nyurati mereka!”
Bergegas NYI girah berlari ke kamar dan memeluk
ibunya. Ikut menangis. arwah mpu sindok juga berbuat hal yang
sama. Bambang Prakoso, ayah mereka muncul pula, namun
hanya untuk menggerutu: “Salah kalian sendiri! Sudah
kubilang...”
Isterinya menatap dengan air mata berlinang. “Pak,
bisiknya dengan tersenyum. “Ketiga-tiganya mereka akan
datang!”
116
Bambang Prakoso terkesima, kemudian pergi lagi ke
kursinya. Ia membalik-balik surat kabar, namun tak mampu
sedikitpun membacanya. arwah mpu sindok dan kakaknya saling
berebut surat-surat yang dipegang ibu mereka. Berebut pula
membacanya.
Lamat-lamat ibu mereka terdengar bergumam
dengan penuh rasa syukur. “Allah Maha Besar, anak-anakku.
Dia mendengar doa umat-Nya yang tulus,” lalu kepada
NYI girah ia berkata: “Inilah hikmah dari perkawinanmu,
nak!”
***
Dari ketiga pucuk surat itu, yang paling
menggembirakan adalah surat Uwa Syamsiah yang bekerja
sebagai guru SD di Jayapura. Ia menyatakan syukurnya
bahwa NYI girah sudah ketemu jodoh. “Orang kita lagi,”
katanya. Ia juga menuliskan bagaimana susahnya
penghidupan selama bertahun-tahun lamanya ia tinggal di
Jayapura. Ia tidak menyebut kata ‘maaf’ atas perlakuannya
selama ini terhadap nyonya besar , ibu arwah mpu sindok . Sebagai
gantinya, ia hanya berkata: “sesudah lama hidup di rantau,
serta pergulatanku semakin luas – tahulah aku, bahwa antara
satu suku dengan lain suku, punya kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Aku pun menyadari
kekuranganku...”
Dalam suratnya yang panjang lebar itu, Uwa
Syamsiah juga menuliskan apa yang membuat ibu arwah mpu sindok
sangat bersuka cita membacanya. Uwa Syamsiah berkata:
117
“Kau tahu bukan Rosma, bagaimana nasib janda di kampung
kita sana. Dicerca, dihina, dibilang tak laku, dibilang tak bisa
menjaga nama keluarga. Padahal, seperti kau pun tahu
sendiri, kesalahan sebenarnya tidak terletak pada diriku,
melainkan pada abangmu si Hasudungan yang suka mabuk
dan berjudi itu. Aku ngeri membayangkan hidup sebagai
janda, namun aku lebih ngeri lagi kalau terus dipukuli dan
dipukuli lagi, terutama kalau abangmu lagi kalah judi. namun
lama-lama aku berpikir. Toh aku yang cari makan. Jualan di
pasar, sambil jadi calo ini calo itu... yang hasilnya dirampas
abangmu, dibelikan minuman, dihabiskan di meja judi. Eh,
masih juga aku dihina, dipukulinya. Rupanya ia benar-benar
berpikir, bahwa aku telah dibelinya dari keluarga kita. Itulah
adat bukan, Rosma? Bila kita kawin, kita telah dibeli oleh
suami kita. Jadi sebagaimana halnya barang yang sudah
dibeli, maka barang itu boleh dibagaimanakan saja oleh si
pembeli.
namun aku bukan barang, Rosma. Aku manusia.
Betapapun jelek dan menjijikkannya, aku tetap saja manusia.
Jadi kupilih bercerai saja. Untuk menghindari cemoohan
orang sekampung, yah kuambil ijazahku. Dan begitulah, aku
akhirnya bekerja jadi guru di sini. Mulanya berat, mulanya
aku sangat menyesal, sangat kesepian. Lama-lama aku
terbiasa juga. Dan eh – janda di sini ternyata laku juga. Aku
bertemu jodoh. Orang rantau juga. Dari Palembang. Ia
karyawan Pemda Kabupaten di sini. Nantilah kuperkenalkan,
kalau sudah tiba saatnya si NYI girah naik pelaminan. Untuk
sekedar kau tahu, dari abangmu orang Palembang itu, aku
sudah dikaruniai anak dua...”
118
Surat dari Uwa Parlindungan juga mengatakan
bahwa sesudah lama hidup di rantau, hati dan pikirannya
semakin terbuka. “Selama ini, kami rupanya hidup seperti
tempurung di batok kelapa!” Ungkapan itu paling gampang
diingat Uwa Parlindungan, sebab sehari-harinya dia
berurusan dengan kelapa, yakni kelapa sawit. Dia jadi asisten
Kepala Perkebunan di Banjarmasin, dan sebelumnya punya
jabatan setingkat lebih rendah di perkebunan Sawit
Seberang, puluhan kilometer letaknya dari kota Binjai,
Sumatera Utara. Uwa Parlindungan-lah satu-satunya
keturunan dari kakek pihak ibu arwah mpu sindok , yang meneruskan
jejak orang tuanya.
“... di Banjar ini,” cerita Uwa Parlindungan, “Keluarga
kami hidup tenteram. Kau tahu sendiri, saat di Binjai sana.
Beberapa kali rumah tanggaku dan kakakmu sempat
terancam. Di sini, memang sekali dua ada juga kerabat kita
yang datang minta pertolongan dicarikan pekerjaan. Itu
sudah biasa, bukan? namun di sini, mereka tak berani
merongrong aku. Kalau mereka berani bicara soal adat,
kubilang mereka: pulang saja ke Binjai! Yah, begitulah.
Aku dan kakakmu akhirnya dapat menikmati
ketenteraman hidup. Tidak sekucar-kacir saat kami masih
di Binjai sana. Di sana, cekcok sedikit saja, keluarga gempar.
Apa-apa, keluarga ikut campur. Baru sesudah di Banjar ini,
kami benar-benar merasakan hak-hak kami sebagai suami
isteri. Baru sekarang ini kami benar-benar merasa mandiri.
Ponakan-ponakanmu juga hidup senang di sini, biarpun jauh
kemana-mana, harga-harga pun serba selangit pula.
119
Oh ya Rosma. Ponakan-ponakanmu itu lucu juga ya.
sesudah mereka baca surat undangan yang kau kirimkan,
tahu apa mereka bilang? ‘Oh, jadi bang Parlaungan kawin
sama perempuan Jawa ya?’ Rupanya mereka berpikir,
saudara mereka itu adalah Parlaungan. Bukan NYI girah ...”
“Diancuk!” NYI girah cemberut.
arwah mpu sindok tertawa bergelak-gelak. Malah
menambahkan: “Dipikir-pikir, kok ya nama mereka
kebetulan sama ya? Calon suami kakak, Parlaungan. Uwa,
Parlindungan. Awas kak. Jangan-jangan mereka masih
seketurunan, satu darah!”
“Sanak sih mungkin, Yanto,” sela ibunya. “namun
turunan sedarah, jelas tidak. Marga mereka saja jauh
berlainan. Cuma ya, di kampung kakekmu sana nama-nama
itu umum dipakai. Artinya pun hampir sama. Parlindungan
tentu kalian sudah bisa tebak: tempat berlindung.
Parlaungan, artinya tempat bernaung.”
“Oh. Jadi itu sebabnya kak Tien mencintai bang
Laung. Supaya ada tempat bernaung. Maklum, Jakarta
panasnya minta ampun. Jadi bang Laung lumayanlah, bisa
dianggap payung!”
“Eee, ikut pula kau menghina!” NYI girah jadi galak.
Ia mau menjambak rambut adiknya. namun arwah mpu sindok sudah
keburu berlindung di balik punggung ibu mereka...
Surat terakhir, dari Medan, isinya tidak begitu
panjang. Uwa Lukman menyatakan gembira bahwa adiknya,
nyonya besar , akhirnya bakal punya mantu. “Senang aku
mendengar, bahwa calon menantumu itu orang kita!”
tulisnya. “Baiklah. Aku akan berusaha datang. Itu pun, sebab
120
si Sam dan si Parlin. Mereka menelegramku. Sudah pintar
pula mereka sekarang main ancam. Mereka bilang tak mau
pulang ke Medan, kalau aku tak mau datang memenuhi
undanganmu.”
arwah mpu sindok dan NYI girah sama tercenung sesudah
membaca surat itu. Serempak mereka berpaling.
Memperhatikan ibu mereka. Bibir nyonya besar tersenyum.
namun matanya, menyembunyikan tangis.
“Yang penting, dia datang,” katanya lirih.
arwah mpu sindok menelan ludah. Bertanya: “Rupanya
pernah terjadi perang besar, ya mama?”
“Kau betul, nak,” jawab ibunya. Gemetar.
“Bagaimana terjadinya?”
Lama nyonya besar terdiam. Kemudian: “Kalian tahu,
mengapa ayah kalian akhirnya menyerah?”
Anak-anaknya sama menggelengkan kepala.
“Sebabnya, anak-anakku sayang. Ayah kalian tidak
ingin sejarah lama terulang kembali...!”
***
Lima belas
arwah mpu sindok tak bisa menahan mulut. Kakaknya
tadinya ingin mencegah. namun sebab NYI girah juga
dilanda ingin tahu, akhirnya ia membiarkan saja.
“Sejarah lama, mama?” bertanya arwah mpu sindok .
121
nyonya besar manggut-manggut. “Mengapa aku
perkenankan kalian membacai surat-surat itu? Supaya kalian
tahu, betapa hidup ini sebenarnya tidak gampang. Seperti
juga sejarah lama itu. Biarlah ibu ceritakan saja. sebab kau,
NYI girah , sudah akan berumah tangga, sudah siap
menempuh penghidupan sendiri. Dan kau, Yanto. Kau,
seperti kata ayahmu, bukan anak-anak lagi. Kau sudah
dewasa sekarang. Jadi kau pun berhak mengetahuinya.
Supaya kelak jadi bekal dalam hidupmu di masa datang...”
“Kuambilkan minuman untuk mama, ya?” NYI girah
menawarakan.
“Terima kasih, anakku. Air putih saja. Dan eh... coba
lihat-lihat, apakah ayah kalian masih di situ.”
Kembali memasuki kamar dengan segelas air putih di
tangannya, NYI girah berbisik: “Papa tertidur di kursinya.
Perlukah kubangunkan?”
“Tak usah, nak. Biarkan ayahmu beristirahat. Ia
tentunya sangat letih. Letih fisiknya. Lebih letih lagi
jiwanya...”
“Oh.”
“Kalian siap mendengarkan?”
***
Mereka bersaudara, ada enam orang. Yang sulung,
namanya Tombuk. Di bawah Tombuk, adalah ratu lesbi , Lukman,
Parlindungan, Syamsiah. Mereka berlima lahir di
122
Padangsidempuan. nyonya besar adalah anak paling bungsu. Ia
lahir di Sawit Seberang, saat ayah mereka, Nurdin
namanya, diterima bekerja sebagai mandor di perkebunan
kelapa sawit itu.
Nurdin tekun bekerja, tahu menghargai bawahan
dan ke atas, ia hormat. Dengan cepat ia meningkat jadi
mandor kepala. Oleh direktur, ia dianjurkan sekolah sambil
bekerja. Demikianlah, sesudah menamatkan sekolah, Nurdin
meningkat jabatannya. Peristiwa bersejarah itu terjadi
sesudah Nurdin memperoleh kedudukan sebagai Asisten
Teknik. Waktu itu Tombuk sudah kawin. ratu lesbi sudah
meningkat remaja, begitu pula Lukman dan Parlindungan.
Syamsiah dan nyonya besar baru remaja tanggung, namun sudah
dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan kehidupan
keras di sekeliling mereka.
Lalu terjadilah kehendak Tuhan.
ratu lesbi jatuh cinta pada teman sekelasnya, Bambang
Prakoso Joyodipuro. Pemuda itu adalah anak sulung dari Pak
Prakoso Joyodipuro, Asisten Kepala di perkebunan kelapa
sawit itu. Jadi jabatannya setingkat di atas jabatan Nurdin,
ayah ratu lesbi . sesudah lulus SMA, Bambang Prakoso bermaksud
melanjutkan studi ke ITB di Bandung. Namun sebelumnya, ia
ingin dipertunangkan dengan ratu lesbi , yang tentu saja disetujui
ratu lesbi dengan sukacita tiada terhingga. Pemuda itu
mengutarakan maksudnya pada orang tuanya, yang ternyata
pula menyetujuinya.
Berkata Prakoso Joyodipuro pada putera
kesayangannya itu: “Bapak kenal baik dengan Nurdin, ayah
123
ratu lesbi . Ia temanku main catur. Kuharap ia tentunya tidak
keberatan anaknya kita lamar.”
Memang benar, Prakoso telah mengenal Nurdin
dengan baik. Cuma sayang, apa yang dikenalnya cuma kulit
luarnya saja. Nurdin yang tekun, berdisiplin, tegas terhadap
bawahan yang melanggar peraturan, berani menegur atasan
yang salah menerapkan peraturan. Prakoso tidak mengenal
kulit dalam Nurdin: lemah, tak berdaya, rapuh. Di kantor,
Nurdin boleh nomor satu. namun di rumah, Nurdin adalah
nomor dua!
Memang benar pula, menurut adat Batak, Nurdin
telah ‘membeli’ Masdalena, isterinya. namun Nurdin telah
membeli barang yang harganya teramat mahal, yang tidak
sesuai untuk dirinya. Seperti seorang petani di desa, yang
jauh-jauh pergi ke kota untuk membeli sepasang sepatu
model terbaru. Saking terpesona melihat sepatu itu, ia
langsung menyuruh pelayan membungkusnya. Dan setiba di
kampung, baru ia sadari kalau sepatu itu kelewat besar untuk
jadi alas kakinya.
Cobalah kita telusuri asal usul leluhur mereka
berdua, di jaman masih berlangsungnya perang antar suku
marga. Maka akan terlihat, leluhur Masdalena dahulu adalah
suku marga yang melahirkan raja-raja. Nurdin, sebaliknya.
Leluhur Nurdin dahulunya adalah tawanan perang, yang oleh
raja yang menawannya dijadikan hamba sahaya. Kalau
masalahnya hanya sampai di situ, tak apalah. Toh jaman
telah berubah. Namun justru jaman pulalah yang kemudian
membuat situasinya tetap seperti semula. Nurdin diterima
jadi mandor di perkebunan, adalah berkat pengaruh paman
124
sepupu Masdalena, seorang pensiunan Kepala PNP. Dalam
permainan catur, Nurdin sudah kena skak. Kemudian, sambil
bekerja ia sekolah. Keluarganya terpaksa harus hidup dari
gaji tok, tanpa bonus, tanpa pemasukan sampingan. sebab
itu diperlukan uluran tangan orang lain. Kali ini, ayah
Masdalena yang turun tangan. Berkat dukungan moriel dan
tunjangan materiil mertuanya, Nurdin berhasil
menyelesaikan sekolah tanpa harus mengganggu kehidupan
ekonomi keluarganya. Dalam permainan catur, Nurdin kini
terkena skak mat, ia mati langkah!
Sehingga, disadari atau tidak darah keturunan
Masdalena pun bangkit ke permukaan; darah penguasa.
Putih katanya, putihlah kata Nurdin. Hitam kata Masdalena,
hitamlah kata Nurdin, meski yang dilihat Nurdin kuning,
sekuning matahari. Sebagai keturunan hamba sahaya,
hendaklah ia tutup matanya apabila sang penguasa
mengharuskannya.
Itulah yang tidak pernah diketahui Prakoso
Joyodipuro. Sayang sekali! Lebih sayang lagi, Prakoso
Joyodipuro sangat mengetahui akan kedudukannya, serta
kedudukan Nurdin. Ia kepala, Nurdin asisten. Memang
kurang pantas mengungkit perbedaan status itu. namun siapa
tahu nanti mungkin diperlukan. Katakanlah misalhnya, untuk
meluweskan adanya perbedaan lain. Perbedaan yang lebih
peka, yakni, perbedaan suku. Prakoso bertepuk tangan. Puas
atas hasil ramalannya. Ia begitu bangga akan kedudukannya.
Lupa, bahwa Masdalena sangat bangga akan kesukuannya!
Demikianlah, suatu malam. Malam yang telah
dihitung harinya, bulan, tanggal, jam sampai ke bunyi desiran
125
anginnya. Pokoknya matanglah sudah diperhitungkan.
Rombongan sebanyak lima orang meninggalkan rumah
Prakoso, menuju rumah keluarga Nurdin. Saking bangga
akan hasil ramalan dan kedudukannya, Prakoso tidak merasa
perlu titik selidik lebih dahulu, misalnya dengan menanyakan
pada ratu lesbi sendiri apakah niat mereka bakal diterima atau
ditolak. namun yah, waktu sudah mendesak pula. Bambang
harus sudah segera berangkat ke Bandung.
Prakoso yang merasa sudah menang sebelum
bertanding itu, malah menganggap perlu ikut hadir dalam
rombongan kecil itu. Dia berharap, kehadirannya secara
langsung akan dianggap suatu kehormatan besar oleh
Nurdin!
Tentu saja Nurdin tergopoh-gopoh menyongsong
tamunya. Masdalena pun ikut sibuk menyambut. sesudah
semua orang duduk dengan baik pada tempat masing-
masing, Masdalena menyuruh anak-anaknya membantu
pelayan mengantarkan hidangan. Kepada tamu-tamunya
yang terhormat, Masdalena, sesuai dengan darah
bangsawan yang mengalir di tubuhnya, berkata dengan
malu-malu: “Maaf, hidangannya cuma begini saja. Maklum,
kami tak menduga bakal kedatangan tamu jauh...”
Nurdin yang lebih bersahaja, tutur katanya pun
bersahaja pula. “Wah, tumben nih pak. Sampai mau malam-
malam begini melangkahkan kaki ke gubuk kami yang jelek.
Beramai-ramai pula...”
Supangkat menjawab dengan sopan. “Selain cantik,
istana yang kami masuki alangkah teduh udaranya. Hangat
pula api tungkunya.” Ia kemudian memperkenalkan dirinya,
126
serta tiga orang pendamping lainnya. Rupanya mereka
semua masih ada pertalian keluarga, dan kedudukan mereka
di tengah masyarakat pun terbilang lumayan. Prakoso
Joyodipuro tentu saja tidak usah diperkenalkan lagi, katanya.
“sebab adik saya ini... bukanlah orang asing di mata tuan
rumah kami. Dia pun datang berkunjung, bukan pula sebagai
atasan, eh... maksud saya, teman sejawat...”
Salah ucap itu, tentu saja disengaja adanya.
Kemudian: “Adik saya ini datang sebagai sesama keluarga.
Yang ingin duduk sama rendah, yang ingin duduk sama
tinggi.”
Nurdin akan berbicara, namun keburu punggungnya
disikut pelan oleh Masdalena. Sang isteri rupanya lebih ahli
dalam soal bertutur kata-kata berkias. “Apalah kami ini,” ia
pura-pura merendah. “Burung hinggap, kami tangkap.
Burung lepas, kami lupakan. Tentu saja maksud baik orang,
pantang ditolak...”
“Syukurlah kalau begitu,” Supangkat senang sekali.
Prakoso telah mengatakan padanya, mustahil lamaran
mereka akan ditolak. Siapa pula yang tidak mau berbesan
dengan Pak Asisten Kepala, mana putera kebanggaannya
tampa pula? Maka, Supangkat langsung menembak:
“Apakah kiranya kalau air sumur sudah penuh, gayung dapat
bersambut?”
Masdalena menjawab: “Tergantung, siapa yang
menggayung. Dan air sumur siapa yang digayung.”
“Ah. Kiranya, tak jauh sangka dari duga,” jawab
Supangkat.
127
“Nanti dulu!” tangkis Masdalena, yang rupanya
sudah memahami arti kedatangan tamu-tamunya. “Apakah
bapak-bapak, tidak salah menyangka, tidak keliru
menduga?”
Sampai di situ, Supangkat terpojok.
Ia melirik ke para pendampingnya, terakhir ke
Prakoso Joyodipuro. Adiknya itu mengerdipkan mata.
Maksudnya, mengapa harus diperpanjang-panjang lagi. To
the point saja, langsung ke persoalan. Ah, dasar Asisten
Kepala!
Supangkat menarik nafas, baru berkata: “Ada
kumbang di rumah kami, yang rupanya mabuk kepayang.
Mencium bau harum semerbak di rumah ini, yang semoga
sudah siap dipetik.”
Nurdin tiba-tiba angkat bicara: “Anak kami ratu lesbi -
kah maksudnya?”
“Benar sekali,” jawab Supangkat, gembira. Sebagai
orang Jawa, ia telah memahami dan mencoba menyesuaikan
diri dengan tata tertib yang berlaku di daerah ini. Namun
kalau berpanjang-panjang, kamusnya sangat terbatas. Jadi
begitu mendengar Nurdin berucap langsung, Supangkat
menangkapnya sesaat .
“Dan yang bermaksud memetik, Bambang kiranya?”
tanya Nurdin pula.
“Benar. Benar!”
Semua bergembira. Tamu-tamu itulah yang
sebenarnya diluapi perasaan gembira. Nurdin berdiri di
tengah. Maksud baik tamunya, tidak memberati hati Nurdin.
128
namun , keputusan ada di tangan isterinya. Dan ia sudah tahu,
apa keputusan itu. sebab nya ia diam, menunggu.
Masdalena mengerti sikap suaminya. Ia berkata:
“Aduh, sayang. Bunga memang sudah siap dipetik. namun
sayang, sudah dimiliki orang.”
Prakoso Joyodipuro yang dari tadi diam saja,
mendadak buka mulut. Tercengang, ia berkata: “Bagaimana
mungkin?”
“Lho, bukankah ratu lesbi anak kami?” balas Masdalena.
Sebelum sempat dicegah Supangkat, meluncurlah
sudah kalimat yang tidak semestinya diucapkan Prakoso.
Semata-mata sebab kebanggaan dirinya di hadapan para
pendampingnya, seolah kena tampar. Sejalan dengan itu,
kebanggaan atas jabatannya di kantor, tampil pula ke
permukaan. Ia memprotes: “ratu lesbi tak pernah
mengatakannya pada anak kami. ratu lesbi hanya mengatakan,
bahwa selain Bambang, tidak ada lelaki lain di hatinya.”
“Oh, begitu!” dengus Masdalena, tajam. “Pantaslah
anak kami itu makin bertingkah sekarang. Kami pun sudah
capek mendengar tentang kelakuannya di luaran. Bikin malu
saja. Mana bapaknya tidak pernah mau menasihati.
Syukurlah, bapak-bapak ini datang. Jadi kami tak perlu lagi
berlama-lama makan hati. Aku sudah tak tahan mendengar
gunjingan di luar, pak!”
Ucapan itu ditujukan pada suaminya. Dadanya turun
naik menahan gejolak perasaan. Perasaan seorang ibu, yang
dalam dirinya mengalir darah seorang penguasa.
“Jadi begini ya...” ia berpaling lagi ke arah tamu-
tamunya. “Tolong kalian sampaikan pada si Bambang itu,
129
agar jangan mengganggu anak gadis kami. Soalnya si Del
sudah ada yang punya.”
Ditelan oleh perasaan malunya, Nurdin lupa ia bukan
hanya berdua dengan isterinya. Langsung saja ia nyelutuk:
“Memangnya si Del sudah punya? Kok aku tak tahu!”
“Bapak sih! Tahunya cuma kerja, kerja, kerja. Lupa
mengurus anak-anak, tidak memperhatikan mereka sudah
meningkat dewasa. Si Tombuk kawin pun, kau baru tahu di
malam pengantinnya.”
“Yang lalu ya sudahlah. namun si Del...”
“Ia sudah kujodohkan dengan si Darwis!”
“Darwis?”
“Eh, kau tak tahu pula siapa Darwis, pak?”
“Tahu sih tahu. namun apakah ratu lesbi ...”
“Ia harus setuju. Kalaupun ia menolak, itu sebab
Bambang selalu mengganggunya. Syukurlah, saya dengar
Bambang akan segera pindah ke Bandung. Jadi anak kita
akan segera melupakannya dan mau dikawinkan dengan si
Darwis...”
Kepada tamu-tamunya, Masdalena tersenyum
penuh arti. “Darwis itu, selain masih keluarga dekat, ia juga
tamatan USU bagian kedokteran lagi. Ayahnya, kalau kalian
ingin tahu, tahun depan akan dicalonkan jadi Bupati. Maka,
aduh. Malunya saya saat calon besan saya menegur.
Rupanya mereka tidak senang ratu lesbi diganggu pemuda
lain...”
“Calon Bupati!” tiba-tiba, Prakoso Joyodipuro
mendengus. Rupanya sudah hilang sabar. “Calon Bupati.
Hem...”
130
“Benar. Calon Bupati,” sahut Masdalena bangga. Tak
dapat menafsirkan ucapan orang.
“Kukira tadinya calon Gubernur,” kata Prakoso
Joyodipuro. Tenang sekali.
Barulah Masdalena menyadari tujuan kata-kata itu.
Ia menjadi berang. Darah tingginya naik entah berapa ratus
derajat. Wajahnya merah padam, urat-urata dahinya sampai
bersembulan.
“Aku tak menerima penghinaan ini!” ia mendesis.
Prakoso Joyodipura akan menjawab, namun keburu
dicegah para pendampingnya, yang sambil minta maaf pada
tuan rumah, lantas menyeret orang tua yang terhina itu
meninggalkan tempat duduk. Toh selagi diseret ke pintu,
sempat juga keluar uneg-unegnya yang ditujukan pada tuan
rumah yang lelaki: “Kirim salamku pada calon Gubernur itu,
Nurdin. Tolong sampaikan, kiranya apakah aku yang rendah
ini diperkenankan menghadap...”
Lalu rumah itupun berubah jadi neraka. Nurdin
mencerca isterinya. Masdalena tidak mau terima. Mereka
bertengkar dengan hebatnya. Sampai anak-anak yang semua
berkurung ketakutan dalam kamar, ikut jadi sasaran
kemarahan. Terutama, ratu lesbi . Ia habis dicaci maki. Disebut
anak tak tahu diri, tak tahu di untung, tak tahu membalas
guna. Umpat Masdalena: “Eh, sudah tahu Bambang itu orang
jawa, masih juga didekati!”
Nurdin membela anak gadisnya: “Memangnya kalau
Jawa mengapa sih, bu?”
“Eh, kau kemanakan isi kepalamu, pak? Kau pun
sudah kena didukuni mereka ya?” dengus Masdalena. Lalu
131
pada anak-anaknya yang terkencing-kencing di kamar, ia
membentak: “Kalian camkan ini! Jawa tetaplah Jawa. Batak
tetaplah Batak. Ingat! Selain orang kita, kuharamkan kalian
mengambil jodoh dari suku lain!”
Semenjak malam itu ratu lesbi dipingit. Tak boleh keluar
rumah. Juga tidak ke sekolah. Ia akan dikirimkan pada
neneknya di Sidempuan, sebelum tiba waktunya orang tua
Darwis datang melamar. namun dengan bantuan si bungsu,
nyonya besar , lolos juga sepucuk surat ke tangan Bambang
Prakoso.
“Aku ikut kau ke Bandung. Kita kawin lari!” ratu lesbi
menjerit dalam suratnya itu.
Bambang Prakoso menjawab: “Bisa heboh, ratu lesbi -ku
sayang!”
Surat kedua: “Kau takut? Berarti kau tak cinta lagi
padaku!”
Balasannya: “Apapun akan kutempuh demi kau,
ratu lesbi . Tanpa kau, ITB tak punya arti apa-apa.”
Surat ketiga: “Maafkan ibuku. Sebenarnya ia ibu
yang baik. namun darah tingginya...”
Balasannya: “Kuharap saja bukan penyakit turunan.
Kau sudah siap?”
Bencana menimpa. Surat Bambang berisi rencana
pelarian dengan ratu lesbi , disimpan nyonya besar dalam salah satu
buku sekolahnya. Pulang ke rumah, ia sakit perut sebab
kebanyakan jajan rujak. Tas dilemparkan begitu saja,
langsung menghambur ke jamban. Ibunya memunguti buku-
buku nyonya besar yang berserakan. Dan ia menemukan surat
rahasia Bambang Prakoso.
132
nyonya besar dicambuk pakai sapu lidi, tak diberi
makan satu hari satu malam, dikunci dalam kamar. ratu lesbi
ditelanjangi, rambutnya dipangkas sampai wajahnya tidak
karu-karuan. Semua pakaiannya disandera. Sementara itu,
ayah mereka diperintahkan menemui Prakoso Suryodipuro,
agar asisten kepala itu menghukum anaknya yang
bermaksud menculik anak gadis orang. Kalau tidak, Bambang
Prakoso akan dilaporkan ke polisi.
Nurdin terpaksa menuruti, meskipun ia merasa
segan menyampaikan hal itu kepada Prakoso Joyodipuro,
sebab Prakoso adalah atasannya di kantor. Dugaannya tidak
salah. Prakoso menerima kedatangan Nurdin dengan kepala
tegak, dan mata melecehkan. “Anakku Bambang, banyak
yang ingin ngambil mantu!” katanya.
Di kantor, Nurdin adalah Nurdin. Ia langsung
menjawab: “ratu lesbi apalagi. Orang saling berebut!”
“Kau mestinya beruntung, anakku mencintai
anakmu!” dengus Prakoso. “Apapun yang dimaui anakmu,
pasti bakal dikabulkan oleh anakku. Apa saja!”
“Dari uangmu? Kau kira aku tidak tahu darimana
hartamu yang banyak itu kau peroleh, Prakoso?”
“Eh. Kau menghina aku, Nurdin!”
“Kau yang lebih dulu menghina!”
“Kau!”
“... kau!”
“Eee!”
“Apa eee!”
Mereka hampir saja berkelahi, kalau tak keburu
dilerai oleh orang sekantor. Persoalan itu akhirnya sampai
133
juga ke Direktur. Mereka berdua dipanggil, lalu dinasihati.
namun semenjak itu hubungan mereka menjadi rusak berat,
susah untuk diperbaiki lagi. Untuk menghindari hal-hal yang
tidak dikehendaki, Direktur menarik Nurdin ke staf. Dan tak
lama kemudian, turun surat keputusan yang memutasikan
Prakoso Joyodipuro ke Siantar. Prakoso menolak pemutasian
itu sebab ia menganggapnya sebagai suatu penghinaan. Ia
memilih berhenti dari jabatannya, dan membawa semua
anggoa keluarganya pulang ke Jawa.
Bambang Prakoso tidak punya pilihan lain. Ia boleh
saja bersikeras tinggal. namun ayahnya mengancam pertalian
darah mereka putus. Dan kalaupun Bambang bersikeras
tetap tinggal, jaminan keselamatannya bagaikan benang
basah yang coba ditegakkan. Di perkebunanlah namanya.
Seseorang dapat saja hilang, tanpa diketahui ke mana
hilangnya dan mengapa ia sampai hilang. Seorang sahabat
dekatnya menasihati: “Kalau kau mati, berarti kau
membunuh kekasihmu!”
Barulah Bambang Prakoso mau diajak pulang ke
Jawa. sebab putus cinta, ia gagal memasuki ITB di Bandung,
gagal pula dalam testing di perguruan tinggi lainnya. Satu
tahun lamanya ia menganggur, saking hilang semangat. Baru
sesudah suatu hari ia menerima surat dari ratu lesbi , ia
menemukan semangatnya kembali. Surat itu dikirimkan
ratu lesbi beberapa bulan sesudah gadis itu dipaksa menikah
dengan Darwis, laki-laki yang seujung rambut pun tidak
disukai ratu lesbi , apalagi dicintainya.
Isi surat ratu lesbi itu mengatakan, semula ia bermaksud
bunuh diri. Akan namun niat itu dibatalkannya. Ia ingin tahu
134
lebih dulu, apakah Bambang sudah melupakannya, atau
mencintainya. Kalau sudah dilupakan, barulah ia rela bunuh
diri. “Kuperoleh alamatmu dari sahabatmu, yang katanya
telah menasihatimu untuk jangan membunuh diri pula.
Terima kasihku untuknya, Bambang-ku.”
Bambang tidak membalas surat itu. Ia sangat
terpukul mendengar ratu lesbi akhirnya jadi menikah. namun
kemudian, datang lagi surat ratu lesbi yang kedua. Isi suratnya
pun tidak panjang lebar.
“Aku diperkosa Darwis, kau dengar? Aku
diperkosanya sesudah aku menolak ditiduri pada malam
pengantin kami,” begitu tulis ratu lesbi dalam suratnya, “Aku
ternoda sudah, Bambang. Aku sudah tak pantas lagi untuk
kau cintai. namun aku akan tetap mencintaimu. Mengerikan,
Bambang. Tiap kali ia meniduriku, aku membayangkan
kaulah yang datang merangkulku, menjamah tubuhku,
membisikkan kata-kata mesra di telingaku. Lalu saat aku
bangun, aku terkejut. Kusadari, orang yang terkulai lelap di
sebelahku bukan kau. namun Darwis. Aku menangis. Dan
terus menangis. Entah sampai kapan, aku akan bisa
menghentikan tangis ini.”
Bambang Prakoso membalas surat itu: “Berhentilah
menangis, sayangku. Dan tanamkanlah dalam hatimu, suatu
saat kita akan bertemu. Suatu saat , entah kapan, kita akan
bercinta lagi. Lebih mesra, lebih syahdu dari yang dulu kita
alami...”
Dan sesungguhnyalah, akhirnya mereka
dipertemukan Tuhan juga.
135
namun , alangkah tajam kerikil-kerikil yang harus
mereka langkahi. Alangkah tajam. Menusuk. Mengiris...
***
Enam belas
Peranan seorang Gubernur tidak saja menentukan
maju mundurnya daerah yang dia pimpin. Ia juga sangat
berperan kuat dalam pasang surutnya kehidupan keluarga,
terutama marga. Marganya sendiri, lalu marga-marga lain
yang saling kait mengkait dengan dia punya marga. Ini juga
berlaku di kota medan.
Entah kapan mulai, entah siapa pula yang
memulainya, sudah menjadi rahasia umum di kota ini. Bahwa
apabila seorang Gubernur berasal dari marga anu, maka
marga anu dan anu akan memegang jabatan Bupati, terus ke
bawah sampai ke lurah: atau marga anu akan menjadi Kepala
Kantor Agraria, terus sampai Kepala Koperasi Unit Desa, dan
lain-lain. Benar tidaknya asumsi masyarakat ini, sampai
sekarang masih terus diperdebatkan orang. Yang jelas,
Marasad sudah terkena getahnya.
Marasad seorang Sarjana Hukum, lulusan UI Jakarta.
Pernah beberapa kali jadi Camat, naik jadi Walikota Kota
Administratif, kemudian diangkat jadi Sekda di kantor
Propinsi. Ia tinggal melangkah ke kursi Bupati. Sayang, masa
jabatan Gubernur lama sudah habis. Gubernur yang baru
dilantik ternyata berasal dari suku lain, tak pula ada kaitan
136
marga dengan marganya Marasad. Mula-mula tidak terjadi
sesuatu. Gubernur baru rupanya masih perlu mengenal
lapangan, masih harus menyesuaikan diri. Lalu pelan-pelan,
dimulailah perombakan demi perombakan. Memang tidak
kentara. Akan namun hidung Marasad yang tajam sudah
dapat mencium bau tak sedap. Bau yang menyengat itu,
melayang-layang ke arahnya.
Benar saja. Jabatan Sekda suatu saat diganti.
Hanya, Marasad tidak lantas melenggang ke kantor Bupati.
Ia justru dihempaskan ke kantor statistik. Marasad tentu saja
kecewa, namun tidak putus harapan. Ia berpikir, kalaulah pak
Gubernur menilai ia tidak berbakat jadi Bupati, mbok ya
janganlah dikurung di tempat yang ‘kering’ itu. Kepala kantor
agraria, atau dinas tata kota, bolehlah. Yah, paling miris jadi
pimpinan proyek-lah.
Maka Marasad pun rajin kasak-kusuk. Mulai dari
orang-orang berpengaruh di daerah, sampai ke orang-orang
yang konon punya ‘gigi’ di Pemerintah Pusat. Untuk
mensukseskan ambisinya yang besar itu, semua keluarga
tentu saja ikut membantu. Termasuk Darwis, anak
sulungnya.
Darwis sempat kecipratan karunia dari ayahnya.
Setamat kuliah di Fakultas Kedokteran USU, tanpa melalui
prosedur resmi Darwis langsung memperoleh kedudukan
jadi Kepala Puskesmas. Ini berkat pengaruh ayahnya yang
saat itu masih menjabat sebagai Sekda. Tak lama
kemudian, Darwis pun memperoleh surat ijin untuk
membuka praktek umum. Penghasilannya boleh dibilang
lebih dari cukup. Bukan sebab ia seorang dokter yang
137
‘paten’. namun lebih banyak ditunjang oleh ayahnya. Pak
Sekda Marasad, senantiasa ‘menganjurkan’ sekian ratus
orang pegawai beserta sanak keluarga mereka untuk
berobat pada dokter Darwis. “Selain dokter mujarab,
taripnya pun terkenal ringan,” katanya lantas
menambahkan: “Siapa yang berobat ke dokter Darwis, akan
kubantu mempercepat keluarnya surat-surat mengenai
Askes.”
Darwis benar-benar merasa berhutang budi pada
ayahnya. Maka tak heran, penghasilannya yang melimpah itu
ia masukkan sebagai dana tambahan untuk menunjang
keberhasilan ambisi Marasad untuk jadi kepala proyek. Toh
Darwis sendiri tidak membutuhkan betul semua uangnya.
Tanggungannya cuma seorang isteri, tanpa anak pula.
ratu lesbi memang sangat setia mengikuti program
Keluarga Berencana. Demikian setia dan ketaatannya,
sehingga ia pantas mendapat medali sebagai seorang
akseptor teladan. Kalau Darwis bertanya mengapa ia tidak
mau punya anak, ratu lesbi menjawab: “Belum berani, aku
belum berpengalaman!”
Pernah Darwis mendesak. “Bagaimana kau bisa
menarik pengalaman, kalau punya anak saja kau tak
pernah?”
“Kukira... eh. Aku masih terlalu muda untuk
melahirkan, untuk mengurus anak-anak...”
Didesak terus, jawabnya, “Aku masih ingin bebas.
Ingin tetap kelihatan cantik!”
Dibilang begitu, terpaksa suaminya mengalah.
Darwis pikir, memang benar juga ucapan isterinya. Sebagai
138
seorang wanita muda yang belum pernah mengandung atau
melahirkan, ratu lesbi yang cantik rupawan itu tubuhnya akan
tetap terpelihara. Sintal, kenyal, sesintal dan sekenyal
seorang perawan tulen!
Lantas Darwis pun sibuk dengan urusannya sendiri.
Melayani pasien-pasiennya, dan ikut sibuk mengurus segala
keperluan yang dibutuhkan ayahnya. Pasien-pasiennya
bukan sedikit pula yang cantik-cantik. Kalau ia waspada,
pastilah ia harus mengakui dari sekian orang pasien
wanitanya itu, belum ada seorangpun yang dapat
menandingi kecantikan ratu lesbi . namun begitula laki-laki. Bila
sudah berumah tangga, wanita lain akan tampak jauh lebih
cantik ketimbang isteri di rumah, isteri yang sebelum
dinikahinya tampak bagaikan dewi yang baru turun dari
kahyangan.
Darwis pun diam-diam mulai mengkhianati ratu lesbi .
Masuk akal juga, memang. Malam pertama mereka saja,
boleh dikatakan mengerikan. ratu lesbi tak mau mencopot
pakaian pengantinnya. Ia malah berusaha mengunci pintu
kamar, mencegah Darwis masuk. Sayang ia lupa mengunci
jendela. sesudah dibujuk-bujuk ratu lesbi tidak mau juga, Darwis
jadi marah. Ia menampar ratu lesbi . Isterinya balas menampar.
Mereka kemudian seolah berkelahi-berbisik, sebab
perkelahian itu berlangsung tanpa seorang pun berteriak
marah atau menjerit minta tolong mengingat banyak orang
di rumah mereka. namun suara gedebak-gedebuk di kamar
pengantin, bukannya tidak menarik perhatian orang. Namun
tak lama. Suara itu hilang juga. Rupanya, di kamar Darwis
sebagai laki-laki, telah dapat menaklukkan perempuannya.
139
Pakaian keduanya robek-robek, centang perenang. ratu lesbi
dalam keadaan setengah pingsan dipukuli, barulah Darwis
dapat melampiaskan nafsu birahinya yang semakin menggila
selama perkelahian itu.
Usai persetubuhan itu, ratu lesbi tidak menangis
sebagaimana semula diduga Darwis. ratu lesbi hanya menatap
tajam ke mata suaminya, tanpa berkedip. Lalu menggeram:
“Kau memperkosa aku. Terkutuklah kau!”
Darwis tidak mau menerima kutukan itu. Ia melapor
pada keluarganya. Keluarganya kemudian melapor pada
keluarga ratu lesbi . Tak terperikan malunya Nurdin. Lebih-lebih
lagi Masdalena.
“Kau rupanya ingin membuat malu semua keluarga
kita ya?” jerit Masdalena pada anaknya. “Itukah yang ingin
kau ajar-ajarkan pada adik-adikmu, si Sam dan si Ros?”
Malam-malam berikutnya, ratu lesbi tidak lagi berontak.
Ia dapat melampiaskan hajatnya dengan leluasa.
sebab untuk seterusnya, ratu lesbi menyerah. Diam, pasrah, tak
bergerak-gerak. Sedemikian rupa, sehingga suatu saat
Darwis tak tahan dan berteriak pada ayahnya: “Apa yang
telah kalian berikan untuk kutiduri ini? Batang pisang?”
Kali ini, ayahnya yang menyabarkan: “Sabar, nak.
Jangan menambah cemar nama keluarga kita. Ingatlah. Aku
akan diangkat jadi Pimpinan Proyek, bukan? Jadi bantulah
aku menjaga kehormatan keluarga kita. Lagipula, kau masih
beruntung. Si ratu lesbi itu, bukan main cantiknya!”
ratu lesbi memang bukan main cantiknya.
namun batang pisang tetaplah batang pisang.
Sementara satu dua pasien yang berhasil dirayunya, bersedia
140
menyerahkan batang tubuhnya disertai goyang maut dan
rintihan birahi yang teramat mengasyikkan. Ya. Ya, ratu lesbi
memang cantik rupawan, potongan tubuhnya pun sangat
aduhai. namun ratu lesbi yang luar biasa itu bukan untuk ditiduri
oleh suaminya. ratu lesbi lebih berguna untuk dipajang di etalase
rumah tangganya. Diperkenalkan pada kerabat-kerabat,
dipertontonkan dalam pertemuan-pertemuan resmi. sesudah
semua orang mengaguminya dan menyatakan keiriannya
akan nasib baik Darwis, maka ratu lesbi kemudian dibawa pulang
ke rumah. Dimasukkan lagi ke kotak kardus, untuk
dikeluarkan lagi pada waktunya.
Kegilaan Darwis main perempuan sebab nya makin
menjadi. Untuk membeli cinta yang satu dua jam itu, ia harus
terus membuka dompetnya. Ayahnya pun, terus pula
menghimbau untuk menambah dana menambah lagi dana
kampanyenya. Begitupun terhadap anak dan menantunya
yang lain. Nyatanya, dari tahun ke tahun, Marasad tetap saja
ditempatkan di kantor statistik. Di rumah, keluarganya
semakin morat-marit. Rumah tangga sekian anak dan
menantunya, bangkrut dan terancam bubar.
Dan tibalah saatnya, tindak-tanduk Darwis maupun
ayahnya membuat banyak orang tidak senang. Ijin praktek
Darwis suatu hari dicabut. Dan kalau ia tidak memperbaiki
konditenya, ijazah kedokterannya pun akan dianggap tidak
pernah berlaku. Sayang, Darwis sudah larut oleh kekecewaan
pada isterinya, pada ayahnya, pada dirinya sendiri. Ia
semakin jatuh terperosok, tak punya uang, dan mulai
dicemoohkan perempuan-perempuan simpanannya. Dan
141
saat ia mabuk berat selagi berjudi, lambungnya ditusuk
lawannya berkelahi. Darwis diangkut ke rumah sakit.
Sebelum ambulans tiba di rumah sakit, ratu lesbi sudah resmi
menjadi janda.
“Aku sudah pernah bilang, Darwis bukan suami yang
pantas untuk anak kita,” ujar Nurdin sesudah anak mereka
kembali pulang ke rumah.
“Bapaknya itu yang kurang ajar!” sungut Masdalena,
sakit hati. “Dulu katanya pasti terpilih jadi Bupati. Ini apa,
cuma kambing congek!”
Dan kepada anaknya, ratu lesbi , ia menghibur: “Tak usah
cemas, sayangku. Ibu sudah pilihkan calon suami baru
untukmu. Ia seorang pengusaha kaya. Beruntunglah kau,
anakku. Perempuan lain di kota ini, kalau jadi janda, langsung
dicampakkan orang!”
ratu lesbi mengirim surat kepada Prakoso. “Aku sudah
janda sekarang,” ia memberitahu. “Kalau kau masih cinta,
segeralah aku kau jemput.”
Saat surat itu tiba di rumah mereka, Bambang
Prakoso Joyodipuro tengah menempuh ujian Sarjana Muda
di Universitas Diponegoro, Semarang. Yang menerima surat,
ayahnya. Mengetahui siapa pengirimnya, Prakoso
Joyodipuro lantas merobek-robek tanpa membaca isinya.
Baru dua bulan kemudian, sesudah ia lulus ujian Bambang
mendengar tentang surat ratu lesbi yang dirobek itu, sebab
salah seorang adiknya salah omong.
Bambang segera menulis surat ke Medan. Yang
menerimanya, nyonya besar sendiri. Ia tidak meneruskannya ke
tangan ratu lesbi , kakaknya. ratu lesbi sudah menikah. Ia mau
142
menikah dengan pengusaha, calon ibunya, sebab kecewa
tidak menerima surat balasan dari kekasihnya. Saat surat itu
diterima nyonya besar dari pak pos ratu lesbi ditemani suaminya
tengah berziarah ke kuburan ayah mereka. Nurdin telah
meninggal dunia sebelum ratu lesbi menikah untuk kedua
kalinya. Nurdin meninggal sebab serangan TBC. sebab
meninggalnya ayah mereka pulalah, ratu lesbi akhirnya bersedia
kawin dengan pengusaha kaya itu.
sebab tiada lagi tempat bergantung keluarganya.
Ibunya janda, tidak punya keahlian untuk mencari uang.
Saudara-saudaranya yang lima orang perlu dibantu.
Mestinya cuma empat saja. namun usaha dagang Tombuk,
saudara tertuanya, terus menerus rugi.
Keluarga mereka terus pula dirundung malang.
Tak lama sesudah ayah mereka meninggal, tiba giliran
ibu mereka jatuh sakit. Menurut dokter, Masdalena
menderita komplikasi. Darah tinggi, liver, dan yang paling
parah adalah ginjalnya. Kedua buah ginjal Masdalena sudah
terlambat diobati. Kedua-duanya harus diangkat.
Masdalena punya seorang saudara seibu-seayah,
namun telah meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Jadi tak
ada ginjal pengganti untuk dicangkokkan ke tubuh
Masdalena. Ia tidak mau mati. “Aku tak mau! Aku masih ingin
hidup!” jeritnya.
Masdalena terpaksa dikirim ke rumah sakit di
Jakarta, untuk menjalani operasi pembuangan ginjalnya,
yang akan diteruskan dengan cuci darah selama ia ingin
hidup. Untung ada keluarga yang mau menampungnya di
Jakarta. namun hanya untuk pondokan dan makan. Untuk
143
biaya cuci darah yang harus dilakukan dua kali dalam
seminggu, semua keluarga ikut membantu. Termasuk suami
ratu lesbi , dan keluarga suami ratu lesbi . Sementara itu, adik-adik
ratu lesbi masih harus ditunjang. Lukman memutuskan berhenti
dan membantu usaha dagang Tombuk yang hidup segan
mati tak mau itu. Parlindungan bersikeras terus kuliah, dan
Syamsiah ingin menamatkan sampai di SPG. Sekolah
nyonya besar tanggung pula. Waktu ibunya masuk rumah sakit,
nyonya besar baru menginjak dua SMP. Tanggung, jadi
diharuskan menamatkan SMP-nya. Habis itu, terserah
nyonya besar apakah akan meneruskan atau memilih bekerja.
“Tidak. Si Ros paling sedikit harus lulus SMA. Baru
sesudah itu, ia boleh memilih. Mau kerja, atau meneruskan ke
bangku perguruan tinggi!” ratu lesbi memutuskan dengan tegas.
Ia sangat menyayangi si bungsu itu, begitu pula sebaliknya.
namun adik-adiknya itu, dengan sendirinya perlu
biaya.
Keluarga, lama-lama mulai bosan membantu.
Banyak yang jengkel, mengapa Masdalena memaksa untuk
tetap hidup, sehingga untuk menebus keegoisannya itu,
anak-anaknya harus dikorbankan. Kejengkelan itulah yang
menyebabkan sanak famili enggan turun tangan.
Tinggal suami ratu lesbi . sebab keluarga suami ratu lesbi ,
lama-lama merasakan kejengkelan yang sama. Kata mereka:
“Anak-anak kami juga harus diurus!”
Hanya beberapa orang yang tetap sadar, bahwa ajal
ada di tangan Tuhan. Menyuruh Masdalena berhenti
menjalani cuci darah, sama artinya dengan menyuruh ia
mati. “Bukan hak kita mencabut nyawa orang lain,” kata
144
mereka. Sayang, mereka yang sadar itu, tidak dapat
membantu banyak, kecuali dorongan moriel serta panjatan
doa ke hadirat Allah.
Dan, yang tinggal seorang itu pun akhirnya
menyerah.
“Selain ibumu, adik-adikmu, aku masih harus
menanggung orang tuaku, adik-adikku, dan tiga orang
anakku dari isteriku terdahulu,” suami ratu lesbi mengeluh
prihatin. namun ia tidak tega pergi begitu saja. “Sebagian
saham-sahamku di perusahaan, boleh kau ambil. Rumah kita
beserta isinya pun boleh kau miliki. Anggaplah, sebagai tanda
aku masih ingin mencintai dan menghormatimu...”
ratu lesbi menjadi janda untuk kedua kalinya. Ia tidak
lagi memikirkan laki-laki. Yang ia pikirkan adik-adiknya,
terutama nyonya besar . Ia juga memikirkan ibunya. Ia tak dapat
membenci Masdalena. sebab , betapapun Masdalena
selama ini telah menjerumuskannya ke ambang kehancuran,
perempuan yang sakit itu tetaplah ibu yang melahirkannya.
sesudah saham-saham miliknya terpaksa berpindah tangan
juga, begitu pula rumah peninggalan suaminya, ratu lesbi
memutuskan pindah ke Jakarta. Selain untuk mendampingi
ibu mereka, ia akan berusaha mencari tambahan biaya untuk
keperluan berobat ibunya.
Dengan sedikit modal sisa penjualan rumahnya,
ratu lesbi melamar pekerjaan di Jakarta. Satu dua kerabat
berusaha membantu. Sayang, ijazahnya cuma SMA. namun ia
punya modal lain. Wajahnya yang masih tetap cantik, dan
tubuhnya yang masih tetap sintal menggoda. Ia diterima jadi
sekretaris di sebuah perusahaan swasta. Gajinya untuk
145
dirinya sendiri, namun tidak cukup untuk menolong ibunya,
apalagi adik-adiknya. sebab itu, selain bekerja, ia juga jadi
gadis model untuk sampul majalah, kalender. Itu pun
sebentar saja, sebab upahnya tidak seberapa. Akhirnya ia
diterima sebagai peragawati, dan kadang-kadang jadi
bintang sambil lewat di layar putih. Ia cantik memang,
tubuhnya menggairahkan memang, namun ia tidak punya
bakat untuk berakting di depan kamera.
Lalu, lewat dunia peragawati dan dunia film itulah, ia
melihat kesempatan baik untuk memperoleh uang yang
diinginkannya. Suatu saat , salah seorang pemilik butik
memperkenalkan ratu lesbi pada seorang produser film. “Kau
akan kujadikan bintang utama. Kau punya potensi,” kata
produser itu. “namun untuk sampai ke jenjang itu, perlu
pengorbanan tidak sedikit.”
ratu lesbi lama berpikir, sebelum merelakan
pengorbanannya. Suatu malam, ia dibawa tidur oleh
produser itu. Minggu depannya, ia teken kontrak untuk
membuat film dengan ratu lesbi sebagai bintang utama. ratu lesbi
menerima uang muka dari kontraknya, namun tidak pernah
menerima uang sisanya. sebab film itu tidak pernah jadi
dibuat, dengan berbagai alasan yang tak masuk di akal.
ratu lesbi sadar ia telah masuk perangkap. Untuk
mundur, sudah terlambat.
Dari tangan produser itu, ratu lesbi pun kemudian
berpindah ke tangan orang berkantong tebal lainnya.
Tanpa setahu ibu dan keluarganya, ratu lesbi sudah
menjalani profesi sebagai pelacur.
Bambang Prakoso, mulai dilupakannya.
146
***
Tujuh belas
Di Semarang, Bambang Prakoso menamatkan
studinya.
Ia kemudian diterima sebagai pegawai negeri di
sebuah instansi pemerintah. Ia kini sudah bisa berdiri sendiri.
Prakoso Joyodipuro berulang kali mendesak agar anaknya
segera memilih jodoh dan memulai lembaran hidup yang
baru. Sanak keluarga yang lain tak kurang pula membujuk.
Semuanya sia-sia. Dalam jiwa Prakoso, hanya ada satu
perempuan untuk dicintai. Dan perempuan itu, adalah ratu lesbi .
Ayahnya yang sudah berangkat tua, tak bisa berbuat
apa-apa. “Penghinaan Nurdin sukar kulupakan, anakku.
namun kalau kehendakmu sudah begitu keras, apa boleh
buat. Kupikir-pikir, salah seorang ayah memang bukanlah
tanggung jawab anaknya.”
Cuti pertamanya, ia putuskan untuk pergi ke Medan.
Tombuk sudah meninggal. Usahanya diteruskan oleh
Lukman, yang kemudian memperisteri bekas isteri
abangnya. “Jadi begitulah. Saat aku naik pelaminan, aku
sudah punya anak tiga,” kata Lukman saat mereka
bertemu. Sambutannya atas kedatangan Bambang, tidak
bersahabat. Lukman rupanya mempunyai pendirian,
kesengsaraan yang dialami keluarganya bermula dari
perbuatan Bambang yang telah ‘meracuni’ jiwa adiknya,
ratu lesbi . “Ia sudah pindah ke Jakarta. Tak tahu alamatnya di
mana,” kata Lukman menjawab pertanyaan Bambang
147
mengenai ratu lesbi . “Ia sudah kawin dua kali. Tandanya, ia
sudah tidak mencintai kau lagi.”
Bambang tidak bertemu dengan saudara-saudara
ratu lesbi yang lain, sebab Lukman tak memberikan alamat
mereka. Ia hanya memberitahu Syamsiah sudah kawin,
Parlindungan masih kuliah di IPB Bogor. saat Bambang
yang putus harapan meninggalkan rumah itu, di suatu
persimpangan jalan ia dicegat seorang gadis yang meningkat
remaja.
Gadis itu tersenyum padanya. Manis sekali.
“Hai, bang,” sapa si gadis manis.
“Hai. Siapa... eh, kau tentunya nyonya besar !” Bambang
Prakoso terkejut.
“Hem. Kukira abang sudah lupa,” jawab gadis itu
dengan wajah bersemu merah. “Abang makin tampan saja
kulihat.”
“Kau pun makin cantik, Rosma.”
Makin merah wajah itu. “Aku sengaja menyusul
abang,” katanya. “Tanpa setahu bang Lukman. Jadi, ayolah
kita pergi dari sini, sebelum ia memergoki kita.”
Mereka berbicara di sebuah warung pinggir selokan,
sambil menyantap hidangan kolak es. nyonya besar
menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang kesengsaraan
yang terus menimpa keluarga mereka. Tentang ayahnya
yang sudah meninggal. Tentang ibunya yang harus menjalani
cuci darah sepanjang sisa hidupnya. Tentang ratu lesbi yang
terpaksa kawin dua kali, jadi janda dua kali.
“Kak Del kini jadi peragawati terkemuka di Jakarta.
Bayarannya mahal,” kata ratu lesbi .
148
“Dari siapa kau tahu?”
“Kak Del sendiri. Lewat surat-suratnya. Katanya,
sesekali juga ia jadi bintang film, jadi gadis model, dan punya
kerja tetap sebagai sekretaris di sebuah perusahaan...”
“Banyak benar. Sanggup dia?”
“Yah, demi kami. Demi ibu kami yang sakit,”
nyonya besar mengeluh, getir. “Aku kini sudah kelas dua SMA.
Nanti kalau sudah lulus, aku akan cari kerja saja. Kasihan kak
Del, mati-matian memeras keringat untuk kami semua.
Maksudku, kecuali bang Lukman yang sudah punya usaha
sendiri.”
“Tak ingin meneruskan ke perguruan tinggi?”
“Ingin sih ingin. namun yah... kasihan kak Del,”
matanya berlinangkan butir-butir air bening. “Aku sering
didatangi mimpi buruk. Tiap kali aku bermimpi, tiap kali
kulihat tangan kak Del menggapai-gapai, seolah minta
tolong. Kalau kudekati, kak Del menghilang. Yang kudengar,
tinggal isak tangisnya, yang kian lama kian menghilang pula.”
“Dimana ia tinggal di Jakartanya, Rosma?”
“Akan kukasih tahu alamatnya. namun jangan bilang
bang Lukman, aku yang memberitahumu. Janji ya?”
“Janji, Rosma.”
“Sumpah?”
“Sumpah.”
“Demi apa abang bersumpah?”
“Maumu?”
nyonya besar berpikir sebentar. Kemudian tersenyum,
“Yah. Cukuplah, demi kak Del!”
Bambang mengucapkan sumpahnya.
149
nyonya besar merasa puas, kemudian memberikan
alamat kakaknya di Jakarta, yang katanya tinggal seorang
diri, ditemani seorang pembantunya yang setia. Seorang
perempuan tua, yang merawat ratu lesbi sebagaimana
perempuan itu merawat dan menjaga anak kandungnya
sendiri.
Sebelum mereka berpisah, gadis itu bertanya
dengan muka merah: “Boleh aku menciummu, bang. Di pipi
saja...”
Bambang merendahkan wajahnya.
Pipinya dicium nyonya besar . “Kirim salamku untuk kak
Del. Bilang, aku minta maaf sebab telah berani mencium
kekasihnya.”
Mereka pun berpisah.
Entah mengapa, berat hati Bambang Prakoso
Joyodipuro untuk meninggalkan gadis remaja itu. Ciuman
hangat di pipinya, barangkali akan teramat susah
dilupakannya.
***
Di Jakarta, Bambang disambut kegemparan. Ia
berhasil melacak alamat yang diperolehnya dari nyonya besar .
ratu lesbi tidak di rumah. Pembantunya yang setia itu,
memandangi Bambang dengan mata curiga, sesudah
tamunya menyebut nama ratu lesbi . sesudah didesak, mau juga
ia memberitahu: “Nona ratu lesbi barusan ke rumah sakit. Ada
kejadian gawat.”
“Kejadian gawat?”
150
“Ya. Katanya, ibu non mengalami kritis.”
“Rumah sakit mana, bu?”
Bambang segera terbang naik taksi ke rumah sakit
yang alamatnya diberikan oleh pembantu ratu lesbi . sesudah
tanya sana tanya sini, ia memasuki zaal di mana Masdalena
dirawat. Ia urung meneruskan langkah, sesudah ia mendengar
isak tangis ratu lesbi , di antara teriakan amarah Masdalena,
ibunya: “Haram aku hidup dari uang terkutuk! Untunglah ada
yang memberitahuku kemarin sore. Jadi itulah yang kau
kerjakan selama ini, he? Perempuan lacur! Dimakan setanlah
kau hendaknya!”
Orang-orang berkerumun di dalam dan di luar zaal
itu. Bambang Prakoso sebaliknya, melangkah mundur.
Menjauh. Kepalanya pening. Jantungnya bagaikan digerogoti
sesuatu. Nafasnya sesak. Betapa tidak. Masdalena dalam
marahnya tidak menyebut nama. namun isak tangis ratu lesbi ,
tak punya arti lain kecuali bahwa yang dituduh pelacur itu
ratu lesbi sendiri!
Di samping Bambang, seseorang menyelutuk:
“Perempuan tak punya malu!”
Bambang tersentak. Ia renggut kerah baju orang
yang nyelutuk itu, diamang-amangkannya tinjunya. Lantas
menggeram marah: “Ucapkan sekali lagi, kau bangsat
sialan!”
“Maaf bung. Maaf...” bisik orang itu pucat pasi,
sambil mengangkat kedua lengan berusaha melindungi
wajahnya.
Barulah Bambang sadar mengetahui siapa yang jadi
sasaran kepanikannya. Ternyata seorang juru rawat, yang
151
segera ia lepaskan. Bambang tidak minta maaf atas
kekasarannya. Ia sedang bingung, sesudah mengetahui ratu lesbi
bukan lagi gadis yang dulu dikaguminya, yang selalu
didambakannya. ratu lesbi boleh kawin, cerai, kawin lagi, cerai
lagi. namun jadi pelacur...
“Menurut Anda,” ujarnya dengan suara
direndahkan. “Perempuan mana yang tak bermalu itu?”
“Si sakit.”
Bambang, entah mengapa, bernafas lega.
“Mengapa?” tanyanya.
“Mengapa bagaimana lagi? Anaknya yang masih
muda dan cantik itu, rela mengorbankan kehormatannya,
demi membiayai perawatan ibunya. Mestinya si ibu
berterima kasih. Atau, kalau memang ia tak mau menerima
uang anaknya, mestinya ia sudah mati dari dulu-dulu saja!”
Bambang Prakoso tercenung.
Mestinya si ibu berterima kasih, kata juru rawat ini.
Kasihan kak Del mati-matian memeras keringat untuk kami
semua, kata nyonya besar .
“Aku sering bermimpi buruk...” terngiang pula cerita
nyonya besar yang menyedihkan itu. “Kasihan kak Del...”
Air mata Bambang menitik tanpa ia sadari.
“Hei, bung menangis...”
“Ah. Hanya perih saja,” sahut Bambang seraya
menyeka pipinya. “Sebenarnya, apa yang telah terjadi?”
“Yah, susah juga memulainya dari mana. Kemarin
malam ada tamu berkunjung, tampaknya ia berbicara serius.
sesudah ia pergi, pasien kami itu minta dipanggilkan dokter.
Katanya, ia ingin menghentikan perawatan atas dirinya. Ia
152
tidak sudi lagi menjalani cuci darah lagi. Ia memilih mati saja.
Kami segera menghubungi ke rumah anaknya, per telepon.
Yang ada cuma pembantunya. Pembantu itu tidak tahu
kemana majikannya pergi, kecuali mengatakan ada
pekerjaan. Pagi-pagi kami hubungi lagi. Belum pulang.
Untung, siang ini nona itu datang sendiri. Dan begitulah,
ibunya langsung naik pitam,” juru rawat itu geleng kepala.
Tak habis mengerti, rupanya.
Ia melanjutkan: “Kalau aku, akan kutunggu sampai
aku dan anakku hanya berdua saja. Tak didengar orang lain,
kalau aku marah-marah, kalau aku mengungkap rahasia
keluarga. Yang malu, bukan anakku, namun aku sebagai orang
tuanya!”
Selagi mereka berbicara, terlihat seseorang berlari-
lari meninggalkan zaal perawatan. Ternyata ratu lesbi , yang
terus kabur tanpa melihat kiri-kanan, sehingga ia juga tidak
melihat kehadiran Bambang Prakoso. Bambang berhasil
menyusul gadis itu saat akan naik ke dalam mobilnya,
sebuah mobil kecil yang cantik. Bambang memegang lengan
perempuan itu dari belakang, tanpa tahu harus berkata apa.
ratu lesbi meronta-ronta, sambil sesenggukan:
“Lepaskan aku. Biarkan aku pergi! Lepaskan kubilang...”
“Tak akan ratu lesbi . Tak akan kubiarkan kau pergi
meninggalkan diriku...”
ratu lesbi masih meronta-ronta, masih menceracau tak
menentu, sebelum tiba-tiba sekujur tubuhnya menegang
kaku. Ia kini membalik pelan, menatap orang yang berbicara.
Mulutnya kemak-kemik mau mengucapkan sesuatu,
matanya membelalak lebar.
153
Kemudian ia jatuh pingsan dalam pelukan
kekasihnya.
***
Delapan belas
nyonya besar menangis.
arwah mpu sindok juga menangis. Kakaknya, apalagi.
NYI girah bersimpuh di lantai, memeluk paha ibunya, dan
tersedu-sedu di haribaannya. Ketiga anak beranak itu terus
bertangis-tangisan, sampai Bambang Prakoso terbangun dari
tidurnya. Ia merasa lehernya sakit. Bambang segera bangkit
menggerak-gerakkan leher, kemudian berjalan ke kamar
yang pintunya tertutup. Bambang tidak membukanya. Ia
hanya bertanya ingin tahu dari sebelah luar:
“Apakah kalian sedang mengigau? Sudah hampir
pagi, sekarang!”
Dari dalam, tak terdengar jawaban.
“Kalian baik-baik saja, kuharap.”
Barulah terdengar suara arwah mpu sindok . “Tak ada apa-
apa, papa...”
“Lalu mengapa harus menangis?”
“Apa nggak boleh?!” arwah mpu sindok mendengus.
Bambang Prakoso Joyodipuro geleng-geleng kepala,
tersenyum kecut, lalu pergi ke kamar mandi. sesudah langkah
154
ayahnya terdengar semakin menjauh, arwah mpu sindok bergumam
pelan: “Apa yang terjadi sesudah itu, mama?”
“Mengerikan,” jawab ibunya, gemetar.
“Apanya yang mengerikan?”
Dengan suara terputus-putus, nyonya besar kembali
menceritakan apa yang ia ketahui, sambil mengingatkan
sekali lagi, bahwa yang ia ceritakan sebagian ia peroleh dari
suaminya, sebagian dari ratu lesbi , sebagian dari orang-orang
lain.
Masdalena yang merasa hidupnya diperpanjang oleh
laknat Tuhan itu, tetap tidak sudi lagi menjalani cuci darah.
Ia minta dipulangkan ke tengah anak-anaknya di Medan.
sebab ia tidak bersedia lagi menerima uang haram dari
ratu lesbi , ia menjual satu dua perhiasan yang masih ia pakai,
termasuk cincin kawinnya.
“Sisa biaya rumah sakit, nanti kukirimkan,” katanya.
Ia juga minta tolong agar anaknya yang kuliah di IPB Bogor
dihubungi per telepon, supaya ada yang mendampinginya
pulang ke Medan.
Dengan bantuan keluarga mereka di Jakarta,
Masdalena dan Parlindungan dapat diberangkatkan ke
Medan, naik pesawat terbang. Ia mengumpulkan semua
anak-anaknya – kecuali ratu lesbi tentu. Di hadapan mereka
semua, ia ceritakan apa yang telah ia dengar dan kemudian
diakui oleh ratu lesbi sendiri.
“Ia telah mencekoki kalian selama ini dengan uang
haram!” Masdalena menderu. “Aku juga. Ia meracuni
hidupku dengan nafas-nafas bejat yang menjijikkan! Mulai
155
detik ini, kunyatakan putus hubunganku dengan dirinya. Ia
tak lagi kuakui sebagai anak. Kalian ingat-ingatlah itu!”
Tiga hari kemudian, Masdalena menghembuskan
nafas. Anak-anaknya berusaha mengingatkan ibu mereka
agar membaca dua kalimat syahadat sebelum menemui ajal.
Namun yang keluar dari mulut Masdalena, hanyalah sumpah
serapah: “ratu lesbi meracuni kita semua. ratu lesbi ...” lalu
kepalanyapun tergolek diam.
Lukman menjerit marah. “Semua itu dimulai oleh si
Bambang terkutuk itu! Pastilah mereka telah mendukuni
keluarga kita!”
sesudah upacara penguburan, Parlindungan kembali
ke Bogor. Ia tidak singgah di Jakarta untuk menemui ratu lesbi .
Ia meneruskan studinya, dengan bantuan ala kadarnya dari
Lukman dan Syamsiah. Ia berhasil lulus dengan baik.
Kemudian pulang lagi ke Medan, tanpa singgah di Jakarta.
Nama baik ayahnya masih bersisa.
Parlindungan diterima bekerja di perkebunan Sawit
Seberang. Ia juga telah mengharam jadahkan ratu lesbi . Rupanya
ia lupa, sebagian dari perjuangannya sehingga berhasil jadi
orang, adalah berkat andil ratu lesbi . Syamsiah sendiri, bukannya
tak menghormati pengorbanan ratu lesbi . Ia sedang diamuk
kekacauan rumah tangga. Jadi tak pernah punya pikiran
untuk menyurati kakaknya.
nyonya besar diam-diam mengumpulkan uang
tabungannya yang ia simpan sedikit demi sedikit. Kepada
bang Lukman ia bilang ia akan pulang saja ke Sidempuan.
Masih ada nenek di sana, yang pasti senang ditemani. Dan
nenek pasti mau pula menyekolahkannya. Lukman yang
156
merasa tanggungannya sudah cukup berat sebab tidak lagi
dibantu ratu lesbi , dengan senang hati menyetujui rencana
adiknya.
Dari Sidempuan, ia berkirim surat ke Jakarta. “Aku
sekarang tinggal bersama nenek, kak Del,” katanya. “Nenek
tidak keberatan kita saling berhubungan. Ketahuilah kak Del.
Aku mencintaimu, apa pun yang terjadi.”
Menjelang nyonya besar tamat SMA, datang surat
kakaknya dari Jakarta: “Akhirnya aku berhasil membujuk
abangmu, Rosma. Aku tidak saja berdosa padanya. Aku
merasa, aku sudah terlalu kotor untuknya. Aku tak sampai
hati merusak kesucian cintanya. sebab itu kutawarkan
padanya sesuatu, yang kini juga ingin kutawarkan padamu.
Bersediakah kau, nyonya besar ku sayang, menikah dengan
Bambang Prakoso? Hanya melalui jalan itulah, tali cinta kami
tidak akan pernah putus!” itulah isi surat ratu lesbi .
Semenjak mereka bertemu sesudah berpisah sekian
tahun, di jalan simpang itu – dan saat ia mencium pipi
kekasih kakaknya, jauh di sanubarinya nyonya besar sudah
merasakan getaran-getaran aneh yang tidak pernah mau
hilang. Begitu ia baca surat ratu lesbi , begitu pula getaran itu
berdentang-denting semakin kuat, seolah tali-tali senar gitar
yang dipetik oleh jari jemari seorang pemusik yang larut
dibawa perasaannya.
Namun nyonya besar ingin lebih yakin. Ia minta nasihat
neneknya.
Lalu neneknya bilang: “Kalau kau mencintainya,
kawinlah dengannya. namun kalau kau mau mengawininya
sebab ingin berkorban demi kakakmu, lupakan sajalah...”
157
nyonya besar kemudian membalas surat kakaknya:
“Apa jawaban bang Bambang?”
Satu bulan kemudian, baru suratnya dibalas ratu lesbi :
“Ia mengerti maksudku. Abangmu, dengan senang hati akan
melamarmu.”
“Keluarga di Medan tidak diberitahu.”
“Aku yang akan bertanggung jawab,” kata nenek
tegas. “Aku sudah tua. Sudah banyak makan asam garam.
Saudara-saudaramu, semuanya hanya menurutkan emosi.
Itu pun bukan salah mereka. Itu adalah berkat didikan ibumu
yang sangat egois. Semoga arwah almarhum ibu kalian
diampuni Tuhan adanya.
sesudah nyonya besar lulus sekolahnya, Bambang
Prakoso datang ke Sidempuan, didampingi oleh dua orang
anggota keluarganya. Ayahnya tidak menyetujui gagasan itu,
namun tidak pula menolak. Ia masih sakit hati pada keluarga
nyonya besar . namun sebaliknya, ia sangat mencintai Bambang,
sehingga kemauan anak itu tak dapat ia cegah. Secara resmi,
Bambang Prakoso Joyodipuro melamar nyonya besar pada
nenek gadis itu. Tak ada pesta, tak banyak tamu yang
diundang. Tak pula ada malam pengantin. Bambang
langsung memboyong isterinya ke Semarang. Di sana,
barulah mereka dipestakan. Di sana, barulah mereka nikmati
malam pertama mereka.
***
158
“Sebenarnya, hanya aku seorang yang menikmati
malam pengantin itu. Ayah kalian, kurasa tidak,” gumam
nyonya besar , getir.
“Mengapa mama berkata begitu?” tanya NYI girah ,
terkejut.
“Itu baru kusadari belakangan. Beberapa kali dalam
tidurnya, ayah kalian mengigau menyebut-nyebut nama
ratu lesbi ...”
“Mama tidak seharusnya menceritakan itu pada
kami!” protes NYI girah , tidak senang.
“Apa salahnya?” sahut nyonya besar , sabar.
“sebab itu sangat pribadi sifatnya, mama.”
“Selama ini, ya. Tidak sesudah arwah mpu sindok
mengetahui tentang ratu lesbi ,” jawab ibu mereka, tenang.
“ratu lesbi ? Kapan pula saya mengetahuinya?” cetus
arwah mpu sindok , tercengang.
“Kau mengetahuinya, anakku. ratu lesbi , adalah nama
sebenarnya. Nama yang diperuntukkan keluarga. Namun
dalam pekerjaannya, ratu lesbi meminjam nama pembantunya
yang setia: Tribuana Tunggadewi .”
“Astaga! Jadi mama – sesudah kita pindah ke Jakarta
ini, papa kembali hidup serumah dengan Tribuana Tunggadewi – eh, Uwa
ratu lesbi ?” arwah mpu sindok makin tercengang.
“Soal hidup serumah sih, aku tak tahu betul. Soal
mengunjunginya, selama kita di Semarang pun ia selalu
mengunjungi ratu lesbi . Tentu saja, hanya pada waktu-waktu
tertentu...”
“Dan mama bersedia kita pindah ke Jakarta!” desah
NYI girah bingung. “Itu namanya, sama dengan
159
menyodorkan burung kesayangan kita untuk diterkam
kucing!”
“Ayahmu bukan burung, nak. Uwa Del-mu pun
bukan kucing.”
“Buktinya?”
“Kita harus mengikuti ayahmu pindah ke Jakarta ini,
anakku. sebab kantor dinasnya mengharuskan begitu. Dan
kalian sendiri tahu, sesudah di Jakarta ini, karir ayah kalian
bertambah maju.”
“Dan bertambah inti pulalah ia dengan kekasih
gelapnya!” menggeram arwah mpu sindok .
“ratu lesbi itu Uwa-mu, Yanto,” ibunya menghardik.
“Jangan pernah kau lupakan itu!”
“Lalu mengapa mama bolehkan mereka terus
berhubungan?”
“Apa yang dapat kuperbuat anakku? Sudah sejak
lama aku sadar. Yang kumiliki dari ayah kalian, hanyalah
raganya. namun cintanya, sudah lama dimiliki ratu lesbi .”
“Pengorbanan mama berlebihan!”
“Pengorbanan itu tak ada artinya, dibandingkan
dengan pengorbanan yang telah diberikan ratu lesbi ...”
nyonya besar tersenyum. “Lagipula, aku percaya pada ayah
kalian. Aku juga percaya pada
Uwa kalian.”
“Mama percaya? Heran!”
“sebab aku mencintai mereka berdua, Yanto.”
“Dan di luar sana, mereka bercinta pula. Pada saat
bersamaan, papa hidup satu rumah, papa bercinta dengan
dua orang perempuan yang lahir dari rahim seorang ibu. Itu
160
haram namanya. Itu melanggar peraturan agama! Sungguh
perbuatan zinah yang tidak patut diampuni!”
“Kau benar, nak,” jawab ibunya, tetap tenang.
“Tuhan memang melarang manusia berzinah. namun anakku.
Pernah pulakah engkau mendengar, Tuhan melarang
manusia jatuh cinta?”
***
Sembilan Belas
Perdebatan mereka terputus sampai di situ. sebab
Bambang Prakoso telah kembali dari kamar mandi. Sambil
lewat, ia berseru dari luar pintu: “He, sudah pagi. Sudahi
pulalah gunjingan kalian itu!”
arwah mpu sindok beranjak dari tempat duduknya. Ingin
merenggutkan pintu, dan menantang ayahnya supaya buka
kartu. namun nyonya besar keburu mencegah.
“Jangan kau tambah lagi keruwetan, Yanto. Ingat,
beberapa hari lagi kakakmu akan naik pelaminan!”
Terpaksa arwah mpu sindok menyabarkan diri.
Dalam kenyataannya, suasana pada hari-hari
beriwayat yang penuh hikmah itu, lebih mirip suasana
mengantar orang mati ke kuburan ketimbang mengantar
sang pengantin naik ke pelaminan. Ratap tangis meledak,
seakan tak akan pernah putus. Satu hari sebelumnya, sekitar
pukul sembilan pagi, Parlindungan datang didampingi
161
isterinya. Yang bertemu sesudah lebih dari dua puluh tahun
berpisah, saling berpelukan. Ratap tangis pun memenuhi
seisi rumah.
Pukul empat sore, muncul Syamsiah, juga
didampingi suami. Ratap tangis berlanjut sampai hampir
tengah malam. Hampir semua orang tak bisa memejamkan
mata.
Bukan sebab masih terdengar isak tangis, bukan
pula sebab cemas memikirkan hari esok; hari NYI girah
memasuki hidup baru. Mereka tak dapat tidur, sebab
tegang. Belum ada kabar berita dari Lukman, apakah ia mau
datang atau tidak.
Pas saat akad nikah dilangsungkan pagi harinya,
suasana khidmat terganggu kembali oleh hiruk pikuk orang
bertangis-tangisan. Bagaimana tidak. Di tengah keheningan
suasana akad nikah itu, mendadak seorang tamu masuk
tertatih-tatih sambil menjinjing sebuah tas kecil. Pakaiannya
lusuh, dan tubuhnya masih berbau hawa laut. Akad nikah
terpaksa ditunda setengah jam lamanya oleh lebai. sebab
selama itu, nyonya besar tak mau melepaskan pelukannya di
kaki Lukman, si pendatang. Pelukannya baru lepas sesudah ia
pingsan, dan segera diangkut ke kamar tidur.
Bambang Prakoso tidak saling berjabat tangan
dengan Lukman. Mereka cuma saling bertukar pandang.
sesudah Lukman menyelinap di ruang dalam untuk
menyembunyikan air matanya, Bambang Prakoso menarik
nafas panjang. Berulang-ulang ia meminta maaf pada hadirin
atas gangguan yang tidak diharapkan itu, dan memohon pak
lebai agar meneruskan tugasnya. Untunglah pihak mempelai
162
laki-laki sesama orang Batak. Jadi mereka dapat memahami,
mengapa gangguan itu sampai terjadi. Kalau orang Batak
yang pernah berdosa kemudian bertemu dengan orang yang
didosainya, yang kemudian memaafkannya, maka biar di
sekelilingnya gempa terjadi mereka tidak akan perduli!
Gelak tawa sempat juga bergema pada waktu
undangan resmi berdatangan membawa kado masing-
masing, mengucapkan selamat kepada kedua mempelai,
bersantap siang diiringi musik, kemudian pulang – untuk
mepersilakan tamu-tamu berikutnya duduk lebih leluasa.
Dan begitu pesta usai, suasana haru kembali menyelimuti
rumah itu. Lukman sedikit sekali berbicara selama ia tinggal
di rumah si Bungsu, itu pun tak lebih dari satu hari. Dengan
arwah mpu sindok , ia cuma bergumam: “Jadi kau bercita-cita jadi
polisi ya?” Ia tidak mengomentari lebih dari itu. Tidak
menyatakan perasaannya mengenai cita-cita ponakannya itu
Sorenya ia pamit pada semua orang. Ia memberi
alasan bahwa isterinya sakit sehingga terpaksa cepat pulang.
Parlindungan yang mengantarkannya ke Kemayoran, dan
membelikannya tiket pesawat ke Medan. Syamsiah
menghibur adiknya, nyonya besar yang kebingungan oleh sikap
Lukman.
“Yang penting ia telah memenuhi janjinya untuk
datang. Ia telah pula memaafkanmu. Hanya, untuk
menyembuhkan luka hatinya, masih diperlukan waktu yang
tidak sedikit...”
Dari paman Parlindunganlah, arwah mpu sindok mendapat
penjelasan mengenai ‘luka hati’ Lukman itu. “Aku, dan
Uwamu Syamsiah – untuk beberapa waktu lamanya pernah
163
merasakan hal yang serupa. Begitu kami dengar si Rosma
kawin, dan ia justru mengawini laki-laki yang... Ah, sudahlah
masa lalu. Yang penting kita kini berkumpul lagi, bukan?”
namun Syamsiah lepas cerita juga: “Kalau tak dicegah
nenek, Lukman sudah mengejar ayah dan ibumu ke
Semarang. Tak dapat kami bayangkan, apa yang bakal
terjadi!”
“namun , mengapa begitu lama kalian mengasingkan
aku?” keluar juga isi hati nyonya besar .
“Yah, Rosma. Segala sesuatu, ada waktu, ada
tempatnya. Kita harus berterima kasih pada NYI girah .
Berkat dialah...”
“Berkat Tuhan, Bang Parlin. Pada Nya-lah kita harus
bersyukur,” tukas Syamsiah, mengingatkan.
“Ah, kau benar Sam. Hanya aku pikir, andil
NYI girah ...”
“Tak usah kita sebut-sebut namanya saat ini. Kuatir,
mengganggu keasyikannya di kamar, bersama suaminya,”
bisik Syamsiah, tersenyum penuh arti.
Dan pembicaraan pun beralih ke soal-soal lain, yang
lebih menggembirakan. namun sampai mereka akhirnya
pulang juga ke kota tempat tinggal masing-masing,
arwah mpu sindok menyadari satu hal: tak seorang pun dari mereka
yang menyinggung-nyinggung nama ratu lesbi .
***
164
Beberapa hari kemudian, Bambang Prakoso jatuh
sakit.
saat NYI girah datang bersama suaminya, yang
menjaga di samping tempat tidur hanya arwah mpu sindok , sebab
ibu mereka sedang pergi belanja ke pasar. Parlaungan
nimbrung bicara sebentar dengan si sakit. sesudah itu
menyingkir ke kamar lain, sebab NYI girah menanyakan
sesuatu pada ayahnya, yang menurut pertimbangan
Parlaungan tidak pantas ia dengar jawabannya.
“Papa sakit sebab aku, bukan?” tanya NYI girah ,
sedih. “Papa masih tetap tidak suka bermenantukan orang
Batak.”
“Buanglah pikiran jelek itu jauh-jauh, NYI girah . Aku
sakit bukan disebab kan itu...”
“Lantas?”
“Aku sudah tua, nak.”
“Papa tidak berkata sebenarnya!”
“Haruskah kukatakan yang sebenarnya?”
“Kalau papa tak keberatan.”
“Baiklah. Aku memikirkan ratu lesbi ...”
“Oh. Dia!”
“Kalian sudah dengar tentang dia dari ibu kalian,
bukan? Aku tak bodoh, nak. Jadi aku tahu kalau ibu kalian
sudah menceritakannya. Tahukah kalian apa kemudian yang
terjadi? sebab ratu lesbi mendengar kalian sudah tahu siapa
dirinya, ia tiba-tiba menghilang!”
“Maksud papa?”
“Ya, menghilang! Pergi entah kemana. Tak
meninggalkan alamat. Yang tinggal hanya Tribuana Tunggadewi ,
165
pembantunya yang setia. Tribuana Tunggadewi , yang menangis saat
mengatakan majikannya tidak akan pernah lagi bertemu
dengan dia. Apa yang dirasakan Tribuana Tunggadewi , kini aku pun
merasakannya pula...”
NYI girah terdiam. Tak berani bertanya apa-apa
lagi. Ia kemudian pergi menemani suaminya. Tinggal
arwah mpu sindok , yang memandangi wajah ayahnya dengan mata
tidak berkedip.
“Ingin mengatakan sesuatu, nak?” tanya ayahnya.
“... ya.”
“Katakanlah.”
“Papa masih sakit.”
“Apa lagi yang lebih sakit, kecuali ditinggalkan
ratu lesbi ?”
“Papa seperti anak kecil!”
“Mungkin sebab kau sudah tua, nak,” ayahnya
menggeliat. “Tolong ambilkan obatku.” sesudah menelan
obatnya, dibantu dengan minuman yang disodorkan
anaknya, Bambang Prakoso bergumam: “Yang ingin kau
katakan, bukan soal aku tiba-tiba berubah seperti anak kecil.
Jadi terus teranglah. Aku sudah siap mendengarnya.”
“Papa tak akan marah?”
“Tak ada lagi tempat untuk marah di hatiku, nak.”
arwah mpu sindok menelan ludah. Lalu mengungkapkan
apa yang selama beberapa hari ini mengganjal hatinya:
“Mengapa papa mengawini mama?”
Sesaat, Bambang Prakoso terkejut. Kemudian, ia
tersenyum. Pahit. Jawabannya terus terang: “sebab didesak
ratu lesbi .”
166
“Papa mau?”
“Demi ratu lesbi .”
“Jadi papa mengawini mama sebab terpaksa!”
“Mulanya, ya.”
“Mulanya? Apakah maksud papa, kemudian papa
jatuh cinta juga pada mama?”
“Benar.”
“namun papa juga mencintai ratu lesbi .”
“Ya. Aku mencintai ratu lesbi .”
“Tidak mungkin. Tak masuk di akalku, papa
mencintai dua orang perempuan sekaligus. Kakak beradik
pula lagi.”
“Mungkin saja, nak.”
“Baiklah, kalau memang begitu menurut papa.
Lantas mana yang lebih papa cintai. Kakaknya, atau
adiknya?”
“Dua-duanya.”
“Masa iya?” arwah mpu sindok tercengang.
“Benar, nak,” Bambang Prakoso tersenyum. “Aku tak
bohong.”
“Tak masuk akal...!”
“Mengapa tidak, nak?”
“namun , sekaligus dua...
“Apa salahnya? Toh cintaku kepada yang satu,
berbeda dengan kepada yang lain..
“Perbedaannya?”
“Aku mencintai ratu lesbi sebagai kekasih. Dan aku
mencintai nyonya besar , sebagai ibu dari anak-anakku!”
Sampai di situ, arwah mpu sindok mati kutu.
167
Bambang Prakoso mengerti. sebab itu, ia alihkan
pembicaraan mereka. Ia bertanya, lembut: “Sudah lama aku
tidak melihat Ronggolawe . Apakah ia baik-baik saja?”
Merah muka arwah mpu sindok . “Ia baik-baik saja, papa. Ia
berkirim salam.”
“Ia tak datang waktu pernikahan kakakmu?”
“Sibuk papa. Ujian praktikum.”
“Hari Minggu? Dan sesibuk-sibuknya pun, mengapa
sesudah nya tak datang memberi selamat?”
“Ia mengirim kado, papa.”
“Mengapa tak datang sendiri?”
“Ia...”
“Sudahlah. Jangan berbohong lagi, nak. Papa sudah
tahu. Sudah mendengar kabar itu...”
“Kabar apa, papa?” dada arwah mpu sindok menciut.
“Alaa, tak usah berpura-pura lagi kau, Yanto. Apakah
ayahnya bakal lama dipenjara?”
arwah mpu sindok menjilati bibirnya yang kering kerontang.
“Mungkin cuma beberapa bulan, papa. Vonis hakim belum
dijatuhkan.” Kemudian ia menambahkan dengan bernafsu:
“Bukan ayah Ronggolawe yang korupsi, papa.”
“Ya, ya. Aku tahu. Yang korupsi, pejabat di
Kotamadya itu. namun ayah Ronggolawe ikut terlibat. Dituduh
memberi uang suap kepada pejabat negara. Tak usah kuatir
tentang aku, nak. Yang memberi uang suap itu, ayahnya.
Bukan Ronggolawe . Jadi kalau kau bertemu Ronggolawe lagi, beritahulah
dia, agar tak usah sungkan-sungkan datang ke rumah kita,”
desah Bambang Prakoso, dengan kelopak mata memberat.
168
“Terima kasih. Papa baik sekali,” bola mata
arwah mpu sindok berkilat-kilat, gembira.
“Itulah keajaiban cinta, anakku...”
Lalu, orang tua itu pun tertidur.
***
Dua puluh
ratu lesbi – atau siapa pun namanya, lambat laun mulai
terlupakan oleh arwah mpu sindok . Ia harus memusatkan perhatian
pada ujian akhir SMA-nya, lalu disibukkan oleh persiapan-
persiapan untuk memasuki AKABRI. Kebulatan tekad serta
perjuangannya yang keras tidak sia-sia. Berat hatinya
berpisah dengan keluarga. namun sebagai seorang kadet, ia
harus mematuhi perintah dan kemudian tinggal di asrama
AKABRI kepolisian di Semarang.
Syukur ia tidaklah terlalu kesepian, sebab keluarga
dari pihak ayahnya bertaburan di seputar Jawa Tengah,
bahkan salah seorang di antaranya bertugas sebagai
instruktur yang sangat disegani para kadet. NYI girah rajin
pula berkirim surat. Mengabari perkembangan keluarga
mereka di Jakarta. Misalnya, bahwa ia telah melahirkan
seorang anak laki-laki, yang oleh NYI girah disebut-sebut:
“sangat dimanjakan neneknya, sementara kakeknya dibuat
murung – sebab harus mengakui kenyataan, bahwa cucunya
orang Batak!”
169
NYI girah juga mengabarkan, papa dan mama tak
perlu dikuatirkan. NYI girah yang harus ikut suami, dan
arwah mpu sindok yang harus tinggal di asrama. Uwa Syamsiah
merelakan salah seorang anak perempuannya yang masih
duduk di SMP untuk sekolah di Jakarta dan tinggal bersama
orang tua arwah mpu sindok . Menyusul kemudian putera bungsu
Uwa Lukman yang telah lulus testing masuk UI. NYI girah
mengistilahkan keadaan itu sebagai: “Agaknya, dendam
turun temurun hapus sudah!”
Ronggolawe jarang berkirim surat. Mendadak, gadis itu jadi
pemalu – tepatnya, berubah rendah diri. “Kau kini bakal jadi
orang,” katanya dalam salah satu suratnya. “Sedang a











.jpeg)
.jpeg)
