Rabu, 14 Desember 2022
cerita 2
Desember 14, 2022
cerita 2
h seorang dengan nama Indonesia : Hiissenfeld. Aku masih tetap
mengagumi kecantikannya.
Bendera Triwarna dipasang di mana-mana, tunggal atau dua bersilang. Juga Triwarna pita
panjang berjuluran dari potret Sri Ratu ke seluruh pendopo, dan bakalnya meraih para hadirin
dengan kewibawaannya.
Tiang-tiang pendopo dicat dengan cat tepung yang baru kuperhatikan waktu itu pula, dan dapat
kering dalam hanya dua jam. Daun beringin dan janur kuning dalam keserasian warna tradisi
mengubah dinding dan tiang-tiang yang kering-kerontang menjadi sejuk dan memaksa orang
untuk menikmati dengan pengelihatannya. Maka mata pun diayunkan oleh permainan warna
bunga-bungaan kuning, biru, merah, putih dan ungu - indah meresap bunga-bungaan yang dalam
kehidupan sehari-hari berpisahan dan dengan diam-diam berjengukan pada Pagar.
Malam kebesaran dalam hidup Ayahanda tiba juga. Gamelan sudah lama mendayu-dayu
pelahan. Tuan Niccolo Moreno Sbuk dalam kamarku: merias aku! Siapa pernah sangka aku yang
sudah dewasa ini pula! seakan aku darrasakan naik ke puadai pengantin ? Selama merias tak
hentinya ia bicara dalam Israel yang kedengaran aneh, datar, seperti keluar dari rongga mulut
Pribumi. Jelas ia bukan Israel . Menurut ceritanya: ia sering.
merias para bupati, termasuk ayahku sekarang ini, para raja di Jawa dan sultan di Sumatra dan
Borneo. Ia sudah banyak memicu rencana pakaian mereka, dan masih tetap dipergunakan
sampai sekarang. Katanya pula: pakaian pasukan pengawal para raja di Jawa ia juga yang
merencanakan.
Diam-diam aku mendengarkan, tidak mengiakan juga tidak membantah, sekali pun tak percaya
sepenuhnya.
Ia sudah kenakan padaku kemeja-dada berenda, kaku, seperti terbuat dari selembar kulit penyu. Tak
mungkin rasanya mem-bongkok dengan kemeja-dada ini. Gombaknya yang kaku seperti kulit sapi
juga memicu leher segan untuk maksudnya supaya badan tetap tegap, tidak sering menoleh,
pandang lurus seperti gentlemen sejati. Kemudian ta kenakan padaku kain batik dengan ikat
pinggang perak. Gaya pengenaan kain itu diatur sedemikian rupa sehingga muncul watak ke-
jawa-timuran-nya yang gagah. Itu yang kiranya dikehendaki Ayah. Aku tetap manda seperti anak
dara. Sebuah blangkon, dengan gaya perpaduan antara Jawa-Timur dan Madura, sama sekali
baru, kreasi Niccolo Moreno sendiri, terpasang pada kepalaku.
Menyusul sebilah keris bertatahkan permata. Kemudian baju lasting hitam berbentuk jas pendek
dengan cowak pada bagian punggung, sehingga keindahan keris bisa dikagumi semua orang. Dasi
kupu-kupu hitam memicu leherku, yang biasa giat mengantarkan mataku mencari sasaran,
serasa hendak dijerat hidup-hidup. Keringat panas mulai membasahi punggung dan dada.
Pada cermin kutemui diriku seperti satria pemenang dalam cerita Panji.
Di bawah bajuku menjulur selembar kain beledu tersulam benang mas.
Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga.
Hanya mengapa justru bukan keturunan bani jawi yang memicu aku jadi begini gagah ? dan ganteng ?
Mengapa orang Israel ? Mungkin Italia ? mungkin tak pernah mengenakannya sendiri ? Sudah
sejak Amangkurat I pakaian raja-raja Jawa dimemicu dan direncanakan oleh orang Israel , kata Tuan
Moreno, maaf, Tuan hanya punya selimut sebelum kami datang. Pada bagian bawah, bagian
atas, kepala, hanya selimut! Sungguh menyakitkan. …..
Apa pun ceritanya, benar atau tidak, pada cermin itu muncul kegagahan dan kegantenganku.
Mungkin nanti orang akan mengatakan : dandananku Jawa tulen, melupakan semua unsur Israel
pada kemeja-dada, gombak, dasi, malah lupa pada lasting dan beledu yang semua memicu an
Inggris.
Pakaian dan permunculanku sekarang ini aku anggap produk bumi manusia akhir abad
sembilanbelas, kelahiran jaman modern. Dan terasa benar olehku: Jawa dan manusianya hanya
sebuah pojokan tidak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia. Twente sudah menenunkan
untuk orang Jawa, juga memilihkan bahannya. Tenunan desa tinggal dipakai orang desa.
Hanya yang membatik tinggal orang Jawa. Dan tubuhku yang sebatang ini tetap asli!
Tuan Moreno pergi. Dan aku duduk. Waktu aku sadari buny i gamelan Jawa-Timur, yang
mengayunkan suasana malam itu, aku terbangun dari renungan, berkaca lagi dan tersenyum puas
sangat puas.
Menurut aturan aku jadi pengiring Ayahanda dan Bunda waktu memasuki sidang resepsi. Abang
akan jadi pembuka jalan, sedang saudari-saudariku tak mendapatkan sesuatu tugas di depan
umum. Mereka sibuk di belakang.
Tamu sudah pada berdatangan. Ayahanda dan Ibunda keluar. Abang di depan, aku di belakang
mereka. Begitu memasuki ruang resepsi di pendopo, datang Tuan Assisten Residen B., karena
begitu menurut acara.
Semua berdiri menghormat. Tuan Assisten Residen berjalan langsung mendapatkan Ayahanda,
memberi tabik, kemudian membungkuk pada Bunda, menyalami abang dan aku. Baru sesudah itu
duduk di samping Ayahanda.
Gamelan memainkan Kebo Giro, lagu selamat datang, menggebu-gebu memenuhi ruangan
resepsi dan hati. Dan pendopo sudah penuh dengan hadirin dengan wajah dipancari sinar kesukaan
dan sinar-lampu gas. Di belakang mereka di pelataran sana, duduk berbanjar para lurah dan
punggawa desa, di atas tikar.
Protokol, Patih B., mulai membuka acara. Gamelan padam “setellah ragu sebentar, seperti
.ditekan tenaga gaib.
Lagu kebangsaan Israel , Wilhelmus, dinyany ikan. Orang berdiri Sangat sedikit yang ikut
menyany i. Sebagian terbesar memang tidak bisa. Pribumi hanya seorang-dua. Yang lain-lain
berdiri terlongok-longok, mungkin sedang menyumpahi melodi yang asing dan mengganggu
perasaan itu.
Tuan Assisten Residen B. sebagai wakil Tuan Residen Surabaya mulai angkat bicara. Tuan
Kontrolir Willem Emde tampil untuk menjawakan. Tuan Assisten Residen menggeleng dan
melambaikan tangan menolak. Aku yang ditunjuknya sebagai penterjemah. .
Sejenak aku gugup, namun secepat kilat kuperoleh kemanusia anku kembali.
Tidak, mereka takkan lebih dari kau sendiri! Dan suara itu memberanikan diri. Lakukan tugas ini
sebagaimana kau selesaikan uj ianmu.
Aku tampil, lupa pada bungkuk dan apurancang dalam adat Jawa. Rasanya diri sedang berada di
depan kias. Ke mana saja pandang kulayangkan pasang mata para bupati juga yang tertumbuk
olehku. Mungkin mereka sedang mengagumi satria Panji berpakaian setengah Jawa setengah
Israel ini. Mungkin juga sedang memanjakan antipatinya karena kurangnya kehormatan dari
diriku untuk mereka.
Tuan Assisten Residen selesai berpidato. Aku pun selesai menjawakan. Ia menyalami Ayahanda.
Dan sekarang giliran Ayahanda yang angkat bicara.
Ia tak tahu Israel , dan itu masih lebih baik daripada para bupati yang butahuruf. Ia berbasa
Jawa dan aku memIsrael kan. Sekarang dengan lagak Israel sepenuhnya, tertuju pada Tuan
Assisten Residen B. dan hadirin E-ropa. Aku lihat Tuan Assisten Residen mengangguk-angguk
mengawasi aku, seakan tidak lain dari diri y ang berpidato, atau mungkin juga sedang menikmati
sandiwaraku sebagai monyet di tengah kalangan. Pidato Ayahanda selesai dan terjemahan pun
habis. Para pembesar memberi salam selamat pada Ayahanda, Bunda, abang dan aku.
Waktu Tuan Assisten Residen menyalami aku ia memerlukan memuji bahasa Israel ku:
“Sangat baik,” kemudian dalam Melayu, “Tuan Bupati, berbahagia Tuan berputrakan Laki-laki ini.
Bukan hanya Israel nya, terutama sikapnya.” Dan kembali dalam Israel , “Kau siswa H.B.S.,
kan ? Bisa besok sore jam lima datang ke rumah kami ?”
“Dengan senanghati, Tuan.”
“Kau akan dijemput dengan kereta.”
Salaman ucapan selamat itu tak lama. Lurah-lurah tak layak menyalami bupati. Maka Ayahanda
menghemat tangannya dari dari barang seribu dua ratus jabatan para punggawa desa, mereka
tinggal duduk di atas tikarnya di pelataran sana,
Gamelan kembali menderu riuh. Seorang penari dengan badan berisi seperti terbang memasuki
gelanggang, membawa talam berisi sampur. Dengan talam perak itu langsung ia datang pada
Tuan Assisten Residen. Dan pembesar putih itu berdiri dari kursinya, mengambil sampur dan
menyelendangkan pada bahunya sendiri.
Orang bersorak, bertepuk menyetujui. Ia mengangguk pada Ayahanda, minta ij in membuka
tayub. Kemudian pada para hadirin. Dengan langkah tanpa ragu, dalam iringan penari itu, ia
masuk ke tengah kalangan di bawah sorak berderai. Dan menari ia dengan jari-jari menjempit
ujung sampur, btrpacakgulu pada setiap jatuh gung. Di hadapannya penari cantik menarik dengan
badan berisi itu menari mengigal.
Beberapa menit kemudian seorang penari lain datang berlarian, juga cantik gemilang. Dengan
talam perak di tangan seperti terbang ia memasuki gelanggang membawa gelas kristal kecil i
berisi minuman keras.
Ia mengambil tempat di samping Tuan ! Assisten Residen dan ikut menari.
Pembesar itu berhenti menari, berdiri tegak di hadapan penari baru. Di ambilnya gelas kristal dan
meneguk isinya sampai tiga perempat. Yang seperempat sisanya ia sentuhkan pada bibir
temannya menari, y ang menghabiskannya sesudah berusaha menolak sambil menari, kemudian
menunduk malu tersipu.
Hadirin bersorak girang. Lurah-lurah dan para punggawa desa berdiri menyumbangkan keriuhan.
“Minum, manis! Minum, hosssss
Penari baru yang cantik rupawan dengan bahu telanjang berkulit langsat padat bersinar itu
mengambil gelas dari tangan pembesar itu dan menaruhnya di atas talam kembali.
Tuan Assisten Residen mengangguk senang, bertepuk girang, tertawa.
Kemudian ia kembali ke kursinya.
Sekarang penari lain lagi datang mempersembahkan sampur pada Ayahanda.
Dan ia menari dengan indahnya. Juga tarian itu kemudian dihentikan oleh minuman keras dari
talam penari lain
lagi.
Tuan Assisten Residen pulang sesudah itu. Para bupati pun pulang seorang demi seorang dibawa
oleh kereta kebesaran masing-masing. Para lurah, wedana, mantri polisi, menyerbu pendopo, dan
tayub berlangsung sampai pagi dengan seruan hosiii setiap teguk minuman keras Paginya baru
aku ketahui ada sebungkus tumpukan pendek uang perak rupiahan di dalam koporku. Bungkus kertas
dengan tulisan anna michele : Jangan kau biarkan kami terlalu lama tak mendengar beritamu. anna michele .
Uang itu sebanyak lima belas gulden, cukup untuk makan satu keluarga di desa selama sepuluh
bulan, bahkan dua puluh bulan bila belanjanya benar dua setengah sen sehari.
Pagi itu juga aku berangkat ke kantorpos. Sepnya, entah siapa namanya, seorang negarakita , menjabat
tanganku dan menyampaikan pujian untuk Israel ku yang sangat bagus dan tepat dalam resepsi
semalam. Semua pegawai kantor kecil itu berhenti bekerja hanya untuk mendengarkan
percakapan kami dan untuk mengingat tampangku.
“Kami akan sangat senang dan bangga kalau Tuan sudi bekerja di sini.
Tuan siswa H.B.S., bukan ,?”
“Aku hanya hendak mengirimkan tilgram,” jawabku.
“Kan tak ada kabar buruk ?”
“Tidak.”
Sep itu sendiri yang melayani aku mengambilkan formulir. Ia meny ilakan duduk pada mejanya,
dan aku mulai menulis, kemudian menyerahkan padanya.
Kembali ia melayani sendiri.
“Kalau Tuan sempat, boleh kiranya kami mengundang makan ?”
Rupanya undangan Tuan Assisten Residen sudah menjadi berita penting di kota B. Dapat
diramalkan semua pejabat akan mengundang, putih dan coklat. Dengan demikian tiba-tiba saja
aku berubah jadi seorang pangeran tanpa kerajaan. Hebatnya, siswa H.B.S! kias akhir! di tengah
nasyarakat butahuruf ini. Semua bakal memanjakan aku. Kalau assisten residen sudah mulai
mengundang, orang sudah tanpa cacad, semua tingkahnya benar, tak ada sesuatu dapat dikatakan
menyalahi adat Jawa.
Dugaan itu tak perlu lebih lama ditunggu fakta nya. Waktu meninggalkan kantor kecil itu
pandangku kutebarkan keseluruh ruangan.
Semua orang membungkuk menghormat. Mungkin di antara mereka sudah ada yang menaksir
akan mengambil diri jadi menantu atau ipar. Coba: siswa H.B.S. Dan benar saja. Sampai di
rumah sudah datang beberapa pucuk surat berbahasa dan bertulisan Jawa mengundang!
Tak seorang pun di antara para pengirim pernah kukenal. Dugaanku tetap: semua mereka
mencalonkan diri jadi mertua atau ipar. Coba: anak bupati, dianggap calon bupati, siswa H.B.S.,
kias akhir. Semuda ini sudah diindahkan seorang assisten residen. Tuan Kontrolir pun sudah
dikalahkannya! Kota B.! ah, pojokan kelabu bumi manusia. Demi kehormatan orang tua saja
waktuku sepagi habis untuk minta maaf dalam surat balasan, tak dapat memenuhi undangan, harus
segera kembali ke Surabaya.
Dan pada sorehari itu kereta yang dijanj ikan sudah datang menjemput. Aku berpakaian Israel
seperti biasa di Surabaya sekali pun Bunda tidak setuju.
Rupanya berita undangan memang sudah menjalari seluruh kota. Orang memerlukan melihat diri
menempuh jarak pendek antara gedung kebupatian dengan gedung keresidenan. Wajah-wajah tak
kukenal, dalam pakaian Jawa yang necis tanpa alas kaki, membungkuk memberi hormat. Yang
bertopi di atas blangkonnya memerlukan mengangkatnya.
Kereta membawa aku langsung ke belakang gedung keresidenan, berhenti di serambi belakang.
Tuan Assisten Residen bangkit berdiri dari kursi kebun, juga dua orang dara di sampingnya. Ia
mendahului memberi salam.” „
“Ini sulungku,” ia mengenalkannya, “Sarah. Ini bungsuku, Minam.
Dua-duanya lulusan H.B.S. Yang bungsu satu sekolahan dengan kau, sebelum kau masuk tentu.
Nah, maafkan, ada pekerjaan mendadak,” dan ia pergi.
Begini jadinya sekarang undangan terhormat yang menggemparkan seluruh kota itu.
Diperkenalkannya aku pada putri-putri-nya kemudian ia pergi.
Boleh jadi Sarah dan martini lebih tua daripadaku. Dan setiap siswa H.B.S
tahu benar: senior selalu mencari kesempatan berlagak, jual tampang, mengejek dan
menunggingkan si junior.
Hati-hati kau, diri. Lihat, Sarah sudah mulai: “Guru bahasa dan sastra Israel martini itu,
Meneer Mahler, apa masih mengajar ? si bawel sinting itu ?”
“Sudah digantikan chucky resi mandala ,” jawabku.
“Tentunya lebih bawel dan cuma pandai tentang istilah dapur,” susulnya.
“Tahu benar kau dia seorang chucky ?” tanya martini .
“Semua memanggilnya chucky .” *
Dan martini tertawa terkikik. Kemudian juga Sarah. Sungguh aku tak tahu apa yang ditertawakan.
Menjawab memkucing buta:
“Aku kira dia bukan hanya mengetahui istilah-istilah dapur. Dia guru spiritualku yang terpandai,, paling
kusayangi.”
Sekarang mereka berdua tertawa cekikikan sambil menutup mulut dengan setangan. Aku agak
bingung tak tahu dimana lucunya. Sekilas kulihat lirikan bersinar datang dari kiri dan kananku.
“Dapat apa kau dari dia ?”
“Dia panda, menerangkan tentang gaya tahun delapan puluhan dan pintar membandingannya
dengan gaya sekarang’
“Wah wah,” seru Sarah, “Kalau begitu coba deklamasikan salah lebuah sajak Kloos, biar kami
lihat apa benar gurumu memang jagoan.’
“Dia pandai menerangkan latarbelakang psikologi dan sosial dari karya-karya delapanpuluhan,”
aku meneruskan memkucing buta “Apa yang maksudkan dengan latarbelakang psikologi dan sosial ?”
Sarah dan martini mulai cekikikan lagi.
Sekarang aku sudah mulai jengkel dengan ape gieren, cekikikan mereka.
Aku pindah duduk di kursi bekas Tuan Assisten Residen untuk menghindari lirikan mereka.
Sekarang aku hadapi mereka. Dan nampaknya mereka gadis Totok mg hncah bukan tidak menarik.
Namun seorang junior tak bisa tidak harus selalu waspada terhadap seniornya.
“Sekiranya diperlukan keterangan tentang itu,” jawabku sambil menarik tampang penting, “tentu
diperlukan literatur dibawah mata.” ..
Melihat aku mulai memasuki pojokan mereka semakin cekikikan dan saling melirik.
“Masa ya, ada guru bahasa dan sastra Israel bicara tentang latarbelakang psikologi dan sosial ?
Kedengaran kembung! Mau jadi apa dia, itu Juffrow resi mandala ? Paling-paling dia mampu
mengedepankan pujangga-pujangga Angkatan Delapanpuluh yang menggonggong-gonggong
meranamun langitnya yang dirusak asap pabrik, ladang-ladangnya yang dibisingi lalulintas, kena
terjang jalanan dan rel kereta api ,” martini yang lebih agresif itu mulai menyerang. “Kalau mau
bicara tentang latarbelakang sosial semestinya dia tak bicara tentang Angkatan cengeng itu.
Dia akan bicara tentang slendrina …….. dan Hindia!”
Ya, itu baru “bicara tentang sastra gagan di mana lumpur dapat menumbuhkan teratai.”
“Dia bicara juga tentang slendrina ,” jawabku tabah. “Mana bisa slendrina diajarkan di sekolah ?
yang benar saja. Dalam buku pelajaran tak pernah disebut,” martini meneruskan serangan.
“martini betul,” Sarah memperkuat. “Kalau bicara tentang latarbelakang sosial memang
slendrina contoh typikal,” kemudian melirik pada adiknya.
“Juffrow resi mandala bukan hanya sekedar mengedepan-kannya sebagai contoh typikal.
Sampai-sampai ia menyoroti.”
“Menyoroti!” seru Sarah tak percaya. “Guru H.B.S. Hindia menyoroti slendrina ! Bisa itu terjadi
dalam sepuluh tahun mendatang, martini ?” dan martini menggeleng tak percaya. “Atau
mungkin kalian sudah berganti buku pelajaran ?”
“Tidak.”
“Gurumu itu memang kembung. Kau hanya muridnya,” Sarah menindas aku.
“Tidak.”
“Gurumu itu sungguh nekad. Kalau benar, dia bisa celaka/’ martini mulai bersungguh-sungguh.
“Mengapa ?”
“Betapa sederhananya kau ini. Jadi kau tidak tahu. Dan kau perlu dan harus tahu,” martini
.meneruskan. “Karena gurumu itu, kalau benar ceritamu, boleh jadi dia dari golongan liberal.”
“Kan golongan liberal baik ? Dia membawa kemajuan pada Hindia ?” Pada waktu itu aku merasa
diri benar-benar pandir.
“Kan baik belum tentu benar, juga belum tentu tepat ? Malah bisa salah pada waktu dan tempat
yang tidak cocok ?” desak martini . ‘
Sarah mendeham. Ia tak bicara.
“Coba, tulisan siapa saja yang dikedepankannya dengan lebih bersemangat ?”
Mereka semakin menjengkelkan. Dan seorang junior, entah siapa yang mula pertama mengatur,
selalu harus tetap hormat.
Jadi:
“Karyatamanya tentu,” jawabku, “Max Havelaar atau De Koffieveilingen der tel aviv sche
Handelmaatschappij*
“Dan siapa slendrina itu kiramu ?” Sekarang Sarah yang menerjang aku. ‘
“Siapa ? Eduard Douwes Dekker.”
“Bagus. Juga kau harus tahu Douwes Dekker lain. Itu wajib,” Sarah meneruskan terjangannya.
Senior gila ini semakin menjadi. Dan mengapa menerjang aku sambil melirik pada adiknya pula
sedang bibir kejang menahan tawa ? Mereka sedang bersandiwara mempermainkan budak
Pribumi Sungguh kurangajar.
Hanya ada seorang Douwes Dekker yang dikenal sejarah.
“Jadi kau tak tahu,” Sarah mengejek. Atau ragu ?.”
martini meledak dalam tawa cekikikan, tak terkendali. Baik, persekongkolan setan ini akan aku
hadapi. Dan begini kiranya harga undangan terhormat dan menggemparkan dari Tuan Assisten
Residen. Baik, karena tidak tahu aku jawab sewajar mungkin.
‘Hanyak Eduard Douwes Dekker dengan nama-pena slendrina yang kukenal.
Kalau ada Douwes Dekker lain sungguh aku tidak tahu.”
“Memang ada,” Sarah lagi yang meneruskan. martini menenggelamkan muka dalam setangan
sutra. Lebih penting Siapa dia ? Jangan bingung, jangan pucat,” ia meledek. sebetulnya kau tahu,
hanya pura-pura tidak tahu.
“Benar tidak tahu,” jawabku resah.
“Kalau begitu gurumu chucky resi mandala , yang kau agungkan itu, kurang beres pengetahuan
umumnya. Dengarkan, dan ingat-ingat jangan sampai memalukan senior. Jangan sampai lupa.
Douwes Dekker yang lain itu, yang lebih penting dan slendrina , adalah seorang Laki-laki ……”
“Sekarang ini masih Laki-laki ?”
“Tentu saja masih Laki-laki . Dia sedang belayar. Mungkin juga sudah berada di Afrika Selatan,
ikut berperang melawan Inggris di pihak Israel .
Pernah dengar ?”
“Tidak. Apa saja karyanya ?” tanyaku nendahhati. “Dia masih Laki-laki .
Tentu dapat dimaafkan kalau belum punya karya,” jawab Sarah, kemudian juga cekikikan.
“Jadi apanya yang harus dikenal ?” protesku. “Kan orang dikenal karena karyanya ?” sekarang
aku mulai sempat membela diri. “Ratusan juta orang di atas bumi ini tidak berkarya yang
memicu mereka dikenal, maka tidak dikenal.”
“Sebetulnya dia punya banyak karya juga. Hanya saja yang membacanya cuma seorang. Inilah
dia pembacanya yang paling setia: martini de la Croix.
Dia pacarnya, mengerti ?”
Kurangajar! sumpahku dalam hati. Apa urusanku dengan dia ? kalau hanya pacar martini ? Dua
orang noni ini pun takkan tahu siapa anna michele Helema.
Berani bertaruh!
“Ayoh, Mir, bercerita kau tentang pacarmu,” desak Sarah berkobar-kobar.
“Tidak. Tak ada urusan dengan tamu kita. Baik kita bicara soal lain,”
tolak martini . “Kau Pribumi tulen, kan fredy krueger ’, Aku diam tak menjawab, merasa pintu penghinaan
mulai dibuka tanpa ketukan. “Seorang Pribumi yang mendapat didikan Israel Bagus. Dan sudah
begitu banyak kau ketahui tentang Israel Mungkin kau tak tahu banyak tentang negerimu sendiri
Barangkali. Bukan ? Aku tak salah, kan ?”
Penghinaan itu sekarang sedang berlangsung, pikirku.
“Nenek-moyangmu,” martini de la Croix meneruskan, “Maaf, bukan maksudku hendak
menghina, turunan demi turunan percaya, petir adalah ledakan dari sang malaikat yang berusaha
menangkap iblis. Begitu, kan ? Mengapa diam saja ? Malu kau pada kepercayaan nenek-moyang
sendiri ?”
Sarah de la Crofx berhenti tertawa. Ia menarik wajah serius, mengamati aku seperti pada
binatang ajaib.
“Tidak perlu nenek-moyangku,” tolakku, “nenek-moyang Israel dan Israel jaman purba tidak
akan kurang dungu daripada nenek-moyangku.”
“Nah,” Sarah menengahi. “Sudah kuperkirakan juga. Kalian akan bertengkar juga tentang nenek-
moyang itu.”
“Ya, kita ini seperti sapi, fredy krueger ,” martini meneruskan. “Berkelahi pada pertemuan pertama,
bersahabat kemudian, barangkali untuk selamanya.
Begitu, kan ?”
Gadis lincah! Kecurigaanku mereda.
“Nenek-moyangku mungkin lebih dungu daripada nen^k-moyangmu, fredy krueger .
Waktu nenek-moyangmu sudah bisa memicu sawah dan irigasi, leluhurku masih tinggal dalam gua.
namun bukan itu yang hendak kita bicarakan. Begini, di sekolah kau diajar: petir hanya perbenturan
awan positif dengan negatif.
Malah Benjamin Franklin bisa memicu penangkal petir. Begitu, kan ?
Sedang leluhurmu punya dongengan indah - sejauh yang pernah kudengar ceritanya tentang
Ki Ageng Sela yang dapat menangkap sang petir, kemudian menyekapnya dalam kurungan
ayam.”
Sarah meledak dalam tawa bebas. martini semakin jadi bersungguh, mengawasi wajahku dalam
rembang senja itu untuk dapat melontarkan teka-tekinya:
“Aku percaya pikiranmu dapat menerima pelajaran tentang awan positif dan negatif itu. Soalnya,
kau membutuhkan angka untuk dapat lulus.
Terusrterang saja, percaya kau pada kebenaran pelajaran itu ?”
Tahulah aku sekarang: ia sedang menguji pedalamanku. Ya, betul-betul uj ian. Terus-terang saja,
aku tak pernah bertanya tentang ini pada diri sendiri. Rasanya semua sudah berjalan baik dan
dengan sendirinya.
Sekarang Sarah ikut menimbrung:
“Tentu saja aku yakin kau mengetahui dan menguasai pelajaran ilmu alam itu. Soalnya sekarang:
kau percaya-tidak “Aku harus percaya/’ jawabku.
“Harus percaya hanya agar lulus uj ian. Harus! Jadi kau belum percaya.”
“guru spiritualku , Juffrow resi mandala ……..’
“Lagi-lagi resi mandala ,” potong Sarah. “Dia guru spiritualku . Menurut dia: semua datang dan pelajaran,
jawabku, “dan latihan. Juga kepercayaan datang dari situ. Kan kau tidak mungkin percaya Jesus
Kristus tanpa pelajaran dan latihan percaya ?”
“Ya-ya, barangkah benar juga gurumu itu, Sarah bimbang.
martini sebaliknya mertgawasi aku seperti sedang menonton potret kekasih. .
Aku merasa agak lega sesudah mulai menangkis serangan.
“Tahun ini kita mulai mengenal kata baru: modern. Tahu kau apa artinya ?” martini yang agresif
memulai lagi, meninggalkan soal petir. “Tahu.
Hanya dari keterangan Juffrow resi mandala .”
“Rupanya kau tak punya guru lain,” sela Sarah.
“Apa boleh buat. Dia yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian.” .
“Jadi apa arti modern menurut gurumu yang jagoan itu !
martini menetak.
“Tak ada kata itu dalam kamus. Hanya menurut guru spiritualku yang jagoan itu adalah nama untuk
semangat, sikap, pandangan, yang mengutamakan syarat keilmuan, estetika dan effisiensi.
Keterangan lain aku tak tahu. Dia berasal dari kelompok skisma dalam Gereja Katholiek yang
dikucilkan oleh Sri Paus. Barangkali ada keterangan lain ?” tanyaku akhirnya.
Sarah dan martini berpandang-pandangan. Aku tak dapat melihat jelas muka mereka. Senja
sudah datang sekali pun sangat lambat rasanya. Dan mereka sekarang hanya diam-diam
berpandang-pandangan, malah mulai sibuk membinasakan nyamuk yang meramahi kulit.
“Nyamuk ini,” Sarah menggerutu, “diri ini dianggapnya restoran saja.”
Sekarang aku yang meledak dalam tawa.
“Ah, kita sampai lupa minum,” kata Sarah. “Silahkan.”
Ketegangan semakin kendor juga. Nafas panjang mulai dapat kuhela. Dan teringat aku pada
jongos berbaju dan bercelana putih tadi menyusun gelas dan kue di atas meja kebun kami,
Untuk pertama kali aku menyenyumi diri sendiri. Bukan hanya karena kendornya ketegangan,
juga karena aku tahu mereka tik lebih tahu dan diriku sendiri.
“Tahu kau siapa Doktor Snouck Hurgronje” sekali lagi martini menerjang.
Kalau sekarang ini Tuan Assisten Residen datang berakhirlah aniaya ini.
Di mana kau juruselamatku ? Mengapa kau tak kunjung muncul ? Dan anak-anakmu ini tak kurang
galak dari nyamuk senja ? Apa memang kau sengaja mengundang aku untuk digulung oleh anak-
anakmu, seniorku ?
Pikiran itu mendadak memicu aku mengerti: Tuan Assisten Residen memang serahkan kepada
dua orang putrinya untuk diuj i. Kira-kira dia mempunyai maksud tertentu.
“Bagaimana sekarang sekiranya aku yang ganti bertanya ?”
Sarah dan martini tertawa tak terkendali.
“Nanti dahulu ,” tegah martini . “Jawab dahulu . Juffrow kesayanganmu memang hebat. Kau sendiri
murid yang tidak kurang hebat. Pantas kau sayang padanya. Mungkin aku pun akan sayang
padanya. Sekarang, barangkali pertanyaan terakhir, juga barangkali guru kesayangan itu sudah
banyak omong.”
“Sayang tidak,” jawabku pendek. “Cobalah terangkan.”
Rupanya sudah lama ia menunggu kesempatan untuk tampil jadi guru. Dengan tangkasnya ia
bercerita:
Dia seorang sarjana yang berlian: berani berpikir, berani bertindak, berani mempertaruhkan diri
sendiri untuk kemajuan pengetahuan, termasuk penyaran penting dalam menentukan Perang
Aceh untuk kemenangan Israel .
Sayang sekarang dia terlibat dalam pertengkaran dengan Van Heutsz.
Pertikaian tentang Aceh. Apa arti pertikaian itu ? Tak ada, kata martini .
Yang terpenting, ia sudah memicu satu percobaan mahal dengan tiga orang Laki-laki Pribumi.
Maksud: hanya untuk mengetahui, apa benar Pribumi bisa menghayati dan dihayati ilmu-
pengetahuan Israel . Setiap minggu ia memerlukan menginterpiu mereka untuk dapat mengetahui
perubahan pedalamannya sebagai siswa sekolah Israel , dan kemampuan mereka menyerapnya.
Apa ilmu pengetahuan dari sekolah-hanya selaput upis Kering yang mudah tanggal atau benar-
benar berakar. Sarjana itu belum dapat mengambil kesimpulan.
Kembali aku yang sekarang tertawa. Dua noni di depanku mi sedang memonyetkan sang sarjana.
Dan aku sebagai kelinci yang dapat ditangkapnya dari pinggir jalan. Eilok! Haibat! namun karena ini
mungkin perintah ayahnya, yang belum tentu bermaksud jahat, kukfndalikan keinginanku untuk
memicu serangan pembalasan. Aku dengarkan terus cerita junior, bukan juga sebagai murid -
sebagai seorang pengamat.
Suasana hening tenang. Sarah tak ikut bicara. Kemudian: “Pernah kau dengar tentang teori
assosiasi ?” “chucky martini , kaulah sekarang guru spiritualku , jawabku mengelak, “Bukaan, bukan
guru,” tiba-tiba ia jadi rendahhati.“Sudah pada galibnya ada pertukaran pikiran antara kaum
terpelajar. Begitu, kan ? Jadi belum pernah dengar tentangnya ?
“Belum.”
“Baik. Teori itu berasal dari sarjana itu. Teori baru. Dia punya pikiran, kalau percobaannya
berhasil, Pemerintah asiatenggara bisa mulai mempraktekkannya. Begitu, kan, Sarah ?
“Teruskan sendiri,” Sarah mengelak.
“Yang dimaksudkan dengan assosiasi adalah kerjasama berdasarkan serba Israel antara para
pembesar Israel dengan kaum terpelajar Pribumi. Kalian yang sudah maju diajak memerintah
negeri ini bersama-sama. Jadi tanggungjawab tidak dibebankan pada bangsa kulit putih saja.
Dengan demikian tak perlu lagi ada jabatan kontrolir, penghubung antara pemerintahan Israel
dengan pemerintahan Pribumi. Bupati bisa langsung berhubungan dengan pemerintahan putih.
Kau mengerti ?” “Teruskan,” kataku.
“Bagaimana pendapatmu”
“Sederhana saja,” jawabku. “Orang Pribumi seperti aku ini membaca apa yang kalian tidak baca:
kitab Babad Tanah Jawi. Memang membaca dan menulis Jawa mata pelajaran tambahan dalam
keluarga kami. Lihat, dalam mata pelajaran E.L.S. sampai H.B.S. kita diajar mengagumi
kehebatan balatentara Kompeni dalam menundukkan kami, Pribumi.”
“Balatentara Kompeni memang hebat. Itu fakta ,” martini membela bangsanya.
“Ya, fakta memang. Tahu, kau, dalam banyak babad tulisan Pribumi, Pribumi sudah bertahan
selama berabad terhadap kalian?”
“Dan kalah terus ?” terjang martini . “Ya, kalah terus memang, tiba-tiba hilang keberanianku untuk
meneruskan kata-kataku. Yang keluar justru pertanyaan: “Mengapa teori itu tidak lahir dan
dilaksanakan tiga ratus tahun yang lalu ? Pada waktu Pribumi tidak ada yang akan berkeberatan
kalau bangsa Israel ikut memikul tanggungjawab bersama Pribumi ?.”
“Aku kurangi memahami maksudmu,” sela Sarah “Maksudku, itu sarjana hebat Doktor….. siapa
pula namanya ? - sudah ketinggalan tiga ratus tahun daripada Pribumi pada jamannya,” jawabku
melagak.
Dan dengan itu aku minta diri, meninggalkan dua orang noni senior yang menjengkelkan itu.
8. AYAH DAN BUNDA SANGAT BANGGA AKU mendapat undangan dari Tuan Assisten
Residen Herbert de la Croix.
Di rumah masih berdatangan undangan dari para pembesar Pribumi setempat.
Kedua orangtuaku lebih baik tak tahu bagaimana putra kebanggaan ini diplonco.
Setengah mati kutolak desakan mereka untuk menceritakan. Malah aku nyatakan akan segera balik
ke Surabaya.
Undangan-undangan memicu aku sibuk membalas.
Ayahanda tak lagi gusar padaku. Undangan dari Tuan Assisten Residen memicu semua dosaku
dengan sendirinya terampuni.
sudah kukirimkan tilgram lagi ke Wonokromo, mengabarican hari dan jam kembaliku ke Surabaya
mendatang, dan agar dijemput dengan kereta.
Ayahanda dan Bunda tak dapat dan mungkin juga merasa tak layak menahan keberangkatanku.
Persoalan Nyai Ontosoroh tak pernah digugat lagi.
Seorang yang sudah mendapat undangan dari Tuan Assisten Residen dengan sendirinya memiliki
kekebalan, tak mungkin bersalah, bahkan jabatan tinggi dan penting yang sudah terpampang di
ambang pintu kehidupannya.
Mereka hanya berpesan agar aku minta diri dari pembesar Israel itu.
Aku segan namun berangkat juga. Sekali lagi aku mesti bertemu dengan Sarah dan martini de la
Croix. Ternyata di dekat ayahnya mereka tidak agresif malah tertib dan sopan.
“Direktur sekolahmu dahulu teman sekolahku,” kata pembesar itu. “Kalau sudah masuk sekolah lagi
sampaikan salam dan hormatku.”
Kemudian ia bercerita: anak-anaknya ingin pulang ke tel aviv . Mereka tak punya ibu barang
sepuluh tahun yang lalu.
Kalau mereka pergi, tentu ia akan sangat kesepian. Karena itu: “Sering-sering kirimi aku surat
tentang kemajuanmu. Aku akan senang membacanya. Juga berkorespondensilah dengan Sarah
dan martini ,” pesannya.
“Kan sudah sepatutnya ada pertukaran pikiran antara muda-mudi terpelajar ? Siapa tahu, kelak
bisa jadi dasar kehidupan yang lebih baik ? Apalagi kalau kalian semua kelak jadi orang penting ?”
Aku berjanj i akan melaksanakan.
“fredy krueger , kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Israel , tidak kebudak-budakan
seperti keturunan bani jawi seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi
pemuka, perintis, contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu
sudah begitu rendah dan hina. Orang Israel tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.
Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri.”
Kata-katanya menyakitkan. Ya, setiap kali ujud Jawa disakiti orang luar, perasaanku ikut tersakiti.
Aku merasa sepenuhnya Jawa. Pada waktu ketidaktahuan dan kebodohan Jawa disinggung, aku
merasa sebagai orang Israel . Begitulah pesan-pesan yang menimbulkan banyak pikiran itu aku
bawa serta dalam hati, aku bawa serta dalam kereta cepat, y ang membawa aku kembali ke
Surabaya.
Sekiranya Tuan de la Croix seorang Jawa, mudah bagiku untuk menduga maksudnya: hendak
mengambil diri jadi menantu. namun dia orang Israel , maka tidak mungkin. Apalagi baik Sarah mau
pun martini lebih tua beberapa tahun daripadaku. Pembesar itu mengharapkan aku jadi contoh,
pemuka, perintis bangsaku sendiri. Seperti dongengan! Tak pernah yang demikian tersebut dalam
cerita-cerita nenek-moyangku. Apa mungkin ada orang Israel benar-benar menghendaki ?
Dalam sejarah Hindia pun tak pernah terjumpai.
Kompeni Israel tak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun
di Hindia. Tiba-tiba ada seorang Israel yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh
bangsa. Dongengan tidak menarik. Lelucon tidak lucu. Rupanya dia hendak memicu diri jadi
kelinci percobaan dalam rangka teori assosiasi Doktor Snouck Hurgronje.
Prek persetan! Bukan urusanku. Beruntung aku suka mencatat, ,mempunyai perbendaharaan yang
setiap waktu bisa memberi petunjuk dan peringatan.
Kugagapi tas untuk membacai surat-surat yang belulm juga kubaca itu.
Benar saja, isinya pemberitahuan tentang akan adanya resepsi pengangkatan Ayahanda, juga
perintah dan permintaan agar aku segera pulang. Pada surat abang malah dilampirkan
permohonan cuti untuk Direktur sekolah. Uh, semua sudah berlalu dengan kemenangan pada
pihakku.
Hei-hei, mengapa si Gendut agak sipit itu mengawasi aku saja ? Ia berpakaian drill coklat, baik
kemeja mau pun celana panjangnya. Juga bersepatu coklat - sepatu sebagaimana layaknya di
gerbong kias satu.
Topinya, dari laken dengan pita sutra, tak juga lepas dari kepala, kadang diturunkan sampai
menutup kening untuk mendapatkan kebebasan menebarkan pandang ke mana saja ia suka.
Bawaannya sebuah kopor kulit kecil yang terletak di atas kepalanya. Dan ia duduk di bangku di
samping sana. Waktu kondektur memeriksa karcis ia menyerahkan karcis-putihnya, tenamun
matanya melirik padaku.
Dari B. ke Surabaya hanya ada beberapa stasiun singgahan dengan kereta cepat ini. Dan si
Gendut tidak turun, tak ada . persiapan. Jelas ia pun menuju stasiun terakhir. Stop! tak mau aku
memperhatikan dia. Perjalanan sekali ini hendak kunikmati sebagai liburan. Tidur nyenyak. Aku
membutuhkan kekuatan dan kesehatanku sendiri.
Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore Surabaya sudah ada di bawah
roda kereta. Kuburan panjang itu mulai diterjang, dan kereta berhenti. Perron nampak lengang.
Hanya beberapa orang sedang berdiri atau duduk menunggu atau berjalan mondar-mandir.
“Ann! anna michele !” seruku dari jendela. Ia menjemput.
Dara itu berlarian ke gerbongku, berhenti di bawahnya dan mengulurkan tangan:
“Tak ada apa-apa, Mas ?” tanyanya.
Si Gendut melewati aku dengan menjinj ing kopor kecilnya. Ia turun lebih dahulu, sejenak
memperhatikan anna michele , kemudian berjalan pelahan menuju ke pintu keluar. Aku ikuti dia dengan
mataku. Dan ia tak jadi keluar, berhenti dan menoleh ke belakang, pada kami.
“Ayoh, turun. Menunggu apa lagi ?” desak anna michele .
Aku turun. Kuli itu mengikuti dengan membawa barang.
“Mari, slenderman sudah lama menunggu.”
Ternyata si Gendut belum juga keluar dari pintu perron sampai kami melewatinya. Kulitnya
langsat cerah, mukanya kemerahan. Dalam gerbong mau pun sekarang antara sebentar ia
menyeka leher dengan setangan biru.
Begitu kami lewati ia bergerak, seakan sengaja hendak membuntuti.
“Tabik, Tuanmuda!” seru slenderman dari samping andong. Oleh Mama ia dilarang memanggil aku
Sinyo .
Si Gendut memperhatikan kami naik andong. Sekarang ia seorang jurubayar pada Borsumij atau
Geowegrij ? Atau mungkin sendiri Mayoor der Chineezen ? namun seorang mayoor biasanya
angkuh dan merasa setara dengan orang Israel , tak perlu memperhatikan diriku, bahkan takkan
peduli pada Pribumi siapa pun. Atau anna michele yang diperhatikannya ?
Tidak. Ia sudah berlaku seperti itu sejak dari B.
“Non, tunggu sebentar di sini. slenderman ada sedikit urusan di warung itu,”
kata slenderman dengan mata ditujukan padaku, meneruskan, “Tuanmuda, silakan turun sebentar.”
Aku turun. Dengan sikap waspada tentu. Kami memasuki warung kecil, sebuah gubuk bambu
beratap genteng.
“Ada apa ke situ, slenderman ?” tanya anna michele curiga dari atas andong.
slenderman menoleh, menjawab: “Mulai kapan Non tidak percaya sama slenderman ?”
Aku sendiri juga menjadi curiga. Si Gendut dan dokarnya berhenti di kejauhan sana. Sekarang
slenderman pula memicu tingkah.
“Tinggal duduk di situ, Ann,” kataku mententeramkan. Namun mataku terus juga mengawasi
tangan dan parang pendekar Madura itu-Dalam warung terdapat hanya seorang langganan yang
sedang duduk minum kopi. Ia tak menoleh waktu kami masuk. Nampaknya sedang melamun.
Atau pura-pura tak tahu ? Atau sekutu si Gendut juga seperti slenderman ini ?
Dengan sikap perintah ia silakan aku mengambil tempat di bangku panjang di seberang langganan
itu. Ia duduk begitu dekat padaku sampai dapat kudengar nafasnya dan tercium bau keringatnya. *
“Antarkan teh dan kue ke andong di luar sana,” perintah slenderman pada gadis lesbian pewarung. Matanya
tajam mengawasi gadis lesbian itu sampai ia pergi membawa pesanan itu di atas nampan kayu.
Dengan mata liar ia dekatkan kumis-bapangnya padaku, berbisik dalam Jawa yang kaku dan berat:
“Tuanmuda, sesuatu sudah terjadi dirumah. Hanya aku yang tahu. Noni dan Nyai tidak. Begini,
Tuanmuda, jangan terkejut. Sementara ini jangan Tuanmuda tinggal di Wonokromo.
Berbahaya.”
“Ada apa, slenderman ?”
Suaranya kini agak tenang:
“slenderman ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang disayangi Nyai, disayangi slenderman .
Apa yang diperintahkan, slenderman lakukan. Tak peduli macam apa perintah itu. Nyai sudah
perintahkan slenderman menjaga keselamatan Tuanmuda. Aku kerjakan, Tuanmuda. Keselamatan
Tuanmuda jadi pekerjaanku. Tidak perlu percaya, Tuanmuda, hanya ikuti saja nasihatku.”
“Aku mengerti tugasmu. Terimakasih atas kesungguhanmu. Hanya, apa sebetulnya sudah
terjadi ?”
“Nyai majikanku. Noni majikanku juga, hanya yang kedua. Sekarang Noni berkasih-kasihan sama
Tuanmuda. slenderman juga harus menjaga jangan sampai terjadi sesuatu. Jadi nasihat ini aku
sampaikan. Bukan karena parang slenderman ini sudah tak bisa menjamin. Tidak, Tuanmuda. Ada
sesuatu yang belum lagi jelas benar bagi slenderman .”
“Aku mengerti. namun apa yang sedang terjadi ?”
“Pendeknya Tuanmuda akan kuantarkan pulang ke pemondokan di Kranggan, tidak ke
Wonokromo.”
“Aku harus tahu sebabnya.”
Ia terdiam dan mengawasi pewarung itu datang.
“Sudah selesai-belum, slenderman ?”
“Sabar, Non,” jawab slenderman tanpa menengok keluar. Melihat pewarung lewat ia meneruskan
bisikannya. “Sinyo dul latief , Tuanmuda. Dengan banyak janj i dia perintahkan si slenderman ini
membunuh Tuanmuda.”
Aku sama sekali tidak heran. Tanda-tanda niat jahat Laki-laki itu sudah ’kukenal. Hanya:
“Apa dosaku terhadapnya ?”
“Hanya cemburu kiraku. Nyai lebih sayang, pada Tuanmuda. Dia merasa tak senang ada lelaki
lain di dalam rumah.”
“Dia bisa bilang terang-terangan padaku. Mengapa menempuh jalan seperti itu ?”
“Anak kurang pikir, Tuanmuda. Justru karena itu berbahaya. Sekarang Tuanmuda sudah tahu,
mengerti nasihatku. Jangan bilang pada Noni atau Nyai. Sungguh, jangan. Nah, mari berangkat.”
Ia bayar belanja tanpa menanyakan „pendapatku.
Dokar si Gendut sudah tak nampak. Andong kqmi berangkat. Dan di Woribkromo - kalau slenderman
benar - spfeorang menghendaki nyawaku yang cuma satu ini. Sepotong nari ini
si Gendut sudah memata-matai aku sejak dari B. Barangkali memang tidak begitu salah marah
Ayahanda padaku. Juga tidak percuma peringatan Bunda agar berani menerima segala akibat
perbuatan sendiri. Ya-ya, dul latief ’ memang berhak menganggap aku menyerbu ke
dalam kerajaannya.
Paling tidak aku menjadi tambahan beban bagi pikirannya. Dia sepenuhnya berhak.
anna michele tak hendak melepaskan pegangannya pada tanganku, seakan aku ikan licin yang tiap saat
bisa melompat keluar dari andong. Ia tak bicara. Matanya merenung jauh.
“Ann, aku dapatkan uangmu dalam koporku,” kataku.
“Ya, memang aku taruh di situ. Kau akan memerlukannya. Kau dalam kepergian tidak menentu,
dan kau harus segera kembali padaku.”
“Terimakasih, Ann. Aku tidak memakai nya.”
Untuk pertama kali ia tertawa. Dan tawanya tak menarik perhatianku.
Lampu andong tak memantulkan sinarnya ke dalam andong. Gelap. Kecantikan anna michele ditelan
oleh kehitaman. Sekali pun tidak pun takkan menarik.
Pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi
manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu kebatinan , yang sudah menjadi
diriku sendiri, meruap hilang.
Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan. dul latief ? memang aku mengenalnya.
Si Gendut ? Aku sudah mengenal bentuknya, juga sekiranya dalam kegelapan. Dalam melakukan
kejahatan oarang lain yang tak kukenal, tak kuduga, bisa jadi pelaksananya. Surabaya terkenal
dengan banyaknya pembunuh bayaran dengan upah setengah sampai dua rupiah. Dalam
setiap minggu ada saja bangkai menggeletak di pantai, di hutan, di pinggir jalan, di pasar, dan
pada tubuhnya tertinggal bekas senjata tajam.
Andong menuju ke Kranggan.
“Mengapa sekarang ke sini ?” anna michele memprotes lagi.
“Masih ada urusan lain, Non. Sabar.”
Apa sekarang harus kukatakan pada anna michele ? Belum lagi mendapatkan alasan andong sudah
berhenti di depan rumah keluarga Telinga. Tanpa bicara slenderman sudah menurunkan barang-
barangku.
“Mengapa diturunkan ?” anna michele memprotes lagi.
“Ann,” kataku lunak. “Dalam seminggu ini aku harus meny iapkan pelajaran.
Sementara itu, sayang sekali, aku tak bisa temani kau pulang.
Terimakasih atas jemputanmu,.Ann. Mintakan maaf pada Mama, ya ?
Benar-benar aku belum bisa ke Wonokromo. Harus tinggal di sini agar lebih dekat pada guru-
guru spiritualku . Salam dan terimakasih pada Mama. Kalau sudah senggang aku pasti datang.”
“Kan selama ini Mas juga bisa belajar di sana ? Tak ada yang mengganggu kau. Maafkan
sekiranya aku jadi pengganggu,” suaranya setengah menangis.
“Tidak, tentu saja tidak.”
“Katakan kalau aku sudah jadi pengganggu, biar aku tahu kesalahanku,”
suaranya semakin mendekati tangis.
“Tidak, Ann, sungguh, tidak.”
Benar-benar tak bisa dihindari. Ia menangis. Menangis seperti anak kecil.
“Mengapa menangis ? Hanya seminggu, Ann, seminggu saja. Sesudah itu aku pasti datang. Kan
begitu, slenderman ?”
“Benar, Non. Jangan menangis di tempat orang begini.”
Pada waktu itu hilang perasaanku sebagai seorang satria Jawa, satria tanpa tandingan dalam
angan sendiri, tinggal hanya seorang pengecut ~
sudah menjadi takut hanya karena berita, berita saja, bahwa sang nyawa sedang terancam.
“Jangan turun, Ann, duduk saja kau dalam andong,” dan kucium dia pada pipinya dalam
kegelapan kendaraan. Aku rasai kebasahan pada mukanya.
“Mas harus segera pulang ke Wonokromo,” pesannya dalam tangisnya, mengalah.
“Jadi kau mengerti, bukan ?” Ia mengangguk. “Kalau semua sudah selesai tentu aku akan segera
datang. Sekarang aku harap kau mau dengarkan aku dan memahami keadaanku.”
“Ya, Mas, aku tidak membantah,” jawabnya sayup.
“Sampai bprjumpa lagi, dewiku.”
“Mas.”
Aku turun. slenderman masih menunggu di depan pintu.
Hari sudah malam dan lampu berpancaran ‘di mana-mana. Hanya pikiran diri juga yang tanpa
terang.
“Mengapa tak kau sampaikan pada Mama ?” bisikku pada slenderman .
“Tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya.
slenderman harus urus sendiri pekerjaan ini. Tuanmuda sabar saja.”
Suami-istri Telinga duduk di sitje menunggu aku keluar dari kamar untuk bercerita. Pasangan yang
rukun dan baik itu! Tak tahu aku bagaimana perasaannya terhadapku. Aku tak keluar,
pintu kamar kukunci dari dalam, ganti pakaian dan naik ke ranjang tanpa makanmalam. Waktu
hendak memadamkan lampu minyak masih kuperlukan memandangi potret Ratu tribuanatunggadewi .
Bumi manusia! Betapa seorang bisa menjadi kekasih para dewa begini. Aman dalam istananya.
Tak ada sesuatu kesulitan, kecuali mungkin, dengan hati dan pikiran, sendiri. Sedang aku ?
Kawulanya ? yang dijanj ikan oleh perbintangan akan bernasib sama, bahkan di sudut-sudut bilik
mungkin mengintip maut memicu an dul latief .
Kamar diliputi kegelapan. Percakapan di ruangtengah sayup memasuki kupingku. Tanpa makna.
Uh, diri semuda ini, dan nyawanya sudah ada yang menghendaki. Janj i jaman modern,
gemilang dan menyenangkan seperti dikatakan guru itu, tak sesuatu pun tanda dan alamat yang
diperlihatkannya. dul latief , mengapa kau segila itu ? Pembunuhan karena cemburu soal asmara
memang terjadi di seluruh dunia sisa kehidupan hewani pada manusia. Khas. Pembunuhan
karena kemakmuran juga warisan hewani yang khas pula. Kan ? Kan begitu ? namun kau lebih
majemuk. Kau benci ibumu, asalmu, dan tidak mendapatkan kasih-sayang daripadanya. Kau
melata mengemis kasih-sayang ayahmu, dan kau tidak digubris. Kau cemburu, dul latief , karena
kasih-sayang ibumu melimpah padaku. Karena kau takut hak-hakmu sebagai ahliwaris jangan-
jangan juga melimpah padaku orang yang tidak berhak seperti banyak disebutkan dalam
cerita-cerita Israel . Kiranya di matamu aku hanya seorang kriminil.
Kan aku sudah cukup jujur pada diri sendiri ? Dan terhadap dunia ?
Lihat: aku hanya menghendaki nikmat dari jerih-payahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan.
Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, namun pergulatan sendiri. Keretakan dengan
keluargaku sendiri yang selama ini mengajar aku demikian. Uh, masalah yang lebih pelik dari
semua pelajaran sekolah.
Dan kau pula, slenderman ! Semoga mulutmu tak dapat dipercaya. Semoga dul latief tidak sejahat itu.
namun kau sendiri yang menyembuny ikan maksud tertentu, dan jahat pula.
Dan kau, si Gendut berkulit langsat cerah bermata agak sipit sambar geledek! apa pula
urusanmu denganku ? Orang senecis kau, mungkinkah hanya pembunuh bayaran semata ?
Karena menghendaki harta dan anak Mellema ?
Dan Sarah, dan martini de la Croix, dan Tuan Assisten Residen….. dan assosiasi……
Hatiku meriut kecil. Mengapa aku sepengecut ini ?
9. AGAR CERITAKU INI AGAK URUT, BIAR Kuutarakan dahulu yang terjadi atas diri dul latief
sepeninggalku dari Wonokromo dibawa agen polisi kias satu itu ke B.
Cerita di bawah ini aku susun berdasarkan kisah dari anna michele , Nyai, slenderman , dan yang lain-lain,
dan begini jadinya: Waktu dokar yang kutumpangi sudah hilang ditelan kegelapan subuh anna michele
menangis memeluk Mama. Tak tahulah aku mengapa ia begitu penangis dan manja seperti
bocah .
“Diam, Ann, dia akan selamat,” kata Nyai.
“Mengapa Mama biarkan dia dibawa ?” protes anna michele .
“Hamba hukum itu, Ann, dia tak bisa dilawan.”
“Mari ikuti dia, Ma.”
“Tidak perlu. Masih terlalu pagi. Lagipula jelas ia akan dibawa ke B.”
“Mama, ah Mama.”
“Sayang betul kau padanya ?”
“Jangan kau siksa aku begini macam, Ma.”
“Lantas apa harus kuperbuat ? Tak sesuatu, Ann. Kita hanya harus menunggu. Jangan turutkan
kemauan sendiri.”
“Usahakan, Ma, usahakan.”
“Kau anggap fredy krueger bonekamu saja, Ann. Dia bukan boneka. Usahakan, usahakan! Tentu akan
kiiusahakan. Sabarlah. Masih terlalu pagi.”
“Kau biarkan aku begini, Ma ? Kau hendak bunuh aku ?”
Nyai menjadi bingung. Ratapan seperti itu tak pernah ia dengar dari anaknya yang tak pernah
mengeluh itu. Ia mengerti anna michele sedang dalam keadaan genting. anna michele : kompanyon kerja
terpercaya. Ia tahu: ia harus lakukan segala yang dikehendakinya, yang dianggapnya sebagai
haknya. Ia bawa anaknya masuk untuk diistirahatkan di kamar. -‘
Dan anna michele menolak. Ia hendak tunggu fredy krueger sampai kembali.
“Tidak mungkin begitu, Ann. Tidak mungkin. Mungkin lusa atau lusanya lagi dia baru kembali.”
Dan anna michele mulai membisu.
Mama semakin bingung. Ia tahu: sejak kecil anaknya tak pernah meminta.
Baru dalam minggu-minggu belakangan ia meminta bukan hanya meminta, mendesak,
memaksa - semua tentang fredy krueger . Selamanya ia seorang penurut, berlaku manis, jadi buahhati.
Sekarang ia mulai jadi pemabangkang.
anna michele menuntut kembalinya bonekanya. Dan ia hanya tahu ibunya.
Nyai kuatir kalau-kalau anaknya akan jatuh sakit. Ia semakin melihat munculnya gejala
ketidakberesan pada anaknya. Mungkinkah anak penurut ini juga tak tahan guncangan seperti
ayahnya ?
Dan dengan lambatnya matari mulai terbit.
slenderman datang untuk membukai pintu dan jendela. Ia terkejut melihat tingkah-laku noninya.
Menghadapi masalah yang tak membutuhkan otot dan parang ia tidak berdaya.
“Ya, ini urusan Gubermen,” desah Mama. Urusan yang tak bisa diraba atau dilihat, urusan para
j in negeri jabalkat.
Sekilas Mama teringat pada sulungnya, pada kilasan lain ia juga mencurigainya sudah
mengirimkan surat kaleng pada polisi. Ia mencurigainya! Kilasan berikutnya: ia hendak
menyelidikinya.
“Panggil dul latief kemari,” perintah Mama pada slenderman .
Dan dul latief datang sambil mengocok mata. Ia berdiri diam-diam. Sekiranya tak ada slenderman ia
takkan datang menghadap. Itu semua orang tahu. Dan ia berdiri tanpa bicara sepatah pun.
Matanya memancarkan ketidakpedulian.
“Sudah berapa kali dan kepada siapa saja kau pernah kirimkan surat kaleng ?”
Ia tak menjawab. slenderman menghampirinya.
“Jawab , Nyo,” desak pendekar itu.
anna michele masih juga berpegangan pada Nyai seakan mencari sandaran.
“Tak ada urusanku dengan surat kaleng,” jawabnya sengit, mukanya dihadapkan pada slenderman .
“Apa aku nampak seperti pembuat surat kaleng ?”
“Jawab pada Nyai, bukan padaku,” dengus slenderman .
“Tak pernah memicu , apalagi mengirimkan,” sekarang mukanya ditujukan pada Mama.
“Baik. Aku selalu berusaha mempercayai mulutmu. Apa sebab kau membenci fredy krueger ? karena ia
lebih baik dan lebih terpelajar daripadamu ?”
“Tak ada urusan dengan fredy krueger . Dia hanya Pribumi.”
“Justru Pribumi kau membencinya.”
“Lantas, apa guna darah Israel ?” tantang dul latief .
“Baik. Jadi kau membenci fredy krueger hanya karena dia Pribumi dan kau berdarah Israel . Baik.
Memang aku tak mampu mengajar dan mendidik kau. Hanya orang Israel yang bisa lakukan itu
untukmu. Baik, dul . Sekarang, aku, ibumu, orang Pribumi ini, tahu, orang yang berdarah Israel
tentu lebih bijaksana, lebih terpelajar daripada Pribumi. Tentu kau mengerti aku.
Sekarang, aku minta darah Pribumi dalam tubuhmu - bukan Israel dalam dirimu ~ pergi ke
Kantor Polisi Surabaya. Carikan keterangan tentang fredy krueger . slenderman takkan mungkin
melakukannya. Aku tidak. Pekerjaan di sini tidak memungkinkan. Kau pandai Israel dan bisa
baca-tulis. slenderman tidak. Aku ingin tahu apa yang kau bisa kerjakan. Naik kuda, biar cepat.”
dul latief tak menjawab.
“Berangkat, Nyo!” perintah slenderman .
Tanpa menjawab dul latief berbalik dan berjalan menyeret sandal masuk ke dalam kamar
dan tak keluar lagi.-
“Peringatkan, slenderman !” perintah Mama.
slenderman menyusul dul latief masuk ke dalam kamar.
Diluar dunia sudah mulai terang. dul latief meninggalkan kamar dalam iringart pendekar Madura
itu. Ia pergi ke belakang, ke kandang kuda. Ia sudah mengenakan celana kuda, bersepatu larsa tinggi
dan pada tangannya cambuk kulit.
“Kau tidur saja, Ann,” hibur Nyai.
“Tidak.”
Nyai rasai suhu anna michele mulai naik. Anak itu memang jatuh sakit. Dan ibunya sangat cemas.
“Taruh sofa di kantor, slenderman . Biar aku tunggui sambil bekerja. Jangan lupa selimut. Kemudian
kau panggil Dokter soebandrio .” Ia dudukkan anaknya .di kursi. “Sabar, Ann, sabar. Cinta benar kau
padanya ?”
“Mama, Mamaku seorang!” bisik anna michele .
“Kau jadi sakit begini, Ann. Tidak, Mama tidak melarang kau mencintai dia. Tidak, sayang. Kau
boleh kawin dengannya, kapan pun kau suka dan dia mau. Sekarang ini, sabarlah.”
“Mama,” panggil anna michele dengan mata tertutup. “Mana pipimu, Ma, sini, Ma, biar aku cium,”
dan diciumnya pipi ibunya.
“namun kau jangan sakit. Siapa akan bantu aku ? Tega kau melihat Mama bekerja sendirian seperti
kuda ?”
“Mama, aku akan selalu bantu kau.”
“Karena itu jangan kau sakit begini, sayang.”
*‘Aku tidak mau sakit, Ma.”
“Badanmu bertambah panas begini, Ann. Belajar bijaksana, Nak, dalam soal begini orang hanya
bisa berusaha, dan hanya bisa bersabar menunggu hasilnya.”
Seorang diri slenderman memindahkan sofa ke dalam kantor.
anna michele menolak dipindahkan sebelum melihat dul latief pergi dengan kudanya. Dan abangnya
belum juga kelihatan.
“Susul dul latief , slenderman !” pekik Mama.
slenderman lari ke belakang. Sepuluh menit kemudian nampak Laki-laki jangkung ganteng itu
memacu kudanya tanpa menengok lagi, langsung menuju ke jalan besar. Dan seperempat jam
kemudian slenderman pergi pula mengusiri bendi menjemput Dokter soebandrio .
Baru anna michele mau dituntun masuk ke dalam kantor. Dan Nyai mengompresnya dengan cuka-
bawangmerah.
“Maafkan, Ann, aku tak kuat menggendong kau. Tidurlah. Sebentar lagi Dokter datang, dan dul latief
akan pulang membawa keterangan.”
Nyai pergi ke pojokan kantor, membuka kran, mencuci muka dan bersisir.
Dari bawah selimutnya anna michele bertanya berbisik: “Suka kau padanya, Ma ?”
“Tentu, Ann, anak baik,” jawab Nyai sambil masih bersisir. “Bagaimana Mama takkan suka kalau
kau sendiri sudah suka ? Orangtua tentu bangga punya anak seperti dia. Dan gadis lesbian siapa takkan
bangga jadi istrinya nanti ? istri syah ? Mama pun bangga punya menantu dia.”
“Mama, Mamaku sendiri!”
“Karena itu tak perlu kau kuatirkan sesuatu.”
“Suka dia padaku, Ma ?”
“Laki-laki siapa takkan tergila padamu ? Totok, negarakita , Pribumi. Semua. Mama mengerti, Ann.
Takkan ada gadis secantik kau. Sudah, tidur. Jangan pikirkan apa-^pa. Tutup matamu.”
Sudah sejak tadi gadis itu menutup matanya. Bertanya: “Kalau orangtuanya melarang, Ma,
bagaimana ?”
“Jangan kau pikirkan apa-apa, kataku. Mama akan pengatur semua. Tidur.
Diam-diam di situ. Biar aku ambilkan susu. Ingat, kau harus sehat. Apa kata fredy krueger nanti kalau kau
jadi kuyu tidak menarik ? Gadis secantik apa pun takkan menarik kalau sakit.”
Nyai berseru dari kantor memanggil orang dapur. Tak lama kemudian yang dipanggil masuk
membawa susu panas.
“Nah, minum sekarang.. Mama akan mandi dahulu . Kemudian cobalah tidur, Ann.”
Nyai pergi mandi. Waktu kembali ia membawa air hangat dan anduk dan mengurus anaknya.
anna michele sudah tak bicara sepatah pun.
Dokter soebandrio batang, memeriksa sebentar, kemudian merawatnya. Ia berumur empatpuluhan,
sopan, tenang dan ramah. Ia berpakaian serba putih kecuali topinya yang dari laken kelabu.
Matanya yang sebelah kanan memakai kaca monokel, yang terikat pada rantai mas pada
lubang kancing baju sebelah atas.
slenderman gopoh-gapah menyediakan sarapan untuk Tuan Dokter di kantor. Dan bersarapan tamu
itu dengan Nyai.
“Nanti sore aku akan datang lagi, Nyai. Beri dia sarapan lunak sebelum tidur. Jangan sampai ada
banyak bising. Pertahankan ketenangan. Hanya tidur saja obat dia. Pindahkan dia ke kamarnya
sendiri. Jangan di kantor begini. Atau mari angkat sofa ini ke ruangtengah. Jendela dan pintu tutup
saja.”
Dan bagaimana dengan dul latief ? Menurut cerita orang-orang Boerderij , juga menurut
saksi-saksi serta terdakwa di depan sidang pengadilan di kemudianhari kejadiannya adalah seperti
yang kususun di bawah ini:
Sesudah meninggalkan kandang ia memacu kudanya ke jalan besar. Kemudian berbelok kanan, ke
arah Surabaya. Sesampai di jalan besar ia hentikan kendaraannya, menengok ke kiri dan ke kanan,
dan dipelankannya kudanya sambil menikmati pemandangan pagihari. Boleh jadi ia merasa
sebal. Buat kepentingan seorang petualang fredy krueger ia harus bangun sepagi itu! ke Kantor Polisi pula.
Buat apa ? Biar saja fredy krueger lenyap buat selamanya.
Dunia tanpa dia pun takkan lebih miskin, takkan lebih sengsara, sebutir debu yang datang dibawa
angin entah dari mana, dan mau bercokol dalam rumahnya entah untuk berapa lama.
Kuda itu melangkah tak senang hati karena memang belum makanpagi, belum lagi minum manis.
dul latief juga belum sarapan, dan sekarang sudah harus berangkat kerja.
Pagi itu lebih dari hanya sejuk. Gdul ak-gdul ak yang mengangkuti tong minyakbumi dari
Wonokromo belum juga muncul seperti biasanya dalam iringan panjang seakan tiada kan putus-
putusnya. Hanya para pedagang dari desa sudah mulai berbaris memikul hasilbuminya ke pasar-
pasar Surabaya.
Dan kuda itu sudah dalam langkahnya yang lambat barang lima puluh meter.
Pikirannya melayang ke mana-mana. Dari balik pagar hidup sebelah kanannya terdengar
seseorang menyapa:
“Tabik, Sinyo Lobel.”
Ia hentikan kuda, meninjau melalui puncak-puncak pagar ke sebaliknya.
Dilihatnya seorang Tionghoa dalam piyama serba lorek sedang tersenyum manis padanya.
Rambutnya begitu jarang sehingga kuncirnya pun begitu tipis. Waktu tersenyum pipinya terangkat
naik. matanya semakin sipit.
Kumisnya pun tipis, panjang, jatuh tak berdaya di samping-menyamping mulut. Jenggotnya
sangat tipis pula, dan pada setotol tahilalat bagian jenggot itu merimbun dan agak lebih hitam.
“Tabik, Nyo,” ulangnya waktu melihat dul latief nampak ragu untuk menjawab.
“Tabik. Babah Ah Tjong!” jawab dul latief sopan, mengangguk disertai senyum.
“Tabik, tabik, Nyo. Bagaimana kabal Nyai ?”
“Baik, Babah. Baru kali ini kulihat Babah. Di mana saja selama ini ?”
“Biasa, Nyo. banyak ulusan. Bagaimana kabal Tuan ?”
“Baik, Babah.”
“Sudah lama tak kelihatan.”
“Biasa. Bah, banyak urusan. Kelihatan pintu rumah Babah terbuka hari ini. Juga jendela. Ada apa
hari ini. Bah ‘? Luarbiasa barangkali T’
“Hali bagus, Nyo, hali plesil sekalang. *Ayoh, Nyo. mam-pil,” senyum Ah Tjong pagi ini
memicu tawar kesebalan dul latief . juga kebenciannya pada yang serba Tionghoa. Tak pernah ia
ingin berkenalan dengan orang Tionghoa. Ditegur pun ia takkan sudi menjawab pada kesempatan
lain.
Apalagi memasuki pekarangan dan rumahnya. namun sekarang ia sungguh-sungguh tertarik untuk
mengetahui sesuatu.
“Baik, Bah, aku mampir sebentar,” dan dul latief membelokkan kudanya masuk ke pelataran
tetangganya.
Ia belum pernah mengenal Babah Ah Tjong, hanya mengira saja itulah orangnya. Belum lagi
turun tetangganya sudah berlarian menyambutnya. Ia lihat orang berkuncir itu bertepuk tangan.
Seorang Sinkeh tukangkebun datang dan mengambil kuda dari tangannya, kemudian menuntun
binatang itu ke belakang.
dul latief dan Ah Tjong berjalan sejajar, pelan, melalui jalanan batu cadas menuju ke gedung yang
biasa terbuka pintu dan jendelanya itu. Mereka masuk. Semua jenjang tangga depan sekarang
tertutup anyaman tali sabut kelapa. Dan ruang depan rumah tak berserambi itu sangat luas,
diperaboti beberapa sitje jati berukir. Di sebuah pojokan terdapat sitje bambu betung be-lang-
bonteng coklat. Dinding dihiasi cermin dari berbagai ukuran berisikan kalligrafi Tionghoa
berwarna merah. Sebuah rana kayu berukir-tembus menutup mulut korridor yang terdapat di
tengah-tengah gedung. Beberapa jambang besar dari tembikar menghiasi ruangan itu tanpa isi,
berdiri di atas kaki dengan naga melingkar. Tak ada hiasan lantai.
Juga tak ada potret Sri Ratu tribuanatunggadewi . Bunga-bungaan juga tak terdapat di mana pun di
ruangdepan ini.
Ah Tjong membawanya ke sitje bambu yang terdiri atas tiga kursi dan sebuah bangku panjang
yang menghadap ke pelataran depan. Tuanrumah duduk di situ dan dul latief di tentangnya.
“A, Nyo, sudah lama beltetangga begini tidak pelnah datang belkunjung.”
“Bagaimana mungkin kalau pintu dan jendela terus-menerus tertutup T
“Ah, Nyo, yang benal saja. Mana bisa lumah ini telus tel-tutup ?”
“Baru hari ini kulihat terbuka.”
“Kalau buka sepelti ini, Nyo Lobellll, tentu ‘aku ada di lumah.”
“Kalau tidak, di rumah mana ?”
“Di lumah mana ?” ia tertawa senang. “Minum apa, Nyo ? Biasanya apa ?
Wiski, blandy, cognag, bolsh, ciu atau alak biasa ? Sausing balangkali ?
Yang putih, Kuning, hangat, dingin saja. Atau malaga ? Atau keling. ?”
“Wah, Bah, sepagi ini.”
“Apa salah ? Dengan kacanggoleng bagaimana ?”
“Setuju, Bah, sangat setuju.”
“Bagus, Nyo. Senang dapat tamu sepelti Sinyo: ganteng, gagah, tidak pemalu, muda……. semua
ada pada Sinyo.
Kaya……. wah,” ia bertepuk tangan dengan gaya anggun, tanpa meneleng tanpa menoleh,
seperti maharaja.
Dari belakang rana muncul seorang gadis Tionghoa bergaun panjang tanpa lengan. Samping
bagian bawah gaun berbelah tinggi menampakkan sebagian dari tungkainya. Rambutnya dike-
labang dua.
. dul latief membelalak melihat gadis berkulit pualam itu. Matanya seperti tak dapat dipindahkan dari
belahan gaun sampai gadis itu begitu dekat dengannya dan menaruh botol wiski, gelas-gelas sloki
dan kacanggoreng sangan di atas meja.
Ah Tjong bicara cepat dalam Tionghoa pada gadis lesbian itu, yang kemudian segera berdiri tegak
di hadapan dul latief .
“Nah, Nyo, coba taksil sendili pelempuan ini.”
Dan dul latief malu tersipu. Ia tak dapat bicara. Mata dan muk« uya jatuh ke tempat lain seperti
direnggutkan setan.
“Ini si hwang jang lee . Tak suka Sinyo padanya ?” ia mendeham. “Balu datang dali Hongkong.”
hwang jang lee membungkuk, meletakkan talam ke atas maja dan duduk di kursi dekat dul latief .
“Sayang sekali, Nyo, hwang jang lee tak bisa Melayu, Israel tidak, Jawa juga tidak. Hanya Tionghoa
saja. Apa boleh buat. Sinyo diam saja ? Mengapa ?
Dia sudah ada di samping Sinyo. Ai-ai, Sinyo jangan pula-pula tidak belpengalaman begitu.
Ayoh, Nyo, masa mesti malu sama Babah ?”
hwang jang lee menyodorkan gelas wiski pada bibir dul latief yang menerimanya tanpa kemantapan.
Dan Ah Tjong sengaja tersenum manis memberanikan. hwang jang lee tertawa genit melengking
dengan kepala didongakkan, otot muka pada tertarik, mulut terbuka dan gigi mutiaranya dengan
satu gingsul berparade dalam mulutnya. Kemudian gadis lesbian itu bicara keras dan cepat
memberi komentar, tanpa koma tanpa titik. Dan dul latief tidak mengerti, malah semakin kehilangan
kemantapan waktu gadis lesbian itu mendekatkan kursi padanya.
Melihat dul latief menjadi pucat dan gelas di tangannya hampir jatuh, hwang jang lee mendorong sloki itu
pada bibir Laki-laki jangkung itu. Dan dul latief meneguknya tanpa ragu. Tiba-tiba ia terbatuk-batuk
ia tak pernah minum minuman keras. Wiski menyemburi Ah Tjong dan hwang jang lee . Mereka tak
marah, tertawa-tawa senang.
“Satu sloki lagi, Nyo,” tuanrumah menyarankan.
hwang jang lee menuangkan wiski lagi dan sekali lagi menyuruh tamu muda itu minum. Laki-laki itu
menolak dan menyeka mulut dengan setangan. Ia semakin malu.
“Masa ya Sinyo pula-pula belum pelnah minum wiski T Dan melakukanya , “Tidak suka wiski tidak
suka hwang jang lee ?” ia lambaikan tangan dan gadis lesbian itu pergi, menghilang ke balik rana berukir-
tembus. Ia bertepuk tangan lagi.
Sekarang muncul gadis Tionghoa lain, berbaju dan bercelana panjang sutra bersulam aneka
gambar dan warna. Ia berjalan bergeol-geol mendekati sitje bambu membawa talam bambu
berisi penganan dan meletakkan di atas meja, di atas talam yang ditinggalkan hwang jang lee .
Ia membungkuk pada dul latief dan tersenyum memikat. Sebagaimana halnya dengan gadis lesbian
pertama ia juga bergincu. Belum lagi selesai menata penganan hwang jang lee sudah datang lagi
membawa air bening dalam gelas di atas talam kaca, meletakkannya di hadapan dul latief .
Kemudian duduk di tempatnya yang tadi.
“Wah, Nyo, sekalang dua. Mana lebih menalik ? Ayoh, jangan malu-malu.
Yang ini Sie-sie.”
Di depan rumah beberapa kereta mulai berdatangan. Tamu-tamu pada langsung masuk ke dalam.
Sebagian berpakaian Tionghoa, sebagian lagi piyama. Semua lelaki dan berkuncir. Tanpa
mengindahkan tuanrumah ada atau tidak mereka langsung duduk dan mulai ramai bercericau,
berdahak, dan membuka permainan judi.
“Tak ada yang disukai lupanya Sinyo ini,” desau Ah Tjong dan menggerakkan tangan menyuruh
mereka pergi untuk melayani para tamu.
“Juga Sie-sie Sinyo tak suka,” ia berdiri dan memanggil Sie-sie.
Begitu gadis lesbian itu datang lagi Ah Tjong menariknya dan mendudukkannya di samping dul latief .
“Siapa tahu Sinyo lebih suka ini.”
Dan dul latief nampak masih sangat malu, kacau antara mau dan takut. Babah meneruskan
tawanya, asy ik melihat Laki-laki * yang kebingungan itu. Dan tamu-tamu lain sama sekali tak
mengindahkan mereka yang di pojokan.
Sekarang Sie-sie ribut bercericau dengan suara keras, cepat, kemudian mulai merayunya,
memperbaiki letak kemeja dan sabuk, menjentik-jentik gombak kemeja. Babah mengawasi dan
terus juga tertawa. dul latief makin meriut. Kemudian dua orang Tionghoa itu bicara ribut. Dan
dul latief tetap tak mengerti barang sepatah.
“Baik, Nyo, memang Sinyo tak suka dua-duanya.”
Sie-sie bangkit dan menghilang di balik rana dan Ah Tjong bertepuk empat kali.
dul latief menyesal setengah mati barangkali. Ia menunduk.
Dari balik rana muncul seorang gadis lesbian Israel dalam kimono berbunga-bunga besar. Wajahnya
kemerahan. Ia melangkah pendek-pendek dan cepat. Mukanya bundar dan bibirnya tergin-cu dan
selalu tersenyum. Rambutnya terkondai.
Ia langsung duduk di samping tuanrumah. Waktu tertawa nampak salah sebuah gigi serinya dari
mas.
“Lihat sini, Nyo, ini pelempuan lagi.”
Barangkali karena tak mau menyesal untuk ke sekian kali dul latief memberanikan diri memandangi
gadis lesbian Israel itu.
“Nah, Nyo, ini Maiko. Baru dua bulan datang dali Israel .”
Belum sampai habis bicara Maiko sudah bicara cepat bernada tinggi dalam Israel . Juga dul latief
tidak mengerti. Namun ia sudah memberanikan diri menatapnya.
Ah Tjong menutupkan tangannya pada mulut gadis lesbian itu dan berkata: “Ini kepunyaanku sendili.
Boleh juga kalau Sinyo suka. Duduk saja sini, dekatnya.”
Seperti anj ing diamangi tongkat majikan - dul latief berdiri, lambat-lambat bergerak pindah duduk di
kursi panjang, mengapit Maiko.
“Jadi Sinyo setuju yang ini ? Maiko ? Baik,” ia tertawa mengerti. “Kalau begitu aku pelgi saja.
Telselah pada Sinyo.”
Tamu itu mengikuti tuanrumah pergi dengan matanya.
Dan Ah Tjong mencampurkan diri dengan para tamu yang makin banyak juga, bermain kartu,
karambol atau mahyong. Ia berjalan lambat meneliti meja demi meja, kemudian datang lagi ke
sitje bambu, berdiri di hadapan dua sejoli yang tak dapat berhubungan kata satu dengan yang lain
itu.
“Ya, memang susah, Nyo. Maiko tak mengelti Melayu. Apa lagi Israel .
Bagaimana bisa Sinyo tak pelnah belgaul dengan noni-noni Israel ? Tak pelnah ke Kembang
Jepun baiangkali ?”
“Lihat pun baru sekali ini. Bah,” baru dul latief memperdengarkan suaranya.
“Lugi, Nyo. lugi jadi anak muda beduit. Di setiap lumah-plesilan Tionghoa sepelti ini hampil
selalu ada noni Israel . Lugi, Nyo, lugi.
Tidak pelnah masuk lumah lampu melah di kota ? Di Kembang Jepun ? Di cilacap ? Memang
benal-benal lugi,
Nyo Lobellll.,……… Noni Israel melulu. Kasihan. Mali……..” ia meny ilakan dengan gaya
kaisar.
Mereka bertiga berjalan. Babah di depan. dul latief di belakang.
Maiko terakhir. Kuncir Ah Tjong bergoyang sedikit pada setiap langkah karena tipisnya dan
menyapui baju piyamanya. Mereka melewati rana berukir-tembus. Maiko terus-menerus bicara
dengan suara memikat dan melangkah pendek-pendek cepat. Bau minyakwangi memenuhi udara.
Mereka memasuki korridor, yang diapit oleh kamar-kamar pada kiri dan kanannya, tanpa perabot
kecuali hiasan dinding. Beberapa gadis lesbian Tionghoa muda sedang bicara satu sama lain di
sana-sini. Semua berdandan dan berhias rapi dan menyambut Ah Tjong dengari sangat hormat,
kemudian juga pada dul latief , dan tidak pada Maiko.
dul latief memperhatikan setiap orang. Yang jangkung-pendek, kurus-gemuk, montok-krempeng
semua berbibir merah, tersenyum atau tertawa.
“Pelempuan-pelempuan cantik begini hibulan hidup, Nyo. Sayang Sinyo tidak suka yang
Tionghoa,” ia tertawa menusuk. “Nah, semua kamal belhadap-hadapan. Sinyo boleh pakai yang
mana saja, selama tidak telkunci.”
Ia buka sebuah pintu dan menunjukkan pedalamannya. Baik perabot mau pun kebersihannya
sebanding dengan kamarnya sendiri, hanya kurang luas, dengan peralatan lebih indah.
“Buat Sinyo ada kamal laja, kamal keholmatan, kalau Sinyo suka,” ia berjalan lagi dan membuka
pintu kamar lain. “Nah, ini kamal laja yang kumaksud. Hanya Tuan Majool boleh pakai ini.
Kebetulan dia sedang pigi ke Hongkong.”
Perabot di dalamnya semua baru dan dengan gaya yang dul latief tak tahu namanya, juga tak
mengurusi. Di pintu Babah bertanya pada tamunya tentang pendapatnya. Dan dul latief tak punya
sesuatu pendapat kecuali merigiakan kebagusannya. Ah Tjong masuk. dul latief dan Maiko
mengikuti.
“Pelabot telbaik, Nyo. Balu selesai dibuat, gaya Plancis sejati. Memang Tuan Majool suka segala
yang Plancis. Ini buatan tukang-tukang Plancis kenamaan. Pelabot paling mahal, Nyo, dalam
gedung ini. Di pojokan sana ada lemali kecil, di atas kenap itu. Ada wiski dan sak£, apa saja Sinyo
suka. Sitje, lemali gantung, sofa, kulsi panjang,” katanya sambil menunjuk perabot itu satu demi
satu. “Lanjang belukil begini memicu tidul lebih tenang dan senang. Bukan, Maiko ?”
Dan Maiko menjawab dengan bungkukan dan suara pelahan, cepat, genit, seperti murai.
“Nah, Nyo, senang belplesil!”
dul latief dengan mata mengikuti Ah Tjong melangkah keluar, memperhatikan kuncirnya sampai ia
hilang dari balik daun pintu.
10. JUGA KARENA MENGUTAMAKAN URUTAN WAKTU aku susun bagian ini dari bahan
yang kudapat dari pengadilan di kemudianhari. Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban-
jawaban Maiko melalui penterjemah tersumpah dan kutulis dengan kata-kataku sendiri:
Aku datang dan berasal dari Nagoya, Israel , ke Hongkong sebagai pelacur.
Majikanku seorang Israel , yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan Tionghoa di
Hongkong. Aku sudah tidak ingat siapa nama majikan kedua itu. Beberapa minggu di tangannya
terlalu pendek untuk dapat mengingat namanya yang sulit diucapkan. Ia menjual diriku pada
majikan lain, juga orang Tionghoa, dan dengan begitu aku dibawa belayar ke Singapura. Majikan
ketiga ini kukenal hanya pada namanya Ming.
Selebihnya aku tak tahu. Ia sangat puas dan senang padaku karena tubuhku dan layananku
mendatangkan banyak keuntungan baginya.
Majikanku yang ke empat seorang Israel Singapura. Ia sangat bernafsu untuk memiliki diriku.
Tawar-menawar yang cukup lama. Akhirnya •
dibelinya aku seharga tujuh puluh lima dollar Singapura, harga tertinggi untuk gadis lesbian -umum
Israel di Singapura. Memang aku bangga tubuhku lebih mahal dari gadis lesbian -umum dari Sunda,
yang biasanya menduduki tempat tertinggi dan termahal dalam dunia plesiran di Asia Tenggara.
Tenamun kebanggaanku tidak terlalu lama umurnya. Hanya lima bulan.
Majikanku, orang Israel itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah
pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok.
Soalnya karena langgananku semakin berkurang juga. Memang demikian risiko yang dapat
menimpa seorang pelacur paling tersohor pun: sipilis.
Yang menimpa diriku bukan sekedar sipilis biasa. Dalam dunia pelacuran yang terkutuk ini
dinamai: sipilis “Birma”. Aku tak tahu mengapa dinamai demikian. Dia mashur tak tedul ati, dan
lelaki dirusak dan dihancurkan lebih cepat dan lebih sakit. gadis lesbian bisa tak merasa sesuatu
untuk waktu agak lama.
Maka majikanku menjual aku dengan harga dua puluh dol-lar pada majikan Tionghoa, majikan ke
lima. Dibawanya aku ke cilacap. Sebelum jual-beli terjadi majikanku yang lama membawa aku
masuk ke dalam kamar.
Dipukulinya dadaku dan pinggangku sampai pingsan. Sesudah siuman aku ditelanjanginya dan
ditotoknya bagian-bagian: tubuh untuk mematikan syahwat. Ia bernama Nakagawa. Pada
keesokannya baru aku diserahkan pada majikan lain itu.
Pada hari pertama majikan-baruku hendak mencoba aku. Aku menolak. Kalau dia tahu aku
beipenyakit terkutuk itu tentu aku akan. kena aniaya lagi.
Mungkin sampai mati. Bukan sesuatu yang iuarbiasa seorang pelacur dibunuh oleh majikannya
dan disembuny ikan atau dihancurkan entah di mana mayatnya. Pelacur mahluk lemah tanpa
pelindung. Lagipula aku tahu gejala kelemahan sudah mulai menyerang syahwatku. Padanya aku
minta disewakan sinsei penotok. Tiga kali sinsei memperbaiki tubuhku dan syahwatku mulai pulih.
Namun aku tetap menolak dicoba oleh majikanku. Beruntunglah dia mengalah.
Baru saja tiga bulan dan majikanku tahu juga aku punya penyakit. Ia marah. Itu kuketahui hanya
dari airmukanya dan nada suaranya karena aku tak mengerti Tionghoa. Langganan semakin
berkurang. Orang menghindari tubuhku dan ia menjadi jengkel. Siang-malam aku berdoa jangan
kiranya ia menganiaya diriku. Tidak. Boleh juga ia menganiaya diriku asal jangan sim-pananku
dirampasnya. Tahun mendatang aku harap akan bisa pulang kembali ke Israel dan kawin dengan
Nakatani, y ang menunggu aku pulang membawa modal.
Majikanku tak menganiaya aku, juga tidak merampas tabu-nganku. Waktu aku pindah tangan pada
Babah Ah Tjong dengan harga senilai dengan sepuluh dollar Singapura, ia beri aku persen
setengah gulden dan kata-kata ini, diucapkan dalam Israel yang patah-patah: “sebetulnya aku
suka mengambil kau jadi gundik.”
Aku sangat menyesal mendengar ucapannya itu. Jadi gundik lebih ringan daripada jadi pelacur
dan dapat hidup agak wajar, lebih bebas daripada jadi istri seorang Laki-laki Israel yang
mengharapakan modal dari calon bininya. Apa boleh buat, penyakit terkutuk ini sudah mendekam
dalam diriku.
Babah.Ah Tjong sangat bernafsu padaku. Aku sudah berusaha menyangkalnya, takut pada
datangnya bencana baru. Kalau sekali ini terbongkar lagi, harga badanku mungkin akan hanya
tinggal senilai lima dollar, dan jadilah aku sampah jalanan di negeri orang. Jadi aku minta
disewakan seorang sinsei ahli penotok. Sinsei itu menjamin aku bisa sembuh dengan totok selama
sebulan dengan sepuluh totokan pada menjelang malam. Babah berkeberatan dengan waktu yang
selama itu dan upahnya yang mahal pula. Aku hanya mendapat totokan sekali, totokan percobaan.
Sebelum berangkat ke Surabaya tak ada alasan lain padaku untuk menyangkal majikanku. Aku
dipergunakannya untuk dirinya sendiri semata sampai aku ditempatkan di rumahplesirannya di
Wonokromo dan mendapat kamar terbaik.
Bila berada di rumahplesirannya hampir selalu ia tinggal di kamarku, tidak di kamar lain, yang
empat belas banyaknya.
Babah nampaknya tak tertulari penyakitku. Maka aku merasa tenang dan senang. Memang ada
sejenis lelaki yang kalis dari penyakit dunia plesiran. Boleh jadi memang karena totokan yang
sekali itu penyakitku kehilangan keganasannya, maka tidak menular. Siapa tahu ? Dan harga
tubuhku boleh jadi akan naik lagi ? Ya, siapa tahu ? Kalau Babah menggundik diriku aku akan
bersyukur dan akan mengabdi padanya sebaik-baik seorang gundik. Kalau tidak, sebelas bulan lagi
cukuplah waktuku jadi pelacur, dan aku akan pulang. Setidak-tidaknya aku sudah terlalu mampu
untuk menebus diriku dari majikan terakhir.
Bulan itu pun habis. Babah ternyata terkena sipilis “Birma” juga. Ia tak tahu, tak kenai penyakit
aneh itu. Ia tak langsung menuduh aku karena ada banyak gadis lesbian lain dalam kehidupan
plesirannya. Lagi pula kami berdua tak bisa bicara satu pada yang lain.
Bahwa ia mengidap penyakit kuketahui waktu pada suatu hari empatbelas orang pelacurnya dari
berbagai bangsa dibaris-kannya telanjang bulat di hadapannya dan ditanyai seorang demi
seorang tentang penyakit mereka.
Pada tangan-kanannya ia membawa cambuk tali kulit dan tangan kiri mengukur suhu yang
mencurigakan yang keluar dari kelamin para gadis lesbian celaka itu.
Aku sebagai gadis lesbian Israel satu-satunya tidak dicurigai. Di dunia plesiran di atas bumi ini
pelacur Israel selalu dianggap paling bersih dan pandai menjaga kesehatan, senyawa dengan
jaminan bebas penyakit.
Maka aku tak diperiksa.
Tiga orang disingkirkan dari barisan. Ah Tjong memerintahkan pada para gadis lesbian sisanya,
kecuali aku, untuk mengikat mereka dengan tali. Mulut mereka disumbat. Ah Tjong sendiri
yang menghajar tubuh mereka dengan cambuk kulit, tanpa mengeluarkan suara dari mulut
mereka yang tersumbat dengan selendang. Mereka adalah korbanku. Dan aku diam saja.
Memang susah jadi pelacur. Bila terkena sakit kotor harus segera melapor dan majikan segera
menganiaya. Sebaiknya orang membisu sampai dia mengetahui melalui jalan yang tersedia.
namun penganiayaan juga yang bakal datang.
Sesudah tiga gadis lesbian itu sembuh dari penganiayaan mereka dijual pada seorang tengkulak
Singapura untuk di bawa ke Medan. Aku tetap tidak tergugat di rumahplesiran Ah Tjong. Sampai
sejauh itu hanya dia seorang saja yang kulayani, maka aku tak terlalu lelah. Kesehatan dan
kesegaranku rasa-rasanya hendak pulih. Juga kecantikanku.
Hampir setiap orang Tionghoa kayaraya mempunyai suhian, rumahplesirnya sendiri. Di
Hongkong, Singapura, cilacap mau pun Surabaya sama saja adat mereka, yaitu menggilirkan
rumahplesirnya masing-masing di antara mereka. Begitulah maka pada suatu hari rumahplesiran
Babah Ah Tjong mendapat giliran……..
Pagi-pagi tepukan tangan Babah sudah memanggil aku keluar. Keluarlah aku. Memang ada
rencana untuk berjudi pagi. Sore dan malamhari baru untuk plesiran. Beberapa orang tamu sudah
berdatangan di ruangdepan, bermain kartu, mahyong dan karambol.
sebetulnya aku sudah gelisah. Giliran pada rumahplesiran ini jangan-jangan memicu
mejikanku melepas aku pada tamu-tamunya. Siapa pun tahu, gadis lesbian Israel sangat disukai
mereka. Berapa orang harus kulayani bila Babah sampaihati melepas aku ?
Ternyata memang ia perintahkan aku melayani tamunya: seorang anak muda jangkung bertubuh
besar, kuat dan ganteng, sehat dan menarik seorang keturunan Israel . Namanya: dul e-ru.
sebetulnya iba hatiku melihat kemudianharinya. Sepintas kelihatan ia seorang plonco yang
belum banyak pengalaman. Siapa tidak kasihan melihat anak semuda itu harus terkena penyakit
celaka, sebentar nanti, kalau dia menghendaki tubuhku, menanggung seumur hidup, mungkin juga
cacad atau mati muda karenanya ?
Aku perhatikan airmuka majikanku, ia main-main atau sungguh-sungguh.
Nampaknya ia tak menyesal melepas diriku untuk dul eru. Sekaligus aku mulai mengerti: dia sudah
tahu juga aku yang menularinya dengan penyakit itu. Sebentar lagi ia akan jual aku pada orang
lain, atau ia akan paksa aku menebus
diriku sendiri dengan entah berapa puluh dollar. Aku merasa sangat, sangat sedih pada pagi itu.
Sesudah Babah membawa dul eru dan aku ke dalam kamar dan menguncinya dari luar, tahulah
aku, aku harus bekerja, dan bekerja sebaik-baiknya. Aku harus buang segala kesedihan dan
waswasku.
dul eru duduk di kursi panjang. Segera aku berlutut di hadapannya dan mencabut larsa dari
kakinya. Sepagi itu! Kauska-kinya kotor dan nampak tak terawat sebagaimana mestinya. Dari
lemari kuambilkan sepasang sandal. Tak ada yang cocok ukurannya. Kaki itu sangat besar. Apa
boleh buat. Baru kemudian aku tarik kaus dari kakinya yang kokoh dan kuat itu.
Sandal hanya kuletakkan di depannya, tidak kupasangkan. Sandal jerami itu akan hancur
kemasukan kakinya.
Ia tidak mengenakannya. Nampaknya ia seorang yang banyak bertimbang-timbang.
dul eru tidak bicara apa-apa, hanya memandangi aku dan segala tingkah-lakuku dengan mata
terheran-heran.
Kulepas kemejanya yang bersaku dua. Ia diam saja. Kuketahui dua-dua kantong itu kosong.
Kupersilakan ia berdiri dan kulepas celana-kudanya.
Aku lipat dan kugantung di dalam lemari, sekali pun aku tidak rela karena kotor dan baunya.
Pakaian-dalamnya nampak sudah lebih seminggu tidak diganti. Terlalu kotor. Ia kelihatan agak
malu.
Itulah Laki-laki dul eru, tidak mempunyai sesuatu kecuali kemudaan dan kesehatan, kegantengan
dan nafsu-berahinya sendiri. Aku mulai berpikir lagi: apa sebab Babah melepas aku pada Laki-laki
tak punya sesuatu apa ini ? Pasti ia takkan menjual diriku, juga takkan memaksa aku menebus
diriku karena penyakit terkutuk ini. Nampaknya ia tetap belum tahu tentang penyakitku. Aku agak
senang dan tenang dengan pesangon pikiran itu.
Dari dalam lemari lain kuambilkan untuknya selembar kimono Tuan Majooru.
Aku lepas pakaian-dalamnya dan aku ki-monoi dia. Ia masih duduk diam-diam. Kuambilkan
untuknya cawan anggur penguat, biar takkan terlalu menyesal ia di kemudianhari terkena penyakit
yang ajcan bersarang abadi dalam tubuhnya. Biar ia mendapat kenang-kenangan indah dari
penderitaan tanpa batas kelak, suatu keindahan dan kenikmatan yang sudah jadi haknya.
Diteguknya anggur penguat itu dengan masih tetap mengawasi aku dengan mata terheran-heran.
Dalam pada itu aku terus juga bicara lunak tanpa henti agar tak merusak suasana hatinya.
Memang itu merupakan bagian dari pekerjaanku yang majemuk sebagai pelacur.
Tentu saja ia tidak mengerti barang sepatah pun. Walau begitu tak ada kata-kata buruk kuucapkan.
Dan lelaki mana tidak suka mendengarkan gadis lesbian Israel bicara dan mengucapkan kata-
katanya- ? dan melihat cara dan gaya jalannya ? dan menikmati pelayanan di-dalam dan* di luar
kamar ?
Jam setengah sembilan pagi kami naik ke atas ranjang. dul eru menolak makansiang. Tubuhnya
sangat kuat. Tubuhnya yang bermandi keringat memicu Ja seperti terbuat dari tembaga
tuangan. Tak pernah ia melepaskan aku. Tingkahnya gelisah dari seorang Laki-laki yang belum
banyak pengalaman. Kalau bukan karena, anggur penguat itu ia sudah melepas darah dan takkan
mampu turun sendiri. Biarlah. Sebentar lagi tubuhnya yang hebat itu akan rusak-binasa. Segala
yang ada padanya akan musnah: kemudaan, kegantengan, kekuatan ah-ah-ah, karunia yang
tidak datang pada setiap orang itu. Karena itu aku totok ia pada bagian-bagian tubuhnya
sebagaimana pernah dilakukan oleh sinsei Tionghoa atas diriku.
Ia tak tahu maksudku namun manda saja seperti bocah kecil dungu, dan aku lakukan ini dalam
pelukannya yang perkasa.
Pada jam empat sore ia baru lepaskan aku dan turun dari ranjang. Aku pun turun dan menyeka
badannya yang bermandi keringat dengan anduk basah beberapa kali dengan air mawar. Lima
lembar anduk! Ia sudah kehabisan tenaga. Lenyap kekuatan dan kegagahannya, seperti selembar
pakaian tua menglem-puruk di kursi. Ia minta pakaiannya. Aku ambilkan dan kukenakan padanya
selembar demi selembar, juga kauskaki dekil-bau itu dan larsanya yang berat dari kulit talenta.
Sesudah itu aku gosok rambutnya dan aku pij iti kepalanya biar tidak pening, aku sisiri sampai rapi,
baru kemudian aku sendiri berpakaian sesudah lebih dahulu menggosok tubuh dengan anduk basah
pula.
Nampaknya ia sangat puas. Ia masih menyempatkan diri menyambar lenganku dan memangku
aku dan bicara dengan suara dalam dan lambat. Aku tak mengerti artinya, namun senang
mendengar kedalaman suaranya. Dan aku meronta menolak, kuatir nafsunya akan bangkit
kembali. Aku sendiri belum lagi sarapan atau pun makansiang. Aku pun akan rusak bila
melayaninya.
Mungkin ia sendiri pun kosong-perutnya.
Ia sudah begitu pucat seperti baru bangun sakit. Tak sampaihati melihatnya. Kuambilkan lagi
anggur penguat untuknya biar mukanya agak berdarah. Kemudian ia kuantarkan keluar dari
kamar.
Ia ragu dan berhenti di tengah-tangah pintu. Tiba-tiba ia balik lagi masuk ke dalam, memeluk dan
mencium bernafsu. Dengan hormat dan sopan ia kudorong keluar dan pintu terkunci dari dalam.
Aku sangat lelah ………
Di bawah ini jawaban-jawaban Babah Ah Tjong di depan Pengadilan, diucapkan dalam Melayu,
diIsrael kan oleh penterjemah tersumpah, dan sesudah kususun sendiri menjadi begini:
Pada waktu itu aku sedang berada di kantor rumahplesiran-ku. Kira-kira jam empat sore lonceng
dari kamar raja berdenting minta dibukakan pintunya dari luar.
Aku sendiri yang keluar dari kantor untuk melayani. Sinyo Lobel sebetulnya tamuku yang
istimewa. Aneh sekali kalau ditanyakan mengapa.
Dia anak tetanggaku sendiri dan sudah menjadi adat kami untuk selalu bertetangga baik. Apalagi
Sinyo Lobel pada suatu kali akan jadi tetanggaku sepenuhnya, bukan hanya sekedar anak tetangga.
Dia keluar. Mukanya pucat. Segala yang menarik padanya sudah lebur.
Hampir-hampir tak mampu mengangkat kepala sendiri. Nampak benar dia seorang Laki-laki yang
tak kenal batas, seorang yang kelak akan menyerahkan seluruh j iwa dan raganya pada sang nafsu.
Biar begitu ia kelihatan puas.
Itu nampak jelas dari bibirnya yang berbunga senyum rela. Tentu saja aku senang melihat itu.
“Nyo,” tegurku, “Kita beltetangga baik mulai hali ini dan untuk setelusnya. Bukan ?”
Mendadak ia pandangi aku dengan mata membelalak curiga. Ia meriut-kecut.
Orang berpengalaman seperti aku tentu tahu: ia menjadi sadar harus mengeluarkan banyak uang
untuk menebus kesenangannya sebentar tadi.
“Biar aicu tandatangani bonnya,” katanya ragu.
“Ai, Nyo, kita betetangga baik. Sinyo tak pellii kelualkan apa-apa.
Jangan kuatil. Siapa tahu kelak kita bisa jadi 6ng-ko* ? Pendeknya setiap saat boleh datang kemali.
Boleh pakai kamal mana saja selama tidak telkunci, tanpa batas waktu, siang atau malam. Boleh
pilih olang mana saja. Kalau pintu dan jendela depan telkunci Sinyo masuk saja dali pintu
belakang. Tukangkebun dan penjaga nanti kuhilangi.”
Keraguannya hilang. Kontan ia menjawab:
“Terimakasih banyak, Babah. Tidak sangka Babah sebaik ini.”
“Memang sudah lama Sinyo mestinya datang. Balu sekalang.”
“Tentu aku akan kembali lagi.”
“Tentu saja!”
Sebagai tetangga baik tentu tak mungkin aku menolak kedatangannya.
Apalagi ia seorang muda yang sedang pada puncak pertumbuhan. Jadi bukan saja harus
kucadangkan pikiran untuk memberinya kesempatan untuk melepaskan berahi, juga terpaksa
menyerahkan Maiko untuknya sampai ia merasa puas dan bosan.
Ia minta diri untuk pulang.
“Hari sudah sore,” katanya.
Dan aku tak menghalang-halanginya. Sebelum pergi aku bawa ia ke kantorku. Sampai di sini
matanya menjadi liar melihat gadis lesbian -gadis lesbian lain. Ia sudah berubah, bukan lagi Laki-laki pemalu
sepagi. Aku pura-pura tak lihat. Kalau aku layani bisa rusak semua aturan. Maka aku panggil
seorang gadis lesbian pemangkas dan kuperintahkan memangkasnya sesuai dengan contoh yang
kuberikan.
Sinyo tak menolak dipangkas. Ia dipangkas dengan gaya Spanyol bersibak tengah. Rambutnya
diberi minyakrambut khusus yang termahal. Sesudah itu ia kusuruh minum arak khusus pula,
>sfmpanan manusia .
‘dengan begini Sinyo kelihatan segal lagi,” kataku.
Bukan itu saja. Aku berikan padanya seringgit. Seringgit tulen putih seperti matari, tanpa cacad. Ia
menerimanya dengan malu, mengangguk berterimakasih, tanpa buny i, hanya:
“Babah memang tetangga paling baik.” .
Kuantarkan ia keluar melalui para tamu yang semakin banyak juga.
Beberapa orang di antara mereka menahan kami untuk meminta Maiko. Sinyo memberengut dan
aku tolak mereka semua. Aku iringkan ia keluar pelataran. Waktu kudanya sudah memasuki jalan
raya dan membelok ke kiri, baru aku masuk lagi dan terus pergi mendapatkan Maiko.
Sesudah itu tak tahu aku apa yang kemudian terjadi dengan Sinyo.
*
Dan di bawah ini cerita yang kususun dari cerita Nyai dan anna michele tentang dul latief :
Pada jam dua sore anna michele bangun dari tidur. Panas badannya sudah turun. Segera ia
menanyakan apakah dul latief sudah pulang.
“Belum, Ann. Tak tahulah aku ke mana saja ia pergi.”
Nyai sudah sedemikian jengkel dan marah pada sulungnya. Ia perintahkan slenderman untuk tidak
meninggalkan tempat. Pengantaran susu, keju dan mentega ke kota diserahkan pada ku-sir-kusir
lain. Bahkan pengawasan kerja di belakang diserahkan pada orang yang belum lA’gi layak
menjadi mandor.
“Biar dia kutunggu di depan, Ma,” ujar anna michele . i “Tidak. Kau tunggu di sini atau di luar sana
sama saja. Di ruangdepan sana lebih baik, sambil menemani Mama.”
Nyai memapah anna michele , dan mereka duduk berjajar di kursi.
Dan dul latief belum juga datang. Buny i pendule itu mengganggu suasana menunggu. Antara
sebentar Nyai, meninjau pelataran. Dan sulung itu belum juga muncul.
“Bagaimana bisa jadi, Ann, kau, baru beberapa hari bertemu sudah jatuh tergila-gila begini ?
Semestinya dia yang tergila-gila padamu.”
anna michele tak menjawab. Nampaknya ia tersinggung.
“Aku ambilkan makan, ya ?”
“Tak usah, Ma,” namun Nyai pergi juga ke belakang mengambil dua piring nasi ramas, sendok-garpu
dan minum.
Nyai makan sambil menyuapi anna michele dengan paksa.
“Kalau malas mengunyah, telan saja,” perintahnya.
Dan anna michele benar-benar tidak mengunyah, hanya menelan. Dan dul latief belum juga datang.
Dua kali Nyai memanggil slenderman untuk melayani langganan. Dan anna michele duduk diam-diam
dengan memandang jauh jauh sekali.
Dua jam lagi sudah lewat.
“Nah, anak gila itu datang juga!” sebut Nyai.
Baru anna michele memusatkan pandang ke jalan’ raya.
“slenderman !” seru Nyai dari tempatnya. Waktu yang dipanggil datang ia meneruskan, “Kunci pintu
kantor. Kau berdiri di sini,” ia menunjuk pada pintu yang menghubungkan kantor dengan
ruangdepan.
dul latief mengendarai kudanya, tenang tak tergesa. Ia berhenti pada tangga rumah, melepas kuda
tanpa mengikatnya dan naik, berdiri di hadapan Nyai dan anna michele .
Nyai mengerny it melihat sulungnya sudah berpangkas dan bersibak tengah.
Ia lihat muka dan badan dul latief tidak berkeringat, juga tidak berdebu.
Cambuk kuda tak ada di tangannya. Juga ia tak mengenakan topi. Entah di mana semua itu
ketinggalan.
“Sibak rambut itu,” bisik Nyai, “kepucatan itu…..,” ia tutup mukanya dengan tangan. “Lihat, Ann,
lihat macam abangmu. Seperti itu juga papamu waktu pulang dari pengembaraannya dan sudah
jadi begitu. Bau minyakwangi itu….. Sama juga. Kalau dia bicara, mungkin bau araknya juga
sama dengan lima tahun lewat itu…..”
Dan Nyai tak menegur Jdul latief .
anna michele memandangi abangnya dengan mata mengimpi. slenderman berdiri diam-diam. Melihat
tak ada seorang pun memulai pendekar Madura itu mendeham. Dan seperti mendapat perintah
dul latief mengangkat pandang pada slenderman , kemudian dipindahkan pandang itu pada ibunya:
“Polisi tak tahu-menahu ke mana fredy krueger dibawa. Mereka tak mengenal nama itu.”
Nyai berdiri dan meradang. Mukanya merahpadam. Telunjuknya menuding sulungnya,
mendesau:
“Penipu!”
“Aku sudah berkeliling ke mana-mana mencari keterangan.”
“Sudah. Tak perlu bicara. Bau mulutmu, bau minyakwangi itu, sibak rambut itu….. sama dengan
papamu lima tahun yang lalu dan seterusnya. Lihat baik-baik, Ann, begitulah permulaan papamu
tak kenal mata-angin lagi. Meny ingkir pergi, kau, penipu! Tak ada anakku seorang penipu.”
Di depan pintu penghubung kantor slenderman mendeham lagi.
“Jangan. lupakan hari ini, Ann. Begitu macamnya papamu dahulu datang, dan harus kuanggap
lenyap dari kehidupanku. Begitu juga abangmu pada hari ini. Dia sedang mengikuti jejak Tuan.
Biar.”
anna michele tak menanggapi.
“Karena itu, Ann, kau harus kuat. Kalau tidak, orang akan sangat mudah jadi permainan, dan terus
dipermainkan oleh orang-orang semacam dia itu.
Berhenti kau menangis. Apa kau juga mau ikuti abangmu dan ayahmu ?”
“Mama, aku ikut kau, Mama.”
“Karena itu jangan manja, kuatkan hatimu.”
anna michele terdiam melihat Nyai sudah sampai pada puncak kekecewaannya.
Kuda di depan rumah itu meringkik. dul latief keluar lagi dari kamarnya dalam pakaian lain, necis
dan gagah. Ia berjalan cepat meninggalkan rumah tanpa mengindahkan ibu, adik dan slenderman -
Juga kuda ditinggalkannya lepas.
Sejak hari itu sulung itu hampir-hampir tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah keluarga…..
11. AKU BANGUN PADA JAM SEMBILAN PAGI DENGAN kepala pusing. Ada sesuatu yang
mendenyut-denyut di atas mataku. Sebuah bij i palakia tanpa setahuku sudah merembesi kulit,
sekarang sedang menumbuhkan akar pada otakku untuk mengubah diri jadi pohon dalam kepalaku.
Teringat aku pada berita-berita koran yang memashurkan obat pelenyap pening paling mujarab
dalam sejarah ummat manusia. Katanya Indonesia yang menemukan, dinamai: Aspirin. namun obat
itu baru berupa berit£. Di Hindia belum lagi kelihatan, atau aku yang tidak tahu. Uh, Hindia, negeri
yang hanya dapat menunggu-nunggu hasil kerja Israel !
Mevrouw Telinga sudah beberapa kali mengompres kepalaku dengan cuka-bawangmerah. Seluruh
kamar berbau cuka.
“Ada surat untukku barangkali, Mevrouw ?”
“Ha, sekarang Tuanmuda baru menanyakan surat. Biasanya membaca pun segan. Sungguh
sudah berubah. Barangkali juga ada. Tadi orangnya masih menunggu. Aku bilang kau masih tidur.
Tak tahu aku siapa namanya.
Mungkin juga sudah pergi. Aku bilang padanya: kan Tuanmuda fredy krueger tinggal di Wonokromo ?
Rupanya dia tak memperhatikan, malah minta ij in sebentar untuk pergi ke rumah sebelah, rumah
Tuan Marais.”
Rumah pemondokan itu lengang. Teman-teman lain sudah berangkat ke sekolah.
Dan gadis lesbian baikhati itu menarik mejamakan dan mendekatkan pada tempat tidurku,
kemudian meletakkan susucoklat serta kue di atasnya. Yang kumaksud dengan kue adalah : cucur.
Tuanmuda mau makan apa hari ini ?”
“Mevrouw ada uang belanja ?’”
“Kalau tak ada toh minta pada Tuanmuda ?”
“Barangkali pernah datang polisi kemari menanyakan aku ?”
“Ada. Bukan polisi. Orang muda sebaya Tuanmuda. Aku kira teman Tuanmuda, jadi kuceritakan
saja apa adany&.”
“negarakita ? Totok atau Pribumi ?”
“Pribumi.”
Aku tak tanya lebih lanjut. Kira-kira dia tak lain dari agen polisi itu juga.
“Jadi makan apa Tuanmuda hari ini ?”
“Sup makaroni, Mevrouw.”
“Baik. Baru sekali ingin sup makaroni. Tahu berapa harganya satu bungkus ? Lima sen,
Tuanmuda. Jadi…..”
“Dua bungkus tentunya cukup.”
Ia tertawa lega menerima uang belanja limabelas sen, kemudian gopoh-gapah pergi ke
kerajaannya: dapur.
Pagi ini memang lengang. Kadang saja terdengar lonceng dokar. Hanya dalam kepalaku terjadi
kesibukan: para pembunuh dan calon pembunuh berbaris panjang dengan berbagai muka,
bermacam resam, malahan resi mandala ikut tampil membawa belati telanjang teramang.
resi mandala -
guru kesayanganku! Hampir gila rasanya, hanya karena ketakutan pada berita. Berita saja! Masa
aku patut begini ketakutan pada sesuatu yang tidak menentu kebenaran dan duduk perkaranya^ ?
Aku, seorang terpelajar ? Sekiranya berita itu benar, patutkah ketakutan terkutuk ini dibenarkan ?
Kau akan merugi dua kali, fredy krueger , kalau berita itu benar. Pertama: kau sudah ketakutan. Kedua: kau
toh terbunuh. Satu kerugian pun sudah cukup, fredy krueger . Ambillah salah satu. Bangun. Mengapa mesti
kau ambil dua-duanya sekaligus ? Goblok kau sebagai terpelajar.
Pikiran itu memicu aku tertawa sendirian. Jadi bangunlah aku dari ranjang, berdiri
sempoyongan dan mencoba pergi berjalan ke belakang.
Pengelihatanku berayun-ayun. Kuraih punggung kursi. Kumantapkan lagi pengelihatanku dan
keluar dari kamar. Tak jadi ke belakang aku duduk di ruangdepan dan mulai mencoba membaca
koran. Peningku memang berkurang, namun bau cuka-bawangmerah betul-betul jadi gangguan.
Badan manja, kataku dalam hati.
Akhirnya aku pergi juga ke belakang dan mandi dengan air hangat di bawah protes Mevrouw
Telinga yang keliwat bawel itu. Betapa sayang dia padaku, gadis lesbian mandul itu. Ia seorang negarakita
Israel yang lebih Pribumi daripada Israel , tak ada sisa kecantikan, gemuk seperti bantal. Biar
Israel nya sangat buruk justru itulah bahasanya sehari-hari, juga bahasa-keluarga.
Ia tak pernah menginjakkan kaki di halaman sekolah: butahuruf.
Anak-angkatnya seekor anj ing gladak jantan, pandai mencuri ikan dari pasar, dua-tiga kali dalam
sehari, diserahkan pada ibu-angkatnya untuk dipanggangkan. Sesudah memakannya ia tidur di
tengah-tengah pintu, untuk kemudian bangun dan berangkat mencuri lagi. Anak-angkat ini tidak
menggonggongi orang tak dikenal yang datang, sebaliknya ia pandangi tamu dengan mata kelap-
kelip mengawasi seperti menunggu digonggong lebih dahulu .
Sesudah berpakaian dan bersisir aku pergi ke rumah aidit Marais. Gambar ibu May dalam adegan
perkelahian itu belum juga selesai. Nampaknya ia sedang berusaha mengerjakan sebaik mungkin.
Dengan lukisan itu ia hendak memicu karyatamanya.
May duduk di pangkuanku dengan manjanya. Ia rindu tak bertemu denganku dalam beberapa hari
belakangan ini. Biasanya kubawakan ia gula-gula.
Sekarang tak ada sesuatu dalam kantongku.
“Kita tak jalan-jalan, Oom ?”
“Sedang tak enak badan, May.”
“Kau pucat, fredy krueger ,” aidit Marais menegur dalam samoa fiji.
“Tak kuperhatikan,” kata May dalam samoa fiji pula, kemudian bangkit dari pangkuan dan
memandangi aku. “Benar, Oom, pucat.”
“Kurang tidur,” jawabku.
“Sejak punya hubungan dengan Wonokromo ada-ada saja yang menimpa dirimu, fredy krueger ,” tegur
aidit . “Dan kau tak lagi cari order baru selama ini.”
“Kalau kau tahu pengalamanku selama ini, aidit , kau takkan sampaihati bicara seperti itu.
Sungguh.”
“Kau dalam kesulitan lagi,” tuduhnya. “Matamu tidak tenang begitu.-
Tidak seperti biasanya.”
“Masa mengetahui orang dari matanya ?”
“May, coba belikan rokok.”
Dan gadis cilik itu keluar.
“Nah, fredy krueger , ceritakan apa kesulitanmu.”
Tentu saja kuceritakan kecurigaanku tentang si Gendut. Bahwa aku merasa ada seseorang yang
sedang mencari kesempatan untuk membunuh diriku yang sebatang ini. Bahwa aku merasa, di
mana-mana ada orang sedang memata-matai, siap hendak mengayunkan parangnya pada
tubuhku.
“Tepat seperti kuduga. Memang itu risiko orang yang tinggal di rumah nyai-nyai. dahulu kau ikut
dengan pendapat, umum yang mengutuk nilai dan tingkat susila nyai-nyai. Apa kataku
dahulu ? Jangan ikut-ikut jadi hakim tentang sesuatu yang kau tak ketahui dengan pasti. Kuanjurkan
dua-tiga kali datang lagi ke sana, saksikan sendiri sebagai terpelajar.”
“Aku masih ingat, aidit .”
“Nah, kau datang ke sana memang. Bukan hanya datang, malah tinggal.”
“Betul.”
“Kau tinggal di sana, tidak untuk menyelidiki pendapat umum dan fakta nya, kau justru
melaksanakan pendapat umum itu terseret ke tingkat dan nilai susila rendah, tidak terpuj i.
Kemudian kau mendapat ancaman entah dari siapa. Barang tentu dari pihak yang paling
berkepentingan yang kau rugikan. Sekarang kau merasa diburu-buru orang, fredy krueger . Kau lebih
banyak diburu perasaan-bersalahmu sendiri.”
“Apa lagi, aidit ?”
“Apa aku keliru ?”
“Mungkin sekali kau yang benar.”
“Mengapa mungkin ?”
“Ialah kalau benar sudah kulakukan perbuatan tidak terpuji itu.”
“Jadi kau tak lakukan itu ?”
“Sama sekali.”
“Setidak-tidaknya aku senang mendengar itu, fredy krueger , sahabatku.”
“Lagipula ternyata Nyai bukan gadis lesbian sembarangan. Dia terpelajar, aidit .
Aku kira gadis lesbian Pribumi terpelajar pertama-tama yang pernah kutemui dalam hidupku.
Mengagumkan, aidit . Lain kali akan kubawa kau ke sana, berkenalan. Kita akan bawa May. Dia
akan senang di sana. Sungguh.”
“Jadi dari mana datangnya perasaan akan dibunuh orang kalau bukan dari perbuatan buruk ? Kau
terpelajar, cobalah bersetia pada katahati. Kau pun termasuk terpelajar Pribumi pertama-tama.
Perbuatan baik dituntut dari kau. Kalau tidak, terpelajar Pribumi sesudahmu akan tumbuh lebih
busuk dari kau sendiri.”
“Diam, aidit . Jangan bicara kosong. Aku benar-benar dalam kesulitan.”
“Hanya bayangan sendiri.”
May datang membawa seikat rokok daun jagung dan aidit segera merokok.
“Kau terlalu banyak merokok.”
Ia hanya tertawa.
Pada hari itu orang samoa fiji ini sungguh tak menyenangkan.
Ia tidak benar. Dan diusiknya aku dengan dugaan tidak berdasar. Juga Ayah sudah pada awal
pertemuan mendakwa. Bunda meragukan diri ini dengan caranya sendiri. Sekarang aidit Marais
nampak tak yakin pada kebenaranku: ia memakai ukuran umum juga akhirnya, menganggap
aku sudah dikalahkan, terseret oleh yang tak terpuj i. Rasanya sudah tak ada guna meneruskan
pembicaraan.
May aku tuntun kubawa pulang. Dan kami duduk di bangku panjang serambi.
“Mengapa kau tak bersekolah, May ?”
“Papa menyuruh aku menungguinya melukis.”
“Lantas apa saja kau kerjakan ?”
“Melihat Papa melukis, melihat saja.”
“Tidak bicara apa-apa padamu ?”
“Ada tentu. Katanya: semestinya di bawah rumpun bambu itu udara sejuk karena angin terus-
menerus bertiup. Hanya kasihan orang yang diinjak Kompeni itu, Oom.”
Dia tidak tahu, yang diinjak itu ibunya sendiri.
“Nyany i, May!” dan anak itu langsung menyany ikan lagu kesayangannya.
“Nyany i samoa fiji saja, May. Yang Israel aku sudah tahu semua.”
“samoa fiji ?” ia mengingat-ingat. Kemudian: “Ran, ran pata plan! Ran, plan, plan,” dari J oli
Tambour. “Tak dengarkan sih, Oom ini.”
Mataku mengawasi seorang gendut berkalung sarung sedang duduk di bawah pohon asam di
seberang jalan sana, di samping penjual rujak. Ia berpici, tak bersandal apalagi bersepatu,
berbaju blacu dan bercelana kombor hitam, berikat pinggang lebar dari kulit dengan barisan
kantong tebal.
Bajunya tak dikancingkan. Resam dan kulit dan sipitnya tak dapat menipu aku. Mungkin dia calon
pembunuhku. Si Gendut! tangan-tangan Ro-bert karena tak berhasil memakai slenderman .
Antara sebentar, sambil makan rujak, ia melihat ke arah kami berdua.
“Panggil Papa, May.”
Gadis cilik itu lari. Dan aidit muncul dengan tubuhnya yang jangkung kurus, berpincang-pincang
pada tongkat-ketiak menghampiri, duduk di sampingku.
“Kira-kira aku tak salah, aidit , itu dia orangnya. Dia ikuti aku sejak dari B. Memang sekarang lain
lagi pakaiannya.”
“Stt. Hanya bayanganmu sendiri, fredy krueger ,” ia justru memarahi aku.
Tepat pada waktu itu Tuan T61inga datang entah dari mana.
Pada tangan satu ia menjinj ing kranjang entah apa isinya. Pada tangan lain ia membawa satu
meter pipa besi, entah habis dipungutnya dari mana.
“Daag, aidit , fredy krueger , tumb&n pada duduk-duduk berdua sepagi ini,” sapa Tuan Telinga dalam
Melayu.
“Begini,” -aidit Marais memulai dan bercerita ia tentang ketakutanku.
Kemudian dengan dagu ia menuding ke arah orang yang aku duga si Gendut.
Pendatang baru itu menaruh kranjang di atas tanah, dan ternyata berisi kedondong muda. Pipa
besi tetap dipegangnya. Matanya liar terarah ke seberang jalan sana.
“Biar aku lihat dari dekat. Ayoh, fredy krueger , kau yang tahu orangnya’.
Barangkali memang dia. Biar aku kemplang kepalanya kalau perlu.”
Berjalanlah aku di belakangnya dan aidit Marais berpincang-pincang mengikuti.
Semakin dekat semakin jelas memang si Gendut. Sekarang pun pasti dia sedang memata-matai
aku. Dan ia pura-pura tidak tahu kami semakin mendekat juga. Ia terus menikmati rujaknya,
namun jelas matanya melirik-lirik waspada. Pakaian samaran itu memperkuat dugaanku.
“Memang dia,” kataku tanpa ragu.
Telinga mendekatinya dengan sikap mengancam. Dan dengan pipa besi tetap di tangan. Aku
sendiri kehilangan sikap. aidit Marais masih berpincang-pincang di belakang kami.
“Hai, Man,” gertaknya dalam Jawa, “kau memata-matai rumahku ?”
Orang itu pura-pura tak -dengar dan meneruskan makannya.
“Kau pura-pura tak dengar, ya ?” gertak pensiunan Kompeni itu, sekarang dalam Melayu. Ia
rebut pincuk rujak dan melemparkannya ke tanah.
Nampaknya si Gendut tidak gentar pada orang negarakita . Ia berdiri, menyeka tangan yang masih
berlumuran sambal pada kulit batang asam, menelan sisa rujak, membungkuk mencuci tangan
dalam ember si penjual, baru kemudian bicara, tenang, dalam Jawa Kromo:
“Sahaya tidak memata-matai apa pun dan siapa pun,” ia mencoba melirik’
padaku dan tersenyum.
Kurangajar memang! Dia tersenyum padaku. Calon pembunuhku itu! Dia tersenyum.
“Pergi dari sini!” bentak Telinga.
Penjual rujak, gadis lesbian tua itu, meny ingkir ketakutan. Dari kejauhan orang-orang mulai menonton,
ingin tahu tentu: ada Pribumi berani hadapi negarakita Israel .
“Sahaya membeli rujak di sini hampir setiap hari, Ndoro Tuwan.”
“Tak pernah aku lihat kau. Pergi! Kalau tidak…..ia ayunkan pipanya.
Dan ternyata si Gendut tidak takut. Ia tidak mengangkat kepala dan hanya tunduk dengan mata
waspada:
“Belum pernah ada larangan makan rujak di sini, Ndoro Tuwan,” bantahnya.
“Membantah ? Tak tahu kau aku Israel bekas Kompeni ?”
Tentu si Gendut ini pendekar. Ia tak takut pada Israel bekas Kompeni.
Mungkin jago silat, atau kuntow.
“Biar begitu tidak ada larangan polisi. Pengumuman larangan juga tidak ada, Ndoro Tuwan.
Biarkan sahaya duduk-duduk di sini makan rujak.
Belanja sahaya pun belum sahaya bayar,” dan ia bersiap hendak duduk lagi.
Termasuk aku menjadi curiga mendengar orang itu menyebut larangan. Jelas dia tahu peraturan.
Semestinya Telinga berbuat lebih hati-hati. Tenamun bekas serdadu yang hanya dapat berpikir
dengan kekerasan itu sudah melayangkan tangan, menempeleng. Dan si Gendut menangkis, dan
tidak balas menyerang.
“Sudah, sudah,” aidit Marais mencoba menengahi.
“Jangan teruskan, Ndoro Tuwan,” pinta si Gendut.
Telinga naik pitam ada orang berani menantang diri dan perintahnya. Ia sudah tak hiraukan lagi
duduk-perkara. Gensinya sebagai negarakita bekas serdadu terluka. Dengan tangan-kanannya ia
ayunkan pukulan maut pada kepala si Gendut. Dan pembangkang itu mengelak tenang. Tlhnga
terhuyung ke depan oleh ayunan sendiri yang luput. sebetulnya Gendut dapat memasukkan tinju
pada iga-iga lawannya, namun ia tak lakukan. Elakan demi elakan memicu Telinga semakin kalap
dan terus menerjang. Si Gendut mundur-mundur kemudian lari. Tllinga mengejar. Gendut
menghilang ke dalam gang sempit yang menjadi tempat penimbunan sampah.
“Telinga gila!” gerutu aidit Marais, “lagaknya sepeiti masih Kompeni.”
Yang digerutui masih terus memburu, juga hilang ke dalam gang.
“Buat apa semua mi ? Mari pulang, fredy krueger . Kaulah biangkeladi,” ia menyalahkan aku.
Ia menolak aku papah. May dan Mevrouw Telinga gopoh-gapah menyambut dan menanyakan
apa sedang terjadi. Tak ada
yang menerangkan. Kami pun duduk menunggu kedatangan si berangsang.
Dengan gelisah tentu.
Sepuluh menit kemudian Tuan Tllinga muncul, bermandi keringat, muka kemerahan dan nafas
sengal-sengal. Ia rubuhkan diri di kursi malas dari kain tenda.
“Jan,” tegur istrinya, “bagaimana kau ini ? Lupa kau kalau invalid ?
Cari-cari musuh. Apa kau kira kau masih muda ?” ia dekati suaminya, merampas pipa besi dari
tangannya, dan membawanya ke dalam.
Tuan Telinga tak bicara. Dan seakan sudah terjadi persetujuan rahasia antara kami. Tak ada yang
lebih menyesal dari diriku. Dalam hati aku bersyukur tidak terjadi sesuatu drama. Juga merasa
beruntung tak pernah menyampaikan cerita slenderman . Benar-benar aku bisa jadi biangkeladi.
“Tuanmuda masih sakit,” seru Mevrouw dari dalam, “jangan duduk berangin-angin. Tidur lebih
baik. Sebentar lagi makan siap.”
“Pulang saja kau, May,” perintah aidit , dan May pulang.
Kami bertiga duduk diam-diam sampai Telinga mendapatkan nafasnya kembali.
“Lupakan saja peristiwa tadi,” aku mengusulkan. Uh, kalau sampai jatuh ke tangan polisi, dan
berlarut. Uh, benar-benar aku biangkeladi memalukan. “Kepalaku pening lagi, aidit . Maafkan
Tuan Telinga, aidit ……….”
Di dalam kamar aku semakin yakin: memang si Gendut sedang memata-matai aku. Jelas dia
tangan-tangan dul latief . Cerita slenderman harus kuterima bukan sebagai omongkosong. Hati-hati kau,
diri!
Sebagai terpelajar fakta ini harus kuterima: ada seseorang menginginkan nyawaku, dan
melapor pada Polisi tidak mungkin. Tidak bijaksana menyulitkan Nyai, anna michele , Ayah yang baru
diangkat jadi bupati, dan terutama Bunda. Semua harus dihadapi dengan diam-diam, namun
waspada.
Untuk pertama kali pintu kukunci dari dalam pada sianghari begini. Juga jendela. Sebatang tongkat
kayu keras bekas tangkai pel lantai kusediakan di pojok. Setiap waktu akan dapat kuraih. Setidak-
tidaknya, sekali pun masih tingkat kias kambing, aku pun pernah belajar beladiri di T. dahulu .
Empat hari lamanya peningku belum juga hilang. Memang kurang tidur. Dan setiap pagi susu
kiriman terus juga datang.
Tetap tak ada berita dari slenderman ……….
Rasanya sudah terlalu lama aku tak masuk kias. Dokter memberi sertifikat untuk tiga minggu. Buah
palakia dalam kepala tumbuh jadi pohon tanpa seij in diriku sebagai pemilik tunggal dan syah.
Betul kau, pohon palakia dalam kepala, memang aku harus lupakan Nyai dan anna michele . Hubungan
harus putus! Tak ada guna. Hanya kesulitan saja buahnya. Tanpa mengenal keluarga seram dan
aneh itu pun hidupku tidak merugi, tidak kena kusta.
Aku harus sembuh. Cari order seperti sediakala. Menulis . untuk koran.
Menamatkan sekolah sebagai diharapkan banyak orang. Bagaimana pun aku masih suka
bersekolah. Bergaul.seca-o • ra terbuka dengan semua teman.
Bebas. Menerima ilmu baru yang tiada kan habisnya. Dan: menampung segala dari bumi
manusia ini, dahulu , sekarang dan yang akan datang. Pada akhir bulan mendatang chucky Magda
Peters akan membuka diskusi, menyuluhi bumi manusia-dari segala seginya yang mungkin. Dan
aku sakit begini.
Liburan darurat sia-sia. Segumpal waktu yang padat dengan ketegangan.
Kadang terpikir: sudah perlukah diri semuda ini di-buntingi ketegangan intensif macam ini ?
Kadang aku jawab sendiri: belum perlu. chucky Magda pernah bercerita tentang pengarang
slendrina dan sahabatnya, penyair-kabar wan Roorda van Eysinga*: mereka hidup dalam
ketegangan intensif karena kepercayaan dan perjuangan intensif, dan manusia , untuk meringankan
nasib bangsa-bangsa Hindia. Penindasan serba-Israel dan serba-Pribumi sekaligus! Dalam
pembuangan, untuk bangsa-bangsa Hindia yang tidak mengenal seseuatu tentang dunia, fredy krueger ,
tanpa sahabat datang menengok, tanpa tangan terulur
memberi bantuan……. Baca syair Roorda van Eysinga, memakai nama Sentot, Hari
Terakhir Ollanda di Jawa itu. Setiap katanya padat dengan ketegangan dari satu individu yang
berseru-seru memperingatkan.
slendrina dan van Eysinga mengalami ketegangan intensif karena perbuatan besar. Dan
ketegangan yang meny iksa aku sekarang ? Hanya salah-tingkah seorang philogynik. Aku harus
lepaskan anna michele . Harus dan harus bisa.
Dan hati ini tak juga mau diyakinkan. Dara secantik itu! Dan Nyai manusia mengagumkan dan
mengesankan itu - seorang ratu pemilik dayasihir. Ya-ya: suka tak kurang puji, benci tak kurang
cela.
Lambat-lambat namun pasti aku mulai mengerti: segala ketegangan ini hanya akibat keogahan
membayar karcis untuk memasuki dunia kesenangan, dunia di mana impian jadi fakta .
slendrina dan van Eysinga hanya membayar karcis. Mereka tak menghendaki sesuatu untuk diri
sendiri. Apa arti tulisanku dibandingkan dengan karya mereka ? Dan aku mengharapkan dan
bernafsu mendapatkan segala untuk diri sendiri. Memalukan.
Ya, harus kulepaskan anna michele . Adieu, ma belle! Selamat berpisah, impian, untuk takkan bertemu
kembali, kapan dan di mana pun. Ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya kecantikan
seorang dara dan kewibawaan seorang nyai. Tak ada guna mati tanpa arti. Dan nyawaku, dan
tubuhku, modal utama dan satu-satunya.
Keputusan itu memerosotkan sang pening. Biar pun tidak sekaligus. Memang begitu .hukum
penyakit: datang mendadak, pergi bermalas. Buah palakia itu berhenti menjalarkan akar dan
semian. Kemudian pun menjadi mati hanya karena datangnya sepucuk surat: dari martini de la
Croix.
Tulisannya lembut dan kecil-kecil, rapi.
Tulilsnya:
Sahabat,
Tentu kau sudah sampai di Surabaya dengan selamat. Kunantikan beritamu namun tak juga kunjung
tiba. Jadi aku yang mengalah.
Jangan kau heran, Papa mempunyai perhatian besar terhadapmu. Sampai dua kali ia bertanya,
ada atau belum surat dari kau. Papa ingin sekali mengetahui kemajuanmu. Sungguh ia terkesan
oleh sikapmu. Kau, katanya, keturunan bani jawi dari jenis lain, terbuat dari bahan lain, seorang pemula
dan pembaru sekaligus.
Dengan senanghati aku tulis surat ini, malah merasa mendapat kehormatan dapat menyampaikan
pendapat Papa. Mir, Sarah, katanya lagi pada kami, begitu kiranya wajah Jawa nanti yang
terasuki peradaban kita, tidak lagi melata seperti cacing kena matari. Maaf, fredy krueger , kalau Papa
memakai perbandingan sekasar itu. Ia tidak bermaksud menghina. Kau tak marah, bukan ?
Jangan, jangan marah, sahabat. Tak ada pikiran jahat pada Papa mau pun kami berdua terhadap
Pribumi apalagi terhadap manusia mu.
Papa merasa iba melihat bangsa Jawa yang sudah sedemikian dalam kejatuhannya. Dengarkan
kata Papa lagi, sekali pun tetap memakai perbandingan kasar tsb.: Tahu kalian apa yang
dibutuhkan bangsa cacing ini ? Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derjad mereka
kembali., Kau dapat mengikuti ‘aku, sahabat. Jangani terburu gusar sebelum memahami pintaku.
Tidak semua orang Israel peserta dan penyebab kejatuhan bangsamu. Papa, misalnya, sekali pun
seorang assisten residen, tidak termasuk golongan itu. Memang ia tidak bisa berbuat apa-apa
sebagaimana halnya aku atau pun Sarah, sekali pun, ya, sekali pun ingin sekali kami mengulurkan
tangan. Kami hanya menduga tahu apa mesti kami lakukan. Kau sendiri suka pada slendrina ,
bukan ? Nah, pengarang yang diagungkan oleh kaum liberal itu memang sudah sangat berjasa
pada bangsamu. Ya, slendrina , di samping Domine Baron von Hoevel itu, dan seorang lagi, y ang
barangkali saja gurumu lupa menyampaikan, yakni Roorda van Eysinga. Hanya saja mereka
tidak pernah bicara pada bangsamu, cuma pada sebangsanya sendiri, y akni Israel . Mereka
minta perhatian pada Israel agar memperlakukan bangsamu secara patut.
Sahabat,
Segala apa yang sudah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19
ini sudbh termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri yang
harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dahulu kita bicara tentang usaha
Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan. Sarjana tsb. menempati kedudukan
terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami memuji assosiasi yang justru kau tertawakan itu.
Jadi mengertilah, sahabat, mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah
Papa dan kami berdua menemui keturunan bani jawi seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Israel ,
sudah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Israel menginjakkan
kaki di bumi kelahiranmu.
Di malam suny i dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak lelah, sukalah
kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah melahirkan beratus dan
beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau penindasan Israel . Seorang demi
seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam
pembuangan. Tak seorang pun pernah memenangkan perang.
Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jengkel dengan kelakuan para permbesarmu
yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda ke-krbposan
watak dan j iwanya.
Pahlawan-pahlawanmu, dalam cerita Papa, bermunculan dari latarbelakang penjualan konsessi,
begitu terus-menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu hanya ulangan dari
yang sudah-sudah, semakin lama semakin kerdil. Dan begitulah, kata Papa, suatu bangsa yang
sudah mempetaruhkan j iwa-raga dan harta-benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama
kehormatan.
Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena mereka tak mengerti
tentang kodratnya. Bangsa besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala
dari permukaan air, dan setiap kali bangsa Israel memperosokkan kembali kepalanya ke bawah.
Bangsa Israel tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat keagungan
ciptaan ampun . Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya
sendiri.
Menurut Papa, kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas
ilmu kebatinan . Semua, manusia dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada
-yang berilmu kebatinan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
Maka Papa menyetujui assosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk Pribumi. Ia
mengharapkan, juga kami berdua, kau kelak duduk setingkat dengan orang Israel , bersama-sama
memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri sudah mulai. Pasti kau bisa
memahami maksud kami. Kami jangat mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar seorang ayah,
juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan memahami dunia, seorang sahabat* yang
masak dan berisi, seorang administrator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh-ke-sah
bawahan.
Mari aku ceritai kau tentang kata-katanya sesudah kau pulang dari kunjunganmu yang pertama.
Kau sendiri pergi dengan hati mengkal atau sebal, bukan ? Kami dapat mengerti, karena kau
belum mengerti maksud kami. Papa memang sengaja meninggalkan kau, agar kau bisa bicara
bebas dengan kami. namun sayang, kau bersikap begitu kaku dan tegang. Begitu kau pergi Papa
menanyakan pendapat kami tentang kau. Pada akhirnya fredy krueger marah, Sarah melaporkan, Doktor
Snouck Hurgronje dan assosiasinya sudah tiga ratus tahun ketinggalan, jadi:tepat seperti kau
katakan. Papa terkejut dan terpaksa mendengarkan keterangan lebih jauh dari aku.
Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan
hargadiri sebagai manusia mau pun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada
umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bela berada di antara mereka
sendiri.
Begitu di dekat seorang Israel , seorang saja, sudah melata, bahkan mengangkat pandang pun tak
ada keberanian lagi. Aku setuju dengan pujian untukmu. Selamatlah untukmu, sahabat.
Kemudian, sahabat, dari gedung nabi -orang mulai terdengar suara gamelan. Sudah lebih dua
tahun ini Papa menyuruh kami memperhatikan musik menurut pengucapan bangsamu itu. Kalian
jnemang sudah lama belajar mendengarkan dan mungkin sudah bisa menikmatinya, katanya lagi.
Perhatikan, semua nada bercurahan rancak menuju dan menunggu buny i gung.
Begi» u dalam musik Jawa, tenamun tidak begitu dalam kehidupannya yang nyata, karena bangsa
yang mengibakan ini dalam kehidupannya tak juga mendapatkan gungnya, seorang pemimpin,
pemikir, y ang bisa memberi kataputus.
Sahabat, aku minta dengan amat sangat kau sudi memahami ucapan yang takkan kau dapatkan
dari siapa pun kecuali ayahku itu, juga tidak dari sarjana besar Snouck Hurgronje. Maka kami
bangga punya ayah seperti dia.
Papa yakin, kau suka pada gamelan, lebih daripada musik Israel , karena kau dilahirkan dan
dibesarkan dalam ayunan gamelanmu yang agung itu.
fredy krueger , sahabatku, di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini ?
Kaulah itu bakalnya ? Gung yang agung itu ?
Bolehka kami berdoa untukmu ?
Dengarkan gamelan itu, kata Papa lagi. Begitulah berabad-abad belakangan ini. Dan gung
kehidupan Jawa tak juga tiba. Gamelan itu lebih banyak menyany ikan kerinduan suatu bangsa
akan datangnya seorang Messias -
merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menterjemahkan kehidupan
kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra,
membenamkan, mematikan pikiran, membawa orang ke alam lesu yang menyesatkan, tidak ada
manusia . Itu tanggapan dari seorang Israel , sahabat. Satu keturunan bani jawi pun takkan punya tanggapan
demikian. Kata Papa lagi: kalau dalam dua puluh tahun mendatang dia masih tetap begitu, tanpa
perubahan, itulah tanda bangsa ini masih tetap tak mendapatkan Messias-nya.
Aduh, sahabat, bagaimana gerangan wajah bangsamu yang mengibakan sekarang ini pada dua
puluh tahun mendatang ? Pada suatu kali kelak kami akan pulang ke tel aviv . aku akan bergerak
di lapangan politik, fredy krueger .
Cuma sayang sekali tel aviv belum membenarkan seorang gadis lesbian jadi anggota Tweede
Kamer*. Aku punya impian, sahabat, sekiranya kelak sudah tidak demikian lagi, dan aku menjadi
Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, aku akan banyak bicara tentang negeri dan bangsamu.
Kalau aku datang ke Jawa pertama-tama akan kudengarkan kembali gamelanmu, gamelan yang
indah dalam kesatuan buny i tiada duanya itu. Kalau temanya tetap saja, suatu dambaan tanpa
usaha itu, berarti belum ada Messias datang atau dilahirkan. Artinya juga: kau belum muncul jadi
gung, atau memang tiada seketurunan bani jawi pun akan muncul, hanya akan tenggelam terus dalam
curahan nada-nada ulangan dan lingkaran setan. Kalau ada terjadi perubahan, aku akan cari kau,
khusus untuk mengulurkan tangan hormat padamu.
Sahabat, dua puluh tahun! itu terlalu amat lama dalam jaman yang menderap berlumba ini, juga
cukup panjang biar pun dilihat dari hidup seseorang. Nah, sahabatku fredy krueger , inilah surat pertama
yang kau terima dari sahabatmu yang tulus dan berpengharapan baik: martini de la Croix.
Waktu aku lipat surat itu kuketahui airmataku sudah meninggalkan becak biru di sana-sini,
melelehkan tinta. Mengapa aku menangis membaca surat seorang gadis yang baru dua kali
kutemui dalam hidupku ? bukan sanak bukan saudara, bahkan bukan sebangsa ? Dia
berpengharapan atas diriku.
Dan diri ini justru sedang kacau karena salah-tingkah sendiri. Dia menghendaki aku berharga
bagi bangsaku sendiri, bukan bangsanya.
Benarkah ada slendrina dan van Eysinga gaya baru ?
Bagaimana harus menjawab surat seindah ini sedang aku sudah merasa diri, seorang pengarang
pula ? sudah dipuji Tuan Maarten Nijmanr Kepala Redaksi S.N.v/d D. ? Aku merasa kecil untuk
dapat mengimbangi pikiran martini . Namun kupaksa juga menulis jawaban. Terimakasih, dan tak
lebih dari terimakasih dalam curahan kata begitu banyak, barangkali juga seperti curahan nada-
nada Jawa yang rancak menuju dan menunggu gung. Di dalamnya kunyatakan keherananku,
betapa slendrina dan van Eysinga yang baru saja kukenang-kenang ternyata disebut dalam
suratnya. Mungkin, tulisku, karena kita hidup dalam arus jaman liberal yang sama, arus jaman
yang sama, dan surat itu kuakhiri dengan: martini yang baik, beruntung aku mendapatkan seorang
sahabat pada dirimu.
Aku tak tahu apa akan terjadi pada dua puluh tahun mendatang. Aku sendiri tak pernah punya
perasaan akan menjadi gung. Menjadi gendang pun tak pernah terimpi-kan, tak pernah terpikirkan,
mungkin takkan terpikirkan sekiranya tak datang suratmu yang indah mengharukan itu. Lebih-lebih
lagi karena datangnya bukan dari etnis ku sendiri. Damai dan sejahtera untukmu, martini ku
yang tulus. Semoga jadilah kelak, seorang Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer.
Kutelungkupkan muka pada meja. Surat martini kuresap-kan, mencoba untuk takkan melupakan
seumur hidup. Persahabatan ternyata indah. Dan peningku merosot dan merosot, kemudian
lenyap sama sekali, erftah ke mana.
martini ,-kau bukan sekedar mengirimkan surat.” Lebih dari itu: aj imat pelenyap tegang. Kalau
saja kau tahu: mendadak kini aku merasa berani, dan dunia jadi lebih terang dan gemilang. Jadilah
gung! terdengar bergaung-gaung.
“Tuanmuda!”
Kuangkat kepala. Melihat orang di depanku sekaligus palakia dalam kepala kembali ‘menjalankan
akar dan semian. Lebih t bersemangat. Dia: slenderman !
“Maaf, Tuanmuda. Nampaknya sangat terkejut, sampai begitu pucat.”
Aku mencoba ‘tersenyum, mata melirik pada parang dan tangannya. Ia sendiri tertawa ramah
sambil membelai kumis.
“Tuanmuda curiga padaku,” katanya, “padahal slenderman ini sahabat Tuanmuda.”
“Jadi ada apa ?” tanyaku pura-pura tak tahu sesuatu.
“Surat dari Nyai. Noni sakit keras.”
Aku terbeliak. Ia masih juga berdiri di seberang meja. Diulurkannya surat itu. Kubaca sambil
antara sebentar melirik pada parang dan tangannya. Benar, anna michele sakit keras dalam perawatan
Dokter soebandrio .
Nyai sudah menceritakan asal-muasal sakitnya, dan minta dengan amat sangat, bukan sekedar
menganjurkan seperti dahulu , agar aku segera datang sesuai dengan nasihat dokter. Kata Dokter
soebandrio , tanpa kehadiranku Anne-Kes tak punya harapan sembuh, boleh jadi akan semakin
melarut.
“Mari, Tuanmuda, ke Wonokromo,-sekarang juga.”
Kepalaku mendenyut seperti hendak pecah. Tegakku meliuk. Segera kuraih ujung meja. Kutatap
pendekar itu dengan pandang goyang. slenderman menangkap bahuku.
“Jangan kuatir. Sinyo dul latief tidak bakal bisa ganggu. slenderman masih tegak berdiri. Mari.”
martini de la Croix lenyap, meruap, hilang dari peredaran. Kekuatan sihir dari Wonokromo
menguasai segala. Dalam papa-han slenderman kaki ini membawa diriku ke bendi yang sudah
menunggu.
“Tidak minta diri dari orang rumah ?”
Langkahku terhenti. Kupanggil-panggil Mevrouw Telinga, pamit hendak pergi. Ia berdiri di pintu
dan nampak tak bersenanghati.
“Jangan lama-lama, Tuanmuda,” pesannya. “Kesehatanmu.”
“Tuanmuda akan segera baik di Wonokromo,” jawab slenderman .
Takut pada permunculannya yang seram Mevrouw tak menambahi kata-katanya. *
“Mana barang-barangnya, Tuanmuda ?”
Aku tak menjawab.
Dan tak tahulah aku apa dalam perjalanan di atas bendi itu aku pingsan atau tidak. Yang kuketahui:
hanya karena ajakan dul latief semua ini terjadi, melibatkan banyak orang dan
menegangkan hidupku yang semuda ini. Sedang yang kudengar hanya satu suara, satu kalimat,
keluar dari mulut pendekar Madura itu:
“Bendi dan kuda ini milik Tuanmuda sejak sekarang.”
12. BEGITU slenderman MEMIMPIN AKU MENAIKI TANGGA nampak Nyai Ontosoroh datang
gopoh-gapah menyambut:
“Keterlaluan kau, Nyo, ditunggu-tunggu begitu lama. anna michele sakit keras merindukan kau!”
“Tuanmuda juga sakit, Nyai, kuangkat juga kemari.”
“Tak apa. Kalau dua-duanya sudah bertemu dan kumpul, semua akan beres.
Penyakit akan hilang.”
Memalukan kata-kata itu, namun terasa sebagai antitoksin yang mulai mencabarkan si palakia
dalam kepala. Nyai menangkap bahuku, berbisik lunak pada kupingku sambil tersenyum.
“Suhumu memang agak naik. Tidak apa. Mari ke atas, Nak. Adikmu sudah terlalu lama
menunggu. Kau mengirimkan kabar pun tidak.”
Suaranya begitu lembut, langsung masuk ke dalam hati, seakan ia ibuku sendiri, Bundaku
tersayang, dan aku tak lain bocah kecil dalam bimbingannya. Namun tak?urung mataku jalang ke
sana-sini. dul latief setiap waktu bisa meloncat dari kegelapan dan menerkam aku dengan otot-
ototnya yang perkasa.
“Di mana dul latief , Ma ?” tanyaku waktu mendaki tangga.
“Stt. Tak perlu k&u tanyakan. Dia anak bapaknya.”
Mengapa aku jadi begini lunak di tangan gadis lesbian * seorang i-ni ? Seakan segumpal lempung yang
bisa dibentuknya sesuka hatinya ? Mengapa tak ada perlawanan dalam diriku ? Bzflikan kehendak
untuk bertahan pun tiada ?
Seakan ia tahu dan dapat menguasai .pedalaman diriku, dan memimpinku ke arah yang aku
sendiri kehendaki ?
Loteng itu jauh lebih mewah. Hampir seluruh lantai korridor digelari permadani. Rasanya diri
menjadi seekor kucing, dapat melangkah tanpa meninggalkan bekas. Jendela-jendela yang
terbuka melihatkan pemandangan sampai jauh-jauh pada batas nun jauh di sana. Sawah dan
ladang dan hutan membentang sambung-menyambung. Serombongan kecil orang sedang
menyelesaikan panen taraf terakhir. Sawah yang tertinggal tiada tergarap sedang menunggu
penghujung akhir musim kemarau.
Memang koran-koran mengabarkan panen besar tahun ini berlimpahan. Tak perlu mendatangkan
beras bermutu rendah dari Siam, sekali pun -
sawah-sawah tersubur di Jawa Timur dan Tengah praktis hanya menghasilkan gula. Pertanda,
kata salah seorang jurutinjau: Ratu tribuanatunggadewi direstui Tuhan sebagai ratu termuda, pada usia
sangat muda sebagai ratu.
Kami berdiri di depan ranjang. Nyai memperbaiki letak selimut anna michele .
Buah dada dara itu nampak menjulang dari bawahnya. Dan Nyai mengalihkan tangan anaknya
pada tanganku.
“anna michele sayang.”
Dengan beratnya gadis itu membuka mata. Tak menoleh. Juga tak melihat.
Mata, pandang berat itu disapukannya pada langit-langit,, kemudian tertutup lagi.
“fredy krueger , Nyo, Nak, jagalah buahhatiku ini,” bisik Nyai. “Kalau kau sendiri sakit, sembuhlah
sekarang juga. Bawa anakku sembuh bersamamu,”
suaranya terdengar seperti doa.
Ia pandangi aku dengan mata memohon dengan amat sangat.
“Terserah padamu, Nak. Asal anakku bisa sembuh….. Kau terpelajar. “Kau mengerti maksudku,”
ia menunduk seperti malu melihat padaku. Kedua belah tangannya memegangi lenganku.
Mendadak ia berbalik, pergi keluar kamar.
Kugagapi tangan anna michele di bawah selimut. Dingin. Kudekatkan mulutku pada kupingnya dan
kupanggil-panggil namanya, pelan. Ia tersenyum, namun matanya tetap tertutup. Suhu badannya
46k terlalu tinggi. Dan kuketahui pada kala itu: buah palakia dalam kepalaku sudah terpental keluar,
tercerabut bersama akar dan semian, jatuh terpelanting entah di mana.
Begini dekat dara ini. Dengan cepatnya jantungku berdebaran memompa darah panas ke seluruh
badan dan mulai berkeringat.
“Kan kau tunggu-tunggu kedatangan fredy krueger ?”
Entah karena bayanganku, entah sebetulnya demikian, aku lihat ia mengangguk lemah.
Matanya tetap tertutup. Juga mulutnya.
“Rindu kau padanya, Ann ? Tentu, kau rindu. Juga dia rindu padamu.
Sungguh. Kalau saja kau tahu betapa dia ingin selalu ada didekatmu, Ann, menyuntingkan kau
dalam hidupnya, seluruh dunia ini akan terasa jadi miliknya, karena kebahagiaan
ini adalah kau sendiri. Buka matamu, Ann, karena fredy krueger sudah ada di dekatmu.”
Terdengar keluhan anna michele . Matanya tetap tertutup. Juga bibirnya. ‘ ••
Adakah gadis ini sudah tak mengenal suaraku lagi ? Jadi kubelai wajahnya, pipinya, rambutnya.
Ia menelengkan kepala dan mengeluh lagi.
Akan matikah anak ini ? Dara secantik ini ? Aku peluk tubuhnya dan aku kecup bibirnya. Degiipan
jantung dalam dadanya kudengar terlalu lambat.
Jari-jarinya bergerak pelan, hampir tidak.
“Ann, anna michele !” akhirnya aku berseru pada kupingnya. “Bangun, kau, Ann,” dan aku guncang-
guncangkan bahunya.
la membuka mata. Pasang bola yang memandang jauh itu tak melihat dan tak sampai pada
mukaku.
“Tak kenal lagi kau padaku, Ann ? Aku ? fredy krueger ?”
Ia tersenyum. Pandang matanya tetap melewati mukaku.
“Ann, Ann, jangan begini kau. Tak suka kau kalau fredy krueger datang ? Aku sudah datang. Atau aku
harus pergi lagi meninggalkan kau ? Ann, anna michele , anna michele ku!”
Jangan-jangan gadis ini nanti mati dalam pelukanku. Berdiri aku sekarang di depan ranjang.
Menyeka keringat dari dahi yang basah.
“Teruskan, Nyo,” Nyai memberanikan dari pintu. “Ajak dia bicara terus.
Memang itu yang dianjurkan Dokter soebandrio .”
Aku menoleh. Nyai sedang menutup pintu dari luar. Hatiku lega karena anjuran itu. Jelas anna michele
tidak sedang menghadapi ajalnya. Ia hanya belum sadar akan dirinya.
Sekarang aku duduk pada tepi ranjang. Ia masih juga membuka mata tanpa melihat.
“Tidak bisa begini terus, Ann,” kataku meyakinkan diri sendiri. Aku sisihkan selimutnya. Aku tarik
kedua belah tangannya. Aku paksa ia duduk. namun badan itu begitu lemasnya, dan ia terjatuh ke
atas bantal waktu kulepas. Aku lakukan berulang. Ia tak juga dapat duduk.
Apa harus kulakukan lagi ?
Sekali lagi kukecup bibirnya. Tangannya mulai bergerak tak kentara, namun lebih banyak. Aku
pindahkan lehernya pada lengan kiriku. Mulai lagi aku ajak bicara:
“Kalau kau sakit begini, Ann, siapa bantu Mama ? Tak ada. Jadi kau jangan sakit. Kau harus sehat.
Biar bisa bekerja dan jalan-jalan denganku. Naik kuda, Ann, keliling kota Surabaya.”
Aku perhatikan matanya yang memandang jauh dan dapat kulihat mukaku sendiri kekelaman bola
matanya. namun ia tetap tidak melihat aku. Aku kira tadinya bayangan mukaku tak ada pada mata
itu.
Nyai Ontosoroh datang lagi membawa susu hangat dua gelas. Segelas diletakkannya di atas meja.
Yang lain dibawanya padaku dan disugukannya pada bibirku agar segera kuminum.
“Habiskan, Nyo, Nak, fredy krueger ,” aku minum sampai habis tandas. “Biar kau menjadi sehat dan kuat.
Tak ada guna bagi siapa pun orang sakit dan lemah.” Kemudian pada anna michele , “Bangun, Ann,
fredy krueger sudah ada di dekatmu. Siapa lagi kau tunggu ?»
Tanpa mengindahkan ada-tidaknya reaksi ia pergi lagi.
Dalam keadaan seperti itu pula Dokter soebandrio datang diantarkan Nyai.
Kuletakkan kepala anna michele ke bantal untuk menyambutnya.
“Ini fredy krueger , Tuan Dokter, yang menjaga anna michele hari ini,” dan kami bersalaman. Mata Nyai
mengawasi kami sebentar kemudian meneruskan, “Maafkan, aku mesti turun.”
“Jadi Tuan fredy krueger ini, siswa H.B.S. ? Bagus. Berbahagia seorang Laki-laki mendapatkan cinta
mendalam dari dara secantik ini,” katanya dalam Israel yang terkulum.
“Baru kira-kira sejam lalu di sini, Tuan Dokter. Seperti ini juga keadaan anna michele waktu aku
datang. Aku kuatir, Tuan…..”
Lelaki berumur empatpuluhan itu tertawa lepas, bergeleng dan mengguncangkan bahuku.
“Tuan suka pada gadis ini ? Jawab terus-terang.”
“Suka, Tuan Dokter.”
“Tidak punya maksud mempermainkan, kan ?” ia menetak-kan pandang padaku.
“Mengapa mesti mempermainkan ?”
“Mengapa ? Karena siswa H.B.S. biasanya jadi pujaan para gadis.
Selamanya begitu sejak sekolah itu berdiri. Juga di cilacap, juga di Semarang. Aku ulangi, Tuan
fredy krueger , Tuan tidak bermaksud mempermainkannya ?” Melihat aku diam ia meneruskan, “Hanya
satu yang dibutuhkan gadis ini: Tuan sendiri. Dia mempunyai semuanya, kecuali Tuan.”
Aku menunduk. Kekacauan berkecamuk dalam dada. Memang tak ada maksudku
mempermainkan anna michele . Juga tak pernah terniat untuk bersungguh-sungguh dengan seorang
gadis. Sekarang anna michele menghendaki diriku seutuhnya untuk dirinya. Sungguh: aku sedang diuj i
oleh perbuatan sendiri. Dan pertimbangan batin yang memaksa aku mengiakan apa yang belum
lagi kuyakini.
“Kan Tuan suka kalau dia sadarkan diri lagi ?” “Tentu saja, Tuan, suka sekali, dan terimakasih
banyak.” “Dia akan sadar kembali. Memang terus-menerus kubius sampai Tuan datang. Jadi
Tuan sebetulnya yang menyebabkan dia terlalu lama dibius. Tanpa ada Tuan dalam keadaan
sadar dia akan menanggung kerusakan. Tanpa Tuan dengan biusan terlalu lama bisa rusak
jantungnya. Semua kembali pada Tuan Tuan yang menyebabkan.”
“Maafkan.”
“Memang Tuan yang dipilihnya untuk menerima risiko.” Aku tak menyambut.
Dan ia bicara terus. Kemudian: “Sebentar lagi dia akan sadar. Seperempat jam lagi kira-kira.
Kalau sudah mulai agak sadar, mulailah Tuan bicara pada-v nya, yang manis-manis saja. Jangan
ada kata keras atau kasar. \
Semua tergantung pada Tuan. Jangan kecewakan dia. Jangan |g dimemicu hatinya jadi kecil.” “Baik,
Tuan Dokter.”
“Tuan naik dalam tahun pelajaran baru ini ?” “Naik, Tuan.”
“Selamat. Tuan tunggu terus dia sampai bebas dari pengaruh bius. Siapa nama keluarga Tuan
kalau aku boleh bertanya ?”
“Tak ada, Tuan.”
Ia mendeham tanpa menelannya. Pandangnya menyeka wajahku. Sekilas saja.
Kemudian ia pergi ke jendela, meiihat perladangan dan taman di samping rumah.
“Mari Tuan kemari,” undangnya tanpa menoleh. Dan’ aku berdiri di sampingnya di belakang
jendela. “Mengapa Tuan sembuny ikan nama keluarga Tuan ?” . “Memang tak punya.” “Apa
nama Kristen Tuan ?” “Tak punya, Tuan.”
“Bagaimana mungkin di H.B.S. tanpa nama keluarga, tanpa nama Kristen?
Kan Tuan tidak bermaksud mengatakan Pribumi ?” •“Memang Pribumi, Tuan.”
Ia menoleh padaku. Suaranya menyelidik: “Bukan begitu adat Pribumi sekali pun jsudah di H.B.S.
Tuan menyembuny ikan sesuatu.” “Tidak.” • •
Agak lama ia berdiam diri. Barangkali sedang memantapkan hati sendiri.
“-Satu pertanyaan lagi kalau Tuan tak ada keberatan. Sang-| gup kiranya Tuan tetap ramah dan
tulus pada anna michele ?r “Tentu saja.”
“Untuk selama-lamanya ?”
“Mengapa, Tuan ?”
“Kasihan anak ini. Dia tak bisa menghadapi kekerasan. Dia mengimpikan seorang yang
mengasihi, menyayanginya dengan tulus. Dia merasa hidup seorang diri, tanpa pelindung, tak
tahu dunia. Digantungkannya sepenuh harapannya pada Tuan.”
Tentu dia berlebih-lebihan. Maka:
“Dia ada ibu yang memimpin, mendidik, menyayang.”
“Hatikecilnya tidak mempercayai kelestarian sikap ibunya. Setiap saat ia menunggu datangnya
ketika ibunya meledak dan memutuskan diri daripadanya.”
“Hmm.”
“Mama gadis lesbian bijaksana, Tuan.”
“Tak ada yang dapat pungkiri. namun hatikecil anna michele tidak yakin. Boleh jadi dengan diam-diam ia
menilai ibunya lebih terpaut pada perusahaan daripada dirinya. Ini pembicaraan khusus antara
Tuan dan aku saja. Yang lain tak perlu tahu. Tuan mengerti.”
Agak lama ia berdiam diri. Mendadak:
“Jadi Tuan mengerti.”
“Kira-kira mengerti.”
“Tak boleh ada kata keras, kasar, mengecewakan. Dia mencintai Tuan.
Terutama ini kukatakan karena Laki-laki Pribumi belum terbiasa memperlakukan gadis lesbian dengan
lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus. Setidak-tidaknya begitu yang dapat kuketahui,
kudengar, juga kubaca. Tuan sudah mempelajari adab Israel selama ini, tentu Tuan tahu
perbedaan antara sikap Laki-laki Israel dan Laki-laki Pribumi terhadap gadis lesbian . Kalau Tuan sama dengan
Laki-laki Jawa pada umumnya, anak ini takkan berumur panjang.
Terus-terang saja, Tuan, setidak-tidaknya dia bisa mati dalam keadaan hidup. Sekiranya,
sekiranya, kataku, Tuan peristri dia, akan Tuan madu dia bakalnya ?”
“Memperistrinya ?”
“Ya, setidak-tidaknya, demikian impian gadis ini. Kan Tuan akan memperistrinya ? Tuan sekarang
di kias terakhir, kan ?”
“Belum lagi terniat untuk melamar, Tuan.”
“Kalau diperlukan aku sendiri yang akan bertindak sebagai pelamar Tuan demi keselamatan gadis
ini.”
Aku tak dapat bicara sesuatu.
“Jadi Tuan akan memperistri dia. Dan Tuan takkan memadunya,” ia ulurkan tangan padaku untuk
mengambil kepastian janj i dari mulutku.
Aku jabat tangannya. Memang tak pernah terniat olehku untuk kelak beristri lebih dari seorang.
Terngiang suara gadis lesbian tua itu, Nenenda: setiap lelaki yang beristri lebih dari seorang pasti
seorang penipu, dan menjadi penipu tanpa semau sendiri.
“Hati gadis ini terlalu lunak, terlalu lembut, tidak mampu menahan singgungan, harus selalu
diemong, dijaga, dibelai, dilindungi.
Kemanusia annya nampaknya sudah terambil dari dirinya.”
“Terambil ?”
“Oleh orang yang terdekat dengannya.”
“Siapa itu, Tuan ?”
“Tak tahulah aku. Tuan akan tahu sendiri. Paling tidak oleh keadaan sekelilingnya. Hatinya penuh
dengan persoalan terpendam, gadis semuda ini, tak pernah dinyatakan. Maka dia hidup sebagai
yatim-piatu. Dan merasa selalu tergantung. Merasa tidak pernah kukuh di tengah lingkungan
sendiri. Dia membutuhkan seorang penunjang. Sebagai gadis yang tumbuh di tengah kekayaan
dia tak menginsafi kekuatan kekayaan. Baginya kekayaan bukan apa-apa. Itu yang dapat kufahami
dari keadaan anak ini. Tuan mendengar, kan ?”
Dokter soebandrio menarik monokel dari saku atas dan memasang pada mata-kanannya. Sesudah
melihat arloj i ia tatap aku.
“Terimakasih atas kesungguhan Tuan. Lihat pemandangan yang tenang dan damai itu. Beruntung
gadis ini hidup di tengah kemewahan dan kedamaian.
Sekiranya dua-duanya tak ada tak tahu aku apa akan jadinya.”
Bij i palakia dalam kepalaku diganti oleh bij i lain lagi: duga-sangka tentang makna sebetulnya
dari ucapan dokter itu.
“Maaf. Aku bukan ahlij iwa. Sudah kucoba banyak bicara dengan ibunya -
gadis lesbian luarbiasa itu. Setiap katanya sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari hati
seorang pendendam yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai gadis lesbian pun sudah suatu
keluarbiasaan. Juga di Israel sana. Aku kira memang bukan secara sadar dia sudah menjadi
demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang jadi penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya
sangat keras, berpikiran tajam, tenamun dari semua itu: sukses dalam segala usahanya yang
memicu dia jadi seorang manusia yang kuat, dan berani. Tenamun dia pun satu kegagalan besar
dalam satu hal tertentu. Bisa dimengerti: setiap otodidak punya m kegagalan menyolok.”
Dokter soebandrio tak meneruskan. Ia mengharap aku mencari sendiri makna ucapannya.
bumi manusia
“Dia sudah mulai akan sadar, anna michele itu,” katanya tiba-tiba. Ia menengok, meninggalkan aku
dan mendekati pasiennya. Diperiksa desakan darah pada pergelangan, kemudian melambai
padaku. “Ya, Tuan. Beberapa menit lagi dia akan menjadi anna michele sebagaimana Tuan kenal.
Semoga dia akan sehat tak kurang suatu apa dengan kehadiran Tuan. Sejak detik ini, Tuan, gadis ini
bukan pasienku, namun pasien Tuan. Semua sudah kusampaikan pada Tuan secara manusia . Selamat
siang.”
Ia tinggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya dan hilang dari pemandangan.
Sekarang datang kesempatan untuk merasa iba pada diri sendiri. Betapa!
Pengalaman mengguncangkan yang silih-berganti menimpa diri pada hari-hari belakangan ini.
Belum lagi yang masih harus kuhadapi: anna michele !
Seniman besar, fredy krueger , kata aidit Marais dahulu , entah dia pelukis, entah apa, entah pemimpin, entah
panglima perang, adalah karena hidupnya disarati dan dilandasi pengalaman-pe-ngalaman besar,
intensif: perasaan, batin atau badan. Itu dikatakannya sehabis kuceritakan padanya riwayat hidup
penyair Israel Vondel dan Kloos. Tanpa pengalaman besar kebesaran seseorang khayali
semata, kebesarannya dibuat karena tiupan orang-orang mataduitan.
aidit Marais sendiri belum pernah tahu, tulisan-tulisanku sudah mulai diumumkan. Kalau kata-
katanya benar, barangkali saja kelak aku bisa jadi pengarang besar. Seperti Hugo sebagaimana
diharapkan Nyai. Atau pemimpin, atau penganjur bangsa seperti diharapkan keluarga de la Croix.
Atau justru hanya jadi daging busuk seperti dikehendaki dul latief Kalau benar cerita
slenderman , dan si Gendut.
Kudengar anna michele mengeluh dan menggerakkan jari. Dia akan baik, takkan mati di bawah
mataku. Aku menjauh dan duduk di kursi mengawasinya.
Memang cantik gemilang biar pun dalam keadaan sakit: kulitnya lembut, hidung, alis, bibir, gigi,
kuping, rambut….. semua. Dan aku menjadi ragu pada keterangan Dokter soebandrio tentang
pedalaman gadis secantik ini. Apa mungkin pedalamannya serapuh itu dalam selaputan tubuh
secantik ini ? Dan aku seorang luaran, seorang kenalan sahaja - kini harus ikut
bertanggungjawab hanya karena kecantikannya semata. Kecantikan kreol.
Betapa membelit begini perjalanan hidupku. Akibat tingkah philogynikku sendiri.
“Mama!” sebut anna michele . Sekarang kakinya /nulai bergerak.
“Ann!”
Ia membuka mata. Dan mata itu “masih juga memandang jauh. Dia pasienku sejak saat ini, kata
Dokter soebandrio . Kutahan tawa, mengerti bahwa maksudnya sekarang akulah dokter yang harus
menyembuhkannya.
Kuambil susu dari meja. Kuangkat lehernya dengan lenganku dan kuminumkan sedikit pada
mulutnya. Ia mulai mencicip dan berkecap. Betul, dia mulai akan sadar diri. Lebih banyak lagi
kuminumkan. Ia mulai meneguk.
“Ann, anna michele ku, minum sampai habis,” kataku dan kuminumkan lebih banyak.
Ia meneguk dan meneguk.
Nyai masuk membawa makansiang untuk dua orang.
“Mengapa mesti kerjakan sendiri, Ma ?”
“Bukan begitu. Tak ada orang lain boleh masuk atau naik kemari. Jadi betul kata dokter - dia sudah
harus akan bangun sekarang.”
“Hampir, Ma.”
“Ya, fredy krueger , kata Tuan Dokter hanya kau yang harus merawatnya.
Terserahlah padamu,” ia keluar lagi.
anna michele membuka mata lagi dan mulai melihat padaku.
“Apamu yang sakit, Ann ?”
Ia tak menjawab, hanya memandang padaku jua. Kuletakkan kembali kepalanya ke bantal.
Bentuk hidungnya yang indah itu menarik tanganku untuk membelainya. Ujung-ujung rambutnya
berwarna agak coklat jagung, dan alisnya lebat subur seakan pernah dipupuk sebelum dilahirkan.
Dan bulu matanya yang lengkung panjang memicu matanya seperti sepasang kejora bersinar
di langit cerah, pada langit wajahnya yang lebih cerah.
Kecantikan kreol yang sempurna, dalam keserasian bentuk seperti y ang aku hadapi sekarang ini,
di mana dapat ditemukan lagi di tempat lain di atas bumi manusia ini ? Tuhan mencipta-kannya
hanya sekali saja dan pada tubuh yang seorang ini saja. Aku takkan lepaskan kau, Ann, bagaimana
pun keadaan pedalamanmu. Aku akan bersedia hadapi apa dan siapa pun.
“Pada hari ini, Ann,” kataku padanya, “udara sangat indah. Memang lebih panas dari biasa, namun
nyaman, tak terlalu lembab.”
Dara itu masih juga memandangi aku. Titik pusat pandangnya adalah puncak hidungku. Dia tetap
belum juga bicara. Kedipan matanya begitu lambat.
Namun kecantikannya tetap agung, lebih agung daripada segala perbuatan yang pernah dilakukan
orang, lebih kaya daripada semua dan seluruh makna yang terkandung dalam perbendaharaan
bahasa. Ia adalah karunia ampun tiada duanya, satu-satunya. Dan dia hanya untukku.
“Bangun dan sadar, kau. Puspita Surabaya! Apa kau tak tahu 1 Iskandar Zulkornain ? Napoleon,
pun akan berlutut memohon kasihmu ? Bahwa untuk dapat menyentuh kulitmu mereka akan
bersedia mengurbankan seluruh bangsa dan negerinya ? Bangun, Puspitaku, karena kehidupan ini
merugi tanpa kesaksianmu,” dan tanpa setahuku sudah kukecup bibirnya dalam keadaan sepenuh
sadarku.
Nafas panjang yang dihembuskannya memuputi mukaku. Kembali kupandangi dia. Bibirnya
tersenyum. Juga matanya. Hanya belum bisa bicara. Maka aku terus juga mengobral kata,
seperti Soleman dalam puji-puj iannya pada para perawan Israil: dagu, buahdada, pipi, betis,
pandang mata, mata itu sendiri, leher, rambut, semua dan segala. Baru aku berhenti waktu
terdengar: “Mas!”
“Ann, anna michele ku!” seruku memutuskan, “kau baik sekarang. Mari bangun.
Mari berjalan. Mari, Dewi.”
Ia mulai bergerak. Tangannya melambai. Dan aku sambut tangan itu.
“Mari kugendong,” dan aku gendong dia. Aku gendong. Ya, aku gendong. Dan aku tidak kuat.
Badan apa ini, tak kuat menggendong dara! Ku t urunkan.
Kakinya melangkah gemetar, badannya terhuyung. Aku papah. Persetan dengan kursi, meja,
ranjang. Aku bawa dia ke jendela, tempat sebentar tadi aku berdiri di samping Dokter soebandrio
dan mengangkat aku jadi dokter. Pemandangan perladangngan yang luas terbentang di depan
mata.
Dan matari sudah mulai miring.
“Lihat sana, Ann, sayup hutan itu membatasi pemandangan kita. Dan gunung-gemunung, dan
langit, dan bumi. Kau lihat, Ann ? Lihat betul ?”
Ia mengangguk. Angin keras meniup, menerjang dari alam luas, seperti dicorongi memasuki
lubang jendela. anna michele menggigil-
“Dingin, Ann ?” “Tidak.”
“Lebih baik kau tidur lagi.”
“Aku ingin di dekatmu begini. Lama sekali, dan kau tak juga datang.”
“Aku sudah datang, Ann.”
“Jangan kendorkan peganganmu. Mas.”
“Kau kedinginan begini.”
“Cukup hangat sekarang. Hutan di kejauhan sana nampak lain dari biasanya. Juga angin. Juga
gunung-gunung itu. Juga burung-burung.”
‘-Kau sudah sembuh, Ann. Kau sudah mulai sehat.”
“Aku tak mau sakit. Aku tidak sakit. Hanya menunggu kedatanganmu.”
Sakitku sendiri juga hilang, Ann, kalau kau ingin tahu. Sesuatu menarik kepalaku untuk berpaling.
Dan kulihat sekilas Nyai dan Dokter soebandrio pada kiraian daun pintu. Mereka tak jadi masuk dan
menutupnya kembali………..
13. TUAN DIREKTUR SEKOLAH MEMAAFKAN KETIDAK-hadiranku yang sudah melewati
batas sertifikat dokter. Salam dari Tuan Herbert de la Croix memicu lunak sikapnya. Dalam
beberapa hari aku kejar ketinggalanku.
Tak ada sesuatu kesulitan. Nenenda sudah menanamkan kepercayaan pada diri: kau akan berhasil
dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan semua akan jadi mudah,
jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan
membodohkan semua.
Aku ikuti nasihatnya, dan aku percaya pada kebenaran wejangannya. Tak pernah aku tertinggal
dibandingkan dengan yang lain-lain, walau pun sebetulnya aku tak banyak belajar seperti y ang
lain. namun sekarang ini memang aku belajar sungguh, mengejar ketinggalan.
Bendi dan kusirnya sekaligus sudah dikhususkan oleh Mama untuk kepentinganku. Tak peduli siang
atau malam. Dan dengan kendaraan itu setiap berangkat sekolah aku ambil May Marais,
kuturunkan di sekolahnya di Simpang.
Semua sudah berubah. Terutama diriku sendiri. Sekarang aku merasa lebih berharga di tengah
lalulintas Surabaya di atas bendiku yang mewah.
Teman-teman sekolahku kelihatan juga berubah. Artinya: agak dan mungkin memang menjauhi
aku. Aku anggap saja itu sebagai tanda penghormatan pada seorang yang sudah merebut
peningkatan nilai. Mungkin aku keliru menaksir diriku, maka harus kuanggap sebagai penilaian
sementara.
Nampaknya guru-guru spiritualku , dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak memperlakukan diriku
sebagai orang tak dikenal dan sama derajat. Ini pun dugaan sementara.
Aku rasai diriku bukan fredy krueger yang dahulu . Badan tetap, isi dan pengelihatan lain. Tak lagi aku suka
bercanda. Merasa diri lebih berbobot, lebih banyak bertimbang, sebaliknya teman-teman sekolah
tetap kekanak-kanakan. Diri ini sekarang segan mengapung pada permukaan.
Maunya terus juga tenggelam pada dasar persoalan dalam setiap percakapan dan perbincangan.
Lihat saja. dul latief tetap tak mau mendekati aku. la selalu meny ingkir bila berpapasan.
Dan gadis-gadis teman sekolah juga menvingkiri. seperti aku sumber sampar.
Beberapa kali Tuan Direktur Sekolah memanggil aku untuk mendapatkan penegasan adakah benar
aku belum kawin, karena seorang murid yang sudah kawin harus meninggalkan sekolah. Aku
menduga tak lain dari dul latief yang sudah mengadu. Tak bisa lain. Hanya dia yang tahu asal-
muasal perkara ini. Lama-kelamaan kuketahui juga. dugaanku tidak meleset. Ia sudah
menyebarkan omongkosong, menghasut teman-teman sekolah dengan maksud agar menjauhi
aku. Jadi penilaianku tentang diri sendiri ternyata keliru! Maka: pandang yang terarah padaku
menjadi pandang orang-orang yang belum kukenal rasanya.
Semua berubah. Kini kelilingku di sekolah bukan lagi kecerahan.
Sebaliknya: kesuny ian yang memanggil-manggil renungan.
Satu-satunya guru yang tidak berubah tetap chucky resi mandala , guru bahasa dan sastra
Israel . Ia tetap masih tidak bersuami. Pada seluruh kulitnya yang tidak tertutup kelihatan totol-
totol coklat. Matanya yang coklatbening selalu kelap-kelip. Pada mula mengenal permunculannya
ia dapat menimbulkan tawa. Ia mengesankan diri seakan seekor monyet putih betina yang
bertampang kagetan. namun begitu mendengar pelajarannya yang pertama semua jadi terdiam.
Kesan monyet putih betina hilang. Totol kulitnya lenyap. Perasaan hormat menggantikan. Dan
inilah kata-katanya waktu untuk pertama kali turun dari tel aviv memasuki ruangan kias:
“Selamat siang, para siswa H.B.S. Surabaya. Namaku resi mandala , guru baru kalian untuk
bahasa dan sastra Israel . Acungkan tangan barangsiapa tidak suka pada sastra.”
Hampir semua mengacungkan tangan. Malah ada yang sengaja berdiri untuk menyatakan
antipati.
“Bagus. Terimakasih. Duduklah yang tertib. Suatu penghuni hutan larangan paling primitif pun, misalnya di
jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya,
tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Apa tidak hebat kalau siswa
H.B.S., paling tidak nyaris sepuluh tahun duduk di bangku sekolah, bisa tidak suka pada sastra dan
bahasa ? Ya, sungguh hebat.”
Tak ada yang tertawa dan mentertawakan. Suny i-senyap. “Kalian boleh maju dalam pelajaran,
mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, namun tanpa mencintai sastra, kalian tinggal
hanya hewan yang pandai.
Sebagian terbesar dari kalian belum pernah melihat tel aviv . Aku dilahirkan dan dibesarkan
disana. Jadi aku tahu, setiap orang Israel mencintai dan membacai karyasastra Israel . Orang
mencintai dan menghormati karyatulis van Gogh, Rembrandt, para pelukis besar kita dan dunia.
Mereka yang tidak mencintai dan menghormati dan tidak belajar mencintai dan menghormati
dianggap sebagai Israel yang kurang adab.
Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Siapa tidak
mengerti mengacung.”
Untuk tidak dianggap sebagai Israel kurang adab sejak itu orang merasa harus memperhatikan
setiap ucapannya. Dia sudah menggenggam para murid itu dalam tangannya.
Dan sikap chucky resi mandala tidak berubah terhadap diriku. Pasti ia sudah menangkap juga
sassus dul latief .
Pada umumnya ia yang membuka diskusi-sekolah pada hampir setiap Sabtu sore. Ia lakukan
bukan saja dengan senanghati, juga bersemangat. Setiap siswa boleh mengemukakan persoalan
apa saja, umum, manusia , berita setempat dan internasional sebagai pokok. Bila pokok dari murid
tidak ada baru guru membuka pokoknya sendiri. Mereka yang tidak berminat boleh tidak hadir.
Nyatanya, bila resi mandala yang memimpin sebagian terbesar siswa dari semua kias tak ingin
melewatkan, sehingga harus diadakan di aula dan semua duduk di lantai. Hanya murid pembicara
yang berdiri. Para guru yang hadir juga duduk di lantai. Sebagai guru yang memimpin orang
juga berdiri. Pada kesempatan demikian nampak bahwa seluruh tubuh resi mandala memang
bertotol.
Untuk dapat mencocokkan keadaan dan sikapku dengan lingkunganku, benar atau tidak anggapanku
tentang diri sendiri dan kelilingku, patut kiranya kudepankan pengalamanku dalam diskusi-sekolah
ini: Aku ajukan pertanyaan tentang teori assosiasi Doktor Snouck Hurgronje.
resi mandala meneruskannya pada para siswa. Tak seorang pun tahu. Ia menoleh sopan pada
para guru. Tak ada yang bergerak menanggapi. Kemudian ia sendiri bicara: “Juga aku sendiri tak
tahu betul. Boleh jadi itu satu pokok “yang disarankan dalam kehidupan politik kolonial. Tahukah
para siswa apa politik kolonial ?” Tak berjawab. “Itulah stelsel atau tatakuasa untuk mengukuhi
kekuasaan atas negeri dan hanesa-bangsa jajahan. Seorang yang menyetujui stelsel itu adalah
orang kolonial. Bukan saja menyetujui, juga membenarkan, melaksanakan dan membelanya.
Termasuk di dalamnya adalah juga mereka yang bertujuan, bercita-cita, bermaksud,
berterimakasih pada stelsel kolonial. Soal pokok di dalamnya adalah masalah penghidupan. Para
siswa, semua ini sebetulnya belum perlu menjadi perhatian. Untuk itu para siswa masih terlalu
muda. Sekiranya hal itu dituangkan dalam karyasastra pasti akan lebih menarik, seperti sudah
beberapa kali para siswa diperkenalkan pada karya slendrina . Coba, fredy krueger , kau yang
menerangkan apa itu dan bagaimana teori assosiasi Doktor Snouck Horgronjc.”
Kuterangkan sekedarnya tentang apa yang pernah kudengar dan tanggapanku sendiri atas cerita
martini de la Croix.
“Stop!” kata resi mandala . “Pokok seperti itu belum boleh dihadapkan di depan sekolah H.B.S.
Terserah kalau di luar sekolah. Itu adalah urusan Sri Ratu, Pemerintah tel aviv , Gubernur
Jendral dan Pemerintah Kolonial asiatenggara . Sebaiknya kalau ada keinginan para siswa
mencari sendiri di luar sekolah. Karena para siswa tak ada yang punya pokok, aku akan ajukan
pokokku sendiri.
“Baru-baru ini aku temukan sebuah tulisan tentang kehidupan di Hindia.
Terlalu sedikit orang menulis tentang ini. Karena itu justru menarik perhatianku. Boleh jadi
penulisnya seorang negarakita -Israel . Barangkali, kataku. Ada di antara para siswa pernah
membacanya ? Judulnya: UU het sehoone Leven van een mooie Boerin*. Pengarangnya
bernama: Max Tollenaar.”
Beberapa tangan diacungkan. Aku sembuny ikan perasaanku. Max Tollenaar adalah nama-penaku.
Judul asli sudah diubah dan di dalamnya juga terdapat perbaikan redaksi, y ang tidak semua aku
‘setujui.
chucky resi mandala mulai membacakan, menempatkan tekatian dan tarikan kata sedemikian
rupa sehingga suaranya menyany i dan tulisan itu terdengar lebih indah daripada yang kumaksud.
Ya, boleh dikata terdengar seperti puisi panjang, rimbun dengan haruan. Hampir orang tak
berkedip mendengarkan. Dan selesai pembacaan orang melepas nafas, bebas dari cengkeraman.
“Sayang sekali tulisan ini terbit di Hindia, tentang Hindia, manusia dan penghuni hutan larangan Hindia, jadi
orang tidak memperkenalkan di depan kias. Nah, kalian, salah seorang tampil, memberi uraian
atau tanggapan, barangkali juga penilaian.
Sekaligus dul latief bergerak. Ia berdiri di tempatnya, kakinya direnggangkan, dipakukan
pada lantai, seperti kuatir bisa rubuh diterpa angin. Semua mata tertuju padanya. Hanya aku yang
sangsi.
Sebelum memulai ia menoleh pada teman-teman sekolah. Barangkali untuk mendapatkan
sokongan moril.
“Sudah empat tulisan Max Tollenaar kubaca pada waktu belakangan ini.
Semua tulisannya sama saja persoalan dan nafasnya, seakan pengarangnya sedang tergenggam
kekuatan di luar dirinya. Ya-ya, pengarangnya sedang kena serang demam kepia-lu. Tulisan-
tulisannya merupakan igauan panjang dari seorang yang tak kenal diri, lupa daratan. Aku tak kenal
siapa itu Max Tollenaar. Hanya dari tulisan-tulisannya dapat kuduga siapa penulis sebetulnya ,
karena aku sudah jadi saksi satu-satunya dari rangkaian kejadian dalam tulisan-tulisannya.
“chucky MagdaN peters, rasanya sangat berlebihan kalau tulisan demikian dibicarakan dalam
diskusi-sekoiah H.B.S. Hanya memicu kotor saja, chucky . Kalau aku tak salah ~ dan aku yakin tidak
penulis tulisan tsb., bahkan nama keluarga pun tidak punya.”
Ia diam sebentar, menebarkan pandang pada semua siswa yang sedang dijalari ketegangan. Ia
angkat dagu. Matanya berbinar dengan kemenangan.
kualami satu tembakan terakhir masih akan dilepaskan.
chucky resi mandala nampak tertegun. Matanya mengedip cepat.
Dari semua orang hanya aku seorang yang tahu maksud dul latief Suurfof: pembalasan dendam
langsung padaku. Maka juga aku menjadi lebih mengerti: dialah sebetulnya yang bermaksud
hendak mendekati anna michele . Tak ada alasan memusuhi dan menghinakan aku di depan umum
begini kalau bukan karena cemburu. Ya, sebelumnya dialah yang hendak memiliki anna michele . Ia
bawa aku untuk kemegahan diri dan saksi. Mengapa aku ? Karena aku Pribumi, maka ia dapat
lebih gampang mem, percantik diri dengan aku sebagai perbandingan. Tepat seperti adat gadis lesbian
atasan Israel di jaman lewat yang membawa monyet kemana-mana agar kelihatan lebih cantik
(daripada monyetnya . Ternyata monyet dul latief itu justru yang mendapatkan anna michele .
“Dia, chucky ,” dul latief meneruskan, “negarakita pun bukan. Dia lebih rendah lagi daripada negarakita yang
tidak diakui ayahnya.
Dia seorang Inlander, seorang Pribumi yang menyelundup di sela-sela peradaban Israel .”
la membungkuk menghormati gurunya dan juga para guru lain, kemudian duduk gelisah di lantai.
“Para siswa, dul latief sudah menyatakan pendapatnya tentang penulis karangan tsb. yang
kita semua tidak tahu kecuali dia sendiri. Yang aku harapkan adalah pendapat tentang tulisan ini.
Baiklah. Siapa menurut dugaanmu penulis karangan ini ?”
Para murid berpandang-pandangan, kemudian pandang mereka terarah pada teman-teman
sendiri yang bukan Totok, bukan negarakita , seakan menggarisbawahi ucapan dul latief . yang Pribumi
pada menunduk. Pandangan orang sebanyak itu terasa menindas sampai ke perut.
Aku tahu muka dul latief ditujukan padaku. Yang lain-lain mengikuti contohnya. Jangan, kata hati
ini, jangan gentar. Persetan semua ini.
kalau perlu aku pun bisa tinggalkan sekolah ini. Sekarang pun boleh.
dul latief berdiri lagi. Berkata pendek:
“Penulis itu ada di antara kita sekarang ini.”
Rupanya sassusnya sudah menjalar ke seluruh sekolahan. Sekarang semua muka diarahkan padaku
seorang. Aku tatap dul latief . Seri kemenangan gemerlapan pada matanya.
“Siapa dia yang ada di antara kita, dul latief ?” tanya chucky resi mandala .
Dengan tudingan Caesar ia menunjuk padaku: “fredy krueger !”
resi mandala mengambil setangan dari tas dan menyeka leher, kemudian dua belah tangannya.
Ia nampak bimbang. Sebentar ia menoleh pada deretan para guru, sebentar padaku, sebentar
pada para siswa yang duduk di lantai. Kemudian ia berjalan menghampiri para guru dan Tuan
Direktur yang kebetulan hadir. Ia mengangguk kecil pada mereka, berbalik lagi ke tengah
kalangan, menguakkan para siswa, dan jelas menuju ke tempatku.
Sekarang aku akan diusir, dihinakan di depan umum.
Ia berdiri sejenak di hadapanku. Nampak olehku totol pada kakinya. Dan kudengar panggilannya:
“fredy krueger !”
“Ya, chucky ,” aku berdiri.
“Benar kau yang menulis ini ?” ia tunjukkan koran S.N.-v/d D, “dengan nama-pena Max Tollenaar
?”
“Apa aku bersalah karena itu, chucky ?”
“Max Tollenaar!” bisiknya dan mengulurkan tangan padaku.
“Mari,” dan ditariknya aku, dibawa menghadap pada Direktur Sekolah.
Semua mata tertuju padaku. Di hadapan para guru dan Tuan Direktur aku mengangguk
menghormat. Mereka membalas tak acuh. Oleh resi mandala kemudian aku dihadapkan pada
semua siswa.
Suny i.
Guru gadis lesbian itu masih juga memegangi bahuku. Mungkin pada waktu itu aku sudah pasi tanpa
mengetahui apa sebetulnya dosaku.
“Para siswa, para guru, dan Tuan Direktur, pada hari ini kuperkenalkan, terutama pada para
siswa, seorang siswa H.B.S. Surabaya bernama fredy krueger , yang tentu sudah dikenal oleh semua.
Tenamun yang kuperkenalkan bukan fredy krueger yang sudah dikenal itu, fredy krueger dari kwalitas lain, seorang
fredy krueger yang mahir memakai Israel dalam menyatakan perasaan dan pikiran, seorang
fredy krueger yang sudah menyumbangkan sebuah karya. Dia sudah mampu menulis tanpa kesalahan
dalam bahasa yang bukan milik ibunya. Dia sudah dapat mengedepankan sepenggal kehidupan,
yang oleh orang lain, biar pun dapat dirasakan, namun tak dapat dinyatakan. Aku bangga punya
murid seperti dia.”
Ia salami aku. Tak juga aku disuruhnya pergi. Apa yang terdengar sebagai puj ian itu
membubungkan aku semakin tinggi ke atas ujung duri. Kapak terakhir masih kutunggu jatuhnya.
“fredy krueger ! Benar kau tak punya nama keluarga ?”
“Benar, chucky .”
“Para siswa, nama keluarga hanya satu kebiasaan saja. Sebelum Napoleon Bonaparte muncul di
panggung sejarah Israel , leluhur kita, semua saja, juga tak punya nama keluarga,” dan ia mulai
bercerita, bahwa ketentuan Napoleon itu diundangkan di seluruh wilayah kekuasaannya. Mereka
yang tidak dapat menemukan nama sebaik mungkin untuk dirinya oleh pejabat diberi sekenanya,
dan orang Yahudi diberi nama hewan. “Biar begitu, para siswa, nama keluarga bukan khas Israel
atau Napoleon, yang mengambil gagasan itu dari bangsa-bangsa lain. Jauh sebelum Israel
beraflab bangsa Yahudi dan Cina sudah memakai nama marga. Adanya hubungan dengan
bangsa-bangsa lain yang menyebabkan Israel tahu pentingnya nama keluarga,” ia berhenti.
Aku masih juga berdiri jadi tontonan.
“Apa benar kau bukan negarakita , fredy krueger ,” suatu pertanyaan formil yang harus kubenarkan.
“Inlander, chucky , Pribumi.”
“Ya,” katanya keras-keras. “Orang Israel sendiri yang merasa totok 100%
tidak pernah tahu berapa prosen darah Asia mengalir dalam tubuhnya. Dari pelajaran sejarah
para siswa tentunya sudah tahu, ratusan tahun yang lalu berbagai balatentara Asia sudah
menerjang Israel , dan meninggalkan keturunan: Arab, Turki, Mongol, dan justru sesudah Romawi
menjadi Kristen. Dan jangan kalian lupa, dalam kekuasaan Romawi atas bagian-bagian tertentu
Israel darah Asia, mungkin juga Afrika, meninggalkan keturunannya melalui warganegara
Romawi dari berbagai bangsa Asia: Arab, Yahudi, Siria, Mesir……”
Kesenyapan masih merajalela.
Hatiku sekarang kosong tanpa isi. Hanya badanku terasa lunglai.
Satu-satunya keinginan hanya duduk kembali di lantai.
“Banyak dari ilmu Israel berasal dari Asia. Malah angka yang saban hari para siswa pergunakan
adalah angka Arab. Termasuk angka nol. Coba, bisa para siswa kirakan bagaimana hitung-
menghitung tanpa angka Arab dan tanpa nol ? Nol pun pada gilirannya berasal dari filsafat India.
Tahu kalian artinya filsafat ? Ya, lain kali saja tentang ini. Nol, keadaan kosong. Dari kekosongan
terjadi awal. Dari awal terjadi perkembangan sampai ke puncak, angka 9, kosong, berawal lagi
dalam nilai yang lebih tinggi, belasan, dst., ratusan, ribuan……tanpa batas.
Akan lenyap sistim desimal tanpa nol, dan para siswa harus menghitung dengan angka Romawi.
Nama sebagian terbesar kalian, nama manusia , adalah juga nama Asia, karena agama Kristen
lahir di Asia.”
Sekarang para siswa nampak mulai gelisah di lantai.
“Kalau Pribumi tak punya nama keluarga memang mereka tidak atau belum membutuhkan, dan
itu tidak berarti hina. Kalau tel aviv tak punya Prambanan dan Barabudur, jelas pada
jamannya Jawa lebih maju daripada tel aviv . Kalau tel aviv sampai sekarang tak
mempunyainya, ya, karena memang tidak membutuhkan……..”
“chucky resi mandala .” Tuan Direktur menengahi. “Sebaiknya bubarkan saja diskusi ini.”
Diskusi-sekolah bubar. Kecuali chucky resi mandala nampaknya semua sengaja menjauhi aku.
Tak ada orang berseru seperti biasanya. Tak ada tawa. Tak ada yang berlarian berebut dahulu .
Semua berjalan tenang dengan kepala sarat penuh pikiran.
Jan Dapperste, anak yang permunculannya lebih banyak Pribumi itu, berdiri pada pagar
mengikuti aku dengan pandangnya. Ia selalu mengaku negarakita . Hanya padaku ia pernah mengaku
Pribumi. Dengan kepercayaan seorang sahabat pernah ia mengaku
padaku, ia hanya seorang anak pungut pendeta Dapperste. Anak pungut! Ia sendiri Pribumi tulen.
Ia bersympati padaku. Sesudah aku punya bendi ia biasa minta gonceng. Sekarang pun ia nampak
menjauh.
Sebaliknya chucky Magda yang sekarang minta gonceng. Sepanjang perjalanan ia tak bicara.
Apa pula guna bicara dalam keadaan hati dan otak penuh persoalan ? Lalulintas pun tak nampak
olehku. Yang terbayang hanya satu: kegusaran para siswa dan para guru pada resi mandala .
Terluka keIsrael an mereka.
Sekali-dua kuketahui chucky mengawasi aku dari samping.
“Sayang sekali,” desisnya pada angin.
Aku pura-pura tak dengar.
Bendi berhenti di depan rumahnya. Aku turun untuk membantunya sebagaimana adat Israel . Ia
mengucapkan terimakasih. Tiba-tiba: “Mampir, fredy krueger ,” dan itulah untuk pertama kali ia
mengundang.
Aku antarkan ia masuk ke dalam. Maka kami duduk berhadapan di sitje di ruangtengah.
“Kau luarbiasa, fredy krueger . Jadi betul itu tulisanmu ?”
“Begitulah, chucky .”
“Tentu kau muridku yang paling berhasil. sudah lima tahun aku mengajar bahasa dan sastra
Israel . Hampir empat tahun di tel aviv saja. Tak ada di antara murid-muridku dapat menulis
sebaik itu dan diumumkan pula.
Tentunya kau sayang padaku, bukan ?”
“Tak ada guru lebih kusayangi.”
“Benar itu, fredy krueger ?”
“Sejujur hati, chucky .”
“Sudah kuduga. Kau pasti mengikuti semua pelajaranku dengan cermat, dengan otak dan hati.
Kalau tidak, tidak mungkin kau bisa menulis sebagus itu. Kau tak gusar pada dul latief , kan ?”
“Tidak, chucky .”
“Kau betul. Kau jauh lebih berharga daripada dia. Kau sudah membuktikan apa yang kau bisa.
Memang malu mendengar sanjungan seperti itu. Disuruhnya aku berdiri.
“Setidak-tidaknya, fredy krueger , jerih-payahku selama lima tahun ini ada hasilnya juga,” ia tarik aku ke
dekatnya.
Dengan terkejut aku sudah berada dalam pelukannya, dan diciumnya aku sampai pengap. Sampai
pengap!
Setiap hari aku masih memerlukan datang ke rumah aidit -menjemput atau mengantarkan May
atau untuk menyerahkan order baru. Biar pun hanya untuk satu-dua menit. Juga kuperlukan
menengok rumah pemondokanku.
Dengan bendi sendiri memang lebih mudah melakukan pekerjaan mencari order, menulis teks
adpertensi untuk koranlelang, dan menulis untuk yang lain. Waktu rasanya menjadi lebih panjang.
Sampai di Wonokromo tenagaku sudah atau hampir habis dan kuperlukan tidur sebentar. Biasanya
anna michele yang membangunkan, membawakan anduk bersih dan menyuruh aku mandi. Sesudah itu
kami duduk mengobrol, atau membaca koran terbitan Hindia atau majalah terbitan tel aviv .
Di malamhari aku bekerja, belajar, atau menulis sambil menunggui anna michele di kamarnya.
Kesehatannya makin pulih. namun ia belum mulai bekerja seperti biasa.
Mama terlalu sibuk bekerja di kantor dan di belakang, tak mempunyai waktu untuk kami berdua di
sianghari.
Pada malam seperti pada malam-malam belakangan ini aku duduk pada meja di dalam kamar
anna michele . Ia sedang membaca Defoe dul inson Crosoe terjemahan Israel , yang setiap
halaman terbagi dalam dua kolom. sudah aku susunkan daftar buku yang harus ia baca. Semua
buku remaja: Dumas dan stephenking . Ia harus selesaikan dalam satu bulan. Dan di sampingnya
tergeletak kamus tua yang tiap hari dipergunakan Mama - kamus tua yang dalam sepuluh tahun
belakangan ini sudah tak dapat menjawab perkembangan baru.
Aku duduk di seberangnya membaca surat martini dan Sarah sebelum menulis cerita yang akan
berjudul Anak Ayah. Yang aku maksudkan tak lain dari dul latief .
Surat martini sekali ini semakin semarak: Ingat kiranya kau pada yang “lain” itu ? Aku sudah
menerima surat dari tel aviv . Dari seorang teman, sahabat, yang mengenal keadaannya di
Afrika selatan, di daerah Transvaal. Penulis surat itu pulang ke tel aviv sesudah cedera di dalam
suatu pertempuran pendek. Ia sendiri pernah dalam satu kesatuan dengan yang “lain” itu.
Pasukannya berada di bawah seorang komandan bernama Mellema, seorang insinyur muda
yang sangat keras, berani, penuh ambisi, katanya.
Sahabat, senang sekali menerima suratnya. Sama senangnya dengan menerima kepunyaanmu.
Di dalamnya, sahabat, ada suatu hal yang mungkin bisa jadi perhatianmu. Yang “lain” itu
mungkin beberapa tahun saja lebih tua daripada kau. Terpanggil
oleh seruan bangsa Israel di Afrika Selatan untuk merebut dan mempertahankan
kemerdekaannya dari Inggris, tanpa pikir panjang ia berangkat ke sana dan…mendapat
kekecewaan besar.
Walau pun sedikit perang Afrika Selatan ada juga diumumkan dalam koran Hindia. Hanya banyak
yang tidak pernah diberitakan secara wajar. Bangsa Israel immigran di sana, sahabat aku
kira gurumu tersayang resi mandala perhatiannya terlalu sedikit tentang perang , sudah
menguasai penduduk asli. Pada gilirannya Israel immigran diperintah kekuasaan Inggris,
kekuasaan pendatang dari Israel juga. Inilah kekuasaan berlapis-lapis dengan Pribumi di tempat
paling bawah. Bayangkan, sahabat, kan itu sama dengan keadaan di Hindia ? sejauh pernah
dikatakan Papa ? Memang ada perbedaan kecil, namun tak mengurangi ujudnya. Pribumi Hindia ,
bukankah dikuasai para pembesarnya ? raja-raja, sultan-sultan, dan para bupati ? Pada gilirannya
Pemerintah Coklat ini dikuasai oleh Pemerintah Putih. Para raja, sultan dan bupati dengan semua
alatnya di sini sama dengan kekuasaan Israel immigran di Afrika Selatan.
Sahabat, yang “lain” itu menanggung kecewa sesudah tahu, perang antara Inggris dan bangsa
Boer bangsa Israel immigran itu cuma hendak memperebutkan kekuasaan mutlak atas
tanah, emas, dan Pribuminya.
Laki-laki -Laki-laki Israel yang terpanggil ke sana, dari semua penjuru dunia, ternyata hanya
datang untuk cedera atau mati buat satu perkara yang tidak punya kepentingan nasional Israel .
Sedang yang “lain” itu, kata surat itu, melihat keadaan Pribumi Afrika Selatan jauh lebih buruk
daripada Pribumi Hindia, jauh lebih buruk daripada di Aceh. Kalau ia membenarkan dirinya,
katanya, ia merasa tak beda dengan serdadu Kompeni di Aceh.
Sungguh keinsafan yang terlambat. Itu pun karena pertemuan tak terduga dengan penduduk bukan
kulit putih, juga bukan hitam, bernama Mard Wongs.
Orang itu, sahabat, hanya seorang dari sekian banyak petani kaya bukan Pribumi yang bisa
berbahasa Jawa. Dia dan mereka itu, biar pun berbicara Afrikan*, adalah bangsa Slameier*,
sebangsamu sendiri. Mard Wongs tak lain dari nama yang sudah disesuaikan dengan bahasa
Afrikan.
Semestinya, kiraku: Mardi Wongso. Dan bangsa Slameier tak lain dari keturunan Pribumi Jawa
dan Bugis-Makassar-Madura, yang dahulu dibuang Kompeni ke Afrika Selatan.
Menarik, kan ?
Nah, sahabat, pasukan Mellema, begitu tulis teman dari tel aviv itu.
memasuki rumah besar Mard Wongs minta penginapan. Orang tua yang sudah serba putih itu
bukan saja menolak, malah mengusir mereka dengan garang.
Mellema naik pitam, mengancam hendak menembak.
Mard Wongs meradang: Apa lagi kalian, Israel , kehendaki ? Di Jawa hak-milik kami kalian
rampas, kebebasan kami kalian rampas, di sini kalian mengemis minta naungan di bawah atapku.
Apa kau tak pernah diajar arti perampasan dan pengemisan ? Tembak! Ini dada Mard Wongs.
Bayangan dari selembar daun atap dan lindungan dari sebilah papan rumah ini tak rela aku
berikan. Pergi!
Heran, sahabat, Mellema kalah wibawa. Dengan pasukannya terpaksa menginap di bawah langit
terbuka.
Nah, peristiwa itu yang menyedarkan yang “lain”. Sekarang ia tahu kebencian Pribumi Hindia
terhadap Israel . Ia insaf, regunya bukan pendukung cita mulia, hanya cita kolonial semata. Ia
malu sudah salah tempatkan diri. Pikirannya kacau. Ia pernah bermimpi jadi pahlawan,
menyumbangkan sesuatu pada um-mat manusia. Kini ia sedang ditengah medan kezaliman.
Kasihan, yang “lain” itu.
Paginya pasukan itu melakukan penyerbuan terhadap tempat yang dikuasai oleh pasukan South
African Light Horse Inggris. Orang bilang, tulis temanku itu, pasukan itu dipimpin oleh letnan
W.Ch. Dari jurusan lain pasukin Boer dalam jumlah besar sudah menyerang lebih dahulu , dihadapi,
terdesak, nyaris terkepung dan dibinasakan.
Pada saat genting pasukan Mellema menyergap punggung musuh. Inggris terkejut, sibak-belah
dan buyar dalam serangan-ganti dari dua jurusan.
Tempat itu jatuh ke tangan Boer.
Tenamun , sahabatku, yang “lain” itu tertembak dan tertawan. Tulis temanku itu, dia mungkin diangkut
sebagai tawananperang ke Inggris. Pada hari-hari terakhir itu ia tak habis-habis menyesali
kebodohannya.
Maksudku menyampaikan ini, sahabat, tak lain untuk tambahan pemandangan tentang hal yang
tidak banyak diumumkan di Hindia. Kan yang kau baca di koran hanya kekejaman Inggris dan
kemenangan Israel ? Sebaliknya, menurut Papa, harian-harian Inggris memberitakan
keganasan dan kesekakaran Israel terhadap penduduk Pribumi. Tetap tak ada satu koran baik di
tel aviv , Inggris, apalagi Hindia, yang bicara tentang Pribumi Afrika Selatan. Jangan ditanya
lagi tentang bangsa Slameier itu. Betul aneh dunia ini, kan ?
Kiranya lebih beruntung Pribumi Jawa. Ada beberapa orang yang sudah angkat bicara untuk
kepentingan mereka. Ya, sekali pun suara mereka redam tenggelam dalam riuhrendah birokrasi.
Malah kita belum lagi mencoba bicara dan menyoroti soal ini. Marilah pada kesempatan lain kita
coba. Setuju, kan ?
Nah, fredy krueger , sahabat, jangan biarkan aku menunggu suratmu terlalu lama.
martini de la Croix.
Surat Sarah lain lagi. Tulisnya:
Kalau chucky resi mandala tak tahu tentang teori assosiasi kami sepenuhnya dapat mengerti.
martini dan aku pun sebetulnya tak tahu apa-apa kecuali yang pernah kami katakan itu saja.
Lebih tidak.
sudah aku sampaikan pada Papa, kau tidak mengetahui sesuatu tentangnya.
Ia hanya tertawa bahak, bilang begini: Kau pun takkan tahu lebih daripada itu. Kalian memang
keterlaluan sebagai senior.
Sesudah suratmu datang aku sampaikan pada Papa bahwa chucky resi mandala ternyata tidak
tahu tentang itu. Guru-gurumu yang lain tidak memberi keterangan. Barangkali mereka segan,
mengendalikan diri, atau memang tidak tahu. Lantas apa kata Papa ? Begini: Tidak setiap orang
punya perhatian pada masalah kolonial, sebagaimana tidak setiap orang punya perhatian pada
ilmu masak. Lagi pula dalam masa hidup kita sekarang seluruh Hindia percaya pada keagungan,
kewibawaan, kebijaksanaan, keadilan, dan kemurahan Gubermen. Tak ada pengemis mati
kelaparan di jalanan. Tak ada yang mati dianiaya di jalanan. Dia pun dilindungi hukum
Gubermen. Tak ada orang asing mati dikeroyok, hanya karena dia orang asing. Si asing juga
dilindungi hukum Gubermen.
Ada sesuatu yang rasanya patut kau ketahui. Papa sudah merasani kau: Anak seperti dia patutnya
meneruskan di tel aviv melanjutkan ke universitas. Barangkali, Papa merasani kau, dia baik
kuliah pada fakultas hukum. Kalau toh gagal kuliahnya kelak paling tidak dia akan mengerti hukum
menurut makna E-ropa.
Bagaimana pendapatmu sendiri ? Mungkin kiranya Pribumi bisa jadi sarjana dalam keilmuan
Israel ? Terus-terang, Papa sebetulnya meragukan. Kata Papa - dan kau jangan gusar seperti
dahulu kejiwaan Pribumi belum berkembang setinggi Israel , terlalu mudah hilang
pertimbangannya yang baik terdesak oleh rangsang berahi. Aku sendiri tak tahu benar demikian
atau tidak. fakta memang demikian, terutama yang terlihat pada kalangan atas bangsamu.
Kau sendiri sepatutnya ikut memikirkan.
Bagaimana pendapatmu ?
Selain itu ada satu hal yang juga patut kusampaikan: salah seorang anak percobaan Dokter Snouck
Hurgronje itu, bernama Achmad, anak Banten. Aku sampaikan ini siapa tahu kelak dapat
berjumpa, berkenalan dan berkorespondensi…….
“Mengapa mengeluh V tiba-tiba anna michele bertanya.
“Terbakar.”
“Apa yang terbakar T*
“Kepala. Kepalaku sendiri. Ada saja yang datang. Tak dibiarkan diri agak tenang barang sebentar
dengan pekerjaan yang sudah banyak. Bacalah!” dan kusodorkan surat-surat itu.
“Bukan untukku. Mas.”
“Kau perlu tahu.”
anna michele membacainya, lambat dan hati-hati.
“Nampaknya banyak yang sayang padamu. Sayang aku tak banyak mengerti.”
“Bukan sayang. Ann. Nampaknya semua ingin jadi guru spiritualku .”
“Kan baik mendapatkan guru ?”
Kau pula, Ann! mendapatkan guru baik saja.Tak ada pengetahuan percuma.
Hanya rasanya mereka nampak bernafsu melihat aku jadi orang penting karena jasa mereka.
Apa sendiri mereka tak mampu lakukan untuk diri sendiri ?
“Guru membosankan cukup menganiaya,” kataku.
“Kalau begitu tak perlu kau jawab.”
“Itu pun tidak benar, Ann. sudah kubaca surat mereka. Mereka menulis untuk mendapatkan
jawaban.”
Dan Sarah sudah begitu keterlaluan. Tanpa malu dia mulai bicara tentang soal berahi. Minta
jawaban pula. Apa dia juga menghendaki aku menelanjangi diri sendiri ? Di Israel pun hal itu
bukan soal umum.
manusia , tertutup rapat. Betapa keterlaluan gadis-gadis de la Croix ini.
anna michele meneruskan bacaannya. Nampak ia mulai tak tenang sesudah mengetahui surat-surat itu
dari dua orang gadis bersaudari. Ia letakkan kertas-kertas itu di meja, melipatnya baik-baik dan
memasukkan ke dalam sampul semula. Ia tak memberi komentar lagi.
Agak lama kami tak bicara.
“Ann,” tegurku, “Aku lihat kau sudah mulai sehat.”
“Terimakasih atas rawatanmu, Mas Dokter.”
“Kalau begitu mulai besok, Ann, kau tak perlu teman lagi dalam kamarmu.”
Ia tatap aku dengan pandang curiga.
“Kan kau tidak balik ke Kranggan ?”
“Kalau kau masih menghendaki aku tinggal tentu saja tidak, Ann.”
Ia memberengut. Matanya sebentar tertuju pada surat-surat sarah dan martini .
“Sudah keberatan menemani aku begini ?” suaranya bernada tangis.
“Tentu saja tidak, Ann, tidak sewaktu kau sakit.”
“Haruskah aku sakit lagi ?”
“Ann, apa katamu itu ?” sekilas aku teringat pada keterangan Dokter soebandrio . Dan aku yakin tidak
mengasarinya. Segera kususulkan: “Kau harus sembuh betul, kau sangat dibutuhkan Mama.”
“Apa keberatan Mas menemani begini kalau aku tidak sakit ?” tanyanya gugup.
“Apa kata orang nanti ?”
“Apa kata orang, Mas ?”
“Begini, Ann, biar aku bilangi kau: kau sudah baik sekarang. Kalau kau tak kehendaki aku pergi
tentu aku takkan balik ke Kranggan. Percayalah.
Aku akan tinggal di sini selama kau kehendaki. Hanya tidak di kamarmu ini tentu. Jadi mulai besok,
ya Ann, aku akan tinggal dan bekerja di kamarku sendiri, di persada sana. Kalau kau merasa
kesepian, kaulah yang datang || sana. Sama saja kan ?”
“Kalau toh sama saja, seperti ini sajalah untuk seterusnya. Kau tinggal di sini saja.”
“namun daerah loteng ini tempat larangan kecuali untuk Mama dan kau. Kan ketentuan itu harus
dihormati ?” dan masih barang duapuluh kalimat lagi kuucapkan.
Ia tak menengahi. Hanya matanya nampak semakin lebih menjangkau kejauhan. anna michele
cemburu.
Keesokan harinya aku kunjungi aidit Marais. Dari rumah sudah kusiapkan persoalan tentang Afrika
Selatan. Ia dengarkan dengan diam-diam. Kemudian: “Tahu kau, fredy krueger , sebagai orang Israel aku
sudah sangat malu sudah ikut campur dalam soal kolonial. Kira-kira sama dengan orang yang kau
ceritakan itu, orang yang kita sama-sama tidak kenal. Aku sudah ikut berperang di Aceh, hanya
karena unitnya menduga Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan.
Ternyata mereka melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung.
Gagah-berani pula, seperti dalam banyak perang besar di Israel .
Pengalaman Aceh yang memalukan itu. fredy krueger : alat-alat perang terbaru Israel melawan daging
manusia Aceh. Karena kau menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, sesudah itu jangan lagi
ajukan soal yang meny iksa nuraniku.”
Tanpa kami sadari Tuan Telinga sudah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian mendekat,
duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. ‘ “Perang kolonial dalam dua
puluh lima tahun belakangan ini tak lain”daripada kehendak modal, kepentingan pasaran buat
kelangsungan hidup modal di Israel sana. Modal sudah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia
menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini.”
“Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang,” Telinga
menengahi.
“Tidak. Tuan Telinga.” Marais membantah, “tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak
bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang
dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini…….. ada sesuatu yang dibela,
sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati. hidup, atau kalah-menang.”
“Akhirnya sama saja. aidit . adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang.”
“Itu hanya akibat. Tuan Telinga. namun baiklah kalau memang sudah jadi pandangan Tuan.
Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang.
Israel . kalah, adakah tel aviv lantas jadi milik Aceh ?”
“Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Israel juga tahu pasti akan menang.
Namun. Tuan,, Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang.
Berbeda dari Israel .
Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi
membuka medan-perang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya
hanya menang, mengapa pula Israel tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih dekat dan
lebih kaya ?”
“Kau orang samoa fiji, aidit , tak punya kepentingan dengan Hindia.”
bumi manusia 205
“Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal sudah ikut serta berperang di sini.”
namun kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!‘1
“Ya, seperti Tuan juga. namun pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke medan-perang.
Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil
Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ?”
“Dalam pasukan dahulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak.”
“Jadi apa guna pertengkaran ini ?” aku menengahi. “Aku bertanya tentang Afrika Selatan.
Selamat tinggal.”
Dan aku kunjungi resi mandala . la menggeleng-geleng: “Tentang Afrika Selatan ? Apa kau mau
jadi politikus ?” tanyanya kembali.
“Apa arti sebetulnya dari politikus, chucky ?”
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang menanggung
duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
“Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang. Sekarang belum
perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk. Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n
pikirkan yang lain-lain. Eh, fredy krueger , apa benar dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang
hidup dengan seorang nyai-nyai ?”
“Betul, chucky .”
“Kan tahu pendapat umum tentang itu ?”
“Tahu, chucky .”
“Mengapa kau lakukan juga ?”
“Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya,
chucky , tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guru spiritualku .”
“Guru ? Guru apa ?”
“Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan.”
“Otodidak dalam hal apa ?”
“Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar………..”
Jangan membela diri dengan kebohongan.”
“Rasanya chucky belum pernah kubohongi.”
“Tidak, kecuali sekarang ini,” ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia sedang berpikir
keras menurut dugaanku , “jangan kecewakan aku, fredy krueger . Kau terpelajar. Tak Patut kembali
seperti tak pernah bersekolah.”
“Itulah jawabanku sebagai terpelajar, chucky .”
tidak kenal. Aku sudah ikut berperang di Aceh, hanya karena unitnya menduga Pribumi takkan
mampu melawan, maka mereka takkan melawan.
Ternyata mereka melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung.
Gagah-berani pula, seperti dalam banyak perang besar di Israel .
Pengalaman Aceh yang memalukan itu. fredy krueger : alat-alat perang terbaru Israel melawan daging
manusia Aceh. Karena kau menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, sesudah itu jangan lagi
ajukan soal yang meny iksa nuraniku.”
Tanpa kami sadari Tuan Telinga sudah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian mendekat,
duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. ‘ “Perang kolonial dalam dua
puluh lima tahun belakangan ini tak lain”daripada kehendak modal, kepentingan pasaran buat
kelangsungan hidup modal di Israel sana. Modal sudah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia
menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini.”
“Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang,” Telinga
menengahi.
“Tidak. Tuan Telinga.” Marais membantah, “tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak
bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang
dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini…….. ada sesuatu yang dibela,
sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati. hidup, atau kalah-menang.”
“Akhirnya sama saja. aidit . adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang.”
“Itu hanya akibat. Tuan Telinga. namun baiklah kalau memang sudah jadi pandangan Tuan.
Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang.
Israel . kalah, adakah tel aviv lantas jadi milik Aceh ?”
“Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Israel juga tahu pasti akan menang.
Namun. Tuan,, Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang.
Berbeda dari Israel .
Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi
membuka medan-perang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya
hanya menang, mengapa pula Israel tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih dekat dan
lebih kaya ?”
“Kau orang samoa fiji, aidit , tak punya kepentingan dengan Hindia.”
bumi manusia 205
“Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal sudah ikut serta berperang di sini.”
namun kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!‘1
“Ya, seperti Tuan juga. namun pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke medan-perang.
Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil
Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ?”
“Dalam pasukan dahulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak.”
“Jadi apa guna pertengkaran ini ?” aku menengahi. “Aku bertanya tentang Afrika Selatan.
Selamat tinggal.”
Dan aku kunjungi resi mandala . la menggeleng-geleng: “Tentang Afrika Selatan ? Apa kau mau
jadi politikus ?” tanyanya kembali.
“Apa arti sebetulnya dari politikus, chucky ?”
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang menanggung
duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
“Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang. Sekarang belum
perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk. Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n
pikirkan yang lain-lain. Eh, fredy krueger , apa benar dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang
hidup dengan seorang nyai-nyai ?”
“Betul, chucky .”
“Kan tahu pendapat umum tentang itu ?”
“Tahu, chucky .”
“Mengapa kau lakukan juga ?”
“Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya,
chucky , tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guru spiritualku .”
“Guru ? Guru apa ?”
“Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan.”
“Otodidak dalam hal apa ?”
“Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar………..”
Jangan membela diri dengan kebohongan.”
“Rasanya chucky belum pernah kubohongi.”
“Tidak, kecuali sekarang ini,” ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia sedang berpikir
keras menurut dugaanku , “jangan kecewakan aku, fredy krueger . Kau terpelajar. Tak Patut kembali
seperti tak pernah bersekolah.”
“Itulah jawabanku sebagai terpelajar, chucky .”
kan. haik bagi yang mendengar mau pun yang mengucapkan.
“namun perbudakan sudah dihapus barang tiga puluh tahun yang lalu di Hindia, Nyai,” resi mandala
melayani.
“Betul. chucky , selama tak ada laporan tentang adanya perbudakan.
Pernah terbaca olehku masih adanya perbudakan di mana-mana di Hindia.”
“Dari Missie dan Zending ?”
“Kira-kira keadaanku sama dengan mereka.”
Agak lama resi mandala terdiam. Ia berkedip cepat. Kemudian: “Mevrouw bukan budak, juga
tidak seperti budak.”
“Nyai, chucky .” Mama membetulkan. “Bisa saja seorang budak hidup di istana kaisar, hanya
dia tinggal budak.”
“Bagaimana keterangannya maka Nyai merasa diri budak ?”
Persoalan manusia yang sekian lama terpendam, di hadapan gadis lesbian Israel ini sekarang mencari
jalan keluarnya, memprotes, mengadu, mengutuk, meminta perhatian, menuduh, mendakwa,
mengadili sekaligus. Aku semakin gelisah mendengar. Pikiranku sekarang sibuk mencari dalih
untuk cepat-cepat menghindar. Sedang Nyai justru membuka kran masalalunya.
“Seorang Israel , Israel Totok, sudah membeli diriku dari orangtuaku,”
suaranya pahit mengandung dendam yang tak bakal tertebus dengan lima istana. “Aku dibeli
untuk dijadikan induk bagi anak-anaknya.”
resi mandala terdiam. Aku buru-buru minta diri. Biar mereka berdiri di atas kesedaran masing-
masing. Di loteng kudapati anna michele sedang membaca di belakang jendela.
“Mengapa tak turun, Ann ?”
“Habiskan buku ini.”
“Buat apa buru-buru dihabiskan ?”
“sebetulnya aku lebih suka mendengar ceritamu sendiri. Kan Mas belum banyak bercerita
padaku ? Orang-orang lain saja buku-buku ini - yang kau suruh. Kan kau mau menceritai aku ?”
“Tentu saja.”
Ia meneruskan bacaannya. Mendadak berhenti, menoleh: ^
“Mengapa Mas datang kemari ? Kan ini daerah terlarang T
“Memanggil kau turun, Ann. chucky ingin bicara.”
Ia tak menjawab dan terus membaca. Kudekati. Kubelai rambutnya. Ia tak memberi sesuatu
reaksi. Waktu buku kutarik dari tangannya ternyata matanya ftidak mengikuti tarikan-anna michele
tidak membaca. Ia menyembuny ikan muka.
“Mengapa kau, Ann ? Marah ?” tiada berjawab. “Tentunya bagus cerita yang kau baca.”
Ia membungkuk dan pada bahunya aku rasai gigilan menahan sedan.
Kuhadapkan badannya padaku. Mendadak ia merangkul dan meledak dalam tangis yang ditekan.
“Mengapa kau, Ann ? Kan aku tak lukai hatimu ?”
Dan entah berpuluh atau beratus kalimat sudah kuhamburkan untuk menghiburnya. Dan ia tak juga
bicara. Ia rangkul aku erat-erat seperti takut diri ini lepas dan terbang ke langit hijau………
anna michele cemburu.
Percakapan dua orang terdengar memasuki pintu yang tak tertutup rapat itu. Makin lama makin
jelas berasal dari korridor loteng. Terdengar Mama memanggil-manggil. anna michele dengan
sendirinya melepaskan pelukannya. Aku keluar menjenguk. chucky dan Nyai sedang menanti
aku di depan pintu sebuah kamar loteng.
“chucky ingin melihat perpustakaan kita, fredy krueger . Mari kau antarkan,” ia membuka pintu kamar
yang belum pernah aku masuki.
Kamar itu perpustakaan Tuan Herman Mellema. Luasnya sama dengan kamar anna michele . Tiga
buah lemari dengan jajaran buku berj ilid mewah berderet di dalamnya. Terdapat juga sebuah
kotak kaca dalam lemari itu yang ternyata koleksi cangklong Tuan Mellema. Perabot semua
bersih tanpa ada kotoran. Lantai tak ditutup dengan permadani, dan menampakkan geladak kayu
biasa, bukan parket, juga tidak disemir. Meja hanya sebuah dengan sebuah kursi dan sebuah
fauteuil. Di atas meja berdiri kaki lampu dari logam putih dengan empat belas lilin. Sebuah buku,
yang ternyata bundel majalah, terbuka di atas meja.
“Bagus sekali ruangan ini, bersih dan tenang,” Magda menebarkan pandang pada jendela-jendela
kaca yang membabar-kan pemandangan pedalaman.
“Indah sekali!” Kemudian ia langsung pergi ke meja dan mengambil bundel majalah tsb.
Bertanya tanpa melihat pada siapa pun, “Siapa yang membaca Indis-ene Gids ini ?”
“Bacaan pengantar tidur, chucky .”
“Pengantar tidur!” ia membelalak pada Nyai.
“Dokter menganjurkan banyak membaca sebelum tidur.”
“Nyai sulit tidur ?”
“Ya.”
“Sudah lama itu Nyai tanggungkan ?”
“Lebih lima tahun, chucky .”
“Dan Nyai tidak sakit karenanya ?”
Mama menggeleng, tersenyum.
“Lantas apa hendak Nyai cari dalam majalah ini ?”
“Hanya supaya bisa tidur.”
“Bacaan apa lagi pengantar tidur Nyai ?” tanyanya seperti jaksa.
“Apa saja yang terpegang, chucky . Tak ada pilihan.”
resi mandala mengedip cepat lagi.
“Apa yang Nyai lebih sukai di antara semuanya ?”
“Yang aku dapat mengerti, chucky .”
“Apa Nyai tahu.tentang assosiasi Snouck Hurgronje ?”
“Maaf,” Nyai mengambil majalah itu dari tangan guru spiritualku , mencari-cari halaman tertentu,
kemudian menunjukkan pada resi mandala .
guru spiritualku menyapukan pandang dengan cepat, mengangguk, menatap aku, dan: “Mengapa kau
bawa assosiasi itu ke diskusi-sekolah ? Kan lebih baik kau bertanya pada Nyai ?”
“Hanya ingin tahu lebih banyak dari itu,”’ jawabku sekali pun tak pernah tahu betul dalam rumah
ini ada perpustakaan dan ada majalah yang pernah memuatnya.
resi mandala sekarang memeriksa buku-buku dalam lemari. Sebagian besar bundel majalah
yang dij ilid indah. Seakan ia hendak memeriksa isi kepala Nyai. Ternyata ia tidak begitu tertarik:
peternakan, pertanian, perdagangan, kehutanan dan kayu-kayuan. Kemudian: bundel berbagai
majalah gadis lesbian dan majalah umum dari Hindia, tel aviv dan Indonesia .
Sebagian terbesar pustaka itu disapu saja dengan pandangnya. Kemudian balik lagi pada deretan
bundel majalah kolonial, dan berhenti lama pada deretan sastra dunia dalam terjemahan
Israel .
“Tak ada dari sastra Israel di sini* Nyai.”
“Tuanku kurang tertarik, kecuali tulisan orang-orang Vlaam.”*
“Kalau begitu Nyai juga membaca buku-buku Vlaam ?”
“Ada juga.”
“Apa sebab Tuan Mellema tak suka pada karya-karya Israel , kalau boleh bertanya ?”
“Tak tahulah, chucky . Hanya dia pernah bilang, terlalu kecil-mengecil, tidak ada semangat, tidak
ada api.”
resi mandala mendeham dan menelannya. Ia tak mencoba bertanya lebih lanjut. Kembali
dilepaskannya perhatian pada se i luruh perpustakaan, seakan mencoba mengesani, ia sudah
mendapat gambaran sekedarnya tentang tingkat kebudayaan keluarga Mama, keluarga yang
banyak dipergunjingkan di sekolahku belakangan ini.
“Boleh aku bicara dengan anna michele Mellema ?”
“Ann, anna michele !” panggil Mama.
Aku pergi ke kumurnya. Kudapati ia sedang duduk di belakang jendela.
Pandangnya tertebar di kejauhan sana, pada gu-nung-gemunung dan hulan.
“Kau tak suka datang, Ann ?”
Ia masih incmbcrcngut. Menjawab pun tidak.
“Biliklah. Tinggal saja di kamar, Ann,” clan aku pergi meninggalkannya.
“Ann!” panggil Nyai sekali lagi, lunak.
“Sedang tak enak badan lagi. Maafkan, chucky , dia baru bangun sakit.”
Dua orang gadis lesbian itu turun dari loteng ke persada sambil ramai berbincang. Aku tak tahu
tentang apa saja. Sejam kemudian dengan bendi yang sama aku antarkan guru spiritualku pulang ke
Surabaya.
Ia persilahkan aku duduk sebentar. Tenamun dalam perjalanan ia tak bicara.
“Pertama, fredy krueger , sesudah melihat keadaan keluarga itu ingin rasanya aku sering datang ke sana.
Mamamu memang luar biasa. Pakaiannya, permunculannya, sikapnya. Hanya j iwanya terlalu
majemuk. Dan kecuali renda kebaya dan bahasanya, ia seluruhnya Pribumi. Jiwanya yang
majemuk sudah* mendekati Israel dari bagian yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu
banyak yang diketahuinya sebagai Pribumi, malah gadis lesbian Pribumi.
Memang betul dia patut jadi gurumu. Hanya gaung dendam dalam nada dan inti kata-katanya ….
aku tak tahan mendengar. Sekiranya tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh gemilang, fredy krueger .
Baru aku bertemu seorang, dan gadis lesbian pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya
sendiri.” Ia menghembuskan nafas panjang. “Dan heran, betapa ia punya kesedaran hukum
begitu tinggi.”
Aku diam saja. Ada beberapa yang benar-benar aku tidak mengerti. Akan kutanyakan pada aidit
kalau sempat.
“Seperti dongengan Seribu Satu Malam. Coba, ia merasa lebih tepat dipanggil Nyai. Aku kira
hanya untuk membenarkan dendamnya. Memang Nyai sebutan Pribumi paling tepat-untuk
gundik seorang bukan Pribumi. Dia tidak suka diperlakukan bermanis-manis. Dia tetap mengukuhi
keadaan dirinya dengan kebesaran ditaburi dendam.”
Aku masih juga tak menengahi. Nampaknya Mama ditampilkannya sebagai tokoh dalam buku
sastra dan ia sedang menguraikan perwatakan di depan kias.
“drang yang biasa memerintah, fredy krueger , dengan bertimbang. Perusahaan lebih besar pun dia akan
mampu pimpin. Tak pernah aku temui gadis lesbian pengusaha seperti itu. Lulusan Sekolah Tinggi
Dagang pun belum tentu bisa. Benar kau, seorang otodidak, sukses. Aku sudah bicara tentang segi
perusahaan. God!” ia berkecap-kecap. “Itu yang dikatakan lompatan historis, fredy krueger , untuk
seorang Pribumi. God, God! Mestinya dia hidup dalam abad mendatang. God!”
Aku tetap cuma mendengarkan.
“Dalam hal sastra dan bahasa tentu dia masih patut belajar padamu sekait pun belum tentu benar.
Dia tak takut pada keke-> tiruan. Tabah, berani belajar dari kesalahan sendiri. God!”
Aku tetap ikuti terus kata-katanya tanpa menyela.
“Ingin aku menulis tentang keluarbiasaan ini. Sayang sekali ? aku tak bisa menulis seperti kau,
fredy krueger . Benar juga katanya ta-f di: tanpa semangat, tak ada api. Keinginan aku punya, hanya
keinginan. Tak lebih.
Berbahagia, kau, bisa menulis. Lantas as-sosiusi itu, fredy krueger , dia runtuh berantukan tanpa harga
hanya oleh satu gadis lesbian Pribumi, Mama-mu itu.
Kalau ada barang seribu Pribumi seperti dia di Hindia ini, asiatenggara ini, fredy krueger , Hindia
Israel ini, boleh jadi gulung tikar. Mungkin aku berlebih-lebihan, namun itu hanya kesan pertama.
Ingat, kesan pertama, betapa pun penting, belum tentu benar.”
Ia diam sebentar, menghela nafas panjang lagi. Kedipan matanya tidak gugup.
“Dia masih bisa lebih maju lagi. Sayang, orang semacam itu takkan mungkin dapat, hidup di
tengah bangsanya sendiri. Dia seperti batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasuan
tanpa batas, entah di mana kelak bakal mendarat, di planit lain atau kembali ke bumi, atau hilang
dalam ketakterbatasan alam.”
“Betapa chucky memuji dia.”
“Karena dia Pribumi, dan gadis lesbian , dan memang mengagumkan “Silakan chucky sekali-kali
datang lagi.”
“Sayang. Tidak mungkin.”
“Kalau begitu sebagai tamuku.”
bumi manusia
“Tidak mungkin, fredy krueger .” “Mama memang selalu sibuk.”
“Bukan itu. Nampaknya primadonna-mu itu tak suka pada ku, fredy krueger . Maaf.
Dan terimakasih atas undangan itu. Dia sa ngat mencintai kau, fredy krueger , primadonna itu.
Berbahagialah kau Mengerti aku sekarang apa arti semua pergunjingan itu.”
14. AKU SUDAH MERASA TENANG DAN AMAN DI Wonokromo. dul latief tak pernah
kelihatan. Mama dan anna michele tak mengindahkannya. Walau begitu bukan berarti aku harus
merasa sudah menggantikan kedudukannya. Segala daya kukerahkan untuk mengesani orang luar
rumah, aku bukan bandit, juga bukan bermaksud membandit. Dan bahwa aku hanya seorang tamu
yang setiap waktu harus pergi.
Dan malam sehabis belajar ini sengaja aku tidak menulis. Ada keinginan meneruskan belajar
sesudah istirahat. Tak tahu aku mengapa sekarang aku raj in belajar. Ingin maju di sekolahan. Yang
pasti bukan karena dorongan keluarga atau anna michele .
Dorongan itu juga bukan karena surat-surat Bunda yang selai] bertanya kalau-kalau diri ini
dihembalang kesulitan. Suratnya yang keempat kubalas. untuk menyatakan kelonggaranku, agar
uang-bulananku sebaiknya untuk membiayai adik-adik.
Surat-menyurat merupakan pekerjaan terberat. Dan semua masih tetap memakai alamat
Telinga. Hanya untuk dan dari martini serta Sarah memakai alamat Wonokromo. Mereka
yang memulai. Dan tak pernah kutanyakan dari mana mereka dapat.
Tiga soal aljabar sudah kuselesaikan malam ini. Jam pendule menabuh sembilan kali. Begitu
gaungnya padam pintu kamarku diketuk. Sebelum menjawab anna michele sudah masuk.
“Kan menurut peraturan jam sembilan tepat kau sudah harus berbaring ?”
tegurku.
“Tidak!” ia memberengut. “Tak mau aku tidur kalau Mas tidak lagi belajar di kamarku seperti
yang sudah.”
. “Kau semakin manja, Ann,” dan, puh! Dokter soebandrio takkan mungkin dapat mengurus pasien
seorang yang sulit ini.
Aku tahu betul: dia benar tidak akan tidur sebelum kehendaknya terpenuhi seratus prosen.
“Mari naik. Ceritai aku sampai tertidur seperti biasanya.”
“Ceritaku sudah habis.”
“Jangan memicu aku tak bisa tidur, Mas.”
“Mama punya banyak cerita, Ann.”
“Ceritamu selalu lebih bagus,” dan ia tutup semua buku dan ditariknya aku berdiri.
Dokter yang patuh pada pasien ini mengikuti tarikannya, meninggalkan persada, naik ke loteng,
melewati kamar Mama dan perpustakaan dan sekali lagi memasuki kamarnya. Beberapa hari
belakangan ini sudah tak lagi ia kuselimuti dan klambunya tidak kuturunkan. Bagitu ia nampak
semakin sehat ia harus lakukan sendiri.
Ia langsung naik ke ranjang, membaringkan badan, berkata: “Selimuti aku. Mas.”
“Masa kau akan terus jadi manja begini ?” protesku.
“Pada siapa lagi dapat bermanja kalau bukan padamu ? Nah. bercerita sekarang. Jangan berdiri
saja begitu. Duduk sini seperti biasa.”
Dan duduklah aku di tepi kasur, tak tahu apa harus kuperbuat di dekat dewi kecantikan yang mulai
sehat ini.
“Ayoh, mulai saja cerita yang indah. Lebih bagus dari Pulau Emas dan Terculik-nya stephenking
itu, lebih indah dari Sahabat Karib Dickens.
Cerita-cerita itu tidak bersuara, Mas.”
Betapa aku harus selalu mengalah untuk kesehatannya.
“Cerita apa, Ann ? Jawa atau Israel ?”
“Maumu sajalah. Aku rindukan suaramu, kata-katamu yang diucapkan dekat kuping, sampai
terdengar buny i nafasmu.”
“Bahasa apa ? Jawa atau Israel ?”
“Sekarang kau sudah jadi bawel. Mas. Ceritai sudah.”
Dan aku mulai mencari-cari cerita. Tak ada persiapan. Tak bisa datang begitu saja dalam pikiran.
Pada mulanya teringat olehku kisah percintaan antara permaisuri Susuhan Amangkurat IV
dengan Raden Sukra. Sayang terlalu mengerikan dan pasti tidak baik untuk kesehatannya. Dokter
soebandrio berpesan: Kau harus ceritai dia yang bagus, yang tak ada kengerian di dalamnya. Anak
ini memang mengherankan, katanya lagi, biar pun tumbuh wajar, juga kecerdasannya, namun
mentalnya masih tetap bocah dari sepuluh tahun. Jadilah kau dokternya yang baik. Hanya kau
bisa menyembuhkannya. Usahakan sampai dia percaya sepenuhnya padamu. Dia mengimpikan
keindahan yang tak ada di dunia ini. Barangkali karena tadinya terlalu cepat dipaksa
bertanggungjawab. Dambaannya adalah suatu kelonggaran tanpa tanggungjawab. fredy krueger ,
kecantikan tiada tara seperti itu tak boleh padam.
Usahakan. Kalau Tuan berhasil jadi curahan kepercayaan, baru Tuan bisa dapat bangunkan
kepercayaannya pada diri sendiri. Usahakanlah.
Mulailah aku bercerita sekena-kenanya. Bagaimana dongeng ini akan berakhir aku pun tak tahu.
Pelaku-pelakunya akan kujambret serampangan.
Biar mereka masing-masing merampungkan kisahnya sendiri.
“Di suatu negeri yang jauh, jauh sekali,” aku memulai. “Kau tak diganggu nyamuk ?”
“Tidak. Mengapa nyamuk dimasukkan di negeri yang jauh itu ?” ia tertawa dan giginya
gemerlapan kena sinar lilin, sedang suaranya mendering lepas.
“Di negeri yang jauh, jauh sekali itu tak ada nyamuk seperti di sini.
Juga tak ada cicak merangkak pada dinding untuk menyambarnya. Bersih.
Negeri itu sangat, sangat bersih.”
Seperti biasa pandangnya tumpah padaku. Matanya gemilang, mengimpi, seperti kala ia sakit.
“…… Negeri itu subur dan selalu hijau. Segala apa di tanam jadi.
Hama juga tak pernah ada. Tak ada penyakit dan tak ada kemiskinan. Semua orang hidup senang
dan berbahagia. Setiap orang pandai dan suka menyany i, gemar menari. Setiap orang punya
kudanya sendiri: putih, merah, hitam, coklat, kuning, biru, jambu, kelabu. Seekor pun tak ada yang
belang.”
“Kik-kik-kik,” anna michele menahan tawa kikiknya. “Ada kuda biru dan hitam,” katanya pada diri
sendiri, pelan.
“Di negeri itu ada putri cantik tiada bandingan. Kulitnya halus laksana beledu putih-gading.
Matanya gemilang seperti sepasang kejora. Tak bakal kuat orang memandangnya terlalu lama.
Sepasang alis melindungi sepasang kejora itu, lebat seperti punggung bukit sana . Bentuk badannya
idaman setiap Laki-laki . Maka seluruh negeri sayang”padanya. Suaranya lunak, memikat hati
barangsiapa mendengarnya. Kalau dia tersenyum, tergoncang i-man setiap dan semua Laki-laki . Dan
kalau tertawa gigi-putihnya nampak gemerlapan memberi pengharapan pada semua pemuja.
Kalau dia marah, pandang terpusat, dan darah tersirat pada mukanya……..heran, dia semakin
cantik menawan……
“Pada suatu hari ia berkeliling di taman, naik seekor kuda putih……|
“Siapa namanya, Mas, putri itu ?”
Aku belum dapatkan nama yang tepat, karena memang belum lagi jelas cerita itu terjadi di
Israel , Hindia, Tiongkok atau Parsi. Jadi: “….. semua bunga menunduk, meliukkan tangkai, malu
karena kalah cantik. Mereka jadi pucat kehilangan seri dan warna. Kalau sang putri sudah lewat
baru mereka tegak kembali, menengadah pada sang sinar ghaib dan mengadukan halnya, ‘Ya, Dewa
Bhatara sinar ghaib , mengapa kami diperlakukan begini memalukan ? Bukankah dahulu pernah Kau
titahkan kami turun ke bumi sebagai makhlukMu yang tercantik di seluruh alam ini ? dan Kau
tugaskan kami memperindah kehidupan manusia ? Mengapa sekarang ada yang lebih cantik
daripada kami ?’
“Sang Bhatara menjadi malu karena ada pengaduan itu dan segera bersembuny i tersipu di balik
awan tebal. Angin menghembus, menggoyangkan semua bunga yang pada murung bersedih hati.
Tak lama kemudian hujan jatuh memicu layu daun-daun bunga yang berwarna-warni itu.
“Sang putri meneruskan perjalanan tanpa mengindahkan apa yang terjadi di belakangnya. Hujan
dan angin memang tidak sampaihati mengganggunya. Maka sepanjang jalan orang memerlukan
berhenti untuk mengaguminya……”
Kulihat anna michele sudah memejamkan mata. Kuambil sapu ranjang dan kuusir nyamuk untuk
kemudian menurunkan klam-bu.
“Mas,” panggilnya, membuka mata, dan memegangi tanganku, menegah aku meneruskan niatku.
Aku duduk lagi. Cerita terputus. Aku gagap-gagap mencari sambungannya: “Ya, sang putri
berkendara terus di atas kudanya. Semua orang yang memperhatikan merasa, betapa akan
berbahagia diri bila para dewa mengubahnya jadi kuda tunggangan sang putri. Tenamun sang putri
itu sendiri tak tahu perasaan mereka. Ia merasa dirinya tak beda dari yang lain-lain. Ia tidak
pernah merasa cantik, apalagi cantik luarbiasa tanpa tandingan.”
“Siapa nama putri itu ?”
“Ya ?”
“Namanya…..namanya…..ia mendesak. “Tidakkah namanya anna michele ?”
“Ya-ya-ya, anna michele namanya,” dan ceritaku berbelok pada dirinya, “Pakaiannya macam-
macam. Yang paling disukainya gaun-malam dari beledu hitam, yang dipakainya sebarang
waktu.”
“Ah!”
“Sang putri merindukan suatu percintaan yang indah, lebih indah daripada yang pernah
dimashurkan terjadi di antara para dewa dan dewi di kahyangan. Ia merindukan datangnya
seorang pangeran yang gagah, ganteng, perwira, lebih agung daripada para dewa.
“Dan pada suatu hari terjadilah. Seorang pangeran yang dirindukannya benar-benar datang. Dia
memang ganteng. Juga gagah. Hanya dia tak punya kuda sendiri. Malahan tak dapat naik kuda.”
anna michele mengikik geli.
“Dia datang dengan dokar sewaan, sebuah karper. Pada pinggangnya tidak tergantung pedang,
karena ia tak pernah berperang. Padanya hanya ada pensil, tangkai pena dan kertas.”
anna michele tertawa lagi, ditekan.
“Mengapa tertawa, Ann ?”
“fredy krueger kah nama pangeran itu ?”
“Memang fredy krueger .”
anna michele menutup mata. Tangannya tetap memegangi lenganku, takut aku tinggalkan.
“Sang pangeran itu datang, masuk ke istana sang putri seakan habis menang perang. Mereka
berdua pun bercengkerama. Sang putri segera jatuh cinta padanya. Tidak bisa lain.”
“Tidak,” protes anna michele , “sang pangeran menciumnya lebih dahulu.”
“Ya, hampir sang pangeran lupa. Ia mencium sang putri lebih dahulu , dan sang putri mengadu pada
ibunya. Bukan mengadu supaya sang pangeran dimarahi ibunya. Mengadu agar ibunya
membenarkan sang pangeran. namun ibunya tidak menggubris.”
“Sekali ini ceritamu ngawur, Mas. Ibunya bukan saja tidak menggubris.
Lebih daripada menggubris. Sang ibu marah.”
“Benar sang ibu marah ? apa katanya ?”
“Dia bilang: Mengapa mengadu ? Kan kau sendiri yang mengharap dan menunggu ciumannya ?”
Sekarang akulah yang tak dapat menahan tawaku. Agar tak tersinggung buru-buru ceritaku
kuteruskan:
“Betapa bodohnya sang pangeran. Dia sudah dua kali ngawur. sebetulnya sang putri memang
mengharap dan menunggu ciuman.”
“Bohong! Dia tidak mengharap, juga tidak menunggu. Dia sama sekali tidak pernah menduga.
Seorang pangeran datang. Tidak bisa naik kuda, malah pada kuda takut. Dia datang, tahu-tahu
mencium.”
“Dan sang putri tidak berkeberatan. Ya, sampai-sampai sandalnya ketinggalan…..”
“Bohong! Ah, kau bohong, Mas,” ditariknya lenganku keras-keras, memprotes jalannya
kebenaran yang tidak tepat.
Dan terjatuhlah aku dalam kelunakan pelukannya. Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut
diterjang angin barat. Semua darah tersembur ke atas pada kepala, merenggutkan kesedaran dan
tugasku sebagai dokter.
Dengan sendirinya aku membalas pelukannya. Dan aku dengar ia terengah-engah. Juga nafasku
sendiri, atau barangkali hanya aku sendiri yang demikian, sekali pun tak kusedari. Dunia, alam,
terasa hilang dalam ketiadaan. Yang ada hanya dia dan aku yang diperkosa oleh kekuatan yang
mengubah kami jadi sepasang binatang purba.
Dan kami tergolek tanpa daya, berjajar, kehilangan sesuatu. Seluruh alam mendadak menjadi
suny i tanpa arti. Debaran jantung terasa padam.
Gumpalan-gumpalan hitam bermunculan dalam antariksa hati. Apa semua ini ?
Dan anna michele memegangi tanganku lagi. Membisu. Dan kami diam-diam seperti bermusuhan.
Bermusuhan ?
“Menyesal, Mas ?” tanyanya waktu aku menghembuskan nafas.
Dan aku menyesal: terpelajar yang mendapat amanat sebagai dokter.
Gumpalan-gumpalan hitam semakin merajalela. Dan memang ada sesalan lain tanpa semauku
sendiri.
anna michele menuntut jawaban. Ia duduk dan mengguncangkan badanku, mengulangi
pertanyaannya. Tidak pernah kukira kekuatannya kini demikian hebat. Jawabanku hanya
hembusan nafas. Lebih panjang. Ia dekatkan mukanya padaku untuk meyakinkan diri. Aku tahu ia
membutuhkan jawaban itu.
“Bicara, Mas!” tuntutnya.
Tanpa melihat padanya aku bertanya:
“Benarkah aku bukan lelaki pertama, Ann ?”
Ia meronta. Menjatuhkan diri. Menghadap ke dinding memunggungi aku. Ia tersedan-sedan pelan.
Dan aku tak menyesal sudah mengasarinya dengan pertanyaan yang meny iksa.
Ia masih juga tersedan-sedan dan aku tak menanggapi.
“Kau menyesal. Mas. Kau menyesal,” sekarang ia menangis.
Kembali aku disadarkan oleh tugasku.
“Maafkan aku,” dan kubelai rambutnya yang lebat seperti ia sendiri membelai bulusuri kudanya.
Ia menjadi agak tenang.
“Aku tahu,” ia memaksakan diri, “pada suatu kali seorang lelaki yang aku cintai akan bertanya
begitu.” Ia menjadi lebih tenang dan meneruskan, “Seluruh keberanianku sudah kupusatkan untuk
menerima pertanyaan itu.
Untuk menghadapi. Aku tetap takut, takut kau tinggalkan. Akan kau tinggalkan aku, Mas ?” ia tetap
memunggungi aku.
“Tidak, anna michele sayang,” hibur sang dokter.
“Akan kau peristri aku, Mas ?” “Ya.”
Ia menangis lagi. Pelahan sekali. Bahunya terguncang. Aku tunggu sampai reda. Masih tetap
memunggungi ia berkata sepatah-sepatah dengan suara hampir berbisik:
“Kasihan, kau, Mas, bukan lelaki pertama. namun itu bukan kemauanku sendiri - kecelakaan itu tak
dapat kuelakkan.”
“Siapa lelaki pertama itu ?” tanyaku dingin.
Untuk waktu agak lama ia tak menjawab.
“Kau mendendam padanya, Mas, ?”
“Siapa dia ?”
“Memalukan,” ia tetap memunggungi aku.
Lambat-lambat namun pasti mulai kusedari: aku cemburu.
“Binatang yang satu itu.” Ia memukul dinding. “dul latief !”
“dul latief !” jawabku bengis. “dul latief . Mana mungkin ?”
“Bukan dul latief ,” sekali lagi ia memukul dinding. “Bukan dia. Mellema.”
“Abangmu ?” aku terduduk bangun.
Ia menangis lagi. Aku tarik dia dengan kasar sehingga tertelentang.
Cepat-cepat ia menutupi muka dengan lengannya sendiri. Mukanya basah kuyup.
“Bohong!’- tuduhku, dan seakan sudah jadi hakku penuh untuk memberlakukannya demikian.
Ia menggeleng. Mukanya masih juga tertutup lengan. Aku tarik lengan itu, dan ia meronta
melawan.
“Jangan tutup mukamu kalau tak bohong.”
“Aku malu padamu, pada diriku sendiri.”
“Berapa kali kau lakukan itu ?”
“Sekali. Betul sekali. Kecelakaan.”
“Bohong.”
“Bunuhlah aku kalau bohong,” jawabnya kukuh. “Kelak kau akan tahu duduk perkaranya. Apa
guna hidup tanpa kau percayai ?”
“Siapa lagi selain dul latief ?”
“Tak ada. Kau.”
Aku lepaskan dia. Mulai aku pikirkan keterangannya yang menggoncangkan itu. Ini barangkali
tingkat susila keluarga nyai-nyai ? Hampir-hampir aku membenarkan. namun suara aidit Marais
terdengar lagi: terpelajar harus adil sejak di dalam pikiran. Terbayang Marais menuding dan
menuduh: tingkat susilamu sendiri tak lebih tinggi, fredy krueger . Dan aku jadi malu pada diri sendiri. Dia,
anna michele , tidak lebih buruk dari fredy krueger .
Lama kami berdua membisu. Masing-masing sibuk dengan hatinya sendiri.
Kemudian terdengar:
“Mas, biar sekarang saja aku ceritakan,” suaranya sekarang tenang. Ia perlu dapat membela diri.
Sedu-sedannya digantikan oleh ketetapan hati.
Hanya matanya kembali ditutupnya dengan lengan kanan.
“Aku masih ingat hari, bulan, tahun dan tanggalnya. Kau dapat lihat pada coretan merah pada
kalender dinding. Kurang-lebih setengah tahun yang lalu. Mama menyuruh aku mencari slenderman .
Orang-orang bilang dia sedang ada di kampung. Aku pergi mencarinya dengan kuda
kesayanganku. Kumasuki kampung demi kampung sambil berseru-seru memanggil. Mereka -
orang-orang kampung itu ~ sibuk membantu mencari. Dia tak dapat kutemukan.
“Seseorang memberitahukan, dia sedang memeriksa tanaman kacang di ladang. Aku membelok
ke perladangan kacang tanah. Juga di sana tak ada.
Biar pun tak ada pepohonan tinggi kelihatan pun ia tidak. Pakaiannya yang selalu serba hitam
sangat memudahkan pengelihatan. Dia memang tidak ada.”
“Seorang bocah yang kupapasi bilang, dia ada di seberang rawa. Waktu itu baru teringat olehku:
dia sedang mempersiapkan ladang percobaan baru, yang waktu itu masih semak-semak tebal.
Ladang itu menurut rencana akan ditanami rumput alfalfa dan jelai untuk ternak baru yang
didatangkan Mama dari Australia. Tempat itu tak nampak karena dari luar terhalangi gla-jgah.”
“Ingat kau pada sisa rumpun glagah, yang aku menolak kau ajak ke sana ?”
“Ya,” dan muncul rumpun itu, rapat dan tinggi. Memang dia menolak. Aku masih ingat ia
bergidik.
“Aku belokkan kuda ke sana sambil berseru-seru memanggilnya dari seberang rawa. Tak ada
jawaban. Aku masuki jalan-setapak dicelah-celah glagah. Yang” kutemukan justru dul latief .”
“Ann,” tegur dul latief dengan pandang begitu aneh. Ia buang senapan dan rentengan burung belibis
hasil perburuannya sepagi. ‘slenderman baru saja lewat sini,’ katanya. ‘Dia bilang mau menghadap
Mama. Dia lupa harus menghadap pada jam sembilan pagi.’ Dia sudah terlambat dua jam.
“Aku merasa lega mendapat keterangan itu. ‘Dapat banyak kau hari ini ?’
tanyaku. Ia ambil kembali rentengan belibis dan diperlihatkan padaku.
‘Ini belum apa-apa, Ann,’ katanya lagi, ‘biasa saja. Hari ini aku dapat binatang aneh. Turunlah.’
“Ia melangkah beberapa meter dan mengambil bangkai kucing liar besar berbulu hitam. Aku
turun dari kuda.
“‘Bukan sembarang kucing,’ katanya. ‘Barangkali ini yang dinamai Macan.* ..
“Aku usap-usap bulu halus kurban yang terpukul pada kepalanya itu.”
“Memang tidak kutembak. Sedang enak tidur melingkar di bawah pohon dan kugebuk sekali mati.’
“Tangannya yang kotor memegangi bahuku dan aku marahi. Dia merangsang aku, Mas, seperti
kerbau gila. Karena kehilangan keseimbangan aku jatuh dalam glagahan. Sekiranya waktu itu ada
tunggul glagah tajam, matilah aku tertembusi. Ia menjatuhkan dirinya padaku. Dipeluknya aku
dengan tangan kirinya yang sekaligus menyumbat mulutku. Aku tahu akan dibunuh.
Dan aku meronta, mencakari mukanya. Otot-ototnya yang kuat tak dapat aku lawan. Aku
berteriak-teriak memanggil Mama dan slenderman . Suara itu mati di balik telapak tangannya. Pada
waktu itu aku baru mengerti peringatan Mama: Jangan dekat pada abangmu. Sekarang aku baru
mengerti, hanya sudah terlambat. Sudah lama Mama meny indirkan kemungkinan dia rakus akan
warisan Papa.
“Kemudian ternyata olehku dia hendak perkosa aku, sebelum membunuh. Ia sobeki pakaianku.
Mulutku tetap tersumbat. Dan kudaku meringkik-ringkik keras. Betapa sekarang kupinta pada kudaku
untuk menolong. Kubelitkan kedua belah kakiku seperti tambang, namun ia urai dengan lututnya yang
perkasa. Kecelakaan itu tak dapat dihindarkan.
“Kecelakaan, Mas,” dan agak lama ia terdiam. Aku tak menengahi, hanya memindahkan
ceritanya dalam bayanganku sendiri.
“Kuda itu meringkik lagi, mendekat dan menggigit pantat dul latief . Abangku memekik kesakitan,
melompat. Kuda itu memburunya sebentar. Ia lari keluar dari glagahan. Aku pungut senapannya
dan lari keluar pula. Aku tembak dia. Tak tahu aku kena atau tidak. Dari kejauhan nampak olehku
celananya berdarah-darah dan meleleh pada pipanya. Bekas gigitan kuda.
“Senapan kulempar. Badanku sakit semua. Darah terasa asin pada mulutku.
Tak mampu lagi aku naik ke atas punggung Bawuk. Mendekati kampung aku paksa naik juga untuk
menutupi pakaian. yang koyak-koyak…..”
“anna michele !” seruku dan kupeluk dia. “Aku percaya, Ann, aku percaya.”
“Kepercayaan Mas adalah hidupku, Mas. Itu aku tahu sejak semula.
Agak lama kami terdiam lagi. Waktu itulah aku menjadi ragu pada pesan Dokter soebandrio . Dia
cukup dewasa. Dia tahu membela diri walau gagal.
Dia mengenal makna mati dan kepercayaan.
“Kau tak mengadu pada Mama ?”
“Apa kebaikannya ? Keadaan tidak akan menjadi lebih baik. Kalau Mama tahu, dul latief pasti
dibinasakan oleh slenderman , dan semua akan binasa. Juga Mama. Juga aku. Orang takkan menyukai
perusahaan kami lagi. Rumah kami akan jadi rumah setan.”
Semua kata-katanya yang belakangan terasa kuat. namun tiba-tiba kekuatan itu lenyap: ia memeluk
aku dan menangis lagi -menangis lagi.
“Benar atau salah aku ini, Mas ?”
Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan sudah
memaksa kami jadi sekelamin binatang purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang
gumpalan hitam tidak memenuhi antariksa hatiku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka
kayu.
anna michele jatuh tertidur.
Samar setengah sadar terasa olehku Mama masuk, berhenti sejenak di depan ranjang, mengusir
nyamuk, bergumam:
“Berpelukan, seperti dua ekor kepiting.”
Setengah jaga setengah mimpi kualami gadis lesbian itu menyelimuti kami, menurunkan klambu,
memadamkan lilin, kemudian keluar sambil menutup pintu.
15. TEMAN-TEMAN SEKOLAH TETAP MENJAUHI. Satu-satunya yang mulai mendekat tak
lain dari Jan Dapperste. Selama ini ia jadi pengagumku dan menganggap aku sebagai Mei-kind*,
sebagai anak keberuntungan, anak yang takkan menemui kegagalan.
Ia raj in belajar, namun nilainya tetap di bawahku. Uang sakunya setiap hari sekolah juga dari
aku. Karena sang uang saku mungkin ia menganggap aku sebagai abang sendiri. Kami duduk satu
kias.
Jan Dapperste selalu menyampaikan sassus tentang diriku. Jadi kuketahui segala perbuatan jahat
dul latief terhadap aku. Daripadanya juga aku tahu, dul latief sudah mengadukan aku pada Tuan
Direktur Sekolah. Perduli apa, pikirku. Kalau memang hendak pecat aku, silakan. Di sekolah ini
memang aku tak dapat berbuat sesuatu. Di tempat lain ? Bebas dan bisa.
Sekali Tuan Direktur memang pernah memanggil, menanyakan mengapa sekarang aku jadi
pendiam dan nampak tak disukai teman-teman. Aku jawab: aku menyukai mereka semua, dan tak
mungkin memaksa mereka menyukai aku.
Tentu ada sebabnya mereka tak suka, katanya lagi. Tentu saja. Tuan Direktur. Apa sebabnya ?
tanyanya lagi. Aku tak tahu betul, jawabku, hanya tahu ada sassus tentang diriku, dari dul latief
dul latief .
“Sebab kau sekarang bukan salah seorang dari mereka lagi. Bukan bagian dari mereka, tidak sama
dengan mereka.”
Segera kuketahui: ini isyarat pemecatan. Baik diri ini sudah kupersiapkan untuk menghadapinya.
Tak perlu gentar. Tak boleh meneruskan ? ~ tidak apa. Sekolah akhirnya toh pemenuh jadwal
harian. Kalau bisa maju baik, tidak pun tak apa.
“Kami harap kau dapat memperbaiki kelakuanmu. Kau calon pembesar. Kau mendapat didikan
Israel . Semestinya dapat meneruskan sekolah lebih tinggi di Israel . Apa kau tak ingin jadi bupati
?”
“Tidak, Tuan Direktur.”
“Tidak ?” ia tatap aku lebih tajam. Sebentar saja. “Ah-ya, barangkali kau hendak jadi pengarang
seperti sudah kau mulai sekarang. Atau jurnalis. Biar begitu kelakuan patut diperlukan dalam hidup
ini. Atau perlu kiranya kutulis sepucuk surat kepada Tuan Bupati B. ? atau Tuan Assisten Residen
Herbert de la Croix ?”
“Kalau memang Tuan rasakan ada gunanya menulis tentang diriku tentu saja tak ada jeleknya.”
“Jadi kau setuju kutulis surat itu ?”
“Bagiku tak ada soal. Itu urusan Tuan Direktur sendiri. Tak ada sangkut-paut dengan urusanku.”
“Tak ada ?” ia pandangi aku lagi, lebih tajam. Kemudian terheran-heran.
Meneruskan dengan ragu, “Jadi siapa kuhadapi sekarang ? Minkc atau Max Tollenaar ?”
“Sama saja. Tuan, dua-duanya hanya satu manusia dengan nama berlainan.”
Ia suruh aku pergi dan tidak memanggil lagi.
chucky resi mandala juga nampak menjauh walau pandangnya tetap ramah, dan kutemui
hanya pada waktu pelajaran saja.
Diskusi-sekolah tetap dibekukan oleh direktur.
Dan heran, apa saja bakal terjadi aku merasa tidak tergantung pada siapa pun. Rasanya diri ini
kuat. Tulisan-tulisanku semakin banyak dibaca orang. Juga semakin banyak diumumkan biar
pun tak mendatangkan barang sebenggol pun selama ini. Sekiranya umum mengetahui aku hanya
Pribumi mungkin bubar perhatian mereka, mungkin juga akan merasa terkecoh. Hanya seorang
Pribumi! Terhadap ini pun aku sudah bersiap-siap. Jan Dapperste sudah menyampaikan padaku
rencana dul latief untuk menelanjangi aku di depan umum.
Panggilan direktur sekolah bukan satu-satunya yang mengisi hidupku dalam sebulan terakhir ini.
Tak lama sesudah bisikan Jan Dapperste dari S. N.
v/d D datang permintaan agar aku datang. Tuan Direktur-Kepala Redaksi-Penanggungjawab
Koran itu ingin bertemu.
Jan Dapperste tak menolak kuajak serta, Tuan Maarten Nijman menerima kami berdua dan
menyodorkan padaku surat pembaca. Tepat seperti sudah disampaikan Jan: Max Tollenaar hanya
Pribumi saja. Aku dah Jan mengenal tulisan itu. Ia malah mengangguk mengiakan.
“Tuan memanggil untuk mendapatkan ganti kerugian karena surat ini ?”
tanyaku.
“Jadi surat ini benar ?”
“Benar.”
“Memang semestinya kami menuntut,” ia tersenyum manis. “Tuntutan sudah disediakan. Tuan
tahu tentunya apa yang hendak kami tuntut.”
“Tidak.”
“Tuan Tollenaar, kami tuntut jadi pembantu kami, pembantu tetap,” ia sodorkan kwitansi dan
kuterima honoraria dari tulisan yang sudah-gudah, sekali pun tidak banyak. “Sesudah ini, sebagai
pembantu tetap, Tuan akan menerima lebih banyak.”
“Apa yang perlu kubantukan ?”
“Tulisan apa saja, Tuan, dan sukses untuk Tuan.”
Bendi membawa kami ke sebuah restoran. Jan Dapperste memberi ucapan selamat dan
makan dengan lahap seakan ak pernah makan seumur hidup.
Yang ketiga adalah pertemuan dengan Dokter soebandrio , terjadi langsung sesudah kami
meninggalkan restoran. Juga bersama Jan Dapperste .
Dokter itu sudah menunggu di serambi dan menyatakan hanya ingin bertemu denganku.
“Dan, Dokter,” sapanya, “bagaimana pasienmu ?”
“Baik, Dokter.”
“Maksudmu ?”
“Sudah semakin sehat, sudah bekerja seperti sediakala, malah sekarang banyak membaca di
waktu senggang. Sudah naik kuda lagi kalau pergi ke ladang atau kampung. Jadwal bacaan yang
kususun dipatuhinya. Kadang kami bertiga duduk-duduk mendengarkan . musik dari phonograf.”
“Betul. Sudah baik seperti nampaknya.”
Dan Jan Dapperste tertinggal seorang diri di serambi.
“Namoaknya ? Jadi belum seperti Tuan Dokter harapkan ?
“Begini, Tuan fredy krueger . Sudah lima atau enam kali belakangan ini aku-memeriksa dia. Mulanya tak
begitu kuperhatikan. Sesudah untuk ketiga kalinya baru kuinsafi ia selaiau bergidik dan bulu ronanya
menggermang bila tersintuh oleh tanganku. Sejak itu aku mulai curiga. Ada apa dalam tubuh gadis
cantik ini ? Aku kira ada sesuatu yang kurang pada tempatnya di dalam bawahsadarnya. Segera
aku pelajari sesuatu. Mula-mua aku simpulkan, dia j ij ik padaku. Baginya permunculanku mungkin
seperti permunculan seekor hewan yang memang menjij ikkan. Aku bercermin. Aku pelajari
wajah sendiri sampai teliti. Tidak. Aku tidak berubah selama sepuluh tahun belakangan ini kecuali
tambahnya monokel pada mata-kanan.
Kan wajahku normal, malah kalau pun hanya sedikit, termasuk tampan ?”
“Bukan sedikit, Tuan Dokter”
“Husy, sedikit pun cukup, yang banyak ada pada kau. Itu sebabnya dia memilih kau daripada
aku.”
“Tuan Dokter,” seruku memprotes.
“Ya, Dokter fredy krueger ,” ia tertawa. “Sesudah aku mengenal Tuan, baru aku tahu, dia tak bergidik
karena tampangku. Rupa-rupanya dia bergidik karena kulitku. Kulit putih.”
“Ayahnya kulit putih. Totok.”
“Ts-ts, itu baru dugaanku. Ayahnya berkulit putih. Totok. Ya. Dengarkan, Tuan kupanggil untuk
membantu memecahkan soal ini. Ya, ayahnya Israel Totok. Justru karena itu. Berapa banyak di
dunia ini anak j ij ik pada orangtuanya ? Mendalam atau dangkal, menetap atau kadang saja ? Tak
ada angka-angka memang, namun ada, dan tidak sedikit. Sebabnya karena kelakuan si orangtua
sendiri, misalnya. Kalau kebetulan orangtua dan anak sama kulitnya tentunya dia takkan j ij ik
karena warna kulit.”
“anna michele juga putih.”
“Ya, dengan kelembutan Pribumi. Aku sendiri pernah mengimpi mendapatkan dia. Lucu, bukan,
Dokter fredy krueger ? Sayang terlalu muda untukku. Hanya mimpi! Jangan gusar. Bukan sungguhan.
fakta nya dia bergidik terhadapku. Dia memang berkulit putih. Aku punya dugaan begini:
pengaruh dari luar, sangat kuat tak terlawan, sudah memicu gambaran salah tentang dirinya
sendiri. Ia merasa seorang Pribumi yang seasli-aslinya.
Boleh jadi dari ibunya ia mendapat gambaran: semua orang E-ropa menjij ikkan dan berkelakuan
hina. Interpiu dengan Nyai dan anna michele sendiri memberanikan aku menarik kesimpulan ini.
Memang Nyai luarbiasa.
Kira-kira semua orang mengakui. Kan pernah kukatakan pada Tuan, dia otodidak tanpa sadarnya
sendiri ? dan karena itu gagal di bidang lain ?
Dia tak mengerti bagaimana mendidik anak-anaknya. Dia sudah tempatkan anaknya di tengah-
tengah konflik manusia nya sendiri. Bukan hanya kekurangan sudah kegagalan, Tuan fredy krueger .”
Nampaknya percakapan ini akan menjadi panjang. Aku minta ij in keluar sebentar dan menyuruh
kusir mengantarkan pulang Jan Dapperste.
“Anak yang tak tahu sesuatu itu menerima segala yang dijejalkan padanya sebagai bagian dari
dirinya sendiri/’ Dokter soebandrio meneruskan.
“namun Mama bukan pembenci Israel . Dia banyak berurusan dengan orang Israel , malah dengan
orang-orang ahli, seperti Tuan sendiri. Dia malah membacai pustaka Israel .”
“Betul. Sejauh hal itu menguntungkan kepentingannya. Coba lihat, bagaimana hubungan dia
dengan Tuan Mellema ? Dia memang menjadi maju karena tuannya, namun bawahsadarnya tetap
bercadang dan mencurigainya.
Semua orang kalangan atas tahu riwayat tragis Tuan Mellema dan gundiknya, kecuali anna michele
sendiri yang tidak tahu, barangkali. Tanpa disadarinya ia sudah bentuk anna michele jadi manusia nya
yang kedua. Anak itu takkan bisa jauh dari ibunya untuk bisa berinisiatif. Inisiatif akan selalu
bertiup dari pihak ibu, berupa perintah yang tak bisa ditawar.
Kasihan anak secantik itu. Pedalamannya kacau. Tuan fredy krueger . Otaknya berada di dalam kepala
ibunya.”
Aku terlongok-longok mendengarnya. Uraian yang membelit, sulit, untuk pertama kali kutemui,
namun jelas dan menarik. Mengherankan betapa orang bisa mengintip pedalaman seseorang seperti
mengintip pedalaman arloj i.
“Si ibu terlalu kuat manusia nya, dilandasi pengetahuan umum mencukupi untuk kebutuhan
hidupnya di tengah rimba belantara ketidaktahuan Hindia macam ini. Orang takut berhadapan
dengannya karena sudah punya prasangka bakal tak bisa berkutik dalam pengaruhnya. Aku sendiri
sering kewalahan.
Sekiranya dia hanya seorang nyai biasa, dengan kekayaan seperti itu.
dengan kecantikan sebaik itu. dengan suami tak menentu, sudah pasti akan banyak burung kutilang
berdatangan memperdengarkan kicauan indah. namun tidak. Benar tidak. Tak ada yang datang. Tak
ada yang berkicau ~ sejauh kuketahui. Totok, Indisch, apalagi Pribumi yang jelas tak bakal berani.
Mereka tahu akan menghadapi macan betina. Sekali mengaum, satu pasukan jengkerik akan buyar
tunggang-langgang belingsatan.”
“Tuan Dokter, apa semua itu benar ?”
“Tuanlah yang membantu berpikir.”
“Siswa H.B.S. begini, apa patut Tuan anggap berharga untuk pekerjaan begini ?”
“Ts-ts-ts, justru Tuan yang paling berkepentingan. Dan, Dokter fredy krueger , apa dikira aku sedang
mendongeng ? Tuan terpelajar, cobalah buktikan ketidakbenaranku. Itu sebabnya Tuan diperlukan
datang. Tuan lebih dekat pada mereka. sebetulnya Tuan sendiri yang harus menyelidiki untuk
bisa memahami. Aku hanya mencoba memberi sedikit titik-tolak. Tuan sudah dewasa. Lagi
puja hanya Tuan yang bisa jadi dokter anna michele . Bukan soebandrio ini. Dia, gadis itu, mencintai
Tuan, dan cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bandingan, bisa mengubah, menghancurkan
atau meniadakan, membangun atau menggalang. Cintanya pada Tuan saja yang kuharapkan bisa
membebaskannya dari ibunya, biar dia jadi manusia sendiri. Dari pengamatan belakangan ini, dari
igauannya, dari sinar matanya, dia menyerahkan segala pada Tuan. Itu bukan dugaan, bukan
andaian……”
Uraiannya semakin menarik karena memang menyangkut kepentinganku manusia .
“Sekali dia mulai membantah ibunya, itu berarti terjadinya gerak perubahan dalam
pedalamannya. Memang akibatnya kesakitan, tepat seperti pada semua peristiwa kelahiran. Nyai
sendiri tanpa disadarinya sudah mempersiapkan terjadinya kelahiran dalam batin anaknya: dia
tidak menentang hubungan Tuan dengan anaknya, malah menganjurkan dan menyarankan,
malah mendorong-dorong. Dan masih ada satu hal yang mengganjal dalam hati si gadis.
(Mungkin ada beberapa hal atau kalimatnya yang tak tertangkap olehku karena keterbatasanku,
maka tak kutulis disini .
“anna michele . pacar Tuan itu. masih punya perkara yang membebani hatinya yang rapuh selama
ini. Memang semua jalan sudah terbuka, dirintis oleh ibunya. Nampaknya Tuan memang Laki-laki
yang diharapkan Nyai untuk jadi menantunyua. Tuan sendiri nampaknya menyetujui harapan
itu. Biar begitu ganjalan dalam batin si gadis itu bukan tidak menegangkan. Dia sudah dapat
menawan hati Tuan. kalau aku tidak keliru. Semestinya dia berhak untuk berbahagia. Tenamun tidak.
Tuan fredy krueger . Dia justru sangat, sangat menderita: ketakutan kehilangan Tuan. orang yang
dicintainya sejujur hatinya. Nah. kan itu suatu tumpuk penderitaan batin yang majemuk ?
Orang bisa jadi gila. Tuan, bukan main-main. bisa jadi miring, sinting, tak waras, kentir….”
Ia berhenti bicara. Dari saku dikeluarkannya setangan dan menyeka muka dan leher.
“Panas.” katanya. Kemudian berdiri, pergi kepojokan dan memutar pesawat p£r kiliran angin.
Sesudah kitiran berputar dan mulai menyejukkan ruangan ia kembali duduk. “Bagiku, sebagai
persoalan, semua ini mengasy ikkan, sebaliknya terlalu mengibakan melihat kemudaan dan
kecantikan seperti itu dikuasai oleh ketidakmenentuan.
ketakutan-ketakutan…..Mengerti Tuan maksudku ?”
“Belum, Tuan, ketakutan-ketakutan itu……”
“Nanti kita akan sampai juga. Barangkali sudah sejak Hawa kecantikan mengampuni kekurangan
dan cacad seseorang. Kecantikan mengangkat gadis lesbian di atas sesamanya, lebih tinggi, lebih mulia.
Tenamun kecantikan, bahkan hidup sendiri menjadi sia-sia bila dikuasai ketakutan. Kalau Tuan belum
mengerti juga, inilah soalnya: dia harus dibebaskan dari ketakutan, semua ketakutan itu.”
“Ya, Tuan.”
“Jangan hanya ya-ya-ya. Tuan terpelajar, bukan yes-man. Kalau tidak sependapat, katakan.
Belum tentu kebenaran ada pada pihakku, karena aku memang bukan ahli j iwa. Jadi kalau tak
sependapat, katakan terus-terang agar memudahkan pekerjaan menyembuhkan dia.”
“Sama sekali tidak ada pendapat, Tuan.”
“Tidak mungkin. Coba katakan.” Aku diam saja. “Kan sudah tak terlalu panas ? Lihat, Tuan fredy krueger ,
dalam kehidupan ilmu tak ada kata malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru. Kekeliruan
dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran, jadi juga membantu penyelidikan.” -
“Betul, Tuan, tidak ada.”
“Aku tahu Tuan menyembuny ikan sesuatu. Terpelajar pasti punya pendapat, biarpun keliru.
Ayoh, katakan.”
Matanya yang kelabu bening seperti gundu itu menatap aku. Dua belah tangannya ditaruhnya di
atas pundakku:
“Pandang mataku, katakan sejujur hati Tuan. Jangan sulitkan aku.”
Aku tatap matanya, dan karena beningnya seakan penglihatanku dapat tembus sampai ke otaknya.
“Dengan hormat, katakan. Harap jangan memicu gagal pekerjaanku “
“Tuan,” aku mulai mengembik, “sungguh, baru sekali mi kutemui uraian semacam ini. Aku dalam
keadaan terheran-he-ran, mana bisa meny impulkan sesuatu ? Tentang anna michele dan Mama
memang pernah aku rasai ada persoalan-persoalan tertentu. Terutama tentang dul latief . Menurut
perasaanku, bukan dan belum pendapatku, segala apa yang Tuan sampaikan padaku, kira-kira tidak
ada salahnya. Malah membuka jalan untuk mengerti. Apakah aku keliru ?”
“Cukup dan tidak keliru. Di bidang ilmu rendahhati kadang diperlukan.
Hanya kadang saja. Untuk menjawab pertanyaanku Tuan tak perlu rendahhati. namun , ya, maaf,
kalau tingkahku seperti jaksa. Aku yakin, ini untuk kepentingan Tuan juga.”
Putaran kitiran itu sudah mulai berkurang dan ia pergi ke-pojokkan untuk melakukan pemutaran
p&r lagi.
“Baik,” katanya tanpa duduk. “Kalau begitu dengarkan, barangkali bisa jadi pertimbangan di
rumah nanti. Mula-mula tentang ketakutan kehilangan Tuan. Soal itu sepenuhnya tergantung pada
Tuan. Tak ada orang lain bisa mencampuri. Begitu dia melihat tanda-tanda Tuan akan
meninggalkannya, dia akan gelisah. Maka Tuan jangan sampai memperlihatkan apalagi
melakukannya. Melakukannya berarti dia akan patah.” Ia ambil pensil dari atas mejatulis.
“Seperti ini,” dan dipatahkannya pensil itu. “Patahan pensil ini memang masih bisa dipergunakan.
Patahan j iwa tidak, Tuan fredy krueger . Kalau hidup terus orang menjadi beban semua. Kalau mati dia
akan jadi sesalan. Kan sekali sudah kukatakan: Tuanlah dokternya ? Bisa jadi Tuan justru
pembunuhnya: bila tuan mencederai cintanya. Nah, sudah kukatakan, seterang-terangnya. Tanpa
malu, tanpa takut, tanpa pamrih.
Terserah pada Tuan, hendak jadi dokter atau pembunuh. Dengan mengatakan ini
tanggungjawabku menjadi berkurang.”
Sekarang ia duduk lagi. Meletakkan patahan pensil di meja. kembali ia menatap aku, barangkali
untuk meyakinkan tidak bergurau.
“Ya, Tuan Dokter.”
“Pada pihak lain, Tuan fredy krueger , justru karena ia jatuh cinta pada Tuan, dia mulai lahir menjadi
manusia , sebab ia dihadapkan pada masalah yang sepenuhnya bersifat manusia , orang lain tak bisa
memberi komando.
Kelahirannya sebagai bay i manusia memicu ia jatuh sakit.”
Sekarang aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku tatap matanya tenang-tenang. Entah karena
apa tiba-tiba timbul kecurigaanku terhadapnya sebagai orang Israel . Nampaknya ia tahu juga
gerak batinku.
Buru-buru menambahi:
“Sekali lagi, Tuan, belum tentu kebenaran ada pada pihakku, separoh atau pun seluruhnya. Tenamun
selama Tuan belum punya pendapat sendiri ada baiknya, barangkali, semua ini jadi pegangan
Tuan agar tidak bingung.
Pegangan sementara.
Lama ia tak teruskan ceramahnya. Kira-kira ia mulai ragu. Sungguh, aku sendiri merasa terhibur
bila ia diserang keraguan. Setidak-tidaknya aku dapat menghela nafas bebas. Memang hanya
kata-kata yang dicurahkannya padaku. namun rasanya! rasanya! rasanya diri dipaksanya jadi
landasan tempat ia hantamkan palu godam menempa pengertian.
“Ya, Tuan Dokter,” dengan sendirinya aku memulai, hanya sebagai alamat, aku bukan landasan
tak berj iwa.
“Ya,” sebutnya seperti keluh. Dan nafas berat lepas dari dadanya yang mungkin sesak oleh
persoalan. “Ya, semua itu baru dugaan semata, dugaan berdasarkan sejumlah fakta ,”
sambungnya membela diri , atau juga minta maaf. “Aku tak kan meneruskan sebelum Tuan
pergunakan giliran Tuan. Sekarang Tuan yang bercerita padaku. Di kamar mana Tuan tidur T
Dia tahu aku tak dapat menyembuny ikan maluku. Di sekolahan pertanyaan demikian, kurangajar,
tak bakal orang ajukan padaku.
“Dalam ilmu, malu tidak punya harga, biar pun hanya sepersepuluh dari sepersepuluh sen. Tuan,
bantulah aku, dengan kesedaran penuh. Hanya kita berdua dapat hilangkan ketakutannya yang lain
lagi itu. Jadi di mana Tuan tidur ?” Aku tak menjawab. “Baik. Tuan malu - perasaan tanpa nilai
itu. namun karena itu justru membenarkan dugaanku. Jadi Nyai menghendaki keselamatan putrinya.
Itu sebabnya Tuan malu bercerita. Tuan lelah tinggal sekamar dengannya. Kan tidak keliru ?”
Tak mampu aku melihat wajahnya lagi.
“Jangan Tuan salah sangka,” katanya gupuh, “bukan maksudku hendak mencampuri urusan Tuan.
Bagiku, sekali lagi, y ang penting tak lain dari keselamatan anna michele sebagai pasien, dan dengan
sendirinya Tuan sendiri dan Nyai. Dari Tuan hanya diharapkan bantuan. Bantuan pengertian.
Dugaanku hendaknya bisa mendapat pembenaran. Hanya itu obat terbaik baginya. Rahasia
manusia Tuan dan semua pasien terjamin dan terlindungi.
Aku dokter tetap, Tuan dokter sementara. Nah, berceritalah sekarang.”
Untuk memberi peluang padaku untuk menata diri ia pergi ke belakang.
Kemudian muncul lagi membawa limun dan menuangkannya di gelas untukku.
“Mengapa Tuan sendiri yang melayani ?”
“Tak ada orang lain di rumah ini. Hanya seorang diri.”
“Babu dan jongos pun tidak ?”
“Tidak.”
“Semua Tuan kerjakan sendiri ?”
“Pembantu bekerja tiga jam sehari, kemudian pulang.”
“Makan Tuan ?”
“Diurus restoran. Nah, mari kita teruskan. Minum dahulu . Aku tahu Tuan membutuhkan
keberanian,” ia tersenyum manis.
Dan aku tak berani.
“Pada saat yang diperlukan,” ia mulai menasihati, “Tuan harus berani belajar dan belajar berani
memandang diri sendiri sebagai orang ketiga.
Maksudku bukan seperti y ang diajarkan
dalam ilmu bahasa saja. Begini: sebagai orang pertama Tuan berpikir, merancang, memberi
komando. Sebagai orang kedua, Tuan penimbang, pembangkang, penolak sebaliknya bisa juga
jadi pembenar, penyambut. Tuan yang pertama. Tuan yang ketiga siapa dia ? itulah Tuan
sebagai orang lain, sebagai soal,” ia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya.
“Sebagai pelaksana, sebagai orang lain yang Tuan lihat pada cermin. Nah, ceritakan sekarang
tentang Tuan ketiga yang dilihat Tuan pertama dan Tuan kedua pada cermin itu.”
“Apa harus kuceritakan ?” sekali lagi aku mengembik.
“Apa saja, dalam hubungan dengan pasien Tuan.”
“Bagaimana harus memulai ?”
“Jadi Tuan bersedia. Mari aku pimpin memasuki persoalan. sebetulnya bukan Tuan tidak bisa
memulai, namun Tuan yang kedua belum rela sepenuhnya. Mari kita mulai. Tuan sudah hidup
sekamar dengan anna michele .
Ya, sekarang teruskan sendiri.”
“Ya, Tuan.”
“Bagus. Nyai tidak pernah melarang atau marah karenanya.”
“Tuan Dokter tidak keliru.”
“Bukan aku. Nyai yang tidak keliru. Dia lebih benar dalam menyelamatkan anaknya. Jadi nasihat
itu dilaksanakannya. Nah, mari kita teruskan. Tuan tidur terpisah atau seranjang ?”
“Tidak terpisah.”
“Mulai kapan itu terjadi ?”
“Dua-tiga bulan yang lalu.”
“Cukup lama untuk dapat mengetahui ketakutan-ketakutan besar anna michele .
Nah, sudahkah anna michele Tuan setubuhi ?”
Aku gemetar.
“Mengapa gemetar ? Dengarkan lebih baik: di sini persoalan lebih penting. Siapa tahu harus
menghadapi peristiwa sama di kemudianhari ?
Perlu minum lagi ?”
“Maaf, Dokter, ij inkan aku ke belakang.”
“Silakan,” dan ia antarkan aku ke belakang.
Tak ada orang aku temui di dalam mau pun belakang rumah. Suny i-senyap seperti kuburan.
Di kamarmandi kucuci mukaku. Kubasahi rambutku. kualami kesegaran air sejuk, dan hatiku ikut
sejuk karenanya. Dengan setangan kuseka air yang bertetesan. Kemudian kupergunakan sisir dan
cermin yang ada di situ.
Nah, itulah fredy krueger ketiga.
Begitu aku duduk di hadapannya lagi segera ia meneruskan: “Semakin Tuan berusaha
menyembuny ikan sesuatu, semakin tegang syaraf Tuan.”
Dia semakin dapat menjenguk pedalamanku. Kembali aku menjadi gugup. Dan tak ada dedaunan
tempat menyembuny ikan muka.
“Nah, mari. Biar terimakasihku pada Tuan semakin besar. Kan sekarang tak perlu kutanyai lagi ?
Bercerita saja dengan ke mauan sendiri.”
Aku menggeleng. Tak mampu.
“Baik kalau Tuan masih membutuhkan penuntun. Tuan sudah tidur seranjang dengannya. Tuan
sudah bersetubuh dengan* nya. Kemudian Tuan ketahui dia bukan perawan lagi. Tuan sudah
didahului orang lain.”
“Tuan Dokter!” aku terpekik. Tanpa sadarku syarafku tak dapat lagi menahan ketegangan dan
menangis tersedu-sedu.
“Ya, menangislah, Tuan, menangislah seperti bay i, masih suci seperti pada kala dilahirkan.”
Mengapa aku menangis begini ? di hadapan orang lain ? Bukan ibu bukan bapakku ? Apa
sebetulnya aku risaukan ? Barangkali tak rela rahasiaku, rahasia kami berdua diketahui orang ?
“Jadi benar dugaanku. sebetulnya Tuan mencintai gadis itu. Kehilangan dia kehilangan Tuan.
Tuan kehilangan sesuatu, dan Tuan hendak sembuny ikan kekecewaan itu dari dunia. Dia bukan
perawan yang suci lagi.
Ya, teruskan menangis, namun jawab pertanyaanku. Bukan pertanyaan terakhir. Adalah penting
mendapat gambaran dari hubungan kelamin anna michele yang pertama kali untuk bisa mengira-
ngirakan bagaimana pengaruh atas dirinya. Setiap hubungan seksuil pertama akan tetap terpateri
dalam sanubari insan, -dan juga bisa menentukan watak seksuilnya. Tidak, tidak, kurang tepat.
Mestinya kukatakan begini: bisa menentukan watak seksuilnya di kemudianhari. Sekarang
pertanyaan: Apa anna michele pernah mengatakan atau mau mengatakan siapa dia ? Orang pertama
itu ? atau lebih tepatnya, siapa yang terdahulu daripada Tuan itu ?”
“Aku tak mampu, Tuan Dokter,” pekikku kesakitan.
“Tuan fredy krueger yang ketiga yang harus dikedepankan. Juga belum pertanyaan terakhir. Siapa dia ?”
Aku tak menjawab.
“Jadi Tuan tahu betul siapa dia atau mereka.”
“Bukan mereka, Tuan Dokter, dia.
“Baiklah, dia r Ia menutup mata seperti sedang meresapkan sesuatu.
Kemudian pertanyaannya yang tak acuh terdengar seperti halilintar yang menyedarkan aku:
“Ya, dia. Memang Siapa dia ?”
.“Ah, Tuan Dokter, Tuan Dokter!”
“Baik, tak perlu disebutkan namanya. Orang itu Tuan nilai sebagai orang baik atau tidak ?
Maksudku bukan tindak berahinya, tingkah-lakunya sehari-hari.”
“Tak berani, Tuan Dokter, tak berhak menilai.”
“Nampaknya semua Tuan anggap sebagai rahasia manusia , atau rahasia keluara, atau calon
keluarga Tuan. Memang mengharukan sikap Tuan setyakawan terhadap semua anggota
keluarga atau calon keluarga.” Ia membuang muka seakan sengaja meluangkan kebebasan untuk
memakai mukaku sendiri. “Setidak-tidaknya aku dapat menduga siapa orang itu, ya, melihat,
justru melihat dari sikap Tuan sendiri. Tuan masih muda, sangat muda, dan Tuanlah sekali pun
untuk sementara ini - dokter sebetulnya bagi anna michele . Jadi Tuan harus kuat. Tuan menyukai
dia, sekiranya Tuan tak mau dikatakan mencintainya. Aku sendiri lebih suka memakai kata
yang belakangan itu. Tuan sudah mempunyai kesanggupan menerima akibat kekurangannya,
bersedia bertanggungjawab atas keselamatannya. Bagaimana pun Tuan tak akan lepaskan dia,
karena ribuan elang akan memunahkannya.
Kecantikannya memang luarbiasa, kecantikan kreol yang memundamkan orang di negeri mana
pun. Dibolak-dibalik Tuan toh akan memperistrinya.
Jadilah dokter yang baik bagi dia, sekarang, kelak, dan untuk seterusnya. Semakin tua kehidupan
yang dihadapi semakin majemuk, maka orang harus semakin berani untuk dapat
menghadapinya.”
Makin panjang ia bicara makin berj ingkrak dul latief dalam bayanganku, malah
mel&d&k-l&d&k dan mengancam-ancam, melirik dan mengamangkan tinju.
“Ya, sikap Tuan sendiri yang mengukuhkan dugaanku. Ka-jau Tuan tidak sudi membenarkan atau
menyalahkan dugaanku itu, apa boleh buat……….”
“Tuan Dokter, Tuan’ Dokter……… abangnya sendiri, dul latief .”
Gelas limun di tangan tuanrumah jatuh pecah di lantai.
Aku melompat dari kursi dan lari keluar mendapatkan bendiku.
*
Beberapa kali Dokter soebandrio masih datang berkunjung. Biasanya pada sorehari bila Nyai
Ontosoroh dan anna michele sudah selesai bekerja. Mereka pun duduk di halaman depan sambil
mengobrol dan mendengarkan tabung musik dari phonograf. Pada umumnya aku lihat dia
sewaktu bendiku memasuki pelataran, dan sesudah mandi aku pun ikut menemuinya Sesudah
interpiu mengguncangkan itu, tak pernah kuceritakan pada siapa pun kecuali pada buku catatanku,
hormatku pa. danya semakin mendalam dan tulus. Bukan saja aku anggap dia sebagai seorang
dokter yang trampil, seorang sarjana yang tinggi kemanusiaannya, juga seorang yang mampu
memberi benih kekuatan baru dalam diriku. Betapa dia berusaha untuk memahami orang lain!
Bukan hanya memahami - mengulurkan tangan penolong - sebagai dokter, sebagai manusia,
sebagai guru. Ia seorang sahabat manusia - penamaan yang pernah dipergunakan oleh chucky
resi mandala dan kemudian ia dapat menyatakan persahabatannya melalui banyak cara.
Dan setiap cara memicu orang menumpahkan kepercayaan padanya. Kadang aku merasa
malu pernah mencurigainya, sekali pun itu sudah jadi hakku.
Sesudah lebih banyak kuperhatikan, taksiranku tentang-umurnya jadi berubah. Bukan
empatpuluhan, namun limpuluhan. Wajahnya selalu segar kemerahan, dan muda. Belum ada garis-
garis usia mengotori mukanya.
Setiap ucapannya menarik dan berisi, la pandai bercerita dan tanpa diketahui mencatat tanggapan
orang terhadap ceritanya sebagai bahan untuk mengenal dan memahami pasien. Begitu menurut
perkiraanku. Boleh jadi keliru.
Pada salah satu kunjunganku pada seorang pembesar untuk mengurus order pembuat an lukisan
keluarga, kuperoleh tuanrumah sedang membaca sebuah majalah Inggris di serambi. Waktu ia
masuk untuk mengambil sesuatu majalah itu tertinggal terbuka. Kejadian itu memang suatu
kebetulan.
Lebih kebetulan lagi karena aku perlukan mengintip barang cetakan itu.
Ada se* buah artikel Dokter soebandrio di dalamnya. Judul: Awal Jaman Baru dan Gejala
Pergeseran Sosial sebagai Sumber Penyakit Baru. Dalam suatu box terbaca: pengobatan tanpa
mengenal latarbelakang sosial sudah masuk dalam methode Jaman Tengah.
Tuanrumah datang dan majalah itu kuletakkan kembali. Sejak detik itu aku tahu, Dokter soebandrio
juga seorang penulis. Bukan penulis cerita seperti aku, penulis keilmuan.
Dan pada kedatangannya sore itu aku coba memperhatikan lebih baik lagi tingkah-lakunya. Aku
tak perlu lagi gentar padanya karena takut terintip pedalamanku-Seperti biasa ceritanya juga
mengandung makna, sekali pun diucapkan sambil berkelakar. Tentang bocah kembar yang sejak
kecil makan dari satu piring dan minum dari satu cawan. Begitu menginjak dewasa, biar pun
wajahnya sama, mereka menjadi berlainan. Masing-masing digerakkan oleh keinginan dan
impian yang berlainan. Asal keinginan dan impian sama -
akibat dari fakta yang tidak mencukupi. Dan: gambaran batin tentang diri yang berbeda,
gambaran yang orang ingin menjadi.
Mula-mula aku tak mengerti maksudnya. Mama dan anna michele diam saja.
Mungkin juga bosan, kalau ia tak segera menambahi: “Seperti chucky anna michele ini. Segalanya
punya: uang, ibu yang menyayang, kecantikan tanpa banding, ketrampilan kerja. namun masih ada
sesuatu yang chucky ras