Tampilkan postingan dengan label kudeta 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kudeta 3. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Desember 2022

kudeta 3







 Kamaruzaman.  Kapan Anda menjadi anggota PKI,Mei 1948 saya mendaftar menjadi anggota Partai Komunis  Indonesia  . Sjam juga masuk PKI pada 1948, namun  waktu itu saya belum kenal dia. Kapan Anda kenal Sjam,   Waktu mengajar di Sekolah Partai Central di Jalan Padang, Jakarta, saya dipanggil ke rumahnya di Paseban, Jakarta Pusat. Sjam berkata ,  Bung dapat misi  untuk bagian pendidikan. Bung nanti mengurusi sekolah partai, mendidik perwira dan kader kader daerah.  Waktu itu saya mengajar mengenai  masyarakat negara kita  dan revolusi negara kita . Bagaimana kesan Anda terhadap Sjam,   Sjam bos saya, Ketua Biro khusus sentral . Wajahnya menakutkan, orangnya hitam, matanya besar. Dia itu seperti militer di Biro khusus sentral . Ia mengutamakan sentralisme dibandingkan  demokrasi. Walaupun dia bukan militer, caranya di Biro khusus sentral  kayak militer. Disiplinnya kuat. Dia suka marah,   
Kepemimpinannya keras. jika  saya bikin kesalahan, dia memaki maki bahkan di 
depan orang.  Ini salah! Itu salah!  katanya.  
Dia orang yang bisa dipercaya,   Bung Sjam suka membesar besarkan garapannya (pengaruh Red.) terhadap militer. Sifatnya sombong. Dia suka bombastis, omong besar.  Contohnya,   Menjelang G30S, dia pernah  berkata  kepada saya,  Bung enggak usah takut, kita sudah memiliki  tentara. Dengan tentara, kita bisa berbuat apa saja.  Ia mengatakan enggak usah ngikutin Tiongkok atau Vietnam. Kita sendiri memiliki  beberapa jenderal yang prokomunis.  kondisi  sebetulnya  saat itu,   
Sebetulnya G30S itu belum matang. Persiapan hanya dua bulan: Agustus dan September 1965. Pada sebuah diskusi mengenai  G30S, Sjam bertanya kepada saya,  Apakah Bung siap mengadakan pergerakan  militer terhadap pemerintah sekarang,   Saya berkata  siap saja asalkan ada dukungan. namun  saat itu, untuk melancarkan pergerakan  militer, massa (di bawah) belum matang. Maksud Anda,   
PKI belum memiliki  kekuatan massa yang betul betul siap berperang . Waktu itu partai hanya siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. namun , untuk suruh berperang , nanti dahulu . Taruhannya mati. Untuk melatih rakyat berperang , tidak bisa sebulan dua bulan, harus dipersiapkan tahun an. Mengajak rakyat berperang  kan mengubah pikiran dari cara damai ke cara kekerasan. Semua butuh waktu.  
Mendengar jawaban Anda, apa reaksi Sjam,   
Dia marah.  Bung belum bertempur, sudah takut!  Yang juga menentang usul Sjam yaitu  Suwandi. saat  ditegur Sjam, saya diam saja. Sjam, Pono, dan Bono setuju pergerakan  militer yang sudah disiapkan tentara. namun  saya bertanya: akan berperang , kok, massa tidak ikut,  Kita perlu belajar dari Tiongkok. Di sana rakyat yang berperang , tentara cuma hanya sekedar  jadi promotor.  Kesan Anda terhadap Sjam,   
Sjam itu sombong dan enggak mau belajar teori. Dia bercerita pernah  kerja di Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran Tanjung Priok. Dia pernah  menyelamatkan Aidit lalu disuruh mengawal Aidit. Dia sobat kental Aidit. Apa sebetulnya  Biro khusus sentral  itu,   Orang yang masuk Biro khusus sentral  yaitu  orang pilihan. Sebelum masuk, mereka dilatih dan diamati. Biro khusus sentral  dahulu nya badan militer PKI. Biro ini ilegal (rahasia) sebab  mengurusi tentara dan mempengaruhi tentara. Bahwa PKI ada juga di tentara, itu kan tertutup. Sjam yang memegang peranserta  utama. Dia hubungannya langsung dengan Aidit. Empat lainnya tak boleh mengetahui  apa yang diomongkan Aidit dengan Sjam. Biro khusus sentral  yaitu  alat Aidit untuk bisa menguasai partai.  Siapa saja yang mengetahui  keberadaan Biro khusus sentral ,   Biro khusus sentral  ada sejak 1964 dengan misi  membantu Ketua Partai D.N. Aidit. Sjam yaitu  tangan kanan atau orang tepercaya ketua partai. Jadi yang mengetahui  adanya Biro Chusus itu cuma hanya sekedar  Aidit dan beberapa temannya yang dipercaya, contohnya  Sudisman (sekretaris jenderal) dan Oloan Hutapea (anggota Politbiro). Dari 18 anggota Politbiro PKI, paling cuma hanya sekedar  tiga orang yang mengetahui .  Siapa saja anggota Biro khusus sentral ,   Biro khusus sentral  itu terdiri atas Sjam (ketua), Pono (wakil ketua), Bono (sekretaris), Suwandi (keuangan), dan saya (pendidikan). Saya termasuk baru dalam Biro khusus sentral . Tadinya saya guru di Sekolah Partai Central (seperti  kursus ideologi milik PKI ). Sjam, Pono, dan Bono sudah dihukum mati. Wandi sudah meninggal. Yang sekarang ada tinggal saya. Entah sampai kapan saya hidup, ha ha ha.... Tiga orang terpenting dalam Biro khusus sentral  yaitu  Sjam, Pono, dan Bono. Mereka menguasai segala hal, termasuk yang memimpin operasi militer. Wandi mengurus usaha, seperti pabrik dan bengkel. Saya bidang teori dan pendidikan. 
Anda sempat ditahan bersama Sjam di penjara Cipinang,  Saat di Cipinang, saya ketemu dengan Sjam. Ngobrol ngobrol. Dia berkata ,  Sekarang ini 
bagaimana caranya untuk memperlambat eksekusi mati. sebab  itu, saya bikin keterangan yang beragam  agar   mereka (tentara) bingung.  Dari situ saya mengetahui  dia itu penakut. Saya balas:  Bung, Anda dahulu  ngomong penjara atau mati. Sekarang Bung ngomong agar   tidak segera dieksekusi.  berdasar keterangan saksi  Sjam, pengakuan apa yang dia berikan kepada tentara,   
Dia berkata  bahwa dia intel ABRI. Jadi mata mata kembar . Padahal enggak betul. Bahwa dia 
menyamar sebagai intel ABRI itu kamuflase. Perwira intel memberi dia surat (keterangan) sebagai intel agar dia bisa ke mana mana, termasuk masuk pos tentara. Anda menganggap Sjam pengkhianat,   Omongannya enggak pernah  sesuai. dahulu  dia berkata ,  Masuk Biro khusus sentral  itu konsekuensinya penjara atau mati.  Saya jawab,  Untuk partai, sih, apa saja saya 
lakukan.  namun , sesudah  itu, saat menghadapi hukuman mati, dia gentar. Dia dihukum tembak pada 1986 bareng Pono, Bono, dan seorang kolonel AURI. Sjam yang bombastis dan suka marah marah ternyata waktu menghadapi kematian menjadi oportunis. Anda ditahan dalam sel yang terpisah dengan Sjam,   pernah  Munir (tahanan politik PKI Red.), Bono, Sjam, dan saya dalam satu kamar. Di situ saya banyak ngomong dengan Sjam. namun  orang lain enggak ada yang mau ngomong dengan dia. Sjam mereka anggap terlalu banyak membocorkan keberadaan 
perwira militer dalam tubuh PKI. rumah joglo berkapur putih, dengan kusen biru, itu tampak berdebu tak terawat. Beberapa pot bunga berserakan di bagian depan, sarang laba laba bergelayutan di sudut tembok. Rumah itu memang tak lagi dihuni, cuma hanya sekedar  dijadikan gudang.  Di depannya, agak ke kanan, tegak rumah kayu model serupa yang lebih besar, bercat 
putih dengan kusen kuning. berdasar keterangan saksi  Ruslan bukan nama sebetulnya  rumah kayu yang ditempatinya ini sudah berumur sekitar 125 tahun .  Sudah ditempati 4 generasi,  
kata menantu Sjam Kamaruzaman itu.  Ruslan, 67 tahun , beristrikan Laksmi sebut saja begitu putri bungsu Sjam dari lima bersaudara, yang 23 tahun  lebih muda. Pasangan ini beranak satu, sesudah  menikah cukup   lama.  Di rumah inilah Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro khusus sentral  Partai Komunis  Indonesia  , dilahirkan pada 30 April 1924. Rumah berlingkung tembok 1,5 meter dengan lahan 1.450 meter persegi itu terletak di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten 
Tuban, Jawa Timur.  Untuk ukuran kampung padat penduduk itu, rumah ini berbentuk   besar. Ayah Sjam, R  Achmad Moebaedah, memang berbentuk   orang berada. Pada masa hidupnya, orang tua itu penghulu seperti  kepala pengadilan agama. Adapun ibunya, Siti Chasanah, asal 
Blitar, Jawa Timur, bergelar Raden Roro.  
Sjam anak kelima dari sepuluh bersaudara dua di antaranya meninggal pada masa  kanak. berdasar keterangan saksi  Laksmi, berdasarkan cerita Latifah, adik Sjam yang sudah  wafat, Sjam 
dinamakan anak yang sulit diatur orang tua. Ia gemar menyendiri, contohnya  ke kuburan. Sebagai anak penghulu, Sjam belajar mengaji sejak kecil.  Sejak kecil Sjam mengagumi nenekmoyangnya , R Prawiroredjo, yang konon memiliki  ilmu kanuragan. Saking kagumnya, Sjam mencantumkan nama sang kakekdi belakang foto 
dirinya seukuran kartu pos, yang diambil pada 1950 an. sebab  keuangan orang tuanya 
yang memadai, Sjam dan para saudaranya bisa menikmati sekolah formal waktu itu.  Di Tuban, Sjam masuk Sekolah Rakyat, lalu melanjutkan pendidikan ke Land & Tuinbouw School dan Suikerschool di Surabaya, yang terputus sebab  Jepang datang, pada 1942. Setahun  lalu , ia masuk Sekolah Menengah Dagang di Yogyakarta, 
hingga kelas dua, dan putus lagi sebab  pecahnya perang  kemerdekaan.  berdasar keterangan saksi  berita acara pemeriksaannya, Sjam aktif mengikuti kegiatan Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah. sesudah  di Surabaya, ia lebih banyak menghabiskan waktu bermain bola dan atletik. Belakangan, di Yogyakarta, ia juga main 
musik dan menyanyi.  Sjam mulai bersentuhan dengan dunia politik saat  bersekolah di Yogyakarta, dengan ikut perkumpulan  pemuda Pathuk. Di sini ia menumpang hidup bersama kerabatnya. berdasar keterangan saksi  Suryoputro bukan nama sebetulnya  yang saat itu bersekolah di Taman Siswa, Sjam sering ikut pertemuan gelap yang digelar pergerakan  perlawanan.  Biasanya, laki laki  berambut keriting dan bertubuh gempal itu lebih banyak diam 
memperhatikan.  Dia itu tipenya ngoho (preman), jadi tidak banyak ngomong,  kata Suryoputro. Seperti pemuda lain pada masa itu, Sjam ikut bergerilya melawan Belanda.  berdasar keterangan saksi  Suryoputro, Sjam ikut pertempuran di Mranggen, Ambarawa, dan Magelang, 1946 1947, dan sempat memimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Pada 31 Desember 
1947, bersama Sjam dan seorang rekan lain, Suryoputro berangkat ke Jakarta untuk 
melanjutkan studi. Kelompok Pathuk bubar, dan banyak anggotanya masuk partai politik.  
Di Karawang, mereka bertiga sempat ditahan Kemal Idris saat  itu komandan batalion  di Cikampek. sesudah  menunggu sehari, mereka melanjutkan perjalanan.  Sengaja  menunggu sebab  Belanda pesta tahun  baru sehingga penjagaan di Jakarta lebih  kendur,  kata Suryoputro.  Di Jakarta, mereka tinggal di Jalan Bonang, tak jauh dari Tugu Proklamasi sekarang. 
sesudah  itu, mereka pindah rumah berkali kali. Sjam jadi pegawai Kantor Penerangan Jawa Barat, meski kantornya di Jakarta.  namun  tidak ada kerjanya, cuma hanya sekedar  duduk duduk.   
Sjam bersama beberapa kawan lalu  ikut aksi gerilya tengah malam , melempari pasukan 
Sekutu yang berjaga di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan granat.  Wilayah kerja  tengah malam   Sjam di seputar Jalan Kramat Raya. Entah bagaimana, Sjam juga bersentuhan 
dengan organisasi buruh kereta api.  Bersama rekan rekannya, Sjam mengatur perjalanan desersi orang  negara kita  yang bergabung dengan tentara Belanda, Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), dan ingin  menyeberang  ke pedalaman. Ia lalu  ikut mendirikan Serikat Buruh 
Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor.  
Pada 1949, Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, yang lalu  berubah nama menjadi Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran.  Jumlah anggotanya pernah  mencapai 13 ribu orang di Tanjung Priok saja,  kata Suryoputro, yang pernah  memimpin organisasi itu.
saat  terbentuk Badan Pusat Sementara Sarekat Sarekat Buruh, yaitu  gabungan serikat buruh pada masa itu, Sjam dipercaya sebagai wakil ketua. Organisasi ini lalu  bubar, digantikan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh negara kita  (SOBSI), yang berafiliasi ke PKI.  Sjam menjadi pengurus SOBSI hingga 1957. Pada masa itulah ia menikah dengan Enok Jutianah, wanita  Sunda aktivis buruh pelabuhan, yang meninggal sesudah  melahirkan anak kelima.  berdasar keterangan saksi  berita acara pemeriksaan, Sjam bertemu dengan Aidit pertama kali pada 1949. Aidit, saat  itu, dalam persembunyian di Jakarta sesudah  Peristiwa Madiun, 1948. Aidit lalu  menawari Sjam masuk PKI.  Saya terima dengan baik,  kata Sjam, seperti  tercantum dalam berita acara. Sejak 1957, Sjam menjadi pembantu pribadi Aidit, dan mundur dari serikat buruh.  Aidit menugasinya mengurus manuscript tasi yang berhubungan dengan ideologi  Marxisme Leninisme. Tiga tahun  lalu , ia menjadi anggota Departemen Organisasi PKI, yang khusus menangani anggota dari unsur militer. Selang 4 tahun , dibentuklah Biro khusus sentral , dengan Sjam sebagai ketua.  berdasar keterangan saksi  Suryoputro, sekitar 1949, Sjam sempat memicu  skenario  penjemputan Aidit  sepulang  dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia diajak Sjam berboncengan sepeda. Di pelabuhan, Suryoputro kebagian misi  menjaga sepeda, sedang  Sjam berpura pura menjemput Aidit yang baru turun dari kapal.  Skenario penjemputan ini dibuat untuk memberikan kesan Aidit menyingkir ke Vietnam dan mempelajari Marxisme di sana, sesudah  Peristiwa Madiun. Selama di Tanjung Priok itu, berdasar keterangan saksi  Suryoputro, dia tinggal bersama Sjam.  Kami makan dan minum dari piring dan gelas yang sama.   Sjam gemar mengenakan baju kaus berkerah. Pembawaannya sederhana dan dia 
mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. namun , seingat Suryoputro, Sjam paling takut sama cecak.  jika  saya jengkel sama dia, saya kasih cecak saja. Dia akan lari menjauh.   
Pada mata kiri atas Sjam ada bekas luka, begitu juga di belakang pahanya.  Itu bekas luka akibat pantulan peluru saat  berlatih menembak di Yogya dahulu ,  kata Suryoputro.  Di mata anak anaknya, Sjam tetap ayah yang baik.  Kami sering  diajak makan enak di rumah makan,  kata Shinta bukan nama sebetulnya  anak kedua Sjam, kini 53 tahun . 
Bagi Maksum bukan nama asli anak sulungnya, Sjam bahkan rada melankolis.  Bapak 
pernah  menangis saat  saya berkelahi dengan adik saya,  katanya.  Waktu itu, Ibu baru 
saja meninggal.   tengah malam  semakin tengah malam  saat  dua tiga pemuda kelompok Pathuk berjalan dalam diam, mengintai dari balik pepohonan dan bilik rumah. Mereka mencari laki laki   asing yang biasanya berseragam tentara.  
Situasi seperti ini, berdasar keterangan saksi  Suryoputro nama samaran aktivis Pathuk merupakan saat yang tepat untuk berburu tentara Jepang. Mereka, umum nya, baru pulang  dari pelesir syahwat di Kota Yogyakarta.  Pencegatan biasanya dilakukan dua tiga pemuda Pathuk merujuk pada nama kawasan di Kota Gudeg itu.  Jika ketemu anak anak Pathuk, hampir bisa dipastikan Jepang itu mati,  kata Suryo, kini 81 tahun .  Sjam Kamaruzaman, bekas Kepala Biro khusus sentral  Partai Komunis  Indonesia  , dan beberapa pemuda Pathuk lainnya, berdasar keterangan saksi  Suryoputro, gemar melakukan aksi ini. Mereka memakai  pipa besi berisi timah cor coran, mengendap dari belakang, lalu dhek wasalam....  Suryoputro saat  itu masih siswa Sekolah Taman Siswa kelas satu. Sjam tercatat sebagai siswa di sebuah sekolah dagang. Ayah Suryoputro yaitu  adik bungsu Ki Hajar 
Dewantara, pendiri Taman Siswa dan Bapak Pendidikan Nasional.  Kelompok Pathuk, berdasar keterangan saksi  Suryoputro, berjumlah sekitar 50 orang, dan banyak di antaranya murid Taman Siswa. Salah satunya Isti Sudarsini, yang juga masih kerabat Tyasno Sudarso, bekas Kepala Staf TNI Angkatan Darat.  Aktivitas rutin para pemuda Pathuk yaitu  bersekolah.  Kebanyakan anggotanya siswa  sekolah menengah.  Mereka baru aktif menggalang kekuatan dan menyusun rencana pada tengah malam  hari, diam diam, agar tak terendus intel Jepang.  berdasar keterangan saksi  Oemiyah, istri almarhum Dajino salah satu tokoh pemuda Pathuk anggotanya 
berdiskusi tiap tengah malam  mengenai situasi politik dan keamanan. Oemiyah, 81 tahun , 
masih kerabat Faisal Abda'oe, bekas Direktur Utama Pertamina.  Kelompok ini melakukan apa saja untuk mengganggu ketenangan serdadu Jepang. contohnya  mencopoti bola lampu di seputaran kawasan Kotabaru, Yogyakarta, hingga 
mendorong serdadu Jepang dari kereta api yang sedang melaju cepat.  Baru berjalan setahun  dua, aksi kelompok ini tercium Ki Hajar, yang segera meminta mereka menghentikannya. Ki Hajar meminta para pemuda berlatih senjata secara 
benar, dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta), bentukan Jepang.  saat  itu Soekarno dan beberapa pemimpin lain memang sedang berusaha  menjalin kerja sama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan. Sebulan sesudah  Proklamasi Kemerdekaan, para pemuda dan masyarakat berunjuk rasa, berusaha  menurunkan 
bendera Jepang di Gedung Agung, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan.  Bersama Munir, yang lalu  menjadi Ketua Umum Sentral Organisasi Buruh Seluruh negara kita  yang berafiliasi dengan PKI Sjam ikut meminta mundur tentara Peta yang berjaga. Agar terlihat mempercayakan , mereka menunjukkan senapan yang mereka curi dari tangsi militer Jepang.  
Akhirnya tentara Peta mau menyingkir. Melihat orang yang jumlahnya ribuan dan terus 
bertambah, pasukan Jepang dan pejabatnya menyingkir keluar dari gedung. Sang Merah Putih berkibar di tiang bendera, menggantikan bendera Jepang.  sebab  banyaknya senjata yang dapat dirampas atau dicuri dari Jepang, berdasar keterangan saksi  Suryoputro, para pemuda bekerja sama dengan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Resimen di Yogyakarta.  Dari sinilah perkenalan teman teman dengan Soeharto.   
Demikian juga  Sjam Kamaruzaman berkenalan dengan Soeharto. namun , berdasar keterangan saksi  Suryoputro, perkenalan itu tidak intensif, cuma hanya sekedar  sebatas perkenalan biasa.  
 IA selalu berdoa tiap kali melewati deretan tiga rumah, setengah kilometer dari Stasiun Kramat, Jakarta Pusat, itu. Dari atas kereta api Bekasi Senen, kendaraannya menuju kantor setiap hari, ia mengenang rumah masa kecilnya.  Saya berdoa: Ya Allah, jika  memang rumah itu milik kami, kembalikanlah,  kata laki laki  itu, Kelana, putra keempat Sjam Kamaruzaman, yang nama aslinya kami samarkan.  Keluarga Sjam tinggal di Jalan Pramuka Jati itu pada 1960 1969. Sebelumnya, mereka berpindah pindah tinggal di Kemayoran (Jakarta Utara), Jatinegara (Jakarta Timur), dan 
Paseban (Jakarta Pusat). Kelana lahir pada tahun  pertama keluarga itu tinggal di Pramuka Jati. Tanahnya 900 meter persegi, yang kini sudah dibagi tiga.  Beberapa waktu sesudah  pergerakan  30 September meletus, pasukan Corps Polisi Militer menggerebek rumah itu. Empat anggota pasukan Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi 
Militer, yaitu  Arneld Najir, Suyadi, Gatot Wiyono (almarhum), dan Hadi Suwito, lalu  mengambil alih rumah. Mereka membagi rumah dan tanah itu menjadi tiga bagian.  Empat intel Polisi Militer itu awalnya terlibat pada Operasi Kalong. misi nya mengintai keberadaan Sjam di Pramuka Jati. Untuk keperluan itu, mereka menyewa sebuah 
rumah kecil di seberang rumah Sjam. Hanya rel kereta api memisahkan dua rumah ini.  Rumah yang dihuni istri kedua Sjam dan lima anaknya digerebek menjelang magrib. Puluhan anggota Corps Polisi Militer Gajah Mada terlibat dalam operasi ini. Ratusan  penduduk menonton penggerebekan dari seberang rel. Maksum, putra pertama Sjam, yang namanya juga kami samarkan, mengaku ketakutan melihat kerumunan massa. Budi Santoso, 79 tahun , penduduk Pramuka Jati yang dahulu  ikut berkerumun, 
mengatakan,  Massa marah dengan Partai Komunis  Indonesia   dan kami terkejut  dengan 
keterlibatan tetangga kami.   Pasukan Polisi Militer Gajah Mada bertahan satu hari di rumah Sjam. Hari berikutnya, pasukan Polisi Militer Siliwangi gantian berjaga. Sepekan sesudah  itu, kelompok Arneld, Suyadi, Gatot, dan Hadi menghuni rumah itu bersama keluarga masing masing.  Arneld mengatakan kepindahannya didasari surat perintah yang ditandatangani Direktur Polisi Militer Asisten II Kolonel CPM Budiono. Surat itu diterbitkan pada 20 November 
1965.  namun  kami sudah bekerja   beberapa waktu sebelum itu,  kata Arneld.  berdasar keterangan saksi  Suyadi, misi  utama mereka mencari data dan manuscript  milik Sjam. Semua 
buku Sjam diangkut ke pos Polisi Militer. Buku berbahasa Belanda, Cina, dan Rusia diangkut dalam satu mobil jip penuh.  Sjam dan istrinya memang gemar membaca. Mereka memiliki perpustakaan 2 x 3 meter  persegi. Biasanya Sjam membaca dari petang hingga pukul 21.00.  Saya pernah  melihat Bapak membaca buku mengenai strategi militer Sun Tzu,  kata  Maksum. Selain 
mengangkut buku buku, kata Maksum, para anggota Polisi Militer mengambil sepatu 
kulit Sjam. Sepatu hitam berbulu dari Jepang juga diangkut.  Sejak kepindahan empat keluarga Polisi Militer itu, anak anak Sjam tersingkir. Para intel 
sering berbicara kasar. Awalnya lima anak Sjam menempati dua kamar dari 8 kamar di rumah itu. Belakangan mereka hanya boleh tinggal di garasi. Pada 1969, mereka dengan terpaksa  keluar dari rumah itu.  berdasar keterangan saksi  Arneld, Polisi Militer menganggap rumah Sjam sebagai sitaan negara. Rumah itu lalu dijadikan asrama kesatuan. sesudah  tinggal hampir sepuluh tahun , empat keluarga ini  mengajukan surat permohonan untuk membeli rumah  milik negara  
itu. Surat ditujukan ke Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Surjadi Soedirdja.  Panglima Kodam setuju para anggota Polisi Militer membeli tanah ke negara. Saat mengurus sertifikat rumah ke dinas agraria, mereka diminta menyertakan bukti jual beli dengan pihak hak waris. Suyadi pun giat mencari Kelana. Pada 1988, usaha ini berhasil.  berdasar keterangan saksi  Kelana, para anggota Polisi Militer itu menemuinya di kantor tempatnya bekerja. Mereka menyatakan membayar Rp 3 5 juta untuk  membeli  rumah.  Itu pun dicicil Rp 100 ribu setiap bulan,  katanya.  
 hanya Arneld yang hingga kini masih menempati satu dari tiga rumah itu. Pensiunan letnan dua ini memperoleh   jatah  sekitar 290 meter persegi. dahulu nya ini lahan kosong yang pernah  dipakai menjadi garasi mobil keluarga Sjam.  Awal saya menempati, bangunannya hanya dikelilingi tembok setengah badan dan jeruji kawat di bagian atas,  kata  Arneld, 67 tahun . Kini di lahan itu dibangun sebuah rumah berlantai marmer merah 
tua, berpagar besi hijau kuning.  Suyadi dan Gatot bersama sama menempati rumah utama Sjam. Adapun Hadi menempati satu sisi lainnya. Sejak 1994, rumah Suyadi dan Gatot itu dijual. Pembeli 
pertama bernama Azis, pemilik sebuah usaha percetakan, dengan nilai jual Rp 260 juta. 
Empat tahun  lalu , rumah dijual lagi ke Budi Yulianto, distributor alat alat kesehatan.  
Rumah  jatah  Hadi Suwito awalnya menyatu dengan rumah utama yang ditempati Suyadi dan Gatot. Ini rumah dengan tiga kamar tidur plus sebuah garasi. Luasnya sekitar 200 meter persegi. laki-laki  68 tahun  yang kini tinggal di Trenggalek, Jawa Timur, itu menjualnya pada 1995. Pemilik barunya kini menyewakan rumah itu untuk kantor 
redaksi majalah Tarbawi.  Teralis jendela berbentuk dua bunga teratai masih menempel di tembok ruang tamu rumah keluarga Sjam. Membingkai jendela ukuran 1 x 3,5 meter, teralis ini kenangan masa kecil yang paling diingat anak anak Sjam. Istri Sjam, Enok Jutianah, memesan 
khusus teralis itu ke tukang las.  Ibu yang mendesain. Dia pelukis,  kata Maksum.  
Kenangan teralis sangat dalam. Maksum mengatakan itulah peninggalan terakhir sang 
ibu yang meninggal pada usia 37 tahun , setahun  sebelum pergerakan  30 September. Setiap lekukan rumah Sjam juga dibiarkan tak berubah sesudah  ditinggalkan hampir 40 tahun . Bangunan masih terlihat kukuh.  Seluruh kusen, pintu, dan jendela rumah terbuat dari kayu jati. Tak terlihat satu bagian pun lapuk dimakan usia. Ubin yang dipasangi keramik putih pun masih terlihat mengkilap.  Hampir 29 tahun  menempati rumah Sjam, Suyadi hanya sekali mengubah warna cat.  Rumah ini kan bersejarah, pernah  beberapa kali dipakai rapat PKI,  kata laki-laki  73 tahun  yang kini tinggal di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden, Kramat Jati, Jakarta 
Timur, itu.  Keluarga Suyadi dan Gatot pun tak mengubah bangunan. Mereka hanya membagi 
rumah yang awalnya terdiri atas lima ruangan. Selain menjadi  rumah itu tempat tinggal, Suyadi, yang pensiun dengan pangkat kapten, pernah  menjadi  halaman depan rumah sebagai gudang penyimpanan bajaj pada 1970 1980.  Toyib, pekerja Budi Yulianto, kini menempati rumah itu. Dia pun sama sekali tak memugar rumah utama.  Kami hanya mengubah catnya menjadi hijau,  katanya. Namun ia membangun gudang penyimpanan mesin di halaman depan rumah. Di halaman belakang juga dibangun tempat penginapan yang berkapasitas tujuh orang.  
Menempati rumah itu sejak 1998, Toyib pernah  menemukan kejadian ganjil. Suatu hari seorang bapak mampir dan menyatakan tertarik membeli rumah. saat  bercakap cakap, sang tamu memotong pembicaraan. Ia bertanya soal tiga orang laki-laki  yang berdasar keterangan saksi  dia baru saja keluar dari gerbang rumah.   Saya heran,  kata Toyib,  sebab  saya sama sekali tak melihat ada siapa pun.  Calon pembeli pun membuang ketertarikannya sebab  menganggap tiga orang yang dilihatnya sebagai  penjaga  rumah.  Kelana masih menyimpan harapan memiliki rumah berteralis dua bunga teratai itu. Ini 
bukan perkara mudah, sebab  semua sertifikat tak lagi dikuasai keluarganya. Ia pernah  diberitahu   bahwa ibunya pernah  mengurus sertifikat rumah. Namun notaris yang dahulu  mengurusnya kini bermukim di Singapura dan tak bisa dilacak.  
Kini hanya doa yang ia memiliki  harapan yang selalu ia rapalkan dari atas kereta.   6 hari sesudah  30 September 1965, kesibukan melanda beberapa  pemimpin Biro Chusus badan rahasia Partai Komunis  Indonesia  . Berkumpul di rumah Waluyo, seorang aktivis PKI, di Gang Listrik, Jakarta Pusat, pemimpin pergerakan , Sjam Kamaruzaman, angkat bicara.  Sekarang misi  kita menyelamatkan diri. Saya akan ke Bandung. Pono pergi ke Jawa Tengah. Hamim dan Wandi berada di Jakarta untuk menghimpun partai.   Hamim, 83 tahun , satu dari lima pengurus Biro, bercerita kepada Tempo. saat  itu, Sjam menyatakan Biro khusus sentral  dibubarkan.  Sjam pamitan kepada saya. Sejak saat itu, saya putus hubungan dengan Sjam, sampai lalu  bertemu lagi di penjara Cipinang. berdasar keterangan saksi  pengakuan Sjam dalam berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat, keputusannya kabur ke Bandung diambil bukan atas perintah Ketua PKI D.N. Aidit.  Pimpinan partai tidak sempat memberikan instruksi,  katanya. 3 hari sebelumnya, beberapa  pengurus Biro khusus sentral  memang berkumpul di rumah Sudisman, Sekretaris Jenderal PKI. Di sana Sjam ditanya mengapa G30S gagal. Ia menjelaskan soal Batalion 530 dan 454 yang semula diandalkan PKI namun  belakangan malah mundur dan bergabung dengan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat 
(Kostrad). Sudisman mengeluarkan perintah: segera selamatkan diri dan selamatkan 
partai.  Sejak itu, dimulailah masa pelarian Sjam. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, 8 Oktober 1965, Sjam dibawa Mustajab, anggota staf Biro khusus sentral  dari Sumatera Utara, ke Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di rumah siapa,   Saya tidak mengetahui . pemberangkatan dari Jakarta maupun penerimaannya di Bandung saya serahkan sepenuhnya kepada Mustajab,  kata  Sjam kepada penyidik.  Di rumah itu, pada pukul tiga sore, Sjam masuk kamar dan tidak keluar sama sekali. Sjam meminta Mustajab mempersiapkan taksi untuk berangkat ke Bandung.  Lalu kami berencana bertemu lagi di Cisarua,  kata Sjam.  Keesokan harinya, pukul sembilan pagi, taksi sudah  siap di Kebayoran Baru.  Di dalam taksi ada sopir dan seorang lagi. Dua duanya saya tidak kenal dan juga tidak memberikan nama, hanya bersalaman.  Di sepanjang jalan, yang ada hanya sepi, tak ada pembicaraan apa pun.  Saya sendiri juga tidak merasa safe, sebab  dengan terpaksa , ya, ditempuh juga,  demikian tertulis dalam berita acara pemeriksaan Sjam.  Sesampai di Cisarua, dekat sanatorium, oleh pengantar itu Sjam dibawa ke sebuah rumah, tak jauh dari jalan besar.  Saya disuruh menunggu sampai Mustajab datang,  katanya. Sekitar pukul setengah empat sore, Mustajab tiba, lalu pengantar itu pun 
kembali ke Jakarta.  Menginap setengah malam  di Cisarua, paginya pukul sepuluh Sjam berangkat bersama Mustajab dengan kendaraan yang lain menuju Bandung.  Di perjalanan tak ada 
gangguan apa apa,  kata Sjam. Sekitar 10 kilometer menjelang Bandung antara Padalarang dan Cimahi kendaraan berhenti. Sjam lalu dioper ke anggota staf Biro Chusus Daerah Jawa Barat bernama Tati.  Bersama Tati saya menuju Bandung dan Mustajab kembali ke Jakarta.   
Sampai di Bandung pukul 14.00, Tati langsung mengantar Sjam ke rumah seseorang bernama Jaja. Dua hari lalu , Tati menjemput Sjam dan membawa bawa nya ke Cipedes, Bandung, ke sebuah kamar sewaan.  Di sini saya tinggal selama dua setengah bulan, sampai akhir Desember 1965,  kata  Sjam.  Di Cipedes, Sjam bertemu dengan Haryana, Kepala Biro khusus sentral  Daerah Jawa Barat. berdasar keterangan saksi  Hamim, Haryana yaitu  keturunan Tionghoa yang pernah  menjadi Ketua Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia   (Sarbupri) di Subang.  Awal Januari 1966, Sjam pindah ke daerah Cibabat, antara Bandung dan Cimahi, di 
rumah anggota Polisi Militer bernama Idris. Sepekan di sana, ia mengungsi lagi ke rumah Jaja.  Di rumah Jaja, saya tinggal enam bulan,  katanya. Di rumah ini, pada Juni 1966, Sjam kembali bertemu dengan Haryana. Keduanya membicarakan situasi di Bandung dan masalah keamanan Sjam yang  semakin sempit sebab  terus ada razia tentara .  Bekal uang Sjam juga makin tipis.  Dari Jakarta, saya bawa uang sejuta rupiah, yang  saya ambil dari uang sisa usaha Biro khusus sentral .  Dalam perhitungan Sjam, uang itu bisa dipakai selama lima bulan dalam pelarian. Betul saja, sesudah  itu, kantongnya kempis 
dan Sjam dengan terpaksa  melego arloji dan barang barang lain yang ia miliki. Dalam pelarian, 
keuangan Sjam juga dibantu Biro khusus sentral  daerah.  Akhir Juli 1966, Sjam pindah ke rumah Suparman, seorang tentara berpangkat letnan 
dua, di Cimahi.  Saya tinggal hingga September,  kata Sjam.  Selama di Bandung, Sjam mengaku tak bisa berhubungan dengan pemimpin PKI di 
Jakarta. Mula mula ia memang memanfaatkan Mustajab sebagai penghubung. Namun, 
sejak Juli 1966, hubungan itu terputus. Sjam lalu menunjuk seseorang bernama Edy Suyono untuk mencari kontak dengan pemimpin partai di Jakarta. namun  usaha itu gagal.  Oktober 1966, Sjam pindah ke rumah seseorang bernama Idi di Jalan Taman Sari, tak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung. Sebulan lalu , dia menginap di Hotel Bali, hingga akhir Desember.  saat  di Hotel Bali, November 1966 itu, Sjam bertemu lagi dengan Haryana. Sambil berjalan mengelilingi lapangan Lodaya, keduanya membahas situasi organisasi.  Saya sarankan agar   dibentuk grup grup. Anggotanya 3, 5, atau 6 orang untuk tiap grup dengan satu koordinator,  kata  Sjam. Kepada penyidik, Sjam mengaku memberikan  nasihat  mengenai  teori teori dan cara membangun kembali PKI.  Awal 1967, setidaknya dua kali Sjam pindah rumah. Terakhir ia menginap di rumah 
seorang pengurus PKI di daerah Padasuka. Di sini, Sjam kembali bertemu dengan Haryana.  Saat itu Haryana sakit. Fisiknya lemah.   Pada 6 Maret 1966, Sjam memperoleh  kabar bahwa seseorang bernama Jojo, yang mengetahui  persembunyiannya di Padasuka, ditangkap aparat. Tak menunggu lama, Sjam segera lari ke rumah Suparman di Jalan Simpang Nomor 15, Cimahi, diantar simpatisan PKI bernama Santa Lusina.  Perpindahan dari Padasuka ke Cimahi atas 
inisiatif saya sendiri. Tanpa persiapan apa apa. Mendadak,  kata Sjam.  Di rumah Suparman, perasaan Sjam sudah tak enak. Sjam berencana hanya dua hari di sana. namun , pada hari yang disetujui , Santa Lusina yang berjanji akan mengantar malah tidak datang.  Masa pelarian Sjam memang tak panjang. Pukul satu tengah malam  9 Maret 1967, saat  terlelap, ia ditangkap dalam Operasi Kodam Siliwangi dengan nama sandi Kalong. Saat pulang  dari Padasuka, Santa disergap.  Dia menunjukkan tempat saya menginap,  kata Sjam dalam kesaksiannya.  
  Dosen sejarah di Universitas British Colombia, Kanada, dan penulis buku Dalih  Pembunuhan Massal (2008). mengenai  buku itu, lihat http://johnroosa dpm.blogspot.com.  ia duduk di kursi saksi di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili Sekretaris Jenderal Partai Komunis  Indonesia   Sudisman, Juli 1967. Itulah untuk pertama kali ia, Sjam Kamaruzaman, muncul di depan publik. Sebelum pergerakan  30 September terjadi, Sjam lebih dinamakan pengusaha, komisaris PT Suseno, perusahaan penjual genting di Pintu Air, Jakarta Pusat.  sesudah  G30S gagal, selama satu setengah tahun  ia bergerak di bawah tanah sebelum akhirnya ditangkap pada sebuah tengah malam , Maret 1967, di Cimahi, Jawa Barat. Tak seorang pun di antara pengunjung yang hadir pula  di pengadilan Sudisman pernah  melihat  Sjam sebelumnya. Hari itu ia seperti pesulap datang tiba tiba, entah dari mana.  Di pengadilan Sudisman, sudah beredar kabar bahwa seorang bernama Sjam memainkan peran  kunci dalam G30S. Pembela dan saksi saksi dalam sidang Mahmilub sebelumnya sudah  juga  menyebut bahwa Sjam yaitu  seorang sipil, bagian dari kelompok inti G30S yang bertemu di Halim, 1 Oktober 1965. Namun banyak yang 
berasumsi bahwa  Sjam  yaitu  nama samaran dari petinggi PKI yang sudah dikenal luas. Soalnya, tak seorang pun petinggi PKI bernama Sjam. namun  hari itu di ruang  pengadilan ia muncul dan mengaku sebagai Sjam yang asli dan satu satunya.  Para pengamat di pengadilan bertanya tanya kesaksian apa yang akan diberikan Sjam. 
Akankah ia tutup mulut dan tetap misterius,  Atau akankah ia menjelaskan peranserta nya 
dalam G30S dan menerangkan hubungannya dengan PKI,  Akankah ia menjelaskan 
hubungannya sebagai warga sipil dengan militer dalam merencanakan G30S,  Kesaksiannya sungguh mengejutkan. Ia mengaku ketua badan rahasia di dalam PKI yang bernama Biro khusus sentral  dan bekerja di bawah komando Ketua PKI, D.N. Aidit. Sjam menekankan bahwa Biro khusus sentral  yaitu   aparat ketua partai  dan sama sekali tak memiliki  hubungan dengan Politbiro atau Comite Central PKI. Sebelum kesaksian Sjam itu tak seorang pun pernah  mendengar soal Biro khusus sentral . Dalam propaganda militer 
sebelum Juli 1967, juga dalam koran dan beberapa  pernyataan di pengadilan G30S, 
saya tak pernah  menemukan nama Biro khusus sentral  dikabarkan .  Sjam bicara panjang lebar saat  hakim ketua memintanya menjelaskan misi  Biro Chusus. Ia menjelaskan bagaimana Biro khusus sentral  berhubungan dengan aparat militer. Juga soal bagaimana ia memperoleh  informasi  mengenai  perwira mana yang pro dan anti PKI, meminta bantuan tentara dan membujuk beberapa  perwira untuk mendukung PKI. 
Perusahaan genting yang ia pimpin hanyalah alat untuk mencari uang buat Biro khusus sentral  
dan sarana untuk menyamarkan hubungannya dengan perwira perwira militer.  Sjam juga mengklaim bahwa dialah orang yang mengorganisasi G30S, bukan Letnan 
Kolonel Untung. Dia menyatakan bahwa dia diperintah oleh Aidit satu satunya orang di 
dalam PKI yang berhubungan dengan dia untuk mengantisipasi gerakan gerakan  oleh Dewan 
Jenderal dengan memobilisasi perwira militer yang progresif dan pro Soekarno. 
Menjelaskan kepemimpinannya ia berkata,  Saya pegang pimpinan politiknya dan Saudara Untung pegang pimpinan militernya, namun   pimpinan militer ini di bawah pimpinan politik.  Katanya lagi,  Saya sebagai pimpinan bertanggung jawab atas segala kejadian yang ada.   Beberapa pengamat di ruang sidang ragu atas kesaksian ini. Jika Sjam berada pada posisi yang begitu tinggi dan sensitif di dalam partai, ditunjuk dan dipercaya Aidit untuk 
memimpin operasi rahasia melawan militer, mengapa ia begitu saja membuka rahasia 
PKI,  Untuk menjadi anggota PKI seseorang harus disumpah untuk menyimpan rahasia partai. Dengan posisinya itu, Sjam mestinya menghormati aturan itu lebih dari orang lain.  
Jika ia yaitu  sosok penting dan rahasia dalam partai, mengapa ia tak bicara seperti Sudisman yang mengutuk diktator militer Soeharto seraya memuji muji PKI,  Kesaksian  Sjam tidak mengindikasikan bahwa dia yaitu  pendukung partai yang loyal namun menyesali, seperti yang dilakukan Sudisman, bahwa G30S sudah  memberikan alasan bagi tentara untuk menghancurkan PKI. Tak sekalipun ia pernah  memakai  forum pengadilan untuk meminta maaf sebab  tindakannya sudah  memberikan dampak yang mengerikan pada anggota partai yang lain.  
Pengamat yang skeptis seperti Benedict Anderson, yang hadir pula  dalam persidangan Sudisman, curiga bahwa Sjam yaitu  agen tentara yang menyusup ke dalam PKI. Soalnya, kesaksian Sjam sudah  membenarkan sebagian dari propaganda tentara mengenai   kepemimpinan PKI dalam G30S. Sarjana Belanda W.F. Wertheim mencatat bahwa dalam berbagai pengadilan selama bertahun  tahun  lalu  Sjam terus memberikan 
kesaksian yang memberatkan orang lain. Banyak tahanan politik yang percaya bahwa Sjam yaitu  intel tentara dan bukan anggota PKI.  Pada masa masa awal penelitian saya mengenai  G30S, saya menganggap kesaksian Sjam tak bisa diandalkan sebab  hanya sedikit sumber yang membenarkan kesaksian ini . namun , belakangan, saat  saya bertemu dengan kalangan internal PKI yang 
bisa dipercaya, saya menyadari bahwa banyak klaim dalam kesaksian Sjam yang ternyata benar. contohnya  bahwa Biro khusus sentral  benar benar ada, beroperasi di bawah pengawasan Aidit secara pribadi (bukan di bawah Politbiro atau Comite Central), bahwa Sjam yaitu  ketua biro itu dan ia yaitu  pengorganisasi utama G30S.  
Kesaksian Sjam yang tak akurat berdasar keterangan saksi  saya yaitu  mengenai  peranserta  Aidit dalam melaksanakan G30S. Sjam ingin menunjukkan bahwa ia hanya pelaksana Aidit. Ia tak ingin orang lain di PKI berpikir bahwa ia yaitu  elemen independen dalam partai. Walaupun mengaku bertanggung jawab penuh atas G30S, ia juga ingin menimpakan 
sebagian kesalahan kepada Aidit.  Yang tidak digambarkan Sjam yaitu  mengenai  seberapa berpengaruh ia pada Aidit dan keputusan keputusannya. Kita mengetahui , pada Agustus September 1965, Aidit dihinggapi beberapa  pertanyaan. Di antaranya, benarkah Dewan Jenderal benar benar ingin melancarkan gerakan gerakan  terhadap Presiden Soekarno. Jika ya, siapa saja anggota dewan itu. Mungkinkah PKI mendahului aksi Dewan Jenderal,  Apakah perwira pro PKI dan pro Soekarno cukup   memiliki  pasukan untuk melancarkan aksi melawan para jenderal antikomunis itu,   Untuk menjawab pertanyaan  itu Aidit mengandalkan informasi  dari Sjam. Aidit sudah  menunjuk Sjam sebagai ketua Biro khusus sentral  dan ia mempercayai Sjam untuk menyuplai informasi  mengenai  apa saja yang terjadi dengan perwira perwira militer. Dari 
beberapa  sumber kita mengetahui  bahwa Sjam kelewat percaya  dan arogan dalam menyiapkan G30S. Saya mengira Sjam sudah mempercayakan  Aidit bahwa Dewan Jenderal itu ada, dia mengetahui  siapa saja anggota dewan itu, dan dari beberapa  sumbernya dia percaya  bahwa ada perwira militer yang mampu mendahului aksi Dewan Jenderal. Aidit tak akan membiarkan Sjam melaksanakan G30S jika ia tak percaya Sjam akan berhasil.  Sementara itu, Sjam sudah  membujuk beberapa  perwira (Latief, Untung, dan Sujono) 
untuk bergabung dalam G30S. Sjam juga mempercayakan  mereka bahwa PKI sepenuhnya 
berada di belakang G30S. PKI tak akan membiarkan aksi mereka gagal. Sjam, sebagai 
mediator antara Aidit dan perwira militer, sudah   membodohi  kedua pihak untuk berpikir 
bahwa ada pihak lain yang bakal ambil peran  dalam G30S.  Penjelasan Sjam mengenai  organisasi G30S tidaklah sama dengan versi yang 
dikemukakan rezim Soeharto. Sjam hanya melibatkan Aidit dan Biro khusus sentral . Ia tidak 
melibatkan Politbiro, Comite Central, dan partai secara keseluruhan. G30S bukanlah revolusi sosial oleh PKI dalam arti luas. G30S hanyalah aksi kecil, terbatas, klandestin yang sebelumnya tidak diketahui  oleh anggota dan kebanyakan pimpinan PKI. Soeharto dan kelompoknya membesar besarkan G30S agar ia memiliki  alasan untuk melaksanakan rencananya sendiri, yaitu  menghancurkan PKI dan menghentikan aksi  Presiden Soekarno. namun  itu cerita lain lagi.  
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Sjam menyebutkan Polisi Militer sudah  merampas 
buku catatan yang ia tulis pada saat menyiapkan G30S. Dalam berita acara pemeriksaan (Agustus 1967) secara garis besar ia sudah  menyampaikan isi catatan ini . Buku ini yaitu  manuscript  utama dan terpenting mengenai  G30S yang tak pernah  dibuka kepada publik. Mengapa buku itu tetap dirahasiakan,  Masihkah Polisi Militer 
menyimpannya,  Masyarakat negara kita  berhak melihat buku catatan yang bersejarah itu.  
sjam Kamaruzaman tidur tengkurap di rumahnya, 43 tahun  silam itu. Di Jatibuntu, Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, Ketua Biro khusus sentral  Partai Komunis  Indonesia   itu seharian menghabiskan waktu di kamar depan. Sorenya, tepat tiga hari sesudah  geger politik 30 September 1965, Sjam menghilang.  Bapak pergi tanpa pamit,  kata Maksum, nama alias putra sulung Sjam, mengenang.  Padahal, tengah malam  sebelumnya, dia baru pulang  sesudah  sepekan meninggalkan rumah. Itulah awal perpisahan panjang antara lima anak Sjam dan sang ayah. Tak ada lagi 
ritual rutin Sjam bersama anaknya melancong ke Sampur, Cilincing, untuk melihat matahari terbenam. Tak ada lagi kumpul kumpul keluarga minum susu di Kramat Raya.  Rumah di Jatibuntu sekarang Jalan Pramuka Jati digerebek Corps Polisi Militer setahun  sesudah  peristiwa 30 September. Tiga mobil milik keluarga Nissan, Holden, dan Mazda disita. Ibu tiri mereka, yang belum lama dinikahi Sjam, lenyap sesudah  kejadian itu. Kehidupan mereka bangkrut .  
Lima anak Sjam, bersama Mun Muntarsih kakak ipar Sjam yang akhirnya mengasuh mereka hidup dempet dempetan sebab  6 dari 8 kamar di rumah itu ditempati 20 an tentara dari Kodam Siliwangi. Berbagai cara dilakoni agar bisa menyambung hidup. Mulai berdagang bumbu dapur di Pasar Genjing hingga menjual gado gado di Stasiun Kramat.  Bu Mun demikian anak anak Sjam menyebut Mun Muntarsih menjual barang barang 
milik Sjam di Pasar Rumput. contohnya , jas panjang musim dingin yang dibeli di Cina. 
Keluarga juga dengan terpaksa  menjual lukisan koleksi Sjam.  Rumah dengan luas tanah 900 meter persegi itu belakangan ditempati tiga polisi militer ditambah    keluarganya. Pelan pelan Maksum dan adik adiknya menyingkir ke kamar 
belakang, hingga akhirnya jadi penghuni garasi. Tak tahan oleh tekanan psikologis itu, mereka hengkang, menjelang 1970, tak lama sesudah  Maksum lulus sekolah menengah pertama.  Sejak itulah lima bersaudara ini berpencar. Dua adik Maksum, Shinta (saat itu 14 tahun ) dan Laksmi, 5 tahun , diboyong oleh Latifah, adik Sjam, ke Tuban, Jawa Timur. Adapun Ratna, 12 tahun , anak nomor tiga, diasuh keluarga di Bandung. Maksum dan Kelana, 9 tahun , hidup luntang lantung mengembara ke beberapa kota di Jawa.  Oleh Benyamin, gurunya di SMP 8 Pegangsaan Barat, Maksum diajak ke Pacet, Jawa Timur. Ia ikut sekolah persiapan dua tahun  setingkat sekolah menengah atas. Dari sana Maksum masuk pesantren Lirboyo, di Kediri, Jawa Timur. Ia nyantri pada 1971 hingga 1979. Maksum memberitahu   Latifah soal keberadaannya sesudah  4 tahun  di Lirboyo.  Lain Maksum, lain Kelana. Anak keempat Sjam ini mengelana ke Yogyakarta dan Bandung, sebelum akhirnya balik ke Jakarta. Sekolahnya putus sambung. Berbekal 
informasi  dari surat kabar yang mewartakan tahanan politik ditaruh di rumah tahanan 
militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, Kelana memberanikan diri menanyakan keberadaan ayahnya. Ditanya oleh penjaga, ia mengaku anak Sjam.  Pencariannya tak sia sia: ia diizinkan bertemu dengan sang ayah. peristiwa  itu berlangsung pada 1976. sebab  dari kecil sudah ditinggal pergi Sjam, Kelana tidak ingat 
wajah ayahnya. Ia merasa pertemuan itu tidak begitu mengharukan. Keberadaan Sjam 
disampaikan Kelana kepada Maksum.  
Kelana sejak itu rajin menyambangi ayahnya.  sesudah  mengetahui  saya anak Sjam, saya 
mudah keluar masuk kamar tahanan,  kata Kelana, kini 48 tahun . Sepulang  dari sana, ia selalu diberi uang saku oleh Sjam. Bahkan, atas perintah Sjam, Kelana mengambil sendiri uang itu dari dalam tas bapaknya. Jumlahnya Rp 30 35 ribu per bulan.  
Dari mana uang itu,  Kelana mengatakan, di dalam tahanan ayahnya menjadi perajin tas.  Sebulan Bapak bikin tiga empat koper,  katanya. Pekerjaan itu dijalani  bertahun  tahun . Uangnya utuh sebab  tak pernah  dibelanjakan. Uang di dalam tas itu 
sudah dikelompokkan dalam pecahan ratusan dan ribuan.  Semuanya uang baru.   Di dalam sel empat kali empat meter itu, Kelana suka memasak bersama ayahnya. Sel itu ada dapurnya. Di belakang sel, Sjam menanam bayam. Kelana juga suka tidur siang di sana. Ayahnya, kata Kelana, juga rajin main badminton.  Raketnya sampai lima.  Meski sering besuk, Kelana merasa Sjam tak begitu terbuka.  Bapak jarang bicara,  katanya.  sesudah  Kelana masuk pusat pendidikan dan latihan balai teknik di Bandung, ia bekerja 
di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Selat Bali dan di Kepulau an Seribu. Maksum baru balik ke Jakarta pada 1981, sesudah  dua tahun  sebelumnya bekerja di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.  sebab  ada lowongan pegawai negeri sipil di Dinas Purbakala, Yogyakarta, ia balik ke Jakarta mengurus ijazah sekolah dasar dan SMP. Ia berani melamar sebab  di ijazahnya nama sang ayah bukan Sjam Kamaruzaman, melainkan Sjamsudin. Di Jakarta, Maksum kembali bertemu dengan Benyamin, yang pindah profesi menjadi 
redaktur di salah satu harian Ibu Kota.  Bekas gurunya itu mengajak bergabung. sebab  rindu  kepada ayahnya saat itu sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Maksum menyambut tawaran itu. Ia lalu menjadi korektor bahasa.  sesudah  memperoleh kartu tanda penduduk Jakarta, Maksum datang ke Cipinang. Sjam terkejut . Inilah pertemuan pertama sesudah  16 tahun  berpisah.  namun  saya tak menangis, 
sebab  air mata sudah habis,  kata Maksum. Sejak itu Maksum datang ke ruang besuk Cipinang dua bulan sekali, biasanya Sabtu pagi.  Berbeda dengan kepada Kelana, kepada Maksum Sjam banyak bicara soal ideologi.  Mungkin sebab  mengetahui  saya jebolan pesantren,  katanya. Sjam juga suka minta dibawakan majalah majalah berbahasa Inggris dan Belanda. namun  pembicaraan tak pernah  menyinggung peristiwa 1965.  Sjam menitikkan air mata saat  Maksum membawa bawa  anaknya ke Cipinang. Ia 
menggendong cucu pertamanya itu, lalu  berkelakar,  Kowe kok bisa kawin,   Sebelum menikah, Maksum memang sudah membawa bawa  calon istrinya kepada Sjam. Sang istri sempat syok sesudah  mengetahui  siapa calon mertuanya. namun , sesudah  itu ia mau 
menerima.  Beberapa bulan sebelum eksekusi, September 1986, Maksum membesuk ayahnya. 
Sjam memberinya Al Quran. Ia juga berpesan agar lima bersaudara itu rukun.  jika  adikmu butuh uang, bantu mereka. namun  jangan dihitung utang,  Sjam berpesan. Wajahnya terlihat tenang, tak ada beban.  tengah malam  terakhir menjelang eksekusi, Sjam ditemani Shinta. Anak kedua itu dijemput dari Tuban oleh dua tentara. Mereka bertemu hanya 30 menit. tengah malam  itu Shinta menangis sejadi jadinya. Melihat itu, Sjam berkata ,  Kamu kok nangis,  Semua orang nanti akan 
meninggal juga.   sesudah  itu, Sjam dijemput. Tidak jelas di mana eksekusi berlangsung. Tak juga  diketahui  di mana Sjam dimakamkan. Shinta lalu menyampaikan kabar eksekusi itu 
kepada keluarga. namun  keluarga tak pernah  berusaha mencari makam Sjam. Keberadaan tas berisi uang juga tak jelas.  Dari lima anaknya, hanya Ratna dan Laksmi yang tidak membesuk Sjam.  Bapak tidak pernah  minta mereka datang,  kata Maksum.  Paling titip pesan atau tanya kabar.  Ratna hingga kini menetap di Bandung. Suaminya, yang masih terhitung kerabat jauh, bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Mereka dikaruniai dua anak. Laksmi menetap bersama suami dan anaknya di Tuban. Laksmi dan Shinta sama sama lulusan IKIP Bojonegoro.  namun  tidak semuanya memulai rumah tangga dengan mulus. Kelana, contohnya , tiga kali diusir calon mertua sesudah  mengaku putra Sjam. Gara gara itu, Kelana 
menyembunyikan silsilah keluarga. Ia baru membuka rahasia kepada istrinya sesudah  
anak kedua lahir, menjelang 1990.  Maksum dan adiknya juga merahasiakan sosok Sjam kepada anak mereka. Cucu pertama Sjam baru mengetahui  siapa eyangnya sesudah  Tempo mendatangi Maksum. Begitu juga  di lingkungan kerja. Anak anak Sjam kini masih membungkus rapat siapa ayah mereka. Sesuai dengan permintaan, Maksum, Kelana, Ratna, Shinta, dan Laksmi pun hanya nama samaran.  Tekanan psikologis prahara politik ini begitu hebat,  katanya.   DI sebuah rumah di Jakarta Timur, laki laki  itu bicara setengah memohon.  Coba Bapak 
cari informasi  mengenai  Sjam. Saya dengar dia masih hidup di Florida, Amerika Serikat,  katanya. Yang diajak bicara menggeleng.  berdasar keterangan saksi  saya, dia sudah mati. Tidak ada 
alasan bagi pemerintah menyelamatkannya.   
laki-laki  pertama yaitu  Suryoputra, bukan nama sebetulnya , eks tahanan politik Partai Komunis  Indonesia   dan sahabat karib Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro khusus sentral  Partai Komunis  Indonesia  . Yang kedua yaitu  John Roosa, sejarawan dari Universitas British Columbia, Kanada, yang baru saja menerbitkan Dalih Pembunuhan Massal, buku mengenai  tragedi G30S.  Anda rindu  kepada dia,  Tempo memotong diskusi yang dilakukan menjelang buka puasa Ramadan lalu.  Tentu saja,  kata Suryo.  Kami teman dekat sejak zaman revolusi.    jika  Sjam masih hidup,  Suryo melanjutkan,  saya pasti bisa mengenalinya.  Setidaknya ada tiga tanda Sjam yang masih bisa diingat Suryo. Pertama, codet di dekat mata kiri. Kedua, bekas luka di paha bagian belakang sebab  peluru nyasar saat keduanya berlatih menembak. Ketiga, ini yang menarik, Sjam takut pada cecak.  jika  bertemu dia, saya akan bawa cecak. Jika dia takut, pasti itu Sjam,  kata Suryo tertawa. Azan magrib terdengar, Suryo menyeruput air minumnya.  Suryo bukan satu satunya orang yang percaya Sjam masih hidup. Boengkoes, kini 83 tahun , mantan Komandan Peleton Kompi C Batalion Kawal Kehormatan Cakrabirawa, pasukan yang menculik 6 jenderal Angkatan Darat pada peristiwa G30S, mempercayai hal yang sama.  Saya dengar dia dibuang ke Amerika. Ada juga yang berkata  dikirim ke Arab Saudi. Kabarnya, anaknya pernah  bertemu dia di Sumatera,  katanya.  Soal mengapa pemerintah menyelamatkan Sjam, sedang  petinggi PKI lain dieksekusi mati, Boengkoes berkata  pendek,  Ia tokoh penting di partai, memiliki  jaringan kuat di kalangan militer.   
Sjam yaitu  bayang bayang. Kematiannya hingga kini menjadi misteri. Tak ada kuburan penanda jasadnya. Bahkan keluarganya tak pernah  diberitahu   mengenai  jenazah atau kuburnya. Yang ada hanya perjamuan terakhir laki-laki  asal Tuban, Jawa Timur, itu dengan putri pertamanya, Shinta (nama yang disamarkan), sehari sebelum ia kabarnya dieksekusi mati.   kamis pagi, 25 September 1986. Dua laki-laki  bertubuh tegap mengetuk pintu rumah di Kampung Kutorejo, Tuban, Jawa Timur. Kepada tuan rumah, Latifah, mereka mengaku sebagai utusan Komando Daerah Militer V Brawijaya. Tuan rumah yaitu  adik kandung Sjam.  Shinta ikut mendampingi bibinya. Ia ingat, kedua tamu mengulurkan selembar surat  titipan dari Jakarta . sesudah  membacanya, Latifah meminta Shinta bergegas ganti baju. Bersama dua orang yang belakangan diketahui  sebagai Oditur Militer Kodam Brawijaya 
itu, Shinta naik bus umum menuju Surabaya. Dari Bandar Udara Juanda, perjalanan dilanjutkan ke Jakarta.  2 orang itu, sesuai dengan kartu nama yang hingga kini disimpan keluarga Sjam, 
yaitu  Letnan Kolonel CHK Frans Paul Lontoh dan Letnan Kolonel CHK Soewardi. Di perjalanan, mereka mengatakan hendak mempertemukan Shinta dengan Sjam. Ia terakhir menjenguk ayahnya di penjara Cipinang pada 1972, bersama kakak Sjam.  Shinta mengaku menghadapi pilihan sulit. Sebagai pegawai negeri, bertemu dengan 
tahanan politik yaitu  persoalan baru. namun  pertemuan dengan sang ayah merupakan 
kebahagiaan tersendiri. Shinta didatangkan atas permintaan ayahnya, meski Sjam juga ingin Latifah hadir pula . Hal itu tertera dalam surat yang ditulis Sjam di Cipinang dan diberi judul  Lieve Latifah . Surat ditulis pada November 1984 dan dibawa dua perwira ini  ke Tuban.  2 perwira Kodam Brawijaya itu mengajak Shinta ke sebuah tempat. Matanya selalu ditutup.  Saya tak mengetahui  tempatnya,  kata nya.  Turun dari kendaraan, saya dibawa masuk ke sebuah ruang. Di depan saya sudah ada Bapak.  Shinta memandangi ayahnya. Mereka berpelukan erat.  
berdasar keterangan saksi  Shinta, tidak ada perubahan fisik ayahnya yang menonjol. Bicaranya tetap tegas, bersemangat. Tampak wajahnya mulai keriput dimakan umur.  Yang paling menonjol , uban Bapak banyak sekali,  tuturnya. Sjam saat  itu berusia 64.  Di ruangan itu ada 2 meja, dua duanya dipenuhi berbagai  hidangan. Semua makanan enak. Ada ikan kakap, sate, dan ayam bekakak. Sjam, berdasar keterangan saksi  Maksum (bukan nama sebetulnya ), kakak Shinta yang ditemui secara terpisah, lalu berkata,  Ayo kita makan enak.  namun  Shinta tak menyentuh satu pun makanan. Ia menangis selama pertemuan. Sjam lalu  berkata ,  Kamu kok nangis. Semua orang nanti akan meninggal juga.   Pengawal memberitahu  , mereka hanya memiliki  waktu setengah jam. Sjam minta maaf kepada lima anaknya sebab  tak bisa membesarkan mereka. Ia berpesan kepada anak  anaknya agar hidup rukun. Tak lama lalu , seorang rohaniwan berpakaian putih masuk. laki laki  itu meminta Shinta segera pergi. Sjam memeluk putrinya dan kembali minta maaf.  Keluar dari ruangan, Shinta ditawari menginap di hotel. Ia menolak dan meminta diantar ke rumah kakak Sjam di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Shinta menceritakan kepada kakak kakak dan keluarganya: ayahnya akan segera dieksekusi mati.  Shinta lalu menyampaikan kabar sedih itu kepada saudara saudaranya yang lain. Salah satunya yaitu  Kelana (bukan nama sebetulnya ), yang kala itu sedang mengerjakan sebuah proyek di Kepulau an Seribu.  Saya memperoleh  telepon dari Shinta bahwa Bapak dibawa ke pulau  Seribu,  tuturnya. Adapun Maksum menuturkan,  Sekitar hari saat  Bapak ditembak, saya bersama istri di rumah. Tiba tiba saya menangis. Ada kesedihan tanpa sebab. Tiba tiba Shinta menelepon.   berdasar keterangan saksi  1 versi, Sjam dikeluarkan dari Cipinang pada 27 September 1986 pukul 21.00. Ia dijemput perwira Penelitian Kriminal Polisi Militer Kodam Jaya, Edy B. Sutomo, lalu dibawa ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jawa Barat. Baru tiga hari lalu , ia dan dua tahanan lain dibawa ke Tanjung Priok pada tengah tengah malam . Dengan kapal laut militer mereka diangkut ke sebuah pulau  di Kepulau an Seribu. Mereka dieksekusi pada pukul 03.00.  
namun  keluarga Sjam tak pernah  mendengar kejelasan informasi  itu.  jika  benar Bapak 
dieksekusi, di mana makamnya sekarang,   kata putri bungsunya, yang kini tinggal di Tuban.  
 karlina Supeli, aktivis wanita , melakukan penelitian mengenai  para tahanan politik pada 2001. Untuk keperluan ini, ia menyigi informasi  mengenai  Sjam. Ia menemukan seorang rohaniwan yang kabarnya mendampingi laki-laki  64 tahun  itu saat  dieksekusi.  Ditemui di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tempatnya berkantor, Karlina tak banyak bicara. Ia beralasan, sang rohaniwan yang kini bermukim di Semarang itu belum memberinya izin bicara. Ditanya apakah rohaniwan itu memastikan Sjam sudah  ditembak mati, ia menjawab,  Itu juga bagian yang tidak boleh saya sampaikan.   Sumber lain yang pernah  mendengar cerita rohaniwan ini mengisahkan peluru dari regu penembak meleset dari tubuh Sjam. Komandan regu lalu  mengambil alih eksekusi. Ia mengambil pistol dan menembak Sjam dalam jarak dekat.  Beberapa bulan lalu , sang komandan masuk rumah sakit jiwa, ia tak tahan dengan peristiwa itu,  tuturnya.  Versi Mutakhir G30S (oleh : Asvi Warman Adam)   Sejarawan Lembaga Ilmu pengetahuan  negara kita   begitu meletus peristiwa pergerakan  30 September 1965, para perwira di sekeliling Soeharto Yoga Sugama, contohnya  langsung memiliki  firasat: Partai Komunis  Indonesia   berada di balik itu. Dalam hitungan hari, 5 Oktober 1965, Kepala Dinas Penerangan  Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto pun mengeluarkan pernyataan:  Peristiwa ini jelas didalangi oleh PKI yang merencanakan gerakan gerakan  ini.   Versi ini memicu  tanda tanya. Jika PKI berontak, kenapa tiga juta anggotanya tidak melawan,  Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia itu rontok dengan mudahnya,   Selama ini alasan yang dipakai  pemerintah selalu mengacu pada proses Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang memutuskan PKI terlibat pemberontakan. Padahal putusan pengadilan hanya menyebutkan anggotanya    yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup, dengan alasan terbukti melakukan makar.  Pendekatan di atas itu dilawan   oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang pada 
Januari 1966 mengatakan ini persoalan intern Angkatan Darat. Pandangan itu lalu  diterbitkan dan dinamakan  Cornell Paper  (1971). Mereka memandang G30S sebagai pemberontakan perwira asal Kodam Diponegoro yang kesal melihat perilaku  para jenderal SUAD yang hidup berfoya foya di Jakarta. Perwira asal Jawa Tengah itu mengajak personel Angkatan Udara Republik Indonesia   dan PKI dalam operasi mereka.  analisa  kedua ini lemah sebab  Untung dan Latief memang dari Kodam Diponegoro, 
namun  tidak demikian halnya dengan Brigadir Jenderal Supardjo (Siliwangi) dan Mayor Udara Sujono. Demikian juga , mengatakan ini semata mata persoalan  intern Angkatan Darat  tidak tepat sebab  unsur PKI, seperti Sjam dan Pono, juga terlibat.  Kedua versi ini  ditengahi Harold Crouch (The Army and Politics, 1978) yang  menolak Cornell Paper yang membebaskan PKI sepenuhnya dari kesalahan. Namun ia 
berpendirian bahwa  inisiatif awal muncul  dari tubuh Angkatan Darat . PKI terlibat namun  
sebagai  pemain kedua . Versi Crouch itu cukup   beralasan, walaupun ia tak berhasil menjelaskan mengapa G30S dirancang dengan buruk, mengapa pengumuman mereka yang kedua disiarkan berselang lima jam dari yang pertama. Padahal, dalam suatu kudeta, kecepatan dan ketepatan waktu sangat krusial.  Sebelum Harold Crouch, seorang penulis Belanda, Antonie Dake, menerbitkan untuk konsumsi internasional edisi dua bahasa yang berisi pengakuan ajudan sukarno , Bambang Widjanarko, The Devious Dalang (1974). Buku itu merupakan hasil 
pemeriksaan Bambang Widjanarko (3 Oktober 4 November 1970) yang membenarkan  bahwa Soekarno pada 4 Agustus 1965 memanggil Letnan Kolonel Untung dan memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal jenderal yang tidak loyal.  Soekarno wafat 22 Juni 1970 dan tidak mungkin lagi diadili. namun , untuk apa dilakukan pemeriksaan mengenai  keterlibatannya dalam G30S,  Ditengarai wacana itu merupakan 
usaha  preventif mencegah kebangkitan pendukung Soekarno dalam pemilihan umum 
Juli 1971. Versi Soekarno ini diragukan, sebab  Widjanarko sendiri mengakui lalu  ia dipaksa bersaksi. Apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi hari membuktikan bahwa Presiden Soekarno tidaklah mengetahui  sepenuhnya rencana G30S. Mengapa ia berputar putar keliling Jakarta sebelum menuju Pangkalan Udara Halim 
Perdanakusuma, 1 Oktober 1965,  Mengapa tidak langsung dari Wisma Yaso menuju Halim,   
Keterlibatan Soeharto diungkapkan oleh W.F. Wertheim dalam artikelnya yang terbit  musim dingin 1970:  Suharto and the Untung Coup The Missing Link . Hubungan  Soeharto dengan Untung dan lebih lebih lagi dengan Latief yang bertemu dengan  Soeharto pada tengah malam  nahas itu juga dipertanyakan. Soalnya, Soeharto tidaklah  sejenius  itu, bukan tipe orang yang merancang perebutan kekuasaan secara 
sistematis. namun , sebab  sudah mengetahui  sebelumnya, ia menjadi orang yang paling siap.  
Amerika Serikat tidak ikut campur pada 30 September dan 1 Oktober 1965 walaupun 
berbagai manuscript  menyebutkan keterlibatan mereka sebelum dan sesudah peristiwa. 
Bagi Amerika, jatuhnya negara kita  ke tangan komunis artinya kiamat. Keterlibatan  Amerika ini sudah diperkirakan  sukarno  dalam pidato Nawaksara pada 1967, yang  menyebut adanya  subversi Nekolim .  sesudah  Soeharto jatuh pada 1998, bermunculan buku buku yang saat  Orde Baru tidak boleh terbit di samping pencetakan ulang versi resmi. Meskipun berbentuk 
penerbitan terjemahan atau tulisan baru, semua buku itu masih dapat dikategorikan atas lima pendekatan dalam melihat dalang G30S (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, dan CIA). Masing masing menentukan dalang tunggal dari peristiwa yang  sebetulnya  sangat kompleks. Padahal Soekarno pada 1967 sudah lebih maju dalam melihat peristiwa itu, yaitu  sebagai pertemuan tiga sebab:  kesombongan  pemimpin PKI,  subversi Nekolim, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.  Versi keenam, versi mutakhir G30S dikemukakan dalam buku John Roosa (Dalih Pembunuhan Massal: pergerakan  30 September dan Kudeta Suharto, 2008). Di sini peranserta   Sjam sangat menentukan. Kelemahan utama G30S yaitu  tidak adanya satu komando. 
ada  dua kelompok pemimpin, yaitu  kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono)  dan  pihak Biro khusus sentral  PKI (Sjam, Pono, dengan Aidit di latar belakang). Sjam memegang peranserta  sentral sebab  ia menjadi penghubung di antara kedua pihak ini.  Namun, saat  usaha  ini tidak memperoleh  dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, kebingungan terjadi, kedua kelompok ini terpecah. Kalangan 
militer ingin mematuhi, sedang  Biro khusus sentral  tetap melanjutkan. Ini dapat 
menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama, kedua, dan ketiga ada  selang  waktu sampai 5 jam. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam kondisi  selamat. Adapun pengumuman berikutnya, siang hari, sudah berubah drastis: pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet. manuscript  Supardjo mengungkap mengapa pergerakan  itu gagal dan tidak bisa diselamatkan. Kerancuan antara  penyelamatan Presiden Soekarno  dan  percobaan kudeta  dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh sebelum 
peristiwa berdarah itu, Amerika sudah  mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk 
mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dahulu  sehingga dapat dipukul secara telak oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. sebab  sudah mengetahui  sebelum peristiwa itu terjadi, Soeharto yaitu  jenderal yang paling siap pada 1 Oktober 1965 saat  orang lain bingung. Nama Soeharto sendiri tidak termasuk daftar perwira tinggi yang akan diculik.  Penulis Prancis, Paul Veyne, mengatakan bahwa sejarah itu tak lain dari intrik. Pada  versi ini, kerumitan misteri itu disederhanakan dengan metode ala detektif. Pembaca  dipercaya kan bahwa tokoh kunci G30S, Sjam Kamaruzaman, bukanlah agen ganda, 
apalagi triple agent, melainkan pembantu setia Aidit bertahun  tahun . Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap pada 1968 ini baru dieksekusi pada 1986. Ia bagaikan putri Syahrezad yang menunda pembunuhan dirinya dengan menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap tengah malam , sehingga mampu bertahan 1.001 tengah malam . Sjam bertahan lebih dari 18 tahun  dengan mengarang 1.001 pengakuan. Ia diberi kesempatan untuk mengungkapkan siapa saja yang pernah  direkrutnya.  Sjam divonis mati dalam Mahmilub pada 1968. Ia diambil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang 27 September 1986, dibawa ke RTM Cimanggis, Bogor. Pada 30 September dinihari, bersama Pono dan Bono dibawa ke lokasi eksekusi di salah satu pulau  di Kepulauan Seribu. Dari RTM Cimanggis dibawa dengan konvoi kendaraan militer ke dermaga Tanjung Priok. Dengan kapal militer berlayar selama 15 menit sampai di pulau . Mereka ditembak tepat pukul 3 pagi oleh regu tembak yang  terdiri atas 12 orang. Rute kehidupan Sjam dari Tuban (30 April 1924) Jombang Surabaya Yogyakarta Jakarta RRC (berobat) Vietnam Utara penjara Cipinang RTM 
Cimanggis Tanjung Priok Kepulauan Seribu (30 September 1986) berakhir tepat pada 
peringatan 21 tahun  tragedi berdarah itu.  
Dalam versi keenam ini terungkap bahwa G30S lebih tepat dianggap sebagai aksi (untuk menculik 7 jenderal dan menghadapkan kepada Presiden), bukan sebagai pergerakan . Sebab, peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan Jawa Tengah yang dapat diberantas dalam waktu satu dua hari. Namun aksi ini (yang lalu  ternyata memicu   tewasnya enam jenderal) oleh Soeharto dan kawan kawan lalu dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar akarnya. Sesuatu yang di lapangan memicu   terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari 1000 jiwa.  jika  para jenderal yang diculik itu tertangkap hidup hidup, mungkin sejarah negara kita  akan lain. Massa PKI akan turun ke jalan dan menuntut para jenderal itu dipecat. Presiden akan didesak untuk memberikan kursi departemen kepada golongan kiri itu 
sebab  sampai 1965 Soekarno tidak pernah mempercayakan pemimpin departemen 
kepada tokoh komunis kecuali Menteri Negara.  
Versi terakhir ini dilakukan dengan membongkar versi versi lama (dekonstruksi) dan  menyusun narasi baru (rekonstruksi) dengan memakai  sumber sumber yang kesahihannya sudah  diuji dan  tokoh kunci yang dapat diandalkan mengenai apa yang disebut Biro khusus sentral  PKI. Versi ini menampilkan data baru (berbagai manuscript  dari dalam dan luar negeri), metodologi baru (dengan mengikutdan kan sejarah lisan), dan 
perspektif baru (ini yaitu  aksi bukan pergerakan , namun  dijadikan dalih untuk peristiwa berikutnya yang lebih dahsyat). sebab  Sjam menjadi tokoh sentral, silakan versi terakhir ini disebut G30S/Sjam.   orang  sering menjadi terkesima saat membongkar bongkar gudang yang bertimbun 
dan berdebu. Sementara iseng membolak balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis 
dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan manuscript  
manuscript  yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran lampiran pada 
berkas sidang pengadilan itu.  manuscript  itu yaitu  laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang sudah  memeriksa mayat mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah  kita miliki, mengenai  bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang sudah  lama mengenai  masalah ini, dan berita berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum beragam  maka saya memandang perlu menerjemahkan manuscript  manuscript  ini  sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.  Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim ini  bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD saat  itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari 2 orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang 
sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia  . Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, saat  itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di negara kita . Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah tengah malam  tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh sebab  dari berita berita pers kita ketahui  mayat mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh sudah  melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam 
sesudah  pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut 
diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, 
maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter ini  tidak segera disampaikan 
kepadanya, segera sesudah  misi  dilaksanakan. 
7 buah laporan itu masing masing disusun berdasar keterangan saksi  bentuk yang sama: 
pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu; identifikasi atas mayat; 
deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan hiasan badan; uraian rinci mengenai  luka luka; 
hasil penelitian  mengenai  waktu dan penyebab kematian; pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu, bahwa pemeriksaan sudah  dilaksanakan sepenuh penuhnya dan sebagaimana mestinya. sebab  gambaran umum mengenai  matinya tujuh tokoh itu, bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha,   dinas informasi  ABRI yang memasok suratkabar suratkabar ini . Walaupun ada beberapa suratkabar non militer yang tetap terbit, namun pers kiri sudah  ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedang  radio dan televisi yang dikuasai negara, dan sudah  ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. sebab  itu perlu diperbandingkan berita berita yang  disajikan oleh suratkabar suratkabar tentara ini , dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari manuscript  manuscript  lampiran itu. Mengingat bahwa  dua suratkabar ini  yaitu  harian harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah  ditidurkan sementara para dokter masih menyelesaikan 
pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka mengenai  hari itu mungkin  tergesa 
gesa, tanpa memanfaatkan informasi  yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat 
beberapa buah foto kabur mayat mayat yang sudah  membusuk, dan menggambarkan 
pembunuhan ini  sebagai  perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar 
batas perikemanusiaan . Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat 
mayat itu penuh dengan bekas bekas penyiksaan.  Bekas bekas luka di sekujur tubuh akibat 
siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh tubuh pahlawan kita. Mayjen Suharto sendiri 
dikutip menyatakan,  jelaslah bagi kita yang melihat  dengan mata kepala (jenazah 
jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang sudah  dilakukan oleh petualang petualang biadab 
dari apa yang dinamakan  pergerakan  30 September‘ . Suratkabar itu meneruskan dengan 
menggambarkan saat saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah 
ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup hidup ke dalam sebuah truk dan terus 
menerus disiksa sampai  penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya. Bukti bukti mengenai  
penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka luka pada leher dan mukanya, dan fakta  
bahwa  anggota anggota tubuhnya tidak sempurna lagi . Apa yang dimaksud oleh kata kata 
yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari  hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa  matanya (Yani) dicungkil . Berita ini dikuatkan dua hari lalu  oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu  ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam. Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, mengenai  bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata  api di rumah masing masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan tengah malam  dengan  deru mesinnya yang seperti harimau haus 
darah . Sementara itu Berita Yudha memberitakan mengenai  bekas bekas siksaan pada kedua 
tangan Harjono. Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto sudah  dihancurkan oleh  penteror penteror biadab , namun ciri cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean ada  luka luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya 
digorok, dan kedua bola matanya  dicungkil . Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi 
mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara korban  beberapa 
ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya  ada yang dipotong kelaminnya dan banyak 
hal hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan. Pada tanggal 11 
Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar mengenai  matinya Tendean, dengan 
menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan 
kepada para anggota Gerwani (pergerakan  Wanita negara kita ). Ia dijadikan benda  permainan jahat wanita   wanita  ini, dipakai  sebagai  bulan bulanan sasaran latihan 
menembak sukwati Gerwani. Begitu suratkabar suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera dan  sertamerta  mengikuti. contohnya  Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa  alat pencungkil yang dipakai  untuk jendral jendral itu sudah  ditemukan oleh pemuda pemuda anti komunis, saat  mereka menyerbu gedung gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa 
diterangkan, mengapa partai ini  memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada 
tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, 
anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan sudah  
melihat  bagaimana Jendral Suprapto sudah  disiksa  di luar batas kesusilaan oleh anggota 
anggota Gerwani. Pengakuan pengakuan serupa itu dimuat berturut turut, dan memuncak pada 
cerita menarik mengenai  Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas 
Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil 
tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun , mengaku bahwa ia dan 
  di Lubang Buaya sudah  menerima pembagian pisau kecil dan  silet dari  anggota anggota pasukan pergerakan  30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang  orang itu juga , mulai memotong dan menyayat sayat kemaluan jendral jendral yang sudah  mereka tangkap itu. ( Dibagi bagikan pisau kecil dan pisau silet… menusuk nusuk pisau pada kemaluan orang  itu. Api Pantjasila, 6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang sudah  dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang  Gerwani itu dengan mudahnya sudah  menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut dan  dalam pergerakan  30  September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan  Tarian Bunga Harum di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda 
Rakyat. Di dalam cerita cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan  bulan Oktober, November dan Desember ini    sementara itu pembantaian besar besaran terhadap orang  yang 
berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan    terkandung dua hal yang sangat 
menarik diperhatikan. Pertama, ditiup tiupkan bahwa tujuh korban  itu mengalami siksaan yang 
mengerikan    khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan 
bahwa pelaku pelaku kejahatan yaitu  orang  sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan 
komunis. Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober itu,  Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para korban  yang sudah  dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa 4 berkhitan dan tiga tidak berkhitan. Kecuali itu, mungkin  perlu korban  korban  itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non forensik menunjukkan sudah  dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, dan  Letnan Tendean. Golongan I. Berita paling lengkap mengenai  kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa terjadi: mengenai  Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua 
pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral jendral itu sudah  dibunuh dengan mendadak dan 
sesaat  di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief. Gambaran demikian 
hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensik. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa 
luka luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembak masuk dan tiga 
tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, dan  luka robek kecil di tangan. 
Pada luka luka yang dialami Harjono muncul  tanda tanya, sebab  tidak dikabarkan  sebagai 
akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya yaitu  torehan panjang dan dalam pada 
bagian perut, luka yang lebih mungkin disambungkan oleh bayonet dibandingkan  pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan ada  psedang ggung korban. Cedera lain satu satunya digambarkan  pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka luka disambungkan oleh barang tumpul. Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka luka itu  tidak mungkin sebab  siksaan    jarang penyiksa 
memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka    dan luka itu mungkin  sebab  
mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya. Golongan II. Cerita lengkap mengenai  matinya korban korban ini ada  dalam suratkabar suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha dan  Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita berita mengenai  siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik yaitu  sebagai berikut: 
S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di 
samping itu,  robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras    popor senapan  atau dinding dan lantai sumur    namun   
jelas bukan luka luka  siksaan , juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat. Soeprapto mati oleh sebab  sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disambungkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka  luka dan patah  tulang itu  akibat benda tumpul yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan 
atas ; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disambungkan 
oleh bayonet. Sekali lagi  benda tumpul mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor senapan  dan batu batu sumur), dan bukannya silet atau pisau, Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang  tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras . Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor senapan  atau batu batu sumur. Tendean mati akibat 4 luka tembak. Kecuali itu para ahli ini  menemukan luka gores 
pada dahi dan tangan kiri, demikian juga  tiga luka akibat trauma pejal pada kepala. Tak ada  sepatah kata pun di laporan laporan ini mengenai  adanya siksaan yang tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja sebab  hampir semua luka luka bukan tembak itu digambarkan  sebagai akibat dari benda pejal dan keras, namun   sebab  pembagiannya secara jasmaniah pun  pergelangan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain lain    biasanya  tampak sembarangan. yaitu  sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang umum  yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan lidah tidak dikabarkan . Maka dengan cukup   mempercayakan  bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban korban itu mati oleh tembakan senjata api (mengenai  Harjono yang mati di dalam 
rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain 
yaitu  akibat pemukulan dengan gagang senapan  yang mematahkan peluru peluru mematikan itu, 
atau cedera yang mungkin diakibatkan sebab  jatuh dari ketinggian 36 kaki    yaitu kira kira tiga 
tingkat lantai    ke dalam sumur yang berdinding batu. Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita negara kita  Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang sudah  membesar besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter dokter yang sudah  memeriksa  mayat para korban  menyatakan, mengenai  tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti sudah  diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965). Ditulis Oleh Ben Anderson  
 jelaslah bagi kita yang melihat  dengan mata kepala batapa kejamnya aniaya yang sudah  dilakukan oleh petualang petualang biadab dari apa yang dinamakan pergerakan  30 
September. Pangkostrad Mayjen Soeharto, 4 Oktober 1965.  Matanya dicungkil. Angkatan Bersendjata, 6 Oktober 1965.  Deru mesinnya yang seperti harimau haus darah. Angkatan Bersendjata, 7 Oktober 1965.  Ada yang dipotong tanda kelaminnya. Berita Yudha, 10 Oktober 1965. 
 Belakangan ini saya dapat bukti bahwa jenderal jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang 
Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana,  Visum repertum dibandingkan  team dokter dokter yang menerima jenazah jenazah dibandingkan  jenderal jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu. Presiden Ir. Sukarno, 13 Desember 1965 Tulisan berikut ini dimuat secara berseri di Jakartabeat.net [bag. 1 dan bag. 2], merupakan  penyempurnaan dari tulisan tulisan sebelumnya di blog ini, dilengkapi dengan beberapa  kutipan dari mock proposal di kelas POLS 780, juga foto foto dari Lubang Buaya, dan pemberitaan dari beberapa media massa di tahun  1965. jika  Anda tak selesai membacanya, istirahat dahulu , lalu kembali lagi. Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong putih dan sarung biru bergaris garis, Lim Joe Thay duduk terdiam. Bibirnya mengatup, sering kedua telapak tangannya ditanggerakan gerakan kan di depan dada dan sekali sekali diletakkan di atas paha. Rambutnya sudah  memutih sempurna. Dia tak banyak bicara. jika  pun bertemu  ra, kata katanya terdengar sayup dan samar. Sekali waktu laki laki yang kini berusia 83 tahun  itu bergumam. Mumbling. Saya mencoba menangkap isi ceritanya. Tidak jelas. Terpotong potong, patah patah. jika  disambungkan seperti cerita mengenai  sepasukan tentara yang bergerak di sebuah tempat, entah di mana. namun  cerita itu tak tuntas. Dia menutup sendiri ceritanya, 
mengalihkan pandangan mata ke sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan diri dalam 
diam. Di saat yang lain, dia kembali menanyakan nama saya. Dan jika  sudah begini, saya memegang tangannya, menyebutkan nama saya sambil menatap matanya. sesudah  itu senyumnya sedikit mengembang. Dikenal dengan nama dr. Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay yaitu  tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia yaitu  satu dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini sesudah  Proklamasi 1945. Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh pergerakan  30 September dinihari 1 Oktober. Ketujuh perwira naas itu yaitu  Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi 
IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo 
Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko 
Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution). 
Mayat enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di dalam sebuah 
sumur tua sekitar 3,5 kilometer di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah 
Lim Joey Thay yang saat  itu yaitu  lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran 
Universitas Indonesia   (FK UI) merupakan satu dari lima ahli forensik yangberdasarkan perintah 
Soeharto memeriksa kondisi ketujuh mayat ini  sebelum dimakamkan di Taman Makam 
Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober. Empat dokter lain di dalam tim ini yaitu  dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira tinggi yang 
diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP 
Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran 
Kehakiman, juga profesor di FK UI; dan  dr. Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu 
Kedokteran Kehakiman FK UI. Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit sakitan, sementara sejak beberapa tahun  lalu, Liu Yan Siang  menetap di Amerika Serikat dan tidak dikemengetahui  pasti kabar beritanya. 
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima beusaha  selama delapan 
jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah tengah malam  5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat. 
Pagi di bulan Juni tahun  lalu saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono, kawan jurnalis yang saat  
itu masih bekerja sebagai kordinator liputan sebuah stasiun televisi.  Dr. Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya, begitu pesan pendeknya. 
Satu jam lalu  kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat. sesudah  
sarapan dan membeli buah buahan di kantin untuk dr. Lim Joey Thay, kami berjalan menuju 
kompleks rawat inap Ignatius II tempat ia dirawat. 
Di teras Ignatius II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman kecil di depannya. Istri  dan beberapa kerabatnya yang berada di bagian dalam paviliun itu menyambut kami. 
informasi  yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh sebab  serangan 
struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh saat hendak naik ke kursi 
roda di rumahnya. Mungkin sebab  terlalu lelah. kondisi nya tidak mengkhawatirkan, kata Ny. 
Arif. Dibandingkan tahun  sebelumnya, kondisi dr. Lim Joey Thay lebih baik, sambungnya. 
Dandhy menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi dan kisah mengenai  
dr. Lim Joey Thay saat menyiapkan sebuah program liputan khusus untuk menyambut 
peringatan peristiwa pergerakan  30 September yang oleh sukarno  dianggap sebagai resultan 
dari konflik internal Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai Komunis  Indonesia   (PKI) 
dan operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang dipimpin Dandhy melakukan riset 
ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami ketujuh Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan 
khusus itu, wawancara Dandhy dengan dr. Lim Joey Thay juga ditambah  . Saya tak melihat  liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu. namun   dari e mail yang  disampaikan Dandhy pada sebuah milis saat  dia mengumumkan penayangan program ini  saya menangkap penegasan sekali lagi dr. Lim Joey Thay bahwa cerita mengenai  alat kelamin  Pahlawan Revolusi yang disilet   apalagi dipotong dan ditelan  juga cerita mengenai  mata mereka yang dicungkil yaitu  bohong belaka. Sayangnya, menutup diri  ini sudah terlanjur  dianggap  sebagai fakta sejarah dan diajarkan di sekolah sekolah. Tulis Dandhy dalam e mailnya,  Hasil wawancara sebetulnya  hanya mengonfirmasi apa yang tertera dalam manuscript  visum et repertum, bahwa enam Pahlawan Revolusi tewas akibat luka 
tembak, dan satu orang (Mayjen M.T. Haryono) akibat luka tusuk. Ada beberapa  luka lebam 
yang diragukan apakah akibat pemukulan atau akibat jenazah dijatuhkan ke dalam sumur 
sedalam 12 meter.  sebab  masalah komunikasi, dalam wawancara, Prof Arief [Lim Joey Thay] didampingi dr.  Djaja Admadja, bekas muridnya yang kini yaitu  dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr. Djaja yang lebih banyak mengurai detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali, demikian 
tulis Dandhy. Visum et repertum jenazah Pahlawan Revolusi ini jelas bukan barang baru. Benedict Anderson dari Cornell University sudah  menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die,  di jurnal negara kita  edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini memicu  pemerintahan Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di negara kita . Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Dan pembunuhan dengan cara apapun jelas di 
luar nilai nilai kemanusiaan. Namun dari hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan 
teman temannya sama sekali tidak menemukan tanda  pencungkilan bola mata, atau apalagi, pemotongan alat kelamin seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai Angkatan Darat, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di masa itu yaitu  RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang seperti 2 koran sebelumnya juga dikendalikan  militer. Dalam artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat Pahlawan Revolusi untuk komunitas akademik
6
, Ben Anderson lebih dahulu  mengutip beberapa pemberitaan media massa mengenai detil pembunuhan para perwira. Bila dibandingkan dengan semua laporan  yang dipublikasikan media media massa yang dikendalikan  tentara itu, kata Ben Anderson, hasil visum et repertum itu memberikan deskripsi yang paling pas dan objektif mengenai nasib mereka sesudah  diculik oleh kelompok Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Kawal Presiden Cakrabiwara. Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Berita Yudha menegaskan sekali lagi soal pencungkilan mata ini dua hari lalu  sambil menambahkan bahwa saat ditemukan mayat para perwira Angkatan Darat terbungkus kain hitam. Sehari lalu , 7 Oktober, Angkatan Bersendjata mempublikasikan cerita mengenai  detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. sesudah  dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang lalu  membawa bawa nya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti  suara harimau yang haus darah. Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh  musuh  biadab namun dia masih dapat dikenali, begitu tulis Berita Yudha edisi 9 Oktober. Sehari lalu  koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. berdasar keterangan saksi  pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong. Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil mengenai  pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani. Cerita cerita mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan dimakan sudah  membangkitkan amarah di akar rumput. Cerita cerita imajinatif ini, berdasar keterangan saksi  Ben Anderson dalam artikelnya yang lain, Indonesia Nationalism Today and in the Future (1999), sengaja disebarkan oleh pihak 
militer. Ia bagian dari dalih untuk melakukan pembantaian massal, tulis John Roosa (2006). Dan ia bagai minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar nyambar. Selanjutnya, yang terjadi yaitu  pembantaian besar besaran di mana mana terhadap anggota PKI dan atau  siapa saja yang 
dituduh menjadi anggota PKI dan atau  memiliki relasi dengan PKI. Benedict Anderson, menggarisbawahi bagaimana dan dengan maksud apa berita pemotongan alat kelamin itu disebarkan.  Soeharto dan kelompoknya sudah  menerima hasil otopsi detil yang dilakukan ahli forensik sipil dan militer terhadap tubuh korban, para jenderal yang dibunuh 1 Oktober. Laporan itu 
memperjelas bahwa para jenderal ditembak mati dan mayat mereka dibuang ke sebuah sumur 
dalam di Lubang Buaya. namun   tanggal 6 Oktober, media massa yang dikendalikan  Soeharto melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan bahwa mata para jenderal dicongkel dan alat kelamin mereka dipotong, tulis Ben Anderson. Propaganda pihak militer ini, percaya  Ben Anderson, dilakukan untuk menciptakan atmosfer histeria di seluruh negara kita  yang sudah  mendorong pembantaian lebih dari setengah juta orang dengan cara paling mengerikan, tanpa melalui proses pengadilan. 
Tidak keliru bila ada yang menyebut bahwa pemerintahan Orde Baru didirikan di atas tumpukan tengkorak dan tulang belulang, demikian Ben Anderson.  Tidak ada catatan yang mempercayakan  mengenai  berapa jumlah rakyat yang tewas dalam pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap sebagai kebenaran berkisar   100  ribu  Dalam artikelnya tahun  lalu, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant yang ditulis khusus untuk mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan sebelumnya, Ben  Anderson mengutip pengakuan Jenderal Sarwo Edhie mengenai  jumlah orang yang tewas dalam pembunuhan massal 1965 1966. 
 On his deathbed, the by then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in 
1965 66, even said he had been responsible for the death of three million people.  Begitulah. Sejarah, kata sementara orang, yaitu  catatan para pemenang. Dus arti sebaliknya yaitu : orang yang kalah tak memiliki  hak untuk ikut menuliskan sejarah. Di bawah rezim otoriter, pemerintah pusat yaitu  satu satunya pihak yang memiliki  hak untuk menentukan mana yang dapat disebut sebagai fakta sejarah dan mana yang tidak. Dengan memakai  stabilitas politik sebagai dalih pembangunan nasional, pemerintahan Orde Baru mempabrikasi versi mereka mengenai  konstruksi sejarah nasional, termasuk dalam hal ini, sejarah mengenai peristiwa G30S yang menjadi pondasi rezim berusia tiga dasawarsa itu. Pokoknya, sejarah versi penguasa yaitu  satu satunya dogma yang harus diingat dan dipercaya. Bagi pemerintahan otoriter, cerita dan interpretasi yang berbeda dari versi penguasa mengenai 
apa yang terjadi di masa lalu yaitu  usaha  untuk mensabotase kedaulatan negara dan proses 
pembangunan nasional. sebab  itu, cerita cerita yang tak dikehendaki penguasa ini diharamkan, 
dan pihak pihak yang membawa bawa  dan menyebarkannya dinyatakan sebagai musuh negara. Sensor pun yaitu  aksi yang biasa dilakukan pemerintahan Orde Baru untuk mengendalikan  informasi  publik dan dunia akademi yang berpotensi menggugat kebenaran versi penguasa. Tidak boleh ada fakta yang bertentangan  dengan  fakta yang diproduksi penguasa mengenai peristiwa G30S dan tidak boleh ada penjelasan lain yang berbeda dari penjelasan versi pemerintah yang boleh hidup di ruang publik. jika  pun ada, selama Soeharto berkuasa, ia hanya hidup dalam ruang bisik bisik. Bagi pemerintahan Soeharto, cerita dan sejarah mengenai peristiwa itu datar dan sederhana: ia diotaki oleh PKI dan klik kiri yang berada di dalam tubuh Angkatan Darat, dan  G30S dinyatakan sebagai pergerakan  yang berusaha untuk menggantikan Pancasila yang pro Tuhan dengan komunisme yang anti Tuhan. Sejak awal, Soeharto dan kelompoknya di Angkatan Darat mengaitkan kelompok G30S dengan  PKI. Untuk mempertajam imajinasi publik di tahun  1984 pemerintah Orde Baru merilis film Pengkhianatan G30S/PKI. Selama beberapa tahun  di setiap tanggal 30 September film itu diputar ulang. Tidak cukup   sampai situ, sebuah monumen yang diberi nama Pancasila Sakti didirikan di Lubang Buaya. Semua hal ini melengkapi ritual suci hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober. 
Di masa Orde Baru, tulis John Roosa dalan Pretext for Mass Murder (2006), anti komunis 
seakan menjadi agama resmi negara dengan dengan tempat suci, ritual dan hari perayaan. 
Setahun  sesudah  gelombang pembantaian besar besaran itu dihentikan, di depan DPRS, 16 
Agustus 1967, Soeharto yang sudah menjadi pejabat presiden memberikan justifikasi bagi 
pembantaian yang disponsori militer dan didukung oleh kelompok kelompok non komunis 
terhadap siapa saja yang disebut memiliki  hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan partai komunis dan peristiwa 30 September di Jakarta.  Komunis yang berdasarkan pada dialektika materialisme sesunggunya yaitu  anti Tuhan, sementara Pancasila mengakui Tuhan Yang Maha Kuasa, kata nya. Di sisi lain, dia juga 
menyerang politik Nasakom Sukarno yang berdasar keterangan saksi  Soeharto mustahil dan bertentangan  dengan prinsip prinsip demokrasi. 
sukarno  donder, marah, mendengar kabar dan berita yang mengatakan bahwa para perwira 
Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa di subuh 1 Oktober 1965 mengalami 
penyiksaan mahahebat sebelum nyawa mereka dihabisi. Kabar seperti ini, berdasar keterangan saksi  si Bung, sengaja disebarluaskan untuk membakar emosi rakyat dan mendorong  pertengkaran  di kalangan rakyat yang akhirnya menjelma menjadi  sembelih sembelihan . 
Donder itu terjadi dua kali dalam 24 jam. Pertama saat si Bung berbicara di depan wartawan di 
Istana Bogor, tengah malam  hari, tanggal 12 Desember 1965. Donder kedua, keesokan hari, saat Bung Karno berbicara di depan gubernur se Indonesia  , di Istana Negara. 
Kepada para wartawan, cerita sukarno  di depan para gubernur, dia bertanya darimana media 
massa memperoleh  cerita mengenai  kronologi pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira 
pertama Angkatan Darat yang diculik kelompok Untung.  Tak ada seorang wartawan pun yang menjawab. Menteri Penerangan Achmadi, Kepala Dinas Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Letkol Noor Nasution yang mengawasi Antara pun tak  bisa mengatakan darimana mereka memperoleh  kabar itu.  Saya tidak mengetahui  apakah gubernur gubernur tadi tengah malam  menyetel radio atau televisi. Maka ada 
baiknya saya ceritakan sedikit pengamatan  saya tadi tengah malam . Begini, saat  sudah 
terjadi Lubang Buaya, jenazah jenazah dari  jenderal dibawa kesana dan dimasukkan ke 
dalam sumur. , itu wartawan wartawan suratkabar menulis, bahwa jenderal jenderal itu disiksa di luar perikemanuiaan. Semua, katanya, maaf, saudari saudari, semuanya dipotong mereka memiliki  kemaluan.  Malahan belakangan juga ada di dalam surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita bernama Djamilah, mengatakan bahwa motongnya kemaluan itu dengan pisau silet. Bukan satu pisau silet, namun   lebih dahulu 100 anggota Gerwani dibagi silet. Dan silet ini dipakai  untuk mengiris ngiris kemaluan. Demikian juga  dikatakan, bahwa di antara jenderal jenderal itu 
matanya dicungkil. Kisah Djamilah yang disebut sukarno  ini dimuat oleh koran Api Pantjasila, edisi 6  November 1965. Koran ini berafiliasi dengan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 
(IPKI), sebuah partai politik yang didukung tentara. Di tahun  1973, bersama empat partai lain, 
PNI, Partai Murba, Partai Parkindo, dan Partai Katholik, partai ini difusikan menjadi Partai 
Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam laporan Api Pantjasila, Djamilah digambarkan sebagai seorang wanita muda, 15 tahun , yang tengah hamil tiga bulan. Anggota Gerwani ini dikatakan berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Ia mengaku, di Lubang Buaya dinihari itu, dia dan teman temannya dipersenjatai silet oleh anggota kelompok pergerakan  30 September, dan sesudah  itu mereka diperintahkan untuk menyayat 
dan memotong kemaluan para perwira Angkatan Darat yang jadi korban. Sebelumnya pada edisi 20 Oktober, Api Pantjasila menurunkan laporan yang menyebutkan bahwa kelompok pemuda yang menyerang markas komunis di Harupanggang, di sekitar Garut, Jawa Barat, menemukan alat yang dipakai  untuk mencungkil bola mata Ahmad Yani. Sama sekali tidak ada penjelasan bagaimana alat itu, jika  memang benar dipakai  untuk 
mencungkil mata Ahmad Yani, bisa berada di Harupanggang, ratusan kilometer dari Pondok 
Gede. Antara edisi 13 Desember 1965 menurunkan berita yang tak kalah sensasionalnya. berdasar keterangan saksi  Antara, sebelum membantai korban penculikan anggota Gerwani yang sudah  dipersenjatai silet terlebih dahulu menarikan tarian cabul yang dikenal dengan nama Harum Bunga, meliuk liukkan tubuh mereka sampai banyak di antaranya yang hilang kesadaran dan telanjang. berdasar keterangan saksi  peneliti dari Universitas Amsterdam, Belanda, Saskia E. Wieringa dalam artikelnya di 
tahun  2003, pemerintahan Orde Baru secara sistematis menghancurkan moral Gerwani dan lebih dari itu, wanita negara kita  biasanya . Cerita kebinalan anggota Gerwani di Lubang Buaya semakin dianggap sebagai kebenaran sesudah  tokoh agama dan media massa yang berafiliasi 
dengan kelompok agama ikut angkat bicara. 
Sinar Harapan edisi 9 Oktober mengutip pernyataan Dewan Gereja negara kita  yang mengatakan tidak habis pikir bagaimana mungkin di sebuah negara Pancasila yang mempercayai Tuhan tindakan amoral seperti itu bisa terjadi. Edisi 12 Oktober koran Duta Masyarakat yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di negara kita  dan lawan lawas PKI dalam politik segitiga Nasakom, menurunkan berita yang menggambarkan anggota Gerwani menari sambil telanjang di depan korban yang sudah sekarat dan tewas. Tarian mereka, tulis Duta Masyarakat, mengingatkan pada upacara kaum kanibal masyarakat primitif ratusan tahun  lalu. 
Angkatan Bersenjata edisi 3 November menurunkan laporan mengenai  pengakuan seorang anggota Pemuda Rakyat yang melihat  anggota Gerwani berteriak teriak sambil bernyanyi nyanyi dan mempermainkan Jenderal Ahmad Yani yang sudah sekarat tak sadarkan diri. Berita Yudha edisi 4 November kembali menurunkan berita mengenai  Gerwani. Kali ini disebutkan 
mengenai  kelompok Kancing Hitam yang terdiri dari wanita wanita cantik anggota Gerwani yang 
merelakan tubuhnya dipakai  sebagai pemuas nafsu petinggi petinggi partai politik. Anggota 
Kancing Hitam, demikian kata Berita Yudha, berusaha sebisa mungkin merayu petinggi partai 
partai itu untuk mendukung PKI. 
Tidak sampai di situ. Gambaran mengenai  anggota Gerwani yang binal dan bermoral rendah 
diabadikan Orde Baru pada relif di bagian bawah monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. 
Bulan Januari lalu saya menyempatkan diri mengunjungi monumen itu dan mengamati relief 
ini . Tiga orang anggota Gerwani sedang menari sambil tersingkap belahan dada mereka, 
sementara tak jauh dari mereka seorang korban penculikan yang mungkin sudah dibunuh 
dimasukkan ke dalam sumur tua Lubang Buaya. 
Itulah agaknya sedikit dari banyak berita yang memicu  sukarno  donder. Dan ia masih 
melanjutkan pendonderannya. 
 Saya pada waktu itu memakai saya memiliki  gezond verstand, Saudara saudara. Dan dengan 
memakai saya memiliki  gezond verstand, itu saya betwiffelen, ragukan kebenaran kabar ini. namun   
saya melihat akibat dibandingkan  pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat 
seperti dibakar. Kebencian menyala nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok 
gontokkan, yang lalu  malahan menjadi sembelih sembelihan.  Saudara saudara mengetahui , bahwa saya sejak mulanya berkata, jangan, jangan, jangan, jangan sembelih sembelihan, jangan gontok gontokkan, jangan panas panasan. 
 Nah, Saudara saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa memang benar sangkaan 
saya itu, bahwa jenderal jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana,  Visum repertum dibandingkan  team dokter dokter yang menerima jenazah jenazah dibandingkan  jenderal jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu.  Visum repertum oleh dokter dituliskannya pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia tidak boleh 
bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa fakta  itu, harus dimasukkan 
dalam visum repertum itu harus jadi pegangan, sebab ini satu fakta , bukan khayalan. Lim Joey Thay dan empat anggota tim forensik lainnya yang memeriksa mayat Jenderal Ahmad 
Yani sama sekali tak menemukan tanda  kanibalisme seperti yang diberitakan media massa yang sudah  dikuasai militer dan Soeharto. Begitu juga dengan mayat enam korban lainnya. 
Pada tubuh Ahmad Yani, contohnya , tim dokter menemukan delapan luka tembak dari arah depan 
dan dua luka tembak dari arah belakang. Juga ditemukan dua luka tembak yang tembus di bagian perut dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung. Matanya masih utuh walau sudah kempes, begitu juga dengan kemaluannya, masih ada pada tempatnya walau sudah membusuk. Mayat Ahmad Yani diidentifikasi oleh ajudannya, Mayor CPM Soedarto, dan dokter pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan. Tanda di tubuh Jenderal Ahmad Yani, berupa parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya dan  kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi gigi seri pertama, juga masih dapat dikenali. manuscript  visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi ini ditulis dalam format yang sama. Di pojok kanan atas halaman depan ada  tulisan  Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia . Sementara di pojok kiri atas halaman depan tertulis  Salinan dari salinan. Bagian kepala laporan bertuliskan  Visum et Repertum diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean). Bagian awal manuscript  ini dimulai dengan penjelasan mengenai dasar hukum pembentukan tim dokter untuk mengotopsi mayat ketujuh perwira Angkatan Darat. Disebutkan bahwa tim ini  dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober. Selanjutnya Kepala RSP AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik tadi, termasuk Lim Joey Thay. 
Berikutnya yaitu  bagian yang menjelaskan waktu dan tempat visum. Tertulis pada bagian ini: 
 maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun  seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai 
jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun  seribu sembilan ratus enam puluh 
lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, sudah  melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang berdasar keterangan saksi  surat perintah ini  di atas yaitu  jenazah dari pada… diikuti bagian yang menjelaskan jatidiri mayat dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan. Setiap manuscript  visum et repertum itu juga menjelaskan bahwa mayat yang diperiksa yaitu   korban tembakan dan atau  penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun  1965 pada peristiwa apa yang dinamakan pergerakan  30 September. Mayat mayat ini diidentifikasi oleh orang  yang mengenal mereka, dan  disebutkan apa saja tanda  tubuh atau tanda  lain yang melakat di mayat yang menjadi ciri utama mayat. Selesai dengan bagian pengantar ini, barulah tim dokter membeberkan hasil pemeriksaan luar yang mereka lakukan, dan menutupnya dengan hasil penelitian  dan pernyataan bahwa hasil pemeriksaan itu dituliskan dengan mengingat sumpah jabatan. 
Bagian paling akhir dari manuscript  ini mengenai autentifikasi keaslian manuscript . sebab  
manuscript  yang kami peroleh ini merupakan  salinan dari salinan maka ada dua penanda 
autentifikasi dalam bagian manuscript  ini. 
Pengesahan pertama bertuliskan  disalin sesuai aslinya dan ditandatangani oleh  Yang menyalin yaitu  Kapten CKU Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Dan pengesahan kedua bertuliskan  disalin sesuai dengan salinan dan ditandatangani oleh  panitera dalam perkara ex LKU Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Tidak ditemukan petunjuk waktu kapan manuscript  ini disalin dan disalin ulang. 
Saat mengunjungi dr. Lim Joey Thay di paviliun RS St. Carolus bulan Juni tahun  lalu, saya tak 
menangkap guratan emosi di wajahnya. Ia tampak begitu tenang. Ia mengikuti kami yang mengabadikan gambarnya. Sesekali istrinya datang untuk membenarkan sarung dr. Lim Joey 
Thay. Atau memberikan minum. Kami juga sempat bertemu dengan dokter yang menangani dr. Lim Joey Thay. Kepada dokter muda ini dr. Lim Joey Thay mencoba menjelaskan kondisi nya. 
Sepintas tidak ada yang mengkhawatirkan. Ia hanya butuh istirahat sesudah  kelelahan dan 
terjatuh. namun   Dandhy bercerita kepada saya pengalamannya saat mewawancarai i dr. Lim Joey Thay dua tahun  lalu. Beberapa kali dr. Lim Joey Thay menitikkan airmata saat berbicara dengan terpatah patah mengenai  menutup diri  yang disebarkan mengenai kondisi mayat ketujuh Pahlawan Revolusi. Beberapa hari lalu, Dandhy kembali menulis pesan di inbox Facebook saya. Dia barusan mengunjungi dr. Lim Joey Thay. Kali ini bersama Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia   (ANRI) Djoko Utomo. Pihak Arsip Nasional kelihatannya ingin memastikan keaslian manuscript  visum et repertum itu. Kepala ANRI merasa perlu bertemu langsung dengan dr. Lim Joey Thay, satu dari dua anggota tim otopsi Pahlawan Revolusi yang tersisa. Dr. Djadja, murid dr. Lim Joey Thay ikut menemani  gurunya dalam pertemuan itu. berdasar keterangan saksi  Dandhy dalam pesan singkatnya, konsisi terakhir dr. Lim Joey Thay  benar benar  sudah sulit bicara. 
Menyingkap Kabut Halim (Oleh: Eduard Lukman) 
Selama lebih dari 30 tahun  sejak peristiwa G30S/PKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde Baru, sudah  menyudutkan Angkatan Udara Republik Indonesia   (AURI). Pernyataan pernyataan ini  bagai memvonis seakan akan Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma 
menjadi markas pusat G30S/PKI dan seolah olah AURI terlibat. Tanggal 9 November 1999 diluncurkan  buku Menyingkap Kabut Halim 1965 
(Sinar Harapan, 1999). Ini merupakan  usaha  Perhimpunan Purnawirawan AURI  untuk menceritakan apa yang terjadi di  PAU Halim Perdanakusuma pada hari hari sekitar 1 Oktober 1965. Tiupan angin  segar reformasi sudah  menggugah sebagian purnawirawan AURI, pelaku 
sejarah sekitar 1 Oktober 1965 untuk menguak kabut di pangkalan angkatan udara ini , sehingga memberi informasi  baru kepada publik yang selama ini didominasi oleh versi tertentu peristiwa 
pahit ini  yang cenderung  memojokkan angkatan udara kita.  Berikut yaitu  beberapa kisah yang diungkap Menyingkap Kabut Halim 1965, seperti dituturkan para purnawirawan AURI pelaku sejarah.  Rivalitas angkatan  Membicarakan peristiwa G30S/PKI, berdasar keterangan saksi  buku ini tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi 
politik sebelum pecahnya peristiwa ini , yang diwarnai konflik berbagai pihak termasuk 
rivalitas dan friksi antar angkatan.  Dalam konfrontasi menghadapi Malaysia, Presiden Soekarno memperoleh pelajaran penting 
dari keberhasilan Operasi Trikora yang sudah  mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu 
Pertiwi. Dalam operasi seperti  ini terlihat pentingnya keunggulan angkatan laut dan angkatan udara. sukarno  lalu  menunjuk Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya 
Udara Omar Dani menjadi Panglima Komando Mandala Siaga (Kolaga). Penunjukan ini memperoleh  reaksi dari angkatan darat. Sebagai Wakil Panglima ditetapkan Brigadir Jenderal 
Achmad Wiranatakoesoemah yang juga Kepala Staf Kostrad.  Operasi Kolaga lalu  tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebab  ada keengganan dari pimpinan Angkatan Darat untuk memberikan dukungan sepenuhnya, terutama pengiriman 
Suasana sekitar Halim Perdanakusuma pada hari 
hari sesudah  G30S  pasukan ke daerah perbatasan. Dalihnya, antara lain belum siapnya pasukan, belum tersedianya sarana akomodasi, atau adanya kendala transportasi.  Tidak berjalannya organisasi Kolaga itu, berdasar keterangan saksi  Laksdya Udara Omar Dani, disambungkan tiadanya dukungan penuh dari angkatan darat terhadap Letnan Jenderal Ahmad Yani, Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (Koti) yang memberi supervisi pada Kolaga.  
lalu  Brigjen Wiranatakoesoemah, yang berdasar keterangan saksi  Omar Dani juga tidak memperoleh dukungan memadai dari Departemen Angkatan Darat, diganti oleh Mayor Jenderal Soeharto yang merangkap Panglima Kostrad. saat  Soeharto menjadi wakil panglima, tidak ada yang 
berani menolak permintaannya, sehingga dukungan angkatan darat menjadi lebih baik dari 
sebelumnya. namun   , Soeharto lalu  bertindak lebih jauh. Ia menyatakan penilaiannya  bahwa Omar Dani tidak cocok menjabat sebagai Panglima Kolaga.  Ketidak ikhlasan menerima Omar Dani sebagai Panglima Kolaga, berdasar keterangan saksi  buku ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh pengalaman Men/Pangau ini  yang dinilai masih terlalu yunior, namun   
sudah harus membawa bawa hi senior angkatan darat yang merasa kaya pengalaman perang  
kemerdekaan.  Keengganan Angkatan Darat untuk sepenuhnya mendukung operasi konfrontasi Malaysia, sudah tentu menjadi pertanyaan bagi Omar Dani. Padahal Angkatan Laut dalam waktu satu bulan sudah menempatkan satu brigade KKO di sekitar Singapura, juga di pulau  Sebatik, 
Kalimantan Timur. Angkatan Kepolisian sudah  mengirimkan Brimob ke beberapa daerah di 
Semenanjung Malaya. AURI dengan PGT nya sudah juga  diterjunkan di wilayah Malaysia.  
Pendek kata, tulis buku ini, berbagai friksi yang muncul dalam Kolaga, sedikit banyak ikut 
mewarnai iklim politik selama prolog G30S, sehingga hal ini  dimanfaatkan PKI untuk 
semakin mempermengenai kan elit politik di sekitar Presiden Soekarno, termasuk pimpinan 
angkatan bersenjata.  Namun demikian, buku ini juga mengingatkan bahwa sebagai perwira yang berbentuk   muda saat  dilantik menjadi Men/Pangau, maka Omar Dani merasa patut memberi komitmen kepada sukarno . Lagi juga  Presiden Soekarno juga memberi kesempatan kepada AURI untuk ikut mengambil peran  politik, yang selama ini hanya dijalankan angkatan darat. Laksamana 
Madya Omar Dani lalu , seperti halnya tokoh  lain pada masa itu, berada di jajaran terdepan dalam melaksanakan ajaran ajaran sukarno .  kehadiran Presiden Soekarno di PAU Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965, meskipun atas kehendak sendiri dan sesuai dengan standard operating 
procedure Resimen Tjakrabirawa, memperkuat dugaan adanya keterlibatan AURI, sebab  dikait kaitkan dengan apa yang disebut Lubang Buaya. Padahal Desa Lubang Buaya yang dijadikan 
tempat latihan sukarelawan dan menjadi 
lokasi pembunuhan para perwira  angkatan darat, letaknya di luar wilayah  PAU Halim Perdanakusuma. sedang   nama Lubang Buaya lainnya yaitu  sebuah lapangan yang biasanya dijadikan dropping zone untuk latihan penerjunan. Lapangan ini ada dalam wilayah PAU 
Halim Perdanakusuma. Di sekitar dropping zone inilah terjadi tembak menembak antara RPKAD dengan Batalyon 454/Para. Kedua pasukan itu rupanya hadir pula  di alamat yang salah, sebab  mereka seharusnya menuju Desa Lubang Buaya.  
kehadiran sukarno  di Halim Perdanakusuma, memang menjadi  posisi pangkalan itu seperti menjadi bagian dari skenario pergerakan  militer G30S. Pendapat publik pun terbentuk, sebab  ada kegiatan lain di Desa Lubang Buaya, yang dikacaukan dengan lapangan Lubang Buaya tempat latihan terjun di Halim.  Omar Dani sendiri menjelang pagi 1 Oktober itu memang sudah berada di Markas Komando Operasi, PAU Halim, sebab  sebelumnya sudah mendengar (dari Letnan Kolonel Udara Heroe Atmodjo, Asisten Direktur Intelejen) akan adanya pergerakan  internal dalam tubuh angkatan darat. Sebagai pimpinan Angkatan Udara, ia memutuskan untuk tidak turut campur dalam persoalan itu, namun   sebaliknya meminta AURI untuk mengambil tindakan berjaga jaga, terutama mengamankan semua instalasi angkatan udara. Pagi hari itu juga Omar Dani 
lalu bersama Panglima Komando Operasi Komodor Udara Leo Wattimenamenyambut 
kedatangan Presiden Soekarno di Halim yang diputuskan atas pertimbangan keamanan di 
sekitar Istana Merdeka.  Selain itu, kehadiran Ketua CC PKI D.N. Aidit yang disembunyikan Mayor Udara Soejono (komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan dan yang memang lalu  terbukti dipengaruhi PKI) di rumah Sersan Soewardi di kompleks perumahan PPP di kawasan PAU Halim, kian memperkuat pembentukan opini publik adanya keterlibatan pangkalan ini dalam G30S.  Omar Dani sendiri menyangkal bahwa ia mengetahui  kehadiran Aidit di Halim.  Saya mengetahui nya kemudian dari persidangan Soejono , katanya.  Soejono tidak pernah melaporkan keberadaan Aidit itu pada saya, pada Komodor Udara Susanto maupun pada 
Komandan Halim Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo.   Omar Dani lalu  pada 1 Oktober 1965 tengah tengah malam  memberi izin penggunaan pesawat  Dakota untuk membawa bawa  Aidit ke Yogyakarta, namun ia tidak mengetahui  bahwa Aidit hari itu berada  dalam lingkungan Halim. Omar Dani mengizinkan penggunaan Dakota untuk Aidit sebab  Aidit 
saat  itu menjabat Menteri Koordinator/Ketua MPRS.  Akhirnya, sekitar pukul 23.00 (1 Oktober), sesudah  ada berita bahwa Halim akan diserang 
pasukan Kostrad, diputuskan sukarno  harus keluar dari sana. Omar Dani menawarkan: 
 Terserah Bapak ingin ke mana, Hercules, Jetstar dari Skadron 17 ditambah    crew nya sudah siap semua. Bapak bisa ke Yogya, Madiun, Malang, atau luar negeri, terserah Bapak.  sukarno  akhirnya berangkat dengan mobil ke Istana Bogor.  sesudah  Presiden Soekarno keluar dari Halim, Omar Dani dan Leo Wattimena lalu  naik ke 
pesawat Hercules dan terbang holding selama enam jam di atas Jawa Barat dan Jawa Tengah. 
Tujuannya tidak lain yaitu  untuk menghindari konflik terbuka dengan pasukan yang akan 
menyerang Halim. Di samping itu, Omar Dani juga paham akan temperamen Leo yang cepat 
panas, sehingga akan lebih baik jika Pangkoops diajak menemaninya. Pesawat ini  akhirnya mendarat di PAU Iswahyudi, Madiun.  Selama holding dengan Hercules, buku ini mengungkap beberapa kejadian yang makin mempersulit posisi Omar Dani pada khususnya dan AURI biasanya .  
Rupanya tanpa sepengetahuan  Omar Dani, Komodor Udara Leo Wattimena mengirim perintah 
kepada Kolonel Sudarman, Komandan Wing Ops 002 PAU Abdurachman Saleh. Isi perintahnya 
yaitu  untuk mengirimkan dua P 51 Mustang, dua pembom B 25 Mitchel dan sebuah Catalina. 
Maksudnya untuk menghadapi RPKAD dan Kostrad yang akan masuk ke Halim. Omar Dani 
mengaku tidak mengetahui  hal itu. Yang jelas, perintah itu tidak datang dari dia.   Hal seperti  itu hanya Leo yang bisa mengaturnya. Perintah itu bukan datang dari saya , tuturnya di hari berikutnya .  Pesawat pesawat ini  lalu  diminta Kolonel Ashadi Tjahjadi Komandan PAU Husein 
Sastranegara mendarat di Husein. Namun satu B 25 terlanjur masuk Halim dan akhirnya 
bannya digembosi RPKAD agar tidak bisa mengudara.  Kejadian lainnya yaitu  radiogram Men/Pangau kepada Mayjen Soeharto agar tidak masuk ke Halim dalam mengejar pasukan pasukan G30S. sebab  pasukan ini  sudah dihalau keluar Halim oleh PGT. Leo Wattimena lalu melaksanakan perintah Omar Dani. Belakangan radiogram itu dinilai sangat keras dan bisa dianggap sebagai ultimatum kepada Mayjen Soeharto.  saat  sudah ditahan, Omar Dani lalu  meminta arsip radiogram ini .   sesudah  saya baca terbukti kata katanya memang kort en bondig atau  cekak aos . Bahkan dapat dikatakan agak keras: Jangan masuk Halim, jika  masuk Halim akan dihadapi,  katanya mengenang kejadian ini . namun    Omar Dani menyatakan bahwa dia tetap bertanggung jawab akan radiogram itu.  Omar Juga mengakui bahwa Perintah Harian Men/Pangau tertanggal 1 Oktober 1965 lalu  menjadi suatu kekeliruan, sebab  bisa ditafsirkan bahwa AURI ada di  pihak sana . Padahal  maksudnya tidak lain yaitu  untuk mengamankan jalannya revolusi dari anasir anasir subversi asing. Lagi juga  tampaknya Omar Dani tidak menyangka bahwa pergerakan  pembersihan dalam angkatan darat itu berpuncak dengan dibunuhnya para jenderal pimpinan Angkatan Darat.  saat  Hercules yang membawa bawa  Omar Dani dan Leo Wattimena baru mengudara, diperoleh hubungan komunikasi dengan Laksamana Muda Udara Sri Moeljono Herlambang, waktu itu menjabat Menteri Negara diperbantukan pada Presiden, yang tengah 
dalam perjalanan kembali dari Medan dengan Jetstar. Men/Pangau meminta Herlambang membantu mengamankan Halim. Mendekati Halim, Jetstar itu bahkan ditembaki beberapa kali oleh artileri pertahanan  udara Angkatan Darat. Namun pesawat akhirnya lolos  dan selamat mendarat di Halim.  sesudah  memperoleh  laporan dari Deputi Operasi  Men/Pangau Komodor Udara Dewanto bahwa RPKAD akan menyerang Halim, Laksda Herlambang memerintahkan agar pasukan yang mempertahankan pangkalan menyandang 
senjatanya sebagai isyarat bahwa mereka tidak menghendaki konflik.  Tanggal 2 Oktober tengah tengah malam , Pangkostrad memerintahkan RPKAD untuk menguasai  Halim. Tujuannya antara lain mencari para jenderal yang diculik. Maka diaturlah manuver untuk mengepung pangkalan udara ini . Selain RPKAD juga dilibatkan Batalyon 328/Para dan beberapa kompi kavaleri dari Kostrad.  Perkembangan ini memicu  Komodor Udara Dewanto memutuskan untuk mengetahui  situasi yang ada di sekitar Halim dan di Jakarta. Dengan ditemani ajudan Kapten Udara Willy Kundimang, Dewanto menerbangkan Cessna L 180. Di lapangan parkir timur Senayan mereka 
melihat konsentrasi truk dan armoured personnel carrier.   saat  Dewanto kembali ke Halim, ternyata RPKAD sudah masuk. Mereka menduduki hanggar  Skadron 31, Skadron 2, Skadron 17, menara lalu lintas udara dan fasilitas pangkalan lainnya. Di Deputy Operasi Men/Pangau Komodor 
Udara Dewanto di depan pesawat P 51 Mustang  
luar dugaan pasukan penyerang, ternyata pasukan AURI sama sekali tidak memperlihatkan tanda  siap tempur. Suasananya biasa biasa saja. saat  itu Halim hanya dijaga satu kompi PGT, satu kompi PPP dan satu peleton Polisi AU, yang sudah diperintahkan untuk tidak memberikan perlawanan.  Begitu pesawat diparkir, Komodor Udara Dewanto disambut anggota RPKAD yang siap dengan  AK 47. Pistol Kapten Willy Kundimang dilucuti dengan sopan, namun Dewanto diizinkan tetap menyandang pistolnya.  
Selama berada di Halim, RPKAD diterima dengan baik oleh AURI. Hubungan antar prajurit kedua angkatan tidak diwarnai dengan ketegangan. Bersama sama mereka menyantap ransum 
makan prajurit prajurit AURI.  Perkembangan selanjutnya, dalam usaha  mendekati Halim, RPKAD akhirnya terlibat tembak menembak dengan Batalyon 454/Para yang sudah pindah dari Lapangan Monas ke daerah sekitar Halim. Pertempuran kedua pasukan itu merisaukan Komodor Dewanto yang mengkhawatirkan keselamatan aset negara yang tidak sedikit di pangkalan udara. Dewanto  lalu  mengambil inisiatif untuk menengahi konflik senjata ini .  
Bersama Kapten Willy Kundimang, Dewanto mencoba mendekati daerah pertempuran dan 
akhirnya berhasil kontak dengan Wadanyon 454 Kapten Koentjoro. Koentjoro lalu menemui 
Dewanto.   Lapor Jenderal. Kapten Koentjoro, Raiders. Kami melaksanakan perintah melindungi 
pangkalan udara Halim agar tidak dimasuki pasukan lain, kecuali AURI.  Dewanto menjawab: Bagus. Kapten yaitu  tentara yang baik, namun   AURI tidak mau terjadi pertempuran di Halim, bisa merusak pesawat terbang.   Kapten Koentjoro akhirnya berhasil menahan pasukannya. sesudah  itu, Komodor Dewanto menugaskan Kapten Udara Kundimang membawa bawa  sepucuk surat untuk Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie. Surat ini  akhirnya sampai di tangan Sarwo Edhie. sesudah  Willy Kundimang dua kali mondar mandir daerah pertempuran antara RPKAD dan Yon 454, akhirnya disetujui  bahwa Komodor Dewanto akan menemui Kolonel Sarwo Edhie.  namun   sebelum itu Dewanto berhasil membujuk Kapten Koentjoro untuk menghentikan aksi  pasukannya menjauh dari RPKAD. Mulanya Koentjoro berkeras.  Pasukan Raiders tidak mengenal menyerah , katanya.  Saya tidak minta Kapten menyerah. Saya minta agar pasukan Kolonel Sarwo Edhie diberi jalan masuk ke Halim , jawab Dewanto. Dewanto lalu mengundang Sarwo Edhie datang ke Markas Komando Operasi PAU Halim.   Siap Jenderal. Kami akan datang ke sana, sesudah  kami ketahui  pasukan kami yang masuk melalui Jatiwaringin sudah masuk Halim , kata Sarwo Ehie. Dewanto akhirnya berangkat lebih dahulu  bersama Mayor Goenawan, perwira yang mendampingi Komandan RPKAD. Kolonel 
Sarwo Edhie menyusul lalu .  Di Halim Sarwo Edhie disambut Laksda Sri Moeljono Herlambang, Komodor Udara Dewanto, Komodor Udara Soesanto, Direktur Operasi AURI, dan Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo, Komandan Wing Ops 001/Halim. sesudah  melihat sendiri kondisi  Halim, Sarwo Edhie mengatakan, ia akan melaporkan hal ini kepada Mayjen Soeharto. Laksda Herlambang lalu menawarkan Sarwo Edhie ikut dengan helikopter ke Bogor, sebab  hari itu Presiden Soekarno akan memberikan briefing kepada para panglima. Kemungkinan Soeharto juga akan ada di sana.  Laksda Herlambang juga berhasil mempercayakan  Danyon RPKAD Mayor C.I. Santoso agar menarik pasukannya dari Halim. Herlambang bertanya,  Apa misi mayor di sini,  . Santoso menjawab: Misi kami menguasai pangkalan untuk memastikan agar pesawat tidak dipakai  untuk pemboman.   Lalu Herlambang melanjutkan,  jika  demikian misi mayor sudah selesai, sebab  di sini tidak ada perintah pemboman.  Rupanya santer desas desus bahwa AURI akan membom markas Kostrad.  sesudah  kembali dari Bogor, Sarwo Edhie lalu melapor Mayjen Soeharto yang juga dalam perjalanan pulang  dari Bogor. Soeharto lalu memerintahkan penarikan RPKAD dari Halim. Tanggal 2 Oktober pukul 22.00 pasukan berkekuatan sekitar 600 orang itu keluar dari Halim kembali ke Cijantung.  AURI tidak mendukung , berdasar keterangan saksi  kesaksian beberapa purnawirawan AURI saksi sejarah.  Dalam usaha  menyajikan fakta sejarah yang selama ini belum  diungkapkan pada publik, tidak bermaksud menyalahkan pihak lain.  ini tidak mengingkari bahwa ada anggota AURI yang terlibat dalam G30S, sebab  dalam setiap angkatan ada oknum oknum yang memang ambil bagian. Omar Dhani yaitu  kunci yang masih hidup saat  dia dibebaskan dari penjara.  Oleh wartawan dia pernah  ditanya mengenai  G30S/ PKI.  memang sebetulnya  Omar Dhani itu dilepaskan dengan tujuan agar mau cerita, silahkan 
buka mulut.  Namun entah mengapa, Omar Dhani tidak mau membeberkannya, dia memilih bungkam, mungkin Omar Dhani berpikir kalo dia 
membeberkannya hanyalah merendahkan dirinya saja atau juga merendahkan harga diri Bung 
Karno. Namun ada satu hal yang paling penting yang harus anda ketahui  dan juga anda ingat.  Omar Dhani yang mati-matian  bungkam ini sempat dipancing oleh seorang wartawan, dan dengan sangat mengejutkan Omar Dhani sudah menguak sedikit rahasia dibelakang G30S/ PKI ini, namun lalu  Omar Dhani menyadari bahwa dia 
keceplosan bicara, lalu  dia pergi tidak mau meladeni bicara dengan sang wartawan lagi. 
 Sang wartawan memancing Omar Dhani, pertama sang wartawan bertanya, bagaimana perasaan dia dilepaskan dari penjara, pak Omar Dhani 
menjawab, tentu saya senang bisa bebas.  Lalu sang wartawan bertanya lagi,  apakah bapak dendam kepada pak Harto yang sudah  memenjarakan  Bapak,  .  Omar Dhani tertawa ngakak, katanya  apanya yang harus saya 
berdendam kepada pak Harto,  .  Sang wartawan kembali memberi umpan,  Bukankah bapak itu dipenjarakan atas perintah pak Harto,  .  Kembali 
bekas Laksamana Omar Dhani menjawab,  Siapa yang berkata  begitu,  .  Sang wartawan menjawab,  Wah... itu khan sudah menjadi berita luas 
yang menganggapnya begitu... .  Omar Dhani hanya tertawa,  hehehehehe..  kamu tanya lah kepada pak Harto, begitu enggak,  .  Sang 
wartawan menjadi keheranan, lalu  sebab  tidak sabar, maka dia terjang langsung dengan pertanyaan inti....,  sekarang pak Harto sudah 
tidak lagi berkuasa, dan banyak yang menuduh bahwa pak Harto terlibat G30S/ PKI, bagaimana keterangan  bapak dengan tuduhan itu,    mendadak wajah bekas laksamana omar dhani mengencang, sangat serius, lalu dia berkata   .... tidak ada orang negara kita  yang mampu mendesign G30S/PKI , sesudah  berkata begitu, bekas Laksamana Omar Dhani berkata, 
 ...maaf, saya tak bisa lebih jauh lagi ngobrol disini , cepat dia pergi. Jadi kalo saja anda mencari lagi wawancara ini, tentu akan bisa jelas siapa wartawan yang pandai mengumpan pertanyaan yang begitu tajamnya sehingga Omar Dhani kebobolan juga akhirnya. Satu hal yang perlu anda ingat mengenai  pernyataan Omar Dhani ini, 
bahwa dia tak perlu, bahkan tidak merasa dendam kepada Suharto, dia juga tidak menganggap Suharto genius sebab  sama sekali bukan designer G30S PKI, Omar Dhani sangat memandang rendah kemampuan Suharto, dan 
yang paling puncak pentingnya dari ucapan Omar Dhani yaitu  cuma hanya sekedar  satu,  bahwa tidak ada satupun orang negara kita  yang mampu mendesign G30S PKI .  Dan berdasarkan anggapan Omar Dhani, Suharto hanyalah dipaksa 
untuk mengambil alih kekuasaan sukarno  sehingga jenderal Suharto seakan akan  melakukan kudeta terhadap Sukarno.  Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata SP 11 Maret ternyata tidak pernah ada.  Andaikata memang Suharto merupakan pelaku G30S PKI, apa sih susahnya memicu  SP 11 Maret yang palsu yang seakan akan  ditanda tangani oleh Sukarno.  Memang bukanlah tidak mungkin bahwa Surat palsunya pernah  dibuat, namun lalu  dimusnahkannya sendiri, sebab  Suharto pada hakekatnya juga memiliki  nurani dan tidak mau menentang perasaannya sendiri. Jadi sebab  kejadiannya sudah lama berlalu, dan memang designernya juga tidak melarang untuk mengungkapkan masalah ini, maka cukup   disini saya katakan kepada pembaca, bahwa designernya itu yaitu  Marshal Green yang baru saja   6 bulan diangkat sebagai Dubes untuk negara kita  menggantikan P.Jones.  Karir Marshal Green sangat menyolok, sebab  sebelum menjadi Dubes di negara kita , dia yaitu  Dubes di Saigon VietNam, dan disana dia juga mendesign hal yang sama yang bahkan lebih 
rumit dari G30S pki, namun kalo anda pernah  baca kejadian di VietNam, maka polanya sangat mirip, bahkan seperti foto copy nya saja, itulah sebabnya, plot G30S PKI tak perlu banyak buang waktu, kurang dari 3 bulan semua plotnya sudah lengkap dan sukses dilaksanakan dengan resiko 0% namun  keberhasilannya 100%. Omar Dhani bungkam  kemungkinan besar sebab  dia tidak mau memicu  Marshal Green seakan akan  menjadi hebat dan terkenal namanya.  Sementara itu Suharto bungkam  sebab  tidak mau menyinggung perasaan orang yang disakitinya yang kesemuanya bekas atasannya yang pangkatnya lebih tinggi.  Suharto mengetahui , bahwa mereka yang dia penjarakan justru orang 
yang lebih mengetahui  mengenai  urusan ini, dan dia sadar juga bahwa bekas atasannya tentu sulit untuk menyalahkan dirinya.  sebab , sebelum 
kejadian, sebetulnya  Omar Dhani yang ditawarkan untuk berperanserta  jadi Suhartonya, bahkan ada beberapa jenderal lain yang ditawarkan, namun mereka semua menolak, akhirnya Suharto lah yang terpilih tanpa Suharto 
sendiri mengetahui  kalo dia diPlot seperti itu. 
 Ny. Muslim binti Muskitawati. [mediacare] Omar Dhani   pergerakan  30 September merupakan nama  resmi pergerakan  sesuai dengan apa yang sudah  diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan praktis media massa lalu  ditulis dengan G 30 S atau G30S. Sedang Gestapu (pergerakan  
September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi dengan Gestapo nya 
Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan 
koran Angkatan Bersenjata, sudah  banyak belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas 
nama ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa negara kita  (dengan 
hukum DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara 
luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku 
Putih dipakai  istilah G30S/PKI. mungkin  ini merupakan standar ganda yang dengan 
sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan 
Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa  lebih ilmiah 
bahwa G30S ya PKI. Sementara itu beberapa  pakar asing dalam karya karyanya memakai  istilah Gestapu ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah yang dipakai  begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek tidak kritis. maka  dari istilah yang dipakai  saja tulisan itu sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada, sudah  menulis buku yang menghebohkan itu sebab  secara  murahan menuduh sukarno  sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia memakai  istilah Gestapu, saat  dia memakai  istilah netral  pergerakan  30 September‘ selalu diikuti dalam kurung(GESTAPU).
Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (pergerakan  1 Oktober) hanya untuk pergerakan  
yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal ini  dibandingkan  pergerakan  Letkol Untung. 
namun   mungkin saja bahwa yang dimaksud sukarno  yaitu  pergerakan  yang dilakukan Letkol 
Untung menculik beberapa  jenderal dan lalu  membunuhnya (terlepas dari adanya komplotan lain dalam pergerakan  yang melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap pergerakan  Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi pergerakan  Untung dan  mencegah kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim, sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh 
Presiden Sukarno dan  membangkang terhadap perintah perintah Presiden untuk tidak 
melakukan pergerakan  militer. Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober 1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan,  ..Orang yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, jika  perlu ditembak mati… namun   marilah kita adili juga  terhadap pada golongan yang sudah  mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi . Mungkin sekali ini maksudnya sesudah  pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu diadili, maka juga terhadap pelaku yang memicu  runcing persoalan sesudah itu, siapa lagi jika  bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab kesombongan  pimpinan PKI, kelihaian subversi Nekolim, adanya oknum  yang tidak 
benar . Dalam manuscript  yang disebut  manuscript  Slipi yang berisi hasil pemeriksaan sukarno  sebagai saksi ahli dalam perkara soebandrio   dan merupakan kesaksian terakhir sukarno  (1968), Oktober 1965 bagi saya yaitu  malapetaka, sebab  pergerakan  yang melawan G30S pada 1 Oktober 1965 itu sudah  melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak saat itu pergerakan  yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya berpendapat G30S lawannya Gestok… . Jika manuscript  ini memang benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh 
perkembangan kejadian dan  analisa  sukarno  mengenai  G30S ini  di atas. Brigjen Suparjo 
segera menghentikan pergerakan  G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok nya. namun   sejarah juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya. sebetulnya lah peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji lebih lanjut). pergerakan  selanjutnya, yang disebut sukarno  Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan pergerakan  kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung sukarno , ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah 
tragedi sebetulnya  dengan pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang 
perwira pertama oleh pihak militer sendiri.
PADA dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang lalu  menamakan diri sebagai pergerakan  30 September melakukan penculikan 7 orang jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah pengawalnya. Lolosnya jenderal ini sudah  dibayar dengan nyawa putrinya yang lalu  tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan lalu  dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD). Pada pagi pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui  apa yang sebetulnya  terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen dan  sertamerta  menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, saat  pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 menyampaikan mengenai  pergerakan  30 September di bawah Letkol Untung. Maka Yoga pun memerintahkan,  Siapkan 
semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak . Jangan jangan Kolonel Yoga, 
Kostrad, dan   siapa lagi jika  bukan Jenderal Suharto    sudah  mengantongi skenario jalannya 
drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini  amat mengggoda sebab  manuscript  manuscript  rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai  skenario seperti  itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak penutup.  berdasar keterangan saksi  tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin pergerakan  30 September, para jenderal ini  menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada 5 Oktober 1965. sebab  itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai dengan ajaran resmi yang didengungkan saat  itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka guna dihadapkan 
kepada Presiden. Dalam fakta nya mereka dibunuh saat  diculik atau di Lubang Buaya, 
Jakarta. mengenai  pembunuhan yang tidak patut ini terjadi beberapa  kontroversi. berdasar keterangan saksi  pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini sudah  muncul  berbagai  macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer negara kita , Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro khusus sentral  (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena perang  dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. berdasar keterangan saksi  pengakuan Syam, 
pembunuhan itu atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian  tidak menguntungkan pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN Aidit. Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua (double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari pengakuannya yang terus menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC 
PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam 
ada bayang bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya 
Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek 
keterangannya di depan pengadilan segera dibungkam sebab  keterangan dirinya tidak akan 
menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto 
sebagaimana yang sudah  dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit. Keterangan Syam mengenai perintah Aidit mengenai  pembunuhan para jenderal tidak dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub menyebutnya perintah itu dari Syam, namun   siapa yang memerintahkan dirinya,  Pertanyaan ini mau tidak mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu,  sukarno  tidak, Nasution tidak, Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani tidak ada maka berdasar keterangan saksi  tradisi AD Suharto lah yang 
menggantikannya. Hal ini terbukti dari fakta  bahwa saat  Presiden Sukarno menunjuk 
Jenderal Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto 
menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu satunya pengganti yang akan memanjat 
lebih jauh ke atas, padahal saat  itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui  jelas. Perlu ditambah  bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal sudah  diketahui  beberapa hari sebelumnya dan  beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. fakta  ini memicu  kecewa dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang sudah  berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambah  lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh ini  memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto sebab  Suharto melakukan korupsi sebagai Pangdam Diponegoro. Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan jawatimur  yang didatangkan ke Jakarta  dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang lalu  mendukung pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang diinspeksinya pada 30 September  1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui  dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan ini  ditambah    jejaring intelijennya, di samping adanya tali temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah  diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD saat  itu. Mungkin saja jejaring Suharto yang sudah  melumpuhkan logistik kedua batalion ini , hingga Yon 530  dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah beberapa  indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu  yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal. Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit,  PKI dan sukarno  pasti tidak, lawan lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang lalu  menyesalkan, kenapa tidak 
dikorek keterangannya di depan pengadilan), di puncaknya ialah Jenderal Suharto yang 
memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan 
memiliki  kesempatan membeberkan peranserta  dirinya dalam G30S yang sebetulnya , bukan 
sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika 
ini berlaku maka skenario yang sudah  tersusun akan kacau. 
Sejak 4 Oktober 1965, saat  dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, 
maka disiapkanlah skenario yang sudah  digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan 
propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Suharto mengenai  
penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari hari selanjutnya 
dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji mengenai  wanita  Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan  
dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang 
diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus menerus 
dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita 
Yudha, RRI dan TVRI yang juga sudah  dikuasai AD, sedang koran koran lain diberangus. saat  
beberapa  koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat dibandingkan  pencitraan Gerwani (pergerakan  wanita  kiri) yang dimanipulasi  sebagai  pelacur bejat moral . Kampanye ini benar benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. sesudah  lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan tanpa henti, saat  emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti agama dan anti Tuhan, kafir  yang darahnya halal, maka situasi sudah  matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah sesudah  kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965, selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang membanggakan sudah  membasmi   seribu jiwa manusia. Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya seolah waktu 
itu  dibunuh atau membunuh seperti dalam perang  saudara. Ini sama sekali tidak benar, tidak 
ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan kepentingan rezim militer 
Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi sudah  dimatangkan oleh propaganda 
hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto ditambah  segala peralatannya yang menyinggung nilai nilai moral dan agama mengenai  wanita  sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama ditambah    nilai nilai  moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan pembantaian 
anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir yang dilakukan pihak militer 
dengan memperalat sebagian rakyat yang sudah  terbakar emosinya. sesudah  seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa sisa anggotanya dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno yang kini dalam kondisi  terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri  Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966 yang ujungnya sudah  kita ketahui  bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani  buka mulut saat  itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya negara kita  menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun ubun. G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan dalang dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar manuscript  rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di negara kita  sebagai contoh soal,  agar   metode yang dipakai CIA dalam kudeta di negara kita  yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia dipakai  sebagai suatu tipe rancangan atau denah operasi operasi terselubung di masa yang akan datang . Itulah kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal, pengusiran sukarno  dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di negara kita  disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia Tenggara Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba menamakan pergerakan  Letkol Untung ini  dengan G30S/PKI, pendeknya nama keduanya  saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang kekuasannya rezim ini terus menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak kita semua, kaum muda dan anak anak sekolah dengan kampanye ini. saat  studi sejarah di negara kita  tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan penyebutan ini . Studi netral hanya menyebut pergerakan  30 September sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman pergerakan  di RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada arus balik riak yang membakari buku dalam tahun  ini sebab  berbeda dengan kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau. Pada 1 Oktober 1965 sudah  terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama AD yang lalu  dimasukkan ke sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di bawah pimpinan Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal  Presiden. 
Pada 4 Oktober 1965, saat  dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, 
Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas yang 
menyatakan bahwa para jenderal sudah  dianiaya sangat kejam dan biadab sebelum  ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur bilur luka di seluruh tubuh para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di kawasan  PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik Kodam Jaya. Di samping 
itu disiarkan secara luas foto foto dan film jenazah yang sudah  rusak yang begitu mudah memicu  kepercayaan mengenai  penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang sudah  dikuasai AD, yaitu  RRI dan TVRI dan  koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober.  Jadi sudah pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya sudah  dipersiapkan skenario 
yang sudah  digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara besar besaran dan serentak. digambarkan  ada  kolaborasi  erat dan serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani dan  anggota ormas PKI lainnya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul mundur , mengepruk, meludahi, menghina, menusuk nusuk dengan pisau, menoreh silet ke 
mukanya. Dan puncaknya kaum wanita  Gerwani itu digambarkan  sebagai sudah  
kerasukan setan, menari nari telanjang yang disebut tarian harum bunga, sambil  menyanyikan lagu Genjer genjer, lalu mecungkil mata korban, menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya....  hal itu bisa kita baca dalam koran koran Orba milik AD yang lalu  dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit lagi pada 6 Oktober dengan catatan harus membebek sang penguasa dan  buku buku Orba. Lukisan itu pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang diterbitkan sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga dapat 
menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak AD, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang bagus dari film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib ditonton oleh rakyat dan anak sekolah khususnya selama bertahun  tahun . Dan jangan lupa, fitnah ini diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, namun  kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu plakat 
yang mudah dibaca khalayak:  Di sini berdiri monumen menutup diri  perzinahan politik , 
agar kita semua belajar bahwa pernah  terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk 
menopang kekuasaannya dengan fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap 
para jenderal yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian. Fitnah hitam dongeng horor itu semua bertentangan  dengan hasil visum et repertum tim dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda  penyiksaan biadab, mata dan kemaluan korban dalam kondisi  utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan  dan tak pernah  diumumkan. Kampanye hitam terhadap PKI terus menerus dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun  tahun  tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan  bahwa menutup diri  yang terus menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai 
kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, saat  informasi  sudah dapat diperloleh secara 
bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta informasi . Apa tujuan kampanye hitam fitnah itu,  Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan situasi, 
membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya menuju ke pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin membasmi sampai ke akar akarnya. Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka sudah  berkembang biak dengan berbagai peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi para penguasa setempat. Selama kurun waktu 1965 1966 jika di pekarangan rumah 
seseorang ada lubang, contohnya  untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau sumur tua tak terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka dan  sertamerta  ia dapat ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan sudah  mempersiapkan  lubang 
buaya untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh  lawan politik PKI setempat. Dongeng ini  masih dihidup hidupkan sampai saat ini. Segala macam dongeng fitnah busuk berupa temuan  lubang buaya yang dipersiapkan PKI dan konco konconya untuk mengubur lawan  politiknya ini bertaburan di banyak berita koran 1965 1966 dan terekam juga dalam beberapa  buku termasuk buku yang ditulis Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan selalu dilengkapi dengan apa yang disebut  daftar maut meskipun keduanya tak pernah  
dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan. Seorang petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali mempersiapkan enam lubang 
untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu siang datang beberapa  polisi dan tentara 
dengan serombongan pemuda yang menggelandang dirinya saat  ia sedang menggali 
lubang keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi percakapan seperti di bawah. 
 Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh musuhmu!  Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak,  [saya sedang hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak, ]  Lubang boyo iku yo lubange boyo sing ana boyone PKI! [lubang buaya itu lubang yang ada buaya milik PKI]. Baik pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang 
memeriksanya tidak mengetahui  apa sebetulnya  lubang buaya itu, mereka tidak mengetahui  bahwa Lubang Buaya itu nama sebuah desa di Pondokgede, Jakarta. Dikiranya di situ lubang 
yang benar benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot namun   fakta  pahit, si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh sebab  adanya  bukti telak terhadap tuduhan tak terbantahkan. Demikian rekaman yang saya sunting dari wawancara HD Haryo Sasongko dalam salah satu bukunya. Nama lengkapnya ialah Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, atau biasa disingkat PAU Halim atau Halim saja. Sejak meletusnya peristiwa G30S, nama Halim selalu disebut. Pada 4 Oktober 1965 Mayjen Suharto, Panglima Kostrad sudah  menuduh bahwa Lubang Buaya, tempat ditemukannya jenazah para jenderal yang dibunuh pasukan G30S dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua, merupakan wilayah PAU Halim. Dalam fakta nya kawasan itu masuk wilayah milik Kodam Jaya, kira kira 3,5 km di luar kawasan PAU Halim. Penyesatan yang dilakukan oleh Suharto sejak dini ini  berdampak amat luas. Perlu kita ketahui  bahwa ada  dua nama Lubang Buaya yang berbeda tempatnya. Pertama dalam lingkungan PAU Halim, tempat latihan terjun atau dropping zone, kini menjadi lapangan golf. Sedang yang kedua berada di luar pangkalan sejauh 3,5 km, dipisahkan jalan setapak yang dewasa ini menjadi Jl Pondokgede. Hal ini tercantum dalam 
peta tahun  1936 sebagai yang digambar kembali dalam buku Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Kaum awam, bahkan para pakar Barat yang menulis mengenai  G30S (seperti Ulf Sundhaussen, John D Legge, Coen Holtzappel ) mencampuradukkan nama tempat Lubang Buaya, tempat pembuangan jenazah para jenderal, dengan PAU Halim. Demikian halnya dengan gedung Penas yang terletak di Jl Baipas (sekarang Jl DI Panjahitan) 
sebagai Cenko I G30S, juga disebut Halim, padahal gedung itu berada di luar wilayah PAU 
Halim. Dengan kekeliruan seperti  itu, mencapuradukkan nama 3 tempat sebagai Halim, 
akan berdampak pada gambaran yang salah dan menyesatkan yang dapat menuju pada analisa  dan hasil penelitian  yang meleset. Jika dua tempat di luar Halim itu disebut sebagai Halim, maka ada  gambaran seolah olah PAU Halim Perdanakusuma itu suatu tempat terbuka, hingga dengan mudah pasukan G30S dapat masuk keluar begitu saja, bahkan membawa bawa  para jenderal AD untuk dibunuh di sana. Sebagai yang disebutkan oleh Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, saat  itu (1965) PAU Halim merupakan pangkalan utama AU dengan Markas Komando Operasi AU yang mengendalikan seluruh penerbangan pesawat AU. Kemampuan pesawat pembomnya 
menjangkau jarak Bangkok dan Manila di utara (markas SEATO dan Armada ke 7 AS) dan  Perth di Australia yang dapat dicapai dari pangkalan Iswahyudi, Madiun. ada  juga Markas Komando Pertahanan Udara Nasional yang bekerja   melindungi wilayah udara RI dari kemungkinan penyusupan pesawat musuh, ada  sebuah skuadron pesawat VIP untuk Kepresidenan dan pejabat tinggi dan  batalion PGT. maka  kedatangan Presiden Sukarno ke Halim pada pagi hari 1 Oktober 1965, merupakan bagian dari pengamanan presiden dalam kondisi  tidak 
menentu, sesuai dengan prosedur baku yang ada. fakta  keberadaan Presiden Sukarno di Halim pada 1 Oktober 1965 ini oleh pakar sejarah Brigjen Prof Dr Nugroho Notosusanto disebut sebagai salah satu dari 3 kelompok pemberontak, 2 kelompok yang lain ialah Letkol Untung cs dan DN Aidit cs.  Kelompok Presiden Sukarno ini ditambah   oleh beberapa  pejabat negara. Logika pakar Orba 
ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam seri lain. 
Halim juga merupakan Markas Wing 001 di bawah Kolonel (Pnb) Wisnu Djajengminardo. maka  PAU Halim merupakan tempat tertutup dengan penjagaan cukup   ketat. Adapun Mayor Udara Suyono, salah seorang tokoh G30S, menjabat komandan Resimen PPP (Pasukan Pertahanan Pangkalan) yang markasnya ada di Kramatjati, di luar wilayah Halim. Dalam banyak buku mengenai  G30S yang ditulis oleh para ahli negara kita  maupun asing (bahkan sampai saat ini), digambarkan seolah Mayor Udara Suyono ini penguasa PAU Halim, lalu seolah seluruh wilayah Halim menjadi sarang G30S. Hal ini sama sekali 
tidak benar dan meleset dari fakta . Demikianlah penyesatan itu agaknya sudah menjadi bagian dari skenario yang sudah  dibuat  di antaranya untuk menjatuhkan para petinggi AURI saat  itu, di 
antaranya Men/Pangau Omar Dani guna menghancurkan para pengikut setia sukarno  
untuk digantikan para pembebek Suharto. Di sepanjang kekuasaan rezim militer Suharto, 
hal hal itu tak pernah  memperoleh  koreksi, justru dipelihara terus. Gerwani (pergerakan  Wanita negara kita ) didirikan pada 1954, sedang cikal bakalnya sudah berdiri pada 1950. Organisasi ini sangat aktif sampai tragedi 1965, terutama di kalangan rakyat kecil dari perkotaan sampai pedesaan. Para pemimpin Gerwani terdiri dari kaum intelektual cerdik pandai maupun kaum aktivis buruh dan tani. Mereka sudah menghimpun 
kaum wanita  untuk berjuang bersama kaum laki laki merebut hak hak sosial politiknya. Di bidang pendidikan mereka sudah  mendirikan sekolah Taman Kanak kanak, utamanya untuk kalangan tak bermemiliki  dengan bayaran kecil maupun gratis di seluruh pelosok negeri. pergerakan  ini juga giat mendirikan tempat penitipan anak anak bagi ibu pekerja dengan bayaran ringan maupun gratis. Gerwani merupakan organisasi kaum wanita  paling luas menjangkau seluruh pelosok Jawa khususnya. Mereka memberikan pendidikan 
kesadaran akan hak hak wanita  termasuk hak hak politik dan kesadaran politik. Mereka aktif juga dalam kesenian, kursus masak memasak, pemeliharaan bayi dan anak, kesehatan wanita  dan anak anak. Pendeknya organisasi ini sudah  melakukan pemberdayaan wanita  di seluruh kalangan, utamanya kaum buruh dan tani dan  kaum pinggiran, sesuai dengan cita cita Ibu Kartini. Gerwani ini juga  yang menjadi primadona sasaran fitnah keji rezim militer Orba dengan segala macam dongeng horornya. pertama  propaganda hitam Orba pada 1965 dimulai dengan menyerang Gerwani habis habisan sebagai bagian dari serangan terhadap PKI. Rusaknya nama dan porak porandanya organisasi wanita  ini berarti rusak dan lumpuhnya separo organisasi kiri negara kita . sesudah  itu dilakukan serangan fisik terhadap PKI dan seluruh organnya sebagai bagian penumpasan lebih lanjut pada 1965/1966. Tidak aneh jika kekejaman terhadap tahanan Politik  wanita  anggota Gerwani maupun yang didakwa Gerwani dilakukan dengan amat kejamnya, sering lebih mengerikan sebab  harkat wanita nya. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih  berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat dibandingkan  pencitraan Gerwani sebagai pergerakan  wanita  kiri yang dimanipulasi  sebagai  pelacur bejat moral . Kampanye ini benar benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. 
Kaum wanita  tidak hanya mengalami penderitaan sebab  diciduk, ditahan, 
dipenjarakan, dibuang, disiksa, namun   juga ditelanjangi dan diperkosa bergiliran dan 
dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan rumahtangganya, pendeknya mereka 
mengalami penderitaan luar biasa lahir dan batin. Perkosaan sudah  menjadi kecenderungan 
umum para tugas   keamanan saat  berhadapan dengan tahanan Politik  wanita . Sering 
pelecehan seksual dan perkosaan terhadap tahanan Politik  wanita  memicu   kehamilan  dan yang bersangkutan melahirkan di tempat tahanan. Penderitaan itu menjadi lebih lengkap lagi sebab  mereka melihat kehancuran keluarga  dan nasib anak anaknya, terpisah pisah di tempat yang berbeda beda dengan kondisi 
terpuruk yang berbeda beda juga  dengan perlakuan buruk negara dan masyarakat yang 
diprovokasi. Tak jarang para ibu ini sudah  kehilangan jejak anak anaknya selama bertahun  
tahun  sesudah  dibebaskan dari penjara, bahkan sebagian sampai saat ini. Tak jarang juga  
sesudah  orangtua mereka dibebaskan, anak anak yang berkumpul kembali dengan orangtuanya, terutama dengan ibunya, anak anak memusuhi dirinya sebab  merasa menjadi korban perbuatan ibunya, suatu penilaian amat tidak adil. Itulah salah satu buah  indoktrinasi menyesatkan rezim Orba selama bertahun  tahun  yang sangat merusak. Suami seorang wanita  kembang desa di Purwodadi yang anggota BTI ditangkap pada November 1965, lalu  dibuang ke pulau  Buru. Setiap tengah malam  sang isteri kembang 
desa ini digilir diperkosa oleh pamong desa setempat, tentara, pentolan ormas agama dan 
nasionalis. Bahkan suatu kali datang seorang tokoh penjagal kaum komunis yang saat  
tengah malam  datang menidurinya dengan pakaian berlumuran darah dan kelewang yang 
besimbah darah juga . Ini bukan dongeng horor model Lubang Buaya, namun   sejarah horor, 
sejarah hitam legam kaum militer Orba sebagai panutannya yang sudah  menciptakan 
kondisi dan konsep kebuasan ini .
Sungguh nama baik Gerwani yang sudah  mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi dan rakyat 
kecil umumnya itu, sebagai kelanjutan cita cita Ibu Kartini sudah  dinodai dan dirusak habis 
habisan dengan fitnah jahat tiada tara. Dengan usaha  bersama semua pihak yang peduli, 
terlebih lagi kaum sejarawan dan aktivis wanita , hari depan negeri ini akan 
memberikan tempat yang layak bagi Gerwani dalam sejarah bangsa. 
Tokoh ini tipikal seorang militer lapangan, sama sekali bukan tipe intelektual dengan otak 
cemerlang yang mampu melakukan langkah manipulasi  canggih penuh perhitungan. Ia 
anak bodoh namun   berani dan setia pada Sukarno. Hal ini amat berbeda dan berbalikan 
dengan Jenderal Suharto ditambah    beberapa pembantunya seperti Ali Murtopo [dan Yoga 
Sugomo] Begitu analisa  Ben Anderson.. meski begitu  ia salah satu lulusan terbaik 
Akademi Militer.  Letkol Untung salah satu pelaku G30S yang sebelumnya pernah  menjadi anak buah Suharto di Jawa Tengah dalam Divisi Diponegoro. Ia pun pernah  menjadi anggota  Kelompok Pathuk di Yogya meskipun bukan dalam kelas yang sama dengan Suharto 
atau Syam. Mereka berpisah pada tahun  1950, lalu  bertemu kembali pada tahun  1962 saat  bersama bekerja   merebut Irian Barat, ia berada di garis depan. Mendengar  kisah keberaniannya selama bekerja   di medan Irian, ia dianugerahi Bintang Penghargaan  oleh Presiden, lalu ditarik menjadi Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, suatu kedudukan cukup   strategis. Sebelumnya ia pernah  menjabat Komandan Yon 454 Diponegoro, pasukan yang memiliki kualitas yang lalu  terlibat G30S.  
Letkol Untung menikah pada umur yang agak terlambat pada akhir 1964. Acara 
perkawinannya dilaksanakan di tempat cukup   jauh di daerah udik di desa terpencil 
Kebumen. meski begitu  Mayjen Suharto memerlukan hadir pula  bersama isterinya ke 
tempat yang saat  itu tidak begitu mudah dicapai. Ia merupakan satu satunya perwira 
tinggi yang datang, ini merupakan kehormatan besar bagi Untung dan menunjukkan 
hubungan keduanya cukup   akrab. Bahkan yang mempertemukan Untung dengan calon 
isterinya ialah Ibu Tien Suharto. Soal kehadiran Suharto ini tidak pernah diungkapkan 
olehnya sendiri yang memiliki ingatan tajam itu, namun   toh terekam dalam sebuah berita 
koran Pikiran Rakyat.  
Letkol Untung pernah  dikirim belajar ke AS, tentunya CIA memiliki cukup   catatan mengenai  
dirinya sehingga ia dapat direkomendasikan. Seperti tercantum dalam catatan laporan CIA 
tertanggal 1 Oktober 1965 dalam CIA 2001:300, memorandum untuk Presiden Johnson 
bahwa Untung memiliki  military police background and was trained in the United States . 
Sementara orang menyebut catatan CIA ini tidak akurat sebab  Untung tidak pernah belajar ke AS. Banyak pihak menyatakan ia seorang muslim yang taat, sangat muak dengan korupsi dan tingkah laku kehidupan beberapa  perwira tinggi.  
berdasar keterangan saksi  David Johnson, Letkol Untung bukanlah tergolong pada apa yang disebut  perwira  progresif , ia pun bukan tergolong perwira yang tidak puas. Ia lebih tergolong sebagai 
seorang militer profesional yang berhasil. Ia pun menunjukkan tanda  memiliki  pandangan anti komunis. Selama beberapa bulan berkumpul di Penjara Cimahi, Bandung, soebandrio   mencatat bahwa Untung bukan orang yang menyukai masalah politik, ia tipe tentara yang loyal kepada atasan. Ia risau dengan adanya isu Dewan Jenderal yang  hendak menggulingkan Presiden Sukarno. Kepribadiannya polos dan jujur, hal ini antara lain dibuktikan dengan fakta , sampai detik terakhir sebelum eksekusinya, ia masih 
percaya vonis mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan.  Percayalah Pak Ban, 
vonis buat saya itu hanya sandiwara , kata nya kepada soebandrio  . Ia percaya Suharto 
mendukung tindakannya terhadap para jenderal dan akan memberikan bantuan seperti 
dijanjikannya.  Dalam persidangan Letkol Untung terungkap ia baru mengenal Syam dan Bono saat  
dipertemukan oleh Mayor Udara Suyono kepada beberapa  perwira dalam pertemuan 
pertengahan Agustus 1965 sebelum pergerakan . Untung yang tidak pernah sepenuhnya 
percaya kepada Syam, mencoba melakukan penyelidikan mengenai  hubungan rahasianya 
dengan ketua PKI. Hal ini tidak berlanjut, dan menganggap lebih bijak untuk tidak 
menantang Syam berhubung ia terdesak waktu bagi penyelesaian agendanya sendiri. Bagi 
Letkol Untung agenda mereka yaitu  mengambil langkah langkah untuk menggagalkan 
kudeta Dewan Jenderal dan  melindungi Presiden Sukarno. Kudeta itu dipercaya nya akan 
terjadi pada 5 Oktober 1965.  
Berdasarkan kesaksian Mayor AU Suyono maka dapat disimpulkan adanya berbagai 
pertikaian  di antara tokoh pergerakan  dengan ketegangan yang kian meningkat dan  
bermacam perbedaan pendapat selama berjalannya waktu yang mendekat. Letkol Untung 
menjadi cemas dan mungkin mempertimbangan untuk menghentikan semuanya. Rencana 
pergerakan  semula yaitu  tanggal 25 September, namun   sebab  pasukan dari Jawa Timur 
belum tiba maka pergerakan  ditunda sampai 30 September.  Dapat disimpulkan Untung bukanlah seorang komunis bawah tanah. Jika ia seorang 
komunis seperti  itu, ia mungkin sekali akan memperoleh  akses lebih mudah untuk 
menghubungi langsung ketua PKI DN Aidit untuk memastikan kedudukan Syam yang 
sebetulnya . Andaikata ia seorang komunis demikian maka dalam kedudukan dan pangkat 
yang disandangnya ia bakal memiliki serangkaian pendidikan dan pengalaman politik yang 
cukup   memadai yang akan dengan mudah membuang ilusi pribadi terhadap Jenderal 
Suharto, bahwa Suharto sudah  berkhianat terhadapnya bagi keuntungan diri dan 
kelompoknya. Dengan begitu ia akan menyadari kesalahan analisa nya terhadap Suharto. 
Ia seorang prajurit yang setia kepada sukarno . manuscript  yang terkenal dengan Cornell 
Paper menyebutkan sebelum peristiwa sudah  bertahun  tahun , Sukarno, para jenderal [AD], 
pimpinan komunis dan golongan lain sudah  terjerat dalam manuver politik yang rumit. 
Semua itu secara keseluruhan memicu   Letkol Untung melakukan aksinya.  Letkol Untung dieksekusi mati pada tahun  1969 di Cimahi. Demikianlah nasib seorang prajurit yang naif politik itu tetap memendam ilusi pribadi besar sampai saat terakhir, yang pundaknya sudah  menjadi panjatan sang manijuga tor. Adatah itu memang realitas kehidupan di sepanjang sejarah. Pemeo menyatakan itulah politik dalam fakta  
telanjangnya, menghalalkan segala cara. Pemeran G30S ini juga pernah  menjadi anak buah Suharto di Divisi Diponegoro. Ia ikut ambil bagian sebagai salah satu komandan kompi yang berani dalam SU 1 Maret 1949 di Yogya yang dipimpin Letkol Suharto. Akhirnya Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya, suatu kedudukan strategis. Sebagai Komandan Kostrad pun Suharto mendekati Kolonel Latief antara lain dengan mendatangi rumahnya saat  Latief 
mengkhitankan anaknya. berdasar keterangan saksi  soebandrio   hal ini merupakan suatu langkah  sedia payung sebelum hujan , suatu saat ia akan dapat memanfaatkannya. Di samping itu  Latief mengantongi rahasia skandal Suharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 seperti yang 
tercantum dalam pembelaannya di depan Mahmilub pada 27 Juni 1978. Letkol Suharto tidak banyak mengambil bagian dalam SU itu, ia hanya enak enak berada di garis belakang yang aman sambil,  makan soto di warung sebagai yang diceritakan Latief saat  pertempuran seru terjadi dan cukup   banyak korban jatuh. Adegan  Suharto 
makan soto babat‘ itulah yang disebut soebandrio   sebagai  skandal Suharto . Dalam pasukan Kapten Latief yang masuk ke Yogya dari Godean itu bergabung juga laskar Pesindo yang sudah bersiap di dalam kota di bawah pimpinan Supeno dan Pramuji, berdasar keterangan saksi  AM Hanafi merupakan kekuatan militan serangan umum ini .   Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris selalu mengikuti jejak Suharto. Pada gilirannya memicu  hubungan Latief dan Suharto bukan lagi sekedar bawahan dan atasan, melainkan sudah sebagai dua sahabat. Suharto mengetahui  Latief tak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sudah sejak sesudah  agresi kedua, Latief merasa 
selalu memperoleh  kepercayaan dari Suharto sebagai komandannya yaitu  memimpin 
pasukan pada saat yang sulit. saat  Trikora pun ia masih dicari bekas komandannya itu, namun   Latief sedang mengikuti Seskoad. Pada bulan Juni 1965 Mayjen Suharto meminta agar Latief dapat memimpin suatu pasukan di Kalimantan Timur, namun    Umar Wirahadikusuma menolak melepasnya sebab  tenaganya diperlukan untuk misi  keamanan di Kodam V Jaya.  Di luar dinas Latief memiliki  hubungan kekeluargsaan yang cukup   akrab dengan Suharto dan sering berkunjung ke rumahnya. saat  Sigit, anak Suharto dikhitan, isteri Latief datang. Sebaliknya saat  Latief mengkhitankan anaknya maka Suharto dan Ibu Tien juga datang ke rumahnya. Bahkan pada 28 September 1965 saat  Latief berkunjung ke 
rumah Suharto di Jl HA Salim, ia membicarakan soal tukar menukar rumah dinas. Latief 
menawarkan rumah dinas baginya di Jl Jambu bekas kedutaan Inggris yang lebih besar 
untuk ditukar dengan rumah  Suharto yang lebih kecil yang sedang ditempatinya.  berdasar keterangan saksi  soebandrio  , Suharto berhasil membentuk trio bersama kedua orang ini  di 
atas, keduanya memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding trio yang pernah  
dibentuk sebelumnya bersama Ali Murtopo dan Yoga Sugomo yang sudah  menghasilkan 
dirinya ditunjuk sebagai Panglima Diponegoro, lalu naik pangkat menjadi Kolonel dengan 
menggeser calon kuat Kolonel Bambang Supeno yang pengangkatannya tinggal menanti 
tandatangan saja. Dalam pembelaannya Letkol Latief tetap menuduh Jenderal Suharto sebagai ikut terlibat dalam G30S. Ia tidak memiliki ilusi apa pun terhadap Jenderal Suharto yang sedang 
berkuasa, orang yang setiap saat dapat mengirimkan dirinya ke dunia lain atau 
membebaskannya, menilik dalam fakta nya selama rezim militer Orba, Jenderal Suharto berada di atas hukum. Dapat disimpulkan ia memiliki suatu kesadaran politik cukup   tinggi. Selama penahanannya Latief mengalami siksaan luar biasa seperti dipaparkan dalam pembelaannya. heboh  ia masih bertahan hidup meskipun badannya cukup   rusak, semangat hidupnya luar biasa. sesudah  tekanan berbagai pihak di dalam dan luar negeri, ia baru dibebaskan dari penjara pada permulaan 1999. Dengan kondisi  badan yang rapuh, ia terkena stroke, namun    semangat hidupnya tidak pernah 
pudar. Sejak itu ia harus dibantu seorang  penerjemah untuk berkomunikasi dengan orang 
lain. meski begitu  ia tetap aktif mengikuti berbagai pertemuan, seminar, menulis manuscript . Dalam suatu kesempatan bertemu dengan penulis pada permulaan 2001, ia sedang menyelesaikan bukunya mengenai  SU 1 Maret 1949. Berbagai pertanyaan muncul  terhadap fakta  bahwa seorang Latief tidak dihukum mati oleh pengadilan yang sekedar mementingkan proses formal dan mengabaikan pembuktian material. Bahkan untuk tokoh yang masih menjabat sebagai menteri pada tahun  1965 seperti Aidit dan Nyoto, dengan ringan   dibereskan‘ oleh penguasa militer Orba. Rupanya pengadilan terhadap mereka tidak menguntungkan sang penguasa. Sebagian 
orang mencurigai Latief sebagai melakukan deal tertentu dengan Suharto, sampai saat ini 
tanpa bukti, atau mungkin  berdasar keterangan saksi  logika intelijen.  Seseorang di suatu tempat dalam rezim tampaknya menghendaki ia tetap hidup, begitu tulis Carmel Budiardjo. Seseorang 
itu tidak bisa lain kecuali Jenderal Suharto. Untuk kepentingan apa ia menghendaki Latief 
hidup, bagian dari suatu deal,  Macam apa kesepakatan itu, terlalu mahal untuk Latief dan 
terlalu riskan untuk Suharto, ini bila ditinjau dari kacamata sesudah  G30S. Tentu saja Suharto pun selama berkuasa dengan amat mudahnya setiap saat dapat melenyapkan Latief bagai menepuk nyamuk. fakta  bahwa Latief tidak dihukum mati, memicu  suatu spekulasi bahwa ia memiliki keterangan yang lebih sempurna yang disimpan di luar negara kita  dengan pesan agar   segera diumumkan jika ia dibunuh. Dalam majalah Far Eastern Economic Review 2 Agustus 1990 diberitakan memoar Latief disimpan di sebuah bank. Keterangan Latief memang memenuhi syarat untuk menyeret Jenderal Suharto sebagai terlibat G30S golongan A, sesuai Pasal 4 Keputusan Kopkamtib 18 Oktober 1965, semua orang yang terlibat secara langsung, mereka yang mengetahui  rencana gerakan gerakan  dan lalai melaporkan kepada yang berwajib.  Ada satu hal lagi yang amat menonjol , Kolonel Latief ditangkap sepuluh hari sesudah  kegagalan pergerakan , namun   ia diadili 13 tahun  lalu  pada 1978. Sedang vonisnya baru 
memperoleh  kepastian hukum pada tahun  1982! Latief merupakan saksi kunci yang dapat 
menggoyahkan kedudukan Jenderal Suharto. Pada masa permulaan bahkan pada tahun  
tahun  permulaan pengikut sukarno  masih cukup   kuat, maka diperlukan waktu bagi Suharto 
untuk mengkonsolidasikan diri dan kekuasaannya. Dengan kata lain Suharto memerlukan 
waktu, pendeknya faktor waktu amat penting dalam hal ini. Itulah sebabnya sesudah  usaha 
menyiksa dan mengisolasi Latief habis habisan selama 10 tahun  tidak juga membunuhnya, 
dengan berjalannya waktu ia tidak terlalu berbahaya lagi. Suharto sudah cukup   kuat dan 
mampu mengangkangi hukum dengan mudah. Demikian ulasan Joesoef Isak yang sangat 
menarik, faktor waktulah yang diperlukan oleh rezim Suharto untuk menaklukkan 
kesaksian dan bahan apa pun yang dimiliki Latief. Sudah jauh jauh hari fakta  ini sudah  
dimanipulasi kan dengan keterangan juru bicara militer yang menyatakan Latief dengan 
sengaja tidak mematuhi perintah dokter [berhubung luka luka yang dideritanya], sehingga 
ia tidak cukup   sehat untuk muncul di pengadilan, sebagai disiarkan Kompas 26 Maret 1966.  
peranserta  apa sebetulnya  yang sudah  dimainkan oleh Kolonel Latief, semata mata sebagai seorang militer yang setia kepada Presiden Sukarno, seseorang yang terseret masuk ke dalam perang kap Syam, atau orang Suharto yang sepahnya dibuang sesudah  habis manis, 
atau yang lain,  jika  dia sepah yang dibuang seharusnya ia dilenyapkan sesudah  dikorek 
keterangan yang diperlukan kepentingan rezim, agar selanjutnya bungkam. Seseorang 
yang menamakan dirinya sebagai mantan intel tiga negara sekaligus RI CIA KGB 
mesinyalir Latief sebagai agen ganda, sebab  itu ia selamat terus (Detak 5 Oktober 
1998:9). Masih dapatkah kita mengharapkan sesuatu yang lain di samping pledoinya di 
pengadilan, demi kepentingan sejarah bangsa,  Sayang sampai meninggalnya tokoh ini 
pada 2005, tidak ada informasi  baru yang disampaikannya. 
 Dalam berbagai diskusi informal  mengenai  G30S sebagian orang mengutuk Latief sebagai 
pengkhianat sebab  sudah  melaporkan pergerakan  yang diikutinya sendiri kepada Jenderal Suharto. Hal ini perlu dipertanyakan apakah menemui Suharto sebagai bekas 
komandannya dan orang yang cukup   dekat dengan dirinya itu inisiatifnya sendiri,  jika  
bukan siapa yang memerintahkannya,  Sebagian pihak menyatakan dia itu sebetulnya  
anggota trio sel bawahtanah PKI bersama Letkol Untung dan.... Jenderal Suharto di bawah 
binaan Syam [atau Aidit, ] sebagai bagian dari BC PKI. Dalam hubungan ini tak aneh jika 
ada pihak yang menyebut Jenderal Suharto sebagai gembong PKI yang berkhianat. Ada 
cerita seorang tokoh yang tidak mau disebut namanya, pada permulaan Oktober 1965 
menemui Aidit di Jawa Tengah saat  baru tiba dari Jakarta, DN Aidit menyatakan,  Wah celaka, kita ditipu oleh Suharto!