Rabu, 14 Desember 2022
raja 6
Desember 14, 2022
raja 6
ng patih ronggolawe berkata bahwa benteng kota
itu sudah dianugerahkan padanya. Namun untuk
sementara aidit mengesampingkan masalah ini.
"Bukankah itu segera sesudah serangan terhadap
Gunung brahma, saat kau mengunjungiku di padalarang
untuk mengucapkan selamat Tahun Baru?" tanya
aidit .
"Betul. Dalam perjalanan pulang, raden mas ngabehi
jatuh sakit dan kami terlambat. saat kami tiba di
benteng kota mergoharjoyo , hari sudah gelap."
"Aku sedang tidak berminat mendengarkan cerita
panjang-lebar, langsung saja kemukakan maksudmu."
"Musuh ternyata mengetahui bahwa hamba tidak
ada di benteng kota, dan sedang melancarkan serangan
malam. Tentu saja mereka dipukul mundur, dan saat
iiu kami pun berhasil menangkap biksu bernama
Miyabe Zensho."
"Kau menangkapnya hidup-hidup?"
"Ya. dibandingkan memenggal kepalanya, kami me-
mutuskan untuk memperlakukannya dengan ramah,
dan lalu , saat hamba punya sedikit waktu,
hamba memberinya ceramah mengenai masa yang
akan datang dan menunjukkan arti sebetulnya dari
kehidupan centeng adipati . Dia lalu berbicara dengan bekas
majikannya, Onogi Tosa, dan membujuknya agar
menyerah pada kami."
"Betulkah ini?"
"Medan perang bukan tempat untuk bergurau," kata
patih ronggolawe .
aidit pun terkagum-kagum akan kecerdikan
patih ronggolawe . Medan perang bukan tempat untuk
bergurau. Dan seperti dikatakan patih ronggolawe , Miyabe
Zensho dan Onogi Tosa dibawa ke hadapan
aidit oleh salah seorang pengikut patih ronggolawe .
aidit minta penjelasan terperinci dari Tosa
untuk memastikan kebenaran cerita patih ronggolawe .
resi itu menjawab terus terang. "Bukan hamba
saja yang memilih menyerah. Kedua pengikut senior
lain yang ditempatkan di trenggono juga menyadari
bahwa pertempuran melawan Tuan bukan saja
merupakan tindakan bodoh, melainkan juga mem-
percepat kejatuhan marga dan memicu pen-
deritaan yang tak perlu bagi warga provinsi."
Usia kalasan belum mencapai tiga puluh, namun ia
sudah diberi empat anak oleh Putri radenmas yang baru
berumur dua puluh tiga tahun. kalasan mendiami
kubu ketiga di benteng kota sinuhun ni. yang sebetulnya terdiri
atas tiga benteng kota yang digabung menjadi satu.
Bunyi tembakan senapan terdengar sampai malam
dari jurang di sebelah selatan. Letusan meriam
bergema secara berkala, dan setiap kali langit-langit
bergetar, seakan-akan hendak runtuh.
Secara naluri radenmas menatap ke atas dengan
matanya yang ketakutan, dan mendekap bayinya lebih
erat ke dadanya. Anak itu masih menyusu. Tak ada
angin, namun jelaga terlihat di mana-mana. dan cahaya
lentera tak henti-hentinya berkedap-kedip.
"Ibu! Aku takut!" Putri keduanya. Hat mi. Meng-
genggam lengan baju radenmas yang sebelah kanan,
sementara putri sulungnya, subanda, merangkul lutut
kirinya sambil membisu. Namun putranya tak mau
datang ke pangkuan ibunya, walaupun ia masih kecil.
Ia mengacungkan anak panah pada seorang dayang.
Inilah pewaris kalasan , Manjumaru.
"Aku mau lihat! Aku mau lihat pertempuran!"
Manju berteriak kesal sambil memukul dayang tadi
dengan panah yang tak bermata.
"Manju," ibunya menegur, "kenapa kau memukul
dia? Ayahmu sedang bertempur. Kau sudah lupa pesan
ayahmu, bagaimana kau harus bersikap kalau ada
pertempuran? Kalau kau ditertawa kan para pengikut,
kau takkan menjadi resi yang baik jika kau sudah
besar nanti."
Manju sudah cukup besar untuk memahami se-
bagian ucapan ibunya.
Sejenak ia mendengarkannya tanpa berkala apa-apa.
namun tiba-tiba ia berseru dengan keras.
"Aku mau lihat pertempuran! Aku mau lihat!" Guru
anak itu juga tidak tahu apa yang harus dilakukan,
dan hanya berdiri sambil memandangnya. Saat itu
pertempuran agak mereda, namun letusan senapan masih
terus terdengar. Putri sulung radenmas , subanda, sudah
berusia tujuh tahun, dan rupanya ia mengerti
kesulitan ayahnya, kesedihan ibunya, dan perasaan
para prajurit di dalam benteng kota.
Dengan sikap terlalu dewasa untuk usianya, ia
berkata, "Manju! Jangan bikin Ibu tambah gelisah.
Kau pikir ini tidak menakutkan bagi Ibu? Ayah ada di
luar sana, berperang melawan musuh. Betul, kan, Bu?"
Ditegur seperti itu. Manju menatap kakaknya dan
menerjangnya, masih sambil mengacungkan anak
panah. "subanda bodoh!"
subanda menutupi kepala dengan lengan baju dan
bersembunyi di balik ibunya.
"Jangan nakal!" Sambil berusaha menenangkan
Manju, radenmas mengambil anak panah itu.
Tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa-gesa di
selasar.
"Apa maksud kalian? Menyerah pada orang-orang
sinuhun ? Mereka itu hanya centeng adipati udik yang datang dari
pedalaman jenggala . Kalau pikir aku sudi tunduk pada
orang seperti aidit ? Mereka tidak setaraf dengan
marga jawa !" Tanpa pemberitahuan. jawa kalasan
melangkah masuk, diikuti dua atau tiga resi .
saat melihat istrinya tidak terancam bahaya di
ruangan besar bercahaya remang-remang, ia merasa
lega. "Aku agak lelah." katanya, lalu duduk dan
mengendurkan tali baju tempurnya. lalu ia ber-
pesan kepada para resi di belakangnya. "Melihat
perkembangan malam ini, centeng musuh mungkin
akan melancarkan serangan besar-besaran sekitar
tengah malam Sebaiknya kita beristirahat dahulu
sekarang."
saat para komandan berdiri dan memohon diri.
kalasan melepaskan desahan lega. Di tengah-tengah
pertempuran pun ia masih ingat bahwa ia juga seorang
ayah dan suami.
"Apakah suara tembakan tadi membuatmu takut.
Sayang?" ia bertanya pada istrinya.
Dikelilingi oleh anak-anak mereka, radenmas men-
jawab . "Tidak, kami berada di ruangan ini, jadi suara-
nya tidak terlalu mengganggu."
"Manju dan subanda tidak ketakutan dan
menangis?"
"Kau harus bangga. Mereka bersikap seperti orang
dewasa."
"Betul?" ujar kalasan sambil memaksakan
senyum. lalu ia melanjutkan, "Jangan gelisah khawatir .
centeng sinuhun melancarkan serangan hebat, namun kita
berhasil memukul mundur mereka dengan beron-
dongan senapan. Biarpun mereka terus menyerbu
selama dua puluh atau tiga puluh, bahkan seratus
tahun, kita tidak akan menyerah. Kita marga jawa !
Kita tidak akan tunduk pada orang seperti aidit ."
Naganiasa mencerca orang-orang sinuhun , namun tiba-tiba ia
terdiam.
Dengan cahaya lentera di belakangnya, wajah radenmas
tampak merapat pada bayi yang sedang menyusu,
inilah adik wanita lesbian aidit ! Perasaan kalasan
teraduk-aduk. Wajah radenmas pun mirip kakaknya.
"Kau menangis?"
"Si kecil kadang-kadang nakal dan menggigit
putingku kalau susunya tidak mau keluar."
"Susunya tidak mengalir?"
"Tidak."
"Ini sebab kau memendam kesedihan, dan sebab
kau mulai terlalu kurus. Kau seorang ibu, dan inilah
pertempuran sejati seorang ibu."
"Aku tahu."
"Aku menduga kau menganggapku suami yang
keras."
radenmas merapat ke sisi suaminya, masih sambil men-
dekap bayinya ke dada. "Aku tidak berpendapat
begini. Kenapa aku harus kesal? Aku menganggapnya
sebagai suratan takdir."
"Manusia tak mungkin menerima nasib begitu saja.
Kehidupan istri centeng adipati lebih menyakitkan dibandingkan
menelan pedang. Jika kau tidak bertekad dengan
sepenuh hati, tekadmu tak ada artinya."
"Aku pun berusaha mencapai pemahaman seperti
itu, namun yang dapat kupikirkan hanya bahwa aku
seorang ibu."
"radenmas , pada hari aku menikahimu pun aku tahu
bahwa kau takkan menjadi milikku untuk selama-
lamanya. Dan ayahku juga tidak mengizinkan kau
menjadi istri sejati orang jawa ."
"Apa? Apa katamu?"
"Pada saat seperti ini, seorang laki-laki harus berkata
apa adanya. Saat ini takkan terulang kembali, jadi aku
membuka isi hatiku. saat aidit mengirimmu
untuk menikah denganku, dia sekadar menjalankan
strategi politik. Sejak semula aku bisa membaca isi
hatinya." kalasan terdiam sejenak. "namun , walaupun
aku mengetahui ini. di antara kita tumbuh cinta yang
tak dapat dihalangi oleh apa pun. lalu kita
dikaruniai empat anak. Sekarang ini kau tidak lagi
adik aidit . Kau istriku dan ibu anak-anakku. Aku
takkan membiarkan kau berurai air mata untuk pihak
musuh. Jadi. kenapa badanmu jadi kurus, dan kenapa
kau menahan air susu yang seharusnya kauberikan
pada anak kita?"
Sekarang radenmas mengerti. Segala sesuatu yang
dianggapnya suratan takdir ternyata merupakan hasil
strategi politik. Perkawinannya merupakan per-
kawinan politik. Sejak pertama kalasan memandang
aidit sebagai orang yang perlu dikertoarjo si. namun
aidit sungguh-sungguh menyayangi adik iparnya.
aidit percaya bahwa pewaris marga jawa
memiliki masa depan yang baik. dan ia percaya
padanya. Dengan menggebu-gebu ia mendukung per-
kawinan itu. namun sejak awal pertalian itu tidak kokoh,
sebab adanya hubungan yang jauh lebih tua antara
marga jawa dan marga mpu djiwo dari radenkanjeng .
Persekutuan mereka tidak sekadar kerja sama
pertahanan, melainkan merupakan hubungan
kompleks yang didasarkan atas persahabatan dan
saling menolong. Sudah bertahun-tahun marga
mpu djiwo dan sinuhun bermusuhan. saat aidit
menyerang marga pangeran di Giro, seberapa banyak
mereka menghalanginya dan membantu pihak pangeran?
aidit mengatasi rintangan ini dengan
mengirim janji tertulis kepada marga mpu djiwo, bahwa
ia takkan memasuki wilayah mereka.
Tak lama sesudah upacara pernikahan, baik ayah
kalasan dan marga mpu djiwo ia berutang budi pada
mereka mulai mendesak kalasan agar memandang
istrinya dengan curiga. Sementara itu, marga jawa
sudah bergabung dengan orang-orang mpu djiwo, sang
pandita , mpu ireng mpu betarakatong dari Kai, dan para biksu-
prajurit di Gunung brahma, membentuk persekutuan
yang menentang aidit .
Pada tahun berikutnya aidit menyerbu
radenkanjeng . Tiba-tiba ia diserang dari belakang. kalasan
memotong jalur mundur aidit . dan bersama
marga mpu djiwo ia merencanakan pembinasaan orang
itu. Waktu itu kalasan memperlihatkan pada
aidit bahwa penilaiannya takkan dipengaruhi
oleh istrinya, namun aidit tak mau percaya.
Kekuatan jawa dan keberanian laki-laki yang di-
percayai aidit sudah menjadi api yang berkobar di
hadapannya, bahkan sudah menjadi rantai yang mem-
belenggu. namun sesudah kekalahan radenkanjeng , benteng kota
sinuhun ni tidak lagi merupakan ancaman.
Meski demikian, pada saat ini aidit masih
berharap tidak perlu membunuh kalasan . Tentu ia
menghargai keberanian kalasan , namun lebih dari itu,
ia diganggu oleh kasih sayangnya terhadap radenmas .
Orang-orang menganggapnya aneh, mengingat bahwa
saat menaklukkan Gunung brahma dengan api, laki-
laki ini tidak keberatan dijuluki Raja Setan.
Musim gugur terus berlanjut. Pada waktu fajar, embun
pada rumput di sekeliling benteng kota terasa basah dan
dingin.
"Tuanku, hamba membawa berita buruk." Nada
suara sonokelingkake dusun nyi kembang gelisah sekali. Malam itu
kalasan tidur di dekat kelambu yang melindungi
istri dan anak-anaknya, namun ia sendiri tidak melepas-
kan baju tempur.
"Ada apa, dusun nyi kembang ?" Ia segera keluar dari kamar
tidur. Napasnya berat. Serangan fajar! Itulah yang
penama-tama terlintas dalam benaknya. namun bencana
yang dilaporkan dusun nyi kembang bahkan lebih gkertoarjo t dibandingkan
itu.
"Kubu trenggono jatuh ke tangan orang-orang sinuhun
semalam."
"Apa?"
"Mula-mula hamba pun tidak percaya. namun tuanku
bisa melihatnya dari menara jaga."
"Tidak mungkin." kalasan segera menaiki
menara, berkali-kali kakinya tersandung di tangga yang
gelap. Walaupun kubu trenggono berada cukup jauh
dari menara, kubu im terlihat seakan-akan berada
tepat di bawah kalasan . Di puncak benteng kota itu
terlihat sejumlah besar panji, namun tak satu pun milik
marga jawa . Salah satunya berkibar-kibar tertiup angin,
dan menandakan kehadiran panembahan patih ronggolawe .
"Kita dikhianati! Hah! Biar kutunjukkan pada
mereka! Biar kutunjukkan pada aidit dan semua
centeng adipati di negeri ini." kalasan berkata sambil
memaksakan senyum. "Akan kuperlihatkan bagaimana
jawa kalasan menyambut maut!"
kalasan menuruni tangga menara. Para pengikut
yang mengikutinya seakan-akan menyertai junjungan
mereka jauh ke bawah permukaan bumi.
"Apa... apa yang terjadi?" salah seorang resi
meratap.
"Onogi Tosa, jawa yodono, dan Mitamura Uemon
menyeberang ke pihak musuh," jawab resi lain.
Orang lain berkata dengan getir. "Walaupun
mereka pengikut senior, mereka mengkhianati ke-
percayaan yang diberikan saat memperoleh
tanggung jawab atas trenggono."
"Biadab."
kalasan berbalik dan berkata. "Jangan mengeluh
terus!"
Mereka berdiri di ruangan luas berlantai kayu di
kaki tangga, yang diterangi lentera redup. Ruangan itu
mirip kerangkeng atau sel penjara berukuran
besar. Banyak di antara yang terluka dibawa ke sini.
dan berbaring di tikar-tikar jerami sambil mengerang-
erang.
saat kalasan melewati mereka, para centeng adipati
yang terbaring pun berusaha untuk berlutut.
"Takkan kubiarkan mereka mati sia-sia! Takkan
kubiarkan!" kalasan berkata sambil menitikkan air
mata. Sekali lagi ia berpaling kepada para resi dan
memperingatkan mereka agar jangan mengeluh.
"Percuma saja menghina orang lain. Kalian semua
harus memilih jalan masing-masing apakah itu
menyerah pada musuh atau gugur bersamaku. Kedua
belah pihak memiliki kewajiban moral. aidit
berjuang untuk membentuk tatanan baru. Aku ber-
juang demi nama dan kehormatan golongan centeng adipati .
Kalau kalian merasa lebih baik menyerah pada
aidit , datangilah dia. Aku takkan menghentikan
kalian!" sesudah berkata demikian, kalasan keluar
untuk memeriksa pertahanan benteng kota. Belum lagi ia
berjalan seratus langkah, sesuatu yang lebih gkertoarjo t
dibandingkan pengkhianatan kubu trenggono dilaporkan
padanya.
"Tuanku! Tuanku! Berita buruk!" Salah satu
perwiranya, bermandikan darah, berlari menghampiri
kalasan dan berlutut di hadapannya.
"patih ragapati , ada apa?"
Sebuah firasat buruk mulai mencengkeram Naga-
masa. Wakui patih ragapati bukanlah centeng adipati yang di-
tempatkan di kubu ketiga; ia pengikut ayah kalasan .
"donosukomerto
tuanku, Tuan buanakarta. baru saja
melakukan seppuku. Hamba menerobos barisan musuh
untuk menyampaikan kabar ini pada tuanku." Sambil
tersengal-sengal patih ragapati mengeluarkan jambul Hisa-
masa dan jubah sutra yang membungkusnya, dan
meletakkan keduanya ke tangan kalasan .
"Apa? Kubu pertama juga sudah jatuh?"
"Sesaat sebelum tajar. sekelompok prajurit
menyusuri jalan rahasia dari trenggono ke depan
gerbang benteng kota. Mereka mengibarkan panji Onogi
dan mengatakan bahwa Onogi perlu menemui Yang
Mulia buanakarta sebab ada hal mendesak yang ingin
dibicarakan. sebab menyangka Onogi memimpin
anak buahnya sendiri, para penjaga membuka gerbang
benteng kota, namun begitu mereka membukanya, sejumlah
besar prajurit menyerbu dan menerobos sampai ke
benteng kota dalam."
"Prajurit musuh?"
"Sebagian besar dari mereka pengikut patih ronggolawe .
namun orang-orang yang menunjukkan jalan adalah anak
buah Onogi, si pengkhianat."
"Hmm. bagaimana dengan ayahku?"
"Beliau bertempur dengan gagah sampai akhir.
Beliau sendiri yang menyulut api di benteng kota dalam,
lalu melakukan bunuh diri, namun musuh memadamkan
kebakaran dan kini menduduki benteng kota."
"Ah! Itulah sebabnya kami tidak melihat api
maupun asap."
"Seandainya api terlihat berkobar di kubu pertama,
tuanku tentu akan mengirim bala bantuan, atau
membakar kubu ini dan melakukan bunuh diri
bersama istri dan anak-anak tuanku. Hamba rasa
inilah yang ditakuti dan berusaha dicegah oleh
musuh."
Tiba-tiba patih ragapati membenamkan kukunya ke tanah
dan berkata. "Tuanku... maut sudah menjemput." Ia
roboh dan mengembuskan napas penghabisan.
patih ragapati sudah memenangkan pertempurannya yang
terakhir.
"Satu lagi centeng adipati gagah mendahului kira." Se-
seorang berkata di belakang kalasan , lalu mulai
melantunkan sebuah doa dengan suara pelan.
Bunyi tasbih memecah keheningan. saat berbalik.
kalasan melihat tasbih itu dalam genggaman Biksu
Kepala, Yuzan seorang pengungsi.
"Hamba turut menyesal bahwa Yang Mulia
buanakarta menemui ajal tadi pagi." kata Yuzan.
"Yang Terhormat, aku ada permintaan," ujar
kalasan dengan mantap. Ucapannya tenang, namun
nada sedih dalam suaranya tak dapat disembunyikan.
"Aku memperoleh giliran berikut. Aku ingin mengum-
pulkan seluruh pengikutku dan mengadakan upacara
pemakaman, paling tidak secara simbolis, pada waktu
aku masih hidup. Di lembah di balik sinuhun ni ada
batu peringatan berukir nama kematian yang
diberikan Yang Terhormat padaku. Sudikah Yang
Terhormat mengatur agar batu itu dipindahkan kc
dalam benteng kota? Sebagai biksu. Yang Terhormat tentu
diizinkan melewati barisan musuh."
"Tentu saja."
Yuzan langsung pergi. Salah satu resi kalasan
hampir bertabrakan dengannya saat ia bergegas
masuk.
"betari jawi Mitturuni berada di depan gerbang benteng kota."
"Siapa dia?"
"Pengikut Yang Mulia aidit ."
"Musuh?" kalasan berseru. "Usir dia. Pengikut
aidit tidak kubutuhkan. Kalau dia tidak mau
pergi, lempari dia dengan batu dari gerbang."
centeng adipati itu menuruti perintah kalasan dan
segera kembali, namun tak bma lalu komandan
lain datang.
"Kurir pihak musuh masih berdiri di depan
gerbang. Dia tidak akan pergi, tak peduli apa yang kita
katakan. Dia berdalih bahwa perang adalah perang
dan perundingan adalah perundingan, dan bertanya
kenapa kita menunjukkan sikap tak pantas terhadap
seseorang yang mewakili provinsinya."
kalasan tidak memedulikan keluhan ini, lalu
mencaci maki orang yang menyampaikannya.
"Mengapa kau menjelaskan protes orang yang sudah
kuperintahkan untuk diusir?
Pada saat itu, resi ketiga maju. "Tuanku,
peraturan perang mengharuskan tuanku menemui dia,
biarpun hanya sejenak. Hamba tak sudi jika orang ber-
kata bahwa jawa kalasan begitu bingung, sehingga
kehilangan ketenangan dan menolak menerima
utusan musuh."
"Baiklah, biarkan dia masuk. Aku akan
menemuinya. Di sebelah sana," kata kalasan sambil
menunjuk ke ruang jaga.
Lebih dari setengah prajurit di dalam benteng kota jawa
berharap bahwa damai melangkah melewati gerbang.
Mereka bukannya tidak menghormati atau tidak setia
pada junjungan mereka, namun "kewajiban" yang
digembar-gemborkan oleh kalasan dan alasan
untuk perang ini amat dipengaruhi oleh hubungannya
dengan radenkanjeng dan kebenciannya terhadap ambisi
dan keberhasilan aidit . Para prajurit sangat
memahami kontras ini.
Dan masih ada lagi. Walaupun benteng kota sinuhun ni
masih bertahan, kubu pertama dan kedua sudah jatuh.
Masih adakah harapan menang bagi mereka yang
terkurung dalam benteng kota terpencil ini?
Jadi, kedatangan utusan pihak sinuhun terasa bagaikan
langit biru bersih yang mereka nanti-nanti. betari jawi
memasuki benteng kota, melangkah ke ruangan tempat
kalasan menunggu, dan berlutut di hadapannya.
Orang-orang di dalam memandang tajam ke arah
betari jawi ; rambut mereka acak-acakan, dan luka terlihat di
tangan maupun kepala mereka. Suara betari jawi yang
sedang berlutut demikian lembut, sehingga orang
mungkin meragukan bahwa ia seorang resi .
"Hamba memperoleh kehormatan dengan ditunjuk
sebagai utusan Yang Mulia aidit ."
"Basa-basi tidak diperlukan di medan perang.
Kemukakanlah maksud kedatanganmu."
"Tuanku aidit mengagumi kesetiaan Yang
Mulia terhadap marga mpu djiwo, namun kini marga
mpu djiwo sudah runtuh, dan sekutu mereka, sang
pandita , berada dalam pengasingan. Segala utang budi
dan dendam sekarang sudah menjadi bagian dari masa
lampau, jadi untuk apa marga sinuhun dan mpu djiwo saling
menggempur? Bukan itu saja, namun tuanku aidit
merupakan kakak ipar Yang Mulia; Yang Mulia
merupakan suami adik tuanku."
"Ini semua sudah pernah kudengar. Jika kau
mencari kesepakatan untuk berdamai, aku menolak
tegas. Aku takkan termakan oleh kefasihan lidahmu."
"Dengan segala hormat. Yang Mulia tidak mem-
punyai pilihan selain menyerah. Sikap yang diper-
lihatkan Yang Mulia sampai sekarang patut dijadikan
teladan. Mengapa Yang Mulia tidak menyerahkan
benteng kota ini secara jantan, lalu bekerja demi masa
depan marga tuanku? Jika Yang Mulia setuju, tuanku
aidit bersedia memberikan seluruh Provinsi
mojolaban kepada Yang Mulia."
kalasan melepaskan tawa bernada menghina. Ia
menunggu sampai juru runding dari pihak musuh
selesai bicara. "Tolong sampaikan pada Yang Mulia
aidit bahwa aku takkan terbujuk oleh kata-kata
manis. Yang dia cemaskan adalah adiknya, bukan
aku."
"Pandangan Yang Mulia sungguh sinis."
"Terserah penilaianmu," kalasan mendesis.
"Kembalilah dan beritahu dia bahwa aku tidak ber-
maksud menyelamatkan diri melalui hubunganku
dengan istriku. Dan katakan pada aidit bahwa
dia sebaiknya menyadari bahwa radenmas kini istriku,
bukan adiknya lagi."
"Hmm, kalau begitu Yang Mulia siap mengalami
nasib yang sama seperti benteng kota ini?"
"Aku sudah membulatkan tekad, bukan untuk diriku
saja, melainkan juga untuk istriku."
"Kalau begitu, tak ada lagi yang perlu dibicarakan."
Dengan ini, betari jawi langsung kembali ke perkemahan
aidit .
lalu , keputusan atau lebih tepat, kehampa-
an memicu suasana di dalam benteng kota menjadi
muram. Para prajurit yang mengharapkan utusan
pihak sinuhun membawa damai, hanya dapat menduga-
duga bahwa perundingannya gagal. Kini mereka mem-
perlihatkan kesedihan secara terang-rerangan, sebab
sejenak mereka berharap nyawa mereka dapat di-
selamatkan.
Ada satu alasan lagi bagi suasana muram yang
menyelubungi benteng kota. Walaupun pertempuran
sedang berlangsung, upacara pemakaman bagi ayah
kalasan terus berjalan, dan keesokan harinya suara-
suara yang menembangkan sutra terdengar dari
menara.
Mulai hari itu radenmas dan keempat anaknya
mengenakan baju duka dari sutra berwarna putih. Tali
yang mengikat rambut mereka berwarna hitam.
Mereka seakan-akan memiliki kemurnian yang tidak
berasal dari dunia ini, walaupun mereka masih hidup,
dan walaupun para pengikut yang sudah bertekad
menemui ajal dalam benteng kota merasa nasib mereka
terlalu malang untuk diungkapkan melalui kata-kata.
Yuzan kembali ke benteng kota, diikuti pekerja yang
menggotong batu peringatan. Sesaat sebelum fajar,
dupa dan kembang-kembang diletakkan di mangan
utama benteng kota, untuk melaksanakan upacara
pemakaman bagi mereka yang masih hidup.
Yuzan berpidato di hadapan para pengikut marga
jawa yang sudah berkumpul. "Dengan menjunjung
tinggi namanya sebagai centeng adipati . Yang Mulia jawa
kalasan . penguasa benteng kota ini, gugur bagaikan
bunga yang indah. sebab itu sudah sepantasnya
kalian, sebagai pengikutnya, memberikan peng-
hormatan terakhir."
kalasan duduk di balik batu peringatan, seolah-
olah ia sendiri sudah mati. Mula-mula para centeng adipati
tampak tak mengerti. Mereka bertanya-tanya apakah
semuanya ini memang diperlukan, dan berkasak-kusuk
dalam suasana aneh.
namun radenmas dan anak-anaknya dan para anggota
keluarga yang lain berlutut di hadapan batu
peringatan dan meletakkan dupa ke dalam alat
pembakar.
Seseorang mulai menangis, dan tak lama lalu
semuanya terpengaruh. Para laki-laki berbaju tempur
yang memenuhi ruangan menundukkan kepala dan
memalingkan wajah. Tak seorang pun mengangkat
kepala.
Seusai upacara, Yuzan berjalan di depan, beberapa
centeng adipati memanggul batu peringatan dan meng-
gotongnya keluar benteng kota. Kali ini mereka berjalan
sampai ke Danau Biwa. menaiki perahu kecil, dan di
suatu tirik yang berjarak kira-kira seratus meter dari
Pulau Chikubu, mereka menenggelamkan batu itu ke
dasar danau.
kalasan berkata tanpa takut, menghadapi
kematian yang menantinya. Kelemahan semangat
juang para prajurit yang meletakkan harapan pada
perundingan damai tak luput dari perhatiannya.
Upacara pemakaman bagi yang masih hidup
berpengaruh baik terhadap moral centeng nya. Jika
junjungan mereka sudah bertekad gugur dalam per-
tempuran, mereka pun akan mengikuti langkahnya.
Saat kematian sudah tiba. Tekad kalasan yang
menyedihkan sudah membangkitkan semangat anak
buahnya. namun , walaupun ia resi yang cakap, ia
bukan seorang jenius. kalasan tidak tahu bagaimana
membuat orang rela mengorbankan nyawa . Mereka
berdiri, menunggu serangan penghabisan.
Tiga Putri
MENJELANG siang, prajurit-prajurit di gerbang mulai
berteriak. "Mereka datang!"
Para penembak dorong-mendorong di atas tembok
pertahanan, berlomba-lomba memilih sasaran. namun
satu-satunya musuh yang mendekat adalah seorang
penunggang kuda, dan ia menghampiri gerbang
dengan gaya seenaknya. Seandainya ia dikirim sebagai
utusan, ia pasti dikawal oleh sejumlah penunggang
kuda lainnya. Dengan curiga centeng itu bertahan,
melihatlihat orang itu mendekat.
saat ia semakin dekat, salah satu komandan
berkata pada seorang prajurit bersenapan, "Dia pasti
resi musuh. Dia tidak kelihatan seperti kurir, dan
dia sangat berani. Tembak dia sekarang juga."
Sebcnarnya komandan itu menghendaki agar satu
orang melepaskan tembakan peringatan, namun tiga atau
empat anak buahnya menarik picu secara bersamaan.
saat mereka menembak, si penunggang kuda ber-
henti, seakan-akan merasa heran. lalu ia meng-
acungkan kipas perang berlambang matahari merah
pada latar belakang emas, melambai-lambaikannya di
atas kepala, dan berseru, "Hei, prajurit! Tunggu dahulu !
Apakah panembahan patih ronggolawe termasuk orang yang
mau kalian tembak? Kalau begitu, tembaklah aku
sesudah aku bicara dengan Yang Mulia kalasan ." Ia
berlari sambil bicara, sampai berada hampir tepat di
bawah gerbang benteng kota.
"Hmm, rupanya panembahan patih ronggolawe dari pihak
sinuhun . Mau apa dia di sini?" resi marga jawa yang
menatap ke bawah merasa curiga terhadap maksud
kedatangan patih ronggolawe , namun lupa untuk mencoba
menembaknya.
patih ronggolawe menengadahkan kepala. "Aku ingin
menyampaikan pesan ke benteng kota dalam," ia kembali
berseru.
Apa yang terjadi? Suara-suara yang tengah berdebat
terdengar jelas. Tak lama lalu , tawa mengejek
bercampur dengan suara-suara itu, dan seorang resi
marga jawa menyembulkan kepala melewati tepi
tembok.
"Lupakan saja. Kurasa Tuan hanya juru runding
yang dikirim sebagai utusan oleh aidit . Tuan
hanya membuang-buang waktu, enyahlah dari sini!"
patih ronggolawe meninggikan suaranya. "Diam! Mana ada
peraturan yang memperbolehkan seorang pengikut
mengusir tamu majikannya, tanpa lebih dahulu minta
izin pada majikannya? benteng kota ini boleh dibilang
sudah berada di tangan kami, dan aku takkan mau
repot-repot menjadi utusan sekadar untuk memper-
cepat penaklukannya." Ucapan patih ronggolawe sedikit pun
tidak bernada merendah. "Aku datang sebagai wakil
Yang Mulia aidit , dan ingin memberikan peng-
hormatan terakhir. Kalau kami tidak salah dengar.
Yang Mulia kalasan sudah bertekad menyambut
maut, dan sudah menyelenggarakan upacara pe-
makamannya pada saat dia masih hidup. Mereka
pernah berteman. Jadi bukankah Yang Mulia
aidit seharusnya diperkenankan membakar
dupa? Sudah tidak adakah tenggang rasa bagi
seseorang yang menjunjung tinggi persahabatan?
Apakah ketetapan hati Yang Mulia kalasan dan
para pengikutnya tidak lebih dari kepura-puraan?
Apakah ini sekadar gertakan atau keberanian palsu
seorang pengecut?"
Wajah di atas gerbang menghilang, mungkin sebab
malu. Selama beberapa saat tak ada jawab an, namun
akhirnya gerbang membuka sedikit.
"resi sonokelingkake dusun nyi kembang bersedia menemui Tuan."
ujar laki-laki yang memberi isyarat untuk masuk
kepada patih ronggolawe . namun lalu ia menambahkan,
"Tuanku kalasan menolak menerima kedatangan
Tuan."
patih ronggolawe mengangguk. "Tak mengapa. Aku meng-
anggap Yang Mulia kalasan sudah tiada, dan aku
takkan mempersoalkan hal ini."
Sambil bicara, ia melangkah masuk tanpa menoleh
kiri-kanan. Bagaimana mungkin laki-laki ini berjalan
demikian tenang di tengah-tengah musuh?
saat patih ronggolawe menyusuri jalan setapak yang
panung dan gerbang pertama ke gerbang utama, ia
sama sekali tidak memedulikan orang yang mengantar-
nya. Pada waktu ia mendekati pintu benteng kota dalam,
dusun nyi kembang keluar untuk menyambutnya.
"Sudah lama kita tidak berjumpa." ujar patih ronggolawe ,
seakan-akan hanya bertegur sapa biasa.
Mereka pernah bertemu sebelumnya, dan dusun nyi kembang
membalas ucapan patih ronggolawe sambil tersenyum. "Ya.
memang sudah lama. Bertemu dalam situasi seperti
sekarang agak di luar dugaan, Tuan patih ronggolawe ."
Semua prajurit di dalam benteng kota tampak bermata
merah, namun wajah resi tua ini tidak kelihatan
seperti wajah seseorang di bawah tekanan.
"resi dusun nyi kembang , terakhir kali kita bertemu pada
hari pernikahan Putri radenmas , bukan? Sudah lama
sekali."
"Memang demikian."
"Hari itu hari bahagia bagi kedua marga."
"Tak ada yang dapai meramalkan nasib. namun kalau
Tuan mengingat gangguan dan bencana di masa
lampau, situasi ini pun tidak terlalu aneh. Mari,
silakan masuk. Aku tak bisa memberikan sambutan
berarti, namun perkenankanlah aku menawarkan
sebaskom teh."
dusun nyi kembang mengajaknya ke pondok minum teh.
saat patih ronggolawe menatap punggung resi tua
berambut putih itum, ia menyadari bahwa dusun nyi kembang
sudah melewati garis pemisah antara hidup dan mati.
Pondok minum teh yang mereka tuju berukuran
kecil dan agak terpencil, di ujung jalan setapak yang
menembus pepohonan. patih ronggolawe duduk, dan merasa
ia berada di dunia lain. Dalam keheningan di pondok
minum teh, baik tuan rumah maupun tamunya untuk
sementara dibersihkan dari penumpahan darah di
dunia luar.
Penghujung musim gugur sudah di ambang pintu.
Daun-daun di pohon-pohon terdengar berdesir, namun
tak setitik debu pun menempel pada lantai kayu yang
mengilap.
"Kabarnya para pengikut Yang Mulia aidit
mulai mempraktekkan upacara minum teh." Sambil
beramah tamah, dusun nyi kembang mengangkat sendok air ke
ketel besi.
patih ronggolawe menyadari kesantunan orang itu dan
cepat-cepat minta maaf. "Tuanku aidit dan para
pengikutnya memahami upacara minum teh, namun aku
sendiri hanya orang bodoh dan tidak mengerti apa-apa
mengenai itu. Aku hanya menyukai rasa teh."
dusun nyi kembang meletakkan baskom dan mengaduk teh
dengan sapu kecil. Gerakannya yang anggun hampir
mirip gerakan wanita. Tangan dan tubuh yang
ditempa oleh baju tempur tidak tampak kaku sedikit
pun. Dalam ruangan yang dihiasi baskom teh dan ketel
sederhana, gemerlap baju tempur resi tua ini
berkesan ganjil.
Aku bertemu dengan orang yang tepat, pikir
patih ronggolawe dan ia lebih memperhatikan watak orang
itu dibandingkan tehnya. namun bagaimana radenmas bisa
dibawa keluar dari benteng kota? Jika aidit merasa
susah, patih ronggolawe pun demikian. Sejauh ini semua
rencana patih ronggolawe berhasil, sehingga ia juga merasa
bertanggung jawab untuk mengatasi masalah ini.
benteng kota sinuhun ni akan takluk kapan saja mereka
menghendakinya, namun tak ada gunanya mengerjakan
sesuatu dengan ceroboh, lalu terpaksa mencari
permata dalam reruntuhan. Lebih jauh lagi, kalasan
sudah memperlihatkan pada kedua pihak bahwa ia
sudah bertekad menyambutr kematian, dan istrinya
bersikap sama.
aidit menyimpan harapan yang tak mungkin
terkabul, yaitu memenangkan pertempuran dan
menyelamatkan radenmas tanpa cedera.
"Jangan pikirkan etika," ujar dusun nyi kembang , sambil
menawarkan baskom teh dari tempat ia berlutut di
depan tungku.
patih ronggolawe duduk dengan gaya prajurit, bersilang
kaki. Ia menerima baskom yang disodorkan kepadanya,
dan menghabiskan isinya dengan tiga teguk.
"Ah, nikmat sekali. Aku tidak tahu bahwa teh bisa
senikmat ini. Dan aku tidak sekadar berusaha
menyanjung."
"Satu baskom lagi?"
"Tidak, dahagaku sudah terpuaskan. Paling ridak.
dahaga di mulutku. namun aku tidak tahu bagaimana
memenuhi dahaga di dalam hatiku, resi dusun nyi kembang ,
tampaknya resi orang yang bisa diajak bicara.
Sudikah resi mendengarkanku?"
"Aku pengikut marga jawa . dan Tuan utusan marga
sinuhun . Dari posisi itulah aku akan mendengarkan tuan."
"Kumohon resi mengatur pertemuan antara aku
dan Yang Mulia kalasan ."
"Permohonan itu sudah ditolak pada waktu Tuan
berdiri di depan gerbang. Tuan diperkenankan masuk
sebab Tuan mengaku kedatangan Tuan bukan untuk
menemui Yang Mulia kalasan . Tuan sudah sampai
di sini. Menarik kembali ucapan Tuan merupakan
siasat yang tidak terpuji. Aku tak bisa mengizinkan
Tuan menemui beliau."
"Bukan. Bukan. Aku tidak bermaksud menemui
Yang Mulia kalasan yang masih hidup. Sebagai
wakil tuanku aidit , aku ingin memberi
penghormatan kepada arwah Yang Mulia."
"Jangan bermain kata. Kalaupun aku menyampai-
kan keinginan Tuan kepada Yang Mulia, tak ada
alasan untuk berharap beliau sudi menerima Tuan.
sebetulnya aku berharap mengambil bagian dalam
etiket centeng adipati dengan minum teh bersama Tuan. Jika
Tuan memiliki rasa malu, pergilah sekarang,
sebelum Tuan mencoreng arang di kening Tuan."
Jangan bergerak. Jangan pergi. patih ronggolawe sudah
bertekad untuk tidak mengalah sebelum berhasil
mencapai tujuannya. Ia duduk sambil membisu.
Mengumbar kata bukan strategi tepat untuk
menghadapi resi tua yang berpengalaman ini.
"Hmm, aku akan mengantar Tuan ke gerbang."
dusun nyi kembang menawarkan .
Dengan geram patih ronggolawe memandang ke arah lain.
dan tidak mengatakan apa-apa. Sementara itu, sang
tuan rumah menyiapkan sebaskom teh untuk dirinya.
sesudah menghirupnya dengan cara yang serasi, ia
menyingkirkan peralatan membuai teh.
"Aku tahu permintaanku ini egois, namun per-
kenankanlah aku tinggal sedikit lebih lama," ujar
patih ronggolawe . Ia tetap tak bergerak. Roman mukanya
menunjukkan bahwa ia takkan beranjak dari tempat-
nya.
"Tuan boleh tinggal di sini selama Tuan suka, namun
ini tidak akan bermanfaat."
"Belum tentu."
"Hanya ada satu cara untuk mengartikan kata-kata
yang baru saja kuucapkan. Apa yang hendak Tuan
lakukan di sini?"
"Aku mendengarkan suara air mendidih di dalam
ketel."
"Air di dalam ketel?" dusun nyi kembang tertawa . "Dan Tuan
mengaku tidak tahu apa-apa mengenai upacara minum
teh!"
"Memang, aku tidak tahu apa-apa mengenai itu, namun
suaranya menyenangkan. Mungkin sebab aku hanya
mendengar teriakan perang dan pekikan kuda selama
perang berkepanjangan ini, namun suara airnya menye-
nangkan sekali. Izinkanlah aku duduk sejenak di sini.
agar aku bisa merenung."
"Aku tidak tahu apa yang hendak Tuan renungkan,
namun aku tidak mengizinkan Tuan menemui Yang
Mulia, atau bahkan maju satu langkah ke arah
menara." ujar dusun nyi kembang saat ia berdiri untuk pergi.
patih ronggolawe hanya menjawab . "Bunyi ketel ini
sungguh menyenangkan." Ia bergeser mendekati
tungku, dan sambil terkagum-kagum menatap ketel
besi itu. Yang tiba-tiba menarik perhatiannya adalah
pola yang menonjol pada permukaan besi. Sukar
untuk menentukan apakah pola itu menggambarkan
manusia atau kuyang , namun makhluk kecil itu.
dengan kaki dan tangannya ditopang oleh dahan-
dahan pohon, berdiri dengan sombong di antara
langit dan bumi.
Dia mirip aku! pikir patih ronggolawe . tanpa mampu
menahan senyum. Tiba-tiba ia teringat pada masa
sesudah ia meninggalkan rumah radenmas panji dan
menjelajahi gunung dan hutan, tanpa makanan dan
tanpa tempat berteduh.
patih ronggolawe tidak tahu apakah dusun nyi kembang berdiri di luar
dan mengintip, atau sudah pergi dengan gusar, namun
yang jelas. dusun nyi kembang tidak lagi berada di pondok minum
teh.
Ah, ini menarik. Ini benar-benar menarik, pikir
patih ronggolawe . Sepertinya ia sedang bicara dengan ketel
itu. Seorang diri ia menggelengkan kepala. Sambil
menggeleng ia merenungkan keputusannya untuk
tidak bergerak, tak peduli apa yang terjadi.
Di suatu tempat di pekarangan, patih ronggolawe
mendengar suara lugu dua anak kecil yang sedang
berusaha agar tidak tertawa . Anak-anak itu menatap
patih ronggolawe melalui celah-celah pagar yang mengelilingi
pondok minum teh.
"Lihat, dia mirip kuyang ."
"Ya! Persis seperti kera."
"Dari mana dia, ya?"
"Dia pasti utusan Dewa kuyang ."
patih ronggolawe berbalik dan menemukan anak-anak itu
berlindung di balik pagar.
Sementara patih ronggolawe asyik mengamati ketel air.
kedua anak itu diam-diam mengamati dirinya.
"Oh!" Kegembiraan patih ronggolawe meluap-luap. Anak-
anak itu adalah dua dari keempat anak kalasan .
patih ronggolawe percaya bahwa anak laki-laki itu Manju, dan
anak wanita lesbian di sebelahnya kakaknya, subanda. Ia
melemparkan senyum pada mereka.
"Tuan Monyei tersenyum."
Kedua anak itu langsung mulai berbisik-bisik.
patih ronggolawe pura-pura cemberut. Hasilnya bahkan lebih
hebat dibandingkan senyuman. Menyadari bahwa orang
asing bermuka kuyang itu mau bermain-main dengan
mereka, Manju dan subanda menjulurkan lidah dan
mengerut-ngerutkan muka.
patih ronggolawe memelototi mereka, dan mereka
memelototi patih ronggolawe , mencoba siapa yang tahan
lebih lama.
patih ronggolawe tertawa berderai, mengaku kalah.
Manju dan subanda tertawa gembira. Dengan
lambaian tangan. patih ronggolawe memberi isyarat agar
mereka mendekat dan bermain-main lagi.
Ajakan itu menggugah rasa ingin tahu kedua anak
itu, dan diam-diam mereka membuka pintu pagar.
"Tuan datang dari mana?"
patih ronggolawe turun dari serambi dan mulai mengikat
tali sandal jeraminya. Manju menggsinuhun nya dengan
menggelitik tengkuk patih ronggolawe dengan sebatang
rumput. patih ronggolawe tidak menanggapi keusilan ini, dan
terus mengikat tali sandal.
namun saat ia berdiri, dan kedua anak melihat
roman mukanya, mereka ketakutan dan berusaha
kabur.
patih ronggolawe sendiri pun sempat terkejut. Begitu
Manju mulai lari, patih ronggolawe menangkap kerah
bajunya. Pada waktu yang sama ia berusaha
menangkap subanda dengan tangannya yang satu lagi,
namun gadis lesbian cilik itu menjerit sekuat tenaga dan lari
sambil menangis. Manju begitu kaget, sehingga
bahkan tidak merengek. namun saat ia terjatuh dan
menatap patih ronggolawe dari bawah , melihat wajah orang
itu berikut seluruh langit dalam keadaan terbalik, ia
akhirnya berteriak.
sonokelingkake dusun nyi kembang sudah meninggalkan patih ronggolawe
seorang diri di pondok minum teh, dan sudah
melewati jalan setapak. dusun nyi kembang -lah orang pertama
yang mendengar jeritan subanda dan teriakan Manju
di pondok itu. Dengan cemas ia kembali ke sana,
untuk memeriksa apa masalahnya
"Apa? Manusia celaka!" dusun nyi kembang melepaskan
teriakan ngeri, dan secara naluriah tangannya bergerak
meraih gagang pedang.
Sambil berdiri mengangkangi Manju, patih ronggolawe
berdiri dengan nada memaksa agar orang tua itu
berhenti. Ketegangan memuncak. dusun nyi kembang hendak
menyerang patih ronggolawe dengan pedangnya, namun
mundur ketakutan saat melihat apa yang akan
dilakukan lawan nya. Sebab mata dan pedang di
tangan patih ronggolawe menunjukkan bahwa ia siap
menusuk batang leher Manju tanpa ragu sedikit pun.
Bulu roma resi tua yang tenang itu berdiri tegak.
"Ma... manusia celaka! Hendak kauapakan anak
iru?" Nada suara dusun nyi kembang hampir sedih. Perlahan-lahan
ia mendekat. Seluruh tubuhnya gemetar sebab
menyesal dan geram. Waktu para pengikut yang
menyertai resi itu memahami apa yang terjadi,
mereka berteriak-teriak, melambai-lambaikan tangan,
dan segera memberitahukan kejadian ini pada semua
orang.
Para penjaga dari gerbang utama dan benteng kota
dalam juga sudah mendengar jeritan subanda, dan kini
bergegas ke tempat kejadian.
Mengelilingi musuh aneh yang memelototi mereka
sambil menempelkan pedangnya ke leher Manju, para
centeng adipati membentuk lingkaran baja. Mereka menjaga
jarak, mungkin sebab ngeri terhadap apa yang
terlihat di mata dan tangan patih ronggolawe . Mereka tidak
tahu apa yang harus mereka perbuat, selain berseru-
seru bingung.
"resi dusun nyi kembang !" patih ronggolawe memanggil satu wajah
di antara mereka. "Apa jawaban pasti resi ? Cara ini
memang agak kasar, namun aku tidak melihat jalan lain
untuk menyelamatkan muka junjunganku. Kalau
resi tidak menjawab , aku akan membunuh Tuan
Manju!" patih ronggolawe memandang berkeliling dengan
pandangan garang. "resi dusun nyi kembang , perintahkan
prajurit-prajurit ini mundur! sesudah itu kita bicara.
Begitu sulitkah untuk menentukan apa yang harus
jendra) lakukan? Pemahaman resi sungguh
lamban. Mungkinkah resi membunuhku, sekaligus
menyelamatkan anak laki-laki ini tanpa memicu
dia menderita cedera? Masalah resi serupa dengan
masalah tuanku aidit yang hendak menaklukkan
benteng kota ini, sekaligus menyelamatkan radenmas .
Bagaimana mungkin resi menyelamatkan nyawa
Manju? Kalaupun aku ditembak dengan senapan,
pedang ini akan menembus lehernya pada saat yang
sama."
Beberapa saat hanya lidah patih ronggolawe yang aktif, dan
kata-katanya meluncur deras. namun sekarang matanya
ikut bergerak-gerak, dan seiring dengan peragaan
kefasihan lidahnya, seluruh indranya terus memper-
hatikan musuh yang mengelilinginya.
Tak ada yang dapat berbuat apa-apa. dusun nyi kembang
menyadari bahwa ia sudah membuat kesalahan besar,
dan dengan saksama ia mendengarkan ucapan
patih ronggolawe . Ia sudah pulih dari rasa kagetnya dan
kembali memancarkan ketenangan yang ia perlihatkan
sebelumnya, di pondok minum teh. Akhirnya dusun nyi kembang
memberi isyarat kepada orang-orang yang mengepung
patih ronggolawe . "Jauhi dia. Serahkan urusan ini padaku.
Biarpun aku harus bertukar tempat dengannya, Tuan
Muda tidak boleh celaka. Semua kembali ke pos
masing-masing." lalu ia berpaling pada
patih ronggolawe dan berkata, "Seperti yang Tuan minta,
mereka sudah bubar. Sekarang harap serahkan Tuan
Manju padaku."
"Tidak!" patih ronggolawe menggeleng tegas, namun
lalu mengubah nada suaranya. "Aku akan
melepaskan Tuan Muda, namun aku ingin mengembali-
kannya langsung kepada Yang Mulia kalasan .
Bersediakah resi mengatur penemuan antara aku
dan Yang Mulia kalasan besena Putri radenmas ?"
kalasan berdiri di tengah kerumunan yang baru
saja bubar. saat mendengar patih ronggolawe , ia tak dapat
menahan diri lebih lama. Dikujawa oleh kasih sayang
kepada putranya, ia bergegas maju sambil mencaci
maki patih ronggolawe .
"Permainan busuk macam apa ini, mempertaruhkan
nyawa balita tak berdosa, hanya agar kau bisa bicara!
Jika kau memang resi sinuhun yang bernama
panembahan patih ronggolawe , kau seharusnya malu sebab
memakai siasat busuk seperti ini. Baiklah! Jika
kau menyerahkan Manju padaku, kita akan bicara."
"Oh! Yang Mulia ada di sini?" ujar patih ronggolawe .
Tanpa memedulikan roman muka laki-laki itu.
patih ronggolawe membungkuk memberi hormat. Namun ia
tetap mengangkangi Manju dan menempelkan ujung
pedang pendeknya ke leher anak laki-laki itu.
sonokelingkake dusun nyi kembang berkata dengan suara bergetar.
"Tuan patih ronggolawe ! lepaskanlah anak itu! Tidak
percayakah Tuan pada janji Yang Mulia? Serahkanlah
Tuan Muda padaku."
patih ronggolawe tidak memperhatikan ucapan dusun nyi kembang ,
melainkan memandang ke arah jawa kalasan .
saat menatap wajah pucat kalasan dan matanya
yang putus asa. patih ronggolawe akhirnya mendesah
panjang.
"Ah, Rupanya Yang Mulia pun mengenal kasih
sayang terhadap darah daging sendiri? Yang Mulia
mengerti ikatan batin dengan orang yang dicintai?
Hamba pikir Yang Mulia tidak memahami hal-hal
semacam ini."
"Bajingan, kau tetap tidak mau melepaskan putra-
ku? Kau akan membunuh anak kecil ini?"
"Sedikit pun hamba tidak bermaksud demikian.
namun Yang Mulia, seorang ayah, sama sekali tidak
menghargai pertalian darah."
"Bicaramu tak keruan! Bukankah setiap orangtua
menyayangi anaknya?"
"Betul. Bahkan binatang liar pun demikian."
patih ronggolawe sependapat. "Dan sebab itu, hamba kira
Yang Mulia tak mungkin mencemooh tuanku
aidit yang sebab keinginannya untuk menye-
lamatkan radenmas tak dapat menghancurkan benteng kota
ini. Dan bagaimana dengan Yang Mulia sendiri?
Bagaimanapun. Yang Mulia suami radenmas . Bukankah
Yang Mulia memanfaatkan kelemahan tuanku Nobu-
naga dengan berusaha mempertautkan nyawa radenmas
dan anak-anaknya dengan nasib benteng kota ini? Itu sama
saja seperti aku kini mengancam Tuan Manju dengan
pedangku agar dapat bicara dengan Yang Mulia.
Sebelum mencela tindakanku sebagai perbuatan
pengecut, harap Yang Mulia pertimbangkan dahulu
apakah strategi Yang Mulia sendiri tidak sama saja."
Sambil bicara, patih ronggolawe menangkap Manju dan
mendekapnya. Melihat kesan lega yang muncul di
wajah kalasan . patih ronggolawe tiba-tiba melangkah maju.
menyerahkan Manju, lalu menyembah di depan
kakinya. "Hamba mohon ampun atas perbuatan kasar
ini. Sejak awal hamba melakukannya tidak dengan
sepenuh hati. Hamba mengambil tindakan ini
terutama untuk mencoba mengurangi penderitaan
batin tuanku aidit . namun hamba juga menyesal-
kan bahwa Yang Mulia, seorang centeng adipati yang mem-
perlihatkan ketetapan hati sampai akhir hayatnya,
sesudah ini mungkin akan dibicarakan sebagai orang
yang kehilangan kendali diri dalam saat-saat
terakhirnya. Jangan membuat kesalahan. Tindakan ini
antara lain juga demi kebaikan tuanku. Bebaskanlah
radenmas dan anak-anaknya."
patih ronggolawe tidak merasa memohon pada komandan
musuh. Ia menghadapi hati nurani laki-laki itu dan
sepenuhnya membeberkan perasaan sebetulnya .
Kedua tangannya bersilang di depan dada, dan ia
berlutut penuh hormat di depan kalasan . Terlihat
jelas bahwa sikapnya itu lahir secara tulus.
kalasan memejamkan mata dan mendengarkan
patih ronggolawe sambil membisu. Ia menyilangkan tangan,
kakinya menapak kokoh, ia tampak seperti patung
dengan baju tempur lengkap. Sepertinya patih ronggolawe
sedang membacakan doa bagi arwah kalasan . yang
seakan-akan sudah menjadi mayat hidup, seperti
dikemukakan patih ronggolawe pada waktu ia memasuki
benteng kota.
Sanubari kedua laki-laki itu yang satu bermaksud
berdoa, yang satu lagi bertekad mati bersentuhan
sejenak. Batas antara dua musuh lenyap, dan seluruh
perasaan kalasan terhadap aidit tiba-tiba
terkelupas dari tubuhnya.
"dusun nyi kembang , bawa lah Tuan patih ronggolawe ke tempat lain
dan temani dia. Aku memerlukan waktu untuk
berpamitan."
"Berpamitan?"
"Aku akan meninggalkan dunia ini, dan aku ingin
mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anak-
anakku. Aku sudah menanti-nanti kematian. dan
bahkan sudah mengadakan upacara pemakaman, namun ...
mungkinkah perpisahan saat kita masih hidup lebih
berat dibandingkan perpisahan saat maut menjemput?
Kurasa utusan Yang Mulia aidit sependapat
bahwa yang pertamalah yang lebih berat."
patih ronggolawe terperanjat. Ia mengangkat wajah dan
menatap laki-laki di hadapannya. "Maksud Yang
Mulia, radenmas dan anak-anaknya boleh pergi?"
"Menyerahkan istri dan anak-anakku ke dalam
pelukan maut dan membiarkan mereka binasa
bersama benteng kota ini sangatlah tercela. Aku sudah
memutuskan bahwa tubuhku sudah mati, namun
hatiku tetap dikujawa hkertoarjo nafsu dan prasangka yang
dangkal. Ucapan Tuan membuatku malu. Aku
memohon agar Tuan bersedia menjaga radenmas yang
masih begitu muda, dan anak-anakku."
"Dengan nyawa hamba. Yang Mulia." patih ronggolawe
membungkuk sampai keningnya menempel di lantai.
Ia langsung membayangkan wajah aidit yang
gembira.
"Hmm, nanti kita bertemu lagi," ujar kalasan
sambil berbalik. Dengan langkah panjang ia berjalan
menuju menara.
dusun nyi kembang mengantar patih ronggolawe ke sebuah ruang
tamu, kali ini sebagai utusan resmi aidit .
Rasa lega tercermin dalam mata patih ronggolawe .
lalu ia berbalik dan berkata kepada dusun nyi kembang .
"Maaf, dapatkah resi menunggu sejenak sementara
aku memberi isyarat kepada orang-orang di luar
benteng kota?"
"Isyarat?" dusun nyi kembang curiga, dan bukannya tanpa
alasan.
Namun patih ronggolawe melanjutkan seakan-akan per-
mintaannya merupakan hal yang wajar. "Betul. Aku
berjanji memberi isyarat saat aku datang ke sini atas
perintah tuanku aidit . Seandainya perundingan
tidak berjalan lancar, aku seharusnya menyulut
kebakaran sebagai tanda penolakan Yang Mulia
kalasan . walaupun untuk itu aku harus
mengorbankan nyawa . sesudah itu tuanku aidit
akan langsung menyerang. Sebaliknya, jika semua
berjalan sesuai rencana dan aku bisa bertemu Yang
Mulia kalasan , aku harus mengibarkan bendera.
Pokoknya, kami sudah sepakat bahwa centeng kami
akan menunggu sinyal dariku."
dusun nyi kembang tampak terkejut saat memperoleh
penjelasan mengenai persiapan laki-laki di hadapan-
nya. namun yang membuatnya semakin terkejut adalah
selongsong isyarat yang disembunyikan patih ronggolawe di
dekat tungku di pondok minum teh.
sesudah mengibarkan bendera dan kembali ke ruang
tamu. patih ronggolawe tertawa dan berkata, "Seandainya aku
sempat memperoleh kesan bahwa perundingan tadi tidak
mengalami kemajuan, aku sudah bersiap-siap lari ke
pondok minum teh dan menendang cerkertoarjo t ke dalam
tungku. Itu pasti akan membuat upacara minum teh
jadi semarak sekali!"
patih ronggolawe ditinggal seorang diri. Sudah tiga jam
berlalu sejak dusun nyi kembang mengantarnya ke ruang tamu
dan memintanya menunggu sejenak.
Rupanya dia tidak terburu-buru, pikir patih ronggolawe
dengan jemu. Bayang-bayang malam sudah mulai
menggapai langit-langit di ruangan kosong itu.
Ruangan itu cukup gelap, hingga perlu dinyalakan
lentera, dan saat patih ronggolawe menatap ke luar, ia
melihat matahari musim gugur membanjiri
pegunungan di sekeliling dengan cahaya merah.
Piring di hadapannya kosong. Akhirnya ia
mendengar suara langkah. Seorang laki-laki memasuki
ruangan.
"benteng kota ini sedang dikepung. Tak banyak yang
dapat kutawa rkan, namun Yang Mulia sudah memintaku
menyiapkan makan malam untuk Tuan." Laki-laki itu
menyalakan sejumlah lentera.
"Hmm, dalam keadaan seperti sekarang, Yang Mulia
tak perlu memikirkan makan malam untukku. Aku
sendiri justru ingin bicara dengan resi dusun nyi kembang .
sebetulnya aku tak ingin merepotkan, namun
mungkinkah resi dusun nyi kembang dipanggil ke sini?"
dusun nyi kembang muncul tak lama lalu . Dalam waktu
kurang dari empat jam ia tampak sepuluh tahun lebih
tua: seluruh tenaganya seakan-akan lenyap, dan
kelopak matanya menunjukkan bekas air mata. "Maaf-
kan aku," katanya. "Aku sudah melalaikan Tuan."
"Ini bukan waktunya merisaukan etiket." balas
patih ronggolawe . "namun aku heran mengapa Yang Mulia
kalasan begini berlama-lama. Apakah dia sudah
berpamitan pada radenmas dan anak-anaknya? Hari sudah
malam."
"Tuan benar. namun apa yang mula-mula diucapkan
secara perkasa oleh tuanku kalasan ... ehm... Yang
Mulia sedang memberitahu anak-istrinya bahwa
mereka harus berpisah untuk selama-lamanya... kurasa
Tuan bisa membayangkan....'' resi tua itu me-
nunduk dan mengusap mata dengan jari. "Putri radenmas
berkeras tak ingin meninggalkan sisi suaminya untuk
kembali pada kakaknya. Dia terus memohon, jadi
sukar memastikan kapan mereka selesai."
"Ya, namun ..."
"Putri radenmas bahkan memohon padaku. Dia berkata
bahwa saat dia menikah, dia bersumpah bahwa
benteng kota ini akan menjadi makamnya. Dan tampaknya
subanda pun memahami bencana yang menimpa ayah
dan ibunya. Tangisnya mengibakan hati dan dia
bertanya mengapa dia harus berpisah dengan ayahnya
dan mengapa ayahnya harus mati. resi patih ronggolawe ,
maafkanlah aku, sikapku ini tidak pada tempatnya."
dusun nyi kembang mengusap mata, berdeham, lalu menangis.
patih ronggolawe bersimpati atas apa yang sedang dialami
dusun nyi kembang , dan ia pun memahami kesedihan kalasan
dan Okhi. patih ronggolawe lebih mudah terharu dibandingkan
orang-orang lain, dan kini air mata mulai membasahi
pipinya. Berulang kali ia tersedu-sedu dan menatap
langit-langit. namun ia tidak melupakan misinya dan
menegur dirinya sendiri ia tak boleh disesatkan oleh
emosi. Ia menghapus air matanya dan kembali
mendesak.
"Aku sudah berjanji untuk menunggu, namun kita tak
bisa menunggu terus. Aku berharap mereka diberi
batas waktu. Misalnya, Tuan bisa menentukan sampai
jam berapa mereka diberi waktu."
"Tentu. Hmm... keputusan ini merupakan tanggung
jawab ku, namun aku berharap Tuan sudi menunggu
sampai jam Babi. sesudah itu aku menjamin bahwa
sang ibu ditambah anak-anaknya sudah meninggalkan
benteng kota."
patih ronggolawe tidak menolak. Namun sebetulnya tak
ada waktu untuk berlama-lama. aidit benekad
merebut sinuhun ni sebelum matahari tenggelam. Seluruh
centeng sedang menunggu penuh harap. Walaupun
patih ronggolawe sudah mengibarkan bendera sebagai tanda
bahwa usaha penyelamatan berhasil, terlalu banyak
waktu berlalu. Baik aidit maupun para resi
tak bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam
benteng kota. Selama masa penantian, patih ronggolawe bisa
membayangkan kebingungan mereka, perbedaan
pendapat yang terjadi di markas besar, dan keragu-
raguan di wajah aidit saat ia mendengarkan
suara-suara bimbang.
"Usul Tuan masuk akal," ujar patih ronggolawe . "Baiklah,
mereka tak perlu terburu-buru. Kita tunggu sampai
Jam Babi."
dusun nyi kembang gembira atas persetujuan patih ronggolawe dan
kembali ke menara. Saat itu hari sudah semakin gelap.
Beberapa pelayan membawa kan sajian lezat dan anggur
bagi patih ronggolawe .
sesudah para pelayan pergi. patih ronggolawe minum
seorang diri. Sepertinya seluruh tubuhnya menghirup
musim gugur dari baskom di tangannya. anggur yang
diminumnya tak bisa membuat mabuk dingin dan
agak pahit. Hah, sebaiknya ini pun kutenggak penuh
semangat. Seberapa besar perbedaan antara mereka
yang menuju kematian dan mereka yang ditinggalkan?
Mungkin hanya sekejap, jika dilihat dari sudut filsafat,
mengingat ribuan tahun yang sudah berlalu. Ia
berusaha untuk tertawa keras. namun setiap kali ia
mereguk minumannya, hatinya serasa disayat-sayat.
Entah kenapa, ia merasa seakan-akan dikelilingi isak
tangis dalam keheningan yang mengimpit.
Kesedihan dan sedu sedan radenmas ; kalasan ; wajah
anak-anak yang tak berdosa. patih ronggolawe bisa mem-
bayangkan apa yang sedang berlangsung di menara.
Bagaimana seandainya aku berada di tempat jawa
kalasan ? ia bertanya-tanya. lalu pikiran itu
membelok, dan ia teringat ucapan terakhirnya pada
nyi momo .
"Aku centeng adipati . Aku mungkin gugur dalam per-
tempuran kali ini. Jika aku mati. kau sebaiknya
menikah lagi sebelum kau berusia tiga puluh. sesudah
kau berusia tiga puluh, kecantikanmu akan memudar,
dan kemungkinan untuk memperoleh perkawinan
bahagia semakin kecil. Kau mampu menentukan
pilihan sendiri, dan manusia sebaiknya siap untuk
memilih-milih dalam menempuh hidup ini. Jadi, jika
kau sudah lebih dari tiga puluh, pilihlah jalan yang
kauanggap terbaik. Aku tidak menyuruhmu menikah
lagi. Selain itu, seandainya kita punya anak.
rencanakanlah masa depan agar anak itu menjadi
pusat perhatianmu, baik saat kau masih muda atau
bertahun-tahun lalu . Jangan menyerah pada
keluhan wanita lesbian . Berpikirlah sebagai seorang ibu.
dan gunakan naluri seorang ibu dalam segala hal."
patih ronggolawe sudah terlelap. Ini tidak berarti ia
berbaring, ia duduk tegak dan kelihatan seperti sedang
bermeditasi. Dari waktu ke waktu kepalanya meng-
angguk. Ia ahli dalam hal tidur. Kemampuan ini ber-
kembang selama masa mudanya yang penuh
keprihatinan, dan ia begitu berdisiplin, sehingga ia
bisa tertidur kapan saja ia mau, tak peduli waktu
maupun tempat.
Ia terjaga sebab mendengar bunyi rebana.
Makanan dan anggur sudah disingkirkan. Cahaya lentera
berkedap-kedip. Rasa pening sudah hilang dari kepala,
begitu juga kelelahan yang semula dirasakannya.
patih ronggolawe menyadari bahwa ia rupanya tidur cukup
lama. Secara bersamaan ia merasakan kegembiraan
menyelubungi dirinya. Sebelum ia terlelap, suasana di
benteng kota terasa muram dan pilu, namun kini suasananya
sudah berubah dengan bunyi rebana dan tawa , dan
anehnya, kehangatan yang ramah mengalir entah dari
mana.
Mau tak mau patih ronggolawe merasa seperti tersihir.
namun ia terjaga, dan semuanya nyata. Ia mendengar
bunyi rebana, dan seseorang sedang bersenandung.
Suara-suara itu berasal dari menara dan terdengar
sayup-sayup, namun patih ronggolawe percaya bahwa baru saja ada
orang tertawa berderai-derai.
Tiba-tiba patih ronggolawe ingin berada di tengah
keramaian, dan ia keluar ke selasar, ia melihat banyak
lentera dan banyak orang di kediaman kalasan , di
seberang pekarangan luas. Angin lembut membawa
bau anggur , dan pada waktu angin bertiup ke arahnya, ia
mendengar para centeng adipati bertepuk tangan mengatur
irama dan bersenandung.
Kembang-kembang merah Tua,
Buah prem wangi.
Pohon-pohon hijau.
Nilai laki-laki tergantung pada hati nuraninya.
Laki-laki di antara laki-laki.
centeng adipati , itulah kami;
Kembang di antara kembang.
centeng adipati , itulah kami
Hidup manusia berlalu seperti ini.
Apa artinya tanpa kesenangan
Biarpun kita takkan melihat hari esok.
Terutama jika kita takkan melihat hari esok. Inilah
teori yang dianut patih ronggolawe . Ia, yang membenci
kegelapan dan mencintai cahaya, sudah menemukan
sebuah berkah di dunia ini. Hampir tanpa sadar ia
menuju ke arah keramaian, seakan-akan ditarik oleh
suara-suara ceria. Pelayan-pelayan tampak bergegas.
Mereka membawa baki besar dengan tumpukan
makanan, dan gentong berisi anggur .
Gerak-gerik mereka memperlihatkan semangat yang
sama seperti yang akan mereka perlihatkan dalam
pertempuran mempertahankan benteng kota. Pestanya
semarak, dan semangat hidup tampil di setiap wajah.
Sebersit keraguan menyelinap ke benak patih ronggolawe .
"Hei! Bukankah itu Tuan patih ronggolawe ?"
"Oh, resi dusun nyi kembang !"
"Aku tidak berhasil menemukan Tuan di ruang
tamu, lalu kucari ke mana-mana." Pipi dusun nyi kembang pun
memerah akibat anggur , dan ia tidak lagi kelihaian begitu
kurus dan cekung.
"Kenapa suasana demikian riang?" tanya patih ronggolawe .
"Jangan gelisah khawatir . Seperti kujanjikan, semuanya
akan berakhir pada Jam Babi. Konon, sebab kita
semua harus mati suatu hari, kita sebaiknya mati
dengan gemilang. Tuanku kalasan dan seluruh anak
buahnya sedang bergembira, jadi tuanku kalasan
membuka semua gentong anggur di benteng kota dan
mengadakan Sidang centeng adipati . Dengan cara ini, mereka
akan saling berpamitan sebelum meninggalkan dunia
ini."
"Bagaimana dengan perpisahan Yang Mulia dengan
anak-istrinya?"
"Itu sudah diselesaikan." Meski dalam keadaan
mabuk, resi dusun nyi kembang kembali menitikkan air mata.
Sidang centeng adipati ini suatu hal biasa dalam setiap
marga centeng adipati , suatu kesempatan di mana pembagian
kasta antara junjungan dan pengikut diperlonggar,
dan semuanya bersenang-senang dengan minum-
minum sambil bernyanyi.
Pertemuan itu memiliki dua tujuan: inilah
perpisahan kalasan dengan para pengikutnya yang
akan ikut menyambut kematian bersamanya, dan
dengan anak-istrinya yang akan hidup terus.
"namun aku pasti akan jemu kalau hanya menunggu
sampai Jam Babi," kata patih ronggolawe . "Dengan seizin
resi , aku ingin menghadiri acara ini.
"Itulah sebabnya aku mencari-cari Tuan tadi. Dan
itu pula keinginan Yang Mulia."
"Apa? Yang Mulia kalasan mengharapkan
kehadiranku?"
"Tuanku kalasan berpesan, sebab dia akan
mempercayakan anak-istrinya kepada marga sinuhun ,
mulai sekarang Tuan harus menjaga mereka.
Terutama anak-anaknya yang masih kecil."
"Yang Mulia tidak perlu gelisah khawatir mengenai ini!
Dan aku ingin menegaskannya secara langsung.
Sudikah resi mengantarku ke hadapan Yang
Mulia?"
patih ronggolawe mengikuti dusun nyi kembang ke sebuah ruangan
besar. Semua mata di mangan itu beralih ke arah
patih ronggolawe . Bau anggur tercium jelas. Tentu saja semua
orang mengenakan baju tempur lengkap, dan
semuanya sudah bertekad untuk mati. Mereka akan
mati bersama-sama. Seperti kuntum-kuntum bunga
yang terguncang-guncang oleh angin, mereka siap
gugur bersamaan, namun sekarang, saat mereka sedang
bersenang-senang, tiba-tiba muncul musuh di tengah-
tengah mereka! Sebagian besar memelototi patih ronggolawe
dengan mata merah kebanyakan orang akan gemetar
ketakutan jika dipandang seperti itu.
"Permisi," ujar patih ronggolawe , tanpa menujukan
ucapannya pada orang tertentu. Ia masuk, berjalan
dengan langkah kecil, maju sampai ke hadapan
kalasan , dan menyembah.
"Hamba datang, penuh terima kasih atas perintah
Yang Mulia bahwa hamba pun patut diberi baskom .
Mengenai masa depan putra dan ketiga putri Yang
Mulia, hamba akan menjaga mereka, dan nyawa
hamba menjadi tamhannya," patih ronggolawe berkata dalam
satu tarikan napas. Seandainya ia berhenti sejenak
atau tampak takut, biarpun hanya sedikit, para
centeng adipati di sekelilingnya mungkin terpancing untuk
bertindak gegabah sebab mabuk dan rasa benci.
"Itulah permintaanku, resi patih ronggolawe ." Naga-
masa meraih sebuah baskom dan menyerahkannya pada
patih ronggolawe .
patih ronggolawe menerima baskom itu dan mereguk isinya.
kalasan tampak puas. patih ronggolawe tidak berani
menyebut nama radenmas maupun aidit . Istri
kalasan yang muda dan cantik duduk di sisi
ruangan bersama anak-anaknya, tersembunyi di balik
tabir perak. Mereka berimpitan seperti bunga seruni
yang mekar di tepi sebuah kolam. patih ronggolawe
mengamati cahaya lentera yang bcrkedap-kedip dari
sudut mata, namun tidak langsung memandang ke arah
mereka. Penuh hormat ia mengembalikan baskom nya
kepada kalasan .
"Untuk sementara, lupakanlah permusuhan di
antara kita," ujar patih ronggolawe . "sesudah menerima anggur
dalam sidang ini, dengan seizin Yang Mulia, aku ingin
membawa kan tarian pendek."
"Kau mau menari?" kata kalasan , mewakili
keheranan semua orang yang hadir. Mereka terpesona
oleh laki-laki kecil ini.
radenmas menarik anak-anaknya mendekat, seperti
induk ayam yang hendak melindungi anak-anaknya.
"Jangan takut. Ibu ada di sini," ia berbisik.
sesudah memperoleh izin dari kalasan . patih ronggolawe
berdiri dan berjalan ke tengah ruangan, ia baru
hendak mulai saat Manju berseru. "Itu dia!"
Manju dan subanda menggenggam baju radenmas .
Mereka memandang laki-laki yang sebelumnya begitu
menakutkan itu. patih ronggolawe mulai mengatur irama
dengan entakan kaki. Secara bersamaan ia membuka
kipas yang memperlihatkan bulatan merah di atas
dasar emas.
Dengan waktu tertuang.
Aku menatap laku di gerbang.
Sesekali angin sepoi
Tak terduga di sini, kebetulan di sana:
Tak terduga, kebetulan.
Labu yang merambat, betapa menarik.
Ia bersenandung dengan suara lantang, dan menari
seakan-akan tak ada hal lain yang membebani
pikirannya. namun sebelum tariannya rampung,
letusan senapan terdengar dari luar tembok benteng kota.
lalu terdengar rembakan balasan dari jarak
lebih dekat. Sepertinya pihak di dalam maupun di luar
benteng kota mulai menembak secara bersamaan.
"Persetan!" patih ronggolawe mengumpat dan membanting
kipasnya. Jam Babi belum tiba, namun orang-orang di
luar benteng kota tidak tahu apa-apa mengenai kesepakatan
ini. patih ronggolawe tidak memberikan isyarat susulan.
sebab menduga mereka takkan menyerang, ia merasa
cukup aman. namun rupanya kesabaran para resi di
markas besar akhirnya habis, dan mereka memutuskan
untuk mendesak aidit agar segera mengambil
tindakan.
Persetan! Kipas patih ronggolawe jatuh di depan kaki para
komandan benteng kota yang sudah berdiri semua. Dan ini
memicu perhatian mereka beralih pada
patih ronggolawe , yang sampai sekarang tidak dianggap
sebagai musuh.
"Serangan!" seseorang berseru.
"Dasar pengecut! Dia membohongi kita!"
Kerumunan centeng adipati terbagi dua. Kelompok yang
lebih besar bergegas keluar, sementara sisanya
mengepung patih ronggolawe , siap mencincangnya dengan
pedang masing-masing.
"Siapa yang memerintahkan ini? Jangan sentuh dia!
Orang itu tidak boleh dibunuh!" kalasan tiba-tiba
berteriak sekuat tenaga.
Anak buahnya membalas berteriak, seolah-olah
menentang, "namun centeng musuh melancarkan
serangan besar-besaran!"
kalasan tidak memedulikan keluhan mereka, dan
memanggil. "wilangan Denshiro, nongkojajar Sakon!"
Kedua laki-laki ini pembimbingnya. saat mereka
maju dan menyembah, kalasan juga memanggil
sonokelingkake dusun nyi kembang . "Kalian bertiga akan melindungi
anak-istriku dan mengantar patih ronggolawe ke luar
benteng kota. Laksanakan!" kalasan memerintahkan.
lalu ia menatap patih ronggolawe dengan tajam, dan
sambil menenangkan diri sedapat mungkin, berkata,
"Baiklah, kupercayakan mereka padamu."
Istri dan anak-anaknya menyembah-nyembah di
depan kakinya, namun kalasan menepiskan mereka
dan berseru. "Selamat tinggal!" Seiring ucapan itu,
kalasan meraih kapak perang dan berlari ke dalam
kegelapan.
Satu sisi benteng kota sudah diselubungi api. Sambil
berlari, secara naluri kalasan melindungi wajahnya
dengan satu tangan. Serpihan-serpihan kayu yang
terbakar menyerempet wajahnya. Asap tebal berwarna
hitam merayap di permukaan tanah. centeng adipati sinuhun
pertama dan kedua yang berhasil menerobos masuk
sudah menyerukan nama masing-masing. Lidah api
sudah mencapai menara dan dengan rakus menjilati
talang air. kalasan melihat sekelompok orang
berhelm besi bersembunyi di daerah itu, dan tiba-tiba
melompat ke samping.
"Musuh!"
Para pengikut terdekat dan anggota keluarga berdiri
di sekitarnya, menyambut serbuan musuh. Di atas
mereka api mengamuk, di sekeliling mereka asap
hitam bergulung-gulung. Baju tempur terdengar
gemerincing. tombak beradu dengan tombak, pedang
dengan pedang. Dalam waktu singkat mayat-mayat dan
orang-orang terluka sudah bergelimpangan di tanah.
Sebagian besar prajurit di dalam benteng kota mengikuti
jejak kalasan dan berjuang selama mungkin,
masing-masing gugur dengan gagah. Hanya sedikit
yang tertangkap atau menyerah. Keruntuhan sinuhun ni
berbeda bagaikan bumi dan langit dengan kekalahan
orang-orang mpu djiwo di radenkanjeng atau kekalahan sang
pandita di trowulan . Ini membuktikan bahwa penilaian
aidit tidak keliru saat ia memilih kalasan
sebagai adik ipar.
Kesulitan patih ronggolawe , yang sudah menyelamatkan
radenmas dan anak-anaknya dari kobaran api, dan
kesulitan sonokelingkake dusun nyi kembang tidak berkaitan dengan
pertempuran itu. Seandainya saja centeng penyerang
mau menunggu tiga jam lagi, patih ronggolawe dan orang-
orang yang dipercayakan padanya dengan mudah
dapat meninggalkan benteng kota. namun hanya beberapa
menit sesudah mereka pergi, bagian dalam benteng kota
sudah dipenuhi api dan prajurit-prajurit yang saling
menggempur, sehingga sukar sekali bagi patih ronggolawe
untuk melindungi keempat anak kecil itu dan mem-
bawa mereka keluar.
sonokelingkake dusun nyi kembang menggendong anak wanita lesbian
paling kecil di punggungnya; kakaknya, Haisu, berada
di punggung nongkojajar Sakon, sedangkan Manju
diikat di punggung gurunya, wilangan Denshiro.
"Naiklah ke bahuku," patih ronggolawe berkata pada
Cacha, namun gadis lesbian cilik itu tak mau beranjak dari sisi
ibunya. Dengan paksa patih ronggolawe memisahkan mereka.
"Kalian tidak boleh terluka. Aku memohon, inilah
permintaan Yang Mulia kalasan padaku."
Ini bukan saatnya memperlakukan mereka secara
halus, dan meskipun ucapan patih ronggolawe tetap sopan,
nada suaranya terasa mengancam. radenmas menaikkan
subanda ke punggung patih ronggolawe .
"Semua sudah siap? Ikuti aku. Tuan Putri harap
genggam tanganku." Sambil memikul subanda.
patih ronggolawe menarik tangan radenmas dan mulai
melangkah maju. radenmas terseok-seok. dengan susah
payah berusaha menjaga keseimbangan. Tak lama
lalu ia menarik tangannya dari genggaman
patih ronggolawe , tanpa berkata apa-apa. Ia terus berjalan
seperti seorang ibu, dengan hati kacau sebab
memikirkan anak-anaknya yang terperangkap di
tengah kegilaan ini.
aidit kini sedang mengamati kebakaran di
benteng kota sinuhun ni. Lidah apinya nyaris sanggup meng-
hanguskan wajahnya, begitu kecil jarak yang
memisahkannya dari neraka itu. Gunung-gunung dan
lembah-lembah di ketiga sisi tampak merah, dan
benteng kota yang sedang terbakar berderu-deru bagaikan
tungku pengecoran raksasa.
saat api akhirnya berubah menjadi abu yang
mengepulkan asap dan semuanya sudah berlalu.
aidit tak sanggup menahan air mata atas nasib
yang menimpa adik iparnya. Dasar bodoh! Ia memaki
kalasan .
saat api memangsa semua kuil dan biara di
Gunung brahma berikut nyawa semua biksu dan orang
biasa di gunung itu. aidit melihatlihat nya tanpa
berkedip. namun kini matanya berkaca-kaca. Pem-
bantaian di Gunung brahma tak bisa dibandingkan
dengan kematian adiknya.
Manusia memiliki akal sehat dan naluri, dan
keduanya sering saling bertentangan. namun
aidit percaya penuh pada pemusnahan Gunung
brahma bahwa dengan menghancurkan satu gunung, tak
terhitung banyaknya yang akan memperoleh ke-
bahagiaan dan kemakmuran. Kematian kalasan
tidak memiliki arti sebesar itu. kalasan berjuang
dengan pandangan sempit mengenai kewajiban dan
kehormatan, oleh sebab itu aidit terpaksa
melakukan hal yang sama. aidit pernah meminta
agar kalasan melepaskan pandangannya yang picik
dan mendukung visi aidit yang lebih luas.
Sampai akhir ia memperlakukan kalasan dengan
penuh pertimbangan dan kemurahan hati. namun
kemurahan hati harus ada batasnya. Sampai malam ini
pun aidit bersedia menunjukkan sikap lunak,
namun para resi nya tidak mengizinkan.
Walaupun mpu ireng mpu betarakatong dari Kai sudah tiada,
para resi dan prajuritnya masih siaga, dan
kemampuan putranya konon melebihi kemampuan
sang ayah. Musuh-musuh aidit hanya menunggu
sampai ia tersandung. Hanya orang bodoh yang akan
berlama-lama menunggu tanpa bertindak di bagian
utara gunungselatan sesudah menghancurkan radenkanjeng dengan
sekali pukul. saat mendengar argumen-argumen
seperti ini dari para resi nya. aidit pun tak
sanggup mengatakan apa-apa demi menyelamatkan
adiknya. namun lalu patih ronggolawe memohon agar
ditunjuk sebagai utusan aidit untuk satu hari
saja. Namun, walaupun patih ronggolawe sempat mengirim
isyarat menggembirakan saat hari masih terang,
senja pun tiba, lalu malam, tanpa isyarat susulan
dalam bentuk apa pun dari patih ronggolawe . Para resi
aidit marah sekali. "Mungkinkah ini hanya siasat
musuh?"
"Mungkin dia sudah mati terbunuh."
"Musuh sedang menyusun rencana sementara kita
tidak berbuat apa-apa.
aidit terpaksa mengalah, dan akhirnya mem-
berikan perintah untuk melancarkan serangan habis-
habisan. namun , sesudah mengambil keputusan itu ,
ia bertanya-tanya apakah ia tidak mengorbankan
nyawa patih ronggolawe , dan penyesalannya nyaris tak ter-
tahankan.
Tiba-tiba seorang centeng adipati muda dengan baju
tempur bertali hitam menghampirinya, la begitu
terburu-buru, sehingga tombaknya hampir mengenai
aidit .
"Tuanku!" ia terengah-engah.
"Berlutut!" seorang resi membentak. "letakkan
tombak di belakangmu!"
Di bawah tatapan para pengikut yang mengelilingi
aidit , centeng adipati muda itu segera berlutut.
"Yang Mulia patih ronggolawe baru saja kembali. Dia
berhasil keluar dari benteng kota tanpa cedera."
"Apa? patih ronggolawe sudah kembali?" aidit berseru.
"Seorang diri?" ia bertanya cepat-cepat.
Kurir muda itu menambahkan, "Dia ditambah tiga
orang jawa , dan Putri radenmas dan anak-anaknya."
aidit gemetar. "Kau percaya? Kau melihat
mereka?"
"Sekelompok centeng adipati mengawal mereka dalam
perjalanan ke sini, sejak mereka keluar dari benteng kota
yang roboh dimakan api. Mereka lelah sekali, jadi
kami membawa mereka ke suatu tempat aman dan
memberi mereka air. Yang Mulia patih ronggolawe me-
merintahkan hamba berlari ke markas untuk
melaporkan hal ini."
aidit berkata. "Kau pengikut patih ronggolawe . Siapa
namamu?"
"Hamba kepala pelayan, Horio ki pralayan."
"Terima kasih atas kabar baik yang kausampaikan.
Sekarang pergilah, lalu beristirahat."
"Terima kasih, tuanku, namun pertempuran masih
berlangsung sengit." Dengan ini, ki pralayan cepat-cepat
mohon diri dan bergegas ke arah teriakan para prajurit
di kejauhan.
"Bantuan dewa-dewa...," seseorang bergumam
sambil mendesah. Orang itu dijoyo . resi -resi
lain pun mengucapkan selamat kepada aidit .
"Ini berkah yang tak terduga. Tuanku tentu gembira
sekali."
Perasaan yang sama menyelinap ke dalam hati
mereka. Orang-orang ini iri terhadap keberhasilan
patih ronggolawe , dan merekalah yang terus mendesak untuk
melancarkan serangan besar-besaran.
namun , bagaimanapun, kegembiraan aidit me-
luap-luap. dan suasana hatinya yang riang segera mem-
buat suasana di markas menjadi lebih cerah.
Sementara yang lain sibuk mengucapkan selamat,
dijoyo yang cerdik diam-diam berkata pada Nobu-
naga, "Perlukah hamba menyambut dia?"
sesudah memperoleh izin dari aidit , ia ditambah
beberapa pengikut bergegas menuruni lereng ke arah
benteng kota. Akhirnya, di bawah perlindungan patih ronggolawe ,
radenmas yang sudah dinanti-nanti tiba di markas.
Sekelompok prajurit pembawa obor berjalan di depan.
patih ronggolawe menyusul di belakang mereka, masih sambil
menggendong subanda di punggungnya.
Hal pertama yang terlihat oleh aidit adalah
butir-butir keringat pada kening patih ronggolawe , berkilau-
kilau terkena cahaya obor. Berikutnya ada resi tua,
sonokelingkake dusun nyi kembang , dan kedua pembimbing, masing-
masing dengan seorang anak di punggung. aidit
memandang anak-anak itu sambil membisu. Wajahnya
tidak memperlihatkan emosi. lalu , kira-kira dua
puluh langkah di belakang. nyoto dijoyo muncul.
Sebuah tangan putih berpegangan pada bahu baju
tempurnya. Tangan itu tangan radenmas , yang kini
setengah tak sadar.
"Putri radenmas ." kata dijoyo . "Kakak Tuan Putri ada
di sebelah sini." Cepat-cepat dijoyo menuntunnya
kepada aidit .
saat radenmas sadar kembali, ia hanya dapat men-
cucurkan air mata. Sejenak isak tangis wanita lesbian itu
menutupi semua bunyi lain di perkemahan. Hati para
resi veteran yang hadir pun serasa disayat-sayat.
aidit , di pihak lain, tampak muak. Inilah adik
tercinta yang sampai beberapa saat lalu membuatnya
begitu cemas. Mengapa ia tidak menyambutnya
dengan gembira? Adakah sesuatu yang sudah mengusik
suasana hatinya? Para resi kelihatan cemas. Bahkan
patih ronggolawe pun tidak memahami apa yang sudah
terjadi. Para pengikut utama aidit terus-menerus
direpotkan oleh perubahan suasana hati junjungan
mereka yang serba mendadak. saat mereka melihat
roman muka yang sudah akrab bagi mereka, tak
seorang pun dari mereka sanggup berbuat apa-apa
selain berdiri membisu; dan di tengah-tengah
keheningan, aidit sendiri pun tak mampu meng-
hibur diri.
Tidak banyak pengikut aidit yang dapat mem-
baca pikirannya dan membebaskannya dari kekusutan
akibat wataknya yang murung dan tertutup.
sebetulnya , hanya patih ronggolawe dan tribuana
tunggadewa , yang kini tidak hadir, yang memiliki
kemampuan itu.
patih ronggolawe mengamati situasinya sejenak, dan
sebab sepertinya tak ada yang akan berundak, ia
berkata pada radenmas , "Wah, wah, Tuan Putri. Sapalah
Yang Mulia. Percuma saja Tuan Putri berdiri di sini
dan menangis gembira. Ada apa? Bukankah Yang
Mulia dan Tuan Putri kakak-beradik?"
radenmas tidak bereaksi. Ia bahkan tak sanggup
memandang wajah kakaknya. Pikirannya berada di sisi
kalasan . Bagi radenmas , aidit tak lebih dari
resi musuh yang membunuh suaminya dan
membawa nya ke sini sebagai tawa nan di perkemahan
musuh.
aidit tahu persis apa yang tersembunyi di
dalam hati adiknya. Jadi, selain merasa puas sebab
berhasil menyelamatkannya, ia pun menyesalkan
wanita lesbian bodoh ini, yang tidak memahami betapa
besar cinta kasih kakaknya.
"patih ronggolawe , biarkan saja. Percuma saja, kau hanya
buang-buang waktu." aidit berdiri mendadak. Ia
mengangkat sebagian tirai yang mengelilingi markas-
nya.
"sinuhun ni sudah takluk," ia berbisik sambil menatap
kobaran api. Baik teriakan-teriakan perang maupun
deru api yang menghanguskan benteng kota mulai ber-
kurang, dan bulan yang sedang menyusut membanjiri
gunung-gunung dan lembah-lembah dengan cahaya
keperak-perakan saat mereka menunggu fajar.
Pada saat itu, seorang perwira ditambah anak buahnya
berlari mendaki bukit sambil melepaskan teriakan
kemenangan. saat mereka meletakkan kepala jawa
kalasan dan para pengikutnya di hadapan Nobu-
naga. radenmas menjerit, dan anak-anak yang berpegangan
erat padanya mulai menangis.
aidit berseru, "Hentikan! dijoyo ! bawa anak-
anak keluar dari sini! Kuserahkan mereka ke dalam
perlindunganmu baik radenmas maupun anak-anaknya.
Bergegaslah dan bawa mereka ke suatu tempat di
mana tak seorang pun melihat mereka."
lalu aidit memanggil patih ronggolawe dan
bcrkata padanya. "Kau akan bertanggung jawab atas
bekas wilayah marga jawa ." Ia sudah memutuskan
untuk kembali ke padalarang begitu benteng kota sinuhun ni berhasil
direbut.
radenmas terpaksa dipapah. Belakangan ia menikah
dengan dijoyo . namun salah satu dari ketiga putri
cilik kalasan mengalami nasib yang bahkan lebih
aneh dibandingkan ibunya. Putri tertua kalasan , subanda.
di lalu hari dikenal sebagai Putri watangsewu gimi,
gundik patih ronggolawe .
awal bulan ketiga di tahun berikut sudah tiba. Kabar
baik sampai kepada nyi momo , berupa surat dari suaminya.
Walaupun beberapa dinding di benteng kota lojibenteng masih
agak kasar, begitu lama waktu sudah berlalu, sehingga aku
hampir tak sabar menunggu untuk melihat kalian berdua.
Tolong beri tahu Ibu agar bersiap-siap menghadapi
kepindahan dalam waktu dekat.
Dengan surat-surat sesingkat ini, sukar untuk mem-
bayangkan apa yang sudah terjadi, namun sebetulnya
suami-istri itu sudah beberapa kali saling mengirim
surat sesudah Tahun Baru. Tak sedikit pun waktu
patih ronggolawe tersisa untuk bersantai-santai. Berbulan-
bulan ia berperang di bagian utara gunungselatan, bertempur di
sana-sini, dan kalaupun ada sedikit waktu luang, ia
segera diutus ke tempat lain.
Jasa patih ronggolawe pada penaklukan sinuhun ni tidak ter-
tandingi oleh siapa pun. Sebagai tanda terima kasih,
aidit untuk pertama kali menganugerahkan
sebuah benteng kota bagi patih ronggolawe ditambah tanah senilai
9 ratus ribu gantang dari bekas wilayah jawa .
Sampai saat itu patih ronggolawe hanya seorang resi , namun
dengan satu lompatan ia memasuki jajaran penguasa
provinsi. Secara bersamaan aidit juga mem-
berikan nama baru padanya: Haeyang .
Di musim gugur itu Haeyang patih ronggolawe menjadi
orang terkenal, dan kini berdiri sejajar dengan para
resi veteran marga sinuhun yang lain. Namun ia tak
puas dengan benteng kotanya yang baru di sinuhun ni; benteng kota
itu benteng kota defensif, baik untuk mengurung diri dan
bertahan terhadap pengepungan, namun tidak cocok
sebagai titik tolak untuk melancarkan serangan. Tiga
mil ke arah selatan, di tepi Danau Biwa, ia
menemukan tempat yang lebih memadai: sebuah desa
bernama lojibenteng . sesudah memperoleh persetujuan
aidit , ia segera mulai dengan kegiatan pem-
bangunan. saat musim semi tiba, menara yang
berdinding putih, tembok-tembok yang kokoh, dan
gerbang-gerbang besi sudah berhasil dirampungkan.
syam banaspati diberi tugas mengawal istri
dan ibu patih ronggolawe dari kahuripan, dan ia tiba dari
lojibenteng beberapa hari sesudah nyi momo menerima surat
patih ronggolawe . nyi momo dan ibu mertuanya dibawa dengan
tandu berlapis sampang, dan rombongan pengawal
mereka terdiri atas seratus orang.
Ibu patih ronggolawe minta pada nyi momo agar mereka
melewati Gitu, dan agar nyi momo menghadap aidit
untuk mengucapkan terima kasih atas segala berkah
yang sudah mereka nikmati. nyi momo merasa tugas ini
suatu tanggung jawab besar, dan bahkan meng-
anggapnya sebagai siksaan. Ia percaya bahwa jika ia
mendatangi benteng kota padalarang dan menghadap aidit
seorang diri, ia takkan sanggup berbuat apa-apa selain
duduk dan gemetar.
Hari yang sudah ditentukan pun tiba, dan dengan
meninggalkan ibu mertuanya di penginapan, seorang
diri nyi momo pergi ke benteng kota, sambil membawa oleh-
oleh dari Sunomara. sesudah sampai di benteng kota, ia
seakan-akan melupakan segala kecemasan yang ia
rasakan sebelumnya. Begitu berada di sana, untuk
pertama kali ia memandang junjungannya, dan ber-
lawan an dengan dugaannya, aidit bersikap ter-
buka dan ramah tamah.
"Kau pasti sudah mengerahkan segenap tenagamu
untuk mengurus benteng kota itu demikian lama, sekaligus
menjaga ibu mertuamu. Dan lebih dari itu, kau tentu
kesepian sekali," kata aidit dengan sikap begitu
akrab, sehingga Nenc menyadari bahwa keluarganya
sendiri memiliki hubungan dengan keluarga
aidit . Ia merasa bisa bersikap terus terang.
"Hamba merasa tak patut hidup tenteram di rumah,
sementara orang lain sedang berperang. Dewa-dewa
mungkin menghukum hamba jika hamba mengeluh
sebab kesepian."
aidit menghentikannya dengan tertawa .
"Tidak, tidak. Hati seorang wanita tetap hati seorang
wanita, dan kau tak perlu menutup-nutupinya. Justru
dengan merenungkan kesepian kala kau mengurus
rumah tangga, kau dapat lebih memahami kelebihan
suamimu. Seseorang pernah menulis sajak mengenai
ini; bunyinya kira-kira begini. 'Dalam perjalanan, sang
suami memahami nilai istrinya di penginapan yang
terselubung salju.' Aku bisa membayangkan bahwa
patih ronggolawe pun sudah tak sabar. Bukan itu saja, namun
benteng kota di lojibenteng juga masih baru. Menanti
selama perang berlangsung pasti terasa berat, namun
kalau kalian bertemu nanti, kalian akan merasa seperti
pengantin baru lagi."
nyi momo tersipu-sipu dan menyembah. Rupanya ia
teringat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru.
aidit pun dapat menebak pikirannya dan
tersenyum.
Makanan dan baskom anggur berwarna dibawa masuk.
sesudah menerima baskom dari tangan aidit . nyi momo
mencicipi anggur -nya dengan anggun.
"nyi momo ," ujar aidit sambil tertawa . Akhirnya,
sesudah merasa sanggup memandang langsung wajah
junjungannya. nyi momo mengangkat kepala dan bertanya-
tanya apa yang hendak dikatakannya. aidit
berkata mendadak. "Satu hal, jangan cemburu."
"Ya, tuanku." nyi momo menjawab tanpa berpikir lebih
dahulu , namun sesudah itu wajahnya langsung memerah lagi.
nyi momo pun sempat mendengar desas-desus mengenai
patih ronggolawe . yang mendatangi benteng kota padalarang dengan
ditemani wanita lesbian cantik.
"Itulah patih ronggolawe . Dia tidak sempurna. namun
baskom teh yang sempurna tidak memiliki daya pikat.
Semua orang memiliki kekurangan. Kalau orang
biasa memiliki silat buruk, dia menjadi sumber
masalah: namun hanya sedikit orang yang memiliki
kemampuan seperti patih ronggolawe . Aku sering bertanya-
tanya, wanita lesbian seperti apa yang akan memilih laki-
laki seperti dia. Kini, sesudah bertemu denganmu hari
ini, aku tahu bahwa patih ronggolawe pasti mencintaimu.
Jangan cemburu. Hiduplah dengan rukun."
Bagaimana mungkin aidit begitu memahami
perasaan wanita lesbian ? Walaupun agak menakutkan, ia
merupakan laki-laki yang dapat dijadikan tempat ber-
sandar oleh Nenc dan suaminya. nyi momo tidak tahu
apakah harus gembira atau merasa malu.
Ia kembali ke tempat penginapan di kota benteng kota.
namun yang paling banyak dibicarakan nyi momo dengan
ibu mertuanya yang sudah menunggu bukanlah nasihat
aidit mengenai kecemburuan. "Setiap kali se-
seorang menyebut nama aidit . semua orang
gemetar ketakutan, jadi aku pun bertanya-tanya seperti
apa orangnya. namun rasanya hanya sedikit penguasa di
negeri ini yang selembut dia. Aku tak sanggup mem-
bayangkan bagaimana orang berperasaan halus seperu
itu bisa berubah menjadi momok menakutkan jika
berada di atas kuda. Yang Mulia juga mengetahui
sesuatu mengenai Ibu, dan dia berkata bahwa Ibu
memiliki putra yang patut dibanggakan, dan bahwa
Ibu seharusnya merupakan orang paling bahagia di
seluruh majapahit . Dia memberitahuku bahwa negeri ini
hanya memiliki sedikit orang seperti patih ronggolawe , dan
bahwa aku memilih suami yang baik. Yang Mulia
bahkan menyanjungku dan berkata bahwa aku mem-
punyai mata yang tajam."
Kedua wanita lesbian itu melanjutkan perjalanan
dengan damai. Mereka melintasi betari jawi , dan akhirnya
menatap ke luar dari tandu, mengagumi pe-
mandangan musim semi di Danau Biwa. mpu ireng mpu jengger sudah mengalami tiga puluh
musim gugur. Ia lebih tinggi dan lebih kekar dibandingkan ayahnya, mpu ireng mpu betarakatong , dan konon ia laki-laki yang
tampan. Tiga tahun sudah berlalu sejak kematian mpu betarakatong . Bulan keempat merupakan akhir masa dukacita. Perintah terakhir mpu betarakatong , "Sembunyikan duka
kalian selama tiga tahun," dijalankan secepat-cepatnya.
Namun setiap tahun pada hari kematiannya, lentera-
lentera di semua kuil di Kai dan terutama lentera-
lentera di Kuil Kitin dinyalakan untuk mengadakan
upacara pcringatan secara sembunyi-sembunyi. Selama
tiga hari mpu jengger mengabaikan semua urusan militer
dan mengunci diri di Kuil kuceswara untuk ber-
meditasi. Pada tahun ketiga, mpu jengger menyuruh buka pintu-pintu kuil untuk mengeluarkan asap dupa yang dibakar selama upacara peringatan mpu betarakatong . Begitu
mpu jengger selesai berganti pakaian, Atobe ranggawesi minta waktu untuk menghadap.
"Tuanku." ranggawesi mulai berkata. "harap tuanku segera membaca surat ini, dan memberi jawaban pasti pada hamba. jawaban pasti lisan pun sudah cukup. Hamba akan
menuliskannya untuk Tuanku." mpu jengger cepat-cepat membuka surat itu. "Oh...
dari swaradwipa." Terlihat jelas bahwa surat itu sudah beberapa lama ditunggu-tunggunya, dan ekspresi yang melintas di wajah mpu jengger saat membacanya juga bukan ekspresi biasa. Sesaat ia seakan-akan tak dapat mengambil keputusan.
Kicauan seekor burung terdengar dari kejauhan,
yang menandakan kedatangan musim panas.
mpu jengger menatap langit lewat jendela. "Aku
mengerti. Itu jawab anku." ranggawesi memandang junjungannya. "Cukupkah
itu, tuanku?" ia bertanya, sekadar untuk memastikan. "Ya," jawab mpu jengger . "Kesempatan emas ini tak boleh disia-siakan. Kurir yang membawa pesan ini
harus orang yang dapat dipercaya."
"Urusan ini teramat penting. Tuanku tak perlu
gelisah khawatir ." Tidak lama sesudah ranggawesi meninggalkan kuil, sebuah pemberitahuan mengenai pengerahan centeng mulai beredar. Prajurit-prajurit terlihat berdatangan sepanjang malam, dan kesibukan di dalam dan di luar benteng kota tak ada habis-habisnya. saat fajar menyingsing, sekitar lima belas ribu prajurit
basah akibat embun pagi, sudah menunggu di
lapangan upacara di luar benteng kota. Dan prajurit-prajurit lain masih terus berdatangan. Sebelum matahari terbit, bunyi sangkakala yang menandakan keberangkatan centeng . Beberapa kali terdengar bergema di atas rumah-rumah di loji abang .
Malam itu mpu jengger hanya tidur sebentar, namun kini
ia sudah mengenakan baju tempur lengkap.
Penampilannya bukan seperti orang yang kurang
tidur, dan kesehatannya yang luar biasa dan impian-
nya untuk mencapai hal-hal besar tampak bersinar,
seperti embun pada daun-daun muda.
Ia tidak menyia-nyiakan satu hari pun sejak
kematian ayahnya tiga tahun yang lalu. Pegunungan
dan sungai-sungai berarus deras membentuk per-
tahanan alami di sekeliling Kai, namun mpu jengger tidak
puas dengan provinsi yang diwarisinya. Bagaimana-
pun, ia dianugerahi keberanian dan kecerdikan
melebihi ayahnya. mpu jengger berbeda dengan
keturunan banyak marga centeng adipati tersohor lainnya
tak bisa dinamakan putra yang mengecewakan. Justru
sebaliknya, kebanggaannya, kesadarannya akan
kewajiban, dan kegagahannya dalam pertempuran
malah bisa dibilang berlebihan.
Meski marga mpu ireng berusaha merahasiakannya,
berita mengenai kematian mpu betarakatong sudah sampai di
provinsi-provinsi rnusuh, dan tidak sedikit yang
merasa bahwa kescmpaun ini tak dapat diabaikan
begitu saja. Marga kramat sudah melancarkan serangan
mendadak, marga Hojo pun sudah bcrubah sikap. Dan
bisa dipastikan bahwa jika ada peluang, marga sinuhun
dan prabu kertoarjowardana pun akan melakukan serbuan dari
wilayah masing-masing.
mpu jengger , seperti putra setiap orang besar, berada
dalam posisi sulit. Meski demikian, ia tak pernah
membawa aib bagi nama ayahnya. Dalam hampir
setiap pertempuran, ia keluar sebagai pemenang.
sebab itu, ada desas-desus bahwa kematian mpu betarakatong
sengaja direkayasa, sebab ia seolah-olah menampakkan
diri setiap kali ada kesempatan.
"resi minakjinggo dan resi kartawiwaha memohon
waktu untuk menghadap tuanku sebelum centeng
maju ke medan laga," seorang pengikut melaporkan.
centeng Kai sudah siap berangkat saat pesan itu
disampaikan pada mpu jengger . Baik minakjinggo kertapati dan
kartawiwaha brewirabumi merupakan pengikut senior sejak
masa mpu betarakatong .
mpu jengger balik benanya. "Apakah keduanya sudah
siap bergerak?
"Sudah, tuanku," balas si pembawa pesan.
mpu jengger mcngangguk-angguk. "Kalau begitu, bawa
mereka ke sini."
Sesaat lalu , kedua resi itu muncul di
hadapan mpu jengger . Ia sudah tahu apa yang akan mereka katakan.
"Tuanku bisa lihat sendiri." minakjinggo mulai berkata.
"kami langsung berangkat ke sini waktu menerima
kabar mengenai pengerahan centeng semalam. namun
kejadian ini sangat tidak lazim. Tak ada rapat perang.
dan kami berdua tidak memahami tujuan operasi
militer ini. Keadaan dewasa ini tidak memungkinkan
kita melakukan pergerakan centeng dengan
sembrono." kartawiwaha melanjutkan. "Mendiang ayah
tuanku, tuanku mpu betarakatong , berulang kali mencicipi
pahitnya kekalahan waktu kita menyerang ke barat.
dusun nyi kembang memang kecil, namun prajurit-prajuritnya gagah berani, dan saat ini marga sinuhun tentu sudah sempat
mengambil langkah-langkah balasan. Kalau kita maju terlalu jauh, kita mungkin tak dapat mundur dengan selamat."
Sambil bicara bergantian, kedua orang itu
mengemukakan keberatan masing-masing. Kedua-
duanya merupakan veteran yang dilatih oleh mpu betarakatong
sendiri, dan kecerdikan dan keberanian mpu jengger
tidak dipandang sebelah mata oleh mereka. Justru
sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai ancaman.
mpu jengger sudah agak lama merasakannya, dan
wataknya menyebab-kan ia tak dapat menerima saran
mereka bahwa langkah terbaik adalah menjaga
perbatasan Kai selama beberapa tahun.
"Kalian tahu bahwa aku tak mungkin melancarkan
operasi militer secara gegabah. Tanyakan detail-
detailnya pada ranggawesi . namun kali ini bisa dipastikan
kita akan merebut benteng kota swaradwipa dan benteng kota
bratangbinangun. Aku akan menunjukkan bagaimana
caranya mewujudkan sebuah impian lama. Straregi
kita harus dirahasiakan. Aku takkan memberitahukan
rencanaku kepada para prajurit sebelum kita mulai
mendesak musuh."
Dengan tangkas mpu jengger menghindari keluhan
kedua resi nya yang kelihatan tak senang.
Saran untuk menemui ranggawesi demi memperoleh
keterangan lebih lanjut terasa mengganjal di hati
mereka. Kedua resi itu saling melirik, dan sekilas
mereka bertukar pandang sambil terheran-heran.
centeng dikerahkan tanpa berkonsultasi dahulu dengan
mereka resi -resi paling senior dan keputusan
diambil dengan orang seperti Atobe ranggawesi .
Sekali lagi minakjinggo mencoba berbicara dengan
mpu jengger . "Nanti kami akan mendengarkan segala
sesuatu yang mau dikatakan oleh Tuan ranggawesi , namun
jika tuanku sebelumnya sudi menyampaikan sepatah-
dua kata mengenai rencana rahasia ini, kami sebagai
resi tua dapat menatap tempat kematian kami
dengan hati mantap."
"Aku tidak mau mengatakan apa-apa lagi di sini."
ujar mpu jengger sambil memandang orang-orang di
hadapannya. lalu ia menambahkan dengan
keras, "Aku senang bahwa kalian merasa prihatin, namun
aku bukannya tidak sadar betapa pentingnya urusan
ini. Selain itu, aku tak bisa membatalkan rencana itu
sekarang. Tadi pagi aku sudah bersumpah demi Mihata
Tatenashi."
saat mendengar nama-nama keramat ini, kedua
resi segera menyembah dan mengucapkan doa
dalam hati. Mihata Tatenashi merupakan benda pusaka
yang sudah selama Beberapa generasi dimuliakan
oleh marga mpu ireng . Mihata merupakan panji dewa
perang aryadwinata : Tatenashi adalah baju tempur
pendiri marga. Marga mpu ireng memiliki peraturan yang
tak dapat dilanggar, yaitu jika seseorang sudah meng-
ucapkan sumpah dengan menyebut nama kedua
benda pusaka itu, sumpahnya tak dapat ditarik
kembali.
Pengumuman mpu jengger bahwa ia bertindak
bcrdasarkan sumpah keramat berarti tak ada alasan
lagi bagi kedua resi untuk terus membantah. Pada
saat itu, bunyi sangkakala memberi aba-aba bagi
centeng untuk membentuk formasi dan bersiap-siap
berangkat, sehingga kedua resi terpaksa mohon
diri. namun , masih diliputi perasaan gelisah khawatir mengenai
nasib marga, mereka berkuda untuk menemui
ranggawesi di tengah barisan.
ranggawesi mengosongkan tempat itu dan dengan
bangga menceritakan rencana junjungan mereka. Di
swaradwipa, yang kini diperintah oleh putra mpu mojosongo ,
Nobuyasu, ada laki-laki bernama Oga Yashiro yang
mengatur keuangan. Beberapa waktu sebelumnya, Oga
menyeberang ke kubu mpu ireng dan kini merupakan
sekutu kepercayaan mpu jengger .
Kurir yang dua hari sebelumnya datang ke
Tsutsujigasaki membawa pesan rahasia dari Oga, yang
menyatakan bahwa waktunya sudah tiba. aidit
berada di ibu kota sejak awal tahun. Bahkan sebelum
itu, saat aidit berusaha menghancurkan para
biksu-prajurit di bukit tengkorak , tidak mengirimkan bala
bantuan dan hubungan antara kedua provinsi menjadi
agak tegang.
Pada waktu centeng mpu ireng menyerang dusun nyi kembang
dengan kecepatannya yang tersohor, Oga akan
menemukan jalan untuk menyulut kekacauan di
benteng kota swaradwipa, membuka gerbang benteng kota, dan
membiarkan centeng Kai masuk. lalu mpu jengger
akan membunuh Nobuyasu dan menyandera keluarga
prabu kertoarjowardana . benteng kota bratangbinangun takkan memiliki
pilihan selain menyerah, dan centeng pengawal nya
akan bergabung dengan centeng mpu ireng , sehingga
terpaksa melarikan diri ke Ise atau blambangan .
"Ragaimana pendapat Tuan-Tuan? Bukankah ini
merupakan berkah dari para dewa?" kata ranggawesi
dengan bangga, seakan-akan ia sendiri yang menyusun
seluruh rencana itu. Kedua resi tua tidak berminat
mendengar lebih banyak lagi. Mereka meninggalkan
ranggawesi , dan kembali ke resimen masing-masing,
saling memandang sambil membisu.
"minakjinggo , sebuah provinsi konon bisa runtuh, namun
gunung-gunung dan sungai-sungai tetap bertahan. Kita
berdua tak sampai hati melihat gunung dan sungai di
sebuah provinsi yang hancur," ujar kartawiwaha dengan
perasaan mendalam.
minakjinggo mengangguk, sorot matanya tampak sedih
saat ia berkata. "Akhir hayat kita mendekat dengan
cepat. Kita tinggal mencari tempat yang baik untuk
gugur, untuk mengikuti bekas junjungan kita, dan
untuk menebus dosa-dosa kita sebagai penasihat yang
buruk."
Reputasi minakjinggo dan Yamagara sebagai kedua resi
mpu betarakatong yang paling berani sudah jauh melampaui
perbatasan Kai. Kepala mereka sudah beruban semasa
mpu betarakatong masih hidup, namun sesudah kematiannya,
rambut mereka dengan cepat berubah putih.
Daun-daun di pegunungan Provinsi Kai masih
muda dan hijau menjelang musim panas tahun itu,
dan air Sungai Fuefuki melantunkan nyanyian
kehidupan abadi. namun berapa prajurit yang bertanya-
ianya apakah mereka masih akan melihat gunung-
gunung itu?
centeng mpu ireng bukan lagi centeng di masa hidup
mpu betarakatong . Nada sedih yang membunyikan ketidak-
pastian hidup terdengar dalam panji-panji yang ber-
kibar-kibar dan dalam bunyi langkah mereka. namun
kelima betas ribu prajurit itu memukul genderang
perang, mengibarkan panji-panji, dan menyeberangi
perbatasan Kai; kemegahan yang tercermin dalam
mata rakyat tak kalah gemilang dibandingkan dengan
di masa mpu betarakatong .
Tepat saat warna matahari terbenam mirip
warna matahari saat terbit, tak peduli ke mana pun
mata memandang ke para pembawa pataka atau
panji-panji masing-masing resimen, atau ke centeng
berkuda yang maju rapat-rapat di sekitar mpu jengger
tak ada tanda-tanda kemerokuyang . mpu jengger sendiri
tampak sangat pcrcaya diri, sebab ia membayangkan
bahwa benteng kota musuh di swaradwipa sudah berada di
tangannya. Dengan perhiasan emas pada helmnya
memantul di pipi, masa depan resi itu kelihatan
cemerlang. Dan sebetulnya ia sudah berhasil mencapai
beberapa kemenangan yang memacu semangat tempur
Provinsi Kai, bahkan sesudah kematian mpu betarakatong yang
termasyhur.
Bertolak dari Kai pada hari pertama di Bulan
Kelima, mereka akhirnya melintasi Gunung Hira dari
arah wirogeni dan memasuki wilayah dusun nyi kembang , lalu
mendirikan perkemahan di tepi sebuah sungai pada
malam hari.
Dari tepi seberang, dua centeng adipati musuh berenang ke
arah mereka. Para penjaga segera menangkap kedua
orang itu. Mereka ternyata centeng adipati prabu kertoarjowardana yang
diusir dari provinsi mereka sendiri. Mereka minta
agar dibawa ke hadapan mpu jengger .
"Apa? Kenapa mereka lari ke sini?" mpu jengger tahu
arti kejadian itu. Pengkhianatan Oga sudah ter-
bongkar.
mpu jengger sudah membawa centeng nya sampai ke
dusun nyi kembang . Apakah aku harus menyerang, atau mundur?
mpu jengger berulang kali bertanya pada diri sendiri. Ia
sangat bingung dan merasa patah semangat. Seluruh
rencana mpu jengger didasarkan atas pengkhianatan Oga
dan kekacauan yang seharusnya ia buat di dalam
benteng kota swaradwipa. Terbongkarnya kedok Oga dan
penangkapannya merupakan pukulan berat. namun ,
sesudah maju begitu jauh, tidaklah panias bagi seorang
centeng adipati untuk mundur tanpa berhasil mencapai apa
pun. Di pihak lain, tidak pada tempatnya untuk maju
secara sembrono. Batin mpu jengger bergolak hebat. Dan
ia serasa ditusuk-tusuk saat teringat bagaimana minakjinggo
dan kartawiwaha mewanti-wantinya agar tidak meng-
ambil langkah gegabah, sebelum centeng nya bertolak
dari Kai.
"Kirim 50000 prajurit ke arah Nagashino,"
mpu jengger memerintahkan. "Aku sendiri akan
menyerang benteng kota Yosdwikerto dan menyapu daerah
sekitarnya."
mpu jengger membongkar kemah sebelum fajar dan
menuju Yosdwikerto . Tanpa kepercayaan akan kemenangan,
ia membumihanguskan beberapa desa sebagai ajang
pamer kekuatan. Ia tidak menyerang benteng kota Yosdwikerto ,
mungkin sebab mpu mojosongo dan putranya, Nobuyasu, sudah
menggulung para pengkhianat dan cepat-cepat
mengirim centeng sampai ke Hajikamigahara.
Berbeda dengan centeng mpu jengger yang kini tak
dapat maju maupun mundur, sehingga hanya ber-
usaha agar tidak kehilangan muka, centeng prabu kertoarjowardana
sudah membasmi para pemberontak dan menerjang
dengan semangat menggebu-gebu.
"Apakah kita provinsi yang sekarat atau yang sedang
menanjak?" demikian teriakan perang mereka. Jumlah
mereka memang kecil, namun semangat mereka berbeda
sama sekali dengan centeng mpu jengger .
Barisan depan kedua centeng itu dua atau tiga kali
terlibat bentrokan senjata di Hajikamigahara. namun
centeng Kai pun bukan centeng sembarangan, dan
menyadari bahwa mereka tak dapat menyaingi
semangat tempur musuh, mereka tiba-tiba mundur.
Scruan, "Ke Nagashino! Ke Nagashino!" terdengar
menggema. Mereka segera berbalik dan membelakangi
centeng prabu kertoarjowardana , lalu berangkat seakan-akan harus
menangani urusan mendesak di tempat lain.
Nagashino merupakan medan pertempuran kuno,
dan benteng kotanya konon tak dapat ditaklukkan. Pada
awal abad, benteng kota itu berada di tangan marga
mpu marijan . Belakangan marga mpu ireng mengakuinya
scbagai bagian dari Kai. namun lalu , di tahun
pertama masa pemerintahan dinasti syailendra , benteng kota itu direbut oleh mpu mojosongo , dan
kini berada di bawah komando Okudaira Sadamasa
dari marga prabu kertoarjowardana , dengan centeng penjaga ber-
kekuatan lima ratus orang.
sebab nilai strategisnya, Nagashino merupakan
pusat segala macam komplotan, pengkhianatan, dan
pertumpahan darah, bahkan di masa damai.
Pada malam di hari ke9 Bulan Kelima.
centeng Kai sudah mengepung benteng kota itu.
benteng kota Nagashino berdiri di pertemuan Sungai
Taki dan Ono, di daerah bergunung-gunung di bagian
timur dusun nyi kembang . Di belakangnya, ke arah timur laut, tak
ada apa-apa selain gunung. Lebar selokan per-
tahanannya, yang mengambil air dari arus deras kedua
sungai, bcrkisar dari enam puluh sampai sembilan
puluh meter. Di bagian terendah, tepinya menjulang
dua puluh tujuh meter, dan di bagian tertinggi
membentuk tebing setinggi empat puluh lima meter.
Kedalaman airnya tak lebih dari satu setengah sampai
dua meter, namun arusnya deras.
"Betapa pongahnya!" ujar Komandan benteng kota
Nagashino saat ia mengamati penyusunan centeng
mpu jengger dari menara jaga.
Sejak sekitar tanggal sepuluh, mpu mojosongo mulai
mengirim kurir-kurir kepada aidit . Beberapa
kali dalam sehari, untuk melaporkan situasi di
Nagashino. Setiap ancaman bagi marga prabu kertoarjowardana juga
dianggap ancaman terhadap marga sinuhun , dan suasana
di benteng kota padalarang sudah terasa lebih tegang dibandingkan
biasanya.
aidit memberikan tanggapan positif, namun ia
tidak terburu-buru mengerahkan centeng nya. Rapat
perang berlangsung selama dua hari.
"Tak ada kemungkinan menang. Percuma saja kita
kerahkan centeng ," patih Kkertoarjo chi memperingatkan.
"Tidak! Itu berarti kita melalaikan kewajiban kita!"
orang lain berdalih.
Yang lain, sepertni mpu wiraghanda, mengambil jalan
tengah. "Seperti dikatakan resi patih, sudah jelas
bahwa peluang menang melawan Kai kecil sekali, namun
kalau kita menunda pengiriman centeng , orang-orang
prabu kertoarjowardana bisa menuduh kita berbuat tidak jujur, dan
kalau kita tidak berhati-hati, ada kemungkinan mereka
pindah ke pihak musuh, bergabung dengan centeng
Kai, dan berbalik melawan kita. Hamba rasa kita
sebaiknya mengerahkan centeng secara pasif."
lalu , dari tengah-tcngah pedan rapat perang,
sebuah suara terdengar lantang, "Tidak! Tidak!" Suara
itu milik patih ronggolawe yang sudah bergegas datang dari
lojibenteng .
"Sekarang ini benteng kota di Nagashino mungkin
kelihatan tidak penting," lanjutnya. "namun sesudah
menjadi titik tolak bagi penyerbuan oleh Provinsi Kai,
pertahanan orang-orang prabu kertoarjowardana akan mirip
tunggul bobol, dan kalau itu terjadi, sudah jelas
centeng prabu kertoarjowardana takkan sanggup menahan Kai
lama-lama. Jika kita sekarang memberikan keuntungan
semacam itu pada Kai, bagaimana kita bisa menjamin
keamanan benteng kota padalarang ?" Ia bicara dengan lantang,
suaranya bergetar penuh emosi. Orang-orang yang
hadir tak dapat berbuat lain dari memandangnya. Ia
kembali bcrkata. "Sepengetahuanku tidak ada strategi
militer yang membenarkan pengutusan centeng secara
pasif, kalau centeng itu sudah dikerahkan.
dibandingkan begitu, bukankah lebih baik kalau kita maju
segera dan dengan percaya? Apakah marga sinuhun akan
runtuh? Apakah marga mpu ireng akan meraih
kemenangan?"
Semua resi menyangka aidit akan
mengirim enam ribu atau tujuh ribu prajurit pasti tak
lebih dari sepuluh ribu namun keesokan harinya ia
memberi pcrintah untuk menyiapkan centeng besar
berkekuatan tiga puluh ribu orang.
Walaupun aidit tidak menyatakan sependapat
dengan patih ronggolawe selama rapat perang berlangsung,
ia kini menunjukkannya melalui tindakan vang di-
ambilnya. Ia sungguh-sungguh, dan ia sendiri yang
akan memimpin centeng nya.
"centeng ini bisa saja dinamakan bala bantuan,"
aidit berkata. "namun sebetulnya nasib marga sinuhun -
lah yang sedang dipertaruhkan."
centeng besar itu bertolak dari padalarang pada hari ketiga belas, dan mencapai swaradwipa keesokan harinya.
centeng aidit hanya beristirahat satu hari. Pada
pagi hari keenam belas, mereka sudah sampai di garis depan.
Kuda-kuda di seluruh desa mulai meringkik saat
mega-mega fajar mulai tampak. Panji-panji terdengar
berdesir terkena angin, dan sangkakala ber-
kumandang. Jumlah prajurit yang bertolak dari kota
benteng kota swaradwipa pada pagi itu memang luar biasa
besar, dan para warga provinsi kecil itu kelihatan
takjub. Mereka lega sekaligus iri melihat centeng
dan perlengkapan yang dikerahkan oleh provinsi
hebat yang merupakan sekutu mereka. saat ketiga
puluh ribu prajurit sinuhun berbaris dengan segala panji
dan pataka, jumlah kesatuan mereka sukar dipastikan.
"Lihat senapan-scnapan yang mereka miliki!" seru
orang-orang di pinggir jalan. Para prajurit prabu kertoarjowardana
pun tak sanggup menyembunyikan perasaan iri. Dari
ketiga puluh ribu prajurit aidit , hampir sepuluh
ribu merupakan centeng senapan. Mereka juga
menarik meriam besar yang terbuat dari besi cor. namun
yang paling aneh, hampir setiap prajurit yang tidak
memanggul senapan membawa tombak runcing yang
biasa dipakai untuk membuat pagar pertahanan,
dan sepotong tali.
"Kenapa orang-orang sinuhun membawa tombak seperti
itu?" para penonton bertanya-tanya.
centeng prabu kertoarjowardana yang berangkat ke garis depan
pada pagi hari berjumlah kurang dari 9 ribu
orang. Dan itu sudah merupakan bagian terbesar dari
kekuatan dusun nyi kembang . Satu-satunya hal yang tidak kurang
adalah semangat mereka .
Bagi marga sinuhun , wilayah ini merupakan daerah
asing sebuah dacrah yang mereka datangi sebagai
bala bantuan. namun bagi para prajurit marga
prabu kertoarjowardana . ini adalah tanah leluhur mereka, tanah
yang tidak boleh diinjak musuh. Sejak awal , para
prajurit rendahan pun berpegang pada kepercayaan ini.
Dibandingkan perlengkapan centeng sinuhun , jelaslah
bahwa perlengkapan mereka kalah jauh. namun mereka
tidak merasa rendah diri. sesudah menempuh
Beberapa mil, orang-orang prabu kertoarjowardana mempercepat
langkah mereka. saat mendekati Desa Ushikubo,
mereka berganti arah, bergegas menjauhi centeng
sinuhun dan menuju Sdwikerto ragahara bagaikan awan badai.
Gunung Gokurakuji terletak tepat di depan dataran
Sdwikerto ragahara, dan dari puncaknya posisi-posisi
mpu ireng di Tobigasu, Kiyoida, dan Arumigahara
tampak jelas.
aidit mendirikan markas besarnya di atas
Gunung Gokurakuji, sementara memilih Gunung
mandala . Ketiga puluh 9 ribu prajurit prabu kertoarjowardana
dan sinuhun di kedua gunung itu sudah selesai
mengadakan pcrsiapan untuk menghadapi per-
tecmpuran.
Langit mulai dipenuhi awan , namun tak ada tanda-
tanda petir maupun angin.
Di Gunung Gokurakuji, para resi dari centeng
sinuhun dan prabu kertoarjowardana berkumpul di sebuah kuil di
puncak gunung untuk mengadakan rapat gabungan.
Di tengah-tengah rapat, dibentahu bahwa para
pengintai baru saja kembali.
saat aidit mendengar ini, ia berkata.
"Mereka datang pada waktu yang tepat. bawa mereka
ke sini, agar kita semua bisa mendengarkan laporan
tcntang pergerakan musuh."
Kedua pengintai memberikan laporan sambil
bersikap sok penting. Yang pertama memulai dengan
berkata, "Yang Mulia Katsuyon mendirikan markas-
nya di sebelah barat kawedanan songgopitu . Para pengikutnya
dan centeng berkudanya tampak cukup andal,
jumlah mereka mencapai sekitar empat ribu orang,
dan sepertinya mereka sama sekali tidak gelisah."
Pengintai kedua melanjutkan. "desa gurit Nobusada
dan korps penyerangnya menyerbu medan per-
tempuran dari sebuah bukit rendah, agak ke selatan
dari Kiyoida. Hamba melihat centeng utama ber-
kekuatan sekitar 50000 orang di bawah mpu jalapala Shuri
berkemah di Kiyoida sampai ke jawa . Sayap kiri
mereka, yang juga berkekuatan sekitar 50000 orang,
bcrada di bawah komando kartawiwaha brewirabumi dan
dwaradwipa brewinaraja . Dan terakhir, sayap kanan
dipimpin oleh kertoraharja wirajaya dan minakjinggo kertapati .
Mereka kelihatan sangat mengesankan."
"Bagaimana dengan centeng yang mengepung
benteng kota Nagashino?" tanya mpu mojosongo .
"Kurang-lebih dua ribu orang tetap tinggal di sekitar
benteng kota itu, dan mereka cukup merepotkan centeng
yang bertahan. Sepertinya juga ada korps pengintai di
sebuah bukit di sebelah barat benteng kota, dan ada
kemungkinan sekitar seribu prajurit bersembunyi di
benteng kota-benteng kota sekitar Tobigasu."
Laporan kedua orang itu sebetulnya kurang
lengkap. namun para resi yang mereka sebut itu
terkenal garang dan berani, dan baik minakjinggo maupun
desa gurit tersohor sebagai ahli strategi. Wajah para
resi sinuhun dan prabu kertoarjowardana menjadi pucat saat
mendengar laporan kedua pengintai mengenai posisi
musuh, semangat tempur mereka, dan ketenangan
dan rasa percaya diri vang mereka perlihatkan.
Semuanya mcmbisu, sepertni orang-orang yang
diserang rasa takut tepat sebelum pertempuran
dimulai. Tiba-tiba mpu jayadijaya angkat bicara.
Suaranya begitu keras, sehingga mengejutkan orang-
orang di sekelilingnya.
"Hasilnya sudah jelas. Tak perlu berdiskusi panjang-
lebar. Mana mungkin musuh yang begitu lemah
sanggup melawan centeng raksasa kita?"
"Cukup sekian perundingan kita," aidit
sependapa, lalu menepuk lutut. "jayadijaya patut
dijadikan teladan. Di mata seorang pengecut, burung
bangau yang terbang di atas sawah
mirip panji
musuh dan membuatnya gemetar kctakutan." ia ber-
kata sambil tertawa . "Aku merasa sangat lega sesudah
mendengar laporan para pengintai. Tuan mpu mojosongo , kita
harus merayakannya!"
Akibat pujian yang diterimanya, mpu jayadijaya
terbawa luapan scmangat dan menambahkan.
"Menurut pendapat hamba, kelemahan musuh yang
terbesar terletak di Tobigasu. Jika kita mengambil
jalan melingkar dan menyerang titik lemah mereka
dari belakang dengan orang-orang bersenjata ringan,
moral seluruh centeng mereka akan mengendur, dan
prajurit-prajurit kita..."
"jayadijaya !" aidit berkata dengan tajam. "Apa
manfaatnya siasat seperti itu dalam pertempuran besar
ini? Kau terlalu pongah. Kurasa lebih baik kalau
semuanya menarik diri." Dengan memakai
teguran sebagai alasan, aidit mengakhiri rapat
itu. Sambil menahan malu, jayadijaya pergi bersama
yang lain.
Namun, sesudah semuanya meninggalkan kuil,
aidit berkata pada mpu mojosongo . "Maafkan aku sebab
menegur jayadijaya yang gagah dengan begitu keras di
depan semua orang tadi. Kupikir rencananya baik
sekali, namun aku takut sebab mungkin ada yang
membocorkannya pada musuh. Sudikah Tuan
menghiburnya nanti?"
"Tidak, memang tidak seharusnya jayadijaya mem-
beberkan rencana kita, walaupun dia berada di antara
sekutu. Itu pelajaran yang baik baginya. Dan aku pun
belajar sesuatu."
"Teguranku tadi begitu keras, sehingga orang-orang
kita sendiri pun takkan menyangka bahwa kita akan
memakai rencana itu. Panggil jayadijaya , dan
izinkan dia melancarkan serangan dadakan ke
Tobigasu."
"Aku percaya bahwa itulah keinginannya yang
paling besar."
mpu mojosongo menyuruh pelayannya memanggil Tada-
tsugu, lalu menyampaikan pesan aidit .
jayadijaya tidak memerlukan dorongan lebih lanjut
untuk bertindak. Secara diam-diam ia menyelesaikan
persiapan untuk kesatuannya, lalu menghadap
aidit untuk pertemuan empat mata.
"Hamba akan berangkat saat matahari terbenam,
tuanku." Hanya itu yang dikatakan jayadijaya .
aidit pun tidak banyak berkata. namun ia
menugaskan lima ratus prajurit bersenapannya untuk
menyertai jayadijaya . Seluruh centeng berkekuatan
lebih dari 50000 orang.
Mereka meninggalkan perkemahan pada senja kala,
diselubungi kegelapan Bulan Kelima. saat mereka
berangkat, tirai hujan mengiris-iris kegelapan. Dalam
keadaan basah kuyup mereka berbaris sambil mem-
bisu.
Sebclum mendaki Gunung grindana, seluruh kompi
bersembunyi di pekarangan sebuah kuil di kaki
gunung. Para prajurit melepaskan baju tempur masing-
masing, meninggalkan kuda-kuda, dan memanggul
semua perlengkapan yang akan mereka bawa dan .
Lereng gunung teramat curam dan berlumpur
akibat hujan yang sangat lebat. Setiap kali melangkah
maju, kaki mereka merosot lagi. Sambil berpegangan
pada gagang tombak dan menggapai-gapai tangan
rekan-rekan di atas mereka, para prajurit menempuh
jarak tiga ratus lima puluh meter ke puncak.
Cahaya pucat mulai tampak di langit malam
mendahului fajar yang akan menyusul. awan -awan
mulai terkuak, dan kemegahan matahari pagi
menembus lautan kabut tebal.
"Langit mulai cerah!"
"Berkah dari para dewa!"
"Kondisinya sempurna!"
Di puncak gunung, para prajurit mengenakan baju
tcmpur, lalu membagi diri menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama akan melancarkan serangan fajar
terhadap kubu musuh di gunung itu, sementara
kelompok kedua akan menyerang Tobigasu.
Orang-orang mpu ireng sudah menyepelekan bahaya
yang mengancam mereka. dan kini mereka berteriak-
teriak bingung. Api yang disulut oleh centeng
prabu kertoarjowardana memicu asap hitam mengepul-ngepul
dari kubu musuh. Dalam keadaan kocar-kacir, orang-
orang mpu ireng melarikan diri ke arah Tobigasu. namun
saat itu divisi kedua jayadijaya sudah membobol
tembok benteng kota.
Pada malam sebelumnya, sesudah keberangkaran
jayadijaya , seluruh centeng aidit sudah
diperintahkan maju. Namun ini bukan awal per-
tempuran.
centeng nya mengabaikan hujan deras dan terus
maju sampai ke dekat Gunung Chausu. Sejak itu
sampai fajar, para prajurit memancang tonggak-
tonggak yang mereka bawa , lalu mengikat ujung-
ujungnya dengan tali, sehingga membentuk pagar
kayu runcing yang mirip kelabang meliuk-liuk.
saat fajar mendekat, aidit memeriksa
pertahanan dari atas kudanya. Hujan sudah berhenti.
dan pembangunan pagar sudah rampung.
aidit berpaling kepada para resi prabu kertoarjowardana
dan berseru sambil tertawa . "Tunggu saja! Hari ini kita
akan membiarkan centeng Kai mendekat, sesudah itu
mereka akan menjadi sasaran empuk bagi kita."
Begitukah? Para resi prabu kertoarjowardana tampak
bimbang. Mereka menduga aidit hanya berusaha
menenangkan mereka. namun yang terlihat jelas oleh
mereka adalah bahwa para prajurit dari padalarang centeng
yang memanggul tonggak dan tali sejak dari swaradwipa
kini berada di medan tempur. Dan ketiga puluh ribu
tonggak sudah membentuk pagar panjang yang mirip
ular.
"Biarkan centeng elite Kai menyerbu!"
namun konstruksi itu sendiri tak dapat dipakai
untuk menyerang musuh. Dan untuk membinasakan
musuh dengan cara yang digambarkan aidit ,
mereka harus dipancing agar mendekati pagar. Untuk
menarik musuh, salah satu kesatuan mpu wiragajah
mpu wiraghanda dan para penembak di bawah mpu bajul
Tadayo dikirim ke luar pagar untuk menunggu
centeng Kai.
Tiba-tiba terdengar seruan keras. Orang-orang
mpu ireng sudah bersikap sembrono menghadapi musuh,
dan mereka berteriak-teriak saat melihat asap hitam
mengepul-ngepul dari arah Tobigasu, di belakang
mereka.
"Musuh juga ada di belakang kita!"
"Mereka menyerang dari belakang!"
saat kebingungan mereka berubah menjadi
panik, mpu jengger memberikan perintah menyerbu.
"Jangan tunda sedetik pun! Menunggu musuh hanya
memberikan keuntungan padanya!"
Rasa pcrcaya dirinya, dan kepercayaan centeng
yang didasarkan atas rasa percaya diri itu , meng-
hasilkan pernyataan tekad berikut: Jangan per-
tanyakan keputusanku! Percayakan nasib kalian pada
kegagahan yang tak kenal kekalahan sejak masa Yang
Mulia mpu betarakatong .
namun peradaban terus maju seperti kuda yang
berlari kencang. Bangsa barbar dari Selatan orang-
orang Portugal sudah merombak teknik bertempur
dengan memperkenalkan senjata api. Betapa malang-
nya mpu ireng mpu betarakatong yang tidak memiliki kebijaksana-
an untuk meramalkan ini. Provinsi Kai, dilindungi
oleh gunung, jurang, dan sungai, terpotong dari pusat
kemajuan dan terpencil dari pengaruh-pengaruh asing.
Ditambah lagi, para centeng adipati nya dikujawa oleh
kecongkakan yang khas penghuni provinsi pegu-
nungan. Mereka tidak gelisah khawatir mengcnai kekurangan
mereka, dan tidak berminat mempelajari adat
kebiasaan yang berlaku di tempat lain. Akibatnya.
mereka sepenuhnya mengandalkan centeng berkuda
dan para prajurit pilihan. centeng di bawah kartawiwaha
melancarkan serangan sengit terhadap centeng
mpu wiragajah mpu wiraghanda di luar pagar. Sebaliknya.
aidit sudah merancang suatu strategi ilmiah,
dengan memanfaatkan taktik dan senjata modern.
Hujan baru berhenti; tanahnya berair dan ber-
lumpur.
Sayap kiri centeng Kai kedua ribu orang di bawah
kartawiwaha memperoleh perintah dari resi mereka
untuk tidak menyerang pagar kayu runcing. Mereka
mengambil jalan memutar untuk mengelilinginya, namun
lumpurnya memusuhi mereka. Hujan deras yang
turun semalam sudah memicu sungai meng-
genangi daerah sekitar. Bencana alam ini terjadi di
luar dugaan kartawiwaha , yang sebelumnya sudah mem-
pelajari keadaan medan. Dengan setiap langkah, para
prajurit tenggelam sampai ke tulang kering. Kuda-kuda
bahkan tak sanggup bergerak sama sekali.
Menambah kesulitan mereka, para penembak sinuhun
di bawah mpu bajul mulai menembaki sisi centeng
kartawiwaha .
"Berbalik!" perintah kartawiwaha .
Mendengar perintah singkat ini, centeng nya yang
berlepotan lumpur sekali lagi mengubah arah, dan
menyerang centeng senapan di bawah komando
mpu bajul . Percikan-percikan lumpur menghujani kedua
ribu orang berbaju tempur itu. Diterjang hujan
peluru, mereka berjatuhan, menjerit-jerit saat darah
merah mengucur dari tubuh mereka. Terinjak-iniak
oleh kuda-kuda mereka sendiri, mereka berteriak-
teriak dalam kebingungan yang menyedihkan.
Akhirnya kedua centeng bertemu. Selama puluhan
tahun, teknik perang terus berubah. Cara tempur
kuno di mana setiap centeng adipati menyerukan namanya
dan mengumumkan bahwa ia keturunan si anu,
bahwa junjungannya merupakan penguasa provinsi
ini-itu, kini menghilang dengan tcpat.
Jadi, begitu pertempuran satu lawan satu pecah
pedang melawan pedang dan prajurit melawan
prajurit kengeriannya tak dapat dilukiskan dengan
kata-kata.
Senjata terbaik adalah senapan, lalu tombak.
Tombak tidak dipakai untuk menusuk, melainkan
mencambuk dan memukul, dan itulah yang diajarkan
guna menghadapi pertempuran. sebab itu, semakm
panjang sebuah tombak, semakin baik. Tombak-
tombak dengan gagang sepanjang empat sampai enam
meter merupakan pemandangan lumrah.
Para prajurit biasa tidak dibekali latihan maupun
kebcranian yang dituntut oleh situasi, dan sesungguh-
nya mereka hanya sanggup memukul dengan tombak
masing-masing. Tidak jarang seorang prajurit terampil
menerjang ke tengah-tengah mereka dengan membawa
tombak pendek, menusuk-nusuk ke segala arah, dan
hampir tanpa kesulitan, memperoleh nama harum
sebagai prajurit yang seorang diri membantai lusinan
musuh.
Diserang oleh gerombolan orang seperti itu, baik
centeng prabu kertoarjowardana maupun centeng sinuhun tak berdaya.
Korps di bawah mpu bajul disapu bersih hampir sesaat .
Namun alasan korps mpu bajul dan centeng mpu wiragajah
bcrada di luar pagar sebetulnya untuk memancing
musuh agar maju, bukan untuk meraih kemenangan.
sebab itu, sebetulnya mereka bisa saja berbalik
dan lari. namun begitu berhadap-hadapan dengan para
prajurit Kai, mereka tak sanggup mencegah dendam
bertahun-tahun yang membakar hati mereka.
"Ayo maju!" mereka berseru-seru.
Mereka pun tak bisa menerima cemooh dan ejekan
para prajurit Kai. Akhirnya orang-orang sinuhun meng-
abaikan sikap berhati-hati di tengah-tengah per-
tumpahan darah, dan hanya memikirkan provinsi dan
nama harum mereka sendiri.
Sementara itu, mpu jengger dan para resi nya
rupanya beranggapan bahwa waktunya sudah tiba,
sebab batalion-batalion tengah dari centeng Kai yang
berkekuaran lima belas ribu orang mulai maju seperti
awan raksasa. Formasi mereka yang rapi bubar seperti
gerombolan burung yang baru terbang, dan saat
mereka akhirnya mendekati pagar pertahanan sinuhun ,
masing-masing korps menyerukan teriakan perangnya
secara serempak.
Di mata orang-orang mpu ireng , pagar kayu runcing itu
bukanlah rintangan berarti. Mereka pikir, mereka
sanggup membobolnya dengan sekali terjang, lalu
langsung menerobos ke tengah-tengah centeng utama
sinuhun .
Sambil bersorak-sorak, centeng Kai menerjang
pagar itu. Tekad mereka membara ada yang berusaha
memanjatnya, ada yang mencoba mendobraknya
dengan palu gsinuhun m dan tombak besi, ada yang
berupaya memotongnya dengan gergaji, dan ada yang
menyiramnya dengan minyak dan membakarnya.
Sampai saat itu, aidit membiarkan per-
tempuran ditangani oleh korps mpu wiragajah dan mpu bajul di
luar pagar, dan barisan di Gunung Chausu hanya
membisu. namun tiba-tiba...
"Sekarang!"
Kipas perang aidit yang berwarna emas
menebas udara, dan para komandan resimen
penembak saling bcrlomba saat meneriakkan
perintah,
"Tembak!"
"Tembak!"
Bumi terasa bergetar Gunung seolah-olah terbelah
dan awan -awan tercabik-cabik. Asap mesiu menye-
lubungi pagar kayu runcing, dan kuda-kuda dan
prajurit-prajurit Kai berjatuhan seperti nyamuk.
"Jangan mundur!" komandan-komandan mereka
mendesak. "Ikuti aku!"
Dengan nekat para prajurit meneruskan serangan,
meloncati rekan-rekan mereka yang sudah tcwas, namun
mereka tak sanggup menghindari hujan peluru yang
berhamburan. Sambil menjerit-jerit memilukan,
mereka pun berakhir sebagai mayat.
Pada gilirannya, centeng Kai tak dapat bertahan
lebih lama.
"Mundur!" teriak empat atau lima komandan
berkuda. Hanya dengan susah payah perintah itu
meluncur dari tenggorokan yang tercekik rasa panik.
Salah satu dari mereka roboh, bermandikan darah,
sementara satu orang lain bertempur dari kudanya
yang jatuh diterjang peluru.
Namun tak peduli betapa mengerikan pembantaian
yang dialami orang Kai, mereka belum patah
scmangat. Hampir sepertiga dari orang-orang mereka
gugur dalam serangan pertama, namun begitu mereka
mundur, centeng baru sekali lagi bergegas ke arah
pagar kayu runcing. Darah yang membasahi ketiga
puluh ribu tonggak belum sempat mengering.
Letusan senapan dari balik pagar segera menjawab
serangan itu, seakan-akan hendak berkata. "Kami
sudah menunggu."
Sambil menatap pagar yang tampak merah oleh
darah rekan-rekan mereka, para prajurit Kai yang
ganas berteriak-teriak, saling memberi semangat, ber-
sumpah bahwa mereka takkan mundur satu langkah
pun.
"Sudah waktunya menyambut kematian."
"Ajal kita sudah tiba!"
"Bentuk perisai maut agar yang lain dapat melewati
kita!"
"Perisai maut" merupakan taktik terakhir di mana
para prajurit di barisan terdepan mengorbankan diri
untuk melindungi gerak maju barisan berikut.
lalu barisan itu bertindak sebagai perisai bagi
barisan selanjutnya, dan dengan cara itu, seluruh
centeng maju selangkah demi selangkah. Sungguh
cara yang mengerikan uniuk maju.
Orang-orang itu memang gagah berani, namun
sebetulnya serangan mereka tak lebih dari unjuk
kekuaran yang sia-sia. Padahal di antara para resi
yang memimpin serangan ada ahli-ahli taktik yang
andal.
mpu jengger , tentu saja, berada di barisan belakang. Ia
mendesak-desak anak buahnya agar terus maju, namun
memberitahu para komandannya bahwa kemenangan
tak mungkin dapat diraih, tak ada alasan untuk
menuntut pengorbanan demikian besar.
"Tembok itu harus diruntuhkan!"
Rupanya mereka percaya bahwa hal itu bisa
dilakukan. Begitu senapan sudah ditembakkan, untuk
mengisi peluru dan mesiu memakan waktu. Jadi,
begitu centeng senapan melepaskan tembakan
serempak, suara letusan akan berhenti selama
beberapa saat. Oleh para resi Kai, waktu jeda
itulah yang dianggap sebagai peluang yang dapat
dimanfaatkan; jadi "perisai maut" tidaklah percuma.
Namun aidit sudah memikirkan titik lemah
ini, dan untuk senjata yang baru, ia sudah menyusun
taktik baru pula. Dalam hal ini, ia membagi ketiga
ribu penembaknya ke dalam tiga grup. sesudah seribu
orang pertama menembakkan senapan masing-masing,
mereka segera melangkah ke samping dan kelompok
kedua segera maju, dan langsung melepaskan
tembakan. lalu mereka pun membuka barisan
dan cepat-cepat digantikan oleh kelompok ketiga.
Dengan cara ini, waktu jeda yang diharap-harapkan
oleh musuh tak pernah muncul sepanjang per-
tempuran.
Disamping itu, di sana-sini ada bukaan pada
pagar kayu runcing. sesudah mengukur jarak waktu
antara dua serangan, centeng tombak dari pihak
prabu kertoarjowardana dan sinuhun akan menerjang keluar dari balik
pagar dan cepat-cepat mrnghantam kedua sisi centeng
Kai.
Tcrhalang oleh pagar pertahanan dan hujan peluru,
para prajurit Kai tidak dapat maju. saat mereka
berusaha mundur, mereka dibuat repot oleh musuh
yang mengejar dan melancarkan serangan menjepit.
Kini para prajurii Kai, yang begitu membanggakan
disiplin dan latihan mereka sama sekali tak punya
waktu untuk memamerkan keberanian.
Seluruh korps kartawiwaha sudah mundur. Meninggal-
kan mayat orang-orang yang sudah mengorbankan
nyawa . Hanya minakjinggo kertapati yang tidak masuk ke
dalam perangkap itu.
minakjinggo sudah bentrok dengan centeng mpu wiragajah
mpu wiraghanda. namun sebab mpu wiraghanda sebetulnya
hanya bertugas sebagai umpan, centeng sinuhun pura-
pura mundur. Korps minakjinggo mengejar mereka dan
merebut perkemahan di Maruyama, namun minakjinggo sudah
diperintahkan untuk tidak maju lebih jauh, dan ia
tidak mengirim satu prajurit pun melewati Maruyama.
"Kenapa tidak maju?!" minakjinggo berulang kali ditanyai,
baik oleh markas besar mpu jengger maupun oleh
perwira-perwiranya sendiri.
Namun minakjinggo menolak bergerak. "Aku punya alasan
tersendiri untuk berpikir sejenak, dan sebaiknya aku
berhenti di sini untuk mengamati perkembangan.
Yang lainnya silakan maju. Raihlah nama harum."
Setiap komandan yang mendekati pagar kayu
runcing mengalami kekalahan total. lalu
dijoyo dan patih ronggolawe membawa batalion masing-
masing mengelilingi desa-desa ke arah utara, dan
mulai berusaha agar markas besar centeng Kai
terpotong dari garis depan.
Hari sudah hampir siang, dan matahari berada di
langit yang menjanjikan akhir musim hujan. Kini
matahari membakar bumi dengan panas menyengat,
dan dengan warna yang menunjukkan bahwa musim
kemarau akan melanda dengan hebat.
Pertempuran pecah pada waktu fajar, pada
pertengahan kedua Jam Macan. Dengan pergantian
centeng yang tanpa henti, para prajurit Kai
bermandikan keringat dan tersengal-sengal. Darah
yang mengucur di pagi hari sudah mengering dan
menempel seperti lem pada baju tempur, rambut,
dan kulit mereka. Dan kini terlihat darah segar k
mana pun mata memandang.
Di belakang centeng utama, mpu jengger melolong
seperti roh jahat. Ia sudah mengerahkan setiap
batalion, termasuk korps cadangan yang biasanya
disimpan untuk keadaan darurat. Seandainya
mpu jengger lebih cepat membaca situasi, ia mungkin
bisa menyelesaikan urusan ini tanpa perlu menderita
kerugian demikian hebat. namun sesaat demi sesaat ia
justru mengubah kesalahan kecil menjadi kesalahan
berakibat fatal. Pendek kata, pertempuran itu tidak
ditentukan oleh semangat tempur dan keberanian
semata-mata. Ibaratnya, centeng aidit dan
mpu mojosongo memasang perangkap di medan berburu, lalu
menunggu kedatangan bebek liar atau babi hutan.
centeng Kai yang melancarkan serangan demikian
sengit hanya mengorbankan prajurit-prajurit berharga
dengan membentuk "perisai maut" yang sia-sia.
Konon, bahkan kartawiwaha brewirabumi , yang sejak pagi
bertempur begitu gagah di sayap kiri, akhirnya gugur
dalam pertempuran. resi -resi termasyhur lain-
nya, orang-orang dengan keberanian tiada tara, ber-
jatuhan satu per satu, sampai jumlah yang mati dan
cedera mencapai lebih dari setengah centeng .
"Sudah jelas musuh akan kalah. Bukankah ini saat
yang tepat?"
resi yang mengucapkan kata-kata itu adalah
ki winokerto yang melihatlihat jalannya per-
tempuran bersama aidit .
aidit segera menyuruh Narimasa menyampai-
kan perintahnya kepada centeng di balik pagar kayu
runcing. Ia berkata, "Keluar dari pagar dan serang
mereka. Binasakan semuanya!"
Markas besar mpu jengger pun hancur dalam serangan
itu. Orang-orang prabu kertoarjowardana mendesak dari sisi kiri.
centeng sinuhun menerobos barisan depan mpu ireng dan
melancarkan serangan sengit terhadap centeng utama
Kai. Terperangkap di tengah-tengah, panji-panji yang
tak terhitung jumlahnya, pataka-pataka komandan,
bendera-bendera isyarat, kuda-kuda yang meringkik,
baju tempur mengilap, dan tombak dan pedang yang
berkilau seperti bintang di sekitar mpu jengger kini
diselubungi darah dan kepanikan.
Hanya centeng minakjinggo Nobuiusa yang tetap diam di
Maruyama yang masih utuh. minakjinggo mengutus seorang
centeng adipati pada mpu jengger , dengan pesan yang menyaran-
kan untuk mundur.
mpu jengger mengentak-entakkan kaki dengan jengkel.
namun ia pun tak sanggup menolak kenyataan. sesudah
dipaksa bertekuk lutut, centeng utamanya mundur
sambil berlumuran darah.
"Sebaiknya kita mundur sementara, tuanku."
"Telanlah amarah tuanku dan pikirkan apa yang
menanti kita." Dengan berusaha mati-matian, para
resi mpu jengger berhasil meloloskannya dari lubang
jarum. Sangat jelas bagi pihak musuh bahwa centeng
utama Kai mundur dalam keadaan kacau-balau.
sesudah mcngantar mpu jengger sampai ke suatu
jembatan yang berdekatan dengan markas, para
resi berbalik dan membentuk barisan untuk meng-
hadang centeng pengejar. Mereka semua gugur
scbagai pahlawan . minakjinggo menyertai mpu jengger dan sisa
centeng nya sampai ke Miykertoarjo ki, namun akhirnya resi
tua itu mengalihkan kudanya ke arah barat. Seribu
pikiran berkecamuk di benaknya.
Umurku sudah panjang, atau bisa juga dinamakan
pendek. Panjang atau pendek, rasanya hanya saat
inilah yang kekal. Saat kematian... mungkinkah
kehidupan abadi lebih dari itu?
lalu , tepat sebelum memacu kudanya ke
tengah-tengah musuh, ia bersumpah. "Aku akan
memohon maaf pada tuanku mpu betarakatong di dunia
berikut. Aku penasihat dan resi yang tak becus.
Selamat tinggal, gunung-gunung dan sungai-sungai
Kai!"
Sambil berbalik, ia menitikkan setetes air mata bagi
provinsinya, lalu tiba-tiba memacu kudanya. "Maut!
Aku takkan mencemarkan nama Yang Mulia
mpu betarakatong !"
Suaranya tenggelam dalam lautan musuh. Rasanya
tak perlu ditambah kan bahwa semua pengikutnya
meniru contohnya. dan menemui ajal dengan gagah
berani.
Sejak awal , tak seorang pun sanggup memahami
pertempuran ini seperti minakjinggo . Ia sudah memiliki
firasat bahwa seusai pertempuran, marga mpu ireng akan
runtuh dan bahkan binasa. Itu memang suratan
takdir. Walau demikian, meski dibekali kemampuan
untuk melihat jauh ke depan, ia tak sanggup
menyelamatkan marga mpu ireng dari bencana. Arus
perubahan terlalu kuat untuk dilawan .
Bcrsama sekitar selusin pembantu berkuda,
mpu jengger menyeberangi tempat dangkal di Koma-
tsugase, dan akhirnya meminta perlindungan di
benteng kota Busetsu. mpu jengger laki-laki pemberani, namun
kini ia terdiam seperti orang bisu-tuli.
Seluruh permukaan Sdwikerto ragahara tampak merah
merah tua saat matahari mulai terbenam. Per-
tempuran besar hari ini di mulai sekitar fajar dan
berakhir menjelang malam. Tak seekor kuda pun
terdengar meringkik: tak satu prajurit pun berseru
Dataran luas itu segera ditelan kegelapan dalam
suasana sunyi.
Embun malam turun sebelum mereka yang gugur
selesai diangkat. Konon mayat orang-orang mpu ireng
saja berjumlah lebih dari sepuluh ribu.
Menara-Menara madukara
BELUM lama berselang, sang pengikut sudah meng-
anugerahkan gelar Anggota Dewan Negara pada
aidit , dan kini aidit dinobatkan sebagai
resi Kebenaran. Upacara pemberian selamat atas
promosi terakhir ini diselenggarakan pada Bulan
Kesebelas, dan kemegahannya mengalahkan segala
sesuatu yang pernah terjadi pada zaman-zaman
sebelumnya.
Kediaman aidit di ibu kota adalah bekas
istana pandita di Nijo. Setiap hari tamu-tamu
memadati istana; kerabat kekaisaran, centeng adipati , ahli
seni minum teh, penyair, dan saudagar dari kota-kota
dagang Naniwa dan mpu yang berdekatan.
tunggadewa sudah bersiap-siap meninggalkan
aidit dan kembali ke benteng kotanya di hadijaya , dan
saat hari masih terang, ia mendatangi Istana Nijo
untuk mohon diri.
"tunggadewa ." patih ronggolawe menyapanya sambil ter-
senyum lebar.
"patih ronggolawe ," balas tunggadewa sambil tertawa .
"Urusan apa yang membawa mu kemari hari ini?"
tanya patih ronggolawe , lalu meraih lengan tunggadewa .
"Oh, besok Yang Mulia akan berangkat." jawab
tunggadewa sambil menyeringai.
"Betul. Kira-kira di mana kita akan bcrjumpa lagi?"
"Kau mabuk?"
"Tidak satu hari pun berlalu tanpa mabuk kalau aku
berada di ibu kota. Yang Mulia pun minum lebih
banyak jika dia di sini. Dan kalau kau menghadap
sekarang, Yang Mulia tentu akan mengajakmu minum
anggur dahulu ."
"Apakah Yang Mulia mengadakan pesta minum
lagi?" tanya tunggadewa .
Memang benar, belakangan ini aidit minum
lebih banyak, dan seorang pengikut tua, yang sudah
mengabdi selama bertahun-tahun, sempat ber-
komentar bahwa aidit belum pernah minum
sebanyak sekarang.
patih ronggolawe selalu turut dan dalam setiap keramaian.
namun ia tidak memiliki daya tahan seperti aidit .
Walaupun kelihatan berbadan rapuh, sebetulnya
aidit jauh lebih kuat dibanding patih ronggolawe . Jika
diamati dengan saksama, orang dapat melihat
kekuatan batinnya. patih ronggolawe justru sebaliknya. Dari
luar ia tampak seperti warga pedesaan yang sehat,
namun sebetulnya staminanya tidak berarti.
Ibunya masih scring menegurnya sebab meng-
abaikan kesehatan. Tak ada salahnya bersenang-
senang, namun tolong perhatikan kesehatanmu. Sejak
lahir kau sakit-sakitan, dan sampai kau berumur
empat atau lima tahun, para tetangga menyangka kau
takkan hidup sampai dewasa."
Keprihatinan ibunya berpengaruh pada patih ronggolawe ,
sebab ia mengetahui kenapa ia demikian lemah
saat masih kecil. Waktu ibunya mengandungnya,
mereka begitu miskin, sehingga kadang-kadang tidak
ada makanan di meja, dan keadaan malang itu tentu
berakibat pada pertumbuhannya di dalam rahim.
Bahwa ia sanggup bertahan hidup boleh dikata
semata-mata berkat kegigihan ibunya. Jadi, biarpun
patih ronggolawe bukannya tidak menyukai anggur , ia selalu
teringat pesan ibunya setiap kali memcgang baskom di
tangan. Dan ia tak sanggup menghapus kenangan
pahit tentang bagaimana ibunya begitu sering
menangis sebab suaminya pemabuk.
Namun tak seorang pun menduga bahwa
pandangannya mengenai anggur begitu serius. Orang-
orang berkata mengenai dirinya. "Dia tidak minum
banyak, namun dia sangat suka pesta minum. Dan kalau
dia minum, dia minum dengan bebas." sebetulnya ,
tak ada orang yang lebih berhati-hati dibandingkan
patih ronggolawe . Dan omong-omong soal minum,
tunggadewa , yang kini berbincang-bincang dengan
patih ronggolawe di selasar, juga tidak ketinggalan. Meski
demikian, tunggadewa tampak kecewa, dan sudah jelas
bahwa kebiasaan aidit menenggak seke yang
baru saja dikonfirmasi oleh patih ronggolawe mcmbuat para
pengikutnya pusing tujuh keliling.
patih ronggolawe tertawa dan membantah apa yang baru
saja dikatakannya. "Ah, aku hanya bergurau." Merasa
geli melihat tunggadewa menanggapinya dengan begitu
serius, ia menggeleng-gelengkan wajahnya yang merah.
"sebetulnya aku hanya membodoh-bodohimu. Pesta
minum sudah sdesai, dan buktinya aku berada di sini,
dalam keadaan mabuk. Itu pun hanya kelakar saja." Ia
tertawa .
"Ah, kau memang nakal," tunggadewa memaksakan
senyum. Ia tidak marah, sebab ia bukannya tak suka
pada patih ronggolawe . Sebaliknya. patih ronggolawe tak sedikit pun
menyimpan perasaan buruk terhadap tunggadewa . Ia
selalu berusaha bergurau dengan rekannya yang
berwarak serius itu, namun sekaligus menghormatinya
jika situasi menuntut demikian.
tunggadewa rupanya mengakui patih ronggolawe sebagai
orang yang bermanfaat. Dalam tangga senioritas,
patih ronggolawe sedikit lebih tinggi dibandingkan tunggadewa , dan
ia berada di atas tunggadewa dalam susunan tempat
duduk di markas besar staf lapangan. Namun, seperti
para resi veteran lainnya, tunggadewa bangga akan
kedudukan keluarganya, garis keturunannya, dan
pendidikannya. Ia memang tidak menganggap enteng
patih ronggolawe , namun ia menunjukkan sikap merendahkan
terhadap seniornya itu dengan komentar-komentar
seperti, "Kau orang yang menyenangkan."
Sikap merendahkan ini diakibatkan oleh watak
tunggadewa . namun , meski sadar bahwa ia direndahkan,
patih ronggolawe tidak merasa sedih. Justru sebaliknya, ia
menganggap wajar bahwa ia direndahkan oleh se-
seorang dengan kecerdasan luar biasa seperti
tunggadewa . Ia tidak keberatan mengakui kelebihan
tunggadewa dalam hal kecerdasan, pendidikan, dan
latar belakang.
"Ah, bctul. Aku lupa," patih ronggolawe berkata, seakan-
akan baru teringat sesuatu. "Aku belum mengucapkan
selamat padamu. Pemberian benteng kota di hadijaya tentu
membuatmu gembira untuk beberapa waktu. namun
rasanya memang pantas sesudah pengabdian selama
bertahun-tahun. Aku berdoa agar ini menandai awal
perubahan nasib bagimu, dan agar kau selalu sejahtera
dalam tahun-tahun mendatang."
"Tidak, segala kemurahan hati Yang Mulia melebihi
apa yang patui kuterima." tunggadewa selalu membalas
kesopanan dengan kesopanan. namun lalu ia
melanjutkan. "Walaupun aku diberi sebuah benteng kota,
daerah itu, seperti kauketahui, dahulu nya dipegang oleh
bekas pandita , dan sampai sekarang pun masih ada
sejumlah marga setempat yang mengurung diri di
balik tembok dan menolak tunduk padaku. Jadi,
masih terlalu dini untuk mengucapkan selamat."
"Oh, kau terlalu merendah." patih ronggolawe membantah.
"Begitu kau pindah ke hadijaya bersama hyangkertoarjo
sonokelingraka dan putranya, marga Kameyama langsung
menyerah, jadi kau sudah memperoleh hasil, bukan?
Aku mengamati caramu merebut Kameyama dengan
penuh perhatian, dan Yang Mulia juga memuji
kemampuanmu menaklukkan musuh dan mengambil
alih benteng kota itu tanpa kehilangan satu orang pun."
"Kameyama hanya merupakan permulaan. Kesulitan
sebetulnya masih menghadang di depan."
"Hidup ini hanya patut dijalani jika kita
menghadapi kesulitan. Kalau tidak begitu, tidak ada
tantangan. Dan tak ada yang lebih memuaskan
dibandingkan mewujudkan perdamaian di suatu daerah
yang diberikan oleh Yang Mulia kepadamu, dan
memerintahnya dengan baik. Kau akan menjadi
penguasa di sana, dan bisa berbuat apa saja sesuai
kehendakmu," ujar patih ronggolawe .
Tiba-tiba kedua orang itu merasa bahwa pertemuan
mereka yang tak disengaja ini sudah berlangsung
terlalu lama.
"Baiklah, kita akan berjumpa lagi," kata tunggadewa .
"Tunggu sebentar," patih ronggolawe berkata, lalu tiba-tiba
mengalihkan pembicaraan. "Kau orang berpendidikan,
jadi mungkin kau bisa menjawab ini. Di antara
benteng kota-benteng kota yang kini ada di majapahit , berapa
banyak yang memiliki menara pertahanan bertingkat,
dan di provinsi-provinsi mana saja benteng kota-benteng kota
itu terletak?"
"benteng kota milik patih welut di jipang, di
Provinsi kertoarjo , memiliki donjon bertingkat tiga yang
kelihatan dari laut. Selain itu, di Yamaguchi, di
Provinsi Suo, Ouchi Yoshioki sudah membangun
donjon bertingkat empat sebagai benteng kota utamanya.
benteng kota itu mungkin yang paling mengagumkan di
seluruh Jcpang."
"Hanya dua itu?"
"Sepanjang yang kuketahui. namun mengapa kau
menanyakan hal ini sekarang?"
"Hmm, tadi aku berada bersama Yang Mulia.
membahas berbagai rancangan benteng kota, dan Tuan
patih menjelaskan kelebihan donjon dengan sangat
giat. Dia menyarankan untuk menambahkan donjon
pada benteng kota yang akan dibangun Yang Mulia di
madukara ."
"Hah? Tuan patih yang mana?"
"Pelayan Yang Mulia, mpu salmah ."
Alis tunggadewa berkerut sejenak. "Apa kau agak
ragu-ragu mengenai ini?"
"Tidak juga."
Roman muka tunggadewa segera kembali acuh tak
acuh. Ia mengganti topik dan mengobrol selama
beberapa mcnit. Akhirnya ia mohon diri dan bergegas
memasuki istana.
"Tuan patih ronggolawe ! Tuan patih ronggolawe !"
Selasar utama Istana Nijo penuh dengan orang-
orang yang datang dan pergi. Sekali lagi seseorang
terdengar memanggil.
"Ah, Yang Terhormat Asayama." ujar patih ronggolawe
saat ia berbalik sambil tersenyum.
Asayama Nichijo laki-laki yang luar biasa jelek.
dimasireng , salah satu resi aidit , juga
terkenal sebab keburukan rupanya, namun paling tidak
ia masih memiliki daya tarik tertentu. Asayama, di
pihak lain, adalah biksu bertampang licik. Ia meng-
hampiri patih ronggolawe dan cepat-cepat merendahkan
suara, seakan-akan mengetahui sesuatu yang penting.
"Tuan patih ronggolawe ?"
"Ya, ada apa?"
"Sepertinya Tuan baru saja terlibat diskusi rahasia
dengan Tuan tunggadewa ."
"Diskusi rahasia?" patih ronggolawe tertawa . "Apakah ini
tempat yang cocok untuk mengadakan diskusi
rahasia?"
"Jika Tuan patih ronggolawe dan Tuan tunggadewa berbisik-
bisik untuk waktu yang cukup lama di selasar Istana
Nijo, dengan sendirinya orang-orang akan bertanya-
tanya."
"Tentu tidak."
"Ya, memang begitu!"
"Rupanya Yang Terhormat juga agak mabuk?"
"Benar. Aku minum terlalu banyak. namun serius,
Tuan mestinya lebih berhati-hati."
"Maksudnya dalam menghadapi anggur ?"
"Jangan berlagak pilon. Aku ingin memperingatkan
Tuan agar lebih waspada dalam berakrab-akrab dengan
tunggadewa ."
"Kenapa?"
"Dia itu sedikit terlalu cerdas."
"Wah, semua orang berkata bahwa Tuan orang
paling cerdas di majapahit dewasa ini."
"Aku? Tidak, aku terlalu lamban," tangkis si biksu.
"Sama sekali tidak," patih ronggolawe mepercayakannya.
"Pengetahuan Yang Terhormat menyentuh semua
bidang. Titik lemah seorang centeng adipati adalah dalam
menghadapi bawahan atau saudagar yang sudah
menghimpun kekuasaan, namun di antara orang-orang
sinuhun tidak ada yang melebihi Tuan dalam hal
ketajaman pikiran. Bahkan Yang Mulia dijoyo pun
tampak kagum pada kemampuan Tuan."
"namun di pihak lain aku sama sekali tidak memiliki
keberhasilan di medan laga."
"Dalam pembangunan Istana Kekaisaran, dalam
pemerintahan ibu koia, dan dalam berbagai urusan
keuangan, Tuan menunjukkan kemampuan yang luar
biasa."
"Tuan bermaksud memuji atau meremehkan?"
"Hmm, dalam golongan centeng adipati , Tuan merupakan
orang yang luar biasa sekaligus tak berguna, dan terus
terang, aku akan mcmuji sekaligus meremehkan
Tuan."
"Aku tak sanggup menyaingi Tuan." Asayama
tertawa keras-keras, memperlihatkan giginya yang
ompong di dua atau tiga tempat. Walaupun Asayama
lebih tua dibandingkan patih ronggolawe cukup tua untuk
menjadi ayahnya ia memandang patih ronggolawe sebagai
seniornya.
Asayama tidak semudah itu menerima tunggadewa . Ia
mengakui kecerdasan tunggadewa , namun pembawa an
tunggadewa yang serbaserius membuatnya tak nyaman.
"Semula aku mcnyangka bahwa aku hanya ber-
prasangka buruk," ujar Asayama, "namun baru-baru ini
seseorang yang terkenal akan kemampuannya mem-
baca watak orang berdasarkan tampang mereka
mengemukakan pendapat yang sama."
"Dan orang itu memberikan penilaian terhadap
tunggadewa ?"
"Dia bukan sembarang orang. Tuan Ekkei, sang
kepala biara, merupakan salah satu orang paling
terpelajar di zaman ini. Dia memberitahukan hal ini
secara diam-diam."
"Memberitahukan apa?"
"Bahwa tunggadewa memiliki tampang orang bijak
yang mungkin tenggelam dalam kebijakannya sendiri.
Disamping itu, ada pertanda buruk bahwa dia akan
mengganti junjungannya sendiri."
"Asayama."
"Apa?"
"Tuan takkan menikmati umur panjang jika Tuan
membiarkan ucapan seperti itu keluar dari mulut
Tuan," kata patih ronggolawe dengan tajam. "Aku sudah
mendengar bahwa Yang Terhormat merupakan
politikus yang lihai, namun kurasa kegemaran berpolitik
jangan dibiarkan berlanjut sampai menyebarkan
omongan seperti ini mengenai para pengikut Yang
Mulia."
Para pelayan sudah menggelar peta gunungselatan berukuran
besar di ruangan luas itu.
"Ini bagian tengah Danau Biwa," salah seorang dari
mereka berkata.
"Di situ Kuil Sojitsu! Dan Kuil Joraku!" satu lagi
berseru.
Pelayan-pelayan itu duduk bersama di satu sisi dan
menjulurkan leher untuk melihat, persis seperti anak
burung layang-layang. patih mpu salmah memisahkan diri
dari kelompok itu, dan duduk menyendiri. Usianya
belum mencapai dua puluh tahun, namun ia sudah lama
melewati upacara akil balig. Seandainya rambut di atas
dahinya dipotong, ia akan tampak seperti centeng adipati
muda yang gagah.
"Jangan kauubah penampilanmu." aidit
pernah berpesan. "Aku menginginkanmu sebagai
pelayan, tak peduli berapa usiamu."
mpu salmah dapat bersaing dengan pemuda-pemuda
lain dalam hal keapikan, dan jambul dan baju
sutranya memicu ia kelihatan seperti kanak-
kanak.
aidit mempelajari peta itu dengan cermat.
"Peta ini digambar dengan baik," katanya, "bahkan
lebih teliti dibandingkan peta-peta militer kita. mpu salmah ,
bagaimana kau dapat memperoleh peta yang demikian
terperinci dalam waktu begitu singkat?"
"Ibu hamba, yang kini sudah masuk biara,
mengetahui bahwa ada peta di gudang rahasia kuil
tertentu."
Ibu mpu salmah , yang mengambil nama Myoko saat
menjadi biarkertoarjo ti adalah janda patih ki abang .
Kelima putranya ditampung sebagai pengikut oleh
aidit . Kedua adik mpu salmah , Bomaru dan
Rikimaru, juga pelayan. Semua orang berpendapat
bahwa sedikit sekali kemiripan di antara mereka. Ini
tidak berarti adik-adik mpu salmah berotak tumpul, namun
memang mpu salmah -lah yang begitu menonjol. Dan ini
bukan hanya merupakan pendapat aidit yang
menyayanginya tanpa batas. Semua orang yang
melihat mpu salmah segera menyadari bahwa kecerdasan-
nya jauh di atas orang lain. Kalau ia mengunjungi para
resi staf lapangan atau para pengikut senior, ia tak
pernah diperlakukan seperti anak kecil.
"Apa? Kau memperoleh peta ini dari Myoko?"
aidit mendadak menatap mpu salmah dengan
pandangan tidak lazim. "Ibumu biarkertoarjo ti, jadi sudah
sewajarnya dia mondar-mandir di antara sejumlah
kuil, namun jangan sampai dia dikelabui oleh mata-mata
para biksu-prajurit yang masih terus menyumpah-
nyumpahiku. Mungkin ada baiknya kalau kau mencari
waktu yang tepat dan memberikan peringatan pada-
nya."
"Ibu hamba selalu bersikap sangat hati-hati. Bahkan
lebih dari hamba scndiri, tuanku."
aidit membungkuk dan meneliti peta madukara
dengan sungguh-sungguh. Di sinilah ia hendak mem-
bangun benteng kota yang akan berfungsi sebagai ke-
diaman yang baru, sekaligus sebagai pusat
pemerintahannya.
Urusan itu baru belakangan ini dibicarakan
aidit , suatu keputusan yang diambilnya sebab
lokasi benteng kota Gitu tidak lagi sesuai dengan
tujuannya.
Tanah yang sebetulnya diinginkan aidit
terletak di kahuripan . namun di atasnya ada ronggodwijoyo ,
kubu pertahanan musuh bebuyutannya, para biksu-
prajurit.
sesudah mempelajari kebodohan para pandita .
aidit bahkan tidak mempertimbangkan untuk
membentuk pemerintahan di trowulan . Itu keadaan
lama, madukara jauh lebih cocok dengan bayangannya.
Dari sana ia dapat berjaga-jaga terhadap provinsi-
provinsi Barat, sekaligus menangkal serangan kramat
kramajaya dari utara.
"Yang Mulia tunggadewa berada di ruang tunggu. Dia
mohon diperkenankan berbicara dengan tuanku
sebelum keberangkatannya." seorang centeng adipati meng-
umumkan dari pintu.
"tunggadewa ?" ujar aidit dengan ramah. "Suruh
dia masuk." lalu ia kembali mempelajari peta
madukara .
tunggadewa masuk sambil menghela napas lega. Tak
ada bau anggur di istana, dan pikiran pertamanya adalah,
patih ronggolawe lagi-lagi berhasil menipuku.
"tunggadewa , kemarilah."
Tanpa menoleh ke arah tunggadewa yang mem-
bungkuk sopan, aidit menyuruhnya meng-
hampiri peta. tunggadewa maju dengan penuh hormat.
aidit mungkin tukang mimpi, namun kemampu-
annya untuk mcwujudkan setiap angan-angan tiada
tandingan.
"Bagaimana pendapatmu? Bukankah daerah ber-
gunung yang menghadap ke danau ini cocok sekali
untuk membangun benteng kota?"
aidit rupanya sudah merancang struktur dan
ukuran benteng kota itu di kepala. Ia menarik garis dengan
jarinya. "benteng kota akan membentang dari sini ke sini.
Kita akan membangun kota yang mengelilingi benteng kota
di kaki gunung, dengan daerah untuk para saudagar
yang lebih tertata rapi dibandingkan di semua provinsi lain
di majapahit ," ia berkata. "Aku akan mencurahkan segala
sesuatu yang kumiliki untuk benteng kota ini. Aku harus
memiliki sesuatu yang begitu mengesankan, sehingga
membuat semua penguasa provinsi lain terkagum-
kagum. Walaupun tidak mewah, benteng kota itu takkan
memiliki saingan di seluruh kekaisaran. benteng kotaku
akan menggabungkan keindahan, fungsi, dan wibawa ."
tunggadewa menyadari bahwa proyek ini bukanlah
hasil kesombongan aidit , jadi ia mengemukakan
pendapatnya secara terus terang. namun jawab annya
yang terlalu serius tidak mencukupi. aidit terlalu
terbiasa mendengar jawaban pasti yang sepenuhnya setuju
dengannya, dan pernyataan yang hanya mengulangi
ucapannya sendiri.
"Bagaimana menurutmu? Tidak baik?" aidit
bertanya dengan ragu-ragu.
"Hamba tidak berpikiran demikian."
"Apakah waktunya sudah tepat?"
"Menurut hamba, sekarang waktu yang paling
tepat."
aidit berusaha memupuk rasa percaya dirinya.
Tak scorang pun lebih menghargai kecerdasan
tunggadewa dibandingkan aidit . tunggadewa bukan saja
dibekali kecerdasan modern, ia pun menghadapi
masalah-masalah politik yang terlalu sulit diatasi
dengan kepercayaan semata-mata. sebab itu, aidit
bahkan lebih menyadari kejeniusan tunggadewa dari-
pada patih ronggolawe yang selalu memuji-mujinya.
"Kabarnya kau cukup mengujawa ilmu pem-
bangunan benteng kota. Dapatkah kau mengemban
tanggung jawab ini?"
"Jangan, jangan. Pengetahuan hamba tidak cukup
untuk membangun benteng kota."
"Tidak cukup?"
"Pembangunan benteng kota serupa dengan per-
tempuran besar. Orang yang memimpinnya harus
pandai memakai orang maupun bahan.
Seyogyanya tuanku memberikan tugas ini pada salah
satu resi senior."
"Dan siapakah orangnya?" tanya aidit .
"Yang Mulia Niwa paling cocok, sebab beliau
pandai bergaul dengan yang lain."
"Niwa? Ya... dia memang dapat diandalkan."
Pendapat ini rupanya sejalan dengan maksud
aidit scndiri, dan ia mengangguk-angguk penuh
semangat. "Omong-omong, mpu salmah mengusulkan
agar aku mendirikan donjon. Bagaimana pendapatmu
tentang usul itu?"
tunggadewa tidak menjawab . Ia bisa melihat
mpu salmah dari sudut mata. "Tuanku menanyakan
untung-ruginya mendirikan donjon?"' ia bertanya.
"Benar. Apakah lebih baik membangun atau tidak
membangun donjon."
"Tentu saja lebih baik kalau tuanku membangun
donjon. Biarpun hanya dari segi wibawa bangunan-
nya."
"Seharusnya ada beberapa bentuk donjon. Aku
mendengar bahwa waktu kau masih muda, kau sempat
berkelana mengelilingi seluruh negeri dan berhasil
mengumpulkan pengetahuan mendalam tentang pem-
bangunan benteng kota."
"Scsungguhnya pengetahuan hamba mengenai hal-
hal seperti itu sangat dangkal." tunggadewa merendah.
"Di pihak lain, mpu salmah tampaknya mendalami
bidang itu . saat hamba berkelana, hamba
hanya melihat dua atau tiga benteng kota yang memiliki
donjon, dan itu pun dikerjakan secara kasar. Jika ini
usul mpu salmah , dia tentu sudah memikirkan secara
matang. " tunggadewa tampak enggan untuk berbicara
lebih lanjut.
Namun aidit tak sedikit pun mempertimbang-
kan kepekaan perasaan kedua orang itu, dan
melanjutkan, " mpu salmah , kau tidak kalah terpelajar
dari tunggadewa , dan sepertinya kau sudah mempelajari
pembangunan benteng kota. Apa pendapatmu mengenai
donjon! Bagaimana, mpu salmah ?" Melihat pelayannya
tetap membisu sambil menundukkan kepala, ia
bertanya. "Kenapa kau tidak menjawab ?"
"Hamba bingung, tuanku."
"Kenapa?"
"Hamba malu," jawab mpu salmah sambil menyembah
dengan wajah di atas kedua tangan, seakan-akan
menanggung aib yang amat besar. "Yang Mulia
tunggadewa terlampau kejam. Dari mana hamba dapat
memperoleh ide mengenai pembangunan donjon?
Terus terang, tuanku, segala sesuatu yang tuanku
dengar dari hamba termasuk cerita bahwa benteng kota
milik marga Ouchi dan Satgunungselatan sama-sama memiliki
donjon disampaikan oleh Yang Mulia tunggadewa pada
hamba, saat hamba sedang bertugas jaga malam."
"Begitukah?" aidit tertawa . "Jadi, hanya itu
masalahnya?"
"namun Yang Mulia tunggadewa menanggapinya
dengan cara berbeda," mpu salmah melanjutkan.
"jawaban pasti yang baru saja diberikan beliau memberi
kesan seakan-akan hamba sudah mencuri ide orang
lain. Yang Mulu tunggadewa sendiri yang memberitahu
hamba bahwa beliau memiliki beberapa gambar
berharga dari donjon marga Ouchi dan Satgunungselatan, dan
bahkan sebuah buku sketsa yang langka. Jadi.
mengapa beliau menahan diri dan mengalihkan
tanggung jawab pada orang yang tak berpengalaman
seperti hamba?"
Walaupun penampilan mpu salmah kekanak-kanakan.
sikapnya menunjukkan bahwa ia seorang laki-laki.
"Benarkah itu, tunggadewa ?" tanya aidit .
Di bawah tatapan langsung aidit , tunggadewa
tak sanggup tetap tenang. Tergagap-gagap ia men-
jawab , "Ya." Ia pun tak sanggup mengendalikan
kemarahannya terhadap mpu salmah . tunggadewa sengaja
menyimpan pendapatnya sendiri dan mengangkat
pengetahuan mpu salmah , sebab ia mengctahui kasih
sayang aidit terhadap pemuda itu, dan secara tak
langsung bermaksud menunjukkan iktikad baiknya. Ia
bukan saja memberi keuntungan pada mpu salmah ,
melainkan juga berusaha tidak mempermalukannya.
tunggadewa sudah memberitahu mpu salmah segala
sesuatu yang diketahuinya mengenai donjon dan pem-
bangunan benteng kota pada waktu mereka berjaga malam.
Sungguh konyol bahwa mpu salmah menyampaikan hal
itu sebagai hasil pikirannya sendiri pada
aidit . namun jika tunggadewa berkata demikian
sckarang, mpu salmah akan teramat malu, dan aidit
temu merasa muak. sebab beranggapan bahwa men-
cegah situasi pelik seperti itu akan menguntung-kan
baginya, tunggadewa bersikap scelah-olah mpu salmah yang
memperoleh ide itu . namun hasilnya justru
kebalikan dari yang diharapkannya.
aidit sepertinya dapat menduga apa yang
berkecamuk dalam benak tunggadewa . Tiba-tiba ia
tertawa keras-keras. "Ternyata tunggadewa pun bisa
bersikap terlalu hati-haii. namun ... bisakah kauambilkan
gambar-gambar itu?"
"Hamba memiliki Beberapa, namun hamba ragu
apakah gambar-gambar itu mencukupi."
"Jangan gelisah khawatir . Pinjamkan saja padaku untuk
beberapa waktu."
"Hamba akan mengambil semuanya."
tunggadewa menyalahkan diri sendiri sebab sudah
berusaha membohongi aidit , dan walaupun
urusannya sudah selesai, justru ia sendiri yang
menderita kerugian. Namun, saat pembicaraan
beralih pada benteng kota-benteng kota di provinsi lain,
aidit tetap kelihatan riang. Dan sesudah makan
malam didwikerto ngkan, tunggadewa menarik diri tanpa
perasaan buruk.
Keesokan paginya, sesudah aidit meninggal-
kan Nijo, mpu salmah pergi menemui ibunya.
"Ibu, menurut adikku dan pelayan-pdayan lain,
Tuan tunggadewa mewanti-wanti Yang Mulia bahwa Ibu
mungkin membocorkan rahasia militer kepada para
biksuprajurit, sebab Ibu sering keluar-masuk kuil.
Jadi, kemarin, waktu dia berada di hadapan Yang
Mulia, aku sempat membalas perbuatannya. Bagai-
manapun, sejak ayahku meninggal, keluarga kita lebih
sering menikmati kemurahan hati Yang Mulia
dibandingkan orang lain, sehingga tidak aneh kalau ada
yang merasa dengki. Berhati-hatilah dan jangan
percaya pada siapa pun."
Segera sesudah perayaan Tahun Baru di Tahun
Keempat masa pemerintahan dinasti syailendra , pembangunan benteng kota di madukara
dimulai, seiring proyek kota benteng kota dengan ukuran
yang tak pernah dilihat sebelumnya. Pengrajin-
pengrajin berkumpul di madukara bersama murid-murid
dan tukang-tukang mereka. Mereka berdatangan dari
ibu kota dan kahuripan , dari provinsi-provinsi Barat yang
jauh, dan bahkan dari Timur dan Utara: pandai besi.
tukang batu. tukang plester, pengrajin logam, bahkan
tukang pasang kertas dinding wakil-wakil dari setiap
keterampilan yang ada.
tinggi sumbing Eitoku yang tersohor dipilih untuk membuat
gambar pada pintu-pintu, dinding-dinding penyekat,
dan langit-langit. Untuk proyek ini, tinggi sumbing tidak
sekadar mengandaikan tradisi perguruannya sendiri.
Ia berkonsultasi dengan para pemuka dari perguruan-
perguruan lain, lalu menciptakan karya-karya agung,
menerangi dunia seni yang mengalami kemorokuyang
selama tahun-tahun perang saudara.
Ladang-ladang buah murbei lenyap dalam semalam.
digantikan oleh jaringan jalan yang terencana,
sementara di puncak gunung, kerangka donjon muncul
scbelum orang-orang menyadarinya. benteng kota utama.
yang dirancang berdasarkan mitos Gunung Meru,
memiliki empat menara mewakili para Raja
Keempat Mata Angin di sekeliling donjon bertingkat
lima. Di bawah nya ada gedung besar yang terbuat
dari batu, dan dari gedung itu beberapa bangunan
tambah an memencar. Di bawah dan di atasnya ter-
dapat lebih dari seratus bangunan yang berhubungan,
dan sulit dikatakan berapa tingkat dimiliki oleh
masing-masing bangunan.
Di Ruang Pohon Prem, Ruang 9
Pemandangan Termasyhur, Ruang Burung Pegar, dan
Ruang Kanak-Kanak kedhiri , si pelukis menerapkan
keahliannya tanpa sempat memejamkan mata. Tukang
pernis, yang benci mendengar kata debu dinamakan -sebut,
memberi lapisan pernis pada pegangan tangan yang
merah dan dinding-dinding yang hitam. Seorang ahli
tembikar asal Gina ditunjuk sebagai mandor pembuat
ubin. Siang-malam asap mengepul-ngepul dari tempat
pembakarannya di tepi danau.
Seorang biksu tampak bergumam-gumam saat
memandang ke arah benteng kota. Ia hanya seorang biksu
pengembara, namun alisnya yang tebal dan mulutnya
yang lebar sangat menarik perhatian.
"Bukankah ini yosobremargo ?" tanya patih ronggolawe . Ia menepuk-
nepuk pundak orang itu dengan pelan, agar tidak
mengejutkannya. patih ronggolawe sudah memisahkan diri
dari sekclompok resi yang berdiri tak jauh.
"Wah, wah! Tuan patih ronggolawe !"
"Aku tak menyangka akan bertemu Tuan di sini,"
patih ronggolawe berkata dengan riang. Sekali lagi ia
menepuk bahu yosobremargo dan tersenyum ramah. "Sudah
lama sekali sejak kita terakhir kali berjumpa. Kalau
tidak salah, di rumah Tuan syam kamaruzaman di syam ."
"Ya, benar. Belum lama ini mungkin sekitar akhir
tahun di Istana Nijo aku mendengar Tuan tunggadewa
berkata bahwa Tuan datang ke ibu kota. Aku datang
bersama utusan patih Terumoto dan sempat berdiam
di trowulan selama beberapa waktu. Utusan itu sudah
kembali sekarang, namun sebab aku hanya biksu tanpa
urusan mendesak, aku mendatangi berbagai kuil di
trowulan dan sekitarnya. Kupikir proyek pembangunan
Yang Mulia aidit ini bisa menjadi kisah per-
jalanan menarik, jadi aku mampir untuk melihatnya.
Terus terang, aku sangat terkesan."
"Kabarnya Tuan juga terlibat dalam kegiatan
pembangunan," patih ronggolawe mendadak berkomentar.
yosobremargo tampak terkejut, namun patih ronggolawe tertawa dan me-
nambahkan, "Bukan, bukan pembangunan benteng kota.
Aku mendengar kabar bahwa Tuan membangun biara
yang diberi nama Ankokuji."
"Ah, biara itu." Ketegangan di wajah yosobremargo mencair,
dan ia pun tertawa . "Pembangunan Ankokuji sudah
rampung. Kuharap Tuan bisa mengunjungiku suatu
hari nanti, namun kurasa kesibukan Tuan sebagai
penguasa benteng kota lojibenteng tidak memungkin-
kannya."
"Aku memang sudah menjadi penguasa benteng kota,
namun upahku masih rendah, jadi posisiku pun tidak
berarti banyak. namun aku percaya aku tampak lebih
dewasa dibandingkan saat terakhir kali Tuan
melihatku di syam ."
"Tidak. Tuan tidak berubah sedikit pun. Tuan
masih muda, namun hampir semua anggota staf lapangan
Yang Mulia aidit sedang berada dalam masa
kejayaan. Sejak semula aku sudah terpukau oleh
kemegahan rencana pembangunan benteng kotanya dan
oleh semangat para resi nya. Tampaknya Yang
Mulia aidit memiliki kekuatan matahari terbit."
"Ankokuji dibiayai oleh Yang Mulia patih, bukan?
Provinsinya kaya dan kuat, dan kurasa dalam hal
orang-orang berbakat, marga tuanku aidit bukan
tandingannya."
yosobremargo berupaya agar tidak terlibat dalam percakapan
seperti itu, dan sekali lagi ia memuji pembangunan
donjon dan pemandangan sekeliling.
Akhirnya patih ronggolawe berkata, "lojibenteng terletak di
tepi pantai sebelah utara, tidak jauh dari sini.
Perahuku terawat di sini, jadi mengapa Tuan tidak
ikut dan menginap satu-dua malam? Aku sedang bebas
tugas, dan rasanya aku ingin kembali ke lojibenteng ."
yosobremargo memanfaatkan ajakan ini untuk berpamitan
secara tergesa-gesa. "Mungkin lain kali. Tolong sampai-
kan salamku pada Tuan syam kamaruzaman , maksudku, Tuan
banaspati ." Dan tiba-tiba saja ia pergi.
saat patih ronggolawe memperhatikan yosobremargo menjauh.
dua biksu, yang sepertinya murid yosobremargo , keluar dari
rumah scorang warga biasa dan segera mengejarnya.
Hanya ditemui oleh ki pralayan, patih ronggolawe menerus-
kan perjalanan ke tempat pembangunan yang
mirip medan perang. sebab tidak diberi
tanggung jawab penting dalam pembangunan benteng kota,
patih ronggolawe sebetulnya tak perlu tinggal di madukara , namun
ia sering menempuh perjalanan laut dari lojibenteng
ke madukara .
"Tuan patih ronggolawe ! Tuan patih ronggolawe !" seseorang
memanggilnya. saat menoleh, patih ronggolawe melihat
mpu salmah yang tersenyum dan memamerkan deretan
gigi putih, berlari ke arahnya.
"Oh, Tuan mpu salmah . Di mana Yang Mulia?"
"Sepanjang pagi beliau berada di donjon, namun
sekarang beliau sedang beristirahat di Kuil Sojitsu."
"Kalau begitu, mari kita ke sana."
"Tuan patih ronggolawe , biksu yang baru saja berbincang-
bincang dengan Tuan... bukankah itu yosobremargo , ahli
fisiogngunungselatan itu?"
"Benar. Aku mendengarnya dari orang lain. namun
aku ragu apakah seorang ahli fisiogngunungselatan sanggup
melihat watak sebetulnya dari orang lain." ujar
patih ronggolawe , pura-pura kurang tertarik pada topik itu.
Setiap kali mpu salmah mengobrol dengan patih ronggolawe ,
ia tidak menjaga ucajpannya seperti kalau berhadapan
dengan tunggadewa . Ini tidak berarti mpu salmah
menganggap patih ronggolawe orang yang mudah di-
pengaruhi, namun adakalanya patih ronggolawe berlagak bodoh,
dan mpu salmah merasa ia mudah diajak bergaul.
"Oh, tentu saja sanggup!" balas mpu salmah . "Ibu
hamba selalu berkata demikian. Sebclum ayah hamba
gugur dalam pertempuran, seorang ahli ilmu firasat
meramalkan kematiannya. Dan sebetulnya , ehm,
hamba tertarik pada salah satu ramalan yosobremargo ."
"Apakah kauminta dia meramalkan nasibmu?"
"Bukan, bukan. Ini bukan mengenai hamba."
mpu salmah menoleh ke kiri-kanan, lalu berbisik. "Ini
mengenai Tuan tunggadewa ."
"Tuan tunggadewa ?"
"yosobremargo melihar pertanda buruk, bahwa Tuan
tunggadewa kelihatan seperti orang yang akan
menentang junjungannya."
"Kalau kau mencari sifat seperti itu, kau pasti akan
menemukannya. Bukan hanya dalam diri Tuan
tunggadewa ."
"Hamba serius! yosobremargo berkata demikian."
patih ronggolawe mendengarkannya sambil tersenyum
simpul. Orang lain tentu akan menegur mpu salmah
sebab kegemarannya bergosip, namun kalau ia berbicara
seperti ini, rasanya ia tak lebih dari balita nakal.
sesudah menanggapinya secara main-main selama
beberapa waktu, patih ronggolawe bertanya lebih serius,
"Dari siapa kaudengar hal-hal itu?"
mpu salmah segera membuka rahasianya dengan
berkata. "Dari Asayama Nichijo."
patih ronggolawe mengangguk-angguk, seakan-akan sudah
menduganya. Tentunya bukan Asayama sendiri yang
memberitahu. Cerita itu pasti lewat orang lain. Coba
lihat, apakah aku bisa menebaknya."
"Silakan."
"Orang itu ibumu. bukan?"
"Dari mana Tuan mengetahuinya?"
patih ronggolawe hanya tertawa .
"Dari mana Tuan mengetahuinya?" desak mpu salmah .
"Myoko pasti pcrcaya pada hal-hal semacam itu,"
kata patih ronggolawe . "Atau lebih tepatnya, dia menggemari
hal-hal seperti itu. Dan dia punya hubungan baik
dengan Asayama. namun kalau menurutku, aku
cenderung percaya bahwa Asayama lebih pandai
menilai fisiogngunungselatan sebuah provinsi dibandingkan jati diri
orang lain."
"Fisiogngunungselatan sebuah provinsi?"
"Jika penilaian watak seseorang berdasarkan
tampangnya dapat dinamakan fisiogngunungselatan, penilaian watak
sebuah provinsi dengan cara yang sama juga dapat
dinamakan demikian. Aku menyadari bahwa yosobremargo sudah
mengujawa seni itu. Sebaiknya kau jangan terlampau
akrab dengan orang-orang seperti dia. Sepertinya dia
hanya biksu biasa, namun sebetulnya dia kaki tangan
patih Terumoto, si penguasa provinsi-provinsi Barat.
Bagaimana menurutmu, mpu salmah ?" patih ronggolawe me-
nambahkan sambil tertawa . "Bukankah aku lebih
hebat dibandingkan yosobremargo ?"
Gerbang Kuil Sojitsu mulai tampak. Kedua laki-laki
itu masih tertawa saat mereka menaiki tangga batu.
Pembangunan benteng kota maju dengan pesat. Pada
akhir Bulan Kedua tahun itu, aidit sudah
meninggalkan padalarang dan pindah. benteng kota padalarang
diberikan pada putra sulung aidit , tungguljaya,
yang berusia sembilan belas tahun.
Akan namun , sementara benteng kota madukara tanpa
tandingan dalam kekokohan, sekaligus awal era baru
di bidang pembangunan benteng kota menjulang tinggi di
atas persimpangan strategis itu, ada juga yang mem-
pertanyakan nilai militernya, termasuk para biksu-
prajurit dari ronggodwijoyo , patih Terumoto dari provinsi-
provinsi Barat, dan kramajaya dari Echigo.
madukara bcrada di tepi jalan raya yang menghubung-
kan Echigo dengan trowulan . kramajaya , tentu saja, juga
memiliki rencana untuk memasuki ibu kota, jika
kesempatan yang tepat tiba, ia akan melintasi gunung-
gunung, muncul di sebelah utara Danau Biwa, dan
dengan sekali pukul, mengibarkan panji-panjinya di
trowulan .
Sang pandita dalam pengasingan, yosodiprojo , yang
sudah cukup lama tidak terdengar kabarnya, mengirim
pesan-pesan pada kramajaya , dan mencoba menghasut-
nya untuk benindak.
Saat ini baru bagian luar benteng kota madukara yang sudah
rampung. Penyelesaian bagian dalamnya akan makan
waktu dua setengah tahun. Begitu pem-bangunan benteng kota
itu tuntas, jalan antara Echigo dan trowulan bisa dianggap
tak ada lagi. Sekaranglah waktu yang tepat untuk
bergeratk. Aku akan mengelilingi provinsi-provinsi dan
membentuk persekutuan di antara semua pihak yang
menentang aidit , termasuk Yang Mulia Terumoto
dari provinsi-provinsi Barat, marga Hojo, marga mpu ireng ,
dan marga Yang Mulia sendiri di Echigo. namun , jika Yang
Mulia tidak bertindak sebagai pemimpin prakarsa ini, aku
tidak berani meramalkan keberhasilannya.
kramajaya memaksakan senyum. lalu berkata dalam
hati. "Apakah cacing kecil ini hendak menggeliat-geliat
sampai dia berumur seratus tahun?" kramajaya bukan
pemimpin bodoh yang mungkin terpancing oleh
umpan seperti itu."
Dari Tahun Baru sampai ke musim panas, kramajaya
memindahkan centeng nya ke Kaga dan Noto, dan
mulai mengancam perbatasan sinuhun . Secepat kilat bala
bantuan dikirim dari gunungselatan. Di bawah komando
nyoto dijoyo , centeng danakertoarjo , patih ronggolawe , Niwa,
Sasu, dan madya mengejar-ngejar musuh dan
membakar desa-desa yang dipakai sebagai tempat
berlindung, sampai ke Kanatsu.
Seorang utusan datang dari kubu kramajaya dan
berseru lantang bahwa surat yang dibawan ya hanya
boleh dibaca oleh aidit .
"Tak pelak lagi, ini tulisan tangan kramajaya sendiri,"
ujar aidit saat ia membuka segelnya.
Sudah lama aku mendengar nama besar Tuan, dan aku
menyesal sebab belum diberi kesempatan bertatap muka.
Sekaranglah kesempatan terbaik. Jika kita tidak bertemu
dalam pertempuran, kita berdua akan menyesal selama
bertahun-tahun. Pertempuran akan dimulai besok, pada
Jam Kelinci. Aku akan menemui Tuan di Sungai Kanatsu.
Semuanya akan diselesaikan pada waktu kita berhadapan
satu lkertoarjo an satu.
Surat itu berisi tantangan resmi untuk bertcmpur.
"Ke mana utusannya?" tanya aidit .
"Dia segera kembali," jawab seorang pengikutnya.
aidit mcrinding. Malam itu ia tiba-tiba
memerintahkan untuk membongkar perkemahan, dan
centeng nya mundur.
kramajaya tertawa keras-keras saat mendengar kabar
itu. "Itulah aidit . Seandainya dia tetap di tempat,
besok dia bisa menyerahkan semuanya untuk diinjak-
injak oleh kaki kudaku, dan selain bertemu dengan-
nya, seharusnya aku sekaligus bisa membantu
memenggal kepalanya di tepi sungai itu."
namun aidit cepat-cepat kembali ke madukara ,
ditambah satu regu prajuritnya. saat teringat surat
tantangan kramajaya yang bergaya kuno, mau tak mau
ia tersenyum meringis.
"Mungkin cara inilah yang dipakai untuk
memancing mpu betarakatong di Kkertoarjo riakajima. Dia memang tak kenal takut. Dan dia sangat bangga akan pedang
panjangnya, yang dibuat oleh Azuki Nagamitsu.
Rasanya aku tidak berminat melihat pedang itu
dengan mata kepala sendiri. Sayang sekali kramajaya
tidak lahir di masa lampau, saat para centeng adipati
memakai baju tempur dengan lempeng emas. Entah
bagaimana pendapatnya mengenai madukara , yang men-
campuradukkan gaya Jcpang, kedhiri , dan bangsa barbar
dari Selatan? Segala perubahan dalam persenjataan
dan strategi sudah membawa kita ke sebuah dunia
baru. Bagaimana mungkin seseorang berkeras bahwa
seni perang tidak ikut berubah pula? Barangkali dia
menertawa kan gerak mundurku sebagai tindakan
pengecut, namun pemikirannya yang sudah ketinggalan
zaman justru kalah dibandingkan pemikiran para
pengrajinku.
Mereka yang mendengarkan ini dengan sungguh-
sungguh bisa belajar banyak. Ada juga yang diajari.
namun tak pernah belajar apa pun.
sesudah aidit kembali ke madukara , ia diberitahu
bahwa terjadi sesuatu selama operasi di Utara, antara
panglima centeng nya, nyoto Katsutc, dan
patih ronggolawe . Penyebabnya tidak jelas, namun kedua orang
ini berselisih mengenai strategi. Akibatnya patih ronggolawe
mengumpulkan anak buahnya dan kembali ke
lojibenteng , sementara dijoyo cepat-cepat memohon
pada aidit dengan berkata, "patih ronggolawe merasa
tak perlu menaati perintah tuanku dan kembali ke
benteng kotanya. Sikapnya tak dapat dimaafkan, dan dia
harus dihukum sebab nya."
Tak ada kabar dari patih ronggolawe . Menyangka bahwa
patih ronggolawe memiliki alasan kuat untuk tindakannya.
aidit memutuskan menunggu sampai semua
resi kembali dari operasi di Utara, sebelum
menyelesaikan masalahnya. Namun desas-desus terus
berdatangan.
"Yang Mulia dijoyo marah sekali."
"Yang Mulia patih ronggolawe terlalu lekas marah. Tak ada
resi yang menarik centeng nya di tengah operasi
militer tanpa mencoreng arang di kening sendiri."
Akhirnya aidit menyuruh seorang pembantu-
nya menydidiki persoalan itu.
"Apakah patih ronggolawe benar-benar sudah kembali ke
lojibenteng ?" tanya aidit .
"Ya, kelihatannya dia memang berada di sana,"
pembantunya menjawab .
aidit terpancing amarah, dan ia mengirim
utusan untuk menyampaikan teguran keras. "Sikapmu
sungguh kurang ajar. Sebelum melakukan apa-apa.
perlihatkanlah penyesalanmu."
saat utusannya kembali, aidit bertanya.
"Seperti apa ekspresinya waktu mendengar teguranku?"
"Dia tampak seakan-akan berpikir. 'Oh, begitu?'"
"Hanya itu?"
"lalu dia mengatakan sesuatu mengenai
beristirahat sejenak."
"Dia terlalu berani dan mulai besar kepala." Roman
muka aidit tidak memperlihatkan bahwa ia
benar-benar murka terhadap patih ronggolawe , walaupun ia
sudah menegur patih ronggolawe secara lisan. Namun, saat
dijoyo dan para resi lain akhirnya kembali.
kemarahan aidit pun meledak.
Salah satu sebabnya, walaupun patih ronggolawe dikena-
kan tahanan rumah di benteng kota lojibenteng , ia bukan-
nya menunjukkan penyesalan, melainkan justru
mengadakan pesta minum setiap hari. Tak ada alasan
bagi aidit untuk tidak marah, dan orang-orang
menerka bahwa dalam keadaan paling buruk,
patih ronggolawe akan diperintahkan melakukan seppuku,
dan dalam keadaan baik, ia disuruh datang ke
benteng kota madukara untuk dihadapkan ke mahkamah
militer. namun , sesudah beberapa saat, aidit rupa-
nya sudah melupakan kejadian itu, dan lalu tak
pernah menyinggungnya lagi.
Di benteng kota lojibenteng . patih ronggolawe mulai terbiasa
bangun siang. Setiap hari nyi momo melihat wajah suami-
nya saat matahari sudah tinggi di langit.
Bahkan ibunya merasa gelisah khawatir dan berkomentar
pada nyi momo , "Tidak biasanya dia seperti ini."
Sulit bagi nyi momo untuk menemukan jawab annya.
patih ronggolawe selalu tidur sampai siang sebab ia minum-
minum pada malam harinya. Kalau ia minum di
rumah, wajahnya langsung merah sesudah empat atau
lima baskom kecil, lalu ia cepat-cepat menyelesai-
kan makan malamnya. sesudah itu ia mengumpulkan
para centeng adipati kkertoarjo kan dan minum-minum sampai
larut malam, tanpa mengindahkan waktu. Akibatnya
ia tertidur di ruang pelayan. Suatu malam, saat
istrinya sedang berjalan di selasar utama bersama para
dayang, ia melihat seorang laki-laki melangkah
perlahan ke arahnya. Laki-laki itu mirip patih ronggolawe ,
namun nyi momo berseru. "Siapa itu?" seakan-akan tidak
mengenalinya.
Suaminya terperanjat, dan berbalik untuk menyem-
bunyikan kebingungannya, namun dengan gerakannya
yang kikuk, ia malah kelihatan seperti sedang berlatih
menari. "Aku tersesat." Ia menghampiri nyi momo dan
menjaga keseimbangan dengan meraih bahu istrinya
itu. "Ah, aku mabuk. nyi momo , gendonglah aku! Aku tak
sanggup jalan."
Kctika nyi momo melihat betapa patih ronggolawe berusaha
menutup-nutupi keadaannya, ia langsung tertawa .
Lalu ia menegur sambil berlagak marah. "Baik, baik,
aku akan menggendongmu. Omong-omong, ke mana
tujuanmu?"
patih ronggolawe naik ke punggung nyi momo dan mulai
tertawa cekikikan.
"Ke kamarmu. bawa aku ke kamarmu!" ia me-
mohon dengan sangat, lalu menendang-nendang
seperti anak kccil.
nyi momo , yang terbungkuk sebab beban yang
dibawan ya, bergurau dengan dayang-dayangnya,
"Dengar, semuanya, ke mana aku harus membawa
pengelana lusuh yang kutemui di jalan ini?"
Para dayang merasa begitu geli, hingga terpingkal-
pingkal sampai keluar air mata. lalu mereka
mengelilingi laki-laki yang digendong nyi momo , dan
bersenda gurau sampai pagi di kamar nyi momo .
Kejadian seperti itu dapat dihitung dengan jari satu
tangan. Pada pagi hari, nyi momo sering merasa seakan-
akan tugasnya adalah menatap wajah suaminya yang
cemberut. Apa yang disembunyikan patih ronggolawe ?
Mereka sudah lima belas tahun menikah. Usia nyi momo
kini sudah lebih dari tiga puluh, dan suaminya empat
puluh satu tahun. Ia tak bisa percaya bahwa roman
muka getir yang setiap pagi diperlihatkan patih ronggolawe
hanya akibat suasana hati yang sedang tidak enak.
walaupun ia menyesalkan sikap suaminya, dengan
tulus ia berdoa agar diberi petunjuk untuk memahami
kesusahannya biarpun hanya sedikil dan meringan-
kan penderitaannya.
Pada saat-saat scperri ini, nyi momo menganggap ibu
patih ronggolawe sebagai teladan. Suatu pagi ibu mertuanya
bangun lebih dini, dan pergi ke kebun sayur di
pekarangan utara, saat embun masih membasahi
bumi.
"nyi momo ," ia berkata, "masih banyak waktu sebelum
patih ronggolawe bangun. Mari kita petik terong di kebun.
Tolong bawa kan keranjang."
wanita lesbian tua itu mulai memetik. nyi momo mengisi
satu keranjang, lalu mengambil keranjang lain.
"Hei, nyi momo ! Kau dan Ibu ada di sana?"
Suara itu milik suaminya suaminya yang
belakangan ini begitu jarang bangun pagi.
"Aku tidak tahu kau sudah bangun," nyi momo
memohon maaf.
"Aku tiba-tiba saja terjaga. Para pelayan pun ke-
lihatan kaget." patih ronggolawe tersenyum cerah, pe-
mandangan yang sudah cukup lama tak pernah dilihat
nyi momo . "raden mas ngabehi melaporkan bahwa kapal
dengan bendera utusan sedang menuju ke sini dari
madukara . Aku langsung bangun, pergi ke altar, lalu
pergi ke sini untuk minta maaf sebab meng-
abaikanmu akhir-akhir ini."
"Aha! Kau sudah minta maaf kepada para dewa!"
ujar ibunya sambil terkekeh-kekeh.
"Benar. sesudah itu, rasanya aku harus minta maaf
pada ibuku, dan bahkan pada istriku," patih ronggolawe
menambahkan dengan sungguh-sungguh. "Untuk itu-
kah kau datang ke sini?"
"Ya, dan kalau saja kalian mengerti bagaimana
perasaanku, aku tak perlu melakukannya lagi,"
"Oh, anak ini memang pintar."
Walaupun ibu patih ronggolawe mungkin agak curiga
melihat putranya tiba-tiba bersikap demikian ceria, ia
segera memahami sebabnya.
"Tuan madya dan Tuan Nonomura baru saja tiba di
gerbang. Mereka datang sebagai kurir resmi dari
madukara . Tuan banaspati langsung menyambut dan
membawa mereka ke ruang penerima tamu," ki pralayan
mengumumkan.
patih ronggolawe menyuruh pelayannya pergi dan mulai
memetik terong bersama ibunya. "Ah, terongnya
tumbuh subur. Ibu sendirikah yang menaburkan
pupuk?"
"Bukankah kau harus bergegas untuk menemui para
kurir Yang Mulia?" tanya ibunya.
"Tidak perlu. Aku sudah bisa menebak maksud
kedatangan mereka, jadi tak perlu bingung. Aku ingin
memetik beberapa terong dahulu . Tentu menyenangkan
memamerkan warna zamrud yang berkilau dan ber-
selubung embun pagi pada Yang Mulia aidit ."
"Kau akan memberikan terong kepada para utusan
sebagai tanda mata untuk Yang Mulia?"
"Bukan, aku sendiri yang akan membawa nya pagi
ini."
"Apa?!"
Bagaimanapun, patih ronggolawe sudah membangkitkan
kemarahan junjungannya, dan dikenakan tahanan
rumah. Pagi itu ibunya mulai merasa ragu, dan dalam
sekejap hampir bingung sebab cemas.
"Tuanku? Kedatangan tuanku sudah dinanti-nanti."
ngabehi datang menjemput patih ronggolawe , yang akhirnya
meninggalkan ladang terong.
sesudah persiapan untuk perjalanan tuntas,
patih ronggolawe meminta para utusan menyertainya kembali
ke madukara .
Tiba-tiba ia berhenti. "Oh, aku lupa sesuatu! Tanda
mata untuk Yang Mulia." Ia menyuruh seorang
pengikut mengambil keranjang berisi terong.
Semuanya sudah ditutup daun, dan embun masih
menempel.
Usia kota benteng kota madukara belum lagi setahun, namun
sepertiganya sudah rampung dan para warganya hidup
dalam kesejahteraan. Semua orang yang singgah di sini
terkesan oleh kesibukan kota baru ini, oleh jalan
berlapis pasir perak yang menuju gerbang benteng kota,
tangga yang dibuat dengan bongkahan batu besar,
dinding-dinding yang diplester, dan perlengkapan
logam yang dipoles sampai berkilau.
Dan scmcniara pemandangan itu memang
memukau, kemegahan donjon bertingkat lima tak
dapat dilukiskan, apakah dilihat dari danau, dari jalan-
jalan kota benteng kota di bawah nya, atau bahkan dari
pekarangan benteng kota sendiri.
"patih ronggolawe , kau datang." Suara aidit terdengar
dari balik pintu geser yang tertutup. Ruangan itu, di
tengah-tengah pernis emas, merah, dan biru madukara ,
dihiasi oleh lukisan tinta yang bersahaja.
patih ronggolawe masih agak jauh, menyembah di ruang
sebelah.
"Kurasa kau sudah mendengamya, patih ronggolawe ,
Hukumanmu sudah kubatalkan. Masuklah."
patih ronggolawe maju perlahan-lahan dari ruang sebelah,
sambil membawa keranjang berisi terong.
aidit menatapnya curiga. "Apa itu?"
"Ehm, moga-moga tanda mata ini berkenan di hati
tuanku." patih ronggolawe bergerak maju dan meletakkan
keranjangnya di hadapan aidit . "Ibu dan istri
hamba menanam terong ini di kebun di benteng kota."
"Terong?"
"Tuanku mungkin menganggapnya tanda mata yang
konyol dan aneh, namun sebab hamba datang naik
perahu cepat, hamba pikir tuanku sempat melihat
terong ini sebelum embunnya menguap. Hamba
sendiri yang memetik semuanya tadi pagi."
"patih ronggolawe , kurasa yang hendak kauperlihatkan
tentu bukan terong maupun embun yang belum
menguap. Apa sebetulnya yang hendak kausampai-
kan?"
"Tuanku tentu dapat menebaknya. Hamba pelayan
yang tak berarti, namun tuanku sudah mengangkat hamba
dari petani bersahaja menjadi pengikut yang
mengujawa wilayah senilai dua ratus dua puluh ribu
gantang. Walau demikian, ibu hamba yang tua tak
pernah lalai mengangkat pacul, menyiram sayur-
mayur, dan menabur pupuk di ladang. Setiap hari
hamba berterima kasih atas pelajaran yang diberi-
kannya. Tanpa perlu berkata apa-apa, dia memberi
tahu hamba, Tak ada yang lebih berbahaya dibandingkan
petani yang menjadi orang besar, dan kau sebaiknya
membiasakan diri bahwa perasaan dengki orang lain
berasal dari kesombongan mereka sendiri. Jangan lupa
masa lalumu di lemahlaban , dan ingatlah selalu
kemurahan hati yang ditunjukkan junjunganmu
padamu."
aidit mengangguk, dan patih ronggolawe melanjut-
kan. "Percayakah tuanku bahwa hamba mungkin
menyusun strategi yang tidak menguntungkan bagi
tuanku, kalau hamba memiliki ibu seperti itu? Hamba
menganggap pelajarannya sebagai jimat. Walaupun
hamba bertikai secara terbuka dengan panglima
centeng , dalam dada hamba tidak ada kepalsuan."
Pada titik itu, tamu di samping aidit menepuk
pahanya dan berkata, "Terong ini benar-benar tanda
mata yang baik. Nanti kita cicipi bersama."
Baru sekarang patih ronggolawe menyadari bahwa ada
orang lain di dalam ruangan: seorang laki-laki yang
tampak berusia tiga puluhan. Mulutnya yang besar
memperlihatkan kemauannya yang keras. Alisnya
tebal, dan pangkal hidungnya agak melebar. Sulit
dikatakan apakah ia keturunan petani atau sekadar
berbadan tegap, namun sorot matanya dan kilauan
kulitnya yang berwarna merah tua menunjukkan
bahwa ia memiliki kekuatan batin yang hebat.
'Apakah terong dari kebun ibu patih ronggolawe juga
menyenangkanmu, keraton ? Aku sendiri senang
menerimanya," ujar aidit sambil tertawa .
lalu , dengan sikap lebih serius, ia memper-
kenalkan tamunya pada patih ronggolawe .
"Ini Kursinuhun keraton , putra Kursinuhun Mototaka,
pengikut senior Odera Masamoto di sumberdadi ."
Mendengar ini, patih ronggolawe tak sanggup menyem-
bunyikan rasa terkejutnya. Kursinuhun keraton adalah
nama yang terus-menerus didengarnya. Disamping itu,
ia sering melihat surat-suratnya.
"Wah! Jadi, Tuan-lah Kursinuhun keraton ."
"Dan aku berhadapan dengan Yang Mulia
patih ronggolawe , yang namanya sudah sering kudengar?"
"Selalu dalam surat."
"Ya, namun aku tak bisa menganggap ini sebagai
pertemuan kita yang pertama."
"Dan sekarang aku ada di sini, memohon ampun
pada junjunganku. Aku gelisah khawatir Tuan akan
menertawa kanku. Inilah patih ronggolawe , orang yang selalu
dimarahi oleh junjungannya." Dan ia tertawa dengan
suar, yang seakan-akan menyapu segala sesuatu.
aidit pun tertawa lepas. Dengan patih ronggolawe ia
bisa tertawa gembira mengenai hal-hal yang sebenar-
nya tidak menggembirakan.
Dalam waktu singkat, terong yang dibawa patih ronggolawe
selesai dimasak, dan tak lama lalu ketiga orang
itu sudah memulai pesta minum. keraton sembilan
tahun lebih muda dari patih ronggolawe , namun tak kalah
sedikit pan dalam pemahaman mengenai arus zaman
atau intuisi tentang siapa vang akan meraih tampuk
kekuasaan. Ia tak lebih dari putra pengikut sebuah
marga berpengaruh di sumberdadi , namun ia memiliki
benteng kota kecil di mendutrejo, dan sejak muda sudah meng-
genggam ambisi besar. Selain itu, dari orang di
provinsi-provinsi Barat, hanya ia sendiri yang cukup
jeli membaca perkembangan, sehingga mendatangi
aidit dan diam-diam menekankan pentingnya
penaklukan daerah tcrscbut. Pihak paling berkuasa di
daerah Barat adalah marga patih yang memiliki
pengaruh di dua puluh provinsi. keraton hidup di
tengah-tengah mereka, namun ia tidak silau melihat
kebesaran mereka. Ia menyadari bahwa sejarah bangsa
mengalir ke satu arah. Dibekali pengertian ini, ia
mencari-cari satu orang: aidit . Dari sudut itu
saja, sulit menganggap keraton sebagai orang
kebanyakan. sebetulnya ia merupakan orang yang
pandai membeda-bedakan.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa satu orang
besar selalu dapat mengenali orang besar lainnya.
Dalam percakapan mereka pada pertemuan patih ronggolawe
dan keraton tampak akrab, seakan-akan sudah saling
mengenal selama seratus tahun.
Si kuyang Menuju ke Barat
TlDAK lama sesudah pertemuannya dengan keraton ,
patih ronggolawe menerima tugas khusus dari aidit .
"sebetulnya ." aidit mulai berkata, "aku sendiri
ingin memimpin centeng dalam ekspedisi ini, namun
keadaan tidak memungkinkan. sebab alasan itu, aku
mempercayakan semuanya padamu. Kau akan me-
mimpin tiga centeng , membawa mereka ke provinsi-
provinsi Barat, dan membujuk marga patih agar mau
tunduk padaku. Ini tanggung jawab besar yang hanya
dapat diemban oleh kau seorang. Bersediakah kau?"
patih ronggolawe membisu. Ia begitu gembira dan di-
penuhi rasa terima kasih sehingga tak sanggup men-
jawab langsung.
"Hamba menerima tugas ini," ia akhirnya berkata
dengan emosi mendalam.
Ini baru kedua kali aidit mengerahkan tiga
centeng dan menyerahkan kepemimpinan kepada
salah satu pengikutnya. Sebelumnya ia menugaskan
dijoyo sebagai panglima tertinggi operasi di Utara.
namun sebab demikian penting dan begitu sukar,
penyerbuan ke provinsi-provinsi Barat tak dapat
dibandingkan dengan operasi di Utara.
patih ronggolawe merasa seolah-olah beban yang teramat
berat diletakkan ke atas bahunya. saat melihat
roman muka patih ronggolawe yang ragu-ragu, aidit
tiba-tiba waswas dan bertanya-tanya apakah tanggung
jawab itu tidak terlalu berat. "Apakah patih ronggolawe
memiliki kepercayaan diri untuk memikul tanggung
jawab ini?" ia bertanya dalam hati.
"patih ronggolawe , apakah kau akan kembali dahulu ke
benteng kota lojibenteng sebelum mengerahkan centeng ?"
tanya aidit . "Atau kau lebih suka bertolak dari
madukara ?"
"Jika tuanku memperkenankan, hamba akan
berangkat dari madukara hari ini juga."
"Kau tidak menyesal meninggalkan lojibenteng ?"
"Tidak. Ibu, istri, dan anak angkat hamba berada di
sana. Mengapa hamba harus merasa sedih?"
Anak angkat yang dimaksud adalah putra keempat
aidit , Tsugimaru. patih ronggolawe sudah diperkenan-
kan aidit untuk membesarkannya.
aidit tertawa , lalu bertanya, "Kalau operasi ini
ternyata berkepanjangan dan provinsi asalmu jatuh ke
tangan anak angkatmu, di mana kau akan membentuk
wilayahmu sendiri?"
"sesudah menundukkan daerah Barat, hamba akan
memintanya."
"Dan kalau tidak diberikan?"
"Barangkali hamba bisa menaklukkan Kyushu dan
tinggal di sana." aidit tertawa terbahak-bahak,
dan melupakan perasaan waswasnya kemula.
Dengan gembira patih ronggolawe kembali ke ruangannya,
dan segera menceritakan perintah aidit pada
ngabehi . ngabehi langsung mengirim kurir pada
banaspati , yang bertanggung jawab di lojibenteng
selama patih ronggolawe pergi. banaspati berjalan sepanjang
malam, memimpin centeng untuk bergabung dengan
majikannya. Sementara itu, sebuah pemberitahuan
diedarkan pada semua resi aidit , berisi kabar
mengenai penugasan patih ronggolawe .
saat banaspati tiba pada pagi hari dan
mendatangi ruangan patih ronggolawe , ia menemukan
patih ronggolawe sendirian, sedang mengoleskan moxa ke
tulang kering.
"Itu persiapan yang baik untuk menghadapi operasi
militer," ujar banaspati .
"Aku masih punya setengah lusin bekas luka di
punggung, dari waktu aku diobati dengan moxa saat
aku kanak-kanak." jawab patih ronggolawe sambil mengena-
kan gigi sebab menahan panas yang hebat. "Aku tidak
suka moxa sebab sengatannya, namun kalau aku tidak
melakukan ini, ibuku akan cemas. Kalau kaukirim
kabar ke lojibenteng , tolong tuliskan bahwa aku
memakai moxa setiap hari."
Begitu selesai mengoleskan moxa, patih ronggolawe
berangkat ke garis depan. centeng yang bertolak dari
madukara pada hari itu benar-benar memesona.
aidit mengamati mereka dari donjon. Si kuyang
dari lemahlaban sudah maju sekali, ia berkata dalam
hati. Tak terhitung banyaknya perasaan yang melintas
di dadanya saat ia melihatlihat panji berlambang
labu emas milik patih ronggolawe menghilang di kejauhan.
Provinsi sumberdadi merupakan mutiara giok dalam
pertarungan antara naga dari Barat dan macan dari
Timur. Apakah provinsi itu akan bergabung dengan
kekuatan sinuhun yang sedang bangkit? Atau justru
berpihak pada kekuasaan tua marga patih?
Semua marga, baik yang besar maupun yang kecil,
di provinsi-provinsi Barat yang membentang dari
sumberdadi ke Hoki kini menghadapi pilihan yang sukar.
Beberapa berpcndapat. "Marga patih merupakan
kekuatan utama di daerah Barat. Mereka tentu takkan
runtuh."
Yang lain, yang tidak begitu percaya, membalas.
"Tidak, kita tak bisa mengabaikan orang-orang sinuhun
yang tiba-tiba menanjak dengan pesat."
Orang biasa mengambil keputusan dengan mem-
bandingkan kelebihan kedua belah pihak luas wilayah
masing-masing, jumlah praiurit, dan sekutu. namun
dalam hal ini, mengingat hebatnya pengaruh marga
patih dan luasnya wilayah marga sinuhun , kekuatan kedua
belah pihak tampak seimbang.
Siapa yang akan menaklukkan masa depan?
Provinsi-provinsi Barat yang terombang-ambing
antara gelap dan terang dan tak sanggup menentukan
pilihan inilah yang dituju oleh centeng patih ronggolawe
pada hari kedua puluh tiga di Bulan Kesepuluh.
Ke Barat. Ke Barat.
Tanggung jawab nya teramat berat. saat patih ronggolawe
berkuda di bawah panji berlambang labu emas,
wajahnya tampak cemas. Usianya empat puluh satu
tahun. Kedua bibirnya merapat, membentuk garis
panjang, sewaktu kudanya melangkah tenang. Debu
yang ditcrbangkan angin menyelubungi seluruh
centeng .
Sesekali patih ronggolawe mengingatkan diri bahwa ia
sedang maju ke provinsi-provinsi Barat. Bagi
patih ronggolawe sendiri, hal ini tidak banyak pengaruhnya,
namun saat ia bertolak dan madukara , para resi lain
mengucapkan selamat padanya.
"Yang Mulia akhirnya mengambil keputusan tepat
dan mengusahakan agar kau dapat berguna. Tuan
patih ronggolawe , Tuan tidak kalah dari siapa pun. Tuan
harus membalas kemurahan hati Yang Mulia."
Berlawan an dengan ini, nyoto dijoyo tampak
sangat tidak senang. "Apa? Dia ditunjuk sebagai
panglima tertinggi operasi di provinsi-provinsi Barat?!"
dijoyo tertawa mengejek saat membayangkannya.
Mudah dipahami mengapa dijoyo berpikiran
seperti itu. Pada waktu patih ronggolawe masih seorang
pelayan yang bertugas membawa sandal aidit
dan bertempat tinggal di kandang bersama kuda-kuda,
dijoyo sudah menjadi resi marga sinuhun . Selain itu,
ia menikah dengan adik aidit dan memimpin
provinsi senilai lebih dari tiga ratus ribu gantang. Dan
lalu , saat dijoyo dijadikan panglima tertinggi
operasi Utara, patih ronggolawe sudah melanggar perintah
dan kembali ke lojibenteng tanpa pemberitahuan lebih
dahulu . Sebagai pengikut senior, dijoyo kini melakukan
berbagai manuver politik untuk mengecilkan arti
penyerbuan kc provinsi-provinsi Barat.
Di atas kudanya dalam perjalanan ke daerah Barat
itu, tak putus-putusnya patih ronggolawe terkekeh-kekeh.
Segala hal itu tiba-tiba melintas dalam benaknya
pada waktu ia mulai jemu dengan ketenteraman di
jalan yang menuju ke Barat. patih ronggolawe tertawa keras-
keras. ngabehi , yang berkuda di sebelahnya, menduga
ada yang terlewatkan olehnya dan bertanya. "Tuanku
mengatakan sesuatu?" sekadar untuk memastikannya.
"Oh, tidak," jawab patih ronggolawe .
centeng nya sudah menempuh jarak cukup jauh hari
ini, dan mereka sudah mendekati perbatasan sumberdadi .
"ngabehi , ada kejutan menyenangkan untukmu
kalau kita memasuki sumberdadi nanti."
"Hmm, apa kiranya?"
"Rasanya kau belum pernah berjumpa dengan
Kursinuhun keraton ."
"Belum, hamba belum pernah berjumpa dengannya,
namun sudah lama hamba mendengar namanya dinamakan -
sebut."
"Dia tokoh yang patut diperhatikan. Kalau bertemu
dia, kau tentu segera berteman dengannya."
"Hamba sudah banyak mendengar centa tentang
dia."
"Dia putra pengikut senior marga Odera, dan baru
berumur tiga puluhan."
"Bukankah operasi ini diprakarsai olehnya?"
"Benar. Dia cerdas dan bermata jeli."
"Tuanku kenal baik dengannya?"
"Aku mengenalnya lewat surat, namun baru-baru ini di
madukara aku bertemu dia untuk pertama kali. Kami ber-
bincang-bincang secara terbuka selama setengah hari.
Ah, aku merasa percaya sekali. Dengan raden mas
ngabehi di sisi kiri dan Kursinuhun keraton di sisi kanan,
aku sudah memiliki staf lapangan."
Tiba-tiba terjadi sesuatu yang menimbulkan
kekacauan dalam centeng . tawa salah seorang pelayan
meledak.
banaspati menoleh dan memberikan perintah
pada ki pralayan, kepala para pelayan. ki pralayan lalu meng-
hardik para pelayan di belakangnya. "Diam! Sebuah
centeng harus maju dengan penuh wibawa ."
saat patih ronggolawe menanyakan apa yang terjadi,
banaspati tampak salah tingkah. "sebab hamba
mengizinkan para pelayan berkuda, mereka bermain-
main dan mengacaukan barisan, seakan-akan hendak
berpiknik. Mereka membuat kegaduhan dan bersenda
gurau, dan ki pralayan pun tak dapat mengendalikan
mereka. Mungkin lebih baik kalau hamba menyuruh
mereka berjalan kaki."
patih ronggolawe memaksakan tawa dan memandang ke
belakang. "Mereka bcrsuka ria sebab mereka masih
muda, dan kegembiraan mereka tentu sukar dihalau.
Biarkan saja mereka. Belum ada yang jatuh dari
kudanya, bukan?"
"Yang paling muda dari mereka, Saluchi, rupanya
tidak biasa berkuda, dan ada yang sengaja mem-
buatnya terjatuh."
"Saluchi jatuh dari kuda? Hmm, itu pun latihan
yang berguna."
Berbeda dengan kepemimpinan dijoyo yang
serbamuram, atau kekerasan dan ketegasan aidit ,
gaya kepemimpinan patih ronggolawe berciri satu hal:
keriangan. Apa pun kesulitan yang menimpa centeng -
nya, mereka tetap memancarkan keriangan dan ke-
harmonisan sebagai satu keluarga besar.
Jadi, walaupun para pelayan, yang berusia antara
sebelas sampai enam belas tahun sudah melanggar
disiplin militer, patih ronggolawe sebagai "kepala keluarga"
hanya mengedipkan mata dan berkata. "Biarkan saja
mereka.''
Hari sudah mulai gelap saat barisan depan
memasuki sumberdadi , sebuah provinsi sekutu di tengah-
tengah wilayah musuh. sebab bingung tindakan apa
yang harus mereka ambil, dan di bawah tekanan
hebat dari provinsi-provinsi tetangga mereka, para
warga sumberdadi kini menyalakan api unggun di mana-
mana dan menyambut kedatangan centeng patih ronggolawe
dengan hangat.
centeng patih ronggolawe sudah menempuh langkah
pertama dalam penyerbuan provinsi-provinsi Barat.
saat barisan panjang itu memasuki benteng kota sambil
berbaris dua-dua, bunyi keletak-keletak meramaikan
suasana. Korps pertama terdiri atas para pembawa
panji; korps kedua merupakan korps penembak; yang
ketiga korps pemanah; yang keempat centeng tombak;
yang kelima centeng pedang. Korps tengah terdiri atas
centeng adipati berkuda dan pcrwira-perwira yang menge-
lilingi patih ronggolawe . Dengan para penabuh genderang,
polisi militer, para inspektu,. para penuntun kuda
cadangan dan kuda beban, dan para pengintai.
centeng itu berkekuatan sekitar tujuh ribu lima ratus
orang, dan setup penonton harus mengakuinya
sebagai kekuatan yang hebat.
Kursinuhun keraton berdiri di gerbang, menyambut
mereka. saat patih ronggolawe melihatnya, ia segera turun
dari kuda dan menghampiri keraton sambil tersenyum.
keraton pun maju dengan seruan selamat datang dan
tangan terentang. Mereka bertegur sapa seperti dua
sahabat yang sudah saling mengenal bertahun-tahun,
lalu masuk ke dalam benteng kota. keraton memper-
kenalkan patih ronggolawe kepada para pengikutnya yang
baru. Masing-masing orang menyebutkan namanya,
dan mengucapkan sumpah setia pada patih ronggolawe .
Di antara orang-orang itu ada laki-laki yang tampak
istimewa. "Hamba Yamanaka Shitinggi sumbingsuke." ia
memperkenalkan diri, "salah satu dari sedikit pengikut
marga Amako yang masih hidup. Sampai sekarang
tuanku dan hamba bertempur saling berdampingan,
namun di resimen bcrbeda, jadi kita tak pernah
berjumpa. namun hati hamba melonjak gembira sewaktu
mendengar bahwa tuanku akan menyerbu daerah
Barat, dan hamba memohon agar Yang Mulia keraton
memberikan rekomendasi untuk hamba."
Walaupun Shitinggi sumbingsuke sedang berlutut dengan
kepala tertunduk, dengan mclihat bahunya yang lebar
patih ronggolawe langsung tahu bahwa ia jauh lebih tinggi
dan tegap dari rata-rata. Dalam keadaan tegak, tinggi
badan Shitinggi sumbingsuke melebihi 180 senti. Usianya
sekitar tiga puluh tahun. Kulitnya bagaikan besi dan
sorot matanya menusuk seperti mata elang. patih ronggolawe
menatapnya sejenak, seakan-akan tak dapat mengingat
siapa laki-laki itu.
keraton membantunya. "Di zaman ini jarang ada
orang sesetia dia. dahulu dia mengabdi pada Amako
Yoshihisa, seorang bawahan yang dihancurkan oleh
orang-orang patih. Selama bertahun-tahun Shika-
nosuke memperlihatkan kesetiaannya, bahkan dalam
keadaan paling memprihatinkan sekalipun. Selama
sepuluh tahun terakhir ia turut dan dalam berbagai
pertempuran dan hidup sebagai pengembara,
mengusik marga patih dengan centeng -centeng kecil,
dalam rangka mengembalikan bekas junjungannya ke
wilayah yang menjadi haknya."
"Aku pun sudah mendengar nama Yamanaka
Shitinggi sumbingsuke yang setia. namun apa maksudmu sewaktu
kau berkata bahwa kita bertempur di resimen
berbeda?" tanya patih ronggolawe .
"Dalam operasi melawan marga grindananaga, hamba
bertempur bersama centeng Yang Mulia tunggadewa di
Gunung Shigi."
"Kau hadir di Gunung Shigi?"
Sekali lagi keraton angkat bicara. "Tahun-tahun
kesetiaan di tengah penderitaan akhirnya sia-sia
sebab marga Amako dikalahkan marga patih.
lalu , dia diam-diam memohon bantuan Yang
Mulia aidit . melalui jasa baik Yang Mulia
dijoyo . Dalam pertempuran di Gunung Shigi-lah
Shitinggi sumbingsuke memenggal kepala Kkertoarjo i Hidetaka yang
terkenal ganas."
"Rupanya kau yang menghabisi Kkertoarjo i," ujar
patih ronggolawe , seakan-akan segala keraguannya sudah
sirna. Sekali lagi ia menatap Shitinggi sumbingsuke, kali ini
sambil tersenyum lebar.
Dalam waktu singkat patih ronggolawe sudah memperlihat-
kan kehebatan centeng nya. Dua benteng kota, masing-
masing di Sayo dan Kozuki, bertekuk lutut, dan di
bulan yang sama patih ronggolawe menaklukkan marga
Ukita, sekutu marga patih. raden mas ngabehi dan
Kursinuhun keraton selalu berada di sisi patih ronggolawe .
Perkemahan utama dipindahkan ke mendutrejo. Selama
itu, Ukita Naoie terus meminta bala bantuan marga
patih. Pada waktu yang sama, orang-orang patih mem-
berikan centeng berkekuatan 9 ratus prajurit
kepada Makabe Harutsugu, centeng adipati paling tangguh di
Bizen. Dengan centeng itu, benteng kota Kozuki berhasil
direbut kembali oleh Makabe.
"patih ronggolawe ini ternyata tidak ada apa-apanya."
Makabe berseru .
Gudang-gudang mesiu dan makanan di benteng kota
Kozuki diisi lagi, dan centeng baru dikirim sebagai
bala bantuan.
"Hamba rasa kita tak bisa melepaskannya begitu
saja," ujar ngabehi .
"Rasanya memang begitu." kata patih ronggolawe dengan
hati-hati. Sejak datang ke mendutrejo, patih ronggolawe sudah
mempelajari situasi di provinsi-provinsi Barat.
"Menurutmu, siapa yang harus kutugaskan? Kelihatan-
nya pertempuran ini akan berlangsung sengit."
"Satu-satunya pilihan adalah Shitinggi sumbingsuke."
"Shitinggi sumbingsuke?"
keraton segera menyatakan sependapat.
Shitinggi sumbingsuke menerima perintah patih ronggolawe ,
menyiapkan centeng nya sepanjang malam, dan maju
ke benteng kota Kozuki. Akhir tahun sudah dekat, dan
udara teramat dingin.
Para perwira dan anak buah Shitinggi sumbingsuke dibakar
oleh semangat yang sama seperti komandan mereka.
Orang-orang itu sudah berikrar untuk menundukkan
marga patih dan mengembalikan Katsuhisa, pemimpin
marga Amako, ke kedudukan yang menjadi haknya,
dan kesetiaan dan keberanian mereka tak perlu
diragukan.
saat resi -resi Ukita menerima laporan para
pengintai bahwa mereka berhadapan dengan marga
Amako, di bawah komando Shitinggi sumbingsuke, mereka
langsung diserang rasa ngeri. Hanya mendengar nama
Shitinggi sumbingsuke, mereka merasakan kengerian yang
mungkin dialami seekor burung kecil saat menghadapi
macan yang mengamuk.
Mereka lebih takut terhadap serangan Shitinggi sumbingsuke
dibandingkan terhadap serangan yang dipimpin oleh
patih ronggolawe sendiri.
Dari segi itu, Shitinggi sumbingsuke merupakan orang paling
tepat untuk merebut benteng kota Kozuki. Bagaimanapun.
dengan kesetiaan dan keberaniannya yang tak ter-
goyahkan, ia sudah menimbulkan malapetaka dan
membangkitkan kengerian seperti dewa yang murka.
resi paling tangguh dari marga Ukita pun, Makabe
Harutsugu, meninggalkan benteng kota Kozuki tanpa
pertempuran, sebab percaya akan kehilangan terlalu
banyak orang jika ia diam di tempat dan melawan
Shitinggi sumbingsuke.
Pada saat anak buah Shitinggi sumbingsuke memasuki
benteng kota dan melaporkan bahwa benteng kota itu berhasil
direbut tanpa pertumpahan darah. Makabe sudah
meminta bala bantuan. sesudah bergabung dengan
centeng di bawah pimpinan saudaranya, sehingga
kekuatan mereka mencapai sekitar seribu lima ratus
sampai seribu enam ratus orang, Makabe maju lagi
untuk melancarkan serangan balasan, dan berhenti di
tengah awan debu di sebuah dataran tak jauh dari
benteng kota.
Shitinggi sumbingsuke memperhatikannya dari menara jaga.
"Sudah dua dongeng gu tak ada hujan. Mari kita berikan
sambutan hangat untuk mereka," katanya sambil
tertawa .
Shitinggi sumbingsuke membagi anak buahnya menjadi dua
kelompok. sesudah larut malam, mereka melancarkan
serangan mendadak, dan satu kelompok membakar
rumput-rumput kering di sekitar musuh. Dikelilingi
api yang berkobar-kobar, centeng Ukita terpaksa lari
dalam keadaan kacau-balau.
Kini korps kedua mulai benindak dan maju untuk
membinasakan mereka. Tak ada yang tahu berapa
jumlah musuh yang tewas dalam pembantaian ini, namun
komandan musuh, Makabe Harutsugu, dan saudara-
nya sama-sama menemui ajal.
"Rasanya mereka sudah jera sekarang."
"Tidak, mereka akan kembali lagi."
centeng Shitinggi sumbingsuke kembali ke Kozuki sambil
mengumandangkan nvanyian kemenangan. namun
lalu seorang kurir dari markas besar di mendutrejo
tiba, membawa perintah untuk mengosongkan
benteng kota dan kembali ke Himcji. Tidak mengherankan
bahwa perintah ini menimbulkan kemarahan besar
dalam segenap centeng . mulai dari Amako Katsuhisa,
si kepala marga, hingga ke jajaran bawah . Mengapa
mereka harus mengosongkan benteng kota yang baru saja
mereka rebut dan tangan musuh apalagi benteng kota ini
terletak di tempat strategis?
"Bagaimanapun, dia panglima teninggi," ujar Shika-
nosuke, yang harus menghibur Amako Katsuhisa dan
anak buahnya, dan kembali ke mendutrejo.
saat tiba di sana, ia segera menghadap patih ronggolawe .
"Jika hamba diperkenankan berbicara terus terang,
semua perwira dan anak buah hamba tercengang
mendengar perintah Yang Mulia. Hamba pun merasa-
kan hal yang sama."
"Untuk menjaga kcrahasiaan rencanaku, aku
sengaja tidak menyampaikan alasan gerak mundur ini
pada kurir yang kukirim, namun sekarang aku akan
menjelaskannya. benteng kota Kozuki merupakan umpan
yang baik untuk memancing orang-orang Ukita. Jika
kita mengosongkannya, mereka pasti akan memulih-
kan persediaan perbekalan, senjata, dan mesiu.
Mungkin mereka malah akan menambah centeng
penjaga. Dan saat itulah kita bergerak!" patih ronggolawe
tertawa . Sambil merendahkan suara, ia bersandar ke
depan dan mwnuding ke arah Bizen dengan kipas
perang. "Tak pelak lagi. Ukita Naoie menduga aku
akan kembali menyerang benteng kota Kozuki. Hanya saja
kali ini dia sendiri memimpin centeng besar, dan kita
akan menyiasatinya. Jangan gusar, Shitinggi sumbingsuke."
Pergantian tahun sudah tiba. Laporan-laporan para
pengintai tepat seperti yang diduga: Orang-orang
Ukita memindahkan perbekalan dalam jumlah besar
ke benteng kota Kozuki. Komando benteng kota itu
diberikan pada Ukita Kagetoshi, dan centeng pilihan
dikirim untuk berjaga-raga di tembok pertahanan.
patih ronggolawe mengepung benteng kota itu dan me-
merintahkan Shitinggi sumbingsuke ditambah centeng nya yang
berkekuatan sepuluh ribu orang bersembunyi di
sekitar Sungai Kumami.
Sementara itu, Ukita Naoie, yang merencanakan
serangan menjepit terhadap centeng patih ronggolawe
dengan bekerja sama dengan centeng penjaga
benteng kota, bertindak sebagai panglima centeng Bizen.
Umpan sudah terpasang. saat Naoie menyerang
patih ronggolawe , Shitinggi sumbingsuke menyambar bagaikan angin
puyuh, meluluhlaniakkan centeng Naoie. Hanya
dengan susah payah Naoie berhasil menyelamatkan
nyawan ya. sesudah mengatasi orang-orang Ukita,
Shitinggi sumbingsuke bergabung dengan patih ronggolawe untuk
serangan besar-besaran terhadap benteng kota Kozuki.
patih ronggolawe melancarkan serangan api. Begitu banyak
orang tewas dalam kobaran api di benteng kota itu,
sehingga tempat itu dikenal sebagai Lembah Neraka di
Kozuki oleh generasi-generasi selanjutnya.
"Kali ini aku takkan menyuruhmu mengosongkan
benteng kota." patih ronggolawe berkata pada Amako Katsuhisa.
"Jagalah baik-baik."
Begitu patih ronggolawe selesai membereskan Tajima dan
sumberdadi , ia kembali ke madukara dengan membawa
kemenangan. Ia tinggal kurang dari sebulan di sana,
sebelum bertolak lagi ke dacrah Barat di Bulan Kedua.
Selama selang waktu itu, provinsi-provinsi Barat
terburu-buru menyiapkan diri untuk menghadapi
peperangan. Ukita Naoie mengirim pesan mendesak
kepada marga patih:
Situasinya suram. Urusan mi tidak hanya menyangkut
Provinsi sumberdadi . Sekarang Amako Katsuhisa dan
Yamanaka Shitinggi sumbingsuke menduduki benteng kota Kozuki,
dengan dukungan patih ronggolawe . Masalah ini akan membawa
dampak serius yang tak bisa dtabaikan oleh marga patih.
Apa maksud semuanya ini, kalau bukan langkah pertama
pihak Amako yang sudah dihancurkan oleh marga patih
untuk merebut kembali tanah mereka yang hilang?
Seyogyanya marga patih tidak menutup mata terhadap
perkembangan ini, melainkan mengirim centeng besar dan
menghancurkan mereka sekarang. Kami, para centeng adipati
Ukita, akan membentuk barisan depan dan membalas budi
atas kebaikan-kebaikan di masa lampau.
resi -resi kepercayaan patih Terumoto adalah
putra-putra kakeknya. patih Motonari yang tersohor.
Mereka dikenal sebagai "Kedua Paman Marga patih".
Kcdua-duanya diwarisi bakat Motonari. Kobayakkertoarjo
Takakage adalah laki-laki berpengetahuan luas,
sedangkan Kikkkertoarjo Motoharu memiliki ketenangan,
kebajikan, dan kecakapan.
Pada masa hidupnya, Motonari menguliahi anak-
anaknya sebagai berikut. "Pada umumnya, tak ada
yang lebih mengundang bencana dibandingkan orang yang
ingin meraih kepemimpinan seluruh negeri, namun tidak
memiliki kemampuan untuk memegang tampuk
pemerintahan. Kalau orang seperti itu memanfaatkan
keadaan zaman dan berusaha merebut kekuasaan,
kehancuranlah yang akan menyusul. Sadarilah status
kalian, pimpinlah provinsi-provinsi Barat, dan
bertahanlah di kkertoarjo san penting ini. Kalian tak perlu
melakukan apa-apa selain berusaha agar tidak
ketinggalan dari orang lain.
Peringatan Motonari masih dihargai sampai hari
itu. Dan inilah sebabnya marga patih tidak memiliki
ambisi seperti marga sinuhun , kramat, mpu ireng , maupun
prabu kertoarjowardana . Walaupun mereka menampung bekas
pandita , yosodiprojo , berkomunikasi dengan para biksu-
prajurit ronggodwijoyo , dan bahkan membentuk per-
sekutuan rahasia dengan kramajaya , semuanya
semata-mata demi perlindungan provinsi-provinsi
Barat. Di hadapan serbuan aidit , benteng kota-
benteng kota di provinsi-provinsi yang berada di bawah
kendali marga patih merupakan garis pertahanan
pertama wilayah mereka .
namun kini daerah Barat sendiri yang menghadapi
serangan-serangan gencar. Satu mata ramai garis
pertahanan itu sudah terputus, membuktikan bahwa
provinsi-provinsi Barat pun tak dapat menutup diri
terhadap perputaran zaman.
"centeng utama sebaiknya dibentuk oleh gabungan
kekuatan Terumoto dan Takakage, dan mereka harus
menyerang Kozuki bersama-sama. Aku akan me-
mimpin para prajurit semeru , Hoki, Izumo, dan Iwami,
bergabung dengan para prajurit hadijaya dan Tajima di
tengah jalan, lalu menyerbu ibu kota, bekerja sama
dengan para biksu-prajurit ronggodwijoyo , dan meng-
hantam markas besar aidit di madukara ."
Sirategi berani ini diajukan oleh Kikkkertoarjo
Motoharu, namun baik patih Terumoto maupun
Kobayakkertoarjo Takakage tidak menyetujuinya, sebab
menganggap rencana itu terlalu ambisius. Akhirnya
diputuskan bahwa mereka akan menyerang benteng kota
Kozuki dahulu .
Di Bulan Ketiga, centeng patih berkekuatan tiga
puluh lima ribu orang bertolak ke Utara. patih ronggolawe
sudah pergi ke benteng kota Kakwilangan di sumberdadi , namun
centeng nya hanya berjumlah tujuh ribu lima ratus
orang. Dengan mengerahkan sekutu-sekutunya di
sumberdadi pun centeng nya bukan tandingan orang-
orang patih.
patih ronggolawe berusaha tetap tampak tenang, dan
menyatakan bahwa bala bantuan akan dikirim jika
diperlukan. Namun centeng nya dan para sekutunya
terguncang oleh kekuatan musuh yang mereka
hadapi. Tanda ketidaksetiaan segera terlihat. Bessho
Nagaharu, penguasa benteng kota Miki dan sekutu utama
aidit di bagian timur sumberdadi , membelot ke kubu
musuh. Bessho menyebarkan desas-desus palsu
tentang patih ronggolawe untuk membenarkan peng-
khianatannya, dan secara bersamaan ia mengundang
pihak patih ke benteng kotanya.
Sekitar waktu itulah patih ronggolawe menerima kabar tak
terduga: kramajaya dari Echigo sudah tiada.
Bukan rahasia lagi bahwa kramajaya amat menggemari
anggur , dan sementara orang menduga ia meninggal
akibat penyakit ayan. namun ada pula yang berpendapat
ia dibunuh. Malam itu patih ronggolawe berdiri di atas
Gunung Shosha, pandangannva menerawan g ke
bintang-bintang, dan ia mengenang kehebatan dan
kehidupan kramajaya .
benteng kota Miki memiliki beberapa benteng kota cabang
di Ogo, Hataya, Noguchi, Shikata, dan Kanki, dan
semuanya mengikuii jejak Miki dan mengibarkan
bendera pemberontakan. Para komandan benteng kota-
benteng kota itu mencemooh patih ronggolawe dan centeng nya
yang kecil.
Pada titik inilah keraton mengusulkan strategi baru
pada patih ronggolawe .
"Kita mungkin akan terpaksa meremukkan benteng kota-
benteng kota kecil itu satu per satu. namun menurut hamba,
merebut benteng kota Miki dengan menyingkirkan kerikil-
kerikil di sekiurnya merupakan strategi terbaik."
patih ronggolawe mula-mula merebut benteng kota Noguchi,
memaksa Kanki dan Takasago untuk menyerah, dan
membakar desa-desa tetangga satu per satu. Ia sudah
setengah berhasil menundukkan marga Bessho saat
sepucuk surat penting dari Shitinggi sumbingsuke tiba dari
benteng kota Kozuki yang tengah dikepung.
Kami dikepung centeng patih berkekuatan besar. Situasi
kami amat menyedthkan. Harap kirim bala bantuan. Para
prajurit Kobayakkertoarjo berjumlah lebih dari dua puluh ribu
orang. Kikkkertoarjo memimpin enam belas ribu orang. Selain
itu, Ukita Naoie pun ber-gabung dengan centeng
berkekuatan lima belas ribu orang, jadi seluruhnya pasti
tak kurang dan lima puluh ribu orang. Untuk memutuskan
hubungan antara Kozuki dan sekutu-sekutunya, centeng
musuh menggali selokan panjang melintasi lembah, dan
mendirikan tembok pertahanan dan penghalang. Mereka
juga memiliki sekitar tujuh ratus kapal perang yang sedang
berlayar di perairan sumberdadi dan Settsu. Tampaknya
mereka akan mengirim bala bantuan dan perbekalan lewat
darat.
Mau tak mau sepak terjang patih ronggolawe terhenti oleh
laporan ini. Masalah yang mereka hadapi memang
sangat berat. Dan mendesak untuk ditangani. namun
bukan suatu kejutan, sebab pengerahan centeng patih
sebelumnya sudah diperhitungkan dalam rencana
patih ronggolawe .
Setiap kali menghadapi masalah, perasaan
patih ronggolawe diwujudkan dalam bentuk kening berkerut.
sebab sudah meramalkan perkembangan terakhir, ia
sudah minta bala bantuan dari aidit , namun sejauh
ini belum ada jawaban pasti dari ibu kota. patih ronggolawe tidak
memiliki bayangan sama sekali apakah bala bantuan
sudah dikirim atau justru tidak akan datang.
benteng kota Kozuki, yang kini mati-matian dipertahan-
kan oleh Amako Katsuhisa dan Shitinggi sumbingsuke, terletak
di pertemuan tiga provinsi: Bizen, sumberdadi , dan
wirongeni . Walaupun hanya benteng kota kecil di dekat
desa pegunungan, benteng kota Kozuki menempati posisi
strategis yang sangat penting.
Jika seseorang hendak memasuki daerah Sanin,
Kozuki merupakan tantangan pertama yang harus
dikujawa . Dengan sendirinya orang-orang patih mem-
pertimbangkan hal ini secara serius, dan patih ronggolawe
terkesan oleh kejelian musuh dalam membaca situasi.
namun kekuatannya tidak mcmadai untuk membagi
centeng nya menjadi dua.
aidit bukanlah orang berjrwa kerdil yang tak
sanggup mempercayakan tugas-tugas penting pada
orang-orang di bawah komandonya. namun pada
dasarnya segala sesuatu harus berada di tangannya. Ia
berpegang pada prinsip bahwa jika seseorang
mengancam kendalinya, orang itu tak boleh dipercaya
sedikit pun. patih ronggolawe mengetahui hal ini dari
pengalaman. Walaupun ia diberi tanggung jawab
sebagai panglima tertinggi dalam operasi itu, ia tak
pernah mengambil keputusan besar seorang diri.
Jadi, ia acap kali mengirim kurir untuk menanyakan
pendapai aidit , biarpun muncul kesan bahwa ia
meminta petunjuk dari madukara untuk setiap persoalan
sekecil apa pun. Ia mengutus pengikut-pengikut
kepercayaan untuk memberikan laporan terperinci,
sehingga aidit selalu memahami perkembangan
terakhir.
sesudah mengambil keputusan dengan cara seperti
biasa, aidit langsung memerintahkan persiapan
untuk keberangkatannya. Namun para resi lain
memperingatkannya. mpu wiraghanda. danakertoarjo , Hachiya,
tunggadewa semua nya berpendapat sama.
"Medan di sumberdadi sangat berat, penuh gunung-
gunung dan jalan setapak yang sukar dilewati.
Bukankah lebih baik kalau tuanku mengirim bala
bantuan lebih dahulu , dan menunggu tindakan musuh?"
resi lain melanjutkan. "Dan operasi tuanku di
daerah Barat ternyata berkepanjangan, para biksu-
prajurit ronggodwijoyo mungkin memotong jalan kita dari
belakang, dan mengancam prajurit-prajurit kita dari
darat maupun laut."
aidit berhasil dipengaruhi oleh alasan-alasan
mereka dan menunda keberangkaiannya. namun jangan
lupa perasaan para resi terhadap patih ronggolawe , setiap
kali rapat perang diadakan. Tanpa mengatakan secara
terbuka, mereka seakan-akan mempertanyakan
mengapa patih ronggolawe ditunjuk sebagai panglima
tertinggi. Tak perlu orang bermata jeli untuk
mengetahui bahwa mereka menganggap patih ronggolawe tak
sanggup mengemban tanggung jawab itu. Dan di
samping segala tuduhan tak langsung, masih ada satu
hal lagi: biarpun aidit sendiri yang pergi, tetap
saja patih ronggolawe yang akan menerima semua pujian.
Dengan mcmimpin bala bantuan berkekuatan dua
puluh ribu orang, mpu wiraghanda, danakertoarjo , Niwa, dan
tunggadewa bertolak dari ibu kota dan mencapai
sumberdadi pada awal Bulan Kelima. Belakangan
aidit mengirim putranya, tungguljaya, untuk ber-
gabung dengan mereka.
Sementara itu, sesudah memperkuat centeng
utamanya dengan ujung tombak bala bantuan di
bawah komando dimasireng . patih ronggolawe me-
mindahkan seluruh centeng , yang kini berada di
sebelah timur benteng kota Kozuki, ke Gunung siwagunung .
saat mengamati posisi benteng kota Kozuki dari tempat
itu, ia menyadari bahwa akan sukar sekali meng-
hubungi orang-orang di dalam benteng kota.
Baik Sungai Ichi maupun anak-anak sungainya
mengalir di kaki gunung tempat benteng kota Kozuki
berdiri. Selain itu, baik ke barat laut maupun ke
tenggara benteng kotanya terlindung oleh tebing-tebing
Gunung Okami dan Gunung Taihei. Mendekati
benteng kota itu merupakan hal yang mustahil.
sebetulnya ada satu jalan, namun jalan itu ditutup
oleh pihak patih. Melewati jalan itu, kubu-kubu
pertahanan dan panji-panji musuh tampak di setiap
sungai, lembah, dan gunung. Sebuah benteng kota dengan
pertahanan alami seperti ini dapat bertahan terhadap
serangan musuh, namun letaknya menimbulkan kesulitan
besar bagi bala bantuan yang berusaha mencapainya.
"Tak ada yang bisa kita lakukan." patih ronggolawe ber-
keluh kesah. Sepertinya ia mengakui bahwa sebagai
resi , ia kehabisan akal untuk menyusun strategi.
Akhirnya, saat malam tiba, ia memerintahkan
anak buahnya untuk membuat api unggun besar. Tak
lama lalu , lidah api raksasa terlihat dari Gunung
siwagunung sampai ke sekitar Gunung Mikazuki,
melewati puncak-puncak dan lembah-lembah. Pada
siang hari, tak terhitung banyaknya panji dan bendera
digantung di pepohonan di tempat-tempat tinggi,
sehingga menunjukkan kehadiran centeng patih ronggolawe
kepada musuh, dan memberi semangat kepada
centeng kecil di dalam benteng kota. Ini berlangsung
sampai Bulan Kelima. sampai kedatangan bala
bantuan berkekuatan dua puluh ribu orang di bawah
mpu wiraghanda, Niwa, danakertoarjo , dan tunggadewa .
Semuanya kembali bersemangai, namun hasil yang
diperoleh tidak membenarkan kegembiraan seperti
itu. Masalahnya, kini terlalu banyak resi tersohor
berkumpul di satu tempat, dan dalam keadaan bahu-
membahu dengan patih ronggolawe , tak seorang pun ber-
sedia menduduki posisi lebih rendah. Baik Niwa
maupun mpu wiraghanda merupakan senior patih ronggolawe ,
sementara tunggadewa dan danakertoarjo setaraf dengannya
dalam hal popularitas dan kecerdasan.
Mereka sendiri menimbulkan suasana serbaragu
mengenai siapa sebetulnya panglima tertinggi.
Perintah tak bisa melalui dua jalur, namun kini
perintah diberikan oleh beberapa resi . Pihak
musuh dapat mencium kesulitan seperti itu. centeng
patih cukup kertoarjo s untuk memahami perkembangan
situasi. Suatu malam, centeng Kobayakkertoarjo menyusuri
bagian belakang Gunung siwagunung dan melancarkan
serangan mendadak terhadap perkemahan sinuhun .
Korban berjatuhan di kalangan anak buah
patih ronggolawe . lalu centeng Kikkkertoarjo bergerak
cepat dari dataran di belakang daerah Shikama dan
melancarkan serangan mendadak terhadap korps
perbekalan sinuhun , membakar kapal-kapal mereka, dan
melakukan segala sesuatu untuk menimbulkan
kekacauan.
Suatu pagi, saat patih ronggolawe memandang ke arah
Kozuki, ia melihat menara jaga benteng kota itu sudah
dihancurkan pada malam sebelumnya. Pada waktu
menyelidiki kejadian itu, patih ronggolawe diberitahu bahwa
marga patih memiliki meriam bangsa barbar dari
Selatan, dan rupanya mereka sudah menghancurkan
menara jaga dengan tembakan meriam yang kena
telak. Terkesan oleh unjuk kekuatan ini, patih ronggolawe
bertolak ke ibu kota.
saat tiba di trowulan , patih ronggolawe langsung menuju
Istana Nijo. Pakaiannya masih penuh debu perjalanan,
dagunya dipenuhi pangkal janggut.
"patih ronggolawe ?" aidit harus mclihat dua kali
sebelum percaya. Penampilan patih ronggolawe sungguh ber-
beda dengan laki-laki yang meninggalkan ibu kota
sebagai pemimpin centeng ; matanya tampak cekung.
dan janggut tipis berwarna kemerahan mengelilingi
mulutnya, seperti sikat kasar.
"patih ronggolawe , mengapa kau datang ke sini dengan
wajah tertekan seperti itu?"
"Hamba tidak punya waktu banyak, tuanku."
"Kalau begitu, mcngapa kau di sini?"
"Hamba datang untuk memohon pctunjuk."
"Kau memang resi yang merepotkan. Aku sudah
menunjukmu sebagai panglima tertinggi, bukan?
Kalau kau menanyakan pendapatku tentang segala
sesuatu, kau takkan punya waktu untuk menjalankan
taktik-taktikmu. Kenapa kau begitu bimbang kali ini?
Tidak mampukah kau bertindak sendiri?"
"Sudah sewajarnya tuanku merasa gusar, namun
hendaknya perintah tuanku hanya melewati satu
jalur."
"Pada waktu kuserahkan tongkat komando ke
tanganmu, aku sudah memberikan wewenang dalam
segala situasi. Kalau kaupahami keinginanku, berarti
perintahmu adalah perintahku. Mengapa mcsti
bingung?"
"Dengan segala hormat, justru dalam hal ini hamba
mengalami kesulitan. Hamba tidak menginginkan satu
prajurit pun gugur sia-sia."
"Apa maksudmu?"
"Kalau situasi sekarang masih berkelanjuian, kita tak
mungkin menang."
"Kenapa kau berpikir demikian?"
"Betapapun tidak berartinya hamba, sebagai
panglima tertinggi, hamba tidak bermaksud membawa
centeng hamba menuju kekalahan yang menyedih-
kan. namun kekalahan tak terelakkan. Dalam hal
semangat tempur, perlengkapan, dan keuntungan
medan, sekarang ini kami tak dapat menandingi pihak
patih."
"Hal pcrtama yang harus diingat," balas aidit .
"kalau panglima tertinggi belum-belum sudah takut
kalah, dia tidak memiliki alasan untuk mengharapkan
kemenangan."
"namun kalau kita salah perhitungan, menyangka kita
bisa menang, kekalahan kita mungkin berakibat fatal.
Jika centeng tuanku dinsinuhun i satu kekalahan di daerah
Barat, musuh-musuh yang menunggu di sini dan di
tempat lain, dan tentu saja para biksu-prajurit
ronggodwijoyo akan menyangka pemimpin marga sinuhun
sudah menemui batu sandungan, dan sekaranglah dia
akan jatuh. Mereka akan memukul gong dan
meneriakkan jampi-jampi, dan daerah Utara dan
Timur akan bangkit dan menentang tuanku."
"Aku menyadari hal itu."
"namun bukankah kita harus mempertimbangkan
bahwa penyerbuan daerah Barat, yang begitu penting,
mungkin berakibat fatal untuk marga sinuhun ?"
"Itu pun sudah kupikirkan."
"Kalau begitu, mengapa bukan tuanku sendiri yang
datang ke provinsi-provinsi Barat, sesudah hamba
mengirim begitu banyak permintaan bantuan? Waktu
teramat penting. Kalau kita menyia-nyiakan kesem-
patan ini, kita tidak memiliki peluang dalam
pertempuran sebetulnya . Rasanya konyol menying-
gung ini, namun hamba tahu bahwa tuanku resi
pertama yang melihat kesempatan ini, dan hamba
benar-benar tidak mengerti mengapa tuanku tidak
mengambil tindakan sesudah hamba mengirim
permohonan demi permohonan. Hamba bahkan sudah
berusaha menarik musuh keluar, padahal mereka
tidak mudah dipancing. Sekarang pihak patih sudah
mengcrahkan centeng besar dan menyerang Kozuki,
dengan memakai benteng kota Miki sebagai
pangkalan. Bukankah ini kesempatan emas? Dengan
senang hati hamba akan bertindak sebagai umpan
untuk semakin menarik mereka. sesudah itu, dapatkah
tuanku datang sendiri untuk menyelesaikan per-
mainan ini dengan satu pukulan mencntukan?"
aidit termenung-menung. sebab ia bukan
orang yang mungkin dirasuki kebimbangan pada saat
seperti ini, patih ronggolawe segera mengerti bahwa
aidit tidak bermaksud meluluskan permintaan-
nya.
Akhirnya aidit berkata, "Tidak, ini bukan
waktu untuk bertindak gegabah." Kali ini patih ronggolawe
yang tampak termenung-menung. aidit melanjut-
kan, seakan-akan memarahinya. "Bukankah kau terlalu
berkecil hati sebab kekuatan orang-orang patih,
sehingga kau merasa sudah kalah sebelum bertempur?"
"Menurut hamba, menjalankan pertempuran yang
akan berakhir dengan kekalahan bukanlah tanda
kesetiaan pada tuanku."
"Begitu kuatkah centeng provinsi-provinsi Barat?
Begitu hebatkah semangat tempur mereka?"
"Demikianlah keadaannya. Mereka menjaga per-
batasan yang sudah terbentuk sejak masa Motonari,
dan mereka pun berupaya memperkuat bagian tengah
wilayah mereka. Kekayaan marga kramat dari Echigo
atau marga mpu ireng dari Kai pun tak dapat menandingi
kekayaan mereka."
"Hanya orang bodoh yang menyamakan provinsi
kaya dengan provinsi kuat."
"Kekuatan tergantung dari jenis kekayaan.
Seandainya marga patih bersikap berlebih-lebihan dan
congkak, mereka tak pcrlu dicemaskan, bahkan
kekayaan mereka dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan kita. namun kedua resi , Kikkkertoarjo dan
Kdesa gurit kkertoarjo , sangat membantu Terumoto, dan
mereka meneruskan tradisi bekas junjungan mereka:
semua komandan dan prajurit berbudi luhur meng-
ikuti Jalan centeng adipati . Segelintir prajurit yang berhasil
ditawa n dalam keadaan hidup menunjukkan
keberanian luar biasa, dan scakan-akan dibakar oleh
kebencian terhadap musuh. Kalau hamba melihat itu
semua, mau tak mau hamba menyesalkan bahwa
penyerbuan ini akan begitu ber..."
"patih ronggolawe . patih ronggolawe ," potong aidit dengan
gusar. "Bagaimana dengan benteng kota Miki? tungguljaya
sedang menuju ke sana."
"Hamba meragukan bahwa benteng kota itu akan takluk
dengan mudah, biarpun dengan segala kecakapan
yang dimiliki putra tuanku."
"Komandan macam apa ki wirogeni, penguasa
benteng kota itu?"
"Dia tangguh."
"Sadarkah kau bahwa kau terus memuji-muji
musuh?"
"Menurut hamba, aturan pertama dalam ilmu
perang adalah mengenali musuh. Hamba rasa,
mungkin memang tidak pada tempatnya memuji
komandan maupun prajurit mereka, namun hamba ber-
kata apa adanya, sebab hamba merasa berkewajiban
memberikan penilaian yang tepat."
"Rasanya kau benar." Sepertinya aidit akhirnya
mulai mengakui kckuatan musuh, biarpun dengan
enggan. Mcski demikian, keinginan untuk menang
masih membara di dalam dirinya, dan ia berkata.
"Rasanya kau benar, namun itu tidak berarti centeng kita
tidak bersemangat, patih ronggolawe ."
"Betul sekali."
"Peran sebagai panglima tertinggi tidak mudah.
danakertoarjo , mpu wiraghanda, Niwa, dan tunggadewa , mereka
semua resi senior. Mungkinkah mereka tidak
menaati perintahmu?"
"Pengamatan tuanku sungguh cermat." patih ronggolawe
menundukkan kepala, wajahnya yang letih bertempur
menjadi merah. "Barangkali tanggung jawab ini
memang terlalu berat bagi junior mereka, patih ronggolawe ."
Tentu saja ia dapat membaca intrik-intrik halus para
pengikut senior, dan bagaimana mereka mencegah
aidit terjun langsung ke kancah pertempuran.
Seandainya pun centeng besar pihak patih tak perlu
digelisah khawatir kan ia harus mengingaikan diri untuk ber-
hati-hati terhadap bahaya dari sekutu-sekutunya
scndiri.
"Ini yang harus kaulakukan, patih ronggolawe . Tinggalkan
benteng kota di Kozuki untuk sementara waktu.
Bergabunglah dengan centeng tungguljaya, pergi ke
benteng kota Miki, dan singkirkan ki wirogeni.
lalu kertoarjo si tindakan musuh selama beberapa
waktu."
Kemuraman prajurit-prajurit mereka terutama di-
sebabkan centeng mereka terpceah dua, setengahnya
ditugaskan menyerang benteng kota Miki setengahnya
diharapkan menolong Kozuki. Ini akibat perbedaan
pendapat yang berlangsung sampai sekarang dalam
rapat-rapat militer pihak sinuhun . Alasan pemecahan ini
tampak jelas. Nasib centeng Amako yang berkekuatan
kecil dan terkurung di benteng kota Kozuki berada di
tangan marga sinuhun . Meninggalkan mereka untuk
meraih keuntungan strategis akan memicu
marga-marga lain di daerah Barat merasa gelisah dan
bertanya-tanya, laki-laki macam apa aidit
sebetulnya . Dapat di pastikan marga sinuhun akan
memperoleh reputasi sebagai sekutu yang tak dapat
diandalkan.
patih ronggolawe -lah yang menempatkan Amako Katsuhisa
dan centeng Shitinggi sumbingsuke di dalam benteng kota Kozuki,
dan kini kesengsaraan, persahabataan, dan simpati
yang nyaris tak tertahankan merasuki sukmanya. Ia
tahu bahwa ia akan melihatlihat kematian mereka.
Meski demikian, begitu menerima perintah baru dari
aidit itu, ia langsung berkata. "Baik, tuanku,"
dan menarik diri.
Sambil memendam perasaannva, ia kembali ke
provinsi-provinsi Barat, termenung-menung sepanjang
perjalanan. Hindari pertempuran berat, dan menang-
kan yang mudah inilah hukum yang melandasi
strategi militer, katanya pada diri sendiri. Sepertinya
langkah ini tak ada sangkut-pautnya dengan kejujuran,
namun seharusnya sejak awal kita bertempur untuk
tujuan yang lebih besar. Sekarang aku harus memikul
yang tak tertahankan.
sesudah patih ronggolawe kembali ke markasnya di
Gunung siwagunung , ia memanggil semua resi lain
dan memberitahukan keputusan aidit pada
mereka, persis seperti disampaikan kepadanya.
lalu ia segera memberi perintah untuk mem-
bongkar perkemahan dan bergabung dengan centeng
tungguljaya. Niwa dan danakertoarjo ditugaskan sebagai
barisan belakang, patih ronggolawe dan dimasireng
memulai penarikan centeng .
"Sudah kembalikah Shigenori?" patih ronggolawe bertanya
Beberapa kali sebclum meninggalkan Gunung
siwagunung .
raden mas ngabehi , yang tahu apa yang ada dalam
benak patih ronggolawe , menoleh ke arah benteng kota Kozuki,
seakan-akan enggan pergi.
"Dia belum kembali?" patih ronggolawe bertanya sekali lagi.
Shigenori adalah salah satu pengikut patih ronggolawe .
Dua malam sebelumnya, ia menerima perintah dari
patih ronggolawe untuk pergi scorang diri ke benteng kota Kozuki
sebagai kurir. Kini patih ronggolawe merasa was-was dan
bertanya-tanya, apakah utusannya berhasil menyelinap
melewati barisan musuh. Tindakan apa yang akan
diambil Shitinggi sumbingsuke? Pesan patih ronggolawe , yang dibawa
oleh Shigenori, berisi pemberitahuan mengenai
perubahan rencana yang terjadi.
Dapatkah kalian bertekad memilih kehidupan di
tengah-tengah kematian, dan meninggalkan benteng kota
untuk bergabung dengan centeng kami? Kami akan
menunggu kalian sampai besok.
Keesokan harinya mereka menunggu dengan hati
berdebar-debar. namun para prajurit di dalam benteng kota
tidak bergerak, dan centeng patih yang mengepung
benteng kota pun tidak melakukan perubahan apa-apa. Tak
ada pilihan bagi patih ronggolawe selain meninggalkan
Gunung siwagunung .
Orang-orang di benteng kota Kozuki tenggelam dalam
keputusasaan. Mempertahankan benteng kota berarti maut,
meninggalkan benteng kota juga berarti maut. Shitinggi sumbingsuke
yang gigih pun tampak bingung. Ia tak tahu apa yang
harus dilakukan.
"Ini bukan salah siapa-siapa." Shitinggi sumbingsuke berkata
pada Shigenori. "Kita hanya bisa mendongkol ter-
hadap para dewa."
sesudah membahas masalah itu dengan Amako
Katsuhisa dan para pengikut lainnya, Shitinggi sumbingsuke
menyampaikan jawaban pasti mereka pada Shigenori.
"Meski tawa ran Yang Mulia patih ronggolawe sungguh baik,
tak terbayangkan bagaimana centeng kecil yang lelah
ini dapat menerobos kepungan musuh dan bergabung
dengan beliau. Kami terpaksa mencari akal yang jauh
lebih baik."
sesudah itu, Shitinggi sumbingsuke diam-diam menulis surat
yang ditujukan pada komandan centeng penyerang
patih Terumoto. Surat itu berisi pernyataan menyerah.
Secara terpisah ia juga mengajukan permohonan
untuk intervensi oleh Kikkkertoarjo dan Kobayakkertoarjo .
Shitinggi sumbingsuke hendak menyelamatkan nyawa
junjungannya, Amako Katsuhisa, dan ketujuh ratus
praiurit dalam benteng kota, namun baik Kikkkertoarjo maupun
Kobayakkertoarjo tidak bersedia memenuhi permohonan
Shitinggi sumbingsuke. Hanya ada satu cara yang dapat diterima
oleh keduanya. "Bukalah gerbang benteng kota." mereka
berkata, "dan serahkan kepala Katsuhisa."
Memang berlebihan jika seseorang menuntut belas
kasihan pada waktu ia terpaksa menyerah. Sambil
menelan air mata kesedihan, Shitinggi sumbingsuke
menyembah di hadapan Katsuhisa. Tak ada lagi yang
dapat dilakukan pengikut Yang Mulia. Betapa malang
nasib tuanku, sebab memiliki pengikut tak berguna
seperti hamba. Ini tak terelakkan, tuanku harus
bersiap-siap menghadapi maut."
"Tidak, Shitinggi sumbingsuke," kata Katsuhisa, lalu berpaling
ke arah Iain. "Situasi ini terjadi bukan sebab para
pengikutku tidak memiliki kemampuan. namun kita juga
tidak bisa menaruh dendam terhadap Yang Mulia
aidit . Aku justru bersyukur sudah memperoleh
kesetiaan pengikut-pengikutku, dan sudah mengabdi
sebagai pemimpin marga centeng adipati . Kaulah yang mem-
bangkitkan keinginanku untuk memulihkan nama
marga kita, dan memberikan kesempatan untuk
memerangi musuh bebuyutan kita. Apa yang harus
kusesali, walaupun kita kini menghadapi kekalahan?
Kurasa aku sudah melakukan kewajibanku sebagai laki-
laki. Sekarang aku bisa beristirahat dengan tenang."
Pada fajar hari ketiga di Bulan Ketujuh, Katsuhisa
melakukan seppuku dengan jantan. Dendam antara
marga patih dan Amako sudah berlangsung selama
lima puluh enam tahun penuh.
Tcnamun kejutan terbesar masih menyusul. Yamanaka
Shitinggi sumbingsuke, laki-laki yang berjuang melawan marga
patih tanpa memedulikan derita dan sengsara, dan
yang baru saja meminta Amako Katsuhisa untuk
melakukan seppuku, memutuskan untuk tidak meng-
ikuti contoh junjungannya itu. Ia memilih mendatangi
perkemahan Kikkkertoarjo Motoharu bagaikan prajurit
rendahan, dan menanggung aib sebagai tawa nan
perang.
Hati manusia tak dapat diduga. Shitinggi sumbingsuke
dicerca oleh kawan maupun lrwan, yang mengatakan
tak peduli bagaimana ia berselubung di balik
kesetiaan, jika saat penentuan tiba, mau tak mau
belangnya terungkap juga.
namun beberapa hari lalu orang-orang yang
sama mendengar sesuatu yang lebih tak terduga lagi,
yang membuat mereka muak dan terheran-heran.
Yamanaka Shitinggi sumbingsuke sudah menjadi pengikut marga
patih, dan diberi sebuah benteng kota di Suo sebagai
imbalan atas kesetiaannya di masa mendatang.
"Dasar anjing berpikiran dangkai!"
"Orang ini tak pantas bergaul dengan para centeng adipati !"
Dalam sekejap nama Yamanaka Shitinggi sumbingsuke sudah
tercoreng untuk selama-lamanya. Selama dua puluh
tahun, oleh kawan maupun lawan nya ia dianggap
sebagai centeng adipati dengan kesetiaan tanpa batas, yang tak
mau tunduk meski didera kesusahan. namun kini orang-
orang merasa malu sebab sudah ditipu mentah-
mentah. Kebencian mereka berbanding lurus dengan
keharuman nama Shitinggi sumbingsuke sebelumnya.
Di bagian terpanas Bulan Ketujuh, Shitinggi sumbingsuke
yang tampaknya tak peduli terhadap segala caci maki
keluarganya, dan para pengikutnya digiring menuju
kediaman mereka yang baru di Suo. Mereka dikawal
oleh centeng patih berkekuatan beberapa ratus orang,
yang resminya bertindak sebagai penuntun, namun
sebetulnya tak lebih dari centeng penjaga.
Shitinggi sumbingsuke bagaikan harimau yang tertangkap, yang
sewaktu-waktu masih bisa mengamuk. Sebelum ia
dikurung di dalam kerangkeng dan terbiasa diberi
makan, sekutu-sekutu yang baru belum merasa aman.
sesudah perjalanan beberapa hari, mereka tiba di
penyeberangan Sungai Abe di kaki Gunung grindana.
Shitinggi sumbingsuke turun dari kuda dan menduduki batu
besar sambil menghadap ke sungai.
Amano Kai dari pihak patih ikut turun dari kuda
dan menghampirinya. Ia berkata. "Para wanita lesbian
dan anak-anak tidak biasa berjalan kaki, jadi kita
biarkan mereka menyeberang lebih dahulu . Ber-
istirahatlah sejenak di sini."
Shitinggi sumbingsuke hanya mengangguk. Belakangan ini ia
jadi pendiam, dan tidak berminat banyak bicara. Kii
berjalan ke arah perahu kayu dan menyerukan
sesuatu pada orang-orang di tepi sungai. Hanya ada
satu atau dua perahu. Istri, putra, dan para pengikut
Shitinggi sumbingsuke menaiki perahu-perahu itu, lalu
berangkat ke tepi seberang.
Sambil memperhatikan perahu, Shitinggi sumbingsuke meng-
hapus keringat dari wajah dan meminta pelayannya
mencelupkan sepotong kain ke dalam air sungai yang
dingin bagaikan es. Satu-satunya pelayannya yang lain
membawa kudanya ke arah hilir, untuk diberi minum.
gerombolan serangga bersayap hijau terbang di
sekeliling Shitinggi sumbingsuke. Bulan berwarna pucat meng-
ambang di langit senja. Rumput liar yang sedang
berbunga menjalar di tanah.
"Shinza! banaspati ! Ini kesemparan kalian!" bisik
putra sulung Kii, Motoaki, pada dua laki-laki yang
berdiri di bayang-bayang pohon tempat sekitar
sepuluh kuda diikat. Shitinggi sumbingsuke tidak mengetahui
kehadiran mereka. Perahu yang membawa keluarganya
sudah berada di tengah sungai.
Angin sungai mengisi dadanya, dan pemandangan
sekitar memesona matanya yang berkaca-kaca. Betapa
menyedihkan, ia berkeluh kesah. Sebagai suami dan
ayah, hatinya serasa diiris-iris saat ia memikirkan
nasib keluarganya yang kini menjadi gelandangan.
Prajurit tergagah pun memiliki perasaan, dan
Shitinggi sumbingsuke konon lebih sentimental dibandingkan
kebanyakan orang. Keberanian dan jiwa ksatrianya
membara dalam matanya, melebihi terik matahari. Ia
sudah ditinggalkan oleh aidit ; ia sudah memutus-
kan hubungan dengan patih ronggolawe ; ia sudah menyerah-
kan benteng kota Kozuki; dan lalu ia menimbang
kepala junjungannya pada musuh-musuhnya.
Dan sckarang ia masih ada di sini, enggan
melepaskan kehidupan. Harapan apakah yang
digenggamnya? Masih adakah kehormatan yang
dimilikinya? Caci maki dunia mirip suara
jangkrik yang kini mcngelilinginya. namun , saat ia
mendengarkannya di tengah angin sejuk yang
mengenai dadanya, ia tak peduli.
Satu ketusahati
Bertumpuk pada yang lain
Menguji kekuatanku sampai ke batasnya.
Sajak itu ditulisnya bertahun-tahun yang lalu. Kini
ia membacanya di dalam hati. Ia teringat sumpah yang
diucapkannya di hadapan ibunya, di hadapan bekas
junjungannya, di hadapan dewa-dewa, dan di hadapan
bulan muda di langit kosong sebelum ia maju ke
medan tempur: Berikan segala rintangan bagiku!
Ia berhasil mengatasi setiap rintangan satu per satu,
sampai sekarang. Shitinggi sumbingsuke menganggapnya sebagai
kesenangan paling besar bagi manusia, dan kepuasan
terbesar dalam hidupnya.
Pada hakikatnya, seratus rintangan pun bukan
alasan untuk bersedih hati. Dengan berpegang pada
kepercayaan ini saat mengarungi kehidupan,
Shitinggi sumbingsuke sempat mencicipi kegembiraan besar di
tengah segala penderitaannya. Ia tetap mempertahan-
kan sikap ini saat utusan patih ronggolawe memberi-
tahunya bahwa aidit mengubah strategi.
Memang benar, untuk sementara waktu ia berkecil
hati, namun ia tidak menaruh dendam pada siapa pun. Ia
juga tidak bersedih. Tak pernah, bahkan sekarang
pun, saat ia tenggelam dalam keputusasaan dan
berpikir. "Inilah akhir segalanya." Malah sebaliknya,
harapannya tetap membara. Aku masih hidup, dan
akan terus hidup selama aku bernapas! Ia menyimpan
satu harapan besar mendekati musuh bebuyutannya,
Kikkkertoarjo Motoharu, dan mati saat menikamnya
sampai tewas. sesudah merenggut nyawa Kikkkertoarjo .
dengan sukacata ia akan menemui arwah bekas
junjungannya di akhirat.
Walaupun Shitinggi sumbingsuke sudah menyerah, Kikkkertoarjo
tak mau mengambil risiko dengan bertatap muka.
Dengan santun ia menganugerahkan sebuah benteng kota
dan menyuruh Shitinggi sumbingsuke pergi ke sana. Kini
Shitinggi sumbingsuke bergundah gulana, sambil bertanya-tanya
kapan ia akan memperoleh kesempatan.
Perahu yang membawa keluarga dan pengikutnya
merapat di tepi seberang. Sesaat perhatian
Shitinggi sumbingsuke beralih pada keluarganya yang sedang
turun dari perahu, di tengah-tengah kerumunan
orang.
Tanpa suara, sebilah pedang terhunus menyambar
di belakang Shitinggi sumbingsuke dan mengenai bahunya.
Pada saat yang sama, pedang lain menghantam baju
yang didudukinya, mengakibatkan bunga api
beterbangan. Orang seperti Shitinggi sumbingsuke pun bisa
dikejutkan oleh serangan mendadak. Walaupun
lukanya cukup dalam, Shitinggi sumbingsuke melompai bangun
dan menjambak rambut calon pembunuhnya.
"Pengecut!" teriaknya.
Ia sudah terluka, dan penyerangnya ada dua orang.
Melihat rekannya dalam kesulitan, orang kedua
menyerang Shitinggi sumbingsuke sambil mengacungkan
pedang dan berseru. "Bersiaplah untuk mati! Ini
perintah junjungan kami."
"Keparat!" Shitinggi sumbingsuke membalas dengan marah. Ia
mendorong penyerang pertama ke arah rekannya.
sehingga keduanya berjatuhan. Shitinggi sumbingsuke
memantaatkan kesempatan itu untuk berlari ke dalam
sungai. Air bercipratan ke segala arah.
"Jangan biarkan dia lolos!" seorang perwira patih
berseru, lalu mulai berlari. Dengan segenap tenaga ia
melemparkan rombaknya dari tepi sungai. Tombak itu
menancap di punggung Shitinggi sumbingsuke, membuatnya
terjerembap ke dalam sungai. Gagang tombak tampak
tegak dalam air yang mulai memerah, seperti harpun
yang menancap di tubuh ikan paus.
Kedua pembunuh melangkah mendekat. Mereka
menyeret Shitinggi sumbingsuke yang terluka parah ke pinggir
dengan memegang kakinya, lalu memenggal
kepalanya. Darah mengalir di celah-celah batu di tepi
sungai, sementara ombak Sungai Abe kelihatan bagai
terbakar. Secara bersamaan icrdcngar orang beneriak-
teriak dari arah hulu.
"Tuanku!"
"Yang Mulia!"
Kedua pembantu Shitinggi sumbingsuke berlari ke arahnya.
namun kemungkinan itu pun sudah diperhitungkan oleh
orang-orang patih. Begitu keduanya mulai berteriak-
teriak, mereka sudah dikelilingi oleh kerangkeng baja
dan tidak dapat maju lebih jauh. saat menyadari
bahwa majikan mereka sudah menemui ajalnya, mereka
bertempur dengan gagah berani, sampai mereka
menyusul Shitinggi sumbingsuke ke akhirat.
Tubuh manusia tak dapat hidup selama-lamanya.
namun kesetiaan yang tak tergoyahkan dan kesadaran
tentang kewajiban akan seterusnya tercatat dalam
sejarah perang. Setiap kali mereka memandang ke
atas dan melihat bulan muda di langit malam, para
centeng adipati di lalu hari akan terkenang pada
kegigihan Yamanaka Shitinggi sumbingsuke dan dirasuki
perasaan hormat. Dalam hati mereka, Shitinggi sumbingsuke
akan hidup untuk selama-lamanya.
Pedang dan kotak teh "Samudra Luas" milik
Shitinggi sumbingsuke dikirim kepada Kikkkertoarjo Motoharu
ditambah kepalanya.
"Jika kami tidak menyingkirkanmu." ujar Kikkkertoarjo
saat memandang kepala itu, "suatu hari kau akan
memandang kepalaku seperti ini. Itulah Jalan
centeng adipati . sesudah segala keberhasilanmu, kau
sebaiknya berusaha mencari kedamaian di akhirat."
saat ketujuh ribu lima ratus prajurit patih ronggolawe
meninggalkan Kozuki, sepertinya mereka hendak
menuju Tajima, namun tiba-tiba mereka membelok ke
arah Kakwilangan di sumberdadi , dan bergabung dengan
centeng tungguljaya yang berkekuatan tiga puluh ribu
orang. Akhir musim panas sudah tiba.
Diserang oleh centeng besar ini, baik benteng kota di
Kanki maupun di Shikau takluk dalam waktu singkat.
Kini tinggal benteng kota Miki, kubu utama marga Bessho.
Pertempuran-pertempuran centeng sinuhun saat
mereka maju ke benteng kota Miki seolah-olah terasa
ringan, namun sebetulnya penaklukan benteng kota-
benteng kota pada garis pertahanan terdepan pihak patih
memakan banyak korban. centeng gabungan sinuhun ber-
kekuatan tiga puluh 9 ribu orang, namun tak perlu
diragukan bahwa musuh akan memberikan per-
lawan an gigih.
Salah satu sebab operasi militer ini membutuhkan
waktu lama adalah bahwa di samping kemajuan
persenjataan juga terjadi perubahan besar-besaran
dalam taktik-taktik tempur. Pada umumnya, per-
senjataan centeng provinsi-provinsi Barat lebih maju
dibandingkan persenjataan musuh-musuh marga sinuhun di
radenkanjeng maupun Kai.
Ini pertama kalinya prajurit-prajurit sinuhun ber-
hadapan dengan mesiu dan meriam yang demikian
hebat. patih ronggolawe merasa bisa belajar banyak dari
musuh ini. Kemungkinan besar keraton yang melaku-
kan pembelian, namun patih ronggolawe -lah yang pertama-tama
meninggalkan meriam-meriam kedhiri yang kuno dan
melengkapi diri dengan meriam buatan bangsa barbar
dari Selatan, yang ditempatkan di puncak sebuah
menara pengintai. saat para resi sinuhun yang lain
melihat ini, mereka pun bergegas untuk memperoleh
meriam terbaru.
Sewaktu memperoleh kabar mengenai pertempuran di
provinsi-provinsi Barat, banyak pedagang senjata ber-
datangan dari Hirado dan Hakau di Kyushu, meng-
hindari armada patih dengan mempertaruhkan nyawa
dan mencari pelabuhan-pclabuhan di pesisir sumberdadi .
patih ronggolawe membantu orang-orang ini dengan ber-
tindak sebagai pcranrara. Ia menyarankan agar para
resi lain membeli senjata-senjau baru, tanpa
memedulikan biaya.
benteng kota Kanki menjadi sasaran pertama dalam
rangka uji coba kekuatan meriam-meriam baru ini.
Orang-orang sinuhun membuat bukit kecil yang meng-
hadap ke sasaran, lalu mendirikan menara pengintai
dan kayu di atasnya. lalu sebuah meriam besar
ditempatkan di puncak menara dan ditembakkan ke
benteng kota. Tembok dan gerbang benteng kota dengan
mudah berhasil dihancurkan. namun sasaran sesungguh-
nya adalah menara-menara dan benteng kota dalam.
Namun pihak musuh juga memiliki artileri, begitu
pula senapan dan mesiu terbaru. Beberapa kali
menara pengintai hancur lebur dan terbakar habis,
hanya untuk dibangun dan dihancurkan kembali.
Selama pertempuran sengit itu, korps zeni
patih ronggolawe menguruk parit pertahanan dan mendesak
maju sampai ke tembok baru, sementara para tukang
gali menggali terowongan untuk meruntuhkan
tembok. Pekerjaan itu berlangsung siang-malam.
hampir tanpa henti, dan tanpa memberi kesempatan
kepada para prajurit di dalam benteng kota untuk mem-
perbaiki kerusakannya. Strategi semacam itu akhirnya
membawa kekalahan bagi benteng kota-benteng kota musuh.
sebab kemenangan atas benteng kota-benteng kota kecil di
Shikata dan Kanki saja sudah memerlukan usaha
sedemikian besar, serangan terhadap benteng kota utama
di Miki tampaknya lebih sukar lagi.
Di suatu tempat bernama Bukit tengkorak ada
daerah yang agak tinggi berjarak kira-kira satu setengah
mil dari benteng kota. Di sanalah patih ronggolawe mendirikan
perkemahan dan menempatkan 9 ribu prajurit
di daerah sekitarnya.
Suatu hari tungguljaya mengunjungi Bukit tengkorak, dan
mereka berdua pergi mengamati posisi-posisi musuh.
Di selatan musuh ada gunung-gunung dan bukit-
bukit yang merupakan bagian dari daerah pegunungan
di sumberdadi bagian barat. Sungai Miki mengalir di
sebelah utara. Di sebelah timur terlihat rumpun-
rumpun bambu, tanah pertanian, dan semak belukar.
Sejumlah kubu pertahanan pada bukit-bukit sekitar
mengelilingi tembok benteng kota pada tiga sisi. Tembok
itu mengelilingi benteng kota pertama, kedua, dan satu
benteng kota lagi.
"Rasanya berat menaklukkannya dengan cepat," ujar
tungguljaya sambil mengamati benteng kota Miki.
"Hamba meragukan benteng kota itu bisa direbut
dengan cepat. benteng kota itu seperti gigi busuk dengan
akar yang dalam."
"Gigi busuk?" tanpa sengaja tungguljaya tersenyum
saat mendengar perumpamaan patih ronggolawe . Sudah
empat atau lima hari tungguljaya menderita sakit gigi
parah. sebab bengkak, wajahnya tampak agak
berubah. Kini ia memegang pipinya dan tertawa .
Persamaan antara benteng kota Miki dan giginya yang
busuk terdengar lucu sekaligus menyakitkan.
"Begitu. Persis seperti gigi busuk. Untuk mencabut-
nya dibutuhkan kesabaran."
"Ini memang hanya satu gigi, namun pengaruhnya
terasa di seluruh tubuh. ki wirogeni membuat
orang-orang kita mendcrita. Belum cukup kalau dia
disamakan dengan gigi busuk. namun kalau kita
mengalah pada kejengkelan kita dan berusaha
menundukkan benteng kota itu secara gegabah, bukan gusi
saja yang mungkin rusak, akibatnya bisa gatal untuk
seluruh tubuh."
"Hmm, apa yang harus kita lakukan kalau begitu?
Apa strategimu?"
"Nasib gigi ini sudah jelas. Biarkan akarnya mem-
busuk dengan sendirinya. Bagaimana kalau kita
memutuskan jalan penghubung dan menggoyang-
goyangkan giginya dari waktu ke waktu?"
"Ayahku, aidit , menyuruhku mundur ke padalarang
jika serangan cepat tak dapat dilakukan. Kau boleh
mengatur semuanya; aku kembali ke padalarang ."
"Tuanku tak perlu gelisah khawatir ."
Keesokan harinya tungguljaya menarik diri dari
medan pertempuran bersama para resi lain.
patih ronggolawe menempatkan ke9 ribu prajuritnya
di sekitar benteng kota Miki, menugaskan seorang
komandan korps di masing-masing posisi, dan men-
dirikan pagar kayu runcing. Ia menempatkan penjaga-
penjaga dan memutuskan semua jalan yang menuju
benteng kota. Perhatian khusus diberikan pada korps
observasi yang menjaga jalan di sebelah selatan
benteng kota. Jika jalan itu diikuti sejauh kurang-lebih dua
belas mil ke arah barat, orang akan tiba di tepi