Tampilkan postingan dengan label Dongeng 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dongeng 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Dongeng 2

 



ntuk berapa lama 

tapi saat ini aku hanya ingin itu.”

Monik  berkali-  kali  jatuh  dalam  hidupnya.  Dia 

kehilangan  semua  bagian  terbaik  dalam  hidupnya. 

Rumah  mungil  dan  keluarganya  hanyut  dibawa 

badai,  dia  selamat  sebab   bersembunyi  dibawah 

tempat  tidur.  Kaos  kaki  meyelamatkannya.  Monik 

tidak  pernah  bertanya  lagi  kecuali  menaruh 

hidupnya di dalam kaos kaki. Dia kesepian menjalani 

hidupnya tapi dia tak pernah merasa sendirian, kaos 

kaki  yang  terjatuh  di  bawah  tempat  tidur  itu 

membuatnya  melompat  dan  ternayata  detik 

kemudian setelah itu badai datang dan menyisakan 

dirinya yang memeluk kaos kaki wol rajutan ibunya. 

74

Monik hanya butuh kaos kakinya untuk melanjutkan 

hidupnya.

“Kita  tidak  pernah  akan  tahu,  kapan  kita  terjatuh 

dalam  hidup.  Menghadapi  itu  kita  hanya  cukup 

untuk ingin merasa sakit sebab  dengan itu kita akan 

cukup  sadar  bagaimana  cara  yang  baik  untuk 

menghadapinya.”

Setelah  badai  usai,  Monik  keluar  dari  runtuhan 

rumahnya  dan  menemukan  ayah  ibunya  tewas 

dibawah reruntuhan. Monik tidak menangis saat itu, 

Monik  juga  tidak  pernah  menangis  setelah  itu. 

Mayat kedua orangtuanya dibawa petugas  dan dia 

tidak pernah tahu di mana mayat kedua orangtuanya 

tersebut dimakamkan. Monik pergi menuju padang 

rumput,  dia  berhenti  di  bawah  pohon  besar  dan 

tertidur.  Dia  bermimpi,  dunianya  berada  di  dalam 

kaos kaki, di sana dia hidup bahagia sebagai pemilik 

kebun  bunga  yang  selalu  mekar  tanpa  mengenal 

musim.  Di  dunianya  itu  hanya  ada  musim  hujan, 

selalu basah dan selalu dingin maka dia hanya perlu 

dibekap kaos kakinya, hanya kakinya sebab  mimpi 

itu meyakinkan Monik bahwa ketika kakinya hangat 

dia  akan  mampu berdiri  dan  menghadapi  apapun. 

Setelah  terbangun  Monik  akhirnya  pergi  dan 

menemukan  sebuah  kebun  bunga  milik  sebuah 

keluarga  kecil  yang  juga  habis  ditelan  badai.  Di 

sanalah Monik tinggal, membenarkan sedikit tempat 

untuk  tidur  dan lebih  peduli  dengan taman bunga 

75

yang  datang  dalam  mimpinya.  Monik  sadar  dia 

sendirian, tak punya apa-apa dan akan selalu merasa 

kedinginan maka pilihan terbaik untuk menghadapi 

itu adalah dengan mengenakan kaos kaki wol abu-

abunya  sepanjang  hari.  Bukan  untuk  tidak  merasa 

dingin, tapi untuk bisa merasakan energi panas yang 

mengalir  di  dalam  tubuhnya  untuk  membuatnya 

percaya  dia  masih  akan  terus  hidup.  Hidup  butuh 

Monik sebagai  pelaku,  dan Monik  butuh kaos  kaki 

sebagai pilihan sekaligus alasan akan harapan.

Monik  dan  kaos  kaki  adalah  dongeng  terbaik 

baginya.  Cerita  pengantar  tidur  atau  pelipur 

kesedihan paling logis  menurutnya.  Perempuan itu 

yang mengantarkan cerita itu untuknya, perempuan 

itu  ingin  anak  laki-lakinya  percaya  tentang  Monik 

dan  kaos  kaki.  Anak  laki-laki  itu  memang akhirnya 

percaya,  baginya  Monik  diberikan  kesulitan  tapi 

tidak  benar-benar  ditinggalkan.  Monik  memiliki 

pegangan hidup. Monik percaya kaos kakinya adalah 

berkah baginya, bagian yang sudah ditakdirkan dan 

tak akan pernah meninggalkan kecuali ditinggalkan.

“Aku tidak ingin mati  kaku.  Semua ini  terlalu ideal 

dan akhirnya ego ini memintaku untuk memutuskan. 

Berat  memang  kehilangan  bagian  sebaik  ini,  kamu 

dan segala  hal  yang  selalu  mampu kamu hadirkan 

sebagai  bukti  perasaan kamu.biarkan sekali  ini  aku 

76

menentukan  jalanku,  bukan  sebab   terkekang 

olehmu tapi sekali lagi merasa dirimu terlalu baik.”

Perempuan yang terus berusaha menemukan mata 

laki-laki yang hanya diam di hadapannya itu akhirnya 

membenarkan  posisi  duduknya.  Posisi  terakhir 

sebelum  kalimat  terakhirnya,  laki  –  laki  itu  sadar 

benar  tapi  dia  tetap  memilih  tak  berkata  apa-apa, 

tetap  diam  dan  seperti  hanya  harus  menjadi 

pendengar.

“Kalau  suatu  hari  kamu  menemukan  pengganti, 

belajarlah marah—belajarlah untuk menggugat apa-

apa yang tak kau kehendaki. Benar semuanya akan 

indah  pada  waktunya  tapi  kamu  tidak  akan 

menemukan  manusia  seperti  malaikat  yang 

menjalani hidup dan menerima takdir sebagaimana 

ditulis  sebab   di  mata  aku  kamulah  satu-satunya 

malaikat itu.”

Malam itu akhirnya mengabur. Tak ada air mata di 

sana,  laki-laki  itu  sadar  alam  telah  mewakili 

perasaannya dengan hujan lebat tanpa henti di dua 

malam terakhir. Laki-laki itu kembali kehilangan, dia 

terjatuh bahkan mungkin sebut saja di lubang yang 

sama, dia belajar tapi tak pernah memilih jalan baru. 

Dia dan gagal  adalah seperti  Monik dan kaos kaki, 

sebuah pegangan yang harus menjadi  kepercayaan 

agar berubah menjadi keyakinan. Dia percaya setiap 

kegagalannya akan dibayar semestinya dengan apa 

77

yang diharapkannya, seperti Monik yang tak pernah 

menggugat  setiap kesakitan dalam hidupnya hanya 

sebab  kaos kakinya.

Laki-laki  yang  mematung  untuk  melihat  hujan  itu 

akhirnya berbalik. Dia ingat benar semua wejangan 

ibunya, dia ingat benar bagaimana setiap perih yang 

akhirnya  mampir  di  hidupnya  telah  dipersiapkan 

dengan baik penawarnya oleh perempuan itu. Laki-

laki itu membuka lemari dan meraih sebuah bagian 

tersembunyi.  Tangannya  menggenggam  2  lembar 

bahan  wol  dengan  bentuk  yang  sangat  familiar. 

Perempuan  itu  telah  tiada,  tapi  laki-laki  itu  ingat 

benar setiap pesannya.

“Kalau  malam  dingin  dan  kamu  tak  sanggup 

melawannya,  kenakan  ini.  Percayalah  bukan  cuma 

Monik yang bisa, kamupun begitu. Dingin memang 

tidak akan bisa dicegah, dingin juga tidak akan bisa 

dilawan tapi kamu bisa membuat semuanya menjadi 

masuk akal untuk dijalani dengan memiliki keyakinan 

dengan  kaos  kaki  ini  ketika  kamu  kedinginan 

anakku.”

Sebaris  senyum  hadir,  cepat  sekali  dan  tak 

tertangkap.  Laki-laki  itu  memilih  tidur  dengan 

mengenakan  kaos  kaki  walaupun  hujanpun  telah 

memilih  pulang.  Baginya,  dia  tetap  tidak  akan 

pernah  tahu  kapan  dia  akan  jatuh  dalam  hidup 

begitupun  soal  cinta.  Jatuh  adalah  sesuatu  yang 

78

tidak  mampu  dipikirkan,  jatuh  sebab   sakitnya 

adalah  seuatu  yang  tidak  akan  pernah  mau 

direncanakan  maka  begitu  manusia  hanya  perlu 

menjalani  takdirnya  tanpa  perlu  marah  dan 

menggugat,  setiap  tempat  telah  disediakan  untuk 

setiap  manusia  dan  hanya  perlu  waktu  serta 

keinginan untuk jatuh lebih dalam untuk tiba pada 

takdir. Sakit itu baik, sakitpun mampu untuk dipilih 

seperti Monik yang memilih kaos kaki.

79

Petualangan chucky


Aku adalah seekor ikan. Namaku chucky. Aku tinggal 

di dalam laut, bersama sahabat-sahabatku. Ayah dan 

ibuku sudah tak  ada.  Kami  berpisah ketika sebuah 

jala  nelayan  menyambar  tubuh  mereka  berdua. 

Waktu itu aku masih kecil. Aku berhasil meloloskan 

diri  dari  jala  nelayan.  Aku tak  lupa hari  itu,  ketika 

Ayah dan Ibu berupaya keras mengeluarkanku dari 

jala. Mereka mendorongku sekuat tenaga. Masih aku 

ingat tatap cinta dan senyum mereka berdua ketika 

akhirnya aku berhasil  menceburkan diri  kembali  ke 

laut. “Kami mencintaimu, jaga dirimu baik-baik,” itu 

kalimat terakhir orangtuaku.

Mulanya  aku  merasa  kesepian.  Beberapa  hari  aku 

hanya  menangis  saja.  Tapi,  kemudian  sahabat 

pertamaku,  terumbu  karang  selalu  menghiburku. 

“Ayah dan ibumu pasti sedih melihatmu menangis. 

Kamu  tidak  sayang  pada  mereka?”  tanyanya.  Aku 

80

terdiam.  “Tentu  saja  aku  menyayangi  mereka” 

kataku sedikit kesal.

“Kalau begitu, ayo bermain bersamaku. Ada banyak 

tempat  menarik  di  rumahku  ini.  Kamu  pasti 

menyukainya. Ayolah!” bujuknya.

Itulah awal persahabatan kami. Sejak saat itu kami 

lengket satu sama lain. Aku tak pernah lupa bermain 

di rumahnya yang teduh. Berenang-renang seharian. 

Berbagi canda dan cerita.

Seperti siang yang hangat ini. Aku sedang bercanda 

di sekeliling tentakel terumbu karang ketika tiba-tiba 

suara gemuruh dan retakan tanah di permukaan laut 

pecah dan terbelah. Terumbu karang terlempar jauh 

dan  tubuhnya  terburai.  Aku  terkesiap  melihatnya. 

Dadaku  sesak  seketika.  Aku  ingin  menangis.  Tapi 

belum sempat  aku  mengatakan  apa-apa,  gulungan 

air  menghujam  tubuhku  dengan  deras.  Aku 

terhempas naik dan turun, melayang-layang di atas 

kumparan  air  dan  turun..turun  semakin  dalam.  

Tubuhku  semakin  ringan.  Mataku  berkunang-

kunang.  Perutku  mual.  Aku  ingin  muntah.  Dan 

segalanya tiba-tiba gelap. 

Entah berapa lama sebelum aku akhirnya sadar. Di 

manakah  aku?  Sekitarku  tampak  pekat.  Apakah 

malam  telah  datang?  Namun  mengapa  begitu 

81

senyap di sini? Aku memaksa diri bangun. Kurasakan 

tubuhku  remuk  redam.  Tiba-tiba  sebuah  benda 

warna-warni  dengan  kerlip  cahaya  lewat  di 

hadapanku.

“Hei,  siapakah  kamu?”  tanyaku  ragu.  Sosoknya 

mengingatkan aku pada salah satu sahabatku. Tapi, 

ia  sedikit  berbeda.  Semoga  ia  tak  marah,  doaku 

dalam hati.

Makhluk  aneh  itu  memalingkan  wajahnya.  Aku 

terpaku. Ia tak punya mata. Tapi ia mendengarku.

Ia  mendekatiku  perlahan.  Sinar  kecil  berpendar-

pendar di tubuhnya.

“Namaku  Befo.  Aku  gurita  laut.  Siapa  namamu?” 

tanyanya ramah.

“Aku  chucky,”  kataku  mengerjapkan  mata,  sambil 

mencari sesuatu di tubuh gurita laut itu.

“Kau tampaknya tersesat di tempat kami ya?” tanya 

Befo kembali.

“Begitukah? Memang ini di mana?” tanyaku sambil 

memicingkan mata.

82

“Ini laut dalam. Makhluk sepertimu seharusnya ada 

di atas sana. Apa yang membuatmu ke sini?”

“Aku terlempar  tiba-tiba.  Sepertinya  ada gempa di 

tempatku. Dan ledakan besarnya mengantarkan aku 

ke sini.”

“Wow, pasti ledakan yang sangat dahsyat. Ayo! Mau 

aku antar kau pulang?” Befo menawarkan diri.

Kau..  betulkah?  Tapi,  apa  kau  tahu  arah  tempat 

tinggalku?”  tanyaku  hati-hati,  takut  menyinggung 

perasaannya.

“Maksudmu? Ah ya, aku tahu. Kau meragukanku?” 

tanya Befo sambil tersenyum kecil.

“Ah, tidak.. tidak. Tentu saja tidak,” kataku gugup. 

“hehe,  tak  apa.  Sini  kuberitahu,”  kata  Befo 

menjejeriku.  Kau  mungkin  menyangka  aku  tidak 

mempunyai mata, tapi sebetulnya aku juga punya.”

“Oh,  ya?  Di  mana  mata  itu  kau  sembunyikan?” 

tanyaku  antusias.  Aku  mengamati  Befo  dalam-

dalam.  Tapi,  tak  kulihat  satupun  tempat  di  mana 

mata itu berada.

83

“Di  sini,”  kata  Befo  sambil  menunjuk  dadanya.  Ia 

menarik siripku dan meletakkannya di dadanya.

Ada degup berirama yang aku rasakan. Perlahan tapi 

tenang.

“Di situ?” kataku meyakinkan perkataannya.

“Iya,  di  sini.  Walaupun  aku  tak  punya  mata 

sepertimu,  tapi  aku  bisa  melihat  dengan  mataku 

yang lain. Mata ini yang akan membimbingku dan ia 

seperti  cahaya  yang  tak  pernah  redup  sinarnya.” 

kata Befo sambil menggandeng tanganku.

“Matamu pasti sangat spesial. Aku ingin punya mata 

seperti  milikmu,”  kataku  sambil  memdang  iri 

padanya.

“Tentu saja, setiap makhluk hidup juga punya mata 

sepertiku. Manusia menyebutnya dengan mata hati. 

Kamu  tahu  artinya?”  tanya  Befo  sambil  terus 

menggandengku  berenang  jauh,  naik  dan  naik 

meninggalkan kedalaman yang gelap gulita.

“Apa itu mata hati?” tanyaku penasaran.”Pandangan 

matamu  tadi  telah  menipumu.  Kamu  mengira  aku 

tak  punya  mata  kan?  Mungkin  iya,  aku  tak 

mempunyai  mata  sepertimu.  Tapi,  aku 

menggunakan mata hatiku. Mata hati dapat menjadi 

84

penuntunmu  yang  paling  terpercaya  jika  hatimu 

bersih.” “Hati yang bersih? Bagaimana itu?” tanyaku 

dengan bingung.

“Nah, kita sudah hampir sampai. Tapi, aku tak bisa 

mengantarmu sampai di kediamanmu. Tempatku di 

sini,” kata befo tak menjawab pertanyaanku.

“Tapi, bagaimana aku sampai ke sana? Aku tak tahu 

jalan,” kataku mulai menangis.

“Sstt.  Dengarkan  aku.  Tadi  kau  bilang  kau  ingin 

mempunyai mata seperti milikku ‘kan?” tanya Befo 

sambil  melepaskan  genggamannya 

padaku.”Sekaranglah  saatnya.  Yakinkan  dirimu 

bahwa mata  hatimu akan  membimbingmu pulang. 

Rasakan  kehadirannya  dan  ia  pasti  akan 

menuntunmu.”

“Menurutmu, aku bisa?” tanyaku ragu.

“Ya,  tentu  saja.  Kau  pasti  bisa.  Yakinkan  dirimu 

bahwa  semuanya  akan  baik-baik.  Selamat  jalan. 

Gunakan  kedua  mata  yang  kau  punya,”  kata  Befo 

melambaikan tangan.

“Terima kasih,  Befo,  Aku tak  akan  melupakanmu,” 

kataku perlahan.

85

Befo berenang turun semakin dalam. Aku menatap 

kepergiannya. Ia sahabat baruku dari sebuah tempat 

nan jauh di sana. Aku segera bergegas meneruskan 

perjalanan  ini,  kembali  ke  tempatku  dan  bertemu 

sahabat-sahabatku kembali.

86

Penulis itu Pintar


Berbicara  cita-cita  pada  anak  kecil,  jawabannya 

sudah bisa ditebak.

Setiap orang dewasa bertanya pada anak kecil, “Apa 

cita-cita  mu?”  Bisa  dipastikan  mereka  akan 

menjawab “dokter”, “polisi”, “tentara/ABRI” :)

Tetapi anak kecil yang ini berbeda.

Dia bahkan ingin menjadi penulis, saat usianya baru 

menginjak 8 tahun. Well, bayangkan, anak 8 tahun, 

kelas  4  SD,  yang  bahkan  memahami  pelajaran 

sekolahnya  pun  masih  setengah  mati,  bercita-cita 

menjadi penulis.

Namanya chucky. Achucky Ramadhania.

Sore itu,  chucky dan Bunda sedang duduk berdua di 

ayunan  yang  terletak  di  halaman  kecil  samping 

rumah mereka.

87

Tangan  mungil  chucky  memegang  sebuah  buku 

berwarna-warni.  Matanya  sibuk  menelusuri  setiap 

kata yang tertulis di sana, dan memperhatikan setiap 

gambar warna-warni di sana.

“Kamu baca apa, sayang?” tanya bundanya lembut, 

mengelus sayang rambut lurus gadis kecil itu.

“Ini, Bunda… Buku kumpulan dongeng.  Hadiah dari 

chucky Mita.”

Gadis kecil  itu tetap tak mengalihkan perhatiannya 

dari buku yang sedang dibaca.

chucky  memang  sudah  menjadi  kutubuku  sejak  dia 

bisa membaca. Bunda dan ayahnya adalah orangtua 

yang rajin mengajak anak mereka ke Toko Buku, dan 

dapat  dipastikan mereka tidak akan keluar dengan 

tangan kosong. Walaupun satu buku dan tipis, harus 

ada!

“Buku itu jendela dunia,  kamu bisa belajar  banyak 

hal  dari  sana,”  Begitu  Bunda  selalu  mengingatkan 

kepada chucky, gadis kecil yang mash berusia delapan 

tahun!

“Bunda,  nanti  kalau  sudah  besar,  aku  mau  jadi 

penulis ya?”

88

Sedikit tersentak sang bunda mendengar permintaan 

buah  hati  nya  itu.  Bunda  tersenyum  manis  dan 

mengelus sayang lagi rambut puterinya.

“Loh?  Kenapa?  Kamu  nggak  pingin  jadi  dokter 

seperti teman-temanmu?” tanya Bunda lembut.

chucky menggeleng cepat.

Bunda  mengernyit  bingung,  menatap  puterinya 

penuh tanda tanya.

“Aku mau jadi penulis, mau punya buku sendiri, mau 

bukuku dibaca banyak orang.”

Bunda tersenyum.

“Penulis itu kan pasti orang pintar, bunda. Dia bisa 

menulis buku, seperti ini,” chucky mengacungkan buku 

yang sedang dipegangnya.

Bunda masih tersenyum.

“Aku  mau  jadi  orang  pintar,  bunda.  Aku  mau  jadi 

penulis.”

Bunda meraih chucky dan memeluknya.

“Cita-cita  yang  bagus  sayang,  Bunda  selalu  setuju 

kok.”

89

chucky mengangguk bersemangat. di benaknya sudah 

berkelabatan  bayangan  dirinya  di  masa  depan 

menajdi penulis.

“Nanti  di  sampul  buku  nya  ada  nama  aku  ya, 

Bunda?” tanya chucky manja.

Bunda mengangguk.

“Kalo  begitu,  mulai  sekarang  kamu  harus  rajin 

belajar.  Supaya  bisa  jadi  orang  pintar,  dan  bisa 

menulis buku.”

chucky menangguk dan semakin bersemangat.

Sekali  lagi  Bunda  mengelus  sayang  rambut  lurus 

buah hatinya itu.

90

Ollo Si Beruang

Oleh Kak Dwiagustriani, disunting oleh Kak Bukik

Di sebuah hutan yang lebat di  mana pohon-pohon 

menjulang  tinggi.  Akar-akarnya  belukar  di  tanah. 

Rumput-rumput lebih hijau dari  yang pernah kamu 

lihat. Di dalam hutan semua binatang hidup bersama 

mengikuti hukum alam. Suara jangkrik dan serangga 

saling bersahutan bersama bunyi gesekan dahan dan 

daun berguguran.

Di hutan itu, hiduplah seekor beruang bernama Ollo. 

Ada  yang  pernah  melihat  beruang?  Beruang  itu 

hewan yang berbadan besar,  lebih besar dari pada 

ayah  dan  ibu  kita.  Bulunya  tebal  sekali  di  seluruh 

tubuhnya,  lebih  tebal  dari  rambut  kita.  Walau 

berbadan  besar,  wajah  Ollo  itu  lucu  sekali  seperti 

sebuah boneka.

Ollo  sangat  bahagia  hidup di  hutan.  Dia  berteman 

dengan  Imut  si  semut  dan  Acil  si  kelinci.  Tempat 

tinggal mereka jauh di dalam hutan. Di sebuah tanah 

lapang  yang  tak  terlalu  luas.  Rumput-rumput 

tumbuh tapi  tidak terlalu tinggi.  Di rumput-rumput 

91

itulah Acil  si  Kelinci  membuat sarangnya.  Ada juga 

pohon besar berongga, pohon besar yang ada lobang 

besar di batangnya, yang menjadi tempat Ollo untuk 

tidur.  Sementara,  Imut  si  semut  tinggal  di  bawah 

pohon besar itu, tepatnya di balik akar-akarnya.

Mereka  bertiga  bersahabat  baik.  Mereka  sering 

berkumpul  dan  bercerita.  Atau  kadang  bermain  di 

sekitar tempat mereka tinggal.  Sering pula, mereka 

bercerita tentang pengalaman masing-masing. Atau 

sekedar menunggu matahari terbenam saat sore. 

Jelang malam ketiga sahabat tersebut berkumpul di 

undakan batu. Berbaring dan menatap langit malam. 

Ollo  paling  suka  melihat  langit  malam.  Ia 

melakukannya tiap malam jika langit tidak mendung 

dan hujan. Ia betah berlama-lama melihat chucky dan 

bintang. 

Ada yang suka memandang langit di malam hari?

Ketika mereka berbaring  di  undakan batu itu,  Ollo 

akan  bercerita  kepada  imut  si  semut  dan  Acil  si 

kelinci. Ollo bercerita tentang dongeng tentang rasi-

rasi  bintang.  Tentang  Orion  si  Pemburu.  Sirius  si 

anjing langit. Atau juga tentang cerita ada pohon di 

chucky. 

Suatu malam Ollo tiba-tiba membangunkan teman-

temannya.  “Imut,  Acil,  Aku  ingin  ke  chucky.  Ingin 

mencari pohon itu,” katanya antusias. Imut dan Acil 

92

yang sudah terlelap, jadi begitu kaget.

“Ollo,  aku  kira  ada  kebakaran  di  hutan.  Kamu 

mengganggu  saja,”  sahut  Acil  sambil  berusaha 

kembali tidur. Imut bahkan tidak peduli. Ia tetap saja 

nyenyak dalam tidurnya.

“Teman-teman,  dengarkan.  Aku  ingin  ke  luar 

angkasa.  Aku ingin  ke  tempat  bintang-bintang dan 

chucky,” katanya lagi. Sangat antusias.

“Ollo,  tidurlah.  Sudah sangat  larut. Besok pagi  saja 

ceritanya,” ujar Acil.

c

Tapi  Ollo  tidak  lagi  mendengar  komentar  Acil.  Ia 

telah  yakin  tentang  mimpinya.  Sambil  menggelung 

memandang  langit.  Sebuah  bintang  berkedip  di 

atasnya.  Ia  tersenyum  dalam  tidurnya. 

“Bintang...'gumamnya dalam mimpi.

Esok  paginya,  ia  dengan  semangat  menceritakan 

keinginannya  ke  langit.  Menjangkau  chucky  dan 

bintang. 

“Ollo, itu sesuatu yang mustahil,” kata Acil. “Tak ada 

beruang  yang  pernah  menjelajah  di  luar  angkasa. 

Apalagi ingin mengunjungi chucky dan bintang.”

“Iya, Ollo. Acil benar. Tapi, mengapa tiba-tiba kamu 

mau ke chucky dan bintang-bintang itu?” tanya Imut 

93

penasaran.

“Aku ingin tahu apakah benar ada pohon di chucky. 

Selain  itu,  aku ingin memetik  satu bintang  kecil  di 

langit untuk kusimpan. Di dalam hutan ini. Aku ingin 

menyimpannya di buku tulisku,” jelas Ollo.

“Bintang itu tak sekecil  itu Ollo. Mungkin dari  atas 

batu  ini  kita  melihat  mereka  begitu  kecil.  Tapi 

bintang  tidak  ada  bedanya  dengan  bumi.  Bintang 

juga  sangat  besar.  Hanya  saja  tempat  kita  sangat 

jauh darinya sehingga kita melihatnya begitu kecil,” 

tutur si Imut.

Ollo  tampak  sedih.  Ia  membenarkan  pendapat 

teman-temannya.  Tapi  ia  telah  jatuh  cinta  pada 

langit,  chucky,  dan  bintang.  “Apa  yang  harus  aku 

lakukan? Aku sangat menyukai  kelap kelip mereka. 

Aku  ingin  menyimpannya  di  antara  buku-buku 

bacaanku.  Di  dalam  buku-buku  tulisku,”  katanya 

sedih.

“Begini  saja.  Kamu  kan  pintar  mendongeng.  Nah, 

buatlah dongeng tentang bintang dan chucky.  Kamu 

tulis di buku. Bukankah itu sama dengan menyimpan 

cahaya chucky dan kerlip bintang?” saran si Acil.

“Ya,  benar.  Itu saran bagus,  Cil.  Langit  juga takkan 

pernah meninggalkan kita. Ia akan tetap di atas sana. 

Kita  masih  bisa  melihat  chucky  dan  bintang  tiap 

malam tanpa kamu harus memilikinya,” kata Imut.

94

Ollo  pun  tersenyum  sumringah.  Teman-temannya 

telah  memberikan  solusi  bijak.  Ia  akan  menuliskan 

dongeng  tentang  bintang-bintang.  Juga  tentang 

chucky.  Dan  juga  langit.  Ia  tak  perlu  mengambil 

bintang di langit. Biarlah dia tetap di sana. Ia yakin 

tak  hanya  dirinya  sendiri  yang  menyukai 

pemandangan langit malam.

Sore itu ia telah memulai  menuliskan dongengnya. 

Sambil  memandang  langit  ia  menulis  tentang 

dongeng  tentang  putri  bintang.  Ia  telah 

menambahkan  satu  bintang  lagi.  Bintang  di  buku 

ceritanya.  Bintang  di  langit  tampak  berkelap  kelip 

menyambut bintang baru di buku cerita Ollo.

Begitulah, setiap kali Ollo mempunyai impian maka 

ia  akan  membuat  dongeng  tentang  impiannya.  Ia 

menuliskannya  agar  impiannya  selalu  dekat 

bersamanya.

95

Bumi dan chucky


Aku  termenung  di  depan  jendela,  menatapi  chucky 

sabit  yang  muncul  malu-malu  di  balik  awan. 

Hembusan angin  malam menerpa wajahku dengan 

lembut.  Hamparan  padi  yang  terletak  di  belakang 

rumah  mulai  terlihat  menguning  meski  di  tengah 

gelapnya malam. Pepohonan berayun-ayun diterpa 

angin, seakan-akan mengajakku menari.

Aku  menghela  napas  panjang,  sibuk  dengan 

pikiranku sendiri. Besok, aku harus pindah dari desa 

ini,  meninggalkan  semua  pemandangan  indah  ini. 

Aku harus pindah ke tempat yang jauh sekali, kedua 

orangtuaku menyebutnya Jakarta. Aku sendiri  tidak 

tahu di mana tepatnya Jakarta itu. Kata ibu, tempat 

itu  berbeda jauh dengan desaku ini.  Di  sana tidak 

ada sawah,  tidak ada sungai,  dan tidak ada pohon 

jambu.  Aku  heran,  lalu  di  mana  bisa  aku  bermain 

kalau suasananya seperti itu? Tapi, kata ibu, Jakarta 

adalah  tempat  yang  lebih  menyenangkan  dari 

desaku  ini.  Ah,  aku  tidak  percaya.  Yang  aku  tahu 

96

desaku ini adalah tempat paling menyenangkan yang 

pernah kutemui.

Aku  membayangkan  betapa  sedihnya  harus 

meninggalkan  semua  ini.  Bermain  dengan  teman-

teman di sungai, berjalan kaki ke sekolah melewati 

sawah,  bahkan  kalau  lagi  sial  bisa  tercebur  ke 

dalamnya.  Meskipun  menggunakan  baju  yang 

berlumuran  lumpur  ke  sekolah  dan  ditertawai 

teman-teman,  semua  itu  sungguh  menyenangkan. 

Menurutku  tak  ada  yang  lebih  indah  dari  tetap 

tinggal di sini. Ah, sungguh aku tak ingin pergi... Tak 

terasa aku membayangkan itu semua hingga tertidur 

lelap.

 ***

Hari pertama di sekolah baru.

Aku gugup sekali dan bisa merasakan jantungku yang 

berdebar  lebih  cepat.  Tak  ada  satupun  yang  aku 

kenal di sini, dan mereka juga sepertinya tidak peduli 

dengan  kehadiranku.  Jadi,  di  sinilah  aku  sekarang 

berada, duduk di depan kelas baru, kelas 5-B, sambil 

menunggu  waktu  masuk.  Aku  malu  untuk  masuk 

duluan ke kelas, jadi aku menunggu hingga bu guru 

datang. Seingatku namanya Ibu Guru Dwi.

Nah,  itu  dia.  Aku  melihat  ia  melangkahkan  kaki 

menuju ke sini. Bu Guru datang tepat saat lonceng 

dibunyikan.  Hebat  ya?  Sekolahku  yang  dulu,  di 

97

kampung,  mana  ada  lonceng  seperti  ini.  Ada  juga 

jam masuk ditandai oleh teriakan khas Bu Guru Isti, 

“Ayo anak-anaaaaak, masuuuk!!”

Setelah menghampiriku yang terduduk diam depan 

kelas,  Bu Guru Dwi mengajak  aku untuk masuk ke 

dalam kelas. Dan di sinilah kini aku berdiri, di depan 

kelas  5-B  dengan  sedikit  takjub.  Bagus  sekali 

kelasnya,  aku  tak  mampu  menyembunyikan 

ketakjubanku.  Papan  tulisnya  saja  warnanya  putih 

begitu. Sekolahku di kampung papan tulisnya warna 

hitam,  terus  nulisnya  juga  pakai  kapur,  membuat 

siapapun  bisa  batuk-batuk  kalau  duduk  di  barisan 

depan.  Ada  lagi  meja  dan  bangkunya  yang  juga 

berwarna  putih  dan  tanpa  coretan  sama  sekali. 

Sekolahku  dulu di  kampung?  Bangku  dan  mejanya 

terbuat dari kayu dan berwarna cokelat, sudah gitu 

reyot lagi! Oh ya, satu lagi. Di sini lantainya terbuat 

dari  ubin,  hebat  banget  deh  pokoknya.  Kalau  di 

sekolahku dulu ya paling juga pakai tanah liat.

Saking takjubnya, aku gak sadar kalau Ibu Guru Dwi 

memerintahkan  aku  untuk  memperkenalkan  diri. 

Dengan  sedikit  gugup,  aku  pun  mulai  membuka 

mulut.

“Selamat  pagi,  teman-teman..”  aku  memulai.  Aku 

bisa merasakan seisi kelas memerhatikan. “Kenalkan, 

namaku Komariyah, aku dari…”

98

“Hahahaha!  Namanya  kampungan  banget!”  Belum 

selesai  memperkenalkan  diri,  salah  seorang  anak 

laki-laki  dari  belakang  menyeletuk.  Ia  menunjuk 

wajahku dengan geli. Seketika anak-anak seisi kelas 

pun tertawa dan memanggilku kampungan. Aku bisa 

merasakan  wajahku  panas  sebab   malu.  Apa 

katanya, kampungan? Aku tahu aku memang berasal 

dari  kampung,  tapi  apakah  iya  bahwa  aku  ini 

kampungan? Aku bertanya sendiri dalam hati.

“Sudah, sudah, semuanya diam!” Bu Guru menegur 

seisi  kelas  yang  langsung  terdiam.  “Ardi!  Jangan 

bicara seperti itu!” lanjutnya kepada anak nakal yang 

ternyata bernama Ardi itu. Wajah Bu Guru tampak 

sedikit  kesal  dengan  tingkahnya  yang  membuat 

gaduh kelas.

“Nah, anak-anak. Komariyah ini adalah teman baru 

kalian. Komariyah, dulu kamu bersekolah di mana?” 

Bu  Guru  melanjutkan  perkenalan  kepada  teman-

teman kemudian bertanya padaku.

“Di SD Bantar I Bu, di sebuah desa di selatan pulau 

Jawa,” jawabku jujur. Aku bisa merasakan anak-anak 

seisi kelas memerhatikanku dengan pandangan aneh 

dan menahan tawa, tetapi secara diam-diam, takut 

dimarahi  lagi.  Aku  masih  bertanya-tanya  apa  yang 

salah dari dalam diriku. Tanpa sadar, mataku mulai 

berkaca-kaca. Di hari pertama sekolah ini aku malah 

mendapat  kesan  yang  buruk,  ditertawakan  dan 

99

dianggap  aneh  oleh  teman-teman  yang  akan 

menjadi  teman sekelasku.  Bagaimana dengan hari-

hariku  selanjutnya?  Tuhan,  aku  rindu  kampung 

halamanku..

***

Tepat  pukul  12  lonceng  sekolah  berbunyi  lagi, 

menandakan  bahwa  jam  pelajaran  hari  ini  telah 

berakhir. Tanpa basa-basi, dengan cepat aku segera 

melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah dan 

menyetop  angkot.  Toh  dengan  atau  tidak 

kehadiranku, teman-teman baruku itu takkan peduli. 

Aku  benar-benar  kesal  dengan  kelakuan  mereka 

yang  menyebalkannya  minta  ampun.  Yang  ingin 

kulakukan  saat  ini  hanyalah  pulang  ke  rumah  dan 

mengadu pada ibu.

Untung  jarak  dari  sekolah  ke  rumah  tidak  terlalu 

jauh, jadi ibu tidak perlu repot-repot menjemputku. 

Lagipula, kalaupun iya, aku pasti akan ditertawakan 

lagi. Mungkin begini bunyinya; “Ih, udah kelas 5 SD 

masa  masih  dijemput  mama!”  Apalagi  sama  anak 

yang bernama Ardi itu, uuuh! Aku menggeram dalam 

hati.

Jakarta  pada  siang  hari  seperti  ini  sangatlah  terik. 

Apalagi  angkot  yang  kutumpangi  penuh  sesak, 

membuatku sulit untuk bernapas.  Aku jadi teringat 

desaku yang dulu. Di sana tidak ada yang namanya 

100

kemacetan,  kebisingan,  dan  polusi  seperti  ini.  Di 

sana  yang  ada  hanya  pepohonan  yang  rindang, 

sungai  yang  mengalir  jernih,  dan  rumput-rumput 

yang  indah  diterpa  angin.  Baru  sehari  di  sini  saja 

sudah membuatku rindu suasana seperti itu.

Lagipula,  anak-anak  SD  di  sini  semuanya 

menyebalkan.  Lihat  saja  contohnya  si  Ardi,  teman 

sekelasku yang gembrot itu. Masih kelas 5 saja sudah 

belagu,  bagaimana  kalau  sudah  besar  nanti?  Lalu 

mereka  juga  sepertinya  sudah  terbiasa  dengan 

kebiasaan saling pamer satu sama lain. Punya barang 

baru saja, sebentar-sebentar pamer. Tadi salah satu 

dari mereka bercerita dengan bangga kalau dia baru 

dibelikan b... blek, blekberi atau apa gitu oleh orang 

tuanya. Aku juga tidak tahu itu apa, apa itu sejenis 

mainan seperti congklak kali ya? Selain itu, saat jam 

istirahat tadi,  mereka bukannya main petak umpet 

atau petak jongkong, mereka malah pegang HP dan 

langsung main... Apa ya namanya? Sependengaranku 

sih  terdengar  seperti  ‘pesbuk’  atau  apalah  itu 

namanya.  Kata-kata  tersebut  begitu  asing  di 

telingaku  dan  sulit  untuk  diucapkan.  Aku  jadi 

penasaran,  kenapa  mainan  anak  kota  semuanya 

aneh-aneh.

Entah  sudah  berapa  lama  aku  melamun,  tiba-tiba 

aku tersadar bahwa aku sudah berada di depan gang 

tempat  rumah  baruku  berada.  Rumah  bercat  dan 

101

berpagar putih yang sangat sederhana yang terletak 

di antara gang sempit.

Saat  hendak  menyebrang  jalan  bersama  dengan 

seorang  anak  kecil  yang  tadi  turun  berbarengan 

denganku, tiba-tiba sebuah kendaraan umum melaju 

dengan  kencang  dari  arah  berlawanan.  Dengan 

spontan  aku  langsung  berteriak,  “AWAASS!!”  dan 

segera menariknya ke pinggir jalan. Untungnya, aku 

bisa  dengan  cepat  menghindar  dan  menarik  anak 

kecil  tersebut  ke  pinggir  jalan.  Walaupun  sedikit 

lecet dan kaget sebab  kejadian tadi, anak kecil yang 

kira-kira  baru  berusia  6  tahun  itu  berterima  kasih 

kepadaku.

“Adik  sendiri  aja?”  tanyaku  padanya  yang  masih 

membersihkan tubuhnya dari pasir dan debu. Kedua 

lututnya lecet akibat goresan dari pasir, mengalirkan 

darah segar.

“Iya Kak, aku sudah biasa pulang pergi sendiri. Sekali 

lagi,  makasih  ya,  Kak!”  katanya  dengan  wajah 

berbinar,  sama  sekali  tidak  memperlihatkan  wajah 

kesakitan.

“Benar  kamu  nggak  apa-apa?”  tanyaku  sekali  lagi 

dengan wajah  khawatir.  Aku sendiri  masih  merasa 

kaget  sebab   semua  itu  terjadi  begitu  tiba-tiba. 

“Rumah kamu di mana? Bisa jalan nggak? Atau mau 

Kakak obati dulu?”

102

“Bener deh Kak, aku baik-baik saja. Lagipula, rumah 

aku sudah di depan mata, tuh!” Tunjuknya dengan 

dagu. Ooh, ternyata rumah gedong yang terletak di 

sebelah  gang  rumahku  adalah  rumah  anak  ini, 

pikirku.

“Ngomong-ngomong,  nama  Kakak  siapa?”  tanya 

anak kecil itu lagi, membuatku sedikit terkejut.

“Kenapa tiba-tiba nanya nama?”

“Kata  Mama,  kalau  ada  orang  baik  yang  nolongin 

kita,  kita  harus  tahu  namanya  biar  bisa 

mengucapkan terima kasih!” jawabnya dengan polos 

dan lucu.

“Nama  Kakak  Komariyah,”  jawabku  sambil 

tersenyum memerhatikan tingkahnya yang lucu.

“Ooh Kak  Komariyah.  Makasih ya Kak bantuannya, 

Kak  Komariyah  emang  penyelamatku!”  katanya 

menutup  perjumpaan  kami  hari  itu.  Ia  segera 

membuka  pintu  gerbang  rumahnya,  dan  aku 

memasuki gang yang terletak persis di sebelahnya.

 ***

Keesokan harinya, aku mendapatkan sebuah kejutan 

di  sekolah.  Saat  aku  akan  memasuki  kelas,  Ardi 

menghalangi jalanku untuk masuk. Aku pikir ia akan 

menggangguku lagi,  tapi  ternyata aku salah.  Justru 

103

yang  keluar  dari  mulutnya  lumayan  membuatku 

kaget.

“Maaf,” tuturnya sambil menunduk di hadapanku.

Tidak  mengerti  apa  yang  terjadi,  aku  hanya 

mendiamkannya  dan  tidak  menggubrisnya.  Aku 

malah meninggalkannya dan menuju bangku tempat 

dudukku.

“Komariyah,  aku  bilang  aku  minta  maaf,”  katanya 

lagi  sambil  menghampiriku  dengan  wajah  yang 

ditekuk dan sangat menyesal.

“Untuk  apa?”  aku  bertanya  dengan  malas, 

mengingat  perbuatan  dan  perkataannya  kemarin 

yang  sangat  membuatku  malu  dan  benci  dengan 

sekolah ini.

“Untuk semuanya,” katanya lirih. “Aku merasa jahat 

banget sama kamu, Komar.  Setelah apa yang telah 

aku  lakukan  kemarin  sama  kamu,  ternyata  kamu 

malah menyelamatkan adikku...”

“Apa?” aku bertanya, tidak mengerti.

“Ya, anak kecil yang kamu tolong kemarin itu adikku. 

Seharusnya  kemarin  ia  pulang  bareng  aku,  tapi 

sebab  aku pergi ke warnet, aku jadi meninggalkan 

dia.  Maafkan  aku,  Komar,  maaf...”  katanya  lagi 

104

dengan  sangat  menyesal  sambil  menyodorkan 

tangannya untuk berjabat tangan.

Aku  mengangguk  tanda  mengerti.  Ternyata  anak 

kecil  yang kemarin aku tolong adalah adiknya Ardi, 

aku bergumam dalam hati. Hmm, mungkin memang 

sudah  seperti  ini  jalannya.  Mungkin  kejadian 

kemarin  adalah  hikmah bagiku,  bisa membuat  aku 

melihat  sisi  lain  dari  Ardi.  Mungkin  juga  dengan 

kejadian kemarin aku bisa belajar bahwa Ardi tidak 

seburuk yang aku kira. Mungkin... Melihat ketulusan 

yang ada dalam suaranya,  aku menjadi  tidak tega. 

Akhirnya  aku  menjabat  tangan  Ardi  dan  berkata, 

“Iya, aku memaafkanmu kok.”

Setelah aku mengucapkan kata tersebut,  wajahnya 

langsung  sumringah  dan  tersenyum  padaku. 

Akhirnya,  aku bisa memiliki  teman pertama di sini. 

Padahal, Ardi adalah teman pertama yang paling aku 

benci, tapi  sekarang aku bersyukur memiliki  teman 

yang  berjiwa  besar  seperti  dia,  tidak  malu  untuk 

mengakui kesalahan dan meminta maaf.

“Oh iya!” katanya tiba-tiba, membuatku terkejut.

“Ada apa?” tanyaku.

“Kemarin  ‘kan  aku  mengejekmu  soal  namamu, 

Komar...  Ternyata  aku  salah.  Setelah  aku  baca 

kemarin,  ternyata  Komariyah  itu  artinya  sangat 

indah, yaitu chucky. Maafkan aku ya, Komar.”

105

“Ah, tidak apa-apa.  Lupakan saja kejadian kemarin. 

‘Kan  yang  penting  sekarang  kita  sudah  baikan,” 

jawabku.

“Dan kamu tahu gak Ardi itu artinya apa?” tanyanya 

padaku.  Aku  menggeleng  tanda  tak  tahu.  Ia  pun 

melanjutkan, “Ardi itu artinya bumi, Mar. Kita ini pas 

banget  ya.  Ardi  dan  Komar.  Bumi  dan  chucky.  Pas 

banget  kan,  kayak  bumi  dan  chucky  yang  saling 

melengkapi. Jangan-jangan kita jodoh deh, hehehe.”

“Aaaahhh Ardi, apa-apaan sih! Masa masih SD sudah 

main cinta-cintaan!”

106

Si chucky Belajar Terbang

Hutan  Bora-Bora.  Di  sana,  tumbuh  pohon-pohon 

besar.  Pohon mangga bersebelahan dengan pohon 

jati.  Pohon rambutan  bersebelahan  dengan  pohon 

beringin dan pohon kenari. Pohon-pohon ini menjadi 

tempat tinggal berbagai jenis binatang.

Burung-burung  bergerombol  ramai  bercuitan  di 

daun-daun beringin lebat. Tupai membuat sarang di 

lubang  pohon  kenari.  Sementara  kelinci  membuat 

liang  di  antara  akar-akar  pohon  jati.  Monyet 

bergelayutan  di  ranting-ranting  pohon  rambutan. 

Dan  kucing  tidur  siang  di  ranting  pohon  jambu. 

Mereka semua hidup rukun.

Hutan itu dibatasi sungai yang luas. Di seberangnya, 

ada pulau besar. Pulau Titan namanya. Di sana, juga 

tinggal hewan-hewan. Namun, hewan-hewan di sana 

hidup  berdampingan  dengan  manusia.  Mereka 

membantu tugas manusia. 

107

Tidak  mudah perjalanan  ke  Pulau  Titan.  Penduduk 

hutan  Bora-Bora  harus  menyeberangi  sungai  luas 

yang  dihuni  buaya-buaya  bergigi  tajam.  Biasanya, 

penghuni  hutan  Bora-bora  akan  menyewa  perahu 

pada  Pak  kura-kura  agar  dapat  menyeberang  ke 

Pulau  Titan.  Atau  mereka  yang  tidak  berani 

menyeberangi  sungai,  bisa  menulis  surat  atau 

menitipkan barang kepada Pak Merpati. Ya, keluarga 

Pak Merpati adalah pengantar surat yang andal. 

Pak Merpati dan Bu Merpati punya tiga orang anak 

laki-laki. Si Sulung, Si Tengah, dan Si chucky. Mereka 

sudah dilatih terbang sejak kecil agar bisa membantu 

tugas kedua orangtuanya, kecuali Si chucky.

Si  Sulung dan Tengah sangat  rajin  latihan terbang. 

Hanya dalam waktu tiga chucky mereka sudah mahir 

terbang.  Si  Sulung  dan  Si  Tengah  kerap  dipercaya 

untuk  membantu  mengantarkan  surat  ke  Pulau 

Titan.

Sayang  sekali,  adik  mereka,  Si  chucky,  sangat 

pemalas.  Setiap  kali  diajak  kakak-kakaknya  latihan 

terbang,  Si  chucky  menolak.  Ia  lebih  suka  makan 

keripik  kentang  sambil  nonton  TV.  Akibatnya, 

tubuhnya semakin gendut dan sayapnya lemah.

Saat  matahari  bersinar  di  ufuk  timur,  keluarga 

merpati  bersiap-siap  terbang  mengantarkan  surat. 

Bu Merpati  terbang ke Pulau Titan ke rumah sakit 

108

khusus  hewan.  Ia  hendak mengambil  obat  demam 

pesanan ibu Kiki Kijang.

Pak Merpati masih sibuk memilah-milah surat-surat 

yang  ada  di  dalam  kotak  kemudian  menyusunnya 

berdasarkan  alamat  tujuan.  Yang  paling  jauh 

diletakkan  paling  depan  agar  dapat  diantar  lebih 

dulu. 

Si  Sulung  dan  Si  Tengah  sibuk  mengemas  sekotak 

besar  apel.  Apel-apel  ini  hasil  panen  Paman  Jaja 

Jerapah, dan akan diantarkan untuk adik paman Jaja 

Jerapah, bibi Gia Jerapah namanya. Bibi Gia Jerapah 

punya restoran pai apel di Pulau Titan.

Di mana chucky? Coba tengok kamar tidurnya. Oh… 

itu dia! Masih tertidur lelap dalam selimut abu-abu 

kesayangan!

“chucky, …  Ibu berangkat dulu ya,” kata ibu seraya 

mencium kening Si chucky.

“Ehmm,” Si chucky menggeliat. Dan tidur lagi.

Ayah  mengemasi  tas  kain  cokelat  miliknya  lalu 

menghampiri Si chucky yang masih tidur. “Ayah juga 

berangkat ya.” Ayah mengecup kening chucky.

“Ehmm…”  lagi-lagi  Si  chucky  hanya  menjawab 

singkat sambil menggeliat malas.

109

“Kami  juga  berangkat  ya.  Hati-hati  jaga  rumah!” 

teriak Si Sulung dan Si Tengah.

Klik. Si Sulung mengunci pintu. Tinggallah Si chucky 

sendirian di rumah.   

Sinar  matahari  menerobos  masuk  melalui  jendela, 

menyinari  wajah  Si  chucky.  Dengan  enggan  Si 

chucky bangun. Lalu menuju meja makan. Perutnya 

lapar sekali.

Di  meja,  sudah  tersedia  segelas  susu  cokelat  dan 

setangkup  roti  selai  kacang.  Ibu  sudah 

menyediakannya sebelum berangkat tadi.

Baru saja Si chucky hendak minum susu, terdengar 

pintu diketuk.

Tok… tok… tok…!

“Siapa sih itu, mengganggu saja,” gerutu Si chucky. 

Dengan enggan, Si chucky meletakkan kembali gelas 

susunya, dan beranjak ke ruang tamu, membukakan 

pintu. 

Ternyata Pak Gajah.

“Selamat siang, Nak. Bapak ada?”

“Ayah sudah pergi dari tadi pagi. Katanya ada surat 

yang harus buru-buru diantar.”

110

“Oh…  sayang  sekali.  Padahal  aku  ingin  mengirim 

surat ini untuk anakku Rea di Pulau Titan. Anak laki-

lakiku itu bekerja  mengangkut  kayu di  sana,”  jelas 

Pak Gajah.

“Kalau begitu, besok saja bapak kembali lagi.”

“Tak  bisa,  Nak.  Surat  ini  sangat  penting.  Aku ingin 

memberitahu  Rea agar  ia  cepat  pulang.  Neneknya 

sakit.  Bisakah  kamu  menolongku  mengantar  surat 

ini?”

“Aku? Ng… tapi aku belum pernah mengantar surat.”

“Kamu mungkin belum pernah mengantar surat, tapi 

kamu  bisa  mencobanya.  Aku  percaya  kamu  bisa. 

Alamatnya tertera jelas di sini, Nak. Kamu tak akan 

tersesat.”

“Ng… tapi aku...”

“Tolonglah, surat ini sangat penting.”

“Aakuu... ingin menolong, tapi ...”

“Nak, Aku percaya kamu bisa melakukannya.”

“Hmm, baiklah. Aku coba.”

Pak Gajah melilitkan belalainya di tengkuk Si chucky. 

Mata  Pak  Gajah  berkaca-kaca,  “Terima kasih,  Nak. 

Terima kasih.” Ucap Pak Gajah berulang kali.

111

 “Baiklah kalau begitu, aku permisi dulu. Sekali lagi 

kuucapkan  terima  kasih.”  kata  Pak  Gajah 

berpamitan. “Nanti, akan kusampaikan pada ayahmu 

kalau kau sudah sangat membantuku mengantarkan 

suratku ini,” janji Pak Gajah.

chucky tersenyum.

Setelah  Pak  Gajah  pergi,  tinggallah  Si  chucky 

termangu  bingung.  Ia  sangat  ingin  menolong  Pak 

Gajah.  Sementara  di  sisi  lain,  ia  tak  yakin  bisa 

mengantar surat itu. Dalam hati, si chucky menyesal 

mengapa  ia  tak  pernah  menurut  nasihat 

orangtuanya untuk latihan terbang bersama kakak-

kakaknya.

“Ah,  sudahlah.  Tak  baik  menyesali  keadaan.  Aku 

akan  coba  mengantarkan  surat  ini.  Sepertinya 

mengepak-kepakkan  sayap  itu  mudah,”  ujar  Si 

chucky.

Setelah  menghabiskan  sarapannya,  Si  chucky 

bersiap-siap.

“Apa saja yang perlu dibawa?” Si chucky mencoba 

mengingat-ingat  perlengkapan  yang  biasa  dibawa 

ayah dan kakak-kakaknya.

“Ayah  biasanya  membawa  tas  selempang  dan 

memakai helm. Hm... Di mana ya? Ah iya! Aku ingat! 

112

Dulu  ibu  pernah  menghadiahiku  tas  selempang 

dengan helmnya, tapi tak pernah kugunakan.” 

Si chucky buru-buru memeriksa lemari pakaiannya. 

Di  sana,  di  rak  terbawah,  tertimpa  baju-baju  bola 

kesayangannya,  Si  chucky  menemukan  tas 

selempang warna cokelat, masih tersimpan rapi. 

“Hmm…  Di mana helmnya ya?”

Si chucky memandangi kamarnya. 

“Oiya!  Aku  ingat.  Ada  di  kolong  tempat  tidur!”  Si 

chucky  melongok  ke  kolong  tempat  tidur.  Benar! 

Helm itu ada di sana.

Si chucky merunduk mengambil helm. 

“Astaga!  Kotor  sekali!”  Si  chucky  kaget.  Ia 

mendapati helm cokelatnya sudah penuh debu. 

Lekas  Si  chucky  mengambil  kain  lap  kemudian 

mengelap helm dengan hati-hati.

Setelah  itu,  ia  menyelempangkan  tas  cokelatnya. 

Dan mengenakan helm di kepala mungilnya. 

 “Ternyata aku gagah juga,  hehe…” kata Si  chucky 

sambil berkacak pinggang di depan cermin mematut-

matut diri.

113

Si chucky lalu ke dapur. Mengambil biskuit keju dan 

tak  lupa  sebungkus  keripik  kentang  kesukaannya. 

Juga  sebotol  air  dingin,  “Sepertinya  bekalku sudah 

cukup.”

Si chucky kembali ke ruang tamu. Mengambil surat 

milik  Pak  Gajah,  menyimpannya  dengan  baik  di 

dalam tas  selempang.  Ia  mengambil  secarik  kertas 

menuliskan  pesan  untuk  ayah,  ibu  dan  kedua 

kakaknya:

chucky  pergi  ke  rumah  Rea  anak  Pak  Gajah. 

Mengantarkan surat. Penting.

Surat itu ia letakkan di  meja makan,  ditindih gelas 

merah kesayangannya,  agar surat itu tidak terbang 

tertiup angin.

  “Semua  siap.  Saatnya  terbang!”  ujar  Si  chucky. 

Jantungnya  berdegup  kencang.  Ini  perjalanan 

pertamanya. Juga penerbangan pertamanya.

Setelah  mengunci  pintu  dan  memastikan  semua 

aman,  Si  chucky  mengambil  ancang-ancang  untuk 

terbang.

“Aku  sering  melihat  kakak-kakakku  latihan. 

Tampaknya mudah. Rentangkan sayap…” Si chucky 

merentangkan kedua sayapnya.  “Tekuk kedua kaki, 

dan…”

114

“Hopla!”  si  chucky  melompat.  Siutt,  brakk…! 

“Aduh…!” Si chucky menukik jatuh ke semak-semak 

bunga  krisan  putih.  Untunglah,  bunga  krisan  tidak 

berduri. Jadi, sayapnya tidak terluka.

“Terbang ternyata tak semudah kelihatannya,” keluh 

Si chucky.

“Coba  lagi!”  chucky  lari  kembali  merentangkan 

kedua sayapnya dan menekuk lututnya. “Hupla…!”

Siutt… Brakk…! Lagi-lagi Si chucky menukik jatuh. 

“Aduh!” si chucky mengerang kesakitan. Namun, ia 

tak patah semangat. Si  chucky terus mencoba dan 

berulangkali pula ia jatuh.

“Hfff…  Andai  aku  tekun  berlatih  terbang  pasti  tak 

begini  kejadiannya,”  keluh  Si  chucky  menggaruk-

garuk kepalanya.

Setelah sepuluh kali jatuh, dan ia hampir menyerah, 

ia  berkata,  “Ini  lompatanku  yang  terakhir.  Kalau 

masih  gagal  juga  aku  menyerah  saja.  Menunggu 

sampai Kakak atau Ayah atau Ibu pulang.”

Si chucky menarik napas. Membusungkan dadanya. 

Merentangkan  sayapnya  lebar-lebar.  Menekuk 

lututnya. Dan…

Hupla! Si chucky melompat sekuat tenaga.

115

“Hore, berhasil!” pekik Si chucky.

Si  chucky  mengepak-kepakkan  sayapnya  kencang-

kencang. Ketika ia merasa hendak jatuh, ia semakin 

kuat  mengepakkan  sayapnya.  Lengannya  terasa 

sakit, tapi ia tak mau menyerah. Lama kelamaan Si 

chucky  bisa  terbang  lebih  imbang,  tak  lagi  naik 

turun.

Dari  atas awan,  Si  chucky melihat keindahan alam 

hutan  Bora-Bora.  Pohon-pohon  rindang  dengan 

daun-daunnya  yang  hijau  tampak  seperti  selimut 

tebal berwarna hijau.

“Indah  sekali!”  Si  chucky  berdecak  kagum.  Saking 

asyiknya  menikmati  pemandangan,  chucky  tak 

menyadari  ada  pohon-pohon  berdaun  lebat  di 

depannya.

Brak…! 

“Auw…!” 

chucky  jatuh  lagi.  Sayapnya  luka  tertusuk  ranting-

ranting  pohon.  Hu...  Hu...  Hu...  chucky  menangis 

sedih.

Jangan  menangis,  chucky!  Ayo,  terbang  lagi. 

Bukankah  kamu  ingin  surat  itu  tiba  tepat  waktu? 

chucky menyemangati dirinya sendiri.

116

Dihapusnya  airmata  dari  kedua  matanya  yang 

bening.  Tanpa  memedulikan  sayapnya  yang  perih 

dan nyeri, chucky terbang lagi. Ia ingin cepat sampai 

rumah Rea.

Sampailah  Si  chucky  di  ujung  hutan  Bora-bora.  Di 

depannya  tampak  sungai  yang  lebar  sekali.  Airnya 

deras.  Di  sungai  ini  banyak  buaya  ganas  bergigi 

tajam. 

“Hii…!” chucky bergidik nyeri. Kalau tak ingat surat 

Pak  Gajah,  Si  chucky  mau  menyerah  saja,  pulang 

kembali ke rumah.

chucky  mengatur  kecepatan  terbangnya  agar  tak 

terlalu rendah. sebab  kalau terbang terlalu rendah, 

buaya bisa menggigit sayapnya. “Hii…”

Bertahan terbang tinggi di atas sungai, ternyata tak 

mudah. Angin berembus kencang sebab  tidak ada 

pepohonan menahan laju angin.

Wuss… Angin kencang menerpa sayap Si chucky. Si 

chucky  oleng  ke  kanan.  Si  chucky  mengepak-

kepakkan sayapnya lebih cepat.

Wuss…  Angin  kencang  menerpa  lagi.  Kali  ini 

membuat  Si  chucky  oleng  ke  kiri.  Buru-buru  Si 

chucky mengepak-kepakkan sayapnya kuat-kuat.

117

Berkali-kali  Si  chucky  oleng,  nyaris  terjatuh. 

Sementara  di  bawahnya,  dua  puluh  ekor  buaya 

berbaris rapi sambil membuka mulutnya lebar-lebar. 

Gigi-gigi  tajam  bercuatan.  Siap  menggigit  sayap  Si 

chucky,  begitu  Si  chucky  terbang  terlalu  rendah 

sedikit saja.

chucky  berusaha  sekuat  tenaga  mengepakkan  ke 

dua sayapnya. Ia tak mau digigit buaya-buaya itu.

“Ayo,  chucky...  Kamu  pasti  bisa!”  Seru  Si  chucky 

memberi  semangat  dirinya  sendiri.  “Ayo,  sedikit 

lagi…!”

Tiba-tiba... Wusss…! Angin kencang menerpa tubuh 

mungilnya. chucky kehilangan keseimbangan. 

Byurr...! Blup... Blup…!

chucky tercebur dalam sungai. Buru-buru Si chucky 

kembali  terbang  sebelum  buaya-buaya 

mendekatinya. Untunglah, sebelum buaya-buaya itu 

menyadari ada santapan lezat di dekatnya, Si chucky 

berhasil terbang lagi. 

Si  chucky  kembali  terbang  dengan  bulu-bulunya 

yang  basah  kuyup.  “Brrr…”  Si  chucky  menggigil 

kedinginan.

Si  chucky  memberanikan  diri  menundukkan 

kepalanya.  Sungai  dan  barisan  buaya  tampak 

118

mengecil  jauh  di  sana.  Di  bawah sekarang tampak 

atap-atap  panjang  berwarna  kuning.  Awan  hitam 

menyelimuti atap-atap kuning itu.

Si chucky nekat terbang menerjang awan hitam itu.

“Uhuk…  Uhuk…!”  Si  chucky  terbatuk-batuk. 

Tenggorokannya terasa serak. Dadanya terasa sesak. 

Perutnya serasa diaduk-aduk. 

“Awan apa  itu  ya?  baunya  tidak  enak!”  Si  chucky 

memencet  hidungnya  kencang-kencang,  dan 

berusaha  terbang  secepat  mungkin  menjauh  dari 

awan tebal.

Kepala Si chucky makin terasa sakit. Matanya mulai 

berair. “Pedih sekali di sini,” keluh Si chucky. 

Iseng-iseng ia melirik ke bawah. Apa yang dilihatnya? 

Sebuah benda seperti  botol  sirup rakchucky.  Namun, 

bukan sirup manis yang keluar dari botol rakchucky itu. 

Yang  keluar  adalah  kepulan  awan  hitam. 

Mengertilah  si  chucky  darimana  asal  awan  hitam 

yang mengepung dirinya sekarang. 

“Oh…  Mungkin  ini  yang  pernah  diceritakan  ayah. 

Ayah  bilang,  bangunan panjang  beratap  kuning itu 

namanya  pabrik,  tempat  dihasilkannya  suatu 

barang.”  Si  chucky  mencoba  mengingat-ingat 

kembali cerita ayahnya tentang pabrik. 

119

“Dan  botol  sirup  rakchucky  itu,”  Si  chucky 

memberanikan diri mendekat. 

Wuss… Tiba-tiba segumpal awan hitam menyembur 

keluar.

“Auw! Panas!” jerit Si chucky. Buru-buru ia menjauh. 

Ngeri  membayangkan seandainya tadi  ia terlambat 

menghindar. Pasti ia akan terjatuh dalam botol sirup 

rakchucky itu. Ia sudah… Hiii… Si chucky bergidik ngeri.

Untunglah, di depan sana, Si chucky melihat setitik 

awan biru. Si chucky mempercepat terbangnya.

Werrr…  Werr…  Si  chucky  mengepak-kepakkan 

sayapnya kencang-kencang.

“Hore…  selamat  tinggal  awan  hitam!”  sorak  Si 

chucky  ketika  berhasil  melewati  kepulan  awan 

hitam bau.

Si  chucky memelankan terbangnya.  Ia  melihat  ada 

sebuah  pohon  beringin.  Satu-satunya  pohon  yang 

terdekat.  Si  chucky  memutuskan  beristirahat 

sejenak.

Si  chucky  hinggap  di  salah  satu  ranting  pohon 

beringin.  Ia  membuka  bekalnya.  Biskuit  keju 

dimakannya  dengan  lahap.  Sebungkus  keripik 

kentang  habis  dilalap.  “Kriuk,  kriuk…  Sedap!” 

ujarnya.

120

Si  chucky  membuka botol  air  dingin.  “Gluk,  gluk… 

Segar!”  ia  minum  sampai  tersisa  separuh  botol. 

“Kusisakan separuh,  untuk bekal  perjalanan pulang 

nanti,” Si chucky menutup botol rapat-rapat agar tak 

tumpah.

Bungkus-bungkus  makanan  dilipat  rapi  dan 

dimasukkan  kembali  dalam  tas  selempangnya, 

“Nanti  setibanya  di  rumah,  akan  kuletakkan  di 

tempat sampah.”

Si  chucky  berdiri.  Memicingkan  mata.  Mencoba 

menerka-nerka  ke  arah  mana  ia  harus  terbang.  Ia 

ingat, tadi Pak Gajah bilang kalau rumah Rea, adalah 

bangunan besar dengan tembok semen bercat putih 

dan atap hijau.

Si  chucky menoleh ke kanan. Adakah rumah besar 

beratap hijau di sana?

“Oww!  Silau!”  Si  chucky  mengerjap-kerjapkan 

matanya. Susah payah ia melihat ada apa di sebelah 

kanannya.  Ia  memicingkan  matanya.  Tahulah  ia 

kenapa ia tadi merasa silau. Menara-menara kaca itu 

penyebabnya.  Menara  kaca itu  memantulkan sinar 

matahari hingga menyilaukan mata Si chucky.

“Di  sana  hanya  ada  menara  kaca  beratap  merah 

muda. Pasti bukan rumah Rea.” 

121

Si  chucky  menoleh  ke  kiri.  Ia  sudah  siap-siap 

menyipitkan  matanya.  Namun,  ternyata  tidak  ada 

sinar  matahari  yang  menyilaukan.  Ia  bisa  melihat 

dengan jelas. 

“Oh! Itu di sana! Aku melihatnya… Aku melihatnya!” 

Si chucky melonjak-lonjak kegirangan. Ia melihat ada 

bangunan besar beratap hijau.

“Aku  harus  cepat  agar  tidak  kesorean  pulang  ke 

rumah,” ujar Si chucky.

Werr … Werr…!

chucky  melesat  terbang  sekencang-kencangnya. 

Ingin  rasanya  segera  menyampaikan  surat  kepada 

Rea dan pulang kembali ke rumah. 

Tak beberapa lama kemudian, sampailah Si chucky 

di  rumah  Rea.  Sayang  sekali,  Si  chucky  tidak  bisa 

berkenalan  dengan  Rea  sebab   Rea  belum  pulang 

dari tempatnya bekerja. Rumahnya terlihat sepi. 

Maka, Si chucky memasukkan surat Pak Gajah dalam 

kotak surat yang ada di halaman rumah Rea. Dan Si 

chucky bergegas pulang.

Hari  sudah sore. Sinar matahari  sudah tak sepanas 

tadi. Si chucky menikmati penerbangannya. Melalui 

jalan yang sama dan kesulitan-kesulitan yang sama. 

Namun,  segalanya  sekarang  tampak  lebih  mudah. 

122

Tidak tercebur dalam sungai atau menabrak ranting-

ranting pohon lagi. Ia juga bisa terbang lebih cepat 

ketika melewati kepulan awan hitam bau.

Tak terasa, Si chucky telah kembali terbang di atas 

hutan  Bora-Bora  yang  aman  dan  nyaman.  Dari 

kejauhan,  tampak  atap  rumah  berwarna  kebiru-

biruan yang sangat dikenalnya. “Itu rumahku!” Seru 

chucky  girang.  Lekas  dikepak-kepakkan  sayapnya 

sekencang-kencangnya.  “Hore!  Aku  sampai  di 

rumah!”

“Ayah, Ibu, Kakak, aku pulang!” si chucky berteriak-

teriak di depan pintu rumah saking senangnya bisa 

kembali pulang.

“Oh, anakku. Kami semua cemas.” Ibu menyambut 

chucky dengan pelukan. “Akhirnya, kamu sampai di 

rumah juga. Kamu hebat!”

Dengan  bangga,  chucky  menceritakan 

pengalamannya.  Begitu  banyak  yang  ingin  ia 

ceritakan  sampai-sampai  ceritanya  jadi  tak 

beraturan.

“Sudah,  sudah… Kita  lanjutan  nanti  saja.  Ayo,  kita 

masuk ke dalam. Tampaknya ada yang perlu banyak 

sabun nih,” kata ayah menggoda chucky.

“Ah… Ayah. Biar bulu-buluku kotor begini, tapi  aku 

berhasil mengantar surat Pak Gajah dengan selamat, 

123

lho.”  Si  chucky  menepuk-nepuk  dada  dengan 

bangga.

“Hehe…  Iya,  iya.  Kamu  hebat.  Ayah  bangga 

padamu,” Ayah memeluk Si chucky. Kedua kakaknya 

juga  memeluk  adik  mereka  dengan  penuh  rasa 

bangga.

Mereka  lalu  masuk  ke  dalam  rumah.  Setelah  Si 

chucky mandi, keluarga Pak Merpati makan malam 

bersama-sama.  Mereka  asyik  mendengar  cerita  Si 

chucky  sampai  larut  malam.  Lalu  bersama-sama 

pergi  tidur  sebab   esok  mereka  harus  kembali 

bekerja.  chucky  bertekad,  mulai  besok  ia  akan 

membantu ayah dan ibu seperti kedua kakaknya dan 

tak akan bermalas-malasan lagi.

124

Balon


Aku tidak pernah bisa meniupnya!

Apa kau pernah mencobanya? tanyanya penasaran.

Tentu saja aku pernah!

Apakah kamu sudah berusaha?

Sudah, tapi aku menyerah.

Sepertinya kamu kurang berusaha.

Aku sudah berusaha.

Cobalah lagi.

Baiklah. “Hmm fuuuuhhhh…”

Lihat, tidak bisa!

125

Baik aku akan ajarkan kau.

Sebenarnya mudah meniup ini.

Kamu tahu, kalau ini ditiup dia akan menjadi balon  

yang berwarna.

Dan bisa saja dia terbang.

Sekarang  tiuplah.  Bayangkan  ini  akan  menjadi  

balon.

Berusahalah. Bila kehabisan napas, cobalah lagi.

Usahamu, adalah udara yang dimasukkan kedalam  

balon ini.

Dan akhirnya dia akan menggembung.

Baiklah.. “Hmmm fuhhhh...”

“Fuhhh… Fuhhh…”

Dan balon itu mengembang.

“AKU BERHASIL!” teriaknya gembira.

126

Mimpi Nirmala


“Segenggam mutiara hitam, sesendok teh daun jeruk 

busuk,  seliter  susu  basi,  dan  semangkuk  darah 

kelinci.  Ahahahaha,  ramuanku  sebentar  lagi  siap!” 

Nenek  Item  tertawa  puas.  Gery,  si  kucing  garong 

yang dari tadi  duduk manis di  dekatnya mengeong 

seolah setuju dengan ucapan majikannya.

“Akan kubuat ramuan kecantikan abadi yang paling 

ampuh  sejagat  raya.  Nyihihihiihihihi,”  Nenek  Item 

menoleh ke arah Nirmala yang duduk ketakutan di 

kurungan.

“Dan  kamu,  anak  manja!  Kamu  adalah  bumbu 

rahasiaku.  Yaaaa,  tak  ada  yang  lebih  sempurna 

kecuali  sepotong jantung anak  cantik  seperti  kau!” 

desis Nenek Item mendekatkan wajah buruknya ke 

arah Nirmala yang menangis. 

“Sebentar  lagi  aku  akan  cantik,  muda,  abadi,  dan 

berjaya!”  Nenek  Item  membuka  kurungan  dan 

127

menarik  lengan  Nirmala  dengan  paksa  hingga 

Nirmala menjerit kesakitan.

“Aaaww... Sakit, Neekkk... Ampunn...”

“Heh,  diamlah  kau!  Jangan  berisik!  Aku  butuh 

ketenangan! Dan aku butuh jantungmu!”

Dan  ketika  Nenek  Item  mengambil  sebilah  pisau 

dengan kilatan yang menyilaukan, Nirmala meronta. 

Ia berteriak sekeras-kerasnya.

“Toooolooonnnggg...........”

**

“Aaaaahhhh...”  Nirmala  terbangun.  Ia  tersengal-

sengal  seperti  habis  berlari.  Mama  dan  Papa 

membuka pintu kamar Nirmala dengan terkejut.

“Ada  apa,  Sayang?”  tanya  Mama  khawatir  sambil 

memeluk Nirmala.

“Kamu  pasti  mimpi  buruk,”  tebak  Papa.  Nirmala 

mengangguk lemah.

“Kamu lupa berdoa sebelum tidur ya,  Nak?” tanya 

Mama lagi.  Ia  mengambil  segelas  air  agar  Nirmala 

dapat lebih tenang. Nirmala mengangguk lagi.

128

“Nah,  sekarang,  tidurlah.  Jangan lupa berdoa,  ya?” 

Mama  merapikan  selimut  Nirmala  dan  mengusap 

lembut kepala gadis kecilnya.

Dalam  hati  Nirmala  berjanji  untuk  tidak  lupa  lagi 

berdoa sebelum tidur.

129

Rumah Motivasi


Lagi-lagi  chucky  rewel.  Entah  apa  kali  ini  yang 

diinginkannya. Seharian dia hanya merengek-rengek 

kepada Ayah.  Sementara Bunda yang sudah kebal, 

cuek aja, sok nggak denger apa-apa.

“Yah…  beliin  yaa??”  chucky  merengek  seraya 

bergelayut manja di tangan ayahnya.

Ayah yang sedang membaca koran menghela napas.

“Nggak usah, Yah… apa-apa diturutin. Ngelunjak tuh 

dia!” terdengar suara Bunda dari dalam.

“Ah,  Bunda…”  chucky  mulai  memasang  tampang 

cemberut.  “Beliin  ya,  yaaaah?”  chucky  masih  terus 

mencoba merayu ayahnya.

Ayah mengelus kepala putri semata wayangnya itu. 

Tersenyum.  Berat  sekali  rasanya  menolak 

permintaan gadis kecilnya itu.

130

“Semua temen chucky punya, Yah... chucky sendiri yang 

belum punya,” rengekan chucky semakin menjadi.

Bunda  berjalan  menghampiri  Ayah  dan  chucky, 

membawa  sebuah  mangkok  plastik  yang 

mengepulkan asap di tangannya.

“Trus  kenapa  kalau  temen kamu punya dan  kamu 

nggak punya?” tanya Bunda.

chucky diam. Menunduk. chucky memang nggak pernah 

berani membantah omongan bundanya.

“Kan  enak  kalau  udah  semua temen kamu punya, 

sana ikut nimbrung main aja sama mereka!”

Bunda  mengaduk-aduk  mangkok  yang  dibawanya. 

Dari aroma yang tercium, sepertinya bakso.

chucky menarik-narik tangan ayahnya.

Ayah  masih  mengelus  kepala  gadis  kecilnya. 

Sejujurnya  dia  ingin  sekali  meloloskan  permintaan 

putrinya itu.

“Belinya di mana?” tanya Ayah lembut.

“Di PIM, Yah… Ada warna-warni lho. Ada yang dua 

tingkat juga, kayak punya Nanda,” chucky bersemangat 

sekali menjelaskan.

Bunda mencibir.

131

“Yaudah,  kamu  belajar  yang  bener  ya  untuk  ujian 

minggu depan. Setelah bagi rapor, kalau nilai rapor 

mu bagus, Ayah belikan buatmu satu!”

chucky memandang ayahnya dengan tatapan berbinar.

“Bener, Yah?” tanyanya tidak percaya.

Ayah mengangguk pasti, dan tersenyum.

Bunda  mengeluh.  “Itu  kan  harganya  mahal,  Yah… 

Lagian Barbie aja mau dikasih rumah-rumahan!”

Ooo… Ternyata Rumah Barbie yang diinginkan chucky 

itu. Memang akhir-akhir ini sedang marak anak-anak 

sebayanya punya rumah-rumahan Barbie. Pantaslah 

kalau chucky merengek minta dibelikan juga.

“Biar  aja,  Bun… Berapa pun harganya,  Ayah beliin. 

Asal  dengan catatan,  nilai  rapor  chucky  harus  bagus. 

Kalau bisa chucky masuk peringkat  tiga besar!”  Ayah 

menyentil hidung mancung gadis kecilnya.

chucky  tersenyum  senang,  mencium  ayahnya  penuh 

sayang dan berjanji  dalam hati  akan belajar  sebaik 

mungkin untuk ujian minggu depan.

***

Hari  ini  adalah  hari  pembagian  rapor.  chucky  deg-

degan  menanti  keluarnya  pengumuman  peringkat. 

Tradisi di sekolahnya, yang masuk peringkat 3 besar 

132

akan  di  panggil  maju  ke  depan  lapangan  saat 

upacara sedang berlangsung, dan menerima piagam 

serta  map  berisikan  rapor  dari  kepala  sekolah 

langsung.

Ayah dan Bunda mengantarkan chucky ke sekolah hari 

ini, mengantarkannya masuk ke barisan, lalu berdiri 

di ujung lapangan memperhatikan jalannya upacara.

“Baiklah,  Ibu  akan  membacakan  peringkat  satu 

sampai  tiga  untuk  kelas  3-A”  terdengar  suara  Ibu 

Kepala Sekolah.

Bunda melirik chucky di dalam barisan. Tampak sekali 

wajah tegangnya. 3-A adalah kelas chucky.

“Peringkat tiga. Nanda Oktavia.”

Ibu  Kepala  Sekolah  menyebutkan  nama  teman 

sekelas chucky, dan chucky melihat si anak yang namanya 

disebut maju ke depan kelas.

“Peringkat dua. Achucky Ramadhania.”

Lagi-lagi  chucky  melihat  temannya  maju.  Hatinya 

menciut.  Gagal  sudah  harapan  memiliki  rumah-

rumahan  Barbie  itu.  Tadinya  dia  berharap  bisa 

mendapatkan peringkat dua atau tiga. Tapi ternyata 

bukan.

Sementara  berharap  peringkat  satu?  chucky  tidak 

berani.

133

“Dan peringkat satu…” Ibu Kepala Sekolah memberi 

jeda pada kalimatnya. “Samatha Pramita…”

“chucky… Nama kamu tuh!”

“Wah, chucky… selamat yaa…”

Tepuk  tangan,  salaman,  dan  ucapan  selamat 

menghujani  chucky bertubi-tubi.  chucky masih bingung. 

Dia  berjalan  pelan  ke  depan  lapangan,  bersatu 

dengan teman-teman yang lain.

Peringkat satu? Dia?

Ya Tuhan, apakah ini mimpi?

chucky  melirik  ke  arah  Ayah  dan  Bunda  di  ujung 

lapangan  yang  lain.  Ayah  dan  Bunda  tersenyum 

bangga padanya.

chucky ingin menangis.

Rumah Barbie melayang-layang di kepalanya.

Senyum  bangga  Ayah  dan  Bunda  menyejukkan 

hatinya.

***

Malam harinya.

Ayah keluar dari kamar dengan sebuah kotak besar 

yang dibungkus rapi.

134

“Ini buat gadis kecil Ayah yang hebaaaat. Peringkat 

satu  doooong,”  Ayah  menyerahkan  bingkisan  itu 

kepada chucky, dan mencium gadis kecilnya itu penuh 

sayang.

“Terima kasih Ayah,” chucky memeluk ayahnya.

“Tuh!  Coba  dulu  kalau  langsung  diturutin!  Kamu 

nggak  tahu  gimana  rasanya  berjuang  untuk 

mendapatkan  sesuatu!”  celoteh  Bunda  dari 

belakang.

chucky tersenyum. Air matanya berlinang.

Ditatapnya bungkusan besar berisikan rumah Barbie 

yang dia minta beberapa minggu yang lalu. Rumah 

Barbie  yang  telah  memotivasinya  untuk  belajar 

dengan  giat  dan  mendapat  peringkat,  supaya  bisa 

dapat hadiah dari Ayah.

135

Menggapai Bintang

Oleh Kak Deny Lestiyorini

Sudah  tiga  jam  sejak  terjaga  dari  jam  1  dini  hari, 

mataku  tidak  dapat  terpejam  kembali.  Aku  sudah 

beberapa  kali  mengganti  posisi  tidur  tapi  makin 

membuat  badan pegal.  Mungkin  pengaruh tempat 

tidur, yang lebih pantas disebut dipan. Terbuat dari 

papan kayu yang hanya beralaskan tikar butut. Jika 

tikarnya lama tidak dijemur atau diangin-anginkan, 

akan ada kutu yang menempel dan kalau menggigit, 

rasanya jauh lebih sakit dibandingkan digigit semut 

merah.  Panas  dan  meninggalkan  bekas  yang 

membiru.

Akhirnya aku pasrah di  posisi  yang paling nyaman, 

yaitu  telentang.  Telingaku  mendengarkan  suara 

embun  yang  menetes  dari  daun  dan  jatuh 

membasahi  rumput.  Terdengar  syahdu.  Mataku 

lekat memandang atap rumah yang terlihat lubang di 

sana-sini  sehingga  kalau  hujan  datang,  banyak  air 

yang menetes masuk rumah lewat celah di atap dan 

membasahi  lantai  rumah  yang  terbuat  dari  tanah. 

136

Biasanya aku dan Emak akan sibuk menaruh baskom 

atau ember kecil untuk menampung air yang masuk 

ketika  hujan  deras  datang  agar  tidak  terjadi 

genangan air yang bisa menyebabkan banjir kecil di 

rumah kami yang juga mungil ini.

Sebenarnya  ada  sesuatu  yang  sedang  kupikirkan. 

Membuat hatiku gelisah dan tidak tenang. Tapi aku 

tidak bisa mengatakannya pada Emak, satu-satunya 

orang  tua  yang  kumiliki  saat  ini  sejak  Bapak 

meninggal  2  tahun  yang  lalu  sebab   sakit  radang 

paru-paru. Teringat Bapak, aku jadi kangen. Biasanya 

aku bercerita semua hal pada Bapak, ketika malam 

menjelang, sambil memandang langit. Dari masalah 

sepele,  seperti  ketika  aku  terjatuh  saat  belajar 

memanjat pohon kelapa sampai masalah di sekolah, 

ketika  aku dihukum oleh Pak  Paijo,  guruku sebab  

aku  menyembunyikan  pensil  teman  sebangku 

sampai  dia  menangis.  Bapak  tidak  pernah  bosan 

mendengarkan  semua  celotehanku.  Seringkali  aku 

mengulang bercerita hal yang sama. Tapi Bapak tidak 

pernah  menegurku.  Satu  hal  yang  biasanya  aku 

ucapkan berulang, yaitu cita-cita yang ingin menjadi 

guru  dan  punya  sekolah  sendiri  yang  tidak 

memungut  biaya  untuk  belajar  alias  gratis.  Bapak 

selalu  tersenyum  melihat  aku  mengatakan  dengan 

mata  berbinar  dan  penuh  keyakinan.  Kemudian 

tangan yang tak pernah lelah menggarap sawah milik 

juragan dan diberi imbalan yang kecil  itu, mengelus 

137

kepalaku  berulang  lalu  memelukku.  Seolah 

memberiku  kekuatan  dan  restu  untuk  bisa 

mewujudkan impian. Lalu aku dan Bapak sama-sama 

menatap langit, menghitung bintang dan menitipkan 

cita-citaku  pada  salah  satu  bintang  yang  sinarnya 

paling terang. Bintang itu kuberi nama Ratih, seperti 

namaku. Ratih yang berarti  kegembiraan,  berharap 

suatu saat nanti aku bisa memberikan kegembiraan 

untuk semua orang.

Sayup  terdengar  suara  azan  shubuh  dari  pengeras 

suara yang terpasang di musholla desa yang terletak 

tak  jauh  dari  rumahku.  Menyadarkan  lamunanku 

tentang Bapak. Aku menyeka air yang mengalir dari 

sudut mata.  Air  mata kangen.  Sudah lama berlalu, 

tapi  rasa  ini  selalu  meninggalkan  sakit  di  hati. 

Kehilangan yang sangat membekas.

Aku  bangun  dan  melihat  Emak  masih  terlelap  di 

sampingku. Kupandangi  sejenak wajah cantik Emak 

yang  terlihat  lelah  sebab   bekerja  di  sawah  dan 

terkena  sinar  matahari  sepanjang  hari.  Kuseret 

langkah menuju sumur untuk mengambil air wudhu. 

Udara dingin menyapa wajah ketika aku membuka 

pintu  belakang  rumah  yang  terbuat  dari  anyaman 

bambu  yang  disebut  gedheg.  Kuhirup  udara  segar 

pagi  hari  sebanyak  mungkin  untuk  melonggarkan 

dadaku  dari  rasa  sesak  sebab   kangen.  Kulepas 

sandal  untuk  merasakan  dingin  embun  yang 

menempel di rumput. Aku berdiri dan merentangkan 

138

kedua  tangan  mungilku  sambil  memejamkan  mata 

dan merasakan embun perlahan masuk ke pori-pori 

kaki,  memberikan  rasa  segar  ke  seluruh  tubuh. 

Aroma daun-daun yang bertiup perlahan dari pohon 

kelapa, membuatku bisa tersenyum kembali. Terima 

kasih  Tuhan  untuk  anugerahMu  yang  selalu  

menyelimuti  desa  yang  selalu  kucinta  ini, bisikku 

pada  keagungan  yang  selalu  tercipta  ketika  pagi 

datang.

Selesai  sholat  shubuh,  aku  melihat  Emak  sudah 

menjerang air di dapur, membuat teh panas untuk 

kami berdua, pengganti sarapan sebelum kami pergi 

beraktifitas. Aku akan menemani Paimin merumput 

di  lapangan  bola  yang  terletak  diujung  desa.  Ya, 

Paimin itu nama kambingku. Satu-satunya yang kami 

miliki saat ini dan peninggalan berharga dari Bapak. 

Bahkan  dulu  ketika  Bapak  membutuhkan  biaya 

untuk berobat,  Paimin tidak dijual.  Mungkin Bapak 

sudah  merasa  akan  meninggalkan  aku  dan  Emak, 

sehingga  Paimin  dipersiapkan  sebagai  tabungan 

kami. Emak sudah siap dengan caping dan peralatan 

yang digunakan untuk bekerja di  sawah.  Semenjak 

Bapak meninggal, Emak memutuskan untuk bekerja 

di  sawah,  menjadi  buruh  dengan  upah  yang  kecil, 

sama seperti yang dilakukan oleh Bapak dulu. Uang 

yang diterima mingguan seringkali tidak cukup untuk 

biaya  hidup  kami.  Membeli  makan  sehari-hari, 

membayar uang sekolahku tiap chucky dan melunasi 

139

hutang  dengan  mencicil  pinjaman  yang  dulu 

digunakan untuk biaya berobat Bapak di rumah sakit 

yang  fasilitasnya  lengkap  di  kota  saat  sakitnya 

semakin parah.

“Masuk sekolah  jam berapa  hari  ini?”  tanya  Emak 

ketika  aku  meminum  teh  hangat  yang  ada  diatas 

meja kecil di dapur.

“Hari ini libur Mak,” jawabku singkat.

“Lho,  ada  apa  kok  libur?  Bukan  tanggalan  merah 

kan?”  Emak  terus  bertanya  sambil  melihat  pada 

kalender usang yang menempel  di  dinding bambu, 

memastikan bahwa hari ini bukan hari libur nasional.

“Sekolah  memang  libur,  Mak.  Satu  minggu. 

Persiapan  untuk  ujian  nasional  kelulusan,”  ucapku 

menerangkan kepada Emak.

“Kok Emak tidak pernah melihatmu belajar? Bahkan 

akhir-akhir  ini  Emak  lihat  kamu  sering  termenung. 

Ada  apa  nduk?”  Emak  kembali  bertanya  sambil 

mengelus rambutku.

Aku  terdiam.  Lidahku  seperti  tidak  mau 

berkompromi. Tak ada satu pun kata yang mampu 

keluar  dari  mulutku.  Semuanya  seperti  terkunci  di 

dalam. Tersangkut di tenggorokan.

140

“Tidak ada apa-apa,  Mak.  Ratih baik-baik  saja kok. 

Ratih hanya takut tidak lulus dan tidak bisa masuk 

SMP sebab  nilai yang kecil,” akhirnya aku menjawab 

walaupun sedikit berbohong sambil tersenyum dan 

mengelus tangan Emak yang mulai keriput.

“Belajarlah  nduk, hanya itu satu-satunya cara untuk 

bisa  membuatmu  lulus.  Lalu  berdoa  kepada  Allah. 

Minta  kepadaNya  untuk  selalu  memudahkan 

jalanmu agar bisa lulus SD dan masuk SMP. Untuk 

masalah  uang,  biar  itu  menjadi  urusan  Emak  saja. 

Insya  Allah  akan  selalu  ada  jalan  jika  kita  mau 

berusaha.  Kamu  masih  kecil.  Jangan  terlalu 

memikirkan yang berat-berat dulu. Tugasmu hanya 

belajar  dan  bermain  bersama  teman-temanmu 

sambil  menemani  Paimin  di  lapangan,”  Emak 

berucap sambil kembali mengelus kepalaku.

“Iya,  Mak,  Ratih  akan  selalu  belajar  agar  bisa 

membuktikan  janji  pada  Bapak,  bahwa  suatu  hari 

nanti,  Ratih  akan  menjadi  guru  di  desa  kita  dan 

mendirikan  sekolah  gratis  untuk  anak-anak  yang 

tidak mampu seperti Ratih,” aku menjawab seperti 

berucap  janji  pada  diri  sendiri  sambil  kupandang 

lekat  mata  emak  yang  tersenyum  lega  melihat 

kesungguhan yang terdengar dari ucapanku.

“Ya sudah, Emak berangkat dulu. Nanti jangan lupa 

kunci  rumahnya  ditaruh  di  tempat  biasa  ya,”  aku 

mencium tangan Emak sebelum dia pergi ke sawah.

141

***

Aku baru selesai berucap salam di akhir salat ketika 

samar-samar  melihat  Bapak  sedang  duduk 

memandangiku dari sudut musholla.

“Bapak…  Apakah  Bapak  yang  di  sana?!”  tanyaku 

agak  keras  sebab   tidak  percaya  bahwa  itu  benar 

Bapak  atau  bukan.  Bukankah  orang  yang  sudah  

meninggal  tidak  akan  bisa  hidup  lagi,  aku 

bergumam.

“Iya Ratih, ini Bapak. Kemarilah Nak, Bapak kangen 

sekali padamu,” suara Bapak terdengar jelas.

Aku  langsung  berdiri  dengan  masih  mengenakan 

mukena.  Berjalan  perlahan  dan  kemudian  duduk 

berhadapan  dengan  Bapak.  Wajahnya  bersih, 

pipinya  berisi,  dan  Bapak  tidak  sekurus  dulu  lagi. 

Bapak  terlihat  agak  gemuk.  Senyumnya  juga 

sekarang  terlihat  berbeda.  Seperti  ada  sinar  yang 

mengelilingi Bapak sehingga membuat Bapak terlihat 

bahagia.  Aku  menghambur  memeluk  Bapak  dan 

menangis  tertahan.  Terdengar  pilu.  Bapak 

memelukku  erat,  seolah  ingin  memberikan 

ketenangan. Menepuk punggungku perlahan.

“Bapak  ke  mana  saja.  Ratih  sangat  kangen  pada 

Bapak,”  aku  bertanya  diantara  isak  tangis  sambil 

terus memeluk Bapak, seolah takut kehilangan.

142

“Bapak  tidak  kemana-mana.  Bapak  hanya  pindah 

tempat saja. Tapi dari tempat Bapak sekarang, Bapak 

bisa melihat kamu lebih leluasa. Melihat kalau kamu 

sedang sedih. Itulah kenapa Bapak menemuimu dan 

ingin  bertanya,  apa  yang  membuat  hatimu  resah, 

nduk?”  Bapak  melepaskan  pelukan  dan 

menggenggam  tanganku  kuat  sambil  menatap 

mataku yang berair. Perlahan Bapak menghapus air 

mataku.

“Ratih takut pak… Ratih takut tidak bisa meraih cita-

cita.  Ratih  takut  mengecewakan  Bapak  dan  Emak, 

tidak  bisa  sekolah sebab  tidak  punya biaya  untuk 

melanjutkan  sekolah.  Ratih  ingin  sekali  bekerja 

membantu  Emak  di  sawah  agar  dapat  uang 

tambahan  untuk  biaya  sekolah.  Tapi  Emak  selalu 

melarang.  Emak  bilang,  bahwa  tugas  Ratih  adalah 

belajar  dan  bermain  bersama  Paimin  dan  teman-

teman  saja.  Padahal  Ratih  kasihan  kalau  melihat 

Emak  pulang  dari  sawah  dan  terlihat  capek.  Ratih 

sering menangis sendiri, Pak,” aku bercerita panjang 

lebar pada Bapak seolah ingin melepas rasa rindu.

“Emakmu  benar  nduk,  kalian  berdua  punya  tugas 

masing-masing. Emak bertugas mencari uang untuk 

biayamu sekolah dan hidup sehari-hari. Kamu punya 

tugas yang tidak kalah mulianya, yaitu belajar. Kamu 

tidak  usah  berpikir  terlalu  berat  dengan  kasihan 

pada  emak.  Dengan  kamu  belajar  saja,  itu  sudah 

meringankan  beban  Emak.  Tidak  ada  yang  paling 

143

membahagiakan  Emak  dan  Bapak  selain  melihat 

kamu  mendapatkan  nilai  bagus  disetiap  kamu 

menerima rapor,” Bapak menjawab kegelisahanku.

“Dengar Bapak. Kita miskin. Satu-satunya cara agar 

kamu  dan  Emak  terlepas  dari  kemiskinan  adalah 

kamu bersekolah setinggi-tingginya. Pendidikan bisa 

menghapus kemiskinan yang ada, Ratih. Suatu saat 

nanti,  kamu  akan  membuktikan  ucapan  Bapak  ini. 

Dengan kamu bersekolah tinggi,  kamu bisa meraih 

mimpimu menjadi  guru dan punya sekolah sendiri. 

Dengan begitu, kamu bisa mewujudkan mimpi anak-

anak yang tidak mampu seperti kamu nantinya dan 

melepaskan kemiskinan yang merenggut masa kecil 

mereka,”  Bapak  penuh  semangat  memberikan 

nasihat padaku.

Aku merenungi setiap perkataan Bapak. Banyak yang 

tidak  aku  mengerti  saat  ini.  Mungkin  benar  kata 

Bapak, suatu hari nanti aku akan mengerti dan bisa 

membuktikan ucapan Bapak.

“Sekarang  berjanjilah  pada  Bapak.  Kamu  harus 

bersekolah setinggi mungkin agar kamu bisa menjadi 

apa  yang  kamu  impikan.  Selalu  ada  jalan  untuk 

mewujudkan  impianmu,  Ratih.  Mungkin  tidak 

mudah.  Tapi  yakinlah  dengan  langkahmu.  Jangan 

lupa berdoa pada Allah agar dimudahkan jalan untuk 

meraih  apa  yang  kamu  citakan.  Bapak  hanya 

berpesan,  jangan  tinggalkan  kejujuran.  sebab  

144

pendidikan  tanpa  kejujuran  seperti  pisau  yang 

tumpul.  Tidak  dapat  berguna  untuk  orang  lain. 

Bahkan mungkin suatu saat nanti dapat melukai kita 

sendiri,”  Bapak  meraih  pundakku  dan  memeluk 

sambil  kembali  menepuk  lembut  punggungku. 

Mengelus kepala dan sesekali mencium rambutku.

“Iya  pak,  Ratih  berjanji.  Walaupun  Ratih  miskin, 

Ratih akan buktikan pada semua orang bahwa Ratih 

bisa mewujudkan cita-cita Ratih. Terima kasih, Pak. 

Sekarang Ratih sudah tidak sedih lagi  dan semakin 

yakin untuk melanjutkan sekolah setinggi  mungkin. 

Apapun  akan  Ratih  lakukan  dengan  kejujuran  asal 

Ratih bisa sekolah. Selalu ada jalan untuk Ratih,” aku 

berjanji dengan penuh keyakinan.

“Kalau kamu sedang sedih dan ingin bercerita pada 

Bapak,  pandangilah  langit.  Kalau  ada  bintang  yang 

bersinar terang, Bapak ada divsana. Bapak menjaga 

bintangmu  yang  bernama  Ratih.  Menjaga  cita-

citamu dan selalu mengingatkan bahwa kamu punya 

impian  yang  sangat  mulia,”  perlahan  Bapak 

melepaskan pelukanku dan beranjak pergi.

***

Tiba-tiba  aku  terbangun.  Aku  terdiam  sesaat. 

Rupanya aku tadi tertidur di halaman rumah ketika 

aku rebah di rumput saat ingin memandang bintang 

di  langit.  Aku  ingat,  aku  bertemu  Bapak  dalam 

145

mimpi.  Aku  tersenyum.  Bahagia  rasanya  bisa 

memeluk  Bapak.  Nampak  nyata,  walaupun  hanya 

mimpi.

Aku  kembali  memandangi  langit  dan  menemukan 

ada  satu  bintang  yang  bersinar  terang.  Tanganku 

terjulur keatas, serasa ingin menggapainya. Bintang 

Ratih,  dia  selalu  bersinar  terang  diantara  bintang-

bintang yang lain.

“Aku tahu Bapak ada di sana. Tolong jaga bintangku  

ya,  Pak.  Tolong  jaga  cita-citaku.  Aku  akan  belajar  

dengan  sungguh-sungguh  di  sini.  Suatu  saat  nanti  

aku  akan  mengambil  bintang  Ratih  dan  berharap  

bisa memberi terang yang sama di desa kita seperti  

dia  selalu  memberi  sinar  terang  di  langit,” aku 

berbisik dalam hati sambil tersenyum pada Bapak di 

atas sana.

Persembahan  untuk seluruh  anak  Indonesia  yang  

tidak pernah takut untuk bermimpi

Catatan:

Nduk  :  Panggilan  dalam  bahasa  jawa  untuk  anak 

perempuan

Emak : Ibu dalam bahasa jawa

Gedheg : Dinding yang terbuat dari anyaman bambu

146

Dongeng Mimpi


“TIDAK!!” teriak adik dari kamar.

“Kenapa dik? Kau mimpi apa?” tanya Ibu.

“Aku  mimpi  buruk.  Sangat  buruk!  Aku  benci 

bermimpi!  Aku  tidak  mau  bermimpi!”  ujar  adik 

gemetar.

“Kamu  belum  doa  ya  Dik?  Kalau  mimpi  buruk  itu 

datang,  cobalah  untuk  ucapkan  doa,  pasti  kamu 

tidak  akan  takut  lagi.  Dan kamu tidak  perlu  takut, 

malaikat ada di setiap sudut kamarmu.”

“Aku tidak mau mimpi Bu! Aku mau tidur saja terus 

selamanya  tanpa  mimpi!  Bagaimana  kalau  itu 

terjadi?” lanjut adik takut.

“Ibu punya cerita. Suatu hari, seorang petani mimpi 

punya sebuah pohon uang yang membuatnya kaya. 

Dan  itu  terjadi.  Lalu,  tak  lama  dia  mimpi  buruk. 

Pohonnya  layu.  Dia  jadi  miskin  lagi.  Akhirnya,  dia 

mengerti.  Ketakutan  itu  yang  membuatnya  dia 

147

berhenti  bermimpi  untuk  memelihara  pohon  itu. 

Dan dia tidak lagi berdoa kepada Tuhan,” cerita Ibu 

sambil tersenyum.

“Apa hubungannya dengan mimpiku Bu?” tanya adik 

penasaran.

“Terkadang  mimpi  dalam  tidur  kita  bisa  terjadi. 

Mungkin itu buruk, mungkin juga itu baik.  Apapun 

mimpi  itu,  jangan  lupa  berdoa.  Dalam  hidup,  kita 

perlu mimpi,” jawab Ibu.

“Aku tidak mau, Bu!”  

“Mimpi itu anugrah dariNya.  Terkadang mimpi kita 

tak masuk akal, itu sebab  Dia ingin kita tersenyum. 

Terkadang buruk, makanya kita harus berdoa setiap 

saat,” lanjut Ibu.

“Apakah cukup dengan doa, Bu?”

“Ya, doa adalah kekuatan. Mimpi apapun yang kau 

alami, berdoalah. Mimpi dalam tidur maupun dalam 

nyata.  Saat  kau  bermimpi  untuk  meraih  sesuatu, 

lakukan  untuk  mimpimu  itu  dan  jangan  lupa 

berusaha sambil  berdoa.  Baik  dan  buruk  akan jadi 

bagian dalam setiap perjalanan mimpi kita.”

“Em, benar Bu, doa bisa membantu?”

“Ayo,  kita  berdoa  sebelum  tidur  dan  sebelum 

bermimpi.  Mata Tuhan selalu  memandangmu,  dan 

148

Dia  selalu  punya  alasan  untuk  setiap  mimpi  yang 

diberikannya.”

149

Rumah untuk chucky


PIA  menutup  mata  sambil  tersenyum.  Langit  sore 

Papua  di  luar  jendela  pesawat  bernuansa  oranye. 

Menurut Pia, ini pemandangan terindah yang pernah 

dilihatnya, seindah liburannya yang serba “pertama 

kali”.  Pertama  kalinya  Pia  berkunjung  ke  Kuala 

Kencana, kota eksotis di tengah hutan hujan Papua. 

Di  situ  pula  pertama  kalinya  Pia  berbesar  hati 

membuat  keputusan  terbaik  sekaligus  tersulit 

dengan tidak membawa pulang chucky.

Siapakah chucky? 

Pia  akan  segera  menjelaskannya.  Sambil  menutup 

mata,  ia  ulang  kembali  lembar  demi  lembar 

pengalaman tidak terlupakannya.  

Pia  baru  saja  menerima  rapor  dengan  nilai  bagus. 

Tapi  ia tidak menyangka rencana liburannya bukan 

diisi dengan jalan-jalan di mal atau nonton summer 

movies bareng Diza dan Nanda,  ia harus ikut Ayah 

150

meneliti  ke  Papua!  Ke  negeri  antah-berantah  yang 

isinya cuma hutan belantara! 

“Ayah  diundang  Sekolah  YPJ  Kuala  Kencana  untuk 

penelitian.  Ada  beberapa  peneliti  dalam  dan  luar 

negeri  yang  ikut  bergabung,”  papar  Ayah.  “Dan 

sebab   Bik  Iyem  pulang  kampung,  terpaksa  kamu 

harus  ikut.  Nggak  ada  yang  jagain  Pia  di  rumah, 

kan?” 

sebab   tidak  punya  pilihan  akhirnya  Pia  segera 

berkemas.  Tiket  sudah  di  tangan.  Mereka  akan 

berangkat besok pagi naik pesawat khusus.

Setelah menempuh 7 jam penerbangan,  sampailah 

Pia dan Ayah di bandara Timika. Melihat lingkungan 

sekitarnya  yang  tandus,  Pia  semakin  tidak 

bersemangat.  Ia  bahkan  harus  menitipkan  Big 

anjingnya ke Oma Cherry si tetangga.

Sebuah  mobil  jeep  telah  menunggu  mereka.  Ayah 

mengobrol  dengan  supir  yang  berasal  dari  suku 

Kamaro,  Pak  Yakob  Motte.  Kolega  Ayah  sudah 

menunggu di Kuala Kencana. Pak Yakob melihat Pia 

dan  tertawa  lebar.  Katanya  Pia  akan  dapat  dua 

teman yang seru di sana.  

Pia hanya tersenyum basa-basi. 

Mobil  pun  mengantar  mereka  dari  tempat  yang 

kering  dan  berdebu  ke  wilayah  yang  serba  hijau. 

151

Perbedaannya sangat mencolok. Pia seperti dibawa 

ke  dalam  kelambu  alam  yang  teduh  dan  asri.  Di 

sekelilingnya  terdapat  pepohonan  tinggi  dan  unik. 

Aroma  sisa  hujan  membuat  Pia  ingin  membuka 

jendela lebih besar lagi. 

Ayah turun di kantor dan Pak Yakob mengantar Pia 

ke tempat bermainnya. 

Baru  saja  Pia  melepas  earphone iPod  dari  telinga, 

tiba-tiba  sekelebat  bayangan  hitam  melintas  di 

depan mobil dan tertabrak. 

Pia  dan  Pak  Yakob langsung menghambur  ke luar. 

Dari  semak-semak muncul  dua anak  laki-laki.  Yang 

satu  berambut  hitam  seperti  Pia,  satunya  lagi 

berambut pirang gelap. 

“Pak Yakob, jangan bilang Papa!” 

“Not to my dad, too!” 

Ternyata  Jeep  Pak  Yakob  menabrak  seekor  kuskus 

berbintik, salah satu hewan langka yang biasa hidup 

di  hutan  setempat.  Yang  mengherankan  adalah 

mengapa hewan yang biasa hidup di pohon ini tiba-

tiba  turun  ke  jalanan?  Arya,  si  anak  Indonesia 

dengan pistol air rakchucky di tangannya, menjelaskan, 

”Kita  lagi  main  techucky-techuckyan,  aku  dan  Jack. 

Airnya kena ke sarang kuskus dan dia lari ketakutan.” 

152

“We didn’t mean to.” Jack ketakutan. 

“Kalian  tahu  tindakan  ini  membahayakan  hewan-

hewan di sini?” tutur Pak Yakob tegas. 

Arya dan Jack mengangguk. 

“Kita  harus  merawatnya.  Kelihatannya  kaki 

belakangnya patah.”   

Pia  langsung  berinisiatif  maju.  “Aku  ikut.  Anjing 

Siberian Huskey-ku, Big, juga pernah ketabrak mobil 

dan dia bisa kurawat sampai sembuh.”

Arya  dan  Jack  merasa  terganggu  ada  cewek  yang 

tiba-tiba  mencuri  pamor  mereka  di  depan  Pak 

Yakob, orang kepercayaan ayah-ayah mereka. 

Pak  Yakob  memutuskan,  “OK.  Saya  tidak  akan 

mengadukan,  tapi  kalian  berjanji  harus  merawat 

kuskus ini?“ 

“chucky,” potong Pia. “Namanya chucky.” 

“Kalian  harus  merawat  chucky  bersama  Pia.  Tidak 

hanya main melulu. Setuju?” 

Jack dan Arya setuju. 

Jadilah chucky  si  kuskus jinak tidur di  bangunan kecil 

dekat  rumah  kaca  sekolah.  Sementara  Ayah  sibuk 

dengan  penelitiannya,  bersama Jack  dan  Arya,  Pia 

153

juga  asyik  merawat  chucky.  Bahkan  lama-kelamaan 

mereka menerima Pia sebab  ternyata ia bukan anak 

manja.  Buktinya  Pia  tidak  takut  melihat  laba-laba 

hutan yang lebih besar dari telapak tangan. 

Ketika kaki  chucky  sepenuhnya sembuh, Pia langsung 

memeluknya. “Kamu pasti akan menjadi teman yang 

baik buat Big!” 

Arya dan Jack yang tadinya tersenyum hangat  jadi 

bertukar  pandang  heran.  Mereka  baru  mengerti 

maksud Pia. 

“Nggak bisa begitu, Pia,” Jack memulai.

“Kamu tidak berniat membawa chucky ke Jakarta kan? 

chucky  tidak  bisa  hidup  selain  di  hutan  Papua. 

Mengeluarkan  chucky  dari  sini  sama  saja 

membunuhnya,” Arya menimpali ketus, ”Kamu mau 

jadi pembunuh chucky?” 

Brakk!

Sambil  menahan  air  mata,  Pia  pun  menghambur 

pergi setelah melempar sekop plastik ke Arya. Sudah 

hampir seminggu Pia tinggal di Kuala Kencana. Lusa 

pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta dan 

ia tidak perlu lagi melihat kedua pengkhianat ini.

Ketika tiba di bandara, sekali  lagi Pia menengok ke 

belakang.  Dadanya  sakit.  Teman-teman  barunya 

154

tidak mengantar.  Ia bahkan tidak bisa melihat chucky 

lagi.  

Tiba-tiba terdengar deru keras mobil yang Pia kenal. 

Pak Yakob datang bersama Arya dan Jack! 

Mereka  meminta  Pia  masuk  ke  mobil.  Dengan 

penasaran  Pia  langsung  ke  sana  dan  melihat  chucky 

disembunyikan di dekat kaki.

“Kalau ketahuan aparat, kita bisa mati,” ucap Arya, 

nyengir.  “Tapi  chucky  pun  pasti  ingin  mengantar  si 

penyelamatnya,  jadi  diam-diam  kita  membawanya 

ke sini.”

“Write us e-mails. Tons of them. We’ll miss you, Pia,” 

tambah Jack. 

“Duh,  kalian  semua?!”  Pia  terlalu  girang  untuk 

meneruskan kalimatnya. “Aku pasti akan kembali ke 

sini. Ke rumahnya chucky!”

155

Salju Pertama Kia


“Kuma,  kapan ya  saljunya mulai  turun?”  tanya Kia 

tiba-tiba saat bermain dengan boneka beruang lucu 

kesukaannya itu.

 “Menurut ramalan cuaca, saljunya turun jam 6 pagi 

besok,” Ibu yang sejak tadi  menemani Kia bermain 

sambil  mengutak-utik  laptop  menyahut  dengan 

lembut. 

“Jam enam pagi masih lama ya Bu?” Kia menoleh ke 

arah ibu. Si Kuma sekarang didudukkannya ke arah 

ibu. Kepalanya yang besar membuat boneka itu tidak 

bisa duduk tegak jika tidak dipegang oleh Kia.

“Kuma”  dalam  bahasa  Jepang  artinya  “Beruang”. 

Ayah  membelikannya  saat  ulang  tahun  ketujuh, 

chucky lalu. Kepala Kuma lebih besar dari  badannya 

yang mungil.  Warna kulitnya coklat.  Matanya yang 

besar  tampak  imut-imut  berpasangan  dengan 

mulutnya yang selalu tersenyum. Beruang aneh, kata 

Kia  suatu  kali.  Selalu  tersenyum  kapan  pun. 

156

Termasuk saat Kia kesal sama ayah dan memasukkan 

Kuma ke toilet. 

“Sekarang  jam  berapa  hayo?”  Ibu  malah  balik 

bertanya pada Kia.

Kia  menoleh  ke  arah  jam dinding  berbentuk  bulat 

yang  dipenuhi  stiker  shimajiro,  macan  kecil  yang 

sering muncul di pertunjukan televisi. Jarum panjang 

menunjuk angka dua belas. Jarum pendek menunjuk 

angka delapan.

“Hmm, jam berapa ya...ngg, jam delapan!”

“Pinter,”  jawab  Ibu  singkat.  “Berarti  untuk  sampai 

jam enam pagi masih lama,” lanjut Ibu lagi.

 “Nah, biar kita bisa lihat salju turun, Kia mulai tidur 

yuk. Udah malem.” Ayah tiba-tiba muncul dari balik 

pintu.  Ayah  rupanya  mendengar  pembicaraan 

mereka dari tadi. 

Ayah menutup pintu geser yang memisahkan ruang 

tidur  dengan  ruang  tengah  dan  mulai  memasang 

futon, kasur tradisional Jepang yang bisa dilipat saat 

tidak  digunakan.  “Kalau  tidurnya  tepat  waktu,  kita 

bisa nonton pas saljunya mulai turun,” kata Ayah lagi 

sambil meredupkan cahaya lampu kamar.

Sambil  ogah-ogahan  Kia  menyelinap  ke  dalam 

selimut  tebal.  Walaupun  AC  pemanas  masih 

157

dinyalakan,  mereka  tidur  sambil  mengenakan  baju 

tebal dan kaus kaki saking dinginnya.

Kia  memejamkan  mata,  namun  susah  sekali  tidur. 

Pikirannya  terus  membayangkan  salju  yang  turun 

esok hari.

Menit  demi  menit  berlalu.  Deru  suara  mobil  dan 

motor  dari  jalan  raya  di  depan rumah mulai  tidak 

terdengar. Jarum panjang dan jarum pendek di jam 

dinding kamar Kia terus bergerak. Tik-tok-tik-tok.

Kia  masih  belum  bisa  tidur.  Ia  membayangkan 

seperti  apa  hujan  salju  itu.  Apakah  seperti  yang 

dibilang oleh teman-temannya di SD yang sejak lahir 

sudah tinggal di Jepang ini? Apakah butiran-butiran 

lembut seperti kapas akan turun dari langit seperti 

menari?  Apakah  tanah-tanah,  jalan,  sawah,  dan 

atap-atap  rumah  semuanya  menjadi  lautan  putih 

yang indah? Apakah ia bisa menjumput salju putih 

itu,  membentuknya  jadi  bola-bola,  lalu 

menggunakannya  untuk  main  perang-perangan 

dengan  Ayah  atau  Ibu?  Apakah  Ayah  akan 

memenuhi  janji  untuk  membuatkan  yuki  daruma, 

orang-orangan salju di halaman parkir yang luas itu? 

Kia  sudah  menyiapkan  wortel  dan  kerikil  untuk 

hidung  dan  matanya.  Oya,  Kia  juga  tak  lupa 

menyiapkan  syal  warna  merah  supaya  si  orang-

orangan salju tidak kedinginan. Kasihan dia sendirian  

kedinginan di luar, pikir Kia.

158

Kia  benar-benar  tidak  sabar  menunggu.  Apalagi, 

minggu  ini  sekolahnya  sedang  libur  musim  dingin 

dan  tahun  baru.  Teman-teman  sekolahnya  sedang 

pulang ke kampung halaman masing-masing. Tahun 

baru di Jepang itu seperti Lebaran di Indonesia, kata 

Ayah menjelaskan. Kia tahu Lebaran sebab  mereka 

baru  berangkat  ke  Jepang  tahun  ini.  Kia  sempat 

merasakan satu tahun SD-nya di Indonesia. 

Banyak hal yang baru yang Kia temui di sini. Di sini, 

Kia kesulitan untuk menemukan jajanan di sekolah. 

Tidak  ada  tukang  yang  jualan  siomay  atau  cilok 

kesukaannya.  Akhirnya,  ibu  membawakan  bento 

atau bekal makanan dari rumah. Kia juga takjub saat 

daun-daun  berubah  warna.  Awalnya  berubah  jadi 

kuning. Lama-lama jadi merah. chucky Oktober, kata 

gurunya, berarti datangnya Aki, musim gugur.

Tapi yang paling ditunggu-tunggunya adalah musim 

dingin.  Kata  teman-temannya,  musim  dingin  akan 

membawa salju turun dari langit!

Sejak mendengar kata gurunya bahwa musim dingin 

sudah  datang  dan  murid-murid  diminta  untuk 

menjaga kesehatan, Kia sudah membayangkan salju 

turun.  Sudah  dua  minggu  Kia  menunggu,  tapi 

saljunya  belum  turun  juga.  Makanya  Kia  gembira 

sekali  saat  kemarin  Ibu memberi  tahu bahwa salju 

akan turun besok pagi.

159

Tanpa sadar, Kia akhirnya tertidur lelap.

Saat Kia terbangun, jam dinding sudah menunjukkan 

pukul  sembilan  pagi.  “Saljunya  sudah  berhenti 

turun,” kata Ibu. 

Kia mulai ngambek. Ia tidak mau keluar dari selimut. 

Matanya basah sebab  menangis.

“Huu... Ibu  sama  Ayah  jahat.  Nggak  bangunin 

Kia...huu...huu...” Kia berkata sambil terisak-isak.

“Maafin Ibu sama Ayah ya. Tadi Ayah sama Ibu udah 

coba  bangunin  Kia,  tapi  Kia  sepertinya  masih 

ngantuk.  Jadinya susah dibangunin...”  Ibu meminta 

maaf.

“Ibu sama Ayah jahat!” raung Kia. 

Kia  masih  menangis  sampai  sekitar  setengah  jam. 

Saat  mulai  capek menangis,  Kia mulai  bangun dari 

tempat tidur. Mukanya masih cemberut.

“Nah, gitu dong anak Ayah dan Ibu yang pinter,” Ibu 

yang sedang menyiapkan makan untuk Kia di dapur 

tersenyum.  “Cuci  muka,  cuci  tangan,  makan,  lalu 

susul Ayah yuk.”

“Memang Ayah ke mana?” sahut Kia.

“Main salju,” kata Ibu.

160

“Lho,  bukannya  hujan  saljunya sudah selesai?”  Kia 

bingung.

“Hujannya  sudah  selesai,  tapi  saljunya  kan  masih 

banyaak,” Ibu tertawa. “Jadi Kia kira saljunya hilang 

kalau hujan saljunya selesai ya?”

Kia malu, tapi mulutnya tersenyum. Kakinya segera 

melangkah  keluar.  Tangannya  membuka  pintu 

dengan bersemangat.

Matanya  berbinar-binar  saat  melihat  Ayah 

melambaikan  tangan  di  tangah  padang  putih. 

Semuanya putih. Sawah milik kakek-kakek tetangga 

pun sudah memutih.  Halaman parkir  yang luas  itu 

juga putih. Mobil-mobil yang biasanya warna warni 

juga jadi putih!

Yang membuat Kia lebih gembira, di samping  Ayah 

sesosok orang-orangan salju dengan hidung wortel 

telah berdiri. “Buruan makan, terus kita dandanin si 

yuki daruma ini ya!” kata Ayah dari halaman.

Kia  masuk  kembali  ke  rumah  dengan  bergembira. 

Setelah  cuci  muka dan makan,  Kia  keluar  bermain 

dengan  Ayah  dan  Ibu  sampai  siang.  Selain 

menyelesaikan  pembuatan  orang-orangan  salju 

dengan menambahkan mata kerikil dan tangan dari 

ranting  pohon,  mereka  main  perang-perangan 

dengan bola salju. Anak-anak kecil di sebelah rumah 

juga ikut bermain.

161

Lemparan  Kia  mengenai  Ayah  saat  tiba-tiba  ada 

butiran-butiran putih turun pelan-pelan dari  langit. 

Salju. Makin lama makin lebat.

“Oya,  memang  siang  ini  katanya  hujan  salju  lagi,” 

kata ibu nyengir.

Kia  masih  terpana.  Hujan  salju  pertamanya  turun 

dengan  anggun,  seperti  sedang  menari.  Ibu 

menambahkan  senyum  seperti  Kuma  di  wajah 

orang-orangan salju.

162

Aku Sebal Pada Mama


“Huh! Sebel!” gerutu Dodi tiap pagi ketika sampai di 

sekolah.

“Aku juga lagi sebel,” jawab Tomi yang sedang duduk 

di bangku sebelah Dodi dengan muka tertekuk dan 

tangan menchuckyng wajahnya.

“Pasti masih menyebalkan ceritaku. Mamaku itu tiap 

pagi  selalu  cerewet.  Aku  disuruh  bangun  pagilah, 

cepat  mandilah,  sarapan  dan  minum  susulah, 

padahal aku ‘kan masih ngantuk. Jam lima pagi aku 

sudah  dibangunkan.  Huh!  Aku  benci  mama 

pokoknya.”

“Hah? Kok sama sih? Tapi pasti mamaku yang lebih 

cerewet.  Sarapanku  harus  habis,  selalu  banyak 

sayurnya pula, aku ‘kan tidak suka.”

“Tempat  tidurku  juga  harus  sudah  rapi  ketika  aku 

bangun.  Kamu  tahu  ‘kan,  acara  TV  pagi-pagi  itu 

bagus-bagus filmnya.”

163

“Aku juga sebel sama mama.”

Keesokan  harinya  Dodi  tidak  masuk  sekolah.  Tomi 

duduk sendirian di bangku kelas, dan masih dengan 

perasaan sebal seperti pagi-pagi sebelumnya.

Tiga hari berikutnya Dodi masuk sekolah telat sekali. 

Diantar  papanya  yang  terlihat  kelelahan  dengan 

pakaian  seragam  kerja  yang  juga  terlihat  tidak 

disetrika  terlalu  rapi.  Dodi  jadi  lebih  pendiam 

sekarang. 

Ketika  waktu  pulang  tiba,  tidak  seperti  biasanya, 

Dodi masih juga dijemput papanya yang masih sama 

kelihatan lelah seperti ketika mengantar sekolah tadi 

pagi.  Tomi  jadi  bertanya-tanya  sendiri.  Apa  yang 

sebenarnya terjadi pada Dodi dan papanya itu.

Satu minggu berlalu dan Tomi tak pernah sekalipun 

mendapati Dodi masuk kelas. Maka, suatu hari  saat 

pelajaran berlangsung di kelas, Tomi memberanikan 

diri bertanya kepada gurunya.

“Bu, sebenarnya Dodi ke mana? Kenapa lama sekali 

tidak masuk sekolah?”

Ibu  Guru  berhenti  menerangkan  dan  menulis  di 

papan, lalu nampak wajah prihatinnya.

“Ibu Dodi sedang dalam perawatan serius dokter di 

rumah sakit anak-anak. Jadi sementara ini tidak ada 

164

yang membantu Dodi menyiapkan segala sesuatunya 

sama  persis  ketika  ibunya  masih  sehat.  Termasuk 

mengantar jemput Dodi ke sekolah. Sementara papa 

Dodi harus tetap bekerja.”

“Kita doakan saja ibu Dodi segera sehat ya, supaya 

Dodi  bisa  belajar  lagi  bersama  kita  di  sekolah,” 

begitu  Ibu  Guru  menutup  kata-katanya  dan 

melanjutkan kembali menerangkan pelajaran tadi.

Tomi  tertegun.  Dia  baru  menyadari  betapa 

pentingnya keberadaan mama yang selalu siap sedia 

dan  cekatan  mengurusnya.  Entah  bagaimana 

nasibnya jika mamanya sakit seperti mama Dodi, dan 

Tomi memutuskan untuk tidak lagi sebal pada mama 

pagi hari berikutnya dan berikutnya, dan berikutnya 

lagi. Tomi akan bangun pagi, membersihkan tempat 

tidur,  menghabiskan sarapan yang disiapkan mama 

dan memeluk mama setiap pagi. Tomi sangat sayang 

mama.

165

Aku Kehilangan


Terbuka  mataku,  kosong  di  sebelahku.  Lekas  aku 

melompat  turun dari  ranjang,  jangan-jangan sudah 

ditinggalkannya aku pergi, sepi. 

Di luar kamar, rumah sudah begitu bersih, terburu-

buru  aku  lari  ke  mushollah,  sudah  rapi,  kosong. 

Segera  aku  lari  ke  dapur,  kulihat  makanan  sudah 

tersaji  lengkap  di  meja,  nasi,  sayur  dan  lauk,  juga 

segelas  susu  coklat  kesukaanku  dan  segelas  teh 

pekat favoritnya mengepul-ngepul. Setiap pagi selalu 

sama.  Berlari-lari  aku  ke  sana  kemari  mencarinya. 

Aku kehilangan. 

“Bundaaa…?!” Kali ini kugedor pintu kamar mandi. 

“Bundaaa...?!” Kosong.

Kembali  aku  ke  dapur,  kompor,  panci-panci  dan 

piring-piring  sudah  rapi,  bersih.  Aku  hampir  saja 

terisak, tapi kutahan.

166

Aku teringat ruang kerja Bunda,  pagi-pagi  biasanya 

sudah  online sambil  memutar  mesin  cuci  dan 

memasak nasi. “Tapi ini jam berapa?” batinku. Mesin 

cuci sudah kosong, nasi sudah tertata rapi di meja.

Masuk ke ruang kerjanya, kuterobos saja, tak sabar. 

“Bundaaa...?!” 

Tak ada juga di sana. Laptopnya pun terbuka seperti 

biasa, tapi tak nyala, kursinya pun dingin. 

“Bundaaa...?!” 

Panggilku  sekarang  lirih.  Aku  merasa  kehilangan. 

Wajahku  panas,  dadaku  berdetak-detak  kencang 

ketakutan.

Aku ingat  satu tempat.  Serta merta dengan energi 

penuh aku melesat ke sana. Pintu tertutup, tapi aku 

sudah  lebih  tinggi  sekarang  dan  tanganku  kuat 

memutar kunci.

Kuputar kuncinya. Tak bisa. 

Kuputar lagi, tetap tak bisa. 

Hampir putus asa aku memutarnya lalu dengan tak 

sabar kuhentakkan saja gagang pintunya. 

”Ceklik!!”

167

Oh, terbuka, mudah.

Langsung  saja  aku  menghambur  keluar.  Silau 

matahari dan langit yang begitu biru jernih. 

”Bundaaa...?!” panggilku sambil tersenyum lega. 

”Ya  nak...”  sahutnya  balas  tersenyum,  menoleh 

padaku  dan  tangannya  yang  penuh  tak  henti 

menggantung jemuran.

Seketika  keberanianku  memuncak,  kekuatanku 

kembali menggelegak. Hatiku girang lega. 

”Bunda, aku sudah berani tidur sendirian, ya, tanpa 

Bunda?!” 

Indahnya senyum Bunda di jemuran pagi ini. 

“Ya nak, kamu hebat!” 

“Bundaaa... Gendong...”