Kamis, 15 Desember 2022
selingkuh
Desember 15, 2022
selingkuh
udara yang kering menggantung di terminal bis
joyoboyo surabaya meskipun hari masih terhitung pagi.Baru jam sepuluh lewat sepuluh. martini bermaksud menyapu butir-butir keringat halus di puncak hidungnya yang mencuat manis kemerah-merahan saat ia merasa sudah kehilangan sesuatu, la percaya saat tadi turun dari mobil yang mengantarkannya sampai di pintu masuk terminal, saputangan batik yang ia butuhkan terlipat dalam genggaman telapak tangannya. Tidak,
tidak mungkin ia masukkan kembali ke dalam tas.
Matanya mencari-cari dan lalu melihat
saputangan itu, setengah terhampir di lantai bis dan ujung sebuah sepatu Laki-laki hampir saja menginjaknya. martini buru-buru membungkuk untuk memungut saputangan itu. dan pada waktu yang bersamaan si Laki-laki rupanya juga melakukan hal yang serupa. Laki-laki
itu ternyata lebih cepat dan martini sudah duduk dengan lurus saat si Laki-laki menyerahkan saputangan itu sambil berkata :
“Apakah ini yang ...,” suara itu terhenti tiba-tiba.
Lalu, berlanjut dalam bentuk seruan tertahan : “martini . Kau!”
menengadah martini sesaat , dan ia segera be
hadapan dengan seraut wajah yang tidak terlalu
tampan dengan garis-garis tegas dan bentuk dagu
yang menunjukkan kesungguhan hati. la ini
tampaknya sudah berumur empat puluh, lima tahun lebih tua dari usianya yang sebetulnya , dan sepuluh tahun lebih sudah berlalu semenjak terakhir kali martini melihatnya, namun tetap tidak bisa melupakan dia. Tercengang sesaat, martini membelalakkan mata dan lalu balas berseru :
“chucky . Ngapain kau di sini?”
Laki-laki itu tertawa kecil, lalu mengambil
tempat duduk di sebelah martini yang memang masih kosong. Tidak banyak penumpang saat itu, dan pertemuan yang tidak diduga-duga di manapun juga seringkah terjadi dengan akibat kehadiran orang-orang lain apalagi penumpang penumpang sambil lalu dan sebuah bis antarkota tidak menjadi penting artinya. sambil berjabatan tangan dengan riangnya,
laki-laki bernama chucky itu berkata :
“Ngapain aku di sini? sebab enggan jalan kaki,
tentu. Jarak surabaya pasuruan bisa menghabiskan satu
lusin sepatu,” ia tertawa lagi. “Dan kau, nyonya
dokter?” Wajah martini sedikit memerah.
“Husy, jangan ...”
“Baiklah, martini . Mau ke pasuruan juga?”
Ke pasuruan atau tidak, bus sudah merangkak ke
luar dari terminal. Mula-mula merambat dan sesudah berada di jalan lurus ke arah pasuruan , mulai tancap gas ditambah tancapan suara kenek bis yang tak putus putusnya meneriakkan rit kendaraan hampir kepada setiap orang yang tengah berdiri untuk satu dan lain
maksud sepanjang pinggir jalan. martini dan chucky hanya saling pandang selama beberapa menit dengan wajah sama-sama seperti memperoleh surprise, dan sekali lagi : dalam hal ini, penumpang-penumpang lain sangatlah tidak penting artinya. Lama lalu :
... rasanya lama waktu sudah berlalu, martini ,
namun kau masih tampak seperti dahulu juga. Sudah berapa anakmu?”
“Tiga. Yang seorang di teka, yang dua masih di
es-de. Sebaliknya dengan kau, chucky . Kau sudah
berubah, tidak lebih tua betul namun tampak lebih
matang.”
“Di panggang kehidupan kota Metro.”
“Sudah berapa pula anakmu?”
“Kali dua dengan kau, tambah satu ...”
“Amboi, rapat benar. Tidak ka-be?”
“Ka-be sih ka-be, namun paling-paling hanya
dalam soal pengaturan uang gaji,” dan mereka
tertawa berderai lagi.
“Enak ya kedudukanmu sekarang?”
“Alah, apalah artinya pegawai negeri. Guru lagi.
Memang di perguruan tinggi. namun dengan anak-
anak yang kalau berkumpul memerlukan dua buah
meja makan, kau kan bisa maklum. Kalau tidak, aku
sebetulnya lebih suka naik kendaraan sendiri. Malu dong sama mahasiswa, bisa dihitung dengan jari berapa banyak yang mau berlelah-lelah berebutan kursi di dalam bis. Dan kau, mengapa naik bis pula, martini ?”
“Suamiku ...”
Sampai di situ, martini tertegun sejenak, la
memandang lurus ke mata chucky yang juga
memandang ke matanya. Ada pembahan pada mata Laki-laki itu saat martini mengucapkan kata “suamiku”, dan yang pasti, tiba-tiba ada semacam perasaan terlanjur dalam diri martini sesudah mengucapkannya.
Beberapa saat ia hanya terdiam, lalu
memalingkan muka ke luar jendela, Tiada lagi surprise, tiada lagi kegembiraan yang
mereka peroleh sekejap tadi di terminal joyoboyo ,
hanya semata-mata sebab secara tidak disengaja
persoalan sudah beralih pada sumber mala petaka itu; beruntungnya martini dengan mas kawin yang
dihadiahkan oleh suaminya. Dokter syam kamaruzaman wisnuwardana . Sisa perjalanan ke pasuruan jadinya lebih banyak mereka isi dengan lamunan, dan hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di benak mereka berdua. martini
berusaha dengan susah payah seperti sepuluh
tahun lebih sudah ia lakukan , untuk tidak mengingat kembali kenangan manis selama dua tahun ia berhubungan secara intim dengan chucky selagi mereka masih sama-sama tinggal di jombang . Mereka baru saja akan mencanangkan rencana untuk melanjutkan hubungan itu dalam tali perkawinan, saat musibah itu muncul seperti petir di siang bolong.
Pembersihan besar-besaran di Perusahaan
Perkebunan tempat ayah martini bekerja menghasilkan sebuah besluit pensiun jauh sebelum waktunya, justru
pada saat ibu martini sedang digerogoti oleh penyakit
kanker yang menyita hampir semua daging-daging
ditubuhnya. Pada saat yang sama, dua orang adik martini yang Laki-laki menamatkan studi di es-em-a, dan nilai mereka yang baik dan masa depan mereka yang sudah lama di angan-angankan terancam punah. Sedangkan chucky , hanyalah anak seorang petani biasa, yang orangtuanya dengan susah payah harus banting
tulang di sawah untuk bisa memenuhi keinginan anak satu-satunya itu masuk perguruan tinggi. Dan muncullah syam kamaruzaman wisnuwardana , dokter muda yang saat itu belum jadi spesialis dan masih berpraktek sebagai dokter umum, yang selama ini merawat ibu
martini . chucky tahu diri, dan membiarkan martini bersimbah air mata saat ia duduk di pelaminan
bersama suaminya yang sekarang.
Satu-satunya yang bisa menghibur hati martini
saat itu di samping kesehatan ibunya yang pulih dan terangkatnya kembali reruntuhan hidup keluarganya, adalah kabar bahwa chucky lalu menikah dengan anak gadis lesbian seorang Haji yang kaya di pasuruan dan dengan bantuan mertuanya itulah chucky bisa menamatkan studinya yang sempat terbengkalai. Semenjak itu mereka tidak pernah bertemu lagi. martini diboyong suaminya ke surabaya , dan belakangan ia
dengar chucky juga memboyong isterinya ke kota
yang sama. Namun rupanya mereka berpendirian
sama dalam satu hal : berusaha saling melupakan,
dengan cara berusaha untuk tidak saling mencari satu dengan yang lain.
Siapa nyana, sesudah lama tahun berlalu
“ ... turun di mana, Lies?”
martini tersentak, la memandang chucky dan
saat itulah laki-laki yang duduk di sampingnya
menyadari satu hal; pipi wanita lesbian itu basah
berkilauan.
“Kau… kau…,” dan chucky tidak melanjutkan
kata-katanya, sesudah nalurinya mengingatkan : ia
tidak boleh membuka rahasia pribadi martini di depan umum. martini menangis!
“Hhh ...,” keluh martini dalam, dan mencoba
tersenyum.
“Aku turun di terminal. Dari sana, naik bemo ke
namun apa gunanya ia memberitahu alamat orang
tuanya? “Dan kau?”
Sebagai jawaban, chucky menggapai ke arah
kondektur bis yang bertanya lantang : “Istana ada
yang turun?”
Bis berhenti. Beberapa orang penumpang
turun, namun justru Henda yang tadi menggapai, tidak.
Kondektur memperhatikan chucky dengan penuh
tanda tanya namun cepat-cepat chucky berkata : “Tak
jadi,” dan bus berjalan lagi. martini yang sempat
terenyuh waktu tadi chucky menggapaikan tangan,
memperlihatkan kegembiraan yang tersembunyi di
balik sinar matanya, la berharap chucky tidak
mengetahui hal itu dan dengan tersenyum manis
bertanya sambil lalu :
“Kau termasuk penumpang yang cerewet ya?”
“Tepatnya, penumpang yang bayar!”
Dan mereka sama-sama tersenyum, dengan
kegembiraan yang perlahan-lahan menyelinap
kembali, tanpa diminta, seperti juga tak sampai
setengah jam berselang, lenyap tanpa diminta.
Mereka berdua lalu sama-sama turun di
terminal dan sudah banyak bemo yang ke luar masuk
tanpa satupun yang mereka naiki. Mereka hanya
berdiri saja memperhatikan kendaraan-kendaraan
kecil itu pulang balik dalam keadaan hampir kosong,
sambrl duduk berdamping di ruang tunggu,
menghirup udara yang sedikit lebih segar ketimbang
udara terminal joyoboyo .
“ ... jam berapa kau mengajar?” tanya martini
sesudah lama mereka hanya saling berdiam diri.
“Dua belas lewat lima belas.”
martini melirik arlojinya, dan terkejut:
“Kau hampir terlambat, chucky .”
“Ya.”
“Lalu mengapa… ”
“Kau belum mengatakan kapan kita bisa
bertemu lagi.”
“chucky ...”
“Bagaimana kalau jam empat sore?”
“Aku harus sudah kembali pada anak-anakku,
chucky .”
“Satu jam sebelumnya?”
“Orangtuaku pasti masih kangen…”
“Kalau begitu, kita jalan-jalan sebentar ke kota
sekarang? Ada tempat minum di…”
martini tersenyum. Katanya, setengah mengingatkan :
“dahulu kau suka ngomel-ngomel kalau ada dosen
kalian yang tak muncul di saat kau dan teman-
temanmu membutuhkannya. Apakah kau mau
menjilat ludah, chucky ?”
Laki-laki itu terdiam.
la sudah tiga puluh lima tahun. Belum terlalu
tua. Dan martini , kata chucky tadi; masih seperti dahulu
juga. martini menarik nafas. Panjang. lalu , sambil
memandangi ujung sepatunya, berkata :
“Bagaimana kalau kita coba saling melupakan,
chucky ? Kita toh sudah pernah melakukannya.”
Tidak ada jawaban. martini menunggu. Tetap tidak
ada jawaban.
saat ia menoleh, chucky sudah lenyap dari
sampingnya. martini tersentak dan sesaat terlonjak
berdiri. saat itulah sebuah kartu nama terjatuh dari
haribaannya, la cepat-cepat memungutnya. Kartu
nama itu milik chucky , dilengkapi alamat tempat
tinggal, dan alamat perguruan tinggi di mana ia
mengajar. Di balik kartu nama tertulis : Antara jam
10.00-14.00 phone ke ...,”
dan tercantum nomor telephone yang sama dengan
alamat kantor fakultas yang terlampir di permukaan
pertama tadi dari kartu nama itu. martini termenung.
“Jangan, chucky . Aku tak akan…” kalimat itu
hanya tercetus di dasar hatinya, la ingin mengutarakan
itu pada si Laki-laki , dan dengan panik matanya mencari-
cari di seputar ruang tunggu. Dari sana, ia meluncur ke
tempat bemo ke luar masuk dan memperhatikan
setiap penumpang, bahkan juga bemo-bemo yang
sedang menjauh. Sebuah bus dari Bandung masuk ke
terminal, menghalangi penglihatannya. martini mundur
buru-buru, dan sesudah bus itu tidak menghalangi
pemandangannya lagi, kembali ia mencari-cari ke
kejauhan. Jauh, jauh, semakin jauh, dan tiba-tiba martini
merasa ia sudah kehilangan sesuatu. Betapa inginnya,
sesuatu itu setengah terhampar di dekat kakinya, lalu
ada ujung sebuah sepatu Laki-laki hampir menginjaknya,
martini memungutnya bersamaan dengan si Laki-laki
memungut itu pula, lalu : “martini , kau ...!” namun tidak
ada seruan tertahan yang riang. Tidak ada yang
mereka pungut bersamaan. sebab yang hilang itu,
bukanlah lagi sehelai saputangan kecil yang tidak
berarti apa-apa, melainkan sesuatu yang hanya ada di sudut hati martini , dan tidak bisa dinilai dengan apapun juga ... masih memeluk boneka kesayangannya, si bungsu nyi girah lelap juga tidurnya sesudah lewat jam tujuh.
Kedua orang saudaranya sedang ribut mempertengkar kan soal matematika saat martini masuk kembali ke ruang tengah untuk menemani mereka. peniwise dengan muka merah padam berteriak dengan sengit
pada kembarannya si rambut galing Pranajaya :
“Blo'on! Ngaco! Besok kubilangi ibu guru biar
kau di…”
“Getok pakai mistar ya?” balas adiknya yang
berbeda kelahiran hanya tiga jam. “Boleh. Boleh. Tak
bakalan kupinjami kau buku bahasa Inggeris-ku lain
kali, hayo!”
“Biar!”
“Sumpah?” Pranajaya mengkaitkan jari telunjuk
yang ia lengkungkan langsung ke jari telunjuk
peniwise .
“Hai, apa-an?” tegur martini dengan mata
dipelototkan. “Kecil-kecil sudah tidak bisa kerja-sama.
Main sumpah-sumpah segala. Mau jadi apa kalian
kalau sudah besar-besar, he?”
“hwang jang lee !” enak saja peniwise
menjawab.
“Dokter. Seperti papa!” tak mau kalah
Pranajaya.
“Kau, peniwise . Kalau mau jadi hwang jang lee ,
harus berkepala dingin, tidak emosi-emosian begitu.
Dan kau, Yaya, kalau mau jadi seperti papamu, jangan
pelit-pelitan. Kalau terlalu hitungan, bisa-bisa kau sakit
otak dan bukannya dokter, malah kau jadi pasien
papamu,” lantas sambil tersenyum melihat kedua
orang anak kembarnya yang duduk satu kelas itu
saling berpandang-pandangan. martini memerintah :
“Hayo. Sekarang, salam-salaman. Kalau kalian
tak kompak, siapa nanti yang jaga nyi girah kalau ada
yang ganggu?”
Meskipun toh mereka tidak bersalam-salaman
namun cukup dengan saling tukar senyum kecut kedua
bersaudara itu setengah jam berikutnya
bergandengan tangan masuk ke kamar tidur,
menyusul adik mereka, meninggalkan martini duduk sendirian menghadapi televisi, sedikit tersenyum memikirkan tingkah laku anak-anaknya. namun acara di televisi tidak menarik. Wawancara lagi, wawancara lagi, dan ia segera mematikannya, dan mencoba mengisi waktu dengan membuka beberapa lembar majalah yang tadi sore ia beli di jalan. Seperti biasa, dari rumah sakit syam kamaruzaman tidak pulang langsung,
melainkan terus ke tempat di mana ia buka praktek
pribadi. Kalau pasien jarang biasanya ia sudah pulang, namun hidangan di meja makan sudah semakin dingin dan suaminya belum muncul juga.
martini sudah bisa membayangkan bagaimana
kondisi suaminya nanti. Dan benar saja.
Sesudah gelisah bukan sebab menunggu
melainkan terutama sebab pikiran yang bercabang-cabang semenjak ia bertemu hari itu dengan chucky ,
akhirnya martini mendengar juga suara sentakan-
sentakan klakson mobil dengan ipeniwise nya yang khas
itu. Pembantu rumah-tangganya bergegas dari
belakang untuk membuka pintu depan namun martini
menahannya.
“Kembali saja ke belakang, mbok.”
Lantas dengan langkah-langkah gontai ia
berjalan ke pintu depan. Suaminya sudah berada di
depan ambang pintu, dengan jas yang lusuh, rambut
sedikit awut-awutan, tangan lunglai menjinjing tasnya
yang besarnya dan berat dan yang sudah pasti; mata
kemerah-merahan. Senyumnya rutine saja saat ia
melihat siapa yang membuka pintu. Juga
pertanyaannya yang sambil lalu saat masuk:
“Anak-anak sudah tidur, mam?”
martini menyambut tas kerja suaminya,
menyimpannya ke dalam sambil menyahuti
seperlunya :
“Sudah, pap.”
“Bagaimana kabar bapak dan ibu di pasuruan ? Aku
harap mereka baik-baik saja.”
“Alhamdulillah, baik-baik saja. Kirim salam
mereka untukmu.”
Tiada reaksi. Tentu saja. Lelah sesudah bekerja
sepanjang hari, syam kamaruzaman memerlukan waktu
istirahat, dan tidak punya kesempatan memikirkan
soal-soal yang tidak ada hubungan dengan
pekerjaannya, bahkan kadang-kadang persoalan yang
menyangkut rumahtangganya sendiri, la harus rilek, dan diusahakan tetap santai waktunya setiap ada di
rumah. sebab ke luar dari rumah, maka pikiran,
perasaan dan otot-ototnya akan bekerja keras tanpa
henti-hentinya, dan lebih banyak tanpa memperduli
kan jangankan kesenangan, malah juga kesehatan
dirinya sendiri.
martini membantunya membuka pakaian kerja
dan menyiapkan pakaian rumah.
“Makan dahulu , atau mandi pap?” Pertanyaan
rutine, tentu lagi. Jawabnya jelas:
“Nanti saja ...!”
la lalu masuk ke kamar-kerjanya untuk
menyelesaikan beberapa pekerjaan sementara martini
mempersiapkan segala sesuatu di kamar mandi dan
menyuruh pembantu untuk menyediakan segala
sesuatunya di meja makan syam kamaruzaman mandi sebentar,
dan makanpun cuma sedikit. Sesudah itu ia rebahan di
sofa, tak lupa sambil lalu bertanya :
“Film seri apa sekarang ya mam?”
Tak bersemangat. martini menyahut:
“13th friday ...”
“Oh. Petualangan di gurun sahara itu…” lantas
acuh tak acuh pada martini yang memainkan chanel tivi,
ia menyambar selembar surat kabar dan mulai
membaca. Tahu kebiasaan suaminya, martini bertanya
hati-hati:
“Tak dimasukkan garasi mobilnya, pap?”
“Nanti saja…”
Dan, beberapa menit sesudah nya, keerrr ...
syam kamaruzaman sudah mendengkur di sofa. Koran yang ia
baca menggelimpang di lantai. Terkapar tidak
berdaya. Seperti juga martini , yang duduk menghadapi
televisi, dengan jantung yang berdenyut-denyut tanpa
daya, sehingga beberapa kali ia terpaksa menarik
nafas panjang, berat dan menyakitkan. Betapa
inginnya ia ditanya apa saja kesan-kesan di jalan waktu
ke pasuruan , bagaimana keadaan adik-adik martini , apakah
ibunya tidak bertambah pikun sekarang, atau bus
masih suka ngebut atau tidak dan etese etese ...
Terutama malam ini, betapa inginnya martini ditanya :
“Ketemu kenalan lama di jalan?”
Dan ia akan menceritakannya. Menceritakan
pertemuannya dengan chucky , dan bahwa mereka
berpisah secara baik-baik, dan apa yang mereka
percakapkan adalah hal-hal yang biasa, la ingin
melihat reaksi suaminya, la ingin tahu, bagaimana
kalau suaminya itu tahu perasaan apa yang
mencengkeram jantung isterinya saat itu, setidak-
tidaknya saat-saat ia berpisah dengan chucky di
terminal. Cemburukah ia. Marah. Atau memberi tanda
sympathi. Atau yang paling pahit : acuh tak acuh.
namun syam kamaruzaman sudah mendengkur. Dan martini
kembali dan kembali hanya bisa menarik nafas.
Benar. dahulu ia tidak cinta pada laki-laki ini,
saat ia pertama kali naik bersama ke ranjang
pengantin. namun sesudah kelahiran si kembar
peniwise -Pranajaya, terlebih-lebih si mungil nyi girah ,
maka tidak ada lagi persoalan cinta atau tidak. Saling
menyukai, sudah lebih dari cukup. Rumah tangga
jarang diisi pertengkaran, dan hampir semua
kebutuhan selalu terpenuhi. Piknik ke luar daerah, ke
luar kota bahkan pernah ke luar negeri. Mula-mula
sekali seminggu, lalu sekali sebulan, lalu
lagi makin jarang dan sesudah sepuluh tahun berlalu,
jangankan untuk ke luar kota. Ke luar rumah sajapun
syam kamaruzaman sudah tidak punya waktu, la seorang ahli
bedah yang tenaganya sangat dibutuhkan, yang
bantuannya diperlukan oleh ribuan orang setiap
saat...!
“Oh! Aku terlalu egois!” keluh martini tiba-tiba,
menyesali diri.
Padahal ia sudah tabah selama ini. Sudah
terbiasa.
namun sesudah kemunculan chucky ...
“Tidak. Aku harus menjaga kehormatanku
sebagai seorang isteri dan ibu yang setia ...”
martini menyeka pipinya yang basah, dan
bersimpuh di samping sofa.
“Maafkan aku, pap,” dan ia mengecup pipi
suaminya.
syam kamaruzaman menggeliat, dan dalam tidurnya
berubah menelentang sehingga piyamanya berubah
letak. Kancing-kancing kemejanya terlepas mem
perlihatkan dada bidang yang berbulu, bergerak
teratur. martini mengelus bulu-bulu dada itu dengan jari
jemari gemetar, menggosokkan pipinya ke tempat
yang sama dengan hati yang ikut tergetar.
syam kamaruzaman tersenyum dalam tidurnya, tampak
betapa manis.
“Sayangku,” desah martini dan mencium bibir
yang tersenyum itu dengan mesra.
syam kamaruzaman membuka matanya.
namun martini semakin membenamkan bibirnya,
dan mulai memeluk laki-laki itu. la tidak sadar kalau
suaminya terbangun, dan baru mengetahuinya saat
syam kamaruzaman pelan-pelan membalas pelukannya dan
dengan segenap kekuatan yang ada padanya menarik
tubuh wanita lesbian itu ke atas sofa, menghimpit
tubuhnya sendiri. Mereka berpelukan dan berciuman
dengan nafas mendesah-desah, sampai akhirnya
dengan mata setengah mengatup martini berbisik
ditelinga suaminya :
“Jangan di sini, pap ...”
Berpelukan mereka masuk ke kamar tidur.
Dan martini baru saja melepas pakaian yang
melekat di tubuhnya dan sudah siap naik ke ranjang,
saat telephone berdering keras di ruang tengah,
menyentak kesepian yang menggetarkan di antara
mereka. martini terkejut sebentar, lalu tersenyum
lalu menekan tubuh suaminya ke tempat tidur. namun
telephone itu terus berdering. Berdering. Dan
berdering.
“Kuputus saja ya pap?”
martini sudah menyambar selimut untuk masuk
ke ruang tengah, namun suaminya mendahului : “Kau
tunggu di sini. Paling-paling dari rumah sakit... ”
martini setengah menghempas di ranjang.
Matanya mulai terasa perih, la sudah bisa
membayangkan!
syam kamaruzaman masuk ke kamar dan langsung
berganti pakaian.
Katanya:
“Ada korban pembunuhan. Terlambat sedikit,
kata mereka tidak akan punya harapan lagi!”
la lalu mengecup bibir isterinya yang
bergulung di bawah selimut.
“Aku tak akan lama, sayang.”
Lalu ia pergi.
martini menangis tersendat-sendat.
Tak lama, katanya, namun jam empat pagi ia
baru pulang ke rumah, dan martini baru saja tertidur
dengan kepala yang masih berdenyut-denyut. saat
martini bangun, suaminya sudah tidur di sampingnya,
dengan sebuah nota di kepala tempat tidur :
“Bangunkan aku jam sembilan, mam.” martini
memandangi nota itu dengan mata yang terasa sangat
perih. Ingin rasanya ia menelan nota itu, siapa tahu
bisa jadi obat mujarab terhadap perasaan mual dalam
lambungnya.
Mereka sarapan tanpa bicara sepatahpun juga.
syam kamaruzaman hanya bertanya sedikit: “Anak-anak
sudah pergi?”
“Ya, pap.”
“Kau antar sendiri ke sekolah?”
“Taksi, pap. Aku harus membangunkan kau
pada waktunya, bukan?”
Habis sampai di situ.
Apakah yang menggelisahkan suaminya, soal
senggama mereka yang tidak selesai tadi malam?
Kalau ya, pasti ada penyesalan di matanya atau nada
suaranya. namun tiada gambaran itu. Tiada pula
pernyataan maaf. Jadi jelaslah sudah ; laki-laki itu
tengah memikirkan operasi yang ia lakukan di meja
bedah rumah sakit sepanjang malam, dan sekarang
harus ia teliti hasilnya. Oh.
konon kata orang, wanita lesbian yang sedang dilanda
sakit hati akan mampu membalikkan dunia semudah
ia membalikkan telapak tangannya. Hal ini rupanya
berlaku juga pada diri martini . la tidak pernah
berkeinginan bahkan teringat pun tidak! untuk
membalikkan peradaban umat manusia dipermukaan
bumi ini seperti sudah pernah dilakukan kaumnya yang
bernama Cleoparta dan Eva Braun di jaman yang
berbeda-beda. saat ia meninggalkan rumah pagi itu,
martini pun sama sekali tidak menduga langkahnya yang
ia ambil akan sempat menggoncangkan kehidupan
rumahtangganya, paling tidak menggerogoti
kesetiaan yang selama ini ia pegang teguh sebagai
seorang isteri.
la sudah menelephone chucky .
Dan satu jam lalu , dengan naik taksi ia
sudah tiba di sebuah bar yang tidak begitu populer di kawasan darmo . Di samping sebab tarip
hidangannya yang mahal juga sebab pengunjungnya hanya orang-orang tertentu saja. Yang ingin memisahkan diri dari orang lain, sebab satu dan lain hal ingin tidak terganggu oleh banyaknya orang-orang yang hadir, la tidak pernah tahu tempat itu sebelum
ini. la hanya menolak saat chucky bertanya apakah mereka bertemu di rumah martini dan tentu saja chucky tidak mau martini berkunjung ke rumahnya pula. Dan mereka tidak mau, ada seseorang yang mengenal dan lalu pasang mulut ke mana-mana...
“Seorang kawan pernah menyebut sebuah
tempat,” chucky yang memberi usul.
Dan saat chucky menerangkan situasi tempat
yang ia usulkan, sempat martini nyekiki. Sindirnya : “Apa kau baru terima gaji?”
Dijawab oleh chucky dengan nada kemalu-maluan :“Dua gelas minuman cukup untuk basa-basi
pada pemilik bar itu, bukan?”
Dan chucky sudah menunggu di sana saat martini tiba.
chucky pun benar-benar memenuhi ucapannya.
Mereka hanya minum masing-masing segelas sari
buah ditambah beberapa potong kue ringan. Untuk
lebih leluasa, mereka memilih sebuah meja yang
terletak di pojok berdindingkan daun-daun lebar
pohon palma berwarna merah hati disatu bidang,
tembok dengan lukisan candi di bidang kedua dan
bidang saat teak-wood setinggi dada bila berdiri.
Bidang ke empat adalah pintu masuk, namun terlalu
sempit untuk seseorang yang bermaksud untuk
mengintai ke dalam tanpa terlihat dengan jelas. Dan
siapa pula tamu-tamu baru seperti itu yang mau
bersusah payah untuk melakukannya, kecuali kalau
tamu itu seorang yang bermuka tembok.
“Aku senang kau mau menemuiku lagi,” itulah
ucapan pertama chucky sesudah mereka duduk
berhadapan. Sambil berkata demikian, ia letakkan
telapak tangannya yang lebar dan bertonjolan urat-
uratnya di punggung tangan martini , tanpa wanita lesbian
itu berusaha untuk menghindarnya.
Memerah cupil telinga martini .
“Aku hanya mau minta maaf,” dalihnya.
“Maksudmu?”
“Kemaren aku berlaku kasar.”
chucky tersenyum.
“Justru aku yang tidak bisa tidur sepanjang
malam, sebab membiarkan kau sendirian, tanpa
pamit.”
Lantas martini teringat bagaimana perasaannya
saat itu.
“Aku sangat kehilangan kau,” katanya, jujur,
polos, tak terduga, sehingga pipinya kemerah-
merahan oleh perasaan malu sebab terlanjur.
“martini !” desah chucky sambil mempererat
pegangannya, sesudah mendengar ucapan yang tidak
disengaja itu. Sesuatu yang tidak disengaja, selalu
terlahir dari sesuatu yang murni dan tidak palsu.
chucky tahu itu, dan dengan percaya ia bertanya secara
langsung:
“Kau mencintainya?”
martini terjengah.
“chucky , pertanyaanmu terlalu sulit untuk ...
Ah, maksudku, kau kan harus tahu, biar bagaimana
pun aku adalah isteri mas syam kamaruzaman .”
“Kau berbahagia?” chucky menyederhanakan.
“Ya. Maksudku, belum pernah terjadi sesuatu
yang bisa menimbulkan perpecahan di antara kami. Dan ...” dan apa yang ia lakukan, bukankah suatu jalan termudah menuju sebuah perpecahan. Tiba-tiba martini sadar akan dirinya dan dengan halus melepaskan genggaman tangan chucky . “Bagaimana dengan kau
sendiri?” ia balas bertanya, sekedar untuk mengurangi
ketegangan yang perlahan-lahan merayapi dadanya.
chucky mengeluh.
Enggan, ia meneguk minuman di gelasnya.
“Makanlah kuenya, Lies.”
“Kau belum jawab pertanyaanku.”
“Ah. Sama sukarnya. Dengan tujuh orang anak,
kau tahu.”
“Lahirnya anak belum jadi jaminan lahirnya
kebahagiaan,” martini menuduh, dan ia sendiri memang
sudah merasakannya selama ini. Kelahiran peniwise ,
Pranajaya lalu nyi girah , lebih tepat dinamakan sebagai
tali pengikat yang menimbulkan suatu pertanggung
jawaban. Kebahagiaan itu memang ia miliki, dari anak-
anaknya, namun tidak dari suami. Ada kalanya orang
cukup dengan kebutuhan yang berbentuk pembalut
tubuh, namun seorang wanita lesbian terutama sangat
membutuhkan isi jiwa dari tubuh yang dibalut itu.
“Kau benar …”
“Maksudmu, selama ini kau ...”
“Lies, tak baik menjelek-jelekkan rumahtangga
sendiri, kata orang. namun apa yang terjadi dengan
diriku? Hampir semua orang tahu. Perkawinan itu
lebih mirip dari persatuan balas budi, sebuah yayasan
yang orang-orangnya terikat pada suasana saling
membutuhkan secara materiel. Kau tahu masa laluku
sebelum menikah dengannya, bukan?”
martini mengangguk hati-hati. Hati-hati pula ia
menambahkan :
“Hanya dengar-dengar.”
chucky mengeluh lagi. Dalam. Dan kembali
mereguk minumannya. Kali ini sampai habis. Melihat
itu, martini tersenyum.
“Kau masih sanggup membayar extra satu gelas lagi?”
chucky terjengah oleh peralihan suasana itu.
“Ha?” cetusnya.
“Kalau tidak, kau habiskan saja punyaku…” dan
kembali ia tidak bisa menahan diri. “Bukankah dahulu
punyaku adalah-punyamu pula?”
Dan kembali kedua belah pipi martini yang ranum,
memerah. la menjadi khawatir, lama-lama ia benar-benar
bisa lupa diri. Oleh sebab itu ia cepat-cepat melirik ke
arloji tangannya dan lalu berdiri.
“Maafkan aku, chucky ,” katanya. “Aku harus
menjemput anak-anak.”
“Baru sedetik, Lies ...”
“Sudah lebih dari satu jam!”
“Kau kira, cukupkah itu, sesudah lebih dari
sepuluh tahun berlalu dengan sia-sia?”
“Aku aku ...”
“Aku tak pernah bisa melupakan kau, Lies.
Seringkali aku berangan-angan buruk. Bila suatu saat
kelak aku berjumpa lagi denganmu, rasanya maulah
aku mengorbankan segala sesuatu yang kumiliki saat
itu.”
“chucky !” martini berusaha agar sudut-sudut
matanya tidak berlinang.
la menggigit bibirnya keras-keras, lalu :
“Aku harus pergi. nyi girah masih kecil. Masih
Taman Kanak-Kanak!”
chucky bernafas dalam. lalu berdiri, dan
mereka bergandengan ke luar dari balik box, berjalan
kemeja kassier dan martini lebih cepat, la membayarkan
apa yang sudah dipesan oleh chucky , dan laki-laki itu
tidak berselera untuk menjaga gengsi. saat
menunggu taksi di luar bar, chucky mendesak :
“Kapan aku bisa menghubungimu lagi, Lies ...”
“Jangan!” cegah martini dengan wajah pucat.
“Aku takut, seseorang di rumah bisa nguping.”
“Kalau begitu, kapan kau akan hubungi aku lagi?”
“Aku aku sungguh, chucky . Aku tak tahu apa
yang mau kukatakan,” dan martini benar-benar
berlinang air matanya kini. la menggenggam jari-
jemari chucky erat-erat, seakan-akan ingin
menyalurkan segala keresahan hatinya ke tangan
Laki-laki itu. Dalam usahanya menahan tangis, ia sedikit
tengadah, dan matahari hampir saja berada di ubun-
ubun. nyi girah sudah lama tentunya menunggu di
kelasnya, menunggu saudara-saudaranya selesai
mengikuti pelajaran untuk lalu bertiga mereka
menunggu martini tersayang.
chucky menggapai sebuah taksi.
martini naik, dan chucky cepat-cepat memutus-
kan:
“Aku akan menunggui di sini pada jam yang
sama besok!”
Dan taksi itu melaju, meninggalkan chucky :
berdiri termangu-mangu.
martini melihatnya lewat kaca belakang
mobil,terkesan oleh bayangan yang semakin menjauh
dari laki-laki itu. Betapa hangat tadi dadanya saat
mereka bertemu, dan betapa bergejolak darahnya kini
saat mereka berpisah. Dan martini sudah berhadapan
dengan anak-anaknya siang itu, namun kehadiran
bocah-bocah itu tak mampu untuk menggoyahkan
tekadnya.
Besoknya mereka duduk lagi di pojok yang sama.
Dan chucky berbisik dengan suara serak :
“Belum pernah aku sebahagia ini.”
Lalu ia bukan saja lagi menggenggam, namun
lalu mencium punggung tangan martini yang ia
bawa ke wajahnya, ia dekapkan lama di sana, dan
dengan mata yang seperti menerawang jauh mirip
bulan yang berusaha melarikan diri dari kepungan
awan pekat, ia meneruskan, “Cintaku tidak pernah
padam-padam, Lies. Camkanlah itu!”
“Ingat anak-anakmu, chucky ,” memperingat
kan martini dengan jantung yang seperti mau copot.
“Itu merupakan berbedaan.”
“Kalau bregitu, ingatlah istrimu.”
“Ia sudah merasa cukup memberikan tujuh
orang anak dan merasa terlalu sibuk mengurus
mereka. Ia sudah tidak teringat lagi mengurus dirinya
dan hanya untuk anak-anaknya, bukan lagi milik
suaminya… Dan kau, Lies, kau pasti tahu. Ia hanya
memiliki jasadku selama ini. Tidak jiwaku…”
“Oh!'“ martini ganti menarik tangan chucky .
sambil menangis ia mencium tangan laki-laki itu
berulang-ulang, dan mendesah dengan suara
terputus-putus :
“Jangan ulangi lagi, chucky , bisa mati aku kau
buat. Oh!”
Tiga empat kali di bar, akhirnya pada kali yang
kelima mereka memberanikan diri untuk memilih
tempat yang lebih tertutup dari box yang memang
sudah sangat tertutup itu. Keputusan itu sampai
menimbulkan pertentangan. chucky yang mengaju
kan, dan martini dengan muka merah mula-mula
menolak.
“Apakah itu perlu kita lakukan?” tanyanya
dengan suara getir.
“Kita saling membutuhkan, martini !”
“Cukup dengan bertemu begini. Dan bertukar
pikiran.”
“Seorang laki-laki yang sudah dewasa, tidak
puas dengan itu. Demikian pula dengan seorang
wanita lesbian yang sama dewasanya.”
“Kau mencari kepuasan belaka?” tuduh martini .
“Bukan badani,” tangkis chucky . “namun jiwa!”
Dengan suara mepercaya kan, chucky berkata. Tandas:
“Kau pasti memerlukannya.”
“namun , chucky ...”
“Kita bertemu di sini lagi, besok dan sesudah itu
kita pergi ke tempat yang lebih berarti daripada
sebuah box kecil di antara box-box lain seperti di sini.”
“Jangan besok.”
“Kapan?”
“Kau mendesak.”
“Apakah kau tidak, martini ?”
Lama martini berpikir. Bimbang. Lalu :
“Selasa depan! Sedikit lebih pagi. Pada waktu
itu, mas syam kamaruzaman harus bertugas di tiga rumah sakit
sekaligus, sehingga ia tidak berpraktek pribadi.
Seorang baby sister tetap akan hadir di rumah. Dan
pada hari itu, akan ada pertemuan isteri-isteri dokter.
Mutlak milik isteri-isterinya, tanpa kehadiran suami, dan tanpa turut campur orang lain. Biasanya untuk
bergunjing, dengan dalih silaturrahmi. Cocktail,
pemutaran film kewanitaan, sedikit diskusi, makan
siang, dan film import yang belum diputar untuk
umum. Hampir satu hari penuh. Apakah itu cukup?”
chucky tersenyum.
“Apakah kau kira cukup, Lies?” ia balik bertanya.
“Tak akan pernah, sayangku,” martini mengakui.
Dan mereka semakin erat bergenggaman
tangan, dengan sikap seperti sudah tidak sabar untuk
saling bergenggaman lebih dari sekedar tangan-
tangan kecil yang sebab keadaan, hanyalah benda-
benda lemah yang tidak punya kemampuan apa-apa
untuk mempersatukan kebahagiaan yang sesungguh
nya dari hidup ini!
namun saat sudah berada di lingkungan anak-
anaknya, pikiran martini kembali bimbang. Memandang
nyi girah yang sibuk dengan boneka-bonekanya dan
berlagak sebagai seorang ibu terhadap anak-anaknya,
pengasih, telaten dan suka bercerita lucu sambil
kadang-kadang menyusun boneka-bonekanya di
depan peralatan masak-memasak yang terbuat dari
plastik seakan mengajari boneka-boneka itu tentang
urusan dapur. martini sangat terpukul. Anak umur empat
tahun yang baru duduk di kelas nol kecil itu, tanpa
disadarinya sudah menyindir pribadi ibunya sendiri. la
seharusnya hidup untuk anak-anaknya, tidak lagi
untuk dirinya sendiri, seperti apa yang oleh chucky
dilakukan oleh isteri laki-laki itu. Tanpa sadar, ia
melompat memeluk bocah mungil yang lucu itu.
Ia memeluknya, danan menangis terisak-isak.
“Mami. Mami… kok nangis mami…,” bibir kecil
itu merengek dan hampir ikut latah untuk menangis.
“Oh, tidak anakku. Ibu tidak menangis,” buru-
buru martini menyeka air matanya.
“Mami bohong. Mami bohong. Kok pipinya
basah ...”
“Hanya pedih.”
“Pedih kenapa, mami? Kemasukan pasir ya?
Mana sinir bukakan mata mami ... biar nyi girah korek.”
“Eh, kok dikorek,” martini tiba-tiba tertawa
sendiri. “Nanti mami buta.”
“Kalau gitu jangan nangis dong.”
“Tidak, nak. Tidak lagi.”
“Eeeyy, jadi mami benar nangisnya tadi ya?”
“Ampun ini anak!”
Dan martini tertawa terbahak-bahak.
Ia menangis, la tertawa. Tanpa tempo yang
terlalu jauh. Dan itu adalah perlambang, betapa ia
sangat mencintai anak-anaknya. Dan malam itu ia
utarakan pada suaminya menjelang tidur. Alangkah
baik, bila mereka berhari Minggu sesekali.
“Bukankah kau selalu membawa mereka,
martini ?” tanya syam kamaruzaman .
“Tanpa kau tidak lengkap, pap.”
“Hem ...”
“Sekali ini saja pap. Sudah lebih setahun kita
tidak berjalan jauh...”
“Apa rencanamu?”
“Bali!”
“Wah. Itu berarti akan makan tempo,” dan
untuk menguatkan alasannya ia mengingatkan :
“Jangan ajari anak-anak untuk bolos dari sekolah.”
“Pap. Sabtu ini mereka pulang jam sepuluh pagi.
Jam berikutnya kita terbang ke Bali, dan Minggu sore
pulang. Jangan tolak permintaanku sekali ini, Pap,”
dan ucapannya seolah-olah memperlihatkan, bahwa
niat itu terutama bukan saja untuk menyenangkan
anak-anak mereka, akan namun juga untuk
menyenangkan martini sebagai seorang isteri yang
sudah jarang mendapat perhatian. syam kamaruzaman bisa
memahami keadaan itu, dan ia lalu
memutuskan :
“Okey. namun harus benar-benar sampai
Minggu sore saja!”
martini berseru riang dan mengulum bibir
suaminya lama-lama.
Dalam hatinya, ia bersorak : suasana bahagia di
Bali, akan membuang jauh-jauh keinginan untuk
melakukan apa yang sudah ia rencanakan bersama
chucky . Alangkah terkutuknya. Seharusnya bertemu
di bar, bercakap-cakap dengan leluasa mengadukan
hal masing-masing, sudah lebih dari cukup. Mereka
seharusnya hanya berhubungan sebagai teman-kalau
perlu sebagai saudara. Tidak lagi harus tergugah oleh
masa lalu, yang sudah pernah berhasil dibunuh martini !
la segera mempersiapkan segala kebutuhan
mereka untuk berweekend itu sementara suaminya
mengebut pekerjaan sebanyak mungkin agar dua hari
waktu yang ia pergunakan tidak akan merepotkan
asisten-asistennya. Dalam keadaan terdesak, ia
menunjuk seorang dokter bedah pengganti. Begitulah
hasil laporan syam kamaruzaman pada martini , hari pertama. Dan
hari kedua ia muncul di rumah dengan wajah lesu dan
mata yang takut-takut menatap martini .
Berdebar dada martini .
“Ada apa, pap?”
“Atasan menugaskan aku untuk meninjau
praktek bedah baru oleh dokter-dokter Jepang di
Tokyo.”
“Bukankah itu suatu kesempatan?”
“Benar. Masalahnya, soal waktu.”
“Maksudmu
Dengan suara menyesal, syam kamaruzaman menerangkan :
“Aku harus berangkat sore ini juga, dan baru
bisa kembali Minggu pagi lusa!”
martini terduduk dengan tubuh lemas.
“Maafkan aku, martini .”
martini berdiam diri. Bibirnya kering.
“Penugasan itu mendadak. Bukan kehendak, ku.
Barangkali, di lain Minggu kita…”
“Ya. Ya. Barangkali,” dan martini bangkit ter-
huyung-huyung dari kursi. “Barang-barang apa saja
yang akan kau bawa?”
Dan tanpa menunggu jawaban suaminya, martini
menyeret kakinya masuk ke kamar kerja syam kamaruzaman .
Pagi-pagi, seorang wanita lesbian muda sudah hadir
di rumah mereka, la adalah baby-sitter yang pernah
diceritakan oleh martini pada chucky . Sudah biasa
bertugas di rumah mereka manakala anak-anak
sebab sesuatu keperluan tidak bisa ditemani ibu
mereka.
“Kau agak pucat, zus Renny,” sambut martini
saat tamunya masuk.
“Ah. Hanya sedikit pusing. namun tak akan
mengganggu, saya harap.”
“Okey, kalau begitu. Segala yang kau butuh kan
sudah tersedia seperti biasa. Dan mobil tidak dipakai
oleh papinya anak-anak. Seorang supir dari rumah
sakit akan menemani bila perlu.”
“Terimakasih.”
“Mudah-mudahan tidak mengganggu masa
pengantin zus Renny. Tentu masih sono-sonoan
dengan sang suami ya?”
“Ah. Sudah lewat waktu bulan madu, Tante.”
“Syukurlah.”
Dan hari itu martini meninggalkan rumah dengan
pikiran tenteram terhadap keselamatan anak-
anaknya, namun bercampur dengan keresahan yang
menggebu-gebu, kalau teringat akan apa yang bakal ia
perbuat. Tidakkah ini merupakan suatu
pengkhianatan? namun ia sudah bertemu dengan
chucky . Dan bukan sekali dua. Itu saja sudah bisa
dicap penghianatan. Sekarang, kepalang basah ...
Lagipula, mas syam kamaruzaman itu! Kariernya adalah yang
pertama-tama. Anak isteri, harus puas dengan
menempati urutan kedua. Mungkin yang ketiga,
sesudah dirinya sendiri!
“Kau sedikit terlambat,” sambut chucky waktu
mereka bertemu di darmo .
“Aku harus ke wisma dahulu . Memberikan alasan
ketidak hadiranku.”
“Yang penting, kau sudah datang, Lies.”
Dan dengan taksi mereka ngebut ke Puncak,
dan langsung ke bungalow mungil yang mereka
rencanakan semula. Letaknya agak jauh dari jalan raya
utama, melalui jalan tak beraspal yang berliku-liku,
dan persis berada di kaki sebuah bukit. Bukit itu
merupakan dinding belakang bungalow, dan latar
depan sesudah pekarangan yang diisi tanaman bunga
anggrek adalah sebuah lereng yang tidak begitu terjal
yang bertemu dengan persawahan yang padinya
sudah mulai menghijau.
Pemandangan di situ betapa amat menarik hati.
namun , chucky dan martini tidak bernafsu untuk
melihatnya. Begitu turun dari mobil, mereka langsung
masuk ke bungalow. Dan sesudah penunggu bungalow
menyerahkan anak kunci, chucky membuka pintu,
dan dengan elegance sedikit membungkuk
mempersilahkan martini : Lady first! Pintu lalu
tertutup di belakang mereka, dan suasana remang-
remang di dalam tidak memerlukan tempo lama untuk
menggugah hati kedua anak manusia itu. Mereka
berdiri berhadap-hadapan, saling tatap dengan
kelopak mata tidak berkedip, dan lalu tas
tangan milik martini , terjatuh ke lantai waktu mereka
saling merenggut dalam sebuah pelukan yang seperti
tidak akan terlepaskan lagi.
Untuk pertama kali sesudah lebih sepuluh tahun,
bibir mereka saling berpagut.
Semacam kerinduan yang tidak tertahankan,
segera menyusul.
Masih berpelukan, mereka saling menyeret
tubuh ke kamar tidur yang pintunya terbuka.
“chucky ...,” desah martini sengau.
“martini !” balas chucky , terengap.
Entah siapa yang memulai, mereka sudah tidak
saling berpakaian selembar benang pun lagi. martini
menangis saat ia merebahkan tubuhnya di atas
ranjang.
Dan ia masih menangis, saat lebih dari satu
jam lalu ia memeluk chucky dengan tubuh yang
lemah lunglai sambil berbisik terputus-putus di telinga
Laki-laki itu :
“Demi Tuhan, sayangku, belum pernah aku
sebahagia hari ini!”
Hari yang bahagia itu mereka isi seluruhnya di
dalam bungalow. Bukan sebab mereka tidak tertarik
dengan panopeniwise di luar. Bukan pula sebab mereka
takut seseorang yang mengenali diri mereka
dikirimkan Tuhan untuk lewat di sekitar bungalow.
namun , hari yang berbahagia itu, hanya bisa dinamakan
demikian, sebab kebahagiaan itu habis mereka cicipi
di dalam. Sekali mereka ke luar dari pintu, maka
mereka akan kehilangan sebahagian dari kebahagiaan
yang sangat berharga itu!
Namun begitu, waktu terasa berlalu sangat cepat.
Menjelang tiba di rumah sore harinya martini tidak
merasa perlu mendandani dirinya secara berlebihan
selagi duduk di jok belakang taksi yang membawanya
sesudah berpisah dengan chucky di darmo .
Kebahagiaan yang meluap-luap membuat keinginan
nya sangat keras untuk menyaksikan wajahnya saat itu
di depan kaca toilet kamar tidurnya. la ingin tahu, martini
yang bagaimanakah ia sekarang, sesudah ia menikmati
kebahagiaan yang tiada bertara dalam hidupnya
selama ini.
Dan martini tidak pernah sempat berkaca.
Baby-sitter yang bernama Renny itu tidak lagi
menemani anak-anaknya saat martini masuk melalui
pintu yang menganga terbuka. Mobil mereka ada di
depan, namun juga ia tidak melihat supir rumah sakit.
Di pekarangan, pembantu rumah tengah menyiram
kembang-kembang dan sebab ia membelakangi jalan
wanita lesbian tua itu tidak mengetahui kehadiran martini .
Dan martini pun tidak perlu bertanya pada
pembantunya, mengapa Renny tidak menunggu
sampai martini pulang sebagaimana yang sudah ia
instruksikan.
Tiadanya Renny, diterangkan langsung oleh
ayah anak-anaknya!
syam kamaruzaman tengah main halma bertiga dengan
peniwise dan Pranajaya, saat martini masuk ke ruang
tengah. Kedua anak itu tekun menghadapi permainan,
akan namun syam kamaruzaman yang wajahnya tampak kusut,
melihat kehadiran martini . Ia menoleh, memperhatikan
isterinya hanya secara sambil lalu. Hanya sambi Ialu.
Lantas sambil menjalankan biji dadu untuk
gilirannya, ia bertanya juga sambil lalu :
“Kukira kau tak akan pulang secepat ini, martini .”
martini berdiri mematung, tak bisa menghindari
kegugupan di matanya. Bahkan ia pucat saat itu,
namun untunglah suaminya berusaha menekuni
permainan seperti anak-anak mereka, sehingga
perubahan yang sekejap terjadi di wajah martini , tidak ia
perhatikan. Atau, pura-pura tidak ia perhatikan?
martini hampir-hampir tak sanggup mengatur nafas.
LALU sambil berjalan ke pintu kamar tidurnya, ia
berkata :
“Tidak dinas, pap?”
“Terpaksa tidak!”
martini tertegun. Kembali gugup, lalu bergegas
masuk ke kamar. Di kaca, ia lihat, betapa pucat
wajahnya, la berusaha merapihkan diri, memupuri
wajahnya dengan powder dan eye shadow untuk
menutupi keterkejutan.
Baru sesudah itu ke luar, berusaha tenang dan
ikut asyik melihati permainan halma itu, ia
mengemukakan rasa ingin tahunya:
“Renny sudah pulang?”
“He-eh. Tengah hari ia menelephone ke rumah
sakit. Katanya tidak enak badan. Sesudah kudesak, ia
baru mengakui bahwa ia tengah hamil muda. Apa
boleh buat, terpaksa kuijinkan ia pulang.”
“Oh!”
Sepi sebentar. Lalu :
“Ee, koplok!” seperti biasa, peniwise
menghardik adiknya. “Kau turun tangga sampai di sini
...,” dan ia menggeser ke bawah biji halma Pranajaya.
Untung, kali ini adiknya mengaku salah.
“Aku sudah coba hubungi kau ke Wisma ...”
celetuk syam kamaruzaman .
“Aku tak di sana, pap. Aku membezuk seorang
teman yang sakit.”
“Mereka juga mengatakan begitu,” ia tiba-tiba
menegor peniwise : “Eh, kau jangan licik,” dan ia
geser biji halma anaknya yang juga terkena kotak
larangan. peniwise garuk-garuk kepala sambil
tersenyum-senyum kecut, sementara Pranajaya
menjulurkan lidahnya ke depan muka abangnya.
peniwise melotot, dan hampir naik pitam kalau tak
keburu ayahnya memperingatkan : “Hayo, giliranmu
sudah tiba lagi!”
Tidak ada keinginan martini untuk tertawa melihat
tingkah laku anak-anaknya yang tidak pernah kompak
itu.
sebab , sebelum perutnya digelitik oleh rasa
geli, syam kamaruzaman sudah melanjutkan : “Aku sudah
mencoba menyusun sejumlah daftar, martini .”
“Daftar?”
“Alamat teman-teman terdekatmu, sejauh yang
kuketahui. namun sesudah menelephone mereka satu
persatu, mereka semua bilang mereka sehat-sehat
saja, dan tidak melihat kau hari ini ...”
martini terjebak.
namun ia tidak mau menyerah semudah itu.
“Pap, kau toh tidak bermaksud menuduh…”
“Aku tak berkata begitu.”
martini kini terjepit.
Untuk menghindar dari kesulitan itu, ia
mengalihkan persoalan : “Mana nyi girah ?”
Acuh tak acuh, syam kamaruzaman menyahut:
“Justru sebab dialah aku pulang. Kata zus
Renny, suhu badan nyi girah meninggi. Sesudah kuberi,
obat, baru turun lagi. Tak usah cemas, la sudah tidur
nyenyak di kamarnya…”
Namun toh berlari juga martini ke kamar.
Benar. nyi girah tidur nyenyak, dan suhu badannya
agak panas.
martini menggigit bibir. Dalam hati, ia menjerit :
“Anakku. Maafkan dosa ibumu yang terkutuk ini!”
Tidak habis sampai di situ rasa penyesalan martini .
Suaminya tak lama lalu pamit untuk kembali ke
rumah sakit. Namun sebelum pergi ia toh masih
sempat menyatakan “sympathi”-nya :
“Kuharap penyakit temanmu itu sudah sembuh,
martini .”
Akibatnya, martini menangis tersedu-sedu di
kamar anaknya.
hari demi hari berlalu tanpa terjadi sesuatu
yang ditakutkan martini datang dari pihak suaminya.
syam kamaruzaman bersikap biasa saja, seolah-olah tidak
terjadi sesuatu yang patut ia curigai, la tetap
melakukan kesibukan-kesibukannya dan kalau berada
di rumah tetap dengan kebiasaan-kebiasaannya. Bila
tidak sedang dicekoki persoalan pekerjaannya, peniwise
pada anak-anak dan berusaha membimbing mereka
dalam pelajaran sekolah yang sulit-sulit. Terhadap
martini , sikapnya tidak mengalami perubahan. Namun
jauh di dasar sanubari wanita lesbian itu, tergurat sebuah
luka. Tiap kali berpandangan mata dengan suaminya,
tiap kali ia melihat sesuatu yang tersembunyi di balik
mata itu.
Betapa inginnya ia agar syam kamaruzaman mengemuka
kannya terus terang. Dan ia akan berkata jujur tentang
segala-galanya.
Ia bahkan berani untuk menyatakan ini :
“Terserah kau, pap. Aku memang bersalah, dan
apapun yang ingin kau lakukan atas diriku, akan
kuterima dengan pasrah.”
namun syam kamaruzaman tetap kebungkamannya yang
misterius.
Dan martini semakin tersiksa. Meskipun ia melihat
adanya perubahan lain pada kebiasaan suaminya
sesudah hari berbahagia yang penuh dosa bagi martini
itu, si wanita lesbian tetap tertekan bathinnya. Hampir
hampir tidak ada artinya baginya hal-hal yang baru ini
: syam kamaruzaman berusaha semakin sering didekat isteri dan
anak anaknya, ia akan menelephone dari rumah sakit,
seperti mula-mula mereka kawin, untuk mengatakan
jam berapa ia akan pulang, atau apakah ia akan makan
siang di rumah atau di kantin saja. Malam hari, ia tidak
lagi ngorok di sofa dengan majalah atau suratkabar
terhampar kian kemari. Juga ini: Dering telephone
yang selama ini kebanyakan sangat dibenci martini ,
mulai pula dibatasi syam kamaruzaman untuk melayani.
Perasaan berdosa itulah yang mendorong martini
untuk melanggar janji kencan dengan chucky ,
sebagaimana yang mereka ikrarkan tersama saat di
Puncak. Jangankan ke bungalow. Ke bar yang penuh
pengertian di darmo itupun, martini sudah bersumpah
tidak akan menginjaknya lagi seumur hidup. Tentu saja
; bila chucky menunggunya di sana, tanpa kehadiran
syam kamaruzaman , suami martini .
Sekali waktu, chucky nekad menelphone ke
rumah martini .
Untung ia sendiri yang menerima, dan tidak ada
orang di rumah kecuali pembantu.
“Ya Tuhanku. Aku sudah demikian cemas
memikirkan kau. Kusangka kau jatuh sakit, atau apa
...”
“Aku sehat-sehat saja, chucky . Berkat do'amu.”
“namun mengapa ...”
“Kumohon, chucky ,” ujar martini sungguh-
sungguh. “Putuskan hubungan telephone ini. Dan
akhiri segala dosa yang sudah kita perbuat.”
“Lies…!”
“Perlukah aku datang untuk bersujut di telapak
kakimu, chucky ? Kalau memang itu syaratnya, aku
bersedia!”
“Hai, apa ini?”
“Hanya soal sepele, chucky : Kesetiaan.”
“Ah ...”
“Memang tidak lucu kedengarannya. namun aku
tidak bermaksud mengumbar kata-kata muluk.
Ingatlah, chucky . Kau punya isteri dan sejumlah anak-
anak. Tidak. Jangan potong kata-kataku dahulu .
Kuulangi, kau punya isteri dan anak. Aku juga, chucky .
Aku masih syah jadi isteri syam kamaruzaman … tunggu, demi
Tuhan, jangan memutus pembicaraanku,” nafas martini
sesak di corong telephone. “Perasaanku terhadap mas
syam kamaruzaman masih seperti semula. Percayalah, chucky .
namun terhadap anak-anakku… Oh!” martini terisak.
“Tahukah kau apa yang terjadi dengan nyi girah saat
dosa itu kuperbuat di Puncak bersamamu?” ia
mengurut dadanya yang seperti mau meledak. “Ia
sakit panas, chucky !”
“Barangkali suatu kebetulan dan…”
“Demi Tuhan. Itu naluri. Naluri seorang anak!”
“Mustahil!”
“Kau tak akan mengerti. sebab kau seorang-
laki-laki.”
“Baiklah. Jangan tersinggung. namun , tak
mungkin perpisahan kita harus secara ini.”
“Apa boleh buat, chucky . Akupun merasa berat,
terlalu konyol dan dungu rasanya.”
“Sekali saja, Lies!”
“Tidak…!”
“Untuk terakhir kali, kalau itu yang kau
kehendaki!”
“Tidak ...”
“Kumohon padamu, Lies.”
“Okey. Berjanjilah, untuk terakhir kali. Dan
hanya untuk berjabatan tangan sebagai tanda
perpisahan terhadap masa-masa manis yang kita
jalani, sekaligus tanda persaudaraan untuk masa-masa
datang...”
Ada keluhan dalam di seberang sana. Lalu :
“Aku setuju.”
“Kapan?”
“Hari ini juga!”
Itu lebih baik. Makin cepat, makin mudah
menetapkan pendirian. Terutama, sesudah martini kini
digantungi dosa yang kian memberat itu, dan dicekoki
oleh penyesalan tiada tara. Tidak akan chucky bisa
merubah pendiriannya lagi.
Masih punya waktu dua jam sebelum
menjemput anak-anak ke sekolah, martini segera
mengebut mobilnya ke darmo . Tidak lagi
mempergunakan taksi. Toh, pertemuan ini adalah
untuk tujuan baik, bukan lagi untuk ... Wahai, betapa
mengerikannya kebahagiaan itu. Betapa terkutuknya
karunia yang penuh kenikmatan itu!
martini menggigit bibirnya keras-keras, agar tidak
sampai menangis.
la harus tabah di hadapan chucky .
namun sesudah berada di balik box tertutup itu,
chucky melakukan sebuah gerakan yang tidak terduga
oleh martini . Dibantu oleh suasana bar yang memang
sedang tiada pengunjung sebab masih terlalu pagi,
chucky langsung saja memeluk martini dan menekan
tubuhnya ke tembok. martini meronta namun ia merasa
malu untuk berteriak. Dan mana kala bibirnya
terbenam dalam kuluman bibir chucky yang panas
berapi api, ia bahkan tidak teringat lagi untuk
menjerit.
la justru membalas pelukan Laki-laki Itu.
Menyambut ciumannya dengan segenap rasa
cinta.
“Kekasihku. Kekasihku…,” desahnya lalu .
Dan ia benar-benar menangisi!
Bukan itu saja.
“Ada hotel beberapa ratus meter dari sini, Lies,”
bisik chucky .
“chucky , jangan ...”
“Aku bisa gila kau kau menolak, Lies!”
“namun ...”
“Jangan mendustai dirimu.”
Dan mereka ngebut ke hotel yang dimaksud
demikian tergesa-gesa sampai martini lupa mereka
mempergunakan mobil suaminya. Betapa tidak. Di
mobil chucky menyatakan betapa inginnya ia bercerai
saja. Dengan martini melarikan diri ke tempat jauh,
betapa tidak berbahagianya ia selama sepuluh tahun
ini, dan betapa indahnya hari-hari yang sekarang tak
ubahnya karunia Tuhan yang tiba-tiba dijatuhkan dari
langit untuknya. Untuk martini . Untuk mereka berdua.
Hanya mereka berdua!
Mereka sudah siap memasuki pintu sebuah
kamar diantar oleh seorang pelayan, saat seseorang
berseru :
“Hai, bung chucky . Ngapain di sini?”
Celakanya, pelayan sudah membuka pintu
kamar, bahkan sudah mempersilahkan chucky dan
“isteri” sebagaimana ia cantumkan di buku tamu ,
saat orang itu datang mendekat dan lalu
berhadap-hadapan dengan chucky yang wajahnya
mendadak berubah kecut.
“Aku ah. Perkenalkan. Ini, martini .”
Laki-laki setengah baya dan berkacamata itu,
memperhatikan martini dengan seksama. Tiba-tiba, ia
tersenyum kecil, dan bermain mata dengan chucky , sambil menyindir : “Seorang mahasiswi untuk teman
berpraktek lagi, chucky ?” dan ia mengulurkan tangan
untuk berjabatan dengan martini . Dan segera terkejut
waktu menyadari betapa pucat wajah dan betapa
gemetar tubuh si wanita lesbian . Butir-butir air
mengambang di sudut-sudut mata martini .
“Maafkan Nona, saya tidak bermaksud…”
Ucapan itu tidak perlu ia lanjutkan. sebab ,
sesaat martini sudah menghambur meninggalkan
mereka, dan berlari-lari seperti maling dikejar hansip
menuju ke mobil yang diparkir di halaman hotel.
Disaksikan pandangan mata orang-orang yang
keheranan, martini menghidupkan mesin mobil,
membelok ke jalan besar dengan suara ban yang
menjerit-jerit lengking, lalu terbang membelah
lalu lintas yang peniwise i seperti seorang pembalap yang
sudah ketinggalan beberapa lap dari lawan-lawannya.
chucky , dengan wajah pucat pasi, menarik
temannya kebalik sebuah tiang beton besar dan tinggi.
“Demi setan!” ia memaki “Apa yang kau
lakukan?”
Bingung, temannya menyahut:
“Aku kira ia salah seorang mahasiswi nakal yang
berhasil kau rayu seperti biasa, jadi ...”
“Kau pikir kau suci, eh?”
“Memang tidak. namun dengan anak didik
sendiri…”
“Setan alas! Ia kekasihku semenjak selusin
tahun berselang. Bodoh. Jadah!” dan selusin pula
umpat caci yang ia lontarkan sambil menyingkir dari
hotel melalui halaman samping. Betapa malunya
chucky . Tidak saja terhadap orang-orang di situ.
namun terutama terhadap martini . Benar, ia suka main
wanita lesbian selama beberapa tahun terakhir, tapi
semua itu sebab tiada kebahagiaan dalam rumah
tangganya. Dengan martini , ia bersungguh-sungguh, dan
akan berusaha dengan segala daya upaya untuk
memperoleh wanita lesbian itu.
la akan mengobarkan kecemburuan suaminya, kalau
perlu, dan kalau perlu lagi, ia akan bersabar untuk
menunggu sampai martini kembali sendirian, dan ia bisa
melamarnya, sebagar isterinya yang tercinta. Sama, seperti rencana yang sudah pernah, ia pikirkan masa
selusin tahun berselang.
Dan hanya dalam tempo beberapa detik, semua
itu buyar berantakan!
martini tidak ke sekolah.
la langsung ke rumah sakit, dan bersabar
menunggu suaminya ke luar dari kamar operasi.
Matanya sembab saat akhirnya mereka
bertemu. syam kamaruzaman memandang martini dengan wajah
terheran-heran.
“Ada apa, sayangku? nyi girah panas lagi?”
martini memeluk suaminya.
Tersendat, ia berkata.
“Aku sudah berdosa, pap. Aku …”
Aku syam kamaruzaman tersenyum polos. Dan, berkata
lembut.
“Aku tahu. Dan aku juga tahu, sesudah
menyadari dosa-dosamu, kau akan menemuiku.
Sudahlah. Jangan pula menangis di sini. Tidakkah kau
lihat, sarung tanganku bergelimang darah? Dan eh…”
ia mengangkat dagu isterinya, menatap mesra ke
matanya : “Sudah waktunya anak-anak dijemput,
mam. Kita ke sekolah bersama-sama, ya?”
pada pandangan yang pertama, mereka berdua
sudah sama-sama memutuskan untuk menerima
lamaran pekerjaan yang diajukan laki-laki yang
memperkenalkan diri dengan nama dul latief itu. la
berumur 30 tahun dan sudah melalui masa dua tahun
bekerja sebagai seorang supir taxi liar sebelum
membaca iklan di surat kabar yang kini ia paparkan di
atas meja tamu dengan menambah sedikit alasan :
“Saya sudah lelah memburu setoran yang tidak
selalu bisa saya penuhi. Soalnya, taxi semakin banyak.
Sudah waktunya saya mencari penghasilan yang
tetap...!”
Alasan yang benar-benar terlalu sedikit, namun
cukup masuk akal. Bagi nyi kembang alasan dul latief itu
sebetulnya tidak urgent betul. Apa yang mendorong
hatinya untuk sesaat menerima lamaran Laki-laki itu
adalah wajah dul latief yang lembut, tatapan matanya
yang ragu-ragu sehingga sekali pandang tampaknya ia
adalah seorang laki-laki yang mudah diatur.
Lain halnya dnngan tiny . Begitu membuka
pintu untuk tamu itu seperempat jam berselang ia
sudah terkesan oieh bentuk tubuhnya yang atletis
lalu langkah jalannya yang gagah saat
melangkah masuk dan ragu-ragu sebelum dipersilah
kan duduk. Namun ada satu hal yang paling pokok dan
satu-satunya pula hal yang sama dalam pandangan
kedua wanita lesbian itu : dul latief benar-benar seorang
Laki-laki yang tampan!
Sesudah nyi kembang saling pandang dengan
tiny , pelan-pelan ia bertanya :
“Berapa permintaan gaji yang kau ingini?”
Andai saja laki-laki itu mengajukan harga yang
tinggi, tentulah nyi kembang tidak akan menampiknya.
Namun tentu pula ia harus berbincang-bincang dahulu
dengan tiny untuk mendapatkan persetujuan dari
anak gadis lesbian nya itu, sekedar agar ia tidak tampak terlalu
otoriter dan terlalu bernafsu untuk menerima
kehadiran Laki-laki itu. Bisa-bisa anak gadis lesbian nya menjadi
curiga.
Di luar dugaan, dul latief menjawab :
“Posisi saya adalah sebagai orang yang
menadahkan tangan. Jadi soait jumlah gaji, saya
serahkan kepada orang yang akan memberi!”
Jawabannya tegas. Dan sangat diplomatis.
tiny mendehem kecil, sebellum bertanya:
“Suka ngebut tidak?”
Laki-laki itu ragu-ragu sebentar. Lalu :
“Tergantung …”
“Ya?”
dul latief menjelaskan :
“Tiap ada penumpang yang naik ke taksi saya,
saya akan selalu mengajukan pertanyaan yang sama :
slow saja, Tuan? namun sekali seorang penumpang
tampak sangat terburu-buru, maka saya akan
langsung tancap gas. Apalagi kalau sudah penumpang
sendiri yang minta. Malah pernah ada yang maksa
saya lari seratus di tengah-tengah lalu lintas yang
peniwise i.”
“Gila!”
“Apa boleh buat. Maunya penumpang.
Namun...,” dul latief tersenyum kecut. “Tak jarang pula
terjadi, Bandung-Lembang yang biasanya memakan
tempo seperempat jam, harus saya tempuh dalam
satu jam lebih. Penumpang yang ini mungkin punya
turunan dengan siput…”
nyi kembang dan tiny tertawa berbareng, dan
keputusan pun dibuat:
“Okey. Anda kami terima!”
Satu dua hari pertama, segalanya berjalan
lancar. dul latief ganti berganti mengantarkan kedua
wanita lesbian itu. nyi kembang ke butik yang sudah
bertahun-tahun ia usahakan tak jauh dari Braga.
Kadang-kadang ke pertemuan dengan organisasi
wanita, dan arisan-arisan. tiny punya Honda
bebek yang ganti setengah tahun sekali, namun
semenjak kehadiran dul latief ia mulai manja.
Jangankan shoping atau pergi ke kuliah. Pergi ke
rumah teman pun ia minta di antar. dul latief appel
tiap jam tujuh pagi di rumah anak beranak itu dan
mengakhiri pekerjaannya sekitar jam sepuluh malam,
sesudah mana ia lalu boleh pulang ke rumah di
mana katanya ia kost di Tegal lega.
Sampai pada suatu malam, penyakit pusing-
pusing yang sudah rutine mendatangi nyi kembang ,
muncul sekonyong-konyong sedangkan persediaan
obat di rumah sudah habis. tiny buru-buru
menelephone dokter langganan ibunya, namun
ternyata telephone rusak. Terpaksalah tengah malam
itu juga tiny mengebut mobilnya ke rumah dokter
dan menjelang subuh penyakit ibunya mulai reda.
namun sebuah putusan mereka kompromikan dari
kejadian malam itu : dul latief tidak boleh jauh-jauh
dari mereka, agar sesewaktu diperlukan ia selalu
hadir. Jadi satu-satunya jalan adalah menawarkan
posisi baru bagi laki-laki itu.
Pagi-pagi, saat ia muncul dan ikut sarapan,
pada dul latief diajukan pertanyaan setengah
memohon ini:
“Apakah kau keberatan tinggal bersama kami?
Ada kamar yang bisa kau tempati. Makan tak usah
bayar…”
dul latief tidak menolak. Alasannya kali ini juga
masuk akal, tepeniwise t masuk akal:
“Kebetulan sekali. Ongkos indekost semakin
melangit saja sekarang ini.”
Namun tentu sebagai seorang laki-laki yang
tahu harga diri --setidak-tidaknya sebagai orang Timur
yang bisa menjaga sopan santun, ia merasa perlu
untuk menambahkan basa-basi ini : “namun saya
merasa diberi kehormatan terlalu tinggi. Padahal saya
belum lama bekerja dan Anda berdua belum kenal
betul dengan pribadi saya.”
Hanya Tuhan yang tahu, mengapa anak beranak
itu menjawab serempak : “Lebih dekat akan lebih ...”
dul latief mengernyitkan dahi, memandang
kedua orang wanita lesbian itu, yang menjadi tersipu-
sipu sebab nya. Dengan bijaksana nyi kembang
mengulangi apa yang ia dan anak gadis lesbian nya tadi ingin
katakan:
“Maksud kami, bukankah semakin berdekatan,
semakin mudah untuk mengenal pribadi masing-
masing?” ia lalu tersenyum. Manis, dan
berusaha agar sinar matanya tidak tampak terlalu
gembira waktu melanjutkan : “Jadi, bung dul latief
tidak keberatan tinggal bersama kami. Kapan kau
bermasksud pindah? Maksud saya, agar mbok Paijah
kami suruh mempersiapkan kamar untukmu…”
Pembantu rumah yang sudah tua itu sudah
merapihkan kamar yang akan ditempati dul latief pada
hari itu juga. namun laki laki itu baru menempatinya
tiga hari lalu , dengan alasan ia harus memberes
kan segala sesuatunya di tempat lama. nyi kembang dan
tiny kembali sama-sama maklum; tentulah
dul latief tidak ingin ketahuan, betapa bernafsunya ia
untuk segera bisa pindah ke rumah mereka. Begitu
dul latief menempati kamar yang cukup besar dengan
segala perabotan yang sudah disediakan lengkap,
maka laki-laki itu pun rupanya tahu membalas budi
juga. Pada waktu Mercedez mereka menganggur,
maka dul latief membantu pekerjaan tukang kebun di
pekarangan depan dan di belakang rumah. Sehingga,
malang bagi tukang kebun itu. Meskipun ia diberi
pesangon setahun gaji, ia terpaksa harus melepaskan
pekerjaannya dengan hati berat. Majikannya bukanlah
orang yang suka mengeluarkan uang dari sela-sela jari
yang dirapatkan dengan dahi dikerutkan. Lebih sering
memberi hadiah daripada melemparkan kata-kata
kemarahan.
Untunglah nyi kembang memberikan jalan :
“Bawa surat ini ke Tuan Harjadinata di
Supratman. la akan menerimamu bekerja di sana…”
Tukang kebun itu sangat berterimakasih.
Tadinya dalam hati ia sudah hampir mengutuk
dul latief . Kehadiran orang itu sudah merampas
kebahagiaannya. Kini, ia meninggalkan rumah itu
dengan dada yang agak lebih lapang, dan
mendo'akan kebahagiaan dan panjang umur bagi
kedua orang majikannya, la tidak pernah tahu, di kelak
lalu hari bukan saja kebahagiaannya yang sudah
dirampas orang baru itu, akan namun juga kebahagiaan
kedua orang majikannya. Dan perampasan yang
dilakukan dul latief itu betapa kejam. Betapa
mengerikan!
Dalam waktu yang singkat, dul latief sudah bisa
mengenal pribadi kedua orang wanita lesbian yang
menjadi majikannya. Di antara nyi kembang dan tiny
terdapat perbedaan umur yang sangat menyolok.
Sang ibu sudah mencapai usia 45 tahun, namun sangat
telaten merawat diri dengan bantuan kosmetik kelas
satu dan rajin ke salon dan belakangan ia ketahui juga
suka minum jamu. Tidak heran kalau wanita lesbian ini
tampak sepuluh tahun lebih muda. Pakaiannya sering
diganti. Kadang-kadang tiga empat kali sehari.
Tergantung berapa kali ia pergi ke luar rumah,
terutama ke butik tempat ia menduduki jabatan
sebagai direktris dan pemegang saham terbesar
sesudah anaknya tiny . namun saham yang dinamakan
terakhir ini baru bisa jadi milik penuh tiny , jika
tiny sudah menikah dengan sepertujuan nyi kembang .
tiny sendiri yang menentukan syarat itu sebagai
tanda bakti seorang anak terhadap ibunya yang sudah
hidup menjanda. Anak itu tidak ingin mengabaikan
kedudukan nyi kembang sebagai seorang ibu yang tidak
ada pelindungnya lagi, kecuali tiny sendiri.
Pada minggu-minggu pertama dul latief bekerja
di rumah itu sebagai supir pribadi merangkap tukang
kebun, ia bisa mengetahui bahwa ada beberapa orang
Laki-laki yang secara tetap berhubungan dengan janda
yang sudah berumur akan namun masih tetap cantik
dan bertubuh sintal itu. Mula mula ia menduga
tentulah Laki-laki -Laki-laki itu sanak famili, kenalan biasa
atau bussines-bussines man biasa. namun dari hasil
sesekali nguping ia lalu bisa memaklumi sejauh
mana kedudukan orang-orang itu dalam diri nyi kembang .
Tuan Suparja misalnya, seorang duda dengan tiga
orang anak dan bekerja sebagai manager sebuah
perusahaan tekstiel, tepeniwise t berminat untuk
memperisteri wanita lesbian itu. namun nyi kembang lebih
mementingkan Laki-laki itu sebagai jalan termudah
memperoleh bahan baku yang baik dengan harga
murah untuk butik yang ia jalankan.
Lain halnya dengan Tuan Ferdian, seorang Laki-laki yang suka bicara soal politik dan kesibukannya
menjelang Pemilihan Umum sebagai seorang Perwira
Menengah, la rupanya bekas teman sekerja suami
nyi kembang di ketenteraan, sebelum laki-laki yang
dinamakan terakhir ini meninggal dalam sebuah
kecelakaan mobil dan sudah dianggap orang dekat
dalam keluarga mereka. Mata dul latief yang tajam
bisa melihat, andaikata tuan Ferdian yang berpangkat
Kolonel itu tidak terikat oleh disiplin yang keras
dengan keharusan beristeri satu, maka dalam waktu
yang singkat ia sudah bisa menjadi penghuni tetap
rumah nyi kembang . Akan namun , hal itu bukan merupakan
halangan buat tuan Ferdian untuk sesekali
“berkunjung” ke tempat tidur janda tua berwajah
cantik dan bertubuh sintal itu.
Hal ini rupanya diketahui juga oleh anak
gadis lesbian nya, tiny .
namun sekali waktu, dalam pembicaraan yang
entah mengapa menjadi intim antara dul latief dengan
gadis lesbian yang menginjak usia 21 namun belum berniat
untuk hidup sendiri itu, tiny mengemukakan
pendiriannya:
“kanjeng mami seorang manusia biasa, la bukan
seorang Dewi, dalam arti ingin mempertahankan
kesucian, la butuh penyaluran. Sekurang-kurangnya,
ia membutuhkan seorang teman…”
“Bukankah ada Nona?”
“Aku? Paling-paling untuk membicarakan soal
mode, soal tingkah laku teman-temannya soal
pergantian menu di rumah, dan kadang-kadang soal
masa depanku. Lucu, kalau kami bicara soal
kebutuhan akan sex!”
“Toh tak ada salahnya. Nona sudah dewasa
untuk itu.”
gadis lesbian itu tersenyum riang.
“kanjeng mami punya lingkungan sendiri, demikian juga
aku. Dan kami ingin berdiri di lingkungan kami masing-
masing. Saling menghormati. Tidak saling mengusik.
Dengan demikian kami bisa terhindar dari usaha saling
cakar-cakaran. Kau kan tahu, kami sama-sama
wanita lesbian !”
Dan mereka sama-sama berjalan terpisah.
nyi kembang dengan tuan Ferdian, dan tiny dengan
Laki-laki -Laki-laki yang sebaya dengan dirinya. Anton,
temannya satu kuliah, Lukman Santosa yang masih
terhitung famili, Hardianto yang menjadi pelatih tetap
tiny mempergunakan senjata api di Perbakin, dan
masih ada sederetan nama-nama lagi yang tidak bisa
dihapal satu persatu oleh dul latief . Dalam keadaan-
keadaan tertentu, tiny suka juga membicarakan
teman-teman Laki-laki nya itu yang ia layani seadanya
saja, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang
gajian. Lebih banyak ia sahuti dengan kata-kata : ya, ah
masa', tidak, oh ya, begitu? Paling banter ia
berkomentar sesekali : orang pemarah memang
begitu, mungkin ia cemburu, habis sih nona
mengabaikan janji dengannya.
“Kau juga suka naik pitam kalau pacarmu
nyalahi janji, bung dul latief ?” tanya gadis lesbian itu dalam
sebuah kesempatan.
“Tergantung ...”
“Apanya?”
“Kalau gadis lesbian saya itu cantik jelita, saya terpaksa
harus makan hati. Kalau tak kuat nahan hati, cari saja
pacar yang jeleknya engga ketolongan!”
tiny tertawa bergelak.
“Pacarmu pasti cantik ya?” ia menerka.
“Oh, tidak.”
“Yang benar!”
“Punya juga belum kok!”
dul latief sebetulnya berdusta dengan
mengatakan ia tidak punya pacar. Kalau tidak punya
pacar tetap, barulah benar. Soalnya, dul latief lekas
bosan dengan seorang wanita lesbian . Terutama, sebab
ia belum punya penghasilan tetap sebelum ini, dan
masa depan tidak ada sama sekali, la khawatir tidak
bisa bertanggung jawab penuh untuk membentuk
suatu rumah tangga, sedangkan wanita lesbian -
wanita lesbian , sekali jatuh cinta, akan lantas minta
kawin. Tak heran kalau tiny mendesak:
“Bohong kau ya?”
“Sungguh!”
“Sungguh-sungguh bohong?”
“Ya eh, bukan!”
tiny tertawa bergelak lagi. Entah mengapa,
duduknya semakin merapat ke tubuh dul latief . Suatu
siang, pulang kuliah waktu tiny ia jemput gadis lesbian itu
bukan saja merapatkan duduknya, akan namun malah
juga mengajukan sebuah penawaran:
“Ada film bagus di President Pingin nonton,
namun teman-teman yang lain lagi punya acara sendiri-
sendiri. Mau kau temani aku, dul latief ?”
Dan mereka masuk gedung pertunjukan, teraya
bergandengan tangan!
Terus terang saja, perhatian dul latief tidak lagi
tertuju ke layar putih selama pertunjukan
berlangsung. Tangan gadis lesbian itu tidak mau lepas dari
genggamannya, belum lagi desah nafas hangat yang
sesekali menyapu leher. Hanya sebab tahu
kedudukannya sebagai orang gajian yang menyebab
kan dul latief berusaha untuk tetap tenang dan hanya
sesekali membalas tatap mata si gadis lesbian dalam
keremangan bioskop, la tahu apa arti tatapan mata
tiny , dan dul latief agak gemetar jadinya saat
mereka pulang ke rumah dan sebelum berangkat
menjemput nyi kembang ke butik, telinga dul latief sempat
mendengar bisikan mendesah dari mulut si gadis lesbian :
“Nanti malam, pintu kamarku tidak akan terkunci…”
goncangan hati yang membahana terus menerus
mengganggu pikiran dul latief sementara ia mengebut
kendaraan milik majikannya ke tengah kota. Tingkah
laku anak gadis lesbian majikannya akhir-akhir ini sudah
menjurus ke satu hal, dan kata-kata : “Pintu kamarku
tidak terkunci” bukan lagi sebuah ajakan, namun sudah
merupakan tantangan. dul latief pelan-pelan
menghubungkan tantangan itu dengan masa
depannya yang suram. Sekarangkah waktunya ia
mengambil kesempatan?
namun tiba-tiba ia berpikir. tiny sering
berganti pria. Habis yang satu, ambil yang lain.
Bukankah ada kemungkinan suatu saat juga ia akan
dicampakkan begitu saja? namun gadis lesbian ini kaya, cantik
pula lagi. Sayang, ayah yang membimbing sudah tidak
ada, sedangkan ibunya lebih sering berada di luar
rumah. Ke butik, ke rapat organisasi, ke arisan, ke
salon, menghadiri show-show amal ini dan itu,
meskipun tampaknya semua kesibukan itu lebih tepat
didorong oleh keinginan untuk melupakan pikiran-
pikiran buruk hidup menjanda. nyi kembang lupa, ia lepas
kontrol terhadap anak gadis lesbian nya tiny . Dan kontrol
yang lepas itu kini mengalir kejurusan dul latief .
Tidakkah tiny terlalu cepat?
Tiba di butik, barulah dul latief bisa memahami
mengapa tiny seperti berkejaran dengan waktu, la
disambut senyuman manis yang mengembang di bibir
nyi kembang . Senyuman manis yang sering diterima
dul latief akhir-akhir ini dari wanita lesbian itu. Di butik, di
jalan, bahkan di meja makan sehingga tidak luput dari
perhatian tiny . Biasanya kalau nyi kembang
tersenyum manis, maka dul latief sudah siap-siap
untuk menerima hadiah. Baju baru, sepatu baru,
kacamata atau arloji tangan. Pernah dul latief
menyatakan dengan halus :
“Bagaimana kalau barang itu tak usah di beli?
Lebih baik uangnya ditambahkan pada Tabanas saya di
bank…”
Kali inipun, sambil membereskan meja
kerjanya, wanita lesbian itu berkata dengan riang dan
sifat pemurahnya:
“Aku dapat untung besar, dul latief . namun aku
tidak mau makan sendiri. Aku sedang memikirkan
untuk membeli mobil sendiri untuk tiny .
Bagaimana pendapatmu?”
Ditanya begitu, dul latief berpikir sebentar. Lalu:
“Wah. Pertanyaan itu sebaiknya nyonya
tanyakan pada yang bersangkutan saja…”
“Ku ingin surprise. Betul toh?”
“Lah, tak ada persoalan kalau begitu.”
nyi kembang geleng-geleng kepala, dan ia
tampaknya amat serius waktu menjelaskan :
“Inilah persoalannya. Sebuah mobil baru,
berarti diperlukan seorang supir baru
“Oh!” sahut dul latief , agak tersudut. “Benar
juga. Supir untuk siapa kira-kira, kalau boleh saya
tahu?”
wanita lesbian itu menatap lurus ke mata dul latief .
Tajam dan tidak ingin di bantah. Katanya :
“tiny , tentu!”
“Oh!” lagi.
“Mengapa oh?” nyi kembang memandang dengan
curiga.
dul latief berusaha tersenyum sepolos mungkin.
Polos pula, ia menjawab :
“Akan diperlukan waktu yang lama untuk
menemukan supir yang cocok dengan selera nona
tiny . Dan itu pun, kalau ia membutuhkan supir
yang lain. Mudah-mudahan ia lebih suka menyetir
sendiri kendaraannya…”
Hari sudah malam saat mereka meninggalkan
butik.
nyi kembang tidak ingin langsung pulang ke rumah.
“Kita makan di restoran saja malam ini,”
katanya.
Dan selagi makan, sesudah berpikir agak lama
sehingga seleranya tampak agak menurun, nyi kembang
nyeletuk:
“... yang kubingungkan, dul latief , kalau nyi kembang
lebih suka dicari supir baru.”
“Oh ya? Clear dong kalau begitu.”
“Kalau untuknya, memang. namun kalau yang ia
cari untukku ... nah! Inilah yang membuatku bingung.”
“Mengapa?” tanya dul latief , sedikit berhati-
hati.
“Aku menginginkan kau, dul latief . Hanya kau!”
dul latief terkejut.
Itu bukanlah lagi sekedar perintah resmi. Ada
bau-bau tidak resmi dalam nada suara janda berumur
itu. Bau-bau yang hanya laki-laki bermata awas saja
yang bisa memahaminya, laki-laki yang sudah biasa
berhadapan dengan wanita lesbian . dul latief berpikir-
pikir, apakah ini artinya mengapa nyonya nyi kembang
mulai membatasi hubungannya dengan tuan Fredian?
Sang Kolonel sudah semakin jarang ke rumah mereka
bahkan kali terakhir ia datang, hanya sempat duduk di
kursi tamu untuk minum sesloki scoth. nyi kembang
berusaha keras agar suami dari wanita lesbian beranak
tujuh itu tidak berkesempatan melangkahkan kaki ke
kamar tidurnya sebagai mana biasa ...
“Bagaimana pendapatmu, dul latief ?”
Bingung juga dul latief menjawab. namun lalu :
“Kalau itu putusan nyonya, saya toh harus ...”
“Kerelaanmu, dul latief . Kerelaanmu yang ku
kehendaki!”
dul latief mencoba tersenyum.
“Bagaimana nyonya saja. Saya toh hanya orang
gajian.”
wanita lesbian itu tampaknya tersinggung.
“Bodoh!” umpatnya. Pendek. Lalu buru-buru
berdiri lantas bergegas meninggalkan restoran.
Untunglah dul latief selalu membekali kantongnya
dengan sejumlah uang, sehingga rekening ia bisa
bayarkan tanpa harus menahan majikannya.
Di dalam mobil, wanita lesbian itu kusut mukanya.
Barulah ia tampak tua. dul latief merasa kasihan
dan salah tingkah. Sesudah lama saling berdiam diri, ia
akhirnya memulai :
“Maafkan saya, nyonya...”
wanita lesbian itu menarik nafas.
“Ah. Tak ada yang perlu dimaafkan,” sahutnya.
“namun nyonya, kata-kata saya tadi ah,
bagaimana ya. Soalnya saya malu untuk menentukan
sikap. Maklumlah, saya ini hanya orang lain dalam
keluarga nyonya, sehingga ...”
“dul latief ,” ujar wanita lesbian itu, dan tiba-tiba
saja tangannya sudah menyentuh lengan supir
pribadinya itu. dul latief kaget, namun bisa menahan
diri. Diam-diam saja ia dengarkan lanjutan kata-kata
majikannya : “Kau sudah lama tinggal bersama kami,
dul latief . Kami tidak memperlakukan kau sebagai
orang lain selama ini, bukan? Bagi kami, kau tak
bedanya dengan keluarga sendiri, bahkan ... bahkan
mungkin lebih dari itu!”
“Nyonya ...,” dul latief tidak melanjutkan kata-
katanya, oleh sebab si wanita lesbian tau-tau sudah
merebahkan wajahnya di bahu dul latief . Tidak se-
patah katapun terucap dari bibir wanita lesbian itu,
kecuali rebahan wajah itu. Mobil agak tergoncang oleh
ketidak stabilan tangan dul latief di setir, terlebih-lebih
lagi sesudah dengan ekor matanya ia lihat pipi
wanita lesbian itu basah. Bahkan ia dapat merasakan
betapa jari-jemari nyi kembang yang mencengkeram
lengannya, gemetar.
Dalam kebingungannya, sebelah tangan
dul latief meninggalkan setir lantas dengan ragu-ragu
mengembang untuk memeluk pundak nyi kembang .
Pelukan itu membuat si wanita lesbian benar-benar
menangis. Di antara isak tangisnya ia berkata
tersendat-sendat:
“... jadi kau mengerti ... dul latief ... Kau sudah
tahu, perasaanku. Aku ... aku tidak mungkin kucing-
kucingan dengan Laki-laki ... Sudah waktunya aku
memilih. Padamulah pilihanku jatuh, dul latief . Aku
percaya itu, semenjak kau datang ke rumah dengan
selembar koran di tangan. Aduh, dul latief , aku cinta
padamu, sayangku. Patutkah ini? Patutkah?”
dul latief menelan ludah.
wanita lesbian ini cantik. Tubuhnya sintal, bahkan
ia dapat merasakan betapa hangat dada wanita lesbian
itu terasa menempel di lengannya. namun ia sudah
empat puluh lima, sedangkan dengan jujur dul latief
harus mengakui bahwa diam-diam ia lebih
menjuruskan perhatiannya pada tiny , anak gadis lesbian
nyi kembang .
“Mengapa kau diam saja, dul latief ? Katakanlah
sesuatu. Biarpun menyakitkan, aku akan tabah
mendengarkannya. Apakah sebab sebab aku sudah
berusia lanjut, dul latief ?”
Memang itulah pokok pangkalnya, pikir
dul latief , namun di mulut ia berkata lain :
“Bukan itu persoalannya, Nyonya. namun …”
“Nyonyal Nyonya! Kapan kau berhenti
memanggilku dengan sebutan yang buruk itu? Panggil
saja namaku, dul latief . Bukankah sudah tahu? Atau
kalau kau segan dan masih dibatasi oleh soal
perbedaan usia, panggil aku “mami” atau apa saja,
asal jangan nyonya ,...”
dul latief membasahi bibirnya yang kering…
Usia yang jauh berbeda, pikirnya. Aku tiga
puluh, ia ini empat lima. Aku masih punya kesempatan
banyak dan cukup jauh, sedang ia ini tidak lama lagi.
Mungkin tinggal setahun dua tahun lagi, siapa tahu?
Dan sesudah itu, dengan ia tercantum sebagai suami
yang syah ...
dul latief memutuskan :
“nyi kembang , bagiku tak ada persoalan. Aku
menyukaimu, namun ...”
“Itu sudah cukup, dul latief ,” pelukan nyi kembang
kian erat, ditambah pula sebuah ciuman yang mendarat
di bibir Laki-laki itu. Panas. Dan berapi-api.
“Untuk menikah diperlukan cinta yang tulus.
Aku harus berlaku jujur...”
“Aku tidak membutuhkan cinta, dul latief . Aku
sudah muak dengan itu. Almarhum suamiku juga
mengatakan itu, namun toh masih juga ia menyimpan
wanita lesbian lain di luaran. Ferdian, apalagi, namun
kalau ia benar benar cinta, apa susahnya menceraikan
isterinya? Tidak, dul latief . Aku tidak membutuhkan
ucapan omong kosong itu lagi. Aku membutuhkan
seorang laki-laki. Seorang yang bersedia dan suka
melindungiku…”
Mereka hampir sampai.
dul latief sudah melihat rumah mereka, dan
bahkan ia seolah-olah sudah bisa melihat tiny .
tiny , di kamar yang pintunya tidak terkunci... Kau
menghendakiku, tiny , bagaimana aku juga
menghendaki kau, namun ibumu ... Rupanya nyi kembang
juga sudah melihat rumah mereka, sebab dengan
tiba-tiba ia menyuruh dul latief membelokkan
Mercedez itu. Sesudah jauh dari rumah, dul latief
bertanya ke mana mereka harus pergi.
“Aneka Plaza saja, dul latief -ku,” menyahut
nyi kembang . Mesra.
Dua jam lebih mereka habiskan waktu di nite
club itu. saat mereka ke luar keringat membasahi
hampir sekujur tubuh, dan wanita lesbian itu tampak
sudah mulai mabuk, la hampir tersungkur di pintu ke
luar kelab malam kalau tak keburu dipegangi dul latief
yang membantunya naik ke dalam mobil. Sesudah
duduk di belakang setir, dul latief memperingatkan : “Apa tiny tak marah kalau melihat kau
mabuk, nyi kembang ?”
wanita lesbian itu tersenyum.
“Kalau demikian, sebaiknya aku pulang dalam
keadaan segar bugar.”
“Wah. Bagaimana mungkin?”
“Ada sebuah motel di Karangsetra, dul latief .”
dul latief tersenyum. Jalan di depan mobil
tampak terbuka lebar. Lebar. Semakin lebar ...
la tancap gas dengan dada yang berbunga-bunga.
sebelum membelok memasuki motel, dul latief
meminta nyi kembang ke luar sebentar dari dalam mobil.
“Hirup udara segar banyak-banyak ...”
“Untuk apa?” tanya nyi kembang dengan kepala
teleng sebab mabuk.
“Hirup saja. Panjang ... lebih panjang lagi…”
Susah payah, nyi kembang berhasil juga melakukan
apa yang diperintahkan oleh dul latief . Ada dua
maksud dari laki-laki itu. Pertama, biar kepala nyi kembang
yang puyeng agak ringan sedikit sehingga ia tidak
harus merasa malu membawa seorang wanita lesbian
yang berjalan tersuruk-suruk masuk motel. Di samping
itu, kesediaan nyi kembang berarti banyak hal buat
dul latief . wanita lesbian itu mau diperintahnya. Biarpun
dalam keadaan setengah mabuk, namun sebagai
permulaan sudah cukup. Tidak lagi ia yang berada di
bawah perintah. Hal ini sangat penting artinya bila
sekali waktu ia harus hidup sebagai suami wanita lesbian
ini.
Meskipun tamu wanita lesbian yang muncul
bersama laki-laki tampan yang berbeda jauh usianya
itu tampak sedikit mabuk, penerima tamu motel
bersikap acuh tidak acuh saja. Yang ada di benaknya
hanyalah musim hujan yang panjang, mana bulan
tanggung sehingga kamar-kamar motel banyak yang
kosong. Tidak pula boleh diabaikan begitu saja, tip
yang lumayan yang diberikan oleh nyi kembang pada
penerima tamu itu, sehingga ia bergegas memanggil
pelayan untuk mengantarkan tamu mereka ke kamar
yang mereka sukai. saat tamunya itu menjauh, si
penerima tamu bersungut-sungut iri:
“Laki-laki itu pasti seorang gigolo. Beruntung
benar dia dapat wanita lesbian ini. Memang sudah tua,
namun cantik dan pinggulnya ...” ia gemetar sendiri,
sambil mengepal-ngepal kan tangan yang terasa gatal.
Sesudah pintu tertutup di belakang mereka,
nyi kembang langsung memeluk dan menciumi dul latief
dengan bernafsu. Laki-laki itu melayaninya sebentar,
lalu berkata terengah-engah.
“Aku mau ke kamar mandi dahulu ...”
“Nanti saja!” cengah nyi kembang .
“namun ...”
“Ngggg…” nyi kembang bergayut di leher dul latief
dengan kedua belah mata setengah terpejam dan
mulut setengah terbuka, mengeluarkan bau minuman
keras. dul latief terpaksa mengikuti kemauan nyi kembang
untuk segera naik ke atas kasur busa yang lebar dan
hangat. Mereka langsung jatuh bergulingan di atas
permukaan kasur itu, sampai setengah bagian tubuh
mereka tenggelam tampaknya di dalam kasur. Ada
sebuah jendela yang terbuka, menghadap ke taman
yang samar-samar tampak dalam kegelapan di luar. dul latief melihatnya dan berusaha melepaskan
pelukan dan ciuman nyi kembang yang bertubi-tubi.
“Mau ... ke mana kau!”
“Jendela terbuka”
“Biar ...”
“Dingin.”
“Biar!”
“Entar ada yang ngintip.”
“Ngghml Biar. Biar! Biar...!”
Dan tubuh mereka yang mandi keringat
semakin tenggelam ke dalam kasur.
dinihari baru mereka pulang ke rumah.
Untuk menghindari kecurigaan tiny ,
nyi kembang yang langsung memijit bel sementara
dul latief menunggu di dalam mobil tepat di depan
pintu garasi yang tertutup. Dalam hati nyi kembang
berharap yang membuka pintu adalah mbok Paijah,
bukan anak gadis lesbian nya. sebetulnya ia tidak perlu
khawatir tiny tahu permainannya dengan
dul latief sebab selama ini tiny toh tidak perduli
dengan Laki-laki mana saja ibunya pergi, seperti nyi kembang
juga berusaha untuk tetap menghormati tiap Laki-laki
yang membawa tiny untuk berkencan.
namun adalah terlalu pagi untuk membuka kartu
sekarang.
tiny yang membuka pintu. Rambutnya
kusut, dan matanya tampak agak kemerah-merahan.
saat mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya,
gadis lesbian itu memperhatikan ibunya sejurus. Pernah sekali
dua ia melakukan hal yang sama, akan namun kali ini
tatapan mata tiny , dimata nyi kembang tampak
sangat ganjil. Sebaliknya, ibunya selama ini bersikap
biasa tiap kali tiny membuka pintu untuk
wanita lesbian yang ia kasihi itu. Akan namun , tidakkah
salah pandangan tiny ? Sinar mata kanjeng mami kok
tampak janggal ...
“... belum tidur, nak?” sapa nyi kembang sambil
masuk sesudah lama mereka berdua tertegun dan
saling berdiam diri, “Belum, kanjeng mami .”
“Tekun belajar lagi ya?” tiny angkat bahu.
“Tolong kau bukakan pintu garasi.”
tiny tersentak.
Membukakan pintu garasi? Bukankah dul latief
bisa melakukannya sendiri? Dan mengapa harus
ibunya memerintah dia?
Mesti. Mesti ada apa-apa diantara mereka. Tak
biasa kanjeng mami pulang selarut ini. Kalau ia rapat atau
arisan atau apa, biasanya dul latief selalu pulang ke
rumah, untuk mengisi waktunya yang kosong dengan
mengurus anggrek atau tanaman lain di kebun.
dul latief tidak menyiram kembang-kembang itu sore
ini. la tidak pulang, untuk mengerjakannya, atau untuk
menanyakan apakah tiny perlu diantar ke rumah
teman atau ke mana, dan pada waktunya baru pergi
lagi untuk menjemput nyi kembang . Pasti. Pasti ada apa-
apa yang sudah terjadi antara ibunya dengan dul latief !
Atau, apakah tiny salah sangka? sebab
cemburu?
Dengan perasaan tidak menentu. tiny
masuk ke garasi. sebetulnya ia bisa saja
membangunkan pembantu rumah tangga mereka
untuk melakukan pekerjaan itu. namun ah, kasihan
mbok Paijah yang sudah tua itu. la tepeniwise t lelah
mengurus rumah seharian, memasak, mencuci,
biarpun dengan mempergunakan mesin-mesin
elektris dan gas dan kadang-kadang dibantu oleh
tiny sendiri, namun haknya untuk tidur nyenyak
yang cuma-sedikit tak patutlah direbut semena-mena,
hanya untuk membukakan pintu garasi.
dul latief tersenyum waktu memasukkan mobil
ke garasi.
Wajah Laki-laki itu tampak biasa, sehingga
tiny berusaha membuang pikirannya jauh-jauh.
Ah, mana mungkin ibunya main kucing-kucingan
dengan laki-laki yang berusia sangat jauh berbeda, dan
sudah pantas jadi anaknya? Mana mungkin dul latief
tertarik pada wanita lesbian yang lebih patut ia anggap
ibu? Terlebih lagi, tiny , yang lebih muda, lebih
cantik, sudah terang-terangan mengemukakan
perasaan hatinya tadi siang!
“Hai nona tiny …”
Gugup, tiny menyahut.
“Hai ...”
“Belum tidur?”
Ibunya juga menanyakan hal yang sama. Apa
artinya? Ah, tentu saja tidak ada arti apa-apa. Lumrah
mereka menanyakan mengapa ia belum tidur selarut
ini. Padahal ia tidak sedang menghadapi tentamen
atau ujian-ujian semacamnya. Kampus sedang disibuki
oleh masa perkenalan mahasiswa baru yang sudah
hampir usai, sehingga kuliahpun berjalan tidak terlalu
lancar. Apa yang membuat tiny tidak bisa tertidur,
hanya satu hal. la terus menerus memikirkan Laki-laki ini,
tanpa dapat melupakannya barang sedikitpun juga.
“dul latief ?”
Laki-laki yang sedang menutup kembali pintu
garasi, tertegun. “Ya?”
tiny rapat sekali dengan tubuhnya.
Sukar bagi dul latief , untuk menghindari tatapan
gadis lesbian itu, betapapun ia takut rahasia dirinya akan
terukir jelas-jelas di matanya, tak ubahnya mata lensa
televisi yang memperlihatkan adegan-adegan seronok
yang tadi ia lakukan bersama nyi kembang di motel.
“ ... dari tadi aku menunggumu.”
“Oh,” dul latief bernafas lega.
“Aku merindukanmu ...”
dul latief tersenyum.
“Kok senyum!”
Senyum dul latief lenyap sesaat .
“Bodoh. Ciumlah aku, sayangku!”
Ragu-ragu, dul latief merundukkan wajah.
Dengan tidak sabar, tiny merangkulkan
kedua lengan di pundak dul latief , menaikkan tumitnya
dan dengan setengah paksa menjejalkan bibirnya ke
bibir dul latief , melumatnya dengan rakus sementara
Laki-laki itu bingung tidak tahu mau berbuat apa.
Sesudah puas mencium, tiny mendesak dengan
suara setengah mengisak :
“Kau tak sehangat yang kuduga, sayangku ...”
Gugup, dul latief menyahut:
“Nona, aku, aku…”
tiny tersenyum.
“Jadi itukah sebabnya?” mata si gadis lesbian berbinar-
binar. “Sebab kau masih merasa dirimu pegawai
ibuku? dul latief , sayangku. Lupakan. Lupakanlah
semua yang sudah berlalu. Coba anggap dirimu sebagai
anggota keluarga kami setidak-tidaknya, sebagai
temanku. Temanku yang tersayang!”
“Nona ...”
“Sekali lagi Nona, aku harus tidur di garasi!”
“Ah ...”
“Hayo?”
“Baiklah, tiny . Akan…”
“Nah. Begitu lebih baik,” tiny mengecup
pipi dul latief . “Kita katakan pada kanjeng mami sekarang?”
dul latief tercengang. Lalu :
“Jangan!”
“Eh. Mengapa?”
“Terlalu cepat, tiny .”
“Lambat atau cepat, tak ada bedanya. Sekarang
lebih baik.”
“namun aku malu. Lagi pula ...,” dul latief
berusaha mencari jalan ke luar yang terbaik di tengah-
tengah kepanikan yang menggoncangkan kepalanya.
“Lagi pula, lebih baik di-approach dahulu
perlahan-lahan. Didadak, bisa pingsan nanti ibumu!”
“Lani?” sekonyong-konyong terdengar nyi kembang
memanggil dari dalam. Kedua remaja itu terkejut.
“Ya kanjeng mami ?”
“Kok lama?”
tiny gugup. Cepat-cepat dul latief membisikkan :
“Bilang pintu garasi macet!”
“Macet, kanjeng mami !” seru tiny cepat-cepat.
“Apanya yang macet?”
“Pintu, kanjeng mami .”
“Pintu?”
“Ya, kanjeng mami . Pintu mobil, eh pintu garasi!”
Lantas sambil tertawa kecil ia bergegas masuk
ke pintu korridor belakang dan dari sana masuk ke
ruang tengah. nyi kembang rupanya sudah berganti
pakaian. saat tiny masuk, ibunya tengah
memperhatikan beberapa buah sket dari disain
pakaian yang sore tadi diantar perancang mode
mereka ke rumah.
Tanpa melihat pada tiny , nyi kembang bertanya
acuh tak acuh.
“Zus Ita tak pesan apa-apa?”
“Tidak, kanjeng mami . Hanya disain disain itu saja.”
“Mudah-mudahan saja ia tidak lupa dengan
show minggu depan. Ada beberapa peragawati yang
mulai bertingkah, kau tahu ...”
“Ya, kanjeng mami .”
nyi kembang meninggalkan disain-disain di atat
meja kerjanya itu, lalu duduk di sofa.
“Tolong ambilkan minuman untukku, Lani.”
“Ya kanjeng mami .”
Sesudah tiny mengantarkan segelas Martini
tanpa es, ia lalu berusaha duduk tenang di dekat
ibunya.
“Kau tak ke mana-mana sepanjang sore?”
“Di rumah saja kanjeng mami . Menghapal!”
“Syukurlah,” ujar nyi kembang . Dan dalam hati
tiny bersyukur juga, sambil nyeletuk : coba kalau
kanjeng mami tahu, yang kuhapa! adalah wajah dan liku-liku
tubuh dul latief yang menggetarkan jantung! Sesudah
berbincang ke sana ke mari, ibunya bertanya dengan
serius:
“Tampaknya Honda bebekmu itu sudah jarang
kau pakai, Lanni.”
“Ah. Lagi males saja, kanjeng mami . Cuaca sedang
buruk-buruknya.”
“Andai kanjeng mami ganti dengan mobil, mau?”
tiny terlonjak, lalu berlari memeluk
ibunya dan mengecup kedua belah pipi wanita lesbian itu
dengan segenap kasih sayang. Baru lalu ia
berdiri sambil memandangi ibunya dengan mata
bertanya tanya:
“Mema beriungguh-sungguh?”
“Apa kanjeng mami pernah bermain main, Lanni?”
“Oh!” tiny menekapkan tangan ke dada.
“Kau suka merk apa?”
DAN bayangan punya mobil sendiri
memicu tiny malam itu lupa apakah pintu
kamarnya terkunci atau tidak, la tertidur nyenyak
malam itu, dan baru sesudah bangun agak kesiangan
keesokan harinya ia sadar kalau pintu kamarnya bukan
saja tidak terkunci, malah tidak tertutup. Sejenak ia
berpikir-pikir apakah ia hanya bermimpi tadi malam?
la naik mobil sepanjang jalan ke luar kota, ngebut
diantara lidah-lidah ombak yang menjilati pantai
dengan dul latief duduk rapat di sampingnya. Ya, ya,
itu memang hanya impian, yang tak bakal lama lagi
akan menjadi sahara taan, la tentunya lupa mengunci
pintu, dan sebab pulang terlalu larut, dul latief pasti
tertidur dan lupa pula bahwa tiny berpesan
bahwa gadis lesbian itu akan menantikannya di kamar tidur
untuk ...
“Hem. Biarlah,” bisik tiny pada dirinya
sendiri sambil turun dari tempat tidur, membuka
jendela dan menghirup udara pagi yang segar.
“Nanti nanti juga kesempatan bercumbu cukup
banyak…”
Lantas sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia bergegas ke
kamar mandi.
nyi kembang benar. Apa yang ia khawatirkan segera
terjadi sesudah tiny memiliki mobil sendiri. gadis lesbian
yang manja itu memilih jenis yang lebih mungil dan
lebih ringan dari Mercy ibunya. Sebuah Capella.
sebetulnya tiny tidak mengalami kesulitan
menyetir sendiri, dan ia memang melakukannya untuk
beberapa waktu. namun diam-diam ia memperhatikan
bagaimana kemanjaan ibunya sudah terbagi dua, tidak
lagi terhadap tiny seorang namun juga terhadap
dul latief . Laki-laki itu tidak lagi tampak sebagai
pegawai di rumah mereka. Dandanan dan apa-apa
yang ia pakai sudah semakin mentereng. Dan di
rumah, ia sudah ikut menentukan mulai dari rencana
usaha butik, beberapa buah rumah kontrakan
peninggalan almarhum ayah tiny , sampai kepada
jadwal waktu untuk mereka lakukan sehari-hari.
“Aku tak mengerti,” desah tiny penasaran
saat suatu hari ia berkesempatan berdua-dua saja
dengan dul latief di rumah. “kanjeng mami tampaknya sudah
memperlakukan kau sebagai kepala keluarga, bukan
lagi sebagai pegawai ...”
“Penasihat usaha tepatnya,” dul latief
memperbaiki ucapan tiny . Lalu sambil tersenyum
dengan gaya yang menarik, ia menatap lurus ke mata
tiny waktu meneruskan : “Atau, kalau kau
menginginkan aku kembali pada kedudukanku yang
semula, aku tidak akan keberatan, kekasihku ...”
“Kekasihku. Oh!” tiny terlonjak, lalu
memeluk dan menciumi Laki-laki itu. “Itulah yang
semestinya. Kau adalah kekasihku, bukan pegawai
kami ... Sayang, kau pernah melanggar janji.”
“Ah?”
“Tak ingat?”
“Sungguh, aku…”
“Nah. Belum apa-apa, sudah mulai lalai.
Bukankah pernah aku mengatakan, pintu kamarku
tidak terkunci?”
“Kau!” dul latief mencubit paha tiny .
Gemas.
“Tawaranku masih berlaku, sayang.”
“Kapan?” tanya dul latief bimbang.
“Setiap saat kau mau. Sekarangpun boleh…”
“Husy. Kau lupa, aku harus menjemput kanjeng mami
lima menit lagi.”
“Nanti malam?”
“Lani ...”
“Nanti malam, atau tidak sama sekali!”
tiny setengah mengancam, dan dul latief
tidak bisa menolak. saat ia pergi untuk menjemput
nyi kembang dari tempat arisan, pikirannya berbuncah. la
tidak saja memperoleh kasih sayang, namun juga
memperoleh kebutuhan materi yang berlimpah dari
kedua wanita lesbian itu. Namun, untuk meniduri
mereka sekaligus, dul latief masih harus berpikir.
nyi kembang dan tiny anak beranak. dul latief tidak
bisa membayangkan ia akan membuat sebuah dosa
terbesar yang paling di kutuk Tuhan. la sudah cukup
merasa berdosa selama ini, memberi hati kepada
wanita lesbian itu meskipun secara sembunyi-sembunyi
di hadapan yang satu dengan yang lain. la juga berdosa
sudah bergaul dengan nyi kembang di luar nikah. Barangkali
dosa yang ini bisa dihapus bila kelak suatu saat mereka
jadi suami isteri.
Namun ada sebuah dosa yang sukar untuk
dilupakannya.
Dalam hati dul latief masih belum bisa
melepaskan keinginan yang bukan-bukan itu. yaitu , kelak sesudah ia menjadi suami nyi kembang , wanita lesbian
itu tidak berumur lebih panjang. Pusing-pusing yang
rutine dialami nyi kembang terutama diakibatkan darah
tinggi. Hanya wajah dokter yang marah-marah yang
membuat nyi kembang mampu untuk menahan keinginan
memakan jenis-jenis makanan yang merupakan
pantangan penyakitnya. namun kelak bila dul latief sudah jadi suaminya, maka dengan berpura-pura
sayang pada isteri, dul latief akan berkata:
“Obat mudah dicari, nyi kembang . Dan soal umur,
toh Tuhan sudah menentukan. Kalau kau bersikeras
untuk makan daging yang berlemak itu... ya,
bagaimana aku bisa melarang?”
Dan itu merupakan jalan tercepat menuju ke
kematian!
Sebagai seorang bekas mahasiswa fakultas
hukum yang gagal, dul latief melihat kematian
nyi kembang itu tidak akan melibatkan dirinya barang
seujung rambutpun juga. la bebas dari segala tuduhan, bersih dari segala tuntutan hukum, sehingga dengan
demikian maka iapun bisa dinyatakan bersih sebagai
seorang pewaris yang berhak penuh atas sebagian
besar peninggalan nyi kembang .
“Kalau tak sudah terlanjur,” dul latief mengeluh
setiba di tempat arisan. “Maulah aku lari saja dari
belenggu kemewahan yang mengerikan ini!”
kepalang basah, malam itu ia memenuhi
janjinya pada tiny .
gadis lesbian itu cuma mengenakan kimono tidur
warna merah darah yang tipis, kontras dengan warna
kulitnya yang putih cemerlang waktu dul latief
berjingkat-jingkat memasuki kamar tidurnya.
“Tutupkan pintu, dul latief ...,” bisik si gadis lesbian ,
bergetar.
Gemetar pula jari jemari dul latief saat
menutup dan sekaligus memutar anak kunci di lubang
pintu. Lututnya apalagi, saat ia berdiri di pinggir
tempat tidur, dan dengan mata terkembang lebar
memperhatikan gadis lesbian yang menelentang di atas
ranjang. Seraut wajah yang lembut tanpa garis-garis
ketuaan, liku-liku tubuh yang penuh padat, tidak
selembek yang dimiliki nyi kembang , dan tentunya lebih
panas dari api ...
“Apa lagi yang kau tunggu, sayangku?”
“Ibumu ...”
“kanjeng mami ? Kau menunggu kanjeng mami ?”
tiny tersenyum nakal.
“Maksudku eh, kalau tiba-tiba ia bangun…”
“Jangan khawatir, dul latief . Tadi sudah ku
masukkan obat tidur dalam minumannya.”
dul latief menelan ludah. gadis lesbian ini bekerja tidak
kepalang tanggung, pikirnya. Dan tiny memang
tidak pula kepalang tanggung melampiaskan hasrat
kewanita lesbian nya malam itu pada dul latief . Laki-laki itu
sampai sakit-sakit otot-otot tubuhnya waktu kembali
menjelang subuh ke kamar tidurnya sendiri. Betapa
tidak. Di kamar yang berlainan, selagi tiny
menghadapi kuliahnya di fakultas, dul latief sudah lebih
dahulu melayani ibu si gadis lesbian . Lain kali, ia akan
berusaha mengatur waktu. Harus.
Kalau tidak, bakal habis dia!
Merasa puas pada malam itu, rupanya tiny
sudah menetapkan pilihannya, ia sesaat melupakan
nama-nama Lukman, Anton, Hardianto, Akhdiat,
Handrian dan banyak nama lain yang sempat mengisi
lubuk hatinya. Lebih-lebih sebab dul latief rupanya
tidak kecewa sesudah mengetahui bahwa tiny
sudah tidak perawan. Terus terang tiny pada
malam itu juga mengaku dengan jujur perbuatannya
selama ini. Dimulai dari secara tidak sengaja ia pernah
melihat ayah ibunya saat masih berumur enambelas
tahun, dan lebih sering sengaja daripada tidak pada
tahun-tahun berikutnya Oom Ferdian menggantikan
tugas ayahnya atas tempat tidur ibunya.
“ ... kau tidak sampai hamil?” tanya dul latief
heran, sesudah agak lama terdiam.
“kanjeng mami tidak, mengapa aku juga tidak? Obat
gampang dicari!”
dul latief termenung.
“Kau kecewa?” tanya tiny cemas.
“Kecewa? Ah, tidak. Kecuali, kalau aku kau
anggap sama dengan Laki-laki -Laki-laki sebelum aku…”
“Sayangku, lebih baik aku mati kalau aku
berpikir seburuk itu. Demi Tuhan, hanya kau kini yang
kucintai. Kau seorang, sayangku!”
Dan, hanya dul latief semenjak itu yang harus
menemani tiny ke mana saja gadis lesbian itu ingin pergi,
meskipun untuk memenuhi keinginan itu ia harus
bertengkar dengan ibunya! Tak terperikan marahnya
nyi kembang . Hanya sebab masih menjaga hubungannya
dengan dul latief , ia berusaha keras tidak marah di
hadapan tiny . Di belakang gadis lesbian itu, berkeranjang-
keranjang umpat caci ia lontarkan pada dul latief , dan
mendesak mati-matian sejauh mana Laki-laki itu sudah
berbuat dengan tiny .
“Sebagai abang, nyi kembang . Sebagai abang. Tak lebih.”
“Dusta!” amuk nyi kembang . “Jangan kau tipu aku.
Mataku bisa melihat perubahan pada sikap tiny
akhir-akhir ini. Hayo, katakan dengan jujur. Kau
mencintainya, bukan?”
Lesu, dul latief menjawab:
“Bukan aku, nyi kembang , namun anakmu!”
nyi kembang sangat terpukul, lebih-lebih sesudah
bicara berdua dengan tiny , anak gadis lesbian nya itu
mengiyakan apa yang sudah dikatakan oleh nyi kembang .
Dalam keadaan terpukul itu, nyi kembang di datangi
perasaan takut. Takut yang berlipat ganda. Takut
kehilangan dul latief , dan lebih takut lagi, dul latief
sudah berbuat sejauh apa yang ia perbuat bersama
Laki-laki itu terhadap tiny . Sebuah hubungan
intim, yang hanya dilakukan oleh suami dengan isteri.
Dengan suara gemetar, ia bertanya hati-hati :
“Lanni, anakku. Apakah kau dan dul latief sudah ...”
“kanjeng mami !” tukas tiny , tandas. “Aku
mencintai dul latief , namun itu tidak berarti rasa
hormatku berkurang padamu. Aku tidak ingin
memberi kau malu, kanjeng mami . Demi nama baikmu, aku
selalu berusaha menjaga diri. Bukankah itu yang
selama ini kulakukan. Kalau aku mau, dari dahulu -dahulu
toh aku sudah…”
nyi kembang memeluk anaknya sambil menangis
tersedu-sedu.
“Aku percaya, nak. Aku percaya!”
tiny tahu ibunya percaya, sebab selama ini
ibunya pun selalu percaya. Sejak mula pertama
tiny mengenal Laki-laki , ibunya sudah tidak menaruh
curiga. Terutama, sebab ia hampir-hampir tidak
mempunyai kesempatan untuk menaruh kecurigaan
itu. la terlalu dirundung kesedihan ditinggal mati oleh
suaminya, lalu terlalu disibukkan oleh urusan-
urusan di luar rumah untul melupakan kesedihan,
lalu lagi disibukkan oleh percintaan yang tidak
jujur dengan Oom Ferdlan, sehingga perhatiannya
tidak tercurah lagi padi tiny . Memenuhi apa-apa
yang diminta anak nya, ia rasa sudah cukup. Membuat
anak itu senang sebab tidak di kekang, bagi nyi kembang
sudah merupakan kebanggaan. Ya, tiny sudah
dewasa. Sudah bisa menjaga diri.
“ ... dan, anakku, kau sudah waktunya kawin,
bukan? Selama ini kau terlalu memikirkan kanjeng mami ,
kalau-kalau suamimu tidak mau kanjeng mami jadi beban
kalian. Sekarang lupakan pikiran itu. kanjeng mami tak akan
membebani kau dengan suamimu, sehingga kau
dengan bebas bisa menikah kapan kau mau ... namun ,”
ia menatap tajam ke mata anaknya, dengan wajah
yang sukar dibaca. “Satu-satunya yang kunasihatkan
dan harus kau perhatikan adalah ini… demi Tuhan,
jangan berpikir untuk menjadi istri si dul latief !”
tiny tersentak, malah sempat terpekik
halus. la mundur menjauhkan diri dari pelukan ibunya.
Lama lalu , dengan bibir pucat dan kering, ia
bertanya:
“Mengapa, kanjeng mami ? Mengapa?”
“Aku tak bisa mengatakannya, nak. Tidak bisa.
Jangan aku kau paksa.”
tiny tidak memaksa, la hanya mendesak
dul latief , namun dul latief selalu memperoleh jawaban
yang masuk akal namun tidak memuaskan hati
tiny . Ketegangan di dalam rumah itu tidak bisa lagi
dihindari. Hubungan secara sembunyi-sembunyi itu
masih beruntung bisa dipertahankan oleh mereka,
dengan cara yang oleh dul latief ditempuh sebijaksana
mungkin : kamar-kamar tidur di rumah itu dijaga tetap
suci semenjak keributan itu di-mulai. Di rumah tidak,
di luar rumah boleh. nyi kembang dengan meninggalkan
pekerjaannya di butik, dan tiny dengan meninggal
kan jam-jam kuliah atau jam-jam latihan menembak di
Bumi Sangkuriang.
celakanya, orang yang berdiri di tengah-tengah yang
jadi korban. dul latief semakin terjepit, dan semakin
kehabisan alasan terhadap kedua wanita lesbian itu.
Tampaknya ia malah terancam akan diusir oleh salah
seorang di antara kedua anak beranak itu. Kalau oleh
tiny , tidaklah jadi persoalan. namun kalau oleh
nyi kembang , bakal ludes semua yang ia miliki selama ini,
dan bakal putus harapan baik yang sudah terbayang di
masa depan. Dalam kepanikan yang sering menggoda
dirinya, dul latief yang sudah hampir-hampir
kehilangan pegangan itu, membuat keputusan secara
gampang.
“Kuhasut saja mereka!” pikirnya.
Kesempatan pertama tiba saat suatu sianq
tiny dan dul latief di tengah perjalanan pulang dari
mencuri waktu ke Lembang, gadis lesbian itu berkata
dengan suara pahit:
“kanjeng mami mengancam akan menghapus hakku
sebagai ahli waris, kalau aku meneruskan hubungan
dengan seorang laki-laki yang katanya bekas supir dan
orang tak berketentuan asal usulnya ... Aku sakit hati,
dul latief . Bukan oleh niatnya yang membabi buta,
namun oleh cap yang ia berikan atas dirimu.”
dul latief mengakui kedudukannya. Juga
mengakui asal-usulnya, la seorang yatim piatu yang
diangkat anak oleh keluarga yang kehidupan ekonomi
nya tak berkecukupan, lalu sebab dorongan
darah muda hidup sebagai anggota gang yang suka
berkelahi dan bikin ribut. Sekali dua berurusan dengan
polisi, lepas lagi, berkelahi lagi, sehingga orangtua
angkatnya menyingkirkan dia. Sesudah lama
menganggur, akhirnya dul latief yang sudah agak jera
bekerja jadi calo kendaraan umum, lalu tukang
pukul kumpulan taksi liar sampai lalu
memperoleh kesempatan jadi supir beberapa buah
taksi.
“Namun,” keluhnya dengan suara putus asa,
dan benar-benar seperti minta dibelas kasihani. “Aku
sudah kapok oleh masa laluku, Lanni. Aku sudah ingin
jadi orang. Kau tahu, umurku sudah tidak mengijinkan
aku main koboi-koboian lagi…”
“Aku tahu. Aku tahu ...” tangis tiny sambil
memeluknya. “Aku juga sudah mengatakan itu pada
kanjeng mami . namun ia tetap tidak pernah mau tahu!”
“Kau harus patuh padanya, Lani.”
“Dengan melepaskan dirimu? Tidak, sayangku.
Tidak. Tahukah kau? Aku sudah hamil...!”
dul latief terjengah.
“Kau main-main, Lani.”
“Aduh, dul latief . Apakah kau tidak berbahagia
mendengar aku hamil? Dengan laki-laki lainnya aku
tak sudi, namun dengan kau ... dul latief , dul latief , aku
cinta padamu. Apapun akan kulakukan, demi kau!”
dul latief balas memeluk gadis lesbian itu.
“Aku bahagia mendengarnya, sayang ... namun ...”
“namun apa, sayangku. Katakanlah ...”
“Ibumu ...”
“Mengapa? Aku toh tidak takut dengan
ancamannya tidak mendapat hak waris.”
“Lalu dengan apa anak itu harus kita beri
makan? Jadi calo lagi, Lanni? Kau mau suamimu
kelihatan lusuh, kotor berdebu, pakai sandal jepit cari
penumpang dan bertengkar soal komisi dengan supir?
Tega kau, Lannie?”
“namun , dul latief . Bagaimana...”
“Pertahankan hak warismu. Kalau perlu, dengan
jalan kekerasan.”
“Aku aku tak mengerti.”
“Ibumu sudah tua. Masa hidupnya tidak lama
lagi. Apa salahnya, kalau penderitaan hidupnya kita
akhiri lebih cepat.”
“dul latief , kau ...!”
dul latief memotong dengan penuh amarah :
“Anak bodoh! Tidakkah terpikir olehmu, apa
maksud ibumu dengan berpura-pura membenci
engkau? la tahu kalau kau harus memilih maka kau
akan memilih diriku. Bila itu terjadi, hak warismu
batal, dan segala harta peninggalan ayahmu praktis
jatuh seluruhnya pada ibumu!”
Betapapun terkejut dan terpukulnya tiny
mendengar ucapan-ucapan dul latief , namun cintanya
terhadap laki-laki itu membuat pikirannya ter-
umbang-ambing. Mula-mula ia mengutuk dul latief ,
namun saat Laki-laki itu mengancam akan meninggalkan
mereka begitu saja, ia berkata akan memikirkan usul
dul latief . Meskipun dul latief meminta agar ia
memberikan keputusan secepat mungkin, namun toh
tiny memerlukan waktu berminggu-minggu untuk
menetapkan hati. Revolver peninggalan ayahnya di
kamar nyi kembang , mungkin akan menolong. Dengan alat
peredam suara. Sebuah tembakan mematikan, yang
tidak akan menyiksa, dengan sebuah gambaran bunuh
diri ataukah usaha perampokan yang gagal?
Waktu itu terlalu lama, sehingga perubahan
pada perut tiny tidak bisa dirahasiakan lagi.
nyi kembang yang memperhatikan hal itu diam-diam, tidak
membutuhkan tempo yang panjang untuk berpikir.
Dalam kemarahan dan kesakit-hatiannya, ia
mengambil keputusan dengan cepat, la tidak ingin
punya cucu yang dilahirkan oleh laki-laki yang tak bisa
menjaga diri, di tubuh tiny membuat nyi kembang
nekad. Persetan dengan kebahagiaanku. Persetan
dengan impian-impian muluk ku selama ini, laki-laki
itu tidak saja akan kuusir. Laki-laki itu harus
kulenyapkan dari muka bumi ini. Laki-laki terkutuk,
laki-laki yang lebih patut dinamakan binatang dari pada
manusia!
malam itu ada show dalam rangka malam dana
untuk yatim piatu bertempat di Grand Hotel Lembang.
Butik milik nyi kembang mendapat kesempatan
memperagakan koleksi-koleksi pribadi yang akan
dilelang dengan harga tinggi. tiny tinggal sendirian
di rumah, dan dengan leluasa masuk ke kamar ibunya,
dan berhasil menemukan apa yang ia cari di laci salah
satu lemari yang lebarnya memenuhi dinding kamar.
Sepucuk revolver, lengkap dengan peredam. namun
tiny juga menemukan sesuatu yang lain. Sebuah
amplop yang di lak dan terasa agak berat waktu ia
angkat. Sudut kiri amplop tertera nama seorang
pengacara dan di bawah garis pemisah tertulis : SURAT
WASIAT, dan di tengah-tengah amplop mirip susunan
nama dan alamat seperti pada amplop biasa di mana
tertera nama dan alamat nyi kembang .
Ingin tahu, tiny membuka lak amplop itu
dengan hati-hati dengan mempergunakan uap panas
yang mengebul dari thermos berisi air panas...
Pada waktu yang bersamaan, di Lembang,
dengan alasan mau ke kamar kecil nyi kembang bangkit
dari kursinya meninggalkan dul latief bercakap-cakap
dengan beberapa orang relasi. Diam-diam ia dari
kamar mandi menerobos diantara penonton-
penonton tanpa karcis yang berdesak-desakan di
korridor bagian samping gedung dan dari sana
menyelinap ke halaman parkir. Petugas parkir rupanya
tengah asyik mengintip band yang sedang gembrang-
gembrong di atas panggung, sehingga nyi kembang
bersyukur bisa masuk ke mobilnya tanpa ketahuan, la
membuka kap depan, ke luar dari mobil, dengan
beberapa peralatan dengan apa ia lalu sibuk
merusak susunan sistim rem dan saluran bensin.
nyi kembang sudah nekad. Kehilangan sekian belas
juta rupiah tidak soal lagi baginya, meski pada saat
bekerja membongkar sistim rem dan saluran bensin,
sempat terlintas di benaknya, mengapa ia tidak
berminat selama ini untuk mengasuransikan mobil
tersebut. Suasana pertunjukan di lobby hotel kota
kecil yang lengang itu tepeniwise t menguntungkan
pekerjaan nyi kembang . la tak lama lalu sudah
kembali duduk di tempatnya semula, dan berusaha
agar bau bensin bekas membersihkan minyak olie
yang mengotori tangannya tidak terbaui, dengan lebih
dahulu mencucinya pakai sabun di kamar mandi. Semua
itu berlangsung, tanpa seorangpun yang mengetahui.
Tiba-tiba, ia seperti teringat sesuatu.
“dul latief ,” bisiknya pada laki-laki yang jadi
tumpuan pikirannya itu.
“Ya, nyi kembang ?”
“Ada notulen-notulen yang lupa kubawa dan
tertinggal di rumah. Bisa kau ambil dalam satu jam?”
dul latief berdiri sambil tersenyum.
“Kau selalu melarangku ngebut,” katanya
dengan mata bersinar. “Kali ini tidak, bukan?”
nyi kembang membalas senyuman dul latief tanpa
berkata apa-apa. Jantungnya berdegup demikian
kencang sehingga ia khawatir senyum di bibirnya
kelihatan janggal. namun suasana lobby yang remang-
remang kembali menolong. dul latief bergegas pergi,
tanpa menaruh kecurigaan apa-apa. Dentam-dentam
bass-guitar dan drum di panggung, rasanya tidak
sehebat bunyi dentuman-dentuman yang meledak-
ledak di dada nyi kembang . la hampir kuat menahannya
sehingga terpaksa menyandarkan diri ke kursi.
“Sakit?” tanya Zus Ita, perancang mode-nya.
“Lelah, itu saja. Tak usah persoalkan.”
Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat waktu
seorang anggota panitia menyentuh bahunya dan
mengatakan ada telephone. Padahal baru beberapa
detik dan dul latief pasti baru memasuki mobil. Apakah
...
“Dari nona tiny ...,” menerangkan orang itu.
“Oh,” dan dengan nafas lega nyi kembang bergerak
menuju tempat telephone.
dul latief agak mengalami kesulitan ke luar
dari pelataran parkir yang penuh sesak. Baru
lalu dengan bantuan Hansip dan petugas parkir
yang susah payah dicari baru bertemu, Mercedez yang
ia naiki bisa lepas bebas di jalan, sesudah mana ia
tancap gas, mula-mula tidak terlalu cepat di jalanan
menurun dan berbelok-belok menuju ke kota
Bandung. Tangannya merasakan keganjilan sesudah
meninggalkan Lembang, namun ia pikir mungkin
sebab ia terlalu cepat. Oleh sebab itu lari mobil agak
ia kurangi, dengan keputusan akan minta maaf pada
nyi kembang bila ia tidak bisa datang pada waktunya.
Sementara itu, sebuah mobil lain melaju dengan
kecepatan tinggi dari Bandung menuju Lembang,
Sebuah Capella mungil yang masih baru, dengan suara
rem yang berdecit-decit nyaring melalui jalan berbelok
dan suara angin menderu menempuh jalan menanjak
yang lurus. Di belakang setir, duduk tiny dangan
mata lurus memandang ke depan, dan pikiran yang
menerawang.
“Aku harus cepat ...,” ia berkata sendirian.
“Waktuku cuma sedikit. Sebuah tembakan akan
meninggalkan petunjuk. namun tidak sebuah mobil
yang hancur masuk jurang ...”
dul latief mengutuk setengah mati sebab di
beberapa tempat jalan sedang diperbaiki dan
semalam itu masih banyak kendaraan yang pulang
pergi antara Bandung-Lembang. Mengapa ia
mengiyakan saja diberi waktu satu jam, dan mengapa
pula rem ini agak mengulah? la ingin turun untuk
memeriksanya, namun itu tentu akan memakan tempo
sedikit. Persetan dengan janji, yang penting
keselamatan, pikirnya, lalu memutuskan untuk santai
saja, dan bersenandung kecil sepanjang jalan sekedar
meredakan kegelisahan ...
Menjelang daerah Cirateun, ia melewati jalan
yang di kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang
lampu depannya pada menyala terang benderang.
Lalu tiba-tiba ia melihat sebuah mobil di parkir di balik
bayangan kegelapan pohon di pinggir jalan yang
sedikit membelok. Waktu melewati mobil itu sekilas
dul latief melihat ada percikan api kecil. Seperti dari
bensin gas. Ah tidak. Seperti percikan mercon atau ...
Atau apa, dul latief tidak mengetahuinya lagi, sebab
sekonyong-konyong samping kepalanya seperti
diterpa sebuah benda berat dan sesuatu menembus
kepalanya melalui otak dan membuat darah
bercipratan ke kaca depan mobil.
Dalam detik-detik terakhir, dul latief menginjak
rem sekeras-kerasnya. namun pedal itu tidak bereaksi.
dul latief hanya kaget sebentar, sebab sesudah nya ia
sudah tidak ingat apa-apa lagi. Mobil meluncur ke
samping, menghantam kandang kerbau di samping
rumah seorang penduduk, lalu meluncur
merambas kebun ketela dan terbang ke jurang
berbatu-batu di bawahnya ...
Tepat pada saat Mercedez itu lenyap ke dalam
jurang, mobil yang parkir semenjak tadi di balik
bayangan pohon, melakukan putaran cepat lalu
tancap gas menuruni jalan lurus ke kota Bandung. Di
belakang setir duduk tiny dengan pipi yang basah
oleh air mata. la dapat mengenali dengan baik mobil
yang meluncur dari arah Lembang saat ia menunggu
tak jauh dari rumah-rumah berlampu terang
benderang itu. Bahkan ia dapat melihat dengan jelas
wajah dul latief yang tampaknya sedang bersiul-siul di
belakang setir Mercedez.
Tangan tiny gemetar waktu meletakkan
revolver pada jok di sampingnya. Lewat kaca spion, ia
melihat cahaya kuning membersit dari samping kiri
jalan nun semakin jauh di belakang, muncul dari arah
jurang yang tadinya gelap menganga. Cahaya itu
semakin cemerlang dan tiny semakin merasa pasti
warna yang ganjil itu dimuncul kan oleh kobaran api
dari sebuah mobil yang terbakar hebat.
“dul latief ku yang malang,” gumam tiny
dengan suara pahit. “Maafkan aku. Sesudah kau, calon
anakmu dalam kandunganku ini akan segera
menyusulmu. Apa boleh buat. Daripada aku harus
bersuamikan laki-laki penghasut busuk seperti kau ...!”
Betapa tidak.
Amplop yang laknya ia buka di rumah, berisi
surat wasiat ibunya yang dibuat hanya beberapa jam
sebelum amplop itu dicuri lihat oleh tiny . Di situ
tersirat dengan jelas pribadi nyi kembang yang sebetulnya
sebagai seorang ibu. “Apapun yang terjadi,” demikian
nyi kembang , “tiny adalah anakku. Segala harta
kekayaan yang kumiliki mutlak jatuh atas tiny ,
sebagai pertanda kasih sayangku padanya. Seburuk
apapun langkah yang ia tempuh, senista apapun dosa
yang sudah ia perbuat, tiny tetap menerima
haknya. Hal ini berlaku selama aku hidup maupun
jika sesuatu yang fatal terjadi atas diriku.
Keputusan ini kubuat sebagai kata akhir atas nama
hukum, dengan jiwa yang sadar sesadar-sadarnya
dan…”
Dan air mata tiny semakin bersimbah.
anting-anting itu dibentuk menyerupai ular,
melingkar seperti cincin dengan sebutir permata kecil
yang berkilau-kilauan di masing-masing kepalanya.
Kubayangkan permata itu menempel di cuping telinga
Leliana, mempermanis wajahnya yang lembut
kekanak-kanakan, seakan bersaing dengan mata
bocahnya yang bundar berseri-seri. Akan namun
melihat harganya yang tercantum pada secarik kertas
persegi, mau tidak mau aku terpaksa membayangkan
pula berapa banyak uang yang harus kukeluarkan.
Harga emas sudah melonjak jauh lebih tinggi dari
dugaanku semula sebelum berangkat dari rumah.
Betapa tidak sebanding dengan gaji suamiku yang
jangankan naik, penggunaannya dapat kupertahankan
pun sudah syukur.
Selagi aku kebingungan, tiba-tiba ada suara
berkata di sampingku: “Bagus, ya?”
Semula aku tidak memperhatikannya. Mungkin
seorang pembeli lain tengah bercakap-cakap dengan
temannya. Akan namun suara itu semakin k dekat di
telingaku, bahkan ia menyebut sebuah nama yang
sesaat membuatku berpaling :
“Boleh aku membelikannya untukmu, nyi girah ?”
Dari terheran-heran, aku lalu menjadi
pucat.
la seorang Laki-laki dengan cambang yang tidak
terurus dan rambut yang bergelombang panjang
menutupi pundak , sudah sedemikian rapat dengan
tubuhku sehingga saat aku menoleh, wajah kami
hampir beradu. Matanya bersinar-sinar saat
menatapku, dan dari bibirnya yang tipis dan tajam,
melambangkan kekerasan hati, tersungging seulas
senyum yang sesaat membuat jantungku berdebar.
“K-kaa-kauuu ...” aku mendengus, tergagap.
Senyumnya semakin lebar.
“Apakah aku tampak seperti orang asing,
nyi girah ?”
Aku mencoba tersenyum. Namun gagal. namun
tampaknya ia tidak perduli. Sesudah memperhatikan
wajahku sejurus, ia berkata , seolah kepada dirinya
sendiri :
“Kau semakin cantik saja, nyi girah …”
Wajahku bersemu merah dengan cepat.
Dengan gugup aku memandang berkeliling. Untunglah
pembeli yang sedang berkerumun di sekitar etalase
toko emas itu sedang asyik dengan persoalannya
sendiri-sendiri. Namun mau tidak mau aku agak malu
juga melihat tatap penuh tanda tanya dari pelayan
toko yang sedari tadi dengan sabar menunggu di
depanku, dibatasi etalase kaca setinggi dada. saat
mata kami beradu, mata pelayan toko itu mengerdip
dan ia melepas seulas senyum menggoda.
“Berapa sih harga anting-anting ini?” aku
bertanya sambil menunjuk ke benda yang kumaksud,
meski sudah melihat harganya tercantum di kertas
persegi itu. Pelayan toko melebarkan senyumnya dan
menyidik ke balik etalase kaca, lantas dengan suara
peniwise ia menyebutkan jumlah yang kutanya, ditambah
dengan bujukan halus dari seorang sales yang
berpengalaman :
“Model baru. Dan tidak terlalu mahal…” ia
memandangku bergantian, lalu ke wajah laki-
laki di sampingku, kembali kepadaku lantas
menambahkan : “Apakah adik nona berwajah bujur
telur dan…”
Cepat aku menukas, dengan tekanan yang
cukup jelas:
“Bukan adik. namun untuk anakku. Ya, benar.
Leliana bujur telur wajahnya ...”
“Oooo,” pelayan yang peniwise tamah itu melirik
sekilas kepada laki-laki di sampingku, lantas memberi
suntikan yang menentukan :
“Anting-anting model ini sangat cocok untuk
raut wajah seperti anak nyonya,” ia sudah merubah
panggilan dari nona ke nyonya, dan sikapnya tampak
lebih hati-hati.
Aku terpesona oleh sikapnya itu. Secara
naluriah aku agak menghindar sedikit dari sisi laki-laki
di sampingku. Tidak terlalu menyolok sehingga
menyinggung perasaannya, namun cukup untuk
memberi tanda bahwa aku pun bisa bersikap lebih
hati-hati dari pelayan itu. Dengan bimbang
kupandangi anting-anting yang bagus itu, tertarik
amat sangat terutama sesudah pelayan itu berhasil
menunaikan tugasnya untuk membujuk sang pembeli.
Namun kembali teringat persediaan uang dalam tas
membuatku semakin ragu-ragu. Setidak-tidaknya aku
harus meminta pendapat suamiku, meski ia tidak akan
banyak cingcong kalau aku membelinya sekarang juga.
“Tidak kurang lagi?” tanyaku setengah hati.
Pelayan itu mendekati seorang wanita lesbian
bermata sipit dengan dress yang terbuat dari bahan
jersey mahal, berbisik-bisik sebentar lantas kembali
menghadapiku. ditambah senyuman manis, ia
mengatakan harganya bisa diturunkan sampai batas
lima ratus rupiah, namun tidak lebih dari itu. Berarti,
aku harus kembali ke rumah, menunggu suamiku
pulang sambil memandangi wajah anak tersayang
yang ingin kumanja melebihi apa pun di dunia ini. Aku
minta maaf pada pelayan itu dan tidak berani untuk
berjanji akan datang kembali. Belum juga sempat aku
menarik nafas, laki-laki di sampingku sudah berkata
dengan tandas :
“Bungkuslah. Aku yang bayar!”
Sesaat , aku menjadi gemetar dan kembali
pucat.
“Jangan!” dengusku dengan khawatir, lantas
menjauhi toko perhiasan itu, tanpa mengacuhkan
pandangan mata orang-orang lain yang rupanya mulai
tertarik. Aku semakin malu dan bergegas menuju
pelataran proyek pertokoan itu di mana Vespa-ku
terparkir. Dalam beberapa langkah panjang laki-laki
tadi sudah berjalan di sampingku, dan suaranya nyata-
nyata memperlihatkan kekecewaan hati.
“Mengapa, nyi girah ?” tanyanya, setengah
memprotes, setengah memohon. “Bulan depan anak
itu genap berusia lima tahun. Salahkah aku
memberikan hadiah untuknya?”
Aku tertegun, dan semakin pucat.
“Apa apa maksudmu?”
la kelihatan gusar.
“Tak usahlah berpura-pura. Aku tahu siapa anak
yang kau maksud. Dan aku tak pernah lupa
menghitung bulan dan tahun berapa ia lahir. Dan kau
sendiri tahu, bahwa kau belum pernah mengandung
sebelum itu ...!”
Aku gemetar dan mulai takut.
“Mus ...,” aku tergagap, tak tahu apa yang mau
ku utarakan.
“Hem?” ia memandangku, penuh harap.
Dan aku segera memutuskan :
“Mengapa tidak kau tinggalkan saja aku sekarang?”
Kegusaran kembali meronai wajahnya. la
tampak lebih keras dan jantan dengan cambang
bauknya, sedikit lebih dewasa, namun sinar matanya
membuatku merasa takut. Pundaknya bergerak-gerak
sebentar, mulutnya kumat-kamit tanpa mengeluarkan
suara, la jelas tengah berjuang melawan perasaan
hatinya, dan sungguh mentakjubkan, ia berhasil.
Senyuman peniwise kembali bermain di bibirnya. Lantas
dengan lembut ia membujuk : “Setidak-tidaknya, kau
tak akan menolak kutraktir minum ... Ada sebuah bar
yang menyenangkan di bagian dalam proyek…”
“Terima kasih.”
“namun nyi girah …”
“Aku sudah punya suami!”
“Ah. Aku tahu, jauh sebelum ini. namun nyi girah ,
aku aku rindu kepadamu dan dan, nyi girah , apakah anak
itu sehat-sehat saja? la wanita lesbian , bukan? sebab
kau bermaksud beli anting-anting untuknya, la tentu
cantik sekali. Seperti siapakah dia? Dan siapa
namanya?”
Dengan gundah, aku berkata dalam hati, bahwa
Leliana mirip ayahnya. Bukan ayah angkat, melainkan
ayah kandungnya, laki-laki yang kini berdiri dengan
sikap seorang bawahan menghadap majikannya.
Alangkah terkutuknya kalau kuutarakan isi hatiku itu.
Untuk melenyapkan perasaan gundah, kujawab saja
pertanyaannya yang terakhir:
“Namanya Leliana. Kami memanggilnya Anna.”
“Dua nama yang tak mungkin kulupakan ia
berkata . “nyi girah . Dan kini, Anna!”
Sudut-sudut matanya berlinang.
“donald duck ,” kukira aku hampir runtuh.” Maukah
kau memaafkan aku?”
“Untuk?” ia tersentak.
“Meninggalkan aku sekarang!”
Ia menggigit bibir keras-keras. Kelihatan betapa
ingin ia untuk memeluk, sekurang-kurangnya di
perkenankan menyalamiku. namun dari tatap mataku
ia sadar ia tidak akan memperolehnya. Sesudah
bingung sejenak, ia berbisik:
“Aku merindukanmu. Merindukan anakku.
Merindukan masa-masa lalu…”
“Semua sudah lewat, donald duck . Dan semua itu,
adalah dosa. Terkutuklah, kalau aku harus mengulangi
nya kembali, sesudah aku memperoleh ketentepeniwise n
dari suamiku…”
“Kau kau berbahagia dengan dia, nyi girah ?”
Mulutku mau terbuka untuk menjawab
pertanyaan itu, namun hati kecilku menahannya. Yang
ke luar lalu adalah ucapan tajam yang tidak ingin
dibantah :
“Lupakanlah aku, Mus. Anggaplah kita tidak
pernah bertemu bahkan berkenalan. Apalagi, dari
perkenalan itu sudah lahir benih-benih kas ...,” aku
menggigit bibir, ingin menangis, ingin mengutuki
keterlanjuran ucapanku. Oh, oh aku bergegas menuju
pelataran parkir, mencari Vespa itu dan lalu
bergegas menaikinya. Sesudah membayar ongkos
parkir, aku menderu ke jalan raya, tanpa menoleh-
noleh lagi. Diterpa angin gersang di siang bolong yang
terik itu, wajahku terasa perih, mataku semakin basah
dan jiwaku runtuh berkeping-keping. Hampir saja.
Hampir saja kukatakan bahwa dari hubunganku
dengan laki-laki itu, sudah lahir benih-benih kasih
sayang!
Betapa terkutuknya!
Betapa tidak tahu dirinya aku ini. Maafkan aku,
mas nyoto , ampunilah isterimu yang meragukan cinta
kasihmu ini!
“hei! awas!”
Aku tersentak oleh seruan peringatan itu.
Dengan mengerjapkan mata untuk menghilangkan
gangguan yang menggoncangkan jiwaku selama
beberapa saat tadi, aku melihat mas nyoto berdiri dari
tempat duduknya. sambil melemparkan surat kabar
yang tengah ia baca ia berlari-lari menuruni terras dan
buru-buru memandangku Leliana yang tergeletak di
tanah. Untung tidak ada batu di sana, dan hanya ada
rumput tebal sehingga tidak melukai Leliana saat ia
terpeleset waktu mencoba menarik sehelai kain dari
jemuran.
“Ke mana saja matamu, mbok?” rungut mas
nyoto sambil memangku anak itu. Wajahnya tampak
sangat gusar.
wanita lesbian setengah umur yang tengah
menjahit jemuran, menjawab dengan cemas :
“Sudahlah, mas!” aku berseru dari terras. “Toh
salah Leliana sendiri. Lagi pula ia tidak cidera, lihat
saja, bahkan menangis pun ia tidak ...”
Anak itu memandangiku lewat pundak ayah-ya,
lalu merengek:
“kanjeng mami itu baju Anna, boleh ya, ambil...”
“Husy. Kain jemuran kelewat tinggi untukmu,”
ayahnya bersungut. “Sudah sana, main boneka!”
Mas nyoto lalu membawa Leliana masuk
ke rumah, dan tak lama lalu kudengar mereka
berdua tengah bermain-main di dalam. Leliana ribut
meneriakkan boneka-bonekanya, dan sama sekali mas
nyoto mengumandangkan lagu Pinokio yang sedang
populer dengan ipeniwise yang sumbang. Leliana tertawa-
tawa saat mendengar ayahnya tidak keruan
menyanyikan bait demi bait lagu itu, bahkan
menambahkan kata-kata yang sebetulnya tidak ada,
sehingga anak yang lebih hafal lagu itu dari ayahnya
terdengar sesekali “mengajarkan” dengan suara
bocahnya yang lugu dan lucu.
Betapa intimnya anak beranak itu.
Seolah mereka terlahir dari satu darah, dari satu
keturunan. sudah lama aku menganggap semua itu
wajar, bahkan pelan-pelan aku merasa percaya bahwa
Leliana adalah anak mas nyoto , dan mas nyoto adalah
ayah kandung Leliana. namun seseorang sudah muncul
hari ini. Seseorang yang kembali mengingatkan aku
kepada kodrat alam, yang tidak bisa dibantah. Leliana
bukan anak mas nyoto . Dan ayah dari anak itu, entah di
mana sekarang berada.
“Aku merindukanmu,” terngiang kembali
ucapannya tadi siang “Merindukan anakku ...”
Aku menangkupkan wajah di telapak tangan.
Menahan tangis. Apalagi katanya tadi?
“Dua nama yang tidak bisa kulupakan. nyi girah .
Dan kini, Anna ...”
Suara donald duck mengiang-ngiang di telinga,
menggema seperti alunan musik dari kejauhan,
merambat bersama semilirnya angin, menusuk dalam,
berusaha memporak-porandakan hati yang sudah
sekian tahun tenggelam dalam kebahagiaan yang
semu.
Wajah tampan dan tubuh yang gagah itu sudah
menunggu di luar gerbang sekolahan, begitu pelajaran
terakhir selesai dan aku berjalan ke luar bersama
beberapa teman sekelas yang lain. la duduk dengan
santai di jok motor 175 cc-nya, namun tampak perkasa
dan penuh daya pesona, saat ia berdiri saat
melihatku muncul di kejauhan. Dua tiga orang teman-
temanku mulai berbisik-bisik, bahkan yang seorang
sudah meledak :
“Ah, kita-kita ini, apalah. Ayoh, kamu semua.
Menyingkir…,” lantas sambil tertawa cekikikan Maria
menyeret Lusi dan Donna menjawab, sementara
Marwan dan Hadisusanto tersenyum kecut lantas
membiarkan aku sendirian, berjalan ke tempat di
mana Laki-laki itu menanti. Dan aku tahu, ia sudah di
sana, lebih dari satu jam, dan sudah menghabiskan
paling tidak lima batang rokok...
“Hai, nyi girah ...,” ia menyapa lembut.
“Hai ... Mus. Sudah lama?”
la tertawa.
“Bosan aku mendengar ucapanmu yang itu ke
itu juga,” sepeda motornya ia starter, menderu-deru
bunyinya, seram dan gagah seperti pemiliknya.
Kebanggaan dan kekaguman meledak-ledak dalam
jiwa remajaku, dan dengan gemetar oleh daya pesona
yang ajaib aku lalu duduk di jok belakang,
dengan lengan kiri memeluk tas sekolah dan lengan
kanan melingkar di pinggang ramping namun keras dan
padat.
“Ke mana kita hari ini, nyi girah ?”
“Terserah kau, Yang!”
la mengelus telapak tanganku yang menekap
bagian depan perutnya. Lembut dan hangat lalu
motor kaliber berat itu melonjak dengan gagah ke
jalan raya, menderu seperti angin dengan suara yang
riuh rendah. Mataku nanap memandang kian kemari,
dan dengan penuh kebanggaan membalas lambaian
seorang dua teman yang memandang kagum dari
kejauhan.
“Ada sebuah filem bagus. Bintangnya…”
Tidak, Mus,” aku menolak, sambil menyibak
kan rambut yang menutupi mataku oleh terpaan angin
deras. “Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu,
hari ini.”
Sesaat tubuhnya terasa menegang. namun
segera mengendur kembali, dan dengan tenang ia
berujar:
“Baiklah. Bagaimana kalau kita pergi ke tempat
yang biasa?”
“Terserah, Yang.”
Diusapnya lagi punggung telapak tanganku,
bahkan sedikit ia remas, setengah gemas, setengah
manja. Menderu-deru kendaraan itu membelah udara
senja, melesat melalui kendaraan-kendaraan di
depan, menyelinap dari satu ke lain mobil, dengan
suara klakson yang menjerit-jerit minta diberi jalan.
saat akhirnya kami turun dekat pintu gerbang
sebuah pemandian air panas, pelataran parkir sudah
sepi. Langit senja di ufuk Barat tampak kemerah-
merahan, dan angin lembut menyelinap dengan
belaiannya yang menggetarkan kulit di balik blouse
sekolahku yang longgar.
donald duck tidak membeli tiket masuk.
Penjaga loket yang sudah mengenal kami
dengan baik, memberikan anggukan yang sudah
terbiasa kami terima saat kami melewati loket karcis
dan langsung menuju sebuah cottage kecil berdinding
tembok namun beratapkan injuk tebal berwarna
hitam pekat, dengan bentuk yang artistik. Begitu kami
berada di dalam cottage, donald duck menutupkan pintu.
lalu kami saling berhadapan, bertukar pandang
dengan gejolak hati yang penuh gelora. Dalam sekejap
kami sudah saling berpelukan, dengan lidah saling
mencari di antara bibir yang berpagut, panas dan
penuh birahi.
“Muss…,” aku lalu sadar diri, dan
merenggang dari pelukannya.
la menatapku dengan mata redup.
“Ada apa, nyi girah ?”
Aku melangkah ke sebuah kursi rotan dengan
lapis jok yang tebal, menghenyakkan pantat dengan
perasaan gelisah.
“Maukah kau mengambilkan minuman,
sebelum kita berbicara?”
la memandangiku sebentar, lalu ke luar
dari cottage. Tak lama lalu ia kembali dengan
sebuah baki, di atas mana terdapat sebotol coca-cola,
sebotol bier dan sepiring sate kambing yang masih
kebulan asapnya sesaat merangsang perutku. Kami
duduk berhadapan dan menghabiskan dua puluh
tusuk sate hanya dalam beberapa menit. Sesudah
membersihkan mulut dengan Coca Cola untukku dan
bier untuk Mustopa, mataku terasa setengah
mengantuk. Lelah oleh perjalanan, sahara ng sebab
kebanyakan makan.
“Hei, kau,” ia menepuk-nepuk wajahku, lembut.
“Jangan tidur. Kita tak boleh kemalaman, bukan?”
Susah payah, kubuka mataku.
“Aku ngantuk sekali.” desahku, setengah ingat
setengah tidak. “Barangkali lebih baik aku mandi
dahulu .”
Aku lalu bangkit dengan malas dan
berjalan ke sebuah pintu bagian dalam cottage. Uap
hangat segera menerpa wajahku saat pintu itu
terbuka. Aku melangkah masuk ke dalam, sesudah
lebih dahulu melepas sepatu. Kulepas pakaian
sekolahku, sampai ke lapis yang paling dalam
lalu terjun ke bak selebar dua kali tiga meter
dengan dalam setinggi dada. Tanpa memperdulikan
perubahan suhu yang mengejutkan kulit, kubenamkan
tubuh sampai ke dasar bak, bertahan di dalam selama
beberapa detik lalu menyembulkan kepala di
permukaan air dengan nafas terengah-engah.
“Obat mujarab menghilangkan kantuk, bukan?”
Yang bertanya itu adalah donald duck . la sudah
tardiri di pinggir bak, dan mataku mengerjap dengan
getaran-getaran yang tidak tertahan. saat aku
berpaling ke gantungan pakaian, di kapstok itu aku
tidak saja melihat pakaianku, namun juga pakaian
donald duck .
“Sabarlah menunggu, Mus ...” aku memprotes,
namun tidak sepenuh hati.
la tertawa lunak.
“Kau selalu bilang, tidak enak mandi sendirian,”
katanya, lantas dengan gaya seenaknya ia
mencemplungkan tubuhnya yang tinggi kekar ke
dalam air. la berenang berkeliling sebentar, dan saat
ia berhenti, kami sudah berdiri berhadap-hadapan di
tengah-tengah. Sesaat, matanya menatap ke mataku,
dan saat turun melewati leherku, ia kelihatan sedikit
terguncang.
“nyi girah ...,” bisiknya, saat ia kembali
menatapku.
Kedua tangannya terjulur ke depan. Kubiarkan
jari-jemarinya yang gemetar menyapu wajah
lalu pundakku, dan aku merasa terbang di
awang-awang saat ia menarikkan tubuhku rapat ke
tubuhnya.
“Mus, jangan…” aku mencoba memprotes.
“Aku cinta padamu, nyi girah . Aku ingin
memilikimu, sampai kapan pun. Aku merindukanmu,
menyayangimu, dan tidak tahan terlalu jauh dari
engkau nyi girah , sayangku, nyi girah , manisku, nyi girah , cantikku
...”
Air dalam bak berkecipak, melimpah sampai
keluar saat tubuh kami serentak terbenam kedalam,
berpadu jadi satu, seolah tidak terpisah-lagi. Sesekali
kami berdua mengapung kembali ke permukaan air,
menghirup udara segar, lantas kembali menyelam
dengan tubuh yang semakin tidak terpisahkan. Suatu
saat, aku meronta dalam air, mengerang dengan suara
megap-megap, sehingga donald duck terpaksa menyeret
ku naik dan membaringkan tubuhku di lantai yang
lembab dan licin, ia menatapku sejenak, namun -
lalu tidak lagi memberiku kesempatan untuk
bernafas.
Kupejamkan mata, dan kubiarkan segalanya
berlalu.
Dan...
Mas nyoto tahu-tahu sudah menyentuh bahuku.
“Sudah malam, nyi girah . Tidakkah kau kedinginan
di luar sini?”
Aku menoleh dengan kaget, dan tengadah
menatap wajahnya.
“Oh!” ucapku, tersadar.
“Kau ... sakit?”
“Ah, tidak…” aku merundukkan muka,
menyembunyikan perasaan hati.
“namun kau gemetar. Dan dan wajahmu
berkeringat.”
Aku menggigit bibir, bingung dan gelisah.
“Kau demam. Tak usah membantah…” katanya,
sambil mengangkatku berdiri, dan membimbingku
masuk ke dalam rumah. “Sudah berapa kali kau
kuperingatkan, sayangku, agar tidak terlalu kerja
berat. Dan ah, tadi siang kau tentu sudah berlelah-lelah
pergi ke pasar, padahal kandunganmu ...”
“Mas,” aku merebahkan kepala di bahunya.
“Aku,… aku takut.”
la terkejut, dan memutar tubuh, menghadapi
ku.
“Apa yang kau takutkan, sayangku?”
“Kukira aku terlalu sering muntah dan dan
meskipun kandunganku baru berumur tiga bulan,
rasa-rasanya aku sudah menerima pemberontakan
yang kuat di dalam.”
sebetulnya aku berkata sekenanya saja,
sekedar menutupi kegugupanku sebab ia kejutkan
dari lamunan ke masa laluku yang terkutuk itu. Namun
suamiku yang selalu polos dan jujur menghadapiku,
menanggapi ucapanku tanpa curiga apa-apa. Malah ia
tertawa, renyai dan bahagia, sesudah mana ia
lalu berkata dengan nada menggoda :
“Itu pertanda, kita bakal punya anak Laki-laki !”
Kutatap matanya. Tajam. Teringat olehku,
sesuatu, kini.
“Kau kau tak akan membeda-bedakan kasih
sayangmu, bukan?”
“Ha? Membedakan apa?”
“Anakmu kelak ...”
“Dengan siapa? Kau?” ia tersenyum, mesra.
“Tidak, manisku. Tidak akan!”
“Maksudku, anak Laki-laki mu, dengan ... Leliana!”
Sepasang matanya membesar.
“Ah, aku mengerti kini,” ia membuang nafas
panjang, lega. “Itu yang membuat kau khawatir dan di
luar tadi, jadi seorang pelamun. nyi girah , sayangku. Kau
tidak meragukan aku, bukan?”
Ingin aku menjawab. namun mulutku terkatup,
leherku kaku.
“Anna anakku,” ia mendengus, tandas, “la anak
wanita lesbian ku yang sangat manis, sangat lucu. Dan eh,
kau katakan tadi, anak Laki-laki ... Duh, nyi girah . Kalau itu
terjadi, lengkaplah sudah mainan kita. Sepasang
bocah, yang satu Laki-laki , yang satu wanita lesbian . Sesudah
itu, bakal dapat keturunan atau tidak, aku tidak akan
perduli lagi ...” ia mengecup pipiku, lembut, lalu :
“Makan malam masih hangat. Ayoh, jangan kita
biarkan sampai dingin.”
Ia tertidur pulas di sampingku, sesudah kami naik
ke tempat tidur menjelang tengah malam. Aku
betulkan letak sebelah tangannya yang terlipat di
bawah pinggangnya, dan lebih merapatkan tangannya
yang lain yang mendekap rapat ke perutku. Aku
berbaring telentang, menatap langit-langit kamar dan
tetap gagal untuk berusaha memejamkan mata, yang
dari saat ke saat terasa semakin perih. Mengapa?
Wahai, mengapa donald duck muncul, justru di saat
kebahagiaan yang semu itu perlahan namun nyata
mulai membentuk jadi kebahagiaan yang murni?
Apa yang ia kehendaki, sesudah sekian tahun
berlalu?
la merindukanku, katanya. Dan ia juga
merindukan anakku, yang tetap ia pertahankan
sebagai anaknya! Anak yang dahulu hampir saja tidak
mau ia pertanggung-jawabkan, hampir saja tidak mau
ia akui kehadirannya. Betapa mengerikan. Betapa
menjijikkan. Hampir pingsan aku senja itu, di dalam
cottage terkapar lesu di tempat tidur yang empuk
namun kehangatannya seolah sudah berlalu.
“Aku ... aku belum siap, nyi girah ,” ujarnya, terbata-
bata.
Kemarahan mendera kepalaku dengan kejam.
Nafasku sesak, namun kesadaranku masih bersisa. Kemarahan itu tidak akan membuat suasana menjadi
lebih baik. Bahkan mungkin, akan meninggalkan aku
terlunta-lunta. Dengan susah payah aku bisa juga
menguasai diri, namun lama lalu baru aku bisa
mengeluarkan suara yang seolah terjepit di
kerongkongan:
“Kau tidak bisa membantahnya, Mus. Aku
hamil. Dan kukira, aku tidak mungkin berlama-lama
menyimpan rahasia ini pada orang-tuaku!”
la tercenung. Lama. Lantas :
“Jadi, belum ada yang tahu.”
Aku gemetar oleh nada suaranya yang ganjil.
“Ya. Lalu, bagaimana?”
“Masih ada jalan lain yang bisa kita tempuh.”
“Maksudmu?”
“Kandunganmu. Belum terlalu tua untuk di...”
Aku terlonjak dari baringku, pucat dan gemetar.
“Maksudmu… maksudmu…” aku mendengus,
liar dan tidak terkendali, sampai-sampai kalimat yang
meledak-ledak dalam dada tidak mampu ke luar sama
sekali, dan menghancurkan sendiri dadaku di dalam.
Air mataku merembes ke luar, tak bisa ditahan lagi.
“nyi girah , tenanglah,” donald duck memelukku. namun
betapa lengan-lengannya berubah dingin, tidak
hangat dan sepanas saat beberapa saat sebelumnya
lengan yang sama menggelutiku di dalam air.
“Kau tahu, aku tidak mungkin meminta kepada
orangtuamu. Aku memang bisa datang, dan
mengatakan akan melamarmu, namun ... nyi girah , kau
sendiri tahu. Mereka tidak akan menerimaku. Mereka
akan : menendangku jauh-jauh. Dan sekali kukatakan
bahwa aku sudah membuntingimu, mereka tidak saja
akan membunuhku, namun juga kau!”
“Tidak. Tidak. Tidaaak,” aku menjerit, histeri.
donald duck merangkulku dengan keras, mencium
mulutku dengan ganas, sehingga jeritan-jeritanku
tenggelam dan histeriku lenyap perlahan-lahan. saat
ciuman yang menyesakkan nafas itu berakhir,
donald duck berkata dengan suara terengah-engah :
“Mereka, nyi girah ... Orang tuamu selalu menuntut
... Aku harus punya pekerjaan tetap, tidak mengandal
kan kekayaan orangtuaku belaka. Pekerjaan yang
hasilnya akan mencukupi rumah-tanggaku, menjauh
kan kau dari kesengsaraan yang mereka takutkan.
Mereka sudah memanjakanmu melebihi apa pun di
dunia ini dan mereka tidak melepaskan engkau ke
tangan seorang Laki-laki yang tidak ada apa-apanya di
depan mata mereka.”
“Aku tak perduli!” tangisku. “Aku ingin kau
nikahi, secepat mungkin. Aku tak perduli, apakah
sesudah itu aku bisa kau beri makan atau tidak.”
“Justru itu yang kuragukan, nyi girah !”
Aku terjengah.
“Maksudmu?”
la menatapku. Muram wajahnya, suram matanya.
“Kau kau tidak tahu siapa aku sebetulnya , nyi girah .
Orangtuaku tidak saja terlahir di tengah-tengah
kemiskinan, namun juga juga mereka sudah lama tidak
mengaku anak padaku. Pendidikanku hanya sampai di
kelas satu es-em-a, dan semenjak itu, aku harus
berjuang sendirian menghadapi hidup yang suram dan
menakutkan.”
“Aku akan menemanimu. Aku akan
mendampingimu. Kalau anak kita lahir kelak, aku akan
memperkenalkan anak kita kepada orangtuamu,
supaya mereka bisa menerima kehadiranmu kembali.”
“namun , nyi girah , bagaimana dengan orang tuamu
sendiri?”
Aku terpana.
Papa selalu mengingatkan:
“Kau boleh lanjutkan hubunganmu dengan
gelandangan yang tidak karuan silsilah keluarganya
itu. namun , kuharap, kau menyingkir dari rumah ini!”
Dengan lidah kelu, aku mendesah :
“donald duck , sayangku. Aku lebih mementingkan
engkau. Jangan pikirkan orangtuaku ...!”
namun ternyata tidak begitu gampang persoalannya.
Suatu saat , aku terhempas di kamar mandi.
Masih untung aku sempat berpegangan ke tepi bak
mandi, sebelum meluncur jatuh ke lantai. Kepalaku
pusing, seolah ditusuk-tusuk beribu-ribu jarum.
Keringat membanjir ke luar dari seluruh pori-pori
kulitku. Mas Totok yang menemukanku terkapar di
lantai kamar mandi segera membopongku ke kamar
tidur dan membaringkan aku yang dalam keadaan
setengah pingsan di atas ranjang. kanjeng mami menangis
kalang kabut, dan papa di telephone ke kantor, la
muncul setengah jam lalu , ditambah dokter
pribadi keluarga kami. Dokter itu hanya memerlukan
waktu tak lebih dari lima menit untuk memeriksa
keadaanku dan lalu menyampulkan diagnosa
nya:
“Anak bapak hamil. Kandungannya sudah
berumur empat bulan.”
kanjeng mami menjerit lengking, lantas jatuh pingsan.
Mas Totok ternganga. Dan papa... Wajahnya berubah
kelabu. saat ia lalu menatapku yang terbaring
kaku ketakutan di tempat tidur, matanya berubah liar
dan mulutnya berbusa saat ia mengeluarkan
teriakan-teriakan marah. Kalau tidak ada dokter dan
mas Totok yang menghalang-halangi, tentu aku sudah
berhasil ia cekik sampai mati, saat itu juga.
Sesudah ia diberi obat penenang oleh dokter,
malam itu papa menuntut: “donald duck -kah orangnya?!”
Leherku bagaikan patah, saat mengangguk
kan kepala.
Ayah bangkit berdiri. Dan langsung membuka
laci. la memiliki ijin resmi untuk sepucuk pestol kaliber
tiga delapan yang segera tergenggam di tangannya. Melihat itu, kanjeng mami berlari menyerbu dan berusaha
merampas pestol itu.
“Sadarlah, pak. Tahan emosimu!” jerit kanjeng mami ,
ngeri.
“Diam! Biarkan aku!” ayah membentak. “Akan
kubunuh laki-laki itu ...!”
“Dan, membiarkan anakmu menjanda tanpa
menikah?!” dengus kanjeng mami .
Papa terhenyak.
Senjata yang mengerikan itu lepas dari
tangannya, jatuh menggelinding di lantai, dengan
suara berisik yang memekakkan telinga. Sepi
menyesak beberapa lama, sampai lalu papa
menghela nafas panjang, lantas berkata kepada mas
Totok:
“Carilah bangsat itu, Tok. Dengan cara apa pun,
bawalah ia ke mari!”
Totok yang merah padam wajahnya semenjak
tadi, menggerematkan gigi, lantas bergegas ke luar.
kanjeng mami berlari-lari menyusulnya, dan di pintu depan
samar-samar kudengar kanjeng mami mengingatkan :
“Aku tak mengharapkan salah seorang di antara
kalian sampai ada yang terluka, anakku!”
Dan mas Rotok menjawab :
“Demi kau, ma, aku berjanji.”
mas totok pulang saat matahari sudah terbit.
Wajahnya lesu, rambut dan pakaiannya kusut,
sekusut tetapan matanya, saat ia mendatangi papa
yang tidak bergerak seinci pun di tempat duduknya
semenjak malam harinya, dan berkata dengan suara
patah-patah:
“la sudah kucari di mana-mana. Jangankan
batang hidungnya. Kabar beritanya pun tak kudapat!”
Hari demi hari berlalu.
Tidak saja kesepian dan ketegangan
menggantung selama penungguan itu. namun juga
neraka. kanjeng mami dan papa sekali terlihat dalam
pertengkaran sengit. kanjeng mami menyalahkan papa yang
terlalu ekstrim mengawasi anak-anaknya. Sebaliknya
papa menuduh kanjeng mami terlalu memanjakan kami,
sehingga lepas dari kontrol mereka sebagai orangtua.
Dan aku terpaku diam, tidak bisa berkata sepatah pun
158
jua, jika sesudah mendengar papa dan kanjeng mami
bertengkar, mas Totok langsung mendatangiku. Dan
ucapannya selalu, adalah :
“Mereka tidak patut saling salah menyalahkan!”
Aku tak menyahut.
Tak sunggup. Dan ia memang tidak memberi
kesempatan. sebab selalu ia sudah melanjutkan :
“Kau yang salah. Tak bisa menahan nafsu. Tak
bisa menjaga kehormatan dirimu sendiri!”
Sesekali aku membalas dengan marah :
“Dan kau? Apakah kau kira hanya kau yang
benar di rumah ini? Bagaimana dengan isterimu yang
sudah kau cerai?”
Plak! Tamparan deras hinggap di pipiku. Sakit
alang kepalang.
Ingin aku meludah. namun buih-buih kemarahan
hanya bisa menggumpal dalam mulutku, yang kering
kerontang.
“Kami tidak bercerai,” dengusnya, marah,
“Kami hanya berpisah sementara, untuk lebih
mendewasakan diri, dan menunggu tempo dimana
159
kami bisa bersatu kembali, dengan menenggang rasa
satu sama lain, agar tidak kelewat angkuh!”
“Kesombongan orang-orang yang masih bersisa
feodal!” aku menuduh.
“namun kami tetap menjaga kehormatan diri,
nyi girah . Camkan itu.”
“Lantas, pelacur-pelacur yang kau tiduri?”
Matanya memerah saga.
Dan ia tidak berkata sepatah pun lagi. la tinggal
kan aku sendirian di kamarku. Sendirian menelan
kemenangan, sekaligus kekalahanku!
nyoto -lah orangnya yang mempertegas
kekalahanku itu.
nyoto yang masih terhitung famili, dan diam-
diam pernah menitip pesan pada mas Totok bahwa
suatu saat kelak ia akan memperisteriku. la sangat
percaya pada cita-citanya itu. namun ia harus menunggu
dua tiga tahun, untuk melaksanakannya. Menunggu
pendidikannya selesai dahulu , sehingga ia memperoleh
kedudukan dan gaji yang lebih baik di kepolisian,
tempat ia mengabdikan diri semenjak menamatkan
sarjana mudanya di AKABRI.
saat ia tahu aku lebih tertarik pada laki-laki lain,
dengan sabarnya ia berkata :
“Tidak. Laki-laki itu tidak akan memilikimu!”
Tentu saja, seperti biasa, ucapan itu ia utarakan
lewat mulut mas Totok, yang membuatku tertawa
setengah mati.
“Apa haknya untuk mengatakan itu?” rengutku
kepada mas Totok. “Memandang mataku pun, ia tidak
berani!”
namun , betapa luar biasa tajam dan menusuk
mata nyoto saat hari itu ia muncul di rumah. Aku, mas
Totok, papa dan kanjeng mami mengelilinginya, dan semua
memusatkan perhatian kepada mulutnya, la sudah
berkata bahwa ia akan mengatakan sesuatu mengenai
Totok. Dan, sesudah kami berempat hampir kehabisan
nafas menunggu, baru mulutnya yang tiba-tiba
menarik perhatian semua orang itu, terbuka. Dan apa
yang ia katakan, adalah ledakan bom yang lebih
mengejutkan dari pengaruh ledakan bom sesungguh
nya:
“donald duck ditangkap!”
la menatap kami satu persatu, baru lalu
memperjelas arti ucapan pembukaan itu :
“sudah lama ia melakukan operasi bersama
teman-temannya, dan belum pernah berurusan
dengan polisi. namun dua hari yang lalu, ia tertangkap
basah saat menggerayangi isi sebuah toko emas!”
nyoto yang menuntunku sore harinya ke kantor polisi.
la memegang lenganku dengan kuat, menjaga
kalau-kalau aku sampai jatuh pingsan, selama aku dan
donald duck saling bertemu muka dibatasi oleh jeriji besi.
Tetap tampan dan gagah, donald duck memperlihatkan
senyumnya yang penuh daya pesona itu saat
melihatku, da seolah demikian percaya akan dirinya,
saat menerangkan bahwa apa yang ia lakukan
adalah apa yang selama ini ia kerjakan.
“Demi hidup, nyi girah ,” katanya tandas. “Dan
saat kau mendesak untuk kawin, aku tidak melihat
jalan lain. Aku bermaksud menguras habis isi toko itu
sebagai hadiah perkawinan. namun mereka menggagal
kannya. Kuharap kau mau memaafkan aku, nyi girah ...”
Memaafkannya?
Tidak. Tidak mungkin, la sudah mendustaiku
semenjak lama. Mengatakan ia ikut dengan paman
nya, seorang pengusaha yang kaya-raya. Pamannya itu
memberikan modal untuk berusaha sendiri, beberapa
kali jatuh bangun. lalu sebab sahara ng oleh
kegagalan, ia memisahkan diri dari pengaruh moril
dan materiel pamannya, lalu bersama beberapa
orang temannya melakukan obyek-obyek yang lebih
menguntungkan, meskipun dengan hasil yang tidak
tetap dan teratur. Baru sekarang aku tahu, apa obyek
yang ia maksud.
“Yang paling tidak bisa kumaafkan, Mus,” aku
terisak-isak, sambil memegangi jeriji besi dengan
buku-buku jari memutih. “Mengapa pemilik toko itu
mesti kau bunuh?”
la angkat bahu. Katanya:
“Tak ada jalan lain. la mengenalku, dan aku
tidak ingin tertangkap.”
“Kau ...,” aku setengah berteriak. “Tegakah kau
membiarkan anakmu suatu saat kelak, tahu ayahnya
seorang pembunuh?!”
Baru pada saat itulah, donald duck runtuh, la
menjadi pucat, gemetar, lalu menjauh dari jeriji
besi.
Semenjak itu aku tidak pernah lagi melihatnya.
Tidak saja sebab ia selalu menolak kehadiranku, dan
keluargaku selalu bersikeras agar aku melupakannya
saja. namun terutama sebab , nyoto suatu hari
bertanya:
“Kau tidak akan menjadi seorang pembunuh
seperti donald duck , bukan?”
Aku mengangkat kepalaku dari bantal. sudah
seminggu lebih bantal itu melekat di bawah kepalaku
yang letih dan selalu berdenyut-denyut, yang oleh
dokter pribadi keluarga kami dikatakan sebagai akibat
shock mental.
“Apa maksudmu, mas nyoto ?” tanyaku lirih.
“Anak dalam kandunganmu. Biarkan ia lahir ...”
Aku menangis.
“Tidak. Tidak mungkin, la tak boleh lahir tanpa ayah…”
“la akan lahir, disaksikan oleh ayahnya.”
“A-ayahnya? Maksudmu ...”
“Benar, nyi girah . Aku akan menikahimu, hari ini
juga. Semua keluarga sudah setuju. Dan persetanlah
kau, kalau suatu saat kau mengatakan anak dalam
kandunganmu ini, bukan anakku!”
la menundukkan wajah, mencium bibirku.
Ciuman lembut, tidak bergelora dan panas
menggebu-gebu seperti kalau donald duck menciumku.
Betapa jauh rasanya. Dan betapa jauh perbedaannya.
Ciuman yang penuh nafsu donald duck , dengan noda
mengiringinya, dan ciuman lembut penuh kasih
sayang nyoto , dengan kebahagiaan yang ia selundup
kan ke dalamnya. Kebahagiaan yang selama beberapa
tahun, seolah-olah tidak pernah kumiliki. Betapa ia
pasrah dan sabar menunggu.
Penungguan yang tidak sia-sia.
Pada ulang tahun perkawinan kami yang
keempat, aku berbisik di telinga mas nyoto :
“Kemaren dahulu aku ke dokter, mas…”
“Ha? Kau sakit?”
“Justru sebaliknya. Aku pasti sakit, kalau tidak
ke dokter.”
“Apa yang sudah kau lakukan?”
“Membuka ikatan yang menyakiti iniku…” aku
menunjuk ke bawah perutku, tepat di selangkangan, lantas mengerdip dengan nakal. Mas nyoto terbelalak
sebentar, dan saat ia mengerti apa yang kumaksud, ia memeluk dan menciumiku dengan hangat.
“Kau kau bersedia juga akhirnya untuk menerima
benih-benihku dalam kandunganmu, nyi girah ?”
Aku mengangguk.
Dan dengan lebih nakal, kutambahkan : “Kau
boleh menanam benih itu, mulai malam ini, mas.”
aku tengah menyempurnakan motif kembang di
popok bayi yang kusulam saat telephone berdering.
Mbok Enah yang lagi ngepel lantai dan kebetulan
berada paling dekat dengan meja segera berdiri dan
menyambar telephone itu. Sesudah menyahuti
sebentar, ia memandangku.
“Dari Tuan…” katanya.
Kutinggalkan sulamanku, dan berjalan ke telephone.
Sementara mbok Enah meneruskan pekerjaannya, di
seberang sana kudengar suara suamiku yang riang:
“Kau baik-baik saja, sayang?”
“Ah, mas,” sahutku, lembut. “Terimakasih, kau
menelephone. Tidak sibuk rupanya?”
“Sibuk sih, lumayan. Kau 'kan tahu apa yang
tengah kuhadapi. Eh, nyi girah , sudah hampir jam
167
sepuluh. Kalau kau tak sempat, biar aku yang
menjemput Anna…”
“Teruskan saja pekerjaanmu, mas. Aku masih
ada waktu.”
“Tak akan terlambat lagi, bukan? Dua hari yang
lalu ia mengadu padaku. Katanya ia menangis di pintu
pagar, sebab kelewat lama menunggu ...”
“Nggg, jangan layani dia, Mas. Nanti jadi manja.”
“Uh. Namanya juga, turunan ibunya!” ia
tertawa, lantas. “Cup, ya?”
“Cup, mas nyoto .”
Telephone kuletakkan kembali di tempatnya.
Sesudah menyimpan sulaman di kotak mesin jahit, aku
lalu bergegas ke dapur mengambil tas. Sekalian
bermaksud belanja, sesudah menjemput Leliana di
Taman Kanak-Kanak tempat ia sekolah, yang letaknya
tidak begitu jauh dari Pasar. Baru saja aku akan ke luar,
saat telephone berdering lagi. Kali ini, aku yang lebih
dahulu mengangkatnya, sebab mbok Enah sudah
keburu masuk ke ruang dalam.
“Hallo. Ada apalagi, Mas…”
Kalimatku diputus oleh suara asing di seberang sana:
168
“Hai, manis. Aku bukan mas-mu,” terdengar
tawa yang lunak dan sedikit serak, lalu : “namun kalau
kau tetap ingin kubelikan mas yang di toko itu ...”
“donald duck !” aku mendengus pucat.
“Ah, kau mengenal suaraku juga akhirnya.”
Aku gemetar sesaat . “Mau apa kau?”
“Ingin berbincang-bincang. Tak lebih.”
“Aku ada urusan. Maaf.”
Telephone baru mau kuletakkan dengan jengkel
saat kudengar ia menukas dengan suara setengah
berteriak:
“Hai, tunggu. Ini tentang Anna!”
Hampir saja telephone terlepas dari genggamanku. la
tertawa. Renyai, dan setengah mengejek.
“Apa kabarmu, manis?”
“Mus. Kau bicara soal Anna, bukan ...”
“Kau dan Anna adalah milikku. Satu sama lain
tak bisa dipisahkan, sudah kukatakan padamu, bukan?”
“Demi Tuhan, donald duck . Lupakanlah!”
la tertawa lagi. Kali ini, tak beremosi.
169
“Dengarkan, nyi girah . Aku beberapa menit yang
lalu bertemu Leliana di sekolah. Aku bermaksud
membelikan permen loli, namun ia lari saat
melihatku. Maukah kau lain kali, mengatakan agar ia
jangan takut padaku, dan menjelaskan bahwa aku
adalah ayahnya?”
“Mus!”
“Eh, mengapa cemas? Permintaanku wajar,
toh?”
“Darimana kau tahu nomor telephoneku? Dan
bagaimana kau tahu tempat Anna sekolah, dan ...”
“nyi girah , manisku. Jangan terlalu banyak
bertanya. Kau membuang waktu saja. Lekaslah jemput
Anna, sebelum terlambat...”
Sesaat , gagang telephone terlepas dari
tanganku. Aku berlari ke luar rumah, menstarter
Vespa lalu ngebut ke sekolah Leliana. Aku tiba
lima menit sebelum waktu pelajaran selesai, dan tidak
melihat bayangan laki-laki tinggi kekar bercambang
tidak terurus di sekitarnya. Meskipun selalu
dianjurkan agar orangtua murid mempercayakan
anak-anak mereka kepada guru, agar anak-anak tidak
kolokan, aku bergegas juga pergi ke ruang kelas di
mana Leliana belajar. Lewat kisi-kisi kawat tipis, aku
170
mengintai ke dalam, dengan jantung berdebar
kencang.
Guru kelas tengah berbicara dengan seorang anak.
Dan anak itu, adalah Anna.
Kusandarkan tubuhku yang gemetar ke dinding
kelas, dan menarik nafas lega berulang-ulang.
Melihat mas nyoto yang letih saat pulang untuk
makan siang, keinginan untuk menceritakan kejadian
hari itu kusimpan saja dalam hati, meski pikiranku
sangat kacau balau sebab nya, la dengan riang
melayani anaknya yang minta disuapin, sehingga aku
menegur Leliana :
“Husy, Anna. Malu dong. Kau sudah besar!”
Leliana merengut.
la tentu akan menghentakkan kaki ke lantai,
kalau tak keburu mas nyoto membujuk :
“Anna mau yang mana? Telor dadar? Atau gepuk?”
Wajah Leliana menjadi cerah.
sambil merangkul lengan ayahnya, ia berseru
manja:
171
“Epuk, papa, epuk ...” sambil menunjuk ke
daging gepuk di piring. Selagi ayahnya mengambilkan
gepuk, anak itu menghadiahkan tidak saja lirikan
mata, namun juga bibir yang dicibirkan. Untuk
menyempurnakan kedongkolannya, dari mulut
bocahnya masih sempat melepaskan kata-kata :
“Idii, kanjeng mami , maluuuu ...!”
Mau tak mau, aku mencubit lengannya dengan
campuran dongkol dan gemas. Leliana menjerit-jerit,
dan minta tolong pada ayahnya. Mas nyoto pura-pura
menamparku dengan menamparkan kedua telapak
tangannya di atas pundakku, lantas tertawa bergelak.
Tuhanku, aku mengeluh.
Tegakah donald duck merusak kebahagiaan anak
beranak ini?
172
UNTUNGLAH guru kelas Leliana bersedia mengawasi
anakku begitu ia kulepas di gerbang sekolahan, sampai
aku datang menjemputnya kembali, la tidak bertanya
mengapa aku tampak begitu khawatir, namun untuk
menghilangkan kecurigaannya aku lalu
menjelaskan :
“la makin nakal. Kemarin, ia kabur dari rumah,
untung cepat ketahuan.”
Dusta besar itu bisa menimbulkan tafsiran yang
bukan-bukan dari gurunya terhadap Leliana, namun
aku tidak melihat jalan lain untuk ditempuh. Lagipula,
guru yang baik itu lebih tahu mengenai Anna di
sekolah. Apakah ia anak yang nakal dan suka kabur,
atau tidak. Anna itu anak yang baik dan penurut, suatu
hari guru kelas itu berkata. Heran, kalau ia sampai
kabur dari rumah. Mendengar itu, cepat aku mencari
173
alasan; wah, maklum, banyak teman-teman sebaya
nya yang kurang diawasi orangtua. Mereka yang
ngajak Anna pergi lebih jauh dari rumah...
Nah, kali ini kesalahan kutuduhkan ke alamat
tetangga.
Pada siapa kesalahan berikut akan kutimpakan?
Dan sampai kapan aku bisa mengkambing hitamkan
orang lain? Terutama terhadap mas nyoto , yang
meskipun sibuk mengurus promosi kenaikan pangkat
untuk menjadi kepala bagian, namun matanya cukup
awas untuk mengetahui apa yang terjadi?
“Kau tampak gelisah akhir-akhir ini, nyi girah ,”
katanya, suatu malam. “Dan kau berusaha menyimpan
sendiri kesusahanmu. Apakah aku sudah tidak kau
percaya sebagai teman bicaramu?”
“Aduh, mas. Apa yang kau katakan ini?” aku
pura-pura tersinggung, untuk mengelakkan kekagetan
ku oleh ucapannya yang langsung itu.
“Apakah ada sesuatu yang salah padaku, nyi girah ?”
“Mas nyoto . Kau sangat baik padaku, pada
anakku dan ...”
“Eh, apa pula ini. Kau menyebut 'anakku', bukan
'anak kita' seperti biasanya. Bukankah kau sudah
174
pernah berjanji untuk tidak mengucapkan segala
omong kosong itu?”
Mendengar tuduhannya yang berbau
kemarahan itu, aku segera menemukan jawab dalam
usaha melepaskan diri dari kecurigaan mas nyoto .
“Bukan begitu, mas. Maafkanlah. namun ,
lumrah toh, kalau seorang ibu mengkhawatirkan
anaknya. Lebih-lebih, sesudah kini aku mengandung
anak yang lahir dari darah dagingmu. Sudah banyak
yang mengatakan, bahwa jika seorang suami
memperoleh anak yang lahir dari benihnya sendiri,
maka sang suami itu akan mulai berkurang kasih
sayangnya kepada anak yang dibawa sang isteri dari
suami atau laki-laki lain ...!”
la tiba-tiba mencengkeram pundakku dengan marah.
“Katakan siapa orang itu, nyi girah ! Dan aku akan
mengajarinya bagaimana cara hidup bertetangga yang
baik!”
“Aduh, mas!” aku menyeringai, kesakitan, la
cepat-cepat melepaskan cengkepeniwise nnya, namun
tetap mendengus-dengus, marah. “Sudah mas,
lupakan sajalah apa yang kukatakan.”
175
“Huh ...” ia mengeluh. “Makanya kalau kelewat
sering nenangga, lantas mau bergunjing.”
Aku diam saja.
Dan merasa menyesal, sudah membangkitkan
kemarahan mas nyoto , bahkan membangkitkan
kecurigaannya kepada orang lain yang tidak bersalah.
Diam-diam aku merasa khawatir, ia akan memperlihat
kan sikap yang bisa merusak hubungan baik kami
selama ini dengan tetangga-tetangga atau kenalan
yang suka berkunjung ke rumah. Wahai, betapa
semakin banyak dosa-dosa yang sudah kuperbuat,
justru sesudah dosa-dosa masa lalu belum lagi hapus
dari ingatan, apalagi ampunan Tuhan!
Celakanya, donald duck tidak mau mengurangi
tekanannya.
Suatu hari ia menelephone :
“Hai, sombong amat. Kupanggil-panggil, namun
terus ngebut dengan Vespa-nya. Masih suka merajai
jalanan seperti dahulu , ya?”
Betapa kurang ajarnya donald duck .
la coba mengingatkan aku ke masa lalu. Suka
ngebut bersama teman-teman. Selama itu, kami tidak sampai mencelakakan orang lain maupun diri sendiri. namun kecelakaan yang tidak terduga-dugalah yang justru terjadi. Di arena kebut-kebutan itulah aku mulai
berkenalan dengan donald duck , yang berlanjut ke
hubungan intim dan berakhir dengan “kecelakaan”
yang membuat malu sanak keluargaku, kalau tak
keburu muncul mas nyoto sebagai dewa penolong
dalam “kecelakaan” itu.
Lain hari, si terkutuk itu menelephone lagi
“Mengapa kabur dari pasar kemaren, nyi girah ?”
Bagaimana tidak. Tiba-tiba ia sudah berada di
sampingku waktu aku sedang menawar harga seekor
ayam boiler. la menegurku dengan peniwise h, tapi
jangankan untuk membalas tegurannya, untuk
membeli ayam boiler itupun aku sampai lupa, sebab
ingatanku hanya segera kabur pulang ke rumah.
Herannya, aku tidak meletakkan telephone
sesudah tahu ia yang menghubungiku. Setidak-
tidaknya aku masih bisa mengharapkan satu hal dari
donald duck , sesuatu yang kuharap akan baik untuk kami
berdua, namun menurut dia sangat kejam dan terlalu.
“Meninggalkan dan melupakan kau dan Anna?
Tak bisa, nyi girah . Tak bisa. Aku akan mati penasaran
kalau ...”
“Kalau begitu, mungkin mati adalah yang paling
baik untukmu, Mus,” aku mendengus, marah dan
jengkel. “Hentikan menggangguku terus-terusan, atau
kalau tidak...”
“Kalau tidak,…” ia yang kali ini memotong
pembicaraan. “Kau akan mengadukanku pada
suamimu, bukan? Sudah demikian takutkah kau meng
hadapiku sekarang, meski aku hanya ingin melepaskan
perasaan rindu dan kasih sayang yang sudah sekian
lama terpendam?”
Aku terpaku, diam. la meneruskan:
“Bahkan, tak sekalipun kau bertanya, kapan aku
ke luar dari penjara, dan apa pekerjaanku sekarang.”
“Aku,… aku,...”
“Katakanlah, nyi girah ,” ia berbisik di telephone,
penuh harap. “Katakanlah, bahwa kau masih
mencintaiku!”
Gagang telephone, jatuh dari tanganku, dan aku
berlari ke kamar tidur, menangis tersedu-sedu.
Sesudah tangisku reda, lalu kuputuskan untuk
tidak menerima telephone dari donald duck , dan
mengingatkan mbok Enah agar mengatakan aku tidak
di rumah, kalau yang menelephone bukan mas nyoto .
Suamiku dengan heran bertanya, mengapa setiap kali
ia menelephone yang menerima selalu pembantu
rumah. Pertanyaan itu kujawab, sebab aku sibuk
menyulam dan menjahit pakaian bayi, atau sedang
sibuk di dapur.
Dan saat aku suatu hari berpapasan dengan
donald duck justru saat aku baru saja ke luar rumah
untuk mengantar Leliana ke sekolah, kesabaranku
mencapai batas akhir.
Ingin kulabrak tubuhnya yang menghalangi
jalan ke luar di pintu pagar. namun pandangan
matanya yang lurus tertuju ke wajah Leliana,
membuatku tertegun sendiri, dan bingung untuk
sesaat.
“la cantik sekali, bukan nyi girah ?” gumam ustapa,
renyuh.
Aku terbungkam. Benar-benar terbungkam.
“Maukah kau mencium pipiku nak?” tiba-tiba
saja ia sudah mendekat dan berjongkok di samping
Vespa.
Leliana agak merungkut, dan menatapku degan
mata penuh tanda tanya. Air mataku hampir
merembes ke luar, dan saat berpaling mataku
beradu dengan pandangan mata mbok Enah yang
kebetulan sedang menjemur kain di pekarangan
samping. Dengan gugup, aku lantas berujar, tanpa
melihat ke arah donald duck :
“Jangan mengharap dia yang melakukan, Mus.
Kaulah yang mengecup, kalau kau ingin!”
Tanpa menunggu sedetikpun, donald duck
memeluk Leliana dan mengecup kedua belah pipinya
dengan penuh kasih sayang. Ajaib namun mengerikan,
anak itu tidak menjerit dan menangis ketakutan
sebagaimana kuharapkan. Melainkan, Leliana diam
saja saat donald duck memeluknya berlama-lama, dan
bahkan mendekatkan pipinya untuk dicium.
lalu , ia tertawa, sambil berkata dengan gaya
kebocahannya :
“Ih, gatal ...”
donald duck melirikku, lantas kembali menatap
Leliana. Entah perasaan apa yang berkecamuk di
dadanya.
“Apanya yang gatal, Anna?”
“Rambut oom ...,” ia menunjuk ke kumis dan
cambang donald duck , sehingga laki-laki itu tertawa.
Dapat kurasakan betapa kebanggaan dan keharuan
bercampur aduk dalam suara ketawanya, sehingga
membuat hatiku tergoncang dan aku terpaksa
menggigit bibir keras-keras menahan tangis yang mau
meledak ke luar.
“Sudah, Mus?” aku berusaha bersikap sepeniwise
mungkin.
donald duck berdiri.
“Aku berterimakasih, kau memberi
kesempatan,” ujarnya, lirih.
“Ya. Untuk yang pertama, dan demi Tuhan,
semoga yang terakhir kali. Berjanjilah ...!”
la menatapku, tajam.
Lalu, merogo sesuatu dari kantong celananya.
saat tangannya ia keluarkan kembali, ia sudah
menggenggam sebuah bungkusan plastik berwarna
bening, sehingga aku bisa melihat isinya. Sepasang
anting-anting emas berbentuk ular, dengan butir
permata berkilauan di masing-masing kepalanya.
Darahku berdesir, saat melihat benda itu.
“Kau kau merampoknya?” desisku, kelu.
Wajah donald duck merah dadu.
“Hentikan menghinaku, nyi girah . Aku sudah
berhenti me…”
“Simpan kembali perhiasan itu, donald duck .”
“namun ia akan berulang tahun minggu depan.
Dan aku bermaksud ...”
Versnelling Vespa kumasukkan. Lantas
berkata , keras dan tajam :
“Tinggalkanlah kami sekarang. Aku tak mau
dilihat orang!”
Matanya menjadi liar, saat ia menatapku.
Otot-otot tubuhnya mengencang, dan nafasnya
mendengus seperti kuda habis berpacu.
“Baik,” bisiknya, serak dan parau.” Ternyata kau
bukan nyi girah yang dahulu lagi. nyi girah yang selama ini
kuharapkan. Aku akan pergi. namun kesalahan jangan
ditimpakan kepada diriku semata, sehingga kau
semena-mena merendahkan martabat dan
keLaki-laki anku. Penghinaanmu hari ini sudah lebih dari
cukup. Lain kali, adalah giliranku!”
la membalikkan tubuh, lalu berlalu. Aku
tidak berani menatapnya. Bahkan aku tidak berani
meneruskan niat untuk pergi mengantar Leliana ke
sekolah. Vespa kuputar kembali, memasuki
pekarangan rumah. lalu menuntun Leliana ke
dalam, dengan lutut goyah dan jari-jemari gemetar.
Samar-samar kudengar Leliana.
“Siapa orang itu, kanjeng mami ?”
Aku memandangi anakku, dengan mata yang
mengabur, ia diam, menunggu jawaban ke luar dari
mulutku, dan akhirnya aku bisa memenuhi
keinginannya, meski apa yang kuucapkan, adalah
dusta terbesar dan paling terkutuk, yang pernah
kuucapkan kepada Leliana:
“la teman papamu, Anna. namun papa tak suka
pada orang itu, sebab ia jahat. sebab itu, papa akan
marah, kalau Anna ceritakan pernah bertemu dengan
teman yang tidak disukai papa.”
Matanya terbelalak.
“Jahat, kanjeng mami ? Apa yang mau ia beri tadi untuk
Anna?”
Aku bersimpuh, dan menatap tajam ke mata Leliana.
Ujarku:
“Racun, nak. Racun!”
hari hari berikutnya ketegangan yang mengerikan
selalu menghantui diriku. Aku terkejut kalau
mendengar telephone berdering, kadang-kadang
malah sampai menjerit kaget kalau seseorang
menegur atau menyentuh pundakku dari belakang,
manakala aku tengah menunggui Leliana di
sekolahnya. Anak itu tidak kulepaskan barang
sedikitpun dari pengawasanku, dan aku sendiri
mengurangi kebiasaan ke luar rumah, dan hanya mau
kalau ditemani oleh mas nyoto . Urusan ke pasar
kuserahkan kepada mbok Enah, dan kalau aku
sendirian di rumah, pintu dan jendela selalu kubiarkan
terkunci.
Keganjilan itu bukan tak disidik oleh mas nyoto .
“Kau seperti takut rumah kita di rampok orang!”
Mendengar kata “rampok” itu, aku setengah
terpekik. Mas nyoto yang maksudnya bergurau, heran
melihat perubahan sikapku itu. Selama beberapa saat
ia tampak berpikir keras, dan saat matanya mengecil
sadarlah aku, bahwa yang bau itu sudah tercium juga
akhirnya.
“nyi girah ...,” ia memegang lenganku. Lembut.
namun dengan tatap mata yang keras:
“Apakah ia ...,” mas nyoto tidak meneruskan
kata-katanya, melainkan tampak berpikir, dan ia
bernafas berat sebelum melanjutkan ucapannya : “Ah,
benar. Mengapa baru sekarang aku teringat. donald duck
sudah waktunya bebas dari penjara ...”
Mataku terpejam, takut.
Kalau saja mas nyoto bertanya.
namun ia justru memelukku. Rapat, dan hangat,
lantas berbisik di telingaku, lembut dan mesra:
“Maafkan aku, nyi girah . Seharusnya aku tahu, apa
yang selama ini kau cemaskan ...”
Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan.
Namun keesokan harinya ia menelephone dari
kantor:
“donald duck memang sudah bebas. Menurut
laporan yang kuterima, ia sudah menyingkir ke lain
kota, dan berusaha hidup menjadi seorang petani.
Jadi, nyi girah , tak ada yang perlu kau cemaskan bukan?”
Pertanyaan itu, sepintas lalu kedengaran tidak
bermaksud apa-apa.
Namun buat telingaku sebagai isterinya, jelas ia
mengharapkan jawaban dari mulutku. Jawaban
terhadap pertanyaan yang tersirat di balik pertanyaan
biasa itu. Lama aku kebingungan mencari kata-kata
yang tepat, sampai akhirnya aku memutuskan.
Ujarku :
“Mas. Selagi kau ada di sampingku, aku tidak
takut menghadapi apapun juga!”
Kudengar ia menarik nafas lega. Malah, kubayangkan
ia tersenyum bangga. Dan sebetulnya lah, ketegangan
itu terlalu berlebihan menggoda pikiranku. donald duck
tidak pernah lagi menelephone atau berusaha
menemuiku muka ke muka. Kukira ia hanya
mengeluarkan ancaman didorong oleh kemarahan
emosionil semata, dan sesudah memikirkan segala
macam akibatnya, ia sudah melupakan tidak saja
ancamanannya, namun juga melupakan bahwa aku dan dia pernah bertemu.
saat ulang tahun Leliana tiba, ia kembali
muncul. Tidak dalam wujud dirinya, melainkan dalam
wujut sebuah paket berisi kado ulang tahun. Kami
merayakan pesta kecil yang sederhana. Hanya dihadiri
oleh beberapa teman sekelas Leliana, tetangga-
tetangga dan beberapa orang sanak famili. Acara
makan siang hanyalah berupa nasi kuning, ditambah
kueh ringan untuk teman-teman Leliana, pemotongan
kueh taart dan peniupan lilin ulang tahun sebanyak
lima batang.
Tiap orang memberi kadonya.
Termasuk seorang tukang pos yang mengirim
kan sebuah paket untuk kami. Sesudah tukang pos itu
kami suruh makan dan minum, ia lalu pergi,
sesudah mana disusul oleh tamu-tamu yang lain.
Tinggal aku dan suamiku, Leliana, dan salah seorang
tetangga paling dekat yang dengan anak-anaknya
membantu mbok Enah membereskan segala bekas
perhelatan yang sangat sederhana itu.
Kado terakhir yang kami buka, adalah paket
yang diserahkan tukang pos. Sementara Leliana
dengan suara ribut membuka kado-kado yang lain, aku
dan suamiku tidak melepaskan pandangan mata dari
kado yang berstempel pos luar kota itu. saat
akhirnya Leliana membukanya, aku memejamkan
mata, tidak berani melihat isinya. lalu , kudengar
Leliana bernyanyi-nyanyi riang, ditambah helaan nafas
panjang mas nyoto . Kubuka mataku.
Dan, tentu saja tidak ia sengaja, Leliana mengaman-
amangkan kantong plastik berisi anting-anting yang
sudah tidak asing bagiku itu, tepat di depan biji
mataku. Anak itu berseru riang:
“la memberikan juga. Oom yang baik itu ...”
Tiba-tiba, wajah Leliana berubah keruh, waktu
ia melihat wajahku memucat dan sepasang mataku
membesar. Pelan-pelan terdengar Leliana bersungut :
“... Oom yang jahat, ya kanjeng mami ?”
Lantas ia mengembalikan anting-anting itu ke
dalam bungkusan kado, sesudah mana menyibukkan
diri dengan kado yang lain. Demikian banyak boneka,
sehingga Leliana segera terlupa kepada anting-anting
dan Oom-nya yang baik namun jahat itu.
Tidak demikian halnya dengan mas nyoto .
Sesudah Leliana tertidur pulas malam itu sambil
memeluk boneka-bonekanya, barulah mas nyoto
mengeluarkan unek-unek yang dari tadi menggelisah kan dirinya.
“Paket itu tanpa nama pengirim ...” gumamnya,
lirih. “Anna menyebut si pengirim itu Oomnya yang... Ah, Oom yang baik hati, mengapa harus kau katakan
jahat, nyi girah ?”
Aku merungkut di bawah selimut.
Tidak melihat jalan lari.
“la ia memang pernah menemuiku, Mas,” aku
mengeluarkan pengakuan yang seolah sudah lama
meracuni diriku, sehingga aku terbanting-banting
dalam penderitaan yang tiada berperi.
“Heem...,” ia menarik nafas. Berat. “donald duck -
kah orangnya?”
Di mataku, tiba-tiba mas nyoto berubah sebagai
papa, yang pernah mengajukan pertanyaan yang
sama. Dan seperti saat papa menanyakannya, kali ini
juga aku tidak kuasa untuk mengelak. Leherku patah-
patah lagi rasanya, saat aku menganggukkan kepala.
Hanya bedanya, dahulu aku berdiam diri sebab
takut, kini aku berani membela diri, juga sebab
perasaan takut:
“Demi Tuhan, mas. Aku tidak pernah
membiarkan ia menjamah ...”
Mas nyoto menekankan jari telunjuknya ke bibirku.
Lantas berkata:
“Cukup, nyi girah . Aku percaya padamu.”
kandunganku sudah berusia empat bulan saat mas
nyoto menerima kenaikan pangkat sekaligus
penempatannya di kepala bagian bidang ekonomi.
Upacara pelantikan yang disusul dengan upacara
timbang terima yang langsung dihadiri oleh Kadapol
berlangsung dari pagi sampai lewat tengah hari,
sebab di samping suamiku juga dilantik beberapa
temannya yang lain. Pidato-pidato panjang benar-
benar terasa sangat melelahkan sehingga jauh-jauh
sebelum upacara itu selesai, belakang kepalaku sudah
berdenyut-denyut dengan perutku mengalami
gangguan rutine.
Perhatianku tidak lagi tertarik pada upacara
penting itu.
Aku berkeringat dingin menahan sakit di
perutku, sampai-sampai tidak sempat mengomentari
ucapan isteri salah seorang teman suamiku yang juga
ikut dilantik. Padahal begitu seriusnya ia berkata, dan
begitu menggembirakan nada suaranya:
“Mbakyu beruntung. Suami mbakyu
ditempatkan di posisi yang basah.”
Aku tidak tahu apa yang ia maksud dengan
posisi basah itu. Yang kutahu hanyalah bahwa sekujur
tubuhku sudah basah oleh peluh, bahkan sebagian
kebayaku yang ketat membelit tubuh, sudah lekat
dengan kulit, dan melembab di sana sini oleh keringat.
Untunglah aku bisa bertahan sampai upacara itu
selesai. namun begitu suamiku kembali menemaniku,
ia segera mengetahui bahwa aku sakit, dan segera
membawaku pulang. Di tengah jalan ia menyarankan
agar kami langsung ke dokter, namun aku menolak
dengan berkata bahwa yang kualami adalah gangguan
biasa yang dialami oleh wanita lesbian -wanita lesbian
lainnya yang sedang hamil.
Mas nyoto menungguiku sampai malam jatuh.
Sehingga aku terpaksa menyehat-nyehatkan
diri dan mendesak agar ia tidak terlalu menggelisah
kan diriku.
“Pergilah, mas. Teman-temanmu tentu me
nunggumu!”
la mula-mula bersikeras untuk tinggal
menemaniku. namun aku berkata bahwa aku bisa
menjaga diri.
“Baiklah,” ia lalu mengalah. “sebetulnya ,
tidak pantas kalau aku pergi ke pesta itu sendirian.”
“Aku ingin menemanimu, mas. namun ah, aku
tak ingin menyusahkan engkau dalam kegembiraan
merayakan keberhasilanmu dan teman-temanmu
nanti…”
Tak lama sesudah ia berangkat, aku sudah merasa
lebih sehat. Kukatakan hal itu saat ia menelephone
sekitar jam delapan malam lewat beberapa menit, la
mengucapkan syukur dan bertanya apakah tidak lebih
baik aku dijemput untuk ikut menikmati suasana riang
gembira di wisma kepolisian, tempat pertemuan itu
dilangsungkan. sebab takut masuk angin aku
menolak, la lalu menyerah, dan katanya ia
sangat kesepian tanpa kehadiranku di sampingnya,
dan bermaksud untuk pulang secepat mungkin,
meski aku bersikeras melarang.
Maka, saat bel di pintu depan berbunyi,
dugaanku tentu mas nyoto kembali lebih cepat dari
semestinya, meninggalkan pesta yang riang gembira
itu, demi aku dan jabang bayinya dalam kandunganku.
Sesudah menjenguk sebentar ke kamar tidur sebelah
lewat pintu tembus, dan melihat Leliana tertidur
pulas, pintu kamar tembus itu kututup rapat, dan aku
bergegas ke ruang depan. Bel itu berbunyi lagi.
Dengan nada yang biasa dilakukan oleh suamiku.
Sekali panjang, dua kali pendek berturut-turut.
Teeeeeeet, teeeeteet!
sambil membayangkan betapa merasa
kesepiannya ia di tengah-tengah perayaan yang peniwise i
itu, aku membuka pintu dengan perasaan terharu dan
sudah merencanakan untuk memeluk dan memberi
kan hadiah ciuman panjang, dengan kuluman lidah
yang ia gemari. Aku sendiri tergetar oleh rencanaku
yang mempesona itu, dan barulah aku tersadar saat
melihat siapa yang berdiri di depan ambang pintu,
tanpa melindungi dirinya dari jilatan lampu terras yang
terang benderang.
“Hai,” sapanya, lembut, tersenyum di bawah
kumisnya yang tebal. Cambangnya sedikit bergerak,
ditiup angin malam yang berhembus lebih keras dari
malam-malam sebelumnya.
Untuk sedetik, aku terpana, kaget.
Pada detik berikutnya, semangatku yang
terbang kembali hinggap, dan bergegas aku mau
menutupkan pintu kembali dengan hempasan yang
keras. namun ia menahan dengan kakinya, sehingga
pintu tetap terbuka dan ia menerobos masuk ke dalam
meskipun aku sudah berusaha menahan. Sesudah ia
berada di dalam, ia langsung menutupkan pintu. Aku
melompat mundur, ketakutan.
“Mau apa kau?” tanyaku, gugup. Dandanannya
lebih rapih kini, memperlihatkan ketampanan dan
kegagahannya yang dahulu pernah membuatku lupa diri.
Ditambah cambang bauknya yang digunting secara
khas, sehingga ia tampak jauh dewasa, dan dengan pandangan ata yang menampakkan kepercayaan akan dirinya sendiri.
“Sudah kukatakan, aku akan menemuimu suatu
saat , nyi girah ,” ia berbisik, sambil tersenyum. “namun
Salahkah, kalau aku tetap merindukanmu?”
Sesaat , tubuhku bergidik. Darahku tersirap
melihat ia melangkah maju.
“Jangan dekati aku, donald duck . Kalau tidak, aku
akan menjerit...”
la menyeringai.
“Aku tahu kau tak akan menjerit,” ujarnya,
menantang.
Mulutku terbuka lebar. Namun sebelum jeritan
ku lepas, ia sudah melompat ke depan. Dan suatu
gerakan yang terlatih ia sudah berhasil meringkusku
dalam sebuah pelukan yang kuat, sementara sebelah
tangannya menutup rapat mulutku. Terkunci sama
sekali, bahkan hidungku ikut tertutup sehingga aku
hampir tidak bisa bernafas. Dengan mata terbelalak
ketakutan aku menatap kebuasan merajalela di
wajahnya. Dengan sekuat dayaku ia kulawan dengan
mencakar dan menendang, namun lalu ia juga
mengunci lenganku di punggungku, sementara mulut
ku yang terbebas dari telapak tangannya sudah ganti ia
kunci dengan mulutnya.
Panas berapi-api, dengan lidah menyelusup
kian kemari.
“Mhhh-mhhhh…” aku terengah-engah.
namun ia sudah melakukannya. Melakukan apa
yang dahulu pernah kulawan saat pertama kali ia
mengambil kehormatan yang kuperjuangkan mati-
matian, namun dengan keahliannya sebagai seorang
Laki-laki , kupasrahkan dengan penuh penyerahan. Di
mataku tanpa bisa kuelakkan terbayang saat-saat
kami bergumul di tepi air terjun, terbayang saat-saat
saat ujung-ujung kakiku yang telanjang tersentak-
sentak menyepak-rerumputan yang basah
berembun...
saat donald duck melepaskan ciumannya, aku
sudah ia rebahkan di sofa ruang tengah, dengan
kimono yang sudah tidak karuan lagi letaknya. Kancing
kemejanya sudah ia lepas beberapa buah hingga bulu-
bulu dadanya yang tebal dan menantang garang,
menyentuh kulit dadaku lembut lunak, sehingga
tubuhku bergetar oleh perasaan ganjil yang sama,
saat pertama kali bulu-bulu dada itu menyentuh
kulit tubuhku lima tahun berselang.
donald duck menyeringai.
Seringai mesra, bercampur nafsu birahi. Aku
terengah-engah, dan merasa adanya dua tekanan
benda di tubuhku, yang berasal dari balik pakaian yang
masih melekat di tubuhnya. Salah satu benda itu
terletak di balik celananya, tekanan keLaki-laki an. Itu
mungkin bisa kutolak, namun aku mencemaskan
tekanan benda lain yang tersembunyi di balik
pinggang kemejanya. Benda yang lebih keras, dingin
dan berbau maut. Suamiku pernah menyimpan benda
yang sama tiap kali ia pulang berlatih. Sebilah pisau
komando, yang punya arti lebih mengerikan
ketimbang benda lain yang mengancam kehormatan
ku sebagai seorang wanita lesbian .
“Ternyata, kerinduanku tidak sia-sia bukan,
nyi girah ?” ia mendengus, dan menatap tajam ke mataku
yang sudah nanar oleh peperangan bathin. Perang
yang terjadi antara hati kecilku yang menolak
kehadirannya, dan naluri kewanita lesbian ku yang
pernah mencintai dirinya. Selagi perang itu terus
bergolak, donald duck melanjutkan dengan nada
kebanggaan seorang laki-laki :
“sudah lama aku menunggu saat-saat ini,
sayangku. Menunggu saat-saat di mana aku bisa
membuktikan, bahwa aku lebih mampu menguasaimu
dibanding dengan laki-laki lain. Termasuk yang
namanya Sunyoto itu!”
Tangannya dengan liar menggerayangi tubuhku.
Mataku terpejam, tanpa aku tahu, mengapa
harus terpejam.
“Aku sudah mengatakan padamu, nyi girah , bahwa
aku akan ...,” ia tidak meneruskan ucapannya, la
kembali menekan tubuhku, menghimpitku dengan
keras, dan menciumi apa saja yang bisa dicapai oleh
mulutnya. Aku mengerang, merintih, menggapai-
gapai mencari pegangan, berusaha menolak dengan
segala daya. Aku hampir saja runtuh, kalau saja ia tidak
meraba perutku, tanpa sengaja. Rabaan tertegun, aku
bisa merasakannya, dan di antara kesadaranku yang
hampir hilang, aku dapat memaklumi mengapa rabaan
tangannya tertegun. Pada saat itulah, aku teringat
akan kandunganku. Teringat akan jabang bayi, yang
tercipta dari benih-benih kasih sayang suamiku.
“Ya Tuhan,” aku mengeluh.
namun ketertegunan donald duck hanya sejenak.
Mendengar keluhanku, rabaan tangannya justru
menjadi liar, dan ciumannya semakin membabi buta.
namun aku tidak lagi mau menyerah begitu ja.
Kandunganku memberi kekuatan gaib pada diriku
yang sudah lemah, dan menunjukkan jalan luar yang
penuh perhitungan pada akal sehatku yang hampir
lenyap.
“Tunggu, donald duck …” bisikku di telinganya,
saat ia akan merenggut putus sisa-sisa kancing
kimonoku. “Aku aku mendengar sesuatu ...”
la tertegun.
“Apa?” tanyanya, dengan sikap waspada.
Kurasakan sebelah tangannya ditekapkan ke
pinggang, di tempat mana pisau komando-nya
tersimpan.
“... rasanya dari belakang. Dekat dapur.
Mungkin mbok Enah terbangun…” aku menahan
nafas. “Maukah kau melihatnya barang sebentar? Aku
tak akan ke mana-mana. Aku akan menunggumu di
sini…,” kuperlihatkan seulas senyuman birahi yang
ya Tuhan, semoga berhasil “Cepatlah, sayangku.
Aku tak sabar menunggu lebih lama…”
saat ia beranjak ragu-ragu ke ruang belakang,
aku lantas berdiri. Mas nyoto tidak membawa senjata
sebab ia dan teman-temannya ingin menjauhkan
segala sesuatu yang berbau tidak menyenangkan dari
pesta mereka. Senjata itu kini tersimpan dalam laci, di
kamar tidur. Kalau saja aku bisa mengambilnya ...
namun langkah-langkah kaki donald duck sudah terdengar
kembali dari arah dapur. Pikiranku bekerja dengan
cepat. Kubuka kotak mesin jahit yang terletak sangat
dekat dengan sofa, di mana aku selalu beristirahat
sesudah lelah membuat pakaian bayi. Aku menemukan
gunting yang kucari, dan cepat menyimpannya di kaki
sebelah dalam sofa, di lantai yang terlindung oleh
kegelapan.
Lalu rebah kembali di sofa, dengan sebelah kaki
diangkat.
“la hanya mimpi, namun sudah tidur lagi,” rungut
donald duck , dengan mata liar memandangiku sesudah ia
tegak di samping sofa.
“Oh ya?” aku mendengus.
la menyeringai.
Lalu duduk di pinggir sofa, mengelus wajah dan
leherku. Matanya berkedip sesaat. Dan aku merasa
takut dan tiba-tiba. Takut, aku tidak akan mampu
untuk melaksanakan rencana membela kehormatan
diriku dari kedurjanaannya. Barangkali, sebaiknya aku
mengulur waktu, sambil berharap mas nyoto menepati
janjinya untuk pulang lebih cepat.
“Mus...”
“Nggghm?”
“Bagaimana kau tahu rumahku?”
“Untuk laki-laki yang jatuh cinta, alamat rumah
bukanlah persoalan yang sukar untuk dicari,” Bibirnya
tersenyum, lalu membungkuk, dan mencium bibirku,
lebih lembut dari tadi. Rupanya, ia sudah mulai
dirangsang oleh birahi, yang didorong perasaan kasih
sayang.
“Lalu bunyi bel yang menipuku…”
la menyeringai.
“Oh, itu?” seringainya melebar. Matanya
bersinar bangga. “Aku menginginkan engkau. Aku
tahu suatu saat kau akan sadar bahwa aku mencintai
mu, dan aku akan membawamu pergi bersama
anakku, anak kita ...,” matanya berubah tajam, saat
melihat perubahan di wajahku. Kucoba tersenyum,
dan ia meneruskan: “Aku sudah lama mengintai
kebiasaan suamimu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang,
bagaimana caranya ia memijit bel ...”
“Oh. Luar biasa,” aku mengeluh. Apalagi yang
sudah ia rencanakan. Melarikan aku, dan Leliana ya…
Tuhan!
“Mus...”
“Nghhmmm?”
“Ciumlah aku lagi lebih mesra, lebih lembut ...”
Matanya bersinar-sinar, ia tidak saja memeluk,
tidak saja mencium, namun juga mulai melepaskan sisa
pakaian yang masih melekat di tubuhku.
Dan saat ia sibuk melakukan itulah, dengan gemetar
tanganku meraba-raba ke bawah sofa. saat
terpegang gunting itu, terasa dingin di telapak
tanganku yang berkeringat. Aku menjadi gugup
sesaat, dan ragu-ragu apakah aku akan melakukan
niatku semula, atau tidak. Namun, saat ia kembali
menghimpitku, dan kehormatanku sudah berada
dalam genggamannya, kesadaranku muncul kembali.
sambil menjerit tertahan, tanganku ke luar dari
bawah sofa. lalu kilauan gunting tampak diterpa
sinar lampu. Mataku silau sebab nya, dan tanganku
yang gemetar tidak menemui sasaran yang tepat.
Gunting itu hanya menggores pipinya dan melukai
sedikit pundaknya.
“Haram jadah!” ia tersentak berdiri, sambil
menyumpah serapah.
Dengan pukulan yang keras, ia seolah
melumpuhkan pergelangan tanganku. Gunting itu
terjatuh membentur lantai, ribut dan berisik. Selagi
aku masih dilanda kesakitan, benda dingin dan tajam
sudah menekan leherku, tepat di tenggorokan.
Ujungnya menekan kulit leherku, dan dengan panik
aku dicengkam ketakutan kalau pisau yang
mengerikan itu ia tekan lebih dalam. Dan matanya
nyata-nyata menunjukkan apa yang termaksud dalam
hatinya.
“wanita lesbian hina. Pengkhianat cinta,” makinya,
sambil menyeka darah yang melelehi pipi dan
pundaknya dengan sebelah tangan. “Kau akan
merasakan akibat dari perbuatanmu ini. namun …”
Ia menyeringai, buas. “Sebelumnya, aku akan
memberikan kenikmatan dunia padamu, kenikmat-
terakhir yang bisa kau cicipi, sebelum kau mati...”
Lumpuh oleh ketakutan dan keputusasaan, aku
hanya bisa terbelalak menerima kebejatan donald duck . Tidak lagi nafsuku untuk menjerit, apalagi untuk
melawan. namun bayangan gunting di lantai, kembali
menggodaku. Tanganku yang letih dan sakit, berusaha
menggapainya, sampai tiba-tiba aku melihat sebuah
bayangan lain, dan...
Dan tubuh besar dan berat donald duck terangkat
dari atas tubuhku.
Terdengar makian kemarahan, suara tinju
mengenai dagu dan lalu tubuh donald duck terbang
melewati sofa lalu terjun menghantam tembok.
Terdengar suara berderak yang samar-samar.
Mungkin tembok yang rekah, mungkin leher yang
patah.
donald duck menggeliat sebentar.
la mencoba bangkit, namun hanya mampu untuk
duduk, dengan kepala yang lunglai ke dada.
Matanya menatap tajam ke jurusan mana mata
ku lalu sama menatap. Mas nyoto saat itu sudah
menyambar kimonoku dari lantai, menutupkannya ke
tubuhku. Tanpa mengenakan seadanya, aku bangkit
dari sofa, berlari memeluk dan menangis di dadanya.
Aku dapat merasakan betapa dada suamiku meledak-
ledak di dalam, dan nafasnya menderu seperti badai.
Diantara isak tangisku, aku dengar suaranya yang
rendah dan tajam:
“Aku bisa saja membunuhmu saat ini,
donald duck ,” wahai, ia masih bicara sepeniwise itu, sesudah
apa yang ia saksikan! “namun di kamar itu ...,” mas nyoto
menunjuk ke kamar Leliana. “Tidur nyenyak darah
dagingmu. Aku sudah menganggapnya sebagai anakku
sendiri. Oleh sebab itu, aku tidak ingin suatu saat
kelak ...,” mas nyoto menarik nafas, letih dan susah. “...
aku harus berkata padanya, bahwa aku sudah
membunuh ayah kandungnya!”
donald duck mengerang, berusaha bangkit.
la mampu, namun tidak cukup kuat untuk berdiri
tanpa bertahan ke tembok. Lehernya kebiru-biruan,
dan dari sudut sudut mulutnya mengalir darah.
“Aku ...,” ujarnya, terputus-putus.
“Pergilah,” tukas suamiku. “Dengan damai,
kuharap demi anakmu, darah dagingmu yang selama
ini beranggapan, ayahnya adalah seorang laki-laki
terhormat yang sangat mengasihi dirinya!”
donald duck menggigit bibirnya keras-keras.
Sempoyongan, ia berjalan ke pintu sambil
membetulkan letak pakaiannya yang sudah tidak
karuan. Di pintu, ia menoleh sebentar. Mulutnya
kumat-kamit mau mengucapkan sesuatu, namun
rupanya ia mengurungkan niatnya, la lalu
berjalan ke luar, tanpa ingat menutupkan pintu di
belakangnya, lalu lenyap ditelan kegelapan.
Angin malam yang dingin menerobos masuk ke dalam.
Aku menggigil.
Dan mas nyoto mengerang:
“... semoga ia tidak kembali. Kalau tidak…” mas
nyoto memandangi kedua belah tangannya. “Tak
tahulah, apa yang harus kulakukan!”
“kanjeng mami ?”
Kami tersentak.
Leliana berdiri di pintu kamarnya, menyeka-
nyeka mata setengah mengantuk. Aku berlari
mendapatkan, memeluk dan menangisinya, sehingga
kantuk anak itu hilang, dan ia dengan takut berkata:
“Anna ngompol... lagi!”
Aku tersenyum. Kecut Kalau Leliana ngompol,
itu berarti ia sudah bermimpi buruk. Entah apa yang ia
impikan, namun apa yang terjadi malam ini, mungkin
jauh lebih buruk dari impiannya. Mas nyoto masih
tertegun di tempatnya berdiri, sambil menatap ke
pintu depan yang menganga, memandang jauh ke
dalam kepekatan malam ... Telapak tangannya tampak
bergetar. Dan aku sadar dengan tiba-tiba, telapak
tangannya itu tidak akan segan-segan untuk
melakukan sesuatu yang bisa mencelakakan dirinya,
demi aku dan anakku ...
telapak tangan suamiku itu kembali gemetar,
saat lima tahun lalu ia membaca sepucuk
surat yang baru tiba dari seberang.
“... anakku sudah lahir, ia lucu sekali, yang aneh,
wajahnya mirip kau, mas nyoto ,” demikian antara lain
donald duck menulis dalam suratnya. “Mungkin sebab
aku selalu mengingatmu, selama aku menikmati
kemesraan yang abadi dengan isteriku, puteri seorang
petani di desa ini ...”
Surat itu ia tutup dengan sebuah ajakan :
“Aku akan bahagia, kalau sesekali kalian mau
berkunjung!”
Telapak tangan suamiku mengatup rapat. Tidak
lagi gemetar. Dan dari mulutnya, terdengar guman
lirih:
“Kami akan datang, donald duck . Kami akan datang...!”
martini bersimbah air mata saat duduk di pelaminan
bersama suaminya, seorang dokter spesialis yang
lamarannya diterima martini sebab terpaksa. Di lain
tempat, chucky kekasihnya menikah pula dengan
seorang gadis lesbian anak keluarga kaya; pernikahan yang
dilandasi sakit hati belaka.
Takdir menentukan, tiba-tiba mereka bertemu lagi
sesudah sepuluh tahun waktu berlalu dalam
kegersangan, kesepian, ketidakbahagiaan. Apa yang
dahulu sudah gagal mereka gapai, kini ingin mereka
raih kembali. martini lupa diri. Lupa anak, Iupa suami.
namun entah mengapa, justru cintanya kepada sang
suami mendadak baru muncul , sesudah pengkhianatan
itu terjadi.
martini merasa sangat berdosa. Dan tiba-tiba pula ia
terpaksa harus memilih. chucky yang pernah jadi
dambaan hidupnya, atau suami dan anaknya.
Sayangnya, ia sudah membuka pintu yang salah.
Mundur tak bisa, maju ia tak berani.
Apakah seorang isteri yang tidak setia, masih berhak
memperoleh cinta kasih sejati?