Tampilkan postingan dengan label Darah. 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Darah. 1. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Darah. 1

 




   Akhir Desember, sesaat lewat tengah malam. Belum sejam hujan berhenti. namun  rembulan sudah

muncul dari balik sisa-sisa awan pekat kelabu. Cahayanya yang pucat menerangi jalan aspal kelas

tiga di pinggir kota. Aspal terasa basah. 

     Lembab. 

     Luapan air dari parit berlumpur di tepi jalan menerbitkan bau tak sedap. Seekor tikus besar

berenang cepat menuju semak belukar tatkala terdengar suara langkah-langkah kaki mendekat. 

     rsi Kertajaya  berjalan tertegun-tegun. Hatinya sedang diliputi kegelisahan. Sesekali ia berhenti. 

     Bimbang. 

     Lantas melangkah kembali. 

     Pulang ke rumah? 


     Lantas minta maaf pada TribuanaTunggadewi ? 

     Nanti dulu! 

     Ronggolawe  telah meludah. Tidak ke muka rsi Kertajaya , melainkan ke lantai. Namun tetap saja hal itu tidak

dapat dimaafkan. Baiklah. rsi Kertajaya  akan terus keluyuran sepanjang malam. Pagi-pagi, gedor saja pintu

seorang teman. Pinjam seperangkat pakaian. Lalu enyah ke mana saja selama beberapa hari. 

     'Biar TribuanaTunggadewi  kalang kabut! 

     "Sialan!" 

     rsi Kertajaya  tiba-tiba memaki. Salah satu kakinya terperosok masuk lubang. 

     Sandalnya terlepas. 

     Dan kakinya tergenang air lumpur sampai kepertengahan betis. 

     Dinginnya. ampun! 

     rsi Kertajaya  membungkuk memungut sandalnya. Mengenakannya kembali sambil menggerutu. Betapa

sembrono ia tadi. Menampar TribuanaTunggadewi  saking tak kuat mengendalikan emosi. lalu  minggat begitu

saja. Lupa, ia cuma bercelana pendek. Alas kaki pun cuma sepasang sandal jepit  yang terasa

semakin licin di telapak kakinya. Mana baju kaos yang ia kenakan mulai pula basah tertimpa

butir-butir air yang jatuh dari pepohonan sepanjang jalan. 

     Lolong anjing menggema di kejauhan. 

     Sayup. 

     Dan lirih menyayat tulang. 

     rsi Kertajaya  menggigil. 

     Bukan sebab  ratapan anjing yang menyedihkan itu. namun  sebab  udara tengah malam terasa

semakin dingin. 

     Semakin beku. 

     Apakah ia tidak lebih baik pulang saja? 

     Tidur di bawah selimut hangat, dan Siapa tahu TribuanaTunggadewi  lebih dulu minta maaf. rsi Kertajaya  bimbang

lagi. 

     Ah. Jangan! 

     Ronggolawe  akan mentertawakannya, lalu semakin menekan rsi Kertajaya . 

     Sudah berapa lama rsi Kertajaya  selalu merasa tertekan bila berada di samping istrinya? 

     rsi Kertajaya  tersentak waktu terdengar suara ratu lesbi  menjerit keras. Disusul raung tangis

berkepanjangan. Ia mencari arah suara itu. Tampak lampu-lampu sebuah rumah di sebelah kanan

dinyalakan. 

     Oh, mereka kiranya. 

     Pasti mpu Jenggala  telah dipukuli suaminya lagi. 

     Soal apalagi. 


     Kalau bukan suami pulang larut malam membawa bau parfum ratu lesbi  lain, dan menemukan

istri yang tertekan jiwanya sedang mabuk berat. 

     Semua orang sudah tahu. 

     Tak heran, kalau rumah rumah lain tetap tampak tenang. 

     Tak acuh. 

     Para tetangga sudah terbiasa. Percuma saja dinasehati sebab  suami istri itu sama-sama keras

kepala. 

     rsi Kertajaya  angkat bahu. 

     Kadang kadang ia suka juga mengalah. Sayang tidak demikian halnya dengan TribuanaTunggadewi .

ratu lesbi  itu sangat teguh pada pendiriannya, tidak mau menerima uluran tangan orang lain. 

     "Aku bisa mengurus diri sendiri." 

     Ronggolawe  selalu mendengus. 

     Tentu saja dengan tambahan yang menyakitkan hati: 

     "Tanpa bantuan rsi Kertajaya , toh aku dapat hidup!" 

     rsi Kertajaya  menyumpah serapah dalam hati. 

     Kemarahannya baru agak reda saat  ia tertegun di depan sebuah rumah setengah jadi. Tak ada

penerangan sedikit pun di rumah itu. Saluran listrik telah diputuskan PLN untuk sementara. rsi Kertajaya 

sendiri yang meminta, saat  ia mulai membongkar bangunan lama sebab  ingin lebih leluasa

membentuk arsitektur rumah itu dan para pekerja bangunan terhindar dari kecelakaan yang tidak

dikehendaki. 

     Tanpa ragu-ragu rsi Kertajaya  memasuki halaman rumah setengah jadi itu. Tembok bata semua telah

terpasang. Begitu pula semua kusen dan atap. Tinggal pasang pintu-pintu, jendela kuburan -jendela kuburan  kaca dan

lantai teraso. Dan justru semua bahan itu belum tersedia. Raden hanggareksa  kehabisan uang. ibunya.... mertua

rsi Kertajaya ... masih menunggu hasil panen sawah sekitar bulan April. Sumarna akan menikah pula pada

bulan yang sama sehingga ibu mereka sangat hati-hati mengeluarkan persediaan uang yang masih

ada. 

     Dan TribuanaTunggadewi ? 

     Dengan kepala batunya TribuanaTunggadewi  berkata: 

     "Hutang Bang Raden hanggareksa  sudah bertumpuk. Biarkan saja rumahnya terbengkalai!" 

     Sinar rembulan semakin terang. namun  di dalam rumah tetap gelap gulita. rsi Kertajaya pun tidak

berminat masuk ke dalam. Ia lebih suka mengitari halaman depan, lalu pekarangan samping.

lalu  di salah satu sudut ia berhenti. Sisa-sisa bahan bangunan yang belum terpakai dibiarkan

terlantar di sudut halaman, campur baur dengan bekas bongkaran bangunan lama yang belum sempat

disingkirkan. Tertumpuk di situ kayu-kayu rapuh barangkal dan seng bekas dak di antara pecahan

genting yang berserakan. 


     Dari tempatnya berdiri. 

     rsi Kertajaya  merasa tidak leluasa memandang, ia lalu berpindah ke bagian lain. Dibantu cahaya

rembulan ia amati pekarangan semrawut itu dengan cermat. ia telah lama menyusun rencana. Taman

hias, kolam kecil mungkin dengan sebuah patung di tengahnya akan merubah sudut halaman yang

kini porak poranda itu. Raden hanggareksa  mempercayakan segala sesuatunya pada kejelian mata rsi Kertajaya . Juga

abang iparnya itu telah setuju sumur tua di pojok kanan ditutup saja. Toh air ledeng sudah memasuki

daerah mereka sehingga sumur tua itu tidak lagi diperlukan. 

     rsi Kertajaya  merasa kakinya kebas. 

     Ia lalu berjongkok. Persis di tepi sumur. Tak ada lagi lubang yang menganga dalam. Tak ada

kilatan air bening yang tak pernah kering itu, biar musim kemarau panjang telah membuat rumah

rumah lain di dekatnya kekurangan air. Sumur tua itu telah ditutup. 

     Dengan sampah, tanah galian, barangkal. Pendeknya, apa saja yang dapat masuk ke dalam dan

membuat timbunan semakin tinggi. Permukaan sumur kini tampak hampir rata dengan permukaan

tanah di sekitarnya. 

     Iseng, rsi Kertajaya  melangkah ke permukaan bekas sumur tua itu. 

     Kaki berlapis sandal jepit dijejakkan kuat kuat, namun  dengan hati-hati. Tanah bercampur pasir

dan baru di bawah kakinya, pelan-pelan bergerak. Cepat rsi Kertajaya  menghindar. sebab  licin. kembali

sandal jepit yang ia pakai terlepas. 

     rsi Kertajaya  meringis saat  pecahan kaca melukai telapak kakinya. 

     Tidak begitu sakit. Darah pun tidak seberapa keluar. 

     Lupakan saja! 

     Ia akan memanggil seorang kuli untuk memadatkan sumur ini suatu hari kelak. Di sinilah patung

yang ia rencanakan di tempatkan. lalu  air mancur -Tanpa menyadari darah terus menetes dari

luka di telapak kaki, rsi Kertajaya  bergerak ke bagian lain. Pikirannya terpusat penuh pada rencana

mengenai bentuk taman hias itu. Akibatnya, kembali ia harus meringis. Kali ini disertai pekik halus

sebab  kaget. 

     Betisnya yang telanjang, tergores pula oleh ujung seng yang tajam. Darah menetes lebih banyak. 

     "jadah!" 

     Ia mengutuk 

     Bayangan mengenai taman mungil yang indah perlahan mengabur. Ia bergerak ke beranda rumah,

duduk tersengal-sengal di kusen jendela kuburan . Tangan yang satu sibuk merogoh saku, tangan lain menutupi

luka pada betis. 

     Sial! ia tidak bawa saputangan. Lebih celaka lagi, darah terus saja merembes dari sela-sela jari

tangan yang menutupi luka. saat  ia perhatikan. tampaklah samar samar kakinya berubah merah

.Begitu juga telapak kaki. Luka bekas tusukan kaca masih meneteskan darah. 


     Tanpa berpikir panjang lagi, rsi Kertajaya  menanggalkan baju kaos yang ia pakai. Bersusah payah ia

mencoba merobek kaos yang masih baru itu. saat  usahanya berhasil, ia telah semakin lemah.

Terlalu banyak mengerahkan tenaga. sementara darah semakin banyak pula merembes keluar. 

     Sial benar, ia tidak menyuruh seseorang menyimpan kotak P3K di rumah ini. Sekarang ia sendiri

yang harus merasakan akibatnya. 

     Dengan sobekan baju kaosnya. rsi Kertajaya  membalut luka baik di betis maupun di telapak kaki.

lalu  ia tersandar di kusen jendela kuburan . Letih dan mulai merasakan sakit pada luka-lukanya. 

     Pulang sekarang? 

     Atau pergi ke rumah terdekat? 

     Akal sehatnya melarang. 

     Pulang, berarti TribuanaTunggadewi  menang. Membangunkan tetangga, sungguh memalukan. Belum jalan

becek berkuman. 

     Maka ia putuskan saja bermalam di bangunan setengah jadi itu. 

     rsi Kertajaya  merangkak turun dari kusen jendela kuburan , masuk ke dalam. Udara dingin membuat sekujur

tubuhnya terasa kaku. 

     Entah mengapa, matanya mulai pula diserang kantuk yang hebat. Begitu punggungnya mencapai

lantai tanah, langsung saja ia rebah. Tak perduli alam sekitar. Tak perduli gerimis mulai jatuh lagi.

Juga tak mengambil perduli pada genangan darah dari lukanya saat  ia berjalan meninggalkan sumur

tua itu. 

     Rembulan dengan marah terpaksa menerima rangkulan awan pekat yang kian bergumpal. Malam

semakin gelap gulita. Samar-samar kembali terdengar raungan tangis yang sayup dari rumah Bu

Endah. Lolong anjing tidak mau kalah. Anjing itu terus meratapi langit hitam, lirih, mengerikan.

Gerimis digantikan hujan lebat yang jatuh disertai tiupan angin keras dengan suara berdesah bersuit

dan bersiul nyaring mendirikan bulu roma. 

     Tetesan darah di tanah berumput menyerap bersama air hujan. 

     Genangan air bercampur darah itu dengan sendirinya mencari muara yang rendah. Dan itu adalah

bekas sumur tua yang telah ditimbun segala macam sampah dan barangkal buangan, tanah dan

pasir. Genangan air kemerah-merahan itu menciptakan semacan lubang kecil ke mana air menyerap

masuk. 

     Waktu terus berjalan. 

     rsi Kertajaya  telah tertidur. 

     Dan lubang yang diciptakan genangan air tampak semakin membesar. 

     Menganga. 

     Suatu saat, kilat menyambar dari langit kelam. Halaman rumah itu terang benderang selama satu

helaan napas. Namun waktu yang pendek itu telah cukup untuk memperlihatkan, bagaimana timbunan


tanah pasir berbatu di bekas sumur tua, bergerak. 

     Timbunan itu seakan hidup. 

     Sekali, menggeliat di sekitar lubang tempat air masuk. Lain saat, timbunan pasir naik turun

seolah didorong kekuatan gaib. Dan saat  petir menyambar lagi,timbunan bergerak semakin tinggi

lantas jatuh berserakan di sekitar pinggiran bekas sumur. Dari lubang yang menganga semakin

lebar,sesuatu menggapai keluar. 

     Tangan seseorang? 

     Ah. Bukan. 

     Sesuatu yang berwarna coklat kehitaman dan licin berlendir. Hampir pula tak berbentuk.

Mula-mula besarnya seinduk jari kaki terjulur panjang keluar lubang. Ujung sesuatu yang hidup dan

ganjil itu lalu  menghunjam di rerumputan. 

     Diam sebentar. 

     Angin malam bersorak, seram. Dan hujan membadai, liar. 

     Dengan ujung tetap melekat di rerumputan, bagian lain dari tubuh sesuatu itu pelan-pelan

melengkung ke atas, menggeliat sebentar, lalu merayap di sekitar lubang. Benda hidup,coklat

kehitaman, basah berlendir itu melepaskan rerumputan, lalu  merayap semakin jauh dari lubang.

Gerakannya menurutkan datangnya air. Air bercampur genangan darah. Bagian ujung makhluk itu

sekali terbuka. memperlihatkan semacam mulut lebar yang gelap untuk menyerap air berbau darah,

lalu menggeliat lagi, melengkungkan tubuh bagian tengah, menarik sisa tubuh lainnya yang masih

tertinggal di sebelah dalam lubang 

     Pacat! 

     Sungguh mati, pacatlah yang keluar dari lubang itu. Namun luar biasa besar. Hampir sebesar

lengan ratu lesbi  dewasa. Bila berhenti, panjangnya cuma selengan pula. namun  bila mulai

melengkungkan tubuh. lalu merayap, panjangnya berubah hampir sepanjang manusia dewasa. 

     Satu dua kali kepalanya terangkat 

     Mencium. 

     Mengendus. 

     Lalu tubuh binatang menyeramkan itu bergerak maju. 

     Tujuannya sudah pasti. 

     Yakni ke bau tetes darah terakhir masih melekat. Makhluk itu menggeliat pelan saat  menaiki

beranda yang sedikit becek. Desir tubuhnya lalu begitu halus. 

     rsi Kertajaya  bermimpi buruk. 

     Namun terus saja mendengkur. 

     Gelisah. 

     Ia sama sekali tidak melihat, sesuatu menjulur lewat kusen jendela kuburan . Tak tampak sinar mata


sepercikpun jua. Hanya garis tipis sebuah mulut yang menyeringai. 

     Buas. 

     Angin malam menjerit. 

     Lengking. 

      

     

     

     Pelayan membuka pintu. 

     Raden hanggareksa  menguap. Lalu masuk. 

     "Ronggolawe  ada, Bi?" 

     Ia bertanya seraya terus saja menerobos ke ruang dalam. "Masih tidur, Den Raden hanggareksa ." 

     "Pukul sembilan begini?" 

     Dahi Raden hanggareksa  berkerut. 

     Ia menatap ke sebuah pintu tertutup. 

     "Dan rsi Kertajaya ?" 

     Diam. 

     Tak ada jawaban. 

     Raden hanggareksa  berpaling mengawasi wajah si pelayan. ratu lesbi  setengah umur itu tampak pucat,

mengkerut. Raden hanggareksa  menarik napas panjang. 

     Geleng kepala. 

     lalu  bersungut malas: 

     "Buatkan aku segelas kopi. mpu  Ronggolawe ." 

     Pelayan seperti terbang menuju dapur. Ia telah lolos dari lubang jarum. Majikan ratu lesbi  akan

mencaci maki dia habis-habisan, sekali mpu  Ronggolawe  lepas omong pada orang lain menceritakan betapa

riuh rendahnya rumah ini tadi malam. Sambil lewat, mpu  Ronggolawe  melongok ke pintu kamarnya yang

terbuka. Tampak sesosok bayi mungil meringkal tenang di bawah selimut. 

     mpu  Ronggolawe  tersenyum. 

     Sedih. 

     "Dan anak itu ikut jadi korban," keluhnya. 

     Di ruang dalam, Raden hanggareksa  tidak senang menunggu. 

     Begitu mpu  Ronggolawe  menghilang, langsung saja ia mengetuk pintu tertutup tadi. 


     "Ronggolawe ?" 

     Raden hanggareksa  memanggil. 

     Sepi. 

     Diketuknya lebih keras, berulang-ulang. "Sudah siang, TribuanaTunggadewi !" 

     Ranjang berderit di dalam. 

     Terdengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu pintu kamar terbuka. 

     Wajah TribuanaTunggadewi  kusam. 

     Matanya agak merah, kurang tidur. 

     "Kau kiranya," 

     Ia memberengut. Dan bermaksud menutup pintu kembali, kalau tak keburu Raden hanggareksa  menghalangi

dengan kaki. 

     "Aku mau bicara sebentar, Ronggolawe ." 

     "Nanti saja. Aku masih ngantuk." 

     "Kau kira aku tidak?" 

     Tanpa dapat ditahan. Raden hanggareksa  menguap sekali lagi. Ia menyisir rambut dengan jari, memijit

bagian belakang kepala yang terasa berdenyut. 

     "Sepanjang malam aku tak bisa bekerja. Aku kuatir telah terjadi sesuatu. sebab  itu aku

datang...." 

     TribuanaTunggadewi  hilang sebentar di kamarnya. Rupanya ia terus ke jamban. 

     Membasuh muka . 

     saat  keluar lagi, ia tampak lebih segar dan cantik. Hanya matanya saja yang kelihatan masih

murung. Duduk berhadapan dengan saudaranya, ia bergumam tanpa semangat: 

     "Aku siap mendengarkan, Bang Raden hanggareksa ." 

     "Begitukah sambutanmu, Ronggolawe ?" 

     TribuanaTunggadewi  angkat bahu. 

     Kemarahan Raden hanggareksa  bangkit. Untung mpu  Ronggolawe  muncul dari dapur. Tahu tamu mereka orang tak

sabaran, pelayan membawa pula segelas air bening untuk majikannya .Dengan biiaksana ia lalu 

menyelinap ke dapur. Meninggalkan dua orang bersaudara itu saling tatap. Raden hanggareksa  yang mengalah. 

     "Aku tak melihat rsi Kertajaya ," 

     Ia memulai, dengan suara direndahkan. 

     "Ia pergi. Tengah malam tadi." 

     "Hem. Bertengkar lagi, ya?" 

     TribuanaTunggadewi  diam saja. 

     "Pasti aku yang jadi benih keributan," 

     Raden hanggareksa  mencicipi kopinya tanpa selera. 


     "Benar, bukan?" 

     "Kalau abang sudah tahu, mengapa bertanya lagi?" sahut TribuanaTunggadewi . 

     Ketus. 

     "sebab  aku ingin kalian berdamai." 

     "Bah!" 

     "Aku terlibat, Ronggolawe . Aku tak mau dijadikan biang keladi. sebab  itu tadi malam kuputuskan untuk

menghentikan saja pembangunan rumah itu. Biar begitu saja dulu, untuk setahun dua tahun. Atau

seabad, aku tak perduli. Yang penting aku ingin memberitahu suamimu, supaya melupakan saja niat

baiknya menyelesaikan pembangunan rumah itu dengan mempergunakan uangnya sendiri." 

     "Uangku!" potong TribuanaTunggadewi , pendek. 

     "He-eh. Uangmu!" 

     Raden hanggareksa  setuju, namun  dengan nada suara jengkel. Ia bangkit dengan marah. Berjalan mundar

mandir, sambil menggerutu: 

     "Kau ini seperti bukan adik kandungku saja, Ronggolawe . Baiklah. Uangmu. Pada waktunya, uangmu yang

telah terpakai, akan kuganti. Hitung saja bunganya sekalian." 

     "Abang menyindirku," 

     TribuanaTunggadewi  mendelik. 

     Raden hanggareksa  tertawa. Sumbang. 

     "itu pekerjaanmu, bukan? Membungakan uang, seperti dulu dilakukan ayah!" 

     "jangan membangkit kejelekan orang mati," 

     "Oke!" 

     Raden hanggareksa  menyeringai, lalu menadahkan tangan seraya berdo'a dengan suara munafik: 

     "Semoga Tuhan mengampuni dosa almarhum ayah kita. Dan semoga..." 

     Suaranya lebih lembut dan khusuk. 

     "Semoga kami yang masih hidup tidak bercerai berai disebab kan uang." 

     "Bang Raden hanggareksa " 

     "Uang!" 

     Raden hanggareksa  tidak perduli. 

     "Aku kehabisan uang. lalu rsi Kertajaya  terus saja mendesak. Ia begitu bernafsu untuk menyelesaikan

rumah itu. Tiap hari ia menemuiku. Mengajukan usul agar aku tidak menolak niatnya meminjam uang

ke bank. Padahal di rumahnya sendiri, sudah ada bank yang...." 

     "Hentikan, Bang Raden hanggareksa !" 

     "Diamlah, saudaraku. Sepanjang malam tadi, aku tak bisa menekuni pekerjaan. Entah mengapa,

pikiranku hanya tertuju kepada suamimu. rsi Kertajaya  ingin aku lekas berumah tangga. Dan

mempersembahkan rumah mungil cantik sebagai hadiah perkawinan. Dan aku, si perjaka tua yang tak


beruntung ini, hampir kewalahan menghadapi niat baik adik iparku. Lantas tadi malam aku berpikir,

sekali rsi Kertajaya  meminjam ke bank, dengan usahanya yang morat marit seperti sekarang. Dan terpaksa

uang saudaraku yang pemurah, keluar lagi dari laci." 

     "Kredit dari bank akan keluar besok" tukas TribuanaTunggadewi . setengah hati. , 

     "rsi Kertajaya  memberitahu hal itu tadi malam. Kami-kami lantas ribut dan aku beritahu dia. Biarpun

aku mencintainya, kali ini aku tak akan memberi ampun. Kelak bila bank mulai menagih dan ia

kepepet, aku tak akan sudi untuk.... Lalu ia mengucapkan sesuatu yang membuatku sangat marah dan

tanpa sadar, ia kuludahi." 

     "La kau:." 

     Raden hanggareksa  terkejut 

     "Astaga apa yang telah kau perbuat, TribuanaTunggadewi ?" 

     "Aku tak kuat membendung emosi, Bang," 

     Suara TribuanaTunggadewi  tergetar, menahan tangis 

     "Ucapannya itu." 

     "Apa yang diucapkan?" 

     "Ia bilang...." 

     TribuanaTunggadewi  tak mampu menjelaskan. 

     Raden hanggareksa  mengurut dadanya yang terasa sakit. Berkata: 

     "Persetan dengan uangmu. Uang haram. Itukah yang ia bilang, Ronggolawe ?" 

     TribuanaTunggadewi  manggut manggut. 

     Air matanya merembes keluar. 

     "rsi Kertajaya  tidak pernah berkata sekasar itu. Bang Raden hanggareksa . Ia... ia sebenarnya suami yang baik.

Suami yang mau mengerti bahwa _ bahwa aku harus ikut berusaha untuk menjamin kelanjutan hidup

kami, ia hanya mengomel kalau kalau aku menentukan bunga terlalu besar pada seseorang, atau

kalau terlalu Cepat melaporkan barang jaminan yang ada di tanganku. Ia juga tahu apa yang selama

ini kami makan, lebih banyak dari hasil jerih payahku sendiri. Ia tak pernah...." 

     TribuanaTunggadewi  terisak-isak. 

     Raden hanggareksa  tercenung di jendela kuburan . 

     Menatap keluar. Matahari pagi bersinar terik. Sekelompok laki-laki dan ratu lesbi  berjalan

menuju ke satu arah. Raden hanggareksa  menelan ludah. Lantas bergumam lirih: "Kau tahu ke mana orang orang

itu semua menuju, Ronggolawe ?" 

     TribuanaTunggadewi  yang hatinya terguncang, menyahut ak bersemangat: 

     "Siapa. Bang?" 

     "Mereka di luar sana. Semua pergi ke rumah mpu Jenggala ." 

     "Oh." 


     "Cuma oh? Tidakkah kau tahu apa yang terjadi tadi malam?" 

     Perhatian TribuanaTunggadewi  mulai terbangkit. Ia seka air mata di pipi. 

     "Apa yang terjadi? Kukira. paling-paling ia... ia dipukuli suaminya lagi. Eh. Apakah ia... mati?" 

     "Bukan mpu Jenggala . Tapi anak mereka" 

     "Yang mana?" 

     "Bayi yang lahir. Baru berumur tiga bulan. kalau tak salah," 

     Raden hanggareksa  kembali ke tempat duduknya. Mereguk kopi sampai habis. Dari belakang, terdengar

rengek bayi. Lalu suara mpu  Ronggolawe  membujuk penuh kasih sayang. Dahi Raden hanggareksa  berkerut lagi. 

     "Kau biarkan Noni tidur dengan pembantu, Ronggolawe ?" ia bertanya. 

     "Terpaksa. Bang." 

     TribuanaTunggadewi  tampak malu. 

     "Noni menjerit saja sepanjang malam tadi. Aku sampai kewalahan. Baru sesudah  dipangku mpu  Ronggolawe ,

Noni diam...." 

     "Kalian bertengkar di dekat Noni?" 

     "Tidak, Bang. Kenapa?" 

     "Kapan ia mulai menangis?" 

     "Antara pukul satu dan dua, begitu. Aku tak ingat betul. Pokoknya, tak lama sesudah  ayahnya

pergi." 

     "Tuhanku!" bisik Raden hanggareksa . 

     Gemetar. 

     "Ada apa. Bang?" 

     "Pada jam itu pulalah aku tadi malam memukul seorang pegawai percetakan. Aku teringat kau

dan rsi Kertajaya . Lalu mulai gelisah, dan tiba-tiba ingin marah. Pegawai itu kupukul tanpa sebab." 

     "Abang toh tidak...." 

     Wajah TribuanaTunggadewi  berubah pucat. 

     Raden hanggareksa  memperhatikan arloji di tangannya. 

     "Hampir tengah hari. Dan suamimu belum pulang. Pernah ia minggat selama itu. Ronggolawe ?" 

     "Tidak, Bang," 

     TribuanaTunggadewi  mulai kuatir. 

     "Biasanya ia akan pulang untuk sembahyang subuh. Lantas tanpa sarapan ia pergi lagi. Tentu

saja tanpa pamit." 

     TribuanaTunggadewi  tersipu malu. 

     Sebuah pikiran muncul di benaknya. Wajah bertambah pucat dan tangan diletakkan di dada

menahan deburan jantung yang berdetak sangat keras. 

     "Bang?" 


     "Heh?" 

     "Abang jangan berpura-pura." 

     "Hai. Apa pula maksudmu?" 

     "Yang mati itu bukan... bukan anak mpu Jenggala . Abang mengatakan itu hanya sebab ..." 

     Raden hanggareksa  memburu ke depan begitu ia lihat tubuh adiknya limbung mau pingsan. 

     "Tenangkan hatimu, Ronggolawe . Suamimu tidak apa-apa. Paling juga ia nginap di rumah seorang teman.

Dan." 

     Ia membantu TribuanaTunggadewi  duduk lebih tenang. 

     "Memang yang meninggal bayi mpu Jenggala . Kebetulan aku lewat di sana sebelum ke rumah ini. Aku

sempat melayat sebentar. Kudengar, telah dua minggu anak itu sakit. Kau tahu apa yang kusaksikan.

Ronggolawe ? Mayat bayi itu demikian kering. Kurus kering. Tak berdarah. Ada yang bilang, darahnya telah

dihisap roh jahat dan.... Eh, Ronggolawe . Ada apa dengan kau? TribuanaTunggadewi ! TribuanaTunggadewi !" 

     Ternyata TribuanaTunggadewi  benar-benar pingsan. 

     Raden hanggareksa  menggotongnya ke kamar. Dibaringkan di tempat tidur. Ia sudah tahu di mana letak

obat. Dalam sekejap ia telah menggosokkan minyak angin di beberapa bagian tubuh TribuanaTunggadewi , lalu

mengendus-enduskan di lubang hidung adiknya itu. mpu  Ronggolawe  datang bergegas dari  dapur. 

     'Tak apa. Ia akan segera baik," 

     Raden hanggareksa  memberitahu. 

     "Ada yang perlu saya bantu. Den?" 

     'Tidak usah Urus saja si Noni." 

     mpu  Ronggolawe  bimbang namun  lalu  mundur juga. Dan memang TribuanaTunggadewi  tak lama sesudah nya siuman.

     Raden hanggareksa  mendesah senang. Dan ia sudah siap menyatakan penyesalan sebab  telah menceritakan

sesuatu yang menakutkan mengenai bayi mpu Jenggala  sehingga TribuanaTunggadewi  pingsan. namun  begitu TribuanaTunggadewi 

membuka mata, maka pertanyaan yang pertama keluar dari mulutnya adalah: 

     "rsi Kertajaya ?" 

     "ini aku, Ronggolawe ," 

     Raden hanggareksa  menepuk-nepuk pipi adiknya dengan sayang. 

     "ini aku, Abangmu." 

     "rsi Kertajaya ," ulang TribuanaTunggadewi . 

     "Cari dia sampai ketemu, Bang Raden hanggareksa !" 

     "Oke. Oke. Ia akan kutemukan. rsi Kertajaya  baik baik saja. Kau tidurlah, Ronggolawe ." 

     "Aku takut, Bang." 

     "Alaaa..." 

     "Pergilah. Bang. cari dia untukku" 


     Yang pertama-tama dilakukan Raden hanggareksa , menemui mpu  Ronggolawe . ratu lesbi  itu berkata tidak tahu jelas

isi pertengkaran kedua majikannya tadi malam, ia dengar rsi Kertajaya  membanting pintu. namun  tidak tahu

apakah majikan laki-lakinya mengatakan akan pergi ke suatu tempat. Dan mpu  Ronggolawe  tidak pernah tahu

ke mana pula biasanya majikannya ngelayap untuk menghindari kobaran api neraka di rumah mereka.

     Raden hanggareksa  menjangkau telepon, ia tahu beberapa alamat dan ingat satu dua alamat itu selalu

didatangi adik iparnya. Jawaban mereka semua sama. rsi Kertajaya  tidak mengetuk pintu rumah mereka.

Raden hanggareksa  menelpon pula ke kantor biro bangunan. Siapa tahu rsi Kertajaya  memutuskan tidur di kantor malam

tadi. namun  pegawai yang menerima telepon berkata, majikan mereka belum datang di kantor.

Penjaga kantor juga mengatakan hal yang sama. 

     Jantung Raden hanggareksa  berdetak keras. 

     Ia menemui TribuanaTunggadewi  lagi. Bertanya segala sesuatu dengan gaya tenang, kalem dan tidak terlalu

serius sambil menghibur adiknya dengan janji-janji kosong. lalu  ia tahu, rsi Kertajaya  meninggalkan

rumah tanpa dibekali uang. Ia hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dalam keadaan serupa itu

mustahil rsi Kertajaya  mempermalukan dirinya menemui orang lain. 

     "ia mungkin ke rumah ibu," 

     Raden hanggareksa  menyimpulkan. 

     "Tadi aku belum sempat pulang, jadi tidak tahu apakah ia ada di sana. Baiklah aku pergi

sekarang. Ronggolawe -" 

     TribuanaTunggadewi  memegangi tangan abangnya. 

     Berkata, panik: "Bilanglah, Bang Raden hanggareksa . rsi Kertajaya  masih hidup!" 

     Bukan Raden hanggareksa  yang menjawab. 

     Melainkan ketokan keras di pintu depan. lalu  bunyi bel yang berdering-dering. 

     TribuanaTunggadewi  sesak nafas. 

     Raden hanggareksa  menghiburnya dengan kata paling manis: 

     "itu rsi Kertajaya  tentunya," 

     Lalu ia bergegas membuka pintu depan,ia mengenali wajah dua orang tetangga 

     Salah seorang, ketua er-te. Ketua er-te itulah yang dengan wajah murung dan suara gagap

memberitahu: 

     "Kami menemukan ma _ eh, menemukan Pak rsi Kertajaya ." 

     Dada Raden hanggareksa  bergemuruh keras. 

     Ia menarik kedua tamu itu menjauhi rumah adiknya, lantas bertanya gelisah: 

     "Di mana?" 

     "Rumahmu. Yang sedang dibangun." 

     "Ia...." 


     Kedua orang tetangganya saling pandang. Enggan mengatakan. 

     Akhirnya Raden hanggareksa  berjalan meninggalkan mereka. ketua er-te dan temannya lalu  menguntit

diam-diam di belakang, sambil berbisik-bisik prihatin. 

     Semakin dekat ke rumah yang dituju, semakin Raden hanggareksa   was-was dan takut, ia mengenali

beberapa orang tetangga yang tadi ia lihat di tempat mpu Jenggala , kini berjalan setengah berlari ke

arah sama. Membelok di samping jalan, rumah setengah jadi itu mulai tampak di kejauhan. 

     Dan banyak sekali orang berkerumun. 

     Seperempat jam sebelum Raden hanggareksa  diberitahu,seorang penjual sayur lewat di depan rumah itu. 

     Ia tertarik mendengar salak anjing yang ribut. saat  ia menoleh, Ia lihat seekor anjing

melompat-lompat di bagian dalam rumah sambil terus menyalak dan melolong. Sedang anjing lain

mengendus-endus dari luar lewat kusen jendela kuburan . 

     Penjual sayur meletakkan pikulannya. 

     Ia masuk ke halaman sambil mengusir kedua ekor anjing itu yang segera kabur terbirit-birit

dengan ekor terlipat di paha. Mendadak si penjual sayur tertegun. Matanya menangkap sebuah kaki

telanjang, kotor dan pucat. Dengan jantung berdebar, ia terus saja mendekat meski hati kecilnya

menyuruh lari. 

     Lalu ia terpekik ngeri. 

     Di lantai tanah, terbujur kaku mayat seorang laki-laki. Wajah dan kulit mayat itu mengeriput. 

     Tak ada darah. 

     namun  dadanya berlubang. 

      

     

     

     Jenazah bayi mpu Jenggala  dimakamkan pukul dua siang. Tidak begitu banyak orang hadir. Mungkin

mengingat reputasi buruk suami istri yang tertimpa musibah itu. Mungkin pula sebab  sebagian orang

lebih suka ikut sibuk mengerjakan apa saja untuk meringankan beban keluarga TribuanaTunggadewi  yang tengah

berkabung. Selagi para pengantar jenasah tekun mengikuti pembacaan do'a oleh seorang ustad. Dua

orang laki-laki terus saja bekerja, tidak jauh dari kuburan si bayi. 

     Kedua orang itu sedang menggali liang lahat baru. 

     Paling lambat pukul empat sore, kuburan baru itu harus siap pakai. namun  sampai pukul empat

lebih seperempat, jenasah rsi Kertajaya  belum juga diberangkatkan dari rumahnya. Di antara Suara raung


dan tangis, Raden hanggareksa  sibuk bertengkar dengan seorang pejabat polisi setempat. 

     "Tidak!" 

     Ia berkata ngotot. Mukanya merah padam. 

     "Mayat itu tidak boleh kalian jamah." 

     Lawan bicaranya menerangkan dengan sabar: 

     "namun  kami harus melakukan autopsi. Kuat dugaan, adik ipar Bung Raden hanggareksa  mati dibunuh." 

     "Dibunuh? Oleh siapa?" 

     Raden hanggareksa  menantang. 

     "Terus terang, kami belum tahu," 

     Pejabat polisi itu berkata, sedikit bingung. 

     "Memerlukan tempo untuk mengusutnya. Bung Raden hanggareksa  sudah lihat sendiri. Hampir tak ada jejak

atau petunjuk di tempat mayat ditemukan." 

     "Oke. Kalian carilah pembunuh biadab itu," 

     "Jadi, kami boleh mengambil mayat rsi Kertajaya ?" 

     "Tidak!" 

     Seorang tua datang mendekat. 

     "Aku lurah di daerah ini." 

     Ia mengenalkan diri pada si pejabat. 

     "Boleh saya menengahi?" 

     "Silahkan." 

     "Hiburlah adikmu, Nak Raden hanggareksa ," 

     Lurah mengusir Raden hanggareksa  secara halus, ia menunggu sampai Raden hanggareksa  pergi, lalu  menarik

lengan si polisi menjauhi keramaian orang di dalam rumah. 

     "Tengah malam tadi, rsi Kertajaya  masih hidup." katanya. 

     "Jam berapa tepatnya ia meninggal?" 

     Pejabat polisi membuka buku notes. Lalu: 

     "Menurut dokter kami, rsi Kertajaya  meninggal sekitar pukul satu dua puluh dinihari. Apa yang ingin

bapak ceritakan?" 

     "Tak banyak," 

     Lurah mengelus jenggot putihnya, dengan wajah masygul. 

     'jadi tidak sampai dua belas jam saat  mayatnya ditemukan. Waktu yang teramat singkat untuk

membuat mayat berbau sedemikian busuk," 

     Lurah ingin meludah, namun  ia menahan diri. 

     "Mati sebab  keracunan dapat saja menimbulkan bau busuk sebelum waktu yang normal," bantah

polisi itu. 


     "Apakah kalian menemukan darah? Walau setetes?" 

     "Itulah yang mengherankan!" 

     Yang ditanya merasa jabatannya tiba-tiba dipertaruhkan. 

     "Tak setetes pun yang tersisa Di sekitar mayat. Bahkan dalam tubuhnya." 

     "Masih ada lagi," 

     Lurah menarik nafas. 

     "Racun apa yang membuat mayat rsi Kertajaya  begitu rusak mengerikan? Kulitnya kering. Berkeriput. Biji

matanya pun sangat menjorok ke dalam. Seolah sesuatu yang masuk ke tubuhnya, lewat dadanya,

ingin sekalian menyedot biji matanya itu." 

     "Pak lurah berlebihan," 

     Mau tak mau, sang polisi bergidik. 

     "Aku mengatakan apa adanya. Kalian tidak akan pernah tahu, makhluk apa yang telah

membunuhnya. " 

     Wajah pejabat polisi itu cerah sedikit 

     "Jadi bapak sependapat dengan kami, rsi Kertajaya  telah dibunuh. Saya harap, bapak berkenan pula

membujuk keluarga almarhum supaya kami dapat mengurus mayat itu. Melalui pemeriksaan

laboratorium, sebab kematiannya pasti ditemukan." 

     "Menyesal sekali, saya tak dapat" 

     "Oh!" 

     Sang pejabat, kembali patah hati. 

     "Bapak pulang saja ke kantor. Buatlah laporan apa saja. namun  sesudah  itu, lupakanlah mayat

rsi Kertajaya ." 

     "Ini perintah?" 

     Sang pejabat tersinggung. 

     "Maafkan saya," 

     Lurah membungkukkan kepala. Hormat dan menyesal. 

     "Saya harus pergi." 

     "Tidak keberatan saya ikut?" 

     "Saya bukan mau ke dalam rumah, Pak Letnan. Saya akan pergi Ke tempat jauh.  sangat jauh." ! 

     "Ingin menemui seseorang?" 

     "Persis." 

     "Siapa, kalau boleh saya tahu?" 

     Pejabat polisi itu membuka notesnya kembali, siap mencatat. 

     Lurah memandangi notes. Tak acuh. Katanya: 

     "Saya akan menemui bekas guru saya. Ia seorang ahli kebathinan," 


     Lantas lurah berlalu sesudah  mengangguk sopan. Meninggalkan si Letnan Polisi termangu-mangu

sendirian. 

     

     ***** 

     

     Seusai-upacara pemakaman rsi Kertajaya , Raden hanggareksa  pulang ke rumah ibunya sebentar untuk berganti

pakaian. lalu  ia kembali ke rumah TribuanaTunggadewi . Hampir semua keluarga maupun kerabat memenuhi

seisi rumah. Ratap tangis tidak lagi sehebat tadi siang,namun  gaungnya masih tetap saja mengharu

biru. TribuanaTunggadewi  pingsan berkali-kali. Ia ditemani ibunya dan ibu rsi Kertajaya  di kamar. Di dapur kaum

ratu lesbi  sibuk mempersiapkan jamuan untuk tamu yang mau tahlilan. 

     Habis kencing di jamban, Raden hanggareksa  berpapasan dengan seorang gadis semampai. Rambutnya yang

lebat panjang disanggul di atas kepalanya yang manis bentuknya .Wajahnya tidak begitu cantik.

namun  sinar matanya yang senantiasa tampak sejuk, benar-benar merupakan tempat berteduh paling

menyenangkan. Belum lagi betisnya yang panjang, memberi daya tarik tersendiri. 

     "Hai, Bang," 

     Gadis itu yang mula-mula menyapa. 

     "Oh Kau. NYI girah ," 

     Jantung Raden hanggareksa  berdetak. 

     "Kapan tiba?" 

     "Baru saja. Dijemput Sumarna." 

     "Uh! Mestinya Sumarna tak perlu membuatmu ikut repot," 

     Raden hanggareksa  menyesali adiknya. 

     "Aku toh calon istrinya, Bang Raden hanggareksa ," 

     NYI girah  tersenyum manis. 

     Ucapan itu sebenarnya tidak punya maksud tersembunyi. Namun Raden hanggareksa   diam-diam merasa

terpukul. Agak risih ia balas senyuman NYI girah  

     "Maaf ya. Aku harus menemani tamu-tamu di depan," 

     Lalu Raden hanggareksa  berlalu dengan jantung terasa meleleh. 

     namun  Raden hanggareksa  tak mampu bertindak sebagai tuan rumah yang baik, ia tak bisa menyembunyikan

wajah murung, dan sifat pendiam yang datang tiba-tiba saja. Sampai ia berseru kaget kalau ditegur

seseorang. Raung tangis yang datang dari kamar TribuanaTunggadewi ,membuat hatinya semakin melilit. Ucapan

belasungkawa yang setiap saat ia terima dan tamu, tidak mengurangi tekanan jiwanya 

     Ia lalu menemui Sumarna. 

     "Aku pergi sebentar," katanya. 

     "Abang mau ke mana?" 


     "Bukan urusanmu." 

     Tujuannya tidak begitu jauh. namun  udara malam yang mengandung kabut sungguh tak enak

ditempuh berjalan kaki. Maka ia meninggalkan rumah TribuanaTunggadewi  dengan mempergunakan mobil adik

iparnya. Sepuluh menit sesudahnya, ia telah memasuki pekarangan sebuah rumah besar model lama.

Hampir sama besar dan modelnya dengan rumah ibunya. 

     Tahu ada tamu, tuan rumah lekas membuka pintu. 

     "Oh. Nak Raden hanggareksa  kiranya," sambut seorang ratu lesbi  setengah umur. 

     Ramah, sambil membuka daun pintu lebar-lebar. 

     "Hebat, kau berhasil memukul mundur polisi yang streng itu." 

     "ibu kok tahu?" 

     "Aku dengar kalian berdebat Waktu aku mau pulang dari rumah adikmu," 

     ratu lesbi  setengah umur itu tersenyum. 

     "Kuharap kau baik-baik saja, Nak Raden hanggareksa . Ingin bertemu Rosida. ya?" 

     Raden hanggareksa  manggut ,tersipu. 

     "Sehari ini ia tidak keluar-keluar dari kamarnya." 

     Si ratu lesbi  bergumam lirih. "Tak masuk dulu, Nak Raden hanggareksa ?" 

     "Terimakasih, Bu. Dan eh. apakah ia... sakit?" 

     "Entahlah, Nak. Ida tak mau ditemui." 

     "Mudah-mudahan ia tidak mengusirku suka." rungut Raden hanggareksa  lalu  meninggalkan si

ratu lesbi  yang segera menutup pintu. 

     Raden hanggareksa  berjalan ke samping rumah menuju pavilyun. 

     Beranda gelap. 

     Begitu pula bagian dalam pavilyun. 

     Raden hanggareksa  mengetuk. 

     Lama, baru terdengar sahutan: 

     "Siapa?" 

     "Aku." 

     "Aku Siapa?" 

     "Alaaa .Cepatlah buka Aku kedinginan, ida." 

     Raden hanggareksa  sedikit kaget saat  lampu beranda menyala. Disusul lampu ruang depan pavilyun.

Seorang gadis membuka pintu tanpa ragu sesudah  mengenali suara orang yang datang. 

     Tanpa dipersilahkan Raden hanggareksa  melangkah masuk. Si gadis menepi memberi jalan. sesudah  pintu

ditutup kembali, Raden hanggareksa  berbisik kasar: "Kau satu-satunya orang yang kuharap, namun  tak hadir di

rumah adikku." 

     Rosida berbadan sehat dengan lekak lekuk tubuh yang tak puas sekali memandang. namun  pada


saat ia berdiri tepat di bawah lampu yang bersinar terang, kelihatanlah betapa wajahnya pucat. Bibir

atasnya tertonjol ke depan. Parit di bawah hidungnya tak tampak sedikitpun juga 

     "Gusimu kambuh lagi?" 

     Raden hanggareksa  melembutkan suaranya. 

     "Ya" 

     Raden hanggareksa  mengusap pipi Rosida. Usapan itu beralih ke leher, lalu pundak si gadis. Raden hanggareksa  berkata

terkejut: 

     "Panas sekali!" 

     "Nanti juga sembuh," 

     Si gadis mencoba tersenyum. Sungguh janggal dengan bibir atas menonjol tanpa parit itu. 

     "Sudah ke dokter?" 

     Raden hanggareksa  memeluk Rosida dan membimbingnya ke kamar tidur. sebab  ia sudah tahu jawaban

Rosida. Gadis itu paling enggan menemui dokter. Ia jarang sakit. Dan kalau sakit, pastilah pada

tempat yang sama Gusi bengkak, katanya Lalu sedikit demam, namun  dengan beristirahat satu dua

hari penyakitnya akan hilang sendiri. 

     "Bagaimana keadaan di sana?" tanya Rosida sambil duduk berjuntai di tepi ranjang, 

     "Seperti neraka." 

     "Adik iparmu sudah dikuburkan?" 

     "Sudah." 

     "Tentu ibumu bertanya-tanya dan kecewa, sebab  aku tak datang." 

     "Tak seorang pun mengingatmu, Ida. Dalam keadaan kacau begitu, hanya aku saja yang selalu

terkenang. Aku tak tahan mendengar jerit tangis di rumah, lantas aku pergi ke mari," ia mengawasi

Rosida yang masih saja duduk, lantas bergumam: 

     "Kau berbaringlah." ' 

     "Aku lebih sehat sekarang, Man. sesudah  melihatmu," 

     Rosida tersenyum. 

     Tetap janggal. 

     "Aku tak sesakit yang kau perkirakan. Hanya ya dengan tampang sejelek ini, tak berani aku

keluar rumah. Kuharap kau tak pula kecewa melihatku." 

     "Bukan sekali dua aku melihat mulut ikanmu," 

     Raden hanggareksa  tertawa. Maju selangkah, lalu  membungkuk mencium bibir Rosida. Bibir atas Rosida

terasa keras di bibir Raden hanggareksa . namun  lidahnya yang menggapai  lembut, hangat dan basah. 

     "Aku merindukanmu, Sayangku," 

     Ia berbisik di telinga gadis itu. 

     Rosida merangkulnya erat-erat. 


     Getaran tubuhnya bukanlah getaran birahi. Heran, Raden hanggareksa  bertanya lembut: 

     "Kau yakin, kau akan sembuh tanpa menemui dokter?" 

     Rosida mengangguk 

     "Dekap aku lebih kuat. Man," 

     Suaranya bergetar, ganjil. 

     "Oh. Dekap dan ciumlah aku sekali lagi." 

     Raden hanggareksa  mengawasi wajah Rosida 

     "Kau tampaknya... ketakutan, Ida?" 

     "Raden hanggareksa " 

     "Apa yang kau takutkan?" 

     "Aku tak apa-apa. Aku...." 

     "jangan berdusta. ida. Sudah lama aku mengenalmu dan mengetahui apa yang tersirat di balik

mata maupun Suaramu." 

     Rosida melepaskan diri dari rangkulan Raden hanggareksa . Berbaring di ranjang dengan kelopak mata

terpejam. Dadanya naik turun, gelisah. "Aku ingin pulang, Raden hanggareksa ," ia berkata. 

     Datar. 

     "Pulang?" 

     "Ya. Ke orang tuaku. Sudah bertahun tahun aku tidak melihat mereka. Aku memang selalu

mengirim uang. Atau surat. namun  itu tidak cukup. Tiba-tiba aku ingin sekali berkumpul lagi dengan

mereka. Dengan adik-adikku yang masih kecil. Dengan tetangga Kerabat. Teman-teman masa kecil.

Kampungku memang sangat jauh di pedalaman Sumatera, Raden hanggareksa . namun  kampung terpencil itu kini

memanggilku pulang." 

     "Kau tidak serius, ida," 

     Raden hanggareksa  berkata, kecut. 

     "Aku sungguh-sungguh." 

     "namun  kita akan menikah." 

     "Bila?" 

     "sesudah  rumah kita selesai. Jangan lupa. uangmu ikut tertanam di rumah itu, Ida. Tak lama lagi

kita akan." 

     'Tak lama?" 

     Rosida memandang Raden hanggareksa , sedih. Ia geleng-geleng kepala, lantas mengeluh: 

     "Simpananku sudah habis, Sayang. Begitu pula kau. Sedang kita masih memerlukan biaya yang

tidak sedikit untuk menyelesaikan rumah itu. Tidak, Raden hanggareksa . Biarkan aku pulang. Biarkan aku jauh

dari tempat yang menakutkan ini. Aku....." 

     Raden hanggareksa  terkesiap. 


     Ia naik ke ranjang. Duduk di sebelah Rosida lalu dengan lembut memegang tangan gadis  itu. 

     "Bukan sebab  panggilan kampung halaman, kalau begitu." 

     "Apa apa maksudmu?" 

     Rosida membuka matanya. 

     "Kau takut. Takut dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Terutama, takut terhadap rumah yang

sedang kita bangun. Katakan saja terus terang, Ida." 

     "Raden hanggareksa , sayangku." 

     Rosida menarik tubuh Raden hanggareksa , merangkulnya rapat ke tubuhnya sendiri. Getaran di dadanya,

keras dan tidak teratur. 

     "Kau tak mengerti." 

     "Aku mengerti," desah Raden hanggareksa . getir. 

     "Kau percaya pada tahayul itu. Pada dongeng memuakkan tentang rumah kita!" 

     "Lantas, Raden hanggareksa . Apa pula pendapatmu? Ayahmu meninggal sebab  rumah itu...." 

     "Ia meninggal terkena arus listrik, Ida!" bentak Raden hanggareksa  marah. 

     Ia lalu  duduk serentak. Marah. 

     "Arus listrik, benar. namun  kabelnya berasal dari rumah itu." 

     "Hanya kebetulan. Semua orang berkata demikian. Ida. Hanya kebetulan saja ayah ada di sana. Ia

mau menagih uang dari pengontrak itu. Kesalahan ayah, cuma tak pandang waktu. Tahu hujan deras

dan petir menyambar, ia pergi juga ke sana. namun  cobalah maklumi ayahku, Ida. " 

     "Pengontrak rumah itu telah menunggak satu tahun. Kalau dibiarkan terus.... Hehhh. Mestinya

ayah memilih waktu yang lain saja. namun  itulah takdir, Ida. Takdir menghendaki petir menyambar

saluran kabel ke rumah itu. Salah satu kabel putus, jatuh menimpa ayah. Sederhana, bukan? Tidak ada

unsur jahat dalam peristiwa itu. Apalagi, roh gentayangan." 

     "Bagaimana dengan para penyewa yang menempati rumah itu, Raden hanggareksa ?" 

     Rosida tidak mau kalah. 

     "Selama sepuluh tahun, tiga keluarga telah menempatinya secara bergiliran. Dan tiap kali mereka

pindah. tiap kali salah satu anggota keluarga mereka tidak ikut pindah." 

     "Tak ada hubungan!" 

     Raden hanggareksa  berkata jengkel. 

     "Kau kan sudah tahu dari cerita orang-orang. Korban pertama mati ditabrak mobil di tengah

kota. Korban kedua, mati sesudah  berkelahi dengan teman sekolahnya. Dan anak kecil malang, korban

terakhir mati sebab  tetanus." 

     "Ia bukan korban terakhir, Raden hanggareksa -.." 

     Sesaat , Raden hanggareksa  terdiam. Dua tahun terakhir rumah yang diwariskan untuknya tidak lagi disewa

orang. Rumah pembawa sial, begitu bunyinya promosi buruk itu. Dua tahun rumah itu kosong, tak


ditempati .Sesekali Raden hanggareksa  tidur pula di sana. Tak ada gangguan apa-apa. Ia tetap hidup dan sehat.

Lalu rsi Kertajaya  membongkar rumah itu. 

     Dan rsi Kertajaya  mati. 

     "Kematiannya sangat menyeramkan bukan, Raden hanggareksa ?" bisik Rosida, menggigil. 

     "Tak ada yang tahu apa penyebab kematiannya, itulah yang kudengar dari induk semangku.

Ataukah kau telah mengetahuinya, dan tidak mengatakan pada orang lain?" 

     Raden hanggareksa  tidak tahu harus menjawab apa. 

     Ketegangan yang merayapi dirinya semenjak rsi Kertajaya  meninggal, kembali muncul. Ia mencengkeram

sprei tempat tidur, lalu sebagai pelarian ia berkata kesal: 

     "Baiklah Kita pikirkan rumah itu lain kali. Kita dapat menetap di sebuah rumah lain. Jadi kau

tidak perlu pulang kampung sekarang!" 

     "Mendekatlah, sayang," 

     Rosida menggapai, lembut. 

     "Aku tahu, seperti aku, kau pun diam-diam menyimpan rasa takut. Ayolah. Peluk aku, kekasih dan

mari kita lupakan obrolan terkutuk itu!" 

     Raden hanggareksa  merangkul Rosida. Gadis itu membuka mulut, dengan mata setengah terbuka. Bukan

waktu yang tepat. Bukan pula perbuatan yang pantas. namun  mereka berdua sama-sama tegang.

Sama sama memerlukan penyaluran untuk mengurangi ketegangan itu. Dan salurannya cuma satu. 

     Setengah jam berlalu. 

     lalu , baik Raden hanggareksa  maupun Rosida sama-sama terkulai di bawah selimut. Letih namun 

menyenangkan. 

     "ida?" 

     Raden hanggareksa  menyeka keringat yang membasahi wajah si gadis. 

     "Mmm?" 

     Rosida membuka matanya . 

     Setengah mengantuk. 

     "Apa kata orang, kalau mereka tahu apa yang kita lakukan malam ini?" 

     "Aku tak perduli." 

     "Kau mencintaiku?" 

     "Melebihi segalanya," 

     Rosida tersenyum. 

     Ia menyambar apa saja. Yang terpegang, blousenya sendiri. Blouse yang terkapar dekat kakinya

itu dipergunakan sebagai lap untuk menyeka pula peluh yang membanjiri punggung kekasihnya. 

     "Ingin mengatakan sesuatu?" 

     "Ya." 


     "Ayolah. Tak usah malu-malu," 

     Rosida mencium bibir Raden hanggareksa . 

     "Kau batal pulang." 

     Raden hanggareksa  bergumam, penuh harap. 

     Usapan tangan Rosida di punggung kekasihnya, tertegun sebentar. saat  ia meneruskannya,

suara Rosida terdengar bimbang: 

     "Aku tidak tahu." 

     "Aku tak bisa jauh darimu, Ida." 

     "Lebih-lebih aku, Raden hanggareksa  sayang' 

     Mereka berciuman lagi. Dan menikmati hubungan intim seperti tadi, kali ini lebih lama.

Menjelang subuh Raden hanggareksa  pamit, tanpa janji apa-apa dari Rosida. saat  berjalan menuju mobil yang

terparkir di halaman, dengan cemas Raden hanggareksa  melirik ke rumah induk. Sepi dan gelap. Belum ada

penghuni rumah induk yang bangun. Dan semoga, tidak pula ada yang nguping. 

     Raden hanggareksa  menghidupkan mesin mobil. 

     Gerungnya lembut. 

     Namun toh sempat membuat Raden hanggareksa  kembali melirik ke rumah induk. 

     Masih saja sepi. 

     Ia meluncur ke jalan, diam-diam. Sebelum tancap gas, sempat ia melihat wajah Rosida di balik

kaca jendela kuburan  depan pavilyun. 

     Raden hanggareksa  melambai. 

     Dari tempatnya berdiri, Rosida balas melambai. 

     Sambil bergumam, sakit: 

     "Bagaimana aku harus mengatakannya kepadamu, Raden hanggareksa ?" 

     Ia menyeka bibirnya. 

     Yang atas. 

     Tonjolannya tidak sebesar tadi malam. Tak lama lagi, parit di bawah hidungnya akan timbul

kembali,ia akan kembali sehat Kembali lebih cantik. Lebih segar dari semula. 

     namun  hatinya,terasa bertambah sakit. 

     

     ****** 

     

     Empat 

     

     nyonya  menatap tamunya tak senang. Ia berkata dingin: "mpu Jenggala  boleh saja membiarkan

kuburan anaknya digali. namun  kuburan menantuku, jangan coba" 


     Tamu itu berperawakan kecil Kurus. Pembawaannya tenang, dengan sinar mata jernih dan mulut

senantiasa memperlihatkan senyum bersahabat. Orang semacam dia biasanya tidak suka mencari

musuh namun tak akan menghindar kalau bertemu. 

     "Aku tidak bermaksud buruk," katanya, sabar. 

     "Mungkin tidak. namun  dapatkah bapak memahami bagaimana perasaan kami? Anak ratu lesbi ku

sedang berdukacita. Begitu ia dengar kuburan suaminya dibongkar  penderitaannya akan

bertambah-tambah. Apapun yang bapak perbuat, toh suaminya tidak akan hidup kembali...." 

     "Paling sedikit, kita tahu penyebab kematian suaminya." 

     "Oh ya? Lantas cerita burung yang memalukan akan sampai di telinga semua orang. Ada

segelintir orang yang tidak menyukai TribuanaTunggadewi . Mengungkapkan rahasia kematian suaminya. akan

membuat namanya semakin tercemar. Lalu apa pula nanti kata besanku, calon mertua Sumarna?

Belum lagi tunangan Raden hanggareksa . Aku sudah tua. Pak! Tak lama lagi aku pun akan mati seperti... seperti

suamiku." 

     nyonya  menelan ludah, pahit. 

     "namun  nama baik keturunanku, harus tetap terjaga." 

     Lurah yang diam saja dari tadi, membuka mulut mau mengutarakan Sesuatu. Namun keburu

dicegah orangtua yang ia antar berkunjung menemui nyonya . 

     "Apa bolah buat. Saya sekedar ingin membantu." 

     Orang tua itu bergumam tenang. Tak ada tanda-tanda kecewa atau sakit hati baik di wajah

maupun dalam nada suaranya .Sambil bangkit dari duduknya, ia berpesan pada tuan rumah 

     "Kurangilah keluar malam. Sedapat mungkin, jauhi pula tempat-tempat yang basah berlumpur." 

     Mereka lalu pamit. 

     sesudah  lama saling berdiam diri, di tengah perjalanan lurah bertanya: "Apa maksud eyang tadi?" 

     "Yang mana?" 

     "Mengurangi keluar malam. Menjauhi tempat...?" 

     "Oh. itu," 

     Si tua kurus mengusap dagu. 

     "Aku mencium bau busuk di sekitarku." 

     "Mengapa harus malam?" 

     "Roh jahat, nak, hanya berani keluar malam." 

     "Lalu tempat basah berlumpur?" 

     "Bukankah kau sendiri yang bilang? Tak ada setetes darah pun di tubuh rsi Kertajaya . Kau bilang kau

telah menyaksikan sendiri di sekujur kulit wajah maupun tubuh rsi Kertajaya  yang mengeriput kering,

terdapat lendir melekat. Lendir berlumpur." 

     "Itu tidak membuktikan apa-apa, Eyang." 


     "Di matamu, tidak. Di bathinku, lain lagi?" 

     Orangtua itu tersenyum . 

     Lurah diam saja. Ia percaya apa yang dituturkan bekas gurunya itu. Lama waktu berselang saat 

ia masih tinggal di padepokan sang guru, ia pernah menjerat seekor celeng hutan yang kesasar.

Sewaktu ia akan menyembelih celeng tersebut, gurunya melarang. 

     "Manusia itu jahat. namun  jangan membunuhnya," ujar sang guru. Mereka lalu  menunggu

matahari terbit sementara celeng yang terjerat memperdengarkan suara mengik-mengik pilu. Begitu

matahari pagi membersit di ufuk Timur, gurunya menutup seluruh tubuh celeng dengan kain sarung.

Berdo'a sebentar, lantas berujar: "Bukalah kain sarung itu." 

     saat  ia buka, bukan celeng yang dilihat lurah. 

     Melainkan sesosok tubuh laki-laki, yang meringkel gemetar dan wajah pucat pasi ketakutan. 

     "Pulanglah," 

     Gurunya berkata pada  laki-laki itu. 

     "Kalau mau cepat kaya, rajinlah berusaha. Temui istrimu, dan minta ampunlah kepada Tuhan.

Jangan coba ulangi perbuatanmu yang jahat itu. Sekali kudengar kau melakukannya lagi, kau akan

kukejar biar ke ujung langit!" 

     'hutan larangan ?" 

     Lurah tersadar dari lamunan masa lalu. Mereka telah sampai di terminal bus, dekat pasar. 

     "Ya, eyang?" 

     "Tentang bayi itu...." 

     "Bayi mpu Jenggala ?" 

     "He, eh. Bayi malang itu. Aku tak mau berdusta padamu. sebab  itu baiklah kujelaskan. Kau

benar. Bayi itu bukan mati sebab  penyakit kekurangan darah. Kematiannya datang perlahan lahan.

Bukan penyakit. Melainkan, perbuatan roh jahat. Aku belum tahu roh macam apa. Yang aku tahu, roh

itu memuaskan dahaganya dengan menghirup darah bayi...." 

     Pundak Lurah hutan larangan  meremang. 

     "Dapat kau musnahkan, Eyang?" 

     "Barangkali. Dengan syarat." 

     "Apa?" 

     "Beritahu aku secepatnya, apabila kau dengar ada bayi lain mengalami nasib sama .Agar tidak

merepotkanmu. kujelaskan beberapa penanda. Umur si anak berkisar antara satu dan tiga tahun. Bila

ia terserang roh jahat seperti yang kuduga, biasanya ia menangis menjerit-jerit sejak tengah malam

sampai pagi. Mungkin lebih pendek waktunya. namun  selalu terjadi tengah malam. Tubuhnya panas

seperti bara api. Kulit pucat kering. Jangan cari bekas luka (gigitan atau semacamnya. Lihat saja.

Apakah jari tangan atau jari kaki bayi itu lebih kecil dari biasa." 


     Lurah hutan larangan  menjilati bibir. 

     "lalu , aku harus berbuat apa eyang?" 

     "Seperti kukatakan tadi." 

     Orangtua itu menjawab ramah. "Cepat hubungi aku" 

     "Eyang... eyang mau pulang sekarang? Tidak menginap dulu? Isteriku telah..." 

     "Sampaikan salam dan terimakasihku pada isterimu, hutan larangan . Aku harus pergi. Ada beberapa orang

sakit yang membutuhkan pertolonganku. Dan eh. kau punya tembakau?" 

     Lurah hutan larangan  merogoh saku kemeja safarinya. Ia keluarkan sebungkus tembakau. Dan sepucuk

amplop. Di dalam amplop telah ia selipkan dua lembar uang kertas lima ribuan. Tembakau diterima

dengan senang hati. Amplop ditolak dengan ucapan: 

     "Biasakan untuk tidak merendahkan martabat gurumu. hutan larangan ." 

     Lurah hutan larangan  malu sekali. 

     Satu-satunya bus di terminal yang menuju keluar kota, siap berangkat. Gurunya naik

tertatih-tatih. 

     Mereka saling mengucapkan salam. 

     Kalau ada bayi lain! 

     'Tuhanku!" 

     Lurah hutan larangan  bergidik. 

     "Jangan lagi. Jangan cucuku!" 

     Disertai do'a sangat egois itu Lurah hutan larangan  melompat naik sebuah Oplet yang kebetulan lewat. Tiba

di rumah salah seorang anaknya, Lurah hutan larangan  berlari-lari masuk seraya berseru seru: 

     "Legoh! Cucuku begoh, mana dia hah?" 

     Menantu ratu lesbi nya yang sedang menanak nasi di dapur kaget setengah mati.

Tergopoh-gopoh ia menyongsong mertua yang muncul seperti hantu kesiangan itu. 

     "Legoh Mana dia?" ulang pak lurah, kalang kabut. 

     Sang menantu pergi keluar rumah dan mengambil anaknya yang berusia tiga tahun dan sedang

asyik bermain petak umpet di halaman rumah tetangga. Lurah hutan larangan  segera menyambar anak itu dan

berteriak panik: 

     "Badannya panas!" 

     'Tentu saja, Pak," sahut menantunya. 

     'Hari sangat panas dan sejak tadi ia bermain di luar." 

     "Legoh, cucuku sayang!" 

     Lurah hutan larangan  memeluk cucunya yang kebingungan. 

     "Mana tangan dan kakimu. Coba kulihat." 

     Sebentar lalu : 


     "Uh. Bau pesing. Kau menginjak apa tadi, Legoh?" 

     "Tahi ayam. Aki!" 

     Lurah ]okoh bergegas menurunkan cucunya ke lantai. 

     "Hayo. Pergi sana. Cuci kaki!" 

     Ia berteriak. Habis berteriak.Ia  dekatkan tangan yang tadi memegang kaki cucunya.

Digerak-gerakkan di depan hidung lantas menggerutu: 

     "Sial!" 

     "Habis?" 

     Menantunya tertawa hergelak. 

     "Sudah tahu bau. Masih dicium!" 

     Sepeninggal lurah hutan larangan  dan gurunya, nyonya  bersijingkat menuju kamar tidur anaknya. Hati-hati

pintu ia buka. Sudah dua hari TribuanaTunggadewi  tidak dapat tidur. Kini tampak ia lelap sekali berkat obat

penenang yang diberikan dokter. Tangan TribuanaTunggadewi  memeluk Noni bayinya yang bulan lalu menginjak

usia satu tahun. Bayi itu menggeliat. namun  begitu menemukan puting Susu ibunya yang sengaja

dibiarkan terbuka. Noni mengenyot lalu tidur kembali. 

     Syukurlah Ronggolawe  tak mendengar kedatangan kedua tamu mereka. Pikir nyonya . Pintu ia tutup lalu

mengambil  tasnya. Pergi ke dapur. 

     "Bi?" 

     Pelayan mematikan mesin cuci. 

     "Ada apa. Juragan?" 

     "Kalau Ronggolawe  bangun. katakan ibu pulang sebentar. Nanti malam ibu kembali lagi." 

     "Baik, Juragan." 

     "Tutup pintu ini rapat-rapat. Dengung mesin cuci itu dapat membuat Ronggolawe  terbangun," 

     nyonya  mengingatkan, dan masuk lagi ke dalam. Bersijingkat pelan saat  melewati kamar

anaknya. Saking hati-hati. ia terpekik sendiri waktu telepon berdering-dering. nyonya  berlari ke meja

kerja rsi Kertajaya  dan mengangkat telepon cepat-cepat. 

     "Ya?" 

     Ia berbisik. 

     Namun tetap saja percuma. Ia lupa telepon itu punya saluran di kamar TribuanaTunggadewi . Selagi nyonya 

mendengarkan pembicaraan orang di seberang sana, terdengar bunyi detak lembut. Disusul desah

TribuanaTunggadewi , menyela: 

     "Biarkan kuterima. Bu." 

     Terjengah, nyonya  meletakkan gagang telepon yang ia pegang. 

     lalu  ia duduk. Menunggu. 

     Tak lama, TribuanaTunggadewi  membuka pintu kamarnya. Kelopak matanya bengkak. Mata pun merah. 


     "Tidurlah lagi," 

     nyonya  menelan ludah. 

     "Ibu mau pulang?" 

     "He, he. Tidurlah lagi." 

     "Nanti saja. Ada yang perlu kukerjakan," 

     TribuanaTunggadewi  membuka laci meja dan mengeluarkan setumpuk map. 

     "Kau tidak meminum obatmu," 

     nyonya  menuduh. 

     "Kuminum, Bu. Mataku memang mengantuk. namun  pikiranku terus berjalan...." 

     TribuanaTunggadewi  menemukan map yang ia perlukan lalu sibuk menekuni selembar daftar penuh

angka-angka yang ditulis tangan. Tercantum nama seorang di sudut atas daftar. Tentu si penelepon

tadi. 

     "Dagang lagi?" tanya nyonya , kecewa. 

     "Aku dan anakku harus tetap hidup, Bu." 

     "namun  suamimu...?" 

     "Ia sudah mati, bukan?" rungut TribuanaTunggadewi . Datar. "Yang ia tinggalkan untuk anaknya, cuma sebuah

perusahaan yang terancam bangkrut. Selama ini pun. uangku lebih banyak ia pakai, ketimbang

gajinya tiap bulan...." 

     "Astaga, Nak!" 

     "Baiklah, Bu," 

     TribuanaTunggadewi  terhenyak di samping ibunya. "Aku memang tahu, rsi Kertajaya  orang jujur. Ia mau semuanya

berjalan bersih, tanpa setitik noda. Akan namun , ini bisnis, Bu. Dalam dunia bisnis diperlukan

kelihaian. Sifat jujur dan percaya pada orang lain, tak lagi dipakai. Kelihaian, Bu. Kelihaian. Main di

sini. Main di sana. Harus pula pintar sulap. Merubah angka misalnya. Semua orang sudah tahu.

Mereka menerimanya. Asal rejeki dibagi-bagi...." 

     TribuanaTunggadewi  menghela nafas. Lanjutnya: 

     "rsi Kertajaya  setia membagi rejeki yang ia peroleh. namun  main sulap? Ia tak berbakat!" 

     "Kau membuatku bingung. Nak. Sekaligus. takut." 

     TribuanaTunggadewi  menyeringai. Sumbang. 

     "Mestinya ibu gembira," katanya. 

     "Orang yang menelpon tadi akan membayar semua tunggakannya dan memesan beberapa kodi

pakaian untuk dijual kredit. Biar aku sudah janda, keuntungan tetap mengalir bukan?" 

     nyonya  berusaha mencerna kata-kata anaknya. Ia juga janda. sesudah  suaminya meninggal, ia

terpaksa mencari kesibukan untuk mengurangi duka cita. Mengurus anak-anak, teutama si Raden hanggareksa 

petualang yang berandalan itu. Melihat-lihat sawah dan kebuh cengkeh peninggalan si suami.


Mendatangi penyewa rumah, kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki. TribuanaTunggadewi  benar. Usaha dagangnya

harus tetap berjalan . 

     Dengan perasaan terharu, nyonya  berkata: 

     "Kau persis ayahmu. Tak mau melepaskan setiap kesempatan." 

     nyonya  resah gelisah. Apalagi sesudah  ia tiba di rumahnya. Raden hanggareksa  baru saja selesai mandi.

Masih berhanduk, Raden hanggareksa  berkata pada ibunya: 

     "Kupikir hakku atas rumah itu lebih baik kulepaskan, Bu." 

     "Aduh, Nak. Mengapa?" 

     "Bagus dijual saja. Sebagian uangnya pergunakan membayar utangku pada si Ronggolawe . Sebagian kecil,

mengembalikan tabungan Rosida yang sudah terpakai. Sisanya cukup banyak untuk bekal Sumarna

kawin. April, bukan?" 

     "Kau menyimpan sesuatu," ucap nyonya , kuatir. 

     Raden hanggareksa  terduduk. lesu. 

     Katanya. 

     "Rumah itu berhantu!" 

     

     ***** 

     

     

     Malam itu, penyakit tak bisa tidur hinggap di kepala nyonya . Ia melarang Sumarna pergi untuk

kencan dengan NYI girah . 

     "Besok saja kau temui dia. Besok malam Minggu, bukan?" 

     Lalu Sumarna ia ajak ngobrol tentang apa saja. Sampai mereka berdua mengantuk. 

     Di percetakan, Raden hanggareksa  sama gelisah. 

     Tepatkah keputusannya menjual tanah dan rumah itu? 

     rsi Kertajaya  pasti kecewa. Adik iparnya itu sampai melupakan sebuah proyek lain sebab  mencurahkan

perhatian pada rumah Raden hanggareksa . 

     "Aku merencanakan sebuah model paling indah yang pernah kubuat," 

     rsi Kertajaya  pernah berkata dengan bersemangat. 

     "Rumah mungil tapi antik. Kau dan Rosida akan jatuh cinta pada rumah itu begitu selesai

kurampungkan." 

     sebab  kekurangan modal, rencana rsi Kertajaya  terbengkalai. Namun meski demikian, rumah setengah

jadi itu sudah tampak bentuk. Belum pernah Raden hanggareksa  melihat rumah demikian. Biar belum jadi ia telah

menyukainya. Rosida malah telah jatuh hati. 

     "Ditawar berapa pun, haram aku melepaskannya." 


     Gadis itu sampai bersumpah. 

     Lalu rsi Kertajaya  mati. 

     Rosida ketakutan. 

     Bersikeras ingin pulang kampung, Tak acuh sama sekali pada rumah mereka. Rumah pembawa

sial itu ditujukan untuk bangunan lama. Dan untuk bangunan baru lebih mengerikan: rumah berhantu!

     Malam yang sama di sebuah rumah lain. Seorang ratu lesbi  berdiri gelisah di balik jendela kuburan  kaca.

Matanya sedari tadi tak berkedip menatap langit biru jernih. Ia tidak sedang menghitung jumlah

bintang gumintang. sebab  di bola matanya, hanya ada pantulan rembulan empat belas. Mata itu

terpentang lebar. 

     "Mestikah aku melakukannya lagi?" 

     Ia berbisik. ' 

     namun  dadanya begitu kosong. Kerongkongan pun terasa kering kerontang. Menggigit, perih. 

     "Aku haus!" 

     Ia merintih. 

     "Haus! Haus! Haus!" 

     ratu lesbi  itu lalu  bergerak mundur menuju tempat tidur. Kamarnya gelap. Cahaya

rembulan yang mengintai lewat jendela kuburan , menjilati wajahnya. Wajah yang tegang. 

     Kaku. 

     "Rembulan. Jangan biarkan aku mati sebab  dahaga." 

     Sinar rembulan semakin terang. ratu lesbi  itu gemetar hebat. Sambil kumat kamit tak karuan ia

menyusun bantal serta guling di tempat tidur. Ditutupi sehelai selimut. Sepintas lalu tampak seperti

orang tengah tidur pulas. 

     Ia lalu merangkak ke bawah tempat tidur. 

     Di situ sudah tergelar sehelai tikar. Dengan nafas sesak, si ratu lesbi  berbaring di kegelapan

kolong ranjang. Mata dipejamkan. Mulut terus kumat kamit.Kian berisik Kian kacau balau. Lalu

pelan-pelan kedua telapak tangan bergerak ke arah leher jenjang mulus. 

     "Pergilah!" 

     Ia berkata setengah memerintah. Telapak tangan mendorong leher. Makin lama, makin kuat. 

     "Pergilah. Ambilkan aku minuman sejuk segar itu!" 

     Samar-samar, garis hitam muncul di antara batang leher dan kepalanya .Sebuah garis pemisah

yang setiap detik bertambah lebar dan lebar. Tidak ada darah tersembur keluar. 

     Kepala ratu lesbi  itu tanggal begitu saja lalu melayang keluar. Lewat lubang ventilasi. Di

kejauhan lolongan anjing malam berkumandang lirih. Dan di langit, rembulan tersentak kaget. 

     


     ***** 

     

     Lima 

     

     

     "Anakku!" 

     TribuanaTunggadewi  tersentak bangun. Ia telah bermimpi buruk. Waktu itu sekitar pukul tiga dinihari. Minggu

pertama bulan Januari. Kasur di sebelahnya kosong. Dan dingin. 

     "Tuhan. Kau kemanakan anakku? Noni. Noni!" 

     TribuanaTunggadewi  setengah menjerit begitu ia sadari Noni tidak pula terjatuh ke lantai. 

     Ia menghambur ke pintu. Pintu itu setengah terbuka. Padahal sebelum tidur ia telah menutupnya

rapat-rapat. Noni tak ada di ruang tengah, begitu pula di ruang depan. Berlari-lari TribuanaTunggadewi  menuju ke

belakang. Pintu penghubung ke situ juga terbuka. Koridor gelap. namun  ada nyala lampu di dapur.

Sebentuk bayangan jatuh di koridor. Hitam, dan memanjang. 

     Bukankah bayangan seperti itu yang ia lihat dalam mimpinya? 

     Bayangan-bayangan hitam yang melesat masuk ke kamarnya lalu  membawa Noni hilang

dalam kegelapan. 

     TribuanaTunggadewi  menahan nafas. 

     Bayang-bayang hitam di koridor tampak bergerak-gerak. Apa yang dikerjakan makhluk itu di

dapur? 

     Mencabik-cabik tubuh Noni? 

     Memakani daging bayinya? 

     TribuanaTunggadewi  dilanda ketakutan yang amat sangat. namun  naluri keibuannya mendesak lebih kuat. 

     "Makhluk terkutuk!" 

     Ia berteriak, lalu menyerbu ke dapur. 

     Pada waktu bersamaan, bayangan itu bergerak pula keluar dapur. Mereka berdua saling

bertubrukan. Tangan-tangan TribuanaTunggadewi  terangkat sudah siap mencakar. Terdengar suara gelas jatuh ke

lantai. Pecah berderai. TribuanaTunggadewi  terbelalak. 

     Dan, mpu  Ronggolawe  ternganga. 

     "Ada... ada apa,juragan?" 

     Pelayan itu bertanya gagap sesudah  kejut agak reda di jantungnya. 

     "Apa apa kerjamu di dapur?" 

     "Bikin kopi. Juragan. Kopi kental pahit. Supaya saya jangan mengantuk...." 

     "Kau mau berjaga-jaga?" 

     "Ya, Juragan." 


     "Untuk apa.?" 

     "Neng Noni." 

     Barulah TribuanaTunggadewi  teringat kembali pada anaknya. Curiga ia mengawasi dapur, lewat pundak Bi ljah.

"Mana dia?" 

     "Tidur, Juragan. Di kamarku." 

     "oh!" 

     TribuanaTunggadewi  menarik nafas lega. Ditemani pelayan yang setia itu ia pergi melihat anaknya .Benarlah.

Noni tertidur nyenyak di ranjang si pelayan. 

     "Badannya panas!" 

     "Sudah agak turun, Juragan. Dua jam yang lalu panasnya wah. Bagai dipanggang!" 

     "Apa ?" 

     "Aku baru mau tidur sekitar pukul satu, saat  kudengar Neng Noni menjerit-jerit. Kutunggu

sejenak, kalau-kalau juragan bangun. namun  Neng Noni terus saja menjerit. Makin lama makin lemah.

Parau. Aku mendatangi kamar juragan. Mengetuk. sebab  tak bersahut, kubuka saja. Wah, juragan

pulas bukan main." 

     "Aku menelan pel tidur melebihi takaran," 

     TribuanaTunggadewi  mengaku. 

     "Apa yang kau lihat?" ia teringat bayangan hitam mengerikan dalam mimpinya 

     'Tak ada, Juragan. Cuma Neng Noni. Ia setengah menggelupur. Waktu kupegang, suhu badannya

sangat tinggi. namun  ia segera diam sesudah  kubujuk. Juragan menggeliat, dan mengigaukan sesuatu

yang tak kudengar jelas. Lantas pulas lagi. Jadi kubawa saja Neng Noni ke kamarku. Kukompres.

Belum lima menit ia tidur." 

     TribuanaTunggadewi  dihinggapi perasaan tak enak. 

     Ia mengambil anaknya dari ranjang pelayan. 

     "Berkemaslah. Kita bawa Noni ke rumah sakit." 

     **** 

     mpu  Ronggolawe  duduk di jok belakang mobil dengan menggendong Noni yang terbungkus rapat dalam

selimut. TribuanaTunggadewi  memegang setir, dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi ke pusat kota. Ada

puskesmas di daerah mereka, namun  TribuanaTunggadewi  ingin anaknya mendapat perawatan kelas satu. 

     Tiba di kota yang masih sunyi sepi, TribuanaTunggadewi  tiba-tiba membelokkan kendaraan dari tujuan

semula. sebab  tak menduga putaran mendadak itu. mpu  Ronggolawe  terpelanting. Kepalanya membentur kaca 

jendela kuburan  mobil. Perih, tak terkira. namun  ia tidak mengeluh ia hanya meraba kepala yang terasa sakit

tanpa berkata apa-apa. 

     Wah. benjol! 

     Di depan sebuah percetakan besar, mobil berhenti. 


     TribuanaTunggadewi  keluar. Petugas itu lalu  masuk. Waktu keluar lagi, ia sudah ditemani oleh Raden hanggareksa .

Bersama TribuanaTunggadewi . Raden hanggareksa  masuk lagi ke mobil. Raden hanggareksa  mengambil alih setir, sedang TribuanaTunggadewi  duduk

di jok belakang dan mengambil Noni dari pangkuan mpu  Ronggolawe  

     "Mungkin cuma demam." 

     Raden hanggareksa  bergumam. Bimbang. 

     Mobil melaju ke rumah sakit. 

     "Suhu badannya tak pernah setinggi ini. Bang." 

     "Memang flu Hongkong lagi musim," 

     Raden hanggareksa  masih tetap berusaha menghibur adiknya yang pucat dan panik. 

     "Aku tak yakin." 

     "Punya dugaan, Ronggolawe ?" 

     "Bayi mpu Jenggala " 

     Nafas TribuanaTunggadewi  sesak. 

     "Ceritakan lagi padaku, Bang, Apa kata mereka mengenai bayi mpu Jenggala  yang meninggal itu?" 

     "Mereka bilang, perbuatan roh jahat. Alaa, Ronggolawe . Sudah.Jangan dengar omong kosong itu. Itu cuma

cerita burung. Semata-mata melampiaskan kekesalan hati mereka terhadap perilaku orang tua si

bayi. Ayah tukang lacur. Ibu pemabuk berat. Anak itu tak terurus jadinya. lalu sakit, dan mati itu

saja." 

     TribuanaTunggadewi  sedikit tenang sesudah  mendengar penuturan saudaranya .Tidak demikian halnya Raden hanggareksa .

Justru terbalik. Raden hanggareksa  yang panik diam-diam. Bayi mpu Jenggala  mati kehabisan darah. Kulit kering.

pucat. Jari kaki dan tangan kisut. Lalu rsi Kertajaya . rsi Kertajaya  juga mati kehabisan darah. 

     Kulit mengeriput. Dada berlubang. 

     Benarkah roh jahat sedang gentayangan di sekeliling mereka? 

     Mujur, kepala bagian anak di rumah sakit sedang bertugas. Ia memeriksa Noni dengan teliti.

Menyenter bola mata, rongga mulut bahkan hidung dan telinga. Sambil memeriksa ia bertanya satu

dua yang penting-penting. Kata katanya yang menghibur tidak memuaskan Raden hanggareksa . Dokter lalu

memeriksa denyut jantung dan tekanan darah Noni. 

     "Normal," katanya. 

     "Sedikit lebih cepat memang. namun  itu sebab  ia demam." 

     Dokter mempergunakan beberapa peralatan untuk memeriksa ulang atas desakan Raden hanggareksa .

Hasilnya tetap sama .Dengan tambahan: 

     "Besok juga dia sudah sembuh," 

     Lalu ia menulis resep untuk ditukar di apotek. 

     "Tidak disuntik, Dokter?" 

     "Lebih baik jangan. Obat antibiotika sangat peka, apalagi anak ini masih demam." 


     "Syukurlah," 

     TribuanaTunggadewi  benar-benar lega sekarang. 

     "Kalian terus saja pulang. Aku akan turun di percetakan. Masih ada peekrjaan yang harus

kuselesaikan dan tak bisa ditangani orang lain," kata Raden hanggareksa . 

     "Pulang dari percetakan, aku akan langsung ke rumahmu untuk melihat-lihat apakah demam Noni

sudah turun." 

     Nyatanya, Raden hanggareksa  tidak memenuhi janji. 

     Pukul tujuh lewat lima ia keluar dari percetakan dan heran melihat NYI girah  menunggu dalam sebuah

mobil. NYI girah  turun. Matahari pagi menjilati wajannya yang merah Segar, menggapai bibirnya yang

ranum basah, merah dan sangat hidup. 

     "Kau mencariku, NYI girah ?" 

     "Sengaja mencari abang," sahut NYI girah  menegaskan. 

     Matanya yang teduh bersinar-sinar mengawasi Raden hanggareksa  yang tampak letih dan agak kotor.

Memelas dalam hati: pewaris harta jutaan rupiah, namun  memilih jadi pengawas dan tukang

mereparasi mesin-mesin cetak Dengan jumlah gaji yang pasti membuat mahasiswa fakultas tehnik

berkerut dahinya. 

     'Kok tidak dengan Sumarna?" 

     "Nyambil, Bang. Tempat kuliahku tak jauh dari sini. bukan?" NYI girah  masuk ke mobil. Duduk di

depan, namun  mengosongkan tempat untuk pengemudi. Raden hanggareksa  memundurkan mobil ke luar dari

pelataran parkir. 

     "Ada yang perlu kubantu?" 

     "Pertama, tolong antarkan aku ke fakultas." 

     "Hem. Lainnya?" 

     "Februari nanti papa pindah tugas ke lain kota," 

     Liala menyebut nama kota dimaksud. 

     "Untuk itu kau menyatroni aku, NYI girah ?" 

     "Jelasnya," 

     NYI girah  tersenyum manis. Senyum yang tiap kali membuat jantung Raden hanggareksa  berdetak kencang. 

     "Mobil ini suka ngadat. Papa tidak sampai hati meninggalkan mobil rongsokan untuk kami.

Seorang temannya menawarkan mobil bekas namun  masih termasuk baru dan mulus. Uang papa tak

banyak. Jadi mobil ini harus dijual." 

     "Begitu," 

     Raden hanggareksa  dengan cepat menangkap maksud NYI girah . 

     "Terimakasih. komisi tidak kau lempar ke tangan orang lain. Berapa lama ayahmu memberi

tempo?" 


     "Kalau dapat, hari ini juga." 

     "Tambahkan satu hari. Mencari pembeli, gampang. namun  sebelumnya. aku dan beberapa teman

harus menservis dan mereparasi dulu mobil ini. Supaya dapat dijual dengan harga tinggi. Eh, sambil

lalu. Berapa patokan harga dari ayahmu?" 

     "Dua setengah. Kalau bisa. tiga juta" 

     "Yang benar!" 

     "Kelewat mahal?" 

     "Sebaliknya. NYI girah ," 

     Raden hanggareksa  berpikir keras. lalu  ia bergumam dengan nada tak suka: 

     "Aku tak ingin menerima balas jasa yang berlebihan, NYI girah . Sungguh mati. Apa yang dulu

kulakukan. hanya dorongan naluri. Tanpa pamrih!" 

     NYI girah  terdiam. Sebentar cuma. lalu , ia mengeluh: 

     "Papa bilang, jumlah itu harga pasaran sekarang" 

     "Ayahmu tahu harga jual mobil ini, NYI girah . Jadi beritahu dia nanti. Kepada orang lain. kami minta

komisi 15 sampai 20 persen. Dari ayahmu, cukup 10 persen saja. Itu satu. Yang kedua, sesudah  kami

perbaiki sedikit, mobil ini laku terjual paling tidak empat juta." 

     NYI girah  mau prores. 

     namun  wajah Raden hanggareksa  yang tegang membuatnya terbungkam. Mereka tak berkata apa-apa lagi

sampai mendekati kampus fakultas yang dituju. Raden hanggareksa  yang lebih dulu sadar ketegangan itu tidak

semestinya terjadi, ia mencoba tersenyum, lantas bertanya lembut: 

     "jadi papamu pindah tugas ya?" ' 

     "He, eh." 

     Suara NYI girah  masih gusar. 

     "Kau dan ibumu tetap tinggal?" 

     "Aku masih kuliah. Dan mama tak mau jauh dariku." 

     "Hebat. Paling kurang dua atau tiga tahun kalian akan berpisah." 

     "Papa akan pulang tiap Sabtu siang. Berangkat ke tempat tugas lagi Senin paginya" 

     'Bagaimana dengan April nanti?" 

     Suara Raden hanggareksa  merendah, tanpa berani melihat wajah NYI girah . 

     Lain NYI girah . Ia menatap wajah Raden hanggareksa . Tajam. 

     Lantas mendesah: 

     "Semoga tidak ada halangan," 

     NYI girah  setengah berdo'a, setengah melamun. 

     Jantung Raden hanggareksa  berdetak lagi. Halangan itu tak akan ada, pikirnya dengan gundah. Aku sudah

bertemu Rosida. Sudah berbuat sangat dalam yang mengharuskan kami segera menikah. 


     Wahai. masa lalu! 

     saat  NYI girah  turun dari mobil di pintu gerbang fakultas, gadis itu bimbang sesaat. lalu : 

     "Bang Raden hanggareksa ?" 

     Ia melongok lewat jendela kuburan  

     "Hem?" 

     "Abang mencintai Kak Ida?" 

     Raden hanggareksa  terperanjat mendengar pertanyaan yang di luar dugaan itu. Gagap. ia menyahut: 

     "Ya, eh, kukira. ya," 

     Lalu mengumpat-umpat sebab  jawabannya terasa ngambang 

     "Mengapa kau tanya?" 

     'Hanya ingin tahu." 

     NYI girah  tersenyum, misteri. 

     lalu  berlalu. 

     Raden hanggareksa  masih tetap memandangi gadis itu pergi. Makin jauh, bayangan NYI girah  makin mengabur.

namun  pinggulnya yang bergoyang gemulai selagi melangkah, justru makin tampak jelas. 

     Pinggul penuh. Padat Dengan rok warna hijau, berbercak merah. Darah. 

     

     ***** 

     

     Rasanya baru kemarin terjadi . 

     namun  peristiwa penuh kenangan manis itu telah berlalu tiga tahun. NYI girah  baru kelas dua

es-em-a, saat  itu. Harinya Selasa. Tepat tengah hari. Bubaran sekolah. NYI girah  bermaksud pergi ke

rumah seorang famili. Honda bebeknya mogok di tengah jalan. sebab  belum hafal soal seluk beluk

mesin NYI girah  mendorong sepeda motor itu sambil mencari-cari bengkel terdekat. 

     Dua buah sepeda motor lain, lalu di dekatnya . 

     Ada tiga orang pemuda di masing-masing jok sepeda motor itu. Menyandang tas sekolah seperti

NYI girah . Dengan seragam sekolah yang sama pula. Bedanya, NYI girah  kelas pagi dan tiga pemuda itu masuk

siang. Bukannya turun untuk menolong. Tiga pemuda berandalan itu tetap saja duduk di kendaraan

mereka, dengan kecepatan diturunkan agar tetap sejajar dengan Honda bebek yang didorong NYI girah . 

     Wajah gadis itu bersimbah peluh. 

     Sekali, ia berhenti untuk menyeka. Baru saat itulah ia tahu kehadiran tiga pemuda tadi. Mereka

tak begitu kenal satu sama lain. Diam-diam NYI girah  mengharapkan teguran ramah dan uluran tangan

budiman. lain yang diharap, lain yang tiba.. 

     Seraya menyeringai lebar, salah seorang pemuda itu berkata pada NYI girah : 

     "Mari kuusap, Neng." 


     

     Teman yang satu. lebih kasar lagi: 

     "Wah, banjir. Boleh kusumbat", 

     NYI girah  yang mandi peluh. tersinggung sesaat . 

     "Jadah!" ia memaki. 

     "Beraninya cuma ngomong! Ayo turun kalau kalian laki-laki!" 

     "Hei. Galak juga! Dan makin cantik saja," 

     Dua kendaraan lain, berhenti. "Apa yang kita tunggu? Ia sudah rela kita kerjai!" 

     Lantas ketiganya turun berbarengan. Barulah NYI girah  menyadari kekeliruannya. Tadi ia terpancing

emosi, dan berharap pemuda itu meninggalkannya sebab  malu. Ternyata tantangannya dila