Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 8

mpu wungubhumi . Aku takkan menuntut padamu 
untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau menimbang dan 
menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak 
memiliki  arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar 
dari emakmu sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau 
anggap emakmu tidak setia pada raden panji  gelang-gelang , sudahlah 
jadi nasibku, terserah padamu. Kalau kau menjadi murka 
padaku, terserahlah pula padamu….” 
“Terimakasih, Mak, anakmu yang bernama mpu wungubhumi  ini 
lebih percaya pada emaknya dibandingkan  siapa pun. Sekarang, 
Mak apakah orang itu, yang suka membius itu—” 
“Apalah gunanya kau tanyakan lagi? Aku tak sudi kau 
menyebutkan namanya.” 
“Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya,” dan 
ia lihat duka-cita sudah  membenam wajah ibunya. Buru-
buru ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup, 
“hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.” 
lalu  ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya 
menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat 
menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri. 
“mpu wungubhumi !” kata  ibunya. “mpu wungubhumi ! Gelaaaar!” ia lari 
memburunya. Di dekatnya ia berkata menghiba-hiba, “Aku 
sudah  kecewakan kau. Maafkan aku. mpu wungubhumi .” 
mpu wungubhumi  berjalan menuju ke kandang kuda, membuka 
palang-palang dan menuntun kanjeng sinuhun  keluar. 
“Kau mau ke mana, anakku? pagi-pagi begini?” tanya 
ibunya kuatir. 
“Mari ke gubuk dahulu , Mak.” 
Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda, 
menuju ke gubuk. mpu wungubhumi  masuk ke dalam dan memanggil 
adiknya. 
“Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak. 
Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang. 
Gantikanlah pekerjaanku selama aku tak ada.” 
“Kau mau ke mana. mpu wungubhumi ?” nyi girah  bertanya. 
“Mak, ambilkan gada ku.” 
Tanpa membantah nyi girah  pergi mengambilkan apa yang 
dikata  oleh anaknya. Dan waktu ia datang mpu wungubhumi  segera 
berkata: ‘Tanganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu 
sendiri.” 
“Kau mau ke mana. mpu wungubhumi ? Aku tak mau kehilangan 
kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil,” pohonnya 
selama memasangkan ikat pinggang gada  pada tubuh 
mpu wungubhumi . 
“Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang.”  
“Apa kataku kalau bapakmu datang?”  
“Mak, pasangkan destarku.” 
nyi girah  pergi lagi dan datang membawa destar terbaik. 
mpu wungubhumi  berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi 
rambutnya sebelum didestari.  
“Aneh benar tingkahmu. Nak?”  
“gada wesi  bapak, Mak.” 
“Kau seperti hendak berangkat perang,” kata ibunya 
sambil menyelitkan gada wesi  yang sudah  membunuh Sang Patih 
kediri . 
mpu wungubhumi  berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum, 
bertanya: “Lihatlah anakmu sebelum berangkat, Mak, 
gagahkah dia?”  
“Tak ada yang lebih gagah.” 
“Gagah manakah dengan orang itu sewaktu muda, 
Mak?”  
“Jangan sakiti hati emakmu. mpu wungubhumi .” 
“Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakmu baik-baik, 
Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar 
kau bisa kenangkan dia dengan baik.” 
“mpu wungubhumi ! Mau ke mana kau?” untuk ke sekian kalinya 
nyi girah  memohon. “Kau takkan tinggalkan kami berdua, 
bukan?”  
Sekarang mpu wungubhumi  berlutut lagi dan bersujud  ibunya. 
“Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat,” dan nyi girah  
terpaksa merestuinya. lalu  ia berjalan keluar dan 
memanggil kudanya: “kanjeng sinuhun ! kanjeng sinuhun !” Kuda itu datang 
menghampiri. Ia melompat ke atasnya. 
“Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia 
selitkan cambuk-perang yang selama ini dipakai nya 
berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang 
tombak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di 
belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau 
langit. Kuda itu bergerak, berpacu. 
Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, lalu  
hilang di dalam hutan….  
Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang 
alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu. 
Pada suatu padang rumput barulah berhenti. mpu wungubhumi  turun 
dan membiarkan kanjeng sinuhun  merumput Ia sendiri duduk di 
tepian padang, makan rebus jagung muda. 
Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa 
patih wirabuana  kediri  ke Jawa sudah  menyebar ke seluruh 
pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga 
mpu wungubhumi  tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita. 
Sesudah  kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat 
pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya. 
Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. lalu  ia 
melanjutkan perjalanan kembali. 
“Puh, puh, puh! lari, cepat kanjeng sinuhun , cepat. Lebih cepat! 
Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.” 
Padang rumput itu sudah  terlalui dan kini ia memasuki 
jalanan desa. 
“Stt. Kau lari ini hendak ke mana? Tahu kau ke mana 
kau harus bawa aku?” 
Sawah dan beberapa rumah mulai dilewati dan 
dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan 
makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan 
kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil 
melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada 
berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia 
ini. 
“Ah-ah, kau memang cerdik, kanjeng sinuhun , tahu ke mana aku 
hendak pergi.” 
Kuda sudah  meninggalkan desa dan kembali memasuki 
persawahan. 
“Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada 
nyi kanjeng blora,” ia memperingatkan. “Sekiranya, kanjeng sinuhun , 
sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang 
sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa 
kembali. Mengerti? Apa? Kau sudah lelah lagi? sinar matahari  pun 
belum lagi bergeser sejengkal. Jangan manja.” 
Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui 
jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap 
kuda dan desau angin pada kuping memicu  ia tak 
banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya 
matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia 
pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon 
tinggi, menyuruhnya berhenti. 
Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan 
bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung. 
Sampai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. mpu wungubhumi  
menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap 
menolak maju dan terus juga meringkik. 
“Turun!” terdengar suara dari balik semak hutan. 
mpu wungubhumi  menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia 
mencabut tombak. 
“Orang siapa? pajang bintoro ?” 
“Bukan.” . 
“nyi kanjeng blora?” 
‘Tidak.” 
“kediri ?” 
“Tiga-tiganya tidak!” 
“Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah. 
Siapa kau?”  
“Keluar kau dari semak, Laki-laki , inilah mpu wungubhumi .”  
Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa 
belas orang keluar melingkarinya. mpu wungubhumi  sendiri duduk di 
atas kuda menyiap tombak dan meruncingkan 
kewaspadaan. 
“Kau, mpu wungubhumi !” mereka berseru senang.  
“ayolah , turun.” mpu wungubhumi  curiga. namun  suara tawa mereka 
bersabda . Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang 
melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang 
centeng  pengawal kediri . 
“ayolah , mpu wungubhumi , turun! Tak ada orang memiliki  gaya berkuda 
seperti kau.”  
“Siapa kalian,” mpu wungubhumi  bertanya curiga. “pajang bintoro  atau 
kediri ?” ia bertanya kembali. 
“kediri . Sudah butakah matamu? ayolah , minum tuak 
dahulu ! Semua ini teman-temanmu sendiri sepasukan. Tidak, 
tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan 
menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang 
seperti itu?” 
mpu wungubhumi  mengembalikan tombak pada tempatnya, tertawa 
waspada dan turun. 
“Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran…’ ia 
awasi centeng -centeng  pengawal itu. 
“Pertengkaran apa? Terlalu banyak musuh untuk boleh 
bertengkar pajang bintoro , nyi kanjeng blora. Kau toh akan bergabung 
dengan kami?” 
Dengan tetap memegangi hulu gada  ia hamp iri bekas 
tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: “Aku 
mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke kediri . 
Dengar?” 
“Beres. Bergabung dahulu . Minum, ambil tuak itu. 
Tuaaaak.” Mereka masuk ke dalam hutan, merubung 
ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar 
lalu  mereka sudah  riuh-rendah dalam keredupan . 
“Kau sudah perjaka gagah berani. mpu wungubhumi !” seorang 
memulai. ‘Tahukah, kau. mpu wungubhumi ,” seseorang menyambung, 
“patih wirabuana  itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih?” 
mpu wungubhumi  tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam 
menembusi mata si penanya, lalu  meletakkan cangkir 
di tanah. 
“Jangan kau gusar,” segera orang meredakan. “nyi kanjeng blora 
sudah  membebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi 
segala macam kecelakaan.” 
mpu wungubhumi  menahan diri. Ia mencoba memahami adakah 
ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina 
ataukah sekedar memberitahukan, Belum lagi ia dapat 
memutuskan terdengar derap kuda datang mendekati. 
“Siapa itu?” mpu wungubhumi  bertanya curiga. 
“Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, mpu wungubhumi , kau mau ke 
mana dengan kelengkapan perang selengkap ini?” 
mpu wungubhumi  tak bermaksud menjawab. Orang lain sudah  bicara: 
“Ingin kami lihat tampangmu kalau sudah berhadapan 
dengan nyi kanjeng blora. Terhadap teman-temanmu sendiri kami 
sudah cukup tahu. mpu wungubhumi  ” 
“Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau 
mendengar musket dan gada rujakpolo . Pucat, kau. mpu wungubhumi , 
mungkin pingsan sewindu”. 
Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru 
dan derap kudanya padam: “Kembali kalian! Semua! 
panembahan senapati ki ageng wilareja  sudah  datang, panembahan senapati ki ageng wilareja  yang lama. ayolah  
kembali!” 
Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke 
jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda 
menyampaikan perintah: ‘Tanpa kecuali, semua kembali. 
panembahan senapati ki ageng wilareja  sudah  datang.”  
“ki glodog ireng ?” 
“Bodoh. raden panji  gelang-gelang ! Bersoraklah untuk panembahan senapati ki ageng wilareja .”  
Orang pun bersorak-sorai. mpu wungubhumi  menyembunyikan muka 
pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu 
bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang 
panembahan senapati ki ageng  kediri . Ia merasa seumur hidupnya sudah  jadi duri 
dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang 
panembahan senapati ki ageng ?  
“kanjeng sinuhun !” sebutnya pada kudanya meminta simpati. 
Kuda itu menengok padanya. Sorak-sorai itu sudah  berhenti.  
“Kau tidak ikut bersorak. mpu wungubhumi !” seseorang menegur.  
“Seumur hidupku aku sudah  bersorak untuknya,” 
jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada 
punggung kanjeng sinuhun . 
“ayolah , semua berangkat sekarang juga.” 
Orang pun mengemasi bawaannya masing-masing dan 
naik ke atas kuda. Juga mpu wungubhumi  bergabung dengan sendirinya 
dan ikut berangkat 
Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan 
sudah  hilang di balik tabir debu. la memerlukan  waktu 
untuk memantapkan kembali hatinya. panembahan senapati ki ageng wilareja ! 
panembahan senapati ki ageng wilareja , masihkah diri ini anakmu? Akan kau terima 
diri ini bila ikut datang menjemputmu? Mengabdi padamu? 
Aku bangga berbapak kau. Ah, panembahan senapati ki ageng wilareja . Ia pacu 
kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku. 
Bapak! Bapak, aku, mpu wungubhumi  datang. 
mpu wungubhumi  diterima kembali oleh pasukannya. 
Dan panembahan senapati ki ageng  kediri , raden panji  gelang-gelang , ternyata tak pernah 
dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita 
bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian 
kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap centeng . 
Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap 
seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu 
dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu 
pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat 
dilawannya. 
centeng -centeng  yang selama ini dibiayai oleh praja 
kediri , dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani, 
sudah  menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja 
centeng  yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari 
perampokan langsung atas petani. panembahan senapati ki ageng  sudah  tindas 
kecenderungan jahat ini, dan memerintahkan setiap centeng  
menjadi petani dan setiap petani menjadi centeng . Dan 
ternyata setiap centeng  bisa menjadi petani dan setiap petani 
bisa menjadi centeng . 
Dan panembahan senapati ki ageng  kediri  masih juga tidak dilihat oleh orang. 
mpu wungubhumi  harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk 
memperoleh  restu, untuk memperoleh  ijin istimewa memasuki 
kediri , menemui patih wirabuana  pakanewon  Habibullah AlMasawa. 
nyi girah  sudah  mengatakan melalui jalan kelok, patih wirabuana  
itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya 
dan bersujud nya sebagai seorang ayah. Biar semua 
orang membenci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya, 
orang yang suka membius itu. Ia ingin tahu dengan mata 
dan kuping sendin bagaimana macamnya. 
Dan keinginan itu tak juga terpenuhi. 
Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi 
pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih 
memainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu 
fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan 
selamat. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia 
dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan 
betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang 
membenci orang Moro itu. Mereka berhak membencinya 
dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam 
perang terakhir nanti. 
Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang 
saja bisa membuat  diri dan emak dan panembahan senapati ki ageng  menelan 
kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak patih wirabuana  itu 
sendiri yang harus menanggungkannya? Tidak adil! ia 
berteriak  sunyi. 
Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan 
pengiriman seorang telik untuk memasuki kota, ialah yang 
terpilih. Ia sudah  memperoleh  nilai sebagai pemuda yang 
berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan 
syukur pada sang Hyang betari durga  . Dengan menyandang semua 
senjatanya ia naik ke atas punggung kanjeng sinuhun  dan berpacu ke 
utara. 
Sampai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia 
nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas, 
bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak 
ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan 
pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini 
diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakau-
bakau. 
Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada 
keredupan , beda dibandingkan  pondoknya dalam 
pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang sudah  
lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin. 
Ia masuki sebuah rumah, sudah  doyong, dan dua orang 
anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata 
orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah 
pertanian. Juga di rumah-rumah lain, yang ada hanya 
anak anak. Semua nelayan sudah  meninggalkan laut 
untuk bertani. 
Di malam hari waktu mereka pulang ia memperoleh  cerita, 
penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi 
orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman. 
Mereka pun sudah  berhenti membuat  ikan asin dan trasi. 
Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan. 
namun   mpu wungubhumi  melihat, sawah-sawah garam mereka sudah 
tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan 
yang amat sangat. 
Walau begitu ia tak ragu-ragu memerintahkan seorang 
laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara 
kuda dan barang-barang titipannya. 
Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke 
jurusan timur   pengalaman pertama dalam hidupnya 
sebagai orang pedalaman. 
Ia sudah  memperoleh  tugas untuk menemukan pemusatan-
pemusatan kekuatan nyi kanjeng blora, mencatat adat-kebiasaannya 
di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah 
geraknya. 
Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri 
pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir 
maut begini   suatu kehormatan untuknya. Ia akan 
tunjukkan pada emaknya, pada panembahan senapati ki ageng , pada semua yang 
mengenal dan tidak mengenalnya, ia mampu lakukan tugas 
berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak panembahan senapati ki ageng  
kediri . Dan panembahan senapati ki ageng  akan bangga memiliki  anak seperti 
dirinya. Ia takkan memalukan orangtuanya. 
Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak 
menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan 
selamat di barat jenggala kota, dan jenggala itupun terbentang 
di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal 
pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir 
telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat, 
berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan 
tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan 
mata menatap hanya pada satu titik. Rambut kacaunya 
jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya, 
terutama hidung-bengkungnya. 
Tanpa ragu-ragu ia mendekati centeng -centeng  kanjuruhan  
dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan 
cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan 
permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak 
kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup 
manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan. 
kepala  nya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan 
tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak 
rambut yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan 
satu-satunya adalah pangan, namun  justru itu yang 
memicu  ia mengurus    dan nampak pucat. Dan itu 
lebih baik baginya. 
Untuk memperoleh kan pemusatan-pemusatan kekuatan 
baginya tak merupakan kesulitan. gada rujakpolo -gada rujakpolo  ia dapat 
mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar 
benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu. 
Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan 
nyi kanjeng blora. Sedang jenggala sendiri nampaknya tak begitu 
terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng memang 
merupakan bahaya awal bagi belapara bala tentara  kediri , namun   di 
malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga 
mata para bala tentara  nyi kanjeng blora itu tidur di malam hari. 
Ia lihat para bala tentara -para bala tentara  berkeliaran di kampung-
kampung dan menggauli wanita yang tak mampu 
meninggalkan kota. namun  lebih banyak lagi adalah yang 
berkeliaran di gubuk-gubuk jenggala . Dan di sini pula ia 
sekali melihat patih wirabuana  kediri  keluar dari sebuah gubuk, 
tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus 
tua. lalu  ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi 
kembang  Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak 
terpelihara lagi seperti dahulu . 
Beberapa hari lamanya ia memata-matai patih wirabuana , la 
selalu melihat orang itu berada dalam kawalan para bala tentara  dan 
setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi kembang  Kati, seorang 
diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk 
itu pengawal-pengawalnya lalu  pergi dan masuk ke 
tempat-tempat lain. 
Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir 
jalan ia lihat patih wirabuana  lewat dalam pengawalan. Ia 
berhenti, mengawasinya sejenak lalu  bicara sesuatu 
dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat 
patih wirabuana  itu memerlukan untuk membuang inya, dan mpu wungubhumi  
tertawa berbahagia memperoleh  pukul  itu dan menyekanya 
dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu 
dengan pandangnya. 
Itulah bapakmu yang sebetulnya . mpu wungubhumi , buruk 
sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat 
sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia? 
Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan? 
Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya? namun  
itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri 
mengatakan dengan jalan dan cara lain. 
Betapa ibunda ku  menderita sebab  kau, menanggung 
malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke 
tanganku iblis tua! Inilah mpu wungubhumi , anakmu, dia akan datang 
padamu. Hati-hatilah. 30  hari lalu , pada 
suatu sore ia melihat Nyi kembang  Kati menggendong bakul 
entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran, 
la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya sudah  
goyah, tiada mantap seperti biasanya. 
Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu 
memasuki gubuk dan sebentar lalu  juga patih wirabuana  
dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawal-
pengawal itu menjauh dan memasuki gubuk lain. 
Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan 
debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret 
dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara 
tawa patih wirabuana  dan Nyi kembang . 
“Kau semakin kelihatan kurus, Kati.” 
“Tidak, Tuan, saya  hanya lelah.” 
Seorang pelacur yang lewat sudah  mengganggunya 
dengan pukul  dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa, 
mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain 
muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari 
bercekikikan. Ia belok kanan jalan memburu mereka, 
lalu  kembali ke gubuk Nyi kembang . 
Pintu daun kacangtanah  itu terbuka. Ia melompat masuk 
sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung. 
Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya 
ternganga. 
Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi 
kembang  berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap 
serangan. raden  sanggabuana  bumikerta  naik ke atas ambin 
kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya. 
wanita lesbian  itu segera mengenalnya dan berseru dari 
tempatnya: “mpu wungubhumi !” 
“Nyi kembang !” tiba-tiba saja mpu wungubhumi  lupa pada kegilaannya. 
“mpu wungubhumi ! anakku, mengapa kau jadi begini?” ia melangkah 
mendekat. 
Dan mpu wungubhumi  merasa agak berkecilhati sebab  wanita itu 
segera mengenalnya. Ia melengos memandangi 
patih wirabuana . 
“Beginilah nasib anakmu, Nyi kembang .” 
“mpu wungubhumi ?” patih wirabuana  bengong dan turun dari ambin. 
“Ya, inilah mpu wungubhumi .” 
“Sudah kucari Nyi kembang  ke mana-mana. Beri aku 
makan,” perintah mpu wungubhumi . Kasar. 
“mpu wungubhumi ? Kau sudah bisa sekasar itu? Ya, tunggulah aku 
masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.” 
“Makan?” mpu wungubhumi  tertawa sinting. “Siapa yang cukup 
makan sekarang? Siapa cukup pakaian?” ia melotot pada 
raden . 
“Compang-camping begitu,” gumam patih wirabuana , 
“mungkin memang sudah gila.” Ia mengendurkan 
kesiagaannya. “Kulihat memang mpu wungubhumi  seperti celeng keluar 
dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar, 
biar Nyi kembang  selesaikan masaknya.” 
“Di mana emakmu?” tanya Nyi kembang . 
“Lari. Tak tahu aku ke mana.” 
“Seperti gila, namun  bisa menjawab,” patih wirabuana  
meneruskan bicara pada diri sendiri. “Busuk benar baunya, 
dan lalat mengikuti begitu rupa.” Dan sekarang ditujukan 
pada mpu wungubhumi , “Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan 
centeng  kediri ?” 
“Minum, Nyi kembang !” mpu wungubhumi  meminta kasar, membelalak. 
Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta 
maaf dan menghampiri: ‘Tuak aku tak memiliki , mpu wungubhumi .” 
“Air tawar?” gumam mpu wungubhumi , lalu  meneguk dan 
meletakkan gendi di atas lantai tanah. “Aku kotor, lapar, 
namun  masih tetap mpu wungubhumi , Nyi kembang ,” ia tersenyum di buat-
buat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada 
patih wirabuana , “Siapa orang ini, Nyi kembang ?” 
wanita lesbian  itu mengambil gendi dari tanah dan 
menaruhnya kembali di dalam gantungan: “Masa kau lupa 
siapa dia?” 
“Apa guna kau mengenal aku?” patih wirabuana  menolak 
untuk dinamakan  namanya. Ia bergerak hendak keluar dari 
pintu. 
mpu wungubhumi  mencegahnya melangkah lebih jauh. 
“Siapa!” tanyanya pendek dengan suara menggeram. 
“Tingkahmu menakut-nakuti orang mpu wungubhumi . dahulu  kau 
tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, mpu wungubhumi . 
Kau begitu kotor dan busuk.” 
Dan kembali patih wirabuana  bersiaga dan mundur menjauh 
beberapa langkah. 
“Jangan mundur!” tegah mpu wungubhumi . “Biar kuingat-ingat siapa 
kau;” ia raba-raba hidungnya sendiri. “Hidungku seperti 
hidungmu.” gumamnya. “Aku lupa seakan pernah kulihat 
kau dalam hidupku.” 
“Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat,” 
tegah Nyi kembang  sambil meneruskan masak.  
“Bukankah itu Tuan patih wirabuana  kediri ?” 
“Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan patih wirabuana ,” 
mpu wungubhumi  meneruskan gumamnya. “Kalau aku sudah menjadi 
tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau?” 
raden  sanggabuana  berusaha hendak keluar dan gubuk, dan 
kembali mpu wungubhumi  menghalangi. 
“Kupukul kau kalau merintangi jalanku,” ancam 
patih wirabuana . 
“patih wirabuana , Tuan patih wirabuana ,” bisik mpu wungubhumi . “Tuan 
patih wirabuana  kediri . namun  siapakah namanya? Sudah lama 
kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. namun  
siapakah namanya?” 
“mpu wungubhumi ! Kau mengganggu aku memasak. Jangan ganggu 
pula Tuan pakanewon  Habibullah Al-Masawa itu.” 
“Benar, pakanewon  Habibullah Al-Masawa!” mpu wungubhumi  
mendengus. “Benar, ingat aku sekarang.” 
“Mengapa kau nampak begitu menakutkan?” tegur Nyi 
kembang  yang kembali mendekatinya. “Hormati dia 
sebagaimana kau menghormati orangtua.” 
mpu wungubhumi  mencibir. Dan patih wirabuana  tetap siaga dengan 
tongkatnya. 
“mpu wungubhumi ! Kau atau aku yang pergi dan situ!” bentak 
patih wirabuana . “Kau ini orang pajang bintoro  atau kediri , atau 
hanya main pura-pura gila?” 
“Kau menghadapi Tuan patih wirabuana  sebagai 
menghadapi…,” Nyi kembang  memperingatkan. 
“Nyi kembang , ingatkah Nyi kembang  semasa aku masih kecil?” 
tiba-tiba mpu wungubhumi  bertanya kekanak-kanakan. “Ini dia Tuan 
patih wirabuana  pakanewon  Habibullah Al-Masawa. Kata orang. Nyi 
kembang , dia bapakku.” 
“Penipu! Tak ada aku beranakkan kau!” bentak raden  
sanggabuana  bumikerta , tak jadi pergi. 
“Benarkah itu, Nyi kembang ?” 
Wanita itu meneliti wajah mpu wungubhumi , memarahi: “Kau 
datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan 
tidak pada waktunya.” 
mpu wungubhumi  tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak: 
“Mengapa begitu pucat. Tuan patih wirabuana ? Jangan, jangan 
pergi. Anakmu ingin bicara,” 
“Tak ada aku memiliki  anak seperti kau.” 
“Jadi kau bukan bapakku? Kaukah yang menipu ataukah 
ibunda ku  nyi girah ?” 
“Jelas nyi girah  penipu!” patih wirabuana  memutuskan. 
Nyi kembang  memegangi bahu anak muda itu, bertanya 
lunak: “Pernahkah nyi girah  bilang begitu?” 
“Tak pernah nyi girah  mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi 
kembang , kau yang pernah membidani emak waktu aku lahir. 
Apa katamu?” 
Nyi kembang  menarik mpu wungubhumi  agar duduk di ambin, namun  ia 
menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan 
masakannya. 
“Jangan menakut-nakuti begitu, kau, mpu wungubhumi ,” ia 
memperingatkan, “kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan 
patih wirabuana , nampaknya memang seperti dua orang 
kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai. 
Tuan patih wirabuana ….” 
“Apa saja semua ini…,” protes patih wirabuana . 
“… Jangkung, namun  tua dan bongkok. Memang 
sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata, 
rambut….” 
“Diam, kau, Kati,” bentak raden  sanggabuana . “Gila kalian 
berdua ini. Aku pergi.” 
Dan mpu wungubhumi  menghadang. 
“Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami? 
Nyi kembang , ceritakan penderitaan ibunda ku  sesudah  
melahirkan.” 
“Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan 
dituduh oleh suaminya, raden panji  gelang-gelang . Si periang itu, jadi 
pendiam untuk selama-lamanya sesudah  itu, jadi pemenung. 
Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan 
sendiri. Dia sudah  serahkan diri pada suaminya untuk 
dicundrik mati.” 
“Kau dengar itu, Tuan pakanewon , bapakku?” 
“Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan 
ibunda ku  sebab  tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi kembang .” 
“raden panji  gelang-gelang  tidak mencundrik emakmu. Dia tetap 
mencintainya. Betapa agung cinta Laki-laki  itu. namun   wanita 
itu, perasaannya sudah  rusak hancur  sejak itu, takkan dapat 
pulih kembali.” 
“Dan semua dimulai dengan obat bius,” mpu wungubhumi  
menambahi. 
“lalu , baru lalu  itu diketahui,” Nyi kembang  
Kati membetulkan. 
“Tak perlu aku membius seorang pun!” bantah 
patih wirabuana . 
“Aku pun pernah kau bius, Tuan,” Nyi kembang  menuduh. 
“Kau, Kati, kau juga menuduh aku?” 
“Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang nyi kanjeng blora 
pelarian,” mpu wungubhumi  meneruskan, “korban obat bius.” 
“Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan 
penderitaan nyi girah ?” 
patih wirabuana  seperti kehilangan kepribadiannya. Ia 
menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat 
memutuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada 
sumpahnya untuk mengakui mpu wungubhumi  sebagai anaknya. Dan 
anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu 
aturan. 
“Setiap dia melihat kau. mpu wungubhumi ,” Kati meneruskan, dia 
akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan 
yang mengguncangkan itu, sebab  dia sangat, sangat 
mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa 
saja. sebab  besarnya cintanya itu sebelumnya dia sudah  
hadapi maut, menolak jadi selir Sang adiputro , menolak 
segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan patih wirabuana  
membiusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran 
dosa sudah  meraba tubuhnya, dan kau, mpu wungubhumi , kau pun 
lahirlah. Kau anak Tuan patih wirabuana  ini. Tak salah lagi. 
Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.” 
raden  sanggabuana  berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan 
tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan, 
namun  justru mendengarkan. 
“Marilah duduk sini di sampingku. Tuan,” namun  
patih wirabuana  tak menggubris seolah tak dengar. “mpu wungubhumi ! 
Akulah yang pertama-tama menyambut kedatanganmu di 
dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak 
lain dari anak Tuan pakanewon  ini Akulah juga orang yang 
pertama-tama kaget. Sesudah  kau kumandikan dan 
kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diam-
diam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan pakanewon , 
Tuanlah sekarang yang bicara.” 
“Dia tak pernah mengatakan aku anaknya,” mpu wungubhumi  
menuduh. 
“Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan memiliki  anak 
dia?” 
‘Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila.” 
mpu wungubhumi  makin menghadang dengan tongkat pada ketiak. 
patih wirabuana  berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan 
suatu gerakan semu. mpu wungubhumi  meliriki tangannya, tertawa, 
lalu : “Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau 
aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepala  mu. Uh, 
siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu? 
Orang-orang tak berdaya sudah  kau bunuhi, seakan hanya 
babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhtumenggung dijoyo  di hadapanku, 
tangan yang menghunus peserta gnya  akan kuremukkan. Kalau tidak 
percaya, ayolah  coba.” 
raden  sanggabuana  tak meneruskan usahanya. 
“sudah  kau aniaya perasaan ibunda ku  sejak kelahiranku. 
sudah  kau hinakan panembahan senapati ki ageng wilareja . Diam! Jangan bicara. sudah  
kau aniaya dan kau khianati penduduk kediri . Dengarkan 
kalau mpu wungubhumi  bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. sudah  kau 
bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-mana dan 
kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan ibunda ku ! 
Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!” 
Untuk sekian kali raden  sanggabuana  berusaha menguasai 
diri. namun  syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya. 
Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup 
membantunya melawan anak kemarin yang tak 
berpengetahuan ini. Terdengar “Kau sudah bikin bahaya 
untuk dirimu sendiri.” 
“Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa.” 
‘Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak?” 
“Setiap saat para bala tentara  nyi kanjeng blora bisa datang dan bunuh 
kau, anak gila.” 
“Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah 
bedanya?” 
“Tidakkah pernah kau dengar? Sedikit saja tanganku 
melambai, dan para bala tentara  nyi kanjeng blora akan terkerta  
berdatangan?” 
‘Tangan itu akan remuk sebelum melambai.” 
“Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding, 
dengan atau tanpa nama.” 
“Jari itu akan patah sebelum menuding.” 
“Itu benar, mpu wungubhumi ,” Nyi kembang  menggarami. 
“Aku sudah  datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi: 
adakah kau bapakku?” 
‘Tak pernah aku memiliki  anak seperti kau.” 
“Bagus. Maha sri ratu kertanegari  takkan mengutuk aku. Lebih 
mudah rasanya berhadapan denganmu sebagai bukan 
bapak,” ia menuding. “Kau sumber sengsara. Kau bukan 
bapakku, aku bukan anakmu.” 
“Kau memang terlalu. Tuan, mpu wungubhumi  sudah marah begitu.” 
“Dia kira mudah membunuh pakanewon  Habbibullah Al-
Masawa,” ejek patih wirabuana . ”Kau hadapi seribu nyi kanjeng blora. 
Kau takkan lepas!” 
“Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak 
sendiri? Dia darah dan daging Tuan sendiri!” 
“Diam!” bentak patih wirabuana  pada istrinya. Dan pada 
mpu wungubhumi , “Setan mana yang membawa kau padaku?” 
patih wirabuana  tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat 
tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang 
hitam sudah  terhtumenggung dijoyo  dan dengan cepat maju-mundur 
membuat  gerak penikaman yang mematikan. 
mpu wungubhumi  berkelit ke samping dan memutar tongkat kayunya 
sambil mendesis cepat: “Nyi kembang , jangan sesali aku kalau 
kuperlakukan suamimu seperti ini.” 
Nyi kembang  menghindarkan diri dari dua Laki-laki , ayah dan 
anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak mencoba melerai: 
“Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk 
kau!” namun  suara yang berseru-seru itu tak keluar dari mulut. 
Tongkat mpu wungubhumi  berputar-putar. Dan tusukan-tusukan 
pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu 
kobra. Baru pada waktu itu orang menyaksikan patih wirabuana  
dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular 
berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan 
berkelit, maju dan mundur dalam kesatuan dengan 
senjatanya. 
Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua 
manusia. 
Nyi kembang  melompat ke atas ambin. Sekarang suaranya 
dapat keluar nyaring. 
‘Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!” 
“Kau membela dan memberanikan dia!” jawab 
patih wirabuana  sambil terus menyerang. 
‘Terkutuk si pembunuh anak!” 
Pisau-tongkat patih wirabuana  terlontar dari tangan, melesit 
ke atas, menemui atap daun kacangtanah , tersangsang dan tak 
turun lagi. 
“Menjijikkan,” dengus Nyi kembang  melihat patih wirabuana  
berdiri tanpa bongkok di hadapan mpu wungubhumi  tanpa bergerak, 
“mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut 
memperoleh  ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri.” 
“Kau tidak membela aku. Kati.” 
mpu wungubhumi  berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di 
hadapan patih wirabuana . Nyi kembang  Kati turun dari ambin dan 
mendekati suaminya, menudingnya: “Dalam penderitaan 
kau kubela. Dalam kehewan an kau kulawan, terkutuk 
kau!” 
mpu wungubhumi  membiarkan dua-duanya sebagai suami-istri. 
“Sebagai istri kau tak patut memusuhi aku.” 
“Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin 
menjijikkan. Panggil semua para bala tentara mu. Tak ada seorang 
pun di antara mereka bisa dan mau menolongnya.” 
“Kau pun akan hancur , Kati.” 
“Aku tahu, namun  tidak tanpa kehormatan seperti kau,” 
bentak mpu wungubhumi  dan melayangkan tongkatnya pada kepala   
patih wirabuana . 
Nyi kembang  menutup mata dengan tangan, memekik: 
‘Terkutuk, kau mpu wungubhumi , pembunuh ayah sendiri!” 
kepala   patih wirabuana  tua itu pecah, tongkat itu patah, dan 
tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan 
mulutnya dan kupingnya keluar darah. 
mpu wungubhumi  menarik tangan Nyi kembang  ke arah pintu. 
“Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri!” 
“nyi kanjeng blora akan aniaya kau!” 
“hewan ! Pergi!” 
mpu wungubhumi  keluar dari gubuk, dan matahari sudah  tenggelam. 
Ia lari entah ke mana. 
Nyi kembang  Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke 
kanan, lalu  pun lari entah ke mana…. 
0odwo0 
 
42. Koma 
Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan 
prajurit kerajaan  kediri  di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk 
dan bedeng-bedeng dari daun kacangtanah  nampak sinar pelita 
suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa 
dan dedaunan kering dari hutan-hutan keliling. 
Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin 
membuat  udara semakin dingin. namun   tak ada seorang 
pun membuat  pendiangan. Semua centeng  diperintahkan 
beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di 
malam hari. 
Istirahat sepanjang itu membuat  mereka jadi gelisah, 
menduga sendiri apa akan diperbuat oleh panembahan senapati ki ageng  
raden panji  gelang-gelang  dalam mengusir nyi kanjeng blora. 
Pada malam itulah mpu wungubhumi  datang ke pesanggrahan. 
Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya, 
lalu  ia turun. 
“Sekarang kau boleh beristirahat, kanjeng sinuhun ,” bisiknya. 
Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang 
bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada 
waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan 
panembahan senapati ki ageng wilareja  sejak dahulu  diperoleh dalam gerakan malam, 
berlindungkan kegelapan.” 
mpu wungubhumi  mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan 
memperoleh kan peratusnya sedang duduk bersama peratus 
lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat 
ditangkapnya. lalu  peratus lain itu pun pergi. 
Ia melaporkan segala yang sudah  dilihatnya di kediri , 
kecuali urusan pribadinya dengan patih wirabuana  dan Nyi 
kembang  Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan 
pekerjaannya baik. 
‘namun  ,” katanya lagi, “kalau keterangan-keteranganmu 
ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak 
pernah masuk ke kediri  Kota… kau tahu sendiri 
ganjarannya.” 
“Barang tentu, peratusku!” 
“Siapa saja yang pernah kau temui di sana?” 
“Nyi kembang  Kati bekas pengurus  keputrian kadipaten, la 
tinggal di gubuk daun kacangtanah  di daerah pelabuhan. 
“Maksudmu di gubuk-gubuk wanita lesbian  gelandangan?” 
“Benar, peratusku!” 
“Tak pernah kau melihat… eh, eh. patih wirabuana ?” 
“Lebih dari melihat, peratusku.” 
“Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi?” 
Dan mpu wungubhumi  dengan rikuh menceritakan segala yang sudah  
terjadi di dalam gubuk Nyi kembang  Kati. 
“mpu wungubhumi !” serunya, “bukankah kau dididik dalam 
sri ratu kertanegari ?” 
“Benar, peratusku.” 
“Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu?” 
“Tahu, peratusku.” 
“Bagaimana bisa kau lakukan….” 
“Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.” 
Peratus itu menatap centeng nya dengan mata tajam. 
Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. lalu  ia pergi 
tanpa bicara lagi. 
Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara 
kediri  beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang 
terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki. 
Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang 
bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api, 
membuat  mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala 
chucky , Rangkum, ki glodog ireng  dan raden panji  gelang-gelang . 
Mereka menyimpulkan: kanjuruhan  jelas bisa diusir dari 
kediri , tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan 
terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran 
malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh 
raden panji  gelang-gelang  dalam sejarah perang di Jawa, akan 
menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran 
tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi 
gada rujakpolo  musuh. 
Masalah yang lalu   muncul : sampai berapa lama 
nyi kanjeng blora dapat menahan serangan? Benteng bawah-tanah 
mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh 
tombak, panah ataupun gada , sedangkan serangan harus 
kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena. 
Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau sinar matahari  
akan memicu  gada rujakpolo -gada rujakpolo nya menggagalkan 
semua usaha. gada rujakpolo  rampasan sudah  tenggelam di laut, tak 
bisa diharapkan. 
Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali 
pukulan yang mematikan. 
Masalah yang lalu   muncul : prajurit kerajaan  pajang bintoro . 
Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik 
dahulu , setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di 
mana-mana. Bila pajang bintoro  tahu apa sedang direncanakan 
kediri , Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang 
pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambil-
alih semua usaha kediri , bahkan menguasainya pula. 
Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan. 
Dan yang diserahi adalah panembahan senapati ki ageng  kediri  raden panji  gelang-gelang . 
Dengan demikian perpertemuan an sambil berdiri 
mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar, 
panembahan senapati ki ageng  masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik 
terakhir?” 
“Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu, 
dengan tambahan, dia sudah  memerlukan menghabisi jiwa 
patih wirabuana  kediri  pakanewon  Ulasawa,” jawab Kala chucky . 
raden panji  gelang-gelang  terdiam. 
“Dia sudah  kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih kediri  itu 
menambahkan. 
“Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.” 
“Baik, panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
‘Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia 
di mana dan cara dia memperoleh kan.” 
mpu wungubhumi  sudah  berusaha dengan berbagai cara dan jalan 
untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil. 
Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya. 
panembahan senapati ki ageng  sendiri tak pernah kelihatan pada umum. 
Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari 
intaian pajang bintoro . 
Di mana saja panembahan senapati ki ageng  berada, orang tak banyak tahu. 
Juga dan apalagi mpu wungubhumi . 
Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang sudah  
diperbuatnya terhadap patih wirabuana  terkutuk itu. Ia merasa 
sudah  berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak 
memperoleh kan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu 
menghapus aib orangtua. Ia sudah  merasa sebagai pahlawan 
keluarga. Musuh segala orang itu sudah  tumpas, oleh 
tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu 
membalas budi? Tak kurang suatu apa? Bahkan ia pun 
abang yang baik untuk adiknya dan centeng  yang baik untuk 
panembahan senapati ki ageng nya? Untuk itu ia sudah  pertaruhkan jiwanya, sega-
la-galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. kediri  pun 
akan bangga memiliki  seorang centeng  seperti dirinya. Siapa 
lagi bisa memusnahkan patih wirabuana  kediri  yang selalu 
dalam kawalan nyi kanjeng blora kalau bukan hanya mpu wungubhumi ? 
Ia sendiri merasa terbebas dari gada wesi auannya. Sekali 
waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan 
memperoleh  pujian dibandingkan nya. ingin segera pulang untuk 
berpanen pujian itu. namun  tak mungkin. Sekiranya panembahan senapati ki ageng  
bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan 
prajurit kerajaan , kembali dalam lingkungan kasih-sayang 
emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. raden panji  gelang-gelang  akan 
malu pada umum memiliki  anak yang melarikan diri dari 
kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan. 
Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas 
yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa 
kegiatan. Panggilan dari panembahan senapati ki ageng  itu tak kunjung datang. Ia 
harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang 
lebih besar. 
Ataukah panembahan senapati ki ageng  sengaja tak mau melihatnya lagi? 
Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia 
mengenal mpu wungubhumi . Dan peratus itu tak juga memberinya tugas 
penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak gada wesi auan ia 
sudah  siap untuk berbuat sesuatu   apa saja untuk menarik 
perhatian panembahan senapati ki ageng . Dan perintah itu datang: memimpin 
tiga ratus centeng  kaki, cari minyak tanah di mana saja, 
dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan 
padanya pribadi: perintah langsung dari panembahan senapati ki ageng  sendiri. 
Waktu: tiga minggu. 
Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu 
sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan sesudah  
menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat. 
Semua bersenjata lengkap. 
Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman 
baru bagi seorang centeng  muda. Dan hanya centeng  
luarbiasa saja ada kemungkinan memperoleh  kehormatan 
seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya dibandingkan  tiga orang 
peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya. 
Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia 
memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke 
kahuripan . panembahan senapati ki ageng  tak dapat ditemui. Baik. Ia akan 
meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi: 
membawa berita pada nyi girah  tentang kedatangan panembahan senapati ki ageng . 
Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat. 
Begitu turun dari kuda ia langsung memperoleh kan 
emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang 
centeng ku sekarang.” 
Dan nyi girah  dan Kumbang mengagumi centeng  sebanyak 
itu, mengagumi mpu wungubhumi , semuda itu sudah  pimpin ratusan 
orang yang lebih tua dibandingkan  dirinya sendiri. 
“Kau memperoleh  kepercayaan besar, mpu wungubhumi .” 
“Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi 
kepercayaan ini?”  
“Mana aku tahu, Nak?” 
“Nanti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada nyi girah  
dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak 
berpendaran berputar-putar kesana-sini.  
Tiba-tiba emaknya memekik: “mpu wungubhumi !” sambil 
menyorongkan badan anaknya. “Tidak mungkin! Tidak 
mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu. 
Aku tak percaya.” 
Gejolak dan rangsang girang dalam dada mpu wungubhumi  berobah 
jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam 
hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang 
tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah 
melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya. 
nyi girah  berdiri tegak seperti patung. Matanya masih 
membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip. 
mpu wungubhumi  kehilangan semangat dan kepribadiannya. 
Lambat-lambat nyi girah  memejamkan mata, menunduk. 
Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak: 
“Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau 
menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada 
anakku bisa berbuat seperti itu!” 
mpu wungubhumi  tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi 
berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa 
lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya, 
merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak 
menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang 
ibu yang benar-benar dicintainya sudah  menolak 
persembahan bakti…. 
“Jadi apa harus kukerjakan, Mak?” 
“Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau 
berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?” 
Katanya dengan suara pedih. 
Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti 
tanpa mengerti duduk-soalnya. 
“Kau merestui keberangkatanku, Mak.” 
“Betul, namun  bukan untuk perbuatan seperti itu. 
Memuakkan, memuakkan.” 
“Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.” 
“Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha 
sri ratu kertanegari  tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan 
sanggup   sekalipun kau bohong!” 
Ada juga keringanannya, pikir mpu wungubhumi . Dan nyi girah  
sekaligus sudah  demikian berobah, bukan emaknya yang 
dahulu , dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa bersabda  dan 
menyambut seperti dahulu . Bahkan Kumbang pun sudah 
nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain, 
lebih berhati-hati. Semua dirasainya sudah  jadi asing. Juga 
dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara 
memohon: “Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah 
restu.” 
“Berangkatlah,” kata nyi girah  seperti pada orang asing. 
“Kau tak merestui aku, Mak?” 
“Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang 
restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. mpu wungubhumi , 
berangkatlah.” 
“Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?” 
Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan 
emak yang dahulu , menjadi wanita yang tidak dikenalnya. 
“Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat 
lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi 
di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu. 
panembahan senapati ki ageng wilareja  raden panji  gelang-gelang  sudah datang di kediri .” 
“Bapak!” seru Kumbang. 
Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati mpu wungubhumi . Ia 
tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya. 
Lambat-lambat wajah nyi girah  kembali seperti semula. 
Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan. 
“Aku tinggalkan tiga orang centeng  untuk mengantarkan 
Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi, 
Mak, sampaikan sembah-sujudku pada panembahan senapati ki ageng wilareja , sebagai 
centeng nya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak 
mengakui aku sebagai anaknya, namun   kata-kata itu tersekat 
beku di dalam jakun. 
Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan 
gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing 
itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi 
memasuki lebih dalam wilayah kahuripan . 
Dari seorang centeng  yang berpengalaman dalam hal 
minyak-tanah ia memperoleh  keterangan, minyak bisa 
diperoleh  di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang 
patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu 
atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu 
biasanya sumber minyak. 
Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya 
pimpinan pencarian padanya. 
“Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya 
minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus 
orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak 
yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? Dan 
penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan patih  
Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula 
penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup 
dengan minyak kacangtanah ? 
Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak 
mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang 
adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan pajang bintoro , dan 
itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan 
mungkin akan terlewati. 
Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera 
terdesak oleh tugasnya sebagai centeng . Kewaspadaan dan 
kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua 
jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan 
musuh. 
Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi 
perbukitan Kendeng mencari sumber minyak…. 
raden panji  gelang-gelang  bersama dengan para pemimpin pasukan 
sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang 
dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa 
orang pengawal bersenjata tombak, gada  dan perisai. 
Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka 
adalah perbukitan rendah yang setengah gundul. 
raden panji  gelang-gelang  berdiri bertolak pinggang dengan pandang 
merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih 
tegap dibandingkan  tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya 
nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis 
kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya. 
Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di 
samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat 
dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu 
seperti sekepal ijuk. 
“Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu 
atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang, 
bahkan diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi 
nyi kanjeng blora datang.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” sela Rangkum, “sudah  kumasukkan dalam 
pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyak-
tanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak 
tahu. Bila ada halangan, pasti sebab  menghindari para bala tentara  
pajang bintoro .” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , nampak ada orang-orang datang dari celah-
celah bukit,” pengawal datang memperingatkan. 
Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan 
seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas 
kuda, menuju ke celah-celah bukit itu. 
“Nampak seperti orang desa biasa,” ki glodog ireng  
berkata, “nampaknya ada juga beberapa orang centeng .” 
“centeng  kediri ,” kata Braja. 
“Seperti centeng ku,” kata Rangkum. “Seorang menuntun 
anak. wanita lesbian  nampaknya. Dan jalan itu jarang 
ditempuh orang.” 
Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di 
balik rumpun telekan, meneruskan pembicaraan. 
panembahan senapati ki ageng  menerangkan tentang kepercaya annya, bahwa 
sekali nyi kanjeng blora dikalahkan di sesuatu tempat, mereka 
takkan kembali untuk membuat perhitungan, mereka akan 
pergi untuk selama-lamanya. Bahwa alat dan cara perang 
mereka memang ampuh tidak menyalahi kenyataan, 
mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang kediri . 
Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih 
mulia, namun  memang lebih unggul sebab  cara kerjanya. 
Mereka juga memiliki  kelemahan: takkan berdaya di malam 
kelam. Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun 
buatan  manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa. 
Ia memerintahkan pada para kepala   pasukan agar semua 
centeng  kediri  memahami itu, dan bahwa lelanangin jagad 
adalah dongengan kanak-kanak semata. 
Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan 
ternyata memang ada beberapa orang centeng  kediri  di 
antaranya. 
Di dekat semak-semak telekan rombongan itu berhenti, 
dan terdengar suara wanita memanggil-manggil: “Kang 
raden gelang-gelang , Kang, aku datang.”  
raden panji  gelang-gelang  kurang mendengar. 
Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan 
masih memegangi kendali dan melaporkan: “panembahan senapati ki ageng wilareja , 
Nyi kembang  nyi girah  datang menghadap.” 
Seluruh pancaindra panembahan senapati ki ageng  seakan berhenti bekerja. 
Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu, 
sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan 
manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan 
kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya 
satu nama: nyi girah . 
Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang 
lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya 
berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan 
ia jadi begitu kikuk.  
“Kang raden gelang-gelang ,” panggil nyi girah  sekali lagi. 
“Bapak!” teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke 
tanah, bersujud  lalu  memeluk kakinya.  
“Kau datang, nyi girah .” 
“Ya, Kang, dan itu anakmu,” nyi girah  menuding pada 
Kumbang dengan pandangnya. 
panembahan senapati ki ageng  mengambil anak itu dari kakinya dan 
mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak 
melemparkannya ke langit.  
“Sudah besar, kau Nak.” 
“Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku 
datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk 
mengantarkan anakmu. Dia berhak melihat bapaknya dan 
bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat 
memuliakan kau dengan sembah yang sempurna.” 
panembahan senapati ki ageng  itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang 
berlutut: “Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang 
tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya.” 
“Ada apa nyi girah ? Mengapa kata-katamu begitu pahit?” 
nyi girah  tak menjawab, dan panembahan senapati ki ageng  membelai rambut 
anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di 
atas sampai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar. 
“Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang? 
Ah-ya, siapa pula namamu?” 
Semua yang mendengar tertawa. 
“Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya,” 
tegur nyi girah .  
“Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi?”  
“Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.” 
“Nandi itu anakmu yang lain lagi, yang ada di jayamahanaya  
sana,” sela nyi girah . 
“Kunamakan siapa kau dahulu ?” tanya panembahan senapati ki ageng . Kembali 
orang pada tertawa dan panembahan senapati ki ageng  menurunkan Kumbang ke 
tanah. 
“Kumbang, Bapak,” si anak membetulkan. “Kami 
tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang mpu wungubhumi  yang 
menjaga kami. Sekarang dia pergi.” 
“Kumbang. Benar, Kumbang,” bisik panembahan senapati ki ageng , “bapak 
sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana mpu wungubhumi  
pergi?”  
“Dengan pasukan, Bapak.” 
raden panji  gelang-gelang  terdiam. Keningnya berkerut. Matanya 
ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal, 
akhirnya pada nyi girah : “Pasukan mana?” 
“Pasukan panembahan senapati ki ageng  raden panji  gelang-gelang ,” jawab istrinya.  
Mata panembahan senapati ki ageng  cepat dialihkan pada para pemimpin 
pasukan, bertanya: “Pasukan siapa berkeliaran di sana?” 
tanyanya tajam. 
“Pasukan dengan tugas khusus,” jawab Braja, “dengan 
perintahmu. panembahan senapati ki ageng wilareja , mencari minyak-tanah.” 
“Dialah yang bilang Bapak sudah kembali,” Kumbang 
menambahkan. nyi girah  merasa perlu untuk menerangkan, 
agar suasana yang mulai mengandung ketegangan 
kepara bala tentara an itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata 
pelahan setengah bisik: “mpu wungubhumi  menggabungkan diri kembali 
pada para bala tentara  kediri  sesudah  nyi kanjeng blora masuk. 
Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. lalu  dia 
datang lagi membawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.” 
“Dia yang membawa?” tanya panembahan senapati ki ageng  membelalak. 
“Dia yang memimpin pasukan?” kembali pandangnya 
berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. “Dewa 
Batara!” sebutnya. 
“Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan 
khusus itu,” sela Braja. 
panembahan senapati ki ageng  memegangi kedua belah bahu istrinya: 
“Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa 
pasukan?”  
“Tak pernah aku ajari dia berbohong,” jawab nyi girah .  
raden panji  gelang-gelang  menoleh pada Braja, bertanya: “Bukankah 
pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari kediri  
Kota, Braja?” 
‘Tepat, panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Ampun, Dewa Batara,” sebut raden panji  gelang-gelang . 
“Apakah panembahan senapati ki ageng wilareja  ingin segera mengetahui orang itu 
mpu wungubhumi  atau bukan?” tanya Braja. 
panembahan senapati ki ageng  tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti 
oleh semua orang. 
“mpu wungubhumi , panembahan senapati ki ageng wilareja , seorang centeng  yang gesit seperti 
elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya 
kelakuan cukup baik,” Braja menyarani. 
“Maafkan kami,” Kala chucky  menambahkan, “bahwa 
tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala   pasukan 
khusus itu mpu wungubhumi ’ 
“Bagaimana keadaanmu, nyi girah ?” tanya panembahan senapati ki ageng . 
“Kumbang,” panggil nyi girah . “Mintalah gendong pada 
bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dahulu . Nak.” 
wah 
 
Kumbang dan nyi girah  belum pulang ke desa. Bersama 
dengan anak-anak dan wanita lesbian  lain mereka ditempatkan 
di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita 
ditugaskan untuk mengempleng tanah liat untuk dibikin 
jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan 
tak dapat berdiri. 
Mereka harus membuat  beberapa ribu buah dalam 
waktu tiga minggu. 
Gendi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas 
jerami, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya. 
Dan pada suatu hari dalam kesibukannya nyi girah  bertanya 
pada anaknya: “Ada bapakmu menengok hari ini?” 
“Belum, Mak. Di sana orang lebih cepat membuat , 
Mak.” 
“Apakah kau kira kita kurang cepat? Kecuali malam saja 
kita bisa beristirahat h, dan sudah lima hari. beristirahat hlah kau, 
Nak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.” 
namun   Kumbang menolak dan kembali ke tempat 
pekerjaan. 
Dari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: “Datang 
lagi, Mak. Mereka datang lagi.” 
Semua orang yang sedang bekerja menengok ke jurusan 
tudingan Kumbang, dan mereka melihat serombongan kecil 
pengangkut lodong bambu muncul di jalanan hutan. 
Mereka adalah rombongan ketiga dalam seminggu yang 
mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman. 
nyi girah  berdiri dan lari menyongsong. namun   ia tak 
dapatkan mpu wungubhumi  di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia 
ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan 
tenang dan mendalam. Dan ia sangat menyesal melayani 
anaknya seperti yang sudah  terjadi. Kurang layak. Ia harus 
tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan 
seperti seorang penuduh. 
“Di mana yang lain-lain?” ia bertanya. 
“Belum bisa pulang, para bala tentara  pajang bintoro  menyergap, kami 
diungsikan lebih dahulu. Mereka masih terus bertempur.” 
nyi girah  berlutut di pinggir jalan memunggungi rombongan 
yang lewat, la berdoa untuk keselamatan mpu wungubhumi . 
“Mengapa Kang mpu wungubhumi , Mak?” 
“Berlututlah, Nak, dan berdoalah untuk 
keselamatannya.” Dan Kumbang pun berlutut, membuat  
sembah dada dengan kepala   menunduk. 
“Nyi kembang ,” seseorang mendekati, “ada apa?” 
“Anakku. Pasukannya disergap pajang bintoro . Anak semuda 
itu.” 
Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka 
berdoa. 
“Nyi kembang , tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. Nyi 
kembang , semua akan selesai pada waktunya.” 
“Mari bekerja lagi,” jawabnya. 
Dan ia bekerja lagi, sekarang lebih keras dibandingkan  yang 
sudah-sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya. 
Anak manja itu. Dan bagaimana ia berani merestui seorang 
yang sudah … tak mungkin. Dia patut menerima 
hukumannya pada umur tuanya. namun  mengapa yang 
melakukan harus anakku? anaknya? Mengapa bukan orang 
lain? Mengapa bukan raden gelang-gelang ? Bahkan Kang raden gelang-gelang  pun 
nampak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak 
ini bila perang selesai? Tak ada seorang pun mau diajaknya 
bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-orangtua 
akan menyingkirinya. Gadis-gadis akan lari dibandingkan nya. 
Bagaimana akan jadinya? Haruskah dia mengembarai dunia 
ini seorang diri sampai matinya? Bahkan emaknya sendiri, 
aku, sudah  kehilangan kepercayaan terhadapnya, tak mampu 
hidup di bawah satu atap dengannya. Dan Kang raden gelang-gelang , 
bagaimana sikapmu? Betapa sulit bisa bertemu denganmu. 
Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu 
Kumbang datang dan menegurnya: “Emak tak bekerja?” 
Ia terbangun, namun   sinar matahari  sudah hampir tenggelam. 
Di kejauhan nampak beberapa dapur pembakaran mulai 
mengepulkan asap tipis ke udara. 
wah 
 
43. kediri  Dibebaskan 
Keterangan tentang nyi kanjeng blora di kediri  Kota sudah  
lengkap di tangan pimpinan prajurit kerajaan  kediri . Sudah jelas 
benteng  bawah tanah musuh berpintu hanya sebuah, 
sedang dinding-dinding berlubang untuk tempat menembak 
dan untuk jalan udara. Di dalamnya tersimpan obat gada rujakpolo  
dan senapan. Satu regu tak henti-hentinya mondar-mandir 
meronda kota siang dan malam Gedung kadipaten 
dipakai  sebagai tempat mengatur patroli, ke sana 
mereka pulang, dan dari sana mereka berangkat. 
Patroli-patroli tak jarang memasuki luar kota dan 
merampasi ternak dan harta-benda. Tak ada perlawanan,  dan mereka dapat berbuat sesukanya. 
Kekuatan nyi kanjeng blora seluruhnya ditaksir 450 orang, 
centeng  berpengalaman perang di mana-mana. Obat  ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng. namun  yang lebih menggentarkan adalah semangat tinggi dan 
berkobar mereka dari suatu bangsa muda yang sedang gairah menaklukkan dunia. 
Dengan diam-diam panembahan senapati ki ageng  menilai mesiu dan daya-ledak tinggi yang jadi sumber keampuhan nyi kanjeng blora itu harus tetap berdaya-ledak tinggi untuk menghancurkan 
nyi kanjeng blora sendiri. Semua rencananya berkisar pada 
memakai  kekuatan yang ada pada lawannya sendiri. 
Sekarang datang waktunya ia hendak membuktikan, 
bahwa juga lelananging jagad dapat dimusnahkan. 
prajurit kerajaan  kediri  akan dicoba keunggulannya. 
Seribu lodong bambu minyak-tanah sudah  dituang ke 
dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-anak. 
Setiap centeng  yang akan maju ke medan perang adalah 
juga pembakar. Pada pinggang mereka bergelantungan 
botol-botol. Laskar pembakar yang khusus dibentuk untuk 
keperluan itu digelantungi dengan delapan, sedang laskar 
penyerang tiga di samping perlengkapan yang biasa. 
Menjelang senja prajurit kerajaan  kediri  yang beribu-ribu 
jumlahnya mulai bergerak. Dan mereka berangkat diam-
diam tanpa sorak-sorai. 
Barisan paling depan yang bergendi delapan sama sekali 
tidak berperisai. Mereka hanya membawa tombak. Beregu-
regu di antaranya tidak bersenjata sama sekali. Mereka 
hanya mengangkuti peluru-peluru cetbang. Dan laskar itu 
berjalan jauh di selatan Kota menuju ke timur. Mereka 
memasuki hutan. Waktu keluar lagi mereka sudah  memikuli 
kayu kering. Keluar dari hutan malam gelap sudah  turun, 
dan dalam lindungannya mereka terus berjalan sampai 
melewati selatan pinggiran tertimur Kota, membelok ke 
kiri, ke kiri lagi memasuki Kota. Mereka memakai  
waktu sebaik-baiknya di kala patroli nyi kanjeng blora sedang 
kembali untuk berganti di gedung kadipaten. 
Dengan gerak cepat mereka tumpuk kayu kering bawaan 
mereka lima ratus depa di sebelah timur kadipaten, 
menyelang-nyelingi bagian atas dengan peluru cetbang dan 
membasahinya dengan minyak-tanah. Tumpukan kayu itu 
menjadi bukit kecil. 
Laskar kedua hanya bersenjatakan panah. Pada pinggang 
mereka juga bergelantungan delapan gendi. Mereka 
berangkat sesudah  yang pertama. Pada waktu barisan 
pertama melakukan penumpukan kayu mereka menyebar 
ke sekitar tumpukan dan di dekat sebelah timur kadipaten. 
Laskar ketiga, yang merupakan laskar terbesar, berangkat 
beberapa waktu lalu , dari barat langsung ke kota 
melalui darat dan laut. Mereka bersenjata tombak dan 
gada  dan perisai. Pinggang mereka digelantungi hanya 
dengan tiga botol. Laskar keempat berjalan menyusuri 
pantai, diperhitungkan akan tiba terakhir. 
Pada waktu yang sudah  ditentukan tumpukan kayu mulai 
terbakar. Api cepat menaik dan menjilat-jilat langit. Tak 
lama lalu  peluru-peluru cetbang berledakan, melesit, 
beterbangan ke udara, memuntahkan bunga api dan 
menerangi bumi. 
centeng -centeng  kanjuruhan  di dalam gedung kadipaten 
keluar. Patroli pengganti berlari-larian ke arah api dan 
ledakan. Mereka disambut dengan hujan anak panah yang 
beterbangan dari atas pepohonan. Sama sekali tak menduga 
adanya pencegatan. Mereka berjasang yang betari durga   seperti jerami di 
babat. Tak ada satu orang pun yang tidak kena. Racun sudah  
merembes ke dalam jantung mereka. 
Lebih banyak lagi para bala tentara  keluar dari kadipaten. 
Pencegatan diajukan lebih dekat lagi ke gedung. Panah 
bersemburan lagi dari atas pepohonan. Sekali lagi para bala tentara -
para bala tentara  nyi kanjeng blora bergelimpangan. Yang selamat melarikan 
diri masuk lagi dalam pengejaran anak-panah. Sebagian 
yang dapat melarikan diri menggelimpang pula sebelum 
memperoleh  perlindungan. 
Ledakan peluru cetbang masih riuh. Lonceng menara 
benteng bawah-tanah dan kadipaten bertalu tak putus-
putusnya. para bala tentara  dari benteng mulai keluar dan berlarian 
dengan bedil dan gada , bersiap untuk mendatangi 
keributan. Aba-aba mereka terdengar bersahut-sahutan 
Semua para bala tentara  di jenggala sudah  ditarik pula ke benteng. Dan 
tak lama lalu  mereka berpecahan dalam regu-regu 
dan menempuh berbagai jalan, bersebaran, berlarian. 
Hujan anak panah bersemburan lagi. kanjuruhan  lalu  
mengetahui adanya pencegatan. Mereka tembaki semua 
tajuk pepohonan. centeng  kediri  mulai berkembang bukan jatuh 
seperti buah nangka, hancur  pada malam itu juga. 
Dari belakang para bala tentara  kanjuruhan  bermunculan pasukan 
tombak kediri . Mereka mulai menyerang tanpa kata an 
tanpa seruan seakan sepasukan para bala tentara  gagu. Tombak-tombak lempar berlayangan, bertancapan tepat pada  sasaran oleh lemparan tangan-tangan yang ahli dan terlatih.  kata -jerit kesakitan memenuhi udara dan merangsang 
pendengaran. Segelombang pasukan kediri  dengan gada   terhtumenggung dijoyo  menyapu lapangan. 
Dari atas benteng peluru musket berhamburan seperti hujan, sedang dan dalam benteng sendiri tembakan-tembakan tiada putus-putusnya. Dan sekarang ganti centeng   kediri  yang berjasang yang betari durga   atau menjatuhkan diri. wah  
mpu wungubhumi  memperoleh  tugas paling berbahaya dari semua  laskar. Petunjuk dan perintah diterimanya langsung dari  ki glodog ireng  sebagai penyelaras seluruh prajurit kerajaan .  Tugasnya ialah melakukan penyerangan dan penghancuran 
benteng bawah-tanah dengan jalan menyusun pantai dan  menyerang dari belakang. 
la merasa, bahwa ia dikirimkan ke medan pertempuran bagian terberat ini untuk tidak dilihat orang lagi dalam  keadaan hidup. Ia merasa sudah  terjadi persekutuan di  antara para pemimpin pasukan untuk menghalaunya dari  muka bumi, sebagai hukuman terhadap peristiwa anak-ayah 
di kediri  Kota. Ia sudah  merasa tak ada seorang pun yang  akan mengampuninya. Tak seorang pun memberikan sokongan batin pada perbuatannya, termasuk panembahan senapati ki ageng  dan 
emaknya sendiri. Dan ia mencoba berdamai dengan  hukuman yang diberikan padanya. Ia harus belajar rela  menerimanya. Sebagai anak panembahan senapati ki ageng  ia masih akan 
tunjukkan dan buktikan pada seluruh kediri , pada 
raden panji  gelang-gelang  dan nyi girah , pada bumi dan langit, ia masih  memilih mati sebagai pahlawan, la akan mati. Orangtuanya harus ada kebanggaan padanya. Mati! Mati! suara itu memanggil-manggil mengatasi  tindasan hukuman batin yang tak mengenal ampun itu, 
yang tak pernah diucapkan kepadanya, hanya disiratkan pada pandang mata dan sikap orang. 
la bawa pasukan dari tiga ratus orang, mengendap-endap dalam bayang-bayang api di balik pepohonan. Tanpa suara  sebagaimana sudah  diperintahkan. Didapatinya daerah pelabuhan sudah hampir tiada  berpenjagaan, menara pelabuhan sudah  kosong. centeng  kediri  sudah  menjolok penjaganya dengan semburan anak 
panah. namun   menara benteng masih terus menggigil dengan taluan lonceng. Beberapa orang para bala tentara  peninjau  sedang melihat ke arah api unggun di kejauhan. Semprotan 
anak panah mengenai dua orang. Yang seorang tetap  memukul lonceng.  Laskar mpu wungubhumi  datang ke benteng waktu para bala tentara -para bala tentara  
di dalamnya sudah  ditarik keluar untuk menadahi serangan umum kediri  di sekitar kadipaten. Penjagaan yang tak  seberapa besar sudah  kena runduk. Beberapa para bala tentara  yang 
tidak menduga akan datang gelombang musuh dari pesisir  tak sempat lagi menembak melarikan diri dan membuang  senjata yang tak dapat dipakai . Dan sebelum mereka 
sempat memakai  gada  tombak lempar sudah  
berlayangan. 
Di kejauhan api semakin menjilat-jilat langit Ledakan 
peluru cetbang makin lama makin berkurang. Tembakan 
kanjuruhan  juga semakin kendor, semakin jauh dan 
bersebaran. Orang dapat menduga lelaninging jagad sudah 
mulai terhalau. 
mpu wungubhumi  terheran-heran: tugasnya ternyata tidak seberat 
yang ia duga. Benteng bawah-tanah itu hampir tak 
dipertahankan lagi. Pada waktu itu ia baru memahami: 
nyi kanjeng blora sudah  terjebak, tertarik keluar dari benteng dan 
sudah  diatur sedemikian rupa sehingga tak dapat kembali 
berlindung ke benteng   jalan-jalan sudah  digunting dengan 
pencegatan. 
Ia masuki benteng dengan gada  terhtumenggung dijoyo , diikuti oleh 
laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk 
juga turun ke medan pertempuran. Gendi-gendi minyak 
dilemparkan pada mereka. Dihujani gendi mereka gugup 
dalam membela diri, tak sempat menyiapkan musket dan 
menghtumenggung dijoyo  gada . Baja beradu baja. Gerak tangan dan 
kaki sudah  menyempitkan ruangan. Orang-orang kanjuruhan  
yang sedikit itu terdesak terus oleh tombak dan gada  dari 
musuhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka 
disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlompatan ke 
atas peti-peti mesiu. Hujan gendi membuat  mereka jadi 
basah kuyup. 
Minyak membasahi semua yang ada, bahkan sudah  mulai 
mengalir di lantai. 
“Keluar!” kata  mpu wungubhumi . 
Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga 
dilemparkan ke dalam. Tombak berapi melayang memasuki 
benteng. Benda-benda dari kayu mulai dirambati api, makin 
lama makin lebar, makin tinggi, seluruh lantai mulai 
menyala. 
mpu wungubhumi  membawa pasukannya lari dari daerah benteng, 
memasuki sebuah bangunan baru. Ia lihat seorang berjubah 
putih sedang berlutut di depan sebuah patung kayu. 
Sebelum ia dapat memastikan rumahyang dimasukinya dan 
patung apa yang dilututinya, ia menduga orang itu tentu 
patih wirabuana  kediri  angkatan nyi kanjeng blora, botol-botol minyak 
sudah  berlayangan membasahi jubah putihnya. Orang itu 
tetap tidak bergerak dari sikapnya. Seseorang sudah  lari 
menghampiri, menyambarkan gada  pada tubuhnya. 
mpu wungubhumi  memerintahkan keluar. Bangunan baru pun 
menjadi unggunan api, tinggi menjilat-jilat langit. 
Di tengah-tengah kota prajurit kerajaan  kediri  menguasai 
seluruh medan. Kadipaten mulai diserbu oleh gelombang 
besar centeng . Gendi-gendi beterbangan dan membasahi 
segala yang dikenalnya. 
Orang-orang kanjuruhan  yang berhasil meloloskan diri lari 
tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana 
saja asal selamat. 
Di atas setumpuk tanah yang ketinggian berdiri wanita 
dan kanak-kanak memandangi api yang menjilat-jilat di 
kejauhan, di kediri  Kota. Mereka melihat unggun yang 
hanya sebuah, lalu  menjadi dua, tiga, empat. Letusan 
dan ledakan diikuti semburat bunga-api ke udara 
memicu  mereka membisu terpukau. Tak seorang pun 
di antara mereka membuka suara. Mereka tahu maut 
sedang berjingkrak berpanen nyawa di kediri  Kota. Setiap 
di antara mereka tak menghendaki orang-orang tercinta dan 
tersayang tumpas terpaneni oleh sang maut. 
Di antara mereka terdapat nyi girah . Ia berdiri memegangi 
bahu Kumbang. Langit menjadi merah dan warnanya 
melembayung pada wajah. Letusan dan ledakan makin 
lama makin berkurang. 
nyi girah  menekan bahu anaknya, menyuruhnya berlutut. 
“Memohon, Nak, pada sang Hyang betari durga  , selamatlah 
hendaknya bapak dan abangmu,” bisiknya. 
“Mak, aku sudah memohon sejak mereka berangkat,” 
bisik kembali Kumbang. 
Ia cium anaknya dan berbisik lebih ditujukan pada diri 
sendiri: “Kau masih memerlukan  bapak dan abang. Nak.”  
“Tak lama lagi aku pun akan besar, Mak.” 
‘Tentu, tak lama lagi. namun  besar saja belum cukup. Kau 
memerlukan  bapak seperti bapakmu. Aku sendiri tak tahu 
dunia, Nak.” 
lalu  terdengar ledakan paling dahsyat di kediri  
Kota sana. Di atas ledakan itu segala macam berwarna 
merah menyala terangkat naik ke udara, mengembangkan 
bunga-api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari 
letusan gunung berapi. Sesudah  itu sunyi-senyap. 
Kebakaran di kejauhan makin lama makin surut, 
lalu  tak kelihatan lagi, tertutup oleh puncak hutan. 
Tak ada di antara mereka melihat, bahwa dengan pelan-
pelan, tanpa bunyi, di samping mereka, jauh di atas tajuk 
pepohonan hutan, bulan tua sedang memperlihatkan diri. 
Semua orang berlutut dan menekur dengan mata 
tertutup. 
“Memohon, Nak, memohon, untuk bapak dan 
abangmu.” 
nyi girah  memohon lagi. namun  , bila doanya 
dipanjatkannya untuk keselamatan mpu wungubhumi , dia macat. Ada 
suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia 
hentikan usahanya. Pikirannya bergumul kacau, mengapa 
hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. Dan mengunci 
kegagalannya ia berkata pada Kumbang: “Ledakan terakhir 
berarti perang selesai, Nak. Hanya kememiliki an nyi kanjeng blora bisa 
meledak menandingi petir dewa. Bapak dan abangmu 
selamat.” 
namun   Kumbang sudah  tersedat ke alam mimpi. 
kepala  nya sudah  rebah pada pangkuan emaknya. 
Ia berdiri sambil mengangkat bangun Kumbang. Dan 
orang-orang lain mengikuti contohnya   berdiri juga. 
Bersama-sama mereka berjalan pulang ke bedeng 
perumahan. 
“Dia belum lagi bertemu dengan bapaknya,” gumam 
nyi girah . 
“Abangmu.” 
“Sekarang ke mana, Mak?” 
“Pulang. beristirahat h. Menunggu bapakmu.” 
“Tinggal di kota lagi, Mak?” 
“Tidak. Mak tak pernah suka di sana. Kau suka?” 
Kumbang sudah tak dengar. Dalam berjalan ia 
melayang-layang dalam alam impian. Ia sudah  berusaha 
untuk tetap jaga, namun  kelelahan dan kantuk sudah tak dapat 
ditawarnya. Dalam sekejap dari usahanya ia masih sempat 
bertanya: “Bapak akan tinggal di desa lagi, Mak?” 
“Mana emak tahu? Tanyalah nanti padanya sendiri.” 
Kumbang tersedot sepenuhnya dalam alam mimpi. Dan 
kakinya tetap bergerak terpimpin oleh tangan emaknya. 
Seakan nyi girah  mendengar suara anaknya masih bertanya 
dengan suara sangat, sangat pelan: “Mengapa tak suka 
tinggal di kota?” 
“Mengapa?” jawab nyi girah . “Emak lebih suka jadi orang 
biasa, orang desa biasa, tak menghendaki sesuatu yang 
berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti 
yang lain-lain.” Ia bicara terus, pelahan, sambil berbisik, tak 
menyedari ia sedang bicara dengan diri sendiri. “Menari, 
menyanyi dan menangis bersamaan dengan yang lain-lain. 
Bersuka dan berduka seperti dan dengan yang lain-lain. Tak 
pernah aku bermimpi kan kekayaan dan kekuasaan. Sejak 
ada dua-duanya, bapakmu menjadi jauh dari Emak, dan 
Emak jadi jauh dari dia, bukan hanya tempatnya, juga 
hatinya. Apakah arti kasih-sayang yang terpisahkan oleh 
dua-duanya? Mana ada manusia suka dengan pecahan dan 
gumpilan kasih-sayang?” 
Sudah tak keluar bisikan kata dari mulut nyi girah . Suara itu 
bergema-gema hanya dalam hati sendiri: “Perang, 
kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan 
dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalamnya.” 
Wanita dan kanak-kanak itu masuk ke dalam bedeng 
pembikin gerabah. 
Pembakaran baru sudah tiada. Beberapa hari yang lalu 
apinya sudah padam. 
nyi girah  menaikkan Kumbang ke ambin. Ditutupnya pintu. 
Ia pun rebahkan diri di samping anaknya, di samping 
wanita dan kanak-kanak yang lain. 
“Menangkah kita?” wanita di sampingnya bertanya. 
“Menang,” jawab nyi girah . 
“Bagaimana Nyi kembang  bisa tahu?” 
“Kalau orang kalah di negerinya sendiri, apa lagikah 
yang bisa diharapkan?” 
Sunyi-senyap di perumahan pembikin gerabah itu. 
sinar matahari  baru saja terbit. Pasukan kuda di bawah pimpinan 
ki glodog ireng  sudah  memenuhi jalanan kota. Mayat-
mayat bergelimpangan di mana-mana, kanjuruhan  dan kediri . 
Dan mereka sama sekali tak menemukan musuh yang 
masih hidup. 
gada rujakpolo -gada rujakpolo  tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di 
lapangan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa 
dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masing-
masing, moncong sedikit mendongak. 
Orang memerlukan turun dari kuda untuk melihat-lihat 
dan merabanya. Dingin, tak berdaya, mati. Lebih dingin 
dibandingkan  mayat yang bergelimpangan di dekat-dekatnya. 
Dan jari-jari peraba meninggalkan bekas pada embun. 
Peluru besi, bulat-bulat sebesar kepala  n, bertebaran seperti 
batu hitam di tepi kali. Sungguh tak masuk di akal benda-
benda seperti itu sudah banyak menenggelamkan kapal, 
menghancurkan dan merobohkan rumah, dan menjadi 
sendi kekuasaan dan kekuatan nyi kanjeng blora. 
Seorang penunggang kuda berkendara tenang-tenang di 
antara rerunsang yang betari durga   rumah diiringkan oleh satu regu centeng  
berkuda yang bersiaga dengan tombak. Antara sebentar ia 
berhenti, menebarkan pandang ke mana-mana, bicara pada 
pengawalnya yang terdekat sambil menuding-nuding. Ia 
berdaster dengan ikatan longgar. Rambutnya jatuh berurai 
di atas punggung. Mukanya mesum oleh kumis dan jenggot 
yang tak terpelihara. Selembar kain batik melingkari leher 
dan kedua ujungnya jatuh di punggung pula. Bila berpacu 
baik ujung-ujung batik mau pun rambutnya berkibar-kibar 
seperti bendera. 
Sebagaimana halnya dengan para pengiringnya ia pun 
menyandang gada  pada pinggang. Berbeda dari yang 
lain-lain, sebilah gada wesi  terselit melintang di bawah dada. 
Hulu gada wesi  itu dari mas berukiran gambar kupu-tarung. Juga 
sarung gada wesi nya terbuat dibandingkan  mas. Itulah panembahan senapati ki ageng  
kediri  raden panji  gelang-gelang . 
lalu  panembahan senapati ki ageng  berpacu berpacu ke pelabuhan. Ia 
periksa bekas benteng bawah-tanah, kini jadi lubang besar 
panjang, dengan kepulan asap di sana-sini. Di sekitarnya 
bergelimpangan mayat centeng  kediri  di antara sejumlah 
kanjuruhan . 
jenggala sudah  jadi tumpukan arang, dengan asap yang 
masih berkepulan. 
“Dengar semua kalian!” katanya pada para pengiring. 
“Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk 
sepanjang masa kediri  akan bebas dari nyi kanjeng blora. Itulah 
berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada 
hari ini aku nyatakan musuh sudah  kalah dan kita menang.” 
Satu-dua tembakan masih terdengar sayup-sayup di 
kejauhan. 
‘Tembakan itu sebentar lagi akan padam sama sekali. 
Kalian lihat: Tak ada kapal mereka nampak berlabuh. 
Masih ada di antara mereka yang sempat lari meninggalkan 
yang lain-lain dalam cengkebetari n maut. Ingat-ingat ini: 
juga lelananging jagad ini kenal takut dan dapat digebah 
punah dalam semalam.” 
“Kami akan selalu mengingat-ingat. panembahan senapati ki ageng wilareja ,” 
seorang pengiring berjanji. 
“Dan sampaikan pada anak-anakmu, pada teman-
temanmu, bahkan juga pada musuh-musuhmu.” 
“Kami akan lakukan. panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“namun  kalian jangan sampai lupa, kemenangan di kediri  
sangat kecil, belum berarti.” 
“Kita sudah menang. panembahan senapati ki ageng wilareja , kemenangan gilang-
gemilang tiada tara.” 
“Kau keliru. Kalian belum berhak bergirang-girang, 
dengarkan aku baik-baik: selama nyi kanjeng blora belum terusir 
dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari jayamahanaya  dan 
blora, urat-nadi kehidupan kediri , Jawa dan seluruh 
Nusantara, tetap berada dalam kekuasaan mereka.” 
“Kami akan selalu mengingat-ingat. panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Dan selama mereka masih menguasai panarukan , 
kemakmuran takkan lagi menyinggahi kediri .”  
“panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
‘Terserah pada kalian. Adakah kediri  akan bangkit 
kembali atau tidak. Bila ya, perang masih panjang, 
pengusiran atas nyi kanjeng blora dari seluruh Nusantara dan 
Semenanjung. 
“pajang bintoro  tetap mengancam. panembahan senapati ki ageng wilareja .’* 
“Melawan pajang bintoro  lain lagi. Itu perang melawan 
kebodohan.” 
“Kami belum mengerti. panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Musuh pajang bintoro  sebetulnya  nyi kanjeng blora. Trenggono 
mencari kebesaran dengan mencari musuh yang 
dianggapnya tidak kuat. Dengan begitu ia bisa bebas lari 
dari musuhnya yang utama: nyi kanjeng blora.” 
“Bukankah pajang bintoro  sudah  mengusir mereka dari Sunda 
kacangtanah , panembahan senapati ki ageng wilareja ?” pengawal terdekat bertanya. 
“Siapa saja dapat mengusir nyi kanjeng blora kalau jumlahnya 
hanya beberapa gelintir, habis ditimpa bencana laut pula. 
ayolah , jalan!” 
Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, lalu  
membelok ke timur dan berpacu mendekati arah datang 
suara tembakan satu-satu. Sampai di suatu tempat bunyi 
tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka 
berpapasan dengan centeng -centeng  kediri  yang berjalan 
dalam bondongan sedang kembali ke pusat Kota. Mereka 
mengangkat tombak masing-masing, bersorak-sorak 
menyambut panembahan senapati ki ageng . Wajah mereka berseri-seri gembira 
penuh kepercayaan pada pemimpinnya. 
Mereka meneruskan perjalanan masing-masing. centeng -
centeng  yang pulang itu sudah tak nampak lagi. Hanya 
sorak-sorai kemenangannya masih saja terdengar. 
raden panji  gelang-gelang  berhenti melihat ke suatu jurusan. Di 
kejauhan ia melihat seorang centeng  nyi kanjeng blora sedang 
berlutut menghadap pada sebatang pohon kayu, barangkali 
sedang bersembahyang. Dua belah tangannya terangkat di 
tentang dada. 
la jalankan kudanya dan mendekatinya peiahan-lahan. 
Mengetahui ada seorang musuh, para pengiring memacu 
kuda, mengepung para bala tentara  itu. Tombak-tombak pun teracu 
siap untuk dijojohkan. 
“jangan ganggu dia!” kata  panembahan senapati ki ageng  menegah. 
Orang pun menarik tombaknya kembali namun   tetap 
mengepungnya. Dan raden panji  gelang-gelang  berpacu menghampiri. 
“jangan ganggu. Lihat baik-baik. Dia lagi 
bersembahyang pada dewanya. Tarik kembali semua 
tombak. Ingat-ingat kalian, centeng  kediri , jangan sampai 
kalian meletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan 
bisa melawan dan tak mampu melawan-Barangsiapa sedang 
bersembahyang, dia tidak menghadapi manusia. 
Menyingkir kalian dari dia.” 
Orang pun menyingkir. Dari belakangnya seseorang 
membantah: dan panembahan senapati ki ageng  menoleh, berkata: “Dia musuh 
sewaktu memusuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan 
tenaga untuk bermusuhan, samalah keadaannya dengan 
bayi atau istri yang sedang menyusui.” 
“Kalau lalu  dia memusuhi lagi, panembahan senapati ki ageng wilareja ?”  
“Kembali kau harus memeranginya.” “Lebih baik 
dibunuh sekalian, panembahan senapati ki ageng wilareja .”  
“Kalau begitu kau bukan centeng , namun  pembunuh,” ia 
menengok ke kiri dan kanan. “Itu tak boleh terjadi. Maka 
kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu 
tegak dan tetap perwira.” 
Orang nyi kanjeng blora itu sudah  selesai bersembahyang. Dengan 
kudanya raden panji  gelang-gelang  makin mendekati. Orang itu pucat. 
Mukanya penuh dengan jenggot, kumis dan cambang. Ia 
tidak berdiri dan tak nampak bermaksud untuk beranjak 
dari tempatnya. Ditengadahkan wajahnya yang pucat itu 
pada panembahan senapati ki ageng . 
“Mengerti jawadwipa ?” tanya raden panji  gelang-gelang . 
Sekarang orang kanjuruhan  itu mencoba bangun, namun  jatuh 
berlutut kembali. Dan orang melihat darah pada kaki dan 
pahanya. “Sedikit, ya. Tuan.” 
“Mengapa kau tak selamatkan jiwamu?” 
“Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari. 
sudah  kuserahkan semua pada sang yang betari durga  ,” jawabnya sambil 
membuat cakra. 
“Bawa dia. Peliharakan dia sampai baik,” panembahan senapati ki ageng  
memerintahkan. “Tak ada orang boleh ganggu atau sakiti 
dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan 
makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.” 
Orang kanjuruhan  itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal 
untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping 
melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah 
tangan ke arah langit, mengucapkan syukur, dan sekali lagi 
membuat  gerakan cakra. lalu  dengan suara lemah: 
“Semoga kebaikan Tuan akan terbalas.” 
“Semoga Dewa Batara melindungi kau, nyi kanjeng blora. Siapa 
namamu selengkapnya?” 
“Sylyester da Costa, Tuan.” 
“Kosta!” panembahan senapati ki ageng  mengulangi dan kanjuruhan  itu 
mengangguk. Sesudah  mengangkat tangan memberi restu 
panembahan senapati ki ageng  menarik kendali. hewan  itu menengok dan 
berjalan berputar lalu  meninggalkan Da Costa yang 
terluka. Sebagian pengiring tertinggal untuk menjalankan 
perintahnya. 
Sylyester da Costa ditolong naik ke atas kuda. Seseorang 
menuntun hewan  itu. Yang lain-lain tetap di atas kuda 
masing-masing. Dan mereka berjalan diam-diam penuh 
pikiran, mencoba memahami maksud dan ucapan panembahan senapati ki ageng . 
Waktu iring-iringan itu sampai di jalan raya negeri, baru 
terdengar seseorang bicara: “Mungkinkah kiranya Sang 
panembahan senapati ki ageng  marak jadi raja?” 
“Dengan dia kita selalu menang. Coba, menang 
melawan nyi kanjeng blora!” 
“Bisakah seorang anak desa jadi raja?” 
“Mengapa tidak? Raja-raja besar pun keturunan orang 
desa semata.” 
“Sedang pada musuh yang tak berdaya dia begitu 
pengasih dan penyayang, apa pun pada bawahan  sendiri bila 
marak.” 
“Mungkin ada rencana baru terhadap pajang bintoro .” 
“Uh, apakah kita masih akan berperang terus-menerus 
begini? Bisa habis kita ini bakalnya.” 
“Bukankah kita harus mengingat-ingat selalu? 
Semenanjung, Selat, blora, jayamahanaya  dan panarukan , seluruh 
Nusantara? Selama nyi kanjeng blora masih berkuasa….” 
“Dan pajang bintoro  tetap mengintai.” 
“Hei, Kosta, mengapa kalian tak mau pergi dari 
Semenanjung?” seseorang bertanya dalam jawadwipa . 
“Apakah aku ini? Hanya orang kecil tak menentu,” 
jawab Sylyester da Costa dalam jawadwipa  pula. 
“Semua orang kecil. Hanya satu-dua orang besar. namun  
yang besar kecil juga dahulu -dahulu nya.” 
“Kalau aku yang orang besar,” Da Casta meneruskan. 
“Kau caplok semua pulau Jawa ini.” 
“Dan jadi kedodoran sepanjang jaman,” orang lain 
menambahi. 
Iring-iringan berjalan terus dan kembali tenggelam dalam 
kediaman. 
Di kejauhan, di pusat Kota, kedengaran orang bersorak-
sorai, berderai-derai, dan mengresi h seakan hendak 
meruntuhkan langit. Waktu iring-iringan mulai menginjak 
daerah Kota, mereka dapati mayat-mayat sudah  
tersingkirkan. Seluruh prajurit kerajaan  kediri  berkumpul di 
alun-alun, di depan puing kadipaten dan bersorak-sorak 
gembira. 
Mereka menyambut pernyataan panembahan senapati ki ageng : kanjuruhan  sudah  
ditumpas dari bumi kediri ; prajurit kerajaan  kediri  keluar 
sebagai pemenang. Walau demikian kesulitan masih tetap 
banyak: Selat, Semenanjung, blora, jayamahanaya  dan panarukan , 
dan… pajang bintoro . 
Sorak-sorai padam seketika dalam renungan umum. Ya, 
dalam renungan umum semata-mata…. 
wah 
 
44. Arus Balik 
Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan 
panembahan senapati ki ageng  berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka: 
panembahan senapati ki ageng  dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung 
menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masing-
masing, duduk menghadap panembahan senapati ki ageng . 
Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan 
dipayungi oleh pokok laban. 
Beberapa saat lamanya mereka semua menunduk diam-
diam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan 
kecerahan alam membuat  suasana menjadi syahdu. 
“Aku bawa kalian ke mari,” Sang panembahan senapati ki ageng  memulai, 
“sebab  ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita sudah  
kalahkan nyi kanjeng blora dengan penyerangan cepat dan 
mendadak. Kalian harus ketahui watak musuh yang sangat 
berbahaya ini: mereka hendak menguasai urat nadi 
kehidupan   kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri, 
dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan: 
mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan 
datang lagi ke kediri , bukan saja sebab  sudah  dikalahkan di 
sini, juga sebab  nadi-kehidupan sudah  dialihkan dari kediri  
ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.” 
“Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering 
kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama 
nyi kanjeng blora menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang 
menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang 
gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya. 
panembahan senapati ki ageng  mengangkat telunjuk memberi peringatan: 
“Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah, 
makin gelap pojokan kita. Apabila mereka tak dihalau dari 
tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan 
dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara 
sudah dapat ditentukan   ambruk entah sampai berapa 
keturunan.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” ki glodog ireng  angkat bicara sesudah  
beberapa saat panembahan senapati ki ageng  berdiam diri sambil mengunyah 
sirih. “Bagaimana menghalau mereka?” 
“Tunggu,” tegah raden panji  gelang-gelang , “biar aku ceritai kalian. 
Dahulu, di jaman kejayaan kerajaan jenggala , arus bergerak dari 
selatan ke utara, dari Nusantara ke negeri dongeng . kerajaan jenggala  
adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa 
beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, 
manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya   semua, 
itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari 
selatan. kerajaan jenggala  jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi 
membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil 
seperti kerajaannya. sebab , ya, kapal besar hanya bisa 
dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil 
memicu  arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari 
utara sekarang ke selatan, sebab  negeri dongeng  lebih unggul, 
membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, 
penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita 
akan semakin kecil untuk lalu  tidak memiliki sama 
sekali.” 
“Tidak mungkin. panembahan senapati ki ageng wilareja !” bantah Kala chucky . 
‘Tidak mungkin   asal kalian menguasai jalan laut lagi. 
Selama mereka yang menguasai, mereka takkan 
menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama 
sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita 
sendiri di pesisir dan gunung. 
“Aku sudah  ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari 
utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seorang yang bukan 
hanya menyedari ini, bahkan membendungnya. Bukan 
hanya membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah 
baginda tuanku raja  Kanjeng adiputro  tumenggung dijoyo . Mulialah beliau sepanjang 
jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan 
kesatria raja , seorang pamong desa  yang akan dihormati sampai akhir 
jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya 
berbentuk kupu-tarung.” 
“Mengapa kupu-tarung? Dua ekor kupu bertarung adalah 
lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih 
yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, 
memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari 
kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadapan sang 
matahari , sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, 
sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari 
ulat yang hina-dina. 
“Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak 
perlu kalah sebab  lawannya juga tidak kuat. Kalian sudah  
dapat halau nyi kanjeng blora dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih 
banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka, 
dibandingkan  menang atas nyi kanjeng blora itu sendiri. Kita belum 
mengalahkannya sama sekali dari jalan laut. 
“Jangan sela aku. Biar dapat kuteruskan dengan tenang. 
“Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah 
sebab  kupu nyi kanjeng blora, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah 
sebab  kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan 
persoalannya. Dia hindari nyi kanjeng blora, arus utara itu, dengan 
berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan itu justru 
seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara 
akan tenggelam. matahari  akan segan memberkahi dengan 
sinarnya yang menghidupi.” 
“Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap pajang bintoro ?” 
ki glodog ireng  bertanya. 
“Itulah teka-teki buah si jayamahanaya ma, dimakan ibu mati, 
tidak dimakan bapak mati,” jawab raden panji  gelang-gelang  sedih. 
“Kalian hadapi pajang bintoro , kalian menjadi lemah di hadapan 
nyi kanjeng blora, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan 
jadi lemah juga di hadapan nyi kanjeng blora” 
“Memang persoalannya tak lain dari menghadapi 
nyi kanjeng blora,” ki glodog ireng  membetulkan pertanyaannya. 
“Bagaimana harus menghadapi nyi kanjeng blora, panembahan senapati ki ageng ?” 
sekarang Kala chucky  bertanya. 
“kerajaan jenggala  sudah  memberikan jawaban pada kalian: 
kesatuan Nusantara. Singosari sudah  memberikan jawaban: 
kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari sudah  memberikan 
jawaban terhadap ancaman paduka raja  dari utara dahulu : kesatuan 
Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha 
penyatuan itu? Memang pernah dahulu  ada seorang Gajah 
Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda 
Kartanegara dari Singosari dan Raden Wirang dari 
kerajaan jenggala …” 
“Engkaulah Gajah Mada!” Kala chucky  berseru. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , kaulah Gajah Mada!” Braja memperkuat 
“Kami semua sependapat!” Rangkum menambahi. 
“Tidak bisa lain,” bisik ki glodog ireng  seperti doa. 
Sang panembahan senapati ki ageng  menunduk. Orang melihat gelombang 
dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam. 
Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara 
syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar. 
“Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian 
wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan 
yang kuat, dan kerajaan itu memiliki cita-cita. Kerajaan 
yang kuat sekarang adalah pajang bintoro , memiliki prajurit kerajaan  
dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa 
menaklukkan jenggala -jenggala , dia pun memiliki  cita-cita, hanya 
untuk tidak berhadapan dengan nyi kanjeng blora sendiri. Tanpa 
raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang 
Gajah Mada.” 
“Sesudah  Trenggono melancarkan gerakannya yang 
dungu, tak seorang pun raja di Nusantara menaruh 
kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa 
dibina   sebab  jaman kita ini memerlukan kekuatan 
gabungan sebagaimana dicita-citakan baginda tuanku raja  Kanjeng 
adiputro  tumenggung dijoyo . Mulialah nama beliau sepanjang jaman.” 
“Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada suryabuaya  -
pajang bintoro ? Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang sudah  
bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada 
megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan 
Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak 
akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung 
kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara sudah  ditentukan.” 
“Kaulah Gajah Mada!” ulang Kala chucky . 
‘Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama raden gelang-gelang -
tahu takkan mampu membendung perkembangan 
kemerosotan ini. Pengalaman jayamahanaya  yang terakhir adalah 
bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup 
bagaimana satu prajurit kerajaan  sudah  jadi rusak dan merosot 
sebab  kehilangan pegangan.” 
Ia mengangkat kepala   dan memandangi Kala chucky : 
“Kau, Kala chucky , kau yang tertua di antara semua kepala   
pasukan, lepaskan destarmu dan mpu wungubhumi  di hadapan kita.” 
Kala chucky  terheran-heran dan memandangi panembahan senapati ki ageng  
dengan mata bertanya-tanya. 
“Tidak, bukan untuk mengurangi kehormatanmu.” 
Dengan ragu Sang Patih melepas destar, mengmpu wungubhumi nya 
di hadapan raden panji  gelang-gelang  dan merapikan ujung-ujungnya 
yang keriput. 
“Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang 
Wirabumi,” tegur raden panji  gelang-gelang . “Lebih banyak lagi yang 
bakal dikata  dari dirimu.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Nah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai 
sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, 
sebab  aku takkan mengulangi lagi.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” kata  Rangkum. 
“Dengarkan!” perintah panembahan senapati ki ageng . ‘sudah  aku baktikan 
masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun 
hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari 
utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. 
Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan kanjeng sinuhun  
pajang bintoro  itu tidak bisa dipercaya kan untuk memakai nya. 
Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. 
Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk 
menyedarkan raja dan kanjeng sinuhun  sehingga jadi gelombang 
raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dan utara, 
bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga 
kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada, 
anak desa itu sudah  berhasil. Ia gerakkan tangannya dan 
semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang 
disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, 
meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-
imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan 
Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran 
kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri 
dan terhadap diri sendiri. 
“Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat 
menkembang pankan pendapatnya pada paduka raja , sudah  lewat. Kita 
tak pernah lagi memiliki  paduka raja  selama ini. Raja-raja semakin 
jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi. 
“Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus 
utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah 
orang yang paling menderita sebab  kesedaran ini. Jaman 
bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu 
sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua 
kuserahkan pada kalian.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” ki glodog ireng  menyela. 
“Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar 
itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan 
para kanjeng sinuhun . Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan 
semua kuserahkan pada kalian. Sesudah  ini kalian harus atur 
dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, sebab  
matahari  enggan memancarkan rahmatnya pada yang 
berdukacita.” 
raden panji  gelang-gelang  melepas bungkusan di punggung dan 
meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi 
bungkusan itu. 
“Lihatlah ini,” katanya lagi dan membuka bungkusan, 
dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala 
chucky , “cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, 
semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang 
sebab  keteledoran pembawanya. Nah, ini gelang,” 
lalu  panembahan senapati ki ageng  menarik gada wesi  dari pinggang, “dan ini 
gada wesi  bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula. 
Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja 
baik-baik.” 
Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan. 
“Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian   
peninggalan baginda tuanku raja  Kanjeng adiputro  tumenggung dijoyo , melalui baginda tuanku raja  
Ratu Aisah, melalui Pada alias mpu  jayamuseswa , 
melalui aku, raden panji  gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng  kediri …. 
“Nah, kalian, empat orang, masing-masing pegangi 
sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu 
menggelantung di tengah destar.” 
“Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di 
antara kalian,” ia pandangi para pemimpin pasukan itu 
seorang demi seorang “dapat memahami kata-kataku, 
memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus 
balik dan pesan baginda tuanku raja  Kanjeng tumenggung dijoyo , ambillah dan 
memakai lah semua peninggalan itu. Tegakkan kediri , 
usahakan mengusir nyi kanjeng blora dari jalan laut, blora, Selat, 
Semenanjung, jayamahanaya  dan panarukan . Lepaskan arus selatan 
ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman. 
“Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan 
raden panji  gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng  kalian. raden panji  gelang-gelang  sekarang 
sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani 
bernama raden gelang-gelang . Tinggsang hyang Widhi  kalian dalam kerukunan, 
sebab  perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. 
Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila nyi kanjeng blora 
datang lagi, raden panji  gelang-gelang  akan datang untuk memusnahkannya.” 
panembahan senapati ki ageng  itu berdiri. Ia tinggalkan kepala  -kepala   pasukan 
yang masing-masing memegangi ujung destar Kala chucky . Ia melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu  melangkah pelan-pelan menuruni bukit, lalu  berpacu  ke selatan. 
Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain 
berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang  dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di  sebidang padang rumput tak seberapa luas pengejar itu  berseru-seru. 
raden gelang-gelang  menghentikan kuda dan menengok. Dilihatnya  seorang centeng  kediri  berkuda datang menghampiri.  Seluruh badannya sudah  bersalut debu.  centeng  itu melompat turun, berjalan berjongkok dengan  cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda 
panembahan senapati ki ageng . Suaranya gemetar dan meletup-letup jadi kata an  tak terkendali: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! Bapak! Tiadakah aku patut lagi  bersujud padamu dan mencium kakimu?”  
“Siapa kau?”  
“mpu wungubhumi , Bapak, anakmu.” 
“Kuterima sujud dan sembahmu dari atas kuda ini, 
mpu wungubhumi .”  
“panembahan senapati ki ageng wilareja , Bapakku, adakah aku,” ia terhisak-hisak.  
“Aku, aku, aku masih patut jadi…,” hisakannya semakin 
keras, “jadi, jadi, jadi anakmu?” 
“Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat  padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang  tidak mendatangkan kutukan dari Maha sri ratu kertanegari ,” jawab 
panembahan senapati ki ageng  dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke selatan. 
“Tidak patutkah aku memperoleh  kata lebih banyak lagi,  panembahan senapati ki ageng wilareja ? Bapakku?” kembali ia terhisak dengan 
punggung terangguk-angguk ke atas. 
“Segala yang sudah  kulakukan selama ini sudah bersuara dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah  tahu dan mengerti.”  
“Ya, Bapak.” 
“Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu. Patuhlah pada suara dan gaung hatimu. raden panji  gelang-gelang   bukan panembahan senapati ki ageng , dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di 
desa, sesudah  segala yang kau citakan tercapai” 
mpu wungubhumi  berdiri membungkuk, melepas sembah, memeluk kaki kiri penunggang kuda itu dan menciumnya.  Beberapa bentar lalu  raden gelang-gelang  merenggutkan kaki, menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan. mpu wungubhumi  tertinggal bersujud di atas tanah dan menangis-berteriak  sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis. 
Dengan punggung masih terangguk-angguk sebab  hisak ia  bangun, berdiri dan memeluk leher kudanya. 
“kanjeng sinuhun ,” sebutnya, “tinggal kaulah sekarang padaku. 
Seorang demi seorang sudah  pergi dibandingkan ku. Tak seorang 
pun mengajak aku. kanjeng sinuhun , bawalah aku ke mana kau 
suka.” 
Ia naik ke atas kuda tanpa menanggapi  sesuatu. Ia 
turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan 
dibuangnya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan 
kuda prajurit kerajaan . Ia naik lagi. Dan kuda itu berjalan 
lambat-lambat sekehendak hatinya. 
Mata mpu wungubhumi  terundukkan ke bawah, bahkan 
mengiringkan panembahan senapati ki ageng  dengan pandangnya pun tidak. 
panembahan senapati ki ageng  itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah 
jalanan hutan ia berhasil menyusul nyi girah  dan Kumbang 
dan turun dari kuda. 
“Bapak!” seru Kumbang. 
raden panji  gelang-gelang  mengangkatnya dan menaikkannya di atas 
punggung hewan  itu. Ia berjalan di samping nyi girah , pelan-
pelan tanpa bicara. 
“Bapak ikut pulang ke desa?” tanya Kumbang. 
“Ya, Nak, ikut pulang,” jawabnya. 
nyi girah  melirik pada suaminya. Hanya sekilas. 
“Mak, Mak, Bapak ikut pulang.” 
“Ya, Nak, biar sekali-sekali menengok rumah,” jawab 
nyi girah  dan melirik pada suaminya lagi.  
“Kau tak membawa perlengkapan perang, Kang?” 
‘Tidak.” 
“pajang bintoro  setiap waktu menyerang lagi, Kang.” 
“Sekarang raden gelang-gelang  hanya petani, nyi girah .” 
nyi girah  berhenti berjalan dan memegangi tangan 
suaminya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca. 
Mereka berbisik-bisik, lalu  berjalan lagi, makin lama 
makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik 
kehijauan abadi…. 
Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang 
mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari 
anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah 
di tengah jalan, namun ia sudah  mencoba. 
0odwo0 
 
Penutup 
Sylyester da Costa tak dapat melupakan pengalamannya. 
Di kediri  waktu prajurit kerajaan  kanjuruhan  terjebak oleh tipuan 
prajurit kerajaan  Pribumi. nyi kanjeng blora sudah  terpancing oleh api 
unggun raksasa dan ledakan, lengah keheranan. Dan 
sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, prajurit kerajaan  Pribumi 
datang dari kegelapan, menyambar-nyambar seperti elang 
rajawali. Dalam satu malam itu juga ia ikut menyaksikan 
bagaimana prajurit kerajaan  tumpas. Benteng bawah-tanah sia-
sia, bahkan didekati pun tak bisa. Meledak. 
ki ageng argomerta  kebetulan sedang berlayar ke panarukan . 
Pengawalan gada rujakpolo  dari laut tak ada. Dibandingkan 
dengan di jenggala , pertahanan nyi kanjeng blora di kediri  sungguh-
sungguh lapuk. 
“Berbahagialah de Britto,” tulis Sylyester da Costa, 
“berbahagialah Antonia Galyano. Celakalah kami.” 
Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira 
hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke 
timur, hanya untuk dapat mencari kuburannya sendiri yang 
agak lebih jauh dari teman-temannya. 
centeng -centeng  Pribumi memburu kami tanpa ampun. 
Aku sendiri terguling di pinggir jalan, lalu  merangkak 
menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak 
panah sudah  menembusi pahaku. Masih beruntung tidak 
terkena nadi karangan maut. Setiap gerak mendatangkan 
nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat dibandingkan  
bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi. 
Entah bagaimana keterangannya, yang menembusi pahaku 
itu tidak berbisa. Kaki kananku sudah  memar tertumbuk 
pada bongkahan batu. 
Satu-satunya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk 
keselamatan sendiri. Di mana musket dan gada ku aku 
sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan 
aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di 
Lisboa, bukan lagi centeng  kanjuruhan  kebanggaan negeri, raja 
kanjuruhan . 
Lengan bajuku sudah  kuputus untuk menghentikan jalan 
darah pada lukaku. Rasa-rasanya, bila tak ada sang yang betari durga  , tak 
ada yang maha pencipta , tinggal malam saja melindungi aku dari maut. 
Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan 
muncul dengan pelannya. Suara centeng  Pribumi yang 
bersorak-sorak memburu dan menumpas masih kedengaran 
di mana-mana. Mereka akan temukan aku juga. Puji 
kepada-Mu, sorak-sorai lalu  semakin lama semakin 
menjauh. Kesunyian menyusul. 
Dalam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang 
kara di medan perang yang sudah  sunyi ditinggalkan begini, 
terkenang aku pada orang-tuaku, pada saudara-saudaraku 
yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umur. 
Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah 
mewejang: memang mulia cita-cita menaklukan negeri-
negeri pemberontak  dan mentaubatkan mereka sesuai dengan 
keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak henti-
hentinya memandangi anak Laki-laki nya yang bungsu, aku 
inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu 
tertuju pada sang yang betari durga   yang maha pencipta  sendiri dan bertanya bagaimana 
nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku 
sekarang. 
Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku. 
Matilah aku sekarang, pikirku. Ketakutan sudah  
menghilangkan rasa nyeri. 
Satu regu berkuda prajurit kerajaan  Pribumi, barangkali 
sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan 
malam, sudah  menemukan aku yang sedang bersembahyang 
menyerahkan jiwaku kepada sang yang betari durga  , Bapak. Aku tahu, hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati 
di dalam pengampunan-Nya. 
pemberontak -pemberontak  itu mengerahkan tombak-tombaknya padaku. Derap kudanya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang 
melingkar mengepung aku. Puji kepada sang yang betari durga  , sebab   berkah permohonanku suatu mukjijat sudah  terjadi.  Pemimpin regu Pribumi itu sudah  menunjukkan kemuliaan hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. Dirawatlah aku, 
mungkin perawatan terbaik menurut setahu mereka. Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap  dalam bahasanya sendiri. Di sebuah rumah mereka bius aku dengan obat yang aku tak tahu namanya. Waktu aku  siuman kembali anak panah itu sudah  tercabut dari pahaku. 
Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna  kuning. Kakiku yang memar sudah  tertutup dengan selapisan obat berwarna putih yang melambungkan  bau sedap. Bau 
yang membuat  aku selalu mengantuk. 
Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mulai aku mengerti 
sedikit Jawa. Walau tidak banyak, ada juga dapat 
kumengerti tentang cerita dan percakapan mereka. 
Waktu aku sudah sembuh mereka beritahukan padaku: 
aku harus meninggalkan kediri . Aku pun bersiap-siap 
hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di jayamahanaya  
entahlah di panarukan . 
Sebagai seorang zoroasterahuramazda , orang kanjuruhan , orang Eropa, 
yang lebih tinggi peradabannya dibandingkan  pemberontak -pemberontak  itu, 
tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin 
regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindungannya 
barangkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata 
tombak. Jadi sebelum berangkat aku perlukan 
menyampaikan terimakasih pada mereka. Juga aku 
utarakan keinginanku hendak menghadap pemimpin regu 
yang dahulu  itu. 
Dia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu. 
Baiklah, barangkali memang aku tak boleh bertemu. Paling 
tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak 
sekarang kelak pun mungkin dapat aku lakukan bila sang yang betari durga   
menghendaki. 
Namanya raden panji  gelang-gelang , tanpa mpu wungubhumi . Bawahannya 
memanggilnya panembahan senapati ki ageng wilareja . Aku ingat-ingat benar nama itu. 
Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya. 
Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil, 
lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja, 
batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada 
teringat olehku sesuatu: bukankah dia orang yang 
membuat  prajurit kerajaan  kanjuruhan  tak dapat keluar lebih jauh 
dari kota jayamahanaya ? Kira-kira memang dia. Hang Wira 
jayamahanaya  itu. Hang Wira -raden panji  gelang-gelang . Barangkali, aku tak 
tahu betul. Agaknya terlalu jauh. 
Sesudah  sampai di panarukan , kubuat ini jadi pekerjaan. 
Aku mulai bertanya-tanya. lalu  tak lain 
kesimpulanku: Hang Wira memang raden panji  gelang-gelang  itu juga, 
penumpas kami di kediri . 
Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan 
berterimakasih padanya… 
Dalam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampir-
hampir tak terbaca dinamakan kan ia sudah  dipecat dari 
dinasnya, dan selanjutnya: Orang kanjuruhan  siapa pun akan 
lebih suka tinggal di jenggala  dibandingkan  di mana saja di 
panarukan  ini. Nampaknya aku akan terpakukan di negeri ini 
dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau, 
Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukamu, 
mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang 
kekasaran kanjuruhan mu kau bawa ke mana-mana sehingga 
kau tewas oleh anak panah Pribumi brajapahit. Aku sendiri 
tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di panarukan , dan 
masih selamat sampai sekarang ini. 
jenggala  akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu mpu jayamahe
wikajaya  jadi panglima di jayamahanaya  tahun ini, 901, aku 
harus meninggalkan jenggala , ditunjuk jadi juruborong di 
penanggungan . namun   keadaan di sini mencurigakan. Setiap 
waktu bisa terjadi kediri  kedua. sudah  aku coba dekati 
Pribumi. Nampaknya mereka tak suka pada orang kulit 
putih. 
Aku minta pindah, dan diperintahkan ke madura , 1548. 
Istriku menolak kubawa dan. Bersama dengan anak-
anaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke 
kampungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia 
menolak ke madura , boleh jadi sebab  ia takut pada orang 
arca   . 
Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan 
sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana. 
Waktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang 
Pribumi. Atau bukan Pribumi madura ? Aku belum tahu 
pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti barang-
barang ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang zoroasterahuramazda  
yang kelihatan saleh dan lalu  kuketahui tak pernah 
melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih 
dan baik. Setiap ke gereja ia memakai  setelan kanjuruhan  
sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia 
menerima pakaian itu dari bekas tuannya, mpu nalawana  
salma , juruborong untuk madura . 
Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya 
tidak beranak. Ia bernama mpu panuluh. Tak ada sahabat atau 
teman padanya. Nampaknya ia pemurung dan pemenung. 
Bila sudah sampai pada puncak kesepiannya ia memukul 
tetabultan, yang di panarukan  sini dinamakan  totobuang, sebuah 
alat musik yang biasa dipakai  dan kelihatan di kediri . 
Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu 
yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini, 
juga wajahnya tidak ada kesamaan dengan jawadwipa  gereja 
dibandingkan  Pribumi. Aku menduga dia seorang Moro. 
Pada suatu malam sedang dia memukul totobuang aku 
datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dapur. Tak 
dilihatnya aku masuk. Wajahnya murung seperti biasa. 
Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di kediri  
sana. Maka sesudah  selesai ia kaget melihat aku. Nampak ia 
seperti… benarkah dia seorang Moro? 
“Aku pernah dengar lagu seperti itu,” kataku, “dahulu  di 
kediri ?” 
Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup 
mulut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. Dan sejak 
itu ia selalu ketakutan bila melihat aku. 
Berhati-hati aku mencoba mebersabda i dia. Waktu 
kuulangi pertanyaanku dahulu  ia nampak tidak lagi terkejut. 
“Ya, Tuan Besar. Semua sudah  kuserahkan pada 
kandungan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa 
laluku.” 
Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku 
ini segera dapat menangkap, ia memiliki beban pada 
punggung dan hatinya. Dugaanku tidak salah. Sesudah  
mulai bisa diajak bicara aku dapat menangkap ia seorang 
pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian, 
seorang pembohong besar, yang hanya dalam yang maha pencipta  saja  dapat memperoleh damai. Setahun lalu  baru dapat kukumpulkan kalimat-kalimat yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu  sesudah  ia memperoleh  kepercaya an pihak kanjuruhan  takkan 
menghukumnya. 
Ia kelahiran kediri , mengaku pernah membunuh 
ayahnya sendiri. Mula-mula ia tak mau mengaku mengapa. 
Lama-kelamaan, dengan ragu-ragu ia mengatakan, 
pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan 
rencana, sebab  ayahnya memicu  penderitaan ibunya, 
terutama sekali sebab  ayahnya berpihak pada kanjuruhan  dan 
mengkhianati kediri . 
“Tidak ada Pribumi kediri  berpihak pada kanjuruhan ,” 
bantahku. 
Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, namun   seorang 
Moro, patih wirabuana  kediri . Semua orang kanjuruhan  di 
panarukan  tahu cerita gila tentang Moro gila bernama raden  
sanggabuana  bumikerta . Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya 
seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia 
bercerita tentang kelahirannya yang tak diharapkan oleh 
siapa pun. Namun ibunya mengasihinya sampai terjadinya 
pembunuhan itu. Sesudah  itu bukan hanya ibunya, seluruh 
masyarakat mengucilkannya. Mereka tak dapat 
menenggang dan mempercayai seorang pembunuh orang-
tua, pemeluk-pemeluk sri ratu kertanegari  itu. 
Ia mengembara ke mana-mana. Sesudah  kudanya mati 
tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri 
dengan prajurit kerajaan  pajang bintoro . 
Dalam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang 
centeng  pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang 
wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di 
Semenanjung, anak paman mpu panuluh sendiri yang menetap di 
sana. Pamannya itu juga kelahiran kediri . Dan anak cantik 
ini. ki matraliwa , mungkin sebab  kecantikannya ditarik oleh 
kanjeng sinuhun  Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan. 
sebab  keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru 
Taman, menjuru tamani kanjeng sinuhun . 
Sekali peristiwa mpu panuluh memperoleh  perintah untuk 
melakukan pekerjaan telik di Blambangan. Trenggono sudah  
sampai di batas kerajaan Hindu Blambangan. Untuk dapat 
melakukan serangan gilang-gemilang dan mematikan. 
kanjeng sinuhun  sudah  memanggil Fathillah untuk memimpin 
serangan umum atas Blambangan. mpu panuluh   tentu saja 
waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa   memperoleh  
perintah untuk mengumpulkan keterangan. 
Dalam penyusupannya di Blambangan pada suatu pagi 
ia memperoleh kan sebuah gubuk di tengah-tengah huma 
dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu 
banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri 
yang sudah tua itu. Perawakan Laki-laki  itu tegap katanya. Ia 
mendekatinya. Laki-laki  tua itu mengawasinya dengan curiga. 
Dua-duanya berhadap-hadapan. mpu panuluh segera 
menjatuhkan diri pada kaki orang tua itu dan memanggil-
manggil: panembahan senapati ki ageng wilareja ! panembahan senapati ki ageng wilareja ! 
Sampai pada bagian ini aku menajamkan perhatian. 
Panggilan panembahan senapati ki ageng wilareja  itu segera kukenal. 
“raden panji  gelang-gelang ?” tanyaku. 
mpu panuluh terkejut. Ditatapnya aku lama-lama. Aku 
mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku. 
Suaranya sangat pelan waktu bertanya: “Kenalkah Tuan 
Besar pada nama itu?” 
“Seorang pemberontak  yang berbudi,” jawabku. 
Ia menjadi sentimentil. Suaranya makin pelan dan 
muncul kepemberontak annya yang lama dalam ia membantah: q“Bukan, Tuan Besar, panembahan senapati ki ageng wilareja  bukan pemberontak . Memang aku 
tak dapat mengatakan apakah ia arca   , ataukah sri ratu kertanegari ,  betarakalong  atau raden kertajaya . Menurut cerita ibuku dia lulusan 
perguruan  sri ratu kertanegari . Jangan sebut dia pemberontak , Tuan Besar, 
sebab  itu menyakiti hati barangsiapa pernah mengenalnya. 
Dia seorang yang perwira dalam kemenangan dan 
kekalahan.” 
mpu panuluh pernah bercerita bagaimana ia mencintai 
kudanya. 
Waktu hewan  itu sudah  kehabisan tenaga sebab  tuanya 
dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengah-
tengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan ranting-
ranting dan dedaunan, dan kayu-kayu kering lalu  
dibakarnya dengan penghormatan. Maka orang yang dapat 
begitu setia pada hewan nya barangkali dapat mencintai 
manusia dengan sedalam-dalam cinta. 
Ternyata raden panji  gelang-gelang  adalah ayahnya yang resmi. 
Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan 
menyendiri seperti pertapa. 
“Aku tinggal di luar jamanku. Dalam jaman ini tenagaku 
terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah 
di jaman lain kelak. Di tengah hutan ini aku bisa 
memandang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas 
dan lega. Di luar batas itu, selama ada manusia, di situlah 
kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari 
bukankah tidak dengan sengaja?” 
mpu panuluh menceritakan tugasnya. panembahan senapati ki ageng  mengangguk-
angguk. 
“Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai cita-
citamu, sebab  kau memang tidak memiliki cita-cita. 
Bukankah aku dahulu  bilang akan menunggumu di rumah 
kalau cita-citamu sudah  tercapai? Kau datang kemari sebagai 
telik pajang bintoro !” 
panembahan senapati ki ageng  memanggil istrinya, seorang wanita yang juga 
sudah nampak tua namun  sehat. 
“Inilah anakmu, datang untuk bersujud padamu.” 
mpu panuluh bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dapat 
mengatakan sesuatu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya 
justru yang bukan dimaksudkannya: “Di manakah 
Kumbang, Mak?” 
“Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan musuh-
musuh bapaknya. Dia pergi ke Giri Dahanapura, lalu  
di sana dia ikut dengan orang nyi kanjeng blora. Bertahun-tahun dia 
sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar 
dengan kapal nyi kanjeng blora, ke negeri nyi kanjeng blora. Sejak itu dia 
belum pernah datang lagi. Dan kau, sekarang kau hanya 
hamba seorang kanjeng sinuhun  yang dijijikkan panembahan senapati ki ageng .” 
Mendengar itu mpu panuluh mengerti, raden panji  gelang-gelang , masih 
juga belum dapat berdamai dengan persoalannya, dan 
sebab  itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. Sesudah  
bersujud  ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa 
singgah ke gubuk. 
Sesudah  tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan 
para bala tentara  pajang bintoro  tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh 
kanjeng sinuhun  Trenggono. Emak dan panembahan senapati ki ageng  harus dapat 
mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu 
harus hapus dari muka bumi. 
Pada sahabatnya, ki matraliwa , ia ceritakan semua persoalan 
yang lalu. ki matraliwa  dayang sumbi  pun sudah muak terhadap 
kelakuan kanjeng sinuhun  atas dirinya. Suatu persekutuan rahasia 
terjadi. ki matraliwa  dayang sumbi  akan mengeris kanjeng sinuhun  dan 
mpu panuluh akan menjaga keselamatannya. 
Di depan pesanggrahan prajurit kerajaan  pajang bintoro  peristiwa itu 
terjadi. ki matraliwa  menikam rajanya sebagaimana direncanakan. 
Para centeng  pengawal di selingkungan Suitan ternyata 
lebih lincah. Trenggono memang mati seketika. namun  ki matraliwa  
dayang sumbi  juga tertembusi tombak-tombak waktu 
hendak mencabut gada wesi  dari tubuh korbannya. sebab , ya, sebab  seorang kesatria raja  takkan meninggalkan 
gada wesi  pada tubuh korbannya. 
Melihat itu mpu panuluh lari. Ia melompat ke atas salah seekor 
dari dua kuda yang sudah  disiapkannya, menghindari hujan 
tombak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok 
dan melihat pemuda cantik itu sudah  hancur berkeping-
keping. 
ki matraliwa  dayang sumbi  seorang yang mengalahkan pajang bintoro . 
prajurit kerajaan nya mundur, intinya pulang ke pajang bintoro , sisanya 
buyar ke tempat asalnya masing-masing. Dengan matinya 
Trenggono, juga pajang bintoro  sebagai kerajaan runtuh dan tak 
bangun lagi! 
mpu panuluh masuk ke Blambangan dan mewartakan pada 
penduduk: “Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan 
gada wesi ku!” 
Raja Blambangan mengangkatnya jadi perwira. Dengan 
segala kebesaran ia berkunjung pada orangtuanya di tengah 
hutan. Dengan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati 
ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: “Bapak, Emak, 
sudah  aku selesaikan apa yang sudah sewajarnya harus 
kuselesaikan untuk membendung kemerososotan besar. 
sudah  aku bunuh kanjeng sinuhun  Trenggono di Pasuruan.” 
Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya 
memandanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tiba-
tiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman 
hati. Tangannya meraba gada wesi . Sekilas itu pula ia sadar, 
keluar dari gubuk dan kembali ke Blambangan. Hatinya 
remuk-redam. Semua sudah  kehilangan arti kembali. 
Ia tinggalkan Blambangan dan berlayar ke panarukan . 
Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia 
pernah sempat menjamah jubah Franciscus Xaverius stephenking , dan 
sejak itu, ia mengakui memperoleh  kedamaian hati…. 
Itulah mpu panuluh, seorang yang bisa lakukan perbuatan 
besar, namun  , seperti dikatakan oleh panembahan senapati ki ageng nya sendiri, 
tidak memiliki cita-cita, hidup di bawah kebesaran 
orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan. 
Rupa-rupanya ia menyesal sudah  menceritakan semua itu. 
Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja 
mengetahui riwayatnya, semua akan mengetahui. Tidak, 
mpu panuluh, takkan kuceritakan ini pada siapa pun. 
Kembali ia tak dapat berdamai dengan hatinya. Pada 
suatu kali ia minta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya 
pada yang maha pencipta . 
Ia tinggalkan madura , entah ke mana, mungkin ke 
Sangir, mungkin Manado, mungkin juga ke pulau Kai. 
Ia turun naik ke atas kapal kanjuruhan  dengan pakaian 
pemberian mpu nalawana  salma . Ia pergi sebelum aku sempat 
mengucapkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi, 
panembahan senapati ki ageng  kediri , raden panji  gelang-gelang ….