Tampilkan postingan dengan label raja 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 11. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

raja 11

lah waktu sebelum mereka 
dibinasakan. 
"Cegat musuh di jalan pintas!" Sebei mula-mula 
menugaskan tangan kanannya ditambah    tiga ratus 
orang, lalu membakar semangat anak buahnya 
sendiri. "Yang lainnya ikut aku. centeng  Nakagkertoarjo  
belum pernah ditaklukkan sejak keluar dari 
Ibaraki di Settsu, jangan mundur satu langkah pun 
dari musuh yang kini di hadapan kita!"  
Di depan panji komandan dan umbul-umbul, 
  
Nakagkertoarjo  Sebei segera melesat maju dan memacu 
kudanya sekencang-kencangnya ke kaki gunung. 
Pada pagi hari yang sama, enam atau tujuh 
kapal perang melintasi Danau Biwa ke arah utara, 
bagai segerombolan  unggas air. Pada tirai yang 
menutupi anjungan salah satu kapal, sebuah lam-
bang bunga seruni berkibar-kibar ditiup angin. 
Niwa Nagahide berdiri di anjungan kapal itu, 
saat  ia tiba-tiba melihat asap hitam mengepul 
dari salah satu gunung di sisi utara danau. Ia 
berseru pada orang-orang di sekitarnya. "Apakah 
itu dekat dengan weru atau jatiretno ?" 
tanyanya. 
"Kelihatannya seperti jatiretno ." seorang 
anggota stafnya menjawab . 
Jika seseorang memandang ke arah itu, gunung-
gunung itu  kelihatan bertumpuk-tumpuk. 
sehingga api di Gunung weru tampak berasal dari 
jatiretno . 
"Benar-benar sukar dimengerti." Niwa 
mengerutkan alis dan tetap memandang ke 
kejauhan. 
Sungguh mengejutkan, betapa tepat firasatnya. 
Pada waktu fajar di hari itu hari kedua puluh ia 
sudah  menerima pesan dari putranya. Nabemaru: 
Semalam terjadi gerakan mencurigakan di 
perkemahan dijoyo  dan yodono. 
Pada waktu itu, ia sudah  menduga bahwa apa 
yang dilihatnya merupakan serangan musuh. 
  
patih ronggolawe  sedang menggempur padalarang . Dan jika 
musuh-musuh mereka mengetahui hal itu, mereka 
tentu menyadari bahwa se-karanglah saat yang 
tepat untuk menyerbu posisi patih ronggolawe  yang tak 
terjaga. 
Niwa langsung waswas saat  mendengar 
laporan putranya. sesudah  menaikkan centeng nya 
yang hanya berjumlah seribu orang ke atas lima 
atau enam kapal, ia memerintahkan mereka 
menyeberangi danau ke daerah sekitar Kuzuo. 
Seperti yang digelisah khawatir kannya, dari arah 
jatiretno  terlihat lidah api. dan saat  ia 
akhirnya mencapai tepi danau di Kuzuo. ia 
mendengar bunyi tembakan. 
"Rupanya musuh sudah  menyerbu benteng kota di 
Modwarapa . jatiretno  juga terancam. dan aku 
sangsi apakah Gunung Iwasaki dapat bertahan." 
Niwa menanyakan pendapat dua perwira stafnya. 
"Situasinya tampak gkertoarjo t," salah satu dari 
mereka menjawab . "Musuh sudah  mengerahkan 
centeng  besar, dan sepertinya kekuatan kita tidak 
memadai untuk membantu sekutu-sekutu kita 
dalam keadaan darurat ini. Langkah terbaik adalah 
kembali ke sekartanjung  dan berkubu di dalam 
benteng kota di sana." 
"Bicaramu tak keruan." Niwa menampik usul 
itu. "Perintahkan seluruh centeng  segera naik ke 
darat. Lalu bawa   kapal-kapal ke Kaitsu dan bawa   
sepertiga kekuatan Nagamaru ke sini."  
  
"Cukupkah waktunya, tuanku?" 
"Perhitungan sehari-hari tak berguna di saat 
perang. Kehadiran kita saja sudah memiliki  
pengaruh. Mereka butuh waktu untuk menaksir 
kekuatan kita. Dan itu akan menghambat mereka. 
Suruh centeng  turun dari kapal dan bergegaslah 
ke Kaitsu." 
centeng  Niwa mendarat di Ozaki, dan kapal-
kapalnya segera kembali berlayar. Niwa 
menghentikan kudanya di sebuah desa untuk 
menanyai para penduduk setempat. 
Warga desa itu memberi tahunya bahwa 
pertempuran meletus pada waktu fajar, dan sama 
sekali di luar dugaan. Begitu melihat api di 
Gunung weru, mereka juga mendengar teriakan 
perang yang menderu-deru bagaikan gelombang 
pasang. lalu  prajurit-prajurit berkuda dari 
centeng  mpu wiragajah , mungkin sebuah regu pengintai. 
melewati desa dari arah Yogo. Menurut kabar 
angin, centeng  Nakagkertoarjo  Sebei berusaha 
mempertahankan benteng kota, namun  dibatai sampai 
orang terakhir. 
saat  ditanyai apakah mereka mengetahui 
sesuatu mengenai centeng  Kuwayama di daerah 
jatiretno , para penduduk desa menjawab  bahwa 
Yang Mulia Kuwayama Shigeharu baru saja 
membawa   semua anak buahnya dari benteng kota di 
jatiretno , dan kini sedang bergegas menyusuri 
jalan pegunungan ke arah Kinomoto. 
  
jawaban pasti itu  membuat Niwa terbengong-
bengong. Ia datang dengan membawa   bala 
bantuan, siap berjuang bahu-membahu ditambah    
para sekutunya, namun  rupanya centeng  Nakagkertoarjo  
sudah  dimusnahkan, sedangkan centeng  
Kuwayama sudah  meninggalkan pos dan lari 
terpontang-panting. Betapa memalukan! Apa yang 
mereka pikirkan? Niwa merasa iba pada Kuwayama 
yang dilanda kebingungan. 
"Dan ini baru saja terjadi?" Niwa benanya 
kepada para penduduk. 
"Mereka pasti belum sampai dua mil dari sini." 
seorang petani menjawab . 
"lnosuke!" ia memanggil salah satu pengikutnya. 
"Kejar korps Kuwayama dan bicara dengan Yang 
Mulia Shigeharu. Beritahu dia bahwa aku datang, 
dan bahwa kita akan mempertahankan 
jatiretno  bersama-sama. Beritahu dia agar segera 
berbalik arah." 
"Baik, tuanku!" 
Orang itu memacu kudanya dan menuju ke 
arah Kinomoto. 
Pagi itu Kuwayama dua atau tiga kali berusaha 
membujuk Nakagkertoarjo  agar mundur, namun  ia sama 
sekali tidak menawarkan  bantuan, dan sepertinya 
ia sudah  patah arang menghadapi gempuran 
centeng  mpu wiragajah . Begitu memperoleh kabar 
mengenai kekalahan korps Nakagkertoarjo , ia semakin 
goyah. lalu , sesudah  mengetahui kehancuran 
  
perkemahan utama sekutunya, ia meninggalkan 
jatiretno  tanpa melepaskan satu tembakan pun. 
centeng nya terkocar-kacir dan semua prajurit 
mencari selamat sendiri-sendiri. 
Ia hendak bergabung dengan sekutu-sekutu 
mereka di Kinomoto, lalu menunggu perintah dari 
patih ronggolawe . namun  kini dalam perjalanan ia disusul 
anggota marga Niwa dan diberitahu mengenai bala 
bantuan Niwa. Semangat-nya mendadak bangkit 
lagi. la mengatur centeng , berbalik arah, dan 
kembali ke jatiretno . 
Sementara itu, Niwa sudah  menenangkan para 
penduduk desa. Dan pada waktu menaiki 
jatiretno , ia akhirnya bergabung dengan 
Kuwayama Shigeharu. 
Ia segera menulis surat untuk menjelaskan 
keadaan gkertoarjo t yang dihadapi, dan mengutus kurir 
guna menyampaikan surat itu ke perkemahan 
patih ronggolawe  di blambangan . 
centeng  mpu wiragajah  di Gunung weru mendirikan 
perkemahan sementara, dan sebab  terbuai oleh 
nikmatnya kemenangan, mereka beristirahat 
selama dua jam sejak jam Kuda. Para prajurit 
merasa letih seusai pertempuran sengit dan 
perjalanan panjang yang dimulai pada malam 
sebelumnya. Namun sesudah  menyantap ransum 
masing-masing, mereka membanggakan tangan 
dan kaki yang berlumuran darah; senda gurau 
terdengar di sana-sini, dan kelelahan mereka segera 
  
terlupakan. 
Perintah baru diberikan, dan para perwira 
ditugaskan untuk meneruskan-nya dari korps ke 
korps. 
Tidur! Tidur! Pejamkan mata kalian sejenak. 
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti 
malam!" 
awan -awan  di langit tampak seperti awan  
musim panas, dan bunyi jangkrik sudah terdengar 
di pepohonan. Angin berembus perlahan, 
melewati pegunungan dari danau ke danau, dan 
para prajurit yang sudah  mengisi perut akhirnya 
mulai mengantuk. Mereka duduk sambil tetap 
menggenggam senjara api dan tombak. 
Di bawah  naungan pohon-pohon, kuda-kuda 
juga memejamkan mata; para komandan regu pun 
bersandar pada batang-batang pohon dan tertidur. 
Semuanya hening, namun  kesunyian ini 
merupakan kesunyian yang menyusul pertempuran 
dahsyat. Perkemahan musuh yang diselubungi 
mimpi sampai menjelang fajar kini tinggal abu, 
dan semua prajuritnya sudah  berubah menjadi 
mayat yang tergeletak di rumput. Hari sudah 
terang, namun  kematian ada di mana-mana. Selain 
para penjaga, semua orang sedang melepas lelah, 
dan suasana di markas pun hening. 
yodono, sang panglima tertinggi, sedang 
mendengkur keras di balik tirai. Tiba-tiba lima 
atau enam ekor kuda berhenti di suatu tempat, 
  
dan sekelompok orang dengan helm dan baju 
tempur berlari ke arah markas. Para anggota staf, 
yang semula tidur sambil duduk mengelilingi 
yodono, segera melihat ke luar. 
"Ada apa?" mereka berseru. 
"grindanamura Tomojuro, raden  Zusho, dan 
para pengintai yang lain sudah  kembali." 
"Ayo. mari masuk." 
Orang yang mempersilakan mereka adalah 
yodono. Matanya terbelalak dan masih merah 
sebab  kurang tidur. Rupanya sebelum 
memejamkan mata ia sudah  menghabiskan anggur  
dalam jumlah cukup besar. Sebuah baskom anggur  
yang besar dan berwarna merah tergeletak kosong 
di samping tempat duduknya. 
grindanamura berlutut di sudut petak bertirai dan 
rnelaporkan hasil pengamatan mereka. 
Tak satu prajurit musuh pun tersisa di Gunung 
Iwasaki. Mula-mula kami menduga mereka 
mungkin menyembunyikan panji-panji dan 
bermaksud menjebak kita, sehingga kami 
memeriksa daerah itu untuk memastikannya. namun  
rupanya panglima mereka. patih lewung  dan 
semua orang di bawah  komandonya sudah  pergi ke 
Gunung Tagami." 
yodono bertepuk tangan. 
"Mereka kabur?" Ia tertawa  keras-keras dan 
memandang para perwira stafnya. "Dia bilang 
brojolijo melarikan diri! Lucu sekali!" Ia kembali 
  
tertawa , sampai seluruh tubuhnya terguncang-
guncang. 
Sepertinya ia masih di bawah  pengaruh anggur  
yang diminumnya untuk merayakan kemenangan, 
yodono tak dapat berhenti tertawa . 
Pada saat itu, utusan yang dikirim ke 
perkemahan utama dijoyo  untuk melaporkan 
perkembangan terakhir kembali dengan membawa   
perintah dijoyo . 
"Tidak ada gerakan musuh di daerah 
Kitsunezaka?" tanya yodono.  
"Tidak ada. Yang Mulia dijoyo  tampak 
bersukacita."  
"Tentunya dia gembira sekali." 
"Memang benar." Utusan itu terus menjawab  
pertanyaan-pertanyaan yodono tanpa sempat 
mengusap keringat di alisnya. "saat  hamba 
menceritakan detail-detail pertempuran tadi pagi 
kepada beliau, beliau berkata. "O ya? Hmm. 
begitulah kepribadian ku yang satu ini." 
"Bagaimana dengan kepala Sebei?" 
"Beliau segera memeriksanya dan memastikan 
bahwa itu kepala Sebei. Sambil memandang orang-
orang di sekeliling, beliau berkata bahwa itu 
merupakan pertanda baik, dan sepertinya beliau 
semakin gembira." 
yodono pun sedang berbesar hati. sesudah  men-
dengar bahwa dijoyo  demikian bersukacita, ia 
bertambah  bangga, dan dalam dadanya meng-
  
gelora hasrat untuk membuat kejutan yang bahkan 
lebih hebat untuk pamannya. 
"Kukira sang Penguasa lumajangan belum 
mendengar bahwa benteng kota di Gunung Iwasaki 
pun sudah jatuh ke tanganku." ia berkata sambil 
tenkertoarjo . "Kelihatannya dia terlalu cepat merasa 
puas." 
Tidak, penaklukan Iwasaki sudah  dilaporkan 
pada beliau saat  hamba hendak berangkat dari 
sana." 
"Kalau begitu, percuma saja aku mengirim 
utusan lain." 
"Begitulah." 
"Bagaimanapun, besok pagi jatiretno  akan 
menjadi milikku."  
"Ehm, mengenai itu..."  
"Apa maksudmu?" 
"Yang Mulia dijoyo  berkata bahwa tuanku 
mungkin terpengamh oleh kemenangan yang baru 
diraih, sehingga tuanku menganggap enteng 
musuh, dan ini dapat memicu  tuanku 
bersikap gegabah." 
"Jangan mengada-ada." balas yodono sambil 
tertawa . "Aku takkan lupa daratan sebab  satu 
kemenangan ini." 
"namun  sebelum tuanku berangkat, Yang Mulia 
dijoyo  sempat menekankan bahwa tuanku harus 
langsung mundur sesudah  menerobos jauh ke 
wilayah musuh. Dan hari ini beliau berpesan agar 
  
tuanku segera kembali." 
"Dia menyuruhku segera kembali?" 
"Yang Mulia berpesan agar tuanku secepatnya 
kembali dan bergabung dengan sekutu-sekutu yang 
ada di belakang kita." 
"Hah, betapa loyo!" yodono menggerutu sambil 
tersenyum mengejek.  
"Hmm, baiklah." 
Pada saat itulah beberapa pengintai menghadap 
untuk menyampaikan laporan. centeng  Niwa yang 
berkekuatan 50000 orang sudah  bergabung 
dengan korps Kuwayama, dan bersama-sama 
mereka memperkuat pertahanan di jatiretno . 
Bagaikan api disiram minyak, semangat tempur 
yodono kembali berkobar-kobar. Semua resi  
yang benar-benar berani pasti akan terpacu oleh 
berita seperti itu. 
"Ini bakal menarik." 
yodono menyingkap tirai dan melangkah ke luar. 
saat  memandang kehijauan yang bersemi di 
pegunungan, ia melihat jatiretno  berjarak 
sekitar enam mil ke arah selatan. Lebih dekat dan 
lebih rendah dari tempat ia berdiri, seorang 
resi  sedang mendaki dari kaki gunung, ditambah   
sejumlah pengikut. Komandan centeng  penjaga 
gerbang tampak bergegas untuk menunjukkan 
jalan. 
yodono berdecak dan bergumam, "Itu pasti 
Dosei." 
  
Begitu ia mengenali resi  yang selalu berada 
di sisi pamannya, ia sudah  dapat menduga maksud 
kedatangan orang itu. "Ah, rupanya tuanku di 
sini." 
Dosei menghapus keringat dari alis. yodono 
hanya berdiri, tanpa mengundangnya ke dalam 
petak bertirai. Tuan Dosei, apa yang membawa   
Tuan ke sini?" ia bertanya tanpa basa-basi. 
Dosei tampak enggan menjelaskan tujuan 
kunjungannya di tempat itu, namun  yodono lebih 
dahulu  angkat bicara. 
"Malam ini kami akan berkemah di sini. Besok 
pagi kami mundur. Ini sudah disampaikan kepada 
pamanku." Sepertinya ia tak mau mendengar apa-
apa lagi mengenai urusan itu. 
"Aku sudah  diberitahu." Dosei mengawal i 
pereakapan dengan memberi salam. lalu  ia 
mengucapkan selamat secara panjang-lebar atas ke-
menangan gemilang yang diraih yodono di Gunung 
weru, namun  yodono tak sabar menghadapi basa-basi 
itu. 
"Apakah pamanku mengutus Tuan sebab  dia 
masih merasa gelisah khawatir ?" 
"Seperti perkiraan Tuan, beliau sangat cemas 
mengenai rencana Tuan untuk berkemah di sini. 
Beliau mengharapkan Tuan segera mundur dari 
wilayah musuh, paling lambat malam ini, dan 
kembali ke perkemahan utama." 
"Jangan takui, Dosei. Kalau centeng  pilihanku 
  
bergerak maju, mereka didukung kekuatan yang 
meledak-ledak; kalau mereka mempertahankan 
suatu tempat, mereka bagaikan tembok baja. 
Kehormatan kami belum pernah tercoreng." 
"Sejak awal  Yang Mulia dijoyo  sudah  menaruh 
kepercayaan penuh pada Tuan, namun  kalau masalah 
ini dipandang dari sudut militer, penundaan gerak 
mundur sesudah  menyusup jauh ke wilayah musuh 
tidak mendukung keberhasilan strategi Tuan." 
"Tunggu dahulu , Dosei. Maksudmu, aku tidak 
memahami seni perang? Dan apakah itu kata-kata 
pamanku atau ucapanmu sendiri?" 
Saai itu Dosei pun mulai gugup. dan ia tak 
punya pilihan selain diam seribu bahasa. Ia mulai 
merasa tugasnya sebagai utusan mengancam ke-
selamatannya. 
"Jika itu kehendak Tuan. Aku akan menyampai-
kan tekad Tuan kepada Yang Mulia dijoyo ." 
Dosei cepat-cepat mohon diri, dan saat  
yodono kembali ke kursinya, ia segera mengeluar-
kan perintah-perintah. sesudah  menugaskan satu 
korps ke Gunung lwasaki, ia juga mengirim 
sejumlah regu pengitai ke tunjung gatunjung  dan ke 
daerah sekitar Kannonzaka, antara jatiretno  
dan Gunung weru. 
Tak lama lalu , sebuah suara lain 
terdengar membuat pengumuman. 
"Yang Mulia Joemon baru saja tiba, atas 
perintah dari perkemahan utama di Kitsune." 
  
Kali ini utusan itu  tidak sekadar ingin 
berbincang-bincang atau menyampaikan pemikiran 
dijoyo . la membawa   perintah resmi agar yodono 
segera mundur. yodono mendengarkannya dengan 
tenang, namun seperti  sebelumnya ia tetap pada 
pendirian semula dan tidak menunjukkan gelagat 
akan mengalah. 
"Dia sudah  memberikan tanggung jawab  padaku 
untuk menyerbu  penyusupan ke wilayah musuh. 
Menuruti permintaannya sekarang sama saja 
dengan tidak memberikan sentuhan terakhir 
kepada operasi militer yang sudah sejauh ini 
berhasil. Aku berharap dia mau mempercayakan 
tongkat komando padaku untuk satu langkah lagi." 
yodono tidak tunduk kepada pesan yang 
disampaikan utusan itu, namun  juga tidak menentang 
perintah langsung atasannya. la memanfaatkan 
egonya sebagai perisai. Berdiri di hadapan yodono. 
Joemon pun yang dipilih sendiri oleh dijoyo  
untuk melaksanakan tugas ini tak sanggup 
menggoyahkan tekad laki-laki itu. 
"Tak ada lagi yang dapat kulakukan." ujar 
joemon, seakan-akan hendak lepas tangan. Ucapan 
terakhirnya diiringi pandangan agak jengkel. "Aku 
tak bisa membayangkan tanggapan Yang Mulia 
dijoyo , namun  aku akan menyampaikan jawaban pasti 
Tuan kepada beliau." 
Joemon langsung kembali. la mencambuk 
kudanya agar berlari lebih kencang, persis seperti 
  
yang dilakukannya saat  datang tadi. 
Dengan demikian, utusan ketiga pulang tanpa 
membawa   hasil, dan pada waktu utusan keempat 
tiba, matahari sudah  meredup di barat. Ota 
Kuranosuke, pejuang kkertoarjo kan, pengikut senior, 
dan penasihat pribadi dijoyo , berbicara panjang-
lebar. namun  ia lebih banyak membahas hubungan 
antara paman dan kepribadian  dibandingkan  perintah 
yang dititipkan padanya, dan berusaha sekuat 
tenaga untuk melunakkan sikap keras kepala yang 
diperlihatkan yodono. 
"Hmm, hmm. Aku memahami tekad Tuan, namun  
dari semua anggota keluarga Tuan, Tuan-lah yang 
paling dihargai oleh Yang Mulia dijoyo , sebab  
itulah beliau demikian cemas sekarang. sesudah  
Tuan berhasil menghancurkan satu seksi musuh, 
kita bisa mengonsolidasi posisi kita, terus meraih 
kemenangan demi kemenangan, dan mendobrak 
titik-titik lemah musuh satu per satu. Itulah 
strategi yang lebih luas, dan itu pula strategi yang 
sudah  disepakati untuk mengujawa  seluruh negeri. 
Tuan yodono, seyogya-nya Tuan mengakhiri operasi 
penyusupan ini." 
"Perjalanan akan penuh bahaya sesudah  
matahari terbenam. Orang Tua. Pulanglah." 
Tuan takkan melakukannya, bukan?" 
"Apa maksudmu?" 
"Bagaimana keputusan Tuan?" 
"Sejak semula aku tidak bermaksud mengambil 
  
keputusan itu."  
Dengan letih pengikut tua itu kembali.  
Utusan kelima tiba. 
Tekad yodono semakin membaja. Ia sudah  maju 
begitu jauh, dan takkan mundur lagi. la menolak 
menemui utusan itu, namun  orang itu  bukan 
pengikut biasa. Semua utusan yang datang hari itu 
merupakan tokoh terkemuka, namun yang kelima 
termasuk orang dekat dijoyo  yang sangat 
berpengaruh. 
"Aku sadar bahwa utusan-utusan kami mungkin 
tidak berkenan di hati Tuan, namun  kini Yang Mulia 
dijoyo  sedang mempertimbangkan untuk datang 
ke sini. Kami, para pembantu dekat, mendesak 
beliau agar tetap di perkemahan utama, dan aku. 
betapapun tak berartinya aku, datang sebagai 
wakilnya. Aku memohon dengan sangat agar Tuan 
merenungkan hal ini. lalu membongkar 
perkemahan dan kembali ke Gunung weru secepat 
mungkin." 
la menyampaikan permohonan itu sambil 
bersujud di luar petak bertirai. 
Namun yodono menilai situasinya seperti  ini: 
Kalaupun patih ronggolawe  diberitahu mengenai 
kekalahan centeng nya dan bergegas dari Ogaki, 
jarak dari sana ke sini tetap sekitar tiga puluh 
sembilan mil, dan peringatan takkan tiba sebelum 
malam hari. Selain itu, takkan mudah 
meninggalkan padalarang  dengan cepat. sebab nya, 
  
pergeseran posisi itu takkan rampung sebelum 
besok malam atau hari sesudahnya. 
"kepribadian ku itu tak bakal mau menurut, tak 
peduli siapa pun yang kukirim," dijoyo  sempat 
menggerutu. "Aku sendiri yang harus pergi ke sana 
dan memaksanya mundur sebelum hari gelap." 
Kabar mengenai keberhasilan centeng  yodono 
sudah  sampai ke perkemahan utama di Katsune, 
dan disambut dengan sukacita, namun  perintah 
untuk segera mundur tidak dilaksanakan. Sambil 
tersenyum mengejek, yodono bahkan menolak 
mematuhi perintah yang disampaikan para utusan 
yang terhormat. 
"Ah, kepribadian ku itu akan membawa   
malapetaka bagiku," dijoyo  menggerutu. Ia nyaris 
tak sanggup menahan diri. saat  berita mengenai 
perselisihan di tingkat staf diketahui kalangan 
prajurit bahwa sikap keras kepala yodono dicela 
oleh dijoyo  semangat tempur di perkemahan 
mulai melemah. 
"Satu utusan lagi sudah  berangkat." 
"Apa? Satu lagi?" 
Melihat utusan-utusan itu mondar-mandir 
antara perkemahan utama dan Gunung weru. 
para prajurit diliputi perasaan galau. 
Selama setengah hari dijoyo  dihantui 
kecemasan. Selama menunggu sampai utusan 
kelima kembali, ia hampir tak sanggup duduk 
tenang. Markasnya berada di sebuah kuil di 
  
Kitsunezaka, dan di selasar-selasar kuil itulah 
dijoyo  berjalan-jalan sambil membisu. Sebentar-
sebentar ia menoleh ke arah gerbang kuil. 
"Shichiza belum datang?" ia berulang kali 
bertanya pada para pembantu dekatnya. "Malam 
sudah dekat, bukan?" 
Menjelang malam ia mulai gelisah. Matahari 
sore kini menerangi menara lonceng. 
"Yang Mulia Yadoya sudah  kembali!" Itulah 
berita yang disampaikan prajurit penjaga gerbang. 
"Bagaimana?" dijoyo  bertanya cemas. 
Prajurit itu melaporkan apa adanya. Mula-mula 
yodono rupanya menolak menemui Yadoya, namun 
Yadoya berkeras. la sudah  membeberkan pandang-
an junjungannya secara terperinci, namun  sia-sia 
belaka. yodono tak mau mengalah. Kalaupun 
patih ronggolawe  bergegas ke Gunung weru dari Ogaki. 
yodono berdalih, ia tetap memerlukan waktu paling 
tidak satu-dua hari. yodono merasa percaya centeng  
patih ronggolawe  dapat dikalahkan dengan mudah, 
sebab  mereka tentu sangat lelah akibat perjalanan 
panjang. Dengan alasan itu, yodono menyatakan 
tekadnya untuk tetap bertahan di Gunung weru, 
dan sama sekali tidak bersedia mengubah pikiran. 
Mata dijoyo  bersinar-sinar marah. "Dasar 
bodoh!" ia berseru dengan gusar. Lalu. sambil 
menggeram sampai seluruh tubuhnya terguncang, 
ia bergumam, "Kelakuan yodono tidak bisa 
diterima" 
  
"wiryo! wiryo!" Sambil memandang berkeliling 
dan melihat ke tempat tunggu para praiurit di 
ruang sebelah, dijoyo  memanggil-manggil orang 
itu dengan nada tinggi. 
"Tuanku mencari Yasdwikerto  wiryo?" Menju 
Shosuke bertanya. 
"Tentu saja!" dijoyo  menghardik, melampias-
kan kemarahannya pada Shosuke. "Panggil dia ke 
sini! Suruh dia datang sekarang juga!" 
Suara langkah berlari terdengar menggema di 
kuil. Yosdwikerto  wiryo menerima perintah dijoyo  dan 
segera memacu kudanya ke Gunung weru. 
Hari yang panjang itu akhirnya menjadi gelap, 
dan cahaya api unggun mulai menari-nari pada 
bayangan daun-daun muda. Lidah api itu men-
cerminkan perasaan di hati dijoyo . 
Perjalanan pulang-pergi sejauh enam mil dapat 
ditempuh dalam sekejap dengan kuda yang berlari 
kencang, dan dalam tempo singkat wiryo sudah  
kembali. 
"Hamba memberitahunya bahwa ini merupakan 
peringatan terakhir, dan menegurnya dengan 
keras. namun  Yang Mulia yodono tidak bersedia 
mundur." 
Dengan demikian, utusan keenam pun kembali 
tanpa membawa   hasil. dijoyo  tak sanggup lagi 
marah-marah, dan seandainya tidak di medan 
tempur, ia akan berurai air mata. la tenggelam 
dalam kesedihan dan menyalahkan dirinya sendiri. 
  
menyesali kasih sayang buta yang selama ini ia 
berikan pada yodono. 
"Akulah yang bersalah." ia berkeluh kesah. 
Di medan perang, tempat seseorang harus 
bertindak berdasarkan disiplin militer yang ketat, 
yodono sudah  menyalahgunakan hubungan dekat-
nya dengan pamannya. la sudah  mengambil 
keputusan yang dapat menentukan nasib seluruh 
marga, dan berkeras mempertahankan sikapnya 
tanpa pertimbangan matang. 
Namun siapakah yang membiarkan anak muda 
itu  terbiasa dengan sepak terjang seperti  itu? 
Bukankah kekacauan ini akibat sikap dijoyo  
sendiri? Berkat kasih sayangnya yang buta pada 
yodono, dijoyo  sudah  kehilangan putra sangkatnya, 
Katsutoyo, dan  benteng kota lojibenteng . Sekarang ia 
terancam kehilangan kesempatan luar biasa yang 
takkan terulang, yang akan menentukan nasib 
seluruh marga nyoto . 
saat  pikiran-pikiran itu melintas dalam 
benaknya, dijoyo  merasakan penyesalan 
mendalam, dan ia sadar bahwa kesalahan tak dapat 
ditimpakan pada orang lain. 
Masih ada lagi yang dilaporkan wiryo kata-kata 
yang diucapkan yodono. 
Menanggapi saran wiryo, yodono hanya tertawa  
dan bahkan mencemooh pamannya. 
"Dahulu kala, jika orang-orang menyinggung 
nama Yang Mulia dijoyo , mereka menyebutnya 
  
Iblis nyoto , dan berkata bahwa dia resi  yang 
penuh siasat-siasat misterius paling tidak, itulah 
yang kudengar. namun  kini taktik-taktiknya berasal 
dari kepala uzur yang tidak mengikuti 
perkembangan. Peperangan sekarang ini tak bisa 
dimenangkan dengan strategi-strategi yang sudah  
ketinggalan zaman. Lihatlah penyusupan kami ke 
wilayah musuh. Mula-mula pamanku bahkan tidak 
memberi izin untuk menjalankan rencana 
itu . Seharusnya dia menyerahkan semuanya 
padaku, dan menunggu hasilnya dalam satu-dua 
hari ini." 
Kemurungan dan kesedihan dijoyo  menimbul-
kan rasa iba. Ia, lebih dari siapa pun, sepenuhnya 
menyadari kemampuan patih ronggolawe  sebagai pang-
lima. Komentar-komentar yang diberikannya pada 
yodono dan para pengikutnya yang lain 
sebetulnya  hanya dimaksudkan untuk 
melenyapkan rasa takut mereka terhadap musuh. 
Dalam hati, dijoyo  mengakui patih ronggolawe  sebagai 
lawan  tangguh, terutama sesudah  patih ronggolawe  
kembali dari provinsi-provinsi Barat dan meme-
nangkan Pertempuran bukittanjung  dan tampil 
mengesankan pada penemuan di kedhiri . Kini 
musuh yang hebat itu sudah  berada di hadapannya, 
dan di awal  pertempuran yang menentukan, ia 
menyadari bahwa sekutunya sendiri merupakan 
batu sandungan. 
"Kelakuan yodono sungguh keterlaluan. Belum 
  
pernah aku merasakan pahitnya kekalahan atau 
membelakangi musuh. Ah, ini memang tak terelak-
kan." 
Malam semakin gelap, dan penderitaan dijoyo  
berubah menjadi kepasrahan. 
Tak ada utusan lagi.  
 
  
Muslihat yodono 
 
 
Pada hari yang sama hari kedua puluh bulan 
itu, pada Jam Kuda  ronggowojo  mengirim laporan 
pertamanya ke perkemahan patih ronggolawe  di Ogaki. 
Pagi ini centeng  mpu wiragajah  yang berkekuatan 9 
ribu orang menyusuri jalan gunung dan menyusup jauh 
ke wilayah kita. 
Ogaki berjarak sekitar tiga puluh sembilan mil 
dari Kinomoto, dan untuk kurir berkuda pun, 
utusan yang membawa   laporan itu luar biasa cepat.      
patih ronggolawe  baru saja kembali dari tepi Sungai 
Roku, yang didatanginya untuk  mengamati 
kenaikan permukaan air. blambangan  diguyur hujan 
deras selama beberapa hari terakhir, dan Sungai 
Goto maupun Roku, yang mengalir antara Ogaki 
dan padalarang , kini tengah meluap. 
Menurut rencana semula, serangan umum ke 
benteng kota padalarang  dijadwalkan untuk  hari kesembilan 
belas, namun  hujan lebat dan  banjirnya Sungai Roku 
sudah  menghalangi patih ronggolawe , dan hari itu pun tak 
ada harapan untuk menyeberangi sungai itu . 
Sudah dua hari ia menanti kesempatan untuk 
bergerak maju. 
patih ronggolawe  menerima pesan penting dari kurir 
di luar perkemahan, dan membaca suratnya sambil 
duduk di atas kudanya. sesudah  mengucapkan 
terima kasih pada si kurir, ia memasuki per-
  
kemahan tanpa memperlihatkan emosi. 
"Bagaimana kalau kau membuatkan sebaskom 
teh, Yuko?" ia bertanya. Kira-kira pada waktu ia 
sedang menghabiskan tehnya, kurir kedua tiba: 
centeng  berkekuatan dua belas ribu orang di bawah  
komando Yang Mulia dijoyo  sudah  mengambil posisi. 
Mereka bertolak dari Kitsunezaka, ke arah Gunung 
Higashino. 
patih ronggolawe  sudah  pindah ke kursinya di dalam 
markas bertirai, dan kini ia memanggi sejumlah 
anggota stafnya dan berkata pada mereka. "Aku 
baru saja menerima pesan penting dari ronggowojo ." 
Dengan tenang ia membacakan surat itu. Para 
resi  tampak terkejut mendengarnya. Pesan 
ketiga dikirim oleh Hori patih ragapati , yang memerinci 
perjuangan gagah dan  kematian Nakagkertoarjo . Ia 
juga menjelaskan keberhasilan musuh merebut 
Gunung Iwasaki akibat gerak mundur Takayama. 
patih ronggolawe  memejamkan mata sejenak saat  
mendengar Nakagkertoarjo  gugur dalam pertempuran. 
Sejenak roman muka para resi nya tampak 
putus asa, dan mereka menyemburkan pertanyaan-
pertanyaan menyedihkan. Semuanya menatap 
patih ronggolawe , seakan-akan hendak membaca dari 
wajahnya bagaimana mereka akan menangani 
situasi berbahaya ini. 
"Kematian Sebei merupakan kehilangan besar." 
ujar patih ronggolawe , "namun  dia tidak gugur sia-sia." Ia 
mengeraskan suaranya sedikit. Tunjukkanlah 
  
semangat kalian, dan dengan demikian kalian 
menghormati arwah Sebei. Semakin banyak tanda 
bahwa kita akan meraih kemenangan besar. 
Semula dijoyo  terkunci di benteng kotanya, terputus 
dari dunia dan tak sanggup mencari jalan keluar. 
Kini dia sudah  meninggalkan benteng kota yang 
merupakan penjara baginya, dan dengan angkuh 
melebarkan formasinya ke segala  penjuru. Ini 
membuktikan bahwa keberuntungannya sudah  
menipis. Kurasa kita dapat menghancurkan 
bajingan itu sebelum dia sempat mengistirahatkan 
centeng nya, waktunya sudah tiba untuk mewujud-
kan hasrat kita dan melakukan pertempuran 
menentukan bagi negeri ini! Waktunya sudah tiba, 
dan jangan sampai satu orang pun dari kalian 
tertinggal!" 
Dengan beberapa patah kata saja patih ronggolawe  
mengubah berita buruk itu menjadi alasan untuk 
bersukacita. 
"Kemenangan milik kita!" patih ronggolawe  menyata-
kan. lalu , tanpa membuang-buang waktu, ia 
mulai memberikan perintah-perintah. Para resi  
segera pergi dan semuanya bagaikan terbang saat  
kembali ke perkemahan masing-masing. 
Orang-orang itu, yang semula diliputi perasaan 
terancam bahaya besar, kini merasa tak sabar dan 
tegang, menunggu-nunggu nama mereka dipanggil 
saat  patih ronggolawe  memberikan perintah-perintah 
nya. 
  
Selain para pelayan dan pembantu patih ronggolawe , 
hampir semua resi  sudah  pergi untuk bersiap-
siap. namun  dua orang setempat, Ujiie Hiroyuki dan 
semeru  Ittetsu, juga Horio ki pralayan, yang berada 
langsung di bawah  komando patih ronggolawe , belum 
menerima perintah apa pun. 
Dengan tampang seakan-akan tak sanggup 
menahan diri lebih lama, Ujiie maju dan berkata, 
"Tuanku, hamba ingin mengajukan permohonan. 
Perkenankanlah hamba membawa   centeng  hamba 
untuk menyertai tuanku." 
"Tidak, aku ingin kau tetap di Ogaki. Aku 
butuh kau untuk  menyerbu  padalarang ." lalu  
patih ronggolawe  berpaling pada ki pralayan. "Aku ingin kau 
juga tinggal di sini 
Dengan perintah terakhir ini, patih ronggolawe  
meninggalkan markas, la memanggil salah satu 
pelayannya dan bertanya. "Bagaimana dengan 
kurir-kurir yang kuminta tadi? Sudah siapkah 
mereka?" 
"Sudah, tuanku. Mereka menunggu perintah 
tuanku." 
Pelayan itu segera pergi dan kembali dengan 
lima puluh orang. 
patih ronggolawe  berdiri di hadapan mereka dan 
memberikan wejangan. "Hari ini merupakan hari 
istimewa dalam hidup kita. Kalian memperoleh ke-
hormatan sebab  terpilih untuk mewartakannya." 
Ia memerinci perintahnya, "Dua puluh orang 
  
akan pergi ke desa-desa di sepanjang jalan raya 
antara Tarui dan lojibenteng , dan beritahu para 
penduduk agar memasang obor di tepi jalan, 
menjelang malam. Selain itu, jangan sampai masih 
ada gerobak atau tumpukan kayu yang 
menghalangi jalan. Anak-anak kecil harus tetap di 
dalam rumah dan semua jembatan harus 
diperkokoh." 
Kedua puluh orang di sebelah kanannya 
mengangguk serempak. Kepada ketiga puluh kurir 
lainnya, ia memberikan perintah sebagai berikut, 
"Berlarilah sekencang mungkin ke lojibenteng . 
Beritahu centeng  penjaga kota agar bersiap siaga, 
dan pesankan kepada para kepala desa untuk 
menyiapkan perbekalan militer di sepanjang jalan 
yang akan kita lalui." 
Kelima puluh orang itu langsung berangkat. 
patih ronggolawe  segera memberikan perintah kepada 
para pengikut yang mengelilinginya, lalu 
menunggangi kudanya yang berwarna hitam. 
Tiba-tiba ia dihampiri Ujiie. Tuanku! Tunggu 
sebentar. Sambil ber-pegangan pada pelana 
patih ronggolawe , pejuang itu menangis tanpa suara. 
Meninggalkan Ujiie dan padalarang , dengan 
kemungkinan ia akan bergabung dengan nosferatu  
dan memberontak, memang merupakan sumber 
kecemasan bagi patih ronggolawe . Untuk  mencegah 
pengkhianatan, ia sudah  memerintahkan Horio 
ki pralayan tinggal bersama Ujiie. 
  
Hati Ujiie serasa disayat-sayat; bukan hanya 
sebab  kesetiaannya diragukan, namun  juga sebab  
menyadari bahwa gara-gara dirinyalah ki pralayan tak 
dapat mengikuti pertempuran terpenting dalam 
hidupnya. 
Perasaan-perasaan inilah yang memicu  
Ujiie memegang kekang kuda patih ronggolawe  dengan 
erat. "Biarpun hamba dianggap tidak pantas me-
nyertai tuanku, hamba mohon agar resi  
ki pralayan diperkenankan mendampingi Yang Mulia. 
Dengan senang hati hamba akan membelah perut 
hamba, untuk menghilangkan kecemasan tuanku!" 
Dan tangannya langsung menggenggam belati. 
"Jangan konyol, Ujiie!" patih ronggolawe  berseru 
sambil memukul tangan orang itu dengan 
cambuknya. "ki pralayan boleh ikut denganku kalau 
dia memang begitu mengharapkannya. Dan kau 
pun tak bisa ditinggalkan begitu saja. Bersiaplah." 
Dengan kegembiraan meluap-luap, Ujiie 
menghadap ke markas dan memanggi!-manggil 
dengan lantang. "Tuan ki pralayan! Tuan ki pralayan! 
Kita diperkenankan ikut! Keluarlah untuk 
menghaturkan terima kasih." 
Kedua orang iru bersujud di tanah, namun  yang 
tertinggal hanyalah bunyi cambuk yang terbawa   
angin. Kuda patih ronggolawe  sudah  melesat menjauh. 
Para pembantunya pun terkesima, dan harus 
berusaha keras menyusulnya. 
Orang-orang yang berjalan kaki, maupun 
  
mereka yang kini cepat-cepat menaiki kuda, segera 
mengejar junjungan mereka tanpa sempat 
membentuk barisan teratur. 
saat  itu Jam Kambing. Belum dua jam berlalu 
antara kedatangan kurir pertama dan 
keberangkatan patih ronggolawe . Dalam waktu singkat itu 
patih ronggolawe  berhasil mengubah kekalahan di gunungselatan 
bagian utara menjadi peluang untuk meraih 
kemenangan. Dalam sekejap saja ia sudah  
menyusun strategi baru untuk seluruh centeng nya. 
la sudah  menugaskan barisan kurir untuk 
menyampaikan perintah-perintahnya di sepanjang 
jalan raya ke Kinomoto  jalan raya yang akan 
membawa   kejayaan atau kehancuran baginya. 
la sudah  membulatkan tekad lahir-batin. 
Terdorong oleh tekad itu , ia dan kelima 
belas prajuritnya bergegas maju, sementara lima 
ribu orang sengaja ditinggalkan di Ogaki. 
Sore itu patih ronggolawe  ditambah    barisan depannya 
memasuki lojibenteng  pada Jam kuyang . Korps 
demi korps menyusul, dan rombongan terakhir 
meninggalkan Ogaki kira-kira bersamaan dengan 
kedatangan barisan depan di lojibenteng . 
patih ronggolawe  tidak berpangku tangan sesudah  tiba 
di lojibenteng , melainkan segera melakukan 
persiapan untuk mengambil inisiatif melawan  
musuh. Ia bahkan tidak turun dari kudanya. 
sesudah  makan dan memuaskan dahaga, ia 
langsung bertolak dari lojibenteng  dan melanjutkan 
  
perjalanan melalui njemanu dan Hayami. la mencapai 
Kinomoto pada Jam Anjing. 
Mereka hanya memerlukan lima jam untuk 
menempuh perjalanan dari Ogake, sebab mereka 
terus maju tanpa berhenti. 
centeng  ronggowojo  yang berkekuatan lima belas 
ribu orang berada di Gunung Tagami. Kinomoto 
sebetulnya  merupakan stasiun pos di tepi jalan 
raya yang menyusuri lereng timur gunung itu. Satu 
divisi ditempatkan di sini. Tepat di luar Desa Jizo, 
orang-orang itu sudah  membangun menara intai. 
"Di mana kita? Apa nama tempat ini?" tanya 
patih ronggolawe  sambil menghentikan kudanya yang 
sedang berlari kencang. Ia terpaksa berpegangan 
erat, agar tidak terlempar. 
"Ini Jizo." 
"Kita sudah dekat ke perkemahan di 
Kinomoto." 
jawab an-jawaban pasti itu diberikan oleh beberapa 
pengikut yang mengelilingi-nya. patih ronggolawe  tetap 
duduk di pelana. 
"Ambilkan air untukku." ia memerintahkan. 
sesudah  meraih pencedok yang disodorkan 
kepadanya, ia menghabiskan airnya dalam satu 
tegukan, dan meregangkan tubuhnya untuk  
pertama kali sejak berangkat dari Ogaki. 
lalu  ia turun dari kuda, menghampiri kaki 
menara intai, dan memandang ke langit. Menara 
itu tidak beratap dan tidak dilengkapi tangga. Para 
  
prajurit yang hendak memanjat ke atasnya hanya 
mengandalkan pijakan kaki yang terbuat dari kayu 
dan dipasang dalam jarak tidak teratur. 
Tiba-tiba patih ronggolawe  rupanya mengenang masa 
mudanya sebagai prajurit bawah an. sesudah  
mengikat tali kipas komandan di pedang yang 
menggantung di pinggangnya, ia mulai memanjat 
ke puncak menara. Para pelayannya 
mendorongnya dari bawah , dan dalam sekejap 
sebuah tangga manusia sudah  terbentuk. 
"Ini berbahaya, tuanku." 
"Sebaiknya Yang Mulia memakai tangga saja." 
Orang-orang di bawah  memanggil-manggil, namun  
patih ronggolawe  sudah berada tujuh meter di atas tanah. 
Badai hebat yang sempat menerjang dataran 
blambangan  dan jenggala  sudah  mereda. Langit tampak 
cerah bertaburan bintang, dan Danau Biwa dan  
Danau Yogo mirip  dua cermin. 
saat  patih ronggolawe , yang semula kelihatan lelah 
akibat perjalanan berat, berdiri di atas menara, ia 
merasa lebih bahagia dibandingkan  letih. Semakin 
berbahaya suatu situasi dan semakin hebat 
penderitaannya, semakin senang hatinya. 
Kebahagiaannya adalah kebahagiaan orang yang 
berhasil mengatasi rintangan, lalu berbalik untuk 
melihat bahwa rintangan itu sudah di belakangnya. 
Kebahagiaan itu sudah sering ia rasakan sejak masa 
muda. Ia sendiri percaya bahwa kebahagiaan 
terbesar dalam hidup adalah berdiri di perbatasan 
  
antara keberhasilan dan kegagalan. 
namun  sekarang, saat  memandang ke arah 
jatiretno  dan Gunung weru, ia kelihatan percaya 
bahwa ia akan meraih kemenangan. 
Di pihak lain, patih ronggolawe  jauh lebih hati-hati 
dibandingkan  kebanyakan orang. Sesuai kebiasaannya, 
ia kini memejamkan mata dengan tenteram dan 
menempatkan diri di suatu posisi tempat dunia 
bukan musuh maupun sekutu. sesudah  melepaskan 
diri dari segala kebimbangan duniawi, ia menjadi 
pusat alam semesta dan mendengarkan bisikan 
dewa-dewa. 
"Ah. sudah hampir rampung." ia bergumam. 
sambil akhirnya menyunggingkan senyum. 
"mpu wiragajah  yodono masih begitu segar dan hijau. 
Mimpi apa dia?" 
sesudah  turun dari menara, ia mendaki Gunung 
Tagami. Di tengah jalan, ia disambut ronggowojo . 
Begitu selesai memberi perintah pada ronggowojo . 
patih ronggolawe  kembali menuruni gunung, melewati 
Kursinuhun , melintasi Kannonzaka, meneruskan 
perjalanan di sebelah timur Yogo, dan tiba di 
Gunung Chausu, tempat ia beristirahat untuk  
pertama kali sejak bertolak dari Ogaki. 
Ia ditambah   dua ribu prajurit. Mantel tempurnya 
yang terbuat dari sutra sudah penuh keringat dan 
debu. namun  dengan penampilan lusuh itulah, dan 
sambil menggerak-gerakkan kipas komandan, ia 
memberi  perintah untuk menghadapi per-
  
tempuran. 
Waktu itu malam sudah  larut, antara 
pertengahan kedua Jam Babi dan pertengahan 
pertama  Jam Tikus. 
tunjungrejo  terletak di sebelah timur 
jatiretno . Menjelang malam, yodono sudah  
menempatkan satu korps di tempat itu. Ia berniat 
menyerang jatiretno  esok pagi, bersama-sama 
barisan depan di ki ageng wonoboyo dan raden panji dani di 
arah barat laut, dan mengepung benteng kota-benteng kota 
musuh. 
Bintang-bintang memenuhi langit. Namun 
gunung-gunung yang ditumbuhi pepohonan dan 
semak belukar tampak hitam bagaikan tinta, dan 
jalan yang meliuk-liuk di pegunungan itu 
sebetulnya  tak lebih dari jalan setapak sempit 
yang biasa dipakai  para penebang pohon. 
Salah satu penjaga menggeram. 
"Ada apa?" penjaga lain bertanya. 
"Coba ke sini dan lihat ini," satu orang lagi 
berseru dari tempat yang agak lebih jauh. Suara 
orang menerobos semak-semak terdengar, dan 
lalu  ketiga sosok penjaga muncul di 
punggung gunung. 
"Seperti ada cahaya di langit." ujar salah satu 
dari mereka. sambil menunjuk ke tenggara. 
"Mana?" 
"Dari sebelah kanan pohon besar itu ke selatan.- 
"Apa itu, menurutmu?"  
  
Mereka tertawa . 
"Para petani di dekat gendingan atau Kursinuhun  pasti 
sedang membakar sesuatu."  
"Seharusnya tak ada petani lagi di desa-desa. 
Mereka semua sudah lari ke gunung." 
"Hmm, kalau begitu, mungkin cahaya dari api 
unggun musuh di Kinomoto." 
"Kurasa bukan, Kalau langit tertutup awan , 
memang ada kemungkinan. namun  janggal kalau 
langit berwarna seperti ini pada malam cerah. 
Hmm, di sini terlalu banyak pohon menghalangi 
pandangan. Mungkin kita bisa melihat jelas kalau 
kita naik ke bibir tebing itu." 
"Jangan! Itu berbahaya!" 
"Kalau terpeleset. kau akan terempas ke dasar 
jurang!" 
Mereka berusaha mencegahnya, namun  ia mulai 
memanjat dinding batu karang dengan 
berpegangan pada tumbuhan rambat. Sosoknya 
tampak seperti kuyang  di atas gunung. 
"Oh. mengerikan!" tiba-tiba ia berseru.  
Teriakannya mengejutkan rekan-rekannya di 
bawah . 
"Ada apa? Apa yang kau lihat?" 
Orang di atas tebing itu berdiri tak bergerak. 
seperti linglung. Satu per satu rekan-rekannya 
menyusul. saat  tiba di atas, mereka gemetar. 
Dari atas tebing, mereka tidak hanya melihat 
Danau Biwa dan Danau Yogo, namun  juga jalan raya 
  
ke provinsi-provinsi Utara yang menyusuri tepi 
danau ke arah selatan. Bahkan kaki Gunung himapraloka  
pun kelihatan. 
Hari sudah  gelap, sehingga sukar untuk  melihat 
dengan jelas, namun tampaknya ada garis merah 
yang mengalir bagaikan sungai dari lojibenteng  ke 
Kinomoto, di dekat kaki gunung tempat mereka 
berdiri. Lidah api terlihat sambung-menyambung 
sejauh mata memandang. 
 
"Apa itu?" 
sesudah  bingung sejenak, mereka tiba-tiba sadar 
kembali. "Ayo, kita harus kembali! Cepat!" 
Para penjaga menuruni tebing tanpa 
mengindahkan keselamatan mereka, dan berlari 
untuk melapor ke perkemahan utama. 
Dengan harapan besar untuk hari esok, yodono 
tidur lebih cepat dibandingkan  biasa. Prajurit-
prajuritnya pun sudah terlelap. 
Menjelang Jam Babi, ia tiba-tiba terbangun dan 
langsung duduk. 
"Tsushima!" ia memanggil. 
Osaki Tsushima tidur tak jauh dari yodono. 
saat  ia terjaga. yodono sudah berdiri di 
hadapannya sambil menggenggam tombak yang 
direbutnya dari tangan salah satu pelayan. 
"Aku baru saja mendengar kuda meringkik. 
Coba kauperiksa." 
"Baik!" 
  
saat  menyingkap tirai, ia hampir bertabrakan 
dengan seseorang yang berteriak-teriak sekuat 
tenaga. 
"Berita penting! Hamba membawa   berita 
penting!" orang itu berkata sambil terengah-engah. 
yodono angkat bicara dan bertanya. "Apa yang 
hendak kaulaporkan?" 
Dalam keadaan panik, orang itu tak sanggup 
melaporkan situasi yang genting secara jelas. 
"Ada obor dan api unggun di sepanjang jalan 
antara blambangan  dan Kinomoto, dan semuanya 
bergerak bagaikan sungai merah yang mengerikan. 
Menurut Yang Mulia Katsumasa, itu musuh yang 
sedang bergerak." 
"Apa? Barisan api di jalan raya blambangan ?" 
yodono seolah-olah belum mengerti. namun  
laporan dari raden panji dani itu segera diikuti berita 
serupa dari Hara Fusachika yang berkemah di 
tunjungrejo . 
Para prajurit di perkemahan yodono mulai 
terbangun dalam suasana gempar. Gelombang 
kebingungan segera menyebar. 
Di luar dugaan, patih ronggolawe  sudah  kembali dari 
blambangan . namun  yodono belum mau percaya; ia seperti 
bersikeras mempertahankan kepercayaannya sendiri. 
Tsushima! Selidiki kebenaran berita ini!" 
lalu  ia minta diambilkan kursi, dan 
sengaja memperlihatkan sikap tenang. Ia 
memahami perasaan para pengikut yang berusaha 
  
membaca apa yang terlihat pada wajahnya. 
Tak lama setdah itu, Osaki kembali. la sudah  
memacu kudanya ke raden panji daru, lalu ke 
tunjungrejo , lalu  melintas dari Gunung 
Chausu ke Kannonzaka untuk memastikan apa 
yang terjadi. Dan inilah yang ditemukannya. 
"Kita bukan saja melihat obor dan api unggun. 
namun  dengan memasang telinga, kita juga bisa 
mendengar kuda meringkik. Ini tak bisa dianggap 
enteng. Tuanku perlu menyusun strategi balasan 
secepat mungkin." 
"Hmm, bagaimana dengan patih ronggolawe ?" 
"Kabarnya patih ronggolawe  berada di tengah iring-
iringan itu." 
yodono begitu terkejut, sehingga nyaris tak 
sanggup berkata apa-apa. Sambil menggigit bibir, ia 
memandang berkeliling tanpa mengucapkan 
sepatah kata pun. Wajahnya tampak pucat. 
sesudah  beberapa saat, ia berkata, "Kita mundur. 
Tak ada pilihan lain, bukan? centeng  musuh 
berkekuatan besar sedang mendekat, sedangkan 
centeng  kita terisolasi di sini." 
Pada malam sebelumnya, yodono dengan keras 
kepala menolak mematuhi perintah dijoyo . Kini 
ia sendiri yang memberi  perintah membongkar 
kemah kepada centeng nya yang dilanda 
kebingungan, dan mendesak-desak para pengikut 
dan pelayannya. 
"Apakah kurir dari tunjungrejo  masih di sini?" 
  
yodono bertanya pada pengikut-pengikut yang 
mengelilinginya saat  ia menaiki kuda. sesudah  
diberitahu bahwa orang itu belum berangkat lagi. 
ia segera menyuruhnya menghadap. 
"Kembalilah dengan segera, dan beritahu 
ki ageng merjoyo bahwa korps utama akan mulai bergerak 
mundur. Kami akan melewati raden panji dani. 
ki ageng wonoboyo, Kawan ami, dan Moyama. centeng  
ki ageng merjoyo akan mengikuti kami sebagai barisan 
belakang." 
Begitu selesai memberikan perintah itu, yodono 
bergabung dengan para pengikutnya dan mulai 
menuruni jalan setapak yang gelap gulita. 
Dengan demikian, centeng  utama yodono mulai 
mundur pada pertengahan kedua Jam Babi. Bulan 
tidak kelihatan saat  mereka berangkat. Selama 
setengah jam mereka tidak menyalakan obor, agar 
musuh tidak mengetahui posisi mereka. Dituntun 
hanya oleh sumbu senapan yang membara dan 
cahaya bintang-bintang,. mereka menyusuri jalan 
setapak yang sempit. 
Jika gerakan mereka dibandingkan dari segi 
waktu, yodono rupanya mulai membongkar 
perkemahan pada waktu patih ronggolawe  sudah  mendaki 
Gunung Chausu dari Desa Kursinuhun  dan sedang 
beristirahat. 
Di sanalah patih ronggolawe  berbicara dengan Niwa 
Nagahide yang terburu-buru datang dari 
jatiretno  untuk menghadap. Nagahide 
  
merupakan tamu terhormat, dan perlakuan 
patih ronggolawe  terhadapnya sungguh santun. 
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan." 
ujarnya. "Tuan tentu repot sekali sejak pagi tadi." 
Dengan beberapa patah kata itu, ia berbagi 
tempat duduk komandan bersama Nagahide. Baru 
lalu  ia menanyakan hal-hal seperti situasi 
musuh dan kondisi medan. Dari waktu ke wakiu. 
tawa  kedua orang itu terbawa   angin malam yang 
melintasi puncak gunung. 
Selama itu, centeng  yang menyusul patih ronggolawe  
terus berdatangan. Mereka memasuki perkemahan 
dalam kelompok-kelompok berjumlah dua ratus 
sampai tiga ratus orang. 
"centeng  yodono sudah mulai mundur ke arah 
raden panji dani dan meninggalkan barisan belakang 
di sekitar tunjungrejo ," seorang pengintai 
melaporkan. 
patih ronggolawe  lalu menyuruh Nagahide 
menyampaikan informasi dan perintah berikut 
kepada semua sekutu mereka: 
Pada jam Banteng, aku akan melancarkan serangan 
mendadak terhadap yodono. Kumpulkan penduduk 
setempat dan suruh mereka melepaskan teriakan-
teriakan perang dari puncak-puncak gunung pada waktu 
fajar. Tepat sebelum matahari terbit, kalian akan 
mendengar suara tembakan yang merupakan isyarat 
bahwa kesempatan untuk menyambar musuh sudah  tiba. 
Perhatikan bahwa tembakan sebelum fajar akan berasal 
  
dari senapan-senapan musuh. Tiupan sangkakala akan 
merupakan tanda untuk serangan umum. Peluang ini 
tak boleh disia-siakan. 
 
Begitu Nagahide berangkat, patih ronggolawe  
menyuruh kursi disingkirkan. "Kabarnya yodono 
berusaha melarikan diri. Ikuti jalan yang dilaluinya 
dan kejar dia tanpa ampun." katanya, lalu ia 
berpesan agar para prajurit di sekelilingnya 
menyampaikan perintah itu ke seluruh centeng . 
"Dan ingat, jangan lepaskan tembakan sebelum 
langit mulai terang." 
Jalan yang mereka lalui bukan jalan datar. 
melainkan jalan setapak di pegunungan, dengan 
tempat-tempat berbahaya yang tak sedikit 
jumlahnya. Serangan dimulai dengan 
keberangkatan korps demi korps, namun mereka 
tak sanggup maju secepat yang mereka kehendaki. 
Dalam perjalanan, para penunggang kuda 
terpaksa turun dan menuntun kuda masing-masing 
melalui paya-paya, atau menyusuri dinding-dinding 
karang di mana tak ada jalan sama sekali. 
Selepas tengah malam, bulan menampakkan 
diri di langit dan membantu centeng  mpu wiragajah  
mencari jalan. namun  cahayanya juga merupakan 
berkah bagi pengejaran patih ronggolawe  terhadap 
mereka. 
Waktu yang memisahkan kedua centeng  itu tak 
lebih dari tiga jam. patih ronggolawe  sudah  mengerahkan 
  
centeng  yang luar biasa besar, dan semangat para 
prajuritnya meluap-luap. Hasil akhirnya sudah 
dapat diramalkan, bahkan sebelum pertempuran 
dimulai. 
Matahari sudah  tinggi di langit. Jam Naga sudah 
hampir tiba. Pertempuran sempat  meletus di tepi 
Danau Yogo, namun  centeng  nyoto  sekali lagi 
melarikan diri, lalu berkumpul kembali di daerah 
Moyama dan Celah Sokkai. 
Di sinilah terletak perkemahan madya brawirgo  
dan putranya. Panji-panji mereka berkibar tenang. 
Sangat tenang. Sambil duduk di kursinya, 
brawirgo  tentu memperhatikan tembakan dan 
bunga api yang meliputi jatiretno , weru, dan 
raden panji dani sejak fajar. 
Ia membawa  hi sebuah satuan dari centeng  
dijoyo  yang menempatkannya dalam posisi pelik. 
sebab  perasaannya dan kewajibannya terhadap 
dijoyo  saling bertentangan. Satu kesalahan saja, 
dan provinsi ditambah    seluruh keluarganya akan 
musnah. Situasinya sangat jelas. Jika melawan  
dijoyo , ia akan dihancurkan. namun  jika 
mengabaikan persahabatannya dengan patih ronggolawe . 
berarti ia mengkhianati bisikan hati nuraninya. 
dijoyo ... patih ronggolawe ... 
Membandingkan kedua orang itu. brawirgo  
tentu takkan melakukan kesalahan dalam memilih 
salah satu dari mereka. saat  ia hendak 
meninggalkan benteng kotanya di Fuchu untuk menuju 
  
medan laga, istrinya sempat cemas mengenai niat 
suaminya dan menanyakannya dengan teliti. 
"Jika kau tidak memerangi Yang Mulia 
patih ronggolawe , kau tidak memenuhi kewajibanmu 
sebagai centeng adipati ." istrinya berkata. 
"Kaupikir begitu?" 
"namun  kukira kau tidak perlu berpegang pada 
janjimu kepada Yang Mulia dijoyo ." 
"Jangan konyol. Kaupikir aku bisa melanggar 
janji yang sudah  kuberikan sebagai centeng adipati ?" 
"Kalau begitu, siapa yang akan kaudukung?" 
"Itu kuserahkan kepada para dewa. Aku tak 
tahu apa lagi yang dapat kulakukan. Kearifan 
manusia terlalu terbatas untuk hal seperti ini." 
centeng  mpu wiragajah  yang menjerit-jerit dan 
berlumuran darah melarikan diri menuju posisi-
posisi madya. 
"Jangan panik! Jangan permalukan diri kalian!" 
yodono, yang juga mengarah ke sana ditambah    
sekelompok pengikut berkuda, melompat dari 
pelananya yang merah tua dan membentak-beniak 
centeng nya dengan teriakan-teriakan parau. "Ada 
apa dengan kalian? Pertempuran baru saja dimulai, 
namun  kalian sudah melarikan diri?" 
Sambil memarahi prajurit-prajuritnya, yodono 
sekaligus berusaha membesarkan hatinya sendiri. 
Ia duduk di sebuah batu, menghela napas panjang, 
lalu mengembuskannya bagaikan menyemburkan 
api. Rasa pahit menjilat lidahnya. Usahanya untuk 
  
tidak kehilangan wibawa   sebagai resi  di tengah 
kekacauan dan bencana sungguh luar biasa. 
mengingat usianya yang masih muda. 
Baru sekarang ia diberitahu bahwa adiknya 
sudah  tewas. Sambil tercengang-cengang ia 
menerima laporan bahwa banyak di antara 
komandan-komandannya sudah gugur. 
"Bagaimana dengan saudara-saudaraku yang 
lain?" 
Menanggapi pertanyaan mendadak itu, seorang 
pengikut menunjuk ke belakangnya. "Dua saudara 
tuanku ada di sebelah sana." 
yodono, dengan mata merah, menemukan kedua 
orang itu. mpu hanjana terbaring di tanah dan 
memandang langit sambil melamun. Adik 
bungsunya tidur dengan kepala terkulai, sementara 
darah dari sebuah luka membasahi pangkuannya. 
yodono menyayangi adik-adiknya, dan ia merasa 
lega bahwa mereka masih hidup. namun  kehadiran 
mereka darah dagingnya sendiri juga menyulut 
kemarahan dalam dirinya. 
"Berdiri, mpu hanjana!" serunya. "Dan mana 
semangatmu, Shichiroemon? Belum waktunya kau 
berbaring di tanah. Sedang apa kau ini?!" 
yodono memaksakan diri untuk bangkit. 
Rupanya ia pun terluka. 
"Di mana perkemahan Tuan lnuchiyo? Di atas 
bukit itu?" Ia mulai melangkah menjauh, menyeret-
nyeret sebelah kaki, namun  lalu  berbalik dan 
  
menatap kedua adiknya yang sedang menyusul. 
"Kalian tidak perlu ikut. Kumpulkan beberapa 
orang dan bersiap-siaplah menghadapi gempuran 
musuh. patih ronggolawe  takkan membuang-buang 
waktu." 
yodono duduk di kursi komandan, di dalam 
petak bertirai, dan menunggu. lnuchiyo muncul 
tak lama sesudah  itu. 
"Hamba turut menyesal." ia bersimpati. 
"Jangan." yodono memaksakan senyum getir. 
"Dengan pemikiran sedangkal itu, sudah 
sewajarnya aku kalah." 
jawaban pasti yang begitu lesu membuat lnuchiyo 
menatap sekali lagi ke arah yodono. Sepertinya 
yodono bermaksud mengemban seluruh tanggung 
jawab  atas kekalahan yang dideritanya. yodono 
tidak mengeluh bahwa lnuchiyo tidak 
mengerahkan centeng nya. 
"Untuk  sementara, bersediakah Tuan 
membantu kami menangkal serangan patih ronggolawe  
dengan centeng  yang masih segar bugar?" 
"Tentu saja. namun  korps mana yang dikehendaki 
Yang Mulia? Korps tombak atau korps senapan?" 
"Aku minta korps senapan menyergap musuh di 
depan. Mereka bisa menembak para penyerbu, 
sesudah  itu kami dapat bertindak sebagai barisan 
kedua, mengacung-acungkan tombak yang 
berlumuran darah dan bertempur seperti  orang 
yang siap menyambut mati. Berangkatlah segera! 
  
Aku mohon dengan sangat!" 
Pada kesempatan lain, yodono takkan memohon 
apa pun dari lnuchiyo. Dan mau tak mau lnuchiyo 
merasa iba pada orang itu. la sadar bahwa 
kerendahan hati yodono disebabkan oleh perasaan 
tak berdaya akibat kekalahan yang dideritanya. 
Namun mungkin juga yodono sudah  memahami 
niat lnuchiyo sebetulnya . 
"Sepertinya musuh sudah mendekat." ujar 
yodono tanpa mengaso sejenak pun. Sambil 
mengucapkan kata-kata itu, ia berdiri. "Baiklah," 
katanya. "Sampai jumpa." Ia menyingkap tirai dan 
melangkah ke luar, namun  lalu  berbalik ke arah 
brawirgo , yang menyusul untuk mengantarnya. 
"Ada kemungkinan kita takkan berjumpa lagi di 
dunia ini, namun  aku tidak berniat mati secara 
memalukan." 
brawirgo  menyertainya sampai ke tempat ia 
berdiri beberapa waktu sebelumnya. yodono 
mohon diri dan menuruni lereng dengan langkah 
cepat. Pemandangan di bawah  sudah  berubah sama 
sekali dibandingkan beberapa menit yang lalu. 
centeng  mpu wiragajah  semula berkekuatan 9 
ribu orang, namun sepertinya hanya sekitar 
sepertiga yang masih tersisa. Yang lainnya mati 
atau cedera atau sudah  melarikan diri. Mereka yang 
tertinggal adalah prajurit-prajurit yang kalah atau 
komandan-komandan yang kalang kabut, dan 
seruan-seruan mereka memicu  situasi 
  
kelihatan semakin buruk. 
Tampak jelas bahwa adik-adik yodono tak 
sanggup mengendalikan kekacauan. Sebagian besar 
perwira senior sudah  gugur. Banyak korps sudah  
kehilangan pemimpin, dan para prajurit dilanda 
kebingungan, sementara centeng  patih ronggolawe  sudah 
mulai terlihat di kejauhan. Seandainya pun kakak-
beradik mpu wiragajah  sanggup menangkal kekalahan 
saat itu, mereka tetap tak bisa berbuat banyak 
untuk mengatasi ketakutan centeng  mereka. 
namun  para penembak madya berlari dengan 
tenang di tengah hiruk-pikuk, dan sesudah  
menyebar agak jauh dari perkemahan, langsung 
tiarap. Melihat gerakan mereka, yodono 
menyerukan perintah dengan suara lanrang, dan 
akhirnya kekacauan itu sedikit mereda. 
Kenyataan bahwa centeng  madya yang masih 
segar bugar terjun ke medan laga merupakan 
sumber kekuatan yang luar biasa bagi para prajurit 
yodono, juga bagi yodono sendiri dan para 
perwiranya yang masih hidup. 
"Jangan mundur sebelum kita melihat kepala 
kuyang  keparat itu tertancap di ujung salah satu 
tombak kita! Jangan biarkan orang-orang madya 
menertawa kan kita! Jangan permalukan diri 
kalian!" 
Sambil memacu mereka, yodono berjalan di 
tengah-tengah perwira dan anak buahnya. Seperti 
bisa diduga, para prajurit yang mengikutinya 
  
sejauh itu belum menutup mata terhadap perasaan 
harga diri. Nsinuhun -nsinuhun  darah yang masih kering 
akibat matahari yang bersinar cerah sejak pagi 
terlihat pada baju tempur dan tombak sebagian 
besar dari mereka. Debu dan rumput bercampur 
aduk dengan kotoran. 
Wajah setiap orang menunjukkan bahwa ia 
sangat mendambakan air, biarpun hanya seteguk. 
Namun tak ada waktu untuk itu. awan -awan  debu 
berwarna kumng dan  bunyi kuda-kuda musuh 
sudah mulai mendekat dan kejauhan. 
Namun patih ronggolawe , yang sudah  bergerak maju 
dari jatiretno  dengan kekuatan yang menyapu 
segala  sesuatu, berhenti tepat sebelum mencapai 
Moyama. 
"Perkemahan ini berada di bawah  komando 
madya lnuchiyo dan putranya, Toshinaga." 
patih ronggolawe  mengumumkan. 
Seielah menyadari hal itu, ia tiba-tiba 
menghentikan barisan depannya yang menerjang 
bagaikan air bah. lalu  ia mengubah susunan 
tempur dan membentuk formasi baru. 
Saat itu kedua centeng  berada di luar jarak 
tembak. yodono terus mendesak para penembak 
madya agar menempati posisi untuk mencegat 
musuh, namun centeng  patih ronggolawe  diselubungi 
awan  debu, dan mereka tetap tidak memasuki 
daerah yang terjangkau peluru lawan . 
sesudah  berpisah dengan yodono, lnuchiyo 
  
berdiri di tepi gunung dan mengamati situasi dari 
atas. Niatnya merupakan teka-teki, bahkan bagi 
para resi  yang mengelilinginya. namun  dua 
centeng adipati  membawa  kan kudanya. 
Tiba-tiba terdengar suara ingar-bingar dari kaki 
gunung. saat  lnuchiyo dan yang lainnya 
memandang ke arah itu, mereka melihat bahwa 
seekor kuda dari barisan belakang sudah  terlepas 
dan berlari tak terkendali ditengah perkemahan. 
Kejadian itu bukan masalah serius dalam 
keadaan biasa, namun  pada titik waktu itu, gangguan 
seperti itu menimbulkan kekacauan baru dan 
mengakibatkan kegemparan. 
lnuchiyo menoleh pada kedua centeng adipati  tadi dan 
memberikan isyarat dengan matanya. 
"Ayo, semuanya." ia berkata kepada para 
pengikut di sekelilingnya, lalu memacu kudanya. 
Secara bersamaan, berondongan senapan 
terdengar menggema. Tembakan-tembakan itu 
berasal dari korps penembak mereka sendiri, dan 
rupanya centeng  patih ronggolawe  melepaskan tembakan 
secara bersamaan. Dengan pikiran itu, lnuchiyo 
melesat menuruni lereng, sambil menatap awan -
awan  debu dan asap mesiu yang menggumpal. 
"Sekarang! Sekarang!" ia bergumam, sambil tak 
henti-hentinya memukul pelana. 
Gong dan genderang perang dibunyikan di 
salah satu bagian perkemahan di Moyama, 
semakin menambah kekacauan. centeng  
  
patih ronggolawe  rupanya sudah  melangkahi korban-
korban dari pihak mereka yang berjatuhan di 
barisan penembak, dan sudah menembus jauh ke 
jantung korps mpu wiragajah  dan madya. Dan, semudah 
mereka menggulung centeng  utama sebelumnya, 
mereka kini maju sedemikian ganas, sehingga tak 
ada yang dapat membendung mereka. 
Melihat penempuran dahsyat itu, lnuchiyo 
menghindari jalan, bergabung dengan putranya, 
Toshinaga, lalu segera mulai mundur. 
Beberapa perwiranya marah dan curiga, namun  
lnuchiyo sekadar menjalankan keputusan yang 
sudah  ia ambil sebelumnya. Dalam lubuk hatinya 
yang paling dalam, brawirgo  tak pernah merasa 
terikat, dan sebetulnya  ia enggan mendukung 
pihak mana pun. Mengingat posisi provinsinya, ia 
sudah  dicari oleh dijoyo  dan terpaksa 
mendampingi orang itu. namun  sekarang, mengingat 
persahabatannya dengan patih ronggolawe , ia mundur 
diam-diam. 
namun  prajurit-prajurit patih ronggolawe  terus 
menggempur centeng  madya, dan sebagian 
barisan belakang dibantai tanpa ampun. 
Sementara itu, brawirgo  dan putranya 
membawa   keluar centeng  mereka dari 
perkemahan; dari Shigendingan mereka melewati jalan 
memutar melalui Hikida dan Imajo, dan akhirnya 
memasuki benteng kota Fuchu. Selama pertempuran 
sengit yang berlangsung dua hari, kubu madya 
  
mirip  hutan sunyi yang tenteram di tengah-
tengah amukan badai. 

 
Bagaimanakah keadaan di perkemahan dijoyo  
sejak malam sebelumnya? 
dijoyo  sudah  mengirim enam utusan untuk  
menemui yodono, dan setiap utusan kembali tanpa 
hasil. dijoyo  lalu berkeluh kesah bahwa tak ada 
yang dapat dilakukan, dan beranjak tidur dengan 
penyesalan mendalam. sebetulnya  ia malah tidak 
bisa tidur sama sekali. Kini ia menuai benih yang 
ditaburkannya sendiri pilih kasihnya terhadap 
yodono sudah  menghasilkan racun berupa kasih 
sayang buta. la sudah  melakukan kesalahan besar 
dengan membiarkan perasaannya mencampur-
adukkan hubungan darah antara paman dan 
kepribadian  dengan ikatan antara komandan dan 
bawah an. 
Kini dijoyo  paham sepenuhnya. yodono 
pulalah penyebab pemberontakan putra angkat 
dijoyo , Katsutoyo, di lojibenteng . Dan ia juga 
sudah  menerima kabar mengenai perlakuan yodono 
yang congkak terhadap madya brawirgo  di medan 
tempur di Noto. 
Meski mengakui kekurangan-kekurangan itu, 
dijoyo  tetap percaya bahwa akhlak yodono jauh di 
atas rata-rata. 
"Ah, namun  sekarang justru sifat-sifat itulah yang 
  
mungkin sudah  berakibat fatal," ia bergumam 
sambil membalik badan di tempat tidur. 
saat  cahaya lentera-lentera mulai berkedap-
kedip, sejumlah prajurit bergegas menyusuri 
selasar. Di ruang sebelah dan sebelahnya lagi, 
Menju Shosuke dan yang lain mendadak 
terbangun. 
sesudah  mendengar suara-suara menanggapi 
bunyi langkah itu, orang-orang yang menjaga 
ruangan dijoyo  segera keluar ke selasar. 
"Ada apa?" 
Sikap prajurit yang maju sebagai juru bicara 
tidak seperti biasa. la bicara begitu cepat, sehingga 
ucapannya sukar dipahami. 
"Sudah beberapa waktu langit di atas Kinomoto 
tampak merah. Pengintai-pengintai kita baru saja 
kembali dari Gunung Higashino..." 
"Jangan bertele-tele! Laporkan yang penting-
penting saja!" Menju tiba-tiba menghardik orang 
itu. 
"patih ronggolawe  sudah  tiba dari Ogaki. centeng  nya 
membuat kerusuhan besar di daerah sekitar 
Kinomoto." prajurit itu berkata tanpa menarik 
napas. "Apa? patih ronggolawe ?" 
Orang-orang yang bingung itu datang secepat 
mungkin untuk  melaporkan situasi kepada para 
pembantu dekat junjungan mereka, namun  rupanya 
dijoyo  sudah  mendengar ucapan mereka dan ia 
sendiri keluar ke selasar. 
  
"Tuanku sudah mendengar yang mereka 
katakan?" 
"Sudah," balas dijoyo . Wajahnya tampak lebih 
pucat dibandingkan sebelum ia beranjak tidur. 
"Mengenai itu, patih ronggolawe  melakukan hal yang 
sama selama operasi di provinsi-provinsi Barai." 
Seperti bisa diduga, dijoyo  tetap tenang dan 
berusaha mengendalikan orang-orang di 
sekelilingnya, namun  ia tak dapat menyembunyikan 
perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia sudah  
memperingatkan yodono, dan mendengar 
ucapannya sekarang, ia rupanya merasa bangga 
bahwa peringatannya ternyara tepat. Namun ini 
juga suara resi  gagah yang pernah dijuluki Iblis 
nyoto . Mereka yang kini mendengarnya mau tak 
mau merasa kasihan. 
"Aku tak bisa lagi mengandalkan yodono. Mulai 
sekarang aku harus berjuang sendiri, agar kita 
dapat bertempur sepuas hati, jangan goyah dan 
jangan panik. Seharusnya kita gembira bahwa 
patih ronggolawe  akhirnya datang." 
sesudah  mengumpulkan resi -resi nya, 
dijoyo  duduk di kursinya dan memberikan 
perintah-perintah untuk penyusunan centeng . 
Tindak-tanduknya memperlihatkan semangat anak 
muda. Ia sudah  menilai bahwa kedatangan 
patih ronggolawe  hanya merupakan kemungkinan kecil; 
begitu kemungkinan itu  berubah menjadi 
ancaman nyata, perkemahannya dilanda 
  
kekacauan. Tak sedikit yang meninggalkan pos 
masing-masing dengan alasan sakit, yang lain tidak 
mematuhi perintah, dan banyak prajurit melarikan 
diri dalam keadaan bingung dan panik. 
Keadaannya sungguh menyedihkan; dari tujuh 
ribu prajurit, yang tersisa tak sampai 50000. 
lnilah centeng  yang bertolak dari radenkanjeng  
dengan tekad bulat untuk memerangi patih ronggolawe . 
Orang-orang itu tidak seharusnya melarikan diri 
pada ancaman pertama darinya. 
Apa yang mendorong mereka untuk bertindak 
demikian sebuah centeng  berkekuatan lebih dari 
tujuh ribu orang? Penyebabnya hanya satu: tak ada 
kepemimpinan yang berwibawa  . Selain itu, 
patih ronggolawe  pun bertindak lebih cepat dari yang 
diduga, dan ini membuat mereka semakin 
ternganga. Desas-desus dan  laporan-laporan palsu 
berkembang tak terkendali, dengan demikian 
menyulut sikap pengecut. saat  dijoyo  
mengamati kekacauan yang melanda centeng nya, 
ia tidak sekadar berkecil hati, melainkan marah 
sekali. Sambil mengertakkan gigi, ia seakan-akan 
tak sanggup untuk tidak melampiaskan 
kejengkelannya kepada para perwira di sekitarnya. 
Mula-mula duduk, berdiri, lalu berjalan mondar-
mandir, para centeng adipati  di sekeliling dijoyo  tak 
mampu menenangkan diri. 
Perintah-perintahnya sudah  disampaikan dua-tiga 
kali, namun  ia hanya menerima jawab an-jawaban pasti yang 
  
tidak jelas. 
"Kenapa kalian semua begitu bingung?" ia 
benanya, memarahi mereka yang berada di 
sekitarnya. "jangan gugup! Meninggalkan pos dan  
menyebarkan desas-desus dan gosip hanya 
membuat orang-orang kita semakin bingung. 
Setiap orang yang melakukan tindakan seperti itu 
akan dijatuhi hukuman berat," ia berkata dengan 
geram. 
Sejumlah bawah annya menghambur ke luar 
untuk kedua kalinya, untuk mengumumkan 
perintahnya yang tegas. namun  sesudah  itu pun 
dijoyo  terdengar berseru-seru dengan nada tinggi. 
"jangan gelisah! jangan bingung!" namun  usahanya 
untuk meredakan kekacauan hanya membuat 
suasana ber-tambah  hiruk-pikuk. 
Fajar sudah di ambang pintu. 
Teriakan-teriakan perang dan  letusan-letusan 
senapan yang sudah  berpindah dari daerah 
jatiretno  ke tepi barat Danau Yogo menggema 
melintasi air. 
"Kalau begini terus, patih ronggolawe  pasti segera tiba 
di sini!"  
"Paling tidak pada tengah hari."  
"Apa? Kaupikir mereka akan menunggu selama 
itu?"  
Perasaan kecut menular dari hati ke hati, dan 
akhirnya menyelubungi seluruh perkemahan. 
"Pasti ada sepuluh ribu musuh!" "Bukan, kurasa 
  
ada dua puluh ribu!" 
"Apa? Dengan serangan begitu dahsyat, mereka 
pasti berkekuatan tiga puluh ribu orang!" 
Para prajurit dikujawa  oleh ketakutan mereka 
sendiri dan tak seorang pun merasa tenang tanpa 
memperoleh dukungan dari rekan-rekannya. 
lalu  desas-desus yang sangat menggelisahkan 
mulai beredar. 
"madya brawirgo  membelot ke kuhu 
patih ronggolawe !" 
Pada saat itu, para perwira nyoto  tak sanggup 
lagi mengendalikan anak buah mereka. dijoyo  
akhirnya menaiki kudanya. Sambil berkeliling di 
daerah Kitsunezaka, ia sendiri mencaci maki para 
prajurit di perkemahan-perkemahan yang terpisah-
pisah. Rupanya ia sudah  sampai pada kesimpulan 
bahwa para resi nya tak mampu menyampaikan 
perintah-perintah dari markas besar secara efektif. 
"Setiap orang yang meninggalkan perkemahan 
tanpa alasan akan dihabisi sesaat ." ia berteriak. 
"Kejar dan tembak setiap pengecut yang melarikan 
diri! Siapa saja yang menyebarkan gosip atau 
meredam semangat tempur centeng  harus 
dibunuh di tempat!" 
namun  situasi sudah  berkembang terlalu jauh, dan 
kebangkitan semangat tempur dijoyo  tidak 
membawa   hasil. Lebih dari setengah dari ketujuh 
ribu prajuritnya sudah  kabur, sedangkan orang-
orang yang tersisa tidak tahu apa yang harus 
  
mereka lakukan. Selain itu mereka sudah  
kehilangan kepercayaan pada panglima tertinggi 
mereka. Dalam keadaan tanpa wibawa  , perintah-
perintah sang Iblis nyoto  pun terdengar bagaikan 
auman singa ompong. 
Ia kembali ke perkemahan utamanya yang 
sudah mulai diserang. 
Ah, katanya dalam hati, rupanya aku pun tidak 
luput dari incaran maut. Melihat centeng nya sudah  
patah semangat, dijoyo  menyadari kesia-siaan 
situasi yang dihadapinya. Namun kegarangannya 
tak henti-henti mendorongnya menuju kematian. 
saat  fajar mulai menyingsing, hanya sedikit kuda 
dan prajurit yang masih bertahan di perkemahan. 
"Tuanku, ke sinilah. Sebentar saja." Dua 
centeng adipati  memegang baju tempur dijoyo  dari kiri-
kanan, seakan-akan menopang badannya yang 
besar. "Tidak biasanya tuanku lekas marah seperti 
ini." Sambil menuntunnya dengan paksa melewati 
kerumunan kuda dan orang, lalu keluar dari 
gerbang kuil, mereka berseru-seru pada yang lain, 
"Cepat, bawa  kan kuda Yang Mulia. Mana kuda 
junjungan kita?" 
Sementara itu, dijoyo  pun membentak-bentak, 
"Aku takkan mundur! Kalian pikir, siapa aku ini? 
Aku takkan meninggalkan tempat ini!" Nada 
suaranya semakin berapi-api. Sekali lagi ia 
memelototi dan menghardik para perwira stafnya 
yang tak mau beranjak dari sampingnya. "Kenapa 
  
kalian melakukan ini? Kenapa kalian menghalang-
halangi aku untuk keluar dan menyerang? Kenapa 
kalian menahan aku, bukannya menggempur 
musuh?" 
Seekor kuda dibawa   ke hadapan dijoyo . 
Seorang prajurit menggenggam panji komandan 
yang dihiasi dengan lambang emas dan berdiri di 
sebelah kuda itu. 
"Kita tidak bisa membendung terjangan musuh 
di sini. Yang Mulia. Jika tuanku gugur di sini, 
kematian tuanku sia-sia belaka. Mengapa tuanku 
tidak mundur ke lumajangan, lalu menyusun 
rencana untuk serangan berikut?" 
dijoyo  menggelengkan kepala dan berseru-seru. 
namun  orang-orang di sekitarnya segera memaksanya 
naik ke pelana. Situasinya sungguh genting. Tiba-
tiba si kepala pelayan, Menju Shosuke, yang tak 
pernah menonjol dalam pertempuran, bergegas 
maju dan bersujud di hadapan kuda dijoyo . 
"Tuanku, perkenankanlah hamba membawa   
panji komandan." 
Memohon izin untuk membawa   panji 
komandan berarti seseorang menawarkan  diri 
untuk menggantikan tempat. 
Shosuke tidak mengatakan apa-apa lagi, namun 
tetap berlutut di depan dijoyo . Ia tidak 
memperlihatkan kesiapan menyambut maut, 
perasaan putus asa, maupun kegarangan; 
penampilannya seperti  biasa, kalau ia menghadap 
  
dijoyo  sebagai kepala pelayan, 
"Apa? Kauminta aku memberikan panji 
komandan padamu?" 
Dari atas kudanya, dijoyo  menatap punggung 
Shosuke dengan heran. Para resi  di 
sekelilingnya juga terkesima, dan pandangan 
mereka pun melekat pada Shosuke. Di antara 
sekian banyak pembantu pribadi, hanya sedikit 
yang diperlakukan lebih dingin dibandingkan  Shosuke. 
dijoyo , yang bersikap demikian terhadap 
Shosuke, tentu menyadari betapa pedihnya hati 
Shosuke selama ini. Namun bukankah Shosuke 
yang sama kini bersujud di hadapan dijoyo , 
menawarkan  diri untuk menggantikan tempat 
dijoyo ? 
Angin kekalahan menyapu perkemahan, dan 
dijoyo  tak tahan lagi melihat kekalutan yang 
melanda para prajuritnya. Para pengecut yang 
cepat-cepat meletakkan senjata dan melarikan diri 
tak sedikit jumlahnya; banyak di antara mereka 
merupakan orang yang disukai dijoyo , dan sudah  
diistimewakan selama bertahun-tahun. saat  
pikiran-pikiran itu melintas dalam benaknya, 
dijoyo  tak sanggup menahan air mata. 
namun  apa pun yang berkecamuk dalam hati 
dijoyo , kini ia menendang perut kudanya dengan 
sanggurdi, dan mengusir kesan pedih di wajahnya 
dengan teriakan menggemuruh. 
~Apa maksudmu, Shosuke? Kalau kau mati, 
  
saatku pun sudah tiba! Ayo, menyingkirlah!" 
Shosuke mundur untuk menghindari kuda 
dijoyo  yang mendadak memberontak, namun  segera 
menangkap tali kekangnya. 
"Kalau begitu, perkenankanlah hamba 
menyertai tuanku." 
Tanpa menunggu persetujuan Katsui, Menju 
membelakangi medan laga dan bergegas ke arah 
Yanagase, baik prajurit yang menjaga panji 
komandan maupun para pengikut dijoyo  
mengelilingi kudanya, dan cepar-cepat 
menggiringnya pergi di tengah-tengah mereka. 
Namun barisan depan patih ronggolawe  sudah  berhasil 
menerobos di Kitsunezaka, dan tanpa 
mengindahkan prajurit-prajurit nyoto  yang 
mempertahankan tempat itu, mereka mengincar 
panji emas yang tampak di kejauhan. 
"Itu dijoyo ! Jangan biarkan dia lolos!" 
Sekelompok prajurit bertombak berkumpul dan 
segera mengejar dijoyo . 
"Kita akan berpisah di sini. Yang Mulia!" Sambil 
mengucapkan kata-kata itu sebagai salam 
perpisahan, para resi  yang menyertai dijoyo  
tiba-tiba beranjak dari sisinya, berbalik, dan 
menerjang ke tengah-tengah tombak centeng  
pengejar. Tak lama lalu  mayat-mayat mereka 
sudah  bergelimpangan. 
Menju Shosuke juga sudah  berbalik dan 
menghadapi serbuan musuh, namun  kini ia sekali lagi 
  
menyusul kuda junjungannya dan berseru dari 
belakang. "Panji komandan... hamba mohon... 
perkenankanlah hamba membawa  nya!" 
Mereka berada di perbatasan Yanagase 
dijoyo  menghentikan kudanya dan mengambil 
panji komandan berwarna emas dari orang di 
sebelahnya. Betapa banyak kenangan melekat pada 
panji itu ia sudah  mengibarkannya dalam setiap 
kesempatan perang bersama reputasinya sebagai 
Iblis nyoto . 
"Ini, Shosuke. bawa  lah ke tengah-tengah 
centeng ku!" 
Dengan beberapa patah kata itu, ia mendadak 
melemparkan panji itu pada Shosuke 
Shosuke membungkuk ke depan dan dengan 
gesit menangkap gagangnya. 
Kegembiraannya meluap-luap. Sambil mengibar-
kan panji itu, ia menunjukkan ucapan terakhirnya 
ke arah punggung dijoyo .  
"Selamat jalan, tuanku!" 
dijoyo  berbalik, namun  kudanya tetap berpacu ke 
daerah pegunungan di sekitar Yanagase. Hanya 
sepuluh orang berkuda menyertainya. 
Panji komandan sudah  diserahkan ke tangan 
Shosuke seperti  yang diimbaunya, namun  dijoyo  
berpesan. "bawa  lah ke tengah-tengah centeng ku!" 
Itulah permintaannya, dan permintaan itu  
tak pelak diajukan mengingat orang-orang yang 
akan menemui ajal bersama Shosuke. 
  
Sesaat  sekitar tiga puluh orang berkumpul di 
bawah  panji. Hanya merekalah yang menjunjung 
tinggi kehormatan dan bersedia mengorbankan 
nyawa   demi pimpinan mereka. 
Ah, ternyata masih ada prajurit nyoto  yang 
memiliki harga diri, pikir Shosuke sambil 
memandang wajah-wajah di sekelilingnya dengan 
gembira. "Mari! Kita tunjukkan pada mereka, 
bagaimana caranya mati dengan bahagia!" 
sesudah  memberikan panji kepada salah satu 
prajurit, ia segera melangkah maju, bergegas dari 
sebelah barat Desa Yanagase, ke arah lereng utara 
Gunung Tochinoki. saat  kelompok kecil 
beranggotakan kurang dari empat puluh orang itu 
membulatkan tekad untuk maju, mereka memper-
lihatkan semangat yang jauh lebih tegar 
dibandingkan ribuan orang di Kitsunezaka pagi 
itu. 
"dijoyo  sudah  mundur ke pegunungan!" 
"Rupanya dia sudah pasrah dan siap mati." 
Seperti bisa diduga. centeng  patih ronggolawe  yang 
mengejar dijoyo  saling mendesak untuk terus 
maju. 
"Kepala dijoyo  sudah di tangan kita!" 
Semuanya berlomba-lomba untuk menjadi 
orang pertama yang mendaki Gunung Tochinoki. 
Sambil mengibarkan panji emas di puncak 
gunung, para prajurit nyoto  menahan napas 
saat  jumlah musuh yang bahkan melewati 
  
tempat-tempat yang tak ada jalan pun membesar 
dari menit ke menit. 
"Masih ada waktu untuk mengedarkan sebaskom 
air sebagai tanda perpisahan." ujar Shosuke. 
Dalam detik-detik yang masih tersisa, Shosuke 
dan rekan-rekannya meraup dan saling berbagi air 
yang mengalir dari celah-celah di puncak gunung, 
lalu dengan tenang mempersiapkan diri untuk 
menghadapi ajal. Shosuke mendadak berpaling 
pada kedua saudara kandungnya, Mozaemon dan 
Shobei. 
"Saudara-saudaraku, tinggalkanlah tempat ini 
dan pulanglah ke desa kita. Kalau kita bertiga 
gugur sekaligus dalam penempuran, tak ada yang 
dapat meneruskan nama keluarga atau menjaga 
ibu kita. Mozaemon, anak sulunglah yang wajib 
meneruskan nama keluarga, jadi kenapa kau tidak 
pergi saja sekarang?" 
"Kalau kedua adiknya dibantai musuh." balas 
Mozaemon. "mungkinkah si sulung menghadapi 
ibunya sambil berkata, 'Aku sudah pulang'? Tidak, 
aku tetap di sini. Shobei, kau saja yang pergi." 
"Kalian terlampau kejam." 
"Kenapa?" 
"Kalau aku disuruh pulang di saat seperti ini, 
ibu kita takkan gembira. Dan mendiang ayah kita 
pun tentu sedang mengamati putra-putranya dari 
dunia lain. Kakiku takkan menempuh perjalanan 
ke radenkanjeng  hari ini." 
  
"Baiklah, kalau begitu kita mati bersama-sama." 
sesudah  menyatukan tekad dalam ikrar 
kematian, ketiga saudara itu berdiri tak tergoyah-
kan di bawah  panji komandan. 
Shosuke tidak menyinggung lagi bahwa ia 
menghendaki saudara-saudaranya pulang ke 
rumah. 
Ketiga kakak-beradik itu minum air bening dari 
mata air sebagai tanda perpisahan, dan saat  
semangat baru menggelora dalam dada masing-
masing, ketiga-tiganya menghadap ke arah rumah 
ibu mereka. 
Tidak sukar untuk membayangkan doa yang 
mereka ucapkan dalam hati. Musuh menyerbu dari 
segala arah, dan mereka sudah begitu dekat, 
sehingga suara para prajurit terdengar jelas, 
"Jaga panji komandan, Shobei," Shosuke 
berkata kepada adiknya sambil mengenakan 
pdindung wajah. la menyamar sebagai dijoyo , dan 
tak ingin dikenali musuh. 
Lima atau enam peluru melesat di dekat 
kepalanya. Dengan menganggap tembakan-
tembakan itu sebagai aba-aba. ketiga puluh orang 
itu menyerukan nama aryadwinata . sang Dewa 
Perang, lalu menghadang musuh. 
Mereka membagi diri menjadi tiga unit dan 
menyerang centeng  musuh yang sedang mendekat. 
Orang-orang yang datang dari bawah  sudah  
tersengal-sengal dan tak dapat membendung lawan -
  
lawan  yang dengan nekat menerjang dari puncak 
gunung. Pedang-pedang panjang menghujani helm-
helm centeng  patih ronggolawe , tombak-tombak menu-
suk dada mereka, dan dalam sekejap mayat-mayat 
bergelimpangan di mana-mana. 
"Jangan terlalu bersemangat menyambut maut!" 
Shosuke berseru tiba-tiba, sambil mundur ke balik 
pagar kayu runcing. 
Melihat panji komandan mengikutinya, anak 
buahnya yang masih hidup pun menyusul. 
"Kata orang, tamparan lima jari tak sekuat 
pukulan dengan tangan terkepal. Kalau kita 
tercerai-berai, kita takkan dapat berbuat banyak. 
Tetaplah di bawah  panji, baik saat maju maupun 
mundur." 
sesudah  memperoleh mengarahan, mereka sekali 
lagi menghambur ke luar. Berpaling ke satu arah, 
mereka membantai musuh dengan ganas; 
berpaling ke arah lain, mereka mencabut nyawa   
dengan rombak-tombak. lalu , bagaikan 
angin, mereka mundur ke kubu pertahanan 
mereka. 
Dengan cara itu, mereka mendesak maju lima 
atau enam kali untuk bertempur. 
centeng  penyerang sudah  kehilangan lebih dari 
dua ratus orang. Hari sudah menjelang siang, dan 
marahari mulai bersinar terik. Darah segar yang 
membasahi baju tempur dan helm segera 
mengering, meninggalkan lapisan hitam yang 
  
berkilau seperti pernis. 
Tak sampai sepuluh orang yang masih bertahan 
di bawah  panji komandan, dan mata mereka yang 
menyala-nyala nyaris tak sanggup melihat lagi. Tak 
satu orang pun yang tidak terluka, 
Anak panah sudah  menembus baju Shosuke. 
Sambil memandang darah segar yang mengalir 
pada lengan bajunya, ia mencabut anak panah itu 
dengan tangannya sendiri. lalu  ia berpaling 
ke arah anak panah itu berasal. Sejumlah besar 
helm tampak mendekat, menerobos ilalang bagai 
segerombolan  babi hutan. 
Shosuke memanfaatkan waktu yang masih 
tersisa untuk berbicara dengan rekan-rekannya, 
"Kita sudah  bertempur sekuat tenaga, dan tak ada 
yang perlu kita sesalkan. Pilihlah lawan  yang hebat, 
dan ukirlah nama harum untuk diri kalian. 
Biarkan aku mendahului  kalian, gugur sebagai 
pengganti junjungan kita. Jangan biarkan panji 
komandan terjatuh. Acungkan tinggi-tinggi, sam-
pai orang terakhir!" 
Prajurit-prajurit berlumuran darah yang sudah  
siap menyambut maut itu mengacungkan panji ke 
arah musuh yang sedang menerobos ilalang. 
Prajurit-prajurit yang menghampiri mereka 
rupanya luar biasa garang. Mereka maju tanpa 
berkedip, berpegang teguh pada ikrar yang sudah  
mereka ucapkan. Shosuke menghadapi orang-
orang itu dan berseru-seru untuk menggertak 
  
mereka. 
"Lancing benar kalian ini! jembel-jembel hina! 
Kalian pikir kalian bisa menancapkan tombak-
tombak kalian ke tubuh nyoto  dijoyo ?" 
Shosuke tampil bagaikan iblis, dan tak seorang 
pun sanggup bertahan di hadapannya. Sejumlah 
orang mati di tombak, hampir di depan kakinya. 
saat  melihat keganasan orang itu dan 
kehausan bertempur mati-matian melawan  orang-
orang yang rela mempertahankan panji komandan 
mereka sampai titik darah penghabisan, para 
prajurit centeng  penyerang bahkan yang paling 
besar mulut pun menghentikan pengepungan dan 
membuka jalan ke kaki gunung. 
"Inilah aku! dijoyo  sendiri datang! Kalau 
patih ronggolawe  ada di sini, suruh dia menemuiku 
seorang diri di atas kuda! Keluarlah, Muka 
kuyang !" Shosuke berseru-seru saat  menuruni 
lereng. 
Di situ juga ia menikam prajurit berbaju tempur 
yang menghadangnya. Kakaknya, Mozaemon, sudah  
gugur; adiknya, Shobei, terlibat pertempuran 
pedang panjang dengan seorang prajurit musuh, 
sampai keduanya tumbang tak bernyawa  , dan 
Shobei terempas ke dasar sebuah jurang. 
Di sampingnya tergeletak panji komandan yang 
sudah  berubah warna menjadi merah. 
Baik dari atas maupun bawah , tombak-tombak 
yang tak terhitung jumlahnya menembus tubuh 
  
Shosuke; setiap prajurit ingin merebut panji 
komandan dan memenggal kepala orang yang 
mereka sangka sebagai dijoyo . 
Semuanya berlomba-lomba meraih kejayaan. Di 
tengah-tengah tusukan tombak, Menju Shosuke 
menemui ajal di medan laga. 
Ia prajurit tampan yang baru berusia dua puluh 
lima tahun, dan selama ini dianggap rendah oleh 
orang-orang seperti dijoyo  dan yodono sebab  ia 
lebih banyak diam, bersikap lembut dan anggun, 
dan  gemar belajar wajah Shosuke masih 
tersembunyi di balik pelindung mukanya. 
"Aku membunuh nyoto  dijoyo !" seorang 
centeng adipati  berseru.  
"Panji komandannya di rebut oleh tangan ini!" 
prajurit lain bersorak. 
lalu  semua orang angkat suara, yang satu 
mengaku begini, yang satu begitu, sampai seluruh 
gunung terguncang-guncang. 
Dan anak buah patih ronggolawe  belum juga 
mengetahui bahwa kepala itu bukan kepala 
nyoto  dijoyo , melainkan kepala Menju 
Shosuke, si kepala pelayan. 
"Kita membunuh dijoyo ! 
"Aku sempat memegang kepala si Penguasa 
lumajangan!" Sambil saling dorong dan desak. 
mereka bersorak-sorak tanpa henti. "Panjinya! 
Panji emas! Dan kepalanya! Kita memperoleh  
kepalanya!"  
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
Sahabat Sejati 
 
 
DENGAN susah payah dijoyo  berhasil 
meloloskan diri, namun  centeng nya sudah  binasa. 
Sampai pagi itu, panji nyoto  dengan lambang 
emas masih berkibar di daerah Yanagase, namun  kini 
hanya panji patih ronggolawe  yang terlihat. Panji itu 
tampak berkilau dalam cahaya matahari cerah, 
memukau semua yang melihatnya, dan 
melambangkan kenyataan yang melampaui 
kearifan dan kekuatan biasa. 
Bendera-bendera dan pataka-pataka centeng  
patih ronggolawe , yang membentang di sepanjang jalan-
jalan dan memadati ladang-ladang, menampilkan 
adegan kemenangan yang megah. Semuanya 
sedemikian rapat, hingga mirip  kabut tebal 
berwarna emas. 
Semua prajurit mulai menyantap ransum 
masing-masing. Pertempuran meletus dini hari dan 
berlangsung selama sekitar 9 jam. Seusai 
makan, seluruh centeng  diperintahkan untuk 
segera menuju utara. 
saat  mendekati Celah Tochinoki, mereka 
bisa melihat Laut Tkertanegara  di sebelah timur, 
sementara Pegunungan radenkanjeng  di sebelah utara 
seakan-akan sudah berada di bawah  kaki kuda 
mereka. 
Matahari sudah mulai terbenam, langit dan 
  
bumi memantulkan cahaya senja yang 
mengalahkan warna-warna pelangi. 
Wajah patih ronggolawe  tampak merah. Namun ia 
tidak kelihatan seperti  orang yang belum tidur 
berhari-hari. Sepertinya ia lupa bahwa manusia 
harus memejamkan mata untuk beristirahat. la 
terus mendesak maju, dan belum memberi 
perintah berhenti. Pada musim panas seperti  ini, 
malam paling singkat. Pada waktu hari masih 
terang, centeng  utama mengaso di Imajo di 
radenkanjeng . Namun barisan depan tetap melanjutkan 
perjalanan sampai ke Wakimoto yang berjarak 
lura-kira enam mil sementara barisan belakang 
berhenti di Itadori, kira-kira sama jauhnya di 
belakang centeng  utama. 
Dengan demikian, perkemahan malam itu mem 
bentang sejauh dua belas mil dari depan ke 
belakang. 
Malam itu patih ronggolawe  tertidur pulas, dan bah-
kan tidak terganggu oleh kicauan burung tekukur. 
Besok kita tiba di benteng kota Fuchu, patih ronggolawe  
berkata dalam hati sebelum beranjak tidur. namun  
bagaimana brawirgo  akan menyambut kita? 
Apa yang sedang dilakukan brawirgo  saat itu? Ia 
sudah  melintasi daerah itu  pada siang hari 
yang sama, dan sementara matahari masih tinggi di 
langit, menarik mundur centeng nya ke Fuchu. 
benteng kota putranya. 
"Puji syukur kau selamat." ujar istrinya saat  
  
keluar untuk menyambutnya. 
"Urus mereka yang luka-luka. Nanti saja kita 
bicara." 
brawirgo  tidak melepaskan sandal maupun 
membuka baju tempur, ia hanya berdiri di muka 
benteng kota. Pelayan-pelayannya juga ada di sana, 
berbaris di belakangnya, menunggu dengan 
khidmat. 
Akhirnya korps demi korps melewati gerbang, 
menggotong mayat rekan-rekan mereka yang 
gugur, yang ditutupi panji-panji. sesudah  itu, orang-
orang yang cedera dalam penempuran digotong 
atau dipapah. 
Korban di pihak madya yang jatuh saat bergerak 
mundur berjumlah tiga puluhan orang, namun  angka 
ini tidak berarti apa-apa dibandingkan jumlah 
korban di pihak nyoto  dan mpu wiragajah . Genta di 
kuil dibunyikan, dan pada waktu matahari 
terbenam, asap dari api untuk memasak mulai 
mengepul di semua bagian benteng kota. Perintah 
untuk menyantap ransum diberikan, namun  centeng  
tidak dibubarkan, dan para prajurit tetap dalam 
unit masing-masing, seakan-akan mereka masih di 
medan tempur. 
Seorang penjaga di gerbang utama berseru, 
"Sang Penguasa lumajangan sudah  tiba di gerbang 
benteng kota." 
"Apa? Yang Mulia dijoyo  di sini?" brawirgo  
bergumam heran. Ini merupakan perkembangan 
  
tak terduga, dan brawirgo  seakan-akan tidak tega 
menemui orang itu, yang kini sudah  menjadi 
pelarian. Sejenak ia tampak merenung, namun  
lalu  ia berkata. "Mari kita keluar untuk 
menyambut beliau." 
brawirgo  mengikuti putranya keluar dari 
benteng kota. sesudah  menuruni tangga terakhir, ia 
melangkah ke selasar penghubung yang gelap. 
Salah satu pembantunya, Murai Nagayori. 
menyertainya. 
"Tuanku," Murai berbisik. 
brawirgo  menatapnya dengan pandangan 
bertanya-tanya. 
Si pengikut berbisik ke telinga junjungannya. 
"Kedatangan Yang Mulia dijoyo  di sini 
merupakan kesempatan menguntungkan yang 
tiada banding. Jika tuanku membunuh beliau dan 
mengirim kepala beliau kepada Yang Mulia 
patih ronggolawe , hubungan antara tuanku dan Yang 
Mulia patih ronggolawe  tentu langsung membaik 
kembali." 
Tanpa peringatan, brawirgo  memukul dada 
orang itu. "Diam!" ia membentak. 
Murai terhuyung-huyung sampai menabrak 
dinding kayu di belakangnya, dan masih untung 
tidak terjatuh. Wajahnya mendadak pucat, dan ia 
tetap dalam posisi antara berdiri dan duduk. 
lnuchiyo memelototinya dan berkata gusar. "Be 
rani-beraninya kau membisikkan rencana busuk 
  
yang seharusnya malu kau ucapkan. Kauanggap 
dirimu centeng adipati , namun  kau tidak tahu apa-apa 
mengenai Jalan centeng adipati ! Orang macam apa yang 
mau menjual kepala seorang resi  yang 
mengetuk pintunya, sekadar untuk  mencari 
keuntungan bagi marganya sendiri? Apalagi kalau 
dia sudah  berjuang selama bertahun-tahun di 
bawah  komando resi  itu !" 
sesudah  meninggalkan Murai yang gemetaran, 
lnuchiyo pergi ke gerbang utama untuk 
menyambut dijoyo . Panglima tertinggi centeng  
nyoto  itu masih duduk di atas kudanya. Ia 
menggenggam tombak yang sudah  patah dengan sa-
tu tangan, dan sepertinya tidak terluka, namun  selu-
ruh wajahnya seluruh dirinya diliputi kesedihan. 
Tali kekang kudanya dipegang oleh Toshinaga 
yang sudah  berlari keluar untuk menyambutnya. 
Ke9 orang yang menyertai dijoyo  
menunggu di luar gerbang utama. Dengan 
demikian, dijoyo  seorang diri. 
"Aku berutang budi." Dengan ucapan santun 
ini, dijoyo  turun dari kudanya. Ia menatap 
lnuchiyo dan berkata keras-keras dengan nada me-
nyalahkan diri sendiri, "Kita kalah! Kita kalah!" 
Di luar dugaan, semangarnya masih tinggi. 
Mungkin ia hanya berpura-pura, namun  kelihatan 
lebih tenang dibandingkan  yang dibayangkan lnuchiyo. 
lnuchiyo bersikap lebih ramah dibandingkan  biasanya 
saat  menyapa resi  yang baru saja menelan 
  
kekalahan itu. Toshinaga tak kalah prihatin dari 
ayahnya, dan membantu dijoyo  melepaskan 
sandal yang berlumuran darah. 
"Aku merasa seperti pulang ke rumah sendiri." 
Keramahan memberi  kesan mendalam pada 
diri seseorang yang berada di jurang kehancuran, 
dan membuat ia melupakan segala kecurigaan dan 
kegetiran. Keramahan merupakan satu-satunya hal 
yang membuatnya sadar bahwa masih ada harapan 
di dunia. 
Kini dijoyo  tampak cukup gembira, dan ia 
mengucapkan selamat kepada ayah dan anak yang 
berhasil meloloskan diri. "Kekalahan itu 
sepenuhnya akibat kelalaianku. Aku juga sudah  
merepotkan kalian, dan aku berharap kalian dapat 
memaafkanku." katanya. "Aku akan mundur 
sampai ke lumajangan dan menyelesaikan urusanku 
tanpa penyesalan. Bolehkah aku minta semangkuk 
nasi dan teh?" 
Si lblis nyoto  rupanya sudah  menjelma menjadi 
zoroaster  nyoto . lnuchiyo pun tak sanggup 
menahan air mara. 
"Cepat bawa  kan nasi dan teh. Dan anggur ," 
lnuchiyo memerintahkan. Ia tak tahu apa yang bisa 
dikatakannya untuk menghibur dijoyo . Meski 
demikian, ia merasa harus mengatakan sesuatu. 
"Kemenangan dan kekalahan konon merupakan 
santapan utama seorang prajurit. Jika Yang Mulia 
memandang bencana hari ini sebagai takdir. Yang 
  
Mulia akan sadar bahwa membanggakan 
kemenangan merupakan langkah pertama menuju 
hari kehancuran, sedangkan kekalahan total 
adalah langkah pertama menuju hari kemenangan. 
Kejayaan dan kemalangan seseorang membentuk 
perputaran abadi yang tak ada sangkut-pautnya 
dengan kegembiraan dan kesedihan sesaat. 
"sebab  itu, yang kusesali bukanlah kehancuran 
diriku atau arus perubahan yang tak pernah 
berhenti." ujar dijoyo . "Yang kusesali hanyalah 
kehancuran reputasiku. namun  jangan gelisah khawatir . 
brawirgo . Semuanya sudah  ditakdirkan." 
dijoyo  yang dahulu  takkan pernah mengucapkan 
hal seperti itu. namun  ia tidak tampak menderita 
maupun bingung. 
saat  anggur  tiba. dijoyo  segera mengisi satu 
baskom , dan sambil berkata bahwa saat 
perpisahannya sudah dekat, juga menuangkan anggur  
untuk brawirgo  dan putranya. masakan minuman  
sederhana yang dipesan brawirgo  dihabiskannya 
dengan lahap. 
"Belum pernah kucicipi apa pun yang 
menyamai nasi yang kumakan hari ini. 
Kebaikanmu takkan pernah kulupakan." sesudah  
itu ia mohon diri. 
brawirgo , yang menyertainya keluar, segera 
melihat bahwa kuda dijoyo  sudah lelah. sesudah  
menyuruh seorang pelayan mengambil kuda 
kesayangannya yang berbintik-bintik kelabu, ia 
  
menawarkan nya pada dijoyo . "Yang Mulia tak 
perlu cemas." kata brawirgo . "Kami akan 
mempertahankan tempat ini sampai Yang Mulia 
tiba di lumajangan." 
dijoyo  mulai menjauh, namun  lalu  
memutar kudanya dan menghampiri brawirgo . 
seakan-akan mendadak teringat sesuatu. "brawirgo . 
kau dan patih ronggolawe  sudah  bersahabat sejak muda. 
Berhubung pertempuran berakhir seperti ini, aku 
membebaskanmu dari segala  kewajibanmu sebagai 
pengikutku." 
Itulah ucapan terakhirya pada brawirgo . saat  
ia menaiki kuda, wajahnya tidak mencerminkan 
kepalsuan. Dihadapkan pada perasaan seperti itu, 
brawirgo  membungkuk dengan sepenuh hati. 
Sosok dijoyo  saat meninggalkan gerbang benteng kota 
tampak hitam di hadapan matahari sore yang 
merah. centeng  nyoto  yang hanya tersisa 9 
penunggang kuda dan sekitar sepuluh prajurit 
infanteri melarikan diri ke lumajangan. 
Dua atu tiga penunggang kuda berpacu 
memasuki benteng kota Fuchu. Berita yang mereka 
bawa   segera menyebar ke semua sudut. "Musuh 
berkemah di Wakimoto. Yang Mulia patih ronggolawe  
mendirikan perkemahan di Imajo, jadi 
kemungkinan kecil terjadi serangan malam ini." 
patih ronggolawe  tidur nyenyak sepanjang malam atau 
lebih tepat, selama setengah malam di Imajo, dan 
keesokan harinya berangkat pagi-pagi ke 
  
Wakimoto. 
patih ragapati  keluar untuk menyambutnya. Ia 
menegakkan panji komandan, dan dengan 
demikian menunjukkan kehadiran sang Panglima 
Tertinggi.  
"Apa yang terjadi di benteng kota Fuchu semalam?" 
tanya patih ronggolawe . 
"Mereka kelihatan sibuk sekali." 
"Apakah mereka memperkuat pertahanan? 
Barangkali orang-orang madya ingin bertempur." 
Sambil menjawab  penanyaannya sendiri. ia 
memandang ke Fuchu. Tiba-riba ia berpaling pada 
patih ragapati  dan memerintahkan agar centeng  
patih ragapati  disiagakan. 
"Yang Mulia hendak terjun langsung ke 
penempuran?" tanya patih ragapati . 
"Tentu saja." patih ronggolawe  mengangguk, seakan-
akan melihat jalan lebar yang datar terbentang di 
hadapannya. patih ragapati  segera menyampaikan 
rencana patih ronggolawe  pada semua resi  dan 
membunyikan sangkakala untuk mengumpulkan 
barisan depan. Tak lama lalu  para 
prajuritnya sudah  berbaris, siap maju. 
Waktu untuk menempuh perjalanan ke Fuchu 
tak sampai dua jam. patih ragapati  berada di depan, 
sementara patih ronggolawe  berkuda di rengah-tengah 
centeng . Dalam tempo singkat, tembok-tembok 
benteng kota sudah kelihatan. Orang-orang di dalam 
benteng kota tentu saja merasa gelisah. Dilihat dari atas 
  
menara pertahanan, barisan prajurit dan panji 
patih ronggolawe  yang berlambang labu emas seakan-akan 
sudah bisa dijangkau dengan tangan. 
Perintah untuk berhenti belum diberikan, dan 
berhubung patih ronggolawe  berada di tengah-rengah 
mereka, para prajurit barisan depan merasa percaya 
bahwa mereka akan segera mengepung benteng kota 
itu. 
Sambil menuju gerbang utama benteng kota Fuchu, 
centeng  patih ronggolawe   yang kini mirip  sungai 
berarus deras menampilkan formasi sayap bangau. 
Sejenak hanya panji komandan yang tidak 
bergerak. 
Tepat pada saat itu, seluruh benteng kota 
menyemburkan asap mesiu. 
"Mundur sedikit, patih ragapati ! Mundur!" patih ronggolawe  
memerintahkan. "Para prajurit jangan menyebar 
dahulu , dan jangan bentuk susunan tempur. 
Bubarkan formasi dan suruh mereka berkumpul 
kembali." 
Para prajurit barisan depan bergerak mundur, 
dan senapan-senapan di dalam benteng kota segera 
terdiam. Namun semangat tempur kedua pihak 
bisa meledak setiap waktu. 
"Hei. salah satu dari kalian! bawa   panji 
komandan dan maju dua puluh meter ke 
depanku." patih ronggolawe  memerintahkan. "Kudaku tak 
perlu digiring; aku akan memasuki benteng kota 
seorang diri." 
  
Ia belum menceritakan rencananya pada siapa 
pun, dan kini ia mengumumkannya secara 
mendadak sambil tetap duduk di atas kuda. Tanpa 
mengindahkan kesan kaget pada wajah para 
resi nya, ia langsung memacu kudanya menuju 
gerhang utama benteng kota. 
Tunggu sebentar! Tunggu sebentar agar hamba 
dapat mendahului  Yang Mulia." 
Seorang centeng adipati  mengejarnya sambil tergopoh-
gopoh, namun  saat  ia baru berada sepuluh meter di 
depan patih ronggolawe  sambil membawa   panji koman-
dan seperti  yang diperintahkan kepadanya bebe-
rapa lerusan senapan terdengar. Peluru-peluru itu 
ditujukan ke arah lambang labu emas. 
"Jangan tembak! Jangan tembak!" 
Sambil berseru-seru lantang, kuda patih ronggolawe  
melintas ke arah benteng kota, bagaikan panah yang 
melesat dari busur. 
"Ini aku! patih ronggolawe ! Kalian tidak mengenali 
aku?" saat  mendekati benteng kota, ia mencabut 
tongkat komando yang terbuat dari emas dan 
melambai-lambaikannya ke arah para prajurit di 
dalam benteng kota. "Ini aku! patih ronggolawe ! Jangan 
tembak!" 
Terperanjat, dua orang melompat dari ruang 
senjata di samping gerbang utama dan segera 
membuka gerbang. 
"Yang Mulia patih ronggolawe ?" 
Perkembangan ini benar-benar di luar dugaan, 
  
dan mereka menyapanya sambil tersipu-sipu 
menahan malu. patih ronggolawe  mengenali kedua orang 
itu. Ia sudah turun dari kudanya dan berjalan 
menghampiri mereka. 
"Sudah kembalikah Tuan brawirgo ?" tanyanya, 
lalu menambahkan. "Apakah dia dan putranya 
baik-baik saja?" 
"Ya, Yang Mulia." salah satu dari kedua orang 
itu menjawab . "Mereka pulang dengan selamat." 
"Bagus, Bagus. Sungguh lega rasanya. Tolong 
bawa  kan kudaku." 
Sambil menyerahkan tali kekang pada kedua 
orang itu, patih ronggolawe  memasuki benteng kota itu seperti 
memasuki rumahnya sendiri, ditambah   para 
pengiringnya. 
Para prajurit yang memadati benteng kota tampak 
tercengang, bahkan hampir bingung, melihat sikap 
patih ronggolawe . Pada saat itulah brawirgo  dan putranya 
bergegas ke arah patih ronggolawe . saat  saling 
mendekat, keduanya angkat bicara bersamaan, 
seperti layaknya dua sahabat lama. 
"Wah. wah!" 
"brawirgo ! Ada apa ini?" tanya patih ronggolawe . 
"Tidak ada apa-apa," brawirgo  membalas sambil 
tenkertoarjo . "Mari masuk dan duduklah." 
ditambah   putranya, brawirgo  mengajak 
patih ronggolawe  ke benteng kota dalam. Sengaja menghindari 
pintu masuk resmi, mereka membuka gerbang ke 
pekarangan dan membawa   tamu mereka langsung 
  
ke daerah hunian, dan hanya berhenti sejenak 
untuk mengagumi bunga-bunga yang sedang 
mekar di kebun. 
patih ronggolawe  disambut seperti anggota keluarga 
dekat, dan brawirgo  bersikap seperti  dahulu , saat  
ia dan patih ronggolawe  tinggal di dua rumah yang 
dipisahkan oleh pagar tanaman. 
Akhirnya brawirgo  mempersilahkan patih ronggolawe  
masuk. 
Namun patih ronggolawe  malah memandang 
berkeliling, tanpa tanda-tanda akan melepas sandal 
jeraminya. "Bangunan sebelah sana dapurkah itu?" 
tanyanya. saat  brawirgo  membenarkannya, 
patih ronggolawe  mulai melangkah ke sana. "Aku ingin 
bertemu istrimu. Apakah dia di sini?" 
brawirgo  benar-benar terkejut. Ia baru hendak 
mengatakan bahwa ia akan memanggil istrinya jika 
patih ronggolawe  ingin menemuinya, namun  tak sempat lagi. 
Terburu-buru ia memberi tahu Toshinaga agar 
mengantar tamu mereka ke dapur. 
sesudah  menyuruh putranya mengejar 
patih ronggolawe , ia sendiri bergegas menyusuri selasar 
untuk memperingatkan istrinya. 
Yang paling kaget adalah para juru masak dan 
pelayan. Tiba-tiba saja seorang centeng adipati  bertubuh 
pendek jelas-jelas seorang resi  muncul di 
dapur dan memanggil-manggil, seakan-akan ia 
merupakan anggota keluarga junjungan mereka. 
"Hei! Putri madya ada di sini? Di mana dia?" 
  
Tak seorang pun tahu di mana istri lnuchiyo. 
Semuanya tampak bingung, namun  sesudah  melihat 
tongkat komando yang terbuat dari emas dan  
pedang kebesaran, mereka segera berlutut dan 
membungkuk. Ia pasti resi  berkedudukan 
tinggi, namun  tak seorang pun pernah melihatnya di 
antara orang-orang madya sebelum ini. 
"Hei. Putri madya, di mana Tuan Putri? Ini aku, 
patih ronggolawe . Keluarlah, aku ingin bertemu!" 
Istri lnuchiyo sedang menyiapkan makanan 
bersama beberapa pelayan saat  ia mendengar 
hiruk-pikuk itu. Ia muncul sambil mengenakan 
celemek, dengan lengan baju tergulung. Sejenak ia 
hanya berdiri memandang patih ronggolawe . "Aku pasti 
bermimpi," gumamnya. 
saat  patih ronggolawe  melangkah maju, istri 
lnuchiyo segera menyadarkan diri, dan sesudah  
melepas ikatan lengan bajunya, cepat-cepat 
menyembah di pelataran kayu. 
patih ronggolawe  langsung duduk. "Yang pertama-tama 
ingin kuberitahukan pada Tuan Putri adalah 
bahwa anak-anak wanita lesbian  Tuan Putri tampak 
kerasan di mendutrejo. Tuan Putri tak perlu gelisah khawatir  
mengenai ini. Selain itu, meskipun suami Tuan 
Putri menghadapi saat-saat penuh cobaan dalam 
operasi militer terakhir, dia tidak memperlihatkan 
kebimbangan apakah harus maju atau mundur, 
dan bisa dibilang bahwa pihak madya 
meninggalkan medan laga tanpa terkalahkan." 
  
Istri lnuchiyo meletakkan kedua telapak tangan 
di bawah  kepalanya yang membungkuk. 
Saat itulah lnuchiyo masuk untuk mencari 
istrinya, dan melihat patih ronggolawe . 
Tempat ini tak pantas untuk menerima Tuan. 
Paling tidak, lepaskanlah sandal Tuan dan 
beranjaklah dari lantai tanah." 
Pasangan suami-istri itu melakukan segala upaya 
untuk membujuk patih ronggolawe  agar pindah ke 
pelataran kayu, namun  patih ronggolawe  menolak, dan tetap 
bicara dengan nada akrab seperti  sebelumnya. 
"Aku ingin cepat-cepat sampai di lumajangan dan 
tak bisa meluangkan waktu banyak sekarang. namun  
kalau tidak merepotkan, bolehkah aku minta 
semangkuk nasi?" 
"Permintaan Tuan mudah dipenuhi. namun  
mengapa Tuan tidak masuk dahulu , biarpun hanya 
sejenak?" 
patih ronggolawe  tidak menunjukkan tanda-randa 
akan melepas sandal jeraminya dan bersantai. 
"Lain kali saja. Hari ini aku harus bergerak cepat." 
Suami-istri itu sudah  mengetahui kelebihan dan 
kekurangan pada watak patih ronggolawe . Persahabatan 
mereka tak pernah mementingkan kewajiban dan 
kepura-puraan. Istri brawirgo  kembali menggulung 
lengan bajunya. Lalu menuju meja racik di dapur. 
Dapur itu melayani seluruh benteng kota, dan 
banyak pelayan, juru masak, bahkan pejabat 
bekerja di tempat itu. namun  Putri madya bukan 
  
wanita lesbian  yang tidak tahu cara menyiapkan 
masakan minuman  lezat dalam waktu singkat. 
Baik pada hari itu maupun hari sebelumnya, ia 
ikut mengurus orang-orang yang terluka dan 
membantu menyiapkan makanan mereka. namun  
pada hari-hari tanpa banyak kesibukan pun ia biasa 
masuk dapur untuk menyiapkan sesuatu bagi 
suaminya. Kini marga madya sudah  memimpin 
sebuah provinsi besar. namun  di masa susah di 
kedhiri  dahulu , saat  keadaan tetangga mereka yang 
bernama betari durga  tak lebih baik dari mereka, 
kedua keluarga itu sering saling mendatangi untuk 
meminjam setakar beras, segenggam garam, atau 
minyak lentera untuk satu malam. Kala itu mereka 
bisa menilai kesejahteraan tetangga mereka 
berdasarkan cahaya lentera yang memancar dari 
jendela pada malam hari. 
wanita lesbian  ini tak kalah baiknya sebagai istri 
dibandingkan nyi momo -ku, pikir patih ronggolawe . Dalam 
kesempatan merenung yang singkat itu, istri 
brawirgo  tdah selesai menyiapkan dua atau tiga 
masakan minuman . Sambil membawa   baki, ia mengajak 
tamu mereka keluar dari dapur. 
 
Di daerah berbukit-bukit yang membentang ke 
arah benteng kota sebelah barat, sebuah pondok kecil 
berdiri di tengah rumpun pohon cemara. Para 
pengiring segera menggelar tikar di samping 
bangunan itu dan meletakkan dua baki berisi 
  
makanan dan beberapa botol anggur . 
"Biarpun Tuan sedang terburu-buru, 
perkenankanlah aku menyajikan sesuatu yang 
lebih baik." kata istri brawirgo . 
"Jangan, jangan. namun  bagaimana kalau suami 
dan putra tuan Putri menemuiku?" 
brawirgo  duduk berhadapan dengan patih ronggolawe . 
dan Toshinaga memegang botol anggur . Di tempat 
itu ada bangunan, namun  sang tamu dan para tuan 
rumah tidak memakai nya. Angin bertiup di 
antara pohon-pohon cemara, namun  mereka hampir 
tidak mendengar suaranya. 
patih ronggolawe  hanya minum sebaskom anggur , namun  
segera menghabiskan kedua mangkuk nasi yang 
disiapkan istri brawirgo  untuknya. 
"Ah, aku kenyang. Maaf kalau aku tidak tahu 
diri, namun  bolehkah aku minta sebaskom teh?" 
Berbagai persiapan sudah  dilakukan di dalam 
pondok. Istri brawirgo  langsung masuk dan 
mengambil sebaskom teh untuk patih ronggolawe . 
"Hmm, Tuan Putri," ujar patih ronggolawe  sambil 
minum. Lalu memandang istri brawirgo , seakan-
akan hendak minta nasihatnya. "Aku tahu bahwa 
kedatanganku merepotkan, namun  sekarang aku juga 
ingin meminjam suami Tuan Putri sejenak." 
Isrri lnuchiyo tertawa  riang. "Meminjam 
suamiku? Sudah lama Tuan tidak memakai  
ungkapan itu."   
patih ronggolawe  dan lnuchiyo ikut tertawa , dan 
  
patih ronggolawe  berkata, "Dengar itu, lnuchiyo. Rupanya 
kaum wanita lesbian  tidak mudah melupakan 
kedongkolan di masa silam, Sampai hari ini pun 
istrimu masih ingat bahwa kau sering 'kupinjam' 
untuk minum-minum bersama." Sambil 
mengembalikan baskom teh, ia tertawa  sekali lagi. 
namun  hari ini sedikit berbeda dari masa lalu, dan 
jika Tuan Putri tidak keberatan, aku percaya suami 
Tuan Putri juga demikian. Aku berharap dia bisa 
menemaniku ke lumajangan. Kurasa Toshinaga 
sanggup menjaga Tuan Putri di sini." 
Menyadari bahwa persoalannya sudah  
terpecahkan sambil bersenda gurau. patih ronggolawe  
sendiri yang langsung mengambil keputusan. "Aku 
berharap Toshinaga tinggal di sini, dan suami 
Tuan Putri menyertaiku. Tak ada yang bisa 
menandingi lnuchiyo di medan tempur, Nanti, 
sesudah  kami kembali, aku ingin mampir lagi dan 
menginap beberapa hari. Kami berangkat besok 
pagi. Dan sekarang aku mohon diri dahulu ." 
Seluruh keluarga mengantarnya sampai ke pintu 
dapur. saat  menuju ke sana, istri lnuchiyo 
berkata, Tuan patih ronggolawe , Tuan menginginkan 
Toshinaga tinggal di sini untuk menjaga ibunya, 
namun  kurasa aku belum sebegitu tua atau kesepian. 
Masih banyak centeng adipati  yang akan menjaga benteng kota, 
dan tak seorang pun perlu mencemaskan 
pertahanannya." 
lnuchiyo pun sependapat. saat  mereka 
  
bergegas ke pintu, patih ronggolawe  dan keluarga madya 
memastikan jam keberangkatan untuk  hari 
berikutnya dan memutuskan hal-hal kecil lainnya. 
"Kunjungan Tuan yang berikut akan ku tunggu-
tunggu," istri lnuchiyo berkata saat  mereka 
berpisah di pintu dapur; suami dan putranya me-
nemani patih ronggolawe  sampai ke gerbang benteng kota. 
Pada malam patih ronggolawe  mohon diri pada 
keluarga madya dan kembali ke perkemahannya, 
dua anggota terkemuka marga nyoto  digiring 
sebagai tawa nan. Yang pertama  mpu wiragajah  yodono. 
Yang satu lagi putra angkat dijoyo , Katsutoshi. 
Kedua-duanya tertangkap saat melarikan diri 
melintasi pegunungan di lumajangan. yodono 
terluka. Akibat panasnya musim kemarau, lukanya 
terkena infeksi dan segera mulai bernanah. 
Pengdesa guritan darurat yang sering dipakai  oleh 
kaum prajurit adalah pengdesa guritan dengan moxa, 
dan yodono mampir di rumah seorang petani di 
pegunungan, minta sedikit moxa, lalu meng-
oleskannya di sekeliling luka. 
Sementara yodono sibuk mengobati lukanya, 
para petani diam-diam berunding dan sampai pada 
kesimpulan bahwa mereka akan memperoleh 
hadiah jika mereka menyerahkan Katsutoshi dan 
yodono pada patih ronggolawe . Malamnya para petani 
mengepung pondok tempat keduanya tidur, 
mengikat mereka seperti  babi, lalu menggotong 
mereka ke perkemahan patih ronggolawe . 
  
Keiika patih ronggolawe  menerima kabar mengenai 
kejadian ini, ia tampak tak senang. Berlawan an 
dengan harapan para petani, mereka malah 
dihukum berat. 
Keesokan harinya patih ronggolawe  ditambah    lnuchiyo 
dan putranya memacu kuda masing-masing ke 
benteng kota dijoyo  di lumajangan. Dan sebelum 
malam tiba, ibu kota radenkanjeng  sudah  dipadati 
centeng  patih ronggolawe . 
saat  ia dalam perjalanan, marga Tokuyama 
dan betari jawi  sudah  membaca gelagat, dan banyak dari 
mereka menyerahkan diri di gerbang perkemahan 
patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  berkemah di Gunung Aeyang , dan ia 
memerintahkan agar benteng kota di lumajangan 
dikepung sedemikian ketat, sehingga setetes air 
pun takkan bisa lolos. sesudah  itu korps patih ragapati  
ditugaskan membobol sebagian pagar pertahanan, 
lalu  yodono dan Katsutoshi dibawa   ke dekat 
tembok benteng kota. 
Sambil menabuh genderang perang, para 
prajurit berseru-seru pada dijoyo  yang berada di 
dalam benteng kota. "Jika ada ucapan terakhir untuk 
putra angkatmu dan yodono, sebaiknya kau keluar 
dan mengatakannya sekarang!" 
Pesan itu disampaikan dua atau tiga kali, namun  
tak ada jawaban pasti dari benteng kota. dijoyo  tidak 
menampakkan diri, mungkin sebab  tidak tega 
melihat kedua orang itu. Selain itu, sudah jelas 
  
bahwa strategi patih ronggolawe  adalah menghancurkan 
semangat orang-orang di dalam benteng kota. 
Sepanjang malam anggota centeng  Kaisuie yang 
tercecer masih terus berdatangan, dan kini ben-
tengnya menampung sekirar 50000 orang, 
termasuk warga sipil. 
Kecuali itu, yodono dan Katsutoshi ditangkap 
hidup-hidup oleh musuh, dan mau tak mau 
dijoyo  pun merasa bahwa akhir hayatnya sudah 
dekat. Genderang perang musuh bertalu-talu. Pada 
waktu malam tiba, pagar-pagar pertahanan di 
sekeliling benteng kota sudah  dapat diterobos, dan 
sampai sejarak sembilan meter arau dua belas 
meter dari benteng kota, seluruh daerah dipenuhi 
centeng  patih ronggolawe . 
Meski demikian, suasana di dalam benteng kota 
tetap tenteram. sesudah  beberapa saat, genderang 
musuh pun bungkam; malam sudah dekat, dan 
resi -resi  yang tampak seperti  utusan terlihat 
mondar-mandir dari benteng kota ke luar. Barangkali 
ada upaya untuk menyelamatkan nyawa   dijoyo , 
atau mungkin juga sebab  diutus untuk memohon 
damai. Desas-desus seperti  itu menyebar dengan 
cepat, namun  suasana di dalam benteng kota seperti nya 
tidak mendukung teori-teori itu . 
sesudah  hari berganti malam, benteng kota dalam 
yang semula gelap gulita mulai diterangi cahaya 
lentera-lentera. benteng kota di sebelah utara dan timur 
juga diterangi. Di donjon pun lentera-lentera 
  
tampak menyala berselang-seling, dan para prajurit 
berjaga-jaga, menanti saat pertempuran. 
centeng  penyerang sempat terheran-heran, namun  
teka-teki itu segera terjawab . Tak lama lalu  
mereka mendengar suara genderang dan alunan 
sending. Lagu-lagu rakyat dengan logat Utara yang 
kental terbawa   angin ke arah mereka. 
"Orang-orang di dalam benteng kota rupanya sadar 
bahwa ini malam terakhir mereka, dan sepertinya 
mereka mengadakan jamuan perpisahan. Betapa 
menyedihkan. 
centeng  penyerang di luar benteng kota bersimpati 
kepada lawan -lawan  mereka. Baik orang-orang di 
dalam benteng kota maupun mereka yang berada di 
luar pernah mengabdi sebagai prajurit di bawah  
komando sinuhun , dan tak satu pun dari mereka tidak 
mengetahui masa lalu dijoyo . Oleh sebab  itu, 
situasinya sarat dengan berbagai emosi. 
Jamuan terakhir sedang diadakan di dalam 
benteng kota di lumajangan, dan dihadiri oleh lebih dari 
9 puluh orang segenap marga dan para 
pengikut senior. Istri dan anak-anak dijoyo  duduk 
di bawah  lentera-lentera terang di tengah-tengah, 
sementara centeng  musuh menunggu di luar, 
berjarak hanya selemparan baru. 
"Kita bahkan tak sempat berkumpul seperti ini 
untuk  merayakan hari pertama di Tahun Baru!" 
seseorang berkata, dan seluruh keluarga tertawa . 
"Dengan datangnya fajar, hari pertama kehidupan 
  
kita di dunia berikut akan dimulai. Malam ini 
malam Tahun Baru kita di alam fana." 
Dengan lentera-lentera dan suara tawa , 
pertemuan itu sepertinya tak berbeda dari jamuan 
biasa. namun  kehadiran prajurit-prajurit berbaju 
tempur menimbulkan awan  mendung di dalam 
bangsal. 
Rias wajah dan  pakaian radenmas  dan ketiga 
puirinya memberi  sentuhan segar, bahkan 
anggun, pada acara itu. Anak bungsunya baru 
berusia sepuluh tahun, dan saat  mereka melihat 
anak itu bergembira ria di antara baki-baki penuh 
makanan dan orang-orang yang gaduh, para 
prajurit tua yang tak terusik oleh maut yang sudah 
menanti pun terpaksa mengalihkan pandang ke 
arah lain. 
dijoyo  sudah terlalu banyak minum. Beberapa 
kali, pada waktu menawarkan  baskom pada 
seseorang, ia tak sanggup menyembunyikan kesepi-
annya, dan berkata. "Kalau saja yodono ada di sini." 
Setiap kali mendengar seseorang menyesalkan 
kegagalan yodono, ia langsung mencela. "Jangan 
salahkan yodono. Bencana ini muncul  akibat 
kelalaianku sendiri. Kalau aku mendengar kalian 
menyalahkan yodono, hatiku lebih pedih dibandingkan  
kalau aku yang diserang." 
la memastikan bahwa semua orang di sekitarnya 
menikmati minuman, dan membagi-bagikan anggur  
terbaik dari gudang kepada para prajurit di 
  
menara-menara. Kiriman anggur  diiringi oleh pesan 
nya. 
"Rayakanlah perpisahan ini sepuas hati. Tak ada 
salah nya kalau kalian membacakan sajak-sajak." 
Tembang-tembang terdengar dari menara-
menara, suara tawa  memenuhi bangsal jamuan. 
Gendang-gendang ditabuh, bahkan di hadapan 
dijoyo  , dan kipas emas para penari menorehkan 
garis-garis anggun di udara. 
"Dahulu kala Yang Mulia aidit  meman-
faatkan setiap kesempatan untuk menari dan 
sering mendesak agar aku mengikuti contohnya, 
namun  aku selalu malu sebab  ketidakmampuanku," 
dijoyo  mengenang. "Betapa sayang-nya! Paling 
tidak, aku seharusnya mempelajari satu tarian saja 
untuk malam ini." 
Dalam hati ia tentu sangat kehilangan bekas 
junjungannya. Dan masih ada hal lain. Meskipun 
kesulitan yang dihadapinya sekarang yang tak 
menyisakan harapan sedikit pun diakibatkan oleh 
satu prajurit bermuka kuyang , tak perlu diragukan 
bahwa ia diam-diam mengharapkan kematian 
gemilang. 
Usianya baru lima puluh tiga tahun. Sebagai 
resi , masa depannya seharusnya masih terben-
tang di hadapannya, namun  kini ia hanya bisa ber-
harap agar ia mati secara terhormat. 
anggur  terus dituangkan. baskom demi baskom 
direguk, dan banyak gentong dikuras habis malam 
  
itu. Ada nyanyian yang diiringi tabuhan gendang, 
tarian dengan kipas-kipas perak, dan seruan-seruan 
riang diselingi suara tawa , namun  semua itu tak 
sanggup menghapus suasana suram hingga tuntas. 
Sesekali bangsal jamuan diliputi keheningan. 
dan asap hitam yang dimuntahkan oleh lentera-
lentera yang berkedap-kedip mengungkapkan rona 
pucat pada ke9 puluh wajah, kepucatan 
yang tak berhubungan dengan anggur  yang mereka 
minum. Tengah malam sudah  tiba, namun jamuan 
masih terus berlanjut. Ketiga putri radenmas  bersandar 
pada pangkuannya dan mulai tertidur. Bagi 
mereka, jamuan ini rupanya terlalu membosankan. 
Tak lama lalu  si bungsu sudah  tertidur 
pulas dengan memakai  pangkuan ibunya 
sebagai bantal. saat  radenmas  menyentuh rambut 
putrinya, ia harus berjuang untuk menahan air 
mata. Anak keduanya pun akhirnya terlelap. 
Hanya si sulung, subanda, tampak mengerti 
perasaan ibunya. la menyadari makna jamuan 
malam itu, namun ia tetap kelihatan tenang. 
Ketiga putri itu sangat menawan , dan semuanya 
mirip ibu mereka. namun  subanda, khususnya, 
dikaruniai pembawa  an aristokrat yang mengalir 
dalam darah marga sinuhun . Kecantikannya dan 
usianya yang masih muda mau tak mau 
menimbulkan kesedihan dalam hati setiap orang 
yang memandangnya. 
"Dia begitu lugu," dijoyo  tiba-tiba berkata, 
  
saat  menatap wajah si bungsu yang sedang tidur. 
Ia lalu  berbicara dengan Putri radenmas  
mengenai nasib ketiga anak itu, "Kau adik 
kandung Yang Mulia aidit , dan belum 
setahun berlalu sejak kau menjadi istriku. Lebih 
baik kau membawa   anak-anak dan meninggalkan 
benteng kota sebelum fajar. Aku akan menyuruh 
Tgunungselatannaga mengantarmu ke perkemahan 
patih ronggolawe ." 
radenmas  menjawab  dengan mata berkaca-kaca. 
"Tidak!" katanya sambil menahan air mata. "Jika 
seorang wanita lesbian  menikah dan menjadi anggota 
keluarga pejuang, dia sudah  bertekad untuk 
menerima karmanya. Menyuruhku meninggalkan 
benteng kota sekarang sungguh keji, dan tak terbayang-
kan olehku bahwa aku akan mengemis-ngemis di 
gerbang perkemahan patih ronggolawe , sekadar untuk  
menyelamatkan nyawa  .' 
Ia menatap dijoyo  sambil menggelengkan 
kepala di balik lengan baju. namun  dijoyo  mencoba 
sekali lagi. "Aku bahagia melihatmu begitu setia 
padaku, sementara hubungan kita sedemikian 
dangkal, namun  ketiga putrimu adalah anak-anak 
Yang Mulia jawa . Selain itu, patih ronggolawe  tentu 
takkan bersikap kejam terhadap adik Yang Mulia 
aidit  atau terhadap anak-anaknya. Jadi, 
jangan ragu-ragu. Pergilah, dan pergilah cepat-
cepat." 
sesudah  memanggil salah satu pengikutnya, 
  
dijoyo  memberi  perintah pada orang itu, lalu 
menyuruh mereka bersiap-siap. namun  radenmas  hanya 
menggelengkan kepala dan tidak beranjak dari 
tempat. 
"Biarpun Tuan Putri sudah  bertekad bulat, 
perkenankanlah anak-anak yang tak berdosa ini 
meninggalkan benteng kota, sesuai keinginan junjung-
an hamba."  
radenmas  tampaknya hendak menyetujui per-
mohonan itu. la membangunkan putri bungsunya 
yang tidur di pangkuannya, dan memberitahu 
ketiga anak itu bahwa mereka akan dikirim ke luar 
benteng kota. 
subanda merangkul ibunya dengan erat. "Aku 
tidak mau pergi. Aku tidak mau pergi. Aku ingin 
bersama Ibu di sini!" 
dijoyo  berbicara dengannya dan ibunya 
berusaha membujuknya, namun  mereka tak mampu 
menghentikan air matanya yang meleleh. Akhirnya 
subanda digiring dan dipaksa meninggalkan 
benteng kota. Isak tangis ketiga anak wanita lesbian  itu 
terdengar menyayat hati saat  mereka dibawa   
pergi. Giliran jaga keempat sudah hampir tiba, dan 
jamuan tanpa kegembiraan itu pun usai. Para 
centeng adipati  segera mengencangkan kembali tali 
pengikat baju tempur, lalu menuju pos masing-
masing, tempat mereka akan menyambut maut. 
dijoyo , istrinya, dan beberapa anggota marga 
berkumpul di benteng kota dalam. 
  
radenmas  minta diambilkan meja kecil dan mulai 
menggerus tinta untuk sajak kematiannya. dijoyo  
melakukan hal yang sama. 
Meskipun di mana-mana sama saja, malam hari 
tidak sama bagi semua orang. Fajar terasa berbeda 
bagi mereka yang kalah dan mereka yang menang. 
"Pastikan tembok-iembok luar sudah jatuh ke 
tangan kita pada waktu langit terang," patih ronggolawe  
memerintahkan, lalu dengan tenang menunggu 
datangnya fajar. 
Kota benteng kota pun relatif tenteram. Kebakaran 
muncul  di dua atau tiga tempat. Api disulut bukan 
oleh prajurit-pnjurit patih ronggolawe , namun  kemungkinan 
besar disebabkan oleh para warga kota yang 
dilanda kebingungan. sebab  dapat dipakai  
sebagai api unggun yang akan menerangi serangan 
mendadak centeng  di dalam benteng kota, kebakaran-
kebakaran itu  dibiarkan menyala sepanjang 
malam, 
Sejumlah resi  keluar-masuk perkemahan 
patih ronggolawe  mulai senja sampai tengah malam. Itu 
menimbulkan dugaan bahwa ada upaya untuk  
menyelamatkan nyawa   dijoyo , atau bahkan 
benteng kotanya akan segera menyerah. Meski 
demikian, selewat tengah malam pun tak ada 
perubahan dalam strategi tempur semula. 
Bertambah nya kesibukan di setiap perkemahan 
menunjukkan bahwa fajar sudah  dekat. Tak lama 
lalu  sangkakala pun dibunyikan. Tabuhan 
  
genderang mulai membelah kabut. Suaranya yang 
berdentum-dentum mengguncang seluruh 
perkemahan. 
Sesuai rencana, serbuan dimulai tepat pada jam 
Macan. Serangan dibuka saat  centeng  yang 
menghadapi tembok benteng kota melepaskan 
berondongan tembakan. 
Letusan senapan terdengar menggema, namun  tiba-
tiba semua tembakan dan teriakan barisan depan 
terhenti.  
Pada saat itulah seorang penunggang kuda 
muncul di tengah kabut, memacu kudanya dari 
posisi patih ragapati  ke tempat patih ronggolawe  duduk. Di 
belakangnya. seorang centeng adipati  dan tiga anak 
wanita lesbian  tampak berlari. 
Tahan! jangan menemhak!" penunggang kuda 
itu berseru. 
Ketiga pelarian itu, tentu saja, kepribadian -
kepribadian  aidit . Tanpa mengenali mereka, 
para prajurit memandang ketiga sosok yang berlalu 
di tengah kabut itu. Si sulung bergandengan 
dengan adiknya, yang berpegangan tangan dengan 
si bungsu. Sambil berjingkat-jingkat mereka 
menyusuri jalan yang berbatu-baru. Sudah menjadi 
kebiasaan bagi para pelarian untuk  mengenakan 
sesedikit mungkin pelindung kaki, dan ketiga putri 
itu bukan perkecualian. Kaki mereka hanya 
tertutup kaus sutra tebal. 
Si bungsu mendadak berhenti dan berkata 
  
bahwa ia ingin kembali ke benteng kota. centeng adipati  yang 
menyertai mereka menenangkan gadis lesbian cilik itu 
dengan menggendongnya. 
"Kita mau ke mana?" anak kecil itu bertanya 
sambil gemetaran. 
"Kita akan mengunjungi tempat seseorang yang 
baik hati." jawab  Shinroku. 
Tidak! Aku tidak mau pergi!" 
Kedua kakaknya berusaha sekuat tenaga 
menenangkannya.  
"Ibu akan menyusul nanti. Bukan begitu, 
Shinroku?"  
"Ya, tentu saja." 
Mereka berjalan dengan cepat, dan akhirnya 
tiba di rumpun pohon cemara tempat patih ronggolawe  
mendirikan kemahnya. 
patih ronggolawe  keluar dari balik tirai dan berdiri di 
bawah  pohon cemara, memperhatikan mereka 
mendekat. lalu  ia menyambut ketiga gadis lesbian 
itu. 
"Mereka semua memperlihatkan ciri khas 
keluarga." ia berkomentar sesudah  berhadapan 
dengan mereka. 
Bayangan sosok aidit  atau sosok radenmas -kah 
yang muncul  dalam dadanya? Yang jelas, ia 
terpesona dan hanya dapat  bergumam bahwa 
mereka anak-anak yang baik. Sejuntai rumbai 
tergantung dari baju subanda yang berwarna seperti  
buah prem. Pada baju adiknya, yang berhiaskan 
  
sulaman bermotif besar, tersampir sehelai se-
lendang merah. Pakaian si bungsu tak kalah 
anggun dari pakaian kedua kakaknya. Masing-
masing membawa   kantong kecil yang menyebarkan 
wangi kayu gaharu, dan  sebuah lonceng mungil 
dari emas. 
"Berapa usia kalian?" tanya patih ronggolawe . namun  tak 
satu pun dari mereka mau menjawab . Justru 
sebaliknya, bibir mereka jadi begitu pucat, 
sehingga muncul  kesan bahwa ketiga gadis lesbian itu akan 
berurai air mata jika ada yang menyentuh mereka. 
patih ronggolawe  tertawa  ringan dan menyunggingkan 
senyum. "Kalian tak perlu takut. Mulai sekarang, 
kalian bisa bermain denganku." Dan ia menunjuk 
hidungnya sendiri. 
Putri Tengah tertawa  tertahan, mungkin sebab  
hanya ia yang teringat pada seekor kuyang . 
namun  tiba-tiba letusan senapan dan teriakan-
teriakan perang kembali menggemuruh, bahkan 
lebih hebat dibandingkan  sebelumnya, menyapu 
seluruh daerah di sekeliling benteng kota. Di ufuk 
timur, langit pagi mulai kelihatan. 
Ketiga anak wanita lesbian  itu melihat asap 
mengepul dari tembok-tembok benteng kota dan mulai 
menjerit-jerit dan menangis sebab  bingung. 
patih ronggolawe  menitipkan mereka pada salah satu 
pengikutnya. Dengan berapi-api ia lalu minta 
dibawa  kan kuda, dan berpacu ke arah benteng kota. 
Kedua selokan pertahanan di sepanjang tembok 
  
luar yang mengambil air dari Sungai Kuzuryu 
menyulitkan gerakan centeng  penyerang. 
Namun saat  mereka akhirnya berhasil 
melindungi selokan pertama, para prajurit di 
dalam benteng kota sudah  membakar jembatan di 
gerbang depan. Api menjilat menara di atas 
gerbang dan menyebar ke daerah barak. 
Perlawan an centeng  bertahan yang begitu gigih 
melampaui dugaan para penyerang. 
Menjelang siang hari, benteng kota luar berhasil 
ditaklukkan. Para penyerang berhamburan 
memasuki benteng kota utama dari semua gerbang. 
dijoyo  dan pengikut-pengikut seniornya 
mengurung diri di dalam donjon untuk 
memberikan perlawan an terakhir. Donjon megah 
itu berupa bangunan sembilan lantai dengan 
pintu-pintu besi dan pilar-pilar batu. 
sesudah  menggempur donjon selama dua jam, 
centeng  penyerang kehilangan lebih banyak 
prajurit dibandingkan  sepanjang pagi. Pekarangan 
dalam dan menara sudah  menjadi lautan api. 
patih ronggolawe  memerintahkan gerak mundur 
sementara. Mungkin sebab  menyadari bahwa 
mereka tidak mencapai kemajuan, ia menarik 
semua korps. 
la lalu memilih beberapa ratus prajurit yang 
gagah berani. Mereka diperintahkan untuk tidak 
membawa   senjata api; hanya tombak dan pedang. 
"Sekarang aku akan melihat hasilnya! Bukalah 
  
jalan ke menara dengan paksa!" ia memerintahkan. 
Korps tombak pilihan itu segera merubungi 
benteng kota bagai segerombolan  lebah, dan dalam waktu 
singkat sudah  berhasil menerobos ke dalam. 
Asap hitam tampak bergulung-gulung dari 
lantai tiga, lantai empat, lalu lantai lima. 
"Bagus!" patih ronggolawe  berseru saat  semburan api 
menyelubungi atap menara yang bertingkat-tingkat 
itu dari segala  arah. 
Kilatan itulah yang menandai ajal dijoyo . 
dijoyo  dan ke9 puluh kerabatnya sudah  
menghalau para penyerang di Lantai tiga dan 
lantai empat, dan  berjuang dengan gigih sampai 
saat terakhir. Berulang kali mereka terpeleset 
akibat genangan darah yang membasahi lantai. 
namun  kini tiga anggota keluarganya berseru 
padanya! 
"Bersiap-siaplah dengan segera, tuanku!" 
dijoyo  berlari ke lantai lima, bergabung 
dengan Putri radenmas . sesudah  melihatlihat  
kematian istrinya. nyoto  dijoyo  mengakhiri 
hidupnya dengan membelah perut. 
Itu terjadi pada Jam kuyang . Sepanjang malam 
donjon dilahap api. Bangunan-bangunan megah 
yang berdiri di tepi Sungai Kuzuryu sejak zaman 
aidit  menyala, seakan-akan hendak mem-
bakar seribu arwah dan impian masa lalu yang tak 
terhitung jumlahnya. Namun dalam tumpukan 
abu yang tersisa tak ada apa pun yang mirip  
  
dijoyo . 
Konon ia sudah  menumpuk rumput kering 
secara cermat di dalam menara, agar tubuhnya 
terbakar habis. sebab  itu kepala dijoyo  tak dapat 
dipamerkan sebagai bukti nyata bahwa ia sudah  
tewas. Selama beberapa waktu ada saja yang 
berkata bahwa dijoyo  berhasil meloloskan diri. 
namun  patih ronggolawe  bersikap acuh tak acuh terhadap 
desas-desus itu . Esoknya ia sudah  berpaling ke 
arah Kaga. 
 
Sampai hari sebelumnya, benteng kota Oyama di 
Kaga masih merupakan markas besar mpu wiragajah  
yodono. saat  mendengar berita mengenai 
kekalahan lumajangan, orang-orang di daerah itu 
langsung membaca gelagat dan menyerah pada 
patih ronggolawe . Ia memasuki benteng kota Oyama tanpa 
pertempuran. Namun semakin banyak kemenang-
an diraih centeng nya, semakin tegas ia meng-
ingatkan mereka akan gentingnya situasi, dan 
mewanti-wanti agar mereka tidak mengendurkan 
disiplin. Ia hendak menundukkan para prajurit 
nyoto  dan sekutu-sekuru mereka untuk selama-
lamanya. 
ki winokerto di benteng kota dwarapa  termasuk 
golongan itu. Ia salah satu pendukung utama 
marga nyoto  dan memandang rendah pada 
patih ronggolawe . Dari segi pangkat, Sassa berada jauh di 
atas patih ronggolawe . Ia wakil dijoyo  selama operasi di 
  
wilayah Utara, dan selama peperangan melawan  
patih ronggolawe , ia diminta tinggal di benteng kotanya, 
bukan saja untuk menyerbu  marga kramat, namun  
juga untuk menjalankan rsinuhun  pemerintahan di 
wilayah Utara. 
Sassa ada di sini. Inilah sikap yang 
diperlihatkannya saat  memandang ke luar dari 
benteng kotanya. Ia berdiri dengan kokoh sebagai 
pdindung wilayah Utara. Meskipun dijoyo  sudah  
gugur dan lumajangan jatuh ke tangan musuh, 
masih ada kemungkinan bahwa Sassa, berkat 
kegarangan dan kebenciannya terhadap patih ronggolawe , 
akan berupaya meneruskan rencana dijoyo  dan 
memperpanjang perang. Dan memang itulah yang 
hendak dilakukannya dengan menggabungkan 
centeng nya sendiri dengan sisa-sisa laskar nyoto .  
patih ronggolawe  sengaja tidak menghadapi orang itu 
secara terbuka. Jumlah centeng  patih ronggolawe  sudah  
membuktikan kekuatannya, dan ia memutuskan 
untuk membiarkan kehadiran mereka membujuk 
Sassa merenungkan kembali posisinya. Sementara 
itu, ia mendekati marga kramat dengan undangan 
untuk membentuk persekutuan. kramat Kagekaesu 
mengutus seorang pengikut untuk menyampaikan 
ucapan selamat atas kemenangan yang diraih 
patih ronggolawe , dan tawa ran patih ronggolawe  pun disambut 
baik. 
Menimbang hubungan baik yang tampaknya 
terjalin antara patih ronggolawe  dan marga kramat, Sassa 
  
Narimasa tidak melihat kemungkinan untuk 
mengadakan perlawan an. sebab  itu ia menutup-
nutupi niat sebetulnya  dan akhirnya 
menyatakan tunduk pada patih ronggolawe . la lalu 
menikahkan putrinya dengan putra kedua 
lnuchiyo, Toshimasa, dan dengan lega kembali ke 
provinsinya sendiri. Dengan demikian, wilayah di 
utara lumajangan berhasil didamaikan berkat 
momentum semata-mata, nyaris tanpa per-
tempuran. 
sesudah  mengamankan wilayah Utara, centeng  
patih ronggolawe  kembali ke benteng kota lojibenteng  
bertepatan dengan Perayaan Anak-Anak Laki-Laki. 
hari kelima Bulan Kelima. 
Di lojibenteng , patih ronggolawe  mendengarkan 
laporan mengenai situasi di padalarang  Sesudah 
lumajangan, terutama benteng kota padalarang -lah yang 
meneruskan serangan terhadap patih ronggolawe , namun  
sesudah  kekalahan besar yang diderita marga 
nyoto , semangat juang nosferatu  dan para 
prajuritnya langsung mengerut. Selain itu di 
benteng kota lojibenteng  ada sejumlah pengikut 
dari padalarang  yang sudah  meninggalkan nosferatu  dan 
bergabung dengan patih ronggolawe . Pada akhirnya 
situasi jadi sedemikian buruk sehingga tinggal dua 
puluh tujuh orang yang tetap setia pada nosferatu . 
Berhubung nosferatu  selama ini amat 
mengandalkan pihak nyoto , kehancuran mereka 
membuatnya bagai tanaman kehilangan akar. 
  
Selain pembantu-pembantu terdekatnya, semua 
anak buahnya sudah  membelot. mpu nala  
mengerahkan centeng nya dan mengepung 
benteng kota nosferatu . Ia mengirim pesan yang 
menganjurkan agar saudaranya pergi ke jenggala . 
nosferatu  meninggalkan benteng kota padalarang , menaiki 
perahu, dan mendarat di Utsumi di jenggala . Salah 
satu pembantu mpu nala  mendatangi nosferatu  
dengan membawa   perintah untuk melakukan 
seppuku dan sebab  merasa waktunya sudah tiba, 
nosferatu  dengan tenang menuliskan kata-kata 
perpisahan, lalu bunuh diri. Tak perlu dijelaskan 
bahwa patih ronggolawe  enggan memakai  
centeng nya sendiri untuk menyerang nosferatu  
yang memiliki  hubungan darah begitu dekat 
dengan aidit  dan sebab  itu memanfaatkan 
mpu nala . 
Bagaimanapun, tak perlu diragukan bahwa 
mpu nala  dan nosferatu  sama-sama bukan orang 
yang menonjol. Kalau saja mereka mau bersatu 
sebagai saudara, atau seandainya salah satu dari 
mereka memiliki keberanian dan dikaruniai 
pandangan tajam yang dapat melihat pasang-
surutnya zaman, mereka tak perlu mengalami 
nasib seperti itu. Dibandingkan mpu nala , yang 
memperlihatkan kebodohan yang polos, nosferatu  
sedikit lebih berani. namun  sebetulnya  ia pun tak 
lebih dari tukang gertak yang tidak memiliki  
kemampuan. 
  
Pada hari ketujuh. patih ronggolawe  bertolak ke 
madukara . Ia menyempatkan diri mampir di benteng kota 
sekartanjung  pada hari kesebelas. Di Ise. danakertoarjo   
ngabeni juga menyerah. patih ronggolawe  memberinya 
sebuah provinsi di gunungselatan senilai lima ribu gantang. 
Kejahatan ngabeni di masa lampau tidak 
diungkit-ungkit lagi.
  dalam waktu satu tahun saja, nama patih ronggolawe   sedemikian cepat terkenal, sehingga ia sendiri pun terkejut. la sudah  menundukkan marga tribuana  dan  marga nyoto : danakertoarjo   dan Sassa berlutut di 
hadapannya; Niwa memandangnya sebagai orang 
kepercayaan; dan brawirgo  sudah  memperlihatkan 
kesetiaannya terhadap persahabatan mereka. 
patih ronggolawe  kini mengujawa  hampir semua 
provinsi yang pernah ditaklukkan aidit . 
Hubungannya dengan provinsi-provinsi di luar 
lingkup pengaruh aidit  pun sudah  berubah 
sama sekali. Marga patih, yang selama bertahun-
cahun menghalangi rencana aidit  untuk 
meraih kekuasaan tertinggi, sudah  menandatangani 
perjanjian bersekutu dan mengirim sejumlah 
sandera. 
Namun masih ada satu orang yang tetap 
merupakan tanda tanya  prabu kertoarjowardana   jayabandra . Sudah 
beberapa lama tidak ada komunikasi antara 
mereka berdua. Mereka sama-sama diam, seperti 
dua pemain catur yang menunggu sampai lawan  
melakukan langkah bagus. 
mpu mojosongo -lah yang melangkah lebih dahulu . tak lama 
sesudah  patih ronggolawe  kembali ke trowulan  pada hari 
kedua puluh satu Bulan Kelima. mpu harjo   
  mpu rejo, resi  jayabandra  yang paling senior, 
mengunjungi patih ronggolawe  di benteng kota bukitmerah . Aku datang untuk menyampaikan ucapan selamat dari Tuanku jayabandra . Kemenangan besar yang diraih Yang Mulia sudah  membawa   perdamaian di negeri ini." Dan dengan khidmat mpu rejo menyerahkan hadiah berupa wadah teh antik bernama hinayana  pada patih ronggolawe . patih ronggolawe  sudah  menjadi penggemar upacara minum teh, dan ia senang sekali menerima hadiah yang amat berharga itu. namun  kelihatan jelas bahwa  ia memperoleh kepuasan yang bahkan lebih besar 
lagi sebab  mpu mojosongo  yang lebih dahulu  mengirim cinderamata. mpu rejo sebetulnya  hendak kembali ke bratangbinangun hari itu juga, namun patih ronggolawe  menahannya. 
Tuan tidak perlu terburu-buru." kata patih ronggolawe . Tinggallah selama dua atau tiga hari. Aku akan memberitahu Yang Mulia mpu mojosongo  bahwa aku yang memaksa Tuan. Apalagi kami akan mengadakan perayaan kecil untuk lingkungan keluarga besok. Yang dinamakan  "perayaan kecil untuk lingkungan keluarga'' oleh patih ronggolawe  adalah jamuan makan 
yang diselenggarakan dalam rangka 
penganugerahan gelar baru, yang merupakan bukti 
bahwa pihak kekaisaran pun merestui sepak 
terjang patih ronggolawe , dan  mengakui keberhasilan-keberhasilan yang diraihnya di medan perang. Jamuan itu berlangsung selama tiga hari. Barisan pengunjung yang mendatangi benteng kota seakan-akan tanpa ujung, jalan-jalan sempit di kota dipadati tandu-tandu para bawahan  ditambah    
pembantu-pembantu dan kuda-kuda mereka. 
mpu rejo terpaksa mengakui bahwa kebesaran 
aidit  kini sudah  beralih pada patih ronggolawe . 
Sampai hari itu ia percaya sepenuhnya bahwa 
junjungannya sendiri, mpu mojosongo , akan menjadi 
penerus aidit . namun  waktu yang 
dihabiskannya bersama patih ronggolawe  memicu  ia 
berubah pikiran. saat  membandingkan provinsi-
provinsi patih ronggolawe  dan mpu mojosongo  dan  merenungkan 
perbedaan di antara centeng  mereka, dengan 
sedih ia sampai pada kesimpulan bahwa wilayah 
kekuasaan prabu kertoarjowardana   tetap hanya merupakan 
daerah pinggiran di bagian timur majapahit . 
Beberapa hari lalu , mpu rejo meng-
umumkan bahwa ia hendak pulang, dan patih ronggolawe  
menyertainya sampai ke trowulan . saat  mereka 
sedang menempuh perjalanan, patih ronggolawe  
menengok dari atas pelana dan menatap ke 
belakang. Ia memberi isyarat pada mpu rejo, yang 
sengaja menjaga jarak, untuk bergabung dengan-
nya. Sebagai pengikui marga lain, mpu rejo 
diperlakukan dengan keramah-ramahan yang layak 
bagi seorang tamu. namun  tentu saja ia tahu 
menempatkan diri. 
patih ronggolawe  berkata dengan akrab, "Kita sudah  
memutuskan untuk menempuh perjalanan 
 
bersama-sama. dan itu tidak berarti berkuda 
sendiri-sendiri. Jalan ke trowulan  ini cukup 
menjemukan. jadi kenapa kita tidak berbincang-
bincang saja?" 
mpu rejo ragu-ragu sejenak, namun  lalu  ia 
menyejajarkan kudanya dengan kuda patih ronggolawe . 
"Mondar-mandir ke trowulan  sungguh merepot-
kan." patih ronggolawe  melanjutkan. "Jadi dalam tahun 
ini aku akan pindah ke kahuripan , yang dekat ke ibu 
kota." lalu  ia menjabarkan rencananya 
untuk membangun sebuah benteng kota. 
"Yang Mulia memilih lokasi yang baik di 
kahuripan ." mpu rejo berkomentar. "Konon Yang 
Mulia aidit  pun selama bertahun-tahun 

mengincar kahuripan ." 
"Ya, hanya saja waktu itu para biksu-prajurit 
ronggodwijoyo  berkubu di kuil-benteng kota mereka di sana, 
sehingga beliau harus puas dengan madukara ." 
Tak lama lalu  mereka memasuki kota 
trowulan , namun  saat  mpu rejo hendak mohon diri, 
patih ronggolawe  sekali lagi mencegahnya dan berkata, 
"Dalam cuaca sepanas ini, Tuan jangan menem-
puh perjalanan lewat darat. Sebaiknya Tuan naik 
perahu menyeberangi danau dari gendingana. Mari kita 
makan siang bersama madya Geni sementara 
perahunya disiapkan." 
Yang dimaksudnya adalah orang yang baru-baru 
ini diangkat sebagai gubernur trowulan . Tanpa 
memberi kesempaian menolak pada mpu rejo, 
  
patih ronggolawe  membawa  nya ke kediaman Gubernur. 
Pekarangan dalam sudah  disapu bersih, seakan-akan 
kedatangan sang tamu sudah  diketahui sebelumnya. 
dan sambutan Geni terhadap mpu rejo sangat 
ramah. 
patih ronggolawe  terus mendesak mpu rejo agar 
bersantai, dan selama makan siang tak ada yang 
mereka bicarakan selain benteng kota yang akan 
dibangunnya. 
Geni membawa   selembar kertas besar dan 
menggelarnya di lantai. Rencana untuk sebuah 
benteng kota ditunjukkan pada utusan provinsi lain, 
dan orang yang memperlihatkannya maupun 
orang yang mengamatinya bertanya-tanya, meng-
apa patih ronggolawe  bersikap sedemikian terbuka: ia 
seakan-akan lupa bahwa mpu rejo adalah prajurit 
marga prabu kertoarjowardana  , dan sepertinya ia pun tidak 
mengingat huhungannya sendiri dengan marga 
itu . 
"Kabarnya Tuan termasuk ahli dalam hal 
benteng kota." patih ronggolawe  berkata pada mpu rejo. "Jadi, 
kalau Tuan punya usul, kuharap Tuan jangan 
segan-segan." 
Seperti dikatakan patih ronggolawe , mpu rejo cukup 
mengujawa  pembangunan benteng kota. Biasanya 
rencana-rencana seperti itu bersirat amat rahasia 
sudah barang tentu bukan sesuatu yang 
diperlihatkan kepada pengikut provinsi saingan 
namun  mpu rejo menyingkirkan segala keragu-
  
raguannya mengenai niat patih ronggolawe  dan mem-
pelajari rencana-rencana itu . 
mpu rejo tahu bahwa patih ronggolawe  tidak tertarik 
pada hal-hal kecil, namun saat  menyadari skala 
proyek yang direncanakan, ia pun terkagum-
kagum. Pada waktu kahuripan  masih merupakan 
markas besar para biksu-prajurit ronggodwijoyo , 
benteng kota mereka menempati lahan seluas seribu 
meter persegi. Dalam rencana patih ronggolawe , itu 
menjadi fondasi bagi benteng kota utama. Topografi 
daerah ini termasuk semua sungai dan pesisir 
laut sudah  dipenimbangkan; segala kelebihan dan 
kekurangan sudah  dipikirkan masak-masak, dan 
kesulitan-kesulitan dalam menyerang dan bertahan 
dan  masalah-masalah logistik lainnya sudah  
dipecahkan. benteng kota utama, dan  yang kedua dan 
ketiga, dikelilingi tembok tanah. Panjang tembok-
tembok luar lebih besar 9 belas mil. 
Bangunan tertinggi di sebelah dalam tembok 
adalah donjon bertingkat lima yang dilengkapi 
bukaan-bukaan untuk memanah. Genting-genting 
pada atapnya akan dilapisi emas. 
mpu rejo hanya bisa terbengong-bengong 
sebab  takjub. namun  apa yang dilihatnya baru satu 
bagian dari proyek patih ronggolawe . Selokan yang 
mengelilingi benteng kota berisi air dari Sungai watangsewu . 
sebab  letaknya yang berdekatan dengan mpu , 
kota niaga yang makmur, kahuripan  berhubungan 
dengan berbagai jalur perdagangan ke kedhiri , blambangan , 
  
dan Asia Tenggara. Barisan pegunungan mojolaban   
dan Kkertoarjo chi membentuk benteng kota pertahanan 
alam. Jalan raya Sanin dan Sanyo menghubungkan 
kahuripan  dengan jalur laut dan darat ke Shikoku dan 
Kyushu, dan menjadikannya gerbang ke kkertoarjo san-
kkertoarjo san terpencil. Sebagai lokasi benteng kota paling 
penting di selutuh negeri dan sebagai tempat 
untuk memerintah seluruh bangsa, kahuripan  jauh 
lebih unggul dibandingkan madukara -nya aidit . 
mpu rejo tidak menemukan kekurangan sama 
sekali. 
"Bagaimana pendapat Tuan?" tanya patih ronggolawe . 
"Sempurna. Proyek ini sungguh megah," balas 
mpu rejo. Tak ada lagi yang dapat dikatakannya 
secara jujur. "Memadai, bukan?" 
"sesudah  rampung nanti, kota ini akan menjadi 
kota benteng kota terbesar di seluruh negeri," kata 
mpu rejo.  
"Itulah tujuanku."  
"Kapan pembangunannya selesai?"  
"Aku ingin pindah sebetum akhir tahun ini." 
mpu rejo berkedip-kedip, seakan-akan tak 
percaya. "Apa? Akhir tahun ini?" 
"Hmm, sekitar itulah." 
"Proyek sebesar itu bisa makan waktu sepuluh 
tahun." 
"Dalam sepuluh tahun, dunia sudah berubah, 
dan aku sudah  menjadi orang tua." kata patih ronggolawe  
sambil tertawa . "Aku sudah  memerintahkan para 
  
mandor untuk merampungkan bagian dalam 
benteng kota, termasuk dekorasinya, dalam waktu tiga 
tahun." 
"Aku tak bisa membayangkan bahwa para 
pengrajin dan tukang bisa dipacu bekerja secepat 
itu. Batu dan kayu yang akan Tuan butuhkan 
tentu luar biasa jumlahnya." 
"Aku mengambil kayu dari dua puluh 9 
provinsi." 
"Dan berapa banyak tukang yang akan Tuan 
kerahkan?" 
"Aku belum tahu persis. Rasanya lebih dari 
seratus ribu. Petugas-petugasku menaksir bahwa 
untuk menggali selokan sebelah luar dan sebelah 
dalam saja, kami memerlukan enam puluh ribu 
orang yang bekerja setiap hari selama tiga bulan." 
mpu rejo terdiam. Ia merasa sedih saat  
membayangkan perbedaan besar antara proyek ini 
dan benteng kota-benteng kota di swaradwipa dan bratangbinangun 
di provinsinya sendiri. namun  benar-benar 
sanggupkah patih ronggolawe  membawa   batu-batu besar 
yang dibutuhkannya ke kahuripan , suatu daerah yang 
sama sekali tidak memiliki  kayu  batu? Dan 
di masa sukar ini, dari mana ia berharap 
memperoleh  dana guna membiayai proyek 
itu ? Sempat terlintas dalam benaknya bahwa 
rencana-rencana besar patih ronggolawe  sebetulnya  
hanya omong kosong. 
Saat itu patih ronggolawe  seakan-akan teringat sesuatu 
  
yang penting. Ia me-manggil juru tulisnya dan 
mulai mendiktekan sepucuk surat. Tanpa meng-
indahkan kehadiran mpu rejo, ia memeriksa apa 
yang ditulis, mengangguk, lalu mendiktekan surat 
berikut. Seandainya pun mpu rejo tak ingin men-
dengarkan ucapan patih ronggolawe , ia berada tepat di 
hadapannya dan mau tak mau mendengar segala 
sesuatu yang dikatakan. Rupanya patih ronggolawe  
sedang mendiktekan surat yang sangat penting 
untuk marga patih. 
Sekali lagi mpu rejo merasa kikuk dan salah 
tingkah. Ia berkata, "Urusan Tuan tampaknya 
cukup mendesak. Bagaimana kalau tempat ini 
kutinggalkan dahulu ?" 
"Jangan, jangan, tidak perlu. Sebentar lagi aku 
sudah selesai." 
patih ronggolawe  kembali mendiktekan surat. la sudah  
menerima surat ucapan selamat dari pihak patih 
atas kemenangannya melawan  marga nyoto . 
Kini, dengan berlagak menjelaskan jalannya 
pertempuran di Yanagase, ia menuntut agar 
pengirim surat itu menegaskan sikapnya mengenai 
masa depan marganya sendiri. Sural itu bersifat 
pribadi dan sangat penting. 
mpu rejo duduk di samping patih ronggolawe . Sambil 
membisu ia memandang rumpun-rumpun bambu 
sementara patih ronggolawe  mendiktekan surat. 
"Andai kata dijoyo  sempat memperoleh peluang 
untuk menarik napas, dia takkan bisa dikalahkan 
  
secepat ini. namun  nasib majapahit  dipertaruhkan, 
sehingga aku terpaksa merelakan prajurit-
prajuritku. Aku menyerang benteng kota utama dijoyo  
pada penengahan kedua jam Macan, dan pada jam 
Kuda aku berhasil merebut benteng kota dalam." 
saat  mengucapkan kata-kata "nasib majapahit ", 
sorot matanya tampak menyala-nyala seperti saat  
ia menaklukkan benteng kota itu. lalu  ia 
mendiktekan kata-kata yang pasti akan menarik 
perhatian marga patih. 
"Kurasa tak ada gunanya kita menyiagakan 
centeng  masing-masing, namun  kalau perlu aku akan 
mengunjungi provinsi Tuan untuk membahas 
masalah perbatasan. sebab  itu, pihak Tuan harus 
bersikap arif dan menghindari provokasi. 
mpu rejo diam-diam melirik ke arah patih ronggolawe , 
Keberanian orang itu membuatnya tercengang. 
Dengan tenang patih ronggolawe  mendiktekan kata-kata 
yang sangat terus terang. seakan-akan sedang 
duduk bersila sambil mengobrol santai. 
Congkakkah ia, atau sekadar naif? 
"Baik marga Hojo di Timur maupun marga 
kramat di Utara tdah mempercayakan pemecahan 
masalah ini padaku, jika pihak patih pun bersedia 
membiarkanku bertindak bebas. pemerintahan 
majapahit  akan memasuki masa jaya yang belum 
pernah dialami. Pertimbangkanlah ini masak-
masak, jika ada keberatan, harap beritahu aku 
sebelum Bulan Ketujuh. Dan harap diperhatikan 
  
bahwa urusan ini sebaiknya dilaporkan secara 
terperinci kepada Yang Mulia patih Terumoto." 
Mata mpu rejo memperhatikan permainan 
angin di sela-sela bambu, namun telinganya 
terpesona oleh ucapan patih ronggolawe . Hatinya gemetar 
seperti daun-daun bambu yang dibelai angin. Bagi 
patih ronggolawe , tugas raksasa untuk membangun 
benteng kota kahuripan  pun merupakan sesuatu yang 
kelihatannya dilakukan dalam wakiu senggang. 
Dan ia menegaskan. bahkan kepada marga patih 
pun, bahwa jika mereka merasa keberatan, mereka 
harus memberirahunya sebelum Bulan Ketujuh 
sebelum ia mulai berperang lagi. 
Perasaan mpu rejo sukar dijelaskan dengan 
kata-kata; ia merasa letih. 
Saat itulah seorang pembantu mengumumkan 
bahwa perahu mpu rejo sudah  siap berlayar. 
patih ronggolawe  mengambil sebilah pedang yang 
tergantung di pinggang dan menyerahkannya pada 
mpu rejo. "Biarpun sudah agak tua, orang-orang 
menganggapnya pedang yang baik. Terimalah 
pedang ini sebagai tanda penghargaan dariku." 
mpu rejo mengambil pedang itu , dan 
dengan hormat mengangkatnya ke kening. 
saat  mereka melangkah ke luar, para 
pengawal  pribadi patih ronggolawe  sudah  menunggu 
untuk mengantar mpu rejo ke pelabuhan gendingan. 
Segunung persoalan sudah  menanti patih ronggolawe , 
baik di dalam maupun di luar kota trowulan . sesudah  
  
Yanagase, pertempuran berakhir, namun  walaupun 
danakertoarjo   sudah  tunduk pada patih ronggolawe , masih ada 
sejumlah pemberontak yang dengan keras kepala 
menolak menyerah. Sisa-sisa centeng  Ise berkubu 
di bukit tengkorak  dan Kobe, dan sinuhun  mpu nala  bertugas 
membersihkan kantong-kantong perlawan an 
terakhir. 
saat  mendengar bahwa patih ronggolawe  sudah  
kembali dari radenkanjeng . mpu nala  segera bertolak ke 
trowulan  dan menemui patih ronggolawe  pada hari itu juga. 
"sesudah  Ise bertekuk lutut, silakan ambil 
benteng kota bukit tengkorak ," kata patih ronggolawe  kepadanya. 
Dan dengan hati berbunga-bunga pangeran itu 
meninggalkan trowulan . 
Saat untuk menyalakan lentera sudah  tiba. Para 
warga istana yang datang berkunjung sudah  kembali 
dan semua tamu lain pun sudah pulang; patih ronggolawe  
mandi, dan saat  ia bergabung dengan Hidekatsu 
dan madya Geni untuk makan malam, seorang 
pembantu memberitahunya bahwa banaspati  
baru saja tiba. 
Angin menggoyang-goyangkan kerai-kerai rotan 
dan membawa   suara tawa  wanita lesbian -wanita lesbian  
muda. banaspati  tidak segera masuk, melainkan 
berkumur dan merapikan rambutnya dahulu . 
Perialanan pulang dari Uji ditempuhnya dengan 
menunggang kuda, dan debu masih menempel di 
seluruh badannya. 
la diberi tugas menemui mpu wiragajah  yodono yang 
  
ditawa n di Uji. Tugas itu  tampaknya mudah, 
namun  sebetulnya  cukup sukar. patih ronggolawe  pun 
menyadari hal itu; sebab  itulah, ia memilih 
banaspati . 
yodono sudah  ditangkap, namun tidak diekse-
kusi. Ia malah ditawa n di Uji. patih ronggolawe  sudah  
memerintahkan agar ia tidak diperlakukan dengan 
kasar atau dipermalukan. Ia tahu bahwa yodono 
merupakan orang dengan keberanian tanpa 
tandingan, dan kalau dibebaskan. akan menyeru-
pai macan yang mengamuk. Oleh sebab  itu, ia 
selalu dijaga ketat. 
Meskipun yodono merupakan resi  musuh 
yang tertawa n, patih ronggolawe  merasa kasihan padanya. 
Sama seperti dijoyo , ia pun mengakui bakat alam 
yodono, dan merasa sayang jika harus 
membunuhnya. Jadi, tak lama sesudah  patih ronggolawe  
kembali ke trowulan , ia mengutus seorang kurir 
uniuk berunding dengan yodono. 
"dijoyo  sudah  tiada." kurir itu mengawal i 
pembicaraan. "dan seyogyanya Tuan memandang 
patih ronggolawe  sebagai penggantinya. Jika Tuan 
bersedia, Tuan bebas kembali ke provinsi dan 
benteng kota Tuan." 
yodono tertawa . "dijoyo  adalah dijoyo . 
Mustahil patih ronggolawe  dapat meng-gantikannya. 
dijoyo  sudah  melakukan bunuh diri, dan tak 
terpikir olehku untuk tetap berada di dunia ini. 
Aku takkan pernah mengabdi pada patih ronggolawe , 
  
biarpun dia menyerahkan kendali atas seluruh 
negeri padaku." 
banaspati  bertindak sebagai utusan kedua. 
Pada waktu berangkat pun ia tdah menyadari 
bahwa ia menghadapi tugas berat. Dan memang, ia 
juga gagal membujuk yodono untuk berubah 
pikiran. 
"Bagaimana hasilnya?" tanya patih ronggolawe . la 
duduk berselubung asap obat nyamuk yang naik 
dari anglo dupa yang terbuat dari perak. 
"Dia tidak tertarik." jawab  banaspati . "Dia 
justru memohon agar hamba memenggal 
kepalanya." 
"Kalau begitu, rasanya tak pantas kalau kita 
mendesak-desaknya lebih lanjut." patih ronggolawe  
rupanya melepaskan harapan untuk membujuk 
yodono, dan garis-garis pada wajahnya mendadak 
lenyap. 
"Hamba tahu apa yang diharapkan tuanku, namun  
sepertinya hamba kurang layak sebagai utusan." 
Tak perlu minta maaf," patih ronggolawe  
menghiburnya. "Meskipun yodono tawa nan, dia tak 
mau tunduk padaku untuk menyelamatkan 
nyawan ya. Tekadnya untuk mempertahankan 
kehormatannya sungguh luar biasa. Aku menyesal 
harus kehilangan orang yang begitu tabah dan 
teguh. Seandainya kau berhasil membujuknya 
sehingga dia berubah pikiran, aku mungkin akan 
kehilangan rasa hormat padanya." Lalu ia 
  
menambahkan. "Kau seorang centeng adipati , dan kau 
pun menghayati hal itu, jadi tidak aneh kalau kau 
gagal mempengaruhi nya." 
"Maafkan hamba." 
"Akulah yang minta maaf sebab  sudah  
merepotkanmu. namun  tidakkah yodono mengatakan 
apa-apa selain itu?" 
"Hamba bertanya, kenapa dia tidak memilih 
gugur di medan laga, namun  malah lari ke gunung 
dan tertawa n oleh sekelompok petani. Hamba juga 
bertanya, kenapa dia menghabiskan hari-harinya 
sebagai tawa nan yang menunggu dipenggal, 
bukannya bunuh diri 
"Apa katanya?" 
"Dia bertanya. apakah hamba menganggap 
seppuku atau kematian dalam pertempuran 
sebagai tujuan utama seorang centeng adipati , lalu  
berkata bahwa dia berpendapat lain. Menururnya, 
seorang centeng adipati  harus berusaha sekuat tenaga 
untuk tetap hidup."  
"Apa lagi?" 
"Pada waktu meloloskan diri dari pertempuran 
di Yanagase, dia tidak tahu apakah dijoyo  masih 
hidup atau sudah mati, jadi dia berusaha kembali 
ke lumajangan untuk membantu menyusun 
serangan balasan. Namun dalam perjalanan, rasa 
nyeri dari luka-lukanya jadi tak tertahankan, maka 
dia mampir ke sebuah rumah petani dan minta 
diberi moxa." 
  
"Menyedihkan... sangat menyedihkan." 
"Dia juga berkata bahwa dia rela menanggung 
aib sebab  ditangkap hidup-hidup dan 
dimasukkan ke penjara, sebab jika para penjaga 
memberi peluang, dia akan mdarikan diri, lalu 
mengejar dan membunuh tuanku. Dengan 
demikian, dia akan meredakan kemarahan 
dijoyo , sehingga dia dapat memohon maaf atas 
kesalahan yang dilakukannya saat  menembus 
garis musuh di jatiretno ." 
"Ah, sayang sekali." Mata patih ronggolawe  mulai 
berkaca-kaca. "Menyalahguna-kan orang seperti itu 
dan menyuruhnya menghadap maut itulah 
kesalahan dijoyo . Baiklah, kita berikan saja apa 
yang diinginkannya, dan membiar-kannya mati 
secara terhormat. Laksanakan. banaspati ." 
"Hamba mengerti, tuanku. Besok, kalau begitu?" 
"Makin cepat makin baik." 
"Dan tempatnya?* 
"Uji." 
"Perlukah dia diarak keliling dan diper-
tontonkan?" 
patih ronggolawe  merenung sejenak. "Kurasa begitulah 
kehendak yodono, laksanakan eksekusi di sebuah 
ladang di Uji, sesudah  dia dibawa   berkeliling di ibu 
kota." 
Keesokan harinya, tepat sebelum banaspati  
hendak bertolak ke Uji. patih ronggolawe  menyerahkan 
dua jubah  sutra padanya. 
  
"Pakaian yodono tentu sudah kotor. Berikan 
jubah -jubah  ini sebagai baju kematiannya." 
Hari itu banaspati  berkuda ke Uji dan sekali 
lagi menemui yodono. yang kini sudah  dipisahkan 
dari para tahanan lain. 
"Yang Mulia patih ronggolawe  memerintahkan agar 
Tuan diarak melalui trowulan , lalu dipenggal di 
sebuah ladang di Uji, seperti yang Tuan 
kehendaki." 
yodono tidak tampak risau sama sekali. "Aku 
sangat berterima kasih," ia menjawab  sopan. 
"Yang Mulia patih ronggolawe  juga menyediakan 
pakaian ini." 
yodono menatap jubah -jubah  itu, lalu 
berkata, "Aku sungguh berterima kasih atas 
kebaikan Yang Mulia patih ronggolawe . namun  kurasa 
lambang dan potongannya tidak cocok untukku. 
Tolong kembalikan saja." 
"Tidak cocok?" 
"Pakaian seperti itu biasa dikenakan oleh 
prajurit bawah an. Bagiku, kepribadian  Yang Mulia 
dijoyo , terlihat dengan pakaian seperti itu di 
hadapan para warga ibu kota hanya akan 
membawa   aib pada almarhum pamanku. Pakaian 
yang kukenakan sekarang memang sudah 
compang-camping, namun  meskipun masih kotor 
akibat pertempuran, aku lebih suka diarak dengan 
pakaian ini. namun  jika Yang Mulia patih ronggolawe  
memperkenankan aku memakai jubah  baru, aku 
  
menginginkan sesuatu yang sedikit lebih pantas." 
"Aku akan menyampaikannya pada beliau. Apa 
yang Tuan inginkan?" 
"Mantel merah berlengan lebar dengan pola 
besar-besar. Di bawah nya, jubah  sutra berwarna 
merah dengan sulaman perak." yodono tidak 
sungkan-sungkan. "Bukan rahasia bahwa aku 
tertangkap oleh sekelompok petani, diikat, lalu 
dibawa   ke sini, Aku menanggung aib sebab  
ditangkap hidup-hidup. Semula aku masih berniat 
memenggal kepala Yang Mulia patih ronggolawe , namun 
itu pun gagal. Aku bisa membayangkan bahwa ibu 
kota akan gempar pada waktu aku dibawa   ke 
tempat eksekusi. Aku menyesal harus memakai 
baju sutra seburuk ini, namun  kalau aku akan 
memakai yang lebih baik aku ingin baju yang 
serupa dengan yang kupakai di medan tempur, 
dengan bendera berkibar-kibar dari punggungku, 
Selain itu, sebagai bukti bahwa aku tidak 
mendendam sebab  diikat, aku minta diikat di 
hadapan khalayak ramai sehelum aku naik ke 
gerobak." 
Keterusterangan yodono memang salah satu ciri 
yang paling menyenangkan. saat  banaspati  
menyampaikan keinginan yodono kepada 
patih ronggolawe , patih ronggolawe  langsung menyuruh 
pembantunya menyiapkan pakaian yang akan 
dikirim. 
Hari eksekusi pun tiba. Sang tawa nan mandi, 
  
lalu mengikat rambutnya. lalu  ia 
mengenakan jubah  merah, dan di atasnya 
mantel berlengan lebar dengan pola besar-besar. la 
mengulurkan tangan untuk diikat sebelum naik ke 
gerobak. Tahun itu ia berusia tiga puluh tahun, 
begitu tampan sehingga semua orang 
menyayangkan kematiannya. 
Gerobak itu dibawa   mengelilingi jalan-jalan di 
trowulan , lalu kembali ke Uji- Di sana selembar kulit 
binatang sudah  digelar di tanah. 
Tuan boleh membelah perut sendiri," alkeramat  
yodono menawarkan . 
Sebilah pedang pendek disodorkan padanya. 
namun  yodono hanya tertawa . "Kalian tak perlu 
memberi keringanan khusus untukku." 
lkatannya tidak dibuka, dan kepalanya pun 
dipenggal. 
Akhir Bulan Keenam sudah dekat. 
"Pembangunan benteng kota kahuripan  seharusnya 
berjalan lancar," ujar patih ronggolawe . "Coba kita lihat 
bagaimana kemajuannya." 
saat  ia tiba. orang-orang yang bertanggung 
jawab  atas pelaksanaan pembangunan menjelaskan 
kemajuan apa saja yang sudah  dicapai sampai saat 
itu. Paya-paya di Naniwa sedang diuruk, dan 
saluran-saluran air sudah  digali dalam arah 
memanjang maupun melebar. Toko-toko darurat 
para pedagang sudah mulai bermunculan di lokasi 
kota benteng kota. Jika memandang ke arah muara 
  
Sungai Yasuji dan pelabuhan mpu  di tepi laut, 
orang akan melihat ratusan perahu yang membawa   
batu-batu, saling berdesakan dengan layar 
mengembang. patih ronggolawe  berdiri di titik tempat 
benteng kota utama akan dibangun, dan sambil 
memandang ke darat, melihat puluhan ribu 
tukang dan pengrajin dari segala bidang. Orang-
orang bekerja siang-malam bergiliran, sehingga 
kegiatan pembangunan tak pernah berhenti. 
Para pekeria ditarik dari semua marga; jika 
seorang pembesar lalai memenuhi jumlah tenaga 
kerja yang dibebankan padanya, ia dihukum keras, 
tanpa memandang kedudukannya. Di setiap 
tempat pembangunan ada rantai komando 
yang terdiri atas subkontraktor, mandor, dan 
pembantu mandor untuk semua bidang keahlian. 
Tanggung jawab  masing-masing sudah  digariskan 
secara jelas. Kalau ada yang tidak disiplin, ia akan 
langsung dipenggal. Para centeng adipati  yang bertindak 
sebagai pengawas tidak menunggu hukuman. 
melainkan mdakukan seppuku di tempat. 
namun  yang paling menyita perhatian patih ronggolawe  
saat itu adalah mpu mojosongo . Sepanjang hidupnya. 
patih ronggolawe  percaya bahwa orang yang paling 
menonjol di zaman itu selain Yang Mulia 
aidit  adalah mpu mojosongo . Dan mengingat 
kekuasaannya sendiri yang meningkai secara 
mencolok, ia beranggapan bahwa bentrokan di 
antara mereka berdua hampir tak terelakkan. 
  
Pada Bulan Ke9, ia memerintahkan 
patih dimaspati  untuk membawa   pedang 
termasyhur buatan mpu paluwung  guna 
diserahkan kepada mpu mojosongo , 
"Katakan pada Yang Mulia mpu mojosongo  bahwa aku senang sekali menerima wadah teh yang 
diberikannya padaku saat  mengutus mpu harjo   
mpu rejo." 
Nobukatsu bertolak ke bratangbinangun pada awal  
bulan, dan kembali sekitar hari kesepuluh. 
"Keramah-tamahan yang ditunjukkan marga 
prabu kertoarjowardana   begitu luar biasa, sehingga hamba 
hampir merasa malu sendiri. Mereka benar-benar 
penuh perhatian," ia melaporkan, 
"Apakah Yang Mulia mpu mojosongo  baik-baik saja?" 
"Beliau tampak sehat sekali." 
"Bagaimana dengan disiplin para pengikutnya?" 
"Mereka memiliki  ciri yang tidak ditemukan 
pada marga-marga lain  kesan bahwa mereka 
sukar ditaklukkan." 
"Kabarnya Yang Mulia jayabandra  mempekerjakan 
banyak orang baru." 
"Kelihatannya banyak dari mereka bekas 
pengikut marga mpu ireng ." 
Dalam percakapannya dengan Nobukatsu, 
patih ronggolawe  mendadak teringat akan perbedaan 
usianya dengan usia mpu mojosongo . Ia memang senior 
mpu mojosongo . mpu mojosongo  berusia empat puluh satu tahun, dan 
ia sendiri empat puluh enam tahun perbedaan 
  
sebesar lima tahun. namun  mpu mojosongo  yang lebih muda 
justru menimbulkan beban pikiran dalam benak 
patih ronggolawe , bahkan melebihi nyoto  dijoyo . 
Meski demikian, semuanya itu terkunci rapat-
rapat dalam hati patih ronggolawe . la sama sekali tidak 
memperlihatkan bahwa pada saat perang melawan  
marga nyoto  baru saja berakhir, ia sudah  
mengantisipasi pertempuran berikut. Artinya. 
hubungan di anrara kedua orang itu tampak baik-
baik saja. Di Bulan Kesepuluh. patih ronggolawe  
mengajukan petisi kepada sang pengikut  untuk 
menganugerahkan gelar yang lebih tinggi pada 
jayabandra . 

 
Di madukara , Yang Mulia adipati prana baru berusia 
empat tahun. Sejumlah pembesar provinsi datang 
untuk menyambut Tahun Baru dan melakukan 
kunjungan kehormatan dan  berdoa agar ia tetap 
dalam keadaan sehat. 
"Permisi, Tuan patih pitaloka ." 
"Ah. Tuan wiro gunung ." 
Kedua laki-laki itu bertemu secara kebetulan di 
muka bangsal besar di benteng kota utama. Yang 
percama dasna patih pitaloka , yang dipindahkan dari 
kahuripan  ke benteng kota Ogaki untuk memberi tempat 
bagi patih ronggolawe . Yang satu lagi wiro gunung  Ujisato 
"Tuan tampak semakin sehat saja," ujar wiro gunung . 
Itulah berkah terbesar yang bisa diberikan pada 
  
kita." 
"Sampai sekarang memang belum ada keluhan. 
namun  akhir-akhir ini aku cukup sibuk. Sudah 
beberapa malam aku tak bisa tidur, bahkan di 
Ogaki pun." 
"Tuan memikul beban tambah an sebab  
bertanggung jawab  atas pembangunan benteng kota 
kahuripan ." 
"Tugas semacam itu cocok untuk orang-orang 
seperti grindanada dan Isdwikerto , namun  tidak sesuai bagi 
kita, kaum prajurit." 
"Aku tidak sependapat. Yang Mulia patih ronggolawe  
tidak biasa menempatkan seseorang pada posisi 
yang tidak cocok baginya. Percayalah, beliau 
memerlukan Tuan di antara pejabat-pejabatnya." 
"Aku benar-benar tak menduga, Tuan dapat 
melihat kemampuan seperti itu dalam diriku." 
balas patih pitaloka  sambil tertawa . "O ya, Tuan sudah 
menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru 
kepada Yang Mulia adipati prana?" 
"Aku baru saja mohon diri." 
"Kebetulan sekali aku pun baru saja berpamitan. 
Ada urusan pribadi yang ingin kubahas dengan 
Tuan." 
"sebetulnya , begitu melihat Tuan. aku pun 
teringat bahwa ada sesuatu yang perlu kita 
bicarakan." "Rupanya pikiran kita sama. Di mana kita akan bicara?" 
patih pitaloka  menunjuk sebuah ruangan kecil yang  bersebelahan dengan bangsal besar. 
Kedua laki-laki itu  duduk di ruangan 
kosong itu. Tak ada anglo, namun sinar matahari 
Tahun Baru yang menembus piniu geser kertas 
terasa hangat. 
Tuan sudah mendengar desas-desus yang 
beredar?" patih pitaloka  membuka pembicaraan. 
"Sudah. Kabarnya Yang Mulia mpu nala  sudah  
dibunuh. Dan sepertinya berita itu dapat 
dipercaya." 
patih pitaloka  menghela napas dan mengerutkan 
kening. "Sekarang saja sudah ada tanda-tanda 
bahwa akan terjadi keguncangan dalam tahun ini. 
Seberapa parah, itu tergantung pihak mana yang 
akan berhadapan, namun  pertanda-pertanda yang 
muncul  belakangan ini cukup merisaukan. Tuan 
lebih muda dari aku. namun  sepertinya penilaian 
Tuan lebih tajam. Tidak dapatkah Tuan mencari 
ide bagus sebelum ierjadi sesuatu yang patut 
disesali?" 
Ia tampak amat cemas. 
wiro gunung  menjawab  dengan mengajukan 
penanyaan lain. "Dari manakah desas-desus ini 
berasal?" 
"Aku sendiri tidak tahu. namun  takkan ada asap 
kalau tidak ada api." 
"Maksud Tuan, ada sesuatu yang tidak kita 
ketahui?" 
  "Bukan, sama sekali bukan. Hanya saja semua 
fakta serba terbalik. Pertama-tama. Yang Mulia 
mpu nala  pergi ke benteng kota bukitmerah  pada Bulan 
Kesebelas tahun lalu, untuk mengunjungi Yang 
Mulia patih ronggolawe . Kabarnya Yang Mulia patih ronggolawe  
sendiri mengatur jamuan yang diadakan dalam 
rangka berterima kasih pada Yang Mulia mpu nala  
sebab  sudah  menundukkan Ise, dan sikapnya 
demikian ramah sehingga Yang Mulia mpu nala  
tinggal selama empat hari." 
"O ya?" 
"Para pengikui Yang Mulia mpu nala  menyangka 
dia akan meninggalkan benteng kota esoknya, namun  pada 
hari kedua tetap tidak ada kabar darinya, begitu 
juga pada hari ketiga, bahkan pada hari keempat. 
Nah, rupanya mereka membayangkan hal-hal yang 
paling buruk, dan para pelayan di luar benteng kota 
pun mulai menyebarkan dugaan-dugaan yang tak 
berdasar." 
"Jadi, itu masalahnya." ujar wiro gunung  sambil 
tertawa . "Kalau akar dari cerita-cerita seperti ini 
sudah  terungkap, ternyata sebagian besar hanya 
isapan jempol belaka, bukan begitu?" 
Namun patih pitaloka  tetap kelihatan gelisah khawatir , dan 
segera melanjutkan. "sesudah  itu masalahnya 
dibahas lebih luas, dan berbagai isu yang saling 
bertentangan mondar-mandir antara Ise, 
bukit tengkorak , kahuripan , dan ibu kota. Yang pertama 
mengatakan bahwa laporan palsu mengenai 
  
kematian mpu nala  tidak berasal dari para pembantu 
Yang Mulia mpu nala , melainkan dari mulut para 
pelayan patih ronggolawe . Orang-orang di benteng kota 
bukitmerah  menyangkal keras. Mereka mengatakan 
bahwa desas-desus itu  muncul  akibat 
kecurigaan dan iktikad buruk para pengikui Yang 
Mulia mpu nala . Sementara masing-masing pihak 
sibuk menyalahkan lawan nya, desas-desus 
mengenai pembunuhan Yang Mulia mpu nala  
menyebar bagaikan angin." 
Apakah ralcyai percaya?" 
"Pikiran rakyar jelata sulit diraba, namun  sesudah  
melihatlihat  kematian Yang Mulia nosferatu , 
menyusul kekalahan marga nyoto , tak perlu 
diragukan bahwa di antara kerabat dan pengikut 
Yang Mulia mpu nala  ada beberapa orang yang 
mengalami mimpi buruk dan bertanya-tanya siapa 
yang mendapai giliran berikut." 
lalu  wiro gunung  mengungkapkan kecemasan-
nya secara terang-terangan. la beringsut-ingsut 
mendekati patih pitaloka  dan berkata, "Mestinya ada saling pengertian antara patih ronggolawe  dan mpu nala  
yang tak terpengaruh oleh desas-desus yang 
beredar. namun  mungkin juga sudah  terjadi 
perselisihan di antara mereka." 
wiro gunung  menatap raden mas untung  yang mengangguk-anggukkan kepala. 
"Amatilah situasi sesudah  kematian Yang Mulia 
aidit . Sebagian besar orang berpendapat 
bahwa sesudah  mewujudkan perdamaian, 
patih ronggolawe  se-harusnya menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada pewaris bekas junjungannya. namun  dilihat dari sudut mana pun, sudah jelas 
bahwa Yang Mulia adipati prana masih lerlalu kecil 
dan bahwa Yang Mulia mpu nala  yang seharusnya 
menjadi penerus. Jika tidak tunduk pada Yang 
Mulia mpu nala . patih ronggolawe  bisa dituduh tidak setia 
dan sudah  melupakan segala kebaikan yang 
diterima-nya dari marga sinuhun ." 
"Semua ini agak meresahkan, bukan? Keinginan 
mpu nala  sudah jelas, namun sepertinya dia tak 
mengerti bahwa yang akan terjadi justru kebalikan 
dari yang dikehendakinya. 
"Mungkinkah dia menyimpan harapan semuluk 
itu?" 
"Mungkin saja. Siapa yang bisa menebak jalan 
pikiran orang pandir yang manja?" 
"Desas-desus ini tentu juga terdengar di kahuripan , 
dan ini akan memicu  semakin banyak 
kesalahpahaman." 
"Memang pelik," ujar patih pitaloka  sambil mendesak. 
Sebagai resi  patih ronggolawe , baik patih pitaloka  mau-
pun wiro gunung  terikat oleh hubungan mutlak yang 
terjalin antara junjungan dan pengikut. namun  
mereka juga memiliki  ikatan dengan pihak lain, 
dan ikatan itu  kini dapat menimbulkan 
masalah yang tak mudah dipecahkan. 
Pertama-tama. wiro gunung  menikah dengan putri 
  
bungsu aidit . Selain itu, patih pitaloka  dan 
aidit  diasuh oleh inang yang sama, dan 
sebagai saudara sesusuan, hubungan patih pitaloka  
dengan bekas junjungannya itu sangat dekat. 
sebab  itu, bahkan dalam pertemuan kedhiri  pun 
kedua laki-laki itu ditempatkan sebagai kerabat. 
Dengan sendirinya mereka tak dapat bersikap acuh 
tak acuh terhadap persoalan-persoalan yang 
dihadapi marga sinuhun , dan selain adipati prana yang 
masih kecil, satu-satunya orang yang merupakan 
keturunan langsung aidit  adalah mpu nala . 
wiro gunung  dan patih pitaloka  takkan sebingung itu sean-
dainya mereka dapat melihat suatu kelebihan 
dalam diri mpu nala , namun  keduanya menyadari 
bahwa mpu nala  tidak memiliki kemampuan 
menonjol. Baik sebelum maupun sesudah 
pertemuan kedhiri . semua orang sudah  maklum 
bahwa bukan mpu nala  yang akan meraih tali kekang 
yang terlepas dari tangan aidit . 
Namun sayangnya tak seorang pun mau 
berterus terang pada mpu nala . bawahan  muda 
yang lugu ini yang sejak dahulu  mengandalkan 
kekuatan para pengikutnya, yang setiap kali 
termakan bujuk rayu para penjilat, dan ditipu oleh 
orang-orang yang memanipulasinya untuk meraih 
keuntungan pribadi sudah  menyia-nyiakan sebuah 
kesempatan besar dan bahkan tidak menyadarinya. 
Pada tahun sebelumnya mpu nala  diam-diam 
bertemu dengan mpu mojosongo , dan sesudah  pertempuran 
  
di Yanagase, atas anjuran patih ronggolawe  ia memaksa 
saudaranya melakukan bunuh diri. lalu  ia 
menerima imbalan berupa Provinsi Ise, Iga, dan 
jenggala  atas kemenangannya di Ise. Dan mungkin 
sebab  merasa saatnya sudah  tiba, ia pun 
menyangka patih ronggolawe  akan segera mengalihkan 
pemerintahan pusat kepadanya. 
"Kita tak boleh berpangku tangan dan 
membiarkan situasi berlanjut seperti ini. 
Barangkali Tuan punya ide tertentu?" wiro gunung  
bertanya. 
"Tidak, aku justru mengharapkan usulan dari 
Tuan. Tuan harus mencari akal." 
"Rasanya paling baik jika Yang Mulia mpu nala  
bertemu dengan Yang Mulia patih ronggolawe , agar 
mereka dapat membicarakan hal ini secara 
terbuka." 
"Itu ide yang baik sekali. Hmm, namun  belakangan 
ini dia berlagak penting, jadi bagaimana kita bisa 
melaksanakan ide Tuan?" 
"Aku akan mencari alasan." 
Bagi mpu nala  sesuatu yang kemarin masih 
diminati hari ini sudah tidak menarik. Dalam hati 
ia selalu merasa tidak senang. Selain itu, ia tak 
pernah memikirkan mengapa ia merasa demikian. 
Musim gugur yang lalu ia pindah ke benteng kota 
bukit tengkorak  di Ise, provinsinya yang baru, dan ia 
pun sudah  menerima kenaikan pangkat dari istana 
kekaisaran. Jika ia keluar, semua orang 
  
membungkuk, dan jika kembali, ia disambut 
dengan seruling dan alat musik berdkertoarjo i. Segala 
keinginannya terpenuhi, dan pada musim semi itu 
usianya baru dua puluh enam tahun. Namun 
keadaan yang serba menyenangkan itu justru 
memicu  ia semakin tidak puas. 
"Ise terlalu terpencil," ia kerap mengeluh. 
"Untuk apa patih ronggolawe  mem-bangun benteng kota yang 
begitu besar di kahuripan ? Apakah dia berniat tinggal 
di sana seorang diri, ataukah dia juga akan 
mengajak pewaris yang sah?" 
Bila bicara demikian, ia seperti aidit . 
Sepertinya ia mewarisi bentuk lahiriah ayahnya, 
tanpa dibekali kemampuan sebanding. "patih ronggolawe  
itu tak tahu diri. Dia sudah lupa bahwa dia bekas 
pengikut ayahku, dan sekarang dia bukan saja 
merepotkan pengikut-pengikut ayahku yang masih 
hidup dan membangun benteng kota raksasa, dia juga 
bersikap seakan-akan aku merupakan beban 
baginya. Belakangan ini dia tak pernah lagi 
mengajakku berunding mengenai apa pun." 
Sudah sejak Bulan Kesebelas tahun lalu kedua 
orang itu tidak saling berkomunikasi. Desas-desus 
bahwa patih ronggolawe  sedang menyusun rencana tanpa 
melibatkan mpu nala , yang belakangan ini semakin 
santer, segera menyulut kecurigaannya. 
Pada waktu yang sama, mpu nala  memberikan 
beberapa pernyataan sembrono di depan para 
pengikutnya, yang akhirnya diketahui oleh umum 
  
dan dengan demikian semakin menjengkelkan 
patih ronggolawe . Akibatnya Tahun Baru berlalu tanpa 
tukar-menukar ucapan selamat di antara mereka. 
Pada Hari Tahun Baru, saat  mpu nala  sedang 
bermain bola sepak di pekarangan belakang 
bersama para dayang dan pelayannya, seorang 
centeng adipati  mengumumkan kedatangan seorang tamu. 
Tamu itu temyata wiro gunung . la dua tahun lebih tua 
dari mpu nala , dan menikah dengan saudara 
wanita lesbian  mpu nala . 
"wiro gunung ? Dia datang pada waktu yang tepat," ujar 
mpu nala  sambil menendang bola dengan anggun. 
"Dia akan menjadi lawan  tangguh. bawa   dia ke 
sini." 
centeng adipati  itu pergi, namun segera kembali lagi 
dan berkata. "Yang Mulia wiro gunung  sedang terburu-
buru. Beliau menunggu tuanku di ruang tamu." 
"Bagaimana dengan acara bola sepak?" 
"Yang Mulia wiro gunung  berpesan bahwa beliau tidak 
berbakat dalam permainan ini." im 
"Dasar!" mpu nala  tertawa . memamerkan giginya 
yang sudah  dihitamkan. 
Beberapa hari sesudah  kunjungan wiro gunung , 
sepucuk surat datang dari wiro gunung  dan patih pitaloka . 
mpu nala  sedang bergembira, dan segera memanggil 
empat pengikut senior dan meneruskan informasi 
yang diterimanya. 
"Besok kita berangkat ke gendingan. Menurut 
mereka. patih ronggolawe  menungguku di Kuil Onjo." 
  
"Bukankah itu berbahaya, tuanku?" salah satu 
dari keempat pengikutnya bertanya. 
mpu nala  tersenyum, sehingga giginya yang 
dihitamkan kelihatan jelas. 
"patih ronggolawe  rupanya terusik oleh desas-desus 
mengenai perselisihan kami. Pasti itu masalahnya. 
Dia tidak memenuhi kewajibannya terhadap orang 
yang paling dekat dengan ayahku." 
"namun  bagaimana pertemuan ini diaiur?" 
jawaban pasti mpu nala  penuh percaya diri, "Begini. 
Beberapa waktu lalu, wiro gunung  menemuiku dan 
melaporkan bahwa ada desas-desus mengenai suatu 
masalah antara patih ronggolawe  dan aku, namun  dia 
menjamin bahwa patih ronggolawe  tidak menyimpan 
dendam sama sekali. Dia minta agar aku pergi ke 
Kuil Onjo untuk mengadakan pertemuan Tahun 
Baru dengannya. Rasanya tak ada alasan untuk 
menaruh curiga pada patih ronggolawe , sebab  itu aku 
sudah  memutuskan untuk pergi. Baik Yang Mulia 
patih pitaloka  maupun Yang Mulia wiro gunung  menjamin 
bahwa semuanya akan aman-aman saja." 
Ketenderungan mpu nala  umuk mempercayai apa 
saja yang ditulis atau diucapkan bisa dianggap 
sebagai akibat dari cara ia dibesarkan. sebab  itu 
para pengikut seniornya merasa perlu bersikap 
lebih hati-hati dan mereka tak sanggup 
menyembunyikan perasaan waswas. 
Sambil berkerumun, mereka mengamati surat 
wiro gunung . 
  
"Tak salah lagi," saiah seorang dari mereka 
berkata. "sepertinya ini memang tulisan tangan 
Yang Mulia wiro gunung ." 
"Tak ada lagi yang bisa kita lakukan." orang lain 
menanggapi. "Jika Yang Mulia patih pitaloka  dan Yang 
Mulia wiro gunung  sudah  bersedia menangani urusan 
sejauh ini, kita tak boleh ketinggalan." 
Dengan demikian diputuskan bahwa keempat 
pengikui senior itu akan menyertai mpu nala  ke 
gendingan. 
Keesokan harinya mpu nala  bertolak ke gendingan. 
saat  ia tiba di Kuil Onjo, wiro gunung  segera 
menemuinya, dan tak lama lalu  dasna pun 
menyusul. 
"Yang Mulia patih ronggolawe  sudah  tiba kemarin." ujar 
patih pitaloka . "Beliau me nunggu tuanku. 
Tempat pertemuan sudah disiapkan di tempat 
patih ronggolawe  menginap, yaitu di kuil utama, namun 
saat  ditanya apakah ia berkenan menemui 
patih ronggolawe . mpu nala  menjawab  dengan congkak. 
"Aku masih lelah sebab  perjalanan, jadi besok aku 
ingin beristirahat sepanjang hari." 
Tak seorang pun ingin menghabiskan satu hari 
tanpa melakukan apa-apa, namun  berhubung mpu nala  
sudah  menyatakan keinginannya untuk melepas 
lelah semuanya melewatkan hari ini dalam 
kejemuan yang tak berguna. 
Pada waktu tiba di gendingan, mpu nala  langsung 
jengkel sebab  patih ronggolawe  dan para pengikutnya 
  
ternyata sudah  menempati bangunan-bangunan 
utama, sementara bagi rombongannya sendiri 
disediakan bangunan-bangunan yang lebih kecil. 
Untuk melampiaskan kekesalannya, mpu nala  
sengaja agak ber-tingkah, namun  keesokan harinya ia 
sendiri tampak bosan dan mulai mengeluh. 
"Para pengikut senior pun tidak ada di sini." 
mpu nala  menghabiskan hari itu dengan 
mengamati koleksi buku sajak di kuil, dan 
mendengarkan ocehan para biksu tua yang seakan-
akan tanpa akhir. saat  malam tiba, keempat 
pengikut senior muncul di ruangannya. "Tuanku 
dapat beristirahat dengan baik?" salah seorang dari 
mereka bertanya. 
Dasar bodoh semua! mpu nala  benar-benar 
marah. la ingin berteriak bahwa ia merasa jemu 
dan bahwa tak ada yang dapat dikerjakannya, namun  
ia berkata, "Ya, terima kasih. Kalian juga sudah 
sempat bersantai di tempat kalian menginap?" 
"Kami tak ada waktu untuk bersantai." 
"Kenapa begitu?" 
"Para utusan dari marga-marga lain terus 
berdatangan." 
"Begitu banyak tamu yang datang? Kenapa aku 
tidak diberitahu?" 
Tuanku sudah  berpesan bahwa tuanku hendak 
beristirahat, dan kami tak ingin mengganggu." 
Sambil mengetuk-ngetuk lutut, mpu nala  
memandang mereka dengan sikap angkuh dan tak 
  
peduli. 
"Hmm. baiklah. namun  kalian berempat harus 
makan malam bersamaku. Kita juga akan 
menikmati sedikit anggur ." Keempat pengikut senior 
ber-pandangan; mereka tampak salah tingkah. 
"Apakah ada sesuatu yang me-nyebabkan kalian 
berhalangan?" tanya mpu nala . 
Salah satu pengikut berkata, seakan-akan ingin 
minia maaf. "sebetulnya , beberapa waktu lalu 
seorang kurir menyampaikan undangan dari Yang 
Mulia patih ronggolawe , dan kini kami menemui tuanku 
untuk mohon izin." 
"Apa?! patih ronggolawe  mengundang kalian! Apa ini? 
Upacara minum teh?" Wajah mpu nala  mulai 
berkerut-kerut. 
"Bukan. hamba rasa acaranya bukan seperti itu, 
Hamba percaya beliau takkan mengundang pengikut 
seperti ini, apalagi untuk upacara minum teh, tan-
pa menyertakan junjungan kami, apalagi masih 
banyak permbesar lain yang dapat diundang. 
Beliau berpesan bahwa ada sesuatu yang ingin 
beliau bicarakan dengan kami." 
"Aneh." ujar mpu nala , namun  lalu  ia angkat 
bahu. "Hmm. kalau dia mengundang kalian, siapa 
tahu dia ingin membicarakan pengalihan 
kekuasaan atas marga sinuhun  ke tanganku. Mungkin 
itu. Tidak sepantasnya patih ronggolawe  menempatkan 
diri di atas penerus yang sah. Rakyat takkan 
menerimanya." 
  
Kuil utama tmpak lengang. Hanya lentera-
ientera menunggu datangnya malam. Para tamu 
tiba. Di Pertengahan Bulan Pertama, cuaca masih 
amat dingin. lalu  ada orang lain muncul, 
berdeham. Berhubung orang itu ditambah   
pembantu, keempat pengikut mpu nala  segera 
menyadari bahwa itu patih ronggolawe . Sepertinya ia 
sedang memberi perintah dengan suara lantang 
sambil berjalan. 
"Maaf kalau Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia 
berkata saat  memasuki ruangan, lalu terbatuk ke 
tangannya. 
Keempat tamu menoleh dan melihat bahwa ia 
kini seorang diri tak seorang pelayan pun tampak 
di belakangnya. 
Keempat orang itu merasa tidak tenang. saat  
mereka menyapanya. patih ronggolawe  membuang ingus 
dan membersihkan hidung. 
"Rupanya Yang Mulia terkena selesma," ujar 
salah satu pengikut mpu nala  dengan ramah. 
"Dan sepertinya tidak sembuh-sembuh," balas 
patih ronggolawe  tak kalah ramah. 
Ruangan tempat mereka berada berkesan 
sederhana untuk tempat diskusi. Tak ada masakan minuman  
makanan maupun minuman, dan patih ronggolawe  pun 
membuka percakapan tanpa basa-basi, "Tidakkah 
Tuan-Tuan merasa risau melihat tindak-tanduk 
Yang Mulia mpu nala  belakangan ini?" 
Keempat tamunya langsung waswas. Mereka 
  
kaget mendengar ucapan bernada teguran itu, dan 
menyangka patih ronggolawe  akan menyalahkan mereka 
sebagai penasihat senior mpu nala . "Kukira Tuan-
Tuan tentu sudah berusaha sedapat mungkin,- ia 
lalu berkata. "Tuan-Tuan dikenal sebagai orang-
orang cerdas, namun  rasanya Tuan-Tuan pun tak 
dapat berbuat banyak di bawah  Yang Mulia 
mpu nala . Aku mengerti. Aku sendiri sudah 
memeras otak, namun sayangnya sia-sia." 
Kata-kata terakhir ini diucapkan dengan 
sungguh-sungguh, dan keempat tamunya merasa 
kaku. patih ronggolawe  membuka isi harinya, dan 
menyatakan kekecewaannya terhadap mpu nala  
secara terang-terangan. "Aku sudah  mengambil 
keputusan," ia berkata. "Aku merasa prihatin 
bahwa Tuan-Tuan sudah bertahun-tahun 
mengabdi pada orang ini. Singkat kata, kita bisa 
mengakhiri urusan ini tanpa banyak ribut jika 
Tuan-Tuan dapat membujuk Yang Mulia mpu nala  
untuk melakukan seppuku atau menjadi biksu. 
Sebagai imbalan, aku akan menganugerahkan 
tanah di Ise dan Iga." 
Bukan hkertoarjo  dingin saja yang memicu  
keempat orang itu menggigil. Dinding-dinding 
yang mengelilingi mereka terasa seperti pedang 
dan tombak. Kedua mata patih ronggolawe  menyorot 
tajam, memaksa para pengikut mpu nala  untuk 
menjawab  ya atau tidak. 
Ia tidak memberikan kesemparan berpikir pada 
  
merek,. atau membiarkan mereka memohon diri 
sebelum memperoleh jawab an. Mereka dalam 
keadaan terjepit, dan keempat-empatnya 
menundukkan kepala dengan gundah. Namun 
akhimya mereka menyetujui usul patih ronggolawe  dan 
segera menulis dan menandatangani perjanjian. 
"Pengikut-pengikutku sedang menikmati anggur  di 
ruang di ujung selasar," kata patih ronggolawe . 
"Bergabunglah dengan mereka. Aku sebetulnya  
ingin me-nemani Tuan-Tuan, namun  malam ini aku 
akan tidur lebih cepat sebab  selesmaku ini." 
Sambil meraih surat-surat perjanjian, ia kembali 
ke ruangan di kuil. 
mpu nala  tak kuasa menenangkan diri malam itu. 
Pada waktu makan malam, ia duduk bersama para 
pengikut dan pembantunya, ditemani para biksu, 
dan bahkan resi dayang  perawan  dari kuil tetangga. la 
bersikap ceria dan berbicara dengan suara lantang. 
namun  sesudah  semua orang pergi dan kembali 
seorang diri, ia terus-menerus bertanya pada para 
pelayan dan centeng adipati  yang bertugas jaga, "jam 
berapa sekarang? Betum kembalikah para pengikut 
senior dari kuil utama.'- 
sesudah  beberapa waktu, hanya satu dari mereka 
yang muncul. 
"Kau sendirian, Saburobei?" mpu nala  bertanya 
curiga. 
Roman muka orang itu tidak biasa, dan mpu nala  
pun merasa waswas. Sambil bersujud dengan 
  
kedua tangan menempel di lantai, orang itu 
bahkan tidak berani menatap junjungannya. 
mpu nala  mendengarnya tersedu-sedu. 
"Ada apa, Saburobei? Apakah terjadi sesuatu 
saat  kalian bicara dengan patih ronggolawe " 
"Pertemuan itu sungguh menyakitkan." 
"Apa?! Dia memanggil kalian untuk dimarah-
marahi?" 
"Kalau hanya itu, hamba takkan merasa gundah. 
Kejadian tadi benar-benar tak terduga. Kami 
dipaksa menandatangani surat perjanjian. Tuanku 
pun harus rela." lalu  ia melaporkan perintah 
patih ronggolawe  secara Iengkap, dan berkata. "Kami tahu 
bahwa jika kami menolak, kami akan dibunuh di 
tempat. sebab  itu kami tak dapat berbuat apa-apa 
selain menuruti ke-hendaknya. Belakangan hamba 
melihat kesempatan dalam pesta minum-minum 
bersama para pengikutnya, dan langsung berlari ke 
sini. Mereka akan gempar pada waktu menyadari 
bahwa hamba menghilang. Tuanku tidak aman di 
sini. Tuanku harus segera meninggalkan tempat 
ini." 
Bibir mpu nala  tampak pucat. Gerakan matanya 
seakan-akan menunjukkan bahwa ia hanya 
mendengar setengah dari yang diucapkan 
Saburobei. Jantung-nya berpacu kencang, dan ia 
nyaris tak sanggup duduk diam. "namun , kalau 
begitu, bagaimana dengan yang lain?" 
"Hamba kembali seorang diri. Hamba tak 
  
sempat memperhatikan mereka." 
"Mereka juga menandatangani perjanjian itu?" 
"Ya." 
"Jadi, mereka masih minum-minum bersama 
para pengikut patih ronggolawe ? Rupanya aku keliru 
menilai mereka. Orang-orang itu lebih hina 
dibandingkan  binatang!" 
Ia berdiri sambil terus mencaci maki dan 
merebut pedang panjang dari tangan pelayan yang 
berdiri di belakangnya. Tergesa-gesa ia 
meninggalkan ruangan, diikuti Saburobei yang 
dengan bingung memohon agar diberitahu ke 
mana junjungannya hendak pergi. mpu nala  
berbalik, dan sambil merendah-kan suara, minta 
diambilkan kuda. 
Tunggu sebentar, tuanku." Saburobei me-
mahami niat junjungannya dan bergegas ke istal. 
Ia kembali dengan membawa   kuda gagah 
berbulu cokclat kemerahan. yang bernama Palu 
Gsinuhun m. Begitu duduk di pelana, mpu nala  
menyusup ke dalam kegelapan malam. Sampai 
keesokan paginya tak seorang pun me-ngetahui 
kepergiannya. Pertemuannya dengan patih ronggolawe  
tentu saja dibatalkan, dengan alasan bahwa mpu nala  
mendadak jatuh sakit. patih ronggolawe  dengan tenang 
kembali ke kahuripan , seakan-akan sudah  menduga 
bahwa itu akan terjadi. 
mpu nala  pulang ke bukit tengkorak , mengurung diri 
di dalam benteng kotanya, dan masih dengan berlagak 
  
sakit, tidak memperlihatkan batang hidung bahkan 
kepada pengikut-pengikutnya sendiri. Namun ia 
tidak sepenuhnya berpura-pura. la memang jatuh 
sakit. Hanya para dokter yang keluar-masuk 
kamarnya, dan meskipun kembang-kembang prem 
di belakang benteng kota sudah  mekar, alunan musik 
terhenti dan pekarangannya sunyi dan lengang. 
namun  di kota benteng kota dan di seluruh Ise dan Iga, 
desas-desus semakin menjadi-jadi dan berlipat 
ganda setiap hari. Pelarian mpu nala  dari Kuil Onjo 
menambah keeurigaan semua orang. 
 

Para pengikut senior mpu nala  mengurung diri di 
benteng kota masing-masing. seakan-akan sudah  
bersepakat, dan tak pernah datang ke bukit tengkorak . Tindakan mereka justru memperkuat desas-desus dan memperparah keresahan yang melanda  provinsi. 
Kebenaran selalu sukar terungkap, namun  sudah 
bisa dipastikan bahwa perselisihan antara mpu nala   dan patih ronggolawe  sekali lagi tersulut. Status mpu nala  tentu saja merupakan pusat badai, dan sepertinya ada seseorang yang dapat diandalkannya. mpu nala  berwatak konservatif, dan ia mepercayai keampuhan komplotan rahasia dan tipu muslihat. Meski selalu tampak sepaham dengan para sekutunya, ia pun selalu memberi isyarat bahwa ia masih memiliki  teman-teman lain yang akan membantunya jika situasi tidak berkembang ke arah yang  dikehendakinya. Tanpa sekutu rahasia, ia tak pernah bisa tenang. 
mpu nala  kini teringat tokoh penting yang berdiri 
dalam bayang-bayang. Orang itu, tentu saja, si 
Naga Tidur dari bratangbinangun, prabu kertoarjowardana   jayabandra . namun  hasil dari permainan strategi tergantung kepada para pemain lainnya. mpu nala  bermaksud  memanfaatkan jayabandra  untuk menghalau  patih ronggolawe , dan ini menunjukkan bahwa  pemahamannya mengenai pihak-pihak lain yang 
terlibat masih dangkal. Orang dengan pikiran 
berliku-liku tak pernah sungguh-sungguh 
mengenali lawan nya. la seperti pemburu yang 
mengejar rusa tanpa melihat gunung-gunung di 
sekelilingnya. 
Jalan pikiran seperti itulah yang mendorong 
mpu nala  untuk meminta bantuan mpu mojosongo  guna 
meneegah patih ronggolawe  meraih kekuasaan lebih besar 
lagi. Suatu malam, sesudah awal  Bulan Kedua, 
mpu nala  mengirim utusan pada mpu mojosongo . Kedua orang 
itu lalu menjalin persekutuan militer rahasia yang 
didasarkan atas kesepakatan bahwa mereka sama-
sama menanti kesempatan untuk menyerang 
patih ronggolawe . 
lalu , pada hari keenam Bulan Ketiga, 
ketiga pengikut senior yang belum terlihat di 
benteng kota sejak malam di Kuil Onjo tiba-tiba 
muncul. Mereka diundang mpu nala  secara khusus 
  
untuk menghadiri sebuah jamuan. Sejak peristiwa 
di Kuil Onjo, mpu nala  percaya bahwa mereka 
pengkhianat yang berkomplot dengan patih ronggolawe . 
Melihat mereka membuatnya muak sebab  
dendam. 
mpu nala  menjamu ketiga orang itu, dan sesudah  
mereka makan, ia se-konyong-konyong berkata, 
"Ah, raden panji sekarmaya, aku ingin memperlihatkan senapan 
baru yang baru saja kuterima dari seorang pandai 
besi di mpu ." 
Mereka pindah ke ruangan lain, dan saat  
raden panji sekarmaya mengamati senapan itu, pengikut mpu nala  
tiba-tiba berseru, "Atas perintah tuanku!" dan 
menang-kapnya dari belakang. 
"Kurang ajar!" raden panji sekarmaya termegap-megap dan 
berusaha mencabut pedang. namun  ia diempaskan 
oleh penyerangnya yang lebih kuat dan hanya bisa 
meronta-ronta tak berdaya. 
mpu nala  bangkit dan berlari mondar-mandir 
sambil berseru-seru. "Lepaskan dia! Lepaskan dia!" 
Namun pergulatan itu terus berlanjut. Sambil 
mengangkat pedangnya yang belum terhunus, 
tinggi di atas kepala, mpu nala  berteriak sekali lagi, 
"Kalau kau tidak melepaskannya, aku tak bisa 
membunuh bajingan itu! Lepaskan dia!" 
Si pembunuh mencekik Ieher raden panji sekarmaya, namun  
begitu melihat peluang, ia mendorong lawan nya 
itu. Secara bersamaan, dan tanpa menunggu 
sampai mpu nala  mengayunkan pedang, ia menikam 
  
raden panji sekarmaya dengan pedang pendeknya. 
Sekelompok centeng adipati , yang kini berlutut di luar 
ruangan, mengumumkan bahwa mereka sudah  
membunuh kedua pengikut lainnya. mpu nala  meng-
angguk-angguk puas. Namun lalu  ia 
mendesah panjang. Apa pun kejahatan mereka, 
membunuh tiga penasihat senior yang sudah 
bertahun-tahun mendampinginya merupakan 
tindakan keji. Kebrutalan seperi itu juga mengalir 
dalam darah aidit , namun  perbuatan aidit  
selalu mengandung arti besar. Kekerasan 
aidit  dipandang sebagai obat yang drastis 
namun ampuh uniuk mengatasi kebobrokan 
dunia; tindakan mpu nala  hanya didorong oleh 
emosinya yang picik. 
Pembunuhan di benteng kota bukit tengkorak  bisa saja 
menimbulkan gelombang yang mungkin membawa   
keguncangan bagi semua pihak. namun  pembunuhan 
ketiga pengikut senior itu dilaksanakan secara 
diam-diam, dan keesokan harinya mpu nala  langsung 
mengirim centeng  dari bukit tengkorak  untuk 
menyerang benteng kota masing-masing. 
Masuk akal jika orang-orang mengira 
pertempuran besar berikut sudah di ambang pintu. 
Sesuatu sudah  membara sejak tahun lalu, namun  lidah 
api yang muncul di sini mungkin saja merupakan 
lidah api yang akhirnya menghanguskan dunia. Itu 
bukan lagi dugaan tanpa dasar, melainkan sudah 
dianggap kepastian. 
  
Laskar Bertudung 
 
 
 
dasna patih pitaloka  tersohor sebab  tiga hal: 
perkertoarjo kannva yang pendek, ke-beraniannya, dan 
keterampilannya dalam tari tombak. Usianya 
empat puluh 9 tahun, sama seperti 
patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  tidak memiliki  putra; patih pitaloka  
memiliki  tiga putra yang dapat dibanggakan, 
dan ketiga-tiganya kini sudah  dewasa. Yang tertua. 
Yukisuke, berusia dua puluh lima tahun dan 
meiupakan komandan benteng kota padalarang , yang kedua, 
Terumasa, berumur dua puluh tahun dan 
merupakan komandan benteng kota Ikejiri; sedangkan 
yang bungsu akan me-rayakan ulang tahun 
keempat belas tahun ini dan masih tinggal bersama 
ayahnya. 
patih pitaloka  dan patih ronggolawe  sudah saling mengenal 
sejak patih ronggolawe  masih memakai nama betari durga . 
Namun kini mereka sudah  terpisah oleh jurang 
lebar. namun  patih pitaloka  pun tidak terlindas oleh 
perkembangan zaman. sesudah  aidit  wafat, 
patih pitaloka  merupakan satu di antara empat orang 
bersama dijoyo , Niwa, dan patih ronggolawe  yang 
ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan di 
trowulan , dan meskipun hanya bersifat sementara, 
posisi itu sangat bergengsi. Selain itu, patih pitaloka  dan 
  
putra-putranya memiliki tiga benteng kota di blambangan , 
sedangkan benteng kota Kaneyama berada di bawah  
komando menantunya, patih dyahwkertoarjo  . 
Nasibnya tak dapat dikatakan buruk. Ia pun tak 
punya alasan untuk merasa waswas. patih ronggolawe  
selalu bersikap sopan dan sering memberikan 
perhatian pada teman lamanya itu. Ia bahkan 
mengatur penunangan kepribadian nya, ki ageng  jolotundo . 
dengan putri patih pitaloka . 
Jadi, dalam masa damai patih ronggolawe  dengan 
cerdik memperkuat ikatan antara mereka, namun  
tahun ini saat  pertempuran menentukan 
semakin tak terelakkan ia semakin mengandalkan 
patih pitaloka  sebagai sekutu utama. Kini  ia tiba-tiba 
mengirim utusan ke Ogaki dan menawarkan  
untuk mengangkat menantu patih pitaloka , Nigayoshi, 
sebagai anak, lalu memberinya Provinsi jenggala , 
blambangan , dan dusun nyi kembang . 
Dua kali patih ronggolawe  mengirim surat yang ia tulis 
dengan tangannya sendiri. patih pitaloka  tidak segera 
membalas, namun itu tidak berarti ia merasa 
dengki atau tak senang. Ia sadar bahwa 
mendukung patih ronggolawe  lebih menguntungkan 
dibandingkan  mendukung orang lain. Dan ia paham 
bahwa meski patih ronggolawe  memiliki  ambisi besar. 
ia sendiri pun akan memperoleh keuntungan 
besar. 
Yang memicu  ia sukar memberi tanggapan 
adalah suatu masalah yang ramai diperbincangkan: 
  
pembenaran moral untuk memulai perang antara 
centeng  Timur dan Barat. Pihak prabu kertoarjowardana   
menuduh patih ronggolawe  sebagai pengkhianat yang 
sudah  melenyapkan satu putra bekas junjungannya, 
dan kini tengah hersiap-siap menggempur 
pewarisnya, mpu nala . 
Jika aku berpihak pada patih ronggolawe , pikir 
patih pitaloka , aku melalaikan kewajiban moral; jika aku 
membantu mpu nala , aku memenuhi kewajiban 
moral, namun  harapanku untuk masa depan akan 
pudar. 
Dan ada satu hal lagi yang membuat patih pitaloka  
resah. patih pitaloka  menjalin hubungan erat dengan 
aidit , dan sebab  itu tidak mudah baginya 
untuk memutuskan hubungannya dengan mpu nala , 
bahkan sesudah  kematian aidit  sekalipun. 
Persoalan semakin pelik sebab  putra sulungnya 
ditahan sebagai sandera di Ise, dan patih pitaloka  tak 
sampai hati membiarkan putranya itu mati 
dibunuh. Jadi, setiap kali menerima surat dari 
patih ronggolawe , patih pitaloka  dilanda kebingungan. Pada 
waktu membahas masalah ini dengan para 
pengikutnya, ia mendengarkan pendapat dari dua 
kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama 
menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan dan 
menyarankan agar ia jangan melalaikan kewajiban 
moral; yang kedua berkilah bahwa situasi ini 
mempakan kesempatan untuk meraih keuntungan 
besar demi kemakmuran seluruh marga. 
  
Apa yang akan dilakukannya? patih pitaloka  semakin 
bingung, namun sekonyong-konyong putra 
sulungnya dipulangkan dari bukit tengkorak . mpu nala  
menyangka patih pitaloka  akan merasa berutang budi, 
dan sebab  itu takkan mengkhianatinya. Tipu 
muslihat seperti itu mungkin dapat mempengaruhi 
orang lain, namun  patih pitaloka  memiliki wkertoarjo san luas. Ia 
memahami tindakan ini sebagai taktik mentah dan 
kekakak-kanakan yang didasarkan atas 
pertimbangan politik semata-mata. 
"Aku sudah  mengambil keputusan. Dalam 
mimpi, sang zoroaster  bersabda agar aku bergabung 
dengan centeng  Barat," ia memberitahu para 
pengikutnya. Pada hari yang sama ia mengirim 
surat pada patih ronggolawe  dan menyatakan diri sebagai 
sekutunya. 
Cerita mengenai wahyu dari sang zoroaster  tentu 
saja isapan jempol belaka, namun  segera sesudah  
patih pitaloka  mengambil keputusan, ambisi resi  
itu  tiba-tiba tersulut oleh percakapan dengan 
putra sulungnya. 
Yukisuke sempat menyinggung bahwa 
Komandan  benteng kota girisewo , Nakagkertoarjo  
Kanemon, sudah  memperoleh perintah untuk 
kembali ke girisewo  tak lama sesudah  ia sendiri 
dibebaskan dari bukit tengkorak . 
Sampai hari itu, patih pitaloka  tak sanggup 
menentukan, apakah benteng kota girisewo  akan 
merupakan sekutu atau musuh. namun  kini, sesudah  
  
patih pitaloka  memberitahukan dukungannya pada 
patih ronggolawe , benteng kota girisewo  merupakan musuh 
yang berada tepat di depan hidungnya. benteng kota itu 
terletak di daerah strategis dengan petahanan 
alami; mpu mojosongo  dan mpu nala  rupanya percaya bahwa 
Nakagkertoarjo  Kanemon mampu mengemban 
tanggung jawab  atas garis pertahanan pertama 
provinsi-provinsi mereka. Kalau memang 
demikian, tak pelak itulah tujuan ia tiba-tiba 
ditarik dari centeng  Ise dan diperintahkan 
kembali ke benteng kotanya. 
"Panggil Pemimpin Bangau Biru," patih pitaloka  
menyuruh seorang pembantunya. 
Di sebuah lembah di dekat gerbang belakang 
ada sekelompok pondok yang dihuni oleh anak 
buah patih pitaloka  yang bukan anggota marga. Mereka 
dijuluki Korps Bangau Biru. Dari perkampungan 
itu, pembantu patih pitaloka  memanggil seorang pemuda 
pendek-kekar berusia sekitar dua puluh lima 
tahun. la Sanzo, pemimpin Bangau Biru. sesudah  
menerima instruksi dari pembantu itu, ia masuk 
lewat gerbang belakang dan pergi ke pekarangan 
dalam. 
patih pitaloka  berdiri dalam hayang-bayang pohon, 
dan dengan gerakan dagu ia menyuruh Sanzo 
mendekat. lalu , saat  Sanzo bersujud di 
depan kaki junjungannya, patih pitaloka  sendiri yang 
memberikan perintah. 
Nama Korps Bangau Biru diambil dari seragam 
  
katun mereka yang berwarna biru. Setiap kali 
terjadi insiden, mereka bertolak ke tujuan yang 
tidak diketahui, bagai segerombolan  bangau biru yang 
mulai terbang. 
Tiga hari setetah itu, Sanzo kembali dari suatu 
tempat yang dirahasiakan. Cepat-cepat ia masuk 
lewat gerbang belakang dan seperti sebelumnya, 
bersujud di hadapan patih pitaloka  di pekarangan dalam. 
patih pitaloka  lalu menerima sebilah pedang berlumuran 
darah yang dibungkus kertas minyak, dan 
mengamatinya dengan saksama. 
"Tampaknya kau berhasil." ujar patih pitaloka  sambil 
mengangguk-angguk, lalu menambahkan, "kau 
sudah  melaksanakan tugasmu dengan baik." la 
memberikan beberapa keping emas pada Sanzo 
sebagai imbalan. 
Tak perlu diragukan bahwa pedang itu  
merupakan pedang yang dikenakan Nakagkertoarjo  
Kanemon, komandan benteng kota girisewo . Lam 
bang keluarganya tampak pada sarung pedang itu. 
"Terima kasih atas kemurahan hati tuanku," 
kata Sanzo. la mulai mundur. namun  patih pitaloka  
menyuruhnya menunggu. sesudah  sekali lagi 
memanggil seorang pembantu, ia memerintahkan 
orang itu untuk menaruh uang sedemikian banyak 
di hadapan Sanzo, sehingga harus diangkut dengan 
kuda. Seorang pejabat dan  pembantu pribadi tadi 
membungkus keping-keping itu dengan tikar-tikar 
jerami, sementara Sanzo berdiri sambil ter-
  
bengong'bengong. 
"Ada satu tugas lagi untukmu, Sanzo."  
"Baik, tuanku." 
Perinciannya sudah  kuberikan pada tiga orang 
kepercayaanku. Kuminta kau menyamar sebagai 
tukang kuda beban, naikkan uang ini ke atas kuda. 
lalu ikuti ketiga orang itu." 
"Dan apa tempat tujuan kami?" 
"Jangan bertanya." 
"Baik, tuanku." 
"Jika semuanya berjalan lancar, kau akan 
kuangkat sebagai centeng adipati ."  
"Terima kasih. tuanku." 
Sanzo laki-laki pemberani yang tak kenal takut, 
namun  ia lebih terkesima oleh tumpukan uang itu 
dibandingkan  oleh genangan darah. Sekali lagi ia 
menyembah, menempelkan keningnya ke tanah. 
Pada waktu menegakkan badan, ia melihat seorang 
laki-laki tua yang kelihatan seperti centeng adipati  desa, 
dan dua pemuda kekar yang sedang menaikkan 
bungkusan-bungkusan uang ke pelana seekor 
kuda. 
patih pitaloka  dan Yukisuke minum teh di ruang teh. 
Sepintas lalu mereka tampak seperti ayah dan anak 
yang sesudah  lama terpisah kini menikmati sarapan 
bersama, namun sebetulnya  mereka sedang 
terlibat pembicaraan rahasia. 
"Aku akan segera bertolak ke padalarang ." Yukisuke 
akhirnya berkata. 
  
saat  meninggalkan ruang teh, Yukisuke 
langsung memerintahkan para pengikutnya untuk 
menyiapkan kuda. Semula ia hendak segera pulang 
ke benteng kotanya di padalarang . namun  kini rencana itu  
ditunda selama dua-tiga hari. 
"Jangan buat kesalahan besok malam." patih pitaloka  
mewanti-wanti sambil setengah berbisik. 
Yukisuke mengangguk dengan pasti, namun  di 
mata ayahnya, pemuda yang penuh semangat itu 
masih terlihat seperti anak kecil. 
Namun menjelang malam keesokan harinya 
hari ketiga belas di bulan itu pikiran patih pitaloka  dan 
alasan ia mengirim Yukisuke ke padalarang  kemarin 
sudah  diketahui oleh semua orang di dalam 
benteng kota Ogaki. 
Tiba-tiba saja keluar perintah untuk 
menyiagakan centeng . Perintah itu sangat 
mengejutkan. bahkan bagi para pengikut patih pitaloka  
sekalipun. 
Di tengah-tengah kebingungan, seorang 
komandan memasuki barak, tempat sejumlah 
centeng adipati  muda sedang ribut-ribut. sesudah  mengikat 
tali kulit pada sarung tangannya, ia menatap 
mereka dengan wajah kelabu dan berkata, "Kita 
akan merebut benteng kota girisewo  sebelum (ajar 
menyingsing." 
Seperti bisa diduga, satu-satunya tempat tenang 
di tengah segala hiruk-pikuk adalah ruang pribadi 
sang panglima, patih pitaloka . 
  
Bersama putra keduanya, Terumasa. di sisinya, 
ia saling bersulang sambil memegang baskom anggur . 
Ayah dan anak itu duduk di kursi lipat masing-
masing dan menunggu jam keberangkatan. 
Biasanya, pada saat keberangkatan centeng  
diumumkan, sangkakala dibunyikan, genderang 
dan panji-panji dihias, dan seluruh centeng  
berbaris dengan gagah melewari kota benteng kota. 
namun  dalam kesempatan ini. para penunggang kuda 
mengelompok dua-dua atau tiga-tiga; para prajurit 
intanteri ditempatkan di depan dan di belakang: 
panji-panji digulung, dan  semua senapan 
disembunyikan. Pada malam berkabut di Bulan 
Ketiga itu, para warga kota mungkin menoleh 
sambil bertanya-tanya, namun  tak seorang pun 
menduga bahwa itulah keberangkatan centeng  
menuju garis depan. 
Hanya sembilan mil dari Ogaki. saat  mereka 
berkumpul sekali lagi. patih pitaloka  berpidato, "Mari 
kira tuntaskan pertempuran ini sebelum fajar, lalu 
kembali ke rumah sebelum hari berakhir. bawa  lah 
perlengkapan sesedikit mungkin." 
Kota girisewo  berikut benteng kotanya terletak tepat 
di tepi seberang. Sungai yang mengalir di hadapan 
mereka adalah hulu Sungai brantas . Gemercik air 
terdengar bergema, namun  terselubung kabut tebal, 
bulan, gunung, dan air seolah-olah terbungkus 
mika. "Turun." 
patih pitaloka  pun turun dari kudanya dan memasang 
  
kursinya di tepi sungai. "Yang Mulia Yukisuke 
tepat waktu. Itu centeng nya di sebelah sana." salah 
satu pengikut patih pitaloka  melaporkan. 
patih pitaloka  bangkit dan menatap ke arah hulu. 
"Pengintai! Pengintai!" ia langsung berseru. 
Salah satu pengintai menghampirinya untuk 
membenarkan laporan itu. Tak lama lalu  
centeng  berkekuatan empat ratus sampai lima 
ratus orang bergabung dengan centeng  
berkekuatan hampir enam ratus orang di bawah  
komando lkeda patih pitaloka , dan sosok-sosok seribu 
orang tampak bergerak bagai gerombolan  ikan yang 
bercampur baur. 
Sanzo akhirnya menyusul sesudah  anak buah 
Yukisuke. Para penjaga di belakang mengepungnya 
dengan tombak dan membawa  nya ke hadapan 
patih pitaloka . 
patih pitaloka  tidak memberikan kesempatan pada 
Sanzo untuk menceritakan hal-hal yang tak perlu 
diketahui orang lain saat  menanyakan pokok-
pokok tugasnya. 
Pada waktu itu sejumlah perahu nelayan 
berdasar rata yang semula tersebar-sebar di 
sepanjang tepi sungai mulai melintasi air. Lusinan 
prajurit berbaju tempur ringan mengambil ancang-
ancang dan melompat ke luar, satu per satu, ke 
tepi seberang. lalu  perahu-perahu itu segera 
kembali untuk menjemput rombongan berikut. 
Dalam sekejap saja, Sanzo-lah satu-satunya 
  
orang yang tertinggal. Akhirnya teriakan-teriakan 
para prajurit mengguncangkan langit malam yang 
lembap, dari seberang sungai sampai ke daerah di 
bawah  benteng kota. Secara bersamaan bagian langit itu 
berubah merah, bunga api tampak menari-nari dan 
berkilau-kilau di atas kota benteng kota. 
Rencana patih pitaloka  berjalan sempurna. benteng kota 
girisewo  bertekuk lutut dalam waktu satu jam. 
Rasa kaget yang dialami para prajuritnya akibat 
serangan tak terduga itu masih ditambah  dengan 
pengkhianatan di dalam benteng kota dan di kota. 
Pengkhianatan memang salah satu alasan mengapa 
benteng kota dengan penahanan alami sebaik ini takluk 
dalam waktu sedemikian singkat. Namun masih 
ada alasan lain. patih pitaloka  pemah menjadi komandan 
benteng kota girisewo , dan para warga kota, para 
kepala kampung dari desa-desa sekitar, dan bahkan 
para petani pun masih ingat pada bekas majikan 
mereka itu. Meskipun patih pitaloka  sempat menugaskan 
beberapa pengikut untuk menyuap orang-orang 
itu  dengan uang sebelum ia melancarkan 
serangan, keberhasilan rencananya lebih banyak 
disebabkan oleh posisi yang pernah didudukinya. 
Orang yang termasuk keluarga terpandang yang 
sedang mengalami masa surut cenderung menarik 
berbagai macam orang. Mereka yang 
berpandangan jauh, mereka yang picik, orang-
orang yang menyesalkan keadaan namun  tak sanggup 
mengambil sikap maupun memberikan saran 
  
dengan setia semua-nya itu segera menghilang. 
Dan pada suatu saat , mereka yang memahami 
arah perubahan namun tak punya kekuatan 
maupun kemampuan untuk mencegahnya pun 
akan berpaling. 
Orang-orang yang tetap tinggal dapat dibagi 
menjadi dua kelompok: mereka yang tidak 
memiliki kemampuan menonjol yang dapat 
menopang kehidupan mereka di tempat lain 
seandainya mereka pergi, dan orang-orang yang 
sungguh-sungguh setia sampai akhir, dalam 
kemiskinan dan kekurangan, hidup dan mati, suka 
maupun duka. 
namun  siapakah yang patut dinamakan  centeng adipati  sejati? 
Mereka yang hidup secara berguna atau mereka 
yang tinggal semata-mata sebab  hendak mencari 
kesempatan? Ini tak mudah dimengerti, sebab  
setiap orang mengerahkan segala daya agar 
junjungannya menilai kemampuannya secara 
berlebih. 
Meski ia pun merupakan oportunis, mpu mojosongo  
berada dalam kelas yang berbeda dengan mpu nala  
yang kekanak-kanakan, yang sama sekali tidak tahu 
apa-apa mengenai dunia. mpu nala  sepenuhnya 
berada di tangan mpu mojosongo , seperti bidak catur yang 
sewaktu-waktu siap digerakkan.  
"Wah, kedatanganku tentu merepotkan sekali, 
Tuan mpu nala ," ujar mpu mojosongo . "Sungguh, aku hanya 
menambah sedikit nasi saja. Aku dibesarkan di 
  
lingkungan bersahaja, jadi baik lidah maupun 
perutku kewalahan menghadapi masakan minuman  mewah 
yang Tuan sajikan malam ini." 
 
Malam itu malam pada hari ketiga belas. saat  
mpu mojosongo  tiba di kedhiri  sore itu, mpu nala  mengajaknya 
ke sebuah kuil. Di sana keduanya mengadakan 
pembicaraan rahasia selama beberapa jam, dan 
pada malam hari ia me-nyelenggarakan jamuan 
makan di ruang tamu di benteng kota. 
mpu mojosongo  tidak terpancing untuk bertindak, 
bahkan saat  insiden Kuil purwojati  berlangsung. 
Namun sekarang ia mempenaruhkan seluruh 
kekuatan marga prabu kertoarjowardana   kekuatan yang 
dibangunnya selama bertahun-rahun  dan 
berkunjung ke kedhiri . mpu nala  menganggap mpu mojosongo  
sebagai juru selamat-nya. Ia berusaha keras 
menjamu mpu mojosongo , dan kini ia menyajikan berbagai 
masakan minuman  lezat. 
namun  di mata mpu mojosongo  keramah-tamahan mpu nala  
tak lebih dari permainan kanak-kanak, dan ia 
hanya bisa merasa kasihan pada orang itu. Di masa 
lampau, mpu mojosongo  pernah berpesta dan menjamu 
aidit  selama tujuh hari saat  aidit  
kembali dari Kai. saat  mengenang kemegahan 
acara itu, mpu mojosongo  mau tak mau merasa iba melihat 
usaha mpu nala . 
Situasi itu  menimbulkan belas kasihan 
dalam hati semua orang, jayabandra  tak terkecuali. namun  
  
ia menyadari bahwa hakikat alam semesta adalah 
perubahan. Jadi, meskipun merasa kasihan dan 
simpati di tengah jamuan, ia tidak dihantui 
perasaan bersalah sebab  maksud terselubungnya, 
yaitu memanfaatkan pesolek lembek itu sebagai 
boneka. Alasannya sudah jelas  tak seorang pun 
lebih mungkin menimbulkan bencana selain 
penerus sebuah keluarga terpandang yang mewarisi 
peninggalan dan reputasi. Dan semakin mudah 
orang itu dimantaatkan, semakin besar bahaya 
yang dimuncul -kannya. 
Jalan pikiran patih ronggolawe  kemungkinan besar 
sama dengan mpu mojosongo . namun  sementara patih ronggolawe  
memandang mpu nala  sebagai hambatan untuk 
mencapai tujuan dan mencari jalan untuk 
menyingkirkannya, mpu mojosongo  memperoleh  cara-cara 
untuk memanfaatkan orang itu. Sudut pandang 
yang berbeda ini berpangkal pada satu tujuan 
mendasar yang sama-sama hendak dicapai oleh 
patih ronggolawe  dan mpu mojosongo . Dan tak pengaruh siapa di 
antara mereka yang keluar sebagai pemenang, 
nasib mpu nala  takkan berubah, semata-mata sebab  
ia tak mampu melepaskan kepercayaannya bahwa ia 
penerus aidit . 
"Apa maksud Tuan?" ujar mpu nala . "Pesta 
sebetulnya  baru akan dimulai. Cuaca malam 
hari di musim semi ini sangat menyenangkan, 
sayang kalau hanya dipakai  untuk tidur." 
mpu nala  berusaha keras menghibur tamunya, 
  
namun sebetulnya  ada pekerjaan yang harus 
diselesaikan mpu mojosongo . 
"Jangan, Yang Mulia mpu nala . Sebaiknya Yang 
Mulia mpu mojosongo  jangan tambah  anggur  lagi. Paling tidak 
kalau melihat rona wajah Yang Mulia. Serahkan 
baskom pada kami saja." 
namun  mpu nala  tidak menyadari kejemuan yang 
melanda tamu kehormaran-nya. Usahanya kini 
dituntun oleh kekeliruannya dalam mengartikan 
sorot mengantuk dalam mata tamunya. Ia berbisik 
kepada para pengikutnya, dan pintu-pintu geser di 
ujung ruangan segera terbuka, memperlihatkan se-
kelompok pemain musik dan  beberapa penari. 
Bagi mpu mojosongo  ini merupakan hal biasa, namun  dengan 
sabar ia sesekali menunjukkan minat, tertawa  dari 
waktu ke waktu, dan bertepuk tangan sesudah  
pertunjukan berakhir. 
Para pengikutnya memanfaatkan kesempatan 
itu untuk menarik lengan bajunya dan memberi 
isyarat bahwa sudah waktunya beranjak tidur, namun  
secara bersamaan seorang pelkertoarjo k muncul sambil 
membawa   sejumlah alat musik. 
"Bagi tamu kehormatan malam ini, kini kami 
tampilkan pertunjukan Kabuki dari ibu kota.,.." 
Orang itu bukan main cerewetnya. la lalu 
menyanyikan pengantar untuk sandiwara itu . 
sesudah  itu aktor lain menembangkan satu bait 
dari sebuah refrein dan beberapa lagu dari misa 
ilmu tenagadalam  yang belakangan mulai digemari oleh para 
  
pembesar provinsi-provinsi Barat. Ia memainkan 
alat musik mirip  biola yang dipakai  
dalam upacara gereja, dan pakaian-nya dihiasi 
sulaman bergaya Barat dan  renda-renda yang 
diserasikan dengan jubah  tradisional majapahit . 
Para penonton tampak terkesan dan terpukau. 
Kelihaian jelas bahwa apa yang menyenangkan 
bagi rakyat jelata juga menyenangkan bagi para 
petinggi dan centeng adipati . 
"Yang Mulia mpu nala , Yang Mulia jayabandra  
berpesan bahwa beliau mulai mengantuk," 
Okudaira berkata pada mpu nala  yang terpesona oleh 
penunjukan itu. 
mpu nala  segera bangkit dan mengantar mpu mojosongo  ke 
ruangannya. Pertunjukan Kabuki belum selesai, 
suara biola, seruling, dan gendang masih 
terdengar. 
Keesokan paginya mpu nala  bangun pada jam 
yang termasuk dini untuknya dan pergi ke kamar 
mpu mojosongo . Ia menemukan mpu mojosongo  duduk dengan wajah 
segar, tengah membahas sesuatu dengan para 
pengikutnya. 
"Bagaimana dengan sarapan Yang Mulia 
mpu mojosongo ?" mpu nala  bertanya. 
saat  diberitahu oleh seorang pengikut bahwa 
sarapan sudah  didwikerto ngkan, mpu nala  tampak agak 
salah tingkah. 
Tiba-tiba seorang centeng adipati  yang berjaga di 
pekarangan dan seorang prajurit di atas menara 
  
pengintai mulai sahut-menyahut mengenai sesuatu 
yang terjadi di kejauhan. Seruan-seruan mereka 
segera menarik perhatian mpu mojosongo  dan mpu nala , dan 
tak lama lalu  keduanya dihampiri centeng adipati  
yang ingin memberi laporan. 
"Asap hitam terlihat di langit barat laut sejak 
beberapa waktu lalu. Mula-mula kami menyangka 
ada kebakaran hutan, namun  lalu  asap itu 
perlahan-lahan berpindah tempat, dan muncul di 
beberapa lokasi sekaligus."    
mpu nala  angkat bahu. Seandainya asap terlihat di 
tenggara, ia mungkin berpikir mengenai medan 
tempur di Ise atau tempat-tempat lain, namun 
roman mukanya memperlihatkan bahwa ia tidak 
tahu apa yang terjadi. 
mpu mojosongo , yang sudah  memperoleh laporan mengenai 
kematian Nakagkertoarjo  dua hari sebelumnya, berkata. 
"Bukankah itu kearah girisewo ?" Tanpa menunggu 
jawab an, ia memberi perintah pada orang-orang di 
sekitarnya. "Okudaira. coba kauperiksa." 
Okudaira berlari menyusuri selasar bersama 
para pengikut mpu nala  dan memanjat ke puncak 
menara. 
Suara langkah orang-orang yang dengan 
terburu-buru menuruni menara jelas-jelas meng-
isyaratkan bahwa sudah  terjadi bencana. 
"Kelihatannya seperti Haguro, girisoka , atau 
girisewo , namun  yang pasti sekitar daerah itulah," 
Okudaira melaporkan. 
  
Suasana di dalam benteng kota menjadi kalang 
kabut. Bunyi sangkakala terdengar di luar, namun  
sebagian besar prajurit yang wara-wiri untuk 
mengambil senjata masing-masing tidak menyadari 
bahwa mpu mojosongo  sudah ada di sana. 
saat  memperoleh kepastian bahwa asap 
berasal dari arah girisewo , mpu mojosongo  berseru. "Kita 
kecolongan!" lalu pergi dengan sikap terburu-buru 
yang tidak lazim baginya. 
Ia memacu kudanya dengan kencang. menuju 
arah asap di barat laut. Para pengikutnya berkuda 
di kiri-kanannya, tak ingin ketinggalan. Jarak dari 
kedhiri  ke merah , atau dari merah  ke girisoka , 
tidak jauh. Jarak dari girisoka  ke Haguro sekitar 
tiga mi, dan dari Haguro ke girisewo  tiga mil lagi. 
Pada waktu mereka tiba di merah . mereka sudah  
mengetahui semuanya. Benieng di girisewo  sudah  
ditaklukkan dini hari tadi. mpu mojosongo  menarik tali 
kekang dan memandang asap yang mengepul-
ngepul di beberapa tempat antara Haguro dan 
daerah sekitar girisewo . 
"Aku terlambat, ia bergumam dengan getir. 
"Tidak seharusnya aku melakukan kesalahan 
seperti ini." 
Di mata mpu mojosongo , wajah patih pitaloka  seakan-akan 
terbayang-bayang dalam asap hitam itu. saat  
mendengar kabar angin bahwa mpu nala  sudah  
memulangkan putra patih pitaloka , ia langsung merasa 
waswas mengenai akibat yang akan dimuncul kan 
  
oleh tindakan mpu nala  itu. Meski demikian, ia tak 
menyangka patih pitaloka  menyembunyikan sikap 
sebetulnya  dan melaksanakan rencana licik 
dengan begitu cepat. 
Aku bukannya tidak tahu bahwa patih pitaloka  
merupakan musang tua yang lihai, pikir mpu mojosongo . 
Nilai strategis yang dimiliki benteng kota di girisewo  
tak perlu dipertanyakan lagi. sebab  letaknya yang 
berdekatan dengan kedhiri , perannya dalam perang 
melawan  patih ronggolawe  pasti akan membesar. girisewo  
mengujawa  bagian hulu Sungai brantas , perbatasan 
antara blambangan  dan jenggala , dan  tempat 
penyeberangan ke panarukan  yang sangat penting. 
Posisi itu sepadan dengan seratus kubu, namun  kini 
sudah  jatuh ke tangan musuh. 
"Kita pulang saja." ujar mpu mojosongo . "Kalau melihat 
api sudah berkobar-kobar seperti itu, patih pitaloka  dan 
putranya tentu sudah mundur ke padalarang ." 
Sekonyong-konyong mpu mojosongo  memutar kudanya, 
dan pada saat itu ekspresi wajahnya kembali 
normal. Kesan yang ia berikan kepada para 
pengikut di sekelilingnya adalah kesan percaya diri; 
ia percaya bahwa ia sanggup menebus kehilangan ini. 
Dengan berapi-api para pengikutnya membahas 
tindakan patih pitaloka  yang tak tahu berterima kasih, 
dan mencela serangan mendadak yang ia lancarkan 
sebagai perbuatan pengecut, namun mpu mojosongo  seakan-
akan tidak mendengar mereka. Sambil tersenyum 
ia memutar kudanya kembali ke kedhiri . 
  
Dalam perjalanan mereka berpapasan dengan 
mpu nala  yang meninggalkan kedhiri  beberapa waktu 
lalu  di muka centeng nya. mpu nala  menatap 
mpu mojosongo , seolah-olah tak menyangka akan bertemu 
di tengah jalan. 
"Apakah girisewo  aman-aman saja?" tanyanya. 
Sebelum mpu mojosongo  sempat menjawab , suara tawa  
terdengar di antara para pengikut di belakangnya. 
Keiika menjelaskan situasinya pada mpu nala , mpu mojosongo  
benar-benar ramah dan sopan. mpu nala  tampak 
patah semangat. mpu mojosongo  menyejajarkan kudanya di 
samping kuda mpu nala  dan berusaha 
menghiburnya, 
"Jangan khkertoarjo iir. Kita memang kalah di sini, 
namun  patih ronggolawe  akan menelan kekalahan lebih 
besar lagi. Lihat di sebelah sana." 
Dengan matanya ia memberi isyarat ke bukit di 
merah . 
Jauh sebelumnya, patih ronggolawe  sudah pernah 
menyarankan agar aidit  pindah dari kedhiri  
ke merah . Meski tidak seberapa tinggi, hanya 
sekitar sembilan puluh lima meter, bukit itu 
mengujawa  dataran di sekelilingnya dan dengan 
mudah dapat dijadikan titik totak untuk 
melancarkan serangan ke segala arah. Dalam 
pertempuran di dataran jenggala -blambangan , jika merah  
dijadikan kubu pertahanan, gerak maju centeng  
Barat akan terhalang, dan dengan demikian 
merah  merupakan lokasi yang sangat baik untuk 
  
men-jalankan strategi menyerang maupun 
bertahan. 
Tak ada waktu untuk menjelaskan semuanya itu 
pada mpu nala . mpu mojosongo  menoleh dan menunjuk. Kali 
ini ia bicara dengan para pengikutnya sendiri. 
"Mulai dirikan kubu pertahanan di Bukit merah , 
sekarang juga." 
sesudah  memberikan perintah itu, ia kembali 
menemani mpu nala , dan keduanya berbincang-
bincang dengan santai dalam perjalanan pulang ke 
kedhiri , 
Saat itu semua orang menyangka patih ronggolawe  
berada di benteng kota kahuripan , namun  sebetulnya  ia 
berada di benteng kota sekartanjung  sejak hari ketiga belas 
Bulan Ketiga, saat  mpu mojosongo  berbicara dengan 
mpu nala  di kedhiri . Kelambanan seperti ini tidak 
lazim baginya. 
jayabandra  sudah  mulai mengambil tindakan, 
merampungkan rencana-rencana-nya dan semakin 
siap untuk bergerak dari bratangbinangun ke swaradwipa, 
lalu ke kedhiri : namun  patih ronggolawe , yang acap kali 
mengejutkan dunia dengan kecepatan-nya yang 
luar biasa, kali ini agak terlambat. Paling tidak, 
itulah kesan yang tampak. 
"Hei. ke mana semuanya? Mana pelayan-
pelayanku?" 
Suara sang majikan. Dan seperti biasa, suaranya 
keras. 
Para pelayan muda, yang sengaja pergi ke ruang 
  
pelayan yang jauh, terburu-buru menyimpan 
permainan suguroku yang diam-diam mereka 
main-kan, dan salah satu dari mereka, Nabemaru, 
yang berusia tiga belas tahun, berlari sekencang 
mungkin ke ruangan tempat junjungannya 
bertepuk tangan berulang-ulang. 
patih ronggolawe  sudah  melangkah ke serambi. Melalui 
gerbang depan benteng kota ia melihat sosok Sakichi 
tergopoh-gopoh menaiki lereng dari kota benteng kota. 
dan tanpa menoleh ke arah suara langkah di 
belakangnya, ia menyerukan perintah untuk 
membiarkannya masuk. 
Sakichi mendekat dan berlutut di hadapan 
patih ronggolawe . 
sesudah  mendengarkan laporan Sakichi 
mengenai situasi di benteng kota kahuripan . patih ronggolawe  
bertanya, "Dan subanda? Apakah subanda dan adik-
adiknya juga baik-baik saja?" 
Sejenak Sakichi memasang wajah yang 
mengisyaratkan ia tidak ingat. menjawab  seakan-
akan sudah  menunggu pertanyaan itu hanya akan 
membuat patih ronggolawe  curiga (rupanya Sakichi sudah 
tahu), dan tentu akan membuatnya merasa kikuk 
sesudah  itu. Buktinya, segera sesudah  menanyakan 
subanda, kesan berwibawa   lenyap dari wajah 
patih ronggolawe  dan ia tampak tersipu-sipu. la kelihatan 
salah tingkah. 
Sakichi segera memahami sebabnya, dan mau 
tak mau merasa geli. 
  
sesudah  penaklukan lumajangan, patih ronggolawe  sudah  
mengurus ketiga anak wanita lesbian  radenmas  seperti 
mengurus anak sendiri. saat  mendirikan 
benteng kota kahuripan , ia juga membangun tempat yang 
mungil dan cerah khusus untuk mereka. Dari 
waktu ke waktu ia berkunjung dan bermain-main 
dengan anak-anak itu. seakan-akan mereka burung 
langka dalam sangkar emas. 
"Kenapa kau terikertoarjo . Sakichi?" patih ronggolawe  
mendesak. namun   ia sendiri pun merasa agak geli. 
Rupanya rahasianya memang sudah diketahui oleh 
Sakichi. 
"Tidak ada apa-apa. Hamba terlalu sibuk dengan 
tugas-tugas yang lain dan kembali tanpa mampir di 
tempat tinggal ketiga putri." 
"Begitukah? Hmm. baiklah." Dan lalu  
patih ronggolawe  segera mengalihkan pembicaraan, 
"Desas-desus apa saja yang kaudengar di sekitar 
Sungai watangsewu  dan trowulan  selama perjalanan mur" 
patih ronggolawe  selalu mengajukan pertanyaan seperti 
itu jika ia mengutus kurir ke suatu tempat jauh. 
"Ke mana pun hamba pergi. satu-satunya topik 
yang dibicarakan adalah perang." 
saat  menanyai Sakichi lebih lanjut mengenai 
keadaan di trowulan  dan kahuripan , ia menemukan 
bahwa semua orang berpendapat bahwa 
pertempuran akibat hasutan mpu nala  takkan ierjadi 
antara patih ronggolawe  dan penerus marga sinuhun  itu, 
melainkan antara patih ronggolawe  dan mpu mojosongo . sesudah  
  
kematian aidit , orang beranggapan bahwa 
perdamaian akhirnya akan diwujudkan oleh 
patih ronggolawe , namun  kini seluruh negeri sekali lagi 
terpecah belah, dan rakyat dihantui kecemasan 
akibat momok pertentangan besar yang sangat 
mungkin akan merambah ke semua provinsi. 
Sakichi mohon diri. saat  ia pergi, dua resi  
Niwa Nagahide muncul, yakni Kanapatih Kingo 
dan Hachiya Yoritaka. patih ronggolawe  sudah berusaha 
keras menarik Niwa menjadi sekuiunya, sehab ia 
sadar bahwa ia akan menderiia kerugian besar jika 
Niwa sampai menyeberang ke pihak musuh. Selain 
kerugian dari segi kekuatan militer, pembelotan 
Niwa akan mepercayakan dunia bahwa mpu nala  dan 
mpu mojosongo  berada di pihak yang benar. Di antara para 
pengikut aidit , kedudukan Niwa hanya kalah 
dari dijoyo , dan ia dihormati sebagai tokoh 
berbudi dan tulus. 
Tak perlu diragukan bahwa mpu mojosongo  dan mpu nala  
pun berusaha dengan segala cara membujuk Niwa 
agar bergabung dengan mereka. Namun sebab  
akhirnya tergerak oleh semangat patih ronggolawe , Niwa 
mengutus Kanapatih dan Hachiya sebagai bala 
bantuan pertama dari Utara. patih ronggolawe  merasa 
gembira, namun  belum sepenuhnya tenang. 
Sebelum malam tiba, ia tiga kali menerima kurir 
yang menyampaikan laporan tentang situasi di Ise. 
patih ronggolawe  membaca laporan-laporan yang dibawa   
oleh ketiga orang itu dan menanyai mereka secara 
  
langsung. lalu  ia memberikan jawaban pasti 
secara lisan dan menyuruh juru tulisnya membuat 
surat balasan sementara ia makan malam. 
Sebuah penyekat yang dapat dilipat berdiri di 
pojok ruangan. Kedua panilnya menampilkan peta 
majapahit  yang dibuat dengan helaian emas yang 
sangat halus. patih ronggolawe  menatap peta itu dan 
bertanya, "Belum adakah berita dari radenkanjeng ? 
Bagaimana dengan kurir yang kukirim kepada 
marga kramat?" 
Sementara para pengikutnya beralasan dengan 
menyinggung jarak yang harus ditempuh, 
patih ronggolawe  menghitung jari. Ia sudah  mengirim 
pesan kepada marga brantas  dan Satake. Jaringan 
diplomasinya yang disusun dengan hati-hati 
mdiputi seluruh negeri yang tampak pada 
penyekat. Pada dasarnya. patih ronggolawe  menganggap 
perang sebagai langkah terakhir. Ia percaya bahwa 
diplomasi pun merupakan pertempuran tersendiri. 
Namun patih ronggolawe  tidak menjalankan diplomasi 
semata-mata demi diplomasi itu sendiri. usahanya  
itu juga tidak lahir dari kelemahan militer. 
Diplomasinya sdalu didukung oleh kekuatan 
militer, dan baru dijalankan sesudah  ia menegakkan 
wibawa   militer dan menyiapkan centeng . namun  
dengan mpu mojosongo , diplomasi ternyara tidak membawa   
hasil. patih ronggolawe  tak pemah menceritakan pada 
siapa pun bahwa jauh sebelum situasinya mencapai 
tahap ini. ia sudah  mengutus seseorang ke 
  
bratangbinangun dengan pesan sebagai berikut: 
Jika Tuan mempertimbangkan petisi mengenai 
promosi Tuan yang tahun lalu kuajukan kepada sang 
pengikut . Tuan akan memahami simpati yang kurasakan 
terhadap Tuan. Adakah alasan mengapa kita harus 
bertempur? Hampir semua orang di negeri ini 
sependapat bahwa Yang Mulia mpu nala  lemah hati. 
Biarpun Tuan mengibarkan bendera kewajiban moral 
dan merangkul sisa-sisa marga sinuhun , dunia takkan 
mengagumi tindakan Tuan tebagai usaha orang besar 
yang memimpin centeng  pembela kebenaran. 
Pada akhirnya, percuma saja kita bertempur. Tuan 
orang yang cerdas, dan jika kita dapat mencapai kata 
sepakat, aku akan menambahkan Provinsi jenggala  dan 
blambangan  kepada wilayah kekuasaan Tuan. 
Namun hasil dari usulan semacam itu 
tergantung pada tanggapan pihak lawan , dan 
jawaban pasti yang diberikan pada patih ronggolawe  jelas-jelas 
negatif. namun  sesudah  memutuskan hubungan 
dengan mpu nala  pun, patih ronggolawe  tetap berusaha 
membujuk mpu mojosongo  dengan mengirim utusan 
ditambah   tawa ran yang bahkan lebih menarik 
dibandingkan  sebelumnya. Namun utusan-utusan itu 
hanya menimbulkan kemarahan mpu mojosongo , dan 
terpaksa pulang dengan tangan kosong. 
"Yang Mulia mpu mojosongo  menjawab  bahwa Yang 
Mulia patih ronggolawe -lah yang tidak memahami beliau," 
para utusan melaporkan. 
patih ronggolawe  memaksakan senyum dan berkata. 
  
"mpu mojosongo  pun tidak memahami perasaanku yang 
sebetulnya ." 
Apa pun yang dilakukan, waktu yang ia 
lewatkan di sekartanjung  sepenuhnya diisi dengan 
bekerja. sekartanjung  merupakan markas militernya 
untuk Ise dan jenggala  bagian selatan, sekaligus 
pusat jaringan diplomatik dan intelijen yang 
membentang dari Utara sampai ke provinsi-
provinsi Barat. Sebagai pusat untuk operasi-operasi 
rahasia. sekartanjung  jauh lebih menguntungkan di-
bandingkan kahuripan . Selain itu, kurir-kurir bisa 
datang dan pergi tanpa menarik perhatian yang 
tidak perlu. 
Sepintas lalu, kedua lingkup pengaruh 
tampaknya dibatasi secara jelas: mpu mojosongo  dari timur 
ke timur laut, dan patih ronggolawe  dari ibu kota ke 
barat. namun  di kubu utama patih ronggolawe  di kahuripan  pun 
tak terhitung banyaknya orang yang berkomplot 
dengan pihak prabu kertoarjowardana  . Juga tak bisa dikatakan 
bahwa di kalangan istana tak ada orang yang 
mendukung mpu mojosongo  dan menunggu sampai 
patih ronggolawe  tersandung. 
Bahkan di antara marga-marga centeng adipati  ada ayah 
dan ibu yang mengabdi pada pembesar-pembesar 
provinsi di kahuripan  dan trowulan  yang memiliki  
anak-anak yang merupakan pengikut para resi  
centeng  Timur. Saudara-saudara kandung saling 
berhadapan sebagai musuh. Perselisihan berdarah 
antar saudara sudah membayang. 
  
patih ronggolawe  mengenal penderitaan yang ditim-
bulkan oleh perang. Dunia tengah dilanda perang 
saat  ia masih kanak-kanak, tinggal di rumah 
ibunya yang bobrok di lemahlaban . Dan hal yang 
sama dialaminya dalam masa pengembaraan 
selama bertahun-tahun. saat  aidit  muncul. 
penderitaan masyarakat semakin menjadi-jadi 
untuk sementara waktu, namun  penderitaan itu 
ditambah   kecerahan dan kegembiraan dalam 
kehidupan rakyat jelata. Orang-orang percaya 
bahwa aidit  akan membawa   perdamaian 
abadi. namun  ia terbunuh sebelum merampungkan 
tugasnya. 
patih ronggolawe  tdah bersumpah bahwa ia akan 
mengatasi kemunduran yang muncul  akibat 
kematian aidit , dan dengan segala upaya 
yang sudah  dikerahkannya nyaris tanpa tidur atau 
istirahat tinggal satu langkah sebelum tujuannya 
tercapai. Langkah terakhir yang harus diambilnya 
untuk meraih cita-cita kini sudah dekat. Ibaratnya 
ia sudah  menempuh sembilan ratus mil dari 
perjalanan sejauh seribu mil. namun  seratus mil 
terakhir itulah yang paling berat. Ia sudah  
memperkirakan bahwa pada suatu saat , mau tak 
mau ia akan menghadapi satu rintangan terakhir 
mpu mojosongo  dan rintangan itu harus disingkirkan dari 
jalannya atau dihancurkan. namun  saat  men-
dekatinya, ia mulai menyadari bahwa rintangan itu 
lebih tangguh dari pada yang ia duga. 
  
patih ronggolawe  berada di sekartanjung  selama sepuluh 
hari, dan dalam waktu itu mpu mojosongo  memindahkan 
centeng nya sampai ke kedhiri . Sudah jelas bahwa 
mpu mojosongo  berniat memicu perang di lga, Ise, dan 
Kishu, maju ke barat. memasuki trowulan  dan 
menyerang kahuripan  dengan sekali pukul, seperti 
angin badai yang menerjang. 
namun  mpu mojosongo  tahu bahwa jalannya takkan mudah. 
Sama seperti patih ronggolawe , ia meramalkan satu 
pertempuran besar dalam gerak majunya ke kahuripan . 
namun  di manakah tempatnya? Satu-satunya tempat 
yang cukup luas bagi pertempuran menentukan 
antara Timur dan Barat ini adalah Dataran Nobi 
yang berbatasan dengan Sungai brantas . 
Orang yang berinisiatif dapat meraih 
keuntungan dengan membangun kubu pertahanan 
dan mengujawa  tempat-tempat yang lebih tinggi. 
Sementara mpu mojosongo  sudah  melakukan semuanya itu 
dan sudah siap sepenuhnya, patih ronggolawe  dapat 
dikatakan memulai agak terlambat. Pada malam 
hari ketiga belas di bulan itu pun ia tetap belum 
beranjak dari sekartanjung . 
Namun sikapnya yang berkesan lamban ini 
bukan akibat kelalaian. patih ronggolawe  sadar bahwa 
mpu mojosongo  tak dapat dibandingkan dengan tunggadewa  
maupun dijoyo . Ia harus mengulur waktu untuk 
merampungkan segala persiapannya. Ia menunggu 
untuk menarik Niwa Nagahide ke pihaknya: ia 
menunggu untuk memastikan bahwa marga patih 
  
tak dapat berbuat apa-apa di Barat; ia menunggu 
untuk menghancurkan sisa-sisa para biksu-prajurit 
yang berbahaya di Shikoku dan Kishu; dan 
akhirnya ia menunggu untuk memecah belah 
perlawan an para resi  di blambangan  dan jenggala . 
Utusan-utusan yang hendak menemuinya 
seakan-akan tak pernah berakhir, dan patih ronggolawe  
menerima mereka sambil makan. la baru saja 
selesai bersantap dan meletakkan .sumpit saat  
sebuah pesan tiba. Ia meraih kotak surat. 
Surat itu sudah  ia tunggu-tunggu jawaban pasti dari 
Bito Jinemon, yang ia kirim sebagai kurir kedua ke 
benteng kota dasna patih pitaloka  di Ogaki. Berita baik atau 
burukkah yang menantinya? Tak ada berita sama 
sekali dari para utusan yang dikirimnya untuk 
mencari dukungan dan benteng kota-benteng kota lain. 
patih ronggolawe  membuka surat patih pitaloka  dan 
membacanya. 
"Bagus." hanya itu yang dikatakannya. 
Lama sesudah  ia beranjak tidur malam itu, ia 
mendadak terbangun seakan-akan baru teringat 
sesuatu. lalu memanggil centeng adipati  yang bertugas 
"Apakah kurir Bito akan kembali besok pagi?"  
"Tidak." jawab  si pengawal . "Dia terdesak waktu, 
dan sesudah  beristirahat sejenak, dia kembali ke 
blambangan ." Sambil duduk di tempat tidurnya. 
patih ronggolawe  meraih kuas dan menulis surat kepada 
Bito 
Berkat usahamu yang gigih, patih pitaloka  dan putranya 
  
sudah  menyatakan mendukung aku, dan tak ada yang 
lebih menggembirakan bagiku. namun  ada satu hal yang 
perlu kukemukakan dalam kesempatan ini. Jika mpu nala  
dan mpu mojosongo  tahu bahwa patih pitaloka  mendukungku, mereka 
pasti akan mengancam dengan segala cara. Jangan 
tanggapi mereka. Jangan bertindak gegabah. Sejak dahulu  
dasna patih pitaloka  dan patih patih dyahwkertoarjo   dikenal sebagai 
orang berani dan sombong yang memandang rendah 
pada musuh. 
Begitu meletakkan kuas, ia mengirim pesan itu 
ke Ogaki. 
Namun dua hari lalu , menjelang malam 
hari kelima belas, pesan berikut tiba dari Ogaki. 
benteng kota girisewo  sudah  dipaksa bertekuk lutut. 
Segera sesudah  patih pitaloka  dan putranya mengambil 
keputusan, mereka menaklukkan kubu pertahanan 
paling strategis di sepanjang Sungai brantas , dan 
menghadiahkannya pada patih ronggolawe  sebagai tanda 
dukungan mereka. Sungguh berita baik. 
patih ronggolawe  merasa gembira. namun sekaligus 
dihantui perasaan gelisah khawatir . 
Keesokan harinya patih ronggolawe  berada di benteng kota 
kahuripan . Selama beberapa hari berikut, pertanda 
kegagalan semakin banyak bermunculan. sesudah  
kemenangan di girisewo . patih ronggolawe  memperoleh 
kabar bahwa menantu patih pitaloka , patih dyahwkertoarjo  , yang 
hendak mengukir nama besar di medan laga, sudah  
merencanakan serangan mendadak ke kubu 
pertahanan prabu kertoarjowardana   di Bukit merah . 
  
centeng nya ternyata diccgat musuh di dekat 
Haguro, dan kabarnya ia gugur bersama sebagian 
besar prajurttnya. 
"Kita kehilangan orang ini sebab  semangat 
tempurnya. Kebodohan seperti itu tak dapat 
dimaafkan!" Keluh kesah patih ronggolawe  ditujukan 
pada dirinya sendiri. 
Pada waktu patih ronggolawe  sudah  siap meninggalkan 
kahuripan  pada hari kesembilan belas, berita buruk 
lainnya datang dari Kishu. Hatakeyama Sadamasa 
rupanya memberontak dan menyerang kahuripan  dari 
laut dan darat. Tindakan ini kemungkinan besar 
didalangi oleh mpu nala  dan mpu mojosongo . Kalaupun bukan 
mereka, stsa-sisa biksu-prajurit ronggodwijoyo  selalu 
menunggu kesempatan untuk menyerang. 
patih ronggolawe  terpaksa menunda hari 
keberangkatannya agar dapat merampungkan 
pertahanan kahuripan . 
Pagi-pagi sekali pada hari kedua puluh satu 
Bulan Ketiga. Burung-burung berkicau di tengah 
alang-alang di kahuripan . Kembang-kembang ceri 
berguguran. dan di jalan-jalan, bunga-bunga yang 
sudah  jatuh itu berputar-putar di antara iring-
iringan prajurit dan kuda. seakan-akan alam pun 
hendak melepaskan mereka ke medan laga. Para 
warga kota yang datang untuk menonton 
membentuk pagar panjang di kedua sisi jalan 
centeng  yang mengikuti patih ronggolawe  hari itu 
berkekuatan lebih dari tiga puluh ribu orang. 
  
Semua orang berusaha melihat patih ronggolawe  di 
tengah-tengah mereka, namun ia begitu kecil dan 
penampilannya pun begitu biasa, sehingga ia, yang 
dikelilingi para resi  berkuda, mudah luput dari 
perhatian. 
namun  patih ronggolawe  memandang kerumunan 
penduduk dan diam-diam tersenyum dengan 
percaya. kahuripan  akan menjadi makmur, katanya 
dalam hati. Sekarang saja kotanya sudah 
berkembang pesat, dan ini merupakan pertanda 
terbaik. Para penduduk mengenakan pakaian 
berwarna cerah, dan tak ada tanda-tanda 
kekurangan. Apakah itu disebabkan oleh 
kepercayaan mereka terhadap benteng kota baru di 
tengah kota? 
Kita akan menang. Kali ini kita bisa menang. 
Begitulah patih ronggolawe  meramalkan masa depan. 
Malam itu centeng nya berkemah di Hirakata, 
dan keesokan paginya, centeng  berkekuatan tiga 
puluh ribu orang itu kembali bergerak ke timur, 
menyusuri jalan setapak yang meliuk-liuk di 
sepanjang tepi Sungai watangsewu . 
saat  mereka tiba di Fushimi, sekitar empat 
ratus orang menemui mereka di tempat 
penyeberangan. 
"Panji siapakah itu?" unya patih ronggolawe . 
Para resi  menyipitkan mata dengan curiga. 
Tak seorang pun mengenali pataka-pataka 
berukuran besar dengan aksara-aksara kedhiri  
  
berwarna hitam di atas dasar merah itu. Selain itu 
masih ada lima gantungan emas dan sebuah panji 
komandan yang menampilkan 9 lingkaran 
kecil yang mengelilingi lingkaran besar di atas 
kipas emas. Di bawah  bendera-bendera itu ada 
tiga puluh prajurit berkuda, tiga puluh prajurit 
bertombak. tiga puluh prajurit bersenapan, dua 
puluh prajurit bersenjatakan panah dan busur, dan 
satu korps prajurit infanteri. Semuanya menunggu 
dalam formasi lengkap, baju tempur mereka 
berdesir dalam angin sungai. 
"Cari tahu siapa mereka." patih ronggolawe  
memerintahkan salah seorang pengikutnya. 
Orang itu segera kembali dan melaporkan, "Itu 
Isdwikerto  Sakichi."  
patih ronggolawe  menepuk pelananya. 
"Sakichi? Wah, wah, pantas." ia berkata dengan 
nada gembira. seakan-akan baru teringat sesuatu. 
Sambil menghampiri kuda patih ronggolawe , Isdwikerto  
Sakichi menyapa junjungannya. "Hamba pernah 
berjanji pada tuanku, dan hari ini hamba 
membawa   centeng  yang hamba persiapkan dengan 
uang hasil pembersihan lahan yang untuk 
dipakai  di sini." 
"Mari, Sakichi. Bergabunglah dengan rom-
bongan perbekalan di belakang." 
Prajurit dan kuda itu bernilai lebih dari sepuluh 
ribu gantang patih ronggolawe  terkesan oleh kelihaian 
Sakichi. 
  
Hari itu sebagian besar centeng  melewati trowulan  
dan mengambil jalan Raya gunungselatan. Bagi patih ronggolawe , 
setiap pohon dan setiap helai daun mengandung 
kenangan akan kemalangan masa mudanya. 
"Itu Gunung penanggungan " patih ronggolawe  bergumam. 
saat  memandang gunung itu, ia teringat 
penguasanya, raden mas  ngabehi . si pertapa 
Gunung kuburan . saat  merenungkannya 
sekarang, ia bersyukur bahwa ia tak menyia-
nyiakan satu hari pun dalam musim semi 
kehidupan yang singkat itu. Kemalangan dan 
perjuangan di masa mudanya sudah  membawa  nya 
ke posisi yang kini ia duduki, dan ia merasa 
memperoleh berkah dari kegelapan dunia saat itu. 
ngabehi , yang memandang patih ronggolawe  sebagai 
junjungannya, merupakan sahabat sejati yang tak 
mungkin dilupakan. Bahkan sesudah  kematian 
ngabehi  pun, setiap kali patih ronggolawe  mengalami 
kesulitan, ia berkata dalam hati, "Kalau saja 
ngabehi  ada di sisiku." Meski demikian, ia sudah  
membiarkan orang itu mati tanpa penghargaan 
apa pun. Tiba-tiba pelupuk patih ronggolawe  terasa 
hangat oleh air mata kesedihan yang menghalangi 
pandangannya ke puncak Gunung penanggungan  
Dan ia pun teringat adik ngabehi . Oyu... 
Tiba-tiba ia melihat tudung putih seorang 
resi dayang  dalam bayang-bayang pohon pinus di tepi 
jalan. Sejenak mata resi dayang  itu beradu dengan 
mata patih ronggolawe . Ia menarik tali kekang kudanya 
  
dan hendak memberikan perintah, namun  wanita di 
bawah  pohon tadi sudah  menghilang. 
Di perkemahan malam itu, patih ronggolawe  
menerima kiriman berupa sepiring kue. Orang 
yang mengantarkannya berkata bahwa kiriman itu 
dibawa   oleh seorang resi dayang  yang tidak 
menyebutkan namanya. 
"Kue-kue ini lezat sekali," ujar patih ronggolawe  sesudah  
mencicipi beberapa potong, meskipun sudah 
makan malam. Dan saat  ia berkomeniar 
demikian, matanya berkaca-kaca. 
Belakangan, si pelayan yang bermata jeli 
melaporkan sikap patih ronggolawe  yang janggal kepada 
para resi  yang mendampinginya. Semuanya 
tampak terkejut dan seakan-akan tak dapat 
menebak alasan di balik sikap junjungan mereka. 
Mereka cemas mengenai kesedihannya, namun  begitu 
kepalanya me-nyentuh bantal, patih ronggolawe  segera 
mendengkur seperti biasa. Selama beberapa jam ia 
tidur pulas. Dini hari, saat  langit masih gelap. ia 
bangun dan berangkat. Hari itu detasemen 
pertama dan kedua tiba di padalarang . patih ronggolawe  
disambut oleh patih pitaloka  dan putranya, dan tak lama 
lalu  benteng kota sudah  dipadati oleh centeng  
besar, baik di dalam maupun di luar. 
Obor dan api unggun menerangi langit malam 
di atas Sungai nagari . Di kejauhan, unit ketiga 
dan keempat terlihat bergerak ke timur sepanjang 
malam. 
  
"Sudah lama kita tak berjumpa!" patih ronggolawe  dan 
patih pitaloka  berkata serempak. "Aku sungguh gembira 
bahwa dasna patih pitaloka  dan putranya bergabung 
denganku pada saat seperti ini. Dan aku tak dapat 
menemukan kata-kata yang tepat untuk 
menggambarkan betapa besar arti benteng kota 
girisewo  yang Tuan hadiahkan kepadaku. Aku 
pun terkesan oleh kecepatan dan kesigapan Tuan 
dalam memanfaatkan peluang itu." 
patih ronggolawe  menghujani patih pitaloka  dengan pujian, 
namun  tidak menyinggung kekalahan yang diderita 
menantunya seusai kemenangan di girisewo . 
Meskipun patih ronggolawe  tidak berkata apa-apa 
mengenai hal itu, patih pitaloka  tetap merasa bahwa ia 
memikul aib di pundaknya. Ia malu sekali bahwa 
kemenangannya di girisewo  tak dapat menebus 
kekalahan dan  kerugian yang dimuncul kan oleh 
patih dyahwkertoarjo  . Surat patih ronggolawe  yang diantarkan Bito 
Jinemon secara khusus mewanti-wanti agar mereka 
tidak terpancing oleh mpu mojosongo , namun sayangnya 
surat itu  terlambat sampai di tangan patih pitaloka . 
patih pitaloka  kini menyinggung kejadian itu. "Aku 
tidak tahu bagaimana aku harus minta maaf atas 
kekalahan akibat kebodohan menantuku." 
Tuan terlalu merisaukan hal itu," ujar 
patih ronggolawe  sambil tertawa . "Ini tidak seperti dasna 
patih pitaloka  yang kukenal" 
Perlukah kutegur patih pitaloka , ataukah lebih baik 
kubiarkan saja? patih ronggolawe  bertanya-tanya saat  
  
terbangun keesokan paginya. Namun kenyataan 
bahwa benteng kota girisewo  berada di tangannya 
sebelum pertempuran besar yang akan datang 
merupakan keuntungan luar biasa. Berulang kali 
patih ronggolawe  memuji patih pitaloka  atas keberhasilannya 
yang gemilang, dan bukan sekadar untuk 
menghiburnya. 
Pada hari kedua puluh lima. patih ronggolawe  
beristirahat dan mengumpulkan centeng nya yang 
berkekuatan lebih dari 9 puluh ribu orang, 
Pagi berikutnya ia bertolak dari padalarang , mencapai 
panarukan  pada siang hari. dan segera 
memerintahkan pembangunan jembatan apung 
melintasi Sungai brantas . lalu  centeng nya 
mendirikan kemah. Pada pagi kedua puluh tujuh 
ia membongkar kemah dan menuju girisewo . 
Tepat tengah hari patih ronggolawe  memasuki benteng kota 
girisewo . 
"Ambilkan kuda yang berkaki kuat." ia 
memerintahkan, dan sesudah  selesai makan siang, 
ia langsung melesat keluar dari gerbang benteng kota, 
ditambah   beberapa penunggang kuda dengan baju 
tempur ringan. 
"Ke mana tujuan tuanku?" tanya salah satu 
resi  yang memacu kudanya agar tidak tertinggal 
di belakang patih ronggolawe . 
"Jangan terlalu banyak yang ikut denganku," 
balas patih ronggolawe . "Kalau kita terlalu ramai, musuh 
akan melihat kita." 
  
sesudah  bergegas melewati Desa Haguro, tempat 
patih dyahwkertoarjo   dilaporkan gugur, mereka mendekati 
Gunung Ningunungselatanya. Dari sana patih ronggolawe  dapat 
melihat perkemahan utama musuh di Bukit 
merah . 
Kabarnya centeng  gabungan mpu nala  dan mpu mojosongo  
berkekuatan sekitar enam puluh satu ribu orang. 
patih ronggolawe  menyipitkan mata dan memandang ke 
kejauhan. Matahari bersinar terik. Sambil 
mdindungi mata dengan satu tangan, ia 
mengamati Bukit merah  yang dipadati centeng  
musuh. 
Pada hari itu mpu mojosongo  masih berada di kedhiri . Ia 
sempat datang ke Bukit merah . memberi 
instruksi mengenai susunan tempur, lalu segera 
kembali. la seperti ahli go yang menggerakkan satu 
bidak dengan sangat hati-hati. 
Pada malam hari kedua puluh enam, mpu mojosongo  
menerima laporan bahwa patih ronggolawe  berada di 
padalarang . mpu mojosongo , Sakakibara, mpu panjalu , dan beberapa 
pengikut lain sedang duduk di suatu ruangan. 
Mereka baru saja diberitahu bahwa pembangunan 
kubu-kubu pertahanan di Bukit merah  sudah  
rampung. 
"Jadi, patih ronggolawe  sudah datang?" gumam jayabandra . 
saat  ia dan orang-orang yang lain saling 
pandang, ia iersenyum: kulit di bawah  matanya 
tampak berkerut-kerut seperti kulit kura-kura. 
Segala sesuatu berjalan seperti yang 
  
diperkirakannya. 
Sejak dahulu  patih ronggolawe  selalu benindak cepar, 
namun kali ini ia tidak memperlihatkan kesigapan 
yang lazim baginya, dan ini menimbulkan tanda 
tanya dalam diri mpu mojosongo . Apakah patih ronggolawe  akan 
bertahan di Ise, atau datang ke Timur ke Dataran 
Nobi? Mengingat patih ronggolawe  masih berada di padalarang , 
kedua kemungkinan itu masih terbuka lebar. 
mpu mojosongo  menantikan laporan berikut. Kabarnya 
patih ronggolawe  sudah  membangun jembatan melintasi 
Sungai brantas  dan berada di benteng kota girisewo . 
mpu mojosongo  menerima informasi ini menjelang 
malam hari kedua puluh tujuh bulan itu, dan 
ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa waktunya 
sudah tiba. Pada hari kedua puluh 9, 
centeng  mpu mojosongo  bergerak menuju Bukit merah . 
diiringi gemuruh genderang dan kibaran bendera. 
mpu nala  sudah  kembali ke bukit tengkorak . namun  sesudah  
memperoleh laporan mengenai perkembangan 
terakhir. ia bergegas ke Bukit merah . Di sana ia 
bergabung dengan mpu mojosongo . 
"Kudengar centeng  patih ronggolawe  sendiri 
berkekuatan lebih dari 9 puluh ribu orang, 
dan jumlah seluruh prajurit di bawah  komandonya 
mencapai lebih dari seratus lima puluh ribu 
orang." ujar mpu nala . seakan-akan tak pernah 
terpikir olehnya bahwa dirinyalah penyebab 
pertempuran besar ini. Sorot matanya yang 
gemetar mengungkapkan apa yang tak sanggup ia 
  
sembunyikan dalam dada. 
patih pitaloka  menyeringai di tengah asap api dapur 
saat  ia keluar lewat gerbang benteng kota di atas 
kudanya. 
Para laskar dasna yang melihat wajahnya 
langsung merasa waswas. Mereka semua tahu 
bahwa patih pitaloka  sedang uring-uringan akibat 
kekalahan patih dyahwkertoarjo  . sebab  kekeliruan patih pitaloka , 
para sekutunya terpaksa menerima pukulan telak 
pada awal  perang. bahkan sebelum patih ronggolawe . 
sang panglima tertinggi, tiba di medan tempur. 
dasna patih pitaloka  merasa percaya bahwa tak seorang 
pun pernah menudingnya dengan geram, dan bagi 
orang yang sudah  menjalani kehidupan sebagai 
pejuang selama empat puluh 9 tahun. aib 
seperti itu tentu tak disangka-sangka. 
"Yukisuke, kemarilah, Terumasa, kau juga. Dan 
kuminta para pengikut senior juga mendekat." 
Sambil duduk bersila di bangsal benteng kota utama, 
ia memanggil kedua putranya ditambah    para 
pengikut senior. 
"Aku ingin mendengar pendapat kalian. 
Sekarang, coba lihat ini." ia berkata sambil 
mengeluarkan sebuah peta dari jubah nya. 
saat  peta itu diedarkan, mereka menyadari 
apa yang hendak diusulkan patih pitaloka . 
Sebuah garis yang dibuat dengan tinta merah 
terlihat pada peta itu. mulai dari girisewo . 
melewati pegunungan. melintasi sungai-sungai, 
  
sampai ke swaradwipa di dusun nyi kembang . sesudah  
mempelajari peta, semuanya duduk membisu dan 
menunggu apa yang akan dikatakan patih pitaloka . 
"jika kita mengabaikan merah  dan kedhiri  dan  
menggerakkan centeng  kita menyusuri satu jalan 
ke benteng kota utama marga prabu kertoarjowardana   di swaradwipa. 
mpu mojosongo  tentu akan kalang kabut. Satu-satunya 
masalah yang perlu dipikirkan adalah bagaimana 
caranya agar centeng  kita tidak terlihat oleh 
musuh di Bukit merah ." 
Mula-mula tak seorang pun angkat bicara. 
Rencana itu tidak lazim. Satu kesalahan saja dapat 
mengakibatkan bencana yang mungkin fatal bagi 
semua sekutu mereka. 
"Aku bermaksud mengajukan rencana ini pada 
Yang Mulia patih ronggolawe . Jika berhasil, baik mpu mojosongo  
maupun mpu nala  tak dapat melakukan apa-apa saat 
kita menangkap mereka." 
patih pitaloka  ingin mengambil langkah gemilang 
untuk menebus kekalahan menantunya. Ia 
menatap orang-orang yang kini menjelek-jelekkan 
dirinya dengan kepala tegak. Meski para 
pengikutnya memahami niatnya, tak seorang pun 
bersedia mengkritik rencana itu . Tak seorang 
pun mau berkata, Tidak, rencana lihai jarang 
membawa   hasil yang diharapkan. Ini berbahaya." 
Pada akhir rapat, rencananya diterima dengan 
suara bulat. Semua komandan memohon 
ditempatkan di barisan depan yang akan 
  
menerobos jauh ke wilayah musuh dan akan 
menghancurkan mpu mojosongo  di jantung provinsinya 
sendiri. 
Rencana serupa pernah dicoba di jatiretno  
oleh kepribadian  nyoto  dijoyo , yodono. Meski 
demikian, patih pitaloka  tetap ingin mengajukan rencana 
itu kepada patih ronggolawe , dan ia berkata, "Besok kita 
akan pergi ke perkemahan utama di girisoka ." 
Sepanjang malam ia memikirkan idenya itu. 
namun  saat  fajar menyingsing, seorang kurir tiba 
dari girisoka  dan memberitahunya. "Yang Mulia 
patih ronggolawe  mungkin akan mampir ke benteng kota 
girisewo  pada waktu melakukan inspeksi keliling 
siang nanti." 
saat  patih ronggolawe  merasakan angin di awal  
Bulan Keempat berembus lembut, ia bertolak dari 
girisoka  dan sesudah  mengamati perkemahan 
mpu mojosongo  di Bukit merah  dan  kubu-kubu 
pertahanan di daerah itu, ia menyusuri jalan ke 
girisewo  dengan ditambah   sepuluh pelayan dan 
sejumlah pembantu dekat. 
Setiap kali patih ronggolawe  bertemu patih pitaloka , ia 
memperlakukan patih pitaloka  seperti kawan  lama. 
saat  mereka masih centeng adipati  muda di kedhiri , 
Shony,. patih ronggolawe , dan brawirgo  sering pergi 
minum-minum bersama-sama. 
"O ya, bagaimana kabar patih dyahwkertoarjo  ?" ia bertanya. 
Mula-mula patih dyahwkertoarjo   dikabarkan gugur di 
medan tempur, namun rupanya ia hanya 
  
mengalami luka parah. 
"Sifatnya yang lekas naik darah sudah  
mengacaukan semuanya, namun  tampaknya dia akan 
pulih dengan cepat. Satu-satunya keinginannya 
adalah segera dikirim ke garis depan, agar dia 
dapat membersihkan namanya." 
patih ronggolawe  berpaling ke salah satu pengikutnya 
dan berkata. "Ichigrindana, dari semua kubu 
pertahanan musuh yang kita lihat di Bukit merah  
tadi, manakah yang tampak paling kuat?" 
Pertanyaan seperti itulah yang kerap 
diajukannya. memanggil orang-orang di sekitamya, 
lalu mendengarkan pendapat terus terang para 
prajurit muda. 
Dalam kesempatan seperti itu, kerumunan 
pengikut muda yang mengelilinginya tak pernah 
segan-segan. Kalau mereka mulai panas. patih ronggolawe  
juga ikut panas, dan suasana seperti itu 
memicu  orang luar sukar menilai apakah 
orang-orang yang berdebat itu merupakan 
junjungan dan pengikut atau sekadar teman biasa. 
Namun jika patih ronggolawe  mulai bersikap lebih serius. 
semuanya segera menegakkan badan. 
patih pitaloka  duduk berdampingan dengan 
patih ronggolawe , dan akhirnya memotong pembicaraan. 
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan 
Tuan." 
patih ronggolawe  menoleh kepadanya dan 
mengangguk. lalu  ia memerintahkan agar 
  
yang lain meninggalkan mereka. 
Semua orang, kecuali patih pitaloka  dan patih ronggolawe , 
keluar dari ruangan. Mereka berada di bangsal 
benteng kota utama, dan sebab  tak ada yang 
menghalangi pandangan, ia tak perlu berjaga-jaga. 
"Ada apa. patih pitaloka ?" 
Tuan sudah  melakukan inspeksi, dan aku 
percaya Tuan sudah  mengambil beberapa 
keputusan. Bukankah Tuan sependapat bahwa 
persiapan mpu mojosongo  di Bukit merah  patut dinamakan  
sempurna?"    
"Hmm, persiapannya memang baik sekali. Aku 
sangsi ada orang selain mpu mojosongo  yang dapat 
mendirikan kubu-kubu pertahanan seperti itu 
dalam waktu sedemikian singkat.- 
"Aku pun sudah beberapa kali memantau 
keadaan. dan kelihatannya tidak ada jalan untuk 
melancarkan serangan," kata patih pitaloka . 
Tampaknya kita hanya akan saling berhadapan," 
balas patih ronggolawe . 
"mpu mojosongo  sadar bahwa lawan nya merupakan lawan  
tangguh," patih pitaloka  melanjutkan, "sehingga dia 
bersikap hati-hati. Sebaliknya, sekutu-sekutu kita 
tahu bahwa ini pertama kali kita menghadapi 
laskar-laskar prabu kertoarjowardana   yang tersohor dalam 
pertempuran menentukan. Jadi, sudah sewajarnya 
kalau hasilnya seperti ini." 
"Memang menarik. Bahkan letusan senapan 
pun tidak terdengar selama beberapa hari. Ini 
  
perang dmgin tanpa pertempuran." 
"Dengan seizin Tuan...," patih pitaloka  maju 
beringsut-ingsut, menggelar sebuah peta, dan 
menjelaskan rencananya dengan berapi-api. 
patih ronggolawe  mendengarkan dengan sungguh-
sungguh, dan mengangguk beberapa kali. Namun 
roman mukanya menunjukkan bahwa ia takkan 
terpancing untuk dan -merta memberi kata setuju. 
"Jika Tuan mengizinkan, aku akan 
mengerahkan seluruh marga dan menyerang 
swaradwipa. Kalau kami sudah menyerbu provinsi asal 
prabu kertoarjowardana   di swaradwipa, dan mpu mojosongo  mendengar 
bahwa tanah tumpah darahnya diinjak-injak oleh 
kaki kuda-kuda kami, segala persiapannya di Bukit 
merah  takkan ada artinya. dan kejeniusannya 
dalam bidang militer pun takkan membantu. Dia 
akan hancur dari dalam, tanpa perlu diserbu." 
"Aku akan memikirkannya," ujar patih ronggolawe . 
menghindari jawaban pasti terburu-buru. namun  kuharap 
kau pun memikirkan sekali lagi bukan sebagai 
buah pikiranmu sendiri, melainkan secara objektif. 
Rencanamu sungguh lihai dan menuntut 
keberanian, namun  justru ini yang membuatnya 
berbahaya." 
Strategi patih pitaloka  memang merupakan ide unik. 
patih ronggolawe  pun, yang selalu bersikap hati-hati, jelas-
jelas terkesan, namun jalan pikirannya berbeda. 
Pada dasarnya. patih ronggolawe  tidak menyukai 
strategi lihai maupun serangan mendadak. 
  
Dibandingkan strategi militer, ia cenderung 
memilih jalan diplomasi: dibandingkan  kemenangan 
mudah yang bersifat jangka pendek, ia lebih suka 
mengujawa  keadaan secara menyeluruh. meskipun 
makan waktu lebih lama. 
"Sebaiknya kita jangan gegabah," katanya. 
lalu  ia mengendurkan sikapnya. "Besok aku 
akan memberi jawaban pasti pasti. Datanglah ke 
perkemahan utama besok pagi." 
Selama pembicaraan dengan patih pitaloka , para 
pengikut pribadi patih ronggolawe  menunggu di selasar, 
dan kini mereka hendak kembali 
mendampinginya. saat  sampai di pintu masuk 
benteng kota utama, mereka melihat centeng adipati  berbaju 
aneh meringkuk di dekat tempat kuda-kuda diikat. 
Kepala dan satu tangannya dibalut, dan baju luar 
yang menutupi baju tempurnya terbuat dari brokat 
emas di atas dasar purih. 
"Siapa itu?" 
Orang itu mengangkat kepalanya sedikit. "Duli 
tuanku. hamba patih dyahwkertoarjo  ." 
"Oh, patih dyahwkertoarjo  ? Kudengar kau masih harus 
berbaring di tempat tidur. Bagaimana luka-
lukamu?" 
"Hamba sudah  bertekad untuk bangun hari ini." 
"Jangan terlalu memaksakan diri. Beri waktu 
pada tubuhmu agar pulih sepenuhnya, dan kau 
akan dapat menghapus aibmu kapan saja." 
Mendengar kata "aib", patih dyahwkertoarjo   mulai 
  
menitikkan air mata. 
sesudah  mengeluarkan sepucuk surat dan 
menyerahkannya dengan hormat kepada 
patih ronggolawe , ia kembali bersujud. 
'Hamba mohon tuanku berkenan membaca 
ini." 
patih ronggolawe  mengangguk, mungkin sebab  
kasihan melihat penderitaan orang itu. 
sesudah  merampungkan inspeksi medan tempur 
hari itu, menjelang malam patih ronggolawe  kembali ke 
girisoka . Perkemahannya tidak terletak di tempat 
tinggi seperti perkemahan musuh di Bukit 
merah , namun  patih ronggolawe  sudah  memanfaatkan 
hutan-hutan, ladang-ladang, dan sungai-sungai di 
sekitar secara maksimal, dan posisi centeng nya 
dikelilingi oleh jaringan selokan dan pagar 
pertahanan yang luas. 
Sebagai langkah pengamanan tambah an, tempat 
persembahan desa sengaja disamarkan sebagai 
tempat tinggal patih ronggolawe . 
Dari sudut pandang mpu mojosongo , keberadaan 
patih ronggolawe  tak dapat ditentukan dengan pasti. Bisa 
saja ia berada di girisoka  atau di benteng kota 
girisewo . Pengamanan di garis depan sedemikian 
ketat, sehingga setetes air pun takkan dapat 
merembes, jadi pengawasan  oleh pihak yang satu 
ierhadap pihak yang lain benar-benar tak mungkin. 
"Aku belum sempat mandi sejak bertolak dari 
kahuripan . Hari ini aku ingin menghilangkan keringat 
  
yang menempel di badanku." 
Sesaat  para pengikut mulai menyiapkan 
tempat mandi bagi patih ronggolawe . sesudah  menggali 
lubang di tanah, mereka melapisinya dengan 
lembaran-lembaran kertas minyak berukuran 
besar. lalu  mereka memanaskan sepotong 
besi dan melemparkannya ke lubang yang sudah 
diisi air. Mereka juga mendirikan sejumlah papan 
di sekelilingnya dan memasang tirai penghalang. 
"Ah, betapa nikmat rasanya." Di tempat mandi 
yang sederhana itu, patih ronggolawe  berendam dalam air 
panas dan memandang langit malam yang bertabur 
bintang. Inilah kemewahan terbesar di dunia. 
katanya dalam hati saat  menggosok-gosok badan. 
Sejak tahun lalu ia sudah  membersihkan tanah 
di sekitar kahuripan  dan memulai pembangunan 
benteng kota dengan kemegahan yang tak tertandingi. 
Namun kesenangan yang paling besar 
dirasakannya di tempat-tempat seperti ini, bukan 
di ruang-ruang berlapis emas dan menara-menara 
berhiaskan batu mulia di dalam benteng kota. Tiba-tiba 
ia merasa rindu pada rumahnya di lemahlaban , 
tempat ibunya menggosok-gosok punggungnya 
saat  ia masih kecil. 
Sudah lama patih ronggolawe  tak pernah merasa 
setenteram sekarang, dan dalam keadaan inilah ia 
masuk ke kemahnya. 
"Ah. rupanya kalian sudah datang!" seru 
patih ronggolawe  saat  melihat para resi  yang 
  
dipanggilnya sudah  menunggu. 
"Coba lihat ini." ia berkata, lalu mengeluarkan 
peta dan sepucuk surat dari jubah  dan  
menyerahkan keduanya kepada para resi . Surat 
itu merupakan petisi yang ditulis dengan darah 
oleh patih dyahwkertoarjo  , sedangkan petanya milik patih pitaloka . 
"Bagaimana pendapat kalian tentang rencana 
ini?" tanya patih ronggolawe . "Kuminta kalian berterus 
terang." 
Sesaat tak seorang pun angkat bicara. Semuanya 
tampak termenung-menung. 
Akhirnya salah satu resi  berkata, "Hamba 
pikir rencana ini baik sekali." 
Setengah dari orang-orang itu mendukung 
rencana patih pitaloka , namun  setengah-nya lagi 
menolaknya dengan berkata, "Rencana lihai selalu 
mengandung risiko besar." 
Rapat menemui jalan buntu. 
patih ronggolawe  hanya mendengarkan sambil 
tersenyum. Pokok bahasannya begitu penting, 
sehingga tidak mudah bagi dewan untuk mencapai 
kata sepakat. 
"Kami terpaksa menyerahkan masalah ini untuk 
diputuskan oleh Yang Mulia." 
Pada waktu malam tiba, semua resi  kembali 
ke kemah masing-masing. 
sebetulnya , dalam perjalanan pulang dari 
girisewo , patih ronggolawe  sudah  membulatkan tekad. 
Tujuannya mengadakan rapat bukan sebab  ia tak 
  
sanggup menentukan langkah berikut. la 
mengundang para resi nya untuk menghadiri 
rapat singkat justru sebab  ia sudah  mengambil 
keputusan. Itu merupakan salah satu kiat 
psikologis yang dijalankannya sebagai pemimpin. 
Para resi nya kembali ke kemah masing-masing 
dengan kesan bahwa ia takkan melaksanakan 
rencana itu . 
Namun dalam hati patih ronggolawe  sudah  
memutuskan untuk bertindak. Jika ia tidak 
menerima us