ntu. Terjengah, NYI girah membuka tas. Tanpa menghitung lagi.
ia letakkan beberapa lembar uang di meja mereka lantas berlari mengikuti Sumarna. Waktu ia lewat,
tanpa sengaja menyenggol meja dekat pintu. Meja tergetar. Gelas berisi teh manis di meja itu,
tumbang. isinya tertumpah membasahi kemeja pria yang duduk di belakang meja itu.
Pria itu diam saja .
"Orang-orang kaya. Biasa,"
Ia mengeluh dalam hati. Di mobil, Sumarna menjauhi setir. Terlintas dalam benaknya: Mengapa
aku masuk ke mobil ini.
Inikan mobil dia!
namun NYI girah sudah memegang kemudi. memutar kunci kontak dan mobil itu pun melaju ke jalan
raya yang licin dan basah. Mobil melaju tak tentu arah. Dan NYI girah memegang kemudi dengan hidung
terisak-isak.
"Nana. Bicaralah. Bicaralah. Katakanlah apa saja jangan membuatku tersiksa begini," tangis
NYI girah .
"Kalau bulan April buatmu sangat...."
"April,"
Mendadak Sumarna buka mulut.
Denyut jantungnya sudah terasa lagi.
"Ya, Nana? Ya? Ya?"
Sumarna mengawasi jalan kelabu di depan mereka. Jalan yang diterpa hujan badai habis habisan.
Dan Sumarna tidak ingin berhabis habisan, ia mencintai NYI girah . Sesungguh hati. sesudah April, masih
ada bulan-bulan lainnya
"Jangan berzig zag," ia coba tersenyum.
"Bisa membahayakan kita."
"Aku gugup, Nana."
"Tenanglah."
Mobil melaju lebih perlahan sekarang.
Sukar sekali melakukan hal yang sama dengan jiwa kita sendiri!
"Tidak marah lagi?"
NYI girah melirik.
"Aku berhak kau damprat, Sumarna." .
"Marilah kita bersikap dewasa," kata Sumarna.
"Sebentar tadi, aku sempat jadi anak kecil yang tolol. Akulah yang pantas didamprat, NYI girah ."
"Aku gembira mendengarnya,"
NYI girah menarik nafas lega.
Heran. Terpaan hujan perlahan-lahan ikut pula mereda. Betapa senangnya.
namun , bukankah sudah waktunya bersenang-senang?
"NYI girah ?"
"Aku masih di sini, Nana."
"Boleh kugenggam tanganmu?"
"Kok lucu!"
NYI girah tertawa. Tawa munafik yang sama selama dua tahun lebih.
"Ambillah,"
Ia ulurkan lengan kirinya yang segera disambut Sumarna dengan genggaman kuat. Tangan
pemuda itu terasa panas dan gemetar. Bibirnya saat mencium tangan NYI girah , lebih panas lagi. Lebih
gemetar. NYI girah hampir menangis kembali. namun ia sudah lama bermain sebagai aktris kawakan.
"Hai. Hai. Jangan dihabiskan sekarang!" katanya dengan tawa berderai.
Sumarna justru menggigit.
"Au!"
NYI girah terpekik. Manja.
"Bulan apa, NYI girah ?"
Kembali NYI girah terpekik. lebih keras. Kali ini, dalam hati.
Bulan apa?
Tentu saja. Kalau bukan April, lantas bulan apa?
NYI girah hampir gila memikirkan jawabannya.
Ajaib, justru pertolongan datang dari mulut Sumarna:
"Baiklah. lain kali saja kita rembukkan mengenai bulan apa yang paling cocok pernikahan kita
dilangsungkan...."
Sumarna diam sejenak. lalu :
"Akulah penyebabnya, NYI girah ?"
"Penyebab apa, Nana?"
"Kau mundur."
"Sudah kubilang, tidak."
"Ibumu? Papamu?"
"Mereka menyenangimu. bukan? Apalagi selama ini sudah kau buktikan sendiri. Papa
memperlakukan kau bagai anak kandung sendiri...."
NYI girah tersenyum manis. Ia ingat papanya. Yang tak beruntung punya anak laki-laki. Ia ingat pula
hutang budi papanya, yang tak pernah ter-balaskan. Menerima kehadiran Sumarna, hampir-hampir
jalan keluar satu-satunya.
sesudah lama terdiam, Sumama berkata bingung:
"Kalau begitu, tinggal dua hal penyebabnya. NYI girah ."
"Oh. ya?"
"Satu. Kematian yang susul menyusul dalam keluargaku."
Sumarna bergumam murung. NYI girah terpaksa mengusap paha pemuda itu, untuk menentramkan
hatinya.
Ujar NYI girah bersimpathi:
"Semua orang akan mati juga. Nana."
"Tidak dengan cara rsi Kertajaya mati. Cara ibuku mati."
"Duh. Nana. Mengapa kita tibak ngobrol soal lain saja. Misalnya...?"
"Kematian yang mengerikan. Dengan sejuta desas desus yang lebih mengerikan lagi,"
Sumarna berkata tak perduli.
"Itulah sebabnya, NYI girah ? Desas desus tentang kutukan masa silam? Tentang roh jahat yang
meminta tumbal?"
"Hentikan!"
NYI girah menggigil.
"Kau membuatku takut, Sumarna."
NYI girah membelokkan mobil. Membelokkan begitu saja saat ia bertemu simpangan tanpa punya
tujuan tetap. Lanjutnya:
"... setiap orang menanggung dosa dosanya sendiri. Persetan dengan dosa turunan! Dan roh
jahat. Roh jahat hanya ada di film-Film horror!"
"Itu pendapatmu sendiri?"
"Aku. Dan mama. Dan papa,"
NYI girah meyakinkan.
"Jadi hentikan saja omong kosong yang tak sedap itu. Kau punya dua kemungkinan. bukan?"
"Ah. Ya. Sebab kedua kau menunda perkawinan kita. Kau kecewa. Mamamu kecewa. Papamu
kecewa!"
"Terhadap apa?"
"Penolakan Raden hanggareksa !"
NYI girah tergetar. Aneh, masih mampu ia tertawa. Ujarnya:
"Aku tahu apa maksudmu. Raden hanggareksa tidak menolak. Bisnis yang ditawarkan ayah, tetap diterima
Bang Raden hanggareksa . Selama masih dalam batas batas kewajaran. Lalu...?"
"Awas!"
Sumarna berteriak.
NYI girah membanting setir ke kanan. Mobil zig zag dengan keras dan hampir saja membentur
tembok di pinggir jalan. namun dengan terampil NYI girah berhasil juga menguasai kemudi. Laju mobil
terkendali. NYI girah menghela nafas panjang. Melirik pucat ke kaca spion. Lantas mengumpat:
"Anjing. Cuma anjing. Kukira orang yang menyeberang." "
"Anjing juga makhluk Tuhan. NYI girah ."
"Syukur kau peringatkan,"
NYI girah berterimakasih. "Kau lihat anjing itu tadi? Hitam sekali. Dari kepala sampe ke kaki. Aku tak
suka warna serba hitam begitu. Mengingatkan aku pada Suasana dukacita di pekuburan."
"Kau membenci upacara kematian?"
"Benci sekali!"
"Kalau begitu, semoga aku yang lebih dulu mati sebelum kau.-."
Sumarna tertawa geli.
"Jadi kau tidak harus membenci upacara penguburan jenasahku!"
"Sudah! Sudah!"
NYI girah mendengus. Dongkol.
"Tak baik omong sembarangan. Bisa termakan sendiri."
"Kata siapa?" _
"Moyangku."
"namun aku tetap berharap. aku lebih dulu mati dari kau. Jadi, aku pun tidak harus menghadiri
pemakamanmu. Bila kau meninggal dan aku tetap hidup, aku lebih suka terjun bersamamu ke liang
kubur. Agar roh kita...."
"Nana...!"
NYI girah merajuk.
'Tak usah jengkel,"
Sumarna tertawa renyai. "Aku cuma ingin mengalihkan pikiranku yang sedang kusut ini."
"Semua akan berjalan lancar. Nana"
"Mestinya begitu. namun Bang Raden hanggareksa memang keterlaluan. Niat baik papamu ikut andil
membangun rumah Bang Raden hanggareksa secara tak langsung, ditolaknya mentah-mentah. Aku lantas
berpikir saudaraku itu memang orang tak berperasaan!"
Coba Raden hanggareksa mendengarnya, pikir NYI girah .
Dan NYI girah sakit hati.
"NYI girah ..."
"Hem?"
Suara Sumarna terdengar serius:
"Kau tega membiarkan aku nanti malam tidak bisa tidur?"
"Eh. Apa pula ini?"
"Semua dugaanku menurutmu salah. Tak ada satu pun yang benar. Kalau demikian, mengapa tidak
kau sendiri yang mengatakan?"
"Mengatakan apa, Sumarna?"
"Penundaan waktu."
Sumarna melihat ke sepanjang jalan yang mereka tempuh. Rumah rumah penduduk, kebun,
petak-petak sawah yang menghampar, sungai yang mengalir deras. "Kulihat saat ini kau pun dengan
sengaja mengantar aku langsung pulang ke rumahku. Aku cukup dewasa untuk tidak berbuat hal-hal
yang diperbuat pemuda lainnya yang sedang patah hati. Tanpa kau antarpun."
"Kau masih mempersoalkan itu!"
NYI girah mulai jengkel.
"Sepanjang kau tidak memberitahu masalah sebenarnya, NYI girah . Aku tidak ingin jadi pecundang
tanpa punya kesempatan membela diri."
"Tadi kau sudah setuju melupakannya."
"Soal rembukan waktu, memang. Mengenai sebab musababnya, tidak."
"Oh,"
Kelopak mata NYI girah bengkak rasanya.
"Rumahku sudah dekat. NYI girah . lalu kaupun akan segera pulang. Dan seperti biasa, semenjak
ibuku meninggal. Kau enggan kuajak kencan. Senyummu pun sangat mahal. Apa salahnya
berbuka-buka kartu sekarang saja. NYI girah ?"
"Kau... kau marah lagi."
"Maaf."
"Sebentar tadi kita Sudah berbaikan,"
NYI girah menggigit bibir keras-keras.
"Belum pernah kau seperti sekarang. Tidak berpendirian..."
"Aku ingin tahu, NYI girah . Itu saja."
"Jangan mendesak aku, Nana."
"Oh. Oh. Bukankah kau yang memulai di bar tadi?"
Sepasang mata Sumarna tampak menggelap. Tarikan mukanya membuat NYI girah merasa takut.
Selama tiga hari terakhir ini ia sudah menduga akan mengalaminya. namun NYI girah tidak dapat
menunggu berlama-lama. April memang masih tiga bulan lagi. Namun itu terlampau singkat untuk
merelakan masa depannya terancam.
Ancaman itu semakin jelas terukir saat belum lama berselang ia duduk di pinggir jendela kuburan ruang
kuliah dan melihat mobilnya masih belum beranjak dari gerbang fakultas. Ia tahu apa yang tengah
berkecamuk dalam pikiran Raden hanggareksa . Keyakinan NYI girah semakin kuat sesudah ia pergi ke mobil itu dan
menyaksikan sendiri betapa sakit mata Raden hanggareksa . Dua tahun NYI girah ingin menikmati pemandangan itu.
Atau, tiga tahun?
Lalu saat saat yang ia nanti-nantikan itu datang juga, datangnya sudah terlampau kasip.
April!
Betapa singkat dan mengerikan. Betapa ingin NYI girah , agar rencana pernikahan yang Sudah ia
setujui itu hanya sekedar mimpi.
Kecewa oleh kebungkaman NYI girah , menusuk hati Sumarna.
'Terimakasih aku kau antar pulang,
Dan sebelum NYI girah tersadar apa makna ucapan itu, Sumarna menegaskan:
'Tak usah sampai ke rumah!"
"Nana!"
NYI girah tersentak.
"Berhentilah. Sebelum aku meloncat keluar." kata Sumarna.
Tenang dan datar.
Tapi menyakitkan.
Sorot mata Sumarna tidak ingin dibantah. Perpisahan yang aneh. NYI girah membiarkan Sumarna
turun, memutar mobil dan kembali menempuh arah ke kota. Tak seorang pun mereka berdua yang
ingin berpaling ke belakang. NYI girah juga sudah lama menanti-nanti saat semacam ini tiba. Cuma tak
menduga datangnya secepat itu.
Semasih pacaran. boleh saja NYI girah bersikap munafik.
Begitu akad-nikah diucapkan kemunafikan itu harus dibunuh. Dan NYI girah tidak akan pernah mampu
melakukan pembunuhan paling tersadis itu: membunuh kemunafikan.
Kaki melangkah. Dagu terangkat. Sumarna berjalan terus. Kepalanya gegap gempita.
Mengapa?
Sumarna tidak akan memperoleh jawaban pertanyaan itu sampai kapanpun juga. sebab ia
memilih kuliah di jurusan ekonomi. Coba, andaikata Sumarna memperdalam psikologi. maka ia akan
tahu.
******
Sepuluh
Diam di rumah malah membuat bathin semakin tertekan. Memang ada kerabat yang masih
tinggal atau baru datang dari tempat jauh untuk menyatakan belasungkawa yang.
"Semoga belum terlambat, Anakku."
Sumarna mengenal mereka dengan baik. namun tidak sebaik ia mengenal ibunya, Raden hanggareksa dan
TribuanaTunggadewi . Mungkin kesalahannya sendiri. Jarang bergaul. Kurang pula berkunjung. .
Jadi Sumarna menganggap rumah itu tetap kosong melompong. Dan memuakkan: seorang tua
nyinyir tidur di bekas ranjang ibunya. Dan tiga anak tanggung berlari-larian dari satu ke lain ruangan
dengan suara riuh rendah. Ia pergoki pula seorang ratu lesbi tetangga di dapur, telah bergunjing
dengan salah seorang kerabat. Pantas Raden hanggareksa tak betah di rumah. Abangnya itu tentu minggat ke
kota. Melarikan kegundahan hati dengan berkumpul bersama teman-temannya di pangkalan tempat
jual beli kendaraan bekas itu.
Ataukah Raden hanggareksa sedang mengunjungi TribuanaTunggadewi ?
Ah, ya. Mengapa ia tidak berbuat sama. Kalaupun nanti Raden hanggareksa tidak ada di sana, paling mis
TribuanaTunggadewi mau diajak bertukar pikiran. Ia mungkin terlalu membabi buta selama bersama NYI girah tadi.
Dan TribuanaTunggadewi barangkali dapat memberi petunjuk. Siapa tahu, dapat pula menebak apa gerangan yang
menyebabkan perilaku NYI girah berubah drastis dan menganggap bulan pernikahan yang sudah demikian
matang dimasak, tak lebih dari April mop.
Sumarna lalu minta maaf dan pamit pada satu dua orang tamu yang ia anggap patut dihormati.
lalu berjalan keluar. Pintu terbuka lebar. Tidak ada benda apapun yang menghalangi. Lantai
bersih. Tidak licin. Malah agak kotor berdebu bekas banyak kaki keluar masuk.
saat melalui pintu. toh Sumarna terpeleset.
Tanpa sebab.
Salah seorang tamu segera mendekati Sumarna dan membantunya berdiri.
"Kau cidera?"
"Syukur tidak. Oom," sahut Sumarna bingung sesudah memeriksa kaki maupun tangannya dan
sia-sia mencari sumber gara-gara ia sampai terjerembab.
"Sudahlah. Tinggal di rumah."
"Aku mau ketemu Ronggolawe , Oom."
"Lebih baik batalkan saja. Nak."
"Kenapa?"
'Yang barusan kau alami. Oom rasa. itu pertanda buruk. Tak baik meneruskan perjalanan
sekarang. Dan aku lihat -hari mendung pula. Hujan akan turun lagi."
"Dekat kok, Oom," rungut Sumarna lantas berlalu dengan kesal.
Tentulah oom-nya itu sudah mendengar banyak gunjingan para tetangga. Cuma terpeleset. Dan
dia bilang, pertanda buruk. Huh!
Namun satu hal oom-nya benar.
Hujan deras tiba-tiba turun tanpa pemberitahuan. Sumarna ribut mencari tempat berteduh. Ia
bersyukur hujan turun pas ia lewat di depan rumah Raden hanggareksa yang masih terbengkalai itu. Tidak
berpikir dua kali, Sumarna langsung masuk ke halaman dan berlindung di keteduhan beranda. Angin
menerpa mukanya dengan keras disertai butir-butir air hujan. Sumarna mundur, memasuki ruang tamu
yang menganga sebab belum diberi pintu dan kaca jendela kuburan .
Ia menggigil kedinginan.
Mengumpat diri sendiri, tidak menuruti petuah oom-nya. Dan semua ini gara-gara NYI girah Hem.
hem. Gara-gara memikirkan NYI girah pulalah ia tadi terpeleset di pintu rumah. Omong kosong dengan
pertanda buruk. Tetangga usilan yang suka bergunjing itu akan ia damprat suatu hari .
Dan Sumarna tertegun.
Diam mendengarkan.
Suara samar yang tadi menyentuh gendang telinganya, terdengar semakin jelas. Krasak-kresiiikk
Uff-ufff, duuk-duk-duk. Krasak kresiiikk.
Apakah ada orang sembunyi di para?
Atau tikus mengorek sesuatu?
Sumarna tengadah. Ia tidak menemukan apa yang ia cari.
Angin kencang bertiup lebih ribut.
Hujan kian membadai. Kalau tak salah masih sekitar pukul tiga. Masih siang. namun mendung
gelapnya bukan main. Pekat, menjemukan.
"Kreeesaaak...!"
Sumarna memutar tubuh.
Suara asing itu datang dari ruangan dalam yang teram-temaram.
Anjing nyasar?
Tanpa curiga apa-apa, Sumarna melangkah hati-hati memasuki ruang dalam. Suasana di situ
mestinya lebih hangat. Ternyata jauh lebih dingin. dan berbau sedikit aneh. Ia sukar menebak.
Bau harumkah itu?
Atau bau busuk?
"Kresaaak, ufff."
Sumarna menyerbu masuk. Mau berteriak:
"Anjing buduk, enyahlah!"
Sesaat itu juga ia terpaku. Dengan mulut mangap menahan teriakan yang tak jadi keluar.
Seseorang yang tengah membungkuk di lantai tanah, bangkit berdiri. Sama terperanjatnya seperti
Sumarna. Di remang remang cahaya sekitar rtaangan itu, terlihat sangat kontras gaun panjangnya
yang berwarna putih. Atau barangkali krem. Ia berkulit kuning langsat. dengan wajah mempesona dan
rambut hitam panjang tergerai di depan dua bukit dadanya yang mencuat penuh.
"Sss... siapa... kau?"
ratu lesbi itu berbisik.
Sumarna menghirup udara segar dan mengisi rongga dadanya dengan udara itu, supaya terasa
lebih ringan dan lapang.
"Mestinya pertanyaan itu aku yang mengajukan," ia mencoba tersenyum, namun tetap bersikap
waspada.
Ekor matanya mengintai ke sekitar dan segera mengetahui kalau ratu lesbi itu cuma seorang
diri.
Seorang diri.
Muda belia Elok rupawan pula!
"Apa kerjamu di sini?"
Sumarna memperdengarkan suara keras menghardik biarpun sesungguhnya ia ingin bersikap
lembut ramah.
"Aku... aku kehujanan,"
Gadis itu mepet ke tembok bata.
"Siapa kau?"
"Sumarna. Aku adik pemilik rumah ini. Dan kau?"
"Oh. Jadi kau adik pemilik rumah ini,"
Samar samar senyum si ratu lesbi mengambang di bibirnya. Meski gelap, tergambar jelas bibir
kecil mungil, ranum kemerah-merahan. Sepasang bola matanya yang bundar bersinar terang
benderang. bagai kerlip bintang kejora di langit kelam.
"Maaf. Aku masuk tadi tanpa permisi"
"Hem. Tak apa,"
Sumarna mendekat.
Gadis itu semakin rapat ke tembok.
"Jangan takut,"
Senyum Sumarna, mulai tertarik pada kecantikan dan cara berpakaian serampangan gadis itu
sehingga tak tahu kalau kancing atas gaunnya terlepas memperlihatkan bundaran payudaranya yang
seputih salju. Pandangan Sumarna lalu beralih ke tanah. Lantas bertanya heran: "Kau yang
membuat lubang besar ini?"
"Aku... eh, iya Aku."
Suara gadis itu terdengar gelisah.
"Buat apa?"
"Yah... Sekedar pengisi waktu saja. Menunggu hujan reda."
"000. Rumahmu di mana?"
"Di sini. Eh... maksudku tak jauh dari sini."
"Aku tak pernah melihatmu,"
Sumarna menyimak ratu lesbi itu dari ujung rambut ke ujung kaki. Gadis itu telanjang kaki.
Tangan yang satu dipergunakan menutupi dadanya yang setengah terbuka. Tangan lain
mencengkeram bagian bawah gaun yang ia pakai. Rupanya ia mencoba menguasai ketakutan dengan
cara begitu, pikir Sumarna. Tak sadar si gadis, kalau perbuatannya menyebabkan gaunnya sedikit
terangkat, memperlihatkan betis putih mulus dan panjang semampai.
"Aku dari tempat lain." ujar si gadis.
"Bibiku sudah lama tinggal di sini...."
Gadis itu membelalak ngeri waktu angin topan membuat atap genteng di atas mereka
berderak-derak. Beberapa tetes hujan jatuh menimpanya. Saking terkejut gadis itu terlonjak ke
depan. Jatuh dalam pelukan Sumarna.
'Tenang sajalah" bujuk Sumarna melihat bayangan ketakutan di wajah si gadis. "Sebentar juga
reda. Kau akan kuantar pulang."
"namun aku takut."
'Tak perlu takut. Kau tak akan...."
"Dingin sekali. Aku tak tahan."
Gadis itu menggigil dalam pelukan Sumarna.
'Hiii, dingin sekali."
Sumarna merangkul gadis itu rapat ke tubuhnya. Dada mereka menyatu.
Hangat. Berapi-api.
"Neng,..."
"Mmh?"
Si gadis tengadah.
Sumarna tergagap jadinya. sebab wajah mereka begitu rapat. Hendusan nafas gadis itu malah
terasa hangat menyapu pipinya. Setengah bermimpi, Sumarna bergumam:
"Jadi namamu Neng Atau Neneng ya?"
"Terserah kau saja. Mau panggil apa,"
Gadis itu tersenyum untuk pertama kali. Senyum yang memabukkan. Tanpa menjauhkan wajahnya
pula.
Dada Sumarna meledak-ledak Kelelakiannya menuntut penyaluran hasrat yang tidak terkendali.
Selintas terbayang di matanya wajah NYI girah .
Ia bimbang.
Lalu terngiang ucapan NYI girah :
"Kita tunda saja...."
"Apa yang kau pikirkan?"
Si gadis berbisik Lirih.
Sumarna terkejut. Menyahut seenak perut:
"Kau."
"Aku? Kenapa?"
Mulut gadis itu setengah terbuka. Memperlihatkan lidahnya yang lembut basah
kemerah-merahan.
"Kau cantik," bisik Sumarna gemetar.
"Aku... aku ingin menciummu."
Gadis itu menaikkan tumit.
Bibir mereka bertemu.
Perasaan mabuk Sumarna menyerang semakin hebat. saat tubuh mereka berdua pelan pelan
meluncur turun dan bersimpuh di tanah masih tetap saling berpelukan, dengan kedua pasang paha
saling bersilang, lengkaplah sudah perasaan itu. Sumarna tenggelam dalam birahi mabuk kepayang.
"Oh. Jangan-.." gadis itu berbisik saat Sumarna meremas payudaranya yang semakin terbuka.
"Jangan," katanya. namun tidak ada usaha penolakan pada pisiknya. Malah penerimaan yang
pasrah. Gadis itu merintih pelan.
Sesuatu yang sangat diingini Sumarna dari NYI girah namun dengan teguh dipertahankan gadis itu,
menjelma dalam benak Sumarna yang sudah kehilangan akal sehat itu. "Aku menginginimu," ia
berbisik di telinga si gadis,
"Ohhh,"
Gadis itu merangkul lehernya.
"Aku akan bertanggungjawab..."
Sumarna bergumam setengah gila manakala ia rebahkan gadis itu dipermukaan tanah berpasir
dan dengan gerakan kasar tak sabar menanggalkan kain penutup si gadis.
Pasrah. Benar-benar pasrah ratu lesbi misterius itu.
Sumarna tak tahu apa sebabnya. Dan ia tak mau tahu. Ia berbuat dan bekerja mengikutkan
naluri seksuilnya yang menggebu-gebu. Pun juga ia tidak tahu kalau kulit tubuh mulus yang menyatu
dengan tubuhnya perlahan-lahan berubah warna jadi coklat lalu lebih hitam. Sumarna terpejam
menghayati senggama itu seutuhnya.
Tidak perduli, bagaimana rambut hitam panjang itu sirna begitu saja.Tinggal kepala gundul. Dan
kepala itu pun coklat kehitam-hitaman. Tampak denyut-denyut lemah yang makin lama makin kuat.
Itu bukan denyut dari ubun-ubun, melainkan denyut dari keseluruhan kepala yang lalu berubah
bentuk.
Atau, tanpa bentuk.
Kecuali bulat memanjang, seperti juga seluruh anggota tubuhnya yang dengan cepat sekali saling
bertaut untuk mengikuti pembentukan wujud sesungguhnya.
"Kok seperti memeluk bantal guling." pikir Sumarna mulai tergugah.
"Dan eh, dinginnya Licin pula lagi. Eh. eh, makin mengecil _ hai. Apa ini yang menggeliat di
pahaku? Dan apa yang merayapi dadaku. Hei.."
Sumarna membuka matanya lebar-lebar.
Ia tidak melihat ratu lesbi itu.
Yang ia saksikan. hanya makhluk mengerikan yang merayap sepanjang perut sampai ke dadanya.
Sumarna pun terbadai, lantas menjerit setinggi langit.
Lalu sesuatu yang lunak licin, menghunjam ke jantungnya.
Lalu menghirup darahnya.
Buas.
Baru esok paginya mayat Sumarna di ketemukan orang dalam keadaan tidak saja bugil. namun
dengan lubang menyeramkan di dada.
*****
Pagi hari yang sama Raden hanggareksa dijemput TribuanaTunggadewi lagi ke percetakan. sesudah mengambil alih kemudi
dari tangan TribuanaTunggadewi yang pucat lesi, Raden hanggareksa tancap gas ke rumah sakit.
"mengapa tidak kau bawa serta mpu Ronggolawe ?"
"Aku panik," bisik TribuanaTunggadewi gemetar seraya mendekap bayinya rapat ke dada.
"Aku panik. Aku hanya ingat'. Noni harus kubawa ke rumah sakit."
"Bagaimana kau menyetir dari rumah?"
TribuanaTunggadewi diam saja. ia sendiri tidak pernah ingat bagaimana ia dapat mengendarai mobil dengan
satu tangan memegang kemudi dan satu tangan lagi merangkul Noni.
"Syukurlah kau mampir ke percetakan," ucap Raden hanggareksa .
"Dan lebih penting, syukurlah kau dan anakmu selamat,"
Ia mengawasi bayi dalam dekapan adiknya
"Bagaimana terjadinya?"
"Seperti dulu. Dan ah. sejak aku kembali dari rumah ibu ke rumahku. peristiwa itu berulang lagi.
Noni menjerit-jerit. Tubuhnya panas sekali. Tadi malam, sesudah dinina bobokkan mpu Ronggolawe ia mau tidur.
sesudah kuberi obat, panasnya turun. Lalu tadi. suaranya begitu lemah. ia tak mau diam. Dan obat
habis."
Raden hanggareksa bergidik.
Gidikannya baru reda sesudah Noni ditangani dua orang dokter di rumah sakit. Noni dibantu
dengan transfusi darah yang tampaknya cukup banyak. TribuanaTunggadewi terus saja menangis hingga Raden hanggareksa
sibuk mendiamkannya sambil menjawab sejumlah pertanyaan dokter.
Mereka berdua diajak ke kamar pribadi salah seorang dokter itu.
sesudah duduk berhadapan dan tangis TribuanaTunggadewi mereda, dokter berkata dengan nada menghibur:
"Tidak usah cemas. Anak anda tidak menderita kelainan apa-apa."
"namun kulitnya, Dokter?"
Raden hanggareksa mendesak.
"Sudah tidak asing buat kami. Kulit pucat, kering. Itu biasa. Bung Raden hanggareksa . Gejala kurang darah."
"Parah benarkah dia."
"Mungkin harus diapname. Paling lama, besok pagi sudah dapat kalian bawa pulang. Tak ada
yang perlu dikuatirkan..."
Dokter tersenyum, namun membathin di hati:
"Benarkah tidak ada? Bagaimana sampai bayi itu kehilangan cairan tubuh sedemikian banyak,
tanpa terluka?"
Zuster masuk tiba-tiba.
"Saudara Raden hanggareksa ?"
Raden hanggareksa berpaling.
"Ya?"
"Ada telepon."
Raden hanggareksa dan TribuanaTunggadewi bertukar pandang. TribuanaTunggadewi pucat pasi lagi. Raden hanggareksa menoleh pada dokter dan
berkata:
"Boleh melihat Noni"
"Silahkan."
Raden hanggareksa memaksa TribuanaTunggadewi pergi mengikuti dokter menuju tempat Noni dirawat dan sedang diberi
transfusi. Ia sendiri lantas menguntit di belakang suster tadi menuju kantor bagian perawatan
anak-anak. Tangan Raden hanggareksa gemetar saat memegang gagang telepon.
"Halo?"
"Nak Raden hanggareksa ?"
"Ya. Ini siapa?"
"hutan larangan ."
"Eh, Pak Lurah. Kukira siapa. Aku sedang...."
"Ngiiing...."
Telinga Raden hanggareksa berdenging nyaring.
"Lurah hutan larangan . Mengapa? Ada apa, Pak Lurah? Darimana bapak menelepon? Kok bapak tahu aku ada
di sini?"
Ia mengajukan serentetan pertanyaan dengan bernafsu.
"Segeralah pulang."
"Pak Lurah?"
Raden hanggareksa mendesak
"Baiklah. Aku mencari kau ke rumahmu. Tapi tak ada. Lalu aku ke rumah adikmu. Dari pelayannya
aku tahu kau ke sini. lantas...."
"Lantas?"
Raden hanggareksa merasakan sekujur bulu kuduknya merinding.
rsi Kertajaya sudah.
Ibunya sudah.
Siapa sekarang?
"Sumarna,"
Sayup-sayup ia dengar suara lurah di seberang sana. Ia tidak mendengar lagi lanjutannya.
Telepon di tangan Raden hanggareksa lepas begitu saja. Jatuh dan tergantung di antara meja dan lantai kantor.
Ia tegak mematung.
Dengan wajah kelabu.
Lalu, mendadak patung itu hidup kembali dan terbang ke pintu.
*****
Pada saat itu Hakim mpu nalanda sedang berdiri tegang menghadap ke jendela kuburan . Matanya suram.
"Mengapa kami tidak kau beritahu sebelumnya?"
Ia mengeluh, getir.
NYI girah yang berbaring di ranjang dan yang rambutnya sedang diusah-usap penuh kasih sayang
oleh sang ibu, menangis lagi.
"Maafkan aku, Papa,"
Ia menjawab tertata-bata.
"Niat buruk itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku...."
"Memutuskan hubungan dengan Sumarna.
"Hem!"
Tubuh Hakim mpu nalanda semakin tegang.
"Anak kita tadi bilang, hanya menunda, Mas,"
Ibu NYI girah mengingatkan.
"Apa bedanya?"
"Banyak."
"Banyak atau sedikit, tetap saja menggemparkan. Nama kita akan tercemar!"
"Mas! Kasihanilah anak ini. Coba lihat bagaimana ia menderita. Dan apa salahnya menunda
beberapa waktu? Barusan tadi NYI girah toh memutuskan akan tetap menikah dengan Sumarna, bila itu
yang mas kehendaki."
Dering telepon memutus pertengkaran itu.
Hakim mpu nalanda meninggalkan jendela kuburan . Ia berjalan setengah hati menuju ruang duduk untuk
menerima telepon itu.
Apa-apaan si NYI girah . Sepanjang malam menangis saja. Membanting bantingkan diri di ranjang
seperti orang kesurupan. Dan sesudah orang lain kalang kabut habis-habisan, baru mau mengatakan
sebabnya.
Menunda pernikahan.
Tak bilang-bilang.
Uh!
"Hallo? mpu nalanda . Ini siapa?"
Istrinya mendengar sambutan kasar si suami di telepon.
Si istri mengurut dada.
Lalu kembali membujuk anak gadis kesayangannya dengan kata-kata menghibur. Suara Hakim
mpu nalanda di ruang duduk semakin rendah saja. lalu hening. Tak lama. Telepon diletakkan.
Langkah-langkah kaki ke arah belakang, dan suara memerintah pada pelayan mereka yang laki-laki:
"Jang! jajang! Siapkan mobil, aku mau pergi."
waktu masuk lagi ke kamar, wajah Hakim mpu nalanda biasa-biasa saja.
"Kalian berdua, teruskan. Pikirkan jalan bagaimana caranya kita akan minta maaf pada...."
Ia pura-pura mengawasi telapak tangan yang dibolak balik tak menentu.
"Kalian kutinggal dulu sebentar."
Suaranya tenang .Sikapnya pun tenang.
Ia lalu berjalan ke pintu depan sesudah terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan.
"Mas?"
Hakim mpu nalanda tidak berpaling.
"Ya?"
"Gantilah dulu piyamamu. Dan pakai sepatu."
"Astaga!"
Hakim mpu nalanda mengeluh. Kaget sendiri. ia bersalin pakaian di kamarnya dengan bantuan sang
istri. Namun tidak mengatakan apa-apa. Masih saja ia memperlihatkan wajah dan sikap tenang luar
biasa. isterinya berpikir, tak aneh!
Bukan dokter saja yang sering menerima panggilan mendadak. Menyangkut perkara-perkara
besar, hakim pun bisa Jadi. sang iStri tidak berprasangka apa-apa saat ia mengantar suaminya
sampai ke pintu. Saling melambai. Lalu kembali menemui anaknya. Baru sesudah mobil meluncur di
jalan raya, wajah Hakim mpu nalanda berubah sepucat kertas. Keringat membercik di jidatnya. Sekujur
tubunya gemetar. Lantas bergumam parau:
"Tuhanku! Mengapa... mengapa justru Sumarna yang mati?"
*****
Lurah hutan larangan membuka pintu.
"Eyang terlambat," katanya murung. "Satu mayat lagi telah dikuburkan tadi siang."
Tamunya menyahut datar: "Aku sudah tahu."
"Eyang sudah tahu?! Dan eyang tidak berbuat apa-apa?"
"Janganlah cemberut begitu, hutan larangan . Aku dapat tahu dari orang yang berpapasan di jalan ke mari...."
Tubuh kecil kurus itu menggerak gerakkan kaki.
"Boleh masuk? Makin peot, makin tak kuat aku berdiri lama-lama."
Tersipu-sipu Lurah hutan larangan mempersilahkan tamunya duduk. Tergopoh pula ia menyelinap ke belakang
memberitahu istrinya bahwa ada tamu. isteri Lurah hutan larangan keluar menyambut.Cium pipi kiri dan kanan
sang eyang, berbasa basi sebentar lalu kembali ke dapur untuk membuatkan minuman.
'Jadi si Raden hanggareksa telah"
"Bukan Raden hanggareksa . Eyang. Sumarna, adiknya."
"Ah. Aku salah dengar tadi, kalau begitu. Penanda yang sama dengan rsi Kertajaya , kira-kira?"
"Mirip eyang. Bedanya, rsi Kertajaya masih pakai celana. Sedang Sumarna, bugil sama sekali.
Pakaiannya tertumpuk dekat kakinya. Kuat dugaanku ia lebih dulu bercumbu dengan seseorang.
sebelum makhluk itu menyerangnya."
"Atau, ia telah bercumbu dengan makhluk itu sendiri."
"Yang benar. Eyang! Entah pacat entah lintah, namun bercumbu dengan manusia.... Jangan-jangan
eyang mulai pikun ya?" lurah hutan larangan tertawa sumbang.
Isterinya muncul dengan hidangan.
Mau ikut nimbrung ngobrol namun mundur dengan wajah memberengut sesudah dipelototi
suaminya.
"Aku menyesal pernah punya murid macam kau. hutan larangan ."
Tamu tua renta itu mengeluh _ it.
"Sumarna bercumbu dengan seseorang. Dan kenapa ratu lesbi itu tidak ikut diserang?
Umpamakan, ratu lesbi itu pergi duluan? Kenapa Sumarna tidak segera mengenakan pakaiannya
kembali? Kudengar, hujan terus turun malam itu. Udara dingin membeku. Umpamakan pula ia
ketiduran lalu ditinggalkan si ratu lesbi . Hanya satu jenis ratu lesbi yang mau berbuat begitu. Kau
menyimpan pelacur di kelurahan ini, hutan larangan ?"
"Setahuku, tak seorang pun."
Lurah hutan larangan bingung sendiri. namun ia tidak mau kesalahan ditimpakan atas kepalanya seorang.
Maka dengan suara ketus ia berkata:
"Bercumbu dengan ratu lesbi nakal atau dengan roh jahat. sama saja eyang. Sumarna toh sudah
mati. Dan itu tidak akan terjadi seandainya eyang tidak datang terlambat."
"Bagus. Bagus caramu mencari kambing hitam,"
Si tua renta meneguk tehnya. Dengan nikmat! Lalu:
"Kalau Tuhan menghendaki besok hari seratus orang mati di suatu tempat, apakah aku harus
hadir di sana untuk mencegahnya?"
Wajah Lurah hutan larangan yang tadi cemberut, berubah kemerahan menahan malu.
"Maafkan aku. Eyang."
"Sudahlah .Antarkan saja aku menemui Raden hanggareksa ," orang tua itu bangkit seraya menjinjing
bungkusan yang tadi ia letakkan dekat kakinya.
"Jangan sampai kita terlambat pula"
Lurah hutan larangan pergi memberitahu istrinya.
lalu bersama sama mereka meninggalkan rumah. Malam belum larut. Masih sekitar pukul
sembilan. namun langit gelap tertutup mendung tebal. Hempasan angin di rumpun bambu
mendesahkan suara suara gaib yang tak seorang pun tahu maknanya.
"Bukankah rumah yang di sana itu? Kok kita menyimpang,"
Sang eyang bertanya heran.
"Raden hanggareksa lebih suka tinggal bersama adiknya. Eyang. Si Ronggolawe . Semua tersedia lengkap di situ.
Mobil, telepon, pelayan. Jadi gampang bertindak kalau terjadi apa-apa."
Lurah hutan larangan mengintip ke jinjingan di tangan orangtua itu. Bertanya menyelidik:
"Eh, Eyang. Omong omong, ke mana saja eyang beberapa hari ini? Dan tumben, muncul
sekarang."
"Aku pergi ke Pantar Cicarita. Menggarang air laut."
"Menggarang apa?"
Lurah hutan larangan kaget.
"Air laut. Biar air berlimpah ruah di pantai, hujan pun tetap punya hak turun di sana.Jadi aku
terpaksa menggarang air laut. Dengan bantuan seorang nelayan sahabatku. Selain sebab matahari
malas keluar, dengan menggarang air laut aku memperoleh endapan garam dengan khasiat yang lebih
manjur."
"Garam? Cuma untuk mengambil garam. eyang buang tempo dan enerji?"
"Apa itu, enerji?"
"Uh, ah. Tenaga, begitu?"
"Hem. Hem. Supaya kau tahu, garam dapur paling banter mampu mematikan makhluk-makhluk
kecil menjijikkan yang bangkainya pernah kau bawa sebagai oleh-oleh untukku."
Si kecil kurus tersenyum dan ikut mengangguk ramah bersama pak lurah kepada beberapa orang
pemuda yang berpapasan dengan mereka. Lurah hutan larangan rikuh dengan sindiran itu.
"Bungkusan ini. hutan larangan ...."
Lanjut bekas gurunya tak acuh.
"..E en, en apa tadi?"
"Enerji. Tenaga."
"Ah ya Enerji yang tersimpan di bungkusan ini bukan enerji sembarangan. Garam mentah, kau
tahu. Kuendapkan sendiri. Dengan caraku sendiri pula."
"Cara yang bukan sembarangan, aku percaya,"
Lurah hutan larangan tersenyum. .
"Pujianmu tak kuperlukan."
Ia mendapat jawaban ketus.
"Lebih baik kau ceritakan sedikit sedikit mengenai kehidupan dua orang bersaudara yang akan
kita temui."
"Raden hanggareksa dan Ronggolawe adalah.... Eh, Eyang. Kenapa eyang cuma memusatkan perhatian pada mereka?
Masih ada kematian-kematian lain yang juga patut diperhatikan."
"namun tidak seperti matinya rsi Kertajaya , nyonya lalu Sumarna. Tentang bayi, baru bayi mpu Jenggala .
Sepengetahuanku, hutan larangan . selama belum terlambat maka serangan terhadap anak kecil semacam bayi
mpu Jenggala masih dapat diselamatkan. Lain halnya dengan roh jahat yang menyerang keluarga Raden hanggareksa .
Camkan. Yang terbunuh, semua keluarga Raden hanggareksa . Sudah terbuka otak budekmu sekarang?"
"Alaa, eyang ini. Jangan sewot begitu dong."
"Raden hanggareksa dan Ronggolawe . Bagaimana tadi?"
Memberengut si eyang. Tak acuh.
****
sebab sudah diberitahu lebih dulu oleh lurah hutan larangan . Raden hanggareksa tidak heran kedatangan tamu tidak
dikenal yang memasuki rumahnya berdua dengan Lurah hutan larangan . Namun toh sempat juga ia dibuat
tercengang melihat penampilan orang itu. Sudah tua bangka, kurus dan kecil pula lagi Wajah pun
biasa-biasa. Tutur kata teratur dan sopan.
Tadinya Raden hanggareksa berharap akan melihat tubuh yang kuat, sehat. Biarpun tua bangka, tetap kekar
dan kuat.
Bukankah punya ilmu?
Lalu, ia juga tadinya membayangkan akan melihat kain hitam melilit kepala. Bukan peci. Pakai
sarung hitam, dan telanjang kaki. Bukan kemeja dan celana, berselop. Sepasang matanya merah
saga. Bukan mata bening jernih. Mulut tak berhenti menceracau. kumat kamit setengah kesurupan.
Bukan mulut tersenyum ramah, simpatik. Bau keringat busuk memualkan. Bukan bau keringat biasa,
seperti keringat Raden hanggareksa sendiri.
Hampir saja ia bertanya pada pak lurah. apakah kepala daerahnya itu tidak membawa orang yang
keliru. namun orangtua sederhana lagi necis yang duduk santai di depannya, mendahului dengan
kata-kata:
"Aku tidak membutuhkan ramu ramuan atau jimat, Nak Raden hanggareksa . Yang sangat kubutuhkan dan
harus kuterima dengan ikhlas, cuma satu. Kepercayaan!"
Raden hanggareksa terhenyak.
Maluu
"Apa yang dapat kubantu, Pak tua?"
Ia mendesah. Lirih.
"Namaku Wijaya . Kalau kau suka. sebut saja Aki Udin,"
Orangtua yang tampaknya "tidak punya apa-apa" itu tersenyum manis.
'Dan yang perlu dibantu, adalah kau dan adikmu TribuanaTunggadewi ."
"Terimakasih. Aki Udin."
"Percaya pada kebesaran Tuhan, Anakku?"
"Ah, Aki Udin...."
Raden hanggareksa melengos tanpa menyolok.
"Aku menempuh kehidupan yang buruk hampir selama dua puluh tahun. Jadi...?"
"Dapat dimengerti,"
Eyang Wijaya manggut manggut.
"Juga dari apa yang kudengar dari orang lain tentang kehidupan saudara ratu lesbi mu, dapatlah
aku menjelaskan dengan ringkas. Rumah yang bersih, sebenarnya tidak perlu ditepung tawari."
Orang lain itu tentunya lurah. rungut Raden hanggareksa di sanubari. Namun ia tidak berkecil hati .Berkat
kalimat tamunya yang menyindir sedemikian halus rumah yang bersih. tak perlu ditepung-tawari.
rsi Kertajaya memang seorang yang soleh. namun rsi Kertajaya telah gagal membagi kesolehannya kepada istrinya
sendiri, TribuanaTunggadewi .
Pikir Raden hanggareksa lagi:
"Kalau si tua bangka ini menyebut rumah yang bergelimang dosa. biarpun mungkin benar,
tentulah ia sudah kutendang keluar?"
Di mulut, Raden hanggareksa berkata ingin tahu:
"Boleh aku tahu dengan apa Aki Udin akan menepung tawari rumah ini?"
"Ini."
Eyang Wijaya meletakkan bungkusan di meja. saat dibuka, tampaklah setumpuk bubuk halus
berwarna putih kekuning kuningan.
"Apa ini?"
"Garam mentah."
"000."
Pada saat itu mpu Ronggolawe masuk untuk menghidangkan minuman dan penganan. sebab ketiga orang
laki-laki yang tengah berembuk itu rupanya tidak merasa terganggu oleh kehadirannya, mpu Ronggolawe
bekerja berlamhat-lambat. Nguping, biasa.
"Garam ini taburkanlah di sekeliling rumah,"
Eyang Wijaya menerangkan.
"Utamakan celah celah pintu. jendela kuburan atau kalau mau boleh pula di para-para itu kalau kalian
berangkat tidur. Dan kalau salah satu dari kaliar keluar rumah, bekalilah segenggam garam di saku.
Dengan demikian saya harap apa yang telah menciderai almarhum keluargamu, tidak berani
mendekati kau dan adikmu"
mpu Ronggolawe melirik ke bungkusan terbuka di meja, saat ia pura-pura membetulkan letak pot bunga
di atas rak .Berpikir.
"Garam Aku punya banyak di dapur."
"Eh, aku tidak melihat lpah,"
Lurah hutan larangan menukas ingin tahu.
mpu Ronggolawe segera berlalu.
"Ia ada di kamar, Pak Lurah. Sejak tadi malam, terus-terusan menelan pil tidur. Kalau tak kujaga,
maulah ia habiskan satu ples penuh."
Raden hanggareksa geleng-geleng kepala, sedih. Mudah-mudahan saja tidak ia telan pula nanti garam ini.
Garam. Hem.
"Dan Noni?" tanya pak lurah lagi.
"Di rumah sakit. Pak. Jadinya saya terpaksa pulang-pergi sepanjang hari. Noni diopname."
"Sakit apa, nak?" '
"Demam." jawab Raden hanggareksa , pendek. Di benaknya masih berputar pikiran yang sama: garam. Hem,
betapa sederhananya. Pacat. Lintah. Dan garam. Mengapa ia tidak berpikir ke arah itu?
Betapa sederhana. Dari pikiran seorang tua bangka yang sederhana pula. namun apakah yang ia
cemaskan, sesederhana itu penanganannya?
Mereka bertiga terus berembuk. Serius.
Wajah mpu Ronggolawe saat tadi meninggalkan kamar duduk. tenang dan biasa saja. Begitu ia tiba di
koridor, wajahnya pun berubah serius. Sangat serius. Ia langsung menghambur ke dapur. Mengambil
segenggam garam. Garam segenggam itu ia taburkan di sekeliling dapur, kamar mandi. kamar cuci
dan kamar tidurnya Bila kurang. ia berlari lagi mengambilnya ke dapur.
lalu ia berdiri agak jauh, menyimak apakah "daerah kekuasaan" nya itu sudah terlindung
aman. Cukup, pikirnya. sambil masuk ke kamar tidur. Berbaring di dipan, rupanya ia masih gelisah. Ia
menatap curiga ke celah pintu.Bubuk garam bertaburan di sekitar celah pintu itu.
namun apakah ia sendiri sudah aman?
mpu Ronggolawe berpikir keras.
Lalu ia bangkit dari dipan. Membuka pintu dan berlari-lari ke dapur. Kali ini ia bawa satu
mangkok penuh garam. Kembali ke kamar. sesudah mengunci pintu, mpu Ronggolawe menanggalkan semua
pakaiannya .Tinggal kutang dan celana dalam. Lalu garam semangkok itu ia tabur dan oleskan ke
Setiap sudut tubuhnya, tak dilewatkan seincipun juga. Malah diselundupkan juga sejumput bubuk
garam di balik kutangnya. Ragu-ragu sebentar, lantas menaruh pula sejumput di balik celana dalam.
Ia merasa geli sedikit.
namun ketimbang mati dengan dada berlubang?
mpu Ronggolawe mengenakan pakaiannya kembali. Baru sesudah ia dapat berbaring di dipan dengan
perasaan aman.
Di kamar duduk, Lurah hutan larangan bergumam:
"Berani kau berdua saja di rumah ini? Tanpa ada yang menemani?"
"Aku punya pisau komando. Dan telah pula kusiapkan sebilah golok,"
Raden hanggareksa mengaku.
"Tetap saja kalian perlu ditemani. Kulihat, banyak keluargamu di rumah ibumu. Mengapa tidak
meminta bantuan mereka saja"
Raden hanggareksa menjawab kesal: "Yang ada belum pulang, yang lain sudah datang pula. Mereka harus
kuberi makan semua. namun bukan itu yang membuatku tak senang. Mereka semua tiap kali menatap
waswas padaku dan Ronggolawe . Sampai aku berpikir, mereka menginap berlama-lama sebab ingin tahu,
siapa di antara kami berdua yang akan menyusul rsi Kertajaya , Ibu, Sumarna? Kurang ajar. Benar-benar
kurang ajar!"
"Sabar, Nak. Sabar. Mereka bertujuan baik. Turut berdukacita. Ikut memanjatkan do'a. Oh ya.
Apakah tahlilan terus saja diadakan di masjid? Tidak di salah satu rumah kalian?"
"Lebih baik tetap di masjid, Pak lurah. Kalau di rumah ibu. aku terpaksa harus hadir dan
meninggalkan Ronggolawe sendirian di sini. Ronggolawe tak mau beranjak dari ranjang. Ia terpukul. Sangat terpukul.
Aku juga. Dan ah, kalau diadakan di rumah ini pula, yah. Bagaimana ya. Aku dan Ronggolawe sangat ingin
sendirian. Tanpa terganggu. Kami berdua ingin tetap berduaan satu sama lain. dan merenungi
bersama mengapa kutuk yang mengerikan itu hanya tertimpa atas kami saja..?"
Di kamar pembantu. mpu Ronggolawe tersentak bangun.
Suara apa itu?
"Kresak kresek, seeerrrr."
Lalu tak tik tak suara lembut kaki melangkah .Dengan wajah takut. mpu Ronggolawe mencari mangkoknya.
Masih ada garam tersisa. Lekas ia genggam, lantas ditaburkan semua di sekitar dipan sambil mulut
kumat-kamit memanjatkan do'a.Sebentar lalu suara ganjil itu menjauh. Lalu lenyap.
"Besok akan kubeli lebih banyak garam di pasar," desah Bi ljah lega.
Sosok tubuh yang barusan melewati kamar pembantu sambil melakukan sesuatu, tampak
membuka pintu samping lalu menghilang dalam kegelapan malam di luar rumah.
mpu Ronggolawe tak bisa tidur.
Dan di kamarnya, TribuanaTunggadewi sebaliknya, justru tidur pulas. Malah sampai mendengkur. Ia tidak
perduli pada alam sekitar. Pil-pil yang dibeli Raden hanggareksa di apotek melalui resep dokter. malam itu ia
telan sampai tiga butir.
Tak heran ia lupa menutup tirai jendela kuburan kaca.
Kegelapan malam tampak menganga di luar jendela kuburan . Rembulan bersinar pucat, menerangi alam
sekitar. Dari balik rimbunan daun rambutan yang rindang, membersit sepasang kilatan merah
bernyala. Tak lebih dari titik api besarnya. Kilatan mata itu menatap lurus ke jendela kuburan kamar tidur
TribuanaTunggadewi . sebab tirai terpentang membuka dengan sendirinya tampak nyata bahwa di kamar itu
hanya ada TribuanaTunggadewi seorang.
Mana sang bayi?
Bayangan hitam itu melesat dari pohon rambutan dan terbang melayang memperhatikan
jendela kuburan jendela kuburan yang lain, terutama kamar tidur pembantu. Tetap sama bayi yang darahnya segar
bugar itu, tidak terlihat. Tidak ada petunjuk bayi itu di dalam rumah.
Di mana bayi itu mereka sembunyikan?
Sesosok tubuh kehitaman muncul dari belakang rumah. Sepasang mata merah saga itu
melihatnya, lantas membawa kepalanya melesat terbang sejauh mungkin dan lenyap ditelan
kegelapan malam .
Anjing melolong lirih.
Entah di mana.
"... baiklah,"
Di kamar duduk, Raden hanggareksa menarik nafas panjang sesudah ia mengambil keputusan yang bulat.
"Aku tak keberatan, Pak Lurah. namun mpu Ronggolawe tetap di kamarnya. Sungguh tak pantas kalau pak
lurah serta Aki Wijaya tidur dikamar pembantu. Begini saja .Aku akan pindah dari kamar tidur
untuk tamu dan menempati kamar kerja rsi Kertajaya . Pak lurah dan Aki Wijaya menempati kamar yang
kutinggalkan."
"Do'akan saja, agar semua ini lekas berlalu. sahut Lurah hutan larangan , puas.
"Berapa lama kira-kira, Pak Lurah?"
"Mana aku tahu. Eyang meramalkan, satu minggu ini hujan akan turun terus menerus. Dua
minggu atau mungkin satu bulan sesudah nya. panas dan kering lagi. sebab itu ia yakin. terjadinya
ah, maksudku, makhluk terkutuk itu akan muncul kembali hari-hari ini juga."
"Makhluk terkutuk!"
Raden hanggareksa mengeluh.
"Seperti apa kira-kira bentuk maupun rupanya, Pak Lurah?"
Lurah hutan larangan tidak mampu menjelaskan. Dan tidak sempat. Sosok tubuh kurus kecil dari Eyang
Wijaya sudah masuk lewat pintu depan yang terbuka. Bungkusan yang tadi ia bawa ke dapur terus
ke sekeliling rumah sudah berkurang isinya.
"Selesai, Eyang?" tanya Lurah hutan larangan .
"Sebagian. Tinggal kamar TribuanaTunggadewi . Itu tugas Nak Raden hanggareksa lah."
Orangtua itu duduk keletihan di kursi semula, lantas seraya menahan senyum ia berkata:
"Kalian tahu?"
"Apa. Aki Udin?"
"Tadi aku temukan banyak sekali garam bertaburan. Bukan garamku."
"Ah, masa Di mana?"
"Di dapur, di kamar mandi, di kamar cuci. Dan bertumpuk tumpuk di celah pintu kamar pelayan."
"mpu Ronggolawe . Astagaaa...."
Raden hanggareksa menggeleng dan untuk pertama kali sesudah rsi Kertajaya meninggal dunia, Raden hanggareksa lalu
tertawa berderai-derai.
****
Dua belas
Siang yang mendung berhujan, pertengahan minggu kedua bulan Januari.
Di rumah Hakim mpu nalanda , dua orang ratu lesbi tengah berbincang bincang dengan nada duka.
"Kau tak kuliah lagi, NYI girah ."
NYI girah meletakkan buku saku yang tengah ia baca. Buku saku yang telah ia baca empat hari
terus-menerus, tanpa mengerti satu kata pun jalan ceritanya .Padahal selamanya ia menghabiskan
paling banyak tiga jam untuk menelan seluruh isi cerita buku saku karya Harold Robbins itu.
Ia tidak sedang menangis.
Namun kelopak matanya masih saja sembab, saat ia menatap ibunya yang masuk ke kamar
dengan suara menyesalkan namun bibir mengulas senyuman sayang.
"Aku tak dapat konsentrasi, Mama"
"Mestinya kau keluar. Jalan-jalan."
"Aku tak bernafsu, Mama"
Dan ibu membereskan sprei tempat tidur anaknya yang makin kurang rapih belakang ini.
Lantas berpaling kaget waktu mendengar anaknya bertanya:
"Apa yang mama dan papa rahasiakan?"
"Rahasia?"
ratu lesbi yang lebih tua, mendekat ke tempat anaknya duduk dekat jendela kuburan . Mengusap rambut
hitam berkilauan dan harum semerbak itu dengan campuran haru dan kasih sayang.
"Buat apa kami menyimpan rahasia? Terhadap kau, puteri kami satu satunya?"
"Mama berbohong."
"NYI girah , Anakku!"
"Mama berbohong. Mama kira aku tak tahu bahwa ada yang telah berubah di rumah ini?"
"Berubah? Apanya yang berubah, NYI girah ?"
"Mama Dan papa"
"Hem. Kami tetap mengasihimu. Tidak ada yang...!"
"Pura-pura .Mama pura pura tak tahu. Sudah berapa hari ini. mama dan papa jarang bercakap
cakap. Kalaupun pernah kupergoki. kalian berdua lantas memutuskan pembicaraan sesaat , dan
berlaku manis padaku. Manis pura-pura. Masih ada lagi: mama dan papa semakin jarang mengungkit
rencana pernikahanku dengan Sumarna. Padahal, kemarin-kemarin ini, wah, mengeroyokku
habis-habisan!"
Mata sang ibu berkilat perih.
Mulut tetap saja tersenyum, luar biasa, lalu :
"Anakku, Manis. Bukankah kau sendiri yang bermaksud menundanya?"
"Dan papa marah, ya? Papa marah sekali!"
"Tidak. Papamu tidak marah."
"lantas? Apa yang menyebabkan tingkah papa dan mama tampak sangat ganjil?"
Sang ibu mengawasi wajah anaknya dengan seksama. Sinar matanya kelihatan tegang sejenak,
lalu sembari menarik nafas, ia mendesah:
"Cobalah berterus terang pada ibumu, NYI girah . Siapa sebenarnya yang kau cintai?"
NYI girah menatap heran. Lantas bergumam bingung:
"Ya. Dua-duanya. Cinta mama. Cinta papa"
"Kau tahu apa yang ibu maksud, NYI girah ,"
Ibunya menyerang.
"Mama...."
Sudut-sudut mata NYI girah mulai basah.
"Siapa, anakku? Siapa di antara mereka berdua yang sesungguh sungguhnya kau cintai?"
NYI girah merangkul ibunya kuat-kuat.
Menangis tersedu-sedu.
"Jangan tanyakan itu padaku, Mama jangan! Aku takut. Takut sendiri menjawabnya!"
ibunya ikut menangis.
Tak lama lalu ia berkata lembut: "Ayo. Kau perlu istirahat. Minumlah obatmu. Lihat. Betapa
kau tambah pucat dan kurus hari-hari belakangan ini...."
Ia mengulas senyuman lirih. "Siapapun juga yang kau cintai, NYI girah , yakinlah mereka tak akan
senang melihat penampilanmu seburuk sekarang."
Tangis NYI girah menurun.
"Minum obat sekarang?"
"Ya, Mama"
"Nih...."
Lalu:
"Tidurlah ya, NYI girah ?"
"Ya, Mama."
sesudah menunggui anaknya hampir satu jam dan yakin NYI girah sudah pulas, ratu lesbi yang lebih
tua beranjak ke pintu. Menutupnya hati-hati. Lalu kembali duduk menunggu, di kamar depan. Bersama
curah hujan yang membanjir dari langit kelam, sebuah mobil memasuki halaman sekitar pukul tiga
siang.
ratu lesbi itu menyambut suaminya di pintu.
Sambil membantu melepaskan dasi sang suami, ia bergumam pelan: "NYI girah membuatku makin
cemas. Pak."
"Mana dia?"
"Tidur. Jangan terlalu keras suaramu."
Ia menarik suaminya ke kamar mereka sendiri, menutup pintu rapat-rapat. Curah hujan ribut
bukan main. Toh ratu lesbi itu tetap berbicara dengan bisik-bisik
"Apakah tidak sebaiknya ia kita beritahu saja?"
Lama, baru ada sahutan:
"Tunggulah. Kita harus pasti dulu."
"namun ia tidak juga mau menjelaskan, siapa sebenarnya yang paling ia dambakan dari kedua
orang pemuda itu."
"Hem"
"Bagaimana, Pak?"
"Biar saja seperti ini dulu. Sampai kita yakin benar. Kalau ia mencintai Sumarna, aku ngeri
membayangkan apa yang bakal terjadi atas diri anak kita."
"lalu. kalau bukan Sumarna?"
Suaminya tersenyum. Lantas berujar, munafik:
"Aku malah berharap. bukan Sumarna. Konon pula Sumarna telah. Eh. Bu. Kau tetap berada di
dekat telepon, bukan?"
"Benar, Pak. Untung kau nasihatkan keluarga Sumarna agar jangan berbicara langsung dengan
NYI girah . Dan ah, ya. Mujur pula, anak kita malas keluar dari kamar. Kerjanya cuma berkurung dan
berkurung. Makan pun, susahnya bukan main."
"Kau hibur teruslah dia. Dan..."
"Dan apa, Pak?"
"Kebiasaan buruknya sekarang ini, kukira sebagai penebus dosa. Tanpa ia sadari. ia tengah
menjalaninya."
Mereka lalu berpelukan.
Erat.
Dengan tangan-tangan sama gemetar .
sebab riuh rendahnya hutan di seputar rumah, mana berbisik bisik pula, NYI girah tidak mendengar
apa yang dipercakapkan ibunya. Ia tidak pula tidur seperti dugaan ibunya.
Mata NYI girah terbuka Lebar. Bola mata itu kemerah-merahan.
Ia turun dari ranjang. Mendekat ke jendela kuburan .Menatap hujan dan diam-diam menikmati hempasan
angin topan di luar. _
"Aku harus pasti," bisiknya, nekad
"Aku harus berani melakukannya!"
Hujan kian membadai.
****
Malam pertama saat garam ditaburkan, hujan turun rintik rintik .namun tidak ada sesuatu yang
terjadi. Paginya TribuanaTunggadewi bangun dengan mata terkantuk kantuk. Ia tidak mau mandi. Tidak mau
sarapan. TribuanaTunggadewi minta Raden hanggareksa mengantarkannya ke rumah sakit untuk membesuk Noni. Kesehatan
bayi itu bertambah baik. namun masih perlu dirawat satu dua hari, untuk menormalkan kulit tubuhnya.
'
Mereka singgah di restoran untuk makan Siang.
Tak satu pun hidangan dapat mereka nikmati dengan baik ke percetakan. Ia sudah menelepon
tidak akan masuk untuk jangka waktu yang ia sendiri tidak bisa menentukan.
Pulang dari kota, Raden hanggareksa menyempatkan singgah di rumah kost Rosida. Gadis itu tak ada di
tempat. Rupanya Raden hanggareksa lupa waktu ia menelpon ke percetakan, ia sempat bicara dengan Rasida.
Gadis itu mengatakan ia sudah agak baikan. Gusinya masih bengkak, tinggal benjolan kecil. ia
bekerja dengan saputangan tetap terpegang di depan benjolan mulutnya, malu dilihat orang.
Dari rumah kost Rosida, Raden hanggareksa dan TribuanaTunggadewi menjenguk kaum kerabat yang masih tinggal di
rumah ibu mereka. Sebagian sudah pulang, rupanya. sesudah melihat-lihat apa yang kurang dan
diperlukan oleh sisa keluarga yang masih bermaksud menginap, keduanya lalu pamit dan pulang
ke rumah TribuanaTunggadewi .
Hujan badai menyambut mereka setiba di rumah.
Pak Lurah hutan larangan sedang pergi ke rumahnya. Eyang Wijaya tengah ngobrol dengan mpu Ronggolawe di
beranda belakang. Eyang minum teh pahit dan obrolan boleh dikata diborong semua oleh mpu Ronggolawe yang
sesekali melirik teman bicaranya dan tertawa-tawa genit.
TribuanaTunggadewi langsung ke kamar.
Tidur.
Ia telah melupakan urusan dagangnya, membuang keuntungan jauh-jauh dengan memberitahu
Raden hanggareksa agar telepon dari relasi relasinya ditolak saja untuk sementara. Sebelum tidur, diawasi
Raden hanggareksa dengan seksama. TribuanaTunggadewi menelan hanya satu butir pil.
Garam ditaburkan lagi oleh Eyang Wijaya . Jejak-jejak kaki rupanya membuat celah-celah
masuk yang tidak disenangi orangtua yang apik itu.
Tengah malam, TribuanaTunggadewi terbangun. ia tidak tahu, apakah tadi ia bermimpi buruk. atau sekedar
gelisah saja sehingga tidurnya terganggu. Badannya terasa panas. Lamat-lamat ia dengar suara
orang ngobrol di kamar duduk. Lurah hutan larangan rupanya sudah bergabung lagi.
Udara dalam kamar terasa sangat gerah.
Dan punggung TribuanaTunggadewi , gatal.
Oh. Sudah dua hari ia tidak mandi rupanya. Dan meski saat itu tengah malam, ia tidak tahan
gerah dan segera masuk ke kamar mandi yang terletak di pojok kiri, bersatu dengan kamar tidur
tersebut.
Tanpa prasangka sedikit pun. ia membuka keran air. Dua-dua sekaligus. Yang bertitik biru.
Dan bertitik merah. Seraya menunggu air hangat mengalir masuk semakin banyak ke bak air,
TribuanaTunggadewi menanggalkan gaun tidurnya. Pintu kamar mandi ia biarkan tetap terbuka. Toh, pintu kamar
tidur terkunci dari dalam.
Sekilas ia lihat taburan garam mentah di luar pintu kamar mandi.
"Pekerjaan sia-sia,"
Ia menggeleng. lantas sikat gigi.
Habis ia sikat gigi, bak air baru terisi setengah. TribuanaTunggadewi melangkah masuk ke bak porselen itu.
Kaki-kaki telanjangnya sangat bagus dan cantik. Sebelum berendam di dalam air, ia tanggalkan pula
kutang dan celana dalam. Dengan berbugil ia lalu rebah. Berbaring telentang. Santai.
Lima menit ia nikmati kehangatan air di sekujur tubuhnya, tanpa bergerak. Kraan air telah ia
matikan, sebab bak hampir penuh. Dijangkaunya sabun mandi lantas mulai menggosoki tuhuh
bugilnya yang mulus halus, ia bayangkan rsi Kertajaya yang membelainya. Matanya merem, dengan telapak
tangan terus membelai, mengusap, membiarkan busa sabun memenuhi permukaan air, dan menikmati
orgasme dengan bibir gemetar mengeluarkan erang dan rintih.
sesudah itu, sejenak ia terkulai.
Lemah.
Lalu dengan kakinya, ia tarik rantai pengikat tutup lobang keluar air di dasar bak. Genangan
sabut semakin merendah, merendah dan merendah bersama arus air yang mengalir ke lubang
pembuangan. Merasa semua air dan kotoran akibat tadi ia mengalami orgasme, telah terbuang
semua, maka TribuanaTunggadewi membuka lagi kran. Titik biru dulu baru merah. Air dingin sejuk mengalir
sedikit. Begitu pula air panas.
Macet?
Pikir TribuanaTunggadewi , dan lupa menutup lubang pembuangan.
Dengan menaikkan leher, ia gapai kran-kran air dan memutarnya sampai titik maksimal.
Campuran air dingin dan panas mengucur lebih banyak. lalu arusnya mengecil lagi. Ia tidak
melihat busa di sekitar kakinya bergerak. Dan pelan-pelan bercampur warna. Putih busa.
digoyang-goyang oleh makhluk-makhluk kecil berwarna coklat, yang menjulur masuk lewat lubang
pembuangan dan menggelupur serta menggeliat ribut di dasar bak yang licin.
"Sialan!"
TribuanaTunggadewi memaki.
Lalu memukul-mukul kran dengan perasaan kesal. Aneh. Air mengalir kembali. Lebih deras dari
tadi. Wajah TribuanaTunggadewi lega. Berbaring santai seperti semula dan meresapi kehangatan air yang jatuh
membasahi rambut, wajah, leher, pundak lalu dadanya yang menggelembung padat.
"Hei, apa ini...." ia tertegun, saat merasakan sesuatu yang dingin dan lunak merayapi betisnya.
Mula-mula satu. Lalu bertambah banyak. Kedua betisnya merasakan kegelian yang amat sangat,
apalagi sesudah telapak kakinya mulai pula diserang.
Air mampet lagi.
Sambil mengawasi gerakan busa di sekitar kaki dan pahanya, tangan TribuanaTunggadewi menggapai kepala
kran. Dipukul-pukul lagi. Pukulan yang mujarab.
Sangat mujarab!
sebab yang keluar dari kran, baik bertitik putih maupun bertitik merah, bukan air dingin dan air
panas. Melainkan potongan-potongan kecil sepanjang dan sebesar jari kaki ayam. Warnanya coklat.
Kulitnya lunak. Dingin. Licin. Berlendir.
Dan, hidup!
Ratusan lintah dan pacat mengalir deras dari pipa-pipa kran, menggelinding di kepala TribuanaTunggadewi .
Menggelupur, menggeliat lalu merayapi wajahnya, pundak, leher, dada dan semua tubuhnya. Lima detik
TribuanaTunggadewi terpana saking tak percaya.
Detik keenam. ia tersadar.
Terutama, sesudah ia mulai merasakan tusukan demi tusukan disertai sedotan demi sedotan pada
sekujur kulit tubuhnya. Busa telah berubah warna sama sekali. Coklat. Hanya coklat. Menggeliat,
menggempur, merayap, menusuk, menyedot. Ribut sekali.
TribuanaTunggadewi serempak bangun.
Dengan ratusan, mungkin ribuan lintah dan pacat lengket menggigiti dan menerobos kulit
memasuki daging-daging tubuhnya. Lidah TribuanaTunggadewi terlalu kelu untuk berteriak .Mulutnya mangap.
namun nafaspun hampir tak mampu ia keluarkan.
TribuanaTunggadewi limbung.
Terkulai ke lantai kamar mandi. Dengan posisi duduk. Punggung menghempas tembok.
Di kamar duduk, pak lurah menguap.
"Suara apa itu?"
Eyang Wijaya diam mendengarkan.
Raden hanggareksa mengamati kartu-kartu bridge yang ia pegang, kecewa melihat Lurah hutan larangan menguap.
lantas mendengus:
"Ronggolawe . Pasti bermimpi buruk lagi."
Dan Ronggolawe , si TribuanaTunggadewi malang menggeliat-geliat dalam usahanya untuk melepaskan diri dari
terkaman teror yang dahsyat itu. Selintas, di tengah rasa sakit, perih, nyeri, geli dan seram
sekaligus, terbelalak matanya menatap kran air. Dari mulut salah satu pipa kian air itu, pelan-pelan
meluncur turun makhluk sejenis dengan yang kini memenuhi bak dan lantai kamar mandi.
namun yang turun itu lain sekali.
Warnanya lebih hitam sedikit. Dan, makhluk itu turun seorang diri. Dengan susah payah pula,
sebab berusaha sedemikian rupa mengecil dan memanjangkan tubuh agar dapat lolos dari pipa.
Mencapai setengah meter, makhluk itu meliuk keras menggapai tepi bak. Sisa tubuhnya melengkung
tinggi, dan dengan satu kali sentak, keluar semua dari pipa kran. Jatuh terhempas di pangkuan
TribuanaTunggadewi . Bentuknya pun berubah. Tambah pendek, namun tambah besar pula. Sampai mencapai
panjang dan sebesar lengan atau paha TribuanaTunggadewi .
itulah dia.
Kejutan puncak dari ribuan kejutan yang telah menggerogoti TribuanaTunggadewi . Kesadarannya tinggal
sedikit. Tenaganya apalagi. Melawan ia tak mampu. Meronta, pun tak kuat.
namun kejutan puncak di haribaannya.
Menggelinding-gelinding menimpa ratusan kejut lain yang telah lebih dulu menempati haribaan
itu.
Sisa kesadaran dan naluri di tubuh TribuanaTunggadewi . melahirkan suatu jerit lengking menyayat tulang,
mengiris sumsum.
"Duuuaaarrr, buk!"
Pintu kamar tidur yang terkunci itu terhempas membuka oleh tendangan kaki yang disertai
tenaga berlipat ganda. Cemas memukirkan nyawa adik ratu lesbi nya, Raden hanggareksa memperoleh tenaga di
luar ukuran normal. Begitu pintu terbuka ia menghambur masuk disertai jerit marah:
"TribuanaTunggadewi ! jangan! Jangan TribuanaTunggadewi !"
Lurah hutan larangan merungkut di kursinya.
Pucat.
Sesosok tubuh yang lebih kurus dan lebih kecil. serta jauh lebih tua dari Lurah hutan larangan , dengan
tangkas bangkit dan menyerbu masuk kamar di belakang punggung Raden hanggareksa . Sambil bangkit, sambil
ia sambar bungkusan garam mentah yang tak pernah jauh dari tangannya.
Lampu kamar tidur menyala terang benderang.
Begitu pula lampu kamar mandi. Pintu kamar mandi itu terbuka. dan ratusan lintah yang merayap
keluar, serempak tertegun saat mencium bau garam. Ada pula yang nekad maju menerobos
rintangan di ambang pintu kamar mandi. Puluhan ekor banyaknya, yang segera menggempur-gelupur.
Mati.
Tampak betis TribuanaTunggadewi terjulur.
Pucat. Dilengketi warna coklat yang hidup. menggeliat-geliat. Raden hanggareksa menderu masuk ke kamar
mandi.
"Saripaaaah!"
Ia dalam posisi setengah berdiri setengah bungkuk. Maksud semula, merenggut tubuh sang adik
yang sudah diam, membeku. Sepasang mata TribuanaTunggadewi terpentang lebar. Menatap mohon perlindungan.
Namun, tanpa sinar kehidupan walau sepercik. di bola mata yang tadinya bundar indah itu.
Sinar mata itulah yang membuat Raden hanggareksa mendadak membeku.
Di belakangnya tanpa mengeluarkan Suara apa-apa kecuali menyebut kebesaran nama Tuhan.
Eyang Wijaya menaburkan bubuk garam sebanyak-banyaknya ke pintu, ke lantai, ke bak mandi.
Gerakan liar dengan suara yang riuh rendah bergalau di kamar mandi. Ribuan yang mati. namun
beratus-ratus ekor makhluk makhluk kecil menjijikkan itu mampu juga lolos. Melarikan diri lewat
lubang pembuangan. Saling berdesak desak, dan membuat lebih banyak mati terkena siraman bubuk
garam.
sebab terhalang oleh tubuh besar dan kekar milik Raden hanggareksa , Eyang Wijaya tidak melihat
makhluk yang mestinya jadi sasaran utama. Hanya Raden hanggareksa seorang yang melihat dengan mata tak
berkedip. Makhluk ajaib namun laknat itu tegak di haribaan mayat TribuanaTunggadewi . Seolah memiliki sepasang
mata, ujung paling atas makhluk itu meliuk dan "menatap" langsung ke mata Raden hanggareksa .
lalu , makhluk itu sirna. Dalam sekejap mata.
Dan Raden hanggareksa merasakan uap dingin merasuki kepala, lalu seluruh tubuhnya. Kebekuan itu,
mengendur. Perlahan, Raden hanggareksa meluruskan tegaknya lalu berusaha lolos dan ambang pintu kamar
mandi.
Sesaat, Eyang Wijaya menepi. Naluriah, memberi jalan.
Saat berikutnya, Eyang Wijaya melihat kelainan dalam sinar mata Raden hanggareksa .
Orangtua itu kaget.
Melompat-lompat mundur ke tengah kamar. Menghalangi jalan ke pintu.
"Berhenti. kau!"
Ia membentak.
Sinar mata bening dan ramah di bola mata Eyang Wijaya berubah ngeri bercampur marah,
tatkala ia lihat leher Raden hanggareksa terputar. Sungguh, terputar mengikuti arah jarum jam. lalu
berlawanan dengan arah jarum jam lalu kembali dengan posisi semula. Leher Raden hanggareksa bagaikan
terbuat dari mainan plastik saja, yang digerakkan Otomatis dengan bantuan batu baterai.
" biarkan... aku... lalu!"
Mulut Raden hanggareksa terbuka.
Suara yang terdengar, bukan suara Raden hanggareksa yang gagah dan parau. Melainkan suara lirih seorang
ratu lesbi .
Lutut Eyang Wijaya goyah.
'Si... siapa engkau?"
Ia menggagap.
"Nurjanah!"
*******
Tiga belas
Selasa.Ya Hari itu Selasa Memasuki minggu ketiga bulan Januari yang lembab. Basah berkabut.
Pukul lima, pagi. Belum terang benar namun lalu lintas di depan rumah NYI girah sudah mulai hidup.
Seperti biasa, sehabis sembahyang subuh kedua orangtuanya kembali tidur untuk bangun lagi sekitar
pukul tujuh.
NYI girah meluncurkan mobil hati-hati dari dalam garasi ke jalan raya yang berlapis kabut. sesudah
menemukan putaran yang benar, mobil langsung dikebut. Beberapa belokan, lalu lurus menuju
pinggir kota. Mendekat tujuan utama. NYI girah menyimpang lalu menghentikan kendaraan di depan
sebuah rumah.
Rosida sendiri yang membuka pintu.
"Kau, NYI girah Tumben, pagi begini." sambutnya dengan mata setengah mengantuk.
Wajahnya kelihatan tidak sehat.
"Kumohon,"
NYI girah tidak berbasa basi lagi.
"Demi masa depanku yang terancam, sudilah Kak Ida ikut dengan aku...."
Terpesona sebentar, Rosida lalu tergugah oleh bunyi suara dan sorot mata NYI girah yang minta
dibelas kasihani.
"Tunggulah sebentar."
Tak lebih dari lima menit, Rosida sudah duduk di sebelah NYI girah dalam mobil. ia telah bersalin
pakaian. Dan memberi pupur merah jambu pada pipinya yang... hanya Rosida saja yang tahu... kering
pucat. Mobil pun melaju kembali.
"Ke mana kita, NYI girah ?" tanya Rosida, lembut.
"Menemui Bang Raden hanggareksa ." '
Terjadi ketegangan sebentar. Rosida memberengut mengatakan tujuan mereka terdengar aneh.
dan NYI girah tanpa tedeng aling-aling menjawab dengan penanyaan:
"Kak Ida. Cintakah engkau pada Bang Raden hanggareksa ?"
"Oh. Aku kira."
"Cinta?"
"Kau menghendaki jawaban yang jujur?"
Rosida menantang.
Ngeri membayangkan kemungkinan jawaban apa yang ia terima, NYI girah berbisik: "Berikan saja
pengakuan dusta"
Dan saat pengakuan Rosida keluar juga, NYI girah yakin itu adalah pengakuan yang tulus:
"Cinta."
Namun ada keraguan di mata Rasida. NYI girah tidak mengetahuinya, dan hati NYI girah menjerit-jerit
sakit.
"Tapi. NYI girah ..."
NYI girah menekan keperihan di dada.
"namun apa, Kak Ida?"
"Aku meragukan Raden hanggareksa ."
jeritan di hati NYI girah , melemah. Mulutnyalah kini sebaliknya yang hampir menjerit:
"Mengapa kau meragukan Bang Raden hanggareksa ?"
"Ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku."
Sepi.
jalanan keluar kota itu, lebih sepi lagi. Sebentar gerimis. sesudah gerimis, kabut
"Dari mana Kak ida tahu?"
NYI girah merintih. Padahal, ia ingin bersorak sorai.
"Naluri ratu lesbi , NYI girah ."
Sepi lagi.
lalu :
"Kau mencintai Raden hanggareksa ?'
Pertanyaan Rosida itu sudah diharapkan NYI girah . Ia sudah menerima jawaban tulus ikhlas. Maka ia
pun harus mengimbanginya. jawab NYI girah , gemetar:
"Aku sangat mendambakannya."
"Aku mengerti."
Tidak tergambar nada sakit hati atau marah maupun tersinggung dalam ucapan Rosida itu. Ia
mengerti. Itu saja. Tanpa embel embel. NYI girah tidak tahu apa sebabnya, dan memang hanya Rosida
seorang saja yang tahu. Ramah dan bersimpati, Rosida bergumam:
"Apa rencanamu?"
"Buka kartu!" sahut NYI girah , bernafsu.
"Mendengar dari mulut Bang Raden hanggareksa bahwa ia mencintaimu, dan bersedia menikahimu. sesudah
itu Kak Ida. Apa boleh buat. Aku akan menyerah .Bersedia menikah dengan Sumarna."
Rosida menatap kuatir:
"Kau belum tahu?"
Jantung NYI girah berdetak. Ia tidak bertanya, namun ia siap mendengarkan. Diam diam ia berpikir, di
sinilah terletak kunci pembuka rahasia tingkah laku papa dan mamanya yang lain dari biasa.
Tanpa berperasaan, Rosida memasukkan anak kunci ke lubang rahasia lalu memutarnya
dengan suara berdetak nyaring:
"Sumarna sudah mati." '
"Ci-ci-ciiiittt...!"
Mobil zig zag, lalu terhempas diam di tepi jalan.
NYI girah mencengkeram kemudi kuat-kuat, seakan ingin mematah matahkannya.
Pandangan matanya gelap.
Masih hari selasa. Awal minggu ketiga bulan Januari yang sama.
Pada pukul lima pagi itu Raden hanggareksa tampak masih berdiri. Tegak mematung di antara kamar mandi
dan pintu kamar tidur TribuanaTunggadewi . Suara berisik tajam dari kamar mandi sudah lama menghilang. namun
di lantai kamar mandi itu masih tetap tertumpuk beribu-ribu ekor bangkai lintah dan pacat. Hampir
tertutupi tumpukan bangkai menjilikkan itu terlihat pula sebelah kaki mayat TribuanaTunggadewi terjulur kaku.
Tiga jam lebih Raden hanggareksa berdiri tanpa bergerak.
Toh, tegaknya tetap kokoh. Mata kelabu, tak berkedip.
Di hadapannya duduk tegang dan pucat Lurah hutan larangan pada sebuah kursi yang telah ia seret dari
kamar duduk ke dalam kamar tidur TribuanaTunggadewi . Kursi itu ditempatkan persis memenuhi ambang pintu.
Sebelumnya, sekitar pukul dua pagi lebih lima menit. Lurah hutan larangan yang hampir semaput sebab
terkejut dan takut, memasuki kamar tidur TribuanaTunggadewi dan dengan ngeri memandang terpelotot suasana
di sekitarnya .Betis TribuanaTunggadewi , ribuan bangkai memuakkan, dan Raden hanggareksa yang berdiri dalam sikap aneh.
Lurah hutan larangan merapat ke punggung Eyang Wijaya , dan mendengar bekas gurunya itu bertanya
gagap:
"Sss... siapa... engkau?"
Raden hanggareksa menjawab. Bukan suaranya sendiri. namun suara lain. Suara lirih ratu lesbi .
"Nurjanah!"
Lurah hutan larangan merasakan lutut Eyang Wijaya goyah. Lurah hutan larangan , jangan dikata lagi. Terasa
sesuatu mengalir deras pada bagian bawah tubuhnya.
Eyang Wijaya berbisik:
"Kau membasahi celanaku."
"Celanamu?"
Mulut Raden hanggareksa memperdengarkan suara Nurjanah.
"Aku tidak membasahi celanamu."
"Bukan kau," sahut Eyang Wijaya cepat cepat. Lututnya tidak goyah lagi.
"Ini, murid yang nempel di punggungku. ia kencing di celana, dan ikut membasahi celanaku pula."
Diam.
"Nurjanah?"
"Aku masih di sini...." sahut roh Nurjanah,
Dingin.
"Apakah kau ini Nurjanah, anak gadis Dudung yang dinyatakan hilang?"
"Dari mana kau tahu?"
Ia mulai tertarik. pikir Eyang Wijaya dengan sukacita.
Anak ini dapat diajak bicara. Anak ini, dulunya, pasti memiliki sifat-Sifat lembut. Peka. Dan
Eyang Wijaya tidak takut lagi.
"Aku banyak mengetahui, Anakku."
Eyang Wijaya berujar lembut. Terasa irama belas kasih pada alunan kata katanya yang lembut
mengalun itu.
"Kau sangat menderita. bukan?"
Tubuh Raden hanggareksa tergetar.
namun suara Nurjanah yang keluar dari mulut pemuda itu agak tenang:
"Bagaikan tersiksa api neraka. Gelap sekali di mana mana. Sunyi mengerikan. Aku tak bisa
melarikan diri...."
"Kau akan kulindungi, Anakku."
"Kau? Kau akan melindungi aku?'
Terdengar tawa rendah. Pahit. Menyakitkan.
"Aku sudah lama mati. Sudah lama mati. Dengar? Aku tidak mungkin tertolong lagi." ,
"Rohmu, Anakku. Rohmu yang ingin kulindungi. Kau tentunya teramat sengsara, sebab tak
diterima langit tak diterima bumi, bukan?"
"Eh. Ya. Aku sangat takut."
"Kami juga takut, Anakku."
"Kalian takut? Aneh. Mengapa kalian takut? Hanya aku dan ayahku saja yang pantas menerima
ketakutan itu. Hanya aku dan ayahku. Serta ibuku. Kami bertiga tidak pernah kalian perkenankan
mencicipi sedikit kebahagiaan. Kalian semua...."
Suaranya mendadak naik, lengking:
"Kalian membakar ibuku! Kalian membakar ibuku!"
"Kami tidak pernah bertemu dengan ibumu. Nak. Belasungkawa kami untuknya. Terimalah. Dan
ayahmu"
"Si Rukmana membunuhnya"
Eyang Wijaya terdiam.
Bingung.
Di belakang. Lurah hutan larangan berbisik tanpa melepaskan pandangan matanya yang melotot cemas ke
arah Raden hanggareksa berdiri.
"Rukmana Ayah Raden hanggareksa ."
Eyang Wijaya manggut-manggut. Dia ingat sekarang.
Katanya.
"Apa yang telah diperbuat Rukmana? Sungguh, percayalah. Kami semua tidak tahu. Kalau kami
tahu."
Suara eyang mengancam, namun tanpa lanjutan ancaman yang jadinya mengambang itu. "Apa
yang diperbuatnya?"
"Ia memeras ayahku. Menimbuni kami dengan hutang budi, dan lalu mengambilnya kembali
lewat kekayaan kami yang tidak seberapa. ia, si lintah darat itu...."
Tubuh Raden hanggareksa bergetar hebat lagi. Getaran amarah yang meluap luap. Mulut Raden hanggareksa yang
terbuka kaku, memperdengarkan jerit lengking:
"Lintah darat! ia lintah darat terkutuk! sebab itulah, dengan bantuan roh ayah dan ibuku, aku
bangkit kembali. Bangkit dalam wujud yang mestinya dimiliki Rukmana. Melalui wujud lintah akan
kulakukan apa yang ia perbuat padaku, pada ayahku. Menghisap darahnya. Menghisap darahnya
sampai tidak tersisa sebutirpun juga!"
"Rukmana sudah menerima hukumannya, Anakku."
"Aku tahu! Aku tahu! namun bukan tanganku yang melakukan. Alam mendahului aku. Dan sebelum
alam mendahului lagi, maka kupikir tidak ada salahnya menghisap darah semua keluarga Rukmana.
Toh mereka semua pernah hidup dari penghasilan Rukmana Dari darahku. Darah ayahku!"
"Maafkan, Nak."
"Maaf. Kepada roh jahat terkutuk? "
Lurah hutan larangan tak mengerti. Tetap lengket di punggung Eyang Wijaya . ia dengarkan juga lanjutan
kata-kata eyang itu:
"Perbuatanmu tidak patut."
Hening.
Menyentak. Lebih-lebih, curah hujan di luar rumah sudah reda betul. Angin pun seolah enggan
bertiup.
Hampir pingsan Lurah hutan larangan waktu sekonyong konyong keheningan itu dipecahkan suara melolong
Nurjanah:
"Demi setan yang diusir dari syurga! Demi setan penghuni neraka! Ber











.jpeg)
.jpeg)
