Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 2

uknya 
lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya, 
lalu  nenek itu menerangkan artinya dan memberikan 
tafsiran. Ia mendengarkan lebih khidmat dari pada upacara-
upacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam 
upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari 
suaminya ia akan kembali ke desa membawa keharuman 
dan kebesaran. 
Lain halnya dengan raden gelang-gelang . Sekalipun ia dilingkari Laki-laki -
Laki-laki  tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti 
seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali, 
ingatannya tak juga mau lepas dari betari  resi   dan 
segala akibat yang mungkin  muncul . Ancaman kepala   desa 
itu membuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan. 
Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang adiputro  
sekarang ini hanya satu muslihat untuk memusnahkannya 
dari muka bumi. 
Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ;tu. Ia tak rasakan 
tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang 
melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain 
pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan 
nasihat mereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti 
burung berkicau. 
raden gelang-gelang  berusaha keras mengingat-ingat kembali…. 
Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah 
serba putih sebab  tuanya dengan cepat mengutip Negara 
Kertagama dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan, 
negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di 
bawah kekuasaan kerajaan jenggala . Bahwa di mana para bala tentara  laut 
kerajaan jenggala  mendarat, di sana pula orang berkerumun 
hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga 
hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan 
Candrakirana. 
“Selama kalian tak mampu melihat dunia, selama itu 
kalian sudah  diperlakukan oleh kediri  bukan sebagai 
bawahan , namun   sebagai musuh yang sudah  dikalahkan dalam 
perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui kediri  dari 
kalian. Barang bakal dan barang jadi…!” 
“Jangan ditahan kaki ini, raden gelang-gelang  biar aku tekuk,” salah 
seorang pemijit menegur. 
Dan raden gelang-gelang  mengendorkan otot-otot kakinya. 
”Bagian ini sangat tegang, raden gelang-gelang , terlalu lelah.” 
Kembali ia mengenangkan mendiang betari  resi  : 
Orang setua itu, tak memiliki  sesuatu pun keeuali diri, 
kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di 
mana-mana, dan juga di mana-mana menimbulkan 
kekaguman orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka 
yang tak memerlukan  kebenaran…. 
“Telentang, kau, raden gelang-gelang !” 
Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher 
sekarang memperoleh  giliran. 
“Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar 
nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.” 
“Karunia sang Hyang betari durga   muncul di mana-mana,” ia 
menjawabi. 
Semua ototnya sudah  jadi kendor. Param itu menusuk. Ia 
merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di 
alam mimpi… 
Azan subuh dari menara tempat ibadah  Kota dan pelabuhan 
belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar 
gamelan mulai bertalu, mendesak deburan laut, 
membangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas 
mandi dan memakai  kembali pakaian terbaik. Bereepat-
eepat orang selesaikan sarapan, membersihkan rumah dan 
membuka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih 
dan Kamajaya yang sedang turun dari kediri  hendaknya 
juga memasuki rumah dan hati mereka. lalu  mereka 
membersihkan halaman dan menaburkan bunga-bungaan 
dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang. 
sinar matahari  dengan cepat meninggalkan permukaan laut. 
Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai 
wama umbai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh 
pesta. Sela Baginda tahu-tahu sudah  dipagari dengan janur 
kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu 
Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya. 
Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di 
pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang adiputro  memerlukan 
datang ke kamar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan 
orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: “Hari ini Soma. 
Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Soma kami ubah 
jadi Senin.” Kata berita itu pula: Sang adiputro  kelihatan 
pucat, mungkin malam-malam tidak beradu. Dengan 
tangan sendiri ia sudah  taburkan daun bunga pada kepala   
dua orang pengantin desa itu. 
Bunyi gamelan semakin riuh   dari mana-mana. Dalam 
rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling 
depan adalah gamelan mereka, dengan atau tanpa penari, 
untuk menyambut keluarnya pengantin dan juga untuk 
mengiringkannya. Dengan kadipaten sudah  penuh-sesak 
dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang sudah  
riang sekali sebab  terlalu tua dan terlalu bersemangat 
orang memukulnya. 
Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak game\an 
dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera 
turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung 
lalu  padam. Hidangan pagi yanghangat menguap-uap 
itu membuat  orang lupa bahwa besok masih ada hari lain. 
Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gula-
santan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi 
menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang 
berpesta. Untuk daerah kediri , pandan-wangi selalu 
didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang 
mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. Gulai ayam, 
kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu 
perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang 
untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan: 
tak ada ikan laut dihidangkan. sinar matahari  mulai bersinar 
gemilang. 
Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten, 
memasuki pelataran depan. Sebentar semua tangan 
melambai-lambai menyambut. Seorang pendeta sri ratu kertanegari  
membunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah 
memercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang 
dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu menitikan jalanan 
itu. Akan ditempuh pengantin. 
Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantra-
mantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti 
berbunyi, seorang-orang tua, memekik memecah 
keheningan: “Sambutl” Giring-giring. Berbunyi lagi. 
Berhenti. “Sambut!” kata  orang tua itu. Giring-giring. 
kata an. Giring-giring. kata an Gumam Pendeta sri ratu kertanegari . 
kata an. Susul-menyusul lalu  bergulung jadi nyanyi 
bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu 
di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut 
menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah 
terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi. 
lalu  semua tangan terangkat ke langit seakan hendak 
menerima jabatan dari Kamajaya dan Kamaratih yang akan 
turun ke bumi. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para 
penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai 
berjalan pelan menuju ke gapura. 
Sang adiputro  kelihatan berdiri di pendopo. Para 
pembesar dibelakangnya. Ia memang kelihatan pucat. Dan 
tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu 
itu sendiri terbuat dibandingkan  kayu berukir. Atap dan 
dindmgnya terbuat dibandingkan  sutra kuning tipis terpilih dan 
berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru 
laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati 
berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung 
dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala   
semua manusia. 
Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gamelan mulai riuh 
berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang 
penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih 
menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari 
lain mereka memainkan riwayat raden gelang-gelang  dan nyi girah  di 
sepanjang jalan arak-arakan. 
Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka 
tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu. 
Sebentar jalan. 
nyi girah  memakai  kembang keemasan berkilat-kilat. 
Perhiasan dari mas dan permata memancar gemerlapan 
pada kepala  , kuping, leher, tangan, dada dan perut. raden gelang-gelang  
bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas 
dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula 
dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari 
mas. gada wesi nya bersarung dan berbulu kayu sawo 
bertatahkan intan baiduri. 
Memang mereka tak ubahnya dengan pengantin 
kerajaan. 
Begitu tandu sudah  meninggalkan alun-alun dan mulai 
menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi 
dipertahankan. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda 
bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu 
nampak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan, 
oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin 
itu tetap agung duduk di tempatnya. 
Kota sudah  dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela 
Baginda di pelabuhan. Gadis-gadis mulai semakin 
mendesak untuk menghampiri nyi girah . Mereka tak dapat 
menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk 
memperoleh kan berkahnya. Dari samping lain para perjaka 
berebut dahulu untuk menyentuh raden gelang-gelang . 
Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu 
lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak 
melarang. Suaranya lenyap dalam gelombang gamelan dan 
deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli. 
Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi kediri  
mungkin tak bakal terjadi lagi dalam 400  tahun 
mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan 
berlalu tanpa memperoleh kan berkah dan kenangan. Kulit 
pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus 
disintuh. 
Mengerti akan keinginan mereka, nyi girah  dan raden gelang-gelang  
mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan 
para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak 
berhasil memperoleh  sensang yang betari durga   mulai menyerang bunga-
bungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan 
lenyap dari penglihatan mata. 
Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan 
makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang 
mulai menyerang dinding dan atap tandu. 
Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan 
pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap matahari  dan 
angin. 
Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gamelan terus 
juga bertalu. Dan para penari terus juga berlenggang-
lenggok sepasang jalan. 
Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para 
perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha mengambil-
alih tugas memikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat 
menyentuh dan tak memperoleh  bunga, tak memperoleh  
serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di 
udara seperti biduk terkena terjang angin beliung. 
Dari mana-mana terdengar orang memekik melarang. 
Gemuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan 
antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara, 
menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin 
terguncang-guncang. 
nyi girah  lupa pada sikap resminya. Tangannya 
berpegangan erat-erat pada tiang tandu. raden gelang-gelang  berusaha 
mempertahankan keselmbangannya dengan kedua belah 
tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran 
heran bertanya-tanya. 
Sebuah kata an tinggi melengking keluar dari mulut 
seorang nenek pengawal nyi girah : “Dewa Batara! Jangan 
biarkan jatuh tandu itu’.” 
Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, lalu  
hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli 
pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika. 
Gamelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun 
membeku. matahari  seakan hilang dari peredaran, kehilangan 
teriknya. 
Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu, 
lalu  berteriak : “Ampun, Dewa Batara, ampun!” 
Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan 
kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara 
sedu-sedan dan memohon ampun pada sang Hyang betari durga   mulai 
menggelombang. 
Satu lingkaran orang kaget sudah  berdiri mengelilingi 
pengantin yang terjatuh dari atas tandu. 
Ketegangan dan kekejangan. 
Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para 
dewa, sebab  membiarkan pengantin kekasih Kamajaya 
dan Kamaratih terguling dari kedudukannya. 
Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari mana-
mana membubung dengung mantra-mantra. 
Dalam kerumunan orang nyi girah  berdiri dari tanah, 
raden gelang-gelang  melompat bangun. Kedua-duanya diam tidak 
bicara. Bersama-sama mereka memandang langit dan 
bersujud . Selingkaran orang ketakutan itu tak 
menyambut tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru 
sesudah  ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami 
tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa 
harus dikerjakan: membetulkan tandu agar pengantin naik 
lagi. raden gelang-gelang  dan nyi girah  menolak. 
Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka 
meneruskan perjalanan. Kebetari ian membuncah lagi. namun  
para pengiring tepat di belakang pengantin diam membisu. 
Pengantin menolak ditunjang. 
Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air 
bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua 
membawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali, 
lalu  menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup 
bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa 
ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit 
ke permukaan air. 
Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang sudah  memanjang 
pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut, 
seperti sedang meneropong hari depan sendiri. 
Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun 
bersama ombak, bergerak pelahan, makin lama makin 
menjauhi pantai. 
Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya 
bunga-bungaan. Dan yang mereka awasi tak ada yang bakal 
kembali ke darat. Makin lama makin menjauh… jauh, 
melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal… menjauh,… jauh 
… jauh…. 
wah 
 
6. adiputro  kediri  Arya Tumenggung Wilwatikta 
Orang bilang: Sang adiputro  kediri  bukan keturunan 
orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung 
berasal dari darah wangsa kerajaan jenggala . Dan tak ada orang 
yang meragukan. Sang adiputro  sendiri bangga pada darah 
yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa aman 
sebab  darah itu sendiri sudah  memicu  ia tak memiliki  
penantang sebagai penguasa atas negeri kediri . 
Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan 
kerajaan jenggala . Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua 
berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur 
yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa 
Timur. Ia marak jadi raja pertama kerajaan jenggala  dengan nama 
Kartarajasa. 
Sang adiputro  tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak 
memberikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan 
yang sudah  sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga 
Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda 
menganggap orang-orang ningrat sudah  menjadi lemah 
sebab  kemewahan dan penghormatan dan sanjungan yang 
berlebihan. 
namun  , pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini, 
demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa kerajaan jenggala  
biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak memiliki  
jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka 
tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya 
semula. Kesetiaan memang bisa diharapkan dari mereka, 
namun   kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang 
bijaksana. 
Juga Sang adiputro  kediri  tahu dari resi  praja: sejak 
masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa 
sudah  dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara 
dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia 
sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke 
negara-negara jawadwipa . Juga pernah ikut memimpin 
gerakan mempersatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana, 
Pahang dan ikut membangunkan persekutuan militer 
dengan Campa. Sesudah  menjadi raja kerajaan jenggala  pertama, 
Sri Baginda bercita-cita hendak membangunkan kerajaan  
dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia. 
Dari resi  praja adiputro  kediri  tahu: Sri Baginda 
Kartarajasa memiliki dua jalan untuk mempersatukan 
Nusantara. Pertama jalan kecil sebab  keciilah 
kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok   
dan kerajaan  Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat 
untuk dipengaruhi dan ditembus oleh kerajaan jenggala . Yang 
kedua adaiah jalan besar, sebab  besarlah kemungkinannya, 
yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke 
negeri dongeng , ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak 
terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat 
menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai. 
Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa 
mengawini putri jawadwipa  bermpu wungubhumi  Dara Petak artinya Gadis 
Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala 
Gemit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjamin 
kesetiaan jawadwipa  pada kerajaan jenggala  dan dengan demikian 
menyelamatkan Selat Semenanjung. 
Para gubernur bekas teman-teman seperjuangan Sri 
Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini. 
Biarpun permaisuri Gayatri tidak melahirkan seorang putra, 
hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri 
mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri 
Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak? Bukankah 
Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga 
benua: Nusantara, negeri dongeng  dan Wulungga? Mereka 
tidak rela kalau kerajaan jenggala , hasil jerih-payah mereka, harus 
jatuh ke tangan keturunan jawadwipa , hanya untuk dapat 
mempertahankan Selat Semenanjung. 
Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda, 
namun  semangat menjadi-jadi. 
Gubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu, 
kata resi  praja pada Sang adiputro  semasa masih kanak-
kanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang 
dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala Gemit jadi putra 
mahkota. Memang pandangan mereka hanya seluas 
desanya sendiri. Gubernur kediri , Ranggalawe, yang paling 
keras menentang, ditindak dengan ekspedisi militer oleh Sri 
Baginda. Ia melawan dengan gagah-berani, namun   sia-sia. 
Pengganti Ranggalawe itulah moyang Sang adiputro . 
Sang adiputro  kediri  Arya Teja, sebab  kebijaksanaan 
dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda sudah  diangkat 
jadi Patih kerajaan jenggala , waktu itu kerajaan jenggala  sudah  lemah 
sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda 
Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih 
kerajaan jenggala  Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka 
untuk membangunkan kembali kerajaan jenggala  Raya. Ia patah 
semangat, perhatiannya lalu  ia tumpahkan pada 
wilayahnya sendiri berdasarkan darmaraja, yakni negeri 
kediri . namun   kediri  tak bisa menjadi besar dan berdikari 
selama kerajaan jenggala  yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai 
bersekongkol dengan pedagang-pedagang arca   . Ialah yang 
memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk 
memberikan perkampungan dan pengajaran arca    di 
pelabuhan utara kerajaan jenggala , pasuruan . Ialah yang membentuk 
persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk 
semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara 
arca    sambil sedikit demi sedikit menunggangi kerajaan jenggala . 
kerajaan jenggala  sudah  lama runtuh. namun   adiputro  kediri  tak 
mampu melepaskan diri dari bentuk tatap raja kerajaan jenggala . Ia 
pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang 
kebanyakan yang sudah  berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang 
Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang 
berasal dari darah raja-raja. Semua kepala   pasukan kediri  
adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara 
mere ka memiliki  mpu wungubhumi , kecuali mpu wungubhumi  kepara bala tentara an. 
Dan sekarang, bahwa ia mengangkat nyi girah  dan raden gelang-gelang  
pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga sebab  
tradisi kerajaan jenggala . Ia merasa bangga dan puas sudah  dapat 
lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati. 
Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernah-
memakai  tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan 
tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang 
kemungkinan yang lebih baik. Maka begitu orang bersorak-
sorai di alun-alun dan membenarkan nyi girah , seketika itu 
juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan 
impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan 
bernama nyi girah  dan dan-merta berpihak pada sorak-sorai 
itu. 
Dan ia tahu, peristiwa nyi girah -raden gelang-gelang  tak boleh berhenti 
sampai di situ saja. Mereka dapat dipakai  untuk 
memelihara kesetiaan bawahan  kediri  kepadanya. Maka 
raden gelang-gelang  harus juga memperoleh  jabatan yang patut. 
Sesudah  upacara perkawinan agung selesai sering ia 
duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di 
tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat 
kehebatan berahinya pada tubuh nyi girah . namun   sesudah  
kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala, 
menyambar dan membakar dalam dada tuanya. 
Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat 
membantunya. 
Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak 
dengan bayangan penari jelita itu. Gerak-gerak yang begitu 
mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang… 
betapa… betapa… tidak, ia mepercaya kan diri sesudah  teringat 
pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek 
Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak 
kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia 
kebaskan berahinya. 
Selama nyi girah , seorang wanita, apakah bedanya dengan 
wanita lain? namun  pribadi seperti itu! Di sana bisa 
diperoleh  lagi? 
Dan dialahkan pikirannya sekarang pada raden gelang-gelang . Di 
mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya 
tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan 
kemampuan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan 
Gajah Mada sebagai seseorang? Namun wajah dunia sudah  
berubah sebab  mereka berdua, anak-anak desa itu: 
Semenanjung jatuh ke tangan kerajaan jenggala . Selat dikuasai, 
Jalan besar terbuka, kerajaan jenggala  jaya. 
Sekarang jayamahanaya  jatuh ke tangan nyi kanjeng blora. Selat dengan 
sendirinya, sebentar lagi mungkin blora runtuh pula dan 
Selat akan jadi milik mutlak nyi kanjeng blora. Dia bukan hanya 
hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang 
mampu melawan dia. kediri  pun tidak. namun   selama 
kediri  di dalam tanganku, kita akan memiliki harga apa 
pun juga. 
wah 
 
Sang adiputro  terbangun dari pemenungannya melihat 
sesosok tubuh merangkak mendekati sambil bersujud : 
“Ya, raden gelang-gelang , pengantin baru yang berbahagia, adakah 
sesuatu hendak kau persembahkan?” 
Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah 
mencoba menyusun kata. 
“A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa!” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih . 
Adapun patih  menghadap tidak sepertinya ini ialah 
memohon perkenan dari baginda tuanku raja  adiputro  kediri …” 
Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh pegulat 
itu. Sesudah  perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam 
kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu 
terhadap Sang adiputro . Sebagian dari kecurigaannya sudah  
hilang. nyi girah  sudah  jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang 
adalah kegelisahan seorang bawahan  yang menunggu 
datangnya hukuman. Pasti Sang adiputro  sudah  mengetahui 
segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya 
untuk melakukan sesuatu kerja memicu  
kegelisahannya semakin menjadi-jadi. 
“Kurang cukupkah yang sudah  lewat dan yang sudah 
ada…?” 
“Lebih dari cukup, baginda tuanku raja , patih  hanyalah petani biasa. 
patih  dan istri sudah rindu pada desa patih , baginda tuanku raja .” 
“Bukankah kami adiputro  kediri  dan kau bawahan nya? 
Bukankah kau mengabdi pada adiputro mu?” 
Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya. 
Badannya sudah kuyup. 
“Kau, raden gelang-gelang , kembali ke tempatmu. Jangan tinggalkan 
pengantinmu. Kau tidak kembali ke desamu.” 
Juara itu sudah  menggelesot di tanah. Beberapa kali ia 
mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat 
badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh. 
Dan Sang adiputro  memperhatikan bahu bidang di 
bawahnya itu   bahu pegulat yang kukuh seperti baja. 
Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati. 
Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa. 
centeng -centeng  yang sudah  diperintahkan membersihkan 
gedung bekas balai   sudah  menyelesaikan tugasnya. Sang 
adiputro  sendiri yang sudah  memerintah mereka. Dan sesudah  
itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi 
Rangga jatayuwesi  ke bekas balai   tersebut. Sang adiputro  
menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan 
sepatutnya. “Ya, raden gelang-gelang , pergi, kau!” perintah Sang 
adiputro . 
Anak desa itu bersujud , mengesot jauh dan 
bersujud  lagi, lalu  hilang dari penglihatan Sang 
adiputro . 
Ia tahu patih wirabuana  kediri  sedang mencoba menghadap 
untuk memprotes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit, 
berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke 
kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara 
hewan  itu sedang memakai  cis untuk memerintah si 
gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat 
pemelihara itu lalu  duduk di samping hewan nya, 
bersujud  pada Sang adiputro . Gajah itu sendiri 
mengangkat belalai. 
Sang adiputro  tertawa terhibur. 
wah 
 
Tidak lebih dari lima hari lalu , di taman di tentang 
kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan 
rahasia dari kanjeng sinuhun  adipati  Syah yang sedang menyingkir 
ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa 
dan bertulisan Jawa. 
kanjeng sinuhun  mengabarkan, jayamahanaya  sudah  jatuh ke tangan 
nyi kanjeng blora sebagai akibat pengkhianatan patih wirabuana  jayamahanaya  
berkebangsaan palawa  bernama pakanewon  adipati  Al-Badaiwi. 
Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok, 
setengah umur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk 
yang sudah  bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali. 
kanjeng sinuhun  jayamahanaya  mengakui, ia sudah  keliru mengangkat 
orang tersebut, hanya sebab  terbujuk oleh kefasihan 
tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang. 
Menjelang jatuhnya jayamahanaya  ia malah memperoleh  
kepercayaan keluar-masuk istana, dan hampir-hampir 
diangkat menjadi wazir. 
kanjeng sinuhun  berseru pada Sang adiputro  sebagai sedarah-
sedaging, seasal-keturunan kerajaan jenggala , supaya berhati-hati 
terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di kediri , 
sebab  orang itu sudah  meninggalkan jayamahanaya  di bawah 
perlindungan nyi kanjeng blora. 
Sang adiputro  mengerti maksud surat itu. Orang yang 
dimaksudkan tidak lain dari pakanewon  Habibullah Almasawa. 
Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak. 
Penguasa kediri  itu duduk di atas bangku batu yang 
lebih tinggi dibandingkan  duta rahasia kanjeng sinuhun  adipati  Syah. 
Dan sesudah  membacanya surat kertas itu dilipatnya baik-
baik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta 
berkata dalam jawadwipa : “Kami sudah  baca baik-baik surat 
ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri kanjeng sinuhun  
adipati  Syah. Di kediri  tak ada seorang palawa  bernama 
pakanewon  adipati  Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan 
Duta?” 
“Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran 
Ispanya, negerinya Andalusia, baginda tuanku raja .” 
“Kelahiran Ispanya? Tentu dia pandai Ispanya?” 
“Barangtentu, baginda tuanku raja .” 
“Apa dia barangkali juga berbahasa nyi kanjeng blora?” 
“Jelas seperti sinar matahari , baginda tuanku raja , sebab  dia dapat juga 
melayani kapai nyi kanjeng blora sebelum mereka menyerbu.” 
“Mengapa Tuan Duta mengandaikan dia di sini?” 
“Wara-wara baginda tuanku raja  adiputro  kediri  di atas jayamahanaya  sudah  
didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan patih wirabuana  kediri  
yang baru sangat cocok untuk pakanewon  adipati  Al-Badaiwi, 
baginda tuanku raja . Dia akan datang kemari.” 
“Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan 
mengubah namanya sekiranya memasuki kediri ?” 
“Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga 
bertugas menjejak bekas patih wirabuana  jayamahanaya ?” 
“Barang tentu, baginda tuanku raja . patih  sudah  singgah di blora, 
pekajan , pajajaran , jatikerto , Cirebon, suryabuaya   sambil menuju 
kediri . Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana 
pengkhianat itu pergi. Semenanjung sudah  berubah sangar 
bagi nyawanya. Dan ternyata, baginda tuanku raja , benar belaka, pakanewon  
adipati  Al-Badaiwi sudah ada di kediri  sini, jadi abdi 
baginda tuanku raja  adiputro  kediri , bahkan sudah  baginda tuanku raja  angkat jadi 
patih wirabuana  kediri .” 
“Maksud Tuan Duta, pakanewon  adipati  Al-Badaiwi itu 
tidak lain dari patih wirabuana  kediri  sekarang? pakanewon  
Habibullah Almasawa?” 
“Betul, baginda tuanku raja , patih wirabuana  kediri  yang baru itulah bekas 
patih wirabuana  jayamahanaya .” 
“Dan sesudah  Tuan Duta mengetahui dia ada di sini, 
adakah sesuatu yang Sri kanjeng sinuhun  kehendaki dari kami?” 
“Kalau sekiranya berkenan di hati baginda tuanku raja  adiputro  
kediri … ampun, baginda tuanku raja , bukan buatan terkejut patih  
melihatnya di jenggala baginda tuanku raja … dia tak mengenal patih  namun  
patih  mengenal dia… dalam hati patih  membersitlah satu 
doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh sang hyang Widhi  kiranya Sang 
adiputro  kediri  dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan 
betapa bersyukur patih  apabila nyawanya diserahkan 
kepada patih ,” Duta rahasia itu terdiam. 
Nampak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya 
harapan. 
Sang adiputro  membuang pandang ke arah kandang 
gajah. Persoalan jayamahanaya  adalah persoalan masa silam 
walau baru kemarin dahulu  bencana itu terjadi. Semua yang 
sudah lewat sudah  beibaris masuk ke alam lampau. Yang 
kemarin dahulu  kanjeng sinuhun , sekarang buangan. Yang sekarang Ad-
ipati masih tetap adiputro . Ia pandangi duta itu tajam-tajam. 
Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada 
orang di hadapannya itu. 
sinar matahari  hampir tenggelam. Percakapan rahasia itu 
terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu 
mempersembahkan sebilah gada wesi  bersarung mas bertulisan 
palawa  dan berbulu mas bertatahkan zamrud. 
”Perkenankanlah patih  mempersembahkan gada wesi  pusaka 
kerajaan jayamahanaya  ini, baginda tuanku raja , sebagai harapan dapat 
terjadinya persekutuan antara kediri  dengan Sri kanjeng sinuhun , 
untuk tidak menyinggahi jayamahanaya  selama dikuasai 
nyi kanjeng blora.” 
“sudah  kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah 
pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa patih wirabuana  kediri  
pakanewon  Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan 
sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan 
Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia melakukan 
pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana 
persekutuan-persekutuan sudah  Tuan Duta usahakan?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , adiputro , tentang itu pastikah bukan 
patih  yang harus mempersembahkan.” 
Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu sinar matahari  
tenggelam sama sekali. 
Nyamuk mulai berkeliaran di taman. Namun Sang 
adiputro  masih juga belum bangkit dari bangku batu. 
Betapa bodoh mengurus  yang sudah  masuk masa silam, 
pikirnya. 
Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan 
menitahkan agar raden gelang-gelang  datang menghadap. Dan waktu 
pegulat itu sudah  duduk bersembah di hadapannya segera ia 
memulai: “raden gelang-gelang , apa yang kau ketahui dari kebesaran 
masa silam?” 
Ia sudah  menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan 
ia dengar juara gulat itu berteriak  dengan suara tertekan: 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih .” 
raden gelang-gelang  tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam 
menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa 
daya-perlawanannya menjadi layu sesudah  memperistri 
nyi girah , dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman. 
“ayolah , persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan 
malam, dan kami pun tak perlu tahu,” kata Sang adiputro , 
sekalipun ia memiliki  dugaan, anak desa itu sedang kacau-
balau. Mengetahui raden gelang-gelang  tak juga berdatang sembah, ia 
mendesak: “Cepat, raden gelang-gelang . Kami tahu, kau sudah  banyak 
mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain 
dari kau dan nyi girah  yang sudah  mengurus    betari  resi   
sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek 
gila kebesaran masa silam itu. Persembahkan!” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih .” suara 
juara gulat itu gemetar. 
“Kau takut, raden gelang-gelang . Juara gulat yang takut bersembah!” 
Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya. 
Suaranya menjadi agak lunak. “dahulu  resi -resi  pembicara 
seperti betari  resi   banyak berkeliaran dan membual di 
kota-kota. resi   itu mungkin sisa dari gerombolan 
mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh 
oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara 
berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil. 
adiputro  kediri  tidak gentar pada buatan seribu resi -
pembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut.” 
“Ampun, baginda tuanku raja , kata betari  resi  , hendaknya orang 
memanggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam 
pada guagarba hari depan?” 
“Dari seluruh bualan resi   hanya itu saja yang teringat 
olehmu?” 
Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu 
seakan bersarang dalam kepala  nya. 
“Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah, 
bagaimana pun kau memanggil-manggil pada guagarba hari 
depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi. 
Kau percaya pada kata-kata betari  resi  ?” 
kepala   raden gelang-gelang  semakin mendekati tanah. 
“Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin 
kau… Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan 
pembicara-pembicara membual?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , memang demikian halnya.” 
“Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu 
datang? Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara 
gulat?” 
“patih  ada di sini, baginda tuanku raja !” 
“Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat, 
badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki 
pikiranmu, sebab  kau anak terpelajar, ingin banyak 
mengetahui, sebab  itu sering mendengarkan resi  
berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, sebab  kau tak 
dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami 
menghendaki jiwamu, sebab  tak ada kebesaran datang 
tanpa petaruh jiwa. raden gelang-gelang , kembalikan kejayaan dan 
kebesaran kerajaan jenggala  untuk kediri , untuk negerimu, ini 
untuk adiputro  sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga, 
kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau 
berdua di gandok kepatih wirabuana an yang sebelah kiri, 
gandok arca   . Dengan ototmu yang kuat lindungi jiwa 
patih wirabuana  baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan 
pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia patih wirabuana  
dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa 
jawadwipa . Jadilah pembantu utama pakanewon  Habibullah 
Almasawa. Berangkat!” 
Sesudah  juara gulat itu pergi Sang adiputro  bangkit dan 
berjaian tenang-tenang masuk ke kadipaten. 
Seminggu lalu  di taman itu juga Sang adiputro  
menerima seorang duta dari suryabuaya  . Sore juga waktu itu. 
Berbeda hainya dengan duta dari jayamahanaya , duta yang 
sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia 
belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta 
berdiri di belakangnya. 
“Ya, baginda tuanku raja , patih  adalah utusan pribadi baginda tuanku raja  Kanjeng 
adiputro  tumenggung dijoyo  dari suryabuaya  . Nama patih  mpu logender , baginda tuanku raja .”  
‘Teruskan, mpu logender  yang terhormat.”  
“Salam bahagia dari baginda tuanku raja  Kanjeng suryabuaya  , dan 
pesan….” Sang adiputro  berbalik. Wajahnya merah padam 
menahan kemarahan. Matanya membelalak: “Pesan? Pesan 
untuk adiputro  kediri ? Ataukah maksud Tuan ancaman?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri . Peristiwa suryabuaya   itu 
memang jadi duri dalam daging kediri . Untuk itu patih  
datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari 
tindakan pajang bintoro , baginda tuanku raja .” 
“Alasan? Apakah masih perlu ada alasan? Memasuki 
dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka 
gelanggang perkelahian? Hanya sebab  ingin memiliki  jenggala 
sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah 
kediri  pernah menjamah pajang bintoro  dengan kuda atau 
gajahnya? Atau dengan kakinya? Atau itukah alasannya, 
memanggil kaki dan kuda dan gajah kediri ?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , pajang bintoro  tahu benar akan kekuatan 
perkasa dari kediri .” 
Sang adiputro  mulai berjaian agak cepat dan mpu logender  
mengikuti dari belakang. 
“Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh 
pajang bintoro  rata dengan tanah.” 
“pajang bintoro  sebetulnya  tahu benar akan itu, baginda tuanku raja  
adiputro  kediri , ampuni patih .” 
“Mengapa perbuatan tidak kesatria raja , tanpa pernyataan 
perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang 
memerintah pajang bintoro ?” Sang adiputro  memilin-milin kumis 
putihnya. “Bukankah kami bisa perintahkan tumpas tuan 
Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai 
raja?” 
“Inilah nyawa patih , baginda tuanku raja , bila baginda tuanku raja  perlukan untuk 
ditumpas, patih  persembahkan dengan rela.” 
“Sungguh berani mati, kau, Tuan Duta.” 
“sebab  memang ada yang lebih penting dibandingkan  hati 
mati, baginda tuanku raja , mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.” 
“Apakah sebab  memikirkan nasib seluruh Jawa, maka 
pajang bintoro  merasa dibenarkan memasuki suryabuaya  ?” 
“sebetulnya  tiada jauh dari sangkaan baginda tuanku raja  adiputro  
kediri . Ampun, baginda tuanku raja .” 
“sang hyang Widhi  Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia 
sendiri tahu tentang nasib Jawa?” 
“Jauh dari itu, ya baginda tuanku raja  adiputro  kediri  yang mulia,” 
susul Duta suryabuaya   itu dengan cepat-cepat. “Utusan-utusan 
pajang bintoro  ke seberang dan negeri dongeng , baginda tuanku raja ….” 
“Siapa utusan-utusan itu? Bukankah utusan juga dari 
Sampo Toalang?” Sang adiputro  memotong. “Adakah 
Sampo Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami 
hancurkan dalam sepuluh bentar? Dengarkah, kau Aji 
Usup, Duta suryabuaya  . Semua orang prajawan tahu, Sampo 
Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang 
Tiongkok itu untuk menandingi suryabuaya  . suryabuaya   tidak jatuh 
sebab nya. jenggala mya tetap jaya. lalu  campa  atau 
Lasem didirikannya untuk menyaingi jenggala kediri . 
Apakah adiputro  kediri  berbuat sesuatu terhadap campa ? 
jenggala asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami 
ijinkan. kediri  takkan jadi pudar sebab nya. Bukankah 
kerajaan pajang bintoro  didirikan untuk membentengi Semarang 
dari kediri ? Sekarang pajang bintoro  sebagai kerajaan benteng 
sudah mulai menyerang. Sang adiputro  kediri  masih dapat 
mengendalikan diri, hai kau, mpu logender  Duta suryabuaya  .” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
“Sekarang utusan Semarang-pajang bintoro  ke seberang dan 
negeri dongeng  kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu 
kesopanan itu.” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
“suryabuaya   dan Semarang takkan dapat rempah-rempah 
lagi. Setiap kapal Semarang dan suryabuaya   yang belayar ke 
sebelah timur pasti kami hancurkan.” 
“Yang demikian sudah  terjadi, baginda tuanku raja .” 
“Dan akan terjadi seterusnya selama kami masih hidup.” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
“Sampai Semarang-pajang bintoro  mengembalikan suryabuaya   pada 
kami dengan hormat dan patut.” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
Sang adiputro  berjalan menuju ke taman di tentang 
kandang kuda dan mpu logender  mengikuti. Ia duduk pada 
bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding 
kandang gajah dan menetak tajam: “Sudah kami 
pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan. 
Semarang-pajang bintoro  akan punah tanpa rempah-rempah 
kami.” 
“Pasti, baginda tuanku raja .” 
Agak lama Sang adiputro  tidak bicara. Ia sudah  semburkan 
segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang. 
lalu : “Apa Tuan Duta hendak persembahkan?” 
“Bahwa utusan pajang bintoro  ke seberang dan negeri dongeng  
sudah  membawa keterangan-keterangan penting nyi kanjeng blora 
akan menguasai Jawa, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  yang mulia. 
Itulah yang memicu  pajang bintoro  secara terburu-buru 
memasuki suryabuaya  . nyi kanjeng blora tidak boleh memasuki tengah-
tengah pulau Jawa ini, baginda tuanku raja . Sekali masuk, seluruh Jawa 
akan dikuasainya. Itulah sebabnya pajang bintoro  memasuki 
suryabuaya   dengan sangat terburu-buru.” 
“Jauh manakah kediri  dibandingkan  negeri nyi kanjeng blora, maka 
tak ada utusan datang padaku? Dan kau, Duta suryabuaya  , 
datang jauh sesudah  adiputro mu memasuki wilayah kami? 
Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang 
memohon ampun. Dan sekarang kau datang, bukankah 
untuk itu?” 
“patih  datang menghadap memang untuk urusan yang 
agak lain, baginda tuanku raja , ampunilah patih .” 
“Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan!” 
“Ampun, baginda tuanku raja , utusan pajang bintoro , dari seberang dan Atas 
Angin yang datang dalam bulan ini, baginda tuanku raja , 
mempersembahkan pada baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  pajang bintoro , 
sebetulnya  kediri  sudah  mengadakan persiapan 
persenjataan untuk menghadapi nyi kanjeng blora, dan bahwa 
jatuhnya jayamahanaya  ke tangan nyi kanjeng blora sudah  menjadi pikiran 
baginda tuanku raja  adiputro  yang mendalam. Setidak-tidaknya sebab  
kediri  sebuah jenggala yang paling banyak bersangkutan 
dengan jayamahanaya .” 
“Betul, mpu logender . Duta suryabuaya   yang terhormat.” 
“baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  pajang bintoro  sudah  percaya  adanya 
persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada 
suryabuaya  .” 
Sang adiputro  tersenyum puas. 
“Juga tidak akan ditujukan pada suryabuaya  .” 
“Untuk suryabuaya  , pajang bintoro  dan Semarang akan waktu lain, 
mpu logender . Lihatlah betapa pongah kanjeng sinuhun mu. Mengirimkan 
seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra 
mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu 
pernah dilakukan oleh adiputro  kediri ?” 
“Tidak, baginda tuanku raja  adiputro  kediri .” 
“Apakah kediri  pernah menghalangi pembangunan 
Glagah Wangi? Atau pernah mengambil salah sebuah 
dusun pajang bintoro ?” 
“Tidak, baginda tuanku raja  adiputro  kediri .” 
“Apakah kurang berharga adiputro  kediri  dibandingkan 
dengan kanjeng sinuhun  pajang bintoro  maka hanya duta adiputro  suryabuaya   
yang dikinmkan pada Kami?” 
”Tidak, baginda tuanku raja . Soalnya hanya sebab  baginda tuanku raja  Kanjeng 
adiputro  tumenggung dijoyo  yang mengurus  soal-soal manca-praja, maka 
patih  dikirimkan dari suryabuaya   kemari.” 
“Pikiran pajang bintoro  sungguh berbelit-belit biar pun mudah 
dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit. 
Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toa-
lang untuk menghadapi kediri , sebuah kerajaan bayang-
bayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh 
berbelit.” 
“Ampun, baginda tuanku raja , pajang bintoro  adalah kerajaan arca   , itulah 
keterangan satu-satunya dan tiada lain, baginda tuanku raja .” 
“Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, namun  bukan 
sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit sebab  dia 
mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada arca   . 
Negeri betarakalong -sri ratu kertanegari  juga tidak mengabdi pada betarakalong -
sri ratu kertanegari .” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
“Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi 
pada sesuatu agama? Kami tidak pernah tahu. kerajaan jenggala  
yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.” 
“Ampun, baginda tuanku raja , patih  tidak ada wewenang untuk 
berselisih. Barang tentu baginda tuanku raja  adiputro  benar.” 
“Ya, dan pajang bintoro  seluruhnya keliru.” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  benar.” 
“Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta?” 
“Masih tetap soal nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja . Sekiranya baginda tuanku raja  
adiputro  ada kecenderungan untuk melupakan perselisihan-
perselisihan kecil dengan pajang bintoro … sekiranya baginda tuanku raja  adiputro  
ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap 
nyi kanjeng blora dari jayamahanaya … Itulah baginda tuanku raja , yang dipikulkan di 
atas pundak patih  dari kanjeng sinuhun  pajang bintoro  melalui baginda tuanku raja  
Kanjeng adiputro  suryabuaya  .” 
“Persembahkan, Tuan duta.” 
“Maka kediri  dan suryabuaya  -pajang bintoro  bisa bergabung dalam 
satu armada besar, baginda tuanku raja .” 
“Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau 
memang pura-pura bukan bawahan  Semarang?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , patih  memikul pada bahu patih  untuk 
jangan sampai menggusarkan hati baginda tuanku raja  adiputro  kediri .” 
“Tanpa kau pun pajang bintoro  sudah  menggusarkan kami.” 
“Ampun, baginda tuanku raja , patih  hanya memikul perintah soal 
nyi kanjeng blora.” 
“Persembahkan!” 
“Semua kekuatan laut dari kediri  dan suryabuaya   dan 
jatikerto , dan Jamto’ dan pajajaran  dan Aceh akan sanggup 
mengusir nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , kalau or laksanakan. Sekiranya 
baginda tuanku raja  adiputro  berkenan menyertai.” 
Sang adiputro  terdiam dan sang Duta tidak memulai lagi, 
menunggu jawaban. 
sinar matahari  semakin condong mendekati tepi bumi waktu 
penguasa kediri  itu berkata: “Datang kau sebulan lagi, 
barangkali kami ada jawaban.” 
“Dilimpahi oleh sang hyang Widhi  hendaknya baginda tuanku raja  adiputro  kediri  
dengan bersabda  dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan 
usia panjang sehat dan sejahtera….” 
Begitu duta suryabuaya   pergi, Sang adiputro  tak dapat 
mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat 
sana. Ia takkan membiarkan siapa pun berjingkrak di atas 
kepala  nya dan melecehkan kediri . namun   perang ia tidak 
menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi 
momok selama hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung 
Wilwatikta di Mahapahit selama lima tahun sampai 
sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak 
menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan 
nyi kanjeng blora. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan, 
Prajawan-prajawan pada mempergunjingkan jatuhnya 
jayamahanaya . Memang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi 
kemakmuran dunia, hanya sebab  dilewati rempah-rempah 
Nusantara. namun   mengapa orang begitu dungu membatasi 
kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata, 
seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini? Sekarang pula 
nyi kanjeng blora datang justru hendak mengangkangi ke dua-
duanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula? 
Sekarang. pajang bintoro  pun ikut dengan pergunjingan, dan 
dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami 
pada tindakan mereka yang tidak kesatria raja . Puh! pajang bintoro  yang 
tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang nyi kanjeng blora! 
Negeri-negeri pada berjasang yang betari durga   di tangan nyi kanjeng blora, ini, 
kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba, 
terhadap tetangga sendiri dan terhadap nyi kanjeng blora sekaligus! 
Sang adiputro  mencoba membayangkan adiputro  suryabuaya   
yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya, 
pikirnya, lebih besar dari akalnya. Memang semua nampak 
indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri 
kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak 
naik ke jayamahanaya . Baik, datangilah jayamahanaya , tumenggung dijoyo ! Hanya dia 
yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan 
lebih baik dari nyi kanjeng blora sendiri. Semua boleh gagahi 
jayamahanaya . kediri  takkan hancur  sebab nya! 
Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri. 
Dalam kegelapan para pengawal pun bergerak 
mengikutinya dari kejauhan. Ia memasuki daerah 
perumahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya 
semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan 
sebuah lampu gantung bersumbu lima. 
Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam, 
menggambarkan beberapa orang wanita sedang 
bercengkebetari  di bawah sebatang pohon jeruk macam di 
sebuah taman larangan. 
Gubernur kediri  itu menarik seutas tali yang menjulur di 
atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni. 
Segera lalu  pintu berkerait terbuka. Sebidang 
pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu 
satu terpampang di hadapannya. 
Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh 
di tanah menyambut dengan sembah. kepala  nya menekur. 
Inilah keputrian atau harem Sang adiputro . 
“Bagaimana kalian, Nyi kembang  Kati?” 
“Karunia dan kemurahan baginda tuanku raja  adiputro  kuminta tanpa 
henti, baginda tuanku raja ,” sembah wanita itu. 
Sang adiputro  langsung berjaian ke serambi, lalu  
masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi 
Ayu Sekar Pinjung. 
Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di 
pelataran atau serambi masih tetap bersimpuh di tanah pada 
tempat masing-masing. Sesudah  penguasa itu hilang dalam 
bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik 
masing-masing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi kembang  
Kati. 
wanita lesbian  itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat 
panjang sebab  itulah tugasnya sebagai pengurus  harem dan 
sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat 
puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin 
meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya 
bundar dan selalu nampak segar, Matanya agak sipit. 
Pandang matanya tenang namun   nampak tajam menembus 
segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat 
tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam 
dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecil-
panjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul, 
berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga 
berbeda dari para selir Nyi kembang  Kati bergigi hitam arang, 
sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti 
seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau 
mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi 
kembang  Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji 
jahawe yang sudah  ia habiskan untuk kepentingan itu. 
Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir 
tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gamelan di pendopo 
pun hanya sayup-sayup. 
Di dalam bilik Sang adiputro  duduk di atas sampai 
tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada 
Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki 
penguasa itu dengan selembar kain basah. 
Tangan Sang adiputro  melambai, menarik dagu selir 
kesayangan untuk memandangi wajahnya. Dan wanita itu 
berkata dengan kenesnya, 
“Aduh, baginda tuanku raja  sesembahan patih , betapa lama patih  
menunggu selama ini.” 
Sang adiputro  mengangguk dan tersenyum. Di bagian 
bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan 
tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling 
waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya 
ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke 
keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang 
lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah 
peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak 
bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat 
dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk 
memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir 
kesayangan. “Awaslah jangan terlena, sebab  lena adalah 
hancur .” 
“Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu?” ia 
memancing. “Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu 
dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan? Atau 
kalung? Ataukah dinar emas? Atau dirham?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , bukan mas dan bukan perang, ya baginda tuanku raja  
sesembahan, kalau patih  diperkenankan bersembah….” 
Sang adiputro  menarik selir kesayangan ke atas dan 
didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan 
sambil meliak-liuk genit. 
“Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu 
sangat penting.” 
“Ampun, baginda tuanku raja , adapun yang hendak patih  
persembahkan, ya baginda tuanku raja , baginda tuanku raja  sesembahan, bukanlah 
sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, baginda tuanku raja .” 
Sambil membelai-belai rambut selirnya Sang adiputro  
bertanya setengah tawa namun  dengan kewaspadaan semakin 
tinggi: “Apakah kiranya yang kau takutkan dan was-
waskan?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , orang bilang, ya sesembahan patih , ada 
bangsa berkulit putih bernama nyi kanjeng blora. Kata orang, tiada 
tandingan di seantara jagad raya ini.” 
“Kata orang, Nyi Ayu, teruskan.” 
“Maka kata orang itu pula, baginda tuanku raja , seluruh dunia 
memberinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya 
baginda tuanku raja . Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang. 
Kapal ditudingnya tenggelam, ya baginda tuanku raja .” 
Sang adiputro  tertawa senang dan didekapnya kepala   
wanita itu. Bertanya: “Mengapa takut pada dongengan?” 
“Kami semua takut dan was-was,” selir itu 
menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang 
adiputro . lalu  meneruskan dengan sura yang tidak 
keluar dari hati-kecilnya: “Kata orang, ya baginda tuanku raja , sebentar 
lagi nyi kanjeng blora itu akan menaklukkan juga kediri .” 
Sang adiputro  terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia 
tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di 
atas ambin. lalu  ia berdiri tegak lurus, bertolak 
pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar 
lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan. 
Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu 
Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun memerosotkan diri ke 
lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki Laki-laki  
itu dan memperdengarkan sedu-sedunya: “Ampunilah 
patih , ya baginda tuanku raja .” 
“Dari siapa cerita itu, Pinjung?” tanya adiputro  itu 
pelahan namun  tajam. Kedua belah tangannya masih juga 
bertolak pinggang. 
Hanya sedu-sedan yang menjawab. 
“Jadi kau tak bermaksud mempersembahkan siapa 
orangnya?” 
Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar. 
Sang adiputro  membongkok, meraba-raba muka selir 
kesayangan. Tangan itu lalu  berhenti pada kuping. 
Dalam waktu pendek subang-subang selir itu sudah  
berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan 
sendirinya hendak mempertahankan subangnya. Terlambat. 
lalu  ia cegah sendiri usahanya. 
Nampak Sang adiputro  sedang berusaha menindas 
kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang 
sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah 
tangan-tangan nyi kanjeng blora sudah mulai memasuki sudut 
kadipaten? Ini? pikirnya. Sudah mulai menyebarkan 
kegentaran pada seluruh isi kadipaten? 
Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia 
cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari 
dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa 
Jawa. Ia mendekati lampu dan membacanya. Isinya hanya 
sebaris, menyatakan sudah  mengirimkan selembar sutra 
delapan depa, tanpa menyebut nama seseorang. 
Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. namun   
kertas? Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di 
atas kertas. Kembali ia periksa surat itu… dengan tinta, 
sedang Pribumi dengan jelaga. 
Ada tangan asing bergerayangan di dalam haremku, ia 
memutuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak 
memperoleh  jawaban. Sekarang bertanya: “Dari siapa surat 
ini?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih ,” suara 
Nyi Sekar Pinjung gemetar. “Bukan patih  hendak 
menyembunyikan sesuatu dari kekuasaan baginda tuanku raja  
sesembahan, memanglah patih  tidak tahu siapa 
pengirimnya. Ampun, beribu ampun, baginda tuanku raja .” 
“Dari mana kau terima surat dan sutra?” 
“Nyi kembang  Kati, baginda tuanku raja .” 
Sang adiputro  bergegas meninggalkan bilik harem. 
Beberapa hari sesudah  itu ia duduk di serambi belakang 
kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan 
oleh para bawahan . Perhatiannya tak dapat dipusatkannya 
pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi 
lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih 
kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh raden gelang-gelang  dalam 
penggerayangannya di dalam kamar patih wirabuana  baru pakanewon  
Habibullah Almasawa, mengabarkan sudah  menerima dari 
Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan 
mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan. 
Menurut Sang Patih. raden gelang-gelang  sudah  periksa seluruh kamar 
patih wirabuana  dan ia sudah  melihat banyak botol dan benda-
benda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab 
dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logam-
logam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan 
gambar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya, 
setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama 
dan gunanya. 
Dasar anak desa! namun   itu hanya permulaan, gumam 
Sang adiputro . 
lalu  diambilnya selembar daun sirih dari nampan 
kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong 
kecil gambir di atasnya. Menggulung dan memamahnya. 
Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi. 
Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih 
mencampuri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak 
menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai 
adiputro . Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten. 
Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak diperintah kannya untuk 
melakukan pekerjaan itu. 
Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang 
wanita kepada patih wirabuana  pakanewon  Habibullah Almasawa. 
namun   tiada dinamakan kan tentangsutra. Mungkinkah barang 
perhiasan itu diterima oleh Nyi kembang  Kati? Dan apa jasa 
Nyi kembang  pada patih wirabuana ? Siapa pula pengantar dan 
penghubung surat? Ha, barangkali Nyi kembang  bertindak 
sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan 
sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami 
sendiri harus dapat temukan penghubung itu. 
“Panggil Nyi kembang  Kati,” ia berseru, lalu  
memperhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita 
pengurus  harem itu bersimpuh di bawah serambi dan 
mengangkat sembah. 
Dan Sang adiputro  sengaja meneruskan perhatiannya 
pada peragaan hewan -hewan  itu. Baru sesudah  salah 
seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia 
menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras, 
“Mendekat!” perintahnya keras-keras. 
Nyi kembang  Kati beringsut mendaki anak-anak tangga 
serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai 
tangan Sang adiputro  ia beringsut maju terus lebih 
mendekat. Sang adiputro  melambaikan tangan lagi sehingga 
ia sudah hampir pada kakinya. 
“Nyi kembang ’ ia berbisik, siapa yang pernah menyurati kau 
dari luar?” 
Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu menggigil. 
“Ampun baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih ,” 
sebentar suaranya juga menggigil, lalu  merata 
kembali, “memang benar patih  pernah….” 
“Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras 
bersabar?” 
“Ampun, baginda tuanku raja ,” Nyi kembang  menurunkan suaranya 
sehingga mendekati bisikan, “memang benar patih  pernah 
menerima surat dari luar, namun   patih  tak tahu dari siapa. 
Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patih , tanpa 
patih  ketahui siapa pembawanya.” 
“Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi kembang . 
Bagaimana mungkin, kau yang bertugas mengurus  
keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu 
sendiri?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih . 
Hukumlah, patih , sebab  itulah kebenaran yang 
sebetulnya . Hidup-mati patih  adalah milik baginda tuanku raja  
adiputro !” 
“Mana surat itu?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro , patih  takut maka patih  bakar.” 
“Surat apa, Nyi kembang , lontar ataukah kertas?” 
“Lon… lon… lon… kertas barangkali, baginda tuanku raja , patih  tak 
tahu namanya. Bukan lontar.” 
“Bukankah bukan hanya surat saja sudah  kau terima? 
Adakah real nyi kanjeng blora pernah kau terima juga?” 
“Ada, baginda tuanku raja  real mas, patih  mohon ampun, sebab  tiada 
mengetahui adakah itu real nyi kanjeng blora atau bukan.” 
“Real nyi kanjeng blora, dua,” Sang adiputro  mendengus 
menghinakan, “dan gelang, bukan?” 
“Demikianlah, baginda tuanku raja , dan gelang.” 
“Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud 
dan mutiara. Bukan?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , semua benar. Perkenankanlah patih  
mempersembahkan semua itu ke bawah duli baginda tuanku raja  
sesembahan.” 
“Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu 
dikirimkan untukmu. Kami tahu kau pengurus  keputrian 
yang jujur. Pergi!” 
Ia perhatikan wanita pengurus  harem itu beringsut-ingsut 
mundur, bersujud  dan bersujud , lalu  berjalan 
menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya 
wanita lesbian  itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak 
tahu siapa penyampainya. 
Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang 
berjalan di kejauhan memikul kotak sampah menuju keluar 
daerah perumahan. Darahnya tersirap. Sesuatu menyambar 
pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu, 
yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia rupa-
rupanya kutu busuk keputrian. Dia! 
Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku 
bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia 
pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa 
dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman 
dengan mereka. Ya. Si bocah itu! 
Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar? Dan 
bocah itu menjamah hak-hakku yang paling tersembunyi? 
Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja. 
Tak pernah memiliki  perasaan gentar. Bahkan hampir dapat 
dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa jawadwipa  dengan 
lancar dan baik. Dia bertugas melayani pakanewon  Habibullah 
Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung patih wirabuana  
dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem. 
Perasaan cemburu sudah  menariknya dengan kasar dari 
tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan 
ke belakang memeriksai pagar kayu tinggi, yang melingkari 
keputrian, untuk memperoleh kan bekas-bekas panjatan. 
Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama 
coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia memakai  
alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui. 
Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di 
serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu 
pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh 
bawahan . Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya. 
Pada nampak lagi memikul kotak sampah yang sudah 
kosong. Sang adiputro  memperhatikan si bocah yang gelisah 
dengan mata berpendaran ke mana-mana itu. Ia lambaikan 
tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu. 
Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap 
pada si macan? Pikirnya jengkel dan membiarkan Pada 
menghilang. 
Cemburu tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan 
berpikir. anak anak semuda itu sudah  gerayangi 
keputrianku! 
Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya 
melambai menyambar nampan kuningan tempat peracikan 
sirih dan dibantingnya menggelintang di lantai. 
O0-dw-0O 
 
7. patih wirabuana  kediri  : Rangga jatayuwesi  & pakanewon  
Habibullah Al-Masawa  
Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu 
bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan 
Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu sudah  turun ke 
jalan raya dan ia berjalan kembali hendak memasuki 
gedung kepatih wirabuana an. Percakapan dengan tamu sangat 
menarik: masuknya arca    ke Nusantara bukan suatu 
kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasa-
penguasa di Perlak, blora dan jayamahanaya  yang mula-mula 
masuk arca   : mereka memerlukan  ajaran, perlindungan, 
kepercayaan lain dari segala yang serba kerajaan jenggala …. 
Gedung kepatih wirabuana an yang terpampang di 
hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri 
kediri . Lebih indah dari kadipaten, istana Sang adiputro . 
Gedung itu adalah yang kedua yang terbuat dibandingkan  batu. 
Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya 
berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh 
negeri kediri  terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap, 
injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah 
atau kacangtanah . 
Selalu bila ia sedang memintasi jalanan halaman depan 
rumah, ia tak pernah melewatkan nikmat keindahan bunga-
bungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini. 
Dua tahun lalu seorang anak kapal dari tumapel , terdampar 
di kediri , sudah  membangunnya meniru taman raja-raja 
Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di 
sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati 
dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya. 
Sampai di depan pintu para pelayan sewaan sudah  
berbaris menyongsongnya. “Semua sudah dirapikan, Tuan 
patih wirabuana ,” kata mpu jahalodang, majikan para pelayan itu dalam 
jawadwipa . 
“Kalian boleh pergi,” jawabnya sambil melambaikan 
tangan dan memberikan sesuatu di tangan mpu jahalodang. Tanpa 
menoleh ia masuk ke dalam. 
Dan bila ia menikmati kebagusan gedungnya, tak pernah 
ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap 
rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk 
menyimpan abu jenasah. 
Ruang tamu yang luas itu juga suadipati  awak kapal dari 
tumapel . Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal 
kulit onta. Permadam termpu wungubhumi  di atas lantai batu dihiasi 
dengan lemari besar dari kayu berukir palawa esqus merupakan 
dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang kerja, diatur 
menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi. 
Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan 
itu terjadi sebelum jatuhnya jayamahanaya . Beberapa hari 
lalu  sesudah  jayamahanaya  jatuh dan ia mendengamya, buru-
buru ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah 
kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan 
abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari 
kakeknya yang besar Mirsa Hdi kuil m Syu’bah, patih wirabuana  
jayamahanaya , yang pernah mengarca   kan Bhre Paramesywara. 
Catatan-catatan kakeknya tentang jayamahanaya  hampir-
hampir hafal olehnya di luar kepala  . Kakeknya, Mirsa 
Hdi kuil m Syu’bah, sudah  memperoleh kan pelarian dari 
kerajaan jenggala  itu, yang ternyata suami paduka raja  wanita 
kerajaan jenggala , Suhita. Ia adalah Bhre Paramesywara. 
Pertemuan itu terjadi di Tumasik, jenggala kerajaan jenggala  yang 
besar, menghubungkan Nusantara dengan negeri dongeng  dan 
Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian 
agung itu. 
Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre 
Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk 
menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk 
jadi paduka raja  kerajaan jenggala . Dari mata-matanya ia mengetahui, 
bahwa paduka raja  Suhita sudah  memerintahkan penangkapan 
atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. namun   komplotan itu 
diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada 
tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara kerajaan jenggala  dengan 
Blambangan, antara paduka raja  wanita Suhita dengan Bhre 
Wirabumi. Perang laut dan perang darat membeludag. 
Cetbang yang menurut aturan perang kerajaan jenggala  hanya 
dipakai  di laut dipakai  juga di darat oleh dua 
belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di 
perairan Bali, Lombok dan parahyangan . Lumajang, 
ibukota Blambangan, jatuh. kerajaan jenggala  jatuh miskin, 
kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak 
Angkatan laut kerajaan jenggala , Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam 
perang laut di tentang Singaraja. 
Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hdi kuil m 
Syu’bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat 
mendirikan jenggala sendiri di atas Tumasik, dan dengan 
demikian meruntuhkan jenggala besar itu, untuk 
menjatuhkan kerajaan jenggala  dari utara. Perang saudara 
memicu  Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil 
membuka jenggala jayamahanaya  pada 1402 Masehi, marak jadi 
raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai jenggala antar-
benua. Dengan berdirinya jayamahanaya  berarti hancumya Ma-
japahit dari sebelah utara. Mirsa Hdi kuil m Syu’bah diangkat 
sebagai penasihat dan patih wirabuana  sekaligus. Kakaknya ini 
yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan 
pedagang-pedagang arca   , dan untuk itu harus sendiri 
masuk arca   . Kakeknya ini juga yang mengarca   kannya, 
dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi 
Maulana tumenggung , dan sebagai raja arca    bermpu wungubhumi  Megat 
Iskandarsyah. 
Rangga jatayuwesi  hafal benar bagian itu. Sekarang jayamahanaya  
jatuh sesudah  109 tahun berdiri dari kekanjeng sinuhun an. Ia tahu arti 
kejasang yang betari durga  nya di tangan nyi kanjeng blora. Semua jenggala besar dan 
kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya. 
namun   kedatangan orang yang mengaku dirinya pakanewon  
Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi dibandingkan  
jatuhnya jayamahanaya . Dari resam tubuh dan mukanya ia 
sekaligus menduga, ia tidak lain dari patih wirabuana  jayamahanaya , 
yang sudah  menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam 
kadipaten kediri  seperti kelakuannya di kekanjeng sinuhun an jayamahanaya  
sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar Gujarat itu: tingkah 
dan lagaknya seperti raja muda jayamahanaya . 
Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan 
bahaya yang mungkin  muncul  sebab  orang Moro itu. Sang 
Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan 
sesudah  jatuhnya jayamahanaya  Sang adiputro  suka mengambil 
tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak 
memberitakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan 
banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan 
perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan 
seluruh rempah-rempah panarukan , kalau perlu dengan 
kekuatan senjata, sudah  membuat  Sang Patih kehabisan 
tenaga. Maka segala persembahan patih wirabuana  kediri  tak 
mampu menarik perhatiannya. 
lalu  datang hari yang menutup segala 
kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari 
pelabuhan. Kepatih wirabuana an sudah  penuh dengan centeng  
yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya, 
menaikkannya ke atas grobak-grobak dan membawanya 
entah ke mana. Ia lari memperoleh kan peratus yang 
memimpin pasukan itu. 
“Tuan patih wirabuana  harus pindah pada hari ini juga,” 
jawabnya pendek. “Atas perintah Sang adiputro .” 
Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi. 
Didapatinya keempat-empat istrinya sedang 
menggerombol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus 
diperbuat. 
“Baik. Benahi barang-barang kalian,” perintahnya pada 
mereka. 
“Kita tak tahu apa sedang terjadi.” 
Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap 
tidak mengerti. 
“perintah  Sang adiputro  tak bisa dihalangi,” jawab Sang 
Patih. 
“namun  gedung itu adalah gedung patih !” 
“Gedung Tuan?” 
“patih  yang membangunkannya.” 
“Semua atas biaya jenggala kediri .” jawab Sang Patih. 
“namun  perencanaan….” 
“Sampai batu terakhir, bawahan  kediri  yang 
mengambilkan, Tuan patih wirabuana . Genteng terakhir yang 
didatangkan dari Tiongkok itu pun jenggala kediri  yang 
membiayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal terambil 
percuma.” 
patih wirabuana  kediri  masih mencoba memprotes. 
“Kalau Tuan tidak mematuhi perintah  Sang adiputro , Tuan 
boleh tinggalkan kediri  sekarang juga.” 
patih wirabuana  mohon diri dan pulang ke kepatih wirabuana an. 
Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak 
itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng balai   
peserta  pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya 
segera membersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada 
peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung 
dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak 
memberinya jawaban. 
Ia tahu dengan kosongnya kepatih wirabuana an, pakanewon  
Habibullah Alamasawa akan memasukinya dan 
menggantinya jadi patih wirabuana  kediri . Ingat akan itu tak 
bisa lain kemarahannya tertuju pada mpu jahalodang si pewarung 
tuak dan tiu-arak. Dia sudah  membohonginya uangnya yang 
satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam 
semmggu terakhir ini. Anak keparat itu. 
Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari 
perabotan, raden  sanggabuana  bumikerta  alias pakanewon  adipati  
Al-Badaiwi alias pakanewon  Habibullah Almasawa sudah merasa 
puas dengan jabatan barunya sebagai patih wirabuana  baru 
kediri . Seluruh kekuasaan atas jenggala , bea keluar-masuk. 
pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya. 
Dengan kepergian Rangga jatayuwesi  gedung kepatih wirabuana an 
itu kini nampak bersabda . Pintu depannya kini selalu terbuka 
dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak 
merasa hina atau miskin sebab nya. Taman indah di depan 
rumah itu saja sudah  menipakan kekayaan warisan yang 
tiada tertandingi di seluruh kediri . 
Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan 
membacai buku-buku cerita dari kanjuruhan  dan blambangan , atau 
membacai kitab-kitab palawa  peninggalan kebudayaan Junani 
Purba-palawa  di Cordoya. Setiap ia tertumbuk pada kaum 
Sephardi, kaum Jahudi, blambangan -kanjuruhan , ia tak teruskan 
bacaannya dan berpindah pada buku lainnya. 
Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di 
waktu malam, sebab  semua pembantu harus pulang di 
malam hari sesuai dengan ketentuan. 
Keadaan mendadak berobah: pengantin baru raden gelang-gelang -
nyi girah  datang ke kepatih wirabuana an untuk tinggal bersama 
dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok 
kiri kepatih wirabuana an, pavilyun untuk tamu-tamu arca   . 
la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat 
tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu memasuki 
kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-sama-
lain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat nyi girah  
jauh lebih cantik di dekat mata dibandingkan  dari kejauhan. 
Kulitnya yang langsat kecoklatan memancarkan seri bersabda  
dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu 
tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa 
kerja. 
Sesudah  menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke 
gedung utama. 
nyi girah  mengetoki dinding, lalu  terpakukan pada 
tanah, hanya matanya melihat ke mana-mana. 
“Mengapa, Dayu?” 
“Batu, Kang, semua batu,” bisiknya, takut terdengar oleh 
orang lain, “seperti candi. Dingin. Mengerikan.” 
raden gelang-gelang  menirunya mengetuki semua dinding. 
“Semua batu, Dayu,” ia jatuh terduduk di ambin, juga 
matanya mengembara ke seluruh batu yang dingin itu, 
putih dan bisu. 
“Kotak batu sejenis  ini, Kang, hanya baik untuk….” 
patih wirabuana  baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya 
dalam jawadwipa : “Apa katamu, nyi girah ?” 
nyi girah  melompat mendekati suaminya dan berlindung di 
balik gumpaian otot yang kuat itu. 
“Apa kata istrimu?” tanyanya pada juara gulat itu. 
“Pergi kau ke dapur, Dayu” perintah raden gelang-gelang  pada 
istrinya. 
Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu. 
Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya 
yang baru dan segera lalu  mulai bekerja sebagai ibu 
rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di hutan  
larangan . 
raden  sanggabuana  bumikerta  merasa kecewa melihat 
wanita pujaan kediri  itu pergi menghindarinya. Ia 
perlihatkan kebersabda an dengan membantu raden gelang-gelang  
mengatur barang-barangnya   semua sumbangan dari 
penduduk kediri  Kota. 
Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung, 
muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis 
itu, tak henti-hentinya bicara dalam jawadwipa . raden gelang-gelang  tak 
mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan patih wirabuana  
baru itu tertawa-tawa senang melihat raden gelang-gelang  tidak mengerti 
dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat 
muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada 
lengannya. Berkata: “Aku undang kalian. Datanglah nanti 
malam ke tempatku.” 
Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. patih wirabuana  
mengulangi kata-katanya dan membantunya dengan gerak-
gerak tangan yang betari i. Juara itu mengangguk mengerti. 
raden  sanggabuana  bumikerta  mengangguk-angguk senang, 
lalu  pergi. 
Kamar tamu gedung utama kepatih wirabuana an itu kini diisi 
hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana. 
Mereka bertiga duduk mengepung meja. 
raden  sanggabuana  bumikerta  tak henti-hentinya bicara. 
Suami-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk, 
dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. raden gelang-gelang  
terus-menerus mengawasi patih wirabuana , memperhatikan 
gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang 
diucapkannya. nyi girah  sebaliknya terus-menerus menunduk. 
“Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua!” 
tuan rumah membuka percakapan, “maafkan aku terlambat 
menjamu kalian. Uah…,” alis patih wirabuana  baru itu 
terangkat naik, lalu  cepat turun lagi, “… pengantin 
masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada 
tandingan di seluruh kediri  Kota dan kediri  negeri. 
Laki-laki nya gagah-perkasa, tiada cecat barang sechucky ,” 
katanya cepat pula. 
Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di 
perguruan  dan balai   raden gelang-gelang  berkata: “saya  tidak 
mengerti, Tuan patih wirabuana .” 
“Jangan bicara Jawa,” tuan rumah melarang, “ayolah , 
mulai sekarang memakai  jawadwipa ,” sekarang ia ucapkan 
sepatah sepatah. “jawadwipa ! Bukankah kau sekarang 
pembantu-utamaku?”  
Juara gulat itu mengangguk mengiakan. “jawadwipa ! 
jawadwipa ! Mulai bicara jawadwipa !” Dan bila nyi girah  mencuri 
pandang dari bawah keningnya pada patih wirabuana , ia tak 
dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung 
sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu 
diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa. 
Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil 
tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri 
ajaib. Dan matanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu 
seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area 
lempung yang sering dibuat oleh anak anak penggembala 
bila menggambarkan dedemit atau gandaran. 
raden gelang-gelang , yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu, 
lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah 
seorang raksasa. Dan tingkah-laku patih wirabuana  di depannya 
itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya 
sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan 
raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini 
kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan 
dilahirkan di miisim paceklik. 
Tanpa menanggapi  adakah tamu-tamunya mengerti 
atau tidak, raden  sanggabuana  bumikerta  meneruskan kata 
demi kata: ”Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat. 
Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas 
mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, nyi girah , dan 
gula,” dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apa-
apa yang dikata nya. 
Ia sendiri lalu  masuk ke dalam kamar dan tak lama 
lalu  keluar lagi membawa sesuatu di tangannya. 
Begitu nyi girah  datang membawa barang-barang yang 
dikata nya, ia meneruskan: “Jamuan haibat,” ia 
mengulangi sambil memasukkan tepung hitam dan gula di 
dalam cawan-cawan itu. “Nah!” ia menggosok-gosok 
tangan lalu  bertepuk, “sekarang tuangi cawan-cawan 
itu dengan air panas, nyi girah ! Hati-hati, jangan sampai 
turnpah.” 
Ia mulai mengaduknya, cawan demi cawan. 
raden gelang-gelang  memperhatikan mata patih wirabuana  yang antara 
sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka 
patih wirabuana  itu mendadak mengingatkannya pada muka 
hewan yang baru keluar dari lobang arang, sebab  muka itu 
dihitami oleh rambut. 
“Inilah minuman raja-raja jauh di atas negeri dongeng  sana. 
Ingat-ingat, nama minuman ini: kahwa! jangan lupa. ayolah , 
raden gelang-gelang , nyi girah ! minum!” 
Sekejap mata raden  sanggabuana  bumikerta  menelan wajah 
nyi girah  yang sedang melihat padanya. 
“Kahwa, nyi girah !” suaranya merendah lunak dan 
memikat. “Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali 
meminumnya dalam sehari. Raja dan ratu nyi kanjeng blora tiga 
kali. Semua membelinya dari pedagang palawa . Dan 
pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya sebab  tepung 
hitam ini. Raja nyi kanjeng blora tiga kali sehari. Ingat-ingat itu. 
Betapa hebat nyi kanjeng blora itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia 
datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan 
main-main dengan nyi kanjeng blora. Ingat-ingat itu, jangan main-
main. ayolah  minum!” 
Di dalam kamar tinggalnya yang baru raden gelang-gelang  
menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari 
kerak. Nyala itu membesar. 
nyi girah  bertiduran di ambin kayu. sebab  pengaruh kopi 
kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam. 
“Minuman setan!” dengus juara gulat itu. Ia rasai 
jantungnya berdebaran kencang. 
“Tak perlu kita minum lagi, Kang.” 
raden gelang-gelang  hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar 
olehnya suara yang mencurigakan. Ia melompat keluar 
kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan 
seseorang melarikan diri. la lalu memburunya. Bayangan 
itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah. 
Dikelilinginya seluruh kepatih wirabuana an. Tiada sesuatu ia 
tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap 
tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di 
serambi kamar. Juga tiada sesuatu pun terjadi. 
Waktu masuk ke dalam didapatinya nyi girah  sudah  tertidur 
dalam kedamaian. 
Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama 
patih wirabuana  dengan mpu wungubhumi  jabatan Wira, ia segera dikenal 
penduduk kediri  Kota sebagai Wira raden gelang-gelang . namun   lama-
kelamaan tumbuh sisipan dengan antara nama jabatan dan 
nama sendiri dan dipanggillah ia raden panji  gelang-gelang , 
patih wirabuana muda. 
Baik di pelabuhan atau di jalanan ia memperoleh  
penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar sebab  ia 
seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer, 
seorang juara gulat dan suami nyi girah : pujaan kediri . 
Dan bila orang lewat di depan kepatih wirabuana an, orang 
memerlukan menengok untuk dapat melihat tuan 
patih wirabuana -muda atau istrinya. 
Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi 
punggawa di ibukota negeri memang membingungkan dan 
membuat  ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya 
apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang 
berlebih-lebihan membuat  ia sering ragu-ragu, sedang 
kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang 
adiputro  selalu membuat  ia terlalu hati-hati. Sedang 
bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak 
juga pernah hilang dari kewaspadaannya. 
nyi girah  tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin 
sudah  merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang 
hidup di dalam rumah batu kecuali tuan patih wirabuana . 
Sekarang keharusan memakai  kemban membuat  
tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin 
pantai yang tak henti-hentinya dan deburan ombak yang 
memeningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-merdeka di 
desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak 
aturan. Dan ia segan menyampaikan perasaan hatinya pada 
suaminya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu. 
Biar belum memperoleh kan ketenangan dalam 
penghidupannya yang baru raden gelang-gelang  dapat mengikuti dengan 
cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di 
ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana. 
Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk 
memudahkan tuan patih wirabuana  baru menjalankan 
kewajibannya. 
Juga raden gelang-gelang  tahu, bekas patih wirabuana  kediri , Rangga 
jatayuwesi , sudah  pindah ke bekas balai   dan tak juga 
memperoleh kan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia 
akan diangkat jadi penghulu negeri, namun   Sang adiputro  tak 
juga melantiknya. Dan sudah  diketahui oleh seluruh kediri  
Kota, Rangga jatayuwesi  tidak suka pada pekerjaan baru apa 
pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anak-
anak pembesar membaca Alqur’an bahasa dan tulisan palawa . 
Dua tiga kali raden panji  gelang-gelang  pernah berpapasan dengan 
Rangga jatayuwesi  sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayun-
ayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala   untuk 
dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah 
menampakkan diri di wilayah pelabuhan. 
raden panji  gelang-gelang  membenarkan bisik-desus orang bekas 
patih wirabuana  itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang 
berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari 
seseorang yang tak pernah diperoleh nya. Dan memang ia 
selalu mencari-cari mpu jahalodang. namun   pewarung itu selalu 
menjauhkan diri tak ingin melihatnya. 
Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama 
patih wirabuana  juara gulat itu harus pula mengawasi galangan-
galangan kapal di jenggala Glondong, sebuah pelabuhan lain 
lagi di negeri kediri . Dan untuk itu ia memperoleh  seekor 
kuda jantan, muda berwarna putih kelabu. 
Sesudah  barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita: 
Rangga jatayuwesi  sudah  mengajukan permohonan berhenti dari 
jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama. 
lalu  terdengar juga berita, ia sudah  menghadap Sang 
adiputro  dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan 
untuk gedung kepatih wirabuana an yang ditinggalkannya. Sang 
adiputro , kata orang, tak senang pada kecerewetannya. 
Berita yang didengamya lalu : beberapa hari 
berturut-turut Sang adiputro  sudah  pergi berburu. Pertanda 
ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah 
pernah ia dengan tak sengaja sudah  mendengar seseorang 
berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan nyi girah . 
lalu  terjadi perobahan suasana di kepatih wirabuana an: 
Siang itu raden  sanggabuana  bumikerta  dipanggil menghadap 
oleh Sang adiputro . Pada sore harinya ia datang dengan 
wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa, 
mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di 
belakang wanita itu seorang Laki-laki  memikul beberapa 
bungkusan mengikuti. 
Suami istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh 
raden  sanggabuana  bumikerta  ia ditempatkan di dalam gedung 
utama. Sesudah  itu patih wirabuana  pergi lagi dengan muka 
cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan 
hampa. 
Mungkin sebab  kesepian di dalam gedung utama wanita 
itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia 
bertemu dengan nyi girah  yang sedang menyiapkan makan 
malam. 
“Kaukah itu, nyi girah ?” tegumya dengan lagu dan bahasa 
kadipaten. 
“Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu?” 
“Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah 
kau jadi istri patih wirabuana -muda?” ia tersenyum bersabda  dan 
nampak kilau giginya yang hitam kelam. Pandangnya 
membelai nyi girah  dengan persahabatan. 
“Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu? Saya lebih suka 
tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini? Hanya desau angin 
dan deburan laut,” ia bicara sambil terus bekerja. 
“Mari kita masak bersama-sama,” katanya lagi tanpa 
menanggapi  protes mulai ikut bekerja. “Makan seperti ini 
jugakah tuan patih wirabuana ?” 
“Bukan begitu, Ibu. saya  hanya bisa masak begini 
rupa. Ibu ini siapa….? 
“Aku, Nak? Aku istri tuan patih wirabuana .” 
“Oh-ah, Di mana Ibu dahulu  tinggal?” 
“Di dalam kadipaten, nyi girah . Kau tak pernah melihat aku 
waktu tinggal di sana. namun  aku sudah pernah melihat kau.” 
Hari pertama yang dimulai dengan keakraban dan 
persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai 
dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri. 
Istri patih wirabuana  kediri  itu tak lain dibandingkan  Nyi kembang  
Kati, bekas pengurus  keputrian Kadipaten. 
Dari wanita itu nyi girah  mengetahui, ia pernah dipanggil 
menghadap oleh Sang adiputro  di serambi belakang Yang 
pertama kali tentang surat, yang kedua… ia duduk 
bersimpuh, lalu  datang menghadap juga tuan 
patih wirabuana . 
raden  sanggabuana  bumikerta  berdiri di belakang Nyi kembang . 
“Tuan pakanewon  Habibullah Almasawa,!” Sang adiputro  
berkata, “inilah Nyi kembang  Kati, pengurus  keputrian, wanita 
kediri  pertama-tama yang Tuan kenal.” 
Terdengar dari belakang Nyi kembang , pakanewon  Habib 
Almasawa menjawab kerta -raja: “Ampun, baginda tuanku raja , patih  
belum pernah mengenalnya, melihatnya pun belum!” 
“Kalau begitu,” kata Sang adiputro  lagi, “lihatlah baik-
baik. Mungkin sudah agak lupa!” 
Terdengar olehnya patih wirabuana  baru kediri  itu 
membantah. 
“Ampun, baginda tuanku raja , betul, demi Rasul, tiada pernah patih  
melihat wanita lesbian  ini.” 
“Baik,” kata Sang adiputro , “dan kau, Nyi kembang , sudah  
kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka 
dengarkan, Tuan patih wirabuana  pakanewon  Habibullah Almasawa, 
ambillah wanita lesbian  ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan 
yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup 
Tuan di kediri . Dan kau, Nyi kembang , kemasi semua 
barangmu dan ikuti suamimu. Tinggsang hyang Widhi  kau betsama 
dengannya di gedung kepatih wirabuana an. adiputro  kediri  
menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan 
berangkatlah kalian sebagai suami istri.” 
Kedatangan Nyi kembang  di gedung kepatih wirabuana an 
mengurangi kerinduan nyi girah  pada orang tua dan hutan  
larangan . Apa lagi sikap wanita itu terhadap raden gelang-gelang  adalah 
juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun 
segera menyayanginya. Sebaliknya patih wirabuana  selalu 
bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam 
berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya 
mengulang kalimat: Mengapa wanita lesbian  bergigi hitam 
diberikan padaku, bukan yang satu itu? Dan bukan itu saja, 
patih wirabuana  itu kini jadi agak pendiam dan sering 
bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal 
dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi 
kembang  Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus 
dikawininya di tempat ibadah ? Apakah benar wanita itu Nyi kembang  
Kati? Ia tak pernah melihatnya sebelumnya. 
Apakah Sang adiputro  tahu tentang diri dan perbuatannya 
menghubungi haremnya? Tak ada seorang pun di seluruh 
kediri  dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru 
hanya Nyi kembang  sendiri. 
Sesudah  patih wirabuana  menemukan jalan segera 
ditempuhnya. 
Dalam bilik waktu itu. Hari sudah  larut malam. Dua buah 
lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi kembang . 
Di luar kamar tidur raden gelang-gelang  sedang mengintip mereka. 
Pelnn, hati-hati, “adakah kau bcnar Nyi kembang  Kati 
pengurus  keputrian?” 
“Inilah saya , Tuan patih wirabuana ,” jawab Nyi kembang  juga 
dalam jawadwipa . 
“Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang adiputro ?” 
ia menguji. 
“Siapa? Tidak tahulah saya  sekarang ini. Tadinya 
sebelum…. tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.” 
“Mengapa tadinya?” 
“Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian?” 
“Bukankah aku suamimu? dan engkau harus menjawab!” 
“Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia sudah  
menerima surat dari luar, dari orang yang saya  tidak 
tahu.” 
“Jadi dikeluarkan dari keputrian?” Syah patih wirabuana  
memberikan ujiannya. 
“Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap 
memperoleh  apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur 
hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang adiputro . Juga 
takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.” 
“Semoga sang hyang Widhi  menurunkan dalam hati dia yang 
teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga,” 
patih wirabuana  berdoa. lalu : “Katakanlah: Amien”. 
“Amien, Tuan.” 
“Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, sebab  amien 
itu untuk sang hyang Widhi , bukan untuk tuan patih wirabuana .” 
“Amien.” 
raden  sanggabuana  bumikerta  masih belum dapat 
dipercaya kan. 
“Nyi kembang  Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barang-
barang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat 
bagaimana dan macam apa perhiasan wanita lesbian  Jawa,” 
katanya dengan suara lebih keras dari semula. 
Dengan luwesnya Nyi kembang  Kati memperagakan 
tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah 
menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya: 
subang cepuk besar yang memicu  lobang pada godoh 
menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke 
bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing 
bersarung mas berukir. 
raden  sanggabuana  bumikerta  alias pakanewon  adipati  Al-
Badaiwi, alias pakanewon  Habibullah Almasawa mengawasi dan 
memperhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah. 
“Bagus, bagus sekali,” ia mengangguk memuji, “tak 
kalah garapannya dari pandai emas di negeri mana pun,” ia 
berhenti dan mengelus dada. “Tentu bukan hanya ini 
milikmu;” 
“Tentu, Tuan, masih ada pada saya . Biar saya  
ambilkan.” 
Tak lama lalu  terjajar barang-barang berharga 
milik pribadi Nyi kembang  Kati. Di antaranya seutas kalung 
sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zamrud dan 
mutiara. Jelas bukan buatan  dan tidak bermotit Jawa. Dan 
dua buah real mas kanjuruhan . 
Mata patih wirabuana  bersinar-sinar. Ia tegakkan 
bongkoknya dan bertepuk tangan, lalu  menggeserkan 
tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas 
ketiduran. dan: “Gelang, cincin dari kalung ini jelas 
seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama, 
dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri 
negeri Tiongkok memakai  keserasian ini.” 
“Hadiah para selir dan karunia Sang adiputro  sendiri.” 
Nyi kembang  menerangkan dengan nada bangga. “Yang 
menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan 
yang saya  tidak kenal.” Ia melirik pada suaminya. 
“Bagaimana duduk perkaranya maka kau tak 
mengenalnya?” 
” Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu saya  
bedan sepucuk surat. saya  tak pernah tahu dari siapa.” 
“Adakah kau balas surat itu?” 
“Kami orang Jawa selamanya membalas surat, senang 
atau tidak pada isinya, sebab  demikian diajarkan pada 
kami di perguruan  kami.” 
raden  sanggabuana  bumikerta  tertawa senang dan lega. 
lalu : “Bagaimana kau membalas surat pada pengirim 
tak dikenal itu, Nyi kembang ?” 
“saya  letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan 
saya  Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat 
itu tiada.” 
Sekali lagi patih wirabuana  tertawa, lebih keras, mendering 
menembusi udara malam, keluar rumah. 
“Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka 
masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi kembang ?” 
“Dia datang pada waktu saya  terlena, Tuan. saya  
tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.” 
Sekarang sesuatu membersit di dalam pikiran raden  
sanggabuana  bumikerta : ia sudah  temukan kunci harem, la 
tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan 
zamrut dan mutiara yang sudah  berada di tangannya itu 
belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, lalu : 
“Kau istriku, bukan, Nyi kembang ? Istriku yang syah.” 
“saya , Tuan.” 
“Kukawini kau di tempat ibadah .” 
“saya , Tuan.” 
“Gusarkah kiranya kau bila barang-barang yang 
kukagumi ini dan juga dua real nyi kanjeng blora ini aku simpan 
sendiri agar selamat dan aman?” 
“Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan. 
Ambil barang saya , bahkan badan saya  sendiri ini, 
adalah milik Tuan patih wirabuana  kediri .” 
Sekali lagi raden  sanggabuana  bumikerta  tertawa puas. 
Sambil memasukkan barang-barang tersebut ke dalam saku-
dalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit 
pipi istrinya: “Semua jadi milikku. namun  milik siapa 
jiwamu?” 
“baginda tuanku raja  adiputro , Tuan.” 
“Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya milik 
sang hyang Widhi .” 
Nyi kembang  tak menjawab. Ia tidak menggeleng, tidak pula 
mengangguk. 
“Dengar, Nyi kembang , mulai besok buanglah kebiasaan 
menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih 
dibandingkan  hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi wanita lesbian  
pemberontak  perbegu Benggala.” 
“Baik, Tuan.” 
raden  sanggabuana  bumikerta  meninggalkan kamar untuk 
menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti 
terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah 
raden panji  gelang-gelang  dari tempat pengintaiannya. patih wirabuana  
muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon 
menunggu kalau-kalau patih wirabuana  kediri  keluar dari 
rumah. Dugaannya tidak keliru. 
Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu 
keluar dari rumah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia 
mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata 
menuju ke warung mpu jahalodang, mengetuk pintu dan memasuki 
ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita 
minyak kacangtanah  dari satu sumbu. 
Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang 
ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat 
raden  sanggabuana  bumikerta  menyerahkan barang-barang 
perhiasan pada mpu jahalodang. lalu  terdengar mereka bicara 
dalam jawadwipa : “Ya sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana , Tuan selalu 
dilindungi sang yang betari durga  . Memang tak pernah ada arak baik di 
sini, namun  demi sang hyang Widhi , ada barang secawan yang agak tepat 
untuk Tuan.” 
“Selama bukan tuak Pribumi, insya sang hyang Widhi  agak tepat 
kiranya untukku. Keluarkan, mpu jahalodang!” 
mpu jahalodang mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera 
patih wirabuana  meneguknya habis dan mengucap syukur. 
“Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alhamdulillah 
Tuan mempercayai si mpu jahalodang ini untuk menyimpannya, 
Tuan. Percayalah, di kediri  ini tak ada maling seperti di 
jenggala -jenggala lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan 
selamanya soal asmara. Darah penduduk kediri  sudah 
panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu 
tidak mudah menggelegak selama tidak menyinggung 
asmara. Memang tidak baik tuak buat orang negeri dongeng . 
Lagi araknya, Tuan?” 
“Cukup, mpu jahalodang.” 
“Harganya memang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga 
arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya, 
dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak 
peduli di kediri  atau di tempat lain.” 
Dari tempatnya raden panji  gelang-gelang  melihat patih wirabuana  
mengawasi mpu jahalodang, barangkali untuk memahami apa yang 
dikiaskan oleh pewarung itu. la melihat mpu jahalodang menunduk 
sambil meneruskan katanya “Betul, juga di sini, Tuan, 
bayaran yang baik untuk jasa yang baik tepat seperti di 
mana pun, di Lisboa atau Madrid.” 
patih wirabuana  itu nampak tak begitu bersenang hati. Ia 
balikkan badan, mungkin untuk menyembunyikan 
perubahan pada wajahnya. dan berbalik kembali sudah 
dengan senyum pada bibir. 
”Rupa-rupanya kau, mpu jahalodang, seperti aku juga, petugas 
Sang adiputro ,” ia berkata mencoba-coba. 
“Ohoi!” mpu jahalodang berseru pelan. “Terkejut benar 
nampaknya Tuan. Mana bisa mpu jahalodang seperti Tuan 
patih wirabuana ? Biar pun hanya peranakan palawa  dengan 
Benggala, Tuan, belum perlu rasanya si mpu jahalodang ini 
mengabdi pada seorang raja kecil Pribumi. Kami memang 
agak lain dari Tuan rupanya. Di mana ada keuntungan di 
sana Tuan ada. Begitu, bukan, Tuan patih wirabuana ?” ia 
tertawa menyelidik. 
“sang hyang Widhi  melindungi aku dari perbuatan menghina. 
sebab , di mana pun langit terbentang, di mana pun bumi 
terhampar, di sanalah kebesarannya diciptakan untuk 
seluruh umatnya.” 
mpu jahalodang tertawa-tawa sambil mengusap-usap janggut dan 
raden  sanggabuana  meneruskan pandang padanya. 
“sang hyang Widhi  memberkahi orang yang tak mudah marah. 
Bukankah sabar juga bagian iman, Tuan patih wirabuana ? Tuan 
pakanewon ?” 
“Aku bayar belanjaku, dan tak ada alasan untuk marah,” 
ia lihat mpu jahalodang meneruskan pandang padanya. 
“Tuan agaknya salah tangkap,” mpu jahalodang membetulkan. 
“Tak ada yang tidak percaya pada semua kata Tuan. Tuan 
selalu bayar belanja Tuan. Dan, Tuan pakanewon , kapan pun 
Tuan akan bayar belanja Tuan yang jauh lebih mahal untuk 
jasa mpu jahalodang yang lebih baik dan lebih besar. Percayalah, 
Tuan patih wirabuana .” 
“Manakah di kediri  yang kecil ini ada jasa yang baik apa 
lagi besar?” 
“Pada mpu jahalodang, tuan pakanewon , jasa selalu tersedia, besar dan 
baik, kecil dan besar, setiap saat, tak peduli siang atau 
malam, pagi atau sore.” 
“Tak ada perbuatan tanpa dipikirkan lebih dahulu , mpu jahalodang. 
kediri  menciptakan makhluknya bukan untuk jadi gila. 
Assalamualaikum,” dan dengan kata itu ia pun pergi 
meninggalkan warung. 
raden panji  gelang-gelang  mengikutinya pulang ke kepatih wirabuana an. 
Ia lihat raden  sanggabuana  bumikerta  berjalan langsung 
menuju ke gandok kiri, menaiki serambi, lalu  
mendengar-dengarkan pada pintu kamar, mencoba 
mengintip dari sana dan sini. sebab  tak melihat sesuatu 
pun di dalam kamar itu ia pergi lagi masuk ke dalam 
gedung utama dari pintu tengah. 
Tahu lah raden panji  gelang-gelang  sekarang, tidak lain dari tuan 
patih wirabuana  yang jadi bayangan selama ini. Dan 
keluarganyalah sasarannya. 
wah 
 
8. raden panji  gelang-gelang  Pergi ke Barat  
nyi girah  mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke 
dalam kapal dagang berbendera kediri . 
Suami-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka. 
Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya. 
Dermaga disesaki oleh orang-orang yang hendak melihat 
nyi girah  mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam 
menunggu penari ulung kekasih kediri  dan para desa itu 
keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang 
padanya. 
“Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana 
pun, Kang.” 
“Kapal akan segera berangkat, Dayu.” 
“Aku kuatir, Kang.” 
“Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselamatan 
sendiri. Tentu kau akan selalu ingat pada betari  resi  ” 
nyi girah  menggandeng tangan suaminya dan turun kembali 
ke dermaga. 
“Apa pun yang terjadi, nyi girah , hadapi semua dengan 
tabah.” 
“Aku kuatir, Kang,” bisiknya. “Aku pulang ke desa 
saja.” 
“Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten? 
Dan perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari baginda tuanku raja  
adiputro  sendiri?” 
“Kang, aku kuatir,” nyi girah  berbisik dan memandangi 
suaminya dengan mata sayu. “Aku takut, Kang. Di desa 
aku tak pernah takut seperti ini.” 
“Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, Wira,” 
seseorang di antara para perubung mengusulkan. 
“Betapa mulia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian 
sendiri tahu, tak dibenarkan memasuki pelataran 
kepatih wirabuana an.” 
Nahkoda datang mewartakan pada raden panji  gelang-gelang  layar 
akan segera dipasang dan kapal akan berangkat. 
raden panji  gelang-gelang  mengusap-usap rambut istrinya. 
“sang hyang Widhi  bersama denganmu, raden panji  gelang-gelang !” seru raden  
sanggabuana  bumikerta . 
“Sejahtera, sejahtera untukmu, raden gelang-gelang , dan istrimu,” 
kerumunan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil 
dan makin…. 
Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal, 
makin lama makin jauh meninggalkan dermaga, makin 
kecil dan makin kecil. Dan kerumunan orang itu 
mengantarkan nyi girah  sampai ke kepatih wirabuana an…. 
raden panji  gelang-gelang  dan Pada memandangi semua yang 
bergerak di dermaga sampai iring-iringan itu hilang dari 
pemandangan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan 
keleluasaan alam. 
Terdengar Pada mengeluh. raden panji  gelang-gelang  sambil 
berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada 
dinding lembung, mengawasinya: “Apa yang kau 
keluhkan?” 
“Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun 
kadang-kadang mengeluh juga.” 
“Apa yang dikeluhkan kuda?”. 
“Kita akan ke mana, Kang?” 
“Apa yang dikeluhkan kuda? Kau belum lagi menjawab. 
Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan.” 
“Kita ke jatikerto , Kang? Betapa jauh dan lama.” 
“Itukah yang kau keluhkan? Jauh dari kadipaten? Jauh 
dari keputrian? Dari para selir?” 
“Kang!” Pada terkata  terkejut. 
raden panji  gelang-gelang  pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan 
pandang pada permukaan laut, pada pantai pulau Jawa 
yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan 
perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri 
penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan. 
Ia tahu benar raden  sanggabuana  bumikerta  adalah kucing 
hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari. 
Dalam hati-kecilnya bayangan Sang adiputro , yang jelas 
memberanikan istrinya, antara sebentar mengawang dan 
mengancam hendak merobek-robek hatinya. dan sekarang 
aku harus pergi dari kediri . Apakah yang bakal terjadi? 
Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteramkan 
hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada nyi girah  
sendiri. 
Ia sudah  tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan 
pesan, “Belalah dirimu kalau ada niatmu untuk membela 
diri!” Dan pada Nyi kembang  Kati ia mengharap agar dia sudi 
ikut menjaga keselamatan nyi girah . 
Sesudah  berada di atas kapal ia menyesal sudah  berpesan 
pada seorang bekas pengurus  harem. Bekas pengurus  
harem! Tahukah orang seperti itu tentang cinta, kasih dan 
kesetiaan? Bekas pengurus  harem! Harem! 
“Kang!” Pada mengulangi tegurannya. 
“Mengapa kau terkejut, Pada?” 
“Ampun: Kang, janganlah hubung-hubungkan aku 
dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa 
tentang mereka,” Pada membela diri, menghiba-hiba. 
”Takut benar kau nampaknya, Pada.” 
Dan kapal terus berlayar. 
“Bagaimana aku tak takut, Kang Nyi kembang  Kati sudah  
diusir dari keputrian. Nyi Ayu Sekar Pinjung ke…” 
“Dari mana kau tahu mereka kena hukuman? Dan siapa 
mereka itu?” 
“Semua orang membicarakan, Nyi kembang  pengurus . Nyi 
Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu?” 
“Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian 
dan masuk ke dalamnya, Pada?” 
“Kang!” Pada terkata  lagi untuk kesekian kalinya. 
“Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.” 
“Ah, Kang raden gelang-gelang , Kang raden gelang-gelang ,” bisiknya menghiba-
hiba. “Untuk apa aku pergi ke sana? Dan bagaimana bisa 
aku ke sana?” 
raden panji  gelang-gelang  menatap Pada sambil menggeleng. 
“Paling tidak,” patih wirabuana -muda itu menepuk bahunya 
beberapa kali, “dua kali dalam seminggu kau pasti masuk 
ke sana ” 
“Kang raden gelang-gelang , kakangku sendiri… tega kau berkata 
begitu.” karanya gugup dan megap-megap. 
“… Kau lemparkan tali berjangkar ke atas pagar kayu 
tmggi itu, dan kau memanjat masuk.” 
“Kang, aduh, Kang. Itu berarti kau membunuh aku, 
Kang.” 
“Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa 
tentang dirimu sendiri.” 
“Kang!” Pada terkata  lagi. 
“Husy. Goba selir yang mana saja sudah kau hubungi?” 
“Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.” 
“ayolah , katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku 
kakangmu?” 
“Kang tega, kau, Kang” suara Pada sudah  menghampiri 
sebuah tangs dari seorang bocah yang tak berdaya. 
“ayolah , ceritai aku, Pada. Sekali saja. Dengan selir mana 
saja kau sudah  lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam 
keputrian?” 
Pada sudah  sampai pada puncak kelelah an, tak mampu 
bicara. 
Sewaktu raden panji  gelang-gelang  melecuti anak itu dengan 
pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, nyi girah . Sekiranya 
nyi girah  dahulu  terpaksa jadi penghuni harem, menjadi selir 
sebagai yang lain-lain, mungkinkah anak ini juga yang akan 
datang padanya, di malam sepi, dan meletakkan tangan 
pada tubuh kekasihnya? Darahnya tersirap dan dengan 
sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan 
Pada. 
Anak itu berteriak  kesakitan. patih wirabuana  muda terpaksa 
metepaskan kembali. 
Dengan pandang bertanya Pada menatap juara gulat Itu, 
lalu  memeriksa pergelangannya. Dibimya cemberut. 
“Di balai   dahulu  kau memakai  gelang, kalung dan 
cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana barang-barang 
itu sekarang?” 
“Kau siksa aku begini macarn, Kang.” 
“Kau tidak menjawab. Dan kau tak mau menjawab. Selir 
mana yang sudah  beri kau semua itu?” 
“Kang, tega kau…” 
“Di mana barang-barang itu sekarang, Pada?” 
Pada terdiam. Pandangnya dilemparkannya ke 
permukaan laut. 
“Bocah berumur lima belas!” raden panji  gelang-gelang  membuang   ke 
geladak. 
“Kata orang, gandarwa berumur 400  tahun baru 
mulai dewasa. Kau, Pada… empat belas, lima belas! 
Keparat! Empat belas, lima belas sudah jadi buaya.” 
“Jangan ucapkan itu, Kang.” Pada memohon. 
Dua orang itu kini terdiam. Lama. Seakan-akan sudah  
terjadi permusuhan bat in antara mereka. 
raden panji  gelang-gelang  melepaskan pandang ke sebelah selatan, 
pada pantai pulau Jawa yang nampak samar-samar di 
kejauhan. Dan Pada mulai agak mengerti mengapa ia 
berada di atas kapal dagang ini. 
Juara gulat itu membanding-bandingkan dirinya dengan 
Pada. Waktu berumur empat atau lima belas ia masih tak 
mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladang atau 
mengurus    ternak: babi, sapi, ayam dan anjing. 
“Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang 
lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau 
menulis surat untuk pakanewon  Habibullah Almasawa 
patih wirabuana  kediri ?” 
“Menulis surat?” bocah itu berseru terheran-heran. 
“Buaya! Kau memang pandai berpura-pura. Pada, aku 
tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa 
kau bodohi begitu mudah ?” ia buang pandangnya ke 
tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. “Orang tak 
mungkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali 
orang harus mengakui kebenaran.” 
Pada terdiam tak membuka mulut. Ia hindari pandang 
juara gulat yang mengancam itu. 
“Sekali ini kau harus menjawab, Pada.” patih wirabuana  
muda itu memaksa. “Berapa kali kau tuliskan surat untuk 
patih wirabuana ?” 
“Kang raden gelang-gelang , bukankah tak lain dari Kakang sendiri 
yang tahu, semua! Kewajibanku sudah  kulakukan dengan 
baik? Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu 
dan Mbok Ayu nyi girah ? Sekalipun harus melanggar aturan 
yang ada?” 
raden panji  gelang-gelang  membatalkan niatnya untuk menyakiti 
bocah itu. Ingat akan jasa Pada memicu  ia merasa 
segan melakukan. 
“Sang adiputro  juga memuji kecakapanmu. Kalau kau 
anak tertib mungkin bisa kau jadi penggawa di lalu  
hari. Aku dan nyi girah  takkan melupakan jasa-jasamu. Yang 
aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang sudah  
kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang 
adiputro ?” 
Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak 
itu mulai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini: 
untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. Dan 
raden panji  gelang-gelang  yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang 
yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah 
pemeriksa dan penghukumnya sekaligus. Ia menekur tak 
berani mengangkat muka. 
“Kau tak menjawab, Pada,” ia lemparkan pandang jauh-
jauh. “Jawablah. Aku tak perlu melihat mukamu. Aku 
hanya inginkan jawabanmu. Dijauhkan Kakang hendaknya 
dibandingkan  perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah.” Ia 
menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang. 
“Bukankah masih kau akui aku kakangmu?” 
“Ya, Kang.” 
“Jawablah. Terserah bagaimana menjawabnya.” 
Pada tak juga mau menjawab. 
Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan 
raden panji  gelang-gelang  mencekam rambut Pada yang jatuh terurai 
dari bawah destamya. la tahu cengkaman itu lunak tak 
menyakiti. 
“Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada,” katanya 
tanpa melihat kepadanya, “mengapa kau suka memasuki 
keputrian?” Juga tak berjawab. “Mengapa kau menulis 
surat di atas kertas untuk Nyi kembang  Kati dan pakanewon  
Habibullah Almasawa?” Tak berjawab. “Baiklah kau tak 
mau menjawab lagi. Tahukah kau, jiwamu ada di tanganku 
sekarang ini, dan hidup-matimu akulah yang menentukan?” 
Tak terduga oleh raden panji  gelang-gelang  si bocah Pada menjawab 
tertahan: “Sekarang aku tahu mengapa aku memperoleh  
perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang raden gelang-gelang , 
ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku 
tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau 
aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku 
pada nyi girah  nyi girah , Kang. Tak ada sebuah dapat 
kusampaikan pada siapa pun, sebab  tak ada orangtua dan 
sanak padaku.” 
“Mengapa pada nyi girah ?” 
“sebab  seluruh kediri  memujanya, juga aku, Kang. 
Maukah kau?” 
“Katakan sesuatu padaku, Pada.” 
“Tak ada sesuatu yang dapat aku katakan, Kang. 
Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku. 
Semua sudah kukatakan dan jawab.” 
“ayolah , katakan, katakan sesuatu.” 
Anak itu justru membisu. 
Suatu pergolakan sudah  terjadi di dalam hati juara gulat 
itu. Batinnya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini, 
raden gelang-gelang . Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya 
dari muka bumi sebab  perintah cemburu hatimu sendiri. 
Kau memiliki  kepentingan pribadi dalam urusan ini! namun  di 
hadapanmu ada baginda tuanku raja  adiputro . Dan kau takkan mampu 
melawannya. Di samping itu ada juga tuan patih wirabuana  
kediri , kucing di waktu malam dan merak di siang hari itu. 
Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya. 
Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani 
berbuat, hanya sebab  cemburu yang tidak terbukti. Ba-
gaimana kau ini, raden gelang-gelang ? Pengikut betari  resi  ? Kau 
bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu. 
patih wirabuana  muda itu malu memiliki  perasaan cemburu 
terhadap si bocah itu. nyi girah  sendiri lebih tidak berdaya! 
Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat 
menghadapi orang-orang berkuasa seperti Sang adiputro  dan 
patih wirabuana  kediri ? Dia yang tertinggal di daerah larangan, 
di kepatih wirabuana an itu, dalam satu sarang dengan Nyi kembang  
Kati, bekas pengurus  harem, yang sudah selayaknya akan 
membantu suaminya menundukkan nyi girah . Mengapa bocah 
ini harus jadi sasaran kekacauanku? 
Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran 
masing-masing. Beberapa kali orang berjalan mondar-
mandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara 
sesuatu. 
sinar matahari  makin lama makin condong. Angin laut yang 
bertiup dari belakang memicu  rambut mereka tergerai 
di bawah destar, sedang puputan pada layar memicu  
antara sebentar terdengar gelepar. 
“Kalau kau tega juga membunuh aku, Kang” tiba-tiba 
Pada berkata seperti pada diri sendiri. 
“Mengapa kau memiliki  pikiran aku akan membunuhmu?” 
“Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang adiputro , bila 
orang dianggap merugikannya?” 
“Siapakah aku ini maka harus membunuh kau?” 
“Aku sudah banyak tahu, Kang. Kaulah yang akan 
membunuh aku atas perintah baginda tuanku raja  adiputro .” 
“Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan 
diri pakanewon …” 
“Kalau aku harus dibunuh sebab  surat dan keputrian; 
sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh sebab  yang itu 
juga, hanya surat itu untuk Kang raden gelang-gelang  dan nyi girah  
nyi girah .” 
“Bukankah sudah  kukatakan kami berdua 
berterimakasih?” Dan semakin heran ia mengapa si bocah 
itu begitu tabah menghadapi bahaya maut yang sudah dekat 
pada lehernya. Pasti ia memiliki  perhitungan: melompat ke 
laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan: 
“Tiadakah kau takut pada hiu martil , Pada?” 
Ia lihat Pada tersenyum seakan mengerti maksudnya. 
“Kata orang,” Pada mulai seperti hendak mendongeng, 
“barangsiapa takut pada hiu martil , dia takkan menyintuh laut. 
Barangsiapa menentang laut, dia takkan dapatkan hiu martil .” 
Kembali mereka berdiam diri. 
Waktu seseorang memberitakan, makan sudah siap, baik 
raden panji  gelang-gelang  mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari 
tempat. Dan sinar matahari  dengan lambatnya ma km mendekati 
ufuk barat. Semburat merah mulai membakar kaki langit. 
“Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam.” 
Terdengar seseorang menyerukan azan di bawah geladak 
dan ia memperhatikan. Lagunya begitu asing dan kata-
katanya ia tak kenal. Sesudah  seruan selesai ia merangkul 
Pada dengan mesra. 
“Jadi segala yang orang ketahui tentang kau temyata 
benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. Dan kalau kau 
melompat ke laut. aku takkan menghalangi. Kalau kau 
melompat dan berenang ke sana, cukupkah kiranya 
nafasmu, Pada?” 
“Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus 
bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke 
kediri  Demi Batara Kala. Percayalah.” 
“Pada, adikku, maafkan aku. Sembahmu pada 
nyi girah mu nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat, 
aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah. 
Cepat, melompat!” 
namun   Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di 
atas geladak itu, bersujud  raden panji  gelang-gelang  mencium 
kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding 
lambung. 
“Aku pergi, Kang.” 
lalu  menyusul bunyi benda jatuh ke laut. 
“Mati!” teriak raden panji  gelang-gelang  sekuat-kuatnya. “Mau kau, 
Pada! Mati!” 
Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya. 
Juara gulat itu bertolak pinggang menghadapi mereka 
dan dengan nada resmi mengumumkan: “sudah  kubunuh 
atas perintah  baginda tuanku raja  adiputro  kediri  Arya Teja Tumenggimg 
Wilwatikta, seorang pendurhaka bemama Pada. Kubunuh 
dan kulemparkan dia ke laut.” 
Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan 
menuruni tangga geladak untuk memperoleh kan makannya. 
Dari mereka yang tak suka pada pajang bintoro , sindiran datang 
tanpa henti. Di antaranya yang tajam menusuk: 
“Mendirikan kerajaan memang mudah. Carilah tempat 
yang sepi di pedalaman. Kalau musuh datang dari laut 
jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut musuh menyerbu 
dari gunung, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau kuatir 
musuh datang dari lembah, jangan dirikan di tepi pantai. 
Kalau was-was musuh datang dari langit, jangan dirikan di 
tepi pantai!” 
Lama kelamaan sindiran mencapai puncaknya dalam 
bentuk yang semakin jelas: Di pedalaman saja, sahabat, di 
pedalaman, sebab  nyi kanjeng blora bakal datang! 
Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-mana, juga di 
tengah-tengah pajang bintoro  sendiri. 
Putra mahkota pajang bintoro , adiputro  Kudus Pangeran 
Sabrang Lor, tak dapat menenggang semua itu. Pada setiap 
kesempatan ia memerlukan menangkis: “Mereka bilang, 
nyi kanjeng blora lelananging jagad, menguasai segala yang 
dilihatnya. Mereka, nyi kanjeng blora, belum lagi melihat pajang bintoro . 
Suruh dia melihat pajang bintoro , dan dia akan melihat 
kuburannya sendiri.” 
Putra mahkota juga yang pada suatu kali menghadap 
ayahandanya. kanjeng sinuhun  Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah, 
memohon satu kesatuan prajurit kerajaan  pilihan. Dengan modal 
itu ia menyerbu suryabuaya   menduduki dan menguasainya. Kini 
pajang bintoro  memiliki  jenggala sendiri. Putra mahkota diangkat jadi 
adiputro  pajang bintoro  dengan mpu wungubhumi  adiputro  tumenggung dijoyo . Dan tumenggung dijoyo  
dimasyhurkan sebagai nama seorang nabi penguasa laut. Ia 
pun diangkat oleh ayahandanya jadi menteri urusan manca 
negara. Itulah jawaban pajang bintoro  terhadap sindiran takut pada 
nyi kanjeng blora. 
namun   orang masih tetap tidak percaya pada sesumbar 
putra mahkota. Sindiran terus juga datang. 
kanjuruhan  menduduki jayamahanaya . 
Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: “Lihat, nyi kanjeng blora 
sudah menduduki jayamahanaya . pajang bintoro  menduduki suryabuaya  . 
Mereka hanya akan berpandang-pandangan dari jenggala 
masing-masing, sampai kedua-duanya bosan dan tak 
berpandang-pandangan lagi.” 
adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   pada suatu kesempatan di hadapan 
para punggawa, yang ditugaskan membangun galangan-
galangan besar, berkata: “Ketahuilah, bila kelak nyi kanjeng blora 
tidak datang ke suryabuaya   untuk menantang pajang bintoro , maka dari 
suryabuaya   akan datang pajang bintoro  ke jayamahanaya  menentang 
nyi kanjeng blora.” 
Sindiran-sindiran padam sesudah  jelas adiputro  tumenggung dijoyo  
suryabuaya   tidak tinggal bersumbar-sumbar. Galangan-galangan 
kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga 
dibangunkan. Didatangkannya pengecor-pengecor dari 
Blambangan. Dan ia tidak peduli pandai-pandai itu 
beragama Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng 
untuk membuat  cetbang yang direncanakannya sendiri, 
khusus untuk menghadapi nyi kanjeng blora. 
Perintah-perintahnya sangat keras. Semua pekerjaan 
harus selesai pada waktunya.. Permunculannya 
menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras 
didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal. 
Dan waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang 
cepat bekerja, mereka dipindahkan bersama bengkelnya ke 
pinggiran jenggala suryabuaya  . 
Dengan demikian suryabuaya   dihadapkannya ke jayamahanaya . 
raden gelang-gelang  mendarat di jenggala Yuana   jenggala milik kediri  
yang terletak di wilayah paling barat, sesudah  suryabuaya   jatuh ke 
tangan pajang bintoro  
jenggala suryabuaya   sedang giat-giatnya bekerja waktu ia 
datang. Ia berjalan lambat-lambat, melihat-lihat 
pemandangan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia 
perlihatkan diri sebagai orang baru yang tidak tahu sesuatu 
apa. Tak ada seorang pun dikenalnya. 
Duduklah ia di bawah sebatang pohon kenari. Semua 
orang nampak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung 
dengan tangan kosong. Di sana orang sedang menggotong 
atau memikul balok dan papan. Di sini orang sedang 
menumpuk kayu. Dari mana-mana datang bunyi orang 
membelah, memohon atau berseru-seru memberi perintah, 
Dalam bedeng-bedeng tanpa dinding orang sedang 
melengkungkan papan yang dipatok-patok dengan kayu 
pada tanah dan memanggang lengkungan dengan api. Dan 
kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana 
kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut. 
Gerobak-gerobak beroda kayu untuk mondar-mandir 
mengangkuti pasir, batu dan kayu. Di tempat yang paling 
jauh orang sedang membadari batu karang untuk dibikin 
kapur. 
Semua serba berbeda dengan di jenggala kediri , juga 
dengan di jenggala galangan Glendong. 
Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang 
baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu 
seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan. 
Pakaiannya sama juga dengan orang kediri . 
“Hai, kau! Tidak bekerja?” 
Sekaligus ia dapat menangkap, akhir suku kata yang di 
tempatnya dinamakan kan jadi a miring, di sini jadi o miring. 
Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah 
meneruskan: “Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa 
kau kerjakan? Menukang? Besar betul badanmu.” 
“Hanya memikul,” jawab juara gulat itu menirukan lidah 
suryabuaya  . 
“Baik,… Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul” 
Dengan demikian mulailah raden panji  gelang-gelang  bekerja 
sebagai pemikul balok, mondar-mandir dari penumpukan 
ke galangan. Menjelang sinar matahari  tenggelam orang 
membawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga. 
Sesudah  makan malam orang pun merebahkan diri berjajar-
jajar seperti di balai   di kediri  dahulu , hanya ambin di sini 
tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. Dan 
kepinding menyerang dari segala penjuru. 
Kelelahan memicu  orang segera tertidur. Namun 
tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang 
orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang 
tua-tua untuk belajar sesuatu dari orang Iain, 
mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan 
pengetahuan. 
Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan 
tubuhnya yang besar di samping-menyamping orang-orang 
yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari 
pakaian mereka. Dan ia tak mencoba membuka mulut. Ia 
berusaha mendengarkan segala apa yang dapat 
didengamya. 
Dari kegelapan beberapa depa dari tempatnya ia dengar 
seorang pekerja berkata pada teman-temannya. 
“Kerajaan itu, arca    atau tidak arca   , dikuasai oleh raja 
yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak 
bedanya pada semua kerajaan, ada hukuman dan ada 
karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan, 
dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selamat tak 
kurang suatu apa.” 
“Apakah kau pernah hidup di dalam istana?” 
“Tidak.” 
“Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah 
menjalankan dan mematuhi aturan dengan sepatutnya 
namun dibunuh juga oleh raja?” 
“Mesti ada sebabnya, ada kesalahannya. Misalnya 
sebab  cemburu kalau-kalau orang itu akan 
menggulingkannya.” 
“Betul, itu memang ada,” orang lain membenarkan. 
“Boleh jadi raja itu menghendaki istri atau anaknya yang 
cantik.” 
Jantung raden panji  gelang-gelang  berdebar-debar. nyi girah  muncul 
dalam penglihatan batinnya. namun  segera lalu  lenyap 
oleh kata-kata orang tersebut. 
“Itu namanya raja lalim. Dalam kerajaan arca    tak ada 
raja lalim, semua adil.” 
“Baiklah tak ada raja arca    yang lalim. Sekiranya raja 
arca    itu lalim, siapa yang menghukumnya? Ataukah tidak 
akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja betarakalong  atau 
sri ratu kertanegari  atau raden kertajaya ?” 
Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan. 
Pikirannya sibuk mengurus    kekuatirannya sendiri. 
wah 
 
Beberapa minggu lalu  tahulah ia, pekerja yang 
suka memberikan cebersabda  itu tak lain dari seorang musafir 
pajang bintoro , seorang di antara para pemasyhur pajang bintoro  dan 
kanjeng sinuhun  Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menamakan diri 
ki mangkukerta . Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil 
memanggilnya Anggoro, bukan Anggara, sebab  dilahirkan 
pada hari Anggara. Pada suatu malam ki mangkukerta  
menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra 
adiputro  kediri  yang sudah  mengikat kesetiannya pada 
pajang bintoro , dan tak lama lagi kediri  pasti menjadi daerah 
pajang bintoro . 
“Betapa hebatnya kerajaan arca    pertama-tama ini,” ia 
meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. “Belum 
seberapa umumya, namun  lebih baik dibandingkan  semua kerajaan 
yang pernah ada. Dahulu seorang raja dapat berselir tanpa 
batas, dan selir-selir celaka itu tak memiliki  hak sesuatu….” 
Dari ujung ambin seseorang membentak “Tutup 
mulutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan 
membual.” 
Dalam kegelapan itu raden panji  gelang-gelang  membayangkan 
ki mangkukerta  terduduk dari rndan mencari-cari 
penyangkalnya, sebab  tak lama lalu  terdengar 
musafir pajang bintoro  itu menanya. 
“Siapa itu? Adakah kau sendiri isi istana? Kalau isi istana 
mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini? Atau kira-kira 
kau seorang pangeran tersasar?” 
“Tidur kau!” bentak suara orang tak dikenal itu. “Sudah 
malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu 
tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir 
raja memiliki  hak, pertama mpu wungubhumi  untuk anak-anaknya, hak 
keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh orang desa, 
ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja. 
Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.” 
Ternyata ki mangkukerta  tak mau diam. Dengan berapi-api ia 
ganti menyangkal: “Itu katamu. Siapa yang menjamin hak-
hak itu dilaksanakan?” 
“Goblok kau! Menteri-dalam mengurus    semua itu.” 
“Siapa menjamin Menteri-dalam melakukan 
kewajibannya?” 
“Yang menjamin ki mangkukerta  alias Anggoro tentu,” 
penyangkal itu berseru jengkel, lalu  sengaja 
memperdengarkan kuapnya. 
“Jangan mempermain-mainkan aturan, kau,” ki mangkukerta  
memperingatkan. “Kalau jaminan aturan mesti berlaku 
tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam 
kerajaan arca   . Jangan pura-pura tidur, kau. Dengarkan 
biar kau tahu sedikit tentang pajang bintoro , sebab  bagaimana 
pun kalian sekarang ini tak lain dari bawahan  pajang bintoro .” 
Pertentangan itu memicu  orang-orang diam 
mendengarkan. 
“Raja arca    hanya boleh beristri empat, dan semua 
mereka memiliki  hak yang diatur di dalam Alkitab. Dahulu 
aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang 
bemama Nitisastra.” 
Seseorang terdengar tertawa berbahak mengejek. 
“ki mangkukerta ! Tahu apa kau tentang Nitisastra? 
Memasuki mandala pun kau tak pernah. Membaca Jawa 
pun kau tak tahu….” 
“Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang 
harus dipatuhi oleh raja arca    dan bawahan nya,” ki mangkukerta  
meneruskan tanpa menggubris penyangkalnya. 
“Aturan bukan hanya ada dalam Nitisastra,” seorang 
lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. “Ada banyak 
aturan dalam lontar yang kau tak tahu. Perlukah aku 
sebutkan satu-per-satu?” 
“Biar pun lontar-lontar itu 30  kali seratus kali dua 
ratus… berapa saja kau sebutkan, sama saja,” ki mangkukerta  
meneruskan, “tak dapat dibandingkan dengan Alqur’an 
atau Alkitab atau Alfurkon, sebab  kitab ini berasal dari 
sang hyang Widhi  melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para 
raja dan para empu, para pujangga.” 
Untuk ke sekian kalinya raden panji  gelang-gelang  sudah  tertidur 
sebelum cebersabda  selesai. 
wah 
 
Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba 
memperhatikan ki mangkukerta . Tubuhnya kecil rapuh, otot-
ototnya pendak dan tipis, namun   ia bekerja tanpa henti-henti. 
Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri. 
Matanya tidak tenang, pikirannya seperti selalu melayang 
ke manamana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi 
menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar, 
membasuh tangan, muka, dahi rambut dan kaki, mengmpu wungubhumi  
tikar di bawah sebatang pohon, lalu  bersembahyang. 
Di malam hari ia muncul di bangsal tidur bila orang sudah 
pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung 
bercerita atau membuka persoalan seperti dilakukan oleh 
para resi -pembicara di desa-desa. Bedanya, para resi -
pembicara di desa-desa bicara pada mereka yang 
memiliki perhatian, musafir pajang bintoro  ini bicara terus tak 
peduli ada yang dengar atau tidak. 
“Siapakah putra-putra kediri  di pajang bintoro ?” raden gelang-gelang  
memberanikan diri bertanya. 
“Lidahmu seperti lidah kediri ,” tegur ki mangkukerta . 
‘Tidak.” 
“Dari campa  barangkali?” 
“Dua-duanya tidak,” jawab juara gulat itu. 
“Memang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putra-
putra kediri  yang terkemuka di pajang bintoro  ialah Raden 
Kusnan, Punggawa-dalam. Yang lain Raden Said, anggota 
Majlis Kerajaan. Orang memanggilnya juga Ki Aji, 
Kalijaga, dan lebih suka dipanggil demikian. Dibuangnya 
Raden leluhur sendiri dari kerajaan jenggala  dahulu , digantinya 
dengan Ki Aji, mpu wungubhumi  pemberian orang yang mencintainya.” 
“Mengapa dibuang mpu wungubhumi  dari leluhumya?” 
“mpu wungubhumi  pemberontak  itu tak mengandung sesuatu arti di 
dalamnya. Dalam arca   , hanya perbuatan orang yang 
dinilai oleh sesama dan oleh sang hyang Widhi . Perbuatan atau amal Ki 
Aji Kalijaga luar biasa agungnya. Dengarkan ceritanya, 
sebab  barangkali di kediri  sendiri tak pernah kau dengar.” 
Di kediri  sendiri memang tak pernah terdengar. 
“Beliau sudah  tinggalkan kediri  dan mengembara ke 
mana-mana untuk memasyhurkan arca   . Beliau keluar-
masuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa 
seperti para resi -pembkara yang tak tahu apaapa tentang 
wahyu sang hyang Widhi  itu. Beliau lebih suka memilih tempt di bawah-
bawah pohon rindang, mengajak anak-anak bermain-main 
dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan 
mukjijatnya. Lama-kelamaan ibu-ibu mereka ikut 
mendengarkan. lalu  juga para bapak.” 
“Apa kisah para nabi itu? Apakah sama dengan kisah 
para dewa?” 
“Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, sebab  
nabi memang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah 
ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia, 
menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari sang hyang Widhi . 
Dewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu 
ngawur.” 
“Siapa bilang para dewa tidak ada?” 
“Kalau pernah ada, mana keturunannya? Hadapkan 
padaku seorang saja di antara.” Mereka yang tidak setuju 
dan jengkel mulai bersorak-sorak mengejek. raden panji  gelang-gelang  
diam memperhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di 
balai-desa mendengarkan seorang resi -pembicara. Waktu 
ejekan sudah  reda, terdengar lagi suara ki mangkukerta  yang tak 
mengacuhkan gangguan. 
“Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah 
desa. Mereka adalah orang-orang pemberontak  penyembah Sang 
Kali” 
“Apa pemberontak  itu?” 
“Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para 
nabi. Ingat-ingat, pemberontak  namanya. Jadi setiap penyembah 
berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, pemberontak  
namanya.” 
“Ngawur, kau, ki mangkukerta , tak ada orang bersujud  
Sang Kali Orang hanya bersujud  Sang Maha sri ratu kertanegari ” 
raden gelang-gelang  membantah sebab  tersinggung. “Kalau kau bilang 
Sang Maha sri ratu kertanegari  tak pernah ada, lebih baik pecahkan 
saja kepala  mu sendiri.” 
namun   ki mangkukerta  tak peduli dan meneruskan. “Anak-
anak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya. 
lalu  juga kepala  desa. Pertentangan pendapat terjadi, 
perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara 
kepala  desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya 
mereka dapat ditaubatkan.” 
“Apa artinya ditaubatkan?” 
“Dipercaya kan akan kebenaran arca   , dan membawa 
mereka masuk arca   . Mereka meninggalkan Sang Kali. 
Mereka bersujud  sang hyang Widhi  dan mendengarkan perintah dan 
meninggalkan larangan-Nya.” Ia diam sebentar. “Kau 
sudah tidur?” dan waktu ia masih mendengar jawaban, ia 
meneruskan, “sejak itu beliau dipanggil Ki Aji Kalijaga, Ki 
Aji, yang menjaga agar Sang Kali takkan kembali untuk 
seiama-lamanya. Dan sekarang Ki Aji duduk dalam majlis 
kerajaan pajang bintoro . Tidak sembarang orang bisa. Raja 
kerajaan jenggala  pun takkan bakal mampu lakukan pekerjaan itu, 
sebab  pekerjaannya adalah menurunkan ajaran nabi di 
dalam keprajaan. Memang hanya empat kali dalam sebulan 
pertemuan nya, namun   menentukan. Enam hari dalam seminggu 
Ki Aji Kalijaga meneruskan pekerjaannya yang dalam, 
memasyhurkan arca    dan pajang bintoro  di desa-desa.” 
raden panji  gelang-gelang  sudah  tertidur. 
Dalam pekerjaan sehari-hari ia mengetahui, pembuatan  
kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat, 
tidak seperti di Glondong. Sebuah kapal terbesar, yang akan 
dipakai  jadi kapal bendera akan dapat mengangkut 
lima ratus centeng  laut dengan empat belas cetbang besar 
pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa 
dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kacangtanah . 
Peluru nyi kanjeng blora diperkirakan takkan dapat menembusinya. 
Orang tak banyak membicarakan kapal yang mereka 
sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru 
soal-soal lain yang orang percakapkan. 
Pada malam-malam selanjutnya ki mangkukerta  tak muncul. 
Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan, 
sebab  si pengganggu tidur membiarkan mereka 
melepaskan lelah dengan damai. Sebaliknya beberapa orang 
yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desa-
desa menyatakan, tak ada buruknya orang mengetahui hal-
hal baru yang terjadi di atas dunia manusia ini. 
Lama-kelamaan ketahuan juga ki mangkukerta  tak seorang 
diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata 
mengikutinya. Di siang hari sekarang ia nampak tidak 
seorang diri bersembahyang. Ia sudah  memiliki pengikut, 
dari dua jadi enam, dari enam jadi delapan. Terheran-heran 
orang waktu lalu  mengetahui, tak lain dari Sang 
adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   sendiri yang memerintahkan 
pembangunan rumah sembahyang di tempat ki mangkukerta  
biasa bersembahyang. 
Dan sejak itu mereka tak lagi bersembahyang di tempat 
terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas. 
Pada suatu tengah malam ki mangkukerta  muncul lagi. 
namun   ia bukan pembicara cerewet yang dahulu . Ia sudah jadi 
orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau 
menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mulai 
didengarkan oleh semua orang dengan sungguh-sungguh   
suka atau tidak suka. 
“Bukankah pembuatan  rumah sembahyang itu, tempat 
orang bersujud  Hyang baru itu, mengurangi kelajuan 
pembuatan  kapal?” sekali waktu seseorang bertanya dalam 
kegelapan. 
“Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang?” 
seorang lain lagi bertanya. 
“Bagaimana kau dapat mengatakan pembuatan  rumah 
itu menyendatkan pembuatan  kapal? Kapal dan arca    akan 
belayar bersama-sama, tidak tunggu-menunggu. Apakah 
arti kerajaan arca    kalau arca    tak berkembang di antara 
bawahan nya? Tidak seperti Hindu dan sri ratu kertanegari , orang-orang 
desa harus bangunkan sendiri balai  , mandala dan 
perguruan  sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk 
menumpas nyi kanjeng blora yang jelas-jelas, memusuhi arca   . 
nyi kanjeng blora tak boleh memasuki Nusantara, apalagi Jawa, 
sebab  cepat atau lambat semua penduduknya akan masuk 
arca   .” 
“Mana mungkin. Apakah semua kami harus masuk 
arca   ?” 
“Tak ada yang memaksa kalian masuk arca   . Adakah 
aku memaksa kalian masuk arca    dan bertaubat? Adakah 
pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan 
mengikutinya?namun   sebab  aturan arca    adalah yang 
terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang 
tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah 
sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu, 
tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik.” 
ki mangkukerta  meneruskan kata-katanya tentang agamanya. 
raden panji  gelang-gelang  tak mendengarkan lagi walaupun belum 
tidur. Ia sudah  temukan yang dicarinya: adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   
mempersiapkan armada untuk menyerang jayamahanaya , untuk 
melindungi arca   , bukan untuk memanggil kejayaan dan 
kebesaran masa silam pada guagarba hari depan. tumenggung dijoyo  akan 
membangunkan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan 
kebesaran dan kejayaan kerajaan jenggala . Ia tak dapat bayangkan 
kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak 
ikut jadi bagian dari padanya. 
Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaannya dan 
pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai 
Bareng itu temyata lebih besar dibandingkan  buatan kediri . 
Empat orang takkan kuat memikulnya, sedang bilik-
ledaknya menggelembung sebesar buah kacangtanah . Ia tak dapat 
bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemparkan 
dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat 
peluru cetbang. 
Dua bulan lalu  ia tinggalkan juga pekerjaan 
barunya. 
wah 
 
Seorang diri ia berjalan kaki memasuki pajang bintoro . namun   
tak ada sesuatu yang penting diperoleh nya. Ia saksikan 
penyempumaan pembangunan tempat ibadah  raya, pembangunan 
jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah 
perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden 
Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga 
sedang memasuki tempat ibadah . Orang yang tersohor itu 
berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru, 
berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup 
badan-atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nampak 
begitu longgar di kepala  nya dengan ikatan bergaya khusus. 
Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada 
bahunya. Dan di bawah destar tak nampak ada rambut. 
Berbeda dengan di suryabuaya  , di pajang bintoro  di mana-mana 
orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan 
tentang sekutu pajang bintoro  yang akan bergabung dalam armada 
kesatuan, semua kerajaan arca    termasuk kediri . 
Keterangan itu baginya sudah  berisi segala-galanya, 
walaupun ia belum mengerti betul duduk-perkaranya. 
Kalau pajang bintoro  satu-satunya kerajaan arca    di Jawa, 
mengapa kediri  dan jatikerto  juga dianggap sebagai kerajaan 
arca   ? Ia anggap itu bukan masalahnya. Yang jelas: pajang bintoro  
memiliki  sekutu, armada gabungan akan dibentuk, semua 
akan menyerang jayamahanaya . 
Sesudah  lebih enam bulan meninggalkan kediri  ia merasa 
sudah  cukup menjalankan tugasnya untuk mengetahui segala 
sesuatu tentang persiapan adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya  . Ia 
bermaksud pulang. Di tinggalkannya pajang bintoro  dan berangkat 
kembali ke suryabuaya  . 
Sesampainya di jenggala suryabuaya   ia melihat serombongan 
orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian 
aneh. Yang seorang berambut pirang, yang lain berambut 
hitam. Kedua-duanya lari dengan gesit menyelamatkan diri 
dari mata gada  dan mata tombak. Orang bersorak-sorak 
mengejamya. 
Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar, 
mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar lalu  
layamya berkembang dan dengan lajunya meluncur ke arah 
timur laksana burung camar. 
Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan 
mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada 
tercapai, lebih unggul dari perahu-perahu para pengejar. 
Maka pengejaran tak diteruskan. 
Di jenggala orang-orang pada duduk bersujud  
seseorang yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh 
beberapa belas orang centeng  bergada . Orang itu 
lalu  menuding-nuding ke arah larinya dua orang kulit 
putih tersebut dan berteriak  dalam bahasa Jawa langgam 
setempat: “Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan 
berkeliaran disini? Jawab, kau, patih wirabuana .” 
“Ampun, baginda tuanku raja , adapun pelabuhan suryabuaya   ini tiada 
aturan menolak orang dari mana pun juga datangnya.” 
“Apa katamu?” 
“Selama orang tidak mengajukan permohonan untuk 
menetap atau untuk tinggal sementara di sini, patih wirabuana  
saja yang berwenang mengijinkan atau menolak,” 
patih wirabuana  suryabuaya   menerangkan. “Atau orang tidak 
melewati daerah jenggala . Boleh saja.” 
“Benar, mengapa kau biarkan mereka? Mengapa kau 
ijinkan mereka?” 
“Mengapa, baginda tuanku raja ? sebab  suryabuaya   jenggala bebas.” 
“Apa kau kira ini jenggala nenek-moyangmu sendiri? Ini 
pelabuhan pajang bintoro , bukan pelabuhan siapa saja.” 
“Ini pelabuhan bebas, baginda tuanku raja ,” patih wirabuana  
membangkang. “Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh 
baginda tuanku raja  Kanjeng kanjeng sinuhun  ataupun oleh baginda tuanku raja  Kanjeng 
adiputro .” 
Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam 
sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: “Baik. Kau berwenang 
terhadap pelabuhan ini. namun   mengapa mereka kau 
biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan 
bengkel?” 
“Belum pernah ada larangan.” 
“Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk mereka, 
pendatang-pendatang? berkulit putih itu?” 
“suryabuaya   pelabuhan bebas, baginda tuanku raja .” 
“Kau memang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan 
terhadap nyi kanjeng blora? Mata-mata dari jayamahanaya , atau 
diturunkan dari kapal nyi kanjeng blora?” 
“Memang mereka nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , dan suryabuaya   masih 
tetap pelabuhan bebas.” 
“Kami akan persembahkan pada baginda tuanku raja  suryabuaya  . Apa 
kebangsaanmu, patih wirabuana ?” 
“Koja, baginda tuanku raja . arca    agama saya .” 
raden panji  gelang-gelang  duduk di bawah sebatang pohon kenari 
dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. nyi kanjeng blora 
temyata sudah memasuki suryabuaya  , pikimya, suryabuaya   belum 
lagi melihat  jayamahanaya . Sungguh berani orang-orang kulit 
putih itu hanya berdua memasuki negeri orang yang 
memusuhinya. 
“Selamat untukmu, patih wirabuana  bukan Pribumi. Apa 
saja mereka perbuat di sini?” patih wirabuana  tak dapat 
menjawab. Orang lain yang menjawabkan: “Hanya 
melihat-lihat sambil tertawa-tawa, baginda tuanku raja .” 
“Mentertawakan siapa?” 
“Ampun, baginda tuanku raja ,” orang itu meneruskan, “tak ada yang 
mengerti bahasanya.” 
raden panji  gelang-gelang  menangguhkan kepulangannya. 
Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu 
kejadian besar. Ia harus mengetahui kelanjutannya. 
Kelanjutannya adalah: patih wirabuana  suryabuaya   diturunkan 
dari jabatannya. Anak-Laki-laki nya yang menggantikan. 
Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya 
sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain. 
Mau tak mau ia teringat pada Moro pakanewon  Habibullah 
Almasawa. Satu demi satu perbuatannya yang ia pernah 
ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah 
patih wirabuana  suryabuaya   berbeda dari patih wirabuana  kediri ? 
Apakah mereka lebih baik dari Rangga jatayuwesi , peranakan 
Benggala itu? Di kediri  orang tidak suka pada Rangga 
jatayuwesi  ataupun pakanewon  Habibullah Alamasawa. patih wirabuana  
suryabuaya  , lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun 
mengherani mengapa adiputro  kediri  dan suryabuaya   masih juga 
memakai  orang asing. 
Sebelum berangkat ke kediri  ia memerlukan minta diri 
pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke 
galangan dan bengkel. ki mangkukerta  tak dijumpainya. Ia 
temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang. 
Beberapa orang murid memenuhi ruangan dalam. Orang itu 
nampak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di 
hadapannya. Beberapa orang murid mengikuti segala kata 
yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya. 
Lama ia duduk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba 
menirukan, namun   tak bisa. Ia dengarkan ki mangkukerta  
membacakan tafsimya dalam bahasa jawadwipa , lalu  
terjemahannya dalam bahasa jawadwipa , lalu  
terjemahannya dalam bahasa Jawa: “Dengan nama sang hyang Widhi  
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan: 
Berlindung aku pada…,” kata-kata selanjumya 
raden panji  gelang-gelang  tak mengerti, “dari bahasa makhluk yang 
diciptakan-Nya. Dan dari bahaya kegelapan malam bila 
sudah  datang. Dan dari bahaya…. Dan dari bahaya orang 
dengki, bila ia marasa dengki….” 
Kalimat-kalimat itu tak memiliki  kesamaan dengan acuan 
sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti. 
Dan ki mangkukerta  alias Anggoro masih juga terus mengajar. 
Ia tak jadi minta diri. Ditinggalkannya tempat duduknya, 
berjalan pelan menuju ke laut…. 
wah 
 
9. fredy krueger  dan penywise 
Dua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk melarikan 
diri. 
Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud 
hendak mewujudkan impian lama: mengembarai Nusantara 
sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri pemberontak  dan 
penduduknya yang masih perbegu. 
Dua orang itu adalah pemuda-pemuda kanjuruhan  
keturunan blambangan , fredy krueger    dan penywise . 
Dua-duanya kanonir, penembak gada rujakpolo  pada kapal 
nyi kanjeng blora. 
Berita kemenangan-kemenangan kanjuruhan  di seluruh 
permukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di 
seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang 
berlimpahan, sudah  memanggil pemuda-pemuda kanjuruhan , 
meninggalkan desanya masing-masing untuk 
menggabungkan diri dengan armada-armada yang akan 
berangkat belayar meneruskan Perang cakra di seberang 
lautan. 
Juga fredy krueger    dan penywise . Mereka tak 
mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan 
harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga 
ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan 
diri. Dan mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang 
lain-lain. Mereka diterima sesudah  menyodorkan uang 
sogokan. 
Mulailah keduanya bekerja sebagai awak kapal 
lalu  meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra, 
menaklukkan negeri-negeri, meneggelamkan kapal 
saudagar-saudagar asing bedan isinya ke dasar laut. Tak 
ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu 
melawan. Dengan gada rujakpolo  segala yang nampak di laut dan 
di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi. 
Mereka pun ikutserta  dalam perang laut di Teluk Parsi 
melawan armada gabungan negeri-negeri arca    yang 
dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan 
mudah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap 
kanjuruhan . 
kanjuruhan  penguasa dunia! Dan mereka berdua bangga 
menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu. 
Ia senang melihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian 
bila melihat cakra raksasa yang tergambar pada layar. 
Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka 
sendiri yang menenggelamkan. Mereka dapat rasai setiap 
peluru yang lepas, kena atau tidak. Setiap peluru yang 
menemui sasaran memberikan ketukan pada hati mereka, 
seakan memberitahukan: pelurumu kena. 
namun   kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan 
pengembaraan sejenis  itu, kehidupan tanpa perubahan, 
lama kelamaan membosankan mereka juga. Kejemuan 
setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu 
yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar 
saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dapat 
melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri 
sebagai pemenang tanpa lawan, memperoleh kan segala yang 
mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di 
keliling mereka, dan kapal-kapal musuh yang melarikan 
diri, dan langit, dan bintang-bintang di malam hari, dan 
badai di hari-hari sial. Mereka tak dapatkan apa yang 
mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan 
kesenangan yang tak terbatas. 
Akhir-akhir hidup yang sebetulnya  adalah di daratan, 
mereka memutuskan. Di laut tak ada yang mereka dapat 
kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan perampasan 
kapal. namun  di darat! Segala-galanya ada di sana. Dada 
selalu dapat menggelembung dengan kebanggaan sebagai 
putra kanjuruhan  yang jaya, bangsa pemenang, bawahan  raja 
pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan 
taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat. 
Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila 
pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap 
barang. Dan setiap kali menginjak bumi pemberontak , 
bergejayamahanaya n nama Jesus dalam hati: daratan ini akan 
segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih. 
Kebanggaan seperti itu akhirnya tak memuaskan juga. 
Dada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka menghendaki 
lebih dari itu: kebebasan, kesenangan tanpa batas. Di darat 
pun kebebasan seperti itu tak pernah mereka kenyam 
sebagai awak kapal. Mereka ingin menyaksikan seluruh 
Nusantara, yang begitu disanjung dalam cerita, kadang juga 
dalam nyanyian. Mereka tak puas hanya melihat dan 
menjamah pantai-pantainya yang digermangi nyiur. Mereka 
ingin juga mendengarkan musiknya, yang kata orang tegap 
dan menjamah dan meluncuri laut dan gendang dan 
gongnya yang berbunyi tandas sampai mengaduk dasar 
hati. 
Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-mana sejak 
orang tua-tua dahulu , yang mungkin mendengamya dari 
orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua membuat 
persepakatan untuk mengelanai Nusantara. Untuk itu 
jalannya hanya satu: melarikan diri dan memiliki  perahu 
sendiri. 
Imam kapal, Mario Fasetti, orang Italia itu, tak bosan-
bosan mengulangi pesan dalam khotbah-khotbahnya, 
‘Jangan masuki daerah pemberontak  tanpa perintah, sebab  kalian 
akan membawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang 
sang hyang Widhi  di setiap jengkal tanah pemberontak .’ Pesan itu malah 
diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, sesudah  
ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak 
kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan. 
namun   awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi, 
mereka tak bakal muncul, bertahun-tahun, dan kembali ke 
tanahair, berpindah ke kota lain, membawa harta-benda 
dan cerita-cerita indah, benar dan bohong juga nyanyian 
baru, yang memicu  mereka jadi tersohor. 
Memang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang 
untuk selama-lamanya dan dilupakan orang. Itu semua 
orang tahu. Dan itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka 
fredy krueger    dan Rogriguez Dez tak ambil peduli. 
Semua memang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya 
dan tersohor sekaligus. 
Sesudah  kanjuruhan  di bawah Alfonso d’Albuquerque 
menguasai jayamahanaya  dan tinggal beberapa bulan di sana 
untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di 
bawah sang cakra, mereka berdua giat mempelajari bahasa 
jawadwipa  dari penduduk Tanpa bahasa itu mereka takkan 
mungkin dapat berdiri sendiri. 
Pada seorang Pribumi mereka memesan agar dibuatkan 
sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk 
mereka sendiri. Sesudah  jadi, perahu layar kecil itu mereka 
sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilometer di 
selatan jenggala , di bawah penjagaan si pembikinnya. 
Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di 
dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak   semua 
diperolehnya dari gudang perbekalan di jenggala jayamahanaya . 
Menjelang Desember 1512, waktu kanjuruhan  menyiapkan 
armada untuk menuju ke panarukan , mereka berdua 
melarikan diri. Mereka berhasil menggondol musket dengan 
mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis. 
Tak sulit mereka memperoleh kannya. Dan itu pun secara 
kebetulan pula. Waktu itu beberapa orang para bala tentara  yang 
sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora menghabiskan 
arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan 
undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. Dan 
mereka memakai  kesempatan ini. 
Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa 
daya dalam kemabokan, fredy krueger  dan penywise masuk ke 
dalam kantor dan menggodol apa saja yang dapat diambil. 
Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya, 
mengembangkan layar dan berangkat. Belum pernah 
mereka merasa begitu riang seperti kali ini. sinar matahari  pagi 
mulai menyinari pesisir pulau Sumatra yang kelam oleh 
hijau tua rimba belantara. Perahu-perahu nelayan dan 
kapal-kapal dagang belayar damai. 
Dari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah 
tahu: di dunia ini tak ada bangsa pemberontak  yang memiliki senjata 
ampuh kecuali kanjuruhan , musket dan gada rujakpolo  dengan gaya 
ledak tinggi. Musket ada pada mereka. Dan mereka tak 
perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. gada  dan 
tombak para pembajak pasti akan temyata melengkung 
berhadapan dengan musket. Mereka berhati besar. Tak 
akan ada yang menghalangi pelayaran mereka. 
Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah 
berubah jadi kapal bajak. Dan kapal-kapal perang Pribumi, 
yang segera nampak dari kejauhan sebab  lubang-lubang 
pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak 
berbahaya selama tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka 
berbahaya sebab  cetbangnya, namun  tak pernah menembak 
tanpa alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang 
menghalangi pelayaran mereka. 
Mereka bergantian tidur, mengemudi dan masak. 
Mereka menyinggahi jenggala -jenggala kecil, sepanjang 
pantai Sumatra untuk memperoleh kan kacangtanah  dan daging dan 
air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana 
pun tak ada yang mengganggu. Walau sekecil-kecilnya 
jenggala kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh 
mendarat dan berjual beli dengan bebas. Dan jenggala -
jenggala itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk 
menjadi persinggahan rempah-rempah. 
Di setiap jenggala segera dua orang petualang itu menjadi 
kerumunan orang banyak. Kulit mereka, wajah mereka dan 
bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. Dan 
mereka senang menjadi tontonan. Dan setiap jenggala yang 
disinggahinya selalu tidak sama dengan yang di blambangan  
atau kanjuruhan  atau Italia. Tak pernah mereka mengalami 
penganiayaan. Sebaliknya kekasaran justru akan datang 
dari sebangsanya sendiri. Teman-teman mereka pada suatu 
kali bisa berubah jadi pemburu-pemburu yang akan 
menangkapnya untuk memperoleh kan uang tebusan. Atau 
bisa juga datang dari pihak orang-orang blambangan  yang 
mungkin akan menjualnya pada bajak-bajak laut Maroko 
atau Tunisia. 
Mereka sudah  menyinggahi jenggala Ban ten, Sunda 
kacangtanah , Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan 
akhimya berlabuh di jenggala suryabuaya  . 
jenggala ini tidak begitu besar, buruk, namun  lain dibandingkan  
yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada 
keistimewaan dan kekhususan, malah yang luarbiasa . 
Galangan-galangan besar berdiri megah membuat  kapal-
kapal, sama besarnya dengan kapal negerinya sendiri, 
kanjuruhan . Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal 
perang! Jelas nampak dari lubang-lubang lambung tempat 
mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah 
dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar 
yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kacangtanah  
itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat 
suadipati nya. di kuil rat dari banyak tangan memicu  
mereka menyingkir menghindar. 
Dan yang mereka herani, hampir-hampir tak ada 
perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang 
sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru 
lagi. 
Juga di jenggala suryabuaya   tak ada yang mengganggu mereka. 
Bunyi logam yang di tempat memicu  mereka 
tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi membuat  
perabot. Mereka memasuki bengkel pembuatan cetbang. 
Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka 
buat. Pandai-pandai Biambangan temyata tak mengerti 
jawadwipa . Mereka membisu, bahkan melambaikan tangan 
menyuruh pergi 
fredy krueger  dan penywise pergi, namun   datang lagi untuk 
mengherani benda yang sedang dibuat itu. penywise 
menebak, itulah gada rujakpolo  Pribumi. Dan fredy krueger  tertawa 
terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang 
dan kamar-ledaknya yang sekembang  buah kacangtanah . 
“gada rujakpolo  boneka yang baik hanya untuk melontarkan 
gombal!” seru penywise. 
Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang 
memicu  beberapa orang Pribumi merasa tersinggung. 
namun   sebab  jenggala suryabuaya   juga jenggala bebas, di mana 
setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak 
ada orang dapat dipeisalahkan hanya sebab  tertawa. 
namun   orang-orang Pribumi, yang temyata pejabat-
pqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua 
orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan 
adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   sedang menghadap ayahandanya. 
Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di suryabuaya  . 
Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh raden panji  gelang-gelang . 
fredy krueger  dan penywise Deez melarikan diri dalam 
kejaran para centeng . Hanya sebab  tingginya kewaspadaan 
memicu  mereka bisa selamat mencapai perahunya 
dan meneruskan pelayaran ke tunur. 
Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah 
seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji 
syukur atas keselamatannya. Mereka bersembahyang dan 
berdoa dan berdoa. 
Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang 
disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas 
lalu  mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu 
lalu  mereka jual di Mesir. 
Dan pada suatu pagi bermendung masuklah perahu layar 
langsung itu ke jenggala campa . Pelabuhan itu kecil dan 
mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung, 
namun kelihatan bersabda  dan membentangi jenggala dari 
badai. 
Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk 
jenggala itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, bermata 
sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan 
mondar-mandir tiada bekerja. 
Aturan di jenggala ini lain, keras, dan memang bukan 
jenggala bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum 
orangnya mendarat. Pengalaman baru ini tak 
menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri 
sepanjang Sumatra dan Jawa tak pernah orang 
memperlakukan demikian. Begitu perahu mereka 
terpancang pada patok dermaga atau cerocok takkan ada 
orang datang melihat  untuk mengintip muatan. Orang 
membiarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang 
berebutan untuk menjual atau membeli barang. Orang pun 
takkan menghalanginya bila mereka langsung pergi ke pasar 
pelabuhan. Di campa  lain yang terjadi. 
Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih, 
dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka 
semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan. 
fredy krueger  tak mengerti bahasa mereka. penywise juga 
tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat. 
Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk 
disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga 
memanggil teman-temannya. Dalam waktu pendek 
dermaga itu sudah  penuh dengan orang. Semua 
memperlihatkan sikap yang mengancam. 
Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak 
ditenggelamkan mereka naik ke dermaga, mengikuti tiga 
orang itu. 
Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar 
berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga 
orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang 
tangkapan. 
fredy krueger  dan penywise memperoleh  tempat duduk pada 
sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri. 
Dua jam lalu  mereka diperintahkan masuk lebih ke 
dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak 
kurang dari tujuh orang sudah  duduk atau berdiri menunggu 
mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi sebab  mata 
mereka berubah, seperti terbuat dibandingkan  kayu. Mereka 
berpakaian wama-warni, dan semua membawa kipas pada 
tangannya, sekalipun tidak dipakai . Mereka 
memakai  pakaian seperti jubah, semua dari sutra, 
dengan lengan tangan lebar. 
Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang 
tipis tergantung, menanyainya dalam jawadwipa . 
fredy krueger  tak dapat menangkap bahasanya. penywise 
juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada 
perasaan mereka. penywise  menatap fredy krueger  dengan 
pandang bertanya. fredy krueger  menggeleng. Bersama-sama 
mereka memandangi orang gemuk di hadapan itu, dan 
orang itu mengangkat alis. fredy krueger  tidak dapat menahan 
tawanya mendengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang 
gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para 
pengapitnya mulai bicara. Dua orang kanjuruhan  itu semakin 
tidak mengerti. 
Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya. 
Suara mereka berat namun   badan mereka seakan-akan  terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk  digerakkan. 
fredy krueger  merasa seperti sedang menonton suatu 
pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan. 
penywise juga merasa diundang untuk tertawa. 
Percakapan terpaksa dihentikan. 
Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain, 
wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak 
memakai  jubah namun   bercelana dan berbaju longgar, 
tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan 
nampak terawat baik. Ia berjalan langsung memperoleh kan 
yang gemuk dan memberi hormat. Suatu pembicaraan sudah  
terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk 
mengangguk-angguk 
Orang baru yang langsing itu berpaling pada fredy krueger  dan 
penywise, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah 
yang sama sekali mereka tak duga: “Kalian orang kanjuruhan  
memang pongah!” tuduhnya dalam bahasa kanjuruhan . 
fredy krueger  dan penywise tak dapat menyembunyikan 
kejutnya.  
“Kau bisa kanjuruhan ?” penywise  bertanya.  
“Demi keselamatan kalian sendiri, lepaskan kepongahan 
itu,” katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan. 
“jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada 
kanjuruhan  di sini.” 
Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak 
merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala   mereka. 
fredy krueger  mencoba memperlihatkan keunggulan 
bangsanya dengan tawa kecil meremehkan. 
“Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap. 
Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang kanjuruhan  
mengerti artinya nasihat.”  
“Kau penterjemah?” fredy krueger  bertanya.  
“Pemeriksa kalian.” 
“Pemeriksa!” penywise tertawa mengejek. “Apa yang 
hendak kau periksa? Kami bukan tangkapan kalian.” 
“Aku yang memeriksai kalian, bukannya kau yang 
memeriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa 
kanjuruhan  yang benar.” 
“Kaulah yang pongah, bukan kami,” bantah fredy krueger   
“Kami orang bebas!” gumam penywise. ‘Tak ada alasan 
memeriksa kami Kami menolak. Tak ada orang kanjuruhan  
diperiksa di jenggala asing.” 
“Diam!” bentak pemeriksa itu. “Aku dengar kalian tidak 
mengerti jawadwipa .” 
“Siapa bilang kami tak mengerti jawadwipa ? Orang itu,” 
penywise menuding pada si gemuk, “yang tak keruan 
jawadwipa nya.” 
Seseorang memukul tangannya yang menuding dengan 
kasar. penywise merah-padam sebab  merasa terhina. Tak 
pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu 
terhadap orang kanjuruhan . la berjalan menghampiri meja si 
gendut hendak memprotes. 
Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya 
ke lempatnya kembali. penywise meronta. namun   sikutnya 
terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin 
meronta makin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan. 
Ia meringis tanpa bisa mengerti. 
“Orang kanjuruhan  juga perlu belajar sopan di negeri 
orang,” kata pemeriksa itu, dan menyorong penywise. 
“Ingat-ingat, namaku shinoda Han.” 
fredy krueger  mengawasi yang pang pang dengan pandang 
mempelajari cara orang itu dapat mengempit sahabatnya 
sehingga tak berdaya. Ia tak mencoba membelanya. 
“Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang kanjuruhan . 
Kalau kalian bersikap begini terus, aku, shinoda Han, 
akan lakukan segala sesuatu yang sudah  kalian lakukan 
terhadap diriku selama tiga tahun.” 
fredy krueger  diam-diam mendengarkan dan memperhatikan 
tingkah laku dan bahasa kanjuruhan  yang pang pang yang 
cukup baik. 
penywise sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis 
kesakitan, lalu  bertanya mencoba bersabda : 
“Bagaimana kau bisa berbahasa kanjuruhan  sebaik itu?” 
“Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian fredy krueger  del 
Mar dan penywise . Siapa yang penywise?” 
kepala   penywise yang berambut pirang itu 
mengangguk. 
“Baik. Pekerjaanmu? Tentu bukan saudagar bukan 
nakhoda.” 
Dua orang kanjuruhan  itu berpandang-pandangan. 
“Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian 
sudah  diperoleh  musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal 
kanjuruhan . Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan 
dalam kapal kanjuruhan . Hati-hatilah, kalian, jangan sampai 
membuat onar di sini. kepala   kami yang terhormat, Tuan 
hwang jang lee , masih berhati luas, masih dapat menenggang 
kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan 
mesiunya kami tahan untuk disimpan.” 
yang pang pang bicara seperti tiada kan habis-habisnya, 
tidak memberikan kesempatan pada fredy krueger  ataupun 
penywise untuk menyela. 
“Jadi kalian berdua tidak memiliki sesuatu 
pekerjaan,” lalu  ia memutuskan. “Hanya memiliki  
musket, dan dengan senjata itu membajak perahu-perahu 
kecil di tengah laut.” 
“Tidak benar!” bantah fredy krueger . 
“Tidak ada bukti kami berdua pernah membajak,” 
banlnh penywise. 
“Memang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh 
jadi yang tak kalian butuhkan sudah  kalian buang ke laut, 
yang kalian butuhkan sudah  kalian telan.” 
“Bukan kebiasaan dan bukan watak kanjuruhan  untuk 
membajak,” susul fredy krueger  dengan nada tersinggung. 
“Memang dengan satu-dua orang kanjuruhan  tidak pernah 
membajak. namun   dengan satu kapal, apalagi satu armada, 
setiap kanjuruhan  adalah bajak.” 
“Itu soal tafsiran!” bantah fredy krueger . “Kami tidak 
membajak, kami berperang.” 
“Itu soal tafsiran!” tuduh shinoda Han. “Setiap kapal 
dan armada kanjuruhan  tidak berperang, namun  membajak. Dan 
setiap orang kanjuruhan  yang jatuh ke tangan kami adalah juga 
bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukuman 
terhadap bajak?” 
“Berperang dan membajak tidak sama,” bantah 
penywise. 
“Ya, tidak sama,” fredy krueger  membenarkan, “berperang 
memiliki  tujuan lebih jauh, lebih mulia, membajak untuk 
dirinya sendiri.” 
‘Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang 
terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian 
bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak. 
campa  berada dalam wilayah kekuasaan kediri . 
Hukuman atas bajak menurut ketentuan kediri  adalah 
kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan 
ketentuan, untuk lalu  menjalani hukuman mati. Kami 
bisa serahkan kalian pada baginda tuanku raja  adiputro  kediri .” 
Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka 
terdiam. 
hwang jang lee  bicara dalam Tionghoa pada shinoda 
Han. Yang belakangan mengangguk-angguk dan 
nampaknya hanya mengiakan. 
“kepala   kami,” yang pang pang meneruskan, 
“mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar. 
Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian. 
Kami bisa juga jual kalian pada jayamahanaya . pada bangsa kalian 
sendiri. Dan sebab  kalian kelihatan kuat dan segar, bisa 
juga kami jual pada orang-orang palawa . Atau bisa kami 
pakai sendiri untuk membajak sawah.” 
yang pang pang diam. hwang jang lee  dan pengapit juga 
diam. Semua mengawasi dua orang kanjuruhan  yang 
nampaknya kehilangan diri itu. 
“Kalau kami jual kalian pada jayamahanaya , kalian akan segera 
naik ke tiang gantungan, dan kami memperoleh  uang tebusan. 
Kalau kami serahkan kalian pada baginda tuanku raja  adiputro  kediri , 
kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang 
gantungan. namun  kami tak memperoleh  sesuatu keuntungan. 
Kalau kami jual kalian pada orang-orang palawa , kami akan 
memperoleh kan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus 
bekerjapaksa sampai mati tua.” Ia diam lagi untuk dapat 
melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu. 
“Nah, pilihlah salah satu di antaranya.” 
fredy krueger    dan penywise  sejenak 
berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya. 
“Tidak ada jalan untuk melarikan diri,” yang pang pang 
memperingatkan. 
“Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka?” 
“Kami bukan bajak laut,” penywise membela diri. 
“Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak.” 
fredy krueger  berpikir keras. 
“Kau, fredy krueger , yang lebih tua, bicara, kau!” melihat 
orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan, 
“barangkali yang pang pang ini kau anggap kurang berharga. 
Baik, silakan bicara sendiri pada kepala  ku, Tuan shin tiaw hiap lu 
Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai 
kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak 
lebih hanya bajak laut.” 
fredy krueger  melangkah maju mendekati hwang jang lee , 
membungkuk memberi hormat dan membela diri: “Tuan 
hwang jang lee , benar kami bukan bajak laut. Kami memang 
pelarian dari kapal kanjuruhan  di jayamahanaya . Dalam perjalanan 
sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan 
kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negeri-
negeri Nusantara.” 
Sesudah  yang pang pang terjemahkan, hwang jang lee  
berkata melalui terjemahan: “Kalian tidak sekedar hanya 
melihat negeri-negeri. Ada diperoleh  senjata, mesiu, peta, 
kompas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.” 
“Tak pernah ada larangan membawa barang-barang itu, 
bahkan semua kapal kanjuruhan  dilengkapi dengan semua 
itu.” 
“Kalian jangan permain-mainkan kami. Pelarian biasa 
tidak akan membawa semua itu, kalau tidak sebab  tidak 
sempat tentu sulit untuk bisa memperoleh kannya. Kalian 
memiliki cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya 
kalian ini mata-mata kanjuruhan .” 
“Mata-mata?” fredy krueger  berseru kaget. 
penywise terbeliak. 
“Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-mata Sang 
adiputro  suryabuaya  ? Nah, kau, penywise, mengapa tak ikuti 
jejak temanmu menghadap Tuan hwang jang lee  dengan 
baik-baik?” 
penywise maju dan memberi hormat. Ia berdiri di 
samping temannya. Berkata: “sebetulnya  kami memang 
melarikan diri dari jayamahanaya .”  
“Aku percaya,” jawab hwang jang lee . “Kalau kalian 
mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak 
juga menyampaikan kami apa rencana kanjuruhan  sesudah  
merebut jayamahanaya ? Apakah kalian yang sudah bodoh, 
ataukah memang mau membodohi?” 
“Tuan hwang jang lee , kanjuruhan  sedang menunggu 
datangnya tambahan kekuatan di jayamahanaya . Mereka akan 
terus berlayar ke panarukan .” 
“Ke panarukan ? Begitu cepat?” hwang jang lee  terkata  
dengan mata membeliak menatap shinoda Han. 
lalu  ia bicara dengan penterjemah itu dan shinoda 
Han tidak memkanjuruhan kan. 
fredy krueger  dan penywise berpandang-pandangan dan 
berunding dengan matanya. 
yang pang pang menghampiri mereka, menusuk mereka 
dengan pandangnya, menetak: “Pembohong!” 
“Semua awak kapal tahu,” sekarang fredy krueger  mengambil-
alih. 
‘Tadinya dimaksudkan akan memberangkatkan empat 
buah kapal. Tambahan kekuatan yang ditunggu belum juga 
datang Kalau dalam bulan Desember… Tuan shinoda 
Han mengerti artinya Desember?”  
yang pang pang mengangguk. “Kalau dalam bulan 
Desember tambahan kekuatan itu tak juga datang, kanjuruhan  
akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang 
yang ada saja.” 
“Pembohong!” bentak shinoda Han. 
“Kami tentu akan jadi pembohong kalau jayamahanaya  
membatallcan niatnya,” sambung fredy krueger . 
“Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang 
akan ditempuh?” 
“Menyusuri Sumatra dan Jawa.” 
“Mengapa?” 
“sebab  hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke 
panarukan . Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu 
menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan panarukan . 
Tak ada yang berani memasuki, bangsa apa pun, juga 
bangsa Tionghoa tidak.” 
hwang jang lee  mengangguk-angguk mendengarkan 
terjemahan shinoda Han. 
“Jadi kanjuruhan  tahu dia akan berhadapan dengan kapal-
kapal Jawa di panarukan ?” 
“kanjuruhan  berangkat untuk berperang,” kembali fredy krueger  
memperoleh kan kebanggaan nasionalnya. “Dan kami tak 
pernah kalah.” 
“Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanmu?” 
“Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami 
dikalahkan baik di laut maupun di darat.” 
“Dengarkan kalian, orang-orang kanjuruhan . Kalau kalian 
temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian 
pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur 
kapal kalian. Kalian sudah  bawa aku ke negeri kalian, 
mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang 
menariki kuncirku. Rasa-rasanya mau copot kulit kepala  ku. 
Tiga tahun kalian sudah  siksa aku. Kalian jual aku pada 
orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal 
Moro membawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku 
sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun! 
Kalian jangan berlagak pemenang di sini.”  
“Kami tak pernah tahu tentang itu.” 
“Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari 
mereka selebihnya. Kalian memang selamat di jenggala -
jenggala Sumatra dan Jawa. Di campa  ini tidak. Kalian 
tahanan kami.” 
Mereka berdua tak berani membantah. 
“Mengapa diam saja?” hwang jang lee  mendesak. 
“Kami bermaksud hanya hendak melihat-lihat negeri.” 
“Kalian mata-mata!” tuduh hwang jang lee . “kanjuruhan  
sudah melakukan kejahatan di mana-mana, dan bersumbar 
hendak membawa bangsabangsa selebihnya pada 
peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja. 
Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai. 
Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa 
kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata nyi kanjeng blora datang ke 
Jawa membuat  kebodohan  seperti di jayamahanaya ….” 
hwang jang lee  yang gendut itu tak meneruskan kata-
katanya. Ia mengangguk sambil memejamkan mata. 
“Biar pun begitu kami memiliki  peraturan, tidak hanya 
kanjuruhan , dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami 
lihat kalian memiliki  perahu sendiri. Dari siapa kalian 
merampasnya?” 
“Kami pesan dari Pribumi jayamahanaya .” sambar penywise. 
“Membeli, memesan ataupun merampas sama saja. 
Kalau kanjuruhan  suka merampas atau memesan?” 
“Juga kami tidak mencurinya,” tambah Roodriguez. 
“Memang kanjuruhan  tidak pernah mencuri, hanya 
merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara. 
Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya. 
Dengarkan, kepala   kami, Tuan hwang jang lee , ingin melihat 
apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan 
memerlukan  waktu untuk dapat kalian percaya kan. Nah, 
apa keahlian kalian?” 
fredy krueger  dan penywise berpandang-pandangan dan 
berunding dengan matanya. 
“Membuat arak,” penywise menjawab. “Kalau ada 
buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.” 
“Kalau kau pandai membuat arak terbaik, kau takkan 
gentayangan kemari,” yang pang pang melecehkan. 
“Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan 
putih dan kuning, mungkin lebih baik dari buatan  negeri-
negeri lain,” fredy krueger  memperkuat.  
”Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kami,” jawab 
shinoda Han. 
“Boleh jadi,” sambung fredy krueger . “Kami juga bisa 
menukang.” 
yang pang pang tersenyum. Pengapit-pengapit shin tiaw hiap lu 
Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem. 
“Menukang adalah keahlian bagus,” kata shinoda Han, 
“dan aku kira takkan ada tukang lebih baik dibandingkan  
bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku?” dan 
penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan 
telapak tangan dua orang kanjuruhan  itu lalu  
menggeleng-geleng melecehkan.” 
“Memang kami tak pernah menukang dalam beberapa 
tahun belakangan ini,” fredy krueger  membela diri. 
“Pernahkah kalian menukang membuat  kapal?” 
“Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju 
seperti hiu martil ,” penywise menerangkan dengan bersemangat 
“Betul, orang-orang bilang memang perahu luarbiasa. 
Pernah kalian membuat  kapal?” 
Sekali lagi fredy krueger  dan penywise berpandang-pandang 
berunding dengan mata. 
“Pernah,” fredy krueger  mengangguk mengiakan.. 
“Tentu saja. Membuat kapal? Uh, sudah selusin!” 
“Kapal apa? Kapal samudra? Kapal kanjuruhan ?” 
“Tentu kapal samudra, kapal kanjuruhan .” penywise 
mepercaya kan shinoda Han. 
“Aku tak percaya kalian bisa membuat  kapal,” shinoda 
Han mencoba mematahkan semangat mereka. “Kalian 
terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun, 
terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu 
tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap 
tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya 
pembual” 
“Betul, kami berpengalaman,” penywise mepercaya kan 
lagi. 
“Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri,” 
yang pang pang terbatuk-batuk. “Barangkali kalian pernah 
hanya menonton orang membuat  kapal besar.” 
“Di sepanjang pantai negeri kanjuruhan  orang membuat  
kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat,” kata 
fredy krueger . 
hwang jang lee  melambaikan tangan menyuruh dua orang 
itu menjauh dibandingkan nya. lalu  ia berundingan 
dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang 
gendut itu lalu  memberi perintah pada shinoda Han. 
“Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala   
kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa 
kanjuruhan . kepala   kami. Tuang hwang jang lee . 
memerintahkan pada kalian untuk tinggal di campa  
sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal 
kanjuruhan  datang kemari untuk mencari kalian… kalian 
sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.” 
“Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat 
Nusantara,” bantah fredy krueger . 
namun   yang pang pang tak peduli dan meneruskan: 
“Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan 
pengawalan boleh keluar dan situ.” 
“Kami belum lagi mendarat di campa  sini. Kalian 
yang memaksa kami mendarat,” bantah fredy krueger . 
“Dan kami hanya hendak belanja,” sambut penywise. 
“Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya 
dengan orang kanjuruhan  selebihnya. kepala   kami sudah  
memberikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di 
galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana 
kapal kami dibikin dan memberikan pendapat dan nasihat 
sekedamya.” 
Kembali dua orang itu berunding dengan matanya. 
“Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala   kami 
mengambil sesuatu keputusan,” yang pang pang 
memberanikan mereka. 
Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin. 
“Ya, kau bisa lakukan itu,” kata penywise pada 
temannya, “dan aku bisa membantumu. Terimalah.” 
namun  fredy krueger  masih juga menimbang-nimbang. 
“Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa 
memperrayai kalian.” 
“Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya?” 
tanya fredy krueger . 
“Kami yang menentukan. Bukan kau,” yang pang pang 
melecehkan dengan bibimya. “Hanya sebab  sikap 
pemurah kepala  ku. Mestinya kalian cukup dihancur kan 
saja.” Ia menunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum 
juga datang. “Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak 
kapal, kapalmu, kapal kanjuruhan . Setiap hari mendengar 
ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah. 
Itulah kalian orang kanjuruhan . Ayo, jawablah kalau kalian 
sanggup!” 
“Ya, kami sanggup,” jawab fredy krueger . 
“Betapa cepat keputusan itu,” hwang jang lee  
memberikan komentar. 
“Makin kelihatan petualangan kalian,” kata shinoda 
Han. ”namun  awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami 
sudah  kalian perbudak selama tiga tahun. Lima di antara 
kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang 
kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada 
kami. Begitu kalian….” 
”Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu.” 
fredy krueger  menanggapi. 
“Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari 
kanjuruhan  selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira 
untuk kalian.” 
fredy krueger  yang merasa tersinggung membalas “Kelak. 
kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa membalas 
dendam, membajak salah sebuah kapal kanjuruhan  yang 
pertama-tama kalian temui, menangkap semua awak 
kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.” 
“Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami 
keturunan awak armada Ceng He yang besar….” 
Apa yang dikatakan yang pang pang tidak keliru. Sesudah  
armada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini 
lalu  berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri 
dengan jayamahanaya  dan membuka pangkalan-pangkalan di 
Jawa. Dalam kekuasaan kediri  mereka memperoleh  
perlindungan dan ijin berpangkalan di campa . Pangkalan 
pokok mereka dirikan di Sam Toa-lang. 
Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan 
perdagangan dengan negeri dongeng  sampai-sampai memasuki 
Laut Merah. 
Untuk membuat  awak armada ini tidak lenyap ditelan 
oleh Pribumi, baik sebab  perkawinan mau pun sebab  
kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah 
organisasi pengawal yang harus mempertahankan lembaga 
peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan 
Lung atau Naga Selatan. 
yang pang pang adalah seorang pemuka Nan Lung, yang 
dihormati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai 
utara pulau Jawa. Di samping kanjuruhan  ia pun menguasai 
Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia 
diangkat jadi penghubung antara campa  dengan Toa-
lang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan 
kerajaan pajang bintoro  
Melihat yang pang pang tetap tak menghargai mereka. 
fredy krueger  dan penywise kembali mengambil sikap berhati-
hati. 
“Membajak adalah penghinaan untuk awak armada 
Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya,” shinoda 
Han memperingatkan. “Kalau bukan sebab  kehendak 
kepala   kami… lain lagi yang akan terjadi dengan kepala   
kalian. Hati-hati.” 
hwang jang lee  tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan 
tangan dan yang pang pang menterjemahkan: “Tempat 
kalian sudah  ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian 
akan dipenuhi.” 
“Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian,” 
jawab fredy krueger , “namun  kembalikan barang-barang kami.” 
“Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barang-
barangmu seratus kali benda-benda berharga akan kalian 
dapatkan dari kami” kata hwang jang lee . “Jangan banyak 
bicara. Kalian sebagai orang kanjuruhan  sudah  memperoleh  
kemurahan terlalu banyak.” 
Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang 
menghampiri mereka. Dengan di kuil rat mereka 
memerintahkannya berjalan keluar dari rumah besar itu. 
Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu 
kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar 
rumah batu dan terus-menerus dikawal. 
Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih 
berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar 
dari mulut mereka. lalu  dengan serentak mereka 
berlutut dan membuat  cakra dengan jarinya. 
hwang jang lee  memiliki rencana khusus terhadap 
mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada billi chong sudah banyak yang ditangkap dan dihancur kan oleh 
armada kanjuruhan . Dan mereka tak pernah dapat membalas. 
Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini 
hanya armada dagang belaka. Dengan fredy krueger    dan 
penywise  boieh jadi ia dapat memberikan sedikit 
tekanan pada kanjuruhan . 
Ia hendak pamerkan dua orang tangkapan itu pada 
umum. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal 
di Dasun. Berita tentang mereka harus sampai ke jayamahanaya . 
hwang jang lee  sendiri bukan keturunan awak armada 
Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang 
di kediri . Ia adalah kepala   masyarakat Tionghoa di Lao 
Sam. namun   ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak 
memiliki sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja 
setempat. 
Sesudah  menyelesaikan urusannya di campa , dengan 
sebuah perahu layar milik fredy krueger  dan penywise  ia 
kembali ke kediri . 

Kumbang-kumbang itu berputar-putar mengigal dalam 
tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun 
yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka 
gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah 
dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampu-
lampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna 
yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang memukau 
perasaan. 
Seakan langsung dari langit melawan serombongan 
kumbang jantan, dan buyarlah sekelompok betina yang 
berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka 
lalu  berkitar-kitar, berkelompok dan pecah. 
Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah 
lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang 
berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang 
menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup 
sampai ke dasar cawan. 
Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal 
bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan 
gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua 
menjadi satu, dan satu untuk membanyak dan membiak 
mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya. 
Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan 
kumbang itu kehabisan cumbu, kekeringan rayu. 
Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam 
lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Dicerai-
beraikannya pasangan itu. Gamelan mengendap-endap ragu 
dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih 
tercampak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina 
yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan 
perkasa. 
Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik 
sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang 
kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meranamun  
sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping, 
tersangsang pada selembar daun bunga. 
Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu 
adalah nyi girah . Kamaratih kediri . 
Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana 
berukir, duduk Sang adiputro . Pandangnya gelap menembusi 
ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya 
membisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua 
gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang 
memancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: nyi girah ! 
nyi girah ! 
Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang 
adiputro , seorang penguasa di antara para bawahan , kendorlah 
semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan 
punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil 
menebarkan pandang pada semua orang yang duduk 
melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan 
mendesiskan keluh kesakitan. 
Sebelum nyi girah  turun menari di kalangan, satu barisan 
gadis para pembesar sudah  menari bersama memperagakan 
keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan 
wajah. namun  Sang adiputro  kehilangan gairah untuk memilih 
salah seorang di antaranya. 
nyi girah ! nyi girah ! Hanya nyi girah ! Mengapa anak desa 
perbatasan ini mampu menaklukkan aku? Sekali-dua ia 
menghembuskan nafas keluh dan ratap yang 
ditenggelamkan oleh bunyi gamelan. Seakan aku bukan se-
orang tua, namun  seorang perjaka belasan tahun! 
Di belakang Sang adiputro , berdiri di pinggiran, adalah 
raden  sanggabuana  bumikerta , berjubah genggang, bertarbus 
merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi, 
menjamah dan menelan tubuh yang sedang berlenggang-
lenggok menari itu. Ia tak terbiasa mendengarkan gamelan, 
tak terbiasa melihat tarian Jawa. Namun semua itu terasa 
jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang 
membersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia 
dapatkan pada tarian blambangan  dan kanjuruhan . 
nyi girah  nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan 
kepala   dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya, 
seperti kumbang betina sebetulnya  yang sedang 
kehilangan akal dan berputus asa. 
Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang 
memanggil-manggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan 
geletar jari-jari yang mengundang bercengkebetari  dan 
bercinta itu…. 
Tangan raden  sanggabuana  bumikerta  mengepal-ngepal, 
seakan seluruh tubuh yang indah itu sudah  berada dalam 
genggamannya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun 
utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya! 
Dalam meranamun  sayap kekasihnya yang compang-
camping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada 
langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan raden  
sanggabuana  bumikerta  merasa dalam harapannya, kekasih 
baru itu tidak lain dari dirinya. 
Di tempat duduknya, di samping Sang adiputro , agak di 
belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampir-
hampir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata 
rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan 
dan gerak si penari. Serasi yang padu itu membawanya 
terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak 
tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan 
kepayahannya mengurus    pemborongan rempah-rempah 
dari panarukan  dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya. 
Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu 
mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan 
menggelepar. Gamelan mendadak berhenti. nyi girah  menata 
diri, bersimpuh dan bersujud  Sang adiputro , hilang 
mengundurkan diri dari kalangan. 
Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan mendeham. 
Pertunjukan selesai. 
Sang adiputro  meninggalkan pendopo dan langsung 
masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gambaran dan 
bayangan tentang nyi girah . Sebuah pintu rahasia sudah  
membawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya 
sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah 
pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke 
dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang 
memasuki ruangan rahasia. 
Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya 
ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang 
membangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga 
bawah tanah ini memanjang hampir dua ribu depa, dan 
dikerjakan oleh bajak-bajak yang sudah  tertangkap. 
Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib 
adiputro  yang digantikannya   tertumpas punah oleh 
ekspedisi hukuman kerajaan jenggala . Maka dibikinnya 
terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari 
kepungan. Sesudah  bajak-bajak ini menyelesaikan 
pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan 
dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah 
dibuka lagi. 
Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit 
rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan 
larangan. 
Setiap adiputro  kediri  digantikan oleh anaknya, ia 
memperoleh  petunjuk memasuki rongga ini dan memperoleh  
kewajiban untuk setiap bulan memeriksa dan memperbaiki 
dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak. 
Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang 
menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu 
melapuk selama lebih dari 400  tahun ini. Udara yang 
basah pengap pun tak kuasa merusakkannya: Sebentar Sang 
adiputro  berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan 
tangan lain ia menanting pelita gantung. 
Gambar nyi girah  kembali mengunjungi pikirannya, dan 
dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih 
tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil hutan  larangan  
yang terindah itu. namun   nyi girah  sudah  jadi milik seseorang, 
sudah  disaksikan oleh seluruh penduduk kediri  Kota. Ia 
tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia 
harus mati tanpa menjamahnya. Ya, biar pun ia sudah  
kirimkan raden panji  gelang-gelang  jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh 
lakukan itu. 
Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalamnya ia 
keluarkan selembar kulit yang sudah  bercendawan. 
Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan 
dan muncul sebuah peta laut peninggalan kerajaan jenggala , yang 
sudah  lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah 
hampir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai 
melumut di sana sini. 
Tak lama ia mempelajarinya. Dikembalikan barang itu di 
tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan 
pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang 
lembab dan mencekik itu membatalkan niatnya. Memang ia 
tak pernah berjalan sampai ke ujung sana. Dahulu pernah ia 
tutup dengan papan di dekat ujung, sebab  ia takut kalau-
kalau ular memasuki dan menjadikan sarangnya. 
Sambil berjalan balik ke bilik peraduan gambar peta dan 
gambaran nyi girah  silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap 
kali ia hendak melukiskan tempat-tempat di mana nyi kanjeng blora 
berada untuk memperoleh kan kesimpulan gerak mana lagi 
yang akan diambilnya, gambaran nyi girah  juga yang muncul. 
Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk. 
Ia keluar dan menuju ke keputrian. 
Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih 
membuat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis 
nama raden panji  gelang-gelang  dengan huruf Jawa. Pada papan-papan 
yang lain tercantum nama petugas laut dan darat yang 
bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat 
itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu 
pulang dari suryabuaya  . 
raden  sanggabuana  bumikerta  berjalan cepat-cepat pulang. 
Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya 
tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan. 
Didapatinya Nyi kembang  Kati sudah  nyenyak dalam 
tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga, 
melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia 
mengangguk-angguk membenarkan. Dalam kotak-sirihnya 
sekarang tak pernah terdapat jahawe. 
Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke 
dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur 
terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air 
dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari 
saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam 
gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan 
mengangguk. 
Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan. 
Buru-buru lilin ia padamkan. Ia tinggalkan dapur dengan 
tangan menggerayang. 
Tak lebih dari setengah jam lalu  muncul nyi girah  
membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya 
nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap 
hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti. 
Sesuatu sudah  menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali 
nampan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di 
bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar 
dan meletakkannya di atas meja. lalu  ia 
meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin 
dan deburan laut malam ini. 
Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru 
sebab nya terdengar lebih keras dan menggelisahkan 
pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rumah, sekalipun 
tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was 
ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar. 
Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan 
nampan di atas meja, juga pelita itu. lalu  sambil 
berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada 
sang Hyang betari durga   sebab  tarian sudah  ia lakukan dengan baik 
tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia 
tidak suka menarikannya. Isinya tak memiliki sangkut-
paut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa 
rusuh sekarang ini sesudah  menarikannya. 
Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah rambutnya 
terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu 
itu. 
Ia sudah  melangkah hendak keluar untuk menggosok 
gigmya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan 
menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik. 
Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada 
ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya 
berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu 
semalam ini? 
Dengan cundriknya nyi girah  menepak hewan  bersabda  itu 
sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara 
kakinya terpenggal. 
Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di 
sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. nyi girah  
melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali 
langit-langit dari jajaran papan. 
Dengan diam-diam ia kupas pisang dan memakannya 
lalu  menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja. 
Sesudah  itu ia pun minum dari gendi. 
Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok 
gigi. Sesudah  itu, sebelum tidur, ia akan membacakan 
mantera untuk keselamatan suaminya. Tiba-tiba dirasainya 
kepala  nya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan 
tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai 
berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan 
menuju ke ambin. Ia rasai kepala  nya menekan berat pada 
tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya ambin agar 
tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan 
lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak 
atau digerakkan. 
Dengan tangan satu ia sudah  berpegangan pada ambin. Ia 
masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia 
ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus 
memasaknya dahulu . Ia tahu bagaimana pegangannya pada 
tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa 
tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di 
awang-awang. Ia heran dan gugup, namun   tak dapat berbuat 
sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia 
terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari 
badan. Yang tersisa hanya suatu kesubetari n. 
Pada waktu itulah masuk raden  sanggabuana  bumikerta  ke 
dalam kamar. Ia sudah  tidak berjubah lagj, namun   bersarong 
dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala   dan 
tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya 
dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan 
disinarinya wajah nyi girah  yang terkapar di lantai, tertidur. 
Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita lalu  
dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hati-
hati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas 
ambin…. 
Keesokannya sinar matahari  sudah  tinggi di langit sesudah  dengan 
susah-payah menerobosi dasar laut Pintu kamar gandok kiri 
itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para 
nakhoda dan saudagar sudah  meninggalkan tempatnya 
masing-masing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar. 
EM dapur kepatih wirabuana an Nyi kembang  Kati sudah sibuk 
memasak. 
nyi girah  belum juga muncul. 
Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke 
semua mataangin, nyi girah  baru membukakan mata. 
Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu 
impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia 
menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya. 
Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk. 
Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di 
tempatnya. Siapa gerangan sudah  memindahkan dari 
tempatnya yang biasa? 
Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali 
ada orang masuk ke kamamya ataukah raden gelang-gelang  sudah 
pulang? 
Ia hendak melompat turun. namun  tubuhnya dirasainya 
sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari ambin. Kakinya 
tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong. 
Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam 
sarongnya yang juga tergeletak di lantai. 
Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam 
sebelum tidur. 
Ia percaya  semalam belum lagi naik ke atas ambin. 
Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit 
dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki 
kecuak. Pelita gantung itu masih menyala namun   tidak di 
tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat 
dalam impian: seseorang mengangkatnya ke atas ambin dan 
hembusan nafasnya meniup pada mukanya. Sayup-sayup ia 
dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata 
cumbu pada kupingnya. 
Ia memekik, namun   tak ada suara keluar dari mulutnya. 
Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke 
ambin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. namun  
bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia termangu-
mangu. Apakah benar impin itu? Tuan patih wirabuana  kediri  
pakanewon  Habibullah Almasawa? 
Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang 
bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil 
dalam hati. Pastilah mungkin semalam sudah  kulepas. 
Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari 
impian semalam. 
Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada 
tepian ambin dan terhisak-hisak: “Dewa Batara! Impian 
apakah yang kau berikan padaku ini?” 
Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya. 
“Mengapa kau jadi begini, Nak?” Nyi kembang  Kati 
menolongnya berdiri. “Kau sakit?” 
Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di 
lantai dan memakai nya. Dengan langkah lunglai ia pergi 
ke tempat mandi. 
Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari 
itu ia nampak murung. namun   impian itu memburunya 
terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, memohon, 
membaca mantera…. 
Tiga hari lalu , tengah malam, ia menghadap pada 
sang Hyang betari durga  , memohon: “Kalau impian itu benar, duh 
baginda tuanku raja , apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini? 
Ambillah dia kembali, baginda tuanku raja .” 
Dan sang Hyang betari durga   tidak mencabut hidup yang diberikan 
kepadanya. 
Pada hari yang ke 9  ia ulangi menghadap. Juga 
sang Hyang betari durga   tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan 
sekali saja terjadi. Setiap Sang adiputro  memanggilnya untuk 
menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang 
melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya 
bicara tentang itu. 
Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini 
barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia sudah  taburkan 
tepung garam pada pojokan-pojokan dan sudah  ia pasang 
sesaji, ia pun sudah  bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil. 
Tetap juga patih wirabuana  kediri  pakanewon  Habibullah Almasawa 
datang berkunjung di dalam impiannya, dan membujuk, 
dan merayu, dan memeluknya, tindakan demi tindakan 
sampai seluruh percintaan selesai. Ia masih saja dapat rasai 
sensang yang betari durga   jenggot, kumis dan cambang-bauknya. 
Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya. 
Mengapa dalam alam impian tak dapat? 
Ia pun ucapkan mantra-mantra penolak gandarwa 
sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa 
daya. 
Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan 
Tuan patih wirabuana  yang memiliki daya sihir unggul. Dan 
pikiran itu saja sudah membuat  ia bergidik, merasa diri tak 
ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada 
perlindungan sang Hyang betari durga  . 
Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan 
kepatih wirabuana an dan pulang ke desa. namun   sang adiputro  
tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani 
mempersembahkan alasan. 
Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selama ini: 
ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung. 
Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang 
adiputro . Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda 
belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang adiputro  di 
ambin kayu berukir. 
“Kau pucat dan kurus, nyi girah , Kamaratih kediri . Ada 
apa gerangan, pujaan kediri ?” 
”Ampun, baginda tuanku raja  sesembahan patih , justru itulah sebabnya 
patih  datang menghadap. Limpahkan kiranya ampun baginda tuanku raja  
adiputro  pada patih , sebab  patih  berhalangan untuk menari 
dalam beberapa bulan ini.” 
”Ah-ya, nyi girah , agaknya kami mengerti. Barangkali kau 
mengandung.”  
“Demikianlah adanya, baginda tuanku raja  sesembahan patih .”  
“Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak 
berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati. 
Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih kediri .” 
Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya 
yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk 
membela diri. Ia bersedia membela diri dan temyata dalam 
impian tidak memiliki  kemampuan. “Adakah lagi yang 
hendak kau persembahkan?”  
“Ampun, baginda tuanku raja , bila diperkenankan, patih  memohon 
diperkenankan pulang ke desa baginda tuanku raja .” 
Sang adiputro  tertawa bersabda  dan tulus. 
‘Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta 
pulang ke desa?” Ia bangkit mendekati penari kenamaan 
itu. Waktu tangannya sudah  sampai pada kepala   nyi girah  dan 
hendak membelai rambutnya, segera ia menariknya 
kembali. 
“Jangan,” larangnya sesudah  duduk kembali di ambin. 
“Suamimu belum juga pulang. Kalau kau perlukan 
seseorang untuk membantu atau menemanimu di 
rumah….” 
Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang 
bersembah, bahwa segala sudah  dipersiapkan untuk nyi girah . 
“Dengar, nyi girah , seluruh kediri  dan kami sendiri sangat 
menghargai segala yang sudah  kau pertunjukkan di hadapan 
bawahan  kediri  dan kami selama ini. Kau sekarang 
mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami 
tak berkenan membiarkan kau pulang ke desa. Inilah 
hiburan untukmu, majulah nyi girah , dan terimalah.” nyi girah  
mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang 
adiputro . 
“Dan sejak hari ini. nyi girah , kami berkenan mengangkat 
kau dengan mpu wungubhumi  Nyi kembang ,” lalu  pada menteri-
dalam, “hendaknya dimasyhurkan anugerah mpu wungubhumi  ini pada 
sore hari ini juga,” dan kembali pada nyi girah , “pulanglah 
kau, Nyi kembang , sejahtera untukmu!” 
Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan 
sejak itu ia menjadi pembantu dan teman sekamamya. 
Anugerah mpu wungubhumi  itu dibenarkan oleh seluruh kediri . Dan 
berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih 
kediri  mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk 
menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi 
sejenis  itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang 
dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh 
negeri di lalu  hari. 
Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong 
mengerumuni pintu gerbang kepatih wirabuana an. Dan Paman 
Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan 
sumbangan kepada nyi girah . 
Sebaliknya nyi girah  semakin berkecil hati. Semakin hari ia 
semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan 
sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari 
balik kulitnya. 
Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di 
ambin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk 
setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya 
dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti 
tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu 
kata. 
Dan bila malam sudah  larut dan wanita muda dari 
kadipaten itu sudah  terlelap di pojokan, mulai teriakan-
teriakan itu berteriak  dalam sanubarinya: Anak siapakah 
kau yang berada di bawah jantungku ini? Anak Kang 
raden gelang-gelang . Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia 
anak Kang raden gelang-gelang . 
sudah  beratus, mungkin beribu kali ia mencoba 
mepercaya kan diri sendiri: ”Kau anak Kang raden gelang-gelang , Nak, 
anak Kang raden gelang-gelang , tidak bisa lain.” Sambil membelai 
perutnya yang semakin besar juga. “Tak ada gandarwa atau 
drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku? 
Kau anak Kang raden gelang-gelang .” 
Namun tetap ada suara lain melengking dengan nada 
tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu 
mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan pakanewon , tuan 
patih wirabuana . Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak 
pakanewon ! pakanewon  yang sakti mantraguna, nyi girah ! Tetap tak ada 
seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun membisu 
tentangnya. 
Nyi kembang  Kati pernah menegumya: “Banyak wanita tak 
bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau, 
nyi girah , mengapa murung seperti tak rela memperoleh kan 
karunia?” 
Ia semakin kurus juga dan ketenteraman  batinnya tak 
juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut 
menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan 
mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku 
mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya 
Batara, dan berikan pada kami impian dahulu  dan selalu kami 
pohonkan dahulu  kepada-Mu. 
Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang 
Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguh-
sungguh sudah  kehilangan keredupan   dan kesungguhan. 
Dan: Ya, Batara, biarlah Kang raden gelang-gelang  tahu lebih dahulu 
anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia 
puaskan gada wesi nya pada dadaku sebagaimana sudah  jadi 
haknya, sebab  hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada 
gunanya.. 
wah 
 
Tengah hari kala itu. Terdengar Paman Marta berseru-
seru riang: ‘Tuan patih wirabuana -muda datang, Nyi kembang !” 
nyi girah  merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki 
seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari ambin, lupa 
pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi, 
kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin. 
Disenyum-senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin 
perunggu. Disisimya rambutnya cepat-cepat, diminpercaya ya 
dan disisirinya lagi. Diambilnya pakaian terbaik tenunan 
sendiri. lalu  dengan terburu-buru menggosok gigi 
dengan tepung arang. 
Kang raden gelang-gelang  datang, hatinya ia paksa menyanyi keras 
untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap 
kesempatan itu. 
Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu 
suaminya memasuki pelataran depan. Taman bunga di 
depan kepatih wirabuana an itu kehilangan keindahannya. 
Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya. 
Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul. 
“Benar, Nyi kembang ,” jawab Paman Marta. “saya  
sendiri sudah melihatnya. Biar saya  tengok lagi di 
jenggala .” 
Laki-laki  itu bergegas meninggalkan pelataran 
kepatih wirabuana an dan turun ke jalan besar. Mukanya berseri-
seri berbahagia sudah  memperoleh  pertanyaan dari Dewi Cinta 
yang sedang merana itu. Tak lama lalu  ia muncul lagi 
dan berdiri menekur di hadapan nyi girah ; “Orang bilang, Nyi 
kembang , jenggala a patih wirabuana -muda langsung naik ke kota.” 
Nyi kembang  Kati datang dan menegurnya: “Kau kelihatan 
berdarah, nyi girah . Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu? 
Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapmu?” 
“Bolehkah saya  pergi, Nyi kembang ?” Paman Marta 
minta diri. 
nyi girah  mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk 
meneruskan pekerjaannya. 
“Sejak kecil kami bergaul tanpa perhiasan, Nyi kembang .” 
“Sebaiknya kau kenakan, Nak.” 
“Mengapa dia tak langsung pulang?” nyi girah  bertanya 
dengan nada protes. 
“Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus 
menghadap dahulu . Itu kewajibannya.” 
nyi girah  masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk 
memakai  perhiasan dan berganti dengan pakaian 
karunia Sang adiputro , salah satu dari sekian banyak karunia 
yang sudah  diterimanya sesudah  kepergian suaminya. Suatu 
kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian 
tenunan sendiri. 
Sebelum sinar matahari  tenggelam suami yang dirindukan itu 
nampak memasuki pelataran depan. nyi girah  berdiri 
menyambutnya di beranda. Kedua belah tangannya sudah  
merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dahulu  
sebelum Laki-laki  itu jadi suaminya, dan membisikkan kata-
kata cumbu. 
Darahnya mendadak mendidih dan semua kerinduannya 
buyar. 
raden  sanggabuana  bumikerta  lari-lari kecil menuruni 
tangga kepatih wirabuana an dan memanggil suaminya yang 
sedang berjalan menuju padanya. 
raden gelang-gelang  berhenti, balik kanan jalan dan membungkuk 
pada patih wirabuana , majikannya. 
patih wirabuana  kediri  mengangguk sambil tertawa. Ia 
tegakkan bongkok, melambai lalu  bertepuk-tepuk: 
“Wira, Ah, Wira!” 
Dan raden panji  gelang-gelang  mengiringkannya masuk ke gedung 
utama. 
“Semua orang memilikinya, kecuali aku,” nyi girah  
memprotes. 
“Mari ke gedung utama, nyi girah ,” Nyi kembang  Kati 
mengajak. 
Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu: 
“Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau 
pulang, biarlah tak muncul lagi.” 
“Cemburu kau, nyi girah ?” 
nyi girah  tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya, 
tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selama ini. Sia-sia 
Nyi kembang  Kati menghibumya. 
“Biar aku suruh pulang dia,” katanya, lalu  
melangkah cepat-cepat ke gedung utama. nyi girah  masuk ke 
dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia menyesal sudah  
mengasari Nyi kembang  Kati yang selama itu begitu baik 
terhadapnya. Tak lama lalu  diketahuinya suaminya 
masuk. Terdengar olehnya suaranya. 
“Dewiku! Dewiku! Kakangmu datang.” 
Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. namun   ia pura-
pura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat 
suaminya mengangkat tubuhnya dari ambin, mendekapkan 
pada dadanya yang bidang. Ia menangis untuk ke sekian 
kalinya, namun  yang sekarang bukan tangis derita   tangis 
bahagia tanpa ukuran. 
“Kau kurus, nyi girah , Kau terlalu banyak menari.” 
“Ah, kau, Kang raden gelang-gelang , berapa bulan aku harus tunggu 
kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku 
seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang 
sudah mengintip di bawah jantung ini.” 
“Mengandung! Kau mengandung, nyi girah ?” ia letakkan 
kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain nyi girah . Ia ciumi 
anak yang bersembunyi di balik kulit perut. Dan suaranya 
mendesis gugup: “Aih, anakku! Anakku! Tiada aku 
sangka!” ia kagumi istrinya. “Mereka memuji-muji kau 
belaka, nyi girah , mereka semua memohon untuk 
kesejahteraan dan keselamatanmu. Dan anak ini juga. 
Mereka bilang, kau sedang mengandung. Dan mereka 
bilang, kau sudah memperoleh  karunia mpu wungubhumi ….” 
Dan malam datang dengan cepatnya. 
Dunia menjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak 
meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi 
malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu. 
nyi girah  tergolek di ambin. Matanya terpejam menikmati 
kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang 
sedang tergolek juga. 
Juara gulat itu sedang mengawasi sotoh dengan pandang 
menembusi masa silam dan masa yang baru saja 
dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang 
punggawa berbakat dan pasti akan memperoleh kan tugas-
tugas yang lebih berarti. Semua pekerjaannya dianggap 
berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaimana hasil 
pekerjaannya itu. Sang Patih sudah  membawanya 
menghadap Sang adiputro . Penguasa itu menitahkan pada 
Sang Patih untuk mengundurkan diri, lalu  sendiri 
berkata padanya: ‘Tidak salah pilihanku, kau, 
raden panji  gelang-gelang , kau, anak desa…. cepat atau lambat kaulah 
orang yang akan memanggil kembali kejayaan dan 
kebesaran masa silam untuk kediri . Mungkin kau sendiri 
belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaanmu 
sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang 
seharusnya kau ketahui. Itulah rahasia kekuatanmu. Kau 
ada kemampuan, hanya barangkali belum pernah terlalu 
rindu padamu. Dan perlu kau ketahui, selama ini ia sering 
menari di sini.’ 
Ia berbesar hati sebab  semua pujian itu. Pujian dari 
Sang Patih dan Sang adiputro  sendiri! Orang-orang yang 
begitu berkuasa! Dan ia berjanji pada diri sendiri untuk 
menyediakan waktu guna memahami di mana hasil 
pekerjaannya di suryabuaya   dan pajang bintoro  selama ini.  
“Kau tak juga bercerita, Kang,” tegur istrinya.  
“Terlampau lama kutinggalkan kau, nyi girah . Tak bisa 
lain.”  
“Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum 
juga menceritakan sesuatu.” 
“Aku rindu, nyi girah . Kau rindu juga?” dan nyi girah  tak 
menjawab. “Mengapa kau diam saja? Marah?”  
“Aku selalu ketakutan, Kang.” 
“Aku tahu apa yang kau takutkan,” raden panji  gelang-gelang  
membayangkan Sang adiputro  dan patih wirabuana  kediri . 
“namun   aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai 
melakukan itu.” 
nyi girah  merangkulnya. Suaranya gemetar: “Di tanganku 
ada cundrik, Kang,” ia menguatkan rangkulannya. “Tangan 
ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. sebab , Kang, dia 
datang dalam impian.” 
“Dan kata orang tua-tua,” raden panji  gelang-gelang  meneruskan, 
”jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian’ Kau masih 
ingat itu, nyi girah ?” 
“Dia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada 
cundrik di tanganku.” 
“Kau sedang bercericau, nyi girah ! Bicaramu begini aneh,” 
dan digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. “Apa 
maksudmu?” 
Berceritalah nyi girah  tentang pengalaman mimpi yang 
berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari. 
Dan raden panji  gelang-gelang  mendengarkan cermat-cermat 
sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari 
kekasihnya. 
Penutup cerita adalah pertanyaan: “Bagaimana, Kang, 
sekiranya impian itu benar?” 
“Impian tinggsang hyang Widhi  impian.” 
“Dan anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan 
anakmu?”  
“Husy. Orang bunting memang suka mengada-ada.”  
“Maka, Kang, maka akan kau htumenggung dijoyo  gada wesi , kelak. bila si 
anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan 
tarik sebilah gada  dan kau cincang si bayi yang tertidur di 
samping bangkai ibunya. lalu  kau akan lari, lari, lari 
entah ke mana, membawa dendam dan kesakitan di dalam 
hati. namun   tak ada tempat di mana kau akan pernah 
sampai. sebab  ingatanmu selahi akan kembali pada 
kekasih yang lelah kauhatra dengan gada wesi  sendiri….” 
“Kau semakin aneh, nyi girah . Diam, diamlah. Impian 
tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau 
haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dahulu di 
ladang?” 
nyi girah  terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan: 
rangkulannya pada dada suaminya. Dan dada yang bidang 
itu melindunginya dari kegelisahan dan ketakutan. 
Dan raden panji  gelang-gelang  membiarkannya. Angan patih wirabuana -
muda itu kini sibuk menggalang gambaran hari depan yang 
penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua 
dimulai dengan cipta, kata betari  during. Semua itu tak 
bakal ada tanpa cita. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin 
pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta? 
resi -resi nya dahulu  belum pernah ada yang mengajarkan. 
Ia tak tahu. Ia berusaha mepercaya kan diri, ia mengerti apa 
yang dikehendaki Sang adiputro  dan Sang Patih atas dirinya: 
kepasang yang betari durga   pada perintah dan menjalankan dengan sebaik-
baiknya tanpa menanggapi  soal-soal selebihnya. Dan 
inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran 
dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang 
adiputro  sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan 
kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa 
restu seorang raja? Benar. Semua benar. Dan terpampang di 
hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu: 
kediri  yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang 
menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau…. 
Semua akan terjadi sebab  jasa-nya, jasa raden panji  gelang-gelang . 
pajang bintoro  dan suryabuaya   tidak bakal bisa menandingi kediri . 
Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil 
kembali kebesaran dan kejayaan kerajaan jenggala  pada guagarba 
haridepan. Mereka tak tahu! 
Dalam suasana hati yang naik semangat itu ia 
mengucapkan terimakasih pada mendiang betari  resi   
dan semua resi -pembicaraan yang pernah didengamya. 
Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam 
hati suaminya, nyi girah  berbisik lembut: “Nampaknya desa 
kita makin lama makin jauh dari langkahmu, Kang. Rasa-
rasanya kita takkan sampai-sampai juga ke sana.” 
“Sampai,” bisik juara gulat itu. 
“Gubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu, 
Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan 
berkeruyuk untuk selama-lamanya. Dan anjing-anjing kita 
takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya.” 
“Bisa.” 
“Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau 
tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan 
membawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.” 
raden panji  gelang-gelang  tertawa dan ditariknya kuping is trinya: 
“Makin tua kau makin cerewet.” 
Dan nyi girah  tetap memeluk suaminya, menekankan 
kuping pada dadanya agar tak mendengar desau angin dan 
deburan laut. 
Melihat istrinya sudah  tidur dalam kedamaian dan 
kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa 
batas. 
Apa kata betari  resi  ? ‘Aku bicara tidak tentang 
kematian, namun   tentang kehidupan yang bercipta dan 
mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, sebab  tanpa 
dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya’. 
Mengapa nyi girah  lebih suka bicara tentang kematian? Tidak 
betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan 
geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya 
mencipta. 
Pagi-pagi benar nyi girah  sudah memulai dengan kata-
katanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela 
rumah utama. Suaminya mengikuti arah tudingannya, dan 
dilihatnya pada jendela itu sebagian dari muka patih wirabuana  
kediri . 
“Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu 
mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa 
kali. Dan dia datang kemari dalam impian di waktu 
malam.” 
“Diam, nyi girah . Kau terganggu sebab  kandunganmu.” 
raden panji  gelang-gelang  dapat menangkap kilat pada mata Thotib 
Sungkai bumikerta . Ia tercenung. Barangkali keluhan dan 
cerita istrinya bukan tidak memiliki  dasar. 
Namun ia tetap tidak menanggapi. 
wah 
 
11. Menyerang jayamahanaya  
Duta kediri  yang menghadap kanjeng sinuhun  pajang bintoro  sudah  
kembali dengan membawa dan Raden Kusnan, salah 
seorang putra Sang adiputro . 
Beberapa minggu sesudah  itu pasukan laut kediri  naik ke 
atas kapal-kapal perang yang sudah  berlabuh berjajar pada 
dermaga, sebuah jalur karang yang menjorok ke laut. Lima 
ratus centeng  laut akan berangkat meninggalkan kediri . 
Dan genderang betari i bertalu ditingkah oleh bunyi kenong. 
centeng -centeng  itu sudah  menjalani latihan ulangan 
selama tiga bulan. 
Dari seluruh negeri orang datang untuk menguntapkan 
para centeng  yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk 
mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari 
galangan. Dan memang tak pernah selama kekuasaan 
adiputro  kediri  Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terjadi 
pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekarang. 
Tahun 1513 Masehi. 
Gugusan pasukan laut kediri  akan dipimpin oleh Raden 
Kusnan. raden panji  gelang-gelang  dengan resmi sudah  diangkat jadi 
pembantu-utamanya. Sang adiputro  sendiri yang melantik 
beberapa hari yang lalu. Dan tujuan gugusan ini: suryabuaya  . 
Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, sebab  
nampaknya Sang adiputro  mengirimkan mereka tidak 
dengan tujuan merebut kembali jenggala terbarat milik 
kediri  itu. 
Sebelum layar-layar dikembangkan Sang adiputro  
menjatuhkan perintah  kepada putranya: “Kau, Raden Kusnan, 
kami percayakan gugusan pasukan laut kediri  ini. 
Berangkat kau sampai ke suryabuaya  . Jangan tidak, bergabung 
kau dengan armada suryabuaya  . Kau sendiri lebih tahu tentang 
apa yang harus kau perbuat. Sesudah  bergabung kau berada 
di bawah perintah baginda tuanku raja  adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya  , yang akan 
bertindak sebagai laksamana. Kerjakan kewajibanmu 
dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal-kapalmu 
dan anak-buahmu.” 
Layar-layar pun menggelembung dan lima buah 
kapalperang itu berangkat. Semua dipersenjatai dengan 
cetbang buatan  Trantang. Jurusan: barat. Angin cukup 
baik. Pendayung-pendayung pembantu untuk memperlaju 
pelayaran tidak dipakai . 
Dari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema 
bersambut-sambutan. Makin jauh kapal-kapal dari darat 
sorak-sorai berganti dengan lambaian umbul-umbul dan 
selendang dan tangan. 
Makin jauh lagi, umbul-umbul dan selendang digantikan 
oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. Dan gugusan itu 
berpisahan dengan alam dan manusia kediri . 
Para centeng  dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah 
baru mereka menempuh jarak jauh. Pendongeng mulai 
membuka cerita dan membentuk lingkaran pendengar di 
atas geladak Dalam lingkaran yang lebih kecil orang mulai 
merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal tertentu. 
Pada hari pertama itu raden panji  gelang-gelang  lebih ban yak 
berjalan mondar-mandir di geladak untuk menyesuaikan 
diri dengan kehidupannya yang baru. Juga ia sedang 
menimbang-nimbang diri apakah bakal mabuk laut atau 
tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak 
enak badan. Sebagai pembantu utama kepala   gugusan ia 
akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. Dan dengan terus 
berjalan mondar-mandir begini ia harap akan memperoleh kan 
daya-tahan yang mencukupi 
namun   penghormatan yang berlebihan itu membuat  ia 
menjadi kikuk. Ia merasa risi memperoleh  perhatian orang. 
Dan ia tahu ia lebih diperhatikan dibandingkan  Raden Kusnan. 
Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk kediri  lebih 
memperhatikan pejabat yang berasal dari orang 
kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang adiputro , 
bukanlah suatu yang luarbiasa  bila menduduki jabatan pen 
ting. namun   anak desa, hanya sebab  keist ime waan saja 
bisa meningkat ke atas. 
Ya, la merasa canggung. Namun ia tahu, ia hams 
beiusaha meninggalkan kesan, tak ada maksud padanya 
untuk meniru-niru tingkah pembesar ningrat. Ia jawab 
pandang mata bawahannya dengan senyum bersabda . Ia 
dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan per-
hatian. Ia tanyai mereka yang nampak murung. Ia ajak 
bicara mereka yang nampak termenung-menung 
mengenangkan yang tertinggal di rumah. Ia berusaha 
menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat 
yang memperhatikan. 
Pandang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia 
merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari, diri belum 
layak memikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi 
patih wirabuana -muda selalu saja orang menyuguhkan pandang 
kagum seperti itu. Dan sebagai patih wirabuana -muda ia pun 
masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. Dan 
sebagai pengawas galangan kapal di Glondong ia lebih 
banyak mondar-mandir dibandingkan  melakukan pengawasan. 
Apa pula yang harus ia awasi? Ia tak tahu sesuatu tentang 
pembuatan  kapal! Dan sekarang ia jadi pemimpin-muda 
gugusan pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa. 
Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi 
kebesaran untuk kediri  merupakan riwayat pergolakan jiwa 
yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Dua-
duanya terns juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam 
hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan 
waspada. 
Ia mulai memperoleh  ketenteraman nya waktu sinar matahari  sudah 
tenggelam dan malam mulai datang memeluk alam. Ufuk 
barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan 
permukaan laut mengantarkan pantulannya pada layar-
layar dan tiang-tiangnya, pada semua orang yang mondar-
mandir di geladak. Dan langit di timur dijambuinya. Ia 
sendiri teringat pada rumah yang ditinggalkannya, pada 
nyi girah , pada mpu wungubhumi , si anak itu. 
Ia berjalan lambat-lambat ke haluan. Seorang centeng  
yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar 
olehnya berkata pada temannya: “Sekiranya baginda tuanku raja  adiputro  
tidak berputra, pastilah patih wirabuana muda raden panji  gelang-gelang  
yang memimpin gugusan kita ini.” 
Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu. 
Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjung-
sanjung. Dan setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat 
menganggap perasaannya dan kebebasannya bergerak. 
Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri: 
Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan 
kekecewaan dalam hati mereka? Mau-tak-mau ia terpaksa 
lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. sebab : 
pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah. 
Pada malam pertama itu ia memperoleh  tugas melakukan 
pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah, 
di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda 
pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai centeng  biasa. 
Di buritan ia dapatkan beberapa orang sedang duduk 
merenung dan ia mendekat. Mereka tak mengenalnya. 
Di antara desauan angin dan gelepar layar didengamya 
salah seorang di antaranya menyebut-nyebut namanya. Ia 
menunduk menyembunyikan muka dan mendengarkan 
dengan diam-diam. 
“Ingat kalian pada pesta perkawinannya dahulu ? Orang 
bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua orang mempelai itu 
terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari 
tandunya! Mana pernah ada?” 
“Ya, orang-orang pada terkejut kehilangan semangat, 
takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang 
membantu mereka. raden panji  gelang-gelang  dan nyi girah  merangkak 
bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan 
prihatin ke arah Sela Baginda.” 
“Rupa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang 
menimpa diri mereka berdua. Kasihan. Betapa menderita 
raden panji  gelang-gelang . Siapa pun tahu di balik senyum dan 
kebersabda annya: batin yang teraniaya di bawah timbunan 
batu.” 
“Betul, siapa pun tahu,” yang lain meneruskan. “Orang 
bilang tak mungkin nyi girah  mau dengan sukarela. Bahkan 
Sang adiputro  pun ditolaknya dengan menentang maut. Dia 
sungguh-sungguh menrintai juara gulat itu. Maka, mana 
mungkin nyi girah  bisa menerima burung aneh dari Espanya 
itu?” 
“Siapa tahu Guti adiputro  sendiri yang memaksanya 
untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu?” 
“Memang patih wirabuana  keparat itu terlalu dimanjakan 
oleh Sang adiputro ,” seorang lain menggarami. “Manusia 
terkutuk!” 
“Kalau Nyi kembang  nyi girah  berani menantang maut 
menolak Gush adiputro , tak mungkin dia mau menerima 
pakanewon  Ulasawa, sekalipun atas paksaan baginda tuanku raja  adiputro . Dia 
akan tetap memilih maut. Lagi pula apa sebetulnya  
kepentingan baginda tuanku raja  adiputro ? Ia sendiri memberahikannya.” 
“Lagi pula mengapa baginda tuanku raja  adiputro  tak juga mangkat? 
Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis 
cantik kita.” 
Orang-orang itu terdiam. Masing-masing memantulkan 
perasaannya masing-masing, iba pada raden panji  gelang-gelang  dan 
istrinya, tak puas pada rajanya sendiri, dan jengkel terhadap 
patih wirabuana  kediri . 
“Kabamya patih wirabuana -muda itu jarang pulang,” 
seseorang memulai lagi. 
“Dapat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya   
lelah, pulang ke rumah, dan lagi-lagi melihat bayi yang itu-
itu juga. Jelas-jelas seperti pakanewon  Ulasawa.” 
“Mengapa tak dibunuhnya saja patih wirabuana  keparat itu?” 
“Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu. 
Celakanya dia dilindungi oleh Sang adiputro . Kalau tidak, 
sudah lama dia lumat di bawah gada  anak-anak kediri . 
Orang sejenis  itu tidak patut terkena gada wesi . gada  pun 
mungkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur.” 
“raden panji  gelang-gelang  sendiri yang sepatutnya melakukannya.” 
“Justru dia yang melarang anak-anak kediri  
melakukannya kalau ia sendiri tidak mungkin. Dia bilang, 
‘jangan’. Anak-anak kediri  bertanya, ‘mengapa jangan? itu 
bertentangan dengan adat kediri ’. Aku sendiri ikut waktu 
itu, jadi tahu sebetulnya  duduk perkaranya. Ia bilang, 
‘Sang adiputro  menitahkan, jiwa patih wirabuana  kediri  harus 
dijaga, dia diperlukan  oleh kediri ’”. 
“Jadi cerita itu bukan omong kosong?” 
“Tidak, aku sendiri menyaksikan.” 
“Ah.” 
“Coba, Kamaratih kediri  diperlakukan seperti itu. Siapa 
tidak meluap? Orang asing pula. Dengan cara yang 
kurangajar pula.” 
“Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari 
kepatih wirabuana an. katanya berasal dari Nyi kembang  Kati. nyi girah  
tidak dipaksa oleh baginda tuanku raja  adiputro  untuk melayani Say id 
Ulasa wa. Katanya patih wirabuana  keparat itu memakai  
obat bius setiap nyi girah  habis menari dari kadipaten.” 
raden panji  gelang-gelang  berdiri dari duduknya, pergi menghindar 
bercepat-cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru 
pelan: “Celaka! Bukankah itu raden panji  gelang-gelang  sendiri?” 
Dan sekarang pemimpin-muda gugusan itu berdiri 
seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung 
melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir 
cahaya menyebar  di sekitar lunas. Sekian ia teringat 
pada cerita betari  resi   tentang lunas kapal-kapal 
kerajaan jenggala . 
Dan kapalnya terus melindas dan menerjang ombak dan 
kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia merasa seolah 
setiap deburan ombak yang menghantam lambung kanan 
sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelamaan 
perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tumpul. 
Angannya mengembara melintasi malam mengunjungi 
masa yang baru silam. Berapa lama sudah silam? Tidak 
lebih dari setengah tahun yang lampau…. 
wah 
 
Ia rasakan betapa lama nyi girah  pergi tetirah ke hutan  
larangan  dengan Nyi kembang  Kati. Sang adiputro  sudah  
meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa. 
Juga Sang adiputro  sendiri yang menitahkan serombongan 
orang untuk menandu pujaan kediri  yang akan melahirkan 
itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari 
ulung ini perintah nya. Tak boleh kulimya lecet barang seujung 
jari pun. Hukuman berat akan menimpa kepala   si 
pelanggar.’ 
Dan berangkat iring-iringan itu meninggalkan kediri . 
Lama benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia 
sendiri tak mungkin berkunjung ke desa. 
lalu  datanglah sore itu. Ia sedang duduk seorang 
diri di dalam kamar. Ia lihat nyi girah  berjalan mengendap-
endap mendekati serambi. Perutnya sudah  kempes. Jelas ia 
sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dadanya 
gembung bcrisi. Ia melompat untuk mengelu-elukan. 
Dan ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga 
lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada 
suami untuk dibunuh. 
nyi girah  nampak ragu-ragu memasuki kamar. la pura-pura 
tak melihat kalung melati itu. 
“Mengapa kau, nyi girah ? Kau begitu pucat!” 
Ia lihat nyi girah  memandangnya begitu sayu. Waktu 
ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya kedinginan  
pada badan istrinya. 
Begitu sampai di ambang pintu ia tarik putus kalung 
melati itu dan ia lemparkan ke pelataran. 
“Kau sakit.” 
“Tidakl” jawab nyi girah  tegas namun   menggigil. 
“Mana anakku?” 
nyi girah  menatap mata suaminya, namun  ia tak menjawab. 
raden panji  gelang-gelang  merasa mau memekikkan tanya: matikah 
anakku? Ia digilakan oleh kekuatiran. 
“Anakmu belum lahir, Kang.” 
“Kau sudah melahirkan, nyi girah .” 
“Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu, hanya anakku,” 
jawab nyi girah  dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih 
juga terdengar kedinginan  di dalamnya. 
“Jangan aneh-anah,” dan ditolongnya istrinya masuk ke 
dalam kamar. “Kau lelah dari perjalanan sejauh itu, pucat 
Mana anakmu?” 
“Anakku, Kang, bukan anakmu, masih di belakang 
digendong Nyi kembang  Kati.” 
“Beristirahatlah kau, tidurlah,” perintahnya dan siap lari 
untuk menjemput anaknya. 
nyi girah  mencegah, memegangi tangan dan berkata terbata-
bata: “Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu 
itu,” tegahnya, “dengarkan dahulu  kata-kataku.” 
Ia duduk dan dengan di kuil rat memaksa istrinya duduk 
pula. 
Wajah nyi girah  yang pucat itu kelihatan memohon amat 
sangat dan bersungguh-sungguh. 
“Ingatkah kau dahulu , Kang, waktu kuceritakan padamu 
tentang impianku… dan anganku, dan cundrikku yang tiada 
berdaya? Dalam impian. Dia datang dalam impian… Tuan 
patih wirabuana  pakanewon  Habibullah At masawa, Kang.” 
Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih 
juga terheran-heran. 
“Kau diam saja, Kang. kepala   anakku itu sama dengan 
kepala   Tuan patih wirabuana , tipis gepeng, hidung juga 
bengkung. Tak ada kesamaan denganmu, Kang. Ampuni 
aku, Kang, Kang, Kang—” 
Ia terdiam dan terengah-engah. Diambilnya cundrik dari 
balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. Dengan sekali 
kebas sarongnya terlompat entah ke mana. Cepat ia alihkan 
tangannya dan kini mata senjata itu yang dipegangnya. 
Tangkainya ia ulurkan pada suaminya. Kata-katanya kini 
menjadi lemah, menggigil lebih keras hampir-hampir tak 
nyata: “Dengan cundrikku sendiri ini, Kang, cundrik 
pemberianmu, bunuhlah istrimu yang tidak setia ini. Dia 
sudah  menerima seorang Laki-laki  lain dalam impiannya.” 
“Dayu!” kata  raden panji  gelang-gelang . 
“… hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu. 
Serahknn dia pada bapaknya, Tuan pakanewon . Aku sudah 
bilang begitu juga pada Nyi kembang  Kali. Sudah, Kang… 
ampunilah aku… istrimu yang tidak setia…” 
“Mengapa kau ini, Dayu?” 
Tangan nyi girah  yang gemetar itu masih memegangi mata 
cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada 
suaminya. 
“Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang raden gelang-gelang ….” 
Mengerti bahwa istrinya menghendaki agar ia 
membunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik 
waktu nyi girah  menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri. 
Ia lemparkan gada wesi  kecil itu dan dirangkulnya istrinya. 
“nyi girah , nyi girah , adik si Kakang.” 
“Apa guna kau tangguhkan, Kang? Kalau kau mengerti 
betul duduk-perkaranya, yang ini juga yang akan terjadi,” 
suara nyi girah  tak lagi menggigil. “sudah  kukumpulkan 
seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi 
saat ini. Kau menangguhkan, Kang, kau, Kang?” suaranya 
merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas. 
“Tidur. Tidur. Kau lelah, nyi girah .” 
‘Tidak!” 
“Betapa menderita kau sebab  impian itu,” ia angkat 
istrinya dan ditidurkan di atas ambin. Tariklah nafas 
panjang-panjang sebagaimana diajarkan dahulu  di desa kalau 
hati sedang tidak tenang.” 
Kelibat bayang-bayang memicu  raden panji  gelang-gelang  
menengok ke arah pintu. Dilihatnya di serambi Nyi kembang  
Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada 
tangannya tergendong bayi dalam bungkusan. 
“Itukah anaknya? Bawa masuk sini, Ibu.” 
“Jangan, Wira, jangan bunuh anak ini.” 
“Mengapa mesti kubunuh? Masuklah,” ia berjalan 
keluar. 
Nyi kembang  Kati nampak waspada. 
“Jangan, Wira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang 
untuk mengantarkannya untuk melihat ibunya.” 
“Mengapa hanya melihat?” 
“… melihat ibunya untuk penghabisan kali.” 
“Mengapa hanya untuk penghabisan kali?” 
“Barangkali susunya masih sempat diisapnya.” 
wah 
 
“Wiral” seseorang berteriak. 
raden panji  gelang-gelang  terbangun dari kenangannya. Ia berjalan 
melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden 
Kusnan sudah  berdiri di hadapannya dengan bertolak-
pinggang. 
“Tahukah orang-orang ini ke mana tujuan kita?” 
“jayamahanaya , baginda tuanku raja ,” jawabnya sambil bersujud . 
“Bedebah! Dari mana mereka tahu?” 
“Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, baginda tuanku raja .” 
“Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan 
bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu, 
Wira?” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
“Pernah kau berperang, Wira?” 
“Belum, baginda tuanku raja .” 
“Apalagi perang laut.” 
“Apalagi perang laut, baginda tuanku raja .” 
“Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan 
kau.” 
Dari kata-katanya itu raden panji  gelang-gelang  tahu, Raden Kusnan 
pun belum pernah berpengalaman perang, apa lagi perang 
laut. namun   ia tak menanggapi. 
Gugusan kediri  terus berlayar tanpa sesuatu halangan. 
Pada suatu senja sampailah gugusan itu di jenggala 
suryabuaya  . Semua centeng  berderet di atas geladak kapal 
masing-masing untuk melihat suryabuaya   yang beberapa tahun 
belakangan ini tak pernah mereka singgahi lagi. Orang 
terdiam terlongok-longok. Semestinya mereka datang ke 
man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi 
milik kediri . 
namun   pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu 
nelayan sedang meninggalkan pantai yang dangkal itu dan 
beberapa kapal dagang berlabuh di muara kali bengawan . 
Dengan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden 
Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten 
suryabuaya  . Di sana tak ada mereka jumpai adiputro  tumenggung dijoyo  
suryabuaya  . Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki 
Aji Kalijaga. 
raden panji  gelang-gelang  melihat bagaimana Ki Aji mengeluarkan 
tangan kanan dari balik kain batik penutup dada. Dan 
terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata: 
“Buyung! Mengapa kediri  lima hari terlambat datang?” 
Dalam simpuhnya Raden Kusnan menjawab:”Ampun, 
Kakanda Aji, 
pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patih  
Tidak lain dari ayahanda sendiri baginda tuanku raja  adiputro  kediri .” 
Ki Aji memasukkan kembali tangannya ke balik kainnya. 
“Itu tidak patut,” katanya pelahan. “Biarpun seorang 
ayah, seorang adiputro , orang tak patut membuat  malu 
anaknya.” 
“Apakah yang patih  harus perbuat sekarang, Kakanda?” 
“Susul Laksamana adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya  . Ayahmu sudah  
memalukan kita semua. Kau jangan bikin malu 
kakandamu.” 
Ki Aji Kalijaga membalikkan badan dan berjalan tenang 
masuk ke dalam kadipaten. 
Raden Kusnan dan raden panji  gelang-gelang  kembali bergegas ke 
kapal. Dengan muka pucat ia perintahkan memberi di kuil rat 
pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan 
mengembangkan layar. Ia perintahkan mengerahkan semua 
dayung. 
“Wira!” teriaknya memanggil pembantu-utamanya 
dengan nada berang. 
Dalam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat 
wajah Raden Kusnan sudah  kehilangan kepucatannya, kini 
merah-hitam dibakar oleh kemarahan. 
“Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu 
tentang keterlambatan kediri  yang disengaja ini. Lima hari! 
Terlambat lima hari!” 
“Mereka semua sudah tahu, baginda tuanku raja .” 
“Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu?” 
“Mereka tak melihat armada suryabuaya  .” 
“Mereka harus percaya, armada suryabuaya   ada dekat di 
depan kita. Mengerti?” 
“Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan 
kapal, baginda tuanku raja .” 
“Aku tak percaya mereka tahu.” 
“Ya, baginda tuanku raja , mengapa baginda tuanku raja  berkata demikian? Bukankah 
semua mereka bawahan  baginda tuanku raja  sendiri? Bukankah mereka 
bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa, 
baginda tuanku raja , namun  bawahan  baginda tuanku raja  sendiri? 
Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan 
kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya 
dipukulkannya pada telapak tangan kirinya. 
“Memalukan,” gumamnya. “Di mana harus 
kusembunyikan mukaku ini?” 
“Perang akan menghapuskannya, baginda tuanku raja .” 
“Ya-ya, perang,” ia berhenti berputar-putar. 
raden panji  gelang-gelang  pergi ke geladak dan mencoba bebersabda -
tamah dengan para centeng  dan awak kapal. Mereka semua 
bertanya mengapa kediri  terlambat. Dan mereka semua 
tahu belaka akan keterlambatan itu sekalipun tak tahu tepat 
berapa hari. 
Ia hanya dapat menjawab: “Hanya ada satu jalan dapat 
ditempuh. Laju, lebih laju.” 
Seseorang menyeletuk: “Kita belum lagi membuat  
perhitungan dengan suryabuaya  , Wira. Belum. Mestinya kita 
mendarat, dan.,..” 
“Husy!” 
Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah 
dan melihat pelaksanaan pendayungan. centeng -centeng  itu 
mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan 
bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan 
mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. namun   
pelayaran memantai itu bukan pekerjaan mudah untuk 
kapal-perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi 
angin kebetulan reda. Dan dayung dua sap itu berkayuh 
seperti gila untuk mengejar ketinggalan. 
Waktu angin bertiup dengan baik, pendayung-pendayung 
tetap dikerahkan. Permukaan laut terasa berat diluncuri. 
Angin tetap terasa kurang, sangat kurang. 
Dalam beberapa hari mengejar armada suryabuaya   tak juga 
nampak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi 
sampai jauh-jauh di ufuk barat sana. 
Gugusan kediri  terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu 
di jenggala mana harus singgah. Bahan makanan dan air 
mulai susut, dan mereka tak tahu di jenggala mana boleh 
memperoleh kan. Gugusan itu berlayar siang dan malam dan 
terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa 
singgah di sebuah jenggala kecil temyata tak ada ditinggalkan 
petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan 
perjalanan dengan persediaan bahan makanan yang 
semakin tipis. 
Dalam keadaan terpaksa gugusan kediri  memasuki 
jenggala jatikerto . Seluruh centeng  dan awak kapal lelah dan 
cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi sebab  
soal-soal kecil. Dan Raden Kusnan berkurung diri terus 
dalam biliknya. 
patih wirabuana  jatikerto , seorang Koja, membawa Raden 
Kusnan dan pembantu-utamanya pergi ke kepatih wirabuana an 
yang terbuat juga dari batu, namun   tidak sebesar dan seindah 
kepatih wirabuana an kediri . Mereka dijamu dan memperoleh  
keterangan, Laksamana adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   sudah  
meninggalkan pesan untuk gugusan kediri . Dan pesan itu 
akan disampaikan sendiri oleh seorang perwira armada 
yang untuk keperluan itu memang ditinggalkan di jatikerto . 
patih wirabuana  jatikerto  menyilakan mereka beristirahat. Ia 
sendiri akan menjemput perwira armada suryabuaya  . Dan 
tengah malam ia datang lagi bedan orang yang dicarinya. 
“Anak sangat terlambat,” tegur mpu logender . 
“saya  sudah  kerahkan pendayung, Pamanda,” jawab 
Raden Kusnan. 
“Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan 
pendayung.” 
“Ampun, Pamanda, memang saya  yang terlambat 
sejak semula.” 
mpu logender  memerintahkan pada patih wirabuana  jatikerto  
untuk berdagang  perbekalan ke atas kapal-kapal kediri . 
Dan begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan. 
raden panji  gelang-gelang  duduk di suatu jarak mendengarkan 
dengan diamdiam. 
Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayungan 
dari suryabuaya   ke jatikerto  dinilai oleh mpu logender  sebagai keliru, 
merugikan persiapan perang. Gugusan kediri  berlayar 
bukan untuk memburu bajak atau meronda pantai. Juga ia 
menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang 
memicu  gugusan harus berlabuh di jatikerto  untuk 
beberapa hari: centeng  dan awak kapal harus memulihkan 
kekuatannya. 
“saya  memang tidak memiliki  pengalaman laut, 
Pamanda,” Raden Kusnan meminta maaf. 
“Barangkali kau pernah dengar pendayungan terus-
menerus kapal-kapal kerajaan jenggala . Kau keliru. Kapal-kapal 
kerajaan jenggala  ringan, biarpun lebih besar. Pendayungnya 
bukan centeng  atau awak kapal, namun  bajak laut yang 
menjalani hukuman sampai mati.” 
“Kami dari gugusan kediri  akan semakin tertinggal 
tanpa mencoba menyusul. Dengan penangguhan lagi di 
jatikerto ….” 
“Kami memperoleh  perintah  dari baginda tuanku raja  Kanjeng Laksamana 
untuk menjadi kepala  gugusan kediri . Jangan hendaknya 
jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan.” 
Raden Kusnan pucat tak dapat mengatakan sesuatu. 
raden panji  gelang-gelang  mendeham, namun  mpu logender  tak 
menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari duduk-
perkara: Sang adiputro  kediri  sudah  dengan sengaja 
memperlambat keberangkatan untuk tidak menyertai 
perang di jayamahanaya . Sebaliknya suryabuaya   kini sudah  merampas 
gugusan kediri , kapal dan anakbuahnya dan centeng nya, 
termasuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan kediri . 
wah 
 
Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal. 
Raden Kusnan dan raden panji  gelang-gelang  untuk kedua kalinya 
harus menelan kemarahan adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   melalui 
mulut mpu logender . 
“Insya sang hyang Widhi ,” kata mpu logender  lalu , “kita masih 
akan dapat menyusul Kanjeng baginda tuanku raja  Laksamana di Riau 
atau Tumasik.” 
Sesudah  itu ia menerangkan, armada suryabuaya   sudah  dipecah 
jadi dua. Gugusan-I menyusuri pantai barat Sumatra, 
memutari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan 
gugusan pasukan laut Aceh, yang akan melakukan 
pendaratan dan penyerangan langsung dari sebelah utara 
jayamahanaya . Gugusan-I sudah  berangkat dan hanya singgah 
sehari di jatikerto . Gugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin 
sendiri oleh Laksamana tumenggung dijoyo , bertugas menyusuri pantai 
sebelah timur Sumatra dan bergabung dengan gugusan 
pasukan laut pekajan -Riau. 
Di Riau Gugusan-II akan beristirahat sambil menunggu 
gugusan kediri  dan jatikerto  yang terdiri atas pelarian dari 
jayamahanaya  yang memakai  kapal-kapal dagang yang sudah  
dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan 
pendaratan dan penyerangan dari selatan jayamahanaya . 
mpu logender  lalu  melakukan pemeriksaan di semua 
kapal kediri . Para centeng  dan awak kapal nampak sudah 
sangat lelah. Banyak di antaranya sudah  jatuh sakit dan 
ditunmkan di jatikerto . 
Pembicaraan yang lalu  diteruskan membuat 
raden panji  gelang-gelang  mengerti, bahwa armada suryabuaya   menunggu 
kediri  di jatikerto  selama delapan hari. namun   semua itu tak 
menarik perhatiannya lagL Dalam hati kecilnya ia merasa, 
pajang bintoro -suryabuaya   dengan sengaja hendak menyedot kekuatan 
kediri  dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu 
kali pajang bintoro  akan memukul dan menaldukkan kediri . 
kediri  sebaliknya, membiarkan dirinya mengulur-ulur 
waktu untuk memperiihatkan diri untuk dapat memukul 
pajang bintoro  dengan jalan lain dan cara lain la pernah 
mendengar. Sang adiputro  tidak menyukai perang Maka 
boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada pajang bintoro -
suryabuaya   hanya suatu dalih untuk menjerumuskan musuhnya 
dalam penghamburan kekuatan di suryabuaya  , dan dengan 
demikian takkan dapat menyaingi j