Jumat, 16 Desember 2022
Home »
homosapien 2
» homosapien 2
homosapien 2
Desember 16, 2022
homosapien 2
mereka. Antara tahun 3500 SM sampai 3000 SM, orang-orang
genius Sumeria yang tak dikenal menemukan sebuah sistem untuk
menyimpan dan memproses informasi di luar otak mereka, yang
dibuat sesuai pesanan untuk menangani data matematis dalam
jumlah besar. Dengan demikian, orang-orang Sumeria melepaskan
tatanan sosial mereka dari batasan otak manusia, membuka jalan
bagi munculnya kota-kota, kerajaan-kerajaan, dan imperiumimperium. Sistem pemrosesan data yang ditemukan oleh orang
Sumeria itu disebut “tulisan”.
Tertanda, Kushim
Menulis adalah sebuah metode menyimpan informasi melalui
tanda-tanda material. Sistem tulisan Sumeria melakukan itu
dengan menggabungkan dua jenis tanda, yang dicetak pada
lempengan tanah liat. Salah satu jenis tanda merepresentasikan
jumlah. Ada tanda untuk 1, 10, 60, 600, 3.600 dan 36.000.
(Orang Sumeria menggunakan satu kombinasi sistem angka basis
6 dan basis 10). Sistem basis 6 mereka memberi kita beberapa
warisan penting, seperti pembagian hari menjadi dua puluh
empat jam dan besar lingkaran menjadi 360 derajat). Jenis tanda
lain merepresentasi orang, binatang, barang dagangan, teritori,
tanggal, dan seterusnya. Dengan menggabungkan kedua jenis
tanda orang-orang Sumeria mampu menyimpan jauh lebih banyak
data ketimbang otak manusia mana pun untuk mengingat dan
rantai DNA mana pun untuk menyimpan kode.
Pada tahap awal ini, tulisan terbatas pada fakta-fakta dan
angka-angka. Novel hebat Sumeria, seandainya ada, tidak mungkin
bisa dicukupi oleh lempengan-lempengan tanah liat. Menulis
menelan banyak waktu dan publik pembaca masih minim, jadi
tak ada orang yang punya alasan menggunakannya selain untuk
menyimpan catatan. Jika kita mencari kata-kata bijak pertama
yang sampai kepada kita dari para leluhur kita, 5.000 tahun lalu,
kita akan sangat kecewa. Pesan paling awal yang ditinggalkan para
leluhur untuk kita baca, misalnya, “29.086 ukuran jelai 37 bulan
Kushim”. Pembacaan paling mungkin atas kalimat ini adalah:
“Sebanyak 29.086 ukuran jelai diterima dalam kurun waktu 37
bulan. Tertanda, Kushim”. Sayang, naskah-naskah pertama dalam
sejarah tidak berisi pandangan-pandangan filosofis, tak ada syair,
legenda, hukum, atau bahkan kemenangan-kemenangan istana.
Tulisan-tulisan itu adalah dokumen-dokumen membosankan
tentang ekonomi, catatan pembayaran pajak, akumulasi utang,
dan kepemilikan harta benda.
Salah satu jenis teks lain yang selamat dari masa kuno ini,
dan tak kalah menariknya: daftar kata, yang disalin dan terus
disalin oleh calon-calon juru tulis sebagai latihan. Bahkan,
seorang murid yang bosan, yang ingin menuliskan salah satu
puisinya, daripada menyalin catatan penjualan, tak mungkin bisa
melakukannya. Tulisan awal Sumeria adalah aksara parsial, bukan
aksara penuh. Aksara penuh artinya sebuah sistem tanda material
yang bisa merepresentasi bahasa lisan secara sempurna atau
mendekati sempurna. Oleh karena itu, ia bisa mengekspresikan
segala hal yang ingin dikatakan orang, termasuk puisi. Aksara
parsial, di sisi lain, adalah sistem tanda material yang hanya
bisa merepresentasi jenis-jenis informasi tertentu, dari bidang
aktivitas yang terbatas. Aksara latin, aksara hieroglif Mesir, dan
Braille adalah aksara penuh. Anda bisa menggunakannya untuk
menulis register pajak, puisi cinta, buku sejarah, resep makanan,
dan hukum bisnis. Sebaliknya, aksara awal Sumeria, seperti lambang-lambang matematika modern dan notasi musik, adalah
aksara parsial. Anda bisa menggunakan aksara matematika untuk
melakukan penghitungan, tetapi Anda tidak bisa menggunakannya
untuk puisi-puisi cinta.
Tak masalah bagi orang-orang Sumeria bahwa aksara
mereka tak cocok untuk menulis puisi. Mereka memang tidak
menciptakan aksara itu untuk menyalin bahasa lisan, tetapi lebih
untuk melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh bahasa
lisan. Ada sejumlah budaya, seperti Andes pra-Columbia, yang
hanya menggunakan aksara parsial dalam keseluruhan rentang
sejarah mereka, tak terpengaruh oleh keterbatasan aksara mereka
dan tak merasa memerlukan versi penuh. Aksara Andea sangat
berbeda dari aksara Sumeria. Malah, ia begitu berbeda sehingga
banyak orang berpendapat itu sama sekali bukan aksara. Ia tidak
ditulis di atas lempengan tanah liat atau lembar kertas, tetapi
ditulis dengan simpul-simpul pengikat pada tali warna-warni yang
disebut quipu. Setiap quipu terdiri dari banyak tali bermacammacam warna, yang terbuat dari kayu atau kapas. Pada setiap
tali, beberapa simpul diikatkan di tempat-tempat berbeda. Satu
quipu tunggal terdiri dari ratusan tali dan ribuan simpul. Dengan
mengombinasikan bermacam-macam simpul pada tali-tali yang
berbeda dengan berbagai warna, dimungkinkan untuk mencatat
jumlah besar data matematis yang terkait, misalnya, dengan
pengumpulan pajak dan kepemilikan properti.1
Selama ratusan, mungkin ribuan tahun, quipu-quipu punya
arti penting dalam urusan kota-kota, kerajaan-kerajaan, dan
imperium-imperium.2
Puncaknya adalah pada masa Imperium
Inca, yang mengatur 10–12 juta orang dan mencakup wilayah
yang kini menjadi Peru, Ekuador, dan Bolivia, serta beberapa
bagian Chile, Argentina, dan Kolombia. Berkat quipu, orangorang Inca bisa menyimpan dan memproses banyak sekali data,
yang tanpanya mereka tak mungkin mampu menjaga mesin
administrasi rumit yang dibutuhkan sebuah imperium sebesar itu.
Nyatanya, quipu begitu efektif dan akurat sehingga dalam
tahun-tahun awal sejak penaklukan Spanyol atas Amerika
Latin, orang-orang Spanyol sendiri memanfaatkan quipu dalam
pekerjaan memerintah imperium baru mereka. Problemnya adalah
bahwa orang-orang Spanyol sendiri tidak tahu cara mencatat
dan membaca quipu sehingga mereka bergantung pada para
profesional lokal. Para penguasa baru kontinen itu menyadari
bahwa ini menempatkan mereka pada posisi yang lemah—para
ahli quipu pribumi bisa saja dengan mudah menyesatkan dan
menipu para tuannya. Jadi, ketika dominion baru Spanyol
menjadi lebih kokoh, quipu disingkirkan dan catatan-catatan
imperium baru itu dibuat sepenuhnya dalam aksara dan angka
latin. Sangat sedikit quipu yang selamat dari penjajahan Spanyol,
dan sebagian besar yang tersisa sudah tak bisa dibaca lagi karena,
sayang sekali, seni membaca quipu sudah hilang.
Masyarakat Mesopotamia akhirnya mulai ingin menuliskan halhal di luar data matematika yang monoton. Antara 3000 SM
sampai 2500 SM lebih banyak tanda ditambahkan pada sistem
Sumeria, pelan-pelan mentransformasinya menjadi aksara penuh
yang kini kita sebut cuneiform*
. Sampai dengan 2500 SM, rajaraja menggunakan cuneiform untuk mengeluarkan putusan, para
pendeta menggunakannya untuk mencatat kata-kata para dewa,
dan penduduk berkedudukan di bawahnya menggunakannya
untuk menulis surat-surat pribadi. Kurang lebih pada saat yang
sama, orang-orang Mesir mengembangkan aksara penuh yang
dikenal sebagai hieroglif. Aksara penuh lainnya dikembangkan
di China sekitar 1200 SM dan di Amerika Tengah sekitar
1000–500 SM.
Dari pusat-pusat permulaan ini, aksara-aksara penuh
menyebar jauh dan luas, mengambil berbagai macam bentuk
baru dan tugas-tugas baru. Orang mulai menulis puisi, buku
sejarah, roman, drama nubuat, dan buku masak. Meskipun
demikian, tugas utama tulisan tetap untuk menyimpan tumpukan
data matematis, dan tugas itu tetap menjadi hak prerogatif
aksara parsial. Injil Ibrani, Iliad Yunani, Mahabharata Hindu,
dan Tripitika Buddha, semuanya bermula sebagai karya lisan.
Selama beberapa generasi, karya-karya itu disebarkan secara
lisan dan tetap akan tetap hidup sekalipun tulisan tidak pernah
diciptakan. Namun, register-register pajak dan birokrasi yang
rumit dilahirkan bersama-sama dengan aksara parsial, dan
keduanya tetap tak terelakkan terhubung hingga kini seperti
kembar siam—bayangkanlah entri-entri sandi komputer dalam
database dan spreadsheet.
Dengan semakin banyaknya hal yang ditulis, dan terutama
seiring tumbuhnya arsip pemerintahan sampai proporsi raksasa,
problem-problem baru pun muncul. Informasi yang disimpan
dalam otak seseorang mudah ditarik. Otak saya menyimpan
miliaran bit data, tetapi saya tak bisa dengan cepat, hampir seketika, mengingat nama ibu kota Italia, lalu sesaat kemudian
mengingat lagi apa yang saya lakukan pada 11 September
2001, kemudian merekonstruksi rute dari rumah saya menuju
Universitas Hebrew di Yerusalem. Bagaimana persisnya cara
kerja otak masih menjadi misteri, kecuali ketika Anda berusaha
mengingat di mana Anda menaruh kunci mobil. Maka, bagaimana
beratnya Anda mencari dan menarik informasi yang tersimpan
pada tali-tali quipu atau lempeng-lempeng tanah liat? Kalau
hanya 10 atau 100 lempeng, tak masalah. Namun, bagaimana
jika jumlahnya ribuan, seperti yang dilakukan salah satu pewaris
Hammurabi, Raja Zimrilim dari Mari?
Bayangkan sejenak bahwa sekarang adalah tahun 1776
SM. Dua orang Mari berkelahi atas kepemilikan sebuah ladang
gandum. Jacob menekankan bahwa dia membeli ladang itu dari
Esau 30 tahun lalu. Esau menyanggah dan mengatakan bahwa dia
sungguh menyewakan ladang itu kepada Jacob untuk masa waktu
30 tahun, dan sekarang, waktu itu sudah habis, dia bermaksud
mengambilnya kembali. Mereka berteriak-teriak dan bergumul,
lalu mulai saling dorong sebelum menyadari bahwa mereka bisa
mengatasi perselisihan dengan pergi ke arsip kerajaan, yang di
dalamnya tersimpan rekaman tindakan dan tagihan penjualan,
yang berlaku pada semua real estate kerajaan. Setibanya di
sana, mereka dibawa dari satu pejabat ke pejabat lain. Mereka
menunggu sampai beberapa kali menghabiskan teh herbal, dan
diminta untuk datang lagi esoknya, dan akhirnya mereka dibawa
oleh seorang petugas tampak merengut untuk mencari lempengan
tanah liat mana yang relevan. Petugas membuka sebuah pintu
dan membawa mereka memasuki sebuah ruang berisi deretan
ribuan lempengan tanah liat di lantai dan dindingnya. Maka, tak
mengherankan bila petugas itu merengut. Bagaimana dia harus
menemukan lokasi catatan ladang gandum yang dipersengketakan
itu 30 tahun lalu? Andaipun bisa ditemukan, bagaimana dia bisa
mengecek silang untuk memastikan bahwa lempengan itu adalah
dokumen terakhir terkait dengan ladang tersebut? Atau, ternyata
dokumen itu hilang atau lumat kembali menjadi lumpur ketika
bocoran hujan mengalir ke arsip tersebut?
Jelas, hanya dengan mencetak sebuah dokumen dengan tanah liat tidaklah cukup untuk menjamin pemrosesan data yang
efisien, akurat, dan mudah. Itu membutuhkan metode-metode
pengorganisasian seperti katalog, metode reproduksi seperti mesin
fotokopi, metode penarikan cepat seperti algoritma komputer,
dan para pustakawan arogan (tetapi semoga saja periang) yang
tahu bagaimana menggunakan alat-alat ini.
Menciptakan metode-metode semacam itu terbukti jauh
lebih sulit ketimbang menciptakan tulisan. Banyak sistem tulisan
yang berkembang secara independen dalam budaya-budaya
yang tempat dan masanya saling berjauhan. Setiap dekade para
arkeolog menemukan beberapa aksara yang terlupakan. Sebagian
mungkin terbukti bahkan lebih tua dari torehan-torehan tanah
liat Sumeria. Namun, sebagian besar tetap menjadi keanehan
karena mereka yang menciptakannya gagal menemukan caracara yang efisien dalam menyusun katalog dan menarik data.
Yang membuat istimewa Sumer, juga Mesir era Fir’aun, China
kuno, dan Imperium Inca, adalah bahwa budaya-budaya ini
mengembangkan teknik-teknik yang bagus dalam mengarsip,
menyusun katalog, dan memunculkan kembali catatan-cataan
tertulis. Budaya-budaya itu juga berinvestasi dalam sekolah untuk
juru tulis, petugas, pustakawan, dan akuntan. Sebuah latihan
menulis dari satu sekolah di Mesopotamia kuno yang ditemukan
oleh para arkeolog modern, memberi kita gambaran sekilas
tentang kehidupan murid-murid ini, sekitar 400 tahun lalu:
Saya masuk dan duduk, dan guru saya membaca saya. Dia berkata,
“Ada sesuatu yang hilang!”
Dan dia mencambuk saya.
Salah satu dari orang-orang yang bertugas berkata, “Mengapa kamu
membuka mulut tanpa izin saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Salah satu yang bertugas dalam hal aturan berkata, “Mengapa kamu
bangun tanpa izin saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Penjaga gerbang berkata, “Mengapa kamu keluar tanpa izin saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Penjaga kendi bir berkata, “Mengapa kamu meminum tanpa izin
saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Guru Sumeria berkata, “Mengapa kamu berbicara dengan bahasa
Akkadia?”**
Dan dia mencambuk saya.
Guru saya berkata, “Tulisan tanganmu tidak bagus!”
Dan dia mencambuk saya.3
Para juru tulis kuno tidak hanya belajar membaca dan menulis,
tetapi juga belajar menggunakan katalog, kamus, kalender, rumusrumus, dan tablet. Mereka belajar dan menginternalisasi teknikteknik membuat katalog, menarik, dan memproses informasi
yang sangat berbeda dari yang digunakan oleh otak. Dalam
otak, semua data diasosiasikan secara bebas. Ketika saya pergi
bersama pasangan untuk menandatangani hipotek untuk rumah
baru kami, saya diingatkan tentang tempat pertama yang kami
tinggali bersama, yang mengingatkan saya pada bulan madu kami
di New Orleans, yang mengingatkan saya pada aligator-aligator,
yang mengingatkan saya pada naga-naga, yang mengingatkan
saya pada The Ring of the Nibelungen, dan tiba-tiba, sebelum
saya menyadarinya, saya menggumamkan lagu opera Siegfried
Leitmotif ke petugas bank yang terbengong-bengong. Dalam
birokrasi, beberapa benda harus disimpan terpisah. Ada satu
laci untuk hipotek rumah, satu untuk sertifikat pernikahan, satu
untuk register pajak, dan satu lagi untuk gugatan hukum. Kalau
tidak, bagaimana Anda bisa menemukan sesuatu? Benda-benda
yang bisa masuk lebih dari satu laci, seperti drama-drama musik
Wagnerian (saya benar-benar menyusun dengan label “musik”,
“teater”, atau mungkin menciptakan kategori baru sekaligus?) benar-benar bikin pusing kepala. Jadi, sepanjang waktu orang
terus menambahkan, menghapus, dan mengatur kembali laci-laci.
Agar bisa berfungsi, orang-orang yang mengoperasikan
sistem laci semacam itu harus diprogram-ulang untuk berhenti
berpikir sebagai manusia, dan mulai berpikir sebagai petugas
dan akuntan. Seperti yang diketahui siapa pun dari masa kuno
sampai kini, para petugas dan akuntan berpikir dalam cara
tidak manusiawi. Mereka berpikir seperti rak-rak berkas. Ini
bukan kesalahan mereka. Jika mereka tidak berpikir seperti itu,
laci-laci mereka akan tercampur-aduk dan mereka tidak akan
mampu menyediakan layanan yang dibutuhkan pemerintahan,
perusahaan, atau organisasi mereka. Dampak paling penting
dari aksara pada sejarah manusia adalah benar-benar seperti
ini: aksara pelan-pelan mengubah cara manusia memikirkan
dan memandang dunia. Asosiasi bebas dan pemikiran holistik
menyerah pada kompartementalisasi dan birokrasi.
Bahasa Angka-Angka
Dari abad ke abad, metode-metode birokratis pemrosesan data
tumbuh semakin berbeda dari cara alamiah manusia dalam
berpikir—dan semakin penting. Satu langkah pentingnya dibuat
pada masa kurang lebih sebelum abad ke-19 M, ketika satu
aksara parsial baru ditemukan, aksara yang bisa menyimpan
dan memproses data matematis dengan efisiensi yang belum
ada presedennya. Aksara parsial ini tersusun atas sembilan
tanda, merepresentasi angka dari 0 sampai 9. Membingungkan,
tanda-tanda ini dikenal sebagai angka Arab sekalipun sebetulnya
ditemukan pertama kali oleh orang Hindu (bahkan lebih
membingungkan lagi, orang-orang Arab modern menggunakan
seperangkat angka yang tampak sangat berbeda dari angka-angka
dari Barat). Namun, orang-orang Arab mendapatkan nama itu
karena ketika mereka menginvasi India, mereka menemukan
sistem itu, memahami kegunaannya, memperhalusnya, dan
menyebarkannya ke seluruh Timur Tengah, kemudian Eropa.
Ketika beberapa tanda lain belakangan ditambahkan ke angkaangka Arab (seperti tanda untuk penjumlahan, pengurangan, dan
perkalian), basis notasi matematika modern pun lahir.
Meskipun sistem tulisan ini tetap merupakan aksara parsial,
ia telah menjadi bahasa dominan dunia. Hampir semua negara,
perusahaan, organisasi, dan institusi—entah mereka berbahasa
Arab, Hindi, Inggris atau Norwegia—menggunakan aksara
matematika untuk mencatat dan memproses data. Setiap potongan
informasi yang bisa diterjemahkan ke dalam aksara matematika
disimpan, disebarkan, dan diproses dengan kecepatan dan efisiensi
yang mencengangkan.
Sebuah persamaan untuk menghitung akselerasi massa dalam i di
bawah pengaruh gravitasi, menurut teori Relativitas. Kalau menjumpai
persamaan seperti itu, kebanyakan orang biasanya langsung panik
dan beku seperti seekor rusa yang tertangkap sorot kendaraan yang
melaju kencang. Reaksi itu alamiah, dan tidak berarti kurang cerdas
atau kurang keingintahuan. Dengan pengecualian langka, otak manusia
memang tak mampu memikirkan konsep-konsep seperti relativitas
dan mekanika kuantum. Bagaimanapun, para ahli fisika berhasil
melakukannya karena mereka mengesampingkan cara tradisional
manusia dalam berpikir, dan belajar berpikir dengan cara baru dengan
bantuan sistem pemrosesan data eksternal. Bagian-bagian krusial dari
proses pemikiran mereka berlangsung tidak dalam kepala, tetapi dalam
komputer atau papan-papan tulis di ruang kelasSeseorang yang ingin memengaruhi keputusan pemerintah,
organisasi, dan perusahaan karena itu harus belajar berbicara
dalam angka-angka. Para ahli mampu mengerjakan dengan
cara terbaik bahkan untuk menerjemahkan ide-ide seperti
“kemiskinan”, “kebahagiaan”, dan “kejujuran” menjadi angkaangka (“garis kemiskinan”, tingkat kesejahteraan subjektif,
“peringkat utang”). Seluruh bidang pengetahuan, seperti fisika
dan teknik, sudah kehilangan hampir seluruh sentuhan dengan
bahasa lisan manusia, dan dipelihara semata-mata oleh aksara
matematik.
Yang lebih mutakhir, aksara matematika telah membangkitkan
bahkan sebuah sistem tulisan yang revolusioner, aksara biner
komputerisasi yang hanya terdiri dari dua tanda: 0 dan 1. Katakata yang sedang saya ketik di papan ketik saya ditulis dalam
komputer saya dengan kombinasi-kombinasi berbeda dari tanda
0 dan 1.
Tulisan dilahirkan sebagai pembantu kesadaran manusia,
tetapi semakin menjadi tuan. Komputer-komputer kita kesulitan
memahami bagaimana Homo sapiens berbicara, merasa, dan
bermimpi. Jadi, kita mengajari Homo sapiens untuk berbicara,
merasa, dan bermimpi dalam bahasa angka-angka, yang bisa
dipahami oleh komputer.
Dan, ini bukan akhir dari kisahnya. Pengetahuan di bidang
kecerdasan artifisial sedang berusaha menciptakan suatu jenis
kecerdasan yang semata-mata didasarkan pada aksara biner
komputer. Film-film fiksi-sains seperti The Matrix dan The
Terminator menceritakan sebuah hari ketika aksara biner
menanggalkan gandar kemanusiaan. Ketika manusia berusaha
mengambil kembali kendali atas aksara yang binal itu, aksara
merespons dengan berusaha menyapu ras manusia
Memahami sejarah manusia pada milenium-milenium sesudah
Revolusi Agrikultur bermuara pada satu pertanyaan tunggal:
bagaimana manusia mengorganisasi diri dalam jaringan-jaringan
kerja sama massal, ketika mereka tak punya naluri biologis
yang diperlukan untuk memelihara jaringan- jaringan seperti itu?
Jawaban singkatnya adalah manusia menciptakan tatanan-tatanan
yang diimajinasikan dan merancang aksara-aksara. Kedua ciptaan
ini mengisi jurang yang ditinggalkan oleh warisan biologis kita.
Meskipun demikian, kemunculan jaringan-jaringan ini, bagi
banyak orang, adalah sebuah berkah yang meragukan. Tatanantatanan yang diimajinasikan pemelihara jaringan-jaringan itu
tidaklah netral dan tidak pula adil. Tatanan-tatanan itu membagi
orang ke dalam kelompok-kelompok seolah-olah, yang disusun
dalam suatu hierarki. Tingkatan-tingkatan atas menikmat hakhak istimewa, sedangkan tingkatan-tingkatan bawah tertimpa
diskriminasi dan penindasan. Undang-Undang Hammurabi,
misalnya, menciptakan tata tingkatan golongan kelas atas, orang
biasa, dan budak. Kelas atas mendapatkan semua kebaikan dalam
hidup. Orang biasa mendapatkan sisanya. Budak mendapat
pukulan jika mengeluh.
Meskipun ada pernyataan kesetaraan semua orang, tatanan
yang diimajinasikan oleh orang Amerika pada 1776 juga
menciptakan hierarki. Ia menciptakan hierarki antara kaum
pria, yang diuntungkan, dan kaum wanita, yang tak berdaya.
Ia menciptakan hierarki antara kulit putih, yang menikmati
kebebasan, dan kulit hitam serta Indian Amerika, yang dianggap
sebagai manusia dari golongan rendah sehingga tidak memiliki
kesamaan hak-hak sebagai manusia. Banyak dari mereka yang
ikut menandatangani Deklarasi Kemerdekaan adalah pemilik
budak. Mereka tidak membebaskan budak saat menandatangani
Deklarasi, tidak juga menganggap diri mereka hipokrit. Dalam
pandangan mereka, hak-hak manusia tak banyak berhubungan
dengan Negro.
Tatanan Amerika itu juga mengonsentrasikan hierarki antara
yang kaya dan yang miskin. Sebagian besar orang Amerika pada
masa itu tak terlalu ambil pusing dengan problem ketidaksetaraan
akibat orang-orang kaya yang menurunkan uang dan bisnisnya
kepada anak-anak mereka. Dalam pandangan mereka, kesetaraan
hanya bermakna bahwa undang-undang berlaku sama pada orang
kaya maupun yang miskin. Kesetaraan tidak ada urusan dengan
santunan pengangguran, pendidikan terintegrasi atau asuransi
kesehatan. Kebebasan juga memiliki konotasi yang sangat berbeda
dari masa kini. Pada 1776, kebebasan tidak berarti bahwa kaum
papa (tentu saja kulit hitam, Indian, atau—yang dilarang Tuhan—
perempuan) boleh mendapatkan dan menjalankan kekuasaan.
Kebebasan semata-mata berarti bahwa negara tidak bisa, kecuali
dalam keadaan tak biasa, menyita properti pribadi penduduk
atau memerintahkannya berbuat sesuatu dengan propertinya.
Dengan demikian, tatanan Amerika menjunjung tinggi hierarki
kekayaan, yang dipandang oleh sebagian orang sebagai mandat
dari Tuhan, dan oleh sebagian lain dilihat sebagai hukum alam
yang tak bisa diubah. Alam dipandang telah menganugerahkan
keberuntungan kekayaan dan menghukum kemalasan.
Pembedaan-pembedaan yang disebutkan di atas—antara orang
bebas dan budak, antara kulit putih dan kulit hitam, antara yang
kaya dan miskin—berakar dalam fiksi-fiksi. (Hierarki laki-laki dan
perempuan akan dibahas kemudian.) Meskipun demikian, sejarah
punya hukum besi bahwa setiap tatanan yang diimajinasikan
mengingkari asal-usul fiksinya dan mengklaim sebagai alamiah
dan tak terelakkan. Misalnya, banyak orang dengan pandangan
hierarki orang bebas dan budak sebagai alamiah dan benar
berpendirian bahwa perbudakan bukanlah ciptaan manusia.
Hammurabi memandangnya sebagai pentahbisan oleh para dewa.
Aristoteles memandang bahwa para budak memiliki “sifat budak” sedangkan orang bebas memiliki “sifat bebas”. Status mereka
dalam masyarakat semata-mata merupakan cerminan dari sifat
dalam diri mereka.
Tanyalah kaum beraliran supremasi kulit putih tentang hierarki
ras, maka Anda segera mendapatkan kuliah pseudosaintifik
berkaitan dengan perbedaan-perbedaan biologis antar ras.
Kemungkinan Anda akan diberi tahu bahwa ada sesuatu dalam
darah atau gen Kaukasia yang membuat kulit putih secara alamiah
lebih pintar, lebih bermoral, dan lebih kerja keras. Tanyalah para
pembela sengit kapitalis tentang hierarki kekayaan, dan Anda
kemungkinan akan mendengar bahwa hierarki itu merupakan
hasil tak terelakkan dari perbedaan-perbedaan objektif dalam
hal kemampuan. Orang kaya memiliki uang lebih banyak,
menurut pandangan ini karena mereka lebih mampu dan lebih rajin. Tak semestinya orang mempermasalahkan jika orang kaya
mendapatkan perawatan kesehatan yang lebih baik, pendidikan
yang lebih baik, dan gizi yang lebih baik. Orang kaya sungguh
pantas menerima setiap kegembiraan yang mereka nikmati.
Orang-orang Hindu yang patuh pada sistem kasta percaya
bahwa kekuatan kosmos telah membuat satu kasta lebih tinggi
dari kasta lain. Menurut sebuah mitos terkenal yang diciptakan
orang Hindu, para dewa mendandani dunia dengan tubuh satu
makhluk purba, Purusa. Matahari diciptakan dari mata Purusa,
bulan dari otak Purusa, kaum Brahmana dari mulutnya, Kesatria
dari tangannya, Vaishya (petani dan pedagang) dari pahanya,
dan Shudra (pelayan) dari kakinya. Menerima penjelasan ini dan
perbedaan-perbedaan sosiopolitik antara kaum Brahmana dan
Shudra adalah sama alamiah dan abadinya dengan perbedaan
antara Matahari dan Bulan.1
Orang China kuno percaya bahwa
ketika Dewi Nü Wa menciptakan manusia dari tanah, dia memeras
dari tanah kuning yang bagus untuk kaum aristokrat, sedangkan
orang biasa dibuat dari lumpur cokelat.2
Meskipun demikian, sebagai pemahaman yang terbaik bagi
kita, hierarki-hierarki ini adalah produk dari imajinasi manusia.
Kaum Brahmana dan Shudra tidak benar-benar diciptakan oleh
para dewa dari berbagai bagian tubuh makhluk purba. Namun,
pembedaan antara kedua kasta itu diciptakan oleh hukum dan
norma-norma yang diciptakan manusia di India utara sekitar
3.000 tahun lalu. Bertentangan dengan pandangan Aristoteles,
tidak ada yang namanya perbedaan biologis antara budak dan
orang merdeka. Hukum dan norma manusia mengubah sebagian
orang menjadi budak dan sebagian lain menjadi tuan. Antara
kulit hitam dan putih memang ada perbedaan objektif biologis,
seperti warna kulit dan jenis rambut, tetapi tidak ada bukti
objektif bahwa perbedaan itu meluas ke masalah intelegensia
dan moralitas.
Sebagian besar orang mengklaim bahwa hierarki sosial mereka
adalah alamiah sedangkan di masyarakat lain didasarkan pada
kriteria-kriteria palsu yang menggelikan. Orang-orang Barat
modern diajari untuk mencela pemikiran tentang hierarki rasial.
Mereka terguncang oleh hukum yang melarang kulit hitam hidup dalam perkampungan kulit putih, belajar di sekolah-sekolah
kulit putih, atau dirawat di rumah sakit kulit putih. Namun,
hierarki kaya dan miskin—mandat yang membuat orang kaya
hidup di perkampungan terpisah dan lebih mewah, belajar
terpisah di sekolah-sekolah yang lebih prestisius, dan menerima
perawatan medis terpisah di fasilitas-fasilitas kesehatan dengan
perlengkapan lebih baik—tampak sangat masuk akal bagi banyak
orang Amerika dan Eropa. Meskipun demikian, sudah terbukti
bahwa kebanyakan orang kaya adalah karena sebab sederhana,
bahwa mereka dilahirkan dalam keluarga kaya, sedangkan orang
miskin tetap miskin sepanjang hidup karena dilahirkan dalam
keluarga miskin.
Sayang sekali, masyarakat-masyarakat manusia yang
kompleks tampak membutuhkan hierarki yang diimajinasikan
dan diskriminasi yang tidak adil. Tentu saja tak semua hierarki
identik secara moral, dan sebagian masyarakat menderita dari
jenis diskriminasi yang lebih ekstrem ketimbang yang lain.
Namun, para ahli tahu tentang tiadanya masyarakat besar yang
mampu menghilangkan diskriminasi sekaligus. Dari waktu ke
waktu orang menciptakan tatanan dalam masyarakat mereka
dengan mengklasifikasi populasi menjadi kategori-kategori
yang diimajinasikan, seperti kelas atas, orang biasa dan budak;
kulit putih dan kulit hitam; bangsawan dan masyarakat biasa;
Brahmana dan Shudra; atau kaya dan miskin. Kategori-kategori
ini meregulasi hubungan-hubungan antara jutaan manusia dengan
membuat sebagian orang lebih tinggi secara hukum, politik,
maupun sosial atas sebagian lainnya.
Hierarki memiliki satu fungsi penting. Hierarki memungkinkan
orang-orang yang benar-benar tidak saling mengenal tahu
caranya memperlakukan sesama tanpa membuang-buang waktu
dan energi yang dibutuhkan untuk kenal secara pribadi. Dalam
Pygmalion karya George Bernard Shah, Henry Higgins tak
perlu melakukan perkenalan intim dengan Eliza Doolittle agar
bisa memahami bagaimana dia harus berhubungan dengan
perempuan itu. Hanya dengan mendengarkannya berbicara, ia
tahu bahwa perempuan itu berasal dari golongan rendah yang
bisa dia perlakukan sekehendaknya—misalnya, menggunakan dia sebagai dadu dalam taruhan untuk meloloskan seorang gadis
penjual bunga menjadi seorang putri. Seorang Eliza modern
yang bekerja di toko bunga perlu tahu berapa banyak yang
harus dia usahakan untuk menjual mawar dan gladiola kepada
puluhan orang yang memasuki tokonya setiap hari. Dia tak bisa
melakukan penelisikan mendetail tentang selera dan isi dompet
setiap individu, tetapi dia bisa menggunakan isyarat-isyarat
sosial—cara orang berpakaian, usianya, dan (kalau tak takut
jadi perkara besar) warna kulitnya, untuk membedakan mana
partner perusahaan akuntansi yang suka pesan banyak mawar
bertangkai panjang yang mahal untuk dikirim ke mamanya yang
berulang tahun, mana kurir yang hanya mampu beli seikat aster
untuk sekretaris yang manis senyumnya.
Tentu saja, perbedaan-perbedaan kemampuan secara alamiah
memainkan peran dalam formasi perbedaan-perbedaan sosial.
Namun, perbedaan sikap dan karakter seperti itu biasanya
dimediasi oleh hierarki yang diimajinasikan. Ini terjadi dengan
dua cara penting. Pertama dan paling utama, sebagian besar
kemampuan harus diajarkan dan dikembangkan. Sekalipun
seseorang dilahirkan dengan suatu bakat istimewa, bakat itu
biasanya akan tetap laten jika tidak didorong, dipertajam, dan
dilatih. Tak semua orang mendapat kesempatan yang sama
untuk menggali dan memperbaiki kemampuan mereka. Entah
mendapat kesempatan atau tidak, kesempatan seperti itu biasanya
bergantung pada tempat mereka dalam hierarki masyarakat
yang diimajinasikan. Harry Potter adalah contoh yang bagus.
Dienyahkan dari keluarga sihir terpandang dan diasuh oleh
para gembel bodoh, dia tiba di Hogwarts tanpa pengalaman
apa pun dalam sihir. Dia harus menghabiskan tujuh buku untuk
bisa meraih penguasaan kokoh atas kekuatan dan pengetahuan
tentang kemampuan dirinya yang unik.
Kedua, andaipun orang-orang dari kelas-kelas yang berbeda
mengembangkan kemampuan yang benar-benar sama, mereka
tidak mungkin menikmati sukses yang sama karena mereka
tidak akan menjalankan permainan dengan aturan-aturan yang
sama. Jika di India yang dikuasai Inggris, seorang Paria, seorang
Brahmana, seorang Katolik Irlandia, dan seorang Inggris Protestan mengembangkan ketajaman bisnis yang persis sama, mereka
tidak mungkin memiliki peluang yang sama untuk menjadi kaya.
Permainan ekonomi tentulah dipasangi batasan-batasan legal dan
sistem tak resmi yang tidak adil.
Lingkaran Setan
Semua masyarakat didasarkan pada hierarki yang diimajinasikan,
tetapi tidak dengan sendirinya hierarki yang sama. Apa yang
memengaruhi perbedaan-perbedaan itu? Mengapa masyarakat
tradisional India mengklasifikasi orang menurut kasta, masyarakat
Ottoman dengan agama, dan masyarakat Amerika menurut ras?
Pada sebagian besar kasus, hierarki bermula sebagai akibat dari
seperangkat keadaan sejarah yang aksidental dan kemudian
dilanggengkan serta diperbaiki dari generasi ke generasi seiring
berkembangnya kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.
Misalnya, banyak ahli menduga bahwa sistem kasta
Hindu mendapatkan bentuknya ketika orang-orang Indo-Arya
menginvasi anak benua India sekitar 3.000 tahun lalu, dengan
menaklukkan penduduk setempat. Para penginvasi menciptakan
masyarakat berstrata, yang di dalamnya mereka—tentu saja—
menduduki posisi-posisi terkemuka (pendeta dan prajurit)
sehingga penduduk asli hanya bisa menjadi pelayan dan budak.
Para penginvasi, yang jumlahnya sedikit, takut kehilangan status
hak-hak istimewa dan identitas unik mereka. Untuk mencegah
bahaya ini, mereka membagi populasi ke dalam kasta-kasta,
yang masing-masing diharuskan mencari jabatan tertentu atau
peranan tertentu dalam masyarakat. Masing-masing memiliki
status hukum, hak-hak istimewa, dan tugas-tugas yang berbedabeda. Penggabungan kasta—interaksi sosial, perkawinan, bahkan
berbagi makanan—dilarang. Dan, pembagian-pembagian ini tidak
hanya bersifat legal—tetapi dimasukkan menjadi bagian inheren
dalam mitologi dan praktik keagamaan.
Para penguasa berdalih bahwa sistem kasta mencerminkan
realitas kosmik abadi, bukan perkembangan historis yang
kebetulan. Konsep-konsep kemurnian dan ketidakmurnian
menjadi unsur-unsur esensial dalam agama Hindu, dan itu
semua dimanfaatkan untuk menopang piramida sosial. Orangorang Hindu yang patuh diajari bahwa kontak dengan anggota
kasta yang berbeda bisa mencemari tidak hanya mereka secara
pribadi, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, dan karena
itu harus dibenci. Ide-ide semacam itu bukan khas Hindu saja.
Sepanjang sejarah, dan di hampir semua masyarakat, konsepkonsep tentang polusi dan kemurnian memainkan peran penting
dalam memperkuat pembagian-pembagian sosial dan politik,
dan telah dieksploitasi oleh banyak kelas penguasa untuk
mempertahankan hak-hak istimewa mereka. Meskipun demikian,
ketakutan pada polusi bukan sepenuhnya bikinan para pendeta
dan pangeran. Kemungkinan itu berakar dari mekanisme survival
biologis yang membuat manusia merasakan kemuakan naluriah
terhadap pembawa-pembawa penyakit, seperti orang sakit dan
mayat. Jika Anda ingin menjaga kelompok manusia mana pun
terisolasi—perempuan, Yahudi, Romawi, gay, kulit hitam—cara
terbaik untuk melakukannya adalah meyakinkan setiap orang
bahwa orang-orang ini adalah sumber polusi.
Sistem kasta Hindu dan hukum-hukum kemurnian yang
menyertainya menjadi semakin dalam tertempel dalam budaya
India. Jauh sesudah invasi Indo-Arya terlupakan, orang-orang
India terus meyakini sistem kasta yang sama dan membenci
polusi yang disebabkan oleh penggabungan kasta. Kasta-kasta
dibagi menjadi sub-sub kasta. Pada akhirnya, empat kasta asal
berubah menjadi 3.000 kelompok berbeda yang disebut jati
(yang secara harfiah berarti ‘kelahiran’). Namun, proliferasi
kasta ini tidak mengubah prinsip dasar dari sistem itu, yang
menetapkan setiap orang lahir dalam derajat tertentu, dan setiap
pelanggaran terhadap prinsip itu mencemari orang tersebut
dan masyarakat secara keseluruhan. Jati seseorang menentukan
profesinya, makanan yang boleh dia makan, tempat tinggalnya,
dan pasangan yang boleh dinikahi. Biasanya seseorang bisa
menikah hanya dalam kastanya, dan menghasilkan anak-anak
yang mewarisi status itu.
Setiap kali ada satu profesi baru berkembang atau satu
kelompok orang baru muncul, maka profesi atau kelompok itu
harus diakui sebagai sebuah kasta agar bisa menerima tempat
yang sah dalam masyarakat Hindu. Kelompok-kelompok yang
tidak mau mendapatkan pengakuan sebagai sebuah kasta, secara
harfiah, adalah kelompok buangan—dalam masyarakat berstrata
ini, mereka bahkan tidak menduduki jenjang terendah sekalipun.
Mereka dikenal sebagai Paria. Mereka harus hidup terpisah dari
semua orang dan mengais-ngais kehidupan dengan cara yang
hina dan menjijikkan, seperti mengorek-ngorek sampah untuk
mencari barang rongsokan. Bahkan, para anggota kasta terendah
menghindari berbaur dengan mereka, makan bersama mereka,
menyentuh mereka, dan sudah barang tentu menikahi mereka.
Dalam India modern, masalah pernikahan dan pekerjaan masih
sangat dipengaruhi oleh sistem kasta, sekalipun ada upayaupaya oleh pemerintahan demokratis India untuk meruntuhkan
pembedaan-pembedaan semacam itu dan meyakinkan umat Hindu
bahwa tidak ada pencemaran dari percampuran kasta.3
Kemurnian di Amerika
Lingkaran setan serupa melanggengkan hierarki rasial dalam
Amerika modern. Dari abad ke-16 sampai ke-18, para penakluk
dari Eropa mengimpor jutaan budak Afrika untuk bekerja
di pertambangan dan perkebunan Amerika. Mereka memilih
mengimpor budak dari Afrika, bukan Eropa atau Asia Timur
karena tiga faktor penopangnya. Pertama, Afrika lebih dekat
sehingga lebih murah mengimpor budak dari Senegal ketimbang
dari Vietnam.
Kedua, di Afrika sudah ada perdagangan yang berkembang
baik (mengekspor budak terutama ke Timur Tengah), sedangkan
perbudakan di Eropa sangat jarang. Jelas sangat jauh lebih mudah
membeli budak di pasar yang sudah ada ketimbang menciptakan
pasar baru dari nol.
Ketiga, dan yang paling penting, perkebunan Amerika di
tempat-tempat seperti Virginia, Haiti, dan Brasil dilanda malaria
dan demam kuning, yang berasal dari Afrika. Orang-orang Afrika
sudah turun-temurun membawa imunitas genetik parsial terhadap penyakit-penyakit itu, sedangkan orang Eropa sama sekali tak
punya pertahanan dan mati bergelimpangan. Akibatnya, lebih
bijak bagi pemilik perkebunan untuk mengivestasikan uangnya
dalam budak Afrika ketimbang budak atau buruh paksa dari
Eropa. Secara paradoks, superioritas genetik (dalam hal imunitas)
menjelma menjadi inferioritas sosial: persis karena orang Afrika
lebih cocok di iklim tropis ketimbang di Eropa, maka nasib
mereka pun berakhir menjadi budak-budak dari para tuan Eropa!
Karena faktor-faktor pendukung ini, masyarakat-masyarakat
baru Amerika yang tengah berkembang terbagi menjadi kasta
penguasa yang terdiri dari orang-orang kulit putih Eropa dan
kasta hamba sahaya orang-orang kulit hitam Afrika.
Akan tetapi, orang tidak mau mengatakan bahwa mereka
mempertahankan budak dari ras atau asal wilayah tertentu karena
secara ekonomis menguntungkan. Seperti para penakluk Arya atas
India, orang-orang kulit putih Eropa di Amerika ingin dipandang
tidak hanya sukses secara ekonomi tetapi juga saleh, adil, dan
objektif. Mitos-mitos religius dan ilmiah dipaksa melayani untuk
menjustifikasi pembedaan ini. Para teolog berpendapat bahwa
orang-orang Afrika adalah keturunan Ham, putra Nuh, yang
dipelanai ayahnya dengan kutukan bahwa keturunannya akan
menjadi budak-budak. Para ahli Biologi berpendapat bahwa orang
kulit hitam kurang pandai ketimbang kulit putih dan pemahaman
moral mereka kurang berkembang. Para dokter menuduh bahwa
orang kulit hitam hidupnya penuh kotoran dan menyebarkan
penyakit—dengan kata lain, mereka adalah sumber polusi.
Mitos-mitos semacam itu membentuk sebuah perpaduan
dalam budaya Amerika, dan budaya Barat pada umumnya.
Mereka terus mendesakkan pengaruh jauh sesudah kondisikondisi pencipta perbudakan musnah. Pada awal abad ke-19
Kerajaan Inggris melarang perbudakan dan menghentikan
perdagangan budak trans-Atlantik, dan dalam beberapa dekade
sesudahnya perbudakan berangsur-angsur dilarang di seluruh
kontinen Amerika. Patut dicatat, inilah kali pertama dan satusatunya dalam sejarah bahwa masyarakat penganut perbudakan
secara sukarela menghapuskan perbudakan. Namun, sekalipun
para budak itu dibebaskan, mitos-mitos rasis yang menjustifikasi perbudakan tetap ada. Pemisahan ras dipertahankan oleh legislasi
dan norma-norma sosial rasis.
Hasilnya adalah siklus sebab-akibat yang menguat dengan
sendirinya, sebuah lingkaran setan. Perhatikan, misalnya, Amerika
Serikat bagian selatan sesaat setelah Perang Saudara. Pada 1865,
Amandemen Ke-13 atas Konstitusi Amerika melarang perbudakan
dan Amandemen Ke-14 menetapkan bahwa kewarganegaraan
dan perlindungan setara di hadapan hukum tidak bisa diingkari
berdasarkan ras. Namun, dua abad perbudakan berarti bahwa
sebagian besar keluarga kulit hitam jauh lebih miskin dan jauh
lebih tak terdidik ketimbang sebagian besar keluarga kulit
putih. Sehingga, orang kulit hitam yang lahir di Alabama pada
1865 memiliki kesempatan jauh lebih kecil untuk mendapatkan
pendidikan yang baik dan pekerjaan berupah bagus ketimbang
para tetangganya yang berkulit putih. Anak-anaknya, yang
lahir pada 1880-an dan 1890-an, memulai kehidupan dengan
ketidakberuntungan yang sama—mereka juga lahir dalam keluarga
miskin tak terdidik.
Akan tetapi, ketidakberuntungan ekonomi bukanlah
keseluruhan cerita. Alabama dulu juga rumah bagi banyak
kulit putih miskin yang tak mendapat kesempatan sebagaimana
saudara-saudari satu ras mereka yang lebih kaya. Selain itu,
Revolusi Industri dan gelombang imigrasi menjadikan Amerika
Serikat sebuah masyarakat yang luar biasa cair sehingga kaum
gembel bisa saja dengan cepat menjadi orang kaya. Jika hanya
uang yang punya arti, perbedaan tajam antar-ras mestinya segera
mengabur, paling tidak melalui pernikahan campuran.
Akan tetapi, itu tidak terjadi. Sampai 1865, orang kulit
putih, juga banyak orang kulit hitam, memandang sebagai sebuah
kenyataan belaka bahwa orang kulit hitam memang kurang
pandai, lebih keras dan lebih cabul secara seksual, lebih malas
dan kurang peduli pada kebersihan diri ketimbang kulit putih.
Mereka, dengan demikian, menjadi pelaku-pelaku kekerasan,
pencurian, pemerkosaan, dan penyakit—dengan kata lain,
polusi. Jika seorang kulit hitam Alabama pada 1895 secara ajaib
berhasil mendapatkan pendidikan yang baik kemudian melamar
pekerjaan terhormat seperti petugas bank, peluang baginya untuk diterima jauh lebih buruk ketimbang kandidat kulit putih yang
kualifikasinya sama. Stigma yang melabeli orang kulit hitam
secara alamiah tak bisa diandalkan, pemalas, dan kurang pandai
menjadi sandungan baginya.
Anda mungkin berpikir bahwa orang akan pelan-pelan
memahami bahwa stigma-stigma itu adalah mitos dan bukan
fakta dan bahwa orang kulit hitam dari waktu ke waktu akan
bisa membuktikan diri mereka punya kemampuan, taat hukum,
dan bersih sebagaimana kulit putih. Faktanya, yang terjadi justru
sebaliknya. Prasangka-prasangka ini menjadi lebih dan lebih
menggila dari waktu ke waktu. Karena semua pekerjaan terbaik
dipegang kulit putih, maka semakin mudah untuk meyakini
bahwa kulit hitam memang benar-benar inferior. “Lihat”, ratarata orang akan berkata, “orang kulit hitam sudah bebas selama
beberapa generasi, tetapi hampir tidak ada kulit hitam yang
menjadi profesor, pengacara, dokter, atau bahkan pegawai bank.
Bukankah itu bukti bahwa orang kulit hitam memang kurang
pandai dan kurang bekerja keras?” Terperangkap dalam lingkaran
setan ini, orang kulit hitam tidak dipekerjakan untuk pekerjaanpekerjaan kerah putih karena mereka sudah ditakdirkan tidak
pandai, dan bukti inferioritas mereka adalah langkanya orang
kulit hitam di pekerjaan kerah putih.
Lingkaran setan tidak berhenti di situ. Dengan tumbuh
semakin kuatnya stigma-stigma antikulit hitam, keadaan itu
menjelma menjadi sebuah sistem hukum dan norma “Jim Crow”
yang dimaksudkan untuk melindungi tatanan rasial itu. Orang
kulit hitam dilarang memberi suara dalam pemilihan umum,
belajar di sekolah-sekolah kulit putih, membeli di toko-toko
kulit putih, makan di restoran kulit putih, tidur di hotel kulit
putih. Justifikasi untuk semua ini adalah bahwa kulit hitam
memang kotor, malas, kejam sehingga orang kulit putih harus
dilindungi dari mereka. Orang kulit putih tidak mau tidur di
hotel yang sama dengan orang kulit hitam atau makan di restoran
yang sama karena takut penyakit. Mereka tidak mau anak-anak
mereka belajar di sekolah yang sama dengan anak-anak kulit
hitam karena mencemaskan brutalitas dan pengaruh buruknya.
Mereka tidak ingin orang kulit hitam memberikan suara dalam pemilihan umum karena orang kulit hitam bodoh dan tak
bermoral. Ketakutan-ketakutan ini diperkuat oleh studi-studi
ilmiah yang “membuktikan” bahwa orang kulit hitam memang
kurang terdidik sehingga berbagai macam penyakit lebih umum
di kalangan mereka, dan bahwa kejahatan mereka jauh lebih
tinggi (studi-studi mengabaikan fakta bahwa “fakta-fakta” itu
dihasilkan dari diskriminasi terhadap orang kulit hitam).
Sampai dengan pertengahan abad ke-20, segregasi dalam
bekas negara-negara Konfederasi mungkin lebih buruk dari
akhir abad ke-19. Clennon King, seorang pelajar kulit hitam
yang melamar ke Universitas Mississippi pada 1958, dipaksa
masuk rumah sakit jiwa. Hakim yang mengetuai persidangan
memutuskan bahwa orang kulit hitam pasti benar-benar gila
bila berpikir bahwa dia bisa diterima di Universitas Mississippi.
Tak ada yang lebih menggemparkan bagi orang selatan
Amerika (dan banyak orang utara) dari hubungan seksual dan
pernikahan antara pria kulit hitam dan perempuan kulit putih.
Hubungan seks antar-ras menjadi tabu paling besar dan setiap
pelanggaran, atau yang diduga pelanggaran, dipandang pantas
mendapat balasan langsung dan dihukum mati tanpa pengadilan.
Ku Klux Klan, organisasi rahasia penganut supremasi kulit putih,
melakukan banyak pembunuhan semacam itu. Mereka tentu bisa mengajari kaum Brahmana Hindu satu atau dua hal tentang
hukum kemurnian.
Seiring berjalannya waktu, rasisme menyebar semakin
meluas ke arena kultural. Kultur aestetik Amerika dibangun di
seputar standar-standar keindahan kulit putih. Atribut-atribut
fisik ras kulit putih—misalnya kulit terang, rambut pirang dan
lurus, hidung mancung—dipandang indah. Ciri-ciri khas kulit
hitam—kulit gelap, rambut gelap tebal, hidung pesek—dipandang
buruk. Prakonsepsi-prakonsepsi ini menanamkan hierarki yang
diimajinasikan, bahkan pada level yang lebih dalam pada
kesadaran manusia.
Lingkaran-lingkaran setan semacam itu bisa berlangsung
berabad-abad dan bahkan milenium, mengabadikan hierarki yang
diimajinasikan yang muncul dari kebetulan sejarah. Diskriminasi
yang tidak adil sering menjadi semakin buruk, alih-alih membaik,
dari waktu ke waktu. Uang memperbesar uang, dan kemelaratan
memperburuk kemelaratan. Pendidikan memperbaiki pendidikan,
dan kebodohan memperburuk kebodohan. Mereka yang
dikorbankan oleh sejarah berkemungkinan menjadi korban lagi.
Dan, mereka yang diistimewakan oleh sejarah menjadi semakin
lebih diistimewakan lagi.
Sebagian besar hierarki sosiopolitik tidak memiliki basis
logika maupun biologis—semua itu tak lebih dari pelanggengan
kebetulan-kebetulan yang didukung oleh mitos-mitos. Itulah salah
satu alasan yang bagus untuk belajar sejarah. Jika pembagian
menjadi kulit hitam dan kulit putih atau Brahmana dan Shudra
didasarkan pada realitas biologis—yakni, jika kaum Brahmana
memang benar-benar memiliki otak yang lebih baik ketimbang
Shudra—biologi tentu sudah cukup untuk memahami masyarakat
manusia. Karena pembagian oleh biologi atas Homo sapiens
menjadi kelompok-kelompok yang berbeda-beda sesungguhnya
bisa diabaikan, biologi tak bisa menjelaskan lika-liku dinamika
rasial masyarakat India dan Amerika. Kita hanya bisa memahami
fenomena-fenomena itu dengan mempelajari peristiwa-peristiwa,
keadaan-keadaan, dan relasi-relasi kuasa yang mentransformasi
isapan jempol imajinasi menjadi struktur-struktur sosial yang
kejam—dan sangat riil.
Laki-laki dan Perempuan
Masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda mengadopsi jenis
hierarki yang diimajinasikan yang berbeda-beda pula. Ras sangat
penting bagi orang Amerika modern, tetapi relatif tidak signifikan
bagi Muslim abad pertengahan. Kasta adalah masalah hidup dan
mati dalam abad pertengahan India, sedangkan dalam Eropa
modern itu praktis tidak ada. Meskipun demikian, ada satu
hierarki yang menjadi urusan tertinggi dalam semua masyarakat
manusia yang pernah ada: hierarki gender. Di mana-mana orangorang menggolongkan diri laki-laki dan perempuan. Dan, hampir
di mana-mana laki-laki memiliki kedudukan lebih baik, paling
tidak sejak Revolusi Agrikultur.
Sebagian dari naskah-naskah paling awal China adalah
tulang belulang ramalan, bertarikh 1200 SM, yang digunakan
untuk meramalkan masa depan. Di salah satu tulang terpahat
pertanyaan “Akankah yang dilahirkan Putri Hao beruntung?”
Pertanyaan itu dijawab secara tertulis: “Jika anaknya lahir pada
hari ding, beruntung; jika pada hari geng, harapan berlimpah”.*
Naskah pada tulang itu diakhiri dengan uraian hasil pengamatan
yang muram: “Tiga pekan dan satu hari sesudahnya, pada hari
jiayin, anak itu lahir. Tidak beruntung. Ia seorang perempuan”.4
Lebih dari 3.000 tahun kemudian, ketika China Komunis
memberlakukan kebijakan “satu anak”, banyak keluarga China
terus memandang kelahiran seorang anak perempuan adalah
nasib buruk. Orangtua terkadang menelantarkan atau membunuh
bayi perempuan yang baru lahir dalam rangka mengupayakan
untuk mendapatkan anak laki-laki.
Di banyak masyarakat perempuan dijadikan begitu saja
sebagai properti laki-laki, kebanyakan oleh ayah mereka,
suami, atau saudara laki-lakinya. Pemerkosaan, pada banyak
sistem hukum, masuk dalam kategori pelanggaran properti
dengan kata lain, korban bukanlah perempuan yang diperkosa,
melainkan laki-laki yang memilikinya. Dalam keadaan seperti itu,
penyelesaian hukumnya adalah transfer kepemilikan—pemerkosa
diwajibkan membayar mahar kepada ayah atau saudara laki-laki
perempuan itu, dan si perempuan menjadi properti pemerkosa.
Injil menyatakan bahwa “Jika seorang laki-laki bertemu dengan
seorang perawan yang belum bertunangan, lalu merengkuh dan
tidur bersamanya dan mereka ketahuan, maka laki-laki yang tidur
bersama perempuan itu harus membayar kepada ayah perempuan
muda itu lima puluh shekel perak, dan perempuan itu menjadi
istrinya” (Ulangan 22:28–29). Kaum Ibrani kuno memandang
ini pengaturan yang masuk akal.
Memerkosa seorang perempuan yang bukan milik pria
mana pun tidak dianggap kejahatan sama sekali, sebagaimana
layaknya memungut sebuah koin yang hilang di jalanan sibuk
tidak dianggap sebagai pencurian. Nyatanya, ide bahwa seorang
suami bisa memerkosa istrinya adalah sebuah oksimoron. Menjadi
seorang suami artinya memiliki kendali penuh atas istri secara
seksual. Mengatakan bahwa seorang suami “memerkosa” istrinya
adalah tidak logis, seperti mengatakan seorang pria mencuri
dompetnya sendiri. Pemikiran semacam itu tidak terbatas di
Timur Tengah kuno saja. Pada 2006, masih ada lima puluh
tiga negara di mana seorang suami tidak bisa dituntut karena
memerkosa istrinya. Bahkan di Jerman, hukum pemerkosaan baru
diamandemen pada 1997 untuk menciptakan kategori hukum
pemerkosaan marital.5
Apakah pembagian laki-laki dan perempuan itu produk
imajinasi, seperti halnya sistem kasta di India dan sistem rasial di
Amerika, atau merupakan pembagian alamiah dengan akar-akar
biologis yang mendalam? Dan, jika benar pembagian alamiah,
adakah juga penjelasan-penjelasan biologis untuk preferensi yang
diberikan kepada laki-laki dan perempuan?
Sebagian dari disparitas kultural, legal, dan politis antara
laki-laki dan perempuan mencerminkan perbedaan-perbedaan
biologis yang jelas di antara kedua jenis kelamin. Melahirkan
selalu menjadi pekerjaan perempuan karena laki-laki tidak punya
rahim. Namun, di sekitar inti universal yang keras ini, setiap masyarakat mengakumulasi lapisan demi lapisan ide-ide dan
norma-norma kultural yang tak banyak berhubungan dengan
biologi. Masyarakat-masyarakat mengasosiasi sejumlah atribut
pada maskulinitas dan femininitas yang, untuk hampir semua
bagian, tak memiliki basis biologis yang kuat.
Misalnya, di Athena demokratis abad ke-5 SM, seorang
individu yang memiliki rahim tidak punya status legal independen
dan dilarang berpartisipasi dalam majelis umum atau menjadi
hakim. Dengan beberapa pengecualian, individu seperti itu tak
bisa mendapatkan manfaat dari pendidikan yang baik, juga
tidak terlibat dalam bisnis atau percaturan filsafat. Tidak ada
pemimpin politik Athena, tak seorang pun filsuf, orator, artis,
atau pedagangnya yang hebat memiliki rahim. Apakah dengan
memiliki rahim seseorang menjadi tidak cocok secara biologis
untuk profesi-profesi ini? Orang Athena kuno berpikir demikian.
Orang Athena modern tidak setuju. Di Athena masa kini,
perempuan memberikan suara, dipilih menjadi pejabat publik,
menyampaikan pidato, mendesain apa pun, dari perhiasan
sampai bangunan dan perangkat lunak, dan kuliah di universitas.
Rahim-rahim mereka tidak menghalangi melakukan hal-hal ini
sebagaimana dilakukan kaum pria yang berhasil. Benar, mereka
masih kurang terwakili dalam politik dan bisnis—hanya sekitar
12 persen anggota parlemen Yunani adalah perempuan. Namun,
tidak ada hambatan legal apa pun bagi partisipasi mereka dalam
politik, dan kebanyakan orang Yunani modern berpikir cukup
normal bagi seorang perempuan mengabdi di jabatan-jabatan
publik.
Banyak orang Yunani modern juga berpikir bahwa salah
satu bagian integral dari menjadi pria adalah menarik secara
seksual hanya bagi perempuan. Mereka tidak melihat ini sebagai
bias kultural, tetapi lebih sebagai realitas biologis—relasi antara
2 orang berlainan jenis kelamin adalah alamiah, dan antara 2
orang sesama jenis kelamin tidak alamiah. Namun faktanya, Ibu
Pertiwi tidak keberatan jika ada sesama laki-laki saling tertarik.
Hanya ibu-ibu manusia yang sudah terendam dalam kultur-kultur
tertentu yang gaduh jika putranya punya hubungan asmara
dengan anak laki-laki tetangganya. Tantrum ibu bukanlah titah biologis. Sejumlah signifikan kultur manusia memandang relasi
homoseksual tidak hanya absah, tetapi bahkan secara sosial
konstruktif, dan Yunani kuno merupakan contoh yang paling
termasyhur. Iliad tidak menyebutkan bahwa Theti berkeberatan
terhadap hubungan putranya, Achille, dengan Patroclus. Ratu
Olympia dari Macedon adalah salah satu perempuan paling
temperamental dan ganas di dunia kuno, dan bahkan suaminya
sendiri, Raja Philip, dibunuhnya. Namun, dia tidak sreg ketika
putranya, Alexander Yang Agung, membawa kekasihnya,
Hephaestion ke rumah untuk makan malam.
Bagaimana kita bisa membedakan apa yang ditentukan
secara biologis dari apa yang hanya diupayakan orang untuk
menjustifikasi mitos-mitos biologis. Ada satu rumus yang
bagus, “Jika Biologi membolehkan, Kultur melarang”. Biologi
berkenan menoleransi spektrum kemungkinan yang sangat
luas. Kulturlah yang mewajibkan orang mewujudkan sebagian
kemungkinan dan melarang kemungkinan yang lain. Biologi
memungkinkan perempuan memiliki anak—sebagian kultur
mewajibkan perempuan mewujudkan kemungkinan itu. Biologi
memungkinkan laki-laki menikmati seks dengan sesamanya—
sebagian kultur melarang mereka mewujudkan kemungkinan itu.
Kultur cenderung berdalih bahwa ia melarang hanya hal-hal
yang tidak alamiah. Namun, dari perspektif biologis, tidak ada
yang tidak natural. Apa pun yang mungkin berdasarkan definisi
adalah juga natural. Satu perilaku yang benar-benar tidak alamiah,
yakni yang melawan hukum alam, sudah pasti tidak bisa terjadi
sehingga tidak membutuhkan larangan. Tidak ada kultur yang
pernah repot-repot melarang laki-laki melakukan fotosintesis,
perempuan berlari lebih cepat dari kecepatan cahaya, atau
elektron-elektron bermuatan negatif ditempelkan satu sama lain.
Yang benar, konsep-konsep kita tentang “natural” dan
“tidak natural” bukan diambil dari biologi, melainkan dari
teologi Kristen. Makna teologis dari “natural” adalah “sesuai
dengan niat Tuhan yang menciptakan alam”. Para teolog Kristen
berpendapat bahwa Tuhan menciptakan tubuh manusia, dengan
memperuntukkan setiap bagian dan organ tubuh pada tujuan
tertentu. Jika kita menggunakan bagian dan organ tubuh kita untuk tujuan yang ditetapkan Tuhan, maka itu adalah aktivitas
natural. Menggunakannya secara berbeda dari yang ditetapkan
Tuhan berarti tidak natural. Namun, evolusi tidak punya tujuan
apa pun. Organ-organ tidak berevolusi sesuai dengan tujuan, dan
cara organ itu digunakan terus berubah-ubah. Tidak ada satu pun
organ dalam tubuh manusia yang hanya melakukan tugas yang
dilakukan prototipenya ketika kali pertama muncul ratusan juta
tahun lalu. Organ-organ berevolusi untuk menjalankan fungsi
tertentu, tetapi begitu terlaksana, organ-organ itu juga bisa
diadaptasi untuk penggunaan-penggunaan lain. Mulut, misalnya,
ada karena organisme multisel paling awal memerlukan cara
untuk memasukkan zat makanan ke dalam tubuh mereka. Kita
masih menggunakan mulut untuk tujuan itu, tetapi kita juga
menggunakannya untuk mencium, berbicara dan, jika kita Rambo,
menarik picu dari granat. Apakah ada di antara penggunaanpenggunaan ini yang tidak natural hanya karena para leluhur
kita yang seperti cacing 600 juta tahun lalu tidak melakukan
hal-hal tersebut dengan mulut mereka?
Demikian pula, sayap tidak tiba-tiba muncul dengan semua
kemegahan aerodinamisnya. Sayap berkembang dari organ-organ
yang dulunya memiliki fungsi lain. Menurut satu teori, sayap
serangga berevolusi jutaan tahun lalu dari tonjolan tubuh pada
serangga-serangga yang tidak bisa terbang. Serangga-serangga
dengan tonjolan memiliki area permukaan yang lebih besar
ketimbang yang tidak punya tonjolan, dan ini memungkinkan
mereka menyerap lebih banyak cahaya Matahari sehingga bisa
tetap hangat. Dalam proses evolusi lambat, pemanas dengan
sinar Matahari ini tumbuh membesar. Struktur yang sama bagus
untuk penyerapan maksimum cahaya Matahari—banyak area
permukaan, beratnya kecil—juga, secara kebetulan, membantu
serangga sedikit mengangkat tubuhnya saat melompat-lompat.
Serangga-serangga dengan tonjolan lebih besar bisa melompat
lebih jauh. Sebagian serangga mulai menggunakan perlengkapan
itu untuk meluncur, dan dari sanalah langkah kecil menuju sayap
yang dapat benar-benar melontarkan serangga ke udara. Ketika
pada kemudian hari seekor nyamuk mendengung di telinga Anda,
tentu Anda akan menuduh nyamuk berperilaku tidak natural. Jika dia berperilaku dengan benar dan tunduk pada kemauan
Tuhan yang memberinya, dia tentu menggunakan sayapnya hanya
sebagai panel surya.
Bentuk multiperan yang sama itu berlaku juga pada organorgan seksual dan perilaku kita. Seks pertama-tama berevolusi
untuk ritual-ritual pembuahan dan percumbuan sebagai cara
untuk menyesuaikan dengan ukuran calon pasangan. Namun,
banyak binatang kini juga menempatkan fungsi seks untuk
tujuan-tujuan sosial yang majemuk, yang tak ada hubungannya
dengan urusan membuat salinan kecil dari diri mereka. Simpanse,
misalnya, menggunakan seks untuk memperkuat aliansi politik,
menciptakan keintiman dan meredakan ketegangan. Apakah itu
tidak natural?
Maka, kurang masuk akal mengatakan bahwa fungsi alamiah
dari perempuan adalah melahirkan, atau bahwa homoseksualitas
itu tidak natural. Sebagian besar hukum, norma, hak-hak,
dan kewajiban-kewajiban yang mendefinisikan kejantanan dan
kebetinaan lebih mencerminkan imajinasi manusia ketimbang
realitas biologis. Secara biologis, manusia terbagi menjadi
laki-laki dan perempuan. Satu Homo sapiens laki-laki adalah
makhluk yang punya satu kromosom X dan satu kromosom Y;
sedangkan perempuan adalah makhluk dengan dua kromosom
X. Namun, “pria” dan “wanita” menunjukkan kategori sosial,
bukan biologis. Sementara dalam mayoritas besar kasus pada
kebanyakan masyarakat manusia laki-laki adalah jantan dan
perempuan adalah betina, terma-terma sosial membawa banyak
bawaan yang hanya memiliki hubungan tipis, kalaupun ada,
dengan terma-terma biologis. Seorang pria bukanlah Sapiens
dengan kualitas biologis tertentu seperti kromosom XY, bandulan,
dan banyak testosteron. Namun, dia cocok dengan celah tertentu
dalam tatanan sosial yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos
budayanya menugasi dia untuk peran-peran maskulin (seperti
terlibat dalam politik) hak-hak (seperti memilih) dan tugastugas (seperti pengabdian militer). Demikian pula, seorang
perempuan bukan Sapiens dengan dua kromosom X, satu rahim
dan banyak estrogen. Namun, dia adalah betina anggota tatanan
yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos dalam masyarakatnya
menugasi dia untuk peran-peran feminin yang unik (membesarkan
anak), hak-hak (perlindungan dari kekerasan), dan tugas-tugas
(patuh pada suami). Karena mitos-mitos itu, bukan biologi, yang
mendefinisikan peran, hak dan tugas laki-laki dan perempuan,
makna “kejantanan” dan “kebetinaan” beragam sangat luas antara
satu masyarakat dan masyarakat lainnya.
Agar tidak terlalu membingungkan, para ahli biasanya
membedakan antara “jenis kelamin” yang merupakan kategori
biologis, dan “gender” sebagai kategori kultural. jenis kelamin
dibagi menjadi jantan dan betina, dan kualitas dari pembedaan
ini bersifat objektif dan tetap sepanjang sejarah. Gender
dibagi menjadi laki-laki dan perempuan (dan sebagian kultur
mengakui kategori lainnya). Apa yang disebut sebagai kualitas
“maskulin” dan “feminin” bersifat intersubjektif dan mengalami
perubahan-perubahan terus-menerus. Misalnya, ada perbedaan
yang cakupannya luas dalam perilaku, hasrat, pakaian, bahkan
postur tubuh yang diharapkan dari perempuan pada masa klasik
Athena dan perempuan dalam Athena modern.6
Jenis kelamin ibarat mainan anak-anak; sedangkan gender
adalah urusan serius. Untuk bisa menjadi anggota berjenis kelamin
jantan adalah hal paling sederhana di dunia. Anda hanya butuh
dilahirkan dengan satu kromosom X dan satu kromosom Y.
Untuk menjadi perempuan pun sama sederhananya. Sepasang
kromosom X bisa mencukupinya. Secara kontras, menjadi lakilaki dan perempuan sangat rumit dan memerlukan upaya. Karena
sebagian besar kualitas maskulin dan feminin bersifat kultural
dan bukan biologis, tak ada masyarakat yang secara otomatis
memahkotai setiap jantan menjadi laki-laki dan setiap betina
menjadi perempuan. Gelar-gelar ini juga bukan mahkota yang
bisa dipasangkan seketika saat diraih. Pejantan harus membuktikan
maskulinitas mereka secara terus-menerus, dalam kehidupan
mereka, dari buaian sampai liang lahat, dalam serangkaian ritual
dan pertunjukan tiada henti. Dan, pekerjaan seorang perempuan
tidak pernah selesai—dia harus terus meyakinkan diri dan orang
lain bahwa dia cukup feminin.
Keberhasilan tidak terjamin. Para pejantan khususnya hidup
terus dalam ancaman kehilangan hak kejantanan. Sepanjang
sejarah, seorang laki-laki bersedia mengambil risiko dan bahkan
mengorbankan hidup mereka, hanya agar orang berkata “Dia
memang pria sejati”.
Apa Hebatnya Laki-laki?
Paling tidak sejak Revolusi Agrikultur, sebagian besar masyarakat
manusia merupakan masyarakat patriarkal yang menghargai lakilaki lebih tinggi ketimbang perempuan. Terlepas dari bagaimana
sebuah masyarakat mendefinisikan “laki-laki” dan “perempuan”,
menjadi seorang laki-laki selalu lebih baik. Masyarakat patriarkal
mengedukasi para laki-laki untuk berpikir dan bertindak dengan cara maskulin dan kaum perempuan untuk berpikir dan bertindak
secara feminin, menghukum siapa pun yang berani melampaui
batas itu. Meskipun demikian, mereka tidak memberi imbalan
setara kepada mereka yang mematuhinya. Kualitas-kualitas yang
dipandang maskulin dinilai lebih dari kualitas-kualitas feminin,
dan para anggota masyarakat yang memersonifikasi feminin
ideal mendapatkan lebih sedikit dari mencapai maskulin ideal.
Lebih sedikit sumber daya yang diinvestasikan dalam kesehatan
dan pendidikan perempuan; mereka mendapatkan kesempatan
ekonomi yang lebih kecil, kekuasaan politik lebih kecil, dan
gerak kebebasan yang lebih kecil. Gender adalah sebuah ras
yang di dalamnya para pesaing hanya berkompetisi untuk medali
perunggu.
Benar bahwa segelintir perempuan mencapai posisi alfa,
seperti Cleopatra dari Mesir, Permaisuri Wu Zetian dari China
(700 M), dan Elizabeth I dari Inggris. Namun, mereka adalah
pengecualian-pengecualian yang justru membuktikan adanya
aturan itu. Selama 45 tahun masa kekuasaan Elizabeth, seluruh
anggota Parlemen adalah laki-laki, semua perwira di Angkatan
Laut Kerajaan dan Angkatan Darat adalah laki-laki, seluruh
hakim dan pengacara adalah laki-laki, seluruh uskup dan uskup
agung adalah laki-laki, seluruh mahasiswa dan profesor di semua
universitas dan sekolah tinggi adalah laki-laki, seluruh walikota
dan kepala polisi daerah adalah laki-laki, dan hampir semua
penulis, arsitek, penyair, filsuf, pelukis, pemusik, serta ilmuwan
adalah laki-laki.
Patriarki telah menjadi norma di hampir semua masyarakat
agrikultur dan industri. Ia dengan kokoh bertahan melewati
pergolakan-pergolakan politik, revolusi-revolusi sosial, dan
transformasi-transformasi ekonomi. Mesir, misalnya, ditaklukkan
berkali-kali selama berabad-abad. Assyiria, Persia, Macedonia,
Romawi, Arab, Mamluk, Turki, Inggris mendudukinya—
masyarakatnya selalu tetap patriarkal. Mesir diperintah dengan
hukum Fir’aun, hukum Yunani, hukum Romawi, hukum
Islam, hukum Ottoman, hukum Inggris—dan mereka semua
mendiskriminasi masyarakat yang bukan “laki-laki sejati”.
Karena patriarki begitu universal, ia tidak bisa menjadi
produk dari lingkaran setan yang dipicu oleh kebetulan. Yang
sangat pantas dicatat, bahkan sebelum 1492, sebagian besar
masyarakat di Amerika maupun Afro-Asia adalah patriarkal,
sekalipun terputus jarak selama ribuan tahun. Jika patriarki di
Afro-Asia muncul dari kebetulan, mengapa masyarakat Aztec
dan Inca patriarkal? Kemungkinan yang jauh lebih besar adalah
bahwa sekalipun definisi persis “laki-laki” dan “perempuan”
beragam di antara banyak budaya, ada suatu penyebab biologis
universal mengapa semua budaya menghargai kejantanan di atas
kebetinaan. Kita tidak tahu apa penyebabnya. Ada banyak sekali
teori, tak satu pun meyakinkan.
Kekuatan Otot
Teori paling umum menunjuk ke fakta bahwa laki-laki lebih kuat
daripada perempuan, dan bahwa mereka menggunakan kekuatan
fisik yang lebih besar untuk memaksa perempuan tunduk. Sebuah
versi yang lebih subtil dari klaim ini mengemukakan bahwa
kekuatan laki-laki memungkinkan mereka memonopoli tugastugas yang menuntut kerja keras manual, seperti membajak dan
memanen. Ini memberi mereka kontrol atas produksi makanan,
yang pada gilirannya menjelma menjadi pengaruh politik.
Ada dua problem dalam pendapat yang menekankan kekuatan
otot. Pertama, pernyataan bahwa “laki-laki lebih kuat daripada
perempuan” hanya benar secara rata-rata, dan hanya berkenaan
dengan jenis-jenis kekuatan tertentu. Perempuan pada umumnya
lebih tahan pada kelaparan, penyakit, dan kelelahan ketimbang
laki-laki. Banyak juga perempuan yang bisa berlari lebih cepat
dan mengangkat beban lebih berat ketimbang banyak laki-laki.
Lebih dari itu, dan paling problematik dalam teori ini, perempuan
sepanjang sejarah telah disisihkan dari banyak pekerjaan yang
membutuhkan upaya fisik ringan (seperti kependetaan, hukum,
dan politik), dengan tetap terlibat dalam pekerjaan kasar di
ladang-ladang, kerajinan, dan rumah tangga. Jika kekuatan sosial
dibagi dalam kaitan langsung dengan kekuatan fisik atau stamina,
perempuan tentulah mendapat bagian yang jauh lebih besar.Yang lebih penting lagi, tidak ada yang namanya hubungan
langsung antara kekuatan politik dan kekuatan sosial di kalangan
manusia. Orang-orang dalam usia enam puluhan biasanya
menjalankan kekuasaan atas orang-orang usia dua puluhan,
sekalipun usia dua puluhan jauh lebih kuat daripada para sesepuh
mereka. Pemilik perkebunan di Alabama pada pertengahan abad
ke-19 tentu sudah tersungkur di tanah dalam beberapa detik saja
oleh kekuatan para budak yang menggarap ladang-ladang kapas
mereka. Pertandingan-pertandingan tinju tidak digunakan untuk
memilih Fir’aun Mesir atau paus Katolik. Dalam masyarakat
pengembara, dominasi politik umumnya berdiam pada orang yang
memiliki keterampilan sosial terbaik, bukan orang yang paling
berotot. Dalam kejahatan terorganisasi, bos besar tidak dengan
sendirinya pria yang paling kuat. Dia sering pria tua yang sangat
jarang menggunakan tinjunya sendiri; dia menyuruh orang-orang
yang lebih muda dan lebih kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan
kotor untuknya. Seorang laki-laki yang berpikir bahwa cara untuk
mengambil alih sindikat adalah dengan mengalahkan don** tak
mungkin bisa hidup cukup lama untuk belajar dari kesalahannya.
Bahkan, di kalangan simpanse, jantan alfa meraih posisinya
dengan membangun koalisi yang stabil dengan pejantan-pejantan
dan betina-betina, bukan melalui kekerasan tanpa perhitungan.
Faktanya, sejarah manusia menunjukkan bahwa sering ada
relasi terbalik antara keperkasaan fisik dan kekuatan sosial. Di
sebagian besar masyarakat, kelas rendahlah yang melakukan
pekerjaan kasar. Ini bisa mencerminkan posisi Homo sapiens
dalam rantai makanan. Jika hanya kemampuan fisik liar yang
punya arti, Sapiens tentu terdesak ke posisi tengah. Namun,
kemampuan mental dan sosial menempatkan mereka di puncak.
Oleh karena itu, natural belaka bahwa rantai kekuatan dalam
spesies-spesies juga akan lebih ditentukan oleh kemampuan
mental dan sosial ketimbang kekuatan brutal. Oleh karena itu,
sulit memercayai bahwa hierarki sosial yang paling berpengaruh
dan paling stabil dalam sejarah bertumpu pada kemampuan fisik
manusia untuk memaksa perempuan.
Sampah Masyarakat
Satu teori lain menjelaskan bahwa dominasi maskulin bukan
merupakan hasil dari kekuatan, melainkan dari agresi. Jutaan
tahun evolusi telah menjadikan laki-laki jauh lebih kasar
ketimbang perempuan. Perempuan bisa menandingi laki-laki
dalam urusan kebencian, ketamakan, dan pelanggaran, tetapi
ketika mendapat tekanan, laki-laki jauh lebih siap untuk terlibat
dalam kekerasan fisik yang liar. Itulah mengapa sepanjang sejarah
peperangan selalu menjadi hak prerogatif maskulin.
Pada masa perang, kendali laki-laki atas pasukan bersenjata
membuat mereka menjadi tuan-tuan dalam masyarakat sipil
juga. Mereka kemudian menggunakan kontrol atas masyarakat
sipil untuk melancarkan perang demi perang, dan semakin besar
jumlah perang, semakin besar kontrol laki-laki atas masyarakat.
Lingkaran umpan balik ini menjelaskan merajalelanya perang
dan merajalelanya patriarki. Studi-studi mutakhir tentang sistem
horman dan kognitif laki-laki dan perempuan memperkuat asumsi
bahwa laki-laki memang memiliki kecenderungan kekerasan
lebih besar sehingga lebih cocok untuk menjadi tentara biasa.
Meskipun demikian, mengingat bahwa semua tentara biasa
adalah laki-laki, apakah itu berarti bahwa orang yang mengatur
peran dan menikmati hasilnya pasti juga laki-laki? Itu tidak
masuk akal. Itu seperti berasumsi bahwa karena semua budak
yang menggarap ladang-ladang kapas adalah kulit hitam, pasti
para pemilik perkebunan berkulit hitam juga. Sebagaimana satu
pasukan kerja yang semuanya kulit hitam mungkin dikendalikan
oleh satu manajemen yang semuanya kulit putih, mengapa
pasukan tentara yang kesemuanya laki-laki tidak bisa dikendalikan
oleh pasukan yang semuanya perempuan, atau paling tidak
pemerintahan dengan sebagian perempuan? Faktanya, dalam
banyak masyarakat sepanjang sejarah, para perwira tertinggi
tidak meniti karier pekerjaannya dari pangkat prajurit. Kaum
aristokrat, orang kaya, dan terdidik secara otomatis ditempatkan
di pangkat perwira dan tidak pernah bertugas sehari pun di
pangkat bawah.
Ketika Pangeran Wellington, musuh bebuyutan Napoleon, diterima di Angkatan Darat Inggris pada usia 18 tahun, dia
langsung ditugaskan sebagai seorang perwira. Dia tidak banyak
merasakan sebagai tentara biasa dalam pasukannya. “Kami dalam
dinas memiliki sampah bumi para tentara biasa”, dia menulis ke
sesama aristokrat saat peperangan melawan Prancis. Para tentara
biasa ini biasanya direkrut dari kalangan sangat miskin atau dari
etnis minoritas (seperti Katolik Irlandia). Peluang mereka untuk
naik pangkat sangat kecil. Pangkat senior dikhususkan bagi para
bangsawan, pangeran, dan raja. Namun, mengapa hanya untuk
para bangsawan, bukan putri?
Imperium Prancis di Afrika didirikan dan dibela dengan
keringat dan darah orang Senegal, Aljazair, dan kelas pekerja
Prancis. Namun, persentase orang Prancis dari kalangan berada
dalam elite kecil yang memimpin angkatan perang Prancis,
menguasai imperium dan menikmati buahnya sangatlah tinggi.
Mengapa hanya laki-laki Prancis dan bukan perempuan Prancis?
Di China, ada tradisi yang berlangsung lama untuk
menundukkan angkatan perang di bawah birokrasi sipil sehingga
orang-orang Mandarin yang tidak pernah memegang pedang
sering memimpin perang. “Anda tidak perlu menyia-nyiakan besi
yang bagus untuk membuat pancing”, demikian pepatah China
yang berarti bahwa orang-orang yang benar-benar berbakatlah
yang bisa bergabung dalam birokrasi sipil, bukan angkatan perang.
Lalu, mengapa semuanya adalah laki-laki Mandarin?
Orang tak bisa beralasan secara masuk akal bahwa kelemahan
fisik atau rendahnya tingkat testosteron menghalangi perempuan
menjadi orang Mandarin yang sukses, jenderal, dan politisi. Untuk
bisa berhasil dalam sebuah perang, Anda tentu membutuhkan
stamina, tetapi bukan kekuatan fisik atau keagresifan. Perang
bukanlah perkelahian di pub. Perang adalah proyek yang
sangat kompleks yang membutuhkan derajat organisasi yang
luar biasa, kerja sama dan penenangan. Kemampuan untuk
mempertahankan ketenangan di dalam negeri, mencari sekutu di
luar, dan memahami apa yang berkecamuk dalam pikiran orang
lain (terutama musuh Anda) biasanya menjadi kunci kemenangan.
Karena itu seorang brutal agresif sering menjadi pilihan terburuk
untuk memimpin perang. Yang jauh lebih baik adalah orangyang kooperatif yang tahu bagaimana menenangkan, bagaimana
memanipulasi, dan bagaimana melihat keadaan dari berbagai
perspektif yang berbeda. Inilah bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk menciptakan para pembangun imperium. Augustus yang
tidak berkompeten secara militer berhasil menciptakan rezim
imperium yang stabil, mencapai sesuatu yang lolos dari capaian
Julius Caesar dan Alexander Yang Agung, dua jenderal yang jauh
lebih mumpuni. Para pengagum kontemporer dan sejarawan
modern sering merujukkan kehebatan itu pada keunggulannya
dalam hal yang dinamakan clementia—kelembutan dan
ketenangan.
Perempuan sering di-stereoptipe sebagai pemanipulasi
dan penenang yang lebih bagus ketimbang laki-laki, dan
terkenal karena kemampuan hebatnya untuk melihat sesuatu
dari perspektif orang lain. Jika ada bagian yang benar dari
stereotipe ini, maka mestinya perempuan bisa menjadi politisi
dan pembangun imperium yang hebat sehingga bisa menyerahkan
pekerjaan kasar di arena pertempuran kepada kaum macho yang
bermuatan testosteron dan berpikiran sederhana. Meskipun
marak dalam mitos-mitos populer, ini jarang terjadi di dunia.
Sama sekali tidak jelas mengapa bisa begitu.
Gen-Gen Patriarkal
Satu lagi penjelasan biologis yang tak terlalu menekankan
pentingnya kekuatan brutal dan kekerasan, dan menjelaskan bahwa
selama jutaan tahun evolusi, laki-laki dan perempuan berevolusi
secara berbeda dalam strategi survival dan reproduksi. Ketika
laki-laki bersaing dengan sesamanya untuk meraih kesempatan
menghamili perempuan subur, peluang satu individu untuk
bereproduksi bergantung yang paling utama pada kemampuannya
mengungguli dan mengalahkan laki-laki lain. Seiring berjalannya
waktu, gen-gen maskulin berkembang menjadi generasi paling
ambisius, paling agresif, dan paling kompetitif.
Seorang perempuan, di sisi lain, tak punya masalah dalam
menemukan laki-laki yang bersedia menghamilinya. Namun, jika dia ingin anak-anaknya memberi cucu, dia perlu membawa
mereka 9 bulan yang melelahkan dalam kandungan, dan
kemudian mengasuhnya selama bertahun-tahun. Dalam masa itu
dia memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mendapatkan
makanan, dan membutuhkan banyak bantuan. Dia membutuhkan
seorang laki-laki. Untuk menjamin survivalnya sendiri dan anakanaknya, perempuan tak punya banyak pilihan selain menyetujui
apa pun syarat yang ditetapkan laki-laki sehingga laki-laki bisa
tetap bersamanya dan ikut menanggung beban. Seiring berjalannya
waktu, gen-gen feminin berkembang menjadi generasi perempuan
pengasuh yang paling submisif. Perempuan yang menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk perang memperebutkan kekuasaan
tidak menyisakan gen-gen kuat itu untuk generasi masa depan.
Hasil dari strategi survival yang berbeda ini—demikian
menurut teori—adalah bahwa laki-laki telah diprogram untuk
menjadi ambisius dan kompetitif, dan moncer dalam politik
dan bisnis, sedangkan perempuan cenderung menyingkir dan
mendedikasikan hidup mereka untuk membesarkan anak-anak.
Akan tetapi, pendekatan ini juga tampaknya diingkari oleh
bukti empiris. Yang terutama problematis adalah asumsi bahwa
ketergantungan perempuan pada bantuan eksternal menjadikan
mereka bergantung pada laki-laki, bukan pada perempuan lain,
dan bahwa daya saing menjadikan laki-laki dominan secara sosial.
Banyak spesies binatang, seperti gajah dan simpanse bonobo, yang
dalamnya dinamika antara betina yang bergantung dan pejantan
yang kompetitif menghasilkan masyarakat matriarkal. Karena
betina membutuhkan bantuan eksternal, mereka diwajibkan
untuk mengembangkan keterampilan sosialnya dan belajar
bagaimana bekerja dan menenangkan. Mereka mengonstruksi
jaringan sosial khusus betina yang saling membantu membesarkan
anak. Sementara itu, para pejantan menghabiskan waktu untuk
berperang dan bersaing. Kemampuan sosial dan ikatan sosial
tetap kurang berkembang.
Masyarakat bonobo dan gajah dikontrol oleh jaringan betina
yang kooperatif, sementara pejantan yang egois dan tak kooperatif
terdesak ke tepi. Meskipun betina-betina bonobo lebih lemah
secara rata-rata ketimbang pejantan, betina sering bertindak keroyokan untuk mengalahkan pejantan yang melampaui garis
batas mereka.
Jika itu bisa terjadi pada bonobo dan gajah, mengapa tidak
pada Homo sapiens? Sapiens adalah binatang yang relatif lemah,
yang keunggulannya terletak pada kemampuan untuk bekerja
sama dalam jumlah besar. Jika demikian, kita harus berekspektasi
bahwa kaum perempuan yang dependen, sekalipun mereka
bergantung pada laki-laki, akan menggunakan keterampilan
sosial mereka yang superior untuk bekerja sama mengalahkan
dan memanipulasi laki-laki yang agresif, otonom, dan egois.
Bagaimana itu bisa terjadi, bahwa dalam satu spesies yang
suksesnya bergantung terutama pada kerja sama, individu-individu
yang dianggap kurang kooperatif (laki-laki) mengontrol individuindividu yang dianggap lebih kooperatif (perempuan)? Saat ini
kita belum punya jawaban yang bagus. Mungkin asumsi-asumsi
umumnya memang salah. Mungkin laki-laki dari spesies Homo
sapiens tercirikan bukan pada kekuatan fisik, keagresifan dan
daya saing, tetapi lebih pada kemampuan sosial yang superior
dan kecenderungan besar untuk bekerja sama. Kita tidak tahu.
Akan tetapi, yang kita tahu adalah bahwa dalam abad
yang lalu peran-peran gender telah mengalami revolusi yang
dahsyat. Semakin banyak dan semakin banyak masyarakat masa
kini memberi laki-laki dan perempuan status hukum, hak-hak
politik, dan kesempatan ekonomi yang setara. Meskipun jurang
gender masih signifikan, peristiwa-peristiwa bergerak dengan
kecepatan yang mencengangkan. Ketika, pada 1913, gerakan
kaum perempuan menghebohkan publik Amerika Serikat dalam
tuntutan ganjil untuk mendapatkan hak pilih bagi perempuan,
siapa yang pernah bermimpi bahwa pada 2013, lima hakim
Mahkamah Agung Amerika Serikat, tiga di antaranya perempuan,
memutuskan setuju melegalkan pernikahan sesama jenis
(menggugurkan keputusan penolakan dari empat hakim laki-laki)?
Perubahan-perubahan dramatis inilah tepatnya yang membuat
sejarah gender begitu membingungkan. Jika, sebagaimana terlihat
begitu jelas pada masa kini, sistem patriarkal lebih didasarkan
pada mitos-mitos tak berdasar ketimbang fakta-fakta biologis,
maka apa yang menyebabkan universalitas dan stabilitas sistem ini?
Setelah Revolusi Agrikultur, masyarakat-masyarakat manusia
tumbuh semakin besar dan semakin kompleks, sementara
konstruk-konstruk yang diimajinasikan yang memelihara tatanan
sosial juga menjadi lebih rumit. Mitos-mitos dan fiksi-fiksi
membiasakan masyarakat, hampir sejak momen kelahiran, untuk
berpikir dalam cara-cara tertentu, dan menjalankan aturanaturan tertentu. Dengan demikian, mitos-mitos dan fiksi-fiksi itu
menciptakan naluri-naluri artifisial yang memungkinkan jutaan
orang asing bekerja sama secara efektif. Jaringan naluri artifisial
ini disebut “budaya”.
Dalam paruh pertama abad ke-20, para ahli mengajarkan
bahwa setiap budaya bersifat lengkap dan harmonis, memiliki
esensi tak berubah yang mendefinisikannya untuk selamanya.
Setiap kelompok manusia memiliki pemandangan atas dunia dan
sistem pengaturan sosial, hukum, dan politik masing-masing, yang
berjalan semulus planet-planet di sekeliling Matahari. Dalam
pandangan ini, kultur-kultur yang sudah mapan tidak berubah.
Kultur-kultur itu hanya bergerak dengan kecepatan sama dan
ke arah yang sama. Hanya kekuatan yang diaplikasikan dari
luar yang bisa mengubahnya. Oleh karena itu, para antropolog,
sejarawan, dan politisi merujuknya sebagai “Kultur Samoa” atau
“Kultur Tasmania” seakan-akan keyakinan-keyakinan, normanorma, dan nilai-nilai yang sama sudah mencirikan masyarakat
Samoa dan Tasmania sejak masa yang sudah lama sekali.
Kini, sebagian besar ahli budaya menyimpulkan sebaliknya.
Setiap budaya memiliki keyakinan-keyakinan, norma-norma, dan
nilai-nilai yang khas, tetapi semua itu terus bergerak. Budaya
bisa mentransformasi diri merespons perubahan-perubahan dalam
lingkungannya atau melalui interaksi dengan budaya-budaya sekitar. Namun, budaya-budaya juga menjalani transisi-transisi
berkat dinamika internalnya sendiri. Bahkan, budaya yang benarbenar terisolasi yang ada dalam suatu lingkungan yang stabil
secara ekologis tidak bisa menghindari perubahan. Tak seperti
hukum fisika, yang bebas dari inkonsistensi, setiap tatanan
ciptaan manusia tersusun dengan kontradiksi-kontradiksi internal.
Budaya-budaya terus berusaha merekonsiliasi kontradiksikontradiksi ini, dan proses ini menggerakkan perubahan.
Misalnya, dalam Eropa abad pertengahan, kaum bangsawan
meyakini Kristianitas dan kekesatriaan. Seorang bangsawan biasa
pergi ke gereja pada pagi hari, dan mendengarkan pendeta
berbicara tentang kehidupan para santa. “Kesombongan adalah
kesombongan,” kata Pendeta. “Kekayaan, nafsu, dan kehormatan
adalah godaan yang berbahaya. Anda harus naik di atasnya, dan
mengikuti jejak-jejak Kristus. Jadilah lembut seperti Dia, hindari
kekerasan dan kemegahan, dan jika ditampar, sodorkan pipi
yang satunya.” Pulang ke rumah dalam suasana hati yang lembut
dan tafakur, bangsawan itu akan berganti pakaian dengan sutra
terbaiknya dan pergi ke perjamuan di istana rajanya. Di sana
anggur mengalir seperti air, penyanyi menyanyikan Lancelot and
Guinevere, dan para tamu bertukar kelakar kotor dan kisah-kisah
perang berdarah. “Lebih baik mati daripada hidup menanggung
malu,” seru para baron. Jika seseorang mempertanyakan
kehormatanmu, hanya darah yang bisa menghapuskan penghinaan
itu. Dan, apa yang lebih baik dalam kehidupan dibandingkan
dengan melihat musuh-musuhmu lari tunggang langgang di
hadapanmu, dan putri-putri cantik mereka gemetaran di kakimu?
Kontradiksi tak pernah terselesaikan sepenuhnya. Namun,
saat kaum bangsawan, pendeta, dan orang biasa berjibaku
dengannya, budaya mereka berubah. Salah satu upaya untuk
memahaminya menghasilkan Perang Salib. Pada Perang Salib, para
kesatria bisa menunjukkan keperkasaan militer dan kesalehan
religius mereka dengan satu tebasan. Kontradiksi yang sama
menghasilkan tatanan-tatanan militer seperti para kesatria Templar
dan Hospitaller, yang berusaha menghubungkan cita-cita Kristen
dan kesatria lebih erat lagi. Kontradiksi juga bertanggung jawab
atas bagian besar dari seni dan literatur abad pertengahan, seperti
kisah-kisah King Arthur dan Holy Grail. Bukankah Camelot*
adalah sebuah upaya untuk membuktikan bahwa seorang kesatria
yang baik bisa dan harus menjadi Kristen yang baik, dan bahwa
Kristen yang baik menjadi kesatria yang baik?
Contoh lain adalah tatanan politik modern. Sejak Revolusi
Prancis, orang-orang di seluruh dunia perlahan-lahan bisa
melihat kesetaraan dan kebebasan individu sebagai nilai-nilai
fundamental. Meskipun demikian, kedua nilai itu kontradiktif
satu sama lain. Kesetaraan hanya bisa dijamin dengan membatasi
kebebasan mereka yang punya nasib lebih baik. Menjamin bahwa
setiap individu akan bebas melakukan sesuai kehendaknya, tak
terelakkan mengubah kesetaraan. Keseluruhan sejarah politik
dunia sejak 1789 bisa dilihat sebagai serangkaian upaya untuk
merekonsiliasi kontradiksi ini.
Siapa pun yang sudah membaca novel Charles Dickens tahu
bahwa rezim-rezim liberal abad ke-19 Eropa memberi prioritas
kepada kebebasan individu sekalipun itu berarti menjebloskan
keluarga-keluarga miskin papa ke penjara dan tak memberi para
yatim kecil pilihan selain ikut bersekolah untuk mencopet. Siapa pun
yang sudah membaca novel Alexander Solzhenitsyn tahu bagaimana
cita-cita egaliter Komunisme menghasilkan tirani-tirani brutal
yang berusaha mengontrol setiap aspek kehidupan sehari-hari.
Politik kontemporer Amerika juga beredar di sekitar
kontradiksi ini. Orang Demokrat menginginkan masyarakat yang
lebih adil, sekalipun itu berarti menaikkan pajak untuk mendanai
program-program guna membantu kaum miskin, usia lanjut, dan
lemah. Namun, itu membatasi kebebasan individu-individu untuk
membelanjakan uang sekehendak mereka. Mengapa pemerintah
harus memaksa saya untuk membeli asuransi kesehatan kalau
saya lebih suka menggunakan uang untuk menyekolahkan
anak ke perguruan tinggi? Orang Republiken, di sisi lain, ingin
memaksimalkan kebebasan individu, sekalipun itu berarti bahwa
jurang pendapatan antara yang kaya dan miskin membesar dan
bahwa banyak orang Amerika tidak akan sanggup membiayai
perawatan kesehatan.
Sebagaimana kultur abad pertengahan tak berhasil memadukan
kekesatriaan dengan Kristianitas, demikian pula dunia modern
gagal memadukan kebebasan dan kesetaraan. Namun, ini bukan
aib. Kontradiksi-kontradiksi semacam itu adalah bagian tak
terpisahkan dari setiap budaya manusia. Faktanya, kontradiksi
adalah bahan bakar budaya, yang bertanggung jawab atas
kreativitas dan dinamika spesies kita. Sebagaimana ketika dua
not musik yang berbenturan dimainkan bersama menghasilkan
sepotong musik, demikian pula pertentangan pemikiran, ideide, dan nilai-nilai memaksa kita untuk berpikir, mengevaluasi
ulang, dan mengkritisi. Konsistensi adalah arena bermain bagi
pikiran-pikiran yang bodoh.
Jika ketegangan, konflik, dan dilema-dilema yang tak teratasi
menjadi bumbu bagi setiap budaya, maka seorang manusia dari
kultur tertentu mana pun pasti memegang keyakinan-keyakinan
kontradiktif dan terbelah oleh nilai-nilai yang tidak saling
bersesuaian. Hanya dengan ciri penting itulah setiap budaya
bahkan memiliki nama: disonansi kognitif. Disonansi kognitif
sering dipandang sebagai kegagalan (jiwa) psyche manusia.
Faktanya, ia justru aset vital. Kalaulah orang tidak mampu
memegang keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang kontradiktif,
maka mustahil tercipta dan terpelihara budaya manusia mana pun.
Jika Anda benar-benar ingin memahami, katakanlah, masyarakat
Muslim yang datang ke masjid di tengah perkampungan, jangan
coba mencari seperangkat nilai-nilai murni yang dijunjung tinggi
setiap Muslim. Namun, cobalah dalami catch-22** tentang kultur
Muslim, tempat-tempat di mana aturan-aturan berbenturan dan
standar-standar bertentangan. Di titik tempat kaum Muslim majumundur antara dua perintah, di situlah Anda bisa memahami
mereka dengan baik.
Satelit Mata-Mata
Kultur-kultur manusia terus mengalir. Apakah aliran ini benarbenar acak atau memiliki pola-pola yang menyeluruh? Dengan kata lain, apakah sejarah memiliki arah?
Jawabannya adalah ya. Selama beribu-ribu tahun, kulturkultur kecil sederhana pelan-pelan bersatu menjadi peradabanperadaban yang lebih besar dan lebih kompleks sehingga dunia
berisi semakin sedikit dan semakin sedikit megabudaya, yang
masing-masing lebih besar dan lebih kompleks. Ini tentu saja
generalisasi yang sangat kasar, yang hanya benar pada level
makro. Pada level mikro, tampaknya setiap kelompok budaya
yang bergabung menjadi megabudaya, ada sebuah megabudaya
yang pecah berkeping-keping. Imperium Mongolia berekspansi
untuk mendominasi potongan besar Asia dan bahkan beberapa
bagian Eropa, hanya untuk runtuh berkeping-keping. Kristen
menggaet ratusan juta pemeluk baru pada saat yang sama ketika
agama itu terpecah menjadi sekte-sekte yang tak terhitung
jumlahnya. Bahasa Latin menyebar ke Eropa Barat dan Tengah,
kemudian pecah menjadi dua dialek lokal yang keduanya
akhirnya menjadi bahasa nasional. Namun, pecahan-pecahan ini
adalah pembalikan temporer dalam tren tak terelakkan menuju
penyatuan. Mempersepsi arah sejarah adalah benar-benar masalah
pandangan saja. Ketika kita mengadopsi pandangan “mataburung” tentang sejarah yang sangat terkenal, yang menelusuri
perkembangan-perkembangan dalam rentang beberapa dekade
atau beberapa abad, sulit untuk mengatakan apakah sejarah
bergerak menuju arah penyatuan atau keragaman. Namun,
memahami proses-proses jangka pandangan “mata-burung”
sesungguhnya adalah sesuatu yang terlalu myopic (terlalu dekat
dengan objek pandangan). Akan lebih baik kalau kita mengadopsi
pandangan satelit mata-mata kosmis, yang menyapu mileniummilenium ketimbang abad-abad. Dari pandangan semacam itu,
menjadi lebih tegas bahwa sejarah bergerak tiada henti menuju
penyatuan. Terbelahnya Kristen dan runtuhnya Imperium
Mongolia hanyalah kendali kecepatan di jalan tol sejarah.
Cara terbaik untuk melihat arah umum sejarah adalah dengan
menghitung dunia-dunia manusia yang terpisah yang bersamasama hadir pada masa tertentu di muka Bumi. Pada masa kini,
kita terbiasa berpikir tentang planet sebagai satu unit tunggal,
tetapi hampir sepanjang sejarah, Bumi sesungguhnya adalah sebuah galaksi utuh dari dunia-dunia manusia yang terisolasi.
Pikirkanlah Tasmania, sebuah pulau berukuran sedang di
sebelah selatan Australia. Ia terputus dari daratan utama Australia
sekitar 10.000 SM saat akhir Zaman Es menyebabkan permukaan
laut naik. Beberapa ribu manusia pemburu-penjelajah tersisa
di pulau itu, dan tidak ada kontak apa pun dengan manusia
lain sampai kedatangan orang-orang Eropa pada abad ke-19.
Selama 12.000 tahun, tak seorang pun tahu ada orang-orang
Tasmania di sana, dan mereka tidak tahu bahwa ada orang lain
di dunia. Mereka melakukan perang, pergolakan politik, isolasi
sosial, dan perkembangan-perkembangan budaya mereka sendiri.
Namun, jika merujuk ke para kaisar China atau para penguasa
Mesopotamia, Tasmania ibarat sebuah lokasi di salah satu bulan
Yupiter. Orang-orang Tasmania hidup dalam dunia mereka sendiri.
Amerika dan Eropa, pun, adalah dunia-dunia yang terpisah
dari sebagian besar sejarah. Pada 378 M, Kaisar Romawi,
Valence, dikalahkan dan dibunuh oleh kaum Gotha pada
peperangan Adrianople. Pada tahun yang sama, Raja Chak Tok
Ich’aak dari Tikal dikalahkan dan dibunuh oleh angkatan perang
Teotihuacan. (Tical adalah sebuah negara kota Mayan yang
penting, sedangkan Teotihuacan waktu itu adalah kota terbesar
di Amerika, dengan hampir 250.000 penghuni—ukuran yang
sama dengan seangkatannya, Roma). Tidak ada koneksi apa pun
antara kekalahan Romawi dan kebangkitan Teotihuacan. Romawi
mungkin terletak di Mars dan Teotihuacan di Venus.
Berapa banyak dunia manusia yang berbeda yang hadir
bersamaan di muka Bumi? Sekitar 10.000 SM planet kita berisi
banyak ribuan. Pada 2000 SM, jumlah mereka menyusut ke
ratusan, atau paling banyak beberapa ribu. Pada 1450, jumlahnya
turun lebih drastis lagi. Pada saat itu, menjelang abad eksplorasi
Eropa, Bumi masih berisi dalam jumlah yang signifikan duniadunia kerdil seperti Tasmania. Namun, hampir 90 persen manusia
hidup di sebuah megadunia: dunia Afro-Asia. Sebagian besar
Asia, sebagian besar Eropa, dan sebagian besar Afrika (termasuk
potongan-potongan substantif sub-Sahara Afrika) sudah terhubung
oleh ikatan-ikatan kultural, politik, dan ekonomi yang signifikan.
Sebagian besar dari sepersepuluh populasi dunia yang tersisa terbagi di antara 4 dunia dalam ukuran dan kompleksitas yang
memadai:
1. Dunia Mesoamerika, yang meliputi sebagian besar
Amerika Tengah dan beberapa bagian Amerika Utara.
2. Dunia Andea, yang meliputi sebagian besar Amerika
Latin bagian barat.
3. Dunia Australia, yang meliputi kontinen Australia.
4. Dunia Oseania, yang meliputi sebagian besar pulau-pulau
bagian barat daya Samudra Pasifik, dari Hawaii sampai
Selandia Baru.
Dalam kurun 300 tahun kemudian, raksasa Afro-Asia menelan
seluruh dunia-dunia lain. Ia memakan Dunia Mesoamerika
pada 1521, ketika Spanyol menaklukkan Imperium Aztec. Ia
mendapat sengatan pertama dari Dunia Oseania pada saat yang
sama, saat pengembaraan dunia Ferdinand Magellan, dan segera
sesudahnya merampungkan penaklukannya. Dunia Andea runtuh
pada 1532, ketika para penakluk Spanyol menumpas Imperium
Inca. Orang Eropa pertama mendarat di kontinen Australia
pada 1606, dan dunia murni itu berakhir ketika kolonisasi
Ingggris dimulai pada awal 1788. Lima puluh tahun kemudian
orang-orang Inggris mendirikan permukiman pertama mereka di
Tasmania, dengan demikian membawa dunia manusia otonomi
itu ke dalam lingkaran pengaruh Afro-Asia.
Raksasa Afro-Asia butuh beberapa abad untuk mencerna
seluruh yang ditelannya, tetapi proses itu tak bisa dibalikkan lagi.
Kini hampir seluruh manusia memiliki sistem geopolitik yang
sama (seantero planet ini terbagi menjadi negara-negara yang
diakui secara internasional); sistem ekonomi yang sama (kekuatan
pasar kapitalis bahkan membentuk sudut-sudut paling terpencil
di muka Bumi); sistem hukum yang sama (hak-hak asasi manusia
dan hukum internasional valid di mana pun, paling tidak secara
teoretis); dan sistem ilmu pengetahuan yang sama (para ahli di
Iran, Israel, Australia, dan Argentina memiliki pandangan yang
persis sama tentang struktur atom atau perawatan terhadap
tuberkulosis)
Kultur global tunggal itu tidaklah homogen. Sama seperti
satu tubuh organik tunggal berisi banyak jenis organ dan sel-sel
yang berbeda, maka kultur global tunggal kita terdiri atas banyak
jenis gaya hidup dan orang, dari para pialang saham New York
sampai ke para penggembala Afganistan. Meskipun demikian,
semuanya terhubung erat dan saling memengaruhi dalam banyak
sekali cara. Mereka bertengkar dan berkelahi, tetapi mereka
bertengkar menggunakan konsep-konsep yang sama dan berkelahi
menggunakan senjata-senjata yang sama. “Benturan peradaban”
yang riil itu seperti dialog termasyhur orang tuli. Tak seorang
pun yang bisa menangkap apa yang dikatakan pihak lain. Kini
ketika Iran dan Amerika Serikat saling menghunus pedang,
keduanya berbicara dengan bahasa negara bangsa, ekonomi
kapitalis, hak-hak internasional, dan fisika nuklir. Kita masih
berbicara banyak tentang budaya “autentik”, tetapi jika yang
dimaksud “autentik” adalah sesuatu yang berkembang secara
independen, dan yang berisi tradisi-tradisi lokal kuno yang bebas
dari pengaruh eksternal, maka tidak ada budaya autentik yang
tersisa di Bumi. Selama beberapa abad lalu, semua budaya diubah
hampir tanpa disadari oleh sebuah banjir pengaruh global.
Salah satu contoh paling menarik dari globalisasi adalah
makanan “etnik”. Di restoran Italia kita berharap mendapatkan
spageti dengan saus tomat; di restoran Polandia dan Irlandia
banyak kentang; di restoran Argentina kita bisa memilih antara
puluhan jenis steik sapi; di restoran India cabe pedas dicampur
dengan apa saja; dan menu unggulan di kafe Swiss adalah cokelat
panas kental di bawah gunung krim yang dikocok. Namun, tak
satu pun makanan itu asli dari negara-negara tersebut. Tomat,
cabe, dan kakao semuanya adalah asli Meksiko; makananmakanan itu baru mencapai Eropa dan Asia setelah orang-orang
Spanyol menaklukkan Meksiko. Julius Caesar dan Dante Alighieri
tidak pernah mengaduk spageti berlumur tomat dengan garpu
(bahkan garpu belum ditemukan saat itu), William Tell tidak
pernah mencicipi cokelat, dan Buddha tidak pernah membumbui
makannya dengan cabe. Kentang menjangkau Polandia dan
Irlandia tak lebih dari 400 tahun lalu. Satu-satunya steik yang
bisa Anda dapatkan di Argentina pada 1492 adalah dari daging
llama.
Film-film Hollywood mengabadikan citra dataran Indian
dengan pria-pria berkuda pemberani, yang bersemangat menarik
kereta-kereta pionir Eropa untuk melindungi kuil-kuil para
leluhur mereka. Namun, para pria berkuda Pribumi Amerika
ini bukanlah pembela budaya autentik kuno. Namun, mereka
adalah produk revolusi militer dan politik besar yang menyapu
dataran bagian barat Amerika Utara pada abad ke-17 dan ke-
18, sebuah konsekuensi dari kedatangan kuda-kuda Eropa. Pada
1492, tidak ada kuda di Amerika. Budaya abad ke-19 Sioux
dan Apache memiliki banyak ciri-ciri yang menarik, tetapi itu
budaya modern—hasil dari kekuatan global—yang sangat jauh
dari “autentik
Dari perspektif praktis, tahap paling penting dalam proses
unifikasi global terjadi pada beberapa abad lalu, ketika
imperium-imperium tumbuh dan perdagangan menjadi intensif.
Hubungan-hubungan yang semakin mengikat terbentuk antara
orang Afro-Asia, Amerika, Australia, dan Oseania. Maka, cabe
Meksiko masuk ke makanan India dan sapi Spanyol merumput
di Argentina. Namun, dari perspektif ideologis, perkembangan
yang lebih penting lagi terjadi pada milenium ke-1 SM, ketika
ide tatanan universal menancapkan akar. Selama ribuan tahun
sebelumnya, sejarah sudah bergerak pelan menuju arah penyatuan
global, tetapi ide tentang tatanan universal yang mengatur seluruh
dunia masih asing bagi sebagian besar orang.
Homo sapiens berevolusi untuk memandang orang terbagi
menjadi kita dan mereka. “Kita” adalah kelompok yang
berdekatan dengan Anda, siapa pun Anda, maka “mereka”
adalah orang lain. Faktanya, tidak ada binatang sosial yang
pernah digiring oleh kepentingan segenap spesiesnya. Tak ada
simpanse yang peduli tentang kepentingan spesies simpanse, tidak
ada bekicot yang mengangkat tentakel untuk komunitas bekicot
global, tidak ada singa jantan alfa mengajukan diri menjadi raja
seluruh singa, dan tidak ada slogan yang bisa ditemukan di depan
pintu sarang mana pun yang berbunyi: “Lebah-lebah pekerja di
seluruh dunia—bersatulah!”
Akan tetapi, dimulai dari Revolusi Kognitif, Homo sapiens
menjadi semakin dan semakin istimewa dalam hal ini. Orangorang mulai bekerja sama secara teratur dengan orang yang
sama sekali asing, yang mereka bayangkan sebagai “saudara”
atau “kawan”. Namun, persaudaraan ini tidak universal. Di
suatu tempat di lembah sampingnya, atau di balik gunung, orang
masih bisa merasakan “mereka”. Ketika Fir’aun pertama, Menes,
menyatukan Mesir sekitar 3000 SM, jelas bagi orang-orang
Mesir bahwa Mesir adalah sebuah batas, dan di luar batas itu
berkeliaran “kaum barbar”. Orang barbar adalah orang asing,
yang mengancam, yang hanya tertarik pada tingkat bahwa mereka
punya tanah atau sumber daya alam yang diinginkan orang
orang Mesir. Semua tatanan yang diimajinasikan yang diciptakan
orang-orang cenderung mengabaikan bagian substansial manusia.
Pada milenium ke-1 SM muncul tiga tatanan universal
potensial, yang untuk kali pertama para penganutnya bisa
membayangkan seluruh dunia dan seluruh ras manusia sebagai
satu kesatuan tunggal yang diatur oleh seperangkat hukum
tunggal. Setiap orang adalah “kita”, paling tidak secara potensial.
Tidak ada lagi “mereka”. Tatanan universal pertama yang
muncul adalah ekonomi: tatanan moneter. Tatanan universal
kedua adalah politik: tatanan imperium. Tatanan universal ketiga
adalah agama: tatanan agama-agama universal seperti Buddha,
Kristen, dan Islam.
Para pedagang, para penakluk, dan para nabi adalah orangorang pertama yang berhasil melampaui divisi evolusi biner,
“kita vs mereka”, dan untuk memandang potensi penyatuan
manusia. Bagi para pedagang, seluruh dunia adalah satu pasar
tunggal dan seluruh manusia adalah pelanggan potensial.
Mereka berusaha menciptakan tatanan ekonomi yang akan
berlaku untuk semua, di mana pun. Bagi para penakluk, seluruh
dunia adalah satu imperium tunggal dan seluruh manusia
adalah penduduk potensial, dan bagi para nabi, seluruh dunia
memegang satu kebenaran tunggal bagi seluruh manusia dan
seluruh manusia adalah para penganut potensial. Mereka juga
berusaha menciptakan sebuah tatanan yang akan berlaku untuk
siapa pun di mana pun.
Dalam tiga milenium silam, orang-orang melakukan semakin
banyak dan semakin banyak upaya untuk mewujudkan visi global
itu. Tiga bab berikutnya membahas bagaimana uang, imperium,
dan agama-agama universal menyebar, dan bagaimana semua
itu meletakkan fondasi bagi dunia yang kini tersatukan. Kita
mulai dengan cerita penaklukan terbesar dalam sejarah, seorang
penakluk memiliki toleransi dan adaptabilitas ekstrem sehingga
mengubah orang menjadi pengikut yang gigih. Penakluk itu
adalah uang. Orang-orang yang tidak memercayai Tuhan yang
sama atau mematuhi raja yang sama adalah orang-orang yang
jauh lebih dari siap untuk menggunakan uang yang sama. Osama
bin Laden, dan segenap kebenciannya pada budaya Amerika,
agama Amerika, dan politik Amerika, adalah orang yang sangat
cinta dolar Amerika. Bagaimana bisa uang berhasil, sementara
tuhan-tuhan dan raja-raja gagal?
Pada 1519, Hernán Cortés dan pasukan penakluknya menginvasi Meksiko, yang hingga masa itu masih menjadi dunia
manusia yang terisolasi. Aztec, demikian orang-orang yang hidup
di sana menyebut diri mereka, segera tahu bahwa orang asing
menunjukkan minat luar biasa pada logam kuning tertentu.
Faktanya, mereka tampak tidak pernah berhenti membicarakannya. Kaum pribumi tidak mengenal emas—sangat indah
dan mudah dikerjakan sehingga mereka menggunakannya untuk
membuat perhiasan dan patung-patung, dan mereka terkadang
menggunakan serbuk emas sebagai alat tukar: Namun, ketika
orang Aztec ingin membeli sesuatu, dia biasanya membayar
dengan biji kakao atau gulungan kain. Oleh karena itu, obsesi
orang Spanyol pada emas tampaknya tak bisa dijelaskan. Apa
yang membuatnya begitu penting, logam yang tidak bisa dimakan,
diminum, atau dijalin, dan terlalu lunak untuk digunakan sebagai
peralatan atau senjata? Ketika kaum pribumi menanyai Cortés
mengapa orang-orang Spanyol begitu tergila-gila pada emas, sang
penakluk itu menjawab, “Karena saya dan kawan-kawan saya
menderita penyakit hati yang hanya bisa diobati dengan emas.”1
Di dunia Afro-Asia, tempat asal orang-orang Spanyol itu,
obsesi pada emas benar-benar epidemis. Bahkan, permusuhan
paling sengit disebabkan oleh logam kuning tak berguna itu.
Tiga abad sebelum penaklukan Meksiko, para leluhur Cortés
dan angkatan perangnya melancarkan perang agama berdarah
melawan kerajaan-kerajaan Muslim di Iberia dan Afrika Utara.
Para pengikut Kristus dan para pengikut Allah saling bunuh
sampai angka ribuan, memorak-porandakan ladang-ladang
dan perkebunan, dan mengubah kota-kota makmur menjadi reruntuhan yang membara—semua untuk kemegahan yang lebih
besar Kristus atau Allah.
Ketika orang Kristen pelan-pelan di atas angin, mereka
menandai kemenangan-kemenangan tidak hanya dengan
menghancurkan masjid-masjid dan membangun gereja-gereja,
tetapi juga mengeluarkan koin-koin baru emas dan perak dengan
lambang salib dan bersyukur kepada Tuhan atas bantuan-Nya
memerangi orang-orang kafir. Namun, bersamaan dengan mata
uang baru itu, para pemenang mencetak jenis koin lain, yang
disebut millares, yang membawa sebuah pesan agak berbeda.
Koin segi empat yang dibuat orang-orang Kristen penakluk itu
dihiasi dengan rangkaian tulisan Arab yang menyatakan “Tidak
ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”.
Bahkan, uskup Katolik Melgueil dan Agde mengeluarkan salinan
koin-koin Muslim itu, dan orang-orang Kristen yang takut Tuhan
dengan senang hati menggunakannya.2
Toleransi juga mekar di balik bukit. Para pedagang Muslim
di Afrika Utara melakukan bisnis dengan menggunakan koin-koin
seperti florin Florentine, ducat Venetia, dan gigliato Neapolit.
Bahkan, para penguasa Muslim yang menyerukan jihad melawan
kaum kafir Kristen dengan senang menerima pajak dalam bentuk
koin-koin yang memampangkan Kristus dan Perawan Maria.3
Berapa Harganya?
Para pemburu-penjelajah tak punya uang. Setiap kawanan
berburu mengumpulkan dan membuat hampir semua yang
dibutuhkan, mulai dari daging sampai obat, dari sandal sampai
sihir. Bisa saja satu anggota kawanan punya keahlian untuk tugas
yang berbeda dengan anggota lainnya, tetapi mereka berbagi
makanan dan layanan dalam suatu model ekonomi gotong
royong. Sekerat daging yang diberikan secara gratis membawa
asumsi pembalasan—katakanlah bantuan medis gratis. Kawanan
independen secara ekonomi; hanya beberapa item langka yang
tidak bisa ditemukan secara lokal—kerang laut, pewarna,
obsidian, dan sejenisnya—yang harus didapatkan dari orang asing. Ini biasanya dilakukan dengan barter sederhana: “Kami
akan beri Anda kerang-kerang laut yang cantik, dan Anda akan
memberi kami batu berkualitas tinggi”.
Hal seperti ini tak banyak berubah sampai kedatangan
Revolusi Agrikultur. Sebagian besar orang terus hidup dalam
komunitas-komunitas kecil yang intim. Banyak kemiripan dengan
kawanan pemburu-penjelajah, setiap desa adalah kesatuan
ekonomi yang mandiri, dipelihara dengan gotong royong plus
sedikit barter dengan pihak luar. Seorang warga desa bisa memiliki
keahlian ulung membuat sepatu, yang lainnya mahir melakukan
perawatan kesehatan sehingga para penduduk desa tahu ke
mana harus pergi ketika tak punya sepatu atau sakit. Namun,
desa-desa itu kecil dan ekonomi mereka terbatas sehingga tak
mungkin ada pembuat sepatu atau dokter sebagai pekerja tetap.
Munculnya kota-kota dan kerajaan-kerajaan serta perbaikan
infrastruktur transportasi membawa peluang-peluang baru
spesialisasi. Kota-kota dengan penduduk padat menyediakan
pekerjaan tetap bukan hanya bagi pembuat sepatu dan dokter
profesional, melainkan juga tukang kayu, pendeta, tentara,
dan pengacara. Desa-desa yang mendapatkan reputasi sebagai
produsen anggur yang benar-benar baik, minyak zaitun, atau
keramik menyadari bahwa mereka layak mengupayakan keahlian
di produk itu secara eksklusif dan memperdagangkannya dengan
penduduk lain untuk semua barang yang mereka butuhkan. Ini
membawa makna yang sangat banyak. Iklim dan tanah berbeda,
lalu mengapa pula harus minum anggur yang biasa-biasa saja dari
halaman belakang jika kamu bisa membeli varietas yang lebih
halus dari tempat yang tanah dan iklimnya jauh lebih cocok
untuk tanaman anggur? Jika tanah liat di halaman belakang bisa
dijadikan pot yang lebih kuat dan lebih indah, maka kamu bisa
melakukan pertukaran. Lebih dari itu, pekerja tetap spesialis
anggur dan pembuat pot, belum lagi dokter dan pengacara, bisa
mengasah keahlian mereka demi kepentingan semua. Namun,
spesialisasi menciptakan sebuah masalah: bagaimana kamu bisa
mengatur pertukaran barang antar spesialis?
Sebuah ekonomi gotong royong tidak bisa berjalan ketika
banyak orang yang asing satu sama lain berusaha untuk bekerja sama. Memberi bantuan gratis kepada saudara perempuan atau
tetangga adalah satu hal, tetapi merawat orang asing yang
mungkin tidak pernah memberikan balasan adalah hal yang sangat
berbeda. Orang bisa rugi dalam barter. Namun, barter hanya
bisa efektif untuk pertukaran dengan produk terbatas. Barter
tidak bisa menjadi basis bagi sebuah ekonomi yang kompleks.4
Untuk memahami keterbatasan barter, bayangkan Anda
memiliki sebuah kebun apel di desa perbukitan yang menghasilkan
apel paling renyah, paling manis di seantero provinsi. Anda
bekerja begitu keras di kebun sehingga sepatu Anda rusak. Jadi,
Anda memacu kereta keledai dan bertolak ke pasar di pusat
kota di tepi sungai. Tetangga Anda memberi tahu bahwa seorang
pembuat sepatu di ujung selatan pasar sudah membuatkannya
sepasang sepatu bot yang benar-benar kuat, yang bertahan sampai
lima musim. Anda menemukan toko pembuat sepatu itu dan
menawarkan barter sebagian apel Anda ditukar dengan sepatu
yang Anda butuhkan.
Pembuat sepatu enggan. Berapa banyak apel yang harus dia
minta sebagai pembayaran? Setiap hari dia menghadapi puluhan
pelanggan, beberapa di antaranya membawa serta beberapa
kantung apel, sementara yang lainnya membawa gandum,
kambing, atau pakaian—semua dengan kualitas beragam. Ada
pula yang menawarkan keahlian dalam mengajukan petisi kepada
raja atau mengobati sakit punggung. Terakhir kalinya, pembuat
sepatu itu menukar sepatu dengan apel 3 bulan lalu, dan saat
itu dia meminta 3 kantung apel. Atau, mungkin 4? Namun,
pikirkanlah, apel-apel itu apel lembah yang masam, bukan apel
bukit yang istimewa. Di sisi lain, pada kejadian sebelumnya,
apel-apel itu ditukar dengan sepatu perempuan kecil. Teman ini
minta bot ukuran pria. Di samping itu, dalam beberapa pekan
terakhir penyakit membinasakan ternak di seluruh kota, dan kulit
menjadi jarang. Para penyamak mulai meminta dua kali harga
sepatu yang sudah jadi untuk mendapatkan kulit dalam jumlah
yang sama. Apakah itu tak boleh dipertimbangkan?
Dalam sebuah ekonomi barter, setiap hari pembuat sepatu
dan penanam apel harus belajar lagi dan lagi harga-harga relatif
puluhan komoditas. Jika ada 100 komoditas yang berbeda diperdagangkan di pasar, maka para pembeli dan penjual harus
tahu 4.950 nilai tukar yang berbeda-beda. Dan, jika ada 1.000
komoditas yang berbeda diperdagangkan, pembeli dan penjual
harus mencerna 499.500 nilai tukar yang berbeda!5
Bisakah
Anda bayangkan?
Bahkan, lebih parah. Sekalipun Anda berhasil mengalkulasi
berapa banyak apel yang setara dengan sepasang sepatu, barter
tidak selalu bisa dilakukan. Lagi pula, perdagangan memerlukan
setiap pihak ingin apa yang ditawarkan oleh pihak lain. Apa yang
terjadi jika pembuat sepatu tidak menyukai apel dan, pada saat
itu yang diinginkan adalah perceraian? Benar, petani bisa mencari
pengacara yang menyukai apel dan menyusun transaksi tiga-pihak.
Namun, bagaimana kalau pengacara itu sudah kebanyakan apel,
dan dia benar-benar butuh jasa pangkas rambut?
Sebagian masyarakat berusaha mengatasi problem itu
dengan menciptakan sistem barter pusat yang mengumpulkan
produk-produk dari para spesialis petani dan manufaktur
dan mendistribusikan produk-produk itu ke mereka yang
membutuhkan. Eksperimen yang paling besar dan paling terkenal
dilakukan di Uni Soviet, dan gagal merana. “Setiap orang akan
bekerja menurut kemampuan mereka, dan menerima menurut
kebutuhan mereka” terbukti dalam praktiknya menjadi “setiap
orang bekerja sesedikit mungkin yang bisa mereka lakukan,
dan menerima sebanyak mungkin yang bisa mereka rengkuh”.
Eksperimen yang lebih moderat dan lebih berhasil dilakukan di
tempat lain, misalnya di Imperium Inca. Meskipun demikian,
sebagian besar masyarakat menemukan cara yang lebih mudah
untuk menghubungkan ahli dalam jumlah besar—mereka
mengembangkan uang.
Kerang dan Rokok
Uang diciptakan berkali-kali di banyak tempat. Pengembangannya
tak membutuhkan terobosan teknologi—ini benar-benar revolusi
mental. Yang dibutuhkan adalah penciptaan suatu realitas
intersubjektif baru yang muncul semata-mata dalam imajinasi
bersama orang-orang.
Uang bukanlah fisik koin atau uang kertas. Uang adalah
segala yang orang bersedia menggunakannya untuk merepresentasi
secara sistematis nilai benda lain untuk tujuan pertukaran barang
dan jasa. Uang memungkinkan orang membandingkan dengan
cepat dan mudah nilai komoditas-komoditas yang berbeda
(seperti apel, sepatu, dan perceraian), untuk menukar dengan
mudah satu benda dengan benda lainnya, dan untuk menyimpan
kekayaan dengan nyaman. Ada banyak jenis uang. Yang paling
terkenal adalah koin, yakni kepingan standar logam yang dicetak.
Namun, uang ada jauh sebelum penemuan koin, dan budayabudaya tumbuh makmur dengan menggunakan benda-benda lain
sebagai mata uang, seperti kerang, sapi, kulit, garam, biji-bijian,
manik-manik, pakaian, dan promes. Kerang kuwuk digunakan
sebagai uang selama sekitar 4.000 tahun di seluruh Afrika, Asia
Selatan, Asia Timur, dan Oseania. Pajak masih dibayar dengan
kerang-kerang kuwuk di Uganda Inggris pada awal abad ke-20.
Di penjara-penjara dan kamp-kamp penahanan tawanan
perang modern, rokok sering menjadi uang. Bahkan, para
tahanan yang tidak merokok bersedia menerima rokok sebagai
pembayaran, dan mengalkulasi nilai semua barang dan jasa lain
dengan rokok. Satu orang yang selamat dari kamp Auschwitz
menggambarkan mata uang rokok digunakan di kamp itu: “Kami
punya mata uang sendiri, yang nilainya tak dipertanyakan siapa
pun: rokok. Harga setiap benda dinyatakan dalam rokok.... Pada
masa “normal”, yakni ketika para kandidat penghuni kamar gas
berdatangan dalam kecepatan normal, selembar roti berharga 12
rokok; satu paket margarin seberat 3 ons berharga 30 rokok;
jam tangan berharga 80 sampai 200 rokok; seliter alkohol setara
dengan 400 rokok!”6
Faktanya, bahkan pada masa kini dan uang kertas adalah
bentuk uang yang terhitung langka. Pada 2006, jumlah total uang
di seluruh dunia adalah sekitar $473 triliun, tetapi jumlah total
koin dan uang kertas kurang dari $47 triliun.7
Lebih dari 90
persen dari semua uang—lebih dari $400 triliun muncul dalam
bentuk rekening—hanya ada dalam server-server komputer.
Demikian pula, transaksi-transaksi bisnis dieksekusi dengan
memindahkan data elektronik dari satu file komputer ke file lain, tanpa pertukaran uang fisik. Hanya seorang kriminal yang
membeli rumah, misalnya, dengan menenteng koper penuh
uang kertas. Sepanjang orang bersedia mendagangkan barang
dan jasa dengan pertukaran data elektronik, itu bahkan lebih
baik ketimbang koin-koin mengilap atau uang-uang kertas yang
masih kaku—lebih cerah, tidak lecek, dan lebih mudah dihitung.
Agar sistem-sistem komersial yang kompleks bisa berjalan,
keberadaan suatu jenis uang tertentu tak terelakkan. Seorang
pembuat sepatu dalam ekonomi uang perlu tahu hanya harga yang
diterakan ada beragam sepatu—tak perlu menghafal nilai tukar
antara sepatu dan apel atau kambing. Uang juga membebaskan
para ahli apel dari kebutuhan mencari para pembuat sepatu
yang sangat butuh apel karena setiap orang menginginkan
uang. Inilah mungkin kualitasnya yang paling mendasar. Setiap
orang menginginkan uang karena setiap orang lain juga selalu
menginginkan uang, yang berarti Anda bisa menukar uang untuk
apa pun yang Anda inginkan atau butuhkan. Pembuat sepatu
akan selalu senang menerima uang Anda karena tak peduli apa
pun yang dia inginkan—apel, kambing, atau perceraian—dia
bisa mendapatkannya dengan uang.
Oleh karena itu, uang adalah medium universal pertukaran
yang memungkinkan orang mengubah menukar hampir dengan
hal apa pun. Otot ditukar dengan otak ketika seorang tentara
yang dipecat menggunakan dana tunjangan kemiliterannya
untuk membiayai kuliah di sekolah tinggi. Tanah ditukar dengan
kesetiaan ketika seorang baron menjual properti untuk menggaji
para pelayannya. Kesehatan ditukar dengan keadilan ketika
seorang dokter menggunakan upahnya untuk membayar seorang
pengacara—atau menyuap hakim. Bahkan, dimungkinkan untuk
menukar seks dengan penyelamatan, seperti prostitusi abad ke-
15 yang memungkinkan pelacur tidur dengan pria demi uang,
yang kemudian digunakan untuk membeli pengampunan dari
Gereja Katolik.
Jenis-jenis ideal uang memungkinkan orang tidak semata-mata
menukar satu benda dengan benda lain, tetapi juga menyimpan
kekayaan. Banyak hal berharga yang tidak bisa disimpan—seperti
waktu atau kecantikan. Beberapa benda hanya bisa disimpan
untuk jangka waktu pendek, seperti stroberi. Benda lain lebih
awet, tetapi perlu banyak ruang dan membutuhkan fasilitas
dan perawatan mahal. Biji-bijian, misalnya, bisa disimpan
selama bertahun-tahun, tetapi untuk melakukannya Anda perlu
membangun gudang besar dan menjaganya dari tikus, jamur,
air, kebakaran, dan pencuri. Uang, entah itu kertas atau bit
komputer atau kerang kuwuk, mengatasi problem-problem ini.
Kerang-kerang kuwuk tidak membusuk, tak mempan tikus, bisa
tahan dari kebakaran, dan cukup ringkas untuk disimpan di
tempat yang aman.
Untuk bisa menggunakan kekayaan tidak cukup hanya dengan
menyimpannya. Sering, ada keharusan untuk mengangkutnya
dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian bentuk kekayaan,
seperti realestat, tidak bisa diangkut sama sekali. Komoditaskomoditas seperti gandum dan beras bisa diangkut dengan susah
payah. Bayangkan seorang petani kaya yang hidup di sebuah
wilayah tanpa uang, yang bermigrasi ke sebuah provinsi yang
jauh. Kekayaannya berisi terutama rumah dan beras. Petani itu
tidak bisa membawa serta rumah atau padinya. Dia mungkin
menukarnya dengan berton-ton beras, tetapi akan sangat
memberatkan dan mahal untuk mengangkut berasnya. Uang
mengatasi problem ini. Petani bisa menjual propertinya dengan
satu sak kerang kuwuk, yang bisa dengan mudah dia bawa ke
mana pun pergi.
Karena bisa menukar, menyimpan, dan mengangkut harta
dengan mudah dan murah, maka uang memberi kontribusi bagi
munculnya jaringan komersial yang kompleks dan pasar-pasar
yang dinamis. Tanpa uang, jaringan-jaringan komersial dan pasar
hanya akan tetap dengan ukuran, kompleksitas, dan dinamikanya
yang terbatas.
Bagaimana Cara Kerja Uang?
Kerang-kerang kuwuk dan dolar hanya memiliki nilai dalam
imajinasi bersama kita. Nilainya tidak inheren dalam struktur
kimiawi kerang dan kertas, baik warna maupun bentuknya.
Dengan kata lain, uang bukanlah realitas material, melainkan
sebuah konstruk psikologis. Ia bekerja dengan mengubah materi
menjadi pikiran. Namun, mengapa bisa berhasil? Mengapa orang
bersedia menukar padi yang subur untuk segenggam kerang
kuwuk yang tidak berharga? Mengapa Anda mau membolak-balik
hamburger, menjual asuransi kesehatan, atau mengasuh 3 anak
yang menjengkelkan demi beberapa lembar kertas berwarna?
Orang bersedia melakukan hal semacam itu ketika mereka percaya
pada omong kosong imajinasi kolektif mereka. Kepercayaan
adalah bahan baku dari semua jenis uang yang dicetak. Ketika
seorang petani kaya menjual harta bendanya untuk satu sak
kerang kuwuk dan pergi membawanya ke provinsi lain, dia
percaya bahwa sesampainya di tujuan, orang lain akan bersedia
menjual kepadanya beras, rumah, dan ladang, ditukar dengan
kerang-kerang itu. Dengan demikian, uang adalah sebuah sistem
saling percaya, dan bukan sembarang sistem saling percaya: uang
adalah sistem saling percaya yang paling universal dan paling
efisien yang pernah diciptakan.
Yang menciptakan kepercayaan ini adalah suatu jalinan relasirelasi politik, sosial, dan ekonomi yang sangat rumit dan jangka
panjang. Mengapa saya memercayai kerang kuwuk, koin emas,
atau kertas dolar? Karena para tetangga saya memercayainya
juga. Dan, para tetangga saya memercayainya karena saya
memercayainya. Dan, kami semua memercayainya karena raja
saya memercayainya dan memintanya sebagai pajak, dan karena
pendeta kami memercayainya dan memintanya sebagai sedekah.
Ambillah selembar kertas dolar dan perhatikan baik-baik. Anda
akan melihat bahwa ia hanyalah selembar kertas berwarna dengan
tanda tangan Menteri Keuangan Amerika Serikat di satu sisi,
dan slogan “In God We Trust” di sisi lainnya. Kita menerima
dolar sebagai pembayaran karena kita percaya ada Tuhan dan
Menteri Keuangan Amerika Serikat. Peran krusial kepercayaan
menjelaskan mengapa sistem keuangan kita juga sangat erat terkait
dengan sistem politik, sosial, dan ideologi kita, mengapa krisis
finansial sering dipicu oleh perkembangan politik, dan mengapa
pasar saham bisa naik atau turun bergantung pada bagaimana
perasaan pedagang pada pagi hari.
Pada mulanya, ketika versi-versi pertama uang diciptakan,
orang tidak memiliki bentuk kepercayaan seperti ini sehingga
diperlukan untuk mendefinisikan sesuatu sebagai “uang”
yang memiliki nilai intrinsik riil. Uang pertama yang dikenal
sejarah—uang jelai Sumeria—adalah contoh yang bagus. Uang
itu muncul di Sumeria sekitar 3000 SM, pada saat dan tempat
yang sama, dan dalam keadaan yang sama, ketika tulisan muncul.
Sebagaimana berkembangnya tulisan untuk menjawab kebutuhan
dari intensifnya aktivitas-aktivitas administratif, begitu pula uang
jelai berkembang untuk menjawab kebutuhan dari intensifnya
aktivitas-aktivitas ekonomi.
Uang jelai hanyalah jelai—jumlah tertentu biji-bijian jelai
yang digunakan sebagai ukuran universal untuk menilai dan
menukar barang lain dan jasa. Pengukuran yang paling umum
adalah sila, setara kira-kira satu liter. Mangkuk-mangkuk standar,
yang bisa menampung satu sila, diproduksi massal sehingga
kapan pun orang perlu membeli atau menjual sesuatu, mudah
untuk mengukur jumlah jelai yang diperlukan. Gaji, juga,
diatur dan dibayar dalam ukuran sila jelai. Seorang buruh lakilaki mendapatkan 60 sila sebulan, seorang buruh perempuan
menerima 30 sila. Seorang mandor bisa menerima antara 1.200
sampai 5.000 sila. Seorang mandor yang paling rakus pun tidak
mungkin bisa menghabiskan 5.000 liter jelai sebulan, tetapi
dia bisa menggunakan sila-sila yang tidak dia makan untuk
membeli semua jenis komoditas lain—minyak kambing, budak,
dan makanan apa pun selain jelai.8
Meskipun jelai memiliki nilai intrinsik, tidak mudah meyakinkan orang untuk menggunakannya sebagai uang dibandingkan
komoditas lain. Untuk memahami mengapa demikian, coba
pikirkan apa yang terjadi jika Anda membawa satu sak penuh
jelai ke pusat belanja setempat, dan berusaha membeli baju
atau piza. Pedagang mungkin memanggil petugas sekuriti. Toh,
tetap lebih mudah membangun kepercayaan pada jelai sebagai
jenis uang pertama karena jelai memiliki nilai biologis inheren.
Manusia bisa memakannya. Di sisi lain, sulit untuk menyimpan
dan mengangkut jelai. Terobosan riil dalam sejarah moneter
terjadi ketika orang mendapatkan kepercayaan pada uang yang tidak memiliki nilai inheren, tetapi lebih mudah untuk disimpan
dan diangkut. Uang seperti itu muncul di Mesopotamia kuno
pada pertengahan milenium ke-3 SM. Ia adalah shekel perak.
Shekel perak bukan koin, tetapi perak seberat 8.33 gram.
Ketika Undang-Undang Hammurabi mendeklarasikan bahwa
seorang laki-laki kalangan atas yang membunuh seorang budak
perempuan harus membayar pemiliknya 20 shekel perak, itu
berarti dia harus membayar 166 gram perak, bukan 20 koin.
Sebagian besar istilah moneter dalam Perjanjian Lama disebutkan
dalam ukuran perak, bukan koin. Para saudara Joseph menjualnya
ke orang Ismailiyah seharga 20 shekel perak, atau 166 gram
perak (harga yang sama dengan budak perempuan—padahal dia
waktu itu seorang pemuda).
Tak seperti sila jelai, shekel perak tak punya nilai inheren.
Anda tidak bisa memakannya, meminumnya, atau mengenakan
pakaian perak, dan perak terlalu lunak untuk dibuat alat yang
berguna—mata bajak atau pedang perak tak ubahnya aluminium
foil yang langsung mengerut kalau digunakan untuk keperluan
semacam itu. Ketika digunakan untuk kebutuhan lain, perak
dan emas bisa jadi perhiasan, mahkota, dan simbol-simbol status
lain—barang-barang mewah yang digunakan kalangan tertentu
untuk mengidentifikasi status tinggi. Nilainya murni kultural.
Penetapan bobot logam mulia akhirnya melahirkan koin.
Koin pertama dalam sejarah muncul sekitar 640 SM, dibuat
oleh Raja Alyattes dari Lydia, di bagian barat Anatolia. Koinkoin ini memiliki bobot standar emas atau perak, dan dicetak
dengan lambang identifikasi. Lambang itu menjadi saksi dua
hal. Pertama, ia mengindikasikan seberapa tinggi nilai logam
mulia yang terdapat pada koin itu. Kedua, ia mengidentifikasi
otoritas yang mengeluarkan koin dan yang menjamin isinya.
Hampir semua koin yang digunakan sekarang adalah keturunan
dari koin-koin Lydia.
Koin memiliki dua keunggulan penting dibandingkan bendabenda logam tak bertera. Pertama, yang disebut belakangan harus
ditimbang setiap transaksi. Kedua, penetapan bobot logam tidaklah cukup. Bagaimana pembuat sepatu tahu bahwa perak yang
saya serahkan untuk membeli bot benar-benar perak murni, dan bukan timah yang dilapisi bagian luarnya dengan perak? Koin
membantu mengatasi problem ini. Lambang yang dicetak pada
koin menjamin nilai yang sesungguhnya sehingga pembuat sepatu
tak perlu membawa alat pengukur dalam proses pembayarannya.
Lebih penting lagi, lambang pada koin adalah penanda otoritas
politik yang menjamin nilai koin itu.
Bentuk dan ukuran lambang sangat bervariasi sepanjang
sejarah, tetapi pesannya selalu sama: “Saya, Raja Agung Anu bin
Fulan, memberi jaminan pribadi bahwa lempengan logam ini berisi
persis 5 gram emas. Jika ada orang yang berani memalsukan
koin ini, itu berarti dia memalsukan tanda tangan saya, yang
bisa menodai reputasi saya. Saya akan menghukum kejahatan
semacam itu dengan pembalasan paling keras.” Itu sebabnya
pemalsuan uang selalu dianggap kejahatan yang jauh lebih serius
ketimbang perbuatan penipuan lain. Pemalsuan bukan hanya
menipu—ia melanggar kedaulatan, sebuah tindakan subversi
melawan kekuasaan, hak-hak istimewa dan sosok raja. Istilah
legalnya adalah lese-majesty (melanggar martabat), dan biasanya
dihukum dengan penyiksaan dan hukuman mati. Sepanjang orang
memercayai kekuasaan dan integritas raja, mereka memercayai
koin-koinnya. Orang-orang yang benar-benar asing bisa dengan
mudah menyetujui nilai satu koin denarius Romawi karena
mereka memercayai kekuasaan dan integritas kaisar Romawi,
yang nama dan gambarnya tertera di dalamnya.
Pada gilirannya, kekuasaan kaisar berada pada denarius.
Bayangkan betapa sulitnya mempertahankan Imperium Romawi
tanpa koin—jika kaisar harus menaikkan pajak dan membayar gaji
dengan jelai dan gandum. Tentu tidak mungkin mengumpulkan
pajak jelai di Suriah, mengangkut dana-dana itu ke pusat
perbendaharaan di Roma, dan mengangkutnya lagi ke Inggris
untuk membayar legiun-legiun di sana. Betapa sama sulitnya
mempertahankan imperium jika para penduduk Roma sendiri
memercayai koin emas, tetapi orang Gauls, Yunani, Mesir,
dan Suriah menolak mempercayai itu, dan lebih memercayai
kerang-kerang kuwuk, manik-manik gading, atau lembar-lembar
pakaian.Injil Emas
Kepercayaan pada koin-koin Romawi begitu kuat sehingga
bahkan di luar batas-batas imperium orang-orang dengan senang
menerima pembayaran dalam denarius. Pada abad ke-1 M, koinkoin Romawi diterima sebagai alat tukar di pasar-pasar India,
sekalipun legiun terdekat Romawi berada ribuan kilometer dari
sana. Orang India memiliki kepercayaan yang begitu kuat pada
denarius dan citra kaisar sehingga ketika penguasa setempat
membuat koin sendiri, mereka meniru denarius, sampai ke potret
kaisar Romawi! Nama “denarius”’ pun menjadi nama generik
untuk koin. Para khalifah Muslim meng-Arab-kan nama itu
dan mengeluarkan “dinar”. Dinar masih menjadi nama resmi
mata uang di Yordania, Irak, Serbia, Makedonia, Tunisia, dan
beberapa negara lain.
Ketika model koin Lydia menyebar dari Mediterania sampai
ke Samudra Hindia, China mengembangkan sistem moneter
yang agak berbeda, berbasis koin-koin perunggu dan perak serta
emas tak bertera. Meskipun demikian, kedua sistem moneter itu
memiliki cukup banyak kesamaan (terutama kepercayaan pada
emas dan perak) sehingga relasi moneter dan komersial yang erat
terjalin antara zona China dan zona Lydia. Para pedagang serta
penakluk Muslim dan Eropa pelan-pelan menyebarkan sistem
Lydia dan Injil Emas jauh ke sudut-sudut Bumi. Sampai dengan era modern, seluruh dunia merupakan satu zona moneter tunggal,
yang mula-mula bertumpu pada emas dan perak, kemudian
pada beberapa mata uang tepercaya seperti pound Inggris dan
dolar Amerika.
Munculnya zona moneter tunggal transnasional dan
transkultural ini meletakkan fondasi unifikasi Afro-Asia, dan
akhir ke seluruh muka Bumi, menjadi satu bidang tunggal
ekonomi dan politik. Orang terus berbicara dengan bahasa yang
saling tidak bisa dimengerti, mematuhi penguasa-penguasa yang
berbeda dan menyembah Tuhan-Tuhan yang berbeda, tetapi semua
memercayai emas, perak, dan koin emas serta koin perak. Tanpa
kesamaan kepercayaan ini, jaringan perdagangan global tentu
tidak mungkin ada. Emas dan perak yang ditemukan pada abad
ke-16 oleh para penakluk Spanyol di Amerika memungkinkan
para pedagang Eropa membeli sutra, porselen, dan cabe di Asia
Timur; sehingga menggerakkan roda-roda pertumbuhan ekonomi
di Eropa maupun Asia Timur. Sebagian besar emas dan perak
yang ditambang di Meksiko dan Andes ini menyelinap melalui
jemari Eropa untuk menemukan rumahnya yang nyaman di
dompet-dompet para pembuat sutra dan porselen China. Apa
yang terjadi pada ekonomi global seandainya China tidak
menderita “penyakit hati” yang sama yang mendera Cortés
beserta rombongannya—dan menolak menerima pembayaran
dalam emas dan perak?
Akan tetapi, mengapa orang China, India, Spanyol, dan kaum
Muslim—yang kulturnya sangat berbeda, yang gagal menyepakati
banyak hal—harus sama-sama memercayai emas? Mengapa
tidak terjadi bahwa orang Spanyol meyakini emas, sedangkan
Muslim memercayai jelai, orang India memercayai kerang
kuwuk, dan orang China meyakini lembaran sutra? Para ekonom
sudah punya jawabannya. Begitu perdagangan menghubungkan
dua wilayah, kekuatan penawaran dan permintaan cenderung
menyetarakan harga barang-barang yang bisa diangkut. Untuk
memahami mengapa bisa demikian, pikirkan sebuah kasus
hipotesis. Asumsikan bahwa ketika perdagangan reguler terbuka
antara India dan Mediterania, orang-orang India tidak tertarik
pada emas sehingga nilainya hampir tidak ada. Namun, di Mediterania, emas adalah sebuah lambang status idaman, dan
karena itu nilainya tinggi. Apa yang terjadi kemudian?
Para pedagang antara India dan Mediterania akan melihat
perbedaan dalam nilai emas. Untuk mendapatkan keuntungan,
mereka membeli emas yang murah di India dan menjualnya
dengan harga tinggi di Mediterania. Akibatnya, permintaan akan
emas di India meroket, dan begitu juga nilainya. Pada saat yang
sama Mediterania akan mengalami aliran emas, yang karena itu
nilainya pun turun. Dalam waktu singkat nilai emas di India
dan Mediterania akan setara. Hanya dengan fakta bahwa orang
Mediterania memercayai emas akan menyebabkan orang India
mulai memercayainya juga. Sekalipun bila emas tak ada gunanya
yang riil bagi orang India, fakta bahwa orang Mediterania
menginginkannya saja sudah cukup untuk membuat orang India
menghargainya.
Demikian pula, fakta bahwa orang lain memercayai kerang
kuwuk, dolar, atau data elektronik, itu sudah cukup untuk
memperkuat keyakinan kita padanya, sekalipun jika orang itu
dibenci, diremehkan, atau diolok-olok oleh kita. Orang Kristen
dan Muslim yang tidak bisa menyepakati keyakinan religius
tetap bisa menyepakati keyakinan moneter karena walaupun
agama meminta kita memercayai sesuatu, uang meminta kita
memercayai sesuatu yang dipercayai orang lain.
Selama ribuan tahun, para filsuf, pemikir, dan nabi mencela
uang dan menyebutnya akar dari semua kejahatan. Boleh setuju
boleh tidak, uang juga adalah puncak toleransi manusia. Uang
lebih berpikiran terbuka ketimbang bahasa, hukum negara, norma
budaya, keyakinan religius, dan kebiasaan-kebiasaan sosial. Uang
adalah satu-satunya sistem kepercayaan yang diciptakan manusia
yang bisa menjembatani hampir setiap jurang kultural, dan yang
tidak mendiskriminasi berdasarkan agama, gender, ras, usia,
atau orientasi seksual. Berkat uang, bahkan orang yang tidak
saling kenal dan tidak saling percaya tetap bisa bekerja sama
secara efektif.
Harga Uang
Uang didasarkan pada dua prinsip universal:
a. Konvertibilitas universal: dengan uang sebagai sebuah
alkemis, Anda bisa mengubah tanah menjadi kesetiaan,
keadilan menjadi kesehatan, dan kekerasan menjadi
pengetahuan.
b. Kepercayaan universal: dengan uang sebagai perantara,
setiap ada dua orang bisa bekerja pada proyek apa pun.
Prinsip-prinsip ini memungkinkan jutaan orang asing bekerja
sama secara efektif dalam perdagangan dan industri. Namun,
prinsip-prinsip yang tampak ramah ini memiliki sisi gelap. Ketika
segalanya bisa dikonversi, dan ketika kepercayaan bergantung pada
koin-koin anonim dan kerang-kerang kuwuk, ia mengeroposkan
tradisi-tradisi, hubungan-hubungan intim, dan nilai-nilai lokal
manusia, mengganti semua itu dengan hukum dingin penawaran
dan permintaan.
Komunitas-komunitas dan keluarga-keluarga manusia selalu
didasarkan pada keyakinan hal-hal yang “tak ternilaikan”, seperti
kehormatan, loyalitas, moralitas, dan cinta. Hal-hal ini berada di
luar domain pasar, dan tak akan dibeli atau dijual dengan uang.
Sekalipun pasar menawarkan harga yang bagus, hal-hal tertentu
tak bisa dijual. Orangtua pasti tidak akan menjual anak mereka
ke perbudakan; seorang pemeluk Kristen taat pasti tidak mau
melakukan dosa besar; seorang kesatria yang loyal pasti tidak
pernah mengkhianati tuannya; dan tanah-tanah leluhur suku
tidak akan pernah dijual kepada orang asing.
Uang selalu berusaha menerobos hambatan-hambatan ini,
seperti air menyusup melalui celah-celah bendungan. Orangtua
terdesak menjual sebagian anaknya ke perbudakan demi membeli
makanan bagi yang lain. Pemeluk Kristen taat membunuh,
mencuri, dan menipu—dan belakangan menggunakan hasilnya
untuk membeli pengampunan dari gereja. Para kesatria ambisius
melelang kesetiaannya pada penawar tertinggi, dengan tetap
menjaga kesetiaan para pengikutnya dengan pembayaran uang. Tanah-tanah suku dijual ke orang asing dari sisi lain dunia dalam
rangka membeli tiket masuk ke ekonomi global.
Uang punya sisi yang lebih gelap lagi. Meskipun uang
membangun kepercayaan universal di antara orang-orang yang
asing satu sama lain, kepercayaan itu sesungguhnya diinvestasikan
tidak pada manusia, masyarakat, atau nilai-nilai sakral, tetapi pada
uang itu sendiri dan pada sistem impersonal yang menopangnya.
Kita tidak memercayai orang asing, atau tetangga sebelah rumah,
kita memercayai koin yang mereka pegang. Jika mereka kehabisan
koin, kita kehabisan kepercayaan. Saat uang meruntuhkan
bendungan kemanusiaan, agama, dan negara, dunia berada di
ambang bahaya menjadi sebuah pasar besar tanpa hati.
Oleh karena itu, sejarah ekonomi umat manusia adalah
sebuah tarian yang pelik. Orang bergantung pada uang untuk
memfasilitas kerja sama antar orang asing, tetapi mereka takut
uang akan mengorupsi nilai-nilai dan relasi-relasi intim manusia.
Dengan satu tangan orang bersedia menghancurkan bendungan
komunal yang menjauhkan gerakan uang dan komersial begitu
lama. Namun, dengan tangan lain mereka membangun sebuah
dam-dam baru untuk melindungi masyarakat, agama, bahkan
lingkungan dari penghambaan kepada kekuatan pasar.
Kini lazim memercayai bahwa pasar selalu menang, dan bahwa
dam-dam yang didirikan oleh para raja, pendeta, dan masyarakat
tidak bisa bertahan lama melawan gelombang uang. Ini naif. Para
petarung brutal, kaum fanatik keagamaan, dan warga negara yang
peduli sudah berulang-ulang berhasil menghantam para pedagang
yang penuh perhitungan, dan bahkan membentuk ulang ekonomi.
Oleh karena itu, tidak mungkin memahami unifikasi manusia
sebagai sebuah proses yang murni ekonomi. Untuk memahami
bagaimana ribuan kultur yang terisolasi mendekat dari waktu
ke waktu untuk membentuk desa global masa kini, kita harus
mempertimbangkan peran emas dan perak, tetapi kita tidak bisa
mengabaikan peran krusial yang sama dari baja. Romawi Kuno terbiasa mengalami kekalahan. Seperti banyak
penguasa imperium-imperium besar dalam sejarah, mereka bisa
kalah dalam pertempuran demi pertempuran, tetapi bisa menang
perang. Sebuah imperium yang tidak bisa menahan pukulan dan
tetap berdiri sesungguhnya bukan imperium. Meskipun demkian,
bahkan orang-orang Romawi kesulitan mencerna berita yang
tiba dari Iberia utara pada pertengahan abad ke-2 SM. Sebuah
kota pegunungan kecil yang tak signifikan bernama Numantia,
yang dihuni oleh bangsa pribumi Celtic di semenanjung itu,
berani menanggalkan gandar Romawi. Roma, pada masa itu,
tak terbantahkan sebagai penguasa seluruh lembah Mediterania,
menumpas imperium Macedonia dan Seleucid, menundukkan
kota-kota megah Yunani, dan meluluhlantakkan Carthage menjadi
puing-puing. Orang-orang Numantia tak memiliki apa-apa kecuali
cinta mereka yang gigih pada kemerdekaan dan tanah airnya
yang tidak nyaman. Meskipun demikian, mereka memaksa legiun
demi legiun menyerah atau mundur teratur sebagai pecundang.
Akhirnya, pada 134 SM, kesabaran Romawi habis. Senat
memutuskan untuk mengirim Scipio Aemilianus, jenderal paling
terkemuka di Roma dan orang yang telah meratakan Charthage,
untuk menangani orang-orang Numantia. Dia diberi pasukan
besar berkekuatan lebih dari 30.000 tentara. Scipio, yang
menghormati semangat tempur dan keterampilan perang orangorang Numantia, tak mau menyia-nyiakan tentaranya untuk
pertempuran yang tak perlu. Namun, dia mengepung Numantia
dengan garis benteng, memblokade kontak kota itu dengan
dunia luar. Kelaparan membantu siasatnya. Setelah lebih dari
setahun, pasokan makanan habis. Ketika orang-orang Numantia
menyadari semua harapan sirna, mereka membakar habis kota mereka; menurut riwayat Romawi, sebagian besar dari mereka
bunuh diri agar tidak menjadi budak orang Roma.
Numantia belakangan menjadi lambang kemerdekaan dan
keberanian Spanyol, Miguel de Cervantes, pengarang Don
Quixote, menulis sebuah naskah tragedi berjudul The Siege of
Numantia yang diakhiri dengan kisah penghancuran kota itu,
tetapi juga dengan sebuah visi kejayaan masa depan Spanyol. Para
penyair menulis lagu-lagu pujian atas kegigihan para pembela
dan para pelukis menciptakan mahakarya lukisan pengepungan
itu di atas kanvas. Pada 1882, puing-puingnya dideklarasikan
sebagai “monumen nasional” dan menjadi situs ziarah bagi para
patriot Spanyol. Pada 1950-an dan 1960-an, buku komik paling
populer di Spanyol bukanlah Superman dan Spiderman—mereka
mengisahkan petualangan Eljabato, seorang pahlawan imajiner
Iberia kuno yang perang melawan para penindas dari Roma.
Orang-orang Numantia kuno bagi Spanyol masa kini adalah
puncak heroisme dan patriotisme, menyediakan keteladanan
bagi kaum muda negara itu.
Meskipun demikian, para patriot Spanyol memuji orangorang Numatia dalam bahasa Spanyol—bahasa roman yang
merupakan keturunan dari Latin-nya Scipio. Orang Numantia
berbicara bahasa Celtic yang kini sudah mati. Cervantes menulis
The Siege of Numantia dalam naskah Latin, dan drama itu
mengikuti model-model artistik Yunani-Romawi (GraecoRoman). Numantia tidak punya teater. Para patriot Spanyol yang
mengagumi heroisme Numantia juga cenderung pengikut loyal
Gereja Katolik Roma—jangan lewatkan kata terakhirnya—gereja
yang pemimpinnya masih duduk di Roma dan yang Tuhan-nya
lebih menyukai dipuja dalam bahasa Latin. Demikian pula,
hukum Spanyol modern lebih berasal dari hukum Romawi;
politik Spanyol dibangun di atas fondasi-fondasi Romawi; dan
makanan serta arsitektur Spanyol berutang jauh lebih besar pada
warisan Romawi ketimbang pada warisan Celtic Iberia. Benarbenar tak ada yang tersisa dari reruntuhan Numantia. Bahkan,
kisahnya sampai kepada kita hanya berkat tulisan-tulisan para
sejarawan Romawi. Kisah itu dikemas untuk sesuai dengan selera
khalayak Romawi yang sangat menikmati kisah-kisah kaum barbar pencinta kebebasan. Kemenangan Roma atas Numantia
begitu sempurna sehingga para pemenang mengkooptasi memori
bangsa yang dihancurkannya.
Ia bukan jenis cerita kita. Kita suka melihat penantang
menang. Namun, tidak ada keadilan dalam sejarah. Sebagian
besar budaya masa lalu cepat atau lambat jatuh dimangsa oleh
angkatan perang imperium yang tak kenal belas kasih, yang
mengirim mereka menuju kemusnahan. Imperium-imperium juga
pada akhirnya jatuh, tetapi mereka cenderung meninggalkan
warisan yang kaya dan awet. Hampir semua orang pada abad
ke-21 adalah keturunan dari salah satu imperium.
Apa itu Imperium?
Imperium adalah sebuah tatanan politik dengan dua karakteristik
penting. Pertama, memiliki kualifikasi untuk sebutan yang
Anda pakai untuk berkuasa atas sejumlah signifikan masyarakat
yang berbeda-beda, masing-masing memiliki identitas kultural
yang berbeda dan satu wilayah yang terpisah. Berapa banyak
masyarakat tepatnya? Dua atau tiga tidak cukup. Dua puluh
atau tiga puluh sudah banyak. Ambang batas imperium kirakira di antara itu.
Kedua, imperium dicirikan oleh perbatasan-perbatasan
fleksibel dan gairah yang secara potensial tidak terbatas. Mereka
bisa mencaplok dan menelan lebih banyak bangsa dan teritori
tanpa mengubah struktur dasar atau identitasnya. Negara Inggris
kini memiliki perbatasan-perbatasan yang cukup jelas yang tak bisa
dilampaui tanpa mengubah struktur dan identitas fundamental
negara. Seabad lalu, hampir setiap tempat di muka Bumi bisa
menjadi bagian dari Imperium Inggris.
Keragaman kultural dan fleksibilitas terotorial memberi
imperium tidak hanya karakter uniknya, tetapi juga peran
sentralnya dalam sejarah. Berkat kedua karakteristik inilah
imperium berhasil menyatukan kelompok-kelompok etnis dan
zona-zona ekologis yang beragam di bawah satu payung politik
tunggal sehingga menyatukan segmen-segmen yang semakin besar dan semakin besar dari spesies manusia di Planet Bumi.
Harus ditegaskan bahwa sebuah imperium didefinisikan
semata-mata oleh keragaman kultural dan perbatasan-perbatasan
fleksibelnya, ketimbang oleh asal-usul, bentuk pemerintahan,
luas teritorial, atau ukuran populasinya. Sebuah imperium tidak
harus muncul dari penaklukan militer. Imperium Athena mulai
hidup sebagai sebuah liga sukarela, dan Imperium Habsbung lahir
dalam ikatan perkawinan, yang dikokohkan dengan rangkaian
aliansi-aliansi perkawinan yang cerdik. Tidak pula imperium
harus dikuasai oleh seorang kaisar otokratik. Imperium Inggris,
imperium terbesar dalam sejarah, diperintah dengan sebuah
demokrasi. Imperium-imperium demokratis lain (atau sekurangkurangnya republikan) termasuk Belanda, Prancis, Belgia, dan
Amerika, di samping imperium-imperium pramodern Novgorod,
Roma, Carhage, dan Athena.
Ukuran juga sungguh tidak penting. Imperium bisa mungil.
Imperium Athena pada masa kejayaannya jauh lebih kecil daripada
ukuran dan populasi Yunani masa kini. Imperium Aztec lebih
kecil dari Meksiko saat ini. Namun, keduanya tetap imperium,
sedangkan Yunani modern dan Meksiko modern bukan imperium
karena Athena dan Aztec secara perlahan menguasai beberapa
puluh bahkan ratusan negara yang berbeda, sedangkan Yunani
maupun Meksiko tidak. Athena mencaplok lebih dari seratus
negara kota yang sebelumnya merdeka, sedangkan Imperium
Aztec, jika kita memercayai catatan pajaknya, menguasai 371
suku dan masyarakat yang berbeda.1
Bagaimana dulu bisa terjadi, memeras sebuah bunga rampai
manusia ke dalam teritori sebuah negara modern yang sederhana?
Itu bisa terjadi karena pada masa lalu ada lebih banyak bangsa
berbeda di dunia, masing-masing memiliki populasi kecil dan
menduduki teritori yang lebih kecil dari bangsa umumnya masa
kini. Wilayah antara Mediterania dan Sungai Yordan, yang kini
berjuang untuk memuaskan ambisi-ambisi hanya dua bangsa, yang
bisa dengan mudah diakomodasi beberapa puluh kali negara,
suku, kerajaan kecil, dan negara kota.
Imperium adalah salah satu alasan utama reduksi drastis
keragaman manusia. Mesin penggerak imperium pelan-pelan melenyapkan karakteristik-karakteristik unik banyak bangsa
(seperti Numantia), menyatukan mereka menjadi kelompokkelompok baru dan lebih besar.
Imperium-Imperium Jahat?
Pada masa kita, “imperialis” menempati urutan kedua di
bawah “fasis” dalam leksikon kata-kata umpatan politik. Kritik
kontemporer terhadap imperium umumnya memiliki dua bentuk:
1. Imperium tidak bisa bekerja. Dalam jangka panjang,
tidak mungkin menguasai secara efektif bangsa-bangsa
yang ditaklukkan dalam jumlah besar.
2. Sekalipun itu bisa dilakukan, tidak seharusnya itu
dilakukan karena imperium adalah mesin jahat destruksi
dan eksploitasi. Setiap bangsa memiliki hak untuk
menentukan nasib sendiri, dan tidak pernah boleh
dikuasai oleh kekuasaan bangsa lain.
Dari perspektif historis, pernyataan pertama adalah omong
kosong belaka, dan pernyataan kedua sangat problematik.
Yang benar adalah bahwa imperium telah menjadi bentuk
paling umum di dunia dari organisasi politik selama 2.500
tahun terakhir. Sebagian besar manusia dalam 2,5 milenium ini
hidup dalam imperium-imperium. Imperium juga merupakan
bentuk pemerintahan yang sangat stabil. Sebagian besar
imperium telah mengalami betapa sangat mudahnya menundukkan pemberontakan. Secara umum, imperium-imperium
itu diruntuhkan hanya oleh invasi eksternal atau oleh per pecahan
dari dalam elite yang berkuasa. Sebaliknya, bangsa-bangsa
yang ditaklukkan tidak memiliki catatan selama ratusan tahun.
Yang umum terjadi, bangsa-bangsa itu pelan-pelan dicerna oleh
imperium yang menaklukkannya, sampai kultur-kultur khas
mereka menyeruak.
Misalnya, ketika Imperium Romawi Barat akhirnya jatuh
oleh suku-suku Jerman pada 476 M, Numantia, Arveni,
Helvetia, Samnite, Lusitania, Umbria, Etrusca, dan ratusan
bangsa lain yang terlupakan, yang ditaklukkan Romawi berabadabad sebelumnya, tidak muncul dari bangkai imperium yang
dihancurkan seperti Nabi Yunus dari perut ikan besar. Tak satu
pun yang tersisa. Keturunan-keturunan biologis dari bangsa
itu yang mengidentifikasi diri sebagai anggota bangsa-bangsa
tersebut, yang menggunakan bahasa-bahasa mereka, menyembah
tuhan-tuhan mereka dan menceritakan mitos-mitos serta legendalegenda mereka, kini berpikir, berbahasa dan menyembah sebagai
bangsa Romawi.
Dalam banyak kasus, penghancuran satu imperium nyaris
tidak pernah berarti kemerdekaan bangsa yang dijajah. Namun,
sebuah imperium baru memasuki kevakuman yang diciptakan
ketika imperium lama runtuh atau mundur. Tak ada tempat
yang lebih jelas untuk hal ini selain Timur Tengah. Konstelasi
politik saat ini di wilayah itu—perimbangan kekuasaan antara
banyak entitas politik merdeka dengan perbatasan-perbatasan
yang kurang lebih stabil—hampir tanpa tandingan pada masa
mana pun dalam beberapa milenium terakhir ini. Terakhir kali
Timur Tengah mengalami situasi seperti itu adalah pada abad
ke-8 SM—hampir 3.000 tahun lalu! Dari kebangkitan Imperium
Neo-Assyria pada abad ke-8 SM sampai runtuhnya imperium
Inggris dan Prancis pada pertengahan abad ke-20 M, Timur
Tengah lepas dari kekuasaan satu imperium ke imperium lain,
seperti sebuah tongkat dalam lomba lari estafet. Dan, pada
masa ketika Inggris dan Prancis akhirnya melepaskan tongkat
itu, bangsa Aramea, Ammonit, Phoenisia, Philistin, Moabit,
Edomit, dan bangsa-bangsa lain yang ditaklukkan Assyria telah
lama hilang.
Benar bahwa Yahudi, Armenia, dan Gorgia masa kini
mengklaim dengan ukuran keadilan tertentu bahwa mereka
adalah keturunan bangsa Timur Tengah kuno. Namun, ini
hanyalah pengecualian-pengecualian yang membuktikan rumus
tersebut, dan bahkan klaim-klaim ini agak dilebih-lebihkan. Tak
perlu dijelaskan bahwa praktik-praktik politik, ekonomi, dan
sosial Yahudi modern, misalnya, memiliki utang jauh lebih besar
kepada imperium-imperium yang menguasainya pada masa 2
milenium ketimbang pada tradisi-tradisi kerajaan kuno Judaea. Kalau saja Raja David (Dawud) muncul dalam sinagog ultraOrtodox Yerusalem masa kini, dia pasti benar-benar terperangah
melihat bangsa Yahudi berpakaian ala Eropa Timur, berbahasa
salah satu dialek Jerman (Yiddish) dan tiada henti bertengkar
tentang makna teks Babylonia (Talmud). Dulu tidak ada sinagog,
berjilid-jilid Talmud, bahkan gulungan-gulungan Taurat pada
masa Judaea kuno.
Membangun dan mempertahankan sebuah imperium biasanya
membutuhkan pembantaian kejam populasi besar dan penindasan
brutal terhadap siapa pun yang tersisa. Panduan imperium standar
mencakup perang, perbudakan, deportasi, dan genosida. Ketika
Romawi menginvasi Skotlandia pada 83 M, mereka menemui
perlawanan sengit dari suku-suku Kaledonia setempat, dan beraksi
dengan menghamparkan sampah di atas negara itu. Sebagai
balasan atas tawaran perdamaian Romawi, panglima Calgacus
menyebut orang-orang Romawi “kaum bajingan dunia”, dan
mengatakan, “pencurian, pembantaian, dan perampokan mereka
gunakan sebagai alas bagi nama imperium; mereka menciptakan
gurun dan menyebut itu perdamaian”.2
Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa imperium tidak
meninggalkan apa pun yang bermakna dalam kemunculannya.
Menghitamkan semua imperium dan mengingkari semua warisan
imperium sama saja dengan menolak sebagian besar budaya
manusia. Elite-elite imperium menggunakan keuntungan dari
penaklukan untuk mendanai tidak hanya angkatan perang dan
benteng, tapi juga filosofi, seni, keadilan, dan amal. Tak bisa
dimungkiri bahwa satu bagian signifikan dari prestasi-prestasi
kultural kemanusiaan sesungguhnya ada berkat eksploitasi
terhadap populasi-populasi yang ditaklukkan itu. Keuntungankeuntungan dan kemakmuran yang dibawa imperialisme Romawi
memberi Cicero, Seneca, dan Santo Augustine kelonggaran dan
bekal yang dibutuhkan untuk berpikir dan menulis; Taj Mahal
tidak dibangun tanpa kekayaan yang diakumulasi oleh eksploitasi
Mughal atas India sebagai jajahan; dan keuntungan-keuntungan
Imperium Habsburg dari penguasaan atas Slavia, Hungaria, dan
provinsi-provinsi berbahasa Rumania dipakai untuk membayar
gaji Haydn dan komisi Mozart.
Tidak ada satu pun penulis Kaledonia yang mengabadikan
pidato Calgacus untuk anak cucu. Kita tahu itu berkat sejarawan
Romawi Tacitus. Malah, Tacitus-lah yang membuatnya. Sebagian
besar ahli kini sepakat bahwa Tacitus tidak hanya menciptakan
pidato itu, tetapi juga menciptakan karakter Calgacus, sang
panglima Kaledonia, untuk menjadi corong bagi apa yang dia
dan kalangan atas Romawi lainnya pikirkan tentang negara
mereka sendiri.
Demi Kebaikanmu Sendiri
Imperium pertama yang kita dapatkan informasinya secara
definitif adalah Imperium Akkadia Sargon Yang Agung (2250
SM). Sargon memulai karier sebagai Raja Kish, sebuah negara
kota kecil di Mesopotamia. Dalam beberapa dekade dia berhasil
menaklukkan tidak hanya seluruh Negara Kota Mesopotamia,
tetapi juga teritori-teritori besar di luar daratan utama
Mesopotamia. Sargon membual bahwa dia telah menaklukkan
seluruh dunia. Kenyataannya, dominion yang dia kuasai terentang
dari Teluk Persia sampai Mediterania, dan mencakup sebagian
besar wilayah yang kini bernama Irak dan Suriah, di samping
beberapa potong wilayah Iran dan Turki modern.
Imperium Akkadia tidak berlangsung lama setelah kematian
pendirinya, tetapi Sargon meninggalkan sebuah mantel imperium
yang jarang luput dari klaim. Selama 1.700 tahun kemudian,
raja-raja Assyria, Babylonia, dan Hittite mengadopsi Sargon
sebagai tokoh panutan, dengan membual bahwa mereka juga
telah menaklukkan seluruh dunia. Kemudian, sekitar 550 SM,
Cyrus Yang Agung dari Persia datang dengan bualan yang lebih
mengesankan lagi. Raja-raja Assyria tetap hanya raja-raja Assyria.
Bahkan, ketika mereka mengklaim telah menguasai seluruh dunia,
jelas bahwa mereka melakukan itu demi kejayaan Assyria Raya
saja, dan mereka tak berapologi akan hal itu. Sementara itu,
Cyrus mengklaim tidak semata-mata menguasai seluruh dunia,
tetapi juga melakukan itu demi kepentingan segenap rakyat.
“Kami menaklukkan Anda untuk kepentingan Anda sendiri,” kata orang-orang Persia. Cyrus ingin rakyat yang dijajahnya mencintai
dia dan menganggap diri mereka beruntung menjadi pengikut
Persia. Contoh paling terkenal dari upaya inovatif Cyrus untuk
mendapatkan persetujuan bangsa yang berada di bawah kekuasaan
imperiumnya adalah titahnya bahwa orang-orang Yahudi buangan
di Babylonia diizinkan pulang ke kampung halamannya, Judaea,
dan membangun kembali Kuil mereka. Dia bahkan menawarkan
mereka bantuan finansial. Cyrus tidak melihat dirinya seorang
raja Persia yang berkuasa atas bangsa Yahudi—dia juga raja orang
Yahudi sehingga bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.
Perasaan menguasai seluruh dunia untuk kepentingan seluruh
penghuninya itu mencengangkan. Evolusi telah menjadikan Homo
sapiens, seperti mamalia sosial lainnya, makhluk xenofobia*
.
Sapiens secara naluri membagi manusia dalam dua golongan,
“kita” dan “mereka”. Kita adalah orang-orang seperti Anda dan
saya, yang bahasa, agama, dan kebiasaannya sama. Kita semua
bertanggung jawab atas sesama, tetapi tidak bertanggung jawab
atas mereka. Kita selalu berbeda dari mereka, dan tak berutang
apa pun kepada mereka. Kita tidak ingin melihat satu pun dari
mereka ada di teritori kita, dan kita tidak peduli pada sedikit
pun apa yang terjadi pada teritori mereka. Mereka bahkan nyaris
bukan manusia. Dalam bahasa bangsa Dinka di Sudan, Dinka
berarti ‘rakyat’. Rakyat yang bukan Dinka, bukanlah rakyat.
Musuh bebuyutan Dinka adalah Nuer. Apa arti kata Nuer dalam
bahasa Nuer? Artinya adalah ‘rakyat yang asli’. Ribuan kilometer
dari gurun Sudan, di tanah es yang membeku di Alaska dan
bagian timur laut Siberia, hidup bangsa Yupik. Apa arti Yupik
dalam bahasa Yupik? Artinya ‘rakyat yang sejati’.3
Bertolak belakang dengan keeksklusifan etnis ini, ideologi
imperium dari Cyrus dan sesudahnya cenderung menjadi
inklusif dan meliputi semua. Sekalipun sering ditekankan pada
perbedaan ras dan kultur antara penguasa dan yang dikuasai,
ideologi imperium masih mengakui kesatuan dasar seluruh dunia,
eksistensi seperangkat tunggal prinsip-prinsip yang mengatur
semua tempat dan semua masa, dan tanggung jawab bersama seluruh manusia. Manusia dipandang sebagai satu keluarga besar:
hak-hak istimewa orangtua bersanding dengan tanggung jawab
atas kesejahteraan anak-anak.
Visi baru imperium ini bergulir dari Cyrus dan orang-orang
Persia ke Alexander Yang Agung, dan dari dia ke raja-raja
Hellenistik, para kaisar Romawi, para khalifah Muslim, dinastidinasti India dan akhirnya bahkan ke para perdana menteri
Soviet dan presiden-presiden Amerika. Visi imperium yang penuh
kebajikan itu menjustifikasi keberadaan imperium-imperium, dan
mengatasi tidak hanya upaya-upaya oleh rakyat jajahan untuk
memberontak, tetapi juga upaya-upaya oleh bangsa merdeka
untuk melawan ekspansi imperium.
Visi-visi imperium serupa berkembang secara independen
dari model Persia di beberapa bagian dunia, yang paling utama
di Amerika Tengah, di wilayah Andea, dan di China. Menurut
teori politik tradisional China, langit (Tian) adalah sumber
semua otoritas yang sah di muka Bumi. Langit memilih orang
atau keluarga yang paling pantas untuk memberi mereka
Mandat dari surga. Orang atau keluarga ini berkuasa atas Semua
Yang Ada Di Bawah Langit (Tianxial) untuk kebaikan seluruh
penghuninya. Jadi, sebuah otoritas yang sah adalah—menurut
definisi—universal. Jika penguasa tak memiliki Mandat dari
langit, maka dia tak memiliki legitimasi untuk berkuasa bahkan
atas sebuah kota kecil. Jika penguasa mendapat mandat itu, dia
wajib menyebarkan keadailan dan harmoni ke seluruh dunia.
Mandat langit tidak bisa diberikan kepada beberapa kandidat
secara bersamaan, dan akibatnya orang tidak bisa melegitimasi
keberadaan lebih dari sebuah negara merdeka.
Kaisar pertama imperium China bersatu, QÃn ShHuángdì,
membual bahwa “di keenam penjuru arah [alam semesta] segalanya
milik kaisar ... di mana pun ada jejak kaki manusia, tidak ada
satu pun yang menjadi jajahan [imperium] ... kebaikannya bahkan
menjangkau sapi dan kuda. Tidak ada seorang pun yang tidak
mendapatkan manfaatnya. Setiap manusia selamat di bawah
atapnya sendiri”.4
Dengan demikian, dalam pemikiran politik
China serta memori historis China, periode-periode imperium
dipandang sebagai masa keemasan keteraturan dan keadilan.
Bertolak belakang dengan pandangan modern Barat bahwa
sebuah dunia yang adil tersusun atas negara-negara bangsa
terpisah, di China periode-periode fragmentasi politik dipandang
sebagai abad-abad gelap kekacauan dan ketidakadilan. Persepsi
ini memiliki pengaruh jauh bagi sejarah China. Setiap kali
imperium runtuh, teori politik dominan memancing kekuatankekuatan agar tidak menyerah pada pemerintahan-pemerintahan
independen yang remeh, tetapi mengupayakan reunifikasi. Cepat
atau lambat upaya-upaya ini selalu berhasil.
Ketika Mereka Menjadi Kita
Imperium-imperium memainkan peranan menentukan dalam
menyatukan banyak kultur kecil menjadi kultur-kultur besar yang
lebih sedikit. Ide-ide, bangsa-bangsa, benda-benda, dan teknologi
menyebar lebih mudah dalam perbatasan-perbatasan sebuah
imperium ketimbang dalam sebuah wilayah yang terfragmentasi
secara politik. Cukup sering, imperium-imperium itu sendirilah
yang secara sengaja menyebarkan ide-ide, institusi-institusi,
kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma. Satu alasannya adalah
untuk menjadikan hidup lebih mudah bagi mereka sendiri. Sulit
untuk menguasai sebuah imperium yang di dalamnya setiap
distrik kecil memiliki seperangkat hukum sendiri, bentuk tulisan
sendiri, bahasa sendiri, dan uang sendiri. Standarisasi adalah
anugerah bagi para kaisar.
Alasan kedua yang sama pentingnya mengapa imperiumimperium secara aktif menyebarkan kultur bersama adalah
untuk meraih legitimasi. Sekurang-kurangnya sejak masa-masa
Cyrus dan QÃn Sh Huángdì, imperium-imperium menjustifikasi
tindakan-tindakan mereka—entah itu pembangunan jalan
atau pertumpahan darah—sebagai sesuatu yang perlu untuk
menyebarkan sebuah kultur superior, yang dari sana pihak yang
ditaklukkan mendapatkan manfaat bahkan lebih besar daripada
penakluknya.
Manfaat-manfaat itu terkadang menonjol—penegakan hukum,
perencanaan kota, standarisasi berat dan ukuran—dan terkadang
patut dipertanyakan—pajak, wajib militer, penyembahan kaisar.
Namun, sebagian besar elite imperium meyakini dengan sepenuh
hati bahwa mereka bekerja demi kesejahteraan umum seluruh
penghuni imperium. Kelas penguasa China memperlakukan
negara-negara tetangga dan jajahan-jajahan asing sebagai barbar
merana, yang kepada mereka imperium harus membawa
manfaat dari budaya. Mandat dari langit dianugerahkan kepada
kaisar tidak dalam rangka mengeksploitasi dunia, tetapi dalam
rangka mendidik kemanusiaan. Orang Romawi juga menjustifikasi dominion mereka dengan mengatakan bahwa mereka
menganugerahi kaum barbar dengan perdamaian, keadilan, dan
perbaikan. Orang-orang liar Jerman dan orang-orang Gaul yang
terkurung hidup dalam kemelaratan dan kebodohan sampai
orang-orang Romawi menjinakkan mereka dengan hukum,
membersihkan mereka dalam rumah pemandian umum, dan
memperbaiki mereka dengan filosofi. Imperium Maurya pada
abad ke-3 SM menetapkan misinya untuk mendiseminasi ajaranajaran Buddha ke dunia yang bodoh. Para khalifah Muslim
menerima mandat ilahi untuk menyebarkan wahyu Nabi, secara
damai jika memungkinkan, tetapi dengan pedang jika diperlukan.
Imperium Spanyol dan Portugis memproklamasikan bahwa bukan
kekayaan yang mereka cari di Hindia dan Amerika, melainkan
pembimbingan kepada agama yang benar. Matahari tidak pernah
terbenam dalam misi Inggris untuk menyebarkan Injil kembar
liberalisme dan perdagangan bebas. Soviet merasa tergugah untuk
mengabdi demi memfasilitasi pawai historis yang tak terelakkan
dari kapitalisme menuju kediktatoran utopia proletar. Banyak
orang Amerika sekarang memandang bahwa pemerintahan
mereka memiliki kewajiban moral untuk membawakan kepada
negara-negara Dunia Ketiga manfaat demokrasi dan hak asasi
manusia, sekalipun jika kebaikan-kebaikan ini dihadirkan dengan
rudal-rudal jelajah dan pesawat-pesawat tempur F-16.
Ide-ide yang disebarkan imperium jarang merupakan kreasi
eksklusif elite penguasa. Karena visi imperium cenderung
universal dan inklusif, maka relatif mudah bagi para elite
imperium untuk mengadopsi ide-ide, norma-norma, dan tradisitradisi dari mana pun yang mereka temukan, ketimbang patuh
secara fanatik pada satu tradisi tunggal yang sempit. Sekalipun
sebagian kaisar berusaha memurnikan kultur mereka dan kembali kepada apa yang mereka pandang sebagai akarnya, pada bagian
terbesarnya, imperium menurunkan peradaban-peradaban hibrida
yang menyerap banyak dari bangsa jajahannya. Kultur imperium
Romawi hampir sepadan ke-Yunani-an dan ke-Romawi-annya.
Kultur imperium Abbasiyah adalah sebagian Persi, sebagian
Yunani, sebagian Arab. Kultur imperium Mongolia adalah tiruan
China. Dalam Imperium Amerika Serikat, seorang presiden
berdarah Kenya bisa mengunyah piza sambil menonton film
favoritnya, sebuah film epos Inggris tentang pemberontakan
Arab melawan Turki.
Bukan percampuran kultural ini yang membuat proses
asimiliasi kultural lebih mudah bagi yang ditaklukkan. Peradaban
imperium bisa dengan mudah menyerap banyak kontribusi dari
berbagai bangsa yang ditaklukkan, tetapi hasil hibrida masih
asing bagi mayoritas besar imperium. Proses asimiliasi sering
menyakitkan dan traumatik. Tidak mudah untuk melepaskan
tradisi lokal yang dikenal dan dicintai, sebagaimana sulit dan
beratnya memahami dan mengadopsi sebuah kultur baru. Lebih
buruk lagi, bahkan ketika bangsa jajahan berhasil mengadopsi
kultur imperium, itu butuh waktu beberapa dekade, kalau bukan
berabad-abad, sampai elite imperium menerimanya sebagai bagian
dari “kita”. Generasi-generasi antara penaklukan dan penerimaan
ditinggalkan kedinginan. Mereka sudah kehilangan kultur lokal
yang dicintai, tetapi mereka belum dibolehkan untuk mengambil
bagian yang sama dari dunia imperium. Sebaliknya, kultur adopsi
mereka terus memandang mereka sebagai barbar.
Bayangkanlah seoang Iberia yang berkualitas baik hidup
seabad setelah jatuhnya Numantia. Dia berbahasa asli dialek Celtic
dengan kedua orangtuanya, tetapi sudah sempurna menguasai
Latin, dengan hanya sedikit aksen karena dia membutuhkannya
untuk menjalankan bisnis dan berhubungan dengan pejabat. Dia
memanjakan selera istrinya dengan pernak-pernik hiasan rumit,
tetapi sedikit jengkel karena dia, seperti perempuan-perempuan
lokal lainnya, mempertahankan citarasa relik Celtic ini—dia akan
lebih senang kalau istrinya mengadopsi kesederhanaan perhiasan
yang bersih yang dikenakan istri gubernur Romawi. Dia sendiri
mengenakan tunik Romawi dan, berkat kesuksesannya sebagai pedagang ternak, berkat keahliannya yang mumpuni tentang
seluk-beluk hukum Romawi, dia mampu membangun sebuah
vila bergaya Romawi. Meskipun demikian, walau dia mampu
melafalkan Buku III Georgic karya Virgil dengan penuh perasaan,
orang Romawi masih memperlakukan dia sebagi semi-barbar. Dia
menyadari dengan frustrasi bahwa dia tidak pernah mendapatkan
penunjukan sebagai pejabat pemerintah, atau salah satu dari
kursi amfiteater yang sangat bagus.
Pada akhir abad ke-19, banyak orang India terdidik diajari
pelajaran yang sama oleh tuan-tuan Inggris mereka. Salah satu
anekdot terkenal menceritakan tentang seorang India ambisius
yang menguasai seluk-beluk bahasa Inggris, mengambil pelajaran
tari ala Barat, dan bahkan terbiasa makan dengan pisau dan
garpu. Berbekal etiket baru itu, dia bepergian ke Inggris, belajar
hukum di Univesitas London, dan menjadi seorang pengacara
yang cakap. Namun, ahli hukum muda berkostum jas dan dasi
itu diturunkan dari kereta api di sebuah koloni Inggris di Afrika
Selatan karena ngotot ingin naik kereta kelas satu, bukannya
duduk di kelas tiga, tempat orang-orang kulit berwarna seperti
dia harus naik. Namanya adalah Mohandas Karamchand Gandhi.
Dalam sejumlah kasus, proses-proses akulturasi dan asimilasi
pada akhirnya melabrak pembatas antara pendatang baru dan
elite lama. Yang ditaklukkan tidak lagi memandang imperium
sebagai sistem penjajahan asing, dan penakluk memandang
jajahan mereka setara dengan mereka. Para penguasa dan yang
diperintah sama-sama memandang “mereka” sebagai “kita”.
Semua jajahan Romawi pada akhirnya, setelah berabad-abad
kekuasaan imperium, dianugerahi kewarganegaraan Roma.
Orang-orang non-Romawi bangkit untuk menduduki jabatan
puncak di korps perwira legiun Romawi dan ditunjuk menjadi
anggota Senat. Pada 48 M kaisar Claudius mengangkat anggota
Senat dari kalangan tokoh terkemuka Gallic, seperti dia utarakan
dalam pidato, “Telah bercampur dengan kita karena kebiasaankebiasaan, kultur dan ikatan-ikatan pernikahan”. Para senator
yang congkak memprotes pengangkatan para bekas musuh
ini ke jantung sistem politik Romawi. Claudius mengingatkan
mereka tentang kebenaran yang tidak nyaman. Sebagian besar
keluarga sentaor mereka adalah keturunan dari suku Italia yang
dulu berperang melawan Romawi, dan belakangan dianugerahi
kewarganegaraan Romawi. Malah, kata kaisar mengingatkan,
keluarganya sendiri berasal dari leluhur Sabine.5
Pada abad ke-2 M, Romawi diperintah oleh sebaris kaisar
kelahiran Iberia, yang urat-urat nadinya mungkin dialiri paling
sedikit beberapa butir darah Iberia lokal. Kekuasaan Trajan,
Hadrian, Antonius Pus, dan Marcus Aurelius umumnya dipandang
sebagai masa keemasan imperium. Setelah itu, seluruh bendungan
etnis diruntuhkan. Kaisar Septimius Severus (193–211) adalah
keturunan keluarga Punic dari Libya. Algebalus (218–222) adalah
orang Suriah. Kaisar Philip (244–249) mendapat julukan “Philip
si Arab”. Para warga baru imperium mengadopsi kultur imperium
Romawi dengan sesemangat itu sehingga selama berabad-abad
dan bahkan beberapa milenium setelah runtuhnya imperium,
mereka terus menggunakan bahasa imperium, meyakini Tuhan
Kristen yang diadopsi oleh imperium dari salah satu Provinsi
Levantine, dan hidup dengan hukum imperium.
Proses serupa terjadi di Imperium Arab. Ketika didirikan pada
pertengahan abad ke-7 M, imperium itu didasarkan pada sebuah
pemisahan tegas antara elite Arab-Muslim dan bangsa-bangsa
terjajah Mesir, Suriah, Iran, dan Berber, yang bukan Arab dan
bukan pula Muslim. Banyak jajahan imperium berangsur-angsur
mengadopsi keyakinan Muslim, bahasa Arab, dan sebuah kultur
imperium hibrida. Elite Arab lama memandang kaum kaya baru
ini dengan permusuhan mendalam, takut kehilangan status dan
identitasnya yang unik. Para pemeluk baru yang frustrasi itu
menuntut pembagian yang setara dalam imperium dan dalam
dunia Islam. Pada akhirnya, mereka pun ikut. Orang-orang Mesir,
Suriah, dan Mesopotamia semakin dipandang sebagai “Arab”.
Bangsa Arab, pada gilirannya—entah itu Arab autentik dari
Arabia atau cetakan baru Arab dari Mesir dan Suriah—semakin
didominasi oleh Muslim non-Arab, terutama oleh orang Iran,
Turki, dan Berber. Sukses besar proyek imperium Arab adalah
budaya imperium yang diciptakannya diadopsi dengan sepenuh
hati oleh banyak bangsa non-Arab, yang terus menjunjung tingginya, mengembangkannya, dan menyebarkannya—bahkan
setelah imperium asalnya runtuh dan bangsa Arab sebagai satu
kelompok etnis kehilangan dominion.
Di China, sukses proyek imperium malah lebih tuntas. Selama
lebih dari 2.000 tahun, satu percampuran kelompok-kelompok
etnik dan kultural yang pertama-tama disebut barbar sukses
terintegrasi ke dalam kultur imperium China dan menjadi China
Han (diambil dari nama Imperium Han yang menguasai China
dari 206 SM sampai 220 M). Pencapaian puncak dari Imperium
China adalah bahwa ia masih hidup dan memikat walaupun
sulit untuk menyebutnya sebagai imperium kecuali di wilayahwilayah terpencilnya, Tibet dan Xinjiang. Lebih dari 90 persen
populasi China memandang diri mereka, dan dipandang oleh
orang lain, sebagai Han. Kita bisa memahami proses dekolonisasi
beberapa dekade terakhir ini dengan cara yang serupa. Di masa
modern, bangsa Eropa menaklukkan banyak bagian dari Bumi
ini dengan penyamaran menyebarkan kultur Barat yang superior.
Mereka juga begitu berhasil sehingga miliaran orang pelan-pelan
mengadopsi bagian-bagian signifikan dari budaya itu. Orang India,
Afrika, Arab, China, dan Maori belajar bahasa Prancis, Inggris
dan Spanyol. Mereka mulai meyakini hak asasi manusia dan
prinsip penentuan nasib sendiri, dan mereka mengadopsi ideologiideologi Barat seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme,
feminisme, dan nasionalisme.
Pada abad ke-20, kelompok-kelompok lokal yang telah
mengadopsi nilai-nilai Barat mengklaim kesetaraan dengan para
penakluk mereka dari Eropa atas nama nilai-nilai ini. Banyak
perjuangan anti kolonial dilancarkan di bawah bendera penentuan
nasib sendiri, sosialisme, dan hak asasi manusia, yang semua
itu adalah warisan Barat. Sebagaimana orang-orang Mesir, Iran,
dan Turki mengadopsi dan mengadaptasi kultur imperium yang
mereka warisi dari para penakluk dari Arab, demikian pula
orang India, Afrika, dan China masa kini telah menerima banyak
bagian dari kultur para bekas tuannya dari Barat, sambil berusaha
mencetaknya sesuai dengan kebutuhan dan tradisi mereka.
Memang menggoda, membagi sejarah menjadi orang baik dan
orang jahat, dengan menempatkan semua imperium sebagai
orang jahat. Lagi pula, hampir semua imperium ini didirikan
dengan darah, dan mempertahankan kekuasaan mereka melalui
penindasan dan perang. Meskipun demikian, kebanyakan budaya
masa kini didasarkan pada warisan-warisan imperium. Jika
imperium per definisi adalah jahat, lalu bagaimana dengan kita?
Ada beberapa aliran pemikiran dan gerakan-gerakan politik
yang berusaha menumpas kultur imperialisme manusia sehingga
menyisakan apa yang mereka klaim sebagai peradaban autentik
murni, tak ternoda oleh dosa. Ideologi-ideologi ini pada tingkat
terbaiknya adalah naif; pada tingkat terburuknya adalah kedok
licik bagi nasionalisme dan kefanatikan yang kasar. Mungkin
Anda bisa mengajukan sanggahan bahwa sebagian dari kulturkultur yang muncul berlimpah pada awal sejarah yang tercatat
murni, tak tersentuh dosa dan tak terkotori oleh masyarakatmasyarakat lain. Namun, sejak awal itu pun tak ada kultur yang
bisa membuat klaim tersebut secara masuk akal, juga kultur
yang ada di muka Bumi saat ini. Semua kultur manusia paling
tidak memiliki bagian yang merupakan warisan dari imperiumimperium atau peradaban-peradaban imperium, dan tak ada
pembedahan akademis maupun politis yang sanggup memisahkan
warisan imperium tanpa membunuh pasiennya.
Pikirkan, misalnya, tentang hubungan cinta-benci antara
republik India masa kini dan Raja Inggris. Penaklukan oleh
Inggris dan penjajahan India membunuh jutaan orang India,
dan bertanggung jawab atas penghinaan terus-menerus serta
eksploitasi ratusan juta lainnya. Meskipun demikian, bangsa
India mengadopsi, dengan gairah para pemeluk baru, ide-ide
Barat seperti penentuan nasib sendiri dan hak asasi manusia,
serta kecewa ketika Inggris menolak untuk menghidupkan nilainilai yang mereka deklarasikan sendiri dengan memberi pilihan
kepada pribumi India: hak-hak setara sebagai jajahan Inggris
atau kemerdekaan.
Bagaimanapun, negara India modern adalah anak dari
Imperium Inggris. Inggris membunuh, melukai, dan menyiksa
para penduduk anak benua itu, tetapi mereka menyatukan
sebuah mosaik yang membingungkan kerajaan-kerajaan, daerahdaerah, dan suku-suku yang saling berperang, menciptakan
sebuah kesadaran nasional bersama dan sebuah negara yang
berfungsi kurang lebih sebagai sebuah satu kesatuan politik
tunggal. Mereka meletakkan fondasi bagi sistem yudisial India,
menciptakan struktur pemerintahannya, dan membangun jaringan
kereta api yang penting bagi integrasi ekonomi. Negara India
merdeka mengadopsi demokrasi Barat, dalam penjelmaan keInggris-annya, sebagai bentuk pemerintahan. Bahasa Inggris
masih menjadi bahasa pemersatu (lingua franca) anak benua itu,
sebuah bahasa netral yang bisa digunakan penutur asli Hindi,
Tamil, dan Malayalam untuk berkomunikasi. Bangsa India adalah
pemain cricket dan peminum teh chai yang bersemangat, dan baik
olahraga maupun minuman itu merupakan warisan dari Inggris.
Perkebunan teh komersial tidak ada di India sampai
pertengahan abad ke-19, ketika teh diperkenalkan oleh British
East India Company. Para sahib Inggris-lah yang menyebarkan
kebiasaan minum teh ke seluruh India.
Berapa banyak orang India kini yang mau menyerukan
pemungutan suara untuk melepaskan diri mereka dari demokrasi,
Inggris, jaringan kereta api, sistem legal, cricket, dan teh atas
dasar bahwa semua itu warisan imperium? Andaipun mereka
melakukannya, bukankah aksi menyerukan pemungutan suara
untuk memutuskan isu tersebut menunjukkan mereka berutang
pada para bekas tuan mereka?
Andaipun kita menolak sepenuhnya warisan sebuah imperium
brutal dengan harapan merekonstruksi dan melindungi kulturkultur autentik yang mendahuluinya, dalam sebuah probabilitas
yang akan kita bela tak lebih dari warisan satu imperium yang
lebih tua dan tak kurang brutalnya. Mereka yang membenci
mutilasi kultur India oleh Raja Inggris tak terelakkan menguduskan
warisan-wairsan Imperium Mughal dan penaklukan kesultanan
Delhi. Dan, siapa pun yang berusaha menyelamatkan “kultur
India autentik” dari pengaruh-pengaruh asing yang dibawa
253/ 530
imperium Muslim ini menguduskan warisan Imperium Gupta,
Imperium Kushan, dan Imperium Maurya. Jika kaum nasionalis
Hindu ekstrem hendak menghancurkan seluruh bangunan yang
ditinggalkan para penakluk dari Inggris, seperti stasiun kereta
api utama Mumbai, bagaimana dengan bangunan-bangunan yang
ditinggalkan oleh para penakluk Muslim, seperti Taj Mahal?
Tak seorang pun tahu bagaimana mengatasi masalah pelik
warisan kultural ini. Apa pun jalan yang kita tempuh, langkah
pertamanya adalah mengakui kompleksitas dilema dan menerima
bahwa pemisahan secara simplistis masa lalu menjadi orang baik
dan orang jahat tidak akan menuju ke mana-mana. Tentu saja,
jika kita tidak mau mengakui bahwa kita biasanya mengikuti
jalan orang jahat.
Sejak sekitar 200 SM, sebagian besar manusia hidup dalam
imperium-imperium. Tampaknya pada masa depan pun, sebagian
besar manusia akan hidup dalam satu imperium. Namun, kali
ini imperiumnya akan benar-benar global. Visi imperium tentang
dominion atas seluruh dunia bisa dekat.
Begitu abad ke-21 tersibak, nasionalisme dengan cepat
kehilangan pijakan. Semakin banyak dan semakin banyak orang
percaya bahwa seluruh umat manusia adalah sumber sah dari
otoritas politik, ketimbang anggota-anggota nasionalitas tertentu,
dan bahwa melindungi hak asasi manusia dan melindungi kepentingan seluruh spesies manusia harus menjadi cahaya
pembimbing politik. Jika demikian, maka memiliki hampir
200 negara merdeka sebetulnya lebih merupakan penghalang
ketimbang pendukung. Karena orang Swedia, Indonesia, dan
Nigeria berhak atas hak asasi manusia yang sama, bukankah lebih
sederhana untuk melindungi mereka dengan satu pemerintahan
global tunggal?
Munculnya problem-problem global yang esensial, seperti
mencairnya gunung-gunung es, menggerogoti apa pun legitimasi
yang tersisa pada negara-negara bangsa merdeka. Tak ada negara
berdaulat yang akan sanggup mengatasi pemanasan global
sendirian. Mandat China dari langit diberikan oleh langit untuk
mengatasi masalah umat manusia. Mandat modern langit akan
diberikan oleh umat manusia untuk mengatasi masalah langit,
seperti lubang lapisan ozon dan akumulasi gas rumah kaca.
Warna imperium global mungkin akan hijau. Sampai 2013,
dunia masih terfragmentasi secara politik, tetapi negara-negara
dengan cepat mendeklarasikan kemerdekaannya. Tak satu pun
dari negara-negara itu yang benar-benar mampu mengeksekusi
kebijakan ekonomi secara independen, mendeklarasikan dan
melancarkan perang sesukanya, atau bahkan menjalankan urusan
internalnya sendiri yang dianggap pas. Negara-negara semakin
terbuka kepada mekanisasi pasar global, pada interferensi
perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi non-pemerintah
global, dan pada supervisi opini publik global serta sistem
yudisial global. Negara-negara wajib mematuhi standar-standar
perilaku finansial, kebijakan lingkungan, dan keadilan global.
Derasnya aliran modal, buruh, dan informasi mengubah dan
membentuk dunia, dengan semakin mengabaikan batas-batas
serta opini-opini negara.
Imperium global yang sedang disatukan di depan mata
kita tidak diatur oleh satu negara atau kelompok etnis
tertentu mana pun. Sangat mirip dengan mendiang Imperium
Romawi, imperium global diperintah oleh satu elite multi etnis,
dan dipersatukan oleh satu kesamaan kultur dan kesamaan
kepentingan. Di seluruh dunia, semakin banyak dan semakin
banyak pebisnis, insinyur, ahli, sarjana, pengacara, manajer
terpanggil untuk bergabung dalam imperium itu. Mereka pasti
memikirkan cara menjawab panggilan imperium itu atau tetap
loyal pada negara dan bangsa mereka. Semakin banyak dan
semakin banyak yang memilih imperium.
Dalam pasar abad pertengahan di Samarkand, sebuah kota yang
dibangun di oase Asia Tengah, para pedagang Suriah menjajakan
sutra-sutra halus China; orang-orang suku dari kawasan padang
rumput Siberia memajang rombongan baru budak-budak berambut
jerami dari barat jauh, dan para pemilik toko mengantongi koinkoin emas mengilap bertera tulisan-tulisan dan gambar eksotis
raja-raja yang tak dikenal. Di sini, di persimpangan besar antara
timur dan barat, utara dan selatan, masa itu, penyatuan manusia
adalah sebuah fakta sehari-hari. Proses yang sama bisa disaksikan
sedang berjalan ketika angkatan perang Kubilai Khan berderak
untuk menginvasi Jepang pada 1281. Pasukan kuda Mongolia
yang berpakaian kulit dan bulu bercengkerama dengan tentaratentara infanteri China bertopi bambu, para tentara Korea yang
mabuk memancing perkelahian dengan pelaut-pelaut bertato dari
Laut China Selatan, para insinyur dari Asia Tengah menyimak
dengan rahang merunduk kisah-kisah para petualang Eropa, dan
semua mematuhi komando satu kaisar tunggal.
Sementara itu, di sekitar Ka’bah di Mekkah, penyatuan
manusia berlangsung dengan sarana lain. Kalau Anda pernah
melakukan ibadah haji ke Mekkah, mengelilingi tempat paling
suci umat Islam itu pada tahun 1300, Anda mungkin merasakan
berada di tengah-tengah kawan sepesta dari Mesopotamia, dengan
jubah-jubah mengembang tertiup angin, mata berbinar-binar
penuh sukacita, dan mulut mereka mengulang satu per satu dari
99 Asmaul Husna. Tepat di depan Anda mungkin Anda melihat
seorang tua Turki yang terp anggang cuaca dari kawasan padang
rumput Asia, jalan terpincang-pincang dengan bertumpu tongkat
sambil mengusap janggutnya penuh perasaan. Di salah satu sisi
Anda, perhiasan emas berkilau memancar dari kulit hitam pekat, mungkin dikenakan sekelompok Muslim dari kerajaan Mali,
Afrika. Aroma cengkih, kunyit, kapulaga, dan garam laut akan
menandai adanya saudara-saudara dari India, atau mungkin dari
pulau-pulau rempah-rempah misterius nun jauh di timur.
Kini agama sering dipandang sebagai sumber diskriminasi,
perselisihan, dan perpecahan. Namun, sesungguhnya agama
telah menjadi pemersatu terbesar ketiga bagi manusia, selain
uang dan imperium. Karena semua tatanan sosial dan hierarki
diimajinasikan, semua itu merupakan struktur-struktur yang
rapuh. Agama-agama menegaskan bahwa hukum kita bukanlah
hasil dari ulah manusia, melainkan dititahkan oleh satu otoritas
absolut dan mahatinggi sehingga menjamin stabilitas sosial.
Dengan demikian, agama bisa didefinisikan sebagai sebuah
sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia yang didasarkan
pada keyakinan pada satu tatanan manusia super. Ini mencakup
dua kriteria yang khas:
1. Agama berpendirian bahwa ada sebuah tatanan manusia
super, yang bukan produk dari keinginan atau kesepakatan
manusia. Sepak bola profesional bukanlah agama karena
terlepas dari banyaknya hukum upacara dan sering
ritual-ritual aneh, setiap orang tahu bahwa manusialah
yang menciptakan sepak bola, dan FIFA kapan pun
bisa memperbesar ukuran gawang atau menangguhkan
aturan offside.
2. Berdasarkan pada tatanan manusia super ini, agama
menciptakan norma-norma dan nilai-nilai yang dipandang
mengikat. Banyak orang Barat kini percaya pada hantu,
peri, dan reinkarnasi, tetapi keyakinan-keyakinan ini
bukan sumber standar moral dan perilaku. Karenanya,
semua itu bukan merupakan agama.
Terlepas dari kemampuannya untuk melegitimasi tatanan
sosial dan politik yang menyebar luas, tak semua agama mengaktualkan potensi tersebut. Dalam rangka mempersatukan sebuah
teritori yang sangat luas di bawah pengawasannya, sebuah agama harus memiliki dua kualitas lainnya. Pertama, ia harus
menopang sebuah tatanan universal manusia super, yang selalu
benar di mana pun. Kedua, agama harus menekankan pada
penyebaran keyakinan ini kepada setiap orang. Dengan kata lain,
ia harus universal dan misioner. Agama yang paling terkenal
dalam sejarah, seperti Islam dan Buddha, bersifat universal dan
misioner. Akibatnya, orang cenderung meyakini bahwa semua
agama seperti mereka. Faktanya, mayoritas agama kuno bersifat
lokal dan eksklusif. Para pengikutnya meyakini dewa-dewa dan
arwah-arwah, dan tak punya minat untuk menarik semua ras
manusia menjadi pemeluknya. Sejauh yang kita ketahui, agamaagama universal dan misioner mulai muncul baru pada milenium
ke-1 SM. Kemunculan agama-agama itu menjadi salah satu
revolusi penting dalam sejarah, dan menjadi kontribusi vital bagi
penyatuan manusia, sangat mirip dengan munculnya imperiumimperium universal dan uang universal.
Membungkam Domba-Domba
Ketika animisme menjadi sistem keyakinan dominan, normanorma dan nilai-nilai manusia harus mempertimbangkan
sosok dan kepentingan banyak makhluk lain, seperti binatang,
tumbuhan, peri, dan hantu. Misalnya, satu kawanan pengembara
di Lembah Gangga mungkin sudah membuat aturan yang
melarang orang untuk menebang pohon ara yang sangat besar,
agar arwah penjaga pohon tiak marah dan membalas. Satu
kawanan pengembara lain yang hidup di Lembah Indus melarang
orang berburu rubah berekor putih karena rubah berekor putih
dulunya mengungkapkan kepada seorang perempuan tua bijak
di mana mereka bisa menemukan obsidian yang bagus.
Agama-agama seperti itu cenderung sangat lokal dalam
sosoknya, dan menekankan hal-hal unik dari lokasi-lokasi
tertentu, iklim, dan fenomenanya. Sebagian besar pengembara
menghabiskan seluruh hidup mereka di satu area tak lebih dari
1.000 kilometer persegi. Agar bisa bertahan hidup, para penghuni
satu lembah tertentu perlu memahami tatanan manusia super yang
mengatur lembah mereka, dan menyesuaikan perilaku mereka
dengan aturan itu. Tak ada gunanya meyakinkan penguni dari
lembah yang jauh untuk mengikuti aturan yang sama. Orangorang Indus tidak pusing berpikir untuk mengirim misionaris
ke Gangga untuk meyakinkan penduduk setempat agar jangan
memburu rubah berekor putih.
Revolusi Agrikultur tampaknya disertai suatu revolusi
keagamaan. Para pemburu-penjelajah memetik dan mencari
tumbuhan-tumbuhan serta binatang-binatang liar, yang bisa
dipandang memiliki status setara dengan Homo sapiens. Fakta
bahwa manusia memburu domba tidak membuat domba lebih
rendah derajatnya daripada manusia, sebagaimana fakta bahwa
harimau memburu manusia tidak berarti manusia lebih rendah
dari harimau. Makhluk hidup saling berkomunikasi secara
langsung dan menegosiasikan aturan-aturan untuk mengatur
habitat bersama mereka. Sebaliknya, para petani memiliki
dan memanipulasi tumbuhan dan binatang, dan hampir tak
menurunkan derajat mereka sendiri dengan menegosiasikan
kepemilikan. Oleh karena itu, efek religius pertama dari Revolusi
Agrikultur adalah mengubah tumbuhan dan binatang dari anggota
setara dari sebuah meja bundar spiritual menjadi properti.
Meskipun demikian, ini menciptakan sebuah problem besar.
Para petani mungkin sudah mengidamkan kontrol absolut atas
domba mereka, tetapi mereka tahu sepenuhnya bahwa kontrol
mereka terbatas. Mereka bisa saja mengunci domba dalam
kandang, mengebiri domba jantan, dan memelihara secara selektif
domba-domba betina, tetapi mereka tidak bisa memastikan bahwa
domba-domba itu bunting dan melahirkan anak-anak domba
yang sehat, tidak pula mereka bisa mencegah ledakan epidemi
mematikan. Kalau begitu, bagaimana melindungi kesuburan
ternak?
Satu teori terkemuka tentang asal-usul dewa-dewa berpendapat bahwa dewa-dewa menjadi berarti karena menawarkan
sebuah solusi pada problem ini. Dewa-dewa seperti dewi
kesuburan, dewa langit, dan dewa pengobatan mengambil
posisi penting ketika tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang
kehilangan kemampuan untuk bicara, dan peran utama dewadewa adalah memediasi antara manusia dan tetumbuhan dan
binatang-binatang yang membisu itu. Banyak mitologi kuno
sesungguhnya merupakan kontrak hukum yang di dalamnya
manusia menjanjikan penyembahan selamanya kepada dewadewa sebagai imbalan untuk penguasaan atas tumbuhan dan
binatang—bab pertama dari Kitab Kejadian adalah contoh
sempurna. Selama ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur,
liturgi keagamaan berisi terutama pengorbanan domba, anggur,
dan kue kepada kekuatan-kekuatan ilahiah, yang menjanjikan
sebagai imbalannya panen berlimpah dan hewan-hewan ternak
yang subur.
Revolusi Agrikultur pada mulanya memiliki dampak yang
jauh lebih kecil pada status anggota lain sistem animis, seperti
bebatuan, mata air, hantu, dan setan. Namun, semua ini juga
secara perlahan kehilangan status, tergeser oleh dewa-dewa
baru. Selama orang tinggal sepanjang hidup mereka dalam
teritori terbatas beberapa ratus kilometer persegi, sebagian
besar kebutuhan mereka bisa dipenuhi oleh arwah-arwah
setempat. Namun, begitu kerajaan-kerajaan dan jaringan-jaringan
perdagangan meluas, orang butuh mengontak entitas-entitas
yang kekuasaan dan otoritasnya mencakup seluruh kerajaan dan
seluruh area perdagangan.
Upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini membawa
kemunculan agama-agama politeistik (dari kata Yunani: poly
yang berarti ‘banyak’, theos yang berarti ‘dewa’). Agama-agama
ini memahami dunia dikuasai oleh sekelompok dewa yang kuat,
seperti dewi kesuburan, dewa hujan, dan dewa perang. Manusia
bisa memohon kepada dewa-dewa ini dan para dewa, mungkin,
jika mereka menerima penyembahan dan pengorbanan, berkenan
mendatangkan hujan, kemenangan, dan kesehatan.
Animisme tidak sepenuhnya lenyap saat kedatangan
politeisme. Setan-setan, peri-peri, hantu-hantu, batu-batu suci,
mata air suci, dan pohon-pohon suci tetap menjadi bagian integral
dari hampir seluruh agama politeis. Arwah-arwah ini memang
jauh lebih tidak penting ketimbang dewa-dewa besar, tetapi untuk
kebutuhan-kebutuhan duniawi kebanyakan masyarakat biasa,
mereka cukup baik. Sementara raja di ibu kota mengorbankan puluhan domba gemuk kepada dewa perang, bersembahyang
untuk kemenangan atas kaum barbar, petani di gubuknya
menyalakan lilin untuk peri penunggu pohon ara, berdoa agar
dia membantu mengobati putranya yang sakit.
Akan tetapi, dampak terbesar dari bangkitnya dewa-dewa
besar bukanlah pada domba atau setan-setan, melainkan pada
status Homo sapiens. Kaum animis memandang bahwa manusia
hanya salah satu dari banyak makhluk yang menghuni dunia.
Kaum politeis, di sisi lain, semakin jauh memandang dunia
sebagai sebuah cerminan dari hubungan antara para dewa dan
manusia. Doa-doa kita, pengorbanan-pengorbanan kita, dosadosa kita, dan kebajikan-kebajikan kita menentukan nasib dari
seluruh ekosistem. Sebuah banjir dahsyat mungkin menyapu
miliaran semut, belalang, kura-kura, rusa, jerapah, dan gajah,
hanya karena beberapa Sapiens bodoh membuat para dewa marah.
Oleh karena itu, politeisme tidak hanya memuliakan status para
dewa, tetapi juga status manusia. Para anggota yang kurang
beruntung dari sistem animis lama kehilangan kedudukannya
dan menjadi entah hiasan-hiasan ekstra atau bisu dalam drama
besar hubungan manusia dengan para dewa.
Manfaat Pemujaan Berhala
Selama 2.000 tahun cuci otak oleh paham monoteis menyebabkan
sebagian besar orang Barat melihat politeisme sebagai pemujaan
berhala yang bodoh dan kekanak-kanakan. Ini adalah stereotipe
yang tidak adil. Agar memahami inti dari logika politeisme,
diperlukan penyerapan ide penopang keyakinan pada banyak
dewa.
Politeisme tidak dengan sendirinya menentang eksistensi
satu kekuatan atau hukum tunggal yang mengatur seluruh alam
semesta. Faktanya, agama-agama yang paling politeis dan animis
mengakui kekuatan tertinggi semacam itu yang berdiri di belakang
semua dewa yang berbeda-beda, setan-setan, dan batu-batu suci.
Dalam politeisme klasik Yunani, Zeus, Hera, Apollo, dan kolegakolega mereka adalah bawahan dari satu kekuatan mahakuasa dan mencakup segala hal—Nasib (Moira, Ananke). Dewa-dewa
Nordik juga merupakan budak nasib, yang menumpas mereka
dalam bencana Ragnarök (Senjakala Para Dewa). Dalam agama
politeistik Yoruba di Afrika Barat, semua dewa dilahirkan dari
dewa tertinggi Olodumare, dan tetap patuh kepadanya. Dalam
politeisme Hindu, satu pemimpin tunggal, Atman, menguasai
banyak dewa dan arwah, manusia, dan dunia biologis serta fisik.
Atman adalah esensi abadi atau jiwa dari seluruh alam semesta,
di samping arwah setiap individu dan setiap fenomena.
Makna fundamental dari politeisme, yang membedakannya
dari monoteisme, adalah bahwa kekuatan tertinggi yang mengatur
dunia terbebas dari kepentingan-kepentingan dan bias-bias, dan
karena itu tidak berurusan dengan hasrat-hasrat, kepedulian,
dan kecemasan duniawi manusia. Tidak ada gunanya meminta
kepada kekuatan ini kemenangan perang, kesehatan, atau hujan
karena dari titik kedudukannya yang meliputi segala hal, ia
tidak membedakan apakah satu kerajaan tertentu menang atau
kalah, apakah sebuah kota tertentu makmur atau terpuruk,
apakah seseorang tertentu sembuh atau mati. Orang Yunani
tidak membuang sia-sia pengorbanan demi Nasib, dan Hindu
tidak membangun kuil untuk Atman.
Satu-satunya alasan untuk mendekati kekuatan tertinggi alam
semesta adalah menahan segala nafsu dan menerima keburukan
dengan kebajikan—bahkan menerima kekalahan, kemelaratan,
sakit, dan kematian. Oleh karena itu, sebagian orang Hindu,
yang dikenal sebagai Sadhus atau Sanyasis, membaktikan
hidup mereka untuk bersatu dengan Atman sehingga mencapai
pencerahan. Mereka kokoh memandang dunia dari sudut pandang
prinsip fundamental ini, untuk menyadari bahwa dari perspektif
keabadiannya seluruh hasrat dan kecemasan duniawi adalah
fenomena yang tak bermakna dan tak kekal.
Meskipun demikian, sebagian besar orang Hindu bukanlah
Sadhus. Mereka tenggelam di kedalaman rawa urusan duniawi,
di mana Atman tidak banyak membantu. Untuk mendapatkan
pertolongan dalam urusan-urusan semacam itu, orang-orang
Hindu mendekati para dewa yang memiliki kekuatan-kekuatan
parsial. Tepat karena kekuatan-kekuatan mereka parsial, dan tidak mencakup semua hal, dewa-dewa seperti Ganesha, Lakshmi,
dan Saraswati memiliki kepentingan-kepentingan dan bias. Oleh
karena itu, manusia membuat kesepakatan-kesepakatan dengan
kekuatan-kekuatan parsial ini dan bergantung pada bantuan
mereka agar bisa menang perang dan sembuh dari sakit. Dengan
sendirinya ada banyak kekuatan seperti ini yang lebih kecil karena
begitu Anda mulai membagi-bagi kekuatan yang menyeluruh dari
kekuatan tertinggi, Anda tak terelakkan sampai ke lebih dari
satu dewa. Oleh karena itu, hadirlah pluralitas dewa.
Pemahaman mendalam politeisme kondusif untuk toleransi
religius dengan cakupan luas. Karena kaum politeis percaya, di
satu sisi, pada kekuatan tunggal dan sepenuhnya tidak memihak,
dan di sisi lain percaya pada banyak kekuatan parsial yang bias,
tidak ada kesulitan bagi para pemeluk satu Tuhan untuk menerima
eksistensi dan kemanjuran dewa-dewa lainnya. Politeisme secara
inheren berpikiran terbuka, dan jarang mengadili kaum “bidah”
dan “kafir”.
Bahkan, ketika kaum politeis menaklukkan imperiumimperium besar, mereka tidak berusaha menjadikan bangsa
jajahannya pemeluk baru. Bangsa Mesir, Romawi, dan
Aztec tidak mengirim misionaris ke tanah-tanah asing untuk
menyebarkan penyembahan Osiris, Jupiter, atau Huitzilopochtli
(dewa tertinggi Aztec), dan mereka sudah pasti tidak mengirim
angkatan perang untuk tujuan itu. Bangsa-bangsa jajahan dalam
imperium diharapkan menghormati dewa-dewa dan ritual-ritual
imperium karena dewa-dewa dan ritual-ritual ini melindungi
dan melegitimasi imperium. Namun, mereka tidak diharuskan
meninggalkan dewa-dewa dan ritual-ritual lokal mereka. Dalam
Imperium Aztec, bangsa jajahan diwajibkan membangun kuil-kuil
Huitzilopochtli, tetapi kuil-kuil ini dibangun bersandingan dengan
dewa-dewa lokal, bukan menggantikannya. Dalam banyak kasus,
elite imperium sendiri mengadopsi dewa-dewa dan ritual-ritual
bangsa jajahannya. Orang-orang Romawi dengan senang hati
menambahkan dewi Asia Cybele dan dewi Mesir Isis dalam
jajaran dewa mereka.
Satu-satunya dewa yang lama ditolak orang Romawi adalah
tuhan monoteistik dan evangelis Kristen. Imperium Romawi tidak mengharuskan orang Kristen meninggalkan keyakinan
dan ritual mereka, tetapi diharapkan menghormati dewa-dewa
pelindung imperium dan keilahian kaisar. Ini dipandang sebagai
deklarasi loyalitas politik. Ketika orang-orang Kristen gigih
menolak melakukannya, dan terus menolak semua upaya untuk
berkompromi, orang Romawi bereaksi dengan menganiaya orang
yang mereka anggap sebagai faksi subversif politik. Bahkan, ini
dilakukan dengan setengah hati. Dalam 300 tahun sejak penyaliban
Kristus sampai konversi Kaisar Konstantin, para kaisar politeis
Romawi menginisiasi tak lebih dari empat penyiksaan umum
terhadap orang Kristen. Para administrator dan gubernur lokal
menghasut kerusuhan anti-Kristen. Tetap saja, jika kita gabungkan
semua korban dari semua penyiksaan itu, ternyata bahwa dalam
tiga abad tersebut, kaum politeis Romawi membunuh tak lebih
dari beberapa ribu orang Kristen.1
Sebaliknya, dalam 1.500 tahun
kemudian, orang Kristen membantai orang Kristen sampai jutaan
orang untuk mempertahankan interpretasi yang sedikit berbeda
dari agama cinta dan kasih itu.
Perang agama antara Katolik dan Protestan yang melanda
Eropa pada abad ke-16 dan ke-19 benar-benar sangat kejam.
Semua yang terlibat mengakui keilahian Kristus dan ajaran
cinta dan kasih-Nya. Kaum Protestan percaya bahwa cinta ilahi
begitu agung sehingga Tuhan menjelmakan diri dalam daging
dan membiarkan Dirinya disiksa dan disalib sehingga menebus
dosa asal dan membuka gerbang surga bagi seluruh umat yang
beriman kepada-Nya. Orang Katolik menganggap keyakinan itu
memang esensial, tetapi tidak cukup. Untuk memasuki surga,
umat beriman harus berpartisipasi dalam ritual-ritual gereja dan
melakukan kebajikan-kebajikan. Orang Protestan menolak untuk
menerima ini, dengan alasan bahwa quid pro quo*
ini mengecilkan
kebesaran dan kasih Tuhan. Siapa pun yang berpikir bahwa
masuk surga bergantung pada kebajikannya berarti membesarkan
makna dirinya, dan berimplikasi bahwa penderitaan Kristus di
tiang salib dan kasih Tuhan pada manusia tidak cukup
Perselisihan teologis ini berubah menjadi begitu beringas
sehingga pada abad ke-16 dan ke-17, orang Katolik dan Protestan
saling bunuh sampai ratusan ribu. Pada 23 Agustus 1572, orangorang Katolik Prancis yang menekankan pentingnya kebajikan
menyerang komunitas Protestan Prancis yang mengedepankan
kasih Tuhan pada umat manusia. Dalam serangan itu, Hari
Pembantaian Santo Bartholomew, antara 5.000 sampai 10.000
orang Protestan dibantai dalam waktu kurang dari 24 jam.
Ketika Paus di Roma mendengar kabar dari Prancis itu, dia
begitu gembira sehingga menyelenggarakan doa untuk merayakan
peristiwa tersebut dan menugasi Giorgio Vas