Jumat, 16 Desember 2022
Home »
homosapien 1
» homosapien 1
homosapien 1
Desember 16, 2022
homosapien 1
tercipta setelah peristiwa yang dikenal sebagai Ledakan Besar
(Big Bang). Kisah tentang fitur-fitur fundamental alam raya kita
ini dinamai fisika.
Sekitar 300.000 tahun setelah kemunculannya, zat dan energi
mulai menyatu menjadi struktur-struktur rumit yang dinamai
atom-atom; yang kemudian bergabung menjadi molekul-molekul.
Kisah tentang atom-atom, molekul-molekul, dan interaksinya
disebut kimia.
Sekitar 3,8 miliar tahun lalu, di sebuah planet bernama
Bumi, molekul-molekul tertentu bergabung membentuk strukturstruktur yang cukup besar dan rumit yang disebut organisme.
Kisah tentang organisme ini dinamai biologi.
Sekitar 70.000 tahun lalu, organisme dari spesies Homo
sapiens mulai membentuk struktur-struktur yang lebih rumit
lagi yang dinamakan budaya. Perkembangan selanjutnya dari
budaya-budaya manusia ini disebut sejarah.
Tiga revolusi penting membentuk jalannya sejarah: Revolusi
Kognitif mengawali sejarah sekitar 70.000 tahun lalu. Revolusi
Agrikultur mempercepatnya sekitar 12.000 tahun lalu. Revolusi
Saintifik, yang baru mulai berjalan 500 tahun lalu, kemungkinan
akan mengakhiri sejarah dan memulai sesuatu yang benar-benar
berbeda. Buku ini menceritakan sejarah tentang bagaimana
ketiga revolusi ini telah memengaruhi manusia dan rekan-rekan
organismenya.
Manusia sudah ada jauh sebelum ada sejarah. Binatangbinatang yang sangat mirip manusia modern ada sekitar 2,5 juta
tahun lalu. Namun, sepanjang banyak generasi yang tak terhitung
jumlahnya, mereka tidak mampu mengungguli kedigdayaan
organisme-organisme lain yang berbagi habitat dengan mereka.
Di atas ketinggian di Afrika Timur, 2 juta tahun lalu,
Anda kemungkinan bisa menjumpai sekumpulan sosok-sosok
lazimnya manusia: ibu-ibu yang gelisah tengah membuai bayibayi mereka dan kecipak riang anak-anak bermain di lumpur;
pemuda-pemuda temperamental yang dongkol menentang aturan
masyarakat dan para tetua yang lelah minta ditinggalkan dalam
suasana tenang; kaum jagoan dengan dada berdebar-debar yang
berusaha memikat gadis-gadis cantik lokal dan para nyonya
rumah yang sudah menyaksikan semua itu. Manusia-manusia
kuno ini bercinta, bermain, membentuk pertemanan akrab, dan
bersaing untuk status dan kekuasaan—tetapi begitu juga simpanse,
babon, dan gajah. Tak ada yang istimewa tentang itu. Tak ada
satu pun, sekurang-kurangnya manusia-manusia itu sendiri,
yang punya firasat keturunan mereka suatu hari kelak akan
berjalan di Bulan, membelah atom, menyibak kode genetik, dan
menulis buku-buku sejarah. Hal paling penting untuk diketahui
tentang manusia prasejarah adalah bahwa mereka makhluk yang
tidak signifikan, tidak memiliki pengaruh lebih besar terhadap
lingkungan dibandingkan gorila, kunang-kunang, atau ubur-ubur.
Para ahli biologi mengklasifikasi organisme menjadi spesiesspesies. Binatang-binatang tertentu dikatakan masuk spesies yang
sama jika cenderung cocok satu dengan yang lainnya, melahirkan
untuk beranak-pinak. Kuda dan keledai memiliki kesamaan
leluhur dekat dan punya banyak kesamaan sifat bawaan fisik.
Namun, kedua spesies itu menunjukkan sedikit ketertarikan
seksual satu sama lain. Keduanya akan berpasangan jika dipaksa
melakukannya—tetapi keturunannya, yang disebut bagal, mandul.
Oleh karena itu, mutasi-mutasi dalam DNA keledai tidak pernah
bisa menyeberang ke kuda atau sebaliknya. Dengan demikian,
kedua jenis spesies binatang itu dianggap sebagai dua spesies
yang terpisah, melintasi jalur-jalur evolusi yang terpisah. Sama
halnya buldog dan spaniel, mungkin tampak sangat berbeda, tetapi keduanya adalah anggota spesies yang sama, punya kesamaan
sifat-sifat bawaan DNA. Mereka bisa berpasangan bahagia dan
anak-anaknya akan tumbuh untuk berpasangan dengan anjinganjing lain dan menghasilkan anak-anak anjing.
Spesies-spesies yang berevolusi dari satu lelulur yang sama
dikelompokkan di bawah nama “genus” (jamak: genera).
Singa, harimau, macan tutul, dan jaguar adalah spesies-spesies
yang berbeda dalam genus Panthera. Para ahli biologi melabeli
organisme-organisme dengan nama Latin yang terdiri dari dua
kata, genus diikuti spesies. Singa, misalnya, disebut Panthera leo,
spesies Leo dari genus Panthera. Bisa diasumsikan, setiap orang
yang membaca buku ini adalah Homo sapiens—spesies sapiens
(bijaksana) dari genus Homo (bijaksana).
Selanjutnya genera dikelompokkan dalam famili, seperti
famili kucing (singa, cheetah, kucing piaraan); famili anjing
(anjing, serigala, rubah, anjing hutan) dan famili gajah (gajah,
mamut, mastodon). Semua anggota satu famili memiliki garis
keturunan dari satu nenek moyang atau kakek moyang. Semua
kucing, misalnya, dari kucing rumahan paling kecil sampai ke
singa yang paling ganas, punya kesamaan nenek moyang kucing
yang hidup sekiar 25 juta tahun lalu.
Homo sapiens juga anggota sebuah famili. Fakta yang terang
benderang ini biasanya menjadi salah satu rahasia sejarah yang
paling ketat disimpan. Homo sapiens sejak lama memilih untuk
memandang diri terpisah dari binatang, yatim yang kehilangan
famili, tak punya saudara atau sepupu, dan paling penting,
tanpa orangtua. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Suka
atau tidak suka, kita adalah anggota dari satu famili besar dan
sangat berisik yang disebut kera besar. Kerabat terdekat kita
yang masih hidup antara lain simpanse, gorila, dan orangutan.
Simpanse adalah yang terdekat. Hanya enam juta tahun lalu, satu
kera betina tunggal punya dua anak perempuan. Satu menjadi
leluhur simpanse, dan satu lagi adalah nenek buyut kita.
Homo sapiens menyembunyikan sebuah rahasia yang bahkan
lebih mengusik. Kita tidak hanya memiliki berjibun sepupu tanpa
peradaban, pada satu masa kita malah punya saudara (perempuan
dan laki-laki) seperti itu. Kita dulu berpikir hanya kitalah yang
manusia karena selama 10.000 tahun terakhir, spesies kita
memang benar-benar satu-satunya spesies manusia yang masih
ada. Namun, makna sejati dari kata manusia adalah ‘binatang
yang masuk dalam genus Homo’. Lebih dari itu, seperti yang
akan kita lihat pada bab terakhir buku ini, dalam waktu yang tak
begitu lama, pada masa depan kita, kemungkinan akan bersaing
dengan manusia-manusia non-sapiens. Untuk memperjelas poin
ini, saya akan sering menggunakan istilah “Sapiens” untuk
merujuk ke anggota-anggota spesies Homo sapiens, sedangkan
istilah “manusia” dipertahankan merujuk ke semua anggota genus
Homo yang masih ada.
Manusia pertama kali berevolusi di Afrika Timur sekitar 2,5
juta tahun lalu dari satu genus kera lebih awal yang dinamakan Australopithecus, yang berarti ‘Kera Selatan’. Sekitar dua juta
tahun lalu, sebagian dari manusia kuno laki-laki dan perempuan
ini meninggalkan tanah air mereka dalam perjalanan melintasi
dan menetap di area luas Afrika Utara, Eropa, dan Asia. Karena
untuk bertahan dalam hutan-hutan bersalju di Eropa utara
memerlukan kemampuan-kemampuan yang berbeda dari yang
diperlukan untuk tinggal di belantara Indonesia yang hangat,
populasi manusia berevolusi ke arah yang berbeda-beda pula.
Hasilnya adalah beberapa spesies berbeda, yang masing-masing
oleh para ilmuwan ditandai dengan nama Latin yang mentereng.
Manusia-manusia di Eropa dan Asia Barat berevolusi menjadi
Homo neanderthalensis (‘Manusia dari Lembah Neander’),
yang secara populer dirujuk begitu saja sebagai “Neanderthal”.
Neanderthal, yang lebih gempal dan lebih berotot daripada kita,
Sapiens, beradaptasi baik dengan iklim dingin Eurasia Barat pada
Zaman Es. Semakin ke timur, wilayah Asia dihuni oleh Homo
erectus, ‘Manusia Tegak’, yang bertahan mendekati dua juta
tahun, menjadikannya spesies manusia paling awet. Rekor ini
agaknya tak akan terpecahkan, bahkan oleh spesies kita sendiri. Namun, patut diragukan apakah Homo sapiens masih akan ada
dalam kisaran seribu tahun dari sekarang, jadi 2 juta tahun jelas
bukan tandingan kita.
Di Pulau Jawa, Indonesia, hidup Homo soloensis, ‘Manusia
dari Lembah Solo’, yang cocok dengan kehidupan di wilayah
tropis. Di pulau lain Indonesia—pulau kecil Flores—manusia
kuno menjalani proses pengerdilan. Manusia pertama mencapai
Flores ketika permukaan air laut sangat surut dan pulau itu
dengan mudah bisa diakses dari daratan utama. Ketika laut
pasang, sebagian orang terperangkap di pulau, yang miskin
sumber daya. Orang-orang besar, yang membutuhkan banyak
makanan, mati lebih dahulu. Sedangkan orang-orang yang lebih
kecil bisa lebih lama bertahan. Selama beberapa generasi, orangorang Flores menjadi kerdil. Spesies unik ini, yang dikenal para
ilmuwan sebagai Homo floresiensis, mencapai tinggi maksimum
hanya satu meter dengan berat tak lebih dari 25 kilogram.
Meski demikian, mereka mampu menghasilkan peralatan dari
batu, dan bahkan terkadang berhasil memburu gajah-gajah pulau
tersebut—walaupun, biar adil, gajah-gajah itu juga dari spesies
kerdil.
Pada 2010, satu lagi saudara yang hilang diselamatkan
dari pelupaan, ketika para ilmuwan yang mengekskavasi Gua
Denisova di Siberia menemukan satu fosil tulang jari. Analisis
genetik membuktikan bahwa jari itu milik spesies manusia yang
sudah dikenal sebelumnya, yang dinamai Homo denisova. Siapa
yang tahu berapa banyak kerabat kita yang hilang sesungguhnya
sedang menunggu untuk ditemukan di gua-gua lain, di pulaupulau lain, dan daerah-daerah lain. Ketika manusia-manusia ini
berevolusi di Eropa dan Asia, evolusi di Afrika Timur juga tidak
berhenti. Buaian kemanusiaan terus memelihara spesies-spesies
baru, seperti Homo rudolfensi (‘Manusia dari Danau Rudolf’),
Homo ergaster (‘Manusia Pekerja’), dan akhirnya spesies kita, yang
dengan lancang kita namai Homo sapiens (‘Manusia Bijaksana’).
Para anggota dari sebagian spesies ini berbadan besar dan yang
lainnya kerdil. Sebagian adalah para pemburu yang menakutkan
dan yang lain penjelajah tumbuh-tumbuhan yang lemah lembut.
Sebagian hanya tinggal di sebuah pulau, sedangkan banyak yang lain berkelana melintasi batas-batas benua. Namun, semua itu
tetap anggota genus Homo. Mereka semua manusia.
Ada pandangan yang salah kaprah bahwa spesies-spesies ini
diatur dalam garis keturunan lurus, yakni ergaster menurunkan
erectus, erectus menurunkan Neanderthal, dan Neanderthal
berevolusi menjadi kita. Model linear ini memberi kesan keliru
bahwa dalam satu kurun waktu tertentu hanya satu tipe manusia
yang menghuni Bumi, dan seluruh spesies sebelumnya sematamata model-model yang lebih lama daripada kita. Yang benar
adalah bahwa dari sekitar 2 juta tahun lalu sampai 10 ribu tahun
lalu, dunia menjadi tempat hunian pada waktu yang sama bagi
beberapa spesies manusia. Dan, mengapa tidak? Kini ada banyak
spesies rubah, beruang, dan babi. Bumi seratus milenium lalu
dihuni oleh paling sedikit enam spesies manusia. Eksklusivitas
kita saat inilah, bukan masa lalu multi-spesies, yang istimewa—
dan mungkin memberatkan. Sebagaimana akan kita lihat segera,
kita Sapiens memiliki alasan yang baik untuk menindas memori
tentang saudara-saudara kita.
Harga dari Berpikir
Terlepas dari banyak perbedaannya, semua spesies manusia
memiliki beberapa kesamaan karakteristik yang mencirikannya.
Yang paling utama, manusia memiliki otak yang sangat besar
dibandingkan binatang-binatang lain. Mamalia dengan berat 60
kilogram rata-rata memiliki ukuran otak 200 sentimeter kubik.
Manusia laki-laki dan perempuan paling awal, 2,5 juta tahun
lalu, memiliki otak berukuran sekitar 600 sentimeter kubik.
Sapiens modern mengusung otak rata-rata 1.200 sampai 1.400
sentimeter kubik. Otak Neanderthal bahkan lebih besar.
Bahwa evolusi harus memilih otak-otak yang lebih besar bagi
kita mungkin seperti, yah, tak punya otak. Kita begitu keranjingan
dengan tingginya kecerdasan kita sehingga berasumsi bahwa
dalam hal kekuatan serebral, yang lebih besar pasti lebih baik.
Namun, jika demikian, famili kucing juga tentu menghasilkan
kucing-kucing yang bisa mengerjakan kalkulus. Mengapa genus Homo menjadi satu-satunya dalam kerajaan binatang yang
memiliki mesin berpikir begitu besar?
Faktanya adalah bahwa otak jumbo adalah saluran jumbo
dalam tubuh. Tidak mudah untuk membawa-bawa, terutama
ketika terbungkus dalam tengkorak yang besar. Bahkan, lebih
sulit untuk memberinya energi. Dalam Homo sapiens, otak
menyumbang 2 sampai 3 persen total berat tubuh, tetapi
mengonsumsi 25 persen energi tubuh ketika tubuh beristirahat.
Bandingannya, otak kera hanya butuh 8 persen energi saat
istirahat. Manusia-manusia kuno harus menanggung besarnya
otak itu untuk dua hal. Pertama, mereka menghabiskan waktu
lebih banyak untuk mencari makanan. Kedua, otot-otot mereka
mengalami penyusutan. Layaknya sebuah pemerintahan yang
mengalihkan dana dari pertahanan untuk pendidikan, manusia
mengalihkan energi dari otot ke otak. Nyaris tak terelakkan
untuk menyimpulkan bahwa ini merupakan strategi bagus untuk
bertahan di savana. Seekor simpanse tak bisa menang berdebat
dengan Homo sapiens, tetapi kera bisa mencabik-cabik manusia
seperti boneka butut.
Hari ini besarnya otak berbuah manis karena kita bisa
memproduksi mobil dan senjata yang memungkinkan kita
bergerak lebih cepat dari simpanse, dan menembak mereka dari
jarak aman, ketimbang bergulat. Namun, mobil dan senjata adalah
fenomena baru. Selama lebih dari 2 juta tahun, jaringan otak
manusia tumbuh dan terus tumbuh, tetapi di luar pisau batu dan
tombak, manusia tak punya banyak hal yang bisa diandalkan.
Lalu, apa yang mendorong maju evolusi otak besar manusia
dalam waktu 2 juta tahun itu? Sejujurnya, kita tidak tahu.
Satu sifat bawaan tunggal lain yang dimiliki manusia adalah
bahwa kita berjalan tegak di atas dua kaki. Dengan berdiri,
lebih mudah menjelajahi savana untuk bermain atau menghadapi
musuh, dan tangan yang tak diperlukan untuk menggerakkan
tubuh bebas untuk keperluan lain, seperti melontar batu atau
memberi isyarat. Semakin banyak hal yang bisa dilakukan
tangan, semakin sukses pemiliknya sehingga tekanan evolusi
mendatangkan peningkatan konsentrasi pada otak dan otot-otot
motorik halus di telapak tangan dan jemari. Hasilnya, manusia bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat rumit dengan
tangan mereka. Lebih khusus, mereka bisa menghasilkan dan
menggunakan alat-alat yang lebih canggih. Bukti pertama produksi
peralatan menunjukkan periode sekitar 2,5 juta tahun lalu, dan
pembuatan serta penggunaan alat-alat itu menjadi kriteria yang
dipakai para arkeolog untuk mengenali manusia-manusia kuno.
Meskipun demikian, berjalan tegak memiliki sisi lemah.
Tulang belulang leluhur primata kita berkembang selama beberapa
juta tahun untuk mendukung sebuah makhluk yang berjalan
dengan kaki empat dan memiliki kepala yang relatif kecil. Untuk
menyesuaikan dengan posisi tegak adalah tantangan, terutama
jika pijakan harus menopang tengkorak ekstra besar. Manusia
harus membayar untuk penglihatannya yang bagus dan tangannya
yang terampil dengan sakit punggung dan leher kaku. Perempuan
bahkan lebih berat. Berdiri tegak mengharuskan panggul yang
lebih sempit sehingga mempersempit saluran kelahiran—dan
semakin berat saat kepala bayi tumbuh menjadi semakin besar.
Kematian saat melahirkan menjadi bahaya utama bagi manusia
perempuan. Manusia perempuan yang lebih dahulu melahirkan,
ketika otak dan kepala bayi relatif lebih kecil dan luwes, bernasib
lebih baik dan punya lebih banyak anak. Seleksi alamiah dengan
sendirinya menguntungkan kelahiran-kelahiran yang lebih dahulu.
Dan sungguh, dibandingkan binatang-binatang lain, manusia
dilahirkan prematur, ketika banyak dari sistem vital mereka
masih belum berkembang. Bayi kuda jantan langsung bisa berjalan
begitu lahir; anak kucing langsung meninggalkan ibunya untuk
mencari makan saat usianya baru beberapa pekan. Bayi manusia
tak berdaya, bergantung selama bertahun-tahun kepada orangtua
untuk ketahanan, perlindungan, dan pendidikan.
Fakta ini memberi kontribusi besar bagi kemampuan sosial
manusia yang luar biasa dan problem-problem sosialnya yang
unik. Ibu-ibu yang kesepian hampir tak bisa mencari makan
untuknya dan anak mereka dengan keberadaan anak di buaian.
Membesarkan anak membutuhkan bantuan terus-menerus dari
anggota keluarga lain dan tetangga. Dibutuhkan satu suku
untuk membesarkan seorang manusia. Dengan demikian, evolusi
menguntungkan mereka yang mampu membentuk ikatan-ikatan sosial yang kokoh. Selain itu, karena manusia dilahirkan dalam
keadaan belum berkembang, mereka bisa dididik dan disosialisasi
pada tingkat yang lebih besar ketimbang binatang mana pun.
Sebagian besar mamalia muncul dari rahim seperti gerabah
mengilap yang muncul dari tempat pembakaran—setiap upaya
untuk mencetak kembali akan menggores atau memecahkannya.
Manusia keluar dari rahim seperti gelas yang dicairkan di tungku
pembakaran. Bisa dipilin, ditarik, dan dibentuk dengan derajat
keleluasaan yang mencengangkan. Itulah mengapa kita mendidik
anak-anak kita menjadi Kristen atau Buddha, kapitalis atau
sosialis, penggemar perang atau pencinta perdamaian.
Kita berasumsi bahwa otak besar, penggunaan alat, kemampuan
belajar yang superior, serta struktur sosial yang kompleks adalah
keunggulan besar. Sepertinya sudah terbukti dengan sendirinya
bahwa itu semua menjadikan manusia menjadi binatang paling kuat
di muka Bumi. Namun, manusia menikmati semua keunggulan
itu selama 2 juta tahun penuh, ketika mereka tetap menjadi
makhluk yang lemah dan marginal. Jadi, manusia yang hidup
satu juta tahun lalu, terlepas dari besarnya otak mereka dan
tajamnya alat-alat batu mereka, selalu diliputi ketakutan akan
predator, jarang berburu binatang besar, dan bertahan terutama
dengan mengumpulkan tumbuh-tumbuhan, menangkap serangga,
memburu hewan-hewan kecil, dan makan sisa-sisa makanan yang
ditinggalkan karnivora lain yang lebih kuat.
Salah satu penggunaan paling umum alat dari batu adalah
untuk membuka tulang agar bisa mendapatkan sumsum. Sebagian
peneliti percaya bahwa ini merupakan keunggulan orisinal kita.
Sebagaimana burung pelatuk ahli dalam menyesap serangga dari
rongga pohon, manusia-manusia awal ahli dalam menyesap
sumsum dari tulang. Mengapa sumsum? Baik, jika Anda
mengamati kawanan singa yang dengan bangga melumpuhkan
serta melahap seekor jerapah. Tunggulah dengan sabar sampai
mereka selesai. Namun, giliran Anda belum tiba karena pertamatama ada hyena dan anjing hutan—dan Anda tak akan berani
mengusik mereka—mengais sisa-sisanya. Baru setelah Anda dan
rombongan berani mendekati tulang belulang, tengok hati-hati
kanan dan kiri, lalu cari lapisan yang masih tersisa.
Ini adalah salah satu kunci untuk memahami sejarah kita
dan psikologi: Posisi genus Homo dalam rantai makanan, sampai
masa yang cukup baru, kokoh berada di tengah. Selama jutaan
tahun, manusia berburu hewan-hewan yang lebih kecil dan
mengumpulkan apa yang bisa mereka kumpulkan, dan pada
saat yang sama diburu oleh predator-predator yang lebih besar.
Baru 400.000 tahun lalu beberapa spesies manusia mulai berburu
hewan besar secara berkala, dan baru dalam 100.000 tahun
terakhir—dengan bangkitnya Homo sapiens—manusia melompat
ke puncak rantai makanan.
Lompatan spektakuler dari tengah ke puncak membawa
konsekuensi-konsekuensi besar. Binatang-binatang lain di
puncak piramida, seperti singa dan hiu, berevolusi ke posisi itu
berangsur-angsur, selama beberapa juta tahun. Ini memungkinkan
ekosistem berkembang dengan pola keseimbangan yang mencegah
singa dan hiu menimbulkan terlalu banyak kehancuran. Karena
singa menjadi semakin mematikan, maka rusa berlari semakin
cepat, hyena bekerja sama lebih baik, dan badak menjadi
berperilaku lebih buruk. Secara kontras, manusia yang naik ke
puncak begitu cepat dalam ekosistem tidak diberi waktu untuk
menyesuaikan diri. Lebih dari itu, manusia sendiri memang
gagal untuk menyesuaikan diri. Sebagian besar predator teratas
di planet adalah makhluk-makhluk gagah perkasa. Jutaan tahun
kekuasaan memberi mereka kepercayaan diri. Sapiens, sebaliknya,
lebih seperti sebuah diktator republik pisang (kerajaan yang
ringkih). Dalam posisi kalah di savana, kita diliputi ketakutan
dan kecemasan, yang menyebabkan berlipatnya kekejaman
dan bahaya kita. Banyak bencana historis, dari perang-perang
mematikan sampai ke bencana ekologis, bersumber dari lompatan
yang terlalu gegabah ini.
Ras Juru Masak
Satu langkah signifikan dalam jalur menuju puncak itu adalah
domestikasi api. Sebagian spesies manusia sudah menggunakan
api sejak 800.000 tahun lalu. Sampai dengan masa 300.000 tahun lalu, Homo erectus, Neanderthal dan beberapa pendahulu Homo
sapiens, menggunakan api untuk keperluan sehari-hari. Manusia
kali ini punya satu sumber cahaya dan kehangatan yang bisa
diandalkan, dan senjata mematikan melawan singa-singa yang
berkeliaran. Tak lama sesudah itu, manusia mungkin bahkan mulai
dengan sengaja membakar perkampungan mereka. Pembakaran
yang dikelola dengan hati-hati bisa mengubah belukar rimbun
menjadi lahan rumput yang baik untuk bermain. Selain itu, setelah
api padam, para wiraswasta Zaman Batu bisa berjalan-jalan di
bekas-bekas asap dan memanen binatang-binatang, kacang, dan
umbi-umbian yang sudah matang.
Akan tetapi, manfaat terbaik dari api adalah untuk memasak.
Makanan-makanan yang tidak bisa dimakan manusia dalam
bentuk alaminya—seperti gandum, padi, dan kentang—menjadi
unsur pokok dalam makanan kita berkat pemasakan. Api bukan
hanya mengubah sifat kimiwai makanan, melainkan juga sifatsifat biologisnya. Pemasakan bisa membunuh kuman dan parasit
yang menempel di makanan. Manusia juga menjadi jauh lebih
mudah untuk mengunyah dan menyantap makanan-makanan
favorit sebelumnya seperti buah-buahan, kacang, serangga, dan
daging jika dimasak terlebih dulu. Kalau simpanse butuh waktu
lima jam sehari untuk mengunyah makanan mentah, satu jam
saja sudah cukup bagi manusia untuk makan masakan yang
sudah dimasak.
Kebangkitan memasak memungkinkan manusia makan lebih
banyak jenis makanan, dan membutuhkan waktu lebih sedikit
untuk makan, dan itu cocok dengan gigi-giginya yang lebih kecil
dan usus-ususnya yang lebih pendek. Sebagian sarjana percaya
ada kaitan langsung antara kemunculan memasak, pemendekan
usus manusia, dan pertumbuhan otak manusia. Karena usus
yang panjang dan otak yang besar mengonsumsi lebih banyak
energi, sulit untuk memenuhi kebutuhan keduanya. Dengan
pemendekan usus dan berkurangnya konsumsi energi, secara tak
sengaja memasak membuka jalan menuju otak jumbo Neanderthal
dan Sapiens.1
Api juga membuka jarak signifikan pertama antara manusia
dan binatang-binatang lain. Kekuatan hampir semua binatang bergantung pada tubuh mereka: kekuatan otot, ukuran gigi,
dan lebarnya sayap. Meskipun bisa memanfaatkan angin dan
arus, mereka tak bisa mengendalikan kekuatan alam, dan
selalu terhambat oleh desain fisik mereka. Elang, misalnya,
mengidentifikasi kolom-kolom panas yang naik dari tanah,
merentangkan sayap raksasanya dan membiarkan udara panas
mendorong tubuhnya ke depan. Namun, elang tidak bisa
mengendalikan lokasi kolom-kolom, dan kapasitas dorongnya
pas secara proporsional dengan rentang sayap.
Ketika manusia mendomestikasi api, mereka mendapatkan
kendali atas kekuatan yang potensinya terbatas dan apa adanya.
Tak seperti elang, manusia bisa memilih kapan dan di mana
menyalakan api, dan mereka bisa mengeksploitasi api untuk
banyak keperluan. Yang paling penting, kekuatan api tidak
terbatas pada bentuk, struktur, atau kekuatan tubuh manusia.
Seorang perempuan dengan batu api atau batang api bisa
membakar habis satu hutan dalam hitungan jam. Domestikasi
api adalah sebuah penanda datangnya beberapa hal.
Para Penjaga Saudara-Saudara Kita
Meskipun sudah mendapatkan manfaat api, 150.000 tahun lalu
manusia masih menjadi makhluk marginal. Mereka memang bisa
menakut-nakuti singa, menghangatkan diri pada malam-malam
yang dingin, dan sesekali membakar hutan. Namun, kalau semua
spesies dihitung, mungkin tak lebih dari satu juta manusia yang
hidup antara Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Iberia,
hanya satu titik dalam radar ekologis.
Spesies kita sendiri, Homo sapiens, sudah ada di panggung
dunia, tetapi sejauh ini baru sibuk dengan urusannya sendiri di
sebuah sudut Afrika. Kita tidak tahu pasti di mana dan kapan
binatang-binatang yang bisa diklasifikasi Homo sapiens pertama
kali berevolusi dari jenis manusia sebelumnya, tetapi kebanyakan
ilmuwan sepakat bahwa hingga 150.000 tahun lalu, Afrika Timur
dihuni oleh Sapiens yang tampak seperti kita. Jika salah satu
dari mereka muncul di rumah mayat modern, ahli patologi lokal tentu mendapati tak ada yang istimewa padanya. Berkat manfaat
api, mereka punya gigi dan rahang yang lebih kecil dibandingkan
leluhur mereka, tetapi memiliki otak besar, seukuran otak kita.
Para ilmuwan juga sepakat bahwa sekitar 70.000 tahun lalu,
Sapiens dari Afrika Timur menyebar ke Semenanjung Arabia, dan
dari sana mereka dengan cepat menjelajah ke segenap penjuru
Eurasia.
Ketika Homo sapiens mendarat di Arabia, sebagian besar
Eurasia sudah dihuni oleh manusia lain. Apa yang terjadi
pada mereka? Ada dua teori yang saling bertentangan. “Teori
Perkawinan Silang” menjelaskan cerita tentang daya tarik, seks,
dan pembauran. Ketika imigran-imigran Afrika menyebar ke
seluruh dunia, mereka berkembang biak bersama populasipopulasi manusia lain, dan orang-orang masa kini adalah hasil
dari perkawinan silang ini.
Misalnya, ketika Sapiens mencapai Timur Tengah dan Eropa,
mereka mendapati Neanderthal. Manusia-manusia ini lebih
berotot ketimbang Sapiens, memiliki otak yang lebih besar,
dan lebih pandai beradaptasi dengan iklim dingin. Mereka
menggunakan alat dan api, pemburu yang baik, dan merawat
sesamanya yang sakit dan lemah. (Para arkeolog menemukan
tulang-tulang Neanderthal yang hidup beberapa tahun dengan
cacat fisik parah, bukti bahwa mereka dirawat oleh kerabatnya.)
Neanderthal sering digambarkan dalam karikatur sebagai “orangorang gua” kuno yang brutal dan bodoh, tetapi bukti mutakhir
mengubah citra mereka.
Menurut Teori Perkawinan Silang, ketika Sapiens menyebar
ke tanah Neanderthal, Sapiens berkembang biak bersama
Neanderthal sampai dua populasi muncul. Jika benar demikian,
maka orang-orang Eurasia sekarang tidak murni Sapiens. Mereka
adalah gabungan dari Sapiens dan Neanderthal. Begitu pula,
ketika Sapiens mencapai Asia Timur, mereka berkawin silang
dengan Erectus lokal, jadi orang China dan Korea adalah
gabungan dari Sapiens dan Erectus.
Pandangan yang berseberang, yang disebut “Teori Penggantian”
menjelaskan cerita yang sangat berbeda—ketidakcocokan,
perubahan, dan mungkin bahkan genosida. Menurut teori ini, Sapiens dan manusia-manusia lain punya anatomi yang
berbeda, dan sangat mungkin punya gaya berpasangan yang
berbeda, bahkan aroma tubuh yang berbeda. Mereka tak
mungkin saling tertarik secara seksual. Dan, andaipun seorang
Romeo Neanderthal dan seorang Juliet Sapiens jatuh cinta,
mereka tidak bisa menghasilkan anak karena jarak genetika
kedua populasi itu sudah tak bisa dijembatani. Kedua populasi
tetap berbeda sepenuhnya, dan ketika Neanderthal mati atau
dibunuh, gen mereka mati bersama mereka. Menurut pandangan
ini, Sapiens menggantikan semua populasi manusia sebelumnya
tanpa percampuran dengan mereka. Jika benar demikian, maka
garis keturunan semua manusia kontemporer bisa dilacak secara
eksklusif ke Afria Timur, 70.000 tahun lalu. Kita semua adalah
“Sapiens murni”.
Banyak sendi dalam perdebatan ini. Dari perspektif evolusi,
70.000 tahun adalah masa yang relatif singkat. Jika Teori
Penggantian yang benar, semua manusia yang masih hidup secara
kasar memiliki kesamaan bawaan genetik, dan perbedaan rasial
di antara mereka bisa diabaikan. Namun, jika Teori Perkawinan Silang yang benar, mungkin ada perbedaan-perbedaan genetik
antara orang Afrika, Eropa, dan Asia yang bersumber dari ratusan
ribu tahun lalu. Ini adalah dinamit politik yang bisa menyediakan
bahan untuk teori ras yang eksplosif.
Dalam beberapa dekade terakhir ini Teori Penggantian
menjadi kearifan bersama di bidang ini. Teori ini memiliki
dukungan arkeologis yang lebih kokoh, dan secara politik lebih
benar (para ilmuwan tak punya hasrat untuk membuka kotak
Pandora rasisme dengan mengklaim adanya keragaman genetik
yang signifikan di antara populasi manusia modern). Namun,
itu berakhir pada 2010, ketika hasil-hasil dari empat tahun
upaya untuk memetakan genom Neanderthal diterbitkan. Para
ahli genetika mampu mengumpulkan cukup DNA Neanderthal
utuh dari fosil-fosil untuk membuat perbandingan luas dengan
DNA dari manusia kontemporer. Hasilnya mencengangkan
komunitas sains.
Ternyata, 1 sampai 4 persen DNA unik manusia dari populasi
modern di Timur Tengah dan Eropa adalah DNA Neanderthal.
Itu bukan jumlah yang besar, tetapi signifikan. Kejutan kedua
datang beberapa bulan kemudian, ketika DNA yang diekstrak
dari fosil tulang jari Denisova dipetakan. Hasilnya membuktikan
bahwa sampai dengan 6 persen DNA unik manusia Melanesia
dan Aborigin Australia adalah DNA Denisova.
Jika hasil itu valid—dan penting untuk dipahami bahwa
riset lebih jauh sedang berjalan dan mungkin memperkuat atau
mengubah kesimpulan-kesimpulan ini—Teori Perkawinan Silang
mendapatkan bukti ada kebenaran di dalamnya. Namun, itu
tidak berarti bahwa Teori Penggantian salah sepenuhnya. Karena
Neanderthal dan Denisova berkontribusi DNA hanya dalam
jumlah kecil ke genom kita hari ini, maka mustahil untuk bicara
tentang “percampuran” antara Sapiens dan spesies-spesies manusia
lainnya. Meskipun perbedaan-perbedaan di antara mereka tidak
cukup besar untuk mencegah sepenuhnya perkawinan, itu cukup
untuk membuat kontak semacam itu menjadi langka.
Lalu, bagaimana kita harus memahami keterhubungan biologis
antara Sapiens, Neanderthal, dan Denisova? Jelas, mereka bukan
spesies-spesies yang berbeda sama sekali seperti kuda dan keledai. Di sisi lain, mereka bukan sekadar populasi yang berbeda dari
spesies yang sama, seperti buldog dan spaniel. Realitas biologis
tidaklah hitam dan putih. Ada juga area abu-abu. Setiap dua
spesies yang berevolusi dari satu leluhur yang sama, seperti kuda
dan keledai, pada satu masa menjadi dua populasi dari spesies
yang sama, seperti buldog dan spaniel. Pasti ada satu titik ketika
kedua populasi sudah pada keadaan yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya, tetapi sesekali masih bisa berhubungan seks
dan menghasilkan keturunan yang bisa berbiak (tidak mandul).
Kemudian, mutasi lain yang terjadi menghapus garis penghubung
terakhir itu, dan menempuh jalan evolusi terpisah.
Tampaknya, sekitar 500.000 tahun lalu, Sapiens, Neanderthal,
dan Denisova berada di titik garis perbatasan itu. Mereka hampir,
tetapi belum sampai, menjadi spesies yang terpisah sepenuhnya.
Seperti yang akan kita lihat pada bab berikutnya, Sapiens sudah
sangat berbeda dari Neanderthal dan Denisova, tidak hanya
dalam kode genetika dan sifat-sifat bawaan fisiknya, tetapi juga
dalam kemampuan kognitif dan sosialnya. Meskipun demikian,
masih dimungkinkan juga, walau sangat jarang, satu Sapiens dan
satu Neanderthal menghasilkan keturunan yang bisa berbiak.
Jadi, populasi tidak bercampur, tetapi beberapa gen Neanderthal
beruntung bisa menumpang di Kereta Sapiens. Tentu tidak
enak—dan mungkin mengguncang hati—membayangkan kita, Sapiens, pada suatu masa berhubungan seks dengan binatang
dari spesies lain dan menghasilkan anak.
Akan tetapi, kalaupun Neanderthal, Denisova, dan spesiesspesies manusia lain tidak bercampur dengan Sapiens, mengapa
mereka punah? Salah satu kemungkinannya adalah Homo sapiens
memunahkan mereka. Bayangkan satu kawanan Sapiens mencapai
sebuah lembah di Balkan tempat Neanderthal sudah hidup selama
ratusan ribu tahun. Pendatang baru itu mulai memburu rusa dan
mengumpulkan kacang serta buah beri yang menjadi persediaan
makanan tradisional Neanderthal. Sapiens adalah pemburu dan
penjelajah makanan yang lebih cakap—berkat teknologi dan
keterampilan sosial yang lebih superior—sehingga jumlah mereka
menjadi berlipat ganda dan menyebar. Neanderthal yang sumber
dayanya lebih sedikit semakin kesulitan menghidupi diri. Populasi
mereka menyusut dan pelan-pelan mati, kecuali mungkin satu
atau dua anggota yang bergabung dengan tetangganya, Sapiens.
Kemungkinan lainnya adalah bahwa kompetisi memperebutkan
sumber daya menyala menjadi kerusuhan dan genosida. Toleransi
bukanlah ciri Sapiens. Dalam abad modern, perbedaan kecil soal
warna kulit, dialek, atau agama sudah cukup untuk memicu
sekelompok Sapiens untuk mengenyahkan kelompok lain. Apa
mungkin Sapiens kuno lebih toleran terhadap spesies manusia
yang berbeda sama sekali? Maka, sangat mungkin terjadi ketika
Sapiens bertemu Neanderthal, akibatnya adalah kampanye
pembersihan etnis pertama dan paling signifikan dalam sejarah.
Yang mana pun yang terjadi, Neanderthal (dan spesies-spesies
manusia lainnya) menyodorkan salah satu warisan besar sejarah
dalam bentuk pertanyaan “bagaimana jika”. Bayangkan apa yang
terjadi kalau Neanderthal atau Denisova bertahan bersama Homo
sapiens. Jenis budaya, masyarakat, dan struktur politik seperti
apa yang akan muncul di dunia, tempat beberapa spesies manusia
yang berbeda hidup bersama? Bagaimana, misalnya, keyakinan
religius bermula? Akankah Kitab Kejadian mendeklarasikan
bahwa Neanderthal adalah keturunan Adam dan Hawa, akankah
Yesus meninggal karena dosa-dosa Denisova, dan akankah alQuran sudah mengamankan kursi-kursi di surga untuk semua
manusia yang saleh, apa pun spesiesnya? Akankah Neanderthal mampu melayani legiun-legiun Romawi, atau birokrasi semrawut
imperium China? Akankah Deklarasi Kemerdekaan Amerika
memilik kebenaran yang terbukti dengan sendirinya bahwa
seluruh genus Homo diciptakan setara? Akankah Karl Marx
mendesak para buruh dari semua spesies untuk bersatu?
Dalam 10.000 tahun terakhir, Homo sapiens semakin
terbiasa menjadi satu-satunya spesies manusia sehingga sulit
bagi kita untuk membayangkan kemungkinan lain. Ketiadaan
saudara menyebabkan lebih mudah untuk membayangkan bahwa
kita adalah intisari dari penciptaan, dan bahwa satu jurang
memisahkan kita dari anggota lain kerajaan binatang. Ketika
Charles Darwin menunjukkan bahwa Homo sapiens hanya satu
jenis binatang, orang marah. Bahkan, hari ini banyak orang
menolak untuk memercayainya. Kalaupun Neanderthal bertahan,
mungkinkah kita masih membayangkan diri kita menjadi makhluk
yang terpisah? Mungkin inilah jawaban persisnya mengapa leluhur
kita membersihkan Neanderthal. Mereka terlalu nyata untuk
diabaikan, tetapi terlalu berbeda untuk ditoleransi.
Apakah Sapiens harus disalahkan atau tidak, tak lama setelah
kedatangan mereka di satu lokasi baru, populasi asli punah.
Sisa-sisa terakhir Homo soloensis berasal dari masa sekitar
50.000 tahun lalu. Homo denisova musnah tak lama sesudahnya.
Neanderthal hadir kira-kira 30.000 tahun lalu. Manusia cebol
terakhir punah dari Pulau Flores sekitar 12.000 tahun lalu.
Mereka meninggalkan sejumlah tulang belulang, alat-alat batu,
beberapa gen DNA, dan banyak pertanyaan tak terjawab. Mereka
juga meninggalkan kita, Homo sapiens, spesies manusia terakhir.
Apa rahasia kesuksesan Sapiens? Bagaimana kita berhasil
menetap begitu pesat di banyak habitat yang jauh dan berbeda
secara ekologis? Bagaimana kita mendorong spesies-spesies
manusia lain ke ruang pelupaan? Mengapa Neanderthal yang
bahkan kuat, berotak, dan tahan cuaca tidak bisa bertahan
melawan serangan kita? Perdebatannya masih terus berkecamuk.
Jawaban yang paling mungkin adalah sesuatu yang memungkinkan
adanya perdebatan itu: Homo sapiens menaklukkan dunia berkat
bahasanya yang unik.
Dalam bab sebelumnya kita melihat bahwa meskipun Sapiens
sudah menghuni Afrika Timur 150.000 tahun lalu, mereka mulai
menjelajah wilayah lain di Planet Bumi dan mendorong spesies
manusia lain punah baru sekitar 70.000 tahun lalu. Selama
beberapa milenium penghubung, sekalipun Sapiens kuno ini
tampak seperti kita dan otak mereka sebesar otak kita, mereka
tidak menikmati keunggulan yang menonjol atas spesies-spesies
manusia lainnya, tidak menghasilkan alat-alat yang sangat
canggih, dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain
yang istimewa.
Faktanya, dalam pertemuan pertama yang tercatat antara
Sapiens dan Neanderthal, Neanderthal-lah yang menang. Sekitar
100.000 tahun lalu, sekelompok Sapiens bermigrasi ke utara
menuju Levant, yang merupakan teritori Neanderthal, tetapi
gagal menancapkan pijakannya. Mungkin itu disebabkan oleh
penghuni pribumi, iklim yang buruk, atau tak terbiasa dengan
parasit-parasit lokal. Apa pun penyebabnya, Sapiens pada
akhirnya mundur, meninggalkan Neanderthal sebagai penguasa
Timur Tengah.
Prestasi buruk ini membuat para ahli berspekulasi bahwa
struktur internal otak Sapiens ini mungkin berbeda dari
kita. Mereka tampak seperti kita, tetapi kemampuan kognitif
mereka—belajar, mengingat, berkomunikasi—jauh lebih terbatas.
Mengajari Sapiens kuno seperti itu berbahasa Inggris, mengajarkan
kebenaran dogma Kristen, memahamkan mereka teori evolusi
mungkin menjadi pekerjaan yang sia-sia. Sebaliknya, kita mungkin
akan sangat kesulitan mempelajari bahasanya dan memahami
cara berpikirnya.
Akan tetapi, kemudian, diawali sekitar 70.000 tahun lalu,
Homo sapiens mulai melakukan hal-hal yang sangat khusus. Pada
sekitar masa itu beberapa rombongan Sapiens meninggalkan
Afrika untuk kali kedua. Kali ini mereka mengusir Neanderthal
dan semua spesies manusia lainnya tidak hanya dari Timur
Tengah, tetapi juga dari permukaan Bumi. Dalam periode
yang sangat singkat, Sapiens mencapai Eropa dan Asia Timur.
Sekitar 45.000 tahun lalu, mereka menyeberangi laut terbuka
dan mendarat di Australia—sebuah benua yang belum pernah
terjangkau oleh manusia. Dalam periode dari sekitar 70.000
tahun lalu sampai sekiar 30.000 tahun lalu muncullah penemuan
perahu, lampu minyak, busur dan panah, serta jarum (yang
diperlukan untuk menjahit baju hangat). Benda-benda pertama
yang pantas disebut sebagai seni dan perhiasan muncul dari era ini,
sebagaimana bukti tak terbantahkan untuk agama, perdagangan,
dan stratifikasi sosial.
Sebagian besar peneliti percaya bahwa pencapaian yang
belum pernah ada sebelumnya itu merupakan produk dari sebuah
revolusi kemampuan kognitif Sapiens. Mereka mengemukakan
bahwa orang-orang yang memunahkan Neanderthal, yang
berdiam di Australia, dan memahat patung Manusia Singa (Stadel
lion-man) adalah orang-orang yang pintar, kreatif, dan sensitif
seperti kita. Andai saja kita bisa bertemu dengan para seniman
Gua Stadel, kita tentu bisa belajar bahasa mereka dan mereka
belajar bahasa kita. Kita akan bisa menjelaskan kepada mereka
segala hal yang kita tahu—dari petualangan Alice in Wonderland
sampai ke paradoks fisika kuantum—dan mereka bisa mengajari
kita bagaimana pandangan orang-orang mereka tentang dunia.
Munculnya dua cara baru dalam berpikir dan berkomunikasi,
antara 70.000 tahun dan 30.000 tahun lalu, merupakan
Revolusi Kognitif. Apa penyebabnya? Kita tidak tahu. Teori yang
paling banyak dipercaya mengemukakan bahwa mutasi genetik
tanpa sengaja mengubah penyambungan sel-sel otak Sapiens,
memungkinkan mereka berpikir dalam cara yang belum pernah
ada sebelumnya dan berkomunikasi dengan satu jenis bahasa
yang sama sekali baru. Kita bisa menyebutnya mutasi Pohon
Pengetahuan. Mengapa itu lebih mungkin terjadi pada DNA Sapiens ketimbang Neanderthal? Sejauh yang bisa kita pahami,
itu semata-mata masalah kesempatan saja. Namun, yang lebih
penting untuk dipahami adalah konsekuensi dari mutasi Pohon
Pengetahuan ketimbang penyebabnya. Apa keistimewaan bahasa
baru Sapiens yang memungkinkan kita menaklukkan dunia?*
Itu bukan bahasa yang pertama. Setiap binatang punya
sebentuk bahasa. Bahkan serangga, seperti lebah dan semut,
tahu bagaimana berkomunikasi dengan cara yang canggih,
menginformasikan ke rekannya tentang keberadaan makanan. Itu
juga bukan bahasa vokal pertama. Banyak binatang, termasuk
semua spesies kera dan monyet, memiliki bahasa vokal. Misalnya,
kera hijau menggunakan seruan-seruan yang bermacammacam jenisnya untuk berkomunikasi. Para ahli binatang telah
mengidentifikasi salah satu seruan itu berarti, ‘Hati-hati! Ada
elang!’ Seruan yang agak berbeda bermakna peringatan, ‘Awas!
Ada singa!’ Ketika peneliti memutar rekaman seruan pertama ke
sekelompok monyet, monyet-monyet itu berhenti dari apa yang
sedang mereka lakukan dan mendongak ke atas dalam ketakutan.
Ketika kepada kelompok yang sama diperdengarkan seruan kedua,
peringatan adanya singa, mereka cepat-cepat memanjat pohon.
Sapiens bisa menghasilkan lebih banyak suara berbeda ketimbang
monyet hijau, tetapi lumba-lumba dan gajah punya kemampuan
yang sama mengesankannya. Seekor beo bisa mengatakan apa
pun yang dikatakan Albert Einstein, selain menirukan suarasuara dering telepon, bantingan pintu, dan raungan sirene. Apa
pun keunggulan Einstein atas beo, jelas itu bukan vokal. Kalau
begitu, apa sesungguhnya yang istimewa dari bahasa?
Jawaban yang paling umum adalah bahwa bahasa kita
luar biasa luwes. Kita bisa menghubungkan sejumlah terbatas
bunyi dan tanda untuk menghasilkan kalimat dalam jumlah tak
terbatas, masing-masing dengan makna yang berbeda. Dengan itu kita bisa mencerna, menyimpan, dan mengomunikasikan
informasi dalam jumlah yang luar biasa besar tentang dunia
sekeliling. Seekor monyet hijau bisa berteriak ke rekan-rekannya,
‘Hati-hati! Ada singa!’ Namun, seorang manusia modern bisa
memberi tahu teman-temannya bahwa pagi ini, dekat tikungan
sungai, dia melihat seekor singa mengikuti kawanan bison. Dia
kemudian bisa menjelaskan lokasi pastinya, termasuk jalan-jalan
yang berbeda menuju ke arah sana. Dengan informasi ini, para
anggota rombongannya bisa berkumpul bersama dan membahas
apakah mereka akan mendekati sungai itu untuk menghindari
singa dan memburu bison.
Teori kedua menyetujui bahwa bahasa kita yang unik
berevolusi sebagai sarana berbagi informasi tentang dunia.
Namun, informasi paling penting yang harus disampaikan adalah
tentang manusia, bukan tentang singa dan bison. Bahasa kita
berevolusi menjadi cara bergosip. Menurut teori ini Homo sapiens
pada dasarnya adalah binatang sosial. Kerja sama sosial adalah
kunci bertahan dan reproduksi kita. Tidak cukup bagi laki-laki
dan perempuan untuk tahu keberadaan singa dan bison. Yang
jauh lebih penting bagi mereka adalah tahu siapa dalam kalangan
mereka membenci siapa, siapa tidur dengan siapa, siapa yang
jujur, dan siapa penipu.
Jumlah informasi yang harus didapat dan disimpan oleh
seseorang untuk melacak hubungan-hubungan yang berubahubah di antara beberapa puluh individu sungguh mengejutkan.
(Dalam satu kawanan lima puluh individu, ada 1.225 hubungan
satu-satu, dan kombinasi sosial rumit yang tak terhitung.) Semua
kera menunjukkan minat tinggi pada informasi sosial seperti itu,
tetapi mereka kesulitan bergosip secara efektif. Neanderthal dan
Homo sapiens kuno juga kesulitan berbicara sembunyi-sembunyi
di belakang temannya—kemampuan yang kebanyakan berisi
untuk menjelek-jelekkan orang lain nyatanya penting untuk
kerja sama dalam kawanan dengan jumlah besar. Keterampilan
linguistik yang didapat Sapiens modern sekitar tujuh puluh
milenium lalu memungkinkan mereka bergosip selama berjamjam. Informasi tepercaya tentang siapa yang bisa dipercaya berarti bahwa kawanan-kawanan kecil bisa membesar menjadi
kelompok-kelompok besar, dan Sapiens bisa mengembangkan
jenis kerja sama yang lebih ketat dan lebih canggih.1
Teori gosip mungkin terdengar seperti lelucon, tetapi sejumlah
studi mendukungnya. Bahkan, kini mayoritas besar komunikasi
manusia—entah itu dalam bentuk surel, percakapan telepon,
atau kolom surat kabar—adalah gosip. Gosip muncul pada
kita begitu alamiah sehingga tampak seakan-akan bahasa kita
berevolusi untuk tujuan ini. Apakah Anda mengira para profesor
sejarah berbincang tentang alasan Perang Dunia Pertama ketika
bertemu untuk makan siang, atau bahwa para ahli fisika nuklir
menghabiskan waktu rehat minum kopi mereka dalam konferensi
saintifik untuk membicarakan tentang partikel-partikel atom?
Terkadang ya. Namun, lebih sering, mereka bergosip tentang
profesor yang memergoki suaminya berselingkuh, pertengkaran
antara ketua jurusan dan dekan, atau rumor-rumor bahwa seorang
kolega menggunakan dana riset untuk membeli Lexus. Gosip
biasanya fokus pada kesalahan. Para pencinta rumor adalah pilar
keempat asli, yakni para jurnalis yang menginformasikan kepada
masyarakat tentang—dan karena itu melindungi masyarakat
dari—penipuan dan para pembonceng.
Sangat mungkin, teori gosip dan teori ada-singa-dekat-sungai
keduanya valid. Namun, ciri unik sejati dari bahasa kita bukanlah
kemampuanya meneruskan informasi tentang manusia dan singa,
melainkan kemampuannya meneruskan informasi tentang hal-hal
yang tidak tampak sama sekali. Sejauh yang kita tahu, hanya
Sapiens yang bisa berbicara tentang segala jenis entitas yang
belum mereka lihat, sentuh, atau endus.
Legenda, mitos, Tuhan, dan agama muncul kali pertama
dengan kehadiran Revolusi Kognitif. Banyak binantang dan
spesies manusia sebelumnya bisa mengatakan, “Hati-hati! Ada
singa!” Berkat Revolusi Kognitif, Homo sapiens memperoleh
kamampuan untuk mengatakan, “Singa adalah penjaga arwah
suku kita”. Kemampuan untuk berbicara tentang fiksi ini adalah
ciri yang paling unik dari bahasa Sapiens.
Relatif mudah untuk menyepakati bahwa hanya Homo
sapiens yang bisa berbicara tentang hal-hal yang benar-benar tidak nyata, dan meyakini enam hal mustahil sebelum sarapan.
Anda tidak bisa meyakinkan seekor monyet untuk memberimu
sebuah pisang dengan menjanjikan pisang dalam jumlah tak
terbatas setelah kematian di surga monyet. Namun, mengapa
itu penting? Bagaimanapun, fiksi bisa menjadi penyesatan dan
pengasingan yang berbahaya. Orang yang pergi ke hutan untuk
mencari peri dan kuda terbang tampaknya akan punya peluang
lebih kecil untuk bertahan ketimbang orang-orang yang pergi
untuk mencari jamur dan rusa. Dan, jika Anda menghabiskan
waktu selama berjam-jam untuk berdoa pada arwah penjaga yang
tidak nyata, apakah Anda membuang-buang waktu percuma,
waktu yang lebih baik digunakan untuk mencari makan, berkelahi,
dan berzina?
Akan tetapi, fiksi memungkinkan kita bukan hanya
membayangkan sesuatu, melainkan juga melakukannya secara
kolektif. Kita bisa mengabaikan mitos umum seperti kisah
penciptaan dalam kitab suci, mitos Masa Impian penduduk
Aborigin Australia, dan mitos nasionalis tentang negara-negara
modern. Mitos semacam itu memberi Sapiens kemampuan
yang belum ada sebelumnya untuk bekerja sama secara fleksibel
dalam jumlah yang besar. Semut dan lebah juga mampu bekerja
sama dalam jumlah besar, tetapi mereka melakukannya dalam
cara yang sangat kaku dan hanya dengan kerabat terdekatnya.
Serigala dan simpanse bekerja sama jauh lebih fleksibel ketimbang
semut, tetapi mereka melakukannya hanya dengan individu
dalam jumlah kecil yang mereka kenal sangat akrab. Sapiens
bisa bekerja sama dalam cara yang jauh lebih fleksibel secara
ekstrem dengan orang asing dalam jumlah tak terbatas. Itulah
mengapa Sapiens menguasai dunia, sementara semut makan
sisa-sisa kita, dan simpanse terkunci di kebun-kebun binatang
dan laboratorium riset.
Legenda Peugeot
Sepupu kita simpanse biasanya hidup dalam kawanan-kawanan
kecil berisi beberapa puluh individu. Mereka membentuk pertemanan dekat, berburu bersama, dan berjuang bahu-membahu
melawan babon, cheetah, dan simpanse-simpanse musuh. Struktur
sosial mereka cenderung hierarkis. Anggota dominan, yang hampir
selalu jantan, biasa disebut “jantan alfa”. Pejantan-pejantan lain
dan para betinanya tunduk kepada jantan alfa dengan merunduk
di hadapannya sambil mengeluarkan suara-suara dengkur, tak
ubahnya manusia yang membungkuk di hadapan seorang raja.
Jantan alfa berjuang keras untuk mempertahankan harmoni
sosial dalam kawanannya. Ketika dua individu berkelahi, ia
akan mengintervensi dan menghentikan tindak kekerasan. Tanpa
ampun, ia mungkin memonopoli secara istimewa makanan idaman
dan mencegah pejantan kelas bawah mengencani betina.
Ketika dua pejantan berkelahi untuk posisi alfa, mereka
biasanya melakukannya dengan membentuk koalisi pendukung
yang besar, baik jantan maupun betina, dari dalam kelompoknya.
Ikatan di antara anggota-anggota koalisi didasarkan pada kontak
kesehariannya—pelukan, sentuhan ciuman, pembersihan tubuh,
dan dukungan timbal balik. Sebagaimana manusia, politisi
dalam kampanye pemilihan umum berkeliling untuk berjabat
tangan dan mencium bayi, begitu pula simpanse yang berminat
menduduki posisi puncak menghabiskan banyak waktu untuk
memeluk, menepuk punggung, dan mencium bayi simpanse.
Jantan alfa yang menang biasanya bukan karena kuat secara fisik,
melainkan karena ia memimpin koalisi yang besar dan stabil.
Koalisi memainkan peran penting tidak hanya selama perebutan
posisi alfa, tetapi juga dalam hampir seluruh aktivitas sehari-hari.
Para anggota koalisi menghabiskan lebih banyak waktu bersama,
berbagi makanan, dan membantu temannya yang kesulitan.
Ada batas yang tegas ukuran kelompok yang bisa dibentuk
dan bertahan dengan cara itu. Agar berfungsi, semua anggota
kelompok harus saling mengenal secara intim. Dua simpanse
yang tidak pernah bertemu, tidak pernah berkelahi, dan tidak
pernah terlibat dalam saling membersihkan badan tidak akan tahu
apakah mereka bisa saling percaya, dan mana di antara mereka
yang kedudukannya lebih tinggi. Dalam kondisi alamiah, satu
kawanan simpanse biasanya beranggotakan sekitar dua puluh
sampai lima puluh individu. Ketika jumlah simpanse dalam satu kelompok meningkat, keteraturan sosial goyah, akhirnya
mengarah ke perpecahan dan pembentukan kawanan baru oleh
sebagian anggota dalam kelompok itu. Hanya dalam kasus yang
sangat sedikit, para ahli binatang mengamati kelompok-kelompok
yang lebih besar dari seratus simpanse. Kelompok-kelompok
simpanse jarang yang bekerja sama, dan cenderung bersaing untuk
teritori dan makanan. Para periset telah mendokumentasikan
perang panjang antarkelompok, dan bahkan dalam satu kasus
aktivitas “genosida” terjadi, yang di dalamnya satu kawanan
secara sistematis membantai sebagian besar anggota kawanan lain.2
Pola-pola serupa mungkin mendominasi kehidupan sosial
manusia awal, termasuk Homo sapiens kuno. Manusia, seperti
simpanse, memiliki naluri sosial yang memungkinkan para
leluhur kita membentuk pertemanan dan hierarki, dan memburu
atau berkelahi bersama-sama. Namun, sebagaimana naluri sosial
simpanse, manusia-manusia itu teradaptasi hanya untuk kelompok
intim kecil. Ketika kelompok tumbuh terlalu besar, keteraturan
sosialnya goyah dan kelompok terpecah. Andaipun satu lembah
subur bisa menghidupi 500 Sapiens kuno, tidak mungkin begitu
banyak orang asing bisa hidup bersama-sama. Bagaimana mereka
menyepakati siapa yang menjadi pemimpin, siapa yang harus
memburu di mana, atau siapa yang berpasangan dengan siapa?
Dengan munculnya Revolusi Kognitif, gosip membantu Homo
sapiens membentuk kawanan yang lebih besar dan lebih stabil.
Namun, bahkan gosip pun punya keterbatasan. Riset dalam
bidang sosiologi telah menunjukkan bahwa maksimum ukuran
“alamiah” yang diikat oleh gosip adalah sekitar 150 individu.
Sebagian besar anggota tidak mungkin bisa mengenal secara intim,
atau menggosip secara efektif tentang lebih dari 150 anggota.
Bahkan, pada masa kini, ambang batas kritis organisasi
manusia jatuh pada kisaran angka ajaib ini. Di bawah ambang
batas ini, komunitas, bisnis, jaringan sosial, dan kesatuan militer
bisa mempertahankan diri yang didasarkan terutama pada
perkenalan intim dan kegandrungan rumor. Tak dibutuhkan
pangkat formal, jabatan, dan buku aturan untuk menjaga
ketertiban.3
Satu peleton yang berisi tiga puluh tentara atau
bahkan satu kompi berisi seratus tentara bisa berfungsi baik atas dasar hubungan akrab, dengan disiplin formal yang minim.
Seorang sersan yang sangat dihormati bisa menjadi “raja kompi”
dan menegakkan otoritasnya, bahkan kepada seorang opsir yang
bertugas. Satu bisnis keluarga bisa bertahan dan berkembang tanpa
dewan direktur, seorang CEO atau satu departemen akunting.
Namun, begitu ambang batas 150 orang terlampaui, keadaannya
tidak bisa begitu lagi. Anda tidak bisa menjalankan satu divisi
dengan ribuan tentara seperti Anda memimpin satu peleton.
Bisnis keluarga yang sukses biasanya menghadapi krisis ketika
tumbuh lebih besar dan mempekerjakan lebih banyak personel.
Jika tak bisa memperbarui diri, perusahaan itu akan pecah.
Bagaimana bisa Homo sapiens berhasil melampaui ambang
batas kritis ini, yang pada akhirnya mendirikan kota-kota
berpenduduk puluhan ribu penghuni dan imperium yang
menguasai ratusan juta orang? Rahasianya mungkin adalah
munculnya fiksi tadi. Orang asing dalam jumlah besar bisa
bekerja sama dengan sukses dengan meyakini mitos bersama.
Setiap kerja sama manusia dalam skala besar—entah itu
negara modern, gereja abad pertengahan, kota kuno, atau
suku kuno—berakar pada mitos bersama yang muncul hanya
pada imajinasi kolektif orang-orang. Gereja berakar pada mitos
religius bersama. Dua orang Katolik yang tidak pernah saling
bertemu bisa bersama-sama dalam Perang Salib atau menggalang
dana untuk membangun rumah sakit karena mereka sama-sama
yakin bahwa Tuhan berinkarnasi dalam daging manusia dan
memungkinkan Dirinya disalib untuk menebus dosa-dosa kita.
Negara berakar dari mitos kebangsaan bersama. Dua orang Serbia
yang tidak saling bertemu mempertaruhkan nyawa untuk saling
menyelamatkan karena keduanya yakin akan keberadaan negara
Serbia, tanah air Serbia, dan bandara Serbia. Sistem pengadilan
berakar dari mitos hukum bersama. Dua pengacara yang tidak
pernah saling bertemu bisa menyatukan upaya membela orang
yang benar-benar asing karena mereka percaya pada eksistensi
hukum, keadilan, hak-hak asasi manusia—dan uang yang
dibayarkan sebagai upah.
Meskipun demikian, hal-hal ini muncul di luar cerita-cerita
yang ditemukan dan diceritakan orang ke orang lain. Tak ada Tuhan di alam semesta, tak ada negara, tak ada uang, tak ada
hak asasi manusia, tak ada hukum, tak ada keadilan di luar
imajinasi umum makhluk manusia.
Orang dengan mudah memahami bahwa manusia “primitif”
merekatkan keteraturan sosial dengan meyakini adanya hantu
dan arwah, dan berkumpul setiap bulan purnama untuk menari
bersama di sekitar api unggun. Apa yang tak bisa mereka apresiasi
adalah bahwa institusi-institusi modern kita berfungsi benar-benar
atas dasar yang sama. Ambil contoh, dunia korporasi bisnis.
Orang-orang bisnis modern dan para pengacara sesungguhnya
adalah dukun-dukun hebat. Perbedaan prinsip antara mereka dan
suku pedalaman terasing adalah bahwa para pengacara modern
menceritakan kisah yang jauh lebih aneh. Legenda Peugeot
memberi kita contoh yang bagus.
Sebuah ikon yang agak mirip manusia singa Stadel muncul
pada masa kini di mobil, truk, dan sepeda motor dari Paris
sampai Sydney. Itulah hiasan kap yang menghiasi kendaraan
buatan Peugeot, salah satu pabrikan mobil tertua dan terbesar
di Eropa. Peugeot bermula dari sebuah bisnis keluarga kecil
di Desa Valentigney, hanya sekitar 300 kilometer dari Stadel.
Kini perusahaan itu mempekerjakan sekitar 200 ribu orang di
seluruh dunia, sebagian besar adalah orang-orang yang asing
satu sama lain. Orang-orang asing itu bekerja sama begitu efektif
sehingga pada 2008 Peugeot bisa memproduksi lebih dari 1,5
juta kendaraan, menghasilkan pendapatan sekitar 55 miliar euro.Dengan cara bagaimana kita bisa mengatakan bahwa
Peugeot SA (nama resmi perusahaan itu) mampu eksis? Ada
banyak kendaraan Peugeot, memang, tetapi itu semua bukanlah
perusahaannya. Sekalipun jika setiap kendaraan Peugeot di
dunia secara bersamaan dirongsokkan dan dijual sebagai besi
tua, Peugeot SA tidak akan hilang. Ia akan terus memproduksi
mobil baru dan menerbitkan laporan tahunan. Perusahaan itu
memiliki pabrik-pabrik, mesin-mesin, dan rumah-rumah pamer,
serta mempekerjakan pegawai-pegawai mekanik, akuntan, dan
sekretaris, tetapi semua itu bersama-sama bukan pembentuk
Peugeot. Sebuah bencana mungkin membunuh setiap pegawai
Peugeot, dan kemudian menghancurkan semua jalur perakitan
dan kantor-kantor eksekutifnya. Sekalipun dalam keadaan
seperti itu, perusahaan bisa meminjam uang, mempekerjakan
pegawai-pegawai baru, membangun pabrik-pabrik baru, tetapi
tetap itu bukan merupakan perusahaannya. Semua manajer bisa
saja dipecat dan seluruh sahamnya dijual, tetapi perusahaan itu
tetap akan utuh.
Ini tidak berarti bahwa Peugeot SA kebal atau tak bisa
mati. Jika seorang hakim memutuskan pembubaran perusahaan,
pabrik-pabriknya akan tetap berdiri dan para pekerja, akuntanakuntan, para manajer, dan para pemegang sahamnya akan tetap
hidup—tetapi Peugeot SA akan lenyap seketika. Singkatnya,
Peugeot SA tampaknya tidak memiliki koneksi esensial dengan
dunia fisik. Apakah ia benar-benar ada?
Peugeot adalah isapan jempol dari imajinasi kolektif kita.
Para pengacara menyebut ini sebagai “fiksi legal”. Ia tidak bisa
ditunjuk bukan barang fisik. Namun, ia ada sebagai entitas legal.
Seperti halnya Anda dan saya, ia diikat oleh hukum negaranegara tempat ia beroperasi. Ia bisa membuka rekening bank
dan memiliki properti. Ia membayar pajak, dan ia bisa dituntut
dan bahkan diadili terpisah dari orang mana pun yang memiliki
atau bekerja untuknya.
Peugeot milik sebuah genre fiksi legal khusus yang disebut
“perusahaan liabilitas terbatas”. Ide di balik perusahaan-perusahaan
seperti itu merupakan sebagian dari penemuan paling asli manusia.
Homo sapiens hidup selama beribu-ribu tahun tanpa itu. Sepanjang sebagian besar sejarah yang tercatat, properti hanya bisa dimiliki
oleh daging-dan-darah manusia, jenis yang berdiri di atas dua
kaki dan punya otak besar. Jika pada abad ke-13 France Jean
mendirikan bengkel pembuat kereta, dia sendirilah bisnisnya. Jika
sebuah kereta yang dia buat rusak sepekan setelah pembuatan,
pembeli yang sewot akan menuntut Jean secara pribadi. Jika Jean
sudah meminjam 1.000 koin emas untuk mendirikan bengkelnya
dan bisnis itu gagal, dia harus membayar kembali utangnya dengan
menjual properti pribadinya—rumah, sapi, tanah. Dia mungkin
bahkan harus menjual anak-anaknya sebagai tebusan. Jika dia
tidak bisa membayar utang, dia bisa dijebloskan ke penjara oleh
negara atau diperbudak oleh pemberi kredit. Dia sepenuhnya bisa
dimintai pertanggungjawaban, tanpa batas, atas seluruh kewajiban
yang ditimbulkan oleh bengkelnya.
Jika hidup pada masa itu, Anda mungkin akan berpikir dua
kali sebelum membuka usaha sendiri. Dan, sungguh situasi legal
ini menghambat kewirausahaan. Orang-orang takut memulai
bisnis baru dan menanggung risiko ekonominya. Nyaris tidak
ada untungnya mengambil kesempatan yang bisa membawa
keluarganya jatuh ke kemelaratan.
Itulah mengapa orang mulai secara kolektif membayangkan
eksistensi perusahaan liabilitas terbatas. Perusahaan-perusahaan
semacam itu secara legal independen dari orang yang mendirikannya, atau menginvestasikan uang ke dalamnya, atau mengelolanya. Selama beberapa abad terakhir ini, perusahaan semacam
itu telah menjadi pemain-pemain utama dalam arena ekonomi,
dan kita semakin terbiasa dengannya sehingga kita lupa bahwa
perusahaan seperti itu hanya eksis dalam imajinasi kita. Di
Amerika Serikat, istilah teknis untuk perusahaan liabilitas terbatas
adalah “korporasi”, yang ironis, karena istilah itu berasal dari
“corpus” (tubuh dalam bahasa Latin)—satu hal yang tidak dimiliki
oleh korporasi-korporasi ini. Meskipun tidak memiliki tubuh
riil, sistem legal Amerika memperlakukan korporasi-korporasi
sebagai person legal, seakan-akan mereka adalah daging-dandarah makhluk manusia.
Demikian pula halnya dengan sistem legal Prancis pada 1896,
ketika Armand Peugeot, yang mewarisi dari kedua orangtuanya sebuah bengkel logam yang memproduksi pegas, gergaji, dan
sepeda, memutuskan untuk memasuki bisnis otomotif. Untuk
keperluan itu, dia mendirikan sebuah perusahaan liabilitas
terbatas.
Dia menamai perusahaan itu dari namanya sendiri, tetapi
perusahaan itu independen dari dirinya. Jika salah satu mobil
rusak, pembeli bisa menuntut Peugeot, tetapi bukan Armand
Peugeot. Jika perusahaan meminjam jutaan franc dan kemudian
gulung tikar, Armand Peugeot tidak berutang pada pemberi kredit
satu franc pun. Pinjaman itu, bagaimanapun, sudah diberikan
ke Peugeot, perusahaan, bukan kepada Armand Peugeot, sang
Homo sapiens. Armand Peugeot meninggal pada 1915. Peugeot,
perusahaan itu, masih hidup dan sehat.
Bagaimana sesungguhnya Armand Peugeot, orangnya,
menciptakan Peugeot, perusahaan? Caranya sama dengan para
pendeta dan dukun menciptakan tuhan dan setan sepanjang
sejarah, dan cara yang di dalamnya ribuan curés (ahli pengobatan)
Prancis masih menciptakan tubuh Kristus setiap Minggu di
gereja-gereja. Semua itu berkisar pada penceritaan kisah-kisah,
dan upaya meyakinkan orang agar memercayainya. Dalam kasus
curés Prancis, kisah krusialnya adalah bahwa kehidupan dan
kematian Kristus sebagaimana diceritakan oleh Gereja Katolik.
Menurut cerita ini, pendeta Katolik yang mengenakan kain suci
mengatakan penuh khidmat kata-kata yang tepat pada saat yang
tepat, roti anggur duniawi berubah menjadi daging dan darah
Tuhan. Pendeta berseru “Hoc est corpus meum!” (ungkapan Latin
yang berarti ‘Ini tubuh saya’) dan hocus pocus—roti berubah
menjadi daging Kristus. Melihat teratur dan khidmatnya pendeta
menjalakan semua prosedur itu, jutaan pemeluk Katolik Prancis
berperilaku seakan-akan Tuhan benar-benar ada dalam roti dan
anggur yang disucikan itu.
Dalam kasus Peugeot SA, kisah krusialnya adalah ayat
hukum, sebagaimana ditulis oleh parlemen Prancis. Menurut
para legislator Prancis, jika seorang pengacara bersertifikat
mengikuti semua liturgi dan ritual yang benar, menulis semua
mantra dan sumpah yang diwajibkan pada selembar kertas yang
dihiasi sangat bagus, dan membubuhkan tanda tangannya yang penuh hiasan di bagaian bawah dokumen, maka abrakadabra...
sebuah perusahaan baru telah didirikan. Ketika Armand Peugeot,
pada 1896, ingin menciptakan perusahaannya, dia membayar
seorang pengacara menjalankan semua prosedur suci itu. Begitu
pengacara selesai melakukan ritual yang benar dan melafalkan
semua mantra dan sumpah yang diperlukan, jutaan penduduk
Prancis yang berdiri tegak berperilaku seakan-akan perusahaan
Peugeot benar-benar ada.
Menceritakan kisah-kisah yang efektif tidaklah mudah.
Kesulitannya tidak terletak pada bagaimana menceritakan kisah
itu, tetapi pada bagaimana meyakinkan setiap orang lain untuk
memercayainya. Banyak sejarah berkisar pada pertanyaan ini:
bagaimana seseorang bisa meyakinkan jutaan orang untuk yakin
pada kisah-kisah tertentu tentang Tuhan, negara, atau perusahaan
liabilitas terbatas? Namun, ketika berhasil, kisah itu memberi
Sapiens kekuatan besar, karena memungkinkan jutaan orang
asing mau bekerja sama dan bekerja menuju tujuan bersama.
Coba saja bayangkan betapa sulitnya menciptakan negara, gereja,
atau sistem hukum jika kita hanya mampu bicara tentang hal-hal
yang benar-benar ada, seperti sungai, pohon, dan singa.
Selama bertahun-tahun orang-orang memintal jalinan cerita
yang luar biasa rumit. Dalam jalinan itu, fiksi-fiksi seperti
Peugeot tidak hanya ada, tetapi juga mengakumulasi kekuatan
besar. Jenis hal yang diciptakan orang dalam jalinan kisah-kisah
itu dikenal di kalangan akademisi sebagai “fiksi”, “konstruk
sosial”, atau “realitas yang dibayangkan”. Sebuah realitas yang
dibayangkan bukanlah kebohongan. Saya bohong kalau saya
mengatakan ada seekor singa dekat sungai ketika saya tahu
sepenuhnya bahwa tidak ada singa di sana. Tidak ada yang
istimewa tentang kebohongan. Monyet hijau dan simpanse bisa
berbohong. Seekor monyet hijau, misalnya, pernah diobservasi
menyeru “Awas! Ada singa!” ketika tidak ada seekor pun singa
di sekitarnya. Peringatan itu dengan mudah menakutkan seekor
monyet yang baru saja menemukan sebuah pisang, meninggalkan
pembohongnya mencuri rezeki itu untuk dirinya.
Tak seperti kebohongan, realitas yang dibayangkan adalah
sesuatu yang dipercaya setiap orang, dan sepanjang kepercayaan bersama itu ada, realitas yang dibayangkan mendatangkan
kekuatan di dunia. Pematung Gua Stadel mungkin saja secara
jujur meyakini keberadaan arwah penjaga, manusia singa, itu.
Sebagian dukun adalah penipu, tetapi sebagian besar secara jujur
meyakini keberadaan Tuhan dan setan. Sebagian besar miliuner
secara jujur percaya akan keberadaan uang dalam perusahaan
liabilitas terbatas. Sebagian besar aktivis hak asasi manusia secara
jujur meyakini adanya hak-hak asasi manusia. Tak seorang pun
berbohong ketika, pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menuntut agar pemerintah Libya menghormati hak-hak asasi
manusia warganya, sekalipun PBB, Libya, dan hak-hak asasi
manusia semuanya adalah isapan jempol dari imajinasi kita
yang subur.
Sejak munculnya Revolusi Kognitif, Sapiens dengan demikian
hidup dalam realitas ganda. Di satu sisi, realitas objektif sungai,
pohon, dan singa; dan di sisi lain, realitas yang dibayangkan
tentang Tuhan, negara, dan korporasi. Seiring berjalannya waktu,
realitas yang dibayangkan menjadi semakin kuat, sehingga kini
sungai-sungai, pohon, dan singa yang bertahan bergantung pada
kemurahan entitas yang dibayangkan seperti Tuhan, negara, dan
korporasi.
Memintas Genom
Kemampuan untuk menciptakan realitas yang dibayangkan dengan
kata-kata memungkinkan banyak orang asing bisa bekerja sama
secara efektif. Namun, ia juga menghasilkan sesuatu yang lebih
besar. Karena kerja sama manusia dalam skala besar didasarkan
pada mitos, cara orang bekerja sama bisa diganti dengan
mengganti mitosnya—dengan menceritakan kisah yang berbeda.
Dalam keadaan yang tepat mitos bisa berubah sangat cepat. Pada
1789, populasi Prancis beralih dalam sekejap dari memercayai
mitos hak ilahiah raja ke memercayai mitos kedaulatan rakyat.
Akibatnya, sejak munculnya Revolusi Kognitif, Homo sapiens
bisa merevisi perilakunya dengan cepat sesuai kebutuhan yang
berubah-ubah. Ini membuka jalur cepat evolusi kultural, memintas kemacetan-kemacetan lalu lintas evolusi genetika. Menyusuri
jalur cepat ini, Homo sapiens segera jauh mengungguli semua
spesies manusia dan binatang lain dalam hal kemampuan untuk
bekerja sama.
Perilaku binatang-binatang sosial lainnya sebagian besar
di tentukan oleh gen mereka. DNA bukanlah otokrat. Perilaku
binatang juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan dan kebiasaankebiasaan individu. Bagaimanapun, dalam satu lingkungan
tertentu, binatang-binatang dari spesies yang sama cenderung
berperilaku dengan cara yang sama. Perubahan-perubahan
signifikan dalam perilaku sosial tidak bisa terjadi, pada umumnya,
tanpa mutasi gen. Misalnya, simpanse-simpanse biasa memiliki
kecenderungan genetik untuk hidup dalam kelompok-kelompok
hierarkis yang dipimpin oleh seekor jantan alfa. Spesies yang
terhubung dekat dengan simpanse, bonobo, biasanya hidup dalam
kelompok-kelompok yang lebih egaliter, yang didominasi oleh
aliansi-aliansi betina. Simpanse-simpanse betina biasa tidak bisa
mengambil pelajaran dari kerabat mereka, bonobo, dan kemudian
melancarkan revolusi feminis. Simpanse-simpanse jantan tidak
bisa berkumpul dalam majelis konstitusi untuk menghapuskan
kantor jantan alfa dan mendeklarasikan bahwa dari sini semua
simpanse diperlakukan setara. Perubahan-perubahan dramatis
dalam perilaku semacam itu hanya terjadi jika sesuatu berubah
dalam DNA simpanse.
Dengan alasan yang sama, manusia-manusia kuno tidak
menginisiasi revolusi apa pun. Sejauh yang bisa kita ceritakan,
perubahan-perubahan pola-pola sosial, penemuan teknologi baru
dan penempatan habitat-habitat asing menghasilkan mutasi-mutasi
genetik dan tekanan lingkungan lebih dari inisiatif kultural.
Itulah mengapa manusia butuh ratusan tahun untuk mencapai
langkah ini. Dua juta tahun lalu, mutasi-mutasi gen menghasilkan
munculnya spesies manusia baru yang disebut Homo erectus.
Kemunculannya disertai perkembangan teknologi alat baru, yang
kini dikenali sebagai ciri khas spesies ini. Selama Homo erectus
tidak mengalami perubahan genetik labih lanjut, alat-alat batu
kurang lebih tetap seperti sama—selama hampir 2 juta tahun!
Secara kontras, sejak adanya Revolusi Kognitif, Sapiens
mampu mengubah perilaku mereka dengan cepat, meneruskan
perilaku-perilaku baru ke generasi berikutnya tanpa perlu
perubahan genetik maupun lingkungan. Satu contoh yang sangat
bagus, lihatlah perulangan kaum elite tak beranak, seperti
kepastoran Katolik, ajaran monastik Buddha dan birokrasi
orang kasim China. Eksistensi orang-orang elite semacam itu
berlawanan dengan prinsip-prinsip paling fundamental dari
seleksi alam karena para anggota dominan masyarakat itu secara
sukarela meninggalkan peran sebagai ayah. Kalau jantan alfa
simpanse menggunakan kekuasaannya untuk berhubungan seks
dengan sebanyak mungkin betina—dan konsekuensinya menjadi
ayah dari barisan muda dalam jumlah besar—jantan alfa Katolik
abstain sepenuhnya dari hubungan seksual dan perawatan anak.
Pilihan abstain itu bukan akibat dari kondisi lingkungan yang unik
seperti kelangkaan pangan yang parah atau keinginan pasangan
potensial. Bukan pula hasil dari perilaku tertentu akibat mutasi
genetik. Gereja Katolik telah bertahan selama berabad-abad,
tidak dengan memintas “gen selibat” dari satu paus ke paus
berikutnya, melainkan dengan cerita-cerita Perjanjian Baru dan
hukum kanon Katolik.
Dengan kata lain, sementara pola-pola perilaku manusia
kuno bersifat tetap selama puluhan ribu tahun, Sapiens bisa
mentransformasi struktur-struktur sosial, sifat hubungan
interpersonal, dan sejumlah besar perilaku lain hanya dalam waktu
satu atau dua dekade. Bayangkan seorang warga Berlin, yang lahir
pada 1900 dan hidup selama seratus tahun. Dia menghabiskan
masa kanak-kanaknya dalam Imperium Hohenzollern Wilhelm
II; tahun-tahun dewasanya berada di bawah Republik Weimar,
rezim Third Reich Nazi dan Jerman Timur Komunis; dan dia
meninggal sebagai seorang warga Jerman bersatu yang demokratis.
Dia berhasil menjadi bagian dari lima sistem sosio-politik yang
berbeda walaupun DNA-nya tetap benar-benar sama.
Inilah kunci dari sukses Sapiens. Dalam perkelahian satulawan-satu, seorang Neanderthal mungkin akan mengalahkan
Sapiens. Namun, dalam konflik ratusan orang, Neanderthal
tidak akan mampu bertahan. Neanderthal bisa berbagi informasi
tentang keberadaan singa, tetapi mereka mungkin tidak akan bisa
menceritakan—dan merevisi—cerita tentang arwah suku. Tanpa
kemampuan mengarang fiksi itu, Neanderthal tidak mampu
bekerja sama secara efektif dalam jumlah besar, juga tidak mampu
menyesuaikan perilaku sosial mereka dengan tantangan-tantangan
yang berubah dengan cepat.
Meskipun kita tidak bisa masuk ke dalam pikiran Neanderthal
untuk memahami bagaimana cara berpikir mereka, kita punya
bukti tidak langsung tentang keterbatasan kognisi mereka
dibandingkan dengan rival Sapiens-nya. Para arkeologis yang
menggali situs-situs Sapiens yang berusia 30.000 tahun di jantung
Eropa sesekali menemukan di sana kerang-kerang laut dari
pesisir Mediteran dan Atlantik. Kemungkinannya, kerang-kerang
itu sampai ke pedalaman benua itu melalui perdagangan jarak
jauh antara berbagai kawanan Sapiens yang berbeda. Situs-situs
Neanderthal tidak punya bukti perdagangan semacam itu. Setiap grup membuat alat-alat sendiri dari material lokal.4
Satu contoh lagi datang dari Pasifik Selatan. Kelompokkelompok Sapiens yang hidup di Pulau Irlandia Baru, sebelah
utara Nugini, menggunakan kaca vulkanik yang disebut obsidian
untuk membuat alat-alat tajam dan sangat kuat. Namun, Irlandia
baru tidak punya cadangan alam obsidian. Uji-uji laboratorium
mengungkapkan bahwa obsidian yang mereka gunakan dibawa
dari cadangan di Britania Baru, sebuah pulau 400 kilometer
jauhnya. Sebagian dari penghuni pulau-pulai ini pasti navigator
ulung yang berdagang dari pulau ke pulau menempuh jarak
yang jauh.5
Perdagangan mungkin tampak sebagai kegiatan yang sangat
pragmatis, yang tak memerlukan dasar-dasar fiktif. Namun,
faktanya tidak ada binatang selain Sapiens yang terlibat dalam
perdagangan, dan semua jaringan perdagangan Sapiens yang
tentangnya kita punya bukti terperinci didasarkan pada fiksi-fiksi.
Perdagangan tidak bisa muncul tanpa kepercayaan, dan sangat
sulit untuk memercayai orang asing. Jaringan perdagangan global
saat ini didasarkan pada kepercayaan kita pada entitas-entitas
fiksional seperti dolar, Federal Reserve Bank, dan lambanglambang korporasi. Ketika dua orang asing dalam masyarakat
suku ingin berdagang, mereka akan membangun kepercayaan
dengan memohon kepada Tuhan, leluhur mitos, atau binatang
lambang yang sama.
Jika Sapiens kuno yang meyakini fiksi-fiksi semacam itu
memperdagangkan kerang dan obsidian, maka masuk akal bahwa
mereka juga bisa memperdagangkan informasi, dan karena itu
menciptakan jalinan pengetahuan yang lebih padat dan lebih
luas ketimbang yang dimiliki Neanderthal dan manusia-manusia
kuno lainnya. Teknik berburu memberikan ilustrasi perbedaanperbedaan ini. Neanderthal biasanya berburu sendirian atau
dalam kelompok-kelompok kecil.
Sapiens, di sisi lain, mengembangkan teknik-teknik yang
bertumpu pada kerja sama berpuluh-puluh individu, dan
mungkin bahkan antarkawanan. Satu metode yang sangat
efektif adalah mengepung seluruh kawanan binatang, seperti
kuda liar, kemudian memburunya dalam ngarai yang sempit, yang dengan mudah menghabisinya secara massal. Jika semua
berjalan seperti rencana, kawanan-kawanan manusia itu akan
memanen berton-ton daging, lemak, dan kulit binatang dalam
upaya kolektif di satu sore saja, dan entah mengonsumsi harta
ini dalam pesta besar, atau mengeringkan, mengasapi atau (di
area-area Arctic) membekukannya untuk dimakan lain waktu.
Para arkeolog menemukan situs-situs di mana seluruh kawanan
binatang dibantai setiap tahun dengan cara itu. Bahkan, ada
situs-situs di mana pagar-pagar dan penghalang didirikan dalam
rangka menciptakan perangkap artifisial dan lahan pembantaian.
Kita mungkin berasumsi bahwa Neanderthal tidak senang
melihat lahan perburuan tradisional mereka berubah menjadi
lahan pembantaian yang dikuasai Sapiens. Namun, jika kerusuhan
meletus antara kedua spesies itu, nasib Neanderthal tidak terlalu
lebih baik dari kuda-kuda liar. Lima puluh Neanderthal yang
bekerja sama dalam pola-pola tradisional yang statis bukanlah
tandingan bagi 500 Sapiens yang lincah dan inovatif. Dan,
andaipun Sapiens kalah di babak pertama, mereka bisa dengan
cepat menemukan tipu daya yang memungkinkan mereka menang
lain waktu.
Besarnya keragaman dari realitas yang dibayangkan yang
ditemukan Sapiens, dan keragaman pola-pola perilaku yang
dihasilkannya, adalah komponen utama dari apa yang kita sebut
“budaya”. Begitu muncul, budaya-budaya itu tak pernah berhenti
berubah dan berkembang, dan perubahan-perubahan yang tak
terhentikan inilah yang kita sebut “sejarah”.
Revolusi Kognitif dengan demikian adalah titik di mana
sejarah mendeklarasikan kemerdekaannya dari biologi. Sampai
dengan Revolusi Kognitif, perbuatan-perbuatan semua spesies
manusia berada dalam ranah biologi, atau, jika Anda lebih
menyukai, prasejarah (Saya cenderung menghindari istilah
“prasejarah” karena itu secara keliru membawa makna, bahkan
sebelum Revolusi Kognitif, manusia ada dalam kategorinya
sendiri). Sejak Revolusi Kognitif dan seterusnya, narasi-narasi
sejarah menggantikan teori-teori biologi sebagai sarana utama
kita dalam menjelaskan perkembangan Homo sapiens. Untuk
memahami munculnya Kristianitas atau Revolusi Prancis, tidak cukup dengan memahami interaksi gen-gen, hormon-hormon, dan
organisme-organisme. Diperlukan pula untuk mempertimbangkan
interaksi ide-ide, gambar-gambar, dan fantasi-fantasi.
Ini tidak berarti bahwa Homo sapiens dan kebudayaan
manusia terkecualikan dari hukum-hukum biologi. Kita masih
tetap binatang dan kemampuan fisik, emosional, dan kognitif
kita masih dibentuk oleh DNA kita.
Masyarakat kita dibentuk dari blok-blok bangunan yang
sama sebagaimana masyarakat Neanderthal atau simpanse, dan
semakin jauh kita mencermati blok-blok bangunan ini—sensasi,
emosi, ikatan keluarga—semakin sedikit perbedaan yang kita
temukan antara kita dan kera-kera lain.
Meskipun demikian, keliru kalau kita mencari perbedaanperbedaan pada level individual dan keluarga. Satu lawan satu,
atau bahkan sepuluh lawan sepuluh, kita secara mengejutkan
serupa dengan simpanse. Perbedaan-perbedaan signifikan baru
mulai muncul ketika kita melampaui ambang batas 150 individu,
dan ketika kita mencapai 1.000 sampai 2.000 individu, perbedaanperbedaan itu mencengangkan. Jika Anda mengumpulkan ribuan
simpanse di Lapangan Tiananmen, Wall Street, Vatikan, atau
markas besar PBB, hasilnya akan semrawut. Bandingannya,
Sapiens bisa berkumpul secara rutin dalam jumlah ribuan di
tempat-tempat semacam itu. Bersama-sama, mereka menciptakan
pola-pola teratur—seperti jaringan perdagangan, perayaan
massal, dan institusi-institusi politik—yang belum pernah mereka
ciptakan secara terpisah. Perbedaan riil antara kita dan simpanse
adalah mitos pengikat yang merekatkan individu, keluarga, dan
kelompok dalam jumlah besar. Perekat itu membuat kita ulung
dalam penciptaan.
Tentu saja, kita juga butuh keterampilan lain, seperti
kemampuan untuk membuat dan menggunakan alat. Meskipun
demikian, pembuatan alat adalah konsekuensi kecil kalau tidak
digabung kan dengan kemampuan untuk bekerja sama dengan
banyak orang lain. Bagaimana bisa kita sekarang memiliki misil
antarbenua dengan hulu ledak nuklir, sementara 30.000 tahun
lalu kita hanya punya batang dengan mata pisau batu? Secara
psikologis, tidak ada perbaikan signifikan dalam kapasitas kita dalam pembuatan alat selama 30.000 tahun terakhir. Albert
Einstein jauh kurang tangkas tangannya dibandingkan dengan
seorang manusia kuno pemburu-penjelajah. Namun, kapasitas
kita untuk bekerja sama dengan orang asing dalam jumlah besar
membaik secara dramatis. Mata pisau batu kuno dibuat hanya
dalam beberapa menit oleh satu orang, yang bergantung pada
saran dan bantuan beberapa teman dekat. Produksi hulu ledak
nuklir modern membutuhkan kerja sama jutaan orang asing di
seluruh dunia—dari pekerja yang menambang bijih uranium di
kedalaman Bumi sampai ke para ahli fisika teoretis yang menulis
rumus-rumus matematika panjang untuk menjelaskan interaksi
partikel-partikel atom.
Berikut ini adalah ringkasan hubungan antara biologi dan
sejarah setelah Revolusi Kognitif:
a. Biologi membuat parameter-parameter dasar perilaku dan
kapasitas Homo sapiens. Keseluruhan sejarah berlangsung
dalam batasan-batasan arena biologis ini.
b. Meskipun demikian, area ini luar biasa besar, memungkinkan
Sapiens memainkan ragam permainan yang mencengangkan.
Berkat kemampuan mereka dalam menemukan fiksi, Sapiens
bisa menciptakan permainan-permainan yang semakin
rumit dan semakin rumit, yang berarti setiap generasi
mengembangkan dan mengelaborasi lebih jauh.
c. Akibatnya, dalam rangka memahami bagaimana perilaku
Sapiens, kita harus menjelaskan evolusi sejarah tindakantindakan mereka. Merujuk hanya pada hambatan-hambatan
biologis seperti penyiar radio olahraga yang, ketika meliput
kejuaraan sepak bola Piala Dunia, menyampaikan kepada
para pendengarnya penjelasan terperinci tentang lapangan
permainan, bukan penjelasan tentang apa yang sedang
dilakukan pemain.
Permainan apa yang dilakukan leluhur Abad Batu kita dalam
arena sejarah? Sejauh yang kita ketahui, orang-orang yang
memahat patung manusia singa Stadel sekitar 30.000 tahun lalu
memiliki kemampuan fisik, emosional, dan intelektual yang sama dengan yang kita miliki. Apa yang mereka lakukan ketika bangun
di pagi hari? Apa yang mereka makan untuk sarapan—dan makan
siang? Seperti apa masyarakat mereka? Apakah mereka punya
hubungan monogami? Apakah mereka melakukan upacara, punya
aturan-aturan moral, malakukan kontes olahraga, dan ritualritual keagamaan? Apakah mereka berperang? Bab selanjtunya
akan mengintip apa di balik tirai abad-abad yang menjelaskan
seperti apa kehidupan dalam milenium-milenium pemisah antara
Revolusi Kognitif dan Revolusi Pertanian.
Untuk memahami alam, sejarah, dan psikologi, kita harus
masuk ke dalam kepala para leluhur, para pemburu-penjelajah.
Hampir sepanjang keseluruhan sejarah spesies kita, Sapiens
hidup sebagai penjelajah makanan. Masa 200 tahun terakhir,
yang di dalamnya Sapiens dalam jumlah yang terus bertambah
mendapatkan makanan harian mereka dari pekerjaan menjadi
buruh urban dan pekerja kantoran, dan 10.000 tahun sebelumnya,
yang di dalamnya sebagian besar Sapiens hidup sebagai petani
dan penggembala, ibarat sekedipan mata dibandingkan dengan
puluhan ribu tahun yang di dalamnya para leluhur kita berburu
dan mengumpulkan makanan.
Psikologi evolusi yang semakin maju menjelaskan bahwa
banyak karakteristik sosial dan psikologis kita masa kini yang
dibentuk dalam era panjang pra-agrikultural ini. Bahkan sekarang,
menurut para ahli di bidang ini, otak dan pikiran kita beradaptasi
dengan kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan.
Kebiasaan makan, konflik-konflik, dan seksualitas kita semua
adalah hasil dari cara pikiran pemburu-penjelajah berinteraksi
dengan lingkungan pasca-industri kita saat ini, dengan kotakota raksasa, pesawat, telepon, dan komputernya. Lingkungan
memberi kita lebih banyak sumber daya material dan kehidupan
yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dirasakan oleh
generasi mana pun sebelumnya, tetapi itu sering membuat kita
merasa terasing, tertindas, dan tertekan.
Untuk memahami penyebabnya, menurut para ahli psikologi
evolusi, kita perlu menyelam ke dunia pemburu-penjelajah yang
membentuk kita, dunia yang dalam alam bawah sadar masih
kita huni.
Mengapa, misalnya, orang-orang menyantap makanan tinggi
kalori yang tak banyak manfaatnya bagi tubuh? Kini masyarakatmasyarakat makmur berada dalam penderitaan bencana obesitas,
yang dengan cepat menyebar ke negara-negara berkembang.
Sebuah teka-teki, mengapa kita gandrung dengan makanan paling
manis dan paling berminyak yang bisa kita jumpai, sampai kita
mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan makan para leluhur
kita. Di savana dan hutan-hutan yang mereka tempati, makanan
manis tinggi kalori sangat jarang dan persediaan makanan secara
umum sangat sedikit. Pada masa 30.000 tahun lalu, satu individu
hanya memiliki akses ke satu jenis makanan manis—buah yang
matang. Jika seorang perempuan Zaman Batu menemukan
sebuah pohon berderak menjuntai dengan beban buah-buah ara,
hal yang paling masuk akal untuk dilakukan adalah memakan
buah-buah itu sebanyak yang bisa dia lakukan di tempat, sebelum
kawanan babon lokal memetiknya. Naluri untuk menggandrungi
makanan tinggi kalori dibentuk dalam gen-gen kita. Kini kita
mungkin hidup di apartemen-apartemen yang tinggi menjulang
dengan kulkas-kulkas yang penuh persediaan, tetapi DNA kita
masih berpikir kita berada di savana. Itulah yang membuat kita
menyendok tandas seliter Ben & Jerry ketika menemukannya di
freezer dan mencuci-bersih tenggorokan kita dengan Coke jumbo.
Teori “gen-penyantap” ini diterima secara luas. Teori-teori
lain jauh lebih kontroversial. Misalnya, kalangan psikologi evolusi
berpendapat bahwa kawanan-kawanan pencari makan kuno
tidak tersusun atas keluarga-keluarga nuklir berintikan pasanganpasangan monogami. Namun, para pencari makan hidup dalam
kelompok-kelompok (komun) tanpa properti pribadi, hubungan
monogamis, bahkan peran keayahan. Dalam kawanan seperti
itu, seorang perempuan bisa melakukan hubungan seks dan
membentuk ikatan-ikatan intim dengan beberapa laki-laki (dan
perempuan) secara simultan, dan semua orang dewasa dalam
kawanan bekerja sama dalam hal merawat anak-anak. Karena tidak ada laki-laki yang tahu pasti anak mana yang merupakan
anaknya, para laki-laki menunjukkan kepedulian yang sama
terhadap semua anak.
Struktur sosial semacam itu bukanlah utopia Akuarian.
Itu terdokumentasikan dengan baik pada binatang, terutama
kerabat terdekat kita, simpanse dan bonobo. Bahkan, ada
sejumlah kultur manusia masa kini yang di dalamnya peran ayah
bersama dipraktikkan, misalnya di kalangan suku Indian BarÃ.
Menurut keyakinan kelompok masyarakat seperti itu, seorang
anak tidak dilahirkan dari sperma seorang pria tunggal, tetapi
dari akumulasi sperma dalam rahim perempuan. Seorang ibu
yang baik akan memastikan untuk melakukan hubungan seks
dengan beberapa laki-laki, terutama ketika dia sedang hamil,
agar anaknya menikmati kualitas (dan perawatan paternal) tidak
hanya dari pemburu terbaik, tetapi juga dari pencerita terbaik,
petarung terkuat, dan pencinta yang paling penuh perhatian. Jika
ini terdengar bodoh, pikirkan bahwa sebelum berkembangnya
studi embriologikal modern, orang tidak punya bukti kuat
bahwa bayi-bayi selalu dihasilkan oleh satu ayah tunggal, bukan
banyak laki-laki.
Para pendukung teori “komun kuno” ini berpendapat bahwa
perselingkuhan yang kerap terjadi yang mencirikan pernikahan
modern, dan tingginya angka perceraian, belum lagi tumpah
ruahnya penyakit-penyakit psikologis yang membuat anak-anak
dan orang dewasa sama-sama menderita, semuanya merupakan
akibat dari pemaksaan manusia untuk hidup dalam keluargakeluarga nuklir dan hubungan monogami yang tidak cocok
dengan perangkat lunak biologis kita.1
Banyak ahli menolak mentah-mentah teori ini, dengan
menekankan bahwa baik monogami maupun pembentukan
keluarga-keluarga nuklir adalah inti dari perilaku manusia.
Meskipun masyarakat-masyarakat pemburu-penjelajah kuno
cenderung lebih komunal dan egaliter ketimbang masyarakat
modern, para periset berpendapat mereka tetap terdiri dari selsel terpisah, yang masing-masing berisi pasangan pencemburu
dan anak-anak yang mereka besarkan bersama. Inilah mengapa
kini hubungan monogami dan keluarga-keluarga nuklir menjadi norma dalam banyak kultur, mengapa laki-laki dan perempuan
cenderung sangat posesif atas pasangan dan anak-anak mereka,
dan mengapa bahkan dalam negara-negara modern seperti Korea
Utara dan Suriah otoritas politik diwariskan dari ayah kepada
anak.
Untuk menyelesaikan kontroversi ini dan memahami
seksualitas, masyarakat, dan politik, kita perlu mempelajari
sesuatu tentang kondisi-kondisi yang masih ada dari para
leluhur kita, untuk menelaah bagaimana Sapiens hidup di antara
masa Revolusi Kognitif 70.000 tahun lalu, dan awal Revolusi
Agrikultural sekitar 12.000 tahun lalu.
Sayang sekali, tak banyak hal yang pasti berkaitan dengan
kehidupan leluhur pengembara kita. Perdebatan antara aliran
“komun kuno” dan “monogami kekal” didasarkan pada bukti
sumir. Kita jelas tidak punya catatan-catatan tertulis dari abad
pengembara itu, dan bukti arkeologis berisi utamanya tulangtulang fosil dan alat-alat batu. Artefak-artefak yang terbuat dari
bahan-bahan mudah rusak—seperti kayu, bambu, atau kulit—
hanya bisa bertahan dalam kondisi tertentu. Kesan umum bahwa
manusia-manusia pra-agrikultur hidup pada Zaman Batu adalah
miskonsepsi yang didasarkan pada bias arkeologis. Zaman Batu
seharusnya lebih tepat disebut Zaman Kayu karena sebagian
besar alat yang digunakan oleh para pemburu-penjelajah terbuat
dari kayu.
Setiap rekonstruksi atas kehidupan pemburu-penjelajah kuno
dari artefak-artefak yang selamat benar-benar problematik. Salah
satu perbedaan yang paling mencolok antara pengembara kuno
dan keturunan agrikultural dan industrial mereka adalah bahwa
para pengembara memiliki artefak yang sangat sedikit untuk
dijadikan titik awal, dan secara komparatif artefak-artefak ini
memainkan peranan rendah dalam kehidupan mereka. Sepanjang
hidupnya, seorang anggota masyarakat modern yang makmur
akan memiliki beberapa juta artefak—mulai dari mobil dan
rumah sampai ke kain lap sekali pakai dan kotak-kotak susu.
Hampir tidak ada aktivitas, keyakinan, atau bahkan emosi yang
tidak dimediasi oleh benda-benda yang kita rancang. Kebiasaan
makan kita dimediasi oleh kumpulan hasil pemikiran berupa item-item seperti sendok dan gelas sampai laboratorium rekayasa
genetik dan kapal-kapal raksasa penjelajah samudra. Dalam
bermain, kita menggunakan bertumpuk-tumpuk mainan, mulai
dari kartu-kartu plastik sampai ke stadion berkapasitas 100.000
kursi. Hubungan romantis dan seksual kita ditemani cincin,
tempat tidur, pakaian bagus, pakaian dalam seksi, kondom,
restoran modern, motel murah, ruang tunggu bandara, gedunggedung upacara pernikahan, dan perusahaan katering. Agama
membawakan kesakralan ke dalam hidup kita dengan gerejagereja Gothic, masjid Muslim, ashram Hindu, lembaran-lembaran
Taurat, roda doa Tibet, jubah pastor, lilin, dupa, pohon Natal,
bola matzah, batu nisan, dan patung-patung.
Kita tidak menyadari betapa banyaknya barang-barang kita
sampai harus pindah ke sebuah rumah baru. Para pengembara
pindah rumah setiap bulan, setiap pekan, dan kadang-kadang
bahkan setiap hari, mengusung apa pun yang mereka punya di
punggung. Tidak ada perusahaan jasa pemindahan, kereta, atau
bahkan binatang-binatang pengangkut untuk berbagi beban.
Akibatnya mereka harus melakukannya hanya dengan bendabenda miliknya yang paling pokok. Maka, masuk akal untuk
berasumsi bahwa banyak bagian dari kehidupan mental, religius,
dan emosional mereka yang dilakukan tanpa bantuan artefak.
Seorang arkeolog yang bekerja 100.000 tahun setelah masa kini
mungkin akan bisa membuat gambaran utuh tentang keyakinan
dan praktik kaum Muslim dari berlimpahnya benda-benda
yang bisa ditemukan dari reruntuhan masjid. Namun, secara
garis besar kita kehilangan jejak untuk memahami keyakinan
dan ritual para pemburu-penjelajah kuno. Kurang lebih dilema
yang sama akan dihadapi oleh para sejarawan masa depan jika
mereka harus menggambarkan dunia sosial remaja Amerika abad
ke-21 dengan semata-mata berdasarkan pada “surat siput” (surat
yang dikirim lewat pos)—karena tidak ada catatan yang tersedia
tentang percakapan telepon, surel, blog, dan pesan-pesan teks.
Pengandalan pada artefak dengan demikian akan membiaskan
penjelasan tentang kehidupan pemburu-penjelajah kuno. Satu
cara untuk memperbaiki ini adalah dengan melihat masyarakatmasyarakat penjelajah modern. Ini bisa dipelajari secara langsung,
dengan observasi antropologis. Namun, ada alasan bagus untuk
sangat berhati-hati dalam membayangkan kemungkinan dari
masyarakat penjelajah modern untuk masyarakat kuno.
Pertama, semua masyarakat penjelajah yang bertahan sampai
ke era modern dipengaruhi oleh masyarakat agrikultur dan
industrial yang bertetangga. Akibatnya, ada risiko bila berasumsi
bahwa apa yang benar tentang mereka juga benar tentang puluhan
ribu tahun lalu.
Kedua, masyarakat-masyarakat penjelajah modern bertahan
terutama di area-area dengan kondisi iklim sulit dan lahan yang
tak bisa dihuni, dan kurang cocok untuk agrikultur. Masyarakatmasyarakat yang telah beradaptasi dengan kondisi-kondisi
ekstrem di tempat-tempat seperti Gurun Kalahari di Afrika
bagian selatan bisa memberikan model yang sangat menyesatkan
untuk memahami masyarakat kuno di area-area subur seperti
Lembah Sungai Yangtze. Secara khusus, kepadatan populasi
di area seperti Gurun Kalahari jauh lebih rendah dari sekitar
Yangtze kuno, dan ini memiliki implikasi yang jauh lebih luas
untuk pertanyaan-pertanyaan kunci tentang ukuran dan struktur
kawanan manusia dan hubungan-hubungan di antara mereka.
Ketiga, karakteristik yang paling menonjol dari masyarakatmasyarakat pemburu-penjelajah adalah betapa berbedanya satu
sama lain. Mereka berbeda tidak hanya dari satu bagian dunia
dengan bagian dunia lain, bahkan di wilayah yang sama. Satu
contoh bagus adalah besarnya keragaman para pemukim pertama
Eropa yang ditemukan di antara masyarakat Aborigin Australia.
Sebelum penaklukan oleh Inggris, sekitar 300.000 sampai
700.000, pemburu-penjelajah hidup di benua itu dalam 200
sampai 600 suku, yang masing-masing terbagi menjadi beberapa
kawanan.2
Setiap suku memiliki bahasa, agama, norma, dan aturan
sendiri. Mereka hidup di sekitar tempat yang kini dikenal sebagai
Adelaide di Australia selatan dalam beberapa klan patrilineal yang
mengedepankan garis keturunan dari pihak ayah. Klan-klan ini
terikat menjadi suku-suku atas dasar teritorial yang ketat. Secara
kontras, beberapa suku di Australia selatan lebih mengedepankan
leluhur maternal seseorang dan identitas kesukuan seseorang
bergantung pada lambang ketimbang teritorialnya.
Maka, sangat masuk akal bahwa keragaman etnis dan kultural
di antara pemburu-penjelajah kuno sama mengesankannya, dan
bahwa 5 juta sampai 8 juta penjelajah yang menghuni dunia
menjelang Revolusi Agrikultural terbagi ke dalam ribuan suku
terpisah dengan ribuan bahasa dan budaya yang berbeda.3
Maka,
ini merupakan salah satu warisan utama dari Revolusi Kognitif.
Berkat kemunculan fiksi, bahkan orang dengan susunan genetik
sama yang tinggal dalam kondisi ekologis yang serupa bisa
menciptakan realitas-realitas imajinatif yang sangat berbeda,
yang memanifestasikan diri dalam norma-norma dan nilai-nilai
yang berbeda-beda.
Misalnya, selalu tersedia alasan untuk percaya bahwa satu
kawanan penjelajah yang hidup 30.000 tahun lalu di tempat
Universitas Oxford kini berdiri menggunakan bahasa yang berbeda
dari kawanan yang hidup di tempat Cambridge kini berada. Satu
kawanan mungkin gemar berkelahi dan yang lain lebih damai.
Mungkin kawanan Cambridge bersifat komunal sementara yang
berada di Oxford didasarkan pada keluarga-keluarga nuklir.
Orang-orang Cantabrige mungkin menghabiskan waktu berjamjam memahat patung kayu arwah penjaga mereka, sementara
orang-orang Oxonian mungkin beribadah melalui tarian. Yang
pertama mungkin memercayai reinkarnasi, sedangkan yang kedua
menganggap itu omong kosong. Di satu masyarakat, hubungan
sesama jenis kelamin mungkin diterima, sementara di masyarakat
lain adalah tabu.
Dengan kata lain, meskipun observasi antropologis terhadap
masyarakat penjelajah modern bisa membantu kita memahami
sebagian kemungkinan yang tersedia untuk masyarakat penjelajah
kuno, horizon kuno tentang kemungkinan-kemungkinan itu
sangat luas, dan sebagian besar tersembunyi dari pandangan kita.*
Perdebatan yang memanas tentang “cara hidup alamiah” Homo
sapiens meleset dari poin utamanya. Sejak Revolusi Kognitif, tidak
ada satu cara hidup natural tunggal untuk Sapiens. Yang ada
hanyalah pilihan-pilihan kultural, dari palet besar kemungkinankemungkinan.
Masyarakat Makmur yang Asli
Jika demikian, generalisasi seperti apa yang bisa kita buat
tentang kehidupan dunia pra-agrikultural? Tampaknya aman
untuk mengatakan bahwa mayoritas besar orang hidup dalam
kawanan-kawanan kecil berjumlah beberapa puluh orang atau
paling banyak beberapa ratus individu, dan bahwa semua individu
adalah manusia. Penting untuk mencatat poin terakhir ini karena
ini masih jauh dari jelas. Sebagian besar anggota masyarakat
agrikultural dan industri adalah binatang-binatang yang sudah
terdomestikasi. Mereka tidak sama dengan tuan-tuan mereka,
tentu saja, tetapi semua sama-sama menjadi anggotanya. Kini,
masyarakat menyebut Selandia Baru terdiri dari 4,5 juta Sapiens
dan 50 juta domba.
Hanya ada satu pengecualian untuk aturan umum ini: anjing.
Anjing adalah binatang pertama yang didomestikasi Homo
sapiens, dan ini terjadi sebelum Revolusi Agrikultural. Para ahli
berbeda pendapat tentang masa pastinya, tetapi kita telah memiliki
bukti tak terbantahkan tentang domestikasi anjing sejak sekitar
15.000 tahun lalu. Mereka mungkin telah bergabung dengan
kawanan manusia ribuan tahun sebelumnya.
Anjing digunakan untuk berburu dan berkelahi, dan sebagai
sistem tanda bahaya terhadap binatang-binatang buas dan
manusia-manusia penyusup. Dengan bergulirnya generasi demi
generasi, penuh perhatian pada kebutuhan dan perasaan rekan
manusia nya mendapatkan perawatan dan makanan ekstra, dan
lebih berpeluang untuk bertahan. Secara simultan, anjing belajar
memanfaatkan orang untuk kebutuhannya sendiri. Ikatan selama
15.000 tahun telah menghasilkan pemahaman dan afeksi yang
jauh lebih mendalam antara manusia dan anjing ketimbang antara
manusia dan binatang lain.4
Dalam beberapa kasus, anjing bahkan
dikuburkan dengan upacara, sangat mirip dengan manusia.
Para anggota kawanan saling mengenal sangat intim, dan
sepanjang hidupnya dikelilingi teman dan kerabat. Kesendirian dan
privasi jarang ada. Kawanan-kawanan yang bertetangga mungkin
bersaing untuk sumber daya dan bahkan saling berperang, tetapi
mereka juga melakukan kontak-kontak bersahabat. Mereka
bertukar anggota, berburu bersama, bertukar kemewahan,
membuat aliansi-aliansi politik, dan merayakan perayaan-perayaan
keagamaan. Kerja sama seperti itu merupakan salah satu ciri
khas Homo sapiens, dan memberinya keunggulan krusial atas
spesies-spesies manusia lainnya. Terkadang hubungan-hubungan
dengan kawanan tetangga cukup erat sehingga mereka bersama-
sama merupakan satu suku, menggunakan bahasa yang sama,
mitos yang sama, dan norma-norma serta nilai-nilai yang sama.
Meskipun demikian, kita tidak boleh berlebihan memandang
pentingnya hubungan eksternal semacam itu. Sekalipun pada
masa-masa krisis kawanan-kawanan yang bertetangga menjadi
semakin dekat, dan sekalipun mereka kadang-kadang berkumpul
untuk berburu atau berpesta bersama, mereka masih menghabiskan
sebagian besar waktu dalam isolasi dan independensi penuh.
Perdagangan umumnya terbatas pada item-item prestise seperti
kerang, batu amber, dan pewarna. Tidak ada bukti bahwa orangorang berdagang barang-barang persediaan seperti buah-buahan
dan daging, atau bahwa eksistensi satu kawanan bergantung
pada impor barang dari kawanan yang lain. Relasi-relasi sosial
juga cenderung sporadis. Suku tidak berfungsi sebagai kerangka
politik permanen, dan sekalipun suku memiliki tempat-tempat
pertemuan berkala, tidak ada kota atau institusi permanen.
Rata-rata orang hidup selama berbulan-bulan tanpa melihat atau
mendengar manusia dari luar atau dari kawanannya sendiri, dan
sepanjang hidupnya dia hanya bertemu dengan beberapa ratus
manusia. Populasi Sapiens tersebar di teritori yang sangat luas.
Sebelum Revolusi Agrikultural, populasi manusia di segenap
penjuru planet lebih kecil dari Kairo hari ini.
Sebagian besar kawanan Sapiens hidup di jalanan, berkelana
dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan. Gerakan
mereka dipengaruhi oleh pergantian musim, migrasi tahunan
binatang dan siklus hidup tumbuh-tumbuhan. Mereka biasanya
bepergian bolak-balik di satu teritorial yang sama, sebuah area
antara beberapa puluh sampai ratusan kilometer persegi.
Terkadang, kawanan-kawanan berkelana ke luar wilayah
kekuasaan mereka dan mengeksplorasi tanah-tanah baru, entah
karena bencana alam, konflik kekerasan, tekanan demografis,
atau inisiatif pemimpin karismatis. Pengembaraan ini merupakan
mesin dari ekspansi manusia di seluruh dunia. Jika satu kawanan
penjelajah terpecah sekali setiap empat puluh tahun dan kelompok
pecahan bermigrasi ke teritori baru sejauh seratus kilometer ke
timur, jarak dari Afrika Timur ke China akan bisa ditempuh
selama sekitar 10.000 tahun. Dalam kasus-kasus pengecualian,
ketika sumber makanan sangat melimpah, kawanan-kawanan
menetap dalam kamp-kamp sementara, bahkan permanen. Teknikteknik pengeringan, pengasapan, dan pembekuan makanan juga
memungkinkan mereka untuk menetap dalam periode yang lebih
lama. Yang paling penting, di sepanjang laut dan sungai yang kaya
makanan laut dan unggas air, manusia membuat perkampungan
nelayan—permukiman permanen pertama dalam sejarah, jauh
sebelum Revolusi Agrikultural. Perkampungan-perkampungan
nelayan mungkin sudah muncul di pesisir-pesisir Indonesia sejak
45.000 tahun lalu. Perkampungan-perkampungan ini bisa jadi
merupakan pangkalan bagi Homo sapiens untuk melancarkan
parade lintas samudra pertamanya: invasi terhadap Australia.
Pada sebagian besar habitat, kawanan-kawanan Sapiens
menghidupi diri dalam cara yang elastis dan oportunistis. Mereka
mencari rayap, memetik beri, menggali akar, mengejar kelinci,
dan berburu bison dan mamut. Terlepas dari citra populernya
sebagai “manusia pemburu”, pengumpulan makanan merupakan
aktivitas utama Sapiens, dan itu memberi mereka sebagian besar
kalori, di samping bahan-bahan baku seperti batu, kayu, dan
bambu.
Sapiens tidak menjelajah hanya untuk makanan dan bahan.
Mereka menjelajah untuk pengetahuan juga. Untuk bertahan,
mereka memerlukan peta terperinci dalam kepala mereka tentang
teritori mereka. Untuk memaksimalkan efisiensi pencarian
makanan harian, mereka membutuhkan informasi tentang
pola-pola pertumbuhan setiap tumbuhan dan perilaku tiap-tiap
binatang. Mereka perlu tahu makanan mana yang menyehatkan,
mana yang membuat sakit, dan bagaimana menggunakan yang
lain untuk pengobatan. Mereka perlu tahu perkembangan musim
dan tanda-tanda peringatan apa yang mendahului hujan badai
atau musim kering. Mereka mempelajari setiap arus, setiap pohon
kenari, setiap gua beruang, dan setiap cadangan batu pemantik
di areanya. Setiap individu harus mengerti bagaimana membuat
pisau batu, bagaimana memperbaiki jubah yang robek, bagaimana
memasang perangkap kelinci, bagaimana menghadapi longsoran,
gigitan ular, atau singa lapar. Penguasaan tiap-tiap keterampilan
ini memerlukan magang dan praktik bertahun-tahun. Rata-rata
penjelajah kuno bisa mengubah batu menjadi benda tajam dalam
beberapa menit. Kalau kita mencoba meniru keterampilan itu,
kita akan gagal sia-sia. Sebagian besar kita tak punya pengetahuan
bagaimana mengupas properti batu dan basal dan keterampilan
motorik halus untuk mengerjakan itu secara cermat.
Dengan kata lain, rata-rata seorang penjelajah memiliki
pengetahuan yang lebih luas, lebih mendalam, dan lebih
beragam tentang alam sekeliling mereka ketimbang sebagian
besar keturunan modern mereka. Kini, kebanyakan orang dalam
masyarakat industri tidak perlu tahu banyak tentang alam untuk
bertahan hidup. Apa yang benar-benar Anda perlu tahu untuk
bisa menjadi seorang insinyur komputer, agen asuransi, guru
sejarah, atau pekerja buruh? Anda tak perlu tahu banyak tentang
bidang keahlian kecil Anda sendiri, tetapi untuk sebagian besar
kebutuhan hidup, Anda mengandalkan secara buta bantuan ahli
lain, yang pengetahuannya juga terbatas pada satu bidang keahlian
kecil. Secara kolektif manusia memang memiliki pengetahun
yang lebih jauh daripada kawanan-kawanan kuno. Namun, pada
level individual, para penjelajah kuno adalah orang yang paling
berpengetahuan dan paling terampil dalam sejarah.
Ada suatu bukti bahwa ukuran rata-rata otak Sapiens
sebetulnya menurun sejak abad penjelajahan.5
Pada masa itu,
untuk bertahan hidup membutuhkan kemampuan mentalitas
yang mumpuni dari setiap orang. Ketika pertanian dan industri
datang, orang semakin bisa mengandalkan keterampilan orang lain
untuk bertahan hidup, dan terbukalah “ceruk-ceruk baru untuk
orang-orang bodoh” (niches for imbeciles). Anda bisa bertahan
dan melampaui gen-gen biasa-biasa Anda ke generasi berikutnya
dengan bekerja sebagai seorang pengangkut air atau pekerja
perakitan. Para penjelajah menguasai tidak hanya dunia binatang,
tumbuhan, dan benda-benda di sekelilingnya, tetapi juga dunia
internal tubuh dan indra mereka sendiri. Mereka mendengarkan
gerakan yang paling kecil di rerumputan untuk mengetahui
apakah ada ular sedang merayap di sana. Mereka dengan cermat
mengamati dedaunan pohon untuk menemukan buah-buahan,
sarang lebah, dan sarang burung. Mereka bergerak dengan usaha
dan suara minimum, dan tahu cara duduk, berjalan, dan berlari
dengan gerakan yang paling gesit dan efisien. Pengerahan tubuh
dengan cara yang beragam dan terus-menerus membuat mereka
setangguh pelari maraton. Mereka memiliki ketangkasan fisik
yang tidak mampu dicapai oleh orang-orang masa kini, bahkan
setelah bertahun-tahun berlatih yoga atau tai chi.
Cara hidup pemburu-penjelajah berbeda secara signifikan
antara satu wilayah dengan wilayah lain dan antara satu musim
dengan musim lain, tetapi seluruh penjelajah tampak menikmati
gaya hidup yang lebih nyaman dan lebih membawa manfaat
dibandingkan sebagian besar petani, penggembala, buruh, pekerja
kantoran yang mengikuti jejak mereka.
Sementara dalam masyarakat makmur masa kini, bekerja
rata-rata empat puluh sampai empat puluh lima jam per pekan,
dan orang di dunia berkembang bekerja enam puluh bahkan
delapan puluh jam per pekan, para pemburu-penjelajah yang kini
hidup di habitat-habitat yang paling sulit dihuni—seperti Gurun
Kalahari—bekerja rata-rata hanya tiga puluh jam sampai empat
puluh jam per pekan. Mereka berburu hanya satu dari tiga hari,
dan mengumpulkan hasilnya hanya tiga sampai enam jam per
hari. Dalam waktu-waktu normal, ini cukup untuk menghidupi
kawanan. Maka, sangat mungkin jika para pemburu-penjelajah
kuno hidup di zona-zona yang lebih subur ketimbang Kalahari,
menghabiskan waktu bahkan lebih sedikit untuk mendapatkan
makanan dan bahan-bahan baku. Di atas itu semua, para
penjelajah menikmati beban pekerjaan rumah tangga yang lebih
ringan. Mereka tak punya piring untuk dicuci, karpet untuk
divakum, lantai untuk dipoles, popok untuk diganti, dan tagihan
untuk dibayar.
Ekonomi penjelajah menyediakan kehidupan yang lebih
menarik bagi sebagian besar orang dibandingkan ekonomi
pertanian atau industri. Kini, seorang pekerja pabrik China
meninggalkan rumah sekitar pukul tujuh pagi, menempuh jalanjalan berpolusi ke pabrik garmen, dan di sana mengoperasikan
mesin yang sama, dengan cara yang sama, sepanjang hari selama
sepuluh jam yang panjang dan mematikan pikiran, pulang ke
rumah sekitar pukul tujuh malam untuk mencuci piring dan
menyetrika pakaian. Tiga puluh ribu tahun lalu, seorang penjelajah
China mungkin meninggalkan kamp bersama beberapa rekannya,
katakanlah, pukul delapan pagi. Mereka menjelajahi hutan-hutan
dan padang rumput terdekat, mengumpulkan jamur, menggali
akar-akar yang bisa dimakan, menangkap katak, dan sesekali
berlari menghindari macan. Ketika siang datang, mereka sudah
kembali di kamp untuk makan siang. Mereka punya banyak
waktu untuk bergosip, bercerita, bermain dengan anak-anak,
dan kongko-kongko. Tentu saja terkadang macan menangkap
mereka atau ular menggigit mereka, tetapi di sisi lain mereka
tidak berurusan dengan kecelakaan mobil dan polusi industri.
Di sebagian besar tempat dan sebagian besar masa,
penjelajahan memberi nutrisi ideal. Itu bukan hal yang
mengejutkan—sudah menjadi menu makanan selama ratusan
ribu tahun, dan tubuh manusia cocok dengannya. Bukti dari
tulang-tulang fosil menunjukkan bahwa para penjelajah kuno
sangat kecil kemungkinan menderita kelaparan atau malnutrisi,
dan umumnya lebih tinggi dan lebih sehat daripada keturunan
mereka yang menjadi petani. Rata-rata harapan hidup tampaknya
hanya tiga puluh sampai empat puluh tahun, tetapi ini umumnya
disebabkan karena tingginya angka kematian anak-anak. Anakanak yang lolos dari tahun-tahun pertama memiliki peluang
bagus untuk mencapai usia enam puluh tahun, dan sebagian
bahkan sampai delapan puluhan. Di antara penjelajah modern,
perempuan berusia empat puluh lima tahun bisa berharap hidup
sampai dua puluh tahun kemudian, dan sekitar 5 sampai 8 persen
populasi berusia di atas enam puluh tahun.6
Rahasia sukses kaum penjelajah, yang melindungi mereka
dari kelaparan dan malnutrisi, adalah keragaman diet. Para
petani cenderung makan makanan yang sangat terbatas dan tidak
berimbang. Terutama pada masa-masa pramodern, sebagian besar
asupan kalori untuk populasi agrikultur berasal dari satu panen
tunggal—seperti gandum, kentang, atau beras—yang tak memiliki
sejumlah vitamin, mineral, dan bahan-bahan nutrisi lain yang
dibutuhkan manusia. Petani tradisional di China biasa makan nasi
untuk sarapan, nasi untuk makan siang, dan nasi untuk makan
malam. Jika beruntung, mereka bisa berharap makan makanan
yang sama esok harinya. Bandingkan, para penjelajah kuno secara teratur makan puluhan jenis makanan yang berbeda. Para leluhur
petani yang hidup menjelajah mungkin makan beri dan jamur
untuk sarapan; buah, bekicot, dan penyu untuk makan siang;
steik kelinci dengan bawang liar untuk makan malam. Esoknya
menu bisa benar-benar berbeda. Keragaman itu menjamin bahwa
para penjelajah kuno menerima semua nutrisi yang dibutuhkan.
Lebih dari itu, dengan tidak bergantung pada satu jenis
makanan tunggal, mereka lebih tahan menghadapi kesulitan
ketika satu sumber makanan tertentu gagal. Masyarakat agrikultur
dilanda kelaparan ketika musim kering, terjadi kebakaran, atau
gempa bumi memorak-porandakan panen padi atau kentang
tahunan mereka. Masyarakat penjelajah memang tidak kebal
pada bencana alam, penderitaan dari periode-periode paceklik
dan kelaparan, tetapi mereka biasanya mampu mengatasi bencana
itu dengan lebih mudah. Jika mereka kehilangan satu tumpukan
persediaan makanan, mereka bisa mengumpulkan atau berburu
spesies lain, atau pindah ke area yang kurang terdampak bencana.
Para penjelajah kuno juga lebih sedikit menderita dari
penyakit menular. Sebagian besar penyakit menular yang melanda
masyarakat agrikultur dan industri (seperti cacar, campak, dan
TBC) berasal dari binatang-binatang yang didomestikasi dan
ditularkan ke manusia baru setelah Revolusi Agrikultur. Para
penjelajah kuno, yang mendomestikasi hanya anjing, bebas dari
momok itu. Lebih dari itu, sebagian besar orang dalam masyarakat
agrikultur dan industri hidup dalam permukiman permanen
yang padat dan tidak higienis—sarang ideal bagi penyakit. Para
penjelajah menjelajahi tanah dalam kawanan-kawanan kecil yang
tidak bisa melanggengkan epidemi.
Diet yang menyeluruh dan beragam, pekan kerja yang
relatif singkat, dan jarangnya penyakit menular membuat para
ahli mendefinisikan masyarakat penjelajah pra-agrikultur sebagai
“masyarakat makmur yang asli”. Namun, keliru jika mengidealkan
kehidupan masyarakat kuno ini. Meskipun mereka menikmati
kehidupan yang lebih baik dari sebagian besar masyarakat
agrikultur dan industri, dunia mereka masih keras dan tanpa
ampun. Periode-periode paceklik dan kesulitan bukan hal yang
tidak biasa, tingkat kematian anak tinggi, dan kecelakaan yang pada masa kini termasuk kecil bisa menjadi hukuman mati.
Kebanyakan orang mungkin menikmati keintiman dekat dalam
kawanan penjelajah, tetapi orang-orang bernasib buruk yang
menyulut permusuhan atau ejekan terhadap sesama anggota
kawanan mungkin akan sangat menderita. Para penjelajah modern
terkadang meninggalkan atau bahkan membunuh orangtua atau
orang cacat yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kawanan.
Bayi-bayi dan anak-anak yang tidak diinginkan bisa dibunuh, dan
bahkan ada kasus-kasus pengorbanan manusia yang terilhami
ajaran religius.
Masyarakat Aché, pemburu-penjelajah yang hidup di belantara
Paraguay sampai tahun 1960-an, memberi gambaran sekilas
tentang sisi gelap masyarakat penjelajah. Ketika seorang anggota
kawanan yang dihormati meninggal, suku Aché membunuh
seorang anak perempuan dan mengubur keduanya bersama-sama.
Para antropolog yang mewawancarai Aché merekam sebuah kasus
di mana satu kawanan meninggalkan seorang pria setengah baya
yang sakit dan tak bisa mengikuti gerak kawanan. Dia ditinggalkan
di bawah pohon. Beberapa burung bangkai bertengger di atasnya,
menanti makanan yang sudah pasrah. Namun, orang itu sembuh,
dan, dengan berjalan cepat, dia berhasil bergabung kembali
dengan kawanan. Tubuhnya penuh dengan kotoran burung,
sehingga dia dijuluki “Tahi Burung Bangkai”.
Ketika seorang perempuan tua Aché menjadi beban bagi
kawanan, salah satu pemuda akan menyelinap di belakangnya
dan membunuhnya dengan ayunan kapak di kepala. Seorang
pria Aché mengisahkan kepada para antropolog kisah-kisahnya
pada masa-masa di hutan. “Saya terbiasa membunuh seorang
perempuan tua. Saya bisa membunuh para bibi saya.... Perempuanperempuan itu takut kepada saya. Kini, di sini bersama orangorang kulit putih, saya menjadi lemah.” Bayi yang lahir tanpa
rambut, yang dianggap tidak berkembang, langsung dibunuh.
Seorang perempuan mengenang bahwa bayi pertamanya seorang
perempuan dibunuh karena para pria dalam kawanan tidak
menginginkan ada anak perempuan lagi. Dalam peristiwa lain,
seorang pria membunuh anak laki-laki karena dia “perasaannya
sedang buruk dan anak itu menangis”. Seorang anak lainnya
dikubur hidup-idup karena “tampak lucu dan anak-anak lain
mentertawainya”.7
Namun, kita harus berhati-hati agar tidak menghakimi Aché
terlalu cepat. Para antropolog yang hidup bersama mereka selama
bertahun-tahun melaporkan bahwa kekerasan antara orang
dewasa sangat jarang. Baik perempuan maupun laki-laki bebas
berganti pasangan sesukanya. Mereka tersenyum dan tertawa
terus, tak ada hierarki hubungan, dan umumnya menghindari
orang-orang dominan. Mereka luar biasa dermawan dengan harta
miliknya yang sedikit, dan tidak terobsesi dengan sukses atau
kekayaan. Hal-hal yang paling mereka hargai dalam kehidupan
adalah interaksi sosial yang bagus dan pertemanan yang sangat
berkualitas.8
Mereka memandang pembunuhan anak, orang
sakit, dan orang tua sama seperti banyak orang pada masa kini
memandang aborsi dan euthanasia. Harus dicatat pula bahwa
orang Aché diburu dan dibunuh tanpa ampun oleh para petani
Paraguay. Kebutuhan untuk menghindari musuh mungkin
menyebabkan Aché menerapkan sikap sangat keras terhadap
siapa pun yang mungkin menjadi beban bagi kawanan.
Yang benar adalah bahwa masyarakat Aché, sebagaimana
setiap masyarakat manusia, sangat rumit. Kita harus hati-hati
untuk tidak mengutuk atau mengidealkannya berdasarkan
perkenalan superfisial. Aché bukan malaikat dan juga bukan
iblis—mereka manusia. Jadi, begitu pula para pemburu-penjelajah
kuno.
Membicarakan Hantu
Apa yang bisa kita katakan tentang kehidupan spiritual dan
mental kaum pemburu-penjelajah kuno? Dasar dari ekonomi
penjelajah bisa direkonstruksi dengan cukup meyakinkan
berdasarkan faktor-faktor yang bisa dihitung dan objektif.
Misalnya, kita bisa mengalkulasi berapa banyak kalori per hari
yang dibutuhkan seseorang agar bertahan hidup, berapa banyak
kalori yang didapat dari satu kilogram kenari, dan berapa banyak
kenari yang bisa dikumpulkan dari hutan seluas satu kilometer persegi. Dengan data ini, kita bisa membuat perkiraan terpelajar
tentang pentingnya kenari dalam diet mereka. Namun, apakah
mereka menganggap kenari sebagai kelezatan atau makanan
yang membosankan? Apakah mereka percaya bahwa pohon
kenari dihuni arwah? Apakah mereka menganggap daun-daun
kenari itu indah? Jika seorang anak penjelajah ingin membawa
seorang anak perempuan penjelajah ke tempat romantis, apakah
bayangan pohon kenari sudah mencukupi? Dunia pikiran,
keyakinan dan perasaan berdasarkan definisi jauh lebih rumit
untuk digambarkan.
Sebagian besar ahli sepakat bahwa keyakainan-keyakinan
animistik lazim di antara para penjelajah kuno. Animisme (dari
kata anima, ‘jiwa’ atau arwah dalam bahasa Latin) adalah
keyakinan bahwa setiap tempat, setiap binatang, setiap tumbuhan,
dan setiap fenomena alam memiliki kesadaran dan perasaan,
dan bisa berkomunikasi langsung dengan manusia. Jadi, kaum
animis mungkin percaya bahwa batu besar di puncak bukit
memiliki hasrat dan kebutuhan. Batu itu mungkin marah terhadap
sesuatu yang dilakukan orang dan senang terhadap tindakan
yang lain. Batu itu mungkin menegur atau meminta dukungan.
Manusia bisa berbicara dengan batu itu, untuk meredakan atau
mengancam batu itu. Tidak hanya batu, tetapi juga pohon ek di
dasar bukit adalah makhluk berjiwa, dan begitu juga arus sungai
yang mengalir di bawah bukit, mata air di hutan, semak-semak
yang tumbuh di sekitarnya, jalan menuju ke sana, tikus tanah,
rubah, dan gagak yang minum di sana. Dalam dunia animis,
benda-benda dan makhluk hidup bukan satu-satunya makhluk
berjiwa. Ada juga entitas-entitas non-materi—arwah orang-orang
mati, serta makhluk bersahabat dan jahat, jenis yang pada masa
kini kita sebut setan, peri, dan malaikat.
Kaum animis percaya bahwa tidak ada penghalang antara
manusia dan makhluk lain. Mereka semua bisa berkomunikasi
langsung melalui ucapan, lagu, tarian, dan upacara. Seorang
pemburu bisa berbicara kepada sekawanan rusa dan meminta
salah satu dari mereka mengorbankan diri. Jika perburuan sukses,
pemburu bisa meminta kepada binatang yang mati itu untuk
memberinya maaf. Ketika seseorang jatuh sakit, seorang dukun
bisa mengontak arwah yang menyebabkan sakit dan berusaha
berdamai atau menakut-nakutinya. Jika diperlukan, dukun itu
bisa meminta bantuan dari arwah-arwah lain. Yang mencirikan
semua aksi komunikasi ini adalah entitas yang sedang diajak
bicara adalah makhluk setempat. Mereka bukan tuhan universal,
melainkan rusa tertentu, pohon tertentu, arus tertentu, hantu
tertentu.
Sebagaimana tiadanya penghalang antara manusia dan
makhluk lain, tidak ada pula hierarki yang ketat. Entitasentitas non-manusia tidak semata-mata ada untuk mencukupi
kebutuhan manusia. Mereka juga bukan dewa-dewa yang kuat
yang menjalankan dunia semaunya. Dunia tidak berputar di
sekitar orang-orang atau di sekitar kelompok makhluk tertentu.
Animisme bukan sebuah agama spesifik. Ia adalah nama
generik untuk ribuan dari setiap agama, kultus, dan keyakinan
yang berbeda-beda. Yang membuat mereka semua “animis”
adalah pendekatan umum terhadap dunia dan tempat manusia
di dalamnya. Mengatakan bahwa para penjelajah kuno mungkin
animis seperti mengatakan bahwa para agrikulturalis pramodern
sebagian besar bertuhan. Theisme (dari kata theos, ‘Tuhan’
dalam bahasa Latin) adalah pandangan bahwa tata universal
didasarkan pada hubungan-hubungan hierarkis antara manusia
dan sekelompok kecil entitas halus yang disebut dewa. Sudah
pasti benar untuk mengatakan bahwa kaum agrikulturalis
pramodern cenderung bertuhan, tetapi itu tidak mengajarkan
kita banyak hal tentang hal-hal khusus. Label generik “theis”
mencakup rabbi Yahudi dari abad ke-18 Polandia, para tukang
sihir Puritan abad ke-17 Massachusetts, para pendeta Aztec dari
abad ke-15 Meksiko, kaum mistis Sufi dari abad ke-12 Iran,
para petarung Viking abad ke-10, anggota legiun Romawi abad
ke-2, dan para birokrat China abad ke-1. Masing-masing dari
semua itu memandang keyakinan dan praktik dari kelompok
lain aneh dan klenik. Perbedaan-perbedaan di antara keyakinan
dan praktik kelompok-kelompok penjelajah “animistik” itu
mungkin memang besar. Pengalaman religius mereka mungkin
bergolak dan penuh kontroversi, pembaruan-pembaruan dan
revolusi-revolusi. Namun, generalisasi hati-hati ini adalah titik yang bisa kita jangkau. Setiap upaya untuk menjelaskan secara
spesifik spiritualitas kuno sangatlah spekulatif karena hampir
tidak ada bukti untuk ditelusuri dan bukti yang kita miliki
sangat sedikit—dan sejumlah artefak serta lukisan gua—bisa
diinterpretasikan dengan banyak sekali cara. Teori-teori para
ahli yang mengklaim tahu apa yang dirasakan para penjelajah
justru memperjelas prasangka para pengarangnya alih-alih agamaagama Zaman Batu.
Ketimbang menegakkan gunung-gunung teori di atas
gundukan tanah relik makam, lukisan gua, dan patung-patung
tulang, lebih baik jujur mengakui bahwa kita hanya memiliki
catatan-catatan paling kabur tentang agama-agama para penjelajah
kuno. Kita berasumsi bahwa mereka animis, tetapi itu sangat
tidak informatif. Kita tidak tahu arwah mana yang mereka
sembah, perayaan mana yang mereka rayakan, atau tabu apa
yang mereka yakini. Yang paling penting, kita tidak tahu kisah
apa yang mereka ceritakan. Itu salah satu lubang terbesar dalam
pemahaman kita tentang sejarah.
Dunia sosiopolitik para penjelajah hanyalah area lain yang
kita hampir tidak tahu apa-apa tentangnya. Seperti dijelaskan
di atas, para ahli bahkan tidak bisa sepakat tentang dasar-dasar, seperti eksistensi properti pribadi, keluarga nuklir, dan hubungan
monogami. Sangat mungkin bahwa kawanan-kawanan yang
berbeda memiliki struktur yang berbeda. Sebagian mungkin
sehierarkis, setegang, sekeras, dan semesum kelompok simpanse,
sedangkan kawanan lain sedatar, sedamai, dan sepasang kelompok
bonobo.
Di Sungir Rusia, para arkeolog menemukan, pada 1955,
sebuah tempat pemakaman berusia 30.000 tahun milik kultur
pemburu mamut. Dalam satu kuburan mereka menemukan
tulang-tulang seorang pria berusia lima puluh tahun, yang
tertutup rangkaian manik-manik gading mamut, berisi sekitar
3.000 manik-manik. Di kepala orang mati itu ada sebuah topi
yang dihiasi gigi-gigi rubah, dan di pergelangan tangannya ada
dua puluh lima gelang gading. Beberapa kuburan lain dari
situs yang sama berisi barang-barang yang jauh lebih sedikit.
Para ahli menyimpulkan bahwa para pemburu mamut Sungir
hidup dalam masyarakat hierarkis, dan orang yang mati itu
mungkin pemimpin dari satu kawanan atau suku yang terdiri
dari beberapa kawanan. Agaknya tidak mungkin bahwa beberapa
puluh anggota satu kawanan bisa memproduksi sendiri begitu
banyak benda kuburan.
Para arkeolog kemudian menemukan sebuah kuburan yang
lebih menarik lagi. Kuburan berisi dua kerangka, dikubur kepala
bertemu kepala. Satu milik seorang anak laki-laki berusia sekitar
dua belas atau tiga belas tahun, dan yang lainnya seorang anak
perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun. Anak itu ditutupi
5.000 manik-manik gading. Dia mengenakan topi gigi rubah dan
ikat pinggang dengan 250 gigi rubah (paling sedikit dibutuhkan
enam rubah untuk hiasan sebanyak itu). Si anak perempuan
dihiasi 5.250 manik-manik gading. Kedua anak itu dikelilingi
patung-patung dan beragam benda gading. Seorang pengrajin
terlatih (bisa laki-laki atau perempuan) mungkin memerlukan
waktu empat puluh lima menit untuk menyiapkan satu butir
manik-manik gading. Dengan kata lain, dengan hiasan 10.000
manik-manik gading yang menutupi kedua anak itu, belum lagi
benda-benda lainnya, dibutuhkan sekitar 7.500 jam pekerjaan
rumit, yang bisa menghabiskan waktu tiga tahun pekerja dengan
kemampuan sebagai seniman berpengalaman.
Sangat tidak mungkin bahwa anak semuda itu di Sungir
telah mampu membuktikan diri sebagai pemimpin atau
pemburu mamut. Hanya keyakinan-keyakinan kultural yang
bisa menjelaskan mengapa mereka mendapatkan penghormatan
begitu besar dalam penguburan. Satu teori menyatakan bahwa
mereka adalah anak dari seseorang berkedudukan tinggi. Mungkin
mereka anak-anak dari para pemimpin, dalam sebuah kultur
yang meyakini karisma keluarga atau aturan-aturan ketat tentang
sukses. Menurut teori lainnya, anak-anak itu diidentifikasi sejak
lahir sebagai inkarnasi dari arwah-arwah yang telah lama mati.
Teori ketiga menjelaskan bahwa penguburan anak-anak itu
mencerminkan cara mereka mati ketimbang status kehidupan
mereka. Mereka dikorbankan secara ritual—mungkin sebagai
bagian dari ritual penguburan sang pemimpin—dan kemudian
dimakamkan dengan kemegahan.9
Jawaban mana pun yang benar, anak-anak Sungir menjadi
potongan bukti terbaik bahwa 30.000 tahun lalu Sapiens bisa
menemukan sandi-sandi sosiopolitik yang jauh melampaui aturan
DNA kita dan pola-perilaku spesies manusia dan binatang lain.
Damai atau Perang?
Akhirnya, ada pertanyaan pelik tentang peranan perang dalam
masyarakat penjelajah. Para ahli membayangkan masyarakatmasyarakat pemburu-penjelajah kuno sebagai surga nan damai,
dan mengemukakan bahwa perang dan kekerasan baru mulai pada
Revolusi Agrikultural, ketika orang-orang mulai mengakumulasi
properti pribadi. Ahli-ahli lain mengemukakan bahwa dunia
penjelajah kuno sangat kejam dan kasar. Kedua aliran pemikiran
itu ibarat istana di udara, yang terhubung dengan tanah oleh
tali-tali tipis peninggalan-peninggalan arkeologis dan observasiobservasi antropologis terhadap penjelajah masa kini.
Bukti-bukti arkeologis memang mencengangkan tetapi
problematik. Para penjelajah masa kini hidup terutama di areaarea terisolasi dan tak bisa dihuni seperti Arktik atau Kalahari,
yang kepadatan populasinya sangat rendah dan peluang untuk
memerangi orang lain terbatas. Lebih dari itu, dalam generasigenerasi mutakhir, para penjelajah itu semakin terdesak oleh
otoritas negara-negara modern, yang mencegah ledakan konflik
berskala besar. Para ahli Eropa hanya punya dua peluang untuk
mengobservasi populasi besar dan relatif padat penjelajah
independen: di belahan barat laut Amerika Utara pada abad
ke-19, dan di bagian utara Australia pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Budaya Amerindian dan Aborigin Australia sering
mengalami konflik bersenjata. Namun, masih bisa diperdebatkan
apakah ini merepresentasikan kondisi “tanpa batasan waktu”
atau merupakan dampak dari imperialisme Eropa.
Temuan-temuan arkeologis masih jarang dan kabur. Petunjukpetunjuk cerita seperti apa yang tersisa dari perang yang terjadi
puluhan ribu tahun lalu? Tak ada benteng dan dinding pada
masa itu, tidak ada tembakan artileri atau bahkan pedang dan
tameng. Senjata-senjata tajam kuno mungkin digunakan dalam
perang, tetapi bisa digunakan pula untuk berburu. Tulang-tulang
manusia yang memfosil tak kurang sulitnya untuk diinterpretasi.
Sebuah retakan bisa menunjukkan adanya luka akibat perang
atau kecelakaan. Ketiadaan retakan dan torehan pada kerangka
kuno juga tidak bisa menjadi bukti untuk menyimpulkan bahwa
pemilik kerangka itu mati bukan akibat kekerasan. Kematian
mungkin disebabkan oleh benturan terhadap lapisan lembut
yang tidak meninggalkan bekas di tulang. Bahkan yang lebih
penting, dalam peperangan era pra-industri lebih dari 90 persen
korban tewas terbunuh oleh kelaparan, dingin, dan penyakit,
bukan oleh senjata. Bayangkan bahwa 30.000 tahun lalu satu
suku mengalahkan tetangganya dan mengusir mereka dari lahan
penjelajahan idaman. Dalam pertempuran yang menentukan itu,
sepuluh anggota suku yang dikalahkan terbunuh. Pada tahun
berikutnya, seratus lagi anggota suku yang kalah mati akibat
kelaparan, cuaca dingin, dan penyakit. Para arkeolog yang
meneliti 110 kerangka itu mungkin dengan mudah menyimpulkan
bahwa sebagian besar korban jatuh akibat bencana alam.
Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa mereka semua korban dari perang tanpa ampun?
Dengan memperhatikan itu, kita kini bisa beralih ke temuantemuan arkeologis. Di Portugal, sebuah survei dilakukan terhadap
400 kerangka dari periode tepat sebelum Revolusi Agrikultur.
Hanya dua kerangka yang menunjukkan bersih dari tanda
kekerasan. Survei serupa dilakukan terhadap 400 kerangka dari
periode yang sama di Israel, menunjukkan satu retakan tunggal
dalam satu tengkorak yang bisa dianggap sebagai akibat dari
kekerasan manusia. Satu survei lagi terhadap 400 kerangka dari
berbagai situs pra-agrikultural di Lembah Danube memberikan
bukti kekerasan pada 18 kerangka. Delapan belas dari 400
mungkin terdengar tidak banyak, tetapi itu sesungguhnya
persentase yang sangat tinggi. Jika kedelapan belas itu benar-benar
mati akibat kekerasan itu berarti sekitar 4,5 persen kematian di
Lembah Danube disebabkan oleh kekerasan manusia. Kini, ratarata global hanya 1,5 persen, dengan menggabungkan perang
dan kejahatan. Pada abad ke-20, hanya 5 persen kematian
manusia diakibatkan oleh kekerasan manusia—dan dalam abad
ini kita melihat perang paling berdarah dan genosida paling besar
sepanjang sejarah. Jika pengungkapan itu biasa, maka Lembah
Danube kuno adalah sekeras abad ke-20.**
Temuan-temuan yang mencengangkan dari Lembah Danube
didukung oleh serangkaian temuan yang sama mengejutkan
dari area-area lain. Di Jabl Sahaba di Sudan, sebuah kuburan
berusia 12.000 tahun ditemukan berisi 50 kerangka. Moncong
panah dan senjata tajam ditemukan menempel atau tergeletak
di dekat tulang-belulang 24 kerangka, 40 persen dari temuan.
Kerangka salah seorang perempuan mengungkapkan 12 luka. Di
Gua Ofnet di Bavaria, para arkeolog menemukan kerangka 38
penjelajah, kebanyakan perempuan dan anak-anak, yang dilempar
ke dalam dua lubang penguburan. Separuh kerangka, termasuk
anak-anak dan bayi, memiliki tanda kerusakan akibat senjata manusia seperti kelewang dan pisau. Beberapa kerangka milik pria
dewasa menyimpan tanda bekas kekerasan paling buruk. Dalam
semua kemungkinan, satu kawanan penuh dibantai di Ofnet.
Mana yang paling bagus merepresentasikan dunia penjelajah
kuno: kerangka-kerangka damai dari Israel dan Portugal atau
penjagalan di Jabl Sahaba dan Ofnet? Jawabannya bukan
keduanya. Sebagaimana para penjelajah menunjukkan susunan
keagamaan dan struktur sosial, demikian pula, mereka mungkin
mendemonstrasikan beragam tingkat kekerasan. Jika sebagian area
dan sebagian periode menikmati kedamaian dan ketenangan, area
dan masa yang lain mungkin dipenuhi konflik sengit.10
Tirai Bisu
Jika gambaran lebih besar tentang penjelajah kuno sulit
direkonstruksi, peristiwa-peristiwa tertentu umumnya malah
tak bisa diteliti kembali. Ketika satu kawanan Sapiens kali
pertama memasuki sebuah lembah yang dihuni Neanderthal,
beberapa tahun kemudian mungkin terjadi drama historis yang
mencengangkan. Sayang sekali, tak ada apa pun yang bisa selamat
dari perjumpaan seperti itu kecuali, dalam kemungkinan yang
terbaik, beberapa tulang fosil baru dan beberapa alat batu yang
tetap bisu di bawah penelitian ahli yang saksama. Kita bisa saja
menarik dari semua itu informasi tentang anatomi manusia,
teknologi manusia, makanan manusia, dan mungkin bahkan
struktur sosial manusia. Namun, semua itu tak menunjukkan
apa pun tentang aliansi politik yang dibuat antara kawanankawanan Sapiens yang bertetangga, tentang arwah mati yang
memberkati aliansi ini, atau tentang manik-manik gading yang
diberikan kepada dukun lokal dalam rangka mendapatkan berkah
dari arwah.
Tirai bisu ini menyelubungi puluhan ribu tahun sejarah.
Milenium-milenium panjang ini menyaksikan perang dan revolusi,
gerakan-gerakan religius eskatis, teori-teori filosofis profan,
mahakarya-mahakarya artistik yang tiada tara. Para penjelajah
mungkin memiliki Napoleon sang penakluk ala mereka, yang menguasai imperium-imperium setengah ukuran Luxembourg;
Beethoven yang berbakat yang tak punya orkestra simfoni tetapi
membuat orang-orang meneteskan air mata dengan suara serulingseruling bambunya; dan nabi-nabi seperti Muhammad tetapi yang
menyampaikan wahyu pohon ek lokal, bukan dari Tuhan pencipta
segenap alam. Namun, semua itu hanya tebakan. Tirai bisu begitu
tebal sehingga kita bahkan tidak bisa yakin hal-hal seperti itu
pernah terjadi—apalagi menjelaskannya secara terperinci. Para
ahli cenderung hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
bisa mereka dambakan jawabannya. Tanpa penemuan alat-alat
riset yang sampai kini belum tersedia, kita mungkin tidak pernah
tahu apa yang dipercaya para penjelajah kuno atau drama politik
seperti apa yang mereka alami. Meskipun demikian, penting
untuk ditanyakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Kalau
tidak, kita mungkin akan membuang masa 60.000 dari 70.000
tahun sejarah manusia, dengan alasan bahwa “orang-orang yang
hidup pada zaman itu tidak punya makna apa pun.”
Yang benar adalah mereka memang melakukan banyak hal
penting. Lebih khusus, mereka membentuk dunia di sekitar kita
sampai ke tingkat yang lebih besar dari yang bisa disadari sebagian
besar orang. Para petualang yang mengunjungi tundra Siberia,
gurun tengah Australia, dan hutan tropis Amazon percaya bahwa
mereka memasuki lanskap-lanskap perawan yang tak tersentuh
tangan-tangan manusia. Namun, itu ilusi. Para penjelajah berada
di sana sebelum kita dan mereka membawa perubahan-perubahan
dramatis, bahkan di belantara paling padat dan sebagian besar
mendesolasi belantara. Bab berikutnya menjelaskan bagaimana
para penjelajah membentuk sepenuhnya ekologi planet kita jauh
sebelum desa pertanian dibangun. Kawanan-kawanan tukang
cerita pengelana Sapiens adalah kekuatan paling penting dan
paling destruktif yang pernah dihasilkan oleh kerajaan binatang.
Menjelang Revolusi Kognitif, manusia dari semua spesies
hidup secara eksklusif di hamparan tanah Afro-Asia. Benar
bahwa mereka memang telah mendiami beberapa pulau dengan
berenang melintasi rentangan-rentangan pendek perairan atau
menyeberanginya dengan perahu-perahu sederhana berbahan baku
seadanya. Flores, misalnya, dikolonisasi sejak 850.000 tahun lalu.
Namun, mereka tidak mampu mengarungi lautan terbuka, dan
tak satu pun yang menjangkau Amerika, Australia, atau pulaupulau terpencil seperti Madagaskar, Selandia Baru, dan Hawaii.
Laut menjadi penghalang tidak hanya bagi manusia, tetapi
juga banyak binatang dan tumbuhan Afro-Asia, untuk mencapai
“Dunia Luar” ini. Akibatnya, organisme-organisme dataran jauh
seperti Australia dan Madagaskar berevolusi dalam isolasi selama
berjuta-juta tahun, mengambil bentuk-bentuk dan sifat-sifat yang
sangat berbeda dari kerabat mereka nun jauh di Afro-Asia. Planet
Bumi terbagi menjadi beberapa ekosistem yang berbeda-beda,
masing-masing tersusun atas kumpulan binatang dan tumbuhan
yang unik.
Homo sapiens berada pada titik siap mengakhiri kesuburan
biologis ini. Menyusul Revolusi Kognitif, Sapiens mendapatkan
teknologi, kemampuan organisasional, dan bahkan mungkin visi
yang diperlukan untuk keluar dari Afro-Asia dan mendiami Dunia
Luar. Pencapaian pertama mereka adalah kolonisasi Australia
sekitar 45 juta tahun lalu. Para ahli kesulitan menjelaskan prestasi
ini. Untuk mencapai Australia, manusia harus menyeberangi
sejumlah saluran laut, dengan luas perkiraan lebih dari seratus
kilometer, dan ketika tiba, mereka harus beradaptasi nyaris
seketika dengan sebuah ekosistem yang sama sekali baru
Teori yang paling masuk akal mengemukakan, sekitar
45.000 tahun lalu, Sapiens yang hidup di Kepulauan Indonesia
(sekelompok pulau yang terpisah dari Asia dan terpisah satu sama
lain oleh selat-selat sempit) mengembangkan masyarakat pelayaran
pertama. Mereka belajar bagaimana membangun kapal-kapal dan
mengendalikannya di laut lepas, serta menjadi nelayan, pedagang,
dan penjelajah jarak jauh. Ini sudah pasti membawa transformasi
yang belum ada sebelumnya dalam kapabilitas dan gaya hidup
manusia. Setiap mamalia yang hidup di laut—anjing laut, sapi
laut, dan lumba-lumba—harus berevolusi selama berabad-abad
untuk mengembangkan organ-organ dan tubuh hidrodinamis
berkemampuan spesialis. Sapiens di Indonesia, keturunan
dari kera yang hidup di savana Afrika, menjadi pelaut Pasifik
tanpa menumbuhkan sirip dan tanpa harus menunggu hidung
mereka bermigrasi ke bagian atas kepala mereka seperti yang
dialami paus. Namun, mereka membangun perahu-perahu dan
belajar cara mengendalikannya. Dan, kemampuan-kemampuan
ini memungkinkan mereka untuk menjangkau serta mendiami
Australia.
Benar bahwa para arkeolog masih belum menemukan perahuperahu, dayung-dayung, atau desa-desa nelayan yang bertarikh
45.000 tahun lalu (mereka akan sulit menemukannya karena
naiknya permukaan laut telah mengubur garis pantai kuno
Indonesia ratusan meter di bawah samudra). Meskipun demikian,
ada bukti tidak langsung yang kuat untuk mendukung teori ini,
terutama fakta bahwa dalam ribuan tahun setelah mendiami
Australia, Sapiens mengolonisasi banyak sekali pulau-pulau kecil
dan terisolasi di sebelah utaranya. Sebagian, seperti Buka dan
Manus, terpisah dari tanah terdekatnya oleh 200 kilometer
perairan terbuka. Sulit untuk memercayai bahwa siapa pun
orangnya mampu mencapai Manus dan mengolonisasi Manus
tanpa kapal dan kemampuan berlayar yang canggih. Seperti
disebutkan sebelumnya, ada pula bukti kuat perdagangan laut
reguler antar pulau-pulau ini, seperti Irlandia Baru dan Britania
Baru.1
Perjalanan manusia pertama ke Australia adalah salah satu
peristiwa paling penting dalam sejarah, sekurang-kurangnya
sepenting perjalanan Columbus ke Amerika atau ekspedisi Apollo
11 ke Bulan. Itulah kali pertama manusia berhasil meninggalkan
sistem ekologis Afro-Asia—sungguh, untuk kali pertama mamalia
besar darat berhasil menyeberang dari Afro-Asia ke Australia.
Yang lebih penting maknanya adalah apa yang dicapai para
pelopor manusia tersebut di dunia baru ini. Momen ketika
pemburu-pengumpul menginjakkan kaki di pantai Australia adalah
momen ketika Homo sapiens merangkak ke puncak dalam rantai
makanan pada hamparan tanah tertentu setelah menjadi spesies
paling mematikan dalam sejarah Planet Bumi.
Hingga masa itu, manusia sudah menampilkan adaptasi dan
perilaku inovatif, tetapi pengaruh mereka pada lingkungan masih
bisa diabaikan.
Mereka menunjukkan sukses yang jelas dalam memasuki
dan menyesuaikan diri dengan beragam habitat, tetapi mereka
melakukannya tanpa mengubah habitat-habitat itu secara drastis.
Para pemukim di Australia, atau lebih tepatnya para penakluk
itu, tak cuma beradaptasi, mereka mentransformasi ekosistem
Australia tanpa sadar.
Jejak kaki manusia pertama di pantai pasir Australia
langsung tersapu ombak. Meski demikian, ketika para penyerbu
itu merangsek ke pedalaman, mereka meninggalkan jejak kaki
yang berbeda, jejak yang tidak akan pernah terhapus. Seiring
gerak maju mereka, mereka berjumpa dengan sebuah alam asing
yang dihuni makhluk-makhluk tak dikenal antara lain kanguru
berukuran dua meter dan berat 200 kilogram, singa berkantung,
juga harimau masa kini yang besar, yang merupakan predator
terbesar di benua itu. Koala-koala dengan tubuh yang kelewat
besar bagi pepohonan untuk menopang tubuh mereka yang
bergelayutan dan burung-burung tak bisa terbang dengan ukuran
dua kali burung unta berlarian di dataran. Kadal-kadal mirip
naga dan ular-ular lima meteran merayap di bawah semak-semak.
Diprodoton raksasa, yakni wombat berberat 2,5 ton, menjelajahi
hutan-hutan. Kecuali burung-burung dan reptil, semua binatang
ini berkantung—seperti kanguru, mereka melahirkan bayi-bayi
mungil tak berdaya seperti orok yang kemudian mereka susui
dalam dekapan kantung perut. Mamalia-mamalia berkantung hampir tak dikenal di Afrika dan Asia, tetapi di Australia mereka
ada di mana-mana.
Dalam beberapa ribu tahun, hewan-hewan raksasa ini benarbenar punah. Dari 24 spesies binatang Australia yang beratnya 50
kilogram atau lebih, 23 di antaranya punah.2
Spesies-spesies lain
yang lebih kecil dalam jumlah besar juga hilang. Rantai makanan
di seantero ekosistem Australia runtuh dan tersusun kembali. Itu
merupakan transformasi paling penting dalam ekosistem Australia
selama jutaan tahun. Apakah itu karena ulah Homo sapiens?
Bersalah seperti yang Dituduhkan
Sebagian ahli berusaha membebaskan spesies kita dari kesalahan
itu, dengan menyalahkan liku-liku iklim (kambing hitam yang
biasa dalam kasus-kasus semacam itu). Namun, sulit untuk
meyakini bahwa Homo sapiens tak berdosa sama sekali. Ada tiga
potong bukti yang melemahkan alibi iklim, dan menimpakan
kesalahan kepada nenek moyang kita atas punahnya megafauna
Australia. Pertama, meskipun iklim Australia berubah sekitar
45.000 tahun lalu, kepunahannya tidaklah berarti. Sulit untuk
melihat hanya pola-pola cuaca baru itu yang menyebabkan
kepunahan yang demikian masif. Memang umum pada masa kini
untuk menjelaskan segala sesuatu dan segala hal adalah akibat
dari perubahan iklim, tetapi yang benar adalah bahwa iklim
Bumi tak pernah beristirahat. Ia terus mengalir. Setiap peristiwa
dalam sejarah terjadi dengan latar belakang perubahan iklim.
Secara khusus, planet kita mengalami banyak siklus pendinginan dan penghangatan. Dalam beberapa juta tahun terakhir,
ada zaman es setiap 100.000 tahun. Yang terakhir berlangsung
dari sekitar 75.000 tahun sampai 15.000 tahun lalu. Bukan
sesuatu yang aneh bagi satu zaman es ada dua puncak di
dalamnya, yang pertama sekitar 75.000 tahun lalu dan yang
kedua sekitar 20.000 tahun lalu. Diprotodon raksasa muncul
di Australia selama lebih dari 1,5 juta tahun lalu dan berhasil
melalui sepuluh zaman es sebelumnya. Ia juga selamat dari
puncak pertama zaman es terakhir, sekitar 70.000 tahun lalu. Lalu, mengapa ia hilang 45.000 tahun lalu? Tentu saja, kalaupun
diprotodon menjadi satu-satunya binatang raksasa yang hilang
pada masa itu, berarti itu hanya kebetulan. Namun, lebih dari 90
persen megafauna Australia hilang bersama diprotodon. Bukti ini
memang tidak langsung, tetapi sulit dibayangkan bahwa Sapiens,
hanya secara kebetulan, tiba di Australia pada titik yang tepat
ketika binatang-binatang ini binasa oleh udara dingin.3
Kedua, ketika perubahan iklim menyebabkan kepunahan
massal, makhluk laut biasanya terdampak sama kerasnya dengan
makhluk darat. Namun, tidak ada bukti kepunahan signifikan
fauna laut pada masa 45.000 tahun lalu. Keterlibatan manusia
bisa dijelaskan dengan mudah mengapa gelombang kepunahan
melenyapkan megafauna darat Australia sementara binatangbinatang laut di dekatnya selamat. Terlepas dari berkembangnya
kemampuan navigasi mereka, Homo sapiens masih merupakan
kedigdayaan darat yang luar biasa.
Ketiga, kepunahan massal yang mirip dengan penggundulan
dasar Australia terjadi lagi dan lagi dalam milenium berikutnya—
setiap kali orang-orang mendiami bagian lain Dunia Luar. Dalam
kasus-kasus ini, kesalahan Sapiens tak terbantahkan. Misalnya,
megafauna Selandia Baru—yang mengalami cuaca dan apa yang
diduga sebagai “perubahan iklim” 45.000 tahun lalu tanpa goresan
sedikit pun—mengalami pukulan hebat seketika setelah manusiamanusia pertama menginjakkan kaki di kepulauan itu. Maori,
koloni Sapiens pertama Selandia Baru, menjangkau kepulauan itu
sekitar 800 tahun lalu. Hanya dalam beberapa abad, mayoritas
megafauna setempat punah, bersamaan dengan 60 persen dari
semua spesies burung. Nasib serupa menimpa populasi mamut
Pulau Wrangel di Samudra Arktik (200 kilometer sebelah utara
pesisir Siberia). Selama beberapa juta tahun sebelumnya mamut
berbiak subur di sebagian besar belahan utara, tetapi begitu Homo
sapiens menyebar—mula-mula di Eurasia, kemudian di Amerika
Utara—mamut menyusut. Sampai dengan 10.000 tahun lalu, tak
satu pun mamut ditemukan di dunia, kecuali di beberapa pulau
terpencil Arktik, yang paling mencolok di Wrangel. Mamutmamut Wrangel terus tumbuh subur selama beberapa milenium
sesudah itu, kemudian tiba-tiba musnah sekitar 4.000 tahun lalu, tepat ketika manusia-manusia pertama mencapai pulau tersebut.
Kalaupun kepunahan penghuni Australia merupakan peristiwa
tunggal, kita bisa mengakui faedah keraguan itu. Namun, catatan
historis membuat Homo sapiens tampak seperti pembunuh
berantai ekologis.
Apa yang dimiliki pemukim Australia hanyalah teknologi Zaman
Batu. Bagaimana bisa mereka menyebabkan sebuah bencana
ekologis? Ada tiga penjelasan sangat bagus yang bertautan.
Binatang besar—korban utama kepunahan Australia—berbiak
lambat. Masa kehamilannya panjang, keturunan per kehamilan
sedikit, dan ada jeda-jeda panjang setelah kehamilan. Akibatnya,
jika manusia membunuh walau hanya satu diprotodon setiap
beberapa bulan, itu sudah cukup untuk menyebabkan kematian
diprotodon mengalahkan jumlah kelahiran. Dalam beberapa ribu
tahun, diprotodon terakhir yang kesepian pun mati bersama
segenap spesiesnya.4
Nyatanya, dengan segala ukuran mereka, diprotodon dan
raksasa-raksasa lain Australia mungkin tak akan terlalu sulit untuk
diburu karena mereka pasti menghadapi serangan dadakan dari
penyerang-penyerang berkaki dua. Berbagai spesies manusia telah
berkeliaran dan berevolusi di Afro-Asia selama 2 juta tahun.
Mereka pelan-pelan mengasah kemampuan berburu, dan mulai
memburu binatang-binatang sekitar 400.000 tahun lalu. Biantangbinatang buas besar Afrika dan Asia belajar menghindari manusia
sehingga ketika mega-predator baru itu—Homo sapiens—sampai
di Afro-Asia, binatang-binatang besar sudah tahu untuk menjauh
dari makhluk-makhluk yang tampak seperti itu. Sebaliknya,
raksasa-raksasa Australia tak punya waktu untuk belajar melarikan
diri. Kedatangan manusia-manusia tidak dianggap berbahaya.
Mereka tak punya gigi panjang tajam atau tubuh lentur berotot.
Jadi, ketika seekor diprotodon, mamalia berkantung terbesar
yang pernah berjalan di muka Bumi, untuk kali pertama melihat
monyet yang tampak ringkih, ia hanya menatap sebentar,
kemudian melanjutkan keasyikannya mengunyah daun. Binatangbinatang ini butuh evolusi untuk takut pada manusia, tetapi
sebelum berhasil, mereka sudah musnah.
Penjelasan kedua adalah bahwa pada saat Sapiens mencapai
Australia, mereka sudah menguasai pertanian berbasis api.
Menghadapi lingkungan asing yang mengancam, mereka dengan
sengaja membakar area-area luas belukar tebal dan hutan-hutan
lebat yang tak tertembus untuk menciptakan lahan rumput
terbuka, yang menghadirkan permainan berburu yang lebih
mudah, dan lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan mereka.
Dari sanalah mereka mengubah sepenuhnya ekologi bagian-bagian
besar Australia dalam beberapa milenium singkat.
Satu sosok bukti yang mendukung pandangan ini adalah
catatan fosil tumbuhan. Pohon eukaliptus jarang di Australia
45.000 tahun lalu. Namun, kedatangan Homo sapiens meresmikan
masa keemasan bagi spesies itu. Karena eukaliptus sangat tahan
api, spesies ini menyebar jauh dan meluas sementara pohonpohon dan semak-semak lain lenyap.
Perubahan-perubahan vegetasi ini memengaruhi binatangbinatang pemakan tumbuhan dan karnivora pemakan vegetarian.
Koala-koala, yang bergantung hidupnya pada daun eukaliptus,
dengan gembira menjelajahi teritori-teritori baru. Sebagian
besar binatang lain sangat terpukul. Banyak rantai makanan
Australia runtuh, mendorong setiap mata rantai terlemah menuju
kepunahan.5
Penjelasan ketiga menyepakati bahwa perburuan dan
pertanian berbasis pembakaran memainkan peran signifikan
dalam kepunahan, tetapi menekankan bahwa kita tidak bisa
sepenuhnya mengabaikan peran iklim. Perubahan-perubahan iklim
yang menimpa Australia sekitar 45.000 tahun lalu mendestabilkan
ekosistem dan menjadikannya benar-benar rawan. Dalam keadaan
normal, sistem itu mungkin bisa pulih kembali, sebagaimana yang
sering terjadi sebelumnya. Namun, manusia muncul tepat pada
persimpangan kritis ini dan mendorong ekosistem rapuh tersebut
menuju neraka. Kombinasi perubahan iklim dan perburuan
oleh manusia memorak-porandakan terutama binatang-binatang
besar karena kombinasi itu menyerang mereka dari sudut yang
berbeda. Sulit untuk menemukan strategi bertahan bagus yang
bisa bekerja secara simultan menghadapi ancaman ganda.
Tanpa ada bukti lebih jauh, tak ada jalan untuk memutuskan
mana di antara ketiga skenario itu yang benar. Namun, ada
alasan-alasan yang benar-benar bagus untuk percaya bahwa kalau
saja Homo sapiens tidak pernah berlaga, Australia tentu masih
menjadi rumah bagi singa-singa berkantung, diprotodon, dan
kanguru-kanguru raksasa.
Akhir Riwayat Kungkang
Punahnya megafauna Australia mungkin merupakan pertanda
pertama yang signifikan dari keberadaan Homo sapiens di planet
kita. Tanda itu diikuti oleh bencana ekologis yang bahkan lebih
besar, kali ini di Amerika. Homo sapiens adalah spesies manusia
pertama dan satu-satunya yang mencapai belahan barat lahan luas
itu, tiba sekitar 16.000 tahun lalu, yakni di dalam atau sekitar
14.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Orang-orang Amerika
pertama tiba dengan jalan kaki. Hal itu bisa dilakukan karena
pada saat itu permukaan laut cukup rendah sehingga tersedia
jembatan tanah yang menghubungkan Siberia timur laut dengan
Alaska barat laut.
Tak mudah, tentu saja—perjalanan itu sulit, mungkin lebih
sulit daripada jalur laut menuju Australia. Untuk menyeberang,
Sapiens pertama-tama harus tahu bagaimana bertahan menghadapi
kondisi ekstrem Arktik di Siberia utara, sebuah wilayah yang tak
pernah diterpa sinar Matahari pada musim dingin, dan suhunya
bisa anjlok ke minus 50 derajat Celsius.
Tak ada spesies manusia sebelumnya yang berhasil menembus
tempat-tempat seperti Siberia utara. Bahkan, spesies Neanderthal
yang sudah beradaptasi dengan dingin membatasi diri mereka di
daerah-daerah yang relatif lebih hangat jauh di bagian selatan.
Namun, Homo sapiens, yang tubuhnya teradaptasi untuk hidup
di savana Afrika ketimbang tanah-tanah salju atau es, merancang
solusi-solusi cerdik. Ketika kawanan-kawanan Sapiens penjelajah
bermigrasi ke iklim-iklim yang lebih dingin, mereka belajar untuk
membuat sepatu-sepatu salju dan pakaian penghangat yang efektif,
yang terbuat dari lembaran bulu dan kulit binatang, dijahit kuat
dengan bantuan jarum. Mereka mengembangkan senjata-senjata baru dan teknik-teknik berburu canggih yang memungkinkan
mereka untuk memburu dan membunuh mamut dan binatang
besar lainnya jauh ke utara. Seiring dengan membaiknya pakaian
penghangat dan teknik berburu, Sapiens berani bertualang
semakin dalam dan semakin dalam ke daerah-daerah beku.
Dan, ketika mereka bergerak ke utara, pakaian-pakaian mereka,
strategi-strategi berburu, dan kemampuan-kemampuan bertahan
lainnya terus membaik.
Akan tetapi, mengapa mereka peduli? Mengapa pula
membahayakan diri dengan sengaja menuju Siberia? Mungkin
sebagian kawanan terdesak ke utara oleh peperangan, tekanan
demografis, atau bencana-bencana alam. Sebagian yang lain
mungkin berkelana ke utara dengan alasan-alasan yang lebih
positif, seperti protein binatang. Tanah-tanah Arktik penuh
binatang besar nan lezat seperti rusa kutub dan mamut. Setiap
mamut adalah sumber daging dalam jumlah besar (yang,
mengingat suhu bekunya, bahkan bisa dibekukan untuk dimakan
kemudian), gajih yang lezat, bulu yang hangat, dan gading yang
bernilai. Sebagaimana kesaksian temuan-temuan dari Sungir,
para pemburu mamut tidak hanya bertahan hidup di utara yang
beku, mereka juga berbiak subur. Seiring berjalannya waktu,
kawanan-kawanan menyebar jauh dan meluas, memburu mamut,
mastodon, kuda nil, dan rusa kutub. Sekitar 14.000 tahun SM,
perburuan membawa mereka dari Siberia timur laut ke Alaska.
Tentu saja, mereka tidak tahu telah menemukan sebuah dunia
baru. Bagi mamut maupun manusia, Alaska hanyalah perluasan
Siberia semata.
Mula-mula, gunung es mengadang jalan mereka dari Alaska
ke bagian lain Amerika, mungkin hanya beberapa penyintas
yang sanggup menembus lahan-lahan ke selatan. Namun, pada
sekitar 12.000 tahun SM, pemanasan global mencairkan es dan
membuka jalur lebih mudah. Dengan menggunakan koridor baru
itu, orang-orang bergerak massal ke selatan, menyebar ke seluruh
bagian kontinen. Meskipun semula teradaptasi dengan medan
berburu binatang besar di Arktik, mereka segera menyesuaikan
diri dengan keragaman iklim dan ekosistem yang luar biasa.
Para keturunan Siberia itu mendiami hutan-hutan lebat bagian timur Amerika Serikat, rawa-rawa Delta Mississippi, gurun
Meksiko, dan belantara hangat di Amerika Tengah. Sebagian
membuat rumah di wilayah lembah Sungai Amazon, yang lain
menancapkan akar di ngarai-ngarai Gunung Andean atau pampapampa terbuka Argentina. Dan, ini semua berlangsung hanya
dalam satu atau dua milenium! Sampai dengan 10.000 tahun
SM, manusia sudah mendiami titik paling selatan Amerika,
Pulau Tierra del Fuego di ujung selatan kontinen. Pengembaraan
manusia ke Amerika menjadi saksi kecerdikan tiada tara dan
adaptabilitas tak tertandingi Homo sapiens. Tak ada binatang
lain yang pernah bergerak ke habitat yang begitu beragam dan
secara radikal begitu berbeda, dengan begitu cepat, di manamana dengan menggunakan gen yang sama.6
Sapiens yang mendiami Amerika tak kurang berdarahnya.
Spesies ini meninggalkan jejak panjang korban-korban. Fauna
Amerika 14.000 tahun lalu jauh lebih kaya dari masa kini.
Ketika orang-orang Amerika pertama bergerak ke selatan dari
Alaska menuju dataran-dataran Kanada dan bagian barat Amerika
Serikat, mereka menemukan mamut dan mastodon, tikus-tikus
seukuran beruang, kawanan kuda dan unta, singa-singa raksasa,
dan puluhan spesies lain yang contoh miripnya pada masa kini,
di antaranya kucing-kucing bergigi menakutkan dan kungkangkungkang darat raksasa seberat 8 ton dan tinggi sampai 6 meter.
Amerika Selatan menjadi rumah bagi kumpulan mamalia besar,
reptil, dan burung-burung yang bahkan lebih eksotis. Amerika
merupakan laboratorium besar eksperimentasi evolusi, sebuah
tempat di mana binatang-binatang dan tetumbuhan yang tak
dikenal di Afrika dan Asia pernah berevolusi dan tumbuh subur.
Akan tetapi, tak berlangsung lama. Dalam 2.000 tahun sejak
kedatangan Sapiens, sebagian besar spesies unik ini musnah.
Menurut perkiraan saat ini, dalam interval singkat itu, Amerika
Utara kehilangan tiga puluh empat dari lima puluh tujuh
genera mamalia besar. Amerika Selatan kehilangan lima puluh
dari enam puluh. Kucing-kucing bergigi tajam, setelah berbiak
subur selama lebih dari 30 juta tahun, musnah, dan begitu juga
kungkang-kungkang darat raksasa, singa-singa raksasa, kuda-kuda
asli Amerika, unta asli Amerika, tikus-tikus raksasa dan mamut. Ribuan spesies mamalia yang lebih kecil, reptil, burung, bahkan
serangga dan parasit juga punah (ketika mamut punah, semua
spesies kutu mamut pun ikut punah). Selama beberapa dekade,
para ahli palaeontologi dan arkeologi binatang—orang-orang
yang meneliti dan mempelajari sisa-sisa binatang—telah menyisir
dataran-dataran dan pegunungan Amerika untuk mencari tulangtulang fosil unta kuno dan kotoran-kotoran kungkang darat
raksasa yang sudah berubah bentuk. Ketika mereka menemukan
apa yang mereka cari, benda-benda pusaka itu dikemas dengan
hati-hati dan dikirim ke laboratorium, di mana setiap tulang
dan setiap koprolit (nama teknis untuk fosil kotoran) dipelajari
dengan saksama dan ditentukan masanya.
Berulang kali, analisis-analisis ini menghasilkan temuan yang
sama: bola kotoran paling baru dan tulang-tulang unta paling
mutakhir bertarikh masa yang sama ketika manusia membanjiri
Amerika, kira-kira antara 12.000 dan 9.000 tahun SM. Hanya
di satu area para ilmuwan menemukan bola kotoran yang
lebih muda: di beberapa pulau Karibia, terutama Kuba dan
Hispaniola, mereka menemukan kotoran kungkang darat yang
sudah berubah bertarikh sekitar 5.000 tahun SM. Ini adalah
masa tepat ketika manusia pertama berhasil menyeberangi Laut
Karibia dan mendiami kedua pulau besar ini.
Lagi-lagi, beberapa ahli berusaha membebaskan Homo
sapiens dan menyalahkan perubahan iklim (yang mengharuskan
mereka berasumsi bahwa, karena penyebab misterius, iklim di
Kepulauan Karibia tetap statis selama 7.000 tahun sementara
wilayah lainnya di belahan barat itu tetap hangat). Namun,
di Amerika, bola kotoran itu tak bisa disangkal. Kitalah biang
keroknya. Kebenaran itu tak bisa diragukan lagi. Sekalipun
perubahan iklim memang bersekongkol dengan kita, kontribusi
manusia jelas menentukan.7
Bahtera Nuh
Jika kita kombinasikan kepunahan massal di Australia dan
Amerika, dan tambahkan kepunahan berskala kecil yang terjadi
saat Homo sapiens menyebar di Afro-Asia—seperti punahnya
semua spesies manusia lain—dan kepunahan yang terjadi ketika
para penjelajah kuno mendiami pulau-pulau terpencil seperti
Kuba, kesimpulan tak terelakkan adalah bahwa gelombang
pertama kolonisasi Sapiens merupakan salah satu bencana
ekologis terbesar dan tercepat yang menimpa kerajaan binatang.
Yang paling parah terdampak adalah makhluk-makhluk besar
berbulu. Pada masa Revolusi Kognitif, planet menjadi rumah
bagi sekitar 200 genera mamalia besar darat yang beratnya di
atas 50 kilogram. Pada saat Revolusi Agrikultur, hanya sekitar
seratus yang tersia. Homo sapiens mendorong kepunahan
sekiar setengah binatang besar planet ini jauh sebelum manusia
menemukan roda, tulisan, atau alat-alat besi.
Tragedi ekologis ini terulang kembali dalam skala mini yang
tak terhitung jumlahnya setelah Revolusi Agrikultur. Catatan
arkeologis pulau demi pulau mengisahkan cerita sedih yang
sama. Tragedi dimulai dengan sebuah adegan yang menunjukkan
populasi kaya dan beragam binatang-binatang besar tanpa jejak
manusia. Dalam adegan dua, Sapiens muncul, dibuktikan oleh
adanya tulang manusia, ujung tombak, atau mungkin pecahan
tembikar. Adegan tiga segera menyusul, yang di dalamnya
manusia laki-laki dan perempuan menduduki pentas utama dan
sebagian besar binatang besar, bersama banyak binatang lain
yang kecil, hilang.
Pulau besar Madagaskar, sekitar 400 kilometer sebelah timur
daratan utama Afrika, menjadi contoh yang masyhur. Selama
jutaan tahun terisolasi, sebuah koleksi unik binatang berevolusi
di sana. Di dalamnya termasuk burung gajah, binatang tak bisa
terbang setinggi 3 meter dan berat hampir 0,5 ton—burung
terbesar di dunia—dan lemur raksasa, primata terbesar di Bumi.
Burung-burung gajah dan lemur raksasa, bersama sebagian besar
binatang besar lain di Madagaskar, tiba-tiba lenyap sekitar 1.500
tahun lalu—tepat ketika manusia pertama menginjakkan kaki
di pulau itu.
Di Samudra Pasifik, gelombang kepunahan pertama
dimulai sekitar 1.500 tahun SM, ketika para petani Polynesia
mendiami Kepulauan Solomon, Fiji, dan Kaledonia Baru. Mereka
membinasakan, secara langsung maupun tidak langsung, ratusan
spesies burung, serangga, bekicot, dan makhluk-makhluk penghuni
lainnya. Dari sana, gelombang kepunahan bergerak pelan-pelan
ke timur, selatan, dan utara, menuju jantung Samudra Pasifik,
melenyapkan fauna unik Samoa dan Tonga (tahun 1200 SM);
Kepulauan Marquis (Tahun 1 M); Pulau Paskah, Kepulauan
Cook, dan Hawaii (tahun 500 M); dan akhirnya Selandia Baru
(Tahun 1200 M).
Bencana-bencana ekologis serupa terjadi hampir setiap 1.000
tahun di pulau-pulau yang bertebaran di Samudra Atlantik,
Samudra India, Samudra Arktik, dan Laut Mediteran. Para
arkeolog telah menemukan bahkan di pulau-pulau paling kecil
bukti eksistensi burung-burung, serangga, dan bekicot yang hidup
di sana dalam generasi yang tak terhitung jumlahnya, musnah
ketika manusia-manusia petani pertama tiba. Hanya sedikit pulaupulau yang sangat terpencil lolos dari perhatian manusia sampai abad modern, dan pulau-pulau ini mempertahankan keutuhan
faunanya. Kepulauan Galapagos, sebagai satu contoh yang paling
terkenal, tetap tak dihuni manusia sampai abad ke-19 sehingga
mempertahankan kumpulan binatang uniknya, termasuk penyu
raksasa yang, seperti diprotodon kuno, tak takut manusia.
Gelombang Kepunahan Pertama, yang disertai penyebaran
manusia penjelajah, diikuti Gelombang Kepunahan Kedua,
yang disertai penyebaran petani, dan memberi kita perspektif
penting tentang Gelombang Kepunahan Ketiga, yang kini
disebabkan oleh aktivitas industri. Jangan percaya cerita-cerita
bodoh bahwa para leluhur kita hidup harmonis dengan alam.
Jauh sebelum Revolusi Industri, Homo sapiens memiliki catatan
di antara semua organisme atas ulahnya mendorong sebagian
besar spesies tumbuhan dan binatang menuju kepunahan. Kita
memiliki watak meragukan sebagai spesies paling mematikan
dalam sejarah biologi.
Mungkin, jika lebih banyak orang menyadari Gelombang
Pertama dan Kedua Kepunahan, mereka akan lebih peduli tentang
Gelombang Ketiga yang di dalamnya mereka ambil bagian. Jika
kita tahu berapa banyak spesies yang sudah kita enyahkan, kita
menjadi lebih termotivasi untuk melindungi spesies-spesies yang
masih bertahan. Ini terutama relevan terhadap binatang-binatang
besar di lautan. Tak seperti rekan mereka di darat, binatangbinatang laut besar relatif kurang terdampak oleh revolusi
Kognitif dan Agrikultural. Namun, banyak di antara mereka ada
di tubir kepunahan saat ini sebagai akibat dari polusi industrial
dan penggunaan berlebihan oleh manusia atas sumber daya laut.
Jika keadaan ini berlanjut dengan kecepatan seperti sekarang,
kemungkinan paus , hiu , tuna, dan lumba-lumba akan menyusul
diprotodon, kungkang darat, dan mamut menuju kepunahan. Di
antara makhluk besar dunia, yang selamat dari banjir manusia
hanyalah manusia itu sendiri, dan binatang-binatang di ladang
yang menjadi budak di atas geladak Bahtera Nuh.
Selama 2,5 juta tahun manusia menghidupi diri dengan
mengumpulkan tumbuhan dan memburu binatang yang hidup
dan jenisnya tanpa intervensi mereka. Homo erectus, Homo
ergaster, dan Neanderthal memetik ara liar dan memburu
domba-domba liar tanpa memutuskan di mana pohon-pohon
ara harus tumbuh, di padang rumput mana kawanan domba
harus merumput, atau kambing-kambing bandot mana yang
harus kawin dengan kambing betina yang mana. Homo sapiens
menyebar dari Afrika Timur ke Timur Tengah, ke Eropa dan
Asia, dan akhirnya ke Australia dan Amerika—tetapi ke mana
pun mereka pergi, Sapiens terus hidup dengan mengumpulkan
tumbuhan-tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar.
Mengapa pula harus mencari cara lain kalau gaya hidupmu
memberi kecukupan dan menopang dunia yang kaya dengan
struktur sosial, keyakinan agama, dan dinamika politik?
Semua ini berubah sekitar 10.000 tahun lalu, ketika
Sapiens mulai menghabiskan seluruh waktu dan usaha mereka
untuk memanipulasi kehidupan beberapa spesies binatang dan
tumbuhan. Dari fajar sampai terbenamnya Matahari, manusia
menabur benih, menyirami tanaman, menyiangi rumput dari
tanah, dan menggiring domba-domba ke padang rumput terbaik.
Pekerjaan ini, mereka pikir akan menyediakan lebih banyak
buah, biji-bijian, dan daging. Itulah revolusi dalam cara hidup
manusia—Revolusi Agrikultur.
Transisi ke pertanian dimulai sekitar 9500–8500 SM di
negeri perbukitan Turki bagian tenggara, Iran barat, dan Levant.
Transisi itu dimulai pelan-pelan dan di area geografis terbatas.
Gandum dan kambing didomestikasi kira-kira 9000 SM; kacang polong dan kacang-kacangan sekitar 8000 SM; pohon zaitun
pada 5000 SM; kuda pada 4000 SM; dan anggur pada 3500
SM. Sebagian binatang dan tumbuhan, seperti unta dan kacang
mede, didomestikasi belakangan, tetapi sampai dengan 3500 SM,
gelombang utama domestikasi selesai. Bahkan hari ini, dengan
segala kemajuan teknologi kita, lebih dari 90 persen kalori
yang menghidupi manusia datang dari segelintir tumbuhan yang
didomestikasi leluhur kita antara 9500 dan 3500 SM—gandum,
padi, jagung, kentang, jewawut, dan jelai. Tak ada tumbuhan
atau binatang yang didomestikasi yang patut dicatat dalam 2.000
tahun terakhir. Jika pikiran kita seperti para pemburu-penjelajah,
santapan kita pun sama seperti para petani kuno itu.
Para ahli dulu percaya bahwa pertanian menyebar dari satu
titik tunggal di Timur Tengah ke empat penjuru dunia. Kini, para
ahli sepakat bahwa pertanian menyeruak di berbagai bagian lain
dunia, bukan oleh aksi para petani Timur Tengah yang mengekspor
revolusi mereka, melainkan seluruhnya secara independen. Orangorang di Amerika Tengah mendomestikasi jagung dan biji-bijian
tanpa mengetahui apa pun tentang penanaman gandum dan kacang polong di Timur Tengah. Orang-orang Amerika Selatan
belajar cara menumbuhkan kentang dan mengembangbiakkan
llama, tanpa tahu apa yang terjadi di Meksiko atau Levant. Kaum
revolusioner pertama China mendomestikasi padi, jewawut, dan
babi. Para pekebun pertama Amerika Utara kelelahan menyisir
semak-semak mencari umbi-umbian yang bisa dimakan dan
memutuskan untuk menanam labu kuning. Orang-orang New
Guinea mendomestikasi tebu dan pisang, sementara para petani
Afrika Barat memanfaatkan jewawut Afrika, padi Afrika, sorgum
dan gandum untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari titik-titik
pusat awal inilah pertanian menyebar jauh dan meluas. Sampai
dengan abad ke-1 M, mayoritas penduduk di sebagian besar
wilayah dunia adalah agrikulturalis.
Mengapa revolusi agrikultur meletup di Timur Tengah,
China, dan Amerika Tengah, tetapi tidak di Australia, Alaska,
atau Afrika Selatan? Penyebabnya sederhana: sebagian besar
spesies tumbuhan dan binatang tak bisa didomestikasi. Sapiens
bisa menggali jamur-jamur besar yang lezat dan memburu mamutmamut berbulu, tetapi mendomestikasi spesies mana pun tak
ada dalam pikiran mereka. Jamur-jamur sangat sulit dicari, dan
binatang-binatang buas raksasa terlalu menakutkan. Dari ribuan
spesies yang diburu dan dikumpulkan para leluhur kita, hanya
beberapa yang bisa menjadi kandidat cocok untuk pertanian
dan piaraan. Spesies yang sedikit itu hidup di tempat-tempat
tertentu, dan di tempat-tempat itulah revolusi agrikultur terjadi.
Dulu para ahli mengklaim bahwa revolusi agrikultur
adalah sebuah lompatan besar menuju kemanusiaan. Mereka
mendongengkan cerita kemajuan yang didorong oleh kekuatan
otak manusia. Evolusi pelan-pelan menghasilkan orang-orang yang
lebih pintar. Akhirnya, orang-orang begitu pintar sehingga mereka
mampu menyibak rahasia-rahasia alam, memungkinkan mereka
untuk mendomestikasi domba dan menanam gandum. Segera
setelah semua ini terjadi, mereka dengan riang meninggalkan
kehidupan yang melelahkan, berbahaya, dan sering spartan,
sebagai pemburu-penjelajah, dengan tinggal menetap untuk
menikmati kehidupan menyenangkan lagi memuaskan sebagai
petani.
Dongeng itu adalah fantasi. Tak ada bukti bahwa orang-orang
menjadi lebih pintar seiring berjalannya waktu. Para pengembara
tahu rahasia-rahasia alam jauh sebelum Revolusi Agrikultur
karena kehidupan mereka bergantung pada pengetahuan
mendalam tentang binatang yang mereka buru dan tumbuhan
yang mereka kumpulkan. Bukan menjadi penanda kehadiran era
baru kehidupan yang mudah, Revolusi Agrikultur menghadirkan
kehidupan yang secara umum malah lebih sulit bagi para petani
dan lebih tidak memuaskan ketimbang yang dinikmati para
pengembara. Para pemburu-penjelajah menghabiskan waktu
mereka dengan cara yang lebih menstimulasi dan lebih beragam,
dan lebih kecil ancaman bahaya kelaparan serta penyakit. Revolusi
Agrikultur jelas memperbesar jumlah total makanan yang dimiliki
manusia. Namun, makanan ekstra tidak bisa diterjemahkan
sebagai menu yang lebih baik atau waktu luang yang lebih
banyak. Yang sesungguhnya terjadi adalah ledakan populasi dan
elite yang manja. Rata-rata petani bekerja lebih keras ketimbang
rata-rata pengembara, dan mendapatkan menu makanan yang
lebih buruk sebagai imbalannya. Revolusi Agrikultur adalah
kecurangan terbesar dalam sejarah.
Siapa yang bertanggung jawab? Bukan raja, bukan pendeta,
bukan pula pedagang. Pelakunya adalah segelintir spesies
tumbuhan, termasuk gandum, padi, dan kentang. Tumbuhantumbuhan ini mendomestikasi Homo sapiens, bukan sebaliknya.
Pikirkan sejenak tentang Revolusi Agrikultur dari sudut
pandang gandum. Sepuluh ribu tahun lalu gandum hanya satu
jenis rumput liar, salah satu dari banyak, terkurung dalam
rentang kecil di Timur Tengah. Tiba-tiba, hanya dalam beberapa
milenium pendek, rumput itu tumbuh di seluruh dunia. Menurut
kriteria evolusi dasar survival dan reproduksi, gandum menjadi
salah satu tumbuhan yang paling sukses dalam sejarah di muka
Bumi. Di area-area seperti Great Palins, Amerika Utara, di mana
tak sebatang pun tangkai gandum tumbuh 10.000 tahun lalu,
kini Anda bisa berjalan beratus-ratus kilometer tanpa menjumpai
tumbuhan lain. Di seluruh dunia, gandum menutupi sekitar 2,25
juta kilometer persegi permukaan Bumi, hampir sepuluh kali luas Inggris. Bagaimana rumput ini berubah dari tidak signifikan
menjadi ada di mana-mana?
Gandum melakukannya dengan memanipulasi Homo sapiens
untuk keuntungannya sendiri. Kera ini telah hidup cukup nyaman
berburu dan mengumpulkan sampai sekitar 10.000 tahun lalu,
tetapi kemudian mulai menginvestasikan lebih banyak dan lebih
banyak lagi upaya menanam gandum. Dalam beberapa milenium,
manusia di banyak bagian dunia merawat tumbuhan gandum. Itu
tidak mudah. Gandum meminta banyak dari mereka. Gandum
tidak suka bebatuan dan kerikil, jadi Sapiens meremukkan
punggung mereka untuk membersihkan lahan. Gandum tidak
suka berbagi ruang, air, dan nutrisi dengan tumbuhan lain, jadi
laki-laki dan perempuan bekerja sepanjang hari menyemai di
bawah sengatan Matahari. Gandum sakit, jadi Sapiens harus
terus mengawasinya dari serangan ulat dan kutu. Gandum
tak punya pertahanan melawan organisme lain yang suka
memakannya, dari kelinci sampai kawanan belalang, maka para
petani harus menjaga dan melindunginya. Gandum kehausan,
maka manusia mengalirkan air dari mata air dan sungai-sungai
untuk mengairinya. Gandum yang kelaparan bahkan mendorong
manusia mengumpulkan kotoran binatang untuk menyuburkan
tanah yang menjadi tempat tumbuh gandum.
Tubuh Homo sapiens belum berevolusi untuk tugas semacam
itu. Ia teradaptasi untuk memanjat pohon-pohon apel dan
memburu rusa-rusa, bukan untuk membersihkan batu-batu
dan membawa kantong-kantong air. Tulang belakang manusia,
lutut, leher, dan lekuk tubuh membayar atas itu. Studi-studi
atas tulang belulang kuno menunjukkan bahwa transisi menuju
pertanian membawa banyak penyakit, seperti terkilir, radang
sendi, dan hernia. Lebih dari itu, tugas-tugas baru pertanian
menuntut banyak waktu yang menyebabkan manusia dipaksa
menetap secara permanen dekat dengan ladang-ladang gandum
mereka. Ini mengubah sepenuhnya cara hidup mereka. Kita
tidak mendomestikasi gandum. Gandum yang mendomestikasi
kita. Kata “domestikasi” berasal dari bahasa Latin domus, yang
berarti ‘rumah’. Siapa yang hidup di rumah? Bukan gandum.
Sapiens-lah yang hidup dalam rumah.
Bagaimana gandum meyakinkan Homo sapiens untuk
menukar kehidupan yang sedikit bagus untuk keberadaan yang
lebih menderita? Apa imbalan yang ditawarkannya? Ia tidak
memberi makanan yang lebih bagus. Ingat, manusia adalah
kera omnivora yang tumbuh dengan ragam luas makanan. Bijibijian hanya menyumbang bagian kecil dari makanan manusia
sebelum Revolusi Agrikultur. Makanan berbasis sereal miskin
akan mineral dan vitamin, sulit ditumbuhkan, dan benar-benar
buruk untuk gigi dan gusi.
Gandum tidak memberi orang keamanan ekonomi. Kehidupan
seorang petani lebih tidak aman ketimbang kehidupan pemburupenjelajah. Para pengembara bergantung pada puluhan spesies
untuk bertahan hidup, dan karena itu bisa menghadapi tahuntahun sulit, bahkan tanpa persediaan makanan yang disimpan. Jika
ketersediaan satu spesies berkurang, mereka bisa mengumpulkan
dan memburu lebih banyak dari spesies-spesies lain. Masyarakat
bertani, sampai masa yang sangat mutakhir, menggantungkan
banyak sekali kebutuhan kalori mereka pada ragam sangat kecil
tumbuhan yang didomestikasi. Di banyak area, mereka hanya
bergantung pada persediaan makanan tunggal, seperti gandum,
kentang, atau beras. Jika tak ada hujan, awan belalang datang, atau jamur menulari spesies makanan itu, petani-petani mati
dalam angka ribuan dan jutaan.
Gandum juga tidak bisa menawarkan keamanan dari kekerasan
manusia. Para petani awal sekurang-kurangnya sama ganasnya
dengan leluhur penjelajah mereka, kalau bukan lebih ganas. Para
petani memiliki lebih banyak hak milik dan membutuhkan lahan
untuk menanam. Hilangnya lahan-lahan padang rumput untuk
menyerbu tetangga bisa berarti ketimpangan antara kehidupan
dan kelaparan, jadi semakin sempit ruang untuk kompromi.
Ketika satu kawanan pengembara terdesak oleh rival yang lebih
kuat, kawanan itu biasanya bergerak. Itu sulit dan berbahaya,
tetapi masih layak. Ketika satu musuh yang kuat mengancam satu
desa pertanian, mundur berarti menyerahkan ladang, rumah, dan
lumbung. Dalam banyak kasus, ini mengantarkan para pengungsi
menuju kelaparan. Oleh karena itu, para petani cenderung
bertahan dan berperang sampai titik darah penghabisan.
Banyak studi antropologis dan arkeologis menunjukkan
bahwa dalam masyarakat-masyarakat agrikultur sederhana tanpa
kerangka politik yang melingkupi desa dan suku, kekerasan
manusia bertanggung jawab atas sekitar 15 persen kematian,
termasuk 25 persen kematian laki-laki. Dalam masyarakat
kontemporer Papua Nugini, kekerasan menyumbang 30 persen
kematian laki-laki di satu masyarakat suku pertanian, Dani,
dan 35 persen di suku lain, Enga. Di Ekuador, mungkin 50
persen orang Waorani dewasa mati akibat kekerasan di tangan
manusia lain!12 Pada waktunya, kekerasan manusia bisa diatasi
melalui pengembangan kerangka sosial yang lebih besar—kotakota, kerajaan, dan negara. Namun, butuh ribuan tahun untuk
membangun struktur politik yang demikian besar dan efektif.
Kehidupan desa jelas membawa sejumlah manfaat langsung
bagi para petani awal, seperti proteksi yang lebih baik dari
binatang buas, hujan, dan cuaca dingin. Namun, untuk rata-rata
orang, kerugiannya mungkin melebihi keuntungannya. Sulit bagi
orang dalam masyarakat makmur saat ini untuk menghargainya.
Karena kita menikmati kemakmuran dan keamanan, dan karena
kemakmuran serta keamanan kita dibangun di atas fondasi
yang dibuat oleh Revolusi Agrikultur, kita berasumsi bahwa Revolusi Agrikultur adalah sebuah perbaikan yang luar biasa.
Meskipun demikian, salah juga jika menilai ribuan tahun sejarah
dari perspektif masa kini. Satu sudut pandang yang jauh lebih
representatif adalah sudut pandang seorang gadis berusia 3 tahun
yang sekarat akibat malnutrisi pada abad ke-1 di China gara-gara
panen ayahnya gagal. Akankah dia mangatakan, “Saya sekarat
akibat malnutrisi, tetapi dalam 2.000 tahun, orang-orang akan
punya banyak makanan dan hidup di rumah-rumah besar berAC, jadi penderitaan saya adalah pengorbanan yang berarti”?
Lalu, apa yang ditawarkan gandum kepada agrikulturalis,
termasuk gadis China yang mati kurang gizi itu? Tak ada yang
diberikan gandum untuk orang-orang sebagai individu.
Akan tetapi, gandum menganugerahkan sesuatu bagi Homo
sapiens sebagai spesies. Menanam gandum memberi lebih banyak
makanan per satuan teritorial, dan karena itu memungkinkan
Homo sapiens berbiak secara eksponensial. Sekitar 13.000 tahun
SM, ketika orang-orang menghidupi diri dengan mengumpulkan
tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar, area di
sekitar oase Jericho di Palestina, bisa menopang paling banyak
satu kawanan pengembara yang terdiri atas sekitar seratus
orang yang relatif sehat dan tercukupi gizinya. Sekitar 8500
SM, ketika tumbuhan-tumbuhan liar menyerah kepada ladangladang gandum, oase itu menopang desa besar tetapi ringkih
berisi 1.000 orang, yang jauh lebih menderita akibat penyakit
dan kekurangan gizi.
Mata uang evolusi bukanlah kelaparan dan penderitaan,
melainkan salinan spiral DNA. Sebagaimana sukses ekonomi
sebuah perusahaan diukur hanya dengan jumlah dolarnya di
rekening bank, bukan dari kebahagiaan para pegawainya, jadi
sukses evolusi dari sebuah spesies diukur dengan jumlah salinan
DNA-nya. Jika tidak ada lagi salinan DNA yang tersisa, spesies
itu punah, sebagaimana sebuah perusahaan yang tak punya uang
berarti bangkrut. Jika satu spesies menggaungkan banyak salinan
DNA, ia sukses dan spesies itu subur. Dari perspektif semacam
itu, 1.000 salinan selalu lebih baik dari 100 salinan. Inilah esensi
dari Revolusi Agrikultur: kemampuan untuk mempertahankan lebih banyak orang hidup di bawah kondisi lebih buruk.
Meskipun demikian, mengapa pula seseorang harus peduli
dengan kalkulus evolusi ini? Mengapa pula satu orang yang
sama menurunkan standar hidupnya hanya untuk menggandakan
jumlah salinan gen Homo sapiens? Tak seorang pun setuju dengan
kenyataan ini: Revolusi Agrikultur adalah sebuah perangkap.
Perangkap Mewah
Peningkatan pertanian adalah perkembangan yang sangat
perlahan, menyebar selama berabad-abad dan beberapa milenium.
Satu kawanan Homo sapiens yang mengumpulkan jamur dan
kacang serta berburu rusa dan kelinci tidak tiba-tiba mendiami
sebuah desa permanen, membajak tanah, menyemai gandum
dan mengangkut air dari sungai. Perubahan itu berjalan tahap
demi tahap, masing-masing disertai hanya perubahan kecil dalam
kehidupan sehari-hari.
Homo sapiens mencapai Timur Tengah sekitar 70.000 tahun
lalu. Selama 50.000 tahun kemudian para leluhur kita tumbuh
subur di sana tanpa pertanian. Sumber daya alam area itu cukup
untuk menopang populasi manusianya. Pada satu masa subur
banyak orang punya anak, dan pada masa sulit lebih sedikit yang
punya anak. Manusia, seperti mamalia pada umumnya, memiliki
mekanisme hormonal dan genetik yang membantu mengendalikan
perkembangbiakan. Pada masa yang baik, perempuan mencapai
pubertas lebih awal, dan peluang mereka untuk hamil sedikit
lebih tinggi. Pada masa buruk, pubertas datang lebih lambat dan
kesuburan menurun.
Selain kendali populasi alamiah ini, datang pula mekanisme
kultural. Bayi-bayi dan anak-anak kecil, yang bergerak lamban
dan menuntut perhatian lebih besar, menjadi beban bagi para
pengembara nomaden. Orang-orang berusaha menjarangkan
kelahiran anak tiga sampai empat tahun. Perempuan melakukan
itu dengan mengasuh anak sepanjang waktu dan sampai usia
anak lebih tua (penyusuan sepanjang waktu secara signifikan
menurunkan peluang untuk hamil). Metode-metode lain adalah
pantangan seks penuh atau sebagian (didukung mungkin oleh
tabu-tabu kultural), aborsi, dan kadang-kadang pembunuhan bayi.
Selama milenium-milenium panjang ini orang terkadang
makan biji gandum, tetapi ini bagian yang sangat marginal dari
menu makanan mereka. Sekitar 18.000 tahun lalu, zaman es
terakhir membuka jalan bagi periode pemanasan global. Ketika
suhu naik, demikian pula curah hujan. Iklim baru menjadi ideal
bagi gandum Timur Tengah dan sereal lain, yang berbiak dan
menyebar. Orang-orang mulai memakan lebih banyak gandum,
dan sebagai gantinya mereka secara tak sengaja menyebarkan
pertumbuhannya. Karena tidak mungkin makan biji-bijian liar
tanpa menampinya dulu, menggiling, dan memasaknya, orangorang harus mengumpulkan biji-bijian ini di tempat-tempat
tinggal sementara untuk memprosesnya. Biji-biji gandum cukup
kecil dan banyak sehingga tak terelakkan sebagian jatuh dalam
perjalanan ke tempat tinggal dan hilang. Dari waktu ke waktu
semakin banyak gandum tumbuh di sepanjang jalur favorit
manusia dan dekat tempat tinggal mereka.
Ketika manusia membakar hutan dan semak-semak, ini
juga membantu gandum. Api melenyapkan pohon-pohon dan
semak belukar, memungkinkan gandum dan rumput-rumut lain
memonopoli sinar Matahari, air, dan nutrisi. Di tempat-tempat
yang tersedia gandum melimpah, binatang serta sumber-sumber
makanan lain juga banyak, kawanan manusia pun pelan-pelan
meninggalkan gaya hidup nomaden serta tinggal di kamp-kamp
musiman, bahkan permanen.
Mula-mula mereka mungkin tinggal selama empat pekan
pada musim panen. Satu generasi kemudian, ketika tumbuhan
gandum berbiak dan menyebar, kamp panen bertahan sampai
lima pekan, kemudian enam pekan, dan akhirnya menjadi sebuah
desa permanen. Bukti permukiman semacam itu telah ditemukan
di seluruh Timur Tengah, terutama di Levant, di mana kultur
Natufian tumbuh subur dari 12.500 SM sampai 9500 SM.
Orang-orang Natufian adalah pemburu-penjelajah yang hidup
dengan puluhan spesies liar, tetapi mereka hidup di desa-desa
permanen dan menghabiskan banyak waktu untuk pengumpulan
dan pemrosesan secara intensif sereal liar. Mereka membangun rumah-rumah batu dan lumbung. Mereka menyimpan biji-bijian
untuk masa-masa sulit. Mereka menemukan alat-alat baru seperti
sabit batu untuk memanen gandum, dan penumbuk serta mortir
dari batu untuk menghaluskannya.
Pada tahun-tahun setelah 9500 SM, para keturunan Natufian
terus mengumpulkan dan memproses sereal, tetapi mereka juga
mulai menanamnya dengan cara yang semakin teliti. Ketika
mengumpulkan biji-bijian liar, mereka menyisihkan sebagian dari
hasil panen untuk disemai di ladang musim berikutnya. Mereka
menemukan bahwa dengan menyemai biji-bijian ke dalam tanah,
mereka bisa mendapatkan hasil yang lebih baik, dibandingkan
menaburnya secara asal-asalan di permukaan tanah. Jadi, mereka
mulai mencangkul dan membajak. Pelan-pelan mereka juga mulai
menyemai di ladang, menjaganya dari parasit, dan mengairi serta
menyuburkannya. Dengan semakin banyak upaya dilakukan untuk
menanam sereal, semakin sedikit waktu untuk mengumpulkan
dan memburu spesies liar. Pengembara pun menjadi petani.
Tak ada satu pun jejak yang membedakan perempuan
pengumpul gandum liar dengan perempuan yang bercocoktanam gandum domestikasi sehingga sulit untuk menyatakan
secara pasti kapan transisi menentukan ke agrikultur itu
terjadi. Namun, sampai dengan 8500 SM, Timur Tengah
dipadati desa-desa permanen seperti Jericho, yang penghuninya
menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menanam
beberapa sepesies domestikasi.Dengan pergerakan ke desadesa permanen dan naiknya pasokan makanan, populasi mulai
menanam. Meninggalkan gaya hidup nomaden memungkinkan
kaum perempuan memiliki anak setiap tahun. Bayi-bayi disapih
lebih awal—mereka bisa disuapi bubur dan adonan. Tenaga ekstra
sangat dibutuhkan di ladang. Namun, mulut-mulut ekstra dengan
cepat menyapu bersih surplus makanan sehingga bahkan semakin
banyak ladang harus ditanami. Ketika orang mulai hidup di
permukiman-permukiman yang dipenuhi penyakit, ketika anakanak lebih banyak disuapi sereal dan lebih sedikit susu ibu, dan
ketika setiap anak bersaing untuk mendapatkan bubur dengan
lebih banyak saudara-saudaranya, tingkat kematian anak pun
mencuat. Di banyak masyarakat agrikultur sedikitnya satu dari setiap tiga anak sebelum mencapai usia 20 tahun.4
Meskipun
demikian, kenaikan angka kelahiran masih di atas naiknya angka
kematian; manusia tetap punya anak yang jumlahnya lebih besar.
Seiring waktu, “daya tawar gandum” menjadi beban yang
semakin berat dan semakin berat. Anak-anak mati berbondongbondong, dan orang dewasa makan dengan keringat bercucuran
di kening. Rata-rata orang di Jericho pada 8500 SM hidup lebih
sulit ketimbang rata-rata orang di Jericho pada 9500 SM atau
13.000 SM. Namun, tak seorang pun menyadari apa yang sedang
terjadi. Setiap generasi terus hidup seperti generasi sebelumnya,
hanya membuat perbaikan-perbaikan kecil di sana sini dan
dalam cara mengerjakan sesuatu. Secara paradoks, serangkaian
“perbaikan”, yang masing-masing berarti menjadikan hidup lebih
mudah, menambahkan satu batu gerinda di leher para petani ini.
Mengapa orang membuat kalkulasi fatal semacam itu?
Penyebabnya sama dengan miskalkulasi yang dilakukan orangorang sepanjang sejarah. Orang tidak mampu memahami
sepenuhnya konsekuensi-konsekuensi dari keputusan-keputusan
mereka. Setiap kali mereka memutuskan untuk mengerjakan
sedikit pekerjaan ekstra—taruhlah untuk mencangkul ladang,
bukan menabur benih di permukaan—orang mengira “Ya, kita
harus bekerja lebih keras, tetapi panen akan berlimpah! Kita
tidak perlu khawatir dengan tahun-tahun mendatang. Anak-anak
tidak akan pernah lagi tidur kelaparan”. Masuk akal. Jika Anda
bekerja lebih keras, Anda akan mendapatkan kehidupan yang
lebih baik. Itulah rencananya.
Bagian pertama dari rencana itu berjalan mulus. Orangorang benar-benar bekerja lebih keras. Namun, orang-orang
tidak bisa melihat bahwa jumlah anak akan bertambah, yang
berarti bahwa ekstra gandum akan dibagi dengan lebih banyak
anak. Para petani awal itu juga tidak mengerti bahwa menyuapi
anak-anak dengan lebih banyak bubur dan lebih sedikit susu
ibu akan memperlemah sistem kekebalan mereka, dan bahwa
permukiman-permukiman permanen akan menjadi sarang bagi
penyakit-penyakit menular. Mereka tidak melihat bahwa dengan
menaikkan ketergantungan pada satu sumber makanan tunggal,
mereka sesungguhnya memapar diri dengan ancaman bahaya
kekeringan. Para petani itu juga tidak melihat pada tahun-tahun
baik lumbung-lumbung mereka yang berlimpah akan mengundang
pencuri dan musuh, memaksa mereka mulai membangun dinding
dan melakukan tugas-tugas penjagaan.
Lalu, mengapa manusia tidak meninggalkan perladangan
ketika rencananya mendatangkan kesulitan? Sebagian, karena
perlu beberapa generasi bagi perubahan-perubahan kecil untuk
berakumulasi dan mentransformasi masyarakat, dan pada
masa itu, tak seorang pun mengingat bahwa mereka pernah
hidup secara berbeda. Dan, sebagian karena pertumbuhan
populasi membakar perahu-perahu kemanusiaan. Jika dengan
pencangkulan populasi sebuah desa naik dari 100 menjadi 110,
maka siapa 10 orang yang harus rela kelaparan agar yang lain
bisa kembali ke keadaan baik pada masa lalu? Tidak ada yang
bisa kembali. Perangkap sudah terkunci.
Perburuan kehidupan yang lebih mudah menghasilkan lebih
banyak kesulitan, dan itu bukan yang terakhir. Itu terjadi pada
kita hari ini. Berapa banyak pemuda lulusan perguruan tinggi
mengambil pekerjaan berat di perusahaan-perusahaan padat
karya, dengan berjanji bahwa mereka akan bekerja keras untuk
mendapatkan uang yang memungkinkan mereka pensiun dan
mengejar kesenangan pada usia 35 tahun? Namun, ketika usia
itu tercapai, mereka punya beban besar, anak-anak ke sekolah,
rumah di pinggiran yang membutuhkan sedikitnya dua mobil
per keluarga, dan hidup tak terasa nikmatnya tanpa anggur dan
liburan di luar negeri. Apa yang harus mereka lakukan, kembali
menggali akar? Tidak, mereka melipatgandakan upayanya dan
tetap diperbudak.
Salah satu hukum sejarah adalah bahwa kemewahan
cenderung menjadi keharusan dan melahirkan beban-beban
baru. Begitu orang terbiasa dengan satu kemewahan tertentu,
mereka menerimanya sebagai kebiasaan. Kemudian, mereka mulai
menjadikannya kebutuhan. Akhirnya mereka mencapai satu titik
ketika mereka tidak bisa hidup tanpanya. Mari ambil contoh
lain yang populer pada masa kita. Selama beberapa dekade
terakhir, kita telah menemukan tak terhitung alat penghemat
waktu yang diharapkan menjadikan hidup lebih santai—mesin cuci, vacuum cleaner, pencuci piring, telepon, ponsel, komputer,
surel. Sebelumnya, butuh banyak pekerjaan untuk menulis
sepucuk surat, menulis alamat, membeli prangko dan amplop, dan
membawanya ke kotak surat. Perlu beberapa hari atau beberapa
pekan, bahkan mungkin beberapa bulan, untuk mendapatkan
jawaban. Kini, saya bisa menulis surel, mengirimnya sejauh
setengah putaran Bumi, dan (jika yang dituju sedang online)
menerima jawaban semenit kemudian. Saya menghemat waktu
dan tenaga, tetapi apakah saya menikmati kehidupan yang lebih
santai?
Sayangnya tidak. Pada era surat-bekicot dulu, orang-orang
biasanya menulis surat ketika mereka punya sesuatu yang penting
untuk disampaikan. Bukan menulis apa yang pertama muncul
di kepala, mereka mempertimbangkan hati-hati apa yang ingin
mereka katakan dan bagaimana cara menyampaikannya. Mereka
berharap menerima jawaban yang dipertimbangkan masak-masak
juga. Sebagian orang menulis dan menerima hanya segelintir
surat dalam sebulan dan jarang merasa terpaksa untuk membalas
segera. Kini, saya menerima puluhan surel setiap hari, semua
dari orang-orang yang mengharapkan balasan secepatnya. Kita
mengira menghemat waktu; yang terjadi kita malah mempercepat
treadmill kehidupan sepuluh kali lebih cepat sehingga membuat
hari-hari kita lebih mencemaskan dan menggelisahkan.
Di mana-mana ada seorang Luddite*
yang berkeras menolak
membuka akun surel, sebagaimana ribuan tahun lalu kawanankawanan manusia menolak ikut berladang, dan menghindari
perangkap kemewahan. Namun, Revolusi Agrikultur tak butuh
setiap kawanan di daerah tertentu bergabung. Yang dibutuhkan
cuma satu kawanan. Begitu ada kawanan yang bermukim
dan mulai mengolah tanah, entah itu di Timur Tengah atau
Amerika Tengah, pertanian tak bisa dibendung. Karena pertanian
menciptakan kondisi-kondisi bagi pertumbuhan demografis cepat,
para petani biasanya mampu mengatasi para pengembara dengan
keunggulan jumlah. Para pengembara bisa lari, meninggalkan tanah perburuan mereka ke ladang dan padang rumput, atau
ikut mengolah tanah. Pilihan yang mana pun, kehidupan lama
pun hilang.
Cerita perangkap kemewahan membawa serta satu pelajaran
penting. Pencarian manusia akan kemudahan hidup menghasilkan
kekuatan besar perubahan yang mentransformasi dunia dengan
cara yang tak pernah dibayangkan atau diinginkan siapa pun.
Tak seorang pun merencanakan Revolusi Agrikultur atau
mengupayakan ketergantungan manusia pada penanaman sereal.
Serangkaian keputusan kecil yang ditujukan terutama untuk
mengisi beberapa perut dan mendapatkan sedikit keamanan
memiliki efek kumulatif yang memaksa para pengembara kuno
menghabiskan hari-hari mereka membawa kantong-kantong air
di bawah sengatan Matahari.
Campur Tangan Tuhan
Skenario di atas menjelaskan Revolusi Agrikultur sebagai
sebuah miskalkulasi. Itu sangat masuk akal. Sejarah penuh
dengan miskalkulasi yang jauh lebih idiotik. Namun, tidak ada
kemungkinan lain. Mungkin bukan pencarian kehidupan yang
lebih mudah yang melahirkan transformasi itu. Mungkin Sapiens
memiliki aspirasi-aspirasi lain, dan secara sadar bersedia membuat
hidup mereka lebih berat dalam rangka mencapainya.
Para ilmuwan biasanya berusaha merujukkan perkembanganperkembangan sejarah kepada faktor-faktor dingin ekonomi dan
demografis. Ini memang lebih cocok dengan metode rasional
dan matematis mereka. Dalam kasus sejarah modern, para ahli
tidak bisa menghindari pertimbangan faktor-faktor non-material
seperti ideologi dan budaya. Bukti tertulis memaksa tangan
mereka. Kita punya cukup dokumen, surat, dan memoar untuk
membuktikan bahwa Perang Dunia Kedua tidak disebabkan oleh
kekurangan makanan atau tekanan psikologis. Namun, kita tidak
punya dokumen dari budaya Natufian, jadi ketika menangani
periode kuno aliran materialis menunjukkan kekuasaannya. Sulit
untuk membuktikan bahwa masyarakat praliterasi dimotivasi oleh agama ketimbang kebutuhan ekonomi.
Meskipun demikian, dalam kasus-kasus yang langka, kita
cukup beruntung menemukan petunjuk-petunjuk. Pada 1995
para arkeologis mulai mengekskavasi situs di wilayah tenggara
Turki yang dikenal dengan nama Göbekli Tepe. Di lapisan
tertua mereka tak menemukan tanda-tanda permukiman, rumahrumah, atau aktivitas keseharian. Namun, mereka menemukan
struktur-struktur pilar monumental berhiaskan pahatan-pahatan
spektakuler. Setiap batu pilar memiliki berat 7 ton dan mencapai
ketinggian 5 meter. Di sebuah tambang dekat sana, mereka
menemukan pilar pahatan setengah jadi seberat 50 ton. Secara
keseluruhan, mereka menemukan lebih dari sepuluh struktur
monumental, yang terbesar lebarnya hampir 30 meter.
Para arkeologis terbiasa dengan struktur-struktur monumental
semacam itu dari berbagai situs di seluruh dunia—contoh yang
paling terkenal adalah Stonehenge di Inggris. Namun, setelah
mereka mempelajari Göbekli Tepe, mereka menemukan sebuah fakta yang menakjubkan. Stonehenge bertarikh 2500 SM, dan
dibangun oleh sebuah masyarakat agrikultur yang sudah maju.
Struktur-struktur di Göbekli Tepe bertarikh sekitar 9500 SM,
dan semua bukti yang tersedia menunjukkan bahwa strukturstruktur itu dibangun oleh pemburu-penjelajah. Komunitas
arkeologis mula-mula kesulitan menghargai temuan-temuan ini,
tetapi pengujian demi pengujian memastikan tarikh strukturstruktur itu dan masyarakat pra-agrikultur para pembangunnya.
Kemampuan para pengembara kuno, dan kompleksitas kultur
mereka tampaknya jauh lebih mengesankan dari yang sebelumnya
diduga.
Mengapa satu masyarakat pengembara membangun strukturstruktur semacam itu? Mereka tak punya tujuan sengaja yang
jelas. Struktur-struktur itu juga bukan rumah jagal mamut,
juga bukan tempat berteduh dari hujan atau bersembunyi dari
singa. Maka, yang tersisa bagi kita adalah teori bahwa strukturstruktur itu dibangun untuk tujuan kultural yang misterius, yang
sangat menyulitkan para ahli untuk menguraikannya. Apa pun itu, para pengembara berpandangan struktur itu pantas dibuat
dengan menghabiskan tenaga dan waktu. Satu-satunya cara untuk
membangun Göbekli Tepe adalah ribuan pengembara dari banyak
kawanan dan suku yang berbeda bekerja sama dalam rentang
waktu yang cukup lama. Hanya sistem religius atau ideologis
canggih yang bisa memelihara upaya semacam itu.
Göbekli Tepe menyimpan rahasia lain yang sensasional.
Selama bertahun-tahun, para ahli genetika telah melacak asalmuasal gandum domestikasi. Penemuan-penemuan mutakhir
menunjukkan bahwa sedikitnya satu varian domestikasi, gandum
einkorn, berasal dari Perbukitan Karacadag—sekitar tiga puluh
kilometer dari Göbekli Tepe.5
Sulit untuk mengatakannya sebagai kebetulan. Sangat mungkin
bahwa pusat kultural Göbekli Tepe terkoneksi dengan domestikasi
gandum sebelumnya oleh manusia dan domestikasi manusia oleh
gandum. Untuk menghidupi orang-orang yang membangun dan
yang menggunakan struktur-struktur monumental itu, makanan
dalam jumlah yang sangat banyak dibutuhkan. Kemungkinan
para pengembara beralih dari mengumpulkan gandum liar ke
penanaman gandum secara intensif, bukan untuk menaikkan
pasokan makanan normal mereka, melainkan untuk menopang
pembangunan dan pengelolaan sebuah kuil. Dalam gambaran
konvensional, para pelopor mula-mula membangun sebuah
desa, lalu ketika desa itu makmur, mereka mendirikan kuil di
tengah-tengahnya. Namun, Göbekli Tepe menunjukkan bahwa
kuil mungkin mula-mula dibangun, dan sebuah desa tumbuh
belakangan di sekitarnya.
Korban-korban Revolusi
Tawar-menawar Faustian antara manusia dan biji-bijian bukanlah
satu-satunya perkara yang diputuskan oleh spesies kita. Perkara
lainnya yang diputuskan adalah menyangkut nasib binatangbinatang seperti domba, kambing, babi, dan ayam. Kawanankawanan nomaden yang memburu domba liar pelan-pelan
mengubah konstitusi tentang kawanan binatang yang mereka mangsa. Proses ini tampaknya dimulai dengan perburuan
selektif. Manusia belajar bahwa tak ada untungnya memburu
domba dewasa, domba tua, atau domba sakit saja. Mereka
menyisakan domba-domba betina yang subur dan domba muda
untuk menjaga vitalitas jangka panjang kawanan binatang lokal.
Langkah kedua kemungkinan adalah mempertahankan secara aktif
kawanan binatang itu dari predator, mengusir singa, serigala,
dan kawanan-kawanan musuh manusia. Kawanan itu kemudian
mungkin membentengi kawanan domba di sebuah ngarai
sempit agar lebih mudah mengontrol dan mempertahankannya.
Akhirnya, mereka mulai melakukan seleksi lebih teliti dalam
rangka mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan manusia.
Domba-domba yang paling agresif, yakni yang menujukkan
perlawanan paling hebat terhadap kontrol manusia, disembelih
dulu. Begitu pula betina-betina paling kurus dan paling berisik.
(Penggembala tak menyukai domba yang berisiknya membuat
mereka menjauh dari gembalanya.) Dengan berlalunya generasi
demi generasi, domba menjadi semakin gemuk, lebih mudah
diatur, dan semakin tidak berisik. Voilà ! Mary punya domba
kecil dan ke mana pun Mary pergi domba kecil itu pasti ikut.
Alternatif lain, para pemburu mungkin menangkap seekor
domba, menggemukkannya pada bulan-bulan subur dan
menyembelih nya pada musim buruk. Pada tahap tertentu mereka
mulai memelihara domba semacam itu dalam jumlah lebih besar.
Sebagian dari domba-domba itu mencapai pubertas dan mulai
berbiak. Domba-domba yang paling agresif dan paling sulit
diatur yang mula-mula disembelih. Yang paling penurut dan
paling bagus dibiarkan hidup lebih lama dan berbiak. Hasilnya
adalah kawanan domba domestikasi dan penurut.
Binatang-binatang domestikasi semacam itu—domba, ayam,
keledai, dan lain-lain—memasok makanan (daging, susu, telur),
bahan baku (kulit, bulu), dan kekuatan otot. Transportasi,
pembajakan, penumbukan, dan tugas-tugas lain, yang sampai
sekarang dilakukan dengan otot manusia, kian banyak yang
dilakukan oleh binatang. Di kebanyakan masyarakat pertanian,
orang fokus pada penanaman tumbuhan; memelihara binatang
menjadi aktivitas sekunder. Namun, satu jenis masyarakat baru
juga muncul di sejumlah tempat, yang terutama didasarkan pada
eksploitasi binatang: suku-suku penggembala binatang.
Ketika manusia menyebar ke seluruh dunia, begitu pula
binatang-binatang domestikasi mereka. Sepuluh ribu tahun
lalu, tidak lebih dari beberapa juta domba, sapi, kambing, babi
hutan, dan ayam hidup di ceruk-ceruk Afro-Asia yang terbatas.
Kini dunia berisi sekitar 1 miliar domba, 1 miliar babi, lebih
dari 1 miliar sapi, dan lebih dari 25 miliar ayam. Dan, mereka
ada di seluruh dunia. Ayam domestikasi adalah yang paling
luas penyebarannya. Menyusul manusia, sapi-sapi, babi-babi,
dan domba domestikasi berada di urutan kedua, sedangkan
urutan ketiga dan keempat ditempati mamalia-mamalia besar.
Dari persepektif evolusi sempit, yang mengukur hanya dengan
jumlah salinan DNA, Revolusi Agrikultur merupakan anugerah
luar biasa bagi ayam, sapi, babi, dan domba.
Sayang sekali, persepektif evolusi itu merupakan ukuran
sukses yang tidak lengkap. Ia hanya mengukur segalanya dengan
kriteria survival dan reproduksi, tanpa mempertimbangkan
penderitaan dan kebahagiaan individu. Ayam-ayam dan sapi-sapi
domestikasi akan menjadi kisah sukses evolusi, tetapi mereka juga
termasuk makhluk paling merana yang pernah hidup. Domestikasi
binatang dijalankan dengan serangkaian praktik brutal yang hanya
menjadi semakin brutal seiring abad-abad berlalu.
Rentang masa hidup ayam liar sekitar 7 sampai 12 tahun,
dan sapi sekitar 20 sampai 25 tahun. Di alam liar, sebagian besar
ayam dan sapi memang mati jauh sebelum itu, tetapi mereka
masih punya kesempatan yang memadai untuk hidup lebih lama.
Sebaliknya, mayoritas besar ayam dan sapi domestikasi disembelih
pada usia antara beberapa pekan sampai beberapa bulan karena
ini selalu menjadi usia penyembelihan yang paling optimal dari
perspektif ekonomi (Mengapa pula memelihara seekor ayam
selama 3 tahun jika ia sudah mencapai berat maksimum setelah
usia 3 bulan?)
Ayam-ayam petelur, sapi perah, dan binatang-binatang
pengangkut kadang-kadang dibiarkan hidup lebih lama. Namun,
harga yang dibayar adalah penindasan dalam kehidupan yang
benar-benar asing bagi kehendak dan keinginan mereka. Maka,
masuk akal untuk dikemukakan, misalnya, bahwa kerbau lebih
suka menghabiskan hari-hari mereka berkeliaran di dataran
terbuka dalam kawanan kerbau dan sapi ketimbang menarik
gerobak dan membajak di bawah arahan si pemegang cemeti.
Untuk mengubah kerbau, kuda, keledai, dan otan menjadi
binatang pengangkut yang patuh, maka naluri alamiah dan
hubungan-hubungan sosial mereka harus dihancurkan, agresi dan
seksualitas mereka ditundukkan, dan kebebasan gerak mereka
dibatasi. Para petani mengembangkan teknik-teknik seperti
mengunci binatang dalam kandang dan kurungan, mengekang
mereka dengan tali dan cambuk, melatih mereka dengan cemeti dan pelecut, dan memutilasi mereka. Proses penundukan hampir
selalu melibatkan pengebirian pejantan. Ini bisa menghambat
agresi jantan dan memungkinkan manusia secara selektif
mengontrol perkembangbiakan binatang.
Pada banyak masyarakat Papua Nugini, kekayaan seseorang
secara tradisional ditentukan oleh jumlah babi yang dia miliki.
Untuk memastikan bahwa babi-babi itu tidak lari, para petani di
bagian utara Papua Nugini mengiris hidung babi. Ini menyebabkan
nyeri hebat setiap kali babi itu berusaha mengendus. Karena
babi tidak bisa menemukan makanan atau bahkan mencari
jalan tanpa mengendus, mutilasi ini membuat mereka benarbenar tergantung pada manusia pemiliknya. Di area lain Papua
Nugini, ada kebiasaan mencongkel mata babi sehingga binatang
itu bahkan tidak tahu ke mana mereka akan pergi.6
Industri susu punya cara sendiri dalam memaksa binatang
melakukan kehendaknya. Sapi, kambing, dan domba menghasilkan
susu hanya setelah melahirkan dan hanya sepanjang binatangbinatang muda itu menyusui. Untuk meneruskan pasokan susu
binatang, petani perlu memiliki anak-anak sapi, anak domba, dan
anak kambing untuk menyusu, tetapi harus mencegah mereka
memonopoli susu. Satu metode yang umum dalam sejarah adalah
dengan begitu saja menyembelih anak-anak sapi segera setelah
lahir, memerah susu induk sebanyak yang bisa dikeluarkannya,
dan kemudian membuat induknya bunting lagi. Ini teknik yang
menyebar luas. Di banyak ladang susu modern, seekor sapi
perah biasanya hidup sekitar 5 tahun sebelum disembelih. Selama
masa 5 tahun itu dia hampir terus-menerus bunting dan subur
kembali dalam 60 sampai 120 hari setelah melahirkan, dalam
rangka mempertahankan produksi susu maksimum. Anak-anak
sapinya dipisahkan dari induknya segera setelah lahir. Yang
betina disisihkan untuk menjadi generasi sapi perah berikutnya,
sementara yang jantan diserahkan ke industri daging.7
Metode lainnya adalah memelihara anak-anak sapi dan
domba dekat induknya, tetapi mencegah mereka dengan berbagai
siasat dari menyusu terlalu banyak. Cara yang paling sederhana
untuk melakukan itu adalah membiarkan anak sapi atau domba
mulai menyusu, tetapi menyingkirkannya begitu susu mulai mengalir. Cara ini biasanya menimbulkan perlawanan dari anak
maupun induknya. Sebagian suku penggembala biasa membunuh
keturunan, memakan dagingnya, dan kemudian menyimpan
kulitnya. Anak sapi yang tinggal kulit itu kemudian disodorkan
ke induknya agar kehadirannya bisa mendorong produksi susu.
Suku Nuer di Sudan selama ini melumuri kulit anak sapi dengan urine induknya, untuk memberi aroma palsu anak sapi hidup.
Teknik Nuer lainnya adalah mengikatkan cincin onak di sekitar
mulut anak sapi, sehingga menusuk induknya dan menyebabkan
induk menolak disusu.8
Para penggembala unta Tuareg di Sahara
biasa menusuk memotong bagian dari hidung dan bibir atas unta
muda untuk membuat penyusuan menjadi menyakitkan sehingga
mencegah mereka mengonsumsi terlalu banyak susu.9
Tak semua masyarakat agrikultur sekejam itu terhadap
binatang-binatang piaraannya. Kehidupan sebagian binatang
domestikasi bisa saja cukup bagus. Domba yang dipelihara untuk
diambil bulunya, anjing dan kucing piaraan, kuda perang dan
kuda pacu sering menikmati kondisi yang nyaman. Kaisar Romawi
Caligula diduga berniat menunjuk kuda favoritnya, Incitatus,
untuk tugas konsulat. Para penggembala dan petani sepanjang
sejarah menunjukkan kasih sayang terhadap binatang-binatang
mereka dan memberi perawatan yang baik, sebagaimana banyak
pemilik budak merasakan kasih sayang dan kepedulian pada
budak mereka. Bukan kebetulan bahwa raja-raja dan nabi-nabi
bergaya sebagai penggembala dan menyerupakan cara mereka dan
Tuhan mencintai umatnya dengan cara penggembala menyayangi
piaraannya.
Meskipun demikian, dari sudut pandang binatang piaraan,
bukan dari sudut pandang penggembala, sulit untuk menghindarkan
kesan bahwa bagi mayoritas besar binatang domestikasi, Revolusi
Agrikultur adalah bencana yang parah. “Sukses” evolusi mereka
tak bermakna. Seekor badak liar langka yang berada di tubir
kepunahan mungkin lebih enak hidupnya ketimbang seekor
sapi yang menghabiskan hidup singkatnya dalam kotak mungil,
digemukkan untuk menghasilkan daging steik yang lezat. Badak
yang beruntung tak kurang beruntungnya menjadi yang terakhir
dari jenisnya. Sukses numerikal spesies sapi adalah hiburan kecil
untuk penderitaan yang dialami individu sapi.
Perbedaan antara sukses evolusi ini dan penderitaan individu
mungkin pelajaran paling penting yang bisa kita tarik dari
Revolusi Agrikultur. Ketika kita mempelajari narasi tumbuhan
seperti gandum dan jagung, mungkin itu perspektif evolusi yang
murni masuk akal. Namun, dalam hal binatang-binatang seperti sapi, domba, dan Sapiens, masing-masing dengan dunia sensasi
dan emosinya yang kompleks, kita harus mempertimbangkan
bagaimana sukses evolusi diterjemahkan ke pengalaman individu.
Pada bab-bab berikut ini kita akan melihat dari waktu ke waktu
bagaimana peningkatan dramatis kekuatan kolektif dan sukses
nyata spesies kita berjalan beriringan dengan banyak penderitaan
individu.
Revolusi Agrikultur adalah salah satu peristiwa paling
kontroversial dalam sejarah. Sebagian pendukung mengklaim
bahwa revolusi itu menempatkan manusia di jalan menuju
kemakmuran dan kemajuan. Yang lain menyatakan revolusi itu
mengarah kepada kehancuran. Kata mereka, inilah titik balik
ketika Sapiens membuang simbiosis intimnya dengan alam dan
berlari menuju ketamakan dan alienasi. Ke mana pun arah jalan
menuju, tak ada kata kembali. Perladangan memungkinkan
populasi naik begitu radikal dan cepat sehingga tak ada masyarakat
agrikultur kompleks yang pernah bisa lagi mempertahankan diri
jika ia kembali ke perburuan dan pengumpulan. Sekitar 10.000
SM, sebelum transisi menuju agrikultur, Bumi dihuni sekitar 5
sampai 8 juta pengembara nomaden. Pada abad ke-1 Masehi
(M), hanya 1 sampai 2 juta pengembara yang tersisa (terutama
di Australia, Amerika, dan Afrika), tetapi jumlah mereka tak
ada apa-apanya dibandingkan dengan 250 juta petani dunia.1
Mayoritas besar petani hidup di permukiman-permukiman
permanen; hanya sedikit yang menjadi penggembala nomaden.
Bermukim menyebabkan sebagian besar wilayah orang menyusut
secara dramatis. Para pemburu-penjelajah kuno biasanya hidup
dalam teritori yang meliputi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus
kilometer persegi. “Rumah” adalah teritori menyeluruh, dengan
perbukitan, sungai-sungai, hutan-hutan, dan langit terbuka. Para
petani, di sisi lain, menghabiskan sebagian besar hari-harinya
bekerja di sebuah ladang kecil atau kebun buah, dan kehidupan
domestik mereka terpusat pada satu struktur reot kayu, batu,
atau tanah liat, berukuran tak lebih dari beberapa puluh meter—
rumahnya. Petani biasanya mengembangkan keterikatan sangat
kuat dengan struktur ini. Inilah revolusi yang berjangkauan luas itu, yang berdampak psikologis sekaligus arsitektural. Oleh
karena itu, keterikatan dengan “rumah saya” dan keterpisahan
dari tetangga menjadi penanda psikologis dari makhluk yang
semakin memusatkan diri.
Teritori-teritori agrikultur baru tidak hanya jauh lebih kecil
dari teritori pengembara kuno, tetapi juga jauh lebih artifisial.
Selain penggunaan api, para pemburu-penjelajah hanya sedikit
membuat perubahan-perubahan sengaja atas tanah yang menjadi
tempat mereka berkelana. Di sisi lain, para petani hidup dalam
pulau-pulau artifisial manusia, yang mereka iriskan dengan usaha
keras dari alam bebas di sekelilingnya. Mereka memangkas
hutan-hutan, menggali saluran-saluran, membersihkan ladang,
membangun rumah-rumah, menggali parit, dan menanam pohonpohon buah dalam barisan-barisan rapi. Habitat artifisial yang
dihasilkan hanya ditujukan bagi manusia dan tumbuh-tumbuhan
serta binatang-binatang “mereka”, dan sering dipagari dengan
dinding dan pelindung. Keluarga-keluarga petani melakukan
semua yang bisa mereka lakukan untuk mengenyahkan bibitbibit yang bertingkah dan binatang-binatang yang liar. Jika ada
penyusup masuk, mereka mengusirnya. Jika melawan, para
manusia antagonis mencari cara untuk melenyapkan mereka.
Pertahanan-pertahanan yang sangat kuat dibuat di sekitar rumah.
Sejak awal masa agrikultur sampai masa kini, miliaran manusia
bersenjatakan ranting, pemukul, sepatu, dan semprotan beracun
tak henti-henti terlibat dalam perang melawan semut-semut gigih,
kecoak-kecoak gesit, laba-laba petualang, dan kumbang-kumbang
tersesat yang terus menginfiltrasi domisili manusia.
Pada sebagian besar rentang sejarah, enklave-enklave buatan
manusia ini tetap sangat kecil, dikelilingi oleh hamparan alam
yang tak tersentuh. Permukaan Bumi memiliki luas sekiar 510 juta
kilometer persegi, 155 juta di antaranya berupa daratan. Sampai
dengan 1400 M, mayoritas besar petani beserta tumbuhan dan
binatang-binatang mereka, terhimpun dalam area hanya 11 juta
kilometer persegi—2 persen dari permukaan Bumi.2
Area lain
di mana pun terlalu dingin, terlalu panas, terlalu kering, terlalu
basah, yang tidak cocok untuk pertanian. Dalam irisan mungil
2 persen dari permukaan Bumi inilah sejarah berkembang.
Orang sulit meninggalkan pulau-pulau artifisial mereka.
Mereka tidak bisa meninggalkan rumah-rumah, ladang-ladang,
dan lumbung-lumbung tanpa risiko kehilangan yang mengerikan.
Lebih dari itu, dari waktu ke waktu mereka mengakumulasi
semakin banyak dan semakin banyak barang—benda-benda,
yang tak mudah diangkut, yang mengikat mereka. Para petani
kuno bagi kita mungkin miskin dan kotor, tetapi satu keluarga
biasa memiliki lebih banyak artefak dari satu suku pengembara.
Datangnya Masa Depan
Sementara ruang agrikultur menyempit, masa bercocok tanam
mengembang. Para pengembara biasanya tidak menghabiskan
waktu untuk memikirkan pekan depan atau bulan depan. Para
petani mengumbar imajinasinya hingga ke tahun-tahun dan
dekade-dekade pada masa depan.
Para pengembara tidak memikirkan masa depan karena
mereka hidup dari tangan dan mulut dan hanya menyimpan
makanan atau mengumpulkan harta benda dengan susah payah.
Tentu saja, mereka jelas terlibat dalam suatu perencanaan yang
maju. Para perancang seni Gua Chauvet, Lascaux, dan Altamira
hampir pasti meniatkan itu semua bertahan dari generasi ke
genarsi. Aliansi-aliansi sosial dan persaingan politik adalah
urusan-urusan jangka panjang. Sering butuh beberapa tahun untuk
melunasi dukungan atau membalas kesalahan. Bagaimanapun,
dalam ekonomi penghidupan yang bergantung pada berburu
dan mengumpulkan, tidak ada batas yang jelas tentang rencana
jangka panjang semacam itu. Secara paradoks, itu menyelamatkan
para pengembara dari banyak kecemasan. Tidak ada gunanya
khawatir tentang hal-hal yang tidak bisa mereka pengaruhi.
Revolusi Agrikultur menjadikan masa depan jauh lebih penting
dari yang pernah terjadi sebelumnya. Para petani harus selalu
memikirkan masa depan dan harus bekerja untuknya. Ekonomi
agrikultur didasarkan pada siklus musim produksi, yang berisi
bulan-bulan panjang penanaman diikuti periode panen puncak
yang singkat. Pada malam setelah akhir panen yang berlimpah, para petani mungkin merayakan segala yang mereka capai, tetapi
dalam sepekan atau lebih mereka kembali lagi bangun pagi untuk
bekerja sepanjang hari di ladang. Meskipun ada makanan yang
cukup untuk hari ini, pekan depan, dan bahkan bulan depan,
mereka harus cemas tentang tahun depan dan tahun sesudahnya.
Kecemasan akan masa depan berakar tidak hanya pada
siklus-siklus musim produksi, tetapi juga pada ketidakpastian
fundamental agrikultur. Karena sebagian besar desa hidup dari
menaman tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang domestikasi
dengan keragaman yang sangat terbatas, nasib mereka tergantung
pada kekeringan, banjir, dan wabah. Para petani harus
memproduksi lebih banyak dari yang mereka konsumsi agar
bisa menyimpan cadangan-cadangan. Tanpa benih di lumbung,
guci-guci minyak zaitun dalam tanah, keju di dapur, dan sosis
yang menggantung dari kasau, mereka bisa kelaparan pada
tahun-tahun buruk. Dan, tahun-tahun buruk pasti datang, cepat
atau lambat. Seorang petani hidup dengan asumsi bahwa hidup
tak selamanya berjalan dengan baik.
Akibatnya, sejak masa paling awal agrikultur, kecemasan
tentang masa depan menjadi pemain utama dalam teater pikiran
manusia. Ketika petani bergantung pada hujan untuk mengairi
ladang, permulaan musim hujan berarti setiap pagi petani menatap
horizon, mengendus angin, dan menebarkan pandangan matanya.
Apakah itu awan? Akankah hujan turun tepat waktu? Apakah
akan cukup? Apakah badai besar menyapu benih dari ladang
dan mengaduk-aduk tanaman? Sementara itu, di lembah-lembah
Sungai Eufrat, Indus, dan Kuning, para petani lain tak kalah
hebohnya memantau ketinggian air. Mereka membutuhkan air
naik untuk menyebarkan kesuburan tanah bagian atas dataran
tinggi ke bawah, dan membuat sistem irigasi besar mereka terisi
air. Namun, banjir yang meluap terlalu tinggi atau datang pada
saat yang tidak tepat bisa menghancurkan ladang mereka, sama
buruknya dengan kekeringan.
Para petani khawatir dengan masa depan, bukan hanya
karena banyak yang mereka khawatirkan, melainkan juga
karena mereka bisa melakukan sesuatu terhadapnya. Mereka
bisa membersihkan ladang lain, menggali saluran irigasi lain, menyemai lebih banyak bibit. Petani yang gelisah sama repotnya
dan sama kerja kerasnya dengan semut pemanen pada musim
panas, berkeringat untuk menanam pohon-pohon zaitun yang
minyaknya bisa diperas oleh anak-anak dan cucu-cucu mereka,
menunda makan makanan yang dipanen hari ini sampai musim
dingin atau tahun berikutnya.
Stres bertani mengakibatkan dampak sangat jauh. Itu menjadi
fondasi sistem politik dan sosial berskala besar. Sedihnya, para
petani yang rajin hampir tidak pernah mencapai keamanan
ekonomi pada masa depan yang mereka ukir melalui kerja
keras pada masa kini. Di mana-mana, para penguasa dan elite
bermunculan, hidup dari surplus makanan petani dan memberi
mereka hanya bagian yang cukup untuk bertahan hidup.
Pengorbanan surplus makanan ini menghidupi politik,
perang, seni, dan filsafat. Mereka membangun istana-istana,
benteng-benteng, dan kuil-kuil. Sampai dengan era modern
belakangan, lebih dari 90 persen manusia adalah petani yang
bangun tidur pada pagi hari untuk mengolah tanah dengan
keringat dari kening mereka. Lebihan hasil produksi mereka
menghidupi minoritas elite—raja, pejabat pemerintah, tentara,
pendeta, artis, dan pemikir—yang mengisi buku-buku sejarah.
Sejarah adalah sesuatu yang dilakukan oleh sangat sedikit orang,
sedangkan semua orang lainnya membajak sawah dan memikul
kantong-kantong air.
Sebuah Tatanan yang Diimajinasikan
Surplus-surplus makanan yang diproduksi para petani,
digabungkan dengan teknologi transportasi baru, pada akhirnya
memungkinkan lebih banyak dan lebih banyak lagi orang yang
berjejalan pertama-tama ke desa-desa, kemudian ke kota-kota
kecil, dan akhirnya kota-kota besar, semua dipersatukan oleh
kerajaan-kerajaan dan jaringan-jaringan komersial baru.
Akan tetapi, untuk bisa mengambil keuntungan dari peluangpeluang baru ini, surplus-surplus makanan dan transportasi
yang membaik tidaklah cukup. Fakta bahwa satu orang bisa menghidupi 1.000 orang di satu kota yang sama atau 1 juta
orang di satu kerajaan yang sama tidak menjamin mereka bisa
setuju tentang bagaimana membagi tanah dan air, bagaimana
menyelesaikan pertikaian dan konflik, dan bagaimana bertindak
pada masa-masa kekeringan atau perang. Dan, jika tidak ada
kesepakatan yang bisa dicapai, percekcokan meluas, sekalipun
gudang-gudang berlimpah. Bukan kekurangan makanan yang
menyebabkan sebagian besar perang dan revolusi dalam sejarah.
Revolusi Prancis digalang oleh para pengacara makmur, bukan
oleh petani-petani yang kelaparan. Republik Romawi mencapai
puncak kekuasaannya pada abad ke-1 M, ketika armada-armada
laut dari seluruh Mediterania memperkaya orang-orang Romawi
melampaui impian paling liar para leluhur mereka. Namun,
pada masa kemakmuran maksimum itulah tatanan politik
Romawi runtuh menjadi serangkaian perang saudara mematikan.
Yugoslavia, pada 1991, memiliki sumber daya yang cukup untuk
menghidupi semua penghuninya, dan masih terdisintegrasi dalam
pertumpahan darah yang mengerikan.
Problem dari akar bencana-bencana itu adalah bahwa manusia
berevolusi selama jutaan tahun dalam kawanan-kawanan kecil
berisi beberapa puluh individu saja. Beberapa milenium yang
memisahkan Revolusi Agrikultur dari kemunculan kota-kota,
kerajaan-kerajaan, dan imperium-imperium bukanlah waktu
yang cukup untuk memberi ruang bagi bergulirnya kerja sama
massal yang naluriah.
Meskipun tidak ada naluri biologis semacam itu, pada era
pengembaraan, ratusan orang asing bisa bekerja sama berkat
kesamaan mitos mereka. Namun, kerja sama ini longgar dan
terbatas. Setiap kawanan Sapiens terus menempuh kehidupan
independen dan mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan
hidup masing-masing. Seorang sosiologis arkeologi yang hidup
20.000 tahun lalu, yang tak punya pengetahuan tentang
peristiwa-peristiwa setelah Revolusi Agrikultur, sangat mungkin
menyimpulkan bahwa mitologi memiliki cakupan yang amat
terbatas. Kisah-kisah tentang arwah leluhur dan benda keramat
suku cukup kuat untuk membuat 500 orang berdagang kerang
laut, merayakan perayaan aneh, dan ikut pasukan untuk menyapu bersih satu kawanan Neanderthal, tetapi tidak lebih dari itu.
Mitologi, mungkin pikir sosiolog kuno tersebut, tidak mungkin
bisa membuat jutaan orang asing bekerja sama dalam keseharian
mereka.
Akan tetapi, ternyata itu salah. Mitos, sebagaimana yang
terjadi, lebih kuat dari yang bisa dibayangkan oleh siapa
pun. Ketika Revolusi Agrikultur membuka peluang-peluang
terciptanya kota-kota padat dan imperium-imperium besar, orang
menemukan cerita-cerita tentang dewa-dewa besar, tanah air
dan perusahaan-perusahaan saham gabungan untuk memenuhi
hubungan-hubungan sosial yang dibutuhkan. Sementara evolusi
manusia merangkak sebagaimana biasa dalam kecepatan bekicot,
imajinasi manusia membangun jaringan-jaringan kerja sama yang
mencengangkan, tak seperti yang pernah terlihat di muka Bumi.
Pada sekitar 8500 SM permukiman-permukiman terbesar
di dunia adalah desa-desa seperti Jericho, yang berisi beberapa
ratus individu. Sampai dengan 7000 SM Kota Çatalhöyük di
Anatolia berisi antara 5.000 sampai 10.000 individu. Mungkin
itu permukiman terbesar di dunia pada masa itu. Dalam
milenium ke-4 dan ke-5 SM, kota-kota dengan puluhan ribu
penghuni bertebaran di Bulan Sabit Subur itu, dan masing-masing
berkuasa atas desa-desa di dekatnya. Pada 3100 SM, segenap
wilayah hilir Lembah Nil tersatukan ke dalam Kerajaan Mesir.
Mungkin Fir’aun menguasai ribuan kilometer persegi dan ratusan
ribu orang. Sekitar 2250 SM Sargon Yang Agung menyatukan
imperium pertama, Akkadia. Kerajaan itu menaungi satu juta
penduduk dan angkatan perang 5.400 tentara. Antara 1000
SM dan 500 SM, mega-imperium pertama muncul di Timur
Tengah: Imperium Assyria, Imperium Babylonia, dan Imperium
Persia. Mereka menguasai berjuta-juta penduduk dan memiliki
puluhan ribu tentara.
Pada 221 SM, Dinasti Qin menyatukan China, dan tak lama
sesudahnya Romawi menyatukan lembah Mediterania. Pajak yang
dibebankan pada 40 juta penduduk Qin dibayar untuk mendanai
angkatan perang berkekuatan ratusan ribu tentara dan birokrasi
kompleks yang mempekerjakan lebih dari 100.000 pejabat.
Imperium Romawi pada masa kejayaannya menghimpun pajak
134/530
dari 100 juta penduduk. Pendapatan ini mendanai angkatan
perang 250.000 sampai 500.000 tentara, jaringan jalan yang
masih digunakan 1.500 tahun kemudian, dan teater-teater serta
amfiteater yang menampung penonton hingga hari ini.
Jelas mengesankan, tetapi kita tidak boleh melabuhkan ilusi
optimis tentang “jaringan kerja sama massal” yang beroperasi di
Mesir era Fir’aun atau Imperium Romawi. “Kerja sama” terdengar
sangat altruistik, tetapi itu tidak selalu sukarela dan terkadang
egaliter. Sebagian besar jaringan kerja sama manusia digerakkan
menuju penindasan dan eksploitasi. Para petani membayar
untuk kerja sama yang berkembang itu dengan surplus-surplus
makanan mereka yang sangat berharga, yang menyengsarakan
ketika pengumpul pajak menyapu bersih seluruh hasil kerja keras
setahun penuh dengan satu goresan pena kerajaan. Amfiteater
terkenal Romawi sering dibangun oleh budak-budak sehingga
orang-orang kaya penganggur Romawi bisa menonton budakbudak lain terlibat dalam pertarungan gladiator yang kejam.
Bahkan, penjara dan kamp-kamp konsentrasi adalah jaringan
kerja sama, dan hanya bisa berfungsi karena ribuan orang asing
berhasil mengoordinasi aksi-aksi mereka.
Semua jaringan kerja sama ini—dari kota-kota Mesopotamia
kuno sampai imperium Qin dan Romawi—adalah “tatanan-tatanan
yang diimajinasikan”. Norma-norma sosial yang memelihara
mereka bukan didasarkan pada naluri-naluri bawaan maupun
perkenalan-perkenalan personal, melainkan pada kepercayaan
yang sama pada mitos.
Bagaimana mitos bisa menjaga imperium-imperium itu? Kita
sudah membahas contoh semacam itu: Peugeot. Kini mari kita
mencermati dua mitos paling terkenal dalam sejarah: UndangUndang Hammurabi dari 1776 SM, yang menjadi panduan kerja
sama bagi ratusan ribu penduduk Babylonia kuno; dan Deklarasi
Kemerdekaan Amerika pada 1776 M, yang kini masih menjadi
panduan kerja sama bagi ratusan juta orang Amerika modern.
Pada 1776 SM, Babylon adalah kota terbesar di dunia.
Imperium Babylonia mungkin yang terbesar di dunia, dengan
lebih dari satu juta penduduk. Babylonia menguasai sebagian besar
Mesopotamia, termasuk Irak modern dan bagian-bagian yang kini
menjadi Suriah dan Iran. Raja Babylonia yang paling terkenal
kini adalah Hammurabi. Kemasyhurannya terutama disebabkan
oleh naskah yang memuat namanya, Undang-Undang Hammurabi.
Ini adalah kumpulan undang-undang dan keputusan-keputusan
yudisial yang tujuannya untuk menjadikan Hammurabi sebagai
sosok raja teladan yang adil, menjadi dasar bagi sistem legal
yang seragam di seluruh imperium Babylonia, dan mengajarkan
kepada generasi-generasi masa depan tentang apa itu keadilan
dan bagaimana seorang raja yang adil bertindak.
Generasi-generasi masa depan memperhatikan. Elite
intelektual dan birokrasi Mesopotamia kuno mengundangkan
naskah itu, dan ahli-ahli kitab suci terus menyalinnya jauh setelah
Hammurabi meninggal dan imperiumnya hancur berkepingkeping. Oleh karena itu, Undang-Undang Hammurabi menjadi
sebuah sumber bagus untuk memahami tatanan sosial ideal
Mesopotamia kuno.3
Naskah itu dimulai dengan pernyataan bahwa dewa Anu,
Enlil, dan Marduk—dewa-dewa utama dalam keagamaan
Mesopotamia—menunjuk Hammurabi “untuk menjaga keadilan
di tanah ini, untuk melenyapkan orang fasik dan jahat, untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah”.4
Naskah itu
kemudian dilanjutkan dengan daftar sekitar 300 putusan, yang
dibuat dengan rumusan “Jika begini dan begitu terjadi, maka
putusannya adalah ....” Misalnya, hukum 196–199 dan 209–214
yang berbunyi:
196. Jika seorang kalangan atas membutakan mata orang
kalangan atas, mereka akan membutakan matanya.
197. Jika dia mematahkan tulang orang kalangan atas lainnya,
mereka akan mematahkan tulangnya.
198. Jika dia membutakan mata orang biasa atau mematahkan
tulang orang biasa, dia harus membayar 60 shekel perak.
199. Jika dia membutakan mata seorang budak milik orang
kalangan atas atau mematahkan tulang seorang budak
milik orang kalangan atas, dia harus membayar 1,5 nilai
budak (dalam perak).5
209. Jika seorang dari kalangan atas menyerang seorang
perempuan dari kelas atas dan menyebabkan keguguran
janin, dia harus membayar 10 shekel untuk janinnya.
210. Jika perempuan itu mati, mereka akan membunuh
putrinya.
211. Jika dia menyebabkan perempuan dari kalangan biasa
keguguran janin dengan pemukulan, dia harus membayar
5 shekel perak.
212. Jika perempuan itu mati, dia harus membayar 30 shekel
perak.
213. Jika dia menyerang budak perempuan milik orang
kalangan atas dan menyebabkan keguguran janin, dia
harus membayar 2 shekel perak.
214. Jika perempuan itu mati, dia harus membayar 20 shekel
perak.6
Setelah membuat daftar hukuman itu, Hammurabi kembali
mendeklarasikan bahwa
Ini adalah keputusan-keputusan yang adil yang ditetapkan oleh
Hammurabi, raja yang cakap, dan dengan demikian mengarahkan
negeri ini ke jalan kebenaran dan jalan hidup yang benar ...
Saya Hammurabi, raja yang mulia. Saya tidak gegabah atau abai
terhadap manusia, menganugerahkan kepedulian saya atas nama
Dewa Enlil, dan bersama mereka yang bersama Dewa Marduk
mengutus saya.7
Undang-Undang Hammurabi menegaskan bahwa tatanan
sosial Babylonia berakar pada prinsip-prinsip keadilan universal
dan abadi, yang didiktekan oleh para dewa. Prinsip hierarki
adalah hal paling penting. Menurut undang-undang itu, orang
dibagi menjadi dua gender dan tiga kelas: kelas atas, orang
biasa, dan budak. Para anggota tiap gender dan kelas memiliki
nilai yang berbeda-beda. Hidup perempuan biasa bernilai 30
shekel perak dan budak perempuan 20 shekel perak, sementara
mata orang laki-laki biasa 60 shekel perak. Undang-undang
itu juga menetapkan hierarki ketat dalam keluarga, antara lain
anak-anak bukanlah pribadi yang merdeka, melainkan hak milik
orangtua mereka. Oleh karena itu, jika seorang pria kalangan atas
membunuh putri pria kalangan atas lainnya, putri pembunuh akan
dibunuh sebagai hukuman. Bagi kita terasa aneh bahwa pembunuh
tetap tak tersentuh sementara putrinya yang tak berdosa dibunuh.
Namun, bagi Hammurabi dan masyarakat Babylonia ini keadilan
yang sempurna. Undang-Undang Hammurabi didasarkan pada
premis bahwa jika seluruh rakyat raja menerima posisi mereka
dalam hierarki dan bertindak sesuai posisinya, imperium
berpenghuni jutaan orang itu akan mampu bekerja sama secara
efektif. Maka, masyarakat mereka bisa memproduksi makanan
yang cukup bagi anggotanya, mendistribusikannya secara efisien,
melindungi mereka dari musuh, dan memperluas teritori agar
dapat memperoleh kekayaan lebih banyak dan jaminan yang
lebih baik.
Sekitar 3.500 tahun setelah kematian Hammurabi, para
penduduk koloni ketiga belas Inggris di Amerika Utara merasakan
bahwa raja Inggris memperlakukan mereka secara tidak adil. Para
perwakilan mereka berkumpul di Kota Philadelphia, dan pada 4 Juli 1776 koloni itu mendeklarasikan bahwa para penduduk
tidak lagi berada di bawah kekuasaan Mahkota Inggris. Deklarasi
Kemerdekaan menyatakan prinsip-prinsip keadilan yang universal
dan abadi, yang, sebagaimana Undang-Undang Hammurabi,
terilhami oleh kekuasaan Tuhan. Meskipun demikian, prinsip
paling penting yang diajarkan oleh dewa Amerika sedikit berbeda
dari prinsip yang diajarkan oleh dewa-dewa Babylonia. Deklarasi
Kemerdekaan Amerika menegaskan bahwa:
Kami berpendirian kebenaran ini ada dengan sendirinya, bahwa
semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dibekali oleh
Pencipta dengan hak-hak yang tak bisa diambil, antara lain hak
hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan.
Seperti halnya Undang-Undang Hammurabi, dokumen
pendirian Amerika menjanjikan bahwa jika tindakan manusia
sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang sakral, jutaan orang akan
bisa bekerja sama secara efektif, hidup aman dan damai dalam
masyarakat yang adil dan makmur. Seperti halnya Undang-Undang
Hammurabi, Deklarasi Kemerdekaan Amerika bukan hanya
sebuah dokumen yang terikat waktu dan tempat—ia diterima
oleh generasi-generasi masa depan juga. Selama lebih dari 200
tahun, anak-anak sekolah Amerika menyalin dan mempelajarinya
dengan sepenuh hati.
Kedua naskah itu menyodorkan kepada kita sebuah dilema
yang jelas. Keduanya, yakni Undang-Undang Hammurabi
dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, mengklaim pernyataan
prinsip-prinsip keadilan universal dan abadi, tetapi menurut
orang Amerika semua orang setara, sementara menurut orang
Babylonia setiap orang sudah pasti tidak setara. Tentu saja, orang
Amerika akan mengatakan bahwa merekalah yang benar, dan
Hammurabi salah. Secara alamiah, Hammurabi akan menyergah
dialah yang benar, dan orang Amerika salah. Faktanya, keduanya
salah. Hammurabi dan para Pendiri Amerika sama-sama
mengimajinasikan sebuah realitas yang diatur oleh prinsip-prinsip
keadilan yang universal dan kekal, seperti kesetaraan atau hierarki.
Padahal, satu-satunya tempat yang memungkinkan prinsip-prinsip
uniersal semacam itu adalah dalam imajinasi subur Sapiens, dan
dalam mitos yang mereka ciptakan dan sebarkan. Prinsip-prinsip
ini tidak punya validitas objektif.
Mudah bagi kita untuk menerima bahwa pembagian orang
menjadi “kelas atas” dan “orang biasa” adalah sebuah isapan
jempol imajinasi. Namun, ide bahwa seluruh manusia setara
juga sebuah mitos. Dalam pengertian apa seluruh manusia setara
dengan yang lainnya? Adakah realitas objektif, di luar imajinasi
manusia, yang di dalamnya kita semua benar-benar setara? Apakah
seluruh manusia setara dengan yang lainnya secara biologis? Mari
kita coba menerjemahkan baris paling terkenal dari Deklarasi
Kemerdekaan Amerika ke dalam terminologi biologis:
Kami berpendirian kebenaran ini ada dengan sendirinya, bahwa
semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dibekali oleh
Pencipta dengan hak-hak pasti yang tak bisa diambil, antara lain
hak hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan.
Menurut ilmu Biologi, orang tidak “diciptakan”. Mereka
berevolusi. Dan, mereka pasti tidak berevolusi untuk menjadi
“setara”. Ide kesetaraan terjalin erat dengan ide penciptaan.
Orang-orang Amerika mendapatkan ide kesetaraan dari Kristen,
yang mengajarkan bahwa setiap orang memiliki jiwa ciptaan
ilahi, dan seluruh jiwa setara di hadapan Tuhan. Namun, jika
kita tidak memercayai mitos Kristen tentang Tuhan, penciptaan,
dan jiwa, lalu apa maknanya bahwa setiap orang “setara”?
Evolusi didasarkan pada perbedaan, bukan pada kesetaraan.
Setiap orang membawa kode genetik yang berbeda-beda, dan
terpapar sejak lahir pada pengaruh-pengaruh lingkungan yang
berbeda-beda pula. Ini menyebabkan perkembangan kualitas
yang berbeda-beda yang menjadikan peluang survival mereka
juga berbeda-beda. Oleh karena itu, “diciptakan setara”, harus
diterjemahkan menjadi “berevolusi secara berbeda”.
Sebagaimana orang-orang tidak pernah diciptakan, maka
demikian pula, menurut ilmu Biologi, tidak ada “Pencipta”
yang “membekali” mereka dengan apa pun. Hanya ada proses
evolusi yang buta, tanpa tujuan apa pun, yang mengarah pada
kelahiran individu-individu. “Dibekali oleh pencipta mereka”
harus diterjemahkan begitu saja menjadi “dilahirkan
Demikian pula, tidak ada sesuatu yang dinamakan hak dalam
biologi. Yang ada hanyalah organ-organ, kemampuan-kemampuan,
dan karakteristik-karakteristik. Burung-burung terbang bukan
karena mereka memiliki hak untuk terbang, melainkan karena
mereka memiliki sayap. Dan, tidak benar bahwa organ-organ,
kemampuan-kemampuan, dan karakteristik-karakteristik ini “tak
bisa diambil”. Banyak dari mereka mengalami mutasi-mutasi yang
konstan, dan bisa hilang sama sekali dari waktu ke waktu. Burung
unta adalah burung yang kehilangan kemampuannya untuk
terbang. Jadi, hak yang “tak bisa diambil” harus diterjemahkan
menjadi “ciri-ciri yang bisa bermutasi”.
Dan, apa sesungguhnya karakteristik yang berevolusi pada
manusia? “Kehidupan”, pasti. Namun, “kebebasan”? Tidak ada
hal seperti itu dalam biologi. Sebagaimana kesetaraan, hak,
dan liabilitas terbatas perusahaan, kebebasan adalah sesuatu
yang diciptakan orang dan ada hanya dalam imajinasi mereka.
Dari sudut pandang biologi, tidak ada artinya mengatakan
bahwa manusia dalam masyarakat demokratis adalah bebas,
sedangkan manusia dalam kediktatoran tidak bebas. Dan,
bagaimana dengan “kebahagiaan”? Sejauh ini riset biologi gagal
menyodorokan definisi yang jelas tentang kebahagiaan atau
cara untuk mengukurnya secara objektif. Sebagian besar studi
biologi mengakui hanya eksistensi kesenangan, yang lebih mudah
didefinisikan dan diukur. Jadi, “kehidupan, kebebasan, dan
pencarian kebahagiaan” harus diterjemahkan menjadi “kehidupan
dan pencarian kesenangan”.
Maka, inilah garis dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika
yang diterjemahkan ke dalam terminologi biologi:
Kami mengakui bahwa kebenaran untuk ada dengan sendirinya,
bahwa semua manusia berevolusi secara berbeda, bahwa mereka
dilahirkan dengan karakteristik-karakteristik tertentu yang bisa
bermutasi, dan bahwa di antaranya adalah kehidupan dan
pencarian kebahagiaan.
Para pendukung kesetaraan hak-hak manusia mungkin
jengkel dengan garis pemikiran ini. Respons mereka mungkin
begini, “Kami tahu bahwa orang-orang memang tidak setara secara biologis! Namun, jika kita yakin bahwa kita semua setara
secara esensi, itu akan memungkinkan kita menciptakan sebuah
masyarakat yang stabil dan makmur”. Saya tak mau menentang
argumentasi itu. Inilah sesungguhnya yang saya maksud dengan
“tatanan yang diimajinasikan”. Kita memercayai suatu tatanan
tertentu bukan karena secara objektif benar, melainkan karena
memercayainya memungkinkan kita bekerja sama secara efektif
dan membangun masyarakat yang lebih baik. Tatanan yang
diimajinasikan bukanlah konspirasi jahat atau fatamorgana yang
sia-sia, melainkan itulah satu-satunya cara manusia dalam jumlah
besar bisa bekerja sama secara efektif. Namun, camkan bahwa
Hammurabi mungkin akan mempertahankan prinsip hierarkinya
dengan menggunakan logika yang sama: “Saya tahu bahwa
orang-orang kalangan atas, orang biasa, dan budak, memang
tidak secara inheren jenis orang berbeda-beda. Namun, jika
kita yakin bahwa mereka berbeda, itu akan memungkinkan kita
menciptakan masyarakat yang stabil dan makmur”.
Penganut Sejati
Tentu tak sedikit pembaca menggeliang-geliut di atas kursi
sewaktu membaca paragraf-paragraf tadi. Sebagian besar kita
pada masa kini memang dididik untuk bereaksi seperti itu.
Mudah untuk menerima bahwa Undang-Undang Hammurabi
adalah sebuah mitos, tetapi kita tidak ingin mendengar bahwa
hak asasi manusia juga adalah mitos. Jika orang-orang menyadari
bahwa hak asasi manusia hanya ada dalam imajinasi, adakah
bahaya yang menyebabkan masyarakat kita runtuh? Voltaire
berkata tentang Tuhan bahwa “tidak ada Tuhan, tetapi jangan
katakan kepada pelayan saya kalau tak ingin dia membunuh
saya malam ini”. Hammurabi mungkin akan berkata hal yang
sama tentang prinsip-prinsip hierarkinya, juga Thomas Jefferson
tentang hak asasi manusia. Homo sapiens tak punya hak-hak
alamiah, sebagaimana laba-laba, hiena dan simpanse juga tak
punya hak-hak alamiah. Namun, jangan katakan kepada para
pelayan kami kalau tak ingin mereka membunuh kami malam ini.
Ketakutan seperti itu bisa dibenarkan. Sebuah tatanan natural
adalah tatanan yang stabil. Tak ada peluang bahwa gravitasi
akan berhenti berfungsi besok, bahkan jika orang-orang berhenti
memercayainya. Sebaliknya, sebuah tatanan yang diimajinasikan
selalu berisiko runtuh karena ia tergantung pada mitos, dan mitos
musnah begitu orang berhenti memercayainya. Demi mengawal
sebuah tatanan yang diimajinasikan, upaya-upaya terus-menerus
dan keras wajib dilakukan. Sebagian dari upaya ini mengambil
bentuk kekerasan dan kekejaman. Angkatan perang, pasukan
polisi, pengadilan, dan penjara terus bekerja memaksa orangorang untuk bertindak sesuai dengan tatanan yang diimajinasikan.
Jika seorang Babylonia kuno membutakan tetangganya, kekerasan
biasanya diperlukan dalam rangka menegakkan hukum “mata
dibalas mata”. Ketika pada 1860 mayoritas penduduk Amerika
menyimpulkan bahwa budak-budak Afrika adalah manusia dan
karena itu harus menikmati hak kebebasan, dibutuhkan perang
saudara yang berdarah-darah untuk membuat negara-negara
bagian di Selatan tunduk patuh.
Meskipun demikian, sebuah tatanan yang diimajinasikan tidak
hanya bisa dipelihara dengan kekerasan. Ia juga membutuhkan
penganut sejati. Pangeran Talleyrand, yang memulai kariernya
yang mirip bunglon di bawah Louis XVI, belakangan mengabdi
kepada rezim revolusioner dan Napoleonik, dan membelotkan
kesetiaannya pada masa akhir kehidupan dengan bekerja
untuk monarki yang dipulihkan. Ia merangkum dekade-dekade
pengalamannya dalam pemerintahan dengan mengatakan, bahwa
“Anda bisa melakukan banyak hal dengan bayonet, tetapi agak
tidak nyaman untuk duduk di atasnya”. Satu orang pendeta
sering kali bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan
oleh 100 tentara—jauh lebih murah dan efektif. Lebih dari itu,
seberapa pun efisiennya bayonet, tetap harus ada orang yang
menggunakannya. Mengapa harus tentara, sipir, hakim, dan
polisi yang mempertahankan tatanan yang diimajinasikan, yang
tidak mereka yakini? Dari semua aktivitas kolektif manusia,
satu yang paling sulit diorganisasi adalah kekerasan. Untuk
mengatakan bahwa sebuah tatanan sosial dipertahankan dengan
kekuatan militer langsung menimbulkan pertanyaan: Apa yang mempertahankan tatanan militer? Tidak mungkin mengorganisasi
sebuah angkatan hanya dengan kekerasan semata. Paling tidak,
para komandan dan tentara harus benar-benar memercayai
sesuatu, entah itu Tuhan, kehormatan, tanah air, kejantanan,
atau uang.
Ada satu pertanyaan yang lebih menarik, yakni tentang
mereka yang berdiri di puncak piramida sosial. Mengapa mereka
ingin menegakkan tatanan yang diimajinasikan jika mereka sendiri
tidak memercayainya? Cukup lazim untuk memandang bahwa
elite melakukan itu karena keserakahan sinis. Namun, seorang
sinis yang tak meyakini apa pun tak mungkin menjadi serakah.
Tak banyak hal untuk memenuhi kebutuhan biologis objektif
Homo sapiens. Setelah kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi,
lebih banyak uang akan digunakan untuk membangun piramida,
berlibur keliling dunia, mendanai kampanye pemilihan umum,
mendanai organisasi teroris favorit, atau berinvestasi di pasar
saham dan menghasilkan uang lebih banyak—yang kesemuanya
adalah aktivitas-aktivitas yang pada akhirnya tak berarti apa-apa
bagi seorang sinis sejati. Diogenes, filsuf Yunani yang menciptakan
aliran Sinis, hidup dalam sebuah tong. Ketika Alexander Yang
Agung suatu ketika mengunjungi Diogenes saat dia bersantai di
bawah terpaan sinar Matahari, dan bertanya apakah ada yang bisa
dia lakukan untuknya, filsuf sinis itu menjawab sang penakluk
adidaya itu, “Ya, ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk
saya. Tolong bergeser sedikit ke samping. Anda menghalangi
sinar Matahari.”
Inilah kenapa kaum sinis tidak membangun imperium
dan mengapa sebuah tatanan yang diimajinasikan hanya bisa
dipertahankan jika bagian-bagian besar dari populasi—dan
terutama bagian-bagian besar elite dan pasukan keamanannya—
benar-benar memercayainya. Kristen tidak akan bertahan 2.000
tahun kalau mayoritas uskup dan pendeta tak mau memercayai
Kristus. Demokrasi Amerika tidak akan bertahan 250 tahun jika
mayoritas presiden dan anggota Kongres tidak mau meyakini
hak asasi manusia. Sistem ekonomi modern tidak akan bertahan
sehari jika mayoritas investor dan bankir tidak mau meyakini
kapitalisme.
Bagaimana Anda membuat orang meyakini suatu tatanan yang
diimajinasikan seperti Kristen, demokrasi, atau kapitalisme?
Pertama, Anda tidak pernah mengakui bahwa tatanan itu adalah
imajinasi. Anda selalu menekankan bahwa tatanan-tatanan
yang mempertahankan masyarakat adalah realitas objektif yang
diciptakan dewa-dewa besar atau oleh hukum alam. Orang-orang
tidak setara bukan karena Hammurabi mengatakan demikian,
melainkan karena Enlil dan Marduk memutuskannya. Orangorang setara bukan karena Thomas Jefferson mengatakan
demikian, melainkan karena Tuhan menciptakan demikian. Pasar
bebas adalah sistem ekonomi terbaik bukan karena Adam Smith
mengatakan demikian, melainkan karena ini adalah hukum alam
yang tak bisa berubah. Anda juga mengedukasi orang-orang
dengan bersungguh-sungguh. Sejak saat mereka dilahirkan, Anda
terus-menerus mengingatkan mereka tentang prinsip-prinsip
tatanan yang diimajinasikan, yang digabungkan dengan apa saja
dan segala hal. Mereka digabungkan menjadi dongeng, drama,
lukisan, lagu, etiket, propaganda politik, arsitektur, resep, dan
busana. Misalnya, kini orang meyakini kesetaraan, maka menjadi
pantas kalau anak-anak orang kaya mengenakan jins, yang
awalnya adalah pakaian kelas pekerja. Pada Abad Pertengahan
orang-orang meyakini pembagian-pembagian kelas sehingga
tidak ada bangsawan muda yang mengenakan jubah petani. Pada
masa itu, mendapat sapaan “Tuan” atau “Nyonya” adalah hak
istimewa yang dikhususkan bagi kaum bangsawan, dan sering
dibeli dengan darah. Kini seluruh korespondensi yang sopan,
terlepas dari siapa pun penerimanya, dimulai dengan “Yang
Terhormat Tuan atau Nyonya”.
Ilmu kemanusiaan dan sosial mengerahkan sebagian besar
energinya untuk menjelaskan secara tepat bagaimana tatanan
yang diimajinasikan itu dijalin menjadi permadani kehidupan.
Dalam ruang terbatas yang kita miliki, kita hanya bisa menoreh
permukaan. Ada tiga faktor utama yang menghalangi orang
menyadari bahwa tatanan yang mengatur kehidupan mereka
hanya ada dalam imajinasi:
a. Tatanan yang diimajinasikan ditempelkan ke dunia material.
Meskipun tatanan yang diimajinasikan hanya ada dalam pikiran
kita, ia bisa dijalin menjadi realitas material di sekitar kita, dan
bahkan dipasang di batu. Sebagian besar orang Barat sekarang
memercayai individualisme. Mereka percaya bahwa setiap
manusia adalah seorang individu, yang nilainya tidak tergantung
pada isi pikiran orang lain tentang dia. Dalam diri setiap kita
ada pancaran sinar gemilang yang memberi nilai dan arti bagi
hidup kita. Di sekolah-sekolah modern Barat, para guru dan
orangtua mengajarkan kepada anak-anak bahwa jika teman-teman
sekelas mempermainkan mereka, mereka harus mengabaikannya.
Hanya mereka sendiri, bukan orang lain, yang tahu nilai mereka
yang sejati.
Dalam arsitektur modern, mitos ini melompat keluar dari
imajinasi untuk mengambil bentuk dalam batu dan lesung.
Rumah modern dibagi menjadi banyak kamar sehingga setiap
anak bisa memiliki ruang privat, tersembunyi dari pandangan,
untuk memberikan otonomi maksimum. Kamar privat itu hampir
selalu punya sebuah pintu, dan dalam banyak rumah tangga,
anak dibenarkan menutup, dan mungkin mengunci pintu itu.
Bahkan, orangtua dilarang memasukinya tanpa mengetuk dan
meminta izin. Kamar itu dihiasi sesuai dengan keinginan anak,
dengan poster-poster bintang rock di dinding dan kaus kaki
kotor di lantai. Seseorang yang tumbuh dalam ruang seperti itu
tidak bisa tidak membayangkan diri sebagai “seorang individu”,
nilai dirinya yang sejati memancar dari dalam, bukan dari
luar. Kaum bangsawan abad pertengahan tidak memercayai
individualisme. Nilai seseorang ditentukan oleh tempat mereka
dalam hierarki sosial dan oleh apa yang orang lain katakan
tentang mereka. Ditertawai adalah penghinaan mengerikan.
Para bangsawan abad pertengahan mengajarkan kepada anakanak mereka untuk melindungi nama baik dengan harga apa
pun. Sebagaimana individualisme modern, sistem nilai abad
pertengahan meninggalkan imajinasi itu dan termanifestasi dalam
batu kastel-kastel. Kastel jarang berisi kamar-kamar privat untuk
anak-anak (atau siapa pun yang lain, dalam hal ini). Anak remaja
laki-laki dari seorang baron abad pertengahan tidak memiliki
kamar privat di lantai dua kastel, dengan poster-poster Richard
the Lionheart dan King Arthur di dinding serta pintu yang
terkunci sehingga orangtua tidak dibolehkan membukanya. Dia
tidur bersama banyak pemuda lain di sebuah ruang besar. Ia
selalu ditampilkan dan selalu harus memperhatikan apa yang
orang lihat dan katakan. Seseorang yang tumbuh dalam kondisi
semacam itu secara alamiah menyimpulkan bahwa nilai sejati
seorang pria ditentukan oleh tempatnya dalam hierarki sosial
dan oleh apa yang dikatakan orang tentang dirinya.8
b. Tatatan yang diimajinasikan membentuk hasrat kita. Sebagian
besar orang tidak ingin menerima bahwa tatanan yang mengatur
kehidupan mereka adalah imajiner, tetapi faktanya setiap orang
dilahirkan dalam sebuah tatanan yang diimajinasikan, yang sudah
ada sebelumnya, dan hasratnya dibentuk sejak lahir oleh mitosmitos dominan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, hasrathasrat personal kita menjadi pertahanan yang paling penting
dari tatanan yang diimajinasikan tersebut.
Misalnya, hasrat paling menonjol dari orang Barat masa kini
dibentuk oleh mitos-mistos romantik, nasionalis, kapitalis, dan
humanis yang sudah ada selama berabad-abad. Orang-orang yang
berteman saling menasihati, “Ikuti kata hatimu”. Namun, hati
adalah agen ganda yang biasanya mengambil instruksi dari mitosmitos dominan yang berlaku pada masa itu, dan rekomendasi
“Ikuti kata hatimu” ditanamkan dalam pikiran kita oleh sebuah
kombinasi mitos-mitos Romantik abad ke-19 dan mitos-mitos
konsumeris abad ke-20. Perusahaan Coca Cola, misalnya, telah
memasarkan Diet Coke ke seluruh dunia dengan slogan, “Diet
Coke. Lakukan apa yang terasa enak”.
Bahkan, apa yang dianggap orang sebagai hasrat paling
personal biasanya diprogram oleh tatanan yang diimajinasikan.
Mari perhatikan, misalnya, hasrat populer untuk berlibur ke luar
negeri. Tidak ada yang natural atau jelas dalam hal ini. Seekor
simpanse pejantan alfa tidak akan pernah berpikir menggunakan
kekuasaannya untuk pergi berlibur ke teritori kawanan simpanse
tetangganya. Elite Mesir kuno menghabiskan harta bendanya
untuk membangun piramida dan memumi mayat-mayat mereka, tetapi tak ada di antara mereka yang berpikir tentang berbelanja
di Babylon atau liburan main ski di Phonenicia. Orang-orang
masa kini menghabiskan banyak uang untuk berlibur ke luar
negeri karena mereka adalah penganut sejati mitos konsumerisme
romantik.
Romantisisme mengatakan kepada kita bahwa dalam rangka
menciptakan sebagian besar potensi kemanusiaan, kita perlu
memiliki sebanyak mungkin pengalaman yang berbeda. Kita
harus membuka diri pada spektrum emosi yang luas; kita
harus mencoba berbagai macam hubungan; kita harus mencoba
makanan-makanan yang berbeda; kita harus belajar menghargai
gaya-gaya musik yang berbeda-beda. Salah satu cara terbaik untuk
melakukan semua itu adalah membebaskan diri dari rutinitas
keseharian kita, meninggalkan sementara lingkungan yang kita
kenal, dan pergi ke tempat-tempat yang jauh, di mana kita
bisa “mengalami” budaya, aroma, citarasa, dan norma-norma
orang lain. Kita mendengar lagi dan lagi mitos-mitos romantik
tentang “betapa sebuah pengalaman baru membuka mata kita
dan mengubah hidup kita”.
Konsumerisme mengatakan kepada kita bahwa untuk menjadi
bahagia kita harus mengonsumsi sebanyak mungkin produk dan
jasa. Jika kita merasa bahwa sesuatu hilang atau tidak cukup
tepat, maka kita mungkin perlu membeli sebuah produk (mobil,
pakaian baru, makanan organik) atau jasa (pembenahan rumah,
terapi hubungan, kelas yoga). Setiap iklan televisi adalah legenda
kecil lain tentang betapa mengonsumsi produk atau jasa tertentu
akan membut hidup menjadi lebih baik.
Romantisisme, yang mendorong keragaman, bercampur
secara sempurna dengan konsumerisme. Perkawinan keduanya
melahirkan “pasar pengalaman yang tak terbatas”, yang di
atasnya industri pariwisata modern berpijak. Industri pariwisata
tidak menjual tiket penerbangan dan kamar hotel. Ia menjual
pengalaman-pengalaman. Paris bukan sebuah kota, India juga
bukan sebuah negara—keduanya adalah pengalaman-pengalaman,
yang dengan mengonsumsinya diharapkan dapat meluaskan
horizon kita, mencukupkan potensi kemanusiaan kita, dan
membuat kita menjadi lebih berbahagia. Akibatnya, ketika hubungan antara seorang miliuner dan istrinya akan melewati
jalan terjal, dia membawa istrinya ikut perjalanan mahal ke Paris.
Perjalanan itu bukan sebuah refleksi suatu hasrat yang independen,
melainkan sebuah keyakinan yang bergairah pada mitos-mitos
konsumerisme romantik. Seorang pria kaya di Mesir kuno tidak
akan pernah mengimpikan mengatasi krisis hubungan dengan
membawa istrinya berlibur ke Babylon. Namun, dia mungkin
membangun makam mewah yang selalu diidam-idamkan oleh
sang istri.
Sebagaimana elite Mesir kuno, sebagian besar di kebanyakan
budaya mendedikasikan hidup mereka untuk membangun
piramida. Hanya nama-nama, bentuk-bentuk, dan ukuran-ukuran
piramida yang berbeda antara satu budaya dan budaya lainnya.
Bentuknya, misalnya, bisa berupa sebuah penginapan pinggiran
kota dengan kolam renang dan halaman rumput hijau, atau
rumah mewah dengan pemandangan yang memikat. Sedikit
yang mempertanyakan mitos-mitos yang menyebabkan kita
menempatkan hasrat akan piramida menjadi yang paling utama.
c. Tatanan yang diimajinasikan bersifat intersubjektif. Andaipun
dengan kehebatan manusia super saya berhasil membebaskan
hasrat-hasrat personal dari cengkeraman tatanan yang
diimajinasikan, saya hanyalah satu orang. Untuk mengubah
tatanan yang diimajinasikan, saya harus meyakinkan jutaan
orang asing untuk bekerja sama dengan saya. Karena tatanan
yang diimajinasikan bukanlah sebuah tatanan subjektif yang
ada dalam imajinasi saya sendiri—ia lebih merupakan tatanan
intersubjektif, yang ada dalam imajinasi ribuan dan jutaan orang.
Untuk memahami ini kita perlu memahami perbedaan antara
“objektif”, “subjektif”, dan “intersubjektif”.
Sebuah fenomena objektif ada secara independen dari
kesadaran manusia dan keyakinan manusia. Radioaktif, misalnya
bukanlah sebuah mitos. Emisi radioaktif terjadi jauh sebelum
orang menemukannya, dan berbahaya sekalipun jika orangorang tidak memercayai keberadaannya. Marie Curie, salah
satu penemu radioaktif, tidak mengetahui saat tahun-tahun
panjangnya mempelajari material radioaktif bahwa bahan itu bisa
melukai tubuhnya. Meskipun dia tidak percaya radioaktif bisa
membunuhnya, dia meninggal akibat anemia aplastik, sebuah
penyakit yang disebabkan oleh paparan material radioaktif.
Fenomena subjektif adalah sesuatu yang keberadaannya
bergantung pada kesadaran dan keyakinan satu individu. Ia hilang
atau berubah jika individu tertentu mengubah keyakinannya.
Banyak anak meyakini eksistensi teman imajiner yang tidak
terlihat dan tak bisa didengar oleh semua orang lain di dunia.
Teman imajiner ada semata-mata dalam kesadaran subjektif
anak tersebut, dan ketika anak tumbuh dewasa dan berhenti
memercayainya, teman imajiner itu pun hilang.
Fenomena intersubjektif adalah sesuatu yang ada dalam
jaringan komunikasi yang menghubungkan kesadaran subjektif
banyak individu. Jika satu individu mengubah keyakinannya,
atau bahkan meninggal, maknanya tidak signifikan. Namun, jika
sebagian besar individu dalam jaringan itu mati atau mengubah
keyakinannya, fenomena intersubjektif akan bermutasi atau
menghilang. Fenomena intersubjektif bukan penipuan jahat maupun kepura-puraan tak bermakna. Keberadaannya memang
berbeda dengan fenomena fisik seperti radioaktif, tetapi
dampaknya pada dunia masih tetap besar. Banyak pengendali
sejarah paling penting bersifat intersubjektif: hukum uang, dewa,
negara.
Peugeot, misalnya bukanlah teman imajiner dari CEO
Peugeot. Perusahaan itu ada dalam imajinasi bersama jutaan
orang. CEO memercayai eksistensi perusahaan itu karena dewan
direkturnya juga memercayainya, sebagaimana banyak pengacara
perusahaan, sekretaris di kantor, para kasir bank, dan para
pialang di pasar saham, serta dealer-dealer mobil dari Prancis
sampai Australia. Jika CEO sendiri tiba-tiba berhenti memercayai
eksistensi Peugeot, dia dengan cepat akan mendarat di rumah
sakit jiwa dan seseorang akan menduduki jabatannya.
Demikian pula, dolar, hak asasi manusia, dan Amerika
Serikat ada dalam imajinasi bersama miliaran orang, dan tak
seorang pun individu bisa mengancam eksistensinya. Jika saya
sendirian berhenti memercayai dolar, hak asasi manusia, atau
Amerika Serikat, tak akan berarti apa-apa. Tatanan-tatanan
yang diimajinasikan ini bersifat intersubjektif sehingga untuk
mengubahnya kita harus secara serempak mengubah kesadaran
miliaran orang, sesuatu yang tidak mudah. Sebuah perubahan
untuk ukuran sebesar itu hanya bisa dikerjakan dengan bantuan
organisasi yang kompleks, seperti partai politik, gerakan ideologis,
atau aliran keagamaan. Namun, dalam rangka membentuk
organisasi yang kompleks semacam itu perlu meyakinkan banyak
orang asing untuk mau bekerja sama satu dengan yang lain.
Dan, ini hanya akan terjadi jika orang-orang asing tersebut
memercayai mitos yang sama. Maka dari itu, untuk mengubah
sebuah tatanan yang diimajinasikan, kita harus pertama-tama
meyakini sebuah alternatif tatanan yang diimajinasikan.
Untuk menghilangkan Peugeot, misalnya, kita perlu
mengimajinasikan sesuatu yang lebih kuat, seperti sistem hukum
Prancis. Dalam rangka menghilangkan sistem hukum Prancis,
kita perlu mengimajinasikan sesuatu yang lebih kuat lagi, seperti
negara Prancis. Dan, jika kita ingin menghilangkannya juga, kita harus mengimajinasikan sesuatu yang jauh lebih kuat lagi.
Tidak ada jalan untuk membebaskan diri dari tatanan yang
diimajinasikan. Ketika kita menghancurkan penjara kita, dan
berlari menuju kebebasan, kita sesungguhnya berlari menuju
halaman yang lebih luas dari penjara yang lebih besar.
Evolusi tidak membekali manusia dengan kemampuan untuk
bermain sepak bola. Benar, ia memproduksi kaki untuk
menendang, siku untuk menyikut, dan mulut untuk memaki,
tetapi dengan semua itu yang bisa kita lakukan mungkin adalah
latihan melakukan tendangan penalti sendiri. Untuk masuk ke
sebuah pertandingan dengan orang asing yang kita temukan di
halaman sekolah pada sore hari, kita tidak hanya harus bekerja
secara terpadu dengan rekan satu tim yang mungkin belum
pernah kita jumpai sebelumnya, tetapi kita juga harus tahu bahwa
11 pemain di tim lawan bermain dengan aturan yang sama.
Binatang lain yang melibatkan pihak asing dalam ritual agresi
pada umumnya melakukan itu berdasarkan naluri—anak anjing
di seluruh dunia memiliki aturan bermain pura-pura berkelahi
yang tertanam kuat dalam gen mereka. Namun, manusia remaja
tak punya gen untuk bermain sepak bola. Ide ini sepenuhnya
imajiner, tetapi jika setiap orang punya pandangan demikian,
kita semua bisa memainkan permainan itu.
Hal yang sama berlaku, dalam skala lebih besar, kerajaankerajaan, gereja-gereja, dan jaringan perdagangan, dengan satu
perbedaan penting. Aturan sepak bola relatif sederhana dan
ringkas, sangat mirip dengan aturan kerja sama dalam sebuah
kawanan pengembara atau desa kecil. Setiap pemain bisa dengan
mudah menyimpannya dalam otak dan masih punya ruang untuk
lagu-lagu, gambar-gambar, dan daftar belanja. Namun, dalam
hal ini sistem-sistem besar yang bekerja sama melibatkan bukan
hanya dua puluh dua, melainkan ribuan, bahkan jutaan manusia,
membutuhkan penanganan dan penyimpanan informasi dalam jumlah sangat besar, jauh lebih besar dari yang bisa disimpan
dan diproses oleh otak satu manusia.
Masyarakat-masyarakat besar yang ditemukan dalam
beberapa spesies lain, seperti semut dan lebah, bersifat stabil
dan lentur karena sebagian besar informasi yang dibutuhkan
untuk mempertahankannya tersimpan dalam gen. Misalnya,
satu larva lebah madu perempuan, bisa tumbuh untuk menjadi
ratu atau pekerja, tergantung pada makanan yang diasupkan
kepadanya. DNA-nya memprogram perilaku-perilaku yang
diperlukan untuk kedua peran itu—entah itu etiket keratuan
atau kerajinan proletar. Sarang lebah bisa menjadi sruktur sosial
yang sangat kompleks, berisi banyak jenis pekerja yang berbedabeda—pemanen, perawat, dan pembersih, misalnya. Namun,
sejauh ini riset gagal mengidentifikasi lebah-lebah pengacara.
Lebah tidak butuh pengacara karena tidak ada bahaya misalnya
ada yang berusaha melanggar konstitusi sarang lebah dengan
mengambil hak lebah pembersih untuk hidup, hak kebebasan,
dan hak mencari kebahagiaan.
Akan tetapi, manusia melakukan hal-hal semacam itu
sepanjang waktu. Karena tatanan sosial Sapiens diimajinasikan,
manusia tidak bisa mengamankan informasi penting untuk
menjalankannya dengan hanya membuat salinan DNA mereka
dan menurunkan DNA itu kepada keturunan mereka. Sebuah
upaya sadar harus dilakukan untuk memelihara hukum, peraturan,
prosedur, tingkah laku, kalau tidak ingin tatanan sosial itu runtuh
dengan cepat. Misalnya, Raja Hammurabi memutuskan bahwa
orang dibagi menjadi kalangan atas, orang biasa, dan budak. Ini
bukan pembagian alamiah—tidak ada jejak itu dalam gen manusia.
Jika orang-orang Babylonia tak bisa menjaga “kebenaran” ini
dalam pikiran mereka, masyarakat akan berhenti berfungsi.
Demikian pula, ketika Hammurabi mewariskan DNA kepada
keturunannya, itu tidak otomatis menanam aturan yang dia buat
bahwa seseorang dari kalangan atas yang membunuh perempuan
biasa harus membayar 30 shekel perak. Hammurabi harus
secara sengaja mengajari para putranya tentang hukum dalam
imperium, kemudian para putra dan cucu-cucunya melakukan
hal yang sama.
Imperium-imperium menghasilkan informasi dalam
jumlah sangat besar. Di luar urusan hukum, imperium harus
menyimpan catatan-catatan tentang transaksi dan pajak, inventaris
peralatan militer dan kapal-kapal dagang, dan kalender festival
dan kemenangan-kemenangan. Selama jutaan tahun, orang
menyimpan informasi di satu tempat saja—otak mereka. Sayang
sekali, otak manusia bukanlah alat penyimpan yang baik untuk
database seukuran imperium karena tiga alasan utama. Pertama,
kapasitasnya terbatas. Benar, sebagian orang memiliki daya ingat
yang mengagumkan, dan pada masa kuno ada kaum profesional
penghafal yang bisa menyimpan di kepala mereka topografi
dari seluruh provinsi dan undang-undang semua negara bagian.
Meskipun demikian, ada batas yang tak bisa dilampaui oleh
para mnemonic ulung sekalipun. Seorang pengacara mungkin
hafal di luar kepala seluruh isi undang-undang Persemakmuran
Massachusetts, tetapi mungkin tidak hafal perincian setiap
putusan pengadilan yang terjadi di Massachusetts sejak peristiwa
Pengadilan Kota Sihir Salem (Salem Witch Trials).
Kedua, manusia mati dan otak mereka mati bersamanya.
Setiap informasi yang disimpan di satu otak akan terhapus dalam
waktu kurang dari seabad. Tentu saja, dimungkinkan untuk
meneruskan ingatan satu otak ke otak lain, tetapi setelah beberapa
transmisi, informasi cenderung menjadi kabur atau hilang.
Ketiga, dan yang paling penting, otak manusia sudah
teradaptasi untuk menyimpan dan memproses jenis-jenis informasi
tertentu. Untuk bertahan hidup, para pemburu-penjelajah kuno
harus mengingat bentuk-bentuk, kualitas, dan pola-pola perilaku
ribuan spesies tumbuhan dan binatang. Mereka harus mengingat
bahwa satu jamur keriput berwarna kuning yang tumbuh pada
musim gugur di bawah pohon ulmus kemungkinan paling
beracun, sedangkan jamur serupa yang tumbuh pada musim
dingin di bawah pohon ek bagus untuk pengobatan sakit perut.
Para pemburu-penjelajah juga harus selalu mengingat pendapatpendapat dan hubungan-hubungan beberapa puluh anggota
kawanan. Jika Lucy membutuhkan bantuan seorang anggota
kawanan untuk menghentikan gangguan John, penting bagi dia
untuk mengingat bahwa John bertengkar dengan Mary pekan lalu, dan dengan demikian Mary bisa menjadi sekutu yang antusias.
Akibatnya, tekanan-tekanan evolusi mengadaptasi otak manusia
untuk menyimpan jumlah besar informasi tumbuh-tumbuhan,
binatang, topografi, dan sosial.
Akan tetapi, ketika masyarakat-masyarakat yang sangat
kompleks mulai muncul setelah kedatangan Revolusi Agrikultur,
jenis baru informasi menjadi vital—angka. Para pengembara
tidak pernah diwajibkan untuk menangani data matematis dalam
jumlah besar. Tak ada pengembara yang perlu mengingatnya,
katakanlah, jumlah buah di setiap pohon di hutan. Jadi, otak
manusia tidak beradaptasi untuk menyimpan dan memproses
angka-angka. Namun, untuk menjaga sebuah kerajaan besar, data
matematis adalah vital. Tidak pernah cukup dengan membuat
undang-undang dan menceritakan cerita-cerita tentang dewadewa penjaga. Seseorang juga harus mengumpulkan pajak.
Untuk memajaki ratusan ribu orang, harus ada pengumpulan
data tentang pendapatan dan harta benda orang-orang; data
tentang pembayaran-pembayaran yang dilakukan; data tentang
tunggakan-tunggakan; data tentang utang dan denda; data tentang
diskon dan potongan. Belum lagi jutaan data kecil, yang harus
disimpan dan diproses. Tanpa kapasitas ini, negara tidak akan
pernah tahu apa sumber daya yang dimilikinya dan sumber daya
mana lagi yang bisa dialirkan. Jika menghadapi kebutuhan untuk
menghafal, mengingat kembali, dan menangani semua angka
ini, sebagian besar otak manusia akan overdosis dan tertidur.
Batasan mental ini membengkakkan ukuran dan kompleksitas
kumpulan manusia. Ketika jumlah orang dan properti di satu
masyarakat tertentu melintasi batas kritis, maka menjadi perlu
untuk menyimpan dan memproses data matematis dalam jumlah
besar. Karena otak manusia tak bisa melakukannya, sistem pun
runtuh. Selama ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur, jaringan
sosial manusia tetap relatif kecil dan sederhana.
Yang pertama bisa mengatasi masalah itu adalah masyarakat
Sumeria kuno, yang hidup di wilayah selatan Mesopotamia. Di
sana, sengatan Matahari yang menimpa dataran subur berlumpur
menghasilkan panen-panen melimpah dan kota-kota yang
makmur. Saat jumlah penghuni tumbuh, begitu pula jumlah