Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 5
Desember 14, 2022
rakyat 5
diri ? Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini
kerajaan jenggala ? Kecuali pajang bintoro , dan sebab nya menyerbu
suryabuaya untuk jadi kerajaan jenggala seperti yang lain-lain?
sebab kerajaan yang bukan kerajaan jenggala tidak pernah
masuk hitungan? Kalau semua kerajaan bersikap seperti
kediri , seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan
nyi kanjeng blora. Kalian mengerti?”
Dan semua pendengar menjawab mengerti.
“Syukur Alhamdulillah.”.
“Syukur Alhamdulillah,” semua menggemakan. “Maka
semua kerajaan jenggala yang tidak melawan nyi kanjeng blora
adalah musuh kita,” ia terbatuk-batuk. Badannya
melengkung, kepala nya diletakkan di atas meja rendah di
hadapannya. Dan para kepala tak berani memijitinya. Hanya
adipati pralaya yang berani lakukan itu, namun ia tak ada.
“namun ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi
nyi kanjeng blora adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga
tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu
juga tidak suka. pajang bintoro yang katanya arca itu juga tidak
suka itu. Dan mereka semua bukan sahabat kita,” ia angkat
tangannya untuk mepercaya kan. “Semua itu memang bisa
bersatu melawan nyi kanjeng blora, termasuk kita Perbegu,
Tionghoa dan arca . namun ingat-ingat hanya jayawisesa kerajaan
arca pertama-tama bila kediri jatuh.” Ia terengah-engah
kehabisan nafas.
“Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa
Semarang dan pajang bintoro itu satu. Maka itu juga kalian lantas
jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai pajang bintoro . Kita
lebih maju dibandingkan pajang bintoro …. sebab apa yang kita
kerjakan selama ini ada di jalan kediri , bukan di jalan
Dampo Awang.”
“Kanjeng adipati ”, seseorang menyela, “putra mahkota
pajang bintoro , Pangeran Sabrang Lor, sekarang adiputro tumenggung dijoyo
suryabuaya , sudah menyerang nyi kanjeng blora di jayamahanaya . Kita sendiri
belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu
pertanda mereka jauh lebih maju dibandingkan kita?” adipati
jayawisesa tertawa melecehkan.
“Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir pajang bintoro .
Bukankah kau sudah tahu kanjeng sinuhun pajang bintoro Syah Sri Alam
Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa?
Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa
sebetulnya ? anak wanita lesbian patih Ampel. Apakah
belum pernah aku ceritai kalian siapa patih Ampel?”
“Belum, Kanjeng adipati ”.
“Baik. patih Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti
kanjeng sinuhun pajang bintoro . adipati jayawisesa ini lebih tahu, sudah bicara
dalam Jawa pada kalian selama ini. Dia tak tahu. patih
Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam jawadwipa
pasuruan . Dia orang seberang, orang Campa mengakunya,
orang Campa yang sudah lama tinggal di jayamahanaya . Anak
wanita lesbian nya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga
bukan orang Jawa. Nah, mengapa tumenggung dijoyo itu memakai
mpu wungubhumi Jawa adiputro dan dinamakan Kanjeng baginda tuanku raja ? sebab ,
walaupun pajang bintoro mengaku kerajaan arca pertama-tama di
Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot
lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala mpu wungubhumi dan
keprajaannya.”
“Biar begitu nyi kanjeng blora sudah dihadapinya, dilawannya.”
“Nanti dahulu , kau, mpu jayamuseswa yang
berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan
baik-baik. Patah ini menamakan diri Khalifah pertama di
Jawa. mpu wungubhumi yang dia memakai mpu wungubhumi Parsi, dan nama
ibukotanya sama sekali tak berbau arca : Glagah Wangi,
Bintoro pajang bintoro . Bagaimana bisa begitu? sebab memang
tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas
utamanya. Kalian tentu masih ingat tugas utama pajang bintoro :
melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar
tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para
wali, para adipati yang itupun sekarang sudah bertentangan
satu sama lain. Salah seorang di antara mereka sudah
mereka bunuh bebetari i-betari i sebab perselisihan berebut
pengikut. Dan adipati Kalijaga cucu Babah Bantong itu,
putra adiputro kediri , kabarnya sudah menghilang entah ke
mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa.
Boleh jadi ia tak mampu mengatasi perpecahan.”
“Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih maju dibandingkan
pajang bintoro . Bila kita sudah berhasil memperoleh kan kediri , segera
akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi:
Yathrib. Dan pajang bintoro akan kita majukan jangan sampai
terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang pemberontak . lalu , anak-
anakku, jayamahanaya pun insya sang hyang Widhi akan dijadikan oleh sang hyang Widhi
akan jatuh ke tangan kita. Jadi…”
Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang
padanya dan berbisik pada kupingnya. adipati jayawisesa
mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu tertawa
dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh
semuanya bubar.
Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal
adipati jayawisesa dan pembisiknya. lalu tertawa
meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah,
menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut adipati berkomat-
kamit aneh: “nyi girah , nyi girah ! Kau juga, kau!”
wah
adipati pralaya sudah memutuskan mengerahkan
seluruh para bala tentara jayawisesa untuk memasuki kediri dengan
menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai prajurit kerajaan
kediri .
Saran patih Benggala adipati jayawisesa sudah ia pelajari, dan
kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik,
dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan
musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa
perlawanan.
Dengan menembusi rimba prajurit kerajaan jayawisesa , termasuk
gada rujakpolo nya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka
yang bukan kekuatan perang mengikuti garis berat dan jauh
itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang
membawa perbekalan dan alat-alat sendiri.
Hujan dan dingin tak mereka hiraukan.
“sang hyang Widhi bersama kita,” adipati jayawisesa merestui. “Hanya
sang hyang Widhi yang menentukan. Nasib kita semua berada di
tangan-Nya”.
Maksud pralaya tahu benar, belum seluruh kekuatan
prajurit kerajaan kediri sudah dikerahkan oleh raden panji gelang-gelang .
Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu,
kediri dalam keadaan kosong. Orang akan dapat
berlenggang-kangkung memasukinya, langsung masuk ke
dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi.
Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan
cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran
pelabuhan. Cetbang tak dapat dipakai untuk setiap
keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipakai bertahan
terhadap setiap macam serangan. Ia sudah temukan cara
untuk menumpasnya.
Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang
dicadangkan oleh kediri . Hanya di mana cadangan itu
ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya
tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu
ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengira-
ngira kan.
Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa
menjadi sumber bencana. namun menunggu lebih lama
adalah kehancur an….
O0-dw-oO
Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu
menerobosi mendung putih itu.
Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang
bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak
pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu
panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri
lebih dari tiga rangkulan manusia.
Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat
pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan,
sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis
putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan
jalan desa.
“Ha! itu mereka!” pengintai pertama berseru terangsang.
“Berhari-hari ditunggu…,” yang kedua menambahi.
“Berminggu!” yang pertama membetulkan.
“Berminggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa? Lihat!
Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk
ke kediri . Bahaya! Sedang kita masih sibuk mencari-cari”.
‘Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu”.
“Nampaknya mereka berangkat malam,” kata pengintai
kedua. Ia bercepat-cepat menuruni tangga batang bambu.
“Bagaimana pun kita akan lebih dahulu sampai,” jawabnya
sambil juga menuruni tangga.
“Jangan meremehkan,” pengintai kedua
memperingatkan, “biarpun kita berkuda”.
Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masing-
masing yang selama itu gelisah diserang nyamuk. Mereka
berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama
berpesan: “Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda
Maesa Wulung. Terus menghadap panembahan senapati ki ageng dan sekalian
hormatku”.
Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung
ke kota. Pengintai ke dua mencambuk kuda, membelok ke
kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang.
Sesudah padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil,
lalu sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang
centeng . Seseorang sudah mengganti kudanya dengan yang
baru. Selama memasang abah-abah pengintai kedua itu
berkata pada seorang centeng yang datang menghampiri.
“Sampaikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka
bergerak untuk langsung memasuki kediri dari jalan negeri.
Setiap orang membawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari.
Teruskan, aku akan menghadap panembahan senapati ki ageng ”.
“Berapa kekuatan mereka?”
“Membeludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan
memasuki kota pada waktu matahari tenggelam”.
Ia melompat ke atas kudanya dan hilang di antara
rimbunan pepohonan buah.
centeng yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada
dua orang centeng lainnya, lalu berpacu mengikuti
pengintai kedua. Dan kedua orang centeng itu berpacu pula
ke jurusan lain.
centeng pengintai pertama yang menuju ke kota itu
disambut oleh dua orang centeng yang sudah siap dengan
kudanya. Ia menyampaikan perintah pada mereka,
lalu ketiganya berangkat, menempuh jalan berlain-
lainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala
pasukan pengawal, Braja.
Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri.
Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar
meminggir. Beberapa desa sudah dilewatinya tanpa
menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis
yang rimbun dengan semak-semak petai cina.
“Brenti!” sayup-sayup ia dengar kata an dari hadapan.
Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu
dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada
punggung kuda. Tangan kirinya memeluk batang leher
kuda dan tangan kanan mencambuki hewan itu. agar
berpacu terus, lebih cepat.
“Tombak!” ia dengar lagi kata an lain.
Bersamaan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan
menyambar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah
kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tombak.
Sebilah sudah mengenai pinggang hewan itu, tembus
sampai ke dada. hewan itu terhenti pada suatu jarak.
Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras.
kepala nya menengok ke kiri lalu ke kanan, mencoba
melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia
melonjak sambil menjerit.
Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke
tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya
yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium
mukanya. Sebatang tombak lain melayang dan
menyerompat iganya. hewan itu memekik dan melarikan
diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul.
Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan
mulai bermunculan. Tak kurang dari 30 . Mereka
kumpulkan kembali tombak-tombak yang luput.
“Berpacu secepat itu pasti membawa berita,” seorang di
antaranya memberikan pendapat sambil menembuskan
tombak dalam tubuh pengintai dan memalui tembusan itu
mencabutnya. “Dalam lodong pelupuknya ada lontar,”
katanya lagi sembari membersihkan tombak berdarah itu
dengan daun-daunan.
“Lebih baik lagi,” sambung yang lain. “Lisan maupun
tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!”
Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan,
lalu mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina
di kanan dan kiri jalan.
wah
Kedai minuman mpu jahalodang pagi itu kedatangan banyak
langganan seperti kemarin atau kemarin dahulu . Pertama-
tama sebab peluru-peluru kanjuruhan yang sudah
dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Ke-
dua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama
bagaimana warungnya dirusak oleh peluru kanjuruhan itu.
Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama raden
sanggabuana bumikerta tentang bakal datangnya banyak, terlalu
banyak kapal nyi kanjeng blora, bukan untuk berperang, namun
berdagang.
Sambil melayani mpu jahalodang berkicau terus-menerus. Penutup
dari semua tetap sama: betapa hebatnya gada rujakpolo kanjuruhan
itu. Juga pada pagi ini.
Dan pagi itu raden sanggabuana juga sudah menduduki
bangkunya, sebuah tempat penghormatan untuknya di
pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia
bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan
mpu jahalodang.
Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari.
Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian
seberang, berkumis bapang tanpa jenggot, selalu mengambil
tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia
tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau jawadwipa .
Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan
bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak
lain dibandingkan Braja.
“Sungguh berbahaya bermain-main dengan nyi kanjeng blora,”
raden sanggabuana mengegongi. “Kerajaan-kerajaan besar
ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia
dibikin marah”.
“Memang begitu.” mpu jahalodang meneruskan. Tak ada yang
dapat menahan mereka, Tuan patih wirabuana . Lihat saja
pelurunya. Seratus gada rujakpolo bisa gugurkan gunung yang
setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging
dan tulang. Sungguh menakutkan”.
“Setidak-tidaknya, baginda tuanku raja Tuan patih wirabuana ,” seorang
langganan lain di dekat Braja menyela, “di kediri dia
pernah dihina dan dihalau”.
“Apa? Dihina dan dihalau?” seru mpu jahalodang, “dihina dan
dihalau katanya, Tuan patih wirabuana . Janganlah itu dinamakan
lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan
nyi kanjeng blora tak akan lupakan itu. Sungguh mati”.
“nyi kanjeng blora takkan pernah melupakan sesuatu,” raden
sanggabuana mengegongi lagi.
“Dihina dan dihalau!” langganan itu berkukuh.
“Dihina dan dihalau katanya mpu jahalodang”, patih wirabuana itu
berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai
tongkatnya. ‘Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu
betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang?” ia
mendelik pada langganan di samping Braja.
“Yang akan datang?” Braja ikut campur, dalam jawadwipa
bicara untuk pertama kali, “dihancur kan sama sekali”.
“Puh! Berapa lama jayamahanaya jatuh? Berapa bentar panarukan
dikuasai? Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa
Tenggara? Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi:
jenggala , Ambon, madura , penanggungan , Kei, merapi ….”
Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang
mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang
serba wulung nila itu tak lain dibandingkan Braja, kepala
pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak
acuh. mpu jahalodang dan patih wirabuana terperanjat.
Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh
datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih
menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung,
memperoleh kan Braja.
Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang
sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda.
lalu kedua-duanya meninggalkan warung.
“Bukankah itu Braja?” seorang langganan berbisik.
“Bukan!” seorang langganan lain yang juga belum
dikenal namanya membantah. “Bukan Braja. Braja aku
kenal, dahulu pernah aku jadi pelayannya, lima tahun”.
Kata-kata itu menenangkan mpu jahalodang dan raden sanggabuana .
“Tuh! Orang tak tahu persoalan,” langganan yang duduk di
dekat Braja tadi mengulas, “pedagang biasanya lebih tahu
dari petani, ini lebih dungu,” ia tatap raden sanggabuana untuk
memberi simpati. “Tak pernah ada memang nyi kanjeng blora
dihancur kan. Apalagi dengan sama sekali”.
“Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya,” raden
sanggabuana mulai hidup kembali.
Dan pengagungan terhadap kanjuruhan mulai lagi. Orang di
dekat Braja tadi juga ikut mebetari ikan, tak lagi membantah.
Semua ikutserta membenarkan, menggarami, membubui.
patih wirabuana dan mpu jahalodang semakin bersemangat. Langganan
itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah
bukan arak.
Dan mpu jahalodang dan patih wirabuana nampaknya kurang cermat
memperhatikan mereka. Mereka adalah centeng -centeng
pengawal.
Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri
terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat
ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan
ajaib.
Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya,
dengan sebatang tombak tertancap pada pinggul dan darah
meleleh dari bawah mata tombak, sedang berjalan payah
terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana.
Tombak itu jelas bukan milik para bala tentara kediri . “adipati jayawisesa
sudah mendekati kota,” seseorang memastikan. Semua
langganan keluar dari warung untuk dapat memperhatikan
tombak dan hewan itu.
“Itu kuda para bala tentara kediri . Lihat tanda pada kupingnya!”
“Ya, memang kuda para bala tentara kediri ,” orang membenarkan.
Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan
rombongan petani tanpa barisan membawa gada dan
tombak para bala tentara kediri , juga busur dan perisai.
“Itulah para bala tentara jayawisesa ”, bisik raden sanggabuana megap-
megap. Tak ada yang menanggapi.
Sebentar lalu menyusul pemikul-pemikul cetbang
di belakang rombongan kacau itu.
“Bukan prajurit kerajaan kediri ”, raden sanggabuana
mepercaya kan, “jelas para bala tentara adipati jayawisesa . Mereka sedang
memasuki kota.”
“syang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana !” sebut mpu jahalodang, “kita
tutup kedai dengan lupa membayar minuman….”
Segera sesudah menerima laporan, Braja mengerahkan
pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan
diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan
yang bakal ditempuh oleh para bala tentara jayawisesa .
Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari centeng -
centeng pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain
sebab keberanian dan ketangkasan dan kecerdasannya.
Setiap di antara mereka dapat memmemakai semua
macam senjata dan penunggang kuda yang mahir.
Sesudah pulih dari kekecilan hati mereka menerima
balasan dari raden panji gelang-gelang , dengan pasukannya yang kecil
ia bertekad untuk menghancurkan para bala tentara jayawisesa dengan
berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukan-
pasukan kediri lainnya datang membantu.
kediri yang kebetari t tidak boleh dijamah oleh tangan
pemusuh ia bersumpah.
Sesudah sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang,
dihadapkan ke arah musuh akan datang. centeng -centeng
selebihnya diperintahkannya membiak ke kiri dan ke kanan
jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan
meninjau ke seluruh medan.
wah
adipati pralaya sudah memerintahkan agar para bala tentara nya
tidak bersorak sama sekali, tidak membunyikan gendang
dan gong, tidak memakai umbul-umbul ataupun panji-
panji, sebelum berhasil memasuki kediri .
Ia pun sudah memberikan perintah, begitu memasuki kota
semua centeng nya harus menyebar ke sana-sana.
Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan
melalui jalan belok dan akan memasuki kediri melalui
pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala
kesulitan dengan cetbang.
Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh
sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada
pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah aman
selama ini. Juga centeng -centeng nya mengikuti sikap
pemimpinnya.
Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata
separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke
mana mereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia
berangkat ke medan pertempuran.
Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di
bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di
depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya.
Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam
seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak
pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri.
Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya
berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus
diperbuat.
Padang ilalang itu akan membuat pasukannya terbuka
dari serangan panah dan tombak, dan musuh sudah
memperoleh posisi lebih dahulu. Untuk membentuk formasi
apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini
pun akan membuat kuda-kuda cepat lelah, dan dalam
melakukan serangan nyamuk menggigit kuping hewan
itu.
Ia ragu-ragu.
Seorang centeng keluar dari balik pepohonan dan
melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan centeng itu langsung
berpacu ke jurusan musuh, dengan membawa tombak.
Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi.
Maesa Wulung merasa menghalangi jalanan, dan ia pun
berangkat maju.
Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju
dan menyerang. Dan tombak-tombak berlayangan jatuh di
tengah-tengah laskar musuh yang membalas dengan anak
panah. Pasukan kuda itu tak berani mendekat-dekat. Medan
tak memungkinkan. Setiap habis melempar mereka
menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. Sesudah
lemparan yang ke empat mereka sudah kehabisan tombak
dan mengundurkan diri untuk memperoleh kan yang baru.
Tombak-tombak itu mengenai sasaran, namun para bala tentara
musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota
dengan meninggalkan korban di jalanan.
Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah
yang cukup besar, barulah Maesa Wulung memperoleh kan
kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin
pasukan kaki cadangan, diperoleh kesepakatan untuk
menggunting putus para bala tentara jayawisesa dengan memakai
baris lebar.
Maka gabungan pasukan kuda dan kaki mulai menyerbu
dengan formasi lebar, formasi ombak laut. namun itu pun
tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki kediri yang lari
menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki
dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun
rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti
untuk mengurus tunas alang-alang yang patah dalam
telapak kaki itu, lalu lari lagi. Dan tak kurang-
kurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincang-
pincang. Namun mereka bersorak gegap gempita.
para bala tentara jayawisesa tetap tak bersuara. Anak panah dan
tombaknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan
para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang
lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan para bala tentara jayawisesa
terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan
barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejar-
kejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung
dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang
sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah kediri .
Demikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang
melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke
keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban
pada ke dua belah pihak.
Antara sebentar Danang memaki-maki sebab Maesa
Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak
menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi
gusar, sebab dalam prajurit kerajaan , kedudukan pasukan kuda
berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwira-
perwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih
berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan
gabungan.
Ketidakserasian itu sementara menguntungkan para bala tentara
jayawisesa . Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya
dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga
antara musuhnya yang dapat dirobohkan.
wah
raden panji gelang-gelang menerima berita tentang gerakan para bala tentara
jayawisesa yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari.
ki glodog ireng yang nampak sudah kurus itu
diperintahkannya mengejar dan menyerang dari belakang
sesudah dapat menjejak jalan mereka.
Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda.
Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus
menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali
memasuki kediri bersama dengan seluruh pasukan gajah.
Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala
chucky : “Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat
dikerjakan. Jangan ada yang menghadap baginda tuanku raja adiputro ”.
Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan
ki glodog ireng yang sudah memasuki hutan.
Jalan yang habis ditempuh oleh para bala tentara jayawisesa itu tak
lama lalu dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis
dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar sesudah kena
terjangan para bala tentara jayawisesa . Di kiri dan di kanannya berkaparan
bekas tebangan. Dibawa lumpur sudah bercampur dengan
dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu
melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya.
Di mana-mana bagian air menggenang sampai ke paha
berwarna kelabu. Hutan itu mengembangkan bau daun
kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam
dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang
terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda,
dan hanya dapat dihindari dengan membuat jalan belok.
Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan
perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara sebab
sulitnya medan.
Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri
yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun
terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus
mesanggrah di udara terbuka.
Jalanan negeri itu kini sudah rusak permukaannya sebab
sudah jadi bubur. namun untuk pasukan kuda tak ada suatu
rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu
matahari mulai condong, buntut pasukan jayawisesa sudah
nampak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di
atas padang rumput hijau.
Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk
perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak
bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan
musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan.
Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat
mempertahankan diri. centeng -centeng kuda lainnya
menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran
gada . Maka laskar terakhir para bala tentara jayawisesa adalah laksana
buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serombongan
semut. Ia meliuk-liuk namun perasaannya tidak menjalar ke
seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi
bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan
lebar.
ki glodog ireng dan raden panji gelang-gelang berpacu terus untuk
dapat mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada
pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda kediri
di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah
Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling
untuk ditumpas.
Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran.
panembahan senapati ki ageng melihat Maesa Wulung keluar dari medan
pertempuran dan menghadap padanya.
“Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok!”
tegur ki glodog ireng , tanpa memperhatikan bawahannya
dan terus mengawasi jalannya pertempuran.
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di
seberang daerah pertempuran sana serombongan centeng
jayawisesa tampak sedang mengangkuti sesuatu.
“Ya, itulah gada rujakpolo nya!” seru raden panji gelang-gelang . “Maesa
Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh
pasukanmu, sergap rombongan sana itu!”
Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan
pertempuran, dengan cambuk perang menggeletar di udara,
memekik: “Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!”
Tinggsang hyang Widhi pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah
barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa
Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan
menggantikan yang pergi.
wah
Regu pengangkut dan pengawal gada rujakpolo itu sedang
menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk
tempat memasang gada rujakpolo nya guna menembaki kediri .
Melihat datangnya limabelas centeng kuda musuh mereka
meletakkan beban masing-masing dan melindungkan diri
dalam lingkaran pasukan pengawal.
Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu.
“Ganggu mereka!” perintah Maesa Wulung. “Jangan
beri kesempatan!”
Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu
meledek menjauh dan mendekat sambil memaki dan
menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung
cambuk itu menyambar dan menyobeki daging dan kulit
dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan
lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari
mengelilingi musuhnya.
“Bantuan!” kata fredy krueger alias Manan dari tengah-
tengah lingkaran.
namun suaranya tenggelam dalam keriuhan orang
berperang tanding.
“Lingkar! Kepung!” perintah Maesa Wulung.
“Lingkar! Kepung! Hore!” sambut anakbuahnya.
“Babat begundal Rangga jatayuwesi !”
“Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan!”
“Lingkar! Kepung! Hore! Hore!”
Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran
kepungan makin lama makin menyempit.
“Tombak!” perintah Maesa Wulung.
“Tombak! Tombak! Tombak!” seru anakbuahnya
mengulangi.
Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam
selipan pinggang, dan tombak pun mulai dimain-mainkan
di udara.
“Lepas!” dan tombak pun belepasan dari atas kuda.
centeng -centeng dari regu pengawal dan pelayan gada rujakpolo
mulai bergelimpangan.
Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit
jua.
fredy krueger dan penywise tak pernah berperang tanpa
senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan
cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang
diperlukan nya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap
dengan gada dan berlindung di balik peti-peti obat.
Regu pengangkut dan pengawal gada rujakpolo itu semakin
tipis. Tombak dan cambuk kediri sudah menyarangkan
mereka.
“gada !” perintah Maesa Wulung.
“gada ! gada !” anakbuahnya menyambut.
gada pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan
berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu
mulai membabat dan menyambar, digerakkan oleh tangan-
tangan ahli dan terlatih.
Dan regu pengawal dan pengangkut gada rujakpolo yang sudah
digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan
sekarang gada itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian
mencoba meloloskan diri dari kepungan.
Melihat bahaya yang semakin mendesak, fredy krueger dan
penywise melompat ke atas peti untuk memperoleh kan
tempat ketinggian. gada mereka berputar-putar di udara
menunggu serangan.
“Lari, ayolah , lari!” Maesa Wulung berseru pada
musuhnya.
“Lari, ayolah , lari!” sorak anakbuahnya.
Mereka lari dan tidak dikejar.
Pertahanan gada rujakpolo itu semakin tipis juga. Semua tinggal
bersenjatakan gada .
“gada di tangan kiri!” perintah Maesa Wulung.
“Kiri! Kiri!” sorak sambutan anakbuah dari atas kuda.
“Cambuk di tangan kanan!”
“Kanan! Kanan!”
Kecuali cambuk bergeletar memerahi kulit yang terkena
dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran
darah terputus.
“Terjang!”
‘Terjang! Terjang!” sorak-sorai.
fredy krueger dan penywise kehilangan akal berhadapan
dengan cambuk yang menyambar-nyambar bergelataran
yang memekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya
di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi
sejenis ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi
cambuk.
‘Tombak!” penywise menyarani fredy krueger . Ia
menyambar sebatang tombak dari tangan seorang
pengawalnya yang sudah rebah.
Terpengaruh oleh saran itu fredy krueger pun membungkuk
mengambil sebatang. namun ujung cambuk bergerigi baja itu
sudah menyambar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah
menutupi pemandangannya. Tombak dan gada di tangan
tiada berguna.
Sebuah cambuk yang menggeletar sudah merenggutkan
tombak dari tangan penywise, mengelupas
pergelangannya. Ia terkata dan cambuk lain sudah hujan
pula pada mukanya.
“Panglima! Panglima!” fredy krueger memekik.
“Keparat!” sumpah penywise.
Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini
berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah.
“Tangkap hidup-hidup!” teriak Maesa Wulung.
Tubrukan kuda membuat fredy krueger dan penywise yang
setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti
ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka
sudah terikat ke belakang.
Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang
pohon punggung-memunggung, di bawah pengawalan
seorang centeng kuda
Sisa regu pengawal dan pengangkut gada rujakpolo sudah lenyap
dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan
gada rujakpolo yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal
berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai
dalam keadaan setengah mati
Dan pasukan kuda kecil yang sudah berkurang jumlahnya
itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran.
para bala tentara jayawisesa tak berkesempatan lagi untuk
menyelamatkan gada rujakpolo mereka dan penembak-
penembaknya. Medan pertempuran makin lama makin
meluas, sebab pasukan kuda kediri di bawah ki glodog
ireng sesudah mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya
lalu berpacu ke depan dan membuat medan
pertempuran jadi semakin lebar. Matahari mulai tenggelam.
Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman
cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga sudah dimulai.
Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun.
Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah.
wah
23. nyi girah Jadi Sandera
Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi
melihat dan melihat nya. Ia pun belum lagi bisa
menelungkup. Baru belajar miring.
Sesudah melahirkannya nyi girah merasa sangat berbahagia.
Bayi ini tidak seperti mpu wungubhumi . Wajahnya cerah seperti
ayahnya dan hidungnya seperti ibunya.
Setiap han penduduk desa ada saja yang memerlukan
datang untuk melihat dan untuk ikut merawat. Semua di
antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang
Patih panembahan senapati ki ageng kediri . Maka kebesaran pun sudah mulai
dipersembahkan kepada sang bayi.
Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling kerta -
kerta mengurus kesejahteraan dan kebusang yang betari durga si ibu dan
anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan
oleh nyi girah .
Dan tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering
menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah
sebab kebijaksanaannya mengirimkan nyi girah dan raden gelang-gelang
ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu.
Kebahagiaan meliputi hati nyi girah . Bayi itu adalah
segalanya.
Dan datanglah satu regu centeng , yang dengan sopannya
memberitahukan: atas perintah Sang Patih panembahan senapati ki ageng kediri ,
nyi girah dan anaknya dan Nyi kembang Kati harus diboyong dari
hutan larangan ke kediri Kota; anakbuah adipati jayawisesa sudah
bersebaran di mana-mana; mereka bertiga harus
diselamatkan.
Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya
mereka berangkat meninggalkan hutan larangan : nyi girah
dengan menggendong si bayi, Nyi kembang Kati yang
membawa popok bayi dan menggandeng mpu wungubhumi . Barang-
barang lain diangkat oleh centeng -centeng . Mereka berjalan
pelan-pelan.
Baik nyi girah maupun Nyi kembang Kati merasa was-was
terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih panembahan senapati ki ageng
kediri mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru
melahirkan. namun mereka tak bertanya.
Tiga buah desa sudah dilewati. kepala regu penjemput,
yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi
kembang Kati melangsungkan perjalanan ke kediri .
“Sendirian?”
“Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu,
namun tanpa anak yang kau tuntun itu”.
“Bagaimana dengan Nyi kembang nyi girah nanti?”
“Begitulah perintah panembahan senapati ki ageng ”.
“Biar aku bawa mpu wungubhumi ”.
“Tidak, jalan kau sendiri”.
Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi nyi girah dan
mpu wungubhumi dan si bayi membelok ke kanan dalam iringan regu
penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di
kejauhan, baru lalu meneruskan perjalanan seorang
diri.
Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi,
membawa bungkusan dan menggandeng mpu wungubhumi itu tidak
diperkenankan beristirahat.
nyi girah mulai curiga.
Bayi itu pun tak boleh disusuinya.
mpu wungubhumi sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan
antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun
di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan
penolongnya.
Tahulah ia sekarang, ia sudah jatuh ke tangan musuh
suaminya. Ga-leng takkan mungkin memperlakukan
keluarganya seperti ini.
Ya, Dewa Batara, kata nya dalam hati, selamatkan aku
dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini.
Dan makin lama mpu wungubhumi makin sering minta digendong.
Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan
pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu.
“Ke mana kami akan dibawa?” sekali ia memberanikan
diri bertanya.
“Ke mana? Ke suatu tempat di mana raden panji gelang-gelang akan
datang dan menemui matinya,” jawaban yang cukup
menyakitkan dan kurangajar sekaligus. Sesudah itu ia tak
bertanya lagi.
Menjelang tengah malam sesudah melalui banyak desa,
barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya
dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan
pintu dipasak dari luar.
Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya ambin
tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai
menyusui anaknya sambil memijiti kaki mpu wungubhumi . Ia sudah tak
dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya
sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi.
Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih
tidur. Ia duduk dan memandangi mereka. Lubang-lubang
pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan
kakinya masih juga sesak dan pegal.
Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu
membuat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga.
Di lubang pintu itu berdiri adipati jayawisesa alias patih Benggala
alias Rangga jatayuwesi alias jatayuwesi dijoyo .
Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat
kilat ia ambil bayinya dan didekapkannya pada dada.
Dengan punggung melindungi mpu wungubhumi yang masih nyenyak
dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi
bajunya sudah basah diompoli bayinya.
“Ah, ah, si Upik!” tegur adipati jayawisesa dengan senyum
menggigit, “lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan
gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga?
Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau
kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu? Cukup
kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai
wanita lesbian ?”
Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan nyi girah :
“Tidak tahu,” jawabnya pendek.
“Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan
patih wirabuana kediri ?”
‘Tuan patih wirabuana pakanewon ….”
“pakanewon pakanewon !” Laki-laki itu melecehkan. “Dari mana
pakanewon nya si iblis itu? Ya, tentu dari iblis dan setan laknat
juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku,
nyi girah .”
Suaranya membangunkan mpu wungubhumi . Anak itu berdiri di atas
ambin, berteriak ketakutan.
nyi girah menengok ke belakang sejenak untuk
menenteramkan anak itu dengan memberikan
punggungnya.
mpu wungubhumi mengerti, menempel pada punggung itu, memeluk
leher ibunya dan mengintip adipati jayawisesa dari samping leher
ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin.
“Mengapa pada takut padaku? Apakah aku kelihatan
menakutkan?” orang itu bertanya. “Kau sendiri juga takut,
nyi girah . Hei, apakah kau tak pernah dengar nama adipati
jayawisesa di desamu hutan larangan ? Inilah aku, nyi girah ”.
nyi girah tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia
justru menajamkan kewaspadaan dan mengikuti gerak-gerik
tangannya..
Dan bayi itu mulai menangis lapar, namun ia tak
menggubrisnya, juga tak mendiamkannya. Matanya tetap
tertuju pada tangan adipati jayawisesa .
“Kau, Upik, siapa tidak tahu kau? Juara tari tiga kali
berturut pujaan kediri . Di sini, nyi girah , kau bukan pujaan
siapa pun. Kau, isteri satu-satunya raden panji gelang-gelang ”.
Ia menunggu sambutan. nyi girah tetap membisu.
“Mengapa diam saja? Masih takut?” melihat wanita itu
tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah
kemerahan sebab tersinggung. “Tahu kau mengapa di
sini?” ia belai-belai jenggot untuk menyalurkan
kemarahannya.
Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang
mulai membanyak.
Mengetahui nyi girah tak juga bicara ia meneruskan dengan
gaya pemain panggung: “Bukan salahku, kau didatangkan
ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini.
Suamimu raden panji gelang-gelang , si anak desa tak tahu di untung
itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan panembahan senapati ki ageng kediri .
Bukan sebab pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan
aku nyi girah , namun asalnya! Asalnya! sebab bukan ningrat,
hanya anak desa, tak pernah belajar kecenteng an, mendadak
jadi panembahan senapati ki ageng , tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka
perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa
maunya. Mengerti kau?”
mpu wungubhumi mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si
bayi menggerayangkan tangan pada dada nyi girah .
adipati jayawisesa tetap mengawasi wanita itu dan
meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan
simpati yang ikhlas.
“Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau.
Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu
akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan
kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke
kediri . Sekiranya kau dahulu memilih jadi selir, memang
semua tidak akan begini jadinya, nyi girah ”.
mpu wungubhumi mengintip adipati jayawisesa dari balik tengkuk ibunya.
Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan
perhatian pada anak itu.
Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada mpu wungubhumi :
“Mengapa anak itu tak ada kesamaannya dengan raden gelang-gelang ?
Ah, Kau. nyi girah pujaan kediri . Lepas dari Sang adiputro
jatuh ke dalam terkaman si Habibullah keparat itu”.
Ia diam memperhatikan mpu wungubhumi yang sekarang mencoba
menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. adipati
jayawisesa tertawa menggigit dan mengejek: “Kau layani dua
Laki-laki , nyi girah ! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya,
matanya, rambutnya yang agak keriting. Hah! Mukanya
sama tipisnya. Kulit kehitaman. Sama sekali tak dapat
dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau
memang layani dua Laki-laki ! Yang satu begundal nyi kanjeng blora,
yang lain anak dungu begundal munafik” Tak tahan lagi
nyi girah mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya
menunduk, makin menunduk. Kedua orang anaknya harus
selamat. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan
diterimanya dengan menunduk.
“Malu? Pura-pura malu?”
Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat
kepala nya. Ia pandangi adipati jayawisesa , berkata lembut,
seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: “Suamiku
sendiri. adipati , tak pernah mengejek dan menggugat seperti
itu”.
“sebab dia dungu. Sedikit saja cerdik… takkan lama
kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di kediri .
Aku tahu gelagak darah Laki-laki kediri . Dan si dungu itu,
kalau bukan sebab dungunya, dia takkan mungkin berani
mengangkat diri jadi panembahan senapati ki ageng . Sekarang dia jadi peng-
halangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi
selatan ini”.
“Ya, adipati . Si dungu itu suamiku. panembahan senapati ki ageng kediri ,”
nyi girah berkata lambat-lambat dan hati-hati untuk tidak
menakutkan mpu wungubhumi , dan bangga ia istri raden panji gelang-gelang .
“Dan kau wanita lesbian tidak setia. Betapa banyak
ragamnya.”
“Hanya suamiku yang menilai diriku”.
“Suaminya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak
setia patut bangga pada suaminya yang dungu”.
“Kalau yang menilai itu raden panji gelang-gelang , adipati ,” nyi girah
berkata lebih lunak lagi. “raden panji gelang-gelang panembahan senapati ki ageng kediri ,
tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya,
terserah. Setiap orang memang menilai setiap orang”.
“Kau memang bijaksana, wanita lesbian !” adipati jayawisesa
tertawa mengejek, “menyerahkan penilaian pada suami
dungu. Kau bijaksana,” ia berkecap-kecap senang, “seperti
dalam dongeng, nyi girah . namun biarlah, justru sebab suamimu
memuja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia
akan datang kemari. Dia musuhku”.
“Ya, adipati .”
“Tak ada yang menyebut aku adipati Kanjeng adipati .”
“Ya, Kanjeng adipati ”.
“Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa
kadipaten. Baiklah. Kau sendiri memang bukan musuhku.
Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di
hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang panembahan senapati ki ageng
menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata
itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga.
Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan
muhrim”.
nyi girah dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu
sebagai istri panembahan senapati ki ageng kediri . Itu sudah sewajarnya. namun
hatinya sakit sebab hal yang lain: penghinaan terhadap
tariannya. resi -resi nya sudah membuat ia jadi seorang
penari ulung, berhasil memenangkan tiga kali kejuaraan
berturut. Seluruh kediri mengakui, mengapa orang yang
satu ini justru menghinanya?
Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari
menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga
tahankan sekuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan.
“Apa aku bilang? Tak ada airmata berharga di
hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi
bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, nyi girah , bukan pemberontak
jahiliah”.
Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di
belakangnya. “Lihat, ini nyi girah , istri raden panji gelang-gelang , istri
tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat,
sebab dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri
cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat
Jawa tak pernah memiliki kesetiaan pada istri dan anak-
anaknya, namun istri dan istri-istrinya harus selalu setia mutlak
padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan
kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anak-
anak sendiri. Mereka tak lain dibandingkan merak jantan,
kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri.
Mengerti?”
“saya , Kanjeng adipati .”
“Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan,
dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari
orang-orang yang lebih kuat dibandingkan yang memiliki hawa
nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula
nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu? Kita
sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi
seperti itu, namun sesuai dengan ajaran, larangan dan
petunjuk”.
lalu kata-katanya dialihkan lagi pada nyi girah :
“Bukankah sudah aku katakan padamu? Jangan menangis.
Suamimu akan terpanggil kemari sebab kesetiaannya
padamu. Apa keberatannya sekarang, nyi girah ?”
“Apakah yang akan kukatakan? Sudah sejak semula aku
hanya ditipu untuk datang kemari”.
“Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan
salah. Ini hanya muslihat perang.”
“Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku
ditanyai?”
“Diam!” bentak adipati jayawisesa . “Kau tak juga mau
mengerti siapa yang kau hadapi”.
nyi girah menunduk, mengetahui tak ada gunanya bicara.
“Mengapa diam? Siapa yang kau hadapi” nyi girah tetap
membisu. “Siapa?!” bentaknya lagi.
Dan nyi girah tak juga membuka mulut. Suaranya
lalu merendah jadi gerutu. “Betapa banyak orang
yang kutolak permohonannya untuk menghadap?
Semestinya kau bangga aku ajak bicara”. Dan suaranya
menaik lagi. “Siapa sedang kau hadapi sekarang?”
“adipati jayawisesa .”
“Kanjeng adipati jayawisesa ,” Rangga jatayuwesi membetulkan.
“Kanjeng adipati jayawisesa .”
“Betul. Siapa lagi?”
“Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri”.
“Diam kau, wanita lesbian perbegu! Tak ada gunanya
keangkuhan itu di hadapanku”.
“Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan.”
“Ya, itulah keangkuhan.”
“resi -resi mengajarkan pada kami sikap tahu harga
diri dan kehormatan diri”.
“Di mana harga dan kehormatanmu? Terlalu banyak
disanjung orang, ya? Maka di hadapan adipati jayawisesa juga
minta disanjung? Apa modalmu untuk angkuh di
hadapanku? Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak
untukku. Gamelan tak memiliki bunyi di sini, bisu, hanya
barang-barang pemberontak tiada harga. Tak pernah tersebut dalam
ajaran. Sombong, akui, ya? bicara tentang kehormatan dan
harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu? Semua
sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh
anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan
perkawinanmu pun tidak sah. namun tidak aku anggap kalian
anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap
angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan
garamku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan
dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga
keselamatan dan keamananmu sampai suamimu datang
menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka
kau seangkuh itu? Di sini takkan ada seorang pun dihukum
tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan
pengadilan yang adil”.
“Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan
Kanjeng adipati jayawisesa berarti keangkuhan, memang tak
perlu lagi aku bicara”.
“Jih! Dasar pemberontak turunan pemberontak !”
Ia tinggalkan rumah itu bersama pengiring-pengiringnya
dan pintu kembali dipasak dari luar.
Sesudah mereka pergi nyi girah baru sadar, di atas ambin
sudah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi
minum dan pasu kayu berisi air.
“Tidak ada apa-apa, Nak,” katanya pada mpu wungubhumi dan
disusuinya anaknya yang kecil. ”Makanlah. Apakah emak
harus layani?” ia melayani mpu wungubhumi sambil menyusui.
Ia memiliki alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan
kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada
dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru
memerlukan perlindungannya pada saat seperti ini.
Tidak lebih dari seminggu lalu terdengar bunyi
kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dinding-
dinding bambu masuk ke dalam rumah itu.
nyi girah duduk di atas ambin mendengarkan. Si bayi
berkicau di tengah-tengah ambin dengan mpu wungubhumi sedang
mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang mengucapkan
syukur pada para dewa sudah terlindungi dari pendarahan.
“Apa yang betari i itu, Mak?” mpu wungubhumi bertanya.
nyi girah mulai memperhatikan keriuhan itu.
Tak lama lalu terdengar langkah orang berlarian di
depan rumah, makin lama makin banyak.
“Siapa pada lari itu, Mak?”
Suara orang berlarian itu berhenti.
“Tak ada apa-apa, mpu wungubhumi . Mainlah lagi dengan adikmu”.
Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan
bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang
menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari
berbagai kelamin dan umur. Suara-suara itu lalu
berkurang. lalu terdengar suara seorang nenek yang
tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lambat: “Cepat,
Yung, jangan terlambat.”
“Ya, lebih cepat, kalau tidak, hancur kau,” suara seorang
Laki-laki dewasa yang melewatinya.
Tertarik oleh suara-suara itu nyi girah meninggalkan ambin,
mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari
lubang dilihatnya orang berduyun-duyun membawa harta
bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik
coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada
digendong dan anak anak pada ditarik-tarik dalam
gandengan.
Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari
rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya
ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: “Mengapa
mesti berlari-lari begini? baginda tuanku raja adiputro raja kita, tak
mungkin bawahan nya dibunuh tanpa dosa”.
Nampaknya ia tak memperoleh jawaban atas
pertanyaannya sendiri, lalu menggabungkan diri
dengan yang lain-lain, juga lari.
Kentongan dan bedug sudah berhenti bertalu.
Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan
terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang
diri: “Mengapa mesti ikut lari? Apa dosaku?” ia berhenti
lagi untuk memperoleh kan nafasnya kembali, lalu
meneruskan jalan dengan pelan-pelan.
Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa
memperoleh jawaban. Dan bocah itu lari terus.
Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan
terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada
dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat
pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari
mulutnya keluar keluh dan umpatan, lalu : “Nasibmu,
Nak, nasibmu. Bapakmu tewas entah di mana. Lahirmu tak
ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini.
Terkutuk sekarang dan lalu ”.
Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan
berhenti di depan pintu, lambat-lambat duduk bersandar
pada daun pintu.
nyi girah tak dapat melihatnya lagi.
“Ada apa, Mak?” tiba-tiba mpu wungubhumi bertanya dari belakang.
Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini
memperdengarkan suaranya lagi: “Ada orangkah di situ?
Mengapa pintu dipasak dari luar?”
nyi girah menutup mulut mpu wungubhumi dengan tangannya. Dan
terdengar lagi suara ibu muda itu: “Ijinkan aku masuk.
Tolonglah aku!”
nyi girah tak menjawab, malah memberi di kuil rat pada
anaknya agar tak bersuara.
“Ah, keterlaluan!” sebut ibu muda itu dari luar. “Jaman
sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain.
Siapakah di dalam situ? Tolonglah aku. Aku sakit. Belum
seminggu aku melahirkan”. Terdengar orang itu
mengerang.
“Ah, dipasak mati dari luar begini”. lalu kata-
katanya jadi singkat-singkat, terkejut. “Ya sang hyang Widhi , ya Dewa
Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa
mesti rawat kau nanti?” ia menangis ter-hisak-hisak. nyi girah
menarik mpu wungubhumi , dibawanya naik lagi ke ambin. Tak
disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang
kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan
disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri
dan anak-anaknya ini? Tangannya yang lain kini menggapai
mpu wungubhumi dan merangkulnya, lalu menciumnya. “Emak
menangis, Mak,” bisik mpu wungubhumi , dan ia seka airmata ibunya.
Masih juga dapat didengar wanita lesbian di luar itu mencoba
membuka pasak. Tersusul lalu oleh suara seorang
Laki-laki yang berseru-seru dari sesuatu jarak: “Jangan ganggu
pintu itu!”
Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar
ibu muda itu mencoba membuka pasak. Mungkin sudah
pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi
dan mpu wungubhumi sudah tertidur, ia turun lagi dari ambin dan
mengintip. Keadaan sudah lengang. Tak seorang pun
nampak. Balik lagi ke ambin ia ciumi mpu wungubhumi , satu-satunya
orang selama hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara.
Anak itu terbangun, lalu juga adiknya.
“Ada apa, Mak?”
‘Tak ada apa-apa. mpu wungubhumi . Barangkali saja bapakmu akan
datang”.
“Bapak, Mak?”
“Bapakmu, ya. Barangkali membawa prajurit kerajaan yang
sangat banyak”.
mpu wungubhumi turun dari ambin dan lari ke dinding untuk
mengintip. Bayi itu menangis, dan nyi girah menyusuinya lagi.
“Kembali, mpu wungubhumi , sini saja dengan emak”.
Terdengar suara beberapa orang Laki-laki . mpu wungubhumi lari dari
dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin
mendekati pintu.
“Siapa itu, Mak?”
“Stt,” nyi girah menarik mukanya dari pintu. “Ya Dewa
Batara”, bisiknya berdoa, “datanglah kau, Kang,
selamatkan anak-anak ini”.
Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan
pintu itu terbuka.
nyi girah tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya mpu wungubhumi
mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba
putih, bertombak dan bergada .
“Mari,” kata salah seorang di antaranya, “mari kami
antarkan Mbok-ayu ke tempat lain”.
nyi girah turun dari ambin. Bayi itu digendongnya, dan
mpu wungubhumi digandengnya.
“Mari, Mak, kita pergi,” dan tak diteruskannya
mengatakan: pergi untuk selama-lamanya.
Sekilas ia melihat Laki-laki yang bicara itu muda, tinggi
semampai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya
berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan
rumah.
Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada mpu wungubhumi :
“Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan,
rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan
lupa lihat dahulu ibumu ini,” ia berjongkok untuk dapat
dilihat oleh anaknya.
“Mengapa harus dilihat semua, Mak”.
“Biar kau akan selalu ingat di lalu hari, mpu wungubhumi ”.
“Ke sebelah sini, nyi girah ”, orang muda itu berkata
lagi.
Dengan mpu wungubhumi dalam gendongan dan si bayi dalam
gendongan ia membelok. Orang-orang Laki-laki bergada dan
bertombak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam.
Suara pemuda itu membangkitkan kenang-kenangan
yang indah, jauh, samar, dalam ingatan nyi girah . Siapakah
yang pernah memanggilnya nyi girah dengan suara seperti
itu? Seindah dan mengandung perasaan seperti itu?
Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat
mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat
sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini? Mereka
sudah datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya.
wah
24. pajang bintoro
Tahun 1518 Masehi
Sesuatu sudah terjadi di pajang bintoro pajang bintoro yang
dicemburui oleh patih Benggala adipati jayawisesa . Ribuan orang
berduyun-duyun di depan istana, lalu bergerak ke
tempat ibadah agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan
wafatnya kanjeng sinuhun pajang bintoro : kanjeng sinuhun Syah Sri Alam Akbar al-
Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa.
Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu.
Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka
memasuki tempat ibadah agung, sebagian besar tiada bisa masuk
dan berdiri di pelataran depan.
Dengung sang hyang Widhi u Akbar berkali-kali membuntingi udara,
membubung berat baik dari dalam mau pun di luar tempat ibadah .
Gerak dan suara mereka beribetari dalam bertakbir
bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang
di depan tempat ibadah mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah
yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir.
Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri
jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah
barisan pengawal kerajaan pajang bintoro . Dan seperti centeng
kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada.
Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita
putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari
tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula.
Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa
orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bermpu wungubhumi
adipati , tak lebih dari empat orang. Dan adipati Kalijaga,
yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik,
tiada nampak.
Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan
sedang berada di pajang bintoro .
Menyusul lalu para punggawa dan rakyat biasa. Di
tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah
tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning
keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota pajang bintoro :
adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya .
Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga
kanjeng sinuhun , kecualiwanita, sebab tak ada seorang pun wanita di
dalam seluruh iring-iringan panjang ini.
Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan
pelataran tempat ibadah . Waktu buntut barisan sudah hilang dari
pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan
sepi.
Seluruh pajang bintoro berada dalam suasana berkabung.
wah
Delapan minggu lalu sekitar alun-alun menjadi
betari i kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung.
Gong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan
keredupan . Sepasukan centeng pengawal bertombak
berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun
bersorak-sorai menyambut. Mereka mengangkat tangan dan
selendang dan kerudung.
Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu
bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya,
diapit oleh centeng -centeng pengawal bergada terhtumenggung dijoyo .
Di belakangnya pasukan pengawal lagi. lalu barisan
dan barisan dan barisan. Semua menuju ke tempat ibadah agung
Bintoro.
Alun-alun semakin lama semakin betari i. Orang
berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-mana
dipasang umbul-umbul berwarna-warni dan berwarna
ganda.
Begitu akhir barisan memadat di halaman tempat ibadah , peluru
cetbang berledakan di udara. lalu tenang, dan tiada
antara lama lalu membubung ucapan syukur di
udara: Alhamdulillah berkali-kali. Gong dan canang
semakin riuh.
adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya sudah dinobatkan jadi kanjeng sinuhun
pajang bintoro .
Tandu meninggalkan tempat ibadah dan memasuki istana.
Dengan bantuan dua orang kanjeng sinuhun pajang bintoro kedua
didudukkan di atas singgasana ia tak mampu lagi
tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras
cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya sudah
membuatnya jadi cacad untuk selamanya.
Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya perintah memanggil
kembali semua musafir pajang bintoro . Mereka yang kebetulan
sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk
menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah
pekerjaan masing-masing, dengan membawa cerita tentang
pajang bintoro yang lama dengan kanjeng sinuhun nya yang baru, dan
kebijaksanaan baru.
Amanat itu lalu ternyata diadakan di balairung
penghadapan. Isinya: kanjeng sinuhun pajang bintoro kedua berseru pada
seluruh penduduk di lawa untuk melawan nyi kanjeng blora sebagai
musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. kanjeng sinuhun pajang bintoro
berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara
untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna
membangunkan armada gabungan yang perkasa.
kanjeng sinuhun pajang bintoro kedua berseru agar para raja menentang
setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan
nyi kanjeng blora dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu
musuh dan harus dihancurkan juga….
Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai kanjeng sinuhun
baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar perintah
yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap
menunggu tanpa memberikan ulasan.
Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke
seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari
suryabuaya menuju ke seberang: pekajan , Aceh, Semenanjung,
sepanjang pesisir Kalimantan, parahyangan dan panarukan .
Di Sulawesi Selatan, parahyangan dan Sumatera,
seruan itu membangkitkan harapan baru akan terjadinya
perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali
seperti sebelum jatuhnya jayamahanaya ke tangan kanjuruhan . Dan
seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak
pernah mengingat lagi, bahwa kanjeng sinuhun pajang bintoro baru adalah
seorang yang sudah cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus
dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi
laksamana.
Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa
kekuasaan pusat pada memerlukan datang menghadap
menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang
menyanggupi prajurit kerajaan . Beberapa yang lain menyatakan
berada di bawah perlindungan pajang bintoro tanpa dipukul
dengan perang.
Satu-satunya penantang kanjuruhan sudah marak jadi raja!
Kekuasaan mutlak sudah ada di tangannya. Tak bisa lain,
orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia memang
pernah dikalahkan kanjuruhan , dan ia pun mengakui
kekalahannya, namun takluk ia tak pernah.
perintah yang lalu menyusul lebih menggoncangkan:
segala dana dan daya di dalam kerajaan pajang bintoro , tanpa
kecuali, harus dikerahkan untuk membangun armada.
Pelabuhan suryabuaya diperintah kan jadi pusat galangan kapal yang
paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi
selatan.
Akhir dari perintah itu adalah pernyataan, bahwa ia sudah
memperoleh firasat takkan memerangi segala apa yang akan
dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya
akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak
ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini,
selama nyi kanjeng blora masih bercokol di sini.
Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan
Pajajaran membaui datangnya bahaya ini. Dengan dan
merta mereka berusaha lebih giat untuk memperoleh kan
persahabatan dari kanjuruhan di jayamahanaya . Sebaliknya perintah ke
dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada
Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggung-
singgung tentang kepentingan agama dan pengluasannya?
Dalam suatu penghadapan khusus mereka memperoleh kan
jawaban yang tidak kurang kerasnya: “Bagaimana bisa hal
ini dipersembahkan? Bukankah sudah jelas nyi kanjeng blora
mengancam apa yang sudah resi adipati yang
terhormat sebarkan di pulau Jawa ini? Dapatkah hasil
penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya
disuburkan, selama nyi kanjeng blora masih mengancam?”
Jawaban itu memicu Majelis Kerajaan ragu-ragu
terhadap kekhalifahan kanjeng sinuhun baru. Pertikaian baru terjadi
dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya
perpecahan baru. Dan pertikaian itu memang tak pernah
terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, sudah
meninggalkan Majelis pajang bintoro untuk selama-lamanya,
mengutamakan perguruan nya, dan menolak membicarakan
kebijaksanaan kanjeng sinuhun pajang bintoro baru sampai meninggalkan.
perintah kanjeng sinuhun yang ke dua itu bergema juga di Aceh,
melalui jenggala blora. Dari blora sampai pada kanjuruhan di
jayamahanaya .
Pengalaman sudah mengajarkan pada kanjuruhan , belum
lagi adiputro tumenggung dijoyo memiliki kerajaan sudah berani jadi
penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris
mengusir mereka dari jayamahanaya . Sekiranya dahulu jayamahanaya
jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran
antara Goa dengan panarukan . Maka pajang bintoro terlalu
berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan
Blambangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh
dari pesisir Jawa. Pelayaran ke panarukan dan parahyangan
harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang
Blambangan dan Pajajaran dipakai nya sebagai
sumber keterangan tentang kegiatan pajang bintoro .
Akibat perintah ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal
kanjuruhan . Pelayaran Pribumi mulai betari i kembali,
sekalipun masih ragu-ragu memasuki perairan panarukan dan
parahyangan . Beberapa orang pedagang sudah melakukan
percobaan pelayaran ke panarukan dalam bentuk armada
dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kupu-
tarung suryabuaya . Mereka berhasil memperoleh kan rempah-
rempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada
meniru. Perdagangan dengan panarukan dan parahyangan
mulai hidup kembali. Arusnya memantai pulau Jawa, dan
tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu makin
membesar, memantai Sumatra sebelah barat dan menuju ke
Teluk Bayur.
Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi jenggala
berat menghubungkan negeri dongeng dengan Nusantara.
Arus yang menuju ke blora mulai mengendor.
jenggala -jenggala di Jawa Utara mulai hidup kembali,
bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti
digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. tumenggung dijoyo berlidah
api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai
berubah, apa pula nanti tindakannya!
suryabuaya tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat.
Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya
melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun.
Pasar-pasar diperbesar dan ditambah jumlahnya. Dan para
musafir semakin giat mengagungkan pajang bintoro dan rajanya.
namun pajang bintoro sendiri juga terhisap oleh suryabuaya . Sejak
kanjeng sinuhun pajang bintoro baru ini, hubungan mesra antara pajang bintoro
dengan Semarang mulai retak. pajang bintoro berdiri sebagai
kerajaan bebas.
wah
Hanya kediri belum juga bangun dari kemubetari nnya.
Kerusuhan di dalam negeri memicu para saudagar
enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh
dengan mudah dan murah di kediri .
Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan
negerinya mencari penghidupan di suryabuaya .
Armada dagang kediri sendiri enggan kembali ke
pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang,
masih dapat dilihat, di semua jenggala , kecuali di kediri
sendiri.
0odwo0
25. Akhir Perang
Dengan gada terawang di atas kepala raden panji gelang-gelang
dan ki glodog ireng terjun ke tengah-tengah medan
pertempuran. Dan seperti gada kembang senjata-senjata
itu menyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas.
Dalam pada itu dua-duanya tak henti-hentinya berseru:
“Pulang! ayolah pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang!
Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda,
anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!”
“Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang!”
Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara
parau memberi balasan: “Jangan kena dibodohi. Serang
terus!” dan itulah suara adipati pralaya .
Dengan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak
merampas kembali gada rujakpolo dan membebaskan fredy krueger dan
penywise.
“Buru dia!” perintah panembahan senapati ki ageng sambil membebaskan diri
dari para penyerangnya dan langsung memburu adipati .
“Jangan dengarkan begundal pemberontak nyi kanjeng blora!” teriak
adipati menghina.
“Budak Koja, kambing Rangga jatayuwesi !” teriak ki glodog
ireng . “panembahan senapati ki ageng wilareja , serahkan padaku. Jangan lari kau
pengkhianat. Inilah harimau”.
adipati duduk di atas kudanya. Ia cabut gada begitu
melihat yang mendatangi juga bergada .
Laskar kaki yang dipimpinnya untuk mengambil kembali
gada rujakpolo ia tinggalkan untuk menyambut musuhnya. Ia
menengok ke belakang memberi perintah: ‘Teruskan tanpa
aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal pemberontak nyi kanjeng blora
ini tumpas di tangan adipati pralaya ,” ia berpacu
mendatangi pemburu-pemburunya.
“Percuma, adipati !” teriak ki glodog ireng . “Lebih
baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan lehermu.”
Beberapa centeng berkuda kediri menyusul untuk
menyelamatkan panembahan senapati ki ageng dan ki glodog ireng dari
kepungan laskar kaki jayawisesa . Dengan cambuk menggeletar
di udara mereka menerjang dan membubarkannya.
Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak
menyelamatkan gada rujakpolo dan penembaknya.
“Terlalu hina melayani pengkhianat, panembahan senapati ki ageng wilareja !” kata
centeng -centeng kuda itu.
“Dan gada terlalu mulia untuk lehernya.”
“Biar kami cambuki saja, panembahan senapati ki ageng wilareja !”
Laskar putih itu masih jadi penghalang adipati untuk
dapat bertemu dengan panembahan senapati ki ageng atau ki glodog ireng .
‘kediri sudah jatuh!” kata Panglima jayawisesa
memberanikan para bala tentara nya. “Kalian tinggal masuk. Semua
jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang
terus!”
“Pembohong!” bentak ki glodog ireng dan diterjangnya
lapisan centeng jayawisesa dengan kudanya sampai porak-
poranda. Ia melambaikan tangan ke belakang. “Cambuki
pengkhianat ini sampai rompang-ram-ping. Bukan kesatria raja
yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat”.
raden panji gelang-gelang berhenti, tak terus memperoleh kan adipati ,
berbalik memunggungi.
adipati menjadi marah merasa dihina oleh panembahan senapati ki ageng
kediri sebab tak dilayani. Ia memekik dengan suara parau:
“Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan gada
Panglima jayawisesa , adipati pralaya ”.
la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya
sendiri dan mulai memburu. Yang diburu menyusup ke
tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya.
“Mati di mana-mana, kiri, kanan, depan, belakang.
Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti
adipati pralaya anak Koja? Saksikan bagaimana dia
terbalik dari kudanya kena cambuk kediri jadi babi yang
merangkak-rangkak”.
panembahan senapati ki ageng melarikan kudanya, berputar-putar, untuk
membuat adipati pralaya kalap.
“Hanya mereka bagian iblis. Sini, raden gelang-gelang , jangan lari,
biar kupapras moncongmu. Jangan lari, raden gelang-gelang !”
adipati mencoba menerobos medan pertempuran
untuk dapat mencapai panembahan senapati ki ageng kediri . gada nya
berdentingan menyambar, menetak dan menangkis centeng -
centeng kaki kediri . lalu diketahuinya ia sudah
terpancing dan terkepung oleh lima orang centeng kuda
kediri .
Lima gada menyerangnya berbareng. Matanya yang
tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu,
mengerling, membelalak, menyipit, menangkap segala
gerak yang hendak membelah kepala dan badannya,
menangkisi semua serangan. Namun masih sempat ia
mengerling panembahan senapati ki ageng dan berteriak parau: “Jangan lari,
raden gelang-gelang , anak desa! Tani busuk jadi panembahan senapati ki ageng ! panembahan senapati ki ageng
dagelan! Mari dekat sini, biar aku lecuti. gada ku merasa
hina menjamah jagatmu”.
raden panji gelang-gelang tetap mencemoohkannya dengan
menyambar-nyambarkan gada nya pada musuh di
sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: “Maut bagi
yang tak mau lari! Selamat bagi yang pulang ke desa!”
“Jangan lari di balik punggung anak-buah, raden gelang-gelang !”
adipati memekik lagi tak dapat menahan marah dan
kekesalannya.
Dengan sekali lompatan yang menakjubkan kuda
adipati keluar dari kepungan dan memburu panembahan senapati ki ageng di
tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan gada dan
menarik cambuk perang dari pinggang.
Tiga orang centeng kuda kediri memburunya dengan
cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang.
Punggung dada dan tangan adipati sudah bermandi darah
dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan
bajunya yang berbelang-belang merah.
“Pengecut! Pengecut!” teriak adipati pralaya murka,
terus memburu panembahan senapati ki ageng tanpa menanggapi para
penyerang di belakangnya.
Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa
menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya
mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya
penunggang kuda itu terjungkal di tanah.
Cambuk dari belakangnya semakin bertubi dengan
sorakan: “Nasib pengkhianat tak pernah baik!”
Dua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang
mengenai mukanya, sudah mengiris hidung dan
menghancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh
tarikan cambuk musuh-musuhnya yang membelit dan
mengiris leher.
Dengan muka tertutup darah dan sudah buta ia berteriak i:
“raden gelang-gelang , selesaikan aku dengan gada mu! Jangan kau
hinakan aku begini. Aku pun seorang centeng ”.
Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak sudah
menyambar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua
tangan memegangi mata tombak yang menyembul dari
rusuk, lalu ia tak bangun Lagi untuk selama-lamanya
di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan
centeng kedua belah pihak yang sedang berkelahi.
“adipati pralaya mampus!” seseorang memekik.
“Panglima jayawisesa tewas!” seorang lain menjerit.
Seluruh para bala tentara kediri yang bertempur di sekitar
bersorak. Dan seperti memperoleh perintah gaib semua
centeng jayawisesa berhenti menyerang, juga berhenti bersorak,
seakan lidah tercabut dari mulut mereka.
“Nasib pengkhianat tak pernah baik!” seorang memekik.
“ayolah pulang! Pulang sekarang!” panembahan senapati ki ageng tak bosan-
bosannya berseru. “Panglima kalian sudah tewas. Buang
senjata! Pulang!”
Menyaksikan sendiri betapa panglimanya tewas, para bala tentara
jayawisesa membuang senjata mereka, buyar tanpa kekang tanpa
kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan adipati jayawisesa
sudah melihat di ambang pintu. Hanya sebagian kecil
mengamuk kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar
sudah mulai melarikan diri tanpa senjata.
Panji-panji adipati pralaya , panji-panji Panglima, sudah
lama tidak nampak. Pembawanya sudah kena langgar seekor
kuda, lari masuk ke dalam hutan tanpa mengingat
bawaannya lagi.
“Berhenti menyerang!” perintah panembahan senapati ki ageng . “Beri
kesempatan pada saudara-saudaramu. Biar mereka pulang
ke desa masing-masing. Berkumpul kalian!”
Dan prajurit kerajaan kediri berhenti menyerang. Mereka
bergerak untuk berkumpul sambil melihat para bala tentara jayawisesa
menarik dan membubarkan diri masuk ke dalam hutan.
“Balik ke kediri !” panembahan senapati ki ageng menjatuhkan perintah.
Dimulai dari para centeng di dekat-dekat panembahan senapati ki ageng ,
lalu juga merambat jauh-jauh, prajurit kerajaan kediri
mulai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota.
Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran
berseru-seru: “Buang senjata! Pulang!”
Dalam selingan sorak-sorai riang kemenangan.
Tasukan pengawal kediri sudah menyiapkan cetbang-
cetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian
yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan
umbul-umbul para bala tentara jayawisesa yang serba putih nampak di
senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar
pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan
depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka
perhitungkan.
adipati sudah merencanakan, pasukan inti para bala tentara jayawisesa
akan memasuki kediri dari sebelah pesisir timur tanpa
perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai.
Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai
delapan ratus depa itu sama sekali tak dapat ditangkis atau
pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di
tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan
kulitnya, api belerang dan sendawa, dan kerikil berapi dan
udara panas membakar. Orang pun jatuh bergelimpangan.
Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala
penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji
dan umbul-umbul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa
angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. Dengan
angin pun mereka tinggal sesobek kain berwarna.
namun Braja pun tidak tahu, inti para bala tentara jayawisesa sudah
mulai memasuki kediri dari pesisir sebelah timur. Mereka
menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan
merunduki sarang-sarang cetbang di sekitar daerah
pelabuhan.
Yang dirunduk ternyata tiada.
Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan
pengawal yang ditinggalkan. Pertempuran antara dua
kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke
dua belah pihak. Dahulu mereka sama-sama bagian
prajurit kerajaan kediri . Kini berkelahi saling menerkam. Sebuah
pecahan kecil sudah dilindas tanpa bisa menyerang dan
hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dapat
lolos, lari menghindari terkaman maut untuk dapat
mencapai pemimpinnya: Braja.
“Pecah barisan!” Braja memerintah. “Kecuali cetbang,
pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!”
Dan pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia
memerintahkan terus menembaki musuh sambil terus maju,
sampai peluru habis.
Ia pun melompat ke atas kudanya dan berpacu ke
jurusan kota membawa pasukan pengawal.
Perintah penyerangan segera dilakukan dari punggung
para bala tentara jayawisesa . Pertempuran sengit di waktu senja itu
meletus di sepanjang pantai kota kediri , dilatar belakangi
oleh bunyi ledakan peluru-peluru cetbang di luar kota,
disaksikan oleh langit yang sedang ditinggalkan oleh
matahari.
Malam jatuh.
Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal
ampun.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak
lama lalu sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajah-
gajah yang kembali memasuki kota.
Inti para bala tentara jayawisesa dengan tiba-tiba pula menghentikan
serangan. Mereka mengendap menyelinap mengetahui
kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan sudah
mengubah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya
pertempuran bukan para bala tentara jayawisesa yang memasuki kota
kediri tanpa perlawanan, namun pasukan gajah kediri
sendiri.
Mengetahui perhitungan mereka ternyata meleset dan
segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan
diri di bawah lindungan kegelapan malam.
Dengan demikian selesailah perang dalam negeri yang
minta terlalu banyak korban itu.
Semua centeng kediri yang tiada gugur atau terluka
seluruhnya kembali memasuki kota dengan bersorak-sorai.
Penduduk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian
dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan.
Para nelayan yang lari dan darat dengan perahu-
perahunya, malam itu juga memerlukan kembal» ke pantai.
Kota kediri seakan-akan berpesta pora.
Orang pun bersorak memekikkan nama raden panji gelang-gelang
dan para pemimpin pasukan prajurit kerajaan kediri .
Ke sekian harinya inti pasukan jayawisesa kembali
melancarkan serangan. Braja menghadapi mereka dengan
bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak
kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan
tumpasnya seluruh sisa pasukan jayawisesa tanpa seorang pun
bertekuk lutut.
Sebuah krangkeng besi sudah dipasang di dermaga
pelabuhan atas perintah panembahan senapati ki ageng .
Beberapa hari lalu fredy krueger dan penywise
dimasukkan ke dalamnya untuk disaksikan oleh dunia
seluruh negeri bagaimana kediri menghinakan kanjuruhan .
Lima belas hari lamanya setiap orang boleh menonton dan
menghinakan dua orang itu tanpa boleh menyiksa atau
melukai.
Dari jenggala -jenggala tetangga dan kampung-kampung
nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang
mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi betari i dan
pasar jenggala hidup kembali. Namun perdagangan antar-
pulau belum juga pulih.
Saban hari fredy krueger dan penywise bermandi peluh
sendiri dan pukul penonton.
Dengan keterbiasaan melihat dan menghinakan
nyi kanjeng blora, lama-kelamaan ketakutan orang pada mereka
meruap terbang. Juga nyi kanjeng blora bisa ditangkap dan
dihinakan.
Belum lagi lima belas hari dua orang kanjuruhan itu jadi
tontonan raden panji gelang-gelang sudah memerintahkan pada Braja,
mencari sampai dapat dan menangkap mereka yang dahulu
sudah menyelewengkan terjemahan surat Rangga jatayuwesi alias
jatayuwesi Indrajid alias patih Benggala alias adipati jayawisesa .
Mereka diperoleh dan ditangkap tanpa kesulitan.
Dalam pertemuan pemimpin-pemimpin pasukan, mereka
dijatuhi hukuman mati dengan jalan membandul mereka
dengan batu dan melemparkan ke laut.
Dan kadipaten tidak berpengawal. raden panji gelang-gelang sudah
menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak memasuki
kadipaten tanpa seijinnya. Hanya punggawa yang
diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan
belum selesai selama Rangga jatayuwesi belum tertangkap, hidup
atau mati.
Orang pun mulai bertanya-tanya mengapa kebesaran
Sang adiputro belum juga dipulihkan, mengapa seluruh
kekuasaan atas kediri dapat berpindah ke tangan si anak
desa juara gulat bernama raden gelang-gelang . Dahulu hanya Sang
adiputro yang memiliki duga sangka raden panji gelang-gelang lah
yang menghendaki jabatan patih seperti halnya dengan
Gajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan
menghendaki itu, boleh jadi ia hendak mengangkat diri jadi
adiputro sendiri, menjadi raja, seperti Ken Arok.
Setiap orang memiliki duga-sangkanya, duga sangka belaka.
Mereka tak berani mempergunjingkannya.
raden panji gelang-gelang belum juga nampak pulang ke
kepatih wirabuana an.
Nyi kembang Kati setiap hari membersihkan kamar gandok
kanan itu. Dan tidak lain dari dialah yang sangat
mengharapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan
berita tentang nyi girah dan anak-anaknya.
Dan berbeda dari semua orang, patih wirabuana kediri lah
sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak
desa itu. Pikirannya terpusat pada dua hal: siapa
sesunguhnya yang berkuasa sekarang ini, Sang adiputro atau
Sang panembahan senapati ki ageng ? Bila yang pertama yang berkuasa, ia masih
memiliki perlindungan dan Sang panembahan senapati ki ageng takkan meletakkan
tangan pada kulitnya. Bila yang kedua yang berkuasa, tak
ada jalan lain baginya dibandingkan harus melarikan diri. Ke
mana? Dan bagaimana? Maka disesalinya sendiri sebab
tak menyediakan persiapan sebelumnya. Lari melalui laut
tidak mungkin. Pasukan pengawal menjaganya dengan
ketat. Pasukan laut pun sudah dipanggil pulang dari pasuruan .
Lari ke darat juga tidak mungkin. Pasukan kaki memagari
kediri . Tenaga dan keberaniannya pun tidak cukup untuk
itu.
Dengan hati-hati ia meletakkan harapan pada
kemungkinan pertama. Buktinya, panembahan senapati ki ageng belum juga
mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan selama Sang
adiputro yang berkuasa, anak desa itu harus menempuh
jalan-jalan yang layak untuk dapat memhancur kannya
dengan perkenan Sang adiputro . Bahkan dua orang kanjuruhan
itu juga tidak dibunuh, adalah pertanda juga Sang panembahan senapati ki ageng
tak berani melakukannya.
Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak
jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaranya.
Ia sudah mencoba memikirkannya. Tak mampu. lalu
ia menganggap sebab mereka itu terlibat dalam kerusuhan.
Dan ia sudah puas dengan anggapannya.
namun dua orang nyi kanjeng blora itu kini yang mengganggu
ketenteraman nya. Ia menduga mereka akan diperas
keterangannya sampai mengakui segala-galanya yang
menyangkut soal gada rujakpolo . Dari mana gada rujakpolo itu? Boleh
jadi tak ada yang dapat membuktikan dari mana.
namun mereka mengenal mpu jahalodang, dan pewarung itu jelas
sudah membawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada
Rangga jatayuwesi .
Tidak, mpu jahalodang akan membisu sampai mati selama ia
berada di kediri . Keselamatannya sendiri ikut dalam
pertaruhan. Hanya bila dua orang itu menyebut-nyebut
nama mpu jahalodang, barulah lalu namanya akan
dikedepankan pula.
Tak bisa tidak hanya dua orang nyi kanjeng blora itu yang bisa
mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang
adiputro ataukah Sang panembahan senapati ki ageng , bila namanya tersebut
dalam persoalan gada rujakpolo , jiwa juga tebusannya. Ia
menyesali kanjuruhan celaka yang semudah itu dapat
ditangkap memiliki gada rujakpolo dan memiliki pengalaman perang
begitu banyak!
Dan ia mengenal pengadilan Pribumi tak banyak
memerlukan bukti, lebih mendasarkan pada hukum
pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan
pada harapan belaka hendaknya Sang adiputro menjadi
senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan
semua dakwaan, namun pikiran Pribumi tidak akan
menggubrisnya. Mereka memiliki cara berpikir pemberontak dalam
mengurus keadilan. Ia harus mencari jalan keselamatan….
Dan pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung
dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikir-
pikir, datang Nyi kembang Kati membawakan kabar. Justru
pada waktu itu ia sedang mengherani, bagaimana mungkin
dua orang kanjuruhan itu dapat ditangkap begitu mudah oleh
centeng -centeng yang tak memiliki pengalaman perang di
mana-mana. Dan tertangkap dalam keadaan hidup!
“Mengapa Tuan kelihatan murung, pucat dan kurus?
Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan
kediri ”.
“Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa menghadap
baginda tuanku raja adiputro ”.
“Tuan biasa menghadap ke sana”.
“Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun
mengatakan baginda tuanku raja selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak
boleh dimasuki oleh siapa pun kecuali para punggawa”.
“Bukankah Tuan juga Punggawa?”
“Ya, namun bukan punggawa kadipaten”.
“Bagaimana mungkin Tuan tak diperkenankan
menghadap?”
“Mana aku tahu, Kati. Cobalah tolong aku, Kati, kau
saja datang ke sana memohonkan perkenan untukku buat
menghadap”.
“Bagaimana Tuan ini? Bukankah Tuan sendiri tahu
kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi saya ?”
“Baiklah,” katanya mengalah dan menghirup kopi.
“Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke
mana saja”. Ia tahu, Nyi kembang Kati menolak dan takkan
pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang
wanita lesbian itu meninggalkannya seorang diri untuk
meneruskan pikirannya.”
Dengan berani ia memutuskan fredy krueger dan penywise
harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan. Dan
pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek
dan menghina kanjuruhan . Mereka berdua harus aku habisi
dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak
mereka akan menghabisi dua-duanya, lalu juga aku.
Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan
menguncinya dari dalam. Dari sebuah peti yang terletak di
pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan
kehitaman. Dibukanya kayu hitam pada ujung tongkatnya.
Sebilah pisau panjang sempit kehitaman muncul di depan
matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam
cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas
dan membiarkan cairan itu menetes balik ke dalam botol.
Ia berkomat-kamit. Suaranya tergumam tak jelas. Walau
demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya
pada keampuhan pisau tongkatnya. lalu ia melatih
diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak.
Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak
begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyambar-
nyambar. Rupa-rupanya ia sudah terlatih memakai
senjata khusus ini.
Sesudah keringat mulai membasahi tubuh ia berhenti,
memasang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk
tongkat yang semula. Ia seka muka dengan baju,
meninggalkan kamar dan keluar dari rumah.
Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di
pelabuhan, di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan
terutama untuk dapat berhadapan mata dengan orang-orang
kanjuruhan celaka itu.
Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat sampai di mana
penjagaan pasukan pengawal. Dan ia melihat mereka sudah
mempercayakan keselamatan fredy krueger dan penywise pada
aturan yang sudah ditentukan dan pada kuatnya krangkeng
besi.
Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini sudah
kembali dijaga oleh dua orang baru. Ia mencoba mengobrol
sebentar, lalu memeriksa seluruh medan jenggala
dengan cermat, menaksir orang-orang yang lalulalang, dan
akhirnya ia memperoleh keputusan dapat melaksanakan
rencananya.
Dari menara itu juga ia dapat melihat warung mpu jahalodang
yang terkunci sejak prajurit kerajaan kediri masuk kembali ke
kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selama ini?
Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu
bahaya sedang mengancam lehernya?
Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang
memiliki kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya,
mungkin aku sudah menginjak tua.
Sementara Ini menara itu memberinya kedamaian.
Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengobrol
Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu
sebagal pokok untuk lalu menyanjung nyanjung
raden panji gelang-gelang . Anak desa itu jelas menjadi bintang kediri
yang tidak dapat diragukan lagi. Ia dengarkan obrolan
bagaimana panembahan senapati ki ageng memancing mancing adipati pralaya
untuk dapat terjauhkan dari para bala tentara nya, dan untuk dapat
dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat.
“Seorang penghianatt tak layak memperoleh kan gada ,
apalagi gada wesi , Clambuk memang sepatutnya, cocok untuk
seekor kera yang busuk”, kata seorang di antaranya.
raden sanggabuana Al Zobaid hanya mengjingguk angguk
mengiakan dan ikut memuji-muji patih wirabuana -muda itu,
Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua
orang penjaga itu tak mengganggunya.
Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara,
langsung pulang. Dan jantungnya terasa berhenti berdenyut
waktu dilihatnya Nyi kembang Kati sedang bicara dengan
raden panji gelang-gelang di jalanan antara gedung utama dongan
gandok kanan. panembahan senapati ki ageng itu menunduk tak melihat ke
kesana kecuali ke sekitar kakinya nendiri. Dan istrinya
sedang bicara bersungguh-sungguh. Mereka berdua tak
melihatnya,
Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar,
lalu pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu
tergeletak di sampingnya.
Dan betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah
kaki Laki-laki menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu
meninggalkan kepatih wirabuana an. Ia pun jatuh tertidur.
Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan
suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa.
Nyi kembang Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada
hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padanya mengapa ia
tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya
mengunyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, lalu
bangkit dan duduk-duduk di kamar tamu. Ia sendiri, tanpa
bicara sesuatu pun lalu masuk kedalam kamar dan
tak keluar lagi.
Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup
langit resi h tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat
apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh
patih wirabuana kediri .
Lewat tengah malam. seorang diri ia berjalan
terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke
dermaga pelabuhan. kepala nya menoleh ke mana-mana
walau pun ia sudah kendalikan agar mata saja yang melirik
kesegala jurusan yang mungkin. namun kegelapan malam
yang membisikkan padanya takkan semudah itu orang
dapat menyaksikan dirinya sering menoleh,
Dari pancainderanya ia mengetahui tak ada seorang pun
yang menyaksikan kehadirannya, namun dari perasaannya
ia tahu, ada bebeapa orang centeng pengawal yang
melakukan patroli penjaga an di dermaga dan dengan pedoman
perasaannya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon
asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaannya lebih
tajam dibandingkan pancainderanya. Waktu hujan turun ia
dengar empat orang lari meninggalkan dermaga.
Dengan hati-hati ia menuju dermaga dengan
memmemakai tongkat untuk merabai tepi jalan dan
dermaga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia
tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam
hidupnya.
Semampainya di tempat yang dituju, sambil berpegangan
pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam
kanjuruhan : “Sini kalian, Nak, fredy krueger , penywise! Kesini
kalian. Masih tidur? Bangunlah, tuan patih wirabuana ada di
sini”.
Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak
nyata, bercampur dengan bunyi deburan ombak dan
pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun
berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya.
“Dekat-dekatlah sini, Nak. Mari kita bongkar krangkeng
ini bersama-sama”.
“Benarkah itu Tuan patih wirabuana ?” seseorang bertanya
dalam kanjuruhan . Suaranya lemah dan lebih tak menentu
sebab tiupan angin malam yang dingin.
“Tentu saja benar. Tuan patih wirabuana ada di sini. sudah
aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat.
Tak dapat aku membuka kunci ini seorang diri saja”.
“Dilindungi sang yang betari durga hendaknya Tuan ini”.
“Jangan keras-keras bicara, Nak”, ia memperingatkan
sambil membuka sarang pisau tongkat. “Kebetulan hujan
sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu”.
“Kami sedang kena demam tinggi, Tuan”.
“Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semua akan baik
kembali di tengah laut nanti”.
“Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam,
pengelihatan rusak”, suara itu semakin mendekat dan
getaran pada jeriji krangkeng itu memberitakan pada raden
sanggabuana mereka sedang merambat berjalan dengan susah-
payah untuk dapat mendekati.
patih wirabuana itu mulai merasa tangannya diraba-raba oleh
tangan fredy krueger atau penywise yang panas sebab demam.
“Kasihan kau, Nak, sakit demam begini,” dan dengan
cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang
berdiri di hadapannya.
Suatu kata an lemah membeku ditelan deburan ombak
memukul pada karang dermaga, menyusul bunyi badannya
yang jatuh.
Yang seorang lagi berteriak -raung ketakutan dan
berputar-putar di dalam krangkeng untuk menghindari maut
yang mematuk-matuk dari sela-sela jeriji krangkeng.
“Pembunuh! Tolong! Tolong!” kata nya dalam jawadwipa .
Gugup sebab jeritan dan takut kalau-kalau diketahui
orang, dengan lebih cepat lagi patih wirabuana berputar
mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan
senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke
dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya.
Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk
menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan
penikaman-penikaman lagi. Nafasnya mulai terengah-
engah. Rasa-rasanya ia akan jadi gila tak juga memperoleh kan
daging untuk ujung pisaunya. Di mana dia? Dalam
krangkeng besi persegi kecil ini tak mungkin dia melepaskan
diri.
Dari kejauhan terdengar resi h, menggerutu seperti
kucing marah. Hujan mulai turun lagi. Iblis! Mana tubuh
kanjuruhan yang satu lagi? Dia tak boleh lepas. Sepancaran
kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar.
Tiba-tiba dunia menjadi terang. Dan nampak fredy krueger
sedang menggelantung dengan kaki dan tangan pada bagian
atas krangkeng.
“Ha! Kau di situ, Iblis!” bisik patih wirabuana dan
menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya.
Dunia kembali jadi kelam pekat. Satu raungan seperti
keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk
udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh
menggeletak.
Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mulai sambar-
menyambar.
patih wirabuana kembali ke gedung utama, basah kuyup namun
dengan perasaan lega.
Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari
sebuah biduk yang sedang tertambat pada dermaga….
0odwo0
Di dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh
hewan -hewan buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di
dalam tubuh bukit terdapat sebuah gua. Ribuan kelelawar
bersarang di dalamnya. Ratusan ular dari berbagai jenis
hidup makmur dari anak-anak burung atau telurnya. Dan
tanah pada dasar rongga pekat dan tebal oleh tumpukan
kotoran burung. Orang menamai gua ini: Gowong.
Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga
dari serangga. Pembakaran belerang dalam jumlah besar
sudah mengusir dan membunuh semua makhluk hidup di
dalamnya. Dasarnya tak lagi lumpur kotoran burung,
sebab semua sudah disingkirkan dan dilambari dengan
balok-balok kayu persegi. Rongga itu sendiri sudah dibagi
dalam bilik-bilik dari papan kayu.
Sisa bau belerang sudah diusir dengan pembakaran
setanggi yang terus-menerus.
Di depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang
semakin lama semakin lebar sebab setiap hari dilewati oleh
beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan
barang-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan
setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin
orang. Belum lagi lima belas hari.
Kini gua itu sudah siap untuk ditinggali.
namun bila orang masuk ke dalamnya, ia takkan melihat
satu peti pun, sebab semua itu tersimpan dalam rongga di
bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang
berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot.
Yang pertama-tama meninggali gua ini adalah nyi girah dan
dua orang anaknya. Beberapa orang bertombak dan
bergada sudah mengawal mereka memasuki hutan-
belantara itu dan membawanya ke mari, lalu
menguncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap
berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan
setanggi.
Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istri-
istri patih Benggala adipati jayawisesa . Khaidar nampak ada di
antara mereka. Dan tak ada mereka membawa anak, sebab
dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan.
Mereka menempati kamar besar bersama-sama. Juga pintu
kamar mereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik
nyi girah .
Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih
mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan.
Dan sesudah semua pengangkutan selesai baru nampak
adipati jayawisesa diiringkan oleh seorang muda tinggi
semampai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul
bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak
sebagai pikulan.
Pemuda itu juga yang mengawal nyi girah anak-beranak
waktu menuju ke Gowong ini.
Waktu adipati jayawisesa memasuki Gowong, pemuda
jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil
itu dan berhenti di bawah sebatang pohon raksasa. Ia
perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu.
Dan itulah pohon pelaka.
la perhatikan tamba-tambi atau tunjangannya, rendah,
tipis dan panjang, lalu duduk di atas salah satu di
antaranya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di
atas tanah.
Dengan kakinya ia mulai membersihkan tempat itu dari
luruhan daun kering dan ranting-ranting busuk, dan mulai
ia dengan parang membuat tungku dari cabang-cabang
kayu.
Seseorang datang padanya membawakan dandang dan
kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu.
Seorang lagi membawakan kayu bakar dan sebuah kranjang
rotan berisi daging rusa,
”Kanjeng adipati memerintahkan masak besar hari ini.
Bumbu disediakan berlimpah-limpah. Tak pernah terjadi
selama ini”, si jangkung mengumumkan.
“Untuk berapa orang kau masak?” “Cukup untuk tiga
puluh”.
“Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datang banyak
tamu nanti”,
“Tamu siapa akan datang ke mari?” si jangkung
menukas,
“Makan besar buat kita semua yang ada di sini”,
“Untuk pertama kali. Akhirnya,” orang itu berkecap-
kecap, “Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa
minggu belakangan ini kita diperbolehkan”
Tiga orang itu mulai sibuk menyalakan api dan
memasang beberapa dandang di atannya, dan dua belanga
dari tembaga pula. “Asal tak hujan saja”, si Jangkung
memperingatkan. Semua memandang ke langit yang suram
tertutup mendung tipis. “Sudah, tolong carukkan kacangtanah ,
biar lebih cepat”. Bertiga mereka mencaruk kacangtanah sampai
menghasilkan satu kranjang. Dan sesudah diperas jadi
santan si Jangkung bicara lagi: “Sudah, sana. selesaikan
pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri”.
“Mengapa kita pergi ke mari, jayamuseswa ?” seorang
bertanya.
“Mana aku tahu?”
“Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan
tempat ini”. namun mpu jayamuseswa enggan terlibat
dalam pembicaraan. Ia hanya mengerutkan kening, dan dua
orang pembantunya itupun pergi menghindar. Si Jangkung
berkumis itu memperhatikan mereka pergi, menghilang di
dalam hutan.
Mematuhi aturan yang diberikan oleh adipati jayawisesa ,
orang tak dibenarkan berada di dapur di waktu jurumasak
sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak
harus mengusirnya dan tidak diperkenankan memasak
sebelum mengetahui betul, tak ada orang lain lagi di
dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang
mengurangi atau menambahi bahan makanan yang sudah
tersedia.
Sesudah tinggal seorang diri baru ia mulai bersiap-siap
dengan gulai Api yang menyala besar itu memaksa ia
membuka baju, dan muncul barisan iga pada dadanya. Dan
dada itu mengkilat kekunmgan sebab warna kulitnya dan
sebab api yang kemerahan.
Walau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu
nampak ia tak gugup atau memberengut. Dan memasak
memang sudah pdt kesukaannya. Ia merebus daging,
menanak, menjerang, menumbuk bumbu, mengipasi badan
dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan
mendua beras, mencicip dan menggulai.
Dan hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup
dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah
adipati jayawisesa yang semakin lama semakin aneh.
la seorang bekas musafir pajang bintoro tadinya memasuki
kediri untuk membawa patih Benggala berpihak pada
pajang bintoro , sebab pajang bintoro menilainya sebagai seorang yang
berilmu dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan
Nusantara. la pun memperoleh tugas untuk membersihkan
pedalaman kediri dari resi resi pembicara pemberontak yang
mengembara dari desa ke desa, la terpilih untuk tugas ini
sebab dilahirkan dan dibesarkan disini,
Sebelum berangkat seorang resi menyampaikan
padanya disebuah pojookan tempat ibadah agung, bahwa agama
sri ratu kertanegari dan betarakalong sudah kehilangan kekuatannya,
kerunsang yang betari durga sudah di ambang pintu, maka pembicaraan resi -
resi sudah tidak memiliki pegangan lagi pada agama mereka
dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya.
Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu
sangat baik untuk punahnya betarakalong dan sri ratu kertanegari sendiri.
Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengembangkan
arca , sebab mereka sudah tidak diperlukan lagi.
Maka kembalilah ia ke negeri kediri untuk melakukan
tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun.
Dan ternyata ia tak mampu mengendalikan adipati jayawisesa ,
yang jauh lebih berpengalaman dibandingkan nya, lebih berilmu
dan berpengaruh, la tak berhasil membawanya berpihak
pada pajang bintoro . Lagi pula adipati jayawisesa ternyata memiliki
impian untuk sendiri marak jadi kanjeng sinuhun dan khalifah
sekaligus.
Sekarang prajurit kerajaan jayawisesa sudah terpukul dari semua
medan pertempuran. adipati jayawisesa harus lari
menyelamatkan diri. Dalam kekalahan ini ia dapat melihat
watak Rangga jatayuwesi yang sebenarnya tak sedikit pun
berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya,
hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak
habis-habis mengherani bagaimana seorang pemimpin yang
berpengaruh begitu besar, berilmu dan berpengetahuan,
resi yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti
itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dapat
mengenali kerakusannya. Dalam kekalahan pengaruh, ilmu
dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan
miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan
kekuasaan di dunia dan rakus akan tempat di sorga di
lalu hari itu, dalam kekalahan ini memperlihatkan
diri sebagai pribadi yang tak dapat ia hargai.
adipati jayawisesa itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya.
Tangannya bersilang pada dada dan pada tangan kanan
tergantung tasbih. Mulurnya komat-kamit tanpa henti
sedang batuk antara sebentar menyerang dadanya yang
tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok.
Rongga mata dan pipinya nampak lebih cekung dibandingkan
biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi
rambutnya yang hitam-lekam.
Melihat kegesitan mpu jayamuseswa dalam memasak
ia tertawa menyapa. Lambat-lambat ia masukkan tasbih ke
dalam saku baju, membelai-belai janggut dengan tangan kiri
dan berkata lambat-lambat: “Sudah aku ajarkan padamu
memasak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan?
Sekarang orang sudah mulai memakai nasi kabuli
untuk berhajat. jayamuseswa , sudah kau cicipi gulai itu? Baik.
Sekarang campurkan serbuk mi sampai rata ke dalamnya
dan tenangkan agak lama sesudah mendidih sekali lagi”.
Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari
anyaman bambu.
“Kau sendiri yang menuangkan, jayamuseswa . Dengan serbuk
ini gulai akan jadi gulai tumapel i. Kalian akan rasakan
nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. Gulai
tumapel i! Ada juga yang menamainya kare, namun lain dari
yang dari tumapel ini. namun awas, jangan kau cicipi, bila
dicicip ia bisa berubah jadi racun!”
‘Jadi racun. Kanjeng adipati ? ”
“Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang
bumbu, bumbu buatan leluhur,sudah ratusan tahun, yang
memicu anak anak bisa berhidung mancung dan
orang dewasa jadi panjang umur. Bumbu ini bagilah
menjadi dua, setiap bagian untuk satu belanga gulai itu”.
adipati jayawisesa berjalan meninggalkan tempat itu untuk
melihat-lihat sekitar tungku, lalu balik lagi pada
jayamuseswa : “Sebelum semua dihidangkan, jayamuseswa , ingat-ingat,
semua puntung kayu dan arang, juga tungkunya sekaligus,
harus ditanam sampai tak nampak mata. Iblis pun tak boleh
mengetahui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu
itu”.
Dan ia pun pergi, percaya semua pengikutnya mematuhi
semua katanya, percaya setiap katanya adalah hukum.
namun juru masak seorang ini bukan saja sudah terdidik
mengebaskan tahyul dan omong kosong sebagai musafir
pilihan, ia pun semakin mencurigai adipati jayawisesa yang
semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan
antara bumbu dengan hidung yang dapat mancung atau
pun dengan umur panjang. Dan apakah gunanya hidung
semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap
tubrukan? Dan umur itu, bukankah dia bukan urusan
manusia? Dan tidak lain dari adipati jayawisesa sendiri yang
sering mengajarkan? Dan apa sebab bekas-bekas harus
ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetahui?
Adapun kecurigaan dan keheranannya harum dan sedap
bau gulai itu memang luarbiasa dan menarik liur untuk
bertetesan semaunya sendiri. Baunya mengawang berat dan
buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu.
Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari
kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. Dan ia pura-pura
tak tahu. Namun matanya jadi menerobosi balik-balik
dedaunan.
Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru
masak tak boleh mencicip?
Mengetahui di balik dedaunan hutan tak lagi ada mata
mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga,
bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas
tambi. Daging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan
gamoh, hampir lumat, jatuh di antara kedua belah kakinya.
jayamuseswa menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak
diridhoi maka tak mengambil sepotong lagi. Dilihatnya
beberapa pengintip muncul lagi dari balik dedaunan hutan
terpanggil oleh harum sang gulai.
Ia pergi ke tungku dan memadamkan api. Tanakan dan
makanan ia turunkan di atas tanah, lalu dengan pacul
kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan
bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalamnya.
Hilang semua itu dari pandangan mata.
Nasi ia masukkan ke dalam bakul besar. Gulai tetap
dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum.
Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup,
dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih nampak menguap.
Sekarang tinggal melepaskan lelah barang sebentar.
Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan duduk pada
tambinya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia
bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia harus menanamnya
sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu
tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak
pohon yang baru saja mati.
Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu
tentulah aku yang mati. hewan itu ia angkat pada
tengkuknya dan ia cium-cium mulutnya. Benar. Mulutnya
berbau kare. adipati jayawisesa sudah bermaksud menumpas sisa
pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan harta-
bendanya. Gila!
Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini
mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan
kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang
dibusuk-busukkannya selama ini, tidak lebih baik dibandingkan
Sang adiputro atau pun pemberontak , kufur, munafik mana pun.
Dialah orang yang tak tahu berterima kasih kepada sang yang betari durga
dan semua ummat.
Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah sudah
dimpu wungubhumi i dengan daun pisang hutan. Dan itu berarti ia sudah
boleh memasukkan hidangan. Menurut aturan yang baru
diterimanya, dalam tata-tertib Gowong, yang pertama-tama
dilayani adalah istri-istri adipati dan adipati sendiri,
lalu para pengikut, dan paling akhir sandera nyi girah
dan anak-anaknya.
Berjalan melewati ruang tengah sesudah kembali dari
membawa ca-dong untuk istri-istri adipati , ia dapati Rangga
jatayuwesi sudah duduk bersama pengikut-pengikutnya yang
tersetia itu mengepung hidangan.
“jayamuseswa ”, tegur adipati jayawisesa , “sekali ini kau pun
bersama-sama kita semua menikmati rejeki dari sang hyang Widhi ini.
ayolah , sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian
makan bersama-sama dengan adipati jayawisesa ”.
Jurumasak itu ikut duduk mengepung hidangan. Tak lain
dari adipati sendiri yang mengucapkan doa. Hidangan
dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun
mulai menyantap dengan lahap.
“ayolah , habiskan. Mau melihat bagaimana kalian makan
gulai tumapel i. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi
dahulu . Sekali ini mereka akan makan belakangan. ayolah ,
semua, jangan enggan”.
Dalam kerikuhannya orang makan semakin lahap, lupa
memperhatikan yang lain-lain. jayamuseswa mengangkat daun
pisangnya tinggi-tinggi, memperlihatkan sedang makan
dengan rakus. Matanya jeli memperhatikan adipati jayawisesa ,
yang tak juga menjamah makanannya, dan terus juga
bicara. Kelihatan ia seperti orang pemurah yang ikhlas.
Harum kare itu memang tak tertahankan. Makanan
jayamuseswa pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama
sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan.
Jurumasak itu memperhatikan teman-temannya sambil
terus pura-pura makan dengan daun pisang terangkat tinggi.
Ia menunggu apa yang akan terjadi. Dan memang sedang
akan terjadi sesuatu.
Tak antara lama ia lihat beberapa orang terhenti makan
dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-huyung
mendekati adipati , berhenti, kakinya goyah, mulurnya
menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, lalu jatuh
seperti karung kosong di lantai.
Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun
atau memutar-mutarkan kepala , berdiri untuk lalu
jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi.
jayamuseswa menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir
mereka mula-mula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak
gagu, seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan
lalu melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting.
Mata mereka nampaknya juga menjadi buta sebelum mati.
adipati jayawisesa masih duduk di tempatnya mengawasi
semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang
matanya diarahkannya pada jayamuseswa yang masih juga belum
menggeletak.
Tak ada jalan lain bagi si jangkung dibandingkan mesti
mengikuti contoh teman-temannya. Ia berdiri dengan mulut
ternganga, meraba-raba, dan jatuh dengan kepala miring
dan mata tertutup lengan, mengintip adipati jayawisesa .
Ia lihat Rangga jatayuwesi bangun dari tempat duduk.
Airmukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah
seorang korban dan berbisik padanya: “Ya sang hyang Widhi , terjadilah
apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau sudah benarkan
semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak-
Mu, semua ini takkan mungkin berlaku”.
Ia berjalan meneliti wajah seorang demi seorang. Sampai
pada jayamuseswa ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, meraba-
raba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paru-
parunya yang masih juga kembang-kempis. Ia mengangguk-
angguk dan berkata padanya: “Tidak aku berikan kesakitan
padamu, jayamuseswa . Semua jalan menuju ke akhirat. Kau
hanya lebih cepat. Ampunilah aku”.
Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia
meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan,
bimbang, sekali lagi menebarkan pandang pada korban-
korbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia ragu-
ragu. Dibelai-belainya jenggotnya, tiba-tiba tertawa riang
terbahak dan berpidato: “Dahulu, tidak, masih kemarin
kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan
akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti
anak anak, anak Adam yang damai. Untuk keselamatan
pemimpin kalian, untuk adipati jayawisesa , semua ini sudah
terjadi atas kehendak-Nya. jangan menyesal. Pada akhirnya
akhirat akan lebih baik, lebih menentu, dibandingkan dunia.”
Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti,
menoleh ke mana-mana dan memekiki: “Khaidar! Khaidar!
Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja!” ia
menghitung dengan telunjuk jumlah korbannya. 9
belas. “Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam?”
“Khaidar sudah mati, Kanjeng adipati !” jawab jurumasak
dengan suara bisik.
“Astagafirullah!” sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak
mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. “Suara apa
kudengar ini? Khaidar! ayolah , sini, keluar”.
Jurumasak mengulangi jawabannya. Dan adipati jayawisesa
mulai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang
sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka.
“Mati!” katanya setiap habis memeriksa.
Sekarang sampailah ia pada jayamuseswa . Tangannya
mencekam rambut jurumasak dan menatap wajahnya. Si
jangkung berteriak tinggi dan melompat berdiri. adipati
jayawisesa terbalik sangking kagetnya.
“Ya, akulah iblis!” raung jayamuseswa , lalu tawanya
bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu.
“Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari
tanganku”, ancamnya dengan suara dada yang dalam.
adipati jayawisesa gemetar tak mampu mempertahankan tegak
badannya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggil-
manggil Khaidar, minta tolong. Tangannya bergerayangan
untuk mencari tempat bersandar. lalu mulurnya
berkomat-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat.
Dalam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk.
“Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu”, kata nya sesudah
selesai doanya. “Pergi kau ke alammu sendiri”.
“sudah kau bunuh aku, adipati jayawisesa , doa-doamu tidak
mempan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau
bunuh?”
“Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, jayamuseswa !
Dengarkan jayamuseswa ”, kembali adipati mencobai memidatoi
dan nampak ia menabah-nabahkan diri.
Jurumasak memungut segumpak daging kare, diciumnya
sebentar, lalu diulurkan pada pemimpinnya.
Suaranya menggeledek: “Makan ini, pembunuh! Makan,
kataku!”
“Tidak, aku tak suka kare”.
“Harum bau dan lezat rasanya, bikin hidung jadi
mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi
pada kare? Lebih muda jadi pesek?” ia semakin maju
mendekati.
“Makan, ayolah , gulai tumapel i, adipati ”.
Rangga jatayuwesi menolak dengan tangan gemetar.
“Dijauhkan aku dari makanan itu,” sebutnya.
‘Tak mau kare? Atau lebih suka pisau dapur?” jurumasak
mengeluarkan pisau dari pinggangnya.
“Jangan, jangan. Kau boleh ambil satu dari peti-petiku
dan pergilah demi kediri . Jangan ganggu aku. Ambil satu
peti dan pergilah dengan damai,” kata pemimpin jayawisesa itu
sesudah mengetahui, jurumasak itu tidak mati. “Khaidar!
Khaidar!”
“Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!”
“Bohong. Tak pernah adipati jayawisesa membunuh orang.
Kau, dengan tanganmu sendiri yang membunuh mereka”,
katanya sambil menuding korban-korbannya yang
bergelimpangan.
“Kau pembunuh!” tuding jayamuseswa . “Ningrat Jawa takkan
lakukan kekejian sejenis ini”.
“Pergi! Pergi!” kata nya gugup.
“Bawa satu peti”.
“Hanya satu?” jayamuseswa menggertak, “sesudah
pembunuhan keji ini?”
“Dua. Ya, dualah”.
“Dua peti takkan dapat kuhabiskan seumur hidup”.
“Sampai dengan cucumu takkan habis, jayamuseswa , dinar
dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delima, mirah,
kecubung, kalimaya, batu-batuan mulia yang tak pernah
kau lihat seumur hidup… ah, kau bisa jadi maharaja dengan
dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, permadani
buatan Libanon dan Ashkhabad….”
“Bahkan kematian istrimu pun kau tak ranamun ”.
“Siapa tidak?”
“Sesudah kau membunuhnya?”
“Bukan aku. Kau!” tuduh adipati jayawisesa .
“ayolah , makan daging kare ini”.
“Tiga peti!”
“Lebih baik kau susul istri-istrimu…’
‘Tiga peti. Tak dibenarkan oleh sang yang betari durga membunuh
dirinya sendiri dan membelanjakan harta tiada sepatutnya”.
“Kau tak perlu membunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku
yang mengerjakan. Sini! Si… ni”.
Di dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan
mencekik. Mereka harus membiasakan diri untuk dapat
tinggal di situ. mpu wungubhumi dan adiknya nampaknya merasai
bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak
memprotes apa pun yang terjadi. Maka ketenangan
menguasai bilik itu.
Mendengar ribut-ribut di luar bilik, nyi girah melompat ke
pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu.
Dan ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas
sedang memperebutkan sesuatu. Dalam kegelapan bilik
mpu wungubhumi pun bergegas ke pintu mendekati ibunya.
Kata-kata keras di luar itu berhamburan menembusi
dinding kayu dan lubang-lubangnya.
Mereka tak dapat melihat sesuatu.
“Berapa ratus, berapa ribu saja orang mati sebab kau!
Kau sendiri takut mati! ayolah , makan sendiri racunmu ini.
Apa kau lebih memilih pisau dapur?”
“Jangan, ambillah tiga peti itu”.
“Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain
jadi kanjeng sinuhun ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau
menggagahi semua, menipu, mengacau, memutar balikkan,
mengadu domba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan
keringat dan darah dan nyawa orang lain!”
“Tiga peti cukup, jayamuseswa , demi sang hyang Widhi ”.
“Tak ada sesuatu yang baik dapat dipungut dari kau!”
suara bentakan
“Hidung mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai
mewejang, hafal semua jayamuseswa sang hyang Widhi … hanya iblis laknat
belaka. Rasakan ini!”
Cepat-cepat nyi girah mengangkat mpu wungubhumi dan mereka pura-
pura tidur nyenyak.
Jantung ibu itu berdebar-debar kencang mendengar
langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin
mendekat. Dan balok-balok yang terinjak itu bergesekan
satu dengan yang lain. Dan langkah itu kian mendekat juga.
Ia dekap mpu wungubhumi erat-erat, dan anak itu menyembunyikan
mukanya pada dada ibunya dalam kegelapan.
Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik.
“Dewa Batara!” bisik nyi girah hampir tak terdengar.
“Mak”.
Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal
cahaya rem-bang masuk ke dalam.
“Keluar!” terdengar oleh nyi girah dan mpu wungubhumi suara yang
memerintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur.
“Tidurkah kau, nyi girah ?”
Tersirap darah nyi girah . Ia pernah dengar suara itu
suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda
pengawal yang membawanya ke mari. Mengapa suaranya
selalu selunak itu?
Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di
ambang pintu dan mengulangi perintahnya dengan
suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan memikat.
nyi girah tak dapat mempertahankan pura-puranya lebih
lama. Ia turun dari ambin. mpu wungubhumi tak sudi melepaskan
rangkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan
menghampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa
jenggot itu. Bertanya: “Akan dibunuhkah kami?” ia tak
dengar si bayi sudah mulai menangis pula.
“Ah, nyi girah , mana bisa orang akan bunuh pujaan
kediri ?” Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan
mengambil bayinya. Gendong melengket pada
punggungnya.
“Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke
kediri . Kang raden gelang-gelang sudah lama menunggu”.
Siapakah orang ini? namun ia tak berani bertanya.
“Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini”.
mpu wungubhumi meronta dan berteriak . Dan ia tak memaksa.
“Biar si bayi saja kugendong”, katanya mengulurkan
tangan. nyi girah memandanginya dengan curiga. Matanya liar
tak mempercayai. Dan bayi itu tak diserahkannya.
“Ah, nyi girah sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada”.
0odwo0
26. Pertemuan Kembali
Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua
puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh ki glodog ireng .
Oleh Maesa Wulung pun tidak. raden panji gelang-gelang sendiri yang
membawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur.
Mereka sedang berusaha mencari nyi girah dan anak-anaknya.
Seluruh kediri gempar mendengar berita nyi girah , penari
pujaan itu, diculik oleh gerombolan adipati jayawisesa . Tak ada
orang bisa memaafkan bila dia sampai terkena cedera.
Bahkan desas-desus tentang perlakuan patih wirabuana kediri
terhadapnya, bila tidak sebab perlindungan Sang adiputro ,
sudah lama dapat membunuh raden sanggabuana itu secara
kejam. Apalagi kini: diculik oleh musuh kediri . Takkan ada
ampun.
Semua berdoa dan berharap agar penari itu
diselamatkan. Para pemimpin pasukan sudah mendesak
panembahan senapati ki ageng agar mengerahkan prajurit kerajaan untuk mencarinya
sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya,
belum tentu ada penari seperti itu lagi.
Jadi tak lain dari panembahan senapati ki ageng kediri sendiri yang berangkat
dengan 30 orang pasukan kuda. Sekiranya tidak
berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang
yang bersedia bergabung dalam barisan pencari.
Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung
desa jayawisesa , yang selama ini memang belum lagi dijamah
oleh prajurit kerajaan .
Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu
berkendara pelan-pelan memperhatikan kehidupan yang
sedang mulai hendak pulih kembali. Orang sudah mulai
menggarap sawah dan ladang. Kedamaian yang dahulu
kelihatan sedang membiak kembali. Dan bila malam datang
gamelan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan
perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat
tertentu orang belajar membaca Al-qufan tanpa gangguan.
Di tempat lain lagi orang mendengarkan resi pembicara
yang semua saja mengumpat dan mengutuk adipati jayawisesa .
perguruan -perguruan sri ratu kertanegari semakin susut. Dan
dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak memperoleh
dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh
sri ratu kertanegari dan betarakalong semakin susut. Tak bisa lain, berabad-
abad lamanya agama raja adalah agama bawahan , dan Sang
adiputro dimasyhurkan oleh bawahan nya sudah memeluk
arca .
Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya
beberapa orang Laki-laki melarikan diri melihat mereka datang.
Dan Sang panembahan senapati ki ageng memerintahkan pada anakbuah untuk
membiarkan mereka lari. Dan pada desa demikian
ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk
mengaduk desa. sebab panembahan senapati ki ageng kediri adalah juga anak
desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa,
menjadi petani seperti yang lain-lain.
Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu
menambahi: “Jangan takut Kami tak memusuhi kalian.
Memang ada yang kami cari: adipati jayawisesa . Katakan ke
mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang
pun di antara kalian.
Kata-kata sejenis itu melenyapkan kegelisahan dan
ketakutan. Namun tak juga diperoleh keterangan di mana
adipati jayawisesa bersembunyi.
Sampai di desa jayawisesa , regu kuda itu hanya menemui
kesunyian. Desa itu sama sekali sudah ditinggalkan. Tak ada
tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kacangtanah ran
gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan
tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda.
Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih
menunggang kuda panembahan senapati ki ageng memasuki pendopo rumah
joglo adipati jayawisesa , berhenti di tengah-tengah, lalu
masuk ke dalam rumah dengan gada telanjang di tangan.
Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rumah masih utuh,
namun semua barang berharga tiada nampak.
Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas
patih wirabuana kediri itu memiliki cukup persiapan untuk
melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta
bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah
itu nyi girah tak ditemukan.
raden panji gelang-gelang memerintahkan memeriksa setiap rumah.
Di setiap rumah yang dimasuki pintu diperoleh terbuka
dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai,
pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru.
Tak seorang pun ditemukan. Apalagi nyi girah dan anak-
anaknya. Ia perintahkan memeriksa daerah sekitar.
Kuburan orang arca pun diperiksa. Bekas galian diselidiki.
Di dekat kuburan itu mereka memperoleh kan mayat seorang
wanita yang sudah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya.
raden panji gelang-gelang memerlukan menelitinya, dan ia
mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya.
Mayat-mayat itu lalu ditimbun dengan tanah dan
ditinggalkan.
Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan
panembahan senapati ki ageng menambahi pesannya: “Penduduk desa jayawisesa
supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda
yang masih tertinggal, namun jangan lagi tinggal di situ.
Tinggalkan jayawisesa , menetaplah di desa lain. Jangan lagi desa
sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan”.
Semakin meninggalkan jayawisesa semakin bertetesan
keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya adipati
jayawisesa . Regu itu mulai dapat menjejak tempat Rangga jatayuwesi
yang terakhir.
Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang
melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah
Gowong, persembunyian bekas patih wirabuana kediri itu.
Dari kejauhan mereka sudah dapat melihat bukit kecil
tujuan. Persiapan untuk perkelahian sudah diatur. Kuda
dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas
pepohonan dan puncak bukit.
Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia.
percaya dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin
merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di
depan pintu gua keadaan tetap sunyi. namun bau bangkai
menjadi-jadi.
Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua.
Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat mubal beterbangan ke
luar masuk gua.
“Tak ada orang di dalam. Masuk!”
Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau
busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka.
Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di
hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau
belerang memicu hewan buas tidak menyerbu ke
mari.
Melihat bangkai-bangkai itu raden panji gelang-gelang melompat
turun dari kuda. Ia periksa mayat-mayat yang sudah rusak
itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya
mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di
antara mereka.
Juga semua centeng ikut memeriksa.
“Dayu! nyi girah !” teriak raden panji gelang-gelang memanggil-
manggil.
Hanya gema yang menjawabi kembali.
“Seorang mati ditikam gada wesi , panembahan senapati ki ageng wilareja !” seorang
melaporkan.
Mereka memeriksa yang mati tergada wesi .
“Periksa seluruh gua!” kata panembahan senapati ki ageng . “Inilah si keparat
Rangga jatayuwesi . Hem. Kaulah ini gerangan? Hanya begini
saja akhirmu?”
Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota
badan dan luka-luka tikaman yang sudah mengeluarkan
belatung itu.
Mati terbunuh atau bunuh diri?
Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan
mengetahui: pisau dapur.
Rangga jatayuwesi dibunuh oleh wanita lesbian , pikirnya, dan
diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam
atau di luar gua terdapat sebuah dapur.
Mungkinkah nyi girah yang membunuhnya? Dan ia
berteriak memanggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang
menjawabi.
centeng -centeng yang memeriksa lebih ke dalam
menemukan empat bangkai wanita lesbian . Segera ia
melaporkan. panembahan senapati ki ageng bergegas masuk membawa obor dari
ranting-ranting kayu dan serangga beterbangan
menubrukinya.
la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi
seorang, dan ia ragu tak dapat memastikan. Hanya hatinya
yang hilang: itu bukan orang yang kau cari.
“Perbanyak obor!” perintahnya. namun hatinya lebih keras
berteriak : Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan
begini, dan tak boleh di sini.
Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari
seluruh rongga berlapis papan itu.
Dalam bilik yang lain orang menemukan selembar popok
bayi. panembahan senapati ki ageng itu sendiri masuk ke dalam dan memeriksa
popok itu, Satu raungan keluar dari mulurnya, seperti suara
orang gila: “Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!”
“Nyi kembang nyi girah !” yang lain-lain mulai berlarian keluar
dan memanggil-manggil ke sekitar.
Suara betari i dan keras itu bergema-gema di dalam
rongga, juga di dalam rimba.
centeng itu pergi untuk memperoleh kan dapur.
Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil
berseru-seru dari atas kudanya. namun hanya gaung yang
menjawabi. Mereka hanya memperoleh i timbunan kotoran
burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran
tak diperoleh bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada
tulang, tak ada pakaian. lalu diperoleh galian baru,
tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata
bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat diperoleh tanah
terbakar bekas tempat tungku.
raden panji gelang-gelang itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada
cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk memperoleh kan
bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidak-
tidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh hewan
ataupun cuaca. Dan ia tidak memperoleh kannya. Bukan
seorang wanita lesbian yang masak di sini, ia memutuskan,
seorang Laki-laki . Bukan nyi girah yang membunuh Rangga jatayuwesi ,
namun seorang juru-masak Laki-laki .
Mereka menemukan sumber air yang mengalir jemih. Di
sana mereka membersihkan diri.
“Bakar gua itu!” perintahnya.
Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya
di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering
ditimbunkan dan lalu dibakar.
“Kembali!” perintah panembahan senapati ki ageng .
Regu itu meninggalkan bukit dan gua Gowong. Hasilnya
dua: selembar popok dan kenyataan Rangga jatayuwesi sudah
mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa
menikamnya.
Api di dalam gua itu dengan cepat membubung. Rongga
itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih
juga menganga
Dan popok itu memberi firasat pada panembahan senapati ki ageng , bahwa
anaknya belum mati, juga istrinya.
mpu wungubhumi duduk di atas bahu Pada alias mpu jayamuseswa
dan tangannya berpegangan pada kepala . nyi girah
menggendong bayi.
Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam
rimba belantara itu. nyi girah membawa tombak sebilah dan
pada pinggangnya tergantung gada yang terlalu panjang
untuknya. mpu wungubhumi membawa empat bilah tombak. Juga pada
pinggangnya tergantung gada .
“Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak
datang menolong?” bisik nyi girah dalam usahanya untuk
menyatakan terimakasihnya.
Rimba itu terlalu lebat. Sinar sinar matahari tak mampu
menembusi. Dengan tombak di tangan dua orang itu selalu
waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas
untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu
mangsa. Dan memang ular itu juga musuh yang paling
berbahaya. Baunya yang langau memang segera dapat
dikenal, namun tanpa mata awas boleh jadi orang tak
memperhatikan baunya lagi.
Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan
tombak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Namun
pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan
oleh wanita pujaan itu.
“Dan betapa jadinya”, ia menjawab lambat-lambat,
“kalau Kang raden gelang-gelang jalankan apa yang diperintahkan
padanya? Kau pun tak bakal menemui aku lagi, nyi girah ”.
“Betapa berliku-liku hidup ini”, desis nyi girah .
“Ya, nyi girah , berliku-liku memang, dan tak ada orang
tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja
menuju ke arah kematian, memasuki akhirat”.
“Apa gunanya bicara tentang kematian? Yang baru lewat
pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara
seperti ini”.
“Bukankah ada Pada di sampingmu? Adakah dia kurang
jantan, nyi girah ?”
“adipati jayawisesa dalam keadaan sendirian seperti itu Pada,
tak bisa keluar dari rimba ini?”
“Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam
lagi, sebidang bulak rumput, lalu desa pertama”.
“Dua malam lagi?”
“Insya sang hyang Widhi , dua malam lagi”.
Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasa-
rasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan
kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan
memperebutkan setiap ikat sinar sinar matahari dari langit, tak sudi
berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu
justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina
dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesak-
desakan, memperebutkan sisa sinar sinar matahari yang mungkin
jatuh tercecer dari langit.
Antara sebentar mereka memapasi jalur-jalur bekas jalan
babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan
dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang,
runcing dan tajam, mengancam di mana-mana. Segala jenis
monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan
buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati
kacangtanah ran. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan
muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang
berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih mana
yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada.
Terhadap hewan buas pada banyak berpengalaman sudah
selama mengembara sebagai musafir pajang bintoro . Ia tahu cara
menghindari atau melawan.
Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak
tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar
tinggi membuat kantung jadi gangguan tambahan.
“Berapa anakmu sekarang. Pada?”
“Seorang pun belum”.
“Kau belum lagi kawin?”
“Nantilah kalau sudah temukan seorang seperti
nyi girah ”.
“Ah, kau “.
Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil
mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau
gedrugan kaki. Kadang mereka membiarkan sampai lama
lintah jatuh sendiri dari tubuh sesudah kenyang menghisap.
Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan
pancaindera.
“Apa menurut dugaanmu anakbuah adipati jayawisesa tak
keluyuran di sini?”
“Tidak. Semua sudah dikerahkan ke medan perang”
mpu wungubhumi sudah tertidur duduk di atas bahu Pada dan
membungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari
atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan
tetap siaga dengan tombaknya.
“Ceritai aku sejak kau tinggalkan kediri ”.
“Begitulah”. Pada langsung memulai, “Kang raden gelang-gelang
membawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang
adiputro . Itu kau sudah tahu, nyi girah . Kang raden gelang-gelang tidak
bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku
kesempatan melompat ke laut. Aku melompat dan berenang
ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu
belum lagi jauh dari kediri . Aku tiba di campa , sebuah
jenggala Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit
dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang sudah
memungut aku jadi anak-angkatnya, nyi girah , sebab
dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya”.
“Dan kanak-kanak yang terlalu nakal”.
“Ya, terlalu nakal. nyi girah . Juga sebab diketahuinya
aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten
kediri . Di rumahnya itu aku belajar masak, sebab dia
tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak
dengarkan aku, nyi girah ?”
“Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dahulu aku diselir
oleh Sang adiputro … kau. Pada, tega juga kau….”
“Ah, nyi girah … semua itu ceritera lama. Dan siapa
tidak bermimpi kan seorang nyi girah dalam hidupnya?
Sekalipun dia masih kanak-kanak?”
“Huh!”
“Aku teruskan ceritaku?” mengetahui nyi girah tak
menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian
masalalu. Dan melihat nyi girah nampak tak acuh, ia
memberikan perhatian. “Kau sudah bosan mendengarkan”.
“Teruskan saja ceritamu”.
“Kau sajalah yang bercerita”.
“Sudah habis ceritaku, Pada”.
“Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat:
Juana, suryabuaya , pajang bintoro , dan juga Semarang. Semarang
hampir sama dengan campa . Penduduknya Tionghoa
berkucir melulu, namun kotanya jauh lebih besar, lebih banyak
penduduknya dan rumah-rumahnya lebih besar dan bagus,
walau pelabuhannya tidak baik. kediri jauh lebih bagus.
Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di pajang bintoro .
Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan
Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di
pajang bintoro sana. Jadi tinggsang hyang Widhi aku di rumah orang yang
kuberi surat itu. Bersama dengan banyak pemuda lain di
rumahnya aku belajar agama arca , macam-macamlah, kau
tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama
dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para
wali, babad pajang bintoro . lalu kami pindah belajar di
tempat ibadah agung Bintoro. Sesudah itu kami dikirimkan ke mana-
mana dan aku ditunjuk untuk kembali ke kediri ,
pedalaman kediri maksudku. Pada mulanya aku
berpangkalan di Bonang. Pada adipati Bonanglah aku
melaporkan semua kegiatan adipati jayawisesa … sudah bosan,
nyi girah ?”
“Tidak. ayolah teruskan”.
“Aku percaya kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku”.
‘Teruskan saja. Pada”.
Dan mereka terus berjalan. Laki-laki itu tahu nyi girah tak
tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan.
“Mengapa kau terdiam? Jangan bikin aku mengantuk”.
“Baiklah. adipati Bonang tidak setuju pada adipati jayawisesa .
Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan
peradaban Jawa dibandingkan menyebarkan agama arca . Kata
adipati Bonang, orang tak bisa membuat peradaban yang
sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui adipati
jayawisesa pandai bicara, pandai menarik hati, pandai
mepercaya kan, namun ia terlalu gegabah dan tak memiliki
kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak,
dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan
pajang bintoro . nyi girah , akulah sebetulnya yang ditugaskan
untuk mendekatkan dia dengan pajang bintoro ”.
“Ternyata kau orang penting pajang bintoro , Pada”.
‘Tidak, hanya musafir. Apalah artinya seorang Pada?”
“Mengapa kau ceritakan semua itu? Bukankah itu
pekerjaan rahasia?”
“Ya, nyi girah , rahasia. Sekarang tidak lagi. adipati
jayawisesa sudah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang
membunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang
kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan negeri dongeng
sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap pajang bintoro .
Sebaliknya kerakusannya membuat semua kelebihannya
menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan
semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi
jurumasaknya. Iblis masih mau memberi pada seseorang
untuk maksud dan kepentingan sendiri. adipati jayawisesa tak
mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun
ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani
membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi dibandingkan desa-
desa lain kepada kediri . Benih yang diperoleh dari dia
harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali
memberi makan enak, dia bermaksud membunuh mereka
orang-orang yang justru paling setia padanya”.
“Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu?”
“Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah
orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk
dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, nyi girah . Anak
desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di pajang bintoro
pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang”.
“Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamamu yang
baru itu. Pada?”
“sang hyang Widhi yang memiliki langit dan bumi ini, memiliki seluruh
alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang
diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar mpu , di
bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu kanjeng sinuhun Al-Fattah, raja
pajang bintoro . Khalifah mengatur semua orang arca di tanah
Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang arca di Jawa
harus datang ke pajang bintoro , bersembahyang di tempat ibadah agung
dan membesarkan nama kanjeng sinuhun ”.
“Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti”.
“Lama kelamaan kau akan mengerti juga, nyi girah ”.
“Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti
itu”.
“Celakalah orang arca Jawa yang tak mematuhi
Khalifahnya, dunia dan akhirat”.
“Yang lain, Pada”.
“adipati jayawisesa , biar pun arca , sebab menentangnya, dia
celaka juga”.
“Dan kau yang membunuhnya. Pada. Apakah itu juga
perintah dan pajang bintoro ?”
“Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat
dan terjaga. Dia terlalu merugikan pajang bintoro dan penyebaran
agama arca . Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, raja-
raja Jawa akan bangkit melawan arca , apalagi yang jauh
dari pesisir. resi ku bilang: orang Jawa tidak mau
kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti
Rangga jatayuwesi yang berani mengawur sejauh itu,
pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu
besar, namun tidak bisa menetap, sebentar lalu akan
lebih kembali ke dalam alam jahiliah.”
“Betapa banyak kata-katamu yang sulit”.
“Bukankah nyi girah juga sudah arca ?”
Dan nyi girah mendengus tertawa.
“Kata orang, nyi girah , Kang raden gelang-gelang juga sudah masuk
arca . Bukankah itu benar?”
“Pantas kau memperoleh kepercayaan dari kanjeng sinuhun pajang bintoro .
Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang raden gelang-gelang .
Dia hanya kata r gulat”.
“Dia sudah berhasil hancurkan kekuatan Rangga jatayuwesi .
Aku harus membantu menyelesaikan sedikit. nyi girah ,
tidak benarkah Kang raden gelang-gelang sudah masuk arca ?”
“Apakah artinya arca -tidaknya kami berdua bagimu?
Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani
biasa. Kang raden gelang-gelang tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau,
maka tak perlu bagi kami masuk arca
“Ah, nyi girah ”.
“Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para
dewa ataupun dari Aliahmu, maka dia tidak ingin
membunuh atau dibunuh oleh siapa pun”.
“nyi girah !” Pada menegah.
“Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan
hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin
jadi manusia biasa….”
“nyi girah !”
“Lihat, rakus kekuasaan memicu Rangga jatayuwesi
ingin menggantikan Sang adiputro . Kerakusan itu juga
memicu pajang bintoro membunuh Rangga jatayuwesi melalui
tanganmu….”
“nyi girah !”
“… Takut kehilangan kekuasaan memicu
prajurit kerajaan kediri memerangi Rangga jatayuwesi dan Kang
raden gelang-gelang dipaksa jadi panembahan senapati ki ageng kediri . Kerakusan
memicu matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada,
kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”.
“Ah, nyi girah , nyi girah , kau belum mengerti duduk-
perkara,” Pada menyela.
“Itulah duduk-perkaranya”.
“Siapa yang mengajarinya begitu, nyi girah ?”
“Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung
kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu
banyak dari para resi pengembara di desa-desa”.
“Masih banyakkah resi -pembicara mengembarai desa-
desa?”
“Belakangan ini berkurang memang”.
“resi ku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud
dan Musa… siapa di antaranya yang paling nyi girah
puja?”
“betari resi . Suaranya lantang penuh keberanian dan
kebesaran”.
‘Tentu dia sudah mati”.
“Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke kediri ”.
“Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya?”
“Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan
membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak
rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan
kejayaan di lalu hari untuk sesama orang?” Mereka
berhenti.
mpu wungubhumi bangun dari tidurnya. Mereka memunguti buah
jambu yang sudah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka
sudah memakannya sampai perut merasa agak isi lalu
berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak
boleh makan buah sampai kenyang.
mpu wungubhumi berjalan kaki lagi. namun kelelahan kemarin yang
belum juga habis memicu ia segera juga minta duduk
di atas bahu, dan di sana ia menyanyi-nyanyi.
“Mengapa betari Curing harus dibunuh?” mendadak
nyi girah bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya
lagi. “pajang bintoro kah yang menghendaki? Dan kau yang harus
kerjakan?”
Pada tak menengahi.
“Sesudah mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku
membayangkan pajang bintoro , di sana tentu takkan ada resi -
pembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh”.
“Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di
desa. Bukankah aku sendiri juga seorang resi -pembicara?
Cuma di pajang bintoro namanya musafir pajang bintoro ”.
“Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain
dibandingkan di desa-desa di luar pajang bintoro . Dari ceritamu tadi
sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada,, resi -
pembicara alias musafir pajang bintoro itu bicara untuk memperoleh
pengikut atau merebut pengikut orang lain. resi -pembicara
kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya
menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak memiliki
apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya.
Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau.
Bukankah kau jadi musafir pajang bintoro sebab kebencianmu
terhadap Sang adiputro ? Dan Sang adiputro hendak
membunuhmu sebab kau merugikannya lebih dahulu?” Ia
memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan
Laki-laki itu tak membantah. “Kata orang, dahulu kala mereka
itu adalah resi -resi sri ratu kertanegari . Makanya pun diperoleh nya
dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan.
Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau memberinya
perlindungan”.
“Ternyata kau pun pandai bicara, nyi girah ”.
“Kau tak marah padaku sesudah menolong kami?”
“Apa harus dimarahkan?
“sebab ternyata kita berlainan?”
“Bagaimana pun kebenaran akan menang, nyi girah .
Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu
yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu resi
pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam
pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh,
semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali”.
“Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah
terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang
paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah
sebab itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku
keliru?”
“Ah, nyi girah , selama kebenaran berasal dari manusia,
dia meragukan, sebab hanya sang hyang Widhi pemilik kebenaran,
yang Maha Besar”.
“Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum
mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali,
sebab mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami
kalau harus menganggap mereka tidak mengenal
kebenaran, hanya sebab tak tahu Aliahmu”.
nyi girah merasa, ia sudah sampai pada titik di mana
pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan kata-
katanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anak-
anaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada
sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya mpu wungubhumi tertawa-
tawa dan menyanyi di atas bahu Pada.
wah
Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Ranting-
ranting dan dedaunan kering mereka kumpulkan untuk alas
tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun
dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu
melambungkan asap tebal dan kelabu.
“Kadang-kadang,” kata Pada, “datang macan atau ular atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak akan menerkam atau mengganggu. Matanya memancarkan gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi
seperti habis menonton tarianmu, nyi girah .”
Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka
mengumpulkan sejumlah besar kepompong jati. Mereka membakari hewan kecil-kecil coklat itu dan memakannya dengan senang.
Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara sudah dilalui. Sebuah padang ilalang membentang di hadapan mereka. Dari kejauhan sudah nampak bagian-bagian yang sudah
terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana tumbuh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang merumput. “Padang alang-alang”. Pada memulai, “yang paling menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semak-semak. Macan. nyi girah , sarang macan. Matanya
mengintip di mana-mana”.
“Sudah banyak bekas bakaran kulihat”.
“Ya, syukur alhamdulillah. Nampaknya nyi girah belum
juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu.
Maklumlah penari. ‘Bakarlah alang-alang, petani’ bukankah
begitu?”
“Tumbuhlah yang muda,” nyi girah meneruskan. “Ribuan
rusa berdatangan merumput….”
“Lupakan ladang dan sawahmu”, Pada menyambung.
“Macan menerkamnya sehari seekor. Selamatlah
perjalananmu” Mereka ingat sajak nyanyian itu. Namun
mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak
juga meninggalkan hutan.
“Sebelum tentu si macan berhasil menangkap seekor dan
si petani sudah lewat melintasi”, Pada berkata pelahan pada
padang alang-alang di depannya.
“Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke
mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu
bangsa yang suka makan orang?”
“Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu
ajaran”.
Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai
menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan
setapak yang hampir hilang.
“Mengherankan,” nyi girah meneruskan untuk melupakan
kekuatirannya. “Orang makan orang. Bagaimana bisa?
Sewaktu memakannya tidakkah terbayang orangtua atau
anaknya sendiri? Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali
akan dimakan juga oleh yang lain?”
“Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu
sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka”.
Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan
sendiri.
“Barangkali itu lebih baik”. Sambung nyi girah .
“Apa baiknya kebodohan, kejahilan?” Pada menolak.
“Mereka makan-memakan sebab lapar, kiraku. Ajaran
datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuh-
membunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan
sebab lapar. Mungkin salah sebab ajaran yang kau
bawa”.
Pada tak menanggapi. nyi girah tahu, ia tersinggung.
“Kau marah, Pada? di desa-desa takkan ada orang marah
sebab ucapan seperti itu. Maafkan kalau kau tak bersenang
hati. Tak apa, Pada.”
“Kau memancing-mancing, nyi girah ”, Pada menuduh.
“Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan
sesamanya. Kau lantas membawa soal ajaran. Jangan
hubungkan”.
“Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan
ini”.
“Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar”.
Sementara mereka berjalan tanpa bicara. mpu wungubhumi di atas
bahu nampaknya juga merasai kegentaran mereka.
“Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut
pendapatmu? Mereka itu ingin makan daging, namun
perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah
ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan
bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang
sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana
pendapatmu. Pada?”
Dan Pada tak menjawab.
Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke
mana-mana. mpu wungubhumi bersorak-sorak di atas bahu Pada
melihat sekawanan rusa yang merumput damai di
kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang.
Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia
dan baunya, hewan -hewan itu terhenti dari
kesibukannya. Semua memanjangkan leher dan
menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat
tinggi. Sesudah mengetahui, hanya serombongan manusia
berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anak-
anaknya berlompat-lompatan lagi.
“Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke
sebuah hutan muda, lalu padang rumput pendek, dan
sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana,
nyi girah ? Ke kanan berarti ke kediri , ke kiri ke hutan
larangan ”.
“Ke kiri. Pada, hutan larangan .”
“Dan Kang raden gelang-gelang nanti?”
“Kalau dia masih memerlukan anak dan bininya, tentu
dia akan mencari kami di desa,” ia betulkan bayinya dan
dalam gendongan dan menyusuinya “Tak dapat aku tinggal
lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan”.
“Kasihan Kang raden gelang-gelang ”.
“Biarlah dia kembali saja ke desa”.
“panembahan senapati ki ageng kediri kembali ke desa? Mau jadi apa? Jangan
main-main, nyi girah . Apa kau suruh dia mencangkul dan
membajak?”
Mereka berjalan dan berjalan.
“Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan
manusia. Dia akan kembali ke desa.”
“Kalau tidak? Kalau dia memang dengan semau sendiri
jadi panembahan senapati ki ageng untuk dapat berkuasa?”
nyi girah mempercepat jalannya.
“Kalau dia tidak mau pulang ke desa? Tidak
memerlukan nyi girah lagi?”
nyi girah menyusui anaknya sambil mempercepat jalannya.
wah
27. pajang bintoro Bergolak
Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala.
Hanya kapal-kapal negeri dongeng masih juga tak banyak
kelihatan.Kapal-kapal Pribumi memperoleh kesibukan luar
biasa mengangkuti barang dagangan untuk dibawa ke
jenggala jatikerto , untuk memudahkan saudagar-saudagar
negeri dongeng memperoleh kan dagangan.
Maka jatikerto pun jadilah jenggala terbesar dan tebetari i di
Jawa, mengalahkan pasuruan , apalagi kediri . Dan untuk
sementara penguasa-penguasa jenggala di Jawa tidak
mencemburui, mengingat jenggala itu kememiliki an sahabat
kanjuruhan , kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya pajang bintoro yang tak
bersenang hati. namun saudagar-saudagar Pribumi yang
sudah lama terjauh dari keuntungan dengan dan-merta
berdatangan untuk berdagang. Juga kapal-kapal arca dari
negeri dongeng .
Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan
tetap baik untuk selama-lamanya: rejeki dari laut tidak
sesendat selama ini dan cuaca damai menghangati seluruh
Jawa.
Orang tak biasa lagi tentang perang.
Di suryabuaya pembangunan kembali, armada pajang bintoro sedang
giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timur
akan dipindahkan ke sebelah tengah.
Tahun 1521 Masehi.
Mendadak suatu perubahan yang cepat sudah mengubah
segala-galanya.
kanjuruhan sudah sepuluh tahun menguasai jayamahanaya .
Dan pada suatu hari yang sudah diduga orang, kanjeng sinuhun
pajang bintoro kedua, yang semakin keras juga sakitnya sebab
serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat.
Satu-satunya penantang kanjuruhan sudah wafat. Armada
besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain.
Siapa orang lain itu? Dan adakah akan dipakai untuk
meneruskan cita-cita tumenggung dijoyo ? Tak ada orang yang bisa
menduga tentang teka-teki ini. Jurubetari l mulai sibuk
dengan perhitungan dan betari lannya.
Siapa kanjeng sinuhun pajang bintoro ke tiga? sebab tumenggung dijoyo tiada
berketurunan?
Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutama para
saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa,
sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan
Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke pajang bintoro .
Lain lagi yang terjadi di jayamahanaya . Berita wafatnya tumenggung dijoyo
disambut dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur
pun dibagi melimpah-limpah untuk merayakan
kematiannya. Armada kanjuruhan akan dapat menjelajahi
semua perairan Nusantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak
peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, sebab
hanya ada seorang penantang selama ini, dan ia sudah mati,
dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari
selatan sudah padam.
Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya.
Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan untuk
sementara. Kekosongan pajang bintoro untuk waktu yang
dianggap terlalu lama itu memicu orang digoda untuk
membuat duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi
berumur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun
kembali? Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum
juga ada penobatan baru? Majelis Kerajaan lawan keluarga
raja? Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja?
Ketegangan merambati seluruh pajang bintoro tanpa kepastian.
Dari pengalaman berabad orang tahu benar, keadaan tidak
menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan
kerusuhan melahirkan perang. Diberanikan oleh
kekosongan ini juru tafsir dan betari l sampai-sampai berani
menjajakan pikirannya di pasar dan di sepanjang jalan dan
di alun-alun dan surau dan di tempat ibadah agung sendiri, tanpa
kegentaran. Praja pajang bintoro hampir-hampir lumpuh.
Tafsiran dan betari lan lalu padam: kanjeng sinuhun pajang bintoro
ke tiga sudah dinobatkan dan sudah naik ke tahta kerajaan.
Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, namun itulah
kenyataannya: Trenggono, adik tumenggung dijoyo .
wah
Sekali lagi kanjuruhan berpesta-pora mendengar Trenggono
naik tahta. Mereka tahu betul kanjeng sinuhun baru itu tak memiliki
perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perjenggala an,
apalagi terhadap jayamahanaya . Rencana baru pun ditempa. Apa
lagi? Di perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada
halangan lagi selama tumenggung dijoyo tak ada. Segera mereka
menyerbu blora.
Dan blora pun jatuh. jenggala Aceh kehilangan jenggala nya
yang sedang kembali berkembang.
kanjuruhan berpesta lagi di jayamahanaya , juga di blora,
mengetahui, bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta
hanya dengan melalui bangkai abangkandungnya sendiri,
Pangeran Seda Lepen. Abangnya itu yang akan dinobatkan
oleh Majelis Kerajaan, namun adipati Kalijaga menjagoi
Treng-gono. Maka kanjuruhan menimbang kanjeng sinuhun baru ini
sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi
demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar.
Juga mereka berpesta mengetahui, pemimpin perang
prajurit kerajaan jenggala Aceh, Fathillah1 dengan kekalahannya
di blora sudah meninggalkan negerinya. Orang tak tahu pasti
ke mana perginya. Dan kanjuruhan lebih tidak peduli lagi.
Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk
membasahi tenggorokan nyi kanjeng blora yang haus dan tidak
haus, anggur terbaik dari Oran dan Aljazair.
Sesudah blora jatuh pelayaran dan perdagangan di laut
Jawa kembali tergoncang. blora menjatuhkan juga pasar
lada. kanjuruhan dengan blora-nya tidak peduli. Mereka
tertawa. Dengan jatuhnya lada mereka akan terpaksa
datang ke blora atau langsung ke jayamahanaya .
Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung sudah jatuh
seluruhnya ke tangan kanjuruhan . Tak satu kapal Pribumi,
negeri dongeng atau Tionghoa bisa melaluinya tanpa mengakui
pernaungan gada rujakpolo -gada rujakpolo nya.
Dan kalau lada tak mau datang ke blora atau jayamahanaya ?
Campang. kanjuruhan akan mendatangi sumber-sumbernya.
Dan sumber utama lada adalah: Pajajaran dengan
ibukotanya Pakuan, dengan jenggala -jenggala mya jatikerto ,
Sunda kacangtanah dan Cimanuk.
Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan kanjuruhan , lada takkan
lagi mengalir ke Campa, Tiongkok atau Jepun. Semua akan
dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan
Pajajaran yang sendiri sudah merasa memerlukan
perlindungan kanjuruhan , terancam oleh ketidak setiaan
bawahan nya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama
pelarian dari jayamahanaya , Tumasik dan blora sebab kelainan
agama? Pajajaran harus menyerah tanpa perang! kanjuruhan
akan memberinya “perlindungan”. Kuasai jenggala jatikerto
dan Sunda kacangtanah , maka bukan hanya lada lebih banyak
mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan
kanjuruhan di jayamahanaya akan semakin kukuh dan kerajaan-
kerajaan jenggala di Jawa dan Sumatra akan semakin lemah.
Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan,
gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk
kepentingan Asia dan Nusantara sendiri, pun akan jatuh ke
tangannya dengan harga lebih murah tanpa saingan.
Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat betari i
itu pun akan dapat dikuasainya.
kanjuruhan dalam usahanya untuk melaksanakan
rencananya memutuskan untuk menghubungi kembali
“sahabat lama” Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan
“kantor dagang” di Sunda kacangtanah . Dengan adanya “kantor
dagang” Pajajaran tak perlu memiliki gada rujakpolo sendiri,
sebab “kantor” akan melindunginya dari serangan
kerajaan-kerajaan lain.
Utusan dikirimkan menghadap Prabu Sedah, raja
Pajajaran. Konon jumlah penghadap cukup banyak
termasuk beberapa orang padri Nasrani yang mohon
perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan
agamanya.
Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah.
Semua yang disarankan dan dipohon oleh para penghadap
diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan,
bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan
demikian arca tidak lagi merupakan satu-satunya agama
baru di dalam wilayah kekuasaannya.
Pesta besar-besaran diadakan dengan pengerahan
penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri.
Dan dengan upacara khidmat pihak kanjuruhan dan
Pajajaran menyaksikan dua orang pernahat dari dua belah
pihak mulai memahat lambang persetujuan dan
persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk
penggada.
Demikianlah kanjuruhan kembali ke jayamahanaya membawa
kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan
meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan….
Dalam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh
Nusantara. Pajajaran sendiri memiliki kepentingan
menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu
lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya. Dan
persahabatan dengan nyi kanjeng blora adalah juga suatu kebesaran
baginya.
Jatuhnya blora segera terdesak oleh perjanjian
persahabatan kanjuruhan -Pajajaran.
Satu-satunya kerajaan yang membuka mata lebar-lebar
terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan
pajang bintoro .
Dan di luar istana orang lebih banyak meributkan dan
membicarakannya di tempat ibadah , surau, jalanan dan di mana
saja. Lama-kelamaan suara itu berkembang dan memuncak
menjadi pertikaian-pertikaian.
Mula-mula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono
yang begitu sampai hati membunuh abangnya sendiri,
lalu diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap
peristiwa Pakuan. Mengapa kanjeng sinuhun tak juga menyatakan
sikap menentang usaha kanjuruhan yang sudah mulai ge-
rayangan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak
datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati
lagi sudah bermusyawarah dan membentuk utusan untuk
menghadap kanjeng sinuhun . Mereka ditolak dengan alasan: apa yang
terjadi di Pajajaran tak memiliki sangkut paut dengan pajang bintoro
dan musafir.
Jawaban itu mengecewakan para musafir. Bila demikian,
mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para
musafir mengagungkan pajang bintoro , sebab keagungannya
memang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar
peninggalan tumenggung dijoyo , yang sudah dua tahun disiapkan kalau
bukan untuk mengusir kanjuruhan dan dengan demikian
terjamin dan melindungi pajang bintoro sebagai negeri arca
pertama-tama di Jawa? Masuknya nyi kanjeng blora ke Jawa berarti
ancaman langsung terhadap arca . Kalau Trenggono tetap
tak memiliki sikap, jelas dia tak memiliki sesuatu urusan dengan
arca .
Segolongan kecil para musafir menolak alasan itu dengan
dalih, tugas utama para musafir adalah menyebarkan arca
yang sudah dirintis oleh para adipati . Pekerjaannya tak
bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. namun
kerajaanlah yang melindungi pekerjaan itu. Kemungkinan
dan keleluasaan, sebab adanya perlindungan,
memicu para musafir berkewajiban memperteduh
perlindungan dengan jalan mengagungkan pajang bintoro .
Golongan besar musafir menuduh, bila demikian mereka
stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan musafir,
bukan pembantu muballigh itu sendiri, dan
mempersekutukan agama dengan kekuasaan, dan
kekuasaan itu justru sudah kehilangan kekhalifahannya yang
murni.
Pertikaian lalu dicampuri oleh kerajaan. Golongan
besar dipanggil menghadap. Mereka menolak dan
melarikan diri. Golongan kecil yang taat, kehilangan
kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh
golongan besar, mereka lalu menjadi punggawa
kerajaan belaka.
Sejak itu pajang bintoro tak memiliki musafir lagi.
Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di
pedalaman negeri lain atau di seberang, memutuskan
hubungan dengan pajang bintoro dan menjadi muballigh bebas.
Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga
kanjeng sinuhun sendiri. Dan ini menjalar juga pada penduduk biasa.
Tak dapat menanggungkan semua pertikaian yang tiada
henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan
pajang bintoro sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk
menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu
dihentikan sama sekali. Dana dan daya kerajaan pajang bintoro
ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman.
Akibat tindakan itu tak terkirakan besarnya, dan pada
umumnya merugikan pajang bintoro . Insinyur dan tukang-tukang
kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang
membusuk-busukkan Trenggono,ditampilkan sebagai raja
yang bodoh dan mengkhianati amanat almarhum abang
dan ayahnya. Bupati-bupati bekas di pedalaman mengejek
kembali pajang bintoro sebagai kerajaan yang masuk ke pedalaman
sebab takut pada armada kanjuruhan , lebih suka berkubang
dalam lumpur tanah tandur pedalaman dibandingkan
menghadapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang
selama ini menyumbang iuran tahunan untuk
pembangunan armada, menyumpah-nyumpah sebab
merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir
lainnya yang menyatakan berlindung di bawah pajang bintoro
tanpa pukulan perang, menolak perlindungan dan
menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya.
Trenggono naik pitam oleh perkembangan baru ini.
Pada suatu pagi, sebelum sinar matahari sempat terbit, sebuah
tandu diusung meninggalkan pajang bintoro . Beberapa puluh
orang mengikutinya berjalan kaki di belakangnya, di
belakangnya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul.
Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut
membangunkan yang masih tidur.
Di atas tandu adalah baginda tuanku raja Ratu Aisah, biasa dinamakan
Ngaisah permaisuri kanjeng sinuhun Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah
almarhum. Ia adalah ibunda adiputro tumenggung dijoyo dan Trenggono.
Dan iring-iringan yang membisu itu menuju ke suryabuaya .
Orang segera mengerti: pertikaian antara kanjeng sinuhun dan
ibunya tertumbuk pada jalan buntu. baginda tuanku raja Ratu Aisah harus
menyingkir sebab tak mau tahu lagi tentang pajang bintoro .
Bahwa suryabuaya jadi tujuan adalah sebab itulah tempat
putranya tercinta tumenggung dijoyo almarhum. Bahwa baginda tuanku raja Ratu
berpihak pada sikap dan pendirian tumenggung dijoyo , bahwa, bahwa,
bahwa….
Orang pun segera mengerti: boyongan agung itu tak lain
artinya dibandingkan , bahwa Trenggono tak ada niat untuk
menyerang kanjuruhan , baik di jayamahanaya , blora atau mana pun,
baik di darat atau lautan.
Dan pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk
apakah armada besar yang dipersiapkan itu? Apakah akan
dibiarkan tenggelam sebab tak terawat?
Belum lagi bayangan agung terlupakan, datang pula
berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu
masih banyak disangsikan, sebab seorang kanjeng sinuhun di pajang bintoro
takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis.
Berita itu disusul oleh desas-desus, kanjeng sinuhun tak suka
bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia sudah
terjatuh jadi raja Pribumi jahiliah, pemberontak .
Sebaliknya penyokong Trenggono pun tidak sedikit.
Pasukan kuda pajang bintoro , pasukan kebanggaan, sepenuhnya
menyokongnya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama
didirikan, sebab sebelumnya hampir-hampir tak terdapat
kuda di pajang bintoro . kanjeng sinuhun Al-Fattah yang membangunkannya
dengan jalan mendatangkan bibit dari negeri dongeng
dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar arca
negeri dongeng .
Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi.
Pajajaran mengadakan pesta agung….
21 Agustus 1522
Serombongan besar orang kanjuruhan sudah mendarat di
jenggala Sunda kacangtanah . Di antara mereka terdapat dutanya:
Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian
kanjuruhan -Pajajaran.
Dalam iringan pasukan pengawal bermusket dan
bergada dan sebarisan pemusik, mereka sudah dielu-
elukan oleh Pangeran Sunda kacangtanah sebagai gubernur dan
wakil Prabu Sedah.
Dengan upacara penyambutan besar mereka diiringkan
beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. Dan pada
keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari
para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan,
menghadap Sri Baginda.
Di Pakuan pesta kehormatan besar menyambut mereka.
Henrique Leme mempersembahkan terimakasih atas
perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan
tenaga pekerja kepada para padri-padri kanjuruhan di Pakuan
sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan sudah
mulai membuka rumah penampungan untuk janda dan
yatim-piatu.
Acara khusus sudah disediakan oleh para tamu untuk
mendengarkan musik kanjuruhan di mana Prabu Sedah dan
permaisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan.
Dan itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar musik
dari Eropa.
Mereka turun balik ke Sunda kacangtanah diiringkan oleh
Pangeran Sunda kacangtanah .
Di jenggala Sunda kacangtanah sendiri sudah didirikan sebuah
umpak batu hitam berbentuk kerucut terpotong. Di atasnya
didirikan batu perjanjian kanjuruhan -Pajajaran, pahatan
bersama antara dua belah pihak.
Henrique Leme dengan regu musik yang sangat
sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan
Pangeran Sunda kacangtanah dengan para pengawal di lain
pihak. Mereka saling menyampaikan pesan dengan
terjemahan jawadwipa .
Dengan demikian perjanjian kanjuruhan -Pajajaran sudah
menjadi kenyataan.
Pihak kanjuruhan memperoleh sebidang tanah dan berkenan
untuk mendirikan “kantor dagang”. Pihak Pajajaran
memperoleh kaan jaminan bantuan militer bila memperoleh
serangan dari luar.
Pesan-memesan selesai.
Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas
kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka
bertaburan di sekeliling para tamu, lalu bertaburan
lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi
dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang
laut, kapal-kapal Pribumi dan nyi kanjeng blora, perahu-perahu
nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan
dedaunan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau
mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit
yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih,
lalu di bawahnya pegunungan yang tiada habis-
habisnya.
Selesai upacara di mana seorang pendeta Hindu
mentahbiskan tugu, pihak kanjuruhan segera memainkan
musik yang menggelora….
Itulah berita yang kembali menggoncangkan pajang bintoro .
Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang
pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak
jantan. Orang sudah mulai berbisik: apakah dia hanya
berani membunuh saudara kandung sendiri, dan tetap tidak
berani terhadap nyi kanjeng blora? Bukankah perbuatan kanjuruhan di
Pakuan dan Sunda kacangtanah tak lain dari tantangan terhadap
arca , dan sebab nya terhadap khalifah pajang bintoro ? Dan apa
pula gunanya armada besar yang sudah makan biaya begitu
banyak?
Ternyata orang perlu begitu lama harus menunggu.
Dari atas singgasananya kanjeng sinuhun Trenggono bersabda:
“Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang
dikaruniakan oleh sang hyang Widhi s.w.t. kepada kita. Maka tanah
karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama
tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun
bakal mengancam, kita akan membelanya, sebab modal
pertama adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat
sesuatu.”
Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa kanjeng sinuhun
bicara tentang tanah, bukan tentang agama dan nyi kanjeng blora
sebagai musuhnya, bukan tentang kekhilafan yang
ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka
sekalipun ia karunia sang hyang Widhi , orang semakin terheran-heran
sebab ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah
tua, suaranya sayup-sayup datang dari suryabuaya . Wanita tua
itu adalah baginda tuanku raja Ratu Aisah: “Bukan hanya tanah, seluruh
alam diserahkan oleh sang hyang Widhi pada manusia. Kalau orang tak
tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali
sang hyang Widhi sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar.
Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang
siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa,
tumenggung dijoyo yang mengatakan itu”.
Pertikaian itu lalu berpusat dalam keluarga raja
sendiri, diwakili oleh Trenggono di satu pihak dan baginda tuanku raja
Ratu Aisah di lain pihak.
Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari
kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan,
menjadi bahan pemikiran pra-jawan di mana-mana air
dan tanah, laut dan darat.
Sesudah terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak
membalas Dalam membisu ia perbesar pasukan daratnya,
terutama pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya
untuk menyelesaikan armada agung. Tanpa menyatakan
pada siapa pun, tak menunggu pendapat Majelis Kerajaan
yang semakin menjadi lemah, ia hendak membuktikan,
bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun pajang bintoro akan
jadi besar dan jaya.
namun dari suryabuaya ibundanyalah yang membuka suara
lebih dahulu : “Ketahuilah, hanya dengan armada saja orang
dapat menghalau nyi kanjeng blora, musuhnya, dengan pasukan
darat orang cuma akan memerangi saudara-saudaranya
sendiri, bukan musuhnya”.
Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun
laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya
dari pajang bintoro sedang di ambang pintu: pajang bintoro akan
meluaskan daerah kekuasaannya dengan pukulan perang.
Dan perang akan segera berkecamuk. Di luar pajang bintoro
wanita tua itu terus-menerus ditunggu-tunggu kata-katanya
selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga
di pajang bintoro sendiri.
namun apakah yang dilakukan wanita yang sudah
kehilangan kewibawaan terhadap kanjeng sinuhun , putranya?
Dengan diamnya Ratu Aisah, berbondong-bondong
utusan menghadap ke suryabuaya membawa persembahan,
sekedar hanya untuk memperoleh kan kata-katanya yang kuat
bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi.
Dan wanita tua itu justru membisu.
Di desa-desa pinggiran negeri pajang bintoro , penduduk mulai
pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang.
Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarahan dan rampasan
terhadap hak milik pemberontak , pemuda-Laki-laki petualang
meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk
menggabungkan diri jadi centeng tetap pasukan darat
pajang bintoro . Bahkan yang memiliki kuda sendiri langsung
menggabungkan diri bersama kudanya pada pasukan kuda.
Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir:
antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan
pertanyaan lalu yang muncul : Adakah kanjeng sinuhun akan
mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana
ia sudah melakukannya terhadap abang-kandungnya.
Pangeran Seda Lepen?
Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan
prihatin terhadap keselamatan wanita tua itu.
kanjeng sinuhun Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan
terhadap ibunya. Ia makin kranjingan membangun pasukan
daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada
di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam
latihan, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil
memainkan gada menghajar boneka yang digantungkan
pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan
ini.
Dan dalam salah satu kesempatan sejenis ini pernah ia
berkata secara terbuka: “Tak ada yang lebih ampuh
dibandingkan pasukan kuda. Lihat, bawahan kami semua!”
Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan
merubungnya, semua di atas kuda masing-masing.
“Pada suatu kali, kaki kuda pajang bintoro akan mengepulkan
debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke
bumi, ingat-ingat para bawahan , akan kalian lihat, takkan ada
satu tapak kaki orang nyi kanjeng blora pun nampak. Juga tapak-
tapaknya di Blambangan dan Pajajaran akan musnah
lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.”
“Berapalah kuatnya Blambangan dan Pajajaran? Mereka
tak memiliki pasukan kuda. Dan tanpa kuda, kedua-duanya
hanya tumpukan bangkai. Siapa tidak percaya? Barangsiapa
tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono
dengan sumpahnya ini….”
Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada
ibundanya sendiri. namun para bupati lebih mengerti,
kebebasan mereka sedang dalam ancaman.
Di rumah-rumah orang kebanyakan orang pada
membicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dada
bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata
begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-orang lain? Tak
sukakah kanjeng sinuhun melihat ibunya yang tua dan terhormat itu
meninggal dalam kedamaian? Tidakkah ia bisa membisu
tanpa mengatakan sesuatu?
Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika
mendengarnya. namun pada kesempatan lain, di tengah-
tengah pasar jenggala suryabuaya , ia berkata: “Tidak percuma
wanita ditakdirkan melahirkan anak. namun memang banyak
yang merasa percuma memiliki ibu”.
Di tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih
Trenggono memanggil perwira-perwiranya dan berkata
keras: ‘Tidak percuma seorang anak memiliki ayah.
Almarhum kanjeng sinuhun Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan
ratusan musafir, ke timur, barat, utara dan selatan. Setiap
musafir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk
kejayaan pajang bintoro . Siapa yang belum pernah dengar nama
pajang bintoro di pulau Jawa ini? Dia tuli! Seluruh tanpa kecuali”.
Dalam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia
mengatakan: “Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak
mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan
kudamu! Sekali langkah Blambangan pecah. Balik, dan
melangkah tiga kali. Pajajaran belah”.
Wanita tua itu tak menjawab. Dan orang mulai lebih
memperhatikan kanjeng sinuhun Trenggono yang suaranya makin
keras melantang. Trenggono memiliki kekuatan bersenjata,
Aisah hanya memiliki kebijaksanaan.
Walau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa
suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya
di lapangan? Adakah dengan demikian nilainya bukan
keprajaan? Bukan sabda seorang kanjeng sinuhun ? Hanya ucapan
pribadi semata?
Trenggono tidak menjawab teka-teki itu dengan kata-
kata, namun dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak
didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri.
Bahkan kata orang: Majelis yang harus mendengarkan dia.
Suaranya semakin gencar. “Tak ada yang lebih sia-sia
dibandingkan kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan
kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit
dan oleh ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun
segan melatai untuk tempat bercengkebetari pun kerajaan itu
tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya
menghasilkan ikan kecil? namun raja besar dan kuat
menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah sudah
dikuasainya, musuh takkan menikam dari belakang, apalagi
dari depan. pajang bintoro bukan jayamahanaya , bukan blora. Pada suatu
kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang
setiap kapal nyi kanjeng blora. bawahan nya akan masyhur di mana-
mana. Bikin semua orang tahu, siapa kanjeng sinuhun Trenggono:
darat akan dikuasai, laut akan dirajai, sebab … baginda tuanku raja Ratu
Aisah tidak sia-sia melahirkannya….”
Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para
pengiring dalam suatu perburuan harimau di pedalaman
pajang bintoro .
Pengepungan itu semakin rapat. Ratusan bawahan
bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing,
mengeluarkan dari rumpun bambu.
Seekor harimau betina yang sedang membawa anaknya
mengamuk di tengah-tengah kepungan ratusan orang
bertombak bambu runcing.
Trenggono berdiri pada sanggurdi dan berkokok:
“Saksikan bagaimana macan nyi kanjeng blora akan terguling di
bawah tombak Trenggono, kanjeng sinuhun pajang bintoro ”.
Ia lemparkan tombaknya, melayang indah ke jurusan
jantung perburuan. namun hewan itu tak meneruskan
jalannya dan mata tombak itu menancap pada leher. Sang
harimau menjondil, mengaum dalam kegebetari n. Tak
peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia
melompat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek
dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah
bermandi darah dan kepungan rantas.
hewan itu menyerang kembali dari belakang untuk
menyelamatkan anaknya. Didapatinya anaknya sudah tewas
tertembusi tombak: la angkat anaknya dengan gigitan pada
tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke
dalam hutan bambu dengan tombak-tombak pada badannya
sendiri dan anaknya yang sudah mati.
“Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono
pajang bintoro . Serahkan hewan itu pada kami.”
Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan
kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke
ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai
perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan
nasib pajang bintoro yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah
jalan, takkan menyelesaikan garapan.
Sesudah perburuan itu agak lama kanjeng sinuhun tak bicara. Dan
sebab Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan
sudah membisu untuk selama-lamanya, orang menganggap
pertikaian sudah selesai.
Ternyata tidak demikian.
Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar
sudah memicu Trenggono bicara lagi.
Sembah pembesar itu: “Sudahkah baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun
pertimbangkan nasib adipati jayawisesa yang ditumpas hanya
oleh seorang anak desa bernama raden panji gelang-gelang ?”
Sejenak Trenggono termangu-mangu untuk menjawab.
Ia tarik-tarik dagunya, lalu menjawab lantang:
“Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh
Gajah Mada di jaman jahiliah dahulu ? Ingat-ingat kesalahan
patih Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk
kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja
dan mati untuk dia. Ajaran dipakai nya sebagai
modal, dan ia hanya memungut bunga dari modal yang
diberikan oleh sang hyang Widhi kepadanya. kediri mengutuknya. Ilmu
dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah
padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang
menyambarnya, hanya seekor oret mematahkan batangnya.
Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang
dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada
jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, sebab kanjeng sinuhun
Trenggono tidak akan pernah demikian”.
Ratu Aisah tetap membisu.
Wanita tua itu memiliki kesibukan sendiri. Sesudah
wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke
Mantingan dari suryabuaya .
Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan
Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang,
bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukang-
tukang Pribumi oleh tumenggung dijoyo diperintahkan belajar bagaimana
membuat batu dan membangun rumah dari batu. Maka
tempat ibadah itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh
suryabuaya . Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang
dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu
berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat
Tionghoa akan mempersembahkannya pada kanjeng sinuhun tumenggung dijoyo
untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka
membatalkan niat itu.
tempat ibadah Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup
dengan ubin buatan Tiongkok, dan demikian juga undak-
undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap
termasuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar
dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru
sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi
dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa dan
penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.
Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun
Mantingan tak lain dibandingkan Babah shinoda Han.
Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah
dengan shinoda Han, di dalam tempat ibadah yang hampir selesai
itu, terjadi suatu percakapan yang kembali membangunkan
pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak.
“Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan
terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum
tumenggung dijoyo . Sayang sang hyang Widhi belum mengijinkan, cedera badan
menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang
nyi kanjeng blora? Babah mengenal sendiri putraku almarhum.
Sendiri naik ke jayamahanaya dan memimpin pertempuran. Dia
gagal, namun pendengarnya tidak pernah gagal, namun
pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal.
Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal.
Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah
kalah sebelum menghadapi nyi kanjeng blora itu sendiri. nyi kanjeng blora
bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum,
dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, jawadwipa ,
Sulawesi dan Kalimantan dan parahyangan dan panarukan
sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan
berakibat panen yang sebaliknya”.
yang pang pang tidak menyela, hanya mendengarkan
dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri
pikiran baginda tuanku raja Ratu. Lagi pula ia menganggap wanita tua itu
sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki
tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke pajang bintoro .
Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu
dan anak. Dan berita itu sampai juga ke blora dan jayamahanaya .
kanjuruhan menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan
tumenggung dijoyo . Armada tumenggung dijoyo dalam persiapan mereka anggap
memang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan
kanjuruhan memutuskan untuk memadamkan pengaruh Ratu
Aisah.
Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki.
wah
Pagi itu sinar matahari belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku
kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti
biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang
tua menutas surat bertulisan palawa dan berbahasa Jawa. Di
bawahnya duduk seorang wanita lesbian jawadwipa .
Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata
dalam jawadwipa : “Bagaimanakah, wanita lesbian jawadwipa , istri
seorang nyi kanjeng blora jayamahanaya , Sibarani itu seberangi laut jauh,
datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat
nyi kanjeng blora yang sehina ini isinya? Tidak, wanita lesbian jawadwipa ,
tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali.
Sampaikan pada nyi kanjeng bloramu, entah di jayamahanaya , entahlah di
blora, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami
dengan baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun dapat menguasai seluruh
Jawa. baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun tak memerlukan gada rujakpolo
nyi kanjeng blora. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri
akan datang menggambar jayamahanaya ”.
Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah wanita lesbian
jawadwipa itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun
tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah
sejadi-jadinya ke seluruh dan semua jenggala di Nusantara.
Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan
melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan
antara tumenggung dijoyo dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa
bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan
itu. Sekiranya tumenggung dijoyo masih hidup dan berseru para bupati
untuk melakukan serangan gabungan ke jayamahanaya , mereka
akan bergabung tanpa ragu-ragu. namun Trenggono
mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan
yang takkan menyatu akibatnya.
O0dwoO
Walaupun utusannya pada Ratu Aisah tak membuahkan
sesuatu hasil, kanjuruhan di jayamahanaya untuk sementara waktu
berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada
pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya;
wanita itu bukan sudah berani bicara atas nama kanjeng sinuhun
menolak tawaran gada rujakpolo .
Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya,
pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap
nyi kanjeng blora. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya:
jayamahanaya lah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan.
Maka diputuskanlah: belum masanya untuk
melaksanakan pembukaan “kantor dagang” di Jawa, di
Sunda kacangtanah pun belum walau tempatnya jauh dari
pajang bintoro . Pengaruh tumenggung dijoyo masih tetap kuat.
Rencana Sunda kacangtanah harus ditangguhkan.
Kedatangan wanita jawadwipa mengadap Ratu Aisah dan
berita tentang penolakan tawaran gada rujakpolo itu benar-benar
mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga
wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah,
menyelamatkan namanya dari kecaman umum. namun ia
pun menjadi murka sebab wanita lesbian itu berani begitu
lancang bicara atas namanya.
Para pembesar sudah mencoba-coba mengetahui
tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus
mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari
seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri
adalah seorang anak.
Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak,
akan dipakai nya sebaik-baiknya. Ia harus belajar
mengambil manfaat dan setiap hal yang menguntungkan.
Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam
iringan pasukan kuda. kanjeng sinuhun Trenggono berangkat ke
suryabuaya untuk bersujud pada baginda tuanku raja Ratu Aisah. Orang harus
mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada
pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan
perdamaian.
Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan
kemewahan. Mereka semua bersenjata tombak tunggal
dengan umbai-umbai berwarna-warni pada persambungan
antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup
baju kutang putih. Dan gada pendek menghiasi setiap
pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni
bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan
perunggu. Umbul-umbul kecil berkibar-kibar di tengah-
tengah, di depan kanjeng sinuhun .
Tak pernah pajang bintoro , apalagi suryabuaya , menyaksikan
pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan
mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan.
Di suryabuaya sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling
kota suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah
sebelumnya dalam sejarah suryabuaya .
Sebagian kecil pasukan mengiringkan kanjeng sinuhun untuk
memperoleh baginda tuanku raja Ratu Aisah.
Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan
kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu
seakan sedang mengepungnya.
Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai
duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di
hadapannya lebih tinggi, sebab dialah kanjeng sinuhun .
Ratu Aisah memakai kain batik, kemben wulung dan
selendang batik. Pada kepala nya seperti biasa, menghias
kerudung batik pula. kanjeng sinuhun memakai jubah sutra kuning
dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai mas
dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening
juga bernama kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. kanjeng sinuhun
memakai terompah kulit.
Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan
menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat
mendatang dan jauh di lalu hari pertemuan antara
ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan
pendapat.
Ratu Aisah memutar-mutarkan tangkai bunga kuning
dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas
pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan
senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan
suara lemah ia berkata: “Sembah dan sujud putranda
Baginda kanjeng sinuhun adalah laksana sibetari n air sejuk di hati
bunda dalam terik berapa tahun. Alhamdulillah Baginda
kanjeng sinuhun tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum
Baginda kanjeng sinuhun adalah putra kanjeng sinuhun dan Khalifah, sedang si
tua-renta ini hanya anak seorang resi agama di pesisir.”
“Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu sudah ibunda pilih
agar tak terulang lagi yang sudah ibunda Ratu ucapkan pada
kakanda tumenggung dijoyo almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada
almarhum harus mengurangi kasih pada saya ?”
“Jangan menjadikan kecil hati Baginda kanjeng sinuhun . Seorang
ibu mengasihi semua putranya”, jawab Ratu Aisah, dan
tangannya masih terus juga memutar-mutar tangkai bunga
itu.
“Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda
Ratu.”
“Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang
lebih memesrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih
dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai sebab apa
yang sudah dipersembahkannya pada ibunya.”
“Berilah saya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu,
untuk memperoleh kan kemesraan yang merestui itu,” kata
Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di
luar. “Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono
dan pajang bintoro ”.
“Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda
almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda kanjeng sinuhun
tumenggung dijoyo almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan”.
“Baru di tangan Trenggono memperoleh kan bentuknya”.
“Syukurlah. sang hyang Widhi sudah mengabulkan”.
“Ibunda Ratu, Kakanda tumenggung dijoyo almarhum sudah
mempersembahkan pertempuran jayamahanaya ke bawah kaki
Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa
ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda
Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padamu. Insya sang hyang Widhi .
Kalau tangan seorang raja pajang bintoro mulai menggenggam
tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.”
“Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah
lempung pegunungan, Putranda Baginda kanjeng sinuhun . Putranda
kanjeng sinuhun tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, namun di
atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda
dilahirkan di pesisir pasuruan maka tahu tentang pasir.”
Trenggono tak menanggapi dan meneruskan: “Tak
sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun nyi kanjeng blora takkan
memperolehnya.”
“Pasir sudah tergenggam di tangan nyi kanjeng blora di sebelah
utara sana.”
“Yang di utara takkan berarti tanpa selatan.”
“Mungkinkah Putranda Baginda kanjeng sinuhun ? Mungkinkah
tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah
kehidupan tak ada di dalamnya?”
“Tangan Trenggono bukan tangan bangkai!” Trenggono
memotong gusar.
“… sebab nadi darah kehidupan mengalir adalah selat
Semenanjung di utara sana?”
“kanjeng sinuhun Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah
kehidupan ada di selat, sebab pajang bintoro lah jantung
kehidupan”.
“Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan? Dan
dapatkah jari-jari menggenggam mengepal tanpa darah?”
“sebab tanah dapat digenggam, dan air tidak”.
“Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya,
darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak
tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada
darat?”
Sekali lagi Trenggono tak menanggapi . Ia kepalkan
tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya.
“Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju”.
“Putranda Baginda kanjeng sinuhun , bayi lahir dengan
mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia
takkan mengepal lagi. namun bayi itu tidak mengepal tanah.
Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepala n
itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu
ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya?”
“Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya
dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. namun tinju ini
memang dihadapkan, insya sang hyang Widhi , dikodratkan, insya
sang hyang Widhi , ditakdirkan, insya sang hyang Widhi , untuk mengepal pulau
Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu
jua saya pohon.”
“Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya
sudah raja,” kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir kanjeng sinuhun
akan segera pergi sebab marah, “tak ada indahnya sebuah
kepala n, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang
jeli lebih indah, putranda Baginda kanjeng sinuhun , sebab tiada
mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat
merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak
tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi
meninju. Dia hanya akan gerayangan.”
Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah
beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga
belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo.
Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga.
“Ibunda Ratu”, terdengar Trenggono bicara dengan nada
rendah, “biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya,
dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaik-
baiknya, pula.”
Trenggono berpaling ke belakang pada para
pembesarnya. Seorang pun tak membantunya bicara. Dan
Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya.
“Ibunda Ratu,” katanya lagi. “Jari-jari putranda akan
mencengkam ke arah sinar matahari terbit dan ke arah sinar matahari
tenggelam, agar matahari tetap memancar di atas kepala , di
atas bumi pajang bintoro . Kakanda tumenggung dijoyo almarhum… nyi kanjeng blora
tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu
merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah
digenggamnya.”
“Dan pada waktu itu Kakandamu tumenggung dijoyo almarhum
pulang membawa kekalahan. nyi kanjeng blora belum lagi sekuat
sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan
kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke suryabuaya .
Sekarang nyi kanjeng blora lebih kuat,” kata Ratu Aisah tanpa
bahasa kias lagi, “selat mutlak di tangan dia, menutup hari
depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani,
tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan
Nusantara tanpa selat, apalah artinya? Mata jeli pun tidak
berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri
bukan musuhnya”.
“Ibunda Ratu….”
“Dengarkan Kakandamu almarhum: ‘Barangsiapa
berpendapat menguasai Jawa lebih penting dibandingkan
menghancurkan nyi kanjeng blora dia akan dikutuk oleh anak-cucu,
sebab sudah tahu sebelumnya, pendapatnya itu sudah
menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman nyi kanjeng blora
sudah sejak dalam kandungan ibunya.”
“nyi kanjeng blora akan dihadapi di darat.”
“Hampir setiap bocah mengatakan begitu”.
“Maka darat harus dikuasai”, sekali lagi Trenggono
menengok ke belakang. “Kalian! Persembahkan sampai di
mana kesanggupan kalian”.
“kepala dan hati patih sekalian sudah patih pertaruhkan
untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli
Kanjeng baginda tuanku raja kanjeng sinuhun ”, seseorang mempersembahkan.
“Begitu tumenggung dijoyo wafat”. Ratu Aisah meneruskan tanpa
mempedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda
pajang bintoro . “blora segera direbutnya. Sekarang nyi kanjeng blora sudah
mencoba-coba di Sunda kacangtanah dan Blambangan. Apa
bakal terjadi lusa?”
“Lusa Sunda kacangtanah dalam genggaman Trenggono,
Ibunda Ratu. Jangan kuatir. kanjeng sinuhun pajang bintoro menjanjikan:
nyi kanjeng blora takkan mengusik pulau Jawa selama dia masih
hidup”.
Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati
Trenggono menyerahkan tangannya untuk dicium.
Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan
mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak
bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi kanjeng sinuhun
dan menatap wajah kanjeng sinuhun dengan mata sayu, dan mata itu
berkaca-kaca.
Trenggono tak berani menentang mata itu dan
menunduk. Rasa-rasanya pertikaian sudah punah, tak ada
lagi jarak antara ibu dan anak.
Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang
hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah:
“Putranda Baginda kanjeng sinuhun , waspadalah terhadap racun.
Biar setitik raksasa pun bisa hancur , jari tak dapat bergerak
lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah
racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak
waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan
racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri.”
Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari
mukanya Mukanya masih tetap menunduk.
“Ibunda Ratu,” bisiknya kembali, “mata yang jeli
dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan
tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam? Mata yang
jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang
jernih.”
‘Tak taulah aku kapan sang hyang Widhi akan memanggil diri. Rasa-
rasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang,
Trenggono, anakku, hapuskan darah abangmu yang kau
kucurkan di bumi sang hyang Widhi ini. Tanpa ampun-Nya takkan ada
sesuatu dari pekerjaanmu memperoleh berkah. Persembahkan
suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan
pada sang yang betari durga mu sendiri: satu perang pengusiran atas
nyi kanjeng blora dari jayamahanaya , blora dan Nusantara. Armada
raksasa tumenggung dijoyo janganlah dibiarkan tenggelam sebelum
menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan
kecewakan setiap dan semua orang.”
Waktu Aisah menolakkan bahu kanjeng sinuhun supaya pergi,
orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca.
Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya.
0odwo0
28. kediri dalam Suasana Baru
Seluruh kediri kembali dalam ketenangan dan
kedamaian kota dan pedalaman. Sang Patih kediri
mendiang sudah digantikan oleh Kala chucky , pemimpin
pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya
yang lengkap: baginda tuanku raja Patih kediri Kala chucky Sang
Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin
pasukan gajah, maka Kala chucky tak juga terhapus dalam
sebutan.
Pasar kota dan pasar jenggala betari i kembali seperti
sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan negeri dongeng ,
pulih kembali.
Sang adiputro sudah menjatuhkan perintah : kapal-kapal kediri
memperoleh perkenan untuk berlabuh dan berdagang di
jayamahanaya ataupun blora.
namun penghasilan jenggala tetap saja tak dapat lagi
menutup kemerosotan besar.
Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala chucky . Sang
adiputro sendiri sudah kehilangan perhatiannya terhadap
segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa jenggala atau
berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten.
Bercengkebetari di taman kesayangan di tentang kandang
gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni
dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya.
Dan di kadipaten sendiri nyi girah tak pernah muncul lagi
dari tariannya.
Sejak padamnya pemberontakan Rangga jatayuwesi Sang
adiputro tak pernah sehat, sudah kehilangan semua kegesitan
dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat
dan dayanya hilang. Jalannya sudah tertatih-tatih dan sudah
tidak bisa tegak lagi.
Rangga jatayuwesi sudah nyata tewas, kekuatannya sudah
tumpas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang
merusuhi pikirannya. namun tidak, pikiran lain selalu datang
mengganggunya: penyesalan sebab saudara sepumemiliki
yang muda itu Patih kediri yang terbunuh secara tidak
layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernama
raden panji gelang-gelang . Juga penyesalannya sudah membohongi
adiputro tumenggung dijoyo mendiang tak pernah dapat dibohonginya
dengan alasan, bahwa tumenggung dijoyo ini juga yang sudah merampas
suryabuaya dari tangannya. Penyesalan lain yang juga merusuhi
pikirannya: ia tak dapat mengambil sesuatu tindakan
sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap raden panji gelang-gelang .
Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu
jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan
nama nyi girah . Semestinya dia segera ditumpas sesudah
adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan
betari resi mendiang. Dan cemburunya masih juga
dapat dirasainya sebab anak itu ternyata dihormati,
dicintai dan didengarkan oleh bawahan kediri . Malah
pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal
mendengarkan dan mematuhinya. Anak desa yang lancang
itu….
Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun
dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu
tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak
desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih panembahan senapati ki ageng
kediri itu. Masih sering terbayang-bayang dalam
ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari
penghadapan pertama sesudah padamnya kerusuhan Rangga
jatayuwesi . Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa
penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam
bahaya kacangtanah ran. prajurit kerajaan kediri sudah ditarik kembali
ke kediri Kota oleh raden panji gelang-gelang . Namun pendopo itu
tetap tiada berpenghadap.
Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah.
Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya
yang semula. Gapura kadipaten sudah berdiri kembali dan
rupa-rupanya sudah ditukangi orang pada malam hari.
Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan
kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar
dan kepala -kepala pasukan, juga raden panji gelang-gelang , datang
bersimpuh menghadap.
Seorang punggawa sudah datang menghadap padanya,
mempersembahkan datangnya para penghadap.
Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu
bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga.
Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai
kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas
anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar
rumput pun di dalam praja kadipaten kediri , yang bisa
menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan
dirinya sebagai adiputro .
Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan
kembalilah ia jadi Sang adiputro yang dahulu juga, hanya sudah
berubah jadi kakek dengan rambut seluruhnya sudah putih
dan jalan tak tegak lagi.
Seseorang harus membantunya naik ke atas singgasana
gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi
itu.
Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut
melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun
kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya
redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan
tergantung.
Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai
patihnya, sebab dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai
seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja.
pada siapa saja, pada semua.
“Bagaimana kerusakan yang diderita oleh bawahan kami
di pedalaman?”
Dan semua penghadap melihat pada raden panji gelang-gelang , Sang
Patih panembahan senapati ki ageng kediri .
Dengan hati berat raden panji gelang-gelang , Patih panembahan senapati ki ageng tanpa
pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah
sebesar yang diharapkan oleh adipati jayawisesa , lalu
meneruskan dengan sangat hati-hati: “adipati jayawisesa sudah
kedapatan tewas dalam gua Gowong bedan pengikut-
pengikutnya terakhir. baginda tuanku raja adiputro kediri sembahan
patih .”
“Siapa mempersembahkan itu?”
“patih , baginda tuanku raja , patih wirabuana -muda, kepala pasukan laut, si
raden panji gelang-gelang ”.
“Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama
yang mempersembahkan?”
“sudah hamba bunuh Patih kediri sebab keragu-
raguannya.”
“Maka itu kau anggap dirimu Patih kediri ?”
“Ampun. baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ,” Kala
chucky menengahi. “Adapun Sang Patih panembahan senapati ki ageng kediri
raden panji gelang-gelang sudah tumpas kerusuhan besar itu, baginda tuanku raja .
Ampunilah dia sebab tiada tahunya tentang adat praja
maka sudah menyebutkan nama kotor si perusuh itu di
hadapan duli baginda tuanku raja adiputro . Ampun, baginda tuanku raja , memang besar
keragu-raguanlah yang sudah menewaskan baginda tuanku raja Patih
almarhum. Dan itulah sebetulnya bea untuk
kemenangan kediri . Maka itu sudah sepatutnya Sang Patih
panembahan senapati ki ageng kediri raden panji gelang-gelang dikukuhkan oleh baginda tuanku raja
adiputro akan jabatannya itu”.
“Ampun. baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih , tidak
lain dari panembahan senapati ki ageng raden panji gelang-gelang yang merajang-rajang
prajurit kerajaan perusuh yang terlampau kuat itu sampai
berkeping-keping, baginda tuanku raja , tak berdaya dan hancur , musnah”.
ki glodog ireng menambahkan.
“Adakah kalian mengira. adiputro kediri bersinggasana
pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si
pelancang”, suaranya lambat dan pelahan. gemetar namun
tegap.
Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi
tegang. Seorang yang sudah memimpin mereka ke arah
kemenangan sedang menghadapi kerunsang yang betari durga di hadapan
penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar
keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang
masih juga duduk menekur tak tahu apa harus
diperbuatnya.
“Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat
terhormat itu?”
raden panji gelang-gelang bersujud , lalu beringsut-ingsut
duduk dengan para kepala pasukan.
Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang
panembahan senapati ki ageng tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di
samping rangkum.
“Siapakah orangnya yang memperoleh kan dia pada barisan
kepala pasukan?” Sang adiputro menetak lagi dengan suara
lambat, perlahan gemetar namun tegap dan dingin.
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ”, kata
Kala chucky l “adapun raden panji gelang-gelang sudah menempati
tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut”.
“Adakah patut seorang pelancang memperoleh kehormatan
sejenis itu?”
Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan
beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar
praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah.
Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu
lama dan tak bakal habis.
Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam jawadwipa , dan
semua mata terarah kepadanya.
“Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya baginda tuanku raja
adiputro kediri yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin
berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun
nasihat”.
“Kau benar, Tuan patih wirabuana kediri ”.
Dan raden panji gelang-gelang mengangkat sembah lagi, beringsut
ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di
pelataran.
“Majulah kau. Kala chucky , di hadapan kami, sebab
kaulah Patih kediri Kala chucky Sang Wirabumi. Dan
perhatikan semua perintah kami lakukan semua urusan kediri
dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang memperoleh
kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan
kau tiada kan ada ancaman terhadap kediri ”.
Kala chucky beringsut maju sambil bersujud .
“Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di
alun-alun sebagai hukuman bagi si pembangkang.
Beruntunglah dia sebab keluarganya tiada ikut tertumpas.
Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang?”
Sang adiputro menunggu sokongan dari semua
penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh
penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala menunduk. Tak
ada sembah terangkat, la tahu tak memperoleh kan sokongan.
lalu ia berpaling pada Kala chucky Sang Wirabumi
dan minta pendapatnya.
“Ampun, baginda tuanku raja , tak ada pelancang di antara bawahan
Sang adiputro sembah Kala chucky .
”Tiadakah kau sendiri dengar perintah kami: apa hukuman
yang patut bagi pelancang? Dengarkan semua: bagaimana
pembangkang harus jalani hukumannya?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih . Sang
Patih kediri almarhum”, Kala chucky bersembah dengan
gugup, “sudah menjalani hukumannya sebagai
pembangkang, tewas di ujung gada wesi . patih sebagai Patih
kediri Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan
dan menjatuhkan hukuman yang diperintah kan terhadap
panembahan senapati ki ageng nya, kecuali bila panembahan senapati ki ageng menentukah sendiri
hukumannya dengan sukarela”.
“Apa hukuman yang patut untuknya?”
Kala chucky berpaling ke belakang dan berseru: “Patih
kediri Kala chucky Sang Wirabumi bertanya padamu.
panembahan senapati ki ageng wilareja , raden panji gelang-gelang , apakah hukuman yang patut
untukmu?”
Dari tempatnya di pelataran pendopo raden panji gelang-gelang
menjawab dengan suara lantang: “Tidak ada yang patut.
Hanya, bila raden panji gelang-gelang ini akan dihukum juga”,
serunya, “perkenankan dia menanam mayat Sang Patih
almarhum dengan sebaik-baiknya dahulu ”.
“Usir dia dari kediri !” bisik Sang adiputro gemetar.
“Direjam sampai mati, baginda tuanku raja adiputro yang bijaksana”,
raden sanggabuana bumikerta bersembah, “seorang pelancang
adalah juga pengkhianat”.
Sang adiputro melambaikan tangan pada Kala chucky
Sang Wirabumi, dan memerintahkan padanya untuk
menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheran-
heran melihat patih wirabuana kediri meninggalkan tempatnya
dan ikut masuk ke dalam kadipaten.
Kala chucky kembali ke pendopo, menghadapi pada
penghadap dan memerintahkan mereka bubar. Mereka
membubarkan diri dan mengerumuni raden panji gelang-gelang . Semua
menawarkan tenaga untuk membantu merawat sisa-sisa
jenasah Sang Patih kediri .
Ia menolak.
“Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih
mengetahui betapa aku menghormatinya sampai ke dasar
hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya
terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku
akan kembali”.
“Kami akan antarkan”.
“Apakah yang dapat kami sumbangkan?”
“panembahan senapati ki ageng wilareja ! panembahan senapati ki ageng wilareja !”
“Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik
dengan abah-abahnya yang baik pula”.
wah
Sesudah melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah
dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan
semua yang mencintainya, ia dekati Patih kediri Kala
chucky Sang Wirabumi, yang sedang memegangi kendali
kuda.
“Sepeninggalku, Kala chucky ”, ia berpesan pada
sahabatnya “awaslah pada pajang bintoro . resi ku, betari resi ,
sudah lebih dahulu memperingatkan”.
“Panglimaku!” Kala chucky tak mampu meneruskan.
raden panji gelang-gelang melompat ke atas kudanya.
“panembahan senapati ki ageng wilareja , mari kami antar”.
“Jangan”.
“panembahan senapati ki ageng wilareja tak membawa sesuatu pun, gada tidak,
tombakpun tidak.”
Orang mengulurkan cambuk perang. Ia tak
menerimanya.
“Anak desa pulang ke desa. Dia tak memerlukan
senjata”.
Kala chucky merangkul kaki panembahan senapati ki ageng , dan berbisik: “Tak
mungkin kediri tanpa panembahan senapati ki ageng wilareja ”.
raden panji gelang-gelang mencambuk kudanya dan hilang di balik
debu jalanan di kejauhan.
wah
Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang
adiputro . Betapa ingin ia menumpas sama sekali orang itu
seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang
ningrat keturunan maha kerajaan jenggala . Dia berani mengangkat
diri jadi Sang Patih panembahan senapati ki ageng kediri . Bila dibiarikan semua
aturan akan rusak hancur . Dan pengusiran adalah hukuman
terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala
pasukan berontak terhadap dirinya.
Beban lain yang memberati hati Sang adiputro adalah
hilangnya pafit putra yang mengabdi pada pajang bintoro .
Menengok ke kediri mereka tiadak lagi, apalagi
menghadap. Beritanya pun tiada pernah sampai lagi. Dan ia
sendiri sudah merasa tua. Siapakah adiputro kediri sesudah
dirinya? Siapakah dia, yang berhak memperoleh kan mpu wungubhumi
adiputro ? Ia tak mampu bayangkan. Kemenakan-
kemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi
yang bakal mampu jadi penguasa kediri yang berat dipikul
berat pula dijinjing. Dan ia tak rela kediri jatuh ke tangan
salah seorang dari kepala -kepala pasukan yang semua
bukan berdarah ningrat. Apalagi raden panji gelang-gelang , si lancang.
Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat
menggenggam kediri . Tidak, ia tak rela.
Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem.
Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil raden
sanggabuana bumikerta untuk mendongengkan kisah seribu
satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah,
yang langsung dilisankannya ke dalam jawadwipa . Atau ia
minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas
Angin.
Dan patih wirabuana kediri seorang yang pandai bercerita.
Gerak tangannya yang mempesonakan dan turun naik
bongkoknya memberi hidup pada ceritanya. Pada bagian-
bagian tegang ia melambai-lambaikan tangan dan bertepuk-
tepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi
hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian
asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan,
dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia melolong
meranamun .
Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu
lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya,
Zanggi dan bukan Zanggi.
Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya,
Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan
tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan
palawa dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya,
dengan kudanya pula memasuki rumah-rumah dan istana.
Dan ia bercerita tentang pembangunan tempat ibadah dan istana-
istana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam
hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis
Zanggi perbegu yang menari seperti kesetanan, dan tentang
pebetari l-pebetari l Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan
Muawiyah di Iberia.
Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada
nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita
tentang dirinya sendiri.
Apabila ia minta diri, ia tiada memperoleh sesuatu jawaban
dari Sang adiputro , sebab pendengar-tunggalnya sudah
berkeruh dalam tidurnya.
Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya
Sang adiputro merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan
menanyakan apa yang dideritanya.
“Ah, Tuan pakanewon ”, jawabnya, “sekiranya diri masih
muda… dengan kekuatan utuh dan badan penuh….”
“baginda tuanku raja adiputro masih muda, belum tua”.
“Membawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan
pakanewon . Betapa indahnya hidup muda….”
Dan dengan demikian patih wirabuana kediri jadi
penghadap tetap dalam kadipaten.
Orang menduga, orang Moro itu akan memperoleh kan
kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang adiputro . Ternyata
dugaan itu keliru. Penguasa kediri itu tetap membatasi
wewenang raden sanggabuana bumikerta . Apalagi sesudah Kala
chucky Wirabumi tampil menjadi patih.
Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang
adiputro tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia
tak pernah melalaikan ramuan-ramuan yang
dipersembahkan kepadanya. Dan raden sanggabuana Az-
Zubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan sesudah
cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng
tentang khayal yang tumbuh sendiri dalam kepala nya. Dan
waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah
mengalirlah segala kebohongannya.
patih wirabuana itu sudah tak tahu lagi mana yang benar.
Sang adiputro yang memerlukan ceritanya atau dirinya
sendiri yang ta. Ia memerlukan waktu sampai kanjuruhan
celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke
kediri , dan barulah ia merasa aman.
Di pembaringan juga Sang adiputro menerima utusan
atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau
tidak didani oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar
saja dihadirinya sebagai syarat, lalu Sang Patih kediri
Kala chucky Sang Wirabumi diperintah kan meneruskan segala
urusan.
Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari
menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan
menyambutnya dengan senang hati dan perasaan
terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang
datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari suryabuaya .
Orang itu adalah mpu logender yang dahulu pernah
diterimanya di taman kesayangan di tentang kandang gajah
pribadi.
“baginda tuanku raja adiputro kediri yang mulia”, ia bersembah.
“pajang bintoro dan suryabuaya ikut berprihatin dengan gering baginda tuanku raja .
Itulah sebabnya patih datang: menghadap, menyampaikan
salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan
karunia sang hyang Widhi dari baginda tuanku raja Ratu Aisah, dan dibenarkan oleh
baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun Trenggono”.
Sang adiputro melambaikan tangan menitahkan semua
orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga
Kala chucky pergi sesudah mengangkat sembah.
mpu logender mempersembahkan beribu terimakasih dan
syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan
untuk menghadap tanpa didani oleh siapa pun.
“Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di
dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat
mendengarkan Tuan dengan terang”
mpu logender mendekat sambil membawa tempolong pukul ,
mempersembahkan dan Sang adiputro membuang pukul
sirih ke dalamnya lalu berbaring lagi.
“Dalam keadaan baginda tuanku raja gering begini, patih merasa tidak
patut menyampaikan sesuatu yang penting, baginda tuanku raja ”.
“Gering begini kami tetap masih adiputro kediri , Tuan
Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan”.
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro , sebagai duta, patih ingin
memperoleh amanat dari baginda tuanku raja , adalah kiranya baginda tuanku raja adiputro
kediri berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada
suatu persekutuan membentuk armada gabungan untuk
menggempur jayamahanaya , menghalau nyi kanjeng blora?”
Mendengar itu adiputro kediri mencoba duduk di
pembaringan dan mpu logender membantunya.
“Ulangi lagi persembahan Tuan Duta”.
Dan mpu logender mengulangi kata-katanya: Sang adiputro
kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan,
mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang
memburam itu memancar sinar hidup.
mpu logender buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan
bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang adiputro sangat
berkenan melihat pada kebaikan duta itu.
Lama adiputro kediri tidak menjawab. Ia kerahkan
pikiran tuanya untuk kembali bekerja mengurus praja.
Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun
dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan
kediri ke jayamahanaya untuk menenggang laksamana adiputro
tumenggung dijoyo dan sekaligus untuk membalaskan dendamnya
dengan kebohongan melanggar janji. lalu ia
menyesal untuk selama-lamanya. Sesal lalu memang
tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan
persekutuan membentuk armada gabungan lagi. Ia
menawarkan jalan untuk dapat membebaskan dari sesalan
di haritua. Hari-harinya sudah dapat dihitung, dan
kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai
matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan.
Kini ia akan memperoleh kesempatan bagaimana sesalannya
bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan
gugusan kediri pulang ke pangkalan dengan kemenangan.
Dan namanya takkan jatuh di mata bawahan kediri . Dengan
cepat ia dapat temukan cara memberangkatkan gugusan itu
sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya
ataupun nyi kanjeng blora. Ia mengakui masih bermimpi kan
datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya
sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak
akan menomer-satukan lagi. Ia mulai menomor-duakannya.
Ispanya dan nyi kanjeng blora toh tak juga datang membawa
persahabatan.
“Ketahuilah, Tuan Duta mpu logender yang terhormat”,
katanya lunak, “sudah lama kami pikirkan kemungkinan
itu”.
Dan mpu logender segera mempersembahkan
terimakasihnya.
‘kediri , Tuan Duta, sudah lama bersedia untuk
memakai kesempatan itu”.
“Ya, baginda tuanku raja adiputro kediri yang mulia, kedanan
gugusan kediri insya sang hyang Widhi akan menjamin kemenangan,
baginda tuanku raja , semoga sang hyang Widhi s.w.t. merah-mati baginda tuanku raja dengan
kesehatan, kenikmatan dan panjang usia”.
“Hanya kami tak mampu menyediakan kapal”.
mpu logender menyembunyikan kekecewaannya. namun Sang
adiputro dapat menangkap perubahan pada airmukanya.
“Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang
terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal
kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar
keterlambatan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan
kami?”
“Besarlah sudah kemurahan baginda tuanku raja adiputro kediri .
Berapakah kiranya besarnya pasukan yang baginda tuanku raja relakan
untuk armada gabtungan itu, baginda tuanku raja ?”
“Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat
seperti dahulu. Hanya kami memang merasa malu
memakai kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua,
jauh tertinggal dari kapal-kapal buatan suryabuaya ”. Dan Aji
Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus
memperoleh kan kapal untuk mengangkut lima ratus orang
dengan persenjataan dan perbekalan. Ia termangu-mangu.
“Kapal perang kediri cukup baik, baginda tuanku raja adiputro ,
sebagaimana pernah patih saksikan, malahan patih pernah
membawa sendiri guguasan dari jatikerto sampai di atas
Tumasik”,
“Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup memperoleh malu
dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi
bikin. Keadaan laut tidak begitu memberanikan kami
membuat yang baru. Janganlah berkecil hati sebab centeng
laut kediri adalah sesungguh-sungguh centeng ”.
“Besarlah kemurahan baginda tuanku raja adiputro . kediri akan
melimpahi baginda tuanku raja dengan berkah, yang insya sang hyang Widhi tiada kan
putus-putusnya. Ampun baginda tuanku raja , apabila baginda tuanku raja berkenan
bolehkah patih mengetahui siapa gerangan calon Panglima
gugusan kediri ?”
“Tentu, dengan panglimanya sekali, panglima tanpa
tandingan tuan Duta Wi-rang-ga-leng, panembahan senapati ki ageng kediri ”.
mpu logender mengangkat sembah tiga kali untuk
menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keragu-
raguannya. raden panji gelang-gelang jadi lebih berharga dibandingkan lima
buah kapal perang kediri . “Dia pun kepala pasukan laut
kediri , Tuan Duta”. Hampir-hampir duta itu tak dengar
kata-kata Sang adiputro yang terakhir. Ia sedang
mengenangkan memperoleh yang pang pang raden panji gelang-gelang ,
itulah pimpinan perang tanpa tandingan untuk
melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan
lebih suka memperoleh orang itu dengan atau tanpa pasukan,
bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri
dengan bersuka cita! Malam itu Sang adiputro tidur nyenyak
tanpa cerita raden sanggabuana bumikerta , patih wirabuana kediri .
0odwo0
29. Lahirnya Persekutuan Rahasia
Sebelum mpu logender menghadap adiputro kediri
sebenarnya sudah terjadi sesuatu yang penting baik di suryabuaya
maupun pajang bintoro . Dan kejadian itu adalah demikian:
Memang tiada seorang pernah menduga, kanjeng sinuhun Trenggono
sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan mencium kaki
tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud
waktu Ratu Aisah sudah pergi meninggalkannya.
kanjeng sinuhun menegakkan badan dan agak lama masih juga
diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya
merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan
cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh
semua pembesar pasukan kuda.
Sampai di pelataran kanjeng sinuhun masih memerlukan
menghadap pada rumah itu dan sekali lagi mengangkat
sembah dalam tegak berdiri. lalu ia menaiki
kudanya.
Dan pasukan kuda itu pulang ke pajang bintoro meninggalkan
kepulan debu tanah suryabuaya di belakangnya.
Tak ada yang tahu apa sebetulnya sudah dibisikkan
oleh ibu dan anak yang nampaknya begitu mesra itu.
Perdamaian, orang menduga. Kalau perdamaian itu tak lain
artinya dibandingkan terjadi kompromi antara dua pandangan
dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu? Orang
pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, armada pajang bintoro
akan jadi menyerang jayamahanaya sedang pasukan darat yang
tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari
Blambangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang
menduga, adalah gada bermata dua: pajang bintoro akan
menyerang jayamahanaya sekaligus menguasai Jawa.
Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan
bahwa pajang bintoro takkan mungkin mengeluarkan biaya
sebanyak itu.
namun di luar pajang bintoro , kecuali kediri yang masih dalam
keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi
atau tidak antara kanjeng sinuhun dengan Ratu Aisah. pajang bintoro tetap
dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan
melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan
dan melatih prajurit kerajaan nya masing-masing. Seluruh Jawa,
kecuali kediri , siap dengan persiapan perang. Beberapa
orang bupati -apalagi mereka yang memiliki ikatan darah atau
perkawinan sudah pada membuat persekutuan militer
untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan
adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir kediri
sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa
pertama dari Trenggana.
Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan
kapalnya untuk menyinggahi suryabuaya . Akibatnya suryabuaya
terkena boikot dari Jawa sendiri.
Di jayamahanaya , berbulan-bulan lamanya para pembesar
kanjuruhan mencoba menemukan apa sebetulnya
diucapkan dalam babak terakhir muan antara kanjeng sinuhun dan
Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa,
bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti
bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja
Nusantara seperti diimpikan oleh tumenggung dijoyo ada kemungkinan
bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi
bagian selatan ini sudah dapat dibetari lkan.
kanjuruhan akan terusir dari jayamahanaya , blora, panarukan dan
seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai
Goa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau
saudagar negeri dongeng . Perdagangan dan jalanlftra antara
Jawa dan jayamahanaya boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke
tangan Pribumi.
Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan
membatasi lagi pelayarannya ke panarukan , tidak lagi
memasuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya
pada garis blora-jayamahanaya , membentuk bentengan laut yang
tak bakal kena terjang.
Di pajang bintoro sendiri berita-berita tentang pertikaian antara
kanjeng sinuhun dan Ratu menjadi padam.
Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang
dengan gada bermata dua? Mengapa kanjeng sinuhun tiba-tiba
nampak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan
kaki? Sebaliknya, mengapa suryabuaya sekarang jadi sibuk lagi
dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali
seakan armada itu sudah akan terangkatkan dalam
setengafctujgR mendatang? Bila benar demikian, bukan itu
berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah? Sebaliknya
juga berarti kekalahan bagi Trenggono? sedang bila Ratu
yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha
kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara.
Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu
apakah amanat kanjeng sinuhun pajang bintoro .
Dan benar, kanjeng sinuhun mengeluarkan amanat, yang berseru
pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk
bersahabat dengan pajang bintoro dan untuk bersekutu melawan
nyi kanjeng blora.
namun para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi
seruan itu. Mereka pada umumnya menganggap seruan itu
sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di
kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada
gabungan yang akan dibentuk pajang bintoro akan dapat
mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri,
memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan
akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari
punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka
tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing
kewaspadaannya.
Hanya adiputro kediri tidak menanggapi semua itu. Ia
sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu
datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih
kediri Kala chucky Sang Wirabumi sudah membuat
persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak
membeludaknya pasukan darat pajang bintoro . Ia tahu pajang bintoro
pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan
kaki dari penduduk sebelah barat kediri yang dikenakan
wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap pajang bintoro ,
yang dinilainya tak memiliki kekuatan gajah. Ia tak tahu,
bahwa pajang bintoro menganggap enteng pasukan gajah kediri ,
yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk
mempertahankan perbatasan. namun Kala chucky juga percaya
dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang
sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan
gajah. pajang bintoro tak memiliki dasar untuk menentang kediri .
Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian.
Apalagi pedalaman kediri sudah mulai pulih kembali dan
jenggala pun mulai sedikit hidup.
Sang adiputro yang hanya sibuk dengan persoalannya
sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala chucky .
raden panji gelang-gelang merasa sudah diusirnya tanpa ampun ke
desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan
berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala
pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat
apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman
sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tambah tanpa
sesuatu kekuasaan dan pengaruh. namun ia teringat pada
Gajah Mada dan Ken Arok kadang muncul pernyataan
dalam hatinya: siapa dapat mengabarkan apa akan
diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang
justru sebab dungunya? Dan ia serahkan semua persoalan
pada Kala chucky juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu
apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa
anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para
bawahan suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak
berani menyingkirkan dari muka bumi.
Maka sekarang ini, sekiranya pajang bintoro datang padanya
minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur
jayamahanaya , Blambangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan
anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini
akan hilang dari hari-harinya yang terakhir.
Kala chucky mempersembahkan amanat seruan kanjeng sinuhun
Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah
laksana lambaian tangan dari sorga. Ia perintah kan Sang Patih
untuk menunggu datangnya utusan resmi. kediri tak perlu
menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah
pajang bintoro menghormati kediri atau tidak. Bila dia datang, ia
akan mengia kan dengan baik. namun sekiranya pajang bintoro
memukul kediri secara khianat ia pun sudah sediakan
jawabannya: raden panji gelang-gelang akan diangkatnya secara resmi
sebagai panembahan senapati ki ageng kediri .
Di pajang bintoro sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas
melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara
bawahan nya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan,
bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda,
reda di pajang bintoro . Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan
balasan dari baginda tuanku raja Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya
Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa
maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke
tangannya.
Di suryabuaya Ratu Aisah meneruskan kesibukannya dengan
masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka.
Ia akan membukanya nanti sebagai peringatan
berangkatnya armada gabungan menyerang jayamahanaya ,
mungkin juga blora, sebagai kenang-kenangan.
Pada salah satu kunjungannya pada tempat ibadah yang belum
dibuka itu ia dapatkan yang pang pang sudah berdiri
menunggunya.
Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis
seperti kain dengan gambar biru yang nampak bukan
berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita
tentangnya, bagaimana membuatnya, apa bahan-bahannya,
dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun.
Juga sekali ini: “saya sudah banyak menjelajah negeri
orang lain baginda tuanku raja , juga negeri nyi kanjeng blora sendiri. Belum ada
bangsa lain selain leluhur saya yang bisa bikin tembikar
sejenis ini, yang membuat cniipp ini lebih indah dan
berharga. Tembikar-tembikar ini, baginda tuanku raja , dibikin menurut
kesukaan baginda tuanku raja Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang.
Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang
Tionghoa di semua jenggala di Jawa menyokong baginda tuanku raja Ratu,
sama seperti kami menyokong baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun Al-
Fattah dan baginda tuanku raja Kanjeng tumenggung dijoyo almarhum”.
Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata
tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nama itu
begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suaminya
almarhum dan putranya almarhum.
“Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata
persembahan saya baginda tuanku raja Ratu. Semua ada terentang
dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang.
Tulisan tidak berubah, baginda tuanku raja , biarpun kata lisan bisa
berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong
penghalauan atas nyi kanjeng blora dari belah bumi bagian selatan
ini”.
Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu
satu per satu untuk ke sekian kali. lalu mereka
berhenti pada sebuah relief yang menggambarkan seorang
wanita yang sedang menari. Kembali yang pang pang
mempersembahkan keterangan.
“Ini, baginda tuanku raja Ratu, yang baru dipasang adalah gambar
seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertama-tama
taubat dan menjadi arca . Di negeri leluhur saya . baginda tuanku raja ,
wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga
tampil sebagai panglima perang”.
Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi
bicara tentang gambar penari itu.
“Pernah kami berangsur-angsur, Babah,” bisiknya, “ah,”
terengah-engah, sekarang ia tertawa, “berangsur-angsur
sekiranya jadi Laki-laki . Tidak, bukan kami hendak menyalahi
ketentuan sang hyang Widhi s.w.t. hanya berangan-angan… sekiranya
kami Laki-laki , ada praja di tangan….”
“Dengan kewibawaan baginda tuanku raja Ratu, tanpa baginda tuanku raja sendiri”.
yang pang pang menggarami, “Kanjeng baginda tuanku raja tumenggung dijoyo
almarhum sudah melaksanakan”.
“Kau betul Babah”.
“Kanjeng baginda tuanku raja Itu sudah mempersiapkan armada besar
dahulu , sudah menyerang jayamahanaya . Sebelum wafat
dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan
kewibawaan baginda tuanku raja Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar,
dan membawa tugas yang megah dan agung?
Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng
baginda tuanku raja tumenggung dijoyo Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi
armada nelayan, baginda tuanku raja ? Sampai memiliki pikiran begitu
macam?”
“Ampun. baginda tuanku raja , jangan menjadi kegusaran baginda tuanku raja , sebab
sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya”.
“Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke
jayamahanaya , Babah”.
Seorang calon penunggu tempat ibadah mendengarkan semua
pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan
itu tersebar ke seluruh negeri, membangkitkan kegusaran
pada pasukan kuda dan pasukan kaki pajang bintoro .
Tidak lebih dari lima belas hari lalu seorang yang
tidak dikenal sudah menghadap pada Ratu Aisah,
mempersembahkan: pajang bintoro berada dalam keadaan gelisah.
Setiap saat kanjeng sinuhun Trenggono bisa jatuh sebab
pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah baginda tuanku raja
Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan pajang bintoro akan
menyerbu jayamahanaya , menyalahi persetujuan kanjeng sinuhun dan Ratu
dalam pertemuan terakhir.
Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui.
Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu membunuh
abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia
bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka
penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang
sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari
pasukatt kuda pajang bintoro . Dan bila demikian halnya
Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam taman
pasukan kuda kebanggaannya sendiri. kanjeng sinuhun berada dalam
bahaya. Memang!
Ia memutuskan untuk membuat kungkungan balasan.
yang pang pang mengambil tempat di dekat rana berukir.
Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau
inang di sampingnya.
Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: “Kami
semua menyokong baginda tuanku raja Ratu. Bagaimana bisa lain
dibandingkan itu baginda tuanku raja ?, nyi kanjeng blora adalah juga musuh kami
bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami
se-panarukan dan perairannya. Banyak kapal kami
ditenggelamkan dengan atau tanpa pembajakan
sebelumnya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka
membuka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari
situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan
Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua
bangtjji celaka, baginda tuanku raja , nyi kanjeng blora dan Ispanya, harus dihadapi
bersama-sama”.
“Ya, dihadapi bersama seperti pendapat tumenggung dijoyo
almarhum”. namun bukan itu yang diharapkan oleh Ratu
Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus
hadapi kanjeng sinuhun dalam kemungkinan pembangkangan
pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan
mengatakan.
“Dalam usaha penghalauan nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , tak ada
orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang
bernama Wiranggaileng. sudah dia tumpas perusuh patih
Benggala di kediri dalam hanya beberapa minggu. Dia pun
sudah jalankan berbagai tugas dengan baik. namun sekarang
dia sedang diusir dari praja kediri ”.
Dan beralihlah pembicaraan pada raden panji gelang-gelang .
“Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak
desa? Jangankan memimpin pertempuran laut, berlayar pun
tak pernah”.
Dan yang pang pang jadi berkobar-kobar: ‘Tidak benar,
baginda tuanku raja . Orang yang bernama raden panji gelang-gelang pernah ikut
gugusan kediri , ke jayamahanaya mengikuti armada suryabuaya ,
baginda tuanku raja .”
“Di bawah Raden Kusnan?”
“Tidak keliru, baginda tuanku raja . Kalau saya tak salah, orang itu
pernah memikul tandu almarhum baginda tuanku raja Kanjeng tumenggung dijoyo
waktu mendarat di suryabuaya dari kapal bendera. Dialah yang
memimpin pulang gugusan kediri dari suryabuaya . Diangkatnya
anak desa itu jadi kepala pasukan laut kediri . Sesudah jadi
Patih panembahan senapati ki ageng kediri dan mengalahkan patih Benggala dia
di usir dari praja”.
“Apa kesalahannya, Babah?”
“Kesalahannya adalah sebab dia hanya anak desa”.
“Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai
anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi nyi kanjeng blora di
laut?”
“Dia pernah perintahkan pasukan pengawal kediri
mengusir kapal nyi kanjeng blora. saya sendiri ikut menyaksikan.
baginda tuanku raja , kapal itu dipimpin oleh nyi kanjeng blora berangsangan
bernama ki ageng argomerta . nyi kanjeng blora menembaki kediri
dengan gada rujakpolo ….”
“Peristiwa itukah yang kau maksudkan?”
“Ya, baginda tuanku raja , peristiwa yang menggemparkan semua
jenggala di Jawa itu. baginda tuanku raja . kediri membalas dengan enteng.
Bukan sebab kediri dapat menenggelamkan kapal
nyi kanjeng blora itu yang saya nilai, namun kepandaian
raden panji gelang-gelang dalam mengatur dan memakai
prajurit kerajaan yang ada padanya bisa menghadapi nyi kanjeng blora, di
laut, di darat, di mana pun”.
“Jadi dia mungkin berani hadapi nyi kanjeng blora di laut?”
“Bukankah tak perlu benar nyi kanjeng blora dihadapi di laut,
baginda tuanku raja ? Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana
almarhum baginda tuanku raja Kanjeng tumenggung dijoyo , mendarat di utara jayamahanaya ,
dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang
sarang nyi kanjeng blora.” Suara yang pang pang kehilangan
kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. “Kalau
baginda tuanku raja Ratu menyerahkan tugas pada saya untuk
membujuk baginda tuanku raja adiputro kediri untuk ikut bergabung,
saya sanggup, baginda tuanku raja ”.
“Jangan, Babah. Itu bukan urusanmu. Berikan saja
padaku raden panji