Tampilkan postingan dengan label Darah. 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Darah. 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Darah. 2

 




yani.

Gelisah, ia memandang berkeliling. Malang baginya Jalanan kebetulan sedang sepi. Kalaupun ada

orang lain lalu, tidak ada yang turun tangan. Melihat seragam NYI girah  dan para pemuda itu, orang lain

menduga mereka berempat tentunya teman yang sedang meributkan sesuatu yang tak perlu

dicampuri. 

     Pikiran demikian pulalah yang ada di kepala Raden hanggareksa . 

     Ia dan beberapa temannya sedang menghadapi seorang calon pembeli mobil bekas yang mau

dijual. Tempat mereka mangkal terletak berseberangan dengan tempat keempat orang remaja itu

bertengkar. Untung besar membuat teman-teman Raden hanggareksa  terus sibuk dengan calon pembeli. Raden hanggareksa 

baru saja datang dengan sebuah sepeda motor, juga untuk dijual. Sebelum ke pangkalan, ia sempat

melewati para remaja itu dan mendengar sedikit pertengkaran mereka. 

     Ia simpan motornya di tempat motor lainnya terparkir. 

     Lalu melirik ke seberang jalan. 

     Salah seorang dari tiga pemuda tadi ia lihat menggapai lengan si gadis cantik semampai. Si

gadis menghindar. namun  tasnya terpegang. Terjadi saling betot dan si gadis tampak pucat menahan

marah campur takut. Tiga pemuda berandalan itu tertawa berderai seraya mengucapkan

ajakan-ajakan kotor. 

     Raden hanggareksa  segera tahu apa yang sesungguhnya terjadi. 

     Dengan cepat ia menyeberangi jalan. ia pegang pemuda terdekat. Mendorongnya mundur. Pemuda

lain yang rupanya telah berhasil menjamah payudara NYI girah  dan tengah meremasnya, ia renggut

pundaknya .NYI girah  bebas sudah. Ia menangis terisak isak. 

     Tiga pemuda, naik pitam. 

     "Siapa kau, he?" 

     Seorang membentak. 

     Temannya menjawabnya: 

     "ia calo, kukira. Calo motor. namun  tiba-tiba berpikir untuk beralih professi. Mau jadi calo


ratu lesbi . Germo!" 

     Mendengar gerakan yang sukar dilihat. Raden hanggareksa  memutar tubuh dan tinjunya melayang. Pemuda

yang mencapnya germo terjungkal jatuh. lalu  lari terbirit-birit ke sepeda motornya. Tancap gas.

Ngacir. Dua yang lain lebih berani. Bersama-sama mereka mengeroyok Raden hanggareksa . 

     Di pangkalan  teman-teman Raden hanggareksa  melihat apa yang terjadi. Mereka pun datang beramai

ramai. namun  belum sempat ada yang turun tangan dua pemuda berandalan itu telah jatuh terkapar di

aspal. Yang satu bangkit terhuyung huyung dengan muka pucat dan mulut meringls kesakitan.

Temannya tidak. Tidak bangun sama sekali. Anak itu jatuh oleh tendangan Raden hanggareksa . sesudah  lebih dulu

membentur tiang listrik. 

     Apa yang lalu  dikerjakan teman-teman Raden hanggareksa  hanyalah sibuk mengurus pemuda yang

pingsan terluka itu lalu melarikannya ke rumah sakit. NYI girah  tidak kelihatan batang hidungnya. Waktu

dicari Raden hanggareksa , tampaklah gadis itu tengah bergegas mendorong sepeda motornya tak sampai seratus

meter dari tempat kejadian . 

     Waktu tadi ia menyerbu si pengganggu  sepintas lalu Raden hanggareksa  telah melihat ada yang janggal

pada rok si gadis. Menatap NYI girah  yang memunggunginya di kejauhan. Raden hanggareksa  mengamati lebih

seksama lalu  ia susul NYI girah  diam-diam. Begitu sampai. cepat ia pegang tangan si gadis. 

     NYI girah  terkejut. 

     namun  segera memperlihatkan wajah malu: 

     "Maaf, saya lupa mengucapkan terimakasih" 

     "Berikan motormu padaku," 

     Raden hanggareksa  jadi gugup saat  melihat mata NYI girah . 

     "Apa? Kau minta bayaran sebesar itu?" 

     Si gadis kaget setengah mati 

     "Maksudku." 

     Raden hanggareksa  mencoba menjelaskan: 

     "Biarlah motormu ini kuurus. Aku mangkal di sana..." 

     Raden hanggareksa  lalu  menuding ke pangkalan mereka 

     "Aku tak akan membawa kabur milikmu. Dan kau, pulanglah segera. Naik becak, kalau mau. Asal

tidak jalan kaki." 

     "Kok aneh." 

     "Rokmu...?" 

     "Ada ada dengan?" 

     Gadis itu tak meneruskan ucapannya. Dari tadi ia berpikir apa maksud ketiga pemuda dengan

ucapan-ucapan kasar yang memuakkan itu. Pasti bukan semata-mata sebab  ia mandi peluh. 

     Wah, banjir. Boleh kusumbat? 


     Baru sesudah  Raden hanggareksa  menyinggung tentang roknya, ia tersadar. 

     "Oh!" 

     Ia hampir pingsan saking malu. Lantas mepet ke tembok bangunan toko di dekatnya. Merapatkan

punggung seakan ingin menyelinap masuk ke tembok. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya apalagi, ia tak

berani memandang Raden hanggareksa . 

     "Aku... aku tak tahu. Mens-ku terlalu cepat... datangnya...." 

     Pelan-pelan wajahnya memerah kembali. 

     "Boleh minta tolong lagi?" 

     Ia tampak gelisah. 

     "Papa akan marah kalau ia lihat aku pulang tanpa kendaraan itu. Jadi..." 

     "Tunggulah," 

     Raden hanggareksa  berkata. Ia mencari tempat teduh dan terlindung dan sesudah  menemukannya ia ajak

gadis itu ke sana. Buka sana, buka sini. Lalu: 

     "Hem. Platina-nya sudah aus. Harus diganti," 

     Raden hanggareksa  memberitahu sambil menghamplas benda yang ia sebutkan. 

     "namun  untuk sementara masih dapat kau pakai." 

     Pekerjaannya rampung tak lama lalu  ia coba menghidupkan mesin. Nyala  sekali starter. 

     "Namaku NYI girah ," 

     Gadis itu memperkenalkan diri begitu ia duduk di jok Honda bebeknya. "Kapan-kapan.

berkunjunglah ke rumah. Kalau mau," 

     Ia memberikan alamatnya .Tersenyum. Lalu pergi. 

     Tiga hari berlalu tanpa terjadi apa-apa. Kecuali mimpi Raden hanggareksa . Dalam mimpinya ia lihat gadis itu

datang, tersenyum, lalu pergi. Di mimpi lain, gadis itu malah mengecup pipinya. lalu pergi. Raden hanggareksa 

mulai gelisah ingin bertemu NYI girah . 

     Hari keempat, ia beranikan berkunjung. 

     Nyatanya ia cuma lewat saja di depan rumah NYI girah . Tak berani masuk. Rumah keluarga NYI girah 

besar, megah dengan eksterior taman yang mewah. 

     "Berapa kami harus membayarmu?" ia bayangkan ucapan sinis yang mungkin ia terima. 

     Raden hanggareksa  langsung mundur teratur. Ngeper. 

     Hari kelima, dua orang petugas polisi turun dari sebuah mobil dinas di pangkalan jual beli

kendaraan bekas. Mereka bertanya mana yang bernama Raden hanggareksa . Sialnya, pas pula Raden hanggareksa  yang

menerima mereka. 

     "Ikut kami ke kantor," 

     Polisi itu berkata. 

     Satu minggu lalu  ia dihadapkan ke meja hijau. Tuduhan jaksa: penganiayaan, yang


menyebabkan korban menderita gegar otak. Pemuda yang pingsan itu sudah sembuh, ia muncul di

sidang bersama dua temannya, sebagai saksi. 

     Hakim yang mengadili perkara penganiayaan itu membuat Raden hanggareksa  merasa kecut. Benar saja.

saat  sidang dimulai dan jaksa selesai membacakan tuduhannya  maka hakim yang dari tadi

mengawasi Raden hanggareksa  dengan mata tak berkedip. bergumam dingin: 

     "Ketemu lagi, ya?" 

     "Ya. Pak." 

     Raden hanggareksa  menyeringai. Lesu. 

     "Dulu kau berjanji akan tobat," 

     Hakim mengingatkan. serius. 

     "Walau itu kau tetap ngotot pada pengakuanmu, tidak merasa menadah mobil curian. Katamu,

sebab  kau menerima Surat-surat lengkap. Tidak tahu kalau surat-surat itu dipalsukan." 

     "Memang begitu. Pak." 

     "Ya. Ya. Memang begitu, menurut pengakuanmu. Dan berdasarkan pengakuanmu itu kau cuma

dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Dengan apa yang dituduhkan bapak penuntut tadi, rupanya kau

ingin nginap dan makan gratis lebih lama. Begitu?" 

     'Tidak, pak. Saya-!" 

     Dan sidang diteruskan. Seperti halnya di depan polisi pemeriksa,tiga orang saksi itu tetap

bersikeras menerangkan bahwa mereka sedang ngobrol dengan seorang teman gadis satu sekolah,

saat  sekonyong-konyong Raden hanggareksa  datang menyerbu. 

     "Sebabnya?" tanya hakim. 

     "Enggak tahu, Pak," jawab saksi utama. 

     "ia menyerbu begitu saja." 

     Dua temannya manggut manggut setuju. namun  segera terdiam waktu hakim mendengus: 

     "Menyerbu begitu saja? Kulihat, tertuduh bukan orang tak waras." 

     Dan kepada Raden hanggareksa  hakim bertanya: 

     "Tentu ada sebabnya, bukan?" 

     Raden hanggareksa  bercerita apa adanya, ia tekankan pada soal kata kata penghinaan yang dilontarkan

ketiga orang saksi sehingga emosinya terpancing lalu memukul mereka Juga, seperti halnya

pengakuan Raden hanggareksa  di depan polisi pemeriksa, ia hanya menceritakan sambil lalu mengenai gadis itu.

Ia tahu tiga saksi tadi melindungi nama dan alamat si gadis sebab  tak ingin membahayakan posisi

mereka. 

     Celakalah Raden hanggareksa , ia kecewa sebab  NYI girah  tak pernah menampakkan batang hidung. namun  entah

mengapa, ia sependapat untuk berbuat sama. Mata teduh dan senyum yang mendebarkan jantung itu

terlalu lembut untuk dicemari. ' 


     Baik Raden hanggareksa  maupun tiga saksi lupa hakim bukan orang bodoh. 

     "Dari tadi kudengar disebut-sebut tentang seorang gadis...." ia bersungut. 

     Lantas berpaling ke arah jaksa: 

     "Apakah namanya tidak tercantum dalam daftar kesaksian?" . 

     "Tidak, Pak." 

     Jaksa menelan ludah. 

     "Tiga saksi itu .Sudah Cukup. Lagipula tertuduh tidak ingin menampilkan saksi baru." 

     "Meski itu akan meringankan tuduhan atas dirimu?" 

     Hakim berpaling lagi pada Raden hanggareksa . 

     Yang ditanya diam saja. 

     Hakim yang ingin berlaku adil. berkata datar. 

     "Begini. Bung Raden hanggareksa . Kau dituduh melakukan penganiayaan berat. Bila kau terbukti bersalah,

kau kemungkinan besar akan dihadapkan lagi ke pengadilan perdata dengan tuntutan ganti rugi yang

tidak sedikit. Dua saksi lain sampai hari ini belum mengajukan tuntutan apa-apa. Kami tak akan

heran apabila kelak tuntutan pertama gol, maka dua saksi lain akan berbuat sama." 

     Raden hanggareksa  melirik. 

     Dua saksi dimaksud balas melirik. Keduanya tersenyum mengejek, dengan mata bersinar-sinar

menyetujui ucapan hakim. Raden hanggareksa  melengos marah dan muak. Hampir tak ia dengar suara hakim

yang menyesalkan mengapa Raden hanggareksa  tidak meminta bantuan seorang pembela hukum dan menolak

pula saat  ditawarkan padanya bantuan gratis pembela hukum yang ditunjuk oleh pengadilan. 

     "... kau akan meringkuk di penjara sekian tahun. Dan harus membayar ganti rugi yang

jumlahnya.... Yah. Hanya Tuhanlah yang tahu," ujar hakim, masih tetap ingin besikap adil. 

     Orangtua yang baik, pikir Raden hanggareksa  Dan gadis yang tak tahu berterimakasih, umpatnya. 

     Ia gemetar. Takut. Dan marah. 

     "Bagaimana?" 

     Hakim mendesak. 

     'Panggilah dia sebagai saksi!" jawab Raden hanggareksa  tergopoh-gopoh. 

     Hakim berpaling kepada panitera Juga pada jaksa. Kedua orang itu mengangguk. siap untuk

mencatat. 

     "Nama gadis itu?" tanya Hakim. 

     "NYI girah " 

     "lai...." 

     Hakim mendadak terdiam. Ada sesuatu yang ganjil pada sinar matanya 

     "NYI girah  siapa?" 

     "Tidak tahu, Pak. Ia hanya memberi nama NYI girah  saja." 


     "Hem. Alamat rumahnya" 

     Bukan saja sinar mata, Wajah dan penampilan hakim ikut pula berubah begitu alamat si gadis

disebut tertuduh, lama sekali hakim terdiam. Wajahnya murung. Ia terperanjat saat  jaksa bertanya

hati-hati: 

     "Apakah kami harus memanggil saksi tersebut dengan surat panggilan resmi. Bapak Hakim?" 

     Hakim menjawab lirih: 

     "Tak usah. NYI girah  yang dimaksud anak gadisku sendiri. Ia akan hadir pada sidang berikutnya." 

     Dengan wajah semakin murung hakim lalu  memutuskan sidang ditunda. Orangtua yang

malang sebab  ingin bertindak adil itu tidak tampil dalam sidang kedua Panitera menjelaskan pendek.

     "Hakim sebelumnya berhalangan sebab  tidak enak badan." 

     Hakim pengganti meneruskan pemeriksaan perkara. 

     Dari tempat duduknya di bangku saksi, NYI girah  tak berhenti menatap ke arah tertuduh. Raden hanggareksa  tak

sekalipun menoleh ke belakang. Semangatnya luntur sudah. Ia pucat, menyesal dan marah pada diri

sendiri. Sebelum sidang dimulai ia telah berbicara dengan NYI girah . Gadis itu menyatakan penyesalan

sebab  tak dapat menemui Raden hanggareksa  sesudah  mereka berpisah. 

     "Peristiwa hari itu membuatku shock. Aku jatuh sakit hampir satu minggu...." 

     saat  menghadiri sidang, NYI girah  masih tampak lemah. 

     namun  ia tetap memaksakan hadir. Bukan sebab  diperintahkan ayahnya. Melainkan sebab  ia

sangat mencemaskan nasib Raden hanggareksa  . 

     Hanya lima kali sidang  perkara itu selesai. 

     Vonis hakim pengganti: 

     "Terdakwa dihukum penjara tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan!" Artinya, Raden hanggareksa 

bebas bersyarat. Dan kepada saksi, hakim tak lupa memperingatkan. Mereka telah melakukan

sumpah palsu, memberikan keterangan yang menyesatkan. namun  mengingat mereka masih muda

belia, buta hukum dan masih bersekolah dan atas jaminan keluarga untuk mendidik mereka lebih

baik, ketiga saksi tidak diadili atas perilaku mereka yang buruk 

     "Dan jelas," 

     Hakim menyindir. 

     "Saudara Raden hanggareksa  dapat saja mengajukan kalian ke muka hakim dengan tuduhan penghinaan di

tempat umum." 

     Orangtua saksi utama, lesu dan pucat. 

     NYI girah  telah membisikkan ke telinga Raden hanggareksa . orangtua itu berpangkat kolonel dan berpengaruh.

namun  rupanya kolonel itu masih memiliki kehormatan diri, ia mendatangi Raden hanggareksa  seusai sidang,

menyalaminya dengan hangat dan berkata sedih: 


     "Kau maafkanlah keteledoran adik adikmu itu. Nak. Mereka bertiga masih mentah, kau tahu." 

     Raden hanggareksa  memeluk orangtua itu. dan lalu  sambil tersenyum haru menjabat tangan ketiga

orang adik-adiknya. 

     Hari kelima puluh tiga. 

     NYI girah  datang berkunjung ke rumah orangtua Raden hanggareksa  dengan sekeranjang oleh-oleh .Begitu pintu

dibuka ibu Raden hanggareksa , pertanyaan gadis itu adalah: 

     "Bang Raden hanggareksa  ada?" 

     Raden hanggareksa  mestinya bersukacita. 

     namun  ia menyambut NYI girah  dengan hati setengah setengah. Sidang-sidang pengadilan yang

mengerikan itu tak lepas dari pikirannya. Juga vonnis tiga bulan penjara yang diancamkan atas

kepalanya, sekali dalam tempo enam bulan berikut ia memukul atau menganiaya orang lain itu tidak

seberapa. Yang sangat ia sesalkan, adalah ketergopohannya menyebut nama dan alamat NYI girah . NYI girah 

yang begitu lembut, manis dan polos. 

     Raden hanggareksa  tidak akan pernah dapat mengampuni kecerobohan terbesar yang pernah ia perbuat.

Betapa tidak. Si gadis terpaksa tampil di pengadilan dengan kondisi kurang sehat  dan masih

dipermalukan dengan kisah "menstruasi yang datang kelewat cepat". NYI girah  tidak menampakkan hati

tersinggung. Namun tetap saja Raden hanggareksa  mempersalahkan diri sendiri. 

     Ia gugup dan malu ngobrol berlama-lama dengan NYI girah . Untunglah Sumarna ikut menemani.

Dengan alasan pusing, Raden hanggareksa  masuk ke kamar tidurnya dan membiarkan NYI girah  ditemani Sumarna. 

     Hari ketujuh puluh satu. 

     Pintu diketuk dari luar. Kali ini Sumarna yang membuka pintu. Pertanyaan masih: 

     "Bang Raden hanggareksa , ada?" 

     NYI girah  waktu itu berusia 18 tahun. Sedang Raden hanggareksa  telah menginiak usia 32. Perbedaan yang

sangat menyolok itu ikut pula menghantui Raden hanggareksa . NYI girah  kaya raya pula. Sedang Raden hanggareksa , cuma

seorang calo, dan nyambil malam hari di percetakan. Mana bekas orang hukuman. Kembali Raden hanggareksa 

mundur teratur. Kembali ia biarkan Sumarna yang menemani NYI girah , lalu  mengantar gadis itu

pulang ke kota. 

     Semenjak itu, diperhatikan Raden hanggareksa  bagaimana adiknya yang mahasiswa fakultas ekonomi itu

mulai rajin nampang di kaca lemari, rajin menulis surat bahkan sejumlah puisi. Lalu tepat pada hari

keseratus, NYI girah  seperti biasa mengetuk pintu. Kebetulan, Raden hanggareksa  pula yang membuka. 

     Polos dan tak berdosa, NYI girah  bertanya: 

     "Ada Sumarna, Bang?" 

     'Bang? He. Bang Raden hanggareksa !" 

     Raden hanggareksa  terlonjak. Ia masih duduk di mobil. Masih di depan pintu gerbang fakultas. 

     Wajah NYI girah  muncul di jendela kuburan  mobil. 


     "Kok abang masih di sini," ujarnya, heran. 

     "Kau... kau tak kuliah?" sahut Raden hanggareksa  gugup. 

     Mesin mobil ia hidupkan dengan rusuh. 

     "Aku sudah masuk, Bang Raden hanggareksa . Di sana, tuh!" 

     Ia menunjuk sederetan kaca di lantai dua fakultas. 

     "Dudukku kebetulan di pinggir jendela kuburan . sesudah  melihatmu masih di sini, aku lantas permisi

sebentar. Apakah abang sakit? Wajah abang pucat." 

     "Oh. ah. Aku agak pusing Kurang tidur. Kau tahu biasanya.. ya. Ya. Biasanya aku tidur dulu dua

jam sepulang dari percetakan. Baru ke pangkalan. Dan... dan...." 

     "Pulanglah, Bang Raden hanggareksa ." 

     saat  mobil yang membawa Raden hanggareksa  lenyap di pengkolan jalan, NYI girah  masih berdiri di tempatnya

semula. 

     Air matanya meleleh. 

     Membasahi pipi. 

     

     ***** 

     

     Enam 

     

     

     "Hai, Papa." 

     ".... Eh, NYI girah . Cepat benar pulang?" 

     Hakim mpu nalanda  meletakkan surat kabar yang tengah ia baca. Matanya mengikuti anak gadisnya

yang masuk ke kamar untuk menyimpan tas kuliah namun  segera kembali lagi. Duduk menemani

ayahnya di ruangan duduk  bermesin pendingin dengan lantai berlapis karpet beludru. 

     Wajah anaknya tampak lain dari biasa. 

     "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Nak," 

     Hakim mpu nalanda  memperingatkan. Lembut. 

     "Cuma dua mata kuliah, Papa. Dosen bahasa Jerman sakit." 

     "Oh..." 

     Hakim mpu nalanda  melembari kembali surat kabarnya. Ia tidak membaca. Ia pura-pura asyik

membaca. Sedang pikirannya bekerja keras, ingin mengetahui mengapa anak gadisnya kelihatan lesu.

Kehilangan semangat. 

     "Bagaimana hasilnya, Nak?" 

     Hakim mpu nalanda  bergumam sambil lalu. 


     "Apa, Papa?" 

     "Raden hanggareksa . Ia mau?" 

     Sang ayah mengintip dari balik bingkai kacamatanya 

     "Mau, Papa." 

     "Sudah kuduga." 

     Hakim mpu nalanda  mendengus. Puas. 

     "Biar bagaimana pun, Raden hanggareksa  itu tetap saja seorang calo." 

     Melihat sepasang mata anaknya mendelik marah, ia cepat-cepat meneruskan: 

     "Aku tidak bermaksud menghina. Aku hanya ingin mengatakan, orang macam dia, dengan usaha

yang hasilnya tidak berketentuan seperti itu, memang harus bermata jeli. Dan menyambar mangsa

secepatnya, apabila mangsa itu mendatangkan untung besar...." 

     "Papa keliru.' 

     "Maksudmu?" 

     "Bang Raden hanggareksa  memang mau menjualkan mobil itu. namun  ia tidak dapat papa bodohi...." 

     NYI girah  tersenyum senang saat  ia lihat cuping telinga sang ayah bergerak. Itu penanda  pemilik

telinga mengalami kejutan yang ingin disembunyikan 

     "Ia lebih tahu harga pasar, ketimbang papa." 

     "Hem. Lantas?" 

     "Bang Raden hanggareksa  menyinggung selisih harga yang papa tawarkan. Ia bilang, akan berpegang pada

patokan jual beli yang syah." 

     Hakim mpu nalanda  tidak saja meletakkan bacaannya. Ia juga meletakkan kacamatanya .Dan

mengawasi anaknya dengan bingung. 

     "Sungguh tak masuk di akal," 

     Ia berkata. 

     "Jadi Raden hanggareksa  menyebutkan empat. Bukan dua setengah atau tiga juta?" 

     "Persis." 

     "Dungu!" 

     Kelembutan hati Hakim mpu nalanda  terlecut juga akhirnya 

     "Dungu si Raden hanggareksa  itu. Bayangkan, Nak. Selisih harga satu juta .Mungkin satu setengah. Dan

masih ditambah komisi dua puluh persen...." 

     "Sepuluh," 

     NYI girah  membetulkan. 

     "Sama saja, Nak. Jumlahnya tetap saja hampir mencapai dua juta. sesudah  dibagi dengan teman

temannya, dikurangi pula ongkos servis dan reparasi, paling kurang Raden hanggareksa  bakal menerima lima

ratus ribu rupiah. Dengan jumlah itu ia dapat membeli beberapa lembar pintu jati dan kaca untuk


jendela kuburan  rumahnya yang terbengkalai itu. Dan kau bilang, ia menolak. Aku sungguh tak mengerti." 

     "Papa pasti mengerti!" tuduh NYI girah  Tajam. 

     Hakim mpu nalanda  manggut-manggut Lemah. 

     "Anak sialan, si Raden hanggareksa  itu!" 

     Ia mengumpat. Dari nada suaranya, NYI girah  tahu kalau ayahnya bukan mengumpat sebab  marah.

melainkan sebab  kagum. 

     "Bayangkan. Aku sudah sering mencoba Lewat kau. Lewat Sumarna. Lewat ibunya. Semua gagal.

Hem. Hem. Anak itu rupanya ingin aku meninggal dengan membawa hutang budi yang tak pernah

dapat kupenuhi." 

     "Papa tak perlu begitu kecewa," 

     NYI girah  menghibur. 

     "Tak lama lagi aku toh akan diangkat jadi anggota keluarga mereka. Dan Bang Raden hanggareksa  dengan

sendirinya jadi anggota keluarga papa pula. Jamu ia makan sesekali. Ajak piknik bersama, atas

tanggungan papa. Banyak jalan ke Roma bukan?" _ 

     sesudah  berkata demikian, NYI girah  bangkit. Mencium pipi ayahnya. 

     'Aku sedikit tak enak badan, Papa. Tak apa kutinggal tidur?" 

     "Pergilah, Anakku," jawab Hakim mpu nalanda , seraya memikirkan usul anak gadisnya .NYI girah  benar. 

     Membalas budi baik orang, tidak selamanya dengan jalan memberi hadiah-hadiah materi. NYI girah 

menghilang ke belakang. Waktu kembali ia membawa sesuatu yang dikepit di ketiak dan membuat

ayahnya tercengang. 

     "Buat apa tikar itu, nak?" tanya sang ayah. 

     "Mestinya hujan, Papa. namun  sudah beberapa hari. panas terus. Tak alang kepalang lagi. Kasur

busa di ranjang tidurku. bikin aku mandi keringat saja." 

     "Itulah!" 

     Hakim mpu nalanda  menyesali anaknya. 

     'Papa 'kan sudah berapa kali bilang. Kita pasang saja AC di kamarmu." 

     "Lantas saat  bangun, aku terserang selesma?" 

     NYI girah  tersenyum manis. Hidungnya mengendus-endus hawa sejuk ruang duduk itu. Purapura bersin

keras sampai ayahnya kaget. Lalu sambil tawanya meledak, NYI girah  menyelinap ke kamar tidurnya. 

     sesudah  ia sendirian saja di kamar, tawa NYI girah  hilang lenyap sesaat . Wajahnya berubah suram.

Sesungguhnya ia tidak mengantuk. Ia hanya ingin menghindar dari ayahnya. Ingin menikmati

kesendirian. Meresapi hari-hari yang telah lalu. Merangkai kenangan-kenangan lama. 

     Jiwanya begitu tertekan, saat ini. 

     Seenak perut ia lemparkan tikar di tangannya Jatuh ke kolong ranjang. lalu  NYI girah  bergerak

ke jendela kuburan . Menatap keluar. Suatu saat, bibirnya bergerimit. Pucat. Di saat berikutnya, bibirnya


mengarak senyum. Bibir ranum itu pun lantas tampak kemerahan. Segar. Bergairah. Sebentar

lalu , kembali lagi bergetar. Pucat. 

     Kelopak mata NYI girah  terpejam. 

     Kepalanya terangkat. 

     Menengadah. 

     

     ***** 

     

     Jiwa nyonya  juga tertekan. 

     Ia tidak begitu mengkuatirkan TribuanaTunggadewi . Memang, anak ratu lesbi nya itu kini berstatus janda

seperti dia pula. namun  TribuanaTunggadewi  ulet berusaha. Dua puluh enam tahun, merupakan usia lagi

matang-matangnya .ratu lesbi  seusia TribuanaTunggadewi  akan tabah dan mau menghadapi kenyataan. Apalagi

TribuanaTunggadewi  memiliki modal yang kuat: kecantikan. TribuanaTunggadewi  akan segera menemukan jodoh yang lain.

Mungkin akan lambat. sebab  ia tahu TribuanaTunggadewi  biar suka merendahkan namun  jauh di sanubari, tetap

saja mencintai almarhum suaminya. Dan bila saat itu kelak tiba. semoga Noni belum mengenal apa

perbedaan ayah tiri dengan ayah kandung. . 

     Tidak. Bukan persoalan TribuanaTunggadewi  yang menekan jiwa nyonya . Bukan pula Sumarna. Anak tengahnya

itu telah lulus menempuh ujian sarjana ekonomi. Sudah pula ada pendekatan dengan sebuah

perusahaan terkemuka. Masa depan Sumarna cukup cerah. Konon pula akan didampingi istri secantik

NYI girah . Berpendidikan, keturunan baik-baik dan terhormat pula. Segala puji syukur untukmu, Tuhanku! 

     Hanya, mengapa tak kau cipratkan sedikit karunia-Mu untuk si anak sulung? 

     Raden hanggareksa -lah yang mengganggu pikiran nyonya . 

     Sudah semenjak kecil anak itu memperlihatkan temperamen keras .Ia menaruh harga yang

sangat mahal untuk menerima kompromi. Dengan orang lain, tak apalah. 

     Ini, dengan ayahnya sendiri! 

     "Kalau ayah mau membantu orang, bantulah dengan sukarela. Jangan pasang bunga yang

membuat orang lain sakit jantung. Jangan pula main sewa tukang pukul kalau menagih piutang!" 

     Ucapan itu dilontarkan Raden hanggareksa  pada ayahnya, semasih Raden hanggareksa  berusia 14 tahun. 

     Sayang suami nyonya  berpenyakit darah tinggi. Suaminya berteriak lengking: 

     "Kau pikir, dengan apa kau bernafas Raden hanggareksa ? Dengan apa darahmu mengalir? Apa yang kau

minum? Apa yang kau makan? Apa yang kau pergunakan membayar sekolahmu? Uangku! Dengar?

Uangku!" 

     Ayah yang tidak bijaksana. 

     Malam itu juga Raden hanggareksa  mengemasi pakaiannya. Ia minggat lewat jendela kuburan . Pagi-pagi, semua

orang kalang kabut. Jerit tangis histeri memenuhi seisi rumah. Sang ayah seorang saja yang tenang.


Sinis, ia berkata 

     "Berhentikan membuat gempar. Raden hanggareksa  akan kembali." 

     Raden hanggareksa  memang kembali. 

     namun  sekali satu tahun. Paling banyak dua kali  apabila ia dengar salah seorang adik terutama

ibunya sakit. Ia menjual suratkabar di kaki lima. Tidur di emper-emper toko ibukota yang hirup pikuk.

Jadi kuli bangunan. Perantara jual beli. Yang penting asal halal, begitu Raden hanggareksa  pernah mengatakan. 

     Dan Raden hanggareksa  semakin jauh dengan ayahnya. 

     Akibatnya, Raden hanggareksa  baru tahu ayahnya meninggal sesudah  ayahnya itu dikuburkan satu minggu.

Barulah sifat lembut-nya yang tersembunyi  mengalir tumpah. Satu malam Raden hanggareksa  menangis di

makam ayahnya. Pulang ke rumah ibunya, mata Raden hanggareksa  bengkak . 

     "Aku akan kembali ke ibukota." katanya 

     nyonya  menangis. Sumarna gemetar. TribuanaTunggadewi  berguling-guling di lantai. 

     "Kalian bisa hidup tanpa aku," 

     Raden hanggareksa  bersikeras. 

     "Warisan ayah berlimpah ruah." 

     TribuanaTunggadewi  merangkul paha saudaranya. Meratap: 

     "Sebelas tahun kau terpisah dari kami, Bang Raden hanggareksa . Haruskah kini kau pergi lagi? Ayah sudah

mendahului kita semua. Apa arti semua harta yang ia tinggalkan? Tega kau membiarkan kami

terlunta-lunta tanpa ada yang melindungi?" 

     Barulah mata Raden hanggareksa  basah. 

     Kekerasan hatinya luluh. 

     "Baiklah," katanya. 

     "Aku akan menjaga kau, Ronggolawe . Dan kau, Sumarna. Bersama-sama kita merawat ibu. Aku tidak

akan meninggalkan kalian, sebelum kau Ronggolawe  dan kau Sumarna, berhasil jadi orang." 

     Ia tetap tinggal di rumah ibunya. 

     Tidak mau menempati salah satu rumah kosong peninggalan ayahnya. 

     "Jual saja," kata Raden hanggareksa . 

     "Pergunakan uangnya untuk biaya sekolah Ronggolawe  dan Sumarna." 

     nyonya  memberitahu, harta warisan sebaiknya tidak dijual. Lebih bijaksana ditambah .Selama

kita mampu 

     "Oke. Sewakan, kalau begitu. Ketimbang ambruk tak dihuni" 

     Dan Raden hanggareksa  tetap bertualang. Menempuh Cara hidupnya yang lama. Bedanya sekarang ia tiap

hari ada di rumah. Merawat ibunya. Mengurus adik-adiknya. Raden hanggareksa lah yang menikahkan TribuanaTunggadewi 

dengan rsi Kertajaya . Raden hanggareksa  pula yang mempertemukan Sumarna dengan NYI girah . 

     Dan ia sendiri? 


     "Aku akan berumahtangga. kalau aku sudah ingin," 

     Itu jawabnya kalau ditanya nyonya . 

     Telah banyak lamaran yang terpaksa ditolak. nyonya  hampir panik memikirkan jangan-jangan

anak sulungnya mengidap kelainan seksuil. namun  aneh, penandanya tidak ada sama sekali. 

     Apakah Raden hanggareksa  pernah dikecewakan seseorang? 

     Raden hanggareksa  bukan tidak tahu apa yang digelisahkan ibunya . 

     Dan suatu hari ia membawa seorang gadis ke rumah mereka. 

     "Namanya Rosida. Orang seberang. Sumatera," 

     Raden hanggareksa  memperkenalkan gadis itu. 

     "Ia temanku sekantor. Maksudku, di percetakan aku dinas malam. Sedang Rasida dinas pagi." 

     nyonya  tenteram hatinya. 

     Malang, tak lama. Persoalan lain segera timbul. Raden hanggareksa  baru mau menikah dengan Rosida,

apabila Sumarna sudah berumahtangga seperti TribuanaTunggadewi . Dengan begitu ia menganggap sebagian

tanggung jawabnya telah terpenuhi. Aneh, Rosida pun setuju dengan keputusan Raden hanggareksa : Sumarna

yang muda belia, melonjak gembira 

     "Abang jadi juga menikah," teriaknya. 

     "Aku punya usul. Kelak sesudah  kalian menikah, tempati saja rumah yang kosong tak terpakai

itu." 

     Barulah nyonya  mengerti maksud anak tengah-nya. Rumah tersebut telah diwariskan untuk

Raden hanggareksa . Juga beberapa petak sawah. Baik rumah maupun sawah itu dulunya milik satu orang namun 

lalu  diambil alih suami nyonya  melalui jual beli. Tentu saja, sebagian besar sebagai pembayar

hutang pemilik lama . 

     Dan apa jawab Raden hanggareksa . 

     "Boleh. Boleh. Rumah dan tanahnya akan kami tempati. sesudah  aku dan Rosida membayarnya

harga yang pantas kepada ibu." 

     Perih hati nyonya . 

     namun  segera pula ia tersenyum. begitu dapat akal. 

     Harga tanah dan rumah di atasnya, lantas ditetapkan. Uang tabungan Raden hanggareksa  sekian tahun

ternyata cukup menutupinya. Begitu ia terima, nyonya  menyerahkan uang itu utuh utuh ke tangan

rsi Kertajaya  yang sangat bernafsu membangun rumah model baru sebagai pengganti model lama yang kuno

itu. Raden hanggareksa  mau marah. namun  lalu  terdiam, sesudah  nyonya  berkata: 

     "Ini uangku, bukan?" 

     Ya, uang itu sekarang uang nyonya , bukan uang ayah Raden hanggareksa . 

     "Terimalah. Anggap saja sebagai tanda kasih sayang ibumu." 

     "Beres sudah," 


     Mereka semua waktu itu sependapat 

     "Apa yang beres? rsi Kertajaya  meninggal dunia. lalu Raden hanggareksa  mendadak bilang, rumah miliknya dihuni

hantu. Jual rumah itu! Gampang terdengarnya. lalu apakah nyonya  membiarkan hidup anak sulungnya

tetap terkatung-katung.Tak berketentuan? 

     Rumah bobrok macam apa nanti yang akan ditempati keluarga Raden hanggareksa ? 

     Dengan apa ia memberi makan anak istrinya. 

     Menantu dan cucu nyonya ? 

     Sedang di sini harta mereka berlimpah ruah. Mereka dapat hidup senang  berkecukupan. 

     Hati nyonya  perih lagi. 

     Dengan hati yang perih melilit itu ia tercenung di dangau. Tampaknya ia tengah asyik mengawasi

para penggarap sawahnya bekerja dengan giat. Kejang dan kebas duduk melamun saja, sore hari di

Minggu pertama bulan Januari itu nyonya  turun dari dangau ia berjalan-jalan sepanjang tegalan

sawah. Merendam kaki di saluran air yang sejuk bening. 

     Ia memandang petak sawah di dekatnya. 

     Lalu nyonya  tiba-tiba terkejut. Petak sawah itu ditanami padi yang telah berumur satu bulan.

Beberapa hari yang lalu, padi di situ tumbuh subur, hijau segar. Sore hari ini, nyonya  lihat semua padi

di petak itu rebah ke tanah basah berlumpur. Daun-daun padi berwarna coklat, kering layu. 

     "Bu Omi?" 

     nyonya  memanggil salah seorang penggarap. 

     ratu lesbi  yang dipanggil datang bergegas. 

     "Ada apa, Juragan?" 

     "Apa yang terjadi dengan padi-padi ini?" 

     Penggarap sawah bernama Omi itu menarik nafas. 

     "Bukankah telah saya beritahu juragan? Tadi, saat  juragan duduk di dangau." 

     "Oh. Aku tak mendengarnya. Mengapa padipadi ini roboh dan layu, Bu Omi?" 

     nyonya  mengulang pertanyaannya, sambil bangkit lalu turun ke tengah sawah yang dilanda

bencana itu. 

     Omi memperhatikan majikannya turun. Berkata bimbang: 

     "Pasti diserang hama, Juragan." 

     "Wereng? Atau tikus?" 

     nyonya  meneliti seonggok pagi. Kakinya terbenam sebatas pertengahan betis, di dalam tanah

basah berlumpur. 

     "Tak ada tanda-tandanya Dan eh. apa pula itu?" 

     nyonya  mengamat-amati garis-garis kecil malang melintang di permukaan lumpur, itu bukan

bekas digaru. Bukan pula pekerjaan usil seseorang, sebab  garis-garis memanjang itu demikian


banyaknya. Menyilang dan berputar ke berbagai arah. 

     Mungkinkah bekas tikus berlari kian ke mari? 

     namun  garisnya terlalu tipis. Terlalu dangkal. Bukan tikus. barangkali. 

     namun  apa? 

     nyonya  tercekat . 

     Lumpur di kedua kakinya tibatiba bergerak. Pelan dan samar, memang, namun  tetap saja

bergerak. Sebelum nyonya  mengetahui apa sebab lumpur bergerak, sesuatu telah mencengkeram

betisnya. Sesuatu di lumpur. Besar dan licin. Darah nyonya  tersirap. Sesuatu yang hidup dan kini

melingkari betis kanannya, terasa menggeliat. Lantas betis nyonya  bagai dihunjam benda lunak

namun  menembus kulit dan daging betisnya lalu mulai menyedot darahnya keluar. 

     Omi melihat wajah majikannya yang tegang, pucat 

     "Eh. Juragan, sedang apa sih?" 

     nyonya  tak menjawab. Tak kuasa meniawab. Denyut jantungnya seakan terhenti saking terkejut

dan panik. Tubuhnya tegak setengah membungkuk. Kejang. kaku. 

     Mungkinkah ia terkencing di celana, pikir Omi. 

     Pikiran itu segera lenyap. tatkala si penggarap sawah yang sudah tua itu melihat sesuatu meliuk

keluar dari dalam lumpur. Warnanya coklat. Atau hitam, berlumur lumpur. 

     Omi ingin menjerit. 

     Sayang, suaranya tak mau keluar. Lidah kelu. Ia cuma mampu menutup mulut dengan tangan

yang justru malah menahan jeritannya bila pun mampu ia lepas. Dengan mata terbelalak, penggarap

sawah itu terpana mengawasi  lumpur di sekitar kaki-kaki majikannya benda aneh tadi lenyap. 

     Salah pandangkah dia? _ 

     Tidak-tidak. Benda itu masih ada. namun  kini lebih kecil. Sangat kecil. Mula-mula hanya beberapa

ekor. lalu  berpuluh-puluh lalu beratus-ratus. 

     "Lintah!" 

     Omi tersentak mundur lantas mampu juga ia menjerit: 

     "Lintah! Lintah! Oh, ob, oh.... Tolonglah. Tolonglah. Ada lintah!" 

     Ia lalu  berlari-lari menemui yang lain. Para penggarap sawah menyongsong terkejut. 

     "Mana Mana lintah itu, Bu Omi?" 

     Mereka memegangi kaki si ratu lesbi  yang menggelupur di rumput. Histeri. 

     "Apa-itu, lintah... kaki kencing... eh, ul-al," sahutnya dengan bola mata berputar-putar. 

     Salah seorang penggarap, laki-laki yang masih terhitung muda, menampar pipi Omi dengan

keras. Begitu deras bunyi tamparan di pipinya tak terdengar, Omi berteriak lantang: 

     "Lintah! Banyak sekali lintah! Cepatlah Juragan nyonya ..." 

     nyonya  jatuh tertelungkup ke lumpur saat  orang-orang itu berlarian mendatangi. Baik kaki,


tangan, punggung maupun leher dan kepala nyonya  penuh dilengketi lintah yang menggeliat geliat

ganas dan buas. Seorang ratu lesbi  kecil jatuh pingsan. Dua yang lain menjauhkan diri dengan

terkejut. Empat terpaku diam di tempatnya berdiri. 

     "Allah ya Robbi!" 

     Terdengar suara laki-laki lalu empunya suara terjun ke lumpur. Melompat-lompat mendekati tubuh

nyonya  yang tertelungkup setengah terbenam. Dua orang lainnya segera menyusul. Mula-mula mereka

hanya menepis-nepis, lalu  memukul-mukul dan akhirnya baru teringat mengangkat tubuh

nyonya  ke tanah kering. 

     Ratusan lintah tetap lekat di sekitar tubuh nyonya  sesudah  ia dibaringkan ke tanah. Para

penolongnya lalu  sibuk pula melepaskan cengkeraman banyak lintah di kaki ataupun tangan

masing-masing. Dua orang lagi ratu lesbi  jatuh pingsan. Yang lain berlari ke dangau. Hanya seorang

saja yang menempuh arah benar. Ia berlari menuju rumah nyonya  yang jaraknya dari sawah itu baru

akan ia capai setengah jam berikutnya. 

     Penggarap sawah yang masih waras otaknya, segera membungkuk. Semua pakaian yang melekat

di tubuh nyonya  cepat ia tanggalkan. Teman temannya segera mengikuti perbuatan orang itu. nyonya 

bugil dalam sekejap. Namun toh masih tersisa puluhan ekor lintah. Sebagian dari lintah itu hanya

tampak ekor, sebab  sudah terlalu dalam masuk menerobos ke daging tubuh nyonya . 

     Tubuh itu diam. Tak bergerak. 

     Matanya melotot. Menatap matahari senja yang kelabu. 

     Dan tanpa ada yang mengetahuinya dari tegalan petak sawah tadi muncul sebentuk makhluk

yang menggeliat, melengkung, memanjang. pendek lagi dan terus merayap memasuki selokan. Merasa

tubuhnya yang sebesar lengan manusia dewasa itu terbenam dalam di selokan, makhluk itu

melenturkan tubuh. 

     Ia bergerak ke hilir. 

     Mengikuti arus air. 

     

     ***** 

     

     Tujuh 

     

     

     "Nafsu makanmu buruk sekali," kata tuan rumah sembari mengawasi Lurah hutan larangan  tengah

mengunyah-ngunyah dengan tarikan muka mirip orang sakit gigi. 

     "Mabokku belum hilang betul, Eyang," sahut Lurah hutan larangan , berdusta. 

     Wajahnya memang sedikit pucat. namun  bukan sebab  mabok perjalanan. Ia mabok melihat


makanan yang terhidang di meja. Tumis daging cincang di piring mengingatkannya pada lintah yang

gepeng dipencet lumat diinjak. Sop jamur dalam pasu besar, tak ubahnya irisan pacat yang

mengambang mati sebab  kekenyangan menghisap darah. Ayam panggang di depan Lurah hutan larangan  pasti

menerbitkan air liur orang lain. namun  warnanya yang merah berminyak, mengingatkan Lurah hutan larangan 

pada tubuh bugil nyonya  yang berlendir. 

     Dua jam isteri tuan rumah berkurung di dapur untuk mempersiapkan hidangan istimewa itu. Dan

tiga menit sesudah  terhidang, Lurah hutan larangan  meletakkan sendok garpunya. 

     "Permisi, Eyang. Mau ke jamban sebentar.' 

     Lurah hutan larangan  bersungut-sungut bangkit. Setengah berlari ia pergi ke belakang rumah. Belum sampai

ke sumur, ia sudah meliuk, terbungkuk. Dan, 

     "Woaaak...." 

     Isi perutnya tertumpah ke tanah. 

     Isteri tuan rumah tergopoh-gopoh mengantarkan segelas air. Tak lama lalu , Lurah hutan larangan 

merasa lebih enakan dan masuk lagi ke rumah. Menemui bekas gurunya yang sudah menunggu di

beranda depan. 

     "Mau aspirin?" 

     Ia bertanya pada tamunya. 

     Lurah hutan larangan  menggeleng. 

     Belum lama ia henyakkan pantat di sebuah kursi rotan. Istri tuan rumah muncul dengan dua

cangkir teh pahit, sesudah  melirik kuatir ke arah tamu mereka yang tampak masih pucat, ratu lesbi 

itu mengundurkan diri. Ia tidak terus ke dapur. Melainkan sibuk memeriksa Sisa hidangan di meja. 

     Apakah ada rambut di tumis? 

     Atau kecoa nyelip dalam sop jamur? 

     Tubuh kecil kurus di beranda, menggeliat sebentar. Lalu berkata santai: "Nah. Mari kita bicarakan

masalah yang tadi ingin kau sampaikan. Pertama-tama, mengapa kau begitu lambat?" 

     Lurah hutan larangan  menelan ludah. 

     "Aku terlalu mencemaskan kesehatan cucuku," 

     Ia menjawab malu malu. 

     Namun toh terselip jua rasa kebanggaan seorang kakek saat  Lurah hutan larangan  menceritakan

bagaimana ia tiap hari mengunjungi anak ratu lesbi nya di kota. Melihat-lihat apakah Legoh. cucu

satu-satunya dalam keadaan sehat. Memeriksa jari kakinya, jari tangannya, suhu badannya. sesudah 

puas ia baru pulang. 

     Kemarin ia tiba di rumah lepas isya dan terkejut mendengar nyonya  meninggal. Bergegas ia pergi

ke rumah yang tertimpa musibah itu. Jenasah nyonya  dibaringkan di tengah rumah. Kain selendang

menutupinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Raden hanggareksa  menjaganya dengan ketat. Tidak


seorangpun tamu yang datang melayat diperkenankan membuka kain itu tanpa seijinnya. Ijin itu

cuma diberi pada orang-orang tertentu saja. Melihat kaitan keluarga, atau kedudukan sang tamu.

Lurah hutan larangan  termasuk salah seorang yang diperkenankan melihat keadaan jenasah. 

     Ia terkejut melihat mata nyonya  melotot. 

     "Astagfirullah!" 

     Ia mengucap. Mengumpulkan kekuatannya baru memberanikan diri mengangkat kain lebih tinggi

sedikit. Tubuh bugil itu berlendir dan ada ratusan lubang-lubang kecil menganga di sana sini.

Gemetar Lurah hutan larangan  menyelimuti jenasah kembali. Ia mengangguk ke arah Raden hanggareksa  lalu pergi menemui

beberapa orang yang ia perkirakan dapat memberi keterangan. 

     Lurah hutan larangan  segera memperolehnya. Tiap kali ia bergidik. Ia juga memperoleh sebuah bungkusan

kecil dari salah seorang tetua desa. Ikut tahlilan sebentar terus pulang ke rumah. sesudah  bersalin

pakaian ia bergegas ke terminal. Sunyi sepi tempat itu. Gelap lagi. Jadi ia pergi menunggu di Pos

Hansip. Merasa tenteram berada dekat orang lain, ia rebahan sebentar. Malang ia tertidur dan bus

antar kota lewat tanpa ia ketahui. Hansip yang bertugas menerangkan mereka sedang pergi

berkeliling saat  bus itu lewat. 

     Baru pukul empat dinihari datang bus lain. 

     Lalu.... 

     "Bagaimana tentang lintah-lintah itu." 

     Orang tua kecil kurus di depannya memotong halus. "Waktu kau datang tadi, kau bilang

jumlahnya ribuan ekor." 

     "Mereka yang bilang. Kukira, mereka melebih-lebihkan," 

     Lurah hutan larangan  memberengut. 

     'Tidak mustahil mereka benar," bekas gurunya bergumam. 

     "Satu petak sawah." 

     "Lima petak," tukas Lurah hutan larangan . 

     "Salah seorang pegawaiku telah pergi memeriksa tempat itu kembali. Ternyata ada lima petak

yang hancur dimakan hama" 

     "Dimakan lintah." 

     "Eh. Eyang percaya lintah makan batang padi?" 

     "Lintah biasa, tidak. namun  lintah-lintah yang merenggut nyawa nyonya  dan menciderai beberapa

orang lain itu, aku percaya berada di bawah pengaruh dan kekuasaan roh  jahat." 

     Tubuh kurus itu tampak tegang. 

     "Roh jahat dapat berbuat apa saja." 

     Lurah hutan larangan  mencicipi tehnya. 

     "Lima petak sawah," 


     Ia berdesah lirih. 

     "Dan semua itu bekas milik si Dudung." 

     "Dudung. Siapa dia?" 

     "Orang yang juga dulunya pemilik rumah tempat rsi Kertajaya  ditemukan mati...." 

     "Rumah baru itukan punya...." 

     "Rumah sebelumnya, Eyang. Rumah tua. Rumah pembawa sial itu." 

     'Rumah yang merenggut empat nyawa manusia. Begitu kau bilang beberapa hari yang lalu. kalau

tak salah." 

     "Lima. Kalau diurut ke belakang. Dudung mati di rumah itu," 

     Lurah hutan larangan  memperbaiki. 

     "Dudung lagi. Apa yang membuatmu tertarik pada orang itu?" 

     "Banyak yang bilang, sebelum ia pindah ke daerah kami. Dudung itu di tempat asalnya konon

dikenal sebagai penyihir. Tukang teluh. persisnya." 

     Lurah hutan larangan  mendecap-decap, tak senang. 

     "Setahuku, ia berperilaku baik dan sopan selama ia tinggal dengan kami. Sayang aku tak bisa

mencegah penduduk yang berusaha memencilkan dia, sebab  takut ditenung. Jarang orang mau

datang ke rumahnya. Dan tak ada yang mau menggarap sawahnya. Ia mengerjakannya sendiri.

Dibantu anak gadisnya. Ia duda, supaya eyang tahu. Isterinya telah meninggal saat  mereka masih

tinggal di kampung asal. Sempat juga aku kasak kusuk sana sini, dan besar kemungkinan istrinya

itulah yang sebenarnya tukang teluh. Isterinya mati dikeroyok penduduk kampung mereka, menyusul

beberapa musibah dan penyakit menular yang melanda kampung itu. Suatu hari, Dudung jatuh sakit.

Sakitnya parah sekali, Eyang. ia terbaring saja di tempat tidur sepanjang hari dan malam. Hanya

satu dua yang mau menjenguk. Anak gadisnya bilang padaku; ayahnya terserang sakit lumpuh.

Dengan sendirinya gadis itu terpaksa...." 

     "Siapa nama anak gadis Dudung itu, hutan larangan ?" 

     "Nurjanah." 

     "Nama yang kurang enak di telinga," 

     Si tua kurus geleng-geleng kepala. 

     "namun  ia anak baik, Eyang. Cantik. Lembut. Sayang, nama buruk orangtuanya ikut membuatnya

tersisihkan. Ia jadinya sangat pendiam. Dan selalu murung. Ada juga satu dua pemuda yang berusaha

mendekatinya. Tentu saja sembunyi sembunyi. Takut ketahuan orangtua mereka, atau penduduk lain

yang membenci anak beranak itu. Mungkin Nurjanah tahu pemuda pemuda itu cuma iseng dan

menginginkan kecantikannya saja, tanpa mau bertanggungjawab. Ia mengusir mereka. Akibatnya.

musuhnya bertambah." 

     Lurah hutan larangan  menarik nafas. Prihatin. seakan Nurjanah itu anak gadisnya sendiri. 


     "Apa yang dikerjakan Nurjanah sesudah  ayahnya sakit?" tanya tuan rumah. tertarik. 

     "Mengurus ayahnya. Hanya mengurus ayahnya. Ia tak berani pergi ke sawah sendirian. Eyang kan

maklum. Ia seorang perawan. Tak punya teman." 

     "Hem hem. lantas?" 

     "Yah. Lantas, sawah mereka terlantar. Mata pencaharian mereka dengan sendirinya hilang pula.

Sakit ayahnya bertambah-tambah. Aku membantu juga sedikit-sedikit. Juga pengurus masjid di

daerah kami. namun  jangankan untuk makan. Untuk obat Dudung saja. hampir tak mencukupi.

Nurjanah mulai menjual satu persatu barang barang mereka. Termasuk perhiasan ibunya. Celakanya,

permusuhan dari orang lain, membuat barang-barang itu jatuh harga jauh di bawah pasaran.

Untunglah Rukmana datang menolong. Ia membeli barang-barang itu dengan harga lebih memadai...."

     "Rukmana. Siapa pula itu?" 

     "Suami nyonya . Eyang." 

     "Oh, ya. Ya Rukmana. Suami nyonya . Maaf. Aku lupa." 

     Berlagak pula eyang-ku ini. pikir Lurah hutan larangan  menahan senyum, ia belum pernah memberitahu

nama suami nyonya  kepada orangtua itu. 

     "Berapa lama sakitnya si Dudung itu?" 

     "Berbulan-bulan. Eyang. Aneh juga. Padahal tubuhnya tinggal kulit berbalut tulang. Jangankan

makan. Minum pun susahnya bukan main. Ahhh, lantas orang pun semakin percaya ia itu terkena

kutuk. Sebagian penduduk ingin mengusir Dudung dan anaknya dari daerah kami. Untunglah dibantu

pengurus masjid, aku dapat menahan kemarahan penduduk. Itu pun dengan janji, aku menyetujui

Dudung dan anaknya harus pindah begitu Dudung sudah sembuh." 

     "Dan, ia tak pernah sembuh." 

     "Ia tak pernah sembuh," keluh Lurah hutan larangan , mengiyakan. 

     "Hidup mereka semakin morat marit. Sawah mereka lalu ditawarkan pada Rukmana. Uang

penjualan sawah itu pun lama-lama habis pula .Menyusul rumah. ikut dijual dan diambil alih oleh

Rukmana...." 

     "Baik hati benar si Rukmana itu," gumam tuan rumah sambil melinting tembakau dengan kertas

papier. Tembakau dan papier itu tentu saja oleh-oleh yang dibawa Lurah hutan larangan . Harganya murah sekali.

namun  itu lebih baik. Ketimbang membawa rokok  atau Kueh-kueh mahal. Bisa  sang guru cemberut. 

     "Lintingkan aku satu, Eyang." 

     "Eh? Katamu anti..." 

     Mata orangtua itu mengawasi tamunya. Mata tua namun  sinarnya begitu tajam dan berpengaruh. 

     "sesudah  melihat mayat nyonya , aku sudah menghabiskan tiga batang rokok, Eyang." 

     "Kasihan," rungut gurunya. Tembakau lintingnya ia sulut, dihisap dengan nikmat. ia tidak


melintingkan yang baru untuk tamunya. Ia cuma berkata: 

     "Minumlah tehmu." 

     Lurah hutan larangan  mengumpat dalam hati, ia minum tehnya. dan lalu  berpikir maksud orangtua itu

baik. Agar Lurah hutan larangan  tidak kecanduan. 

     Matahari naik semakin tinggi. Jauh di lembah, di bawah rumah itu, pucuk pepohonan cemara

menimbulkan perasaan tenteram di hati. Sungai yang meliuk-liuk bagai ular tengah merayap keluar

dari sarang, airnya berkilau-kilauan dijilat cahaya matahari. 

     Seekor burung gagak terbang lalu melewati beranda. Si kurus kecil memandang tak tertarik. 

     "Baik benar si Rukmana itu," gumamnya pelan. Mengulangi apa yang tadi ia ucapkan. 

     Lurah hutan larangan  maklum. 

     "Kecurigaan kakek tidak berlebihan," ia mengakui. 

     "Mengapa harga pembelian harta benda Dudung, memadai. namun  sebagian besar menurutku

dianggap sebagai pembayar hutang. Plus bunganya. Tahu berapa bunganya, Eyang?" 

     "Lima persen," bekas gurunya menebak. 

     "Tiga puluh, Eyang. Tiga puluh persen." 

     "Lintah darat!" 

     Tubuh kurus itu terlonjak di kursinya. Tangannya tanpa sengaja membentur tepi meja. Terdengar

sesuatu menggelinding lalu jatuh berderai di lantai. 

     "Dan si lintah darat itu telah membuatku rugi sebuah cangkir yang mahal," 

     Tuan rumah memberengut, kesal. 

     Isterinya segera berlari-lari datang. 

     Dengan cepat ia bersihkan pecahan cangkir di lantai. Sebelum menghilang, ia mengintip kuatir.

Kali ini, ke arah suaminya. 

     "Lintah darat," 

     Si suami yang tak perduli kekuatiran istrinya. bergumam serius. 

     "Kau tahu, hutan larangan ?" 

     "Apa. Eyang?" 

     "Lintah darah. Apa kata lain untuk lintah darat?" 

     "Pemeras." 

     "Bukan. Yang kumaksud. dalam arti kata harfiah." 

     "Ooo. Pacat. Benar?" 

     "Ya. Pacat. Mendengar ceritamu mengenai kematian rsi Kertajaya , aku sudah curiga. Pacat yang

menyebabkan kematiannya." 

     "Lubang di dada rsi Kertajaya  besar sekali, Eyang. Sebesar lenganku." 

     "Dan sebesar Itu pulalah pacat yang membunuhnya," 


     Tuan rumah berkata acuh tak acuh. 

     "Apakah ada tanda-tanda serupa di tubuh nyonya ?" 

     "Ya. Di betis...." 

     Bibir Lurah hutan larangan  terasa kering kerontang. Ia menyambar cangkirnya. Ternyata Sudah kosong. Ia

letakkan cangkir itu pelan-pelan, takut ketahuan tuan rumah kalau ia sedang ketiban Sial. 

     orangtua itu sedang termenung. 

     Lama. 

     lalu : 

     'Jadi, si Dudung akhirnya mati," gumamnya. 

     Datar. 

     "Kok eyang tahu?" 

     "Lho. Bukankah kau bilang tadi. Di urut ke belakang. Korban yang mati di rumah itu jadi lima." 

     "Oh ya. Ya Memang eyang benar. Suatu hari Dudung kami temukan mati di kamar tidurnya.

Tergeletak di ranjang. Dengan wajah kering kaku, dan mata melotot. Seolah ia penasaran akan

sesuatu, menjelang ajalnya tiba." 

     "Kalian temukan. Kau bilang, kalian temukan. Mengapa?" 

     "Dudung kami temukan tiga hari sesudah  ia meninggal. sebab  ada bau tak sedap datang dari

rumahnya. Lalu seorang tetangganya memanggil aku. Ditemani oleh...." 

     "Anak gadisnya. Nurjanah. Ke mana dia?" potong orang tua itu. 

     Tubuh kurusnya, tampak semakin kecil saja, sebab  mengkerut dalam di tempat ia duduk. 

     "Hilang!" jawab Lurah hutan larangan , pendek. 

     "Begitu saja?" 

     "Begitu saja...." sahut Lurah hutan larangan , dengan pikiran melantur. 

     Ya. Ke mana perginya anak gadis yang malang itu? 

     Apakah ia tak tahan menderita lalu diam-diam kabur meninggalkan ayahnya? 

     Atau barangkali. Ya. Barangkali, sesudah  ia lihat ayahnya mati pada akhirnya, Nurjanah hilang

ingatan. Mungkin ayahnya mati sekitar tengah malam. sebab  sore harinya masih ada orang melihat

Nurjanah di jendela kuburan  rumah. Nurjanah hilang ingatan. hem, hem, mungkin itulah yang paling cocok.

Lalu ia kelayapan keluar rumah. Entah ke mana ia pergi. tak seorang pun tahu. Tidak pula ada orang

melihatnya . 

     Tengah malam buta. 

     Tak heran, bukan? 

     Yang pasti, Nurjanah tak pernah kembali! 

     Kursi rotan berkeriut  Nyaring. Lurah hutan larangan  melirik. Ia lihat tubuh kurus kecil itu bangkit lalu tegak

memandangi lembah. Arah matanya kesungai. Lalu ke matahari. Berulang-ulang orangtua itu berbuat


sama. 

     Lantas mendengus, kecewa: 

     "Aku telah salah mengatakannya" 

     "Mengatakan apa. Eyang?" tanya Lurah hutan larangan  heran. 

     "Itu. Pada nyonya  memang kuperingatkan agar menjauhi tempat yang basah. Basah berlumpur.

namun  siang hari. Ia kuSuruh mengurangi keluar malam. Entah ia ingat atau tidak pesanku. Entah ia

lakukan atau tidak pula. Nyatanya, roh jahat itu justru muncul di siang hari. Ini mencemaskan aku...."

     Ada rahasia terpendam dalam nada suaranya. 

     Lurah hutan larangan  ingin tahu. namun  tidak berani bertanya. Entah mengapa, diam-diam ia ikut merasa

cemas. Bukan lagi malam Jum'at. Bukan lagi dari kegelapan. Roh jahat itu muncul di siang bolong! . 

     Tanpa sadar ia masukkan tangan ke saku kemeja. 

     Dan terjengah. 

     "Hem?" 

     "Barangkali ini dapat menolong," 

     Lurah hutan larangan  mengeluarkan bungkusan kecil yang tadi ia ceritakan. Diletakkan di meja. Ia berharap

tuan rumah yang membuka bungkusan itu, sebab  ia tak suka melakukannya. namun  mata tua itu

hanya menatap. Tidak berbuat sesuatu. 

     Terpaksalah lurah hutan larangan  melepaskan kain pembungkus yang ia perlihatkan. Masih ada lapisan

pembungkus daun keladi. Dengan tangan gemetar daun keladi itu diungkapkan Lurah hutan larangan , lantas

lekas-lekas menjauhkan tangannya 

     "Apa itu?" tanya tuan rumah dengan dahi berkerut. 

     Lurah hutan larangan  gelagapan. Sadar, gurunya merasa tidak senang. Sayang terlanjur sudah. Maka ia

menerangkan juga: 

     "Ini kuterima dari salah seorang yang mengurus mayat nyonya . Dapat mencabuti dari kulit dan

daging tubuh nyonya ." 

     Ada enam ekor. 

     Semuanya sudah mati. Empat di antaranya menggelembung kecoklatan. Dua yang lain, gepeng

pucat. 

     "Buat apa kau perlihatkan bangkai lintah itu. hutan larangan ?" 

     "Eh... aku, ah!" 

     Lurah hutan larangan  menyerah. 

     Ia duduk terhenyak. Patah semangat. "Bangkai tetaplah bangkai.hutan larangan ," 

     Orangtua di hadapannya bergumam hambar. 

     "Kita cuma dapat memeriksa. Melihat kalau-kalau ada sesuatu petunjuk. Atau sesuatu yang


tersembunyi dan tidak dapat dilihat mata biasa...." 

     Ia mengawasi tamunya dengan sorot mata kecewa. 

     Bertanya: 

     "Kau mengharapkan aku membangkitkan bangkai itu ya, hutan larangan ? Memanggil rohnya?! Lalu bicara

pada mereka?" 

     "Eyang, aku...!" 

     "Tak apa. Tak apa. Dapat kumengerti. Memang ada juga orang lain berbuat seperti itu. Mampu

berbuat seperti itu. namun  aku, hutan larangan . Aku tidak diijinkan Tuhan menempuh ilmu sesat itu." 

     "jadi?" 

     Lurah hutan larangan  mengeluh. 

     "Aku tidak dapat memanggil roh. Aku hanya dapat mengenyahkannya. Dengan ijin Tuhan." 

     Sepi. Hening. 

     Akhirnya Lurah hutan larangan  menggeliat lalu bangkit dari kursi. 

     "Kukira aku harus pulang sekarang. Banyak tugas menungguku" 

     Ia menatap tuan rumah penuh harap. Mendesah: 

     "Eyang tidak sedang sibuk?" 

     "Kebetulan tidak." 

     Yang ditanya tersenyum manis. 

     Suasana tegang itu mereda melalui senyumannya. 

     "Kalau begitu...?" 

     "Kau terpaksa pulang sendirian, hutan larangan ." 

     "Wah...." 

     "Aku kurang berkenan. kalau diusir sampai dua kali." 

     orang tua itu cemberut. Mengingatkan Lurah hutan larangan  atas sambutan nyonya  beberapa hari yang lalu.

Sebelum ratu lesbi  itu mati, sebab  mengusir bekas gurunya ini, atau sebab .... 

     "namun  tak usah kecewa, hutan larangan ," ujar tuan rumah. 

     Ramah. Dan janjinya sungguh menyenangkan: 

     "Tak usahlah repot-repot memanggilku. Bila waktunya kurasa sudah tepat, aku akan datang

sendiri ke sana." 

     Lurah hutan larangan  dapat memahami. 

     Orangtua itu perlu bersemadi dulu. 

     sesudah  permisi pada kedua tuan rumahnya, Lurah hutan larangan  melangkah ke jalan setapak menuju jalan

raya. namun  orang yang ditinggalkan, memanggil: 

     "hutan larangan . Kau melupakan sesuatu." 

     "Ya, Eyang?" 


     "Bangkai-bangkai ini?" 

     Di tengah perjalanan pulang, Lurah hutan larangan  membuang bungkusan berisi bangkai lintah-lintah yang

menjijikkan itu. 

     

     ***** 

     

     Delapan 

     

     

     Tujuh orang tengah berkumpul di ruang duduk rumah besar itu. 

     Selain Raden hanggareksa  serta dua orang adik kandungnya, ikut hadir pula uwa dan paman mereka yakni

saudara kandung nyonya  .lalu  dua orang saudara sepupu Raden hanggareksa , anak uwa-nya. Di tikar yang

tergelar tampak gelas gelas berisi kopi atau teh dan beberapa piring panganan kecil. Di tempat yang

sama dua malam sebelumnya, terbujur mayat nyonya . 

     Suara mereka berdebat tidaklah terlalu keras. Sehingga pantulan suara orang mengaji dan

berdo'a di kamar tamu  tetap terdengar dan tidak terganggu. Perdebatan itu berlangsung tenang dan

damai. TribuanaTunggadewi  toh sudah menerima bagiannya sebelum menikah dengan rsi Kertajaya . Ia hanya sedikit ribut

meminta beberapa potong perhiasan almarhum ibunya. Dua orang saudara sepupu sama-sama

menyerahkan bagaimana kebijaksanaan orang tuanya. Uwa Raden hanggareksa  tidak begitu ngotot. Ia sudah

cukup kaya. Tambahan sedikit dari peninggalan nyonya  tak berarti apa-apa. 

     Sang paman termasuk pengurus masjid. 

     Jadi ia hanya menuntut apa adanya. 

     "Toh, kalian anak anaknya yang lebih berhak," 

     Ia berkata . 

     Sumarna-lah yang paling blingsatan. 

     "Aku menerima terlalu banyak," katanya. ribut. 

     "Aku tak senang. Aku hanya mau menerima apa yang menjadi hakku. Dan jangan lupa. Bang

Raden hanggareksa  telah banyak membantuku selama ini. Mengapa pula sekarang aku harus menerima warisan

yang merupakan bagian dia?" 

     Orang paling tua dari ketujuh orang itu mengangguk setuju. 

     "Benar sekali apa yang dikatakan adikmu, Raden hanggareksa . Tidak usahlah keras kepala begitu. Ayah

kalian sudah lama meninggal dunia. Mengapa kau tetap masih membencinya?" 

     "Aku tidak membenci pribadi ayah, Uwa," jawab Raden hanggareksa . 

     Membela diri. 

     "Aku hanya tak suka caranya menambah kekayaan. Jadi apa yang ia tinggalkan untukku, tetap


saja tidak dapat kuterima" 

     "lalu?" 

     Wajah Sumarna merah padam. 

     "Rumahmu itu. Mengapa harus dijual? Mengapa sebagian hasil penjualannya harus dibagi antara

aku dan Ronggolawe ?" 

     Anak muda itu menggerak-gerakan tangan dan dengan mimik muka bagai cacing kepanasan.

lanjutnya: 

     "Bagianmu saja sudah sangat sedikit, Bang Raden hanggareksa . Tidak! Rumahmu tidak akan dijual oleh

siapapun juga." 

     "Rumahku," 

     Raden hanggareksa  tersenyum pahit. 

     "Jadi kalian semua setuju itu rumahku. Jadi aku berhak berbuat apa saja untuk rumahku, bukan?" 

     Semua terdiam. 

     Kecuali Sumarna. Dengusnya: 

     "Uang ibu tertanam di rumah itu. Bang Raden hanggareksa . Ingat apa katanya? Penanda kasih sayang. Mau

kau jual berapa kasih sayang ibu yang tulus ikhlas itu?" 

     "Dan rsi Kertajaya ." 

     TribuanaTunggadewi  buka suara sebelum Sumarna bernafas dengan tenang. Dengan wajah getir, TribuanaTunggadewi 

meneruskan: 

     "rsi Kertajaya  telah mati. Dan... sebelum ia mati, ia begitu tergila-gila terhadap rencananya merombak

rumah itu. Ia sangat keranjingan untuk memberimu sesuatu yang paling bagus dari semua apa yang

telah ia pernah buat. Kau akan mengecewakan suamiku, Bang Raden hanggareksa . Kalau ia tahu rumah yang

telah ia bangun dengan susah payah kau jual juga, betapa akan sakit hatinya di alam kubur...." 

     Air mata TribuanaTunggadewi  menetes. 

     Terkenang suami yang dicintainya. Raden hanggareksa  tahu arti tetesan air mata TribuanaTunggadewi . Ia pernah jadi

berandalan. Malah sempat masuk bui. Ia telah belasan tahun berjuang mempertahankan hidup yang

keras dan kasar. 

     namun  air mata. 

     Air mata TribuanaTunggadewi  melunakkan hatinya. 

     "Baiklah," 

     Ia mengeluh, kalah. 

     "Aku tak akan menjual rumah itu." 

     Semua bernafas lega. namun  Sumarna kelewat berlebihan mengutarakan kegembiraannya. Ia

melirik ke arah TribuanaTunggadewi . 

     Berseru riang: 


     "Lihat, Ronggolawe . Ia mau juga menerima usul kita. Namun begitu, dari kita semua yang ada di sini.

tetap saja ia paling miskin...." 

     Ia mengangguk sopan setengah minta maaf pada Raden hanggareksa , lalu kembali berpaling pada TribuanaTunggadewi . Ia

begitu bernafsu. Langsung saja menyerbu: 

     "Bagianmu sudah berlimpah, Ronggolawe " 

     "Katakan saja Jangan berbelit," 

     TribuanaTunggadewi  nyeletuk, 

     "Abang Raden hanggareksa  tak jadi menjual rumahnya. Jadi ia tetap punya hutang padamu. Mana rumahnya

belum rampung. Mengapa tidak kau anggap lunas saja piutanganmu, mulai detik ini?" 

     Sumarna salah duga . 

     Raden hanggareksa  mendelik. namun  terlambat sudah. Tenang dan datar, TribuanaTunggadewi  mengemukakan

pendiriannya: 

     "Mengenai hutang itu, ia boleh membayar kapan saja ia mau!" 

     Titik. 

     Uwa dan paman mereka saling lirik, lantas tersenyum. Sang Uwa bergumam: 

     "Kukira sudah waktunya kamu pulang." 

     Paman mereka mengatakan akan tetap tinggal bersama istrinya Untuk berdo'a demi keselamatan

mereka semua. Dan membantu apa-apa yang dapat dibantu. 

     Pertemuan keluarga itu berakhir. 

     TribuanaTunggadewi  pergi buang air ke kamar mandi. Lalu kembali masuk ke dalam membuka sebuah pintu

tertutup. Noni tertidur lelap diranjang neneknya. Di dekatnya rebah pulas seorang anak laki-laki usia

tujuh tahun, keponakan bungsu TribuanaTunggadewi . Tak sampai hati mengusik kedua orang anak itu .TribuanaTunggadewi 

memilih tidur di lantai. Di situ sudah tergelar kasur cadangan . 

     Malam semakin larut 

     Angin berhembus di luar rumah. Lemah dan berbau pengap. Sudah beberapa hari hujan tak jadi

turun. Udara didalam kamar tidur itu sedikit gersang namun  tidak terlalu menggerahkan. TribuanaTunggadewi 

menelan sebutir pil tidur. 

     "rsi Kertajaya -ku, Sayang!" 

     Ia merintih, lalu berbaring di kasur cadangan. 

     Pengaruh pil tidur itu segera terasa. 

     TribuanaTunggadewi  menghitung mundur: "... 25 -24 23." 

     Angin keras menerpa jendela kuburan  tiba-tiba. TribuanaTunggadewi  membuka kelopak matanya .Menatap kaca jendela kuburan 

.Tirainya agak tersingkap. Gelap di luar. Sinar rembulan merembes masuk. Lemah. tak berdaya 

     "22 -21 -18-. 12" 

     Hitungan TribuanaTunggadewi  mulai kacau. 


     Mengapa kamar tiba-tiba terasa sangat dingin? 

     9 -8 -7... 

     TribuanaTunggadewi  merasa lemah sekujur tubuh. Kantuk menyerang semakin hebat. 

     4 -3... 

     Angin menerpa jendela kuburan  lagi. TribuanaTunggadewi  sudah terlelap. Sesuatu tampak mengambang di luar jendela kuburan .

Dari kegelapan muncul sepasang titik kemerahan. Menyerupai titik api. Semakin dekat ke kaca

jendela kuburan , semakin berbentuk titik api itu. 

     Ternyata sepasang mata merah menyala. 

     Seraut wajah pucat namun  berkeriput menanggung azab sengsara melayang semakin dekat ke

jendela kuburan . Noni mulai merengek. Kepala tanpa tubuh di balik jendela kuburan , menyeringai seram. Gigi taringnya

putih gemerlapan. Lidahnya semerah darah. 

     Hiihhhh.... 

     sayup-sayup ada desah lirih tertiup angin masuk lewat ventilasi jendela kuburan  . 

     Mendadak orang yang sedang mengaji di depan memperkeras suaranya. Orang itu rupanya baru

saja disuguhi segelas lagi kopi kental hangat. Tanpa mengetahui apa yang tengah berlangsung tidak

jauh dari kamar depan itu. 

     Di luar jendela kuburan  kamar tempat TribuanaTunggadewi ,anak dan ponakannya terlelap, sesaat  itu juga terlihat

gerakan meliuk yang keras. Wajah pucat berkulit keriput itu menjauhi jendela kuburan , disertai keluhan perih.

Gaung ayat-ayat suci membuat kepalanya Seakan meledak. Panas bagai bara api. Benda misterius itu

terbang tinggi. Hilang di rimbun pepohonan selama beberapa menit. 

     Kepala itu hinggap di salah satu dahan pohon yang gelap. Sepasang matanya yang merah

bersinar-sinar merah. Sel-sel jarum otaknya menggerakkan mulut yang kering hitam, dan

memperdengarkan bisikan setajam sembilu: 

     "Ssssial... saaakit.. nyaaahhh...." 

     Terdengar bunyi nafas naik turun. Sesak . 

     Kebanyakan kopi buat orang tertentu dapat menyebabkan ia tetap terjaga .namun  untuk orang

tertentu pula, justru mendatangkan kantuk lebih cepat. Tak heran kalau suara gaung mengaji dari

rumah besar itu kembali merendah dan mulai tersendat-sendat. 

     Bayangan hitam melesat keluar dari pohon. 

     Kepala tanpa tubuh itu bermaksud menerobos masuk melalui ventilasi  tentu saja dengan

melenturkan kepala sedemikian rupa.. saat  ia tertegun. Cahaya yang samar di kamar tidur tadi

memperlihatkan tanda-tanda ada orang bergerak di dalam. Wajah di luar, mengintip ke dalam. 

     Raden hanggareksa  sedang mengawasi Noni. 

     Mengusap-usap rambutnya, supaya anak yang merengek dari tadi itu tertidur kembali. Ia telah

mendengar Noni menangis lalu masuk diam diam. Meraba leher anak itu, ia menarik nafas. 


     "Panas lagi," 

     Raden hanggareksa  berpikir. 

     "Demamnya belum sembuh juga rupanya...." 

     Sel-sel otak di kepala tanpa tubuh yang mengintip dari luar jendela kuburan , menyeringai putus asa. Ia

mampu meninabobokkan siapa saja yang ada di kamar itu. 

     namun  Raden hanggareksa ...! 

     Raden hanggareksa  duduk di pinggir tempat tidur. Noni sudah terlelap kembali. Namun Raden hanggareksa  tak beranjak

dari tempatnya. Ia ingin berjaga-jaga, kalau kalau Noni bertambah tinggi suhu badannya. 

     Wajah di luar jendela kuburan , bertambah keriput. Bertambah pucat. 

     Dengan desahan tajam yang mendirikan bulu kuduk, wajah itu lenyap lagi dalam kegelapan. Tidak

menyelinap kerimbunan pohon tadi. Melainkan terus saja melayang di bawah sinar rembulan.

Berpindah dari satu rumah ke lain rumah. Lantas memperdengarkan ratapan kematian yang semayup

sampai. 

     Lolong anjing yang lirih, memusiki ratapannya. 

     Sudah dua malam berturut-turut mangsanya menginap di rumah lain. Dua malam berturut turut 

banyak orang mengaji di dekat mangsa yang segar bugar itu. Malam ini tidak segegap gempita

malam sebelumnya. namun  laki-laki yang ada di kamar itu, 

     hhhheeeeeehhhh! 

     Bayangan hitam itu terus saja melesat. 

     Rambutnya yang tergerai lebat dan panjang, berkibar-kibar. Liar. Mata merah menyala semakin

ganas. 

     "Haus! Haus! Aku tak tahan lagi...!" 

     Terdengar suara merintih kesakitan di antara tiupan angin malam yang dingin membeku. 

     Lampu belakang salah satu rumah penduduk. tiba-tiba menyala terang. ' 

     Penghuninya sedang bertengkar berbisik, di seling rengekan tak sabar seorang anak kecil. 

     " aku ngantuk. Harus masuk kerja pagi-pagi sekali. Kau bawalah Jajang ke kakus," 

     Suara seorang laki-laki, bermalas-malasan. 

     "Dasar!" 

     Berengut suara ratu lesbi . Sambil membopong anaknya keluar menuju pekarangan belakang,

ratu lesbi  itu menggerutu: 

     "Dan, kau. Berak tengah malam!" 

     Mendekati sumur, anak laki-laki yang Juni nanti berusia tiga tahun itu dibiarkan sang ibu

berjalan sendiri. Merasa terbebas, anak itu langsung jongkok. 

     "He. Jangan di sini. Dan buka celanamu dulu!" hardik si ibu. 

     "Enggak tahan, Mah," jawab si anak satu kata demi satu kata namun  rangkaian kata itu sangat


fasih. Tidak cadel. 

     Sesuatu melayang di atap. 

     Anak itu melihatnya. 

     "Mah?" 

     Sang ibu yang tengah membukakan celana si anak. mendengus: 

     "Uh?" 

     "Ada burung" 

     "Iya. Burungmu!" 

     Ibunya tertawa juga, mendengar ucapan si anak. 

     "Burung!" 

     Si kecil ngotot. 

     "Iya-iya..lbu tahu. Ayo, jongkok tuh di sana. Di lubang kakus!" 

     "Mah,..." 

     "Katanya mau berak!" 

     "Bu-rung di...." 

     "Burung lagi! Burung lagi! Anak nakal, mau berak kagak?!" 

     Sang ibu mencak-mencak. Mula mula blingsatan marah. lalu  gerakannya berubah semakin

perlahan. 

     "Cepatlah, Jang." desahnya, lemah. 

     "Ibu ngantuk nih...." 

     Lantas ratu lesbi  itu menguap. Panjang. 

     Waktu menguap, lumrah kelopak matanya terpejam. Maka, meski ia tertengadah ia tidak melihat

benda aneh kehitam-hitaman meluncur dari atas langsung ke arah mereka. Jajang kecil melihat

sepasang mata merah semerah saga. Dasar anak, bukannya takut, ia malah merentangkan kedua

lengan untuk menyambut. 

     "Ke sini... ke sini... ayo!" 

     Lalu tiba-tiba anak itu dapat menangkap lebih jelas wajah mengerikan yang melayang mendekat.

Mata merah menyala. Lidah lebih merah lagi. terjulur-julur keluar. Lalu taring-taring runcing,

mengancam. 

     "Mamaaah!" 

     Anak itu menjangkau ibunya . 

     Angin kosong yang terpegang. Rupanya ibunya sudah terkulai di tanah lembab basah. Jatuh

tertidur. 

     Si anak meronta-ronta melepaskan sesuatu yang melekat sangat kuat di lehernya. Saking takut

dan terperanjat anak itu tak mampu lagi bersuara. Ia terus bersikutet dengan makhluk yang hinggap


di pundak dan merasakan bibir panas memanggang kulit lehernya. Si kecil tidak tahu arus apa yang

mengalir sangat cepat dalam tubuhnya. Mengalir naik ke atas  semakin banyak dan banyak lalu

bermuara pada lehernya. Tangannya yang memegang seonggok rambut hitam panjang makin lemah.

Anak itu lantas terkulai. 

     Kepalanya membentur tepi sumur. 

     Si kecil terjerembab jatuh. Membawa serta kepala mengerikan yang lengket seperti lintah pada

lehernya. 

     Suara berisik di luar sampai ke dalam rumah. Si laki-laki yang tadi merepeti istrinya. mendengar

suara anaknya memanggil: 

     "Mamaaah!" 

     Ia berlari keluar. Naluri kebapakan membisikkan sesuatu telah mengancam keselamatan anaknya.

     Mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam rumah, makhluk yang tengah memuaskan

dahaganya itu secepat kilat melepaskan bibir dan sedotan lidahnya di leher si anak. Lebih cepat lagi,

melesat tinggi. Terbang menuju rembulan, lalu  sirna tak berbekas. 

     "Nina? Jajang? Hei, apa yang kalian..?" 

     Si ayah berlari-lari ke dekat sumur. 

     Ia menyambar tubuh anaknya dari tanah, memeluknya kuat-kuat dan panik melihat dahi anaknya

mengeluarkan darah. 

     Apakah istrinya telah terluka pula? 

     "Nina! Nina... he, bangun. Bangun! Mengapa kau tidur di sini?" 

     ratu lesbi  itu bangun perlahan-lahan. 

     Kucak kucek mata, lantas menjerit saat  melihat dahi anaknya mengucurkan darah. 

     "Kenapa dia?" 

     "Kenapa! Goblok! Dungu! Ibu tak tahu diuntung! Tidur tak pandang tempat. Lihat. Lihat anakmu!

Kau biarkan ia jatuh terpeleset...!" 

     Beriring-iringan mereka lari ke dalam rumah. 

     Si kecil dibaringkan di tempat tidur. Luka di dahinya dibersihkan. Dicuci dengan air garam. Lalu

dikasih obat merah .Dipoles minyak jelantah .sesudah  itu lukanya diperban dan ditutup dengan plester.

Sang ibu tak henti-hentinya menangis gegerungan. 

     Ayah si anak tak perduli. 

     Ia membuka semua pakaian anaknya. Memeriksa kalau-kalau ada luka yang lain. Setiap jengkal

ia teliti. Termasuk leher. Leher anak itu agak merah, namun tidak tampak bekas luka. Mungkin

terbentur pula, pikir si ayah dan menggosok leher anak itu pakai minyak angin. 

     Beberapa menit lalu , si kecil meringis. . Mulutnya terbuka: 


     "Bu... rung..." 

     Ibunya menjerit lagi. 

     "Dari tadi ia mengatakan..." 

     "Diamlah!" bentak si suami. 

     "Kau dapat membangunkan tetangga dengan jerit tangismu yang memalukan itu. Bantu aku

memasangkan baju si Jajang." 

     "Badannya panas sekali," 

     Si istri berdesah cemas selagi memasangkan pakaian bersih ke anak laki-lakinya. 

     "Tenanglah. Besok juga ia sembuh." 

     "Kita bawa saja ke Puskesmas...." 

     "larut malam begini?" 

     Si suami mengeluh. Ia perhatikan anaknya dengan perasaan iba. 

     Jajang masih mengerang-erang, namun  sudah mulai tidur. 

     Menjelang pagi suhu badannya menurun. Dan ibunya tidak heran saat  anak itu mengigau: 

     "Ada bu-rung.... Burung naga...." 

     

     ***** 

     

     Sembilan 

     

     

     Hujan bagai tercurah dari langit. 

     Lalu lintas di luar bar tampak sepi. Lengang. Saat itu Sabtu siang, akhir minggu kedua bulan

Januari. Seorang pejalan kaki lari menghindari terpaan badai. Tempat berteduh terdekat cuma bar itu.

Ia masuk dengan pakaian basah kuyup. 

     Dari mejanya, NYI girah  memperhatikan pria itu berdiri bimbang di ambang pintu. Tidak segera

mencari tempat duduk. Mata si pria berpindah pindah mengawasi tempat macam apa yang ia masuki.

Tampak pria itu risih menghadapi suasana eksklusif dalam bar yang berperabotan serba mewah. Di

sepanjang lemari rak makanan serta minuman tercium bau serba mahal. 

     Untuk orang berpenampilan sesederhana dia, mungkin kurang tepat masuk ke tempat serupa itu.

Pertengahan bulan begini. 

     Namun toh ia mengambil tempat duduk juga. Dekat pintu. 

     Pelayan segera mendatangi. Melirik tak senang ke lantai di sekitar pria itu. Lantai itu digenangi

air yang jatuh dari celana maupun sepatu si pria. 

     "Pesan apa, Bung?" Bukan: 


     "Pesan apa. Tuan?" 

     "Teh manis." 

     NYI girah  terkejut. Tangannya ada yang menjamah. saat  berpaling ia lihat senyum kecil bermain di

bibir Sumarna. 

     "Oh," 

     NYI girah  mengeluh. 

     "Kau melamun dari tadi," bisik Sumarna, lembut. 

     "Pria itu bukan tipemu. Aku tak cemburu. sebab  tahu kau menjadikan kehadiran pria itu sebagai

pelarian dari kegelisahan hatimu." 

     "Kau banyak omong. Nana." 

     "sebab  belakang ini kau semakin pendiam." 

     Sumarna menusukkan sinar matanya yang tajam langsung ke bola mata NYI girah . 

     "Matamu pudar sekali. Tak bergairah." 

     "Sejak dari rumah sudah kubilang. Aku tak enak badan," kata NYI girah  getir. 

     Ia dekatkan sloki Martini ke bibirnya yang kaku. Meneguk kaku pula. Kerongkongannya terasa

hangat. namun  hatinya tetap dingin. Membeku. 

     "Kekeliruan apa yang telah kuperbuat, NYI girah ?" 

     "Tak ada." 

     "namun  tampaknya kau tengah berusaha menjauhi aku...." 

     "Ah!" 

     NYI girah  meletakkan sloki minumannya. Beralih pandang keluar jendela kuburan  yang basah. Tak satu apapun

yang mampu ia lihat .Matanya nanar. Nanar sekali. Dalam cuaca seperti ini ia ingin sendirian. Ingin

berkurung di kamarnya .namun  Sumarna tidak bersalah. Waktu mereka meninggalkan rumah NYI girah ,

cuaca masih cerah. 

     "NYI girah ?" 

     "Mmm...." 

     "Apa yang ada di benakmu yang sebeku salju itu?" 

     Suara Sumarna lembut. Namun tusukannya tajam. Mengiris-iris. NYI girah  tetap saja menatap ke luar

lewat jendela kuburan  yang ditetesi butiran-butiran air hujan. 

     Di benakmu yang sebeku salju! 

     Lebih dua tahun ia bergaul intim dengan Sumarna. Hanya kemunafikan saja yang ia lakukan,

ucapkan, berikan pada Sumarna. Sedang pemuda itu begitu tulus hati. Dua tahun lebih. Dan Sumarna

terlalu tulus hati untuk menyadari bahwa NYI girah  telah keliru melangkah sejak semula 

     "Aku...." 

     NYI girah  meneguk habis minumannya, untuk menggapai keberanian yang hampir pergi kabur. 


     "Aku harap kau tidak berprasangka buruk." 

     Ia berbisik getir. 

     Sumarna tercenung. 

     Menikmati deburan jantungnya yang lebih keras dari biasa .Kenikmatan paling akhir. yang akan

ia pilih. 

     "Haruskah aku berjanji?" 

     NYI girah  diam. 

     "April nanti aku tepat 30 tahun," 

     Sumarna berkata Di bathin: dan NYI girah  baru 21. Itukah sebabnya? 

     Sumarna menelan ludah 

     "April nanti. Itulah maka kupilih pernikahan kita berlangsung pada bulan yang sama. Kuanggap

sebagai hadiah ulang tahun. Paling indah. Mungkin juga paling buruk: April nanti aku berhenti

membujang," 

     Sumarna tertawa lunak. 

     Tapi segera tawanya ia tahan, manakala dilihatnya wajah NYI girah  berubah pucat. Gadis itu

menggigit bibir dengan keras. 

     "NYI girah ?" 

     Sumarna menggenggam tangan kekasihnya . 

     "Ulang tahunmu harus tetap dilangsungkan. Nana." ujar si gadis. 

     Tersendat. 

     Makin keras deburan jantung Sumarna. 

     Ulang tahun. Hanya ulang tahunnya. 

     "Bagaimana dengan hadiahnya?" 

     Ia bertanya hati-hati. Dan tiba-tiba sadar, pertanyaan itu mestinya ia simpan untuk dirinya

sendiri. sebab  ia sudah meraba jawaban NYI girah . 

     "Kita tunda saja. Oh, Sumarna!" 

     Dengan berlinang air mata, NYI girah  berpaling menatap pemuda di sampingnya. 

     "Aku tidak bermaksud mengucapkannya. Aku...." 

     Wajah Sumarna tegang. 

     "Kau telah mengucapkannya!" 

     Ia merintih. Dengan emosionil ia lepaskan tangannya dari genggaman NYI girah . Ia ingin

membalikkan meja di hadapannya. Ingin menyambar sebuah kursi dan melemparkannya ke jendela kuburan .

Denyut jantungnya bagai terhenti. Dan ia masih tetap hidup. Masih tetap bernafas. 

     Atau sekedar mimpi celaka belaka? 

     Ujung kakinya ditekan kuat ke ujung sepatu. 


     Sakit. 

     Sumama tidak sedang bermimpi. 

     "Sumarna?" 

     NYI girah  menatap cemas. 

     Sumarna diam. 

     "Ayolah. Kita pulang saia. Ah, ah. Bukan pulang." 

     NYI girah  kalang kabut sendiri. 

     "Maksudku, kita teruskan niat kita. Nonton. Film apa tadi? Di bioskop mana? Apakah kita belum

terlambat.?" 

     Sumama berdiri. 

     Ia berjalan dengan kepala tegak ke pi