Tampilkan postingan dengan label rakyat 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 3



enggala kediri  sebagai 
jenggala empah-rempah. jenggala suryabuaya   harus tetap pudar. 
Dan waktu centeng  dan awak kapal bersorak-sorai 
menyambut pengumuman, bahwa Gugusan kediri  akan 
meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada 
suryabuaya  , ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia menjadi curiga 
dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji 
Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden 
Kusnan menjadi hilang. Pemimpin Gugusan kediri  itu 
tidak semestinya mengjakan saja perintah mpu logender . 
la catat semua yang dianggap kelicikan pajang bintoro -suryabuaya   
dan juga kediri  sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan 
dapat memecahkan teka-teki yang ruwet ini 
Gugusan kediri  berangkat ke baratlaut beberapa hari 
lalu . Kapal-kapal dagang para pelarian jayamahanaya  yang 
dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari 
ukuran kecil. Ia memperoleh  keterangan, Gu-gusan-II akan 
menampung juga kapal-kapal kecil sejenis  ini, milik para 
pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi 
sesudah  jayamahanaya  jatuh. 
Di Riau ternyata Gugusan-II sudah  berangkat lebih ke 
utara. Di sini mereka menerima kemarahan lagi dari 
Laksamana sebab  keterlambatannya. Raden Kusnan sudah  
kehilangan semangat harus menelan 
kemarahan tiga kali berturut. mpu logender  berusaha 
menghibumya, namun   temyata semangatnya sudah  patah. 
Pimpinan gugusan kediri  diambilnya sama sekali, dan 
dengan sendirinya raden panji  gelang-gelang  naik menggantikannya, 
juga atas perintah mpu logender . 
Kenaikannya memberikan suatu kekuasaan untuk 
melakukan tindakan yang memutuskan, bila pajang bintoro -suryabuaya   
bermaksud untuk merugikan kediri . Ia akan lemparkan Aji 
Usup dan Raden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan 
akan dilakukan atas kediri . Dan ia akan melakukannya 
tanpa ragu-ragu. Ia tahu bagaimana resi mandala  sudah  naik 
ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya 
yang seorang lagi mungkin juga akan direlakan oleh 
ayahnya. 
Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak 
dipakai . centeng  dan awak kapalnya harus tetap 
dalam keadaan segar menghadapi segala kemungkinan. 
Gugusan kediri  berlayar hanya dengan kekuatan angin. 
Dan jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul 
gugusan pelarian jayamahanaya  di jatikerto . 
Bukannya empat hari, namun   lima setengah hari adiputro  
tumenggung dijoyo  sudah  menunggu gugusan kediri  di Riau sambil 
memberi kesempatan pada Gugusan-I untuk menerima 
penggabungan gugusan Aceh. Sesudah  ternyata kediri  tak 
juga nampak, dianggapnya sekutu itu sudah  melanggar janji 
dan ia hapus dari perhitungan perang. 
Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya 
sudah  bergabung dengan Gugusan-I, dipimpin oleh seorang 
perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat 
sebagaimana diperhitungkan oleh tumenggung dijoyo . Antara centeng -
centeng  suryabuaya  -pajang bintoro  dan Aceh terdapat kelainan pakaian 
yang menyolok. suryabuaya  -pajang bintoro  memakai  celana dan 
baju putih dan destar putih. Tanda pangkat mereka ada 
pada kelainan ikat-pinggang. centeng -centeng  Aceh 
bercelana dan berbaju hitam, berdestar hitam. Perwira-
perwiranya berikat-pinggang selendang merah. Destarnya 
yang tertarik naik menuding langit kadang-kadang dihiasi 
dengan permata. Senjata kedua-duanya tidak berbeda: 
tombak, gada , perisai. sebab  mereka mengharapkan 
perang lapangan, mereka tidak memakai  panah. Pada 
para perwira terdapat senjata-senjata jabatan. 
Gugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran. 
Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tanda-
tanda yang diberikan oleh Gugusan-I. kanjuruhan  takkan 
diberi kesempatan untuk meninggalkan jayamahanaya  dari laut. 
Mereka harus dihancur kan di darat sebagai hukuman, atau 
dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-hutan sebelah 
timur. 
Laksamana adiputro  tumenggung dijoyo  sudah  memperhitungkan: 
waktu penyerangan akan dilakukan tepat pada saat jayamahanaya  
kosong dari armada kanjuruhan . Maka bila musuh sudah  
ditumpas di daratan, dan laut dijaga dari armada musuh 
yang mungkin datang, semua akan dapat mendarat di 
jayamahanaya . Sesudah  itu musuh boleh melakukan serangan 
balasan dan mendaratkan pasukan. Perang darat harus 
memutuskan kemenangan. 
jenggala jayamahanaya  sudah  nampak sayup-sayup di hadapan 
Gugusan-II. Tak nampak ada satu kapal kanjuruhan  pun. 
Nampaknya Gugusan-I terlambat memberikan di kuil rat. namun  
tidak, peluru-peluru cetbang dibandingkan nya mulai 
beterbangan di udara dan meledak merupakan bungaapi 
dan gumpalan asap. Wama merah membelah langit: juga di 
sebelah utara sana tak ada nampak kapal kanjuruhan . 
Gugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula: 
juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal kanjuruhan . 
Sayup-sayup oleh Gugusan-II kelihatan centeng -centeng  
Aceh-pajang bintoro suryabuaya  , hitam dan putih mulai mendarat, 
lalu  kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara 
jayamahanaya  dan membasminya dengan tembakan-tembakan 
cetbang. Dentumannya menggelora disambut oleh sorak-
sorai Gugusan-II. 
Serangan darat sudah dimulai. centeng -centeng  dari 
Gugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak Dan 
tak lama lalu  mereka melihat api dan asap mulai 
membubung ke udara. 
namun   kanjuruhan  bukanlah penakut. Dari pengalaman 
perangnya di berbagai benua mereka mengerti benar 
bagaimana harus menghadapi serangan pasukan Pribumi, 
sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau mereka 
semua, membendung, membubarkan dan menghancurkan. 
Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan 
yang lebih besar jumlahnya, sebaliknya memakai  
penggertakan-penggertakan dengan peluru dan gelegar 
menam dan penyergapan, dan melumpuhkan lawannya 
dengan tembakan-tembakan musket. Dari pengalamannya 
di Asia Bawah mereka memperoleh kan. temyata musuhnya 
lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut. 
Dan gada rujakpolo -gada rujakpolo  mereka mulai terdengar 
beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang 
setengah jam lalu  tembakan-tembakan musket mulai 
terdengar. namun   kebakaran di jayamahanaya  itu menjalar-jalar 
juga, terus dan terus ke selatan, menuju ke pusat kota. 
Gugusan-II makin menghampiri jenggala . 
Gugusan-I sudah  berhenti menghamburkan peluru 
cetbang dari kapal dan mulai menurunkan centeng  yang 
tersisa. Nampaknya tak ada seorang centeng  pun sudi 
ketinggalan menikmati kemenangan atas kanjuruhan . Kapal-
kapal mereka tersauh kosong. 
Laksamana adiputro  tumenggung dijoyo  memerintah memberikan 
tembakan peringatan terhadap Gugusan-I, namun   tidak 
digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong 
tercancang pada jangkar masing-masing. 
Gugusan-II makin mendekati jayamahanaya . Cetbang-
cetbangnya mulai diarahkan ke jenggala . Peluru-peluru api 
itu meledak menyambari bangunan-bangunan dan 
pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi 
di sebelah selatan kota jayamahanaya . Angin dari selatan meniup 
api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi. 
Dari kapal-kapalnya Gugusan-II dapat melihat gada rujakpolo -
gada rujakpolo  kanjuruhan  mulai betari i diarahkan pada kapal-
kapalnya. namun   cetbang menyapu sarang-sarang mereka. 
Musuh di darat itu nampak berlarian, berlindung di balik-
balik pepohonan yang masih utuh. 
Sekarang peluru-peluru besi kanjuruhan  mulai beterbangan 
mencari sasaran. namun   hujan petir cetbang menghalangi 
mereka menembak dengan baik. 
Makin dekat dengan jenggala makin nyata terdengar 
sorak-sorai centeng  gabungan dari Gugusan-I, yang dengan 
kecepatan luar biasa mendesak ke selatan. 
sebab  kebingungan melayani serangan dari darat dan 
laut gada rujakpolo -gada rujakpolo  kanjuruhan  mulai berjasang yang betari durga   sepucuk 
demi sepucuk. 
Sebuah peluru kanjuruhan  masih sempat melayang dengan 
garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal 
suryabuaya  . Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah 
lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding 
itu. Sebentar lalu  selembar papan baru sudah  nampak 
ditambalkan dari dalam. 
Dan sorak-riuh mengikuti. 
Sebutir peluru besi lainnya sudah  memagas mancung 
haluan kapal bendera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia 
sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang 
buatan  Bareng. Dua-duanya sedang menembak satu-satu. 
“Dengarkan!” katanya sambil mengangkat tangan tinggi-
tinggi. “Tembakan mereka semakin tipis. Gencarkan 
tembakan kalian!” 
Perintah itu disampaikan melalui di kuil rat pada kapal-
kapal lain. 
“Perhatikan laras, jangan sampai terlambat mengganti!” 
Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di 
sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras sudah  
pecah ambyar. 
tumenggung dijoyo  meneruskan perintahnya: “Hari ini si pemberontak  harus 
angkat kaki dari bumi jayamahanaya . Hari ini! Insya sang hyang Widhi . Kalau 
nyi kanjeng blora sudah  terusir, mulai sekarang seluruh laut bagian 
selatan, seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi 
milik kita bersama lagi.” 
Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di 
belakangnya: “Lihat peluru nyi kanjeng blora itu. Dipaprasnya 
mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh. 
namun  insya sang hyang Widhi , mereka akan menerima 
paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu, 
nyi kanjeng blora! Habiskan!” ia tertawa senang. 
“Tembakannya semakin berkurang juga, baginda tuanku raja .” 
“Ya, dan kalau nyi kanjeng blora tidak terusir pada kesempatan 
ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi.” 
“Tak ada nampak armada nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja .” 
“Alhamdulillah.” 
“Betapa indahnya hari ini, baginda tuanku raja .” 
“Syukur kepada sang hyang Widhi  s.w.t. Kalau mereka tinggal 
berkuasa di jayamahanaya , tidak lama lagi, dan pelabuhan-
pelabuhan kita akan jadi perkampungan nelayan belaka. 
Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamuk 
dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti?” 
“patih , baginda tuanku raja .” Seorang perwira yang agak jauh memuji-
muji: “Perhitungan Kanjeng baginda tuanku raja  adiputro  tepat. jayamahanaya  
jatuh dalam sehari,” ia mengunci kata-katanya dengan 
sembah. 
“Ada kalian dengar? Mereka sudah berhenti menembak. 
jayamahanaya  sudah  jatuh di tangan Gugusan-I. Alhamdulillah. Ya 
sang hyang Widhi , ya Robbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana 
sudah  terjadi di selatan sini: nyi kanjeng blora kalah. Biar begitu, 
lepaskan tanda-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak 
tertinggai kosong.” 
Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan. 
namun   Gugusan I sudah lupa daratan dengan kemenangan. 
“Mendaratkah kita, baginda tuanku raja ?” 
“Tidak mungkin! Keteledoran Gugusan-I memicu  
kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi 
Kantommana   kapal-kapalnya harus segera diisi, sekarang 
juga.” 
Sebuah perahu  diturunkan dan orang bercepat-cepat 
mengayuh ke arah jenggala . 
“Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas, 
sayap kanan Gugusan-II supaya maju sampai melewati 
kapal-kapal Gugusan-I. Waspada ke sebelah utara!” 
di kuil rat-di kuil rat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap 
kanan Gugusan-II mulai bergerak maju. 
“Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua 
kapal seyogianya diadakan sembahyang syukur.” 
“patih , baginda tuanku raja . Sebentar lagi sore . Besok, insya sang hyang Widhi , 
akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan.” 
“Insya sang hyang Widhi , kelambatan dan keteledoran dalam sehari 
ini semoga tertebus oleh kegemilangan hari esok: 
pendaratan, perkubuan, pemburuan terhadap nyi kanjeng blora….” 
Malam pun jatuh. 
Langit di atas jayamahanaya  merah-hitam oleh api dan asap. 
Dari atas kapal-kapal Gugusan-II nampak centeng -
centeng  gabungan Aceh-pajang bintoro -suryabuaya   mondar-mandir 
menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari 
daratan masih terdengar. Dan dalam malam itu juga 
tukang-tukang kayu sibuk membetulkan kerusakan pada 
tubuh kapal. 
perahu  utusan tiba dan membawa surat dari perwira 
Kantommana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang 
menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk 
besok hari. perahu  dikirimkan kembali, memerintahkan 
agar kapal-kapal Gugusan-II tetap diperlengkapi dengan 
kekuatan. 
Di atas geladak semua kapal Gugusan-II sembahyang 
sore  dilanjutkan dengan sembahyang syukur, diimani 
dan dikhotibi oleh adiputro  tumenggung dijoyo  sendiri. lalu  
dilanjutkan dengan sembahyang di kuil ! 
perahu  utusan datang kembali, membawa berita bahwa 
centeng -centeng  yang melakukan pengejaran belum lagi 
dapat dihimpun. Mereka masih tersebar di hutan-hutan, 
dan bahwa perintah itu akan segera dilaksanakan. 
matahari  memancar cerah di pagi hari. Langit biru muda 
dan bening. Kapal-kapal dari Gugusan-II tetap menjaga 
perairan jayamahanaya . Gugusan-I tetap kosong dari penjagaan. 
Tembakan kanjuruhan  di daratan sudah tak terdengar lagi. 
Mereka sudah  terbenam dalam arus centeng  gabungan. 
Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa musuh yang terbesar di 
mana-mana. Gugusan-II tetap tak dapat mendarat. 
Dan bila Gugusan-II mendarat, dan puluh ribu centeng  
gabungan akan berpesta di atas kekalahan kanjuruhan , tanpa 
gugusan kediri  dan jatikerto . 
Sebuah perahu layar kecil menghampiri kapal bendera 
dan mempersembahkan pada Laksamana tumenggung dijoyo , bahwa 
jayamahanaya  sudah siap untuk didarati. 
tumenggung dijoyo  menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia 
memperoleh  kepercaya an, Gugusan-I memang tidak mematuhi 
rencana semula. Ia perintahkan perahu itu kembali tanpa 
jawaban. 
Tepat pada waktu perahu itu sampai ke jenggala , dari 
sebelah utara sayap kanan Gugusan-II melepaskan 
tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayup-
sayup iring-iringan armada kanjuruhan . Layar-layarnya yang 
tinggi bergambar cakra itu kembung sepenuhnya. Kapal-
kapal itu meluncur cepat ke selatan. 
“nyi kanjeng blora!” orang memekik dari atas tiang utama. 
Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang Gugusan-II 
bergerak laras-larasnya, semua tertuju ke arah datangnya 
armada musuh. 
Pada sayap kanan Gugusan-II yang sudah  ada di sebelah 
atas jayamahanaya  
tumenggung dijoyo  memerintahkan agar berlawan sambil 
mengundurkan diri bergabung dengan induk Gugusan. 
Pada daratan didi kuil ratkan pada Gugusan-I yang lengah, 
bahwa kanjuruhan  sedang mendatangi, dan mendesak agar 
kapal-kapalnya diisi kembali. 
Mengikuti tradisi kerajaan jenggala , cetbang hanya 
dipakai  di atas laut dan sekali-sekali tidak 
diperkenankan di darat. Kapalperang dan cetbang 
merupakan kesatuan. Dengan kapal-kapal dari Gugusan-I 
yang kosong cetbang-cetbangnya pun menjadi bungkam. 
Suasana kemenangan yang riang-gembira berubah jadi 
kewaspadaan dan kesiagaan yang tegang. Orang 
menduduki tempatnya masing-masing menghadapi perang 
laut. 
Armada kanjuruhan  ternyata lebih maju dibandingkan  yang 
diperkirakan. Baru saja centeng -centeng  dari Gugusan-I 
turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masing-
masing, resi h gada rujakpolo  kanjuruhan  sudah mulai kedengaran. 
lalu  disusul oleh tembakan balasan dari cetbang-
cetbang sayap kanan Gugusan-II yang mengawal Gugusan-
I. Armada kanjuruhan  itu maju terus sambil menembak   lima 
buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja 
putih. Peluru-peluru besinya beterbangan nampak dari 
Gugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal kanjuruhan  
dapat dilepaskan sepuluh peluru sekaligus dari beberapa 
tempat. 
Pertempuran laut antara armada kanjuruhan  dengan sayap 
kanan Gugusan-II nampak dari kejauhan seperti 
perkelahian antara dua rombongan ka tak raksasa dengan 
lidah-lidah api yang panjang menyambar-nyambar. Dan 
kapal-kapal Gugusan-I masih tertidur dalam kedamaian 
diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada 
kehancuran yang mendatangi. 
Orang melihat bagaimana kapal-kapal sayap kanan 
Gugusan-II direjam oleh peluru logam dan hanya dapat 
membalas dengan ledakan peluru cetbang. Dan kapal-kapal 
kanjuruhan  maju terus, terlalu percaya  pada kekuatan 
gada rujakpolo nya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan 
dan pada keperkasaan layarnya. 
Sebuah kapal kanjuruhan  nampak terbakar layar-layamya 
terkena semburat api ledakan cetbang. Orang juga melihat 
sebuah kapal sayap kanan tumbang tiang layarnya dan 
dindingnya terbongkar, lalu  dengan ragu-ragu 
menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainnya mengerahkan 
dayung menghindari derasnya hujan peluru. namun   peluru 
logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan 
kapal. Sukun-sukun besi itu menghunjam buritan, haluan, 
lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena 
terjang dadal tak dapat bertahan. 
Laksamana memerintahkan menghadang musuh dengan 
tembok tembakan cetbang. Ia sudah  saksikan kehebatan 
gada rujakpolo  kanjuruhan  dengan mata kepala   sendiri, dan mengakui 
keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap 
kanannya tumpas di depan sana tanpa bisa membela diri. 
Dan kanjuruhan  maju terus seperti tak terjadi apa-apa atas 
dirinya. 
Sayap kanan Gugusan-II tenggelam sebuah demi sebuah, 
hilang ke dasar laut. 
kanjuruhan  mulai menembaki kapal-kapal Gugusan-I yang 
kosong dari centeng , kosong dari pengawalan. perahu -
perahu  centeng  bubar tak berani meneruskan memasuki 
kapalnya. Gelegar gada rujakpolo  kanjuruhan  dan ledakan cetbang 
Gugusan-II sambar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah 
demi sebuah dari Gugusan-I menyusul menyelam ke dasar 
laut dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri. 
Dan armada kanjuruhan  terus saja maju. Sebuah kapalnya 
yang terbakar layamya tertinggal di belakang. 
tumenggung dijoyo  memerintahkan semua dayung dipersiapkan. 
Keningnya berkerut melihat Gugusan-I tak sempat 
melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pernah 
melawan. 
Dan armada kanjuruhan  semakin mendekat, semakin jelas 
dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggun dan agung. 
Walau pun kelajuannya tinggi nampak tidak terburu-buru. 
Dan kapal-kapal itu ternyata memang tidak lebih besar 
dibandingkan  kapal bendera pajang bintoro -suryabuaya  . 
Tak ada terdengar sorak. Hati orang sudah  menjadi kecil 
melihat tumpasnya sayap kanan Gugusan-II. 
Cetbang Gugusan-II mulai menyemburkan tembok api 
dan ledakan, tembok penghadang. namun   dalam pada itu 
setiap kapal datang melaporkan, bahwa semakin banyak 
lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan 
membunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal 
kanjuruhan  tetap tak dapat dicapai oleh cetbang. 
Laksamana adiputro  tumenggung dijoyo  sebentar menunduk, mengerti 
ia sudah  terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari 
Blambangan. Sesal tiada berguna. gada rujakpolo -gada rujakpolo  kanjuruhan  
tak memberikan padanya kesempatan berpikir lebih lama. 
Peluru-pelurunya tak menanggapi  tembok api dan 
ledakan cetbang. 
Gugusan-II kini mulai terkena hajar. Beberapa bagian 
dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan 
sana disusul oleh datangnya bola-bola besi lawan yang 
menembusi dinding kapal tanpa bisa ditahan. 
“Ya sang hyang Widhi , bantulah ummat-Mu ini,” adiputro  tumenggung dijoyo  
mengangkat tangan ke atas. 
Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak henti-
hentinya menembak. Barangkali ia menyesal juga sudah  
menangguhkan pendaratan yang kemarin. 
“Perintah baginda tuanku raja  Kanjeng adiputro  ditunggu,” seorang 
perwira menyedarkannya. 
Ia menengok ke samping kiri dan kanan. Ia melihat 
beberapa buah kapalnya sudah  pada mulai miring, hancur 
pada lambung, menungging sebab  pecah haluan. 
Dan cetbang-cetbang tetap tak dapat mencapai 
mereka…. 
“Ya sang hyang Widhi , bencana tak dapat dielakkan. Perintahkan 
pada semua kapal untuk meninggalkan perairan jayamahanaya !” 
Kapal-kapal mulai bergerak dengan tenaga pendayung. 
“Cetbang tak mampu, baginda tuanku raja .” 
“Kami sudah lihat sendiri. Mereka memang lebih 
unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang 
mereka, sudah melawan dan mendatangi.” 
Juga kapal bendera mulai berputar dengan tenaga 
pendayung. 
“Bagaimana rahasia cetbang-cetbang kita kalah terhadap 
gada rujakpolo ? Apa obat dan bagaimana ramuannya kiramu?” 
“Warta-warta itu ternyata tidak bohong, baginda tuanku raja . Senjata 
mereka lebih unggul.” 
“Ya, persiapan kita kurang sempurna.” 
Pada waktu kapal-kapal dari Gugusan-II memutar 
haluan, armada kanjuruhan  semakin menggencarkan serangan 
sebab  memperoleh kan titik tembak lebih besar. Beberapa 
kapal lagi sudah  buyar dindingnya dan miring lalu  
tenggelam pelahan-lahan. Sebuah kapal meledak pada 
gudangsendawanya. Api menyebar  ke langit dan kapal 
itu sendiri ambyar berkeping-keping. 
Armada kanjuruhan  semakin mendekat juga. 
Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiang-
tiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan 
petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah. 
Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih 
seperti lontar. Sebuah peluru lagi menyambar siku haluan, 
dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar 
lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang mancung 
itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam 
laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan 
serpihan besi beterbangan. 
Laksamana adiputro  tumenggung dijoyo  menggeletak di geladak 
bermandi darah. Serpihan besi sudah  menghujani tubuhnya. 
Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-pekajan -
Riau-pajang bintoro -suryabuaya   dengan kekuatan 30  ribu orang 
itu hancur  dengan kekalahan…. 
wah 
 
Tumasik sudah  di depan mata. 
“Semenanjung!” seseorang berteriak dari tiang utama. 
mpu logender  keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di 
belakangnya mengikuti raden panji  gelang-gelang . Semenanjung 
nampak semakin nyata. 
Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak. 
Tumasik, bekas pangkalan kerajaan jenggala  di masa-masa yang 
lalu, sepi. Orang sudah pada mengungsi dari situ. 
‘Tidak singgah, langsung ke jayamahanaya .” 
Gugusan kediri -jatikerto  berlayar dengan semua layar 
kembang. 
Sesudah  setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu 
dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya 
mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak 
lambat, dan hampir sepenuhnya memakai  tenaga 
pendayung. 
raden panji  gelang-gelang  naik ke atas tiang utama, menghampiri 
juru-tinjau. 
“Barangkali kapal bendera suryabuaya  ,” kata juru-tinjau. 
raden panji  gelang-gelang  tak menanggapi. Memang kapal bendera 
suryabuaya  . Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada 
mpu logender . 
“baginda tuanku raja ku! baginda tuanku raja ku!” sebut mpu logender  kesakitan. Ia lari ke 
haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit, 
dan kapal bendera yang somplak: “baginda tuanku raja ku, baginda tuanku raja ku! Ya 
sang hyang Widhi , baginda tuanku raja ku! Hanya kau yang mengerti bagaimana 
mempersatukan armada, hanya kau tahu cara mengusir 
nyi kanjeng blora. baginda tuanku raja ku! baginda tuanku raja ku!” 
Raden Kusnan berlutut di geladak dan bersujud  ke 
jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba: 
“baginda tuanku raja ku! hukumlah patih . patih lah yang bersalah tak dapat 
memenuhi janji.” 
Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan 
adonan kapur dan minyak kacangtanah  tujuh lapis itu dari jauh 
nampak seperti merpati compang-camping dalam 
keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan sudah  
gompal dan buyar dengan dinding tubuh menganga. 
Bendera suryabuaya  , putih dengan gambar kupu-tarung, tidak 
nampak   sudah  terbabat oleh peluru kanjuruhan . 
mpu logender  memerintahkan agar disiapkan sebuah biduk. 
Semua centeng  kediri  dan jatikerto  di atas kapal masing-
masing berlutut dan bersujud  kapal bendera. dan 
mereka semua menyaksikan mpu logender , Raden Kusnan dan 
raden panji  gelang-gelang  turun ke biduk menuju ke kapal bendera, 
naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang 
menghilang ke dalamnya. 
Mereka memasuki kamar Laksamana. 
Suasana berkabung itu mempengaruhi setiap orang. 
Semua kepala   menunduk. Juga pendatang yang tiga orang 
itu. 
Di dalam kamar Laksamana beberapa orang duduk di 
atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas ambin 
nampak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di 
sana-sini balut itu ditembusi darah. 
Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang 
nampak. 
“baginda tuanku raja , baginda tuanku raja !” ratap mpu logender . 
Bibir seonggokan tubuh di atas ambin itu bergerak 
lambat dan matanya tertuju pada mpu logender : “Masih juga 
terlambat kau, mpu logender ?” 
“Inilah patih , baginda tuanku raja , hukumlah patih !” 
“Terlambat, mpu logender , semua sudah tanpa guna.” 
“Raden Kusnan dari gugusan kediri  datang menghadap, 
baginda tuanku raja ,” sembah Raden Kusnan, “hukumlah patih , bunuhlah 
patih , baginda tuanku raja . Tak patut lagi patih  mengabdi pada baginda tuanku raja . 
baginda tuanku raja ! baginda tuanku raja !” 
“Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati 
janji.” 
“Ampun, baginda tuanku raja  Kanjeng,” Kusnan hendak bicara lagi, 
namun   seseorang sudah  mendorongnya keluar. 
raden panji  gelang-gelang  mengantarkan Kusnan kembali ke biduk 
mpu logender  tinggal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang 
pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak henti-
hentinya menangis. Dan juara gulat itu sudah  memutuskan 
dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugusannya 
pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan kediri  
ini jatuh ke tangan pajang bintoro -suryabuaya  . Ia akan pertahankan 
kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil 
tindakan terhadap bekas pimpinannya itu. 
Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka 
mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden 
Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi. 
raden panji  gelang-gelang  memerintahkan pada seluruh gugusan untuk 
mengiringkan Gugusan-II, juga memerintahkan melakukan 
upacara berkabung. 
“Sampaikan juga pada kapal-kapal jatikerto  supaya 
kembali!” penntahnya. ‘Tak ada di antara mereka boleh 
meneruskan pelayaran.” 
Di Riau, kapal-kapal Riau-pekajan  yang masih selamat 
memisahkan diri dan mengucapkan selamat jalan pada 
kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat: 
selamat jalan pada armada yang pulang membawa 
kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan 
sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa 
luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal. 
Di jatikerto  baru iring-iringan itu singgah untuk 
berdagang  perbekalan, lalu  meneruskan pelayaran 
ke suryabuaya  . Kapal-kapal jatikerto  yang kecil itu terus 
mengiringkan. 
raden panji  gelang-gelang  sempat melihat bagaimana orang 
berduyun-duyun di jenggala jatikerto  untuk melihat sisa 
armada yang somplak compang-camping itu. Semua 
mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang 
nampak oleh mereka bukan sisa armada, namun   kegagahan 
nyi kanjeng blora. 
Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan 
nyi kanjeng blora, juga tidak terkalahkan oleh suryabuaya  . Ia mencoba 
mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di jenggala 
jatikerto  ia banyak mendengar percakapan dari perwira-
perwira pajang bintoro -suryabuaya  . Ada yang mengutuk pandai-pandai 
Blambangan. Ada yang menyalahkan Kantommana yang 
tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh 
memiliki  maksud sendiri hendak menggagahi jayamahanaya  buat 
dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan kediri  yang jelas-
jelas sudah  mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju 
suryabuaya   ia kaji semua alasan yang didengarnya dan 
membenarkan semua. namun   juga membenarkan: adiputro  
tumenggung dijoyo  satu-satunya orang yang berani berusaha 
mempersatukan kekuatan pelawan kanjuruhan , dan berani 
melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan 
kekalahan perang, namun   kegagalan dalam mengatur 
kekuatan sendiri. lalu  ia menyimpulkan: armada 
gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia mengangguk-
angguk mengerti. 
jenggala suryabuaya   penuh sesak dengan orang-orang yang 
datang menyambut. Semua pekerja galangan kapal 
berkerumun untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal 
buatan nya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal 
bendera somplak dan tiang-tiangnya yang terpangkas 
mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap 
peluru kanjuruhan . Panser dari adonan kapur dan minyak 
kacangtanah  tidak memiliki makna terhadap sukun besi, 
bahkan semakin memberati kapal. 
Juga di sini kehebatan kanjuruhan  lebih terbayang dibandingkan  
kekalahan sendiri. 
Ibunda Sang adiputro  suryabuaya  , Ratu Aisah, permaisuri 
kanjeng sinuhun  pajang bintoro , juga datang mengelu-elukan. 
Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh 
raden panji  gelang-gelang  turun ke biduk untuk menyertai Laksamana 
mendarat. 
Dari kapal bendera yang somplak compang-camping 
diturunkan sebuah tandu dengan Sang adiputro  tumenggung dijoyo  terikat 
di atasnya. Raden Kusnan dan raden panji  gelang-gelang  mendekati 
tandu untuk memperoleh  kesempatan memikulnya sampai ke 
darat. namun  mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri. 
Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah. 
Semua orang bersimpuh dan bersujud . 
“Pulang, kau, putraku, adiputro  tumenggung dijoyo ?” tanya Ratu. 
“Inilah putra Ibunda, datang membawa luka dan 
kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini   bersujud  dan 
mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.” 
Wanita tua itu menghampiri putranya dan 
menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari 
balik balutan. 
“Kau terluka, putraku, namun  tidak kalah. pemberontak -pemberontak  itu 
sekarang tahu. 
Putraku kesayangan. adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya  , sudah  pernah 
mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.” 
Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu 
mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua 
mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang 
bereampur dengan desau angin dan deburan laut: 
“Perhatikan, semua bawahan ! suryabuaya   sudah pernah 
mendatangi nyi kanjeng blora di jayamahanaya . Kapal-kapal suryabuaya   sudah 
pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain 
berjasang yang betari durga   satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! suryabuaya   
sudah  mendatangi dan menyerang mereka!” 
“Perhatikan semua itu, seluruh bawahan !” adiputro  tumenggung dijoyo  
memperkuat dengan suara lemah. lalu  keluar kata-
katanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: “adiputro  tumenggung dijoyo  
suryabuaya   terluka, pulang tidak membawa kemenangan, namun  
tidak membawa kekalahan. suryabuaya   sudah bertempur 
melawan lelananging jagad. Kapal bendera sudah  dilukai 
oleh gada rujakpolo  nyi kanjeng blora. Pasang kapal ini di laut sana, 
tambatkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh 
dunia tahu: dia sudah  pernah berhadapan dengan nyi kanjeng blora 
dalam perang laut di perairan jayamahanaya . Sauhkan di sana 
sampai umur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali 
kita akan datangi jayamahanaya  lagi. Lain kali!” 
Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan raden panji  gelang-gelang  
sudah  tak dapat merebut kesempatan untuk memikul. 
Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan 
bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pelatarannya, di atas 
tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa. 
Tiga hari raden panji  gelang-gelang  tinggal di suryabuaya   sebagai 
Punggawa kediri . Bekas teman-temannya sekerja dahulu  tak 
habis-habis mengaguminya. Hanya ki mangkukerta  selalu 
menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat 
menangkap bahunya. Orang itu mencoba mengebaskan diri 
sambil bersungut-sungut: “pemberontak ! Pengkhianat dari kediri ! 
pemberontak !” 
Ia terpaksa melepaskannya dan membiarkan pergi sambil 
membuang   jijik ke tanah. Mengertilah ia, umum di suryabuaya   
sudah  menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus 
terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung 
semua pengkhianatan itu sebagai wakil kediri . 
Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri. 
Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk 
memperoleh kan penghinaan baru pula: “Nyahlah semua 
tentang kediri  dan dari kediri !” 
Hatinya terluka. 
Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu 
Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten: 
“Kau, raden panji  gelang-gelang  dari kediri , kembali kau pada baginda tuanku raja  
adiputro  kediri  dengan salam kami. Jangan kau patah hati. 
Kegagalan di jayamahanaya  bukan akhir, hanya suatu permulaan 
yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. sang hyang Widhi  
memberkahimu.” 
Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan 
langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera 
memerintahkan mancal. 
Jamal Konong, pemimpin gugusan jatikerto , 
menghadangnya di dermaga: “Tuanku raden panji  gelang-gelang , 
kepala   gugusan kediri ,” katanya sambil bersujud  dada, 
“raja Pajajaran tidak memberikan ijin pada kami untuk 
mendarat di jatikerto  untuk selama-lamanya. Kami hendak 
menyatakan bergabung dengan suryabuaya  , namun   tak ada 
punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan 
Tuanku Laksamana. Tuanku, perkenankanlah kami 
menggabung pada Tuanku.” 
“400  anak buahmu, apakah masih lengkap?” 
“Utuh, Tuanku.” 
“Baik. Mari mancal.” 
wah 
 
Gugusan gabungan kediri -jatikerto  meninggalkan suryabuaya   
menuju ke kediri . 
Sang adiputro  menyambut kedatangan pasukan lautnya di 
jenggala , la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat 
semua dalam keadan utuh dan selamat. 
Waktu raden panji  gelang-gelang  mempersembahkan akan kapal-
kapal pelarian jayamahanaya  di jatikerto  yang menggabung ia 
tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat. 
Ia sama sekali tak pernah menanyakan Raden Kusnan. 
wah 
 
12.   muncul nya Kerincuhan 
raden panji  gelang-gelang  mengangkat bocah yang sedang bermain-
main seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat 
dan kotor seperti anak anak di desa. 
Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata 
kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan 
ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut 
tertawa. 
Ia ayunkan mpu wungubhumi  ke atas kepala  nya, dan anak itu 
menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira sebab nya. 
“Mana emakmu?” tanyanya walaupun tahu nyi girah  
sedang di dapur. 
Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya 
armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat 
itu! Sekiranya nyi kanjeng blora sampai memburu… pasti ia tidak 
akan bermain-main dengan mpu wungubhumi , anak istrinya ini. 
nyi kanjeng blora tidak memburu. Mereka membelok ke kiri, 
menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah 
lindungan tembakan gada rujakpolo  mereka menghalau dua belas 
ribu centeng  gabungan Aceh-pajang bintoro -suryabuaya   untuk dapat 
melakukan pendaratan di jenggala jayamahanaya . Dari kenyataan 
itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi 
nyi kanjeng blora lebih penting dibandingkan  menghancurkan sisa 
kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! nyi kanjeng blora 
memerlukan  pangkalan! 
Ia turunkan mpu wungubhumi  ke tanah, mengetahui Paman Marta 
datang padanya, langsung bersimpuh dan bersujud . 
Dengan masih menggandeng tangan mpu wungubhumi  ia 
mendengus: “Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku 
hanya seorang anak desa?” 
“saya , paduka Wira.” 
“Husy.” namun  Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya: 
“saya  dengar suryabuaya   kalah, paduka Wira.” 
“Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu.” 
Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya 
dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang. 
“Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya, 
suryabuaya   kalah. Mau apa lagi?” 
“Hebat benarkah nyi kanjeng blora, paduka Wira?” 
“Apa itu paduka?” 
“Hebat benarkah nyi kanjeng blora, bendara Wira? 
“Apa itu bendara? Ya, nyi kanjeng blora memang hebat.” 
“Baru saja saya  dengar, paduka Wira….” 
“Husy. Apa yang kau dengar?” 
“Sesudah  nyi kanjeng blora mengalahkan adiputro  tumenggung dijoyo , rnereka 
tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu 
mengangguk. “Tadi, baru saja tadi, saya  dengar nyi kanjeng blora 
sesudah  itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya blora 
mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian, 
Wira?” 
Kening raden panji  gelang-gelang  mengernyit. Tanpa bicara ia 
serahkan mpu wungubhumi  pada Paman Marta. Ia langsung memasuki 
gedung utama untuk mencari patih wirabuana  kediri . Yang 
dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke 
jenggala . Juga di sana patih wirabuana  tak diperoleh nya. Justru 
pada waktu itu raden  sanggabuana  bumikerta  baru pulang dan 
masuk ke dalam gedungnya. 
Ia datang Iagi ke patih wirabuana an dan menemui Paman 
Marta sedang menggendong mpu wungubhumi  yang sedang menangis. 
‘Tuan patih wirabuana  sudah ada di dalam, Wira,” katanya 
sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung. 
raden panji  gelang-gelang  melompat masuk ke dalam. 
“Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira,” 
sambut patih wirabuana  kediri . Ia tetap berdiri di tempat, di 
belakang meja tulis. 
“Sejahteralah, Tuan. Benarkah blora sudah  jatuh ke 
tangan nyi kanjeng blora sesudah  suryabuaya   kalah?” 
raden  sanggabuana  bumikerta  menggeleng-geleng dan 
berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya: 
“Rangmuda! Rangmuda!” sebutnya. “Berapa kali sudah 
kukatakan, nyi kanjeng blora juga akhirnya menaklukkan seluruh 
dunia. Lupa kau sudah? blora jatuh, Wira. Benar. Selat 
sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau 
mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita, 
rangmuda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh sang hyang Widhi  
kepada kita untuk dipakai . Terserah bagaimana 
manusia memakai nya dan dapat atau tidak mereka 
memakai nya.” Kata-katanya membanjir seakan tak 
bakal berhenti. “Sekali orang mengenal karunia ini dan 
dapat memakai nya dengan baik, dia akan menciptakan 
hukumnya sendiri. Hanya yang dapat memakai  
dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.” 
raden panji  gelang-gelang  pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu 
masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari 
patih wirabuana  membakar hatinya. Pada suatu ketika kelak, 
tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar 
nyi kanjeng blora akan dapat dipatahkan, dan raden panji  gelang-gelang  akan 
ikutserta  melakukannya! 
patih wirabuana  kediri  mengikutinya dengan pandangnya 
sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan. 
Begitu patih wirabuana  muda turun ke tanah dan didapatinya 
Paman Marta sudah  menunggunya membawa mpu wungubhumi  yang 
meronta-ronta dalam gendongan. 
Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya 
sendiri. 
mpu wungubhumi  terdiam. Anak itu sudah  lelah menangis dan 
meronta. Matanya sayu, lalu  jatuh tertidur dengan 
kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan 
diletakkan si bocah di atas ambin. 
Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya 
blora, tentang sambutan melecehkan dan cara patih wirabuana  
kediri  itu menyampaikannya! Ia duduk tepekur. lalu  
ia pandangi mpu wungubhumi . Makin lama wajah itu makin 
menyerupai pakanewon  Habibullah Almasawa: bentuk kepala   
yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang 
bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung 
bengkung! pakanewon  Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia 
mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu. 
Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat 
lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali 
memasuki kamar ini… 
wah 
 
Nyi kembang  Kati mengira nyi girah  sudah  mati di ujung 
cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga 
sebab  kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu 
apa lagi, seperti tak sedarkan diri. 
Bekas pengurus  harem itu masuk sambil melindungi si 
bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan 
dari raden panji  gelang-gelang . 
“Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali, 
Wira,” katanya. 
Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi kembang  Kati 
mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya. 
“Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? nyi girah  sedang 
tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk 
membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar 
aku gendong bayi itu.” 
“Jangan!” Nyi kembang  menolak kontak dan dari matanya 
nampak ia berjaga-jasa. “Jangan bunuh dia, Wira. nyi girah  
berpesan, ‘Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang raden gelang-gelang ’. 
Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.” 
Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap 
waspada mendekati nyi girah , yang tergolek di ambin. 
Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: “nyi girah , 
pujaan seluruh kediri , Kamaratih kediri , betapa celaka 
hidupmu, Nak.” 
“Dia tidak celaka, dia berbahagia,” juara gulat 
membetulkan. 
‘sudah  kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk 
menghadapi hari ini,” ratapan itu diteruskannya, “untuk 
menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan 
dicintai.” 
“Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya,” bantah 
raden gelang-gelang . 
“Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya, 
seorang wanita utama, dikagumi semua orang. nyi girah , ah, 
nyi girah !” 
“Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur,” tegahnya. 
“Kau bukan wanita pertama menderita sejenis  ini, 
nyi girah . Manakah darahmu, biar kucium sebagai 
penghormatan dari semua yang mencintaimu?” 
“Tak ada darah keluar dari tubuhnya,” sekali lagi ia 
membantah, namun tak dapat mencegah Nyi kembang  
meneruskan ratapannya. 
Dengan satu tangan Nyi kembang  meraba-raba tubuh nyi girah , 
dan ia tak memperoleh kan setetes darah pun. Ia membeliak 
padanya, menuduhnya dengan suara keras: “Keji kau, 
Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehormatan pada 
Kamaratih kediri ! Tak kau antarkan dia dengan ujung 
cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi.” 
“Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia?” 
Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan 
pada leher  nyi girah . Ia dekatkan matanya pada leher itu dan 
baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan 
leher itu pun tidak cedera. 
“Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira?” 
“Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat 
buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.” 
Nyi kembang  Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi 
dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya. 
Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa 
banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula 
cerita nyi girah  tentang impiannya yang temyata kejadian 
sebetulnya . Bayi itu bukan anakku. Orang-orang sudah  
membicarakannya: nyi girah  terkena bius setiap habis pulang 
dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka 
membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau 
percaya? Dan Laki-laki  manakah yang bisa membuktikan 
seorang bayi itu anaknya atau tidak? 
Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya. 
Ia pandangi nyi girah  yang lelap-nyenyak mendekati pingsan. 
Dia tak bersalah. Dia sudah  bersedia menerima ujung 
cundriknya sendiri. Dia sudah  tubrukkan diri pada senjata 
itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau 
senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia sudah  tewas. 
Mengapa yang menderita harus menerima hukuman? 
Mengapa bukan si penyebab penderitaan? 
Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombak-
tombak dan gada . Ia sudah  rasai ujung senjata itu 
menyintuh jantung patih wirabuana  kediri . Sampai di pintu 
terdengar olehnya perintah  Sang adiputro  untuk menjaga 
keselamatan patih wirabuana , untuk melindungi jiwanya. 
“Terkutuk!” sumpahnya. “Bedebah itu tak boleh aku 
punahkan.” 
Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang 
Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang adiputro  harus 
membatalkan pelepasan dendam terhadap musuh-
pribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat 
menampung perintah  para dewa. Dan perintah  itu tak datang dan 
tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya sudah  
mematah-matahkan anggota badan patih wirabuana  kediri . 
namun   lalu  melengking suara betari  resi   yang 
mengharapkan dirinya dapat memanggil kebesaran dan 
kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang adiputro  
yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan 
itu terpanggil tanpa restu seorang raja. 
namun  apakah aku bukan anak kediri  mendiamkan saja 
pakanewon  Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan 
aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku 
keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang 
banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku 
mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan 
langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, sudah  kuremas hati 
penghalang jalanan ini! 
Kedua belah tangannya menggigil dan keringat 
kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan 
tangan telanjang menuju ke gedung utama. 
Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang 
kuda dari kepatihan sudah  memanggilnya. Tugas penting 
sudah  memerlukan tenaganya…. 
Tidak lebih dari sebulan sesudah  kedatangannya dan 
jayamahanaya  baru diketahuinya: tidak benar nyi kanjeng blora sudah  
menaklukkan blora. Benar ada beberapa buah di antara 
kapal-kapalnya datang ke sana, namun   hanya mencari lada 
dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan sudah  terjadi 
diikuti dengan perkelahian kecil di darat. lalu  kapal-
kapal itu balik kembali ke jayamahanaya  tanpa hasil. 
Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok 
bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, sudah  
melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua 
minggu kanjuruhan  menduduki Sabang, lalu  pergi lagi 
ke jayamahanaya . 
Orang memberitahukan juga, kapal-kapal kanjuruhan  mulai 
kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan 
Selatan, lalu  juga di perairan Jawa sendiri. 
Seruan kanjeng sinuhun  adipati  Syah dalam pembuangan untuk 
memboikot jenggala jayamahanaya  nampak seakan masuk dalam 
hati para raja Nusantara. namun   pemboikotan 
sebetulnya  bukan sebab  seruan itu. Para raja Nusantara 
memang gentar pada kanjuruhan  dan takut berlabuh di 
jayamahanaya . 
kanjeng sinuhun  adipati  Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang 
populer. 
Selama kejayaan jayamahanaya  sikapnya terhadap para raja 
selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan 
bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka 
memerlukan  jayamahanaya , dan jayamahanaya  tak membutuhkkan 
mereka. 
Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya 
sudah  membuat  blora jadi jenggala pengganti jayamahanaya . Maka 
jenggala yang sudah  kehilangan serinya dalam waktu satu 
abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang 
pun mulai menduga-duga, jangan-jangan kanjuruhan  kelak 
akan merampas juga jenggala ini untuk menyelamatkan 
jayamahanaya , dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi 
kemakmuran dunia. Malahan ada yang sudah  berani 
mengabarkan : Kalau nyi kanjeng blora belum juga melakukannya 
adalah sebab  masih disibuki oleh perkara-perkara lain. 
Pada waktu itu kanjuruhan  memang sedang sibuk 
memasuki perairan panarukan  dan parahyangan , mencerai-
beraikan armada-armada dagang kediri  dan Blambangan, 
membunuhi dan memhancur kan pedagang-pedagang 
pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini 
memegang monopoli atas panarukan . 
Pelayaran dan perdagangan antara panarukan  dan kediri  
merosot. jenggala kediri  menjadi lengang. Pasar pelabuhan 
sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak 
laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri. 
Dan di seluruh negeri kediri , tak lain dari Sang adiputro  
kediri  Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak 
habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya 
kediri  membantu suryabuaya   dengan sejujur hati, mungkin 
jayamahanaya  sudah  jatuh dan panarukan  tetap dalam monopoli 
pemborong dan pedagang kediri  dan pasuruan  atau 
Blambangan. Maka jenggala kediri  takkan selengang 
sekarang ini. 
Sesal tiada guna: jatuhnya jayamahanaya  melambangkan 
jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh 
Nusantara. Nasi sudah  menjadi bubur. 
Kapal-kapal kediri  hampir-hampir tak berani lagi 
berlayar ke panarukan . Seperti digebah oleh badai mereka 
bertaburan ke jurusan barat mencari lada di jatikerto , 
Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke blora. 
Kapal-kapal negeri dongeng  seperti ditolak oleh taufan 
hampir-hampir tak berani muncul lagi di kediri . 
Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di 
pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak 
perlu menyinggahi jayamahanaya . Tanpa rempah-rempah 
perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayu-
kayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat…. 
Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik 
dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada 
yang memperhatikan mereka dalam ketenangannya. 
Keprihatinan Sang adiputro  tak habis sampai di situ saja. 
Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan, 
penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan 
merambat dari jenggala ke kota, dari kota ke pedalaman. 
Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja 
galangan tak dapat lagi mengharapkan upah. 
Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari 
Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapal-
kapalnya ke jenggala -jenggala di sebelah barat. Bila mereka 
toh menetap di kediri  Kota, mereka berpindah kegiatan 
dari eksportir menjadi pedagang kebusang yang betari durga   pedalaman: 
ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam 
kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan 
atas jayamahanaya  mereka mulai mengambil sikap membenci, 
memusuhi, dan menentang Sang adiputro  kediri . 
Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama 
mengagumi kekata ran mereka dan dengan diam-diam 
menghormati dewa mereka. namun   ada juga segolongan 
kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. 
Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara 
penduduk kediri : yang membenci Sang adiputro  dan yang 
membenci kejayaan golongan arca   . Pertentangan-
pertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang 
lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan 
mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar-
golongan. 
Sang adiputro  kediri  dapat melihat, keuletan para 
pedagang arca    akhir-kelaknya yang akan menjamin, arca    
juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk-
pemeluknya memiliki  kegesitan, memiliki  kepercayaan pada 
usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, memiliki  prakarsa 
dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa 
perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, 
tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di 
antara putra-putranya dari selir, sesudah  sekian lama 
mengabdi pada pajang bintoro  terus bersetia pada raja arca    di 
barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: 
hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja 
mampu jadi penantang dan penggempur nyi kanjeng blora, 
sekalipun kalah. namun  kelak? 
Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru. 
Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita 
tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewa-
dewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, namun  si 
manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi 
penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan 
putra-putranya, dan siapa saja yang bersujud  dewa baru 
ini. 
namun   kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya 
akan mpalawa ahaya yang lebih keras: kanjuruhan . Belum lagi 
raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi kediri , wajah 
kediri  sudah berubah, dari betari i menjadi lengang, 
kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi 
sepi. 
Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak 
lain dari centeng -centeng  dari gugusan jatikerto , para pelarian 
dari jayamahanaya . Mereka ditampung dalam balai   di luar kota. 
Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk 
melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah 
dari panarukan  dan tiga-tiganya sudah  dirampas oleh kanjuruhan  
di Selat jenggala . Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan 
dan minum. 
Dan pada suatu hari, seluruh balai   itu kosong. isinya 
hilang-lenyap tanpa bekas. 
Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk 
melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa 
mereka sudah  terhasut oleh Rangga jatayuwesi , bekas patih wirabuana  
kediri . 
Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang 
adiputro  mengetahui dengan pasti, bekas patih wirabuana  itu 
sudah  memakai  kegelisahan umum untuk mencapai 
maksudnya sendiri. Orang jawadwipa  keturunan Benggala itu 
ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia 
memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti 
kerugian. sudah  ia perintahkan agar bekas patih wirabuana  itu 
meninggalkan kediri  Kota dan ditempatkannya di 
pedalaman, memperoleh  kekuasaan atas lima desa. 
Nampaknya ia belum juga puas. Rangga jatayuwesi  masih juga 
mengajukan banyak permohonan. sudah  diijinkannya untuk 
mendirikan perguruan  untuk mengembangkan agama baru 
itu. Masih juga ia memohon tambahan desa. 
Dalam dua tahun memegang lima desa itu sudah  
memicu  desa-desa tersebut memperoleh  kemajuan 
luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah 
dikenal selama itu, yang memicu  penduduk desa 
bekerja dua kali lipat dibandingkan  biasanya. Perumahan 
didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga 
memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa 
batas. Panen yang berlimpahan memicu  desa-desa 
yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya 
menjadi patuh padanya. 
Dengan kepasang yang betari durga   penduduk padanya bekas patih wirabuana  
itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi kediri . 
Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa 
itu mengibarkan panji-panji arca    untuk memusuhinya. Ia 
tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orang-
orang arca    itu memperoleh  perlindungan dari Sri Baginda 
Bhre Wijaya Purwhutan esa. Ialah pula yang mempelopori 
persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang arca    
dari negeri dongeng , mengakibatkan pembangkangan bupati-
bupati pesisir terhadap kerajaan jenggala  dan mengakibatkan 
kerunsang yang betari durga   kerajaan sri ratu kertanegari  Tantrayana itu. Ialah pula 
yang membenarkan putra-putranya masuk arca    dan 
berpihak pada arca   . Sekarang dengan panji-panji arca    
pula seorang bekas punggawa, bekas Syahjenggala mya, sudah  
mengambil sikap memusuhinya. 
Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru, 
kekuasaan baru, pengaruh baru, gada rujakpolo , nyi kanjeng blora… semua 
itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju 
pada dirinya. 
Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh 
centeng  pelarian jayamahanaya  itu menggabungkan diri dengan 
Rangga jatayuwesi  di desa jayawisesa . 
Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di 
pajang bintoro  untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru 
pendamai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun 
di antara mereka datang menghadap. Pembangkang arca    
hanya bisa diredakan oleh orang arca    pula, pikirnya. Dan 
sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putra-
putranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah 
sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan kediri  
terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul. 
Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan 
raden panji  gelang-gelang  ke pajang bintoro  sebab  bagaimana pun putra-putra 
itu harus dipercaya kan. Setiap ia ingat, kepentingan nyi girah  
juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus 
memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa 
tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah 
permata kediri  yang harus dimuliakan. Desas-desus 
kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: pakanewon  
Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk 
memperoleh kan perdamaian dari nyi kanjeng blora dan Espanya. 
Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada raden panji  gelang-gelang  
untuk tidak meletakkan tangan pada patih wirabuana  kediri  itu, 
biar apa pun kata orang tentang dirinya. 
Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu: 
perang. Juga terhadap Rangga jatayuwesi  tak akan dikirimkan 
prajurit kerajaan . Setiap terjadi perang dalam negeri di kediri  
akan memanggil pajang bintoro  untuk menyerang. Boleh jadi 
pajang bintoro  tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang. 
Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan 
dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dahulu , 
bahwa orang-orang Tionghoa yang memperoleh  perlindungan 
di campa , tentu harus ia hancur kan bila Semarang tak bisa 
mengendalikan pajang bintoro . namun  tanda-tanda itu belum 
memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan suryabuaya   
suatu permulaan, namun   kekalahannya di jayamahanaya  juga 
menyurutkan kepercayaan orang pada pajang bintoro . Hukuman 
itu sudah setimpal dengan kejahatannya. 
namun  Sang adiputro  tak pernah berani mengakui dirinya 
sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai 
kebencian terhadap perang   dan perang merugikan. 
Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi 
patih wirabuana  kediri , pada suatu kali teg’adi ini: Bulan 
sedang menerangi alam. Tengah malam. 
patih wirabuana , yang diikutinya dari kejauhan, berjalan 
seorang diri di jenggala yang sepi itu. Ia berjubah genggang. 
Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang 
berjalan seorang diri dalam kesepian. 
Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar. 
Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka sudah  
meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi 
ini. 
raden  sanggabuana  bumikerta  langsung menuju ke dermaga. 
Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. lalu  
ia berhenti. 
Dan raden panji  gelang-gelang  yang berjalan agak jauh di 
belakangnya melompat ke tepi jalan, berlindung di balik 
sebatang pohon asam. 
Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat. 
Hilang- muncul  di balik puncak ombak, lalu  terayun 
naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu 
menuju ke jenggala . Dan orang kulit putih mendarat. Dua 
orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat.  
Beberapa kali patih wirabuana -muda menggosok matanya, takut 
salah pengelihatan. namun  pemandangan itu tidak menipu 
matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang 
pendarat itu dibandingkan  kulitnya, juga membedakannya dari 
kulit patih wirabuana . Dan jauh, jauh di tengah laut sana, 
sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal 
kanjuruhan  dengan layar-layar tergulung. 
Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan pakanewon  
Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu 
lalu  turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut 
lagi, menuju ke kapal. 
raden panji  gelang-gelang  mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar 
taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang 
itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini 
Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan mengapa pendarat-
pendarat itu segera balik lagi? Ada apakah semua ini? 
Apakah hubungan patih wirabuana  dengan mereka? Dan 
adakah pakanewon  nanti mempersembahkan peristiwa ini pada 
Sang Patih? 
Sambil menduga-duga ia tunggu patih wirabuana  melewati 
tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap 
gumamnya, namun  tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan, 
mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut 
itu terlalu keras. 
Sesudah  orang itu lewat dan menuju ke patih wirabuana an ia 
berjalan cepat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik 
ke atas. 
Didapatinya dua orang penunggu menara sudah  tidur 
nyenyak. Suatu gelombang kemarahan memicu  ia 
memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun. 
Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya 
persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia 
perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu. 
Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi 
dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan. 
Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke 
dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja 
patih wirabuana . 
Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di 
hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar 
dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya 
tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah, 
masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia 
menginjakkan kaki di bumi kediri . 
Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang 
bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang. 
Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali 
ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga 
itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai 
mereka terjaga. sinar matahari  sudah lama terbit. Perahu-perahu 
nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang 
kapal kanjuruhan  sudah tiada. sinar matahari  makin meninggi juga. 
Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala   mereka, mereka 
mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan membukakan mata 
dengan malas. 
Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka 
masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak 
dengan mata belum sepenuhnya terbuka. 
Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari 
adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat 
pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata 
raden panji  gelang-gelang  yang tajam mengancam dan wajahnya 
terbuka. 
Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan 
memohon ampun. 
“Keparat kalian!” sumpah raden panji  gelang-gelang  berang dan 
menyorong kepala   mereka dengan kakinya. “Apakah kalian 
kira sebab  tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai 
begini siang?” 
“Ampun, Wira. Tiada saya  berdua sengaja tertidur 
sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang 
di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun, 
ampun.” 
‘Tak ada ampun lagi bagi kalian.” 
Mereka mencoba mencium kaki raden panji  gelang-gelang , namun   
patih wirabuana muda itu menendangnya dengan gerakan kaki 
lemah. 
“Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur 
berbareng seperti ini?” 
“Justru sebab  keteledoran kalian, tuan patih wirabuana  sudah  
hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok….” 
“Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga 
keselamatan tuan patih wirabuana . Hanya di sini…” 
Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk 
memperoleh  pengampunan. Dan patih wirabuana -muda tak juga 
memberikan. 
“Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian 
lalai. Di mana kalian lihat tuan patih wirabuana  untuk 
penghabisan kali?” 
“Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira….” 
“Kemarin sore,” desak patih wirabuana -muda. 
“Betul. Masih ada di sini, Wira.” 
”Apa diperbuatnya di sini?” 
“Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira.” 
“Bangun kalian! Itu saja ceritanya?” 
“Betul, Wira. Tentang wanita lesbian  Ispanya, Wira. 
Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti 
bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira?” 
“Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian 
tanyakan padanya sendiri?” 
“Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya 
hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana 
mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi wanita lesbian  Jawa 
dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam, 
katanya. Hanya iblis wanita lesbian  berhitam-hitam. Buh, 
hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang 
senang bergigi-hitam.” 
“Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan 
Ispanya.” 
“Diperintahkannya pada kami untuk membayang-
bayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan 
patih wirabuana , jangan sampai salah membayangkan. Rambut 
mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila 
tertimpa sinar sinar matahari . Dan kegenitannya, Wira, katanya, 
kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang 
seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila 
dipuji kecantikannya… tak dapat orang melupakannya 
seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?” 
“Tidakkah tuan patih wirabuana  menyuruh kalian 
melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.” 
“Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya, 
Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara 
celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke 
kediri  membawa wanita lesbian  tiada tandingan itu, 
lebih cantik dari bidadari Jawa. ayolah , lihat ke laut lepas 
sana!…. Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal 
nampak. Tuan patih wirabuana  tertawa di belakang kami.” 
“Mengapa tertawa?” 
“Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia 
perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal 
itu. Lebih megah dari kapal nyi kanjeng blora, katanya, penuh 
dengan wanita lesbian  Ispanya yang cantik. Apakah 
kalian tak menghendaki barang seorang? tanyanya sambil 
terus tertawa di belakang kami.”  
“Apa lalu ?” 
“Kami kira dia sedang mabok tuak. Sesudah  itu dia turun 
dan pergi entah ke mana.” 
“lalu  kalian makan,” raden panji  gelang-gelang  mendakwa. 
‘Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya.”  
“lalu  kalian minum.”  
“Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat.”  
“Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?”  
“Tidak, Wira. Hanya minum.”  
“Terlalu banyak tuak,” raden panji  gelang-gelang  mendakwa 
lagi.“Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di 
sini. Kami hanya minum dari gendi, lalu , entah 
bagaimana…” 
“Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar.” Melihat dua 
orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, “ayolah , makan dahulu  
sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih.”  
“Ampun, Wira,” mereka mencoba lagi untuk mencium 
kakinya.  
“Makan, kataku!” perintahnya Dan sesudah  mereka 
makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi, 
“minum segera sebelum kita berangkat, sebab  Sang Patih 
sedang di luar kota.” 
Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada 
antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat 
seperti hendak bengkak.  
“Wira, ampun, Wira, ampun,” mereka berkata  berat, 
lalu  menggelesot tidur di geladak. 
Ia mencoba membangunkan mereka. Tak berhasil. Ia 
tuangkan sisa air pada kepala   mereka. Pun sia-sia. 
Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat 
bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia 
menghela nafas dan mengucap syukur pada sang Hyang betari durga  . 
Betapa jadinya kalau nyi girah  dahulu  kubunuh? Dia sudah  
teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi 
penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah. 
nyi girah ! nyi girah ! Memang patih wirabuana  itu patut aku hancur kan. 
Kesempatan itu akan tiba jua, pakanewon . Hati-hati, kau! 
Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah 
ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar cakra 
dari sebuah kapal kanjuruhan . Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya 
matanya. Benarkah itu nyi kanjeng blora dan bukan kapal Ispanya, 
yang patih wirabuana  menyuruh penjaga menara itu 
membayang-bayangkan? 
Layar bercakra itu mengembang pada beberapa bagian 
dan sedang menuju ke jenggala . Pasti kapal semalam. Dan 
sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul 
bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam 
tidurnya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah. 
Dan benar sebagaimana ia harapkan: patih wirabuana  turun 
dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian 
kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan 
menuju ke dermaga. 
Ia berhenti memukul melihat patih wirabuana  meninjau ke 
atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu, 
namun  lalu  berjalan terus. 
jenggala yang senyap tiba-tiba menjadi betari i. Wanita-
wanita berlari-larian membawa barang dagangannya 
menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk 
memperoleh kan tempat terbaik. Menyusul lalu  
pedagang-pedagang Laki-laki  memikul buah kacangtanah , ayam atau 
menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah 
dan sayur-mayur. 
Waktu canang kadipaten sudah  menyambut, ia turun dan 
segera mengiringkan patih wirabuana . Matanya terpancang 
pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram, 
dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan 
meronta untuk lalu  mati terkapar sekarang juga. Dia 
akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan: 
hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa 
nyi girah  lalu  pergi? Dia akan tetap jadi anak ibunya. 
patih wirabuana  dan aku memperoleh  maut yang sama, sedang 
noda itu tetap tiada kan terhapus. 
Ia belum memiliki  kesanggupan menyelesaikan 
persoalannya. 
wah 
 
Untuk pertama kali raden panji  gelang-gelang  ikut dalam iring-
iringan orang asing menghadap Sang adiputro . Untuk 
pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat. 
Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol, 
langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara 
seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana 
kepala   dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembah-
bersujud . Seluruh badan dari leher sampai muka dari 
pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup 
dan keringat nampak membasahi punggung mereka. 
Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan 
sepotong kain, lalu  memasukkannya ke dalam saku 
baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain 
nampaknya tak menanggapi  orang selebihnya. 
Berjalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di 
belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di 
belakangnya lagi patih wirabuana  kediri . Paling belakang 
adalah dirinya. 
Biasanya patih wirabuana  berjalan di kepala   iring-iringan. 
Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan 
padanya. Biasanya pula patih wirabuana  bertindak sebagai tuan 
rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring? Dan apakah 
yang mereka percakapkan semalam dengan patih wirabuana ? 
Apa pula isi surat itu? 
Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada 
hubungan rahasia antara patih wirabuana  dengan nyi kanjeng blora. 
Kalau tidak mengapa kapal berlabuh sesudah  semalam 
mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? Dan 
siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis 
hubungan ini? 
Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala 
makara gapura sudah  tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya 
sudah  berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir. 
Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir 
tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya. 
Dia harus pergi meninggalkan kediri  Kota. Tak bisa lain. 
Mungkinkah sebab  kebenciannya pada Sang adiputro  ia 
menyediakan diri jadi perintis hubungan mereka? 
Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan. 
Di penghadapan hanya raden panji  gelang-gelang  duduk di 
kejauhan. 
Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak 
pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. patih wirabuana  
kediri  melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo. 
Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa 
ditempati Rangga jatayuwesi . Ia kelihatan lebih bongkok dan 
sekali ini nampak kehilangan wibawa. 
patih wirabuana -muda merasa tersinggung oleh sikap tamu-
tamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa 
sesuatu persembahan. 
raden  sanggabuana  bumikerta  mempersembahkan pada 
Sang adiputro  dalam jawadwipa , bahwa ini adalah untuk 
pertama kali nyi kanjeng blora mendarat di kediri , maka mereka 
belum mengenal adat-kebiasaan jenggala mya dan adat-
kebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir 
menunduk ia memohon ampun dari Sang adiputro  untuk 
pendatang-pendatang baru itu. 
Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu 
raden panji  gelang-gelang  tak dapat melihat perubahan-perubahan pada 
wajah baginda tuanku raja nya. Terdengar olehnya orang-orang kanjuruhan  
mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung 
keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan 
raden  sanggabuana  bumikerta  menterjemahkan: “Bukan 
maksud kami untuk berlabuh di kediri . Kami sedang 
menuju ke Pasuruan atau Panarukan, namun   sesat di jalan. 
Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami 
mengucapkan banyak-banyak terimakasih memperoleh  
perlindungan di jenggala baginda tuanku raja  adiputro . Berhubung salah 
jalan ini, baginda tuanku raja , memicu  perhitungan kami juga salah. 
Tentang ini akan kami persembahkan nanti…” 
“baginda tuanku raja  adiputro  kediri , kami datang ke mana, ke 
Pasuruan atau Panarukan, atau jenggala -jenggala lain di Jawa, 
bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini 
sudah  mengenal nyi kanjeng blora, sebab  dunia ada di tangan kami. 
Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan 
lain….” 
“Terjemahkan yang betul!” tegur Sang adiputro  gusar. 
“Memang tidak sedap untuk didengar, baginda tuanku raja ,” tambah 
Sang Patih “juga berlebih-lebihan panjangnya.” 
“patih  sudah  terjemahkan dengan betul, baginda tuanku raja .” 
Martinique Lamaya bicara lagi dan patih wirabuana  
meneruskan: “Kami datang dan memerlukan  beras, 
sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang 
akan kami bayarkan. Mas nyi kanjeng blora.” 
“Tuan patih wirabuana ,” tegur Sang Patih, “bukankah untuk 
urusan kapal maka Tuan diangkat jadi patih wirabuana ? 
Bagaimana soal begini dipersembahkan pada baginda tuanku raja  adiputro  
kediri ?” 
Sekilas raden panji  gelang-gelang  dapat melihat wajah Sang adiputro  
dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam 
sebab  tersinggung. Sebentar saja: 
patih wirabuana  tak meneruskan terjemahannya. Juga 
Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap. 
Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam 
kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan 
pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka. 
Dan Sang adiputro  berkata dalam Jawa pada Sang Patih: 
“Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih?” 
“Biarlah mereka meneruskan bicaranya, baginda tuanku raja . Memang 
mereka belum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya 
mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya,” 
sembah Sang Patih. 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri ,” patih wirabuana  
meneruskan. “Adapun pekerjaan patih  memang mengurus  
semua yang berhubungan dengan kapal dan jenggala .” 
“Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi 
kebusang yang betari durga  nya.” 
adiputro  kediri  meninggalkan tempat. Dan orang-orang 
kanjuruhan  kembali ke pelabuhan. 
wah 
 
Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya 
menginap di gandok kanan kepatih wirabuana an. raden panji  gelang-gelang  
ditugaskan oleh patih wirabuana  untuk melayani. 
Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan 
orang-orang wanita lesbian  berlarian meninggalkan pasar 
jenggala sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan. 
Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari memperoleh kan mereka. 
“Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang 
nyi kanjeng blora itu!” 
Ia lari ke jenggala . Dilihatnya suatu perkelahian sudah  
terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan 
awak kapal kanjuruhan . Beberapa orang kanjuruhan  lagi sedang 
memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam 
pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas. 
“Wira! patih wirabuana -muda!” dua orang berlarian 
menghampiri. “Mereka merampas, mengamuk dan 
melukai.” 
Dalam jawadwipa  raden panji  gelang-gelang  berseru-seru: “nyi kanjeng blora, 
hentikan!” 
Begitu selesai berseru-seru ia sudah  berada dalam 
kepungan beberapa belas orang kanjuruhan . 
“patih wirabuana -muda bicara di jenggala nya’ ia berseru 
dengan nada memperingatkan. “Hentikan perbuatan kalian. 
Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!” 
Orang-orang kanjuruhan  itu mengejek dan 
mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka 
memperlihatkan sikap hendak menyerang. 
“Kembali kalian ke kapal kalian. patih wirabuana -muda, 
raden panji  gelang-gelang , sudah bicara. Kembali! Kembali!”  
Seorang kanjuruhan  sudah  melayangkan tangan pada 
mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya 
perbukuan lengannya. Satu kata  kesakitan melengking. 
Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang 
lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, berteriak  
seperti macan terkena tombak. Ia melompat sambil 
memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orang-
orang kanjuruhan  pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu 
berjalan hanya beberapa detik. lalu  ia sempat 
menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan, 
lalu  ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas teman-
temannya sendiri. 
Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu 
nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia 
rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya. 
Beberapa kali kepala  nya menggeleng sebab  terkena tetakan 
dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan 
tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang 
dapat ditangkapnya. 
Satu sambaran sudah  mencengkam lengan seseorang dan 
orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada 
kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi 
kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling 
untuk membubarkan kepungan. 
Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya, 
jauh melayang dan berkembang bug jatuh di pasiran jenggala . 
Kawan-kawannya merubungnya. 
“Kembali! Kembali ke kapal!” raung raden panji  gelang-gelang . 
Tangannya menuding pada kapal kanjuruhan  yang sedang 
berlabuh. 
Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu. 
Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis 
mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya. 
Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambat-
lambat mulai lenyap dibawa angin lalu. 
Malam belum lagi turun dan kediri  sudah  mendengar 
segala peristiwa yang sudah  terjadi di pelabuhan. Bahkan 
lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan 
tidak puas terhadap Sang adiputro  dan Sang Patih yang sudah  
begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan teman-
temannya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah 
bumi ini bumi kediri  dan bukan bumi nyi kanjeng blora? Belum lagi 
mereka menaklukkan kediri  dan tingkahnya sudah tidak 
tertahankan. Betapa akan jadinya kalau… kalau…. 
Kebencian orang pada patih wirabuana  pakanewon  Habibullah 
Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan 
orang pun semakin heran mengapa saja? Dan mengapa 
Sang adiputro  tidak juga mengijinkan dia menyarongkan 
gada wesi nya pada tubuh orang terbenci itu? 
Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: 
patih wirabuana -mudalah orang pertama-tama yang sudah  
mencederai orang-orang nyi kanjeng blora. raden panji  gelang-gelang ! Tidak 
lain dari raden panji  gelang-gelang ! Dan di kediri lah mereka dicederai! 
Di kediri ! 
Lain lagi yang terjadi di kepatih wirabuana an. Pembesar-
pembesar kapal kanjuruhan  itu nampaknya tak tahu-menahu 
atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di jenggala . 
Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak. 
Dan pergilah patih wirabuana -muda ke warung mpu jahalodang, yang 
sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan 
hendak mendengarkan berita yang lebih baru. 
Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. 
Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala 
sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan: 
“Kau benar, Wira, kau benar.” 
Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan, 
berdiri dan menghampiri. Berkata: “Kalau orang berpikir 
semua akan jadi baik lagi seperti dahulu  sebab  berbaik 
dengan nyi kanjeng blora, kita keliru, Wira, kita keliru. 
Keterlambatan kediri  ke jayamahanaya  tak dapat diampuni. 
Orang-orang arca    benar: tak dapat diampuni. Mereka 
mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, rupa-
rupanya semua akan jadi beres.” 
Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: “Bukan 
adat nyi kanjeng blora menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia 
merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia 
baru manda, bukan Wira?” 
“Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu 
warung,” tegur raden panji  gelang-gelang . 
“Kapal kami pada berkandang di campa , Wira. Tak 
ada pekerjaan.”  
“Memang baginda tuanku raja  Kanjeng adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   benar. 
jayamahanaya  harus direbut. Tanpa pangkalan di jayamahanaya  nyi kanjeng blora 
akan sudah lemah sampai kemari,” nakhoda pertama itu 
meneruskan. Suaranya berkobar-kobar. 
“Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali 
bebas seperti dahulu , Wira. Sayang baginda tuanku raja  Kanjeng adiputro  
tumenggung dijoyo  kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah, 
Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali baginda tuanku raja  adiputro  kediri , 
barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu 
tindakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani 
bertaruh, pembikin kerusuhan di jenggala tak bakal ditindak 
oleh baginda tuanku raja  adiputro .”  
‘namun  hari ini kau yang menang, Wira.” 
“Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah 
hancur kan mereka, Wira,” nakhoda itu berkata lagi.”Lihat, 
mereka sudah melanggar adat jenggala bebas, sampai 
sekarang Sang adiputro  tetap belum bertindak. Takut, Wira. 
Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari 
kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan.” 
“Belajar dari saudagar-saudagar arca   , Wira, belajar dari 
orang-orang arca   ,” seseorang menambahi dengan gemas. 
“Kalau tidak, celakalah kita semua.” 
“Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini, 
kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan, 
tenggelam dalam kebosanan,” nakhoda itu meneruskan. 
“Aku kira orang-orang arca    juga sudah berlaku tidak 
baik terhadap kita,” seorang nakhoda Pribumi bukan arca    
menengahi. “Apakah bukan orang arca    yang merampas 
suryabuaya  ? Apakah bukan orang arca    yang sekarang 
membuat  gaduh di pedalaman?” 
raden panji  gelang-gelang  tahu, kalau percakapan ini diteruskan, 
orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang nyi kanjeng blora 
datang membawa agama lain pula dan dengan perangainya 
sendiri pula. Apakah adiputro  kediri  lebih baik dari semua 
orang dengan agamanya masing-masing? Dia pun tidak 
lebih baik. resi mandala  dan Pada sudah  dijatuhi hukuman 
mati tanpa jelas perkaranya. 
“Hancurkan kapal nyi kanjeng blora itu,” tiba-tiba seseorang 
membakar-bakar gemas. 
“Husy,” cegah patih wirabuana -muda. “Itu melanggar 
amanagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri 
dihancurkan di jenggala asing? Dihancurkan tanpa sebab 
perang seperti tingkah nyi kanjeng blora? Kalian sendiri tak suka. 
Dan di kediri  tidak ada perang.”  
“Pembesar-pembesar kapal di kepatih wirabuana an itu patut 
digulung.”  
“Lebih dari patut.” 
“Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang.” 
“Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya pura-
pura tidak tahu.” 
Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara 
jenggala di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang 
angkat bicara. 
“Husy, husy. Mana tuaknya, mpu jahalodang?” 
Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya 
sendiri ke jurusan kepatih wirabuana an. 
Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya 
hiruk-pikuk di jurusan jenggala . Ia berhenti, menyandarkan 
lodong-lodong pada pintu gerbang kepatih wirabuana an. 
Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga 
para pelaut berlarian meninggalkan warung mpu jahalodang menuju 
ke sana. 
Di jenggala nampak hanya beberapa orang. Tiga orang 
kanjuruhan  sedang memukuli dua orang yang terbelenggu 
tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan 
lain adalah dari salah seorang kanjuruhan  dalam jawadwipa : 
“ayolah , tambahi dengan lima babi!” 
Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang 
dianiaya itu orang-orang Muslimin. 
Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orang-
orang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah. 
Darah raden panji  gelang-gelang  tersirap. Ia tegah mereka. Dan 
justru sebab nya pentung mereka berpindah sasaran 
padanya. 
“Lima babi!” kanjuruhan  yang lain ikut berteriak menuntut. 
Sebentar terdengar pikulan patih wirabuana -muda 
menangkisi pukulan. lalu  menggeletar kata annya: 
“Ini yang kau kata !” pikulannya berputar menghantam 
tengkuk salah seorang kanjuruhan  yang paling jangkung. 
Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia 
melompat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka 
tergeletak berkaparan. 
“Biar kami habisi!” teriak pelaut-pelaut yang pada 
berdatangan. 
“Jangan,” cegahnya dan kepada dua orang teraniaya, 
“mengapa kalian dipukuli?” 
“Kami sudah  antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor. 
Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu 
kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit. 
Lima. Kami orang arca   , tidak berdagang babi.” 
“Kalian berdua pedagangnya?” 
“Benar, Wira.” 
“Dan memang kurus sapi-sapi kalian?” 
“Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking, 
cacingan hampir mati.” 
“Dasar rakus!” patih wirabuana -muda membuang   ke tanah. 
Tiga orang kanjuruhan  itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke 
dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus 
dirawat di warung mpu jahalodang. 
raden panji  gelang-gelang  kembali ke patih wirabuana an. 
wah 
 
Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan 
tugasnya. 
Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh 
upahan: mpu jahalodang dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih 
sendiri untuk dapat memperhatikan raden  sanggabuana  Az-
Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru 
ia melihat patih wirabuana  itu terlalu begitu merendahkan diri, 
hilang sikap besar yang selama ini selalu 
dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak 
mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka 
mulut. 
Hampir-hampir patih wirabuana -muda menarik kesimpulan: 
ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka 
dengan patih wirabuana . namun   ia belum berani meneruskan. 
Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula nyi girah  
dari dapur. Dan mpu wungubhumi  sudah  tertidur di punggungnya. 
“Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini,” juara 
gulat itu mengadu pada istrinya. “Orang nyi kanjeng blora pertama-
tama, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun mereka 
menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!” 
nyi girah  tak menanggapi. Ia pindahkan mpu wungubhumi  dari 
punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata: 
“Sudah malam, Kang.” 
“Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan 
berkeruyuk,” ia duduk dan mencoba berpikir tanpa bantuan 
pendapat orang lain tentang kedatangan kanjuruhan  yang 
mencurigakan itu. 
nyi girah  sudah  tertidur di samping mpu wungubhumi . 
Tak mungkin kapal ini singgah sebab  tersasar. Sebelum 
berlabuh mereka sudah  mengadakan hubungan dengan 
pakanewon  Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk 
menyerang, sebab  hanya dengan satu kapal. Lagi pula 
Jawa tidak terletak pada jalan jayamahanaya -panarukan . Benarkah 
tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan? dua-duanya 
pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan arca    itu? 
namun   dari perbekalan yang diperlukan nya, jelas bukan 
jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar 
mereka akan ke Blambangan. namun  untuk apa? Dan untuk 
apa pula singgah di kediri ? Ada apa di Panarukan dan 
Pasuruan sana? 
Ia berpikir dan berpikir. 
Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari 
gendi dan duduk lagi pada tepian ambin. 
Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran 
penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip suryabuaya   dari 
kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan 
adiputro  tumenggung dijoyo  dari jenggala -jenggala terdekat. Dan bila mereka 
sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu 
pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa 
kalah, nyi kanjeng blora akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah 
panarukan  tanpa saingan. Semua jalan ke panarukan  dan jayamahanaya  
sudah  jadi miliknya. 
namun  kediri  akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka 
yang akan da tang ke kediri , kediri lah yang akan datang 
pada mereka di jayamahanaya . San adiputro  harus mengerti. 
Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. adiputro  tumenggung dijoyo  
temyata benar, walaupun gagal. Sang adiputro  yang salah. 
Orang-orang arca    semakin memperlihatkan permusuhan 
terhadap Sang adiputro . Dan kalau Sang adiputro  tak cepat-
cepat mengubah sikapnya, boleh jadi kediri  akan semakin 
merana, mungkin sampai mati. 
mpu wungubhumi  terbangun menangis minta minum. 
wah 
 
13. Meningkatnya Kericuhan 
Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan. 
Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya 
beribetari . Kaki-nya yang pancal hitam berjasang yang betari durga   seperti 
menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti 
serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang 
menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk 
raden panji  gelang-gelang  memakai  bagian luar  panjang dari kaliko. 
Bagian atas bagian luar  tertutup dengan kain batik yang dipasang 
miring dan bersibak pada belahan tengahnya. 
Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang 
perak di mana terselit sebilah gada wesi  bersarong perak berhulu 
kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala   katak, dilibati 
tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah. 
Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti 
baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung 
berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon 
kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang 
biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran kerajaan jenggala . 
Seluruh kediri  mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya 
terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari 
Sang adiputro  untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk 
bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa 
yang memiliki  hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu 
berukir  muncul , sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi 
kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata 
dari ikan perak itu. 
Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut 
kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah. 
Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan 
tombak dan perisai. gada  tergantung pada pinggang 
masing-masing. 
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya patih wirabuana -muda 
membalas hormat orang lalulalang dengan sembah dada. 
“Tuan patih wirabuana -muda!” seseorang memanggilnya 
dalam jawadwipa . “Berhenti dahulu , Wira.” 
Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya 
suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi 
sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu 
gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan 
berbuah baju kain pula. 
raden panji  gelang-gelang  turun dari kudanya. Sudah beberapa kali 
ia melihat orang ini, namun   tak pernah tahu nama dan tak 
tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya 
menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya. 
Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya 
sendiri, tersenyum bersabda . Juga matanya yang sipit ikut 
tersenyum. 
“Ada pada saya  sepucuk surat untuk Tuan 
patih wirabuana -muda,” katanya sambil menyerahkan. “Kalau 
Wira berkenan barang sebentar di warung mpu jahalodang….” 
raden panji  gelang-gelang  memperhatikan orang yang fasih jawadwipa  
itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang 
yang sudah lama tinggal di jayamahanaya  dan sudah 
berpengalaman di jenggala -jenggala Nusantara. 
“Ada sesuatu yang saya  hendak sampaikan.” 
Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata 
punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan 
matanya. Dengan tangannya ia memberi di kuil rat 
mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di 
rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta 
perhatian khusus. 
patih wirabuana -muda menyapukan pandang pada 
kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu 
dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya. 
“Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu.” 
“Dari siapa?” tanya raden panji  gelang-gelang . 
“Dari mpu  jayamuseswa .” 
“Tak ada aku kenal orang arca    bernama begitu.” 
“saya  hanya sekedar menyampaikan.” 
“arca    baru atau lama?” 
“Tak ada arca    lama, Wira, semua baru.” 
“Di mana tinggalnya?” 
“Tidak menentu, Tuan patih wirabuana -muda. Dia seorang 
adipati  pajang bintoro , mengembara ke mana-mana.” 
“Apa itu adipati  pajang bintoro ?” 
“sejenis  pekerjaan, Wira.” 
Dan teringat olehnya akan Anggoro alias ki mangkukerta  di 
suryabuaya   dahulu . Ia mengangguk. Surat itu belum juga 
dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya   seorang 
arca    baru dan musafir pajang bintoro . Bertanya: “Di mana kau 
bertemu dengannya?” 
“dahulu , Wira, di campa . Dia pernah tinggal bersama 
saya . Sudah saya  anggap sebagai anak sendiri. Artinya, 
sebelum dia masuk arca   ,” dan ia tetap tak memperlihatkan 
tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia 
mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam. 
“Apakah balasan diharapkan dengan segera?” 
“Tidak, Wira, tidak.” lalu  ia berkata dengan nada 
lain, “Maafkan, tidak saya  antarkan surat ini ke 
kepatih wirabuana an. Susah bisa masuk ke sana.” 
“Ya,” dan raden panji  gelang-gelang  mulai membacanya. 
Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda, 
memperhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu 
masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada 
wajah raden panji  gelang-gelang  dan memajukan hewan  mereka 
beberapa langkah dan menyiapkan tombak. 
Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat 
lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu dan 
pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu   
sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang 
adiputro . Surat itu sudah  diambil oleh penguasa kediri  itu 
dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir 
kesayangan. 
Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya, 
melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya, 
dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan. 
“Pengirim ini bernama mpu  jayamuseswa ?” 
“Benar, Wira.” 
“Sebelum masuk arca    apakah namanya? Bukankah 
Pada?” 
“Benar, Tuan patih wirabuana -muda.” 
Berdua mereka berjalan ke warung mpu jahalodang. raden panji  gelang-gelang  
sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. 
Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh 
perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang mata orang sudah  
melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun 
terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit 
Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan 
arak juara gulat itu mulai membaca lagi:  
“Dari mpu  jayamuseswa  kepada patih wirabuana -muda kediri , 
raden panji  gelang-gelang . Ketahuilah, Kang raden gelang-gelang , kakangku sendiri, 
dalam keadaan sehat sudah  aku tinggalkan campa . Ingin hati 
datang bersujud mu, ingin hati menengok nyi girah  nyi girah . 
Bagaimana mungkin? kediri  sudah  membunuh aku dan 
melemparkan aku ke laut. kediri  itu juga yang tetap 
menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup. 
Pasti engkau mengerti, Kang raden gelang-gelang , kakangku sendiri, betapa 
besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong 
kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya 
seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang 
penari rupawan, impian dan pujaan setiap Laki-laki ….” 
raden panji  gelang-gelang  berhenti membaca. Ia merasa seakan 
disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya, 
kemalangan suami-istri? Atau dia tidak tahu? Ia pandangi 
orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga 
tersenyum dengan bibir dan matanya. 
Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan 
membenarkan bacaannya. Dan perbuatan itu 
menghilangkan kecurigaan raden gelang-gelang . Ia meneruskan 
bacaannya:  
“Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya, 
kakangnya sendiri, yang sudah  berikan hidupnya kembali. Biarpun 
adik ini senakal setannya sang yang betari durga   sang hyang Widhi , Kang, dan biarpun 
kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap 
kakangnya yang harus dibalas budinya. 
Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam 
surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat 
membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan. 
Semua orang pesisir tahu apa yang diperlukan  kediri . Bicaralah 
sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama 
denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.” 
Sementara itu orang Tionghoa itu sudah  mengatur cawan-
cawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan 
sebuah cawan sambil berbisik: “saya  bersedia membantu 
Tuan patih wirabuana -muda,” ia masih juga tersenyum. “Liem 
Mo Han nama saya ,” suaranya jelas walaupun warung 
itu betari i dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum. 
mpu jahalodang memperhatikan keduanya dengan selintas. 
Menyedari akan pandang mata pewarung itu shinoda 
Han mengajaknya minum, untuk lalu  keluar 
dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya 
yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian 
kalinya memaksa ia menerima ajakannya. 
Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang 
mata semua yang tertinggal. 
Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana. 
Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga 
berjalan. 
“Memang saya  sedia membantu,” yang pang pang 
mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam 
Jawa halus. “mpu  jayamuseswa  sudah  membicarakan 
kemungkinan ini dengan saya , lama dan berkali-kali. 
saya  percaya , tenaga saya  memang Tuan perlukan, 
Wira.” 
raden panji  gelang-gelang  masih jua belum mengerti maksudnya dan 
diam mendengarkan. 
“mpu  jayamuseswa  dan saya  tahu, ada satu 
kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa 
nyi kanjeng blora. Kalau hanya patih wirabuana  kediri  pakanewon  
Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang 
dapat mengawasi pekerjaannya. saya  bisa bahasa itu, 
Tuan. Tiga tahun lamanya saya  bergaul dengan orang-
orang nyi kanjeng blora.” 
“Babah dan Pada sungguh tidak keliru.” 
“Kalau ada surat-surat nyi kanjeng blora, saya  akan bacakan 
untuk Wira.” 
“Sayang, sekiranya Babah datang lebih dahulu ,” 
patih wirabuana -muda itu berkecap-kecap menyesali. 
“saya  datang sesudah  dapat mengalahkan keragu-
raguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus saya  
bacakan?” 
“Nanti pada waktunya, Babah.” 
“Di samping itu, Tuan patih wirabuana -muda, masih ada 
satu perkara lagi. saya  sedang memburu dua orang 
nyi kanjeng blora, fredy krueger  dan penywise namanya. Mereka lari 
dari campa  melalu jalan darat. Mereka lari ke mari. 
Entah di mana mereka bersembunyi tadinya saya  tidak 
tahu. Baru sesudah  kapal nyi kanjeng blora itu berangkat, nampak 
mereka oleh saya  ada di gubuk pelacuran di daerah 
pelabuhan. 
“Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan 
pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.” 
“Benar, Tuan patih wirabuana -muda. namun   nyi kanjeng blora adalah 
nyi kanjeng blora, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan 
hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.” 
“Bukankah mereka itu yang dahulu  dikejar-kejar di 
suryabuaya  ?” 
‘Tidak keliru, Wira, itulah mereka.” 
“Mata-mata.” 
“saya  belum dapat memastikan. Nampaknya memang 
demikian.” 
“Aku sudah lihat orang-orang itu di jenggala suryabuaya  . 
Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?” 
“Lama saya  memburu mereka. Tahukah, Tuan, 
mereka adalah kanonir, penembak gada rujakpolo  nyi kanjeng blora? 
Penembak gada rujakpolo !” 
“Penembak gada rujakpolo !” 
“Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah 
perlindungan Tuan pakanewon  sendiri? Hampir-hampir satu atap 
dengan Wira?” 
“Ha?” seru raden panji  gelang-gelang , ia mencoba menembusi mata 
yang pang pang untuk dapat membaca pedalamannya. 
“Bukankah Tuan sahabat mpu  jayamuseswa ?” 
raden panji  gelang-gelang  mengangguk membenarkan. “mpu  
jayamuseswa  adalah anak-pungut saya . Patutkah saya  
mengatakan yang tidak benar pada Tuan?” 
raden panji  gelang-gelang  meletakkan kedua belah tangannya yang 
kukuh itu pada bahu shinoda Han. Dan orang 
mepercaya kannya dengan senyum pada bibir dan matanya. 
“Mereka tidak melanggar ketentuan, nyi kanjeng blora-nyi kanjeng blora 
itu. patih wirabuana  kediri  pun tidak,” kata Sang Patih. “Tak 
ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan? 
Ya. Siapa tidak mencurigai nyi kanjeng blora? Awas-awaslah selalu, 
tak boleh ada satu kejadian di daerah jenggala yang 
menyalahi ketentuan.” 
“Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, baginda tuanku raja .” 
“Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu, 
bukan untuk dapat menangkap orang-orang nyi kanjeng blora itu, 
namun  untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai 
lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama 
soalnya Semarang, persangkutannya selamanya pajang bintoro . 
Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah pajang bintoro  sudah 
memboroskan hampir seluruh tenaganya di jayamahanaya .” 
“Mereka tinggal di kepatih wirabuana an, baginda tuanku raja ,” 
raden panji  gelang-gelang  memotong. 
“Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang 
asing di sini. Selidiki dahulu  benar-tidaknya.” 
“Mereka pelarian dari kapal nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , penembak-
penembak gada rujakpolo .” 
“Penembak gada rujakpolo ! Kalau itu benar justru semakin 
menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi gada rujakpolo  
mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak 
gada rujakpolo  pula, baginda tuanku raja  adiputro  tentu akan menaruh perhatian. 
gada rujakpolo , Wira, bukan cetbang. gada rujakpolo  adalah gada rujakpolo , dan 
kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah 
melihatnya di jayamahanaya  atau di kapal nyi kanjeng blora kemarin. Aku 
belum. gada rujakpolo , Wira! Sesudah  kekalahan Pati tumenggung dijoyo  di 
jayamahanaya , semua tahu: gada rujakpolo  saja kunci kemenangan. 
kediri  akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu 
mereka bisa membuat  untuk kediri ? Biarkan mereka 
tinggal di kepatih wirabuana an. Pergi!” 
Sesudah  menerima Sang Patih dan sesudah  bercengkebetari  
di taman kesayangan, Sang adiputro  kediri  masuk ke dalam 
harem. 
Pintu-pintu sudah  tertutup pada malam berangin itu. Pada 
pengurus  baru ia berbisik memperingatkan: “Jangan sampai 
terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan 
kau ulangi perbuatan Nyi kembang  Kati. Hukuman yang akan 
dijatuhkan lalu  akan lebih berat.” 
Ia diam mendengar-dengarkan. 
Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa 
orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik 
yang terkunci dari dalam. 
“Siapa itu?” bisiknya bertanya. 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  sesembahan patih , tiada lain dari 
bawahan  baginda tuanku raja  Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.” 
“Nyi kembang  Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu 
sebelum waktunya?” 
“Tidak, baginda tuanku raja , patih  tidak tahu mengapa sekarang 
begitu.” 
Sang adiputro  meninggalkan Daludarmi bersimpuh di 
tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk 
mendengarkan. 
“… siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa 
punah. Panen kita bisa musnah,” penguasa kediri  itu 
mendengar. 
“Apa belum juga ada yang mempersembahkan?” suara 
yang lain. 
“Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana,” suara yang 
ketiga. 
“Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki 
Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke kediri . Bagaimana 
desamu?” 
“Belum sampai ke perbatasan desa kami,” jawab yang ke 
empat. 
“namun  siapa tahu? Barangkali mereka sudah sampai juga 
ke sana sekarang?” 
“Kalau baginda tuanku raja  adiputro  belum menggerakkan prajurit kerajaan , 
tentu belum ada yang mempersembahkan,” suara pertama 
menyimpulkan. 
Sang adiputro  kembali mendekati Nyi kembang  Daludarmi 
yang masih juga bersimpuh di tanah. 
“Berapa umurmu, Daludarmi?” bisiknya bertanya. 
“Tiga puluh lima, baginda tuanku raja , menurut perhitungan matahari .” 
“Apakah kau arca   ?” 
“patih , baginda tuanku raja .” 
“Mengapa menurut perhitungan bulan?” 
“patih  tak tahu menghitungnya, baginda tuanku raja .” 
“Gila, bulan dipakai  sebagai hitungan. Daludarmi! 
Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga 
jadi selir?” 
“Semua baginda tuanku raja  adiputro  sesembahan patih  yang 
menentukan, baginda tuanku raja .” 
“Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi,” bisik 
Sang adiputro . “Dan kau belum pernah beranak.” Sang 
adiputro  mulai merabai tubuh pengurus  harem itu. “Kau 
masih lebih kukuh dari si Kati.” Ia sejenak tak bicara. 
lalu , “Coba, mana mukamu?” dan ia pandangi 
wanita itu dalam kegelapan malam. 
Ia tak teruskan dengan membuat  cinta. 
“Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , sepanjang pengetahuan patih , ia jarang 
keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat. 
patih  pohonkan ampun untuknya, baginda tuanku raja , wanita semuda 
itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas.” 
Sang adiputro  berdiri termangu-mangu Ditariknya 
Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, lalu  
ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan 
melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih 
sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju 
ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke 
dalam. 
Dua jam lalu  ia keluar lagi dan menuju ke bilik 
ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, namun   
tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab. 
Nyi kembang  Daludarmi berjalan menghampiri Sang 
adiputro , berjongkok di bawah dan bersujud , lalu  
memanggil-manggil pelan pada pintu: “Nyi Ayu, Nyi Ayu 
Sekar Pinjung! Nyi Ayu!” 
“Nyi kembang kah itu?” terdengar suara sayu menjawab dari 
dalam. 
“Nyi?” 
“Bukalah pintu, rang manis,” kata Daludarmi lemah. 
Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan 
Sang adiputro  masuk ke dalam. 
Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan 
riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya, 
tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh 
Daludarmi dari luar. 
Laki-laki  tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang 
bergolak di dalam hatinya. 
Sesudah  mendengar pembicaraan para selir dari balik 
pintu, ia mengerti, ada kepala  -kepala   desa yang tak berani 
mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya, 
maka dipakai  selir-selir. Mereka selalu memperoleh  
kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk 
diteruskan pada Sang adiputro . Demikian mereka dapat 
melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus. 
Memang perbuatan kepala   desa sejenis  itu tak dapat 
dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun 
sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara 
itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri. 
Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala. 
Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun 
ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman. 
Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu 
berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya? 
Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah. 
kepala   desanya sudah  mempersembahkan upeti dua kali 
lipat. Hampir selama dua tahun ini! namun   ia masih juga 
belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir 
tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar 
Pinjung 
Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang 
mencium kakinya. lalu  tangan gading itu memeluk 
kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak. 
Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat. 
Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan 
terhadap nyi kanjeng blora. Ditambah lagi dengan pengetahuan, 
nyi kanjeng blora hanyalah manusia biasa yang juga memerlukan  
makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa 
dan adatnya lain. 
Hukuman itu sudah  lebih dari dua tahun dijalani oleh 
Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang kesatria raja  tidak 
mencabut kembali kata-katanya. 
Wanita berkulit gading itu tak menanggapi  keadaan 
dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu 
kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang adiputro  lebih 
membekukan. 
Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil sebab  
sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu 
hina dan tidak berarti. Hanya seorang kesatria raja  bisa 
membuat nya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku 
sudah  berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur 
mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang 
hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan. 
Betul. Tempat raja-raja tumbang sebab  gosokan. Betul. 
Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap 
bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu. 
Benar wanita lesbian  hina ini hanya memperingatkan. Hanya 
memperingatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil 
terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu 
mencabut kata-kata kesatria raja  yang keliru? 
Sebelum Sang adiputro  dapat memutuskan pergolakan di 
dalam dirinya sudah  keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan 
dan berbisik: “sudah  dicabut hukuman bagimu, Sekar 
Pinjung. Berdiri!” 
Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya 
luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau. 
kepala  nya masih juga terangguk-angguk kecil sebab  sedu-
sedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun. 
Sang adiputro  meraih dua belah tangannya. Didekapkan 
dia pada dirinya, lalu  dipangkunya. 
Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis 
terampuni. Dan luluhlah sudah amarah Sang adiputro , luluh 
pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi. 
“Daludarmi!” panggil Sang adiputro  dari dalam bilik. 
Wanita pengurus  harem itu masuk ke dalam, membawa 
nampan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju 
pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di 
hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang adiputro . 
Penguasa kediri  itu mengambil cawan jamu dan 
meminumnya habis 
Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar. 
“Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan 
itu di meja.” 
Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan 
dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan centeng  sudah  
meninggalkan kediri  Kota menuiu ke berbagai jurusan 
negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi 
selama ini. 
Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan 
para bala tentara  dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang 
selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum. 
Beberapa hari sesudah  keberangkatan kesatuan-kesatuan 
kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan 
kepala  -kepala   desa, para wedana, demang dan kuwu 
seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa 
di bawah kekuasaan Rangga jatayuwesi . Mereka semua duduk 
bersila di atas lantai. 
Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: “Betapa 
sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada 
mempersembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa 
kalian. Ketahuilah, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sangat murka 
mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan 
kalian. baginda tuanku raja  adiputro  kediri  mendengar, bahwa pagardesa 
kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab 
sekarang juga. Benar-tidak?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  Patih,” seorang kuwu mengangkat 
sembah. “Adanya huru-hara itu memang betul, sebab  
terjadinya di daerah kekuasaan patih . Ada pun patih  belum 
juga mempersembahkan adalah sebab  patih  masih 
berusaha, belum lagi putus-asa.” 
“Pernahkah kalian menang terhadap mereka?”  
“Ampun, baginda tuanku raja , belum pernah, namun  kalah pun belum.”  
“Jangan persembahkan teka-teki.” 
“Begitulah adanya, baginda tuanku raja , kalau mereka datang, 
pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari.”  
“Apa kalian sedang main petak?” 
Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah 
menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap 
menunduk. 
“Mengapa membisu? Hilangkah sudah lidah kalian?”  
“Ampun, baginda tuanku raja , di tempat patih  agak lain keadaannya. 
sudah  patih  persembahkan ini ke hadapan baginda tuanku raja  Patih, 
bahwa pagardesa patih  selalu masuk ke dalam jebakan dan 
satu kali pun tidak pernah menjebak.”  
“Apa maksudmu dengan jebak-menjebak?”  
“Maksud patih , baginda tuanku raja , rajakaya desa hilang kalau tidak 
dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.”  
“Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu.”  
“Ampun, baginda tuanku raja . Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya 
itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu.” 
“Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti.”  
“Ampun, patih  pun tidak mengerti, baginda tuanku raja . Hei, kepala   
desa, bersembah kau yang benar dan patut.” 
“Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di 
dalam desamu sendiri?” 
“Kira-kira begitu, baginda tuanku raja , namun   patih  tidak berani 
mempersembahkan dengan pasti.” 
“Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri 
persembahan bawahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa 
kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini! 
Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya,” Sang 
Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap. 
Meneruskan, “Kami beri waktu untuk kalian satu bulan 
penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian 
sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari 
desa-desa lain yang aman. Kalau gagal, tahu kalian 
akibatnya?” 
“Tahu, baginda tuanku raja .” 
“Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau 
kalian gagal, prajurit kerajaan  kediri  akan bergerak mengambil-
alih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?” 
“Mengerti, baginda tuanku raja .” 
“Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau 
prajurit kerajaan  bergerak, menjadilah tanggungan pada desa-
desa yang didatangi bala-para bala tentara nya. Cukup sebulan itu?” 
“Lebih dari cukup, baginda tuanku raja ,” mereka menjawab berbareng. 
lalu  Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan 
cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa baginda tuanku raja  
adiputro  kediri  menjabat patih wirabuana  kediri  Kota. Nama 
sebutannya adalah Rangga jatayuwesi . Nama kelahirannya 
adalah jatayuwesi  dijoyo . 
Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama 
raksasa dalam betari yana itu, nama yang tidak populer bagi 
negeri kediri . Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan 
ketegangan lenyap. 
Cerita pun diteruskan: jatayuwesi  dijoyo  adalah cucu dari 
patih wirabuana  jayamahanaya , seorang Benggala tumapel . Dari 
kakeknya Rangga jatayuwesi  merasa dirinya orang Benggala, 
maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang 
berumur pendek, beristrikan seorang tumapel  pula. namun   
bekas patih wirabuana  itu dilahirkan oleh seorang ibu jawadwipa , 
dan dari ibunya ia memperoleh  nama dijoyo . 
Sekali lagi penghadap gelak tertawa. 
Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Rupa-
rupanya ia sudah  memperoleh  firasat, anak yang dikandungnya 
nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring. 
sebetulnya , Rangga jatayuwesi  memiliki gigi taring yang 
agak mencolok. 
“namun   keadaan sudah berubah,” Sang Patih 
meneruskan. “Jabatannya sebagai patih wirabuana  tak dapat 
dipertahankan. la harus diganti. namun   ia tidak rela diganti, 
ia merasa jenggala kediri  adalah miliknya pribadi. Segala 
apa pun yang dikaruniakan baginda tuanku raja  adiputro  dung gapnya 
kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergygi 
tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa 
jadi seorang bupati namun   tidak, dengan desa itu ia semakin 
bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari 
berperang, dan sekarang dipakai nya jadi modal untuk 
melawan…. 
Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri 
kediri  sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan 
ningrat sudah  menamakan diri Ki Aji dan memperoleh kan, 
banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan 
seorang adiputro , belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. 
Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, 
seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang. 
Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru 
belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari 
beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di 
seluruh pulau Jawa.” 
Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan 
gemas: “Kalian harus ingat, dijoyo  alias Ki Aji Benggala 
bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah kerajaan jenggala , 
berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun 
tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai 
berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu 
banyak. Hanya dia memiliki  satu kebodohan, satu saja: dia 
tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan: 
tumpaslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu. 
Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu 
takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih, 
sebab  dia sebetulnya  tidak tahu tentang karunia para 
dewa. Nah, pergi kalian.” 
Dengan menghadapnya para punggawa orang memperoleh  
gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan 
pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: prajurit kerajaan  
kediri  akan bergerak dalam sebulan mendatang. 
Di kediri  Kota sendiri sudah  dirasai adanya perubahan 
itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadi-
jadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota 
banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah 
ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antar-
pulau, beku. 
Dan di jenggala sendiri, kecuali pemeliharaan dan 
pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi…. 
wah 
 
raden panji  gelang-gelang  tak pernah lagi kelihatan seorang diri 
dalam menjalankan tugasnya. Ia pun memperoleh  tugas baru: 
menjaga keamanan jenggala Kota dan Glondong. 
Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin 
banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi. 
Hubungannya dengan yang pang pang membawanya pada 
suatu pengetahuan, bahwa benar kanjuruhan  dan kapalnya 
sudah  belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan, 
Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya, 
bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput 
Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran. 
Dan sesudah  kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada 
barang sepuluh orang kanjuruhan  mengantarkan kapal itu 
berangkat. Mereka tinggal di Blambangan. 
yang pang pang pula yang memberitakan padanya: di 
antara sepuluh orang kanjuruhan  itu ada yang masuk lebih ke 
dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah 
rumah. Boleh jadi, kata yang pang pang selanjutnya, dengan 
bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang nyi kanjeng blora akan 
berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri 
kediri  dan dengan persekutuan itu akan mengancam kediri  
dari laut dan darat. 
“Wira, hanya kekuatan arca    yang menentang nyi kanjeng blora. 
Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa 
terus-menerus terdesak oleh arca   , mengambil sikap 
bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu 
nyi kanjeng blora datang mereka segera mengulurkan tangan 
penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan 
dari musuh seluruh dunia itu.” 
Lama ia renungkan kebenaran kata-kata shinoda Han. 
Perbandingan ia tak memiliki . dari renungannya ia 
mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, arca    dan 
kanjuruhan . Baik Hindu mau pun arca   , dua-duanya menari 
sebab  adanya kanjuruhan . 
“Ya, nyi kanjeng blora tetap pokok,” ia memutuskan. 
Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui: 
kediri  berada di antara Hindu dan arca   , tidak memiliki  sikap 
yang pasti terhadap nyi kanjeng blora. 
“kediri  harus menentang nyi kanjeng blora, tanpa menjadi arca   , 
juga tidak sebab  Hindu.” 
Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih. 
Namun kata-kata yang pang pang tentang tiga kekuatan itu 
menjadilah dasar pandangan resmi praja kediri  dalam 
memahami dunia yang sedang berubah. 
namun   sahabatnya itu tak pernah bicara tentang 
Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang 
perdagangannya, tidak tentang musuh-musuhnya, bahkan 
tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah 
membuka mulut. Dan raden panji  gelang-gelang  merasa tak ada 
kebusang yang betari durga   untuk mengetahui. 
sudah  beberapa kali ia mengundangnya untuk 
menghadap Sang Patih. yang pang pang selalu menolak. Dan 
dalihnya terakhir adalah: “Hanya kerajaan yang sudah 
sepenuhnya arca    mau melawan nyi kanjeng blora. Maka yang 
setengah arca    cuma akan setengah melawan. Biarlah 
saya  membantu dari jauh saja, Wira.” 
Penolakan itu bergema dalam hati patih wirabuana -muda. 
Aku belum pernah jadi arca   . Aku tak kenal dewa-
dewanya. namun  aku pernah melawan nyi kanjeng blora, biar pun 
sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap 
melawan. Ia merasa tersinggung sebab  yang pang pang 
menganggap kediri  setengah arca   . Seperempat pun 
belum! namun  aku akan melawan nyi kanjeng blora. Hanya 
kesempatan saja belum aku peroleh. 
yang pang pang tetap tidak mau bicara tentang pribadinya. 
Ia selalu bicara tentang praja. 
Setiap ia memperoleh  kesempatan dan bertemu dengan 
sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan 
pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak 
binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari 
betari  during, namun  tenang-tenang, seakan tidak terjadi 
sesuatu, dan masuklah dalam hatinya. 
Suatu peristiwa sudah  memicu  mereka berdua 
berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak. 
Pagi waktu itu. 
Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari 
memeriksa seluruh jenggala . Baru saja ia turun dari kuda 
sudah  terdengar: “Wira! Wira!” raden  sanggabuana  bumikerta  
memanggilnya. 
Sudah lama rasanya ia sudah  hindari patih wirabuana  yang 
dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nampaknya merasa 
juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi 
permainan hindar-menghindar ini. 
Ia naik ke gedung utama dan didapatinya patih wirabuana  
sedang minum kopi di kamar-kerjanya. 
“Selamat untukmu, Wira,” ia berdiri. Wajahnya berseri-
seri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama 
sekali. 
“Tuan patih wirabuana , inilah saya ,” jawab raden panji  gelang-gelang . 
Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari 
punggung orang Moro itu   sudah  sering ia perhatikan   
pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya. 
“Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman?” 
tanyanya dan menyilakan duduk. “Nah, semestinya kau 
tahu di mana desa jayawisesa ” 
Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, jayawisesa  adalah 
sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji 
Benggala. 
“Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?” 
“Apa yang mereka percakapkan?” mata raden  kelap-
kelip menyelidik. 
Dan waktu nampak olehnya raden panji  gelang-gelang  tersenyum 
mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan kata-
katanya. Dengan mengambil nada lain ia berkata : 
“Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga jatayuwesi  
memberontak? Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima 
semua perintah  baginda tuanku raja  adiputro .” Nada suaranya meningkat lagi, 
“Begini, Wira, kau juga tahu Rangga jatayuwesi  ada di jayawisesa . 
Aku mengetahui dari baginda tuanku raja  Patih. Wira, baru saja ketahuan 
ada barang kepatih wirabuana an, barang penting, yang terbawa 
olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan 
itu bisa membuat  bahaya terhadap jenggala . Barang itu 
harus di kembalikan pada patih wirabuana .” 
“Rupanya penting benar barang itu, Tuan patih wirabuana ,” 
raden panji  gelang-gelang  menyembunyikan keheranannya. 
“Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera 
untuk mas, perak dan tembaga! patih wirabuana  harus 
memperoleh kan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya 
memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang, 
hanya tak ada tulisan palawa  tambahan di dalamnya.” 
raden panji  gelang-gelang  sibuk menerka maksud orang Moro ini, 
namun   belum dapat. 
“Kau tak perhatikan aku, Wira.” 
“Teruskan Tuan patih wirabuana .” 
“Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti 
sampaikan padanya dengan lisan: patih wirabuana  kediri  pakanewon  
Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu 
saja. Aku senang memiliki  pembantu seperti kau. Berani, 
pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu 
selesaikan pekerjaan ini.” 
Terbayang oleh patih wirabuana -muda itu akan adanya 
hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan 
patih wirabuana  ini, dan antara patih wirabuana  dengan nyi kanjeng blora. 
Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini 
pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang 
tak patut memperoleh kan perlindungan dari Sang adiputro , 
tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari 
bumi kediri . 
Sebelum berangkat ke jayawisesa  ia sudah  temui sahabatnya 
yang pang pang dan berpesan agar membuang waktu untuk 
terus mengawasi dua orang nyi kanjeng blora yang memperoleh  
perlindungan resmi dari patih wirabuana  dan perlindungan tidak 
resmi dari praja itu. 
Dari Sang Patih ia memperoleh  empat orang centeng  dari 
pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan, 
dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenar-
benamya tentang desa jayawisesa , kekuasaan dan pengaruh Ki 
Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak 
sebetulnya  desa yang mulai dan sudah berada dalam 
pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga jatayuwesi  
dengan pakanewon  Habibullah Almasawa yang bermusuhan 
pada lahimya itu, dan apa saja yang sudah  diperbuat dan 
direncanakan oleh perusuh. 
“Kerjakan tugasmu dengan baik,” pesan Sang Patih. 
“nyi kanjeng blora semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak. 
Pedagang-pedagang arca    meninggalkan kediri  Kota, 
pindah ke kota-kota jenggala di barat. Sedang pedagang-pedagang arca    yang kecil-mengecil masuk ke pedalaman ” 
“patih  akan kerjakan sebaik-baiknya, baginda tuanku raja .” 
“Benar kata patih wirabuana . Nampaknya hanya kau yang 
bisa lakukan tugas ini,” katanya lagi seakan mengulangi 
pakanewon  Habibullah. “Kau tahu apa artinya semua ini.” 
“Belum, baginda tuanku raja .” 
“Artinya, memang kediri  diancam oleh kerusakan dari 
luar dan dari dalam. Kau rela kediri , negerimu, baginda tuanku raja mu, 
kebesaran kediri . rusak?” 
“Dewa Batara! Sama sekali tidak, baginda tuanku raja .” 
“Berangkatlah dengan sejahtera.” 
Dan ia pun berangkat. 
la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap 
itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji 
Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam 
hati. Sedang surat yang sudah  dibongkar oleh Sang Patih 
lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan palawa . Itu pun 
pendek sekali. Jelas hanya di kuil rat belaka. Dia sungguh 
cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan 
pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih. 
Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa 
lain, sebab  dia pun memiliki  kepentingan dengan kematianku 
pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan: 
menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki 
Aji Benggala jelas akan membunuh aku. 
Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang 
pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan 
orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain 
pandai. pakanewon  Habibullah bumikerta  juga menganggap 
diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap 
matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu 
nyi girah . Bukankah Nyi kembang  Kati sendiri tak segan-segan 
membicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya? 
yang pang pang pernah memperingatkan: Tuan 
patih wirabuana  kediri  sungguh-sungguh dibenci oleh setiap 
dan semua orang, sampai jauh-jauh di suryabuaya   dan campa . 
Dia meremehkan para saudagar arca    dan Tionghoa, 
sebagaimana ia lakukan di jayamahanaya  dahulu . Dialah 
pengkhianat jayamahanaya . Tak urung ia akan jadi pengkhianat 
kediri  juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia 
sendiri Sang adiputro . Di jayamahanaya  dahulu  dia bertingkah 
sebagai raja muda. 
“Sebaliknya, Wira,” ia meneruskan, “Wira dan istri 
merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada 
satu kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan  dicintai dan 
dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membuat  
orang dapat mencapai segala-galanya. saya  harap Wira 
mengerti perbandingan ini.” 
Dan ia menganggap dirinya mengerti: patih wirabuana  
kediri  menghalaunya dengan meminjam tangan Rangga 
jatayuwesi  alias tumenggung  dijoyo  alias Ki Aji Benggala, lalu  ia 
akan menghadap Sang adiputro  dan memohon agar nyi girah  
dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan memiliki 
apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat 
meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui 
nyi girah  sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat 
mempengaruhi Sang adiputro . 
namun   mengapa patih wirabuana  kediri  itu begitu dingin 
terhadap mpu wungubhumi , anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah 
ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah, 
mengapa tidak mungkin? bantahnya sendiri. Setiap ningrat 
yang memiliki  harem adalah juga orang yang tak acuh 
terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi, 
memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran? 
Kasihan kau, mpu wungubhumi . Seperti seekor anak burung… ia 
teringat pada kata-kata betari  resi   tentang burung-
burung. 
Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai 
petani memasuki pedalaman. 
Makin mendekati desa jayawisesa , desa-desa yang dilaluinya 
nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar 
ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada 
mereka dijawab seperlunya tanpa kebersabda an dan tiada di 
antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan 
menginap. 
Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah 
dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di 
tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga 
berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya. 
Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dahulu  
juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum 
juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari 
desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para 
pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di 
situ bersama tiga orang temannya untuk dapat 
mendengarkan seorang resi -pembicara dari seberang, yang 
mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, 
lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali sang hyang Widhi , dan bahwa 
semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara 
dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengar-
pendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti 
betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: resi  itu 
membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya 
bahasanya juga aneh. 
Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di 
kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan aman 
mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya 
suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa 
yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong 
putih dan berkopiah putih sudah  mengepungnya dengan 
mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata 
mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipakai  oleh 
para centeng    tombak-tombak berburu. 
Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang 
tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik. 
Yang termuda sekira dua belas tahun. 
raden panji  gelang-gelang  melirik untuk dapat melihat rambut 
mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul 
Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan 
dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba 
putih   seperti bangau. 
“Hei, kau!” tegur yang tertua, “tidak berbaju tidak 
berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina! 
Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke 
neraka.” 
“Betapa galak,” pikir raden panji  gelang-gelang . sebelum kena tegur 
lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada 
bibir: “Ampun, Bapa, tersasar.” 
“Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!”  
“raden gelang-gelang , Bapa.” 
Orang itu tertawa melecehkan. dan mata raden panji  gelang-gelang  
tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga 
menghias. 
“raden gelang-gelang ? Siapa tidak kenal raden gelang-gelang ? Biar pun kau juara 
gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari 
kota untuk memata-matai. Kau, pemberontak  sialan, pemberontak  laknat!” 
“Apa yang dimata-matai, Bapa? Nanti dahulu , siapa yang 
aku hadapi ini?” 
“Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya. 
Siapa hendak kau mata-matai?” 
“Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji 
Benggala. Lain tidak.” 
“Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang 
berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal 
adiputro  kediri .”  
“Mengapa Sang adiputro , Bapa, nampaknya Bapak 
memusuhinya?”  
“Puh, adiputro , kesatria raja  tidak tahu menepati janji. Apakah 
orang kota tidak tahu pengkhianatan kediri  terhadap 
suryabuaya  ? Terhadap Aceh, Riau, pekajan  dan jatikerto ? jayamahanaya  
tidak jatuh, kemelaratan merajalela di kediri ! Kapal-kapal 
tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!” 
Mengertilah raden panji  gelang-gelang , benar Ki Aji Benggala sudah  
memakai  kemerosotan kediri  untuk menaikkan 
dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: “Benar, 
Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencari-
cari Ki Aji Benggala   tak tahu tempatnya,   membawa 
surat untuk beliau   surat berbasa dan bertulisan palawa .” 
“Pembohong! adiputro mu tak perlu tulisan dan basa palawa  
  munafik itu.” 
“Aku tak tahu artinya itu, Bapa. sebetulnya  surat itu 
bukan dari baginda tuanku raja  adiputro    dari Tuan patih wirabuana  kediri , 
dari pakanewon  Habibullah Almasawa, seorang palawa  tulen.” 
“Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi 
dari patih wirabuana  keparat itu.” 
“Mengapa keparat, Bapa?” 
“Mengapa? Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau 
bertanya mengapa? Coba, bukankah dia juga yang mengaku 
palawa  tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus?” ia 
membuang   ke tanah. “Dia hanya budak pemberontak  nyi kanjeng blora. 
Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di 
sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari 
budak pemberontak  nyi kanjeng blora? Kau, si rambut panjang?” 
raden panji  gelang-gelang  berusaha terus bicara dengan harapan 
pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya. 
sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang 
seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan 
itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya 
sendiri. 
“Budak dari budak pemberontak  nyi kanjeng blora,” ia berkata . 
“Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa 
salahkan orang yang tidak tahu?” 
Sesudah  tertawa melecehkan orang itu mengejek: 
“Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak 
tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak, 
apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa 
tempat yang dijanjikan.” 
“Aku semakin tidak mengerti, Bapa.” 
“Apa tahumu? Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani, 
sebetulnya  kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa 
sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa 
tempat yang dijanjikan.” 
“Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?” 
“Nasib pemberontak  sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru 
nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu 
yang patut kau dengar sebelum mati.” 
Dan raden panji  gelang-gelang  harus bicara terus. 
“Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak nyi kanjeng blora. Tak 
tahukah, Bapa, rangdesa raden gelang-gelang  ini pernah menyerang 
nyi kanjeng blora di jayamahanaya ? 
“Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu.” 
“Maka aku yang mengatakan.” 
“sebab nya makin jelas kebohonganmu.” 
raden panji  gelang-gelang  kini dapat menjajagi betapa pengaruh 
Rangga jatayuwesi  sudah  mulai mendalam. Ia harus berhati-hati. 
“Bagaimana, Paman?” salah seorang di antara tiga bocah 
itu bettarn a di belakangnya. “Masih juga dia dibiarkan 
begini?” 
“Nanti dahulu , jangan keliru,” tegah juara gulat itu sambil 
menengok sekilas ke belakang. “Lihat dahulu  surat yang aku 
bawa ini. Tulisan dan bahasa palawa  tulen.” 
“Jih!” orang yang tertua membuang i tangan patih wirabuana  
muda yang mengulurkan surat. “Semua yang keluar dari 
pokal pemberontak  hanyalah najis”. 
“Hweeee!” terdengar bentakan berbareng di belakang 
mereka. 
Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke 
belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawal-
pengawalnya. Tanpa pengalaman memakai  senjata 
memicu  mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang 
tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela 
diri. 
“Jangan sentuh aku, pemberontak !” kata  orang tertua tak 
berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan 
kebencian, kejijikan dan penyesalan. 
anak anak yang juga terikat itu kini berpandang-
pandangan satu sama lain dengan ketakutan. 
“Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa 
tombak,” gumam patih wirabuana -muda. “Perdamaian yang 
sungguh tidak jujur, Bapa.” 
“Mata-mata! Telik!” kata  orang itu seperti gila. 
Suaranya menggaung di tepian rimba. “sang hyang Widhi  mengutuk 
kau, dunia dan akhirat!” 
“Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau sang hyang Widhi ? Ataukah 
Bapa sama dengan sang hyang Widhi ?” balas patih wirabuana -muda. 
“Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini. 
Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu 
sempit. Dan kalian,” ia perintahkan pada para 
pengawalnya. “bawa sisanya ke dalam rimba, terikat! 
Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung,” perintahnya 
pada tawanannya yang terkecil, “biar aku lepas tali-
pengikatmu, dan mari aku diantarkan. Jangan 
menyasarkan, sebab  paman dan saudara-saudaramu bisa 
hancur . Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.” 
Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan 
bersama si buyung. tujuan: desa jayawisesa , pusat kekuatan Ki 
Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada 
orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat 
baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang 
mata yang nampak heran memandanginya: seorang 
berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit 
dengan rambut pemberontak  panjang terurai, langkahnya mantap 
tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah. 
Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja 
untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu. 
Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan. 
Beberapa desa sudah  dilewati. lalu  sampailah 
mereka di jayawisesa . 
raden panji  gelang-gelang  heran melihat wajah-wajah yang sudah 
dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah 
penduduk kediri  Kota yang biasanya belayar atau 
berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya 
menyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum 
dan salamnya pun tidak. 
Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan 
juga memerlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya 
jalan, dan mengawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan 
raden panji  gelang-gelang  menyadari betapa sulit keadaannya. 
Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu 
berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo 
beratap sirap. Tiang-tiang resi  terbuat dibandingkan  balok-balok 
kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya 
terbuat dibandingkan  tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di 
tengah-tengahnya termpu wungubhumi  tikar lampit dengan sebuah meja 
rendah di atasnya. 
Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu. 
Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di 
pendopo yang kosong melompong itu. Ia heran mengapa 
tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia 
angkat pandangnya untuk melihat suadipati  kasau, nampak 
olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar 
depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan palawa . Barangkali 
itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya. 
Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas 
tiada tertanami, nampaknya memang sengaja akan dibuat 
men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah, 
nampak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai umur, terus-
menerus bergoyang gelisah. 
“Nuwun… hasalamu halaikoooom!” sebutnya. 
Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah. 
Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharap-
harapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih 
tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan 
langkah ragu ia mendekati raden panji  gelang-gelang . berhenti di 
depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua 
belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyala-
nyala gusar: “raden panji  gelang-gelang !” raungnya. 
“saya , Ki Aji,” ia bersimpuh di tanah dan 
bersujud . Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu 
mesti berteriak . 
“Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk 
serahkan nyawa.” 
“saya , Ki Aji.” 
“patih wirabuana -muda, juara gulat….”  
“saya , Ki Aji.” 
Dari suara-suara di belakangnya raden panji  gelang-gelang  tahu, 
beberapa orang sudah berdiri dengan tombak untuk 
sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya. 
“Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji 
tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang 
sebagai kau?” 
“saya , Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat 
menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang 
menghampiri Rangga jatayuwesi  dari belakang. Dialah 
penolongku, kata nya dalam hati. “saya  menghadap 
hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.” 
“Utusan siapa? Hhh! pemberontak -kufur yang terkantuk-kantuk 
menunggu datangnya iblis-iblis nyi kanjeng blora terkutuk pula itu?” 
ia diam dan menolak ke belakang. 
raden panji  gelang-gelang  mengangkat pandang dan melihat waktu 
itu bersujud  pada Rangga jatayuwesi  sambil tetap berdiri, 
bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia 
Iihat Rangga jatayuwesi  alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita 
itu tajam-tajam, kepala  nya menggeleng atau mengangguk. 
lalu  ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu 
pergi. namun   yang disuruhnya manda saja. 
“Ya,” kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada raden panji  gelang-gelang , 
“hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang 
kemari,” ia mengangguk-angguk. 
“saya  datang bukan sebagai utusan baginda tuanku raja  adiputro , Ki 
Aji, namun   Tuan patih wirabuana  Habibullah Almasawa.” 
“Anjing Ispanya itu! Begundal nyi kanjeng blora! Bekas 
patih wirabuana  jayamahanaya  keparat! Terlalu lambat orang 
mengetahuinya.” 
Wanita di depannya itu bersujud  Ki Aji dari 
belakang, lalu  menepuk bahunya. Kembali suara Ki 
Aji menjadi lunak. 
“Munafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi 
bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada 
nyi kanjeng blora. Datang di tumapel , dijualnya tumapel  pada 
nyi kanjeng blora. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke 
jayamahanaya  begitu juga. Datang di kediri … apalagi yang 
sedang diperbuatnya sekarang? Dan adiputro mu, si goblok 
yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan 
pangkal keadaan….” 
“saya  hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala.” 
Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan 
kesempatan itu dipakai nya untuk mengeluarkan surat 
dari pakanewon  Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk 
dilihat oleh Ki Aji. namun   orang di depannya itu tak 
menggubrisnya. 
“Perkenankan saya  mempersembahkan surat ini,” ia 
terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan ragu-
ragu. Wanita di belakangnya nampak memberikan di kuil rat 
dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya. 
“.Ya,” gumamnya lalu , “Nabi pun berkirim surat 
pada umat pemberontak  Romawi dan paduka raja  pemberontak  yang lain. Betul 
juga kau, Khaidar.” Suaranya sekarang meninggi, “Sini 
surat itu.” 
raden panji  gelang-gelang  memanjangkan badan dan 
menyampaikan. 
“Bedebah!” raung Ki Aji. “Ini bukan surat. Ini hanya 
alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan memata-
matai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal nyi kanjeng blora 
keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan 
melemparkannya pada muka utusan itu. “Jangan kalian 
kira nyi kanjeng blora bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa 
lagi kediri , kediri  yang mau untungnya saja dari arca   , 
namun  tak kerja sesuatu pun untuknya.” 
“saya  hanya seorang utusan, Ki Aji,” sembah utusan 
itu. Dan ia sudah  menyiapkan diri untuk lari bila keadaan 
semakin genting. 
Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan, 
lalu  memberikan di kuil rat pada raden panji  gelang-gelang  agar 
menyerahkan kembali surat teremas yang sudah  terkapar di 
tanah itu. Begitu sudah  diterimanya, wanita itu mengambil 
dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk 
dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata 
assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu. 
Ki Aji Benggala kembali menatap raden panji  gelang-gelang . 
“Surat,” katanya menggerutu, “hanya berisi assalamu 
alaikum. Lebih tidak,” kekerasan yang hampir meledak lagi 
tiba-tiba mereda dari wajahnya. “Wajiblah bagimu,” 
katanya lebih pada diri sendiri, “membalasnya. Ya, wajib, 
di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.” 
la diam dan nampak berpikir. lalu  tersenyum dan 
memperhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip. 
“Baik,” katanya. “Bedebah Moro itu berhasil. Dia sudah  
menyampaikan salam damai, begundal nyi kanjeng blora itu.” 
“saya  hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang saya  
sedang menunggu balasan untuk saya  bawa pulang.” 
“Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri 
rupanya, raden gelang-gelang . Kau memang pandai, licik.” 
“saya  hanya seorang utusan, apalah yang saya  bisa 
perbuat selain menjalankan perintah?” 
“Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan 
balas surat ini.” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan 
tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan 
sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika 
mengenainya.” 
Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan 
itu namun  tiada berkata sesuatu pun. 
Dan lama ia harus menunggu. 
Terik sinar matahari  sudah  memeras keringat dari tubuhnya. Di 
samping menyampingnya mulai berdatangan anak anak 
menontonnya. Ia tetap menekuri tanah. 
Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat. 
“Hei, kau, raden panji  gelang-gelang , sampaikan oleh mulutmu 
sendiri pada tuanmu begundal nyi kanjeng blora itu, aku, Ki Aji 
Benggala, Rangga jatayuwesi , tumenggung  dijoyo , sudah  menerima 
suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku 
perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia 
akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak.” 
“saya , Ki Aji.” 
“Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan.” 
“saya , Ki Aji.” 
“Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka.” 
“saya , Ki Aji.” 
“Pergi!” bentaknya keras. “Tinggalkan bumi ini dan 
jangan balik kalau tak bosan hidup.” 
raden panji  gelang-gelang  mengangkat sembah. Sesudah  Ki Aji pergi 
dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan 
jalan, dan… pengawal-pengawal berbaju serba putih itu 
menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan 
membiarkannya pergi. 
“Hasalamu alaikoooom!” ia mendahului beruluk salam. 
Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata 
tombak memenuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga 
beruluk salam tanpa jawaban. 
Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan. 
wah 
 
14. patih wirabuana , nyi girah  dan mpu wungubhumi  
Ia terkejut. Dilihatnya patih wirabuana  tiba-tiba saja sudah 
ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan 
tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan 
semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala 
menerkam. 
“Selamat bagimu, nyi girah !” katanya lunak, memikat dan 
membujuk sekaligus. 
Cepat cepat nyi girah  menepiskan mpu wungubhumi  pada dada, begitu 
keras sehingga anak itu terkata  terkejut dan pengap. 
Melihat nyi girah  terkejut, raden  sanggabuana  tertawa 
menghibur dengan gerak tangan betari i. lalu : “Masa 
begitu saja terkejut, nyi girah !” 
Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan 
merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu. 
“Mengapa kau begitu aneh, nyi girah ?” 
“Apa Tuan kehendaki di sini?” tanyanya megap-megap. 
“Biar saya  pergi ke dapur, memasak bersama Nyi kembang .” 
“Buat apa, Cantik? Guna apa? Nyi kembang  masih tidur.” 
“Biarlah saya  ikut membersihkan taman dengan 
Paman Marta.” 
“Buat apa, nyi girah ? Bukan pekerjaanmu membersihkan 
taman. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus    mayat 
anaknya.” 
“Kalau begitu, jangan masuki rumah saya  ini” 
“nyi girah , Permata kediri , pujaan setiap Laki-laki . Betapa 
murung kau ditinggalkan suami. Tiadakah kau suka 
bersenang dalam kesepian yang begini mencekik? nyi girah !” Ia 
bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya. 
“Ampuni saya , Tuan pakanewon . Jangan dekati saya , dan 
jangan masuki rumah saya .” 
patih wirabuana  itu tertawa senang dan maju selangkah. 
“Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata?” 
“Suami saya , Tuan pakanewon . Tidak lain dari suami 
saya .” 
“Apa kau harapkan dari suamimu?” 
“Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya.” 
“Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan 
pada tubuh yang semolek ini….” 
“Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun 
memadai, Tuan ” jawab nyi girah  mulai berani sesudah  terbebas 
dari kejut. 
mpu wungubhumi  dalam pelukan meronta minta kembali bebas. 
kepala  nya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya 
bergerak binal. 
“Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermain-
main sendiri seperti biasanya.” 
“Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi 
ayahnya.” 
“Menghadapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi 
pula dia belum lagi pulang.” 
“Ayah tidak pergi, bukan, mpu wungubhumi ? Ayahmu tidak pergi, 
bukan? Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam 
ayahmu. Dia sedang merayu ibumu.” 
“Ayahmu sedang ke pedalaman, mpu wungubhumi .” 
“Ingat-ingat kejadian ini, mpu wungubhumi , selama hidupmu.” 
mpu wungubhumi  berhenti meronta, memandangi patih wirabuana  
dengan mata ter-heran-heran. 
“Mak!” serunya lalu . 
“Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari 
dekat.” 
nyi girah  memasang mpu wungubhumi  demikian rupa sehingga si bocah 
itu berhadap-hadapan dengan patih wirabuana . Anak itu sebagai 
besi berani menarik mata Laki-laki  itu. Dua pasang mata itu 
bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya. 
“Ya, mpu wungubhumi ,” nyi girah  meneruskan, “itu ayahmu sendiri. 
Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya….” 
Muka raden  sanggabuana  bumikerta  merah-padam. 
Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai. 
Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada wanita lesbian  
berkata begitu. “Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya 
maka dia anakku?” 
“Kau dengar sendiri suaranya, mpu wungubhumi . Memang tidak 
menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang 
asli.” 
“Jangan bercericau seperti nuri!” sambarnya bengkeng. 
“Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu, 
mpu wungubhumi . Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya. 
Makin hari kau akan makin kenal….” 
“Jangan teruskan, nyi girah ,” patih wirabuana  sekarang 
merajuk. 
“… Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik.” 
“nyi girah , kau ajari anak itu kurangajar.” 
“Dengar, kau, mpu wungubhumi , dia tak mau dikurangajari.” 
“nyi girah  diam!” 
“Dia belum bisa bicara, Tuan pakanewon , biarlah dia 
meminjam dahulu  kata-kata ibunya’ 
“Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.” 
“Inilah anak Tuan, Tuan pakanewon . Bukankah Tuan tahu 
sejarah kelahirannya?” 
“Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan 
sebut sekali lagi dia anakku. Tuan pakanewon  Habibullah 
Almasawa tak pernah beranak-kan dia!” matanya 
membeliak memperingatkan. 
“Tak ada yang dengar, Tuan, hanya saya , Tuan dan 
anak Tuan sendiri.” 
“Aku tak beranakkan dia!” raden  sanggabuana  hampir 
membentak. 
“Itu, itulah ayahmu, mpu wungubhumi , kasihan kau, ayahmu untuk 
di dunia dan untuk di lalu  hari.” 
Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap 
patih wirabuana  seperti Laki-laki  setengah baya itu baru sekali ini 
dilihatnya. namun   melihat wajah orang itu berubah jadi 
galak, ia menjerit ketakutan. 
nyi girah  kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara 
seperti meratap ia meneruskan: “Nasibmu, Nak, memiliki  
ayah tiada mengakui. namun  kau harus akui dia. Dasar sudah 
nasibmu, memiliki  ayah sejenis  itu kelakuannya….” 
“nyi girah !” 
“… Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada 
gandarwa.” 
“Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari 
berbaik, nyi girah ,” katanya lagi membujuk. “Dengarkan dahulu  
aku, jangan ditentang juga. Kau ini, nyi girah , belum lagi 
mengenal dunia.” 
“Kau, Nak, anak seorang patih wirabuana  yang mengenal 
dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak 
mau. Nasib.” 
“Diamlah, nyi girah . Apa kataku tadi? Kau belum lagi 
mengenal dunia.” 
“Apalah gunanya dunia saya  kenal, kalau hanya 
seperti yang Tuan lihat?” 
“Haiyaaa.” 
Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan 
pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan, 
masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa 
kekerasan. 
“Itulah, nyi girah , itulah, justru sebab  tak kenal dunia, kau 
anggap semua sudah mencukupi.” 
“Hidup saya  sudah  mencukupi, Tuan pakanewon , dengan 
kasih-sayang suami saya , si raden gelang-gelang  anak desa yang 
bodoh itu.” 
“Husy. Dengarkan dahulu  aku. Kau biarkan suamimu yang 
seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi… 
jangan sela dahulu  aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri 
orang lain.” 
“Apalah gunanya?” 
raden  sanggabuana  bumikerta  tertawa bersabda . Ia tegakkan 
bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas 
bahu, lalu  bertepuk-tepuk: “Kalau di negeri lain sana, 
nyi girah , pastilah kau akan jadi ratu.” 
“Huh!” nyi girah  berpaling melecehkan. 
“… Tidak jadi istri seorang raden gelang-gelang  yang selalu pergi, 
membiarkan kau merana dalam menunggu.” 
“saya  wanita lesbian  kediri , Tuan pakanewon , yang 
berbahagia menunggu suami pulang.” 
“Jangan kau jadi bodoh seperti wanita lesbian  kediri  lain. 
Cerdiklah sedikit,” ia maju setengah langkah. 
“Dalam menunggu suami pulang saya  berbahagia.” 
“Mak, turun, Mak,” kata  mpu wungubhumi . 
“Jangan, Nak, temani dahulu  emakmu.” 
mpu wungubhumi  meronta lagi minta turun dan nyi girah  
membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke 
pelataran memanggil-manggil Nyi kembang  Kati. Ia langsung 
menuju ke dapur. 
raden  sanggabuana  berseri-seri dan maju lagi seperempat 
langkah: “Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia 
sebab  menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik 
dibandingkan  menunggu. Malah, nyi girah , kau tak tahu pula apa 
yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang.” Melihat 
penari itu mendengarkan ia semakin berani, “Pekerjaannya 
berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa 
mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi 
untuk selama-lamanya….” 
“Apalah yang saya  herani bila suami mati?” 
“Jadi kau mengharapkan dia mati?” 
“Apakah hebatnya kematian, Tuan pakanewon ? Tiadakah 
pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana 
wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti 
suami yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan 
dengar? Di kediri  Kota memang sudah tidak kejadian lagi. 
Pergilah ke pedalaman.” 
“Jangan, nyi girah . Semua orang tahu. namun  jangan lakukan. 
Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan 
kemolekan seperti ini punah dimakan api,” larangan sambil 
mendekat lagi. 
“Jangan lebih dekat, Tuan pakanewon , dan jangan coba-coba 
masuki rumahku,” nyi girah  memperingatkan. “saya  sedang 
jaga, tidak mimpi dalam tidur.” 
“Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari 
kepatih wirabuana an? Dan isinya pun dalam kekuasaanku?” 
“saya  bilang: jangan.” 
“Layani aku, nyi girah , lupakan suamimu.” 
patih wirabuana  melangkah menerjang hadangan nyi girah  
sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar. 
nyi girah  meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya 
mpu wungubhumi  memanggil-manggil dari sesuatu jarak. 
patih wirabuana  berusaha menangkapnya lagi. “Bodoh!” 
gumam patih wirabuana . 
“Kurang hormat apakah wanita lesbian  bodoh ini?” kata 
nyi girah  cepat-cepat dan terengah-engah. “Tuan pakanewon , keluar 
dari sini!” dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu 
mengancam. patih wirabuana  itu terkejut dan undur keluar dari 
kamar. Naluri beladiri memicu  dengan sendirinya ia 
mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: “Di 
mana pun begitu mesti bisa ditundukkan,” ia tertawa 
melecehkan, “apa lagi, kau, nyi girah . Sampai di mana 
kekuatanmu? Kalau kupukul kau, gada wesi -kecilmu takkan 
berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya. 
Takkan lagi yang bakal mengagumi kau. 
“Pukullah, Tuan.” 
namun   Laki-laki  itu meneruskan gerutunya tanpa 
mengharapkan jawaban: “Apa yang kau andalkan? 
raden panji  gelang-gelang ? Kesetiaannya padamu? Hah! Mungkin dia 
sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal 
tulang-tulang berantakan termakan anjing.” 
“Memang itulah yang Tuan kehendaki.” 
“… Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau, 
wanita lesbian  bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat… 
kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. gada wesi nya akan 
tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia 
minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara.” 
“Jadi apa sebetulnya  yang Tuan pakanewon  harapkan dari 
saya ?” nyi girah  bertanya bodoh. 
“Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran 
sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?” 
“Kalau soalnya cuma itu, Tuan pakanewon , betapa sederhana 
keinginan Tuan.” 
“Masih juga kau bercericau!” 
“Mari saya  ceritai, Tuan,” nyi girah  bermanis-manis. 
“Barangkali Tuan mau mendengarkan.” 
raden  sanggabuana  mengendorkan pegangannya pada 
tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan 
nyi girah  yang masih juga mengamangkan senjatanya. 
“Apa ceritamu, nyi girah ?” 
“Cerita saya , Tuan, betapa sederhana memilih 
bagaimana cara berlawan atau mati.” 
“Kau tetap melawan aku, nyi girah ?” 
“saya  sedang melawan, Tuan.” 
“gada wesi  Wira akan menembusi dadamu!” 
“Apalah salahnya. namun  sebelum itu dari mulut Tuan 
sendiri ingin saya  dengar, dengan mata saya  sendiri 
ingin melihat, Tuan sudi mengakui mpu wungubhumi  sebagai anak 
Tuan sendiri, sebab  memang dia anak Tuan.” 
“Tiada aku beranakkan dia!” Laki-laki  itu membentak. 
“Keluar!” kata  nyi girah . “Takkan ada orang datang 
menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan. 
Keluar! saya  tak mengulangi kata-kata saya .” 
nyi girah  melangkah dan Laki-laki  itu dengan sendirinya 
bersiaga dengan tongkatnya. 
raden  sanggabuana  tak juga beranjak dari tempatnya. 
nyi girah  melompat maju sambil menyerang dengan 
cundriknya. patih wirabuana  melompat ke samping, mengelak. 
Wanita itu menikam dari samping. patih wirabuana  melompat 
lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang 
bercundrik. nyi girah  menarik tangan dan berputar menikam 
punggung. Laki-laki  itu melompat ke depan dan lari 
meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan 
bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan. 
Panggilan mpu wungubhumi  semakin terdengar mendekat. nyi girah  keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari 
anaknya. Tak ada dilihatnya Laki-laki  bongkok itu. Yang  muncul adalah mpu wungubhumi  yang masih juga memanggil-manggil. 
Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia 
selit-kan pada sanggul. lalu  ia berjongkok 
menyambut anaknya. 
Dengan sekali renggut mpu wungubhumi  sudah  berada dalam 
gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali. 
“Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada 
mengakuimu.” 
mpu wungubhumi  memeluk leher ibunya. 
“Sayang kau pada emak?” 
mpu wungubhumi  mengencangkan pelukannya. 
wah 
  
Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh patih wirabuana  
langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke 
belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata 
patih wirabuana  dalam jawadwipa : “… tak ada hak patih  untuk 
mengusirnya….” 
Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: “Siapa bilang 
kami mengusir atau memerintahkan mengusir? Patih kediri  
mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak 
gada rujakpolo . Maka itu kami mengundang mereka.” 
raden panji  gelang-gelang  meneruskan jalannya dan masuk ke dapur 
kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu 
patih wirabuana  pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk 
di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat 
patih wirabuana -muda datang ia tersenyum senang dan 
menyilakannya duduk. 
“Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat 
perjalananmu.” Dan belum lagi penghadap itu bersembah 
ia sudah  meneruskan, “Pasti kau lihat tadi patih wirabuana  habis 
menghadap. dipakai nya segala alasan untuk 
menghalangi orang-orang nyi kanjeng blora petualang itu datang 
menghadap ke mari. Apa boleh buat. baginda tuanku raja  adiputro  
berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan 
mereka mau mengajar membuat  gada rujakpolo . sudah  kami 
persembahkan petualangan mereka di campa . Sia-sia, 
Wira. Jangankan nyi kanjeng blora mau membagi ilmunya, orang 
Tionghoa di sini saja segan mengajar membuat  kertas. 
Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang nyi kanjeng blora 
itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dahulu , mereka toh 
masih berada di bawah perlindungan patih wirabuana . 
Bagaimana kepergianmu?” 
Dan raden panji  gelang-gelang  bersembah. 
“Jadi sudah jelas Rangga jatayuwesi  memang hendak 
bertingkah. Dia sudah  bikin bawahan  kediri  membangkang 
dan melawan. Mana surat itu?” 
Melihat surat itu bertulisan palawa  ia hanya mengangguk. 
“Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada 
keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau 
selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil 
menghadap Mashud bersama denganmu.” 
Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang 
dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud. 
wah 
 
“Bapa Mashud,” kata Sang Patih, “kami perintahkan 
padamu membaca surat palawa  ini baris demi baris dan 
terjemahkan baris demi baris pula.” 
Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan: 
“Selamat bagimu,” sebaris lagi, “Dilimpahkan oleh sang hyang Widhi  
kiranya padamu taufik dan hidayatnya,” sebaris lagi, 
“Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka,” 
selanjutnya, “Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang 
diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan 
menyampaikan, melindungi mempertahankan dan 
mengamalkan,” sebaris lagi, “Maka itu kerjakan apa yang 
kami sebutkan di bawah ini….” 
Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan 
bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti 
keranjingan. 
“Mengapa, Bapa Mashud?” 
Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan pukul  
dan meneruskan. namun   kata-katanya sudah tak jelas lagi 
artinya. 
Sang Patih memerintahkannya berhenti dan 
menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan 
pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada 
Sang Patih resi  dibandingkan  Mashud. Ia seorang Campa yang 
sudah lama tinggal di jayamahanaya , bernama Jamhur Tenga, 
barangkali seumur hidup selalu memakai  jubah coklat 
dan sorban coklat pula. 
Dengan tenang dan percaya diri ia mulai 
menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang 
memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruk-
nubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud. 
Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi. 
Seorang perwira lain menghadapkan seorang jawadwipa  
pelarian dari jayamahanaya , sudah  kehabisan modal dan 
kehilangan kapal. Ia sudah  diambil sewaktu sedang bersiap-
siap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak 
bersorban, namun   berpakaian Pribumi kediri . Ia menghadap 
dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama 
Kamang Sani. 
Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada 
kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga. 
Sang Patih memerintahkannya pergi. 
“Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di 
dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga jatayuwesi  dengan para 
penterjemah pada satu pihak dan Rangga jatayuwesi  dengan 
patih wirabuana  kediri  pada lain pihak. Di sebelah sana lagi 
ada nyi kanjeng blora. Di sampingnya ada perusuh yang menentang 
kediri  ” 
Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan 
yang lain. 
“Aneh, Rangga jatayuwesi  bermusuhan dengan patih wirabuana , 
juga bermusuhan dengan nyi kanjeng blora, juga bermusuhan 
dengan kediri . patih wirabuana  bermusuhan dengan Rangga 
jatayuwesi  dan kami mencurigainya bersahabat dengan 
nyi kanjeng blora.” 
“Barang tentu surat gawat, baginda tuanku raja .” 
“Pergi kau sekarang juga ke pasuruan . Carikan terjemahan 
yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.” 
Dan dengan demikian mendaratlah raden panji  gelang-gelang  di 
jenggala pasuruan . 
 
 
jenggala itu tidak seindah kediri , namun masih lebih 
berat juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang 
lalu peranannya jauh lebih penting dibandingkan  kediri , dan 
sampai sekarang pun masih jenggala terbesar di Jawa. 
Sebelum kanjuruhan  menduduki jayamahanaya  dan panarukan , 
sebagian terbesar rempah-rempah panarukan  datang kemari, 
dari sini berpecahan ke seluruh jenggala di Jawa dan dunia. 
Tiga ratus tahun sesudah  menjadi jenggala tanpa tuan, 
mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipakai  
oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan 
angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke 
sebelas Masehi memperoleh  prasasti penghargaan dari Sri 
Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan kediri  dan 
bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga 
pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, parahyangan , 
panarukan  dan Sulawesi. Dari pasuruan  ini pula sebagian 
angkatan laut kerajaan jenggala  muncul untuk mencapai daratan 
Asia dan Afrika. 
Dan seperti halnya dengan Semarang dan campa , juga 
pasuruan  pada mulanya dibangun menjadi jenggala oleh 
pendatang-pendatang dari Tiongkok. Sesudah  jatuhnya 
kerajaan jenggala  pada 1478 Masehi, pasuruan  berada dalam keadaan 
tanpa tuan lagi. namun   perdagangan berjalan terus seakan-
akan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada memiliki 
sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan, 
sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh 
Darmawangsa. 
Satu kekuasaan yang lalu   muncul  lagi adalah justru 
sebab  ingin menguasai jenggala dan keuntungannya ini. 
Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya 
Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain 
sampai akhirnya prajurit kerajaan  Giri Dahanapura turun dari 
Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki 
wilayah inti kerajaan jenggala , membungkam kekuatan-kekuatan 
kecil yang bertarung memperebutkan pasuruan . Raja 
Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak 
tahun 1485 menguasai pasuruan  sebagai bawahan Giri 
Dahanapura atau Blambangan. 
pasuruan  yang berpindah-pindah tangan itu tetap 
berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk 
memindahkan pasuruan  ke jenggala -jenggala nya sendiri, 
Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran 
militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali 
dengan pasuruan  dalam keadaan utuh. 
wah 
 
Keadaan memang agak lengang waktu raden panji  gelang-gelang  
mendarat. Namun jauh lebih sibuk dibandingkan  kediri . Orang-
orang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat 
dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang memakai  baju 
juga jauh lebih banyak, menandakan golongan kesatria raja  tidak 
lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai 
oleh kaum pedagang arca   . Penduduk sudah banyak 
memakai  terompah seperti para pendita di pedalaman, 
terbuat dibandingkan  kulit kayu, pelepah atau kulit kambing 
mentah. 
Dan raden panji  gelang-gelang  terheran-heran melihat betapa sedikit 
orang yang berkain batik. Orang lebih banyak memakai  
pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan 
desa. Orang-orang bertombak dan bergada  sama sekali 
tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan kesatria raja  
memang sudah tak memiliki  sesuatu kekuasaan. 
Sesudah  memperoleh  ijin masuk segera ia mencari-cari 
keterangan. namun  pandang mata yang tertuju padanya 
seperti memperhatikan seekor hewan  aneh yang terlepas 
dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa 
menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan 
destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya 
tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang 
setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa. 
Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar 
tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu, 
bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik 
orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk memperoleh  jalan 
keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para 
dewa dan para leluhur, pada sang Hyang betari durga  , dan dimintanya 
seorang untuk mencukur rambutnya. 
Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk 
melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut 
panjang seorang pemberontak , sebab  ada orang dan tempat tertentu 
untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya, 
baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena 
kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pertapaan . 
lalu  ia ketahui pertapaan  adalah tempat para dayang , 
dan dayang  sendiri tidak lain dari ucapan resi  agama dari 
seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang 
terhormat, di sinipun sudah  mulai berubah bunyinya jadi 
patih  oleh resi -resi  agama dari seberang itu pula. 
Ia pergi ke sebuah pertapaan , yang ternyata adalah 
sebuah balai   pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia 
sudah lakukan satu kekeliruan. 
Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang 
yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanak-
keluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan 
rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh 
membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu 
masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras 
tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih. 
Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia 
datang ke sebuah pertapaan  terdekat pada jenggala pasuruan . 
Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak 
menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu 
mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab 
pertanyaan dan permintaannya pun segan. 
Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan 
yang ada dan menemui orang lain. Laki-laki  dewasa berkalung 
sarong itu menegurnya: “Hei, rambut panjang, apa 
keperluanmu?” 
“saya  bermaksud mencukurkan rambut,” jawabnya 
merendah. 
“Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan 
mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad? Mana 
pula syarat untuk hajad?” 
Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta 
diterangkan. 
“Tiada saya  bersaksi, tiada pula bersyarat.” 
“Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan 
panggilan ini. Mari aku potong rambutmu.” 
Dan rambut itu pun dipotong sambil raden panji  gelang-gelang  
menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si 
pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama sebab  memang 
tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar 
memendekkan sejari dari kulit kepala  . 
“Apa lagi yang kau kehendaki?” tanyanya lagi. “Rambut 
itu boleh kau buang ke kali.” 
Buru-buru raden panji  gelang-gelang  mengumpulkan potongan 
rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan 
menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang 
patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur, 
para dewa dan sang Hyang betari durga  . 
“Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi. 
Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu?” 
“Itung.” 
“Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya 
arca   , memakai  sekarang nama arca   , Salasa. Bisa 
menghafalnya? Salasa, sebab  kau datang kemari pada hari 
ke tiga.” 
“Salasa.” 
“Pulanglah dengan selamat.” 
“Bolehkah kiranya saya …,” ia tak tahu bagaimana 
menyebut orang itu, “diperkenankan belajar agama baru di 
sini?” 
“Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti 
pendidikan. 
Tentu saja kau boleh belajar di sini’ orang itu tertawa 
bersabda , mengangguk dan memandanginya dengan kasihan. 
“Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di 
sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka 
dan berkelakuan baik.” 
“Kalau sudah tidak suka lagi?” 
“Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik 
sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi 
dayang ?” 
raden panji  gelang-gelang  mengangguk mengiakan. 
“Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu.” 
Seperti seekor kambing yang tertuntun patih wirabuana -muda 
itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya 
disusun ambin-ambin seperti dalam balai   di pedalaman. 
namun  tak ada seorang pun nampak di dalam. 
“Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa.” 
raden panji  gelang-gelang  tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia 
berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga jatayuwesi  dan 
berkata: “Surat inilah sebenarnya yang membawa saya  
kemari. saya  percaya ini ajimat luar biasa, namun   saya  
tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah 
jawakan tulisan ini pada saya .” Orang itu menerima surat 
itu dan mengawasinya dengan terheran-heran. 
“Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana 
kau dapat?” 
“Jauh, jauh dari sini.” 
“Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan 
pada bopo biung.” 
Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing 
dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah 
ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang dinamakan  Bapa 
patih  itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya 
terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain 
menyertainya. 
Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan 
bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam jawadwipa : 
“sang hyang Widhi  memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada 
keperluan apa maka kau datang menghadap?” 
Pengantar itu menjawakan, dan dalam jawadwipa  
menjawabkan raden panji  gelang-gelang  sambil mengulurkan surat 
tulisan palawa . 
Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh 
memperhatikan wajah bopo biung. Betul juga dugaannya, 
kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan bopo biung 
nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbata-
bata: “Dari mana kau peroleh surat ajimat ini?” dan 
pengantar menjawakan. 
“Nun di pinggir jalan di desa saya .” 
“Di mana desamu?” 
“Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan, 
mungkin lebih.” 
“Nama, nama desamu.” 
“Kuda, bopo biung, Kuda Kondang.” 
“Kabupaten mana itu anakku?” 
“Bojanegara, bopo biung.” 
“Sedang ada apa di desamu?” 
“Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen.” 
“Atau di dekat-dekat desamu?” 
“Juga tak ada apa-apa, Bapa.” 
“Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu.” 
“Apakah kiranya isi ajimat itu, bopo biung?” 
Bapak patih  yang nampaknya masih muda itu mengawasi 
raden panji  gelang-gelang , menaksir-naksir badannya yang besar. 
Suaranya berubah mencurigai: “Kau belum patut 
mengetahui, Nak,” jawabnya curiga. “Biar aku simpan 
surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang 
seperti kau.” 
“Itu saya  memiliki , bopo biung.” 
“Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau 
simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.” 
Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak 
memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat. 
Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat 
itu. bopo biung memekik. raden panji  gelang-gelang  menguguh 
mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekik-
mekik minta tolong. Dan sekarang giliran raden panji  gelang-gelang  
untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung 
meninggalkan tempat itu. Para dayang  lainnya sedang 
bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka 
yang bertombak atau bergada . Mereka takkan dapat 
menghalang-halanginya. 
Sesudah  jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon 
mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan 
yang sama. Ia akan mencari pertapaan  lain, satu dengan lain 
tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering  muncul  di 
antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan 
perang kecil. 
Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan sesudah  
memperoleh kan nafasnya kembali. Dirasainya kepala  nya 
begitu ringan seakan ikat kepala  nya melekat pada 
tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya sudah  terpotong ia 
merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran 
menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari 
tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti 
gerak kesedarannya. 
Benarkah aku sekarang sudah arca   ? Muslim? Bernama 
Salasa? 
Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali 
kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti 
kemarin, hanya kepala  ku saja terasa ringan tak berambut. 
namun  kau sudah  ucapkan mantra orang arca    itu, satu 
pengakuan, satu kesaksian kau sudah arca   , Muslim seperti 
yang lain. 
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin. 
Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan 
kesamaannya. 
Tidak beda. Beda! Tidak. Beda! 
Rambutmu sudah  pendek dan kau sudah  geletarkan 
melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri 
siapa dewa dan pemimpinmu yang baru. 
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin. 
Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong 
rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas 
kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan 
sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu 
sendiri. 
Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari 
terjemahan? Gerak lidah itu sudah  padam, suara itu sudah  
beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia 
akan mulai panjang. 
Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri 
sendiri? Kau sudah arca   . Kau harus akui kebenaran ini. 
Pusing sebab  pertikaian di dalam diri sendiri ia 
melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya 
makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soal-
soal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pertapaan  
baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian 
orang terhadap diriku? Teringat ia pada shinoda Han: 
Wira, Tuan adalah orang berbahagia, sebab  dicintai dan 
dihormati orang banyak. Dan di pasuruan  sini? Tak ada orang 
mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku? 
Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa 
berbahagia. 
Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat 
orang di kediri  sana, seakan yang pang pang meneruskan 
kata-katanya. 
lalu  betari  resi   muncul di depan mata 
batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak 
memerlukan  cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku 
hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku. 
Dia tidak memerlukan nya, seakan yang pang pang 
berseru, sebab  dia tidak hidup dalam jamannya sendiri 
atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara. 
Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke 
mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah 
dalam dirinya. 
Pada hari itu juga ia dapatkan pertapaan  baru, yang sama 
saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui hari-
hari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore 
hari dan belajar membaca disore hari. 
Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu. 
Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia 
perhatikan galanya. 
Ia dapat mengetahui adanya seorang dayang  yang 
dianggap terpandai dan sudah  lebih sepuluh tahun belajar. 
Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya 
memperoleh kan terjemahan. Dan ia takkan mendekati patih . 
wah 
 
Genap seminggu lalu  ia sudah mulai mebersabda i 
adipati kelabangwungu, dayang  terpandai itu. Juga adipati kelabangwungu yang bercerita 
padanya, pasuruan  bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati. 
Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman kerajaan jenggala , tak 
ada punggawa mencampuri pertapaan , ia bercerita. Sri 
Baginda Bhre Wijaya Purwhutan esa malah memberikan 
tanah pada patih -patih  yang tidak dikenakan pajak atau kerja 
negeri   sama halnya yang didapat oleh junjungan  
sri ratu kertanegari . 
Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya 
Girindra Wardha-na memasuki pasuruan , ceritanya lagi, 
dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda, 
dan diperintah kannya semua memindahkan harta dan 
perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan. 
“Lihat, bagaimana hebatnya pasuruan ,” ia meneruskan. 
“Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri 
Dahanapura, pasuruan  akan tetap hidup. Mereka bersembah, 
Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke pasuruan , namun   
pasuruan  tak bisa dipindahkan ke mana pun!” 
adipati kelabangwungu adalah seorang patriot pasuruan . 
raden panji  gelang-gelang  tak sempat membuat  perbandingan 
dengan jenggala kediri . Ia sibuk mencari-cari kesempatan 
untuk bisa berdua saja dengan adipati kelabangwungu. 
Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga. 
Sore itu mereka sudah  mandi di saluran air sawah. Enam 
belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang 
bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu 
yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata 
baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang 
habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung. 
Sekali-dua terdengar sayup resi h menggerutu seperti dari 
perut bumi. 
Ia hampiri adipati kelabangwungu, menawarkan jasanya. 
“Biar aku cuci paculmu, Kang adipati kelabangwungu!” dan tanpa 
menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran 
dan mencucinya dengan setekam rumput. 
“Kalau aku sudah tamat nanti,” katanya menambahi 
sambil menyerahkan pacul adipati kelabangwungu, “aku akan masuk ke 
daerah pemberontak  Blambangan, mendirikan pertapaan  sendiri.” 
“Kau!” adipati kelabangwungu tertawa geli, “belum lagi dua minggu 
belajar! Tidak semudah itu,” dan dengan gaya keresi -
resi an meneruskan. “Abangku sudah setahun di 
Dahanapura. Apa hasilnya? Buh! Tak ada. Apa kekurangan 
dia? Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau 
tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa 
Tenggara.” 
“Di sana dia tentu akan berhasil, Insya sang hyang Widhi .” 
“sang yang betari durga   akan menunjukkan padanya jalan yang terang.” 
“Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang.” 
“Di sana kau akan jadi pemberontak  lagi. Belajar saja baik-baik.” 
“Tentu, Kang adipati kelabangwungu. Aku akan belajar baik-baik. 
Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan 
sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun 
memiliki  jenggala dan angkatan laut.” 
“Buh!” adipati kelabangwungu melecehkan, “penyebaran agama bukanlah 
perang,” ia meneruskan, “majunya tidak seperti para bala tentara  
berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, namun   
hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau 
mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura?” 
“Katanya nyi kanjeng blora sudah masuk ke sana. Kang, ada 
yang membuka perguruan , kata orang, menyebarkan agama 
sendiri. Itu kata orang, Kang.” 
“Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku, 
beberapa waktu yang lalu,” adipati kelabangwungu mulai berjalan di atas 
pematang menuju ke desa dan raden panji  gelang-gelang  mengikutinya 
dari belakang. 
“Di mana abangmu sekarang, Kang adipati kelabangwungu?” 
“Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di 
Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang arca   , 
dia lebih suka pada nyi kanjeng blora. Tak pernah dikaruniakan 
tanah pada pertapaan , namun  orang nyi kanjeng blora dikaru-niainya. 
Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan 
pada Kongso Dalbi di jayamahanaya …. Tahu siapa Kongso 
Dalbi?” ia menengok dan menyaksikan gelengan 
raden panji  gelang-gelang . “Raja nyi kanjeng blora di jayamahanaya . Utusan itu, kata 
abangku, sudah  mempersembahkan pada Kongso Dalbi 
sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di 
Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana 
berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan 
pengukirnya.” 
“Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?” 
“Satu adegan dari betari yana, Lesmana dan Sinta di 
dalam hutan.” 
“Pengukirnya, Kang?” 
“Pengukir asal kediri , Borisrawa.” 
raden panji  gelang-gelang  mengangguk di belakang adipati kelabangwungu. Dia sudah 
di sana, pikirnya. namun   yang keluar dari mulutnya: 
“Taklukkah Dahanapura pada jayamahanaya , Kang?” 
“Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir 
utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil 
semakin terdesak oleh meluasnya arca   . Maka dia surati 
Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon 
bantuan sepuluh pucuk gada rujakpolo  untuk menahan arus 
kekuasaan arca   ; dengan peluru dan penembaknya.” 
“Apa gada rujakpolo  itu, Kang?” 
“Senjata nyi kanjeng blora. Yang dilemparkan bukan mercon 
udara seperti cet-bang, namun  besi sebesar kepala  n.” 
Enam belas dayang  lainnya mulai mengikuti keduanya 
dari belakang, memanggul pacul masing-masing. 
“Apakah nyi kanjeng blora suka memberikan gada rujakpolo ?” 
“Pada lawan arca   ? Boleh jadi,” jawab adipati kelabangwungu ragu-ragu. 
“sebab  itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya 
bisa besar dan ampuh.” 
“Jadi pemberontak  Dahanapura Blambangan sudah bersekutu 
dengan pemberontak  nyi kanjeng blora?” 
“Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi, 
nyi kanjeng blora sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu 
nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal nyi kanjeng blora sudah 
mulai kelihatan juga di pasuruan , menuju ke Pasuruan dan 
Panarukan.” 
Mereka semua sudah  meninggalkan tanggul saluran dan 
berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka 
bergeletakan di atas lumpuran sawah. sinar matahari  di sebelah 
barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur 
angsa ajaib. Dan dengan segala usaha raden panji  gelang-gelang  
mencoba menarik adipati kelabangwungu dengan pertanyaan-pertanyaan 
agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil 
memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. dayang -dayang  
lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan kata-
kata adipati kelabangwungu yang menggurui  Dan begitu jarak mereka sudah  
nampak jauh, raden panji  gelang-gelang  membuka maksudnya: 
“Tolonglah aku, Kang adipati kelabangwungu. Ada padaku sebuah ajimat, 
namun  aku tak tahu tuah di dalamnya,” ia keluarkan 
bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, sesudah  
meletakkan pacul di tanah, dan berhenti. 
adipati kelabangwungu pun berhenti dan memperhatikannya membuka 
bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu. 
“Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah.” 
Dengan baik hatinya adipati kelabangwungu membuka kertas itu dan 
mulai membaca. 
“Ini bukan ajimat,” katanya sesudah  membaca sebaris-
dua. “Ini surat biasa. syang  hyang Widhi ! Dari mana kau dapat 
surat ini? Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang gada rujakpolo , 
di sini sudah dinamakan -sebut soal gada rujakpolo . Minta dikirimi 
paling tidak dua pucuk gada rujakpolo  nyi kanjeng blora, kalau tidak….” 
“Kalau tidak, apa Kang?” 
“Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?” tanya adipati kelabangwungu 
mendesak dan bersungguh-sungguh. 
“Jangan jalan dahulu , Kang, berhenti di sini saja, biar aku 
ceritai kau.” 
Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa 
yang sunyi itu. raden panji  gelang-gelang  memperhatikan dengan  pandang selintas, bahwa dayang  terpandai itu masih tetap  mengawasinya, sedang dayang -dayang  lain sudah  hilang di 
tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia  mengulangi ceritanya di pertapaan  pertama, hanya 
ditambah lebih banyak. “Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum selesai.” 
Dan adipati kelabangwungu sudah melepaskan sikap keresi -resi annya. 
Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan.  Dengan suara rendah ia berkata: “Kau tidak berhak memegang surat ini. Akan kuserahkan pada bopo biung. 
Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali 
juga terjemahanku tidak benar.” 
“Jangan, Kang, jangan.” 
“Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan 
hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak 
bodoh. ayolah , katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar 
akan kusampaikan pada bopo biung, lalu  pada baginda tuanku raja  
Bupati, yang tentu akan memanggil bopo biung lagi. 
Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!” 
“Jangan, Kang, jangan,” tegah raden panji  gelang-gelang  dengan 
suara ketakutan. 
“Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya.” 
Tangan raden panji  gelang-gelang  cepat melayang, menangkap 
tengkuk adipati kelabangwungu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan 
kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu 
patah. Lidah adipati kelabangwungu menyelir keluar sedikit meneteskan air 
liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah. 
Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia 
lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia 
lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu 
lebih jauh lagi. 
“Ampuni aku, Kang adipati kelabangwungu. ampuni aku, ya, Dewa 
Batara.” 
Ia tak pulang ke desa pertapaan , justru sebaliknya…. 
Ia tak menempuh jalan laut. 
Sesudah  dapat menangkap makna isi surat ia langsung 
mengambil jalan darat pulang ke kediri . Sepanjang 
perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang 
dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah 
yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini? 
Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku? 
Aku tak memiliki  urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan 
pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang 
bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani. 
Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya sudah  jadi 
bagian dari kekuasaan Sang adiputro  kediri  dan 
kelangsungan hidup praja kediri . 
Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan 
masasilam pada guagarba haridepan? Untuk kediri ? 
Inikah? 
Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun 
aku salah. 
Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia 
simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di 
pinggir hutan. 
Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak, 
jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari. 
Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan 
kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari. 
Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang. 
Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta gada rujakpolo  
nyi kanjeng blora pada patih wirabuana  kediri  dengan ancaman, lenyap 
kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat 
naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati 
kediri . 
“Ya,” katanya sesudah  agak lama berdiam diri, “berikan 
surat ini pada yang berhak.” 
raden panji  gelang-gelang  berjalan cepat menuju ke patih wirabuana an. 
Sekilas ia lihat nyi girah  berjalan dari dapur menuju ke kamar, 
dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke 
gedung utama dan memperoleh kan patih wirabuana  kediri  sedang 
duduk membaca kitab. 
“Hasalamu alaikooom!” serunya. 
raden  sanggabuana  bumikerta  melompat terkejut. Melihat 
raden panji  gelang-gelang  mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan 
menelan pukul . Awan dengan lambat berarak 
meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: “Wa 
alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi arca   , Wira. 
Ah, ya, benar sekali!” ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan 
bongkoknya. “Siapa menduga kau sudah berambut pendek 
begini. Kau kelihatan lebih hitam, namun  lebih berseri dan 
lebih bersih dan lebih berbahagia.” 
“Alhamdulillah, tuan patih wirabuana .” 
“Siapa yang mentaubatkan kau? Rangga jatayuwesi ?” 
“Tidak salah, Tuan patih wirabuana .” 
“Tak pernah kau nampak begitu periang seperti 
sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa 
lain. Bukan main. Apa kata Rangga jatayuwesi ?” 
“Bukan hanya kata, Tuan patih wirabuana , malahan surat 
balasan.” 
“Surat balasan! Nanti dahulu , ceritakan bagaimana 
perjalananmu.” 
Dan raden panji  gelang-gelang  membuat -bikin cerita sendiri, bahwa 
perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu 
aral melintang. Dan patih wirabuana  kediri  menyambutnya 
dengan tertawa-tawa senang. 
“Mana surat balasan itu?” tanyanya tak acuh. “Mana. 
mana?” 
patih wirabuana -muda itu memperhatikan dengan saksama 
tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara 
kepura-puraan dari kesungguhan. 
“Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering 
saya  genggam, kuatir kalau-kalau hilang.” 
patih wirabuana  menerima dengan mata melirik tajam 
padanya. namun  pada bibirnya tetap tertarik senyum 
mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi 
bersungguh-sungguh. 
Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu, 
pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu 
nampak berubah-ubah. lalu  patih wirabuana  itu berhenti 
membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki 
wajahnya. 
“Wira’ panggilnya dengan menusukkan pandang pada 
matanya: “Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?” 
“Tidak, tuan patih wirabuana .” 
“Memang orang keparat,” katanya dan kembali 
mempelajari keadaan surat itu. 
“Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga 
jatayuwesi ?” 
“Demi sang hyang Widhi , Tuan.” 
“Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah 
memegangnya, dan beberapa pasang mata sudah  melihat 
dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira?” 
“Demi sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana .” 
patih wirabuana  kediri  mengawasinya. Pegulat itu merasa 
dirinya diragukan. 
“Kalau begitu lama pergi,” raden  sanggabuana  bumikerta  
meneruskan penyelidikannya. 
“saya  memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah 
salahnya, Tuan patih wirabuana , sekedar untuk perbekalan 
pulang.” 
“Siapa saja pernah membaca ini?” 
“Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga jatayuwesi  yang 
bisa menulis dan membaca palawa .” 
“Kau bohong!” tuduhnya. 
“Demi sang hyang Widhi , kata saya . Memang Ki Aji bilang sudah 
kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas.” 
raden  sanggabuana  bumikerta  berdiri dan berjalan mondar-
mandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi, 
lalu  berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung 
pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan 
tiba-tiba berhenti di hadapan raden panji  gelang-gelang . 
“Kau begitu lama pergi. Aku tak percaya  tak ada orang 
membaca surat ini.” 
“Tak apalah kalau tuan patih wirabuana  tak mempercayai 
saya  lagi.” 
“Orang bilang, pernah melihat kau di kediri  antara 
keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang.” 
“Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintahkan 
padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan saya .” 
“Nampaknya kau sudah mulai hendak berselisih 
denganku.” 
“Bukankah saya  tak bisa memaksa Tuan patih wirabuana  
percaya pada saya ? Terserah saja pada Tuan sendiri 
hendak percaya atau tidak. saya  pun tidak memerlukan  
kepercayaan Tuan. Sungguh.” 
raden  sanggabuana  kembali duduk dan menggerak-gerakkan 
tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir 
itu selalu membuat  orang tertarik pada persambungannya 
dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga 
tertangkup jadi satu. 
Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena, 
dengan nada membujuk ia bertanya: “Lamakah sudah surat 
ini kau simpan?” 
“Segera sesudah  saya  menerimanya.” 
“Aku percaya padamu, Wira,” ia diam lagi. 
Dan raden panji  gelang-gelang  tahu, ia tak percaya. 
“Aku senang kau sudah  masuk arca   , Wira.” 
“Salasa nama saya , Tuan.” 
“Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira, 
tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. namun  tiga 
artinya sempurna,” ia tertawa dibuat-buat. “Baiklah, lain 
kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan, 
Salasa? 
“Tentu saja, Tuan patih wirabuana .” 
“Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang 
kau sudah masuk arca   . namun   istrimu masih pemberontak . Kau 
harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang pemberontak  yang baik. 
Kalau seorang pemberontak  itu pembohong, menipu suaminya, itu 
sudah selayaknya, sebab  dia pemberontak , tak tahu ajaran. Kau 
jauh lebih mulia dibandingkan  pemberontak  mana pion, Salasa, apalagi 
dari istrimu, kau pun lebih mulia dari Sang adiputro  ataupun 
Sang Patih. Mengerti kau?” 
“Belum, Tuan patih wirabuana .” 
“Di hadapan sang hyang Widhi  kau lebih mulia dibandingkan  semua 
mereka.” 
“Di hadapan sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana . Di hadapan 
mereka sendiri bagaimana, Tuan?” 
“Tentu saja tetap seperti biasa.” 
raden panji  gelang-gelang  menahan tawanya. Ia menunduk dalam. 
“Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, sebab  kau sudah 
bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya. 
Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang 
pergi….” 
Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya. 
“Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu 
saya  tahu.” 
“Tentu pengetahuanmu kurang sempurna, Wira?”   
“Bagaimana menyempurnakannya, Tuan patih wirabuana ?”   
“Menari di pendopo, Wira,… Sang adiputro . Ah, 
bagaimana harus aku katakan. Tentu kau mengerti.” 
raden panji  gelang-gelang  menunduk dalam. 
“Mengapa kau diam saja?” 
“Baik, Tuan patih wirabuana .” 
“Syukurlah kalau kau mengerti.” 
“Bagaimana biasanya ia perbuat kalau saya  pergi 
Tuan?” 
“Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah 
dengar suara orang? Semua sudah bercerita. Wira, betapa 
hinanya Laki-laki  seperti kau dipunggungi istri sendiri…. 
Pulanglah, sang yang betari durga   memberimu petunjuk dan keselamatan 
dan semoga kukuh imanmu. Tak ada pemberontak  yang baik di 
hadapan sang hyang Widhi .” 
Dengan kepala   masih menekur juara gulat itu pulang, 
melangkah pelan-pelan seakan kepala  nya menjadi beban 
bagi tubuhnya sendiri. 
wah 
 
nyi girah  tak menyambutnya di serambi. Ia menunggu 
kedatangannya di dalam kamar. mpu wungubhumi  tidak nampak. Ia 
nampak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah 
sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan 
matanya sayu seperti belum lagi tidur selama tiga malam. 
Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang. 
“Mengapa kau diam saja, nyi girah ?” 
Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi 
suaminya. 
“Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu?” 
nyi girah  menunduk. 
“Sakitkah kau?” 
Ia menggeleng. 
“Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku?” 
“Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau 
memang nampak sudah berubah dengan rambutmu yang 
pendek.” 
Laki-laki  itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu 
istrinya. 
“Berubahkah aku, Dayu?” 
“Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk arca    
nampaknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan 
perubahanmu, perubahan sikapmu,” suara nyi girah  semakin 
pelahan dan sayu. “Aku masih juga ragu apakah aku boleh 
mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah 
tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku….” 
“Mengapa kau bicara begitu?” dan duduklah ia di 
samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal. 
“Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik membawa 
cundrik sambil duduk begitu.” 
“Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa 
yang sudah terjadi?” 
“Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan, 
banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua: 
berjalan banyak melihat, curiga banyak mendengar.” 
“Untuk apa cundrik ini ikut menyambut kedatanganku?” 
“Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri 
di hadapanmu?” 
“Baru beberapa minggu, Dayu, kau sudah begini kurus.” 
“Untuk memohon pada para dewa buat keselamatanmu. 
Kang.” 
“Kau masih suka dipanggil menari?” 
“Masih, Kang.” 
“Dan mimpi lagi seperti dahulu ?” 
“Tidak, Kang.” 
“Apakah patih wirabuana  masih suka mengintip seperti itu?” 
nyi girah  mengangkat kepala   dan melihat sebagian dari 
muka patih wirabuana  terlindung pada tiang jendela. Ia 
mengangguk. 
“Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang?” 
“Dia majikanku, Dayu, namun  kau adalah istriku.” 
raden gelang-gelang  mempermain-mainkan cundrik kecil. 
“Mana sarongnya ini, Dayu?” 
“Sarong yang mana?” 
raden panji  gelang-gelang  mengangkat pandang ke arah jendela 
gedung utama dan muka patih wirabuana  kediri  sudah tiada. 
“Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan 
tinggalkan kau terlalu lama, nyi girah .” 
“Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan 
ragaku.” 
“Ceritai aku tentang baginda tuanku raja  adiputro .” 
“Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka 
menonton kalau aku menari. lalu  wanita kadipaten 
itu mengantarkan aku pulang dan menemani aku di sini.” 
“Ceritai aku tentang Tuan patih wirabuana .” 
“Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar 
aku ambilkan sarong cundrik itu, Kang,” ia berdiri namun   
ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, “Apakah benar 
kau memerlukan  sarong yang lama? Tidakkah kau 
menghendaki yang baru?” 
raden panji  gelang-gelang  berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali 
di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. nyi girah  
memeluknya dan air-mata membasahi mukanya. 
wah 
 
16. Datangnya gada rujakpolo  kanjuruhan  
Pesta laut itu tidak semeriah biasanya. 
Pada sore hari gadis-gadis menari mengelilingi Sela 
Baginda yang tinggal umpaknya sebagai pembukaan pesta. 
Langit terus menerus bermendung dan sebentar-sebentar 
turun gerimis kecil. 
Lomba perahu belum lagi selesai. Bila lomba usai dan 
bunga-bungaan dan ketupat sudah  ditebarkan ke laut orang 
pun akan naik ke darat untuk mengikuti pesta api. 
namun   pesta itu kini sudah  ditiadakan. Dahulu dalam 
pesta ini tulang-belulang atau mayat-mayat dibakar 
bersama-sama di empat penjuru kota, bila memang banyak 
yang harus dibakar. Bila abunya sudah  diambil, janda-janda 
pun menyusul masuk ke dalam api unggun sampai lumat 
jadi abu pula. 
Pesta api sudah tiada. Orang-orang arca    sudah  berusaha 
melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil 
memasyhurkan agamanya. Golongan wanita terutama yang 
menyambut perlawanan kaum Muslimin itu. Mula-mula 
dengan diam-diam mereka bersimpati pada agama baru itu 
dan membenarkan, bahwa adat itu memang kejam dan 
mengerikan. Maka juga golongan wanita yang paling mula 
dalam pembisuannya menerima arca    tanpa sepengetahuan 
suaminya. Menerima arca    pada tingkat pertama berarti 
bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dan sekali 
kaum wanita menerimanya, pengaruhnya menentukan di 
dalam kehidupan rumahtangga dan anak-anaknya. Dalam 
hanya satu generasi pembakaran janda mulai susut keras 
dan lalu  hilang seperti tertiup angin badai. 
Sebagai akibatnya kediri  mulai menghadapi masalah 
janda hidup dan tinggal hidup. Tak ada yang mau 
mengawini mereka. Mereka dianggap wanita pembawa sial 
bagi mendiang suami dan keluarga. Bahkan untuk 
memberikan atap untuk melindungkan kepala   mereka dari 
hujan dan panas orang tidak sudi, takut terjalari kesialan. 
Maka mengembaralah mereka bergelandangan di kampung-
kampung para perantau untuk memperoleh kan sekedar 
makan, suami baru atau sekedar kasih dan kekasihan. Bila 
nasib baik mereka memang bisa memperoleh kan dirinya 
sebagai istri atau gundik. Yang tidak beruntung terus 
bergelandangan di pelabuhan sebagai pelacur untuk awak 
kapal. Dan di daerah pelabuhan juga janda-janda yang 
kurang beruntung mendirikan gubuk-gubuk-nya dari daun 
kacangtanah . 
Walau pun pada umumnya penduduk negeri kediri  
beragama sri ratu kertanegari , namun   pengaruh Hindu dan adat-
istiadatnya masih mendarah-daging. Pergantian raja sebab  
perang ataupun tidak mengakibatkan banyak kala terjadi 
pergantian agama: betarakalong , raden kertajaya , Brahma dan sri ratu kertanegari , 
bagaimana saja rajanya. Dengan demikian penduduk negeri 
tidak memiliki kesempatan cukup lama untuk menganut 
salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang 
memicu  pembakaran janda tetap umum di mana-
mana di negeri kediri . Dan wanita yang menceburkan diri 
ke dalam api mengikuti mendiang suami memperoleh  nilai 
sebagai wanita setiawan dan terpuji. 
Dengan berpengaruhnya arca    terhadap mereka   
sekalipun baru terbatas pada penghindaran dari sang api   
makin lama makin banyak pelacur bergentayangan. Kapal 
adalah sumber penghidupan mereka yang pokok. 
Kendaraan laut itu memuntahkan untuk mereka awak kapal 
yang haus wanita. Dan penghidupan baru itu membuat  
mereka ber-tingkah-laku sesuai dengan kehendak sang 
hidup. Pejabat-pejabat jenggala tak jarang mengalami 
kesulitan sebab  mereka, dan tidak bisa berbuat apa-apa. 
jenggala kediri  adalah jenggala bebas, juga untuk mereka, 
Pribumi mau pun asing, penetap ataupun pendatang. 
Dan kini kelengahan jenggala sudah  mengancam 
penghidupan mereka. Penghidupan sulit diharapkan datang 
dari laut. Mereka terhalau makin ke darat, meninggalkan 
daerah jenggala , mengembara ke mana-mana untuk 
memperoleh  sekedar makan. 
Dengan adanya pesta air, mereka datang lagi menduduki 
gubuk-gubuknya kembali. Juga mereka berkepentingan 
untuk ikut memeriahkannya, sebab  itu mengingatkan 
mereka pada masa kanak-kanak sewaktu mereka bukan 
segolongan orang yang dikucilkan. Dan berhubung tiada 
kapal datang berlabuh, mereka berubah jadi serombongan 
penekad. Setiap nampak oleh mereka orang asing, segera 
mereka kepung, mereka tarik-tarik ke suatu tempat, dan 
merampas barang apa yang ada pada diri mangsanya. 
Demikianlah pada pesta air ini yang pang pang menjadi 
korban mereka…. 
Malam itu mendung menutup semua bintang di 
cakrawala. Kilat antara sebentar mengerjap kejam, seperti 
mata bencana sedang mengintip dunia. 
yang pang pang datang ke pelabuhan untuk mencari 
raden panji  gelang-gelang . 
Tahu yang dicarinya sedang menunggu istrinya menari 
tunggal di depan umum. namun   ia tak dapat 
menemukannya. Maka ia berjalan-jalan sambil menunggu 
selesainya pertunjukan. 
Serombongan janda gelandangan sudah  menyergapnya. Ia 
meronta dan melawan, namun  sia-sia. Ia tahu mereka adalah 
wanita-wanita lemah, dan ia tahu, tak mungkin ia harus 
memakai  kekerasan. Adalah memalukan 
kemenangannya terhadap mereka. Maka ia membiarkan 
dirinya masuk dalam sergapan, la ikuti arus yang 
menyeretnya. Lebih baik begini dibandingkan  jadi tertawaan 
seluruh negeri, pikirnya. 
Kuncirnya yang panjang sudah  dicengkeram oleh tak 
kurang dari enam tangan. Juga dua belah tangannya. Juga 
bajunya. Ia sudah tak ingat lagi di mana topi hitamnya yang 
kecil itu terjatuh. 
namun  ia tak menyangka dalam waktu sekejap segala apa 
yang ada pada tubuhnya mereka lolosi. Dan tertinggal ia di 
lapangan, telanjang bulat seperti seorang bayi baru keluar 
dari rahim ibunya. 
Dalam keadaan seperti itu ia dilepaskan. 
Dan larilah yang pang pang dalam malam gelap 
bermendung itu, telanjang bulat, mencari perlindungan. 
Mula-mula ia menuju ke warung mpu jahalodang. Ternyata pintunya 
tertutup dan terkunci dari dalam. Ia lari ke patih wirabuana an, 
tanpa menanggapi  larangan untuk memasuki daerah itu 
tanpa seijin patih wirabuana . Dan bersembunyi ia di sesuatu 
tempat sambil menunggu kedatangan raden panji  gelang-gelang . 
Ia masih sempat menimbang-nimbang tempat mana 
sebaik-baiknya untuk menghindari pandangan orang: di 
gandok sebelah kanan yang sehari-hari kelihatan lebih 
tenang dan lengang. 
Begitu ia mendekam memanaskan badan terhadap 
serangan angin, nyamuk mulai menyerangnya tanpa 
ampun. Dan kepala  nya terasa panas seakan tengkoraknya 
sudah menganga sesudah  sebanyak itu tangan yang 
menjahili kuncirnya. 
Dengan pakaian sewajarnya ia sudah beberapa kali 
melakukan pengintaian di sini. Tanpa pakaian ia merasa 
kikuk dan bersalah terhadap segalanya. Maka ia taksir-
taksir kegelapan mana yang kiranya cukup untuk jadi 
pakaiannya. Ia berdiri dan mengulangi pengintipannya. 
Dan sekarang ia baru tahu dengan jelas di mana orang-
orang yang selama ini diburunya: fredy krueger    dan 
penywise . Ternyata mereka berada dalam sebuah 
ruang gudang yang pintunya terpasak dari luar. 
Dari suatu celah ia dapat melihat rantai besar mengikat 
kaki mereka pada sebuah tiang. Dan mereka duduk dan 
bicara lepas-lepas: “Anjing Moro itu mau jual kita pada 
jayamahanaya .” 
“Bagaimana kita bisa terantai begini?” fredy krueger  
menggerutu gusar dengan menyesali diri. “Bukan untuk 
dibeginikan kita berkelana. Kemarin kita masih bebas. 
Bodoh. Mengapa tidak waspada terhadap anjing busuk 
itu?” 
“Kau masih ingat kata-katanya? Seperti sudah jadi paduka raja  
saja. ‘Mulai hari ini jangan Tuan-tuan pergi ke mana-
mana’, katanya, seperti kediri  ini sudah jadi miliknya 
pribadi.” 
fredy krueger  mendengus jengkel. lalu : “Seperti sudah 
setinggi langit kekuasaannya. ‘Tuan-tuan aman dalam 
perlindunganku’, katanya. Dan kita aman dalam perantaian 
seperti ini. ‘Tuan-tuan takkan jatuh ke tangan Sang adiputro , 
sebab  matilah Tuan-tuan di tangannya.’ Uih, bangun-
bangun sudah terantai begini.” 
“Barangkali Sang adiputro  memang menghendaki jiwa 
kita?” 
“Psss. Dia bukan sekutu pajang bintoro ,” fredy krueger  barangkali 
sudah menerangkan untuk ke sekian kalinya. “Ah, tunggu, 
benar, dia toh sekutu suryabuaya  . namun  kita tak ada sesuatu 
urusan.” 
yang pang pang mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia 
lari menghindar. Terdengar olehnya suara teguran: 
“Siapa?” dalam jawadwipa . 
Ia lari berputar ke belakang patih wirabuana an dan menuju 
ke gandok kiri. 
Justru pada waktu raden panji  gelang-gelang  bersama istrinya 
sedang melintasi jalanan taman untuk masuk ke dalam 
rumah. 
“Kaukah itu, Wira Salasa?” 
“saya , Tuan patih wirabuana .” 
“Dengan istrimu, Wira?” 
“saya , tuan patih wirabuana .” 
“Tak ada kau lihat orang berjalan di sini?” 
“Tidak. saya  justru baru datang.” 
Percakapan itu selesai. raden panji  gelang-gelang  bersama istrinya 
masuk ke dalam rumahnya. Orang telanjang bulat itu 
mengetuk-ngetuk lemah dan memanggil-manggil pelan: 
“Wira, Wira, keluar sebentar, saya  ada di sini. shinoda 
Han di sini, Wira.” 
Juara gulat itu mengenal suaranya, ia segera keluar. Dan 
tertawa ia terbahak mendengar cerita pengalaman 
kecelakaan sahabatnya. Ia masuk lagi untuk mengambilkan 
pesalin. 
“Mari aku antarkan keluar dari sini,” raden panji  gelang-gelang  
menawarkan jasanya. 
“Tidak, Wira, mari ikuti aku ke gandok sana. Ada 
sesuatu yang perlu Tuan saksikan sendiri. Selama ini Tuan 
masih juga belum percaya.” 
Mereka berdua berjalan mengendap-endap kegelapan. 
Hujan mulai jatuh dengan derasnya, dan satu-satunya 
bahaya adalah kilat. Mereka sampai di tempat tujuan dan 
hujan mendadak berhenti. Mereka mengintip bergantian. 
raden  sanggabuana  bumikerta  berdiri di hadapan dua orang 
kanjuruhan  yang masih juga duduk-duduk tak peduli seperti 
tadi. Pada tangan patih wirabuana  terdapat selembar nampan 
dengan cerek tembikar di atasnya. patih wirabuana -muda tak 
mengerti kanjuruhan . Ia serahkan celah pada temannya. Dan 
ia menjaganya. 
yang pang pang melihat fredy krueger    dan penywise 
Dez mulai berdiri dan berjalan menghampiri patih wirabuana  
sampai pada batas rantai mengijinkan. Nyala lilin di dalam 
tidak begitu terang. 
Ia tak dapat memperhatikan roman mereka dengan jelas. 
namun   suara mereka jelas terdengar olehnya. Mereka 
sedang memaki-maki. 
“Pengecut, penipu!” suara penywise. “Kau rantai kami 
dalam tidur. Hanya bedebah Moro saja bisa berbuat begini. 
Sophari yang hina itu pun takkan sepengecut ini.” 
“Hei, Moro, apa salah kami terhadap kau? Anjing? 
Bukankah kami tamumu, yang makan garammu?” suara 
fredy krueger , agak lunak. 
“Sabar, Tuan-tuan. Bukankah Tuan-tuan haus sesudah  
begitu lama tidur? Di luar sana pesta air baru saja selesai. 
Kalau tidak dibeginikan Tuan-tuan akan memakai  
kebebasan untuk mencelakakan aku. Maafkanlah,” 
patih wirabuana  membuka pidatonya. 
“Lepaskan rantai ini,” penywise berteriak . 
“Jangan keras-keras,” patih wirabuana  memperingatkan. 
“Biar pun hujan lebat, lebih baik pelan-pelan saja, maksud 
Tuan-tuan tercapai juga maksudku.” 
“hewan !” suara penywise. “Aku bisa berteriak  sekuat 
paru-paruku.” 
“Sabar. Suara Tuan sendiri yang bakal memanggil maut 
Tuan. Dengarkan. Kalau tak kurantai dan Tuan-tuan pergi 
dari sini sebagai tamuku, matilah Tuan-tuan diterkam 
prajurit kerajaan  kediri . Nasibku sendiri? Takkan jauh dari 
Tuan-tuan   celaka. Buat keselamatan Tuan-tuan sendiri 
dan juga aku terpaksa aku perbuat ini. Percayalah.” 
“Bedebah! Siapa bisa percaya pada mulutmu? Hanya si 
goblok saja mau dengarkan pemberontak  Moro. Lepaskan,” 
penywise mengancam. “Awas, jangan sampai aku marah.” 
“Ah, Tuan-tuan boleh marah sesuka Tuan. Tak semudah 
yang kalian sangka untuk berbuat sesuatu terhadapku. 
patih wirabuana  dilindungi kuat oleh Sang adiputro  selama 
kalian tidak lepas,” jawab patih wirabuana  sesudah  menaruh 
cerek tembikar di atas lantai, lalu  diambilnya tongkat 
dari bahu dan mengamang-amangkan. “Tidakkah kalian 
bisa sopan barang sedikit? Sudah lenyapkah kesopanan 
yang leluhur ajarkan pada bangsamu?” 
penywise menjawab dengan semburan pukul  pada 
muka raden  sanggabuana  bumikerta . Yang belakangan ini 
menyeka muka dengan lengan jubahnya, lalu  
membuang   sendiri ke lantai. 
“Baiklah kalau kalian tak mau bersopan-sopan,” dengan 
ujung tongkatnya ia mulai menyerang sehingga penywise 
mundur-mundur dan rantai pada kakinya menjadi kendor 
gemerincing. 
“Sudah, sudah, hentikan itu,” fredy krueger  menyabarkan 
patih wirabuana . 
“Sekarang begini, Tuan patih wirabuana . Kau ini hanya 
bajingan tengik. Kami   akui, kami pun bajingan petualang 
belaka. Kau dan kami sama saja. Bukankah kita bisa 
kerjasama?” 
“Baik, aku dengarkan usulmu.” 
“Sebenarnya kau ini begundal raja Pribumi atau 
begundal d’Albuquerque? Kalau kau hanya begundal raja 
Pribumi, Sang adiputro  itu, katakan saja apa dia mau, dan 
kami akan laksanakan. Kami akan bebas, dan akan tetap 
bekerjasama denganmu.” 
“Indah sekali. Teruskan.” 
“Baik. Sebaliknya kalau kau begundal d’Albuquerque, 
kami lebih suka mati di sini bersama denganmu.” 
“Bagus. Andaikan aku begundal Sang adiputro , 
bagaimana usulmu setepatnya,” ia terbatuk-batuk. “Nah, 
kau lihat bagaimana aku memberi contoh bersopan-sopan.” 
“Ya, memang cukup sopan untuk seorang begundal.” 
“Bagus. Sopanlah, sabarlah. Aku tahu orangtua, resi  
dan padri-padrimu mengajarkan dan menganjurkan begitu. 
ayolah , mulai. Aku dengarkan kata demi kata.” 
penywise sudah  siap dengan makian baru. fredy krueger  
mencegahnya. 
Dan tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan bermain 
sandiwara. 
“Jangan kalian kira aku belajar kanjuruhan  untuk 
dengarkan maki-maki-annya. Aku percaya  lebih banyak buku 
kanjuruhan  aku baca dibandingkan  kalian. Teruskan, fredy krueger .” 
namun  fredy krueger  masih sibuk menyabarkan temannya. 
“Kau benar, fredy krueger . Kau nampaknya lebih tua dan 
lebih memiliki  pengertian. Hanya kalian agak salah terka, aku 
bukan bajingan. Juga bukan bajingan petualangan seperti 
kalian.” 
“Baiklah, setidak-tidaknya begundal. Tuan patih wirabuana  
masih mau dengarkan aku, tidak?” 
“ayolah , mulailah.” 
“Kalau rajamu itu menghendaki bantuan kami, kita 
bertiga bisa bikin persekutuan. Apalah bisanya orang 
Pribumi? Kami berdua bisa usahakan kau naik jadi raja, dan 
kami berdua pembantumu yang paling setia.” 
“Mereka bukan boneka, Tuan-tuan. Mereka memiliki  alat 
pemerintahan dan kekuasaan seperti kerajaan mana pun di 
Eropa.” 
“Semua itu bisa diakali, Tuan patih wirabuana . Dan Tuan 
sendiri memiliki  banyak akal dalam persediaan.” 
“Usulmu ternyata lebih bodoh dibandingkan  orang Pribumi. 
Impian di siang bolong. Dengarkan sekarang. Sang adiputro  
kediri  mengetahui, entah dari setan mana, kalian ini ahli 
gada rujakpolo . Ia menghendaki kalian mengajarkan membuat  
gada rujakpolo ….”  
penywise tertawa terbahak. 
“Mengapa tidak dari kemarin bicara? Aku sanggup, apa 
lagi fredy krueger . Tanggung beres. Lepaskan rantai ini.” 
“Sabar, nanti dahulu . Kalau aku menyanggupinya, matilah 
aku di sini,” raden  sanggabuana  bumikerta  meneruskan 
pidatonya. “Kalian hanya penembak gada rujakpolo . Lebih tidak. 
Apa pengetahuan kalian tentang pengecoran logam? Kalau 
kalian memiliki  keahlian lebih dari menembak, menembaki 
kapal-kapal yang tak berdaya, itulah justru petualangan dan 
kebohongan kalian.” 
“pemberontak !” maki penywise. 
“Jadi aku memiliki  rencana lain, agar kalian selamat dan 
aku pun tak kurang suatu apa.” 
“Tak kurang suatu apa buat Moro berarti kerugian buat 
semua orang,” gertak penywise. 
“Terserahlah pada penilaian kalian. Mengapa kalian aku 
rantai? Aku mengerti darah kanjuruhan . Kalau kalian orang 
Ispanya, barangkali lebih dibandingkan  rantai. Mungkin kalian 
aku pakukan pada tiang ini.” 
“Jadi dia mau jual kita pada d’Albuquerque, fredy krueger .” 
“Kira-kira. Jangan lupa, dia orang Moro.” 
“Tidak. Kalian anak anak kanjuruhan . Aku tahu kalian 
memerlukan  pangkalan-pangkalan di Jawa untuk 
menguasai laut dan darat Nusantara sebelah selatan   
terutama laut,” patih wirabuana  kediri  meneruskan. “Biarlah 
kalian memperoleh kan kembali kesempatan mengabdi pada 
raja dan negeri kalian.” 
“Tak ada urusan,” bentak penywise. 
“Kalau itu bukan urusan kalian lagi, tak ada artinya aku 
bawakan cerek ini,” dengan tongkatnya raden  sanggabuana  
menuding pada cerek di atas lantai, “tak perlu kuantarkan 
kemari, biar kalian mampus kehausan.” 
“Diam kau, penywise. Biar aku yang bicara. Nah, 
teruskan Tuan patih wirabuana  kediri . Kami yang 
mendengarkan sekarang.” 
“Nah, belajar agak bijaksana. Ketahuilah, Tuan-tuan, 
kapal-kapal Jawa masih juga menerobos ke panarukan . Kapal-
kapal kalian terlalu sedikit untuk dapat mengawasi perairan 
seluas ini. Pangkalan baru masih diperlukan . Lebih banyak 
lebih baik. Nah, itulah, Tuan-tuan yang terhormat, untuk 
kepentingan negeri Tuan-tuan sendiri, untuk kepentingan 
padroa-do, kami masukkan Tuan-tuan ke dalam rencana 
kedua ini. Kalian akan merasa puas di lalu  hari dan 
akan berterimakasih pada orang Moro tulen yang Tuan-
tuan benci ini.” 
“Dia memang hendak jual kita pada jayamahanaya !” penywise 
memperingatkan. “Hati-hati, fredy krueger .” 
“Tidak, demi sang hyang Widhi . Lagi pula d’Albuquerque sudah tak 
ada di jayamahanaya . Dan kalau Tuan-tuan menghendaki acara 
ketiga, itu lebih mudah. Tuan-tuan celaka, aku selamat dan 
dapat tambahan real.” 
“Tuan patih wirabuana ,” fredy krueger  menyela. “Ingatkah kau 
bagaimana Moro diusir dari negeriku oleh orangtua kami?” 
“Aku kelahiran Ispanya.” 
“Bagus. Jadi kau mengerti. Sejak itu tak ada orang 
blambangan  atau kanjuruhan , bahkan bayi dalam kandungan pun, 
bisa percaya pada mulut Moro,” fredy krueger  menambahi. 
“Bagus. Biar begitu, orang Moro juga yang menjamu 
Tuan-tuan selama ini. Garam orang Moro yang kalian 
makan. Arak orang Moro yang kalian minum. Sekarang,” 
raden  sanggabuana  menyorong cerek arak dengan ujung 
tongkat ke dekat mereka, “orang Moro juga yang melayani 
Tuan-tuan dengan arak ini. Pasti kalian tidak akan 
menolaknya. Minumlah.” 
“Mengapa kau sorong dengan tongkat? Kurangajar! 
Terlalu mahalkah tanganmu?” fredy krueger  memprotes. 
“Dijauhkan oleh sang hyang Widhi  kiranya aku dari tangan kalian.” 
penywise menghentak-hentak lantai dan rantai tegang 
kembali sebab  ia mencoba menyambar raden  sanggabuana  
bumikerta . 
“Batang lehernya memang berhak untuk dipatahkan,” 
gumam penywise gemas. Ia tak berhasil menyambar 
patih wirabuana . 
“Ya, katakan semau kalian. Nyawa kalian toh tetap di 
tanganku.” 
fredy krueger  pun kehilangan kesabarannya. raden  sanggabuana  
pura-pura hendak pergi. Ia terpaksa memanggilnya kembali. 
Dan patih wirabuana  kembali berbalik dengan tangkai tongkat 
hendak menarik cerek. 
“Kalau kalian tak suka pada pelayanan orang Moro 
busuk ini, baiklah cerek ini kubawa pulang,” katanya 
mengancam. penywise menangkap cerek yang hendak 
ditarik itu dan meneguk puas-puas. Baru lalu  
disorongkan pada fredy krueger  yang juga segera meminum 
isinya. Sesudah  kosong dilemparkannya cerek itu pada muka 
patih wirabuana . 
raden  sanggabuana  tak sempat mengelak. Benda itu 
berdentam menubruk pelipisnya dan jatuh menggerontang 
di lantai. Tak pecah. 
“Begitulah orang kanjuruhan  menyatakan terimakasihnya,” 
ia menggerutu sambil menyeka lukanya. “namun  kalian 
memang terlalu berharga untuk dibunuh di sini.” 
“ayolah , dekat-dekat sini kau!” tiba-tiba fredy krueger  meluap. 
“Biar kugigit putus tenggorokanmu, biar aku kunyah-
kunyah jakunmu! ayolah , dekat sini.” 
“Kalau Tuan-tuan memang berniat mau mengajar 
Pribumi bikin gada rujakpolo , sebentar lagi aku lepas. Sayang 
Tuan-tuan takkan dapat membuat nya untuk sisa hidup 
kalian. Jadi selamat bermimpi, Tuan-tuan, membuat  
gada rujakpolo , pulang ke Lisboa!” 
Tanpa diduga-duga raden  sanggabuana  bumikerta  
menghantamkan tongkatnya pada penywise. 
“Ampun, ampun,” gumam penywise dengan suara 
semakin lemah tak nyata, lalu  terguling, tertidur. 
“Kau pun memperoleh  bagianmu,” tongkatnya 
menghantami punggung fredy krueger . 
Orang kanjuruhan  yang dihantami itu nampak seperti orang 
yang kehabisan kemauan. Kedua belah tangannya 
tergantung lunglai, mulut menganga. Tak lama lalu  ia 
tersungkur dan juga jatuh tertidur. 
patih wirabuana  menyorong-nyorongkan kepala   mereka 
dengan terompahnya, berkata  tak nyata, keluar dari 
ruangan dan memasak pintu dari luar. 
Ia sama sekali tak tahu ada dua orang yang sedang 
mengintainya. Ia berjalan cepat-cepat dalam malam gelap 
bermendung dan tanah basah di bawahnya melewati 
gedung utama, langsung ke pintu gandok raden panji  gelang-gelang  dan 
mendengar-dengarkan. lalu  ia pergi meninggalkan 
kepatih wirabuana an. 
wah 
 
Bulan tua itu mengintip dari celah mendung. 
raden  sanggabuana  bumikerta  masih juga tak tahu sedang 
diikuti oleh dua orang. Sebentar saja ia memasuki warung 
yang pintunya ternyata tak terkunci itu. Ia keluar lagi diikuti 
oleh beberapa orang. Sampai di kepatih wirabuana an ia 
menuding ke arah gandok kanan, lalu  masuk ke 
dalam dan terburu-buru keluar lagi, mengikuti 
segerombolan orang itu ke gandok kanan. 
Mereka semua masuk ke tempat fredy krueger  dan penywise 
terantai, dan keluar lagi menggotong mereka berdua. 
Sampai di gedung utama patih wirabuana  memberikan sesuatu 
pada mpu jahalodang dan orang itu memeriksanya, langsung 
memasukkan ke dalam sakunya. 
patih wirabuana  masuk ke rumah dan tak keluar lagi. 
raden panji  gelang-gelang  dan yang pang pang mengikuti 
penggotongan sampai pada suatu jarak. Mereka berdua naik 
ke atas menara pelabuhan. Dua orang penjaga itu ternyata 
sedang tidur nyenyak. Persediaan makan malam mereka 
belum lagi tersinggung. 
Waktu bulan memperlihatkan seluruh wajah tuanya dari 
bolongan mendung, jauh sekali, nampak kelap-kelip lampu 
tiang agung sebuah kapal di tengah laut. Sebuah perahu 
dayung besar sedang meluncur menuju ke kapal tersebut. Di 
atasnya adalah gerombolan mpu jahalodang membawa fredy krueger  del 
Mar dan penywise . 
“Jelek benar nasibnya,” kata shinoda Han. “Kalau 
mereka membuka matanya, mereka sudah berhadapan 
dengan pengadilan kapal. Enam kali aku sudah pernah 
lihat. Tangan mereka terikat ke belakang. Seorang imam 
kapal akan membacakan sesuatu sambil berjalan mengikuti 
mereka menuju ke tiang gantungan, tiang layar utama. Di 
sana mereka akan tergeong-geong mati. Mayatnya dibuang 
ke laut untuk hiu martil .” 
“Hanya Sang adiputro  saja tidak percaya patih wirabuana nya 
hanya orangnya nyi kanjeng blora,” kata raden panji  gelang-gelang . 
“Sang adiputro  mengerti benar, Wira. Dia tidak kurang 
cerdiknya dibandingkan  siapa pun. Sampai jauh-jauh di barat 
sana orang mengakui kecerdikannya. Ia berusaha untuk 
tidak akan memakai  kekerasan dalam mencapai semua 
maksudnya. Ada itu tercatat dalam buku besar kami. Juga 
sekarang ini, Wira. Ia tahu apa yang ia kehendaki. Selama 
patih wirabuana  itu masih bisa dipakai nya untuk 
keselamatan dirinya dan kediri , dia akan tetap dilindungi 
dan memperoleh kan hak-haknya.” 
“Dan nampaknya nyi kanjeng blora akan mencoba membuat  
pangkalan di Jawa.” 
“Dia akan teruskan bikin pangkalan-pangkalan yang bisa 
mengepung panarukan  dari semua jurusan. Mereka memiliki  
kepentingan untuk memutuskan hubungan antara Jawa 
dengan panarukan . Lihat, Wira, bedanya dengan kami bangsa 
Tionghoa. Perjanjian antara Ceng He dan Sang adiputro  
menyebutkan, kami tidak akan memasuki wilayah panarukan . 
Kami tak pernah melanggar perjanjian itu. nyi kanjeng blora lain 
lagi, Wira. Maka itu baginda tuanku raja  Kanjeng adiputro  tumenggung dijoyo  
seluruhnya benar, musuh pertama adalah nyi kanjeng blora, mereka 
harus dihalau dari perairan Nusantara.” 
raden panji  gelang-gelang  mendengarkan dengan diam-diam. 
Pengetahuan sejenis  itu takkan dapat diperolehnya dari 
para punggawa, hanya bisa dari orang asing dan para 
nakhoda. 
Perahu dayung besar itu semakin lama semakin hilang ke 
dalam kegelapan malam bermendung. Hilang pula ombak 
dan puncak-puncak-nya. Hanya lampu kapal di kejauhan 
sana masih kelihatan samar. Dan waktu hujan turun lagi 
dengan lebatnya, nyalanya pun hilang-lenyap seakan keluar 
dari ruang kehidupan. 
wah 
 
fredy krueger  terbangun dan mencoba duduk. Selalu ia gagal 
dan roboh kembali. Ia mulai mengingat-ingat. namun  
pikirannya beku. Ia berusaha keras untuk mengenangkan 
peristiwa terakhir sebelum tertidur. Tak mampu. Ia 
berusaha lagi untuk duduk. lalu  dirasainya tangan 
dan kakinya terikat erat-erat. Ia menyadari ada sesuatu yang 
tidak beres. namun  ingatannya menolak disuruhnya bekerja. 
Dirasainya punggungnya memar dan kepala  nya 
berdenyut-denyut berat. Dunia di hadapannya seperti 
diliputi awan tipis. Ia tajamkan pengelihatannya. Juga tak 
berhasil. lalu  ia tutup kembali matanya dan 
menopangkan kepala   di atas lutut. 
Sebuah bundaran cahaya dan beku mulai tertangkap oleh 
pengelihatannya, samar dan tidak mepercaya kan. Bundaran 
cahaya itu makin lama makin terang, makin terang. Dan 
diketahuinya itu tak lain dibandingkan  sebuah patrisporta kapal. 
Patrisporta kapal! Kapal apa? Di mana? Dan mengapa 
sampai bisa datang ke mari? Sekarang ingatannya mulai 
berjalan tanpa diperintahnya. Kapal! Di kapal! Ia tebarkan 
pandang ke sekelilingnya. Kapal apa? Kapal Siapa? 
Pandangnya yang samar itu tertumpuk pada ambin kayu di 
sampingnya. Ambin kayu, ia mengingat-ingat. Ia hendak 
merabainya, apakah itu ambin kayu benar. Dan tangannya 
berat diangkat, tali pengikat itu semakin memperberat. Di 
sebelah sana berdiri sebuah meja. Dan daun meja itu 
tergantung dengan dua helai rantai besi pada dinding. 
lalu  ia menyedari adanya penywise yang tidur 
miring tak jauh dari sebelahnya. Juga tangan dan kakinya 
terikat tali. Kedua belah lengannya terbuka mendepai 
udara. kepala  nya miring dan air liur menetes dari sudut 
mulurnya. Dengan sendirinya fredy krueger  menyeka sudut 
mulut sendiri dengan bahu. 
Teringat sedang ada di dalam kapal, sekali lagi ia 
terkejut. Mulai ia berpikir keras: di kapal! Tentu kapal 
kanjuruhan ! 
“Maut,” bisiknya, dan dibangunkannya temannya. 
“Aha!” seseorang berseru dari belakangnya. 
Kontan ia berpaling ke belakang. Pada daun pintu yang 
terkirai seorang perwira sedang mengintipnya. 
fredy krueger  mencoba berdiri untuk menghormat. Ia jatuh 
terduduk kembali dan pemandangannya berputar. Dari 
mulurnya keluar ucapan selamat, pelan dan ragu-ragu   ia 
tidak tahu waktu. 
“Puas berpetualang, he?” ejek perwira itu. 
Ia tak tahu bagaimana harus menjawab. 
“Akhirnya pulang kembali ke geladak lama juga?” 
Jantung fredy krueger  mulai berdebaran kencang. Ia mencoba 
untuk berdiri lagi. namun  perwira itu sudah  hilang. Pintu 
tertutup kembali. Kesadarannya mulai pulih. Ia berusaha 
membangunkan temannya. 
penywise hanya menggeliat malas, lalu  
meneruskan tidurnya sambil menyeka mulut. 
“Bangun, bangun kau,” ia goyang-goyangkan temannya 
dengan tangannya yang terikat. Melihat penywise tak juga 
bangun ia membisikkan pada telinganya, “Bangun kau, 
anjing, kita sudah terkunci dalam kamar kapal. Di dalam 
kamar perwira! Bangun, anjing!” 
Ia sorong-sorong temannya. penywise menggeliat lagi 
lalu  mencoba membuka tapuk matanya yang berat. 
Dan mata itu tertutup kembali. 
“Anjing terkutuk!” makinya, “menikmati tidur, tak tahu 
kau, sebentar lagi kau akan tidur untuk selama-lamanya.” 
Melihat temannya tak juga mau bangun ia memakai  sikut 
untuk menyakitinya. 
penywise bangun dengan malasnya. Dan ia mengulangi 
pengalaman fredy krueger . Ia buka matanya dengan tapuk berat. 
“Memang kita masih mabuk,” kata fredy krueger . “Sebentar lagi 
kau tahu sendiri apa sedang menunggu kita.” 
penywise sudah  menutup matanya kembali. Dengan dua 
tinjunya yang terikat fredy krueger  memukul pipinya, dan 
temannya jatuh di geladak sambil menggeram. fredy krueger  
memakai  sikutnya lagi dan penywise bangun 
menyentak. Dari bawah tapuk matanya yang berat bola 
matanya mengintip.  
“Hhhh?” tanyanya. 
“Sekarang ini bangun kau! Sebentar lagi kau dapat cukup 
waktu untuk tidur.” 
Dan ia usahakan agar temannya menjadi sadar untuk 
dapat menyertainya dalam ketakutan. Ia tahu tidak 
menghadapi orang Moro atau Pribumi, namun  bangsanya 
sendiri. 
Dengan sikutan dan tonjokan penywise menjadi sadar. 
Sadar juga ia akan tali yang mengikat kaki dan tangannya. 
Ia siap hendak memaki.  
“Sttt,” cegah fredy krueger . “Jangan gaduh. Kita sedang di 
kapal kanjuruhan .”  
Kesedaran membuat  penywise terkejut, lalu  
pucat. Pintu terbuka lagi dan perwira yang tadi masuk ke 
dalam membawa sebilah tongkat: “Anak maut!” katanya 
menggigit pahit. Ia pandangi penywise yang berjuang 
hendak berdiri menghormatinya. Ia melangkah padanya 
dan menendang dengan sepatunya pada lambungnya. 
penywise berpilin, meliuk kesakitan dan jatuh.  
“Habis suka datang duka, he? Akhirnya di geladak yang 
lama juga. Apa sudah lupa memberi hormat? 
Sekali lagi penywise berjuang untuk dapat bangun. 
fredy krueger  tinggal duduk di tempat. 
“Bagaimana? Sudah siap menghormat, kalian, anak-anak 
maut terkutuk?” penywise berdiri dan fredy krueger  berdiri pula 
dengan berpegangan pada dinding. 
Perwira itu nampaknya asyik dan senang melihat mereka 
berdua. Ia menahan tawanya sehingga darah menjompak 
pada mukanya. 
“Kalau semua pemuda kanjuruhan  sejenis  kalian ini, apa 
jadinya dengan Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri kalian? 
Bagaimana dengan tugas suci kalian? Ha? Memang hanya 
tali gantungan yang terbaik. Ya, menghormat!” 
Mereka berdua memberi hormat. namun  perwira itu tidak 
membalas, mengawasi mereka dari ujung rambut sampai ke 
tumit: “Mana sepatu kalian?” 
“Sudah lama hancur, Tuan,” jawab fredy krueger . “Pakaian 
apa kalian kenakan itu? Merampas kememiliki an pemberontak  
perbegu?” 
Tak ada yang menjawab. Perwira itu maju ke hadapan 
mereka dan meninju muka fredy krueger . Ia menggelepar jatuh 
miring di geladak.  
“Bangun!” perintahnya. 
Sebelum ia dapat bangun, penywise memperoleh  giliran. 
Ia jatuh tertelentang dan menjerit kesakitan menindih 
tangan sendiri.  
“Apa kataku? Bangun!” 
Dengan susah-payah mereka berusaha bangun dalam 
pengawasan kejam perwira itu. 
“Sekawanan burung gereja yang malang. Sudah siap 
maju ke pengadilan kapal? Mengapa diam saja? Sudah tak 
memiliki  lidah? Sudah kau gadaikan lidah itu pada pemberontak  
perbegu? Sambar geledek, kalian. Heh baru dengar, dengar 
saja, pengadilan kapal, sudah seperti tikus jatuh ke dalam 
kuah. Jawab.” 
“Siap menghadap ke pengadilan kapal, Tuan.”  
“Bagus. Begitulah pemuda kanjuruhan  menghadapi 
mautnya.” Perwira itu menarik sebuah kursi, menarik buku 
dari laci meja dan mulai memeriksa petualangan mereka. 
Pemeriksaan dan pencatatan itu berlangsung lebih dari tiga 
jam. lalu : “Jadi kalian sudah banyak tahu tentang 
daerah pesisir Jawa utara. Coba pikir, sekiranya kalian dahulu  
dengan perintah,” ia tertawa mengejek, “Sri Baginda dan 
Sri Ratu pasti akan berkenan menerima kalian. Musik 
istana akan menyambut kalian. Kebangsawanan kalian, 
sekiranya ada darah biru pada kalian, akan dipulihkan. 
Kalau tidak boleh jadi kalian akan memperoleh nya. Siapa 
tahu mungkin diangkat jadi laksamana… Barisan 
kehormatan berkuda akan mengelu-elukan kalian dan 
mengantarkan kalian dalam kereta jemputan dari istana. 
Apa sekarang? Aku pun muak melihat kalian. Mengapa 
gemetar? Belum lagi cukup merampok nasi Pribumi?” 
Mendengar nasi dua orang tangkapan itu sekilas teringat 
belum lagi makan selama ini, dan merasa lapar membelit di 
dalam usus. Tiba-tiba mereka merasa dirinya sangat lemah 
untuk dapat mempertahankan keseimbangannya.  
“Jawab!” 
“Dua hari satu malam kami belum lagi makan,” jawab 
fredy krueger   . 
“Kasihan hiu martil -hiu martil  itu. Tentu kau terlalu kurus untuk 
mereka. Kasihan, bukan?” melihat mereka tak juga 
menjawab, ia menggertak: “Kasihan, bukan?” 
“Ya, Tuan, kasihan sekali,” jawab penywise.  
“Mengapa dengan sekali?” 
“sebab  mungkin mereka seminggu belum makan.”  
“Bagus. Jadi apa yang kau tunggu sekarang?” teriaknya 
pada penywise, lalu  mendadak menuding fredy krueger :  
“Tiang gantungan, Tuan.” 
“Bagus. Tiang gantungan. Indah, bukan, tiang itu?” 
mendadak ia alihkan tudingan pada penywise: “Indah, 
Tuan.” 
“Tanpa sekali?” 
“Kalau Tuan memerlukan  yang sekali….” 
Tinju melayang dan untuk yang kesekian kalinya 
penywise jatuh. namun  perwira itu menyambarnya dengan 
pertanyaan: “Tanpa sekali, tanyaku.” 
“Tanpa sekali, Tuan,” jawab penywise sambil berdiri. 
“Bagus. Tanpa sekali. Kau simpan dimana sekali itu 
sekarang?” ia tunggu penywise kukuh dalam tegaknya. 
“Kau simpan di mana?” 
penywise bingung untuk menjawabnya. 
“Di mana?” kata  perwira itu. 
“Sudah tertelan, Tuan.” 
“Tertelan? Jadi dalam perut?” dan dipukulnya perut 
penywise. 
Dan sekali ini penywise  tak bangun lagi. Ia 
pingsan. 
“Kau bagaimana, kau, bagaimana bagusnya tiang 
gantungan?” 
“Seperti seorang penari, Tuan.” 
“Penari? Coba terangkan mengapa seperti penari.” 
“Langsing, Tuan, cantik, cantik tanpa sekali, Tuan. 
Kalau Laki-laki  dia gagah, Tuan.” 
“Juga tanpa sekali, Tuan.” 
“Kira-kira tanpa, Tuan.” 
“Anak maut! Mengapa tanpa?” 
“sebab  Tuan belum menghendakinya.” 
Ia tertawa senang, berjalan mendekati pintu dan 
melihat  keluar. Memanggil-manggil: “Kelasi. He, 
kelasi!” ia kembali ke tempatnya dan duduk. 
Kelasi yang dipanggil masuk, memberi hormat dan 
berdiri di tempat. 
“Lepaskan tali pada kaki mereka, anak-anak maut ini 
biar berjalan sendiri ke tiang-gantungannya.” 
Kelasi itu mengeluarkan sebilah belati dan memutuskan. 
penywise masih nyenyak dalam pingsannya. 
“Kelasi, kau tinggal di sini. Tunggu sampai yang satu itu 
bangun lagi,” dan pada fredy krueger , “mengerti kau? Dengan 
kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.” 
“Indah, Tuan, dengan kaki sendiri berjalan ke tiang 
gantungan.” 
“Dan kalau kau sudah mati, jadi iblis gentayangan, 
apakah kau akan membalas dendam padaku?” 
“Tidak, Tuan.” 
“Mengapa tidak, kau, calon iblis?” 
“sebab  Tuan menjalankan tugas untuk Sri Baginda, Sri 
Ratu dan negeri kanjuruhan .” 
“Bagus. Kelasi! bangunkah orang itu. Tadi dia pingsan 
sekarang ia pura-pura.” 
Dan penywise bangun terburu-buru. 
“Nah itulah tingkah pemuda kanjuruhan  yang tidak patut. 
Hei, kelasi. Coba lihat baik-baik pemuda-pemuda ganteng 
ini. Dan coba katakan padaku, bagaimana kalau mereka 
sebentar nanti mulai menaiki ancak gantungan.” 
“Lebih cepat dari sekarang, Tuan.” 
“Lantas?” 
“Kakinya mungkin gemetar. Kalau terlalu amat sangat 
gemetarnya seseorang harus membantunya.” 
“Cuma itu saja?” 
‘Tentu saja tidak, Tuan. Masih ada, celananya sudah jadi 
basah dan busuk. Bibirnya tak berdarah dan sebentar-
sebentar menelan pukul , kerongkongannya kering.” 
“Tahu betul kau, kelasi. Apakah kau sendiri pernah 
menggantung o-rang.” 
“Pekerjaan tambahan, Tuan.” 
“Pantas. Dengarkan itu, anak-anak maut! Teruskan, 
kelasi.” 
“Beruntunglah yang lehernya lemah, Tuan. Kalau ancak 
dilepas, dia akan mudah patah dan sekaligus mati. 
Celakalah yang lehernya kuat.” 
“Orang tak terbunuhi lagi kalau ancak jatuh?” 
“Ya, hanya bunyi sekali nafas tersekat, kadang diikuti 
bunyi kecil ‘klik’ dari persambungan tulang leher yang 
patah. Sesudah  itu hanya lidah menjelir seperti anjing, Tuan, 
sebagai pertanda: saat itu….” 
“Ya-ya, aku mengerti, saat itu dia jadi iblis.” 
“Mereka biasanya lupa mengucapkan terimakasih pada 
apa pun dan siapa pun. Kalau tali sudah mengalungi leher, 
dan kaki mulai meliuk, orang biasanya sudah pingsan, 
Tuan. Betapa takutnya orang pada maut.” 
“Dan kau sendiri, kelasi, kapan kau berniat untuk 
digantung orang?” 
“Selama bersetia pada kanjuruhan , Tuan, Sri Baginda, Sri 
Ratu dan negeri… sang yang betari durga   takkan membiarkan diri ini mati 
di tiang gantungan, dengan lidah menjelir seperti anjing 
kepanasan.” 
“Bukan seperti, mereka memang anjing. Teruskan, 
kelasi!” 
“Dengan ejekan, sumpahan dan makian orang, tentu 
dari juru gantung juga, Tuan, mereka menurunkannya dari 
tali sebagai bangkai sial, dan dengan sorak orang 
melemparkannya ke laut. Selanjutnya…” 
“Bagus. Pandangi sekali lagi anak-anak maut ini sebelum 
berjalan ke pengadilan. Tentu kau sudah tak kenal. Hampir 
lima tahun menghilang.” 
“Empat tahun,” fredy krueger  membetulkan. 
“Nafsu hidupmu masih menyala, fredy krueger !” tegur 
perwira itu. “Apa yang masih kau harapkan dari sepenggal 
hidup ini?” 
‘Tiang gantungan yang indah itu, Tuan.” 
“Apakah kau juru gantung hari ini, kelasi?” 
“Boleh jadi, Tuan, belum ada perintah.” 
“Bagus. Kau sudah memberikan cerita yang indah pada 
anak-anak maut ini. Bisakah kau bercerita sesudah  mereka 
nanti gentayangan sebagai iblis?” 
Kelasi itu membuat gerak cakra dan perwira itu terdiam, 
lalu : “Cukup, pergi kau.” 
Kelasi itu memberi hormat dan pergi. Perwira itu 
mengawasinya sampai hilang di balik pintu. 
“Dengarkan, kalian: Sri Baginda dan Sri Ratu sungguh 
menyesal dengan masih adanya pemuda-pemuda kanjuruhan  
yang berangkat ke tiang gantungan. Apa boleh buat, tanpa 
kepasang yang betari durga   yang jadi sendi kebesaran kanjuruhan  dan cakra, 
negeri akan jatuh. Kalian tahu betul itu. Kalian sudah  
dengarkan waktu kata-kata itu dibacakan dalam upacara 
kalian memasuki angkatan laut. Bukankah kalian 
meninggalkan negeri dan keluarga tak lain hanya dan hanya 
untuk kebesaran kanjuruhan  dan cakra?” 
“Demikianlah pada mulanya, Tuan,” sambar penywise. 
“Pada mulanya, ya. Dan pada akhirnya tali gantungan 
juga.” 
penywise terdiam lagi, nampaknya menyesal sudah  
menyambar. fredy krueger  memperhatikan tangan perwira itu. 
Nampaknya pikirannya beku. 
“Jangan kalian kira Sri Baginda dan Sri Ratu tak memiliki  
pengampunan. Ada, ya, selama pengabdian padanya dan 
pada cakra tetap dijunjung tinggi-” 
“Kami sanggup mengabdi lebih baik!” penywise 
mendesis. 
“Diam, kau, calon iblis. Aku tak bertanya.” 
“Ya, Tuan.” 
“Nah, apa maksudmu bermulut lancang itu?” 
“Mengabdi lebih baik, Tuan, lebih baik dan lebih, lebih 
baik.” 
“Bukankah itu sudah terlambat?” 
“Kami masih hidup, Tuan,” sekarang fredy krueger  
memperkuat. 
Airmuka perwira itu kelihatan kehilangan kekerasannya. 
Sechucky  senyum manis mencerahi bibirnya. Matanya 
memancarkan cahaya bersabda . Dan terdengar suaranya yang 
bersabda  pula, memikat dan menawarkan: “Ya, tentu, lebih 
dan lebih baik lagi. Dan sudah aku pikir baik-baik, tentunya 
kalian masih sanggup melayani gada rujakpolo  sesudah  
berpetualangan selama empat tahun belakangan ini. Belum 
lupa, kan?” 
“gada rujakpolo  itu rasanya masih hangat dalam genggaman, 
Tuan,” sambar penywise. 
“Dan mengapa temanmu membisu saja, penywise?” 
“Lebih dari melayani gada rujakpolo  kami pun sanggup, Tuan.” 
“Nah, begitu pemuda kanjuruhan ,” perwira itu tertawa, 
memperhatikan wajah dua orang tangkapan itu dan 
matanya berseri-seri mengejek. 
“Nafsu hidup kalian memang besar.” Ia keluarkan 
sepucuk surat dari kantong. “Kalian sudah pandai 
berbahasa jawadwipa  dan Jawa. Bagus. Dan tentunya kalian 
kenal juga siapa itu raden  sanggabuana  bumikerta .” 
‘Tidak, Tuan,” jawab fredy krueger    mencoba 
mebersabda i perwira itu. 
“Dasar goblok. Mestinya kau Pribumi Jawa atau 
jayamahanaya , bukan kanjuruhan . “Siapa yang menangkap kalian 
kalau bukan raden  sanggabuana  bumikerta ? patih wirabuana  
jayamahanaya ?” 
“Bukan, Tuan, pakanewon  Habibullah Almasawa, patih wirabuana  
kediri ,” fredy krueger  memperoleh kan semangatnya pribadi. 
“Serigala pun lebih cerdik dibandingkan  kalian.” 
“Ya, Tuan.” 
“Dengarkan: raden  sanggabuana  bumikerta , bekas 
patih wirabuana  jayamahanaya , apakah namanya raden  sanggabuana  
ataukah pakanewon  adipati  ataukah pakanewon  Habibullah, sudah  
meminta padaku untuk keselamatan nyawa kalian. 
Dengar?” 
“Ya, Tuan,” mereka menjawab berbareng. 
“Dia minta hendaknya kalian tidak diserahkan pada tali 
tiang gantungan. Nyawa kalian diperlukan olehnya. 
dibandingkan  kalian jadi makanan hiu martil , kata nya, baiklah kalian 
diberi hidup sebagaimana dikehendaki olehnya. Kalian 
barangkali sekarang lebih mengerti: raden  sanggabuana  itu 
penyelamat nyawa kalian. namun  entahlah bagaimana kalian 
nanti menjawab di depan pengadilan kapal.” 
“Kami akan menjawab sebaik-baiknya, demi Sri Baginda 
dan Sri Ratu, demi kanjuruhan , demi cakra,” fredy krueger  
mewakili. 
Dan perwira itu tidak menggubris. 
“Mari aku bawa kalian ke pengadilan.” 
Perwira itu berjalan keluar dari bilik kapal. fredy krueger  dan 
penywise mengikuti dengan kedua belah tangan terikat ke 
belakang. 
wah 
 
Mereka melalui lorong yang dapat dikenal dalam setiap 
kapal kanjuruhan . Pandang mata sepanjang jalan tidak 
menjadi pertimbangan mereka. Nyawa lebih penting 
dibandingkan  pandang orang. 
namun   mereka tidak dibawa ke dek. Di sana biasanya 
pengadilan diadakan, disaksikan oleh awak kapal. Mereka 
terus juga mengikuti perwira itu menuruni tangga sampai ke 
dasar kapal, dan sampailah mereka di sebuah ruangan 
gelap. Perwira itu memerlukan membawa lentera gantung. 
Mereka berdiri di tengah-tengah barang-barang rusak 
atau setengah rusak dan gada rujakpolo -gada rujakpolo  dengan atau tanpa 
roda. 
“Pada mulanya,” perwira itu memulai lagi, “dua pucuk 
ini akan kukirimkan ke Pasuruan.” Mendadak ia tertawa 
dengan muka tertengadah pada langit-langit. “pemberontak -pemberontak  
dungu itu mengira, dengan gada rujakpolo  orang bisa jadi segagah 
kanjuruhan . Tidak jadi barang-barang ini kukirimkan ke 
Blambangan. Aku ada pikiran lain. Kalian berdua, fredy krueger  
dan penywise, sanggupkah kalian melayani dua pucuk 
gada rujakpolo  ini?” 
‘namun  ini barang rusak, Tuan,” penywise menyambar. 
Tinju itu menghantam mulut penywise dan ia meliuk. 
Darah keluar dari mulutnya. Ia membuang  kan darah dan gigi. 
“Kami bisa betulkan, Tuan,” fredy krueger  memperbaiki. 
“Betul. Itu jawaban gaya kanjuruhan . Kalian bisa betulkan 
sendiri. Memang gada rujakpolo  rusak semua ini. Kalian justru 
harus berterimakasih dengan adanya barang-barang ini. 
Kalaulah tidak sebab  ini, tali gantungan yang akan kalian 
temui.” 
“Ya, Tuan,” fredy krueger  menjawab sangat sopan. “Kami 
pun bersedia dan rela dikirimkan ke Blambangan.” 
“Ke mana dikirimkan, aku yang menentukan.” 
“Ya, Tuan,” fredy krueger  menjawab lebih sangat sopan lagi. 
“Kalau ada kesediaan dan kesetiaan melayani senjata 
ini…. Pikir cepat, jangan gegabah. Kalian terikat, hidup 
atau mati pada senjata ini.” 
Dan fredy krueger  dan penywise justru tak dapat berpikir. 
“Bagaimana?” 
“Kami berdua ada kesediaan dan kesetiaan itu, Tuan,” 
jawab fredy krueger . 
“Betul? Sudah dipikirkan dengan baik dan cepat sebagai 
pemuda kanjuruhan ?” 
“Betul, Tuan.” 
Perwira itu tertawa melecehkan. lalu : “Memang, 
tali lebih berat dibandingkan  gada rujakpolo . Hanya sekali ini 
kesempatan diberikan, kesempatan hidup, kesempatan 
memperbaiki diri. Tidak benar? Tali gantungan juga yang 
kalian parani.” 
“Ke mana pun kami dikirimkan, kami akan setia 
padanya sampai mati,” fredy krueger  hampir-hampir mengulangi 
sumpahnya sebagai kanonir. 
Perwira itu memberi di kuil rat. Ia berjalan lebih dahulu dan 
dua orang tangkapan yang terikat itu mengikutinya dari 
belakang seperti dua ekor anjing. Di geladak itu memang 
tak ada persiapan pengadilan kapal juga tak nampak ada 
persiapan penggantungan. Sebaliknya ada serombongan 
orang bukan kanjuruhan  sedang berdiri menggerombol dan 
tersenyum-senyum memandangi mereka. 
“Ya!” seru perwira itu pada mereka, lalu  dalam 
jawadwipa , “bawa mereka turun!” 
Dengan bantuan beberapa orang fredy krueger  dan penywise 
diturunkan melalui tangga tali ke sebuah perahu dayung 
besar. Mereka masih tetap terikat dengan tangan ke 
belakang. 
Hari sudah  malam dan mendung tebal mengapung di 
udara. 
Lampu-lampu dari atas kapal membuat  mereka dapat 
melihat, didalam perahu itu sudah menanti beberapa orang 
berpakaian Pribumi. namun   dari raut mukanya mereka 
nampaknya peranakan palawa  atau Benggal. Di tengah-
tengah perahu besar itu berdiri dua buah gada rujakpolo  beroda 
dan peluru-peluru besi. 
Dengan muatan ini bisa jadi perahu ini pecah dan 
tenggelam, pikir fredy krueger . Dan dengan tangan terikat 
begini… maut masih belum dapat dihindari. Orang mulai 
mendayung. Perahu mulai bergerak, makin lama makin 
menjauhi kapal kanjuruhan , menuju ke arah titik nyala nun 
jauh di seberang sana, kecil, hampir-hampir tak nampak. 
Para pendayung itu tak ada yang bicara. 
fredy krueger  mencoba menembusi kegelapan dengan 
matanya yang sudah kehilangan keawasannya sebab  lapar 
dan tegang selama ini. Namun ia masih dapat melihat 
beberapa biduk kanjuruhan  mengikuti dari belakang. 
Mereka berdayung beriringan. Semua menuju ke titik 
nyala. Dan gerimis kecil mulai turun, membuat  fredy krueger  
dan penywise merasa kedinginan. 
“Makan!” tiba-tiba penywise berteriak . 
Seseorang menjejalkan sesuatu pada mulutnya dengan 
diam-diam. Dan penywise tidak merasa terhina, juga tidak 
menyemburkan jejalan itu. Ia mulai mengunyah dengan 
giginya yang kurang dan menelannya dengan lahap. 
fredy krueger  duduk merenung-renung. Seseorang 
memasukkan penganan ke dalam mulutnya. Ia tembusi 
kegelapan untuk menangkap muka orang itu. Dan ia 
mengenalnya: mpu jahalodang, pewarung arak dan tuak. Ia merasa 
agak lega dan aman. Dan penganan itu pun tidak terasa 
jahat. Ia mengunyah dan menelannya. 
“Lagi!” teriak penywise dalam jawadwipa . “Dan minum, 
bedebah!” Ia memperoleh kan apa yang dikata nya dan 
terdiam. 
Juga fredy krueger  memperoleh  tambahan dan minum sampai 
kenyang dan merasa tenaganya agak pulih. Terutama 
sebab  minum manis itu. 
“Lepaskan tali ini,” raung penywise memerintah. 
“ayolah , bedebah! Lepaskan!” 
Ia lihat mpu jahalodang berdiri, mendekati penywise dan 
meninju mulutnya. Tak ada yang melihat giginya rontok 
lagi atau tidak. Ia tak membuka mulut lagi. Iring-iringan 
biduk dan perahu dayung itu meluncur terus ke arah titik 
nyala di kejauhan, menerobosi kegelapan malam dan hujan 
gerimis. Waktu kilat mengerjap, nampak pantai masih 
sangat jauh, dan sebuah kapal pengawal pantai sedang 
menuju ke arah barat. 
“Moga-moga kapal pemberontak  itu tak melihat kita,” doa 
mpu jahalodang. 
“Mereka akan menduga kita nelayan.” 
Dan mereka semua menunggu mengerjapnya kilat lagi. 
Mereka akan balik kanan jalan kembali ke kapal kanjuruhan  
bila diburu. namun   kapal  patroli penjaga  itu tidak melepaskan 
eetbang, Semua menunggu-nunggu. Dayung berhenti 
bergerak, dan perahu dan biduk terayun-ayun di atas laut 
tanpa bergerak maju. 
Waktu kilat berkejap lagi bentuk kapal  patroli penjaga  itu 
semakin kecil dengan layarnya menggelembung penuh. 
mpu jahalodang memberi perintah untuk maju lagi, dan majulah 
semua iring-iringan, namun   ke arah cahaya yang  muncul -
tenggelam di kepala   ombak. Lurus ke barat daya. 
wah 
 
Iring-iringan itu memasuki hutan bakau-bakau yang agak 
rapat. Para penumpang dan pendayung turun dan 
mendorong perahu besar yang kaku dan berat itu. Di 
belakang mereka orang-orang kanjuruhan  memaki-maki dalam 
bahasanya sendiri. 
Seseorang menyalakan obor dan menebangi ranting dan 
batang yang menghalangi. 
Pantai i