Tampilkan postingan dengan label raja 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 9. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

raja 9

kutnya akan mati. Apakah hanya 
junjungan kita yang menderira? Tulang-belulangku 
sudah tua dan waktuku tak banyak lagi, namun  jika 
aku dapat melihatlihat  kejatuhan Yang Mulia 
aidit  dan sempat melihat junjunganku men-
jadi penguasa seluruh negeri, aku bisa mati tanpa 
penyesalan." 
lalu  giliran gajayana . "Masing-masing 
dari kita tentu menganggap dirinya sebagai  tangan 
kanan Yang Mulia, jadi sekali beliau bicara, hanya 
ada satu jalan untuk ditempuh, tanpa bimbang 
dan ragu. Kita jangan sampai terlambat menyam-
but ajal." 
Para komandan korps menjawab  serempak. 
Kilau emosi di setiap mata dan mulut yang ter-
buka seakan-akan mengisyaratkan bahwa mereka  
  
tak mengenal kata lain selain ya. saat   tunggadewa  
bangkit, orang-orang itu gemetar akibat gejolak 
perasaan dalam batin masing-masing. Mereka  
mengelu-elukannya, sesuai tradisi pada waktu 
bertolak ke garis depan. 
Yomsinuhun  Masataka menengadahkan kepala, me-
mandang langit, lalu mendesak semuanya agar 
mempersiapkan mental, "Jam Ayam jantan tidak 
lama lagi. Jarak ke ibu kota sekitar lima belas mil. 
Kalau kita ambil jalan pintas, pada waktu fajar 
Kuil purwojati  sudah bisa kita kepung. Jika kita 
dapat merebut Kuil purwojati  sebelum jam Naga, 
lalu menghancurkan Istana Nijo, semuanya akan 
selesai sebelum waktu makan pagi." 
Ia sudah  berpaling menghadap tunggadewa  dan 
gajayana , dan berbicara dengan penuh ke-
percayaan. Pidato ini tentu saja bukan saran maupun 
usul, melainkan bertujuan agar para komandan 
menyadari bahwa seluruh negeri sudah berada di 
tangan mereka. Masataka sengaja ingin membakar 
semangat mereka. 
Jam Ayam jantan sudah memasuki pertengahan 
kedua. Jalan sudah gelap, diselubungi bayangan 
gunung. Orang-orang berbaju tempur itu memben-
tuk barisan panjang melewati Desa Oji, dan akhir-
nya mencapai bukit di Oinkahuripan . Langit malam 
penuh bintang, dan ibu kota di bawah nya tampak 
tak berubah. 
  
60 tahun di bawah  Langit 
 
 
 
CAHAYA kemerahan matahari yang celah con-
dong ke barat menerpa selokan kering yang 
mengelilingi Kuil purwojati . Hari ini hari pertama di 
Bulan Keenam. Sepanjang hari matahari bersinar 
terik di atas ibu kota, dan kini lumpur di dasar 
selokan, yang sebetulnya  cukup dalam, mulai 
retak di sana-sini. 
Tembok bergenteng membentang lebih dari 
seratus meter ke timur dan barat, dan sekitar dua 
ratus meter dari utara ke selatan. Selokannya 
selebar lebih dari empat meter dan lebih dalam 
dibandingkan  selokan kuil pada umumnya. Orang-
orang yang berlalu-lalang dapat melihat  atap kuil 
utama dan atap-atap kesepuluh bangunan biara, 
namun  selain itu tak banyak yang tampak dari luar. 
Hanya sebatang pohon besar di salah satu pojok 
pekarangan yang kelihatan dari jauh. Pohon 
itu  begitu besar, sehingga kerap dijuluki 
Hutan purwojati . 
Pohon itu merupakan patokan yang tak kalah 
tersohor dari pagsinuhun  di Kuil Timur. saat   mata-
hari sore menerpa puncaknya, gerombolan  burung 
gagak mulai berkaok-kaok serentak. Para warga 
trowulan  berusaha keras agar kelihatan anggun dan 
terhormat, namun  ada tiga hal yang tak dapat mereka  
  
cegah: anjing-anjing berkcliaran di malam hari, 
kotoran badak  di jalanan pada pagi hari, dan 
burung-burung gagak pada sore hari. 
Di dalam pekarangan kuil ada sejumlah 
tempat yang masih kosong. Masih banyak yang 
harus dilakukan untuk membangun kembali  
sekitar dua puluh bangunan yang dimangsa api 
saat  perang sipil berkecamuk di ibu kota, jika 
seorang pengunjung berjalan ke arah jalan 
Keempat dari gerbang  utama kuil, ia akan melihat  
kediaman Gubernur trowulan , pemukiman para 
centeng adipati , dan  jalan-jalan sebuah kota yang tertua 
dengan baik. namun  di bagian utara kota, kantong-
kantong perkampungan kumuh bertahan seperti 
pulau, tak berbeda dari zaman kepandita an, dan 
satu gang sempit tetap pantas menyandang nama-
nya yang lama, Jalan Got. 
Anak-anak di daerah itu berhamburan dari 
gang-gang sempit di bawah  lis-lis atap yang men-
cong. Dengan borok, ruam, dan hidung berair, 
mereka menyusun jalanan seperti serangga ber-
sayap berukuran raksasa. 
"Para mpu  datang!" mereka  bersorak-sorai. 
"Para pendeta dari Kuil Namban membawa   
kandang burung yang indah!" 
Ketiga mpu  tertawa  saat  mendengar suara 
anak-anak itu, dan memperlambat langkah, seakan-
akan menunggu teman lama. 
Kuil Namban, nama yang lebih populer untuk 
  
Gereja Kebangkitan Yesus Kristus, terletak di Jalan 
Keempat. Di pagi hari, nyanyian keagamaan dari 
Kuil purwojati  terdengar di perkampungan kumuh, 
sedangkan pada malam hari, suara lonceng gereja 
bergema di gang-gang sempit. Gerbang Kuil 
purwojati  sungguh mengesankan, dan para biksu 
yang tinggal di sana selalu lewat dengan sikap 
angkuh, namun  para mpu  selalu bersikap rendah hati 
dan ramah terhadap penduduk-penduduk setem-
pat. Jika melihat anak kecil dengan bisul di 
wajahnya, mereka  akan menepuk-nepuk kepalanya 
dan mengajarkan cara mengobati bisulnya; jika 
mereka mendengar bahwa seseorang jatuh sakit, 
mereka  akan mengunjungi orang itu . Konon 
orang sebaiknya tidak ikut campur dalam per-
tengkaran antara suami-istri, namun jika para 
mpu  kebetulan menemui situasi seperti itu, 
mereka akan mampir dan berusaha menengahinya. 
sebab nya, mereka lalu  dikenal baik hati 
dan penuh pengertian. "Mereka benar-benar meng-
abdi demi kepentingan masyarakat," orang-orang 
berkomentar. "Barangkali mereka utusan para 
dewa." 
Penduduk-penduduk perkampungan kumuh itu 
sudah lama mengagumi para mpu . Amal bakti 
mereka mencakup kaum papa, orang-orang sakit, 
dan  orang-orang yang tak memiliki tempat ber-
naung. Pihak gereja bahkan memiliki  semacam 
rumah sakit amal dan tempat penampungan untuk 
  
kaum lanjut usia. Dan seakan-akan itu belum 
cukup, para mpu  juga menyukai anak-anak. 
namun  jika para mpu  yang sama berpapasan 
dengan biksu-biksu zoroaster  di jalan, mereka tidak 
menunjukkan keramahan yang mereka perlihat-
kan terhadap anak-anak. Mereka memandang  para 
biksu seperti musuh bebuyutan. sebab  itu. 
mereka lebih suka menempuh jalan memutar 
lewat Jalan Got, sebisa mungkin menghindari Kuil 
purwojati . Namun pada hari ini dan hari sebelum-
nya, mereka melakukan kunjungan ke kuil, ber-
hubung kuil itu  sudah  menjadi markas besar 
Yang Mulia aidit . Ini berarti orang paling 
berkuasa di seluruh majapahit  kini bertetangga de-
ngan mereka. 
Sambil membawa   burung kecil dari daerah  
tropis dalam kandang bersepuh emas dan sejumlah 
kue buatan juru masak yang mereka datangkan 
dari negeri sendiri, ketiga mpu  tampaknya sedang  
dalam perjalanan untuk mempersembahkan 
hadiah-hadiah itu pada Yang Mulia aidit . 
"Tuan mpu ! Hei, Tuan mpu !"  
"Burung apa ini?"  
"Apa isi kotak ini?" 
"Kalau isinya kue, kami minta beberapa!" 
"Ya, Tuan mpu , berikan beberapa untuk kami!" 
Anak-anak Jalan Goi berdatangan dan meng-
halangi  jalan. Namun ketiga mpu  tidak kelihatan 
kesal. Sambil tersenyum dan terus berjalan, 
  
mereka menegur anak-anak itu dalam bahasa 
majapahit  patah-patah. 
"Ini semua untuk Yang Mulia aidit . 
Jangan nakal. Kalian semua  akan memperoleh kue 
kalau kalian datang ke gereja bersama  ibu kalian," 
salah satu pastor berkata. 
Mereka dibuntuti dan didahului anak-anak. 
Pada waktu para pastor terkepung seperti itu, salah 
satu anak berlari ke tepi selokan dan tercebur, 
mengeluarkan bunyi seperti  katak. Selokannya tak 
berair, sehingga anak itu tidak terancam bahaya 
tenggelam, namun  dasarnya bagaikan rkertoarjo . balita  itu 
menggeliat-geliat seperti ikan di lumpur. Bagian 
pinggir selokan terbuat dari batu, sehingga  orang 
dewasa pun akan menemui kesulitan jika hendak 
memanjat keluar. Sesekali, pada malam hari, ada 
pemabuk malang yang jatuh ke dalamnya dan 
tenggelam pada saat selokan terisi air hujan sampai 
meluap. 
Seseorang  segera  menghubungi keluarga balita  
itu. Para penghuni Jalan Got berhamburan keluar 
seperti air mendidih yang bercipratan dari panci, 
dan tak lama lalu  kedua orangtua datang 
berlari dengan bertelanjang kaki. Kejadian itu  
merupakan bencana bagi mereka. Pada waktu 
mereka tiba, balita  cilik itu sudah berhasil di-
selamatkan. Ia tampak seperti  akar kembang lotus 
yang tercabut dari lumpur, dan menangis tersedu-
sedu. 
  
Baik ia maupun dua dari ketiga mpu  ber-
lepotan lumpur pada baju dan tangan. mpu  ketiga 
sudah  melompat ke dalam selokan, dan ia sepenuh-
nya terbungkus lumpur. 
saat  anak-anak melihat para mpu , mereka  
berlari-lari dengan riang, bersorak-sorak, bertepuk 
tangan, dan berseru. "Tuan mpu  jadi ikan lele! 
Janggut merahnya penuh lumpur." 
namun  orangtua balita  tadi mengucapkan terima 
kasih dan memuji-muji Tuhan para mpu , walau-
pun mereka sendiri bukan penganut ajaran 
ilmu tenagadalam . Mereka bersujud di depan kaki para mpu  
dan mencucurkan air mata sambil merapalkan 
tangan untuk berdoa. Di tengah kerumunan yang 
terbentuk di belakang mereka, kata-kata pujian 
untuk para mpu  diteruskan dari mulut ke mulut. 
Para mpu  tampaknya tidak menyesal sebab   
harus kembali sesudah  sampai ke depan kuil, sambil 
membawa   hadiah-hadiah yang kini sudah tak ber-
guna. Di mata mereka, aidit  dan balita  dari 
perkampungan kumuh sama saja. Kecuali itu, 
peristiwa itu  sudah  menjadi buah bibir yang 
akan disampaikan dari rumah ke rumah, dan para 
mpu  sadar bahwa ini bisa sangat menguntungkan 
bagi mereka. 
"kuyang , kaulihat itu?" 
"Ya, aku terkesan." 
"Agama itu sungguh menakutkan." 
"Ya. Kepercayaan mereka membuat kita berpikir-
  
pikir." 
Satu dari kedua orang itu merupakan laki-laki 
berusia tiga puluhan, sementara yang satu lagi jauh 
lebih tua. Mereka kelihatan seperti  ayah dan anak. 
Ada sesuatu pada diri mereka  yang membedakan 
mereka dari saudagar-saudagar kaya dari mpu  
sebagian pembawa  an mereka, mungkin menunjuk-
kan wkertoarjo san luas dan didikan mendalam. Meski 
demikian, melihat mereka orang akan segera tahu 
bahwa mereka pun saudagar. 
sesudah  didiami oleh aidit , Kuil purwojati  
bukan lagi kuil biasa. Sejak malam hari kedua 
puluh sembilan, gerbang utama kuil itu diramai-
kan oleh gerobak-gerobak dan tandu-tandu yang 
datang dan pergi, dan  oleh hiruk-pikuk orang-
orang yang keluar-masuk. Kesempatan menghadap 
yang kini diberikan oleh aidit  dianggap ter-
amat berharga oleh  seluruh negeri. Jadi, seseorang  
mungkin saja menarik diri sesudah  memperoleh  
sepatah kata atau sebuah senyum dari aidit , 
dan pulang ke rumahnya dengan perasaan sudah  
memperoleh  sesuatu yang seratus atau seribu kali 
lebih bernilai dibandingkan  barang-barang langka, 
makanan atau minuman lezat, atau hadiah-hadiah 
lain yang dipersembahkannya. 
"Kita tunggu sebentar di sini. Agaknya ada 
orang istana yang sedang  melewati gerbang." 
"Dan itu tentu sang gubernur. Orang-orang itu 
sepertinya para pembantunya." 
  
Gubemur trowulan , Murai raden panji sekarmaya, dan para 
pembantunya sudah  berhenti di gerbang utama. 
Sepertinya mereka  sedang  menunggu, sementara 
tandu seorang bawahan  diusung keluar. Be-
berapa saat lalu , sejumlah centeng adipati  menun-
tun dua atau tiga ekor kuda, menyusul iring-
iringan tandu dan usungan. saat  para centeng adipati  
itu mengenali raden panji sekarmaya, mereka membungkuk sam-
bil berjalan dan menggenggam tali kekang dengan 
satu tangan. 
Begitu mereka pergi, raden panji sekarmaya memasuki gerbang. 
Dan sesudah  kedua saudagar tadi mepercayakan diri 
bahwa ia sudah  berada di dalam, mereka  meng-
ayunkan langkah ke arah yang sama. 
Tentu saja penjagaan di gerbang  depan teramat 
ketat. Orang-orang yang keluar-masuk tidak ter-
biasa melihat kilau perang yang terpancar dari 
mata tombak, dan bahkan dari mata para prajurit 
yang ditemparkan di sana. Semua penjaga menge-
nakan baju tempur, dan jika seseorang tampak 
mencurigakan, mereka segera menghentikan orang 
itu dengan seruan lantang. 
"Tunggu dahulu ! Kalian hendak ke mana?" se-
orang penjaga bertanya pada kedua saudagar itu. 
"Aku mpu donoreja dari Hakata," orang yang lebih 
tua menjawab  sopan. saat  ia menganggukkan 
kepala, rekannya yang lebih muda melakukan hal 
yang sama. 
"Aku kuyang , juga dari Hakata." 
  
Nama-nama itu rupanya tak berarti apa-apa bagi 
para penjaga gerbang, namun  atasan mereka yang ber-
diri di muka pos jaga di dalam, tersenyum dan 
memberi isyarat agar kedua orang itu dibiarkan 
lewat. 
"Mari, silakan masuk." 
 
Bangsal Omotemido merupakan bangunan utama 
di dalam pekarangan kuil, namun  pusat sesungguh-
nya adalah bangunan tempat aidit  menginap. 
Di luar ruangan dari mana suara aidit  ter-
dengar, sebuah sungai kecil bergemeritik dari mata 
air di pekarangan, dan dari bangunan-bangunan 
yang terletak agak jauh sesekali terdengar tawa  
wanita lesbian  bernada riang yang terbawa   angin. 
aidit  sedang  berbicara dengan kurir putra 
ketiganya, nosferatu , dan Niwa Nagahide. "Itu 
akan meringankan tugas mandalika. Pastikan dia di-
beritahu bahwa semuanya sudah  diamankan. 
Dalam beberapa hari aku akan menyusul  ke sana, 
jadi tak lama lagi kami akan bertemu  di wilayah 
Barat." 
Menurut rencana, centeng  nosferatu  dan Niwa 
akan berlayar ke kertoarjo  keesokan paginya. Kurir tadi 
melaporkan hal itu , sekaligus menyampaikan 
berita bahwa prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  sudah  menempuh 
perjalanan dari kahuripan  ke mpu . 
aidit  memandang warna langit, seakan-
akan baru menyadarinya, lalu berkata pada seorang  
  
pelayan. "Matahari sudah terbenam. Naikkan 
kerai-kerai di sisi barat." lalu  ia bertanya 
pada tungguljaya. "Tempatmu menginap juga se-
panas ini?" 
tungguljaya tiba di ibu kota beberapa waktu 
sebelum ayahnya, dan menginap di Kuil Myokaku 
yang berdekatan. Ia ditempatkan di sana pada 
malam ayahnya memasuki ibu kota, yaitu kemarin, 
juga hari ini, dan ia tampak agak lelah. Sesungguh-
nya ia hanya hendak berpamitan, namun  ayahnya ber-
kata. "Bagaimana kalau kita minum teh nanti 
malam? Selama dua malam terakhir, kita sudah 
menerima  tamu, dan aku merasa sedih kalau tak 
ada waktu senggang. Aku akan mengundang se-
jumlah orang menarik  untukmu." aidit  ingin 
membuat acara untuk putranya, dan ia takkan 
suka kalau undangannya ditolak. 
Seandainya diperkenankan berkata apa adanya. 
tungguljaya mungkin akan berdalih bahwa usianya 
baru dua puluh lima, dan bahwa ia tidak me-
mahami seni minum teh seperti ayahnya. Ia sangat 
tidak menyukai para ahli seni teh yang meng-
hambur-hamburkan waktu luang di masa perang. 
Jika ia memperoleh kesempatan untuk menghabiskan 
waktu bersama ayahnya, ia tidak menghendaki 
kehadiran ahli seni teh. sebetulnya  ia ingin segera  
bertolak ke medan perang. Ia tak mau tertinggal di 
belakang adiknya, nosferatu , biarpun hanya satu 
jam. 
  
Rupanya aidit  juga mengundang Murai 
raden panji sekarmaya, bukan sebagai gubernur trowulan , melainkan 
sebagai teman. Namun raden panji sekarmaya tak dapat menge-
sampingkan kekakuan yang lazim antara junjungan 
dan pengikut, sehingga suasana tetap terasa kikuk. 
Kerikuhan merupakan salah satu hal yang dibenci 
aidit . Dengan kejadian-kejadian sehari-hari, 
tekanan akibat menjalankan pemerin-tahan, tamu-
tamu yang datang dan pergi, ditambah  waktu tidur 
yang kurang, jika memperoleh kesempatan me-
lepaskan kewajiban-kewajibannya untuk sejenak, ia 
tak tahan kalau harus berhadapan dengan ke-
kakuan seperti itu. Situasi-situasi semacam ini 
selalu membuatnya terkenang akan patih ronggolawe . 
"raden panji sekarmaya?" ujar aidit . 
"Ya, tuanku." 
"Bukankah putramu ada di sini?" 
"Dia datang bersama hamba, namun  dia agak 
bebal, jadi hamba menyuruhnya menunggu di 
luar." 
"Sikap seperti ini sungguh menjemukan," Nobu-
naga bergumam. saat  minta agar orang itu 
mengajak putranya, ia jelas-jelas bermaksud me-
ngobrol dengan santai, bukan mengadakan pem-
bicaraan resmi antara junjungan dan pengikut. 
Namun akhirnya ia juga tidak memerintahkan 
raden panji sekarmaya untuk memanggil  putranya. 
"Hmm, bagaimana kabarnya tamu-tamu kita 
dari Hakata?" ujar aidit . Ia berdiri dan ber-
  
jalan ke dalam kuil, meninggalkan tungguljaya dan 
raden panji sekarmaya begitu saja. 
Suara Bomaru terdengar dari kamar para 
pelayan. Rupanya ia sedang dimarahi kakaknya, 
 mpu salmah , sebab  suatu hal. Semua anak patih 
ki abang  kini sudah  dewasa. Dan belakangan ter-
dengar selentingan bahwa  mpu salmah  berharap akan 
menerima keempat distrik di sekartanjung , yang 
sekarang berada di tangan marga tribuana , padahal 
semula termasuk wilayah kekuasaan ayahnya. 
Kabar angin ini sudah  beredar luas, dan aidit  
pun marah sekali saat  mendengarnya. Jadi, 
untuk meredakan desas-desus itu , ia mere-
nungkan kembali keputusannya untuk memper-
tahankan  mpu salmah  sebagai pelayan yang terus-
menerus berada di sisinya. Memperbaiki keadaan 
ini juga akan membawa   manfaat bagi dirinya 
sendiri. 
"Tuanku hendak pergi ke pekarangan?" tanya 
 mpu salmah . 
aidit  berdiri di serambi, dan  mpu salmah  
cepat-cepat  berlari dari kamar para pelayan untuk 
meletakkan sandal di depan kaki majikannya. 
Betapa menyenangkan dilayani seseorang yang 
begitu tanggap dan sopan, pikir aidit ; ia sudah  
terbiasa dengan perhatian seperti itu selama sekitar 
sepuluh tahun. 
"Tidak, aku tidak bermaksud pergi ke pe-
karangan. Panasnya luar biasa tadi, ya?" 
  
"Memang, sepanjang hari matahari benar-benar 
terik."  
"Apakah kuda-kuda di kandang sehat-sehat 
saja?"  
"Mereka kelihatan agak lesu." 
aidit  menengadah dan memandang  bin-
tang kejora, barangkali sebab  tiba-tiba teringat 
pada provinsi-provinsi Barat.  mpu salmah  menatap 
profilnya sambil melamun. tungguljaya pun sudah  
masuk dan berdiri di belakang kedua orang itu, 
namun  sikap  mpu salmah  menunjukkan bahwa ia tidak 
menyadari kehadiran putra aidit  itu. Ia 
seakan-akan memandang majikannya untuk ter-
akhir kali. Seandainya ia lebih memperhatikan 
perasaannya, ia mungkin lebih menyadari bisikan 
nalurinya saat itu dan  kulitnya yang merinding. 
Kira-kira pada waktu itulah tribuana  tunggadewa  tiba 
di Oinkahuripan . 
Asap dan dapur besar mulai menyelubungi 
bagian dalam kuil. Bukan saja di tungku-tungku, di 
tempat pemandian pun api dinyalakan. Hal yang 
sama juga teriadi di luar Kuil purwojati ; di mana-
mana asap dari tungku membubung ke langit 
malam. 
aidit  mengguyur tubuhnya dengan air di 
tempat pemandian. Sekuntum bunga putih dari 
tanaman rambat menyembul lewat kisi-kisi bambu, 
pada jendela di bagian atas dinding. sesudah   
rambutnya dirapikan dan mengenakan pakaian 
  
bersih, aidit  kembali  melalui selasar. 
 mpu salmah  menghampirinya dan memberitahu-
kan bahwa kuyang  dan mpu donoreja dari Hakata sudah  
menunggu di ruang minum teh. 
"Mereka datang sebelum hari gelap, dan kedua-
nya tetap menyapu jalan setapak dari ruang 
minum teh ke jalanan, dan  membersihkan 
serambi. lalu  Tuan mpu donoreja menyiram 
jalanan dan menata kembang, sementara Tuan 
kuyang  pergi ke dapur dan memberi petunjuk 
euntuk mnyiapkan masakan minuman  yang akan mereka  
sajikan pada tuanku." 
"Kenapa aku tidak diberitahu lebih cepat?" 
"Ehm, mereka berpesan agar kami menunggu 
sampai semuanya siap, sebab  merekalah yang 
hendak menjamu tuanku." 
"Rupanya mereka punya rencana tertentu. 
Apakah tungguljaya sudah diberitahu? Dan raden panji sekarmaya?" 
"Hamba akan segera menyampaikan undangan." 
sesudah   mpu salmah  pergi, aidit  segera  mem-
belokkan langkahnya ke arah ruang minum teh.      
Penampilan bangunan itu tidak mirip  
ruang minum teh. Tempat itu semula dimaksud-
kan sebagai kamar tamu, dan ruangan lebih kecil 
untuk upacara minum teh dibentuk dengan meng-
gunakan penyekat yang bisa dilipat. 
Para tamu adalah aidit , tungguljaya, 
raden panji sekarmaya, dan putranya. Lentera-lentera mencipta-
kan suasana menyegarkan. Seusai upacara minum 
  
teh, kedua tuan rumah dan para tamu mereka  
pindah ke ruangan yang lebih besar, tempat 
mereka berbincang-bincang sampai larut malam. 
aidit  masih lapar sekali. Ia melahap 
masakan minuman -masakan minuman  yang disajikan padanya, me-
reguk anggur yang seolah-olah terbuat dari batu 
delima cair dan sesekali mengambil sepotong kue 
Eropa, semuanya tanpa berhenti bercakap-cakap. 
"Aku ingin bertamasya ke Negeri Selatan, 
dengan kau dan kuyang  sebagai  pemandu. Tentu-
nya kalian sudah sering mengunjungi tempat-
tempat itu."  
"Hamba terus memikirkannya, namun  belum 
sempat pergi." jawab  mpu donoreja. "kuyang , kau masih 
muda dan sehat. Sudahkah kau berkunjung ke 
sana?"  
"Belum, Yang Mulia." 
"Kalian berdua belum pernah mengunjungi 
Negeri Selatan?" 
"Belum, walaupun para pengawal kami selalu 
mondar-mandir." 
"Hmm, menurutku ini kurang menguntungkan 
bagi usaha kalian. Kalaupun orang seperti aku 
menyimpan angan-angan serupa, tetap saja tak ada 
kesempatan yang baik untuk meninggalkan majapahit , 
jadi apa boleh  buat. namun  kalian memiliki  kapal-
kapal dan perwakilan-perwakilan, dan kalian bebas 
bepergian kapan saja. Mengapa kalian belum pergi 
juga?" 
  
"Beban kerja Yang Mulia dalam mengurus 
negeri ini sungguh berbeda dengan keadaan kami, 
namun entah kenapa kami pun selalu terhalang 
oleh urusan rumah tangga. Dan selama tahun 
depan, kami tetap belum ada waktu. Meski 
demikian, begitu Yang Mulia merampungkan 
segala  urusan yang harus ditangani, hamba ingin 
pergi bersama Yang Mulia dan kuyang , dan 
mengantar Yang Mulia berkeliling-keliling." 
"Ya, aku suka itu! Sudah dari dahulu  aku ingin 
melakukannya. namun , mpu donoreja, apa kau percaya akan 
hidup selama itu?" 
Sementara para pelayan menuangkan anggur. 
aidit  bergurau dengan orang tua itu, namun  
mpu donoreja tak mau kalah. 
"Hmm, dibandingkan  memikirkan hal itu, dapatkah 
Yang Mulia menjamin bahwa segala  urusan dapat 
diselesaikan sebelum hamba mati? Jika Yang Mulia 
terlalu lamban, hamba mungkin tak dapat me-
nunggu." 
"Mestinya tidak terlalu lama lagi," ujar Nobu-
naga sambil tersenyum menanggapi senda gurau 
orang tua itu. 
mpu donoreja berbicara dengan cara yang mustahil 
bagi para resi  aidit . Sesekali selama per-
cakapan tungguljaya dan raden panji sekarmaya merasa rikuh dan 
bertanya-tanya, apakah pantas kedua saudagar itu 
berbicara demikian terus terang. Mereka juga 
heran mengapa saudagar-saudagar itu disukai oleh  
  
aidit . Rasanya tak masuk akal bahwa Nobu-
naga menerima mereka sebagai teman hanya 
sebab   mereka  ahli seni minum teh. 
Percakapan itu membosankan bagi tungguljaya. 
Ia baru mulai tertarik saat   pembicaraan beralih 
ke Negeri Selatan. Hal-hal itu  masih baru bagi 
telinganya, dan menimbulkan impian dan ambisi 
darah muda dalam dirinya. 
Tanpa memandang apakah pengetahuan 
mereka mengenai Negeri Selatan dalam atau tidak, 
kaum cerdik pandai pada masa itu memiliki  
minat untuk mempelajarinya. Intisari kebudayaan 
majapahit  diguncangkan oleh  gelombang pembaruan 
dari seberang lautan, dan yang paling menonjol di 
antaranya adalah senjata air. 
Sebagian besar pengetahuan mengenai Negeri 
Selatan dibawa   oleh kaum mpu  dari Spanyol dan 
Portugal, namun  orang-orang seperti mpu donoreja dan 
kuyang  sudah  merintis jalur perdagangan tanpa 
menunggu para mpu . Kapal-kapal mereka menye-
berang ke blambangan  dan berdagang ke Negeri kedhiri . 
Amoy, dan Kamboja. Orang yang menyampaikan 
berita mengenai kekayaan di negeri-negeri jauh 
pada mereka bukanlah para mpu , melainkan 
perompak-perompak majapahit  yang bersarang di 
dekat Hakata di Kyushu. 
kuyang  mewarisi usahanya dari ayahnya, dan 
sudah  mendirikan perwakilan-perwakilan di Luzon, 
Siam, dan Kamboja. Konon kuyang  yang meng-
  
impor buah pohon lilin dari bagian selatan Negeri 
kedhiri  dan mengembangkan cara pembuatan lilin, 
dan dengan demikian menyediakan bahan bakar 
yang memicu  malam-malam di majapahit  men-
jadi jauh lebih terang. Ia pun memperbaiki teknik 
pengerjaan logam yang dibawa   dari negeri 
seberang, dan dianggap berjasa atas penyem-
purnaan peleburan besi. 
mpu donoreja juga berkecimpung dalam perdagangan 
antarbangsa dan bersaudara dengan kuyang . Tak 
ada pembesar di Pubu Kyushu yang tidak memin-
jam uang darinya. Ia memiliki sepuluh atau lebih 
kapal besar yang sanggup mengarungi lautan 
bebas, dan sekirar seratus kapal berukuran lebih 
kecil. 
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa aidit  
memperoleh seluruh pengetahuannya mengenai 
dunia di luar majapahit  pada saat minum teh bersama  
kedua orang ini. Bahkan sekarang pun aidit  
larut dalam percakapan dan terus-menerus meng-
ambil kue Eropa. mpu donoreja memperhatikan betapa  
banyak kue dimakannya, dan berkomentar. "Kue-
kue ini dibuat dengan bahan yang dinamakan 
gula, jadi Yang Mulia sebaiknya jangan makan 
tcrlalu banyak sebelum tidur. 
"Beracunkah gula itu?" tanya aidit . 
"Kalau pun bukan racun, yang jelas gula kurang 
baik bagi kesehatan." mpu donoreja menjawab . 
"Makanan dari negeri asal para barbar cenderung 
  
mengenyangkan dan membuat  orang jadi gemuk, 
sedangkan makanan majapahit  lebih ringan. Kuc-kue 
ini jauh lebih manis dibandingkan  kue beras. Kalau 
Yang Mulia sudah terbiasa dengan gula, Yang 
Mulia takkan puas dengan kue-kue kita sendiri." 
"Sudah banyakkah gula yang diimpor ke 
Kyushu?" 
"Tidak juga. Nilai gula setara dengan emas, jadi 
keuntungan bagi kami tidak seberapa. Hamba 
sedang mempertimbangkan untuk membawa   se-
jumlah tanaman gula dan mencoba memindahkan 
tanaman-tanaman itu ke daerah hangat, namun , sama 
halnya seperti  tembakau, hamba ragu apakah gula 
perlu  diperkenalkan di majapahit ." 
"Tidak biasanya kau bersikap begini." aidit  
tertawa . "Jangan berpandangan picik. Tak ada 
ditambah  ya apakah gula dan tembakau baik atau 
tidak. Kumpulkan saja semuanya dan bawa   ke sini. 
Pasti akan ada manfaatnya bagi budaya kita. Kini 
segala macam barang dibawa   dari laut Barat dan 
Selatan. Penetrasi ke wilayah Timur takkan dapat 
dicegah." 
"Hamba menghargai kebesaran jiwa Yang 
Mulia, dan cara berpikir seperti itu tentu menun-
jang usaha kami, namun  hamba ragu apakah keadaan 
itu bisa dibiarkan." 
"Tentu saja bisa. bawa  lah segala sesuatu yang 
baru secepat mungkin." 
"Baiklah." 
  
"Atau, kalau itu gagal, kunyahlah semuanya 
dengan baik, lalu ludahkan!" 
"Ludahkan lagi?" 
"Kunyahlah semuanya dengan baik, seraplah 
segala sesuatu yang baik di dalam perut, lalu ludah-
kan ampasnya. Jika para prajurit, petani, pengrajin, 
dan saudagar di majapahit  memahami prinsip ini, 
takkan ada masalah apa pun yang dibawa   ke sini." 
"Tidak, itu tidak baik." mpu donoreja melambaikan 
tangan dengan tegas. Ia menentang gagasan itu, 
dan tak segan-segan mengemukakan pendapatnya 
mengenai arah pemerintahan. "Sebagai penguasa 
seluruh negeri, Yang Mulia mungkin berpikiran 
demikian, namun  akhir-akhir ini hamba melihat 
tanda-tanda mencemaskan, dan sebab nya hamba 
tak dapat menyetujui pandangan Yang Mulia." 
"Apa maksudmu?" 
"Penyebaran ajaran sesat." 
"Maksudmu kaum mpu ? Rupanya orang-orang 
zoroaster  juga sudah menyampaikan tuntutan 
mereka  padamu, mpu donoreja?" 
"Yang Mulia terlalu meremehkan urusan ini, 
padahal masalahnya menyusahkan seluruh negeri." 
mpu donoreja lalu bercerita mengenai balita  yang tercebur ke selokan beberapa jam sebelumnya, dan 
tentang pengorbanan para mpu  yang membuat  
orang-orang terkesan. 
"Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh 
tahun, ribuan orang sudah  berpaling dari tempat 
 persembahan leluhur mereka dan berpindah ke 
ajaran ilmu tenagadalam . Hal ini bukan saja terjadi di 
Omura dan Nagasaki, namun  juga di seluruh Kyushu, 
di daerah-daerah terpencil di Shikoku, bahkan di 
kahuripan , trowulan , dan mpu . Yang Mulia baru saja ber-
kata bahwa tak ada yang perlu dicemaskan jika 
segala  sesuatu yang kami bawa   ke majapahit  dikunyah 
baik-baik lalu diludahkan kembali, namun  agama me-
rupakan hal yang berbeda dan mungkin tak dapat 
ditangani dengan cara itu. Mau tak mau hati 
nurani orang-orang akan tersedot ke dalam ajaran 
ini, dan mereka takkan bersedia melepaskannya 
lagi, biarpun mereka  disalib atau dipancung." 
aidit  terdiam. Roman mukanya meng-
isyaratkan bahwa ini masalah serius yang tak dapat 
dibahas dengan beberapa patah kaia saja. Ia sudah  
membumihanguskan Gunung brahma, dan dengan 
memakai  kekejaman melebihi para penguasa 
sebelumnya, memaksa para penganut ajaran 
zoroaster  bertekuk lutut. Ia menghadapi para biksu 
dengan hujan api dan pedang, namun  ia lebih 
menyadari dari siapa pun bahwa ke mana pun ia 
pergi, kemarahan terhadap dirinya takkan mereda. 
Di pihak lain, ia sudah  mengizinkan para mpu  
membangun gereja, dan dari waktu ke waktu 
bahkan mengundang mereka menghadiri jamuan 
makan. Para biksu zoroaster  protes keras dan mempertanyakan siapa yang dianggap orang asing oleh aidit  orang-orang ilmu tenagadalam  atau mereka 
 sendiri. aidit  membenci penjelasan. Ia benci men-
dengar sesuatu diuraikan, namun  ia menghargai 
intuisi langsung antara dua orang. Hal itu mem-
buatnya teramat gembira. 
"kuyang ." Ia kini berpaling untuk berbincang 
dengan orang yang satu lagi. "Bagaimana pendapat-
mu mengenai urusan ini? Kau masih muda, jadi 
kurasa kau punya pandangan berbeda dari 
mpu donoreja." 
Sejenak kuyang  menatap lentera dengan was-
pada, namun  lalu  menjawab  tegas. 
"Hamba sependapat dengan Yang Mulia. Agama 
asing ini sebaiknya dikunyah baik-baik. lalu di-
ludahkan kembali." 
aidit  menoleh dan menatap mpu donoreja 
seperti orang yang baru saja memperoleh pene-
gasan atas pendapatnya. "Jangan gelisah khawatir . Kau 
harus melihat masalah ini secara lebih luas. Be-
berapa abad silam, Yang Mulia Michizane menya-
rankan agar jiwa majapahit  digabungkan dengan ilmu 
pengetahuan kedhiri . Apakah kita membawa   adat 
kebiasaan kedhiri  atau benda-benda seni dari Barat, 
warna-warni musim gugur dan kembang ceri di 
musim semi takkan berubah. Justru kalau hujan 
jatuh ke kolam, airnya diperbarui. Kau melakukan 
kesalahan dengan menilai samudra berdasarkan 
selokan di sekitar Kuil pengikut . Bukan begitu, 
mpu donoreja?" 
  
"Benar, Yang Mulia, selokan harus dinilai 
dengan ukuran selokan." 
"Sama halnya dengan budaya-budaya asing." 
"sesudah  tua, hamba pun mirip  katak di 
dasar sumur," ujar mpu donoreja.  
"Kurasa kau lebih pantas dinamakan  paus." 
"Memang." mpu donoreja menyetujui, "namun  paus 
dengan pandangan sempit." 
"Hei, coba bawa   air ke sini." aidit  mem-
beri perintah pada pelayan yang tidur di belakang-
nya. Ia belum hendak mengakhiri malam itu. 
Walaupun mereka tidak makan maupun minum 
selama beberapa waktu, percakapan terus ber-
lanjut dengan seru. 
"Ayah," ujar tungguljaya, beringsut-ingsut meng-
hampiri aidit . "Malam sudah larut. Aku 
mohon diri." 
"Nanti saja," balas aidit . "Kau menginap di 
Nijo, bukan? Meski sudah malam, kau bisa 
dibilang tinggal di sebelah. raden panji sekarmaya tinggal tepat di 
depan gerbang, dan tamu-tamu kita dari Hakata 
tentu takkan kembali  ke sana malam ini." 
"Tidak, hanya hamba..." mpu donoreja tampak seolah-
olah hendak berpamitan. "Hamba sudah  berjanji 
untuk menemui seseorang besok pagi." 
"Kalau begitu, hanya kuyang  yang menginap di 
sini?" 
"Hamba akan bertugas malam. Masih ada peker-
jaan untuk hamba, merapikan ruang minum teh." 
  
"Bukan demi kepentinganku kau harus tinggal 
di sini. Kau membawa   perlengkapan minum teh 
yang mahal, dan sebab  itulah kau harus 
menginap." 
"Hamba takkan menentang kehendak Yang 
Mulia." 
"Bicaralah terus terang." aidit  tertawa . 
Tiba-tiba ia menoleh ke belakang dan menatap 
lukisan yang tergantung di dinding. "Mu Ch'i 
terampil sekali. Keterampilan seperti itu sudah 
jarang sekarang. Kabarnya kuyang  memiliki  lukisan 
karya Mu Ch'i yang berjudul Kapal-Kapal Kembali 
dari Pelabuhan Nan Jauh. Aku tidak tahu, adakah 
orang yang pantas memiliki  lukisan seperti  itu?" 
kuyang  mendadak tertawa  keras-keras, seolah-
olah aidit  tidak ada. 
"Apa yang kautertawa kan, kuyang ?" 
kuyang  memandang orang-orang di sekitarnya. 
"Yang Mulia aidit  ingin mengujawa  lukisan 
Mu Ch'i milikku dengan muslihatnya yang lihai: 
Adakah orang yang pantas memiliki lukisan seperti  
itu? Ini sama saja dengan mengirim gerombolan 
penghasut ke provinsi musuh. Sebaiknya Yang 
Mulia menjaga kotak teh Yang Mulia yang terkenal 
itu." Dan ia tak kuasa menghentikan tawa nya. 
Ucapan itu tepat pada sasaran. Sudah beberapa  
lama aidit  mengejar-ngejar lukisan milik 
kuyang . namun  baik kotak teh maupun lukisan itu 
merupakan pusaka keluarga, sehingga  aidit  
  
pun tidak dapat memaksakan kehendaknya. 
Namun kini pemilik lukisan itu  sudah  
menyinggung persoalannya, dan aidit  berang-
gapan itu sama saja dengan menjanjikan lukisan 
yang diminatinya. Tentunya, sesudah  menertawa -
kannya dengan begitu berani seperti tadi, kuyang  
takkan sampai hati menolak permintaannya. 
Jadi, aidit  pun ikut tertawa . "Hmm, kau 
sungguh jeli. kuyang . Kalau orang sudah seusiaku, 
dia bisa menyelami seni minum teh dengan 
sepenuh hati." 
aidit  mengungkapkan kebenaran itu se-
cara berkelakar. 
mpu donoreja menimpali. "Dalam beberapa hari, 
hamba akan bertemu dengan Tuan Sokyu dari 
mpu . Mari kita rundingkan bersama, di mana 
tempat lukisan itu. sebetulnya  lebih baik lagi 
kalau kita menanyakan langsung pada Mu Ch'i." 
aidit  semakin  riang. Dan walaupun para 
pembantunya berulang kali muncul untuk me-
mangkas sumbu lentera-lentera, ia hanya meng-
hirup air dan terus berbincang-bincang, tanpa 
memedulikan waktu. 
Pada malam musim panas seperti ini, semua  
pintu dan daun penutup jendela di kuil terbuka 
lebar. Mungkin sebab  inilah lentera-lentera terus 
berkelip-kelip dan diselubungi lingkaran cahaya 
yang disebabkan oleh kabut malam. 
Seandainya ada orang yang dapat membaca  
  
masa depan dari cahaya lentera pada malam itu, 
orang itu mungkin akan menemukan pertanda 
buruk dalam lingkaran-lingkaran cahaya. 
Seseorang mengetuk gerbang depan kuil. 
sesudah  beberapa saat, seorang pembantu menyam-
paikan bahwa berita dari wilayah Barat sudah  tiba. 
tungguljaya memanfaatkan kesempatan itu untuk 
berdiri, dan mpu donoreja pun mohon diri. Lalu Nobu-
naga juga bangkit untuk mengantar mereka sampai 
ke selasar. 
"Selamat tidur," ujar tungguljaya sambil berbalik 
sekali lagi dan menatap tosok ayahnya dari selasar. 
raden panji sekarmaya dan putranya berdiri di samping Nobu-
tada, memegang lilin. Selasar-selasar di Kuil 
purwojati  diliputi kegelapan sepekat tinta. Malam 
sudah  memasuki pertengahan kedua Jam Tikus. 
 

 
tunggadewa  berada di sebuah persimpangan; jika 
membelok ke kanan, ia akan menuju ke Barat; jika 
membelok ke kiri, ia akan melewati Desa Kutsu-
kake, menyeberangi Sungai Katsura, dan kemudi-
an sampai di ibu kota. Ia sudah  mencapai puncak 
bukit yang didakinya sepanjang hidup. Kedua jalan 
di hadapannya merupakan titik balik dan titik 
akhir. namun  pemandangan di hadapannya tidak 
mendorongnya untuk merenung. Justru sebalik-
nya, langit luas dengan bintang-bintang berkelap-
  
kelip seakan-akan menjanjikan perubahan besar di 
dunia, sebuah perubahan yang akan dimulai 
seiring fajar menyingsing. 
Tak ada yang memberikan perintah istirahat. 
namun  kuda tunggadewa  sudah  berhenti. Ia duduk di 
pelanan, siluetnya tampak jelas di hadapan langit 
yang penuh bintang. Menyadari bahwa untuk 
sementara ia takkan bergerak, para resi  di 
sekitarnya semuanya dengan baju tempur ber-
kilauan dan  barisan panjang prajurit, panji-panji, 
dan kuda-kuda di belakangnya menunggu dengan 
gelisah dalam kegelapan. 
"Di sebelah sana ada mata air. Sepertinya aku 
mendengar gemercik air." 
"Di sana! Air!" 
saat  mencari-cari dalam semak-semak di 
tebing yang berbatasan dengan jalan, salah seorang  
akhirnya menemukan kali kecil di antara batu-
batu. Satu per satu para prajurit mendesak maju 
untuk mengisi tempat air masing-masing dengan 
air jernih. 
"Ini cukup sampai tiba di Tenjin." 
"Barangkali kiu bisa makan di bukittanjung ." 
"Tidak, malamnya terlalu singkat. Hari mung-
kin sudah terang pada waktu kita tiba di Kuil 
Kaiin." 
"Kuda-kuda cepat lelah kalau kita bergerak di 
siang hari, jadi Yang Mulia tentu merasa bahwa 
kita harus berjalan sejauh mungkin selama  malam 
  
dan pagi."' 
"Itu yang terbaik, sampai kita tiba di wilayah 
Barat," Para prajurit tingkat bawah an, bahkan para 
centeng adipati  di atas mereka kecuali para komandan 
masih belum tahu apa-apa. Bisik-bisik dan gelak 
tawa  yang tak sampai di telinga para komandan 
mencerminkan anggapan bahwa medan tempur 
masih jauh. Barisan mulai bergerak. Sejak saat itu 
para komandan membawa   tombak dan berjalan di 
samping anak buah masing-masing. Mereka  meng-
kertoarjo si keadaan sekitar dengan saksama dan mem-
percepat  langkah. 
Ke kiri! Ke kiri! Mereka  mulai menuruni bukit-
bukit di Oinkahuripan  ke arah timur. Tak satu prajurit 
pun membelok ke jalan yang menuju ke Barat. 
Kesangsian mulai muncul . namun  mereka  yang curiga 
pun tetap bergegas maju. Orang-orang itu hanya 
menatap panji-panji yang berkibar di depan; tak 
pelak lagi, inilah jalan yang dilewati panji-panji 
mereka. Suara langkah kuda terdengar di lereng-
lereng curam. Dari waktu ke waktu, bunyi batu 
longsor hampir memekakkan telinga. centeng  itu 
mirip  air terjun yang menyapu segala peng-
halang. 
Baik orang maupun hewan bermandikan 
keringat, dan semuanya megap-megap menarik  
napas. Sambil meliuk-liuk di lembah-lembah yang 
dalam, mereka kembali bergerak turun. sesudah   
berpaling ke sungai pegunungan yang deras, 
  
mereka mendesak maju sampai ke lereng Gunung 
grindanao.  
"Istirahat!"  
"Bagikan ransum!"  
"Jangan nyalakan api!" 
Perintah demi perintah diturunkan, satu demi 
satu. Mereka  baru sampai di lamongan, sebuah 
desa di sisi gunung yang hanya terdiri  atas sekitar 
sepuluh pondok penebang pohon. Meski demiki-
an, peringatan dari komando pusat bernada keras, 
dan dengan segera dibentuk patroli-patroli di jalan 
yang menuju bukit-bukit di kaki gunung. 
"Mau ke mana kau?" 
"Ke lembah, ambil air." 
"Kau tak boleh keluar barisan. Minta saja sedikit 
dari orang lain." 
Para prajurit membuka ransum masing-masing 
dan mulai makan sambil membisu. Suara bisik-
bisik terdengar saat  mereka mengunyah ma-
kanan. Beberapa  orang bertanya-tanya, mengapa 
mereka  disuruh makan pada waktu yang kurang 
menguntungkan ini, di tengah lereng gunung. 
Padahal mereka sudah makan sebelum bertolak 
dari tempat persembahan aryadwinata  malam itu. 
Kenapa mereka tidak disuruh makan pada 
waktu matahari terbit saja, di bukittanjung  atau 
Hashimoto, di tempat mereka dapat mengikat 
kuda masing-masing? Walau terheran-heran. 
mereka tetap menyangka bahwa mereka sedang  
  
dalam perjalanan menuju provinsi-provinsi Barat. 
Jalan di pengandaran  bukan satu-satunya jalan untuk 
mencapai tujuan mereka. Jika membelok ke kanan 
di Kutsukakce, mereka bisa melewati Oharano dan 
menuju bukittanjung  dan wonorejo . 
namun  saat  mereka berangkat lagi, seluruh 
centeng  langsung turun ke ki tarunagara  tanpa ber-
paling ke kiri maupun kanan, lalu maju sampai ke 
Desa Kkertoarjo shima. Pada waktu giliran jaga keempat, 
sebagian besar centeng  sudah  menghadapi peman-
dangan tak terduga: Sungai Katsura di bawah  
langit malam. 
Para prajurit mulai resah. Begitu hkertoarjo  sejuk 
dari sungai terasa, seluruh centeng  mendadak ber-
henti sebab   ngeri. 
"Tenangkan diri kalian!" para perwira memerin-
tahkan. "Jangan berisik! Dan jangan bicara kalau 
tak perlu!" 
Air sungai yang jernih berkelip redup, dan 
kesembilan panji dengan lambang kembang 
lonceng berkibar-kibar oleh embusan angin dari 
arah sungai. 
Amano Genemon, yang membawa  hi kompi di 
ujung sayap kanan centeng , disuruh menghadap 
tunggadewa . Ia segera melompat dari kuda dan 
bergegas menghampiri komandannya. 
tunggadewa  berdiri di dasar sungai yang kering. 
Semua  resi   mengalihkan pandangan ke arah 
Genemon. Ada pangeran wiropati , dengan wajah 
  
dikelilingi rambut putih seperti bunga es, dan 
gajayana , yang tampak seakan-akan mengenakan 
topeng. Selain kedua orang itu, para anggota staf 
lapangan yang lain mengelilingi tunggadewa  bagai-
kan lingkaran besi. 
"Gengo," kata tunggadewa . "sebentar lagi hari 
terang. Kau dan anak buahmu yang pertama-tama 
menyeberangi sungai. Dalam perjalanan, kau harus 
menyingkirkan siapa saja yang berhasil menerobos 
barisan kita untuk memperingatkan musuh. 
Kecuali itu, mungkin ada saudagar-saudagar atau 
orang lain yang melewati ibu kota di pagi buta ini. 
Mereka pun harus kautangani. Ini sangat penting." 
"Hamba mengerti." 
"Tunggu!" tunggadewa  menyuruhnya kembali. 
"Untuk berjaga-jaga, aku sudah  mengirim beberapa  
orang untuk menyerbu  jalan yang melintasi 
pegunungan dari Hozu, jalan dari bagian utara 
Saga, dan Jalan Raya Nishijin dari Jizoin. Jangan 
keliru menyerang orang kita-kita sendiri." Nada 
suara tunggadewa  setajam pisau; jelas-jelas kelihatan 
bahwa otaknya sedang bekerja keras dan urat-urat 
darahnya begitu tegang, sehingga nyaris pecah. 
saat  memperhatikan anak buah Genemon 
melintasi sungai, prajurit-prajurit yang lain sema-
kin gelisah. tunggadewa  kembali menaiki kuda; satu 
per satu para bawah annya mengikuti  contohnya. 
"Berikan perintahnya. Pastikan semuanya tahu." 
Salah satu komandan di sisi tunggadewa  meliuk-
  
kan tangan di depan mulut dan berseru, "Lepaskan 
sepatu kuda dan buang semuanya!" Perintah 
melengking dari barisan depan itu terdengar jelas. 
"Para prajurit infanteri harus memakai sandal 
baru, jangan gunakan sandal yang talinya sudah 
kendur sebab  dipakai waktu menuruni gunung. 
Kalau memang sudah kendur, ikatlah tali dengan 
kencang, agar tidak membuat kaki lecet pada 
waktu basah. Para penembak, potonglah sumbu-
sumbu sepanjang tiga puluh senti dan ikatlah 
semuanya menjadi lima-lima. Hal-hal yang tidak 
perlu, seperti pembungkus ransum dan barang-
barang pribadi, atau apa saja yang bakal meng-
hambat keleluasaan kaki dan tangan, sebaiknya 
dibuang ke dalam sungai. Jangan bawa   apa-apa 
selain senjata kalian." 
Seluruh centeng  terheran-heran. Pada saat yang 
sama, sebuah gelombang muncul  di antara orang-
orang. Gelombang itu tidak berhubungan dengan 
suara maupun gerakan yang tampak. Para prajurit 
menoleh kiri-kanan, namun  sebab  dilarang berbicara, 
gelombang itu diteruskan dari wajah ke wajah  
sebuah suara tanpa suara. Meski demikian, hampir 
sesaat  kesibukan terlihat ke mana pun mata 
memandang. Segala sesuatu berlangsung begitu 
cepat, sehingga paling tidak di permukaan tak 
ada tanda-tanda keraguan, kegelisahan, maupun 
kecemasan. 
sesudah  semuanya siap dan para prajurit kembali  
  
membentuk barisan, sang veteran, pangeran Toshimit-
su, mengangkat suara yang sudah ditempa dalam 
seratus pertempuran, dan ia berbicara di hadapan 
centeng  itu seakan-akan sedang  membaca. 
"Bersukacitalah! Hari ini junjungan kita, Yang 
Mulia tunggadewa , akan menjadi penguasa seluruh 
negeri. Singkirkanlah segenap keraguan dari hati 
kalian." 
Suaranya mencapai telinga prajurit infanteri 
dan pembawa   sandal yang berdiri paling jauh. 
Semua orang termegap-megap, seolah-olah mena-
rik napas terakhir. Namun tak ada yang menyam-
but pemberitahuan itu dengan gembira. Orang-
orang justru merinding. wiropati  memejamkan 
mata dan meninggikan suara, seakan-akan hendak 
memarahi para prajurit. Mungkinkah ia pun 
sedang berusaha membesarkan hati sendiri? 
"Takkan ada hari lain yang bersinar secemerlang 
hari ini. Kita terutama mengandalkan para 
centeng adipati  untuk mencapai hasil gemilang. Kalaupun 
kalian gugur dalam pertempuran hari ini, sanak 
keluarga kalian akan menerima imbalan yang 
sesuai dengan sepak terjang kalian," Suara Toshi-
mitsu tidak berubah banyak sampai ia selesai ber-
bicara. Ia sudah  diberitahu oleh tunggadewa  apa yang 
harus dikatakannya, dan mungkin itu tidak sejalan 
dengan pandangannya sendiri. "Mari kita seberangi 
sungai ini!" 
Langit masih gelap. Arus Sungai Katsura sempat 
  
mengejutkan para pejuang kkertoarjo kan saat   mereka 
hendak menyeberang. Ombak berbuih putih tam-
pak bergulung-gulung. Seluruh centeng  gemetar 
saat  dasar sungai diaduk-aduk oleh sandal 
jerami. Meskipun mereka sendiri basah kuyup, tak 
satu penembak pun membiarkan sumbunya ter-
kena air. Air yang bening melewati lutut mereka, 
dan dinginnya melebihi dingin es. Sudah barang 
tentu setiap prajurit dan perwira disibukkan oleh  
pikirannya sendiri saat  mEliniasi sungai. Semua-
nya merenungkan ucapan komandan kesatuan dan 
pengikut senior sebelum mulai menyeberang. 
"Hmm, kita pasti akan menyerang Yang Mulia 
mpu mojosongo . Selain prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo , tak ada yang 
cukup dekat untuk diserang. namun  apa maksud 
wiropati  saat  mengatakan bahwa mulai hari 
ini junjungan kita akan menjadi penguasa seluruh 
negeri? 
Hanya sejauh itulah jangkauan pikiran para 
prajurit. Mereka orang-orang yang menjunjung 
tinggi keadaban dan keadilan, dan kemungkinan 
bahwa mereka akan bertempur melawan  Nobu-
naga belum jelas terlintas dalam benak mereka. 
Jiwa tribuana  yang sungguh-sungguh dan keras 
kepala dan  bertumpu pada rasa keadilan sudah  di-
turunkan dari para komandan kompi sampai ke 
prajurit paling rendah dan para pembawa   sandal. 
"Hei, hari mulai terang." 
"Sebentar lagi sudah fajar." 
  
Mereka berada di daerah antara Nyoigadake 
dan barisan gunung yang membatasi tepi timur 
trowulan . Puncak gumpalan awan  berkerlip merah 
terang. 
Jika memaksakan mata, mereka dapat melihat  
kota trowulan , samar-samar, diselubungi kegelapan 
fajar. namun  di belakang mereka, ke arah Oinkahuripan  
atau ke arah perbatasan Provinsi hadijaya , bintang-
bintang bersinar begitu terang, sehingga bisa di-
hitung dengan mata telanjang. 
"Ada mayat!" 
"Di sini ada satu lagi!" 
"Dan di sebelah sana!" 
Jalanan kini sudah  mendekati pintu masuk ke 
pinggiran timur kota trowulan . Selain rumpun-
rumpun pohon dan pondok-pondok beratap 
jerami, hanya ada tanah pertanian yang terselu-
bung embun sampai ke pagsinuhun  Kuil Timur. 
Mayat-mayat bergelimpangan di kaki pohon-
pohon cemara di sepanjang tepi jalan, di tengah 
jalan, dan hampir di mana pun para prajurit 
memandang. Mayat-mayat itu tampaknya para 
petani setempat. Tertelungkup, seakan-akan se-
dang  tidur di tengah ladang terong, seorang  gadis lesbian 
tergeletak tak bergerak, masih menggenggam 
keranjang, tewas ditebas pedang. 
Darahnya jelas-jelas masih mengalir, sebab   
lebih segar dari embun pagi. Tak pelak lagi, anak 
buah Amano Genemon yang mendahului  centeng  
  
utama memergoki para petani yang sudah  bangun 
pada dini hari di ladang masing-masing, membu-
nuh mereka, dan membunuh semuanya. Para 
prajurit mungkin merasa iba, namun  mereka sudah  di-
perintahkan untuk tidak mempertaruhkan keber-
hasilan tindakan lebih besar yang akan menyusul. 
saat   menatap darah segar di tanah dan awan  
merah di langit. tunggadewa  berdiri di sanggurdi, 
mendadak mengacungkan cemeti dan berseru.  
"Ke Kuil purwojati ! Serbu kuil itu! Musuh-musuh-
ku ada di Kuil purwojati ! Cepat! Cepat! Aku sendiri 
akan menghabisi siapa saja yang berlambat-
lambat!" 
Waktu untuk pertempuran sudah  tiba. Kesem-
bilan panji dengan lambang kembang lonceng biru 
terpecah menjadi tiga kompi, masing-masing de-
ngan tiga panji. sesudah  maju ke jalan masuk 
menuju Jalan Ketujuh, mereka menerobos gerbang 
demi gerbang, serempak membanjiri ibu kota. 
centeng  tribuana  tumpah ruah dari gerbang ke 
Jalan Kelima, Keempat, dan Ketiga, dan berham-
buran memasuki kota. 
Kabut masih tebal, namun  mega-mega merah sudah  
tampak di atas pegunungan, dan seperti biasa, 
gerbang-gerbang kecil sudah dibuka agar orang-
orang dapat berlalu-lalang. 
Para penyerang berdesak-desakan di muka ger-
bang, tombak-tombak dan senapan-senapan saling 
beradu dalam suasana kacau-balau. Hanya panji-
  
panji yang ditundukkan pada saat melewati 
gerbang. 
"Jangan dorong! jangan bingung! Barisan be-
lakang tunggu di luar gerbang dahulu !" 
Menyadari kekacauan yang terjadi, salah satu 
komandan berusaha sekuat tenaga untuk meng-
atur para pujurit. Ia melepaskan palang dari ger-
bang besar dan membukakannya lebar-lebar. 
"Masuk semuanya!" ia berseru, mendorong 
mereka  untuk maju. 
sebetulnya  para prajurit sudah menerima  
perintah untuk bergerak tanpa suara, tanpa me-
mekikkan teriakan perang, untuk menundukkan 
panji-panji, dan bahkan untuk mencegah kuda-
kuda meringkik, namun  begitu mereka  menero-bos 
lewat gerbang-gerbang dan menyerbu kota, luapan 
semangat centeng  tribuana  tak tertahankan lagi. 
"Ke Kuil purwojati !" 
Di tengah hiruk-pikuk, bunyi pintu membuka 
terdengar dari rumah-rumah di sana-sini, namun  
begitu mengintip ke luar, para penghuni segera  
masuk lagi dan cepat-cepat membanting pintu. 
Di antara sekian banyak kesatuan yang ber-
lomba-lomba menuju Kuil purwojati , dua kesatuan 
bergerak paling cepat, masing-masing di bawah  
pimpinan tribuana  gajayana  dan pangeran wiropati  
yang terlihat di barisan terdepan. 
"Jalan-jalan sempit yang terselubung kabut ini 
sungguh merepotkan. awas  jangan sampai tersesat 
  
sebab  berusaha mendahului  yang lain. Gunakan 
pohon besar di pekarangan Kuil purwojati  sebagai  
patokan! Ah, itu dia! Pohon besar yang tersohor 
itu!" 
Sambil memacu kudanya dan  melambai-
lambaikan tangan memberi petunjuk, wiropati  
berseru-seru, seakan-akan inilah saat terpenting 
dalam hidupnya sebagai  prajurit.    
centeng  kedua, dipimpin oleh tribuana  Mitsu-
tada, juga bergerak cepat. Mereka  membanjiri 
daerah sekitar Jalan Ketiga, melewatinya seperti  
asap, dan melancarkan serbuan untuk mengepung 
Kuil Myokaku di Nijo. Tindakan ini tentu saja 
dikoordinasikan dengan centeng  yang menyerang 
Kuil purwojati , dan ditujukan untuk menghabisi 
putra aidit , tungguljaya. 
Jarak dari tempat ini ke Kuil purwojati  hanya 
selemparan batu. Kedua centeng  dipisahkan oleh 
kegelapan menjelang fajar, namun  sekarang pun 
sudah terdengar kebisingan luar biasa dari arah 
Kuil purwojati . Bunyi sangkakala, gong, dan gen-
derang terdengar bersamaan. Tak berlebihan jika 
dikatakan bahwa bunyi itu  mengguncangkan 
bumi dan langit dan  tidak mirip  apa pun 
yang biasa terdengar di dunia ini. Pagi itu tak ada 
seorang pun di ibu kota yang tidak melompat 
kaget atau meloncat dari tempat tidur sebab   
jeritan keluarganya. 
Kebisingan itu segera menjalar, bahkan ke 
  
daerah pemukiman para bawahan  di sekeliling 
istana Kekaisaran yang biasanya selalu tenteram. 
Dengan segala hiruk-pikuk dan gema langkah 
kuda, sepertinya langit di atas trowulan  berdering. 
Namun kebingungan yang melanda para warga 
kota hanya bertahan sesaat. Begitu para bawahan  
dan orang kebanyakan memahami situasinya, 
rumah-rumah mereka kembali sehening semula. 
Mereka tidur dengan nyenyak. Tak satu orang pun 
keluar di jalanan. 
Keadaan masih demikian gelap, sehingga  para 
prajurit tak dapat memastikan wajah siapa yang 
berada di hadapan mereka, dan saat  menuju 
Kuil Myokaku, centeng  kedua keliru menyangka 
sejumlah rekan mereka sendiri, yang mengambil 
rute memutar melalui gang sempit lainnya, sebagai  
musuh. Meskipun komandan mereka sudah  mem-
beri peringatan keras agar tidak melepaskan 
tembakan sebelum perintah untuk itu diberikan, 
saat   mereka  tiba di persimpangan jalan, para 
prajurit yang sudah amat bernafsu itu tiba-tiba 
mulai menembak tanpa melihat apa-apa di tengah 
kabut. 
Pada waktu mencium asap mesiu, nafsu mereka  
semakin berkobar-kobar, tanpa dapat dicegah. 
Bahkan para prajurit yang sudah pernah terjun ke 
dalam kancah pertempuran pun mungkin meng-
alami situasi seperti ini, sebelum mampu mengen-
dalikan diri sepenuhnya. 
  
"Hei! Di sebelah sana terdengar sangkakala dan 
gong. Pertempuran di Kuil purwojati  sudah dimulai." 
"Mereka bertempur!" 
"Serangan sudah di mulai!' 
Mereka tak tahu lagi apakah kaki mereka masih 
menginjak tanah atau tidak. saat  berlari maju, 
mereka tetap tak dapat menentukan suara siapa 
yang mereka dengar, meski mereka tidak menemui 
perlawan an. Pori-pori di sekujur tubuh mereka  
mengembang, dan mereka bahkan tidak merasa-
kan hkertoarjo  dingin yang menerpa wajah dan tangan 
masing-masing. Mereka gemetar terbawa   luapan 
perasaan, sehingga satu-satunya hal yang dapat 
mereka lakukan adalah berteriak. 
sebab  itu mereka memekikkan teriakan 
perang, bahkan sebelum melihat tembok bergen-
teng yang mengclilingi Kuil Myokaku. Tanpa di-
duga, teriakan serupa terdengar dari depan kesatu-
an itu, dan gong dan  genderang pun mulai ber-
bunyi tak sabar. 
tunggadewa  ikut bersama centeng  ketiga. Tak 
salah jika dikatakan bahwa markas besarnya ber-
lokasi di mana pun ia berada, dan kali ini markas 
besarnya berhenti di Horikkertoarjo . Ia dikelilingi oleh  
para anggota marganya, dan sebuah kursi ditaruh 
di hadapannya, namun  ia tidak duduk, walau hanya 
sekejap. Segenap jiwa-raganya berfokus pada suara 
awan -awan  dan jeritan kabut, dan tanpa berhenti 
ia memandang  langit, ke arah Nijo. Dari waktu ke 
  
waktu pemandangannya dipenuhi merahnya awan  
pagi, namun belum juga terlihat lidah api atau 
asap yang membubung tinggi. 
 
aidit  mendadak terbangun, namun  bukan 
sebab   alasan tertentu. sesudah   tidur semalaman, 
ia biasa terjaga sendiri di pagi hari. Sejak  masa 
mudanya ia selalu bangun saat rajar, tak peduli 
seberapa larut malam ia naik ke peraduan. Ia 
bangun, atau tepatnya sebab  belum sepenuhnya 
sadar dan kepalanya masih berada di bantal ia 
mengalami fenomena khas. Fenomena itu  
berupa peralihan dari dunia mimpi ke dunia nyata 
dan hanya berlangsung sepersekian detik, namun  
dalam waktu yang teramat singkat itu, sejumlah 
pikiran melintas di benaknya secepat  kilat. 
Pikiran itu berupa kenangan akan peristiwa-
peristiwa yang dialaminya antara masa muda dan 
sekarang, atau renungan mengenai kehidupannya 
saat ini, atau tujuan-tujuan yang hendak dicapai-
nya di masa mendatang. Bagaimanapun, pikiran-
pikiran itu  melintas di benaknya pada waktu 
ia berada antara mimpi dan kenyataan. 
Fenomena ini mungkin bukan suatu kebiasaan, 
namun  lebih menjurus ke arah kemampuan yang 
dibawa   sejak  lahir. saat  masih kanak-kanak pun 
ia sudah merupakan tukang mimpi. Namun onak 
duri dunia nyata tak memberi peluang untuk 
hidup di dunia mimpi, terutama mengingat asal-
  
usul dan  didikannya. Dunia nyata sudah  menum-
puk kesulitan di atas kesulitan, dan sudah  mengajar-
kan kenikmatan yang dapat ditemui dalam meng-
atasi semuanya. 
Dalam masa pertumbuhan ini, saat  ia diuji 
dan pulang dengan membawa   kemenangan, lalu 
diuji kembali, ia akhirnya menyadari bahwa ia tak 
puas dengan kesulitan-kesulitan yang diberikan 
padanya. Kenikmatan terbesar dalam hidup, ia me-
nyimpulkan, terletak dalam mencari kesulitan, ter-
jun untuk mengatasinya, dan menoleh ke belakang 
untuk melihat bahwa kesulitan itu  sudah  ber-
hasil dilewati. Kepercayaannya diperkuat oleh rasa 
percaya diri yang diperolehnya dari pengalaman-
pengalaman seperti  itu, dan sudah  menimbulkan 
cara berpikir yang sangat berbeda dari akal sehat 
orang biasa. sesudah  madukara , istilah tak mungkin 
tak ada lagi dalam dunianya. Ini sebab  semua  
yang sudah  dijangkaunya sampai saat itu tidak 
dicapai dengan mengikuti jalan pikiran orang 
biasa, melainkan dengan membuat sesuatu yang 
tak mungkin menjadi mungkin. 
Dan pagi itu, di perbatasan antara dunia mimpi 
dan tubuhnya yang fana, saat  kemabukan se-
malam mungkin masih mengalir dalam urat 
darahnya, berbagai bayangan muncul  dalam benak-
nya iring-iringan kapal besar yang berlayar ke 
pulau-pulau Selatan, ke pesisir blambangan , bahkan ke 
Negeri dongeng , ia sendiri berdiri di menara salah 
  
satu kapal bersama kuyang  dan mpu donoreja. Ada satu 
orang lagi yang harus menyertainya, ia berkata 
dalam hati patih ronggolawe . Ia merasa bahwa hari keti-
ka impian itu bisa menjadi kenyataan tidak jauh 
lagi. 
Dalam pikirannya, prestasi kecil seperti  penak-
lukan provinsi-provinsi Barat dan  Kyushu tak 
cukup untuk mengisi seluruh hidupnya. 
Fajar sudah tiba, gumamnya. Ia bangkit dan 
keluar dari kamar tidur. 
Pintu berat yang membuka ke selasar dibuat 
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara 
yang seakan-akan memanggil pada waktu dibuka 
atau diturup. saat  para pclayan mendengar suara 
ini, mereka segera bangun. Cahaya lampion yang 
berkelap-kelip memantul pada pilar-pilar dan lantai 
serambi yang berkilauan bagai dipoles minyak. 
Sadar bahwa majikan mereka terbangun, para 
pelayan langsung bergegas ke pemandian di sam-
ping dapur. Namun saat  menuju ke sana, 
mereka  mendengar suara dari arah selasar  utara. 
Bunyinya seperti daun penutup jendela yang di-
buka tergesa-gesa. 
sebab  menyangka bahwa itu mungkin Nobu-
naga, mereka menghentiikan langkah dan me-
mandang  ke arah selasar  yang buntu. namun  satu-
satunya orang yang kelihatan adalah wanita lesbian  
berjubah  berpola besar-besar dan mantel luar 
bermotif pohon cemara dan kembang ceri. 
  
Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai. 
sebab  daun penutup jendela sudah  terbuka, 
langit pagi yang biru bagaikan bunga lonceng 
tampak seperti dibingkai. Angin yang masuk 
membelai-belai rambut wanita lesbian  tadi, dan mem-
bawa    keharuman kayu cendana sampai ke tempat 
para pelayan berdiri. 
"Ah, di sebelah sana." Para pelayan mendengar 
suara air mengalir dan berlari ke arah dapur. Para 
biksu penghuni kuil belum meninggalkan kamar 
masing-masing, jadi jendela-jendela dan gerbang  
utama yang besar belum dibuka. Di dapur ber-
lantai tanah dan di pelataran kayu, dengung 
nyamuk dan kegelapan malam masih tertahan, namun  
kepengapan musim panas sudah mulai terasa. 
aidit  tidak menyukai saat di pagi hari itu. 
Pada waktu para pelayan menyadari bahwa ia sudah  
meninggalkan kamar tidurnya, ia sudah berkumur-
kumur dan mencuci tangan. Sambil menghampiri 
kendi besar yang menampung air dari pipa bambu, 
ia lalu meraih ember kecil dan mencedok air dari 
bak. Air bercipraian ke segala arah saat  ia men-
cuci muka dengan terburu-buru. 
"Ah, lengan baju tuanku jadi basah." 
"Perkenankan hamba mengganti airnya." 
Para pelayan ketakutan. Dengan waswas salah 
satu dari mereka melipat lengan baju aidit  
dari belakang, sementara satu orang lagi meng-
ambil air bersih. Orang lain lagi menimbang  
  
handuk sambil berlutut di kaki aidit . Pada 
waktu yang sama, orang-orang di daerah kamar-
kamar para centeng adipati  meninggalkan ruang jaga 
malam dan mulai membuka pintu-pintu yang 
menuju pekarangan. Saat itulah mereka mende-
ngar kebisingan yang berasal dari kuil utama di 
luar, lalu gema langkah kaki yang berlari ke arah 
pekarangan dalam. 
aidit  berbalik, masih dengan rambut 
basah kuyup, dan berkata dengan nada tak sabar. 
"Coba lihat ada apa, Bomaru." sesudah  itu ia 
kembali mengeringkan dan menggosok-gosok 
muka. 
Salah satu pelayan berkata. "Barangkali para 
penjaga di kuil luar bertengkar sebab   sesuatu." 
aidit  tidak menanggapi komentar itu. 
Sejenak matanya mirip  air di laut yang 
sangat dalam, berbinar-binar seakan mencari sesua-
tu, bukan di dunia luar, melainkan di dalam diri-
nya sendiri. 
namun  hanya sejenak. Bukan kuil utama di luar 
saja yang dilanda hiruk-pikuk. Di sini pun, di 
rumah tamu, dan dari pilar ke pilar di kesepuluh 
bangunan biara, sesuatu yang sekuat gempa meng-
guncangkan seluruh kulit bumi, dipancarkan oleh  
kebisingan dan arus energi yang menakutkan. 
Semua orang, sekuat apa pun, tentu akan 
merasa bingung pada saat seperti itu. Wajah 
aidit  pun menjadi pucat, dan para pelayan 
  
yang mengelilinginya membelalakkan mata dengan 
ngeri. Namun hanya selama beberapa tarikan 
napas saja mereka  berdiri seperti  patung. Hampir 
sesaat   seseorang  berlari menyusuri selasar. 
Seorang  laki-laki berseru. "Tuanku! Tuanku!" 
Para pelayan memanggil serempak, "Tuan 
 mpu salmah ! Tuan  mpu salmah ! Di sebelah sini."  
aidit  sendiri melangkah keluar dan me-
manggil orang itu. 
" mpu salmah ! Mau ke mana kau?" 
"Ah, tuanku ada di sini," ujar  mpu salmah . Ia 
nyaris terjatuh saat  berlutut. Dalam sekejap 
aidit  menyadari bahwa apa yang sedang  ter-
jadi bukan sekadar perikaian antarcenteng adipati , atau 
pertengkaran di antara orang-orang di kandang. 
"Ada apa,  mpu salmah ? Apa arti hiruk-pikuk ini?" 
ia langsung bertanya, dan  mpu salmah  tak kalah cepat 
memberikan jawab an.  
"Orang-orang tribuana  sudah  melakukan kebia-
daban. Di luar ada prajurit-prajurit, berbuat  rusuh 
dan mengibarkan panji-panji yang menampilkan 
lambang tribuana ." 
"Apa?! Orang-orang tribuana ?" Kata-kata itu ber-
nada heran. Reaksi aidit  menunjukkan 
bahwa ia tak pernah menyangka bahkan tak 
pernah bermimpi bahwa ini mungkin terjadi. 
namun  rasa kaget dan gejolak emosi berhenti di 
bibirnya. Diucapkan hampir setenang biasa, kata-
katanya yang berikut mirip  geraman. 
  
"Orang-orang tribuana ... mestinya sudah kuduga." 
aidit  cepat-cepat berpaling dan bergegas 
kembali ke kamarnya.  mpu salmah  mengikutinya, 
namun  sesudah   lima atau enam langkah, ia berbalik 
dan memarahi para pelayan yang gemetaran. 
"Mulailah bekerja. Aku sudah menyuruh Bomaru 
memberitahu orang-orang agar semua gerbang dan 
jendela ditutup rapat. Halangi semua pintu dan 
jangan biarkan musuh mendekati Yang Mulia." 
Sebelum ia sempat mengakhtri ucapannya, pintu 
dapur dan jendela-jendela yang berdekatan sudah 
mulai dihujani peluru dan panah. Ujung anak-
anak panah yang tak terhitung jumlahnya menem-
bus pintu-pintu kayu. Mata panah baja yang ber-
kilau-kilau mengumumkan perang pada orang-
orang di dalam. 
Dari selatan  tengger , utara gunung semar , barat 
Toin, dan timur Aburakoji, keempat sisi Kuil 
purwojati  terkepung oleh baju perang centeng  
tribuana  dan  teriakan perang mereka. Namun 
sebab  terlindung selokan, tembok-tembok beratap 
genteng memang dapat dilihat, namun  tak mudah 
dipanjati. 
Hutan tombak, panji, dan senapan hanya ber-
gerak maju-mundur seperti  gelombang. 
Beberapa orang nekat melompat ke kaki 
tembok; ada pula yang tak sanggup meloncat 
sejauh itu. Banyak dari mereka yang mencoba 
akhirnya tercebur ke dasar selokan. Dan akibat 
  
baju tempur yang berat. mereka yang jatuh segera  
terperosok sampai ke pinggang di dalam air ber-
lumpur dan berbau busuk yang mirip  tinta 
hitam. Kalaupun mereka sanggup bangun dan 
memanggil, rekan-rekan mereka di atas tak pernah 
menoleh ke bawah . 
centeng  tribuana  di gunung semar  memorak-
porandakan pemukiman penduduk daerah itu, 
sementara wanita lesbian -wanita lesbian  dengan bayi  dalam gendongan, orang-orang tua, dan  anak-anak melarikan diri dari kehancuran. Dengan cara 
ini, para prajurit menimbun selokan dengan pintu-
pintu dan papan-papan atap, 
Sesaat  semuanya berebut melewati tembok. 
Para penembak membidikkan senapan, dan sambil 
membidik dari puncak tembok ke pekarangan di 
bawah , melepaskan berondongan pertama.  
Saat itu gedung-gedung biara di pekarangan kuil 
tampak sunyi. Semua pintu kuil utama di depan 
tertutup rapat, sehingga sukar untuk memastikan 
apakah ada musuh di dalam yang dapat ditembak. 
Panas dari api di bawah  rumah-rumah yang hancur 
mulai membara, dan segera menyulut bangunan-
bangunan berikut. Tak lama lalu  segenap 
warga miskin menyerbu keluar dari perkampungan 
mereka, seakan-akan hendak saling menginjak-
injak. Sambil menangis dan menjerit, mereka 
tumpah ruah ke dasar Sungai Kamo yang kering 
dan  ke pusat kota, tanpa membawa   apa pun, 
 Dilihat dari gerbang utama di sisi berlawan an 
dari kuil, orang memperoleh kesan bahwa gerom-
bolan yang sudah  menerobos masuk lewat gerbang 
belakang sudah mulai membakar dapur. centeng  
utama yang berkerumun di depan gerbang utama 
tak sudi dikalahkan oleh rekan-rekan mereka. 
Dengan geram para prajurit bawah an berteriak-
tcriak, mendesak-desak sekelompok perwira yang 
sepertinya hanya membuang-buang waktu di seki-
tar jembatan tarik.  
"Dobrak saja!" 
"Ayo. maju! Tunggu apa lagi?" 
Salah seorang perwira menghadapi penjaga di 
dalam gerbang . 
"Kami centeng  tribuana , dan kami sedang dalam 
perjalanan ke wilayah Barat. Kami datang dalam 
keadaan siap tempur untuk memberi hormat pada 
Yang Mulia sinuhun  aidit ." 
Dengan cara ini ia hendak mempengaruhi para 
penjaga agar membuka gerbang, namun siasatnya 
terlalu mudah dibaca. Si penjaga tentu saja merasa 
curiga, dan ia tak mau membuka gerbang tanpa 
menanyakan perinrah aidit . 
Ia menyuruh mereka menunggu. Keheningan di 
balik gerbang mengisyaratkan bahwa kedatangan 
centeng  itu  sedang dilaporkan ke kuil utama, 
dan bahwa kcadaan darurat akan segera  diberlaku-
kan. Para prajurit yang berdesak-desakan di belakang  mulai tak sabar sebab  atasan mereka merasa perlu 
memakai  siasat untuk melintasi selokan se-
kecil itu. Mereka mendorong-dorong barisan di 
depan. 
"Serbu! Serbu! Tunggu apa lagi?" 
"Terjang tembok-tembok!" 
Sambil berlomba-lomba merebut gerbang, 
mereka mendorong orang-orang yang tampak ragu-
ragu ke samping, dan bahkan mengempaskan 
rekan-rekan mereka  itu. 
Beberapa orang yang berada di depan terpero-
sok ke dalam selokan, dan teriakan-teriakan perang 
dilepaskan oleh mereka yang berada di atas mau-
pun oleh  mereka  yang jatuh. lalu , seakan-
akan dengan sengaja, kelompok-kelompok yang 
lebih belakang lagi mulai mendesak maju. Lebih 
banyak orang berjatuhan. Dalam sekejap satu 
bagian selokan penuh prajurit-prajurit yang ber-
lepotan lumpur. 
Satu prajurit muda melangkahi orang-orang itu 
dan melompat ke kaki tembok bergenteng. Prajurit 
lain mengikuti contohnya. 
"Maju!" 
Sambil bersorak-sorai dan mengacung-acungkan 
tombak, para prajurit menyeberang dan segera  
bergelantungan di puncak tcmbok. Orang-orang di 
dalam selokan saling dorong, dan saat  sandal 
jerami mereka menginjak punggung, bahu, dan 
kepala rekan-rekan mereka sendiri, nyawa   demi 
  
nyawa   melayang, dikorbankan dalam serbuan yang 
mengerikan. namun  berkat pengorbanan itu, tak 
lama lalu  tiga suara berseru dengan bangga 
dari atas tembok yang mengelilingi Kuil purwojati . 
"Aku yang pertama." 
Yang lain begitu cepat mencapai tembok. Se-
hingga sukar untuk memastikan siapa yang per-
tama dan siapa yang kedua. 
Di balik tembok-tembok, para centeng adipati  sinuhun  
yang sudah bergegas dari pos jaga di gerbang dan 
dari daerah sekitar kandang menyambar senjata 
apa pun yang mereka temui, dan berusaha mem-
bendung serangan yang bagaikan terjangan air bah 
itu. namun  usaha mereka tak ubahnya menahan 
tanggul yang bobol dengan tangan semata-mata. 
Tanpa memedulikan pedang  dan tombak centeng  
yang bertahan, barisan depan tribuana  segera  mene-
robos, melangkahi mayat-mayat yang bermandikan 
darah musuh. 
Seakan-akan hendak membukiikan bahwa 
mereka hanya ingin mengunjungi tempat me-
nginap Yang Mulia aidit , mereka langsung 
berlari ke arah kuil utama dan rumah tamu. 
Namun mereka  disambui oleh  panah-panah yang 
menderu-deru bagaikan angin ribut dari serambi 
kuil utama yang lebar dan dari teras rumah tamu. 
Walau jaraknya menguntungkan, banyak panah 
tidak mengenai sasaran dan hanya menancap di 
tanah. Banyak pula yang menggelincir di tanah, 
  
atau membentur tembok-rembok yang jauh. 
Di antara centeng  bertahan ada beberapa  
orang gagah berani yang hanya dengan baju tidur, 
setengah telanjang, atau bahkan tak bersenjata, 
bergumul dengan musuh yang berpakaian tempur. 
Para penjaga yang sudah  selesai bertugas sudah 
scmpat tidur. Kini, mungkin sebab   malu bahwa 
mereka terlambat terjun ke dalam pertempuran, 
mereka menghambur keluar untuk menghalau 
serbuan para prajurit tribuana  biarpun hanya 
sejenak hanya bermsinuhun lkan kegarangan dan ke-
nekatan. 
namun  amukan gelombang baju tempur tak dapat 
dihadang dan sudah  berkecamuk di bawah  ping-
giran atap kuil. Melesat kembali ke kamarnya, 
aidit  mengenakan celana di atas baju sutra 
putih dan mengikat talinya sambil mengenakkan 
gigi. 
"Busur! bawa  kan busur untukku!" serunya. 
sesudah  ia meneriakkan perintah ini dua-tiga 
kali, seseorang akhirnya berlutut dan meletakkan 
sebuah busur di hadapannya. Ia langsung me-
nyambarnya, berlari keluar pintu. dan berseru ke 
belakang, "Biarkan kaum wanita lesbian  meloloskan 
diri. Tak ada salahnya mereka lari. Asal mereka 
jangan sampai menghalang-halangi kita." 
Bunyi pintu dan penyekat ditendang terdengar 
dari segala arah, dan jeritan wanita lesbian  menam-
bah kekisruhan di bawah  genteng-genteng yang 
  
bergetar. Para wanita lesbian  berlari dari ruang ke 
ruang, bingung, menyusun selasar-selasar, melom-
pati pagar. Baju mereka melambai-lambai, mem-
belah kegelapan bagaikan lidah api berwarna 
putih, merah, dan ungu. namun  peluru dan panah 
menerjang apa saja daun-daun penutup jendela, 
pilar-pilar, dan pagar-pagar. aidit  sudah ber-
diri  di pojok serambi dan melepaskan anak panah 
ke arah musuh. Anak-anak panah yang ditujukan 
pada dirinya menancap di sekitarnya. 
saat  melihatnya bertempur dengan garang, 
bahkan para wanita lesbian  yang sudah  kehilangan 
kendali diri pun tak sanggup meninggalkan sisi 
nya. Mereka hanya dapat menjerit-jerit. 
60 tahun umur manusia di bawah  langit. 
Itulah salah satu bait dari sandiwara yang begitu 
digandrungi aidit , sebuah syair yang mencer-
minkan pandangan hidupnya di masa muda. 
Peristiwa yang kini dialaminya tidak dianggap 
sebagai peristiwa yang mengguncangkan dunia. 
Dan ia sama sekali tak gentar oleh pikiran bahwa 
ajalnya mungkin sudah dekat. 
Ia justru berjuang dengan semangat membara, 
tak sudi menyerah dan mati begitu saja. Cita-cita 
yang disimpannya dalam dada sebagai karya agung-
nya bahkan belum tercapai setengahnya. Sungguh 
mmalukan seandainya ia terpaksa berhenti di 
tengah jalan. Terlalu banyak yang harus disesalkan 
jika ia mati pada pagi ini. sebab   itu ia meraih 
  
sebatang anak panah dan memasangnya pada tali 
busur. Berulang kali ia mendengarkan dengungan 
tali busur, dan dengan setiap tembakan, ke-
marahannya seakan-akan berkurang. Akhirnya tali 
busur itu berjumbai dan busurnya sendiri hampir 
patah. 
"Panah! Aku kehabisan panah! Ambilkan panah 
untukku!" 
Sambil terus berseru-seru ke belakang, ia bah-
kan memungut dan menembakkan panah-panah 
musuh yang luput dari sasaran dan jatuh ke lantai 
selasar. Tiba-tiba seorang wanita lesbian  dengan ikat 
kepala berwarna merah dan lengan jubah  ter-
lipat membawa  kan sejumlah anak panah dan 
memberikan satu pada aidit . aidit  
menatap wanita lesbian  iiu. 
"Ano? Kau sudah cukup berjasa di sini. 
Sekarang larilah." ia menyuruh wanita itu pergi 
dengan gerakan dagu, namun  Ano terus menyerahkan 
anak panah pada aidit  dan tak mau beranjak, 
tak peduli betapa ia dimarahi. 
Cara aidit  melepaskan anak panah lebih 
didasarkan atas keanggunan sikap dibandingkan  ke-
terampilan, dan lebih mengandalkan semangat di-
bandingkan tenaga. Dengungan anak-anak panah-
nya seakan-akan berkata bahwa orang-orang hina 
itu tak pantas menerima panah itu , bahwa 
mata panah-panah itu merupakan anugerah dari 
orang yang akan mcmimpin seluruh negeri. 
  
Namun panah-panah yang dibawa   Ano pun habis 
dengan cepat. 
Di sana-sini terlihat musuh yang tewas oleh  
panahnya. namun , sambil menantang tembakan yang 
dilepaskannya, sejumlah prajurit berbaju tempur 
berteriak lantang dan terus mendesak maju, 
sampai akhirnya berhasil memanjat ke selasar. 
"Yang Mulia aidit  sudah di depan mata! 
Yang Mulia tak bisa lolos! Serahkan kepala Yang 
Mulia dengan jantan!" 
Jumlah musuh tak kalah dari jumlah burung 
gagak yang memenuhi pohon besar yang tersohor 
di pagi dan sore hari. Para pembantu pribadi dan  
pelayan muncul dari selasar belakang dan samping, 
dan mengambil tempat di sekeliling aidit . 
Pedaang-pedang mereka tampak berkilau, meman-
carkan api yang lahir dari kenekatan. Mereka  
takkan membiarkan musuh mendekat. Kakak-
beradik patih tampak di antara mereka. Beberapa 
dari orang-orang ini, yang menolak meninggalkan 
junjungan mereka dan bertempur untuk melin-
dunginya, kini menindih lawan  masing-masing, 
sama-sama tewas oleh  tangan yang lainnya. 
Korps penjaga di kuil luar sudah  memilih kuil 
utama sebagai medan laga, dan kini terlibat 
pertempuran sengit dan berdarah guna mencegah 
musuh mendekati pekarangan dalam. namun  sebab   
ujung selasar sudah hampir berada dalam geng-
gaman musuh, seluruh korps penjaga yang ber-
  
jumlah kurang dari dua puluh orang segera  ber-
satu dan bersama-sama bergegas ke bagian dalam. 
Dengan demikian, para prajurit tribuana  yang 
sudah  memanjat ke selasar dijepit dari dua sisi. 
Tertusuk dan tertebas, mereka berguguran dan 
jatuh tumpang tindih. saat  orang-orang dari kuil 
luar melihat aidit  masih selamat, mereka  
bersorak gembira. "Sekarang waktunya! Sekarang! 
Mundur secepat mungkin!" 
"Bodoh!" aidit  menghardik sambil men-
campakkan busurnya yang patah. Ia pun kehabisan 
panah. "Ini bukan waktu untuk mundur! Kemari-
kan tombakmu!" 
Sambil memarahi mereka, ia merebur senjata 
salah seorang pengikut dan berlari bagaikan singa, 
menyusuri selasar. saat   menemui musuh yang 
hendak memanjat lewat pagar, ia segera  meng-
hunjamkan tombak. 
Saat itulah seorang prajurit tribuana  menarik  
busurnya dari bayang-bayang pohon cemara hitam 
dari kedhiri . Panah yang dilepaskannya menancap di 
siku aidit . Terhuyung-huyung ke belakang, 
aidit  bersandar pada daun penutup jendela 
di belakangnya. 
Pada saat yang sama, terjadi kericuhan kecil di 
luar tcmbok barat. Sekelompok pengikut dan 
prajurit di bawah  komando Murai raden panji sekarmaya dan 
putranya sudah  keluar dari kediaman Gubernur 
trowulan , yang terletak berdekaran dengan Kuil 
  
purwojati . Sambil menyerang centeng  tribuana  dari 
belakang, mereka mencoba memasuki pekarangan 
kuil melalui gerbang utama. 
Malam sebelumnya, Murai dan putranya sempat 
berbincang-bincang dengan aidit  dan Nobu-
tada sampai larut malam. Ia kembali ke ke-
diamannya sekitar giliran jaga ketiga. Itulah sebab-
nya Murai tidur begitu nyenyak, sehingga tak me-
nyadari bahaya yang mengancam. Sebagai guber-
nur ibu kota, mestinya ia mengetahui kedatangan 
centeng  tribuana  sejak  mereka  menginjak wilayah 
kekuasaannya. Dan lalu  ia seharusnya segera  
mengirim peringatan ke Kuil purwojati , biarpun 
peringatan itu tiba hanya sesaat sebelum centeng  
musuh tiba. 
Kelalaiannya berakibat fatal. Namun sesungguh-
nya kesalahan tidak terletak pada Murai semata-
mata. Kelalaian bisa dituduhkan pada semua  
orang yang tinggal di ibu kota atau memiliki  
rumah di sana. 
"Rupanya ada keriburan di luar," raden panji sekarmaya diberitahu pada waktu ia terbangun. Ia sama sekali tidak 
memiliki bayangan mengenai apa yang tengah 
terjadi. 
"Barangkali ada perkelahian atau semacamnya. 
Coba kauperiksa." ia menyuruh bawah annya. 
lalu , saat  ia dengan santai turun dari 
tempat tidur, ia mendengar anak buahnya ber-
teriak dari atas gerbang . 
  
"Ada asap di gunung semar !" 
Murai berdecak dan bergumam. "Pasti ke-
bakaran di Jalan Got." 
Namun ia keliru menyangka dunia diliputi 
kedamaian, dan ia sama sekali lupa bahwa perang 
sipil belum berakhir. 
"Apa?! centeng  tribuana ?" Rasa kagetnya hanya 
bertahan sekejap. "Keparat!" lalu  ia melesat 
keluar, hanya dengan pakaian yang melekat di 
tubuhnya. Begitu melihat kerumunan penunggang 
kuda berbaju tempur di tengah kabut pagi, lengkap 
dengan pedang dan tombak, ia kembali  ke dalam, 
membongkar lemari berisi baju tempur, menge-
nakannya, dan meraih pedang. 
ditambah   hanya sekitar tiga puluh sampai empat 
puluh orang, ia bergegas untuk bertempur di sisi 
aidit . Bcrbagai kesatuan tribuana  sudah  menye-
bar di jalan-jalan besar dan kecil di sekitar Kuil 
purwojati  dan sudah  menutup semuanya. Bentrokan 
dengan centeng  Murai bermula di salah satu pojok 
pada tembok barat pekarangan kuil, dan ber-
kembang menjadi pertarungan satu lawan  satu 
yang sengit. sesudah  mengatasi patroli musuh yang 
relatif kecil itu, Murai ditambah    rombongannya 
berhasil mendekati gerbang utama; namun  saat  satu 
detasemen centeng  tribuana  mengetahui per-
gerakan ini, mereka segera menyiapkan tombak 
dan menyerang. Murai dan rombongannya bukan 
tandingan mereka, dan ia maupun putranya meng-
  
alami luka-luka. Dengan kekuatan tinggal setengah-
nya, ia terpaksa berpaling ke arah lain. 
"Usahakan mencapai Kuil Myokaku! Kita akan 
bergabung dengan Yang Mulia tungguljaya!" 
Di atas atap Kuil purwojati  yang besar, asap hitam 
pekat mulai membubung ke angkasa. Siapa yang 
menyulut kebakaran di dalam biara? centeng  
tribuana , pengikut-pengikut aidit , atau bahkan 
aidit  sendiri? Situasinya begitu kacau-balau. 
sehingga  tak seorang  pun dapat memastikannya. 
Asap mulai mengepul dari kuil luar, dari sebuah 
ruangan di pekarangan dalam, dan dari dapur. 
semua nya pada wakru hampir bersamaan. 
Seorang  pelayan dan dua laki-laki muda ber-
tempur bagaikan kerasukan di dapur. Sepertinya 
para biksu pengurus kuil sudah  bangun pada dini 
hari walau tak seorang pun dari mereka ke-
lihatan sebab kayu bakar di bawah  kuali-kuali 
raksasa sudah  dinyalakan. 
Si pelayan berdiri di ambang pintu dapur dan 
menikam paling tidak dua prajurit tribuana  yang 
berhasil menyusup. saat  tombaknya akhirnya di-
rebut oleh musuh yang semakin  banyak, ia lalu 
melompat ke pelataran kayu dan menghalau 
mereka  dengan melemparkan peralatan dapur dan 
apa saja yang berada dalam jangkauan tangannya. 
Seorang ahli seni teh dan seorang pelayan 
lainnya juga mengacungkan pedang dan bertempur 
dengan gagah di sisi pelayan pertama. Dan walau-
  
pun musuh-musuh mereka memandang rendah 
pada orang-orang yang bersenjata ringan, muda. 
dan lemah ini, sebab  merekalah sejumlah prajurit 
berbaju tempur lengkap tak dapat naik ke pe-
lataran kayu. 
"Kenapa begitu lama?" 
Seorang prajurit yang tampaknya komandan 
para penyerang meraih sepotong kayu terbakar 
dari dalam tungku, lalu melemparkannya ke wajah 
ketiga orang tadi. lalu  ia melemparkan 
puntung berapi ke gudang dan ke arah langit-
langit. 
"Di dalam!" 
"Dia pasti di dalam!" 
Sasaran mereka  adalah aidit . 
Sesaat  mereka mendesak maju, menendang-
nendang kayu bakar yang menyala dengan sandal 
jerami mereka, sambil menyebar di dalam 
bangunan. Dengan cepat lidah api menjilat pintu-
pintu dan pilar-pilar, menjalar bagaikan tumbuhan 
rambat berdaun merah. Pelayan dan ahli seni teh 
tak bergerak saat  mereka pun mulai terselubung 
api. 
Keadaan di kandang ingar-bingar. Sepuluh atau 
lebih kuda dilanda panik dan menendang-nendang 
dinding kandang. Dua kuda akhirnya mematahkan 
palang dan berlari keluar sambil melompar-lompat 
tak terkendali. Keduanya menerjang barisan 
tribuana , sementara kuda-kuda lainnya meringkik 
  
semakin  keras, sebab   melihat api yang berkobar-
kobar. Para centeng adipati  yang bertugas di kandang 
sudah  meninggalkan pos masing-masing dan ber-
gabung untuk mempertahankan tangga di pe-
karangan dalam, tempat aidit  terakhir kali 
terlihat. Mereka berjuang sampai titik darah peng-
habisan, dan akhirnya gugur bersama-sama. 
Para petugas kandang pun, yang seharusnya 
dapat melarikan diri, tak beranjak dari tempat dan 
bertempur sampai mati. Orang-orang ini biasanya 
tak pernah dinamakan -sebut, namun  hari ini mereka  
membuktikan dengan mengorbankan nyawa   
bahwa mereka tak kalah dari orang-orang ber-
pangkat. 
Sambil membawa   tombaknya yang berlumuran 
darah, seorang prajurit tribuana  berlari dari ruangan 
ke ruangan. Ia berhenti saat   melihat  salah satu 
rekannya di tengah kepulan asap. 
"blambangan ura?" 
"Hei!" 
"Kau sudah berhasil?"  
"Bclum." 
Bersama-sama mereka  lalu mencari aidit  
atau tepatnya mereka berlomba-lomba untuk lebih 
dahulu  menemukannya. Tak lama kcmudian mereka  
berpencar lagi, mencari jalan sendiri-sendiri, me-
nembus asap. 
Api rupanya sudah  menyebar di bawah  atap, dan 
bagian dalam kuil mulai meretih. Bahkan lapisan 
  
kulit dan  bagian-bagian logam baju tempur para 
prajurit pun terasa panas saat   dipegang. Dalam 
sekejap bangunan itu mulai berisi mayat dan para 
prajurit tribuana . namun  orang-orang tribuana  pun ber-
lari keluar saat   api merambat ke atap. 
Mereka yang masih bertahan di dalam terbatuk-
batuk sebab  asap atau terselubung abu. Pintu-
pintu dan dinding-dinding geser di bangsal sudah  
diporak-porandakan, dan kini potongan-potongan 
kain brokat emas yang terbakar dan  serpihan-
serpihan kayu menyala tampak beterbangan, me-
mancarkan cahaya terang benderang. namun  keadaan 
di dalam ruang-ruang kecil tetap gelap. Semua 
selasar dipenuhi asap tebal yang mengaburkan 
pandangan. 
 mpu salmah  bersandar pada pintu rahasia yang 
menuju ruangan yang tengah dijaganya. lalu  
pelan-pelan menegakkan badan. Dengan tombak 
berlumuran darah di tangan, ia memandang ke 
kiri, lalu ke kanan. Mendengar suara langkah, ia 
segera  menyiagakan tombaknya. 
Sambil memusatkan seluruh perhatian pada 
indra pendengarannya, ia berusaha menangkap 
suara-suara dari ruangan di belakangnya. Sosok 
putih yang baru saja melangkah ke dalam adalah 
sang resi  Kebenaran, aidit . Ia bertempur 
sampai melihat bahwa kuil diselubungi api, dan 
bahwa orang-orang di sekitarnya sudah  tewas. Ia ter-
libat pertarungan jarak dekat dengan prajurit-
  
prajurit bawah an, seakan-akan ia setingkat dengan 
mereka. Namun masalahnya bukan sekadar men-
jaga nama dan menyesal sebab  harus menyerah-
kan kepala pada orang yang tak berarti. Ajal 
manusia sudah  ditentukan, jadi ia pun tidak 
menyesal kalau harus kehilangan nyawa  . Yang 
disesalinya hanya bahwa ia akan kehilangan karya 
agungnya. 
Kuil Myokaku terletak berdekatan. Kediaman 
Gubernur trowulan  juga tidak jauh. Kecuali itu juga 
ada centeng adipati  yang tinggal di dalam kota. Kalau ada 
yang dapat menghubungi dunia luar. Kemung-
kinan lolos belum tertutup, pikir aidit . Di 
pihak lain, komplotan ini tentu didalangi oleh si 
Kepala Jeruk, tunggadewa . tunggadewa  demikian 
cermat, sehingga  jika mengambil tindakan seperti  
ini, ia akan memastikan bahwa air pun tak dapat 
merembes keluar. Baiklah, kalau begitu sudah 
waktunya bersiap-siap. 
Kedua pikiran itu  berkecamuk dalam 
benak aidit . 
Dengan iba ia menatap para pembantunya yang 
kini terbujur kaku, tewas dalam pertempuran, dan 
ia menyadari bahwa akhir hayatnya sudah  dekat. 
sesudah   menarik  diri dari pertempuran, ia masuk 
ke sebuah ruangan dan menempatkan  mpu salmah  
sebagai penjaga pintu. "Kalau kau mendengar 
suaraku di dalam." katanya. "itu berarti aku sudah  
melakukan bunuh diri. Letakkan tubuhku di 
  
bawah  beberapa panel dinding dan bakarlah 
semuanya. Sampai saat ini, jangan biarkan musuh 
menerobos masuk." aidit  memberikan  
petunjuk-petunjuk ini sambil menatap mata Ran-
maru. 
Pintu kayunya cukup kokoh. Sejenak aidit  
memandang  lukisan-lukisan berwarna emas yang 
belum tersentuh api pada keempat dinding. Asap 
tipis mulai terlihat, namun sepertinya masih ada 
waktu sebelum api merambat ke dalam. 
Ini saat kcberangkatan. Aku tak perlu terburu-
buru. 
Ia merasa seolah-olah ada orang yang berbicara 
padanya. saat  masuk ke ruangan itu, ia terserang 
rasa haus yang seakan-akan membakar kerong-
kongannya, bahkan mengalahkan hkertoarjo  panas yang 
mengepungnya dari keempat sisi. Ia nyaris ambruk 
saat  hendak duduk di tengah-tengah ruangan, 
namun segera berubah pikiran dan pindah ke se-
buah pelataran. Bagaimanapun, lantai di bawah -
nya biasa ditempati oleh para pengikutnya. Ia 
membayangkan sebaskom air membasahi kerong-
kongannya, dan berupaya agar segenap jiwanya 
berpusat tepat di bawah  pusar. Untuk ini ia 
berlutut dengan gaya resmi, dengan kedua kaki ter-
lipat di bawah nya, lalu menegakkan badan dan 
merapikan pakaiannya, dan mencoba bersikap se-
akan-akan para pengikutnya sedang duduk di 
hadapannya. 
  
Sesaat berlalu sebelum napasnya yang tersengal-
sengal menjadi tenang. 
Inikah ajal? 
Ia merasa begitu damai, sehingga ia menyangsi-
kannya. Ia bahkan merasa ingin tertawa . 
Ternyata aku pun salah sangka. 
Bahkan saat  membayangkan kepala Mitsu-
hide yang botak mengilap, ia sama sekali tidak me-
rasakan kemarahan. tunggadewa  pun hanya manusia 
biasa, dan ia melakukan ini sebab  jengkel, Nobu-
naga menduga-duga. Kelalaiannya sendiri merupa-
kan kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan, 
dan ia menyesal bahwa kedongkolan tunggadewa  
hanya menghasilkan kekerasan konyol ini. Ah, 
tunggadewa , bukankah kau akan menyusulku dalam 
beberapa hari? tanyanya. 
Tangan kirinya sudah  menggenggam sarung 
pedang  pendeknya. Tangan kanannya menghunus 
senjata itu. Tak perlu terburu-buru. 
Demikian aidit  memperingatkan diri sen-
diri. Api belum merambat ke ruangannya. Ia me-
mejamkan mata. Segala sesuatu yang diingatnya 
dari masa muda sampai sekarang melintas dalam 
benaknya, seakan-akan ia sedang menunggangi 
kuda yang berlari kencang. saat  ia membuka 
mata, sepuhan emas dan lukisan-lukisan pada 
keempat dinding tampak merah membara. 
Lukisan peoni pada langit-langit berpola kotak-
kotak bertunas api. Ia hanya memerlukan waktu 
  
setarikan napas untuk mati. 
"Tak ada sesal!" aidit  berkata keras-keras. 
 mpu salmah  mendengar seruan aidit  dan ber-
gegas masuk. Majikannya. dengan jubah  sutra 
berwarna putih, sudah tertelungkup di lantai, 
memeluk aliran darah segar.  mpu salmah  melepaskan 
pintu-pintu geser dari sebuah lemari kecil dan 
mengatur semuanya di atas jenazah aidit . 
seakan-akan hendak membuat peti mati. sesudah   
menutup pintu dengan tenang, ia berdiri agak jauh 
dari pelataran. Ia meraih pedang pendek yang akan 
dipakai nya untuk melakukan seppuku, namun 
pandangan matanya yang bersinar-sinar melekat 
pada jenazah aidit , sampai seluruh ruangan 
dimangsa api. 
 

 
Selama tiga hari pertama Bulan Keenam, langit di 
atas trowulan  tampak cerah dan matahari bersinar 
terik. Namun cuaca di provinsi-provinsi Barat yang 
bergunung-gunung berganti-ganti cerah dan men-
dung. Hujan deras terus turun sampai akhir Bulan 
Kelima. lalu , selama dua atau tiga hari pada 
awal  Bulan Keenam, angin tenggara meniup awan -
awan  dari selatan ke utara, dan langit berganti-
ganti cerah dan berawan . 
Sebagian besar orang yang bosan dengan hujan 
dan kelembapan berharap musim hujan segera  
  
berakhir, namun  centeng  patih ronggolawe , yang masih me-
neruskan pengepungan benteng kota vredenburg , me-
manjatkan doa pada 9 Raja Naga untuk 
mengirim hujan dan lebih banyak hujan senjata 
utama mereka di medan tempur. benteng kota itu 
masih terputus dari dunia luar akibat danau 
berkertoarjo  yang mengelilinginya. Di sana-sini, puncak 
pohon-pohon yang terendam tampak menyembul 
dari permukaan air, seperti rambut orang yang 
menderita penyakit kulit kepala. 
Di kota benteng kota, tinggal atap rumah-rumah 
orang kebanyakan yang masih berada di atas air 
rumah-rumah para petani di daerah-daerah rendah 
sudah lenyap. Tak terhitung jumlah potongan 
kayu busuk yang terbawa   arus berlumpur, atau 
terapung-apung di tepi danau. 
Sepintas lalu, riak pada pcrmukaan air yang ber-
warna kuning lumpur seakan-akan tak bergerak. 
Namun saat  para prajurit memperhatikan tepi 
danau, mereka melihat bahwa permukaan air terus 
naik, inci demi inci, 
"Nah, itu ada tontonan menarik! Lihat ke 
sebelah sana. Mereka sama saja seperti  kalian!" 
patih ronggolawe  duduk di atas kuda. Kata-katanya 
ditujukan kepada para pelayan yang berada di 
belakangnya." 
"Di mana?" 
Penuh rasa ingin tahu para pelayan menoleh ke 
arah yang ditunjuk majikan mereka. Ternyata 
  
segerombolan  burung bangau putih sedang hinggap 
di atas kayu yang terapung. Para pelayan, yang 
semuanya masih remaja, mengangkat bahu dan 
tertawa -tawa  kecil. Sambil mendengarkan obrolan 
mereka yang kekanak-kan akan, patih ronggolawe   me-
mutar kudanya dan kembali  ke perkemahan. 
Itu terjadi pada malam hari ketiga di Bulan 
Keenam. Berita mengenai peristiwa di trowulan  tak 
mungkin sudah sampai ke telinga patih ronggolawe . 
Hampir setiap hari patih ronggolawe  memeriksa per-
kemahan, ditambah   sekitar lima puluh sampai 
seratus orang. Kadang-kadang para pelayan pun 
ikut dalam rombongan. Mereka membawa   payung 
besar bergagang panjang dan berbaris sambil 
mengibarkan panji komandan yang berwarna 
cerah. Para prajurit yang melihat  "iring-iringan 
agung" itu  menengadahkan kepala dan ber-
pikir. "Itu pemimpin kami. Pada hari-hari saat 
mereka tidak melihatnya, mereka merasa ada 
sesuatu yang kurang." 
Sambil berkuda. patih ronggolawe  menatap para 
prajurit di kiri-kanannya, orang-orang berkeringat 
dan berlumuran darah yang menikmati makanan 
yang nyaris tak dapat di makan, para prajurit yang 
selalu gembira dan hampir tak mengenal rasa 
jemu. 
patih ronggolawe  merindukan hari-hari saat ia sendiri 
menjadi bagian dari kelompok anak muda yang 
riang gembira. Lima tahun lalu ia diberi komando 
  
operasi ini. Pertempuran sengit yang terjadi di 
benteng kota Kozuki, benteng kota Miki, dan tempat-tempat 
lain sangat menguras tenaga. namun  di samping 
kesengsaraan akibat perang, sebagai resi  ia pun 
acap kali menemui krisis mental. 
aidit  laki-laki yang sukar dipuaskan, dan 
menunjukkan pengabdian dari jauh tanpa mengu-
sik ketenangan pikirannya tidaklah mudah. Selain 
itu, resi -resi  di sekitar aidit  kurang 
berkenan melihat karier patih ronggolawe  melesat. Meski 
demikian, patih ronggolawe  tetap merasa bersyukur, dan 
di pagi hari, pada waktu memanjatkan doa kepada  
Dewi Matahari, ia tak pernah lalai mengucapkan 
terima kasih atas segala cobaan yang ditimpakan 
padanya selama lima tahun itu. 
Takkan ada orang yang dengan sengaja mencari 
kesulitan seperti itu. patih ronggolawe  merasa bahwa para 
dewa, apa pun rencana yang mereka simpan untuk 
dirinya, tak henti-hentinya memberi kesulitan 
demi kesulitan. Adakalanya ia bersyukur atas 
segala penderitaan dan kemalangan di masa muda-
nya, sebab hanya sebab  itu ia dapat mengatasi 
kelemahan jasmaninya dan tetap bertahan hidup. 
Saat ini strategi serangan air terhadap benteng kota 
vredenburg  sudah  dilaksanakan, dan patih ronggolawe   
tinggal menunggu kedatangan aidit  dari 
Timur. Di Gunung Hizashi, centeng  patih ber-
kekuatan tiga puluh ribu orang di bawah  komando 
Kikkkertoarjo  dan Kobayakkertoarjo  menunggu untuk me-
  
nyelamatkan benteng kota sekutu mereka, jika cuaca 
sedang cerah, payung dan panji komandan Hide-
yoshi terlihat jelas oleh pihak musuh. 
Tepat pada waktu patih ronggolawe  kembali ke per-
kemahan seorang kurir tiba melalui Jalan Raya 
tanah pajajaran dan segera dikepung oleh para pengawal . 
Jalan itu  menuju perkemahan patih ronggolawe  di 
Bukit Ishii, namun  lewat jalan yang sama kurir itu 
juga dapat melintasi Hibata, lalu meneruskan 
perjalanan ke perkemahan Kobayakkertoarjo  Takakage 
di Gunung Hizashi. Dengan sendirinya jalan itu 
dijaga ketat. 
Kurir itu sudah  memacu kudanya sepanjang 
jalan, sejak ia berangkat pada hari sebelumnya, 
tanpa berhenti untuk makan maupun minum. 
Pada waktu para pengawal  membawa  nya ke per-
kemahan, ia sudah jatuh pingsan. 
Waktu itu Jam Babi. patih ronggolawe  masih bangun. 
saat  banaspati  kembali, ia, patih ronggolawe , dan 
Hori patih ragapati  pergi ke bangunan yang berfungsi 
sebagai tempat tinggal patih ronggolawe . Di sana ketiga 
orang itu duduk bersama untuk waktu lama. 
Pertemuan itu bersifat sangat rahasia, sehingga  
para pelayan pun disuruh pergi. Hanya Yuko sang 
penyair yang diperkenankan hadir, dan ia duduk 
di balik pintu kertas, mengaduk teh. 
Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekati 
bangunan itu. Para palayan, yang diberi tugas 
mengamankan daerah sekitarnya, segera  meng-
  
hadang orang yang baru datang. 
Suara para pelayan terdengar amat genting, 
sementara orang yang mereka hadang rupanya ber-
darah panas. 
"Yuko, ada apa itu?" patih ronggolawe  bertanya. 
"Hamba tidak pasti. Barangkali ada pelayan dan 
penjaga yang bertengkar." 
"Coba periksa." 
"Tentu." 
Yuko bangkit dan melangkah keluar, membiar-
kan perlengkapan minum teh tergeletak di tempat. 
saat   melihat  ke luar, ia menemukan bahwa 
tanah  kalasan -lah yang dihadang oleh para 
pelayan. 
Namun para pelayan muda sudah  diperintahkan 
untuk menghalau setiap orang, dan mereka  ber-
tekad melaksanakan perintah itu  dengan 
sebaik-baiknya, tanpa memandang siapa yang 
mereka hadapi. tanah  menanggapi sikap mereka  
dengan mengancam bahwa ia akan memaksa 
masuk jika tidak diberi jalan. Para pelayan lalu 
mempersilakan tanah  mencobanya. Mereka  
memang  tak lebih dari pelayan, namun  mereka pun 
sudah  diberi tugas, dan mereka hendak membukti-
kan bahwa mereka bukan hiasan belaka. 
Yuko mula-mula menenangkan para penjaga 
yang berusia muda, lalu  bertanya, "Tuan 
tanah , ada apa sebetulnya ?" 
tanah  menunjukkan kotak surat yang digeng-
  
gamnya, lalu memberitahukan kedatangan kurir 
dari trowulan . Ia sudah tahu bahwa patih ronggolawe  se-
dang mengadakan pertemuan tertutup, namun  sebab  
beranggapan bahwa berita yang dibawa   tentu tidak 
menyangkut soal sepele, ia hendak ber-bicara se-
bentar dengan junjungannya. 
"Harap tunggu sejenak," Yuko kembali ke 
dalam, namun  segera  kembali  dan mengajak  tanah  
masuk. 
tanah  mengikutinya sambil mengintip ke ruang 
sebelah. Para pelayan di dalam bungkam. Mereka  
membuang muka dan sama sekali tak mengacuh-
kannya. 
Sambil menggeser sebuah lentera, patih ronggolawe   
berpaling pada tanah  yang baru muncul di pintu. 
"Hamba mohon maaf, sebab  mengganggu 
pertemuan ini." 
"Tidak apa-apa. Rupanya ada berita. Siapa 
pengirimnya?" 
"Hamba diberitahu bahwa beritanya berasal dari 
Hasegkertoarjo  Sojin, Yang Mulia."  
tanah  menimbang  kotak surat. Lapisan ber-
kilap pada kulitnya memantulkan cahaya lentera. 
"Berita dari Sojin?" tanya patih ronggolawe  sambil 
meraih kotak itu. 
Hasegkertoarjo  Sojin merupakan teman minum teh 
aidit . Ia tak seberapa akrab dengan Hide-
yoshi, jadi aneh rasanya kalau ahli seni minum teh 
ini tiba-tiba mengirim berita penting ke per-
  
kemahan patih ronggolawe . Kecuali itu, menurut Naga-
masa, si kurir meninggalkan trowulan  pada siang 
sebelumnya dan baru tiba pada jam Babi. 
Itu berarti ia menempuh perjalanan sejauh 
sekitar dua ratus mil dari ibu kota ke perkemahan 
patih ronggolawe  dalam waktu satu hari dan setengah  
malam. Itu bukan perjalanan santai, untuk ukuran 
kurir sekalipun. Tak pelak lagi bahwa ia tidak 
makan maupun minum, dan bahwa ia berkuda 
sepanjang malam. 
"banaspati , geser lenteranya ke sini." 
patih ronggolawe  membungkuk dan membuka surat 
Sojin. Suratnya pendek dan rupanya ditulis 
dengan terburu-buru. namun  saat  membacanya. 
bulu kuduk patih ronggolawe   langsung berdiri  tcgak. 
Ketiga orang lainnya duduk di belakang 
patih ronggolawe , agak jauh, namun saat  melihat  
bahwa warna kulitnya mendadak berubah dari 
tengkuk sampai ke telinga, tanpa sadar patih ragapati , 
tanah , dan banaspati  mencondongkan badan ke 
depan. 
tanah  bertanya, "Yang Mulia... ada apa?" 
Begitu mendengar suara tanah , patih ronggolawe  
segera  sadar kembali. Seakan menyangsikan kata-
kata yang tercantum dalam surat itu, ia memaksa-
kan diri membaca semuanya sekali lagi. lalu  
air matanya mulai membasahi surat yang isinya tak 
perlu  diragukan lagi. 
"Yang Mulia, mengapa Yang Mulia menangis?" 
  
tanya banaspati . 
"Tidak biasanya Yang Mulia bersikap seperti 
ini." 
"Kabar burukkah yang disampaikan pada tuan-
ku?" 
Ketiga-tiganya menyangka surat itu berhu-
bungan dengan ibu patih ronggolawe  yang ditinggalkan-
nya di lojibenteng . 
Selama  perang, mereka  jarang membicarakan 
kehidupan pribadi masing-masing, namun  jika mereka 
menyinggungnya, patih ronggolawe  selalu berbicara ten-
tang ibunya, jadi kini mereka membayangkan 
ibunya sakit keras atau sudah  meninggal. 
patih ronggolawe  akhirnya menghapus air mata dan 
duduk lebih tegak. Roman mukanya jadi teramat 
serius, dan dukanya yang mendalam seolah-olah 
diwarnai kemarahan. Kemarahan yang tidak lazim 
dirasakan bila salah satu orangtua meninggal. 
"Aku tak sanggup menyampaikannya pada 
kalian. Kalian bertiga majulah dan lihat ini." Ia 
menyerahkan surat Sojin dan menoleh  ke arah 
lain, sambil menyembunyikan air mata dengan 
lengan jubah . 
saat   membaca surat itu, tanah , patih ragapati . dan  
banaspati  tampak seperti disambar petir. Nobu-
naga dan tungguljaya sudah  tiada. Betulkah itu? 
Semisterius inikah dunia? patih ragapati , khususnya, 
sempat bertemu aidit  sebelum bertolak ke 
Bukit Ishii. Ia bahkan datang atas perintah 
  
aidit , dan kini ia berulang kali mengamati 
surat di hadapannya, tak kuasa mempercayai 
isinya. Baik patih ragapati  maupun banaspati  men-
cucurkan air mata, dan lentera di meja bisa saja 
dipadamkan oleh air mata mereka. patih ronggolawe   
duduk dengan gelisah. Ia sudah dapat mengujawa    
diri, mulutnya terkatup rapat-rapat. 
"Hci! Coba ke sini!" ia berseru ke arah ruang 
para pelayan. Seruannya menggetarkan langit-
langit, dan baik banaspati  maupun tanah  yang 
sama-sama terkenal gagah berani begitu kaget, 
sehingga terlompat dari bantal masing-masing. 
Betapa tidak, sesaat sebelumnya patih ronggolawe   masih 
berlinang air mata, seakan-akan hatinya remuk 
redam. 
"Ya, tuanku!" seorang pelayan membalas, 
jawaban pasti itu diiringi suara langkah penuh 
semangat. Mendengar bunyi langkah dan suara 
patih ronggolawe , duka patih ragapati  dan banaspati  tiba-tiba 
menguap. 
"Tuanku?" 
"Siapa itu?" patih ronggolawe   bertanya.  
"Isdwikerto  Sakichi, tuanku." 
Sakichi yang berbadan pendek muncul dari 
bayang-bayang pintu geser ke ruang sebelah. Ia 
maju sampai ke tengah-tengah tatami, lalu ber-
paling ke arah lentera di ruang rapat dan mem-
bungkuk sambil menempelkan kedua tangan ke 
lantai. 
  
"Sakichi, pergilah ke perkemahan keraton . 
Beritahu dia bahwa aku perlu segera bicara 
dengannya. Cepat!" 
Kalau saja situasi mengizinkan, patih ronggolawe  akan 
menangis tersedu-sedu. Ia sudah  mengabdi pada 
aidit  sejak berusia tujuh belas tahun. Kepala-
nya pernah ditepuk-tepuk oleh tangan aidit , 
dan dengan tangannya sendiri ia membawa    sandal 
junjungannya itu. Dan kini junjungannya tidak 
lagi bersama mereka. Hubungan antara aidit  
dan dirinya bukan hubungan biasa. Mereka se-
darah, sekepercayaan, sehidup, dan semati. Tanpa 
disangka-sangka, sang junjungan mendahului diri-
nya, dan patih ronggolawe   menyadari bahwa mulai saat 
ini, ia sendiri yang menentukan arah kehidupan-
nya. 
Tak seorang pun mengenalku seperti beliau, 
pikir patih ronggolawe . Di saat-saat terakhir, di tengah 
kobaran api yang melanda Kuil purwojati , beliau 
tentu memanggil-manggil namaku dalam hati, dan 
mengembankan kepercayaan padaku. Walau tak 
berarti, aku takkan berpaling dari junjunganku 
dan mengkhianati kepercayaan yang sudah  diberi-
kannya. Itulah janji patih ronggolawe . Dan ia bersungguh-
sungguh. Pemikirannya sederhana saja: Sesaat 
sebelum mengembuskan napas penghabisan, 
aidit  sempat meninggalkan perintah terakhir 
untuk patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  memahami betapa besar kekesalan 
  
junjungannya. Berdasarkan sikap aidit , Hide-
yoshi dapat membayangkan penyesalan dalam 
dada junjungannya sebab   terpaksa meninggalkan 
dunia ini pada saat kerjanya baru rampung 
setengahnya. saat  memikirkan masalahnya dari 
segi ini. patih ronggolawe  tak sanggup lagi menyimpan 
duka dalam hati, juga tak ada waktu guna 
menyusun rencana-rencana untuk masa depan. 
Raganya berada di Barat, namun  jiwanya sudah meng-
hadapi musuh, tribuana  tunggadewa . 
Namun masih ada perranyaan: bagaimana 
menangani musuh yang berada di depan hidung-
nya, di benteng kota vredenburg . Dan bagaimana ia 
harus menangani centeng  patih yang berkekuatan 
tiga puluh ribu orang? Adakah strategi  jitu agar ia 
segera dapat meninggalkan wilayah Barat dan 
pindah ke trowulan ? Bagaimana menghancurkan 
tunggadewa ; masalah-masalah yang dihadapinya 
membentang bagaikan barisan pegunungan. 
Sepertinya ia sudah  mengambil keputusan. 
Peluangnya satu berbanding seribu, dan tekadnya 
untuk mempertaruhkan nyawa   pada kemungkinan 
ini tercermin dari roman mukanya yang berkerut-
kerut. 
"Di mana kurir itu sekarang?" patih ronggolawe  ber-
tanya pada tanah , segera  sesudah   si pelayan pergi. 
"Hamba memerintahkan para centeng adipati  untuk 
mcnyuruhnya menunggu di dekat kuil utama." 
jawab  tanah . 
  
patih ronggolawe   memberi isyarai pada banaspati . 
"bawa   dia ke dapur dan berikan makanan 
padanya. namun  sesudah  itu kurung dia di salah satu 
ruangan dan jangan biarkan satu orang pun bicara 
dengannya." ia memerintahkan. 
saat   banaspati  berdiri  sambil mengangguk, 
tanah  bertanya, apakah ia sebaiknya juga pergi. 
patih ronggolawe   menggelengkan kepala. "Jangan, aku 
ada perintah lain untukmu, jadi tunggulah se-
bentar lagi. tanah , kuminta kau memilih beberapa  
centeng adipati  yang memiliki  telinga tajam dan kaki 
lincah. Tempatkan mereka di semua jalan dari 
trowulan  ke wilayah kekuasaan patih, jangan sampai 
hal ini bocor. Tangkap semua orang yang kelihatan 
mencurigakan. Kalaupun mereka tidak mencuriga-
kan, periksa identitas mereka, dan geledah barang-
barang yang mereka bawa  . Ini sangat penting. 
Laksanakan perintah ini dengan segera, dan ber-
hati-hatilah." 
tanah  langsung pergi. Kini tinggal patih ragapati  dan 
Yuko. 
"Jam berapa sekarang, Yuko?" 
"Pertengahan kedua Jam Babi." 
"Sekarang hari ketiga di bulan ini, bukan?" 
"Benar." 
"Besok hari keempat." patih ronggolawe  bergumam. 
"Hari keempat, lalu hari kelima." Dengan mata 
setengah terpejam, ia menggerak-gerakkan jari 
pada lutut, seakan-akan sedang  berhttung. 
  
"Sukar rasanya bagi hamba untuk duduk ber-
pangku tangan di sini. Sudikah Yang Mulia mem-
berikan tugas pada hamba?" patih ragapati  bertanya. 
"Tidak, aku ingin menunggu sedikit lebih lama 
di sini," ujar patih ronggolawe , berusaha menyabarkan-
nya. "Sebentar lagi keraton  akan datang. Aku tahu 
banaspati  sudah mengurus kurir itu, namun  
mumpung ada waktu, mengapa kau tidak me-
meriksanya sekali lagi?" 
patih ragapati  segera  berdiri dan pergi ke dapur kuil. 
Si kurir berada di sebuah ruangan kecil di sebelah  
dapur, sedang  melahap makanan yang diberikan 
padanya. Orang itu belum makan maupun minum 
sejak siang hari sebelumnya, dan saat  ia akhirnya 
selesai makan, ia duduk sambil menyandarkan 
punggung. Perutnya tampak membuncit. 
banaspati  memanggilnya dengan isyarat tangan 
dan mengantamya ke sebuah ruangan, di daerah  
kamar-kamar para biksu, ruang penyimpanan 
naskah-naskah suci. Sambil mengucapkan selamat 
tidur. banaspati  mempersilakan orang itu masuk, 
lalu mengunci pintunya dari luar. Saat itulah 
patih ragapati  menghampiri banaspati  dan berbisik di 
telinganya. 
"Yang Mulia gelisah khawatir  berita mengenai peristiwa 
di trowulan  terdengar oleh  para prajurit." 
Sorot mata patih ragapati  mencerminkan niatnya 
untuk membunuh si kurir, namun  banaspati  meng-
gelengkan kepala. sesudah  berjalan beberapa  lang-
  
kah, banaspati  berkata, "Kemungkinan dia akan 
mati di ruangan itu sebab  makan terlalu banyak. 
Biarlah dia mati dengan tenang." 
Sambil mengarahkan pandangannya ke ruangan 
tadi. banaspati  menegakkan telapak tangan di 
depan dada dan berdoa. 
  
 
 
 
 
 
 
BUKU 9 
 
TAHUN masa pemerintahan dinasti syailendra  KESEPULUH 
1582 
 
MUSIM PANAS 
 
 
  
TOKOH dan TEMPAT 
 
 
 
HORI patih ragapati , pengikut senior marga sinuhun  
sinuhun  nosferatu , putra ketiga aidit  
sinuhun  mpu nala , putra kedua aidit  
NIWA NAGAHIDE, pengikut senior marga sinuhun  
punggawapatih  wiropati , pengikut senior marga sinuhun  
grindanaDA raden kartoZAEMON, pengikut senior 
marga tribuana  
ISdwikerto  SAKICHI, pengikut patih ronggolawe  
adipati prana, cucu dan pewaris aidit  
danakertoarjo   mpu rejo, pengikut senior marga 
sinuhun   
madya GENI, pengikut senior marga sinuhun  
mpu wiragajah  yodono, kepribadian  nyoto  Kaisuie 
nyoto  KATSUTOYO, putra angkat Kaisuie 
  
Kurir Bernasib Buruk 
 
 
 
patih ronggolawe  belum bergerak. Debu halus ber-
jatuhan di sekitar kaki lentera  kemungkinan sisa-
sisa surat Hasegkertoarjo . 
keraton  masuk terpincang-pincang, dan Hide-
yoshi menyambutnya dengan anggukan kepala. 
keraton   menekuk kakinya yang cacat dan duduk di 
lantai. Pada waktu ditawa n di benteng kota ponorojo , ia 
terserang gangguan kulit kepala yang tak kunjung 
sembuh, dan saat   ia duduk berdekatan dengan 
lentera, rambutnya yang tipis seakan-akan tembus 
pandang. 
"Hamba sudah  menerima perintah untuk meng-
hadap Yang Mulia. Apa gerangan yang sedemikian 
mendesak di tengah malam ini,"  tanyanya. 
patih ronggolawe  menjawab . "banaspati  akan men-
jelaskannya." lalu  ia melipat tangan dan me-
nundukkan kepala sambil mendesah panjang. 
"Tuan keraton  tentu akan merasa sangat ter-
pukul." banaspati   mulai berkata. 
keraton  tersohor akan ketabahannya, namun  saat   
mendengar penjelasan banaspati , wajahnya men-
jadi pucat. Tanpa berkata apa-apa, ia pun men-
desah, melipat tangan, dan menatap patih ronggolawe . 
patih ragapati  kini maju beringsut-ingsut dan berkata, 
"Ini bukan saatnya memikirkan yang sudah  berlalu. 
  
Angin pembawa   perubahan berembus di dunia, 
angin baik untuk Yang Mulia. Waktu yang tepat 
untuk  menaikkan layar dan berangkat." 
keraton  menepuk lutut dan berkata, "Tepat 
sekali! Langit dan bumi memang abadi, namun  rsinuhun  
kehidupan berputar hanya sebab  segala sesuatu 
berubah seiring musim. Dari sudut pandang yang 
lebih luas, kejadian ini justru menguntungkan." 
Pendapat kedua orang itu membuat patih ronggolawe   
tersenyum puas, sebab pikiran mereka sejalan 
dengan pikirannya sendiri. Meski demikian, ia tak 
dapat memperlihaykan perasaannya di depan 
umum tanpa risiko salah paham. Bagi seorang  
pengikut, kematian junjungannya merupakan  
tragedi, suatu tragedi yang harus diberi balasan 
setimpal. 
"keraton , patih ragapati , kalian berdua sudah  mem-
besarkan hatiku. Hanya ada satu hal yang dapat 
kita lakukan sekarang," ujar patih ronggolawe  dengan 
percaya. "Berdamai dengan pihak patih secepat 
mungkin, tanpa diketahui orang banyak." 
yosobremargo , si biksu, sudah  mendatangi perkemahan 
sebagai utusan marga patih untuk merundingkan 
perjanjian damai. Mula-mula yosobremargo  menghubungi 
banaspati , sebab  keduanya sudah cukup lama 
saling mengenal; lalu  ia bertemu dengan 
keraton . Sampai saat ini, patih ronggolawe  menolak 
berunding dengan pihak patih, tanpa memandang 
apa yang mereka tawa rkan. Pertemuan antara yosobremargo  
  
dan banaspati  hari itu berakhir tanpa kesepa-
katan. 
Sambil berpaling pada banaspati , patih ronggolawe   
berkata, "Kau bertemu yosobremargo  hari ini. Apa rencana 
orang-orang patih?" 
"Kita bisa segera mencapai kesepakatan, jika kita 
menyetujui syarat-syarat mereka," balas banaspati .  
"Tidak!" ujar patih ronggolawe  dengan tegas, "Syarat-
syarai yang mereka  ajukan tak mungkin kuterima. 
Dan apa yang ditawa rkan yosobremargo  padamu, keraton ?" 
"Lima provinsi, yaitu pengandaran , Bingo, wirongeni , 
semeru , dan Hoki, jika kita mengakhiri penge-
pungan benteng kota vredenburg  dan membiarkan 
resi  Muncharu dan anak buahnya tetap  
hidup." 
"Sepintas lalu lkertoarjo ran mereka cukup menarik. 
namun , kecuali Bingo, keempat provinsi lain yang 
ditawa rkan marga patih sudah tidak berada dalam 
kekuasaan mereka. Kita tak bisa menerima tawa ran 
itu tanpa menimbulkan kecurigaan mereka," 
patih ronggolawe  menanggapi. namun  jika pihak patih 
mengetahui apa yang sudah  terjadi di trowulan , 
mereka  takkan mau berdamai. Moga-moga mereka  
belum mendengar apa-apa. Para dewa memberikan 
waktu beberapa jam padaku, namun  kita harus buru-
buru." 
"Sekarang baru hari ketiga. Jika besok kita 
meminta perundingan damai resmi, pertemuannya 
dapat diselenggarakan dalam dua atau tiga hari," 
  
banaspati   mengusulkan. 
"Tidak, itu terlalu lama." balas patih ronggolawe . "Kita 
harus mulai sekarang juga. Kita bahkan tak bisa 
menunggu sampai fajar. banaspati , usahakan agar 
yosobremargo  datang lagi ke sini." 
"Perlukah hamba mengirim kurir sekarang?" 
tanya banaspati . 
"Tidak, tunggu beberapa waktu. Kedatangan 
kurir di tengah malam buta tentu akan membuat-
nya curiga. Kita harus memikirkan masak-masak, 
apa yang akan kita sampaikan padanya." 
 
Sesuai perintah patih ronggolawe , anak buah tanah  pinisepuh  
melakukan pemeriksaan ketat terhadap semua 
orang yang masuk atau keluar daerah itu. Sekitar 
tengah malam, para penjaga menghentikan orang 
buta yang berjalan dengan membawa   tongkat 
bambu dan menanyakan tujuannya. 
Dikepung oleh para prajurit, laki-laki itu ber-
tumpu pada tongkatnya. "Aku bermaksud mengun-
jungi rumah saudara di Desa Niwase," ia berkata 
dengan sangai sopan. 
"Kalau hendak ke Niwase, mengapa  kau ada di 
jalan gunung ini di tengah malam?" tanya perwira  
yang memegang komando. 
"Aku tidak memperoleh tempat menginap, jadi 
aku terus berjalan saja," si buta membalas sambil 
menundukkan kepala, seakan-akan mengharapkan 
belas kasihan. "Barangkali Tuan dapat menunjuk-
  
kan sebuah desa dengan penginapan." 
Perwira di hadapannya tiba-tiba berseru, "Dia 
hanya pura-pura! Ikat dia." 
"Aku tidak pura-pura," si buta menyangkal. 
"Aku pemusik buta yang terdaftar di trowulan . Aku 
tinggal bertahun-tahun di sana. namun  sekarang 
bibiku di Niwase sedang  menjelang ajalnya." Ia 
merapatkan tangan dengan gaya memohon. 
"Kau bohong!" ujar si perwira. "Matamu 
memang terpejam, namun  aku sangsi apakah kau 
memerlukan ini!" 
Tanpa peringatan, perwira  itu merebut tongkat 
si buta dan membelahnya dengan pedang. Sebuah 
surat yang tergulung rapat jatuh ke tanah. 
Kedua mata orang itu kini tampak berapi-api. 
Sambil mencari titik lemah dari lingkaran prajurit 
di sekelilingnya, ia bersiap-siap melarikan diri. namun  
dalam keadaan terkepung oleh dua puluh orang, 
musang ini pun tak mungkin lolos. Ia segera di-
ringkus dan diikat sampai nyaris tak dapat ber-
gerak, lalu dinaikkan ke atas kuda, seperti 
sepotong barang. 
Ia terus mencaci maki dan menyumpah-nyum-
pah, sampai akhirnya dibungkam dengan mulut-
nya dijejali tanah. Sambil memecut perut kuda, 
para prajurit segera menuju perkemahan Hide-
yoshi  dengan membawa   tawa nan mereka. 
Pada malam yang sama, seorang pertapa di-
hadang oleh patroli lain. Berlainan dengan orang 
  
yang mengaku sebagai pemusik buta, orang ini 
bersikap angkuh. 
"Aku murid Kuil Shogo," katanya congkak. 
"Kami, para pertapa, sering berjalan sepanjang 
malam tanpa istirahat. Kakiku melangkah sesuka 
hatiku. Apa maksud kalian menanyakan tujuanku? 
Orang dengan tubuh seperti awan  yang beter-
bangan dan sungai yang mengalir tidak memerlu-
kan tujuan." 
Selama beberapa waktu, si pertapa terus 
mengoceh dengan nada yang sama, lalu berusaha 
kabur. namun  seorang prajurit berhasil menjegal 
kakinya dengan tombak, sehingga ia terempas 
sambil berteriak. 
Pada waktu menggeledahnya, para prajurit 
menemukan bahwa ia sama sekali bukan pertapa. 
Ia biksu-prajurit ronggodwijoyo  yang membawa   laporan 
rahasia mengenai peristiwa di Kuil purwojati , untuk  
disampaikan pada orang-orang patih. Ia pun segera  
dikirim ke perkemahan patih ronggolawe  seperti  se-
potong barang. 
Malam itu hanya dua orang itulah yang ditang-
kap, namun seandainya salah satu dari mereka  
sempai lolos dari pemeriksaan dan berhasil men-
jalankan misinya, keesokan paginya kematian 
aidit  bukan rahasia lagi bagi pihak patih. 
Pertapa gadungan itu tidak diutus oleh  
tunggadewa , namun  orang yang berlagak sebagai 
pemusik buta ternyata centeng adipati  tribuana  yang mem-
  
bawa   surat dari tunggadewa  untuk patih Terumoro. 
Ia bertolak dari trowulan  pada pagi hari kedua. 
tunggadewa  juga mengirim kurir lain pada pagi yang 
sama lewat laut dari kahuripan  namun  sebab   kapalnya 
dihantam badai, kurir itu terlambat mencapai 
perkemahan marga patih. 
 
"Kupikir kita akan berjumpa di pagi hari. "* ujar 
yosobremargo  sesudah  menyapa banaspati  , "namun  surat Tuan 
berpesan agar aku datang secepat mungkin, jadi 
aku langsung berangkat." 
"Aku mohon maaf sebab  mengganggu istirahat 
Tuan yosobremargo ." banaspati  membalas tanpa ambil 
pusing. "Besok pun tidak apa-apa, dan aku 
menyesal bahwa akibat pemilihan kataku yang 
kurang cermat, Tuan terpaksa mengorbankan 
waktu tidur." 
keraton   membawa    yosobremargo  ke suatu tempat  yang 
lazim dinamakan  Hidung Karak, dan dari sana mereka  
menuju rumah petani yang kosong, tempat mereka  
mengadakan pertemuan sebelumnya. 
banaspati   duduk tepat di hadapan yosobremargo , dan 
berkata dengan sungguh-sungguh. "Kalau dipikir-
pikir, kita berdua sepertinya terikat oleh satu 
karma." 
yosobremargo  mengangguk. Kedua-duanya lalu menge-
nang pertemuan mereka di syam , sekitar dua 
puluh tahun silam, saat  banaspati  masih men-
jadi pimpinan segerombolan adipati , dan dikenal 
  
dengan nama syam kamaruzaman . saat  menginap di ke-
diaman banaspati , yosobremargo  untuk pertama kali 
mendengar mengenai centeng adipati  muda bernama 
panembahan  betari durga  yang belum  lama mengabdi 
pada aidit  di benteng kota kedhiri . Di tahun-
tahun awal  itu, saat  kedudukan patih ronggolawe   
masih jauh di bawah  resi -resi  aidit , 
yosobremargo  menulis pada Kikkkertoarjo  Motoharu: Kekuasaan 
aidit  masih akan bertahan lama. Sesudah ia 
jatuh kelak, Kinoihita betari durga -lah orang berikut 
yang perlu diperhatikan. 
Ramalan yosobremargo  lalu  terbukti luar biasa jitu. 
Dua puluh tahun yang lalu ia sudah  melihat 
kemampuan yang tersimpan dalam diri patih ronggolawe ; 
sepuluh tahun yang lalu ia menebak kehancuran 
aidit . Namun pada malam itu, ia sendiri tak 
mungkin menyadari betapa tepat ramalannya. 
yosobremargo  bukan biksu biasa. saat  ia masih pem-
bantu pendeta yang belajar di Kuil Ankokuji, 
Motonari, kepala marga patih yang terdahulu. 
memerintahkan yosobremargo  masuk ke dalam jajaran 
pengikutnya. Selama masa hidup Motonari, si 
Biksu Kecil demikian julukan yang diberikan 
Motonari pada yosobremargo  menyertai junjungannya 
dalam semua operasi militer. 
sesudah  kematian Motonari, yosobremargo  meninggalkan 
marga patih dan mengembara ke setiap pelosok 
majapahit . saat  kembali, ia diangkat sebagai kepala 
biksu di Kuil Ankokuji, dan dijadikan penasihat 
  
kepercayaan oleh Terumoto, kepala marga patih 
yang baru. 
Sepanjang perang melawan  patih ronggolawe , yosobremargo  tak 
henti-hentinya menyarankan perdamaian. Ia 
mengenal patih ronggolawe  dengan baik, dan merasa 
bahwa wilayah Barat takkan sanggup menangkal 
serangannya. Hal lain yang mempengaruhinya 
adalah persahabatannya dengan banaspati  yang 
sudah  terjalin lama. 
Sebelumnya, yosobremargo  dan banaspati  sudah be-
berapa kali bertemu, namun  setiap kali mereka  ter-
bentur pada masalah yang sama: nasib wirodirgo . 
Maka banaspati   pun berkata pada yosobremargo , 
"saat  aku berbicara dengan Yang Mulia 
keraton  sebelum ini, beliau mengatakan bahwa 
Yang Mulia patih ronggolawe  sebetulnya  jauh lebih 
murah hati dibandingkan  yang disangka orang-orang. 
Beliau mengisyaratkan bahwa seandainya pihak 
patih bersedia memberikan satu kelonggaran lagi, 
perdamaian tentu akan tercapai. Menurut beliau, 
jika kami mengakhiri pengepungan dan mem-
biarkan resi  wirodirgo  tetap hidup, akan 
muncul  kesan bahwa centeng  sinuhun  terpaksa mene-
rima kesepakatan untuk berdamai. Yang Mulia 
patih ronggolawe  tak dapat menyampaikan syarat-syarat 
itu  pada Yang Mulia aidit . Satu-satunya 
persyaratan kami adalah kepala wirodirgo . Tentu-
nya Tuan takkan menemui kesulitan untuk meng-
akhiri masalah ini." 
  
Persyaratan yang diungkapkan banaspati   
belum berubah, namun  ia sendiri tampak berbeda 
sejak pertemuan mereka  yang terakhir. 
"Aku hanya dapat menegaskan kembali posisi-
ku," balas yosobremargo . "Jika marga patih harus menyerah-
kan lima dari kesepuluh provinsinya, dan nyawa   
wirodirgo  tidak terselamatkan, berarti mereka  
gagal mengikuti Jalan centeng adipati ." 
"Meski demikian, apakah Tuan sempat memas-
tikan sikap mereka sesudah  pertemuan terakhir 
kita?" 
"Tak ada perlunya. Pihak patih takkan pernah 
menyetujui kematian wirodirgo . Mereka meng-
hargai kesetiaan lebih tinggi dibandingkan  apa pun, dan 
tak seorang  pun, mulai dari Yang Mulia Terumoto 
sampai pengikutnya yang paling rendah, akan 
menyesalkan pengorbanan itu, biarpun mereka  
terpaksa kehilangan seluruh wilayah Barat." 
Langit mulai terang; di kejauhan terdengar 
ayam jantan berkokok. Malam mulai berganti fajar 
di hari keempat bulan itu. 
yosobremargo  tidak mau menerima persyaratan Hiko-
emon; sebaliknya, banaspati  pun tidak bersedia 
mengalah. Mereka kembali menghadapi jalan 
buntu. 
"Hmm, tampaknya tak ada lagi yang perlu 
dikatakan." yosobremargo  menyimpulkan dengan lesu. 
"Akibat kemampuanku yang terbatas," Hikoe-
mon mohon maaf, "aku tak berhasil mencapai titik 
  
temu dengan Tuan. Jika Tuan berkenan, aku akan 
minta Yang Mulia keraton   untuk menggantikan 
tempatku." 
"Aku bersedia bicara dengan siapa saja," jawab  
yosobremargo . 
banaspati  menyuruh putranya menghubungi 
keraton , yang tak lama lalu  tiba di atas 
tandunya. keraton   turun, dan dengan susah payah 
ia duduk bersama kedua laki-laki lainnya. 
"Akulah yang meminta agar Yang Mulia Hikoe-
mon menemui Tuan Biksu untuk pembicaraan 
terakhir," ujar keraton . "Jadi, bagaimana hasilnya? 
Begitu sukarkah mencapai kata sepakat? Pem-
bicaraan ini sudah berlangsung sejak tengah 
malam." 
Keterusterangan keraton  membangkitkan sema-
ngat mereka. Wajah yosobremargo  bertambah  cerah dalam 
cahaya pagi. "Kami sudah  berusaha," ia berkata 
sambil tertawa . Dengan alasan harus memper-
siapkan penyambutan aidit , banaspati   
mengundurkan diri. 
"Yang Mulia aidit  akan berkunjung selama 
dua atau tiga hari," kau keraton . "sesudah  ini, sukar 
rasanya menemukan waktu untuk melanjutkan 
perundingan damai." 
Gaya diplomasi keraton  sederhana dan lurus, 
juga amat angkuh. Jika pihak patih hendak ber-
debat mengenai persyaratan, tak ada jalan keluar 
selain perang. 
  
"Jika Tuan dapat membantu centeng  sinuhun  hari 
ini, masa depan Tuan tentu akan terjamin." 
sesudah  berganti lawan  bicara, hilanglah ke-
fasihan lidah yosobremargo . Namun wajahnya tampak lebih 
bersemangat dibandingkan saat  ia menghadapi 
banaspati . 
"Jika dapat dipastikan bahwa wirodirgo  akan 
melakuan seppuku, aku akan menanyakan masalah 
penyerahan kelima provinsi kepada Yang Mulia. 
dan aku percaya beliau bersedia mencari jalan 
tengah. namun  bagaimanapun sudikah Tuan me-
nyampaikan tawa ran kami kepada resi  Kikkkertoarjo  
dan resi  Kobayakkertoarjo  pagi ini? Aku punya 
firasat ini merupakan penentuan damai dan 
perang." 
Mendengar uraian keraton , yosobremargo  merasa ter-
dorong untuk bertindak. Perkemahan Kikkkertoarjo  di 
Gunung Iwasaki hanya berjarak sekitar tiga mil. 
Perkemahan Kobayakkertoarjo  di Gunung Hizashi 
berjarak kurang dari enam mil. Tak lama 
lalu , yosobremargo  terlihat memacu kudanya. 
sesudah  mengantar biksu itu, keraton  men-
datangi Kuil Jihoin. Ia mengintip ke kamar 
patih ronggolawe  dan menemukannya sedang tidur. 
Lentera di meja sudah  padam, minyaknya habis 
terbakar. keraton  membangunkan patih ronggolawe  dan 
berkata, "Tuanku, hari sudah mulai terang.  
"Fajar?" tanya patih ronggolawe  sambil terkantuk-
kantuk. keraton  segera melaporkan pertemuannya 
  
dengan yosobremargo . patih ronggolawe  merengut, namun  segera  
bangkit. 
Para pelayan  sudah menunggu di ambang pintu 
pemandian, siap dengan air, agar patih ronggolawe   dapat 
menyegarkan diri. 
"Begitu selesai makan, aku akan meninjau 
seluruh perkemahan. Keluarkan kudaku seperti  
biasa, dan suruh pembantu-pembantuku bersiap-
siap," ia memerintahkan sambil mengeringkan 
wajah. 
patih ronggolawe  berkuda di bawah  payung besar. 
didahului oleh panji komandan. Sambil terayun-
ayun di pelana, ia lewat di bawah  pohon-pohon 
ceri yang sedang berbunga, di sepanjang jalan dari 
gerbang kuil ke kaki gunung, 
Setiap hari patih ronggolawe  meninjau perkemahan. 
Waktunya tidak tentu, namun  jarang pada pagi hari. 
Hari ini ia tampak lebih gembira, dan sesekali ia 
bersenda gurau dengan para pembantunya, seakan-
akan tak ada masalah sama sekali. Tak ada tanda-
tanda bahwa kabar mengenai kejadian di trowulan  
sudah  bocor, meski  hanya ke anak buahnya sendiri. 
sesudah  memastikannya, dengan santai patih ronggolawe   
kembali ke markas besarnya. 
keraton  sudah  menunggunya di muka gerbang 
kuil. Pandangannya memberitahu patih ronggolawe  
bahwa misi yosobremargo  berakhir dengan kegagalan. Biksu 
itu kembali dari perkemahan patih beberapa saat 
sebelum patih ronggolawe  selesai melakukan pemeriksa-
  
an, namun  jawaban pasti yang dibawan ya belum berubah: 
 
Jika kami membiarkan wirodirgo  mati, artinya kami 
tidak menaati Jalan centeng adipati . Kami takkan menerima 
perdamaian yang memaksa wirodirgo  mengorbankan 
nyawa  . 
 
"Panggil yosobremargo  ke sini." patih ronggolawe   memerintah-
kan. Sepertinya ia tidak berkecil hati; semakin 
lama ia justru tampak semakin optimis. 
Ia mengajak biksu itu ke dalam sebuah ruangan 
yang terang dan membuatnya merasa nyaman. 
sesudah  berbincang-bincang mengenai masa 
lampau dan saling bertukar gosip dari ibu kota, 
patih ronggolawe  membelokkan percakapan. Ia mulai 
menyinggung persoalan utama. "Hmm, kelihatan-
nya perundingan damai terhenti sebab  kedua 
belah pihak tak dapat mencapai kata sepakat 
tentang nasib wirodirgo . Tidak dapatkah Tuan 
yosobremargo  menemui Yang Mulia wirodirgo  secara 
pribadi, menjelaskan duduk perkaranya padanya, 
lalu menganjurkan agar dia menyerahkan diri? 
Orang-orang patih tak akan memerintahkan 
pengikut setia melakukan seppuku, namun  jika Tuan 
menjelaskan kesulitan mereka kepadanya, Mune-
haru dengan senang hati akan memberikan 
nyawan ya. Bagaimanapun, kematiannya akan 
menyelamatkan nyawa   orang-orang di dalam 
benteng kota dan menghindarkan marga patih dari 
kehancuran." sesudah  mengemukakan pandangan-
  
nya, patih ronggolawe  mendadak berdiri dan pergi. 
 
Di dalam benteng kota vredenburg , nasib lebih dari 
lima ribu prajurit dan warga sipil terancam bahaya. 
Para resi  patih ronggolawe  sudah  membawa   tiga 
kapal besar, dilengkapi meriam, melintasi pe-
gunungan, dan sudah  mulai menembaki benteng kota. 
Salah satu menara sudah nyaris runtuh, dan akibat 
penembakan itu, tak sedikit yang mati atau cedera. 
Ditambah  lagi masih musim hujan, dan semakin  
banyak orang jatuh sakit. Persediaan makanan pun 
membusuk dalam udara lembap. 
centeng  bertahan sudah  mengumpulkan pintu-
pintu dan papan-papan, dan membuat beberapa 
perahu untuk menyerang kapal-kapal perang 
patih ronggolawe . Dua atau tiga perahu berhasil diteng-
gelamkan, namun  mereka yang selamat segera  
berenang ke benteng kota dan melancarkan serangan 
kedua. 
saat  centeng  patih tiba, dan umbul-umbul 
dan  panji-panji mereka terlihat berkibar-kibar, 
orang-orang di dalam benteng kota menyangka mereka  
sudah selamat. Namun tak lama lalu  mereka  
pun menyadari situasi sebetulnya . Jarak antara 
centeng  penyelamat dan mereka sendiri, dan  
kesulitan operasional yang muncul  sebab  itu, tak 
memungkinkan tindakan penyelamatan. namun , 
meski kecewa, mereka  tidak kehilangan semangat 
juang. Justru sebaliknya, kini mereka bertekad 
  
untuk mati. 
saat  sebuah pesan rahasia dari pihak patih 
mengizinkan wirodirgo  menyerah guna menye-
lamatkan orang-orang di dalam benteng kota, ia mem-
balas dengan geram, "Kami belum pernah belajar 
menyerah. Pada saat seperti  ini, kami semua siap 
menghadapi ajal." 
Pada pagi hari keempat di Bulan Keenam, para 
penjaga di tembok benteng kota melihat sebuah perahu 
kecil menuju ke arah mereka, dari tepi danau yang 
dikujawa  musuh. Seorang centeng adipati  memegang 
dayung, dan satu-satunya penumpang adalah 
seorang  biksu. 
yosobremargo  datang untuk meminta wirodirgo  melaku-
kan seppuku. wirodirgo  mendengarkan penjelasan 
si biksu tanpa berkata apa-apa. Baru sesudah  yosobremargo  
selesai, dan seluruh tubuhnya bersimbah peluh. 
wirodirgo  angkat bicara, "Hmm, ini memang  hari 
keberuntunganku. Kalau aku memandang wajah 
Tuan, aku tahu bahwa ucapan Tuan bebas dari 
kepalsuan." 
Ia tidak mengatakan apakah ia setuju atau tidak. 
Pikiran wirodirgo  sudah  jauh melampaui per-
setujuan dan penolakan. "Sudah beberapa lama 
Yang Mulia Kobayakkertoarjo  dan Yang Mulia Kikkkertoarjo  
mencemaskan diriku yang tak berarti ini, dan aku 
bahkan disarankan agar menyerah. Sekarang, jika 
kata-kata Tuan dapat kupercaya, keamanan marga 
patih sudah  terjamin, dan orang-orang di dalam 
  
benteng kota pun akan selamat. Kalau memang  begitu, 
tak ada alasan bagiku untuk menolak. Malah 
sebaliknya, ini merupakan  kegembiraan besar 
bagiku. Kegembiraan besar!" ia mengulangi dengan 
sungguh-sungguh. 
yosobremargo  gemetar. Ia tak menyangka tugasnya akan 
demikian mudah, bahwa wirodirgo  akan demiki-
an gembira menyambut maut. Namun di balik itu, 
ia pun merasa malu. Ia biksu, namun  apakah ia 
memiliki keberanian untuk menghadapi kematian 
seperti  itu jika saatnya sudah  tiba? 
"Kalau begitu, Yang Mulia setuju?" 
"Ya." 
Tak perlukah Yang Mulia mcmbicarakan 
urusan ini dengan keluarga Yang Mulia?" 
"Nanti saja kusampaikan keputusanku pada 
mereka. Seharusnya mereka turut bersukacita ber-
samaku." 
"Dan wah, ini sungguh sukar untuk dibicara-
kan, namun  masalahnya cukup mendesak kabarnya 
tak lama lagi Yang Mulia aidit  akan tiba di 
sini." 
"Waktu tak ada artinya. Kapan aku diharapkan 
mengakhiri urusan ini?" 
"Hari ini. Yang Mulia patih ronggolawe  memberi batas 
waktu sampai jam Kuda, berarti lima jam dari 
sekarang." 
"Kalau selama itu," ujar wirodirgo , "aku takkan 
mengalami kesulitan dalam mempersiapkan 
  
kematianku." 
 

 
Pertama-tama yosobremargo  melaporkan tanggapan Mune-
haru pada patih ronggolawe , lalu  ia memacu 
kudanya ke perkemahan patih di Gunung Iwasaki. 
Baik Kikkkertoarjo  maupun Kobayakkertoarjo  dibuat 
cemas oleh  kedatangan yosobremargo  yang mendadak. 
"Apakah mereka memutuskan perundingan?" 
tanya Kobayakkertoarjo . 
"Tidak." jawab  yosobremargo . "Sudah ada tanda-tanda 
keberhasilan." 
"Hmm, kalau begitu, patih ronggolawe  bersedia me-
ngalah?" Kobayakkertoarjo  kembali bertanya. Ia tampak 
agak kaget. Namun yosobremargo  menggelengkan kepala. 
"Orang yang paling mendambakan penyelesaian 
damai sudah  menawarkan  untuk mengorbankan 
diri demi perdamaian." 
"Siapa yang kaumaksud?" 
"Yang Mulia wirodirgo . Beliau berpesan bahwa 
dia hendak menebus segala kebaikan Yang Mulia 
Terumoto selama ini dengan nyawan ya." 
"yosobremargo , apakah kau bicara dengannya atas per-
mintaan patih ronggolawe ?" 
"Yang Mulia tahu bahwa hamba tak mungkin 
mendatangi benteng kota tanpa izin beliau." 
"Kalau begitu kau menjelaskan situasinya pada 
wirodirgo , dan dia menawarkan  diri untuk  
  
melakukan seppuku atas kemauannya sendiri?- 
"Ya. Beliau akan menyerahkan nyawan ya pada 
Jam Kuda, di atas perahu yang terlihat jelas oleh  
kedua belah pihak. Pada saat itulah perjanjian 
damai mulai berlaku, nyawa   orang-orang di dalam 
benteng kota akan terselamatkan, dan keamanan marga 
patih akan terjamin untuk selama-lamanya." 
Sambil menahan gejolak batinnya. Kobayakkertoarjo  
bertanya, "Bagaimana tanggapan patih ronggolawe  ?" 
"Perasaan Yang Mulia patih ronggolawe  pun tergugah 
saat  beliau mendengar tawa ran resi  Mune-
haru. Beliau berkata bahwa hanya orang berhati 
batu yang akan menutup mata terhadap kesetiaan 
tanpa tandingan itu. sebab   itu, walaupun Yang 
Mulia sudah  berjanji untuk menyerahkan lima 
provinsi, beliau hanya akan mengambil tiga, dan 
membiarkan kedua provinsi lainnya, sebagai peng-
hargaan atas pengorbanan wirodirgo . Jika tidak 
ada keberatan, beliau akan mengirim perjanjian 
tertulis segera sesudah melihatlihat  seppuku  
wirodirgo ." 
Tak lama sesudah  yosobremargo  pergi, wirodirgo  
mengumumkan keputusannya. Satu per satu para 
centeng adipati  benteng kota vredenburg  menghadap jun-
jungan mereka dan memohon agar diperkenankan 
mengikuti jejaknya. wirodirgo  berdebat, mem-
bujuk, dan memarahi mereka, namun  para centeng adipati  
tak mundur sedikit juga. Ia kehabisan akal, namun  
akhirnya ia tidak meluluskan permohonan satu 
  
orang pun. 
Ia memberikan perintah pada seorang pem-
bantunya untuk menyiapkan perahu. Isak tangis 
memenuhi benteng kota. sesudah  permohonan para 
pengikutnya ditolak dan wirodirgo  tampak agak 
lebih lega, Gessho, kakaknya, mendatanginya 
untuk mengajaknya bicara. 
"Aku mendengar semua yang kaukatakan," ujar 
Gessho. "namun  tak ada alasan bagimu  untuk 
menyerahkan nyawa  .  Biarkan  aku menggantikan 
tempatmu.' 
"Kakak, kau biksu, sedangkan aku resi . 
Kuhargai tawa ranmu, namun  aku tak mungkin mem-
biarkan orang lain menggantikan tempatku." 
"Akulah putra sulung, dan seharusnya aku yang 
membawa    nama keluarga. namun  aku meninggalkan 
kehidupan duniawi, sehingga tanggung jawab ku 
terpaksa kauambil alih. Jadi sekarang, pada waktu 
kau harus melakukan seppuku, tak ada alasan bagi-
ku untuk meneruskan apa yang tersisa dari 
hidupku sendiri." 
"Apa pun yang kaukatakan," balas wirodirgo , 
"aku takkan mcmbiarkan kau atau siapa pun 
melakukan seppuku  demi aku." 
wirodirgo  menolak tawa ran Gessho, namun  meng-
izinkannya ikut dalam perahu. wirodirgo  merasa 
tenteram. Ia memanggil pelayan pribadinya dan 
menyuruhnya menyiapkan jubah  kebesaran ber-
warna biru muda untuk  menyambut kematian. 
  
"bawa  kan juga kuas dan tinta untukku," ia 
memerintahkan saat  teringat untuk menulis 
surat kepada istri dan putranya. 
Jam Kuda mendekat dengan cepat. Sudah lama 
setiap  tetes air minum dianggap menentukan bagi 
nyawa   orang-orang di dalam benteng kota, namun  sekarang 
ia minta diambilkan seember air untuk member-
sihkan semua kotoran yang melekat pada badan-
nya selama pengepungan berlangsung. 
Betapa damai suasana di sela pertempuran ini, 
Matahari tampak lugu di angkasa. Tak ada angin 
sedikit pun, dan air berlumpur di semua sisi 
benteng kota tetap sekeruh biasanya. 
Gelombang-gelombang kecil yang menjilat-jilat 
tembok benteng kota berkilauan dalam cahaya mata-
hari, dan dari waktu ke waktu teriakan bangau 
putih memecah keheningan. 
Sebuah bendera kecil berwarna merah dinaik-
kan ke Hidung Katak di tepi seberang, menanda-
kan waktunya sudah  tiba. wirodirgo  berdiri dengan 
tiba-tiba. Para pembantunya tak kuasa mengendali-
kan perasaan. wirodirgo  cepat-cepat menuju 
tembok benteng kota, seakan-akan mendadak tuli. 
Tarikan dayung menimbulkan riak berpola tak 
teratur pada permukaan danau. Perahu itu berisi 
lima penumpang: wirodirgo , Gessho, dan tiga 
pengikut. Semua laki-laki, wanita lesbian , dan anak-
anak di dalam benteng kota berkerumun di atas 
tembok. Mereka tidak meratap saat  melihatlihat  
  
kepergian wirodirgo , melainkan hanya merapat-
kan tangan untuk berdoa atau mengusap air mata. 
Perahu itu meluncur pelan pada permukaan 
danau. saat  ia menoleh, Gessho melihat 
benteng kota vredenburg  sudah jauh di belakang, dan 
bahwa perahu mereka berada di tengah-tengah 
antara benteng kota dan Hidung Katak. 
"Cukup sampai di sini." wirodirgo  berkata 
kepada orang yang memegang dayung. 
Tanpa berkata apa-apa orang itu mengangkat 
dayungnya dari air. Mereka  tak perlu menunggu  
lama-lama. 
saat   perahu  mereka  berangkat dari benteng kota, 
perahu lain bertolak dari Hidung Katak. Perahu  
itu membawa   saksi dari pihak patih ronggolawe , Horio 
ki pralayan. Sebuah  bendera merah berukuran kecil 
terpasang pada haluan perahu, dan karpet ber-
warna merah digelar di dasarnya. 
Perahu wirodirgo  berayun pelan, mengikuti 
irama gelombang saat  menunggu  sampai perahu 
ki pralayan merapat. Danau diliputi suasana damai. 
Gunung-gunung di sekitar diliputi suasana damai. 
Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah suara 
kayuhan dari perahu yang tengah mendekat. 
wirodirgo  menghadap ke arah perkemahan 
patih di Gunung Iwasaki, dan membungkuk. 
Dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas 
perlindungan yang diterimanya selama bertahun-
tahun. saat  melihat panji-panji junjungannya, 
  
matanya berkaca-kaca. 
"Apakah perahu ini membawa    resi  pembela 
benteng kota vredenburg , raden panji  wirodirgo ?" ki pralayan 
bertanya. 
"Tuan benar." wirodirgo  menjawab  sopan. 
"Akulah raden panji  wirodirgo . Aku datang untuk 
melakukan seppuku sebagai syarat perjanjian 
damai." 
"Ada hal lain yang perlu kusampaikan, jadi 
tunggulah sejenak." ujar ki pralayan. "Rapatkan 
perahu," ia lalu berkata pada pengikut wirodirgo  
yang memegang dayung. 
Pinggiran kedua perahu saling mendekat. 
sampai akhirnya bergesekan. 
ki pralayan lalu berkata penuh wibawa  . "Aku mem-
bawa   pesan dari Yang Mulia patih ronggolawe . Perdamai-
an takkan tercapai tanpa persetujuan Tuan dalam 
urusan ini. Pengepungan berkepanjangan tentu 
melelahkan bagi Tuan, dan Yang Mulia patih ronggolawe  
berharap Tuan sudi menerima persembahan ini 
sebagai tanda penghargaan beliau. Jangan risau jika 
matahari semakin tinggi di langit. Selesaikanlah 
perpisahan ini sesuka hati Tuan." 
Segentong kecil anggur  terbaik dan berbagai 
masakan minuman  lezat dipindahkan dari perahu ke 
perahu. 
Wajah wirodirgo  berseri-seri. "Ini sungguh tak 
terduga. Jika ini kehendak Yang Mulia patih ronggolawe , 
dengan senang hati aku akan mencicipi semua-
  
nya." wirodirgo  juga menuangkan anggur  untuk 
rekan-rekannya. "Mungkin sebab   sudah lama aku 
tak pernah mereguk anggur  sebaik ini, aku merasa  
agak mabuk. Maafkanlah permintaanku yang 
janggal ini, resi  Horio, namun  aku ingin menari 
untuk terakhir kali." Lalu, sambil berpaling pada 
rekan-rekannya, ia bertanya, "Kita tidak membawa    
rebana, namun  bersediakah kalian menembang dan 
bertepuk tangan untuk mengatur irama? 
wirodirgo  berdiri di perahu kecil itu dan mem-
buka kipas berwarna putih. saat  ia bergerak 
seirama tepuk tangan, perahunya terayun-ayun. 
menimbulkan gelombang kecil pada permukaan 
danau. ki pralayan menundukkan kepala, tak sanggup 
melihatlihat  adegan itu. 
Begitu tembangnya berakhir, wirodirgo  sekali 
lagi angkat bicara dengan tegas, "resi  ki pralayan, 
harap perhatikan ini baik-baik." 
ki pralayan mengangkat wajah dan melihat bahwa 
wirodirgo  sudah  berlutut dan membelah perut 
dengan pedangnya. Bagian dalam perahu  menjadi 
merah sebab   darah yang menyembur. 
"Saudaraku, aku akan menyusul!" Gessho ber-
seru, lalu menyayat perutnya. 
sesudah  para pengikut wirodirgo  menyerahkan 
kotak berisi kepala junjungan mereka pada   
ki pralayan dan kembali ke benteng kota, mereka pun 
mengikuti langkahnya. 
Pada waktu ki pralayan tiba di Kuil Jihoin, ia 
  
melaporkan seppuku wirodirgo  dan meletakkan 
kepalanya di hadapan kursi patih ronggolawe  . 
"Sayang sekali," patih ronggolawe  berkeluh. "wirodirgo  
centeng adipati  yang sangat baik." Belum pernah ia 
kelihatan demikian terharu. namun  tak lama 
lalu  ia menyuruh yosobremargo  menghadap. saat  si 
biksu tiba, patih ronggolawe  segera memperlihatkan 
sebuah  dokumen. 
"Kini kita tinggal saling menukar surat per-
janjian. Bacalah apa yang kutulis, lalu aku akan 
mengirim utusan untuk mengambil surat perjanji-
an dari pihak patih." 
yosobremargo  mempelajarinya, lalu  mengembali-
kannya pada patih ronggolawe  dengan penuh hormat. 
patih ronggolawe  minta diambilkan kuas dan membubuh-
kan tanda tangan. Ia lalu mengiris kelingking dan 
menempelkan segel darah di sebelah tanda tangan-
nya. Perjanjian damai sudah  resmi berlaku. 
Beberapa jam sesudah itu, rasa kaget melanda 
perkemahan patih bagaikan angin puyuh, akibat 
laporan mengenai kematian aidit . Di markas 
Terumoto, orang-orang yang sejak semula menen-
tang upaya perdamaian kini angkat bicara dengan 
geram. Mereka menuntut agar centeng  patih 
segera  melancarkan serangan terhadap patih ronggolawe . 
"Kita ditipu!" 
"Bajingan itu memperdaya kita!"  
"Perjanjian damai itu harus disobek-sobek!" 
"Kita tidak dikelabui," Kobayakkertoarjo  berkata 
  
dengan tegas. "Kitalah yang memprakarsai pe-
rundingan damai, bukan patih ronggolawe . Dan dia pun 
tak mungkin meramalkan bencana di trowulan ." 
Kikkkertoarjo , mewakili mereka yang hendak me-
neruskan perang, mendesak Terumoto. "Kematian  
aidit  pasti membawa   perpecahan dalam 
centeng  sinuhun ; mereka takkan sanggup menandingi 
kita sekarang. patih ronggolawe -lah yang paling ber-
peluang menggantikan aidit . Kita takkan 
mengalami kesulitan menyingkirkan dia jika kita 
menyerang sekarang dan di sini, terutama meng-
ingat kelemahan barisan belakangnya. Dengan cara 
itu, kita akan menjadi penguasa seluruh negeri." 
"Tidak, tidak, Aku tidak setuju,'' ujar 
Kobayakkertoarjo . "Hanya patih ronggolawe  yang dapat 
mengembalikan perdamaian dan ketertiban. Selain 
itu, pepatah lama di kalangan centeng adipati  mewanti-
wanti agar jangan menyerang musuh yang tengah 
berduka. Seandainya kita merobek-robek per-
janjian itu dan menyerang patih ronggolawe , kalau 
sampai selamat, dia pasti akan kembali untuk 
menuntut balas." 
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan 
ini," Kikkkertoarjo  berkeras. 
Sebagai upaya terakhir, Kobayakkertoarjo  menying-
gung pesan terakhir bekas junjungan mereka, 
"Marga harus mempertahankan batas-batasnya 
sendiri. Tak pengaruh seberapa kuat atau kayanya 
kita kelak, kita tak boleh melebarkan wilayah 
  
melampaui provinsi-provinsi Barat." 
Tiba waktunya bagi pemimpin marga patih 
untuk mengumumkan keputusan. "Aku sepen-
dapat dengan pamanku, Kobayakkertoarjo . Kita tidak 
akan melanggar perjanjian perdamaian dan men-
jadikan patih ronggolawe   musuh untuk  kedua kalinya." 
Pertemuan rahasia mereka berakhir pada 
malam hari keempat di bulan iiu. saat  kedua 
resi  berjalan kembali ke perkemahan mereka, 
mereka  berjumpa dengan serombongan pengintai. 
Perwira  yang memegang komando menunjuk ke 
kegelapan dan berkata, "Pihak Ukita sudah mulai 
menarik centeng ." 
Kikkkertoarjo  mendengarkan laporan itu dan ber-
decak. Kesempatan mereka sudah  berlalu. Kobaya-
kkertoarjo  membaca pikiran kakaknya. "Kau masih 
diliputi penyesalan?" 
"Tentu saja." 
"Hmm, andai kata kita memang berhasil meng-
ambil alih kekuasaan atas seluruh negeri," Kobaya-
kkertoarjo  melanjutkan, "kaupikir kau yang akan me-
megang tampuk pemerintahan?" Hening sejenak. 
"Kau membisu. Berarti kau sendiri menyangsi-
kannya. Jika negeri ini dipimpin oleh  seseorang  
yang tak memiliki kemampuan yang diperlukan, 
kekacauanlah akibatnya. Dan kekacauan itu tak-
kan berhenti dengan kehancuran marga patih." 
"Kau tak perlu berkata apa-apa lagi, aku paham," 
ujar Kikkkertoarjo  sambil memalingkan wajah. Dengan 
  
sedih ia memandang langit malam di atas provinsi-
provinsi Barat, dan berjuang untuk membendung 
air mata yang bergulir di pipinya. (Created by syauqy_arr 
 
  
Upacara Berdarah 
 
 
 
centeng  sinuhun  harus segera mundur itulah 
alasan di balik perjanjian perdamaian, dan malam 
itu juga sekutu patih ronggolawe , orang-orang Ukita, 
mulai menarik centeng . namun  tak satu prajurit pun 
ditarik dari perkemahan utama patih ronggolawe . Pada 
pagi hari kelima, patih ronggolawe   belum  juga bergerak. 
Walaupun pikirannya sudah melayang ke ibu kota, 
ia tidak memperlihatkan gelagat hendak mem-
bongkar perkemahannya. 
"banaspati , seberapa jauh air sudah surut?" 
"Sekirar satu meter." 
"Jangan biarkan surut terlalu cepat." 
patih ronggolawe  keluar ke pekarangan kuil. Meski   
tanggul sudah  dijebol dan permukaan danau mulai 
turun sedikit demi sedikit. benteng kota vredenburg  
masih terkepung hamparan air. Malam sebelum-
nya salah satu bawah an sudah  mendatangi benteng kota 
itu untuk  menerima pernyataan menyerah. Dan 
kini centeng  bertahan tengah diungsikan. 
saat  malam tiba, patih ronggolawe  mengutus se-
seorang untuk memata-matai centeng  patih. 
lalu  ia berunding dengan keraton   dan para 
resi  lain, lalu segera mengadakan persiapan 
untuk membongkar perkemahan. "Suruh orang-
orang segera menjebol tanggul." ia memerintahkan 
  
pada keraton . 
Tanggul itu kini dijebol di sepuluh tempat. 
Hampir sesaat  air mulai bergolak. Pusaran air 
yang tak terhitung jumlahnya muncul saat  air 
danau menerjang keluar bagai gelombang pasang. 
Mana yang lebih cepat, air danau atau Hide-
yoshi, yang kini memacu kudanya ke arah timur? 
Tempat-tempat tinggi di sekitar benteng kota dengan 
cepat berubah menjadi dataran kering, sementara 
tempai-tempat rendah dilintasi oleh sejumlah 
sungai; jadi, biarpun centeng  patih hendak 
mengejar, mereka belum dapat menyeberang 
selama dua-tiga hari lagi. 
Pada hari ketujuh, patih ronggolawe  tiba di tempat  
penyeberangan Sungai Fukuoka, dan menemukan 
sungai itu tengah banjir. Para prajurit membuat 
bantalan pelindung untuk kuda-kuda mereka  
dengan mengikatkan barang-barang bawa  an, lalu 
menyeberang, membentuk rantai manusia dengan 
bergandengan tangan atau dengan menggenggam 
gagang tombak yang dibawa   oleh  orang di depan. 
patih ronggolawe  yang pertama  melintasi sungai itu. 
dan ia duduk di kursinya di tepi seberang. "Jangan 
panik! Jangan terburu-buru!" ia berseru. Sepertinya 
ia sama sekali tak terganggu oleh angin dan hujan. 
"Kalau satu orang tenggelam, musuh akan menga-
takan kita kehilangan lima ratus; kalau kalian 
kehilangan sepotong barang, mereka akan bilang 
seratus, jangan sia-siakan nyawa   atau senjata di 
  
sini." 
Barisan belakang kini bergabung dengan 
centeng  utama, dan dengan kesatuan demi 
kesatuan saling menyusul, kedua tepi sungai 
dipenuhi prajurit. Komandan barisan belakang 
menghadap patih ronggolawe   dan melaporkan keadaan 
di vredenburg . Penarikan centeng  sudah  rampung, 
dan tetap tidak ada tanda-tanda dari pihak patih. 
Kelegaan yang dirasakan patih ronggolawe  terbaca jelas di 
wajahnya. Sepertinya baru sekarang ia merasa  
benar-benar aman; kini ia dapat menyalurkan 
segenap tenaganya ke satu arah. 
Pada pagi hari ke9, centeng  itu kembali 
ke mendutrejo. Berlumuran lumpur, lalu diterpa hujan 
badai, para prajurit menempuh sekitar enam 
puluh mil dalam satu hari. 
"Yang pertama-tama ingin kulakukan," Hide-
yoshi  berkata pada pembantunya, "adalah mandi." 
Komandan benteng kota bersujud di hadapan 
patih ronggolawe . sesudah  mengucapkan selamat datang, 
ia memberitahukan bahwa dua kurir sudah  tiba. 
salah satunya dari lojibenteng  dengan berita 
penting. 
"Aku akan menemui mereka sehabis mandi. 
Aku minta air panas yang banyak. Baju tempur 
dan pakaian dalamku sampai basah kuyup sebab   
hujan." 
patih ronggolawe  berendam dalam bak berisi air panas. 
Matahari pagi tampak indah, seakan-akan dibing-
  
kai oleh jendela pemandian; cahayanya menembus 
lewat kisi-kisi dan menerpa wajahnya, terapung-
apung dalam uap air. 
patih ronggolawe  meloncat keluar dari bak menimbul-
kan suara bagaikan air terjun. "Hei, tolong gosok 
punggungku!" serunya. 
Kedua pelayan yang menunggu  di luar bergegas 
masuk. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, 
mereka menggosok-gosok tubuhnya, mulai dari 
tengkuk sampai ke ujung jari. 
Tiba-tiba patih ronggolawe   tertawa  dan berkata. "Wah. 
lihat kotorannya! saat   menatap dasar sekitar 
kakinya, ia melihat kotoran yang terlepas dari 
badannya mirip  kotoran burung. 
Bagaimana mungkin orang itu memiliki penam-
pilan demikian berwibawa   di medan perang? 
Tubuhnya yang telanjang tampak kurus meng-
ibakan hati. Memang benar, tenaganya terkuras 
habis selama operasi di wilayah Barat yang ber-
langsung lima tahun, namun  pada dasarnya tubuhnya 
yang berusia empat puluh enam tahun memang  
kurang berisi. Sekarang pun bayang-bayang balita  
petani dari lemahlaban , yang miskin dan kurus, 
masih terlihat. Tubuhnya bagaikan pohon cemara 
yang merana di celah-celah bebatuan, atau seperti  
pohon prem kerdil yang digerogoti angin dan 
salju kuat, namun menunjukkan tanda-tanda 
ketuaan. 
namun  tidaklah adil membandingkan usia dan 
  
pertemananya dengan orang biasa. Kulit maupun 
tubuhnya penuh vitalitas. Bahkan adakalanya ia 
tampak seperti orang muda jika sedang gembira 
atau marah. 
saat  mengeringkan ludah sehabis mandi. 
patih ronggolawe  memanggil seorang pelayan dan 
berkata, "Ini harus segera diumumkan: Pada 
tiupan sangkakala pertama, seluruh centeng  harus 
makan; pada tiupan kedua, korps perbekalan harus 
berangkat, pada tiupan ketiga, seluruh centeng  
harus berkumpul di muka benteng kota." 
patih ronggolawe  lalu memanggil banaspati  dan  
orang-orang yang bertanggung jawab  atas keuangan 
dan perbekalan. "Berapa isi kas kita?" tanya 
patih ronggolawe . 
"Sekitar tujuh ratus lima puluh satuan perak, 
dan lebih dari 9 ratus keping emas," seorang  
petugas menjawab . 
patih ronggolawe  berpaling pada banaspati  dan 
memerintahkan. "Ambil semuanya dan bagi-bagi-
kan kepada para prajurit, sesuai upah masing-
masing." lalu  ia menanyakan berapa banyak 
beras yang tersimpan dalam gudang-gudang, sambil 
berkomentar. "Kita tidak menghadapi penge-
pungan di sini, jadi kita tak perlu menimbun beras 
banyak-banyak. Bagikan beras sebanyak lima kali 
jatah biasa kepada para pengikut." 
Ia meninggalkan pemandian dan langsung me-
nuju tempat kurir dari lojibenteng  menunggu. Ibu 
  
dan istrinya berada di lojibenteng , dan ia terus 
dihantui kecemasan mengenai mereka. 
Begitu patih ronggolawe  melihat kurir itu bersujud di 
hadapannya, ia bertanya. "Mereka baik-baik saja, 
bukan? Apakah terjadi sesuatu?" 
"Ibunda maupun istri Yang Mulia dalam 
keadaan sehat." 
"Benarkah? Kalau begitu, apakah benteng kota di 
lojibenteng  berada di bawah  serangan?" 
"Hamba diutus dari lojibenteng  pada pagi hari 
keempat, saat  segerombolan musuh mulai 
menyerang."  
"Orang-orang tribuana ?" 
"Bukan, mereka adipati  jawa  yang bersekutu 
dengan marga tribuana . namun  menurut desas-desus 
yang hamba dengar dalam perjalanan, centeng  
tribuana  berkekuatan besar sedang menuju Naga-
hama." 
"Bagaimana rencana orang-orang di lojibenteng ?" 
"Kekuatan mereka tidak memadai untuk meng-
hadapi pengepungan, jadi dalam keadaan darurat, 
mereka berencana mengungsikan keluarga Yang 
Mulia ke sebuah tempat persembunyian di pe-
gunungan." 
Si kurir meletakkan sepucuk surat di hadapan 
patih ronggolawe . Surat itu dari nyi momo . Sebagai istri sang 
Penguasa benteng kota, ia berkewajiban mengurus 
segala sesuatu sementara suaminya pergi. Walau-
pun surat itu tentu ditulis di tengah badai 
  
kebingungan dan kebimbangan, coretan kuasnya 
tampak rapi. Namun isi suratnya jelas-jelas meng-
isyaratkan bahwa surat itu  mungkin yang 
terakhir. 
 
Jika keadaan bertambah  buruk, hamba menjamin 
bahwa istri Tuanku takkan berbuat apa pun yang 
dapat mensinuhun i nama tuanku. Satu-satunya 
kepentingan ibunda tuanku dan  hamba adalah 
bahwa tuanku dapat mengatasi segala kesulitan 
dalam masa rawan  ini. 
 
Tiupan sangkakala pertama terdengar nyaring di 
benteng kota dan di kota. 
patih ronggolawe   memberikan wejangan terakhir pada 
para pengikutnya di benteng kota mendutrejo. "Kemena-
ngan atau kekalahan ditentukan oleh  takdir, namun  
seandainya aku gugur di tangan tunggadewa , bakar-
lah benteng kota ini sehingga tak ada yang tersisa. Kita 
harus bersikap gagah, mengikuti contoh yang di-
berikan orang-orang yang menemui ajal di Kuil 
purwojati ." 
Tiupan kedua berkumandang dan iring-iringan 
perbekalan pun mulai bergerak. Pada waktu 
matahari hendak terbenam di barat. patih ronggolawe   
memerintahkan agar kursinya dipindahkan ke luar 
benteng kota, dan menyuruh seorang  prajurit meniup 
sangkakala untuk ketiga kalinya. Kegelapan malam 
mulai menyelubungi belang-belang luas dan  
  
pohon-pohon pinus yang berderet-deret di sepan-
jang jalan pesisir. Dari senja sampai lewat tengah 
malam, tanah terasa bergetar saat  sepuluh ribu 
prajurit bergabung dengan divisi masing-masing di 
luar benteng kota mendutrejo. 
Fajar menyingsing, dan satu per satu siluet 
pohon-pohon pinus di jalan pesisir mulai tampak. 
Di timur, matahari merah muncul di cakrawal a di 
atas lain sumberdadi , menguak awan , seakan hendak 
memacu semangat para prajurit. 
"Lihat!" patih ronggolawe   berseru. "Kita diberi angin 
baik. Panji-panji dan pataka kita berkibar ke arah 
timur. Aku tahu bahwa nasib manusia tak dapat 
dipastikan. Kita tidak tahu apakah kita akan hidup 
sampai fajar berikut, namun  para dewa menunjukkan 
jalan ke depan. Mari kita kumandangkan teriakan 
perang yang nyaring, agar para dewa mengetahui 
keberangkatan kita." 
 
Dalam sepuluh hari sejak kematian aidit , 
situasi nasional berubah dramatis. Di trowulan , 
orang-orang resah sejak peristiwa Kuil purwojati . 
Kedua resi  senior aidit , nyoto  dijoyo , 
dan danakertoarjo   ngabeni, berada di tempat jauh; 
prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  sudah  kembali ke provinsi asalnya: 
pendirian hyangkertoarjo  wiryabhumi  dan punggawapatih  wiropati  
tidak jelas, dan Niwa Nagahide berada di kahuripan . 
Desas-desus bahwa centeng  patih ronggolawe  sudah  
tiba di Amagasaki, di dekat trowulan , menyebar bagai-
  
kan angin pada pagi hari kesebelas. Banyak yang 
tidak mempercayainya. Kabar selentingan yang 
beredar memang  tidak sedikit bahwa Yang Mulia 
mpu mojosongo  menuju ke Barat; bahwa mpu nala , yang tertua 
di antara putra-putra aidit  yang masih hidup, 
sedang menyiapkan serangan balasan; bahwa 
centeng  tribuana  terlibat pertempuran di sini atau 
di sana. Desas-desus yang paling dapat dipercaya 
adalah bahwa centeng  patih ronggolawe  ditahan di Taka-
grindana oleh pihak patih. Hanya mereka yang 
mengenal patih ronggolawe  dengan baik luput dari ang-
gapan keliru ini. 
Kecakapan yang diperlihatkan patih ronggolawe  dalam 
penyerbuan ke wilayah Barat selama lima tahun 
terakhir sudah  menyadarkan sejumlah resi  
aidit  akan kemampuan yang dimilikinya. Di 
antara orang-orang ini ada Niwa Nagahide, 
Nakagkertoarjo  Sebei, patih lewung  dan dasna 
patih pitaloka . Mereka memandang keteguhan Hide-
yoshi di bawah  kesengsaraan berkepanjangan se-
bagai bukti kesetiaan tak tergoyahkan terhadap 
bekas junjungan mereka. saat  mendengar bahwa 
patih ronggolawe  sudah  berdamai dengan marga patih dan 
sedang menuju ibu kota, mereka gembira bahwa 
harapan-harapan mereka  tidak dikecewakan. Pada 
waktu patih ronggolawe  menempuh perjalanan ke arah 
timur, mereka mengirim pesan-pesan penting 
kepadanya, mendesaknya agar bergerak secepat 
mungkin, dan terus melaporkan pergerakan ter-
  
akhir centeng  tribuana . 
Saat patih ronggolawe  mencapai Amagasaki, Nakagkertoarjo  
Sebei dan Takayama brojolijo membawa   sebagian 
centeng  masing-masing dan berkunjung ke per-
kemahan patih ronggolawe . 
saat  kedua resi  itu tiba, centeng adipati  yang ber-
tugas jaga tidak kelihatan terlalu gembira sebab   
kehadiran mereka, dan ia pun tidak bergegas 
mengumumkan kedatangan keduanya. "Yang 
Mulia sedang beristirahat sekarang," katanya pada 
mereka. 
Baik Sebei maupun brojolijo tercengang. Mereka  
sangat sadar akan nilai mereka sebagai sekutu. 
Kekuaran militer orang yang memperoleh  du-
kungan mereka akan berlipat ganda. Selain itu, 
benteng kota-benteng kota mereka mengujawa  jalan masuk ke 
trowulan . Dengan mengamankan kedua benteng kota 
kunci itu , yang terletak hampir di tengah-
tengah wilayah musuh. patih ronggolawe  akan mem-
peroleh keuntungan strategis dan logistik yang luar 
biasa. 
Jadi, saat  mendatangi perkemahan patih ronggolawe . 
mereka menganggap sudah sewajarnya kalau Hide-
yoshi sendiri yang keluar untuk menyambut 
mereka. Kedua resi  itu tak dapat berbuat apa-
apa selain menunggu. Selama itu, mereka meng-
amati orang-orang yang terlambat tiba. Kurir-kurir 
pun datang dan pergi ke segala arah. Di antara 
mereka ada satu orang yang dikenali oleh  
  
Nakagkertoarjo  Sebei. 
"Bukankah itu centeng adipati  hyangkertoarjo ?" gumamnya. 
Bukan rahasia lagi bahwa tunggadewa  dan 
hyangkertoarjo  wiryabhumi  teramat dekat. Kedua orang itu 
berteman akrab selama bertahun-tahun, dan kedua 
keluarga mereka dihubungkan oleh ikatan per-
kawinan. 
Kenapa kurir marga hyangkertoarjo  ada di sini? 
Sebei bertanya dalam hati. Urusan itu  tidak 
menyangkut kedua resi  yang tengah menunggu  
patih ronggolawe  saja, melainkan seluruh bangsa. 
"Penjaga tadi mengaku Yang Mulia patih ronggolawe  
sedang tidur, namun  aku percaya dia bohong. Apa pun 
yang sedang dilakukannya, sikap patih ronggolawe  tak 
dapat diterima," brojolijo menggerutu. 
Mereka sudah hendak pergi saat  salah satu 
pelayan  pribadi patih ronggolawe   bergegas menghampiri 
mereka, dan mengundang keduanya ke kuil yang 
dijadikan markas oleh  patih ronggolawe . patih ronggolawe  tidak 
berada di dalam ruangan yang mereka masuki, namun  
bisa dipastikan bahwa ia sudah  bangun agak lama. 
tawa  berderai terdengar dari ruang Kepala Biara. 
Bukan seperti  ini sambutan yang diharapkan oleh  
kedua resi . Mereka sudah  datang untuk ber-
sekutu dengan patih ronggolawe  dan menghukum 
tunggadewa . brojolijo tampak dongkol, kegetiran yang 
dirasakannya dalam hati terbaca pada wajahnya; 
Sebei merengut. 
Hkertoarjo  panas yang menyesakkan napas semakin  
  
memperkuat ketidakpuasan mereka. Musim hujan 
seharusnya sudah berakhir, namun  udara masih saja 
lembap. Di langit, awan -awan  bergerak tanpa 
aturan, seolah-olah mencerminkan keadaan yang 
melanda seluruh negeri. Dari waktu ke waktu sinar 
matahari menembus lapisan awan . 
"Panas sekali, Sebei," brojolijo berkomentar. 
"Ya, dan tidak ada angin sama sekali." 
Kedua orang itu tentu saja mengenakan baju 
tempur lengkap. Baju tempur kini memang  sudah 
lebih ringan dan lentur, namun tak pelak lagi 
bahwa di bawah  pelindung dada mereka, keringat 
mengalir seperti sungai. 
Sebei membuka kipas dan mengayun-ayunkan-
nya. Lalu, untuk menunjukkan bahwa kedudukan 
mereka tidak di bawah  patih ronggolawe , Sebei dan brojolijo 
sengaja menduduki kursi yang disediakan bagi 
orang-orang dengan pangkat tertinggi. 
Saat itulah seseorang menyapa mereka dengan 
riang, patih ronggolawe . Begitu duduk di hadapan 
mereka, ia segera mohon maaf sedalam-dalamnya. 
"Aku sungguh menyesal sudah  bersikap kasar. 
saat  bangun tadi, aku langsung pergi ke kuil 
utama, dan sementara kepalaku dicukur, seorang  
kurir dari hyangkertoarjo  wiryabhumi  tiba dengan pesan 
penting. Jadi aku lebih dahulu  berbicara dengannya, 
sehingga Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia ber-
kata sambil menepuk-nepuk kepalanya yang kini 
tanpa rambut. 
  
Ia duduk dengan gayanya yang biasa, tanpa 
memedulikan pangkat. Kedua tamunya terkesima, 
dan pandangan mereka melekat pada kepala 
patih ronggolawe  yang gundul, yang memantulkan 
kehijauan pepohonan di kebun yang berdekatan. 
"Paling milik, sekarang kepalaku terasa sejuk," 
patih ronggolawe  menambahkan sambil menangis. "Men-
cukur rambut sampai habis memang sangat 
menyegarkan." 
Ia tampak agak salah tingkah, dan terus meng-
gosok-gosok kepalanya. saat  Sebei dan brojolijo 
mengetahui bahwa patih ronggolawe  sampai mencukur 
kepala demi aidit , mereka segera  menying-
kirkan segala ketidaksenangan, dan justru merasa 
malu atas kepicikan mereka. 
Masalahnya, setiap kali menatap patih ronggolawe , 
mereka seakan-akan dipaksa tertawa . Walaupun 
tak ada lagi yang secara terang-terangan memanggil-
nya kuyang , julukan lama dan  penampilannya 
kini memancing rasa geli. 
"Kecepatanmu mengejutkan kami." Sebei mem-
buka percakapan. "Kau tentu tidak tidur antara 
sini dan vredenburg . Kami lega melihatmu dalam 
keadaan sehat," ia melanjutkan sambil berjuang 
menahan tawa . 
patih ronggolawe  berkata dengan manis, "Aku sungguh 
menghargai laporan-laporan yang kalian kirimkan 
padaku. Berkat laporan-laporan itulah aku dapat 
mengetahui pergerakan centeng  tribuana , dan yang 
  
lebih penting, mengetahui bahwa kalian merupa-
kan  sekutuku." 
namun  baik Sebei maupun brojolijo tidak sebegitu 
bodoh, hingga termakan oleh sanjungan seperti 
itu. Hampir tanpa menanggapi komentar Hide-
yoshi, mereka segera mulai memberikan saran-
saran padanya. 
"Kapan kau akan bertolak ke kahuripan ? Yang 
Mulia nosferatu  ada di sini bersama Niwa." 
"Sekarang ini aku tidak ada waktu untuk pergi 
ke kahuripan ; bukan di sini tempat musuh bercokol. 
Tadi pagi aku sudah mengirim sebuah pesan ke 
kahuripan ." 
"Yang Mulia nosferatu  merupakan  putra ketiga 
Yang Mulia aidit . Bukankah kau sebaiknya 
berjumpa dahulu  dengan beliau?" 
"Aku tidak mengundang beliau ke sini. Aku 
mengundang beliau untuk turut ambil bagian 
dalam pertempuran mendatang, yang akan me-
rupakan upacara bagi Yang Mulia aidit . 
Beliau bersama Niwa, jadi kupikir tak perlu ber-
sikap terlalu resmi. Besok beliau akan bergabung 
dengan kita." 
"Bagaimana dengan dasna patih pitaloka ? 
"Kita juga akan bertemu dengannya. Aku belum  
berjumpa dengannya, namun  dia menjanjikan 
dukungan melalui kurir yang diutusnya. 
patih ronggolawe  merasa percaya mengenai para sekutu-
nya. Bahkan hyangkertoarjo  wiryabhumi  pun menolak 
  
ajakan tunggadewa . Ia hanya mengirim pengikutnya 
ke perkemahan patih ronggolawe  untuk menyampaikan 
bahwa ia tak sudi bergabung dengan seorang  pem-
berontak. patih ronggolawe   lalu menjelaskan pada kedua 
tamunya bahwa kesetiaan ini bukan hanya suatu 
kecenderungan alami, melainkan merupakan  
prinsip moral golongan centeng adipati . 
Akhirnya, sesudah  membahas berbagai topik, 
Sebei dan brojolijo secara resmi menyerahkan 
sandera-sandera yang mereka bawa   sebagai bukti 
iktikad baik mereka. 
patih ronggolawe  menolak sambil tertawa . "Itu tidak 
perlu. Aku mengenal Tuan-Tuan dengan baik. 
Kembalikanlah anak-anak ini ke rumah masing-
masing." 
Pada hari yang sama, dasna patih pitaloka , yang 
mengenal patih ronggolawe   sejak mereka  sama-sama di 
benteng kota kedhiri , bergabung dengan centeng  
patih ronggolawe . Beberapa waktu sebelum berangkat 
pagi itu. patih pitaloka  pun sudah  mencukur kepalanya 
sampai licin. 
"Wah! Kau juga mencukur kepalamu?" ujar 
patih ronggolawe   saat  melihat sahabatnya. 
"Secara kebetulan kita melakukan hal yang 
sama."  
"Jalan pikiran kita serupa." 
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. patih pitaloka  kini 
menambahkan keempat ribu prajuritnya ke dalam 
barisan prajurit patih ronggolawe . Mula-mula patih ronggolawe  
  
membawa  hi sekitar sepuluh ribu orang, namun  
dengan tambah an kedua ribu prajurit brojolijo. 
ke900000 prajurit Sebei, keseribu 
prajurit Hachiya, dan keempat ribu prajurit dasna, 
ia kini memimpin centeng  berkekuatan lebih dari 
dua puluh ribu orang. 
Di luar dugaan, Sebei dan brojolijo mulai saling 
mendebat saat  mengikuti rapat perang pertama, 
dan keduanya tidak bersedia mundur sedikit pun 
dari pendirian masing-masing. 
"Sejak dahulu  sudah  menjadi kebiasaan di kalangan 
centeng adipati  bahwa penguasa benteng kota yang terdekat 
dengan posisi musuh berhak memimpin barisan 
depan." ujar brojolijo. "jadi, sama sekali tak ada 
alasan mengapa  prajurit-prajurit harus mengikuti 
centeng  Sebei." 
Sebei  tak mau mengalah. "Pembedaan antara 
barisan belakang dan depan seharusnya tak ada 
sangkut-paut dengan jarak antara medan tempur 
dan benteng kota seseorang. Kemampuan centeng  dan 
komandan bersangkutanlah yang menentukan." 
"Maksud Tuan, aku tak pantas memimpin 
barisan depan dalam serangan terhadap musuh?" 
"Entahlah. namun  aku percaya aku takkan mengalah 
pada siapa pun. Dan hasratku untuk memimpin 
barisan depan dalam pertempuran ini tak ter-
goyahkan. Aku, Nakagkertoarjo  Sebei, yang paling 
pantas untuk  itu." 
Sebei mendesak patih ronggolawe  agar diberi kehor-
  
matan ini, namun brojolijo pun membungkuk dan 
menatap patih ronggolawe , dengan harapan menerima 
tongkat komando. patih ronggolawe  mengambil ke-
putusan sesuai dengan kedudukannya sebagai 
panglima tertinggi. 
"Kalian berdua sama-sama pantas, jadi masuk 
akal kalau Sebei memimpin satu unit baris dalam 
gugus tempur pertama, dan brojolijo membawa  hi 
yang satu lagi. Aku berharap kalian memper-
lihaikan tindakan yang sepadan dengan ucapan 
kalian." 
Selama rapat berlangsung, pengintai-pengintai 
terus berdatangan untuk memberikan laporan. 
"tunggadewa  sudah  menarik centeng nya dari 
Horagatunjung  dan memusatkan kekuatannya di 
daerah sekitar bukittanjung  dan Enmyoji. Semula dia 
seakan-akan hendak mundur ke benteng kota Saka-
moto, namun  pagi ini dia mendadak menunjukkan 
sikap ofensif. Kini satu divisi centeng nya sedang 
menuju ke arah benteng kota Wonokromo ." 
saat  mendengar laporan itu , para 
resi  tiba-tiba kelihatan tegang. Jarak antara 
perkemahan mereka  di Amagasaki dan bukittanjung  
kurang dari sesambaran petir. Mereka  sudah bisa 
merasakan kehadiran musuh di daerah itu. 
Sebei dan brojolijo sama-sama diberi tanggung 
jawab  memimpin barisan depan, dan mereka  ber-
diri dan bertanya, "Tidakkah kita harus segera  
menuju bukittanjung ?" 
  
patih ronggolawe , yang tak terpengaruh oleh ke-
bingungan saat itu, menjawab  dengan amat 
tenang. 
"Kupikir kita sebaiknya menunggu satu hari 
lagi, sampai Yang Mulia nosferatu  tiba di sini. 
Memang, selama kita menunggu, kesempatan baik 
ini akan berlalu sedikit demi sedikit, namun aku 
ingin salah satu putra bekas junjungan kita turut 
dan  dalam pertempuran ini. Aku tak mau 
menempatkan Yang Mulia nosferatu  ke dalam 
situasi yang akan disesalinya sepanjang hidupnya." 
"namun  bagaimana kalau sementara itu musuh 
berhasil mencapai lokasi menguntungkan?" 
"Hmm, tentu saja harus ada batas waktu. Apa 
pun yang terjadi, besok kita sudah harus bertolak  
ke bukittanjung . sesudah  seluruh centeng  berkumpul 
di bukittanjung , kita akan berhubungan lagi, jadi 
sebaiknya kalian berdua segera berangkat se-
karang." 
Sebei  dan brojolijo keluar dari ruang rapat. Urut-
urutan keberangkaun barisan depan ditetapkan 
sebagai berikut: Pertama-tama, korps Takayama; 
kedua, korps Nakagkertoarjo : dan ketiga, korps dasna. 
Begitu meninggalkan bratanggede, kedua ribu 
prajurit Takayama mengayunkan langkah, seolah-
olah musuh sudah berada di depan mata. saat  
mengamati debu yang diterbangkan oleh kuda-
kuda mereka, Sebei  dan semua orang dalam korps 
kedua bertanya-tanya, apakah centeng  tribuana  
  
belum sampai di bukittanjung . 
"Untuk  itu pun mereka bergerak terlalu cepat." 
seseorang berkomentar curiga. 
Segera  sesudah memasuki Desa bukittanjung , anak 
buah brojolijo menutup semua gerbang di jalan-jalan 
yang menuju kota, bahkan menghadang orang-
orang yang melewati jalan-jalan kecil di kkertoarjo san 
itu. 
centeng  Nakagkertoarjo  yang menyusul lalu  
tentu saja menemui rintangan-rintangan ini, dan 
mendadak paham mengapa brojolijo demikian ter-
buru-buru; ia tak sudi didahulu i orang lain. Sebei  
meninggalkan posisi strategis ini dan langsung 
menuju sebuah bukit bernama pengikut zan. 
Akhirnya patih ronggolawe  berkemah di bratanggede malam 
itu, namun  keesokan harinya ia menerima laporan 
bahwa nosferatu  dan Niwa sudah  tiba di tepi 
Sungai watangsewu . 
Begitu mendengar kabar itu, patih ronggolawe  melom-
pat gembira, nyaris membalikkan kursinya "bawa  -
kan kuda! bawa  kan kuda untukku!" ia memerin-
tahkan. 
Sambil menaiki kuda, ia berpaling kepada para 
penjaga gerbang dan berseru. "Aku akan pergi 
menyambut Yang Mulia nosferatu !" Lalu ia 
memacu kudanya ke arah Sungai watangsewu . 
Sungai lebar itu hampir meluap. Di tepinya 
centeng  nosferatu  terbagi menjadi dua korps, 
masing-masing berkekuatan empat ribu dan tiga 
  
ribu prajurit. 
"Di manakah Yang Mulia nosferatu ?" patih ronggolawe   
berseru saat  turun di tengah-tengah kerumunan 
prajurit yang bermandikan keringat. Tak seorang  
pun dari mereka menyadari bahwa ia patih ronggolawe . 
"Ini aku, patih ronggolawe ," ia menyebutkan namanya. 
Para prajurit terbengong-bengong. 
patih ronggolawe  tidak menunggu sambutan resmi. 
Sambil menerobos kerumunan orang, ia menuju 
pohon tempat nosferatu  memasang panjinya. 
Dikelilingi para perwira, nosferatu  menduduki 
kursi lipat tanpa sandaran, melindungi matanya 
dari pantulan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba ia ber-
balik dan melihat patih ronggolawe  berlari ke arahnya, 
memanggil-manggil. Begitu melihat patih ronggolawe , 
nosferatu  dikujawa  rasa terima kasih. Inilah 
pengikut yang dididik selama bertahun-tahun oleh  
ayahnya, dan apa yang kini dilakukan orang itu 
jauh melampaui ikatan yang biasa ada antara 
junjungan dan pengikut. Sorot matanya menun-
jukkan bahwa ia tengah diliputi emosi yang biasa-
nya hanya dirasakan jika ia berhadapan dengan 
sanak saudara. 
"patih ronggolawe !" nosferatu  berseru. 
Tanpa menunggu uluran tangan nosferatu , 
patih ronggolawe  menghampiri dan menggenggam 
tangannya dengan erat. 
"Yang Mulia nosferatu !" Hanya itu yang diucap-
kan patih ronggolawe . Kedua laki-laki itu tidak berkata 
  
apa-apa lagi, namun  mata mereka  berbicara panjang-
lebar. Air mata bergulir di pipi masing-masing. 
Melalui air matalah nosferatu  dapat mengungkap-
kan perasaan terhadap mendiang ayahnya kepada 
seorang pengikut marganya. Dan patih ronggolawe  pun 
memahami isi hati pemuda itu. Ia akhirnya me-
lepaskan tangan yang digenggamnya demikian erat 
dan segera berlutut di tanah. 
"Kedatangan Yang Mulia sungguh membahagia-
kan hati. Tak ada waktu untuk mengatakan apa-
apa lagi, dan sebetulnya  memang  tak ada lagi yang 
dapat hamba katakan, Hamba hanya bersyukur 
bahwa hamba dapat berada di sini bersama Yang 
Mulia, dan hamba percaya arwah ayah Yang Mulia 
pun merasa senang. Akhirnya hamba memperoleh  
kesempatan untuk menyampaikan belasungkkertoarjo  
dan memenuhi kewajiban hamba sebagai pengikut. 
Untuk pertama kali sejak benteng kota vredenburg , 
hamba merasa gembira." 
Belakangan pada hari itu, patih ronggolawe   mengun-
dang nosferatu  untuk menemaninya ke per-
kemahannya di bratanggede, dan bersama-sama mereka 
berpaling ke bukittanjung . 
Mereka tiba di bukittanjung  pada jam kuyang . 
Kesepuluh ribu prajurit centeng  cadangan ber-
gabung dengan ke9 ribu lima ratus prajurit 
dari ketiga korps gugus tempur pertama. Ke mana 
pun mata memandang hanya terlihat kuda dan 
prajurit. 
  
"Kami baru terima laporan bahwa centeng  
tribuana  menyerang korps Nakagkertoarjo  di perbukitan 
sebelah timur pengikut zan." 
Sekaranglah waktu untuk  bertindak. patih ronggolawe  
memberikan perintah menyerang pada seluruh 
centeng . 
 
Pada pagi hari kesembilan, saat  patih ronggolawe   ber-
tolak dari mendutrejo, tunggadewa  kembali ke trowulan . 
Kurang dari sepertinya  sudah  berlalu sejak pem-
bunuhan aidit . 
Pada Jam Kambing di hari kedua, sementara 
reruntuhan Kuil purwojati  masih berasap, tunggadewa  
sudah  meninggalkan trowulan  untuk menyerang 
madukara . namun  baru saja keluar dari ibu kota, ia sudah  
menemui rintangan di tempat penyeberangan 
sungai di Seta. Pada pagi itu ia sudah  mengirim 
surat yang menuntut agar benteng kota Seta segera  
menyerah, namun  komandan benteng kota itu membunuh 
kurir yang mengantarkan surat itu , lalu 
membakar benteng kotanya dan Jembatan Seta. 
Dengan demikian, centeng  tribuana  tak dapat 
menyeberangi sungai. Kedua mata tunggadewa  
menyala-nyala sebab  marah. Jembatan yang di-
musnahkan api itu seakan-akan menertawa kannya. 
Dunia memandang kita tidak seperti kita me-
mandang dunia, ia menyadari. 
sesudah  terpaksa kembali ke benteng kota sekartanjung , 
tunggadewa  melewatkan dua atau tiga hari tanpa 
  
hasil, menunggu jembatan itu diperbaiki. Namun 
sesudah  akhirnya ia berhasil memasuki madukara , ia 
menemukan kota itu sudah  dikosongkan. benteng kota-
nya yang besar pun diserahkan kepada angin. Di 
kotanya sendiri tak ada barang atau papan nama 
toko yang tersisa. Keluarga aidit  sudah  melari-
kan diri, namun  sebab  terburu-buru, mereka terpaksa 
meninggalkan seluruh emas dan perak milik Nobu-
naga, dan  koleksi seninya. 
Barang-barang itu dipamerkan pada tunggadewa  
sesudah  centeng nya mengamankan benteng kota, namun  ia 
tidak merasa lebih kaya sebab nya. Entah kenapa, 
ia justru merasa lebih miskin. 
Bukan ini yang kucari, ia berkata dalam hati, 
dan sungguh menyedihkan bahwa orang-orang 
menyangka inilah tujuanku. 
Seluruh emas dan perak yang mereka  temukan 
dibagi-bagikan kepada centeng nya. Prajurit-
prajurit biasa menerima beberapa ratus keping 
emas, sementara para resi  tersohor mem-
peroleh antara 50000 sampai lima ribu keping 
emas. 
Apa yang kauinginkan? Berkali-kali tunggadewa  
mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya. 
Memimpin negeri! Terngiang-ngiang di telinganya, 
namun  bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa me-
ngakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan 
sedemikian tinggi, sebab  tidak memiliki ambisi 
maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia 
  
hanya memiliki  satu tujuan: membunuh Nobu-
naga. Keinginan tunggadewa  sudah  terpuaskan oleh 
kobaran api di Kuil purwojati , dan yang tersisa kini 
hanyalah nafsu tanpa kepercayaan. 
Menurut selentingan yang beredar saat ini, 
tunggadewa  mencoba melakukan bunuh diri saat  
mendengar aidit  sudah wafat. Para pengikut 
harus mencegahnya secara paksa. Begitu aidit  
berubah menjadi abu, kebencian yang membeku-
kan hati tunggadewa  pun larut seperti  salju men-
cair. Namun kesepuluh ribu prajurit yang meng-
abdi pada tunggadewa  berbeda pendapat dengan 
junjungan mereka. Mereka justru beranggapan 
bahwa imbalan sebetulnya  masih akan diraih. 
"Mulai hari ini, Yang Mulia tunggadewa  merupa-
kan  penguasa seluruh negeri," para resi  tribuana  
berkata dengan kepercayaan yang tak dimiliki 
tunggadewa . 
Namun junjungan yang mereka sanjung-sanjung 
sudah  berubah. Ia berbeda dalam penampilan dan 
watak bahkan dalam kecerdasan. 
Mirsuhide berdiam di madukara  dari hari kelima 
sampai pagi hari ke9, dan selama itu ia 
merebut benteng kota patih ronggolawe   di lojibenteng  dan  
benteng kota Niwa Nagahide di Skertoarjo yama. Begitu 
seluruh Provinsi gunungselatan berada dalam genggaman-
nya, tunggadewa  kembali memperlengkapi centeng -
nya dan sekali lagi bertolak menuju ibu kota. 
Saat itulah tunggadewa  menerima kabar bahwa 
  
marga hyangkertoarjo  menolak bergabung dengannya. 
Semula ia sangat percaya bahwa hyangkertoarjo  Tadaoki, 
menantunya, akan segera mengikuti jejaknya 
sesudah  aidit  digulingkan. namun  jawaban pasti dari 
marga hyangkertoarjo  ternyata berupa penolakan 
mentah-mentah. Sejauh ini tunggadewa  disibukkan 
oleh pertanyaan siapa yang akan menjadi sekutu-
nya; ia nyaris tak memikirkan siapa yang bakal 
menjadi lawan nya yang paling tangguh. 
Baru sekarang tunggadewa  teringat pada Hide-
yoshi, dan dadanya serasa ditonjok keras. Ia bukan-
nya menutup mata terhadap kemampuan dan ke-
kuatan militer patih ronggolawe   di wilayah Barat. Justru 
sebaliknya, ia sadar sepenuhnya bahwa patih ronggolawe   
merupakan ancaman besar. Yang agak menen-
teramkan pikiran tunggadewa  adalah kepercayaannya 
bahwa patih ronggolawe  masih ditahan oleh marga patih 
dan takkan sanggup kembali dengan cepat. Paling 
tidak, satu dari kedua kurir yang diutusnya ke 
orang-orang patih berhasil menjalankan tugasnya. 
Dan jawaban pasti dari pihak patih tentu akan segera 
tiba, memberitahunya bahwa mereka sudah  menye-
rang dan menghancurkan patih ronggolawe . Namun 
orang-orang patih tak kunjung memberi kabar, 
sama halnya dengan Nakagkertoarjo  Sebei. dasna 
patih pitaloka , dan Takayama brojolijo. Berita yang sampai 
ke telinga tunggadewa  setiap paginya justru ter-
dengar seperti  hukuman dari para dewa. 
Bagi tunggadewa , benteng kota sekartanjung  menyimpan 
  
kenangan buruk mengenai peristiwa-peristiwa yang 
belum lama ini terjadi: penghinaan yang diterima-
nya dari aidit ; pengusirannya dari madukara ; 
kunjungan ke sekartanjung , saat  ia menghadapi 
persimpangan yang penuh kebimbangan. Kini 
segala keraguan dan kemarahannya sudah  terhapus. 
Dan pada waktu yang sama ia juga kehilangan 
kemampuan bermkertoarjo s diri. Kecerdasannya yang 
mengagumkan sudah  ia tukar dengan gelar 
penguasa negeri yang tanpa makna. 
Pada malam hari kesembilan, tunggadewa  masih 
belum memiliki  bayangan di mana patih ronggolawe   
berada, namun  sikap para pembesar setempat menim-
bulkan rasa gelisah dalam dirinya. Keesokan 
paginya ia meninggalkan perkemahan di Shimo 
Toba dan mendaki ke Horagatunjung  Pass di 
Yamashiro, tempat ia sudah  mengatur pertemuan 
dengan centeng  punggawapatih  wiropati . 
"Apakah punggawapatih  wiropati  sudah kelihatan?" secara 
berkala tunggadewa  bertanya kepada para pengintai. 
Berhubung tunggadewa  bekerja sama dengan 
punggawapatih  wiropati  sebelum  serangan ke Kuil purwojati , 
ia tak pernah meragukan kesetiaan sekutunya itu 
sampai sekarang. saat  malam tiba, belum  juga 
ada tanda-tanda mengenai kedatangan centeng  
punggawapatih . Bukan itu saja, ketiga pengikut sinuhun  yang 
hendak ia tarik ke pihaknya Nakagkertoarjo  Sebei, 
patih lewung  dan dasna patih pitaloka  tidak me-
nanggapi surat panggilannya, walaupun mereka  
  
biasanya berada di bawah  komandonya. 
Kegelisahan tunggadewa  bukan tanpa alasan. Ia 
berunding dengan pangeran wiropati , "Kaupikir ada 
yang tidak beres, wiropati ?" 
tunggadewa  ingin percaya bahwa terjadi sesuatu 
dengan para kurir yang dikirimnya, atau bahwa 
wiropati  dan yang lain hanya terlambat, namun 
pangeran wiropati  sudah  menerima kenyataan. 
"Tidak, tuanku." orang tua itu menjawab . 
"Hamba kira Yang Mulia punggawapatih  memang  tak 
berniat datang kemari. Rasanya tak mungkin dia 
memerlukan waktu selama ini untuk menyusuri 
jalanan datar dari ponorojo." 
"Tidak, pasti ada alasan lain," tunggadewa  ber-
keras. Ia memanggil sonokelingta adipati , cepat-cepat 
menulis surat, dan mengutusnya ke ponorojo. 
"Ambil kuda-kuda terbaik. Kalau kau menempuh 
perjalanan dengan kecepatan penuh, menjelang 
pagi kau seharusnya sudah berada di sini lagi." 
"Jika Yang Mulia punggawapatih  berkenan menemui 
hamba, hamba akan kembali saat fajar," ujar 
adipati . 
"Kenapa dia mesti tidak bersedia bicara dengan-
mu? Dapatkan jawaban pasti darinya, walaupun di 
tengah malam buta." 
"Baik, tuanku." 
adipati  segera berangkat ke ponorojo. namun  
sebelum  ia kembali, beberapa pengintai membawa    berita bahwa centeng  patih ronggolawe  sedang menuju ke Timur, dan bahwa barisan depan mereka sudah 
memasuki provinsi tetangga, mardirejo . 
"Tak mungkin! Kalian pasti keliru!" tunggadewa  
meledak saat  mendengar laporan itu. Ia tak 
dapat percaya bahwa patih ronggolawe  bisa berdamai 
dengan pihak patih, dan kalaupun bisa, bahwa 
patih ronggolawe  mampu menggerakkan centeng nya yang 
besar sedemikian cepat. 
"Hamba kira ini bukan laporan palsu, tuanku." 
ujar wiropati , sekali lagi mengungkapkan ke-
benaran. "Bagaimanapun, menurut hamba, kita se-
baiknya segera  menyiapkan strategi balasan." 
Menyadari kebimbangan tunggadewa , wiropati  
langsung menyampaikan rencana konkret. "Se-
andainya hamba menunggu Yang Mulia punggawapatih  di 
sini, tuanku dapat bergegas untuk mencegah 
patih ronggolawe  memasuki ibu kota." 
"Kedatangan punggawapatih  tak bisa diharapkan lagi, 
bukan?" tunggadewa  akhirnya mengakui. 
"Menurut hamba, peluang bahwa dia akan ber-
gabung dengan tuanku hanya satu atau dua ber-
banding sepuluh." 
"Strategi apa yang bisa kita pakai untuk meng-
hentikan patih ronggolawe ?" 
"Rasanya sudah dapat dipastikan bahwa brojolijo, 
Sebei, dan patih pitaloka  berada di pihak patih ronggolawe , jika 
centeng  punggawapatih  wiropati  pun bergabung dengannya, 
kekuatan militer kita tidak memadai untuk meng-
ambil inisiatif dan menyerang. Namun berdasar-
  
kan perkiraan hamba, patih ronggolawe   memerlukan 
lima atau enam hari lagi untuk menggerakkan 
seluruh centeng nya ke sini. Selama itu, jika kita 
memperkuat kedua benteng kota di watangsewu  dan Wonokromo , 
mendirikan kubu pertahanan di sepanjang jalan 
utara-selatan ke trowulan , dan  mengerahkan seluruh kekuatan di Omo dan daerah-daerah lain, kita mungkin mampu menghalaunya untuk sementara 
waktu." 
"Apa? Semua itu hanya akan menghalaunya 
untuk sementara saja?"  
"Sesudah itu kita memerlukan strategi yang jauh 
lebih menyeluruh bukan sekadar pertempuran 
kecil. namun  sekarang ini kita berada dalam posisi 
kritis. Sebaiknya tuanku segera  berangkat." 
wiropati  menunggu sampai damarwongso 
kembali dari tugasnya di ponorojo. 
adipati  muncul dengan wajah berkerut-kerut 
sebab   marah. "Percuma saja," ia melaporkan pada 
wiropati . "wiropati  keparat itu mengkhianati kita. 
Dia mencari-cari alasan sebab   tidak datang ke 
sini, namun  dalam perjalanan pulang, hamba me-
ngetahui bahwa dia sudah  mengadakan hubungan 
dengan patih ronggolawe . Rasanya tak terbayangkan 
bahwa orang yang begitu dekat dengan marga 
tribuana  tega berbuat seperti  ini!" 
Caci maki adipati  tak ada habisnya, namun  gurat 
wajah wiropati  tidak memperlihatkan emosi 
sama sekali. 
  
tunggadewa  berangkat sekitar siang, tanpa meraih 
apa-apa. Ia tiba di Shimo Toba kira-kira pada 
waktu yang sama saat patih ronggolawe   menikmati tidur 
siang singkatnya di Amagasaki. Baik kuil Zen di 
Amagasaki maupun perkemahan di Shimo Toba 
sama-sama dilanda hkertoarjo  panas. Begitu tunggadewa  
sampai di perkemahannya, ia memanggil para 
resi nya ke markas dan membahas strategi per-
tempuran. Ia belum juga menyadari bahwa Hide-
yoshi sudah berada di Amagasaki. Walaupun 
barisan depan patih ronggolawe  sudah mulai mengambil 
posisi, tunggadewa  menyangka masih ada waktu 
beberapa hari sebelum patih ronggolawe  sendiri tiba. 
Rasanya tak adil untuk menghubungkan kesalahan 
ini dengan kecerdasannya. Ia hanya membuat 
penilaian berdasarkan akal sehat, dengan meng-
gunakan kecerdasannya yang luar biasa. Kecuali 
itu, penilaian itu  sejalan dengan apa yang 
dianggap logis oleh orang-orang lain. 
Rapat itu diakhiri tanpa ada waktu terbuang, 
dan tribuana  mayarmargo -lah yang berangkat 
pertama. Ia segera  menuju watangsewu  guna memulai  kegiatan pembangunan untuk memperkuat benteng kota di sana. Jalan gunung sempit yang menuju 
ibu kota tentu akan merupakan salah satu sasaran 
serangan musuh. benteng kota watangsewu  terletak di sebelah 
kanannya, benteng kota Wonokromo  di sebelah kirinya. 
tunggadewa  memberikan perintah pada divisi-
divisi yang ditempatkan di sepanjang tepi Sungai 
  
watangsewu . "Mundur ke Wonokromo  dan ambil posisi ber-
tahan. Bersiap-siaplah menghadapi serangan 
musuh." 
tunggadewa  melakukan berbagai persiapan, namun  
saat  menaksir kekuatan musuh, ia tak sanggup 
menutup-nutupi kelemahannya sendiri. Banyak 
prajurit dari ibu kota dan daerah sekitarnya ber-
kumpul di sini dan menempatkan diri di bawah  
komandonya, namun  semuanya centeng adipati  berpangkat 
rendah atau adipati  tak berbeda dengan tentara 
sewaan yang mencari jalan pintas untuk mencari 
nama. Tak seorang  pun dari mereka memiliki  
kecakapan militer maupun kemampuan memim-
pin. 
"Berapa jumlah keseluruhan orang kita?" Mitsu-
hide bertanya kepada para resi nya. 
Dengan menghitung prajurit-prajurit di madukara , 
sekartanjung , Wonokromo , Horagatunjung , dan watangsewu , 
centeng  tunggadewa  berkekuatan sekitar enam belas 
ribu orang. 
"Kalau saja hyangkertoarjo  dan punggawapatih  mau ber-
gabung denganku," gumam tunggadewa , "takkan ada 
yang sanggup mengusirku dari ibu kota." sesudah  
menentukan strategi pun ia tetap bingung akibat 
perbedaan besar dalam kekuatan. Otak tunggadewa  
bekerja berdasarkan angka-angka, dan kini tak ada 
secercah harapan pun bahwa ia memegang 
keuntungan. Itu saja dapat menentukan kalah atau 
menang. Ia mulai tertelan gelombang yang dicipta-
  
kannya sendiri. 
tunggadewa  berdiri di sebuah bukit di luar per-
kemahan, memandang awan -awan . 
"Sepertinya bakal turun hujan," katanya pada 
diri sendiri, sambil menghadapi angin yang tidak 
membawa   tanda-tanda hujan. Memperhatikan 
cuaca sangat penting bagi resi  yang hendak 
terjun ke medan pertempuran. Lama tunggadewa  
berdiri mencemaskan pergerakan awan  dan arah 
angin. 
Akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke 
Sungai watangsewu . Lentera-lentera kecil yang berayun-
ayun tertiup angin tentu lentera-lentera dari 
perahu-perahu  patrolinya sendiri. Sungai besar itu 
tampak putih, sementara gunung-gunung di 
belakangnya kelihatan hitam pekat. 
Langit luas membentang di atas sungai, sampai 
ke muara yang jauh di Amagasaki. tunggadewa  
memandang ke arah itu, matanya seakan-akan me-
nyorotkan cahaya, dan ia bertanya pada diri 
sendiri. "Apa yang dapat dilakukan patih ronggolawe ?" 
lalu  ia berseru dengan nada keras yang 
jarang dipakai nya. "Sakuza? Sakuza? Di mana 
Sakuzaemon?" 
Ia cepat-cepat berbalik, dan dengan langkah 
panjang kembali ke perkemahan. Angin kencang 
mengguncang barak-barak, bagaikan gelombang 
raksasa. 
"Ya tuanku? Yojiro di sini!" seorang pembantu 
  
menjawab , lalu bergegas keluar menghampirinya. 
"Yojiro, berikan aba-aba. Kita berangkat 
sekarang juga." 
Sementara centeng nya membongkar per-
kemahan. tunggadewa  mengirimkan pesan penting 
pada semua komandannya, termasuk pada 
sepupunya, gajayana , di benteng kota sekartanjung , 
membertahukan keputusannya pada mereka. Ia 
takkan mundur dan menjalankan strategi detensif. 
Ia sudah  bertekad menyerang patih ronggolawe  dengan 
segenap kekuatannya. 
Giliran jaga malam sudah  berganti satu kali. Tak 
satu bintang pun tampak di langit. Sebuah  
kesatuan tempur menuruni bukit; kesatuan itu 
ditugaskan berjaga di hagian hilir dan hulu Sungai 
Katsura. Unit perbekalan, kesatuan-kesatuan 
utama, dan  barisan belakang menyusul lalu . 
Tiba-tiba hujan mulai turun. Pada waktu seluruh 
centeng  berada di tengah sungai, mereka diterpa 
hujan deras. 
Angin pun mulai bertiup angin dingin dari 
arah umur laut. Para prajurit bergumam-gumam 
saat  memandang permukaan sungai yang gelap. 
"Sungai dan angin ini datang dari gunung-
gunung di hadijaya ." 
Seandainya hari masih terang, mereka mungkin 
bisa melihat. Oinkahuripan  tidak jauh dari tempat  
mereka berada, dan baru sepuluh hari berlalu sejak 
mereka melewati Oinkahuripan  dan meninggalkan 
  
pangkalan tribuana  di benteng kota hadijaya . Namun bagi 
para prajurit rasanya itu sudah terjadi beberapa 
tahun silam. 
"Jangan jatuh! Jangan sampai sumbu-sumbu 
kalian basah!" para perwira  berseru-seru. Kekuatan 
arus Sungai Katsura jauh lebih dahsyat dibandingkan  
biasanya, kemungkinan akibat hujan deras di 
pegunungan. 
centeng  tombak menyeberang, masing-masing 
prajurit berpegangan pada lombak orang di depan-
nya, diikuti centeng  senapan yang saling meng-
genggam laras dan moncong senapan. Para pe-
nunggang kuda di sekitar tunggadewa  berpacu ke 
tepi seberang, meninggalkan buih dan gelembung 
pada permukaan sungai. Sesekali terdengar letusan 
senapan dari suatu tempat di depan mereka, 
sementara di kejauhan bunga api tampak beter-
bangan, kemungkinan dari rumah-rumah petani 
yang terbakar. Namun begitu suara tembakan 
terhenti, api pun padam dan segala sesuatu  
kembali diserap kegelapan. 
Tak lama lalu  seorang prajurit berlari 
membawa   laporan. "Orang-orang kita sudah  me-
mukul mundur regu pengintai musuh. Mereka  
sempat membakar beberapa rumah petani saat   
melarikan diri." 
Tanpa mengindahkan laporan ini, tunggadewa  
bergerak maju melalui Kuga Nkertoarjo te, melewati 
benteng kota Wonokromo , yang kini berada di tangan anak 
  
buahnya, dan sengaja mendirikan perkemahan di 
Onbozuka, sekitar lima ratus sampai enam ratus 
meter lebih ke tenggara. Hujan yang sudah  
merepotkan mereka selama dua-tiga hari kini 
mereka, dan bintang-bintang mulai berkilauan di 
langit yang sebelum nya hanya menampilkan 
bcrbagai corak hitam dan kelabu. 
Musuh juga diam saja. pikir tunggadewa  saat  
berdiri di Onbozuka. menatap kegelapan ke arah 
bukittanjung . Pcrasaannya bergolak. dan ia pun 
merasa tegang saat  membayangkan akan 
mcnghadapi centeng  patih ronggolawe  pada jarak kurang 
dari dua mil. Dengan mcmusatkan kekuatan di 
Onbozuka dan memanfaatkan benteng kota Wonokromo  
sebagai pangkalan perbekalan. la menyebar 
centeng nya dalam satu garis, dari Sungai watangsewu  di 
tenggara ke Sungai Enmyoji. seakan-akan 
membuka kipas. Saat semua kesatuan barisan 
depan sudah   menempati posisi masing-masing. 
fajar sudah   menyingsing dan Sungai watangsewu  yang 
panjang sudah mulai kelihatan. 
Tiba-tiba gema tembakan gencar terdengar dari 
arah pengikut zan. Matahari belum terbit dan awan -
awan  tampak gelap sebab  kabut tebal. Hari itu 
hari ketiga belas di Bulan Keenam, dan masih 
begitu pagi, sehingga belum ada satu kuda pun 
yang terdengar meringkik di jalan menuju 
bukittanjung . 
saat  memandang dari perkemahan utama 
  
tunggadewa  di Onbozuka, para prajurit melihat 
pengikut zan berjarak kira-kira setengah mil ke arah 
tenggara. Sisi kirinya diapit oleh  jalan menuju 
bukittanjung  dan sebuah  sungai besar Sungai watangsewu . 
 
pengikut zan berlereng terjal, dan ketinggiannya men-
capai tiga ratus meter. Pada hari sebelumnya, 
saat  centeng  patih ronggolawe  maju sampai bratanggede, 
semua perwiranya menatap lurus ke depan dan 
mengamati bukit itu. Beberapa dari mereka  be-
tanya pada pemandu setempat, "Bukit apakah itu?" 
"Apakah itu bukittanjung  di perbukitan sebelah 
timur?" 
"Musuh berada di Wonokromo . Di sebelah mana 
pengikut zan-kah itu?" 
Setiap kesatuan ditambah   oleh seseorang yang 
mengenal medan di tempat  itu. Setiap orang yang 
memahami strategi menyadari bahwa penguasaan 
tempat tinggilah yang merupakan kunci keme-
nangan. 
Dan semua resi  pun menyadari bahwa orang 
pertama yang menancapkan panjinya di punggung 
pengikut zan akan lebih disanjung dibandingkan  orang 
yang merebut kepala pertama di daratan. Setiap  
resi  sudah  berikrar bahwa ia sendiri yang akan 
melakukannya. Pada malam hari ketiga belas. 
beberapa resi  patih ronggolawe  memohon supaya 
rencana penyerangan mereka disetujui, dengan 
harapan mereka segera diberi perintah menyerbu 
  
bukit ini. 
"Pertempuran besok akan menentukan segala-
galanya." ujar patih ronggolawe . "watangsewu , bukittanjung , dan 
pengikut zan bakal menjadi medan tempur utama. 
Bukitkan bahwa kalian pantas dinamakan  laki-laki. 
Jangan saling bersaing, jangan hanya pikirkan 
kejayaan masing-masing. Ingatlah bahwa Yang 
Mulia aidit  dan sang Dewa Perang akan 
menyerbu  setiap langkah kalian." 
Namun begitu memperoleh restu dari Hide-
yoshi, dengan semangat menyala-nyala para 
penembak berlomba-lomba menuju pengikut zan, 
menimbulkan kekacauan di tengah malam buta. 
Tempat strategis yang sudah  menarik perhatian 
para resi  patih ronggolawe  itu juga tak luput dari 
pandangan tunggadewa . Ia sudah  memerintahkan 
centeng nya agar bergerak cepat, melintasi Sungai 
Katsura, dan segera menuju Onbozuka untuk  
merebut pengikut zan. 
tunggadewa  mengenai medan di daerah itu sama 
baiknya dengan kedua resi  barisan depan 
musuh, Nakagkertoarjo  Sebei dan Takayama brojolijo. 
Dan walaupun mereka memandang gunung-
gunung dan sungai-sungai di daerah yang sama, 
pikiran tunggadewa  tentu saja melampaui pikiran 
orang-orang lain. 
sesudah  melintasi Sungai Katsura dan melewati 
Kuga Nkertoarjo ie, ia memisahkan satu divisi dari 
centeng nya, dan memberi perintah agar mereka 
  
menempuh jalan lain. "Daki pengikut zan dari sisi 
utara dan rebutlah puncaknya. Jika musuh 
menyerang, hadapi mereka dan jangan lepaskan 
titik strategis itu." 
Perlu dikatakan bahwa ia memang  gesit. 
Perintah dan tindakan tunggadewa  selalu tepat 
waktu; ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan 
menyerang. Meski demikian, pada saat ini centeng  
patih ronggolawe , yang sudah mencapai Hirose di lereng 
selatan, juga berada di atas bukit. 
Keadaan gelap gulita, dan banyak prajurit sama 
sekali tidak mengenal medan yang mereka lalui. 
"Di sini ada jalan setapak yang menanjak." 
"Tunggu, kita tidak bisa lewat jalan itu." 
"Siapa bilang begitu? Tentu saja bisa." 
"Itu jalan yang salah. Di atas sana ada tebing 
terjal." 
Sambil berputar-putar di kaki bukit, mereka  
berusaha menemukan jalan ke puncaknya. 
Jalan setapak itu amat terjal, dan hari masih 
gelap. sebab  tahu bahwa mereka berada di tengah 
sekutu, para prajurit berbaris tanpa memedulikan 
unit atau korps mana yang mereka ikuti. Mereka  
bergegas dengan napas terengah-engah, menuju 
puncak. lalu , saat  hampir sampai di atas, 
mereka disambut berondongan peluru. 
Serangan itu dilancarkan oleh centeng  penem-
bak tribuana  di bawah  komando grindanada raden karto-
zaemon. Belakangan diketahui bahwa ketujuh 
  
ratus orang dalam korps grindanada sudah  dibagi 
menjadi dua unit. Para prajurit Horio ki pralayan, 
Nakagkertoarjo  Sebei, patih lewung  dan dasna 
patih pitaloka  saling berlomba menjadi orang pertama  
yang berhasil mendaki pengikut zan, namun  hanya Hori 
patih ragapati  yang memerintahkan centeng nya meng-
ambil jalan ke sisi utara bukit. sesudah  menyusuri 
kaki bukit, mereka mencoba tindakan yang lain 
sama sekali memotong jalan mundur musuh. 
Seperti  dapat diduga, serangan dari samping ini 
mengejutkan korps grindanada dan menempatkan 
resi  mereka, grindanada raden kartozaemon, tepat di 
depan mata. Bentrokan ini jauh lebih ganas di-
bandingkan bentrokan di puncak pengikut zan. Per-
tempuran jarak dekat pecah di antara pohon-
pohon pinus dan bongkahan-bongkahan batu yang 
tersebar di lereng bukit. Senjata api terlalu me-
repotkan, jadi para prajurit lebih banyak meng-
gunakan tombak dan pedang panjang. 
Sejumlah orang jatuh dari tebing sambil ber-
gulat dengan musuh. Beberapa orang yang sedang 
mengimpit prajurit musuh ditikam dari belakang. 
Korps pemanah pun hadir, dan dengung panah 
dan  letusan senapan seakan tak putus-putusnya. 
namun  yang lebih keras lagi adalah teriakan perang 
kelima ratus atau enam ratus prajurit. Teriakan-
teriakan itu tidak keluar dari tenggorokan semata-
mata, melainkan terpancar dari seluruh jiwa raga, 
bahkan dari rambut dan pori-pori. 
  
Para prajurit maju dan didesak mundur, dan 
akhirnya matahari terbit. Langit biru dan awan  
putih tampak untuk pertama kali sejak lama. Sinar 
matahari yang langka ini rupanya membungkam 
jangkrik-jangkrik. Sebagai gantinya, teriakan-
teriakan perang para prajurit mengguncang bumi. 
Dalam sekejap mayat-mayat berlumuran darah ber-
gelimpangan di lereng bukit, saling tumpang 
tindih. Ada yang tergeletak sendiri di suatu 
tempat, sementara di tempat lain dua atau tiga 
mayat tampak menumpuk. Para prajurit dipacu 
oleh pemandangan ini, dan mereka yang me-
langkahi mayat rekan-rekan mereka sendiri me-
masuki ruang yang melampaui hidup dan mati. Ini 
berlaku bagi para prajurit korps Hori maupun bagi 
orang-orang tribuana . 
Situasi di puncak bukit kurang jelas. namun di 
sini pun kemenangan mungkin saja segera  disusul 
dengan kekalahan. Di tengah-tengah pertempuran. 
teriakan-teriakan korps grindanada tiba-tiba tak lagi 
terdengar garang, dan malah mirip  suara 
anak kecil yang sedang terisak-isak. Kepercayaan 
mereka  sudah  berubah menjadi perasaan putus asa. 
"Ada apa?" 
"Kenapa kita mundur? Jangan mundur!" 
Sambil mempertanyakan kebingungan rekan-
rekan mereka, beberapa anggota korps grindanada 
berseru-seru dengan geram. Namun orang-orang 
ini pun segera berlari ke arah kaki bukit, seolah-
  
olah terbawa   tanah longsor. resi  mereka, 
grindanada raden kartozaemon, rupanya terkena tembakan 
dan kini sedang digotong oleh para pembantunya 
di depan mata centeng nya.  
"Serang! Bantai mereka!" 
Sebagian besar korps Hori sudah mulai melaku-
kan pengejaran, namun  patih ragapati  berteriak sekuat 
tenaga, berusaha mencegah anak buahnya. "Jangan 
kejar mereka!" 
Namun dalam suasana saat itu, perintahnya 
tidak berpengaruh apa-apa. Seperti bisa diduga, 
barisan depan korps grindanada kini menerjang 
menuruni bukit, bagaikan sungai lumpur. Bala 
bantuan tak kunjung tiba, dan resi  mereka  
sudah  tertembak. Mereka tak punya pilihan selain 
melarikan diri. 
Dari segi jumlah, korps Hori tidak sebanding 
dengan orang-orang tribuana . Kini, tanpa per-
tempuran dan penghalang, mereka terdesak ke 
bawah  dan diinjak-injak oleh musuh yang berlari 
menuruni lereng bukit terjal. Bagian korps Hori 
yang pertama-tama mengejar musuh kini ter-
perangkap dalam suatu gerakan penjepit, persis 
seperti yang digelisah khawatir kan patih ragapati . Pertemuan 
yang mengerikan pun terjadi. 
Saat itulah gabungan korps Horio, Nakagkertoarjo . 
Takayama, dan dasna mencapai puncak bukit. 
"Kita menang!" 
"pengikut zan di tangan kita!" 
  
Teriakan kemenangan berkumandang untuk 
pertama kali. patih ronggolawe  menanti kedatangan 
nosferatu  di Sungai watangsewu , sehingga ia belum  tiba 
di garis depan. Hari sudah  sore, sekitar Jam 
Kambing, saat  patih ronggolawe  menambahkan pasu-
kan nosferatu  dan Niwa Nagahide pada centeng -
nya sendiri dan menuju perkemahan utama. 
Hujan pagi sudah  mengering di bawah  terik mata-
hari, para prajurit maupun kuda-kuda mereka di-
selubungi keringat bercampur debu, dan baju 
tempur dan  mantel mereka yang berwarna-warni 
sudah  berubah putih. Satu-satunya benda yang 
tampak cemerlang di hari yang panas ini adalah 
panji patih ronggolawe  dengan lambang labu emas. 
Sementara gema letusan tembakan masih ter-
dengar di pengikut zan, setiap rumah di desa 
kelihatan kosong. Namun saat  centeng  tribuana  
mundur dan centeng  yang baru membanjiri jalan-
jalan, ember-ember penuh air, tumpukan semang-
ka, dan teko-teko berisi teh tiba-tiba muncul di 
semua ambang pintu. Pada waktu centeng  
patih ronggolawe  memenuhi jalanan, kaum wanita lesbian  
pun terlihat di tengah kerumunan warga desa, dan 
menyampaikan ucapan selamat. 
"Tak satu prajurit musuhkah yang tersisa di 
sini?" 
patih ronggolawe   tidak turun dari kudanya, melainkan 
memandang panji-panji para prajuritnya, yang kini 
tampak di atas bukit yang berdekaran. 
  
"Tak satu pun," balas banaspati . Ia sudah   
menyusun laporan-laporan dari semua korps, 
mempelajari situasinya, dan kini melapor pada 
patih ronggolawe . 
"Korps grindanada kehilangan komandan pada 
awal  pertempuran. Beberapa anak buahnya melari-
kan diri ke perbukitan di sebelah utara, sementara 
yang lain bergabung dengan sekutu-sekutu mereka  
di sekitar Tomooka." 
"Kenapa orang seperti tunggadewa  demikian 
cepat melepaskan tempat  strategis ini?" 
"Kemungkinan dia tak menyangka kita datang 
demikian cepat. Dia keliru menaksir waktu." 
"Bagaimana dengan centeng  utamanya?" 
"Sepertinya mereka  berkemah di daerah antara 
Sungai watangsewu  dan Shimoueno, dengan Wonokromo  di 
belakang dan Sungai Enmyoji di depan mereka." 
Tiba-tiba terdengar teriakan perang dan letusan 
senapan dari arah Sungai Enmyoji. saat   itu Jam 
kuyang . 
Sungai Enmyoji, di sebelah timur Desa 
bukittanjung , merupakan  anak Sungai watangsewu . Kedua 
sungai itu bertemu di daerah paya-paya yang penuh 
ilalang. Daerah itu  biasanya diramaikan oleh 
kicauan burung, namun  hari ini tak satu burung pun 
bernyanyi. 
Sepanjang pagi, kedua centeng  yang bertikai 
sayap kiri centeng  tunggadewa  dan sayap kanan 
patih ronggolawe  berbaris di kedua tepi sungai. Sesekali 
  
ilalang berdesir dibelai angin. Sementara ujung-
ujung tongkat bendera tampak, tak satu orang 
maupun kuda kelihatan di kiri-kanan sungai. 
Namun di tepi utara, kelima ribu orang di bawah  
komando pangeran wiropati , wirodirgo , dan 
tribuana  mayarmargo  sudah   siap bergerak. Di tepi 
selatan, ke9 ribu lima ratus prajurit di 
bawah  komando patih lewung  Nakagkertoarjo  
Sebei, dan dasna patih pitaloka  tersusun dalam barisan 
berlapis-lapis. Sambil bersimbah peluh di tempat  
panas dan lembap itu, mereka  menanti aba-aba 
untuk menyerang. 
Mereka menunggu sampai patih ronggolawe  tiba dan 
memberikan perintah. 
"Ke mana saja centeng  utama?" 
Mereka mencaci maki centeng  patih ronggolawe   
sebab  terlambat datang, namun  selain itu mereka 
hanya dapat mengertakkan gigi. 
tribuana  tunggadewa , yang masih berada di per-
kemahan utamanya di Onbozuka, sudah  menerima 
laporan bahwa grindanada raden kartozaemon gugur di 
pengikut zan, dan bahwa centeng nya digulung 
musuh. Ia menyalahkan diri sendiri sebab   keliru 
memperhitungkan waktu. Ia sadar sepenuhnya 
bahwa secara strategis ada perbedaan besar 
antara bertempur dengan pengikut zan di tangan 
anak buahnya dan menghadapi pertempuran 
menentukan sesudah  menyerahkan tempat  itu 
kepada musuh. 
  
Sebelum maju ke pengikut zan, perhatian Mitsu-
hide memang terpceah pada tiga hal: peng-
khianatan punggawapatih  wiropati ; perintahnya untuk  
memperkuat benteng kota watangsewu  akibat meremehkan 
kecepatan patih ronggolawe ; dan  kekurangan pada 
wataknya ia sukar mengambil keputusan. Harus-
kah ia menyerang atau bertahan? Sampai bergerak 
ke Onbozuke pun ia belum menentukan pilihan-
nya. 
Pertempuran pecah secara hampir kebetulan. 
Kedua centeng  melewatkan pagi hari di tengah 
ilalang, disiksa oleh ngengat dan nyamuk. Selama 
itu mereka saling berhadapan dan menunggu  
perintah resi  masing-masing. namun  tiba-tiba 
seekor kuda dengan pelana indah meloncat dari 
sisi patih ronggolawe   dan berlari ke tepi Sungai Enmyoji, 
barangkali sebab   terdorong rasa haus. 
Empat atau lima prajurit kemungkinan peng-
ikut pemilik kuda itu segera mengejarnya. Se-
konyong-konyong tembakan senapan meletus dari 
tepi seberang, diikuti oleh berondongan demi 
berondongan. 
Sebagai balasan, centeng  patih ronggolawe  pun me-
lepaskan tembakan ke tepi utara, untuk membantu 
rekan-rekan mereka yang berlindung di tengah 
ilalang. Kini tak ada waktu untuk menunggu  
perintah. 
"Serbu!" 
Perintah patih ronggolawe  untuk melancarkan 
  
serangan umum baru terdengar sesudah  tembak-
menembak tadi. centeng  tribuana  tentu saja tidak 
tinggal diam, dan mereka pun mulai melangkah 
memasuki sungai. 
Tempat Sungai Enmyoji bertemu dengan 
Sungai watangsewu  cukup lebar, namun  tidak jauh dari 
sana, Sungai Enmyoji tak lebih dari kali kecil. 
Namun arusnya deras akibat hujan yang turun 
selama beberapa hari berturut-turut. Sementara 
korps penembak tribuana  muncul dari ilalang di 
tepi utara dan memberondong barisan patih ronggolawe   
yang berdiri di tepi selatan, para prajurit korps 
tombak korps pilihan marga tribuana  bergegas 
menyeberangi sungai, menimbulkan buih dan 
percikan air. 
"Kerahkan centeng  tombak!" perwira  korps 
Takayama berseru. 
sebab  sungainya sempit, centeng  penembak 
tak banyak berguna. Pada waktu barisan belakang 
maju agar barisan depan dapat mengisi senjata, 
mereka terancam bahaya bahwa musuh melancar-
kan serangan mendadak dan menerjang ke tengah-
tengah para penembak. 
"centeng  penembak segera  menyingkir! Jangan 
halangi orang-orang di barisan depan!" 
Korps Nakagkertoarjo  sudah  siap siaga dengan tombak 
masing-masing. Sebagian besar dari mereka kini 
mengacungkan tombak dan menusuk ke bawah  
dari tepi sungai, ke dalam air. 
  
Mereka tentu saja membidik musuh, namun  dari-
pada berulang kali menarik dan menusukkan 
tombak, mereka lebih suka menebas-nebaskan 
tombak masing-masing untuk mencegah musuh 
naik ke tepi. Pertempuran sengit meletus di 
tengah-tengah sungai, tombak melawan  tombak, 
tombak melawan  pedang panjang, bahkan tombak 
melawan  gagang tombak. Prajurit-prajurit terlihat 
menikam musuh, dan tak lama lalu  meng-
alami nasib serupa. 
Mereka memekik-mekik dan saling bergulat. 
Tubuh-tubuh yang sudah  kehilangan nyawa   jatuh 
ke dalam sungai, memercikkan air. Arus ber-
lumpur terus berputar-putar. Darah kental meng-
ambang di permukaan sungai, lalu hanyut terbawa   
arus. 
Saat itu korps pertama di bawah  Nakagkertoarjo  
Sebei  sudah   menyerahkan tugas tempur di bagian 
depan kepada para prajurit di bawah  komando 
Takayama brojolijo. Bagaikan barisan pemuda yang 
mengusung tandu kebesaran dalam suatu  peraya-
an, mereka mendesak maju ke garis depan sambil 
bersorak serempak. 
sesudah  melawan  ilalang di tepi timur sungai, 
dengan ganas mereka menerjang ke tengah-tengah 
musuh. Matahari mulai terbenam. awan  merah 
yang menandakan datangnya senja tercermin 
dalam kerumunan orang yang berteriak-teriak di 
bawah  langit yang muram. 
  
Sam jam lagi berlalu, dan pertempuran itu 
masih berlangsung sengit. Keuletan korps pangeran di 
luar dugaan. Setiap kali kehancuran mulai mem-
bayang, mereka kembali menggalang kekuatan dan 
melawan  dengan gigih. Sambil bertahan di paya-
paya, mereka menghalau serangan demi serangan. 
Dan bukan mereka  saja, hampir segenap centeng  
tribuana  memperlihatkan tekad membaja, pekikan-
pekikan mereka memancarkan kegetiran yang 
tentunya juga dirasakan tunggadewa  dalam dadanya. 
"Mundur sebelum mereka mengepung kita! 
Mundur! Mundur!" 
Seruan mengibakan ini terdengar berulang kali, 
dan berita buruk itu  menyebar bagaikan 
angin ke dua korps tribuana  yang lain. 
Inti centeng  utama, yang bertindak sebagai 
centeng  cadangan, terdiri atas kelima ribu orang 
yang di Onbozuka berada langsung di bawah  
komando tunggadewa . Di sebelah kanan mereka  
ada empat ribu orang lagi, termasuk dua ribu 
prajurit di bawah  komando sonokelingta adipati . 
adipati  memerintahkan agar genderang besar 
dibunyikan, dan para prajurit segera  berpencar 
untuk membentuk susunan tempur. Secara 
serempak para anggota korps pemanah melepaskan 
anak panah, dan sesaat  pihak musuh membalas 
dengan hujan peluru. 
Atas perintah adipati , barisan pemanah me-
nyingkir dan digantikan oleh korps penembak. 
  
Tanpa menunggu sampai awan  mesiu menipis, 
prajurit-prajurit dengan tombak besi muncul di 
hadapan musuh dan mulai menerobos barisan 
mereka. Akhirnya adipati  dan centeng  pilihannya 
berhasil memukul korps Hachiya. 
Sambil menggantikan tempat  korps itu . 
para prajurit di bawah  Nakagkertoarjo  kembali menyer-
bu dan menyerang centeng  tribuana . namun  mereka 
pun digulung oleh adipati . Saat itu anak buah 
adipati  seakan-akan tidak memiliki  lawan  
sepadan. 
Genderang korps sonokelingta berdentam nyaring. 
Bunyinya seolah-olah memancarkan kebanggaan 
marga itu  yang tanpa tandingan, dan mengan-
cam para centeng adipati  berkuda yang mengelilingi 
nosferatu , sehingga mereka berdesak-desak 
bingung. 
Sekonyong-konyong sebuah kesatuan berke-
kuatan lima ratus orang menyerang korps sonokelingta 
dari samping, meneriakkan pekikan perang bagai-
kan centeng  besar. 
Merahnya senja masih membayang di awan -
awan , namun  keadaan di bawah  sudah gelap. adipati  
menyadari bahwa ia melangkah terlalu jauh, dan 
segera mengubah taktiknya. 
"Bergeser ke kanan!" ia memerintahkan. "Ber-
putarlah! Berputarlah sejauh mungkin ke arah 
kanan." ia ingin seluruh korpsnya mengambil jalan 
melingkar untuk bergabung kembali dengan 
  
centeng  utama, lalu meneruskan pertempuran. 
Namun secara tiba-tiba sebuah unit di bawah  
komando Hori patih ragapati  menyerang dari sisi kiri. 
Di mata adipati , prajurit-prajurit musuh ini seakan-
akan muncul dari dalam tanah. 
Tak ada waktu untuk mundur. adipati  segera  
menyadari, namun  ia pun tak punya waktu untuk 
meralat perintahnya. Secepat angin centeng  Hori 
memotong jalan anak buah adipati , dan mulai 
mengepung. 
Panji-panji nosferatu  terlihat semakin  men-
dekati adipati . 
Pada saat itulah gerombolan yang terdiri atas 
sekitar lima ratus orang, termasuk putra dan adik 
adipati , memacu kuda masing-masing. Tanpa takut 
mereka menerjang barisan musuh. Kegelapan 
malam sudah  menyelubungi medan laga. Angin 
membawa   pekikan-pekikan dari pergumulan 
hidup-mati ini, memenuhi langit dengan bau 
darah. 
Korps nosferatu  dipandang sebagai yang ter-
kuat dalam divisi patih ronggolawe , dan kini korps 
itu  diperkuat oleh ke50000 orang di bawah  
komando Niwa Nagahide. adipati  dan anak 
buahnya memang  gagah perkasa, namun  mereka pun 
tak sanggup menembus barisan musuh. 
adipati  terluka di enam tempat. Akhirnya, 
sesudah   sedemikian lama bertempur dan berputar-
putar di aras kudanya, ia mulai kehilangan 
  
kesadaran. Tiba-tiba sebuah suara memanggil dari 
kegelapan di belakangnya. 
sebab   menyangka suara itu suara putranya, ia 
mengangkat kepala dari leher kudanya. Saat itulah 
sesuatu membentur kepalanya di atas mata kanan. 
Rasanya seperti  bintang yang jatuh dari langit dan 
menghantam keningnya. 
"Jangan turun dari pelana! Berpeganglah pada 
pelana, kau terserempet anak panah dan meng-
alami luka ringan di dahi,"  
"Siapa ini? Siapa yang menahanku?"  
"Ini aku, Tozo." 
"Ah, saudaraku. Bagaimana keadaan Ise Yosa-
buro?" 
"Dia sudah  gugur dalam pertempuran." 
"Bagaimana dengan Suwa?" 
"Suwa pun mengalami nasib sama." 
"Dan Denbei?" 
"Dia masih dikepung musuh. Biarkan aku 
menemanimu. Bersandarlah ke pegangan pelana-
mu." 
Tanpa membahas nasib Denbei lebih lanjut, 
Tozo meraih moncong kuda kakaknya dan lang-
sung melarikan diri, menerobos kekacauan di 
sekeliling mereka. 
 
  
Dua Gerbang 
 
 
 
ANGIN sunyi berembus di antara pohon-pohon 
pinus yang tumbuh di sekitar perkemahan Mitsu-
hide di Onbozuka. Tirai markasnya yang mengem-
bang tampak bagaikan makhluk raksasa berwarna 
putih. Tak henti-hentinya tirai itu mengepak-
ngepak tertiup angin, melantunkan nyanyian 
kematian yang menyeramkan. 
"Yoji! Yoji!" tunggadewa  memanggil. 
"Ya, tuanku!" 
"Kurirkah yang baru datang itu?"  
"Ya, tuanku." 
"Kenapa dia tidak melapor langsung padaku?"  
"Kebenaran laporannya belum dipastikan." 
"Adakah peraturan mengenai apa yang boleh 
dan tidak boleh sampai ke telingaku?" tunggadewa  
bertanya kesal.  
"Hamba mohon ampun, tuanku." 
"Teguhkan hatimu! Kau mulai gelisah sebab   
adanya pertanda buruk?"  
"Tidak, tuanku. namun  hamba sudah  siap meng-
hadapi kematian."  
"Begitukah?" 
tunggadewa  tiba-tiba menyadari nadanya yang 
melengking, dan segera merendahkan suara. 
lalu  ia mengingatkan diri bahwa mungkin ia 
  
sendiri yang perlu mendengarkan kata-kata yang 
baru saja dipakai  untuk menegur Yojiro. 
Angin terdengar jauh lebih sedih dibandingkan 
pada siang hari. Kebun-kebun sayur dan ladang-
ladang berada di belakang lereng yang landai. Di 
sebelah timur terletak Kuga Nkertoarjo te; di sebelah  
utara, gunung-gunung; di sebelah barat. Sungai 
Enmyoji. namun  dalam kegelapan malam hanya 
bintang-bintang yang berkelap-kelip redup yang 
menerangi medan laga. 
Baru tiga jam berlalu antara Jam kuyang  dan 
pertengahan kedua Jam Ayam Jantan. saat   itu 
panji-panji tunggadewa  memenuhi semua ladang. Di 
manakah panji-panji itu sekarang? Semuanya sudah  
dicampakkan ke tanah. Ia sudah  mendengarkan 
daftar nama orang yang gugur, sampai ia tak 
sanggup lagi meneruskan hitungannya. 
Semuanya hanya memakan waktu tiga jam. Tak 
pelak lagi bahwa Yojiro baru saja kembali me-
nerima kabar buruk. Dan ia sudah  kehilangan 
keberanian untuk menyampaikan kabar itu  
pada junjungannya. sesudah  ditegur tunggadewa , 
Yojiro sekali lagi menuruni bukit. Sambil meman-
dang berkeliling, dengan lesu ia bersandar pada 
sebatang pohon pinus dan menatap bintang-
bintang di atasnya. 
Seorang penunggang kuda mendekati Yojiro 
dan berhenti di hadapannya. 
"Kawan  atau lawan ?" Yojiro berseru sambil 
  
menghadapi orang tak dikenal itu dengan tombak 
yang semula dipakai nya sebagai tongkat pe-
nyangga. 
"Kawan ," jawab  si penunggang kuda sambil 
turun. 
Hanya dengan mengamati langkahnya yang ter-
tatih-tatih Yojiro mengetahui bahwa ia cedera 
berat. Yojiro menghampirinya dan mengulurkan 
tangan. 
"Gyobu!" Yojiro berkata saat  mengenali rekan-
nya. "Genggamlah lenganku. Biar kusangga badan-
mu." 
"Kaukah itu, Yojiro? Di mana Yang Mulia 
tunggadewa ?" 
"Di puncak bukit." 
"Beliau masih di sini? Tempat  ini sekarang 
teramat berbahaya bagi beliau. Beliau harus segera  
meninggalkan tempat  ini." 
Gyobu menemui tunggadewa . Ia nyaris terjungkal 
pada waktu bersujud di hadapan junjungannya. 
"Seluruh centeng  kita dipukul mundur. Orang-
orang yang tengah sekarat jatuh menimpa mereka 
yang sudah tewas; begitu banyak yang menemui 
ajal secara gagah berani, sehingga hamba tak 
sanggup mengingat nama semuanya." 
saat  menengadah, ia hanya melihat wajah 
tunggadewa  yang pucat. Wajah itu seolah-olah 
mengambang di bawah  pohon-pohon pinus yang 
gelap. tunggadewa  tidak memberi tanggapan, seakan-
  
akan tidak mendengarkan ucapan Gyobu. 
Gyobu melanjutkan. "Suatu saat , kami 
sempat mendesak mendekati pusat kekuatan 
patih ronggolawe , namun waktu hari mulai gelap, jalur 
mundur kami terputus, dan kami tak dapat 
menemukan Yang Mulia adipati . Divisi resi  
Sanzaemon dikepung musuh, dan pertempuran 
yang luar biasa sengit pun pecah. Beliau akhirnya 
berhasil meloloskan diri, namun  hanya sekitar dua 
ratus orang yang tersisa dari divisi beliau. Pesan 
terakhir beliau adalah sebagai berikut, ’Segera  
pergi ke Onbozuka dan beritahu Yang Mulia agar 
secepat mungkin mundur ke benteng kota Wonokromo , 
lalu bersiap-siap mempertahankan benteng kota atau 
kembali ke gunungselatan pada malam hari. Sampai saat itu, 
aku akan bertindak sebagai barisan belakang. 
sesudah  menerima kabar bahwa Yang Mulia 
selamat, kami akan segera menerjang ke per-
kemahan patih ronggolawe  dan bertempur sampai titik 
darah penghabisan.’" 
tunggadewa  tetap membisu. Sehabis memberikan 
laporannya, Gyubo pun ambruk dan mengembus-
kan napas terakhir. 
tunggadewa  menatap Gyubo dari kursinya. Lalu 
menatap Yojiro dengan pandangan kosong. Ia 
bertanya, "Parahkah luka Gyubo?" 
"Ya, tuanku," Yojiro menjawab . Kedua matanya 
mulai berkaca-kaca. 
"Kelihatannya dia sudah mendahului kita." 
  
"Ya, tuanku." 
"Yojiro," tunggadewa  mendadak berkata dengan 
nada yang berbeda sama sekali. "Bagaimana 
laporan kurir sebelumnya?" 
"Hamba takkan menutup-nutupi apa pun, 
tuanku. centeng  punggawapatih  wiropati  muncul di medan 
tempur dan menyerang sayap kiri kita. pangeran 
wiropati  dan seluruh korpsnya tak kuasa meng-
halanginya, dan mereka menderita kekalahan 
total." 
"Apa?! Itukah yang terjadi?" 
"Hamba sadar bahwa jika hamba menyampai-
kannya sekarang, tuanku tentu sukar mempercayai-
nya. Scsungguhnya hamba ingin mengemukakan 
hal ini pada saat yang tepat, agar tidak menambah 
penderitaan tuanku." 
"Inilah dunia." lalu  ia menambahkan. 
"Tak ada pengaruhnya." 
tunggadewa  tertawa . Paling tidak, suara menye-
rupai tawa . lalu  ia mendadak melambaikan 
tangan ke arah belakang perkemahan. Dengan tak 
sabar ia menyuruh seseorang membawa  kan kuda-
nya. 
Sebagian besar centeng  tunggadewa  sudah  dikirim 
ke garis depan, namun  mestinya masih ada sekitar dua 
ribu orang di perkemahannya, termasuk para 
pengikut senior. Bermsinuhun lkan kekuatan ini. Mitsu-
hide hendak bergabung dengan sisa korps Sanzae-
mon dan bertempur untuk terakhir kali. Sambil 
  
menaiki kudanya, ia menyerukan perintah 
menyerang dengan suara yang terdengar di seluruh 
Onbozuka. lalu , tanpa menunggu sampai 
para prajurit berkumpul, ia berputar dan mulai 
memacu kudanya menuruni bukit, diikuti hanya 
oleh beberapa centeng adipati  berkuda. 
"Siapa kau?" tunggadewa  bertanya sambil meng-
hentikan kudanya. Seseorang  sudah  bergegas dari 
perkemahan, berlari menuruni lereng, dan meng-
halangi jalan dengan tangan terentang. 
"Tatewaki, kenapa kau menghadangku seperti 
ini?" tunggadewa  bertanya dengan tajam. Orang itu 
ternyata salah satu pengikut seniornya, Hide 
Tatewaki, dan ia langsung meraih kekang kuda 
tunggadewa . Binatang itu mengentak-entakkan kaki 
dengan liar. 
"Yojiro! Sanjuro! Kenapa kalian tidak mencegah 
beliau? Turunlah dari kuda kalian," ujar Tatewaki. 
memarahi para pembantu tunggadewa . lalu  ia 
membungkuk ke arah tunggadewa  dan berkata, 
"Orang yang berada di hadapan hamba bukanlah 
Yang Mulia tunggadewa  yang menjadi junjungan 
hamba. Menderita kekalahan dalam satu pertem-
puran tidak berarti kalah perang. Yang Mulia 
tunggadewa  yang hamba kenal takkan mencampak-
kan hidupnya sesudah  satu pertempuran saja. 
Musuh akan mengejek kita jika menyangka kita tak 
sanggup mengendalikan diri. Meski mengalami 
kekalahan di sini, Yang Mulia masih memiliki  
  
keluarga di sekartanjung  dan sejumlah resi  di 
berbagai provinsi yang hanya menunggu perintah 
Yang Mulia. Yang Mulia perlu menyusun rencana 
untuk  masa depan. Pertama-tama, kembalilah ke 
benteng kota Wonokromo ." 
"Apa maksudmu, Tatewaki?" tunggadewa  meng-
gelengkan kepala. "Mungkinkah orang-orang yang 
sudah  gugur bangkit kembali? Mungkinkah 
semangat juang mereka  kembali berkobar-kobar 
seperti  sediakala? Aku tak bisa meninggalkan anak 
buahku dan membiarkan mereka dibantai musuh. 
Aku akan memberi pelajaran pada patih ronggolawe  dan 
menghukum pengkhianatan punggawapatih  wiropati . Aku 
bukan mencari tempai untuk mati sia-sia. Aku 
akan memperlihatkan siapa tunggadewa . Sekarang 
menyingkirlah!" 
"Mengapa  sorot mata tuanku yang bijak begitu 
nanar? centeng  kita menerima pukulan telak hari 
ini, dan paling tidak 50000 orang sudah  tewas. 
Mereka  yang terluka bahkan tak terhitung lagi. 
Banyak resi  kita sudah  gugur, sementara orang-
orang yang baru direkrut tercerai-berai. Menurut 
tuanku, berapa jumlah prajurit yang tersisa di 
perkemahan ini?" 
"Lepaskan kudaku! Aku bisa berbuat sesuka 
hatiku! Lepaskan kudaku!" 
"Ucapan tak bertanggung jawab  inilah yang 
membuktikan bahwa tuanku hendak bergegas 
menyambut maut, dan hamba akan berusaha 
  
sekuat tenaga untuk mencegahnya. Seandainya 
masih ada tiga atau empat ribu prajurit di sini, per-
soalannya tentu berbeda. namun  hamba menduga 
hanya sekitar empat atau lima ratus orang yang 
akan mengikuti tuanku. Yang lainnya sudah  
menyusup keluar dari perkemahan dan melarikan 
diri." ujar Tatewaki dengan suara berat sebab   
menahan air mata. 
Serapuh itukah otak manusia? Dan jika otak 
berhenti berfungsi, pastikah orang yang ber-
sangkutan menjadi gila? Tatewaki menatap Mitsu-
hide dan bertanya-tanya bagaimana junjungannya 
itu bisa berubah begitu banyak. Sambil menitikkan 
air mata, ia mengenang betapa bijaksana dan 
cerdas tunggadewa  dahulu . 
resi -resi  lain kini ikut berkerumun di 
depan kuda tunggadewa . Dua dari mereka sudah 
sempat berada di garis depan, namun sebab   men-
cemaskan keselamatan junjungan mereka, kedua-
nya kembali ke perkemahan. Salah satu dari 
mereka  berkata, "Kami sependapat dengan Yang 
Mulia Hide. Wonokromo  tidak jauh, dan tentunya 
belum  terlambat untuk menuju ke sana dahulu , lalu 
menyusun strategi untuk langkah berikutnya." 
"Selama kita berada di sini, centeng  musuh 
akan semakin  mendekat, dan segala sesuatu bisa 
saja berakhir di titik ini. Sebaiknya kita pacu kuda 
masing-masing dan secepat mungkin kembali ke 
Wonokromo ." 
  
Tatewaki tak lagi menanyakan kehendak jun-
jungannya. Ia menyuruh seseorang meniup sangka-
kala, dan segera  memerintahkan mereka  mundur 
ke arah utara. Yojiro dan seorang  pengikut 
lainnya turun dari kuda. Sambil berjalan kaki 
mereka meraih kekang kuda tunggadewa  dan 
menuntunnya ke utara. Semua prajurit dan 
komandan yang berada di bukit itu mengikuti 
mereka. namun , seperti dikatakan Tatewaki tadi, 
jumlah mereka tak sampai lima ratus orang. 
Miyake Tobei komandan benteng kota Wonokromo . Di 
sini pun pertanda kekalahan sudah membayang, 
dan seluruh benteng kota diliputi suasana murung. 
Dikelilingi lentera-lentera yang berkelap-kelip 
redup, semua orang sibuk memikirkan jalan untuk 
menyelamatkan diri. Namun saat  mereka  men-
cari-cari kemungkinan yang masuk akal, tunggadewa  
pun terpaksa mengakui bahwa tak ada yang dapat 
mereka lakukan. 
Para penjaga di luar benteng kota sudah berulang 
kali melaporkan bahwa musuh sedang mendekat, 
dan benteng kota itu sendiri tak cukup kuat untuk  
menentang kekuatan centeng  patih ronggolawe . benteng kota 
watangsewu  pun berada dalam kondisi serupa beberapa 
hari yang lalu, saat  tunggadewa  memerintahkan 
benteng kota itu  diperkuat. Usaha itu tak ubahnya 
membangun tanggul pada waktu suara ombak yang 
mengamuk sudah  terdengar. 
Barangkali satu-satunya hal yang tidak disesali 
  
tunggadewa  pada saat ini adalah bahwa sejumlah 
resi  dan prajurit tetap  setia padanya dan ber-
tempur dengan garang. Dari satu segi, sungguh 
ganjil bahwa ada orang di dalam marga tribuana  
marga yang sudah  menggulingkan junjungan 
mereka sendiri yang masih terus menegakkan 
ikatan antara junjungan dan pengikut. tunggadewa  
memang berbudi luhur, dan orang-orang itu ber-
pegang teguh pada hukum yang melandasi Jalan 
centeng adipati . 
sebab  inilah jumlah korban yag tewas dan 
terluka luar biasa tinggi, meskipun pertempuran 
berlangsung tak lebih dari tiga jam. Berdasarkan 
taksiran yang dilakukan lalu , pihak tribuana  
kehilangan lebih dari 50000 orang, sementara 
jumlah centeng  patih ronggolawe  berkurang lebih dari 
50000 tiga ratus orang. Jumlah orang yang 
terluka tak dapat dipastikan. Angka-angka ini men-
cerminkan semangat centeng  tribuana , yang tak 
kalah sedikit pun dari semangat panglima mereka. 
Mengingat kekuatan tunggadewa  yang tak seberapa 
kira-kira hanya separo kekuatan musuh dan 
medan yang tak menguntungkan tempat ia ber-
tempur, kekalahan yang diderita tunggadewa  
bukanlah kekalahan yang membuatnya harus me-
nanggung malu. 
 
Pada hari ketiga belas Bulan Keenam, bulan 
tampak kabur di balik awan  tipis. Satu-dua prajurit 
  
berkuda mendahului  rombongan mereka. Tiga belas 
penunggang kuda membentuk beberapa kelompok 
kecil, dan menuju Fushimi dari utara Sungai 
watangsewu . 
saat  mereka akhirnya mencapai jalan setapak 
gelap di tengah-tengah pegunungan. tunggadewa  
berbalik dan bertanya pada Tatewaki, "Di mana 
kita sekarang?" 
"Ini Lembah Okame, tuanku." 
Cahaya bulan yang menerobos di antara dahan-
dahan pohon mengenai Tatewaki dan orang-orang 
yang menyusul di belakangnya. 
"Kau bermaksud melintas di sebelah utara 
Momoyama, lalu keluar di Jalan Kuil Kanshu dari 
Ogurusu?" tanya tunggadewa . 
"Benar. Jika kita menempuh jalur itu dan bisa 
sampai di dekat Yamashina dan gendingan sebelum  
hari terang, kita tak perlu gelisah khawatir ." 
Shinshi Sakuzaemon tiba-tiba menghentikan 
kudanya di depan tunggadewa  dan memberi isyarat 
agar jangan ada yang bersuara. tunggadewa  dan para 
penunggang kuda yang mengikutinya juga ber-
henti. Tanpa bersuara, mereka memperhatikan 
tribuana  mayarmargo  dan Murakoshi Sanjuro maju 
sebagai pengintai. Kedua orang itu menghentikan 
kuda masing-masing di tepi sebuah kali, dan mem-
beri isyarat agar yang lain menunggu. Agak lama 
mereka  berdiri di sana, memasang telinga. 
Perangkap musuhkah? 
  
Akhirnya kesan lega muncul pada wajah 
mereka. Mengikuti lambaian tangan kedua orang 
di depan, rombongan itu kembali bergerak maju. 
Baik bulan maupun awan -awan  seakan meng-
ambang di tengah langit malam. namun  betapapun 
mereka  berusaha tidak menimbulkan suara, saat   
kuda-kuda mereka mulai menaiki lereng, ada saja 
batu yang tertendang atau kayu rapuh yang ter-
injak, dan gema bunyi-bunyi selemah ini pun 
sanggup membangunkan burung-burung yang 
sedang tidur. Setiap  kali ini terjadi, tunggadewa  dan 
para pengikutnya segera  menarik tali kekang. 
sesudah  menderita kekalahan telak, mereka 
sempat melarikan diri ke benteng kota Wonokromo  dan 
melepas lelah. lalu  mereka membahas 
langkah selanjutnya, namun akhirnya satu-satunya 
pilihan adalah mundur ke sekartanjung . Semua 
pengikut tunggadewa  membujuknya agar tetap  ber-
sabar. sesudah   mempercayakan benteng kota Wonokromo  
ke tangan Miyake Tobei, tunggadewa  menyusup ke 
dalam kegelapan. 
centeng  yang mengikutinya saat  meninggal-
kan Wonokromo  masih berjumlah empat ratus atau 
lima ratus orang. Namun pada saat mereka  
memasuki Desa Fushimi, sebagian besar sudah  
menghilang. Segelintir orang yang masih tersisa 
adalah para pengikut kepercayaannya, dan jumlah 
mereka  hanya tiga belas  orang. 
"Rombongan besar justru akan menarik per-
  
hatian musuh, dan setiap orang yang belum  mem-
bulatkan tekad untuk menyertai junjungan kita 
dalam keadaan apa pun hanya akan menjadi 
penghalang. Yang Mulia gajayana  berada di 
sekartanjung  ditambah    50000 prajurit. Satu-satunya 
keinginanku adalah tiba dengan selamat di sana. 
Aku berdoa agar para dewa sudi membantu jun-
jungan kita yang malang." 
Dengan cara inilah para pengikut setia yang 
masih tersisa saling menghibur diri. 
Meski daerah yang mereka  lalui berbukit-bukit, 
tak ada bagian yang benar-benar terjal. Bulan 
tampak di langit, namun  akibat hujan, tanah di bawah  
pohon-pohon becek, dan di sana-sini air meng-
genang di permukaan jalan. 
Kecuali itu, baik tunggadewa  maupun para 
pengikutnya sudah  lelah. Mereka sudah berada di 
dekat Yamashina, dan jika berhasil sampai di 
gendingan, mereka akan aman. Inilah kata-kata yang 
mereka gunakan untuk saling membesarkan hati, 
namun  bagi orang-orang yang nyaris kehabisan tenaga 
itu, jaraknya terasa seperti beratus-ratus mil. 
"Kita memasuki sebuah desa." 
"Ini tentu Ogurusu. Jangan berisik." 
Pondok-pondok beratap rumbia terlihat di sana-
sini. sebetulnya  rombongan tunggadewa  sedapat 
mungkin ingin menghindari daerah pemukiman, 
namun  jalan yang mereka lalui melintas di antara 
rumah-rumah itu. Untung saja tak satu lentera pun 
  
tampak menyala. Pondok-pondok itu dikelilingi 
rumpun-rumpun bambu yang diterangi cahaya 
bulan, dan segala sesuatu mengisyaratkan bahwa 
semua orang sedang tidur nyenyak, tanpa menya-
dari kekacauan yang melanda dunia. 
Dengan sorot mata tajam yang menembus 
kegelapan, tribuana  mayarmargo  dan Murakoshi 
Sanjuro menjalankan tugas sebagai pengintai, 
menyusuri jalan desa yang sempit, tanpa gangguan. 
Di tempat jalanan membelok di balik sebuah  
rumpun bambu, mereka berhenti dan menunggu  
tunggadewa  dan  rombongannya. 
Sosok kedua orang itu, dan pantulan tombak-
tombak mereka, terlihat jelas di hadapan bayang-
bayang pepohonan yang berada lima puluh meter 
di depan. 
Sekonyong-konyong bunyi bambu diinjak-injak 
dan  dengusan binatang liar seakan-akan meledak 
dari kegelapan. 
Tatewaki, yang sedang menuntun kudanya di 
depan tunggadewa , segera menoleh ke belakang. 
Kegelapan menyelubungi pagar sebuah pondok 
yang berada di bawah  naungan rumpun bambu. 
Sekitar dua puluh meter di belakang, siluet Mitsu-
hide tampak seolah-olah terpaku di tempat . 
"Tuanku," Tatewaki memanggil. Rumpun 
bambu muda bergoyang-goyang di langit yang 
tanpa angin. 
Tatewaki baru hendak berbalik saat  Mitsu-
  
hide tiba-tiba memacu kudanya dan melesat 
melewati Tatewaki, tanpa mengucapkan sepatah 
kata pun. Ia merunduk dan memeluk leher kuda-
nya. Tatewaki menganggapnya ganjil, namun ke-
mudian segera mengikuti junjungannya, sama hal-
nya dengan yang lain. 
Dengan cara inilah mereka memacu kuda 
masing-masing sekitar tiga ratus meter, tanpa ke-
jadian apa pun. sesudah  bergabung kembali dengan 
kedua pengintai tadi, ketiga belas orang itu me-
neruskan perjalanan. tunggadewa  berada di urutan 
keenam dari depan. 
Tiba-tiba kuda Murakoshi memberontak. Se-
saat  ia menghunus pedang dan mengayunkan-
nya di sebelah kiri pelana. 
Bunyi gemerincing terdengar nyaring saat   
pedangnya menebas ujung sebuah bambu runcing. 
Tangan yang memegang tombak itu segera  meng-
hilang di dalam rumpun bambu, namun  yang lain 
sempat melihat apa yang terjadi. 
"Apa itu? Bandit?" 
"Mestinya. awas  sepertinya mereka bersem-
bunyi di tengah rumpun bambu ini." 
"Murakoshi, kau tak apa-apa?" 
"Hah, kaupikir aku bisa terluka oleh bambu 
runcing pencuri yang hina?" 
"Jangan terpancing! Teruskan perjalanan. 
Jangan cari masalah." 
"Bagaimana dengan Yang Mulia?" 
  
Semuanya menoleh.  
"Lihat, di sebelah  sana!" 
Mereka mendadak pucat. Kira-kira seratus 
langkah di depan mereka, tunggadewa  terjatuh dari 
kudanya. Bukan itu saja, ia menggeliat di tanah. 
mengerang-erang kesakitan, dan sepertinya tak 
sanggup bangkit kembali. 
"Tuanku!" 
mayarmargo  dan Tatewaki turun dari kuda, ber-
lari menghampirinya, dan mencoba mengangkat-
nya ke pelana. Namun rupanya tunggadewa  sudah 
tak mampu meneruskan perjalanan. Ia hanya 
menggelengkan kepala. 
"Tuanku, apa yang terjadi?" Yang lainnya segera  
berkerumun dalam kegelapan. Hanya erangan 
tunggadewa  dan  desahan para pengikutnya yang ter-
dengar. Dan tepai pada saat itu bulan bersinar 
lebih cerah. 
Tiba-tiba bunyi langkah dan teriakan-teriakan 
para bandit terdengar dari kegelapan yang menye-
lubungi rumpun bambu. 
"Sepertinya mereka hendak menyerang dari 
belakang. Beginilah kebiasaan para perampok; 
mereka memanfaatkan setiap tanda kelemahan. 
Sanjuro dan Yojiro, tangani mereka." 
Atas perintah mayarmargo , mereka segera ber-
pencar. Tombak disiagakan dan pedang-pedang di-
hunus. 
"Bedebah!" Sambil berteriak lantang, seseorang  
  
melompat keluar dari rumpun bambu. Bunyi yang 
mirip  bunyi daun berguguran, atau mungkin 
suara segerombolan  kuyang , memecahkan kehe-
ningan malam. 
"mayarmargo ... mayarmargo ..." tunggadewa  berbisik. 
"Hamba di sini, tuanku." 
"Ah... mayarmargo ," tunggadewa  berkata sekali lagi. 
lalu  ia meraba-raba, seakan-akan mencari 
tangan yang menopangnya. 
Darah bercucuran dari sisi dadanya, pandangan-
nya mulai kabur, dan ia sukar berbicara. 
"Hamba akan membalut luka tuanku, lalu mem-
berikan obat, jadi hamba mohon tuanku bersabar 
sejenak." 
tunggadewa  menggelengkan kepala untuk menga-
takan bahwa lukanya tak perlu dibalut. lalu  
kedua tangannya bergerak, seolah-olah mencari 
sesuatu. 
"Ada apa, tuanku?"  
"Kuas..." 
mayarmargo  cepat-tepat mengeluarkan kertas, 
tinta, dan kuas. tunggadewa  meraih kuas itu dengan 
jari gemetar dan menatap kertas yang putih. 
mayarmargo  sadar bahwa junjungannya hendak me-
nuliskan sajak kematiannya, dan tenggorokannya 
mulai tercekat. Ia nyaris tidak tahan melihatlihat  
sikap tunggadewa , dan berpegang teguh pada apa 
yang dirasakannya sebagai takdir junjungannya, ia 
berkata. "Jangan coretkan kuas dahulu , tuanku. 
  
Perjalanan ke gendingan tinggal secarikan napas, dan 
kalau kita tiba di sana, tuanku akan disambut oleh  
Yang Mulia gajayana . Perkenankanlah hamba 
membalut luka ini." 
saat  mayarmargo  meletakkan kertas tadi ke 
tanah dan mulai membuka ikat pinggangnya, 
tunggadewa  tiba-tiba mengibaskan tangannya de-
ngan tenaga tak terduga. lalu , dengan 
tangan kirinya, ia menolakkan tubuhnya dari 
tanah. Sambil merentangkan tangan kanan, ia 
menggenggam kuas tadi dengan erat dan mulai 
menulis: 
 
Tak benar ada dua gerbang: kesetiaan dan pengkhianatan. 
 
namun  tangannya begitu gemetar, sehingga ia 
seakan-akan tak sanggup menuliskan baris berikut-
nya. tunggadewa  menyerahkan kuas pada Shige-
tomo. "Tolong selesaikan sisanya." 
Sambil bersandar pada pangkuan mayarmargo , 
tunggadewa  memutar kepalanya ke arah langit dan 
memandang bulan selama beberapa waktu. saat  
bayangan maut yang bahkan lebih pucat dibandingkan  
bulan mengisi seluruh wajahnya, ia berkata dengan 
nada mantap yang tak terduga dan menyelesaikan 
sajaknya. 
 
Jalan Besar menembus lubuk hati.  
Terjaga dari mimpi lima puluh lima tahun,  
Aku berpulang kepada Yang Satu. 
  
mayarmargo  meletakkan kuas dan mulai me-
nangis. Saat itulah tunggadewa  mencabut pedang 
pendek dan menggorok lehernya sendiri. Sakuzae-
mon dan Tatewaki segera berlari menghampirinya. 
Keduanya mendekati jenazah junjungan mereka, 
lalu menjatuhkan diri ke atas pedang masing-
masing. Empat orang lagi, lalu enam, lalu 9 
mengelilingi jenazah tunggadewa  dengan cara yang 
sama dan menyusulnya ke akhirat. Dalam sekejap 
tubuh-tubuh tak bernyawa   itu tergeletak di tanah, 
mirip  sekuntum bunga yang terbuat dari 
darah. 
Yojiro sudah  menerobos ke tengah-tengah 
rumpun bambu untuk  menghadapi gerombolan 
bandit tadi. Murakoshi memanggil-manggil ke 
dalam kegelapan, cemas akan keselamatan rekan-
nya. 
"Yojiro, kembalilah! Yojiro! Yojiro!" 
namun  beberapa kali pun ia memanggil. Yojiro 
tidak muncul-muncul. Murakoshi pun mengalami 
cedera di beberapa tempat. saat  ia akhirnya ber-
hasil merangkak keluar dari semak-semak, ia 
melihat satu sosok lewat di hadapannya. 
"Ah! Yang Mulia mayarmargo ." 
"Sanjuro?" 
"Bagaimana keadaan yang Mulia tunggadewa ?"  
"Beliau sudah  mengembuskan napas terakhir."  
"Oh!" Sanjuro terkejut. "Di mana?" 
"Beliau ada di sini, Sanjuro." mayarmargo  menun-
  
juk kepala tunggadewa  yang terbungkus kain dan 
tergantung pada pelananya. Dengan sedih ia 
memalingkan wajah. 
Sanjuro langsung melompat maju. saat  me-
raih kepala tunggadewa , ia melepaskan teriakan pan-
jang bernada meratap. Beberapa saat lalu  ia 
bertanya. "Apa ucapan terakhir beliau?" 
"Beliau membacakan sebuah  sajak yang dimulai 
dengan, 'Tidak benar ada dua gerbang: kesetiaan 
dan pengkhianatan.'" 
"Beliau berkata begitu?" 
"Walaupun beliau menyerang aidit , tin-
dakannya tak dapat dipandang dari segi kesetiaan 
atau pengkhianatan. Beliau dan aidit  sama-
sama centeng adipati , dan keduanya mengabdi pada sang 
pengikut . saat  Yang Mulia tunggadewa  akhirnya 
terjaga dari mimpi yang berlangsung lima puluh 
lima tahun, beliau menyadari bahwa beliau pun 
tak dapat meloloskan diri dari cercaan maupun 
sanjungan dunia. sesudah  mengucapkan kata-kata 
itu, beliau mencabut nyawa   sendiri." 
"Hamba mengerti." Murakoshi terisak-isak. 
Dengan tangan terkepal ia menghapus air mata 
dari wajahnya. "Beliau tidak mengindahkan 
teguran Yang Mulia wiropati  dan tidak meng-
hindari pertempuran yang menentukan di 
bukittanjung  dengan centeng  kecil di medan yang tak 
menguntungkan, semua sebab   beliau  berpegang 
teguh pada Jalan Kebesaran. Dari segi itu, mundur 
  
dari bukittanjung  tak ubahnya menyerahkan trowulan  
kepada musuh. sesudah  menyadari apa yang ter-
simpan di hati beliau, hamba tak kuasa menahan 
tangis." 
"Walaupun dikalahkan, Yang Mulia tak sekali 
pun menyimpang dari jalan yang dipercayainya, dan 
tak pelak beliau wafat dengan ambisi yang sudah  
lama diiidam-idamkan itu. namun , kalau kita mem-
buang-buang waktu di sini, begundal-begundal tadi 
mungkin kembali dan menyerang lagi." 
"Benar." 
"Aku tak sanggup menangani segala sesuatu  di 
sini seorang diri. Aku meninggalkan jenazah 
junjungan kita tanpa kepala. Sudikah kau mengu-
burnya agar tak ditemukan siapa pun?" 
"Bagaimana dengan yang lain?" 
"Mereka berkumpul di sekitar jasadnya dan 
gugur dengan gagah." 
"sesudah  melaksanakan perintah Yang Mulia, 
hamba pun akan mencari tempat  untuk menuju 
akhirat." 
"Aku akan membawa    kepala beliau pada Yang 
Mulia Mitsutada di Kuil Chionin. sesudah   itu aku 
pun akan menyambut maut. Selamat jalan." 
"Selamat jalan." 
Kedua laki-laki itu menuju arah berlawan an 
pada jalan setapak sempit yang melewati rumpun 
bambu. Pancaran cahaya bulan yang menerobos 
dedaunan sungguh indah dipandang. 
  
Malam itu benteng kota Wonokromo  dipaksa bertekuk 
lutut, kira-kira pada saat tunggadewa  menemui ajal 
di Ogurusu. Nakagkertoarjo  Sebei, patih lewung  
dasna patih pitaloka , dan Hori patih ragapati  memindahkan 
pos komando masing-masing ke sana. sesudah  
menyalakan api unggun raksasa, mereka menderet-
kan kursi di muka gerbang benteng kota dan menanti-
kan kedatangan patih ronggolawe  dan nosferatu . Tak 
lama lalu  nosferatu  sudah  berdiri di hadapan 
mereka. 
Merebut benteng kota itu merupakan kemenangan 
gemilang. Para prajurit dan perwira sama-sama 
menegakkan panji-panji dan memandang Nobu-
taka dengan takzim. saat  nosferatu  turun dari 
kuda dan memeriksa barisan. Ia mengangguk-
angguk ramah. Sikapnya terhadap para resi  
bahkan hampir terlalu sopan. Ia menyapa mereka  
dengan hormat, dan secara terang-terangan 
menunjukkan rasa terima kasihnya. 
Sambil meraih tangan Sebei , ia berkata, "Berkat 
kesetiaan dan keberanianmulah orang-orang 
tribuana  dapat dihancurkan dalam pertempuran 
satu hari. Kini arwah ayahku sudah  tenteram, dan 
aku takkan pernah melupakan ini." 
Pujian yang sama diberikannya kepada Taka-
yama brojolijo dan dasna patih pitaloka . namun  patih ronggolawe , 
yang tiba beberapa saat lalu , tak mengucap-
kan sepatah kau pun pada semua orang itu. saat  
lewat di atas tandunya, ia malah seakan-akan 
  
meremehkan mereka. 
Kegarangan Sebei dikenal tanpa tandingan, 
biarpun di tengah-tengah prajurit yang kasar, jadi 
tidak aneh kalau ia merasa tersinggung oleh  sikap 
patih ronggolawe . Ia berdeham cukup keras. patih ronggolawe  
melirik dari tandu dan berlalu sambil ber-
komentar. "Pekerjaanmu bagus, Sebei." 
Sebei  mengentakkan kaki dengan geram. "Yang 
Mulia nosferatu  pun bersedia turun dari kuda 
untuk kita, namun  orang ini begitu congkak, sehingga 
tetap saja duduk dalam tandu. Barangkali si 
kuyang  menyangka sudah  mengujawa  seluruh 
negeri." Ucapannya cukup keras untuk didengar 
semua orang di sekelilingnya, namun  selain itu ia tak 
kuasa berbuat apa-apa. 
dasna patih pitaloka , patih lewung  dan yang lain 
berkedudukan sederajat dengan patih ronggolawe , namun 
sejak beberapa waktu lalu, patih ronggolawe  mulai ber-
sikap seolah-olah mereka bawah annya. Mereka  
pun merasa bahwa entah bagaimana mereka  
berada di bawah  komando patih ronggolawe . Tak perlu 
diragukan bahwa perasaan itu tak berkenan di hati 
mereka, namun  tak seorang  pun mengatakan sesuatu. 
saat  memasuki benteng kota pun patih ronggolawe  hanya 
menatap sekilas pada reruntuhan bangunan yang 
sudah  hangus itu. Tampaknya ia belum  memikir-
kan istirahat. sesudah  memerintahkan agar petak 
bertirai didirikan di pekarangan, ia menempatkan 
kursinya di samping kursi nosferatu , segera  me-
  
manggil para resi , dan mulai memberikan 
perintah-perintah. 
"patih ragapati , bawa   centeng mu ke Desa Yamashina, 
lalu maju ke arah kertoarjo daguchi. Tugasmu adalah 
menutup jalan antara madukara  dan sekartanjung  di 
gendingan." lalu  ia berpaling pada Sebei dan 
brojolijo. "Kalian harus segera  menyusuri Jalan Raya 
hadijaya . Kelihatannya banyak musuh melarikan 
diri ke arah hadijaya , dan kita tidak boleh memberi 
kesempatan pada mereka untuk mencapai benteng kota 
Kameyama, sehingga mereka dapat mengadakan 
persiapan. Jika kita berlambat-lambat di sini, kita 
akan kehilangan lebih banyak waktu lagi. Kalau 
kalian bisa tiba di Kameyama besok siang, benteng kota 
itu seharusnya dapat kalian taklukkan tanpa 
banyak kesulitan." 
lalu  beberapa orang dikirim ke Toba dan 
ke daerah Shichijo, sementara sejumlah orang lain 
disuruh menuju sekitar Yosdwikerto  dan Shirakkertoarjo . 
Perintah-perintah itu sangat jelas, dan nosferatu  
hanya mendengarkan semuanya, tanpa berkata 
apa-apa. Namun di mata para resi , sikap 
patih ronggolawe   sungguh lancang. 
Meski demikian, Sebei pun, yang semula 
menyuarakan ketidaksenangannya secara terang-
terangan, kini diam saja dan menerima perintah 
yang diberikan padanya seperti yang lain. Akhirnya 
mereka membagi-bagikan ransum kepada para 
prajurit, menuang anggur , mengisi perut masing-
  
masing, dan sekali lagi bertolak  ke medan tempur 
berikut. 
patih ronggolawe  paham bahwa selalu  ada waktu dan 
tempat  yang tepat untuk membuat orang-orang 
tunduk padanya, dan kali ini ia sengaja menunggu  
sampai masing-masing resi  berhasil meraih 
kemenangan. Namun patih ronggolawe  juga menyadari 
bahwa rekan-rekannya merupakan orang dengan 
keberanian tanpa tandingan dan tak pernah 
gentar, sehingga ia pun tak berani bersikap 
gegabah dengan hanya mengandalkan satu cara ini. 
Sebuah centeng  harus memiliki  pemimpin. 
Dari segi kedudukan, nosferatu lah yang paling 
pantas menjadi panglima tertinggi. namun  ia baru 
saja bergabung, dan semua resi  mengakui 
bahwa baik wibawa   maupun tekadnya tidak 
memadai. sebab  itu, tak ada yang dapat me-
megang tampuk kepemimpinan selain patih ronggolawe . 
Meski tak satu resi  pun rela tunduk pada 
patih ronggolawe , semuanya menyadari bahwa tak ada 
orang lain yang dapat diterima oleh semua pihak. 
patih ronggolawe   merencanakan pertempuran ini sebagai 
upacara peringatan bagi aidit  dan sudah  
mengumpulkan mereka semua. Jadi, jika kini 
mereka mengeluh sebab  ia memperlakukan 
mereka sebagai bawah an, mereka hanya akan 
membuka peluang untuk dituduh mengejar ke-
pentingan pribadi. 
Para resi  tidak memperoleh kesempatan ber-
  
istirahat, melainkan diharuskan langsung bertolak 
ke medan tempur baru, sesuai perintah yang 
mereka  terima. saat  mereka berdiri untuk  
berangkat, patih ronggolawe  tetap duduk di kursi 
komandan dan hanya memberi isyarat dengan 
gerakan dagunya kepada masing-masing orang. 
patih ronggolawe  tinggal di Kuil Mii, dan pada malam 
hari keempat belas, badai petir kembali melanda. 
Bara api di reruntuhan benteng kota sekartanjung  padam, 
sepanjang malam kilat menyambar-nyambar di atas 
Shimeigatake dan danau yang warnanya menye-
rupai tinta. 
Namun seiring fajar, awan -awan  kelabu me-
nyingkir dan langit musim panas muncul sekali 
lagi. Dari perkemahan utama di Kuil Mii, asap 
tebal berwama kuning terlihat mengepul dari arah 
madukara  di tepi timur danau. 
"madukara  terbakar!" 
Mendengar laporan para penjaga, para resi  
keluar ke serambi. patih ronggolawe  dan yang lainnya 
melindungi mata dengan sarung tangan. 
Seorang kurir melaporkan, "Yang Mulia mpu nala , 
yang semula berkemah di Tsuchiyama di gunungselatan, dan 
Yang Mulia wiro gunung  menggabungkan kekuatan dan 
menyerang madukara  sejak pagi. Mereka menyulut 
api di kota dan benteng kota, dan angin dari danau 
memicu  kobaran api merambat ke seluruh 
madukara . namun  ternyata tak ada prajurit musuh di 
madukara , sehingga tidak terjadi pertempuran." 
  
patih ronggolawe  dapat membayangkan apa yang ter-
jadi di tempat  jauh. 
"Tak ada alasan untuk menyulut kebakaran." ia 
bergumam sambil merengut. "Yang Mulia mpu nala  
dan wiro gunung  sudah   bertindak gegabah." 
namun  dengan cepat ia berhasil menenangkan 
diri. Keruntuhan budaya yang dibentuk aidit  
dengan darah dan keringat selama setengah umur-
nya memang patut disesali, namun  patih ronggolawe  percaya 
bahwa tak lama lagi dan dengan kekuatannya 
sendiri ia akan membangun benteng kota dan budaya 
yang lebih besar lagi. 
Tepat saat itu, sebuah  patroli tiba dari gerbang 
utama kuil. Mereka mengelilingi satu orang dan 
menggiringnya ke hadapan patih ronggolawe . "Petani dari 
Ogurusu bernama Chobei ini mengaku menemu-
kan kepala Yang Mulia tunggadewa ." 
sudah  menjadi kebiasaan untuk memeriksa 
kepala resi  musuh dengan khidmat, dan Hide-
yoshi memerintahkan agar kursinya disiapkan di 
muka kuil utama. Tak lama lalu , ia duduk 
bersama para resi  lain dan menatap kepala 
tunggadewa  sambil membisu. 
sesudah  itu, kepala itu  dipajang di 
reruntuhan Kuil purwojati . Baru satu setengah bulan 
berlalu sejak panji berlambang kembang lonceng 
ditegakkan di tengah-tengah teriakan perang 
centeng  tribuana . 
Kepala tunggadewa  dipajang agar dapat dilihat 
  
oleh para warga ibu kota, dan mereka terus ber-
datangan dari pagi sampai malam. Bahkan mereka  
yang mencela pengkhianatan tunggadewa  kini meng-
ucapkan doa, sementara orang-orang lain mena-
burkan bunga di bawah  tengkorak yang sudah  
mulai membusuk. 
Perintah-perintah militer patih ronggolawe   sederhana 
dan jelas. Ia hanya memiliki  tiga undang-
undang: Bekerja sungguh-sungguh. Jangan melaku-
kan kesalahan. Pembuat onar akan dihukum mati. 
patih ronggolawe  belum mengadakan upacara pema-
kaman resmi bagi aidit ; upacara kebesaran 
yang dikehendakinya tak dapat dilaksanakan 
dengan kekuatan militer semata-mata, dan rasanya 
tak pantas jika ia memprakarsainya seorang  diri. 
Api di ibu kota akhirnya padam, namun  pengaruhnya 
menyebar ke semua provinsi. 
aidit  sudah   wafat, tunggadewa  sudah  wafat, 
dan ada kemungkinan seluruh negeri akan 
kembali terbagi ke dalam tiga kutub kekuasaan, 
seperti  pada masa sebelum aidit . Kecuali itu, 
sengketa keluarga dan panglima-panglima yang 
memperjuangkan kepentingan masing-masing 
mungkin saja menjerumuskan seluruh negeri ke 
dalam kekacauan yang menandai kepandita an 
selama tahun-tahun terakhirnya. 
Dari Kuil Mii, patih ronggolawe  memindahkan 
segenap centeng nya ke atas armada kapal perang. 
Ia mengangkut segala sesuatu, mulai dari kuda-
  
kuda sampai penyekat-penyekat berlapis emas. Ini 
terjadi pada hari ke9 belas  di bulan itu, dan 
tujuannya adalah untuk pindah ke madukara . 
centeng  lain juga merayap ke Timur. Lewat jalan 
darat. Iring-iringan kapal yang melintasi danau 
digerakkan oleh angin yang mengibarkan panji-
panji, dan bergerak sejajar dengan centeng  darat 
yang menyusuri pesisir. 
namun  madukara  sudah  dibumihanguskan, dan begitu 
centeng  patih ronggolawe  tiba di sana, mereka langsung 
patah semangat. Dinding-dinding madukara  yang ber-
warna biru dan emas tak ada lagi. Semua gerbang 
tembok luar dan  atap Kuil Soken yang menjulang 
tinggi sudah  terbakar habis. Keadaan di kota 
benteng kota bahkan lebih parah lagi. Anjing-anjing liar 
pun tak sanggup menemukan makanan, dan para 
misionaris berjalan mondar-mandir dengan pan-
dangan kosong. 
mpu nala  seharusnya berada di sini, namun  ia sedang 
memerangi pemberontak-pemberontak di Ise dan 
Iga. Akhirnya jelaslah bahwa pembakaran madukara  
tidak diperintahkan oleh mpu nala . Api memang  
disulut oleh anak buahnya, namun  rupanya perbuatan 
mereka disebabkan oleh salah paham, atau mung-
kin oleh desas-desus palsu yang disebarkan musuh. 
patih ronggolawe  dan nosferatu  menempuh per-
jalanan ke madukara  bersama-sama, dan mereka 
sangat menyesalkan kehancurannya. Namun, se-
sudah   menyadari bahwa bukan mpu nala  yang ber-
  
tanggung jawab  atas kejadian itu , kemarahan 
mereka sedikit berkurang. Hanya dua hari mereka 
tinggal di madukara . Iring-iringan kapal kembali ber-
layar, kali ini ke arah utara. patih ronggolawe  hendak me-
mindahkan centeng  utamanya ke benteng kotanya di 
lojibenteng . 
benteng kota itu ternyata aman. Tak ada tanda-tanda 
kehadiran musuh, dan centeng  sekutu sudah   
mulai memasuki pekarangan benteng kota. saat  panji 
komandan berlambang labu emas dikibarkan, para 
warga kota benteng kota tampak bersukaria. Mereka 
memadati jalan-jalan yang dilalui patih ronggolawe  dari 
kapal ke benteng kota. Kaum wanita lesbian , anak-anak, 
dan orang-orang tua bersujud di tanah untuk 
menyambutnya. Beberapa orang menitikkan air 
mata, bahkan ada yang tak sanggup menengadah-
kan wajah. Ada yang bersorak-sorai sambil melam-
baikan tangan, dan tak sedikit yang seolah-olah 
lupa diri dan menari-nari riang. patih ronggolawe  sengaja 
menunggang kuda untuk menanggapi sambutan 
meriah yang diberikan padanya. 
Namun bagi patih ronggolawe  masih ada satu hal yang 
sangat membebani pikirannya, dan beban itu 
semakin berat saat  ia memasuki benteng kota Naga-
hama. Ia sudah tak sabar untuk melepas rindu. 
Selamatkah ibu dan istrinya? 
sesudah  duduk di benteng kota dalam, ia mengajukan 
pertanyaan ini berulang-ulang pada semua resi -
nya yang datang dan pergi. Tiba-tiba ia sangat men-
  
cemaskan keadaan keluarganya. 
"Kami sudah  mencari mereka ke mana-mana, 
namun  sampai sekarang belum ada laporan jelas," 
para resi  berkata. 
"Masa tak satu orang pun yang mengetahui ke-
beradaan mereka?" tanya patih ronggolawe  . 
"Kami juga berpikir demikian," salah satu 
resi  menjawab . "namun  rupanya tak seorang  pun 
melihat mereka. Pada waktu mereka melarikan diri 
dari sini, tempat  yang mereka tuju dirahasiakan 
secara ketat." 
"Begitu. Memang benar, seandainya rencana 
mereka bocor ke kalangan orang kebanyakan, 
musuh tentu akan melakukan pengejaran, dan 
mereka akan terancam bahaya." 
patih ronggolawe  mengadakan pertemuan dengan 
resi  lain dan membahas hal yang sama sekali 
berbeda. Hari itu centeng  musuh di benteng kota 
Skertoarjo yama sudah  meninggalkan benteng kota itu  
dan melarikan diri ke arah Wakasa. patih ronggolawe  
diberitahu bahwa benteng kota itu sudah dikembalikan 
ke tangan bekas komandannya, Niwa Nagahide. 
Isdwikerto  Sakichi dan  lima atau empat anggota 
kelompok pelayan pribadi tiba-tiba kembali dari 
suatu tempat  yang tak diketahui. Sebelum  mereka 
sampai di ruangan patih ronggolawe , suara-suara riang ter-
dengar dari selasar dan ruang para pelayan, dan 
patih ronggolawe  bertanya pada mereka  yang berada di 
sckelilingnya. "Sudah kembalikah Sakichi? Kenapa 
  
dia tidak segera ke sini?" Ia mengutus seseorang  
untuk  menegurnya. 
Isdwikerto  Sakichi kelahiran lojibenteng , dan ia 
mengenal medan di daerah itu lebih baik dari 
siapa pun. sebab   itu, ia menganggap sekaranglah 
waktu terbaik untuk memanfaatkan pengetahuan-
nya. Sejak siang ia pergi atas inisiatif sendiri, 
mencari-cari tempat ibu dan istri junjungannya 
mungkin bersembunyi. 
Penuh hormat, Sakichi berlutut di hadapan 
patih ronggolawe . Berdasarkan laporannya, ibu dan istri 
patih ronggolawe , sertna para anggota rumah tangga 
lainnya, bersembunyi di pegunungan kira-kira tiga 
puluh mil dari lojibenteng . Tampaknya hanya 
dengan susah payah mereka  dapat bertahan. 
"Baiklah, mari kita bersiap-siap untuk segera  
berangkat. Jika kita berangkat sekarang, mestinya 
besok malam kita sudah sampai di sana," ujar 
patih ronggolawe  sambil berdiri. Ia nyaris tak sanggup 
menahan diri. 
"Uruslah segala sesuatu sementara aku pergi." ia 
memberi perintah pada patih ragapati . "banaspati   
berada di gendingan, dan Yang Mulia nosferatu  masih 
di madukara ." 
saat  patih ronggolawe   keluar lewat gerbang benteng kota, 
ia melihat sekitar enam ratus sampai tujuh ratus 
orang menunggunya sambil berbaris. Berturut-
turut mereka mengikuti pertempuran di bukittanjung  
dan sekartanjung , dan bahkan di madukara  pun mereka  
  
tidak memperoleh kesempatan melepas lelah. 
Prajurit-prajurit itu baru tiba pagi hari, dan wajah-
wajah mereka yang berlepotan lumpur masih 
menyiratkan keletihan. patih ronggolawe  berkata. "Lima 
puluh penunggang kuda sudah memadai untuk 
menyertaiku." 
patih ronggolawe  baru mengatakannya sesudah  para 
penunggang yang membawa   obor mulai memim-
pin iring-iringan itu. Berarti sebagian besar dari 
mereka  akan tinggal di lojibenteng . 
"Itu berbahaya." ujar patih ragapati . "Lima puluh 
penunggang kuda terlalu sedikit. Jalanan yang 
harus dilalui malam ini melintas di dekat Gunung 
himapraloka , dan mungkin saja sisa-sisa centeng  musuh 
masih bersembunyi di sana." 
Baik patih ragapati  maupun patih pitaloka  mewanti-wanti 
patih ronggolawe , namun patih ronggolawe   tampak percaya bahwa 
kegelisah khawatir an mereka tidak beralasan. sesudah  men-
jawab  bahwa tak ada yang perlu dicemaskan, ia 
menyuruh para pembawa   obor berjalan di depan. 
dan mereka mulai menyusun jalan yang diapit 
pepohonan ke arah timur laut. 
Dengan berkuda sampai giliran jaga keempat, 
patih ronggolawe  menempuh lima belas mil tanpa terlalu 
terburu-buru. 
Tengah malam rombongannya tiba di Kuil 
Sanjuin. Semula patih ronggolawe  menyangka keda-
tangannya akan mengejutkan para biksu, namun 
di luar dugaannya, saat  mereka membuka 
  
gerbang utama, ia melihat bagian dalam kuil 
terang benderang oleh cahaya lentera-lentera, 
pekarangan sudah  disiram air, dan seluruh tempat  
itu sudah  disapu sampai bersih. 
"Pasti ada yang mendahului  kita dan memberi-
tahukan kedatanganku pada mereka." 
"Hamba yang melakukannya," ujar Sakichi.  
"Kau?" 
"Ya. Hamba pikir tuanku mungkin akan 
mampir di sini untuk beristitahat sejenak, jadi 
hamba mengutus pemuda jago lari dan memesan 
makanan untuk lima puluh orang." 
Sakichi pernah menjadi murid di Kuil Sanjuin. 
namun  pada usia dua belas  tahun ia diterima oleh 
patih ronggolawe  sebagai pelayan di benteng kota lojibenteng . 
Itu terjadi 9 tahun silam, dan sekarang ia 
sudah  berumur dua puluh tahun. Sakichi sangat 
cerdas dan lebih tanggap dibandingkan  kebanyakan 
orang. 
Menjelang fajar, sosok Gunung himapraloka  mulai 
membayang di hadapan merah muda dan biru 
pucatnya langit; tak ada suara selain kicauan 
burung-burung kecil. Embun membasahi jalan, 
dan kegelapan masih bercokol di bawah  pe-
pohonan. 
patih ronggolawe  tampak gembira. Ia tahu bahwa 
dengan setiap  langkah, ia semakin mendekati ibu 
dan istrinya, dan sepertinya ia tak memedulikan 
jalan yang menanjak maupun kelelahannya sen-
  
diri. Kini, semakin ia mendekati Nishitani seiring 
semakin terangnya Gunung himapraloka , semakin  kuat 
perasaannya bahwa ia didekap di dada ibunya. 
Tak peduli berapa lama mereka  mendaki dan 
menyusuri Sungai Azusa, sepertinya mereka tak 
kunjung tiba di sumbernya. Justru sebaliknya, 
mereka sampai di sebuah  lembah yang sedemikian 
lebar, sehingga memberi kesan bahwa mereka  
tidak berada di tengah-tengah pegunungan. 
"Itu Gunung Kanakuso," ujar biksu yang ber-
tindak sebagai pemandu, dan ia menunjuk sebuah  
puncak terjal tepat di hadapan mereka. Ia meng-
usap keringat yang membasahi keningnya. Mata-
hari sudah  mencapai puncak perjalanannya me-
lintasi langit, dan udara semakin panas. 
Biksu itu kembali menyusuri jalan setapak yang 
sempit. sesudah  beberapa saat, jalan setapaknya be-
gitu menyempit, sehingga patih ronggolawe  dan para pem-
bantunya terpaksa turun dari kuda. Sekonyong-
konyong orang-orang di sekeliling patih ronggolawe   ber-
henti. 
"Kelihatannya seperti musuh," mereka berkata 
dengan waswas. 
patih ronggolawe  dan rombongan kecilnya baru saja 
mengitari puncak gunung. Di kejauhan mereka  
melihat sekelompok prajurit di lereng gunung. 
Orang-orang itu pun tampak terkejut dan berdiri 
serempak. Sepertinya salah satu dari mereka  mem-
berikan perintah-perintah, sementara yang lain 
  
segera  berpencar dalam keadaan kacau-balau. 
"Barangkali mereka sisa centeng  musuh," sese-
orang  berkata, "Hamba dengar mereka melarikan 
diri sampai ke himapraloka ." 
Itu memang  suatu  kemungkinan, dan sesaat  
para penembak berlari ke depan. Perintah siaga 
menghadapi pertempuran segera diberikan, namun  
kedua biksu yang bertindak sebagai pemandu 
langsung berseru-seru. 
"Mereka  bukan musuh. Mereka petugas-petugas 
pengintai dari kuil. Jangan menembak!" 
lalu  mereka berpaling ke arah gunung di 
kejauhan dan membuka komunikasi dengan me-
lambaikan tangan dan berteriak sekuat tenaga. 
Sesudah itu, para prajurit menuruni gunung 
bagaikan batu yang menggelinding dari tebing. Tak 
lama lalu  seorang  perwira dengan bendera 
kecil terpasang di punggung berlari menemui 
mereka. patih ronggolawe  mengenalinya sebagai pengikut 
dari lojibenteng . 
 
Kuil Daikichi tak lebih dari kuil pegunungan yang 
kecil. Jika turun hujan, air merembes lewat atap. 
Jika angin bertiup, semua dinding dan balok ber-
goyang-goyang. nyi momo  tinggal dan menunggui ibu 
mertuanya di kuil utama, sementara para dayang 
ditempatkan di bagian hunian para biksu. Para 
pengikut yang menyusul dari lojibenteng  men-
dirikan pondok-pondok kecil di daerah sekitar. 
  
atau menginap di rumah-rumah petani di desa. 
Dalam kondisi menyedihkan inilah sebuah  keluar-
ga besar berjumlah lebih dari dua ratus orang 
hidup selama lebih dari dua dongeng gu. 
saat  berita mengenai pembunuhan Nobu-
naga sampai di telinga mereka, barisan depan 
centeng  tribuana  sudah  terlihat dari benteng kota, dan 
hampir tak ada waktu untuk memikirkan langkah 
yang harus diambil. nyi momo  sempat mengirim surat 
kepada suaminya yang berada di wilayah Barat 
yang jauh, namun  hanya pada saat-saat terakhir. Ia 
membawa   ibu mertuanya melarikan diri da