Tampilkan postingan dengan label wawasan sosial 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wawasan sosial 2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Desember 2022

wawasan sosial 2

2. Prasasti Kebon Kopi, ditemukan di Cibungbulang, Bogor. Didapatkan pula cap berwujud  telapak kaki 
gajah sebagai symbol telapak gajah Airwata 
(kendaraan Dewa Wisnu.
3. Prasasti Jambu, ditemukan di Bukit Koleangkak 
yang berisi sanjungan kepada raja.
4. Prasasti Tugu, ditemukan di Desa Tugu, 
Cilincing, Jakarta Utara yang yaitu  prasasti 
terpanjang dan terpenting. Isinya menjelaskan 
tentang penggalian saluran Gomati sepanjang 
6112 tumbak atau ± 12 Km pada masa ke-22 
tahun pemerintahan Purnawarman dan dapat 
diselesaikan dalam waktu 21 hari. Untuk 
merayakannya, raja menghadiahkan 1000 ekor 
sapi kepada para Brahmana.
5. Prasasti Pasir Lebak, isinya pujian kepada raja,
6. Prasasti Pasir Awi, dan
7. Prasasti Muara Cianteun.
berdasar  sumber-sumber ini , baik prasasti 
yang ditemukan di Jawa Barat maupun berita-berita 
dari Cina, Istilah Sailendrawangsa ditemukan  pertama kali di dalam prasasti 
Kalasan tahun 700 Saka(778M). 1 lalu  istilah itu muncul pula di 
 dalam prasasti dari desa Kelurak tahun 704 Saka (782 M). 2 di dalam 
prasasti Abhayagiriwihara dari bukit Ratu Baka tahun 714 Saka (792 M),
 dan di dalam prasasti Kayumwungan tahun 746 Saka (824 M),  Yang 
amat menarik perhatian ialah bahwa istilah Sailendrawangsa itu muncul 
pula di luar Jawa, yaitu di dalam prasasti Ligor B 5
, Nalanda, dan Leiden.
 prasasti  ini  semuanya memakai  bahasa 
Sanskerta, dan tiga diantaranya – kecuali prasasti Kayumwungan –
memakai  huruf siddham, bukan huruf Pallawa atau huruf Jawa Kuno 
seperti biasanya  prasasti  di Jawa. fakta  ini 
ditambah dengan fakta  bahwa ada beberapa nama wangsa di India 
dan daratan Asia Tenggara yang sama artinya dengan Sailendra, yaitu 
raja gunung, memicu  banyak  teori tentang asal usul wangsa 
Sailendra di Jawa itu. R.C. Majumdar beranggapan bahwa wangsa 
Sailendra di Indonesia, baik yang di Jawa maupun yang di Sriwijaya, 
berasal dari Kalingga di India Selatan. 6 G. Coedes lebih condong 
kepada anggapan bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari Fu-nan atau 
Kamboja. Menurut pendapatnya ejaan Fu-nan dalam berita Cina itu 
berasal dari kata Khmer kuno vnam atau bnam yang berarti gunung; dalam bahasa Khmer sekarang phnom. Raja – raja Fu-nan Dinamakan  
parwatabhupala, yang berarti raja gunung sama dengan kata Sailendra.
 sesudah  kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, ada anggota 
wangsa raja – raja Fu-nan itu yang menyingkir ke Jawa, dan muncul 
sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad VIII M, dengan 
memakai  nama wangsa Sailendra.  J. Przyluski menunjukkan bahwa argumentasi Coedes itu didasarkan 
atas tafsiran yang meragukan dari data bait di dalam prasasti Kuk Prah 
Kot, yang menurut Coedes merupakan petunjuk bahwa raja – raja 
Sailendra di Jawa menganggap dirinya keturunan wangsa Sailendra Fu￾nan. Menurut Przyluski istilah wangsa Sailendra itu menunjukkan bahwa 
raja – raja itu menganggap dirinya berasal dari Sailendra yang berarti raja 
gunung, dan merupakan sebutan bagi Siwa = Girisa. Dengan perkataan 
lain, raja – raja wangsa Sailendra di Jawa itu tentu menganggap 
leluhurnya ada di atas gunung. Hal ini merupakan petunjuk baginya 
bahwa istilah Sailendra itu asli Indonesia. 
 hipotesa  ini  di atas sudah  dibahas oleh Nilakanta 
Sastri, dan ia sendiri mengajukan pendapat bahwa wangsa Sailendra di 
Jawa itu berasal dari area  Pandya di India Selatan.  Akhirnya, J.L. 
Moens, dalam salah satu karangannya yang menarik perhatian, 
mengemukakan pendapat bahwa wangsa Sailendra itu dari India Selatan, 
yang semula berkuasa di sekitar Palembang, namun  pada tahun 683 M 
melarikan diri ke Jawa sebab  serangan dari Sriwijaya dari Semenanjung 
Tanah Melayu. Di antara hipotesa  diatas yang lalu  banyak dianut 
 ialah pendapat G. Coedes, lebih – lebih sesudah  J.G. de Carparis dapat 
menemukan istilah Waranaradhirajaraja di dalam prasasti candi Plaosan 
Lor, juga prasasti Kelurak, dan ia mengidentifikasikan Waranara itu 
dengan Narawaranagara atau Na-fu-na di dalam berita – berita Cina, yaitu 
pusat kerajaan Fu-nan sesudah  berpindah dari Wyadhapura atau T’e-mu 
sesudah  mendapat serangan dari Chen-la dibawah pimpinan 
Bhawawarman dan Citrasena pada pertengahan kedua abad VI M. 
Selanjutnya de Casparis mengatakan bahwa sesudah  pindah ke Na-fu-na 
yang biasa dilokasikan di dekat Angkor Borei ada di antara raja – raja itu 
 yang pergi ke Jawa dan keturunan – keturunannya.Jadi, menurut de 
Casparis, di Jawa mula – mula berkuasa wangsa raja – raja yang 
 beragama Siwa, namun  sesudah  kedatangan raja dari Na-fu-na itu yang 
berhasil menaklukannya, di Jawa Tengah terdapat dua wangsa raja –
raja, yaitu raja – raja dari wangsa yang beragama Siwa, dan para 
pendatang baru itu, yang lalu  menamakan dirinya wangsa 
Sailendra, yang beragama Buddha. Pendapat de Casparis ini diilhami 
oleh F.H. van Naerssen, yang melihat bahwa di dalam prasasti Kalasan 
tahun 778 M, yang berbahasa Sanskerta ada dua pihak, yaitu pihak raja 
wangsa Sailendra, yang hanya Dinamakan  sebagai Permata wangsa 
Sailendra tanpa nama, dan Rakai Panangkaran, raja bawahannya dari 
wangsa Sanjaya. 
 Selanjutnya de Casparis mencoba mengadakan rekonstruksi jalannya 
sejarah kerajaan Mataram sampai dengan pertengahan abad IX M 
dengan landasan anggapan bahwa sejak pertengahan abad VIII M ada 
dua wangsa raja – raja yang berkuasa, yaitu wangsa Sailendra yang 
berasal dari Fu-nan, dan penganut agama Buddha Mahayana, yang 
berhasil menaklukkan raja – raja dari wangsa Sanjaya yang beragama 
Siwa. Raja – raja wangsa Sanjaya itu, sejak Rakai Panangkaran hanya 
berkuasa sebagai raja bawahan, dan dalam beberapa kesempatan 
pembangunan candi – candi membantu raja wangsa Sailendra dengan
memberikan tanah – tanah sebagai sima bagi candi – candi itu. 
Pendapat de Casparis ini dikembangkan lagi oleh F.D.K. Bosch, dengan 
perubahan – perubahan di sana – sini. 
 Pendapat bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari luar Indonesia 
(India atau Kamboja) ditentang oleh R.Ng. Poerbatjaraka. Ia merasa amat 
 tersinggung membaca teori – teori ini , seolah – olah bangsa Indonesia ini sejak dahulu kala hanyalah mampu untuk diperintah oleh 
bangsa asing.
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan – keturunannya itu ialah 
raja – raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut 
agama Siwa, namun  sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi 
 penganut agama Buddha Mahayana. Sebagai salah satu alasan ia 
menunjuk kepada kitab Carita Parahyangan, yang antara lain memuat 
 keterangan bahwa Rahyang Sanjaya sudah  menganjurkan anaknya 
Rahyangta Panaraban, untuk meninggalkan agama yang dianutnya, 
sebab  ia ditakuti oleh semua orang. nama Rahyangta Panaraban 
diidentifikasikannya dengan Rakai Panangkaran. 
 Penemuan prasasti batu berbahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, 
Kabupaten Pekalongan, dan sebuah prasasti batu berbahasa Sanskerta 
yang tidak diketahui dengan jelas asalnya  dan kini tersimpan di 
Museum Adam Malik, mungkin sekali memperkuat anggapan 
Poerbatjaraka. Prasasti dari Sojomerto itu menyebutkan Dapunta 
Selendra, nama ayah dan ibunya, yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan 
 istrinya yang bernama Sampula. Masih ada tokoh lagi yang Dinamakan  di 
dalam prasasti yang sayang sekali namanya tidak terbaca seluruhnya. 
juga  istilah yang menunjukkan hubungan antara tokoh ini 
dengan Dapunta Selendra tidak terbaca seluruhnya. Tokoh ini diberi 
predikat Hyang, jadi mungkin sekali tokoh yang sudah  diperdewakan, dan 
dianggap sebagai leluhur Dapunta Selendra. 
 Sebagaimana Isanawangsa berpangkal kepada Pu Sindok yang 
bergelar Sri Isanawikramadharmmottunggadewa dan Rajasawangsa 
 berpangkal kepada Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa  tentunya Sailendra wangsa berpangkal kepada seorang leluhur yang gelarnya 
mengandung unsur Sailendra. Di dalam prasasti Sojomerto itu ditemukan  
nama Dapunta Selendra, yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata 
Sanskerta Sailendra. Sesuai dengan asal usul nama – nama wangsa 
yang lain itu dapatlah disini disimpulkan bahwa wangsa Sailendra itu 
berpangkal kepada Dapunta Selendra. fakta  bahwa ia 
memakai  bahasa Melayu Kuno di dalam prasastinya menunjukkan 
bahwa ia seorang Indonesia asli, mungkin sekali berasal dari Sumatra. 
sebab  di Sumatralah ditemukan  lebih banyak prasasti berbahasa Melayu 
kuno. 
 Dari prasasti Sojomerto itu jelas bahwa Dapunta Selendra ialah 
penganut agama Siwa. Kapan dan apa sebabnya raja – raja wangsa 
Sailendra itu mulai menganut agama Buddha mungkin dapat diketahui 
dari prasasti milik Bapak Adam Malik, yang untuk sementara Dinamakan  
dengan nama Sangkhara. Prasasti ini berbahasa Sanskerta, namun  
sayang yang diketemukan kembali hanya bagian akhirnya. Rupa –
rupanya prasasti ini dituliskan di atas dua batu, namun  batu yang pertama 
yang memuat permulaan prasasti tidak ada. Dengan demikian, tidak 
diketahui kapan prasasti ini dikeluarkan kalaupun ada angka tahunnya. 
Melihat bagian belakang prasasti yang tidak rata, dan ada bagian yang 
merupakan tonjolan, rupa – rupanya prasasti ini dahulu ditempatkan 
dalam suatu bangunan.
 Bagian yang tersisa berisi keterangan bahwa pada suatu saat  ayah 
raja Sangkhara jatuh sakit, dan selama delapan hari ia sangat menderita 
sebab  panas yang membakar. Akhirnya ia meninggal tanpa dapat 
disembuhkan oleh pendeta gurunya. Oleh sebab  itu, raja Sangkhara 
merasa takut kepada sang guru yang dianggapnya tidak benar, dan ia lalu 
meninggalkan kebaktian kepada Sangkhara (Dewa Siwa). Bagian 
penutup prasasti memang membayangkan bahwa raja Sangkhara itu lalu  menjadi penganut agama Buddha, sebab  antara lain dikatakan 
bahwa ia sudah  memberikam anugerah kepada bhiksusnggha. 
 Kalau tafsiran itu benar, di sini ditemukan  suatu sumber prasasti yang 
memberikan keterangan tentang perpindahan agama dari agama Siwa ke 
agama Buddha, dan raja yang berpindah agama itu ialah raja Sangkhara 
yang hingga kini belum pernah ditemui namanya di dalam sumber –
sumber yang sudah  dikenal sebelumnya.
 Prasasti ini tidak lengkap hingga tidak diketahui angka tahunnya. Akan 
namun , dari segi paleografi dapat diperkirakan bahwa prasasti ini berasal 
 dari pertengahan abad VIII M. Mungkin sekali ini merupakan bukti 
epigrafis dari teori Poerbatjaraka yang didasarkan atas keterangan di 
dalam kitab Carita Parahyangan. Dengan perkataan lain, mungkin sekali 
pendapat Poerbatjaraka mengenai asal usul wangsa Sailendra benar, 
yaitu bahwa mereka itu orang Indonesia asli, dan bahwa hanya ada satu 
wangsa, wangsa Sailendra, yang anggota – anggotanya semula 
menganut agama Siwa. namun  , sejak pemerintahan Rakai 
Panangkaran  menjadi penganut agama Buddha Mahayana, lalu   pindah lagi menjadi penganut agama Siwa sejak pemerintahan 
Rakai Pikatan.
. Ho-ling dan Kanjuruhan
 Munculnya wangsa Sailendra itu bersamaan dengan perubahan 
dalam penyebutan Jawa didalam berita – berita Cina. Kalau sebelumnya, 
yaitu dalam abad V M, berita – berita Cina dari zaman dinasti Sung Awal 
(420 – 470 M) menyebut Jawa dengan She-p’o, berita – berita Cina dari zaman dinasti Tang (618 – 906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho￾ling sampai tahun 818 M. untuk lalu  berubah lagi menjadi She-p’o 
mulai tahun 820 M sampai tahun 856 M. 22 Seperti sudah  dikatakan, 
prasasti Sojomerto itu mungkin sekali berasal dari pertengahan abad VII 
M, dan berita Cina yang pertama menyebut Ho-ling berasal dari tahun 640 
M. Berita – berita dari zaman dinasti Tang ada dua versi, yaitu Ch’iu-T’ang 
shu dan Hsin T’ang shu (618 – 906 M). Berita tentang Ho-ling antara lain 
sebagai berikut : Ho-ling yang juga Dinamakan  She-p’o. terletak di laut 
selatan. Di sebelah timurnya terletak P’o-li dan di sebelah baratnya 
terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya adalah lautan, sedang di 
sebelah utaranya terletak Chen-la, 23 Tembok kota dibuat dari tonggak –
tonggak kayu. Raja tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat, 
beratapkan daun palem (?), dan duduk di atas bangku yang terbuat dari 
gading. Dipergunakan pula tikar yang terbuat dari kulit bambu. Kalau 
makan, orang tidak memakai  sendok atau sumpit, namun  dengan 
tangan saja. Penduduknya mengenal tulisan dan sedikit tentang ilmu 
perbintangan.
 Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak, dan 
gading. Kerajaan ini amat makmur; ada sebuah gua (?) yang selalu 
mengeluarkan air garam (bledug, Jw.). Penduduk membuat minuman 
keras dari bunga kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya 
dapat mencapai tiga kaki, dan besarnya sama dengan tangan orang. 
Bunga ini dipotong, dan airnya ditampung dijadikan minuman keras; 
rasanya amat manis, namun  orang cepat sekali mabuk dibuatnya. Di Ho￾ling banyak wanita  yang berbisa; bila  orang mengadakan 
hubungan kelamin dengan wanita  – wanita  itu, ia akan luka –
luka bernanah dan akan mati, namun  mayatnya tidak membusuk.
 Di area  pegunungan ada sebuah area  yang bernama Lang-pi￾ya; raja sering pergi kesana untuk menikmati pemandangan ke laut. 
bila  pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon
setinggi 8 kaki, bayangannya akan jatuh ke sebelah selatannya, dan 
panjangnya dua kaki empat inci.
 Dalam masa Chen-kuan (627 – 649 M), raja Ho-ling, bersama dengan 
raja To-ho-lo dan To-p’o-teng, mengirimkan utusan ke Cina menyerahkan 
upeti. kaisar memberikan surat jawaban dengan dibubuhi cap kekaisaran, 
 dan saat  utusan dari To-ho-lo meminta kuda – kuda yang baik, 
permintaan itu dikabulkan oleh Kaisar. Utusan dari Ho-ling datang lagi 
pada tahun – tahun 666, 767, dan 768 M. Utusan yang datang pada tahun 
813 M (atau 815 M) mempersembahkan empat budak sheng-chih
(jenggi), burung kakatua yang bermacam – macam warnanya, burung 
p’in-chia (?), dan benda – benda yang lain. Kaisar amat berkenan hatinya, 
dan memberikan anugerah gelar kehoqrmatan kepada utusan itu. Utusan 
itu mohon agar gelar itu diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat 
terkesan akan sikap itu, dan memberi anugerah gelar kehormatan kepada 
keduanya.
 Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang 
wanita  sebagai ratu yaitu ratu Hsi-mo. Pemerintahannya meskipun 
sangat keras namun   adil. Barang – barang yang terjatuh di jalan tidak 
ada yang berani menyentuhnya. Pada waktu raja orang – orang Ta-shih 
 mendengar berita semacam itu, ia mengirim pundi – pundi berisi emas 
untuk diletakkan di jalan di negeri ratu Hsi-mo. Setiap orang yang 
melewatinya menyingkir, sampai tiga tahun pundi – pundi itu tak ada yang 
menyentuhnya. Pada suatu hari putra mahkota yang lewat disitu tanpa 
sengaja sudah  menginjaknya. Ratu sangat marah, dan akan 
memerintahkan hukuman mati terhadap putra mahkota. Para menteri 
mohon pengampunan baginya. namun  , ratu mengatakan bahwa 
sebab  yang bersalah adalah kakinya, kaki itu harus dipotong. Sekali lagi 
para menteri mohon pengampunan; akhirnya ratu memerintahkan agar 
jari – jari kaki putra mahkota itu yang dipotong, sebagai peringatan bagi 
penduduk seluruh kerajaan. Mendengar hal itu raja Ta-shih takut dan 
mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan ratu Hsi-mo.
 Raja tinggal di kota She-p’o (She-p’o-tch’eng), namun  leluhurnya yang 
bernama Ki-yen sudah  memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota 
P’olu-chia-ssu. Di sekeliling She-p’o ada 28 kerajaan kecil, dan tidak ada 
diantaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, dan yang terutama diantara mereka ialah ta-tso-kan-hsiung. 
 Menurut berita 
dalam Ying-huan-tschelio perpindahan itu terjadi dalam masa T’ien-pao 
(742 – 755 M). 
 Berdasarkan keterangan mengenai panjangnya bayangan gnomon
ditengah musim panas itu orang harus menetapkan letak Ho-ling ada 
pada 6o8’ LU, jadi tidak mungkin ada di Jawa. namun  , ada 
kemungkinan juga bahwa penulis Hsin-T’ang shu itu sudah  membuat dua 
kali kekeliruan, yaitu bahwa mestinya waktunya ditengah musim dingin, 
dan bahwa bayangan gnomon itu jatuh disebelah utaranya. Kalau 
pembetulan ini diterima, Ho-ling terletak pada 6o8’ LS,  jadi di pantai 
utara Jawa. Pemecahan semacam ini sesuai dengan lokalisasi Lang-pi￾ya di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem. 27} L-C Damais 
mengindentifikasikan Ho-ling dengan Walaing.  Identifikasi itu mungkin 
secara fonetis memang dapat dipertanggung jawabkan, namun  sepanjang 
yang dapat disimpulkan dari sumber epigrafi, Walaing yang memang 
sering Dinamakan  sebagai nama tempat didalam banyak  prasasti,  tidak 
merupakan pusat kerajaan. Dari prasasti –prasasti diketahui bahwa 
kerajaan wangsa Sailendra itu Dinamakan  Mataram, dan ibu kotanya Dinamakan  
Medang, sampai ke zaman pemerintahan Pu Sindok. Letak ibu kota 
Medang memang berpindah – pindah, namun  tidak pernah ada Medang i 
Walaing. Desa Medang memang ditemukan  mulai dari area  Bagelen di 
Jawa Tengah sampai didekat Madiun Jawa Timur, namun  yang terbanyak 
ialah antara Purwodadi – Grobogan dan Blora. Lokasi di area  ini sesuai 
pula dengan keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan 
air garam, dan memang di Desa Kuwu di area  Purwodadi – Grobogan 
itulah hingga kini masih ditemukan  apa yang dalam bahasa area  Dinamakan  
bledug, dan orang disitu membuat garam dari bledug itu.
Ratu Hsi-mo atau Sima dalam bahasa Indonesia, mungkin pengganti 
atau salah seorang pengganti Dapunta Selendra. Perlu  dicatat disini 
bahwa pada masa pemerintahan Sima itu Ho-ling sudah  ada seorang 
pendeta agama Buddha yang termasyur bernama Yoh-na-p’o-to-lo atau 
Jnabhadra.  ia sudah  membantu seorang pendeta Vina, Hwi-ning (664 
– 666 M), dalam menerjemahkan kitab suci agama Buddha dari bahasa 
Sanskerta ke dalam bahasa Cina. ini berarti bahwa setidak – tidaknya 
kedua pendeta itu dapat berdiskusi dalam satu bahasa yang mereka 
kuasai bersama, disamping bahasa Sanskerta, bahasa Cina atau bahasa 
area , yang didalam berita – berita Cina Dinamakan  bahasa K’un-lun.
 Yang mereka terjemahkan ialah Nie-p’an (Nirwana) dari Sang 
Buddha dan pembakaran jenazahnya. Menurut keterangan I-tsing 
ternyata naskah ini berbeda dengan naskah Nirwana dari aliran 
Hinayana. Ini juga ternyata dari keterangan I-tsing yang mengatakan 
bahwa naskah yang diterjemahkan itu termasuk dalam Ngo-ki-muo
(Agama),yang tergolong dalam kitab – kitab sutra yang pertama dari aliran 
Hinayana. Dari keterangan I-tsing diketahui pula bahwa di pulau – pulau 
di Laut Selatan, termasuk di Ho-ling, hampir semua penduduknya 
menganut agama Buddha Hinayana terutama dari Mulasarwastiwada.

 Keterangan I-tsing itu bertentangan dengan fakta  bahwa 
Dapunta Selendra adalah penganut agama Siwa; dan juga  
tentunya pengganti – penggantinya sampai dengan Rakai Mataram Sang 
Ratu Sanjaya.
namun  , mengingat bahwa di Jawa ini tidak selalu rakyat mengikuti 
agama yang dianut oleh rajanya, sebagaimana antara lain ternyata dari 
banyaknya peninggalan – peninggalan candi kecil yang berlandaskan 
agama Siwa disekitar candi Borobudur,  masalah agama itu tidak perlu merupakan keberatan terhadap anggapan bahwa sampai pemerintahan 
Sanjaya raja – raja wangsa Sailendra adalah penganut Siwa.
 Dalam masa pemerintahan ratu Sima itu ada ancaman dari raja T-shih, 
Istilah Ta-shih merupakan transkripsi dari tajika, yang biasa dipakai  
untuk menyebut orang – orang Arab di India, Timbul pertanyaan apakah 
yang dimaksudkan dengan raja Ta-shih yang hendak menyerang Ho-ling 
itu. Mungkinkah di kepulauan Indonesia pada abad VII M itu sudah ada 
orang – orang Arab (atau yang oleh orang Cina dianggap sebagai orang 
Arab) yang menetap dan merupakan suatu kelompok masyarakat 
tersendiri? 
 Prasasti Hampran dan prasasti Sangkhara itu berasal dari suatu masa 
yang bersamaan dengan terjadinya perpindahan ibu kota kerajaan Ho￾ling dari She-p;o-tch’eng ke P’o-lu-chia-sse, seperti yang tertera dari 
berita Cina dari zaman rajakula T’ang. Seperti sudah  Dinamakan kan, berita 
Cina itu mengatakan bahwa raja Ho-ling tinggal di kota She-p’o, namun  
nenek moyangnya yang bernama Ki-yen sudah  memindahkan ibu kotanya 
ke timur, ke P’o-lu-chia-sse. sebab  selanjutnya Dinamakan  – sebut ta-tso￾kan-hiung, yang oleh Boechari ditafsirkan sebagai “Daksa, saudara / raja 
/ yang gagah berani,  maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud 
disini ialah Rakai Watukura Dyah Balitung, yang memerintah antara tahun 
899 – 911 M.
 Masalahnya sekarang siapakah Ki-yen itu, dan apa sebabnya ia 
 memindahkan pusat kerajaannya. Seperti sudah  dikatakan pemindahan 
pusat kerajaan itu biasanya terjadi bila  kota itu sudah  diserbu oleh 
musuh. namun  , antara tahun 742 – 755 M itu tidak ada satu sumber￾pun yang memberitakan adanya serangan. Apa yang kira – kira terjadi 
antara tahun itu adalah pergantian pemerintahan Sanjaya ke Rakai 
Panangkaran.
kalau Sangkhara itu dapat diidentifikasikan dengan Rakai Panangkaran –
sehingga nama lengkap raja ini ialah Rakai Panangkaran Dyah 
Sangkhara Sri Sanggramadhananjaya – maka pergantian itu disertai pula 
dengan perubahan agama yang dianut oleh raja; dan ini mungkin dapat 
memicu  pergolakan.  Mungkin masih ada anggota keluarga raja 
yang lain yang masih taat kepada agama leluhurnya, yaitu agama Siwa, 
dengan mungkin masih mempertahankan guru mereka. Mungkin juga 
Bhanu di dalam prasasti Hampran itu salah seorang anggota wangsa 
Sailendra yang diserahi sebagai penguasa area , yang masih tetap 
menganut agama Siwa.
 Apakah Rakai Panangkaran yang memindahkan pusat kerajaannya 
lebih ke timur dari area  Kedu, yaitu lembah di lereng gunung Merapi?
Kesulitannya ialah bahwa pertama – tama harus tahu dahulu letak She￾p’o-tch’eng (Yawapura), pusat kerajaan Rakai Watukura Dyah Balitung. 
Apakah di area  Kedu, ataukah di area  sekitar Prambanan, ataukah 
di area  Purwodadi – Grobogan (?), yang terang sudah tidak lagi di 
area  Pekalongan / Banyumas. Andaikata dapat ditunjukkan bahwa 
Rakai Watukura berpusat kerajaan di area  Kedu mengingat gelar 
rakainya yang menunjukkan bahwa ia mempunyai area  lungguh di 
area  Kedu Selatan,  – mungkin sekali Rakai Panangkaran sudah  
memindahkan pusat kerajaannya ke sekitar Prambanan, atau di area  
Purwodadi – Grobogan. Seperti yang akan dikemukakan dalam uraian 
selanjutnya, Rakai Panangkaran sudah  membangun banyak  candi, 
antaranya candi Sewu yang mestinya berfungsi sebagai candi kerajaan, 
khusus untuk pemujaan dewa tertinggi, yaitu manjusri, dan candi Kalasan. 

 Dengan uraian ini  seolah – olah Ki-yen sudah diidentifikasikan 
dengan Rakai Panangkaran. Seperti sudah  ditunjukkan oleh L-C Damais 
mungkin sekali Ki-yen itu tidak lengkap, mestinya Lo-ki-li-yen, yang merupakan transkripsi dari gelar Rakarayan, atau lo-ki-yen yang 
merupakan transkripsi dari Rakryan. 
 jadi, Ki-yen bukan nama, 
melainkan hanya gelar; maka dapat diidentifikasikan dengan siapa saja 
yang bergelar Rakarayan. Mengenai lokasi P’o-li-chia-sse memang 
belum dapat didapat penyelesaian yang memuaskan. yang dapat 
dikatakan disini barulah bahwa p’o-lu itu dapat merupakan transkripsi dari 
waru. Nama tempat Waru atau yang mengandung unsur Waru memang 
banyak sekali, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. namun  , 
mungkin Waru harus dicari di sekitar Rembang, sebab  memenuhi syarat 
dekat dengan Krapyak, suatu tempat yang sering dikunjungi raja untuk 
menikmati pemandangan laut. 
 Bagaimana kalau ternyata Rakai Watukura Dyah Balitung bertakhta di 
area  Prambanan atau Purwodadi – Grobogan (?) Tentulah harus 
dibayangkan bahwa nenek moyangnya sudah  memindahkan pusat 
kerajaan lebih ke timur lagi, mungkin sampai ke Jawa Timur. Dalam 
hubungan ini perlu dikemukakan bahwa hingga kini para sarjana 
cenderung untuk menghubungkan berita perpindahan pusat kerajaan Ho￾ling ke timur itu dengan munculnya prasasti Dinoyo di area  Malang 
yang berangka tahun 682 Saka (21 Nopember 760 M). 40
Di dalam prasasti Dinoyo itu diperingati pembuatan arca Agastya dari 
batu hitam dengan bangunan candinya oleh raja Gajayana, sebagai 
pengganti arca Agastya yang sudah  dibuat dari kayu cendana oleh nenek 
moyangnya.
Gajayana adalah anak raja Dewa singha yang sudah  memerintah kerajaan 
dibawah naungan api Putikeswara, sesudah  Dewasingha mangkat 
anaknya yang semula bernama Limwa, menggantikan duduk diatas 
takhta kerajaan Kanjuruhan, dengan nama Gajayana. Ia beranak 
wanita  yang bernama Uttejana, yang kawin dengan Jananiya. Gajayana memang pemuja Agastya, dan sesudah  ia melihat arca Sang 
Maharesi yang dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu cendana, ia 
memerintahkan kepada para pemahat untuk membuat arca batu hitam 
yang indah dan bersama para pembesar dan rakyat ia memerintahkan 
pembangunan sebuah candi yang indah untuk para pertapa, para 
) sthapaka, dan rakyat. Pada kesempatan itu raja menganugerahkan 
sebidang tanah, sapi yang gemuk – gemuk dan sejumlah kerbau, serta 
budak laki – laki dan wanita  sebagai penjaganya. juga  raja 
menganugerahkan segala sesuatu untuk keperluan para pendeta, seperti 
) untuk keperluan pemujaan api dan untuk persembahan caru bagi Sang 
Maharesi, dan untuk keperluan penyucian diri dan sebuah bangunan yang 
besar dan permai untuk tempat beristirahat para pengunjung, lengkap 
dengan persediaan padi jelai, tempat tidur, dan pakaian. Dua bait terakhir 
prasasti ini berisi kutukan bagi mereka yang tidak menjunjung tinggi 
amanat raja, dan sebaliknya mengharapkan kesejahteraan bagi mereka 
yang ikut memperbesar jasa dengan memelihara bangunan suci itu 
beserta segenap kelengkapannya. 
 Isi prasasti ini  mungkin berkaitan dengan nama sebuah kerajaan 
di Jawa Timur yang bernama Kanjuruhan. Nama ini rupa – rupanya 
hingga sekarang masih ada dalam nama sebuah desa tidak jauh dari 
Dinoyo, tempat penemuan prasasti, yaitu des Kejuron ditepi Kali Merto. 
Disebelah utara Desa Kejuron itu masih ada peninggalan candi yang 
memiliki ciri – ciri arsitekturnya termasuk bangunan candi yang tua, yaitu 
candi Badut. Apakah memang candi Badut itu yang Dinamakan kan didalam 
prasasti ini sebagai candi untuk pemujaan Agastya belumlah dapat 
dipastikan, sebab  disekitarnya, yaitu didesa Merjosari, Besuki, dan 
Ketawang Gede juga ditemukan sisa – sisa bangunan kuno yang 
menunjukkan ciri – ciri arsitektur yang sama
Poerbatjaraka mengidentifikasikan Gajayana dengan Ki-yen didalam 
berita Cina yang memindahkan kerajaan Ho-ling ke Timur. Fonetis 
identifikasi ini kurang dapat diterima.  Lagi pula ada keberatan yang 
lebih mendasar, yaitu fakta  bahwa didalam prasasti ini Dinamakan  –
sebut arca Agastya dari kayu cendana yang sudah  dibuat oleh nenek 
moyang raja Gajayana. Selain itu, dari kata – kata didalam prasasti 
terbayang bahwa sebelumnya raja Dewasingha, ayahnya, sudah  
memerintah dengan tenang di kerajaan Kanjuruhan. Jadi, tidak 
mungkinlah kiranya Gajayana diidentifikasikan dengan Ki-yen. Bahkan 
mungkin harus disimpulkan bahwa kerajaan Kanjuruhan itu tidak ada 
hubungannya sama sekali dengan kerajaan Ho-ling atau Mataram di 
Jawa Tengah. bila  yang dimaksud dengan arca Agastya dari kayu 
cendana yang sudah  dibuat oleh nenek moyang raja Gajayana itu tidak lain
dari sebuah patung pemujaan nenek moyang yang biasa dibuat oleh 
kesatuan masyarakat yang belum menganut agama Hindu / Buddha, jadi 
semacam mulabera, yang lalu , sesudah  kelompok itu menganut 
kebudayaan India dan berkembang menjadi suatu kerajaan, ditingkatkan 
menjadi semacam patung dewaraja. 
 Kalau demikian halnya, 
Dewasingha dan Gajayana itu ialah keturunan kepala area  yang 
menguasai Kejuron dan sekitarnya, yang sudah  mengangkat dirinya 
menjadi raja dalam gaya India, lengkap dengan upacara pentahbisannya.
 Kerajaan Kanjuruhan itu tidak lama berkembangnya. Mungkin 
lalu  kerajaan itu ditaklukkan oleh Mataram, dan penguasa –
penguasanya dianggap sebagai raja bawahan dengan gelar Rakryan 
Kanuruhan. Gelar ini mulai muncul didalam prasasti raja Watukura Dyah 
Balitung, dan kedudukannya menjadi amat penting dalam zaman
Dharmawangsa Airlangga dan zaman Kadiri.  Mungkin sekali memang 
Rakai Watukura yang menaklukkan Kanjuruhan itu, sebab  dari raja ini didapatkan prasasti Kubu – Kubu tahun 827 Saka (17 Oktober 905 M), 
yang menyebut bahwa pada zaman pemerintahannya sudah  terjadi 
penyerangan ke Banten, dan Banten dapat dikalahkan.  Berdasarkan 
nama – nama tempat yang lain didalam prasasti ini mungkin Banten itu 
harus dicari diarea  Jawa Timur.
. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
 Sebelum membicarakan masalah perpindahan pusat kerajaan itu 
baiklah terlebih dahulu Dinamakan kan disini beberapa sumber prasasti dari 
masa sebelum perpindahan itu. Pertama – tama Dinamakan kan disini prasasti 
di desa Lebak, Kecamatan Grabag (Magelamg), di lereng Gunung 
Merbabu, yang lebih dikenal dengan nama prasasti Tuk Mas.  Prasasti 
ini dipahatkan pada sebuah batu alam yang besar yang berdiri didekat 
suatu mata air. Hurufnya Pallawa yang tergolong muda, dan bahasanya 
Sanskerta. Menurut analisis paleografis dari Krom prasasti ini berasal dari 
pertengahan abad VII M. 48 Isinya pujian kepada suatu mata air yang 
keluar dari gunung, menjadi sebuah sungai yang mengalirkan airnya yang 
dingin dan bersih melalui pasir dan batu – batu, bagaikan Sungai Gangga. 

 Diatas tulisan itu dipahatkan bermacam – macam laksana dan alat –
alat upacara antara lain cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, 
kudi, pisau, tongkat, dan empat bunga padma. laksana – laksana itu jelas 
menunjuk kepada agama Siwa. Dapat dibayangkan bahwa mata air itu
dianggap sebagai sumber air yang suci, dan bahwa didekatnya tentu ada 
asrama pendeta – pendeta yang mengelola sumber air ini . 
 Prasasti yang kedua adalah prasasti Canggal, yang berasal dari 
halaman percandian diatas Gunung Wukir di Kecamatan Salam, 
Magelang. Prasasti ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta, dan 
berangka tahun 654 Saka (6 Oktober 732 M). Dalam bait pertama dikatakan bahwa raja Sanjaya sudah  mendirikan lingga diatas bukit pada 
tanggal 6 Oktober tahun 732 M. Lima bait berikutnya berisi puji – pujian 
kepada Siwa, Brahma, dan Wisnu, dengan catatan bahwa untuk Siwa 
sendiri tersedia tiga bait. Bait ke-7 memuji – muji Pulau Jawa yang subur 
dan banyak menghasilkan gandum (atau padi) dan kaya akan tambang 
emas. Di Pulau Jawa itu ada sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa 
yang amat indah, untuk kesejahteraan dunia, yang dikelilingi oleh sungai 
– sungai yang suci, antara lain Sungai Gangga. Bangunan suci itu terletak 
diwilayah Kunjarakunja. Dua bait berikutnya ditujukan kepada raja Sanna, 
yang memerintah dengan lemah lembut bagaikan seorang ayah yang 
mengasuh anaknya sejak kecil dengan penuh kasih sayang, dan dengan 
demikian ia menjadi termashur dimana – mana. sesudah  ia dapat 
menaklukkan musuh – musuhnya, ia memerintah untuk waktu yang lama 
dengan menjunjung tinggi keadilan bagaikan Manu. namun  , sesudah  
ia kembali ke surga untuk menikmati jasa – jasanya yang amat banyak, 
dunia ini terpecah dan kebingungan sebab  sedih kehilangan 
pelindungnya. Tiga bait terakhir ditujukan kepada pengganti Sanna, yaitu 
Raja Sanjaya, anak Sannaha, saudara wanita  Raja Sanna. Ia 
seorang raja yang gagah berani, yang sudah  menaklukkan raja – raja 
disekelilingnya, bagaikan Raghu ia juga dihormati oleh para pujangga 
sebab  dipandang sebagai raja yang paham akan isi kitab – kitab suci. Ia 
bagaikan Meru yang menjulang tinggi, dan meletakkan kakinya jauh 
diatas kepala raja – raja yang lain. Selama ia memerintah dunia ini yang 
berikat pinggangkan samudra dan berdada gunung – gunung, rakyatnya 
dapat tidur ditepi jalan tanpa merasa takut akan penyamun dan bahaya 
yang lain. Dewi Kali hanya dapat menangis – nangis sebab  tidak dapat 
berbuat apa – apa. 
 Dari prasasti itu diketahui bahwa pada tahun 732 M Raja Sanjaya yang 
jelas beragama Siwa sudah  mendirikan sebuah lingga diatas bukit. 
Mungkin bangunan lingga itu adalah candi yang hingga kini masih ada 
sisa – sisanya diatas Gunung Wukir, mengingat bahwa prasastinya 
memang berasal dari halaman percandian itu.  Pendirian lingga 
mungkin sekali memperingati fakta  bahwa ia sudah  dapat 
membangun kembali kerajaan dan bertakhta dengan aman tenteram 
sesudah  menaklukkan musuh – musuhnya. Seperti yang dapat 
disimpulkan dari kata – kata pada baik ke-9 yang menerangkan 
mangkatnya raja Sanna, Sanna itu gugur dalam peperangan sebab  
diserang oleh musuh. 53 Mungkin sekali kembalinya Sanjaya diatas 
takhta kerajaan itu terjadi pada tahun 717 M, yaitu tahun permulaan tarikh 
Sanjaya, yang hanya dipakai  oleh Daksa didalam tiga prasastinya.
 Sanna, Sannaha, dan Sanjaya mungkin sekali keturunan – keturunan 
Dapunta Selendra, sehingga mereka-pun masuk anggota wangsa 
Sailendra. Hal ini antara lain dapat disimpulkan dari daftar raja – raja yang 
Dinamakan kan didalam prasasti Mantyasih.55
 Disitu Sanjaya Dinamakan  sebagai raja yang pertama yang bertakhta di 
Medang. Ia lalu  disusul oleh Rakai Panangkaran, yang jelas 
menamakan dirinya Permata wangsa Sailendra. mungkin diantara 
Dapunta Selendra dan Sima, atau Sima dan Sanna, masih ada seorang 
raja lagi yang hingga kini belum diketemukan didalam sumber sejarah. 
 Dapat dipahami mengapa raja Sanjaya Dinamakan  sebagai raja pertama 
yang bertakhta di Medang. Seperti sudah  dikatakan pendahulunya, yaitu 
raja Sanna, sudah  diserang oleh musuh, dan rupa – rupanya gugur dalam 
pertempuran, Mungkin sekali ibu kota kerajaan juga sudah  diserbu dan 
dijarah. Oleh sebab  itu, sesudah  Sanjaya dinobatkan menjadi raja, perlu 
dibangun ibu kota yang baru, dengan istana yang baru disertai dengan 
pembangunan candi untuk pemujaan lingga kerajaan.  Mungkin ini 
berhubungan dengan kepercayaan bahwa istana yang sudah  diserbu oleh 
musuh itu sudah kehilangan tuahnya. Hal itu dapat dilihat berkali – kali 
dalam sejarah Nusantara sampai ke zaman Surakarta.  Istana yang 
dibangun oleh Sanjaya itu terletak di Poh Pitu. namun  , dimana letak 
Poh Pitu itu hingga sekarang belum dapat ditemukan. 
 Yang menarik perhatian adalah keterangan bahwa di Pulau Jawa ada 
sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa diarea  Kunjarakunja yang 
dikelilingi oleh sungai – sungai suci, yang terutama diantaranya adalah 
Sungai Gangga. Candi manakah yang dimaksuf itu? Adakah candi itu 
sama dengan candi untuk lingga yang dibangun Sanjaya di Gunung 
Wukir? Ataukah sebuah candi yang lain yang belum dapat 
diidentifikasikan? yang terang bukanlah candi Prambanan, sebab  candi 
Prambanan itu baru diresmikan tahun 856 M, seperti yang dapat 
disimpulkan dari prasasti Siwagerha  Tentunya harus dicari adalah 
candi Siwa yang dibangun oleh raja sebelum Sanjaya. Mungkinkah yang 
dimaksudkan dengan candi Siwa didalam prasasti Canggal itu candi 
Banon dekat Mendut, yang hanya tinggal arca – arcanya saja yang besar 
dan bercorak “klasik”? Letak candi itu memang disuatu area  diantara 
Sungai Progo dan Sungai Elo, jadi sesuai dengan pemerian didalam 
prasasti, dengan menduga bahwa yang dimaksud dengan Sungai 
Gangga itu adalah Kali Progo, sebagai sungai yang terbesar diarea  ini. 
Mengingat besarnya arca – arcanya memang pantas untuk suatu candi 
kerajaan. 
 Tentang nama Kunjarakunja, Poerbatjaraka pernah mengemukakan 
pendapat bahwa yang dimaksudkan adalah area  Sleman sekarang 
berdasarkan arti Kunjarakunja, yaitu hutan gajah, dan adanya area  
wanua ing alas i saliman didalam tiga prasasti pada batu sima. 

Pendapat itu sekarang harus diragukan kebenarannya, sebab  nama area  didalam ketiga prasasti ini  – sekarang ditambah dengan tiga 
batu lagi yang memuat nama area  itu – harus dibaca wanua ing i alas i 
salimar. 
 Lagi pula kata Kunjarakunja dapat juga berarti hutan Ficus 
Religiosa atau hutan pohon bodhi dan sejenisnya, sebab  kata kunjara
tidak hanya berarti gajah, namun  nama beberapa jenis pohon, antara lain 
pohon bodhi (Ficusreligiosa). 
 Bahwa Sanjaya dikatakan sudah  menaklukkan raja – raja 
disekelilingnya memang dapat dipahami. Peristiwa yang serupa juga 
dapat dilihat nanti pada raja Dharmmawangsa Airlangga, yang juga harus 
menaklukkan kembali raja – raja bawahan yang sebelumnya mengakui 
kemaharajaan Dharmmawangsa Teguh. Tentu juga  halnya 
dengan raja Sanjaya. sesudah  Sanna diserang oleh musuh dan pusat 
kerajaannya dihancurkan, tentu ada diantara raja – raja kecil yang semula 
mengakui kemaharajaannya yang lalu menganggap dirinya tidak terikat 
hubungan sebagai raja bawahan lagi dari maharaja Ho-ling,  sebab  itu 
sesudah  Sanjaya berhasil menduduki takhta kerajaan kembali dengan 
membangun pusat kerajaan baru, ia harus menaklukkan raja – raja yang 
tidak mau lagi mengakui kemaha rajaannya. 
 Prasasti berikut ialah prasasti Hampran tahun 672 Saka (24 Juli 750
M). 66 Prasasti ini ditulis diatas batu alam yang besar di Desa 
Plumpungan dekat Salatiga. Bahasanya Sanskerta, dan hurufnya bukan 
lagi huruf Pallawa, namun  huruf Jawa Kuno. Jadi, inilah huruf Jawa Kuno 
yang tertua didalam prasasti yang berangka tahun. Isinya memperingati 
pemberian tanah di Desa Hampra n yang terletak diwilayah Trgramwya, oleh orang yang bernama Bhanu demi kebaktian terhadap Isa, dengan 
persetujuan dari sang Siddhadewi. 
 Menurut de Casparis, Bhanu itu seorang raja dari wangsa Sailendra, 
mengingat bahwa didalam prasasti Ligor B ada nama raja Wisnu, dan 
didalam prasasti Kelurak ada nama raja Indra.  Ia berpendapat bahwa 
Bhanu itu tentu penganut agama Buddha, sebab  Isa merupakan nama 
lain dari sang Buddha. namun  , pendapat itu kurang meyakinkan 
sebab  didalam prasasti Hampran itu Bhanu tidak memakai gelar 
kerajaan. Bahwa Isa merupakan nama lain dari Buddha tidak dapat 
dibuktikan; istilah itu biasanya dipakai untuk menyebut Siwa. 
 Ditinjau dari segi palaeografi mungkin prasasti Sangkhara harus 
diletakkan antara prasasti Canggal dan prasasti Hampran, atau segera 
sesudah prasasti Hampran. Seperti sudah  disinggung sebelumnya, 
prasasti ini berisi keterangan bahwa raja Sangkhara sudah  meninggalkan 
kebaktian yang lain – lain, juga terhadap Siwa, sesudah  ia merasa takut 
kepada gurunya yang tidak benar (anrtagurubhayas) yang rupa – rupanya 
dianggap sudah  membuat ayahnya sakit dan wafat. Didalam bait 
sebelumnya dikatakan bahwa ayahnya itu sudah  berjanji untuk 
melaksanakan apa yang dikatakan oleh sang guru, sebab  ia memang 
mau taat kepadanya. Raja Sangkhara lalu  membangun sebuah 
prasada yang indah, sebab  ingat akan janjinya sendiri. Dalam bait 
terakhir ada pujian terhadap bhiksusanggha. Pujian inilah yang memberi 
bayangan bahwa raja Sangkhara itu lalu menjadi penganut agama 
Buddha. Lebih – lebih mengingat keterangan dari seorang kolektor di Solo 
yang mengatakan bahwa prasasti itu berasal dari suatu tempat yang masih ada sisa – sisa bangunannya yang berlandaskan agama Buddha, 
sekalipun mungkin bangunan itu tidak terlalu besar, dan terbuat dari bata.
Rakai Panangkaran dan pengganti – penggantinya.
 Dari uraian diatas dapatlah digambarkan bahwa Rakai Mataram Sang 
Ratu Sanjaya sudah  membangun kembali kerajaan sesudah  raja Sanna 
gugur dalam pertempuran sebab  serangan musuh, dan pusat 
kerajaannya dihancurkan. Pada tahun 717 M Sanjaya dinobatkan menjadi 
raja di Medang yang mungkin terletak di Poh Pitu. Pada tahun 732 M, ia 
mendirikan bangunan suci untuk pemujaan lingga diatas Gunung Wukir, 
sebagai lambang sudah  ditaklukkannya lagi raja – raja kecil disekitarnya 
yang dahulu mengakui kemaharajaan raja Sanna.
 namun  , pada suatu saat  ia jatuh sakit dan meninggal dalam 
penderitaan yang amat sangat, selama delapan hari sebab  ingin 
mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya. Anaknya yang bernama 
Sangkhara, atau mungkin lengkapnya Rakai Panangkaran Dyah 
Sangkhara Sri Sanggramadhananjaya, sebab  takut akan Sang Guru 
yang tidak benar lalu meninggalkan agama Siwa, menjadi penganut 
agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke 
timur, mungkin disekitar Sragen disebelah timur Bengawan Solo, atau ke 
area  Purwodadi – Grobogan. Ia lalu membangun serangkaian candi –
candi kerajaan, antara lain candi Sewu untuk pemujaan Manjusri, 
sebagaimana dapat diketahui dari prasasti Kelurak tahun 704 Saka (26 
September 782 M), candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan 
kerajaan,  dan candi Borobudur untuk pemujaan pendiri rajakula 
Sailendra  Ia juga membangun candi Kalasan pada tahun 700 Saka (778 M) dan mungkin sebuah bangunan lagi di Bukit Ratu Baka, sebab  
ada prasasti berbahasa Sanskerta dibukit ini tahun 700 Saka (778 M) 
yang memperingati pembangunan Abhayagiriwihara.  Masih ada sisa 
– sisa bangunan candi Buddha yang besar, seperti arca – arca Buddha 
dan Boddhisatwa di Bogem dan di desa Boyolali. Arca – arca Bogem amat 
besar, pantas diletakkan dalam candi kerajaan, 
 prasasti  yang Dinamakan kan diatas, yaitu prasasti Kalasan 
tahun 778 / 779 M, prasasti Kelurak tahun 782 M, prasasti 
Abhayagiriwihara dari Bukit Ratu Baka tahun 792 M, dan prasasti dari 
candi Plaosan Lor semuanya memakai  huruf siddham dan 
berbahasa Sanskerta. Ini pun merupakan suatu hal yang baru. 
Sebagaimana diketahui huruf siddham itu banyak dipakai di India Utara 
dan Sri Lanka. Kemungkinan besar bahwa Rakai Panangkaran, sesudah  
meninggalkan gurunya yang lama, lalu berpindah agama dan mengambil 
seorang guru baru yang menganut agama Buddha, dan berasal dari India 
Utara atau Sri Lanka. Didalam prasasti Kelurak memang Dinamakan kan 
adanya seorang guru di Gaudidwipa yang sudah  memimpin upacara 
pentahbisan arca Manjusri (di candi Sewu). Gaudi atau Gauda ada di 
Benggala.  Didalam prasasti Abhayaguruwihara Dinamakan kan adanya 
hubungan dengan Sri Lanka.  Penggunaan huruf siddham itu hingga 
kini diketahui hanya terbatas pada keempat prasasti itu, dan lalu  
didapatkan pula meterai – meterai tanah liat yang berisi mantra – mantra 
agama Buddha (formula ye-te), baik di Jawa Timur (Banyuwangi), Bali 
(Pejeng, Tampaksiring, Buleleng), dan Sumatra (Palembang).  Ada 
juga prasasti di Bali yang memakai  huruf siddham, namun  berbahasa 
Bali Kuno, yaitu prasasti dari Sanur dari tahun 835 Saka (914 M). 
Anehnya bagian prasasti ini yang berbahasa Sanskerta memakai  
huruf Kawi atau Jawa Kuno.  Di Jawa Timur huruf siddham muncul 
dalam abad XIII M pada bagian belakang arca Amoghapasa dari 
perunggu yang merupakan replika dari arca Amoghapasa dari Padang 
Roco dekat Sungai Langsat, dan pada sandaran arca – arca dari candi 
Jago dan candi Singasari. 
 Didalam prasasti Kelurak itu Sang Permata wangsa Sailendra juga 
Dinamakan  Sri Warawiramardana, yang berarti pembunuh musuh – musuh 
yang gagah perwira. Gelar ini juga ditemukan  didalam prasasti Ligor B yang 
terdapat dipantai barat Semenanjung Tanah Melayu dipahatkan pada 
bagian belakang prasasti raja Sriwijaya yang tidak Dinamakan  namanya, yang 
biasanya Dinamakan  prasasti Ligor A, dan berangka tahun 775 M. Prasasti 
Ligor B, sekalipun mulai dengan kata swasti, yang didalam prasasti –
prasasti Jawa Kuno biasanya mengawali angka tahun, ternyata tidak 
bertarikh. Prasasti ini ternyata juga hanya berisi 4 baris tulisan yang 
merupakan bait prasasti berbahasa Sanskerta, dan setengah baris yang 
merupakan permulaan bait kedua. Disini Dinamakan  nama raja Wisnu, 
pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, dan sebab  ia 
keturunan wangsa Sailendra, ia bergelar Sri Maharaja. 80 Mungkin bait 
kedua dan selanjutnya akan menyebut anak cucunya sampai raja yang 
menulis prasasti ini.  Juga didalam prasasti Nalanda dari raja 
Dewapaladewa, yang berasal dari kira – kira pertengahan abad IX M, 
ditemukan  nama ini. Didalam prasasti ini ia Dinamakan  sebagai kakek raja 
Balaputradewa, dengan sebutan Raja Jawa, permata wangsa Sailendra, 
Sri Wirawairimathana. Ia mempunyai anak bernama Samaragrawira yang 
kawin dengan Tara, anak raja Dharmasetu dari Somawangsa. Dari 
perkawinan ini lahirlah raja Balaputradewa, raja Sriwijaya, penganut 
agama Buddha, yang sudah  mendirikan biara di Nalanda, dan minta 
kepada raja Dewa Paladewa untuk memberikan tanah – tanahnya 
sebagai sima bagi biara ini . 
 Tentulah disini dihadapkan dengan satu tokoh yang sama yang 
Dinamakan  Permata wangsa Sailendra. Pembunuh musuh – musuh yang 
sombong, atau pembunuh musuh – musuh yang gagah perwira. 
Berdasarkan prasasti Kelurak, tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan 
Rakai Panangkaran yang Dinamakan  didalam prasasti Kalasan dan Ratu 
Baka dengan sebutan Tejahpurnnapanna Panamkarana.  Menurut 
prasasti Nalanda, Rakai Panangkaran beranak Samaragrawira, yang 
dapat kiranya disamakan dengan Samaratungga didalam prasasti 
Kayumwungan yang berangka tahun 746 Saka (26 Mei 824 M). 
 Prasasti Kayumwungan itu ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa 
Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bagian yang berbahasa Sanskerta 
berisi keterangan tentang raja Samaratungga, Permata wangsa 
Sailendra, dan anaknya wanita  yang bernama Pramodawarddhani. 
Putri ini sudah  mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha dengan 
nama Srimad Wenuwana dan mentahbiskan arca Sri Ghananatha 
didalamnya, pada hari Kamis Legi, paringkelan Tunglai, tanggal 26 Mei 
tahun 824 M. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno menyebutkan 
Rakarayan Patapan pu Palar suami istri, yang pada hari bulan yang sama 
memberikan tanah sawah di Waluang, di Babadan, yang masuk wilayah 
/.../ 85 di Kisir yang masuk wilayah Kayumwungan, di santwi Karung yang 
masuk wilayah Petir, di Kaliru /nga/ n dan Kuling yang masuk Tri Haji, 
seluruh sawah yang memerlukan benih sebanyak 16,5 amet padi, 
sebagai sima bagi bangunan suci ini . Penetapan sima itu terdapat 
di area  Parakan – Temanggung.
 Menurut J.G. de Casparis prasasti ini memperingati pembangunan 
candi Borobudur, Pawon, dan Mendut oleh Samaratungga dan Pramodawarddhani. 86 namun  , pendapat ini kurang meyakinkan, 
dan memang berdasarkan suatu salah pengertian. Menurut de Casparis 
Wenuwana ialah tempat Sang Buddha pertama kali memberikan 
ajarannya, dan ia melihat adegan ajaran pertama itu dipahatkan dibawah 
arca induk candi Mendut berupa dharmmacakra yang diapit oleh dua ekor 
kijang. Dari lukisan ini saja semestinya ia ingat bahwa tempat Sang 
Buddha pertama kali membeberkan ajarannya itu ialah Mrgadawa atau 
Taman Kijang, dan bukan Wenuwana. Poerbatjaraka, dalam kesempatan 
menyanggah disertasi de Casparis itu, mengemukakan pendapat bahwa 
Wenuwana itu harus diidentifikasikan dengan candi Ngawen, 
berdasarkan alasan bahwa kata ngawen itu berasal dari kata ka-awian, 
yang berarti tempat bambu, atau tempat yang banyak bambunya, yang 
lebih sesuai dengan pengertian Wenuwana.  Memang candi ini cukup 
jauh letaknya dari Parakan – Temanggung, namun  pada prinsipnya tidak 
perlu keberatan, sebab  tanah sima dapat saja jauh letaknya dari 
candinya; sima yang demikian itu biasa Dinamakan  angsa. namun  , kalau 
prasasti Kayumwungan itu dibaca dengan seksama, Srimad Wenuwana 
itu harus dicari diarea  Parakan – Temanggung juga, sebab  disitu 
dikatakan bahwa candi itu dibangun didesa ini (iha grame). Sayang 
hingga sekarang tidak ditemukan sisa – sisa bangunan agama Buddha 
yang pantas diidentifikasikan dengan candi dalam prasasti itu diarea  ini
 Yang menarik perhatian ialah bahwa prasasti ini terdiri atas dua bagian 
dan ditulis dalam dua bahasa. Bagaimana hubungan antara 
Samaratungga dengan Rakarayan Patapan pu Palar? Mungkinkah 
Rakarayan Patapan pu Palar itu seorang anggota wangsa Sailendra yang 
tetap menganut agama Siwa, dan berfungsi sebagai kepala area  
dengan memperoleh area  Patapan sebagai lungguhnya? pada waktu 
kerabatnya yang berkuasa sebagai maharaja membangun candi Buddha 
diarea nya, ia menyumbangkan tanah – tanah untuk dijadikan sima bagi 
bangunan suci itu. Inilah kiranya jawaban yang paling dapat diterima atas 
pertanyaan ini .
 Rakai Patapan sendiri ada juga membangun bangunan suci diwilayah 
kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari prasasti Sang Hyang Wintang 
(Gondosuli I), yang berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini ditulis diatas
batu alam yang besar, terdapat di Desa Gondosuli, didekat sisa – sisa 
bangunan candi beragama Siwa. Sayang sekali tidak ada angka 
tahunnya. Didalam prasasti itu diperingati pembangunan candi yang 
Dinamakan  dengan istilah sang hyang haji disebelah utara prasada yang 
bernama Sang Hyang Wintang. Memang sekitar dua kilometer dari desa 
Gondosuli itu ada sisa – sisa bangunan lagi dari batu yang berlandaskan 
agama Siwa.
 Pentahbisan bangunan suci itu dipimpin oleh seorang Sthapaka yang 
putus dalam ilmunya, bernama Dang Karayan Siwarjita. Untuk bangunan 
itu disediakan pula tanah – tanah sima-nya, yaitu di Tanah Bunga, di 
Pragaluh, di Pamandyan, di Tiru Ayun, di Wunut, di Pawijahhan, di Kayu 
Ara Mandir, di Wangun Waharu, di Mundu, di Kakalyan, dan di Tarukan, 
seluruhnya memerlukan benih sebanyak 41 lattir(?)
 Yang menarik perhatian disini adalah bahwa prasasti ini mulai dengan 
menyebut ibu dari Rakrayan Partapan dan istrinya, saudara –
saudaranya, dan yang teramat menarik adalah nama paman Dang 
Karatan Partapan, yaitu Wisnurata. Mungkinkah Wisnu ini sama dengan 
Wisnu dalam prasasti Ligor B, permata wangsa Sailendra yang juga 
Dinamakan  pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, alias 
Rakai Panangkaran? Kalau tambahan rata ditafsirkan sebagai kata 
Sanskerta, mungkin sekali ia kependekan dari kata uparata yang dapat 
berari sudah  meninggal. Dengan perkataan lain, pada waktu Rakai 
Patapan pu Palar mengeluarkan prasasti Gondosuli itu pamannya, Wisnu 
atau Rakai Panangkaran – dalam hal ini mungkin ibunya adalah adik 
Rakai Panangkaran – yang masih setia kepada agama Siwa. Jadi, ia 
saudara sepupu Samaratungga. 
 Ada lagi seorang Rakai Patapan dengan nama Pu Manuku, yaitu 
didalam prasasti Munduan tahun 728 Saka (21 Januari 807 M) dan 
didalam prasasti Tulang Air tahun Saka (15 Juni 850 M). Didalam prasasti 
Munduan itu Rakai Patapan pu Manuku membatasi tanah – tanah di 
Munduan dan Haji Huma, untuk dianugerahkan kepada hambanya yang 
bernama Sang Patoran, dengan diberi kewajiban untuk menggembalakan 
kambing bernama sang Madmak. Ia lalu membuat perumahan ditempat 
ketinggian di tanah – tanah ini . Oleh sebab  itu, perumahan itu 
dinamakan Walawindu. Selanjutnya area  itu dibebaskan dari kewajiban 
membayar pajak jual beli, dan semua denda – denda atas semua 
pelanggaran hukum diarea  itu tidak perlu dibayarkan kepada Rakai 
Parapan. Ketentuan itu berlaku bagi Sang Patoran dan mereka yang 
tinggal di Walawindu (sebagai gembala kambing). Penetapan sima itu 
disaksikan oleh semua patih diwilayah Patapan, yaitu dari Kayumwungan 
dan Mantyasih, dan pejabat – pejabat dari Air Warungan, Petir, 
Pandakyan, dan pejabat Desa Munduan dan Haji Huma. 
 Prasasti Tulang air yang didapatkan kembali sebanyak dua prasasti 
diatas batu yang cukup besar, berasal dari dekat candi perot, diarea  
Temanggung. Kedua batu berisi naskah yang sama; sayang sekali yang 
satu keadaannya cukup parah sebab  aus. Prasasti kedua cukup baik, 
hanya ada bagian – bagian yang aus ditengah bawahnya. 91 Isinya 
keterangan tentang penetapan Sima didesa Tulang Air oleh Rakai 
Patapan pu Manuku pada hari Minggu Pahing, paringkelan Tunglai, hari 
bulan 15 Juni 850 M. Pada waktu itu yang menjadi raja adalah Rakai 
Pikatan. Disusul lalu  dengan daftar para pejabat tinggi kerajaan, 
para pembantu mereka yang hadir pada penetapan sima, para pejabat 
area  dan pejabat desa yang bertindak sebagai saksi. Struktur prasasti 
semacam itu ditemukan  pada prasasti Wanua Tengah tahun 785 Saka (10 
Juni 863 M), yang menetapkan sima ialah Rakai Pikatan pu Manuku, 
sedang yang menjadi raja ialah Rakarayan Kayuwangi pu Lokapala. 
Mengingat persamaan struktur itu, dan fakta  bahwa didalam daftar 
raja = raja Mataram yang terdapat didalam prasasti Mantyasih, Rakai 
Kayuwangi Dinamakan  sesudah  Rakai Pikatan, dan Rakai Pikatan sesudah 
Rakai Garung, de Casparis mengidentifikasikan Rakai Patapan pu Palar 
dengan Rakai Garung. 
Identifikasi ini memang sulit dibuktikan secara meyakinkan, kecuali 
kalau pada suatu saat  ditemukan  nama Rakai Garung pu Palar sezaman 
dengan Rakai Patapan pu Palar. Bahwa nama Rakai Patapan itu berubah 
lebih mudah menerangkannya. De Casparis mengemukakan pendapat 
bahwa nama Pu Manuku itu dipakai oleh orang – orang yang sudah  
mengundurkan diri dari pemerintahan, seperti Rakai Patapan dan Rakai 
Pikatan. Masih dapat ditambah lagi dengan Rakarayan Kalangbungkal 
Dyah Manuku didalam prasasti Kasugihan tahun 829 Saka (8 Nopember 
907 M), yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Rakai 
Watuhumalang yang sudah mengundurkan diri dari pemerintahan. 
namun  , dengan munculnya Rakai Patapan pu Manuku didalam 
prasasti Munduan tahun 807 M, keterangan itu menjadi kurang 
meyakinkan. 
 Rakarayan i Garung sendiri pernah juga mengeluarkan prasasti, yaitu 
prasasti Garung tahun 741 Saka (21 Maret 819 M). Didalam prasasti ini 
ia tidak memakai gelar sri maharaja. namun  , disitu dikatakan bahwa 
perintahnya diturunkan kepada Sang Pamgat Amrati pu Mananggungi, 
agar area  Mamrati dibebaskan dari beberapa jenis pungutan.  Jadi, 
kalaupun dia bukan seorang raja, sekurang – kurangnya ia seorang 
penguasa area  yang otonom. Dengan dimuatnya nama Rakai Garung 
dalam deretan nama raja – raja yang pernah memerintah di Mataram, 
dapatlah disimpulkan bahwa ia adalah anggota wangsa Sailendra yang 
tetap menganut agama Siwa, dan menjabat penguasa area  dengan 
kekuasaan swatantra, pada waktu Samaratungga berkuasa. 
 Tinggal sekarang masalah Rakai Panunggalan dan Rakai Warak. 
Mengenai dua tokoh ini tidak ada sumber lain yang dapat memberi 
keterangan, kecuali dari prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III yang 
berangka tahun 830 Saka (908 M). 96 Prasasti Wanua Tengah yang juga 
dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung seperti halnya prasasti 
Mantyasih memuat daftar nama – nama raja Mataram Kuno. Nama –
nama raja yang Dinamakan kan dalam kedua prasasti tidak sama. Jika dalam 
prasasti Mantyasih, daftar ini  hanya menyebutkan urutan nama –
nama raja yang memerintah di Medang (rahyang ta rumuhun ri mdang ri 
poh pitu) dan gelar mereka saja, dalam prasasti Wanua Tengah III selain 
nama – nama mereka juga memuat kapan raja – raja ini  naik takhta. 
Selain itu, nama – nama raja yang Dinamakan  lebih banyak jumlahnya dari 
yang Dinamakan  dalam prasasti Mantyasih, juga ada nama raja yang berbeda 
seperti Rakai Panunggalan yang Dinamakan  dalam prasasti Mantyasih 
sesudah  Rakai Panangkaran dan sebelum Rakai Warak, dalam prasasti 
Wanua Tengah III nama itu tidak ada dan sebagai gantinya ada tokoh 
yang Dinamakan  Rake Panaraban (784 – 803 M). Dengan demikian, dapat 
disimpulkan bahwa Rakai Panunggalan sama dengan Rakai Panaraban. 
Sri Maharaja Watuhumalang dalam prasasti Mantyasih Dinamakan  sebagai 
Rake Wungkalhumalang dyah jbang dalam prasasti Wanua Tengah III. 
Mengingat kata watu sinonim dengan wungkal, dipastikan bahwa Rake 
Wungkalhumalang dyah Jbang adalah Watuhumalang (894 – 898 M). 
Sementara itu, Sri Maharaja Rakai Warak dalam prasasti Mantyasih, 
dalam prasasti Wanua Tengah III Dinamakan  Rake Warak Dyah Manara. 
sesudah  meninggal ia dipusarakan di Kelasa (san lumah i kelasa).
 Ada empat raja yang tidak Dinamakan kan dalam prasasti Mantyasih, yaitu 
Dyah Gula (5 Agustus 827 – 24 Januari 828 M), Dyah Tagwas (5 Pebruari 
– 27 September 885 M), Rake Panumwangan Dyah Dawendra (27 
September 885 – 27 Januari 887 M), dan Rakai Gurunwangi Dyah Badra 
yang hanya menjadi raja selama 28 hari sebelum melarikan diri dari 
keratonnya. Menurut Kusen perbedaan daftar nama – nama raja dalam
prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III disebabkan oleh perbedaan 
latar belakang dikeluarkannya prasasti. Prasasti Mantyasih diterbitkan 
dalam rangka melegitimasikan dirinya sebagai pewaris takhta yang sah, 
sehingga yang Dinamakan kan hanya raja – raja yang berdaulat penuh atas 
seluruh wilayah kerajaan. Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewandra, 
dan Dyah Badra tidak dimasukkan dalam daftar sebab  mereka tidak 
pernah berdaulat penuh diwilayah kerajaan Mataram Kuno. Hal ini terlihat 
dari singkatnya masa pemerintahan mereka sebab  digulingkan dari 
takhta. Prasasti Wanua Tengah III dikeluarkan sehubungan dengan 
perubahan – perubahan status sawah sebagai sima di Wanua Tengah, 
sehingga semua penguasa yang mempunyai sangkut paut dengan 
perubahan status sawah Dinamakan kan. Nama Sanjaya sebagai cikal bakal 
kerajaan Mataram Kuno pun tidak Dinamakan kan sebab  status sawah di 
Wanua Tengah III sebagai sima baru dimulai pada masa pemerintahan 
Rake Panangkaran. 
 Kembali kepada prasasti Mantyasih, mungkin gelar sri maharaja yang 
diberikan kepada Rakai Panunggalan dan Rakai Warak itu agak 
berlebihan; sebab dalam fakta nya yang mengeluarkan prasasti 
dengan gelar maharaja adalah anggota wangsa Sailendra yang 
beragama Buddha. Dapatlah diperkirakan bahwa sejak Rakai 
Panangkaran berpindah agama ke agama Buddha Mahayana dengan 
mendatangkan guru dari India atau Sri Lanka, ia berkuasa sebagai
maharaja dengan mendirikan bangunan – bangunan suci kerajaan, 
seperti candi Plaosan, Sewu, dan Borobudur. Sementara itu, anggota 
wangsa Sailendra yang lain yang tetap menganut agama Siwa berkuasa 
sebagai kepala – kepala area  atau raja – raja kecil dengan area  
kekuasaan masing – masing secara otonom. Seperti dalam prasasti Sang 
Hyang Wintang, Rakai Patapan pu Palar menyebut area  kekuasaannya 
dengan yang rajya diraksa iya sabanakna yang desa itas tatah purwwa 
daksina pascima uttara itas tatah, namun  nama – nama desa didalam 
prasasti itu dan didalam prasasti Kayumwungan, wilayah kekuasaan 
Rakai Patapan itu memang terbatas. juga  halnya dengan Rakai 
Panunggalan dan Rakai Warak. 98 Jadi, dalam sejarah kerajaan Mataram tidak pernah ada dua wangsa, yang satu asli Indonesia beragama Siwa, 
yang selama ini Dinamakan  Sanjayawangsa, yang lain berasal dari luar 
Indonesia dan beragama Buddha, yang selama ini Dinamakan  
Sailendrawangsa, melainkan hanya satu wangsa, yaitu wangsa 
Sailendra, yang anggota – anggotanya ada yang beragama Siwa dan ada 
yang beragama Buddha Mahayana. Dapunta Selendra, pendiri wangsa 
ini, sampai kepada raja Sankhara menganut agama Siwa, lalu Rakai 
Panangkaran berpindah ke agama Buddha Mahayana sebab  takut akan 
guru ayahnya yang dianggapnya tidak benar (anrta). Disinilah lalu timbul 
dua cabang dari wangsa ini. Sebagian masih tetap menganut agama 
Siwa, seperti Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung, dan 
mungkin dalam deretan anggota wangsa Sailendra yang tetap menganut 
agama Siwa ini dapat dimasukkan Bhanu dan Rakai Patapan.
 Rakai Panangkaran yang berpindah agama ke Buddha Mahayana 
memerintah sebagai Maharaja cukup lama, sekurang – kurangnya sejak 
kira – kira tahun 750 sampai sekitar tahun 792 M. Ia digantikan oleh 
Samaratungga, yang mempunyai anak sekurang – kurangnya dua orang. 
Yang kedua, mungkin dari permaisuri, ialah Balaputradewa. Mungkin 
Rakai Patapan pu Palar, sekalipun ia membantu memberikan tanah –
tanah sebagai sima bagi pembangunan candi oleh Samaratungga dan 
anaknya, berambisi untuk menjadi maharaja. Dalam hal ini rupa –
rupanya lalu diadakan perkawinan antar keluarga, yaitu 
Pramodawarddhani, putri mahkota, dikawinkan dengan Rakai Pikatan, 
anak Rakai Patapan pu Palar, yang tetap menganut agama Siwa.
 sesudah  Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari 
pemerintahan, Rakai Pikatan menggantikannya sebagai maharaja di 
Medang. sebab  ia menganut agama Siwa, ia memerintahkan 
membangun candi kerajaan yang lain yang berlandaskan agama Siwa, 
yaitu Loro Jonggrang di Prambanan. Ini diketahui dari prasasti Siwagerha 
tahun 778 Saka (12 Nopember 856 M). 99 lalu  untuk menunjukkan bahwa ia tidak ingin sama sekali mengabaikan candi kerajaan yang 
dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu candi Plaosan Lor, dan mungkin 
juga untuk menjaga perasaan permaisurinya, yaitu Pramodawarddhani 
yang beragama Buddha, ia menambahkan sekurang – kurangnya dua 
candi perwara berupa bangunan stupa dikanan kiri jalan masuk ke candi 
induk sebelah utara, yang bertulisan astupa sri maharaja rakai pikatan, 
dan anumoda rakai gunungwangi dyah saladu. 100 Bahwa bangunan atau 
tulisan diatas bangunan stupa itu merupakan tambahan pada waktu 
lalu  dari waktu pembangunan percandian itu dapat dilihat dari 
perbedaan tulisannya dengan tulisan pada candi perwara yang lain. 
fakta  ini tidak dibicarakan oleh J.G. de Casparis.
 Sebelum membicarakan prasasti Siwagerha lebih mendalam, lebih 
baik menyebutkan sumber – sumber prasasti yang lain dari masa 
sebelumnya. Pertama – tama adalah prasasti berbahasa Melayu Kuno 
dari Gondosuli yang berangka tahun 749 Saka (17 Mei 827 M). 

dapatlah diperoleh gambaran mengenai 
kehidupan warga kerajaan Tarumanegara 
pada masa itu. Mata pencaharian penduduknya 
yaitu  berpetani dan berdagang. Barang apa yang 
diperdagangkan, menurut berita yang ditulis Fa-
Hien yaitu  perdagangan cula badak, kulit penyu 
dan perak. Fa-Hien juga menjelaskan penganut 
agama Hindu jauh lebih banyak dibandingkan yang 
menganut agama Budha.
c. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya yaitu  salah satu kerajaan 
terbesar yang pernah berjaya di Indonesia. Kerajaan 
ini mampu mengembangkan diri sebagai negara 
maritim dengan menguasai lalu lintas pelayaran dan 
perdagangan internasional. Jalur pelayaran dan 
perdagangan di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut 
Jawa dikuasai. maka , setiap pelayaran 
dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur 
atau sebaliknya harus melewati area  Kerajaan 
Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatera, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan.  Keadaan ini menjadi sumber pendapatan kerajaan  Sriwijaya dengan diberlakukannya bea cukai bagi 
kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan 
milik Sriwijaya. Selain dari bea cukai, penghasilan lain terutama diperoleh dari komoditas ekspor. Komoditas  ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana,  gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan  wangi-wangian.
Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya 
ada di Palembang, Sumatera Selatan. Kerajaan ini 
diperkirakan  berdiri pada abad  ke-7 M. Seperti halnya kerajaan Tarumanegara, sumber sejarah kerajaan  Sriwijaya berwujud  prasasti dan berita Cina. Sumber  prasasti ini ada yang berasal dari dalam negeri dan  ada juga  yang berasal dari luar negeri. Sumber yang  berwujud  prasasti dalam negeri antara lain:
1. Prasasti Kedukan Bukit  (683M) di temukan di 
area  Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang 
dekat Palembang. Isinya menerangkan tentang 
perlajanan suci (sidha-yartha) Dapunta Hyang 
dengan perahu didan i 2.000 orang prajuritnya. 
Dalam perjalanannya pada tanggal 11 Waisaka 
604 (23 April 682), ia berhasil menaklukan be-
berapa area .
2. Prasasti Talang Tuwo (684 M) ditemukan di 
sebelah barat Kota Palembang sekarang. Isinya 
menyatakan pembuatan taman bernama Srikerta 
untuk kemakmuran makhluk.
3. Prasasti Telaga Batu (683) ditemukan di dekat 
Palembang. Berisi kutukan bagi rakyat yang 
melakukan kejahatan dan tidak taat kepada raja.
4. Prasasti Karang Berahi (686 M) ditemukan di 
area  Jambi. Isinya berwujud  permintaan dewa 
supaya   menjaga kerajaan Sriwijaya dan meng-
hukum orang yang berbuat jahat.
5. Prasasti Kota Kapur (686 M), yang menyatakan 
usaha kerajaan Sriwijaya untuk menaklukan 
Jawa yang menolak kekuasaan Sriwijaya. Para 
ahli menerangkan bahwa kerajaan di Jawa yang 
ditaklukan itu yaitu  Tarumanegara. 
Informasi lain yang dapat diperoleh tentang 
kerajaan Sriwijaya didapat dari berita Cina. Berita itu datang  dari seorang pendeta yang bernama I-tsing.  Ia pada tahun 671 pernah berdiam di Sriwijaya untuk  belajar tata bahasa Sansekerta sebagai persiapan  kunjungannya ke India. I-tsing  menyebutkan bahwa  di negeri Sriwijaya ada seribu orang pendeta yang  belajar agama Budha. Seperi halnya I-tsing, para  pendeta Cina lainnya yang akan belajar  agama Budha  ke India  dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di  Sriwijaya  selama satu sampai dua tahun. dinamakan   juga  bahwa para pendeta yang belajar agama Budha 
 itu dibimbing oleh seorang guru yang bernama 
Sakyakirti. berdasar  berita I-tsing ini, dapatlah 
disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad 
ke -7 M sudah  menjadi pusat kegiatan ilmiah agama  Budha di Asia Tenggara.
Puncak Kejayaan Sriwijaya terjadi pada masa 
pemerintahan Raja Balaputradewa. Ia berjasa dalam  mengirimkan para pendeta dari nusantara ke India  untuk memperdalam ajaran agama Budha. Menurut isi  prasasti Nalanda di India, Balaputradewa mendirikan  asrama khusus di Nalanda. Hubungan dengan India tidak bertahan lama,  sebab  pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari  Kerajaan Colamandala (India) melakukan penyerbuan  besar-besaran ke area  Sriwijaya, antara lain  Kedah, Aceh, Nikobar, Binanga, Melayu, dan  Palembang. Berita penyerangan ini  ada dalam  prasasti Tanjore di India Selatan. namun , penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur atas bantuan Raja 
Airlangga dari Jawa Timur. Atas jasanya ini, Airlangga  dinikahkan dengan Sanggramawijayatunggadewi,  putri raja Sriwijaya.
Kekuatan Sriwijaya mulai menurun sesudah  
berhasil memukul mundur pasukan Colamandala. 
Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari 
ketidakmampuannya untuk mengawasi dan memberi  perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang  ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan  juga oleh kerajaan-kerajaan vasal (bawahan) untuk  melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti 
yang dilakukan oleh kerajaan Malayu (Jambi). 
 d.   Kerajaan Mataram Lama (berpusat di 
Jawa Tengah)
Di area  Jawa Tengah pernah berkuasa dua 
kerajaan Mataram, yaitu kerajaan Mataram Lama 
yang bercorak Hindu-Budha dan kerajaan Mataram 
Islam yang yaitu  cikal bakal Kesultanan 
Yogyakarta dan Surakarta. Kedua kerajaan itu tumbuh  berkembang dalam waktu yang berbeda. 
Kerajaan Mataram Lama yang bercorak Hindu-
Budha itu dikenal sebagai kerajaan yang toleran 
dalam hal beragama. Hal ini  dibuktikan dengan 
diperintahnya kerajaan ini pleh dua dinasti, yaitu 
Dinasti Sanjaya  yang beragama Hindu dan Dinasti 
Sailendra yang beragama Budha. berdasar  
interpretasi terhadap prasasti-prasasti, kedua dinasti  itu saling mengisi pemerintahan dan kadang-kadang  memerintah bersama-sama. Kerajaan Mataram Lama  yang diperintah oleh dua dinasti secara bersamaan,  yaitu saat  Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya  menikah dengan Sri Pramodhawardhani dari  dinasti Syailendra. Pada masa kekuasaan mereka  pembangunan candi-candi yang bercorak Hindu- Budha banyak didirikan.
Prasasti-prasasti yang berhubungan dengan 
kerajaan Mataram ini dapat diketahui dari prasasti 
Canggal (732 M). berdasar  prasasti Canggal 
yang terletak di Kecamatan Salam Magelang, dapat 
diketahui bahwa raja pertama dari Dinasti Sanjaya 
yaitu  Sanjaya yang memerintah di ibukota bernama  Medang. Selain prasasti Canggal, ada juga prasasti  Kalasan (778M) yang ada  di sebelah timur  Yogyakarta. Dalam prasasti itu dinamakan  Raja  Panangkaran  dengan nama   Syailendra   Sri Maharaja  Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. 
Untuk lebih mengetahui raja-raja yang memerintah 
di Mataram, prasasti Kedu atau dikenal juga dengan  nama prasasti Mantyasih (907 M) mencantumkan  silsilah Raja-raja yang memerintah di Kerajaan  Mataram. Prasasti Kedu ini dibuat pada masa Raja  Rakai Dyah Balitung. Adapun silsilah raja-raja yang  pernah memerintah di Mataram yaitu  sebagai berikut.
 1. Rakai Mataram  Sang Ratu Sanjaya 
2. Sri  Maharaja Rakai Panangkaran 
3. Sri  Maharaja Rakai  Panunggalan
4. Sri  Maharaja  Rakai Warak
5. Sri  Maharaja Rakai Garung
6. Sri  Maharaja Rakai Pikatan 
7. Sri  Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri  Maharaja Rakai  Watuhumalang
9. Sri  Maharaja Rakai Dyah  Balitung.
Menurut prasasti Kedu dapat diketahui bahwa Raja 
Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran. kemudian  salah seorang keturunan raja Dinasti Sailendra yang  bernama Sri Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai  Panangkaran pada tahun 778 M. Sejak saat itu Kerajaan  Mataram dikuasai sepenuhnya oleh Dinasti Sailendra. 
Tahun 778 sampai dengan tahun 856 sering dinamakan  sebagai pemerintahan selingan, sebab  antara Dinasti  Sailendra dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa  di Mataram. Dinasti Sailendra yang beragama Budha mengembangkan kerajaan Mataram Lama yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedang  Dinasti  Sanjaya yang bergama Hindu mengembangkan kerajaan 
yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara.  
Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya terjadi pada 
masa pemerintahan Raja Balitung yang menguasai 
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia mendirikan candi 
Prambanan dan Loro Jonggrang. Masa pemerintahan  raja-raja Mataram sesudah  Dyah Balitung tidak terlalu  banyak sumber yang menceritakannya. namun   dapat  diketahui nama-nama raja yang memerintah, yaitu  Daksa (913-919), Wawa (919-924), Tulodhong (924-
929), dan Mpu Sindok (929-948). Pada tahun 929 M  ia memindahkan ibukota kerajaan dari Medang ke  Daha (Jawa Timur). 
e.  Kerajaan Mataram Lama (berpusat di 
Jawa Timur)  Mpu Sindok  memindahkan ibukota kerajaan Mataram dari Medang  (Jawa Tengah) ke Daha (Jawa Timur). kemudian  Mpu Sindok ini mendirikan dinasti baru yang  bernama  Isanawangsa dan menjadikan Walunggaluh 
sebagai pusat Kerajaan. Mpu Sindok ini memerintah  sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M. Mpu Sindok  lalu  digantikan oleh Sri Isana Tunggawijaya  yang memerintah sebagai Ratu. Ia menikah dengan  Raja Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra yang  bernama Sri Makutawang Swardhana berdasar  Prasasti Pucangan yang berangka  tahun  1019, berikut ini silsilah raja yang memerintah  di Mataram Jawa Timur.
Pada akhir abad ke-10 M, Mataram selajutnya 
diperintah oleh Sri Dharmawangsa yang memerintah  sampai tahun 1016 M. Ia yaitu  salah seorang  keturunan Mpu Sindok. berdasar  berita dari  Cina, dinamakan  bahwa Dharmawangsa pada tahun  990 M mengadakan serangan ke Sriwijaya sebagai usaha  mematahkan monopoli perdagangan Sriwijaya. Serangan ini  gagal, malahan Sriwijaya berhasil menghasut Raja Wurawari (sekitar Banyumas) untuk 
menyerang istana Dharmawangsa pada tahun 1016.  Mpu Sindok  (929-947)
Sri Isanatunggawijaya Sri Lokapala
Sri Makutawangsawardhana
Sri Dharmawangsa Gunapriadharmptani Udayana (raja Bali)
Airlangga Marakata Anak Wungsu
Dari sini mulai terjadi kehancuran Dharmawangsa, 
sesudah  Wurawari melakukan penyerangan ke istana.  Peristiwa ini menewaskan seluruh keluarga raja  termasuk Dharmawangsa sendiri, dan hanya Airlangga  yang berhasil menyelamatkan diri. Airlangga berhasil  menyelamatkan diri bersama Purnarotama dengan  bersembunyi di Wonogiri (hutan gunung). Di sana  ia hidup sebagai seorang pertapa.  Pada tahun 1019,  Air langga (menantu 
Dharmawangsa)  d inobatkan menjadi  ra ja 
menggantikan Dhamawangsa oleh para pendeta 
Budha. Ia segera mengadakan pemulihan hubungan  baik dengan Sriwijaya. Airlangga membantu  Sriwijaya saat  diserang Raja Colamandala dari  India Selatan. kemudian  tahun 1037, Airlangga  berhasil mempersatukan kembali area   yang  pernah dikuasai oleh Dharmawangsa. Airlangga juga  memindahkan ibukota kerajaannya dari Daha ke  Kahuripan. Pada tahun 1042, Airlangga menyerahkan  kekuasaanya pada putrinya yang bernama Sangrama  Wijaya Tunggadewi. Namun, putrinya itu menolak dan 
memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama  Ratu Giriputri. kemudian  Airlangga memerintahkan  Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan yaitu sebagai berikut.
1. kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan 
kepada putra sulungnya Garasakan (Jayengrana) 
dengan ibukota di Kahuripan (Jiwana) meliputi 
area  sekitar Surabaya sampai Pasuruan
2. Kerajaan Panjalu (Kediri) di sebelah barat 
diberikan kepada putra bungsunya yang bernama 
Samarawijaya (Jayawarsa), dengan ibukota di 
Kediri (Daha), meliputi area  sekitar Kediri 
dan Madiun. Perkembangan kemudian  yang 
memerintah di Kediri antara lain raja Jayawarsa, 
Jayabaya, Sarwewara, Gandara, Kameswara,dan 
Kertajaya. Kerajaan Kediri pada masa Kertajaya 
ini akhirnya dikalahkan oleh  dari Tumapel 
(area  kekuasaan Kediri) pada tahun 1222 
dalam pertempuran di Ganter. maka , 
berakhirlah kekuasaan Kerajaan Panjalu 
(Kediri)
f.  Kerajaan Singhasari
Dalam kitab Pararaton dinamakan  bahwa 
atas perintah Berihiang menyerang Kediri pada 
tahun 1222, dan berhasil mengalahkan Kertajaya. 
kemudian  mendirikan kerajaan di seluruh area  
bekas kerajaan kediri. Di atas kekuasaannya ini, 
menyatakan diri sebagai raja baru dengan gelar 
Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. 
Nama Tumapel diganti menjadi Singhasari. dengan 
pusat pemerintahannya di sekitar Kota Malang (Jawa  Timur). Ia berkuasa dari tahun 1222-1227.
Dalam kitab Pararaton dikisahkan bahwa 
yaitu  anak Dewa Brahma. Atas bantuan pendeta 
Lohgawe,  bekerja pada akuwu (kepala desa) Tumapel ( Malang) yang bernama Tunggul Ametung. saat   bekerja di sana,  menjalin hubungan asmara dengan  istri muda Tunggul Ametung yang bernama Ken  Dedes. lalu   membunuh Tunggul Ametung,  lalu menikahi Ken Dedes yang sedang hamil, dan  sekaligus menjadi Akuwu Tumapel yang baru.  Silsilah  dan keluarganya sampai Raden Wijaya dapat 
digambarkan sebagai berikut: Dari perkawinannya dengan Ken Dedes,  mempunyai empat orang anak yaitu: Mahisa Wongate-leng, Panji Saprang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimba.  lalu  dari perkawinannya dengan istri yang lain, yaitu Ken Umang,  memiliki  anak bernama Panji Tohjaya.
Pada tahun 1227 M,  dibunuh oleh seseorang atas 
perintah Anusapati. Anusapati  ternyata anak Ken 
Dedes dari Tunggul Ametung atau anak tiri . Sesudah  membunuh , Anusapati menjadi raja Singhasari (1227-1248). Sepak terjang Anusapati ini didukung  oleh Mahisa Wonga Teleng, anak Ken Dedes dari .  Dengan meninggalnya , Tohjaya sebagai anak  dari  Ken Umang ingin membalas kematian ayahnya. 
Untuk itu, pada tahun 1248, Anusapati dibunuh 
oleh Tohjaya. Dengan terbunuhnya Anusapati, 
Panji Tohjaya naik tahta menjadi Raja Singhasari. 
Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan 
yang dilakukan oleh Ranggawuni dan  Mahisa 
Campaka (anak Mahisa Wonga Teleng). Panji 
Tohjaya berhasil melarikan diri, namun  ia meninggal di Katang Lumbang. Jatuhnya Tohjaya, Ranggawuni  memerintah di Singhasari (1248-1268).  Dalam menjalankan pemerintahannya ia  didampingi oleh Mahisa Campaka (yang membantu  Ranggawuni memberontak pada Panji Tohjaya) yang 
berkedudukan sebagai perdana menteri dengan gelar Narasingamurti. Pada tahun 1268 M, Raja Ranggawuni  yang bergelar Wisnuwardhana meninggal dunia. 
Tampuk pemerintahan kemudian  dipegang oleh 
putranya yang bernama Kertanegara. Pada tahun 
1275, Kertanegara mengirimkan tentaranya ke 
Melayu (Ekspedisi Pamalayu) untuk memperluas 
area  kekuasaanya di luar Jawa. Ekspedisi ini 
juga dilaksanakan dalam rangka menahan serbuan 
tentara Mongol di bawah pimpinan Kaisar Kubilai 
Khan yang sedang melakukan perluasan area  di 
Asia Tenggara. saat  datang utusan dari Mongol 
untuk menyampaikan keinginan Kubilai Khan agar 
Raja Singhasari tunduk pada Mongol ditolak oleh 
Kertanegara. Kubilai Khan marah, tentara Mongol 
lalu  menyerang Singhasari untuk  menghukum 
Kertanegara. namun  peperangan tidak terjadi sebab  saat  mereka datang, kertanegara sudah  meninggal  pada tahun 1292 M. Meninggalnya Kertanegara ini  akibat serangan dari Jayakatwang (keturunan Raja  Kediri). Dengan meninggalnya Raja Kertanegara ini berakhirlah kerajaan Singhasari.
g.  Kerajaan Majapahit
Sesudah  kerajaan Singhasari runtuh akibat 
serangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu 
Kertanegara) yang berhasil meloloskan diri dan pergi ke Madura dilindungi oleh Arya Wiraraja (Bupati Sumenep dari Madura). Atas jasa Arya Wiraraja ini, Raden Wijaya  memperoleh  pengampunan dari Jayakatwang. Selain memperoleh  pengampunan, Raden Wijaya diberi tanah oleh Jayakatwang di sebuah hutan 
tarik dekat Mojokerto yang lalu  area  itu 
dinamakan  dengan area  Majapahit. Di Majapahit, Raden Wijaya menyusun kekuatan  untuk menyerang balik Jayakatwang. saat  tentara 
Mongol datang untuk menyerang Singhasari, Raden Wijaya dengan strategi diplomasinya memanfaatkan pasukan itu untuk menyerang Jayakatwang. Pasukan  Jayakatwang berhasil ditaklukkan oleh pasukan  gabungan. Jayakatwang sendiri akhirnya ditangkap  dan dibunuh pasukan Mongol. saat  tentara Mongol  lengah, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan  Mongol yang sedang merayakan pesta kemenangan. 
Banyak tentara Mongol tewas di tangan pasukan 
Raden Wijaya, sementara tentara yang tidak terbunuh, 
kembali ke negerinya. 
K e m e n a n g a n  R a d e n  W i j a y a  i t u  t e l a h  menghantarkan pendirian kerajaan Majapahit 
menggantikan kerajaan Singhasari. Berikut ini 
raja –raja yang pernah memerintah di Majapahit 
antara lain Raden Wijaya yang masih keturunan 
dari Ken Dedes, Jayanegara yang menggantikan 
posisi ayahnya sebagai Raja Majapahit yang kedua 
pada tahun 1309. sebab  Jayanegara tidak punya 
keturunan, maka tampuk pemerintahan dipegang oleh  Tribuanatunggadewi (adik perempuan Jayanegara  lain ibu atau anak Gayatri salah seorang istri Raden  Wijaya). Tribuanatunggadewi hanya memerintah beberapa waktu dan kemudian  mengangkat anaknya Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit. Lebih jelasnya  perhatikan daftar silsilah Dinasti Rajasa berikut.
Wawasan Sosial 1 untuk Kelas VII168
h.  Kerajaan Sunda
Berita tentang kerajaan Hindu di Jawa Barat 
sesudah  kerajaan Tarumanagara ada  dalam 
naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa  Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Dalam  Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanjaya yaitu  anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya  dinamakan  sebagai menantu raja Sunda yang bernama 
Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda. 
Mendengar nama Sanjaya dan Sena  tentu 
masih ingat bahwa kedua nama itu tercantum juga 
dalam prasati Canggal (732 M), yang menceritakan 
asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di 
Kerajaan Mataram Lama. Bila kita bandingkan isi 
Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, ada 
kemungkinan Sanjaya di sana yaitu  orang yang 
sama. sedang  Sannaha dalam prasasti Canggal, 
kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan. 
maka , di Jawa Barat pada masa itu ada 
kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya 
Sanjaya.Sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat yaitu  prasasti Sahyang Tapak (1030).  Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dengan memakai   bahasa  Jawa Kuno, huruf Kawi. Dalam prasasti ini dinamakan  tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati  yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Padjajaran. 
Dia beragama Hindu. Sesudah  raja Jayabhupati wafat ibukota kerajaan dipindahkan lagi dari Pakuan Padjajaran ke Kawali (Ciamis) oleh  Rahyang Niskala Wastu Kencana (raja pengganti Jayabhupati). Di Kawali  ini Wastu Kencana mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya. 
Rahyang Niskala Wastu Kencana kemudian  
digantikan Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kancana). Dewa Niskala sendiri nantinya digantikan oleh  Sri Baduga Maharaja. Raja ini meninggal sesudah  btujuh tahun memerintah di Galuh. Ia tewas dalam  peristiwa Bubat (1357) sesudah  Sri Baduga menolak  memberi  Dyah Pitaloka sebagai upeti untuk  Hayam Wuruk (Raja Majapahit). Kerajaan Sunda  kemudian  diperintah oleh Hyang Bunisora (1357-1371), Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1374), Tohaan (1475-1482), dan Ratu Jayadewata (1482-1521).
Menurut prasasti Batutulis pemerintahan Ratu 
Jayadewata ada di ibukota lama Pakuan Padjajaran.
Kerajaan Sunda ini kemudian  mulai terancam oleh 
perkembangan Banten dan Cirebon yang sudah 
menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang-orang  Islam. Merasa khawatir dengan perkembangan baru 
di pesisir utara, Sang Ratu Jayadewata mengutus 
Ratu Samiam (Prabu Surawisesa) ke Malaka untuk 
meminta bantuan pasukan Portugis memerangi 
orang-orang Islam. Menurut berita Portugis, utusan 
yang dipimpin Ratu Samiam itu datang pada tahun 
1512 dan 1521.  Ratu Samiam atau Prabu Surawisesa  menurut carita Parahyiangan menjadi raja Sunda pada  tahun 1521-1535. 
Tindakan yang dilakukan oleh kerajaan Sunda 
itu tidak disukai oleh kerajaan Demak. Di bawah 
kepemimpinan Sultan Trenggono, ia berusaha 
bertindak untuk menghentikan pengaruh Portugis 
di Jawa. Dikirimlah menantunya yang bernama 
Fatahillah untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa  dan menguasai pelabuhan ini . Keadaan ini  
secara politis menekan kerajaan Sunda. kemudian  
pada masa Raja Nuisya Mulya, kerajaan Sunda 
runtuh pada tahun 1579 akibat  adanya serangan dari  Kesultanan Banten di bawah pemerintahan Maulana Yusuf. 
i.  Kerajaan Bali
Mendengar nama Bali tentu di antara  sudah 
tidak asing lagi. warganya sampai sekarang kuat mempertahankan tradisi Hindu. Namun demikian, agama Hindu yang mereka anut sudah  tercampur dengan budaya warga asli Bali sebelum Hindu. Melalui proses sinkretisme ini, lahirlah agama Hindu Bali yang bernama Hindu Dharma.Pada abad ke-7, nama Bali dalam berita Cina dinamakan  dengan rnama Dwa-pa-tan, yang terletak di  sebelah timur kerajaan Holing (Jawa). Menurut para  ahli nama Dwa-pa-tan ini sama dengan Bali. 
Pengaruh Hindu di Bali berasal dari Jawa Timur, 
saat  Bali berada di bawah kekuasaan Majapahit. 
saat  Majapahit runtuh, ada sebagian penduduk 
yang melarikan diri ke Bali, sehingga banyak 
penduduk Bali sekarang yang menganggap dirinya 
keturunan dari Majapahit.
Prasasti yang menceritakan raja yang berkuasa 
di Bali ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur. 
Prasasti ini berangka tahun 914. Dalam prasasti ini 
dinamakan  Raja yang bernama Khesari Warmadewa,  istananya terletak di Sanghadwala. Prasasti ini ditulis dengan huruf nagari (India) dan sebagian lagi  berhuruf Bali Kuno, namun  berbahasa Sansakerta.  Raja kemudian  yang berkuasa yaitu  yaitu   Ugrasena pada tahun 915. Ugrasena digantikan oleh 
Tabanendra Warmadewa (955-967). Tabanendra 
lalu  digantikan oleh Jayasingha Warmadewa 
yang membangun dua buah pemandian suci di 
Desa Manukraya. Jayasingha lalu  digantikan 
oleh Jayasadhu Warmadewa yang memerintah dari 
tahun 975-983. Jayasadhu digantikan oleh adiknya 
Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia lalu  
digantikan oleh Dharmodayana yang terkenal 
dengan nama Udayana yang naik tahta pada tahun 
989. Udayana memerintah sampai tahun 1011. Salah  seorang anaknya yaitu Airlangga menikah dengan  putri Dharmawangsa (raja Jawa Timur) sehingga Ia  menjadi raja di Jawa Timur,  sementara Marakata  adiknya memerintah di Bali (1011-1022). Marakata  yaitu  raja yang sangat memperhatikan kehidupan  rakyatnya, sehingga ia dicintai dan dihormati oleh  rakyatnya. Untuk kepentingan peribadatan, ia membangun prasada atau bangunan suci di Gunung Kawi area  Tampak Siring. kemudian  Marakata digantikan oleh adiknya yang bernama Anak Wungsu, yang memerintah dari tahun 1049-1077. Pada 
masa pemerintahannya, keadaan negeri Bali sangat 
aman dan tentram. Rakyat hidup dengan bercocok 
tanam. Selain itu, rakyat juga memelihara binatang 
seperti kerbau, kambing, lembu, babi, bebek, kuda, 
ayam, dan anjing. Anak Wungsu tidak memiliki anak dari permaisurinya. Ia meninggal pada tahun 1077 M dan didharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring.Pengganti Anak Wungsu yaitu  Sri Maharaja Sri Walaprahu. Sesudah  pemerintahan Sri Walaprahu, muncul seorang ratu bernama Paduka Sri maharaja Sri  Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmiddhara Wijayatunggadewi. Masa pemerintahannya tidak  banyak diketahui. Ia digantikan oleh Sri Suradhipa  yang memerintah dari tahun 1115-1119 M dan  digantikan oleh Sri Jayasakti. Pada masa pemerintahan 
Sri Jayasakti, dia sangat memperhatikan rakyatnya 
tindakan yang dilakukan anatara lain meringankan 
beban pajak rakyatnya. Sri Jayasakti memerintah 
hingga tahun 1150 dan digantikan oleh Ragajaya. 
Sesudah  masa pemerintahan Ragajaya, di Bali 
terjadi kekosongan pemerintahan. Baru pada tahun  1170 muncul nama seorang raja yang bernama Jayapangus. Pada masa pemerintahan Jayapangus, kitab hukum yang dipakai yaitu  kitab hukum Manawakamandaka. 
Sesudah  Jayapangus masih banyak lagi raja lain-
nya yang memerintah di Bali. saat  Bali diperintah 
oleh Bhatara Sri Asta-asura-ratna Bumi Banten, Bali tahun 1430 ditaklukan oleh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Raja Bali ini menjadi raja terakhir yang memerintah di Bali. Sejak tahun itu Bali diperintah  oleh raja-raja keturunan Jawa yang menganggap  dirinya sebagai “wong Majapahit” artinya keturunan  Majapahit. Walaupun demikian, di Bali masih terdapat kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar, Tabanan, Karangassem, dan Buleleng.
 Masuknya kebudayaan India ke Indonesia 
sudah  membawa pengaruh terhadap perkembangan  kebudayaan di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sebelumnya memiliki kebudayaan asli tidak begitu saja  menerima budaya-budaya baru ini . Kebudayaan  yang datang dari India mengalami proses penyesuaian  dengan kebudayaan asli  Indonesia. Terjadilah proses 
akulturasi kebudayaan. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia  ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarah 
dalam berbagai bidang, antara lain:
1. bidang agama, dibuktikan dengan berkembangnya  agama Hindu dan Budha di Indonesia. Pada awalnya, warga Indonesia banyak menganut  animisme dan dinamisme. Animisme yaitu   kepercayaan terhadap arwah nenek moyang sedang  dinamisme yaitu  kepercayaan , 
kepada kekuatan  benda-benda pusaka 
tertentu dan  kepercayaan pada kekuatan-
kekuatan alam. Sesudah  masuknya pengaruh 
India, kepercayaan asli bangsa Indonesia ini 
lalu  berakulturasi dengan agama Hindu-
Budha. Akibat dari akulturasi antara animisme-
dinamisme dan Hindu-Buddha, beberapa upacara 
keagamaan Hindu-Budha yang berkembang di 
Indonesia tidak selalu sama dengan ajaran Hindu-
Buddha India. Akulturasi kebudayaan ini  
menghasilkan sinkretisme antara kebudayaan 
agama Hindu-Budha dengan kebudayaan asli 
bangsa Indonesia. 
2. bidang politik dan pemerintahan. Lahirnya 
berbagai kerajaan yang bercorak Hindu-Budha 
di Indonesia yaitu  salah satu bukti adanya 
pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia. Pada 
awalnya, warga Indonesia belum mengenal 
corak pemerintahan dengan sistem kerajaan. 
Sistem pemerintahan yang berlangsung di 
Indonesia masih berwujud  pemerintahan kesukuan 
yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Dengan 
demikian, masuknya pengaruh India membawa 
pengaruh pada terbentuknya kerajaan-kerajaan 
yang bercorak Hindu-Budha di Indonesia. 
3. bidang Pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan 
semacam asarama yaitu  salah satu bukti 
pengaruh dari kebudayaan Hindu-Buddha 
di Indonesia. Lembaga pendidikan ini  
mempelajari satu bidang saja, yaitu keagamaan.
4. bidang sastra dan bahasa. Pengruh Hindu-Budha 
pada bahasa yaitu  dikenal dan dipakai nya 
bahasa Sansakerta dan huruf Pallawa oleh 
warga Indonesia. Pada masa kerajaan 
Hindu-Budha di Indonesia seni sastra sangat 
berkembang terutama pada zaman kejayaan 
kerajaan Kediri.  Karya sastra itu antara lain:
a. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang disu-
sun pada masa pemerintahan Airlangga.
b. Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu 
Panuluh disusun pada zaman kerajaan 
Kediri.
c. Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh disusun 
pada zaman kerajaan Kediri.
d. Arjuna Wijaya dan Sutasoma, karya Mpu 
Tantular yang disusun pada zaman kerajaan 
Majapahit. 
e. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca disu-
sun pada zaman kerajaan Majapahit.
f. Wretta Sancaya dan Lubdhaka, karya Mpu 
Tanakung yang disusun pada zaman kera-
jaan Majapahit.
5. bidang seni tari. Relief-relief yang ada  pada 
candi-candi terutama candi Borobudur dan 
Prambanan menunjukan adanya bentuk tari-
tarian yang berkembang pada masa itu. Tarian 
perang, tuwung, bungkuk, ganding, matapukan 
(tari topeng) yaitu  jenis tarian yang terlihat 
di relief candi ini . Alat gamelan nampaknya 
dipakai  untuk mengiringi tarian ini . Alat-
alat gamelan ini , antara lain gendang, gong, 
kecer, gambang, saron, dan kenong. 
6. hiasan pada candi atau sering dinamakan  dengan 
relief yang ada  pada candi-candi di 
Indonesia didasarkan pada cerita-cerita epik yang 
berkembang dalam kesusastraan yang bercorak 
Hindu ataupun Budha. Epik yang tertera dalam 
relief candi Prambanan Contoh  mengambil dari 
cerita Ramayana dan relief pada candi Penataran 
mengambil epik kisah Mahabharata. 
7. Wujud akulturasi pemujaan arwah leluhur den-
gan ajaran Hindu-Budha dapat dilihat dari bentuk 
arca dan patung yang ditempatkan di candi. Seni 
arca yang berkembang di Indonesia memper-
lihatkan unsur kepribadian dan budaya lokal 
dan  tidak meniru dari India. Contoh raja yang 
diarcakan yaitu  raja Rajasa yang didewakan 
sebagai Siwa di candi makam Kagenengan, raja 
Anusapati sebagai Siwa di candi makam Kidal, 
raja Wisnuwardhana sebagai Budha di candi 
makam Tumpang, raja Kertanegara sebagai Wai-
rocana Locana di candi makam Segala dan raja 
Kertarajasa Jayawardhana sebagai Harihara di 
candi makam Simping. Patung-patung dewa 
dalam agama Hindu yang yaitu  pening-
galan sejarah di Indonesia, antara lain:
a. arca Tribhuwanattunggadewi,
b. arca batu Wisnu,
c. arca Siwa Mahadewa,
d. arca Lorojongrang,
e. arca Ganesha, dan 
f. arca Brahma.
8. Pengaruh Hindu-Budha ada  juga pada 
seni pertunjukan terutama seni wayang. Seni 
wayang sampai sekarang masih populer di 
kalangan warga Indonesia. Seni wayang 
beragam bentuknya seperti wayang kulit, wayang 
golek dan wayang orang. Pada masa Hindu-
Budha, kebudayaan pertunjukkan wayang ini 
yang mengambil epik cerita Ramayana dan 
Mahabharata. Meskipun demikian, cerita yang 
dikembangkan yaitu  perpaduan antara 
cerita Hindu-Budha dan unsur-unsur budaya 
asli. Adanya unsur budaya asli dapat terlihat dari 
dimasukkannya tokoh-tokoh “baru” yang kita 
kenal dengan sebutan Punakawan. Tokoh-tokoh 
punakawan seperti Bagong, Petruk dan Gareng 
(dalam seni wayang golek dinamakan  Astrajingga/
Cepot, Dewala dan Gareng).
9. bidang seni bangunan. Bidang seni bangunan 
yaitu  salah satu peninggalan budaya Hindu-
Budha di Indonesia yang sangat menonjol antara 
lain berwujud  candi dan stupa. Berikut ini candi-
candi yang ditemukan di Indonesia.
a Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, antara 
lain: Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi 
Pawon, Candi Prambanan, Kelompok Candi 
Dieng,  Candi Sukuh , Candi Sarjiwan Candi 
Lumbung Candi Sewu, dan Candi Sari atau 
Candi Bendah 
b Candi-candi di Jawa Timur, antara lain: Candi 
Badut, Candi Jago (Candi Jajaghu), Candi 
Kidal, Candi Panataran, Candi Jajawa (Candi 
Jawi), Candi Singhasari,  Candi Rimbi, Candi 
Bajang Ratu  dan Candi Sumber Awan 
 c Candi di Jawa Barat, antara lain:  candi Cang-
kuang 
d Candi-candi di luar Jawa, antara lain: di Su-
matera ada  beberapa candi seperti candi 
Muara Jambi, Candi Muara Takus, Candi 
Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai, dan 
Candi Gunung Tua. Di Bali ada  Candi 
Padas atau Candi Gunung Kawi yang terletak 
di Desa Tampak Siring Kabupaten Gianyar. 

Hipotesis Waisya = suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan 
agama Hindu Budha di Indonesia golongan pedagang.
Hipotesis Ksatria = suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan 
agama Hindu Budha di Indonesia golongan bangsawan atau para 
raja.Hipótesis Brahmana = suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan 
agama Hindu Budha di Indonesia yaitu  golongan pendeta atau brahmana.
Teori  Arus Balik = suatu teori yang menjelaskan bahwa bangsa Indonsia  saat  menerima pengaruh Hindu Budha tidak bersikap pasif, namun  
bersikap aktif yaitu banyak bangsa Indonesia  yang pergi ke India untuk belajar agama Hindu Budha lalu  mereka kembali ke Indonesia dan menyebarkan ilmu yang mereka peroleh dari 
India.
Ekspedisi Pamalayu = Ekspedisi yang dilakukan oleh Kertanegara dengan mengirimkan 
tentaranya ke Melayu dalam rangka memperluas area  kekuasaan Singgosari di luar Jawa.
Glosarium
  Ada beberapa pendapat mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, yaitu hipotesis  Waisya, Hipotesis 
Ksatria, Hipotesis Brahmana, dan Teori Arus Balik.
  Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di Indonesia antara lain: 
Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan  Mataram Kuno, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Kediri, Kerajaan Janggala, 
Kerajaan Majapahit,Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Bali.  
  Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang 
bercorak Hindu-Budha itu kita dapat ketahui dari sumber dalam negeri dan luar negeri. Sumber  dalam negeri antara lain prasasti, naskah, dan candi. Sementara sumber dari luar berwujud  naskah, prasasti dan  berita yang dibawa  oleh para petualang atau pendeta yang pernah sinmggah di Indonesia 
   Masuknya kebudayaan India ke Indonesia sudah  membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Namun demikian 
kebudayaan asli Indonesia tidak begitu luntu dengan masuknya budaya-budaya baru ini . Kebudayaan yang datang dari India mengalami 
proses penyesuaian dengan kebudayaan asli  Indonesia. Terjadilah proses akulturasi kebudayaan.
  Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia ini dapat dilihat dari 
peninggalan-peninggalan sejarah dalam berbagai bidang, antara lain berkembangnya agama Hindu-Budha, berkembangnya sastra dan bahasa, seni tari, seni rupa, seni patung, seni wayang, dan seni bangunan (candi atau pura),

Proses Islamisasi di setiap area  di Indonesia 
dilakukan secara bertahap. area  yang pertama 
memperoleh  pengaruh Islam yaitu  area  Indonesia 
bagian Barat. area  ini yaitu  jalur perdagangan 
internasional sehingga pengaruh dapat dengan 
cepat tumbuh di sana. area  pesisir itu nantinya 
menumbuhkan pusat-pusat kerajaan Islam seperti 
Samudera Pasai, Pidie, Aceh, Banten, Demak, 
Banjarmasin, Goa Makasar, Gresik, Tuban, Cirebon, 
Ternate dan Tidore sebagai pusat kerajaan Islam yang berada disekitar pesisir. Kota-kota pelabuhan seperti Jepara, Tuban, Gresik, Sedayu yaitu  kota-kota Islam  di Pulau Jawa. Di Jawa Barat sudah  tumbuh kota-kota Islam seperti Cirebon, Jayakarta, dan Banten. 
Ada beberapa pendapat mengenai proses 
Islamisasi di Indonesia. Menurut Ricklefs, proses 
Islamisasi dilakukan dengan dua proses. Pertama, 
penduduk pribumi berhubungan dengan agama 
Islam dan lalu  menganutnya. Kedua, orang-
orang asing (Arab, India, Persia, ,  ) yang 
sudah  memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu area  Indonesia, melakukan  perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal sehingga ajaran Islam dengan mudah masuk dalam kehidupan pribumi (orang Indonesia). Perkembangan 
A. Penyebaran Islam    
di Indonesia 
berikutnya penyebaran Islam dilakukan melalui 
pertunjukan kesenian, diplomasi politik dengan 
penguasa setempat, membuka lembaga-lembaga 
pendidikan seperti pesantren, dan tasawuf.
Berikut ini pendapat mengenai proses 
islamisasi di Indonesia.
1.  Proses Awal Kedatangan Islam 
Ada beberapa pendapat mengenai kapan awal 
Islamisasi berlangsung di Indonesia. Para sejarawan Indonesia berpendapat bahwa proses Islamisasi di Indonesia sudah dimulai pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pendapat ini berdasar  bukti bahwa pada abad ke-7  di pusat kerajaan Sriwijaya 
sudah  ditemukan  perkampungan-perkampungan 
pedagang Arab. Pendapat lain dikemukan oleh 
Mouquette (Ilmuwan Belanda) yang menyatakan 
bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-
13-14 Masehi. Penentuan waktu itu berdasar  
tulisan pada batu nisan yang ditemukan di Pasai. 
Batu nisan itu berangka tahun 17 Djulhijah 831 atau 21 September 1428 M dan identik dengan batu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (822 H atau 1419 M) di Gresik, Jawa Timur. Begitu juga dengan ditemukannya batu nisan Malik al-Saleh ( raja Samudera Pasai) yang berangka tahun 698 H atau 1297 M.  Selain sumber batu nisan, sumber lainnya didapat  dari tulisan Marcopolo (pedagang Venesia) yang  singgah di Sumatera dalam perjalanan pulangnya 
dari Cina pada tahun 1292. Di sana dinamakan  bahwa Perlak yaitu  kota Islam.
2.  Tempat asal para pembawa 
Islam 
a. Menurut Snouck Hurgronje para penyebar 
Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (India). 
Hubungan ini sudah berlangsung pada abad 
ke-13. Pendapat ini diperkuat oleh Mouquette 
yang melihat kesamaan batu nisan Malik al-Saleh 
dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat. 
Kedua tempat itu sama-sama menganut mazhab 
Syafi’i. Pijnappel juga berpendapat bahwa para 
pembawa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat 
dan Malabar.  Morrison dan Arnold mengatakan 
bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh orang-
orang Coromandel dan Malabar
b. Fattini berpendapat bahwa berdasar  model 
batu nisan Malik al-Saleh yang lebih  mirip 
dengan batu nisan yang ada di Benggala, Fattini 
menyimpulkan bahwa tempat asal para penyebar 
Islam di Indonesia yaitu  dari Benggala yang kini 
lebih dikenal dengan sebutan Banglades. 
c. Crawford berpendapat lain. Ia mengatakan Islam 
berasal langsung dari Mekah (Arab). Pendapat 
Crawford itu didukung oleh sejarawan Indonesia, 
seperti Hamka yang berpendapat bahwa Islam yang  masuk ke Indonesia itu langsung dari Arab. 
d. Husein Djajadiningrat lebih berpendapat bahwa 
Islam di Indonesia berasal dari Parsi atau 
Persia. Ia lebih menitikberatkan pada kesamaan 
kebudayaan dan tradisi yang berkembang antara 
warga Persia dan Indonesia, seperti tradisi 
perayaan 10 Muharram dan  pengaruh bahasa 
yang banyak dipakai di Indonesia. berdasar  penemuan bukti-bukti awal proses Islamisasi di Indonesia itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan yaitu :
1) Islam pertama kali masuk ke Indonesia abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 M, dibawa oleh para pedagang Arab yang sudah  me-
miliki hubungan dagang dengan pedagang-pedagang di pesisir pantai Sumatera.
2) Islam mengalami perkembangan pada abad ke-13/14 M, sesudah  para pedagang Gujarat secara intensif melakukan proses penyebaran Islam seiring dengan kegiatan perdagangan mereka.Islam datang ke Indonesia ada yang dari Arab langsung dan ada yang melalui Gujarat India
3.  Tokoh penyebar Islam 
Para penyebar Islam di Indonesia ada beberapa 
kelompok, antara lain para pedagang, para ustadz, 
sultan, dan para wali (mubaligh). Di Pulau Jawa proses Islamisasi dilakukan oleh sekelompok mubaligh Islam  dinamakan  walisongo. Wali yaitu  
orang yang dekat dengan Allah, sedang  songo 
menunjukkan jumlah yaitu sembilan. Jadi walisongo  artinya sembilan orang wali. Walisongo diartikan pula  dengan sembilan orang-orang yang disucikan. Berikut 
ini nama-nama walisongo ini .
a. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim, 
 dinamakan  Maulana Maghribi yaitu  orang 
pertama yang menyebarkan agama Islam di Pulau 
Jawa. Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. 
Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa beliau 
berasal dari Turki, Arab, dan Gujarat. namun  pendapat yang lebih kuat ia berasal dari Maroko.
Pada tahun 1329 M, ia hijrah ke Pulau Jawa. 
Sebelumnya ia singgah di Campa, Kamboja. area  
pertama yang dituju yaitu  Desa Sembalo, area  
yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan 
Majapahit. Selain mengajarkan tentang ajaran keislaman,  Maulana Malik Ibrahim juga memperkenalkan budi pekerti Islam dengan tutur kata yang sopan dan lemah lembut sehingga banyak penduduk Jawa yang tertarik 
memeluk agama Islam. Maulana Malik Ibrahim ini 
wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 Hijriah  atau 
9 April 1419 M dan dimakamkam di Gresik.
b. Sunan Ampel
Sunan Ampel memiliki  nama aslinya Raden 
Rakhmat. Ia seorang kemenakan dari raja Majapahit  yang bernama Kertawijaya. Menurut cerita rakyat,  Raden Rakhmat ini berasal dari Campa. dinamakan   ia yaitu  anak dari Raja Campa Ibrahim Asmarakandi  atau Maulana Malik Ibrahim yang di utus ke  Majapahit (Jawa) bersama adiknya yang bernama  Sayid Ali Murtadha pada tahun 1443.  Sesudah  beberapa lama tinggal di Jawa, pada tahun  1450 Raden Rahmat ini menikah dengan Nyi Ageng  Manila, putri Bupati Tuban yang sudah memeluk  agama Islam. kemudian  Raden Rakhmat tinggal  di area  Ampeldenta, area  pemberian dari raja  Majapahit. Di Ampeldenta Raden Rahmat mendirikan  mesjid dan membuka pondok pesantren. Sesuai dengan tempat kegiatan dakwahnya, Raden Rakhmat  ini dikenal dengan Sunan Ampel.  Sunan Ampel terkenal dengan ajaran Mo Limo  yang berarti tidak melakukan lima perkara yang  terlarang, yaitu:
1) emoh main (tidak mau judi);
2) emoh ngumbih (tidak mau minum-minuman yang  memabukan);
3) emoh madat (tidak mau minum/menghisap 
candu/ganja);
4) emoh maling (tidak mau mencuri);
5) emoh madon (tidak mau berzina).
Hasil dari pendidikan pesantren Ampeldenta 
ini muncul tokoh wali lainnya, yaitu Sunan Giri dan 
Sunan Kalijaga. Begitu juga dengan putranya yang 
bernama Sunan Derajat dan Sunan Bonang sudah  
mengikuti jejak ayahnya sebagai wali. Keberhasilan 
yang lain dari Sunan Ampel, ia menjadi perencana 
kerajaan Demak. Dialah yang melantik Raden Patah 
sebagai Sultan Demak yang pertama tahun 1481. Pada  tahun 900 Hijriyah (1494 M), Sunan Ampel wafat.  Jenazahnya dimakamkan di Ampeldenta, Surabaya.
c. Sunan Bonang
Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim yaitu  
putra Sunan Ampel dari istrinya yang bernama Nyi 
Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban. Ia 
belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampeldenta. Sesudah  cukup ilmu ia berkelana dan menetap di Bonang (area  Tuban, Jawa Tengah). Di Bonang itulah pusat dakwah Islamnya. Di sana ia mendirikan pesantren dinamakan  Watu  Layar.
Sunan Bonang memakai  kesenian bonang 
sebagai media untuk berdakwah. Ia menabuh 
bonang diiringi dengan lagu-lagu berwujud  pantun 
yang bernafaskan keislaman. Sunan Bonang berhasil  menggubah lagu gending sekaten dan tembang mocopat yang sampai sekarang tembang itu populer  di kalangan warga Jawa. Pada tahun 1525 M,  Sunan Bonang wafat. Ia dimakamkan di area  Tuban, Jawa Tengah
d. Sunan Derajat
Saudara dari Sunan Bonang yaitu  Masih Munat. 
Masih Munat nantinya terkenal dengan nama Sunan  Derajat. Pusat kegiatannya di area  Sedayu, Jawa  Timur. Seperti halnya ayah dan saudaranya, Sunan  Derajat dalam berdakwah memakai  alat gamelan.  Jika Sunan Bonang berhasil mengubah lagu gending  sekaten, maka Sunan Derajat berhasil menciptakan  lagu gending pangkur yang sampai sekarang lagu itu masih banyak digemari oleh warga Jawa. Sunan Derajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya.  Dialah wali yang memelopori penyantunan anak-anak 
yatim dan orang sakit. 
e. Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku yaitu  putra dari 
Maulana Ishak dari Blambangan, sahabat Sunan 
Ampel. Raden Paku ini bersahabat dengan Sunan 
Bonang. Keduanya lalu  disuruh pergi haji ke 
Mekah sambil menuntut ilmu oleh Sunan Ampel. 
Sunan Giri mendirikan pesantren di area  Giri. Pada perkembangan kemudian , pesantren itu 
menjadi pesantren yang terkenal ke seluruh nusantara.  Santri yang belajar di pesantren Sunan Giri banyak  berasal dari luar Jawa, seperti Madura, Kalimantan, Makasar, dan Lombok. Selain menerima santri dari berbagai area , Sunan Giri ternyata mengirimkan  banyak mubalignya ke Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Sesudah  wafat, Sunan Giri dimakamkan di Bukit Giri dekat Gresik. 
f. Sunan Kalijaga 
Sunan Kalijaga yaitu  putera seorang Adipati 
Tuban. Nama asli Sunan Kalijaga yaitu  Raden Jaka 
Said. Sejak kecil ia sudah menampakan ketaatan 
kepada agama Islam dan berbakti kepada orang tua. Sunan Kalijaga yaitu  mubalig keliling dan tidak 
memiliki pusat dakwah yang tetap. 
Sunan Kalijaga memakai  kesenian wayang 
kulit sebagai media dakwahnya. Sunan Kalijaga 
memadukan kisah yang dilakonkan dengan ajaran 
Islam sehingga Islam mudah dipahami. Pada masa itu,  warga sangat menggemari kesenian wayang.  Peninggalan lainnya dari Sunan Kalijaga yang sekarang masih dipakai dalam kehidupan warga  Indonesia, antara lain: perancang pertama baju taqwa,  penciptakan lagu Dandang Gula dan Semarangan,  mencipakan seni ukir bermotif dedaunan, menciptakan  bedug di mesjid, menciptakan Gong Sekaten, dan 
memprakarsai Gerebeg Maulud. Sunan Kalijaga di 
makamkan di area  Kadilangu dekat Demak.
g. Sunan Kudus
Sunan Kudus atau Jafar Sadiq. Ia yaitu  salah seorang  panglima tentara Demak. Sepulangnya dari Mekah ia  mendirikan pusat dakwah dengan nama Kudus, diambil dari nama al-quds (Palestina). Mesjid yang terkenal dibangun yaitu  Mesjid Kudus yang terkenal dengan menara  mesjidnya. Semasa hidupnya, ia mengajarkan agama Islam 
di sekitar pesisir utara Jawa Tengah di area  Kudus Dari  sinilah ia lebih dikenal sebagai Sunan Kudus.
Sunan Kudus ini seorang yang ahli dalam bidang 
tauhid, hadist, fiqih, dan lainnya. Ia juga terkenal 
sebagai pujangga yang mengarang cerita pendek yang  bernafaskan keislaman. Dalam bidang kesenian ia  dikenal sebagai pencipta Gending Asmarandana. 
h. Sunan Muria
Sunan Muria atau Raden Prawoto atau Raden 
Umar Said, yaitu  putra Sunan Kalijaga. sebab  
ibunya yaitu  adik Sunan Giri maka Sunan Muria 
ini keponakan Sunan Giri. Pusat kegiatan dakwah 
Sunan Muria terletak di lereng Gunung Muria (Jawa 
Tengah)  Ia banyak bergaul dengan rakyat jelata. 
Sambil bercocok tanam, berladang, dan berdagang, 
ia mengajarkan ajaran Islam. Cara lainnya dalam 
berdakwah dengan memakai  alat kesenian 
rakyat berwujud  gamelan. Ia menciptakan gending 
sinom dan kinanti. Sunan Muria wafat pada tahun 
1560 M dan dimakamkan di atas Gunung Muria.
i. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati nama aslinya Falatehan atau 
Fatahilah, ada juga yang menyebut Syarif Hidayattullah  berasal dari Pasai (Aceh). Sunan Gunung Jati ini yaitu  wali satu-satunya wali yang banyak berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Pusat kegiatan  dakwahnya di area  Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat  sehingga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. 
Pada tahun 1570 M, Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat.  
 
No. Nama Ulama area  Penyebaran
 1. Syekh Bentong Gunung Lawu
 2. Sunan Bayat Jawa
 3. Sunan Bayat Klaten
 4. Syekh Majagung Jawa
 5. Sunan Sendang Jawa
 6. Datuk Ri Bandang Makasar
 7. Datuk Sulaeman Sulawesi
 8. Tuan Tunggang Parangang Kalimantan
 9. Penghulu Demak Kalimantan
 Para Ulama Penyebar Islam di Indonesia
Sesudah  walisongo, proses penyebaran Islam 
dilanjutkan oleh para ulama. Para ulama itu tersebar di  berbagai area  di Indonesia, antara lain 
No. Nama Pemikir Hasil Karyanya
 1. Hamzah Fansuri Syarab al-Asyiqin (Syair Perahu) dan Asrar 
al-Arifin
 2. Nuruddin ar-Raniri Bustan as-Salatin
 3. Syekh Abdurrauf al-Fansuri Tarjuman al-Mustafid
 4. Sultan Agung Sastra Gending
 5. Syekh Yusuf Safinat an-Najat dan Tuhfat ar-Rabbaniyah
Pemikir-pemikir Islam di Indonesia
Pengaruh Islam di Indonesia tidak hanya 
ditunjukan dengan adanya perkembangan agama dan budaya Islam, namun   juga dapat dilihat dari adanya perkembangan pemerintahan kerajaan yang bercorak Islam. Pemerintahan kerajaan Islam ini banyak  menggantikan kerajaan-kerajaan yang bercorak.
Selain para ulama, ada  juga pemikir-pemikir 
Islam lainnya. Nama-nama pemikir Islam berikut 
dengan hasil karyanya antara lain sebagai berikut.
 Adapun ciri-ciri khusus dari kerajaan 
Islam ini, antara lain:
1. pemerintahan berasaskan hukum Islam (Hukum 
Syara’);
2. rajanya bergelar Sultan;
3. raja berfungsi sebagai pemimpin agama di 
samping sebagai kepala pemerintahan;
4. agama Islam dijadikan sebagai agama kerajaan.
Kerajaan-kerajaan ini  antara lain kerajaan 
Samudera Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Pajang, 
Mataram, Banten, Cirebon, Makasar, Banjar, dan 
Ternate dan Tidore.
a. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah 
utara Perlak di area  Lhok Seumawe (sekarang 
pantai timur Aceh), berbatasan langsung dengan 
Selat Malaka. Kerajaan ini menjadi pusat penyebaran agama Islam di sekitar Sumatera dan Malaka.  Kerajaan Samudera Pasai yang memperoleh  julukan 
“area  Serambi Mekkah“ini yaitu  kerajaan 
Islam pertama di Indonesia. Pendiri sekaligus raja 
pertama kerajaan ini yaitu  Sultan Malik Al-Saleh 
(1290-1297). Sesudah  Sultan Malik Al-Saleh wafat tahun 1297 M, kerajaan Samudera Pasai dipegang oleh putranya yang bernama Sultan Malik al-Tahir (1297-1326). kemudian   sesudah  Sultan Malik al-Tahir wafat,  Sultan Malik al Zahir menjadi raja yang menggantikan. Menurut Ibnu  Batutah (pengembara dari Maroko) yang pernah singgah  di Samudera Pasai tahun 1345 dan 1346,  Sultan Malik a-
Zahir ini yaitu  seorang sultan yang taat kepada agama  dan menganut mazhab Syafi’i.
saat  tahta kerajaan dipegang oleh Zainal 
Abidin tahun 1348, Majapahit berhasil menguasai 
Samudera Pasai. maka , Samudera Pasai 
berada di bawah kekuasaan Majapahit. Sesudah  
Majapahit mengalami kehancuran, Samudera Pasai 
tegak kembali. namun  sesudah  Zainal Abidin, kerajaan  ini tidak terdengar lagi sebab  sudah  tergeser oleh  Kerajaan Malaka. Seperti halnya kerajaan Sriwijaya, perekonomian  warga Samudera Pasai banyak menggantungkan 
pada perdagangan. Posisinya yang berada di jalur 
perdagangan internasional dimanfaatkan oleh kerajaan ini  untuk kemajuan ekonomi rakyatnya. Banyak pedagang  dari berbagai negara berlabuh di Pelabuhan Pasai.  Untuk itu kerajaan ini berusaha menyiapkan bandar-bandar yang dapat dipakai  untuk menambah bahan  perbekalan, mengurus perkapalan, mengumpulkan dan  menyimpan barang dagangan yang akan dikirim ke 
dalam dan luar negeri.
b.  Kerajaan Malaka
Seperti halnya kerajaan Samudera Pasai, 
pertumbuhan Kerajaan Malaka dipengaruhi 
oleh ramainya perdagangan internasional yang 
menghubungkan Asia Barat, Asia Selatan, dan 
Asia Timur. Pelabuhan Malaka menjadi tempat 
persinggahan para pedagang dari berbagai bangsa 
terutama para pedagang Islam.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh 
Parameswara (seorang pangeran dari Palembang yang lari ke Malaka saat  terjadi serangan Majapahit). Ia  mendirikan kerajaan Malaka ini sekitar tahun 1400.  Sesudah  memeluk Islam, ia mengganti namanya  dengan nama Muhammad Syah. Muhammad Syah  memerintah di kerajaan Samudera Pasai dari tahun  1400-1414. Sesudah  wafat, ia lalu  digantikan oleh 
Sultan Iskandar Syah (1414-1424). kemudian  raja-
raja yang berkuasa di Malaka yaitu  sebagai berikut, 
Sultan Muzaffar Syah (1424-1444), Sultan Mansur syah (1444-1477), Sultan Mahmud Syah (1477-1511). Kerajaan Malaka pada masa Mahmud Syah  mengalami keruntuhan sesudah   pada tahun 1511  Malaka dikuasai oleh Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. 
c.  Kerajaan Aceh
Sesudah  jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun  1511, para pedagang Islam tidak mengakui kekuasaan  Portugis di Malaka. Mereka segera memindahkan jalur  perniagaan ke bandar-bandar lainnya di seluruh Nusantara.  Peran Malaka sebagai pusat perdagangan internasional 
digantikan oleh Aceh selama beberapa abad.
Kerajaan Aceh ini didirikan oleh Sultan Ali 
Mughayat Syah pada 1513. Ia berkuasa dari tahun 1513  sampai 1528. Pengganti Ali Mughayat Syah yaitu   Sultan Alaudin Riayat Syah yang mengadakan tiga  kali  penyerangan kepada Portugis di Malaka pada  tahun 1528, 1560, dan 1568. Namun, penyerangan- penyerangan ini  mengalami kegagalan. Sultan  Aceh yang pernah membawa Aceh pada puncak  kejayaan yaitu  Sultan Iskandar Muda yang  memerintah pada tahun (1607-1636). Berikut ini  beberapa tindakan yang dilakukan Iskandar Muda  untuk memperkuat kerajaan Aceh.
1. Memperluas area  kekuasaan ke Semenanjung 
Malaka dengan dikuasainya kerajaan Kedah, 
Perak, Johor, dan Pahang. area  pantai barat 
dan timur Sumatera dikuasainya sampai ke 
Pariaman yang yaitu  jalur masuk Islam ke 
Minaangkabau.
2. Untuk memperlemah kekuasaan Portugis, Iskan-
dar Muda membuka kerja sama dengan Belanda 
dan Inggris dengan mengijinkan kongsi dagang 
mereka, yaitu VOC dan EIC untuk membuka 
kantor cabangnya di Aceh.
3. Menyerang Portugis di Malaka dan sempat 
mengalahkan Portugis di Pulau Bintan pada 
tahun 1614.
4. Mendirikan Masjid Baiturrahman di pusat ibu-
kota kerajaan Aceh.
Pengganti Iskandar Muda yaitu  Iskandar 
Thani (1636-1641). Pada masa pemerintahannya ia 
lebih memperhatikan penataan dalam negeri, seperti 
penegakan syari’at Islam dalam warga dan  
menjalin hubungan dengan area  taklukan secara 
liberal bukan lagi tekanan politik dan militer. Pada 
masa itu pun hadir beberapa orang ulama terkenal 
seperti Hamzah Fansuri. Ulama Islam terkenal lainnya 
yaitu  Syekh Nuruddin Ar-Ranairi yang berasal dari 
Singkil atau dinamakan  pula Kuala sehingga Ar-Ranairi 
di sebuat juga Syiah Kuala. Beliaulah yang pertama 
kali diangkat sebagai imam besar Mesjid Raya 
Baiturrahman. Untuk mengabadikan namanya, di 
Aceh didirikan sebuah perguruan tinggi negeri yang 
berna Syiah Kuala, yaitu Universitas Syiah Kuala. 
Sepeninggal Iskandar Thani kerajaan Aceh mengalami 
kemunduran sebab  beberapa area  taklukannya 
berwujud ya memisahkan diri dari pemerintahan 
pusat dan  tak mampu lagi berperan sebagai pusat 
perdagangan.     
d.  Kerajaan Demak
Kerajaan Demak yang terletak di Jawa Tengah 
yaitu  kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. 
Kerajaan Demak ini berdiri pada sekitar abad 15 
M oleh Raden Patah (putra Raja Majapahit yang 
bernama Kertawijaya). saat  kerajaan Majapahit 
mengalami kehancuran akibat perang saudara 
tahun 1478, Demak bangkit menjadi kerajaan Islam. kemudian  kerajaan Demak berkembang menjadi 
kerajaan besar, di bawah kepemimpinan Raden Patah (1481-1518). Negeri-negeri di pantai utara Jawa yang  sudah menganut Islam mengakui kedaulatan Demak.  Bahkan Kekuasaan Demak meluas ke Sukadana  (Kalimantan Selatan), Palembang, dan Jambi. 
Demak di bawah pimpinan Adipati Yunus (putra 
Raden Fatah) pada tahun 1512 dan 1513 melakukan  penyerangan ke Malaka untuk menggempur kekuasaan  Portugis di sana. sebab  pernah menyerang ke Malaka  itu, Adipati Yunus diberi gelar Pangeran Sabrang Lor 
(Pangeran yang pernah menyebrang ke utara).
Pada masa Sultan Trenggana kerajaan Demak 
mencapai puncak kejayaannya. Beberapa tindakan 
penting yang dilakukannya, antara lain:
1. menjadikan Demak sebagai salah satu pusat 
penyebaran agama Islam di Nusantara.
2. melakukan penguasaan terhadap area   
pantai utara Jawa seperti Banten dan Cirebon yang 
dipimpin oleh Fatahillah, hal ini dimaksudkan 
supaya   Demak menjadi pusat kekuasaan di 
Jawa.
3. melakukan penyebaran Islam ke Kalimantan Selatan  dan membantu mendirikan Kerajaan Banjar. Sepeninggal Pangeran Trenggana terjadi konflik  dalam keluarga, hal ini memicu  kekacauan dan  banyak area  taklukannya  yang memerdekakan diri.  Ketegangan ini dapat diredakan sesudah  Jaka Tingkir  yang menjabat Adipati Pajang sekaligus menantu Sultan 
Trenggono meredam pemberontakan Aria Panangsang  yang menginginkan tahta kerajaan. Jaka Tingkir  lalu  memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang yang sekaligus awal berdiri kerajaan Pajang. 
e.  Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang didirikan Jaka tingkir yang 
sesudah  menjadi sultan memperoleh kan gelar Adiwijaya. Masa pemerintahan kerajaan Pajang tidak lama, sebab  sesudah  wafatnya Adiwijaya terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Pangiri  (menantu Adiwijaya) 
dan Pangeran Benawa (putera Adiwijaya). Tahta 
Pajang direbut Aria Pangiri, Pangeran Benowo 
Wawasan Sosial 1 untuk Kelas VII196
tidak terima. Ia lalu  meminta bantuan kepada 
Sutawijaya, Adipati Mataram, untuk merebut tahta 
kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke 
Banten, sementara Pangeran Banowo menyerahkan 
tahta kerajaan kepada Sutawijaya. Berakhirlah 
kerajaan Pajang dan berdirilah Kerajaan Mataram.
f.  Kerajaan Mataram 
Kerajaan Mataram menjadi pusat pemerintahan 
di Jawa pada tahun 1575 sesudah  pusaka kerajaan 
dipindahkan dari Pajang ke Mataram oleh Sutawijaya. Sesudah  menjadi Sultan di Mataram, Sutawijaya  memperoleh  gelar Panembahan Senopati, ia bercita-cita  menguasai seluruh pulau Jawa. area   yang  tidak mengakui kedaulatan Matarm ditundukannya  seperti Demak, kediri, Madiun, Surabaya, Kedu dan  Pasuruan. Sesudah  Sutawijaya wafat, cita-cita perjuangan 
dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Mas 
Jolang. Pada masa pemerintahannya banyak terjadi  pemberontakan yang dilakukan para bupati pesisir yang  memicu nya ia gugur di Desa Krapyak sehingga ia dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak. 
Sesudah  Mas Jolang meninggal, tahta kerajaan 
dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Raden 
Rangsang yang terkenal dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Dialah raja Mataram  terbesar dalam sejarah. Seluruh Jawa Tengah dan  Jawa Timur termasuk Madura mengakui kedaulatan  Mataram. Surabaya yang sukar dikalahkan, pada  masa Sultan Agung berhasil ditaklukan tahun 1625. Di  Jawa Barat, kekuasaan Mataram tertanam di Cirebon, 
Sumedang, dan Ukur (Bandung sekarang). Banten 
sebagai area  strategis tidak berhasil dikuasai. 
Bersamaan dengan usaha  perluasaan kekuasaan yang dilakukan Mataram sudah  muncul kekuatan baru di  Jayakarta (Batavia) yang yaitu  jalur Mataram  ke Banten. Kekuatan baru itu yaitu  VOC suatu  kongsi dagang milik kerajaan Belanda. kemudian  
Sultan Agung mengadakan penyerangan ke VOC di 
Batavia. Serangan pertama dilakkukan pada tahun 
1628 dan yang kedua pada tahun 1629, namun kedua  penyerangan ini  gagal. 
Ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai 
kejayaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan 
Agung, antara lain dalam bidang perekonomian, 
kehidupan warganya yang agraris berkembang  dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang  berwujud  beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan  Agung berhasil membuat kalender Jawa yang  yaitu  perpaduan tahun saka dengan tahun  hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung  mengarang kitab sastra gending yang berwujud  kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah sahadat) atau Sekaten, yang  sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat lalu  
kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat I 
(putranya). Berbeda dengan para leluhurnya, ia 
melakukan kerja sama dengan pihak VOC  yang 
mengijinkannya untuk  mendirikan benteng di 
Mataram dan ikut campur dalam pemerintahan istana. 
Kebijaksanaan yang dilakukannya memicu  
pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo 
sebab  VOC melakukan kesewenang-wenangan, 
namun pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh 
VOC. Amangkurat I wafat sebab  terluka saat terjadi 
pemberontakan dan digantikan oleh Amangkurat II. 
Pada masa Amangkurat II ini terjadi pemindahan 
pusat pemerintahan dari Mataram ke Kertasura (Solo). Satu demi satu area  kekuasaan Mataram dikuasai  oleh VOC dan dengan campur tangan VOC. Belanda  berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755  dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan  Mataram menjadi dua area  kerajaan, yaitu:
1. Kasunanan Surakarta, di perintah oleh Susuhunan Pakubuwono III.
2. Kesultanan Yogyakarta atau Ngayogyakarta 
Hadiningrat diperintah oleh Mangkubumi 
dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Selain itu, pada tahun 1757 Belanda kembali ikut 
campur dalam pembagian kerajaan Mataram. Melalui  Perjanjian Salatiga, kerajaan Mataram pecah menjadi  Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta,  Kerajaan Paku Alam, dan kerajaan Mangkunegara.
g.  Kerajaan Cirebon
Pada awalnya, Cirebon yaitu  sebuah  area  kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Menurut cerita di Banten, peletak dasar pemerintahan  di Cirebon yaitu  Falatehan atau Fatahillah yang tidak lain yaitu  Sunan Gunung Jati. namun  menurut 
sumber-sumber sejarah di Cirebon, Sunan Gunung 
Jati dan Falatehan atau Fatahillah yaitu  dua orang 
yang berbeda. Menurut sumber ini  Falatehan 
yaitu  menantu Sunan Gunung Jati yang menikahi 
anaknya Nyai Ratu Ayu. Falatehan lalu  menjadi 
Raja Cirebon sesudah  mertuanya wafat tahun 1570. Di  masa pemerintahan Fatahillah, Kesultanan Cirebon  berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat 
penyebaran agama Islam di Jawa Barat. 
Untuk memperluas pengaruhnya, Sunan Gunung 
Jati mengembangkan Islam ke area   lain di 
Jawa Barat seperti ke Kawali, Kuningan, Majalengka, Sunda Kelapa dan Banten. saat menduduki 
Banten ia sempat tinggal beberapa waktu dan 
meletakan dasar-dasar bagi pengembangan agama 
Islam dan perdagangan di sana. Perkembangan 
Banten kemudian  dilanjutkan oleh anaknya 
Sultan Hasanuddin yang dilalu  hari banyak 
menurunkan raja-raja Banten.   Sesudah  Sunan Gunung  Jati wafat, kerajaan dipimpin oleh Panembahan Ratu  dan yang terakhir dilanjutkan oleh Panembahan Giri Laya. Ia yaitu  penguasa Kesultanan Cirebon yang  terakhir sampai tahun 1705 sesudah  Cirebon mengakui  kekuasaan Mataram dan akhirnya diserahkan kepada 
VOC oleh susuhunan. Perkembangan berikutnya 
Kesultanan Cirebon terbagi menjadi dua, yaitu 
Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman. 
f.   Kerajaan Makasar (Goa dan Tallo)
Makasar tumbuh menjadi pusat perdagangan 
di Indonesia bagian Timur. Hal ini dipicu  
letak Makasar yang strategis yang menghubungkan 
jalur Malaka, Jawa, dan Maluku. Kerajaan Makasar 
mengembangkan kebudayaan yang didasarkan 
atas nilai-nilai Islam. Islam masuk ke Makasar lewat  pengaruh Kesultanan Ternate yang giat memperkenal  Islam di sana. Raja Gowa (Makasar) yang bernama  Karaeng Tunigallo menerima dakwah dari Dato Ri  Bandang. kemudian  ia masuk Islam dengan memakai  gelar Sultan Alaudin Awwalul-Islam (1605-1638). 
Kerajaan Makasar mencapai puncak kejayaannya 
pada masa Sultan Hasanuddin (1654-1660). Ia 
berhasil membangun Makasar menjadi kerajaan yang  menguasai jalur perdagangan di area  Indonesia  Bagian Timur. Hasanuddin berani melawan Belanda  yang menghalang-halangi pelaut Makasar membeli  rempah-rempah dari Maluku dan mencoba ingin  memonopoli perdagangan. Keberaniannya melawan 
Belanda, ia dijuluki “Ayam Jantan dari Timur” 
oleh orang-orang Belanda sendiri. Dalam perang 
ini, Hasanuddin tidak berhasil mematahkan ambisi 
Belanda untuk menguasai Makasar. Makasar terpaksa  menandatangi Perjanjian Bongaya (1667) yang isinya sesuai dengan keinginan Belanda. Dengan perjanjian ini , 
1. Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-
rempah di Makasar;
2. Belanda mendirikan benteng pertahanan di 
Makasar;
3. Makasar harus melepaskan area  kekuasaannya 
berwujud  area  di luar Makasar;
4. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
g. Kerajaan Banjar
kerajaan Demak berhasil membantu mengembalikan Pangeran Tumenggung Samudra sebagai Raja Banjar.  Oleh sebab itulah, Raja Banjar ini   masuk Islam  dan memperoleh  gelar Sultan Suryanullah. Perkembangan  agama Islam meluas hampir ke seluruh Kalimantan  sesudah  Raja Banjar masuk Islam.
 Pengislaman di Kalimantan ini tidak lepas dari 
peranan Sultan Suryanullah dan para mubalig lainnya, seperti Datok Ri Bandang,  Tuan Tunggang Parangan, dan  Aji di Langgar  berhasil mengembangkan Islam di  Kalimantan Timur. Mubalig dari Jawa juga berperan  dalam proses perkembangan Islam di area  Sukadana, Kalimantan Barat. Selain mubalig dari 
Makasar dan Jawa, para pedagang Arab juga berperan dalam perkembangan Islam di Kalimantan.
h. Kerajaan Ternate dan  Tidore
Islam masuk ke Maluku berkaitan erat kdengan 
kegiatan perdagangan. Para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam ke sana pada abad ke-15. lalu , muncul empat kerajaan Islam di Maluku yang dinamakan  Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate (dipimpin Sultan Zainal Abidin,1486-1500), Kesultanan Tidore (dipimpin oleh Sultan Mansur), Kesultanan Jailolo (dipimpin oleh Sultan Sarajati), dan Kesultanan Bacan  (dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko). Berkat dakwah  dari empat kerajaan ini , warga muslimin di Maluku sudah menyebar sampai ke Banda, Hitu, 
Haruku, Makyan, dan Halmahera.
Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di 
sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) yaitu  dua 
kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam menghadapi kekuatan  asing yang mencoba 
menguasai Maluku. Dalam perkembangan kemudian  kedua kerajaan ini bersaing memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku. area  Maluku  bagian timur dan pantai-pantai Irian, dikuasai oleh Kesultanan Tidore. Sementara itu, area  Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi sampai ke Flores 
dan Mindanao, dikuasai oleh Kesultanan Ternate. 
Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Baabullah. sedang  kerajaan Tidore  mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Nuku.
Persaingan di antara kerajaan Ternate dan Tidore 
memicu  dua persekutuan dagang, yaitu :
1. Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin 
oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan 
Ambon. Pada masa  Sultan Baabulah, kerajan 
C. warga Pada Masa  Islam  
Ternate mencapai jaman keemasan dan dinamakan  area  kekuasaan meluas ke Filipina.
2. Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dip-
impin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo 
sampai ke Papua. Kerajaan Tidore mencapai jaman 
keemasan di bawah pemerintah Sultan Nuku.
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan 
Islam, warga Indonesia mengalami pertumbuhan 
yang lebih cepat, khususnya di area  pesisir. area  
pesisir berkembang menjadi suatu perkotaan. Hal 
itu terjadi sebab  area  pesisir didukung dengan 
pertumbuhan perdagangan. Perdagangan di pesisir 
dapat tumbuh sebab  area  pesisir yaitu  
area  titik temu lalu lintas perdagangan. warga 
di area  pesisir menjadi area  pertama yang 
menganut Islam 
Bila kita telusuri, struktur warga yang ter-
bentuk pada masa penyebaran Islam meliputi:
a. Golongan Sultan dan keluarganya
Sultan atau raja dan keluarganya memperoleh kan 
posisi yang terhormat di warga. Mereka ter-
golong kelas warga  tertinggi dibanding golon-
gan yang lain. Sultan atau raja bedan  kelurganya 
tinggal di kompleks keraton. Keluarga raja termasuk dalam kelompok bangsawan. Keluarga sultan memiliki nama-nama khusus, priyayi Contoh  sebutan untuk keluarga kerajaan di Mataram, dan ”kadanghaji”  untuk sebutan keluarga raja di Kalimantan. Di ibu kota, sultan mengendalikan kekuasaan  atau pemerintahan.Keistimewaan keluarga raja  dapat pula dipicu  oleh pendidikan yang mereka  peroleh. Pendidikan yang dilakukan raja terhadap  keluarganya, yaitu dengan memanggil guru khusus ke keraton untuk mendidik anaknya atau pendidikan 
dilakukan dengan mengirim puteranya ke tempat 
pendidikan agama. Pangeran Arya, putera Raja 
Banten dididik oleh Ratu Kalinyamat di Jepara.    
b. Golongan elite
Golongan yang memiliki kedudukan tinggi 
sesudah  sultan dan keluarganya yaitu  golongan 
elite. Kelompok warga yang termasuk ke dalam 
golongan elite, yaitu bangsawan, tentara, kaum 
kegamaan, dan pedagang. Golongan elite di kerajaan Mataram dinamakan  kaum priyayi. Para bangsawan biasanya yaitu  pejabat pemerintahan.
Pengangkatan pejabat pemerintahan dilakukan 
oleh raja. Jabatan pemerintahan bisa berasal dari 
kalangan keluarga raja sendiri atau orang luar 
bahkan ada yang diangkat dari bangsa asing. 
Dalam warga Islam, para pedagang memiliki 
kedudukan penting. Peran padagang ini sangat 
penting sebab  mereka sangat menentukan terhadap aktifitas perdagangan kerajaan.
c. Golongan Kyai dan Santri
warga Islam sangat menghormati orang 
yang menguasai ilmu agama. Mereka yaitu  para 
ulama atau kyai. Biasanya para ulama mendirikan 
pesantren sebagai pusat pendidikan Islam. Di sana, 
mereka mendidik ribuan santri dari berbagai penjuru  negeri. Para santri ini  hidup dan bergaul sehari-hari dengan para kyai. Mereka membantu gurunya  dalam mengurus pesantren maupun ladang atau  sawah yang dimiliki oleh kyainya. Para ulama  dan kyai memperoleh  kedudukan yang terhormat di  mata santri-santrinya. Selain itu, sultan pada masa  Islam sering menjadikan para ulama atau kyai  sebagai penasehatnya dalam pengurusan masalah kewargaan, pemerintahan maupun perang. contoh , pada masa kerajaan Demak, ulama 
ada yang dijadikan sebagai panglima perang.
d.  Golongan non elite
Golongan non-elite yaitu  golongan rendah, 
yaitu golongan rakyat banyak. Pada warga 
Jawa, golongan ini dinamakan  dengan sebutan wong cilik. Petani, nelayan, dan para tukang yaitu  
bagian dari golongan non-elite. Kehidupan mereka 
biasanya sangat bergantung kepada golongan elite. 
Golongan ini yaitu  golongan yang jumlahnya 
paling banyak.
e. Golongan hamba sahaya atau 
budak Hamba sahaya yaitu  golongan paling 
rendah dalam warga Islam. Kehidupan mereka 
sangat bergantung pada orang lain, kehidupannya 
tidak bebas dan merdeka. 
bidang-bidang peninggalan Islam di 
berbagai bidang yaitu:
a.  Seni sastra dan Seni tari
Dalam bidang seni sastra, saat  Sultan Iskandar 
Muda bertahta di Aceh (1607-1636), penyair Hamzah Fansuri menulis syair-syair yang berisi ajaran tasawuf,  yaitu Syarab al-Asyiqin yang lebih dikenal dengan  Syair Perahu, dan Asrar al-Arifin. Meskipun judulnya  bebahasa Arab, isi naskahnya berbahasa Melayu. Pada  zaman pemerintahan Iskandar Tsani (1636-1641), Nuruddin ar-Raniri menulis buku Bustan as-Salatin  sebanyak tujuh jilid yang berisikan riwayat para nabi, 
para khalifah, dan ulama Islam, dan  raja-raja di 
Nusantara bagian barat. lalu  pada masa Ratu 
Tajul Alam (1641-1675), ulama besar Syekh Abdurrauf  al-Fansuri menerjemahkan Alqulan dengan judul Tarjuman al-Mustafid, dan yaitu  tafsir Alquran tertua dalam bahasa Melayu.
Di Jawa, Sultan Agung dari Mataram menulis 
naskah Sastra Gending yang isinya menerangkan 
hubungan manusia dengan Allah sebagai Sang 
Pencipta. lalu  di Makasar, Syekh Yusuf juga 
menulis buku-buku tasawuf antara lain Safinat 
an-Najat (Bahtera Keselamatan) dan Tuhfat ar-
Rabbaniyah (Kehormatan Tuhan). Di Palembang, 
ada pemikir bernama Syekh Abdussamad, dari 
Banten Syekh Nawawi, dan Sykeh Arsyad dari 
Banjar (Kalimantan). Karya-karya mereka menambah  perbendaharaan Islam di Indonesia. 
sedang  dalam bidang seni tari, Contoh  dari 
Aceh ada tari seudati (artinya orang-orang besar) 
atau tari saman (artinya delapan), sebab  permainan  itu asalnya dilakukan oleh delapan nyanyian yang  sebetulnya  yaitu  selawat atau pujian kepada nabi.  Di Banten ada  permainan debus dan di area   Cirebon ada  upacara sekaten.
D. Hasil-Hasil kebudayaan  Islam  
b.  Seni Bangunan
Dalam seni bangunan, ada beberapa peninggalan 
sejarah yang bercorak Islam seperti:
1. Mesjid yang yaitu  tempat beribadah atau 
rumah tempat bersembahyang orang-orang Islam. 
Contoh  Mesjid Aceh, Mesjid Demak, Mesjid 
Agung Surakarta, Mesjid Agung Yogyakarta, 
Mesjid Kudus, Mesjid Ampel Surabaya, Mesjid 
Sunan Giri, Mesjid Sunan Bonang, dan Mesjid 
Banten. biasanya mesjid-mesjid pada awal 
penyebaran Islam di Indonesia memiliki ciri-ciri 
khusus antara lain atap bertingkat dan berbentuk 
bujursangkar, ada bangunan serambi, di depan 
atau disamping ada  kolam parit berair, 
memiliki menara, dan biasanya terletak 
di kota menghadap alun-alun.
2. Istana atau keraton, kebanyakan dari istana 
raja-raja itu sudah tidak ada atau tinggal bekas-
bekasnya saja. Ada juga beberapa istana yang 
masih utuh, bahkan sudah dipugar. Adapun 
istana–istana itu antara lain; Istana Kesultanan 
Banten, Keraton Solo atau Keraton Surakarta, 
Keraton Yogyakarta, Paku Alam, Keraton 
Kasepuhan dan Keraton Kanoman di Cirebon, 
Istana Sultan Deli, Istana Pagaruyung di Sumatera 
Barat, Istana Raja Gowa dan Istana Raja Bone 
di Sulawesi Selatan, Istana Kutai, Istana Sultan 
Ternate.
3. Makam atau nisan raja-raja Islam banyak kita 
jumpai sebagai peninggalan sejarah. Makam-
makam sultan itu sangat indah bentuknya dan 
terbuat dari bahan-bahan yang mahal bahkan 
ada yang terbuat dari batu pualam. Adapun 
makam atau nisan para raja itu antara lain; 
makam Malik al saleh di Samudera Pasai, makam 
Maulana Malik Ibrahim di Gresik, makam Sultan 
Hasanudin di Banten, makam Sultan Agung di 
Imogiri, makam Sultan Hasanudin di Sulawesi 
Selatan, makam Sunan Gunung Jati di Cerebon , 
c.  Kaligrafi
  Kaligrafi yaitu  seni menulis indah dengan 
merangkaikan huruf-huruf Arab, baik berwujud  
ayat-ayat suci Al-Quran ataupun kata-kata 
mutiara. Kaligrafi ini hiasan yang biasa kita 
jumpai di dalam sebuah mesjid dan batu nisan.Ilmu fiqih  =  Ilmu yang mempelajari tata cara hukum melaksanakan 
ibadah.
Ilmu Ushuludin =  ilmu yang mempelajari tentang ketauhidan Allah.
Islamisasi  =  proses penyebaran Islam.
Mazhab Syafi’i  = salah satu aliran atau mazhab fiqih Islam yang dilahirkan 
oleh Imam Syafii.
Maluku Kie Raha = sebutan untuk empat kerajaan Islam di Maluku yang (Maluku 
Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, 
Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan.
Mo Limo   =  Ajaran Sunan Ampel yang terkenal yaitu  falsafah Mo 
artinya oragelem (tidak mau) dan Limo artinya perkara lima, 
jadi ada lima hal yang dilarang yaitu dilarang berjudi, mabuk, 
menghisap madat, mencuri, dan berzina.
Tasawuf   =  suatu aliran atau ajaran dalam Islam yang lebih menekankan 
pada prilaku hati dengan mencari kecintaan kepada Allah.
Wali Sanga  =  nama sekelompok penyebar Islam di Jawa yang berjumlah 
sembilan orang.
Uli-Lima   = persekutuan lima dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan, 
Seram, Obi dan Ambon.
Uli-Siwa   = persekutuan sembilan dipimpin oleh Tidore meliputi 
Halmahera, Jailalo sampai ke Papua.



Proses kolonialisme dan imperialisme yang terjadi 
di Asia, khususnya di Indonesia dipelopori oleh oleh Portugis dan Spanyol, disusul oleh Belanda, Inggris,  dan Perancis. Negara-negara ini  mengirimkan  para penjelajahnya untuk mengarungi samudera  dan mencari jalan menuju ke Dunia Timur yang  terkenal itu. Dalam penjelajahan ini  Portugis  mengirimkan 
1. Bartholomeu Dias (1487-1488) yang berhasil 
sampai ke ujung selatan Afrika yang dinamakan  
Tanjung Pengharapan (Cape of Good Hope), 
2. Vasco da Gama (1497-1498) yang bertolak dari 
Lisabon menuju Kepulauan Tanjung Varde dan 
akhirnya tiba di Tanjung Pengharapan tahun 
1497, dan tahun 1498 mendarat di di Kalikut, 
pantai Malabar India,
3. Alfonso d’Albuquerque (1510-1515) yang berhasil  menaklukan Goa di pantai barat India pada 1510  dan Malaka (1511). Dari Malaka ia meneruskan  penguasaan atas Myanmar (Burma). Dari  Myanmar inilah ia menjalin hubungan dagang 
dengan Maluku.
Spanyol sesuai dengan Perjanjian Tordesillas 
melakukan penjelajahan samudera ke Dunia Timur. 
Berikut ini para penjelajah Spanyol. Ini yaitu  peta pelayaran  samudera ke Asia yang  dipakai pertama kali oleh para penjelajah Portugis 
tahun 1486. 
1. Ferdinand Magelhaens (1480-1521) yang dibantu  oleh Kapten Juan Sebastian del Cano dan 
Pigafetta mulai berlayar ke arah Barat-daya 
dengan mengikuti rute Christopher Columbus. 
Magelhaens tiba di Kepulauan Filipina pada 
tahun 1521 sesudah  melintasi Samudera Atlantik 
terus ke ujung selatan Amerika. Magelhaens 
tewas di Filipina sebab  dibunuh oleh Suku 
Mactan,
2. Juan Sebastian del Cano yang mendampingi 
Magelhaens melanjutkan perjalanan dari Filipina 
ke Indonesia. Pada tahun 1522 ia sampai di 
Maluku. Kedatangan rombongan Spanyol ini 
memicu  pertentangan dengan Portugis 
yang dianggap sudah  melanggar Perjanjian 
Tordesillas. Pertentangan di antara mereka 
berakhir sesudah  dibuat Perjanjian Saragosa (1534)  yang memutuskan kesepakatan batas area  
kekuasan. Portugis tetap di Maluku, dan Spanyol 
di Filipina. 
Dilihat dari awal kedatangan sampai penguasaan 
bangsa Eropa di Indonesia yang begitu panjang 
(abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20), secara langsung atau tidak langsung Kolonial Eropa sudah  mempengaruhi  perkembangan kehidupan warga  Indonesia. Perkembangan warga itu antara lain  sebagai berikut.
1.  Penggolongan warga 
Indonesia warga Indonesia pada masa Kolonial Eropa  dibedakan dalam beberapa golongan atau garis warna.  Garis warna atau perbedaan warna kulit pada tanah jajahan sangat ketat diberlakukan oleh Kolonial Eropa.  Pemerintah Kolonial Belanda umpamanya membagi  golongan sosial di Indonesia berdasar  kepada 
hukum dan keturunan atau status sosial.
1. Pembagian warga menurut hukum Belanda, 
terdiri atas:
a. golongan Eropa;
b. golongan Indo;
c. golongan Timur Asing;
d. golongan Bumiputera.
2. Pembagian warga menurut keturunan atau 
status sosial, terdiri atas:
a. golongan bangsawan (aristokrat);
b. pemimpin adat;
c. pemimpin agama;
d. rakyat biasa.
berdasar  golongan sosial ini , orang-orang Eropa dianggap sebagai ras tertinggi, kedua  orang-orang Indo (turunan pribumi dan Eropa), 
ketiga orang-orang keturunan Timur Asing (Cina), 
dan terakhir orang-orang pribumi (Indonesia). 
Posisi Indonesia yang berada pada urutan paling 
bawah masih juga dibedakan. Kedudukan seseorang  pribumi ini  dalam perkembangannya dibedakan  pada aspek keturunan, pekerjaan, dan pendidikan.  Pembagian kelas ini  sebetulnya  untuk  menunjukan pada kaum pribumi bahwa bangsa  kulit putih kedudukannya jauh lebih tinggi dari kulit  berwarna. 
Golongan bangsawan (aristokrat) yaitu  
golongan tertinggi dari stratifikasi sosial yang 
diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Aristokrat ialah 
golongan dari orang ningrat. Adapun orang yang 
termasuk orang ningrat ini ialah Raja/Sultan dan 
keturunannya, para pejabat kerajaan, dan pejabat 
pribumi dalam pemerintahan kolonial. 
Sebelum Kolonial Eropa masuk ke Indonesia, 
Raja/Sultan ialah orang tertinggi dalam golongan 
sosial warga. Nama raja dari masing-masing 
kerajaan di setiap area  di Indonesia berbeda-
beda. Ada yang bergelar Pangeran, Sultan, Adipati, 
Senopati, Panembahan, Sunan, Susuhunan, Karaeng,  Batara, Arong, Kelano, dan masih banyak lagi gelar lainnya. Raja tinggal di Istana atau keraton. Di tempat ini tinggal juga keluarga raja/sultan. Mereka itu bisa benar-benar keturunan raja atau orang-orang yang  sudah  diangkat sebagai keluarga raja sebab  sudah   berjasa pada kerajaan. Raja yang berkuasa biasanya 
turun-temurun, dari ayah kepada anak atau cucu. 
Namun ada juga yang menjadi raja di luar keluarga 
kerajaan. Hal ini  umpamanya dipicu  oleh 
adanya perebutan kekuasaan atau pengambilalihan 
kekuasaan. Sesudah  Kolonial Eropa masuk ke Indonesia,  banyak raja atau sultan ditundukan oleh mereka.  Kedudukan raja berada di bawah Kolonial Eropa. Simbol kerajaan/kesultanan ada yang tetap 
dipertahankan dan ada juga yang dihapuskan. Raja 
yang berkuasa nantinya diangkat sebagai pegawai 
negeri, misal menjadi Bupati yang mengabdi pada 
pemerintah kolonial.
Golongan aristokrat lainnya yaitu  golongan 
elite. Golongan elite yaitu  golongan terbaik 
atau pilihan dalam kelompok warga. Mereka 
dipandang status sosial yang tinggi sesuai dengan 
kedudukan atau pekerjaannya. Orang-orang yang 
termasuk golongan elite ini ialah para pejabat yang 
membantu pemerintahan kerajaan/kesultanan, 
misal mangkubumi, patih, perdana menteri, dan 
hulubalang. Pejabat-pejabat ini sebetulnya  kawula 
(abdi) negara atau raja sehingga mereka bekerja untuk kepentingan raja. Mereka juga menjadi penghubung  antara raja dan rakyatnya.
Para pejabat itu dikenal juga sebagai golongan 
priyayi. Pada masa kolonial, para priyayi yang 
bergelar Raden atau Raden Mas ini menjadi pejabat 
administrasi pemerintah kolonial Belanda. Mereka 
menjadi penghubung antara pemerintah kolonial dan  rakyat yang dijajah. maka , kedudukan para 
priyayi ini dimanfaatkan demi kepentingan kolonial.
Memasuki awal abad ke-20, golongan elite ini 
tidak hanya didapat secara turun-temurun. Rakyat 
biasa yang sudah  memperoleh kan tingakat pendidikan  tertentu dapat menjadi golongan elite. Mereka nantinya sangat membantu dalam memperjuangkan  bangsanya. Mereka ini dikenal dengan golongan eliter  terdidik.
Selain golongan aristokrat, golongan elite atau 
priyayi, dalam warga biasa pada masa kolonial 
dinamakan  dengan golongan wong cilik. Golongan ini  sangat besar jumlahnya, antara lain petani, pedagang  biasa, dan nelayan. Kehidupan mereka tidak seperti  para priyayi yang hidup dalam kemewahan. Mereka hidup sederhana dan banyak yang hidup miskin  sehingga dinamakan  dengan wong cilik.Sebagian besar pendapatan kerajaan atau kesultanan diperoleh dari wong cilik. Untuk itu saat  Kolonial Eropa berkuasa di Indonesia, wong cilik ini  yang menjadi korban penindasan yang paling besar. Selain diambil tenaganya, harta mereka juga banyak  yang dirampas. Tidak mengherankan jika kehidupan  wong cilik sangat menderita pada masa kolonial.
Di bawah wong cilik masih ada satu golongan 
lagi yang hidup paling menderita. Mereka itu ialah 
golongan budak. Golongan budak ini ada antara lain  dipicu  mereka tidak mampu membayar hutang.  Untuk menebus atau membayar hutang-hutang,  dirinya dan keluarganya dijadikan budak. Mereka  ini dipekerjakan di dalam istana atau di rumah para  golongan aristokrat.Sebelum kolonial masuk ke Indonesia, semua  orang termasuk budak benar-benar mengabdi  kepada  raja. Apapun yang dilakukan oleh raja mereka terima  dengan senang hati. namun  sesudah  Kolonial Eropa 
berkuasa, para budak ini benar-benar dipekerjakan 
sebagai budak kolonial. Di antara mereka ada yang 
dijadikan pekerja bangunan gedung, jalan raya, jalan  kereta api, dan pekerjaan berat lainnya. Ada juga yang  dijadikan kuli-kuli atau buruh yang tanpa dibayar di  perkebunan dan perusahaan-perusahaan asing. Pada tahun 1881, Pemerintah Hindia Belanda  mengeluarkan Undang-Undang Koeli Ordonantie.  Undang-undang ini  yaitu  undang- undang yang mengatur para kuli/buruh di Indonesia.  Melalui Undang-Undang ini, kuli-kuli yang bekerja di perkebunan atau perusahaan-perusahaan harus  melalui prosedur kontrak kerja. berdasar  dari  kontrak kerja ini sebetulnya  mereka diberi upah atau  gaji sesuai dengan jasa tenaga dan waktu yang sudah   dikeluarkan.  Dalam kenyataannya,  para pekera  ini  diperlakukan secara tidak adil. Mereka dituntut  bekerja tidak kenal waktu dengan beban pekerjaan 
yang sangat berat. Sementara itu, mereka menerima  upah yang kecil atau bahkan ada yang tidak dibayar  sama sekali. Keadaan itu sudah  membuat para kuli  untuk keluar dari pekerjaannya dan kembali ke  kampung halamannya. namun  sebab  mereka sudah  teken kontrak kerja, mereka dilarang meninggalkan  pekerjaannya sebelum kontrak selesai. Kondisi yang  sangat memprihatinkan ini banyak di antara kuli 
yang berusaha untuk melarikan diri. Mereka berusaha  keluar dari pekerjaan. namun  sebab  ketatnya  penjagaan, usaha mereka banyak yang sia-sia atau  tidak berhasil. Bila mereka ketahuan melanggar  dan mencoba melarikan diri, mereka akan dijatuhi  hukuman sesuai dengan hukum Poenale Sanctie.  Hukuman itu dapat berwujud  hukuman cambuk,  penjara, buang, atau pancung, tergantung berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh para kuli/buruh.
2. Kedudukan Kaum Perempuan 
Indonesia
Mengenai kedudukan sosial kaum perempuan 
Indonesia pada masa kolonial, ternyata sangat 
memprihatinkan. Mereka dianggap sebagi kaum yang  lemah. Tidak mengherankan jika dalam status sosial  warga feodal, kedudukan perempuan berada ndi bawah kaum laki-laki. Rendahnya status sosial perempuan ini  diperburuk oleh adat, khususnya yang menyangkut budaya pingitan yang menutup ruang gerak mereka. Perlakuan lainnya yaitu  poligami yang  dapat menyudutkan kedudukan kaum perempuan.  Apalagi kalau poligami itu dipaksakan (kawin paksa) 
untuk dijadikan selir dan perkawinan muda. Poligami pada waktu itu tidak hanya dijadikan istri ke-2,3, atau 4, melainkan lebih dari itu. Ada informasi yang  menyebutkan seorang pembesar pribumi ada yang memiliki istri lebih dari 100 orang.saat  Indonesia memasuki masa penjajahan, 
kedudukan perempuan Indonesia sampai akhir 
abad ke-19 belum membawa perubahan berarti. 
Bahkan, kebijakan kolonial juga seolah membedakan  antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Lihat  dalam soal pendidikan. Perempuan cukup di rumah  dengan mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus suami atau mengerjakan keterampilan praktis kerumahtanggaan.
berdasar  keadaan ini , ada beberapa 
tokoh perempuan yang berusaha mendobrak kearah  kemajuan. Keharusan perempuan untuk keluar dari rumah mulai diperjuangkan, perlunya pendidikan, penentangan poligami juga mulai diperjuangkan. Usaha terobosan terhadap perjuangan kaum  perempuan ternyata datangnya dari kaum perempuan  juga. Mereka menginginkan persamaan hak dan  kedudukan yang setara dengan pria. Tokoh yang  menjadi pelopor atau emansipasi kaum perempuan yaitu  R.A. Kartini (1879-1904) yang cita-citanya termuat dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.    
Pada bidang ekonomi, kekayaan Indonesia 
dikuras habis-habisan, sementara penduduk pribumi tidak dapat mengambil barang secara bebas. Keadaan  ini membuat hidupnya cenderung konsumtif.  Khususnya di Jawa, faktor-faktor produksi pertanian,  baik yang menyangkut tanah maupun tenaga kerja  diatur menurut sistem kolonial. Para petani dibebani  tugas mengolah sebagian dari tanahnya untuk 
ditanami dengan tanaman-tanaman eksport dan 
diharuskan kerja secara paksa. Di area  lain yang 
mengandalkan perdagangan laut sebagai sumber 
utama, diganggu oleh sistem monopoli Belanda. 
Mereka menjadi tidak leluasa bergerak, jumlah 
barang yang dibatasi, penjualan dan pembelian yang  diatur, penentuan harga juga diatur. Keadaan itu  tidak menjadi hambatan besar bagi perkembangan  kehidupan warga Indonesia.
Adanya kolonialisme Eropa, banyak penduduk 
yang diperkerjaan di perkebunan atau perusahaan 
asing/Eropa. Mereka menjadi buruh dan diberi upah.  Berkembanglah sistem mata uang dalam kehidupan  warga Indonesia. namun  tidak semua pekerja itu dibayar, banyak penduduk dikerjakan secara  rodi tanpa batas waktu. Tenaga rakyat diperas secara  paksa oleh para pengusaha swasta. Mereka diikat  dengan kontrak sehingga tidak dapat melepaskan  pekerjaanya. Jika melarikan diri mereka akan  memperoleh  hukuman. 
Disewanya lahan pertanian yang subur oleh 
bangsa Eropa sudah  menyulitkan penduduk dalam 
menggarap tanah yang kurang subur. Akibatnya 
penduduk kekurangan makanan sehingga di beberapa  area  seperti Demak, Grobogan, Cirebon, dan Jawa Tengah terjadi bencana kelaparan dan mewabahnya  berbagai macam penyakit.
C. Perkembangan  Kebudayaan
Bangsa-bangsa Eropa yang pernah datang dan 
berkuasa di Indonesia sedikit banyak memberi  
pengaruh pada perkembangan kebudayaan Indonesia.  Kebudayaan asli Indonesia kemudian  ada yang  dipengaruhi, baik melalui difusi, asimilasi, dan  akulturasi. Kebudayaan itu kemudian  berkembang  dalam kehidupan warga Indonesia. Berikut ini  bentuk-bentuk peninggalan Kolonial yang berkembang  dalam kehidupan warga Indonesia.
1.  Penyebaran Agama Nasrani
Salah satu tujuan kedatangan bangsa Eropa ke 
Indonesia yaitu  untuk menyebarkan agama Nasrani di setiap area  yang didatangi. Tidak mengherankan  jika dalam setiap pelayarannya selalu membawa para  pendeta atau penyebar agama Nasrani.  Penyebar agama Katolik dibawa oleh misi Zending  Portugis sedang  Nasrani Protestan di bawa oleh  misionaris Belanda. Adapun area  yang dipengaruhi  Portugis, antara lain Ambon, Ternate, dan Halmahera 
juga di Sulawesi Selatan. Agama Khatolik menyebar  ke Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan kepulauan  Sangihe-Talaud. 
Sejak Portugis terusir dari kota Ambon dan 
menetap di Timor Timur. Pengaruh agama Katolik 
berkembang juga di Flores bagian timur, Pulau Solor, dan pulau-pulau kecil lainnya di Nusa Tenggara  Timur. area  misionaris Belanda di antaranya  meliputi: Maluku, Kalimantan, Minahasa, Tana toraja,  Sangihe-Talaud, Tanah Batak, Nusa tenggara Timur, 
dan Papua. Sedang agama katolik meliputi area  
Minahasa, Kalimantan Barat, Timor, Flores, Maluku 
Selatan, Malang, Muntilan, Salatiga, dan Batavia. 
Sekarang penyebaran agama Nasrani sudah  masuk  hampir ke seluruh pelosok Indonesia.
2.  Pendidikan. 
Dengan semakin meluasnya kekuasaan kolonial 
di Indonesia, Pemerintah Kolonial Eropa perlu 
memanfaatkan potensi warga Indonesia. Hal 
ini  dilakukan untuk mempertahankan dan 
menjalankan struktur dan tugasnya yang semakin luas  dan banyak. Kebutuhan akan tenaga kerja manusia  yang profesional, setidaknya tenaga kerja yang bisa  membaca dan menulis semakin banya diperlukan.  Perkembangan pendidikan semakin diperkuat  keberadaannya sesudah  ada tuntutan perbaikan  nasib bangsa terjajah oleh golongan humanis dari  negeri Belanda. Atas dorongan dan desakan mereka,  Pemerintah Kolonial membuka pendidikan bagi kaum  pribumi. 
3.  Monetisasi
Masuknya pengusaha asing yang menanamkan 
modalnya pada perkebunan  Indonesia 
dipandang sebagai zaman liberal. Pada zaman inilah  terjadi penetrasi yang memberi  dampak positif  dan negatif bagi kelangsungan hidup warga 
Indonesia. Penetrasi pada bidang ekonomi yaitu  
terjadinya pengenalan nilai mata uang (monetisasi). Penetrasi berwujud  pengenalan nilai mata uang pada warga Indonesia ini memang bukan suatu hal 
yang baru, namun pada zaman liberal ini mengalami  perkembangannya yang pesat. Hal itu dapat dilihat  dari proses transaksi dalam bentuk penyewaan tanah  milik penduduk yang akan dijadikan perkebunan  besar  dibayar dengan uang. Selain itu,  petani di Jawa yang bekerja sebagai buruh harian atau 
buruh musiman pada  perkebunan  besar dibayar pula dengan uang. 
4.   Komersialisasi Ekonomi
Masuknya sistem ekonomi terbuka sudah  
memaksa komersialisasi ekonomi, monetisasi, dan 
industrialisasi dalam kehidupan warga, baik 
di pedesaan maupun di perkotaan. Komersialisasi 
ekonomi terutama terjadi seiring dengan semakin 
melimpahnya hasil-hasil perkebunan besar, seperti 
kopi, teh, gula, kopi, kapas, dan kina. 
Hasil-hasil perkebunan ini  dari waktu ke 
waktu semakin menguntungkan sebab  semakin 
ramai diperdagangkan pada pasar internasional. 
Kondisi demikian semakin mendorong semangat 
para pengusaha dan penanam modal dari berbagai 
negara, baik Belanda maupun Eropa lainnya untuk 
membuka berbagai lahan bisnisnya di Indonesia. 
Penanaman modal semakin dikembangkan, tidak 
hanya terbatas pada sektor perkebunan, namun  
meningkat pada industri-industri atau perusahaan-
perusahaan yang bergerak dalam pengolahan bahan  hasil-hasil perkebunan, seperti industri gula, kina, dan  tekstil. Pada perkembangan kemudian , arus barang  yang keluar dan masuk ke Indonesia semakin ramai  dan beraneka ragam. maka , zaman liberal sudah  membawa kehidupan ekonomi Indonesia yang  tradisional ke arah komersialisasi ekonomi. 
5.  Pembangunan Gedung-Gedung
Kolonial Eropa banyak meninggalkan sisa-sisa 
peninggalan bangunan. Bangunan itu ada yang masih  utuh atau sudah  rusak dan ada juga yang sampai  sekarang masih dipakai  oleh warga dan 
Pemerintah Indonesia. Gedung-gedung itu memiliki  gaya arsitektur yang khas dan memiliki nilai sejarah.  Gedung-gedung itu antara lain, gedung sekolah, gedung pemerintahan, rumah sakit, museum, dan  lain-lain. Contoh  di Bandung ada gedung SMAN 3  yang memiliki ciri khas kolonial dan ternyata gedung  itu dulunya bernama Hogere Burger School (HBS),  Institut Teknologi Bandung (ITB) dulunya bernama  Technische Hoogeschool, Di Serang ada gedung Osvia 
(School Tot Opleiding Van Indische Artsen), di Jakarta  ada ”Gymnasium Willem III” sekolah lanjutan pertama  untuk golongan Eropa, Di Menado ada De Scholen der  Tweede Klasse  (sekolah kelas dua), di Tondano ada 
Hoofdenschool (Sekolah Raja pertama untuk anak dari  golongan bangsawan). Selain gedung-gedung ini , masih banyak lagi sisa-sisa gedung peninggalan  kolonal yang tersebar di berbagai pelosok tanah air  yang sekarang dipakai untuk gedung pemerintahan, rumah sakit, olah raga, ,  .
6.   Kesenian 
Dalam bidang kesenian, pengaruh kolonial yang 
masuk dan berkembang yaitu   lagu keroncong. Jenis lagu  ni ternyata dibawa oleh orang-orang Portugis. Sekarang  jenis lagu ini banyak diminati kaum muda maupun tua.
Banyak perubahan yang terjadi di warga 
Indonesia sesudah  kedatangan bangsa Eropa. Pada  bidang politik terjadi perubahan dalam sistem  pemerintahan kerajaan. Sebelum kedatangan bangsa  Eropa di Indonesia, sistem pemerintahan, struktur  birokrasi, dan sistem hukum yang berlaku yaitu   sistem “pemerintahan tradisional” yang berbentuk kesultanan atau kerajaan.  Struktur birokrasi teratas dipegang oleh sultan atau raja, lalu  dibantu oleh orang-orang 
terdekat (keluarga sultan/raja), penasehat kerajaan, 
patih, menteri, dan panglima. Mereka itu kebanyakan  berasal dari golongan ningrat atau kerajaan. Sistem  ini  yaitu  bentuk birokrasi yang menuntut  ketaatan penuh dari rakyat kepada pemimpinnya (raja/sultan dan para pembantunya). 
Sejak Kolonial menanamkan kekuasaannya di 
Indonesia, kekuasaan pribumi tradisional yang berada  dibawah seorang raja atau sultan sedikit demi sedikit  mulai dihapus dan akhirnya hilang sama sekali.  Kekuasaan mulai berganti kepada tangan Kolonial.  Raja-raja diangkat dan diberhentikan berdasar   kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan  Kolonial. Setiap penguasa lokal yang diangkat dan  diberhentikan oleh Kolonial pada dasarnya sudah  
terikat oleh kontrak politik yang menyatakan bahwa 
area  yang mereka kuasai harus diakui sebagai 
bagian dari kekuasaan Kolonial Belanda.  

Begitu pula dengan para Bupati dan Lurah, 
mereka dijadikan sebagai pegawai negeri yang 
memperoleh  gaji dan harus taat terhadap setiap 
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan 
Kolonial. Dalam kondisi yang demikianlah, wibawa 
seorang raja, sultan, bupati, dan juga lurah menjadi 
merosot di mata rakyat. Mereka dipandang lemah 
dan tidak memiliki  kekuatan sehingga mereka 
menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan pemerintah Kolonial. Menurut bangsa Eropa, para  penguasa pribumi tidak bisa memerintah yang pantas  memerintah itu yaitu  bangsa Eropa Struktur warga berubah sesudah  sistem  baru diterapkan oleh kolonialis Eropa ini . Pada  kerajaan, posisinya sebagai lembaga yang paling  tinggi harus tunduk pada pemerintahan kolonial yang  sedang berkuasa. maka , kedudukan dan kewibawaan raja digeser oleh penguasa baru, yaitu  bangsa Eropa.  
Abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, 
Indonesia sudah dikuasai pemerintahan kolonial 
Belanda. Oleh sebab  itu, sistem pemerintahan yang dijalankan yaitu  sistem pemerintahan kolonial  Hindia Belanda. Kekuasaan tertinggi dipegang dan  diatur oleh pemerintahan Kerajaan Belanda. Namun  demikian, dalam hal-hal tertentu Pemerintah Hindia  Belanda banyak memakai  jasa pihak pribumi.  Dalam pelaksanaan struktur pemerintahan dari atas  ke bawah, Belanda membentuk bentuk pemerintah, 
yaitu:
1. Pemerintahan zelfbestuur, yaitu kerajaan yang 
berada di luar struktur pemerintahan kolonial.
2. Pemerintahan yang dipegang oleh orang-
orang Belanda di dalam negara jajahan dinamakan  
dengan Binenland Bestuur (BB), antara lain 
Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, dan 
Controleur
3. Pemerintahan yang dipegang oleh kaum pribumi 
yang dinamakan dengan Pangreh Praja (PP). 
Pejabat yang duduk dalam PP yaitu  Bupati, 
Patih, Wedana, dan Asisten Wedana
Struktur Birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda
                Gubernur Jenderal
  Residen
 Bupati Asisten Residen 
  
  
 Patih   
    
   
 Wedana Controleur  
 
 Asisten Wedana Asisten Controleur
berdasar  struktur birokrasi di atas, bupati 
diangkat oleh gubernur jenderal atas rekomendasi 
dari residen dan asisten residen. Sebelum kolonialis 
berkuasa, para bupati itu awalnya yaitu  raja yang 
dipilih dan diangkat berdasar  keturunan, terutama 
diambil dari anak laki-laki pertama dalam keluarga, 
namun  lalu  sesuai dengan perkembangan 
kekuasaan pemerintahan kolonial, pengangkatan 
bupati dilengkapi dengan beberapa persyaratan, 
terutama persyaratan pendidikan. 
 perkembangan pemerintahan 
Kolonial Eropa di Indonesia pada abad ke-16 sampai 
pertengahan abad ke-20.
1. Pemerintahan  Portugis 
Bangsa Portugis yang datang ke Indonesia dipimpin oleh Alfonso d’ Albuquerque. Ia pada tahun 1511  berhasil menguasai Kerajaan Malaka. Kekuasaan Portugis mengalami perkembangan yang pesat sesudah   menguasai Malaka. Mereka kemudian  memperluas kekuasaan ke area   lainnya di Indonesia. Selain  itu orang Portugis biasanya mampu berbaur dengan warga setempat seperti menikahi perempuan  pribumi. saat  terjadi perselisihan di Maluku antara 
Hitu dan Seram, Portugis memihak Hitu sehingga 
Portugis diterima di sana. Cara yang dilakukan Portugis di Hitu juga diterapkan saat  datang ke Ternate, mereka diterima baik oleh kerajaan Ternate untuk menghadapi Tidore. saat  berhasil mengalahkan Tidore yang  dibantu pihak Spanyol, Portugis meminta imbalan  untuk memonopoli perdagangan cengkeh Keadaan itu 
memicu  rakyat Ternate tidak menyukai orang-
orang Portugis. Mereka berusaha untuk membebaskan  diri dari kekuasaan Portugis. 
Pada tahun 1512, tibalah orang-orang Spanyol 
di Maluku. Tujuan kedatangan mereka sama halnya 
dengan orang-orang Portugis, yaitu memonopoli dan menguasai area  sebagai tanah jajahan, dan  untuk menyebarkan agama Nasrani (Nasrani Katolik). Di Maluku, mereka singgah di Tidore, Bacan, dan Jailolo. 
Di tempat itu mereka disambut baik oleh penduduk 
setempat. Kedatangan orang-orang Spanyol di Maluku ternyata memicu  persaingan dengan orang-orang Portugis. Untuk mengakhiri persaingan, ditandatanganilah  Perjanjian Saragosa pada tahun 1535. Dalam perjanjian itu 
diputuskan bahwa area  kekuasaan Portugis tetap di Maluku, sedang area  kekuasan Spanyol di Filipina, sehingga orang-orang Portugis bebas mengembangkan kekuasaannya di Maluku.
Sesudah  menguasai Maluku, Portugis kemudian  
ingin menguasai area   lain di kepulauan 
Indonesia, seperti:
a. Sumatra
 Di Sumatra orang-orang Portugis tidak 
memperoleh hak monopoli perdagangan lada, 
sebab  ditentang oleh Kerajaan Aceh. Bahkan 
mereka tidak diberi kesempatan berdagang.
 Di Jawa, orang-orang Portugis hanya bisa 
berdagang di Pasuruan dan Blambangan sebab  
sebagian area  lain di Jawa sudah  dikuasai oleh 
kerajaan Demak yang menjadi saingan berat 
Portugis. Bagi Demak dan kerajaan Islam lainnya 
di Indonesia, jatuhnya Malaka ke tangan Portugis 
pada tahun 1511 yaitu  ancaman langsung 
bagi perkembangan perdagangan Islam dan  
peyebaran agama itu sendiri sebab  Portugis 
membawa misi gospel (penyebaran Katolik).
 Di area  lainnya di Indonesia, kedudukan 
Portugis di tempat-tempat yang sudah  dikuasainya nmulai melemah. Hal ini dipicu  oleh 
adanya  perlawanan rakyat setempat, antara 
lain perlawanan rakyat Ternate pada tahun 
1533, perlawanan rakyat Hitu di Ambon, dan 
perlawanan rakyat Tidore. maka , usaha Portugis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di perairan Indonesia mengalami kegagalan. Portugis hanya dapat menetap di Timor Timur sampai tahun 1976. Tahun 1976 Timor-Timur masuk area  Indonesia. 
2.  Pemerintahan Belanda (VOC)
Tujuan awal kedatangan bangsa Belanda ke 
Indonesia yaitu  untuk berdagang dan mencari 
keuntungan dari berdagang rempah-rempah. Sejak 
Lisabon dikuasai oleh Spanyol,  Belanda tidak dapat lagi membeli dan menyalurkan rempah-rempah ke negerinya ataupun ke negara Eropa lainnya. Hal itu dipicu  Belanda bermusuhan dengan Spanyol yang sudah  berhasil menguasai Portugis sehingga Belanda tidak dapat lagi mengambil rempah-rempah di Lisabon. Oleh sebab itu, para pedagang Belanda berusaha mencari sendiri area  penghasil rempah-rempah ke timur.
Penjelajahan Belanda pertama dimulai pada 
tahun 1595 sesudah  empat buah kapal Belanda di 
bawah pimpinan Cornelis de Houtman berangkat 
dari Amsterdam. Mereka sampai di pelabuhan Banten pada tanggal 22 Juni 1596. kemudian  pelayaran yang kedua dipimpin oleh Jacob van Neck, yang tiba di pelabuhan Banten pada tahun 1598. Sikap bangsa Belanda tidak lagi kasar dan sombong sehingga mereka diterima dengan baik oleh kerajaan Banten. Lagi pula, 
Kerajaan Banten sedang berselisih dengan orang-
orang  Portugis. Di Banten mereka memperoleh kan lada. Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Tuban dan  Maluku. Di tempat itu pun mereka diterima dengan baik oleh raja dan warga setempat.
Keberhasilan mereka membawa rempah-rempah 
dari kepulauan Indonesia mendorong kapal-kapal 
dagang Belanda lainnya datang ke Indonesia. 
Terjadilah persaingan dagang antara pedagang 
Belanda dan pedagang Eropa lainnya di Indonesia. 
kemudian  untuk menguasai perdagangan dan 
memenangkan persaingan dengan orang-orang 
Eropa, para pedagang Belanda mendirikan serikat 
dagang yang dinamakan  VOC pada tahun 1602. VOC singkatan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie atau  Perserikatan Perusahaan Hindia Timur. lalu , diangkatlah seorang pimpinan berpangkat gubernur jenderal untuk memperlancar kegiatannya. Gubernur  jenderal pertama yaitu  Pieter Both. Beberapa hak istimewa dinamakan  hak octrooi yang diberikan Pemerintah Belanda kepada VOC, antara lain:
1. hak monopoli perdagangan;
2. hak memiliki tentara sendiri;
3. hak menguasai dan mengikat perjanjian dengan 
kerajaan-kerajaan di area  yang dikuasai;
4. hak untuk mencetak dan mengeluarkan uang 
sendiri;
5. hak mengumumkan perang dengan negara lain
6. hak memungut pajak;
7. hak mengadakan pemerintahan sendiri.
Usaha pertama VOC untuk menguasai kerajaan-
kerajaan di Indonesia yaitu  dengan menguasai 
salah satu pelabuhan penting yang akan dijadikan 
 Pada tahun 1619, VOC berhasil  merebut kota Jayakarta, dan mengubah namanya  menjadi Batavia. Dari Batavia, VOC dapat mengawasi  area   lainnya. Selain itu, untuk menguasai  kerajaan-kerajaan lain, VOC menjalankan politik  devide et impera (memecah belah) dan menguasai 
antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya. VOC 
juga ikut campur dalam urusan pemerintahan 
kerajaan di Indonesia.Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC memaksakan hak monopolinya. VOC juga melaksanakan Pelayaran Hongi, yaitu 
melakukan patroli dengan perahu kora-kora yang 
dilengkapi senjata untuk mengawasi pelayaran dan 
perdagangan di Maluku. Para petani yang melanggar peraturan monopoli diberi hukuman ekstirpasi, yaitu  pemusnahan tanaman rempah-rempah. Akibatnya  banyak kerajaan di Indonesia mengalami kehancuran  dan kehidupan rakyat menderita.Jika kita perhatikan hak - hak  istimewanya,  VOC  dengan mudah menguasai Indonesia. Dari berbagai usaha  yang sudah  dilakukan VOC ini , sebetulnya  sudah  membuktikan bahwa Belanda melaksanakan 
sistem penjajahan, yaitu imperialisme perdagangan. Dengan imperialisme perdagangan mereka mudah 
merampas dan menguasai perdagangan secara 
paksaan dan monopoli.
Sesudah  berkuasa selama kurang dari dua abad 
(1602-1799), akhirnya VOC mengalami kehancuran. Hal ini  dipicu : 
1. banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi;
2. area  kekuasaan VOC yang semakin meluas 
sehingga memerlukan biaya pengelolaan yang 
lebih tinggi, dan;
3. VOC banyak mengeluarkan biaya perang yang 
besar dalam menghadapi perlawanan rakyat 
Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan ini , VOC 
berwujud ya lebih memeras rakyat Indonesia dengan  menerapkan beberapa peraturan baru, seperti Verplichte Leveranties dan Contingenten. Verplichte Leveranties  ialah peraturan yang mewajibkan rakyat menjual hasil pertanian kepada VOC dengan standar  harga ditentukan oleh VOC yang nilainya amat  rendah. Adapun Contingenten yaitu  penyerahan hasil  pertanian dan perkebunan kepada VOC dari area -area  yang tanahnya berada dalam kekuasaan VOC 
secara langsung. Dengan kedua peraturan ini , 
mereka dengan mudah dapat memperoleh lada, beras, kapas, kayu dan barang lainnya seperti gula, ternak dan ikan.
Peraturan lainnya yang diberlakukan VOC yaitu  
aturan preanger stelsel (sistem wajib tanam kopi di 
area  Priangan), yang bertujuan memperoleh kan 
kopi sebanyak-banyaknya dengan harga semurah-
murahnya. Namun usaha -usaha  ini  tidak dapat 
memperbaiki kondisi ekonomi VOC. Sementara itu di negeri Belanda pada tahun 1795 
terjadi revolusi yang dikendalikan oleh Perancis yang memicu  terjadinya perubahan pemerintahan. 
Dalam revolusi ini , raja Belanda berhasil 
digulingkan. Belanda berubah menjadi republik 
dengan nama Republik Bataaf yang berada di bawah 
kemudian  Pemerintah Republik Bataaf 
membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799.  Semua tanah jajahan dan utang-utang VOC diambil  alih oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Republik  Bataaf  belum sempat  menata keadaan Indonesia sebab   pada tahun 1806 terjadi lagi perubahan pemerintahan  di Belanda, yaitu dibubarkannya Republik Bataaf.  Belanda  kembali menjadi kerajaan namun  tetap di bawah 
kekuasaan Perancis. Kaisar Napoleon yang menjadi Raja  Perancis menunjuk adiknya, Louis Napoleon, menjadi  Raja Belanda. maka  secara tidak langsung,  indonesia sebagai area  jajahan Belanda beralih ke tangan Perancis.
3.  Pemerintahan Perancis 
Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon dari Perancis 
yang sudah  diangkat sebagai Raja Belanda, pada tahun  1808 mengangkat Herman Willem Daendels sebagai  Gubernur Jenderal di Indonesia. Tugas utama Daendels  yaitu  mempertahankan Indonesia, khususnya  pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris. Untuk  keperluan ini , Daendels membangun jalan raya  dari Anyar sampai Panarukan yang panjangnya lebih-kurang 1.100 km, dan membangun pangkalan armada 
di Ujungkulon. Agar pembangunan berjalan cepat dan  murah, Daendels menerapkan rodi atau sistem kerja  paksa. Rakyat dipaksa bekerja keras tanpa istirahat dan makanan yang cukup, dan  tanpa upah. Daendels  juga tidak memperhatikan kesehatan pekerja sehingga  banyak pekerja yang meninggal dunia, akibat kelaparan  dan kesehatan yang buruk.
Untuk membiayai pertahanan menghadapi 
Inggris, Daendels kembali memaksa rakyat Priangan  menanam kopi yang hasilnya diserahkan kepada  pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, Belanda menjual tanah rakyat yang oleh mereka dianggap  milik negara kepada perusahaan swasta asing.
 Dalam menjalankan pemerintahannya Daendels 
berlaku keras dan disiplin, dan  cenderung bertangan  besi. Sikapnya ini memicu  rasa tidak senang  di kalangan pejabat Belanda lainnya.Akibatnya para  pejabat melaporkan kekurangan-kekurangan Daendels  kepada Raja Louis, terutama mengenai kebijaksanaannya  menjual tanah negara kepada pihak swasta asing. Pada tahun 1811, Daendels dipanggil pulang dan  kedudukannya digantikan oleh Gubernur Jenderal  Janssens. Ia kurang cakap dan lemah, sehingga 
langsung menyerah saat  Hindia Belanda diserang 
Inggris. Janssens menandatangani perjanjian yang 
menyatakan penyerahan kekuasaan Belanda atas 
Indonesia kepada Inggris. Perjanjian itu dilakukan 
di Tuntang dekat Salatiga sehingga dikenal dengan 
nama “Perjanjian Tuntang”.
4.  Pemerintahan Inggris 
Perhatian Inggris atas Indonesia sebetulnya  
sudah dimulai saat  pada tahun 1579 penjelajah 
Francis Drake singgah di Ternate, Maluku. Untuk 
mengadakan hubungan dagang dengan kepulauan 
rempah-rempah di Asia, Inggris membentuk EIC (East  Indies Company). Pada tahun 1602 armadanya sampai  di Banten dan mendirikan loji di sana. Pada tahun  1604, dibuka perdagangan dengan Ambon dan Banda.  Pada 1609, Inggria mendirikan pos di Sukadana  (Kalimantan). Pada 1613, Inggris berdagang dengan  Makasar, dan pada tahun 1614, Inggris mendirikan 
loji di Batavia.  Dalam usaha perdagangan  itu Inggris memperoleh   perlawanan kuat dari Belanda. Belanda tidak segan-segan memakai  kekerasan untuk mengusir  Inggris dari Indonesia. Sesudah  terjadi peristiwa  Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari  Indonesia. namun  di area  Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Burunei, Inggris  memperoleh kesuksesan. Namun sesudah  diadakan  Persetujuan Tuntang pada tahun 1811, Indonesia  berada di bawah kekuasaan Inggris. Ia memegang  pemerintahan selama lima tahun (1811-1816).
Sebagai kepala pemerintahan di Indonesia, 
Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal. Pemerintahan Raffles ini sekaligus untuk mewakili Lord Minto, Gubernur EIC di India. Pada masa pemerintahannya, Raffles menjalankan kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
. Jenis penyerahan wajib pajak dan rodi harus 
dihapuskan kecuali di Priangan (Prianger Stelsel) 
dan Jawa Tengah
. Rakyat diberi kebebasan untuk menentukan jenis 
tanaman tanpa unsur paksaan.
. Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan, 
dan penggantinya diangkat menjadi pegawai 
pemerintah.
. Pemerintah kolonial yaitu  pemilik tanah dan 
petani sebagai penggarap (penyewa) milik 
pemerintah.
Pemerintahan Raffles beranggapan bahwa semua 
tanah yaitu  milik negara sehingga petani dianggap 
sebagai penyewa tanah negara. Mereka harus 
membayar pajak kepada Pemerintah Inggris sebagai 
ganti uang sewa. Sistem yang diterapkan Raffles ini 
dikenal dengan sistem Landrente atau pajak bumi.
Pada tahun 1813 terjadi perang Leipzig. Inggris 
dan sekutunya melawan Perancis, dan dimenangkan oleh Inggris. Kekuasaasn Kaisar Napoleon di Perancis  jatuh pada tahun 1814. 
maka , berakhir pemerintahan Louis 
Napoleon di Negeri Belanda. sebab  Belanda sudah  
bebas dari kekuasaan Perancis, Inggris mengadakan  perdamaian dengan Belanda di Kota London. 
Perundingan damai itu menghasilkan persetujuan 
yang dinamakan  Konvensi London atau perjanjian London  (1814). Isi perjanjian itu antara lain menyebutkan  bahwa semua area  di Indonesia yang pernah  dikuasai oleh Belanda harus dikembalikan lagi oleh  Inggris kepada Belanda, kecuali area  Bangka,  Belitung, dan Bengkulu. Penyerahan area  kekuasaan 
di antara kedua negeri  itu dilaksanakan pada tahun 
1816. Akhirnya mulai tahun 1816, Pemerintah  Hindia  Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
5. Pemerintahan Kolonial Belanda 
pada Awal Abad ke-19 sampai  Pertengahan Abad ke-20 Pada abad ke-19 ini, tepatnya sesudah  Belanda  kembali menduduki Indonesia sesuai dengan  Perjanjian London (1814), Pemerintah Kolonial Belanda 
menerapkan dua kebijakan yang berpengaruh pada 
kehidupan warga Indonesia. Kedua kebijakan itu 
yaitu  Sistem Tanam Paksa dan UU Agraria 1870. 
a.  Sistem Tanam Paksa 
Selama periode antara tahun 1816-1830, 
Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan 
keuangan. Di bawah Gubernur Jenderal Van de Bosch,  Pemerintah Hindia Belanda berusaha menutupi  kesulitan keuangan itu dengan memberlakukan  Cultuur Stelsel (Tanam Paksa).
Adapun peraturan Tanam Paksa ini  yaitu  
sebagai berikut:
a. setiap desa diharuskan menanam 1/5 dari 
tanahnya dengan tanaman seperti kopi, gula, 
tembakau, dan nila.
b. hasil tanaman itu harus dijual pada pemerintah 
kolonial dengan harga yang sudah  ditentukan.
c. tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan  dari pajak bumi.
d. kegagalan panen akan menjadi tanggung jawab 
pemerintah.
e. mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama  66 hari/tahun di perkebunan milik pemerintah. Dengan ketentuan ini , sistem tanam paksa banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda. Hal  itu terlihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832–1867  diperkirakan mencapai angka 967 juta Gulden. Sehingga 
kas negara segera terisi kembali, bahkan utang  luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya dapat dipakai  untuk  modal usaha-usaha industri di Belanda. Akibat tanam paksa, timbullah reaksi rakyat Indonesia  menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Pada tahun 
1833, terjadilah huru-hara di perkebunan tebu di area  pasuruan. Pada tahun 1848 terjadi pembakaran kebun tembakau seluas tujuh hektar di Jawa Tengah. Reaksi lain terhadap pelaksanaan Sistem Tanam 
Paksa juga muncul di negeri Belanda. Reaksi 
itu datang dari golongan humanis, yaitu orang-
orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dan 
perikemanusiaan, seperti Douwes Dekker (Multatuli)  dalam bukunya Max Havelaar, secara terang-terangan mengecam penyimpangan tanam paksa  dan penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh  pegawai Belanda dan penguasa setempat. Baron van Houvel sebagai pendeta melaporkan  penderitaan rakyat Indonesia dalam sidang perkebunan  di Negeri Belanda. Sejak saat itu banyak orang Belanda  yang menentang tanam paksa, terutama anggota  parlemen dari golongan liberal. Atas desakan parlemen,  pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, 
dan sebagai gantinya dikeluarkanlah Undang-Undang  Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.
b.  Undang-Undang Agraria Tahun 1870
Mulai tahun 1870 Pemerintah Kolonial Belanda 
menerapkan politik liberal dinamakan  
politik pintu terbuka. Dengan politik pintu terbuka ini  pihak swasta asing terutama pengusaha Eropa, memperoleh   kesempatan membuka usaha di Indonesia. Bidang usaha  yang dikelola oleh pihak swasta antara lain;  perkebunan 
kopi, tembakau, teh, kina, dan gula.
Untuk membuka perkebunan  itu 
diperlukan lahan yang luas maka perlulah disusun 
undang-undang yang mengatur sewa-menyewa tanah,  lalu  Pemerintah Belanda mengeluaran Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Ketentuan UU Agraria 1870, antara lain menyebutkan: 
. pengusaha  dapat menyewa tanah dari pemerintah  untuk masa 75 tahun;
. penduduk pribumi dijamin hak-hak miliknya atas 
tanah menurut hukum adat; 
. gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjual 
sawah. Dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870, 
muncullah perkebunan  swasta asing di  Indonesia, seperti perkebunan kina dan teh di Jawa Barat, perkebunan tebu di Jawa Timur, dan perkebunan tembakau dan karet di Sumatera Timur. Pemilik 
perkebunan  swasta itu tidak hanya milik 
orang-orang Belanda, namun  ada milik bangsa-bangsa  Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis dan Belgia. Pada pelaksanaannya, undang-undang ini  
tidak mengubah taraf hidup rakyat Indonesia namun   memicu  berbagai akibat seperti industri kerajinan  rakyat kalah bersaing dengan hasil produksi swasta.  Tenaga rakyat (buruh) diperas secara paksa oleh para  pengusaha swasta, mereka diikat dengan kontrak  sehingga tidak dapat melepaskan pekerjaanya. Jika  mereka melarikan diri akan memperoleh  hukuman. Selain 
membawa dampak negatif, UU Agraria ini membawa dampak positif, terutama warga Indonesia mulai  mengenal arti uang. Ada di antara buruh perkebunan  yang memperoleh kan upah (uang) sebagai bayarannya.bMelihat realisasi UU Agraria 1870 yang tidak mampu  memperbaiki nasib rakyat dari keadaan  sebelumnya, beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker, dan van Deventer. mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda agar 
memperhatikan nasib rakyat Indonesia. 
Dalam pandangan mereka, bangsa Belanda tidak 
ada keinginan untuk memperbaiki rakyat Indonesia, 
padahal  bangsa ini banyak jasanya bagi pembangunan  negeri Belanda. Oleh sebab  itu, sudah sepantasnya Pemerintah Hindia Belanda untuk memperhatikan nasib dan kesejahteran bangsa Indonesia. Akhirnya, melalui 
usulan dan kritikan ini  muncullah Etische Politik 
atau Politik Etis yang diprakarsai oleh van Deventer.   Pada tahun 1899 muncul tulisan CT Van Deventer yang terkenal, "Een ereschuld" (Utang Budi). Tulisan ini menghimbau pemerintah Belanda membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang miskin sebagai kompensasi atas 
keuntungan yang sudah dikeruk dari Jawa melalui Sistem Tanam Paksa, yang  pada tahun 1900 jumlahnya sekitar 200 juta dollar.

Cultuur Stelsel =   Sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh Gubernur Van den 
Bosch 
EIC    =  kongsi perdagangan Inggris dengan pusat di India
Feodalisme  =  sistem penguasaan tanah oleh raja atau bangsawan (kaum 
feudal)
Grote Postweg  =  jalan raya yang dibangun oleh Daendels dari Anyer sampai 
Panarukan yang panjangnya 1.100 km. 
Hak Octrooi   =   hak-hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada 
VOC 
Imperialisme   =  paham yang menguasai Negara lain dalam memperoleh kan sumber 
bahan baku dan area  pemasaran
Kapitalisme   =  suatu sistem perekonomian yang didasarkan pada hak milik atas 
tanah, pabrik-pabrik, dan alat-alat produksi lainnya oleh individu/
swasta
Max Havelaar  =  buku yang ditulis oleh Douwes Dekker atau Multatuli yang berisi 
kecaman terhadap Pemerintah Hindia Belanda atas penderitaan 
yang dialami oleh penduduk di Jawa akibat pelaksnaan Sistem 
Tanam Paksa. 
Merkantilisme  =  kebijaksanaan politik ekonomi dari negara-negara imperialis yang 
tumbuh pada abad ke-16-17 yang bertujuan untuk mengumpulkan 
sebanyak-banyaknya kekayaan berwujud  logam mulia. 
Monopoli   =  penguasaan barang-barang secara sepihak
  Proses kedatangan bangsa Eropa di berbagai area  di Indonesia tidak 
terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terjadi 
di Eropa. Keadaan itu antara lain terputusnya hubungan dagang antara 
Eropa dan Asia sesudah  Kota Konstantinopel dikuasai oleh Turki Usmani 
pada tahun 1453. Keadaan lain berkembangnya ilmu pengetahuan dan 
teknologi, keinginan untuk mengadakan petualangan, dan keinginan un-
tuk menyebarkan agama Nasrani. sedang  kebutuhan vitalnya yaitu  
mencari rempah-rempah langsung ke sumbernya.
  Para penjelajah bangsa Eropa yang datang ke Indonesia dipelopori oleh 
Portugis dan Spanyol, lalu  diikuti bangsa-bangsa Eropa lainya 
seperti Belanda dan Inggris.