dan Lorraine kepada Jerman dan membayarkan 

uang rampasan perang yang sangat besar. Tiga puluh ribu prajurit 

Jerman berbaris menyusuri Champs-Élysées dalam tindakan terakhir 

orang Prusia yang sombong dengan perasaan muak dan menghina. 

Tindakan ini akan menjadi ramalan menakutkan bagi penghinaan 

lanjutan di abad selanjutnya.

Namun, kelas-kelas penguasa menarik napas lega. Mereka mulai 

bermimpi untuk memulihkan sebagian kemakmuran dan kegembiraan 

pra-perang kepada kota. Namun, pembagian yang dibuka oleh perang 

dan pengepungan masih jauh dari tersembuhkan. Terutama, kelas-

kelas pekerja mencurigai fakta bahwa republik konservatif baru ini 


365

Bagian Enam: Ratu Dunia

terus bermarkas besar di Versailles, jauh dari kota dan ketegangannya. 

Di jalanan Paris, kebencian terhadap pemerintah diperparah oleh 

kebijakan fiskalnya yang keras, termasuk menaikkan pajak dan bunga 

utang serta menghilangkan uang saku harian bagi Garda Nasional. 

Setiap Parisian yang telah gemetar sepanjang musim dingin, berhasil 

selamat dengan memakan binatang hama dan roti kering serta sup 

kental berisi tulang manusia, sekarang secara tiba-tiba dan secara 

pahit sekali lagi merasa dikhianati oleh mereka yang mendapatkan 

keuntungan dari kota tetapi tidak memiliki taruhan nyata dalam 

peruntungannya.

Lagu-Lagu Perang Parisian

Ledakan kekerasan yang telah melingkupi kota dalam waktu sepuluh 

minggu pada musim semi 1871 dipicu oleh argumentasi yang ke-

lihatannya tidak signifikan di Montmartre. Pada 18 Maret, sekelompok 

pasukan pemerintah berbaris memasuki lapangan utama—yang 

pada hari itu masih bersuasana semi-pedesaan, untuk menyita 

sekitar 200 senjata api berat. Senjata-senjata api ini telah dibeli untuk 

mempertahankan Paris melalui sumbangan publik. Setiap Parisian 

yang patriotis tidak bisa menerima untuk melihatnya dicuri secara 

harfiah oleh para pelayan pemerintahan Versailles borjuis yang 

dibenci. Kerumunan orang dengan cepat terbentuk di sekitar pasukan. 

Sebagian besar para prajurit ini pun bersimpati kepada Parisian biasa. 

Batu-batu dilemparkan dan kerusuhan dimulai. Massa semakin 

banyak jumlahnya dalam setiap jam dan bergerak sesuai kebutuhan 

menembus kota. Dua jenderal ditembak mati di rue des Rosiers dan 

mayat mereka kemudian digantung—yang disambut dengan senang 

oleh publik. Senjata-senjata api tersebut direbut kembali dan para 

perusuh bersorak-sorai. Adolphe Thiers, yang telah menjadi kepala 

pemerintahan baru, segera memerintahkan semua prajurit agar keluar 

dari Paris. Dengan cepat mereka diikuti oleh para pejabat pemerintah 

dan kelas-kelas kaya. Secara mengejutkan dan menakutkan, kota 

kembali berada di tangan penduduknya.

Pemberontakan baru ini sama sekali tidak mengejutkan. Sepanjang 



366

pengepungan Paris, kota ini secara efektif tidak memiliki pemerintahan 

dan mendidih oleh ketegangan revolusi. Pemberontakan rakyat 

pertama terhadap pemerintah terjadi pada 31 Oktober 1870 sebagai 

tanggapan atas desas-desus bahwa orang Prussia telah merebut Metz 

dan bahwa Thiers bersiap untuk menjual kota. Dalam kesempatan 

itu, demonstrasi yang dimulai di Place de la Concorde bergerak 

menuju Hôtel de Ville tempat para demonstran menuntut adanya 

komune untuk mengontrol kota. Gagasan ‘komune’ tidak benar-benar 

terkait dengan ‘Komunisme’ pada saat itu tetapi merupakan gagasan 

bentuk pemerintahan urban kolektif dan mandiri yang berasal dari 

Abad Pertengahan dan pemberontakan-pemberontakan sebelumnya 

melawan para raja dan pajak. Pada kenyataannya, ini yaitu  konsep 

yang tidak terdefinisi dengan baik, dan pada akhir abad ke-19 kata ini 

cukup membawa potensi revolusioner serta patriotik yang sehingga 

penggunaannya memiliki efek penggemblengan terhadap penduduk. 

‘Komune’ digunakan sebagai seruan pemersatu selama pemberontakan 

kedua pada 22 Januari 1871. saat  itu, sesudah  terjadinya upaya keluar 

yang gagal oleh pasukan pemerintah, Parisian yang marah dan tidak 

puas bergerak menuju Hôtel de Ville, menuntut pembebasan orang-

orang yang dipenjara sesudah  pemberontakan bulan Oktober, lalu 

mengontrol kota. Tembakan senjata api kembali dilepaskan.

Saat yang menentukan terjadi pada 28 Maret 1871, sepuluh hari 

sesudah  Thiers mengevakuasi kota. saat  itu, enam puluh empat 

perwakilan rakyat berdiri di tangga Hôtel de Ville dan mengumumkan 

bahwa kota Paris berada di tangan Komune, yaitu dewan yang dibentuk 

untuk melayani rakyat. Sembilan belas anggota Komune pernah 

menjadi anggota Garda Nasional, sementara lainnya yaitu  kelompok 

Jacobin—posisi sangat Revolusioner yang masih berpengaruh di 

lingkaran tertentu—yaitu para pengikut Auguste Blanqui yang radikal 

atau pengikut Sully Proudhon yang anarkis. Mereka juga termasuk 

orang-orang eksentrik, aneh, dan misterius, seperti Antoine Arnaud 

yang ahli nujum dan Jules Allix—penulis buku berjudul La Vie humaine 

correspond à la vie des astres (‘Kehidupan Manusia Bersesuaian dengan 

Kehidupan Bintang’)—seorang dokter hewan, seorang pemilik rumah 

bordil, seorang pengawas gedung dan seorang pemabuk terkenal.

Budaya Komune—yang anarkis dan spontan dan ditentukan 


367

Bagian Enam: Ratu Dunia

oleh kebencian yang hampir bersifat mistis terhadap segala bentuk 

otoritas—sepenuhnya sesuai dengan seruan penyair Arthur Rimbaud 

bagi subjektivitas tanpa batas dalam seni dan kehidupan. Dalam 

karya-karya yang terinspirasi oleh pengalamannya (walaupun diakui 

memang hanya sebentar) dalam Komune pada 1871, Rimbaud 

berusaha menambahkan propaganda ke dalam karyanya; selain 

percakapan yang tidak sengaja didengar, potongan lagu-lagu populer 

(para Communard [anggota dan pendukung Komune] selalu membuat 

lagu—salah satunya yaitu , ‘Les trois cerises’ [‘Tiga buah ceri’], telah 

bertahan selama bertahun-tahun dan masih menjadi nada lagu Paris 

yang populer) dan suara-suara jalanan. Contoh paling terkenal dapat 

ditemukan dalam puisi ‘Chant de guerre parisien’ (‘Lagu perang 

Parisian’)—yang merayakan ‘pantat-pantat telanjang’ di kota—dan 

puisi ‘L’Orgie parisienne’ (‘Pesta pora Parisian’), perayaan kejam 

terhadap ‘kota yang sedang kesakitan’:

Saat kakimu, Paris, menari begitu keras                                                  

dalam kemarahan!

Saat engkau mendapat banyak tusukan;

Saat kau terbaring tak berdaya, masih mempertahankan 

di matamu yang jernih

Sedikit kebaikan musim semi yang kuning kecokelatan,

Oh kota yang sedang kesakitan,                                                                                       

oh kota yang hampir mati,

Dengan wajahmu dan kedua payudaramu                                                          

menghadap ke arah Masa Depan

Yang membuka ribuan juta gerbangnya ke kepucatanmu,

Kota yang diberkahi Masa Lalu yang gelap:

Tubuh digembleng kembali hidup untuk menderita                                             

rasa sakit yang amat sangat,

Sekali lagi engkau minum dalam kehidupan                                                          

yang mengerikan! Kau merasa

Ulat-ulat pucat menyeramkan mengalir kembali                                                       

di aliran darahmu,

Dan jari-jari dingin berkeliaran di cintamu yang cerah!5



368

Para Communard mungkin tidak memiliki pemimpin tetapi 

mereka memiliki program yang sama: untuk memulihkan nilai-

nilai sejati revolusi ke jalanan Paris. Kekerasan sebenarnya dimulai 

pada 2 April saat  para Communard bergerak ke Versailles untuk 

menghancurkan apa ya


Related Posts:

  • Paris Perancis 11 telah menggembleng perekonomian lawannya yang ditakuti, Inggris, dimulai sangat lambat, sebagian sebab  sifat kehidupan politik di Paris yang bergejolak, dan sebagian lain tak memercayai rel kereta api&nb… Read More