ari menghiasi salah 
satu ruang Vatikan dengan lukisan dinding pembantaian (ruang 
itu kini terlarang bagi pengunjung).2
 Lebih banyak orang Kristen 
yang dibunuh sesama Kristen dalam 24 jam itu ketimbang oleh 
Imperium Romawi politeis sepanjang eksistensinya.
Tuhan itu Satu
Seiring waktu, sebagian pengikut dewa-dewa politeis menjadi 
begitu asyik dengan patron khusus mereka sehingga mereka 
terseret menjauh dari pemahaman dasar politeis. Mereka mulai 
meyakini bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, 
dan bahwa Dia sesungguhnya kekuatan tertinggi alam semesta. 
Meskipun demikian, pada saat yang sama, mereka terus 
memandang Dia memiliki kepentingan-kepentingan dan biasbias, dan meyakini bahwa mereka bisa mencapai kesepakatankesepakatan dengan-Nya. Maka, lahirlah agama-agama monoteis, 
yang para pengikutnya memohon kepada kekuatan tertinggi alam 
semesta agar membantu mereka sembuh dari sakit, menang lotre, 
dan menang dalam perang.
Agama monoteis pertama yang kita kenal muncul di Mesir, 
350 SM, ketika Fir’aun Akhenaten mendeklarasikan bahwa 
salah satu dewa kecil dari jajaran dewa Mesir, dewa Aten, 
sesungguhnya adalah kekuatan tertinggi yang mengatur alam 
semesta. Akhenaten menetapkan penyembahan Aten sebagai 
agama negara dan berusaha memeriksa penyembahan terhadap 
semua dewa. Namun, revolusi religiusnya itu tak berhasil. Setelah 
kematiannya, penyembahan Aten ditinggalkan, kalah oleh jajaran 
dewa lama.
Politeisme terus melahirkan agama-agama monoteisme lain 
di banyak tempat, tetapi semua tetap marginal, paling tidak 
karena gagal menguraikan pesan universalnya. Judaisme, misalnya, 
menyatakan bahwa kekuatan tertinggi alam semesta memiliki 
kepentingan-kepentingan dan bias-bias, tetapi kepentingan 
utamanya adalah pada negara mungil Yahudi dan pada tanah Israel 
yang dijanjikan. Tak banyak yang bisa diberikan Judaisme kepada 
bangsa-bangsa lain, dan hampir sepanjang masa eksistensinya ia 
bukanlah sebuah agama misioner. Tahap ini bisa disebut sebagai 
tahap “monoteisme lokal”.
Terobosan besar datang bersama Kristen. Agama ini bermula 
sebagai sebuah sekte esoterik Yahudi yang berusaha meyakinkan 
orang-orang Yahudi bahwa Yesus dari Nazareth adalah mesiah 
yang telah lama mereka nanti-nantikan. Namun, salah satu dari 
para pemimpin pertama sekte itu, Paulus dari Tarsus, berpendirian 
bahwa jika kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingankepentingan dan bias-bias, dan jika Dia repot-repot menjelmakan 
diri dalam daging dan mati di tiang salib untuk penyelamatan 
manusia, maka itu sesuatu yang harus didengar setiap orang, 
bukan hanya oleh bangsa Yahudi. Maka, perlu untuk menyebarkan 
kalimat baik—Injil—tentang Yesus ke seluruh dunia.
Argumentasi Paulus jatuh di tanah yang subur. Orang-orang 
Kristen mulai mengorganisasi aktivitas misioner yang menyebar 
luas yang ditujukan kepada semua manusia. Dalam satu tikungan 
historis yang paling aneh, sekte esoterik Yahudi ini mengambil 
alih raksasa Imperium Romawi.
Kesuksesan Kristen merupakan sebuah model bagi agama 
monoteis lain yang muncul di Semenanjung Arab pada abad 
ke-7—Islam. Sebagaimana Kristen, Islam juga dimulai dari 
sebuah sekte kecil di sudut terpencil dunia, tetapi dalam sebuah 
kejutan yang lebih aneh dan lebih cepat, ia berhasil menyeruak 
di gurun Arabia dan mengukuhkan sebuah imperium besar yang 
terbentang dari Samudra Atlantik sampai ke India. Oleh karena 
itu, ide monoteis memainkan peran penting dalam sejarah dunia.
Kaum monoteis cenderung jauh lebih fanatik dan misioner 
ketimbang kaum politeis. Sebuah agama yang mengakui legitimasi 
agama-agama lain menunjukkan bahwa kalau bukan tuhannya 
merupakan kekuatan tertinggi alam semesta, maka ia menerima 
dari Tuhan hanya sebagian dari kebenaran universal. Karena kaum 
monoteis biasanya meyakini bahwa mereka memiliki seluruh 
pesan dari satu dan satu-satunya Tuhan, mereka tergugah untuk 
merendahkan semua agama lain. Selama 2 milenium terakhir ini, 
kaum monoteis berulang-ulang mencoba memperkuat kekuasaan 
mereka dengan memenangkan semua kompetisi melalui kekerasan.
Berhasil. Pada permulaan abad ke-1 M, hampir tidak ada 
satu pun orang monoteis di dunia. Sekitar tahun 500 M, salah 
satu imperium terbesar di dunia—Imperium Romawi—adalah 
sebuah negara Kristen, dan para misionaris sibuk menyebarkan 
Kristen ke bagian-bagian lain Eropa, Asia, dan Afrika. Pada akhir 
milenium ke-1 M, sebagian besar orang di Eropa, Asia Barat, 
dan Afrika Utara adalah monoteis, dan imperium-imperium dari 
Samudra Atlantik sampai ke Himalaya mengklaim dititahkan 
oleh Tuhan tunggal yang mahabesar. Pada awal abad ke-16, 
monoteisme mendominasi sebagian besar Afro-Asia, dengan 
pengecualian Asia Timur dan beberapa bagian selatan Afrika, 
dan mulai memanjangkan kaki-kakinya menuju Afrika Selatan, 
Amerika, dan Oceania. Kini sebagian besar orang di luar Asia 
Timur mematuhi salah satu agama monoteis, dan tatanan politik 
global dibangun di atas fondasi-fondasi monoteistik.
Meskipun demikian, sebagaimana animisme terus bertahan 
dalam politeisme, demikian pula politeisme terus bertahan dalam 
monoteisme. Secara teori, begitu seseorang meyakini bahwa 
kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan-kepentingan 
dan bias-bias, apa maknanya menyembah kekuatan-kekuatan 
parsial? Siapa yang mau mendekati seorang birokrat tingkat 
rendah ketika kantor presiden terbuka bagi Anda? Malah, teologi 
monoteis cenderung mengingkari eksistensi semua tuhan kecuali 
Tuhan yang tertinggi, dan menuangkan api neraka dan belerang 
kepada siapa pun yang berani menyembah tuhan-tuhan itu.
Akan tetapi, selalu saja ada jurang antara teori-teori teologis 
dan realitas-realitas historis. Sebagian besar orang menyadari 
sulitnya memaknai ide monoteis secara penuh. Mereka terus 
membagi dunia menjadi “kita” dan “mereka”, dan memandang 
kekuatan tertinggi alam semesta sebagai terlalu jauh dan asing bagi 
kebutuhan-kebutuhan duniawi mereka. Agama-agama monoteis 
mengusir dewa-dewa ke pintu depan dengan banyak perayaan, 
hanya untuk membawanya masuk kembali melalui jendela 
samping. Kristen, misalnya, mengembangkan jajaran dewanya 
sendiri, santo-santo, yang kultus-kultusnya sedikit berbeda dari 
kultus dewa-dewa politeistik.
Sebagaimana dewa Jupiter membela Roma dan Huitzilopochtli 
melindungi Imperium Aztec, demikian pula setiap kerajaan Kristen 
memiliki patron santa-nya sendiri yang membantu mengatasi 
kesulitan-kesulitan dan memenangi perang. Inggris dilindungi 
oleh Santo George, Skotlandia oleh Santo Andrew, Hungaria 
oleh Santo Stephen, dan Prancis oleh Santo Martin. Kota-kota 
besar dan kecil, profesi-profesi, dan bahkan penyakit-penyakit—
masing-masing punya santo sendiri. Kota Milan punya Santo 
Amborose, sementara Santo Markus mengawasi Venesia. Santo 
Almo melindungi para pembersih cerobong asap, sedangkan 
Santo Mathew mengulurkan tangan kepada para pengumpul 
pajak yang tertekan. Jika Anda menderita sakit kepala Anda 
harus menyembah Santo Agathius, tetapi jika sakit gigi, maka 
Santo Apollonia adalah pendengar yang jauh lebih bagus.
Santo-santo Kristen tidak semata-mata menyerupai para dewa 
politeis. Sering santo-santo itu adalah dewa-dewa yang menyamar. 
Misalnya, dewi utama Irlandia Celtic sebelum kedatangan Kristen 
adalah Brigid. Ketika Irlandia ter-Kristen-kan, Brigid juga dibaptis. 
Dia menjadi Santo Brigit, yang sampai hari ini merupakan santo 
yang paling dihormati dalam Katolik Irlandia.
Pertarungan yang Baik dan yang Jahat
Politeisme melahirkan tidak hanya agama-agama monoteis, 
tetapi juga agama dualistik. Agama-agama dualistik mengiringi 
keberadaan dua kekuatan yang bertentangan: baik dan jahat. 
Tak seperti monoteisme, dualisme meyakini bahwa kejahatan 
adalah kekuatan yang independen, tidak diciptakan oleh Tuhan 
yang baik, juga bukan subordinasinya. Dualisme menjelaskan 
bahwa seluruh alam semesta ini merupakan ajang pertarungan 
antara kedua kekuatan, dan bahwa segala yang terjadi di dunia 
merupakan bagian dari pertarungan itu.
Dualisme adalah pandangan dunia yang sangat memikat 
karena memiliki jawaban singkat dan sederhana atas Problem 
Kejahatan yang terkenal, salah satu kecemasan fundamental 
pikiran manusia. “Mengapa ada yang jahat di dunia? Mengapa 
ada penderitaan? Mengapa hal-hal buruk terjadi pada orangorang baik?” Kaum monoteis harus mempraktikkan gimnastik 
intelektual untuk menjelaskan mengapa Tuhan yang baik yang 
tahu segalanya dan memiliki semua kekuatan membiarkan 
begitu banyak penderitaan di dunia. Satu penjelasan yang 
terkenal adalah bahwa itu cara Tuhan dalam memberi manusia 
kebebasan berkehendak. Jika tidak ada kejahatan, manusia tidak 
bisa memilih antara yang baik dan yang jahat sehingga tidak 
ada kebebasan berkehendak. Namun, ini adalah jawaban nonintuitif yang langsung memunculkan banyak sekali pertanyaan 
baru. Kebebasan berkehendak memungkinkan manusia memilih 
yang jahat. Banyak malah yang memilih yang jahat dan, menurut 
penjelasan standar monoteis, pilihan itu pasti membawa hukuman 
ilahiah. Jika Tuhan tahu sebelumnya bahwa seseorang tertentu 
akan menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih kejahatan, 
dan bahwa hasilnya dia akan dihukum dengan penyiksaan abadi 
di neraka, mengapa Tuhan menciptakan dia? Para teolog menulis 
tak terhitung buku untuk menjawab pertanyaan semacam itu. 
Sebagian menemukan jawaban yang meyakinkan. Sebagian tidak. 
Yang tak bisa dimungkiri adalah bahwa kaum monoteis kesulitan 
menangani Problem Kejahatan.
Bagi kaum dualis, hal-hal buruk terjadi pada orang baik 
karena dunia tidak diatur oleh Tuhan baik sempurna yang tahu 
segala hal, memiliki segala kekuatan. Ada kekuatan jahat yang 
independen di dunia. Kekuatan jahat itu melakukan hal-hal buruk.
Pandangan dualis sendiri pun memiliki kekurangankekurangan. Benar, ia menawarkan sebuah solusi yang sangat 
sederhana atas Problem Kejahatan. Namun, ia terkesima 
oleh Problem Tatanan. Jika memang ada dua kekuatan yang 
bertentangan di dunia, satu baik dan satu jahat, siapa yang 
menetapkan hukum yang mengatur pertarungan antara keduanya? 
Dua negara yang bermusuhan bisa saling memerangi karena 
keduanya ada pada masa dan ruang, dan mematuhi hukum fisika 
yang sama. Sebuah misil yang diluncurkan dari bumi Pakistan 
bisa menghantam target di teritori India karena hukum fisika 
yang sama berlaku di kedua negara. Ketika yang baik dan yang 
jahat berkelahi, hukum bersama apa yang mereka patuhi, dan 
siap yang menetapkan hukum-hukum itu?
Sebaliknya, kaum monoteis bagus dalam menjelaskan Problem 
Tatanan, tetapi bukan Problem Kejahatan. Ada satu cara logis 
menyelesaikan teka-teki itu: yaitu pandangan bahwa ada satu 
Tuhan mahakuasa yang menciptakan seluruh alam semesta—dan 
itu adalah satu Tuhan jahat. Namun, tak seorang pun dalam 
sejarah sanggup mencerna keyakinan semacam itu.
Agama-agama dualistik tumbuh subur selama lebih dari 1.000 
tahun. Dalam waktu sekitar 1500 SM dan 1000 SM, seorang 
nabi bernama Zoroaster (Zarahustra) aktif di suatu tempat di Asia 
Tengah. Kredonya diturunkan dari generasi ke generasi sampai 
ia menjadi agama dualistik paling penting—Zoroastrianisme. 
Kaum Zoroaster memandang dunia sebagai pertarungan kosmis 
antara dewa baik Ahura Mazda dan dewa jahat Angra Mainyu. 
Manusia harus membantu dewa baik dalam pertarungan ini. 
Zoroastrianisme adalah satu agama penting dalam masa Imperium 
Persia Achaemenid (550–330 SM) dan belakangan menjadi agama 
resmi Imperium Persia Sassanid (224–651 M). Ia menyebarkan 
pengaruh besar ke hampir semua agama Timur Tengah dan 
Asia Tengah, dan mengilhami sejumlah agama-agama dualis lain, 
seperti Gnosticisme dan Manichaenisme.
Pada abad ke-3 dan ke-4 M, kredo Manichaen menyebar 
dari China ke Afrika Utara, dan dalam satu masa terlihat ia akan 
mengalahkan Kristen untuk mencapai dominasi di Imperiuam 
Romawi. Namun, kaum Manichean kalah dengan Kristen dalam 
merebut jiwa Romawi, Imperium Sassanid Zoroaster digulung 
oleh kaum monoteis Muslim, dan dualis surut. Kini hanya 
segelintir komunitas dualis yang bertahan di India dan Timur 
Tengah.
Bagaimanapun, munculnya gelombang monoteisme tidak 
benar-benar menyapu dualisme. Monoteisme Yahudi, Kristen, 
dan Islam menyerap banyak keyakinan dan praktik dualis, dan 
sebagian ide-ide yang paling dasar dari apa yang kita sebut 
“monoteisme”, sesungguhnya berasal dari dan bersemangat dualis. 
Tak terhitung oleh orang Kristen, Muslim, dan Yahudi meyakini 
kekuatan jahat yang dahsyat—seperti yang disebut Setan oleh 
orang Kristen—yang bisa bertindak independen, memerangi 
Tuhan baik, dan menciptakan kekacauan tanpa izin Tuhan.
Bagaimana bisa seorang monoteis mematuhi keyakinan 
dualistik semacam itu (yang lagi pula, Perjanjian Lama tidak 
bisa ditemukan di mana pun)? Secara logis, itu tidak mungkin. 
Entah Anda percaya pada satu Tuhan tunggal yang mahakuasa 
atau Anda meyakini dua kekuatan yang berlawanan, tak satu 
pun yang mahakuasa. Tetap, manusia memiliki kapasitas luar 
biasa untuk meyakini kontradiksi-kontradiksi. Jadi, mestinya 
tidak mengejutkan bahwa jutaan orang Kristen, Muslim, dan 
Yahudi yang berhasil meyakini dalam satu waktu yang sama pada 
Tuhan Yang Mahakuasa dan satu Setan yang independen. Tak 
terhitung orang Kristen, Muslim, dan Yahudi membayangkan 
bahwa Tuhan yang baik bahkan membutuhkan bantuan kita 
dalam pertarungan melawan Setan, yang mengilhami (sebagian 
di antaranya) seruan jihad dan Perang Salib.
Satu konsep penting lainnya dalam pandangan dualistik, 
terutama Gnostik dan Manichaenisme, adalah pembedaan 
tajam antara raga dan jiwa, antara materi dan ruh. Gnostik dan 
Manichaean berpendirian bahwa tuhan baik menciptakan ruh dan 
jiwa, sedangkan materi dan tubuh adalah ciptakan tuhan jahat. 
Manusia, menurut pandangan ini, menjadi arena pertarungan 
antara jiwa yang baik dan jiwa yang jahat. Dari satu perspektif 
monoteistik, itu omong kosong—mengapa membedakan begitu 
tajam antara tubuh dan jiwa, atau materi dan ruh? Dan, 
mengapa pula tubuh dan materi dipandang jahat? Lagi pula, 
segala sesuatu dicptakan oleh Tuhan yang sama. Namun, kaum 
monoteis tak bisa lari dari godaan dikotomi dualis, jelas karena 
dikotomi membantu mereka mengatasi problem kejahatan. Maka, 
pertentangan semacam itu pada akhirnya menjadi pilar bagi 
pemikiran Kristen dan Islam. Keyakinan pada surga (alam Tuhan 
yang baik) dan neraka (alam Tuhan yang jahat) juga berasal dari 
dualis. Tidak ada jejak keyakinan ini dalam Perjanjian Baru, yang 
juga tidak pernah mengklaim bahwa jiwa-jiwa orang terus hidup 
setelah kematian raga.
Faktanya, monoteisme, sebagaimana peran yang telah 
dimainkannya dalam sejarah, adalah sebuah kaleidoskop warisan 
monoteis, dualis, politeis, dan animis, yang menyatu di bawah 
payung ilahiah tunggal. Rata-rata orang Kristen meyakini 
monoteisme Tuhan, tetapi juga Setan dualis, santo-santo politeis, 
dan hantu-hantu animis. Para ahli agama memiliki nama untuk 
persetujuan simultan atas ide-ide yang berbeda dan bahkan kontradiktif dan kombinasi ritual-ritual serta praktik-praktik 
ini yang diambil dari berbagai sumber. Itu disebut sinkretisme. 
Sinkretisme, mungkin, malah satu-satunya agama besar dunia.
Hukum Alam
Semua agama yang telah kita diskusikan sejauh ini memiliki 
kesamaan, satu karakteristik penting: mereka fokus pada satu 
keyakinan kepada tuhan-tuhan dan entitas-entitas supranatural 
lainnya. Ini tampak jelas bagi orang-orang Barat, yang mengenal 
terutama kredo-kredo monoteistik dan politeistik. Namun, 
sesungguhnya sejarah agama dunia tidak bermuara pada sejarah 
tuhan-tuhan. Dalam milenium ke-1 SM, agama-agama sebagai 
sebuah jenis baru secara menyeluruh mulai menyebar di AfroAsia. Pendatang-pendatang baru, seperti Jainisme dan Buddhisme 
di India, Daoisme dan Konfusianisme di China, dan Stoisisme, 
Cyncisme, serta Epicureanisme di daratan Mediterania, dicirikan 
oleh pengabaiannya pada dewa-dewa.
Kredo-kredo ini memandang bahwa tatanan manusia super 
yang mengatur dunia adalah produk dari hukum alam, bukan 
kehendak dan keinginan ilahiah. Sebagian dari agama-agama 
hukum alam ini terus mengiringi eksistensi tuhan-tuhan, tetapi 
tuhan-tuhan mereka tunduk pada hukum alam, tak ubahnya 
seperti manusia, binatang, dan tumbuhan. Dewa-dewa memiliki 
ceruknya sendiri dalam ekosistem, sebagaimana gajah-gajah 
dan landak-landak juga memilikinya, tetapi tak bisa mengubah 
hukum alam melebihi yang bisa dilakukan gajah. Satu contoh 
yang sangat bagus adalah Buddhisme, agama hukum alam kuno 
yang paling penting, yang tetap menjadi salah satu agama besar. 
Figur sentral Buddhisme bukan dewa, melainkan manusia yaitu 
Siddhartha Gautama. Menurut tradisi Buddha, Gautama adalah 
pewaris kerajaan kecil Himalaya, sekitar 500 SM. Pangeran 
muda itu sangat tersentuh dengan penderitaan yang dia lihat 
di sekitarnya. Dia melihat pria dan wanita, anak-anak dan 
orang tua, semua menderita tidak hanya oleh bencana-bencana 
yang sesekali terjadi, seperti perang dan wabah, tetapi juga dari 
kecemasan, frustrasi, dan kekecewaan, semua tampak menjadi 
bagian tak terpisahkan dari kondisi manusia. Orang mengejar 
kekayaan dan kekuasaan, mencari pengetahuan dan harta benda, 
mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, dan membangun 
rumah-rumah serta istana-istana. Namun, tak peduli apa pun 
yang mereka capai, mereka tidak pernah puas. Mereka yang 
hidup dalam kemiskinan mengimpikan kekayaan. Mereka yang 
memiliki 1 juta ingin 2 juta. Mereka yang punya 2 juta ingin 
10 juta. Bahkan, orang kaya dan terkenal jarang puas. Mereka 
juga dihantui oleh kepedulian dan kecemasan tiada henti, sampai 
sakit, usia tua, dan kematian membawa akhir pahit bagi mereka. 
Segala sesuatu yang telah dikumpulkan orang lenyap seperti 
asap. Hidup itu seperti perlombaan yang sia-sia. Namun, siapa 
yang bisa lolos darinya?
Pada usia 29 tahun, Gautama menyelinap keluar dari 
istananya pada tengah malam, meninggalkan keluarga dan 
harta bendanya. Dia pergi sebagai gelandangan ke India utara, 
mencari jalan untuk keluar dari penderitaan. Dia mengunjungi 
ashram-ashram dan duduk bersimpuh di kaki para guru, tetapi 
tidak membebaskannya secara menyeluruh—ketidakpuasan selalu 
ada. Dia tidak putus asa. Dia teguh menyelidiki penderitaannya 
sendiri sampai menemukan sebuah metode untuk pembebasan 
sempurna. Dia menghabiskan waktu 6 tahun bermeditasi menari 
esensi, sebab-sebab dan obat bagi penderitaan manusia. Akhirnya, 
dia sampai pada kesadaran bahwa penderitaan bukan disebabkan 
oleh nasib buruk ketidakadilan sosial, atau oleh kehendak ilahiah. 
Namun, penderitaan disebabkan oleh pola-pola perilaku dalam 
pikiran seseorang.
Dalam pemahaman mendalam Gautama, terlepas dari apa 
pun yang dialami, pikiran biasanya beraksi dengan nafsu, nafsu 
selalu melibatkan ketidakpuasan. Ketika pikiran mengalami 
sesuatu yang tidak nyaman, ia bernafsu untuk menyingkirkan 
ketidaknyamanan itu. Ketika pikiran mengalami sesuatu yang 
menyenangkan, ia bernafsu agar kesenangan itu tetap ada dan 
akan membesar. Karena itu, pikiran selalu tidak puas dan selalu 
gelisah. Ini sangat jelas ketika kita mengalami hal-hal yang 
tidak menyenangkan, seperti rasa sakit. Sepanjang rasa sakit itu berlanjut, kita tidak puas dan melakukan semua yang bisa 
kita lakukan untuk menghindarinya. Namun, bahkan ketika kita 
mengalami hal-hal yang menyenangkan kita tidak pernah puas. 
Entah kita takut kesenangan itu akan hilang, atau kita berharap 
itu akan membesar. Orang mengimpikan selama bertahun-tahun 
menemukan cinta, tetapi jarang yang puas ketika menemukannya. 
Sebagian menjadi cemas pasangannya akan pergi; yang lain 
merasa bahwa tempat tinggal mereka murah, dan mestinya 
mendapatkan seseorang yang lebih baik. Dan, kita semua tahu 
orang yang berhasil melakukan keduanya. 
Tuhan-tuhan mahabesar bisa mengirim kita hujan, institusiinstitusi sosial yang menyediakan keadilan dan perawatan 
kesehatan yang baik, serta kebetulan-kebetulan menguntungkan 
bisa mengubah kita menjadi miliuner, tetapi tak seorang pun 
bisa mengubah pola dasar mental kita
Oleh karena itu, bahkan raja-raja paling hebat hidup 
menderita, terus merasakan kesengsaraan dan penderitaan, 
selamanya mengejar kesenangan demi kesenangan yang semakin 
besar. Gautama menemukan bahwa ada satu cara untuk 
keluar dari lingkaran setan itu. Jika mengalami sesuatu yang 
menyenangkan atau tidak menyenangkan, pikiran memahami 
hal-hal sebagaimana adanya, maka tidak ada penderitaan. Jika 
Anda mengalami kesedihan tanpa nafsu bahwa kesedihan itu 
akan pergi, Anda terus merasakan kesedihan itu, tetapi Anda 
tidak menderita karenanya. Sesungguhnya ada kekayaan dalam 
kesedihan. Jika Anda mengalami kesenangan tanpa bernafsu agar 
kesenangan itu terus ada dan membesar, Anda terus merasakan 
kesenangan itu tanpa kehilangan kedamaian dalam pikiran.
Akan tetapi, bagaimana Anda bisa membawa pikiran 
untuk menerima hal-hal sebagaimana adanya, tanpa bernafsu? 
Untuk menerima kesedihan sebagai kesedihan, kesenangan 
sebagai kesenangan, rasa sakit sebagai rasa sakit? Gautama 
mengembangkan seperangkat teknik meditasi yang melatih 
pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya, tanpa nafsu. 
Praktik-praktik ini melatih pikiran memfokuskan semua perhatian 
pada pertanyaan, “Apa yang sedang aku alami sekarang?” bukan 
pada, “Apa yang sebaiknya saya alami?” Memang sulit untuk 
mencapai keadaan pikiran seperti ini, tetapi bukan mustahil.
Gautama mendasarkan teknik-teknik meditasi ini pada 
seperangkat aturan etik yang dimaksudkan untuk memudahkan 
orang fokus pada pengalaman aktual dan menghindari jatuh 
pada nafsu dan fantasi. Dia mengajari para pengikutnya untuk 
menghindari pembunuhan, seks yang kacau, dan pencurian, 
karena perbuatan-perbuatan semacam itu menyulut api nafsu 
(pada kekuasaan, kenikmatan seksual, atau kekayaan). Ketika api 
benar-benar dipadamkan, nafsu diganti oleh keadaan kepuasan 
dan ketenangan sempurna, yang dikenal sebagai nirwana (yang 
secara harfiah bermakna ‘pemadaman api’). Mereka yang 
telah mencapai nirwana sepenuhnya terbebaskan dari semua 
penderitaan. Mereka menjalani realitas dengan kejernihan 
tertinggi, bebas dari fantasi dan delusi. Meskipun kehendak 
mereka sangat mungkin masih menghadapi ketidaksenangan dan 
rasa sakit, pengalaman-pengalaman seperti itu membuat mereka 
tidak menderita. Seseorang yang tidak bernafsu tidak menderita.
Menurut tradisi Buddha, Gautama sendiri mencapai nirwana 
dan benar-benar terbebaskan dari penderitaan. Oleh karena itu, 
dia dikenal dengan nama “Buddha”, yang berarti ‘Orang yang 
Tercerahkan’. Buddha menghabiskan sisa hidupnya menjelaskan 
penemuan-penemuannya kepada orang lain agar setiap orang 
bisa dibebaskan dari penderitaan. Dia mengemas ajaran-ajarannya 
menjadi satu hukum tunggal: penderitaan muncul dari nafsu; 
satu-satunya cara untuk benar-benar terbebas dari penderitaan 
adalah dengan membebaskan sepenuhnya dari nafsu; dan satusatunya cara untuk membebaskan dari nafsu adalah melatih 
pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya.
Hukum ini, yang dikenal sebagai dharma atau dhamma, 
dipandang oleh umat Buddha sebagai hukum alam universal. 
Bahwa “penderitaan muncul dari nafsu” adalah selalu benar dan 
berlaku di mana-mana, sebagaimana fisika modern E selalu sama 
dengan mc2
. Umat Buddha adalah umat yang meyakini hukum 
ini dan menjadikannya fulcrum dari semua aktivitas mereka. 
Meyakini dewa-dewa, di sisi lain, adalah hal yang maknanya 
lebih kecil bagi mereka. Prinsip pertama agama monoteis adalah 
“Tuhan ada. Apa yang Dia inginkan dari saya?” Prinsip pertama 
Buddha adalah “Penderitaan ada. Bagaimana saya bisa terbebas 
darinya?”
Buddhisme tidak mengingkari eksistensi dewa-dewa—mereka 
digambarkan sebagai makhluk-makhluk kuat yang bisa membawa 
hujan dan kemenangan—tetapi mereka tidak memiliki pengaruh 
pada hukum bahwa penderitaan muncul dari nafsu. Jika pikiran 
seseorang bebas dari semua nafsu, tidak ada dewa yang bisa 
membuatnya menderita. Sebaliknya, begitu nafsu muncul pada 
pikiran seseorang, semua dewa di alam semesta tidak bisa 
menyelamatkan dia dari penderitaan.
Meskipun demikian, sebagaimana agama-agama monoteis, 
agama-agama hukum alam pramodern seperti Buddhisme tidak 
pernah benar-benar membebaskan diri dari pemujaan dewadewa. Buddhisme mengajarkan kepada orang-orang bahwa 
mereka harus mencapai tujuan tertinggi pembebasan sepenuhnya dari penderitaan, bukan perhentian-perthentian di tengah jalan 
sebagaimana kemakmuran ekonomi dan kekuasaan politik. 
Meskipun demikian, 99 persen orang Buddha tidak mencapai 
nirwana, dan bahkan jika mereka berharap demikian untuk masa 
depan kehidupannya, mereka mencurahkan sebagian besar waktu 
hidup mereka untuk memburu pencapaian-pencapaian duniawi. 
Jadi, mereka terus menyembah bermacam-macam dewa, seperti 
dewa-dewa Hindu di India, dewa-dewa Bon di Tibet, dan dewadewa Shinto di Jepang.
Lebih dari itu, seiring berjalannya waktu, sekte-sekte Buddha 
mengembangkan jajaran-jajaran dewa Buddha dan bodhisattva. 
Semua ini adalah makhluk manusia dan non-manusia dengan 
kapasitas untuk mencapai pembebasan penuh dari penderitaan, 
tetapi menjalani pembebasan ini dengan kasih sayang, dalam 
rangka membantu makhluk yang tak terhitung jumlahnya yang 
masih terperangkap dalam lingkaran penderitaan. Ketimbang 
memuja dewa-dewa, banyak orang Buddha mulai menyembah 
makhluk-makhluk yang tercerahkan ini, memohon kepada mereka 
bantuan tidak hanya dalam mencapai nirwana, tetapi juga dalam 
mengatasi problem-problem duniawi. Jadi, kita menemukan 
banyak Buddha dan bodhisattva di seluruh Asia Timur yang 
menghabiskan waktu mereka membawa hujan, menghentikan 
wabah, dan bahkan memenangkan perang-perang berdarah—
sebagai ganti doa, bunga-bunga berwarna-warni, aroma dupa, 
dan sajian-sajian beras dan permen.
Penyembahan Kepada Manusia
Masa 300 tahun terakhir ini sering digambarkan sebagai masa 
tumbuhnya sekularisme, yang di dalamnya agama-agama semakin 
kehilangan nilainya. Jika kita bicara tentang agama-agama teis, hal 
itu umumnya benar. Namun, kalau kita memasukkan juga agamaagama hukum alam, maka modernitas ternyata merupakan sebuah 
masa gairah religius yang intens, upaya-upaya misioner yang 
tiada tandingannya, dan perang-perang agama paling berdarah 
dalam sejarah. Abad modern menyaksikan bangkitnya sejumlah 
agama-agama hukum alam baru, seperti liberalisme, komunisme, 
kapitalisme, nasionalisme, dan nazisme. Kredo-kredo ini tidak 
suka disebut agama, dan menganggap diri sebagai ideologi. 
Namun, ini hanyalah percaturan semantik belaka. Jika sebuah 
agama adalah sebuah sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia 
yang bertumpu pada keyakinan terhadap suatu tatanan manusia 
super, maka Komunisme Soviet tak ubahnya sebuah agama 
sebagaimana Islam. Islam tentu saja berbeda dari komunisme 
karena Islam memandang tatanan manusia super itu mengatur 
dunia sebagai titah dari satu Tuhan pencipta yang mahakuasa, 
sedangkan komunisme Soviet tidak meyakini Tuhan. Namun, 
Buddhisme juga memberi perhatian sedikit pada tuhan-tuhan, 
tetapi kita umumnya tetap mengklasifikasinya sebagai agama. 
Sebagaimana kaum Buddhis, orang-orang komunis percaya pada 
satu tatanan manusia super berupa hukum-hukum alam dan 
tak bisa diubah yang harus membimbing perbuatan-perbuatan 
manusia. Sementara orang-orang Buddha meyakini bahwa 
hukum alam ditemukan oleh Siddhartha Gautama, orang-orang 
komunis percaya bahwa hukum alam ditemukan oleh Karl Marx, 
Friedrich Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin. Kemiripannya tidak 
berakhir di sana. Sebagaimana agama-agama lain, komunisme 
juga memiliki kitab suci dan kitab-kitab rasulnya sendiri, seperti 
Das Kapital-nya Marx, yang mengajarkan bahwa sejarah akan 
segera berakhir dengan kemenangan tak terelakkan kaum proletar. 
Komunisme punya hari libur dan hari raya sendiri, seperti 1 
Mei dan ulang tahun Revolusi Oktober. Ia punya teolog-teolog 
yang mahir tentang dialektika Marxis, dan setiap unit dalam 
angkatan perang Soviet memiliki pendeta yang disebut komisar, 
yang memantau kesalehan para tentara dan perwira. Komunisme 
juga punya martir-martir, perang-perang suci, dan klenik-klenik, 
seperti Trotskyisme. Komunisme Soviet adalah agama fanatik dan 
misioner. Seorang pemeluk Komunisme taat tidak bisa menjadi 
Kristen atau Buddhis, dan diharapkan menyebarkan ajaran Marx 
dan Lenin, bahkan dengan harga nyawanya.
Sebagian pembaca mungkin sangat tidak nyaman dengan 
pemikiran ini. Jika membuat Anda merasa lebih baik, Anda 
bebas saja terus menyebut Komunisme sebagai sebuah ideologi, bukan agama. Itu tak ada bedanya. Kita membagi kredo-kredo 
ke dalam golongan agama-agama yang berpusat pada Tuhan dan 
ideologi-ideologi yang tidak bertuhan, yang mengklaim didasarkan 
pada hukum-hukum alam. Namun, dengan begitu, agar konsisten, 
kita perlu memasukkan Buddha, Daois, sekte-sekte Daois, dan 
Stoic juga dalam katalog ideologi, bukan agama. Sebaliknya, kita 
harus melihat bahwa keyakinan pada dewa-dewa bertahan dalam 
banyak ideologi modern, dan bahwa sebagian dari ideologiideologi itu, terutama liberalisme, menjadi kurang bermakna tanpa keyakinan ini. Tidak mungkin melakukan survei di sini 
terhadap sejarah semua kredo modern baru, terutama karena 
tidak ada batasan yang jelas di antara kredo-kredo tersebut. 
Kredo-kredo itu tak urang sinkretis dibandingkan monoteisme 
dan Buddhisme populer. Sebagaimana seorang Buddha memuja 
dewa-dewa Hindu, dan sebagaimana seorang monoteis bisa 
meyakini eksistensi Setan, begitu pula orang Amerika masa kini 
secara simultan adalah nasionalis (ia memercayai eksistensi negara 
Amerika dengan peran istimewa untuk dimainkan dalam sejarah), 
kapitalis pasar-bebas (dia meyakini bahwa kompetisi terbuka 
dan memburu kepentingan sendiri adalah cara terbaik untuk 
menciptakan sebuah masyarakat yang makmur), dan seorang 
humanis liberal (dia memercayai bahwa manusia dibekali oleh 
pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak bisa diingkari). 
Nasionalisme akan dibahas dalam Bab 18. Kapitalisme—agama 
modern paling sukses—dibahas satu bab penuh, Bab 16, yang 
menguraikan keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual prinsipnya. 
Dalam sisa bab I saya akan membahas agama-agama humanis.
Agama-agama teis fokus pada pemujaan dewa-dewa. Agamaagama humanis memuja kemanusiaan, atau lebih tepatnya Homo 
sapiens. Humanisme adalah sebuah keyakinan bahwa Homo 
sapiens punya sifat unik dan sakral, yang secara fundamental 
berbeda dari sifat semua binatang lain dan semua fenomena lain. 
Para pengikut humanis percaya bahwa sifat unik Homo sapiens
merupakan hal yang paling penting di dunia, dan itu menentukan 
makna segala hal yang terjadi di Bumi, dan menentukan makna 
segala hal yang terjadi di alam semesta. Kebaikan yang tertinggi 
adalah kebaikan Homo sapiens. Selebihnya di dunia ini dan semua 
makhluk yang ada semata-mata untuk manfaat bagi spesies ini.
Seluruh humanis memuja kemanusiaan, tetapi mereka tidak 
menyepakati definisinya. Humanisme terpecah menjadi 3 sekte 
yang bersaing, yang bertengkar soal definisi pasti “kemanusiaan”, 
sebagaimana sekte-sekte Kristen yang bersaing dan bertengkar 
soal definisi pasti tentang Tuhan. Kini, sekte humanis yang 
paling penting adalah humanisme liberal, yang meyakini bahwa 
“kemanusiaan” adalah kualitas manusia-manusia individual 
sehingga kebebasan individu-individu adalah sangat suci. Menurut kaum liberal, sifat sakral kemanusiaan berada dalam setiap 
dan masing-masing individu Homo sapiens. Inti dari manusia 
individual memberi makna kepada dunia, dan menjadi sumber 
bagi seluruh otoritas etis dan politis. Jika kita menghadapi 
sebuah dilema etis atau politis, kita harus melihat ke dalam dan 
mendengarkan suara hati kita—suara kemanusiaan. Firman pokok 
humanisme liberal dimaksudkan untuk melindungi kebebasan 
suara hati itu melawan intrusi atau perusakan. Firman-firman 
ini secara kolektif dikenal sebagai “hak-hak asasi manusia”.
Itulah sebabnya, misalnya, kaum liberal menolak penyiksaan 
dan hukuman mati. Di Eropa era awal modern, para pembunuh 
dipandang melanggar dan mendestabilkan tatanan kosmis. Untuk 
membawa kembali kosmos kepada keseimbangan, diperlukan 
penyiksaan dan eksekusi penjahat secara terbuka, agar setiap 
orang bisa melihat tatanan ditegakkan kembali. Menghadiri 
eksekusi yang mengerikan menjadi hal favorit bagi warga London 
dan Paris masa lalu pada era Shakespeare dan Molière. Pada 
Eropa masa kini, pembunuhan dipandang sebagai pelanggaran 
atas sifat kemanusiaan yang sakral. Untuk memulihkan 
tatanan itu, orang-orang Eropa masa kini tidak menyiksa dan 
mengeksekusi penjahat. Mereka menghukum seorang pembunuh 
dalam apa yang mereka pandang sebagai cara se-“manusiawi” 
mungkin sehingga melindungi dan bahkan membangun kembali 
kesucian kemanusiaannya. Dengan menghormati sifat manusia si 
pembunuh, setiap orang diingatkan akan kesucian kemanusiaan 
dan tatanan dipulihkan. Dengan membela pembunuh, kita 
bertindak benar terhadap apa yang dilakukan secara salah oleh 
pembunuh.
Sekalipun humanisme liberal menyucikan manusia, ia tidak 
mengingkari eksistensi Tuhan, dan justru didasarkan pada 
keyakinan-keyakinan monoteis. Keyakinan liberal pada sifat 
bebas dan sakral setiap individu adalah warisan langsung dari 
keyakinan tradisional Kristen pada kebebasan abadi jiwa-jiwa 
setiap individu. Dengan absennya jiwa-jiwa yang abadi dan satu 
Tuhan Pencipta, maka menjadi benar-benar sulit bagi kaum liberal 
untuk menjelaskan mengapa Sapiens individual begitu istimewa.
Sekte penting lainnya adalah humanisme sosialis. Kaum sosialis percaya bahwa “kemanusiaan” bersifat kolektif ketimbang 
individualistik. Mereka memandang yang sakral itu bukan suara 
hati setiap individu, melainkan spesies Homo sapiens secara 
keseluruhan. Sementara humanisme liberal mengupayakan 
sebanyak mungkin kebebasan bagi manusia-manusia individual, 
kaum humanis sosialis mengupayakan kesetaraan semua manusia. 
Menurut kalangan sosialis, ketidaksetaraan adalah penistaan 
terburuk terhadap kesucian kemanusiaan karena mengistimewakan 
kualitas-kualitas periferal atas esensi universal. Misalnya, ketika 
orang kaya diistimewakan atas orang miskin, itu berarti bahwa 
nilai uang lebih besar dari esensi universal seluruh manusia, 
yang menyetarakan orang kaya dan miskin. 
Sebagaimana humanisme liberal, humanisme sosialis dibangun 
pada fondasi-fondasi monoteis. Ide bahwa seluruh manusia setara 
adalah versi perubahan dari keyakinan monoteis bahwa seluruh 
jiwa setara di hadapan Tuhan. Satu-satunya sekte humanis yang 
benar-benar lepas dari monoteisme tradisional adalah humanisme 
evolusioner, dengan Nazi sebagai representasi yang paling 
terkenal. Yang membedakan kaum Nazi dari sekte-sekte humanis 
lainnya adalah definisi yang berbeda tentang “kemanusiaan”, 
yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi. Berlawanan dengan 
kaum humanis lainnya, Nazi meyakini bahwa manusia bukanlah 
sesuatu yang universal dan kekal, melainkan spesies yang bisa 
bermutasi yang bisa berevolusi atau mengalami penurunan 
derajat. Manusia bisa berevolusi menjadi manusia super atau 
turun derajatnya menjadi setengah manusia.
Ambisi utama Nazi adalah melindungi manusia dari degenerasi 
dan mendorong evolusi progresif. Itulah kenapa orang-orang Nazi 
mengatakan bahwa ras Arya, bentuk kemanusiaan yang paling 
maju, harus dilindungi dan diperkuat, sedangkan jenis-jenis Homo 
sapiens yang rendah seperti Yahudi, Roma, homoseksual, dan 
sakit mental harus dikarantina, bahkan dilenyapkan. Orang-orang 
Nazi menjelaskan bahwa Homo sapiens sendiri muncul ketika 
satu populasi “superior” manusia kuno berevolusi, sedangkan 
populasi-populasi “inferior” seperti Neanderthal punah. Populasipopulasi yang berbeda ini mula-mula tak lebih dari ras belaka, 
tetapi berkembang secara independen sesuai jalur evolusi masingmasing. Ini mungkin akan terjadi lagi. Menurut kaum Nazi, Homo 
sapiens sudah terbagi menjadi beberapa ras yang terpisah, yang 
masing-masing memiliki kualitas unik. Salah satu dari ras-ras 
ini, ras Arya, memiliki kualitas terbaik—rasionalisme, keindahan, 
integritas, dan ketekunan. Oleh karena itu, ras Arya memiliki 
potensi untuk mengubah manusia menjadi manusia super. Ras-ras 
lain, seperti Yahudi dan kulit hitam, adalah Neanderthal masa 
kini, yang memiliki kualitas rendah. Jika dibiarkan berbiak, dan 
terutama melalui perkawinan silang dengan Arya, mereka akan 
merusak seluruh populasi manusia dan menyebabkan punahnya 
Homo sapiens.
Para ahli biologi sudah mematahkan teori ras Nazi. Terutama, 
riset genetik yang dilakukan setelah 1945 menunjukkan bahwa 
perbedaan-perbedaan antara berbagai garis keturunan manusia 
jauh lebih kecil ketimbang yang dipostulat** oleh Nazi. Namun, 
konklusi-konklusi ini relatif baru. Jika ditengok keadaan 
pengetahuan saintifik pada 1933, keyakinan-keyakinan Nazi 
sebetulnya nyaris tidak berada dari lingkaran itu. Eksistensi 
ras-ras manusia yang berbeda, superioritas ras kulit putih, dan 
perlunya melindungi dan memelihara ras superior dipegang teguh 
oleh kaum elite Barat. Para sarjana di sebagian besar universitas 
paling prestisius di Barat, dengan menggunakan metode-metode 
saintifik ortodoks masa ini, menerbitkan studi-studi yang diduga 
membuktikan bahwa ras kulit putih lebih pintar, lebih etis, dan 
lebih terampil ketimbang orang Afrika atau India. Para politisi 
di Washington, London, dan Canberra menerimanya sebagai 
kebenaran bahwa tugas merekalah mencegah pengaruh dan 
penurunan derajat ras kulit putih dengan, misalnya, membatasi 
imigrasi dari China atau bahkan dari Italia ke negara-negara 
“Arya” seperti Amerika Serikat dan Australia.
Pandangan-pandangan ini tidak berubah begitu saja karena 
riset saintifik baru diterbitkan. Perkembangan-perkembangan 
sosiologis dan politis adalah mesin-mesin perubahan yang jauh 
lebih kuat. Dalam pengertian ini, Hitler menggali tidak hanya 
kuburannya sendiri, tetapi kuburan rasisme secara umum. Ketika 
melancarkan Perang Dunia II, dia memaksa musuh-musuhnya 
untuk membuat pembedaan yang tegas antara “kita” dan 
“mereka”. Setelah itu, jelas karena ideologi Nazi begitu rasis, 
dan rasisme menjadi terdiskreditkan di Barat. Namun, perubahan 
butuh waktu. Supremasi kulit putih tetap menjadi ideologi arus 
utama dalam politik Amerika, bahkan sampai era 1960-an. 
Politik Australia Putih tetap berlaku sampai 1973. Orang-orang 
Australia etnis Aborigin tidak mendapatkan hak-hak politik yang 
setara sampai 1960-an, dan sebagian besar tidak diberi hak pilih 
dalam pemilihan umum karena mereka diputuskan tidak cocok 
untuk berfungsi sebagai warga negara.Nazi tidak membenci kemanusiaan. Mereka memerangi 
humanisme liberal, hak-hak asasi manusia, dan Komunisme benarbenar karena mereka mengagumi kemanusiaan dan meyakini 
potensi besar spesies manusia. Namun, dengan mengikuti logika 
evolusi Darwin, mereka berpendapat bahwa seleksi alam harus 
dibiarkan menyingkirkan individu-individu yang tidak layak 
dan menyisakan hanya yang paling layak untuk bertahan dan 
bereproduksi. Dengan membantu yang lemah, liberalisme dan 
Komunisme tidak hanya membiarkan individu-individu yang 
tidak layak untuk bertahan, mereka sesungguhnya memberi 
kesempatan untuk bereproduksi sehingga melemahkan seleksi 
alam. Dalam dunia semacam itu, manusia-manusia yang paling 
layak tak terelakkan akan tenggelam dalam laut spesies rendah 
yang tidak layak. Manusia akan menjadi semakin tidak layak 
dan semakin tidak layak seiring pergantian generasi—yang bisa 
mengarah pada kepunahannya.
Sebuah buku pelajaran biologi Jerman pada 1942 menjelaskan 
dalam bab “Hukum Alam dan Manusia” bahwa hukum alam 
tertinggi adalah bahwa seluruh makhluk terkunci dalam 
pertarungan survival yang terpencil. Setelah menggambarkan 
bagaimana tumbuhan berjuang untuk teritori, bagaimana kumbang 
berjuang untuk mencari pasangan dan seterusnya, buku pelajaran 
itu menyimpulkan bahwa:
Pertarungan untuk eksistensi memang sulit dan tiada ampun, 
tetapi itulah satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan. 
Pertarungan mengeliminasi segala sesuatu yang tidak layak untuk 
hidup, dan menyeleksi segala hal yang mampu bertahan hidup 
.... Hukum alam ini tidak bisa dibantah; makhluk-makhluk hidup 
menunjukkannya dengan survival mereka. Mereka memang tiada 
kenal ampun. 
Mereka yang melawannya akan tersingkir. Biologi tidak 
hanya mengajarkan kepada kita tentang binatang dan tumbuhan, tetapi juga menunjukkan kepada kita hukum itu harus diikuti 
dalam kehidupan kita, dan menguatkan kehendak kita untuk 
hidup dan berjuang menurut hukum ini. Makna dari kehidupan 
adalah perjuangan. Celakalah ia yang berdosa melawan hukum 
ini. 
 Lalu, muncul kutipan dari Mein Kampf: “Orang yang 
berusaha memerangi hukum besi alam dengan demikian 
memerangi prinsip-prinsip yang harus dia syukuri untuk 
kehidupannya sebagai manusia. Memerangi alam adalah mendatangkan kerusakan dia sendiri”.3
Pada awal milenium ke-3, masa depan humanisme evolusioner 
tidak jelas. Selama 60 tahun setelah akhir perang melawan 
Hitler, pantang menghubungkan humanisme dengan evolusi 
dan mendukung penggunaan metode-metode biologi untuk 
“menaikkan darajat” Homo sapiens. Namun, kini proyek-proyek 
semacam itu kembali samar-samar. Tak ada orang yang berbicara 
tentang pelenyapan ras rendah atau inferior, tetapi banyak 
yang berkontemplasi menggunakan pengetahuan kita yang terus 
bertambah tentang biologi manusia untuk menciptakan manusiamanusia super.
Pada saat yang sama, satu teluk besar terbuka antara pendirian 
humanisme liberal dan temuan-temuan mutakhir sains kehidupan, 
sebuah teluk yang tidak bisa lagi kita abaikan. Sistem politik 
dan yudisial liberal kita didasarkan pada keyakinan bahwa setiap 
individu memiliki sifat internal yang sakral, tak terpisahkan dan 
tak bisa diubah, yang memberi makna bagi dunia, dan itulah 
sumber segala otoritas etis dan politis. Ini adalah reinkarnasi 
dari keyakinan Kristen tradisional pada jiwa yang bebas dan 
kekal yang berada pada setiap individu. Meskipun demikain 
dalam 200 tahun terakhir, sains kehidupan telah melemahkan 
sepenuhnya keyakinan ini. Para ilmuwan yang mempelajari cara 
kerja internal organisme manusia menemukan tidak ada jiwa di 
sana. Mereka mengemukakan bahwa perilaku manusia ditentukan 
oleh hormon-hormon, gen-gen, dan synaps-synaps, bukan oleh 
kehendak bebas—kekuatan yang sama yang menentukan perilaku 
simpanse, rubah, dan semut. Sistem yudisial dan politis kita 
umumnya berusaha menyapu penemuan-penemuan semacam itu di bawah karpet. Namun, sejujurnya, berapa lama kita bisa 
mempertahankan tembok pemisah departemen biologi dari 
departemen-departemen hukum dan ilmu politik?
Perdagangan, imperium-imperium, dan agama-agama universal 
akhirnya benar-benar membawa setiap Sapiens memasuki dunia 
global yang kita tinggali kini. Bukan berarti proses ekspansi 
dan unifikasi ini linear atau tanpa interupsi. Namun, dengan 
melihat gambar yang lebih luas, transisi untuk banyak kultur 
kecil menuju sedikit kultur besar dan akhirnya menjadi sebuah 
masyarakat global tunggal mungkin merupakan sebuah hasil tak 
terelakkan dari dinamika sejarah manusia.
Akan tetapi, mengatakan bahwa sebuah masyarakat global 
tak terelakkan tidak sama dengan mengatakan bahwa hasil 
akhirnya harus berupa jenis tertentu dari masyarakat global 
yang kita miliki sekarang. Kita bisa membayangkan tentu saja 
hasil-hasil lainnya. Mengapa bahasa Inggris begitu meluas saat 
ini, dan bukan bahasa Denmark? Mengapa ada sekitar 2 miliar 
orang Kristen dan 1,25 miliar orang Muslim, tetapi hanya 
150.000 Zoroaster dan tidak ada satu pun Manichea? Jika kita 
bisa kembali ke masa 10.000 tahun lalu dan menyusun ulang 
prosesnya, dari waktu ke waktu, akankah kita selalu melihat 
munculnya monoteisme dan surutnya dualisme?
Kita tidak bisa melakukan eksperimen semacam itu sehingga 
kita benar-benar tidak tahu. Namun, sebuah pengujian atas dua 
karakteristik krusial sejarah bisa memberi kita beberapa petunjuk.
1. Kekeliruan Memandang ke Belakang
Setiap poin dalam sejarah adalah persimpangan jalan. Satu jalan 
tunggal beranjak dari masa lalu ke masa kini, tetapi banyak sekali 
jalur-jalur bercabang menuju masa depan. Sebagian dari jalur itu 
lebih luas, lebih mulus, dan lebih jelas tandanya sehingga lebih 
mungkin untuk ditempuh, tetapi terkadang sejarah—atau orangorang yang membuat sejarah—mengambil belokan tak terduga.
Pada permulaan awal abad ke-4 M, Imperium Romawi 
menghadapi satu horizon luas kemungkinan-kemungkinan 
religius. Mestinya ia bisa tetap saja pada politeisme tradisionalnya 
yang beraneka ragam. Namun, sang kaisar, Constantine, dengan 
memandang ke belakang pada satu era kekacauan perang saudara, 
tampaknya berpikir bahwa satu agama tunggal dengan doktrin 
yang jelas bisa membantu menyatukan dunianya yang secara etnis 
beragam. Dia mestinya bisa memilih yang mana pun di antara 
kultus-kultus kontemporer yang banyak jumlahnya untuk menjadi 
agama nasional—Manichaesisme, Mithraisme, kultus Isis, atau 
Cybele, Zoroaster, Judaisme, dan bahkan Buddhisme semuanya 
adalah opsi-opsi yang tersedia. Mengapa dia memilih Yesus? 
Apakah ada sesuatu dalam teologi Kristen yang memikatnya 
secara personal atau mungkin satu aspek agama yang menjadikan 
ia berpikir itu akan lebih mudah digunakan untuk tujuantujuannya? Apakah dia memiliki sebuah pengalaman religius, 
atau apakah sebagian dari para penasihatnya memberi masukan 
bahwa orang-orang Kristen cepat mendapat pengikut dan akan 
lebih mudah melompat ke dalam kendaraan itu? Para sejarawan 
bisa saja berspekulasi, tetapi tidak akan dapat memberikan 
jawaban definitif. Mereka bisa menggambarkan bagaimana
Kristen mengambil alih Imperium Romawi, tetapi mereka tidak 
bisa menjelaskan mengapa kemungkinan yang sangat khusus ini 
terwujud. Apa perbedaan antara menggambarkan “bagaimana” 
dan menjelaskan “mengapa”? Menggambarkan “bagaimana” 
berarti merekonstruksi serangkaian peristiwa spesifik yang 
bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Menjelaskan “mengapa” 
berarti menemukan koneksi-koneksi kausal yang berarti bagi 
kejadian dari serangkaian peristiwa-peristiwa tertentu dengan 
pengabaian yang lain.
Sebagian ahli benar-benar memberikan penjelasan deterministik 
tentang peristiwa-peristiwa semacam munculnya Kristen. Mereka 
berupaya untuk mereduksi sejarah manusia menjadi ulah 
kekuatan-kekuatan biologis, ekologis, atau ekonomis. Mereka 
memandang bahwa ada sesuatu tentang geografi, genetika, atau 
ekonomi dari Mediterania Romawi yang menjadikan kemunculan 
agama monoteis tak terelakkan. Namun, sebagian besar sejarawan 
cenderung skeptis terhadap teori-teori deterministik semacam itu. 
Ini adalah salah satu tanda pembeda dari sejarah sebagai sebuah 
disiplin akademis—semakin baik Anda tahu suatu periode historis 
tertentu, semakin sulit untuk menjelaskan mengapa sesuatu 
terjadi dengan satu atau lain cara. Mereka yang hanya memiliki 
pengetahuan superfisial tentang periode tertentu cenderung fokus 
hanya pada kemungkinan bahwa hal itu pada akhirnya terwujud. 
Mereka hanya menawarkan pokoknya-ceritanya-begitu untuk 
menjelaskan dengan melihat ke belakang mengapa hasil itu tak 
terelakkan. Mereka yang memiliki informasi mendalam tentang 
periode tersebut akan jauh lebih paham tentang jalan-jalan yang 
tidak ditempuh.
Faktanya, orang-orang yang paling tahu periode itu—
mereka yang hidup pada masa itu—adalah orang yang paling 
tidak memahami. Bagi rata-rata orang Romawi pada masa 
Constantine, masa depan adalah sebuah kabut. Ada hukum besi 
sejarah bahwa apa yang tampak tak terelakkan dalam melihat ke 
belakang justru jauh lebih kurang jelas pada masa itu. Masa kini 
pun tak berbeda. Apakah kita akan keluar dari krisis ekonomi 
global, atau sesuatu yang terburuk masih akan terjadi? Akankah 
China terus tumbuh sampai menjadi adidaya terkuat? Akankah 
Amerika Serikat kehilangan hegemoninya? Apakah menyeruaknya 
fundamentalisme monoteistik merupakan gelombang masa depan 
atau sebuah pusaran lokal dari signifikansi kecil dalam jangka 
panjang? Apakah kita akan menuju bencana ekologis atau surga 
teknologis? Ada argumentasi-argumentasi bagus yang bisa dibuat 
untuk semua hasil-hasil ini, tetapi tidak satu pun yang bisa tahu 
dengan yakin. Dalam beberapa dekade ke depan, orang akan 
melihat ke belakang dan berpikir bahwa jawaban-jawaban pada 
semua pertanyaan-pertanyaan itu jelas.
Sangat penting untuk ditekankan bahwa kemungkinankemungkinan yang tampak sangat tidak mungkin bagi orang 
yang sezaman justru terwujud. Ketika Constantine naik takhta 
pada tahun 306, Kristen hanya sedikit lebih besar dari sebuah 
sekte Timur esoteris. Jika Anda saat itu mengemukakan 
bahwa ia segera menjadi agama negara Romawi, Anda akan 
ditertawakan sebagaimana bila Anda mengatakan hari ini jika 
Anda mengemukakan bahwa pada tahun 2050 Hare Krishna 
akan menjadi agama negara di Amerika Serikat. Pada Oktober 
1913, kaum Bolshevik adalah sebuah faksi radikal kecil Rusia. Tak 
ada orang dengan pikiran yang sehat meramalkan bahwa hanya 
dalam waktu 4 tahun mereka mengambil alih negara. Pada 600 
M, pendapat bahwa satu kawanan Arab udik gurun akan segera 
menaklukkan satu wilayah luas yang terbentang dari Samudra 
Atlantik sampai ke India akan terasa lebih mustahil lagi. Sungguh, 
kalau saja angkatan perang Byzantium mampu menghalau 
serangan awal itu, Islam mungkin akan tetap sebuah kultus samar 
dengan hanya segelintir ahli yang mengetahuinya. Maka, para 
ahli akan mudah sekali menjelaskan mengapa sebuah agama yang 
didasarkan pada wahyu kepada seorang pedagang paruh baya 
tidak pernah bisa berkembang. Bukan untuk mengatakan bahwa 
segala sesuatu mungkin terjadi. Kekuatan geografis, biologis, 
dan ekonomis menciptakan hambatan-hambatan. Namun, 
hambatan-hambatan ini meninggalkan ruang yang longgar bagi 
perkembangan-perkembangan yang mengejutkan, yang tampak 
tidak terikat oleh hukum-hukum deterministik.
Kesimpulan ini mengecewakan banyak orang, yang lebih 
menyukai sejarah bersifat deterministik. Determinisme memang 
menarik karena menunjukkan bahwa dunia kita dan keyakinankeyakinan kita adalah produk natural dan tak terelakkan dari 
sejarah. Adalah sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan kita 
hidup dalam negara-negara bangsa, mengorganisasi ekonomi 
dengan prinsip-prinsip kapitalis, dan meyakini dengan penuh 
semangat hak-hak asasi manusia. Mengakui bahwa sejarah 
tidak deterministik adalah mengakui bahwa hanya kebetulan 
belaka bahwa sebagian besar orang kini meyakini nasionalisme, 
kapitalisme, dan hak-hak asasi manusia.
Sejarah tidak bisa dijelaskan secara deterministik dan tidak 
bisa diprediksi karena bersifat kaotis*
. Begitu banyak kekuatan 
yang bekerja dan interaksi-interaksi mereka begitu rumit sehingga 
variasi-variasi yang sangat kecil secara ekstrem dalam dahsyatnya 
kekuatan besar dan cara interaksinya pun bisa menghasilkan 
perbedaan-perbedaan besar. Lebih dari itu, sejarah adalah apa 
yang disebut sebagai sistem kaotik “level dua”. Sistem kaotik 
memiliki dua bentuk. Kekacauan level satu adalah kekacauan 
yang tidak beraksi pada prediksi-prediksi tentangnya. Cuaca, 
misalnya, adalah sistem kaotik level satu. Meskipun ia dipengaruhi 
oleh banyak sekali faktor, kita bisa membangun model-model 
komputer yang bisa memasukkan semakin banyak pertimbangan, 
dan menghasilkan prakiraan-prakiraan cuaca yang jauh lebih baik.
Kekacauan level dua adalah kekacauan yang bereaksi pada 
prediksi tentangnya, dan karena itu tidak pernah bisa diprediksi 
secara akurat. Pasar, misalnya, adalah sistem kaotik level dua. 
Apa yang akan terjadi jika kita mengembangkan sebuah program 
komputer yang meramalkan dengan akurasi 100 persen harga 
minya besok? Harga minyak akan segera bereaksi pada ramalan 
itu, yang akibatnya harga itu pun tidak terwujud. Jika harga 
minyak saat ini $90 per barel, dan program komputer sempurna 
memprediksi besok harganya menjadi $100, para pedagang 
bergegas membeli minyak sehingga mereka bisa mendapatkan 
untung dari naiknya harga yang diprediksi itu. Akibatnya, harga 
langsung melonjak ke $100 per barel hari ini, bukan besok. 
Lalu, apa yang terjadi besok? Tak seorang pun tahu.
Politik juga sistem kaotik level dua. Banyak orang mengkritisi 
Sovietologis karena gagal meramalkan revolusi-revolusi 1989, 
menghukum para pakar Timur Tengah karena tidak mengantisipasi 
revolusi-revolusi Arab Springs pada 2011. Ini tidak adil. Revolusirevolusi, per definisi, adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi. 
Sebuah revolusi yang bisa diprediksi tidak pernah meletus.
Mengapa tidak? Bayangkan misalnya sekarang tahun 2010 
dan sejumlah ilmuwan politik genius yang bersekongkol dengan 
seorang ahli komputer mengembangkan suatu algoritma canggih 
yang, setelah dihubungkan dengan antarmuka atraktif, bisa 
dipasarkan sebagai peramal revolusi. Mereka menawarkan layanan 
kepada Presiden Mesir Hosni Mubarak dan, sebagai imbalan 
atas tanda jadi dengan nilai istimewa, memberi tahu Mubarak 
bahwa menurut ramalan mereka sebuah revolusi akan benar-benar 
meletus di Mesir pada tahun depan. Bagaimana reaksi Mubarak? 
Sangat mungkin, dia segera menurunkan pajak, mendistribusikan 
miliaran dolar untuk dibagi-bagi kepada warga negara—dan juga 
menggenjot kewaspadaan pasukan polisi rahasia, untuk berjagajaga. Langkah-langkah preventif itu berhasil. Tahun berganti dan, 
mengejutkan, revolusi tidak terjadi. Mubarak meminta uangnya 
kembali. “Algoritma Anda tidak berguna!” teriaknya kepada para 
ilmuwan. “Saya mestinya bisa membangun istana lagi, bukan 
membuang uang percuma!” “Namun, penyebab revolusi itu 
tidak terjadi adalah karena kami memprediksinya,” kata para 
ilmuwan memberi alasan untuk membela diri. “Nabi-nabi yang 
bisa meramalkan kejadian yang tidak terjadi?” kata Mubarak 
seraya memberi isyarat kepada para pengawal untuk meringkus 
para ilmuwan. “Saya mestinya menciduk selusin orang yang 
nyaris tidak berarti apa-apa bagi pasar Kairo.”
Jadi, mengapa belajar sejarah? Tak seperti fisika dan ekonomi, 
sejarah bukanlah alat untuk membuat prediksi akurat. Kita 
mempelajari sejarah bukan untuk mengetahui masa depan, tetapi 
untuk memperluas cakrawala, untuk memahami bahwa situasi 
kita saat ini bukanlah alamiah atau tak terelakkan, dan bahwa 
kita dengan demikian memiliki lebih banyak kemungkinan di 
depan untuk kita bayangkan. Misalnya, mempelajari bagaimana 
bangsa Eropa mendominasi Afrika memungkinkan kita menyadari 
bahwa tidak ada yang natural atau tak terelakkan tentang hierarki 
rasial, dan bahwa dunia mungkin diatur secara berbeda.
2. Renungan Buta
Kita tidak bisa menjelaskan pilihan-pilihan yang dibuat 
sejarah, tetapi kita bisa mengatakan sesuatu yang sangat penting 
tentang semua itu: pilihan-pilihan sejarah tidak dibuat untuk 
manfaat bagi manusia. Jelas sekali tidak ada bukti bahwa makhluk 
manusia sudah pasti membaik seiring bergulirnya sejarah. Tidak 
ada bukti bahwa kultur-kultur yang membawa manfaat bagi 
manusia pasti dengan sendirinya berhasil dan menyebar, sementara 
kultur-kultur yang kurang membawa manfaat menjadi lenyap. 
Tidak ada bukti bahwa Kristen adalah pilihan yang lebih baik 
ketimbang Manichaeisme, atau bahwa Imperium Arab lebih 
bermanfaat ketimbang Persia Sassanid.
Tidak ada bukti bahwa sejarah bekerja untuk membawa 
manfaat bagi manusia, karena kita tidak punya skala objektif 
untuk mengukur manfaat semacam itu. Kultur-kultur yang 
berbeda mendefinisikan kebaikan secara berbeda pula, dan kita 
tidak punya penggaris objektif yang dengannya kita bisa menilai. 
Para pemenang, tentu saja, meyakini bahwa definisi merekalah 
yang benar. Namun, mengapa kita harus memercayai pemenang? 
Orang Kristen memercayai bahwa kemenangan Kristianitas atas 
Manichaeisme membawa manfaat bagi manusia, tetapi jika kita 
tidak menerima pandangan dunia Kristen maka tidak ada alasan 
untuk sependapat dengannya. Orang Islam meyakini bahwa 
jatuhnya Imperium Sassanid di tangan Muslim membawa manfaat 
bagi manusia. Namun, manfaat-manfaat ini hanya terbukti jika 
kita menerima pandangan dunia Muslim. Bisa saja kita lebih 
suka kalau Kristen dan Islam dilupakan atau dikalahkan.
Semakin banyak ahli memandang kultur sebagai jenis infeksi 
atau parasit mental, dan manusialah yang tanpa sadar menjadi 
pembawanya. Parasit-parasit organik, seperti virus, hidup dalam 
tubuh pembawanya. Parasit-parasit itu berbiak dan menyebar dari 
satu pembawa ke pembawa lain, menggerogoti pembawanya, 
melemahkan mereka, dan terkadang bahkan membunuhnya. 
Sepanjang si pembawa hidup cukup lama untuk meneruskan 
parasit, maka parasit tidak terlalu peduli dengan kondisi si 
pembawa. Dengan cara seperti inilah, ide-ide kultural hidup 
dalam pikiran manusia. Ide-ide itu berbiak dan menyebar dari 
pembawa ke pembawa lainnya, terkadang melemahkan para 
pembawanya, dan kadang-kadang bahkan membunuh mereka. 
Sebuah ide kultural—seperti keyakinan pada surga Kristen di 
atas awan atau surga Komunis di Bumi—bisa menggugah seorang 
manusia untuk mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan 
ide itu, bahkan dengan harga kematian. Manusia mati, tetapi 
idenya menyebar. Menurut pendekatan ini, kultur-kultur bukanlah 
konspirasi yang diciptakan oleh orang-orang tertenu dalam 
rangka mengambil keuntungan dari orang lain (sebagaimana 
kecenderungan berpikir kaum Marxis). Namun, kultur adalah 
parasit mental yang muncul secara kebetulan, dan setelah itu 
mengambil manfaat dari semua orang yang terinfeksi.
Pendekatan ini terkadang disebut memetika. Diasumsikan 
bahwa, sebagaimana evolusi organik didasarkan pada replikasi 
unit-unit informasi organik yang disebut “gen”, demikian pula 
evolusi kultural didasarkan pada replikasi unit-unit informasi 
kultural yang disebut “meme”.1
 Kultur-kultur yang sukses adalah 
kultur yang hebat dalam mereproduksi meme-meme mereka, 
terlepas dari biaya dan manfaatnya bagi manusia si pembawa.
Sebagian ahli dalam bidang kemanusiaan mencela memetika, 
memandangnya sebagai upaya amatir untuk menjelaskan prosesproses kultural dengan analogi-analogi biologis yang kasar. 
Namun, banyak di antara para ahli itu patuh pada saudara 
kembar perempuan memetika: posmodernisme. Para pemikir 
postmodernis berbicara tentang diskursus, bukan meme-meme 
sebagai batu bata bangunan kultur. Meskipun demikian, 
mereka memandang kultur menyebarkan diri tanpa banyak 
berurusan dengan manfaat bagi manusia. Misalnya, para pemikir 
posmodernisme menggambarkan nasionalisme adalah wabah 
mematikan yang menyebar ke seluruh dunia pada abad ke-19 
dan ke-20, menyebabkan peran, penindasan, kebencian, dan 
genosida. Momen ketika rakyat di satu negara terinfeksi olehnya, 
negara-negara tetangga juga berkemungkinan terjangkiti virus itu. 
Virus nasionalis menampilkan diri sebagai hal yang membawa 
manfaat bagi manusia, tetapi sesungguhnya bermanfaat terutama 
untuk dirinya.
Argumentasi-argumentasi serupa lazim dalam ilmu-ilmu sosial, 
di bawah payung teori permainan. Teori permainan menjelaskan 
bagaimana dalam sistem-sistem dengan banyak pemain, 
pandangan-pandangan dan pola-pola perilaku yang merugikan 
semua pemain tentu berhasil mengakar dan menyebar. Perlombaan 
senjata adalah contoh yang terkenal. Banyak perlombaan senjata 
membangkrutkan semua yang terlibat di dalamnya, tanpa benarbenar mengubah perimbangan kekuatan militer. Ketika Pakistan 
membeli pesawat-pesawat canggih, India merespons dengan hal yang sama. Ketika India mengembangkan bom nuklir, Pakistan 
mengikutinya. Ketika Pakistan memperbesar angkatan lautnya, 
India pun menandingi. Pada akhir proses, perimbangan kekuatan 
bisa tetap sebagaimana adanya, tetapi sementara itu miliaran dolar 
yang semestinya bisa diinvestasikan di pendidikan atau kesehatan 
dibelanjakan untuk senjata. Namun, dinamika perlombaan senjata 
sulit dilawan. “Perlombaan senjata” adalah sebuah pola perilaku 
yang menyebarkan diri seperti sebuah virus dari satu negara 
ke negara lainnya, merugikan setiap orang, tetapi mengambil 
manfaat untuk dirinya, di bawah kriteria evolusioner survival 
dan reproduksi. (Ingat bahwa persaingan senjata, seperti sebuah 
gen, tidak memiliki kesadaran—ia tidak berusaha secara sadar 
untuk bertahan dan bereproduksi. Penyebarannya adalah hasil 
tak sengaja dari suatu dinamika yang kuat.)
Terserah mau sebut apa—teori permainan, posmodernisme 
atau memetika—dinamika sejarah tidak diarahkan menuju 
penguatan kesejahteraan manusia. Tidak ada dasar untuk berpikir 
bahwa kultur-kultur yang paling sukses dalam sejarah dengan 
sendirinya kultur terbaik bagi Homo sapiens. Sebagaimana 
evolusi, sejarah tidak peduli dengan kebahagiaan individual 
organisme. Dan, manusia-manusia individual pun biasanya terlalu 
bodoh dan terlalu lemah untuk memengaruhi alur sejarah agar 
menguntungkan baginya.
Sejarah berjalan dari satu persimpangan ke persimpangan 
berikutnya, memilih alasan misterius tertentu untuk mengikuti 
jalur ini terlebih dulu kemudian jalur lainnya. Sekitar tahun 1500 
M, sejarah membuat pilihan yang paling penting, mengubah 
tidak hanya nasib manusia, tetapi juga tak terbantahkan nasib 
seluruh kehidupan di muka Bumi. Kita menyebutnya Revolusi 
Saintifik. Ia dimulai di Eropa barat, satu semenanjung besar 
di ujung barat Afro Asia, yang hingga saat itu tidak memiliki 
peran penting dalam sejarah. Mengapa Revolusi Saintifik mulai 
di sana, bukan di tempat lain, dan tidak di China atau India? 
Mengapa ia dimulai pada pertengahan milenium ke-2 M, bukan 
2 abad sebelumnya atau 3 abad sesudahnya? Kita tidak tahu. 
Para sarjana telah mengajukan puluhan teori, tetapi tak satu pun 
di antaranya benar-benar meyakinkan.
Sejarah memiliki horizon kemungkinan-kemungkinan yang 
sangat luas, dan banyak kembungkinan tidak pernah terwujud. 
Pantas untuk membayangkan sejarah berjalan generasi demi 
generasi sambil melengkapi Revolusi Sainifik, sebagaimana pantas 
pula membayangkan sejarah tanpa Kristianitas, tanpa Imperium 
Romawi, dan tanpa koin-koin emas.
Katakanlah seorang petani Spanyol tertidur pada tahun 1000 
M dan bangun 500 tahun kemudian, di tengah kegaduhan para 
pelaut Columbus yang menumpang Niña, Pinta, dan Santa Maria, 
tentu dunia tampak olehnya sangat tidak asing. Sekalipun banyak 
perubahan dalam teknologi, tata cara dan batas-batas politis, Rip 
Van Winkle dari abad pertengahan ini tentu merasa seakan di 
rumah. Namun, seandainya salah satu pelaut Columbus terlelap 
dalam tidur yang sama dan terbangun oleh nada dering iPhone, 
dia tentu akan merasakan dunia aneh yang tak terjangkau 
pemahamannya. “Apakah ini surga?” mungkin dia akan bertanya 
kepada dirinya sendiri. “Atau mungkin neraka?”
Dalam 500 tahun terakhir terjadi pertumbuhan fenomenal 
dan tak ada presedennya berkenaan dengan kekuatan manusia. 
Pada 1500, ada sekitar 500 juta Homo sapiens di seluruh dunia. 
Kini, ada 7 miliar.1
 Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan 
manusia pada 1500 M diperkirakan $250 miliar, dalam nilai 
dolar saat ini.2
 Pada masa sekarang, nilai satu tahun produksi 
oleh manusia mendekati $60 triliun.3
 Pada 1500 M, manusia 
mengonsumsi sekitar 13 triliun kalori energi per hari. Kini, kita 
mengonsumsi 1.500 triliun kalori per hari.4
 (Coba perhatikan 
sekali lagi angka-angka tersebut—populasi manusia bertambah 
4 kali lipat, produksi 240 kali lipat, dan konsumsi energi 115 
kali lipat.)
Bayangkan satu kapal perang modern tunggal membawa 
muatan kembali ke masa Columbus. Hanya dalam hitungan 
detik kapal itu bisa membuat serpihan kayu terapung dari Niña, 
Pinta, dan Santa Maria, kemudian menenggelamkan angkatan 
laut dari setiap kekuatan besar dunia masa itu tanpa tergores 
sedikit pun. Lima pesawat tempur modern tentu bisa mengangkut seluruh kargo yang dimuat oleh semua armada perdagangan 
dunia.5
 Sebuah komputer modern tentu bisa dengan mudah 
menyimpan setiap kata dan angka dalam buku dan gulungan 
naskah-naskah kuno di setiap perpustakaan abad pertengahan 
tanpa menghabiskan ruang. Setiap bank besar masa kini bisa 
menyimpan uang lebih banyak dari uang total semua uang milik 
raja-raja pramodern.6
Pada 1500 M, tak banyak kota yang memiliki penduduk di 
atas 100.000. Sebagian besar bangunan dibangun dengan lumpur, 
kayu, dan jerami; sebuah bangunan tiga lantai adalah pencakar 
langit. Jalan-jalan adalah jalur-jalur tanah dengan bekas-bekas 
lindasan roda, yang berdebu pada musim panas dan becek 
pada musim dingin, disesaki pejalan kaki, kuda-kuda, kambingkambing, ayam-ayam, dan beberapa pedati. Kegaduhan urban 
yang paling umum adalah suara manusia dan hewan, dengan 
sesekali dentuman palu dan gesekan gergaji. Ketika Matahari 
terbenam, langit kota menghitam, hanya titik-titik lilin atau 
obor yang bekerjap dalam remang. Jika seorang penghuni kota 
seperti itu bisa melihat toko modern, New York atau Mumbai, 
apa yang akan dipikirkannya?
Menjelang abad ke-16, tidak ada manusia yang berlayar 
mengelilingi Bumi. Ini berubah pada 1522 M, ketika kapalkapal Magellan kembali ke Spanyol setelah perjalanan 72.000 
kilometer. Butuh waktu 3 tahun dan nyawa hampir seluruh 
anggota ekspedisi, termasuk Magellan. Pada 1873 M, Jules Verne 
bisa membayangkan bahwa Phileas Fogg, seorang petualang kaya 
asal Inggris, mungkin mampu mengelilingi dunia dalam 8 hari. 
Kini siapa pun dengan pendapatan kelas menengah bisa dengan 
aman dan dengan mudah mengelilingi Bumi hanya dalam 48 jam.
Pada 1500 M, manusia terkurung di atas permukaan Bumi. 
Mereka bisa membangun menara-menara dan memanjat gununggunung, tetapi langit dikhususkan bagi burung, malaikat, dan 
dewa-dewa. Pada 20 Juli 1969 manusia mendarat di Bulan. 
Ini bukan semata-mata pencapaian historis, melainkan sebuah 
keunggulan evolusioner, bahkan kosmis. Dalam evolusi 4 
miliar tahun sebelumnya, tidak ada organisme yang berhasil 
meninggalkan atmosfer Bumi, dan pasti tidak satu pun yang 
meninggalkan jejak kaki atau tentakel di Bulan.
Selama sebagian besar masa sejarah, manusia tak tahu 
apa-apa tentang 99,99 persen organisme di planet—yakni 
mikroorganisme. Ini bukan karena mikroorganisme itu tidak 
penting bagi kita. Setiap kita membawa miliaran makhluk bersel 
tunggal dalam diri kita, dan bukan hanya penumpang gratisan. 
Mereka adalah sahabat-sahabat baik kita, sekaligus musuh-musuh 
paling mematikan. Sebagian dari mereka memakan makanan 
kita dan membersihkan usus-usus kita, sedangkan yang lain 
menyebabkan sakit dan epidemi. Namun, baru pada 1674 M 
mata manusia untuk kali pertama melihat mikroorganisme, 
ketika Anton van Leeuwenhoek mengintip melalui mikroskop 
buatan sendiri dan terkesima melihat sebuah dunia lengkap berisi 
makhluk-makhluk mungil bergerak-gerak dalam setetes air. Dalam 
kurun 300 tahun kemudian, manusia sudah bisa berkenalan 
dengan banyak sekali spesies mikroskopis. Kita telah berhasil 
mengalahkan sebagian besar penyakit menular paling mematikan, 
dan telah menanfaatkan mikroorganisme untuk pelayanan dan 
industri medis. Kini kita merekayasa bakteri untuk memproduksi 
pengobatan, membuat biofuel, dan membunuh parasit-parasit.
Akan tetapi, momen tunggal yang paling nyata dan paling 
menentukan dalam 500 tahun terakhir ini terjadi pukul 05.29.45 
pada 16 Juli 1945. Tepat pada detik itu, para ilmuwan Amerika 
meledakkan bom atom pertama di Alamogordo, New Mexico. 
Dari titik itu dan seterusnya, manusia memiliki kapabilitas tidak 
hanya mengubah alur sejarah, tetapi juga mengakhirinya.
Proses historikal yang mengarah ke Alamogordo dan ke 
Bulan dikenal sebagai Revolusi Saintifik. Dalam periode ini 
manusia telah mendapatkan kekuatan-kekuatan besar baru dengan 
menginvestasikan sumber daya di riset saintifik. Ini sebuah revolusi 
karena, sampai sekitar tahun 1500 M, manusia di muka Bumi 
terlalu meragukan kemampuan mereka untuk meraih kekuatan 
medis, militer, dan ekonomi yang baru. Sementara pemerintahan 
dan patron-patron kaya mengalokasikan dana untuk pendidikan 
dan beasiswa, tujuannya secara umum adalah mempertahankan 
kapabilitas mereka ketimbang meraih kapabilitas-kapabilitas 
baru. Penguasa pramodern biasanya memberi uang kepada 
para pendeta, filsuf, dan penyair dengan harapan mereka bisa 
melegitimasi kekuasaannya dan mempertahankan tatanan sosial. 
Dia tidak berharap orang-orang itu menemukan medikasi baru, 
menciptakan senjata-senjata baru atau menstimulasi pertumbuhan 
ekonomi. Dalam 5 abad terakhir, manusia semakin percaya bahwa 
mereka bisa meningkatkan kapabilitas dengan investasi di riset 
saintifik. Ini bukan keyakinan buta—ini berkali-kali terbukti 
secara empiris. Semakin banyak bukti, semakin banyak sumber 
daya siap dikucurkan oleh orang-orang dan pemerintahan yang 
kaya terhadap ilmu pengetahuan. Kita tidak akan pernah bisa 
berjalan di Bulan, merekayasa mikroorganisme dan memisahkan 
atom tanpa investasi-investasi semacam itu. Pemerintahan 
Amerika Serikat, misalnya, dalam beberapa dekade terakhir 
ini mengalokasikan miliaran dolar untuk studi fisika nuklir. 
Pengetahuan yang dihasilkan oleh riset ini memungkinkan 
konstruksi stasiun-stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir, yang 
menyediakan listrik murah bagi industri Amerika, yang membayar 
pajak kepada pemerintah Amerika, yang menggunakan sebagian 
uang pajak ini untuk mendanai riset lebih lanjut di bidang fisika 
nuklir.
Mengapa manusia-manusia modern mengembangkan 
keyakinan pada kemampuan mereka untuk mendapatkan 
kekuatan-kekuatan baru melalui riset? Apa ikatan yang 
menyatukan sains, politik, dan ekonomi? Bab ini menelusuri 
sifat unik sains modern dalam rangka menyediakan sebagian 
jawabannya. Dua bab selanjutnya menelusuri formasi aliansi 
antara sains, imperium-imperium Eropa, dan ekonomi kapitalisme.
Ignoramus
Manusia sudah berusaha memahami alam semesta sekurangkurangnya sejak Revolusi Kognitif. Para leluhur kita mengerahkan 
waktu dan usaha cukup besar dalam rangka menemukan aturanaturan yang mengatur alam. Namun, sains modern membedakan 
dari semua tradisi pengetahuan sebelumnya dalam hal penting:
a. Kesediaan mengakui kebodohan. Sains modern didasarkan 
pada injungsi Latin ignoramus— ‘kita tidak tahu’. Bahkan, 
lebih penting lagi, ia menerima bahwa hal-hal yang kita 
pikir kita tahu bisa terbukti salah ketika kita mendapatkan 
pengetahuan lebih banyak. Tidak ada konsep, ide, atau teori 
yang sakral dan tak bisa ditantang.
b. Sentralitas observasi dan matematika. Dengan mengakui 
ketidaktahuan, sains modern bertujuan mendapatkan 
pengetahuan baru. Ia melakukannya dengan mengumpulkan 
observasi-observasi dan kemudian menggunakan saranasarana matematis untuk menghubungkan observasi-observasi 
ini menjadi teori-teori yang komprehensif.
c. Perolehan kekuatan-kekuatan baru. Sains modern tidak puas 
dengan menciptakan teori-teori. Ia menggunakan teori-teori 
ini dalam rangka memperoleh kekuatan-kekuatan baru untuk 
mengembangkan teknologi-teknologi baru. Revolusi Saintifik belum menjadi sebuah revolusi pengetahuan. 
Terutama sekali, ia adalah revolusi ketidaktahuan. Penemuan 
besar yang dihadirkan Revolusi Saintifik adalah penemuan bahwa 
manusia tidak tahu jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan 
mereka yang paling penting.
Tradisi-tradisi pengetahuan pramodern seperti Islam, Kristen, 
Buddhisme, dan Konfusianisme menegaskan bahwa segala hal 
yang penting untuk diketahui tentang dunia sudah diketahui. 
Dewa-dewa besar, atau Tuhan Yang Mahabesar, atau orang-orang 
bijak pada masa lalu memiliki kebijaksanaan yang menyeluruh, 
yang mereka turunkan kepada kita dalam kitab-kitab suci dan 
tradisi-tradisi lisan. Orang-orang biasa mendapatkan pengetahuan 
dengan menggali naskah-naskah dan tradisi-tradisi kuno ini 
dan memahaminya dengan benar. Tak terbayangkan bahwa 
Injil, al-Quran, dan Veda melewatkan rahasia penting alam 
semesta—sebuah rahasia yang mungkin masih harus ditemukan 
oleh makhluk-makhluk berdaging-dan-berdarah.
Tradisi-tradisi pengetahuan kuno hanya mengakui dua jenis 
ketidaktahuan. Pertama, satu individu mungkin tidak tahu sesuatu 
yang penting. Untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan, 
yang perlu dilakukan hanyalah bertanya kepada seseorang yang 
lebih bijaksana. Tidak perlu menemukan sesuatu yang belum 
diketahui siapa pun. Misalnya, jika seorang petani di suatu desa 
Yorkshire sekitar abad ke-13 ingin tahu bagaimana munculnya ras 
manusia, dia berasumsi bahwa tradisi Kristen sudah memegang 
jawaban definitif. Yang harus dilakukan hanyalah bertanya kepada 
pendeta setempat.
Kedua, sebuah tradisi menyeluruh mungkin tidak tahu tentang 
hal-hal yang tidak penting. Berdasarkan definsi, apa pun yang 
tidak dipedulikan oleh dewa-dewa besar atau orang-orang bijak 
untuk disampaikan kepada kita berarti tidak penting. Misalnya, 
jika petani Yorkshire ingin tahu bagaimana laba-laba menjalin 
jejaring mereka, tak ada gunanya bertanya kepada para pendeta 
karena tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini dalam kitabkitab suci Kristen. Namun, itu tidak berarti bahwa Kristen tidak 
sempurna. Namun, itu berarti bahwa memahami bagaimana 
laba-laba menjalin jejaring itu tidak penting. Lagi pula, Tuhan tahu sepenuhnya bagaimana laba-laba melakukan itu. Jika itu 
merupakan informasi yang penting, dibutuhkan bagi kemakmuran 
dan penyelamatan manusia, Tuhan akan memasukkan sebuah 
penjelasan komprehensif dalam Injil. Kristen tidak melarang 
orang mempelajari laba-laba. Namun, para ahli laba-laba—jika 
ada pada abad pertengahan Eropa—harus menerima peran 
periferal mereka dalam masyarakat dan tidak relevannya temuantemuan mereka bagi kebenaran-kebenaran abadi Kristianitas. Tak 
peduli apa pun yang mungkin bisa ditemukan oleh seorang ahli 
tentang laba-laba, kupu-kupu, atau kutilang-kutilang Galapagos, 
pengetahuan itu tak lebih dari hal sepele, yang tak memiliki 
kebenaran-kebenaran fundamental tentang masyarakat, politik, 
dan ekonomi.
Padahal, tidak sesederhana itu. Pada setiap masa, bahkan 
di kalangan orang-orang yang paling saleh dan konservatif, ada 
orang-orang yang berpendapat bahwa ada hal-hal penting, yang 
luput diketahui oleh segenap tradisi. Namun, orang-orang seperti 
itu biasanya dipinggirkan atau disiksa—atau kalau tidak, mereka 
mendirikan sebuah tradisi baru dan mulai mengemukakan bahwa 
mereka tahu segala sesuatu yang harus diketahui. Misalnya, 
Nabi Muhammad memulai karier religiusnya dengan mengecam 
sesama orang Arab karena hidup dalam ketidaktahuan akan 
kebenaran ilahiah. Namun, Muhammad sendiri dengan cepat 
mengemukakan bahwa dia tahu kebenaran sepenuhnya, dan para 
pengikutnya mulai menyebutnya “Penutup para Nabi”. Oleh 
karena itu, tak diperlukan wahyu-wahyu setelah yang diberikan 
kepada Muhammad.
Sains modern adalah sebuah tradisi pengetahuan yang unik 
karena secara terbuka ketidaktahuan kolektif berkenaan dengan 
pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Darwin tidak pernah 
mengemukakan bahwa dia adalah “Penutup para Ahli Biologi”, 
dan bahwa dia telah menyelesaikan urusan kehidupan sekaligus 
dan tuntas. Setelah berabad-abad riset saintifik yang ekstensif, 
para ahli biologi mengakui bahwa mereka masih belum punya 
penjelasan yang bagus tentang bagaimana otak memproduksi 
kesadaran. Para ahli fisika mengakui bahwa mereka tidak tahu 
apa yang menyebabkan Big Bang (Ledakan Besar), atau bagaimana merekonsiliasi mekanika kuantum dengan teori Relativitas Umum.
Dalam kasus-kasus lain, teori-teori saintifik yang berlawanan 
diperdebatkan dengan sengit atas dasar munculnya bukti baru 
terus-menerus. Satu contoh terbaik adalah perdebatan tentang 
bagaimana cara terbaik menjalankan ekonomi. Meskipun para 
ekonom individual mengklaim bahwa metode merekalah yang 
terbaik, kekolotan berubah bersama setiap krisis finansial dan 
buih pasar saham, dan biasa diterima bahwa kata terakhir tentang 
ekonomi masih belum putus. 
Dalam kasus-kasus lain lagi, teori-teori tertentu didukung 
begitu konsisten dengan bukti yang tersedia sehingga sejak saat 
itu semua alternatif tersingkir. Teori-teori semacam itu diterima 
sebagai kebenaran—tetapi setiap orang setuju bahwa, jika kelak 
ada bukti baru muncul yang berlawanan dengan teori itu, maka 
teori itu akan direvisi atau dibuang. Beberapa contoh yang bagus 
tentang ini adalah teori lempengan tektonik dan teori evolusi. 
Kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan membuat sains modern 
lebih dinamis, lebih lentur, dan lebih aktif mencari ketimbang 
tradisi pengetahuan mana pun sebelumnya. Hal ini memperbesar 
kapasitas kita untuk memahami bagaimana dunia bekerja dan 
kemampuan kita untuk menemukan teknologi-teknologi baru.
Akan tetapi, hal itu juga mendatangkan kepada kita persoalan 
serius yang sebagian besar leluhur kita tidak perlu menghadapinya. 
Asumsi kita saat ini bahwa kita tidak tahu segala hal dan bahwa 
pengetahuan yang kita miliki pun bersifat tentatif, berkembang 
sampai ke mitos-mitos umum yang memungkinkan jutaan orang 
yang tidak saling kenal bisa bekerja sama secara efektif. Jika 
bukti menunjukkan bahwa banyak dari mitos itu meragukan, 
bagaimana kita bisa menyatukan masyarakat? Bagaimana bisa 
masyarakat-masyarakat, negara-negara, dan sistem internasional 
kita berfungsi?
Semua upaya modern untuk menstabilkan tatanan sosiopolitik tak punya pilihan selain bergantung pada satu dari dua 
metode yang tidak saintifik ini:
a. Ambil satu teori saintifik, dan yang berlawanan dengan 
praktik-praktik umum saintifik, deklarasikan bahwa ini 
kebenaran final dan absolut. Inilah metode yang digunakan oleh Nazi (yang mengklaim kebijakan-kebijakan rasial 
mereka adalah buah dari fakta-fakta biologi) dan Komunis 
(yang mengklaim bahwa Marx dan Lenin memiliki kebenaran 
ekonomi absolut yang tidak pernah bisa ditolak).
b. Tinggalkan sains dan hiduplah sesuai dengan kebenaran 
absolut non-saintifik. Ini telah menjadi strategi humanisme 
liberal, yang dibangun di atas keyakinan dogmatis pada nilai 
unik manusia dan hak-hak asasinya—sebuah doktrin yang 
secara memalukan tidak sejalan dengan studi tentang Homo 
sapiens.
Akan tetapi, hal itu tak seharusnya mengejutkan kita. Bahkan, 
sains sendiri harus bergantung pada keyakinan-keyakinan religius 
dan ideologis untuk menjustifikasi dan mendanai risetnya. 
Bagaimanapun, kultur modern telah bersedia mengakui 
ketidaktahuan sampai ke tingkat yang jauh lebih besar ketimbang 
kultur mana pun sebelumnya. Salah satu hal yang memungkinkan 
tatanan-tatanan sosial modern untuk menyatu adalah penyebaran 
suatu keyakinan yang hampir religius pada teknologi dan metode 
riset saintifik, yang pada tingkat tertentu telah menggantikan 
keyakinan pada kebenaran-kebenaran absolut.
Dogma Sainti k
Sains modern memang tidak punya dogma. Namun, ia punya 
satu kesamaan metode riset inti, yang semuanya didasarkan 
pada pengumpulan observasi-observasi empiris—yakni hal-hal 
yang bisa kita observasi dengan setidaknya salah satu dari indraindra kita—dan menyatukannya dengan bantuan sarana-sarana 
matematis.
Orang-orang sepanjang sejarah mengumpulkan observasiobservasi empiris, tetapi makna dari observasi-observasi ini 
biasanya terbatas. Mengapa membuang-buang sumber daya 
untuk mendapatkan observasi-observasi baru ketika kita sudah 
memiliki semua jawaban yang kita butuhkan? Namun, ketika 
orang modern sampai pada pengakuan bahwa mereka tidak 
tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting, 
mereka merasa perlu untuk mencari pengetahuan yang sama 
sekali baru. Akibatnya, metode riset modern dominan menerima 
begitu saja ketidakcukupan pengetahuan lama. Bukan mempelajari 
tradisi-tradisi lama, penekanan kini ditempatkan pada observasiobservasi dan eksperimen-eksperimen baru. Ketika observasi 
terkini bertabrakan dengan tradisi lama, kita membuka jalan untuk 
observasi. Tentu saja, para ahli fisika yang menganalisis spektra 
galaksi-galaksi jauh, para arkeolog yang menganalisis temuantemuan dari kota Zaman Perunggu, dan para ilmuwan politik 
yang mempelajari munculnya kapitalisme bukan mengabaikan 
tradisi. Mereka mulai dengan mempelajari apa yang dikatakan 
dan ditulis orang bijak pada masa lalu. Namun, dari tahun 
pertama kuliah mereka, para calon fisikawan, arkeolog, dan 
ilmuwan politik diajari bahwa misi mereka adalah melampaui 
apa yang pernah diketahui oleh Einstein, Heinrich, Schliemann, 
dan Max Weber.
Akan tetapi, sekadar observasi bukanlah pengetahuan. Dalam 
rangka memahami alam semesta, kita perlu menghubungkan 
observasi-observasi dengan teori-teori yang komprehensif. Tradisitradisi sebelumnya biasanya memformulasikan teori-teori mereka 
dalam kerangka-kerangka cerita. Sains modern menggunakan 
matematika.
Sangat sedikit persamaan, grafik, dan kalkulasi dalam Injil, 
al-Quran, dan Veda atau kitab-kitab klasik Konfusian. Ketika 
mitologi-mitologi dan kitab-kitab suci tradisional meletakkan 
hukum-hukum umum, semua itu disajikan dalam narasi, bukan 
rumus matematika. Jadi, prinsip fundamental agama Manichae 
menegaskan bahwa dunia merupakan ajang pertarungan antara 
yang baik dan yang jahat. Sebuah kekuatan jahat menciptakan 
materi, sedangkan kekuatan baik menciptakan ruh. Manusia 
terjebak di antara kedua kekuatan ini, dan harus memilih 
yang baik atau yang jahat. Namun, nabi Mani tak berusaha 
menawarkan rumus matematika yang bisa digunakan untuk 
meramalkan pilihan-pilihan manusia dengan mengukur seberapa 
besar kekuatan masing-masing. Dia tidak pernah mengalkulasi 
bahwa “kekuatan yang bertindak pada seorang manusia sama 
dengan akselerasi arwah, dibagi massa tubuhnya”.
Inilah yang benar-benar berusaha dituntaskan oleh 
para ilmuwan. Pada 1687, Isaac Newton menerbitkan The 
Mathematical Principles of Natural Philosophy, yang pantas 
disebut sebagai buku paling penting dalam sejarah modern. 
Newton menyajikan sebuah teori umum tentang gerak dan 
perubahan. Kebesaran teori Newton adalah kemampuannya 
menjelaskan dan meramalkan gerakan-gerakan semua tubuh 
dalam alam semesta, dari jatuhnya apel sampai ke bintang-bintang 
yang menembak, dengan menggunakan 3 hukum matematika 
sederhana: 
Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memahami dan 
meramalkan gerakan sebuah peluru meriam atau sebuah planet, 
cukup membuat pengukuran-pengukuran massa benda, arah, dan 
akselerasi, serta kekuatan untuk melakukan gerak itu. Dengan 
memasukkan angka-angka ini ke dalam rumus Newton, posisi 
masa depan sebuah benda bisa diprediksi. Rumus itu bekerja 
seperti sulap. Baru sekitar akhir abad ke-19, para ilmuwan muncul 
dengan beberapa observasi baru yang tidak sesuai dengan hukum 
Newton, dan ini mengarah pada revolusi berikutnya di bidang 
fisika—teori relativitas dan mekanika kuantum.
Newton menunjukkan bahwa buku alam ditulis dalam 
bahasa matematika. Sebagian bab (misalnya) bermuara pada satu 
persamaan yang tegas; tetapi para ahli yang berusaha memasukkan 
biologi, ekonomi, dan psikologi ke dalam persamaan-persamaan Newton mendapati bahwa bidang-bidang ini memiliki tingkat 
kerumitan yang membuat upaya itu sia-sia. Namun, ini tidak 
berarti mereka menyerah dalam hal matematika. Sebuah cabang 
baru matematika dikembangkan dalam 200 tahun terakhir ini 
untuk menangani aspek-aspek realitas yang lebih rumit: statistik.
Pada 1744, pendeta Presbyterian di Skotlandia, Alexander 
Webster dan Robert Wallace, memutuskan untuk mendirikan 
lembaga dana asuransi jiwa yang akan menyediakan pensiun 
bagi para janda dan yatim dari para pendeta yang meninggal. 
Mereka mengajukan bahwa setiap pendeta gereja membayar 
seporsi kecil pendapatannya ke lembaga dana itu, yang akan 
menginvestasikan uangnya. Jika pendeta meninggal, jandanya 
akan menerima deviden dari keuntungan lembaga. Ini akan 
memungkinkan janda tersebut hidup nyaman sampai akhir 
hayat. Namun, untuk menentukan berapa banyak para pendeta 
harus membayar agar lembaga dana punya cukup uang untuk 
memenuhi kewajiban-kewajibannya, Webster dan Wallace harus 
mampu memprediksi berapa banyak pendeta yang meninggal 
setiap tahun, berapa banyak janda dan yatim yang akan mereka 
tinggalkan, dan berapa tahun para janda hidup setelah kematian 
para suaminya.
Perhatikanlah apa yang tidak dilakukan kedua pendeta 
itu. Mereka tidak berdoa kepada Tuhan untuk menemukan 
jawabannya. Mereka juga tidak mencari jawaban dalam kitabkitab suci atau di antara karya-karya para teolog kuno. Mereka 
pun tidak memasuki suatu perselisihan filosofis yang abstrak. 
Sebagai orang Skot, mereka termasuk yang praktis. Jadi, mereka 
menghubungi seorang profesor matematika dari University of 
Edinburgh, Colin Maclaurin. Ketiganya mengumpulkan data 
pada usia berapa orang-orang meninggal dan menggunakan ini 
untuk mengalkulasi berapa banyak pendeta yang kemungkinan 
meninggal pada tahun tertentu.
Pekerjaan mereka didasarkan pada beberapa terobosan 
mutakhir dalam bidang statistika dan probabilitas. Salah 
satunya adalah Hukum Angka Besar Jacob Bernoulli. Bernoulli 
telah mengodifikasi prinsip bahwa, meskipun mungkin sulit 
untuk memprediksi dengan pasti sebuah peristiwa tunggal, seperti kematian orang tertentu, terbuka kemungkinan 
untuk memprediksi dengan akurasi tinggi rata-rata hasil dari 
banyak peristiwa serupa. Begitulah, ketika Maclaurin tak bisa 
menggunakan matematika untuk memprediksi apakah Webster 
dan Wallace akan mati tahun depan, dia bisa, dengan tersedianya 
cukup data, memberi tahu Webster dan Wallace berapa banyak 
pendeta Prebysterian di Skotlandia yang hampir pasti mati tahun 
depan. Beruntunglah, mereka memiliki data siap pakai yang 
bisa mereka gunakan. Tabel-tabel aktuaris yang diterbitkan 50 
tahun sebelumnya oleh Edmond Halley terbukti sangat berguna. 
Halley telah mengalisis catatan-catatan 1.238 kelahiran dan 1.174 
kematian yang dia dapatkan dari Kota Breslau, Jerman. Tabeltabel Halley memungkinkan untuk melihat, misalnya, seseorang 
yang berusia 21 tahun memiliki peluang 1:100 meninggal pada 
tahun tertentu, tetapi seseorang yang berusia 50 tahun memiliki 
peluang 1:39.
Dengan memproses angka-angka ini, Webster dan Wallace 
menyimpulkan bahwa, rata-rata akan ada 930 pendeta 
Prebysterian Skotlandia pada kurun waktu kapan pun, dan ratarata 27 pendeta meninggal setiap tahun, 18 di antara mereka akan 
meninggalkan janda. Lima dari mereka yang tidak meninggalkan 
janda akan meninggalkan anak-anak yatim, dan dua dari yang 
meninggalkan janda juga akan meninggalkan anak-anak dari 
pernikahan sebelumnya yang belum mencapai usia 16 tahun. 
Mereka menghitung lebih jauh berapa lama kemungkinan janda 
akan meninggal atau menikah lagi (dengan dua kemungkinan 
ini pembayaran pensiun akan berhenti). Angka-angka itu 
memungkinkan Webster dan Wallace menentukan berapa banyak 
uang yang harus dibayar oleh para pendeta yang ikut dana pensiun 
untuk orang-orang yang mereka cintai. Dengan membayar £2 
12s. 2d. setahun, seorang pendeta bisa menjamin bahwa istrinya 
yang janda kelak akan menerima sedikitnya £10 setahun—jumlah 
yang besar untuk masa itu. Kalau dia menganggap jumlah itu 
tidak cukup, dia bisa memilih untuk membayar lebih, sampai 
ke tingkat £6 11s. 3d. setahun—yang akan memberi jandanya 
bahkan jumlah yang lebih banyak sebesar £25 setahun.
Menurut kalkulasi mereka, pada 1765, Fund for a Provision 
for the Widows and Children of Ministers of the Church of 
Scotland akan memiliki modal total £58.348. Kalkulasi mereka 
secara menakjubkan terbukti akurat. Ketika tahun itu tiba, 
modal lembaga pensiun itu bertengger di angka £58.347—hanya 
selisih kurang dari £1 dari prediksi! Ini bahkan lebih bagus 
dari nubuat Habakkuk, Jeremiah, atau St. John. Kini, lembaga 
dana Webster dan Wallace, yang dikenal degan sebutan Scottich 
Widows merupakan salah satu perusahaan pensiun dan asuransi 
terbesar di dunia. Dengan aset bernilai £100 miliar, perusahaan 
itu melayani asuransi tidak hanya para janda Skotlandia, tetapi 
juga siapa pun yang bersedia membeli polisnya.7
Kalkulasi-kalkulasi probabilitas seperti yang digunakan 
oleh kedua pendeta Skotlandia itu menjadi dasar tidak hanya 
ilmu aktuarial, yang penting bagi bisnis pensiun dan asuransi, 
tetapi juga bagi ilmu demografi (didirikan oleh pendeta lainnya, 
Robert Malthus, seorang Anglikan). Demografi pada gilirannya 
merupakan landasan bagi Charles Darwin (yang hampir menjadi 
seorang pastor Anglikan) membangun teori evolusinya. Meskipun 
tidak ada persamaan yang bisa memprediksi apa jenis organisme 
yang akan berevolusi di bawah seperangkat kondisi tertentu, 
ilmu genetika menggunakan kalkulasi-kalkulasi probabilitas untuk 
menghitung kemungkinan bahwa suatu mutasi tertentu akan 
menyebar pada satu populasi tertentu. Model-model probalistik 
serupa telah menjadi bagian penting bagi ilmu ekonomi, sosiologi, 
psikologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial serta alam lainnya. 
Bahkan, fisika pada akhirnya menambahkan ke dalam persamaanpersamaan klasik Newton awan probabilitas mekanika kuantum.
Kita cukup melihat sejarah pendidikan untuk menyadari 
seberapa jauh proses ini telah membawa kita. Pada sebagian 
besar periode sejarah, matematika adalah bidang esoterik yang 
bahkan orang-orang terdidik jarang mempelajarinya secara serius. 
Di Eropa abad pertengahan, logika, tata bahasa, dan retorika 
membentuk inti pendidikan, sementara pengajaran matematika 
jarang melampaui aritmatika dan geometri sederhana. Tidak ada 
yang mempelajari statistik. Raja tak terbantahkan dari semua 
ilmu pengetahuan adalah teologi.
Kini sedikit mahasiswa yang mempelajari retorika; logika 
dibatasi pada jurusan-jurusan filsafat dan teologi di seminariseminari. Namun, semakin banyak mahasiswa termotivasi—atau 
dipaksa—mempelajari matematika. Ada arus yang tak bisa dilawan 
menuju ilmu-ilmu eksakta—yang didefinisikan eksakta karena 
penggunaan sarana-sarana matematisnya. Bahkan, bidang-bidang 
studi yang secara tradisional menjadi bagian dari humaniora, 
seperti studi tentang bahasa manusia (linguistik) dan jiwa manusia 
(psikologi), semakin bergantung pada matematika dan berusaha 
menampilkan diri sebagai ilmu eksakta. Mata kuliah Statistika 
kini menjadi bagian dari persyaratan dasar tidak hanya dalam 
bidang fisika dan biologi, tetapi juga dalam psikologi, sosiologi, 
ilmu ekonomi, dan ilmu politik.
Dalam katalog mata kuliah Jurusan Psikologi di universitas 
almamater saya, mata kuliah wajib pertama dalam kurikulum 
adalah “Introduction to Statistics and Methodology in 
Psychological Research”. Mahasiswa tahun kedua psikologi harus 
mengambil “Statistical Methods in Psychological Research”. 
Konfusius, Buddha, Yesus, dan Muhammad pasti bingung jika 
Anda beri tahu mereka bahwa dalam rangka memahami pikiran 
manusia dan mengobati penyakitnya Anda harus pertama-tama 
mempelajari statistik.
Pengetahuan adalah Kekuatan
Sebagian besar orang mengalami kesulitan menelan sains modern 
karena bahasa matematisnya yang sulit untuk diserap pikiran kita, 
dan temuan-temuannya sering bertentangan dengan pengertian 
umum. Dari 7 miliar penduduk dunia, berapa banyak yang 
benar-benar memahami mekanika kuantum, biologi sel, atau 
makro ekonomi? Bagaimanapun, sains menikmati prestise tinggi 
karena kekuatan-kekuatan baru yang ia berikan kepada kita. 
Para presiden dan para jenderal mungkin tidak memahami fisika 
nuklir, tetapi mereka punya pengetahuan yang baik tentang apa 
yang bisa diakibatkan oleh bom nuklir.
Pada 1620, Francis Bacon menerbitkan manifesto saintifik berjudul The New Instrument. Di dalamnya dia mengemukakan 
bahwa “pengetahuan adalah kekuatan”. Ujian riil “pengetahuan” 
bukanlah apakah ia benar, tetapi apakah ia memperkuat kita. 
Para ilmuwan biasanya berasumsi bahwa tidak ada teori yang 
100 persen benar. Akibatnya, kebenaran menjadi ujian lemah 
bagi pengetahuan. Tes riilnya adalah pemanfaatan. Sebuah teori 
yang memungkinkan kita melakukan hal-hal baru merupakan 
pengetahuan.
Selama berabad-abad, sains telah memberi kita banyak alatalat baru. Sebagian adalah alat mental, seperti yang digunakan 
untuk memprediksi tingkat kematian dan pertumbuhan ekonomi. 
Yang lebih penting lagi adalah alat-alat teknologikal. Koneksi 
yang menyatukan sains dan teknologi begitu kuat sehingga kini 
orang cenderung mencampuradukannya. Kita cenderung berpikir 
bahwa tidak mungkin mengembangkan teknologi-teknologi baru 
tanpa riset saintifik, dan nilai riset menjadi kecil jika tidak 
menghasilkan teknologi-teknologi baru.
Padahal, hubungan antara sains dan teknologi adalah 
fenomena yang sangat baru. Sebelum tahun 1500, sains dan 
teknologi adalah bidang yang terpisah sama sekali. Ketika 
Bacon menghubungkan keduanya pada abad ke-17, itu adalah 
sebuah ide revolusioner. Dalam abad ke-17 dan ke-18 hubungan 
ini menguat, tetapi simpulnya baru terikat pada abad ke-19. 
Bahkan, pada 1800, sebagian besar penguasa yang menginginkan 
angkatan perang yang kuat, dan sebagian besar raksasa bisnis yang 
menginginkan bisnis yang sukses, tidak peduli untuk mendanai 
riset dalam fisika, biologi, atau ilmu ekonomi.
Saya tidak bermaksud mengklaim tidak ada pengecualian 
dalam aturan ini. Seorang sejarawan yang bagus bisa menemukan 
preseden untuk segala hal. Namun, sejarawan yang lebih baik lagi 
tahu ketika preseden-preseden ini menjadi pertanyaan-pertanyaan 
yang menyelimuti gambaran besar. Secara umum, sebagian besar 
penguasa dan pebisnis pramodern tidak mendanai riset tentang 
sifat alam semesta dalam rangka mengembangkan teknologiteknologi baru, dan sebagian besar pemikir tidak berusaha 
menerjemahkan temuan-temuan mereka menjadi wahana-wahana 
teknologis. Para penguasa mendanai institusi-institusi pendidikan yang mandatnya adalah menyebarkan pengetahuan tradisional 
untuk tujuan menjaga tatanan yang sudah ada.
Di mana-mana orang memang mengembangkan teknologiteknologi baru, tetapi semua itu biasanya diciptakan oleh 
para pengrajin terdidik dengan cara coba-coba, bukan oleh 
para sarjana dengan menempuh riset saintifik yang sistematis. 
Pabrikan-pabrikan gerobak membangun pedati yang sama dari 
bahan yang sama dari tahun ke tahun. Mereka tidak menyisihkan 
satu persentase dari keuntungan tahunan dalam rangka meneliti 
dan mengembangkan model-model pedati baru. Desain pedati 
terkadang diperbaiki, tetapi itu biasanya berkat keahlian tukang 
kayu tertentu, yang tidak pernah menjejakkan kaki di sebuah 
universitas dan bahkan tidak bisa membaca.
Itu berlaku di sektor pemerintah maupun swasta. Kalau 
negara-negara modern menyerukan para ilmuwannya untuk 
menyediakan solusi-solusi di hampir semua bidang kebijakan 
nasional, dari energi sampai kesehatan sampai pembuangan 
sampah, kerajaan-kerajaan kuno jarang melakukannya. Kontras 
di antara negara kuno dan masa kini paling mencolok dalam 
persenjataaan. Ketika Presiden Dwight Eisenhower yang segera 
habis masa pemerintahannya, pada 1961, memperingatkan 
tumbuhnya kekuatan kompleks militer-industri, dia mengabaikan 
sebagian dari rumus persamaan itu. Dia seharusnya menyiagakan 
negaranya untuk kompleks militer-industri-sains karena perangperang masa kini adalah produksi santifik. Kekuatan-kekuatan 
militer dunia menginisiasi, mendanai, dan menyetir bagian besar 
dari riset saintifik dan pengembangan teknologi manusia.
Ketika Perang Dunia Pertama terkunci dalam perang parit 
tak berkesudahan, kedua pihak memanggil para ilmuwan 
mereka untuk memecah kebuntuan dan menyelamatkan negara. 
Orang-orang berpakaian putih menjawab panggilan itu, dan dari 
laboratorium-laboratorium menggelindingkan aliran tanpa putus 
senjata-senjata keajaiban baru: pesawat tempur, gas beracun, 
tank, kapal selam, dan yang lebih efisien lagi, senapan-senapan 
mesin, senjata artileri, senapan, dan bom.
Sains memainkan peran yang bahkan lebih besar pada 
Perang Dunia Kedua. Pada akhir 1944, Jerman terpukul mundur dan kekalahan mendekat. Setahun sebelumnya, sekutu Jerman, 
Italia, telah menggulingkan Mussolini dan menyerah kepada 
Sekutu. Namun, Jerman terus berperang, sekalipun angkatan 
perang Inggris, Amerika, dan Soviet mendekat. Satu alasan yang 
dipkirkan oleh tentara-tentara dan penduduk sipil Jerman untuk 
tidak menyerah adalah karena mereka percaya para ilmuwan 
Jerman akan segera membalikkan gelombang dengan apa yang 
disebut sebagai senjata-senjata ajaib seperti roket V-2 dan 
pesawat bertenaga jet. Sementara Jerman merancang roket-roket 
dan jet-jet tersebut, Manhattan Project milik Amerika berhasil 
mengembangkan bom atom. Pada saat bom sudah siap, awal 
Agustus 1945, Jerman sudah menyerah, tetapi Jepang masih 
terus berperang. Pasukan Amerika terdorong untuk menginvasi 
pulau-pulaunya. Jepang bertekad melawan invasi dan perang 
sampai mati, dan selalu ada alasan untuk yakin bahwa tidak ada 
yang namanya ancaman gertak sambal. Para jenderal Amerika memberi tahu Presiden Harry S. Truman bahwa invasi Jepang 
akan menewaskan sejuta tentara Amerika dan memperpanjang 
perang sampai 1946. Truman memutuskan untuk menggunakan 
bom baru itu. Dua pekan dan dua bom atom kemudian, Jepang 
menyerah tanpa syarat dan perang pun berakhir.
Akan tetapi, sains tidak hanya soal senjata-senjata ofensif. Ia 
memainkan peran besar dalam pertahanan kita juga. Kini banyak 
orang Amerika percaya bahwa solusi bagi terorisme adalah 
teknologi ketimbang politik, dan Amerika Serikat bisa mengirim 
pesawat-pesawat mata-mata ke setiap gua Afganistan, benteng 
Yaman, dan kamp-kamp Afrika Utara. Begitu selesai, para pewaris 
Osama Bin Laden tidak akan mampu membuat secangkir kopi 
tanpa ada pesawat mata-mata CIA meneruskan informasi vital ini 
ke markas besarnya di Langley. Alokasikan jutaan lagi untuk riset 
otak, dan setiap bandara bisa diperlengkapi dengan alat pemindai 
ultracanggih yang bisa langsung mengenali pikiran-pikiran marah 
dan pembenci dalam otak orang. Apakah itu akan berhasil? 
Siapa tahu. Apakah bijak mengembangkan pesawat mata-mata 
dan alat pemindai pembaca pikiran? Tidak dengan sendirinya 
begitu. Taruhlah hal itu benar, seperti yang Anda baca dalam 
baris-baris kalimat ini, Departemen Pertahanan Amerika Serikat 
sedang mentransfer jutaan dolar ke laboratorium-laboratorium 
nanoteknologi dan otak untuk mengerjakan ini semua dan ideide semacam itu. Obsesi pada teknologi militer ini—dari tank ke 
bom atom sampai pesawat mata-mata—adalah fenomena yang 
sangat baru sebetulnya. Sampai dengan abad ke-19, mayoritas 
besar revolusi militer adalah produk dari perubahan-perubahan 
organisasional ketimbang teknologis. Ketika peradaban-peradaban 
asing bertemu untuk kali pertama, jurang teknologi terkadang 
memainkan peran penting. Namun, bahkan dalam kasuskasus semacam itu, sedikit yang berpikir tentang penciptaan 
atau perluasan jurang semacam itu secara sengaja. Sebagian 
besar imperium tidak muncul berkat kehebatan teknologi, dan 
penguasa-penguasa mereka tidak banyak memikirkan perbaikan 
teknologi. Bangsa Arab tidak mengalahkan Imperium Sassanid 
berkat kehebatan panah atau pedangnya, Seljuk tidak punya 
keunggulan teknologi atas Byzantium, dan Mongolia tidak 
menaklukkan China dengan bantuan senjata baru yang unggul. 
Faktanya, dalam semua kasus ini yang dikalahkan memiliki 
teknologi militer dan sipil yang superior.
Angkatan Perang Romawi adalah contoh yang sangat bagus. 
Ia adalah angkatan perang terbaik pada masanya, tetapi secara 
teknologis, Romawi tidak punya keunggulan atas Carthage, 
Macedonia, atau Imperium Selucid. Keunggulannya terletak 
pada organisasi yang efisien, kedisiplinan tinggi, dan cadangan 
sumber daya manusia yang besar. Angkatan perang Romawi 
tidak pernah mendirikan departemen riset dan pengembangan, 
dan senjata-senjatanya tetap kurang lebih sama selama berabadabad. Jika legiun-legiun Scipio Aemilianus—jenderal yang 
meratakan Carthage dan mengalahkan Numantia pada abad 
ke-2 SM—tiba-tiba bangkit lagi 500 tahun kemudian pada abad 
Constantine Yang Agung, Scipio tentu memiliki peluang yang 
bagus untuk mengalahkan Constantine. Sekarang bayangkan apa 
yang akan terjadi pada seorang jenderal dari periode modern 
awal—katakanlah Albrecht von Wallenstein, seorang pemimpin 
pasukan Imperium Romawi Suci dalam Perang Tiga Belas 
Tahun—jika dia memimpin angkatan perang musketeer (pasukan 
bersenapan), pasukan bertombak, dan kavaleri melawan satu 
batalion kontemporer American Army Rangers. Wallenstein 
adalah seorang ahli taktik brilian, dan orang-orangnya adalah 
profesional ulung, tetapi keterampilan mereka akan sia-sia 
menghadapi persenjataan modern.
Sebagaimana di Roma, demikian pula di China kuno, 
sebagian besar jenderal dan filsuf tidak berpikir dalam tugas 
mereka untuk mengembangkan senjata-senjata baru. Intervensi 
militer paling penting dalam sejarah China adalah bubuk mesiu. 
Meskipun demikian, sebagaimana sangat kita ketahui, bubuk 
mesiu ditemukan secara tidak sengaja oleh ahli kimia Daois yang 
mencari obat keabadian hidup. Karier selanjutnya bubuk mesiu 
semakin menarik. Orang mungkin mengira bahwa para ahli 
kimia Daois akan menggunakan campuran baru itu hanya untuk 
petasan. Sekalipun ketika Imperium Song runtuh menghadapi 
invasi Mongol, tidak ada kaisar yang mendirikan Manhattan 
Project ala abad pertengahan untuk menyelamatkan imperium
dengan menemukan sebuah senjata kiamat. Baru pada abad ke-
15—sekitar 600 tahun setelah penemuan bubuk mesiu—meriam 
menjadi faktor penentu pertempuran-pertempuran Afro-Asia. 
Mengapa butuh waktu begitu lama bagi zat pembunuh potensial 
itu untuk sampai pada penggunaan dalam militer? Karena ia 
muncul pada masa ketika tak ada raja, ahli, atau pedagang yang 
berpikir bahwa sebuah teknologi militer baru bisa menyelamatkan 
mereka atau menjadikan mereka kaya.
Situasi mulai berubah pada abad ke-15 dan ke-16, tetapi 
200 tahun kemudian berlalu sebelum sebagian besar penguasa 
menunjukkan minat mendanai riset dan pengembangan senjata 
baru. Logistik dan strategi terus memiliki dampak semakin 
besar pada hasil pemerangan ketimbang teknologi. Mesin 
militer Napoleonik yang menumpas angkatan perang kekuatankekuatan Eropa dan Austerlitz (1805) bersenjatakan kurang lebih 
persenjataan yang sama dengan yang digunakan angkatan perang 
Louis XIV. Napoleon sendiri, meskipun ia seorang artileri, tak 
terlalu berminat pada senjata-senjata baru, sekalipun para ilmuwan 
dan penemu berusaha membujuk dia mendanai pengembangan 
mesin-mesin terbang, kapal selam, dan roket.
Sains, industri, dan teknologi militer berkelindan hanya 
setelah ada kemajuan sistem kapitalis dan Revolusi Industri. 
Namun, begitu hubungan ini tercipta, ia cepat mentransformasi 
dunia.
Cita-Cita Kemajuan
Sampai dengan Revolusi Saintifik, sebagian besar kultur manusia 
tidak memercayai kemajuan. Mereka berpikir masa kejayaan 
adalah masa lalu, dan bahwa dunia ini stagnan, kalau bukan 
memburuk. Kepatuhan yang ketat pada kearifan tiap-tiap 
masa mungkin bisa membawa kembali kejayaan masa lalu, dan 
kehebatan manusia mungkin bisa memperbaiki secara masuk 
akal keadaan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, diyakini 
bahwa tidak mungkin pengetahuan manusia bisa mengatasi 
problem-problem fundamental dunia. Kalau MuhammadYesus, Buddha, dan Konfusius saja—yang tahu segala hal yang 
harus diketahui—tidak mampu menghapus kelaparan, penyakit, 
kemelaratan, dan perang dari dunia, bagaimana kita bisa berharap 
bisa melakukannya?
Banyak agama meyakini bahwa suatu hari nanti seorang 
almasih akan muncul dan mengakhiri semua perang, kelaparan, 
dan bahkan kematian itu sendiri. Namun, pandangan bahwa 
manusia bisa melakukan itu dengan menemukan teknologi 
baru dan menciptakan alat-alat baru malah lebih buruk dari 
menggelikan—itu namanya kesombongan. Kisah Menara Babel, 
kisah Icarus, kisah Golem, dan tak terhitung mitos-mitos 
mengajarkan orang bahwa setiap upaya untuk melampaui batas 
manusia tak terelakkan mengarah pada kekecewaan dan bencana.
Ketika kultur modern mengakui bahwa ada banyak hal 
penting yang masih belum diketahui, dan ketika pengakuan 
akan ketidaktahuan itu bersekutu dengan ide bahwa penemuanpenemuan saintifik bisa memberi kita kekuatan-kekuatan baru, 
orang mulai curiga bahwa jangan-jangan kemajuan riil itu 
memang bisa terjadi. Ketika sains mulai mengatasi satu problem 
yang tak terpecahkan satu demi satu, banyak orang menjadi 
yakin bahwa manusia bisa mengatasi problem apa pun dan yang 
mana pun dengan meraih serta menerapkan pengetahuan baru. 
Kemiskinan, sakit, perang, kelaparan, usia tua, dan kematian itu 
sendiri bukanlah nasib tak terelakkan bagi manusia. Semua itu 
hanyalah buah dari ketidaktahuan kita.
Contoh yang terkenal adalah petir. Banyak kultur percaya 
bahwa petir adalah palu dewa yang marah, yang digunakan 
untuk menghukum para pendosa. Pada pertengahan abad ke-18, 
dalam salah satu eksperimen yang paling dielu-elukan dalam 
sejarah sains, Benjamin Franklin menerbangkan sebuah layanglayang ketika badai petir untuk menguji hipotesisnya bahwa 
petir hanyalah sebuah arus listrik. Observasi empiris Franklin, 
digabung dengan pengetahuannya tentang kualitas-kualitas energi 
listrik, memungkinkan dia menemukan batang petir dan melucuti 
senjata para dewa.
Kemiskinan adalah contoh bagus lainnya. Banyak kultur 
memandang kemiskinan sebagai bagian tak terelakkan dari 
dunia yang tidak sempurna. Menurut Perjanjian Baru, tak lama 
sebelum penyaliban, seorang perempuan mengurapi Kristus 
dengan minyak mulia bernilai 300 denarii. Para murid Yesus 
menghardik perempuan itu karena membuang-buang uang 
sebanyak itu, alih-alih memberikannya kepada orang miskin, 
tetapi Yesus membela dia, dengan berkata, “Orang miskin akan 
selalu ada bersamamu, dan kamu bisa membantu mereka kapan 
pun kamu mau. Tapi, kamu tidak akan selalu bersamaku” 
(Markus 14:7). Kini, semakin sedikit dan semakin sedikit orang, 
termasuk semakin sedikit orang Kristen, yang setuju dengan Yesus 
dalam hal ini. Kemiskinan semakin dipandang sebagai problem 
teknis yang bisa diubah melalui intervensi. Ada kearifan umum 
bahwa kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada temuan-temuan 
terbaru dalam agronomi, ekonomi, kedokteran, dan sosiologi 
bisa mengeliminasi kemiskinan.
Dan sungguh, banyak bagian dari dunia ini sudah dibebaskan 
dari bentuk-bentuk paling buruk dari kemiskinan. Sepanjang 
sejarah, masyarakat-masyarakat menderita karena dua jenis 
kemiskinan: kemiskinan sosial, yang mencegah seseorang meraih 
kesempatan yang tersedia bagi orang lain; dan kemiskinan biologis, 
yang menempatkan kehidupan individu-individu pada risiko 
karena tiadanya makanan dan tempat tinggal. Mungkin kemiskinan 
sosial tidak pernah bisa dientaskan, tetapi di banyak negara di 
seluruh dunia, kemiskinan biologis adalah keadaan masa lalu.
Sampai dengan masa yang mutakhir, sebagian besar orang 
mengambang sangat dekat dengan garis kemiskinan biologis, yang 
di bawahnya orang tidak punya cukup kalori untuk bertahan 
hidup lama. Bahkan, miskalkulasi-miskalkulasi atau kemalangankemalangan kecil bisa dengan mudah mendorong orang ke 
bawah garis itu, menuju kelaparan. Bencana-bencana alam dan 
bencana-bencana akibat ulah manusia sering menjerumuskan 
segenap populasi ke dalam neraka, yang menyebabkan kematian 
jutaan orang. Kini sebagian besar penduduk dunia memiliki 
jaring pengaman yang dibentangkan di bawah mereka. Individuindividu dilindungi dari kemalangan personal dengan asuransi, 
jaminan sosial yang disponsori negara dan semaraknya organisasi 
non-pemerintah internasional. Ketika bencana melanda satu 
wilayah, upaya-upaya bantuan seluruh dunia biasanya berhasil 
mencegah keadaan memburuk. Orang masih menderita dari 
berbagai degradasi, penistaan, dan sakit terkait kemiskinan, 
tetapi di sebagian besar negara tak seorang pun yang kelaparan 
sampai mati. Malah, di banyak masyarakat semakin banyak 
orang yang berada dalam bahaya kematian akibat kegemukan 
ketimbang kelaparan.
Proyek Gilgamesh
Dari seluruh problem manusia yang seakan-akan tak bisa diatasi, 
ada satu yang tetap paling mengusik, paling menarik, dan paling 
penting: problem kematian itu sendiri. Sebelum era modern akhir, 
sebagian besar agama dan ideologi menerima begitu saja bahwa 
kematian adalah nasib kita yang tak terelakkan. Lebih dari itu, 
sebagian besar agama menjadikan kematian sebagai sumber utama 
pemaknaan kehidupan. Coba bayangkan Islam, Kristen, atau 
agama kuno Mesir dalam sebuah kata tanpa kematian. Kredokredo ini mengajarkan kepada masyarakat bahwa mereka harus 
siap menghadapi kematian dan menggantungkan harapan pada 
kehidupan akhirat ketimbang mencari cara mengatasi kematian 
dan hidup selamanya di sini di muka Bumi. Pikiran-pikiran 
terbaik sibuk memberi makna pada kematian, bukan berusaha 
menghindarinya. Itulah tema mitos yang paling kuno yang sampai 
kepada kita—mitos Gilgamesh Sumeria kuno. Pahlawannya 
adalah pria paling kuat dan paling ulung di seluruh dunia, Raja 
Gilgamesh dari Uruk, yang bisa mengalahkan siapa pun dalam 
pertarungan. Suatu hari, sahabat Gilgamesh, Enkidu, meninggal. 
Gilgamesh duduk di samping mayatnya dan memperhatikannya 
selama beberapa hari, sampai dia melihat seekor belatung jatuh 
dari lubang hidung sahabatnya itu. Saat itu Gilgamesh menggigil 
sangat ketakutan, dan dia bertekad bahwa dia sendiri tidak akan 
pernah mati. Dia berusaha mencari cara untuk mengalahkan 
kematian. Gilgamesh kemudian melakukan sebuah perjalanan 
ke ujung dunia, membunuh singa-singa, memerangi manusiamanusia kalajengking, dan mencari jalan menuju neraka. Di sana 
dia memecahkan raksasa batu Urshanabi*
 dan laki-laki perahu 
di sungai orang-orang mati, dan mendapati Utnapishtim, orang 
terakhir yang selamat dari banjir primordial. Namun, Gilgamesh 
gagal dalam pencariannya. Dia kembali pulang dengan tangan 
hampa, sefana biasanya, tetapi dengan sepotong kearifan baru. 
Ketika para dewa menciptakan manusia, menurut hasil belajar 
Gilgamesh, mereka menetapkan kematian sebagai akhir tak 
terelakkan bagi manusia, dan manusia harus belajar untuk hidup 
dengan itu.
Para murid kemajuan tidak mau menerima sikap kalah 
tersebut. Bagi orang-orang sains, kematian bukan akhir yang 
tak terelakkan, tetapi semata-mata problem teknis. Orang mati 
bukan karena para dewa memutuskannya, tetapi karena berbagai 
kegagalan teknis—serangan jantung, kanker, infeksi. Dan, setiap 
problem teknis memiliki solusi teknis. Jika jantung berdebar, ia 
bisa distimulasi dengan alat pemacu atau diganti dengan jantung 
baru. Jika kanker menyerang, ia bisa dibunuh dengan obat atau 
radiasi. Jika bakteri berbiak, mereka bisa ditundukkan dengan 
antibiotik. Benar, saat ini kita tidak bisa mengatasi semua problem 
teknis itu. Namun, kita sedang bekerja untuk itu. Pikiran terbaik 
kita bukan untuk menyia-nyiakan waktu mereka untuk berusaha 
memaknai kematian. Namun, mereka sibuk menginvestigasi 
sistem psikologis, hormonal, dan genetika yang menyebabkan 
penyakit dan usia tua. Mereka mengembangkan kedokteran baru, 
perawatan revolusioner, dan organ-organ artifisial yang akan 
memperpanjang hidup kita dan mungkin suatu hari mengalahkan 
Malaikat Maut.
Sampai dengan masa kini, Anda tidak akan pernah 
mendengar ilmuwan, atau siapa pun, berbicara begitu blakblakan. “Mengalahkan kematian?! Omong kosong apa itu! 
Kita hanya berusaha mengobati penyakit kanker, tuberkulosis, 
dan Alzheimer”, mereka menegaskan. Orang menghindari 
isu kematian karena tujuannya tampak terlalu sulit. Mengapa 
menciptakan ekspektasi-ekspektasi yang tidak masuk akal? 
Namun, kita sekarang sampai pada titik ketika kita bisa jujur 
tentang itu. Proyek terkemuka Revolusi Saintifik adalah memberi 
manusia kehidupan abadi. Bahkan, jika mengalahkan kematian 
tampak seperti tujuan yang jauh, kita sudah mencapai beberapa 
hal yang tak terbayangkan beberapa abad lalu. Pada 1199, Raja 
Richard Si Hati Singa terkena panah di bahu kirinya. Kini kita 
mengatakan bahwa dia mengalami luka ringan. Namun, pada 
1199, karena tiadanya antibiotik dan metode sterilisasi efektif, 
luka ringan itu menjadi infeksi dan terbentuklah gangren 
(pembusukan). Satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran 
gangren pada abad ke-12 di Eropa adalah dengan memotong 
daging yang terinfeksi, tetapi tidak mungkin karena infeksi itu 
ada di bahu. Gangren menyebar ke seluruh tubuh Si Hati Singa 
dan tak ada yang bisa membantu sang raja. Dia meninggal dalam 
penderitaan mendalam dua pekan kemudian.
Sampai dengan abad ke-19, para dokter terbaik masih belum 
tahu bagaimana mencegah infeksi dan menghentikan pembusukan 
lapisan daging. Di rumah sakit-rumah sakit lapangan, para dokter 
rutin mengamputasi tangan dan kaki tentara yang mengalami 
bahkan luka ringan, karena takut gangren. Amputasi-amputasi ini, 
di samping semua prosedur medis lainnya (cabut gigi), dilakukan tanpa anestesi. Anestesi pertama—entah dengan kloroform atau 
morfin—memasuki era pemakaian reguler dalam kedoteran Barat 
baru terjadi pada pertengahan abad ke-19. Sebelum ditemukannya 
kloroform, empat tentara harus memegangi seorang rekan yang 
terluka sementara dokter memangkas daging yang terluka. Pada 
pagi hari setelah pertempuran Waterloo (1815), tumpukan tangan 
dan kaki yang dipotong bisa dilihat di dekat rumah sakit-rumah 
sakit lapangan. Pada masa itu, para tukang kayu dan tukang jagal 
yang diikutkan dalam angkatan perang sering dikirim untuk dinas 
di korps medis karena operasi memerlukan lebih dari sekadar 
pengetahuan menggunakan pisau dan gergaji.
Dalam dua abad setelah Waterloo, keadaan berubah di luar 
perkiraan. Pil, injeksi, dan operasi-operasi canggih menyelamatkan 
kita dari banjir penyakit dan cedera yang dulu berakhir dengan 
“hukuman mati” yang tak terelakkan. Semua itu juga melindungi 
kita dari tak terhitung jenis sakit harian, yang oleh masyarakat 
pramodern diterima begitu saja sebagai bagian dari kehidupan. 
Rata-rata angka harapan hidup melonjak dari sekitar 25 tahun 
menjadi 40 tahun sampai 67 tahun di seluruh dunia, dan sampai 
80 tahun di negara-negara maju.8
Kemunduran terburuk terjadi di lingkup angka kematian 
anak. Sampai dengan abad ke-20, antara seperempat sampai 
sepertiga anak di masyarakat-masyarakat agrikultur tidak pernah 
mencapai usia dewasa. Sebagian besar takluk pada penyakit 
kanak-kanak seperti difteri, campak, dan cacar. Di Inggris abad 
ke-17, 150 dari setiap 1.000 kelahiran meninggal pada tahun 
pertama mereka, dan sepertiga dari semua anak mati sebelum 
mereka mencapai usia lima belas tahun.9
 Kini, hanya 5 dari 
1.000 bayi Inggris mati di tahun pertama mereka, dan hanya 7 
dari 1.000 mati sebelum usia 15 tahun.10
Kita bisa menangkap pengaruh penuh dari angka-angka ini 
dengan mengesampingkan statistika dan mencermati kisa-kisah 
lain. Satu contoh yang bagus adalah keluarga Raja Edward I 
Inggris (1237–1307) dan istrinya, Ratu Eleanor (1241–1290). 
Anak-anak mereka menikmati kondisi terbaik dan lingkungan 
pengasuhan paling baik yang bisa diberikan oleh Eropa abad 
pertengahan. Mereka hidup dalam istana-istana, makan sebanyak 
makanan yang mereka suka, punya banyak pakaian hangat, tungku 
api dengan persediaan baik, air terbersih, satu pasukan pembantu, 
dan dokter-dokter terbaik. Beberapa sumber menyebutkan enam 
belas anak dilahirkan Ratu Eleanor antara 1255 sampai 1284:
1. Seorang putri tanpa nama, lahir tahun 1255, meninggal saat 
lahir.
2. Seorang putri, Catherine, meninggal pada usia 1 atau 3 tahun.
3. Seorang putri, Joan, meninggal pada usia 6 bulan.
4. Seorang putra, John, meninggal pada usia 5 tahun.
5. Seorang putra, Henry, meninggal pada usia 6 tahun.
6. Seorang putri, Eleanor, meninggal pada usia 29 tahun.
7. Seorang putri, tanpa nama, meninggal pada usia 5 bulan.
8. Seorang putri, Joan, meninggal pada usia 35 tahun.
9. Seorang putra, Alphonso, meninggal pada usia 10 tahun.
10. Seorang putri, Margaret, meninggal pada usia 58 tahun.
11. Seorang putri, Berengeria, meninggal pada usia 2 tahun.
12. Seorang putri, tanpa nama, meninggal tak lama setelah 
kelahiran.
13. Seorang putri, Mary, meninggal pada usia 53 tahun.
14. Seorang putra, tanpa nama, meninggal tak lama setelah 
kelahiran.
15. Seorang putri, Elizabeth, meninggal pada usia 34 tahun.
16. Seorang putra, Edward.
Si bungsu, Edward, adalah anak laki-laki pertama yang 
selamat dari tahun-tahun kanak-kanak yang berbahaya, dan 
kematian ayahnya mengukuhkan putra mahkota Inggris menjadi 
Raja Edward II. Dengan kata lain, Eleanor butuh 16 kali mencoba 
menjalankan misi paling fundamental seorang ratu Inggris—
memberi suaminya laki-laki pewaris. Ibu Edward II pasti seorang 
perempuan yang memiliki kesabaran dan ketabahan istimewa. 
Tidak demikian dengan perempuan yang dipilih Edward menjadi 
istrinya, Isabella dari Prancis. Dialah penyebab terbunuhnya 
Edward pada usia 53 tahun.11
Sepanjang yang bisa kita ketahui, Eleanor dan Edward I 
adalah pasangan sehat dan tak menurunkan penyakit bawaan 
mematikan ke anak-anaknya. Meskipun demikian, 10 dari 
16—62 persen—meninggal pada usia kanak-kanak. Hanya 6 
yang berhasil hidup melewati usia 11 tahun, dan hanya 3—
hanya 18 persen—yang hidup melampaui usia 40 tahun. Selain 
kelahiran-kelahiran ini, Eleanor sangat mungkin mengalami 
beberapa kehamilan yang berakhir dengan keguguran. Rata-rata, 
Edward dan Eleanor kehilangan anak setiap 3 tahun, 10 anak 
susul-menyusul. Hampir mustahil bagi orangtua zaman sekarang 
menanggung beban kehilangan seperti itu.
Berapa lama yang dibutuhkan untuk merampungkan 
Proyek Gilgamesh—pencarian imortalitas? 500 tahun? 1.000 
tahun? Ketika kita mengenang betapa sedikit yang kita tahu 
tentang tubuh manusia pada tahun 1900, dan betapa banyak 
pengetahuan yang kita dapatkan dalam satu abad saja, maka ada 
alasan untuk optimistis. Para insinyur genetika belum lama ini 
berhasil memperbesar 6 kali lipat rata-rata harapan hidup cacingcacing Caenorhabditis elegans worms.12 Bisakah mereka lakukan 
hal yang sama untuk Homo sapiens? Para ahli nanoteknologi 
sedang mengembangkan sistem kekebalan bionik yang tersusun 
atas jutaan robot nano, yang akan menghuni tubuh-tubuh kita, 
membuka saluran-saluran darah yang terblokade, memerangi 
virus dan bakteri, mengeliminasi sel-sel kanker dan bahkan 
membalikkan proses-proses penuaan.13 Beberapa ahli yang serius 
mengemukakan bahwa pada 2050, sebagian manusia akan menjadi 
a-mortal (bukan imortal karena mereka tetap masih bisa mati 
akibat kecelakaan, sedangkan a-mortal berarti bahwa dengan 
absennya trauma fatal kehidupan mereka bisa diperpanjang tak 
terbatas).
Entah Proyek Gilgamesh berhasil atau tidak, dari perspektif 
sejarah, menarik untuk melihat bahwa sebagian besar agama 
dan ideologi modern-akhir sudah menempatkan kematian
dan kehidupan setelah mati di luar rumus persamaan. Sampai 
dengan abad ke-18, agama-agama memandang kematian dan 
kehidupan sesudahnya penting untuk memaknai kehidupan. 
Dimulai dari abad ke-18, agama-agama dan ideologi-ideologi 
seperti liberalisme, sosialisme, dan feminisme kehilangan minat 
pada kehidupan setelah mati. Apa, sih, sesungguhnya yang 
terjadi pada seorang komunis setelah dia mati? Apa yang terjadi 
pada seorang kapitalis? Apa yang terjadi pada seorang feminis? 
Tak ada gunanya mencari jawaban dalam tulisan Marx, Adam 
Smith, atau Simone de Beauvoir. Satu-satunya ideologi modern 
yang masih menempatkan kematian pada peran sentral adalah 
nasionalisme. Dalam momen-momennya yang lebih puitis dan 
putus asa, nasionalisme menjanjikan bahwa siapa pun yang mati 
demi negara akan hidup selamanya dalam kenangan kolektif. 
Namun, janji ini begitu membingungkan, yang bahkan orang 
paling nasionalis pun tidak benar-benar tahu seperti apa.
Cukongnya Sains
Kita kini hidup dalam abad teknik. Banyak orang yakin bahwa 
sains dan teknologi menyimpan jawaban untuk semua masalah 
kita. Kita cukup biarkan para ilmuwan dan teknisi melanjutkan 
pekerjaan mereka, dan mereka akan menciptakan surga di sini, 
di muka Bumi. Namun, sains bukanlah sebuah usaha yang 
berlangsung di atas suatu pesawat moral atau spiritual yang 
superior di atas aktivitas manusia lain. Seperti semua bagian 
dari kultur kita, ia dibentuk oleh kepentingan ekonomi, politik, 
dan keagamaan.
Sains adalah urusan yang sangat mahal. Seorang ahli 
biologi yang berusaha memahami sistem kekebalan manusia 
memerlukan laboratorium, tabung-tabung uji, bahan kimia, 
dan mikroskop elektron, belum lagi para asisten lab, tukang 
listrik, tukang ledeng, dan tukang bersih. Seorang ekonom yang 
berusaha membuat model pasar kredit harus membeli komputer, 
membuat bank-bank data raksasa, dan mengembangkan programprogram pemrosesan data yang rumit. Seorang arkeolog yang ingin memahami perilaku para pemburu-penjelajah kuno harus 
bepergian ke tempat-tempat yang jauh, menggali reruntuhanreruntuhan kuno dan menetapkan tahun fosil tulang belulang 
dan artefak-artefak. Semua itu butuh uang.
Dalam 500 tahun terakhir sains modern telah mencapai 
keajaiban-keajaiban terutama berkat kesediaan pemerintahanpemerintahan, bisnis-bisnis, dan yayasan-yayasan serta donor 
swasta untuk menyalurkan miliaran dolar ke riset saintifik. 
Miliaran dolar ini telah memberi jauh lebih banyak ketimbang 
yang diberikan oleh Galileo Galilei, Christopher Columbus, dan 
Charles Darwin. Seandainya orang-orang genius istimewa ini tidak 
pernah lahir, pengetahuan-pengetahuan mereka mungkin jatuh ke 
orang lain. Namun, jika pendanaan yang cukup tidak tersedia, 
tidak ada kehebatan intelektual yang bisa menggantikannya. 
Kalau saja Darwin tidak pernah dilahirkan, misalnya, kita 
kini merujukkan teori evolusi ke Alfred Russel Wallace, yang 
menyodorkan ide evolusi via seleksi alam yang independen dari 
Darwin dan hanya beberapa tahun sesudahnya. Namun, jika 
kekuatan-kekuatan Eropa tidak pernah mendanai riset geografis, 
zoologis, dan botanikal di seluruh dunia, Darwin maupun 
Wallace tidak akan memiliki data empiris yang dibutuhkan untuk 
mengembangkan teori evolusi. Bahkan, sangat mungkin mereka 
tidak pernah mencobanya.
Mengapa miliaran dolar itu mulai mengalir dari pundi-pundi 
pemerintahan dan bisnis ke lab-lab dan universitas-universitas? 
Dalam lingkaran akademis, banyak orang yang cukup naif untuk 
memercayai sains murni. Mereka percaya bahwa pemerintah dan 
bisnis secara altruis memberi mereka uang untuk melakukan apa 
pun proyek riset yang mereka gemari. Namun, ini hampir tidak 
dapat menggambarkan realitas pendanaan sains.
Sebagian besar studi saintifik didanai karena seseorang 
percaya studi-studi itu bisa membantu mencapai tujuan politik, 
ekonomi, atau keagamaan tertentu. Misalnya, pada abad ke-16, 
raja-raja dan para bankir menyalurkan sumber daya yang sangat 
besar untuk mendanai ekspedisi-ekspedisi geografi di seluruh 
dunia, tetapi tidak sepeser pun untuk mempelajari psikologi 
anak. Ini karena para raja dan para bankir menduga bahwa penemuan pengetahuan geografis baru akan memungkinkan 
mereka menaklukkan wilayah-wilayah baru dan mendirikan 
imperium-imperium dagang, sedangkan mereka tak melihat 
keuntungan apa pun dalam memahami psikologi anak.
Pada 1940-an, pemerintah Amerika Serikat dan Uni Soviet 
menyalurkan sumber daya yang sangat besar ke studi fisika nuklir, 
dibandingkan ke arkeologi bawah laut. Mereka menduga bahwa 
dengan mempelajari fisika nuklir mereka bisa mengembangkan 
senjata-senjata nuklir, sedangkan arkeologi bawah laut tak 
mungkin membantu mereka menang perang. Para ilmuwan sendiri 
kini tidak selalu menyadari kepentingan politik, ekonomi, dan 
keagamaan yang mengendalikan aliran uang; banyak ilmuwan, 
memang, yang bekerja atas dasar keingintahuan intelektual 
murni. Namun, jarang sekali ilmuwan yang mendiktekan agenda 
saintifik mereka.
Andaipun kita ingin mendanai sains murni yang tak terpengaruh oleh kepentingan politik, ekonomi, atau keagamaan, 
itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Bagaimanapun, 
sumber daya-sumber daya kita terbatas. Mintalah seorang 
anggota kongres untuk mengalokasikan tambahan jutaan dolar 
ke National Science Foundation untuk riset dasar, dan dia akan 
bertanya dengan alasan kuat apakah uang itu tidak lebih baik 
digunakan buat pelatihan guru atau memberi keringanan pajak 
bagi pabrik yang kesulitan dalam distriknya. Untuk menyalurkan 
sumber daya terbatas kita harus menjawab pertanyaan semacam, 
“Apanya yang lebih penting?” dan “Apanya yang bagus?” Dan, 
pertanyaan-pertanyaan ini jelas bukan pertanyaan saintifik. 
Sains bisa menjelaskan apa yang eksis di dunia, bagaimana 
sesuatu bekerja, dan apa yang mungkin terjadi di masa depan. 
Berdasarkan definisi, ia tidak punya pretensi untuk tahu apa 
yang harus terjadi pada masa depan. Hanya agama dan ideologi 
yang mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Renungkanlah kerumitan berikut ini: dua ahli biologi dari 
departemen yang sama, memiliki kemampuan profesional yang 
sama, keduanya sudah mengajukan permohonan bantuan satu 
juta dolar untuk mendanai proyek riset mereka yang sedang 
berjalan. Profesor Slughorn ingin mempelajari sebuah penyakit 
yang menginfeksi ambing sapi, yang menyebabkan 10 persen 
penurunan produksi susu. Profesor Sprout ingin mempelajari 
apakah sapi-sapi mengalami sakit mental ketika mereka dipisahkan 
dari anak-anaknya. Dengan asumsi bahwa jumlah uang terbatas, 
dan bahwa tidak mungkin mendanai kedua proyek riset itu, 
mana yang harus didanai?
Tidak ada jawaban saintifik untuk pertanyaan ini. Hanya 
ada jawaban politis, ekonomis, dan religius. Dalam dunia masa 
kini, jelas bahwa Slughorn memiliki peluang yang lebih baik 
untuk mendapatkan uang. Bukan karena penyakit kambing secara 
saintifik lebih menarik ketimbang mentalitas sapi, tetapi karena 
industri susu, yang akan mendapatkan manfaat dari riset itu, 
memiliki pengaruh politis dan ekonomis lebih besar ketimbang 
lobi para aktivis hak-hak binatang.
Mungkin dalam satu masyarakat Hindu yang ketat, di mana 
sapi-sapi disakralkan, atau dalam masyarakat yang berkomitmen 
pada hak-hak binatang, Profesor Sprout-lah yang akan berpeluang 
lebih besar. Namun, sepanjang dia hidup dalam masyarakat yang 
lebih menghargai potensi komersial susu dan kesehatan untuk 
manusia-manusia penduduknya di atas perasaan sapi, maksimal 
dia bisa menyusun proposal riset yang sejalan dengan asumsiasumsi itu. Misalnya, dia mungkin akan menulis bahwa “Depresi 
menyebabkan penurunan produksi susu. Jika kita memahami 
dunia mental sapi-sapi perah, kita bisa mengembangkan medikasi 
psikiatris yang akan memperbaiki kondisi mental mereka sehingga 
meningkatkan produksi susu sampai 10 persen. Saya menaksir 
bahwa ada nilai pasar global tahunan sebesar $250 juta untuk 
medikasi psikiatris sapi”.
Sains tidak bisa menentukan prioritasnya sendiri. Ia juga tidak 
mampu menentukan apa yang harus dilakukan dengan penemuanpenemuannya. Misalnya, dari sudut pandang yang murni saintifik 
tidak jelas apa yang harus kita lakukan dengan meningkatnya 
pemahaman tentang genetika. Apakah kita harus menggunakan 
pengetahuan ini untuk mengobati kanker atau menciptakan 
ras yang secara genetik direkayasa menjadi manusia-manusia 
super, atau merekayasa sapi-sapi perah dengan ambing-ambing 
berukuran super? Jelas bahwa pemerintah liberal, pemerintahan Komunis, pemeritanah Nazi, dan korporasi bisnis kapitalis akan 
menggunakan penemuan saintifik yang sama untuk tujuan-tujuan 
yang sama sekali berbeda, dan tidak ada alasan saintifik untuk 
memilih satu di antara penggunaan-penggunaan itu.
Singkatnya, riset saintifik hanya bisa berkembang dalam 
aliansi dengan agama atau ideologi. Ideologi menjustifikasi biaya 
riset. Sebagai imbalan, ideologi memengaruhi agenda saintifik 
dan menentukan apa yang harus dilakukan dengan penemuanpenemuan itu. Oleh karenanya, dalam memahami bagaimana 
manusia meneliti Alamogordo dan Bulan—ketimbang tujuantujuan alternatif lain mana pun—tidak cukup dengan mensurvei 
pencapaian-pencapaian para ahli fisika, biologi, dan sosiologi. 
Kita harus mempertimbangkan kekuatan ideologis, politis, dan 
ekonomis yang membentuk fisika, biologi, sosiologi, dengan 
mendorongnya ke arah-arah tertentu seraya mengabaikan yang 
lain.
Ada dua kekuatan yang benar-benar pantas untuk kita 
perhatikan: imperialisme dan kapitalisme. Celah umpan balik 
antara sains, imperium, dan modal telah menjadi mesin utama 
sejarah selama 500 tahun terakhir ini. Bab-bab selanjutnya akan 
menganalisis bagaimana prosesnya. Pertama, kita akan melihat 
bagaimana turbin kembar sains dan imperium saling mengunci, 
dan kemudian menelisik bagaimana keduanya menyangkut ke 
pompa uang kapitalisme.
Berapa jauh Matahari dari Bumi? Ini sebuah pertanyaan yang 
mengusik banyak astronom modern awal, terutama setelah 
Copernicus mengemukakan bahwa Matahari, bukan Bumi, terletak 
di pusat alam semesta. Sejumlah astronom dan matematikawan 
berusaha mengalkulasi jaraknya, tetapi metode mereka membawa 
hasil yang sangat beragam. Satu alat tepercaya untuk melakukan 
pengukuran itu akhirnya diajukan pada pertengahan abad ke-18. 
Setiap beberapa tahun, Planet Venus melintas langsung antara 
Matahari dan Bumi. Durasi pelintasan berbeda ketika dilihat 
dari titik jauh di atas permukaan Bumi karena perbedaan kecil 
sudut yang digunakan pemantau untuk melihatnya. Jika beberapa 
observasi terhadap pelintasan yang sama dilakukan dari kontinen 
yang berbeda, cukup trigonometri sederhana yang dibutuhkan 
untuk mengalkulasi jarak pasti dari Matahari.
Para astronom meramalkan bahwa pelintasan-pelintasan Venus 
berikutnya akan terjadi pada 1761 dan 1769. Maka, ekspedisiekspedisi dikirim dari Eropa ke empat sudut dunia dalam rangka 
mengobservasi pelintasan-pelintasan tersebut dari sebanyak 
mungkin titik jauh. Pada 1761, para ilmuwan mengobservasi 
pelintasan dari Siberia, Amerika Utara, Madagaskar, dan Afrika 
Selatan. Ketika pelintasan mendekat pada 1769, komunitas 
saintifik Eropa meningkatkan upayanya, dan para ilmuwan 
dikirim sampai sejauh Kanada utara dan California (yang saat 
itu masih hutan belantara). Royal Society of London for the 
Improvement of Natural Knowledge menyimpulkan bahwa itu 
tidak cukup. Untuk mendapatkan hasil yang paling akurat, maka 
wajib untuk mengirim seorang astronom ke Samudra Pasifik 
bagian barat daya.
Royal Society mantap mengirim seorang astronom terkemuka, 
Charles Green, ke Tahiti, dan menyiapkan apa pun dan berapa pun 
uang yang dibutuhkan. Namun, karena menyangkut pendanaan 
ekspedisi yang begitu mahal, sulit dibayangkan pendanaan itu 
digunakan hanya untuk sebuah observasi astronomi tunggal. 
Oleh karena itu, Green ditemani satu tim 8 ilmuwan dari 
beberapa disiplin, yang dipimpin 2 ahli tanaman Joseph Banks 
dan Daniel Solander. Dalam tim juga ada seniman-seniman yang 
ditugasi menghasilkan lukisan lahan-lahan baru, tumbuhannya, 
binatangnya, dan orang-orangnya, yang tentu saja bakal ditemui 
para ilmuwan. Dilengkapi dengan alat-alat saintifik yang paling 
maju yang bisa dibeli Banks dan Royal Society, ekspedisi itu 
berada di bawah komando Kapten James Cook, seorang pelaut 
berpengalaman, yang juga seorang ahli Ilmu Bumi dan etnografi 
yang mumpuni.
Ekspedisi bertolak dari Inggris pada 1768, mengobservasi 
pelintasan Venus dari Tahiti pada 1769, mengintai beberapa pulau 
Pasifik, mengunjungi Australia dan Selandia Baru, dan kembali 
ke Inggris pada 1771. Ekspedisi itu membawa pulang data 
dalam jumlah besar di bidang astronomi, geografi, meteorologi, 
botani, zoologi, dan antropologi. Temuan-temuannya memberi 
kontribusi besar bagi sejumlah disiplin, memicu imajinasi bangsa 
Eropa dengan cerita-cerita menakjubkan tentang Pasifik Selatan, 
dan menginspirasi generasi-generasi masa depan ahli ilmu alam 
dan astronomi. Salah satu bidang yang mendapat manfaat dari 
ekspedisi Cook adalah kedokteran. Pada masa itu, kapal-kapal 
yang berlayar ke daratan-daratan yang jauh tahu bahwa lebih 
dari setengah anggota awak mereka akan mati dalam perjalanan. 
Siksaannya bukan berupa penduduk pribumi yang marah, kapalkapal musuh atau rindu kampung halaman, melainkan sebuah 
penyakit misterius yang disebut scurvy*
. Kaum pria yang terjangkit 
penyakit itu menjadi lesu dan tertekan, dan gusi serta bagianbagian daging lain mereka berdarah. Saat penyakit berkembang, gigi mereka rontok, luka-luka muncul dan mereka demam, tubuh 
menguning, dan kehilangan kontrol keseimbangan. Antara abad 
ke-16 sampai abad ke-18, scurvy diperkirakan menewaskan 
sekitar dua juta pelaut. Tak seorang pun tahu penyebabnya, dan 
apa pun pengobatan yang dicoba, para pelaut terus berguguran. 
Titik baliknya terjadi pada 1747, ketika seorang dokter Inggris, 
James Lind, melakukan eksperimen terkontrol kepada para pelaut 
yang menderita penyakit tersebut. Dia membagi mereka dalam 
beberapa kelompok dan memberi tiap-tiap kelompok perawatan 
yang berbeda-beda. Salah satu kelompok uji disuruh makan buah 
jeruk, obat rakyat yang umum untuk scurvy. Para pasien dalam 
kelompok ini cepat membaik. Lind tidak tahu apa kandungan 
buah jeruk yang tidak dimiliki tubuh para pelaut, tetapi kini 
kita tahu bahwa itu adalah vitamin C. Muatan bekal makanan 
dalam kapal yang umum pada waktu itu tampaknya kurang 
zat-zat yang kaya akan nutrisi esensial ini. Dalam perjalananperjalanan jarak jauh para pelaut biasanya hidup dengan biskuit 
dan dendeng sapi, dan hampir tidak makan buah atau sayur.
Angkatan Laut Kerajaan tak yakin dengan eksperimen Lind, 
tetapi James Cook percaya. Dia mantap untuk membuktikan 
bahwa dokter itu benar. Dia memuat ke kapalnya asinan kubis 
dalam jumlah besar dan memerintahkan para pelautnya makan 
banyak buah-buahan dan sayur-sayuran segar setiap kali ekspedisi 
bertolak. Dan, Cook tidak kehilangan seorang pelaut pun akibat 
scurvy. Dalam beberapa dekade kemudian, semua angkatan laut 
dunia mengadopsi diet laut Cook, dan tak terhitung nyawa 
pelaut dan penumpang terselamatkan.1
Meskipun demikian, ekspedisi Cook membawa hasil lain yang 
jauh lebih mengenaskan. Cook bukan hanya seorang pelaut dan 
ahli Ilmu Bumi berpengalaman, melainkan juga seorang perwira 
angkatan laut. Royal Society memang mendanai banyak bagian 
dari biaya ekspedisi, tetapi kapal itu sendiri disediakan oleh 
Angkatan Laut Kerajaan.
Angkatan Laut juga memperbantukan 85 pelaut dan marinir 
dengan persenjataan bagus, dan memper lengkapi kapal dengan 
artileri, senapan, bubuk mesiu, dan persenjataan lain. Banyak 
informasi yang dikumpulkan oleh ekspedisi itu—terutama 
data astronomi, geografi, meteorologi, dan antropologi—jelas 
memiliki nilai politis dan militer. Penemuan perawatan efektif 
untuk scurvy memberi kontribusi besar bagi kontrol Inggris atas 
lautan dunia dan kemampuannya mengirim angkatan perang ke 
sisi lain dunia. Cook mendapatkan banyak pulau dan daratan 
untuk Inggris, terutama Australia. Ekspedisi Cook meletakkan 
fondasi bagi pendudukan Inggris atas Samudra Pasifik barat 
daya; penaklukan Australia, Tasmania, dan Selandia Baru; dan 
pembasmian kultur-kultur pribumi mereka dan sebagian besar 
populasi pribumi mereka.2
Pada abad sesudah ekspedisi Cook, lahan-lahan paling subur 
Australia dan Selandia Baru direbut dari penghuni asalnya oleh 
para pemukim Eropa. Populasi pribumi turun sampai 90 persen 
dan yang selamat menjadi sasaran penindasan rasial rezim yang 
kejam. Bagi Aborigin Australia dan Maori Selandia Baru, ekspedisi 
Cook adalah awal dari bencana, yang membuat mereka tak 
pernah bisa pulih seperti sediakala.
Nasib lebih buruk menimpa pribumi Tasmania. Setelah 10.000 
tahun selamat dalam isolasi nan megah, mereka benar-benar 
tersapu, sampai laki-laki, perempuan, dan anak terakhir, dalam 
satu abad kedatangan Cook. Para pemukim Eropa pertamatama mendesak mereka keluar dari daerah-daerah paling kaya 
di pulau tersebut, dan kemudian, bahkan tergiur oleh belantara 
yang tersisa, memburu dan membunuh mereka secara sistematis. 
Beberapa orang yang selamat diarak menuju kamp konsentrasi 
evangelis. Di sana, para misionaris yang punya maksud baik 
tetapi kurang terbuka pikirannya, berusaha mengindoktrinasi 
mereka dengan cara-cara dunia modern. Orang-orang Tasmania 
diajari membaca dan menulis, agama Kristen, dan berbagai 
“keterampilan produktif” seperti menjahit baju dan berladang. 
Namun, mereka menolak untuk belajar. Mereka bahkan menjadi 
semakin melankolis, berhenti punya anak, kehilangan minat pada 
kehidupan, dan akhirnya memilih satu-satunya rute untuk lari 
dari dunia sains dan kemajuan modern—kematian.
Sayang, sains dan kemajuan mengejar mereka bahkan sampai 
ke liang lahat. Mayat-mayat orang Tasmania terakhir direbut 
atas nama sains oleh para antropolog dan kurator. Mereka 
dibedah, ditimbang, dan diukur, serta dianalisis dalam artikelartikel yang dipelajari. Tengkorak-tengkorak dan tulang belulang 
kemudian dipajang di museum-museum dan koleksi-koleksi 
antropologi. Baru pada 1976 Museum Tasmania menyerahkan 
pemakaman tulang-tulang Truganini, pribumi Tasmania terakhir, 
yang meninggal 100 tahun sebelumnya. Sekolah Tinggi Operasi 
Kerajaan Inggris menyimpan sampel-sampel kulit dan rambutnya 
sampai 2002.
Apakah kapal Cook merupakan ekspedisi saintifik yang 
dilindungi kekuatan militer atau ekspedisi militer dengan 
mengikutsertakan sejumlah ilmuwan? Itu sama saja seperti 
bertanya apakah tangki bahan bakar Anda setengah penuh 
atau setengah kosong. Dua-duanya benar. Revolusi Saintifik 
dan imperialisme modern tak terpisahkan. Orang-orang seperti 
Kapten James Cook dan ahli tumbuhan Joseph Banks hampir tak 
bisa membedakan sains dari imperium. Demikian pula Truganini 
yang malang.
Mengapa Eropa?
Fakta bahwa orang-orang dari sebuah pulau besar di Atlantik 
utara menaklukkan sebuah pulau besar di sebelah selatan Australia 
adalah sebuah kejadian yang lebih aneh dalam sejarah. Tak lama 
sebelum ekspedisi Cook, pulau-pulau Inggris dan Eropa barat 
secara umum adalah perairan belakang dunia Mediterania nan 
jauh. Sedikit hal yang berarti terjadi di sana. Bahkan, Imperium 
Romawi—satu-satunya imperium Eropa pramodern—memperoleh 
sebagian besar kekayaannya dari provinsi-provinsi Afrika Utara, 
Balkan, dan Timur Tengah. Provinsi-provinsi Eropa barat Romawi 
adalah sebuah Wild West miskin, yang berkontribusi sedikit, selain 
dari mineral dan budak. Eropa utara juga begitu terpencil dan 
barbar sehingga tak cukup layak untuk ditaklukkan.
Baru pada akhir abad ke-15, Eropa menjadi sebuah arena 
panas yang penting bagi perkembangan-perkembangan militer, 
politik, ekonomi, dan kultural. Antara tahun 1500 sampai 
1750, Eropa barat mendapatkan momentum dan menjadi tuan 
bagi “Dunia Luar”, yang berarti dua kontinen Amerika dan 
samudranya. Meskipun demikian, pada masa itu bahkan Eropa 
bukan tandingan bagi kekuatan-kekuatan besar Asia. Orangorang Eropa berhasil menaklukkan Amerika dan mendapatkan 
supremasi di laut, terutama karena kekuatan-kekuatan Asiatik 
menunjukkan minat kecil padanya. Era modern awal adalah 
masa keemasan Imperium Ottoman di Mediterania, Imperium 
Safavid di Persia, Imperium Mughal di India, serta Dinasti Ming 
dan Qing China. Mereka memperluas teritori secara signifikan 
dan menikmati pertumbuhan demografis dan ekonomis yang 
belum ada presedennya. Pada 1775, Asia menyumbang 80 
persen ekonomi dunia. Ekonomi gabungan India dan China saja menyumbang dua pertiga produksi global. Jika dibandingkan, 
Eropa waktu itu adalah cebol.3
Pusat kekuatan dunia baru beralih ke Eropa pada masa 
antara tahun 1750 sampai 1850, ketika Eropa mempermalukan 
kekuatan-kekuatan Asia dalam serangkaian perang dan 
menaklukkan bagian-bagian besar Asia. Sampai tahun 1900 
orang-orang Eropa dengan kokoh menguasai ekonomi dunia dan 
sebagian besar teritorinya. Pada 1950, Eropa Barat dan Amerika 
Serikat bersama-sama menyumbang lebih dari setengah produksi 
global, sedangkan porsi China terpangkas menjadi 5 persen.4
Di bawah pengawasan Eropa, sebuah tatanan global dan kultur 
global baru muncul. Kini seluruh manusia, pada ukuran yang 
lebih besar dari yang mereka biasa akui, adalah Eropa dalam 
hal pakaian, pemikiran, dan citarasa. Mereka mungkin gigih 
anti-Eropa dalam retorika, tetapi hampir setiap orang di muka 
Planet Bumi ini memandang politik, kedokteran, perang, dan 
ekonomi dengan mata Eropa, mendengarkan musik yang ditulis 
dalam gaya Eropa dengan kata-kata dari bahasa-bahasa Eropa. 
Bahkan, ekonomi China yang kini berkembang, yang mungkin 
segera meraih kembali keunggulan globalnya, dibangun dengan 
model produksi dan keuangan Eropa.
Bagaimana orang-orang berjemari kaku dari Eurasia ini 
berhasil mencuat dari sudut terpencil Bumi dan menaklukkan 
seluruh dunia? Para ilmuwan Eropa-lah yang sering mendapat 
pujian. Tak terbantahkan bahwa sejak 1850 dan seterusnya 
dominasi Eropa bertumpu terutama pada jalinan militer-industrisains dan keunggulan teknologikal. Seluruh imperium yang 
berhasil pada abad modern akhir menggalang riset saintifik 
dengan harapan panen inovasi-inovasi teknologi, dan banyak 
ilmuwan menghabiskan sebagian besar waktu kerja mereka 
pada senjata, kedokteran, dan mesin-mesin untuk tuan-tuan 
imperium mereka. Ungkapan umum di kalangan para tentara 
Eropa yang menghadapi musuh-musuh Afrika adalah, “Majulah 
dengan apa pun, kami punya senapan mesin, dan mereka tidak.” 
Teknologi-teknologi sipil tak kalah pentingnya. Makananmakanan kalengan mengenyangkan tentara, rel kereta api dan 
kapal uap mengangkut tentara dan bekal mereka, sementara satu 
gudang baru obat-obatan mengobati tentara, pelaut, dan para 
insinyur lokomotif. Kemajuan-kemajuan logistik ini memainkan 
peran yang lebih signifikan dalam penaklukan Eropa atas Afrika 
ketimbang senapan mesin.
Akan tetapi, keadaannya tidak demikian sebelum 1850. 
Persekutuan militer-industri-sains masih bayi; buah-buah teknologi 
dari Revolusi Saintifik belum matang; dan jurang teknologi 
antara kekuatan Eropa, Asiatik, dan Afrika masih kecil. Pada 
1770, James Cook sudah pasti memiliki teknologi yang jauh 
lebih bagus ketimbang Aborigin Australia, tetapi demikian pula 
China dan Ottoman. Mengapa kemudian Austrila dieksplorasi dan 
dikolonisasi oleh Kapten James Cook, dan bukan oleh Kapten 
Wan Zhengse atau kapten Hussein Pasha? Lebih penting lagi, jika 
pada 1770 orang-orang Eropa tak punya keunggulan teknologi 
yang signifikan atas Muslim, India, dan China, bagaimana 
mungkin mereka berhasil dalam abad berikutnya membuka jurang 
pemisah antara mereka dan kekuatan lain di dunia?
Mengapa persekutuan militer-industri-sains mekar di Eropa, 
dan bukan di India? Ketika Inggris melompat maju, mengapa 
Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat dengan cepat menyusul, 
sedangkan China tertinggal di belakang? Ketika gap antara 
bangsa-bangsa industri dan non-industri menjadi sebuah faktor 
ekonomi dan politik yang jelas, mengapa Rusia, Italia, dan Austria 
berhasil mendekatinya, sedangkan Persia, Mesir, dan Imperium 
Ottoman gagal? Lagi pula, teknologi dari gelombang industri 
pertama relatif sederhana. Apakah terlalu berat bagi China atau 
Ottoman untuk merancang mesin uap, membuat senapan mesin, 
dan memasang rel kereta api?
Kereta api komersial pertama di dunia terbuka untuk bisnis 
pada 1830, di Inggris. Pada 1850, negara-negara Barat dibelahbelah oleh hampir 40.000 kilometer jalur kereta api—tetapi 
di seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin hanya ada 4.000 
kilometer jalur. Pada 1880, Barat memasang lagi jumlahnya 
menjadi lebih dari 350.000 kilometer jalur kereta api (dan 
sebagian besar ini buat oleh Inggris di India).5
 Rel kereta api 
pertama di China baru dibuka pada 1876. Panjangnya 25 
kilometer dan dibangun oleh orang-orang Eropa—pemerintah China menghancurkannya setahun kemudian. Pada 1880, 
Imperium China tidak mengoperasikan satu pun rel kereta api. 
Rel kereta api pertama di Persia baru dibangun pada 1888, 
dan rel itu menghubungkan Teheran dengan sebuah situs suci 
Muslim sekitar 10 kilometer di sebelah selatan ibu kota. Rel 
itu dibangun dan dioperasikan oleh sebuah perusahaan Belgia. 
Pada 1950, total jaringan rel kereta api di Persia masih teramat 
kecil, 2.500 kilometer, di sebuah negara dengan ukuran tujuh 
kali luas Inggris.6
China dan Persia tidak kekurangan penemuan teknologi 
semacam mesin uap (yang bisa dengan bebas ditiru atau dibeli). 
Mereka tak punya nilai-nilai, mitos-mitos, perangkat yudisial, 
dan struktur sosiopolitik yang butuh waktu berabad-abad untuk 
terbentuk dan matang di Barat dan yang tidak bisa ditiru dan 
diinternalisasi secara cepat. Prancis dan Amerika Serikat dengan 
cepat mengikuti jejak Inggris karena Prancis dan Amerika sudah 
memiliki mitos-mitos paling penting yang sama dengan mitosmitos serta struktur-struktur sosial Inggris. China dan Persia 
tidak bisa mengejar dengan cepat karena mereka memandang 
dan mengorganisasi masyarakat mereka secara berbeda.
Penjelasan ini membuka pemahaman baru tentang periode 
dari 1500 sampai 1850. Pada era ini Eropa tidak memiliki 
keunggulan yang jelas di bidang teknologi, politik, militer, 
atau ekonomi atas kekuatan-kekuatan Asia, tetapi kontinen 
itu membangun sebuah potensi unik, yang maknanya tiba-tiba 
menjadi jelas sekitar 1850. Kesetaraan yang jelas antara dunia 
Eropa, China, dan Muslim pada 1750 sesunggunya hanyalah 
khayalan belaka. Bayangkan dua tukang bangunan, masingmasing sibuk membangun menara yang sangat tinggi. Satu 
tukang bangunan menggunakan kayu dan batu bata tanah liat, 
sedangkan yang lain menggunakan baja dan beton. Mula-mula 
tampak bahwa tidak banyak perbedaan antara kedua metode 
itu karena kedua menara tumbuh dengan kecepatan sama dan 
mencapai ketinggian yang sama. Namun, begitu ambang batasnya 
terlampaui, kayu dan batu bata tanah liat tidak bisa menahan 
beban dan runtuh, sedangkan menara baja dan beton tumbuh 
lantai demi lantai, sejauh mata bisa melihat.
Potensi apa yang dikembangkan Eropa pada periode modern 
awal sehingga memungkinkannya mendominasi dunia modern 
akhir? Ada dua jawaban yang saling melengkapi untuk pertanyaan 
ini: sains modern dan kapitalisme. Bangsa Eropa biasa berpikir 
dan berperilaku dalam cara saintifik dan kapitalis, bahkan sebelum 
mereka menikmati keunggulan-keunggulan teknologi signifikan 
yang mana pun. Ketika bonanza teknologi dimulai, bangsa Eropa 
bisa memanfaatkannya jauh lebih bagus ketimbang bangsa lain 
mana pun. Jadi, sulit untuk disebut sebagai kebetulan bahwa 
sains dan kapitalisme membentuk warisan paling penting yang 
diwariskan imperialisme Eropa ke dunia pos-Eropa abad ke-21. 
Eropa dan bangsa Eropa tidak lagi menguasai dunia, tetapi sains 
dan modal tumbuh semakin kuat. Kemenangan-kemenangan 
kapitalisme diulas dalam bab sesudah ini. Bab ini dikhususkan 
untuk kisah cinta antara imperialisme Eropa dan sains modern. 
Mentalitas Penakluk
Sains modern tumbuh subur berkat imperium-imperium Eropa. 
Disiplin ini jelas berutang sangat besar pada tradisi-tradisi saintifik 
kuno, seperti Yunani, China, India, dan Islam kuno, tetapi 
karakter uniknya mulai terbentuk baru pada awal periode modern, 
bergandeng tangan dengan ekspansi Spanyol, Portugal, Inggris, 
Prancis, Rusia, dan Belanda. Dalam periode modern awal, bangsa 
China, India, Muslim, Pribumi Amerika, dan Polynesia terus 
memberi kontribusi penting bagi Revolusi Saintifik. Pandanganpandangan mendalam para ekonom Muslim dipelajari oleh Adam 
Smith dan Karl Marx, perawatan-perawatan yang dipelopori 
oleh para dokter Pribumi Amerika menemukan jalan memasuki 
naskah-naskah medis Inggris dan data yang diserap dari para 
informan Polynesia merevolusi antropologi Barat. Namun, sampai 
dengan pertengahan abad ke-20, orang-orang yang meramu 
begitu banyak penemuan saintifik, untuk menciptakan disiplindisiplin saintifik dalam proses itu, adalah kaum elite berkuasa 
dan intelektual dari imperium-imperium global Eropa. Timur 
jauh dan dunia Islam menghasilkan pikiran-pikiran sepintar dan 
segesit orang Eropa. Namun, antara tahun 1500 sampai 1950 
mereka tidak menghasilkan apa pun yang bahkan mendekati 
penemuan fisika Newton atau biologi Darwinian.
Ini tidak berarti bahwa bangsa Eropa memiliki gen unik untuk 
sains, atau bahwa mereka akan selamanya mendominasi studi 
fisika dan biologi. Sebagaimana Islam memulai sebagai sebuah 
monopoli bangsa Arab, tetapi kemudian diambil alih oleh orang 
Turki dan Persia, demikian pula sains bermula sebagai keahlian 
Eropa, tetapi kini menjadi suatu ikhtiar multi-etnis.
Apa yang menyatukan ikatan historis antara sains modern 
dan imperialisme Eropa? Teknologi adalah sebuah faktor penting 
pada abad ke-19 dan k-20, tetapi pada era modern awal, ia 
memiliki makna yang terbatas. Faktor kuncinya adalah bahwa 
para ahli botani pencari tumbuhan dan perwira laut pencari 
koloni memiliki jalan pikiran yang serupa. Baik ilmuwan maupun 
penakluk memulai dengan pengakuan ketidaktahuan—mereka 
sama-sama mengatakan “Saya tidak tahu apa yang ada di luar 
sana”. Mereka sama-sama merasa tergugah untuk pergi keluar 
dan menghasilkan penemuan-penemuan baru. Dan, mereka 
sama-sama berharap pengetahuan baru yang diperoleh akan 
menjadikan mereka penguasa dunia.
Imperialisme Eropa sama sekali tidak seperti semua proyek 
imperium lain dalam sejarah. Para pembangun imperium 
sebelumnya cenderung berasumsi bahwa mereka sudah memahami 
dunia. Penaklukan semata-mata memanfaatkan dan menyebarkan 
pandangan mereka tentang dunia. Bangsa Arab, sebagai contoh, 
tidak menaklukkan Mesir, Spanyol, atau India dalam rangka 
menemukan sesuatu yang mereka tidak tahu. Bangsa Romawi, 
Mongolia, dan Aztec dengan rakus menaklukkan tanah-tanah baru 
untuk mencari kekuasaan dan kekayaan—bukan pengetahuan. 
Sebaliknya, para imperialis Eropa bertolak menuju daratandaratan jauh dengan harapan mendapatkan pengetahuan baru 
yang ada di teritori-teritori baru.
James Cook bukan penjelajah pertama yang berpikir 
demikian. Para pelancong Portugis dan Spanyol abad ke-15 
dan ke-16 sudah melakukan. Pangeran Henry Sang Navigator 
dan Vasco da Gama mengeksplorasi pesisir-pesisir Afrika dan, 
sambil melakukan itu, merebut kontrol atas pulau-pulau dan 
pelabuhan-pelabuhan. Christopher Columbus “menemukan” 
Amerika dan langsung mengklaim kedaulatan atas tanah-tanah 
baru itu untuk raja-raja Spanyol. Ferdinand Magellan menemukan 
jalan ke seluruh dunia, dan secara simultan meletakkan fondasi 
bagi penaklukan Filipina.
Seiring berlalunya waktu, penaklukan pengetahuan dan 
penaklukan teritori menjadi semakin erat terjalin. Pada abad ke-18 
dan ke-19, hampir setiap ekspedisi militer penting yang bertolak 
dari Eropa ke tanah-tanah jauh membawa serta, dalam kapal-kapal 
mereka, para ilmuwan yang tidak ditujukan untuk berperang, 
tetapi untuk menghasilkan penemuan-penemuan saintifik. Ketika 
Napoleon menginvasi Mesir pada 1798, dia membawa 165 ahli 
bersamanya. Di antaranya, mereka mendirikan disiplin yang 
baru sama sekali, Egyptologi, dan memberi kontribusi-kontribusi 
penting bagi studi agama, linguistik, dan botani.
Pada 1831, Angkatan Laut Kerajaan mengirim kapal 
HMS Beagle untuk memetakan pesisir-pesisir Amerika Latin, 
Kepulauan Falkland, dan Kepulauan Galapagos. Angkatan Laut 
itu membutuhkan pengetahuan dalam rangka membangun 
persiapan yang lebih baik guna menghadapi peperangan. 
Kapten kapal, yang seorang ilmuwan amatir, memutuskan 
untuk menambahkan seorang geolog dalam ekspedisi untuk 
mempelajari formasi-formasi geologis yang mungkin mereka 
temukan dalam perjalanan. Setelah beberapa geolog menolak 
undangannya, kapten menawarkan pekerjaan itu kepada seorang 
lulusan Cambridge berusia 22 tahun, Charles Darwin. Darwin 
sudah belajar untuk menjadi seorang pendeta Anglican, tetapi 
jauh lebih tertarik dengan geologi dan ilmu alam ketimbang 
Injil. Dia langsung meraih kesempatan itu, dan selebihnya adalah 
sejarah. Kapten menghabiskan waktu dalam perjalanan untuk 
menggambar peta-peta militer sementara Darwin mengumpulkan 
data-data empiris dan memformulasi pandangan-pandangan yang 
kelak menjadi teori evolusi.
Pada 20 Juli 1969, Neil Amstron dan Buzz Aldrin mendarat di 
permukaan Bulan. Dalam bulan-bulan menuju ekspedisi mereka, 
para astronot Apollo 11 berlatih di sebuah gurun terpencil 
mirip Bulan di Amerika Serikat bagian barat. Area itu adalah 
wilayah beberapa komunitas pribumi Amerika, dan terbetiklah 
kisah—atau legenda—yang menggambarkan pertemuan antara 
para astronot dan salah satu penduduk lokal.
Suatu hari saat latihan, para astronot berpapasan dengan 
seorang tua Pribumi Amerika. Laki-laki itu bertanya kepada 
mereka, apa yang sedang mereka lakukan di sana. Mereka 
menjawab bahwa mereka adalah bagian dari ekspedisi riset yang 
akan segera bepergian untuk mengeksplorasi Bulan. Mendengar 
jawaban tersebut, laki-laki itu terdiam selama beberapa saat, 
dan kemudian menanyakan apakah para astronot itu bisa 
membantunya.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya mereka.
“Ya, masyarakat suku kami percaya bahwa para arwah suci 
hidup di Bulan. Saya berharp Anda bisa menyampaikan sebuah 
pesan penting kepada mereka dari masyarakat saya,” kata lakilaki itu.
“Apa pesannya?” tanya para astronot.
Pria itu menggumamkan sesuatu dalam bahasa sukunya, 
kemudian meminta para astronot mengulanginya lagi dan lagi 
sampai mereka bisa menghafal dengan benar.
“Apa artinya itu?” tanya para astronot.
“Oh, saya tidak bisa beri tahu kalian. Itu rahasia yang hanya 
boleh diketahui oleh suku kami dan para arwah di Bulan.”
Kembali ke pangkalan mereka, para astronot mencari dan 
terus mencari sampai mereka menemukan seseorang yang 
mengerti bahasa suku itu, dan memintanya untuk menerjemahkan 
pesan rahasia tersebut. Ketika mereka mengulangi apa yang 
telah mereka hafalkan, penerjemah itu mulai tertawa terbahakbahak. Ketika tawanya sudah reda, para astronot itu bertanya 
apa artinya. Orang itu menjelaskan bahwa kalimat yang mereka 
hafalkan begitu hati-hati tersebut berarti, ‘Jangan percaya satu 
kata pun yang dikatakan orang-orang ini kepadamu. Mereka 
datang untuk mencuri tanah-tanahmu’.
Mentalitas “penjelajah dan penakluk” tergambar dengan baik 
oleh perkembangan peta-peta dunia. Banyak kultur menggambar 
peta dunia jauh sebelum abad modern. Jelas, tak ada dari 
kultur-kultur itu yang benar-benar tahu keseluruhan dunia. Tak 
ada kultur Afro-Asia yang tahu tentang Amerika, dan tak ada 
kultur Amerika yang tahu tentang Afro-Asia. Namun, area-area 
tak dikenal ditinggalkan begitu saja, atau dihuni oleh monstermonster dan keajaiban-keajaiban imajiner. Peta-peta ini tidak 
punya ruang kosong. Mereka memberi kesan tentang pengenalan 
seluruh dunia.
Pada abad ke-15 dan ke-16, bangsa Eropa mulai menggambar 
peta-peta yang hilang ruang-ruang kosong itu—satu indikasi 
dari perkembangan pola pikir saintifik, di samping dorongan 
imperium Eropa. Peta-peta kosong adalah terobosan psikologis 
dan ideologis, pengakuan yang jelas bahwa bangsa Eropa tidak 
tahu tentang bagian-bagian besar dunia.
Titik balik penting terjadi pada 1492, ketika Christopher 
Columbus berlayar ke barat dari Spanyol, mencari rute baru ke 
Asia Timur. Columbus masih percaya pada peta-peta dunia lama 
“yang lengkap”. Dengan menggunakan peta-peta itu, Columbus 
mengalkulasi bahwa Jepang seharusnya terletak sekitar 7.000 
kilometer sebelah barat Spanyol. Faktanya, lebih dari 20.000 
kilometer dan sebuah kontinen utuh tak dikenal memisahkan 
Asia Timur dari Spanyol. Pada 12 Oktober 1492, sekitar pukul 
2.00 dini hari, ekspedisi Columbus terhadang oleh kontinen 
tak dikenal itu. Juan Rodriguez Bermejo, yang memandang dari 
tiang kapal Pinta, melihat sebuah pulau yang sekarang kita sebut 
Bahama, dan berteriak “Daratan! Daratan!” 
Columbus percaya dia sudah mencapai sebuah pulau kecil 
dekat pesisir Asia Timur. Dia menyebut orang yang dia temukan 
di sana sebagai orang Hindia karena mengira telah mendarat di 
Hindia—yang sekarang kita sebut Hindia Timur atau Kepulauan 
Indonesia. Columbus terjebak dalam kekeliruan ini sampai akhir 
hayatnya. Ide bahwa dia menemukan banyak kontinen tak dikenal 
tak terbayangkan olehnya dan oleh banyak orang dari generasinya. 
Selama ribuan tahun, tidak hanya para pemikir dan ahli terbesar, 
tetapi juga kitab-kitab suci, yang hanya tahu Eropa, Afrika, dan 
Asia. Bagaimana mungkin mereka bisa salah? Bagaimana mungkin 
Injil luput mengetahui setengah dunia? Itu seolah-olah pada 1969, 
dalam perjalanan ke Bulan, Apollo 11 menabrak sebuah Bulan 
tak dikenal sampai kini yang mengelilingi Matahari, yang gagal 
dilihat oleh seluruh observasi sebelumnya. Dalam penolakannya 
untuk mengakui ketidaktahuannya, Columbus tetaplah seorang 
manusia abad pertengahan. Dia yakin dia tahu seluruh dunia, 
dan bahkan penemuan pentingnya gagal meyakinkan dia untuk 
mengakui hal yang sebaliknya. Orang modern pertama adalah 
Amerigo Vespucci, seorang pelaut Italia yang ikut ambil bagian 
dalam beberapa ekspedisi ke Amerika pada 1499 sampai 1504. 
Antara 1502 sampai 1504, dua teks yang menjelaskan ekspedisiekspedisi ini diterbitkan di Eropa. Keduanya teratribusi ke nama 
Vespucci. Keduanya mengemukakan bahwa tanah-tanah baru yang 
ditemukan oleh Columbus bukanlah kepulauan lepas pantai Asia 
Timur, melainkan sebuah benua utuh yang tak dikenal dalam 
kitab-kitab Suci, para ahli geografi klasik, dan orang-orang biasa 
Eropa. Pada 1507, yakin dengan argumentasi-argumentasi ini, 
seorang pembuat peta terpandang bernama Martin Waldseemüller 
menerbitkan sebuah peta dunia yang diperbarui, yang pertama 
untuk menunjukkan tempat armada-armada Eropa yang berlayar 
ke barat mendarat sebagai sebuah kontinen terpisah. Setelah 
menggambar itu, Waldseemüller harus memberinya nama. Keliru 
meyakini bahwa Amerigo Vespucci sendiri yang menemukannya, 
Waldseemüller menamai kontinen itu untuk menghormatinya—
Amerika. Peta Waldseemüller menjadi sangat populer dan disalin 
oleh banyak pembuat peta, menyebarkan nama yang dia berikan 
pada tanah baru tersebut. Ada keadilan yang puitis dalam fakta 
bahwa seperempat dunia, dan dua dari tujuh kontinennya, 
dinamai dengan nama seorang Italia yang kurang terkenal karena 
klaim tunggalnya yang terkenal adalah bahwa dia memiliki 
keberanian untuk berkata, “Kami tidak tahu”.
Penemuan Amerika adalah sebuah peristiwa fondasi bagi 
Revolusi Saintifik. Ia tidak hanya mengajarkan bangsa Eropa 
untuk menghargai observasi masa kini di atas tradisi-tradisi 
masa lampau, tetapi hasrat untuk menaklukkan Amerika juga 
mewajibkan bangsa Eropa untuk mencari pengetahuan baru 
dengan kecepatan yang menggila. Jika mereka benar-benar ingin 
mengontrol teritori-teritori baru yang mahaluas, mereka harus 
mengumpulkan data baru dalam jumlah sangat besar tentang 
geografi, iklim, flora, fauna, bahasa, kultur, dan sejarah kontinen 
baru. Kitab-kitab suci Kristen, buku-buku geografi tua, dan 
tradisi-tradisi lisan kuno tidak banyak membantu.
Oleh karena itu, tidak hanya para ahli geografi Eropa, tetapi 
juga para sarjana Eropa di hampir semua bidang pengetahuan 
mulai menggambar peta dengan ruang-ruang yang tersisa untuk 
diisi. Mereka mulai mengakui bahwa teori-teori mereka tidak 
sempurna dan bahwa ada hal-hal penting yang mereka tidak tahu. 
Bangsa Eropa ditarik ke titik-titik kosong peta seakan titik-titik 
itu adalah magnet-magnet, dan langsung mulai mengisinya. Dalam 
abad ke-15 dan ke-16, ekspedisi-ekspedisi Eropa menjelajah 
ke Afrika, mengeksplorasi Amerika, menyeberangi Samudra 
Pasifik dan India, serta menciptakan jaringan basis-basis dan 
koloni-koloni di seluruh dunia. Mereka mendirikan imperiumimperium global pertama yang sejati dan menyulam jaringan 
perdagangan global pertama. Ekspedisi-ekspedisi imperium Eropa 
menstransformasi sejarah dunia: dari hanya serangkaian sejarah 
orang-orang dan kultur-kultur terpisah, menjadi sejarah sebuah 
masyarakat tunggal manusia yang terpadu.
Ekspedisi-ekspedisi jelajah-dan-taklukkan ala Eropa ini begitu 
akrab kita kenal sehingga kita cenderung berlebihan memandang 
betapa luar biasanya mereka. Tak ada yang seperti mereka 
sebelumnya. Perjalanan-perjalanan jarak jauh untuk penaklukan 
bukanlah langkah alamiah. Sepanjang sejarah sebagian besar 
masyarakat manusia terlalu sibuk dengan konflik-konflik lokal 
dan pertengkaran antar tetangga sehingga mereka tak pernah 
berpikir tentang menjelajahi dan menaklukkan daratan-daratan 
jauh. Sebagian besar imperium meluaskan kontrol mereka hanya 
dengan tetangga terdekatnya—mereka menjangkau tanah-tanah 
jauh hanya karena tetangga mereka terus berkembang. Jadi, bangsa 
Romawi menaklukkan Etruria dalam rangka mempertahankan 
Roma (350–300 SM). Mereka menaklukkan Lembah Po dalam 
rangka mempertahankan Etruria (200 SM). Mereka selanjutnya 
menaklukkan Provence untuk mempertahankan Lembah Po 
(120 SM), Gaul untuk Provence (50 SM), dan Inggris untuk 
mempertahankan Gaul (50 M). Butuh waktu 400 tahun untuk 
membawa Romawi sampai ke London. Pada 350 SM, tak ada 
orang Romawi yang akan berpikir tentang berlayar langsung ke 
Inggris untuk menaklukkannya.
Sesekali seorang penguasa atau petualang yang ambisius 
memang akan sampai pada keputusan untuk kampanye 
penaklukan jarak jauh, tetapi kampanye-kampanye seperti itu 
biasanya mengikuti jalur-jalur imperium atau komersial yang 
sudah rata. Kampanye-kampanye Alexander Yang Agung, 
misalnya, tidak menghasilkan berdirinya sebuah imperium baru, 
tetapi merupakan perebutan kekuasaan atas imperium yang sudah 
ada—yakni Persia. Preseden yang paling dekat pada imperiumimperium Eropa modern adalah imperium-imperium laut kuno 
Athena dan Carthage, dan imperium laut kuno Majapahit, 
yang menyatukan banyak bagian Indonesia pada abad ke-14. 
Meskipun demikian, imperium-imperium ini jarang bertualang 
ke lautan tak dikenal—eksploitasi-eksploitasi laut mereka adalah 
tindakan-tindakan lokal kalau dibandingkan dengan petualanganpetualangan global Eropa modern.
Banyak ahli mengemukakan bahwa perjalanan-perjalanan 
Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming China berjaya dan 
meredupkan perjalanan-perjalanan penemuan Eropa. Antara 
tahun 1405 sampai 1433, Cheng Ho memimpin 7 armada besar 
dari China untuk mencapai jangkauan jauh Samudra Hindia. 
Armada terbesarnya berisi 300 kapal dan membawa hampir 
30.000 orang.7
 Mereka mengunjungi Indonesia, Sri Lanka, India, 
Teluk Persia, Laut Merah, dan Afrika Timur. Kapal-kapal China 
berlabuh di Jeddah, pelabuhan utama Hejaz, dan di Malindi, 
di pesisir Kenya. Armada Columbus pada tahun 1492—yang 
terdiri dari 3 kapal kecil dengan 120 pelaut—ibarat trio nyamuk 
dibandingkan dengan barisan naga Cheng Ho.8
Akan tetapi, ada perbedaan krusial. Cheng Ho menjelajahi 
samudra-samudra itu, dan membantu para penguasa pro-China, 
tetapi dia tidak berusaha menaklukkan atau mengolonisasi negaranegara yang dia kunjungi. Lebih dari itu, ekspedisi-ekspedisi 
Cheng Ho tidak mengakar kuat dalam politik dan kultur China. 
Ketika faksi penguasa di Beijing berganti pada tahun 1430-an, 
para penguasa baru menghentikan operasi tersebut secara tibatiba. Armada besarnya dilenyapkan, pengetahuan teknis dan 
geografisnya yang krusial hilang, dan tidak ada penjelajah dengan 
postur dan sarana sebesar itu yang berlayar lagi dari pelabuhan 
China. Para penguasa China pada abad-abad berikutnya, seperti 
sebagian besar penguasa dalam abad-abad sebelumnya, membatasi 
kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi mereka pada lingkup 
dekat Kerajaan Menengah tersebut.
Ekspedisi-ekspedisi Cheng Ho membuktikan bahwa Eropa 
tidak memiliki suatu keunggulan teknologis yang mencolok. Apa 
yang membuat bangsa Eropa istimewa adalah ambisi mereka 
yang tak tertandingi dan tak terpuaskan untuk menjelajah dan 
menaklukkan. Meskipun mereka mungkin memiliki kemampuan 
itu, bangsa Romawi tidak pernah berusaha menaklukkan India 
atau Skandinavia, Persia tidak pernah berusaha menaklukkan 
Madagaskar atau Spanyol, dan China tidak pernah berusaha 
menaklukkan Indonesia atau Afrika. Tidak ada sesuatu yang 
istimewa tentang itu. Keanehannya adalah bahwa bangsa Eropa 
modern awal terjangkiti demam yang mendorong mereka untuk 
berlayar selangkah demi selangkah ke pesisir-pesisir, dan langsung 
mendeklarasikan “Saya mengklaim semua teritori ini untuk raja 
saya!”
Sekitar tahun 1517, para kolonis Spanyol di Kepulauan Karibia 
mulai mendengar rumor aneh tentang imperium kuat di suatu 
tempat di pusat daratan Meksiko. Hanya dalam waktu 4 tahun 
kemudian, ibu kota Aztec itu luluh lantak, Imperium Aztec 
menjadi masa lalu, dan Hernán Cortés menguasai sebuah 
Imperium Spanyol baru yang sangat besar di Meksiko.
Orang-orang Spanyol tidak berhenti takjub pada diri sendiri, 
bahkan tercengang oleh keberhasilan mereka sendiri. Mereka 
segera melancarkan operasi-operasi jelajah-dan-taklukkan ke 
segala arah. Para penguasa sebelumnya atas Amerika Tengah—
Aztec, Toltec, Maya—jarang yang tahu bahwa Amerika Latin 
itu ada, dan tidak pernah mencoba menjajahnya, dalam waktu 
2.000 tahun. Namun, dalam waktu hanya 10 tahun lebih sejak 
Spanyol menaklukkan Meksiko, Francisco Pizzaro menemukan 
Imperium Inca dai Amerika Latin, menjajahnya pada 1532.
Kalau saja bangsa Aztec dan Inca punya sedikit minat pada 
dunia di sekitar mereka—dan kalau saja mereka tahu apa yang 
diperbuat orang-orang Spanyol pada tetangga-tetangga mereka—
mungkin mereka melawan penaklukan Spanyol dengan lebih 
gigih dan sukses. Dalam tahun-tahun antara perjalanan pertama 
Columbus ke Amerika (1492) dan pendaratan Cortés di Meksiko 
(1519), bangsa Spanyol menaklukkan sebagian besar Kepulauan 
Karibia, memasang satu rangai koloni baru. Bagi bangsa-bangsa 
pribumi yang dijajah, koloni-koloni ini adalah neraka dunia. 
Mereka dikuasai dengan tangan besi oleh kaum kolonialis 
rakus lagi jahat yang memperbudak mereka dan memerintahkan 
mereka bekerja di tambang-tambang dan perkebunan-perkebunan, 
membunuh siapa pun yang sedikit saja berusaha melawan. 
Sebagian besar penduduk pribumi mati, baik karena kondisikondisi kerja keras atau karena keganasan penyakit-penyakit yang 
menumpang ke Amerika melalui kapal-kapal layar para penakluk. 
Dalam kurun waktu 20 tahun, hampir seluruh populasi pribumi 
Karibia musnah. Para kolonialis Spanyol mulai mengimpor budakbudak Afrika untuk mengisi kevakuman itu.
Genosida ini terjadi tepat di depan pintu Imperium Aztec, 
tetapi ketika Cortés mendarat di pesisir timur imperium itu, 
bangsa Aztec tak tahu apa-apa. Kedatangan bangsa Spanyol setara 
dengan invasi alien dari luar angkasa. Bangsa Aztec diyakinkan 
bahwa mereka tahu seluruh dunia dan bahwa mereka sudah 
menguasai sebagian besarnya. Bagi mereka, tak terbayangkan 
bahwa di luar domain mereka bisa ada sesuatu seperti orangorang Spanyol ini. Ketika Cortés dan orang-orangnya mendarat 
di pantai-pantai panas yang kini dikenal dengan nama Vera Cruz, 
itulah saat pertama bangsa Aztec bertemu dengan orang-orang 
yang sama sekali asing.
Bangsa Aztec tidak tahu bagaimana cara bereaksi. Mereka 
kesulitan untuk memastikan apa sesungguhnya makhluk-makhluk 
asing ini. Tak seperti semua manusia yang dikenal, alien berkulit 
putih. Mereka juga punya banyak rambut di wajah. Sebagian 
rambutnya sewarna dengan Matahari. Bau mereka busuk luar 
biasa. (Kebersihan pribumi jauh lebih bagus ketimbang orangorang Spanyol. Ketika orang-orang Spanyol kali pertama tiba 
di Meksiko, para pribumi dengan membawa dupa yang dibakar
ditugasi untuk menemani mereka ke mana pun mereka ingin. 
Orang-orang Spanyol mengira itu pertanda kehormatan dari 
Tuhan. Kita tahu dari sumber-sumber pribumi bahwa bau para 
pendatang itu benar-benar tak tertahankan.)
Kultur material para alien itu bahkan semakin menjadi-jadi. 
Mereka datang dengan kapal-kapal raksasa, yang tak pernah 
dibayangkan oleh bangsa Aztec, apalagi dilihat. Mereka naik 
punggung binatang-binatang besar yang menakutkan, yang 
larinya secepat angin. Mereka bisa menghasilkan kilat dan petir 
dari batang-batang logam yang bersinar. Mereka punya pedangpedang panjang yang berkilau dan senjata-senjata yang tak bisa 
ditembus, berhadapan dengan pedang-pedang kayu pribumi dan 
kapak-kapak batu tak ada gunanya.
Sebagian orang Aztec mengira mereka pasti para dewa. Yang 
lain menduga itu adalah setan-setan, atau hantu-hantu orang mati, 
atau dukun-dukun yang kuat. Bukannya mengonsentrasikan semua 
kekuatan yang tersedia dan mengusir orang-orang Spanyol, orangorang Aztec malah berunding, berleha-leha, dan bernegosiasi. 
Mereka tak melihat alasan untuk bergegas. Lagi pula, Cortés 
punya tak lebih dari 550 orang Spanyol bersamanya. Apa yang 
bisa dilakukan 550 orang menghadapi imperium jutaan orang? 
Cortés pun sama tak mengertinya tentang bangsa Aztec, tetapi 
dia dan orang-orangnya memiliki keunggulan signifikan atas 
musuh-musuh mereka. Kalau bangsa Aztec tak punya pengalaman 
untuk bersiap menghadap kedatangan para alien bertampang 
aneh dan berbau busuk itu, orang-orang Spanyol tahu bahwa 
Bumi ini penuh dunia manusia yang tak dikenal, dan tak seorang 
pun punya keahlian hebat dalam menginvasi tanah-tanah alien 
dan mengatasi situasi yang benar-benar tidak mereka pahami. 
Bagi penakluk modern dari Eropa, sebagaimana ilmuwan Eropa 
modern, mencebur ke situasi yang tak dikenal itu mengasyikkan.
Maka, ketika Cortés melego jangkar dekat pantai bermandi 
Matahari itu pada Juli 1519, dia tidak segan untuk bertindak. 
Seperti alien dalam fiksi sains yang muncul dari pesawat ruang 
angkasanya, dia mendeklarasikan kepada penduduk setempat 
yang terkesima: “Kami datang dalam damai. Bawalah kami ke 
pemimpin kalian”. Cortés menjelaskan bahwa dia membawa 
tugas perdamaian dari raja agung Spanyol, dan meminta 
wawancara diplomatik dengan penguasa Aztec, Montezuma 
II. (Ini kebohongan tak tahu malu. Cortés memimpin sebuah 
ekspedisi independen para petualang rakus. Raja Spanyol tak 
pernah mendengar tentang Cortés maupun bangsa Aztec.) Cortés 
diberi bimbingan, makanan, dan bantuan militer oleh musuhmusuh setempat dari kalangan Aztec. Dia kemudian bergerak 
menuju ibu kota Aztec, kota metropolitan besar Tenochtitlan.
Orang-orang Aztec mengizinkan para alien bergerak ke 
seantero ibu kota, kemudian dengan penuh hormat membimbing 
pemimpin para alien bertemu dengan Kaisar Montezuma. 
Di tengah wawancara, Cortés memberi sinyal, dan orangorang Spanyol bersenjata logam itu membantai para pengawal 
Montezuma (yang hanya bersenjata pedang-pedang kayu, 
dan pisau-pisau batu). Tamu terhormat itu menyandera tuan 
rumahnya.
Cortés kini dalam situasi yang sangat pelik. Dia telah 
menangkap kaisar, tetapi dikelilingi puluhan ribu petarung musuh 
yang marah, jutaan penduduk sipil yang liar, dan segenap kontinen 
yang praktis tidak dia mengerti sama sekali. Di pihaknya hanya 
ada beberapa ratus orang Spanyol, dan bala bantuan Spanyol 
terdekat ada di Kuba, lebih dari 1.500 kilometer jauhnya.
Cortés tetap menyandera Montezuma di istana, untuk 
mengesankan bahwa raja tetap bebas dan bertugas. dan seakanakan “duta besar Spanyol” tak lebih dari seorang tamu biasa. 
Imperium Aztec sebuah negara yang benar-benar terpusat, dan 
situasi yang tak pernah dialami itu melumpuhkannya. Montezuma 
terus berperilaku seakan-akan dia menguasai imperium, dan 
elite Aztec terus mematuhinya, yang berarti mematuhi Cortés. 
Situasi itu berlangsung selama beberapa bulan, dan dalam masa 
itu Cortés menginterogasi Montezuma beserta para pengikutnya, 
melatih para penerjemah untuk beberapa bahasa lokal, dan 
mengirim ekspedisi-ekspedisi kecil Spanyol ke semua arah agar 
bisa mengenal Imperium Aztec dan berbagai suku, masyarakat, 
dan kota-kota yang dikuasainya.
Elite Aztec akhirnya memberontak melawan Cortés dan 
Montezuma, memilih seorang kaisar baru, dan mengusir orangorang Spanyol dari Tenochtitlan. Namun, saat itu sejumlah 
retakan sudah tampak pada bangunan imperium Aztec. Cortés 
menggunakan pengetahuan yang sudah didapatnya untuk 
memperbesar keretakan-keretakan dan memecah imperium dari 
dalam. Dia yakin banyak rakyat imperium yang bersedia ikut 
dengannya melawan elite penguasa Aztec. Rakyat jajahan itu 
benar-benar salah perhitungan. Mereka membenci orang Aztec, 
tetapi tak tahu apa pun tentang Spanyol atau genosida Karibia. 
Mereka berasumsi bahwa dengan bantuan Spanyol, mereka 
akan mengguncang penindasan Aztec. Ide bahwa Spanyol akan 
mengambil alih tidak pernah terpikir oleh mereka. Mereka yakin 
jika Cortés dan beberapa ratus hulubalangnya membuat ulah, 
mereka bisa dengan mudah mengatasinya. Para pemberontak itu 
memberi Cortés angkatan perang puluhan ribu tentara lokal, dan dengan bantuan tersebut Cortés mengepung Tenochtitlan 
dan menaklukkan kota itu.
Sampai tahap ini semakin banyak tentara dan pemukim 
Spanyol mulai tiba di Meksiko, sebagian dari Kuba, yang lain 
langsung berangkat dari Spanyol. Ketika masyarakat lokal 
menyadari apa yang sedang terjadi, keadaannya sudah terlalu 
terlambat. Dalam satu abad setelah pendaratan di Vera Cruz, 
populasi pribumi Amerika menyusut sampai sekitar 90 persen, 
terutama karena penyakit-penyakit tak dikenal yang mencapai 
Amerika bersama para penginvasi. Orang-orang yang selamat 
terjebak di bawah kaki rezim rakus dan rasis yang jauh lebih 
buruk dari rezim Aztec.
Sepuluh tahun setelah Cortés mendarat di Meksiko, Pizarro 
tiba di pantai Imperium Inca. Dia membawa jauh lebih sedikit 
tentara ketimbang Cortés—ekspedisinya hanya berkekuatan 168 
orang! Namun, Pizarro lebih unggul karena semua pengetahuan 
dan pengalaman yang didapat dari invasi-invasi sebelumnya. 
Sebaliknya, Inca tidak tahu apa-apa tentang nasib Aztec. 
Pizarro mencontek Cortés. Dia mendeklarasikan diri sebagai 
pembawa misi perdamaian dari raja Spanyol, meminta penguasa 
Inca, Atahualpa, untuk wawancara diplomasi, dan kemudian 
menculiknya. Pizarro berhasil menaklukkan imperium yang 
lumpuh itu dengan bantuan sekutu-sekutu lokal. Kalau saja 
rakyat jajahan di Imperium Inca tahu nasib para penduduk 
Meksiko, mereka tentu tidak akan menyerahkan nasib mereka 
kepada para penginvasi. Namun, mereka tidak tahu. Masyarakat 
pribumi Amerika tidak hanya orang yang harus membayar 
harga yang sangat mahal untuk kepicikan mereka. Imperiumimperium besar Asia—Ottoman, Safavid, Mughal, dan China—
dengan cepat mendengar bahwa bangsa Eropa telah menemukan 
sesuatu yang besar. Namun, mereka tak begitu berminat pada 
penemuan-penemuan itu. Mereka terus meyakini bahwa dunia 
berputar di sekitar Asia, dan tak berusaha bersaing dengan Eropa 
untuk menguasai Amerika atau tanah-tanah baru di Samudra 
Atlantik dan Pasifik. Bahkan, kerajaan-kerajaan kecil Eropa, 
seperti Skotlandia dan Denmark, mengirim beberapa ekspedisi 
menjelajah-dan-menaklukkan ke Amerika, tetapi tak ada satu 
pun ekspedisi penjelajahan-penaklukan dikirim ke Amerika dari 
dunia Islam, India, atau China. Kekuatan pertama non-Eropa 
yang berusaha mengirim ekspedisi militer ke Amerika adalah 
Jepang. Itu terjadi pada Juni 1942, ketika satu ekspedisi Jepang 
menaklukkan Kiska dan Attu, dua pulau kecil lepas pantai Alaska, 
yang dalam proses itu menawan 10 tentara Amerika dan seekor 
anjing. Jepang tidak pernah mendekati daratan utama.
Sulit untuk mengatakan bahwa Ottoman atau China terlalu 
jauh, atau mereka tidak memiliki perangkat teknologi, ekonomi, 
atau militer. Sumberdaya yang dikirim Cheng Ho dari China 
ke Afrika Timur pada tahun 1420-an semestinya sudah cukup 
untuk mencapai Amerika. Orang China memang tidak tertarik. 
Itu saja. Peta dunia pertama dari China yang menunjukkan 
Amerika baru dikeluarkan pada 1602—dan saat itu dikeluarkan 
oleh misi Eropa! Selama 300 tahun, bangsa Eropa menikmati 
penguasaan tak tertandingi di Amerika dan Oseania, di Atlantik, 
dan di Pasifik. Satu-satunya pergolakan signifikan di wilayahwilayah itu adalah antara kekuatan-kekuatan dari Eropa. 
Kekayaan dan sumber daya yang diakumulasi oleh bangsa Eropa 
akhirnya memungkinkan mereka untuk menginvasi Asia juga, 
mengalahkan imperium-imperiumnya, dan memecah-belahnya. 
Ketika Ottoman, Persia, India, dan China terbangun dan mulai 
memberi perhatian, sudah terlambat.
Baru pada abad ke-20, kultur-kultur non-Eropa mengadopsi 
visi yang benar-benar global. Inilah salah satu faktor yang 
menyebabkan runtuhnya hegemoni Eropa. Maka, dalam Perang 
Kemerdekaan Aljazair (1945–1962), para gerilyawan Aljazair 
mengalahkan angkatan perang Prancis dengan keunggulan jumlah, 
teknologi, dan ekonomi yang sangat besar. Rakyat Aljazair 
menang karena mereka didukung oleh satu jaringan global 
anti kolonial, dan karena mereka bekerja keras memanfaatkan 
media dunia untuk perjuangan mereka—di samping opini 
publik di Prancis sendiri. Kekalahan yang ditimpakan si mungil 
Vietnam Utara pada raksasa Amerika didasarkan pada strategi 
yang sama. Kekuatan-kekuatan gerilya ini menunjukkan bahwa 
bahkan negara adidaya bisa dikalahkan jika perjuangan lokal 
menjadi perjuangan global. Menarik untuk direnungkan apa 
jadinya kalau Montezuma mampu memanipulasi opini publik di 
Spanyol dan mendapat bantuan dari salah satu pesaing-pesaing 
Spanyol—Portugal, Prancis, atau Imperium Ottoman.
Laba-laba Langka dan Aksara-Aksara 
yang Terlupakan
Sains modern dan imperium-imperium modern dimotivasi 
oleh perasaan yang tak kunjung padam bahwa mungkin ada 
sesuatu yang penting di balik horizon—sesuatu yang sebaiknya 
dieksplorasi dan dikuasai. Namun, koneksi antara sains dan 
imperium berlangsung jauh lebih dalam. Tidak hanya motivasi, 
tetapi juga praktik-praktik para pembangun imperium berjalinjalin dengan para ilmuwan itu. Bagi bangsa Eropa modern, 
membangun sebuah imperium adalah proyek saintifik, sementara 
membangun sebuah disiplin ilmu pengetahuan adalah sebuah 
proyek imperium.
Ketika Muslim menaklukkan India, mereka tidak membawa 
serta para arkeolog untuk mempelajari secara sistematis sejarah 
India, para antropolog untuk mempelajari budaya-budaya 
India, para geolog untuk mempelajari tanah-tanah India, atau 
para zoologis untuk mempelajari fauna India. Ketika Inggris 
menaklukkan India, mereka membawa semua ini. Pada 10 April 
1802 Survei India Raya dilakukan. Survei itu berlangsung 60 
tahun dengan bantuan puluhan ribu buruh, sarjana, dan pemandu 
pribumi, Inggris dengan hati-hati memetakan seluruh India, 
menandai perbatasan-perbatasan, mengukur jarak, dan bahkan 
menghitung untuk kali pertama ketinggian pasti Puncak Everest 
dan puncak-puncak lain Himalaya. Inggris mengeksplorasi sumber 
daya militer provinsi-provinsi India dan lokasi tambang-tambang 
emasnya, tetapi mereka juga repot-repot mengumpulkan informasi 
tentang laba-laba India, membuat katalog kupu-kupu warnawarni, melacak asal-usul bahasa-bahasa kuno yang punah, dan 
menggali reruntuhan-reruntuhan yang terlupakan.
Mohenjo-daro adalah salah satu kota utama peradaban 
Lembah Indus, yang berkembang pada milenium ke-3 SM dan hancur sekitar tahun 1900 SM. Tak satu pun penguasa India 
pra-Inggris—termasuk Maurya, Gupta, maupun sultan-sultan 
Delhi, tidak juga Mughal yang agung—menengok reruntuhanreruntuhan itu. Namun, survei arkeologis Inggris melihat situs 
itu pada 1922. Satu tim Inggris waktu itu mengekskavasinya, 
dan menemukan peradaban besar pertama India, yang tak pernah 
disadari oleh bangsa India sendiri.
Salah satu contoh menarik tentang keingintahuan saintifik 
Inggris adalah penelahan aksara cuneiform (bentuk runcing). 
Ini adalah aksara utama yang digunakan di Timur Tengah 
selama hampir 3.000 tahun, tetapi orang terakhir yang bisa 
membacanya meninggal sekitar awal milenium ke-1 M. Sejak 
itu, para penduduk wilayah tersebut sering menemukan prasasti 
aksara runcing pada monumen-monumen, tugu-tugu, reruntuhanreruntuhan kuno, dan pot-pot pecah. Namun, mereka tak tahu 
cara membaca goresan-goresn aneh dan kaku itu, dan sepanjang 
yang kita ketahui, mereka tidak pernah berusaha. Aksara runcing 
itu mendapat perhatian bangsa Eropa pada 1618, ketika duta 
besar Spanyol di Persia melihatnya di reruntuhan Persepolis 
kuno, tempat dia melihat prasasti-prasasti yang tak seorang 
pun bisa membantu dia untuk membacanya. Berita tentang 
aksara tak dikenal itu menyebar di kalangan para sarjana Eropa 
dan mengusik rasa ingin tahu. Pada 1657, para sarjana Eropa 
menerbitkan transkrip pertama naskah cuneiform dari Persepolis. 
Setelah itu lebih banyak lagi transkrip menyusul, dan selama 
hampir dua abad para sarjana di Barat berusaha memahaminya. 
Tak ada yang berhasil.
Pada 1830-an, seorang perwira Inggris bernama Henry 
Rawlinson dikirim ke Persia untuk membantu Shah melatih 
angkatan perangnya dengan gaya Eropa. Dalam waktu luangnya 
Rawlinson bepergian ke sekitar Persia dan suatu hari dia dipandu 
oleh pemandu setempat ke sebuah tebing di Pegunungan Zagro 
dan diperlihatkan Prasasti Behistun yang sangat besar. Dengan 
tinggi sekitar 15 meter dan lebarnya 25 meter, prasasti itu 
menjulang di permukaan tebing yang dibuat atas perintah Raja 
Darius I sekitar tahun 500 SM. Prasasti itu ditulis dengan aksara 
cuneiform dalam tiga bahasa: Persia Lama, Elamite, dan Babylon. 
Prasasti tersebut sangat dikenal penduduk setempat, tetapi tak 
satu pun bisa membacanya. Rawlinson yakin bahwa jika dia 
bisa memahami tulisan itu, ia dan para sarjana lainnya akan 
bisa membaca banyak prasasti dan naskah-naskah yang pada 
masa itu sedang ditemukan di seluruh Timur Tengah sehingga 
membuka pintu menuju sebuah dunia kuno yang terlupakan.
Langkah pertama untuk memahami aksara itu adalah 
untuk menghasilkan transkrip akurat yang bisa dikirim pulang 
ke Eropa. Rawlinson menantang maut untuk melakukannya, 
memanjat tebing untuk menyalin aksara-aksara yang aneh 
tersebut. Dia mempekerjakan beberapa penduduk setempat untuk 
membantunya, terutama seorang anak Kurdi yang memanjat 
bagian yang paling sulit dijangkau dari tebing itu untuk menyalin 
bagian yang paling tinggi dari prasasti. Pada 1847, proyek tersebut 
rampung, dan satu salinan akurat dikirim ke Eropa. 
Rawlinson tidak bergantung pada para pembantunya. Sebagai 
seorang perwira, dia memiliki misi militer dan politik untuk 
dijalankan, tetapi setiap kali punya waktu luang dia menerkanerka rahasia dalam tulisan itu. Dia mencoba satu demi satu 
metode dan akhirnya berhasil memahami bagian Persia Lama 
dari prasasti tersebut. Ini yang paling mudah karena Persia Lama 
tak begitu berbeda dari Persia modern, yang Rawlinson sangat 
pahami. Satu pemaknaan dari bagian Persia Lama memberinya 
kunci yang dia butuhkan untuk membuka rahasia-rahasia pada 
bagian Elamite dan Babylon. Pintu besar itu terbuka, dan segeralah 
keluar suara-suara kuno tapi begitu hidup—keriuhan pasar-pasar 
Sumeria, proklamasi raja-raja Assyria, argumentasi para birokrat 
Babylonia. Tanpa upaya kaum imperialis Eropa modern semacam 
Rawlinson, kita tidak akan pernah tahu banyak tentang nasib 
imperium-imperium Timur Tengah kuno.
Sarjana imperialis terkemuka lainnya adalah William Jones. 
Jones tiba di India pada September 1783 untuk menjadi seorang 
hakim di Pengadilan Tinggi Bengal. Dia begitu terpukau oleh 
keajaiban India sehingga dalam waktu kurang dari 6 bulan 
sejak kedatangannya dia sudah mendirikan Masyarakat Asiatik. 
Organisasi akademis ini ditujukan untuk mempelajari kulturkultur, sejarah-sejarah, dan masyarakat-masyarakat Asia, dan lebih 
khusus India. Dalam dua tahun berikutnya Jones menerbitkan The 
Sanskrit Language, naskah induk dari ilmu linguistik komparatif. 
Dalam buku ini Jones menerangkan kemiripan-kemiripan yang 
mengejutkan antara Sansekerta, sebuah bahasa India kuno yang 
menjadi bahasa suci dalam ritual Hindu, dan bahasa Yunani dan 
Latin, di samping kemiripan antara semua bahasa ini dengan 
Gothik, Celtik, Persia Lama, Jerman, Prancis dan Inggris. Maka, 
dalam bahasa Sanskerta, mother (ibu) adalah “mater”, dalam 
bahasa Latin “mater”, dan dalam Celtik lama “mathir”. Jones 
menduga bahwa semua bahasa ini pasti memiliki asal-usul yang 
sama, berkembang dari sebuah leluhur kuno yang kini terlupakan. 
Oleh karena itu, dialah orang pertama yang mengidentifikasi apa 
yang kelak dikenal dengan rumpun bahasa Indo-Eropa.
Buku The Sanskrit Language adalah sebuah studi yang sangat 
berpengaruh bukan semata-mata karena kekuatan hipotesis Jones 
(dan akurasinya), melainkan juga karena ia memiliki metodologi 
runtut yang dia kembangkan untuk membandingkan bahasabahasa. Buku ini diadopsi oleh para sarjana lain, memungkinkan 
mereka secara sistematis untuk mempelajari perkembangan semua 
bahasa-bahasa dunia.
Linguistik mendapat dukungan antusias dari imperium. 
Imperium-imperium Eropa percaya bahwa agar bisa menguasai 
secara efektif, mereka harus tahu bahasa-bahasa dan kulturkultur jajahannya. Para perwira Inggris yang tiba di India diduga 
menghabiskan waktu sampai tiga tahun di sebuah sekolah tinggi 
Calcutta, tempat mereka belajar hukum Hindu dan Muslim 
selain hukum Inggris; Sanskerta, Urdu, dan Persia serta Yunani 
dan Latin; dan kebudayaan Tamil, Bengal, dan Hindustani, juga 
matematika, ekonomi, dan geografi. Studi linguistik memberi 
bantuan tak ternilai dalam memahami struktur dan tata bahasa 
bahasa-bahasa lokal. 
Berkat karya orang-orang seperti William Jones dan Henry 
Rawlinson, para penakluk dari Eropa mengenal imperiumimperium mereka dengan baik. Bahkan, jauh lebih bagus 
ketimbang para penakluk-penakluk sebelumnya atau populasi 
pribumi sendiri. Pengetahuan mereka yang superior memiliki 
keuntungan praktis yang jelas. Tanpa pengetahuan semacam itu, 
tak mungkin sejumlah kecil orang Inggris bisa sukses memerintah, 
menindas, dan mengeksploitasi beratus-ratus juta orang India 
selama dua abad. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20, 
kurang dari 5.000 pejabat Inggris, sekitar 40.000 sampai 70.000 
tentara Inggris, dan mungkin 100.000 orang bisnis dari Inggris, 
tanggungan-tanggungan mereka, para istri, anak-anak cukuplah 
untuk menaklukkan dan menguasai sekitar 300 juta orang India.9
Meskipun demikian, keunggulan-keunggulan praktis ini 
bukanlah satu-satunya alasan mengapa imperium-imperium itu 
mendanai studi linguistik, botani, geografi, dan sejarah. Tak 
kalah pentingnya adalah fakta bahwa sains memberi imperiumimperium itu justifikasi ideologis. Bangsa Eropa modern percaya 
bahwa meraih pengetahuan baru selalu baik. Fakta bahwa 
imperium-imperium itu menghasilkan arus tetap pengetahuan 
baru memberi cap mereka sebagai golongan progresif dan positif. 
Bahkan kini, sejarah ilmu seperti geografi, arkeologi, dan botani 
tak bisa mengelak untuk menghargai jasa imperium-imperium 
Eropa, paling tidak secara langsung. Sejarah botani tak banyak 
menceritakan tentang penderitaan Aborigin Australia, tetapi 
biasanya ada kata-kata tertentu untuk James Cook dan Joseph 
Banks. Lebih dari itu, pengetahuan baru yang diakumulasi oleh 
imperium-imperium itu memungkinkan, paling tidak secara 
teori, memberi manfaat bagi populasi yang ditaklukkan dan 
membawakan kepada mereka manfaat “kemajuan”—memberi 
mereka pengobatan dan pendidikan, membangun rel kereta 
api, dan kanal-kanal, memastikan keadilan dan kemakmuran. 
Kaum imperialis mengklaim bahwa imperium-imperium mereka 
bukanlah upaya-upaya eksploitasi besar, melainkan proyek-proyek 
altruis yang dilakukan untuk kepentingan ras-ras non-Eropa—
dalam ungkapan Rudyard Kipling, “beban Orang Kulit Putih”:
Mengusung beban Orang Kulit Putih—
Menyodorkan keturunan terbaik 
Mengikat putra-putra kalian di pengasingan
Melayani kebutuhan-kebutuhan para tawanan kalian;
Menanti dalam gandar-gandar yang berat,
Pada gerombolan liar dan bingung—
Orang-orang tangkapan baru kalian yang cemberut,
Setengah setan dan setengah anak.
Tentu saja fakta-fakta sering bertentangan dengan mitos 
ini. Inggris menaklukkan Bengal, provinsi yang kaya di India, 
pada 1764. Penguasa-penguasa baru tak banyak tertarik kecuali 
memperkaya diri mereka. Mereka mengadopsi kebijakan ekonomi 
pembawa bencana yang beberapa tahun kemudian menyebabkan 
meletusnya Kelaparan Besar Bengal. Awalnya terjadi pada 1769, 
mencapai level bencana pada 1770, dan berlangsung hingga 
1773. Sekitar 10 juta orang Bengal, sepertiga populasi provinsi 
itu, mati dalam kesengsaraan.10
Yang benar, cerita penindasan dan eksploitasi maupun kisah 
“Beban Orang Kulit Putih” tidak ada yang sempurna sesuai 
fakta. Imperium-imperium Eropa melakukan begitu banyak hal 
yang bermacam-macam dalam skala besar sehingga Anda bisa 
menemukan banyak sekali contoh untuk mendukung apa pun 
yang ingin Anda katakan tentang itu semua. Anda berpikir 
bahwa imperium-imperium ini anak-anak monster jahat yang 
menyebarkan kematian, penindasan, dan ketidakadilan di seluruh 
dunia? Anda bisa dengan mudah mengisi ensiklopedia kejahatankejahatan mereka. Anda ingin mengemukakan bahwa mereka 
sesungguhnya memperbaiki kondisi rakyat jajahannya dengan 
kedokteran baru, kondisi ekonomi yang lebih baik, dan keamanan 
yang lebih besar? Anda bisa mengisi ensiklopedi lainnya dengan 
prestasi-prestasi mereka. Berkat kerja sama mereka dengan sains, 
imperium-imperium ini menggerakkan begitu besar kekuatan dan 
mengubah dunia sampai ke tingkat yang mungkin mereka tak bisa 
dilabeli begitu saja sebagai baik atau jahat. Mereka menciptakan 
dunia sebagaimana yang kita tahu, termasuk ideologi-ideologi 
yang kita gunakan dalam rangka menilai mereka. 
Akan tetapi, sains juga digunakan oleh para imperialis untuk 
tujuan-tujuan yang lebih buruk. Para ahli biologi, antropolog, dan 
bahkan ahli linguistik memberi bukti saintifik bahwa orang-orang 
Eropa memang superior di atas semua ras lain, dan akibatnya 
memiliki hak (kalau bukan tugas, barangkali) untuk menguasai 
mereka. Setelah William Jones mengemukakan bahwa seluruh
bahasa Indo-Eropa merupakan keturunan dari satu bahasa kuno 
tunggal, banyak ahli tergugah mencari siapa yang menggunakan 
bahasa itu. Mereka melihat bahwa para pengguna paling awal 
bahasa Sanskerta, yang menginvasi India dari Asia Tengah lebih 
dari 3.000 tahun yang lalu, menyebut diri mereka Arya. Para 
pengguna bahasa paling awal Persia menyebut diri mereka 
Airiia. Oleh karena itu, para sarjana Eropa menduga bahwa 
orang yang menggunakan bahasa primordial yang melahirkan 
Sanskerta maupun Persia (juga Yunani, Latin, Gothik, dan Celtic) 
pasti menyebut diri mereka Arya. Bisakah ini disebut kebetulan 
bahwa mereka yang mendirikan peradaban-peradaban raksasa 
India, Persia, Yunani, dan Romawi semuanya adalah orang 
Arya? Selanjutnya, para sarjana Inggris, Prancis, dan Jerman 
mengawinkan teori linguistik tentang bangsa Arya yang rajin 
dengan teori seleksi alam Darwin dan mengemukakan bahwa 
bangsa Arya bukan hanya satu kelompok linguistik, melainkan 
sebuah entitas biologis—sebuah ras. Dan, bukan sembarang ras, 
melainkan ras teratas manusia yang tinggi, berambut terang, 
bermata biru, pekerja keras, dan super rasional yang muncul dari 
keremangan utara untuk meletakkan fondasi-fondasi kultur di 
seluruh dunia. Sayang sekali, orang-orang Arya yang menginvasi 
India dan Persia berkawin silang dengan pribumi setempat yang 
mereka temukan di tanah-tanah itu, kehilangan kulit terang dan 
rambut pirang mereka, beserta rasionalitas dan sifat rajinnya. 
Pera






 
   
   
   
   
 
 
 
 
 
 
 
 
 
