Jumat, 16 Desember 2022
Home »
homosapien 3
» homosapien 3
homosapien 3
Desember 16, 2022
homosapien 3
ari menghiasi salah
satu ruang Vatikan dengan lukisan dinding pembantaian (ruang
itu kini terlarang bagi pengunjung).2
Lebih banyak orang Kristen
yang dibunuh sesama Kristen dalam 24 jam itu ketimbang oleh
Imperium Romawi politeis sepanjang eksistensinya.
Tuhan itu Satu
Seiring waktu, sebagian pengikut dewa-dewa politeis menjadi
begitu asyik dengan patron khusus mereka sehingga mereka
terseret menjauh dari pemahaman dasar politeis. Mereka mulai
meyakini bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan,
dan bahwa Dia sesungguhnya kekuatan tertinggi alam semesta.
Meskipun demikian, pada saat yang sama, mereka terus
memandang Dia memiliki kepentingan-kepentingan dan biasbias, dan meyakini bahwa mereka bisa mencapai kesepakatankesepakatan dengan-Nya. Maka, lahirlah agama-agama monoteis,
yang para pengikutnya memohon kepada kekuatan tertinggi alam
semesta agar membantu mereka sembuh dari sakit, menang lotre,
dan menang dalam perang.
Agama monoteis pertama yang kita kenal muncul di Mesir,
350 SM, ketika Fir’aun Akhenaten mendeklarasikan bahwa
salah satu dewa kecil dari jajaran dewa Mesir, dewa Aten,
sesungguhnya adalah kekuatan tertinggi yang mengatur alam
semesta. Akhenaten menetapkan penyembahan Aten sebagai
agama negara dan berusaha memeriksa penyembahan terhadap
semua dewa. Namun, revolusi religiusnya itu tak berhasil. Setelah
kematiannya, penyembahan Aten ditinggalkan, kalah oleh jajaran
dewa lama.
Politeisme terus melahirkan agama-agama monoteisme lain
di banyak tempat, tetapi semua tetap marginal, paling tidak
karena gagal menguraikan pesan universalnya. Judaisme, misalnya,
menyatakan bahwa kekuatan tertinggi alam semesta memiliki
kepentingan-kepentingan dan bias-bias, tetapi kepentingan
utamanya adalah pada negara mungil Yahudi dan pada tanah Israel
yang dijanjikan. Tak banyak yang bisa diberikan Judaisme kepada
bangsa-bangsa lain, dan hampir sepanjang masa eksistensinya ia
bukanlah sebuah agama misioner. Tahap ini bisa disebut sebagai
tahap “monoteisme lokal”.
Terobosan besar datang bersama Kristen. Agama ini bermula
sebagai sebuah sekte esoterik Yahudi yang berusaha meyakinkan
orang-orang Yahudi bahwa Yesus dari Nazareth adalah mesiah
yang telah lama mereka nanti-nantikan. Namun, salah satu dari
para pemimpin pertama sekte itu, Paulus dari Tarsus, berpendirian
bahwa jika kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingankepentingan dan bias-bias, dan jika Dia repot-repot menjelmakan
diri dalam daging dan mati di tiang salib untuk penyelamatan
manusia, maka itu sesuatu yang harus didengar setiap orang,
bukan hanya oleh bangsa Yahudi. Maka, perlu untuk menyebarkan
kalimat baik—Injil—tentang Yesus ke seluruh dunia.
Argumentasi Paulus jatuh di tanah yang subur. Orang-orang
Kristen mulai mengorganisasi aktivitas misioner yang menyebar
luas yang ditujukan kepada semua manusia. Dalam satu tikungan
historis yang paling aneh, sekte esoterik Yahudi ini mengambil
alih raksasa Imperium Romawi.
Kesuksesan Kristen merupakan sebuah model bagi agama
monoteis lain yang muncul di Semenanjung Arab pada abad
ke-7—Islam. Sebagaimana Kristen, Islam juga dimulai dari
sebuah sekte kecil di sudut terpencil dunia, tetapi dalam sebuah
kejutan yang lebih aneh dan lebih cepat, ia berhasil menyeruak
di gurun Arabia dan mengukuhkan sebuah imperium besar yang
terbentang dari Samudra Atlantik sampai ke India. Oleh karena
itu, ide monoteis memainkan peran penting dalam sejarah dunia.
Kaum monoteis cenderung jauh lebih fanatik dan misioner
ketimbang kaum politeis. Sebuah agama yang mengakui legitimasi
agama-agama lain menunjukkan bahwa kalau bukan tuhannya
merupakan kekuatan tertinggi alam semesta, maka ia menerima
dari Tuhan hanya sebagian dari kebenaran universal. Karena kaum
monoteis biasanya meyakini bahwa mereka memiliki seluruh
pesan dari satu dan satu-satunya Tuhan, mereka tergugah untuk
merendahkan semua agama lain. Selama 2 milenium terakhir ini,
kaum monoteis berulang-ulang mencoba memperkuat kekuasaan
mereka dengan memenangkan semua kompetisi melalui kekerasan.
Berhasil. Pada permulaan abad ke-1 M, hampir tidak ada
satu pun orang monoteis di dunia. Sekitar tahun 500 M, salah
satu imperium terbesar di dunia—Imperium Romawi—adalah
sebuah negara Kristen, dan para misionaris sibuk menyebarkan
Kristen ke bagian-bagian lain Eropa, Asia, dan Afrika. Pada akhir
milenium ke-1 M, sebagian besar orang di Eropa, Asia Barat,
dan Afrika Utara adalah monoteis, dan imperium-imperium dari
Samudra Atlantik sampai ke Himalaya mengklaim dititahkan
oleh Tuhan tunggal yang mahabesar. Pada awal abad ke-16,
monoteisme mendominasi sebagian besar Afro-Asia, dengan
pengecualian Asia Timur dan beberapa bagian selatan Afrika,
dan mulai memanjangkan kaki-kakinya menuju Afrika Selatan,
Amerika, dan Oceania. Kini sebagian besar orang di luar Asia
Timur mematuhi salah satu agama monoteis, dan tatanan politik
global dibangun di atas fondasi-fondasi monoteistik.
Meskipun demikian, sebagaimana animisme terus bertahan
dalam politeisme, demikian pula politeisme terus bertahan dalam
monoteisme. Secara teori, begitu seseorang meyakini bahwa
kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan-kepentingan
dan bias-bias, apa maknanya menyembah kekuatan-kekuatan
parsial? Siapa yang mau mendekati seorang birokrat tingkat
rendah ketika kantor presiden terbuka bagi Anda? Malah, teologi
monoteis cenderung mengingkari eksistensi semua tuhan kecuali
Tuhan yang tertinggi, dan menuangkan api neraka dan belerang
kepada siapa pun yang berani menyembah tuhan-tuhan itu.
Akan tetapi, selalu saja ada jurang antara teori-teori teologis
dan realitas-realitas historis. Sebagian besar orang menyadari
sulitnya memaknai ide monoteis secara penuh. Mereka terus
membagi dunia menjadi “kita” dan “mereka”, dan memandang
kekuatan tertinggi alam semesta sebagai terlalu jauh dan asing bagi
kebutuhan-kebutuhan duniawi mereka. Agama-agama monoteis
mengusir dewa-dewa ke pintu depan dengan banyak perayaan,
hanya untuk membawanya masuk kembali melalui jendela
samping. Kristen, misalnya, mengembangkan jajaran dewanya
sendiri, santo-santo, yang kultus-kultusnya sedikit berbeda dari
kultus dewa-dewa politeistik.
Sebagaimana dewa Jupiter membela Roma dan Huitzilopochtli
melindungi Imperium Aztec, demikian pula setiap kerajaan Kristen
memiliki patron santa-nya sendiri yang membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan dan memenangi perang. Inggris dilindungi
oleh Santo George, Skotlandia oleh Santo Andrew, Hungaria
oleh Santo Stephen, dan Prancis oleh Santo Martin. Kota-kota
besar dan kecil, profesi-profesi, dan bahkan penyakit-penyakit—
masing-masing punya santo sendiri. Kota Milan punya Santo
Amborose, sementara Santo Markus mengawasi Venesia. Santo
Almo melindungi para pembersih cerobong asap, sedangkan
Santo Mathew mengulurkan tangan kepada para pengumpul
pajak yang tertekan. Jika Anda menderita sakit kepala Anda
harus menyembah Santo Agathius, tetapi jika sakit gigi, maka
Santo Apollonia adalah pendengar yang jauh lebih bagus.
Santo-santo Kristen tidak semata-mata menyerupai para dewa
politeis. Sering santo-santo itu adalah dewa-dewa yang menyamar.
Misalnya, dewi utama Irlandia Celtic sebelum kedatangan Kristen
adalah Brigid. Ketika Irlandia ter-Kristen-kan, Brigid juga dibaptis.
Dia menjadi Santo Brigit, yang sampai hari ini merupakan santo
yang paling dihormati dalam Katolik Irlandia.
Pertarungan yang Baik dan yang Jahat
Politeisme melahirkan tidak hanya agama-agama monoteis,
tetapi juga agama dualistik. Agama-agama dualistik mengiringi
keberadaan dua kekuatan yang bertentangan: baik dan jahat.
Tak seperti monoteisme, dualisme meyakini bahwa kejahatan
adalah kekuatan yang independen, tidak diciptakan oleh Tuhan
yang baik, juga bukan subordinasinya. Dualisme menjelaskan
bahwa seluruh alam semesta ini merupakan ajang pertarungan
antara kedua kekuatan, dan bahwa segala yang terjadi di dunia
merupakan bagian dari pertarungan itu.
Dualisme adalah pandangan dunia yang sangat memikat
karena memiliki jawaban singkat dan sederhana atas Problem
Kejahatan yang terkenal, salah satu kecemasan fundamental
pikiran manusia. “Mengapa ada yang jahat di dunia? Mengapa
ada penderitaan? Mengapa hal-hal buruk terjadi pada orangorang baik?” Kaum monoteis harus mempraktikkan gimnastik
intelektual untuk menjelaskan mengapa Tuhan yang baik yang
tahu segalanya dan memiliki semua kekuatan membiarkan
begitu banyak penderitaan di dunia. Satu penjelasan yang
terkenal adalah bahwa itu cara Tuhan dalam memberi manusia
kebebasan berkehendak. Jika tidak ada kejahatan, manusia tidak
bisa memilih antara yang baik dan yang jahat sehingga tidak
ada kebebasan berkehendak. Namun, ini adalah jawaban nonintuitif yang langsung memunculkan banyak sekali pertanyaan
baru. Kebebasan berkehendak memungkinkan manusia memilih
yang jahat. Banyak malah yang memilih yang jahat dan, menurut
penjelasan standar monoteis, pilihan itu pasti membawa hukuman
ilahiah. Jika Tuhan tahu sebelumnya bahwa seseorang tertentu
akan menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih kejahatan,
dan bahwa hasilnya dia akan dihukum dengan penyiksaan abadi
di neraka, mengapa Tuhan menciptakan dia? Para teolog menulis
tak terhitung buku untuk menjawab pertanyaan semacam itu.
Sebagian menemukan jawaban yang meyakinkan. Sebagian tidak.
Yang tak bisa dimungkiri adalah bahwa kaum monoteis kesulitan
menangani Problem Kejahatan.
Bagi kaum dualis, hal-hal buruk terjadi pada orang baik
karena dunia tidak diatur oleh Tuhan baik sempurna yang tahu
segala hal, memiliki segala kekuatan. Ada kekuatan jahat yang
independen di dunia. Kekuatan jahat itu melakukan hal-hal buruk.
Pandangan dualis sendiri pun memiliki kekurangankekurangan. Benar, ia menawarkan sebuah solusi yang sangat
sederhana atas Problem Kejahatan. Namun, ia terkesima
oleh Problem Tatanan. Jika memang ada dua kekuatan yang
bertentangan di dunia, satu baik dan satu jahat, siapa yang
menetapkan hukum yang mengatur pertarungan antara keduanya?
Dua negara yang bermusuhan bisa saling memerangi karena
keduanya ada pada masa dan ruang, dan mematuhi hukum fisika
yang sama. Sebuah misil yang diluncurkan dari bumi Pakistan
bisa menghantam target di teritori India karena hukum fisika
yang sama berlaku di kedua negara. Ketika yang baik dan yang
jahat berkelahi, hukum bersama apa yang mereka patuhi, dan
siap yang menetapkan hukum-hukum itu?
Sebaliknya, kaum monoteis bagus dalam menjelaskan Problem
Tatanan, tetapi bukan Problem Kejahatan. Ada satu cara logis
menyelesaikan teka-teki itu: yaitu pandangan bahwa ada satu
Tuhan mahakuasa yang menciptakan seluruh alam semesta—dan
itu adalah satu Tuhan jahat. Namun, tak seorang pun dalam
sejarah sanggup mencerna keyakinan semacam itu.
Agama-agama dualistik tumbuh subur selama lebih dari 1.000
tahun. Dalam waktu sekitar 1500 SM dan 1000 SM, seorang
nabi bernama Zoroaster (Zarahustra) aktif di suatu tempat di Asia
Tengah. Kredonya diturunkan dari generasi ke generasi sampai
ia menjadi agama dualistik paling penting—Zoroastrianisme.
Kaum Zoroaster memandang dunia sebagai pertarungan kosmis
antara dewa baik Ahura Mazda dan dewa jahat Angra Mainyu.
Manusia harus membantu dewa baik dalam pertarungan ini.
Zoroastrianisme adalah satu agama penting dalam masa Imperium
Persia Achaemenid (550–330 SM) dan belakangan menjadi agama
resmi Imperium Persia Sassanid (224–651 M). Ia menyebarkan
pengaruh besar ke hampir semua agama Timur Tengah dan
Asia Tengah, dan mengilhami sejumlah agama-agama dualis lain,
seperti Gnosticisme dan Manichaenisme.
Pada abad ke-3 dan ke-4 M, kredo Manichaen menyebar
dari China ke Afrika Utara, dan dalam satu masa terlihat ia akan
mengalahkan Kristen untuk mencapai dominasi di Imperiuam
Romawi. Namun, kaum Manichean kalah dengan Kristen dalam
merebut jiwa Romawi, Imperium Sassanid Zoroaster digulung
oleh kaum monoteis Muslim, dan dualis surut. Kini hanya
segelintir komunitas dualis yang bertahan di India dan Timur
Tengah.
Bagaimanapun, munculnya gelombang monoteisme tidak
benar-benar menyapu dualisme. Monoteisme Yahudi, Kristen,
dan Islam menyerap banyak keyakinan dan praktik dualis, dan
sebagian ide-ide yang paling dasar dari apa yang kita sebut
“monoteisme”, sesungguhnya berasal dari dan bersemangat dualis.
Tak terhitung oleh orang Kristen, Muslim, dan Yahudi meyakini
kekuatan jahat yang dahsyat—seperti yang disebut Setan oleh
orang Kristen—yang bisa bertindak independen, memerangi
Tuhan baik, dan menciptakan kekacauan tanpa izin Tuhan.
Bagaimana bisa seorang monoteis mematuhi keyakinan
dualistik semacam itu (yang lagi pula, Perjanjian Lama tidak
bisa ditemukan di mana pun)? Secara logis, itu tidak mungkin.
Entah Anda percaya pada satu Tuhan tunggal yang mahakuasa
atau Anda meyakini dua kekuatan yang berlawanan, tak satu
pun yang mahakuasa. Tetap, manusia memiliki kapasitas luar
biasa untuk meyakini kontradiksi-kontradiksi. Jadi, mestinya
tidak mengejutkan bahwa jutaan orang Kristen, Muslim, dan
Yahudi yang berhasil meyakini dalam satu waktu yang sama pada
Tuhan Yang Mahakuasa dan satu Setan yang independen. Tak
terhitung orang Kristen, Muslim, dan Yahudi membayangkan
bahwa Tuhan yang baik bahkan membutuhkan bantuan kita
dalam pertarungan melawan Setan, yang mengilhami (sebagian
di antaranya) seruan jihad dan Perang Salib.
Satu konsep penting lainnya dalam pandangan dualistik,
terutama Gnostik dan Manichaenisme, adalah pembedaan
tajam antara raga dan jiwa, antara materi dan ruh. Gnostik dan
Manichaean berpendirian bahwa tuhan baik menciptakan ruh dan
jiwa, sedangkan materi dan tubuh adalah ciptakan tuhan jahat.
Manusia, menurut pandangan ini, menjadi arena pertarungan
antara jiwa yang baik dan jiwa yang jahat. Dari satu perspektif
monoteistik, itu omong kosong—mengapa membedakan begitu
tajam antara tubuh dan jiwa, atau materi dan ruh? Dan,
mengapa pula tubuh dan materi dipandang jahat? Lagi pula,
segala sesuatu dicptakan oleh Tuhan yang sama. Namun, kaum
monoteis tak bisa lari dari godaan dikotomi dualis, jelas karena
dikotomi membantu mereka mengatasi problem kejahatan. Maka,
pertentangan semacam itu pada akhirnya menjadi pilar bagi
pemikiran Kristen dan Islam. Keyakinan pada surga (alam Tuhan
yang baik) dan neraka (alam Tuhan yang jahat) juga berasal dari
dualis. Tidak ada jejak keyakinan ini dalam Perjanjian Baru, yang
juga tidak pernah mengklaim bahwa jiwa-jiwa orang terus hidup
setelah kematian raga.
Faktanya, monoteisme, sebagaimana peran yang telah
dimainkannya dalam sejarah, adalah sebuah kaleidoskop warisan
monoteis, dualis, politeis, dan animis, yang menyatu di bawah
payung ilahiah tunggal. Rata-rata orang Kristen meyakini
monoteisme Tuhan, tetapi juga Setan dualis, santo-santo politeis,
dan hantu-hantu animis. Para ahli agama memiliki nama untuk
persetujuan simultan atas ide-ide yang berbeda dan bahkan kontradiktif dan kombinasi ritual-ritual serta praktik-praktik
ini yang diambil dari berbagai sumber. Itu disebut sinkretisme.
Sinkretisme, mungkin, malah satu-satunya agama besar dunia.
Hukum Alam
Semua agama yang telah kita diskusikan sejauh ini memiliki
kesamaan, satu karakteristik penting: mereka fokus pada satu
keyakinan kepada tuhan-tuhan dan entitas-entitas supranatural
lainnya. Ini tampak jelas bagi orang-orang Barat, yang mengenal
terutama kredo-kredo monoteistik dan politeistik. Namun,
sesungguhnya sejarah agama dunia tidak bermuara pada sejarah
tuhan-tuhan. Dalam milenium ke-1 SM, agama-agama sebagai
sebuah jenis baru secara menyeluruh mulai menyebar di AfroAsia. Pendatang-pendatang baru, seperti Jainisme dan Buddhisme
di India, Daoisme dan Konfusianisme di China, dan Stoisisme,
Cyncisme, serta Epicureanisme di daratan Mediterania, dicirikan
oleh pengabaiannya pada dewa-dewa.
Kredo-kredo ini memandang bahwa tatanan manusia super
yang mengatur dunia adalah produk dari hukum alam, bukan
kehendak dan keinginan ilahiah. Sebagian dari agama-agama
hukum alam ini terus mengiringi eksistensi tuhan-tuhan, tetapi
tuhan-tuhan mereka tunduk pada hukum alam, tak ubahnya
seperti manusia, binatang, dan tumbuhan. Dewa-dewa memiliki
ceruknya sendiri dalam ekosistem, sebagaimana gajah-gajah
dan landak-landak juga memilikinya, tetapi tak bisa mengubah
hukum alam melebihi yang bisa dilakukan gajah. Satu contoh
yang sangat bagus adalah Buddhisme, agama hukum alam kuno
yang paling penting, yang tetap menjadi salah satu agama besar.
Figur sentral Buddhisme bukan dewa, melainkan manusia yaitu
Siddhartha Gautama. Menurut tradisi Buddha, Gautama adalah
pewaris kerajaan kecil Himalaya, sekitar 500 SM. Pangeran
muda itu sangat tersentuh dengan penderitaan yang dia lihat
di sekitarnya. Dia melihat pria dan wanita, anak-anak dan
orang tua, semua menderita tidak hanya oleh bencana-bencana
yang sesekali terjadi, seperti perang dan wabah, tetapi juga dari
kecemasan, frustrasi, dan kekecewaan, semua tampak menjadi
bagian tak terpisahkan dari kondisi manusia. Orang mengejar
kekayaan dan kekuasaan, mencari pengetahuan dan harta benda,
mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, dan membangun
rumah-rumah serta istana-istana. Namun, tak peduli apa pun
yang mereka capai, mereka tidak pernah puas. Mereka yang
hidup dalam kemiskinan mengimpikan kekayaan. Mereka yang
memiliki 1 juta ingin 2 juta. Mereka yang punya 2 juta ingin
10 juta. Bahkan, orang kaya dan terkenal jarang puas. Mereka
juga dihantui oleh kepedulian dan kecemasan tiada henti, sampai
sakit, usia tua, dan kematian membawa akhir pahit bagi mereka.
Segala sesuatu yang telah dikumpulkan orang lenyap seperti
asap. Hidup itu seperti perlombaan yang sia-sia. Namun, siapa
yang bisa lolos darinya?
Pada usia 29 tahun, Gautama menyelinap keluar dari
istananya pada tengah malam, meninggalkan keluarga dan
harta bendanya. Dia pergi sebagai gelandangan ke India utara,
mencari jalan untuk keluar dari penderitaan. Dia mengunjungi
ashram-ashram dan duduk bersimpuh di kaki para guru, tetapi
tidak membebaskannya secara menyeluruh—ketidakpuasan selalu
ada. Dia tidak putus asa. Dia teguh menyelidiki penderitaannya
sendiri sampai menemukan sebuah metode untuk pembebasan
sempurna. Dia menghabiskan waktu 6 tahun bermeditasi menari
esensi, sebab-sebab dan obat bagi penderitaan manusia. Akhirnya,
dia sampai pada kesadaran bahwa penderitaan bukan disebabkan
oleh nasib buruk ketidakadilan sosial, atau oleh kehendak ilahiah.
Namun, penderitaan disebabkan oleh pola-pola perilaku dalam
pikiran seseorang.
Dalam pemahaman mendalam Gautama, terlepas dari apa
pun yang dialami, pikiran biasanya beraksi dengan nafsu, nafsu
selalu melibatkan ketidakpuasan. Ketika pikiran mengalami
sesuatu yang tidak nyaman, ia bernafsu untuk menyingkirkan
ketidaknyamanan itu. Ketika pikiran mengalami sesuatu yang
menyenangkan, ia bernafsu agar kesenangan itu tetap ada dan
akan membesar. Karena itu, pikiran selalu tidak puas dan selalu
gelisah. Ini sangat jelas ketika kita mengalami hal-hal yang
tidak menyenangkan, seperti rasa sakit. Sepanjang rasa sakit itu berlanjut, kita tidak puas dan melakukan semua yang bisa
kita lakukan untuk menghindarinya. Namun, bahkan ketika kita
mengalami hal-hal yang menyenangkan kita tidak pernah puas.
Entah kita takut kesenangan itu akan hilang, atau kita berharap
itu akan membesar. Orang mengimpikan selama bertahun-tahun
menemukan cinta, tetapi jarang yang puas ketika menemukannya.
Sebagian menjadi cemas pasangannya akan pergi; yang lain
merasa bahwa tempat tinggal mereka murah, dan mestinya
mendapatkan seseorang yang lebih baik. Dan, kita semua tahu
orang yang berhasil melakukan keduanya.
Tuhan-tuhan mahabesar bisa mengirim kita hujan, institusiinstitusi sosial yang menyediakan keadilan dan perawatan
kesehatan yang baik, serta kebetulan-kebetulan menguntungkan
bisa mengubah kita menjadi miliuner, tetapi tak seorang pun
bisa mengubah pola dasar mental kita
Oleh karena itu, bahkan raja-raja paling hebat hidup
menderita, terus merasakan kesengsaraan dan penderitaan,
selamanya mengejar kesenangan demi kesenangan yang semakin
besar. Gautama menemukan bahwa ada satu cara untuk
keluar dari lingkaran setan itu. Jika mengalami sesuatu yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan, pikiran memahami
hal-hal sebagaimana adanya, maka tidak ada penderitaan. Jika
Anda mengalami kesedihan tanpa nafsu bahwa kesedihan itu
akan pergi, Anda terus merasakan kesedihan itu, tetapi Anda
tidak menderita karenanya. Sesungguhnya ada kekayaan dalam
kesedihan. Jika Anda mengalami kesenangan tanpa bernafsu agar
kesenangan itu terus ada dan membesar, Anda terus merasakan
kesenangan itu tanpa kehilangan kedamaian dalam pikiran.
Akan tetapi, bagaimana Anda bisa membawa pikiran
untuk menerima hal-hal sebagaimana adanya, tanpa bernafsu?
Untuk menerima kesedihan sebagai kesedihan, kesenangan
sebagai kesenangan, rasa sakit sebagai rasa sakit? Gautama
mengembangkan seperangkat teknik meditasi yang melatih
pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya, tanpa nafsu.
Praktik-praktik ini melatih pikiran memfokuskan semua perhatian
pada pertanyaan, “Apa yang sedang aku alami sekarang?” bukan
pada, “Apa yang sebaiknya saya alami?” Memang sulit untuk
mencapai keadaan pikiran seperti ini, tetapi bukan mustahil.
Gautama mendasarkan teknik-teknik meditasi ini pada
seperangkat aturan etik yang dimaksudkan untuk memudahkan
orang fokus pada pengalaman aktual dan menghindari jatuh
pada nafsu dan fantasi. Dia mengajari para pengikutnya untuk
menghindari pembunuhan, seks yang kacau, dan pencurian,
karena perbuatan-perbuatan semacam itu menyulut api nafsu
(pada kekuasaan, kenikmatan seksual, atau kekayaan). Ketika api
benar-benar dipadamkan, nafsu diganti oleh keadaan kepuasan
dan ketenangan sempurna, yang dikenal sebagai nirwana (yang
secara harfiah bermakna ‘pemadaman api’). Mereka yang
telah mencapai nirwana sepenuhnya terbebaskan dari semua
penderitaan. Mereka menjalani realitas dengan kejernihan
tertinggi, bebas dari fantasi dan delusi. Meskipun kehendak
mereka sangat mungkin masih menghadapi ketidaksenangan dan
rasa sakit, pengalaman-pengalaman seperti itu membuat mereka
tidak menderita. Seseorang yang tidak bernafsu tidak menderita.
Menurut tradisi Buddha, Gautama sendiri mencapai nirwana
dan benar-benar terbebaskan dari penderitaan. Oleh karena itu,
dia dikenal dengan nama “Buddha”, yang berarti ‘Orang yang
Tercerahkan’. Buddha menghabiskan sisa hidupnya menjelaskan
penemuan-penemuannya kepada orang lain agar setiap orang
bisa dibebaskan dari penderitaan. Dia mengemas ajaran-ajarannya
menjadi satu hukum tunggal: penderitaan muncul dari nafsu;
satu-satunya cara untuk benar-benar terbebas dari penderitaan
adalah dengan membebaskan sepenuhnya dari nafsu; dan satusatunya cara untuk membebaskan dari nafsu adalah melatih
pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya.
Hukum ini, yang dikenal sebagai dharma atau dhamma,
dipandang oleh umat Buddha sebagai hukum alam universal.
Bahwa “penderitaan muncul dari nafsu” adalah selalu benar dan
berlaku di mana-mana, sebagaimana fisika modern E selalu sama
dengan mc2
. Umat Buddha adalah umat yang meyakini hukum
ini dan menjadikannya fulcrum dari semua aktivitas mereka.
Meyakini dewa-dewa, di sisi lain, adalah hal yang maknanya
lebih kecil bagi mereka. Prinsip pertama agama monoteis adalah
“Tuhan ada. Apa yang Dia inginkan dari saya?” Prinsip pertama
Buddha adalah “Penderitaan ada. Bagaimana saya bisa terbebas
darinya?”
Buddhisme tidak mengingkari eksistensi dewa-dewa—mereka
digambarkan sebagai makhluk-makhluk kuat yang bisa membawa
hujan dan kemenangan—tetapi mereka tidak memiliki pengaruh
pada hukum bahwa penderitaan muncul dari nafsu. Jika pikiran
seseorang bebas dari semua nafsu, tidak ada dewa yang bisa
membuatnya menderita. Sebaliknya, begitu nafsu muncul pada
pikiran seseorang, semua dewa di alam semesta tidak bisa
menyelamatkan dia dari penderitaan.
Meskipun demikian, sebagaimana agama-agama monoteis,
agama-agama hukum alam pramodern seperti Buddhisme tidak
pernah benar-benar membebaskan diri dari pemujaan dewadewa. Buddhisme mengajarkan kepada orang-orang bahwa
mereka harus mencapai tujuan tertinggi pembebasan sepenuhnya dari penderitaan, bukan perhentian-perthentian di tengah jalan
sebagaimana kemakmuran ekonomi dan kekuasaan politik.
Meskipun demikian, 99 persen orang Buddha tidak mencapai
nirwana, dan bahkan jika mereka berharap demikian untuk masa
depan kehidupannya, mereka mencurahkan sebagian besar waktu
hidup mereka untuk memburu pencapaian-pencapaian duniawi.
Jadi, mereka terus menyembah bermacam-macam dewa, seperti
dewa-dewa Hindu di India, dewa-dewa Bon di Tibet, dan dewadewa Shinto di Jepang.
Lebih dari itu, seiring berjalannya waktu, sekte-sekte Buddha
mengembangkan jajaran-jajaran dewa Buddha dan bodhisattva.
Semua ini adalah makhluk manusia dan non-manusia dengan
kapasitas untuk mencapai pembebasan penuh dari penderitaan,
tetapi menjalani pembebasan ini dengan kasih sayang, dalam
rangka membantu makhluk yang tak terhitung jumlahnya yang
masih terperangkap dalam lingkaran penderitaan. Ketimbang
memuja dewa-dewa, banyak orang Buddha mulai menyembah
makhluk-makhluk yang tercerahkan ini, memohon kepada mereka
bantuan tidak hanya dalam mencapai nirwana, tetapi juga dalam
mengatasi problem-problem duniawi. Jadi, kita menemukan
banyak Buddha dan bodhisattva di seluruh Asia Timur yang
menghabiskan waktu mereka membawa hujan, menghentikan
wabah, dan bahkan memenangkan perang-perang berdarah—
sebagai ganti doa, bunga-bunga berwarna-warni, aroma dupa,
dan sajian-sajian beras dan permen.
Penyembahan Kepada Manusia
Masa 300 tahun terakhir ini sering digambarkan sebagai masa
tumbuhnya sekularisme, yang di dalamnya agama-agama semakin
kehilangan nilainya. Jika kita bicara tentang agama-agama teis, hal
itu umumnya benar. Namun, kalau kita memasukkan juga agamaagama hukum alam, maka modernitas ternyata merupakan sebuah
masa gairah religius yang intens, upaya-upaya misioner yang
tiada tandingannya, dan perang-perang agama paling berdarah
dalam sejarah. Abad modern menyaksikan bangkitnya sejumlah
agama-agama hukum alam baru, seperti liberalisme, komunisme,
kapitalisme, nasionalisme, dan nazisme. Kredo-kredo ini tidak
suka disebut agama, dan menganggap diri sebagai ideologi.
Namun, ini hanyalah percaturan semantik belaka. Jika sebuah
agama adalah sebuah sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia
yang bertumpu pada keyakinan terhadap suatu tatanan manusia
super, maka Komunisme Soviet tak ubahnya sebuah agama
sebagaimana Islam. Islam tentu saja berbeda dari komunisme
karena Islam memandang tatanan manusia super itu mengatur
dunia sebagai titah dari satu Tuhan pencipta yang mahakuasa,
sedangkan komunisme Soviet tidak meyakini Tuhan. Namun,
Buddhisme juga memberi perhatian sedikit pada tuhan-tuhan,
tetapi kita umumnya tetap mengklasifikasinya sebagai agama.
Sebagaimana kaum Buddhis, orang-orang komunis percaya pada
satu tatanan manusia super berupa hukum-hukum alam dan
tak bisa diubah yang harus membimbing perbuatan-perbuatan
manusia. Sementara orang-orang Buddha meyakini bahwa
hukum alam ditemukan oleh Siddhartha Gautama, orang-orang
komunis percaya bahwa hukum alam ditemukan oleh Karl Marx,
Friedrich Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin. Kemiripannya tidak
berakhir di sana. Sebagaimana agama-agama lain, komunisme
juga memiliki kitab suci dan kitab-kitab rasulnya sendiri, seperti
Das Kapital-nya Marx, yang mengajarkan bahwa sejarah akan
segera berakhir dengan kemenangan tak terelakkan kaum proletar.
Komunisme punya hari libur dan hari raya sendiri, seperti 1
Mei dan ulang tahun Revolusi Oktober. Ia punya teolog-teolog
yang mahir tentang dialektika Marxis, dan setiap unit dalam
angkatan perang Soviet memiliki pendeta yang disebut komisar,
yang memantau kesalehan para tentara dan perwira. Komunisme
juga punya martir-martir, perang-perang suci, dan klenik-klenik,
seperti Trotskyisme. Komunisme Soviet adalah agama fanatik dan
misioner. Seorang pemeluk Komunisme taat tidak bisa menjadi
Kristen atau Buddhis, dan diharapkan menyebarkan ajaran Marx
dan Lenin, bahkan dengan harga nyawanya.
Sebagian pembaca mungkin sangat tidak nyaman dengan
pemikiran ini. Jika membuat Anda merasa lebih baik, Anda
bebas saja terus menyebut Komunisme sebagai sebuah ideologi, bukan agama. Itu tak ada bedanya. Kita membagi kredo-kredo
ke dalam golongan agama-agama yang berpusat pada Tuhan dan
ideologi-ideologi yang tidak bertuhan, yang mengklaim didasarkan
pada hukum-hukum alam. Namun, dengan begitu, agar konsisten,
kita perlu memasukkan Buddha, Daois, sekte-sekte Daois, dan
Stoic juga dalam katalog ideologi, bukan agama. Sebaliknya, kita
harus melihat bahwa keyakinan pada dewa-dewa bertahan dalam
banyak ideologi modern, dan bahwa sebagian dari ideologiideologi itu, terutama liberalisme, menjadi kurang bermakna tanpa keyakinan ini. Tidak mungkin melakukan survei di sini
terhadap sejarah semua kredo modern baru, terutama karena
tidak ada batasan yang jelas di antara kredo-kredo tersebut.
Kredo-kredo itu tak urang sinkretis dibandingkan monoteisme
dan Buddhisme populer. Sebagaimana seorang Buddha memuja
dewa-dewa Hindu, dan sebagaimana seorang monoteis bisa
meyakini eksistensi Setan, begitu pula orang Amerika masa kini
secara simultan adalah nasionalis (ia memercayai eksistensi negara
Amerika dengan peran istimewa untuk dimainkan dalam sejarah),
kapitalis pasar-bebas (dia meyakini bahwa kompetisi terbuka
dan memburu kepentingan sendiri adalah cara terbaik untuk
menciptakan sebuah masyarakat yang makmur), dan seorang
humanis liberal (dia memercayai bahwa manusia dibekali oleh
pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak bisa diingkari).
Nasionalisme akan dibahas dalam Bab 18. Kapitalisme—agama
modern paling sukses—dibahas satu bab penuh, Bab 16, yang
menguraikan keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual prinsipnya.
Dalam sisa bab I saya akan membahas agama-agama humanis.
Agama-agama teis fokus pada pemujaan dewa-dewa. Agamaagama humanis memuja kemanusiaan, atau lebih tepatnya Homo
sapiens. Humanisme adalah sebuah keyakinan bahwa Homo
sapiens punya sifat unik dan sakral, yang secara fundamental
berbeda dari sifat semua binatang lain dan semua fenomena lain.
Para pengikut humanis percaya bahwa sifat unik Homo sapiens
merupakan hal yang paling penting di dunia, dan itu menentukan
makna segala hal yang terjadi di Bumi, dan menentukan makna
segala hal yang terjadi di alam semesta. Kebaikan yang tertinggi
adalah kebaikan Homo sapiens. Selebihnya di dunia ini dan semua
makhluk yang ada semata-mata untuk manfaat bagi spesies ini.
Seluruh humanis memuja kemanusiaan, tetapi mereka tidak
menyepakati definisinya. Humanisme terpecah menjadi 3 sekte
yang bersaing, yang bertengkar soal definisi pasti “kemanusiaan”,
sebagaimana sekte-sekte Kristen yang bersaing dan bertengkar
soal definisi pasti tentang Tuhan. Kini, sekte humanis yang
paling penting adalah humanisme liberal, yang meyakini bahwa
“kemanusiaan” adalah kualitas manusia-manusia individual
sehingga kebebasan individu-individu adalah sangat suci. Menurut kaum liberal, sifat sakral kemanusiaan berada dalam setiap
dan masing-masing individu Homo sapiens. Inti dari manusia
individual memberi makna kepada dunia, dan menjadi sumber
bagi seluruh otoritas etis dan politis. Jika kita menghadapi
sebuah dilema etis atau politis, kita harus melihat ke dalam dan
mendengarkan suara hati kita—suara kemanusiaan. Firman pokok
humanisme liberal dimaksudkan untuk melindungi kebebasan
suara hati itu melawan intrusi atau perusakan. Firman-firman
ini secara kolektif dikenal sebagai “hak-hak asasi manusia”.
Itulah sebabnya, misalnya, kaum liberal menolak penyiksaan
dan hukuman mati. Di Eropa era awal modern, para pembunuh
dipandang melanggar dan mendestabilkan tatanan kosmis. Untuk
membawa kembali kosmos kepada keseimbangan, diperlukan
penyiksaan dan eksekusi penjahat secara terbuka, agar setiap
orang bisa melihat tatanan ditegakkan kembali. Menghadiri
eksekusi yang mengerikan menjadi hal favorit bagi warga London
dan Paris masa lalu pada era Shakespeare dan Molière. Pada
Eropa masa kini, pembunuhan dipandang sebagai pelanggaran
atas sifat kemanusiaan yang sakral. Untuk memulihkan
tatanan itu, orang-orang Eropa masa kini tidak menyiksa dan
mengeksekusi penjahat. Mereka menghukum seorang pembunuh
dalam apa yang mereka pandang sebagai cara se-“manusiawi”
mungkin sehingga melindungi dan bahkan membangun kembali
kesucian kemanusiaannya. Dengan menghormati sifat manusia si
pembunuh, setiap orang diingatkan akan kesucian kemanusiaan
dan tatanan dipulihkan. Dengan membela pembunuh, kita
bertindak benar terhadap apa yang dilakukan secara salah oleh
pembunuh.
Sekalipun humanisme liberal menyucikan manusia, ia tidak
mengingkari eksistensi Tuhan, dan justru didasarkan pada
keyakinan-keyakinan monoteis. Keyakinan liberal pada sifat
bebas dan sakral setiap individu adalah warisan langsung dari
keyakinan tradisional Kristen pada kebebasan abadi jiwa-jiwa
setiap individu. Dengan absennya jiwa-jiwa yang abadi dan satu
Tuhan Pencipta, maka menjadi benar-benar sulit bagi kaum liberal
untuk menjelaskan mengapa Sapiens individual begitu istimewa.
Sekte penting lainnya adalah humanisme sosialis. Kaum sosialis percaya bahwa “kemanusiaan” bersifat kolektif ketimbang
individualistik. Mereka memandang yang sakral itu bukan suara
hati setiap individu, melainkan spesies Homo sapiens secara
keseluruhan. Sementara humanisme liberal mengupayakan
sebanyak mungkin kebebasan bagi manusia-manusia individual,
kaum humanis sosialis mengupayakan kesetaraan semua manusia.
Menurut kalangan sosialis, ketidaksetaraan adalah penistaan
terburuk terhadap kesucian kemanusiaan karena mengistimewakan
kualitas-kualitas periferal atas esensi universal. Misalnya, ketika
orang kaya diistimewakan atas orang miskin, itu berarti bahwa
nilai uang lebih besar dari esensi universal seluruh manusia,
yang menyetarakan orang kaya dan miskin.
Sebagaimana humanisme liberal, humanisme sosialis dibangun
pada fondasi-fondasi monoteis. Ide bahwa seluruh manusia setara
adalah versi perubahan dari keyakinan monoteis bahwa seluruh
jiwa setara di hadapan Tuhan. Satu-satunya sekte humanis yang
benar-benar lepas dari monoteisme tradisional adalah humanisme
evolusioner, dengan Nazi sebagai representasi yang paling
terkenal. Yang membedakan kaum Nazi dari sekte-sekte humanis
lainnya adalah definisi yang berbeda tentang “kemanusiaan”,
yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi. Berlawanan dengan
kaum humanis lainnya, Nazi meyakini bahwa manusia bukanlah
sesuatu yang universal dan kekal, melainkan spesies yang bisa
bermutasi yang bisa berevolusi atau mengalami penurunan
derajat. Manusia bisa berevolusi menjadi manusia super atau
turun derajatnya menjadi setengah manusia.
Ambisi utama Nazi adalah melindungi manusia dari degenerasi
dan mendorong evolusi progresif. Itulah kenapa orang-orang Nazi
mengatakan bahwa ras Arya, bentuk kemanusiaan yang paling
maju, harus dilindungi dan diperkuat, sedangkan jenis-jenis Homo
sapiens yang rendah seperti Yahudi, Roma, homoseksual, dan
sakit mental harus dikarantina, bahkan dilenyapkan. Orang-orang
Nazi menjelaskan bahwa Homo sapiens sendiri muncul ketika
satu populasi “superior” manusia kuno berevolusi, sedangkan
populasi-populasi “inferior” seperti Neanderthal punah. Populasipopulasi yang berbeda ini mula-mula tak lebih dari ras belaka,
tetapi berkembang secara independen sesuai jalur evolusi masingmasing. Ini mungkin akan terjadi lagi. Menurut kaum Nazi, Homo
sapiens sudah terbagi menjadi beberapa ras yang terpisah, yang
masing-masing memiliki kualitas unik. Salah satu dari ras-ras
ini, ras Arya, memiliki kualitas terbaik—rasionalisme, keindahan,
integritas, dan ketekunan. Oleh karena itu, ras Arya memiliki
potensi untuk mengubah manusia menjadi manusia super. Ras-ras
lain, seperti Yahudi dan kulit hitam, adalah Neanderthal masa
kini, yang memiliki kualitas rendah. Jika dibiarkan berbiak, dan
terutama melalui perkawinan silang dengan Arya, mereka akan
merusak seluruh populasi manusia dan menyebabkan punahnya
Homo sapiens.
Para ahli biologi sudah mematahkan teori ras Nazi. Terutama,
riset genetik yang dilakukan setelah 1945 menunjukkan bahwa
perbedaan-perbedaan antara berbagai garis keturunan manusia
jauh lebih kecil ketimbang yang dipostulat** oleh Nazi. Namun,
konklusi-konklusi ini relatif baru. Jika ditengok keadaan
pengetahuan saintifik pada 1933, keyakinan-keyakinan Nazi
sebetulnya nyaris tidak berada dari lingkaran itu. Eksistensi
ras-ras manusia yang berbeda, superioritas ras kulit putih, dan
perlunya melindungi dan memelihara ras superior dipegang teguh
oleh kaum elite Barat. Para sarjana di sebagian besar universitas
paling prestisius di Barat, dengan menggunakan metode-metode
saintifik ortodoks masa ini, menerbitkan studi-studi yang diduga
membuktikan bahwa ras kulit putih lebih pintar, lebih etis, dan
lebih terampil ketimbang orang Afrika atau India. Para politisi
di Washington, London, dan Canberra menerimanya sebagai
kebenaran bahwa tugas merekalah mencegah pengaruh dan
penurunan derajat ras kulit putih dengan, misalnya, membatasi
imigrasi dari China atau bahkan dari Italia ke negara-negara
“Arya” seperti Amerika Serikat dan Australia.
Pandangan-pandangan ini tidak berubah begitu saja karena
riset saintifik baru diterbitkan. Perkembangan-perkembangan
sosiologis dan politis adalah mesin-mesin perubahan yang jauh
lebih kuat. Dalam pengertian ini, Hitler menggali tidak hanya
kuburannya sendiri, tetapi kuburan rasisme secara umum. Ketika
melancarkan Perang Dunia II, dia memaksa musuh-musuhnya
untuk membuat pembedaan yang tegas antara “kita” dan
“mereka”. Setelah itu, jelas karena ideologi Nazi begitu rasis,
dan rasisme menjadi terdiskreditkan di Barat. Namun, perubahan
butuh waktu. Supremasi kulit putih tetap menjadi ideologi arus
utama dalam politik Amerika, bahkan sampai era 1960-an.
Politik Australia Putih tetap berlaku sampai 1973. Orang-orang
Australia etnis Aborigin tidak mendapatkan hak-hak politik yang
setara sampai 1960-an, dan sebagian besar tidak diberi hak pilih
dalam pemilihan umum karena mereka diputuskan tidak cocok
untuk berfungsi sebagai warga negara.Nazi tidak membenci kemanusiaan. Mereka memerangi
humanisme liberal, hak-hak asasi manusia, dan Komunisme benarbenar karena mereka mengagumi kemanusiaan dan meyakini
potensi besar spesies manusia. Namun, dengan mengikuti logika
evolusi Darwin, mereka berpendapat bahwa seleksi alam harus
dibiarkan menyingkirkan individu-individu yang tidak layak
dan menyisakan hanya yang paling layak untuk bertahan dan
bereproduksi. Dengan membantu yang lemah, liberalisme dan
Komunisme tidak hanya membiarkan individu-individu yang
tidak layak untuk bertahan, mereka sesungguhnya memberi
kesempatan untuk bereproduksi sehingga melemahkan seleksi
alam. Dalam dunia semacam itu, manusia-manusia yang paling
layak tak terelakkan akan tenggelam dalam laut spesies rendah
yang tidak layak. Manusia akan menjadi semakin tidak layak
dan semakin tidak layak seiring pergantian generasi—yang bisa
mengarah pada kepunahannya.
Sebuah buku pelajaran biologi Jerman pada 1942 menjelaskan
dalam bab “Hukum Alam dan Manusia” bahwa hukum alam
tertinggi adalah bahwa seluruh makhluk terkunci dalam
pertarungan survival yang terpencil. Setelah menggambarkan
bagaimana tumbuhan berjuang untuk teritori, bagaimana kumbang
berjuang untuk mencari pasangan dan seterusnya, buku pelajaran
itu menyimpulkan bahwa:
Pertarungan untuk eksistensi memang sulit dan tiada ampun,
tetapi itulah satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan.
Pertarungan mengeliminasi segala sesuatu yang tidak layak untuk
hidup, dan menyeleksi segala hal yang mampu bertahan hidup
.... Hukum alam ini tidak bisa dibantah; makhluk-makhluk hidup
menunjukkannya dengan survival mereka. Mereka memang tiada
kenal ampun.
Mereka yang melawannya akan tersingkir. Biologi tidak
hanya mengajarkan kepada kita tentang binatang dan tumbuhan, tetapi juga menunjukkan kepada kita hukum itu harus diikuti
dalam kehidupan kita, dan menguatkan kehendak kita untuk
hidup dan berjuang menurut hukum ini. Makna dari kehidupan
adalah perjuangan. Celakalah ia yang berdosa melawan hukum
ini.
Lalu, muncul kutipan dari Mein Kampf: “Orang yang
berusaha memerangi hukum besi alam dengan demikian
memerangi prinsip-prinsip yang harus dia syukuri untuk
kehidupannya sebagai manusia. Memerangi alam adalah mendatangkan kerusakan dia sendiri”.3
Pada awal milenium ke-3, masa depan humanisme evolusioner
tidak jelas. Selama 60 tahun setelah akhir perang melawan
Hitler, pantang menghubungkan humanisme dengan evolusi
dan mendukung penggunaan metode-metode biologi untuk
“menaikkan darajat” Homo sapiens. Namun, kini proyek-proyek
semacam itu kembali samar-samar. Tak ada orang yang berbicara
tentang pelenyapan ras rendah atau inferior, tetapi banyak
yang berkontemplasi menggunakan pengetahuan kita yang terus
bertambah tentang biologi manusia untuk menciptakan manusiamanusia super.
Pada saat yang sama, satu teluk besar terbuka antara pendirian
humanisme liberal dan temuan-temuan mutakhir sains kehidupan,
sebuah teluk yang tidak bisa lagi kita abaikan. Sistem politik
dan yudisial liberal kita didasarkan pada keyakinan bahwa setiap
individu memiliki sifat internal yang sakral, tak terpisahkan dan
tak bisa diubah, yang memberi makna bagi dunia, dan itulah
sumber segala otoritas etis dan politis. Ini adalah reinkarnasi
dari keyakinan Kristen tradisional pada jiwa yang bebas dan
kekal yang berada pada setiap individu. Meskipun demikain
dalam 200 tahun terakhir, sains kehidupan telah melemahkan
sepenuhnya keyakinan ini. Para ilmuwan yang mempelajari cara
kerja internal organisme manusia menemukan tidak ada jiwa di
sana. Mereka mengemukakan bahwa perilaku manusia ditentukan
oleh hormon-hormon, gen-gen, dan synaps-synaps, bukan oleh
kehendak bebas—kekuatan yang sama yang menentukan perilaku
simpanse, rubah, dan semut. Sistem yudisial dan politis kita
umumnya berusaha menyapu penemuan-penemuan semacam itu di bawah karpet. Namun, sejujurnya, berapa lama kita bisa
mempertahankan tembok pemisah departemen biologi dari
departemen-departemen hukum dan ilmu politik?
Perdagangan, imperium-imperium, dan agama-agama universal
akhirnya benar-benar membawa setiap Sapiens memasuki dunia
global yang kita tinggali kini. Bukan berarti proses ekspansi
dan unifikasi ini linear atau tanpa interupsi. Namun, dengan
melihat gambar yang lebih luas, transisi untuk banyak kultur
kecil menuju sedikit kultur besar dan akhirnya menjadi sebuah
masyarakat global tunggal mungkin merupakan sebuah hasil tak
terelakkan dari dinamika sejarah manusia.
Akan tetapi, mengatakan bahwa sebuah masyarakat global
tak terelakkan tidak sama dengan mengatakan bahwa hasil
akhirnya harus berupa jenis tertentu dari masyarakat global
yang kita miliki sekarang. Kita bisa membayangkan tentu saja
hasil-hasil lainnya. Mengapa bahasa Inggris begitu meluas saat
ini, dan bukan bahasa Denmark? Mengapa ada sekitar 2 miliar
orang Kristen dan 1,25 miliar orang Muslim, tetapi hanya
150.000 Zoroaster dan tidak ada satu pun Manichea? Jika kita
bisa kembali ke masa 10.000 tahun lalu dan menyusun ulang
prosesnya, dari waktu ke waktu, akankah kita selalu melihat
munculnya monoteisme dan surutnya dualisme?
Kita tidak bisa melakukan eksperimen semacam itu sehingga
kita benar-benar tidak tahu. Namun, sebuah pengujian atas dua
karakteristik krusial sejarah bisa memberi kita beberapa petunjuk.
1. Kekeliruan Memandang ke Belakang
Setiap poin dalam sejarah adalah persimpangan jalan. Satu jalan
tunggal beranjak dari masa lalu ke masa kini, tetapi banyak sekali
jalur-jalur bercabang menuju masa depan. Sebagian dari jalur itu
lebih luas, lebih mulus, dan lebih jelas tandanya sehingga lebih
mungkin untuk ditempuh, tetapi terkadang sejarah—atau orangorang yang membuat sejarah—mengambil belokan tak terduga.
Pada permulaan awal abad ke-4 M, Imperium Romawi
menghadapi satu horizon luas kemungkinan-kemungkinan
religius. Mestinya ia bisa tetap saja pada politeisme tradisionalnya
yang beraneka ragam. Namun, sang kaisar, Constantine, dengan
memandang ke belakang pada satu era kekacauan perang saudara,
tampaknya berpikir bahwa satu agama tunggal dengan doktrin
yang jelas bisa membantu menyatukan dunianya yang secara etnis
beragam. Dia mestinya bisa memilih yang mana pun di antara
kultus-kultus kontemporer yang banyak jumlahnya untuk menjadi
agama nasional—Manichaesisme, Mithraisme, kultus Isis, atau
Cybele, Zoroaster, Judaisme, dan bahkan Buddhisme semuanya
adalah opsi-opsi yang tersedia. Mengapa dia memilih Yesus?
Apakah ada sesuatu dalam teologi Kristen yang memikatnya
secara personal atau mungkin satu aspek agama yang menjadikan
ia berpikir itu akan lebih mudah digunakan untuk tujuantujuannya? Apakah dia memiliki sebuah pengalaman religius,
atau apakah sebagian dari para penasihatnya memberi masukan
bahwa orang-orang Kristen cepat mendapat pengikut dan akan
lebih mudah melompat ke dalam kendaraan itu? Para sejarawan
bisa saja berspekulasi, tetapi tidak akan dapat memberikan
jawaban definitif. Mereka bisa menggambarkan bagaimana
Kristen mengambil alih Imperium Romawi, tetapi mereka tidak
bisa menjelaskan mengapa kemungkinan yang sangat khusus ini
terwujud. Apa perbedaan antara menggambarkan “bagaimana”
dan menjelaskan “mengapa”? Menggambarkan “bagaimana”
berarti merekonstruksi serangkaian peristiwa spesifik yang
bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Menjelaskan “mengapa”
berarti menemukan koneksi-koneksi kausal yang berarti bagi
kejadian dari serangkaian peristiwa-peristiwa tertentu dengan
pengabaian yang lain.
Sebagian ahli benar-benar memberikan penjelasan deterministik
tentang peristiwa-peristiwa semacam munculnya Kristen. Mereka
berupaya untuk mereduksi sejarah manusia menjadi ulah
kekuatan-kekuatan biologis, ekologis, atau ekonomis. Mereka
memandang bahwa ada sesuatu tentang geografi, genetika, atau
ekonomi dari Mediterania Romawi yang menjadikan kemunculan
agama monoteis tak terelakkan. Namun, sebagian besar sejarawan
cenderung skeptis terhadap teori-teori deterministik semacam itu.
Ini adalah salah satu tanda pembeda dari sejarah sebagai sebuah
disiplin akademis—semakin baik Anda tahu suatu periode historis
tertentu, semakin sulit untuk menjelaskan mengapa sesuatu
terjadi dengan satu atau lain cara. Mereka yang hanya memiliki
pengetahuan superfisial tentang periode tertentu cenderung fokus
hanya pada kemungkinan bahwa hal itu pada akhirnya terwujud.
Mereka hanya menawarkan pokoknya-ceritanya-begitu untuk
menjelaskan dengan melihat ke belakang mengapa hasil itu tak
terelakkan. Mereka yang memiliki informasi mendalam tentang
periode tersebut akan jauh lebih paham tentang jalan-jalan yang
tidak ditempuh.
Faktanya, orang-orang yang paling tahu periode itu—
mereka yang hidup pada masa itu—adalah orang yang paling
tidak memahami. Bagi rata-rata orang Romawi pada masa
Constantine, masa depan adalah sebuah kabut. Ada hukum besi
sejarah bahwa apa yang tampak tak terelakkan dalam melihat ke
belakang justru jauh lebih kurang jelas pada masa itu. Masa kini
pun tak berbeda. Apakah kita akan keluar dari krisis ekonomi
global, atau sesuatu yang terburuk masih akan terjadi? Akankah
China terus tumbuh sampai menjadi adidaya terkuat? Akankah
Amerika Serikat kehilangan hegemoninya? Apakah menyeruaknya
fundamentalisme monoteistik merupakan gelombang masa depan
atau sebuah pusaran lokal dari signifikansi kecil dalam jangka
panjang? Apakah kita akan menuju bencana ekologis atau surga
teknologis? Ada argumentasi-argumentasi bagus yang bisa dibuat
untuk semua hasil-hasil ini, tetapi tidak satu pun yang bisa tahu
dengan yakin. Dalam beberapa dekade ke depan, orang akan
melihat ke belakang dan berpikir bahwa jawaban-jawaban pada
semua pertanyaan-pertanyaan itu jelas.
Sangat penting untuk ditekankan bahwa kemungkinankemungkinan yang tampak sangat tidak mungkin bagi orang
yang sezaman justru terwujud. Ketika Constantine naik takhta
pada tahun 306, Kristen hanya sedikit lebih besar dari sebuah
sekte Timur esoteris. Jika Anda saat itu mengemukakan
bahwa ia segera menjadi agama negara Romawi, Anda akan
ditertawakan sebagaimana bila Anda mengatakan hari ini jika
Anda mengemukakan bahwa pada tahun 2050 Hare Krishna
akan menjadi agama negara di Amerika Serikat. Pada Oktober
1913, kaum Bolshevik adalah sebuah faksi radikal kecil Rusia. Tak
ada orang dengan pikiran yang sehat meramalkan bahwa hanya
dalam waktu 4 tahun mereka mengambil alih negara. Pada 600
M, pendapat bahwa satu kawanan Arab udik gurun akan segera
menaklukkan satu wilayah luas yang terbentang dari Samudra
Atlantik sampai ke India akan terasa lebih mustahil lagi. Sungguh,
kalau saja angkatan perang Byzantium mampu menghalau
serangan awal itu, Islam mungkin akan tetap sebuah kultus samar
dengan hanya segelintir ahli yang mengetahuinya. Maka, para
ahli akan mudah sekali menjelaskan mengapa sebuah agama yang
didasarkan pada wahyu kepada seorang pedagang paruh baya
tidak pernah bisa berkembang. Bukan untuk mengatakan bahwa
segala sesuatu mungkin terjadi. Kekuatan geografis, biologis,
dan ekonomis menciptakan hambatan-hambatan. Namun,
hambatan-hambatan ini meninggalkan ruang yang longgar bagi
perkembangan-perkembangan yang mengejutkan, yang tampak
tidak terikat oleh hukum-hukum deterministik.
Kesimpulan ini mengecewakan banyak orang, yang lebih
menyukai sejarah bersifat deterministik. Determinisme memang
menarik karena menunjukkan bahwa dunia kita dan keyakinankeyakinan kita adalah produk natural dan tak terelakkan dari
sejarah. Adalah sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan kita
hidup dalam negara-negara bangsa, mengorganisasi ekonomi
dengan prinsip-prinsip kapitalis, dan meyakini dengan penuh
semangat hak-hak asasi manusia. Mengakui bahwa sejarah
tidak deterministik adalah mengakui bahwa hanya kebetulan
belaka bahwa sebagian besar orang kini meyakini nasionalisme,
kapitalisme, dan hak-hak asasi manusia.
Sejarah tidak bisa dijelaskan secara deterministik dan tidak
bisa diprediksi karena bersifat kaotis*
. Begitu banyak kekuatan
yang bekerja dan interaksi-interaksi mereka begitu rumit sehingga
variasi-variasi yang sangat kecil secara ekstrem dalam dahsyatnya
kekuatan besar dan cara interaksinya pun bisa menghasilkan
perbedaan-perbedaan besar. Lebih dari itu, sejarah adalah apa
yang disebut sebagai sistem kaotik “level dua”. Sistem kaotik
memiliki dua bentuk. Kekacauan level satu adalah kekacauan
yang tidak beraksi pada prediksi-prediksi tentangnya. Cuaca,
misalnya, adalah sistem kaotik level satu. Meskipun ia dipengaruhi
oleh banyak sekali faktor, kita bisa membangun model-model
komputer yang bisa memasukkan semakin banyak pertimbangan,
dan menghasilkan prakiraan-prakiraan cuaca yang jauh lebih baik.
Kekacauan level dua adalah kekacauan yang bereaksi pada
prediksi tentangnya, dan karena itu tidak pernah bisa diprediksi
secara akurat. Pasar, misalnya, adalah sistem kaotik level dua.
Apa yang akan terjadi jika kita mengembangkan sebuah program
komputer yang meramalkan dengan akurasi 100 persen harga
minya besok? Harga minyak akan segera bereaksi pada ramalan
itu, yang akibatnya harga itu pun tidak terwujud. Jika harga
minyak saat ini $90 per barel, dan program komputer sempurna
memprediksi besok harganya menjadi $100, para pedagang
bergegas membeli minyak sehingga mereka bisa mendapatkan
untung dari naiknya harga yang diprediksi itu. Akibatnya, harga
langsung melonjak ke $100 per barel hari ini, bukan besok.
Lalu, apa yang terjadi besok? Tak seorang pun tahu.
Politik juga sistem kaotik level dua. Banyak orang mengkritisi
Sovietologis karena gagal meramalkan revolusi-revolusi 1989,
menghukum para pakar Timur Tengah karena tidak mengantisipasi
revolusi-revolusi Arab Springs pada 2011. Ini tidak adil. Revolusirevolusi, per definisi, adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi.
Sebuah revolusi yang bisa diprediksi tidak pernah meletus.
Mengapa tidak? Bayangkan misalnya sekarang tahun 2010
dan sejumlah ilmuwan politik genius yang bersekongkol dengan
seorang ahli komputer mengembangkan suatu algoritma canggih
yang, setelah dihubungkan dengan antarmuka atraktif, bisa
dipasarkan sebagai peramal revolusi. Mereka menawarkan layanan
kepada Presiden Mesir Hosni Mubarak dan, sebagai imbalan
atas tanda jadi dengan nilai istimewa, memberi tahu Mubarak
bahwa menurut ramalan mereka sebuah revolusi akan benar-benar
meletus di Mesir pada tahun depan. Bagaimana reaksi Mubarak?
Sangat mungkin, dia segera menurunkan pajak, mendistribusikan
miliaran dolar untuk dibagi-bagi kepada warga negara—dan juga
menggenjot kewaspadaan pasukan polisi rahasia, untuk berjagajaga. Langkah-langkah preventif itu berhasil. Tahun berganti dan,
mengejutkan, revolusi tidak terjadi. Mubarak meminta uangnya
kembali. “Algoritma Anda tidak berguna!” teriaknya kepada para
ilmuwan. “Saya mestinya bisa membangun istana lagi, bukan
membuang uang percuma!” “Namun, penyebab revolusi itu
tidak terjadi adalah karena kami memprediksinya,” kata para
ilmuwan memberi alasan untuk membela diri. “Nabi-nabi yang
bisa meramalkan kejadian yang tidak terjadi?” kata Mubarak
seraya memberi isyarat kepada para pengawal untuk meringkus
para ilmuwan. “Saya mestinya menciduk selusin orang yang
nyaris tidak berarti apa-apa bagi pasar Kairo.”
Jadi, mengapa belajar sejarah? Tak seperti fisika dan ekonomi,
sejarah bukanlah alat untuk membuat prediksi akurat. Kita
mempelajari sejarah bukan untuk mengetahui masa depan, tetapi
untuk memperluas cakrawala, untuk memahami bahwa situasi
kita saat ini bukanlah alamiah atau tak terelakkan, dan bahwa
kita dengan demikian memiliki lebih banyak kemungkinan di
depan untuk kita bayangkan. Misalnya, mempelajari bagaimana
bangsa Eropa mendominasi Afrika memungkinkan kita menyadari
bahwa tidak ada yang natural atau tak terelakkan tentang hierarki
rasial, dan bahwa dunia mungkin diatur secara berbeda.
2. Renungan Buta
Kita tidak bisa menjelaskan pilihan-pilihan yang dibuat
sejarah, tetapi kita bisa mengatakan sesuatu yang sangat penting
tentang semua itu: pilihan-pilihan sejarah tidak dibuat untuk
manfaat bagi manusia. Jelas sekali tidak ada bukti bahwa makhluk
manusia sudah pasti membaik seiring bergulirnya sejarah. Tidak
ada bukti bahwa kultur-kultur yang membawa manfaat bagi
manusia pasti dengan sendirinya berhasil dan menyebar, sementara
kultur-kultur yang kurang membawa manfaat menjadi lenyap.
Tidak ada bukti bahwa Kristen adalah pilihan yang lebih baik
ketimbang Manichaeisme, atau bahwa Imperium Arab lebih
bermanfaat ketimbang Persia Sassanid.
Tidak ada bukti bahwa sejarah bekerja untuk membawa
manfaat bagi manusia, karena kita tidak punya skala objektif
untuk mengukur manfaat semacam itu. Kultur-kultur yang
berbeda mendefinisikan kebaikan secara berbeda pula, dan kita
tidak punya penggaris objektif yang dengannya kita bisa menilai.
Para pemenang, tentu saja, meyakini bahwa definisi merekalah
yang benar. Namun, mengapa kita harus memercayai pemenang?
Orang Kristen memercayai bahwa kemenangan Kristianitas atas
Manichaeisme membawa manfaat bagi manusia, tetapi jika kita
tidak menerima pandangan dunia Kristen maka tidak ada alasan
untuk sependapat dengannya. Orang Islam meyakini bahwa
jatuhnya Imperium Sassanid di tangan Muslim membawa manfaat
bagi manusia. Namun, manfaat-manfaat ini hanya terbukti jika
kita menerima pandangan dunia Muslim. Bisa saja kita lebih
suka kalau Kristen dan Islam dilupakan atau dikalahkan.
Semakin banyak ahli memandang kultur sebagai jenis infeksi
atau parasit mental, dan manusialah yang tanpa sadar menjadi
pembawanya. Parasit-parasit organik, seperti virus, hidup dalam
tubuh pembawanya. Parasit-parasit itu berbiak dan menyebar dari
satu pembawa ke pembawa lain, menggerogoti pembawanya,
melemahkan mereka, dan terkadang bahkan membunuhnya.
Sepanjang si pembawa hidup cukup lama untuk meneruskan
parasit, maka parasit tidak terlalu peduli dengan kondisi si
pembawa. Dengan cara seperti inilah, ide-ide kultural hidup
dalam pikiran manusia. Ide-ide itu berbiak dan menyebar dari
pembawa ke pembawa lainnya, terkadang melemahkan para
pembawanya, dan kadang-kadang bahkan membunuh mereka.
Sebuah ide kultural—seperti keyakinan pada surga Kristen di
atas awan atau surga Komunis di Bumi—bisa menggugah seorang
manusia untuk mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan
ide itu, bahkan dengan harga kematian. Manusia mati, tetapi
idenya menyebar. Menurut pendekatan ini, kultur-kultur bukanlah
konspirasi yang diciptakan oleh orang-orang tertenu dalam
rangka mengambil keuntungan dari orang lain (sebagaimana
kecenderungan berpikir kaum Marxis). Namun, kultur adalah
parasit mental yang muncul secara kebetulan, dan setelah itu
mengambil manfaat dari semua orang yang terinfeksi.
Pendekatan ini terkadang disebut memetika. Diasumsikan
bahwa, sebagaimana evolusi organik didasarkan pada replikasi
unit-unit informasi organik yang disebut “gen”, demikian pula
evolusi kultural didasarkan pada replikasi unit-unit informasi
kultural yang disebut “meme”.1
Kultur-kultur yang sukses adalah
kultur yang hebat dalam mereproduksi meme-meme mereka,
terlepas dari biaya dan manfaatnya bagi manusia si pembawa.
Sebagian ahli dalam bidang kemanusiaan mencela memetika,
memandangnya sebagai upaya amatir untuk menjelaskan prosesproses kultural dengan analogi-analogi biologis yang kasar.
Namun, banyak di antara para ahli itu patuh pada saudara
kembar perempuan memetika: posmodernisme. Para pemikir
postmodernis berbicara tentang diskursus, bukan meme-meme
sebagai batu bata bangunan kultur. Meskipun demikian,
mereka memandang kultur menyebarkan diri tanpa banyak
berurusan dengan manfaat bagi manusia. Misalnya, para pemikir
posmodernisme menggambarkan nasionalisme adalah wabah
mematikan yang menyebar ke seluruh dunia pada abad ke-19
dan ke-20, menyebabkan peran, penindasan, kebencian, dan
genosida. Momen ketika rakyat di satu negara terinfeksi olehnya,
negara-negara tetangga juga berkemungkinan terjangkiti virus itu.
Virus nasionalis menampilkan diri sebagai hal yang membawa
manfaat bagi manusia, tetapi sesungguhnya bermanfaat terutama
untuk dirinya.
Argumentasi-argumentasi serupa lazim dalam ilmu-ilmu sosial,
di bawah payung teori permainan. Teori permainan menjelaskan
bagaimana dalam sistem-sistem dengan banyak pemain,
pandangan-pandangan dan pola-pola perilaku yang merugikan
semua pemain tentu berhasil mengakar dan menyebar. Perlombaan
senjata adalah contoh yang terkenal. Banyak perlombaan senjata
membangkrutkan semua yang terlibat di dalamnya, tanpa benarbenar mengubah perimbangan kekuatan militer. Ketika Pakistan
membeli pesawat-pesawat canggih, India merespons dengan hal yang sama. Ketika India mengembangkan bom nuklir, Pakistan
mengikutinya. Ketika Pakistan memperbesar angkatan lautnya,
India pun menandingi. Pada akhir proses, perimbangan kekuatan
bisa tetap sebagaimana adanya, tetapi sementara itu miliaran dolar
yang semestinya bisa diinvestasikan di pendidikan atau kesehatan
dibelanjakan untuk senjata. Namun, dinamika perlombaan senjata
sulit dilawan. “Perlombaan senjata” adalah sebuah pola perilaku
yang menyebarkan diri seperti sebuah virus dari satu negara
ke negara lainnya, merugikan setiap orang, tetapi mengambil
manfaat untuk dirinya, di bawah kriteria evolusioner survival
dan reproduksi. (Ingat bahwa persaingan senjata, seperti sebuah
gen, tidak memiliki kesadaran—ia tidak berusaha secara sadar
untuk bertahan dan bereproduksi. Penyebarannya adalah hasil
tak sengaja dari suatu dinamika yang kuat.)
Terserah mau sebut apa—teori permainan, posmodernisme
atau memetika—dinamika sejarah tidak diarahkan menuju
penguatan kesejahteraan manusia. Tidak ada dasar untuk berpikir
bahwa kultur-kultur yang paling sukses dalam sejarah dengan
sendirinya kultur terbaik bagi Homo sapiens. Sebagaimana
evolusi, sejarah tidak peduli dengan kebahagiaan individual
organisme. Dan, manusia-manusia individual pun biasanya terlalu
bodoh dan terlalu lemah untuk memengaruhi alur sejarah agar
menguntungkan baginya.
Sejarah berjalan dari satu persimpangan ke persimpangan
berikutnya, memilih alasan misterius tertentu untuk mengikuti
jalur ini terlebih dulu kemudian jalur lainnya. Sekitar tahun 1500
M, sejarah membuat pilihan yang paling penting, mengubah
tidak hanya nasib manusia, tetapi juga tak terbantahkan nasib
seluruh kehidupan di muka Bumi. Kita menyebutnya Revolusi
Saintifik. Ia dimulai di Eropa barat, satu semenanjung besar
di ujung barat Afro Asia, yang hingga saat itu tidak memiliki
peran penting dalam sejarah. Mengapa Revolusi Saintifik mulai
di sana, bukan di tempat lain, dan tidak di China atau India?
Mengapa ia dimulai pada pertengahan milenium ke-2 M, bukan
2 abad sebelumnya atau 3 abad sesudahnya? Kita tidak tahu.
Para sarjana telah mengajukan puluhan teori, tetapi tak satu pun
di antaranya benar-benar meyakinkan.
Sejarah memiliki horizon kemungkinan-kemungkinan yang
sangat luas, dan banyak kembungkinan tidak pernah terwujud.
Pantas untuk membayangkan sejarah berjalan generasi demi
generasi sambil melengkapi Revolusi Sainifik, sebagaimana pantas
pula membayangkan sejarah tanpa Kristianitas, tanpa Imperium
Romawi, dan tanpa koin-koin emas.
Katakanlah seorang petani Spanyol tertidur pada tahun 1000
M dan bangun 500 tahun kemudian, di tengah kegaduhan para
pelaut Columbus yang menumpang Niña, Pinta, dan Santa Maria,
tentu dunia tampak olehnya sangat tidak asing. Sekalipun banyak
perubahan dalam teknologi, tata cara dan batas-batas politis, Rip
Van Winkle dari abad pertengahan ini tentu merasa seakan di
rumah. Namun, seandainya salah satu pelaut Columbus terlelap
dalam tidur yang sama dan terbangun oleh nada dering iPhone,
dia tentu akan merasakan dunia aneh yang tak terjangkau
pemahamannya. “Apakah ini surga?” mungkin dia akan bertanya
kepada dirinya sendiri. “Atau mungkin neraka?”
Dalam 500 tahun terakhir terjadi pertumbuhan fenomenal
dan tak ada presedennya berkenaan dengan kekuatan manusia.
Pada 1500, ada sekitar 500 juta Homo sapiens di seluruh dunia.
Kini, ada 7 miliar.1
Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan
manusia pada 1500 M diperkirakan $250 miliar, dalam nilai
dolar saat ini.2
Pada masa sekarang, nilai satu tahun produksi
oleh manusia mendekati $60 triliun.3
Pada 1500 M, manusia
mengonsumsi sekitar 13 triliun kalori energi per hari. Kini, kita
mengonsumsi 1.500 triliun kalori per hari.4
(Coba perhatikan
sekali lagi angka-angka tersebut—populasi manusia bertambah
4 kali lipat, produksi 240 kali lipat, dan konsumsi energi 115
kali lipat.)
Bayangkan satu kapal perang modern tunggal membawa
muatan kembali ke masa Columbus. Hanya dalam hitungan
detik kapal itu bisa membuat serpihan kayu terapung dari Niña,
Pinta, dan Santa Maria, kemudian menenggelamkan angkatan
laut dari setiap kekuatan besar dunia masa itu tanpa tergores
sedikit pun. Lima pesawat tempur modern tentu bisa mengangkut seluruh kargo yang dimuat oleh semua armada perdagangan
dunia.5
Sebuah komputer modern tentu bisa dengan mudah
menyimpan setiap kata dan angka dalam buku dan gulungan
naskah-naskah kuno di setiap perpustakaan abad pertengahan
tanpa menghabiskan ruang. Setiap bank besar masa kini bisa
menyimpan uang lebih banyak dari uang total semua uang milik
raja-raja pramodern.6
Pada 1500 M, tak banyak kota yang memiliki penduduk di
atas 100.000. Sebagian besar bangunan dibangun dengan lumpur,
kayu, dan jerami; sebuah bangunan tiga lantai adalah pencakar
langit. Jalan-jalan adalah jalur-jalur tanah dengan bekas-bekas
lindasan roda, yang berdebu pada musim panas dan becek
pada musim dingin, disesaki pejalan kaki, kuda-kuda, kambingkambing, ayam-ayam, dan beberapa pedati. Kegaduhan urban
yang paling umum adalah suara manusia dan hewan, dengan
sesekali dentuman palu dan gesekan gergaji. Ketika Matahari
terbenam, langit kota menghitam, hanya titik-titik lilin atau
obor yang bekerjap dalam remang. Jika seorang penghuni kota
seperti itu bisa melihat toko modern, New York atau Mumbai,
apa yang akan dipikirkannya?
Menjelang abad ke-16, tidak ada manusia yang berlayar
mengelilingi Bumi. Ini berubah pada 1522 M, ketika kapalkapal Magellan kembali ke Spanyol setelah perjalanan 72.000
kilometer. Butuh waktu 3 tahun dan nyawa hampir seluruh
anggota ekspedisi, termasuk Magellan. Pada 1873 M, Jules Verne
bisa membayangkan bahwa Phileas Fogg, seorang petualang kaya
asal Inggris, mungkin mampu mengelilingi dunia dalam 8 hari.
Kini siapa pun dengan pendapatan kelas menengah bisa dengan
aman dan dengan mudah mengelilingi Bumi hanya dalam 48 jam.
Pada 1500 M, manusia terkurung di atas permukaan Bumi.
Mereka bisa membangun menara-menara dan memanjat gununggunung, tetapi langit dikhususkan bagi burung, malaikat, dan
dewa-dewa. Pada 20 Juli 1969 manusia mendarat di Bulan.
Ini bukan semata-mata pencapaian historis, melainkan sebuah
keunggulan evolusioner, bahkan kosmis. Dalam evolusi 4
miliar tahun sebelumnya, tidak ada organisme yang berhasil
meninggalkan atmosfer Bumi, dan pasti tidak satu pun yang
meninggalkan jejak kaki atau tentakel di Bulan.
Selama sebagian besar masa sejarah, manusia tak tahu
apa-apa tentang 99,99 persen organisme di planet—yakni
mikroorganisme. Ini bukan karena mikroorganisme itu tidak
penting bagi kita. Setiap kita membawa miliaran makhluk bersel
tunggal dalam diri kita, dan bukan hanya penumpang gratisan.
Mereka adalah sahabat-sahabat baik kita, sekaligus musuh-musuh
paling mematikan. Sebagian dari mereka memakan makanan
kita dan membersihkan usus-usus kita, sedangkan yang lain
menyebabkan sakit dan epidemi. Namun, baru pada 1674 M
mata manusia untuk kali pertama melihat mikroorganisme,
ketika Anton van Leeuwenhoek mengintip melalui mikroskop
buatan sendiri dan terkesima melihat sebuah dunia lengkap berisi
makhluk-makhluk mungil bergerak-gerak dalam setetes air. Dalam
kurun 300 tahun kemudian, manusia sudah bisa berkenalan
dengan banyak sekali spesies mikroskopis. Kita telah berhasil
mengalahkan sebagian besar penyakit menular paling mematikan,
dan telah menanfaatkan mikroorganisme untuk pelayanan dan
industri medis. Kini kita merekayasa bakteri untuk memproduksi
pengobatan, membuat biofuel, dan membunuh parasit-parasit.
Akan tetapi, momen tunggal yang paling nyata dan paling
menentukan dalam 500 tahun terakhir ini terjadi pukul 05.29.45
pada 16 Juli 1945. Tepat pada detik itu, para ilmuwan Amerika
meledakkan bom atom pertama di Alamogordo, New Mexico.
Dari titik itu dan seterusnya, manusia memiliki kapabilitas tidak
hanya mengubah alur sejarah, tetapi juga mengakhirinya.
Proses historikal yang mengarah ke Alamogordo dan ke
Bulan dikenal sebagai Revolusi Saintifik. Dalam periode ini
manusia telah mendapatkan kekuatan-kekuatan besar baru dengan
menginvestasikan sumber daya di riset saintifik. Ini sebuah revolusi
karena, sampai sekitar tahun 1500 M, manusia di muka Bumi
terlalu meragukan kemampuan mereka untuk meraih kekuatan
medis, militer, dan ekonomi yang baru. Sementara pemerintahan
dan patron-patron kaya mengalokasikan dana untuk pendidikan
dan beasiswa, tujuannya secara umum adalah mempertahankan
kapabilitas mereka ketimbang meraih kapabilitas-kapabilitas
baru. Penguasa pramodern biasanya memberi uang kepada
para pendeta, filsuf, dan penyair dengan harapan mereka bisa
melegitimasi kekuasaannya dan mempertahankan tatanan sosial.
Dia tidak berharap orang-orang itu menemukan medikasi baru,
menciptakan senjata-senjata baru atau menstimulasi pertumbuhan
ekonomi. Dalam 5 abad terakhir, manusia semakin percaya bahwa
mereka bisa meningkatkan kapabilitas dengan investasi di riset
saintifik. Ini bukan keyakinan buta—ini berkali-kali terbukti
secara empiris. Semakin banyak bukti, semakin banyak sumber
daya siap dikucurkan oleh orang-orang dan pemerintahan yang
kaya terhadap ilmu pengetahuan. Kita tidak akan pernah bisa
berjalan di Bulan, merekayasa mikroorganisme dan memisahkan
atom tanpa investasi-investasi semacam itu. Pemerintahan
Amerika Serikat, misalnya, dalam beberapa dekade terakhir
ini mengalokasikan miliaran dolar untuk studi fisika nuklir.
Pengetahuan yang dihasilkan oleh riset ini memungkinkan
konstruksi stasiun-stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir, yang
menyediakan listrik murah bagi industri Amerika, yang membayar
pajak kepada pemerintah Amerika, yang menggunakan sebagian
uang pajak ini untuk mendanai riset lebih lanjut di bidang fisika
nuklir.
Mengapa manusia-manusia modern mengembangkan
keyakinan pada kemampuan mereka untuk mendapatkan
kekuatan-kekuatan baru melalui riset? Apa ikatan yang
menyatukan sains, politik, dan ekonomi? Bab ini menelusuri
sifat unik sains modern dalam rangka menyediakan sebagian
jawabannya. Dua bab selanjutnya menelusuri formasi aliansi
antara sains, imperium-imperium Eropa, dan ekonomi kapitalisme.
Ignoramus
Manusia sudah berusaha memahami alam semesta sekurangkurangnya sejak Revolusi Kognitif. Para leluhur kita mengerahkan
waktu dan usaha cukup besar dalam rangka menemukan aturanaturan yang mengatur alam. Namun, sains modern membedakan
dari semua tradisi pengetahuan sebelumnya dalam hal penting:
a. Kesediaan mengakui kebodohan. Sains modern didasarkan
pada injungsi Latin ignoramus— ‘kita tidak tahu’. Bahkan,
lebih penting lagi, ia menerima bahwa hal-hal yang kita
pikir kita tahu bisa terbukti salah ketika kita mendapatkan
pengetahuan lebih banyak. Tidak ada konsep, ide, atau teori
yang sakral dan tak bisa ditantang.
b. Sentralitas observasi dan matematika. Dengan mengakui
ketidaktahuan, sains modern bertujuan mendapatkan
pengetahuan baru. Ia melakukannya dengan mengumpulkan
observasi-observasi dan kemudian menggunakan saranasarana matematis untuk menghubungkan observasi-observasi
ini menjadi teori-teori yang komprehensif.
c. Perolehan kekuatan-kekuatan baru. Sains modern tidak puas
dengan menciptakan teori-teori. Ia menggunakan teori-teori
ini dalam rangka memperoleh kekuatan-kekuatan baru untuk
mengembangkan teknologi-teknologi baru. Revolusi Saintifik belum menjadi sebuah revolusi pengetahuan.
Terutama sekali, ia adalah revolusi ketidaktahuan. Penemuan
besar yang dihadirkan Revolusi Saintifik adalah penemuan bahwa
manusia tidak tahu jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
mereka yang paling penting.
Tradisi-tradisi pengetahuan pramodern seperti Islam, Kristen,
Buddhisme, dan Konfusianisme menegaskan bahwa segala hal
yang penting untuk diketahui tentang dunia sudah diketahui.
Dewa-dewa besar, atau Tuhan Yang Mahabesar, atau orang-orang
bijak pada masa lalu memiliki kebijaksanaan yang menyeluruh,
yang mereka turunkan kepada kita dalam kitab-kitab suci dan
tradisi-tradisi lisan. Orang-orang biasa mendapatkan pengetahuan
dengan menggali naskah-naskah dan tradisi-tradisi kuno ini
dan memahaminya dengan benar. Tak terbayangkan bahwa
Injil, al-Quran, dan Veda melewatkan rahasia penting alam
semesta—sebuah rahasia yang mungkin masih harus ditemukan
oleh makhluk-makhluk berdaging-dan-berdarah.
Tradisi-tradisi pengetahuan kuno hanya mengakui dua jenis
ketidaktahuan. Pertama, satu individu mungkin tidak tahu sesuatu
yang penting. Untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan,
yang perlu dilakukan hanyalah bertanya kepada seseorang yang
lebih bijaksana. Tidak perlu menemukan sesuatu yang belum
diketahui siapa pun. Misalnya, jika seorang petani di suatu desa
Yorkshire sekitar abad ke-13 ingin tahu bagaimana munculnya ras
manusia, dia berasumsi bahwa tradisi Kristen sudah memegang
jawaban definitif. Yang harus dilakukan hanyalah bertanya kepada
pendeta setempat.
Kedua, sebuah tradisi menyeluruh mungkin tidak tahu tentang
hal-hal yang tidak penting. Berdasarkan definsi, apa pun yang
tidak dipedulikan oleh dewa-dewa besar atau orang-orang bijak
untuk disampaikan kepada kita berarti tidak penting. Misalnya,
jika petani Yorkshire ingin tahu bagaimana laba-laba menjalin
jejaring mereka, tak ada gunanya bertanya kepada para pendeta
karena tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini dalam kitabkitab suci Kristen. Namun, itu tidak berarti bahwa Kristen tidak
sempurna. Namun, itu berarti bahwa memahami bagaimana
laba-laba menjalin jejaring itu tidak penting. Lagi pula, Tuhan tahu sepenuhnya bagaimana laba-laba melakukan itu. Jika itu
merupakan informasi yang penting, dibutuhkan bagi kemakmuran
dan penyelamatan manusia, Tuhan akan memasukkan sebuah
penjelasan komprehensif dalam Injil. Kristen tidak melarang
orang mempelajari laba-laba. Namun, para ahli laba-laba—jika
ada pada abad pertengahan Eropa—harus menerima peran
periferal mereka dalam masyarakat dan tidak relevannya temuantemuan mereka bagi kebenaran-kebenaran abadi Kristianitas. Tak
peduli apa pun yang mungkin bisa ditemukan oleh seorang ahli
tentang laba-laba, kupu-kupu, atau kutilang-kutilang Galapagos,
pengetahuan itu tak lebih dari hal sepele, yang tak memiliki
kebenaran-kebenaran fundamental tentang masyarakat, politik,
dan ekonomi.
Padahal, tidak sesederhana itu. Pada setiap masa, bahkan
di kalangan orang-orang yang paling saleh dan konservatif, ada
orang-orang yang berpendapat bahwa ada hal-hal penting, yang
luput diketahui oleh segenap tradisi. Namun, orang-orang seperti
itu biasanya dipinggirkan atau disiksa—atau kalau tidak, mereka
mendirikan sebuah tradisi baru dan mulai mengemukakan bahwa
mereka tahu segala sesuatu yang harus diketahui. Misalnya,
Nabi Muhammad memulai karier religiusnya dengan mengecam
sesama orang Arab karena hidup dalam ketidaktahuan akan
kebenaran ilahiah. Namun, Muhammad sendiri dengan cepat
mengemukakan bahwa dia tahu kebenaran sepenuhnya, dan para
pengikutnya mulai menyebutnya “Penutup para Nabi”. Oleh
karena itu, tak diperlukan wahyu-wahyu setelah yang diberikan
kepada Muhammad.
Sains modern adalah sebuah tradisi pengetahuan yang unik
karena secara terbuka ketidaktahuan kolektif berkenaan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Darwin tidak pernah
mengemukakan bahwa dia adalah “Penutup para Ahli Biologi”,
dan bahwa dia telah menyelesaikan urusan kehidupan sekaligus
dan tuntas. Setelah berabad-abad riset saintifik yang ekstensif,
para ahli biologi mengakui bahwa mereka masih belum punya
penjelasan yang bagus tentang bagaimana otak memproduksi
kesadaran. Para ahli fisika mengakui bahwa mereka tidak tahu
apa yang menyebabkan Big Bang (Ledakan Besar), atau bagaimana merekonsiliasi mekanika kuantum dengan teori Relativitas Umum.
Dalam kasus-kasus lain, teori-teori saintifik yang berlawanan
diperdebatkan dengan sengit atas dasar munculnya bukti baru
terus-menerus. Satu contoh terbaik adalah perdebatan tentang
bagaimana cara terbaik menjalankan ekonomi. Meskipun para
ekonom individual mengklaim bahwa metode merekalah yang
terbaik, kekolotan berubah bersama setiap krisis finansial dan
buih pasar saham, dan biasa diterima bahwa kata terakhir tentang
ekonomi masih belum putus.
Dalam kasus-kasus lain lagi, teori-teori tertentu didukung
begitu konsisten dengan bukti yang tersedia sehingga sejak saat
itu semua alternatif tersingkir. Teori-teori semacam itu diterima
sebagai kebenaran—tetapi setiap orang setuju bahwa, jika kelak
ada bukti baru muncul yang berlawanan dengan teori itu, maka
teori itu akan direvisi atau dibuang. Beberapa contoh yang bagus
tentang ini adalah teori lempengan tektonik dan teori evolusi.
Kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan membuat sains modern
lebih dinamis, lebih lentur, dan lebih aktif mencari ketimbang
tradisi pengetahuan mana pun sebelumnya. Hal ini memperbesar
kapasitas kita untuk memahami bagaimana dunia bekerja dan
kemampuan kita untuk menemukan teknologi-teknologi baru.
Akan tetapi, hal itu juga mendatangkan kepada kita persoalan
serius yang sebagian besar leluhur kita tidak perlu menghadapinya.
Asumsi kita saat ini bahwa kita tidak tahu segala hal dan bahwa
pengetahuan yang kita miliki pun bersifat tentatif, berkembang
sampai ke mitos-mitos umum yang memungkinkan jutaan orang
yang tidak saling kenal bisa bekerja sama secara efektif. Jika
bukti menunjukkan bahwa banyak dari mitos itu meragukan,
bagaimana kita bisa menyatukan masyarakat? Bagaimana bisa
masyarakat-masyarakat, negara-negara, dan sistem internasional
kita berfungsi?
Semua upaya modern untuk menstabilkan tatanan sosiopolitik tak punya pilihan selain bergantung pada satu dari dua
metode yang tidak saintifik ini:
a. Ambil satu teori saintifik, dan yang berlawanan dengan
praktik-praktik umum saintifik, deklarasikan bahwa ini
kebenaran final dan absolut. Inilah metode yang digunakan oleh Nazi (yang mengklaim kebijakan-kebijakan rasial
mereka adalah buah dari fakta-fakta biologi) dan Komunis
(yang mengklaim bahwa Marx dan Lenin memiliki kebenaran
ekonomi absolut yang tidak pernah bisa ditolak).
b. Tinggalkan sains dan hiduplah sesuai dengan kebenaran
absolut non-saintifik. Ini telah menjadi strategi humanisme
liberal, yang dibangun di atas keyakinan dogmatis pada nilai
unik manusia dan hak-hak asasinya—sebuah doktrin yang
secara memalukan tidak sejalan dengan studi tentang Homo
sapiens.
Akan tetapi, hal itu tak seharusnya mengejutkan kita. Bahkan,
sains sendiri harus bergantung pada keyakinan-keyakinan religius
dan ideologis untuk menjustifikasi dan mendanai risetnya.
Bagaimanapun, kultur modern telah bersedia mengakui
ketidaktahuan sampai ke tingkat yang jauh lebih besar ketimbang
kultur mana pun sebelumnya. Salah satu hal yang memungkinkan
tatanan-tatanan sosial modern untuk menyatu adalah penyebaran
suatu keyakinan yang hampir religius pada teknologi dan metode
riset saintifik, yang pada tingkat tertentu telah menggantikan
keyakinan pada kebenaran-kebenaran absolut.
Dogma Sainti k
Sains modern memang tidak punya dogma. Namun, ia punya
satu kesamaan metode riset inti, yang semuanya didasarkan
pada pengumpulan observasi-observasi empiris—yakni hal-hal
yang bisa kita observasi dengan setidaknya salah satu dari indraindra kita—dan menyatukannya dengan bantuan sarana-sarana
matematis.
Orang-orang sepanjang sejarah mengumpulkan observasiobservasi empiris, tetapi makna dari observasi-observasi ini
biasanya terbatas. Mengapa membuang-buang sumber daya
untuk mendapatkan observasi-observasi baru ketika kita sudah
memiliki semua jawaban yang kita butuhkan? Namun, ketika
orang modern sampai pada pengakuan bahwa mereka tidak
tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting,
mereka merasa perlu untuk mencari pengetahuan yang sama
sekali baru. Akibatnya, metode riset modern dominan menerima
begitu saja ketidakcukupan pengetahuan lama. Bukan mempelajari
tradisi-tradisi lama, penekanan kini ditempatkan pada observasiobservasi dan eksperimen-eksperimen baru. Ketika observasi
terkini bertabrakan dengan tradisi lama, kita membuka jalan untuk
observasi. Tentu saja, para ahli fisika yang menganalisis spektra
galaksi-galaksi jauh, para arkeolog yang menganalisis temuantemuan dari kota Zaman Perunggu, dan para ilmuwan politik
yang mempelajari munculnya kapitalisme bukan mengabaikan
tradisi. Mereka mulai dengan mempelajari apa yang dikatakan
dan ditulis orang bijak pada masa lalu. Namun, dari tahun
pertama kuliah mereka, para calon fisikawan, arkeolog, dan
ilmuwan politik diajari bahwa misi mereka adalah melampaui
apa yang pernah diketahui oleh Einstein, Heinrich, Schliemann,
dan Max Weber.
Akan tetapi, sekadar observasi bukanlah pengetahuan. Dalam
rangka memahami alam semesta, kita perlu menghubungkan
observasi-observasi dengan teori-teori yang komprehensif. Tradisitradisi sebelumnya biasanya memformulasikan teori-teori mereka
dalam kerangka-kerangka cerita. Sains modern menggunakan
matematika.
Sangat sedikit persamaan, grafik, dan kalkulasi dalam Injil,
al-Quran, dan Veda atau kitab-kitab klasik Konfusian. Ketika
mitologi-mitologi dan kitab-kitab suci tradisional meletakkan
hukum-hukum umum, semua itu disajikan dalam narasi, bukan
rumus matematika. Jadi, prinsip fundamental agama Manichae
menegaskan bahwa dunia merupakan ajang pertarungan antara
yang baik dan yang jahat. Sebuah kekuatan jahat menciptakan
materi, sedangkan kekuatan baik menciptakan ruh. Manusia
terjebak di antara kedua kekuatan ini, dan harus memilih
yang baik atau yang jahat. Namun, nabi Mani tak berusaha
menawarkan rumus matematika yang bisa digunakan untuk
meramalkan pilihan-pilihan manusia dengan mengukur seberapa
besar kekuatan masing-masing. Dia tidak pernah mengalkulasi
bahwa “kekuatan yang bertindak pada seorang manusia sama
dengan akselerasi arwah, dibagi massa tubuhnya”.
Inilah yang benar-benar berusaha dituntaskan oleh
para ilmuwan. Pada 1687, Isaac Newton menerbitkan The
Mathematical Principles of Natural Philosophy, yang pantas
disebut sebagai buku paling penting dalam sejarah modern.
Newton menyajikan sebuah teori umum tentang gerak dan
perubahan. Kebesaran teori Newton adalah kemampuannya
menjelaskan dan meramalkan gerakan-gerakan semua tubuh
dalam alam semesta, dari jatuhnya apel sampai ke bintang-bintang
yang menembak, dengan menggunakan 3 hukum matematika
sederhana:
Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memahami dan
meramalkan gerakan sebuah peluru meriam atau sebuah planet,
cukup membuat pengukuran-pengukuran massa benda, arah, dan
akselerasi, serta kekuatan untuk melakukan gerak itu. Dengan
memasukkan angka-angka ini ke dalam rumus Newton, posisi
masa depan sebuah benda bisa diprediksi. Rumus itu bekerja
seperti sulap. Baru sekitar akhir abad ke-19, para ilmuwan muncul
dengan beberapa observasi baru yang tidak sesuai dengan hukum
Newton, dan ini mengarah pada revolusi berikutnya di bidang
fisika—teori relativitas dan mekanika kuantum.
Newton menunjukkan bahwa buku alam ditulis dalam
bahasa matematika. Sebagian bab (misalnya) bermuara pada satu
persamaan yang tegas; tetapi para ahli yang berusaha memasukkan
biologi, ekonomi, dan psikologi ke dalam persamaan-persamaan Newton mendapati bahwa bidang-bidang ini memiliki tingkat
kerumitan yang membuat upaya itu sia-sia. Namun, ini tidak
berarti mereka menyerah dalam hal matematika. Sebuah cabang
baru matematika dikembangkan dalam 200 tahun terakhir ini
untuk menangani aspek-aspek realitas yang lebih rumit: statistik.
Pada 1744, pendeta Presbyterian di Skotlandia, Alexander
Webster dan Robert Wallace, memutuskan untuk mendirikan
lembaga dana asuransi jiwa yang akan menyediakan pensiun
bagi para janda dan yatim dari para pendeta yang meninggal.
Mereka mengajukan bahwa setiap pendeta gereja membayar
seporsi kecil pendapatannya ke lembaga dana itu, yang akan
menginvestasikan uangnya. Jika pendeta meninggal, jandanya
akan menerima deviden dari keuntungan lembaga. Ini akan
memungkinkan janda tersebut hidup nyaman sampai akhir
hayat. Namun, untuk menentukan berapa banyak para pendeta
harus membayar agar lembaga dana punya cukup uang untuk
memenuhi kewajiban-kewajibannya, Webster dan Wallace harus
mampu memprediksi berapa banyak pendeta yang meninggal
setiap tahun, berapa banyak janda dan yatim yang akan mereka
tinggalkan, dan berapa tahun para janda hidup setelah kematian
para suaminya.
Perhatikanlah apa yang tidak dilakukan kedua pendeta
itu. Mereka tidak berdoa kepada Tuhan untuk menemukan
jawabannya. Mereka juga tidak mencari jawaban dalam kitabkitab suci atau di antara karya-karya para teolog kuno. Mereka
pun tidak memasuki suatu perselisihan filosofis yang abstrak.
Sebagai orang Skot, mereka termasuk yang praktis. Jadi, mereka
menghubungi seorang profesor matematika dari University of
Edinburgh, Colin Maclaurin. Ketiganya mengumpulkan data
pada usia berapa orang-orang meninggal dan menggunakan ini
untuk mengalkulasi berapa banyak pendeta yang kemungkinan
meninggal pada tahun tertentu.
Pekerjaan mereka didasarkan pada beberapa terobosan
mutakhir dalam bidang statistika dan probabilitas. Salah
satunya adalah Hukum Angka Besar Jacob Bernoulli. Bernoulli
telah mengodifikasi prinsip bahwa, meskipun mungkin sulit
untuk memprediksi dengan pasti sebuah peristiwa tunggal, seperti kematian orang tertentu, terbuka kemungkinan
untuk memprediksi dengan akurasi tinggi rata-rata hasil dari
banyak peristiwa serupa. Begitulah, ketika Maclaurin tak bisa
menggunakan matematika untuk memprediksi apakah Webster
dan Wallace akan mati tahun depan, dia bisa, dengan tersedianya
cukup data, memberi tahu Webster dan Wallace berapa banyak
pendeta Prebysterian di Skotlandia yang hampir pasti mati tahun
depan. Beruntunglah, mereka memiliki data siap pakai yang
bisa mereka gunakan. Tabel-tabel aktuaris yang diterbitkan 50
tahun sebelumnya oleh Edmond Halley terbukti sangat berguna.
Halley telah mengalisis catatan-catatan 1.238 kelahiran dan 1.174
kematian yang dia dapatkan dari Kota Breslau, Jerman. Tabeltabel Halley memungkinkan untuk melihat, misalnya, seseorang
yang berusia 21 tahun memiliki peluang 1:100 meninggal pada
tahun tertentu, tetapi seseorang yang berusia 50 tahun memiliki
peluang 1:39.
Dengan memproses angka-angka ini, Webster dan Wallace
menyimpulkan bahwa, rata-rata akan ada 930 pendeta
Prebysterian Skotlandia pada kurun waktu kapan pun, dan ratarata 27 pendeta meninggal setiap tahun, 18 di antara mereka akan
meninggalkan janda. Lima dari mereka yang tidak meninggalkan
janda akan meninggalkan anak-anak yatim, dan dua dari yang
meninggalkan janda juga akan meninggalkan anak-anak dari
pernikahan sebelumnya yang belum mencapai usia 16 tahun.
Mereka menghitung lebih jauh berapa lama kemungkinan janda
akan meninggal atau menikah lagi (dengan dua kemungkinan
ini pembayaran pensiun akan berhenti). Angka-angka itu
memungkinkan Webster dan Wallace menentukan berapa banyak
uang yang harus dibayar oleh para pendeta yang ikut dana pensiun
untuk orang-orang yang mereka cintai. Dengan membayar £2
12s. 2d. setahun, seorang pendeta bisa menjamin bahwa istrinya
yang janda kelak akan menerima sedikitnya £10 setahun—jumlah
yang besar untuk masa itu. Kalau dia menganggap jumlah itu
tidak cukup, dia bisa memilih untuk membayar lebih, sampai
ke tingkat £6 11s. 3d. setahun—yang akan memberi jandanya
bahkan jumlah yang lebih banyak sebesar £25 setahun.
Menurut kalkulasi mereka, pada 1765, Fund for a Provision
for the Widows and Children of Ministers of the Church of
Scotland akan memiliki modal total £58.348. Kalkulasi mereka
secara menakjubkan terbukti akurat. Ketika tahun itu tiba,
modal lembaga pensiun itu bertengger di angka £58.347—hanya
selisih kurang dari £1 dari prediksi! Ini bahkan lebih bagus
dari nubuat Habakkuk, Jeremiah, atau St. John. Kini, lembaga
dana Webster dan Wallace, yang dikenal degan sebutan Scottich
Widows merupakan salah satu perusahaan pensiun dan asuransi
terbesar di dunia. Dengan aset bernilai £100 miliar, perusahaan
itu melayani asuransi tidak hanya para janda Skotlandia, tetapi
juga siapa pun yang bersedia membeli polisnya.7
Kalkulasi-kalkulasi probabilitas seperti yang digunakan
oleh kedua pendeta Skotlandia itu menjadi dasar tidak hanya
ilmu aktuarial, yang penting bagi bisnis pensiun dan asuransi,
tetapi juga bagi ilmu demografi (didirikan oleh pendeta lainnya,
Robert Malthus, seorang Anglikan). Demografi pada gilirannya
merupakan landasan bagi Charles Darwin (yang hampir menjadi
seorang pastor Anglikan) membangun teori evolusinya. Meskipun
tidak ada persamaan yang bisa memprediksi apa jenis organisme
yang akan berevolusi di bawah seperangkat kondisi tertentu,
ilmu genetika menggunakan kalkulasi-kalkulasi probabilitas untuk
menghitung kemungkinan bahwa suatu mutasi tertentu akan
menyebar pada satu populasi tertentu. Model-model probalistik
serupa telah menjadi bagian penting bagi ilmu ekonomi, sosiologi,
psikologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial serta alam lainnya.
Bahkan, fisika pada akhirnya menambahkan ke dalam persamaanpersamaan klasik Newton awan probabilitas mekanika kuantum.
Kita cukup melihat sejarah pendidikan untuk menyadari
seberapa jauh proses ini telah membawa kita. Pada sebagian
besar periode sejarah, matematika adalah bidang esoterik yang
bahkan orang-orang terdidik jarang mempelajarinya secara serius.
Di Eropa abad pertengahan, logika, tata bahasa, dan retorika
membentuk inti pendidikan, sementara pengajaran matematika
jarang melampaui aritmatika dan geometri sederhana. Tidak ada
yang mempelajari statistik. Raja tak terbantahkan dari semua
ilmu pengetahuan adalah teologi.
Kini sedikit mahasiswa yang mempelajari retorika; logika
dibatasi pada jurusan-jurusan filsafat dan teologi di seminariseminari. Namun, semakin banyak mahasiswa termotivasi—atau
dipaksa—mempelajari matematika. Ada arus yang tak bisa dilawan
menuju ilmu-ilmu eksakta—yang didefinisikan eksakta karena
penggunaan sarana-sarana matematisnya. Bahkan, bidang-bidang
studi yang secara tradisional menjadi bagian dari humaniora,
seperti studi tentang bahasa manusia (linguistik) dan jiwa manusia
(psikologi), semakin bergantung pada matematika dan berusaha
menampilkan diri sebagai ilmu eksakta. Mata kuliah Statistika
kini menjadi bagian dari persyaratan dasar tidak hanya dalam
bidang fisika dan biologi, tetapi juga dalam psikologi, sosiologi,
ilmu ekonomi, dan ilmu politik.
Dalam katalog mata kuliah Jurusan Psikologi di universitas
almamater saya, mata kuliah wajib pertama dalam kurikulum
adalah “Introduction to Statistics and Methodology in
Psychological Research”. Mahasiswa tahun kedua psikologi harus
mengambil “Statistical Methods in Psychological Research”.
Konfusius, Buddha, Yesus, dan Muhammad pasti bingung jika
Anda beri tahu mereka bahwa dalam rangka memahami pikiran
manusia dan mengobati penyakitnya Anda harus pertama-tama
mempelajari statistik.
Pengetahuan adalah Kekuatan
Sebagian besar orang mengalami kesulitan menelan sains modern
karena bahasa matematisnya yang sulit untuk diserap pikiran kita,
dan temuan-temuannya sering bertentangan dengan pengertian
umum. Dari 7 miliar penduduk dunia, berapa banyak yang
benar-benar memahami mekanika kuantum, biologi sel, atau
makro ekonomi? Bagaimanapun, sains menikmati prestise tinggi
karena kekuatan-kekuatan baru yang ia berikan kepada kita.
Para presiden dan para jenderal mungkin tidak memahami fisika
nuklir, tetapi mereka punya pengetahuan yang baik tentang apa
yang bisa diakibatkan oleh bom nuklir.
Pada 1620, Francis Bacon menerbitkan manifesto saintifik berjudul The New Instrument. Di dalamnya dia mengemukakan
bahwa “pengetahuan adalah kekuatan”. Ujian riil “pengetahuan”
bukanlah apakah ia benar, tetapi apakah ia memperkuat kita.
Para ilmuwan biasanya berasumsi bahwa tidak ada teori yang
100 persen benar. Akibatnya, kebenaran menjadi ujian lemah
bagi pengetahuan. Tes riilnya adalah pemanfaatan. Sebuah teori
yang memungkinkan kita melakukan hal-hal baru merupakan
pengetahuan.
Selama berabad-abad, sains telah memberi kita banyak alatalat baru. Sebagian adalah alat mental, seperti yang digunakan
untuk memprediksi tingkat kematian dan pertumbuhan ekonomi.
Yang lebih penting lagi adalah alat-alat teknologikal. Koneksi
yang menyatukan sains dan teknologi begitu kuat sehingga kini
orang cenderung mencampuradukannya. Kita cenderung berpikir
bahwa tidak mungkin mengembangkan teknologi-teknologi baru
tanpa riset saintifik, dan nilai riset menjadi kecil jika tidak
menghasilkan teknologi-teknologi baru.
Padahal, hubungan antara sains dan teknologi adalah
fenomena yang sangat baru. Sebelum tahun 1500, sains dan
teknologi adalah bidang yang terpisah sama sekali. Ketika
Bacon menghubungkan keduanya pada abad ke-17, itu adalah
sebuah ide revolusioner. Dalam abad ke-17 dan ke-18 hubungan
ini menguat, tetapi simpulnya baru terikat pada abad ke-19.
Bahkan, pada 1800, sebagian besar penguasa yang menginginkan
angkatan perang yang kuat, dan sebagian besar raksasa bisnis yang
menginginkan bisnis yang sukses, tidak peduli untuk mendanai
riset dalam fisika, biologi, atau ilmu ekonomi.
Saya tidak bermaksud mengklaim tidak ada pengecualian
dalam aturan ini. Seorang sejarawan yang bagus bisa menemukan
preseden untuk segala hal. Namun, sejarawan yang lebih baik lagi
tahu ketika preseden-preseden ini menjadi pertanyaan-pertanyaan
yang menyelimuti gambaran besar. Secara umum, sebagian besar
penguasa dan pebisnis pramodern tidak mendanai riset tentang
sifat alam semesta dalam rangka mengembangkan teknologiteknologi baru, dan sebagian besar pemikir tidak berusaha
menerjemahkan temuan-temuan mereka menjadi wahana-wahana
teknologis. Para penguasa mendanai institusi-institusi pendidikan yang mandatnya adalah menyebarkan pengetahuan tradisional
untuk tujuan menjaga tatanan yang sudah ada.
Di mana-mana orang memang mengembangkan teknologiteknologi baru, tetapi semua itu biasanya diciptakan oleh
para pengrajin terdidik dengan cara coba-coba, bukan oleh
para sarjana dengan menempuh riset saintifik yang sistematis.
Pabrikan-pabrikan gerobak membangun pedati yang sama dari
bahan yang sama dari tahun ke tahun. Mereka tidak menyisihkan
satu persentase dari keuntungan tahunan dalam rangka meneliti
dan mengembangkan model-model pedati baru. Desain pedati
terkadang diperbaiki, tetapi itu biasanya berkat keahlian tukang
kayu tertentu, yang tidak pernah menjejakkan kaki di sebuah
universitas dan bahkan tidak bisa membaca.
Itu berlaku di sektor pemerintah maupun swasta. Kalau
negara-negara modern menyerukan para ilmuwannya untuk
menyediakan solusi-solusi di hampir semua bidang kebijakan
nasional, dari energi sampai kesehatan sampai pembuangan
sampah, kerajaan-kerajaan kuno jarang melakukannya. Kontras
di antara negara kuno dan masa kini paling mencolok dalam
persenjataaan. Ketika Presiden Dwight Eisenhower yang segera
habis masa pemerintahannya, pada 1961, memperingatkan
tumbuhnya kekuatan kompleks militer-industri, dia mengabaikan
sebagian dari rumus persamaan itu. Dia seharusnya menyiagakan
negaranya untuk kompleks militer-industri-sains karena perangperang masa kini adalah produksi santifik. Kekuatan-kekuatan
militer dunia menginisiasi, mendanai, dan menyetir bagian besar
dari riset saintifik dan pengembangan teknologi manusia.
Ketika Perang Dunia Pertama terkunci dalam perang parit
tak berkesudahan, kedua pihak memanggil para ilmuwan
mereka untuk memecah kebuntuan dan menyelamatkan negara.
Orang-orang berpakaian putih menjawab panggilan itu, dan dari
laboratorium-laboratorium menggelindingkan aliran tanpa putus
senjata-senjata keajaiban baru: pesawat tempur, gas beracun,
tank, kapal selam, dan yang lebih efisien lagi, senapan-senapan
mesin, senjata artileri, senapan, dan bom.
Sains memainkan peran yang bahkan lebih besar pada
Perang Dunia Kedua. Pada akhir 1944, Jerman terpukul mundur dan kekalahan mendekat. Setahun sebelumnya, sekutu Jerman,
Italia, telah menggulingkan Mussolini dan menyerah kepada
Sekutu. Namun, Jerman terus berperang, sekalipun angkatan
perang Inggris, Amerika, dan Soviet mendekat. Satu alasan yang
dipkirkan oleh tentara-tentara dan penduduk sipil Jerman untuk
tidak menyerah adalah karena mereka percaya para ilmuwan
Jerman akan segera membalikkan gelombang dengan apa yang
disebut sebagai senjata-senjata ajaib seperti roket V-2 dan
pesawat bertenaga jet. Sementara Jerman merancang roket-roket
dan jet-jet tersebut, Manhattan Project milik Amerika berhasil
mengembangkan bom atom. Pada saat bom sudah siap, awal
Agustus 1945, Jerman sudah menyerah, tetapi Jepang masih
terus berperang. Pasukan Amerika terdorong untuk menginvasi
pulau-pulaunya. Jepang bertekad melawan invasi dan perang
sampai mati, dan selalu ada alasan untuk yakin bahwa tidak ada
yang namanya ancaman gertak sambal. Para jenderal Amerika memberi tahu Presiden Harry S. Truman bahwa invasi Jepang
akan menewaskan sejuta tentara Amerika dan memperpanjang
perang sampai 1946. Truman memutuskan untuk menggunakan
bom baru itu. Dua pekan dan dua bom atom kemudian, Jepang
menyerah tanpa syarat dan perang pun berakhir.
Akan tetapi, sains tidak hanya soal senjata-senjata ofensif. Ia
memainkan peran besar dalam pertahanan kita juga. Kini banyak
orang Amerika percaya bahwa solusi bagi terorisme adalah
teknologi ketimbang politik, dan Amerika Serikat bisa mengirim
pesawat-pesawat mata-mata ke setiap gua Afganistan, benteng
Yaman, dan kamp-kamp Afrika Utara. Begitu selesai, para pewaris
Osama Bin Laden tidak akan mampu membuat secangkir kopi
tanpa ada pesawat mata-mata CIA meneruskan informasi vital ini
ke markas besarnya di Langley. Alokasikan jutaan lagi untuk riset
otak, dan setiap bandara bisa diperlengkapi dengan alat pemindai
ultracanggih yang bisa langsung mengenali pikiran-pikiran marah
dan pembenci dalam otak orang. Apakah itu akan berhasil?
Siapa tahu. Apakah bijak mengembangkan pesawat mata-mata
dan alat pemindai pembaca pikiran? Tidak dengan sendirinya
begitu. Taruhlah hal itu benar, seperti yang Anda baca dalam
baris-baris kalimat ini, Departemen Pertahanan Amerika Serikat
sedang mentransfer jutaan dolar ke laboratorium-laboratorium
nanoteknologi dan otak untuk mengerjakan ini semua dan ideide semacam itu. Obsesi pada teknologi militer ini—dari tank ke
bom atom sampai pesawat mata-mata—adalah fenomena yang
sangat baru sebetulnya. Sampai dengan abad ke-19, mayoritas
besar revolusi militer adalah produk dari perubahan-perubahan
organisasional ketimbang teknologis. Ketika peradaban-peradaban
asing bertemu untuk kali pertama, jurang teknologi terkadang
memainkan peran penting. Namun, bahkan dalam kasuskasus semacam itu, sedikit yang berpikir tentang penciptaan
atau perluasan jurang semacam itu secara sengaja. Sebagian
besar imperium tidak muncul berkat kehebatan teknologi, dan
penguasa-penguasa mereka tidak banyak memikirkan perbaikan
teknologi. Bangsa Arab tidak mengalahkan Imperium Sassanid
berkat kehebatan panah atau pedangnya, Seljuk tidak punya
keunggulan teknologi atas Byzantium, dan Mongolia tidak
menaklukkan China dengan bantuan senjata baru yang unggul.
Faktanya, dalam semua kasus ini yang dikalahkan memiliki
teknologi militer dan sipil yang superior.
Angkatan Perang Romawi adalah contoh yang sangat bagus.
Ia adalah angkatan perang terbaik pada masanya, tetapi secara
teknologis, Romawi tidak punya keunggulan atas Carthage,
Macedonia, atau Imperium Selucid. Keunggulannya terletak
pada organisasi yang efisien, kedisiplinan tinggi, dan cadangan
sumber daya manusia yang besar. Angkatan perang Romawi
tidak pernah mendirikan departemen riset dan pengembangan,
dan senjata-senjatanya tetap kurang lebih sama selama berabadabad. Jika legiun-legiun Scipio Aemilianus—jenderal yang
meratakan Carthage dan mengalahkan Numantia pada abad
ke-2 SM—tiba-tiba bangkit lagi 500 tahun kemudian pada abad
Constantine Yang Agung, Scipio tentu memiliki peluang yang
bagus untuk mengalahkan Constantine. Sekarang bayangkan apa
yang akan terjadi pada seorang jenderal dari periode modern
awal—katakanlah Albrecht von Wallenstein, seorang pemimpin
pasukan Imperium Romawi Suci dalam Perang Tiga Belas
Tahun—jika dia memimpin angkatan perang musketeer (pasukan
bersenapan), pasukan bertombak, dan kavaleri melawan satu
batalion kontemporer American Army Rangers. Wallenstein
adalah seorang ahli taktik brilian, dan orang-orangnya adalah
profesional ulung, tetapi keterampilan mereka akan sia-sia
menghadapi persenjataan modern.
Sebagaimana di Roma, demikian pula di China kuno,
sebagian besar jenderal dan filsuf tidak berpikir dalam tugas
mereka untuk mengembangkan senjata-senjata baru. Intervensi
militer paling penting dalam sejarah China adalah bubuk mesiu.
Meskipun demikian, sebagaimana sangat kita ketahui, bubuk
mesiu ditemukan secara tidak sengaja oleh ahli kimia Daois yang
mencari obat keabadian hidup. Karier selanjutnya bubuk mesiu
semakin menarik. Orang mungkin mengira bahwa para ahli
kimia Daois akan menggunakan campuran baru itu hanya untuk
petasan. Sekalipun ketika Imperium Song runtuh menghadapi
invasi Mongol, tidak ada kaisar yang mendirikan Manhattan
Project ala abad pertengahan untuk menyelamatkan imperium
dengan menemukan sebuah senjata kiamat. Baru pada abad ke-
15—sekitar 600 tahun setelah penemuan bubuk mesiu—meriam
menjadi faktor penentu pertempuran-pertempuran Afro-Asia.
Mengapa butuh waktu begitu lama bagi zat pembunuh potensial
itu untuk sampai pada penggunaan dalam militer? Karena ia
muncul pada masa ketika tak ada raja, ahli, atau pedagang yang
berpikir bahwa sebuah teknologi militer baru bisa menyelamatkan
mereka atau menjadikan mereka kaya.
Situasi mulai berubah pada abad ke-15 dan ke-16, tetapi
200 tahun kemudian berlalu sebelum sebagian besar penguasa
menunjukkan minat mendanai riset dan pengembangan senjata
baru. Logistik dan strategi terus memiliki dampak semakin
besar pada hasil pemerangan ketimbang teknologi. Mesin
militer Napoleonik yang menumpas angkatan perang kekuatankekuatan Eropa dan Austerlitz (1805) bersenjatakan kurang lebih
persenjataan yang sama dengan yang digunakan angkatan perang
Louis XIV. Napoleon sendiri, meskipun ia seorang artileri, tak
terlalu berminat pada senjata-senjata baru, sekalipun para ilmuwan
dan penemu berusaha membujuk dia mendanai pengembangan
mesin-mesin terbang, kapal selam, dan roket.
Sains, industri, dan teknologi militer berkelindan hanya
setelah ada kemajuan sistem kapitalis dan Revolusi Industri.
Namun, begitu hubungan ini tercipta, ia cepat mentransformasi
dunia.
Cita-Cita Kemajuan
Sampai dengan Revolusi Saintifik, sebagian besar kultur manusia
tidak memercayai kemajuan. Mereka berpikir masa kejayaan
adalah masa lalu, dan bahwa dunia ini stagnan, kalau bukan
memburuk. Kepatuhan yang ketat pada kearifan tiap-tiap
masa mungkin bisa membawa kembali kejayaan masa lalu, dan
kehebatan manusia mungkin bisa memperbaiki secara masuk
akal keadaan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, diyakini
bahwa tidak mungkin pengetahuan manusia bisa mengatasi
problem-problem fundamental dunia. Kalau MuhammadYesus, Buddha, dan Konfusius saja—yang tahu segala hal yang
harus diketahui—tidak mampu menghapus kelaparan, penyakit,
kemelaratan, dan perang dari dunia, bagaimana kita bisa berharap
bisa melakukannya?
Banyak agama meyakini bahwa suatu hari nanti seorang
almasih akan muncul dan mengakhiri semua perang, kelaparan,
dan bahkan kematian itu sendiri. Namun, pandangan bahwa
manusia bisa melakukan itu dengan menemukan teknologi
baru dan menciptakan alat-alat baru malah lebih buruk dari
menggelikan—itu namanya kesombongan. Kisah Menara Babel,
kisah Icarus, kisah Golem, dan tak terhitung mitos-mitos
mengajarkan orang bahwa setiap upaya untuk melampaui batas
manusia tak terelakkan mengarah pada kekecewaan dan bencana.
Ketika kultur modern mengakui bahwa ada banyak hal
penting yang masih belum diketahui, dan ketika pengakuan
akan ketidaktahuan itu bersekutu dengan ide bahwa penemuanpenemuan saintifik bisa memberi kita kekuatan-kekuatan baru,
orang mulai curiga bahwa jangan-jangan kemajuan riil itu
memang bisa terjadi. Ketika sains mulai mengatasi satu problem
yang tak terpecahkan satu demi satu, banyak orang menjadi
yakin bahwa manusia bisa mengatasi problem apa pun dan yang
mana pun dengan meraih serta menerapkan pengetahuan baru.
Kemiskinan, sakit, perang, kelaparan, usia tua, dan kematian itu
sendiri bukanlah nasib tak terelakkan bagi manusia. Semua itu
hanyalah buah dari ketidaktahuan kita.
Contoh yang terkenal adalah petir. Banyak kultur percaya
bahwa petir adalah palu dewa yang marah, yang digunakan
untuk menghukum para pendosa. Pada pertengahan abad ke-18,
dalam salah satu eksperimen yang paling dielu-elukan dalam
sejarah sains, Benjamin Franklin menerbangkan sebuah layanglayang ketika badai petir untuk menguji hipotesisnya bahwa
petir hanyalah sebuah arus listrik. Observasi empiris Franklin,
digabung dengan pengetahuannya tentang kualitas-kualitas energi
listrik, memungkinkan dia menemukan batang petir dan melucuti
senjata para dewa.
Kemiskinan adalah contoh bagus lainnya. Banyak kultur
memandang kemiskinan sebagai bagian tak terelakkan dari
dunia yang tidak sempurna. Menurut Perjanjian Baru, tak lama
sebelum penyaliban, seorang perempuan mengurapi Kristus
dengan minyak mulia bernilai 300 denarii. Para murid Yesus
menghardik perempuan itu karena membuang-buang uang
sebanyak itu, alih-alih memberikannya kepada orang miskin,
tetapi Yesus membela dia, dengan berkata, “Orang miskin akan
selalu ada bersamamu, dan kamu bisa membantu mereka kapan
pun kamu mau. Tapi, kamu tidak akan selalu bersamaku”
(Markus 14:7). Kini, semakin sedikit dan semakin sedikit orang,
termasuk semakin sedikit orang Kristen, yang setuju dengan Yesus
dalam hal ini. Kemiskinan semakin dipandang sebagai problem
teknis yang bisa diubah melalui intervensi. Ada kearifan umum
bahwa kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada temuan-temuan
terbaru dalam agronomi, ekonomi, kedokteran, dan sosiologi
bisa mengeliminasi kemiskinan.
Dan sungguh, banyak bagian dari dunia ini sudah dibebaskan
dari bentuk-bentuk paling buruk dari kemiskinan. Sepanjang
sejarah, masyarakat-masyarakat menderita karena dua jenis
kemiskinan: kemiskinan sosial, yang mencegah seseorang meraih
kesempatan yang tersedia bagi orang lain; dan kemiskinan biologis,
yang menempatkan kehidupan individu-individu pada risiko
karena tiadanya makanan dan tempat tinggal. Mungkin kemiskinan
sosial tidak pernah bisa dientaskan, tetapi di banyak negara di
seluruh dunia, kemiskinan biologis adalah keadaan masa lalu.
Sampai dengan masa yang mutakhir, sebagian besar orang
mengambang sangat dekat dengan garis kemiskinan biologis, yang
di bawahnya orang tidak punya cukup kalori untuk bertahan
hidup lama. Bahkan, miskalkulasi-miskalkulasi atau kemalangankemalangan kecil bisa dengan mudah mendorong orang ke
bawah garis itu, menuju kelaparan. Bencana-bencana alam dan
bencana-bencana akibat ulah manusia sering menjerumuskan
segenap populasi ke dalam neraka, yang menyebabkan kematian
jutaan orang. Kini sebagian besar penduduk dunia memiliki
jaring pengaman yang dibentangkan di bawah mereka. Individuindividu dilindungi dari kemalangan personal dengan asuransi,
jaminan sosial yang disponsori negara dan semaraknya organisasi
non-pemerintah internasional. Ketika bencana melanda satu
wilayah, upaya-upaya bantuan seluruh dunia biasanya berhasil
mencegah keadaan memburuk. Orang masih menderita dari
berbagai degradasi, penistaan, dan sakit terkait kemiskinan,
tetapi di sebagian besar negara tak seorang pun yang kelaparan
sampai mati. Malah, di banyak masyarakat semakin banyak
orang yang berada dalam bahaya kematian akibat kegemukan
ketimbang kelaparan.
Proyek Gilgamesh
Dari seluruh problem manusia yang seakan-akan tak bisa diatasi,
ada satu yang tetap paling mengusik, paling menarik, dan paling
penting: problem kematian itu sendiri. Sebelum era modern akhir,
sebagian besar agama dan ideologi menerima begitu saja bahwa
kematian adalah nasib kita yang tak terelakkan. Lebih dari itu,
sebagian besar agama menjadikan kematian sebagai sumber utama
pemaknaan kehidupan. Coba bayangkan Islam, Kristen, atau
agama kuno Mesir dalam sebuah kata tanpa kematian. Kredokredo ini mengajarkan kepada masyarakat bahwa mereka harus
siap menghadapi kematian dan menggantungkan harapan pada
kehidupan akhirat ketimbang mencari cara mengatasi kematian
dan hidup selamanya di sini di muka Bumi. Pikiran-pikiran
terbaik sibuk memberi makna pada kematian, bukan berusaha
menghindarinya. Itulah tema mitos yang paling kuno yang sampai
kepada kita—mitos Gilgamesh Sumeria kuno. Pahlawannya
adalah pria paling kuat dan paling ulung di seluruh dunia, Raja
Gilgamesh dari Uruk, yang bisa mengalahkan siapa pun dalam
pertarungan. Suatu hari, sahabat Gilgamesh, Enkidu, meninggal.
Gilgamesh duduk di samping mayatnya dan memperhatikannya
selama beberapa hari, sampai dia melihat seekor belatung jatuh
dari lubang hidung sahabatnya itu. Saat itu Gilgamesh menggigil
sangat ketakutan, dan dia bertekad bahwa dia sendiri tidak akan
pernah mati. Dia berusaha mencari cara untuk mengalahkan
kematian. Gilgamesh kemudian melakukan sebuah perjalanan
ke ujung dunia, membunuh singa-singa, memerangi manusiamanusia kalajengking, dan mencari jalan menuju neraka. Di sana
dia memecahkan raksasa batu Urshanabi*
dan laki-laki perahu
di sungai orang-orang mati, dan mendapati Utnapishtim, orang
terakhir yang selamat dari banjir primordial. Namun, Gilgamesh
gagal dalam pencariannya. Dia kembali pulang dengan tangan
hampa, sefana biasanya, tetapi dengan sepotong kearifan baru.
Ketika para dewa menciptakan manusia, menurut hasil belajar
Gilgamesh, mereka menetapkan kematian sebagai akhir tak
terelakkan bagi manusia, dan manusia harus belajar untuk hidup
dengan itu.
Para murid kemajuan tidak mau menerima sikap kalah
tersebut. Bagi orang-orang sains, kematian bukan akhir yang
tak terelakkan, tetapi semata-mata problem teknis. Orang mati
bukan karena para dewa memutuskannya, tetapi karena berbagai
kegagalan teknis—serangan jantung, kanker, infeksi. Dan, setiap
problem teknis memiliki solusi teknis. Jika jantung berdebar, ia
bisa distimulasi dengan alat pemacu atau diganti dengan jantung
baru. Jika kanker menyerang, ia bisa dibunuh dengan obat atau
radiasi. Jika bakteri berbiak, mereka bisa ditundukkan dengan
antibiotik. Benar, saat ini kita tidak bisa mengatasi semua problem
teknis itu. Namun, kita sedang bekerja untuk itu. Pikiran terbaik
kita bukan untuk menyia-nyiakan waktu mereka untuk berusaha
memaknai kematian. Namun, mereka sibuk menginvestigasi
sistem psikologis, hormonal, dan genetika yang menyebabkan
penyakit dan usia tua. Mereka mengembangkan kedokteran baru,
perawatan revolusioner, dan organ-organ artifisial yang akan
memperpanjang hidup kita dan mungkin suatu hari mengalahkan
Malaikat Maut.
Sampai dengan masa kini, Anda tidak akan pernah
mendengar ilmuwan, atau siapa pun, berbicara begitu blakblakan. “Mengalahkan kematian?! Omong kosong apa itu!
Kita hanya berusaha mengobati penyakit kanker, tuberkulosis,
dan Alzheimer”, mereka menegaskan. Orang menghindari
isu kematian karena tujuannya tampak terlalu sulit. Mengapa
menciptakan ekspektasi-ekspektasi yang tidak masuk akal?
Namun, kita sekarang sampai pada titik ketika kita bisa jujur
tentang itu. Proyek terkemuka Revolusi Saintifik adalah memberi
manusia kehidupan abadi. Bahkan, jika mengalahkan kematian
tampak seperti tujuan yang jauh, kita sudah mencapai beberapa
hal yang tak terbayangkan beberapa abad lalu. Pada 1199, Raja
Richard Si Hati Singa terkena panah di bahu kirinya. Kini kita
mengatakan bahwa dia mengalami luka ringan. Namun, pada
1199, karena tiadanya antibiotik dan metode sterilisasi efektif,
luka ringan itu menjadi infeksi dan terbentuklah gangren
(pembusukan). Satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran
gangren pada abad ke-12 di Eropa adalah dengan memotong
daging yang terinfeksi, tetapi tidak mungkin karena infeksi itu
ada di bahu. Gangren menyebar ke seluruh tubuh Si Hati Singa
dan tak ada yang bisa membantu sang raja. Dia meninggal dalam
penderitaan mendalam dua pekan kemudian.
Sampai dengan abad ke-19, para dokter terbaik masih belum
tahu bagaimana mencegah infeksi dan menghentikan pembusukan
lapisan daging. Di rumah sakit-rumah sakit lapangan, para dokter
rutin mengamputasi tangan dan kaki tentara yang mengalami
bahkan luka ringan, karena takut gangren. Amputasi-amputasi ini,
di samping semua prosedur medis lainnya (cabut gigi), dilakukan tanpa anestesi. Anestesi pertama—entah dengan kloroform atau
morfin—memasuki era pemakaian reguler dalam kedoteran Barat
baru terjadi pada pertengahan abad ke-19. Sebelum ditemukannya
kloroform, empat tentara harus memegangi seorang rekan yang
terluka sementara dokter memangkas daging yang terluka. Pada
pagi hari setelah pertempuran Waterloo (1815), tumpukan tangan
dan kaki yang dipotong bisa dilihat di dekat rumah sakit-rumah
sakit lapangan. Pada masa itu, para tukang kayu dan tukang jagal
yang diikutkan dalam angkatan perang sering dikirim untuk dinas
di korps medis karena operasi memerlukan lebih dari sekadar
pengetahuan menggunakan pisau dan gergaji.
Dalam dua abad setelah Waterloo, keadaan berubah di luar
perkiraan. Pil, injeksi, dan operasi-operasi canggih menyelamatkan
kita dari banjir penyakit dan cedera yang dulu berakhir dengan
“hukuman mati” yang tak terelakkan. Semua itu juga melindungi
kita dari tak terhitung jenis sakit harian, yang oleh masyarakat
pramodern diterima begitu saja sebagai bagian dari kehidupan.
Rata-rata angka harapan hidup melonjak dari sekitar 25 tahun
menjadi 40 tahun sampai 67 tahun di seluruh dunia, dan sampai
80 tahun di negara-negara maju.8
Kemunduran terburuk terjadi di lingkup angka kematian
anak. Sampai dengan abad ke-20, antara seperempat sampai
sepertiga anak di masyarakat-masyarakat agrikultur tidak pernah
mencapai usia dewasa. Sebagian besar takluk pada penyakit
kanak-kanak seperti difteri, campak, dan cacar. Di Inggris abad
ke-17, 150 dari setiap 1.000 kelahiran meninggal pada tahun
pertama mereka, dan sepertiga dari semua anak mati sebelum
mereka mencapai usia lima belas tahun.9
Kini, hanya 5 dari
1.000 bayi Inggris mati di tahun pertama mereka, dan hanya 7
dari 1.000 mati sebelum usia 15 tahun.10
Kita bisa menangkap pengaruh penuh dari angka-angka ini
dengan mengesampingkan statistika dan mencermati kisa-kisah
lain. Satu contoh yang bagus adalah keluarga Raja Edward I
Inggris (1237–1307) dan istrinya, Ratu Eleanor (1241–1290).
Anak-anak mereka menikmati kondisi terbaik dan lingkungan
pengasuhan paling baik yang bisa diberikan oleh Eropa abad
pertengahan. Mereka hidup dalam istana-istana, makan sebanyak
makanan yang mereka suka, punya banyak pakaian hangat, tungku
api dengan persediaan baik, air terbersih, satu pasukan pembantu,
dan dokter-dokter terbaik. Beberapa sumber menyebutkan enam
belas anak dilahirkan Ratu Eleanor antara 1255 sampai 1284:
1. Seorang putri tanpa nama, lahir tahun 1255, meninggal saat
lahir.
2. Seorang putri, Catherine, meninggal pada usia 1 atau 3 tahun.
3. Seorang putri, Joan, meninggal pada usia 6 bulan.
4. Seorang putra, John, meninggal pada usia 5 tahun.
5. Seorang putra, Henry, meninggal pada usia 6 tahun.
6. Seorang putri, Eleanor, meninggal pada usia 29 tahun.
7. Seorang putri, tanpa nama, meninggal pada usia 5 bulan.
8. Seorang putri, Joan, meninggal pada usia 35 tahun.
9. Seorang putra, Alphonso, meninggal pada usia 10 tahun.
10. Seorang putri, Margaret, meninggal pada usia 58 tahun.
11. Seorang putri, Berengeria, meninggal pada usia 2 tahun.
12. Seorang putri, tanpa nama, meninggal tak lama setelah
kelahiran.
13. Seorang putri, Mary, meninggal pada usia 53 tahun.
14. Seorang putra, tanpa nama, meninggal tak lama setelah
kelahiran.
15. Seorang putri, Elizabeth, meninggal pada usia 34 tahun.
16. Seorang putra, Edward.
Si bungsu, Edward, adalah anak laki-laki pertama yang
selamat dari tahun-tahun kanak-kanak yang berbahaya, dan
kematian ayahnya mengukuhkan putra mahkota Inggris menjadi
Raja Edward II. Dengan kata lain, Eleanor butuh 16 kali mencoba
menjalankan misi paling fundamental seorang ratu Inggris—
memberi suaminya laki-laki pewaris. Ibu Edward II pasti seorang
perempuan yang memiliki kesabaran dan ketabahan istimewa.
Tidak demikian dengan perempuan yang dipilih Edward menjadi
istrinya, Isabella dari Prancis. Dialah penyebab terbunuhnya
Edward pada usia 53 tahun.11
Sepanjang yang bisa kita ketahui, Eleanor dan Edward I
adalah pasangan sehat dan tak menurunkan penyakit bawaan
mematikan ke anak-anaknya. Meskipun demikian, 10 dari
16—62 persen—meninggal pada usia kanak-kanak. Hanya 6
yang berhasil hidup melewati usia 11 tahun, dan hanya 3—
hanya 18 persen—yang hidup melampaui usia 40 tahun. Selain
kelahiran-kelahiran ini, Eleanor sangat mungkin mengalami
beberapa kehamilan yang berakhir dengan keguguran. Rata-rata,
Edward dan Eleanor kehilangan anak setiap 3 tahun, 10 anak
susul-menyusul. Hampir mustahil bagi orangtua zaman sekarang
menanggung beban kehilangan seperti itu.
Berapa lama yang dibutuhkan untuk merampungkan
Proyek Gilgamesh—pencarian imortalitas? 500 tahun? 1.000
tahun? Ketika kita mengenang betapa sedikit yang kita tahu
tentang tubuh manusia pada tahun 1900, dan betapa banyak
pengetahuan yang kita dapatkan dalam satu abad saja, maka ada
alasan untuk optimistis. Para insinyur genetika belum lama ini
berhasil memperbesar 6 kali lipat rata-rata harapan hidup cacingcacing Caenorhabditis elegans worms.12 Bisakah mereka lakukan
hal yang sama untuk Homo sapiens? Para ahli nanoteknologi
sedang mengembangkan sistem kekebalan bionik yang tersusun
atas jutaan robot nano, yang akan menghuni tubuh-tubuh kita,
membuka saluran-saluran darah yang terblokade, memerangi
virus dan bakteri, mengeliminasi sel-sel kanker dan bahkan
membalikkan proses-proses penuaan.13 Beberapa ahli yang serius
mengemukakan bahwa pada 2050, sebagian manusia akan menjadi
a-mortal (bukan imortal karena mereka tetap masih bisa mati
akibat kecelakaan, sedangkan a-mortal berarti bahwa dengan
absennya trauma fatal kehidupan mereka bisa diperpanjang tak
terbatas).
Entah Proyek Gilgamesh berhasil atau tidak, dari perspektif
sejarah, menarik untuk melihat bahwa sebagian besar agama
dan ideologi modern-akhir sudah menempatkan kematian
dan kehidupan setelah mati di luar rumus persamaan. Sampai
dengan abad ke-18, agama-agama memandang kematian dan
kehidupan sesudahnya penting untuk memaknai kehidupan.
Dimulai dari abad ke-18, agama-agama dan ideologi-ideologi
seperti liberalisme, sosialisme, dan feminisme kehilangan minat
pada kehidupan setelah mati. Apa, sih, sesungguhnya yang
terjadi pada seorang komunis setelah dia mati? Apa yang terjadi
pada seorang kapitalis? Apa yang terjadi pada seorang feminis?
Tak ada gunanya mencari jawaban dalam tulisan Marx, Adam
Smith, atau Simone de Beauvoir. Satu-satunya ideologi modern
yang masih menempatkan kematian pada peran sentral adalah
nasionalisme. Dalam momen-momennya yang lebih puitis dan
putus asa, nasionalisme menjanjikan bahwa siapa pun yang mati
demi negara akan hidup selamanya dalam kenangan kolektif.
Namun, janji ini begitu membingungkan, yang bahkan orang
paling nasionalis pun tidak benar-benar tahu seperti apa.
Cukongnya Sains
Kita kini hidup dalam abad teknik. Banyak orang yakin bahwa
sains dan teknologi menyimpan jawaban untuk semua masalah
kita. Kita cukup biarkan para ilmuwan dan teknisi melanjutkan
pekerjaan mereka, dan mereka akan menciptakan surga di sini,
di muka Bumi. Namun, sains bukanlah sebuah usaha yang
berlangsung di atas suatu pesawat moral atau spiritual yang
superior di atas aktivitas manusia lain. Seperti semua bagian
dari kultur kita, ia dibentuk oleh kepentingan ekonomi, politik,
dan keagamaan.
Sains adalah urusan yang sangat mahal. Seorang ahli
biologi yang berusaha memahami sistem kekebalan manusia
memerlukan laboratorium, tabung-tabung uji, bahan kimia,
dan mikroskop elektron, belum lagi para asisten lab, tukang
listrik, tukang ledeng, dan tukang bersih. Seorang ekonom yang
berusaha membuat model pasar kredit harus membeli komputer,
membuat bank-bank data raksasa, dan mengembangkan programprogram pemrosesan data yang rumit. Seorang arkeolog yang ingin memahami perilaku para pemburu-penjelajah kuno harus
bepergian ke tempat-tempat yang jauh, menggali reruntuhanreruntuhan kuno dan menetapkan tahun fosil tulang belulang
dan artefak-artefak. Semua itu butuh uang.
Dalam 500 tahun terakhir sains modern telah mencapai
keajaiban-keajaiban terutama berkat kesediaan pemerintahanpemerintahan, bisnis-bisnis, dan yayasan-yayasan serta donor
swasta untuk menyalurkan miliaran dolar ke riset saintifik.
Miliaran dolar ini telah memberi jauh lebih banyak ketimbang
yang diberikan oleh Galileo Galilei, Christopher Columbus, dan
Charles Darwin. Seandainya orang-orang genius istimewa ini tidak
pernah lahir, pengetahuan-pengetahuan mereka mungkin jatuh ke
orang lain. Namun, jika pendanaan yang cukup tidak tersedia,
tidak ada kehebatan intelektual yang bisa menggantikannya.
Kalau saja Darwin tidak pernah dilahirkan, misalnya, kita
kini merujukkan teori evolusi ke Alfred Russel Wallace, yang
menyodorkan ide evolusi via seleksi alam yang independen dari
Darwin dan hanya beberapa tahun sesudahnya. Namun, jika
kekuatan-kekuatan Eropa tidak pernah mendanai riset geografis,
zoologis, dan botanikal di seluruh dunia, Darwin maupun
Wallace tidak akan memiliki data empiris yang dibutuhkan untuk
mengembangkan teori evolusi. Bahkan, sangat mungkin mereka
tidak pernah mencobanya.
Mengapa miliaran dolar itu mulai mengalir dari pundi-pundi
pemerintahan dan bisnis ke lab-lab dan universitas-universitas?
Dalam lingkaran akademis, banyak orang yang cukup naif untuk
memercayai sains murni. Mereka percaya bahwa pemerintah dan
bisnis secara altruis memberi mereka uang untuk melakukan apa
pun proyek riset yang mereka gemari. Namun, ini hampir tidak
dapat menggambarkan realitas pendanaan sains.
Sebagian besar studi saintifik didanai karena seseorang
percaya studi-studi itu bisa membantu mencapai tujuan politik,
ekonomi, atau keagamaan tertentu. Misalnya, pada abad ke-16,
raja-raja dan para bankir menyalurkan sumber daya yang sangat
besar untuk mendanai ekspedisi-ekspedisi geografi di seluruh
dunia, tetapi tidak sepeser pun untuk mempelajari psikologi
anak. Ini karena para raja dan para bankir menduga bahwa penemuan pengetahuan geografis baru akan memungkinkan
mereka menaklukkan wilayah-wilayah baru dan mendirikan
imperium-imperium dagang, sedangkan mereka tak melihat
keuntungan apa pun dalam memahami psikologi anak.
Pada 1940-an, pemerintah Amerika Serikat dan Uni Soviet
menyalurkan sumber daya yang sangat besar ke studi fisika nuklir,
dibandingkan ke arkeologi bawah laut. Mereka menduga bahwa
dengan mempelajari fisika nuklir mereka bisa mengembangkan
senjata-senjata nuklir, sedangkan arkeologi bawah laut tak
mungkin membantu mereka menang perang. Para ilmuwan sendiri
kini tidak selalu menyadari kepentingan politik, ekonomi, dan
keagamaan yang mengendalikan aliran uang; banyak ilmuwan,
memang, yang bekerja atas dasar keingintahuan intelektual
murni. Namun, jarang sekali ilmuwan yang mendiktekan agenda
saintifik mereka.
Andaipun kita ingin mendanai sains murni yang tak terpengaruh oleh kepentingan politik, ekonomi, atau keagamaan,
itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Bagaimanapun,
sumber daya-sumber daya kita terbatas. Mintalah seorang
anggota kongres untuk mengalokasikan tambahan jutaan dolar
ke National Science Foundation untuk riset dasar, dan dia akan
bertanya dengan alasan kuat apakah uang itu tidak lebih baik
digunakan buat pelatihan guru atau memberi keringanan pajak
bagi pabrik yang kesulitan dalam distriknya. Untuk menyalurkan
sumber daya terbatas kita harus menjawab pertanyaan semacam,
“Apanya yang lebih penting?” dan “Apanya yang bagus?” Dan,
pertanyaan-pertanyaan ini jelas bukan pertanyaan saintifik.
Sains bisa menjelaskan apa yang eksis di dunia, bagaimana
sesuatu bekerja, dan apa yang mungkin terjadi di masa depan.
Berdasarkan definisi, ia tidak punya pretensi untuk tahu apa
yang harus terjadi pada masa depan. Hanya agama dan ideologi
yang mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Renungkanlah kerumitan berikut ini: dua ahli biologi dari
departemen yang sama, memiliki kemampuan profesional yang
sama, keduanya sudah mengajukan permohonan bantuan satu
juta dolar untuk mendanai proyek riset mereka yang sedang
berjalan. Profesor Slughorn ingin mempelajari sebuah penyakit
yang menginfeksi ambing sapi, yang menyebabkan 10 persen
penurunan produksi susu. Profesor Sprout ingin mempelajari
apakah sapi-sapi mengalami sakit mental ketika mereka dipisahkan
dari anak-anaknya. Dengan asumsi bahwa jumlah uang terbatas,
dan bahwa tidak mungkin mendanai kedua proyek riset itu,
mana yang harus didanai?
Tidak ada jawaban saintifik untuk pertanyaan ini. Hanya
ada jawaban politis, ekonomis, dan religius. Dalam dunia masa
kini, jelas bahwa Slughorn memiliki peluang yang lebih baik
untuk mendapatkan uang. Bukan karena penyakit kambing secara
saintifik lebih menarik ketimbang mentalitas sapi, tetapi karena
industri susu, yang akan mendapatkan manfaat dari riset itu,
memiliki pengaruh politis dan ekonomis lebih besar ketimbang
lobi para aktivis hak-hak binatang.
Mungkin dalam satu masyarakat Hindu yang ketat, di mana
sapi-sapi disakralkan, atau dalam masyarakat yang berkomitmen
pada hak-hak binatang, Profesor Sprout-lah yang akan berpeluang
lebih besar. Namun, sepanjang dia hidup dalam masyarakat yang
lebih menghargai potensi komersial susu dan kesehatan untuk
manusia-manusia penduduknya di atas perasaan sapi, maksimal
dia bisa menyusun proposal riset yang sejalan dengan asumsiasumsi itu. Misalnya, dia mungkin akan menulis bahwa “Depresi
menyebabkan penurunan produksi susu. Jika kita memahami
dunia mental sapi-sapi perah, kita bisa mengembangkan medikasi
psikiatris yang akan memperbaiki kondisi mental mereka sehingga
meningkatkan produksi susu sampai 10 persen. Saya menaksir
bahwa ada nilai pasar global tahunan sebesar $250 juta untuk
medikasi psikiatris sapi”.
Sains tidak bisa menentukan prioritasnya sendiri. Ia juga tidak
mampu menentukan apa yang harus dilakukan dengan penemuanpenemuannya. Misalnya, dari sudut pandang yang murni saintifik
tidak jelas apa yang harus kita lakukan dengan meningkatnya
pemahaman tentang genetika. Apakah kita harus menggunakan
pengetahuan ini untuk mengobati kanker atau menciptakan
ras yang secara genetik direkayasa menjadi manusia-manusia
super, atau merekayasa sapi-sapi perah dengan ambing-ambing
berukuran super? Jelas bahwa pemerintah liberal, pemerintahan Komunis, pemeritanah Nazi, dan korporasi bisnis kapitalis akan
menggunakan penemuan saintifik yang sama untuk tujuan-tujuan
yang sama sekali berbeda, dan tidak ada alasan saintifik untuk
memilih satu di antara penggunaan-penggunaan itu.
Singkatnya, riset saintifik hanya bisa berkembang dalam
aliansi dengan agama atau ideologi. Ideologi menjustifikasi biaya
riset. Sebagai imbalan, ideologi memengaruhi agenda saintifik
dan menentukan apa yang harus dilakukan dengan penemuanpenemuan itu. Oleh karenanya, dalam memahami bagaimana
manusia meneliti Alamogordo dan Bulan—ketimbang tujuantujuan alternatif lain mana pun—tidak cukup dengan mensurvei
pencapaian-pencapaian para ahli fisika, biologi, dan sosiologi.
Kita harus mempertimbangkan kekuatan ideologis, politis, dan
ekonomis yang membentuk fisika, biologi, sosiologi, dengan
mendorongnya ke arah-arah tertentu seraya mengabaikan yang
lain.
Ada dua kekuatan yang benar-benar pantas untuk kita
perhatikan: imperialisme dan kapitalisme. Celah umpan balik
antara sains, imperium, dan modal telah menjadi mesin utama
sejarah selama 500 tahun terakhir ini. Bab-bab selanjutnya akan
menganalisis bagaimana prosesnya. Pertama, kita akan melihat
bagaimana turbin kembar sains dan imperium saling mengunci,
dan kemudian menelisik bagaimana keduanya menyangkut ke
pompa uang kapitalisme.
Berapa jauh Matahari dari Bumi? Ini sebuah pertanyaan yang
mengusik banyak astronom modern awal, terutama setelah
Copernicus mengemukakan bahwa Matahari, bukan Bumi, terletak
di pusat alam semesta. Sejumlah astronom dan matematikawan
berusaha mengalkulasi jaraknya, tetapi metode mereka membawa
hasil yang sangat beragam. Satu alat tepercaya untuk melakukan
pengukuran itu akhirnya diajukan pada pertengahan abad ke-18.
Setiap beberapa tahun, Planet Venus melintas langsung antara
Matahari dan Bumi. Durasi pelintasan berbeda ketika dilihat
dari titik jauh di atas permukaan Bumi karena perbedaan kecil
sudut yang digunakan pemantau untuk melihatnya. Jika beberapa
observasi terhadap pelintasan yang sama dilakukan dari kontinen
yang berbeda, cukup trigonometri sederhana yang dibutuhkan
untuk mengalkulasi jarak pasti dari Matahari.
Para astronom meramalkan bahwa pelintasan-pelintasan Venus
berikutnya akan terjadi pada 1761 dan 1769. Maka, ekspedisiekspedisi dikirim dari Eropa ke empat sudut dunia dalam rangka
mengobservasi pelintasan-pelintasan tersebut dari sebanyak
mungkin titik jauh. Pada 1761, para ilmuwan mengobservasi
pelintasan dari Siberia, Amerika Utara, Madagaskar, dan Afrika
Selatan. Ketika pelintasan mendekat pada 1769, komunitas
saintifik Eropa meningkatkan upayanya, dan para ilmuwan
dikirim sampai sejauh Kanada utara dan California (yang saat
itu masih hutan belantara). Royal Society of London for the
Improvement of Natural Knowledge menyimpulkan bahwa itu
tidak cukup. Untuk mendapatkan hasil yang paling akurat, maka
wajib untuk mengirim seorang astronom ke Samudra Pasifik
bagian barat daya.
Royal Society mantap mengirim seorang astronom terkemuka,
Charles Green, ke Tahiti, dan menyiapkan apa pun dan berapa pun
uang yang dibutuhkan. Namun, karena menyangkut pendanaan
ekspedisi yang begitu mahal, sulit dibayangkan pendanaan itu
digunakan hanya untuk sebuah observasi astronomi tunggal.
Oleh karena itu, Green ditemani satu tim 8 ilmuwan dari
beberapa disiplin, yang dipimpin 2 ahli tanaman Joseph Banks
dan Daniel Solander. Dalam tim juga ada seniman-seniman yang
ditugasi menghasilkan lukisan lahan-lahan baru, tumbuhannya,
binatangnya, dan orang-orangnya, yang tentu saja bakal ditemui
para ilmuwan. Dilengkapi dengan alat-alat saintifik yang paling
maju yang bisa dibeli Banks dan Royal Society, ekspedisi itu
berada di bawah komando Kapten James Cook, seorang pelaut
berpengalaman, yang juga seorang ahli Ilmu Bumi dan etnografi
yang mumpuni.
Ekspedisi bertolak dari Inggris pada 1768, mengobservasi
pelintasan Venus dari Tahiti pada 1769, mengintai beberapa pulau
Pasifik, mengunjungi Australia dan Selandia Baru, dan kembali
ke Inggris pada 1771. Ekspedisi itu membawa pulang data
dalam jumlah besar di bidang astronomi, geografi, meteorologi,
botani, zoologi, dan antropologi. Temuan-temuannya memberi
kontribusi besar bagi sejumlah disiplin, memicu imajinasi bangsa
Eropa dengan cerita-cerita menakjubkan tentang Pasifik Selatan,
dan menginspirasi generasi-generasi masa depan ahli ilmu alam
dan astronomi. Salah satu bidang yang mendapat manfaat dari
ekspedisi Cook adalah kedokteran. Pada masa itu, kapal-kapal
yang berlayar ke daratan-daratan yang jauh tahu bahwa lebih
dari setengah anggota awak mereka akan mati dalam perjalanan.
Siksaannya bukan berupa penduduk pribumi yang marah, kapalkapal musuh atau rindu kampung halaman, melainkan sebuah
penyakit misterius yang disebut scurvy*
. Kaum pria yang terjangkit
penyakit itu menjadi lesu dan tertekan, dan gusi serta bagianbagian daging lain mereka berdarah. Saat penyakit berkembang, gigi mereka rontok, luka-luka muncul dan mereka demam, tubuh
menguning, dan kehilangan kontrol keseimbangan. Antara abad
ke-16 sampai abad ke-18, scurvy diperkirakan menewaskan
sekitar dua juta pelaut. Tak seorang pun tahu penyebabnya, dan
apa pun pengobatan yang dicoba, para pelaut terus berguguran.
Titik baliknya terjadi pada 1747, ketika seorang dokter Inggris,
James Lind, melakukan eksperimen terkontrol kepada para pelaut
yang menderita penyakit tersebut. Dia membagi mereka dalam
beberapa kelompok dan memberi tiap-tiap kelompok perawatan
yang berbeda-beda. Salah satu kelompok uji disuruh makan buah
jeruk, obat rakyat yang umum untuk scurvy. Para pasien dalam
kelompok ini cepat membaik. Lind tidak tahu apa kandungan
buah jeruk yang tidak dimiliki tubuh para pelaut, tetapi kini
kita tahu bahwa itu adalah vitamin C. Muatan bekal makanan
dalam kapal yang umum pada waktu itu tampaknya kurang
zat-zat yang kaya akan nutrisi esensial ini. Dalam perjalananperjalanan jarak jauh para pelaut biasanya hidup dengan biskuit
dan dendeng sapi, dan hampir tidak makan buah atau sayur.
Angkatan Laut Kerajaan tak yakin dengan eksperimen Lind,
tetapi James Cook percaya. Dia mantap untuk membuktikan
bahwa dokter itu benar. Dia memuat ke kapalnya asinan kubis
dalam jumlah besar dan memerintahkan para pelautnya makan
banyak buah-buahan dan sayur-sayuran segar setiap kali ekspedisi
bertolak. Dan, Cook tidak kehilangan seorang pelaut pun akibat
scurvy. Dalam beberapa dekade kemudian, semua angkatan laut
dunia mengadopsi diet laut Cook, dan tak terhitung nyawa
pelaut dan penumpang terselamatkan.1
Meskipun demikian, ekspedisi Cook membawa hasil lain yang
jauh lebih mengenaskan. Cook bukan hanya seorang pelaut dan
ahli Ilmu Bumi berpengalaman, melainkan juga seorang perwira
angkatan laut. Royal Society memang mendanai banyak bagian
dari biaya ekspedisi, tetapi kapal itu sendiri disediakan oleh
Angkatan Laut Kerajaan.
Angkatan Laut juga memperbantukan 85 pelaut dan marinir
dengan persenjataan bagus, dan memper lengkapi kapal dengan
artileri, senapan, bubuk mesiu, dan persenjataan lain. Banyak
informasi yang dikumpulkan oleh ekspedisi itu—terutama
data astronomi, geografi, meteorologi, dan antropologi—jelas
memiliki nilai politis dan militer. Penemuan perawatan efektif
untuk scurvy memberi kontribusi besar bagi kontrol Inggris atas
lautan dunia dan kemampuannya mengirim angkatan perang ke
sisi lain dunia. Cook mendapatkan banyak pulau dan daratan
untuk Inggris, terutama Australia. Ekspedisi Cook meletakkan
fondasi bagi pendudukan Inggris atas Samudra Pasifik barat
daya; penaklukan Australia, Tasmania, dan Selandia Baru; dan
pembasmian kultur-kultur pribumi mereka dan sebagian besar
populasi pribumi mereka.2
Pada abad sesudah ekspedisi Cook, lahan-lahan paling subur
Australia dan Selandia Baru direbut dari penghuni asalnya oleh
para pemukim Eropa. Populasi pribumi turun sampai 90 persen
dan yang selamat menjadi sasaran penindasan rasial rezim yang
kejam. Bagi Aborigin Australia dan Maori Selandia Baru, ekspedisi
Cook adalah awal dari bencana, yang membuat mereka tak
pernah bisa pulih seperti sediakala.
Nasib lebih buruk menimpa pribumi Tasmania. Setelah 10.000
tahun selamat dalam isolasi nan megah, mereka benar-benar
tersapu, sampai laki-laki, perempuan, dan anak terakhir, dalam
satu abad kedatangan Cook. Para pemukim Eropa pertamatama mendesak mereka keluar dari daerah-daerah paling kaya
di pulau tersebut, dan kemudian, bahkan tergiur oleh belantara
yang tersisa, memburu dan membunuh mereka secara sistematis.
Beberapa orang yang selamat diarak menuju kamp konsentrasi
evangelis. Di sana, para misionaris yang punya maksud baik
tetapi kurang terbuka pikirannya, berusaha mengindoktrinasi
mereka dengan cara-cara dunia modern. Orang-orang Tasmania
diajari membaca dan menulis, agama Kristen, dan berbagai
“keterampilan produktif” seperti menjahit baju dan berladang.
Namun, mereka menolak untuk belajar. Mereka bahkan menjadi
semakin melankolis, berhenti punya anak, kehilangan minat pada
kehidupan, dan akhirnya memilih satu-satunya rute untuk lari
dari dunia sains dan kemajuan modern—kematian.
Sayang, sains dan kemajuan mengejar mereka bahkan sampai
ke liang lahat. Mayat-mayat orang Tasmania terakhir direbut
atas nama sains oleh para antropolog dan kurator. Mereka
dibedah, ditimbang, dan diukur, serta dianalisis dalam artikelartikel yang dipelajari. Tengkorak-tengkorak dan tulang belulang
kemudian dipajang di museum-museum dan koleksi-koleksi
antropologi. Baru pada 1976 Museum Tasmania menyerahkan
pemakaman tulang-tulang Truganini, pribumi Tasmania terakhir,
yang meninggal 100 tahun sebelumnya. Sekolah Tinggi Operasi
Kerajaan Inggris menyimpan sampel-sampel kulit dan rambutnya
sampai 2002.
Apakah kapal Cook merupakan ekspedisi saintifik yang
dilindungi kekuatan militer atau ekspedisi militer dengan
mengikutsertakan sejumlah ilmuwan? Itu sama saja seperti
bertanya apakah tangki bahan bakar Anda setengah penuh
atau setengah kosong. Dua-duanya benar. Revolusi Saintifik
dan imperialisme modern tak terpisahkan. Orang-orang seperti
Kapten James Cook dan ahli tumbuhan Joseph Banks hampir tak
bisa membedakan sains dari imperium. Demikian pula Truganini
yang malang.
Mengapa Eropa?
Fakta bahwa orang-orang dari sebuah pulau besar di Atlantik
utara menaklukkan sebuah pulau besar di sebelah selatan Australia
adalah sebuah kejadian yang lebih aneh dalam sejarah. Tak lama
sebelum ekspedisi Cook, pulau-pulau Inggris dan Eropa barat
secara umum adalah perairan belakang dunia Mediterania nan
jauh. Sedikit hal yang berarti terjadi di sana. Bahkan, Imperium
Romawi—satu-satunya imperium Eropa pramodern—memperoleh
sebagian besar kekayaannya dari provinsi-provinsi Afrika Utara,
Balkan, dan Timur Tengah. Provinsi-provinsi Eropa barat Romawi
adalah sebuah Wild West miskin, yang berkontribusi sedikit, selain
dari mineral dan budak. Eropa utara juga begitu terpencil dan
barbar sehingga tak cukup layak untuk ditaklukkan.
Baru pada akhir abad ke-15, Eropa menjadi sebuah arena
panas yang penting bagi perkembangan-perkembangan militer,
politik, ekonomi, dan kultural. Antara tahun 1500 sampai
1750, Eropa barat mendapatkan momentum dan menjadi tuan
bagi “Dunia Luar”, yang berarti dua kontinen Amerika dan
samudranya. Meskipun demikian, pada masa itu bahkan Eropa
bukan tandingan bagi kekuatan-kekuatan besar Asia. Orangorang Eropa berhasil menaklukkan Amerika dan mendapatkan
supremasi di laut, terutama karena kekuatan-kekuatan Asiatik
menunjukkan minat kecil padanya. Era modern awal adalah
masa keemasan Imperium Ottoman di Mediterania, Imperium
Safavid di Persia, Imperium Mughal di India, serta Dinasti Ming
dan Qing China. Mereka memperluas teritori secara signifikan
dan menikmati pertumbuhan demografis dan ekonomis yang
belum ada presedennya. Pada 1775, Asia menyumbang 80
persen ekonomi dunia. Ekonomi gabungan India dan China saja menyumbang dua pertiga produksi global. Jika dibandingkan,
Eropa waktu itu adalah cebol.3
Pusat kekuatan dunia baru beralih ke Eropa pada masa
antara tahun 1750 sampai 1850, ketika Eropa mempermalukan
kekuatan-kekuatan Asia dalam serangkaian perang dan
menaklukkan bagian-bagian besar Asia. Sampai tahun 1900
orang-orang Eropa dengan kokoh menguasai ekonomi dunia dan
sebagian besar teritorinya. Pada 1950, Eropa Barat dan Amerika
Serikat bersama-sama menyumbang lebih dari setengah produksi
global, sedangkan porsi China terpangkas menjadi 5 persen.4
Di bawah pengawasan Eropa, sebuah tatanan global dan kultur
global baru muncul. Kini seluruh manusia, pada ukuran yang
lebih besar dari yang mereka biasa akui, adalah Eropa dalam
hal pakaian, pemikiran, dan citarasa. Mereka mungkin gigih
anti-Eropa dalam retorika, tetapi hampir setiap orang di muka
Planet Bumi ini memandang politik, kedokteran, perang, dan
ekonomi dengan mata Eropa, mendengarkan musik yang ditulis
dalam gaya Eropa dengan kata-kata dari bahasa-bahasa Eropa.
Bahkan, ekonomi China yang kini berkembang, yang mungkin
segera meraih kembali keunggulan globalnya, dibangun dengan
model produksi dan keuangan Eropa.
Bagaimana orang-orang berjemari kaku dari Eurasia ini
berhasil mencuat dari sudut terpencil Bumi dan menaklukkan
seluruh dunia? Para ilmuwan Eropa-lah yang sering mendapat
pujian. Tak terbantahkan bahwa sejak 1850 dan seterusnya
dominasi Eropa bertumpu terutama pada jalinan militer-industrisains dan keunggulan teknologikal. Seluruh imperium yang
berhasil pada abad modern akhir menggalang riset saintifik
dengan harapan panen inovasi-inovasi teknologi, dan banyak
ilmuwan menghabiskan sebagian besar waktu kerja mereka
pada senjata, kedokteran, dan mesin-mesin untuk tuan-tuan
imperium mereka. Ungkapan umum di kalangan para tentara
Eropa yang menghadapi musuh-musuh Afrika adalah, “Majulah
dengan apa pun, kami punya senapan mesin, dan mereka tidak.”
Teknologi-teknologi sipil tak kalah pentingnya. Makananmakanan kalengan mengenyangkan tentara, rel kereta api dan
kapal uap mengangkut tentara dan bekal mereka, sementara satu
gudang baru obat-obatan mengobati tentara, pelaut, dan para
insinyur lokomotif. Kemajuan-kemajuan logistik ini memainkan
peran yang lebih signifikan dalam penaklukan Eropa atas Afrika
ketimbang senapan mesin.
Akan tetapi, keadaannya tidak demikian sebelum 1850.
Persekutuan militer-industri-sains masih bayi; buah-buah teknologi
dari Revolusi Saintifik belum matang; dan jurang teknologi
antara kekuatan Eropa, Asiatik, dan Afrika masih kecil. Pada
1770, James Cook sudah pasti memiliki teknologi yang jauh
lebih bagus ketimbang Aborigin Australia, tetapi demikian pula
China dan Ottoman. Mengapa kemudian Austrila dieksplorasi dan
dikolonisasi oleh Kapten James Cook, dan bukan oleh Kapten
Wan Zhengse atau kapten Hussein Pasha? Lebih penting lagi, jika
pada 1770 orang-orang Eropa tak punya keunggulan teknologi
yang signifikan atas Muslim, India, dan China, bagaimana
mungkin mereka berhasil dalam abad berikutnya membuka jurang
pemisah antara mereka dan kekuatan lain di dunia?
Mengapa persekutuan militer-industri-sains mekar di Eropa,
dan bukan di India? Ketika Inggris melompat maju, mengapa
Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat dengan cepat menyusul,
sedangkan China tertinggal di belakang? Ketika gap antara
bangsa-bangsa industri dan non-industri menjadi sebuah faktor
ekonomi dan politik yang jelas, mengapa Rusia, Italia, dan Austria
berhasil mendekatinya, sedangkan Persia, Mesir, dan Imperium
Ottoman gagal? Lagi pula, teknologi dari gelombang industri
pertama relatif sederhana. Apakah terlalu berat bagi China atau
Ottoman untuk merancang mesin uap, membuat senapan mesin,
dan memasang rel kereta api?
Kereta api komersial pertama di dunia terbuka untuk bisnis
pada 1830, di Inggris. Pada 1850, negara-negara Barat dibelahbelah oleh hampir 40.000 kilometer jalur kereta api—tetapi
di seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin hanya ada 4.000
kilometer jalur. Pada 1880, Barat memasang lagi jumlahnya
menjadi lebih dari 350.000 kilometer jalur kereta api (dan
sebagian besar ini buat oleh Inggris di India).5
Rel kereta api
pertama di China baru dibuka pada 1876. Panjangnya 25
kilometer dan dibangun oleh orang-orang Eropa—pemerintah China menghancurkannya setahun kemudian. Pada 1880,
Imperium China tidak mengoperasikan satu pun rel kereta api.
Rel kereta api pertama di Persia baru dibangun pada 1888,
dan rel itu menghubungkan Teheran dengan sebuah situs suci
Muslim sekitar 10 kilometer di sebelah selatan ibu kota. Rel
itu dibangun dan dioperasikan oleh sebuah perusahaan Belgia.
Pada 1950, total jaringan rel kereta api di Persia masih teramat
kecil, 2.500 kilometer, di sebuah negara dengan ukuran tujuh
kali luas Inggris.6
China dan Persia tidak kekurangan penemuan teknologi
semacam mesin uap (yang bisa dengan bebas ditiru atau dibeli).
Mereka tak punya nilai-nilai, mitos-mitos, perangkat yudisial,
dan struktur sosiopolitik yang butuh waktu berabad-abad untuk
terbentuk dan matang di Barat dan yang tidak bisa ditiru dan
diinternalisasi secara cepat. Prancis dan Amerika Serikat dengan
cepat mengikuti jejak Inggris karena Prancis dan Amerika sudah
memiliki mitos-mitos paling penting yang sama dengan mitosmitos serta struktur-struktur sosial Inggris. China dan Persia
tidak bisa mengejar dengan cepat karena mereka memandang
dan mengorganisasi masyarakat mereka secara berbeda.
Penjelasan ini membuka pemahaman baru tentang periode
dari 1500 sampai 1850. Pada era ini Eropa tidak memiliki
keunggulan yang jelas di bidang teknologi, politik, militer,
atau ekonomi atas kekuatan-kekuatan Asia, tetapi kontinen
itu membangun sebuah potensi unik, yang maknanya tiba-tiba
menjadi jelas sekitar 1850. Kesetaraan yang jelas antara dunia
Eropa, China, dan Muslim pada 1750 sesunggunya hanyalah
khayalan belaka. Bayangkan dua tukang bangunan, masingmasing sibuk membangun menara yang sangat tinggi. Satu
tukang bangunan menggunakan kayu dan batu bata tanah liat,
sedangkan yang lain menggunakan baja dan beton. Mula-mula
tampak bahwa tidak banyak perbedaan antara kedua metode
itu karena kedua menara tumbuh dengan kecepatan sama dan
mencapai ketinggian yang sama. Namun, begitu ambang batasnya
terlampaui, kayu dan batu bata tanah liat tidak bisa menahan
beban dan runtuh, sedangkan menara baja dan beton tumbuh
lantai demi lantai, sejauh mata bisa melihat.
Potensi apa yang dikembangkan Eropa pada periode modern
awal sehingga memungkinkannya mendominasi dunia modern
akhir? Ada dua jawaban yang saling melengkapi untuk pertanyaan
ini: sains modern dan kapitalisme. Bangsa Eropa biasa berpikir
dan berperilaku dalam cara saintifik dan kapitalis, bahkan sebelum
mereka menikmati keunggulan-keunggulan teknologi signifikan
yang mana pun. Ketika bonanza teknologi dimulai, bangsa Eropa
bisa memanfaatkannya jauh lebih bagus ketimbang bangsa lain
mana pun. Jadi, sulit untuk disebut sebagai kebetulan bahwa
sains dan kapitalisme membentuk warisan paling penting yang
diwariskan imperialisme Eropa ke dunia pos-Eropa abad ke-21.
Eropa dan bangsa Eropa tidak lagi menguasai dunia, tetapi sains
dan modal tumbuh semakin kuat. Kemenangan-kemenangan
kapitalisme diulas dalam bab sesudah ini. Bab ini dikhususkan
untuk kisah cinta antara imperialisme Eropa dan sains modern.
Mentalitas Penakluk
Sains modern tumbuh subur berkat imperium-imperium Eropa.
Disiplin ini jelas berutang sangat besar pada tradisi-tradisi saintifik
kuno, seperti Yunani, China, India, dan Islam kuno, tetapi
karakter uniknya mulai terbentuk baru pada awal periode modern,
bergandeng tangan dengan ekspansi Spanyol, Portugal, Inggris,
Prancis, Rusia, dan Belanda. Dalam periode modern awal, bangsa
China, India, Muslim, Pribumi Amerika, dan Polynesia terus
memberi kontribusi penting bagi Revolusi Saintifik. Pandanganpandangan mendalam para ekonom Muslim dipelajari oleh Adam
Smith dan Karl Marx, perawatan-perawatan yang dipelopori
oleh para dokter Pribumi Amerika menemukan jalan memasuki
naskah-naskah medis Inggris dan data yang diserap dari para
informan Polynesia merevolusi antropologi Barat. Namun, sampai
dengan pertengahan abad ke-20, orang-orang yang meramu
begitu banyak penemuan saintifik, untuk menciptakan disiplindisiplin saintifik dalam proses itu, adalah kaum elite berkuasa
dan intelektual dari imperium-imperium global Eropa. Timur
jauh dan dunia Islam menghasilkan pikiran-pikiran sepintar dan
segesit orang Eropa. Namun, antara tahun 1500 sampai 1950
mereka tidak menghasilkan apa pun yang bahkan mendekati
penemuan fisika Newton atau biologi Darwinian.
Ini tidak berarti bahwa bangsa Eropa memiliki gen unik untuk
sains, atau bahwa mereka akan selamanya mendominasi studi
fisika dan biologi. Sebagaimana Islam memulai sebagai sebuah
monopoli bangsa Arab, tetapi kemudian diambil alih oleh orang
Turki dan Persia, demikian pula sains bermula sebagai keahlian
Eropa, tetapi kini menjadi suatu ikhtiar multi-etnis.
Apa yang menyatukan ikatan historis antara sains modern
dan imperialisme Eropa? Teknologi adalah sebuah faktor penting
pada abad ke-19 dan k-20, tetapi pada era modern awal, ia
memiliki makna yang terbatas. Faktor kuncinya adalah bahwa
para ahli botani pencari tumbuhan dan perwira laut pencari
koloni memiliki jalan pikiran yang serupa. Baik ilmuwan maupun
penakluk memulai dengan pengakuan ketidaktahuan—mereka
sama-sama mengatakan “Saya tidak tahu apa yang ada di luar
sana”. Mereka sama-sama merasa tergugah untuk pergi keluar
dan menghasilkan penemuan-penemuan baru. Dan, mereka
sama-sama berharap pengetahuan baru yang diperoleh akan
menjadikan mereka penguasa dunia.
Imperialisme Eropa sama sekali tidak seperti semua proyek
imperium lain dalam sejarah. Para pembangun imperium
sebelumnya cenderung berasumsi bahwa mereka sudah memahami
dunia. Penaklukan semata-mata memanfaatkan dan menyebarkan
pandangan mereka tentang dunia. Bangsa Arab, sebagai contoh,
tidak menaklukkan Mesir, Spanyol, atau India dalam rangka
menemukan sesuatu yang mereka tidak tahu. Bangsa Romawi,
Mongolia, dan Aztec dengan rakus menaklukkan tanah-tanah baru
untuk mencari kekuasaan dan kekayaan—bukan pengetahuan.
Sebaliknya, para imperialis Eropa bertolak menuju daratandaratan jauh dengan harapan mendapatkan pengetahuan baru
yang ada di teritori-teritori baru.
James Cook bukan penjelajah pertama yang berpikir
demikian. Para pelancong Portugis dan Spanyol abad ke-15
dan ke-16 sudah melakukan. Pangeran Henry Sang Navigator
dan Vasco da Gama mengeksplorasi pesisir-pesisir Afrika dan,
sambil melakukan itu, merebut kontrol atas pulau-pulau dan
pelabuhan-pelabuhan. Christopher Columbus “menemukan”
Amerika dan langsung mengklaim kedaulatan atas tanah-tanah
baru itu untuk raja-raja Spanyol. Ferdinand Magellan menemukan
jalan ke seluruh dunia, dan secara simultan meletakkan fondasi
bagi penaklukan Filipina.
Seiring berlalunya waktu, penaklukan pengetahuan dan
penaklukan teritori menjadi semakin erat terjalin. Pada abad ke-18
dan ke-19, hampir setiap ekspedisi militer penting yang bertolak
dari Eropa ke tanah-tanah jauh membawa serta, dalam kapal-kapal
mereka, para ilmuwan yang tidak ditujukan untuk berperang,
tetapi untuk menghasilkan penemuan-penemuan saintifik. Ketika
Napoleon menginvasi Mesir pada 1798, dia membawa 165 ahli
bersamanya. Di antaranya, mereka mendirikan disiplin yang
baru sama sekali, Egyptologi, dan memberi kontribusi-kontribusi
penting bagi studi agama, linguistik, dan botani.
Pada 1831, Angkatan Laut Kerajaan mengirim kapal
HMS Beagle untuk memetakan pesisir-pesisir Amerika Latin,
Kepulauan Falkland, dan Kepulauan Galapagos. Angkatan Laut
itu membutuhkan pengetahuan dalam rangka membangun
persiapan yang lebih baik guna menghadapi peperangan.
Kapten kapal, yang seorang ilmuwan amatir, memutuskan
untuk menambahkan seorang geolog dalam ekspedisi untuk
mempelajari formasi-formasi geologis yang mungkin mereka
temukan dalam perjalanan. Setelah beberapa geolog menolak
undangannya, kapten menawarkan pekerjaan itu kepada seorang
lulusan Cambridge berusia 22 tahun, Charles Darwin. Darwin
sudah belajar untuk menjadi seorang pendeta Anglican, tetapi
jauh lebih tertarik dengan geologi dan ilmu alam ketimbang
Injil. Dia langsung meraih kesempatan itu, dan selebihnya adalah
sejarah. Kapten menghabiskan waktu dalam perjalanan untuk
menggambar peta-peta militer sementara Darwin mengumpulkan
data-data empiris dan memformulasi pandangan-pandangan yang
kelak menjadi teori evolusi.
Pada 20 Juli 1969, Neil Amstron dan Buzz Aldrin mendarat di
permukaan Bulan. Dalam bulan-bulan menuju ekspedisi mereka,
para astronot Apollo 11 berlatih di sebuah gurun terpencil
mirip Bulan di Amerika Serikat bagian barat. Area itu adalah
wilayah beberapa komunitas pribumi Amerika, dan terbetiklah
kisah—atau legenda—yang menggambarkan pertemuan antara
para astronot dan salah satu penduduk lokal.
Suatu hari saat latihan, para astronot berpapasan dengan
seorang tua Pribumi Amerika. Laki-laki itu bertanya kepada
mereka, apa yang sedang mereka lakukan di sana. Mereka
menjawab bahwa mereka adalah bagian dari ekspedisi riset yang
akan segera bepergian untuk mengeksplorasi Bulan. Mendengar
jawaban tersebut, laki-laki itu terdiam selama beberapa saat,
dan kemudian menanyakan apakah para astronot itu bisa
membantunya.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya mereka.
“Ya, masyarakat suku kami percaya bahwa para arwah suci
hidup di Bulan. Saya berharp Anda bisa menyampaikan sebuah
pesan penting kepada mereka dari masyarakat saya,” kata lakilaki itu.
“Apa pesannya?” tanya para astronot.
Pria itu menggumamkan sesuatu dalam bahasa sukunya,
kemudian meminta para astronot mengulanginya lagi dan lagi
sampai mereka bisa menghafal dengan benar.
“Apa artinya itu?” tanya para astronot.
“Oh, saya tidak bisa beri tahu kalian. Itu rahasia yang hanya
boleh diketahui oleh suku kami dan para arwah di Bulan.”
Kembali ke pangkalan mereka, para astronot mencari dan
terus mencari sampai mereka menemukan seseorang yang
mengerti bahasa suku itu, dan memintanya untuk menerjemahkan
pesan rahasia tersebut. Ketika mereka mengulangi apa yang
telah mereka hafalkan, penerjemah itu mulai tertawa terbahakbahak. Ketika tawanya sudah reda, para astronot itu bertanya
apa artinya. Orang itu menjelaskan bahwa kalimat yang mereka
hafalkan begitu hati-hati tersebut berarti, ‘Jangan percaya satu
kata pun yang dikatakan orang-orang ini kepadamu. Mereka
datang untuk mencuri tanah-tanahmu’.
Mentalitas “penjelajah dan penakluk” tergambar dengan baik
oleh perkembangan peta-peta dunia. Banyak kultur menggambar
peta dunia jauh sebelum abad modern. Jelas, tak ada dari
kultur-kultur itu yang benar-benar tahu keseluruhan dunia. Tak
ada kultur Afro-Asia yang tahu tentang Amerika, dan tak ada
kultur Amerika yang tahu tentang Afro-Asia. Namun, area-area
tak dikenal ditinggalkan begitu saja, atau dihuni oleh monstermonster dan keajaiban-keajaiban imajiner. Peta-peta ini tidak
punya ruang kosong. Mereka memberi kesan tentang pengenalan
seluruh dunia.
Pada abad ke-15 dan ke-16, bangsa Eropa mulai menggambar
peta-peta yang hilang ruang-ruang kosong itu—satu indikasi
dari perkembangan pola pikir saintifik, di samping dorongan
imperium Eropa. Peta-peta kosong adalah terobosan psikologis
dan ideologis, pengakuan yang jelas bahwa bangsa Eropa tidak
tahu tentang bagian-bagian besar dunia.
Titik balik penting terjadi pada 1492, ketika Christopher
Columbus berlayar ke barat dari Spanyol, mencari rute baru ke
Asia Timur. Columbus masih percaya pada peta-peta dunia lama
“yang lengkap”. Dengan menggunakan peta-peta itu, Columbus
mengalkulasi bahwa Jepang seharusnya terletak sekitar 7.000
kilometer sebelah barat Spanyol. Faktanya, lebih dari 20.000
kilometer dan sebuah kontinen utuh tak dikenal memisahkan
Asia Timur dari Spanyol. Pada 12 Oktober 1492, sekitar pukul
2.00 dini hari, ekspedisi Columbus terhadang oleh kontinen
tak dikenal itu. Juan Rodriguez Bermejo, yang memandang dari
tiang kapal Pinta, melihat sebuah pulau yang sekarang kita sebut
Bahama, dan berteriak “Daratan! Daratan!”
Columbus percaya dia sudah mencapai sebuah pulau kecil
dekat pesisir Asia Timur. Dia menyebut orang yang dia temukan
di sana sebagai orang Hindia karena mengira telah mendarat di
Hindia—yang sekarang kita sebut Hindia Timur atau Kepulauan
Indonesia. Columbus terjebak dalam kekeliruan ini sampai akhir
hayatnya. Ide bahwa dia menemukan banyak kontinen tak dikenal
tak terbayangkan olehnya dan oleh banyak orang dari generasinya.
Selama ribuan tahun, tidak hanya para pemikir dan ahli terbesar,
tetapi juga kitab-kitab suci, yang hanya tahu Eropa, Afrika, dan
Asia. Bagaimana mungkin mereka bisa salah? Bagaimana mungkin
Injil luput mengetahui setengah dunia? Itu seolah-olah pada 1969,
dalam perjalanan ke Bulan, Apollo 11 menabrak sebuah Bulan
tak dikenal sampai kini yang mengelilingi Matahari, yang gagal
dilihat oleh seluruh observasi sebelumnya. Dalam penolakannya
untuk mengakui ketidaktahuannya, Columbus tetaplah seorang
manusia abad pertengahan. Dia yakin dia tahu seluruh dunia,
dan bahkan penemuan pentingnya gagal meyakinkan dia untuk
mengakui hal yang sebaliknya. Orang modern pertama adalah
Amerigo Vespucci, seorang pelaut Italia yang ikut ambil bagian
dalam beberapa ekspedisi ke Amerika pada 1499 sampai 1504.
Antara 1502 sampai 1504, dua teks yang menjelaskan ekspedisiekspedisi ini diterbitkan di Eropa. Keduanya teratribusi ke nama
Vespucci. Keduanya mengemukakan bahwa tanah-tanah baru yang
ditemukan oleh Columbus bukanlah kepulauan lepas pantai Asia
Timur, melainkan sebuah benua utuh yang tak dikenal dalam
kitab-kitab Suci, para ahli geografi klasik, dan orang-orang biasa
Eropa. Pada 1507, yakin dengan argumentasi-argumentasi ini,
seorang pembuat peta terpandang bernama Martin Waldseemüller
menerbitkan sebuah peta dunia yang diperbarui, yang pertama
untuk menunjukkan tempat armada-armada Eropa yang berlayar
ke barat mendarat sebagai sebuah kontinen terpisah. Setelah
menggambar itu, Waldseemüller harus memberinya nama. Keliru
meyakini bahwa Amerigo Vespucci sendiri yang menemukannya,
Waldseemüller menamai kontinen itu untuk menghormatinya—
Amerika. Peta Waldseemüller menjadi sangat populer dan disalin
oleh banyak pembuat peta, menyebarkan nama yang dia berikan
pada tanah baru tersebut. Ada keadilan yang puitis dalam fakta
bahwa seperempat dunia, dan dua dari tujuh kontinennya,
dinamai dengan nama seorang Italia yang kurang terkenal karena
klaim tunggalnya yang terkenal adalah bahwa dia memiliki
keberanian untuk berkata, “Kami tidak tahu”.
Penemuan Amerika adalah sebuah peristiwa fondasi bagi
Revolusi Saintifik. Ia tidak hanya mengajarkan bangsa Eropa
untuk menghargai observasi masa kini di atas tradisi-tradisi
masa lampau, tetapi hasrat untuk menaklukkan Amerika juga
mewajibkan bangsa Eropa untuk mencari pengetahuan baru
dengan kecepatan yang menggila. Jika mereka benar-benar ingin
mengontrol teritori-teritori baru yang mahaluas, mereka harus
mengumpulkan data baru dalam jumlah sangat besar tentang
geografi, iklim, flora, fauna, bahasa, kultur, dan sejarah kontinen
baru. Kitab-kitab suci Kristen, buku-buku geografi tua, dan
tradisi-tradisi lisan kuno tidak banyak membantu.
Oleh karena itu, tidak hanya para ahli geografi Eropa, tetapi
juga para sarjana Eropa di hampir semua bidang pengetahuan
mulai menggambar peta dengan ruang-ruang yang tersisa untuk
diisi. Mereka mulai mengakui bahwa teori-teori mereka tidak
sempurna dan bahwa ada hal-hal penting yang mereka tidak tahu.
Bangsa Eropa ditarik ke titik-titik kosong peta seakan titik-titik
itu adalah magnet-magnet, dan langsung mulai mengisinya. Dalam
abad ke-15 dan ke-16, ekspedisi-ekspedisi Eropa menjelajah
ke Afrika, mengeksplorasi Amerika, menyeberangi Samudra
Pasifik dan India, serta menciptakan jaringan basis-basis dan
koloni-koloni di seluruh dunia. Mereka mendirikan imperiumimperium global pertama yang sejati dan menyulam jaringan
perdagangan global pertama. Ekspedisi-ekspedisi imperium Eropa
menstransformasi sejarah dunia: dari hanya serangkaian sejarah
orang-orang dan kultur-kultur terpisah, menjadi sejarah sebuah
masyarakat tunggal manusia yang terpadu.
Ekspedisi-ekspedisi jelajah-dan-taklukkan ala Eropa ini begitu
akrab kita kenal sehingga kita cenderung berlebihan memandang
betapa luar biasanya mereka. Tak ada yang seperti mereka
sebelumnya. Perjalanan-perjalanan jarak jauh untuk penaklukan
bukanlah langkah alamiah. Sepanjang sejarah sebagian besar
masyarakat manusia terlalu sibuk dengan konflik-konflik lokal
dan pertengkaran antar tetangga sehingga mereka tak pernah
berpikir tentang menjelajahi dan menaklukkan daratan-daratan
jauh. Sebagian besar imperium meluaskan kontrol mereka hanya
dengan tetangga terdekatnya—mereka menjangkau tanah-tanah
jauh hanya karena tetangga mereka terus berkembang. Jadi, bangsa
Romawi menaklukkan Etruria dalam rangka mempertahankan
Roma (350–300 SM). Mereka menaklukkan Lembah Po dalam
rangka mempertahankan Etruria (200 SM). Mereka selanjutnya
menaklukkan Provence untuk mempertahankan Lembah Po
(120 SM), Gaul untuk Provence (50 SM), dan Inggris untuk
mempertahankan Gaul (50 M). Butuh waktu 400 tahun untuk
membawa Romawi sampai ke London. Pada 350 SM, tak ada
orang Romawi yang akan berpikir tentang berlayar langsung ke
Inggris untuk menaklukkannya.
Sesekali seorang penguasa atau petualang yang ambisius
memang akan sampai pada keputusan untuk kampanye
penaklukan jarak jauh, tetapi kampanye-kampanye seperti itu
biasanya mengikuti jalur-jalur imperium atau komersial yang
sudah rata. Kampanye-kampanye Alexander Yang Agung,
misalnya, tidak menghasilkan berdirinya sebuah imperium baru,
tetapi merupakan perebutan kekuasaan atas imperium yang sudah
ada—yakni Persia. Preseden yang paling dekat pada imperiumimperium Eropa modern adalah imperium-imperium laut kuno
Athena dan Carthage, dan imperium laut kuno Majapahit,
yang menyatukan banyak bagian Indonesia pada abad ke-14.
Meskipun demikian, imperium-imperium ini jarang bertualang
ke lautan tak dikenal—eksploitasi-eksploitasi laut mereka adalah
tindakan-tindakan lokal kalau dibandingkan dengan petualanganpetualangan global Eropa modern.
Banyak ahli mengemukakan bahwa perjalanan-perjalanan
Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming China berjaya dan
meredupkan perjalanan-perjalanan penemuan Eropa. Antara
tahun 1405 sampai 1433, Cheng Ho memimpin 7 armada besar
dari China untuk mencapai jangkauan jauh Samudra Hindia.
Armada terbesarnya berisi 300 kapal dan membawa hampir
30.000 orang.7
Mereka mengunjungi Indonesia, Sri Lanka, India,
Teluk Persia, Laut Merah, dan Afrika Timur. Kapal-kapal China
berlabuh di Jeddah, pelabuhan utama Hejaz, dan di Malindi,
di pesisir Kenya. Armada Columbus pada tahun 1492—yang
terdiri dari 3 kapal kecil dengan 120 pelaut—ibarat trio nyamuk
dibandingkan dengan barisan naga Cheng Ho.8
Akan tetapi, ada perbedaan krusial. Cheng Ho menjelajahi
samudra-samudra itu, dan membantu para penguasa pro-China,
tetapi dia tidak berusaha menaklukkan atau mengolonisasi negaranegara yang dia kunjungi. Lebih dari itu, ekspedisi-ekspedisi
Cheng Ho tidak mengakar kuat dalam politik dan kultur China.
Ketika faksi penguasa di Beijing berganti pada tahun 1430-an,
para penguasa baru menghentikan operasi tersebut secara tibatiba. Armada besarnya dilenyapkan, pengetahuan teknis dan
geografisnya yang krusial hilang, dan tidak ada penjelajah dengan
postur dan sarana sebesar itu yang berlayar lagi dari pelabuhan
China. Para penguasa China pada abad-abad berikutnya, seperti
sebagian besar penguasa dalam abad-abad sebelumnya, membatasi
kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi mereka pada lingkup
dekat Kerajaan Menengah tersebut.
Ekspedisi-ekspedisi Cheng Ho membuktikan bahwa Eropa
tidak memiliki suatu keunggulan teknologis yang mencolok. Apa
yang membuat bangsa Eropa istimewa adalah ambisi mereka
yang tak tertandingi dan tak terpuaskan untuk menjelajah dan
menaklukkan. Meskipun mereka mungkin memiliki kemampuan
itu, bangsa Romawi tidak pernah berusaha menaklukkan India
atau Skandinavia, Persia tidak pernah berusaha menaklukkan
Madagaskar atau Spanyol, dan China tidak pernah berusaha
menaklukkan Indonesia atau Afrika. Tidak ada sesuatu yang
istimewa tentang itu. Keanehannya adalah bahwa bangsa Eropa
modern awal terjangkiti demam yang mendorong mereka untuk
berlayar selangkah demi selangkah ke pesisir-pesisir, dan langsung
mendeklarasikan “Saya mengklaim semua teritori ini untuk raja
saya!”
Sekitar tahun 1517, para kolonis Spanyol di Kepulauan Karibia
mulai mendengar rumor aneh tentang imperium kuat di suatu
tempat di pusat daratan Meksiko. Hanya dalam waktu 4 tahun
kemudian, ibu kota Aztec itu luluh lantak, Imperium Aztec
menjadi masa lalu, dan Hernán Cortés menguasai sebuah
Imperium Spanyol baru yang sangat besar di Meksiko.
Orang-orang Spanyol tidak berhenti takjub pada diri sendiri,
bahkan tercengang oleh keberhasilan mereka sendiri. Mereka
segera melancarkan operasi-operasi jelajah-dan-taklukkan ke
segala arah. Para penguasa sebelumnya atas Amerika Tengah—
Aztec, Toltec, Maya—jarang yang tahu bahwa Amerika Latin
itu ada, dan tidak pernah mencoba menjajahnya, dalam waktu
2.000 tahun. Namun, dalam waktu hanya 10 tahun lebih sejak
Spanyol menaklukkan Meksiko, Francisco Pizzaro menemukan
Imperium Inca dai Amerika Latin, menjajahnya pada 1532.
Kalau saja bangsa Aztec dan Inca punya sedikit minat pada
dunia di sekitar mereka—dan kalau saja mereka tahu apa yang
diperbuat orang-orang Spanyol pada tetangga-tetangga mereka—
mungkin mereka melawan penaklukan Spanyol dengan lebih
gigih dan sukses. Dalam tahun-tahun antara perjalanan pertama
Columbus ke Amerika (1492) dan pendaratan Cortés di Meksiko
(1519), bangsa Spanyol menaklukkan sebagian besar Kepulauan
Karibia, memasang satu rangai koloni baru. Bagi bangsa-bangsa
pribumi yang dijajah, koloni-koloni ini adalah neraka dunia.
Mereka dikuasai dengan tangan besi oleh kaum kolonialis
rakus lagi jahat yang memperbudak mereka dan memerintahkan
mereka bekerja di tambang-tambang dan perkebunan-perkebunan,
membunuh siapa pun yang sedikit saja berusaha melawan.
Sebagian besar penduduk pribumi mati, baik karena kondisikondisi kerja keras atau karena keganasan penyakit-penyakit yang
menumpang ke Amerika melalui kapal-kapal layar para penakluk.
Dalam kurun waktu 20 tahun, hampir seluruh populasi pribumi
Karibia musnah. Para kolonialis Spanyol mulai mengimpor budakbudak Afrika untuk mengisi kevakuman itu.
Genosida ini terjadi tepat di depan pintu Imperium Aztec,
tetapi ketika Cortés mendarat di pesisir timur imperium itu,
bangsa Aztec tak tahu apa-apa. Kedatangan bangsa Spanyol setara
dengan invasi alien dari luar angkasa. Bangsa Aztec diyakinkan
bahwa mereka tahu seluruh dunia dan bahwa mereka sudah
menguasai sebagian besarnya. Bagi mereka, tak terbayangkan
bahwa di luar domain mereka bisa ada sesuatu seperti orangorang Spanyol ini. Ketika Cortés dan orang-orangnya mendarat
di pantai-pantai panas yang kini dikenal dengan nama Vera Cruz,
itulah saat pertama bangsa Aztec bertemu dengan orang-orang
yang sama sekali asing.
Bangsa Aztec tidak tahu bagaimana cara bereaksi. Mereka
kesulitan untuk memastikan apa sesungguhnya makhluk-makhluk
asing ini. Tak seperti semua manusia yang dikenal, alien berkulit
putih. Mereka juga punya banyak rambut di wajah. Sebagian
rambutnya sewarna dengan Matahari. Bau mereka busuk luar
biasa. (Kebersihan pribumi jauh lebih bagus ketimbang orangorang Spanyol. Ketika orang-orang Spanyol kali pertama tiba
di Meksiko, para pribumi dengan membawa dupa yang dibakar
ditugasi untuk menemani mereka ke mana pun mereka ingin.
Orang-orang Spanyol mengira itu pertanda kehormatan dari
Tuhan. Kita tahu dari sumber-sumber pribumi bahwa bau para
pendatang itu benar-benar tak tertahankan.)
Kultur material para alien itu bahkan semakin menjadi-jadi.
Mereka datang dengan kapal-kapal raksasa, yang tak pernah
dibayangkan oleh bangsa Aztec, apalagi dilihat. Mereka naik
punggung binatang-binatang besar yang menakutkan, yang
larinya secepat angin. Mereka bisa menghasilkan kilat dan petir
dari batang-batang logam yang bersinar. Mereka punya pedangpedang panjang yang berkilau dan senjata-senjata yang tak bisa
ditembus, berhadapan dengan pedang-pedang kayu pribumi dan
kapak-kapak batu tak ada gunanya.
Sebagian orang Aztec mengira mereka pasti para dewa. Yang
lain menduga itu adalah setan-setan, atau hantu-hantu orang mati,
atau dukun-dukun yang kuat. Bukannya mengonsentrasikan semua
kekuatan yang tersedia dan mengusir orang-orang Spanyol, orangorang Aztec malah berunding, berleha-leha, dan bernegosiasi.
Mereka tak melihat alasan untuk bergegas. Lagi pula, Cortés
punya tak lebih dari 550 orang Spanyol bersamanya. Apa yang
bisa dilakukan 550 orang menghadapi imperium jutaan orang?
Cortés pun sama tak mengertinya tentang bangsa Aztec, tetapi
dia dan orang-orangnya memiliki keunggulan signifikan atas
musuh-musuh mereka. Kalau bangsa Aztec tak punya pengalaman
untuk bersiap menghadap kedatangan para alien bertampang
aneh dan berbau busuk itu, orang-orang Spanyol tahu bahwa
Bumi ini penuh dunia manusia yang tak dikenal, dan tak seorang
pun punya keahlian hebat dalam menginvasi tanah-tanah alien
dan mengatasi situasi yang benar-benar tidak mereka pahami.
Bagi penakluk modern dari Eropa, sebagaimana ilmuwan Eropa
modern, mencebur ke situasi yang tak dikenal itu mengasyikkan.
Maka, ketika Cortés melego jangkar dekat pantai bermandi
Matahari itu pada Juli 1519, dia tidak segan untuk bertindak.
Seperti alien dalam fiksi sains yang muncul dari pesawat ruang
angkasanya, dia mendeklarasikan kepada penduduk setempat
yang terkesima: “Kami datang dalam damai. Bawalah kami ke
pemimpin kalian”. Cortés menjelaskan bahwa dia membawa
tugas perdamaian dari raja agung Spanyol, dan meminta
wawancara diplomatik dengan penguasa Aztec, Montezuma
II. (Ini kebohongan tak tahu malu. Cortés memimpin sebuah
ekspedisi independen para petualang rakus. Raja Spanyol tak
pernah mendengar tentang Cortés maupun bangsa Aztec.) Cortés
diberi bimbingan, makanan, dan bantuan militer oleh musuhmusuh setempat dari kalangan Aztec. Dia kemudian bergerak
menuju ibu kota Aztec, kota metropolitan besar Tenochtitlan.
Orang-orang Aztec mengizinkan para alien bergerak ke
seantero ibu kota, kemudian dengan penuh hormat membimbing
pemimpin para alien bertemu dengan Kaisar Montezuma.
Di tengah wawancara, Cortés memberi sinyal, dan orangorang Spanyol bersenjata logam itu membantai para pengawal
Montezuma (yang hanya bersenjata pedang-pedang kayu,
dan pisau-pisau batu). Tamu terhormat itu menyandera tuan
rumahnya.
Cortés kini dalam situasi yang sangat pelik. Dia telah
menangkap kaisar, tetapi dikelilingi puluhan ribu petarung musuh
yang marah, jutaan penduduk sipil yang liar, dan segenap kontinen
yang praktis tidak dia mengerti sama sekali. Di pihaknya hanya
ada beberapa ratus orang Spanyol, dan bala bantuan Spanyol
terdekat ada di Kuba, lebih dari 1.500 kilometer jauhnya.
Cortés tetap menyandera Montezuma di istana, untuk
mengesankan bahwa raja tetap bebas dan bertugas. dan seakanakan “duta besar Spanyol” tak lebih dari seorang tamu biasa.
Imperium Aztec sebuah negara yang benar-benar terpusat, dan
situasi yang tak pernah dialami itu melumpuhkannya. Montezuma
terus berperilaku seakan-akan dia menguasai imperium, dan
elite Aztec terus mematuhinya, yang berarti mematuhi Cortés.
Situasi itu berlangsung selama beberapa bulan, dan dalam masa
itu Cortés menginterogasi Montezuma beserta para pengikutnya,
melatih para penerjemah untuk beberapa bahasa lokal, dan
mengirim ekspedisi-ekspedisi kecil Spanyol ke semua arah agar
bisa mengenal Imperium Aztec dan berbagai suku, masyarakat,
dan kota-kota yang dikuasainya.
Elite Aztec akhirnya memberontak melawan Cortés dan
Montezuma, memilih seorang kaisar baru, dan mengusir orangorang Spanyol dari Tenochtitlan. Namun, saat itu sejumlah
retakan sudah tampak pada bangunan imperium Aztec. Cortés
menggunakan pengetahuan yang sudah didapatnya untuk
memperbesar keretakan-keretakan dan memecah imperium dari
dalam. Dia yakin banyak rakyat imperium yang bersedia ikut
dengannya melawan elite penguasa Aztec. Rakyat jajahan itu
benar-benar salah perhitungan. Mereka membenci orang Aztec,
tetapi tak tahu apa pun tentang Spanyol atau genosida Karibia.
Mereka berasumsi bahwa dengan bantuan Spanyol, mereka
akan mengguncang penindasan Aztec. Ide bahwa Spanyol akan
mengambil alih tidak pernah terpikir oleh mereka. Mereka yakin
jika Cortés dan beberapa ratus hulubalangnya membuat ulah,
mereka bisa dengan mudah mengatasinya. Para pemberontak itu
memberi Cortés angkatan perang puluhan ribu tentara lokal, dan dengan bantuan tersebut Cortés mengepung Tenochtitlan
dan menaklukkan kota itu.
Sampai tahap ini semakin banyak tentara dan pemukim
Spanyol mulai tiba di Meksiko, sebagian dari Kuba, yang lain
langsung berangkat dari Spanyol. Ketika masyarakat lokal
menyadari apa yang sedang terjadi, keadaannya sudah terlalu
terlambat. Dalam satu abad setelah pendaratan di Vera Cruz,
populasi pribumi Amerika menyusut sampai sekitar 90 persen,
terutama karena penyakit-penyakit tak dikenal yang mencapai
Amerika bersama para penginvasi. Orang-orang yang selamat
terjebak di bawah kaki rezim rakus dan rasis yang jauh lebih
buruk dari rezim Aztec.
Sepuluh tahun setelah Cortés mendarat di Meksiko, Pizarro
tiba di pantai Imperium Inca. Dia membawa jauh lebih sedikit
tentara ketimbang Cortés—ekspedisinya hanya berkekuatan 168
orang! Namun, Pizarro lebih unggul karena semua pengetahuan
dan pengalaman yang didapat dari invasi-invasi sebelumnya.
Sebaliknya, Inca tidak tahu apa-apa tentang nasib Aztec.
Pizarro mencontek Cortés. Dia mendeklarasikan diri sebagai
pembawa misi perdamaian dari raja Spanyol, meminta penguasa
Inca, Atahualpa, untuk wawancara diplomasi, dan kemudian
menculiknya. Pizarro berhasil menaklukkan imperium yang
lumpuh itu dengan bantuan sekutu-sekutu lokal. Kalau saja
rakyat jajahan di Imperium Inca tahu nasib para penduduk
Meksiko, mereka tentu tidak akan menyerahkan nasib mereka
kepada para penginvasi. Namun, mereka tidak tahu. Masyarakat
pribumi Amerika tidak hanya orang yang harus membayar
harga yang sangat mahal untuk kepicikan mereka. Imperiumimperium besar Asia—Ottoman, Safavid, Mughal, dan China—
dengan cepat mendengar bahwa bangsa Eropa telah menemukan
sesuatu yang besar. Namun, mereka tak begitu berminat pada
penemuan-penemuan itu. Mereka terus meyakini bahwa dunia
berputar di sekitar Asia, dan tak berusaha bersaing dengan Eropa
untuk menguasai Amerika atau tanah-tanah baru di Samudra
Atlantik dan Pasifik. Bahkan, kerajaan-kerajaan kecil Eropa,
seperti Skotlandia dan Denmark, mengirim beberapa ekspedisi
menjelajah-dan-menaklukkan ke Amerika, tetapi tak ada satu
pun ekspedisi penjelajahan-penaklukan dikirim ke Amerika dari
dunia Islam, India, atau China. Kekuatan pertama non-Eropa
yang berusaha mengirim ekspedisi militer ke Amerika adalah
Jepang. Itu terjadi pada Juni 1942, ketika satu ekspedisi Jepang
menaklukkan Kiska dan Attu, dua pulau kecil lepas pantai Alaska,
yang dalam proses itu menawan 10 tentara Amerika dan seekor
anjing. Jepang tidak pernah mendekati daratan utama.
Sulit untuk mengatakan bahwa Ottoman atau China terlalu
jauh, atau mereka tidak memiliki perangkat teknologi, ekonomi,
atau militer. Sumberdaya yang dikirim Cheng Ho dari China
ke Afrika Timur pada tahun 1420-an semestinya sudah cukup
untuk mencapai Amerika. Orang China memang tidak tertarik.
Itu saja. Peta dunia pertama dari China yang menunjukkan
Amerika baru dikeluarkan pada 1602—dan saat itu dikeluarkan
oleh misi Eropa! Selama 300 tahun, bangsa Eropa menikmati
penguasaan tak tertandingi di Amerika dan Oseania, di Atlantik,
dan di Pasifik. Satu-satunya pergolakan signifikan di wilayahwilayah itu adalah antara kekuatan-kekuatan dari Eropa.
Kekayaan dan sumber daya yang diakumulasi oleh bangsa Eropa
akhirnya memungkinkan mereka untuk menginvasi Asia juga,
mengalahkan imperium-imperiumnya, dan memecah-belahnya.
Ketika Ottoman, Persia, India, dan China terbangun dan mulai
memberi perhatian, sudah terlambat.
Baru pada abad ke-20, kultur-kultur non-Eropa mengadopsi
visi yang benar-benar global. Inilah salah satu faktor yang
menyebabkan runtuhnya hegemoni Eropa. Maka, dalam Perang
Kemerdekaan Aljazair (1945–1962), para gerilyawan Aljazair
mengalahkan angkatan perang Prancis dengan keunggulan jumlah,
teknologi, dan ekonomi yang sangat besar. Rakyat Aljazair
menang karena mereka didukung oleh satu jaringan global
anti kolonial, dan karena mereka bekerja keras memanfaatkan
media dunia untuk perjuangan mereka—di samping opini
publik di Prancis sendiri. Kekalahan yang ditimpakan si mungil
Vietnam Utara pada raksasa Amerika didasarkan pada strategi
yang sama. Kekuatan-kekuatan gerilya ini menunjukkan bahwa
bahkan negara adidaya bisa dikalahkan jika perjuangan lokal
menjadi perjuangan global. Menarik untuk direnungkan apa
jadinya kalau Montezuma mampu memanipulasi opini publik di
Spanyol dan mendapat bantuan dari salah satu pesaing-pesaing
Spanyol—Portugal, Prancis, atau Imperium Ottoman.
Laba-laba Langka dan Aksara-Aksara
yang Terlupakan
Sains modern dan imperium-imperium modern dimotivasi
oleh perasaan yang tak kunjung padam bahwa mungkin ada
sesuatu yang penting di balik horizon—sesuatu yang sebaiknya
dieksplorasi dan dikuasai. Namun, koneksi antara sains dan
imperium berlangsung jauh lebih dalam. Tidak hanya motivasi,
tetapi juga praktik-praktik para pembangun imperium berjalinjalin dengan para ilmuwan itu. Bagi bangsa Eropa modern,
membangun sebuah imperium adalah proyek saintifik, sementara
membangun sebuah disiplin ilmu pengetahuan adalah sebuah
proyek imperium.
Ketika Muslim menaklukkan India, mereka tidak membawa
serta para arkeolog untuk mempelajari secara sistematis sejarah
India, para antropolog untuk mempelajari budaya-budaya
India, para geolog untuk mempelajari tanah-tanah India, atau
para zoologis untuk mempelajari fauna India. Ketika Inggris
menaklukkan India, mereka membawa semua ini. Pada 10 April
1802 Survei India Raya dilakukan. Survei itu berlangsung 60
tahun dengan bantuan puluhan ribu buruh, sarjana, dan pemandu
pribumi, Inggris dengan hati-hati memetakan seluruh India,
menandai perbatasan-perbatasan, mengukur jarak, dan bahkan
menghitung untuk kali pertama ketinggian pasti Puncak Everest
dan puncak-puncak lain Himalaya. Inggris mengeksplorasi sumber
daya militer provinsi-provinsi India dan lokasi tambang-tambang
emasnya, tetapi mereka juga repot-repot mengumpulkan informasi
tentang laba-laba India, membuat katalog kupu-kupu warnawarni, melacak asal-usul bahasa-bahasa kuno yang punah, dan
menggali reruntuhan-reruntuhan yang terlupakan.
Mohenjo-daro adalah salah satu kota utama peradaban
Lembah Indus, yang berkembang pada milenium ke-3 SM dan hancur sekitar tahun 1900 SM. Tak satu pun penguasa India
pra-Inggris—termasuk Maurya, Gupta, maupun sultan-sultan
Delhi, tidak juga Mughal yang agung—menengok reruntuhanreruntuhan itu. Namun, survei arkeologis Inggris melihat situs
itu pada 1922. Satu tim Inggris waktu itu mengekskavasinya,
dan menemukan peradaban besar pertama India, yang tak pernah
disadari oleh bangsa India sendiri.
Salah satu contoh menarik tentang keingintahuan saintifik
Inggris adalah penelahan aksara cuneiform (bentuk runcing).
Ini adalah aksara utama yang digunakan di Timur Tengah
selama hampir 3.000 tahun, tetapi orang terakhir yang bisa
membacanya meninggal sekitar awal milenium ke-1 M. Sejak
itu, para penduduk wilayah tersebut sering menemukan prasasti
aksara runcing pada monumen-monumen, tugu-tugu, reruntuhanreruntuhan kuno, dan pot-pot pecah. Namun, mereka tak tahu
cara membaca goresan-goresn aneh dan kaku itu, dan sepanjang
yang kita ketahui, mereka tidak pernah berusaha. Aksara runcing
itu mendapat perhatian bangsa Eropa pada 1618, ketika duta
besar Spanyol di Persia melihatnya di reruntuhan Persepolis
kuno, tempat dia melihat prasasti-prasasti yang tak seorang
pun bisa membantu dia untuk membacanya. Berita tentang
aksara tak dikenal itu menyebar di kalangan para sarjana Eropa
dan mengusik rasa ingin tahu. Pada 1657, para sarjana Eropa
menerbitkan transkrip pertama naskah cuneiform dari Persepolis.
Setelah itu lebih banyak lagi transkrip menyusul, dan selama
hampir dua abad para sarjana di Barat berusaha memahaminya.
Tak ada yang berhasil.
Pada 1830-an, seorang perwira Inggris bernama Henry
Rawlinson dikirim ke Persia untuk membantu Shah melatih
angkatan perangnya dengan gaya Eropa. Dalam waktu luangnya
Rawlinson bepergian ke sekitar Persia dan suatu hari dia dipandu
oleh pemandu setempat ke sebuah tebing di Pegunungan Zagro
dan diperlihatkan Prasasti Behistun yang sangat besar. Dengan
tinggi sekitar 15 meter dan lebarnya 25 meter, prasasti itu
menjulang di permukaan tebing yang dibuat atas perintah Raja
Darius I sekitar tahun 500 SM. Prasasti itu ditulis dengan aksara
cuneiform dalam tiga bahasa: Persia Lama, Elamite, dan Babylon.
Prasasti tersebut sangat dikenal penduduk setempat, tetapi tak
satu pun bisa membacanya. Rawlinson yakin bahwa jika dia
bisa memahami tulisan itu, ia dan para sarjana lainnya akan
bisa membaca banyak prasasti dan naskah-naskah yang pada
masa itu sedang ditemukan di seluruh Timur Tengah sehingga
membuka pintu menuju sebuah dunia kuno yang terlupakan.
Langkah pertama untuk memahami aksara itu adalah
untuk menghasilkan transkrip akurat yang bisa dikirim pulang
ke Eropa. Rawlinson menantang maut untuk melakukannya,
memanjat tebing untuk menyalin aksara-aksara yang aneh
tersebut. Dia mempekerjakan beberapa penduduk setempat untuk
membantunya, terutama seorang anak Kurdi yang memanjat
bagian yang paling sulit dijangkau dari tebing itu untuk menyalin
bagian yang paling tinggi dari prasasti. Pada 1847, proyek tersebut
rampung, dan satu salinan akurat dikirim ke Eropa.
Rawlinson tidak bergantung pada para pembantunya. Sebagai
seorang perwira, dia memiliki misi militer dan politik untuk
dijalankan, tetapi setiap kali punya waktu luang dia menerkanerka rahasia dalam tulisan itu. Dia mencoba satu demi satu
metode dan akhirnya berhasil memahami bagian Persia Lama
dari prasasti tersebut. Ini yang paling mudah karena Persia Lama
tak begitu berbeda dari Persia modern, yang Rawlinson sangat
pahami. Satu pemaknaan dari bagian Persia Lama memberinya
kunci yang dia butuhkan untuk membuka rahasia-rahasia pada
bagian Elamite dan Babylon. Pintu besar itu terbuka, dan segeralah
keluar suara-suara kuno tapi begitu hidup—keriuhan pasar-pasar
Sumeria, proklamasi raja-raja Assyria, argumentasi para birokrat
Babylonia. Tanpa upaya kaum imperialis Eropa modern semacam
Rawlinson, kita tidak akan pernah tahu banyak tentang nasib
imperium-imperium Timur Tengah kuno.
Sarjana imperialis terkemuka lainnya adalah William Jones.
Jones tiba di India pada September 1783 untuk menjadi seorang
hakim di Pengadilan Tinggi Bengal. Dia begitu terpukau oleh
keajaiban India sehingga dalam waktu kurang dari 6 bulan
sejak kedatangannya dia sudah mendirikan Masyarakat Asiatik.
Organisasi akademis ini ditujukan untuk mempelajari kulturkultur, sejarah-sejarah, dan masyarakat-masyarakat Asia, dan lebih
khusus India. Dalam dua tahun berikutnya Jones menerbitkan The
Sanskrit Language, naskah induk dari ilmu linguistik komparatif.
Dalam buku ini Jones menerangkan kemiripan-kemiripan yang
mengejutkan antara Sansekerta, sebuah bahasa India kuno yang
menjadi bahasa suci dalam ritual Hindu, dan bahasa Yunani dan
Latin, di samping kemiripan antara semua bahasa ini dengan
Gothik, Celtik, Persia Lama, Jerman, Prancis dan Inggris. Maka,
dalam bahasa Sanskerta, mother (ibu) adalah “mater”, dalam
bahasa Latin “mater”, dan dalam Celtik lama “mathir”. Jones
menduga bahwa semua bahasa ini pasti memiliki asal-usul yang
sama, berkembang dari sebuah leluhur kuno yang kini terlupakan.
Oleh karena itu, dialah orang pertama yang mengidentifikasi apa
yang kelak dikenal dengan rumpun bahasa Indo-Eropa.
Buku The Sanskrit Language adalah sebuah studi yang sangat
berpengaruh bukan semata-mata karena kekuatan hipotesis Jones
(dan akurasinya), melainkan juga karena ia memiliki metodologi
runtut yang dia kembangkan untuk membandingkan bahasabahasa. Buku ini diadopsi oleh para sarjana lain, memungkinkan
mereka secara sistematis untuk mempelajari perkembangan semua
bahasa-bahasa dunia.
Linguistik mendapat dukungan antusias dari imperium.
Imperium-imperium Eropa percaya bahwa agar bisa menguasai
secara efektif, mereka harus tahu bahasa-bahasa dan kulturkultur jajahannya. Para perwira Inggris yang tiba di India diduga
menghabiskan waktu sampai tiga tahun di sebuah sekolah tinggi
Calcutta, tempat mereka belajar hukum Hindu dan Muslim
selain hukum Inggris; Sanskerta, Urdu, dan Persia serta Yunani
dan Latin; dan kebudayaan Tamil, Bengal, dan Hindustani, juga
matematika, ekonomi, dan geografi. Studi linguistik memberi
bantuan tak ternilai dalam memahami struktur dan tata bahasa
bahasa-bahasa lokal.
Berkat karya orang-orang seperti William Jones dan Henry
Rawlinson, para penakluk dari Eropa mengenal imperiumimperium mereka dengan baik. Bahkan, jauh lebih bagus
ketimbang para penakluk-penakluk sebelumnya atau populasi
pribumi sendiri. Pengetahuan mereka yang superior memiliki
keuntungan praktis yang jelas. Tanpa pengetahuan semacam itu,
tak mungkin sejumlah kecil orang Inggris bisa sukses memerintah,
menindas, dan mengeksploitasi beratus-ratus juta orang India
selama dua abad. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20,
kurang dari 5.000 pejabat Inggris, sekitar 40.000 sampai 70.000
tentara Inggris, dan mungkin 100.000 orang bisnis dari Inggris,
tanggungan-tanggungan mereka, para istri, anak-anak cukuplah
untuk menaklukkan dan menguasai sekitar 300 juta orang India.9
Meskipun demikian, keunggulan-keunggulan praktis ini
bukanlah satu-satunya alasan mengapa imperium-imperium itu
mendanai studi linguistik, botani, geografi, dan sejarah. Tak
kalah pentingnya adalah fakta bahwa sains memberi imperiumimperium itu justifikasi ideologis. Bangsa Eropa modern percaya
bahwa meraih pengetahuan baru selalu baik. Fakta bahwa
imperium-imperium itu menghasilkan arus tetap pengetahuan
baru memberi cap mereka sebagai golongan progresif dan positif.
Bahkan kini, sejarah ilmu seperti geografi, arkeologi, dan botani
tak bisa mengelak untuk menghargai jasa imperium-imperium
Eropa, paling tidak secara langsung. Sejarah botani tak banyak
menceritakan tentang penderitaan Aborigin Australia, tetapi
biasanya ada kata-kata tertentu untuk James Cook dan Joseph
Banks. Lebih dari itu, pengetahuan baru yang diakumulasi oleh
imperium-imperium itu memungkinkan, paling tidak secara
teori, memberi manfaat bagi populasi yang ditaklukkan dan
membawakan kepada mereka manfaat “kemajuan”—memberi
mereka pengobatan dan pendidikan, membangun rel kereta
api, dan kanal-kanal, memastikan keadilan dan kemakmuran.
Kaum imperialis mengklaim bahwa imperium-imperium mereka
bukanlah upaya-upaya eksploitasi besar, melainkan proyek-proyek
altruis yang dilakukan untuk kepentingan ras-ras non-Eropa—
dalam ungkapan Rudyard Kipling, “beban Orang Kulit Putih”:
Mengusung beban Orang Kulit Putih—
Menyodorkan keturunan terbaik
Mengikat putra-putra kalian di pengasingan
Melayani kebutuhan-kebutuhan para tawanan kalian;
Menanti dalam gandar-gandar yang berat,
Pada gerombolan liar dan bingung—
Orang-orang tangkapan baru kalian yang cemberut,
Setengah setan dan setengah anak.
Tentu saja fakta-fakta sering bertentangan dengan mitos
ini. Inggris menaklukkan Bengal, provinsi yang kaya di India,
pada 1764. Penguasa-penguasa baru tak banyak tertarik kecuali
memperkaya diri mereka. Mereka mengadopsi kebijakan ekonomi
pembawa bencana yang beberapa tahun kemudian menyebabkan
meletusnya Kelaparan Besar Bengal. Awalnya terjadi pada 1769,
mencapai level bencana pada 1770, dan berlangsung hingga
1773. Sekitar 10 juta orang Bengal, sepertiga populasi provinsi
itu, mati dalam kesengsaraan.10
Yang benar, cerita penindasan dan eksploitasi maupun kisah
“Beban Orang Kulit Putih” tidak ada yang sempurna sesuai
fakta. Imperium-imperium Eropa melakukan begitu banyak hal
yang bermacam-macam dalam skala besar sehingga Anda bisa
menemukan banyak sekali contoh untuk mendukung apa pun
yang ingin Anda katakan tentang itu semua. Anda berpikir
bahwa imperium-imperium ini anak-anak monster jahat yang
menyebarkan kematian, penindasan, dan ketidakadilan di seluruh
dunia? Anda bisa dengan mudah mengisi ensiklopedia kejahatankejahatan mereka. Anda ingin mengemukakan bahwa mereka
sesungguhnya memperbaiki kondisi rakyat jajahannya dengan
kedokteran baru, kondisi ekonomi yang lebih baik, dan keamanan
yang lebih besar? Anda bisa mengisi ensiklopedi lainnya dengan
prestasi-prestasi mereka. Berkat kerja sama mereka dengan sains,
imperium-imperium ini menggerakkan begitu besar kekuatan dan
mengubah dunia sampai ke tingkat yang mungkin mereka tak bisa
dilabeli begitu saja sebagai baik atau jahat. Mereka menciptakan
dunia sebagaimana yang kita tahu, termasuk ideologi-ideologi
yang kita gunakan dalam rangka menilai mereka.
Akan tetapi, sains juga digunakan oleh para imperialis untuk
tujuan-tujuan yang lebih buruk. Para ahli biologi, antropolog, dan
bahkan ahli linguistik memberi bukti saintifik bahwa orang-orang
Eropa memang superior di atas semua ras lain, dan akibatnya
memiliki hak (kalau bukan tugas, barangkali) untuk menguasai
mereka. Setelah William Jones mengemukakan bahwa seluruh
bahasa Indo-Eropa merupakan keturunan dari satu bahasa kuno
tunggal, banyak ahli tergugah mencari siapa yang menggunakan
bahasa itu. Mereka melihat bahwa para pengguna paling awal
bahasa Sanskerta, yang menginvasi India dari Asia Tengah lebih
dari 3.000 tahun yang lalu, menyebut diri mereka Arya. Para
pengguna bahasa paling awal Persia menyebut diri mereka
Airiia. Oleh karena itu, para sarjana Eropa menduga bahwa
orang yang menggunakan bahasa primordial yang melahirkan
Sanskerta maupun Persia (juga Yunani, Latin, Gothik, dan Celtic)
pasti menyebut diri mereka Arya. Bisakah ini disebut kebetulan
bahwa mereka yang mendirikan peradaban-peradaban raksasa
India, Persia, Yunani, dan Romawi semuanya adalah orang
Arya? Selanjutnya, para sarjana Inggris, Prancis, dan Jerman
mengawinkan teori linguistik tentang bangsa Arya yang rajin
dengan teori seleksi alam Darwin dan mengemukakan bahwa
bangsa Arya bukan hanya satu kelompok linguistik, melainkan
sebuah entitas biologis—sebuah ras. Dan, bukan sembarang ras,
melainkan ras teratas manusia yang tinggi, berambut terang,
bermata biru, pekerja keras, dan super rasional yang muncul dari
keremangan utara untuk meletakkan fondasi-fondasi kultur di
seluruh dunia. Sayang sekali, orang-orang Arya yang menginvasi
India dan Persia berkawin silang dengan pribumi setempat yang
mereka temukan di tanah-tanah itu, kehilangan kulit terang dan
rambut pirang mereka, beserta rasionalitas dan sifat rajinnya.
Pera