Akhir Desember, sesaat lewat tengah malam. Belum sejam hujan berhenti. namun rembulan sudah
muncul dari balik sisa-sisa awan pekat kelabu. Cahayanya yang pucat menerangi jalan aspal kelas
tiga di pinggir kota. Aspal terasa basah.
Lembab.
Luapan air dari parit berlumpur di tepi jalan menerbitkan bau tak sedap. Seekor tikus besar
berenang cepat menuju semak belukar tatkala terdengar suara langkah-langkah kaki mendekat.
rsi Kertajaya berjalan tertegun-tegun. Hatinya sedang diliputi kegelisahan. Sesekali ia berhenti.
Bimbang.
Lantas melangkah kembali.
Pulang ke rumah?
Lantas minta maaf pada TribuanaTunggadewi ?
Nanti dulu!
Ronggolawe telah meludah. Tidak ke muka rsi Kertajaya , melainkan ke lantai. Namun tetap saja hal itu tidak
dapat dimaafkan. Baiklah. rsi Kertajaya akan terus keluyuran sepanjang malam. Pagi-pagi, gedor saja pintu
seorang teman. Pinjam seperangkat pakaian. Lalu enyah ke mana saja selama beberapa hari.
'Biar TribuanaTunggadewi kalang kabut!
"Sialan!"
rsi Kertajaya tiba-tiba memaki. Salah satu kakinya terperosok masuk lubang.
Sandalnya terlepas.
Dan kakinya tergenang air lumpur sampai kepertengahan betis.
Dinginnya. ampun!
rsi Kertajaya membungkuk memungut sandalnya. Mengenakannya kembali sambil menggerutu. Betapa
sembrono ia tadi. Menampar TribuanaTunggadewi saking tak kuat mengendalikan emosi. lalu minggat begitu
saja. Lupa, ia cuma bercelana pendek. Alas kaki pun cuma sepasang sandal jepit yang terasa
semakin licin di telapak kakinya. Mana baju kaos yang ia kenakan mulai pula basah tertimpa
butir-butir air yang jatuh dari pepohonan sepanjang jalan.
Lolong anjing menggema di kejauhan.
Sayup.
Dan lirih menyayat tulang.
rsi Kertajaya menggigil.
Bukan sebab ratapan anjing yang menyedihkan itu. namun sebab udara tengah malam terasa
semakin dingin.
Semakin beku.
Apakah ia tidak lebih baik pulang saja?
Tidur di bawah selimut hangat, dan Siapa tahu TribuanaTunggadewi lebih dulu minta maaf. rsi Kertajaya bimbang
lagi.
Ah. Jangan!
Ronggolawe akan mentertawakannya, lalu semakin menekan rsi Kertajaya .
Sudah berapa lama rsi Kertajaya selalu merasa tertekan bila berada di samping istrinya?
rsi Kertajaya tersentak waktu terdengar suara ratu lesbi menjerit keras. Disusul raung tangis
berkepanjangan. Ia mencari arah suara itu. Tampak lampu-lampu sebuah rumah di sebelah kanan
dinyalakan.
Oh, mereka kiranya.
Pasti mpu Jenggala telah dipukuli suaminya lagi.
Soal apalagi.
Kalau bukan suami pulang larut malam membawa bau parfum ratu lesbi lain, dan menemukan
istri yang tertekan jiwanya sedang mabuk berat.
Semua orang sudah tahu.
Tak heran, kalau rumah rumah lain tetap tampak tenang.
Tak acuh.
Para tetangga sudah terbiasa. Percuma saja dinasehati sebab suami istri itu sama-sama keras
kepala.
rsi Kertajaya angkat bahu.
Kadang kadang ia suka juga mengalah. Sayang tidak demikian halnya dengan TribuanaTunggadewi .
ratu lesbi itu sangat teguh pada pendiriannya, tidak mau menerima uluran tangan orang lain.
"Aku bisa mengurus diri sendiri."
Ronggolawe selalu mendengus.
Tentu saja dengan tambahan yang menyakitkan hati:
"Tanpa bantuan rsi Kertajaya , toh aku dapat hidup!"
rsi Kertajaya menyumpah serapah dalam hati.
Kemarahannya baru agak reda saat ia tertegun di depan sebuah rumah setengah jadi. Tak ada
penerangan sedikit pun di rumah itu. Saluran listrik telah diputuskan PLN untuk sementara. rsi Kertajaya
sendiri yang meminta, saat ia mulai membongkar bangunan lama sebab ingin lebih leluasa
membentuk arsitektur rumah itu dan para pekerja bangunan terhindar dari kecelakaan yang tidak
dikehendaki.
Tanpa ragu-ragu rsi Kertajaya memasuki halaman rumah setengah jadi itu. Tembok bata semua telah
terpasang. Begitu pula semua kusen dan atap. Tinggal pasang pintu-pintu, jendela kuburan -jendela kuburan kaca dan
lantai teraso. Dan justru semua bahan itu belum tersedia. Raden hanggareksa kehabisan uang. ibunya.... mertua
rsi Kertajaya ... masih menunggu hasil panen sawah sekitar bulan April. Sumarna akan menikah pula pada
bulan yang sama sehingga ibu mereka sangat hati-hati mengeluarkan persediaan uang yang masih
ada.
Dan TribuanaTunggadewi ?
Dengan kepala batunya TribuanaTunggadewi berkata:
"Hutang Bang Raden hanggareksa sudah bertumpuk. Biarkan saja rumahnya terbengkalai!"
Sinar rembulan semakin terang. namun di dalam rumah tetap gelap gulita. rsi Kertajaya pun tidak
berminat masuk ke dalam. Ia lebih suka mengitari halaman depan, lalu pekarangan samping.
lalu di salah satu sudut ia berhenti. Sisa-sisa bahan bangunan yang belum terpakai dibiarkan
terlantar di sudut halaman, campur baur dengan bekas bongkaran bangunan lama yang belum sempat
disingkirkan. Tertumpuk di situ kayu-kayu rapuh barangkal dan seng bekas dak di antara pecahan
genting yang berserakan.
Dari tempatnya berdiri.
rsi Kertajaya merasa tidak leluasa memandang, ia lalu berpindah ke bagian lain. Dibantu cahaya
rembulan ia amati pekarangan semrawut itu dengan cermat. ia telah lama menyusun rencana. Taman
hias, kolam kecil mungkin dengan sebuah patung di tengahnya akan merubah sudut halaman yang
kini porak poranda itu. Raden hanggareksa mempercayakan segala sesuatunya pada kejelian mata rsi Kertajaya . Juga
abang iparnya itu telah setuju sumur tua di pojok kanan ditutup saja. Toh air ledeng sudah memasuki
daerah mereka sehingga sumur tua itu tidak lagi diperlukan.
rsi Kertajaya merasa kakinya kebas.
Ia lalu berjongkok. Persis di tepi sumur. Tak ada lagi lubang yang menganga dalam. Tak ada
kilatan air bening yang tak pernah kering itu, biar musim kemarau panjang telah membuat rumah
rumah lain di dekatnya kekurangan air. Sumur tua itu telah ditutup.
Dengan sampah, tanah galian, barangkal. Pendeknya, apa saja yang dapat masuk ke dalam dan
membuat timbunan semakin tinggi. Permukaan sumur kini tampak hampir rata dengan permukaan
tanah di sekitarnya.
Iseng, rsi Kertajaya melangkah ke permukaan bekas sumur tua itu.
Kaki berlapis sandal jepit dijejakkan kuat kuat, namun dengan hati-hati. Tanah bercampur pasir
dan baru di bawah kakinya, pelan-pelan bergerak. Cepat rsi Kertajaya menghindar. sebab licin. kembali
sandal jepit yang ia pakai terlepas.
rsi Kertajaya meringis saat pecahan kaca melukai telapak kakinya.
Tidak begitu sakit. Darah pun tidak seberapa keluar.
Lupakan saja!
Ia akan memanggil seorang kuli untuk memadatkan sumur ini suatu hari kelak. Di sinilah patung
yang ia rencanakan di tempatkan. lalu air mancur -Tanpa menyadari darah terus menetes dari
luka di telapak kaki, rsi Kertajaya bergerak ke bagian lain. Pikirannya terpusat penuh pada rencana
mengenai bentuk taman hias itu. Akibatnya, kembali ia harus meringis. Kali ini disertai pekik halus
sebab kaget.
Betisnya yang telanjang, tergores pula oleh ujung seng yang tajam. Darah menetes lebih banyak.
"jadah!"
Ia mengutuk
Bayangan mengenai taman mungil yang indah perlahan mengabur. Ia bergerak ke beranda rumah,
duduk tersengal-sengal di kusen jendela kuburan . Tangan yang satu sibuk merogoh saku, tangan lain menutupi
luka pada betis.
Sial! ia tidak bawa saputangan. Lebih celaka lagi, darah terus saja merembes dari sela-sela jari
tangan yang menutupi luka. saat ia perhatikan. tampaklah samar samar kakinya berubah merah
.Begitu juga telapak kaki. Luka bekas tusukan kaca masih meneteskan darah.
Tanpa berpikir panjang lagi, rsi Kertajaya menanggalkan baju kaos yang ia pakai. Bersusah payah ia
mencoba merobek kaos yang masih baru itu. saat usahanya berhasil, ia telah semakin lemah.
Terlalu banyak mengerahkan tenaga. sementara darah semakin banyak pula merembes keluar.
Sial benar, ia tidak menyuruh seseorang menyimpan kotak P3K di rumah ini. Sekarang ia sendiri
yang harus merasakan akibatnya.
Dengan sobekan baju kaosnya. rsi Kertajaya membalut luka baik di betis maupun di telapak kaki.
lalu ia tersandar di kusen jendela kuburan . Letih dan mulai merasakan sakit pada luka-lukanya.
Pulang sekarang?
Atau pergi ke rumah terdekat?
Akal sehatnya melarang.
Pulang, berarti TribuanaTunggadewi menang. Membangunkan tetangga, sungguh memalukan. Belum jalan
becek berkuman.
Maka ia putuskan saja bermalam di bangunan setengah jadi itu.
rsi Kertajaya merangkak turun dari kusen jendela kuburan , masuk ke dalam. Udara dingin membuat sekujur
tubuhnya terasa kaku.
Entah mengapa, matanya mulai pula diserang kantuk yang hebat. Begitu punggungnya mencapai
lantai tanah, langsung saja ia rebah. Tak perduli alam sekitar. Tak perduli gerimis mulai jatuh lagi.
Juga tak mengambil perduli pada genangan darah dari lukanya saat ia berjalan meninggalkan sumur
tua itu.
Rembulan dengan marah terpaksa menerima rangkulan awan pekat yang kian bergumpal. Malam
semakin gelap gulita. Samar-samar kembali terdengar raungan tangis yang sayup dari rumah Bu
Endah. Lolong anjing tidak mau kalah. Anjing itu terus meratapi langit hitam, lirih, mengerikan.
Gerimis digantikan hujan lebat yang jatuh disertai tiupan angin keras dengan suara berdesah bersuit
dan bersiul nyaring mendirikan bulu roma.
Tetesan darah di tanah berumput menyerap bersama air hujan.
Genangan air bercampur darah itu dengan sendirinya mencari muara yang rendah. Dan itu adalah
bekas sumur tua yang telah ditimbun segala macam sampah dan barangkal buangan, tanah dan
pasir. Genangan air kemerah-merahan itu menciptakan semacan lubang kecil ke mana air menyerap
masuk.
Waktu terus berjalan.
rsi Kertajaya telah tertidur.
Dan lubang yang diciptakan genangan air tampak semakin membesar.
Menganga.
Suatu saat, kilat menyambar dari langit kelam. Halaman rumah itu terang benderang selama satu
helaan napas. Namun waktu yang pendek itu telah cukup untuk memperlihatkan, bagaimana timbunan
tanah pasir berbatu di bekas sumur tua, bergerak.
Timbunan itu seakan hidup.
Sekali, menggeliat di sekitar lubang tempat air masuk. Lain saat, timbunan pasir naik turun
seolah didorong kekuatan gaib. Dan saat petir menyambar lagi,timbunan bergerak semakin tinggi
lantas jatuh berserakan di sekitar pinggiran bekas sumur. Dari lubang yang menganga semakin
lebar,sesuatu menggapai keluar.
Tangan seseorang?
Ah. Bukan.
Sesuatu yang berwarna coklat kehitaman dan licin berlendir. Hampir pula tak berbentuk.
Mula-mula besarnya seinduk jari kaki terjulur panjang keluar lubang. Ujung sesuatu yang hidup dan
ganjil itu lalu menghunjam di rerumputan.
Diam sebentar.
Angin malam bersorak, seram. Dan hujan membadai, liar.
Dengan ujung tetap melekat di rerumputan, bagian lain dari tubuh sesuatu itu pelan-pelan
melengkung ke atas, menggeliat sebentar, lalu merayap di sekitar lubang. Benda hidup,coklat
kehitaman, basah berlendir itu melepaskan rerumputan, lalu merayap semakin jauh dari lubang.
Gerakannya menurutkan datangnya air. Air bercampur genangan darah. Bagian ujung makhluk itu
sekali terbuka. memperlihatkan semacam mulut lebar yang gelap untuk menyerap air berbau darah,
lalu menggeliat lagi, melengkungkan tubuh bagian tengah, menarik sisa tubuh lainnya yang masih
tertinggal di sebelah dalam lubang
Pacat!
Sungguh mati, pacatlah yang keluar dari lubang itu. Namun luar biasa besar. Hampir sebesar
lengan ratu lesbi dewasa. Bila berhenti, panjangnya cuma selengan pula. namun bila mulai
melengkungkan tubuh. lalu merayap, panjangnya berubah hampir sepanjang manusia dewasa.
Satu dua kali kepalanya terangkat
Mencium.
Mengendus.
Lalu tubuh binatang menyeramkan itu bergerak maju.
Tujuannya sudah pasti.
Yakni ke bau tetes darah terakhir masih melekat. Makhluk itu menggeliat pelan saat menaiki
beranda yang sedikit becek. Desir tubuhnya lalu begitu halus.
rsi Kertajaya bermimpi buruk.
Namun terus saja mendengkur.
Gelisah.
Ia sama sekali tidak melihat, sesuatu menjulur lewat kusen jendela kuburan . Tak tampak sinar mata
sepercikpun jua. Hanya garis tipis sebuah mulut yang menyeringai.
Buas.
Angin malam menjerit.
Lengking.
Pelayan membuka pintu.
Raden hanggareksa menguap. Lalu masuk.
"Ronggolawe ada, Bi?"
Ia bertanya seraya terus saja menerobos ke ruang dalam. "Masih tidur, Den Raden hanggareksa ."
"Pukul sembilan begini?"
Dahi Raden hanggareksa berkerut.
Ia menatap ke sebuah pintu tertutup.
"Dan rsi Kertajaya ?"
Diam.
Tak ada jawaban.
Raden hanggareksa berpaling mengawasi wajah si pelayan. ratu lesbi setengah umur itu tampak pucat,
mengkerut. Raden hanggareksa menarik napas panjang.
Geleng kepala.
lalu bersungut malas:
"Buatkan aku segelas kopi. mpu Ronggolawe ."
Pelayan seperti terbang menuju dapur. Ia telah lolos dari lubang jarum. Majikan ratu lesbi akan
mencaci maki dia habis-habisan, sekali mpu Ronggolawe lepas omong pada orang lain menceritakan betapa
riuh rendahnya rumah ini tadi malam. Sambil lewat, mpu Ronggolawe melongok ke pintu kamarnya yang
terbuka. Tampak sesosok bayi mungil meringkal tenang di bawah selimut.
mpu Ronggolawe tersenyum.
Sedih.
"Dan anak itu ikut jadi korban," keluhnya.
Di ruang dalam, Raden hanggareksa tidak senang menunggu.
Begitu mpu Ronggolawe menghilang, langsung saja ia mengetuk pintu tertutup tadi.
"Ronggolawe ?"
Raden hanggareksa memanggil.
Sepi.
Diketuknya lebih keras, berulang-ulang. "Sudah siang, TribuanaTunggadewi !"
Ranjang berderit di dalam.
Terdengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu pintu kamar terbuka.
Wajah TribuanaTunggadewi kusam.
Matanya agak merah, kurang tidur.
"Kau kiranya,"
Ia memberengut. Dan bermaksud menutup pintu kembali, kalau tak keburu Raden hanggareksa menghalangi
dengan kaki.
"Aku mau bicara sebentar, Ronggolawe ."
"Nanti saja. Aku masih ngantuk."
"Kau kira aku tidak?"
Tanpa dapat ditahan. Raden hanggareksa menguap sekali lagi. Ia menyisir rambut dengan jari, memijit
bagian belakang kepala yang terasa berdenyut.
"Sepanjang malam aku tak bisa bekerja. Aku kuatir telah terjadi sesuatu. sebab itu aku
datang...."
TribuanaTunggadewi hilang sebentar di kamarnya. Rupanya ia terus ke jamban.
Membasuh muka .
saat keluar lagi, ia tampak lebih segar dan cantik. Hanya matanya saja yang kelihatan masih
murung. Duduk berhadapan dengan saudaranya, ia bergumam tanpa semangat:
"Aku siap mendengarkan, Bang Raden hanggareksa ."
"Begitukah sambutanmu, Ronggolawe ?"
TribuanaTunggadewi angkat bahu.
Kemarahan Raden hanggareksa bangkit. Untung mpu Ronggolawe muncul dari dapur. Tahu tamu mereka orang tak
sabaran, pelayan membawa pula segelas air bening untuk majikannya .Dengan biiaksana ia lalu
menyelinap ke dapur. Meninggalkan dua orang bersaudara itu saling tatap. Raden hanggareksa yang mengalah.
"Aku tak melihat rsi Kertajaya ,"
Ia memulai, dengan suara direndahkan.
"Ia pergi. Tengah malam tadi."
"Hem. Bertengkar lagi, ya?"
TribuanaTunggadewi diam saja.
"Pasti aku yang jadi benih keributan,"
Raden hanggareksa mencicipi kopinya tanpa selera.
"Benar, bukan?"
"Kalau abang sudah tahu, mengapa bertanya lagi?" sahut TribuanaTunggadewi .
Ketus.
"sebab aku ingin kalian berdamai."
"Bah!"
"Aku terlibat, Ronggolawe . Aku tak mau dijadikan biang keladi. sebab itu tadi malam kuputuskan untuk
menghentikan saja pembangunan rumah itu. Biar begitu saja dulu, untuk setahun dua tahun. Atau
seabad, aku tak perduli. Yang penting aku ingin memberitahu suamimu, supaya melupakan saja niat
baiknya menyelesaikan pembangunan rumah itu dengan mempergunakan uangnya sendiri."
"Uangku!" potong TribuanaTunggadewi , pendek.
"He-eh. Uangmu!"
Raden hanggareksa setuju, namun dengan nada suara jengkel. Ia bangkit dengan marah. Berjalan mundar
mandir, sambil menggerutu:
"Kau ini seperti bukan adik kandungku saja, Ronggolawe . Baiklah. Uangmu. Pada waktunya, uangmu yang
telah terpakai, akan kuganti. Hitung saja bunganya sekalian."
"Abang menyindirku,"
TribuanaTunggadewi mendelik.
Raden hanggareksa tertawa. Sumbang.
"itu pekerjaanmu, bukan? Membungakan uang, seperti dulu dilakukan ayah!"
"jangan membangkit kejelekan orang mati,"
"Oke!"
Raden hanggareksa menyeringai, lalu menadahkan tangan seraya berdo'a dengan suara munafik:
"Semoga Tuhan mengampuni dosa almarhum ayah kita. Dan semoga..."
Suaranya lebih lembut dan khusuk.
"Semoga kami yang masih hidup tidak bercerai berai disebab kan uang."
"Bang Raden hanggareksa "
"Uang!"
Raden hanggareksa tidak perduli.
"Aku kehabisan uang. lalu rsi Kertajaya terus saja mendesak. Ia begitu bernafsu untuk menyelesaikan
rumah itu. Tiap hari ia menemuiku. Mengajukan usul agar aku tidak menolak niatnya meminjam uang
ke bank. Padahal di rumahnya sendiri, sudah ada bank yang...."
"Hentikan, Bang Raden hanggareksa !"
"Diamlah, saudaraku. Sepanjang malam tadi, aku tak bisa menekuni pekerjaan. Entah mengapa,
pikiranku hanya tertuju kepada suamimu. rsi Kertajaya ingin aku lekas berumah tangga. Dan
mempersembahkan rumah mungil cantik sebagai hadiah perkawinan. Dan aku, si perjaka tua yang tak
beruntung ini, hampir kewalahan menghadapi niat baik adik iparku. Lantas tadi malam aku berpikir,
sekali rsi Kertajaya meminjam ke bank, dengan usahanya yang morat marit seperti sekarang. Dan terpaksa
uang saudaraku yang pemurah, keluar lagi dari laci."
"Kredit dari bank akan keluar besok" tukas TribuanaTunggadewi . setengah hati. ,
"rsi Kertajaya memberitahu hal itu tadi malam. Kami-kami lantas ribut dan aku beritahu dia. Biarpun
aku mencintainya, kali ini aku tak akan memberi ampun. Kelak bila bank mulai menagih dan ia
kepepet, aku tak akan sudi untuk.... Lalu ia mengucapkan sesuatu yang membuatku sangat marah dan
tanpa sadar, ia kuludahi."
"La kau:."
Raden hanggareksa terkejut
"Astaga apa yang telah kau perbuat, TribuanaTunggadewi ?"
"Aku tak kuat membendung emosi, Bang,"
Suara TribuanaTunggadewi tergetar, menahan tangis
"Ucapannya itu."
"Apa yang diucapkan?"
"Ia bilang...."
TribuanaTunggadewi tak mampu menjelaskan.
Raden hanggareksa mengurut dadanya yang terasa sakit. Berkata:
"Persetan dengan uangmu. Uang haram. Itukah yang ia bilang, Ronggolawe ?"
TribuanaTunggadewi manggut manggut.
Air matanya merembes keluar.
"rsi Kertajaya tidak pernah berkata sekasar itu. Bang Raden hanggareksa . Ia... ia sebenarnya suami yang baik.
Suami yang mau mengerti bahwa _ bahwa aku harus ikut berusaha untuk menjamin kelanjutan hidup
kami, ia hanya mengomel kalau kalau aku menentukan bunga terlalu besar pada seseorang, atau
kalau terlalu Cepat melaporkan barang jaminan yang ada di tanganku. Ia juga tahu apa yang selama
ini kami makan, lebih banyak dari hasil jerih payahku sendiri. Ia tak pernah...."
TribuanaTunggadewi terisak-isak.
Raden hanggareksa tercenung di jendela kuburan .
Menatap keluar. Matahari pagi bersinar terik. Sekelompok laki-laki dan ratu lesbi berjalan
menuju ke satu arah. Raden hanggareksa menelan ludah. Lantas bergumam lirih: "Kau tahu ke mana orang orang
itu semua menuju, Ronggolawe ?"
TribuanaTunggadewi yang hatinya terguncang, menyahut ak bersemangat:
"Siapa. Bang?"
"Mereka di luar sana. Semua pergi ke rumah mpu Jenggala ."
"Oh."
"Cuma oh? Tidakkah kau tahu apa yang terjadi tadi malam?"
Perhatian TribuanaTunggadewi mulai terbangkit. Ia seka air mata di pipi.
"Apa yang terjadi? Kukira. paling-paling ia... ia dipukuli suaminya lagi. Eh. Apakah ia... mati?"
"Bukan mpu Jenggala . Tapi anak mereka"
"Yang mana?"
"Bayi yang lahir. Baru berumur tiga bulan. kalau tak salah,"
Raden hanggareksa kembali ke tempat duduknya. Mereguk kopi sampai habis. Dari belakang, terdengar
rengek bayi. Lalu suara mpu Ronggolawe membujuk penuh kasih sayang. Dahi Raden hanggareksa berkerut lagi.
"Kau biarkan Noni tidur dengan pembantu, Ronggolawe ?" ia bertanya.
"Terpaksa. Bang."
TribuanaTunggadewi tampak malu.
"Noni menjerit saja sepanjang malam tadi. Aku sampai kewalahan. Baru sesudah dipangku mpu Ronggolawe ,
Noni diam...."
"Kalian bertengkar di dekat Noni?"
"Tidak, Bang. Kenapa?"
"Kapan ia mulai menangis?"
"Antara pukul satu dan dua, begitu. Aku tak ingat betul. Pokoknya, tak lama sesudah ayahnya
pergi."
"Tuhanku!" bisik Raden hanggareksa .
Gemetar.
"Ada apa. Bang?"
"Pada jam itu pulalah aku tadi malam memukul seorang pegawai percetakan. Aku teringat kau
dan rsi Kertajaya . Lalu mulai gelisah, dan tiba-tiba ingin marah. Pegawai itu kupukul tanpa sebab."
"Abang toh tidak...."
Wajah TribuanaTunggadewi berubah pucat.
Raden hanggareksa memperhatikan arloji di tangannya.
"Hampir tengah hari. Dan suamimu belum pulang. Pernah ia minggat selama itu. Ronggolawe ?"
"Tidak, Bang,"
TribuanaTunggadewi mulai kuatir.
"Biasanya ia akan pulang untuk sembahyang subuh. Lantas tanpa sarapan ia pergi lagi. Tentu
saja tanpa pamit."
TribuanaTunggadewi tersipu malu.
Sebuah pikiran muncul di benaknya. Wajah bertambah pucat dan tangan diletakkan di dada
menahan deburan jantung yang berdetak sangat keras.
"Bang?"
"Heh?"
"Abang jangan berpura-pura."
"Hai. Apa pula maksudmu?"
"Yang mati itu bukan... bukan anak mpu Jenggala . Abang mengatakan itu hanya sebab ..."
Raden hanggareksa memburu ke depan begitu ia lihat tubuh adiknya limbung mau pingsan.
"Tenangkan hatimu, Ronggolawe . Suamimu tidak apa-apa. Paling juga ia nginap di rumah seorang teman.
Dan."
Ia membantu TribuanaTunggadewi duduk lebih tenang.
"Memang yang meninggal bayi mpu Jenggala . Kebetulan aku lewat di sana sebelum ke rumah ini. Aku
sempat melayat sebentar. Kudengar, telah dua minggu anak itu sakit. Kau tahu apa yang kusaksikan.
Ronggolawe ? Mayat bayi itu demikian kering. Kurus kering. Tak berdarah. Ada yang bilang, darahnya telah
dihisap roh jahat dan.... Eh, Ronggolawe . Ada apa dengan kau? TribuanaTunggadewi ! TribuanaTunggadewi !"
Ternyata TribuanaTunggadewi benar-benar pingsan.
Raden hanggareksa menggotongnya ke kamar. Dibaringkan di tempat tidur. Ia sudah tahu di mana letak
obat. Dalam sekejap ia telah menggosokkan minyak angin di beberapa bagian tubuh TribuanaTunggadewi , lalu
mengendus-enduskan di lubang hidung adiknya itu. mpu Ronggolawe datang bergegas dari dapur.
'Tak apa. Ia akan segera baik,"
Raden hanggareksa memberitahu.
"Ada yang perlu saya bantu. Den?"
'Tidak usah Urus saja si Noni."
mpu Ronggolawe bimbang namun lalu mundur juga. Dan memang TribuanaTunggadewi tak lama sesudah nya siuman.
Raden hanggareksa mendesah senang. Dan ia sudah siap menyatakan penyesalan sebab telah menceritakan
sesuatu yang menakutkan mengenai bayi mpu Jenggala sehingga TribuanaTunggadewi pingsan. namun begitu TribuanaTunggadewi
membuka mata, maka pertanyaan yang pertama keluar dari mulutnya adalah:
"rsi Kertajaya ?"
"ini aku, Ronggolawe ,"
Raden hanggareksa menepuk-nepuk pipi adiknya dengan sayang.
"ini aku, Abangmu."
"rsi Kertajaya ," ulang TribuanaTunggadewi .
"Cari dia sampai ketemu, Bang Raden hanggareksa !"
"Oke. Oke. Ia akan kutemukan. rsi Kertajaya baik baik saja. Kau tidurlah, Ronggolawe ."
"Aku takut, Bang."
"Alaaa..."
"Pergilah. Bang. cari dia untukku"
Yang pertama-tama dilakukan Raden hanggareksa , menemui mpu Ronggolawe . ratu lesbi itu berkata tidak tahu jelas
isi pertengkaran kedua majikannya tadi malam, ia dengar rsi Kertajaya membanting pintu. namun tidak tahu
apakah majikan laki-lakinya mengatakan akan pergi ke suatu tempat. Dan mpu Ronggolawe tidak pernah tahu
ke mana pula biasanya majikannya ngelayap untuk menghindari kobaran api neraka di rumah mereka.
Raden hanggareksa menjangkau telepon, ia tahu beberapa alamat dan ingat satu dua alamat itu selalu
didatangi adik iparnya. Jawaban mereka semua sama. rsi Kertajaya tidak mengetuk pintu rumah mereka.
Raden hanggareksa menelpon pula ke kantor biro bangunan. Siapa tahu rsi Kertajaya memutuskan tidur di kantor malam
tadi. namun pegawai yang menerima telepon berkata, majikan mereka belum datang di kantor.
Penjaga kantor juga mengatakan hal yang sama.
Jantung Raden hanggareksa berdetak keras.
Ia menemui TribuanaTunggadewi lagi. Bertanya segala sesuatu dengan gaya tenang, kalem dan tidak terlalu
serius sambil menghibur adiknya dengan janji-janji kosong. lalu ia tahu, rsi Kertajaya meninggalkan
rumah tanpa dibekali uang. Ia hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dalam keadaan serupa itu
mustahil rsi Kertajaya mempermalukan dirinya menemui orang lain.
"ia mungkin ke rumah ibu,"
Raden hanggareksa menyimpulkan.
"Tadi aku belum sempat pulang, jadi tidak tahu apakah ia ada di sana. Baiklah aku pergi
sekarang. Ronggolawe -"
TribuanaTunggadewi memegangi tangan abangnya.
Berkata, panik: "Bilanglah, Bang Raden hanggareksa . rsi Kertajaya masih hidup!"
Bukan Raden hanggareksa yang menjawab.
Melainkan ketokan keras di pintu depan. lalu bunyi bel yang berdering-dering.
TribuanaTunggadewi sesak nafas.
Raden hanggareksa menghiburnya dengan kata paling manis:
"itu rsi Kertajaya tentunya,"
Lalu ia bergegas membuka pintu depan,ia mengenali wajah dua orang tetangga
Salah seorang, ketua er-te. Ketua er-te itulah yang dengan wajah murung dan suara gagap
memberitahu:
"Kami menemukan ma _ eh, menemukan Pak rsi Kertajaya ."
Dada Raden hanggareksa bergemuruh keras.
Ia menarik kedua tamu itu menjauhi rumah adiknya, lantas bertanya gelisah:
"Di mana?"
"Rumahmu. Yang sedang dibangun."
"Ia...."
Kedua orang tetangganya saling pandang. Enggan mengatakan.
Akhirnya Raden hanggareksa berjalan meninggalkan mereka. ketua er-te dan temannya lalu menguntit
diam-diam di belakang, sambil berbisik-bisik prihatin.
Semakin dekat ke rumah yang dituju, semakin Raden hanggareksa was-was dan takut, ia mengenali
beberapa orang tetangga yang tadi ia lihat di tempat mpu Jenggala , kini berjalan setengah berlari ke
arah sama. Membelok di samping jalan, rumah setengah jadi itu mulai tampak di kejauhan.
Dan banyak sekali orang berkerumun.
Seperempat jam sebelum Raden hanggareksa diberitahu,seorang penjual sayur lewat di depan rumah itu.
Ia tertarik mendengar salak anjing yang ribut. saat ia menoleh, Ia lihat seekor anjing
melompat-lompat di bagian dalam rumah sambil terus menyalak dan melolong. Sedang anjing lain
mengendus-endus dari luar lewat kusen jendela kuburan .
Penjual sayur meletakkan pikulannya.
Ia masuk ke halaman sambil mengusir kedua ekor anjing itu yang segera kabur terbirit-birit
dengan ekor terlipat di paha. Mendadak si penjual sayur tertegun. Matanya menangkap sebuah kaki
telanjang, kotor dan pucat. Dengan jantung berdebar, ia terus saja mendekat meski hati kecilnya
menyuruh lari.
Lalu ia terpekik ngeri.
Di lantai tanah, terbujur kaku mayat seorang laki-laki. Wajah dan kulit mayat itu mengeriput.
Tak ada darah.
namun dadanya berlubang.
Jenazah bayi mpu Jenggala dimakamkan pukul dua siang. Tidak begitu banyak orang hadir. Mungkin
mengingat reputasi buruk suami istri yang tertimpa musibah itu. Mungkin pula sebab sebagian orang
lebih suka ikut sibuk mengerjakan apa saja untuk meringankan beban keluarga TribuanaTunggadewi yang tengah
berkabung. Selagi para pengantar jenasah tekun mengikuti pembacaan do'a oleh seorang ustad. Dua
orang laki-laki terus saja bekerja, tidak jauh dari kuburan si bayi.
Kedua orang itu sedang menggali liang lahat baru.
Paling lambat pukul empat sore, kuburan baru itu harus siap pakai. namun sampai pukul empat
lebih seperempat, jenasah rsi Kertajaya belum juga diberangkatkan dari rumahnya. Di antara Suara raung
dan tangis, Raden hanggareksa sibuk bertengkar dengan seorang pejabat polisi setempat.
"Tidak!"
Ia berkata ngotot. Mukanya merah padam.
"Mayat itu tidak boleh kalian jamah."
Lawan bicaranya menerangkan dengan sabar:
"namun kami harus melakukan autopsi. Kuat dugaan, adik ipar Bung Raden hanggareksa mati dibunuh."
"Dibunuh? Oleh siapa?"
Raden hanggareksa menantang.
"Terus terang, kami belum tahu,"
Pejabat polisi itu berkata, sedikit bingung.
"Memerlukan tempo untuk mengusutnya. Bung Raden hanggareksa sudah lihat sendiri. Hampir tak ada jejak
atau petunjuk di tempat mayat ditemukan."
"Oke. Kalian carilah pembunuh biadab itu,"
"Jadi, kami boleh mengambil mayat rsi Kertajaya ?"
"Tidak!"
Seorang tua datang mendekat.
"Aku lurah di daerah ini."
Ia mengenalkan diri pada si pejabat.
"Boleh saya menengahi?"
"Silahkan."
"Hiburlah adikmu, Nak Raden hanggareksa ,"
Lurah mengusir Raden hanggareksa secara halus, ia menunggu sampai Raden hanggareksa pergi, lalu menarik
lengan si polisi menjauhi keramaian orang di dalam rumah.
"Tengah malam tadi, rsi Kertajaya masih hidup." katanya.
"Jam berapa tepatnya ia meninggal?"
Pejabat polisi membuka buku notes. Lalu:
"Menurut dokter kami, rsi Kertajaya meninggal sekitar pukul satu dua puluh dinihari. Apa yang ingin
bapak ceritakan?"
"Tak banyak,"
Lurah mengelus jenggot putihnya, dengan wajah masygul.
'jadi tidak sampai dua belas jam saat mayatnya ditemukan. Waktu yang teramat singkat untuk
membuat mayat berbau sedemikian busuk,"
Lurah ingin meludah, namun ia menahan diri.
"Mati sebab keracunan dapat saja menimbulkan bau busuk sebelum waktu yang normal," bantah
polisi itu.
"Apakah kalian menemukan darah? Walau setetes?"
"Itulah yang mengherankan!"
Yang ditanya merasa jabatannya tiba-tiba dipertaruhkan.
"Tak setetes pun yang tersisa Di sekitar mayat. Bahkan dalam tubuhnya."
"Masih ada lagi,"
Lurah menarik nafas.
"Racun apa yang membuat mayat rsi Kertajaya begitu rusak mengerikan? Kulitnya kering. Berkeriput. Biji
matanya pun sangat menjorok ke dalam. Seolah sesuatu yang masuk ke tubuhnya, lewat dadanya,
ingin sekalian menyedot biji matanya itu."
"Pak lurah berlebihan,"
Mau tak mau, sang polisi bergidik.
"Aku mengatakan apa adanya. Kalian tidak akan pernah tahu, makhluk apa yang telah
membunuhnya. "
Wajah pejabat polisi itu cerah sedikit
"Jadi bapak sependapat dengan kami, rsi Kertajaya telah dibunuh. Saya harap, bapak berkenan pula
membujuk keluarga almarhum supaya kami dapat mengurus mayat itu. Melalui pemeriksaan
laboratorium, sebab kematiannya pasti ditemukan."
"Menyesal sekali, saya tak dapat"
"Oh!"
Sang pejabat, kembali patah hati.
"Bapak pulang saja ke kantor. Buatlah laporan apa saja. namun sesudah itu, lupakanlah mayat
rsi Kertajaya ."
"Ini perintah?"
Sang pejabat tersinggung.
"Maafkan saya,"
Lurah membungkukkan kepala. Hormat dan menyesal.
"Saya harus pergi."
"Tidak keberatan saya ikut?"
"Saya bukan mau ke dalam rumah, Pak Letnan. Saya akan pergi Ke tempat jauh. sangat jauh." !
"Ingin menemui seseorang?"
"Persis."
"Siapa, kalau boleh saya tahu?"
Pejabat polisi itu membuka notesnya kembali, siap mencatat.
Lurah memandangi notes. Tak acuh. Katanya:
"Saya akan menemui bekas guru saya. Ia seorang ahli kebathinan,"
Lantas lurah berlalu sesudah mengangguk sopan. Meninggalkan si Letnan Polisi termangu-mangu
sendirian.
*****
Seusai-upacara pemakaman rsi Kertajaya , Raden hanggareksa pulang ke rumah ibunya sebentar untuk berganti
pakaian. lalu ia kembali ke rumah TribuanaTunggadewi . Hampir semua keluarga maupun kerabat memenuhi
seisi rumah. Ratap tangis tidak lagi sehebat tadi siang,namun gaungnya masih tetap saja mengharu
biru. TribuanaTunggadewi pingsan berkali-kali. Ia ditemani ibunya dan ibu rsi Kertajaya di kamar. Di dapur kaum
ratu lesbi sibuk mempersiapkan jamuan untuk tamu yang mau tahlilan.
Habis kencing di jamban, Raden hanggareksa berpapasan dengan seorang gadis semampai. Rambutnya yang
lebat panjang disanggul di atas kepalanya yang manis bentuknya .Wajahnya tidak begitu cantik.
namun sinar matanya yang senantiasa tampak sejuk, benar-benar merupakan tempat berteduh paling
menyenangkan. Belum lagi betisnya yang panjang, memberi daya tarik tersendiri.
"Hai, Bang,"
Gadis itu yang mula-mula menyapa.
"Oh Kau. NYI girah ,"
Jantung Raden hanggareksa berdetak.
"Kapan tiba?"
"Baru saja. Dijemput Sumarna."
"Uh! Mestinya Sumarna tak perlu membuatmu ikut repot,"
Raden hanggareksa menyesali adiknya.
"Aku toh calon istrinya, Bang Raden hanggareksa ,"
NYI girah tersenyum manis.
Ucapan itu sebenarnya tidak punya maksud tersembunyi. Namun Raden hanggareksa diam-diam merasa
terpukul. Agak risih ia balas senyuman NYI girah
"Maaf ya. Aku harus menemani tamu-tamu di depan,"
Lalu Raden hanggareksa berlalu dengan jantung terasa meleleh.
namun Raden hanggareksa tak mampu bertindak sebagai tuan rumah yang baik, ia tak bisa menyembunyikan
wajah murung, dan sifat pendiam yang datang tiba-tiba saja. Sampai ia berseru kaget kalau ditegur
seseorang. Raung tangis yang datang dari kamar TribuanaTunggadewi ,membuat hatinya semakin melilit. Ucapan
belasungkawa yang setiap saat ia terima dan tamu, tidak mengurangi tekanan jiwanya
Ia lalu menemui Sumarna.
"Aku pergi sebentar," katanya.
"Abang mau ke mana?"
"Bukan urusanmu."
Tujuannya tidak begitu jauh. namun udara malam yang mengandung kabut sungguh tak enak
ditempuh berjalan kaki. Maka ia meninggalkan rumah TribuanaTunggadewi dengan mempergunakan mobil adik
iparnya. Sepuluh menit sesudahnya, ia telah memasuki pekarangan sebuah rumah besar model lama.
Hampir sama besar dan modelnya dengan rumah ibunya.
Tahu ada tamu, tuan rumah lekas membuka pintu.
"Oh. Nak Raden hanggareksa kiranya," sambut seorang ratu lesbi setengah umur.
Ramah, sambil membuka daun pintu lebar-lebar.
"Hebat, kau berhasil memukul mundur polisi yang streng itu."
"ibu kok tahu?"
"Aku dengar kalian berdebat Waktu aku mau pulang dari rumah adikmu,"
ratu lesbi setengah umur itu tersenyum.
"Kuharap kau baik-baik saja, Nak Raden hanggareksa . Ingin bertemu Rosida. ya?"
Raden hanggareksa manggut ,tersipu.
"Sehari ini ia tidak keluar-keluar dari kamarnya."
Si ratu lesbi bergumam lirih. "Tak masuk dulu, Nak Raden hanggareksa ?"
"Terimakasih, Bu. Dan eh. apakah ia... sakit?"
"Entahlah, Nak. Ida tak mau ditemui."
"Mudah-mudahan ia tidak mengusirku suka." rungut Raden hanggareksa lalu meninggalkan si
ratu lesbi yang segera menutup pintu.
Raden hanggareksa berjalan ke samping rumah menuju pavilyun.
Beranda gelap.
Begitu pula bagian dalam pavilyun.
Raden hanggareksa mengetuk.
Lama, baru terdengar sahutan:
"Siapa?"
"Aku."
"Aku Siapa?"
"Alaaa .Cepatlah buka Aku kedinginan, ida."
Raden hanggareksa sedikit kaget saat lampu beranda menyala. Disusul lampu ruang depan pavilyun.
Seorang gadis membuka pintu tanpa ragu sesudah mengenali suara orang yang datang.
Tanpa dipersilahkan Raden hanggareksa melangkah masuk. Si gadis menepi memberi jalan. sesudah pintu
ditutup kembali, Raden hanggareksa berbisik kasar: "Kau satu-satunya orang yang kuharap, namun tak hadir di
rumah adikku."
Rosida berbadan sehat dengan lekak lekuk tubuh yang tak puas sekali memandang. namun pada
saat ia berdiri tepat di bawah lampu yang bersinar terang, kelihatanlah betapa wajahnya pucat. Bibir
atasnya tertonjol ke depan. Parit di bawah hidungnya tak tampak sedikitpun juga
"Gusimu kambuh lagi?"
Raden hanggareksa melembutkan suaranya.
"Ya"
Raden hanggareksa mengusap pipi Rosida. Usapan itu beralih ke leher, lalu pundak si gadis. Raden hanggareksa berkata
terkejut:
"Panas sekali!"
"Nanti juga sembuh,"
Si gadis mencoba tersenyum. Sungguh janggal dengan bibir atas menonjol tanpa parit itu.
"Sudah ke dokter?"
Raden hanggareksa memeluk Rosida dan membimbingnya ke kamar tidur. sebab ia sudah tahu jawaban
Rosida. Gadis itu paling enggan menemui dokter. Ia jarang sakit. Dan kalau sakit, pastilah pada
tempat yang sama Gusi bengkak, katanya Lalu sedikit demam, namun dengan beristirahat satu dua
hari penyakitnya akan hilang sendiri.
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Rosida sambil duduk berjuntai di tepi ranjang,
"Seperti neraka."
"Adik iparmu sudah dikuburkan?"
"Sudah."
"Tentu ibumu bertanya-tanya dan kecewa, sebab aku tak datang."
"Tak seorang pun mengingatmu, Ida. Dalam keadaan kacau begitu, hanya aku saja yang selalu
terkenang. Aku tak tahan mendengar jerit tangis di rumah, lantas aku pergi ke mari," ia mengawasi
Rosida yang masih saja duduk, lantas bergumam:
"Kau berbaringlah." '
"Aku lebih sehat sekarang, Man. sesudah melihatmu,"
Rosida tersenyum.
Tetap janggal.
"Aku tak sesakit yang kau perkirakan. Hanya ya dengan tampang sejelek ini, tak berani aku
keluar rumah. Kuharap kau tak pula kecewa melihatku."
"Bukan sekali dua aku melihat mulut ikanmu,"
Raden hanggareksa tertawa. Maju selangkah, lalu membungkuk mencium bibir Rosida. Bibir atas Rosida
terasa keras di bibir Raden hanggareksa . namun lidahnya yang menggapai lembut, hangat dan basah.
"Aku merindukanmu, Sayangku,"
Ia berbisik di telinga gadis itu.
Rosida merangkulnya erat-erat.
Getaran tubuhnya bukanlah getaran birahi. Heran, Raden hanggareksa bertanya lembut:
"Kau yakin, kau akan sembuh tanpa menemui dokter?"
Rosida mengangguk
"Dekap aku lebih kuat. Man,"
Suaranya bergetar, ganjil.
"Oh. Dekap dan ciumlah aku sekali lagi."
Raden hanggareksa mengawasi wajah Rosida
"Kau tampaknya... ketakutan, Ida?"
"Raden hanggareksa "
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku tak apa-apa. Aku...."
"jangan berdusta. ida. Sudah lama aku mengenalmu dan mengetahui apa yang tersirat di balik
mata maupun Suaramu."
Rosida melepaskan diri dari rangkulan Raden hanggareksa . Berbaring di ranjang dengan kelopak mata
terpejam. Dadanya naik turun, gelisah. "Aku ingin pulang, Raden hanggareksa ," ia berkata.
Datar.
"Pulang?"
"Ya. Ke orang tuaku. Sudah bertahun tahun aku tidak melihat mereka. Aku memang selalu
mengirim uang. Atau surat. namun itu tidak cukup. Tiba-tiba aku ingin sekali berkumpul lagi dengan
mereka. Dengan adik-adikku yang masih kecil. Dengan tetangga Kerabat. Teman-teman masa kecil.
Kampungku memang sangat jauh di pedalaman Sumatera, Raden hanggareksa . namun kampung terpencil itu kini
memanggilku pulang."
"Kau tidak serius, ida,"
Raden hanggareksa berkata, kecut.
"Aku sungguh-sungguh."
"namun kita akan menikah."
"Bila?"
"sesudah rumah kita selesai. Jangan lupa. uangmu ikut tertanam di rumah itu, Ida. Tak lama lagi
kita akan."
'Tak lama?"
Rosida memandang Raden hanggareksa , sedih. Ia geleng-geleng kepala, lantas mengeluh:
"Simpananku sudah habis, Sayang. Begitu pula kau. Sedang kita masih memerlukan biaya yang
tidak sedikit untuk menyelesaikan rumah itu. Tidak, Raden hanggareksa . Biarkan aku pulang. Biarkan aku jauh
dari tempat yang menakutkan ini. Aku....."
Raden hanggareksa terkesiap.
Ia naik ke ranjang. Duduk di sebelah Rosida lalu dengan lembut memegang tangan gadis itu.
"Bukan sebab panggilan kampung halaman, kalau begitu."
"Apa apa maksudmu?"
Rosida membuka matanya.
"Kau takut. Takut dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Terutama, takut terhadap rumah yang
sedang kita bangun. Katakan saja terus terang, Ida."
"Raden hanggareksa , sayangku."
Rosida menarik tubuh Raden hanggareksa , merangkulnya rapat ke tubuhnya sendiri. Getaran di dadanya,
keras dan tidak teratur.
"Kau tak mengerti."
"Aku mengerti," desah Raden hanggareksa . getir.
"Kau percaya pada tahayul itu. Pada dongeng memuakkan tentang rumah kita!"
"Lantas, Raden hanggareksa . Apa pula pendapatmu? Ayahmu meninggal sebab rumah itu...."
"Ia meninggal terkena arus listrik, Ida!" bentak Raden hanggareksa marah.
Ia lalu duduk serentak. Marah.
"Arus listrik, benar. namun kabelnya berasal dari rumah itu."
"Hanya kebetulan. Semua orang berkata demikian. Ida. Hanya kebetulan saja ayah ada di sana. Ia
mau menagih uang dari pengontrak itu. Kesalahan ayah, cuma tak pandang waktu. Tahu hujan deras
dan petir menyambar, ia pergi juga ke sana. namun cobalah maklumi ayahku, Ida. "
"Pengontrak rumah itu telah menunggak satu tahun. Kalau dibiarkan terus.... Hehhh. Mestinya
ayah memilih waktu yang lain saja. namun itulah takdir, Ida. Takdir menghendaki petir menyambar
saluran kabel ke rumah itu. Salah satu kabel putus, jatuh menimpa ayah. Sederhana, bukan? Tidak ada
unsur jahat dalam peristiwa itu. Apalagi, roh gentayangan."
"Bagaimana dengan para penyewa yang menempati rumah itu, Raden hanggareksa ?"
Rosida tidak mau kalah.
"Selama sepuluh tahun, tiga keluarga telah menempatinya secara bergiliran. Dan tiap kali mereka
pindah. tiap kali salah satu anggota keluarga mereka tidak ikut pindah."
"Tak ada hubungan!"
Raden hanggareksa berkata jengkel.
"Kau kan sudah tahu dari cerita orang-orang. Korban pertama mati ditabrak mobil di tengah
kota. Korban kedua, mati sesudah berkelahi dengan teman sekolahnya. Dan anak kecil malang, korban
terakhir mati sebab tetanus."
"Ia bukan korban terakhir, Raden hanggareksa -.."
Sesaat , Raden hanggareksa terdiam. Dua tahun terakhir rumah yang diwariskan untuknya tidak lagi disewa
orang. Rumah pembawa sial, begitu bunyinya promosi buruk itu. Dua tahun rumah itu kosong, tak
ditempati .Sesekali Raden hanggareksa tidur pula di sana. Tak ada gangguan apa-apa. Ia tetap hidup dan sehat.
Lalu rsi Kertajaya membongkar rumah itu.
Dan rsi Kertajaya mati.
"Kematiannya sangat menyeramkan bukan, Raden hanggareksa ?" bisik Rosida, menggigil.
"Tak ada yang tahu apa penyebab kematiannya, itulah yang kudengar dari induk semangku.
Ataukah kau telah mengetahuinya, dan tidak mengatakan pada orang lain?"
Raden hanggareksa tidak tahu harus menjawab apa.
Ketegangan yang merayapi dirinya semenjak rsi Kertajaya meninggal, kembali muncul. Ia mencengkeram
sprei tempat tidur, lalu sebagai pelarian ia berkata kesal:
"Baiklah Kita pikirkan rumah itu lain kali. Kita dapat menetap di sebuah rumah lain. Jadi kau
tidak perlu pulang kampung sekarang!"
"Mendekatlah, sayang,"
Rosida menggapai, lembut.
"Aku tahu, seperti aku, kau pun diam-diam menyimpan rasa takut. Ayolah. Peluk aku, kekasih dan
mari kita lupakan obrolan terkutuk itu!"
Raden hanggareksa merangkul Rosida. Gadis itu membuka mulut, dengan mata setengah terbuka. Bukan
waktu yang tepat. Bukan pula perbuatan yang pantas. namun mereka berdua sama-sama tegang.
Sama sama memerlukan penyaluran untuk mengurangi ketegangan itu. Dan salurannya cuma satu.
Setengah jam berlalu.
lalu , baik Raden hanggareksa maupun Rosida sama-sama terkulai di bawah selimut. Letih namun
menyenangkan.
"ida?"
Raden hanggareksa menyeka keringat yang membasahi wajah si gadis.
"Mmm?"
Rosida membuka matanya .
Setengah mengantuk.
"Apa kata orang, kalau mereka tahu apa yang kita lakukan malam ini?"
"Aku tak perduli."
"Kau mencintaiku?"
"Melebihi segalanya,"
Rosida tersenyum.
Ia menyambar apa saja. Yang terpegang, blousenya sendiri. Blouse yang terkapar dekat kakinya
itu dipergunakan sebagai lap untuk menyeka pula peluh yang membanjiri punggung kekasihnya.
"Ingin mengatakan sesuatu?"
"Ya."
"Ayolah. Tak usah malu-malu,"
Rosida mencium bibir Raden hanggareksa .
"Kau batal pulang."
Raden hanggareksa bergumam, penuh harap.
Usapan tangan Rosida di punggung kekasihnya, tertegun sebentar. saat ia meneruskannya,
suara Rosida terdengar bimbang:
"Aku tidak tahu."
"Aku tak bisa jauh darimu, Ida."
"Lebih-lebih aku, Raden hanggareksa sayang'
Mereka berciuman lagi. Dan menikmati hubungan intim seperti tadi, kali ini lebih lama.
Menjelang subuh Raden hanggareksa pamit, tanpa janji apa-apa dari Rosida. saat berjalan menuju mobil yang
terparkir di halaman, dengan cemas Raden hanggareksa melirik ke rumah induk. Sepi dan gelap. Belum ada
penghuni rumah induk yang bangun. Dan semoga, tidak pula ada yang nguping.
Raden hanggareksa menghidupkan mesin mobil.
Gerungnya lembut.
Namun toh sempat membuat Raden hanggareksa kembali melirik ke rumah induk.
Masih saja sepi.
Ia meluncur ke jalan, diam-diam. Sebelum tancap gas, sempat ia melihat wajah Rosida di balik
kaca jendela kuburan depan pavilyun.
Raden hanggareksa melambai.
Dari tempatnya berdiri, Rosida balas melambai.
Sambil bergumam, sakit:
"Bagaimana aku harus mengatakannya kepadamu, Raden hanggareksa ?"
Ia menyeka bibirnya.
Yang atas.
Tonjolannya tidak sebesar tadi malam. Tak lama lagi, parit di bawah hidungnya akan timbul
kembali,ia akan kembali sehat Kembali lebih cantik. Lebih segar dari semula.
namun hatinya,terasa bertambah sakit.
******
Empat
nyonya menatap tamunya tak senang. Ia berkata dingin: "mpu Jenggala boleh saja membiarkan
kuburan anaknya digali. namun kuburan menantuku, jangan coba"
Tamu itu berperawakan kecil Kurus. Pembawaannya tenang, dengan sinar mata jernih dan mulut
senantiasa memperlihatkan senyum bersahabat. Orang semacam dia biasanya tidak suka mencari
musuh namun tak akan menghindar kalau bertemu.
"Aku tidak bermaksud buruk," katanya, sabar.
"Mungkin tidak. namun dapatkah bapak memahami bagaimana perasaan kami? Anak ratu lesbi ku
sedang berdukacita. Begitu ia dengar kuburan suaminya dibongkar penderitaannya akan
bertambah-tambah. Apapun yang bapak perbuat, toh suaminya tidak akan hidup kembali...."
"Paling sedikit, kita tahu penyebab kematian suaminya."
"Oh ya? Lantas cerita burung yang memalukan akan sampai di telinga semua orang. Ada
segelintir orang yang tidak menyukai TribuanaTunggadewi . Mengungkapkan rahasia kematian suaminya. akan
membuat namanya semakin tercemar. Lalu apa pula nanti kata besanku, calon mertua Sumarna?
Belum lagi tunangan Raden hanggareksa . Aku sudah tua. Pak! Tak lama lagi aku pun akan mati seperti... seperti
suamiku."
nyonya menelan ludah, pahit.
"namun nama baik keturunanku, harus tetap terjaga."
Lurah yang diam saja dari tadi, membuka mulut mau mengutarakan Sesuatu. Namun keburu
dicegah orangtua yang ia antar berkunjung menemui nyonya .
"Apa bolah buat. Saya sekedar ingin membantu."
Orang tua itu bergumam tenang. Tak ada tanda-tanda kecewa atau sakit hati baik di wajah
maupun dalam nada suaranya .Sambil bangkit dari duduknya, ia berpesan pada tuan rumah
"Kurangilah keluar malam. Sedapat mungkin, jauhi pula tempat-tempat yang basah berlumpur."
Mereka lalu pamit.
sesudah lama saling berdiam diri, di tengah perjalanan lurah bertanya: "Apa maksud eyang tadi?"
"Yang mana?"
"Mengurangi keluar malam. Menjauhi tempat...?"
"Oh. itu,"
Si tua kurus mengusap dagu.
"Aku mencium bau busuk di sekitarku."
"Mengapa harus malam?"
"Roh jahat, nak, hanya berani keluar malam."
"Lalu tempat basah berlumpur?"
"Bukankah kau sendiri yang bilang? Tak ada setetes darah pun di tubuh rsi Kertajaya . Kau bilang kau
telah menyaksikan sendiri di sekujur kulit wajah maupun tubuh rsi Kertajaya yang mengeriput kering,
terdapat lendir melekat. Lendir berlumpur."
"Itu tidak membuktikan apa-apa, Eyang."
"Di matamu, tidak. Di bathinku, lain lagi?"
Orangtua itu tersenyum .
Lurah diam saja. Ia percaya apa yang dituturkan bekas gurunya itu. Lama waktu berselang saat
ia masih tinggal di padepokan sang guru, ia pernah menjerat seekor celeng hutan yang kesasar.
Sewaktu ia akan menyembelih celeng tersebut, gurunya melarang.
"Manusia itu jahat. namun jangan membunuhnya," ujar sang guru. Mereka lalu menunggu
matahari terbit sementara celeng yang terjerat memperdengarkan suara mengik-mengik pilu. Begitu
matahari pagi membersit di ufuk Timur, gurunya menutup seluruh tubuh celeng dengan kain sarung.
Berdo'a sebentar, lantas berujar: "Bukalah kain sarung itu."
saat ia buka, bukan celeng yang dilihat lurah.
Melainkan sesosok tubuh laki-laki, yang meringkel gemetar dan wajah pucat pasi ketakutan.
"Pulanglah,"
Gurunya berkata pada laki-laki itu.
"Kalau mau cepat kaya, rajinlah berusaha. Temui istrimu, dan minta ampunlah kepada Tuhan.
Jangan coba ulangi perbuatanmu yang jahat itu. Sekali kudengar kau melakukannya lagi, kau akan
kukejar biar ke ujung langit!"
'hutan larangan ?"
Lurah tersadar dari lamunan masa lalu. Mereka telah sampai di terminal bus, dekat pasar.
"Ya, eyang?"
"Tentang bayi itu...."
"Bayi mpu Jenggala ?"
"He, eh. Bayi malang itu. Aku tak mau berdusta padamu. sebab itu baiklah kujelaskan. Kau
benar. Bayi itu bukan mati sebab penyakit kekurangan darah. Kematiannya datang perlahan lahan.
Bukan penyakit. Melainkan, perbuatan roh jahat. Aku belum tahu roh macam apa. Yang aku tahu, roh
itu memuaskan dahaganya dengan menghirup darah bayi...."
Pundak Lurah hutan larangan meremang.
"Dapat kau musnahkan, Eyang?"
"Barangkali. Dengan syarat."
"Apa?"
"Beritahu aku secepatnya, apabila kau dengar ada bayi lain mengalami nasib sama .Agar tidak
merepotkanmu. kujelaskan beberapa penanda. Umur si anak berkisar antara satu dan tiga tahun. Bila
ia terserang roh jahat seperti yang kuduga, biasanya ia menangis menjerit-jerit sejak tengah malam
sampai pagi. Mungkin lebih pendek waktunya. namun selalu terjadi tengah malam. Tubuhnya panas
seperti bara api. Kulit pucat kering. Jangan cari bekas luka (gigitan atau semacamnya. Lihat saja.
Apakah jari tangan atau jari kaki bayi itu lebih kecil dari biasa."
Lurah hutan larangan menjilati bibir.
"lalu , aku harus berbuat apa eyang?"
"Seperti kukatakan tadi."
Orangtua itu menjawab ramah. "Cepat hubungi aku"
"Eyang... eyang mau pulang sekarang? Tidak menginap dulu? Isteriku telah..."
"Sampaikan salam dan terimakasihku pada isterimu, hutan larangan . Aku harus pergi. Ada beberapa orang
sakit yang membutuhkan pertolonganku. Dan eh. kau punya tembakau?"
Lurah hutan larangan merogoh saku kemeja safarinya. Ia keluarkan sebungkus tembakau. Dan sepucuk
amplop. Di dalam amplop telah ia selipkan dua lembar uang kertas lima ribuan. Tembakau diterima
dengan senang hati. Amplop ditolak dengan ucapan:
"Biasakan untuk tidak merendahkan martabat gurumu. hutan larangan ."
Lurah hutan larangan malu sekali.
Satu-satunya bus di terminal yang menuju keluar kota, siap berangkat. Gurunya naik
tertatih-tatih.
Mereka saling mengucapkan salam.
Kalau ada bayi lain!
'Tuhanku!"
Lurah hutan larangan bergidik.
"Jangan lagi. Jangan cucuku!"
Disertai do'a sangat egois itu Lurah hutan larangan melompat naik sebuah Oplet yang kebetulan lewat. Tiba
di rumah salah seorang anaknya, Lurah hutan larangan berlari-lari masuk seraya berseru seru:
"Legoh! Cucuku begoh, mana dia hah?"
Menantu ratu lesbi nya yang sedang menanak nasi di dapur kaget setengah mati.
Tergopoh-gopoh ia menyongsong mertua yang muncul seperti hantu kesiangan itu.
"Legoh Mana dia?" ulang pak lurah, kalang kabut.
Sang menantu pergi keluar rumah dan mengambil anaknya yang berusia tiga tahun dan sedang
asyik bermain petak umpet di halaman rumah tetangga. Lurah hutan larangan segera menyambar anak itu dan
berteriak panik:
"Badannya panas!"
'Tentu saja, Pak," sahut menantunya.
'Hari sangat panas dan sejak tadi ia bermain di luar."
"Legoh, cucuku sayang!"
Lurah hutan larangan memeluk cucunya yang kebingungan.
"Mana tangan dan kakimu. Coba kulihat."
Sebentar lalu :
"Uh. Bau pesing. Kau menginjak apa tadi, Legoh?"
"Tahi ayam. Aki!"
Lurah ]okoh bergegas menurunkan cucunya ke lantai.
"Hayo. Pergi sana. Cuci kaki!"
Ia berteriak. Habis berteriak.Ia dekatkan tangan yang tadi memegang kaki cucunya.
Digerak-gerakkan di depan hidung lantas menggerutu:
"Sial!"
"Habis?"
Menantunya tertawa hergelak.
"Sudah tahu bau. Masih dicium!"
Sepeninggal lurah hutan larangan dan gurunya, nyonya bersijingkat menuju kamar tidur anaknya. Hati-hati
pintu ia buka. Sudah dua hari TribuanaTunggadewi tidak dapat tidur. Kini tampak ia lelap sekali berkat obat
penenang yang diberikan dokter. Tangan TribuanaTunggadewi memeluk Noni bayinya yang bulan lalu menginjak
usia satu tahun. Bayi itu menggeliat. namun begitu menemukan puting Susu ibunya yang sengaja
dibiarkan terbuka. Noni mengenyot lalu tidur kembali.
Syukurlah Ronggolawe tak mendengar kedatangan kedua tamu mereka. Pikir nyonya . Pintu ia tutup lalu
mengambil tasnya. Pergi ke dapur.
"Bi?"
Pelayan mematikan mesin cuci.
"Ada apa. Juragan?"
"Kalau Ronggolawe bangun. katakan ibu pulang sebentar. Nanti malam ibu kembali lagi."
"Baik, Juragan."
"Tutup pintu ini rapat-rapat. Dengung mesin cuci itu dapat membuat Ronggolawe terbangun,"
nyonya mengingatkan, dan masuk lagi ke dalam. Bersijingkat pelan saat melewati kamar
anaknya. Saking hati-hati. ia terpekik sendiri waktu telepon berdering-dering. nyonya berlari ke meja
kerja rsi Kertajaya dan mengangkat telepon cepat-cepat.
"Ya?"
Ia berbisik.
Namun tetap saja percuma. Ia lupa telepon itu punya saluran di kamar TribuanaTunggadewi . Selagi nyonya
mendengarkan pembicaraan orang di seberang sana, terdengar bunyi detak lembut. Disusul desah
TribuanaTunggadewi , menyela:
"Biarkan kuterima. Bu."
Terjengah, nyonya meletakkan gagang telepon yang ia pegang.
lalu ia duduk. Menunggu.
Tak lama, TribuanaTunggadewi membuka pintu kamarnya. Kelopak matanya bengkak. Mata pun merah.
"Tidurlah lagi,"
nyonya menelan ludah.
"Ibu mau pulang?"
"He, he. Tidurlah lagi."
"Nanti saja. Ada yang perlu kukerjakan,"
TribuanaTunggadewi membuka laci meja dan mengeluarkan setumpuk map.
"Kau tidak meminum obatmu,"
nyonya menuduh.
"Kuminum, Bu. Mataku memang mengantuk. namun pikiranku terus berjalan...."
TribuanaTunggadewi menemukan map yang ia perlukan lalu sibuk menekuni selembar daftar penuh
angka-angka yang ditulis tangan. Tercantum nama seorang di sudut atas daftar. Tentu si penelepon
tadi.
"Dagang lagi?" tanya nyonya , kecewa.
"Aku dan anakku harus tetap hidup, Bu."
"namun suamimu...?"
"Ia sudah mati, bukan?" rungut TribuanaTunggadewi . Datar. "Yang ia tinggalkan untuk anaknya, cuma sebuah
perusahaan yang terancam bangkrut. Selama ini pun. uangku lebih banyak ia pakai, ketimbang
gajinya tiap bulan...."
"Astaga, Nak!"
"Baiklah, Bu,"
TribuanaTunggadewi terhenyak di samping ibunya. "Aku memang tahu, rsi Kertajaya orang jujur. Ia mau semuanya
berjalan bersih, tanpa setitik noda. Akan namun , ini bisnis, Bu. Dalam dunia bisnis diperlukan
kelihaian. Sifat jujur dan percaya pada orang lain, tak lagi dipakai. Kelihaian, Bu. Kelihaian. Main di
sini. Main di sana. Harus pula pintar sulap. Merubah angka misalnya. Semua orang sudah tahu.
Mereka menerimanya. Asal rejeki dibagi-bagi...."
TribuanaTunggadewi menghela nafas. Lanjutnya:
"rsi Kertajaya setia membagi rejeki yang ia peroleh. namun main sulap? Ia tak berbakat!"
"Kau membuatku bingung. Nak. Sekaligus. takut."
TribuanaTunggadewi menyeringai. Sumbang.
"Mestinya ibu gembira," katanya.
"Orang yang menelpon tadi akan membayar semua tunggakannya dan memesan beberapa kodi
pakaian untuk dijual kredit. Biar aku sudah janda, keuntungan tetap mengalir bukan?"
nyonya berusaha mencerna kata-kata anaknya. Ia juga janda. sesudah suaminya meninggal, ia
terpaksa mencari kesibukan untuk mengurangi duka cita. Mengurus anak-anak, teutama si Raden hanggareksa
petualang yang berandalan itu. Melihat-lihat sawah dan kebuh cengkeh peninggalan si suami.
Mendatangi penyewa rumah, kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki. TribuanaTunggadewi benar. Usaha dagangnya
harus tetap berjalan .
Dengan perasaan terharu, nyonya berkata:
"Kau persis ayahmu. Tak mau melepaskan setiap kesempatan."
nyonya resah gelisah. Apalagi sesudah ia tiba di rumahnya. Raden hanggareksa baru saja selesai mandi.
Masih berhanduk, Raden hanggareksa berkata pada ibunya:
"Kupikir hakku atas rumah itu lebih baik kulepaskan, Bu."
"Aduh, Nak. Mengapa?"
"Bagus dijual saja. Sebagian uangnya pergunakan membayar utangku pada si Ronggolawe . Sebagian kecil,
mengembalikan tabungan Rosida yang sudah terpakai. Sisanya cukup banyak untuk bekal Sumarna
kawin. April, bukan?"
"Kau menyimpan sesuatu," ucap nyonya , kuatir.
Raden hanggareksa terduduk. lesu.
Katanya.
"Rumah itu berhantu!"
*****
Malam itu, penyakit tak bisa tidur hinggap di kepala nyonya . Ia melarang Sumarna pergi untuk
kencan dengan NYI girah .
"Besok saja kau temui dia. Besok malam Minggu, bukan?"
Lalu Sumarna ia ajak ngobrol tentang apa saja. Sampai mereka berdua mengantuk.
Di percetakan, Raden hanggareksa sama gelisah.
Tepatkah keputusannya menjual tanah dan rumah itu?
rsi Kertajaya pasti kecewa. Adik iparnya itu sampai melupakan sebuah proyek lain sebab mencurahkan
perhatian pada rumah Raden hanggareksa .
"Aku merencanakan sebuah model paling indah yang pernah kubuat,"
rsi Kertajaya pernah berkata dengan bersemangat.
"Rumah mungil tapi antik. Kau dan Rosida akan jatuh cinta pada rumah itu begitu selesai
kurampungkan."
sebab kekurangan modal, rencana rsi Kertajaya terbengkalai. Namun meski demikian, rumah setengah
jadi itu sudah tampak bentuk. Belum pernah Raden hanggareksa melihat rumah demikian. Biar belum jadi ia telah
menyukainya. Rosida malah telah jatuh hati.
"Ditawar berapa pun, haram aku melepaskannya."
Gadis itu sampai bersumpah.
Lalu rsi Kertajaya mati.
Rosida ketakutan.
Bersikeras ingin pulang kampung, Tak acuh sama sekali pada rumah mereka. Rumah pembawa
sial itu ditujukan untuk bangunan lama. Dan untuk bangunan baru lebih mengerikan: rumah berhantu!
Malam yang sama di sebuah rumah lain. Seorang ratu lesbi berdiri gelisah di balik jendela kuburan kaca.
Matanya sedari tadi tak berkedip menatap langit biru jernih. Ia tidak sedang menghitung jumlah
bintang gumintang. sebab di bola matanya, hanya ada pantulan rembulan empat belas. Mata itu
terpentang lebar.
"Mestikah aku melakukannya lagi?"
Ia berbisik. '
namun dadanya begitu kosong. Kerongkongan pun terasa kering kerontang. Menggigit, perih.
"Aku haus!"
Ia merintih.
"Haus! Haus! Haus!"
ratu lesbi itu lalu bergerak mundur menuju tempat tidur. Kamarnya gelap. Cahaya
rembulan yang mengintai lewat jendela kuburan , menjilati wajahnya. Wajah yang tegang.
Kaku.
"Rembulan. Jangan biarkan aku mati sebab dahaga."
Sinar rembulan semakin terang. ratu lesbi itu gemetar hebat. Sambil kumat kamit tak karuan ia
menyusun bantal serta guling di tempat tidur. Ditutupi sehelai selimut. Sepintas lalu tampak seperti
orang tengah tidur pulas.
Ia lalu merangkak ke bawah tempat tidur.
Di situ sudah tergelar sehelai tikar. Dengan nafas sesak, si ratu lesbi berbaring di kegelapan
kolong ranjang. Mata dipejamkan. Mulut terus kumat kamit.Kian berisik Kian kacau balau. Lalu
pelan-pelan kedua telapak tangan bergerak ke arah leher jenjang mulus.
"Pergilah!"
Ia berkata setengah memerintah. Telapak tangan mendorong leher. Makin lama, makin kuat.
"Pergilah. Ambilkan aku minuman sejuk segar itu!"
Samar-samar, garis hitam muncul di antara batang leher dan kepalanya .Sebuah garis pemisah
yang setiap detik bertambah lebar dan lebar. Tidak ada darah tersembur keluar.
Kepala ratu lesbi itu tanggal begitu saja lalu melayang keluar. Lewat lubang ventilasi. Di
kejauhan lolongan anjing malam berkumandang lirih. Dan di langit, rembulan tersentak kaget.
*****
Lima
"Anakku!"
TribuanaTunggadewi tersentak bangun. Ia telah bermimpi buruk. Waktu itu sekitar pukul tiga dinihari. Minggu
pertama bulan Januari. Kasur di sebelahnya kosong. Dan dingin.
"Tuhan. Kau kemanakan anakku? Noni. Noni!"
TribuanaTunggadewi setengah menjerit begitu ia sadari Noni tidak pula terjatuh ke lantai.
Ia menghambur ke pintu. Pintu itu setengah terbuka. Padahal sebelum tidur ia telah menutupnya
rapat-rapat. Noni tak ada di ruang tengah, begitu pula di ruang depan. Berlari-lari TribuanaTunggadewi menuju ke
belakang. Pintu penghubung ke situ juga terbuka. Koridor gelap. namun ada nyala lampu di dapur.
Sebentuk bayangan jatuh di koridor. Hitam, dan memanjang.
Bukankah bayangan seperti itu yang ia lihat dalam mimpinya?
Bayangan-bayangan hitam yang melesat masuk ke kamarnya lalu membawa Noni hilang
dalam kegelapan.
TribuanaTunggadewi menahan nafas.
Bayang-bayang hitam di koridor tampak bergerak-gerak. Apa yang dikerjakan makhluk itu di
dapur?
Mencabik-cabik tubuh Noni?
Memakani daging bayinya?
TribuanaTunggadewi dilanda ketakutan yang amat sangat. namun naluri keibuannya mendesak lebih kuat.
"Makhluk terkutuk!"
Ia berteriak, lalu menyerbu ke dapur.
Pada waktu bersamaan, bayangan itu bergerak pula keluar dapur. Mereka berdua saling
bertubrukan. Tangan-tangan TribuanaTunggadewi terangkat sudah siap mencakar. Terdengar suara gelas jatuh ke
lantai. Pecah berderai. TribuanaTunggadewi terbelalak.
Dan, mpu Ronggolawe ternganga.
"Ada... ada apa,juragan?"
Pelayan itu bertanya gagap sesudah kejut agak reda di jantungnya.
"Apa apa kerjamu di dapur?"
"Bikin kopi. Juragan. Kopi kental pahit. Supaya saya jangan mengantuk...."
"Kau mau berjaga-jaga?"
"Ya, Juragan."
"Untuk apa.?"
"Neng Noni."
Barulah TribuanaTunggadewi teringat kembali pada anaknya. Curiga ia mengawasi dapur, lewat pundak Bi ljah.
"Mana dia?"
"Tidur, Juragan. Di kamarku."
"oh!"
TribuanaTunggadewi menarik nafas lega. Ditemani pelayan yang setia itu ia pergi melihat anaknya .Benarlah.
Noni tertidur nyenyak di ranjang si pelayan.
"Badannya panas!"
"Sudah agak turun, Juragan. Dua jam yang lalu panasnya wah. Bagai dipanggang!"
"Apa ?"
"Aku baru mau tidur sekitar pukul satu, saat kudengar Neng Noni menjerit-jerit. Kutunggu
sejenak, kalau-kalau juragan bangun. namun Neng Noni terus saja menjerit. Makin lama makin lemah.
Parau. Aku mendatangi kamar juragan. Mengetuk. sebab tak bersahut, kubuka saja. Wah, juragan
pulas bukan main."
"Aku menelan pel tidur melebihi takaran,"
TribuanaTunggadewi mengaku.
"Apa yang kau lihat?" ia teringat bayangan hitam mengerikan dalam mimpinya
'Tak ada, Juragan. Cuma Neng Noni. Ia setengah menggelupur. Waktu kupegang, suhu badannya
sangat tinggi. namun ia segera diam sesudah kubujuk. Juragan menggeliat, dan mengigaukan sesuatu
yang tak kudengar jelas. Lantas pulas lagi. Jadi kubawa saja Neng Noni ke kamarku. Kukompres.
Belum lima menit ia tidur."
TribuanaTunggadewi dihinggapi perasaan tak enak.
Ia mengambil anaknya dari ranjang pelayan.
"Berkemaslah. Kita bawa Noni ke rumah sakit."
****
mpu Ronggolawe duduk di jok belakang mobil dengan menggendong Noni yang terbungkus rapat dalam
selimut. TribuanaTunggadewi memegang setir, dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi ke pusat kota. Ada
puskesmas di daerah mereka, namun TribuanaTunggadewi ingin anaknya mendapat perawatan kelas satu.
Tiba di kota yang masih sunyi sepi, TribuanaTunggadewi tiba-tiba membelokkan kendaraan dari tujuan
semula. sebab tak menduga putaran mendadak itu. mpu Ronggolawe terpelanting. Kepalanya membentur kaca
jendela kuburan mobil. Perih, tak terkira. namun ia tidak mengeluh ia hanya meraba kepala yang terasa sakit
tanpa berkata apa-apa.
Wah. benjol!
Di depan sebuah percetakan besar, mobil berhenti.
TribuanaTunggadewi keluar. Petugas itu lalu masuk. Waktu keluar lagi, ia sudah ditemani oleh Raden hanggareksa .
Bersama TribuanaTunggadewi . Raden hanggareksa masuk lagi ke mobil. Raden hanggareksa mengambil alih setir, sedang TribuanaTunggadewi duduk
di jok belakang dan mengambil Noni dari pangkuan mpu Ronggolawe
"Mungkin cuma demam."
Raden hanggareksa bergumam. Bimbang.
Mobil melaju ke rumah sakit.
"Suhu badannya tak pernah setinggi ini. Bang."
"Memang flu Hongkong lagi musim,"
Raden hanggareksa masih tetap berusaha menghibur adiknya yang pucat dan panik.
"Aku tak yakin."
"Punya dugaan, Ronggolawe ?"
"Bayi mpu Jenggala "
Nafas TribuanaTunggadewi sesak.
"Ceritakan lagi padaku, Bang, Apa kata mereka mengenai bayi mpu Jenggala yang meninggal itu?"
"Mereka bilang, perbuatan roh jahat. Alaa, Ronggolawe . Sudah.Jangan dengar omong kosong itu. Itu cuma
cerita burung. Semata-mata melampiaskan kekesalan hati mereka terhadap perilaku orang tua si
bayi. Ayah tukang lacur. Ibu pemabuk berat. Anak itu tak terurus jadinya. lalu sakit, dan mati itu
saja."
TribuanaTunggadewi sedikit tenang sesudah mendengar penuturan saudaranya .Tidak demikian halnya Raden hanggareksa .
Justru terbalik. Raden hanggareksa yang panik diam-diam. Bayi mpu Jenggala mati kehabisan darah. Kulit kering.
pucat. Jari kaki dan tangan kisut. Lalu rsi Kertajaya . rsi Kertajaya juga mati kehabisan darah.
Kulit mengeriput. Dada berlubang.
Benarkah roh jahat sedang gentayangan di sekeliling mereka?
Mujur, kepala bagian anak di rumah sakit sedang bertugas. Ia memeriksa Noni dengan teliti.
Menyenter bola mata, rongga mulut bahkan hidung dan telinga. Sambil memeriksa ia bertanya satu
dua yang penting-penting. Kata katanya yang menghibur tidak memuaskan Raden hanggareksa . Dokter lalu
memeriksa denyut jantung dan tekanan darah Noni.
"Normal," katanya.
"Sedikit lebih cepat memang. namun itu sebab ia demam."
Dokter mempergunakan beberapa peralatan untuk memeriksa ulang atas desakan Raden hanggareksa .
Hasilnya tetap sama .Dengan tambahan:
"Besok juga dia sudah sembuh,"
Lalu ia menulis resep untuk ditukar di apotek.
"Tidak disuntik, Dokter?"
"Lebih baik jangan. Obat antibiotika sangat peka, apalagi anak ini masih demam."
"Syukurlah,"
TribuanaTunggadewi benar-benar lega sekarang.
"Kalian terus saja pulang. Aku akan turun di percetakan. Masih ada peekrjaan yang harus
kuselesaikan dan tak bisa ditangani orang lain," kata Raden hanggareksa .
"Pulang dari percetakan, aku akan langsung ke rumahmu untuk melihat-lihat apakah demam Noni
sudah turun."
Nyatanya, Raden hanggareksa tidak memenuhi janji.
Pukul tujuh lewat lima ia keluar dari percetakan dan heran melihat NYI girah menunggu dalam sebuah
mobil. NYI girah turun. Matahari pagi menjilati wajannya yang merah Segar, menggapai bibirnya yang
ranum basah, merah dan sangat hidup.
"Kau mencariku, NYI girah ?"
"Sengaja mencari abang," sahut NYI girah menegaskan.
Matanya yang teduh bersinar-sinar mengawasi Raden hanggareksa yang tampak letih dan agak kotor.
Memelas dalam hati: pewaris harta jutaan rupiah, namun memilih jadi pengawas dan tukang
mereparasi mesin-mesin cetak Dengan jumlah gaji yang pasti membuat mahasiswa fakultas tehnik
berkerut dahinya.
'Kok tidak dengan Sumarna?"
"Nyambil, Bang. Tempat kuliahku tak jauh dari sini. bukan?" NYI girah masuk ke mobil. Duduk di
depan, namun mengosongkan tempat untuk pengemudi. Raden hanggareksa memundurkan mobil ke luar dari
pelataran parkir.
"Ada yang perlu kubantu?"
"Pertama, tolong antarkan aku ke fakultas."
"Hem. Lainnya?"
"Februari nanti papa pindah tugas ke lain kota,"
Liala menyebut nama kota dimaksud.
"Untuk itu kau menyatroni aku, NYI girah ?"
"Jelasnya,"
NYI girah tersenyum manis. Senyum yang tiap kali membuat jantung Raden hanggareksa berdetak kencang.
"Mobil ini suka ngadat. Papa tidak sampai hati meninggalkan mobil rongsokan untuk kami.
Seorang temannya menawarkan mobil bekas namun masih termasuk baru dan mulus. Uang papa tak
banyak. Jadi mobil ini harus dijual."
"Begitu,"
Raden hanggareksa dengan cepat menangkap maksud NYI girah .
"Terimakasih. komisi tidak kau lempar ke tangan orang lain. Berapa lama ayahmu memberi
tempo?"
"Kalau dapat, hari ini juga."
"Tambahkan satu hari. Mencari pembeli, gampang. namun sebelumnya. aku dan beberapa teman
harus menservis dan mereparasi dulu mobil ini. Supaya dapat dijual dengan harga tinggi. Eh, sambil
lalu. Berapa patokan harga dari ayahmu?"
"Dua setengah. Kalau bisa. tiga juta"
"Yang benar!"
"Kelewat mahal?"
"Sebaliknya. NYI girah ,"
Raden hanggareksa berpikir keras. lalu ia bergumam dengan nada tak suka:
"Aku tak ingin menerima balas jasa yang berlebihan, NYI girah . Sungguh mati. Apa yang dulu
kulakukan. hanya dorongan naluri. Tanpa pamrih!"
NYI girah terdiam. Sebentar cuma. lalu , ia mengeluh:
"Papa bilang, jumlah itu harga pasaran sekarang"
"Ayahmu tahu harga jual mobil ini, NYI girah . Jadi beritahu dia nanti. Kepada orang lain. kami minta
komisi 15 sampai 20 persen. Dari ayahmu, cukup 10 persen saja. Itu satu. Yang kedua, sesudah kami
perbaiki sedikit, mobil ini laku terjual paling tidak empat juta."
NYI girah mau prores.
namun wajah Raden hanggareksa yang tegang membuatnya terbungkam. Mereka tak berkata apa-apa lagi
sampai mendekati kampus fakultas yang dituju. Raden hanggareksa yang lebih dulu sadar ketegangan itu tidak
semestinya terjadi, ia mencoba tersenyum, lantas bertanya lembut:
"jadi papamu pindah tugas ya?" '
"He, eh."
Suara NYI girah masih gusar.
"Kau dan ibumu tetap tinggal?"
"Aku masih kuliah. Dan mama tak mau jauh dariku."
"Hebat. Paling kurang dua atau tiga tahun kalian akan berpisah."
"Papa akan pulang tiap Sabtu siang. Berangkat ke tempat tugas lagi Senin paginya"
'Bagaimana dengan April nanti?"
Suara Raden hanggareksa merendah, tanpa berani melihat wajah NYI girah .
Lain NYI girah . Ia menatap wajah Raden hanggareksa . Tajam.
Lantas mendesah:
"Semoga tidak ada halangan,"
NYI girah setengah berdo'a, setengah melamun.
Jantung Raden hanggareksa berdetak lagi. Halangan itu tak akan ada, pikirnya dengan gundah. Aku sudah
bertemu Rosida. Sudah berbuat sangat dalam yang mengharuskan kami segera menikah.
Wahai. masa lalu!
saat NYI girah turun dari mobil di pintu gerbang fakultas, gadis itu bimbang sesaat. lalu :
"Bang Raden hanggareksa ?"
Ia melongok lewat jendela kuburan
"Hem?"
"Abang mencintai Kak Ida?"
Raden hanggareksa terperanjat mendengar pertanyaan yang di luar dugaan itu. Gagap. ia menyahut:
"Ya, eh, kukira. ya,"
Lalu mengumpat-umpat sebab jawabannya terasa ngambang
"Mengapa kau tanya?"
'Hanya ingin tahu."
NYI girah tersenyum, misteri.
lalu berlalu.
Raden hanggareksa masih tetap memandangi gadis itu pergi. Makin jauh, bayangan NYI girah makin mengabur.
namun pinggulnya yang bergoyang gemulai selagi melangkah, justru makin tampak jelas.
Pinggul penuh. Padat Dengan rok warna hijau, berbercak merah. Darah.
*****
Rasanya baru kemarin terjadi .
namun peristiwa penuh kenangan manis itu telah berlalu tiga tahun. NYI girah baru kelas dua
es-em-a, saat itu. Harinya Selasa. Tepat tengah hari. Bubaran sekolah. NYI girah bermaksud pergi ke
rumah seorang famili. Honda bebeknya mogok di tengah jalan. sebab belum hafal soal seluk beluk
mesin NYI girah mendorong sepeda motor itu sambil mencari-cari bengkel terdekat.
Dua buah sepeda motor lain, lalu di dekatnya .
Ada tiga orang pemuda di masing-masing jok sepeda motor itu. Menyandang tas sekolah seperti
NYI girah . Dengan seragam sekolah yang sama pula. Bedanya, NYI girah kelas pagi dan tiga pemuda itu masuk
siang. Bukannya turun untuk menolong. Tiga pemuda berandalan itu tetap saja duduk di kendaraan
mereka, dengan kecepatan diturunkan agar tetap sejajar dengan Honda bebek yang didorong NYI girah .
Wajah gadis itu bersimbah peluh.
Sekali, ia berhenti untuk menyeka. Baru saat itulah ia tahu kehadiran tiga pemuda tadi. Mereka
tak begitu kenal satu sama lain. Diam-diam NYI girah mengharapkan teguran ramah dan uluran tangan
budiman. lain yang diharap, lain yang tiba..
Seraya menyeringai lebar, salah seorang pemuda itu berkata pada NYI girah :
"Mari kuusap, Neng."
Teman yang satu. lebih kasar lagi:
"Wah, banjir. Boleh kusumbat",
NYI girah yang mandi peluh. tersinggung sesaat .
"Jadah!" ia memaki.
"Beraninya cuma ngomong! Ayo turun kalau kalian laki-laki!"
"Hei. Galak juga! Dan makin cantik saja,"
Dua kendaraan lain, berhenti. "Apa yang kita tunggu? Ia sudah rela kita kerjai!"
Lantas ketiganya turun berbarengan. Barulah NYI girah menyadari kekeliruannya. Tadi ia terpancing
emosi, dan berharap pemuda itu meninggalkannya sebab malu. Ternyata tantangannya dila











.jpeg)
.jpeg)
