yani.
Gelisah, ia memandang berkeliling. Malang baginya Jalanan kebetulan sedang sepi. Kalaupun ada
orang lain lalu, tidak ada yang turun tangan. Melihat seragam NYI girah dan para pemuda itu, orang lain
menduga mereka berempat tentunya teman yang sedang meributkan sesuatu yang tak perlu
dicampuri.
Pikiran demikian pulalah yang ada di kepala Raden hanggareksa .
Ia dan beberapa temannya sedang menghadapi seorang calon pembeli mobil bekas yang mau
dijual. Tempat mereka mangkal terletak berseberangan dengan tempat keempat orang remaja itu
bertengkar. Untung besar membuat teman-teman Raden hanggareksa terus sibuk dengan calon pembeli. Raden hanggareksa
baru saja datang dengan sebuah sepeda motor, juga untuk dijual. Sebelum ke pangkalan, ia sempat
melewati para remaja itu dan mendengar sedikit pertengkaran mereka.
Ia simpan motornya di tempat motor lainnya terparkir.
Lalu melirik ke seberang jalan.
Salah seorang dari tiga pemuda tadi ia lihat menggapai lengan si gadis cantik semampai. Si
gadis menghindar. namun tasnya terpegang. Terjadi saling betot dan si gadis tampak pucat menahan
marah campur takut. Tiga pemuda berandalan itu tertawa berderai seraya mengucapkan
ajakan-ajakan kotor.
Raden hanggareksa segera tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Dengan cepat ia menyeberangi jalan. ia pegang pemuda terdekat. Mendorongnya mundur. Pemuda
lain yang rupanya telah berhasil menjamah payudara NYI girah dan tengah meremasnya, ia renggut
pundaknya .NYI girah bebas sudah. Ia menangis terisak isak.
Tiga pemuda, naik pitam.
"Siapa kau, he?"
Seorang membentak.
Temannya menjawabnya:
"ia calo, kukira. Calo motor. namun tiba-tiba berpikir untuk beralih professi. Mau jadi calo
ratu lesbi . Germo!"
Mendengar gerakan yang sukar dilihat. Raden hanggareksa memutar tubuh dan tinjunya melayang. Pemuda
yang mencapnya germo terjungkal jatuh. lalu lari terbirit-birit ke sepeda motornya. Tancap gas.
Ngacir. Dua yang lain lebih berani. Bersama-sama mereka mengeroyok Raden hanggareksa .
Di pangkalan teman-teman Raden hanggareksa melihat apa yang terjadi. Mereka pun datang beramai
ramai. namun belum sempat ada yang turun tangan dua pemuda berandalan itu telah jatuh terkapar di
aspal. Yang satu bangkit terhuyung huyung dengan muka pucat dan mulut meringls kesakitan.
Temannya tidak. Tidak bangun sama sekali. Anak itu jatuh oleh tendangan Raden hanggareksa . sesudah lebih dulu
membentur tiang listrik.
Apa yang lalu dikerjakan teman-teman Raden hanggareksa hanyalah sibuk mengurus pemuda yang
pingsan terluka itu lalu melarikannya ke rumah sakit. NYI girah tidak kelihatan batang hidungnya. Waktu
dicari Raden hanggareksa , tampaklah gadis itu tengah bergegas mendorong sepeda motornya tak sampai seratus
meter dari tempat kejadian .
Waktu tadi ia menyerbu si pengganggu sepintas lalu Raden hanggareksa telah melihat ada yang janggal
pada rok si gadis. Menatap NYI girah yang memunggunginya di kejauhan. Raden hanggareksa mengamati lebih
seksama lalu ia susul NYI girah diam-diam. Begitu sampai. cepat ia pegang tangan si gadis.
NYI girah terkejut.
namun segera memperlihatkan wajah malu:
"Maaf, saya lupa mengucapkan terimakasih"
"Berikan motormu padaku,"
Raden hanggareksa jadi gugup saat melihat mata NYI girah .
"Apa? Kau minta bayaran sebesar itu?"
Si gadis kaget setengah mati
"Maksudku."
Raden hanggareksa mencoba menjelaskan:
"Biarlah motormu ini kuurus. Aku mangkal di sana..."
Raden hanggareksa lalu menuding ke pangkalan mereka
"Aku tak akan membawa kabur milikmu. Dan kau, pulanglah segera. Naik becak, kalau mau. Asal
tidak jalan kaki."
"Kok aneh."
"Rokmu...?"
"Ada ada dengan?"
Gadis itu tak meneruskan ucapannya. Dari tadi ia berpikir apa maksud ketiga pemuda dengan
ucapan-ucapan kasar yang memuakkan itu. Pasti bukan semata-mata sebab ia mandi peluh.
Wah, banjir. Boleh kusumbat?
Baru sesudah Raden hanggareksa menyinggung tentang roknya, ia tersadar.
"Oh!"
Ia hampir pingsan saking malu. Lantas mepet ke tembok bangunan toko di dekatnya. Merapatkan
punggung seakan ingin menyelinap masuk ke tembok. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya apalagi, ia tak
berani memandang Raden hanggareksa .
"Aku... aku tak tahu. Mens-ku terlalu cepat... datangnya...."
Pelan-pelan wajahnya memerah kembali.
"Boleh minta tolong lagi?"
Ia tampak gelisah.
"Papa akan marah kalau ia lihat aku pulang tanpa kendaraan itu. Jadi..."
"Tunggulah,"
Raden hanggareksa berkata. Ia mencari tempat teduh dan terlindung dan sesudah menemukannya ia ajak
gadis itu ke sana. Buka sana, buka sini. Lalu:
"Hem. Platina-nya sudah aus. Harus diganti,"
Raden hanggareksa memberitahu sambil menghamplas benda yang ia sebutkan.
"namun untuk sementara masih dapat kau pakai."
Pekerjaannya rampung tak lama lalu ia coba menghidupkan mesin. Nyala sekali starter.
"Namaku NYI girah ,"
Gadis itu memperkenalkan diri begitu ia duduk di jok Honda bebeknya. "Kapan-kapan.
berkunjunglah ke rumah. Kalau mau,"
Ia memberikan alamatnya .Tersenyum. Lalu pergi.
Tiga hari berlalu tanpa terjadi apa-apa. Kecuali mimpi Raden hanggareksa . Dalam mimpinya ia lihat gadis itu
datang, tersenyum, lalu pergi. Di mimpi lain, gadis itu malah mengecup pipinya. lalu pergi. Raden hanggareksa
mulai gelisah ingin bertemu NYI girah .
Hari keempat, ia beranikan berkunjung.
Nyatanya ia cuma lewat saja di depan rumah NYI girah . Tak berani masuk. Rumah keluarga NYI girah
besar, megah dengan eksterior taman yang mewah.
"Berapa kami harus membayarmu?" ia bayangkan ucapan sinis yang mungkin ia terima.
Raden hanggareksa langsung mundur teratur. Ngeper.
Hari kelima, dua orang petugas polisi turun dari sebuah mobil dinas di pangkalan jual beli
kendaraan bekas. Mereka bertanya mana yang bernama Raden hanggareksa . Sialnya, pas pula Raden hanggareksa yang
menerima mereka.
"Ikut kami ke kantor,"
Polisi itu berkata.
Satu minggu lalu ia dihadapkan ke meja hijau. Tuduhan jaksa: penganiayaan, yang
menyebabkan korban menderita gegar otak. Pemuda yang pingsan itu sudah sembuh, ia muncul di
sidang bersama dua temannya, sebagai saksi.
Hakim yang mengadili perkara penganiayaan itu membuat Raden hanggareksa merasa kecut. Benar saja.
saat sidang dimulai dan jaksa selesai membacakan tuduhannya maka hakim yang dari tadi
mengawasi Raden hanggareksa dengan mata tak berkedip. bergumam dingin:
"Ketemu lagi, ya?"
"Ya. Pak."
Raden hanggareksa menyeringai. Lesu.
"Dulu kau berjanji akan tobat,"
Hakim mengingatkan. serius.
"Walau itu kau tetap ngotot pada pengakuanmu, tidak merasa menadah mobil curian. Katamu,
sebab kau menerima Surat-surat lengkap. Tidak tahu kalau surat-surat itu dipalsukan."
"Memang begitu. Pak."
"Ya. Ya. Memang begitu, menurut pengakuanmu. Dan berdasarkan pengakuanmu itu kau cuma
dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Dengan apa yang dituduhkan bapak penuntut tadi, rupanya kau
ingin nginap dan makan gratis lebih lama. Begitu?"
'Tidak, pak. Saya-!"
Dan sidang diteruskan. Seperti halnya di depan polisi pemeriksa,tiga orang saksi itu tetap
bersikeras menerangkan bahwa mereka sedang ngobrol dengan seorang teman gadis satu sekolah,
saat sekonyong-konyong Raden hanggareksa datang menyerbu.
"Sebabnya?" tanya hakim.
"Enggak tahu, Pak," jawab saksi utama.
"ia menyerbu begitu saja."
Dua temannya manggut manggut setuju. namun segera terdiam waktu hakim mendengus:
"Menyerbu begitu saja? Kulihat, tertuduh bukan orang tak waras."
Dan kepada Raden hanggareksa hakim bertanya:
"Tentu ada sebabnya, bukan?"
Raden hanggareksa bercerita apa adanya, ia tekankan pada soal kata kata penghinaan yang dilontarkan
ketiga orang saksi sehingga emosinya terpancing lalu memukul mereka Juga, seperti halnya
pengakuan Raden hanggareksa di depan polisi pemeriksa, ia hanya menceritakan sambil lalu mengenai gadis itu.
Ia tahu tiga saksi tadi melindungi nama dan alamat si gadis sebab tak ingin membahayakan posisi
mereka.
Celakalah Raden hanggareksa , ia kecewa sebab NYI girah tak pernah menampakkan batang hidung. namun entah
mengapa, ia sependapat untuk berbuat sama. Mata teduh dan senyum yang mendebarkan jantung itu
terlalu lembut untuk dicemari. '
Baik Raden hanggareksa maupun tiga saksi lupa hakim bukan orang bodoh.
"Dari tadi kudengar disebut-sebut tentang seorang gadis...." ia bersungut.
Lantas berpaling ke arah jaksa:
"Apakah namanya tidak tercantum dalam daftar kesaksian?" .
"Tidak, Pak."
Jaksa menelan ludah.
"Tiga saksi itu .Sudah Cukup. Lagipula tertuduh tidak ingin menampilkan saksi baru."
"Meski itu akan meringankan tuduhan atas dirimu?"
Hakim berpaling lagi pada Raden hanggareksa .
Yang ditanya diam saja.
Hakim yang ingin berlaku adil. berkata datar.
"Begini. Bung Raden hanggareksa . Kau dituduh melakukan penganiayaan berat. Bila kau terbukti bersalah,
kau kemungkinan besar akan dihadapkan lagi ke pengadilan perdata dengan tuntutan ganti rugi yang
tidak sedikit. Dua saksi lain sampai hari ini belum mengajukan tuntutan apa-apa. Kami tak akan
heran apabila kelak tuntutan pertama gol, maka dua saksi lain akan berbuat sama."
Raden hanggareksa melirik.
Dua saksi dimaksud balas melirik. Keduanya tersenyum mengejek, dengan mata bersinar-sinar
menyetujui ucapan hakim. Raden hanggareksa melengos marah dan muak. Hampir tak ia dengar suara hakim
yang menyesalkan mengapa Raden hanggareksa tidak meminta bantuan seorang pembela hukum dan menolak
pula saat ditawarkan padanya bantuan gratis pembela hukum yang ditunjuk oleh pengadilan.
"... kau akan meringkuk di penjara sekian tahun. Dan harus membayar ganti rugi yang
jumlahnya.... Yah. Hanya Tuhanlah yang tahu," ujar hakim, masih tetap ingin besikap adil.
Orangtua yang baik, pikir Raden hanggareksa Dan gadis yang tak tahu berterimakasih, umpatnya.
Ia gemetar. Takut. Dan marah.
"Bagaimana?"
Hakim mendesak.
'Panggilah dia sebagai saksi!" jawab Raden hanggareksa tergopoh-gopoh.
Hakim berpaling kepada panitera Juga pada jaksa. Kedua orang itu mengangguk. siap untuk
mencatat.
"Nama gadis itu?" tanya Hakim.
"NYI girah "
"lai...."
Hakim mendadak terdiam. Ada sesuatu yang ganjil pada sinar matanya
"NYI girah siapa?"
"Tidak tahu, Pak. Ia hanya memberi nama NYI girah saja."
"Hem. Alamat rumahnya"
Bukan saja sinar mata, Wajah dan penampilan hakim ikut pula berubah begitu alamat si gadis
disebut tertuduh, lama sekali hakim terdiam. Wajahnya murung. Ia terperanjat saat jaksa bertanya
hati-hati:
"Apakah kami harus memanggil saksi tersebut dengan surat panggilan resmi. Bapak Hakim?"
Hakim menjawab lirih:
"Tak usah. NYI girah yang dimaksud anak gadisku sendiri. Ia akan hadir pada sidang berikutnya."
Dengan wajah semakin murung hakim lalu memutuskan sidang ditunda. Orangtua yang
malang sebab ingin bertindak adil itu tidak tampil dalam sidang kedua Panitera menjelaskan pendek.
"Hakim sebelumnya berhalangan sebab tidak enak badan."
Hakim pengganti meneruskan pemeriksaan perkara.
Dari tempat duduknya di bangku saksi, NYI girah tak berhenti menatap ke arah tertuduh. Raden hanggareksa tak
sekalipun menoleh ke belakang. Semangatnya luntur sudah. Ia pucat, menyesal dan marah pada diri
sendiri. Sebelum sidang dimulai ia telah berbicara dengan NYI girah . Gadis itu menyatakan penyesalan
sebab tak dapat menemui Raden hanggareksa sesudah mereka berpisah.
"Peristiwa hari itu membuatku shock. Aku jatuh sakit hampir satu minggu...."
saat menghadiri sidang, NYI girah masih tampak lemah.
namun ia tetap memaksakan hadir. Bukan sebab diperintahkan ayahnya. Melainkan sebab ia
sangat mencemaskan nasib Raden hanggareksa .
Hanya lima kali sidang perkara itu selesai.
Vonis hakim pengganti:
"Terdakwa dihukum penjara tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan!" Artinya, Raden hanggareksa
bebas bersyarat. Dan kepada saksi, hakim tak lupa memperingatkan. Mereka telah melakukan
sumpah palsu, memberikan keterangan yang menyesatkan. namun mengingat mereka masih muda
belia, buta hukum dan masih bersekolah dan atas jaminan keluarga untuk mendidik mereka lebih
baik, ketiga saksi tidak diadili atas perilaku mereka yang buruk
"Dan jelas,"
Hakim menyindir.
"Saudara Raden hanggareksa dapat saja mengajukan kalian ke muka hakim dengan tuduhan penghinaan di
tempat umum."
Orangtua saksi utama, lesu dan pucat.
NYI girah telah membisikkan ke telinga Raden hanggareksa . orangtua itu berpangkat kolonel dan berpengaruh.
namun rupanya kolonel itu masih memiliki kehormatan diri, ia mendatangi Raden hanggareksa seusai sidang,
menyalaminya dengan hangat dan berkata sedih:
"Kau maafkanlah keteledoran adik adikmu itu. Nak. Mereka bertiga masih mentah, kau tahu."
Raden hanggareksa memeluk orangtua itu. dan lalu sambil tersenyum haru menjabat tangan ketiga
orang adik-adiknya.
Hari kelima puluh tiga.
NYI girah datang berkunjung ke rumah orangtua Raden hanggareksa dengan sekeranjang oleh-oleh .Begitu pintu
dibuka ibu Raden hanggareksa , pertanyaan gadis itu adalah:
"Bang Raden hanggareksa ada?"
Raden hanggareksa mestinya bersukacita.
namun ia menyambut NYI girah dengan hati setengah setengah. Sidang-sidang pengadilan yang
mengerikan itu tak lepas dari pikirannya. Juga vonnis tiga bulan penjara yang diancamkan atas
kepalanya, sekali dalam tempo enam bulan berikut ia memukul atau menganiaya orang lain itu tidak
seberapa. Yang sangat ia sesalkan, adalah ketergopohannya menyebut nama dan alamat NYI girah . NYI girah
yang begitu lembut, manis dan polos.
Raden hanggareksa tidak akan pernah dapat mengampuni kecerobohan terbesar yang pernah ia perbuat.
Betapa tidak. Si gadis terpaksa tampil di pengadilan dengan kondisi kurang sehat dan masih
dipermalukan dengan kisah "menstruasi yang datang kelewat cepat". NYI girah tidak menampakkan hati
tersinggung. Namun tetap saja Raden hanggareksa mempersalahkan diri sendiri.
Ia gugup dan malu ngobrol berlama-lama dengan NYI girah . Untunglah Sumarna ikut menemani.
Dengan alasan pusing, Raden hanggareksa masuk ke kamar tidurnya dan membiarkan NYI girah ditemani Sumarna.
Hari ketujuh puluh satu.
Pintu diketuk dari luar. Kali ini Sumarna yang membuka pintu. Pertanyaan masih:
"Bang Raden hanggareksa , ada?"
NYI girah waktu itu berusia 18 tahun. Sedang Raden hanggareksa telah menginiak usia 32. Perbedaan yang
sangat menyolok itu ikut pula menghantui Raden hanggareksa . NYI girah kaya raya pula. Sedang Raden hanggareksa , cuma
seorang calo, dan nyambil malam hari di percetakan. Mana bekas orang hukuman. Kembali Raden hanggareksa
mundur teratur. Kembali ia biarkan Sumarna yang menemani NYI girah , lalu mengantar gadis itu
pulang ke kota.
Semenjak itu, diperhatikan Raden hanggareksa bagaimana adiknya yang mahasiswa fakultas ekonomi itu
mulai rajin nampang di kaca lemari, rajin menulis surat bahkan sejumlah puisi. Lalu tepat pada hari
keseratus, NYI girah seperti biasa mengetuk pintu. Kebetulan, Raden hanggareksa pula yang membuka.
Polos dan tak berdosa, NYI girah bertanya:
"Ada Sumarna, Bang?"
'Bang? He. Bang Raden hanggareksa !"
Raden hanggareksa terlonjak. Ia masih duduk di mobil. Masih di depan pintu gerbang fakultas.
Wajah NYI girah muncul di jendela kuburan mobil.
"Kok abang masih di sini," ujarnya, heran.
"Kau... kau tak kuliah?" sahut Raden hanggareksa gugup.
Mesin mobil ia hidupkan dengan rusuh.
"Aku sudah masuk, Bang Raden hanggareksa . Di sana, tuh!"
Ia menunjuk sederetan kaca di lantai dua fakultas.
"Dudukku kebetulan di pinggir jendela kuburan . sesudah melihatmu masih di sini, aku lantas permisi
sebentar. Apakah abang sakit? Wajah abang pucat."
"Oh. ah. Aku agak pusing Kurang tidur. Kau tahu biasanya.. ya. Ya. Biasanya aku tidur dulu dua
jam sepulang dari percetakan. Baru ke pangkalan. Dan... dan...."
"Pulanglah, Bang Raden hanggareksa ."
saat mobil yang membawa Raden hanggareksa lenyap di pengkolan jalan, NYI girah masih berdiri di tempatnya
semula.
Air matanya meleleh.
Membasahi pipi.
*****
Enam
"Hai, Papa."
".... Eh, NYI girah . Cepat benar pulang?"
Hakim mpu nalanda meletakkan surat kabar yang tengah ia baca. Matanya mengikuti anak gadisnya
yang masuk ke kamar untuk menyimpan tas kuliah namun segera kembali lagi. Duduk menemani
ayahnya di ruangan duduk bermesin pendingin dengan lantai berlapis karpet beludru.
Wajah anaknya tampak lain dari biasa.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Nak,"
Hakim mpu nalanda memperingatkan. Lembut.
"Cuma dua mata kuliah, Papa. Dosen bahasa Jerman sakit."
"Oh..."
Hakim mpu nalanda melembari kembali surat kabarnya. Ia tidak membaca. Ia pura-pura asyik
membaca. Sedang pikirannya bekerja keras, ingin mengetahui mengapa anak gadisnya kelihatan lesu.
Kehilangan semangat.
"Bagaimana hasilnya, Nak?"
Hakim mpu nalanda bergumam sambil lalu.
"Apa, Papa?"
"Raden hanggareksa . Ia mau?"
Sang ayah mengintip dari balik bingkai kacamatanya
"Mau, Papa."
"Sudah kuduga."
Hakim mpu nalanda mendengus. Puas.
"Biar bagaimana pun, Raden hanggareksa itu tetap saja seorang calo."
Melihat sepasang mata anaknya mendelik marah, ia cepat-cepat meneruskan:
"Aku tidak bermaksud menghina. Aku hanya ingin mengatakan, orang macam dia, dengan usaha
yang hasilnya tidak berketentuan seperti itu, memang harus bermata jeli. Dan menyambar mangsa
secepatnya, apabila mangsa itu mendatangkan untung besar...."
"Papa keliru.'
"Maksudmu?"
"Bang Raden hanggareksa memang mau menjualkan mobil itu. namun ia tidak dapat papa bodohi...."
NYI girah tersenyum senang saat ia lihat cuping telinga sang ayah bergerak. Itu penanda pemilik
telinga mengalami kejutan yang ingin disembunyikan
"Ia lebih tahu harga pasar, ketimbang papa."
"Hem. Lantas?"
"Bang Raden hanggareksa menyinggung selisih harga yang papa tawarkan. Ia bilang, akan berpegang pada
patokan jual beli yang syah."
Hakim mpu nalanda tidak saja meletakkan bacaannya. Ia juga meletakkan kacamatanya .Dan
mengawasi anaknya dengan bingung.
"Sungguh tak masuk di akal,"
Ia berkata.
"Jadi Raden hanggareksa menyebutkan empat. Bukan dua setengah atau tiga juta?"
"Persis."
"Dungu!"
Kelembutan hati Hakim mpu nalanda terlecut juga akhirnya
"Dungu si Raden hanggareksa itu. Bayangkan, Nak. Selisih harga satu juta .Mungkin satu setengah. Dan
masih ditambah komisi dua puluh persen...."
"Sepuluh,"
NYI girah membetulkan.
"Sama saja, Nak. Jumlahnya tetap saja hampir mencapai dua juta. sesudah dibagi dengan teman
temannya, dikurangi pula ongkos servis dan reparasi, paling kurang Raden hanggareksa bakal menerima lima
ratus ribu rupiah. Dengan jumlah itu ia dapat membeli beberapa lembar pintu jati dan kaca untuk
jendela kuburan rumahnya yang terbengkalai itu. Dan kau bilang, ia menolak. Aku sungguh tak mengerti."
"Papa pasti mengerti!" tuduh NYI girah Tajam.
Hakim mpu nalanda manggut-manggut Lemah.
"Anak sialan, si Raden hanggareksa itu!"
Ia mengumpat. Dari nada suaranya, NYI girah tahu kalau ayahnya bukan mengumpat sebab marah.
melainkan sebab kagum.
"Bayangkan. Aku sudah sering mencoba Lewat kau. Lewat Sumarna. Lewat ibunya. Semua gagal.
Hem. Hem. Anak itu rupanya ingin aku meninggal dengan membawa hutang budi yang tak pernah
dapat kupenuhi."
"Papa tak perlu begitu kecewa,"
NYI girah menghibur.
"Tak lama lagi aku toh akan diangkat jadi anggota keluarga mereka. Dan Bang Raden hanggareksa dengan
sendirinya jadi anggota keluarga papa pula. Jamu ia makan sesekali. Ajak piknik bersama, atas
tanggungan papa. Banyak jalan ke Roma bukan?" _
sesudah berkata demikian, NYI girah bangkit. Mencium pipi ayahnya.
'Aku sedikit tak enak badan, Papa. Tak apa kutinggal tidur?"
"Pergilah, Anakku," jawab Hakim mpu nalanda , seraya memikirkan usul anak gadisnya .NYI girah benar.
Membalas budi baik orang, tidak selamanya dengan jalan memberi hadiah-hadiah materi. NYI girah
menghilang ke belakang. Waktu kembali ia membawa sesuatu yang dikepit di ketiak dan membuat
ayahnya tercengang.
"Buat apa tikar itu, nak?" tanya sang ayah.
"Mestinya hujan, Papa. namun sudah beberapa hari. panas terus. Tak alang kepalang lagi. Kasur
busa di ranjang tidurku. bikin aku mandi keringat saja."
"Itulah!"
Hakim mpu nalanda menyesali anaknya.
'Papa 'kan sudah berapa kali bilang. Kita pasang saja AC di kamarmu."
"Lantas saat bangun, aku terserang selesma?"
NYI girah tersenyum manis. Hidungnya mengendus-endus hawa sejuk ruang duduk itu. Purapura bersin
keras sampai ayahnya kaget. Lalu sambil tawanya meledak, NYI girah menyelinap ke kamar tidurnya.
sesudah ia sendirian saja di kamar, tawa NYI girah hilang lenyap sesaat . Wajahnya berubah suram.
Sesungguhnya ia tidak mengantuk. Ia hanya ingin menghindar dari ayahnya. Ingin menikmati
kesendirian. Meresapi hari-hari yang telah lalu. Merangkai kenangan-kenangan lama.
Jiwanya begitu tertekan, saat ini.
Seenak perut ia lemparkan tikar di tangannya Jatuh ke kolong ranjang. lalu NYI girah bergerak
ke jendela kuburan . Menatap keluar. Suatu saat, bibirnya bergerimit. Pucat. Di saat berikutnya, bibirnya
mengarak senyum. Bibir ranum itu pun lantas tampak kemerahan. Segar. Bergairah. Sebentar
lalu , kembali lagi bergetar. Pucat.
Kelopak mata NYI girah terpejam.
Kepalanya terangkat.
Menengadah.
*****
Jiwa nyonya juga tertekan.
Ia tidak begitu mengkuatirkan TribuanaTunggadewi . Memang, anak ratu lesbi nya itu kini berstatus janda
seperti dia pula. namun TribuanaTunggadewi ulet berusaha. Dua puluh enam tahun, merupakan usia lagi
matang-matangnya .ratu lesbi seusia TribuanaTunggadewi akan tabah dan mau menghadapi kenyataan. Apalagi
TribuanaTunggadewi memiliki modal yang kuat: kecantikan. TribuanaTunggadewi akan segera menemukan jodoh yang lain.
Mungkin akan lambat. sebab ia tahu TribuanaTunggadewi biar suka merendahkan namun jauh di sanubari, tetap
saja mencintai almarhum suaminya. Dan bila saat itu kelak tiba. semoga Noni belum mengenal apa
perbedaan ayah tiri dengan ayah kandung. .
Tidak. Bukan persoalan TribuanaTunggadewi yang menekan jiwa nyonya . Bukan pula Sumarna. Anak tengahnya
itu telah lulus menempuh ujian sarjana ekonomi. Sudah pula ada pendekatan dengan sebuah
perusahaan terkemuka. Masa depan Sumarna cukup cerah. Konon pula akan didampingi istri secantik
NYI girah . Berpendidikan, keturunan baik-baik dan terhormat pula. Segala puji syukur untukmu, Tuhanku!
Hanya, mengapa tak kau cipratkan sedikit karunia-Mu untuk si anak sulung?
Raden hanggareksa -lah yang mengganggu pikiran nyonya .
Sudah semenjak kecil anak itu memperlihatkan temperamen keras .Ia menaruh harga yang
sangat mahal untuk menerima kompromi. Dengan orang lain, tak apalah.
Ini, dengan ayahnya sendiri!
"Kalau ayah mau membantu orang, bantulah dengan sukarela. Jangan pasang bunga yang
membuat orang lain sakit jantung. Jangan pula main sewa tukang pukul kalau menagih piutang!"
Ucapan itu dilontarkan Raden hanggareksa pada ayahnya, semasih Raden hanggareksa berusia 14 tahun.
Sayang suami nyonya berpenyakit darah tinggi. Suaminya berteriak lengking:
"Kau pikir, dengan apa kau bernafas Raden hanggareksa ? Dengan apa darahmu mengalir? Apa yang kau
minum? Apa yang kau makan? Apa yang kau pergunakan membayar sekolahmu? Uangku! Dengar?
Uangku!"
Ayah yang tidak bijaksana.
Malam itu juga Raden hanggareksa mengemasi pakaiannya. Ia minggat lewat jendela kuburan . Pagi-pagi, semua
orang kalang kabut. Jerit tangis histeri memenuhi seisi rumah. Sang ayah seorang saja yang tenang.
Sinis, ia berkata
"Berhentikan membuat gempar. Raden hanggareksa akan kembali."
Raden hanggareksa memang kembali.
namun sekali satu tahun. Paling banyak dua kali apabila ia dengar salah seorang adik terutama
ibunya sakit. Ia menjual suratkabar di kaki lima. Tidur di emper-emper toko ibukota yang hirup pikuk.
Jadi kuli bangunan. Perantara jual beli. Yang penting asal halal, begitu Raden hanggareksa pernah mengatakan.
Dan Raden hanggareksa semakin jauh dengan ayahnya.
Akibatnya, Raden hanggareksa baru tahu ayahnya meninggal sesudah ayahnya itu dikuburkan satu minggu.
Barulah sifat lembut-nya yang tersembunyi mengalir tumpah. Satu malam Raden hanggareksa menangis di
makam ayahnya. Pulang ke rumah ibunya, mata Raden hanggareksa bengkak .
"Aku akan kembali ke ibukota." katanya
nyonya menangis. Sumarna gemetar. TribuanaTunggadewi berguling-guling di lantai.
"Kalian bisa hidup tanpa aku,"
Raden hanggareksa bersikeras.
"Warisan ayah berlimpah ruah."
TribuanaTunggadewi merangkul paha saudaranya. Meratap:
"Sebelas tahun kau terpisah dari kami, Bang Raden hanggareksa . Haruskah kini kau pergi lagi? Ayah sudah
mendahului kita semua. Apa arti semua harta yang ia tinggalkan? Tega kau membiarkan kami
terlunta-lunta tanpa ada yang melindungi?"
Barulah mata Raden hanggareksa basah.
Kekerasan hatinya luluh.
"Baiklah," katanya.
"Aku akan menjaga kau, Ronggolawe . Dan kau, Sumarna. Bersama-sama kita merawat ibu. Aku tidak
akan meninggalkan kalian, sebelum kau Ronggolawe dan kau Sumarna, berhasil jadi orang."
Ia tetap tinggal di rumah ibunya.
Tidak mau menempati salah satu rumah kosong peninggalan ayahnya.
"Jual saja," kata Raden hanggareksa .
"Pergunakan uangnya untuk biaya sekolah Ronggolawe dan Sumarna."
nyonya memberitahu, harta warisan sebaiknya tidak dijual. Lebih bijaksana ditambah .Selama
kita mampu
"Oke. Sewakan, kalau begitu. Ketimbang ambruk tak dihuni"
Dan Raden hanggareksa tetap bertualang. Menempuh Cara hidupnya yang lama. Bedanya sekarang ia tiap
hari ada di rumah. Merawat ibunya. Mengurus adik-adiknya. Raden hanggareksa lah yang menikahkan TribuanaTunggadewi
dengan rsi Kertajaya . Raden hanggareksa pula yang mempertemukan Sumarna dengan NYI girah .
Dan ia sendiri?
"Aku akan berumahtangga. kalau aku sudah ingin,"
Itu jawabnya kalau ditanya nyonya .
Telah banyak lamaran yang terpaksa ditolak. nyonya hampir panik memikirkan jangan-jangan
anak sulungnya mengidap kelainan seksuil. namun aneh, penandanya tidak ada sama sekali.
Apakah Raden hanggareksa pernah dikecewakan seseorang?
Raden hanggareksa bukan tidak tahu apa yang digelisahkan ibunya .
Dan suatu hari ia membawa seorang gadis ke rumah mereka.
"Namanya Rosida. Orang seberang. Sumatera,"
Raden hanggareksa memperkenalkan gadis itu.
"Ia temanku sekantor. Maksudku, di percetakan aku dinas malam. Sedang Rasida dinas pagi."
nyonya tenteram hatinya.
Malang, tak lama. Persoalan lain segera timbul. Raden hanggareksa baru mau menikah dengan Rosida,
apabila Sumarna sudah berumahtangga seperti TribuanaTunggadewi . Dengan begitu ia menganggap sebagian
tanggung jawabnya telah terpenuhi. Aneh, Rosida pun setuju dengan keputusan Raden hanggareksa : Sumarna
yang muda belia, melonjak gembira
"Abang jadi juga menikah," teriaknya.
"Aku punya usul. Kelak sesudah kalian menikah, tempati saja rumah yang kosong tak terpakai
itu."
Barulah nyonya mengerti maksud anak tengah-nya. Rumah tersebut telah diwariskan untuk
Raden hanggareksa . Juga beberapa petak sawah. Baik rumah maupun sawah itu dulunya milik satu orang namun
lalu diambil alih suami nyonya melalui jual beli. Tentu saja, sebagian besar sebagai pembayar
hutang pemilik lama .
Dan apa jawab Raden hanggareksa .
"Boleh. Boleh. Rumah dan tanahnya akan kami tempati. sesudah aku dan Rosida membayarnya
harga yang pantas kepada ibu."
Perih hati nyonya .
namun segera pula ia tersenyum. begitu dapat akal.
Harga tanah dan rumah di atasnya, lantas ditetapkan. Uang tabungan Raden hanggareksa sekian tahun
ternyata cukup menutupinya. Begitu ia terima, nyonya menyerahkan uang itu utuh utuh ke tangan
rsi Kertajaya yang sangat bernafsu membangun rumah model baru sebagai pengganti model lama yang kuno
itu. Raden hanggareksa mau marah. namun lalu terdiam, sesudah nyonya berkata:
"Ini uangku, bukan?"
Ya, uang itu sekarang uang nyonya , bukan uang ayah Raden hanggareksa .
"Terimalah. Anggap saja sebagai tanda kasih sayang ibumu."
"Beres sudah,"
Mereka semua waktu itu sependapat
"Apa yang beres? rsi Kertajaya meninggal dunia. lalu Raden hanggareksa mendadak bilang, rumah miliknya dihuni
hantu. Jual rumah itu! Gampang terdengarnya. lalu apakah nyonya membiarkan hidup anak sulungnya
tetap terkatung-katung.Tak berketentuan?
Rumah bobrok macam apa nanti yang akan ditempati keluarga Raden hanggareksa ?
Dengan apa ia memberi makan anak istrinya.
Menantu dan cucu nyonya ?
Sedang di sini harta mereka berlimpah ruah. Mereka dapat hidup senang berkecukupan.
Hati nyonya perih lagi.
Dengan hati yang perih melilit itu ia tercenung di dangau. Tampaknya ia tengah asyik mengawasi
para penggarap sawahnya bekerja dengan giat. Kejang dan kebas duduk melamun saja, sore hari di
Minggu pertama bulan Januari itu nyonya turun dari dangau ia berjalan-jalan sepanjang tegalan
sawah. Merendam kaki di saluran air yang sejuk bening.
Ia memandang petak sawah di dekatnya.
Lalu nyonya tiba-tiba terkejut. Petak sawah itu ditanami padi yang telah berumur satu bulan.
Beberapa hari yang lalu, padi di situ tumbuh subur, hijau segar. Sore hari ini, nyonya lihat semua padi
di petak itu rebah ke tanah basah berlumpur. Daun-daun padi berwarna coklat, kering layu.
"Bu Omi?"
nyonya memanggil salah seorang penggarap.
ratu lesbi yang dipanggil datang bergegas.
"Ada apa, Juragan?"
"Apa yang terjadi dengan padi-padi ini?"
Penggarap sawah bernama Omi itu menarik nafas.
"Bukankah telah saya beritahu juragan? Tadi, saat juragan duduk di dangau."
"Oh. Aku tak mendengarnya. Mengapa padipadi ini roboh dan layu, Bu Omi?"
nyonya mengulang pertanyaannya, sambil bangkit lalu turun ke tengah sawah yang dilanda
bencana itu.
Omi memperhatikan majikannya turun. Berkata bimbang:
"Pasti diserang hama, Juragan."
"Wereng? Atau tikus?"
nyonya meneliti seonggok pagi. Kakinya terbenam sebatas pertengahan betis, di dalam tanah
basah berlumpur.
"Tak ada tanda-tandanya Dan eh. apa pula itu?"
nyonya mengamat-amati garis-garis kecil malang melintang di permukaan lumpur, itu bukan
bekas digaru. Bukan pula pekerjaan usil seseorang, sebab garis-garis memanjang itu demikian
banyaknya. Menyilang dan berputar ke berbagai arah.
Mungkinkah bekas tikus berlari kian ke mari?
namun garisnya terlalu tipis. Terlalu dangkal. Bukan tikus. barangkali.
namun apa?
nyonya tercekat .
Lumpur di kedua kakinya tibatiba bergerak. Pelan dan samar, memang, namun tetap saja
bergerak. Sebelum nyonya mengetahui apa sebab lumpur bergerak, sesuatu telah mencengkeram
betisnya. Sesuatu di lumpur. Besar dan licin. Darah nyonya tersirap. Sesuatu yang hidup dan kini
melingkari betis kanannya, terasa menggeliat. Lantas betis nyonya bagai dihunjam benda lunak
namun menembus kulit dan daging betisnya lalu mulai menyedot darahnya keluar.
Omi melihat wajah majikannya yang tegang, pucat
"Eh. Juragan, sedang apa sih?"
nyonya tak menjawab. Tak kuasa meniawab. Denyut jantungnya seakan terhenti saking terkejut
dan panik. Tubuhnya tegak setengah membungkuk. Kejang. kaku.
Mungkinkah ia terkencing di celana, pikir Omi.
Pikiran itu segera lenyap. tatkala si penggarap sawah yang sudah tua itu melihat sesuatu meliuk
keluar dari dalam lumpur. Warnanya coklat. Atau hitam, berlumur lumpur.
Omi ingin menjerit.
Sayang, suaranya tak mau keluar. Lidah kelu. Ia cuma mampu menutup mulut dengan tangan
yang justru malah menahan jeritannya bila pun mampu ia lepas. Dengan mata terbelalak, penggarap
sawah itu terpana mengawasi lumpur di sekitar kaki-kaki majikannya benda aneh tadi lenyap.
Salah pandangkah dia? _
Tidak-tidak. Benda itu masih ada. namun kini lebih kecil. Sangat kecil. Mula-mula hanya beberapa
ekor. lalu berpuluh-puluh lalu beratus-ratus.
"Lintah!"
Omi tersentak mundur lantas mampu juga ia menjerit:
"Lintah! Lintah! Oh, ob, oh.... Tolonglah. Tolonglah. Ada lintah!"
Ia lalu berlari-lari menemui yang lain. Para penggarap sawah menyongsong terkejut.
"Mana Mana lintah itu, Bu Omi?"
Mereka memegangi kaki si ratu lesbi yang menggelupur di rumput. Histeri.
"Apa-itu, lintah... kaki kencing... eh, ul-al," sahutnya dengan bola mata berputar-putar.
Salah seorang penggarap, laki-laki yang masih terhitung muda, menampar pipi Omi dengan
keras. Begitu deras bunyi tamparan di pipinya tak terdengar, Omi berteriak lantang:
"Lintah! Banyak sekali lintah! Cepatlah Juragan nyonya ..."
nyonya jatuh tertelungkup ke lumpur saat orang-orang itu berlarian mendatangi. Baik kaki,
tangan, punggung maupun leher dan kepala nyonya penuh dilengketi lintah yang menggeliat geliat
ganas dan buas. Seorang ratu lesbi kecil jatuh pingsan. Dua yang lain menjauhkan diri dengan
terkejut. Empat terpaku diam di tempatnya berdiri.
"Allah ya Robbi!"
Terdengar suara laki-laki lalu empunya suara terjun ke lumpur. Melompat-lompat mendekati tubuh
nyonya yang tertelungkup setengah terbenam. Dua orang lainnya segera menyusul. Mula-mula mereka
hanya menepis-nepis, lalu memukul-mukul dan akhirnya baru teringat mengangkat tubuh
nyonya ke tanah kering.
Ratusan lintah tetap lekat di sekitar tubuh nyonya sesudah ia dibaringkan ke tanah. Para
penolongnya lalu sibuk pula melepaskan cengkeraman banyak lintah di kaki ataupun tangan
masing-masing. Dua orang lagi ratu lesbi jatuh pingsan. Yang lain berlari ke dangau. Hanya seorang
saja yang menempuh arah benar. Ia berlari menuju rumah nyonya yang jaraknya dari sawah itu baru
akan ia capai setengah jam berikutnya.
Penggarap sawah yang masih waras otaknya, segera membungkuk. Semua pakaian yang melekat
di tubuh nyonya cepat ia tanggalkan. Teman temannya segera mengikuti perbuatan orang itu. nyonya
bugil dalam sekejap. Namun toh masih tersisa puluhan ekor lintah. Sebagian dari lintah itu hanya
tampak ekor, sebab sudah terlalu dalam masuk menerobos ke daging tubuh nyonya .
Tubuh itu diam. Tak bergerak.
Matanya melotot. Menatap matahari senja yang kelabu.
Dan tanpa ada yang mengetahuinya dari tegalan petak sawah tadi muncul sebentuk makhluk
yang menggeliat, melengkung, memanjang. pendek lagi dan terus merayap memasuki selokan. Merasa
tubuhnya yang sebesar lengan manusia dewasa itu terbenam dalam di selokan, makhluk itu
melenturkan tubuh.
Ia bergerak ke hilir.
Mengikuti arus air.
*****
Tujuh
"Nafsu makanmu buruk sekali," kata tuan rumah sembari mengawasi Lurah hutan larangan tengah
mengunyah-ngunyah dengan tarikan muka mirip orang sakit gigi.
"Mabokku belum hilang betul, Eyang," sahut Lurah hutan larangan , berdusta.
Wajahnya memang sedikit pucat. namun bukan sebab mabok perjalanan. Ia mabok melihat
makanan yang terhidang di meja. Tumis daging cincang di piring mengingatkannya pada lintah yang
gepeng dipencet lumat diinjak. Sop jamur dalam pasu besar, tak ubahnya irisan pacat yang
mengambang mati sebab kekenyangan menghisap darah. Ayam panggang di depan Lurah hutan larangan pasti
menerbitkan air liur orang lain. namun warnanya yang merah berminyak, mengingatkan Lurah hutan larangan
pada tubuh bugil nyonya yang berlendir.
Dua jam isteri tuan rumah berkurung di dapur untuk mempersiapkan hidangan istimewa itu. Dan
tiga menit sesudah terhidang, Lurah hutan larangan meletakkan sendok garpunya.
"Permisi, Eyang. Mau ke jamban sebentar.'
Lurah hutan larangan bersungut-sungut bangkit. Setengah berlari ia pergi ke belakang rumah. Belum sampai
ke sumur, ia sudah meliuk, terbungkuk. Dan,
"Woaaak...."
Isi perutnya tertumpah ke tanah.
Isteri tuan rumah tergopoh-gopoh mengantarkan segelas air. Tak lama lalu , Lurah hutan larangan
merasa lebih enakan dan masuk lagi ke rumah. Menemui bekas gurunya yang sudah menunggu di
beranda depan.
"Mau aspirin?"
Ia bertanya pada tamunya.
Lurah hutan larangan menggeleng.
Belum lama ia henyakkan pantat di sebuah kursi rotan. Istri tuan rumah muncul dengan dua
cangkir teh pahit, sesudah melirik kuatir ke arah tamu mereka yang tampak masih pucat, ratu lesbi
itu mengundurkan diri. Ia tidak terus ke dapur. Melainkan sibuk memeriksa Sisa hidangan di meja.
Apakah ada rambut di tumis?
Atau kecoa nyelip dalam sop jamur?
Tubuh kecil kurus di beranda, menggeliat sebentar. Lalu berkata santai: "Nah. Mari kita bicarakan
masalah yang tadi ingin kau sampaikan. Pertama-tama, mengapa kau begitu lambat?"
Lurah hutan larangan menelan ludah.
"Aku terlalu mencemaskan kesehatan cucuku,"
Ia menjawab malu malu.
Namun toh terselip jua rasa kebanggaan seorang kakek saat Lurah hutan larangan menceritakan
bagaimana ia tiap hari mengunjungi anak ratu lesbi nya di kota. Melihat-lihat apakah Legoh. cucu
satu-satunya dalam keadaan sehat. Memeriksa jari kakinya, jari tangannya, suhu badannya. sesudah
puas ia baru pulang.
Kemarin ia tiba di rumah lepas isya dan terkejut mendengar nyonya meninggal. Bergegas ia pergi
ke rumah yang tertimpa musibah itu. Jenasah nyonya dibaringkan di tengah rumah. Kain selendang
menutupinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Raden hanggareksa menjaganya dengan ketat. Tidak
seorangpun tamu yang datang melayat diperkenankan membuka kain itu tanpa seijinnya. Ijin itu
cuma diberi pada orang-orang tertentu saja. Melihat kaitan keluarga, atau kedudukan sang tamu.
Lurah hutan larangan termasuk salah seorang yang diperkenankan melihat keadaan jenasah.
Ia terkejut melihat mata nyonya melotot.
"Astagfirullah!"
Ia mengucap. Mengumpulkan kekuatannya baru memberanikan diri mengangkat kain lebih tinggi
sedikit. Tubuh bugil itu berlendir dan ada ratusan lubang-lubang kecil menganga di sana sini.
Gemetar Lurah hutan larangan menyelimuti jenasah kembali. Ia mengangguk ke arah Raden hanggareksa lalu pergi menemui
beberapa orang yang ia perkirakan dapat memberi keterangan.
Lurah hutan larangan segera memperolehnya. Tiap kali ia bergidik. Ia juga memperoleh sebuah bungkusan
kecil dari salah seorang tetua desa. Ikut tahlilan sebentar terus pulang ke rumah. sesudah bersalin
pakaian ia bergegas ke terminal. Sunyi sepi tempat itu. Gelap lagi. Jadi ia pergi menunggu di Pos
Hansip. Merasa tenteram berada dekat orang lain, ia rebahan sebentar. Malang ia tertidur dan bus
antar kota lewat tanpa ia ketahui. Hansip yang bertugas menerangkan mereka sedang pergi
berkeliling saat bus itu lewat.
Baru pukul empat dinihari datang bus lain.
Lalu....
"Bagaimana tentang lintah-lintah itu."
Orang tua kecil kurus di depannya memotong halus. "Waktu kau datang tadi, kau bilang
jumlahnya ribuan ekor."
"Mereka yang bilang. Kukira, mereka melebih-lebihkan,"
Lurah hutan larangan memberengut.
'Tidak mustahil mereka benar," bekas gurunya bergumam.
"Satu petak sawah."
"Lima petak," tukas Lurah hutan larangan .
"Salah seorang pegawaiku telah pergi memeriksa tempat itu kembali. Ternyata ada lima petak
yang hancur dimakan hama"
"Dimakan lintah."
"Eh. Eyang percaya lintah makan batang padi?"
"Lintah biasa, tidak. namun lintah-lintah yang merenggut nyawa nyonya dan menciderai beberapa
orang lain itu, aku percaya berada di bawah pengaruh dan kekuasaan roh jahat."
Tubuh kurus itu tampak tegang.
"Roh jahat dapat berbuat apa saja."
Lurah hutan larangan mencicipi tehnya.
"Lima petak sawah,"
Ia berdesah lirih.
"Dan semua itu bekas milik si Dudung."
"Dudung. Siapa dia?"
"Orang yang juga dulunya pemilik rumah tempat rsi Kertajaya ditemukan mati...."
"Rumah baru itukan punya...."
"Rumah sebelumnya, Eyang. Rumah tua. Rumah pembawa sial itu."
'Rumah yang merenggut empat nyawa manusia. Begitu kau bilang beberapa hari yang lalu. kalau
tak salah."
"Lima. Kalau diurut ke belakang. Dudung mati di rumah itu,"
Lurah hutan larangan memperbaiki.
"Dudung lagi. Apa yang membuatmu tertarik pada orang itu?"
"Banyak yang bilang, sebelum ia pindah ke daerah kami. Dudung itu di tempat asalnya konon
dikenal sebagai penyihir. Tukang teluh. persisnya."
Lurah hutan larangan mendecap-decap, tak senang.
"Setahuku, ia berperilaku baik dan sopan selama ia tinggal dengan kami. Sayang aku tak bisa
mencegah penduduk yang berusaha memencilkan dia, sebab takut ditenung. Jarang orang mau
datang ke rumahnya. Dan tak ada yang mau menggarap sawahnya. Ia mengerjakannya sendiri.
Dibantu anak gadisnya. Ia duda, supaya eyang tahu. Isterinya telah meninggal saat mereka masih
tinggal di kampung asal. Sempat juga aku kasak kusuk sana sini, dan besar kemungkinan istrinya
itulah yang sebenarnya tukang teluh. Isterinya mati dikeroyok penduduk kampung mereka, menyusul
beberapa musibah dan penyakit menular yang melanda kampung itu. Suatu hari, Dudung jatuh sakit.
Sakitnya parah sekali, Eyang. ia terbaring saja di tempat tidur sepanjang hari dan malam. Hanya
satu dua yang mau menjenguk. Anak gadisnya bilang padaku; ayahnya terserang sakit lumpuh.
Dengan sendirinya gadis itu terpaksa...."
"Siapa nama anak gadis Dudung itu, hutan larangan ?"
"Nurjanah."
"Nama yang kurang enak di telinga,"
Si tua kurus geleng-geleng kepala.
"namun ia anak baik, Eyang. Cantik. Lembut. Sayang, nama buruk orangtuanya ikut membuatnya
tersisihkan. Ia jadinya sangat pendiam. Dan selalu murung. Ada juga satu dua pemuda yang berusaha
mendekatinya. Tentu saja sembunyi sembunyi. Takut ketahuan orangtua mereka, atau penduduk lain
yang membenci anak beranak itu. Mungkin Nurjanah tahu pemuda pemuda itu cuma iseng dan
menginginkan kecantikannya saja, tanpa mau bertanggungjawab. Ia mengusir mereka. Akibatnya.
musuhnya bertambah."
Lurah hutan larangan menarik nafas. Prihatin. seakan Nurjanah itu anak gadisnya sendiri.
"Apa yang dikerjakan Nurjanah sesudah ayahnya sakit?" tanya tuan rumah. tertarik.
"Mengurus ayahnya. Hanya mengurus ayahnya. Ia tak berani pergi ke sawah sendirian. Eyang kan
maklum. Ia seorang perawan. Tak punya teman."
"Hem hem. lantas?"
"Yah. Lantas, sawah mereka terlantar. Mata pencaharian mereka dengan sendirinya hilang pula.
Sakit ayahnya bertambah-tambah. Aku membantu juga sedikit-sedikit. Juga pengurus masjid di
daerah kami. namun jangankan untuk makan. Untuk obat Dudung saja. hampir tak mencukupi.
Nurjanah mulai menjual satu persatu barang barang mereka. Termasuk perhiasan ibunya. Celakanya,
permusuhan dari orang lain, membuat barang-barang itu jatuh harga jauh di bawah pasaran.
Untunglah Rukmana datang menolong. Ia membeli barang-barang itu dengan harga lebih memadai...."
"Rukmana. Siapa pula itu?"
"Suami nyonya . Eyang."
"Oh, ya. Ya Rukmana. Suami nyonya . Maaf. Aku lupa."
Berlagak pula eyang-ku ini. pikir Lurah hutan larangan menahan senyum, ia belum pernah memberitahu
nama suami nyonya kepada orangtua itu.
"Berapa lama sakitnya si Dudung itu?"
"Berbulan-bulan. Eyang. Aneh juga. Padahal tubuhnya tinggal kulit berbalut tulang. Jangankan
makan. Minum pun susahnya bukan main. Ahhh, lantas orang pun semakin percaya ia itu terkena
kutuk. Sebagian penduduk ingin mengusir Dudung dan anaknya dari daerah kami. Untunglah dibantu
pengurus masjid, aku dapat menahan kemarahan penduduk. Itu pun dengan janji, aku menyetujui
Dudung dan anaknya harus pindah begitu Dudung sudah sembuh."
"Dan, ia tak pernah sembuh."
"Ia tak pernah sembuh," keluh Lurah hutan larangan , mengiyakan.
"Hidup mereka semakin morat marit. Sawah mereka lalu ditawarkan pada Rukmana. Uang
penjualan sawah itu pun lama-lama habis pula .Menyusul rumah. ikut dijual dan diambil alih oleh
Rukmana...."
"Baik hati benar si Rukmana itu," gumam tuan rumah sambil melinting tembakau dengan kertas
papier. Tembakau dan papier itu tentu saja oleh-oleh yang dibawa Lurah hutan larangan . Harganya murah sekali.
namun itu lebih baik. Ketimbang membawa rokok atau Kueh-kueh mahal. Bisa sang guru cemberut.
"Lintingkan aku satu, Eyang."
"Eh? Katamu anti..."
Mata orangtua itu mengawasi tamunya. Mata tua namun sinarnya begitu tajam dan berpengaruh.
"sesudah melihat mayat nyonya , aku sudah menghabiskan tiga batang rokok, Eyang."
"Kasihan," rungut gurunya. Tembakau lintingnya ia sulut, dihisap dengan nikmat. ia tidak
melintingkan yang baru untuk tamunya. Ia cuma berkata:
"Minumlah tehmu."
Lurah hutan larangan mengumpat dalam hati, ia minum tehnya. dan lalu berpikir maksud orangtua itu
baik. Agar Lurah hutan larangan tidak kecanduan.
Matahari naik semakin tinggi. Jauh di lembah, di bawah rumah itu, pucuk pepohonan cemara
menimbulkan perasaan tenteram di hati. Sungai yang meliuk-liuk bagai ular tengah merayap keluar
dari sarang, airnya berkilau-kilauan dijilat cahaya matahari.
Seekor burung gagak terbang lalu melewati beranda. Si kurus kecil memandang tak tertarik.
"Baik benar si Rukmana itu," gumamnya pelan. Mengulangi apa yang tadi ia ucapkan.
Lurah hutan larangan maklum.
"Kecurigaan kakek tidak berlebihan," ia mengakui.
"Mengapa harga pembelian harta benda Dudung, memadai. namun sebagian besar menurutku
dianggap sebagai pembayar hutang. Plus bunganya. Tahu berapa bunganya, Eyang?"
"Lima persen," bekas gurunya menebak.
"Tiga puluh, Eyang. Tiga puluh persen."
"Lintah darat!"
Tubuh kurus itu terlonjak di kursinya. Tangannya tanpa sengaja membentur tepi meja. Terdengar
sesuatu menggelinding lalu jatuh berderai di lantai.
"Dan si lintah darat itu telah membuatku rugi sebuah cangkir yang mahal,"
Tuan rumah memberengut, kesal.
Isterinya segera berlari-lari datang.
Dengan cepat ia bersihkan pecahan cangkir di lantai. Sebelum menghilang, ia mengintip kuatir.
Kali ini, ke arah suaminya.
"Lintah darat,"
Si suami yang tak perduli kekuatiran istrinya. bergumam serius.
"Kau tahu, hutan larangan ?"
"Apa. Eyang?"
"Lintah darah. Apa kata lain untuk lintah darat?"
"Pemeras."
"Bukan. Yang kumaksud. dalam arti kata harfiah."
"Ooo. Pacat. Benar?"
"Ya. Pacat. Mendengar ceritamu mengenai kematian rsi Kertajaya , aku sudah curiga. Pacat yang
menyebabkan kematiannya."
"Lubang di dada rsi Kertajaya besar sekali, Eyang. Sebesar lenganku."
"Dan sebesar Itu pulalah pacat yang membunuhnya,"
Tuan rumah berkata acuh tak acuh.
"Apakah ada tanda-tanda serupa di tubuh nyonya ?"
"Ya. Di betis...."
Bibir Lurah hutan larangan terasa kering kerontang. Ia menyambar cangkirnya. Ternyata Sudah kosong. Ia
letakkan cangkir itu pelan-pelan, takut ketahuan tuan rumah kalau ia sedang ketiban Sial.
orangtua itu sedang termenung.
Lama.
lalu :
'Jadi, si Dudung akhirnya mati," gumamnya.
Datar.
"Kok eyang tahu?"
"Lho. Bukankah kau bilang tadi. Di urut ke belakang. Korban yang mati di rumah itu jadi lima."
"Oh ya. Ya Memang eyang benar. Suatu hari Dudung kami temukan mati di kamar tidurnya.
Tergeletak di ranjang. Dengan wajah kering kaku, dan mata melotot. Seolah ia penasaran akan
sesuatu, menjelang ajalnya tiba."
"Kalian temukan. Kau bilang, kalian temukan. Mengapa?"
"Dudung kami temukan tiga hari sesudah ia meninggal. sebab ada bau tak sedap datang dari
rumahnya. Lalu seorang tetangganya memanggil aku. Ditemani oleh...."
"Anak gadisnya. Nurjanah. Ke mana dia?" potong orang tua itu.
Tubuh kurusnya, tampak semakin kecil saja, sebab mengkerut dalam di tempat ia duduk.
"Hilang!" jawab Lurah hutan larangan , pendek.
"Begitu saja?"
"Begitu saja...." sahut Lurah hutan larangan , dengan pikiran melantur.
Ya. Ke mana perginya anak gadis yang malang itu?
Apakah ia tak tahan menderita lalu diam-diam kabur meninggalkan ayahnya?
Atau barangkali. Ya. Barangkali, sesudah ia lihat ayahnya mati pada akhirnya, Nurjanah hilang
ingatan. Mungkin ayahnya mati sekitar tengah malam. sebab sore harinya masih ada orang melihat
Nurjanah di jendela kuburan rumah. Nurjanah hilang ingatan. hem, hem, mungkin itulah yang paling cocok.
Lalu ia kelayapan keluar rumah. Entah ke mana ia pergi. tak seorang pun tahu. Tidak pula ada orang
melihatnya .
Tengah malam buta.
Tak heran, bukan?
Yang pasti, Nurjanah tak pernah kembali!
Kursi rotan berkeriut Nyaring. Lurah hutan larangan melirik. Ia lihat tubuh kurus kecil itu bangkit lalu tegak
memandangi lembah. Arah matanya kesungai. Lalu ke matahari. Berulang-ulang orangtua itu berbuat
sama.
Lantas mendengus, kecewa:
"Aku telah salah mengatakannya"
"Mengatakan apa. Eyang?" tanya Lurah hutan larangan heran.
"Itu. Pada nyonya memang kuperingatkan agar menjauhi tempat yang basah. Basah berlumpur.
namun siang hari. Ia kuSuruh mengurangi keluar malam. Entah ia ingat atau tidak pesanku. Entah ia
lakukan atau tidak pula. Nyatanya, roh jahat itu justru muncul di siang hari. Ini mencemaskan aku...."
Ada rahasia terpendam dalam nada suaranya.
Lurah hutan larangan ingin tahu. namun tidak berani bertanya. Entah mengapa, diam-diam ia ikut merasa
cemas. Bukan lagi malam Jum'at. Bukan lagi dari kegelapan. Roh jahat itu muncul di siang bolong! .
Tanpa sadar ia masukkan tangan ke saku kemeja.
Dan terjengah.
"Hem?"
"Barangkali ini dapat menolong,"
Lurah hutan larangan mengeluarkan bungkusan kecil yang tadi ia ceritakan. Diletakkan di meja. Ia berharap
tuan rumah yang membuka bungkusan itu, sebab ia tak suka melakukannya. namun mata tua itu
hanya menatap. Tidak berbuat sesuatu.
Terpaksalah lurah hutan larangan melepaskan kain pembungkus yang ia perlihatkan. Masih ada lapisan
pembungkus daun keladi. Dengan tangan gemetar daun keladi itu diungkapkan Lurah hutan larangan , lantas
lekas-lekas menjauhkan tangannya
"Apa itu?" tanya tuan rumah dengan dahi berkerut.
Lurah hutan larangan gelagapan. Sadar, gurunya merasa tidak senang. Sayang terlanjur sudah. Maka ia
menerangkan juga:
"Ini kuterima dari salah seorang yang mengurus mayat nyonya . Dapat mencabuti dari kulit dan
daging tubuh nyonya ."
Ada enam ekor.
Semuanya sudah mati. Empat di antaranya menggelembung kecoklatan. Dua yang lain, gepeng
pucat.
"Buat apa kau perlihatkan bangkai lintah itu. hutan larangan ?"
"Eh... aku, ah!"
Lurah hutan larangan menyerah.
Ia duduk terhenyak. Patah semangat. "Bangkai tetaplah bangkai.hutan larangan ,"
Orangtua di hadapannya bergumam hambar.
"Kita cuma dapat memeriksa. Melihat kalau-kalau ada sesuatu petunjuk. Atau sesuatu yang
tersembunyi dan tidak dapat dilihat mata biasa...."
Ia mengawasi tamunya dengan sorot mata kecewa.
Bertanya:
"Kau mengharapkan aku membangkitkan bangkai itu ya, hutan larangan ? Memanggil rohnya?! Lalu bicara
pada mereka?"
"Eyang, aku...!"
"Tak apa. Tak apa. Dapat kumengerti. Memang ada juga orang lain berbuat seperti itu. Mampu
berbuat seperti itu. namun aku, hutan larangan . Aku tidak diijinkan Tuhan menempuh ilmu sesat itu."
"jadi?"
Lurah hutan larangan mengeluh.
"Aku tidak dapat memanggil roh. Aku hanya dapat mengenyahkannya. Dengan ijin Tuhan."
Sepi. Hening.
Akhirnya Lurah hutan larangan menggeliat lalu bangkit dari kursi.
"Kukira aku harus pulang sekarang. Banyak tugas menungguku"
Ia menatap tuan rumah penuh harap. Mendesah:
"Eyang tidak sedang sibuk?"
"Kebetulan tidak."
Yang ditanya tersenyum manis.
Suasana tegang itu mereda melalui senyumannya.
"Kalau begitu...?"
"Kau terpaksa pulang sendirian, hutan larangan ."
"Wah...."
"Aku kurang berkenan. kalau diusir sampai dua kali."
orang tua itu cemberut. Mengingatkan Lurah hutan larangan atas sambutan nyonya beberapa hari yang lalu.
Sebelum ratu lesbi itu mati, sebab mengusir bekas gurunya ini, atau sebab ....
"namun tak usah kecewa, hutan larangan ," ujar tuan rumah.
Ramah. Dan janjinya sungguh menyenangkan:
"Tak usahlah repot-repot memanggilku. Bila waktunya kurasa sudah tepat, aku akan datang
sendiri ke sana."
Lurah hutan larangan dapat memahami.
Orangtua itu perlu bersemadi dulu.
sesudah permisi pada kedua tuan rumahnya, Lurah hutan larangan melangkah ke jalan setapak menuju jalan
raya. namun orang yang ditinggalkan, memanggil:
"hutan larangan . Kau melupakan sesuatu."
"Ya, Eyang?"
"Bangkai-bangkai ini?"
Di tengah perjalanan pulang, Lurah hutan larangan membuang bungkusan berisi bangkai lintah-lintah yang
menjijikkan itu.
*****
Delapan
Tujuh orang tengah berkumpul di ruang duduk rumah besar itu.
Selain Raden hanggareksa serta dua orang adik kandungnya, ikut hadir pula uwa dan paman mereka yakni
saudara kandung nyonya .lalu dua orang saudara sepupu Raden hanggareksa , anak uwa-nya. Di tikar yang
tergelar tampak gelas gelas berisi kopi atau teh dan beberapa piring panganan kecil. Di tempat yang
sama dua malam sebelumnya, terbujur mayat nyonya .
Suara mereka berdebat tidaklah terlalu keras. Sehingga pantulan suara orang mengaji dan
berdo'a di kamar tamu tetap terdengar dan tidak terganggu. Perdebatan itu berlangsung tenang dan
damai. TribuanaTunggadewi toh sudah menerima bagiannya sebelum menikah dengan rsi Kertajaya . Ia hanya sedikit ribut
meminta beberapa potong perhiasan almarhum ibunya. Dua orang saudara sepupu sama-sama
menyerahkan bagaimana kebijaksanaan orang tuanya. Uwa Raden hanggareksa tidak begitu ngotot. Ia sudah
cukup kaya. Tambahan sedikit dari peninggalan nyonya tak berarti apa-apa.
Sang paman termasuk pengurus masjid.
Jadi ia hanya menuntut apa adanya.
"Toh, kalian anak anaknya yang lebih berhak,"
Ia berkata .
Sumarna-lah yang paling blingsatan.
"Aku menerima terlalu banyak," katanya. ribut.
"Aku tak senang. Aku hanya mau menerima apa yang menjadi hakku. Dan jangan lupa. Bang
Raden hanggareksa telah banyak membantuku selama ini. Mengapa pula sekarang aku harus menerima warisan
yang merupakan bagian dia?"
Orang paling tua dari ketujuh orang itu mengangguk setuju.
"Benar sekali apa yang dikatakan adikmu, Raden hanggareksa . Tidak usahlah keras kepala begitu. Ayah
kalian sudah lama meninggal dunia. Mengapa kau tetap masih membencinya?"
"Aku tidak membenci pribadi ayah, Uwa," jawab Raden hanggareksa .
Membela diri.
"Aku hanya tak suka caranya menambah kekayaan. Jadi apa yang ia tinggalkan untukku, tetap
saja tidak dapat kuterima"
"lalu?"
Wajah Sumarna merah padam.
"Rumahmu itu. Mengapa harus dijual? Mengapa sebagian hasil penjualannya harus dibagi antara
aku dan Ronggolawe ?"
Anak muda itu menggerak-gerakan tangan dan dengan mimik muka bagai cacing kepanasan.
lanjutnya:
"Bagianmu saja sudah sangat sedikit, Bang Raden hanggareksa . Tidak! Rumahmu tidak akan dijual oleh
siapapun juga."
"Rumahku,"
Raden hanggareksa tersenyum pahit.
"Jadi kalian semua setuju itu rumahku. Jadi aku berhak berbuat apa saja untuk rumahku, bukan?"
Semua terdiam.
Kecuali Sumarna. Dengusnya:
"Uang ibu tertanam di rumah itu. Bang Raden hanggareksa . Ingat apa katanya? Penanda kasih sayang. Mau
kau jual berapa kasih sayang ibu yang tulus ikhlas itu?"
"Dan rsi Kertajaya ."
TribuanaTunggadewi buka suara sebelum Sumarna bernafas dengan tenang. Dengan wajah getir, TribuanaTunggadewi
meneruskan:
"rsi Kertajaya telah mati. Dan... sebelum ia mati, ia begitu tergila-gila terhadap rencananya merombak
rumah itu. Ia sangat keranjingan untuk memberimu sesuatu yang paling bagus dari semua apa yang
telah ia pernah buat. Kau akan mengecewakan suamiku, Bang Raden hanggareksa . Kalau ia tahu rumah yang
telah ia bangun dengan susah payah kau jual juga, betapa akan sakit hatinya di alam kubur...."
Air mata TribuanaTunggadewi menetes.
Terkenang suami yang dicintainya. Raden hanggareksa tahu arti tetesan air mata TribuanaTunggadewi . Ia pernah jadi
berandalan. Malah sempat masuk bui. Ia telah belasan tahun berjuang mempertahankan hidup yang
keras dan kasar.
namun air mata.
Air mata TribuanaTunggadewi melunakkan hatinya.
"Baiklah,"
Ia mengeluh, kalah.
"Aku tak akan menjual rumah itu."
Semua bernafas lega. namun Sumarna kelewat berlebihan mengutarakan kegembiraannya. Ia
melirik ke arah TribuanaTunggadewi .
Berseru riang:
"Lihat, Ronggolawe . Ia mau juga menerima usul kita. Namun begitu, dari kita semua yang ada di sini.
tetap saja ia paling miskin...."
Ia mengangguk sopan setengah minta maaf pada Raden hanggareksa , lalu kembali berpaling pada TribuanaTunggadewi . Ia
begitu bernafsu. Langsung saja menyerbu:
"Bagianmu sudah berlimpah, Ronggolawe "
"Katakan saja Jangan berbelit,"
TribuanaTunggadewi nyeletuk,
"Abang Raden hanggareksa tak jadi menjual rumahnya. Jadi ia tetap punya hutang padamu. Mana rumahnya
belum rampung. Mengapa tidak kau anggap lunas saja piutanganmu, mulai detik ini?"
Sumarna salah duga .
Raden hanggareksa mendelik. namun terlambat sudah. Tenang dan datar, TribuanaTunggadewi mengemukakan
pendiriannya:
"Mengenai hutang itu, ia boleh membayar kapan saja ia mau!"
Titik.
Uwa dan paman mereka saling lirik, lantas tersenyum. Sang Uwa bergumam:
"Kukira sudah waktunya kamu pulang."
Paman mereka mengatakan akan tetap tinggal bersama istrinya Untuk berdo'a demi keselamatan
mereka semua. Dan membantu apa-apa yang dapat dibantu.
Pertemuan keluarga itu berakhir.
TribuanaTunggadewi pergi buang air ke kamar mandi. Lalu kembali masuk ke dalam membuka sebuah pintu
tertutup. Noni tertidur lelap diranjang neneknya. Di dekatnya rebah pulas seorang anak laki-laki usia
tujuh tahun, keponakan bungsu TribuanaTunggadewi . Tak sampai hati mengusik kedua orang anak itu .TribuanaTunggadewi
memilih tidur di lantai. Di situ sudah tergelar kasur cadangan .
Malam semakin larut
Angin berhembus di luar rumah. Lemah dan berbau pengap. Sudah beberapa hari hujan tak jadi
turun. Udara didalam kamar tidur itu sedikit gersang namun tidak terlalu menggerahkan. TribuanaTunggadewi
menelan sebutir pil tidur.
"rsi Kertajaya -ku, Sayang!"
Ia merintih, lalu berbaring di kasur cadangan.
Pengaruh pil tidur itu segera terasa.
TribuanaTunggadewi menghitung mundur: "... 25 -24 23."
Angin keras menerpa jendela kuburan tiba-tiba. TribuanaTunggadewi membuka kelopak matanya .Menatap kaca jendela kuburan
.Tirainya agak tersingkap. Gelap di luar. Sinar rembulan merembes masuk. Lemah. tak berdaya
"22 -21 -18-. 12"
Hitungan TribuanaTunggadewi mulai kacau.
Mengapa kamar tiba-tiba terasa sangat dingin?
9 -8 -7...
TribuanaTunggadewi merasa lemah sekujur tubuh. Kantuk menyerang semakin hebat.
4 -3...
Angin menerpa jendela kuburan lagi. TribuanaTunggadewi sudah terlelap. Sesuatu tampak mengambang di luar jendela kuburan .
Dari kegelapan muncul sepasang titik kemerahan. Menyerupai titik api. Semakin dekat ke kaca
jendela kuburan , semakin berbentuk titik api itu.
Ternyata sepasang mata merah menyala.
Seraut wajah pucat namun berkeriput menanggung azab sengsara melayang semakin dekat ke
jendela kuburan . Noni mulai merengek. Kepala tanpa tubuh di balik jendela kuburan , menyeringai seram. Gigi taringnya
putih gemerlapan. Lidahnya semerah darah.
Hiihhhh....
sayup-sayup ada desah lirih tertiup angin masuk lewat ventilasi jendela kuburan .
Mendadak orang yang sedang mengaji di depan memperkeras suaranya. Orang itu rupanya baru
saja disuguhi segelas lagi kopi kental hangat. Tanpa mengetahui apa yang tengah berlangsung tidak
jauh dari kamar depan itu.
Di luar jendela kuburan kamar tempat TribuanaTunggadewi ,anak dan ponakannya terlelap, sesaat itu juga terlihat
gerakan meliuk yang keras. Wajah pucat berkulit keriput itu menjauhi jendela kuburan , disertai keluhan perih.
Gaung ayat-ayat suci membuat kepalanya Seakan meledak. Panas bagai bara api. Benda misterius itu
terbang tinggi. Hilang di rimbun pepohonan selama beberapa menit.
Kepala itu hinggap di salah satu dahan pohon yang gelap. Sepasang matanya yang merah
bersinar-sinar merah. Sel-sel jarum otaknya menggerakkan mulut yang kering hitam, dan
memperdengarkan bisikan setajam sembilu:
"Ssssial... saaakit.. nyaaahhh...."
Terdengar bunyi nafas naik turun. Sesak .
Kebanyakan kopi buat orang tertentu dapat menyebabkan ia tetap terjaga .namun untuk orang
tertentu pula, justru mendatangkan kantuk lebih cepat. Tak heran kalau suara gaung mengaji dari
rumah besar itu kembali merendah dan mulai tersendat-sendat.
Bayangan hitam melesat keluar dari pohon.
Kepala tanpa tubuh itu bermaksud menerobos masuk melalui ventilasi tentu saja dengan
melenturkan kepala sedemikian rupa.. saat ia tertegun. Cahaya yang samar di kamar tidur tadi
memperlihatkan tanda-tanda ada orang bergerak di dalam. Wajah di luar, mengintip ke dalam.
Raden hanggareksa sedang mengawasi Noni.
Mengusap-usap rambutnya, supaya anak yang merengek dari tadi itu tertidur kembali. Ia telah
mendengar Noni menangis lalu masuk diam diam. Meraba leher anak itu, ia menarik nafas.
"Panas lagi,"
Raden hanggareksa berpikir.
"Demamnya belum sembuh juga rupanya...."
Sel-sel otak di kepala tanpa tubuh yang mengintip dari luar jendela kuburan , menyeringai putus asa. Ia
mampu meninabobokkan siapa saja yang ada di kamar itu.
namun Raden hanggareksa ...!
Raden hanggareksa duduk di pinggir tempat tidur. Noni sudah terlelap kembali. Namun Raden hanggareksa tak beranjak
dari tempatnya. Ia ingin berjaga-jaga, kalau kalau Noni bertambah tinggi suhu badannya.
Wajah di luar jendela kuburan , bertambah keriput. Bertambah pucat.
Dengan desahan tajam yang mendirikan bulu kuduk, wajah itu lenyap lagi dalam kegelapan. Tidak
menyelinap kerimbunan pohon tadi. Melainkan terus saja melayang di bawah sinar rembulan.
Berpindah dari satu rumah ke lain rumah. Lantas memperdengarkan ratapan kematian yang semayup
sampai.
Lolong anjing yang lirih, memusiki ratapannya.
Sudah dua malam berturut-turut mangsanya menginap di rumah lain. Dua malam berturut turut
banyak orang mengaji di dekat mangsa yang segar bugar itu. Malam ini tidak segegap gempita
malam sebelumnya. namun laki-laki yang ada di kamar itu,
hhhheeeeeehhhh!
Bayangan hitam itu terus saja melesat.
Rambutnya yang tergerai lebat dan panjang, berkibar-kibar. Liar. Mata merah menyala semakin
ganas.
"Haus! Haus! Aku tak tahan lagi...!"
Terdengar suara merintih kesakitan di antara tiupan angin malam yang dingin membeku.
Lampu belakang salah satu rumah penduduk. tiba-tiba menyala terang. '
Penghuninya sedang bertengkar berbisik, di seling rengekan tak sabar seorang anak kecil.
" aku ngantuk. Harus masuk kerja pagi-pagi sekali. Kau bawalah Jajang ke kakus,"
Suara seorang laki-laki, bermalas-malasan.
"Dasar!"
Berengut suara ratu lesbi . Sambil membopong anaknya keluar menuju pekarangan belakang,
ratu lesbi itu menggerutu:
"Dan, kau. Berak tengah malam!"
Mendekati sumur, anak laki-laki yang Juni nanti berusia tiga tahun itu dibiarkan sang ibu
berjalan sendiri. Merasa terbebas, anak itu langsung jongkok.
"He. Jangan di sini. Dan buka celanamu dulu!" hardik si ibu.
"Enggak tahan, Mah," jawab si anak satu kata demi satu kata namun rangkaian kata itu sangat
fasih. Tidak cadel.
Sesuatu melayang di atap.
Anak itu melihatnya.
"Mah?"
Sang ibu yang tengah membukakan celana si anak. mendengus:
"Uh?"
"Ada burung"
"Iya. Burungmu!"
Ibunya tertawa juga, mendengar ucapan si anak.
"Burung!"
Si kecil ngotot.
"Iya-iya..lbu tahu. Ayo, jongkok tuh di sana. Di lubang kakus!"
"Mah,..."
"Katanya mau berak!"
"Bu-rung di...."
"Burung lagi! Burung lagi! Anak nakal, mau berak kagak?!"
Sang ibu mencak-mencak. Mula mula blingsatan marah. lalu gerakannya berubah semakin
perlahan.
"Cepatlah, Jang." desahnya, lemah.
"Ibu ngantuk nih...."
Lantas ratu lesbi itu menguap. Panjang.
Waktu menguap, lumrah kelopak matanya terpejam. Maka, meski ia tertengadah ia tidak melihat
benda aneh kehitam-hitaman meluncur dari atas langsung ke arah mereka. Jajang kecil melihat
sepasang mata merah semerah saga. Dasar anak, bukannya takut, ia malah merentangkan kedua
lengan untuk menyambut.
"Ke sini... ke sini... ayo!"
Lalu tiba-tiba anak itu dapat menangkap lebih jelas wajah mengerikan yang melayang mendekat.
Mata merah menyala. Lidah lebih merah lagi. terjulur-julur keluar. Lalu taring-taring runcing,
mengancam.
"Mamaaah!"
Anak itu menjangkau ibunya .
Angin kosong yang terpegang. Rupanya ibunya sudah terkulai di tanah lembab basah. Jatuh
tertidur.
Si anak meronta-ronta melepaskan sesuatu yang melekat sangat kuat di lehernya. Saking takut
dan terperanjat anak itu tak mampu lagi bersuara. Ia terus bersikutet dengan makhluk yang hinggap
di pundak dan merasakan bibir panas memanggang kulit lehernya. Si kecil tidak tahu arus apa yang
mengalir sangat cepat dalam tubuhnya. Mengalir naik ke atas semakin banyak dan banyak lalu
bermuara pada lehernya. Tangannya yang memegang seonggok rambut hitam panjang makin lemah.
Anak itu lantas terkulai.
Kepalanya membentur tepi sumur.
Si kecil terjerembab jatuh. Membawa serta kepala mengerikan yang lengket seperti lintah pada
lehernya.
Suara berisik di luar sampai ke dalam rumah. Si laki-laki yang tadi merepeti istrinya. mendengar
suara anaknya memanggil:
"Mamaaah!"
Ia berlari keluar. Naluri kebapakan membisikkan sesuatu telah mengancam keselamatan anaknya.
Mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam rumah, makhluk yang tengah memuaskan
dahaganya itu secepat kilat melepaskan bibir dan sedotan lidahnya di leher si anak. Lebih cepat lagi,
melesat tinggi. Terbang menuju rembulan, lalu sirna tak berbekas.
"Nina? Jajang? Hei, apa yang kalian..?"
Si ayah berlari-lari ke dekat sumur.
Ia menyambar tubuh anaknya dari tanah, memeluknya kuat-kuat dan panik melihat dahi anaknya
mengeluarkan darah.
Apakah istrinya telah terluka pula?
"Nina! Nina... he, bangun. Bangun! Mengapa kau tidur di sini?"
ratu lesbi itu bangun perlahan-lahan.
Kucak kucek mata, lantas menjerit saat melihat dahi anaknya mengucurkan darah.
"Kenapa dia?"
"Kenapa! Goblok! Dungu! Ibu tak tahu diuntung! Tidur tak pandang tempat. Lihat. Lihat anakmu!
Kau biarkan ia jatuh terpeleset...!"
Beriring-iringan mereka lari ke dalam rumah.
Si kecil dibaringkan di tempat tidur. Luka di dahinya dibersihkan. Dicuci dengan air garam. Lalu
dikasih obat merah .Dipoles minyak jelantah .sesudah itu lukanya diperban dan ditutup dengan plester.
Sang ibu tak henti-hentinya menangis gegerungan.
Ayah si anak tak perduli.
Ia membuka semua pakaian anaknya. Memeriksa kalau-kalau ada luka yang lain. Setiap jengkal
ia teliti. Termasuk leher. Leher anak itu agak merah, namun tidak tampak bekas luka. Mungkin
terbentur pula, pikir si ayah dan menggosok leher anak itu pakai minyak angin.
Beberapa menit lalu , si kecil meringis. . Mulutnya terbuka:
"Bu... rung..."
Ibunya menjerit lagi.
"Dari tadi ia mengatakan..."
"Diamlah!" bentak si suami.
"Kau dapat membangunkan tetangga dengan jerit tangismu yang memalukan itu. Bantu aku
memasangkan baju si Jajang."
"Badannya panas sekali,"
Si istri berdesah cemas selagi memasangkan pakaian bersih ke anak laki-lakinya.
"Tenanglah. Besok juga ia sembuh."
"Kita bawa saja ke Puskesmas...."
"larut malam begini?"
Si suami mengeluh. Ia perhatikan anaknya dengan perasaan iba.
Jajang masih mengerang-erang, namun sudah mulai tidur.
Menjelang pagi suhu badannya menurun. Dan ibunya tidak heran saat anak itu mengigau:
"Ada bu-rung.... Burung naga...."
*****
Sembilan
Hujan bagai tercurah dari langit.
Lalu lintas di luar bar tampak sepi. Lengang. Saat itu Sabtu siang, akhir minggu kedua bulan
Januari. Seorang pejalan kaki lari menghindari terpaan badai. Tempat berteduh terdekat cuma bar itu.
Ia masuk dengan pakaian basah kuyup.
Dari mejanya, NYI girah memperhatikan pria itu berdiri bimbang di ambang pintu. Tidak segera
mencari tempat duduk. Mata si pria berpindah pindah mengawasi tempat macam apa yang ia masuki.
Tampak pria itu risih menghadapi suasana eksklusif dalam bar yang berperabotan serba mewah. Di
sepanjang lemari rak makanan serta minuman tercium bau serba mahal.
Untuk orang berpenampilan sesederhana dia, mungkin kurang tepat masuk ke tempat serupa itu.
Pertengahan bulan begini.
Namun toh ia mengambil tempat duduk juga. Dekat pintu.
Pelayan segera mendatangi. Melirik tak senang ke lantai di sekitar pria itu. Lantai itu digenangi
air yang jatuh dari celana maupun sepatu si pria.
"Pesan apa, Bung?" Bukan:
"Pesan apa. Tuan?"
"Teh manis."
NYI girah terkejut. Tangannya ada yang menjamah. saat berpaling ia lihat senyum kecil bermain di
bibir Sumarna.
"Oh,"
NYI girah mengeluh.
"Kau melamun dari tadi," bisik Sumarna, lembut.
"Pria itu bukan tipemu. Aku tak cemburu. sebab tahu kau menjadikan kehadiran pria itu sebagai
pelarian dari kegelisahan hatimu."
"Kau banyak omong. Nana."
"sebab belakang ini kau semakin pendiam."
Sumarna menusukkan sinar matanya yang tajam langsung ke bola mata NYI girah .
"Matamu pudar sekali. Tak bergairah."
"Sejak dari rumah sudah kubilang. Aku tak enak badan," kata NYI girah getir.
Ia dekatkan sloki Martini ke bibirnya yang kaku. Meneguk kaku pula. Kerongkongannya terasa
hangat. namun hatinya tetap dingin. Membeku.
"Kekeliruan apa yang telah kuperbuat, NYI girah ?"
"Tak ada."
"namun tampaknya kau tengah berusaha menjauhi aku...."
"Ah!"
NYI girah meletakkan sloki minumannya. Beralih pandang keluar jendela kuburan yang basah. Tak satu apapun
yang mampu ia lihat .Matanya nanar. Nanar sekali. Dalam cuaca seperti ini ia ingin sendirian. Ingin
berkurung di kamarnya .namun Sumarna tidak bersalah. Waktu mereka meninggalkan rumah NYI girah ,
cuaca masih cerah.
"NYI girah ?"
"Mmm...."
"Apa yang ada di benakmu yang sebeku salju itu?"
Suara Sumarna lembut. Namun tusukannya tajam. Mengiris-iris. NYI girah tetap saja menatap ke luar
lewat jendela kuburan yang ditetesi butiran-butiran air hujan.
Di benakmu yang sebeku salju!
Lebih dua tahun ia bergaul intim dengan Sumarna. Hanya kemunafikan saja yang ia lakukan,
ucapkan, berikan pada Sumarna. Sedang pemuda itu begitu tulus hati. Dua tahun lebih. Dan Sumarna
terlalu tulus hati untuk menyadari bahwa NYI girah telah keliru melangkah sejak semula
"Aku...."
NYI girah meneguk habis minumannya, untuk menggapai keberanian yang hampir pergi kabur.
"Aku harap kau tidak berprasangka buruk."
Ia berbisik getir.
Sumarna tercenung.
Menikmati deburan jantungnya yang lebih keras dari biasa .Kenikmatan paling akhir. yang akan
ia pilih.
"Haruskah aku berjanji?"
NYI girah diam.
"April nanti aku tepat 30 tahun,"
Sumarna berkata Di bathin: dan NYI girah baru 21. Itukah sebabnya?
Sumarna menelan ludah
"April nanti. Itulah maka kupilih pernikahan kita berlangsung pada bulan yang sama. Kuanggap
sebagai hadiah ulang tahun. Paling indah. Mungkin juga paling buruk: April nanti aku berhenti
membujang,"
Sumarna tertawa lunak.
Tapi segera tawanya ia tahan, manakala dilihatnya wajah NYI girah berubah pucat. Gadis itu
menggigit bibir dengan keras.
"NYI girah ?"
Sumarna menggenggam tangan kekasihnya .
"Ulang tahunmu harus tetap dilangsungkan. Nana." ujar si gadis.
Tersendat.
Makin keras deburan jantung Sumarna.
Ulang tahun. Hanya ulang tahunnya.
"Bagaimana dengan hadiahnya?"
Ia bertanya hati-hati. Dan tiba-tiba sadar, pertanyaan itu mestinya ia simpan untuk dirinya
sendiri. sebab ia sudah meraba jawaban NYI girah .
"Kita tunda saja. Oh, Sumarna!"
Dengan berlinang air mata, NYI girah berpaling menatap pemuda di sampingnya.
"Aku tidak bermaksud mengucapkannya. Aku...."
Wajah Sumarna tegang.
"Kau telah mengucapkannya!"
Ia merintih. Dengan emosionil ia lepaskan tangannya dari genggaman NYI girah . Ia ingin
membalikkan meja di hadapannya. Ingin menyambar sebuah kursi dan melemparkannya ke jendela kuburan .
Denyut jantungnya bagai terhenti. Dan ia masih tetap hidup. Masih tetap bernafas.
Atau sekedar mimpi celaka belaka?
Ujung kakinya ditekan kuat ke ujung sepatu.
Sakit.
Sumama tidak sedang bermimpi.
"Sumarna?"
NYI girah menatap cemas.
Sumarna diam.
"Ayolah. Kita pulang saia. Ah, ah. Bukan pulang."
NYI girah kalang kabut sendiri.
"Maksudku, kita teruskan niat kita. Nonton. Film apa tadi? Di bioskop mana? Apakah kita belum
terlambat.?"
Sumama berdiri.
Ia berjalan dengan kepala tegak ke pi











.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
