Tampilkan postingan dengan label homosapien 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label homosapien 2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Desember 2022

homosapien 2

informasi yang dibutuhkan untuk mengoordinasi urusan-urusan 
mereka. Antara tahun 3500 SM sampai 3000 SM, orang-orang 
genius Sumeria yang tak dikenal menemukan sebuah sistem untuk 
menyimpan dan memproses informasi di luar otak mereka, yang 
dibuat sesuai pesanan untuk menangani data matematis dalam 
jumlah besar. Dengan demikian, orang-orang Sumeria melepaskan 
tatanan sosial mereka dari batasan otak manusia, membuka jalan 
bagi munculnya kota-kota, kerajaan-kerajaan, dan imperium￾imperium. Sistem pemrosesan data yang ditemukan oleh orang 
Sumeria itu disebut “tulisan”.
Tertanda, Kushim
Menulis adalah sebuah metode menyimpan informasi melalui 
tanda-tanda material. Sistem tulisan Sumeria melakukan itu 
dengan menggabungkan dua jenis tanda, yang dicetak pada 
lempengan tanah liat. Salah satu jenis tanda merepresentasikan 
jumlah. Ada tanda untuk 1, 10, 60, 600, 3.600 dan 36.000. 
(Orang Sumeria menggunakan satu kombinasi sistem angka basis 
6 dan basis 10). Sistem basis 6 mereka memberi kita beberapa 
warisan penting, seperti pembagian hari menjadi dua puluh 
empat jam dan besar lingkaran menjadi 360 derajat). Jenis tanda 
lain merepresentasi orang, binatang, barang dagangan, teritori, 
tanggal, dan seterusnya. Dengan menggabungkan kedua jenis 
tanda orang-orang Sumeria mampu menyimpan jauh lebih banyak 
data ketimbang otak manusia mana pun untuk mengingat dan 
rantai DNA mana pun untuk menyimpan kode.
Pada tahap awal ini, tulisan terbatas pada fakta-fakta dan 
angka-angka. Novel hebat Sumeria, seandainya ada, tidak mungkin 
bisa dicukupi oleh lempengan-lempengan tanah liat. Menulis 
menelan banyak waktu dan publik pembaca masih minim, jadi 
tak ada orang yang punya alasan menggunakannya selain untuk 
menyimpan catatan. Jika kita mencari kata-kata bijak pertama 
yang sampai kepada kita dari para leluhur kita, 5.000 tahun lalu, 
kita akan sangat kecewa. Pesan paling awal yang ditinggalkan para 
leluhur untuk kita baca, misalnya, “29.086 ukuran jelai 37 bulan 
Kushim”. Pembacaan paling mungkin atas kalimat ini adalah: 
“Sebanyak 29.086 ukuran jelai diterima dalam kurun waktu 37 
bulan. Tertanda, Kushim”. Sayang, naskah-naskah pertama dalam 
sejarah tidak berisi pandangan-pandangan filosofis, tak ada syair, 
legenda, hukum, atau bahkan kemenangan-kemenangan istana. 
Tulisan-tulisan itu adalah dokumen-dokumen membosankan 
tentang ekonomi, catatan pembayaran pajak, akumulasi utang, 
dan kepemilikan harta benda.
Salah satu jenis teks lain yang selamat dari masa kuno ini, 
dan tak kalah menariknya: daftar kata, yang disalin dan terus 
disalin oleh calon-calon juru tulis sebagai latihan. Bahkan, 
seorang murid yang bosan, yang ingin menuliskan salah satu 
puisinya, daripada menyalin catatan penjualan, tak mungkin bisa 
melakukannya. Tulisan awal Sumeria adalah aksara parsial, bukan 
aksara penuh. Aksara penuh artinya sebuah sistem tanda material 
yang bisa merepresentasi bahasa lisan secara sempurna atau 
mendekati sempurna. Oleh karena itu, ia bisa mengekspresikan 
segala hal yang ingin dikatakan orang, termasuk puisi. Aksara 
parsial, di sisi lain, adalah sistem tanda material yang hanya 
bisa merepresentasi jenis-jenis informasi tertentu, dari bidang 
aktivitas yang terbatas. Aksara latin, aksara hieroglif Mesir, dan 
Braille adalah aksara penuh. Anda bisa menggunakannya untuk 
menulis register pajak, puisi cinta, buku sejarah, resep makanan, 
dan hukum bisnis. Sebaliknya, aksara awal Sumeria, seperti lambang-lambang matematika modern dan notasi musik, adalah 
aksara parsial. Anda bisa menggunakan aksara matematika untuk 
melakukan penghitungan, tetapi Anda tidak bisa menggunakannya 
untuk puisi-puisi cinta.
Tak masalah bagi orang-orang Sumeria bahwa aksara 
mereka tak cocok untuk menulis puisi. Mereka memang tidak 
menciptakan aksara itu untuk menyalin bahasa lisan, tetapi lebih 
untuk melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh bahasa 
lisan. Ada sejumlah budaya, seperti Andes pra-Columbia, yang 
hanya menggunakan aksara parsial dalam keseluruhan rentang 
sejarah mereka, tak terpengaruh oleh keterbatasan aksara mereka 
dan tak merasa memerlukan versi penuh. Aksara Andea sangat 
berbeda dari aksara Sumeria. Malah, ia begitu berbeda sehingga 
banyak orang berpendapat itu sama sekali bukan aksara. Ia tidak 
ditulis di atas lempengan tanah liat atau lembar kertas, tetapi 
ditulis dengan simpul-simpul pengikat pada tali warna-warni yang 
disebut quipu. Setiap quipu terdiri dari banyak tali bermacam￾macam warna, yang terbuat dari kayu atau kapas. Pada setiap 
tali, beberapa simpul diikatkan di tempat-tempat berbeda. Satu 
quipu tunggal terdiri dari ratusan tali dan ribuan simpul. Dengan 
mengombinasikan bermacam-macam simpul pada tali-tali yang 
berbeda dengan berbagai warna, dimungkinkan untuk mencatat 
jumlah besar data matematis yang terkait, misalnya, dengan 
pengumpulan pajak dan kepemilikan properti.1
Selama ratusan, mungkin ribuan tahun, quipu-quipu punya 
arti penting dalam urusan kota-kota, kerajaan-kerajaan, dan 
imperium-imperium.2
 Puncaknya adalah pada masa Imperium 
Inca, yang mengatur 10–12 juta orang dan mencakup wilayah 
yang kini menjadi Peru, Ekuador, dan Bolivia, serta beberapa 
bagian Chile, Argentina, dan Kolombia. Berkat quipu, orang￾orang Inca bisa menyimpan dan memproses banyak sekali data, 
yang tanpanya mereka tak mungkin mampu menjaga mesin 
administrasi rumit yang dibutuhkan sebuah imperium sebesar itu.
Nyatanya, quipu begitu efektif dan akurat sehingga dalam 
tahun-tahun awal sejak penaklukan Spanyol atas Amerika 
Latin, orang-orang Spanyol sendiri memanfaatkan quipu dalam 
pekerjaan memerintah imperium baru mereka. Problemnya adalah 
bahwa orang-orang Spanyol sendiri tidak tahu cara mencatat 
dan membaca quipu sehingga mereka bergantung pada para 
profesional lokal. Para penguasa baru kontinen itu menyadari 
bahwa ini menempatkan mereka pada posisi yang lemah—para 
ahli quipu pribumi bisa saja dengan mudah menyesatkan dan 
menipu para tuannya. Jadi, ketika dominion baru Spanyol 
menjadi lebih kokoh, quipu disingkirkan dan catatan-catatan 
imperium baru itu dibuat sepenuhnya dalam aksara dan angka 
latin. Sangat sedikit quipu yang selamat dari penjajahan Spanyol, 
dan sebagian besar yang tersisa sudah tak bisa dibaca lagi karena, 
sayang sekali, seni membaca quipu sudah hilang.
Masyarakat Mesopotamia akhirnya mulai ingin menuliskan hal￾hal di luar data matematika yang monoton. Antara 3000 SM 
sampai 2500 SM lebih banyak tanda ditambahkan pada sistem 
Sumeria, pelan-pelan mentransformasinya menjadi aksara penuh 
yang kini kita sebut cuneiform*
. Sampai dengan 2500 SM, raja￾raja menggunakan cuneiform untuk mengeluarkan putusan, para 
pendeta menggunakannya untuk mencatat kata-kata para dewa, 
dan penduduk berkedudukan di bawahnya menggunakannya 
untuk menulis surat-surat pribadi. Kurang lebih pada saat yang 
sama, orang-orang Mesir mengembangkan aksara penuh yang 
dikenal sebagai hieroglif. Aksara penuh lainnya dikembangkan 
di China sekitar 1200 SM dan di Amerika Tengah sekitar 
1000–500 SM.
Dari pusat-pusat permulaan ini, aksara-aksara penuh 
menyebar jauh dan luas, mengambil berbagai macam bentuk 
baru dan tugas-tugas baru. Orang mulai menulis puisi, buku 
sejarah, roman, drama nubuat, dan buku masak. Meskipun 
demikian, tugas utama tulisan tetap untuk menyimpan tumpukan 
data matematis, dan tugas itu tetap menjadi hak prerogatif 
aksara parsial. Injil Ibrani, Iliad Yunani, Mahabharata Hindu, 
dan Tripitika Buddha, semuanya bermula sebagai karya lisan. 
Selama beberapa generasi, karya-karya itu disebarkan secara 
lisan dan tetap akan tetap hidup sekalipun tulisan tidak pernah 
diciptakan. Namun, register-register pajak dan birokrasi yang 
rumit dilahirkan bersama-sama dengan aksara parsial, dan 
keduanya tetap tak terelakkan terhubung hingga kini seperti 
kembar siam—bayangkanlah entri-entri sandi komputer dalam 
database dan spreadsheet.
Dengan semakin banyaknya hal yang ditulis, dan terutama 
seiring tumbuhnya arsip pemerintahan sampai proporsi raksasa, 
problem-problem baru pun muncul. Informasi yang disimpan 
dalam otak seseorang mudah ditarik. Otak saya menyimpan 
miliaran bit data, tetapi saya tak bisa dengan cepat, hampir seketika, mengingat nama ibu kota Italia, lalu sesaat kemudian 
mengingat lagi apa yang saya lakukan pada 11 September 
2001, kemudian merekonstruksi rute dari rumah saya menuju 
Universitas Hebrew di Yerusalem. Bagaimana persisnya cara 
kerja otak masih menjadi misteri, kecuali ketika Anda berusaha 
mengingat di mana Anda menaruh kunci mobil. Maka, bagaimana 
beratnya Anda mencari dan menarik informasi yang tersimpan 
pada tali-tali quipu atau lempeng-lempeng tanah liat? Kalau 
hanya 10 atau 100 lempeng, tak masalah. Namun, bagaimana 
jika jumlahnya ribuan, seperti yang dilakukan salah satu pewaris 
Hammurabi, Raja Zimrilim dari Mari?
Bayangkan sejenak bahwa sekarang adalah tahun 1776 
SM. Dua orang Mari berkelahi atas kepemilikan sebuah ladang 
gandum. Jacob menekankan bahwa dia membeli ladang itu dari 
Esau 30 tahun lalu. Esau menyanggah dan mengatakan bahwa dia 
sungguh menyewakan ladang itu kepada Jacob untuk masa waktu 
30 tahun, dan sekarang, waktu itu sudah habis, dia bermaksud 
mengambilnya kembali. Mereka berteriak-teriak dan bergumul, 
lalu mulai saling dorong sebelum menyadari bahwa mereka bisa 
mengatasi perselisihan dengan pergi ke arsip kerajaan, yang di 
dalamnya tersimpan rekaman tindakan dan tagihan penjualan, 
yang berlaku pada semua real estate kerajaan. Setibanya di 
sana, mereka dibawa dari satu pejabat ke pejabat lain. Mereka 
menunggu sampai beberapa kali menghabiskan teh herbal, dan 
diminta untuk datang lagi esoknya, dan akhirnya mereka dibawa 
oleh seorang petugas tampak merengut untuk mencari lempengan 
tanah liat mana yang relevan. Petugas membuka sebuah pintu 
dan membawa mereka memasuki sebuah ruang berisi deretan 
ribuan lempengan tanah liat di lantai dan dindingnya. Maka, tak 
mengherankan bila petugas itu merengut. Bagaimana dia harus 
menemukan lokasi catatan ladang gandum yang dipersengketakan 
itu 30 tahun lalu? Andaipun bisa ditemukan, bagaimana dia bisa 
mengecek silang untuk memastikan bahwa lempengan itu adalah 
dokumen terakhir terkait dengan ladang tersebut? Atau, ternyata 
dokumen itu hilang atau lumat kembali menjadi lumpur ketika 
bocoran hujan mengalir ke arsip tersebut?
Jelas, hanya dengan mencetak sebuah dokumen dengan tanah liat tidaklah cukup untuk menjamin pemrosesan data yang 
efisien, akurat, dan mudah. Itu membutuhkan metode-metode 
pengorganisasian seperti katalog, metode reproduksi seperti mesin 
fotokopi, metode penarikan cepat seperti algoritma komputer, 
dan para pustakawan arogan (tetapi semoga saja periang) yang 
tahu bagaimana menggunakan alat-alat ini.
Menciptakan metode-metode semacam itu terbukti jauh 
lebih sulit ketimbang menciptakan tulisan. Banyak sistem tulisan 
yang berkembang secara independen dalam budaya-budaya 
yang tempat dan masanya saling berjauhan. Setiap dekade para 
arkeolog menemukan beberapa aksara yang terlupakan. Sebagian 
mungkin terbukti bahkan lebih tua dari torehan-torehan tanah 
liat Sumeria. Namun, sebagian besar tetap menjadi keanehan 
karena mereka yang menciptakannya gagal menemukan cara￾cara yang efisien dalam menyusun katalog dan menarik data. 
Yang membuat istimewa Sumer, juga Mesir era Fir’aun, China 
kuno, dan Imperium Inca, adalah bahwa budaya-budaya ini 
mengembangkan teknik-teknik yang bagus dalam mengarsip, 
menyusun katalog, dan memunculkan kembali catatan-cataan 
tertulis. Budaya-budaya itu juga berinvestasi dalam sekolah untuk 
juru tulis, petugas, pustakawan, dan akuntan. Sebuah latihan 
menulis dari satu sekolah di Mesopotamia kuno yang ditemukan 
oleh para arkeolog modern, memberi kita gambaran sekilas 
tentang kehidupan murid-murid ini, sekitar 400 tahun lalu:
Saya masuk dan duduk, dan guru saya membaca saya. Dia berkata, 
“Ada sesuatu yang hilang!”
Dan dia mencambuk saya.
Salah satu dari orang-orang yang bertugas berkata, “Mengapa kamu 
membuka mulut tanpa izin saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Salah satu yang bertugas dalam hal aturan berkata, “Mengapa kamu 
bangun tanpa izin saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Penjaga gerbang berkata, “Mengapa kamu keluar tanpa izin saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Penjaga kendi bir berkata, “Mengapa kamu meminum tanpa izin 
saya?”
Dan dia mencambuk saya.
Guru Sumeria berkata, “Mengapa kamu berbicara dengan bahasa 
Akkadia?”**
Dan dia mencambuk saya.
Guru saya berkata, “Tulisan tanganmu tidak bagus!”
Dan dia mencambuk saya.3
Para juru tulis kuno tidak hanya belajar membaca dan menulis, 
tetapi juga belajar menggunakan katalog, kamus, kalender, rumus￾rumus, dan tablet. Mereka belajar dan menginternalisasi teknik￾teknik membuat katalog, menarik, dan memproses informasi 
yang sangat berbeda dari yang digunakan oleh otak. Dalam 
otak, semua data diasosiasikan secara bebas. Ketika saya pergi 
bersama pasangan untuk menandatangani hipotek untuk rumah 
baru kami, saya diingatkan tentang tempat pertama yang kami 
tinggali bersama, yang mengingatkan saya pada bulan madu kami 
di New Orleans, yang mengingatkan saya pada aligator-aligator, 
yang mengingatkan saya pada naga-naga, yang mengingatkan 
saya pada The Ring of the Nibelungen, dan tiba-tiba, sebelum 
saya menyadarinya, saya menggumamkan lagu opera Siegfried 
Leitmotif ke petugas bank yang terbengong-bengong. Dalam 
birokrasi, beberapa benda harus disimpan terpisah. Ada satu 
laci untuk hipotek rumah, satu untuk sertifikat pernikahan, satu 
untuk register pajak, dan satu lagi untuk gugatan hukum. Kalau 
tidak, bagaimana Anda bisa menemukan sesuatu? Benda-benda 
yang bisa masuk lebih dari satu laci, seperti drama-drama musik 
Wagnerian (saya benar-benar menyusun dengan label “musik”, 
“teater”, atau mungkin menciptakan kategori baru sekaligus?) benar-benar bikin pusing kepala. Jadi, sepanjang waktu orang 
terus menambahkan, menghapus, dan mengatur kembali laci-laci.
Agar bisa berfungsi, orang-orang yang mengoperasikan 
sistem laci semacam itu harus diprogram-ulang untuk berhenti 
berpikir sebagai manusia, dan mulai berpikir sebagai petugas 
dan akuntan. Seperti yang diketahui siapa pun dari masa kuno 
sampai kini, para petugas dan akuntan berpikir dalam cara 
tidak manusiawi. Mereka berpikir seperti rak-rak berkas. Ini 
bukan kesalahan mereka. Jika mereka tidak berpikir seperti itu, 
laci-laci mereka akan tercampur-aduk dan mereka tidak akan 
mampu menyediakan layanan yang dibutuhkan pemerintahan, 
perusahaan, atau organisasi mereka. Dampak paling penting 
dari aksara pada sejarah manusia adalah benar-benar seperti 
ini: aksara pelan-pelan mengubah cara manusia memikirkan 
dan memandang dunia. Asosiasi bebas dan pemikiran holistik 
menyerah pada kompartementalisasi dan birokrasi.
Bahasa Angka-Angka
Dari abad ke abad, metode-metode birokratis pemrosesan data 
tumbuh semakin berbeda dari cara alamiah manusia dalam 
berpikir—dan semakin penting. Satu langkah pentingnya dibuat 
pada masa kurang lebih sebelum abad ke-19 M, ketika satu 
aksara parsial baru ditemukan, aksara yang bisa menyimpan 
dan memproses data matematis dengan efisiensi yang belum 
ada presedennya. Aksara parsial ini tersusun atas sembilan 
tanda, merepresentasi angka dari 0 sampai 9. Membingungkan, 
tanda-tanda ini dikenal sebagai angka Arab sekalipun sebetulnya 
ditemukan pertama kali oleh orang Hindu (bahkan lebih 
membingungkan lagi, orang-orang Arab modern menggunakan 
seperangkat angka yang tampak sangat berbeda dari angka-angka 
dari Barat). Namun, orang-orang Arab mendapatkan nama itu 
karena ketika mereka menginvasi India, mereka menemukan 
sistem itu, memahami kegunaannya, memperhalusnya, dan 
menyebarkannya ke seluruh Timur Tengah, kemudian Eropa. 
Ketika beberapa tanda lain belakangan ditambahkan ke angka￾angka Arab (seperti tanda untuk penjumlahan, pengurangan, dan 
perkalian), basis notasi matematika modern pun lahir.
Meskipun sistem tulisan ini tetap merupakan aksara parsial, 
ia telah menjadi bahasa dominan dunia. Hampir semua negara, 
perusahaan, organisasi, dan institusi—entah mereka berbahasa 
Arab, Hindi, Inggris atau Norwegia—menggunakan aksara 
matematika untuk mencatat dan memproses data. Setiap potongan 
informasi yang bisa diterjemahkan ke dalam aksara matematika 
disimpan, disebarkan, dan diproses dengan kecepatan dan efisiensi 
yang mencengangkan.
Sebuah persamaan untuk menghitung akselerasi massa dalam i di 
bawah pengaruh gravitasi, menurut teori Relativitas. Kalau menjumpai 
persamaan seperti itu, kebanyakan orang biasanya langsung panik 
dan beku seperti seekor rusa yang tertangkap sorot kendaraan yang 
melaju kencang. Reaksi itu alamiah, dan tidak berarti kurang cerdas 
atau kurang keingintahuan. Dengan pengecualian langka, otak manusia 
memang tak mampu memikirkan konsep-konsep seperti relativitas 
dan mekanika kuantum. Bagaimanapun, para ahli fisika berhasil 
melakukannya karena mereka mengesampingkan cara tradisional 
manusia dalam berpikir, dan belajar berpikir dengan cara baru dengan 
bantuan sistem pemrosesan data eksternal. Bagian-bagian krusial dari 
proses pemikiran mereka berlangsung tidak dalam kepala, tetapi dalam 
komputer atau papan-papan tulis di ruang kelasSeseorang yang ingin memengaruhi keputusan pemerintah, 
organisasi, dan perusahaan karena itu harus belajar berbicara 
dalam angka-angka. Para ahli mampu mengerjakan dengan 
cara terbaik bahkan untuk menerjemahkan ide-ide seperti 
“kemiskinan”, “kebahagiaan”, dan “kejujuran” menjadi angka￾angka (“garis kemiskinan”, tingkat kesejahteraan subjektif, 
“peringkat utang”). Seluruh bidang pengetahuan, seperti fisika 
dan teknik, sudah kehilangan hampir seluruh sentuhan dengan 
bahasa lisan manusia, dan dipelihara semata-mata oleh aksara 
matematik.
Yang lebih mutakhir, aksara matematika telah membangkitkan 
bahkan sebuah sistem tulisan yang revolusioner, aksara biner 
komputerisasi yang hanya terdiri dari dua tanda: 0 dan 1. Kata￾kata yang sedang saya ketik di papan ketik saya ditulis dalam 
komputer saya dengan kombinasi-kombinasi berbeda dari tanda 
0 dan 1.
Tulisan dilahirkan sebagai pembantu kesadaran manusia, 
tetapi semakin menjadi tuan. Komputer-komputer kita kesulitan 
memahami bagaimana Homo sapiens berbicara, merasa, dan 
bermimpi. Jadi, kita mengajari Homo sapiens untuk berbicara, 
merasa, dan bermimpi dalam bahasa angka-angka, yang bisa 
dipahami oleh komputer.
Dan, ini bukan akhir dari kisahnya. Pengetahuan di bidang 
kecerdasan artifisial sedang berusaha menciptakan suatu jenis 
kecerdasan yang semata-mata didasarkan pada aksara biner 
komputer. Film-film fiksi-sains seperti The Matrix dan The 
Terminator menceritakan sebuah hari ketika aksara biner 
menanggalkan gandar kemanusiaan. Ketika manusia berusaha 
mengambil kembali kendali atas aksara yang binal itu, aksara 
merespons dengan berusaha menyapu ras manusia
Memahami sejarah manusia pada milenium-milenium sesudah 
Revolusi Agrikultur bermuara pada satu pertanyaan tunggal: 
bagaimana manusia mengorganisasi diri dalam jaringan-jaringan 
kerja sama massal, ketika mereka tak punya naluri biologis 
yang diperlukan untuk memelihara jaringan- jaringan seperti itu? 
Jawaban singkatnya adalah manusia menciptakan tatanan-tatanan 
yang diimajinasikan dan merancang aksara-aksara. Kedua ciptaan 
ini mengisi jurang yang ditinggalkan oleh warisan biologis kita.
Meskipun demikian, kemunculan jaringan-jaringan ini, bagi 
banyak orang, adalah sebuah berkah yang meragukan. Tatanan￾tatanan yang diimajinasikan pemelihara jaringan-jaringan itu 
tidaklah netral dan tidak pula adil. Tatanan-tatanan itu membagi 
orang ke dalam kelompok-kelompok seolah-olah, yang disusun 
dalam suatu hierarki. Tingkatan-tingkatan atas menikmat hak￾hak istimewa, sedangkan tingkatan-tingkatan bawah tertimpa 
diskriminasi dan penindasan. Undang-Undang Hammurabi, 
misalnya, menciptakan tata tingkatan golongan kelas atas, orang 
biasa, dan budak. Kelas atas mendapatkan semua kebaikan dalam 
hidup. Orang biasa mendapatkan sisanya. Budak mendapat 
pukulan jika mengeluh.
Meskipun ada pernyataan kesetaraan semua orang, tatanan 
yang diimajinasikan oleh orang Amerika pada 1776 juga 
menciptakan hierarki. Ia menciptakan hierarki antara kaum 
pria, yang diuntungkan, dan kaum wanita, yang tak berdaya. 
Ia menciptakan hierarki antara kulit putih, yang menikmati 
kebebasan, dan kulit hitam serta Indian Amerika, yang dianggap 
sebagai manusia dari golongan rendah sehingga tidak memiliki 
kesamaan hak-hak sebagai manusia. Banyak dari mereka yang 
ikut menandatangani Deklarasi Kemerdekaan adalah pemilik 
budak. Mereka tidak membebaskan budak saat menandatangani 
Deklarasi, tidak juga menganggap diri mereka hipokrit. Dalam 
pandangan mereka, hak-hak manusia tak banyak berhubungan 
dengan Negro.
Tatanan Amerika itu juga mengonsentrasikan hierarki antara 
yang kaya dan yang miskin. Sebagian besar orang Amerika pada 
masa itu tak terlalu ambil pusing dengan problem ketidaksetaraan 
akibat orang-orang kaya yang menurunkan uang dan bisnisnya 
kepada anak-anak mereka. Dalam pandangan mereka, kesetaraan 
hanya bermakna bahwa undang-undang berlaku sama pada orang 
kaya maupun yang miskin. Kesetaraan tidak ada urusan dengan 
santunan pengangguran, pendidikan terintegrasi atau asuransi 
kesehatan. Kebebasan juga memiliki konotasi yang sangat berbeda 
dari masa kini. Pada 1776, kebebasan tidak berarti bahwa kaum 
papa (tentu saja kulit hitam, Indian, atau—yang dilarang Tuhan—
perempuan) boleh mendapatkan dan menjalankan kekuasaan. 
Kebebasan semata-mata berarti bahwa negara tidak bisa, kecuali 
dalam keadaan tak biasa, menyita properti pribadi penduduk 
atau memerintahkannya berbuat sesuatu dengan propertinya. 
Dengan demikian, tatanan Amerika menjunjung tinggi hierarki 
kekayaan, yang dipandang oleh sebagian orang sebagai mandat 
dari Tuhan, dan oleh sebagian lain dilihat sebagai hukum alam 
yang tak bisa diubah. Alam dipandang telah menganugerahkan 
keberuntungan kekayaan dan menghukum kemalasan.
Pembedaan-pembedaan yang disebutkan di atas—antara orang 
bebas dan budak, antara kulit putih dan kulit hitam, antara yang 
kaya dan miskin—berakar dalam fiksi-fiksi. (Hierarki laki-laki dan 
perempuan akan dibahas kemudian.) Meskipun demikian, sejarah 
punya hukum besi bahwa setiap tatanan yang diimajinasikan 
mengingkari asal-usul fiksinya dan mengklaim sebagai alamiah 
dan tak terelakkan. Misalnya, banyak orang dengan pandangan 
hierarki orang bebas dan budak sebagai alamiah dan benar 
berpendirian bahwa perbudakan bukanlah ciptaan manusia. 
Hammurabi memandangnya sebagai pentahbisan oleh para dewa. 
Aristoteles memandang bahwa para budak memiliki “sifat budak” sedangkan orang bebas memiliki “sifat bebas”. Status mereka 
dalam masyarakat semata-mata merupakan cerminan dari sifat 
dalam diri mereka.
Tanyalah kaum beraliran supremasi kulit putih tentang hierarki 
ras, maka Anda segera mendapatkan kuliah pseudosaintifik 
berkaitan dengan perbedaan-perbedaan biologis antar ras. 
Kemungkinan Anda akan diberi tahu bahwa ada sesuatu dalam 
darah atau gen Kaukasia yang membuat kulit putih secara alamiah 
lebih pintar, lebih bermoral, dan lebih kerja keras. Tanyalah para 
pembela sengit kapitalis tentang hierarki kekayaan, dan Anda 
kemungkinan akan mendengar bahwa hierarki itu merupakan 
hasil tak terelakkan dari perbedaan-perbedaan objektif dalam 
hal kemampuan. Orang kaya memiliki uang lebih banyak, 
menurut pandangan ini karena mereka lebih mampu dan lebih rajin. Tak semestinya orang mempermasalahkan jika orang kaya 
mendapatkan perawatan kesehatan yang lebih baik, pendidikan 
yang lebih baik, dan gizi yang lebih baik. Orang kaya sungguh 
pantas menerima setiap kegembiraan yang mereka nikmati.
Orang-orang Hindu yang patuh pada sistem kasta percaya 
bahwa kekuatan kosmos telah membuat satu kasta lebih tinggi 
dari kasta lain. Menurut sebuah mitos terkenal yang diciptakan 
orang Hindu, para dewa mendandani dunia dengan tubuh satu 
makhluk purba, Purusa. Matahari diciptakan dari mata Purusa, 
bulan dari otak Purusa, kaum Brahmana dari mulutnya, Kesatria 
dari tangannya, Vaishya (petani dan pedagang) dari pahanya, 
dan Shudra (pelayan) dari kakinya. Menerima penjelasan ini dan 
perbedaan-perbedaan sosiopolitik antara kaum Brahmana dan 
Shudra adalah sama alamiah dan abadinya dengan perbedaan 
antara Matahari dan Bulan.1
 Orang China kuno percaya bahwa 
ketika Dewi Nü Wa menciptakan manusia dari tanah, dia memeras 
dari tanah kuning yang bagus untuk kaum aristokrat, sedangkan 
orang biasa dibuat dari lumpur cokelat.2
Meskipun demikian, sebagai pemahaman yang terbaik bagi 
kita, hierarki-hierarki ini adalah produk dari imajinasi manusia. 
Kaum Brahmana dan Shudra tidak benar-benar diciptakan oleh 
para dewa dari berbagai bagian tubuh makhluk purba. Namun, 
pembedaan antara kedua kasta itu diciptakan oleh hukum dan 
norma-norma yang diciptakan manusia di India utara sekitar 
3.000 tahun lalu. Bertentangan dengan pandangan Aristoteles, 
tidak ada yang namanya perbedaan biologis antara budak dan 
orang merdeka. Hukum dan norma manusia mengubah sebagian 
orang menjadi budak dan sebagian lain menjadi tuan. Antara 
kulit hitam dan putih memang ada perbedaan objektif biologis, 
seperti warna kulit dan jenis rambut, tetapi tidak ada bukti 
objektif bahwa perbedaan itu meluas ke masalah intelegensia 
dan moralitas.
Sebagian besar orang mengklaim bahwa hierarki sosial mereka 
adalah alamiah sedangkan di masyarakat lain didasarkan pada 
kriteria-kriteria palsu yang menggelikan. Orang-orang Barat 
modern diajari untuk mencela pemikiran tentang hierarki rasial. 
Mereka terguncang oleh hukum yang melarang kulit hitam hidup dalam perkampungan kulit putih, belajar di sekolah-sekolah 
kulit putih, atau dirawat di rumah sakit kulit putih. Namun, 
hierarki kaya dan miskin—mandat yang membuat orang kaya 
hidup di perkampungan terpisah dan lebih mewah, belajar 
terpisah di sekolah-sekolah yang lebih prestisius, dan menerima 
perawatan medis terpisah di fasilitas-fasilitas kesehatan dengan 
perlengkapan lebih baik—tampak sangat masuk akal bagi banyak 
orang Amerika dan Eropa. Meskipun demikian, sudah terbukti 
bahwa kebanyakan orang kaya adalah karena sebab sederhana, 
bahwa mereka dilahirkan dalam keluarga kaya, sedangkan orang 
miskin tetap miskin sepanjang hidup karena dilahirkan dalam 
keluarga miskin.
Sayang sekali, masyarakat-masyarakat manusia yang 
kompleks tampak membutuhkan hierarki yang diimajinasikan 
dan diskriminasi yang tidak adil. Tentu saja tak semua hierarki 
identik secara moral, dan sebagian masyarakat menderita dari 
jenis diskriminasi yang lebih ekstrem ketimbang yang lain. 
Namun, para ahli tahu tentang tiadanya masyarakat besar yang 
mampu menghilangkan diskriminasi sekaligus. Dari waktu ke 
waktu orang menciptakan tatanan dalam masyarakat mereka 
dengan mengklasifikasi populasi menjadi kategori-kategori 
yang diimajinasikan, seperti kelas atas, orang biasa dan budak; 
kulit putih dan kulit hitam; bangsawan dan masyarakat biasa; 
Brahmana dan Shudra; atau kaya dan miskin. Kategori-kategori 
ini meregulasi hubungan-hubungan antara jutaan manusia dengan 
membuat sebagian orang lebih tinggi secara hukum, politik, 
maupun sosial atas sebagian lainnya.
Hierarki memiliki satu fungsi penting. Hierarki memungkinkan 
orang-orang yang benar-benar tidak saling mengenal tahu 
caranya memperlakukan sesama tanpa membuang-buang waktu 
dan energi yang dibutuhkan untuk kenal secara pribadi. Dalam 
Pygmalion karya George Bernard Shah, Henry Higgins tak 
perlu melakukan perkenalan intim dengan Eliza Doolittle agar 
bisa memahami bagaimana dia harus berhubungan dengan 
perempuan itu. Hanya dengan mendengarkannya berbicara, ia 
tahu bahwa perempuan itu berasal dari golongan rendah yang 
bisa dia perlakukan sekehendaknya—misalnya, menggunakan dia sebagai dadu dalam taruhan untuk meloloskan seorang gadis 
penjual bunga menjadi seorang putri. Seorang Eliza modern 
yang bekerja di toko bunga perlu tahu berapa banyak yang 
harus dia usahakan untuk menjual mawar dan gladiola kepada 
puluhan orang yang memasuki tokonya setiap hari. Dia tak bisa 
melakukan penelisikan mendetail tentang selera dan isi dompet 
setiap individu, tetapi dia bisa menggunakan isyarat-isyarat 
sosial—cara orang berpakaian, usianya, dan (kalau tak takut 
jadi perkara besar) warna kulitnya, untuk membedakan mana 
partner perusahaan akuntansi yang suka pesan banyak mawar 
bertangkai panjang yang mahal untuk dikirim ke mamanya yang 
berulang tahun, mana kurir yang hanya mampu beli seikat aster 
untuk sekretaris yang manis senyumnya.
Tentu saja, perbedaan-perbedaan kemampuan secara alamiah 
memainkan peran dalam formasi perbedaan-perbedaan sosial. 
Namun, perbedaan sikap dan karakter seperti itu biasanya 
dimediasi oleh hierarki yang diimajinasikan. Ini terjadi dengan 
dua cara penting. Pertama dan paling utama, sebagian besar 
kemampuan harus diajarkan dan dikembangkan. Sekalipun 
seseorang dilahirkan dengan suatu bakat istimewa, bakat itu 
biasanya akan tetap laten jika tidak didorong, dipertajam, dan 
dilatih. Tak semua orang mendapat kesempatan yang sama 
untuk menggali dan memperbaiki kemampuan mereka. Entah 
mendapat kesempatan atau tidak, kesempatan seperti itu biasanya 
bergantung pada tempat mereka dalam hierarki masyarakat 
yang diimajinasikan. Harry Potter adalah contoh yang bagus. 
Dienyahkan dari keluarga sihir terpandang dan diasuh oleh 
para gembel bodoh, dia tiba di Hogwarts tanpa pengalaman 
apa pun dalam sihir. Dia harus menghabiskan tujuh buku untuk 
bisa meraih penguasaan kokoh atas kekuatan dan pengetahuan 
tentang kemampuan dirinya yang unik.
Kedua, andaipun orang-orang dari kelas-kelas yang berbeda 
mengembangkan kemampuan yang benar-benar sama, mereka 
tidak mungkin menikmati sukses yang sama karena mereka 
tidak akan menjalankan permainan dengan aturan-aturan yang 
sama. Jika di India yang dikuasai Inggris, seorang Paria, seorang 
Brahmana, seorang Katolik Irlandia, dan seorang Inggris Protestan mengembangkan ketajaman bisnis yang persis sama, mereka 
tidak mungkin memiliki peluang yang sama untuk menjadi kaya. 
Permainan ekonomi tentulah dipasangi batasan-batasan legal dan 
sistem tak resmi yang tidak adil.
Lingkaran Setan
Semua masyarakat didasarkan pada hierarki yang diimajinasikan, 
tetapi tidak dengan sendirinya hierarki yang sama. Apa yang 
memengaruhi perbedaan-perbedaan itu? Mengapa masyarakat 
tradisional India mengklasifikasi orang menurut kasta, masyarakat 
Ottoman dengan agama, dan masyarakat Amerika menurut ras? 
Pada sebagian besar kasus, hierarki bermula sebagai akibat dari 
seperangkat keadaan sejarah yang aksidental dan kemudian 
dilanggengkan serta diperbaiki dari generasi ke generasi seiring 
berkembangnya kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.
Misalnya, banyak ahli menduga bahwa sistem kasta 
Hindu mendapatkan bentuknya ketika orang-orang Indo-Arya 
menginvasi anak benua India sekitar 3.000 tahun lalu, dengan 
menaklukkan penduduk setempat. Para penginvasi menciptakan 
masyarakat berstrata, yang di dalamnya mereka—tentu saja—
menduduki posisi-posisi terkemuka (pendeta dan prajurit) 
sehingga penduduk asli hanya bisa menjadi pelayan dan budak. 
Para penginvasi, yang jumlahnya sedikit, takut kehilangan status 
hak-hak istimewa dan identitas unik mereka. Untuk mencegah 
bahaya ini, mereka membagi populasi ke dalam kasta-kasta, 
yang masing-masing diharuskan mencari jabatan tertentu atau 
peranan tertentu dalam masyarakat. Masing-masing memiliki 
status hukum, hak-hak istimewa, dan tugas-tugas yang berbeda￾beda. Penggabungan kasta—interaksi sosial, perkawinan, bahkan 
berbagi makanan—dilarang. Dan, pembagian-pembagian ini tidak 
hanya bersifat legal—tetapi dimasukkan menjadi bagian inheren 
dalam mitologi dan praktik keagamaan.
Para penguasa berdalih bahwa sistem kasta mencerminkan 
realitas kosmik abadi, bukan perkembangan historis yang 
kebetulan. Konsep-konsep kemurnian dan ketidakmurnian 
menjadi unsur-unsur esensial dalam agama Hindu, dan itu 
semua dimanfaatkan untuk menopang piramida sosial. Orang￾orang Hindu yang patuh diajari bahwa kontak dengan anggota 
kasta yang berbeda bisa mencemari tidak hanya mereka secara 
pribadi, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, dan karena 
itu harus dibenci. Ide-ide semacam itu bukan khas Hindu saja. 
Sepanjang sejarah, dan di hampir semua masyarakat, konsep￾konsep tentang polusi dan kemurnian memainkan peran penting 
dalam memperkuat pembagian-pembagian sosial dan politik, 
dan telah dieksploitasi oleh banyak kelas penguasa untuk 
mempertahankan hak-hak istimewa mereka. Meskipun demikian, 
ketakutan pada polusi bukan sepenuhnya bikinan para pendeta 
dan pangeran. Kemungkinan itu berakar dari mekanisme survival 
biologis yang membuat manusia merasakan kemuakan naluriah 
terhadap pembawa-pembawa penyakit, seperti orang sakit dan 
mayat. Jika Anda ingin menjaga kelompok manusia mana pun 
terisolasi—perempuan, Yahudi, Romawi, gay, kulit hitam—cara 
terbaik untuk melakukannya adalah meyakinkan setiap orang 
bahwa orang-orang ini adalah sumber polusi.
Sistem kasta Hindu dan hukum-hukum kemurnian yang 
menyertainya menjadi semakin dalam tertempel dalam budaya 
India. Jauh sesudah invasi Indo-Arya terlupakan, orang-orang 
India terus meyakini sistem kasta yang sama dan membenci 
polusi yang disebabkan oleh penggabungan kasta. Kasta-kasta 
dibagi menjadi sub-sub kasta. Pada akhirnya, empat kasta asal 
berubah menjadi 3.000 kelompok berbeda yang disebut jati
(yang secara harfiah berarti ‘kelahiran’). Namun, proliferasi 
kasta ini tidak mengubah prinsip dasar dari sistem itu, yang 
menetapkan setiap orang lahir dalam derajat tertentu, dan setiap 
pelanggaran terhadap prinsip itu mencemari orang tersebut 
dan masyarakat secara keseluruhan. Jati seseorang menentukan 
profesinya, makanan yang boleh dia makan, tempat tinggalnya, 
dan pasangan yang boleh dinikahi. Biasanya seseorang bisa 
menikah hanya dalam kastanya, dan menghasilkan anak-anak 
yang mewarisi status itu.
Setiap kali ada satu profesi baru berkembang atau satu 
kelompok orang baru muncul, maka profesi atau kelompok itu 
harus diakui sebagai sebuah kasta agar bisa menerima tempat 
yang sah dalam masyarakat Hindu. Kelompok-kelompok yang 
tidak mau mendapatkan pengakuan sebagai sebuah kasta, secara 
harfiah, adalah kelompok buangan—dalam masyarakat berstrata 
ini, mereka bahkan tidak menduduki jenjang terendah sekalipun. 
Mereka dikenal sebagai Paria. Mereka harus hidup terpisah dari 
semua orang dan mengais-ngais kehidupan dengan cara yang 
hina dan menjijikkan, seperti mengorek-ngorek sampah untuk 
mencari barang rongsokan. Bahkan, para anggota kasta terendah 
menghindari berbaur dengan mereka, makan bersama mereka, 
menyentuh mereka, dan sudah barang tentu menikahi mereka. 
Dalam India modern, masalah pernikahan dan pekerjaan masih 
sangat dipengaruhi oleh sistem kasta, sekalipun ada upaya￾upaya oleh pemerintahan demokratis India untuk meruntuhkan 
pembedaan-pembedaan semacam itu dan meyakinkan umat Hindu 
bahwa tidak ada pencemaran dari percampuran kasta.3
Kemurnian di Amerika
Lingkaran setan serupa melanggengkan hierarki rasial dalam 
Amerika modern. Dari abad ke-16 sampai ke-18, para penakluk 
dari Eropa mengimpor jutaan budak Afrika untuk bekerja 
di pertambangan dan perkebunan Amerika. Mereka memilih 
mengimpor budak dari Afrika, bukan Eropa atau Asia Timur 
karena tiga faktor penopangnya. Pertama, Afrika lebih dekat 
sehingga lebih murah mengimpor budak dari Senegal ketimbang 
dari Vietnam.
Kedua, di Afrika sudah ada perdagangan yang berkembang 
baik (mengekspor budak terutama ke Timur Tengah), sedangkan 
perbudakan di Eropa sangat jarang. Jelas sangat jauh lebih mudah 
membeli budak di pasar yang sudah ada ketimbang menciptakan 
pasar baru dari nol.
Ketiga, dan yang paling penting, perkebunan Amerika di 
tempat-tempat seperti Virginia, Haiti, dan Brasil dilanda malaria 
dan demam kuning, yang berasal dari Afrika. Orang-orang Afrika 
sudah turun-temurun membawa imunitas genetik parsial terhadap penyakit-penyakit itu, sedangkan orang Eropa sama sekali tak 
punya pertahanan dan mati bergelimpangan. Akibatnya, lebih 
bijak bagi pemilik perkebunan untuk mengivestasikan uangnya 
dalam budak Afrika ketimbang budak atau buruh paksa dari 
Eropa. Secara paradoks, superioritas genetik (dalam hal imunitas) 
menjelma menjadi inferioritas sosial: persis karena orang Afrika 
lebih cocok di iklim tropis ketimbang di Eropa, maka nasib 
mereka pun berakhir menjadi budak-budak dari para tuan Eropa! 
Karena faktor-faktor pendukung ini, masyarakat-masyarakat 
baru Amerika yang tengah berkembang terbagi menjadi kasta 
penguasa yang terdiri dari orang-orang kulit putih Eropa dan 
kasta hamba sahaya orang-orang kulit hitam Afrika.
Akan tetapi, orang tidak mau mengatakan bahwa mereka 
mempertahankan budak dari ras atau asal wilayah tertentu karena 
secara ekonomis menguntungkan. Seperti para penakluk Arya atas 
India, orang-orang kulit putih Eropa di Amerika ingin dipandang 
tidak hanya sukses secara ekonomi tetapi juga saleh, adil, dan 
objektif. Mitos-mitos religius dan ilmiah dipaksa melayani untuk 
menjustifikasi pembedaan ini. Para teolog berpendapat bahwa 
orang-orang Afrika adalah keturunan Ham, putra Nuh, yang 
dipelanai ayahnya dengan kutukan bahwa keturunannya akan 
menjadi budak-budak. Para ahli Biologi berpendapat bahwa orang 
kulit hitam kurang pandai ketimbang kulit putih dan pemahaman 
moral mereka kurang berkembang. Para dokter menuduh bahwa 
orang kulit hitam hidupnya penuh kotoran dan menyebarkan 
penyakit—dengan kata lain, mereka adalah sumber polusi.
Mitos-mitos semacam itu membentuk sebuah perpaduan 
dalam budaya Amerika, dan budaya Barat pada umumnya. 
Mereka terus mendesakkan pengaruh jauh sesudah kondisi￾kondisi pencipta perbudakan musnah. Pada awal abad ke-19 
Kerajaan Inggris melarang perbudakan dan menghentikan 
perdagangan budak trans-Atlantik, dan dalam beberapa dekade 
sesudahnya perbudakan berangsur-angsur dilarang di seluruh 
kontinen Amerika. Patut dicatat, inilah kali pertama dan satu￾satunya dalam sejarah bahwa masyarakat penganut perbudakan 
secara sukarela menghapuskan perbudakan. Namun, sekalipun 
para budak itu dibebaskan, mitos-mitos rasis yang menjustifikasi perbudakan tetap ada. Pemisahan ras dipertahankan oleh legislasi 
dan norma-norma sosial rasis.
Hasilnya adalah siklus sebab-akibat yang menguat dengan 
sendirinya, sebuah lingkaran setan. Perhatikan, misalnya, Amerika 
Serikat bagian selatan sesaat setelah Perang Saudara. Pada 1865, 
Amandemen Ke-13 atas Konstitusi Amerika melarang perbudakan 
dan Amandemen Ke-14 menetapkan bahwa kewarganegaraan 
dan perlindungan setara di hadapan hukum tidak bisa diingkari 
berdasarkan ras. Namun, dua abad perbudakan berarti bahwa 
sebagian besar keluarga kulit hitam jauh lebih miskin dan jauh 
lebih tak terdidik ketimbang sebagian besar keluarga kulit 
putih. Sehingga, orang kulit hitam yang lahir di Alabama pada 
1865 memiliki kesempatan jauh lebih kecil untuk mendapatkan 
pendidikan yang baik dan pekerjaan berupah bagus ketimbang 
para tetangganya yang berkulit putih. Anak-anaknya, yang 
lahir pada 1880-an dan 1890-an, memulai kehidupan dengan 
ketidakberuntungan yang sama—mereka juga lahir dalam keluarga 
miskin tak terdidik.
Akan tetapi, ketidakberuntungan ekonomi bukanlah 
keseluruhan cerita. Alabama dulu juga rumah bagi banyak 
kulit putih miskin yang tak mendapat kesempatan sebagaimana 
saudara-saudari satu ras mereka yang lebih kaya. Selain itu, 
Revolusi Industri dan gelombang imigrasi menjadikan Amerika 
Serikat sebuah masyarakat yang luar biasa cair sehingga kaum 
gembel bisa saja dengan cepat menjadi orang kaya. Jika hanya 
uang yang punya arti, perbedaan tajam antar-ras mestinya segera 
mengabur, paling tidak melalui pernikahan campuran. 
Akan tetapi, itu tidak terjadi. Sampai 1865, orang kulit 
putih, juga banyak orang kulit hitam, memandang sebagai sebuah 
kenyataan belaka bahwa orang kulit hitam memang kurang 
pandai, lebih keras dan lebih cabul secara seksual, lebih malas 
dan kurang peduli pada kebersihan diri ketimbang kulit putih. 
Mereka, dengan demikian, menjadi pelaku-pelaku kekerasan, 
pencurian, pemerkosaan, dan penyakit—dengan kata lain, 
polusi. Jika seorang kulit hitam Alabama pada 1895 secara ajaib 
berhasil mendapatkan pendidikan yang baik kemudian melamar 
pekerjaan terhormat seperti petugas bank, peluang baginya untuk diterima jauh lebih buruk ketimbang kandidat kulit putih yang 
kualifikasinya sama. Stigma yang melabeli orang kulit hitam 
secara alamiah tak bisa diandalkan, pemalas, dan kurang pandai 
menjadi sandungan baginya.
Anda mungkin berpikir bahwa orang akan pelan-pelan 
memahami bahwa stigma-stigma itu adalah mitos dan bukan 
fakta dan bahwa orang kulit hitam dari waktu ke waktu akan 
bisa membuktikan diri mereka punya kemampuan, taat hukum, 
dan bersih sebagaimana kulit putih. Faktanya, yang terjadi justru 
sebaliknya. Prasangka-prasangka ini menjadi lebih dan lebih 
menggila dari waktu ke waktu. Karena semua pekerjaan terbaik 
dipegang kulit putih, maka semakin mudah untuk meyakini 
bahwa kulit hitam memang benar-benar inferior. “Lihat”, rata￾rata orang akan berkata, “orang kulit hitam sudah bebas selama 
beberapa generasi, tetapi hampir tidak ada kulit hitam yang 
menjadi profesor, pengacara, dokter, atau bahkan pegawai bank. 
Bukankah itu bukti bahwa orang kulit hitam memang kurang 
pandai dan kurang bekerja keras?” Terperangkap dalam lingkaran 
setan ini, orang kulit hitam tidak dipekerjakan untuk pekerjaan￾pekerjaan kerah putih karena mereka sudah ditakdirkan tidak 
pandai, dan bukti inferioritas mereka adalah langkanya orang 
kulit hitam di pekerjaan kerah putih.
Lingkaran setan tidak berhenti di situ. Dengan tumbuh 
semakin kuatnya stigma-stigma antikulit hitam, keadaan itu 
menjelma menjadi sebuah sistem hukum dan norma “Jim Crow” 
yang dimaksudkan untuk melindungi tatanan rasial itu. Orang 
kulit hitam dilarang memberi suara dalam pemilihan umum, 
belajar di sekolah-sekolah kulit putih, membeli di toko-toko 
kulit putih, makan di restoran kulit putih, tidur di hotel kulit 
putih. Justifikasi untuk semua ini adalah bahwa kulit hitam 
memang kotor, malas, kejam sehingga orang kulit putih harus 
dilindungi dari mereka. Orang kulit putih tidak mau tidur di 
hotel yang sama dengan orang kulit hitam atau makan di restoran 
yang sama karena takut penyakit. Mereka tidak mau anak-anak 
mereka belajar di sekolah yang sama dengan anak-anak kulit 
hitam karena mencemaskan brutalitas dan pengaruh buruknya. 
Mereka tidak ingin orang kulit hitam memberikan suara dalam pemilihan umum karena orang kulit hitam bodoh dan tak 
bermoral. Ketakutan-ketakutan ini diperkuat oleh studi-studi 
ilmiah yang “membuktikan” bahwa orang kulit hitam memang 
kurang terdidik sehingga berbagai macam penyakit lebih umum 
di kalangan mereka, dan bahwa kejahatan mereka jauh lebih 
tinggi (studi-studi mengabaikan fakta bahwa “fakta-fakta” itu 
dihasilkan dari diskriminasi terhadap orang kulit hitam).
Sampai dengan pertengahan abad ke-20, segregasi dalam 
bekas negara-negara Konfederasi mungkin lebih buruk dari 
akhir abad ke-19. Clennon King, seorang pelajar kulit hitam 
yang melamar ke Universitas Mississippi pada 1958, dipaksa 
masuk rumah sakit jiwa. Hakim yang mengetuai persidangan 
memutuskan bahwa orang kulit hitam pasti benar-benar gila 
bila berpikir bahwa dia bisa diterima di Universitas Mississippi.
Tak ada yang lebih menggemparkan bagi orang selatan 
Amerika (dan banyak orang utara) dari hubungan seksual dan 
pernikahan antara pria kulit hitam dan perempuan kulit putih. 
Hubungan seks antar-ras menjadi tabu paling besar dan setiap 
pelanggaran, atau yang diduga pelanggaran, dipandang pantas 
mendapat balasan langsung dan dihukum mati tanpa pengadilan. 
Ku Klux Klan, organisasi rahasia penganut supremasi kulit putih, 
melakukan banyak pembunuhan semacam itu. Mereka tentu bisa mengajari kaum Brahmana Hindu satu atau dua hal tentang 
hukum kemurnian.
Seiring berjalannya waktu, rasisme menyebar semakin 
meluas ke arena kultural. Kultur aestetik Amerika dibangun di 
seputar standar-standar keindahan kulit putih. Atribut-atribut 
fisik ras kulit putih—misalnya kulit terang, rambut pirang dan 
lurus, hidung mancung—dipandang indah. Ciri-ciri khas kulit 
hitam—kulit gelap, rambut gelap tebal, hidung pesek—dipandang 
buruk. Prakonsepsi-prakonsepsi ini menanamkan hierarki yang 
diimajinasikan, bahkan pada level yang lebih dalam pada 
kesadaran manusia.
Lingkaran-lingkaran setan semacam itu bisa berlangsung 
berabad-abad dan bahkan milenium, mengabadikan hierarki yang 
diimajinasikan yang muncul dari kebetulan sejarah. Diskriminasi 
yang tidak adil sering menjadi semakin buruk, alih-alih membaik, 
dari waktu ke waktu. Uang memperbesar uang, dan kemelaratan 
memperburuk kemelaratan. Pendidikan memperbaiki pendidikan, 
dan kebodohan memperburuk kebodohan. Mereka yang 
dikorbankan oleh sejarah berkemungkinan menjadi korban lagi. 
Dan, mereka yang diistimewakan oleh sejarah menjadi semakin 
lebih diistimewakan lagi.
Sebagian besar hierarki sosiopolitik tidak memiliki basis 
logika maupun biologis—semua itu tak lebih dari pelanggengan 
kebetulan-kebetulan yang didukung oleh mitos-mitos. Itulah salah 
satu alasan yang bagus untuk belajar sejarah. Jika pembagian 
menjadi kulit hitam dan kulit putih atau Brahmana dan Shudra 
didasarkan pada realitas biologis—yakni, jika kaum Brahmana 
memang benar-benar memiliki otak yang lebih baik ketimbang 
Shudra—biologi tentu sudah cukup untuk memahami masyarakat 
manusia. Karena pembagian oleh biologi atas Homo sapiens
menjadi kelompok-kelompok yang berbeda-beda sesungguhnya 
bisa diabaikan, biologi tak bisa menjelaskan lika-liku dinamika 
rasial masyarakat India dan Amerika. Kita hanya bisa memahami 
fenomena-fenomena itu dengan mempelajari peristiwa-peristiwa, 
keadaan-keadaan, dan relasi-relasi kuasa yang mentransformasi 
isapan jempol imajinasi menjadi struktur-struktur sosial yang 
kejam—dan sangat riil.
Laki-laki dan Perempuan
Masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda mengadopsi jenis 
hierarki yang diimajinasikan yang berbeda-beda pula. Ras sangat 
penting bagi orang Amerika modern, tetapi relatif tidak signifikan 
bagi Muslim abad pertengahan. Kasta adalah masalah hidup dan 
mati dalam abad pertengahan India, sedangkan dalam Eropa 
modern itu praktis tidak ada. Meskipun demikian, ada satu 
hierarki yang menjadi urusan tertinggi dalam semua masyarakat 
manusia yang pernah ada: hierarki gender. Di mana-mana orang￾orang menggolongkan diri laki-laki dan perempuan. Dan, hampir 
di mana-mana laki-laki memiliki kedudukan lebih baik, paling 
tidak sejak Revolusi Agrikultur.
Sebagian dari naskah-naskah paling awal China adalah 
tulang belulang ramalan, bertarikh 1200 SM, yang digunakan 
untuk meramalkan masa depan. Di salah satu tulang terpahat 
pertanyaan “Akankah yang dilahirkan Putri Hao beruntung?” 
Pertanyaan itu dijawab secara tertulis: “Jika anaknya lahir pada 
hari ding, beruntung; jika pada hari geng, harapan berlimpah”.*
Naskah pada tulang itu diakhiri dengan uraian hasil pengamatan 
yang muram: “Tiga pekan dan satu hari sesudahnya, pada hari 
jiayin, anak itu lahir. Tidak beruntung. Ia seorang perempuan”.4
Lebih dari 3.000 tahun kemudian, ketika China Komunis 
memberlakukan kebijakan “satu anak”, banyak keluarga China 
terus memandang kelahiran seorang anak perempuan adalah 
nasib buruk. Orangtua terkadang menelantarkan atau membunuh 
bayi perempuan yang baru lahir dalam rangka mengupayakan 
untuk mendapatkan anak laki-laki.
Di banyak masyarakat perempuan dijadikan begitu saja 
sebagai properti laki-laki, kebanyakan oleh ayah mereka, 
suami, atau saudara laki-lakinya. Pemerkosaan, pada banyak 
sistem hukum, masuk dalam kategori pelanggaran properti
dengan kata lain, korban bukanlah perempuan yang diperkosa, 
melainkan laki-laki yang memilikinya. Dalam keadaan seperti itu, 
penyelesaian hukumnya adalah transfer kepemilikan—pemerkosa 
diwajibkan membayar mahar kepada ayah atau saudara laki-laki 
perempuan itu, dan si perempuan menjadi properti pemerkosa. 
Injil menyatakan bahwa “Jika seorang laki-laki bertemu dengan 
seorang perawan yang belum bertunangan, lalu merengkuh dan 
tidur bersamanya dan mereka ketahuan, maka laki-laki yang tidur 
bersama perempuan itu harus membayar kepada ayah perempuan 
muda itu lima puluh shekel perak, dan perempuan itu menjadi 
istrinya” (Ulangan 22:28–29). Kaum Ibrani kuno memandang 
ini pengaturan yang masuk akal.
Memerkosa seorang perempuan yang bukan milik pria 
mana pun tidak dianggap kejahatan sama sekali, sebagaimana 
layaknya memungut sebuah koin yang hilang di jalanan sibuk 
tidak dianggap sebagai pencurian. Nyatanya, ide bahwa seorang 
suami bisa memerkosa istrinya adalah sebuah oksimoron. Menjadi 
seorang suami artinya memiliki kendali penuh atas istri secara 
seksual. Mengatakan bahwa seorang suami “memerkosa” istrinya 
adalah tidak logis, seperti mengatakan seorang pria mencuri 
dompetnya sendiri. Pemikiran semacam itu tidak terbatas di 
Timur Tengah kuno saja. Pada 2006, masih ada lima puluh 
tiga negara di mana seorang suami tidak bisa dituntut karena 
memerkosa istrinya. Bahkan di Jerman, hukum pemerkosaan baru 
diamandemen pada 1997 untuk menciptakan kategori hukum 
pemerkosaan marital.5
Apakah pembagian laki-laki dan perempuan itu produk 
imajinasi, seperti halnya sistem kasta di India dan sistem rasial di 
Amerika, atau merupakan pembagian alamiah dengan akar-akar 
biologis yang mendalam? Dan, jika benar pembagian alamiah, 
adakah juga penjelasan-penjelasan biologis untuk preferensi yang 
diberikan kepada laki-laki dan perempuan?
Sebagian dari disparitas kultural, legal, dan politis antara 
laki-laki dan perempuan mencerminkan perbedaan-perbedaan 
biologis yang jelas di antara kedua jenis kelamin. Melahirkan 
selalu menjadi pekerjaan perempuan karena laki-laki tidak punya 
rahim. Namun, di sekitar inti universal yang keras ini, setiap masyarakat mengakumulasi lapisan demi lapisan ide-ide dan 
norma-norma kultural yang tak banyak berhubungan dengan 
biologi. Masyarakat-masyarakat mengasosiasi sejumlah atribut 
pada maskulinitas dan femininitas yang, untuk hampir semua 
bagian, tak memiliki basis biologis yang kuat.
Misalnya, di Athena demokratis abad ke-5 SM, seorang 
individu yang memiliki rahim tidak punya status legal independen 
dan dilarang berpartisipasi dalam majelis umum atau menjadi 
hakim. Dengan beberapa pengecualian, individu seperti itu tak 
bisa mendapatkan manfaat dari pendidikan yang baik, juga 
tidak terlibat dalam bisnis atau percaturan filsafat. Tidak ada 
pemimpin politik Athena, tak seorang pun filsuf, orator, artis, 
atau pedagangnya yang hebat memiliki rahim. Apakah dengan 
memiliki rahim seseorang menjadi tidak cocok secara biologis 
untuk profesi-profesi ini? Orang Athena kuno berpikir demikian. 
Orang Athena modern tidak setuju. Di Athena masa kini, 
perempuan memberikan suara, dipilih menjadi pejabat publik, 
menyampaikan pidato, mendesain apa pun, dari perhiasan 
sampai bangunan dan perangkat lunak, dan kuliah di universitas. 
Rahim-rahim mereka tidak menghalangi melakukan hal-hal ini 
sebagaimana dilakukan kaum pria yang berhasil. Benar, mereka 
masih kurang terwakili dalam politik dan bisnis—hanya sekitar 
12 persen anggota parlemen Yunani adalah perempuan. Namun, 
tidak ada hambatan legal apa pun bagi partisipasi mereka dalam 
politik, dan kebanyakan orang Yunani modern berpikir cukup 
normal bagi seorang perempuan mengabdi di jabatan-jabatan 
publik.
Banyak orang Yunani modern juga berpikir bahwa salah 
satu bagian integral dari menjadi pria adalah menarik secara 
seksual hanya bagi perempuan. Mereka tidak melihat ini sebagai 
bias kultural, tetapi lebih sebagai realitas biologis—relasi antara 
2 orang berlainan jenis kelamin adalah alamiah, dan antara 2 
orang sesama jenis kelamin tidak alamiah. Namun faktanya, Ibu 
Pertiwi tidak keberatan jika ada sesama laki-laki saling tertarik. 
Hanya ibu-ibu manusia yang sudah terendam dalam kultur-kultur 
tertentu yang gaduh jika putranya punya hubungan asmara 
dengan anak laki-laki tetangganya. Tantrum ibu bukanlah titah biologis. Sejumlah signifikan kultur manusia memandang relasi 
homoseksual tidak hanya absah, tetapi bahkan secara sosial 
konstruktif, dan Yunani kuno merupakan contoh yang paling 
termasyhur. Iliad tidak menyebutkan bahwa Theti berkeberatan 
terhadap hubungan putranya, Achille, dengan Patroclus. Ratu 
Olympia dari Macedon adalah salah satu perempuan paling 
temperamental dan ganas di dunia kuno, dan bahkan suaminya 
sendiri, Raja Philip, dibunuhnya. Namun, dia tidak sreg ketika 
putranya, Alexander Yang Agung, membawa kekasihnya, 
Hephaestion ke rumah untuk makan malam.
Bagaimana kita bisa membedakan apa yang ditentukan 
secara biologis dari apa yang hanya diupayakan orang untuk 
menjustifikasi mitos-mitos biologis. Ada satu rumus yang 
bagus, “Jika Biologi membolehkan, Kultur melarang”. Biologi 
berkenan menoleransi spektrum kemungkinan yang sangat 
luas. Kulturlah yang mewajibkan orang mewujudkan sebagian 
kemungkinan dan melarang kemungkinan yang lain. Biologi 
memungkinkan perempuan memiliki anak—sebagian kultur 
mewajibkan perempuan mewujudkan kemungkinan itu. Biologi 
memungkinkan laki-laki menikmati seks dengan sesamanya—
sebagian kultur melarang mereka mewujudkan kemungkinan itu.
Kultur cenderung berdalih bahwa ia melarang hanya hal-hal 
yang tidak alamiah. Namun, dari perspektif biologis, tidak ada 
yang tidak natural. Apa pun yang mungkin berdasarkan definisi 
adalah juga natural. Satu perilaku yang benar-benar tidak alamiah, 
yakni yang melawan hukum alam, sudah pasti tidak bisa terjadi 
sehingga tidak membutuhkan larangan. Tidak ada kultur yang 
pernah repot-repot melarang laki-laki melakukan fotosintesis, 
perempuan berlari lebih cepat dari kecepatan cahaya, atau 
elektron-elektron bermuatan negatif ditempelkan satu sama lain.
Yang benar, konsep-konsep kita tentang “natural” dan 
“tidak natural” bukan diambil dari biologi, melainkan dari 
teologi Kristen. Makna teologis dari “natural” adalah “sesuai 
dengan niat Tuhan yang menciptakan alam”. Para teolog Kristen 
berpendapat bahwa Tuhan menciptakan tubuh manusia, dengan 
memperuntukkan setiap bagian dan organ tubuh pada tujuan 
tertentu. Jika kita menggunakan bagian dan organ tubuh kita untuk tujuan yang ditetapkan Tuhan, maka itu adalah aktivitas 
natural. Menggunakannya secara berbeda dari yang ditetapkan 
Tuhan berarti tidak natural. Namun, evolusi tidak punya tujuan 
apa pun. Organ-organ tidak berevolusi sesuai dengan tujuan, dan 
cara organ itu digunakan terus berubah-ubah. Tidak ada satu pun 
organ dalam tubuh manusia yang hanya melakukan tugas yang 
dilakukan prototipenya ketika kali pertama muncul ratusan juta 
tahun lalu. Organ-organ berevolusi untuk menjalankan fungsi 
tertentu, tetapi begitu terlaksana, organ-organ itu juga bisa 
diadaptasi untuk penggunaan-penggunaan lain. Mulut, misalnya, 
ada karena organisme multisel paling awal memerlukan cara 
untuk memasukkan zat makanan ke dalam tubuh mereka. Kita 
masih menggunakan mulut untuk tujuan itu, tetapi kita juga 
menggunakannya untuk mencium, berbicara dan, jika kita Rambo, 
menarik picu dari granat. Apakah ada di antara penggunaan￾penggunaan ini yang tidak natural hanya karena para leluhur 
kita yang seperti cacing 600 juta tahun lalu tidak melakukan 
hal-hal tersebut dengan mulut mereka?
Demikian pula, sayap tidak tiba-tiba muncul dengan semua 
kemegahan aerodinamisnya. Sayap berkembang dari organ-organ 
yang dulunya memiliki fungsi lain. Menurut satu teori, sayap 
serangga berevolusi jutaan tahun lalu dari tonjolan tubuh pada 
serangga-serangga yang tidak bisa terbang. Serangga-serangga 
dengan tonjolan memiliki area permukaan yang lebih besar 
ketimbang yang tidak punya tonjolan, dan ini memungkinkan 
mereka menyerap lebih banyak cahaya Matahari sehingga bisa 
tetap hangat. Dalam proses evolusi lambat, pemanas dengan 
sinar Matahari ini tumbuh membesar. Struktur yang sama bagus 
untuk penyerapan maksimum cahaya Matahari—banyak area 
permukaan, beratnya kecil—juga, secara kebetulan, membantu 
serangga sedikit mengangkat tubuhnya saat melompat-lompat. 
Serangga-serangga dengan tonjolan lebih besar bisa melompat 
lebih jauh. Sebagian serangga mulai menggunakan perlengkapan 
itu untuk meluncur, dan dari sanalah langkah kecil menuju sayap 
yang dapat benar-benar melontarkan serangga ke udara. Ketika 
pada kemudian hari seekor nyamuk mendengung di telinga Anda, 
tentu Anda akan menuduh nyamuk berperilaku tidak natural. Jika dia berperilaku dengan benar dan tunduk pada kemauan 
Tuhan yang memberinya, dia tentu menggunakan sayapnya hanya 
sebagai panel surya.
Bentuk multiperan yang sama itu berlaku juga pada organ￾organ seksual dan perilaku kita. Seks pertama-tama berevolusi 
untuk ritual-ritual pembuahan dan percumbuan sebagai cara 
untuk menyesuaikan dengan ukuran calon pasangan. Namun, 
banyak binatang kini juga menempatkan fungsi seks untuk 
tujuan-tujuan sosial yang majemuk, yang tak ada hubungannya 
dengan urusan membuat salinan kecil dari diri mereka. Simpanse, 
misalnya, menggunakan seks untuk memperkuat aliansi politik, 
menciptakan keintiman dan meredakan ketegangan. Apakah itu 
tidak natural?
Maka, kurang masuk akal mengatakan bahwa fungsi alamiah 
dari perempuan adalah melahirkan, atau bahwa homoseksualitas 
itu tidak natural. Sebagian besar hukum, norma, hak-hak, 
dan kewajiban-kewajiban yang mendefinisikan kejantanan dan 
kebetinaan lebih mencerminkan imajinasi manusia ketimbang 
realitas biologis. Secara biologis, manusia terbagi menjadi 
laki-laki dan perempuan. Satu Homo sapiens laki-laki adalah 
makhluk yang punya satu kromosom X dan satu kromosom Y; 
sedangkan perempuan adalah makhluk dengan dua kromosom 
X. Namun, “pria” dan “wanita” menunjukkan kategori sosial, 
bukan biologis. Sementara dalam mayoritas besar kasus pada 
kebanyakan masyarakat manusia laki-laki adalah jantan dan 
perempuan adalah betina, terma-terma sosial membawa banyak 
bawaan yang hanya memiliki hubungan tipis, kalaupun ada, 
dengan terma-terma biologis. Seorang pria bukanlah Sapiens 
dengan kualitas biologis tertentu seperti kromosom XY, bandulan, 
dan banyak testosteron. Namun, dia cocok dengan celah tertentu 
dalam tatanan sosial yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos 
budayanya menugasi dia untuk peran-peran maskulin (seperti 
terlibat dalam politik) hak-hak (seperti memilih) dan tugas￾tugas (seperti pengabdian militer). Demikian pula, seorang 
perempuan bukan Sapiens dengan dua kromosom X, satu rahim 
dan banyak estrogen. Namun, dia adalah betina anggota tatanan 
yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos dalam masyarakatnya 
menugasi dia untuk peran-peran feminin yang unik (membesarkan 
anak), hak-hak (perlindungan dari kekerasan), dan tugas-tugas 
(patuh pada suami). Karena mitos-mitos itu, bukan biologi, yang 
mendefinisikan peran, hak dan tugas laki-laki dan perempuan, 
makna “kejantanan” dan “kebetinaan” beragam sangat luas antara 
satu masyarakat dan masyarakat lainnya. 
Agar tidak terlalu membingungkan, para ahli biasanya 
membedakan antara “jenis kelamin” yang merupakan kategori 
biologis, dan “gender” sebagai kategori kultural. jenis kelamin 
dibagi menjadi jantan dan betina, dan kualitas dari pembedaan 
ini bersifat objektif dan tetap sepanjang sejarah. Gender 
dibagi menjadi laki-laki dan perempuan (dan sebagian kultur 
mengakui kategori lainnya). Apa yang disebut sebagai kualitas
“maskulin” dan “feminin” bersifat intersubjektif dan mengalami 
perubahan-perubahan terus-menerus. Misalnya, ada perbedaan 
yang cakupannya luas dalam perilaku, hasrat, pakaian, bahkan 
postur tubuh yang diharapkan dari perempuan pada masa klasik 
Athena dan perempuan dalam Athena modern.6
Jenis kelamin ibarat mainan anak-anak; sedangkan gender 
adalah urusan serius. Untuk bisa menjadi anggota berjenis kelamin 
jantan adalah hal paling sederhana di dunia. Anda hanya butuh 
dilahirkan dengan satu kromosom X dan satu kromosom Y. 
Untuk menjadi perempuan pun sama sederhananya. Sepasang 
kromosom X bisa mencukupinya. Secara kontras, menjadi laki￾laki dan perempuan sangat rumit dan memerlukan upaya. Karena 
sebagian besar kualitas maskulin dan feminin bersifat kultural 
dan bukan biologis, tak ada masyarakat yang secara otomatis 
memahkotai setiap jantan menjadi laki-laki dan setiap betina 
menjadi perempuan. Gelar-gelar ini juga bukan mahkota yang 
bisa dipasangkan seketika saat diraih. Pejantan harus membuktikan 
maskulinitas mereka secara terus-menerus, dalam kehidupan 
mereka, dari buaian sampai liang lahat, dalam serangkaian ritual 
dan pertunjukan tiada henti. Dan, pekerjaan seorang perempuan 
tidak pernah selesai—dia harus terus meyakinkan diri dan orang 
lain bahwa dia cukup feminin.
Keberhasilan tidak terjamin. Para pejantan khususnya hidup 
terus dalam ancaman kehilangan hak kejantanan. Sepanjang 
sejarah, seorang laki-laki bersedia mengambil risiko dan bahkan 
mengorbankan hidup mereka, hanya agar orang berkata “Dia 
memang pria sejati”.
Apa Hebatnya Laki-laki?
Paling tidak sejak Revolusi Agrikultur, sebagian besar masyarakat 
manusia merupakan masyarakat patriarkal yang menghargai laki￾laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Terlepas dari bagaimana 
sebuah masyarakat mendefinisikan “laki-laki” dan “perempuan”, 
menjadi seorang laki-laki selalu lebih baik. Masyarakat patriarkal 
mengedukasi para laki-laki untuk berpikir dan bertindak dengan cara maskulin dan kaum perempuan untuk berpikir dan bertindak 
secara feminin, menghukum siapa pun yang berani melampaui 
batas itu. Meskipun demikian, mereka tidak memberi imbalan 
setara kepada mereka yang mematuhinya. Kualitas-kualitas yang 
dipandang maskulin dinilai lebih dari kualitas-kualitas feminin, 
dan para anggota masyarakat yang memersonifikasi feminin 
ideal mendapatkan lebih sedikit dari mencapai maskulin ideal. 
Lebih sedikit sumber daya yang diinvestasikan dalam kesehatan 
dan pendidikan perempuan; mereka mendapatkan kesempatan 
ekonomi yang lebih kecil, kekuasaan politik lebih kecil, dan 
gerak kebebasan yang lebih kecil. Gender adalah sebuah ras 
yang di dalamnya para pesaing hanya berkompetisi untuk medali 
perunggu.
Benar bahwa segelintir perempuan mencapai posisi alfa, 
seperti Cleopatra dari Mesir, Permaisuri Wu Zetian dari China 
(700 M), dan Elizabeth I dari Inggris. Namun, mereka adalah 
pengecualian-pengecualian yang justru membuktikan adanya 
aturan itu. Selama 45 tahun masa kekuasaan Elizabeth, seluruh 
anggota Parlemen adalah laki-laki, semua perwira di Angkatan 
Laut Kerajaan dan Angkatan Darat adalah laki-laki, seluruh 
hakim dan pengacara adalah laki-laki, seluruh uskup dan uskup 
agung adalah laki-laki, seluruh mahasiswa dan profesor di semua 
universitas dan sekolah tinggi adalah laki-laki, seluruh walikota 
dan kepala polisi daerah adalah laki-laki, dan hampir semua 
penulis, arsitek, penyair, filsuf, pelukis, pemusik, serta ilmuwan 
adalah laki-laki.
Patriarki telah menjadi norma di hampir semua masyarakat 
agrikultur dan industri. Ia dengan kokoh bertahan melewati 
pergolakan-pergolakan politik, revolusi-revolusi sosial, dan 
transformasi-transformasi ekonomi. Mesir, misalnya, ditaklukkan 
berkali-kali selama berabad-abad. Assyiria, Persia, Macedonia, 
Romawi, Arab, Mamluk, Turki, Inggris mendudukinya—
masyarakatnya selalu tetap patriarkal. Mesir diperintah dengan 
hukum Fir’aun, hukum Yunani, hukum Romawi, hukum 
Islam, hukum Ottoman, hukum Inggris—dan mereka semua 
mendiskriminasi masyarakat yang bukan “laki-laki sejati”.
Karena patriarki begitu universal, ia tidak bisa menjadi 
produk dari lingkaran setan yang dipicu oleh kebetulan. Yang 
sangat pantas dicatat, bahkan sebelum 1492, sebagian besar 
masyarakat di Amerika maupun Afro-Asia adalah patriarkal, 
sekalipun terputus jarak selama ribuan tahun. Jika patriarki di 
Afro-Asia muncul dari kebetulan, mengapa masyarakat Aztec 
dan Inca patriarkal? Kemungkinan yang jauh lebih besar adalah 
bahwa sekalipun definisi persis “laki-laki” dan “perempuan” 
beragam di antara banyak budaya, ada suatu penyebab biologis 
universal mengapa semua budaya menghargai kejantanan di atas 
kebetinaan. Kita tidak tahu apa penyebabnya. Ada banyak sekali 
teori, tak satu pun meyakinkan.
Kekuatan Otot
Teori paling umum menunjuk ke fakta bahwa laki-laki lebih kuat 
daripada perempuan, dan bahwa mereka menggunakan kekuatan 
fisik yang lebih besar untuk memaksa perempuan tunduk. Sebuah 
versi yang lebih subtil dari klaim ini mengemukakan bahwa 
kekuatan laki-laki memungkinkan mereka memonopoli tugas￾tugas yang menuntut kerja keras manual, seperti membajak dan 
memanen. Ini memberi mereka kontrol atas produksi makanan, 
yang pada gilirannya menjelma menjadi pengaruh politik.
Ada dua problem dalam pendapat yang menekankan kekuatan 
otot. Pertama, pernyataan bahwa “laki-laki lebih kuat daripada 
perempuan” hanya benar secara rata-rata, dan hanya berkenaan 
dengan jenis-jenis kekuatan tertentu. Perempuan pada umumnya 
lebih tahan pada kelaparan, penyakit, dan kelelahan ketimbang 
laki-laki. Banyak juga perempuan yang bisa berlari lebih cepat 
dan mengangkat beban lebih berat ketimbang banyak laki-laki. 
Lebih dari itu, dan paling problematik dalam teori ini, perempuan 
sepanjang sejarah telah disisihkan dari banyak pekerjaan yang 
membutuhkan upaya fisik ringan (seperti kependetaan, hukum, 
dan politik), dengan tetap terlibat dalam pekerjaan kasar di 
ladang-ladang, kerajinan, dan rumah tangga. Jika kekuatan sosial 
dibagi dalam kaitan langsung dengan kekuatan fisik atau stamina, 
perempuan tentulah mendapat bagian yang jauh lebih besar.Yang lebih penting lagi, tidak ada yang namanya hubungan 
langsung antara kekuatan politik dan kekuatan sosial di kalangan 
manusia. Orang-orang dalam usia enam puluhan biasanya 
menjalankan kekuasaan atas orang-orang usia dua puluhan, 
sekalipun usia dua puluhan jauh lebih kuat daripada para sesepuh 
mereka. Pemilik perkebunan di Alabama pada pertengahan abad 
ke-19 tentu sudah tersungkur di tanah dalam beberapa detik saja 
oleh kekuatan para budak yang menggarap ladang-ladang kapas 
mereka. Pertandingan-pertandingan tinju tidak digunakan untuk 
memilih Fir’aun Mesir atau paus Katolik. Dalam masyarakat 
pengembara, dominasi politik umumnya berdiam pada orang yang 
memiliki keterampilan sosial terbaik, bukan orang yang paling 
berotot. Dalam kejahatan terorganisasi, bos besar tidak dengan 
sendirinya pria yang paling kuat. Dia sering pria tua yang sangat 
jarang menggunakan tinjunya sendiri; dia menyuruh orang-orang 
yang lebih muda dan lebih kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan 
kotor untuknya. Seorang laki-laki yang berpikir bahwa cara untuk 
mengambil alih sindikat adalah dengan mengalahkan don** tak 
mungkin bisa hidup cukup lama untuk belajar dari kesalahannya. 
Bahkan, di kalangan simpanse, jantan alfa meraih posisinya 
dengan membangun koalisi yang stabil dengan pejantan-pejantan 
dan betina-betina, bukan melalui kekerasan tanpa perhitungan.
Faktanya, sejarah manusia menunjukkan bahwa sering ada 
relasi terbalik antara keperkasaan fisik dan kekuatan sosial. Di 
sebagian besar masyarakat, kelas rendahlah yang melakukan 
pekerjaan kasar. Ini bisa mencerminkan posisi Homo sapiens
dalam rantai makanan. Jika hanya kemampuan fisik liar yang 
punya arti, Sapiens tentu terdesak ke posisi tengah. Namun, 
kemampuan mental dan sosial menempatkan mereka di puncak. 
Oleh karena itu, natural belaka bahwa rantai kekuatan dalam 
spesies-spesies juga akan lebih ditentukan oleh kemampuan 
mental dan sosial ketimbang kekuatan brutal. Oleh karena itu, 
sulit memercayai bahwa hierarki sosial yang paling berpengaruh 
dan paling stabil dalam sejarah bertumpu pada kemampuan fisik 
manusia untuk memaksa perempuan.
Sampah Masyarakat
Satu teori lain menjelaskan bahwa dominasi maskulin bukan 
merupakan hasil dari kekuatan, melainkan dari agresi. Jutaan 
tahun evolusi telah menjadikan laki-laki jauh lebih kasar 
ketimbang perempuan. Perempuan bisa menandingi laki-laki 
dalam urusan kebencian, ketamakan, dan pelanggaran, tetapi 
ketika mendapat tekanan, laki-laki jauh lebih siap untuk terlibat 
dalam kekerasan fisik yang liar. Itulah mengapa sepanjang sejarah 
peperangan selalu menjadi hak prerogatif maskulin.
Pada masa perang, kendali laki-laki atas pasukan bersenjata 
membuat mereka menjadi tuan-tuan dalam masyarakat sipil 
juga. Mereka kemudian menggunakan kontrol atas masyarakat 
sipil untuk melancarkan perang demi perang, dan semakin besar 
jumlah perang, semakin besar kontrol laki-laki atas masyarakat. 
Lingkaran umpan balik ini menjelaskan merajalelanya perang 
dan merajalelanya patriarki. Studi-studi mutakhir tentang sistem 
horman dan kognitif laki-laki dan perempuan memperkuat asumsi 
bahwa laki-laki memang memiliki kecenderungan kekerasan 
lebih besar sehingga lebih cocok untuk menjadi tentara biasa. 
Meskipun demikian, mengingat bahwa semua tentara biasa 
adalah laki-laki, apakah itu berarti bahwa orang yang mengatur 
peran dan menikmati hasilnya pasti juga laki-laki? Itu tidak 
masuk akal. Itu seperti berasumsi bahwa karena semua budak 
yang menggarap ladang-ladang kapas adalah kulit hitam, pasti 
para pemilik perkebunan berkulit hitam juga. Sebagaimana satu 
pasukan kerja yang semuanya kulit hitam mungkin dikendalikan 
oleh satu manajemen yang semuanya kulit putih, mengapa 
pasukan tentara yang kesemuanya laki-laki tidak bisa dikendalikan 
oleh pasukan yang semuanya perempuan, atau paling tidak 
pemerintahan dengan sebagian perempuan? Faktanya, dalam 
banyak masyarakat sepanjang sejarah, para perwira tertinggi 
tidak meniti karier pekerjaannya dari pangkat prajurit. Kaum 
aristokrat, orang kaya, dan terdidik secara otomatis ditempatkan 
di pangkat perwira dan tidak pernah bertugas sehari pun di 
pangkat bawah.
Ketika Pangeran Wellington, musuh bebuyutan Napoleon, diterima di Angkatan Darat Inggris pada usia 18 tahun, dia 
langsung ditugaskan sebagai seorang perwira. Dia tidak banyak 
merasakan sebagai tentara biasa dalam pasukannya. “Kami dalam 
dinas memiliki sampah bumi para tentara biasa”, dia menulis ke 
sesama aristokrat saat peperangan melawan Prancis. Para tentara 
biasa ini biasanya direkrut dari kalangan sangat miskin atau dari 
etnis minoritas (seperti Katolik Irlandia). Peluang mereka untuk 
naik pangkat sangat kecil. Pangkat senior dikhususkan bagi para 
bangsawan, pangeran, dan raja. Namun, mengapa hanya untuk 
para bangsawan, bukan putri?
Imperium Prancis di Afrika didirikan dan dibela dengan 
keringat dan darah orang Senegal, Aljazair, dan kelas pekerja 
Prancis. Namun, persentase orang Prancis dari kalangan berada 
dalam elite kecil yang memimpin angkatan perang Prancis, 
menguasai imperium dan menikmati buahnya sangatlah tinggi. 
Mengapa hanya laki-laki Prancis dan bukan perempuan Prancis? 
Di China, ada tradisi yang berlangsung lama untuk 
menundukkan angkatan perang di bawah birokrasi sipil sehingga 
orang-orang Mandarin yang tidak pernah memegang pedang 
sering memimpin perang. “Anda tidak perlu menyia-nyiakan besi 
yang bagus untuk membuat pancing”, demikian pepatah China 
yang berarti bahwa orang-orang yang benar-benar berbakatlah 
yang bisa bergabung dalam birokrasi sipil, bukan angkatan perang. 
Lalu, mengapa semuanya adalah laki-laki Mandarin?
Orang tak bisa beralasan secara masuk akal bahwa kelemahan 
fisik atau rendahnya tingkat testosteron menghalangi perempuan 
menjadi orang Mandarin yang sukses, jenderal, dan politisi. Untuk 
bisa berhasil dalam sebuah perang, Anda tentu membutuhkan 
stamina, tetapi bukan kekuatan fisik atau keagresifan. Perang 
bukanlah perkelahian di pub. Perang adalah proyek yang 
sangat kompleks yang membutuhkan derajat organisasi yang 
luar biasa, kerja sama dan penenangan. Kemampuan untuk 
mempertahankan ketenangan di dalam negeri, mencari sekutu di 
luar, dan memahami apa yang berkecamuk dalam pikiran orang 
lain (terutama musuh Anda) biasanya menjadi kunci kemenangan. 
Karena itu seorang brutal agresif sering menjadi pilihan terburuk 
untuk memimpin perang. Yang jauh lebih baik adalah orangyang kooperatif yang tahu bagaimana menenangkan, bagaimana 
memanipulasi, dan bagaimana melihat keadaan dari berbagai 
perspektif yang berbeda. Inilah bahan-bahan yang dibutuhkan 
untuk menciptakan para pembangun imperium. Augustus yang 
tidak berkompeten secara militer berhasil menciptakan rezim 
imperium yang stabil, mencapai sesuatu yang lolos dari capaian 
Julius Caesar dan Alexander Yang Agung, dua jenderal yang jauh 
lebih mumpuni. Para pengagum kontemporer dan sejarawan 
modern sering merujukkan kehebatan itu pada keunggulannya 
dalam hal yang dinamakan clementia—kelembutan dan 
ketenangan.
Perempuan sering di-stereoptipe sebagai pemanipulasi 
dan penenang yang lebih bagus ketimbang laki-laki, dan 
terkenal karena kemampuan hebatnya untuk melihat sesuatu 
dari perspektif orang lain. Jika ada bagian yang benar dari 
stereotipe ini, maka mestinya perempuan bisa menjadi politisi 
dan pembangun imperium yang hebat sehingga bisa menyerahkan 
pekerjaan kasar di arena pertempuran kepada kaum macho yang 
bermuatan testosteron dan berpikiran sederhana. Meskipun 
marak dalam mitos-mitos populer, ini jarang terjadi di dunia. 
Sama sekali tidak jelas mengapa bisa begitu.
Gen-Gen Patriarkal
Satu lagi penjelasan biologis yang tak terlalu menekankan 
pentingnya kekuatan brutal dan kekerasan, dan menjelaskan bahwa 
selama jutaan tahun evolusi, laki-laki dan perempuan berevolusi 
secara berbeda dalam strategi survival dan reproduksi. Ketika 
laki-laki bersaing dengan sesamanya untuk meraih kesempatan 
menghamili perempuan subur, peluang satu individu untuk 
bereproduksi bergantung yang paling utama pada kemampuannya 
mengungguli dan mengalahkan laki-laki lain. Seiring berjalannya 
waktu, gen-gen maskulin berkembang menjadi generasi paling 
ambisius, paling agresif, dan paling kompetitif.
Seorang perempuan, di sisi lain, tak punya masalah dalam 
menemukan laki-laki yang bersedia menghamilinya. Namun, jika dia ingin anak-anaknya memberi cucu, dia perlu membawa 
mereka 9 bulan yang melelahkan dalam kandungan, dan 
kemudian mengasuhnya selama bertahun-tahun. Dalam masa itu 
dia memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mendapatkan 
makanan, dan membutuhkan banyak bantuan. Dia membutuhkan 
seorang laki-laki. Untuk menjamin survivalnya sendiri dan anak￾anaknya, perempuan tak punya banyak pilihan selain menyetujui 
apa pun syarat yang ditetapkan laki-laki sehingga laki-laki bisa 
tetap bersamanya dan ikut menanggung beban. Seiring berjalannya 
waktu, gen-gen feminin berkembang menjadi generasi perempuan 
pengasuh yang paling submisif. Perempuan yang menghabiskan 
terlalu banyak waktu untuk perang memperebutkan kekuasaan 
tidak menyisakan gen-gen kuat itu untuk generasi masa depan.
Hasil dari strategi survival yang berbeda ini—demikian 
menurut teori—adalah bahwa laki-laki telah diprogram untuk 
menjadi ambisius dan kompetitif, dan moncer dalam politik 
dan bisnis, sedangkan perempuan cenderung menyingkir dan 
mendedikasikan hidup mereka untuk membesarkan anak-anak.
Akan tetapi, pendekatan ini juga tampaknya diingkari oleh 
bukti empiris. Yang terutama problematis adalah asumsi bahwa 
ketergantungan perempuan pada bantuan eksternal menjadikan 
mereka bergantung pada laki-laki, bukan pada perempuan lain, 
dan bahwa daya saing menjadikan laki-laki dominan secara sosial. 
Banyak spesies binatang, seperti gajah dan simpanse bonobo, yang 
dalamnya dinamika antara betina yang bergantung dan pejantan 
yang kompetitif menghasilkan masyarakat matriarkal. Karena 
betina membutuhkan bantuan eksternal, mereka diwajibkan 
untuk mengembangkan keterampilan sosialnya dan belajar 
bagaimana bekerja dan menenangkan. Mereka mengonstruksi 
jaringan sosial khusus betina yang saling membantu membesarkan 
anak. Sementara itu, para pejantan menghabiskan waktu untuk 
berperang dan bersaing. Kemampuan sosial dan ikatan sosial 
tetap kurang berkembang.
Masyarakat bonobo dan gajah dikontrol oleh jaringan betina 
yang kooperatif, sementara pejantan yang egois dan tak kooperatif 
terdesak ke tepi. Meskipun betina-betina bonobo lebih lemah 
secara rata-rata ketimbang pejantan, betina sering bertindak keroyokan untuk mengalahkan pejantan yang melampaui garis 
batas mereka.
Jika itu bisa terjadi pada bonobo dan gajah, mengapa tidak 
pada Homo sapiens? Sapiens adalah binatang yang relatif lemah, 
yang keunggulannya terletak pada kemampuan untuk bekerja 
sama dalam jumlah besar. Jika demikian, kita harus berekspektasi 
bahwa kaum perempuan yang dependen, sekalipun mereka 
bergantung pada laki-laki, akan menggunakan keterampilan 
sosial mereka yang superior untuk bekerja sama mengalahkan 
dan memanipulasi laki-laki yang agresif, otonom, dan egois.
Bagaimana itu bisa terjadi, bahwa dalam satu spesies yang 
suksesnya bergantung terutama pada kerja sama, individu-individu 
yang dianggap kurang kooperatif (laki-laki) mengontrol individu￾individu yang dianggap lebih kooperatif (perempuan)? Saat ini 
kita belum punya jawaban yang bagus. Mungkin asumsi-asumsi 
umumnya memang salah. Mungkin laki-laki dari spesies Homo 
sapiens tercirikan bukan pada kekuatan fisik, keagresifan dan 
daya saing, tetapi lebih pada kemampuan sosial yang superior 
dan kecenderungan besar untuk bekerja sama. Kita tidak tahu.
Akan tetapi, yang kita tahu adalah bahwa dalam abad 
yang lalu peran-peran gender telah mengalami revolusi yang 
dahsyat. Semakin banyak dan semakin banyak masyarakat masa 
kini memberi laki-laki dan perempuan status hukum, hak-hak 
politik, dan kesempatan ekonomi yang setara. Meskipun jurang 
gender masih signifikan, peristiwa-peristiwa bergerak dengan 
kecepatan yang mencengangkan. Ketika, pada 1913, gerakan 
kaum perempuan menghebohkan publik Amerika Serikat dalam 
tuntutan ganjil untuk mendapatkan hak pilih bagi perempuan, 
siapa yang pernah bermimpi bahwa pada 2013, lima hakim 
Mahkamah Agung Amerika Serikat, tiga di antaranya perempuan, 
memutuskan setuju melegalkan pernikahan sesama jenis 
(menggugurkan keputusan penolakan dari empat hakim laki-laki)?
Perubahan-perubahan dramatis inilah tepatnya yang membuat 
sejarah gender begitu membingungkan. Jika, sebagaimana terlihat 
begitu jelas pada masa kini, sistem patriarkal lebih didasarkan 
pada mitos-mitos tak berdasar ketimbang fakta-fakta biologis, 
maka apa yang menyebabkan universalitas dan stabilitas sistem ini?
Setelah Revolusi Agrikultur, masyarakat-masyarakat manusia 
tumbuh semakin besar dan semakin kompleks, sementara 
konstruk-konstruk yang diimajinasikan yang memelihara tatanan 
sosial juga menjadi lebih rumit. Mitos-mitos dan fiksi-fiksi 
membiasakan masyarakat, hampir sejak momen kelahiran, untuk 
berpikir dalam cara-cara tertentu, dan menjalankan aturan￾aturan tertentu. Dengan demikian, mitos-mitos dan fiksi-fiksi itu 
menciptakan naluri-naluri artifisial yang memungkinkan jutaan 
orang asing bekerja sama secara efektif. Jaringan naluri artifisial 
ini disebut “budaya”.
Dalam paruh pertama abad ke-20, para ahli mengajarkan 
bahwa setiap budaya bersifat lengkap dan harmonis, memiliki 
esensi tak berubah yang mendefinisikannya untuk selamanya. 
Setiap kelompok manusia memiliki pemandangan atas dunia dan 
sistem pengaturan sosial, hukum, dan politik masing-masing, yang 
berjalan semulus planet-planet di sekeliling Matahari. Dalam 
pandangan ini, kultur-kultur yang sudah mapan tidak berubah. 
Kultur-kultur itu hanya bergerak dengan kecepatan sama dan 
ke arah yang sama. Hanya kekuatan yang diaplikasikan dari 
luar yang bisa mengubahnya. Oleh karena itu, para antropolog, 
sejarawan, dan politisi merujuknya sebagai “Kultur Samoa” atau 
“Kultur Tasmania” seakan-akan keyakinan-keyakinan, norma￾norma, dan nilai-nilai yang sama sudah mencirikan masyarakat 
Samoa dan Tasmania sejak masa yang sudah lama sekali.
Kini, sebagian besar ahli budaya menyimpulkan sebaliknya. 
Setiap budaya memiliki keyakinan-keyakinan, norma-norma, dan 
nilai-nilai yang khas, tetapi semua itu terus bergerak. Budaya 
bisa mentransformasi diri merespons perubahan-perubahan dalam 
lingkungannya atau melalui interaksi dengan budaya-budaya sekitar. Namun, budaya-budaya juga menjalani transisi-transisi 
berkat dinamika internalnya sendiri. Bahkan, budaya yang benar￾benar terisolasi yang ada dalam suatu lingkungan yang stabil 
secara ekologis tidak bisa menghindari perubahan. Tak seperti 
hukum fisika, yang bebas dari inkonsistensi, setiap tatanan 
ciptaan manusia tersusun dengan kontradiksi-kontradiksi internal. 
Budaya-budaya terus berusaha merekonsiliasi kontradiksi￾kontradiksi ini, dan proses ini menggerakkan perubahan.
Misalnya, dalam Eropa abad pertengahan, kaum bangsawan 
meyakini Kristianitas dan kekesatriaan. Seorang bangsawan biasa 
pergi ke gereja pada pagi hari, dan mendengarkan pendeta 
berbicara tentang kehidupan para santa. “Kesombongan adalah 
kesombongan,” kata Pendeta. “Kekayaan, nafsu, dan kehormatan 
adalah godaan yang berbahaya. Anda harus naik di atasnya, dan 
mengikuti jejak-jejak Kristus. Jadilah lembut seperti Dia, hindari 
kekerasan dan kemegahan, dan jika ditampar, sodorkan pipi 
yang satunya.” Pulang ke rumah dalam suasana hati yang lembut 
dan tafakur, bangsawan itu akan berganti pakaian dengan sutra 
terbaiknya dan pergi ke perjamuan di istana rajanya. Di sana 
anggur mengalir seperti air, penyanyi menyanyikan Lancelot and 
Guinevere, dan para tamu bertukar kelakar kotor dan kisah-kisah 
perang berdarah. “Lebih baik mati daripada hidup menanggung 
malu,” seru para baron. Jika seseorang mempertanyakan 
kehormatanmu, hanya darah yang bisa menghapuskan penghinaan 
itu. Dan, apa yang lebih baik dalam kehidupan dibandingkan 
dengan melihat musuh-musuhmu lari tunggang langgang di 
hadapanmu, dan putri-putri cantik mereka gemetaran di kakimu?
Kontradiksi tak pernah terselesaikan sepenuhnya. Namun, 
saat kaum bangsawan, pendeta, dan orang biasa berjibaku 
dengannya, budaya mereka berubah. Salah satu upaya untuk 
memahaminya menghasilkan Perang Salib. Pada Perang Salib, para 
kesatria bisa menunjukkan keperkasaan militer dan kesalehan 
religius mereka dengan satu tebasan. Kontradiksi yang sama 
menghasilkan tatanan-tatanan militer seperti para kesatria Templar 
dan Hospitaller, yang berusaha menghubungkan cita-cita Kristen 
dan kesatria lebih erat lagi. Kontradiksi juga bertanggung jawab 
atas bagian besar dari seni dan literatur abad pertengahan, seperti 
kisah-kisah King Arthur dan Holy Grail. Bukankah Camelot*
adalah sebuah upaya untuk membuktikan bahwa seorang kesatria 
yang baik bisa dan harus menjadi Kristen yang baik, dan bahwa 
Kristen yang baik menjadi kesatria yang baik?
Contoh lain adalah tatanan politik modern. Sejak Revolusi 
Prancis, orang-orang di seluruh dunia perlahan-lahan bisa 
melihat kesetaraan dan kebebasan individu sebagai nilai-nilai 
fundamental. Meskipun demikian, kedua nilai itu kontradiktif 
satu sama lain. Kesetaraan hanya bisa dijamin dengan membatasi 
kebebasan mereka yang punya nasib lebih baik. Menjamin bahwa 
setiap individu akan bebas melakukan sesuai kehendaknya, tak 
terelakkan mengubah kesetaraan. Keseluruhan sejarah politik 
dunia sejak 1789 bisa dilihat sebagai serangkaian upaya untuk 
merekonsiliasi kontradiksi ini.
Siapa pun yang sudah membaca novel Charles Dickens tahu 
bahwa rezim-rezim liberal abad ke-19 Eropa memberi prioritas 
kepada kebebasan individu sekalipun itu berarti menjebloskan 
keluarga-keluarga miskin papa ke penjara dan tak memberi para 
yatim kecil pilihan selain ikut bersekolah untuk mencopet. Siapa pun 
yang sudah membaca novel Alexander Solzhenitsyn tahu bagaimana 
cita-cita egaliter Komunisme menghasilkan tirani-tirani brutal 
yang berusaha mengontrol setiap aspek kehidupan sehari-hari.
Politik kontemporer Amerika juga beredar di sekitar 
kontradiksi ini. Orang Demokrat menginginkan masyarakat yang 
lebih adil, sekalipun itu berarti menaikkan pajak untuk mendanai 
program-program guna membantu kaum miskin, usia lanjut, dan 
lemah. Namun, itu membatasi kebebasan individu-individu untuk 
membelanjakan uang sekehendak mereka. Mengapa pemerintah 
harus memaksa saya untuk membeli asuransi kesehatan kalau 
saya lebih suka menggunakan uang untuk menyekolahkan 
anak ke perguruan tinggi? Orang Republiken, di sisi lain, ingin 
memaksimalkan kebebasan individu, sekalipun itu berarti bahwa 
jurang pendapatan antara yang kaya dan miskin membesar dan 
bahwa banyak orang Amerika tidak akan sanggup membiayai 
perawatan kesehatan.
Sebagaimana kultur abad pertengahan tak berhasil memadukan 
kekesatriaan dengan Kristianitas, demikian pula dunia modern 
gagal memadukan kebebasan dan kesetaraan. Namun, ini bukan 
aib. Kontradiksi-kontradiksi semacam itu adalah bagian tak 
terpisahkan dari setiap budaya manusia. Faktanya, kontradiksi 
adalah bahan bakar budaya, yang bertanggung jawab atas 
kreativitas dan dinamika spesies kita. Sebagaimana ketika dua 
not musik yang berbenturan dimainkan bersama menghasilkan 
sepotong musik, demikian pula pertentangan pemikiran, ide￾ide, dan nilai-nilai memaksa kita untuk berpikir, mengevaluasi 
ulang, dan mengkritisi. Konsistensi adalah arena bermain bagi 
pikiran-pikiran yang bodoh.
Jika ketegangan, konflik, dan dilema-dilema yang tak teratasi 
menjadi bumbu bagi setiap budaya, maka seorang manusia dari 
kultur tertentu mana pun pasti memegang keyakinan-keyakinan 
kontradiktif dan terbelah oleh nilai-nilai yang tidak saling 
bersesuaian. Hanya dengan ciri penting itulah setiap budaya 
bahkan memiliki nama: disonansi kognitif. Disonansi kognitif 
sering dipandang sebagai kegagalan (jiwa) psyche manusia. 
Faktanya, ia justru aset vital. Kalaulah orang tidak mampu 
memegang keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang kontradiktif, 
maka mustahil tercipta dan terpelihara budaya manusia mana pun.
Jika Anda benar-benar ingin memahami, katakanlah, masyarakat 
Muslim yang datang ke masjid di tengah perkampungan, jangan 
coba mencari seperangkat nilai-nilai murni yang dijunjung tinggi 
setiap Muslim. Namun, cobalah dalami catch-22** tentang kultur 
Muslim, tempat-tempat di mana aturan-aturan berbenturan dan 
standar-standar bertentangan. Di titik tempat kaum Muslim maju￾mundur antara dua perintah, di situlah Anda bisa memahami 
mereka dengan baik.
Satelit Mata-Mata
Kultur-kultur manusia terus mengalir. Apakah aliran ini benar￾benar acak atau memiliki pola-pola yang menyeluruh? Dengan kata lain, apakah sejarah memiliki arah?
Jawabannya adalah ya. Selama beribu-ribu tahun, kultur￾kultur kecil sederhana pelan-pelan bersatu menjadi peradaban￾peradaban yang lebih besar dan lebih kompleks sehingga dunia 
berisi semakin sedikit dan semakin sedikit megabudaya, yang 
masing-masing lebih besar dan lebih kompleks. Ini tentu saja 
generalisasi yang sangat kasar, yang hanya benar pada level 
makro. Pada level mikro, tampaknya setiap kelompok budaya 
yang bergabung menjadi megabudaya, ada sebuah megabudaya 
yang pecah berkeping-keping. Imperium Mongolia berekspansi 
untuk mendominasi potongan besar Asia dan bahkan beberapa 
bagian Eropa, hanya untuk runtuh berkeping-keping. Kristen 
menggaet ratusan juta pemeluk baru pada saat yang sama ketika 
agama itu terpecah menjadi sekte-sekte yang tak terhitung 
jumlahnya. Bahasa Latin menyebar ke Eropa Barat dan Tengah, 
kemudian pecah menjadi dua dialek lokal yang keduanya 
akhirnya menjadi bahasa nasional. Namun, pecahan-pecahan ini 
adalah pembalikan temporer dalam tren tak terelakkan menuju 
penyatuan. Mempersepsi arah sejarah adalah benar-benar masalah 
pandangan saja. Ketika kita mengadopsi pandangan “mata￾burung” tentang sejarah yang sangat terkenal, yang menelusuri 
perkembangan-perkembangan dalam rentang beberapa dekade 
atau beberapa abad, sulit untuk mengatakan apakah sejarah 
bergerak menuju arah penyatuan atau keragaman. Namun, 
memahami proses-proses jangka pandangan “mata-burung” 
sesungguhnya adalah sesuatu yang terlalu myopic (terlalu dekat 
dengan objek pandangan). Akan lebih baik kalau kita mengadopsi 
pandangan satelit mata-mata kosmis, yang menyapu milenium￾milenium ketimbang abad-abad. Dari pandangan semacam itu, 
menjadi lebih tegas bahwa sejarah bergerak tiada henti menuju 
penyatuan. Terbelahnya Kristen dan runtuhnya Imperium 
Mongolia hanyalah kendali kecepatan di jalan tol sejarah.
Cara terbaik untuk melihat arah umum sejarah adalah dengan 
menghitung dunia-dunia manusia yang terpisah yang bersama￾sama hadir pada masa tertentu di muka Bumi. Pada masa kini, 
kita terbiasa berpikir tentang planet sebagai satu unit tunggal, 
tetapi hampir sepanjang sejarah, Bumi sesungguhnya adalah sebuah galaksi utuh dari dunia-dunia manusia yang terisolasi.
Pikirkanlah Tasmania, sebuah pulau berukuran sedang di 
sebelah selatan Australia. Ia terputus dari daratan utama Australia 
sekitar 10.000 SM saat akhir Zaman Es menyebabkan permukaan 
laut naik. Beberapa ribu manusia pemburu-penjelajah tersisa 
di pulau itu, dan tidak ada kontak apa pun dengan manusia 
lain sampai kedatangan orang-orang Eropa pada abad ke-19. 
Selama 12.000 tahun, tak seorang pun tahu ada orang-orang 
Tasmania di sana, dan mereka tidak tahu bahwa ada orang lain 
di dunia. Mereka melakukan perang, pergolakan politik, isolasi 
sosial, dan perkembangan-perkembangan budaya mereka sendiri. 
Namun, jika merujuk ke para kaisar China atau para penguasa 
Mesopotamia, Tasmania ibarat sebuah lokasi di salah satu bulan 
Yupiter. Orang-orang Tasmania hidup dalam dunia mereka sendiri.
Amerika dan Eropa, pun, adalah dunia-dunia yang terpisah 
dari sebagian besar sejarah. Pada 378 M, Kaisar Romawi, 
Valence, dikalahkan dan dibunuh oleh kaum Gotha pada 
peperangan Adrianople. Pada tahun yang sama, Raja Chak Tok 
Ich’aak dari Tikal dikalahkan dan dibunuh oleh angkatan perang 
Teotihuacan. (Tical adalah sebuah negara kota Mayan yang 
penting, sedangkan Teotihuacan waktu itu adalah kota terbesar 
di Amerika, dengan hampir 250.000 penghuni—ukuran yang 
sama dengan seangkatannya, Roma). Tidak ada koneksi apa pun 
antara kekalahan Romawi dan kebangkitan Teotihuacan. Romawi 
mungkin terletak di Mars dan Teotihuacan di Venus.
Berapa banyak dunia manusia yang berbeda yang hadir 
bersamaan di muka Bumi? Sekitar 10.000 SM planet kita berisi 
banyak ribuan. Pada 2000 SM, jumlah mereka menyusut ke 
ratusan, atau paling banyak beberapa ribu. Pada 1450, jumlahnya 
turun lebih drastis lagi. Pada saat itu, menjelang abad eksplorasi 
Eropa, Bumi masih berisi dalam jumlah yang signifikan dunia￾dunia kerdil seperti Tasmania. Namun, hampir 90 persen manusia 
hidup di sebuah megadunia: dunia Afro-Asia. Sebagian besar 
Asia, sebagian besar Eropa, dan sebagian besar Afrika (termasuk 
potongan-potongan substantif sub-Sahara Afrika) sudah terhubung 
oleh ikatan-ikatan kultural, politik, dan ekonomi yang signifikan.
Sebagian besar dari sepersepuluh populasi dunia yang tersisa terbagi di antara 4 dunia dalam ukuran dan kompleksitas yang 
memadai:
1. Dunia Mesoamerika, yang meliputi sebagian besar 
Amerika Tengah dan beberapa bagian Amerika Utara.
2. Dunia Andea, yang meliputi sebagian besar Amerika 
Latin bagian barat.
3. Dunia Australia, yang meliputi kontinen Australia.
4. Dunia Oseania, yang meliputi sebagian besar pulau-pulau 
bagian barat daya Samudra Pasifik, dari Hawaii sampai 
Selandia Baru.
Dalam kurun 300 tahun kemudian, raksasa Afro-Asia menelan 
seluruh dunia-dunia lain. Ia memakan Dunia Mesoamerika 
pada 1521, ketika Spanyol menaklukkan Imperium Aztec. Ia 
mendapat sengatan pertama dari Dunia Oseania pada saat yang 
sama, saat pengembaraan dunia Ferdinand Magellan, dan segera 
sesudahnya merampungkan penaklukannya. Dunia Andea runtuh 
pada 1532, ketika para penakluk Spanyol menumpas Imperium 
Inca. Orang Eropa pertama mendarat di kontinen Australia 
pada 1606, dan dunia murni itu berakhir ketika kolonisasi 
Ingggris dimulai pada awal 1788. Lima puluh tahun kemudian 
orang-orang Inggris mendirikan permukiman pertama mereka di 
Tasmania, dengan demikian membawa dunia manusia otonomi 
itu ke dalam lingkaran pengaruh Afro-Asia.
Raksasa Afro-Asia butuh beberapa abad untuk mencerna 
seluruh yang ditelannya, tetapi proses itu tak bisa dibalikkan lagi. 
Kini hampir seluruh manusia memiliki sistem geopolitik yang 
sama (seantero planet ini terbagi menjadi negara-negara yang 
diakui secara internasional); sistem ekonomi yang sama (kekuatan 
pasar kapitalis bahkan membentuk sudut-sudut paling terpencil 
di muka Bumi); sistem hukum yang sama (hak-hak asasi manusia 
dan hukum internasional valid di mana pun, paling tidak secara 
teoretis); dan sistem ilmu pengetahuan yang sama (para ahli di 
Iran, Israel, Australia, dan Argentina memiliki pandangan yang 
persis sama tentang struktur atom atau perawatan terhadap 
tuberkulosis)
Kultur global tunggal itu tidaklah homogen. Sama seperti 
satu tubuh organik tunggal berisi banyak jenis organ dan sel-sel 
yang berbeda, maka kultur global tunggal kita terdiri atas banyak 
jenis gaya hidup dan orang, dari para pialang saham New York 
sampai ke para penggembala Afganistan. Meskipun demikian, 
semuanya terhubung erat dan saling memengaruhi dalam banyak 
sekali cara. Mereka bertengkar dan berkelahi, tetapi mereka 
bertengkar menggunakan konsep-konsep yang sama dan berkelahi 
menggunakan senjata-senjata yang sama. “Benturan peradaban” 
yang riil itu seperti dialog termasyhur orang tuli. Tak seorang 
pun yang bisa menangkap apa yang dikatakan pihak lain. Kini 
ketika Iran dan Amerika Serikat saling menghunus pedang, 
keduanya berbicara dengan bahasa negara bangsa, ekonomi 
kapitalis, hak-hak internasional, dan fisika nuklir. Kita masih 
berbicara banyak tentang budaya “autentik”, tetapi jika yang 
dimaksud “autentik” adalah sesuatu yang berkembang secara 
independen, dan yang berisi tradisi-tradisi lokal kuno yang bebas 
dari pengaruh eksternal, maka tidak ada budaya autentik yang 
tersisa di Bumi. Selama beberapa abad lalu, semua budaya diubah 
hampir tanpa disadari oleh sebuah banjir pengaruh global.
Salah satu contoh paling menarik dari globalisasi adalah 
makanan “etnik”. Di restoran Italia kita berharap mendapatkan 
spageti dengan saus tomat; di restoran Polandia dan Irlandia 
banyak kentang; di restoran Argentina kita bisa memilih antara 
puluhan jenis steik sapi; di restoran India cabe pedas dicampur 
dengan apa saja; dan menu unggulan di kafe Swiss adalah cokelat 
panas kental di bawah gunung krim yang dikocok. Namun, tak 
satu pun makanan itu asli dari negara-negara tersebut. Tomat, 
cabe, dan kakao semuanya adalah asli Meksiko; makanan￾makanan itu baru mencapai Eropa dan Asia setelah orang-orang 
Spanyol menaklukkan Meksiko. Julius Caesar dan Dante Alighieri 
tidak pernah mengaduk spageti berlumur tomat dengan garpu 
(bahkan garpu belum ditemukan saat itu), William Tell tidak 
pernah mencicipi cokelat, dan Buddha tidak pernah membumbui 
makannya dengan cabe. Kentang menjangkau Polandia dan 
Irlandia tak lebih dari 400 tahun lalu. Satu-satunya steik yang 
bisa Anda dapatkan di Argentina pada 1492 adalah dari daging 
llama.
Film-film Hollywood mengabadikan citra dataran Indian 
dengan pria-pria berkuda pemberani, yang bersemangat menarik 
kereta-kereta pionir Eropa untuk melindungi kuil-kuil para 
leluhur mereka. Namun, para pria berkuda Pribumi Amerika 
ini bukanlah pembela budaya autentik kuno. Namun, mereka 
adalah produk revolusi militer dan politik besar yang menyapu 
dataran bagian barat Amerika Utara pada abad ke-17 dan ke-
18, sebuah konsekuensi dari kedatangan kuda-kuda Eropa. Pada 
1492, tidak ada kuda di Amerika. Budaya abad ke-19 Sioux 
dan Apache memiliki banyak ciri-ciri yang menarik, tetapi itu 
budaya modern—hasil dari kekuatan global—yang sangat jauh 
dari “autentik
Dari perspektif praktis, tahap paling penting dalam proses 
unifikasi global terjadi pada beberapa abad lalu, ketika 
imperium-imperium tumbuh dan perdagangan menjadi intensif. 
Hubungan-hubungan yang semakin mengikat terbentuk antara 
orang Afro-Asia, Amerika, Australia, dan Oseania. Maka, cabe 
Meksiko masuk ke makanan India dan sapi Spanyol merumput 
di Argentina. Namun, dari perspektif ideologis, perkembangan 
yang lebih penting lagi terjadi pada milenium ke-1 SM, ketika 
ide tatanan universal menancapkan akar. Selama ribuan tahun 
sebelumnya, sejarah sudah bergerak pelan menuju arah penyatuan 
global, tetapi ide tentang tatanan universal yang mengatur seluruh 
dunia masih asing bagi sebagian besar orang.
Homo sapiens berevolusi untuk memandang orang terbagi 
menjadi kita dan mereka. “Kita” adalah kelompok yang 
berdekatan dengan Anda, siapa pun Anda, maka “mereka” 
adalah orang lain. Faktanya, tidak ada binatang sosial yang 
pernah digiring oleh kepentingan segenap spesiesnya. Tak ada 
simpanse yang peduli tentang kepentingan spesies simpanse, tidak 
ada bekicot yang mengangkat tentakel untuk komunitas bekicot 
global, tidak ada singa jantan alfa mengajukan diri menjadi raja 
seluruh singa, dan tidak ada slogan yang bisa ditemukan di depan 
pintu sarang mana pun yang berbunyi: “Lebah-lebah pekerja di 
seluruh dunia—bersatulah!”
Akan tetapi, dimulai dari Revolusi Kognitif, Homo sapiens
menjadi semakin dan semakin istimewa dalam hal ini. Orang￾orang mulai bekerja sama secara teratur dengan orang yang 
sama sekali asing, yang mereka bayangkan sebagai “saudara” 
atau “kawan”. Namun, persaudaraan ini tidak universal. Di 
suatu tempat di lembah sampingnya, atau di balik gunung, orang 
masih bisa merasakan “mereka”. Ketika Fir’aun pertama, Menes, 
menyatukan Mesir sekitar 3000 SM, jelas bagi orang-orang 
Mesir bahwa Mesir adalah sebuah batas, dan di luar batas itu 
berkeliaran “kaum barbar”. Orang barbar adalah orang asing, 
yang mengancam, yang hanya tertarik pada tingkat bahwa mereka 
punya tanah atau sumber daya alam yang diinginkan orang
orang Mesir. Semua tatanan yang diimajinasikan yang diciptakan 
orang-orang cenderung mengabaikan bagian substansial manusia.
Pada milenium ke-1 SM muncul tiga tatanan universal 
potensial, yang untuk kali pertama para penganutnya bisa 
membayangkan seluruh dunia dan seluruh ras manusia sebagai 
satu kesatuan tunggal yang diatur oleh seperangkat hukum 
tunggal. Setiap orang adalah “kita”, paling tidak secara potensial. 
Tidak ada lagi “mereka”. Tatanan universal pertama yang 
muncul adalah ekonomi: tatanan moneter. Tatanan universal 
kedua adalah politik: tatanan imperium. Tatanan universal ketiga 
adalah agama: tatanan agama-agama universal seperti Buddha, 
Kristen, dan Islam.
Para pedagang, para penakluk, dan para nabi adalah orang￾orang pertama yang berhasil melampaui divisi evolusi biner, 
“kita vs mereka”, dan untuk memandang potensi penyatuan 
manusia. Bagi para pedagang, seluruh dunia adalah satu pasar 
tunggal dan seluruh manusia adalah pelanggan potensial. 
Mereka berusaha menciptakan tatanan ekonomi yang akan 
berlaku untuk semua, di mana pun. Bagi para penakluk, seluruh 
dunia adalah satu imperium tunggal dan seluruh manusia 
adalah penduduk potensial, dan bagi para nabi, seluruh dunia 
memegang satu kebenaran tunggal bagi seluruh manusia dan 
seluruh manusia adalah para penganut potensial. Mereka juga 
berusaha menciptakan sebuah tatanan yang akan berlaku untuk 
siapa pun di mana pun.
Dalam tiga milenium silam, orang-orang melakukan semakin 
banyak dan semakin banyak upaya untuk mewujudkan visi global 
itu. Tiga bab berikutnya membahas bagaimana uang, imperium, 
dan agama-agama universal menyebar, dan bagaimana semua 
itu meletakkan fondasi bagi dunia yang kini tersatukan. Kita 
mulai dengan cerita penaklukan terbesar dalam sejarah, seorang 
penakluk memiliki toleransi dan adaptabilitas ekstrem sehingga 
mengubah orang menjadi pengikut yang gigih. Penakluk itu 
adalah uang. Orang-orang yang tidak memercayai Tuhan yang 
sama atau mematuhi raja yang sama adalah orang-orang yang 
jauh lebih dari siap untuk menggunakan uang yang sama. Osama 
bin Laden, dan segenap kebenciannya pada budaya Amerika, 
agama Amerika, dan politik Amerika, adalah orang yang sangat 
cinta dolar Amerika. Bagaimana bisa uang berhasil, sementara 
tuhan-tuhan dan raja-raja gagal?
Pada 1519, Hernán Cortés dan pasukan penakluknya meng￾invasi Meksiko, yang hingga masa itu masih menjadi dunia 
manusia yang terisolasi. Aztec, demikian orang-orang yang hidup 
di sana menyebut diri mereka, segera tahu bahwa orang asing 
menunjukkan minat luar biasa pada logam kuning tertentu. 
Faktanya, mereka tampak tidak pernah berhenti membicara￾kannya. Kaum pribumi tidak mengenal emas—sangat indah 
dan mudah dikerjakan sehingga mereka menggunakannya untuk 
membuat perhiasan dan patung-patung, dan mereka terkadang 
menggunakan serbuk emas sebagai alat tukar: Namun, ketika 
orang Aztec ingin membeli sesuatu, dia biasanya membayar 
dengan biji kakao atau gulungan kain. Oleh karena itu, obsesi 
orang Spanyol pada emas tampaknya tak bisa dijelaskan. Apa 
yang membuatnya begitu penting, logam yang tidak bisa dimakan, 
diminum, atau dijalin, dan terlalu lunak untuk digunakan sebagai 
peralatan atau senjata? Ketika kaum pribumi menanyai Cortés 
mengapa orang-orang Spanyol begitu tergila-gila pada emas, sang 
penakluk itu menjawab, “Karena saya dan kawan-kawan saya 
menderita penyakit hati yang hanya bisa diobati dengan emas.”1
Di dunia Afro-Asia, tempat asal orang-orang Spanyol itu, 
obsesi pada emas benar-benar epidemis. Bahkan, permusuhan 
paling sengit disebabkan oleh logam kuning tak berguna itu. 
Tiga abad sebelum penaklukan Meksiko, para leluhur Cortés 
dan angkatan perangnya melancarkan perang agama berdarah 
melawan kerajaan-kerajaan Muslim di Iberia dan Afrika Utara. 
Para pengikut Kristus dan para pengikut Allah saling bunuh 
sampai angka ribuan, memorak-porandakan ladang-ladang 
dan perkebunan, dan mengubah kota-kota makmur menjadi reruntuhan yang membara—semua untuk kemegahan yang lebih 
besar Kristus atau Allah.
Ketika orang Kristen pelan-pelan di atas angin, mereka 
menandai kemenangan-kemenangan tidak hanya dengan 
menghancurkan masjid-masjid dan membangun gereja-gereja, 
tetapi juga mengeluarkan koin-koin baru emas dan perak dengan 
lambang salib dan bersyukur kepada Tuhan atas bantuan-Nya 
memerangi orang-orang kafir. Namun, bersamaan dengan mata 
uang baru itu, para pemenang mencetak jenis koin lain, yang 
disebut millares, yang membawa sebuah pesan agak berbeda. 
Koin segi empat yang dibuat orang-orang Kristen penakluk itu 
dihiasi dengan rangkaian tulisan Arab yang menyatakan “Tidak 
ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. 
Bahkan, uskup Katolik Melgueil dan Agde mengeluarkan salinan 
koin-koin Muslim itu, dan orang-orang Kristen yang takut Tuhan 
dengan senang hati menggunakannya.2
Toleransi juga mekar di balik bukit. Para pedagang Muslim 
di Afrika Utara melakukan bisnis dengan menggunakan koin-koin 
seperti florin Florentine, ducat Venetia, dan gigliato Neapolit. 
Bahkan, para penguasa Muslim yang menyerukan jihad melawan 
kaum kafir Kristen dengan senang menerima pajak dalam bentuk 
koin-koin yang memampangkan Kristus dan Perawan Maria.3
Berapa Harganya?
Para pemburu-penjelajah tak punya uang. Setiap kawanan 
berburu mengumpulkan dan membuat hampir semua yang 
dibutuhkan, mulai dari daging sampai obat, dari sandal sampai 
sihir. Bisa saja satu anggota kawanan punya keahlian untuk tugas 
yang berbeda dengan anggota lainnya, tetapi mereka berbagi 
makanan dan layanan dalam suatu model ekonomi gotong 
royong. Sekerat daging yang diberikan secara gratis membawa 
asumsi pembalasan—katakanlah bantuan medis gratis. Kawanan 
independen secara ekonomi; hanya beberapa item langka yang 
tidak bisa ditemukan secara lokal—kerang laut, pewarna, 
obsidian, dan sejenisnya—yang harus didapatkan dari orang asing. Ini biasanya dilakukan dengan barter sederhana: “Kami 
akan beri Anda kerang-kerang laut yang cantik, dan Anda akan 
memberi kami batu berkualitas tinggi”.
Hal seperti ini tak banyak berubah sampai kedatangan 
Revolusi Agrikultur. Sebagian besar orang terus hidup dalam 
komunitas-komunitas kecil yang intim. Banyak kemiripan dengan 
kawanan pemburu-penjelajah, setiap desa adalah kesatuan 
ekonomi yang mandiri, dipelihara dengan gotong royong plus 
sedikit barter dengan pihak luar. Seorang warga desa bisa memiliki 
keahlian ulung membuat sepatu, yang lainnya mahir melakukan 
perawatan kesehatan sehingga para penduduk desa tahu ke 
mana harus pergi ketika tak punya sepatu atau sakit. Namun, 
desa-desa itu kecil dan ekonomi mereka terbatas sehingga tak 
mungkin ada pembuat sepatu atau dokter sebagai pekerja tetap.
Munculnya kota-kota dan kerajaan-kerajaan serta perbaikan 
infrastruktur transportasi membawa peluang-peluang baru 
spesialisasi. Kota-kota dengan penduduk padat menyediakan 
pekerjaan tetap bukan hanya bagi pembuat sepatu dan dokter 
profesional, melainkan juga tukang kayu, pendeta, tentara, 
dan pengacara. Desa-desa yang mendapatkan reputasi sebagai 
produsen anggur yang benar-benar baik, minyak zaitun, atau 
keramik menyadari bahwa mereka layak mengupayakan keahlian 
di produk itu secara eksklusif dan memperdagangkannya dengan 
penduduk lain untuk semua barang yang mereka butuhkan. Ini 
membawa makna yang sangat banyak. Iklim dan tanah berbeda, 
lalu mengapa pula harus minum anggur yang biasa-biasa saja dari 
halaman belakang jika kamu bisa membeli varietas yang lebih 
halus dari tempat yang tanah dan iklimnya jauh lebih cocok 
untuk tanaman anggur? Jika tanah liat di halaman belakang bisa 
dijadikan pot yang lebih kuat dan lebih indah, maka kamu bisa 
melakukan pertukaran. Lebih dari itu, pekerja tetap spesialis 
anggur dan pembuat pot, belum lagi dokter dan pengacara, bisa 
mengasah keahlian mereka demi kepentingan semua. Namun, 
spesialisasi menciptakan sebuah masalah: bagaimana kamu bisa 
mengatur pertukaran barang antar spesialis?
Sebuah ekonomi gotong royong tidak bisa berjalan ketika 
banyak orang yang asing satu sama lain berusaha untuk bekerja sama. Memberi bantuan gratis kepada saudara perempuan atau 
tetangga adalah satu hal, tetapi merawat orang asing yang 
mungkin tidak pernah memberikan balasan adalah hal yang sangat 
berbeda. Orang bisa rugi dalam barter. Namun, barter hanya 
bisa efektif untuk pertukaran dengan produk terbatas. Barter 
tidak bisa menjadi basis bagi sebuah ekonomi yang kompleks.4
Untuk memahami keterbatasan barter, bayangkan Anda 
memiliki sebuah kebun apel di desa perbukitan yang menghasilkan 
apel paling renyah, paling manis di seantero provinsi. Anda 
bekerja begitu keras di kebun sehingga sepatu Anda rusak. Jadi, 
Anda memacu kereta keledai dan bertolak ke pasar di pusat 
kota di tepi sungai. Tetangga Anda memberi tahu bahwa seorang 
pembuat sepatu di ujung selatan pasar sudah membuatkannya 
sepasang sepatu bot yang benar-benar kuat, yang bertahan sampai 
lima musim. Anda menemukan toko pembuat sepatu itu dan 
menawarkan barter sebagian apel Anda ditukar dengan sepatu 
yang Anda butuhkan.
Pembuat sepatu enggan. Berapa banyak apel yang harus dia 
minta sebagai pembayaran? Setiap hari dia menghadapi puluhan 
pelanggan, beberapa di antaranya membawa serta beberapa 
kantung apel, sementara yang lainnya membawa gandum, 
kambing, atau pakaian—semua dengan kualitas beragam. Ada 
pula yang menawarkan keahlian dalam mengajukan petisi kepada 
raja atau mengobati sakit punggung. Terakhir kalinya, pembuat 
sepatu itu menukar sepatu dengan apel 3 bulan lalu, dan saat 
itu dia meminta 3 kantung apel. Atau, mungkin 4? Namun, 
pikirkanlah, apel-apel itu apel lembah yang masam, bukan apel 
bukit yang istimewa. Di sisi lain, pada kejadian sebelumnya, 
apel-apel itu ditukar dengan sepatu perempuan kecil. Teman ini 
minta bot ukuran pria. Di samping itu, dalam beberapa pekan 
terakhir penyakit membinasakan ternak di seluruh kota, dan kulit 
menjadi jarang. Para penyamak mulai meminta dua kali harga 
sepatu yang sudah jadi untuk mendapatkan kulit dalam jumlah 
yang sama. Apakah itu tak boleh dipertimbangkan?
Dalam sebuah ekonomi barter, setiap hari pembuat sepatu 
dan penanam apel harus belajar lagi dan lagi harga-harga relatif 
puluhan komoditas. Jika ada 100 komoditas yang berbeda diperdagangkan di pasar, maka para pembeli dan penjual harus 
tahu 4.950 nilai tukar yang berbeda-beda. Dan, jika ada 1.000 
komoditas yang berbeda diperdagangkan, pembeli dan penjual 
harus mencerna 499.500 nilai tukar yang berbeda!5
 Bisakah 
Anda bayangkan?
Bahkan, lebih parah. Sekalipun Anda berhasil mengalkulasi 
berapa banyak apel yang setara dengan sepasang sepatu, barter 
tidak selalu bisa dilakukan. Lagi pula, perdagangan memerlukan 
setiap pihak ingin apa yang ditawarkan oleh pihak lain. Apa yang 
terjadi jika pembuat sepatu tidak menyukai apel dan, pada saat 
itu yang diinginkan adalah perceraian? Benar, petani bisa mencari 
pengacara yang menyukai apel dan menyusun transaksi tiga-pihak. 
Namun, bagaimana kalau pengacara itu sudah kebanyakan apel, 
dan dia benar-benar butuh jasa pangkas rambut? 
Sebagian masyarakat berusaha mengatasi problem itu 
dengan menciptakan sistem barter pusat yang mengumpulkan 
produk-produk dari para spesialis petani dan manufaktur 
dan mendistribusikan produk-produk itu ke mereka yang 
membutuhkan. Eksperimen yang paling besar dan paling terkenal 
dilakukan di Uni Soviet, dan gagal merana. “Setiap orang akan 
bekerja menurut kemampuan mereka, dan menerima menurut 
kebutuhan mereka” terbukti dalam praktiknya menjadi “setiap 
orang bekerja sesedikit mungkin yang bisa mereka lakukan, 
dan menerima sebanyak mungkin yang bisa mereka rengkuh”. 
Eksperimen yang lebih moderat dan lebih berhasil dilakukan di 
tempat lain, misalnya di Imperium Inca. Meskipun demikian, 
sebagian besar masyarakat menemukan cara yang lebih mudah 
untuk menghubungkan ahli dalam jumlah besar—mereka 
mengembangkan uang.
Kerang dan Rokok
Uang diciptakan berkali-kali di banyak tempat. Pengembangannya 
tak membutuhkan terobosan teknologi—ini benar-benar revolusi 
mental. Yang dibutuhkan adalah penciptaan suatu realitas 
intersubjektif baru yang muncul semata-mata dalam imajinasi 
bersama orang-orang.
Uang bukanlah fisik koin atau uang kertas. Uang adalah 
segala yang orang bersedia menggunakannya untuk merepresentasi 
secara sistematis nilai benda lain untuk tujuan pertukaran barang 
dan jasa. Uang memungkinkan orang membandingkan dengan 
cepat dan mudah nilai komoditas-komoditas yang berbeda 
(seperti apel, sepatu, dan perceraian), untuk menukar dengan 
mudah satu benda dengan benda lainnya, dan untuk menyimpan 
kekayaan dengan nyaman. Ada banyak jenis uang. Yang paling 
terkenal adalah koin, yakni kepingan standar logam yang dicetak. 
Namun, uang ada jauh sebelum penemuan koin, dan budaya￾budaya tumbuh makmur dengan menggunakan benda-benda lain 
sebagai mata uang, seperti kerang, sapi, kulit, garam, biji-bijian, 
manik-manik, pakaian, dan promes. Kerang kuwuk digunakan 
sebagai uang selama sekitar 4.000 tahun di seluruh Afrika, Asia 
Selatan, Asia Timur, dan Oseania. Pajak masih dibayar dengan 
kerang-kerang kuwuk di Uganda Inggris pada awal abad ke-20.
Di penjara-penjara dan kamp-kamp penahanan tawanan 
perang modern, rokok sering menjadi uang. Bahkan, para 
tahanan yang tidak merokok bersedia menerima rokok sebagai 
pembayaran, dan mengalkulasi nilai semua barang dan jasa lain 
dengan rokok. Satu orang yang selamat dari kamp Auschwitz 
menggambarkan mata uang rokok digunakan di kamp itu: “Kami 
punya mata uang sendiri, yang nilainya tak dipertanyakan siapa 
pun: rokok. Harga setiap benda dinyatakan dalam rokok.... Pada 
masa “normal”, yakni ketika para kandidat penghuni kamar gas 
berdatangan dalam kecepatan normal, selembar roti berharga 12 
rokok; satu paket margarin seberat 3 ons berharga 30 rokok; 
jam tangan berharga 80 sampai 200 rokok; seliter alkohol setara 
dengan 400 rokok!”6
Faktanya, bahkan pada masa kini dan uang kertas adalah 
bentuk uang yang terhitung langka. Pada 2006, jumlah total uang 
di seluruh dunia adalah sekitar $473 triliun, tetapi jumlah total 
koin dan uang kertas kurang dari $47 triliun.7
 Lebih dari 90 
persen dari semua uang—lebih dari $400 triliun muncul dalam 
bentuk rekening—hanya ada dalam server-server komputer. 
Demikian pula, transaksi-transaksi bisnis dieksekusi dengan 
memindahkan data elektronik dari satu file komputer ke file lain, tanpa pertukaran uang fisik. Hanya seorang kriminal yang 
membeli rumah, misalnya, dengan menenteng koper penuh 
uang kertas. Sepanjang orang bersedia mendagangkan barang 
dan jasa dengan pertukaran data elektronik, itu bahkan lebih 
baik ketimbang koin-koin mengilap atau uang-uang kertas yang 
masih kaku—lebih cerah, tidak lecek, dan lebih mudah dihitung.
Agar sistem-sistem komersial yang kompleks bisa berjalan, 
keberadaan suatu jenis uang tertentu tak terelakkan. Seorang 
pembuat sepatu dalam ekonomi uang perlu tahu hanya harga yang 
diterakan ada beragam sepatu—tak perlu menghafal nilai tukar 
antara sepatu dan apel atau kambing. Uang juga membebaskan 
para ahli apel dari kebutuhan mencari para pembuat sepatu 
yang sangat butuh apel karena setiap orang menginginkan 
uang. Inilah mungkin kualitasnya yang paling mendasar. Setiap 
orang menginginkan uang karena setiap orang lain juga selalu 
menginginkan uang, yang berarti Anda bisa menukar uang untuk 
apa pun yang Anda inginkan atau butuhkan. Pembuat sepatu 
akan selalu senang menerima uang Anda karena tak peduli apa 
pun yang dia inginkan—apel, kambing, atau perceraian—dia 
bisa mendapatkannya dengan uang.
Oleh karena itu, uang adalah medium universal pertukaran 
yang memungkinkan orang mengubah menukar hampir dengan 
hal apa pun. Otot ditukar dengan otak ketika seorang tentara 
yang dipecat menggunakan dana tunjangan kemiliterannya 
untuk membiayai kuliah di sekolah tinggi. Tanah ditukar dengan 
kesetiaan ketika seorang baron menjual properti untuk menggaji 
para pelayannya. Kesehatan ditukar dengan keadilan ketika 
seorang dokter menggunakan upahnya untuk membayar seorang 
pengacara—atau menyuap hakim. Bahkan, dimungkinkan untuk 
menukar seks dengan penyelamatan, seperti prostitusi abad ke-
15 yang memungkinkan pelacur tidur dengan pria demi uang, 
yang kemudian digunakan untuk membeli pengampunan dari 
Gereja Katolik.
Jenis-jenis ideal uang memungkinkan orang tidak semata-mata 
menukar satu benda dengan benda lain, tetapi juga menyimpan 
kekayaan. Banyak hal berharga yang tidak bisa disimpan—seperti 
waktu atau kecantikan. Beberapa benda hanya bisa disimpan 
untuk jangka waktu pendek, seperti stroberi. Benda lain lebih 
awet, tetapi perlu banyak ruang dan membutuhkan fasilitas 
dan perawatan mahal. Biji-bijian, misalnya, bisa disimpan 
selama bertahun-tahun, tetapi untuk melakukannya Anda perlu 
membangun gudang besar dan menjaganya dari tikus, jamur, 
air, kebakaran, dan pencuri. Uang, entah itu kertas atau bit 
komputer atau kerang kuwuk, mengatasi problem-problem ini. 
Kerang-kerang kuwuk tidak membusuk, tak mempan tikus, bisa 
tahan dari kebakaran, dan cukup ringkas untuk disimpan di 
tempat yang aman.
Untuk bisa menggunakan kekayaan tidak cukup hanya dengan 
menyimpannya. Sering, ada keharusan untuk mengangkutnya 
dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian bentuk kekayaan, 
seperti realestat, tidak bisa diangkut sama sekali. Komoditas￾komoditas seperti gandum dan beras bisa diangkut dengan susah 
payah. Bayangkan seorang petani kaya yang hidup di sebuah 
wilayah tanpa uang, yang bermigrasi ke sebuah provinsi yang 
jauh. Kekayaannya berisi terutama rumah dan beras. Petani itu 
tidak bisa membawa serta rumah atau padinya. Dia mungkin 
menukarnya dengan berton-ton beras, tetapi akan sangat 
memberatkan dan mahal untuk mengangkut berasnya. Uang 
mengatasi problem ini. Petani bisa menjual propertinya dengan 
satu sak kerang kuwuk, yang bisa dengan mudah dia bawa ke 
mana pun pergi.
Karena bisa menukar, menyimpan, dan mengangkut harta 
dengan mudah dan murah, maka uang memberi kontribusi bagi 
munculnya jaringan komersial yang kompleks dan pasar-pasar 
yang dinamis. Tanpa uang, jaringan-jaringan komersial dan pasar 
hanya akan tetap dengan ukuran, kompleksitas, dan dinamikanya 
yang terbatas. 
Bagaimana Cara Kerja Uang?
Kerang-kerang kuwuk dan dolar hanya memiliki nilai dalam 
imajinasi bersama kita. Nilainya tidak inheren dalam struktur 
kimiawi kerang dan kertas, baik warna maupun bentuknya. 
Dengan kata lain, uang bukanlah realitas material, melainkan 
sebuah konstruk psikologis. Ia bekerja dengan mengubah materi 
menjadi pikiran. Namun, mengapa bisa berhasil? Mengapa orang 
bersedia menukar padi yang subur untuk segenggam kerang 
kuwuk yang tidak berharga? Mengapa Anda mau membolak-balik 
hamburger, menjual asuransi kesehatan, atau mengasuh 3 anak 
yang menjengkelkan demi beberapa lembar kertas berwarna? 
Orang bersedia melakukan hal semacam itu ketika mereka percaya 
pada omong kosong imajinasi kolektif mereka. Kepercayaan 
adalah bahan baku dari semua jenis uang yang dicetak. Ketika 
seorang petani kaya menjual harta bendanya untuk satu sak 
kerang kuwuk dan pergi membawanya ke provinsi lain, dia 
percaya bahwa sesampainya di tujuan, orang lain akan bersedia 
menjual kepadanya beras, rumah, dan ladang, ditukar dengan 
kerang-kerang itu. Dengan demikian, uang adalah sebuah sistem 
saling percaya, dan bukan sembarang sistem saling percaya: uang 
adalah sistem saling percaya yang paling universal dan paling 
efisien yang pernah diciptakan.
Yang menciptakan kepercayaan ini adalah suatu jalinan relasi￾relasi politik, sosial, dan ekonomi yang sangat rumit dan jangka 
panjang. Mengapa saya memercayai kerang kuwuk, koin emas, 
atau kertas dolar? Karena para tetangga saya memercayainya 
juga. Dan, para tetangga saya memercayainya karena saya 
memercayainya. Dan, kami semua memercayainya karena raja 
saya memercayainya dan memintanya sebagai pajak, dan karena 
pendeta kami memercayainya dan memintanya sebagai sedekah. 
Ambillah selembar kertas dolar dan perhatikan baik-baik. Anda 
akan melihat bahwa ia hanyalah selembar kertas berwarna dengan 
tanda tangan Menteri Keuangan Amerika Serikat di satu sisi, 
dan slogan “In God We Trust” di sisi lainnya. Kita menerima 
dolar sebagai pembayaran karena kita percaya ada Tuhan dan 
Menteri Keuangan Amerika Serikat. Peran krusial kepercayaan 
menjelaskan mengapa sistem keuangan kita juga sangat erat terkait 
dengan sistem politik, sosial, dan ideologi kita, mengapa krisis 
finansial sering dipicu oleh perkembangan politik, dan mengapa 
pasar saham bisa naik atau turun bergantung pada bagaimana 
perasaan pedagang pada pagi hari.
Pada mulanya, ketika versi-versi pertama uang diciptakan, 
orang tidak memiliki bentuk kepercayaan seperti ini sehingga 
diperlukan untuk mendefinisikan sesuatu sebagai “uang” 
yang memiliki nilai intrinsik riil. Uang pertama yang dikenal 
sejarah—uang jelai Sumeria—adalah contoh yang bagus. Uang 
itu muncul di Sumeria sekitar 3000 SM, pada saat dan tempat 
yang sama, dan dalam keadaan yang sama, ketika tulisan muncul. 
Sebagaimana berkembangnya tulisan untuk menjawab kebutuhan 
dari intensifnya aktivitas-aktivitas administratif, begitu pula uang 
jelai berkembang untuk menjawab kebutuhan dari intensifnya 
aktivitas-aktivitas ekonomi. 
Uang jelai hanyalah jelai—jumlah tertentu biji-bijian jelai 
yang digunakan sebagai ukuran universal untuk menilai dan 
menukar barang lain dan jasa. Pengukuran yang paling umum 
adalah sila, setara kira-kira satu liter. Mangkuk-mangkuk standar, 
yang bisa menampung satu sila, diproduksi massal sehingga 
kapan pun orang perlu membeli atau menjual sesuatu, mudah 
untuk mengukur jumlah jelai yang diperlukan. Gaji, juga, 
diatur dan dibayar dalam ukuran sila jelai. Seorang buruh laki￾laki mendapatkan 60 sila sebulan, seorang buruh perempuan 
menerima 30 sila. Seorang mandor bisa menerima antara 1.200 
sampai 5.000 sila. Seorang mandor yang paling rakus pun tidak 
mungkin bisa menghabiskan 5.000 liter jelai sebulan, tetapi 
dia bisa menggunakan sila-sila yang tidak dia makan untuk 
membeli semua jenis komoditas lain—minyak kambing, budak, 
dan makanan apa pun selain jelai.8
Meskipun jelai memiliki nilai intrinsik, tidak mudah meyakin￾kan orang untuk menggunakannya sebagai uang dibandingkan 
komoditas lain. Untuk memahami mengapa demikian, coba 
pikirkan apa yang terjadi jika Anda membawa satu sak penuh 
jelai ke pusat belanja setempat, dan berusaha membeli baju 
atau piza. Pedagang mungkin memanggil petugas sekuriti. Toh, 
tetap lebih mudah membangun kepercayaan pada jelai sebagai 
jenis uang pertama karena jelai memiliki nilai biologis inheren. 
Manusia bisa memakannya. Di sisi lain, sulit untuk menyimpan 
dan mengangkut jelai. Terobosan riil dalam sejarah moneter 
terjadi ketika orang mendapatkan kepercayaan pada uang yang tidak memiliki nilai inheren, tetapi lebih mudah untuk disimpan 
dan diangkut. Uang seperti itu muncul di Mesopotamia kuno 
pada pertengahan milenium ke-3 SM. Ia adalah shekel perak.
Shekel perak bukan koin, tetapi perak seberat 8.33 gram. 
Ketika Undang-Undang Hammurabi mendeklarasikan bahwa 
seorang laki-laki kalangan atas yang membunuh seorang budak 
perempuan harus membayar pemiliknya 20 shekel perak, itu 
berarti dia harus membayar 166 gram perak, bukan 20 koin. 
Sebagian besar istilah moneter dalam Perjanjian Lama disebutkan 
dalam ukuran perak, bukan koin. Para saudara Joseph menjualnya 
ke orang Ismailiyah seharga 20 shekel perak, atau 166 gram 
perak (harga yang sama dengan budak perempuan—padahal dia 
waktu itu seorang pemuda).
Tak seperti sila jelai, shekel perak tak punya nilai inheren. 
Anda tidak bisa memakannya, meminumnya, atau mengenakan 
pakaian perak, dan perak terlalu lunak untuk dibuat alat yang 
berguna—mata bajak atau pedang perak tak ubahnya aluminium 
foil yang langsung mengerut kalau digunakan untuk keperluan 
semacam itu. Ketika digunakan untuk kebutuhan lain, perak 
dan emas bisa jadi perhiasan, mahkota, dan simbol-simbol status 
lain—barang-barang mewah yang digunakan kalangan tertentu 
untuk mengidentifikasi status tinggi. Nilainya murni kultural.
Penetapan bobot logam mulia akhirnya melahirkan koin. 
Koin pertama dalam sejarah muncul sekitar 640 SM, dibuat 
oleh Raja Alyattes dari Lydia, di bagian barat Anatolia. Koin￾koin ini memiliki bobot standar emas atau perak, dan dicetak 
dengan lambang identifikasi. Lambang itu menjadi saksi dua 
hal. Pertama, ia mengindikasikan seberapa tinggi nilai logam 
mulia yang terdapat pada koin itu. Kedua, ia mengidentifikasi 
otoritas yang mengeluarkan koin dan yang menjamin isinya. 
Hampir semua koin yang digunakan sekarang adalah keturunan 
dari koin-koin Lydia.
Koin memiliki dua keunggulan penting dibandingkan benda￾benda logam tak bertera. Pertama, yang disebut belakangan harus 
ditimbang setiap transaksi. Kedua, penetapan bobot logam tidak￾lah cukup. Bagaimana pembuat sepatu tahu bahwa perak yang 
saya serahkan untuk membeli bot benar-benar perak murni, dan bukan timah yang dilapisi bagian luarnya dengan perak? Koin 
membantu mengatasi problem ini. Lambang yang dicetak pada 
koin menjamin nilai yang sesungguhnya sehingga pembuat sepatu 
tak perlu membawa alat pengukur dalam proses pembayarannya. 
Lebih penting lagi, lambang pada koin adalah penanda otoritas 
politik yang menjamin nilai koin itu.
Bentuk dan ukuran lambang sangat bervariasi sepanjang 
sejarah, tetapi pesannya selalu sama: “Saya, Raja Agung Anu bin 
Fulan, memberi jaminan pribadi bahwa lempengan logam ini berisi 
persis 5 gram emas. Jika ada orang yang berani memalsukan 
koin ini, itu berarti dia memalsukan tanda tangan saya, yang 
bisa menodai reputasi saya. Saya akan menghukum kejahatan 
semacam itu dengan pembalasan paling keras.” Itu sebabnya 
pemalsuan uang selalu dianggap kejahatan yang jauh lebih serius 
ketimbang perbuatan penipuan lain. Pemalsuan bukan hanya 
menipu—ia melanggar kedaulatan, sebuah tindakan subversi 
melawan kekuasaan, hak-hak istimewa dan sosok raja. Istilah 
legalnya adalah lese-majesty (melanggar martabat), dan biasanya 
dihukum dengan penyiksaan dan hukuman mati. Sepanjang orang 
memercayai kekuasaan dan integritas raja, mereka memercayai 
koin-koinnya. Orang-orang yang benar-benar asing bisa dengan 
mudah menyetujui nilai satu koin denarius Romawi karena 
mereka memercayai kekuasaan dan integritas kaisar Romawi, 
yang nama dan gambarnya tertera di dalamnya.
Pada gilirannya, kekuasaan kaisar berada pada denarius. 
Bayangkan betapa sulitnya mempertahankan Imperium Romawi 
tanpa koin—jika kaisar harus menaikkan pajak dan membayar gaji 
dengan jelai dan gandum. Tentu tidak mungkin mengumpulkan 
pajak jelai di Suriah, mengangkut dana-dana itu ke pusat 
perbendaharaan di Roma, dan mengangkutnya lagi ke Inggris 
untuk membayar legiun-legiun di sana. Betapa sama sulitnya 
mempertahankan imperium jika para penduduk Roma sendiri 
memercayai koin emas, tetapi orang Gauls, Yunani, Mesir, 
dan Suriah menolak mempercayai itu, dan lebih memercayai 
kerang-kerang kuwuk, manik-manik gading, atau lembar-lembar 
pakaian.Injil Emas
Kepercayaan pada koin-koin Romawi begitu kuat sehingga 
bahkan di luar batas-batas imperium orang-orang dengan senang 
menerima pembayaran dalam denarius. Pada abad ke-1 M, koin￾koin Romawi diterima sebagai alat tukar di pasar-pasar India, 
sekalipun legiun terdekat Romawi berada ribuan kilometer dari 
sana. Orang India memiliki kepercayaan yang begitu kuat pada 
denarius dan citra kaisar sehingga ketika penguasa setempat 
membuat koin sendiri, mereka meniru denarius, sampai ke potret 
kaisar Romawi! Nama “denarius”’ pun menjadi nama generik 
untuk koin. Para khalifah Muslim meng-Arab-kan nama itu 
dan mengeluarkan “dinar”. Dinar masih menjadi nama resmi 
mata uang di Yordania, Irak, Serbia, Makedonia, Tunisia, dan 
beberapa negara lain.
Ketika model koin Lydia menyebar dari Mediterania sampai 
ke Samudra Hindia, China mengembangkan sistem moneter 
yang agak berbeda, berbasis koin-koin perunggu dan perak serta 
emas tak bertera. Meskipun demikian, kedua sistem moneter itu 
memiliki cukup banyak kesamaan (terutama kepercayaan pada 
emas dan perak) sehingga relasi moneter dan komersial yang erat 
terjalin antara zona China dan zona Lydia. Para pedagang serta 
penakluk Muslim dan Eropa pelan-pelan menyebarkan sistem 
Lydia dan Injil Emas jauh ke sudut-sudut Bumi. Sampai dengan era modern, seluruh dunia merupakan satu zona moneter tunggal, 
yang mula-mula bertumpu pada emas dan perak, kemudian 
pada beberapa mata uang tepercaya seperti pound Inggris dan 
dolar Amerika. 
Munculnya zona moneter tunggal transnasional dan 
transkultural ini meletakkan fondasi unifikasi Afro-Asia, dan 
akhir ke seluruh muka Bumi, menjadi satu bidang tunggal 
ekonomi dan politik. Orang terus berbicara dengan bahasa yang 
saling tidak bisa dimengerti, mematuhi penguasa-penguasa yang 
berbeda dan menyembah Tuhan-Tuhan yang berbeda, tetapi semua 
memercayai emas, perak, dan koin emas serta koin perak. Tanpa 
kesamaan kepercayaan ini, jaringan perdagangan global tentu 
tidak mungkin ada. Emas dan perak yang ditemukan pada abad 
ke-16 oleh para penakluk Spanyol di Amerika memungkinkan 
para pedagang Eropa membeli sutra, porselen, dan cabe di Asia 
Timur; sehingga menggerakkan roda-roda pertumbuhan ekonomi 
di Eropa maupun Asia Timur. Sebagian besar emas dan perak 
yang ditambang di Meksiko dan Andes ini menyelinap melalui 
jemari Eropa untuk menemukan rumahnya yang nyaman di 
dompet-dompet para pembuat sutra dan porselen China. Apa 
yang terjadi pada ekonomi global seandainya China tidak 
menderita “penyakit hati” yang sama yang mendera Cortés 
beserta rombongannya—dan menolak menerima pembayaran 
dalam emas dan perak?
Akan tetapi, mengapa orang China, India, Spanyol, dan kaum 
Muslim—yang kulturnya sangat berbeda, yang gagal menyepakati 
banyak hal—harus sama-sama memercayai emas? Mengapa 
tidak terjadi bahwa orang Spanyol meyakini emas, sedangkan 
Muslim memercayai jelai, orang India memercayai kerang 
kuwuk, dan orang China meyakini lembaran sutra? Para ekonom 
sudah punya jawabannya. Begitu perdagangan menghubungkan 
dua wilayah, kekuatan penawaran dan permintaan cenderung 
menyetarakan harga barang-barang yang bisa diangkut. Untuk 
memahami mengapa bisa demikian, pikirkan sebuah kasus 
hipotesis. Asumsikan bahwa ketika perdagangan reguler terbuka 
antara India dan Mediterania, orang-orang India tidak tertarik 
pada emas sehingga nilainya hampir tidak ada. Namun, di Mediterania, emas adalah sebuah lambang status idaman, dan 
karena itu nilainya tinggi. Apa yang terjadi kemudian?
Para pedagang antara India dan Mediterania akan melihat 
perbedaan dalam nilai emas. Untuk mendapatkan keuntungan, 
mereka membeli emas yang murah di India dan menjualnya 
dengan harga tinggi di Mediterania. Akibatnya, permintaan akan 
emas di India meroket, dan begitu juga nilainya. Pada saat yang 
sama Mediterania akan mengalami aliran emas, yang karena itu 
nilainya pun turun. Dalam waktu singkat nilai emas di India 
dan Mediterania akan setara. Hanya dengan fakta bahwa orang 
Mediterania memercayai emas akan menyebabkan orang India 
mulai memercayainya juga. Sekalipun bila emas tak ada gunanya 
yang riil bagi orang India, fakta bahwa orang Mediterania 
menginginkannya saja sudah cukup untuk membuat orang India 
menghargainya.
Demikian pula, fakta bahwa orang lain memercayai kerang 
kuwuk, dolar, atau data elektronik, itu sudah cukup untuk 
memperkuat keyakinan kita padanya, sekalipun jika orang itu 
dibenci, diremehkan, atau diolok-olok oleh kita. Orang Kristen 
dan Muslim yang tidak bisa menyepakati keyakinan religius 
tetap bisa menyepakati keyakinan moneter karena walaupun 
agama meminta kita memercayai sesuatu, uang meminta kita 
memercayai sesuatu yang dipercayai orang lain.
Selama ribuan tahun, para filsuf, pemikir, dan nabi mencela 
uang dan menyebutnya akar dari semua kejahatan. Boleh setuju 
boleh tidak, uang juga adalah puncak toleransi manusia. Uang 
lebih berpikiran terbuka ketimbang bahasa, hukum negara, norma 
budaya, keyakinan religius, dan kebiasaan-kebiasaan sosial. Uang 
adalah satu-satunya sistem kepercayaan yang diciptakan manusia 
yang bisa menjembatani hampir setiap jurang kultural, dan yang 
tidak mendiskriminasi berdasarkan agama, gender, ras, usia, 
atau orientasi seksual. Berkat uang, bahkan orang yang tidak 
saling kenal dan tidak saling percaya tetap bisa bekerja sama 
secara efektif.
Harga Uang
Uang didasarkan pada dua prinsip universal:
a. Konvertibilitas universal: dengan uang sebagai sebuah 
alkemis, Anda bisa mengubah tanah menjadi kesetiaan, 
keadilan menjadi kesehatan, dan kekerasan menjadi 
pengetahuan.
b. Kepercayaan universal: dengan uang sebagai perantara, 
setiap ada dua orang bisa bekerja pada proyek apa pun.
Prinsip-prinsip ini memungkinkan jutaan orang asing bekerja 
sama secara efektif dalam perdagangan dan industri. Namun, 
prinsip-prinsip yang tampak ramah ini memiliki sisi gelap. Ketika 
segalanya bisa dikonversi, dan ketika kepercayaan bergantung pada 
koin-koin anonim dan kerang-kerang kuwuk, ia mengeroposkan 
tradisi-tradisi, hubungan-hubungan intim, dan nilai-nilai lokal 
manusia, mengganti semua itu dengan hukum dingin penawaran 
dan permintaan. 
Komunitas-komunitas dan keluarga-keluarga manusia selalu 
didasarkan pada keyakinan hal-hal yang “tak ternilaikan”, seperti 
kehormatan, loyalitas, moralitas, dan cinta. Hal-hal ini berada di 
luar domain pasar, dan tak akan dibeli atau dijual dengan uang. 
Sekalipun pasar menawarkan harga yang bagus, hal-hal tertentu 
tak bisa dijual. Orangtua pasti tidak akan menjual anak mereka 
ke perbudakan; seorang pemeluk Kristen taat pasti tidak mau 
melakukan dosa besar; seorang kesatria yang loyal pasti tidak 
pernah mengkhianati tuannya; dan tanah-tanah leluhur suku 
tidak akan pernah dijual kepada orang asing.
Uang selalu berusaha menerobos hambatan-hambatan ini, 
seperti air menyusup melalui celah-celah bendungan. Orangtua 
terdesak menjual sebagian anaknya ke perbudakan demi membeli 
makanan bagi yang lain. Pemeluk Kristen taat membunuh, 
mencuri, dan menipu—dan belakangan menggunakan hasilnya 
untuk membeli pengampunan dari gereja. Para kesatria ambisius 
melelang kesetiaannya pada penawar tertinggi, dengan tetap 
menjaga kesetiaan para pengikutnya dengan pembayaran uang. Tanah-tanah suku dijual ke orang asing dari sisi lain dunia dalam 
rangka membeli tiket masuk ke ekonomi global.
Uang punya sisi yang lebih gelap lagi. Meskipun uang 
membangun kepercayaan universal di antara orang-orang yang 
asing satu sama lain, kepercayaan itu sesungguhnya diinvestasikan 
tidak pada manusia, masyarakat, atau nilai-nilai sakral, tetapi pada 
uang itu sendiri dan pada sistem impersonal yang menopangnya. 
Kita tidak memercayai orang asing, atau tetangga sebelah rumah, 
kita memercayai koin yang mereka pegang. Jika mereka kehabisan 
koin, kita kehabisan kepercayaan. Saat uang meruntuhkan 
bendungan kemanusiaan, agama, dan negara, dunia berada di 
ambang bahaya menjadi sebuah pasar besar tanpa hati.
Oleh karena itu, sejarah ekonomi umat manusia adalah 
sebuah tarian yang pelik. Orang bergantung pada uang untuk 
memfasilitas kerja sama antar orang asing, tetapi mereka takut 
uang akan mengorupsi nilai-nilai dan relasi-relasi intim manusia. 
Dengan satu tangan orang bersedia menghancurkan bendungan 
komunal yang menjauhkan gerakan uang dan komersial begitu 
lama. Namun, dengan tangan lain mereka membangun sebuah 
dam-dam baru untuk melindungi masyarakat, agama, bahkan 
lingkungan dari penghambaan kepada kekuatan pasar.
Kini lazim memercayai bahwa pasar selalu menang, dan bahwa 
dam-dam yang didirikan oleh para raja, pendeta, dan masyarakat 
tidak bisa bertahan lama melawan gelombang uang. Ini naif. Para 
petarung brutal, kaum fanatik keagamaan, dan warga negara yang 
peduli sudah berulang-ulang berhasil menghantam para pedagang 
yang penuh perhitungan, dan bahkan membentuk ulang ekonomi. 
Oleh karena itu, tidak mungkin memahami unifikasi manusia 
sebagai sebuah proses yang murni ekonomi. Untuk memahami 
bagaimana ribuan kultur yang terisolasi mendekat dari waktu 
ke waktu untuk membentuk desa global masa kini, kita harus 
mempertimbangkan peran emas dan perak, tetapi kita tidak bisa 
mengabaikan peran krusial yang sama dari baja. Romawi Kuno terbiasa mengalami kekalahan. Seperti banyak 

penguasa imperium-imperium besar dalam sejarah, mereka bisa 

kalah dalam pertempuran demi pertempuran, tetapi bisa menang 

perang. Sebuah imperium yang tidak bisa menahan pukulan dan 

tetap berdiri sesungguhnya bukan imperium. Meskipun demkian, 

bahkan orang-orang Romawi kesulitan mencerna berita yang 

tiba dari Iberia utara pada pertengahan abad ke-2 SM. Sebuah 

kota pegunungan kecil yang tak signifikan bernama Numantia, 

yang dihuni oleh bangsa pribumi Celtic di semenanjung itu, 

berani menanggalkan gandar Romawi. Roma, pada masa itu, 

tak terbantahkan sebagai penguasa seluruh lembah Mediterania, 

menumpas imperium Macedonia dan Seleucid, menundukkan 

kota-kota megah Yunani, dan meluluhlantakkan Carthage menjadi 

puing-puing. Orang-orang Numantia tak memiliki apa-apa kecuali 

cinta mereka yang gigih pada kemerdekaan dan tanah airnya 

yang tidak nyaman. Meskipun demikian, mereka memaksa legiun 

demi legiun menyerah atau mundur teratur sebagai pecundang.

Akhirnya, pada 134 SM, kesabaran Romawi habis. Senat 

memutuskan untuk mengirim Scipio Aemilianus, jenderal paling 

terkemuka di Roma dan orang yang telah meratakan Charthage, 

untuk menangani orang-orang Numantia. Dia diberi pasukan 

besar berkekuatan lebih dari 30.000 tentara. Scipio, yang 

menghormati semangat tempur dan keterampilan perang orang￾orang Numantia, tak mau menyia-nyiakan tentaranya untuk 

pertempuran yang tak perlu. Namun, dia mengepung Numantia 

dengan garis benteng, memblokade kontak kota itu dengan 

dunia luar. Kelaparan membantu siasatnya. Setelah lebih dari 

setahun, pasokan makanan habis. Ketika orang-orang Numantia 

menyadari semua harapan sirna, mereka membakar habis kota mereka; menurut riwayat Romawi, sebagian besar dari mereka 

bunuh diri agar tidak menjadi budak orang Roma.

Numantia belakangan menjadi lambang kemerdekaan dan 

keberanian Spanyol, Miguel de Cervantes, pengarang Don 

Quixote, menulis sebuah naskah tragedi berjudul The Siege of 

Numantia yang diakhiri dengan kisah penghancuran kota itu, 

tetapi juga dengan sebuah visi kejayaan masa depan Spanyol. Para 

penyair menulis lagu-lagu pujian atas kegigihan para pembela 

dan para pelukis menciptakan mahakarya lukisan pengepungan 

itu di atas kanvas. Pada 1882, puing-puingnya dideklarasikan 

sebagai “monumen nasional” dan menjadi situs ziarah bagi para 

patriot Spanyol. Pada 1950-an dan 1960-an, buku komik paling 

populer di Spanyol bukanlah Superman dan Spiderman—mereka 

mengisahkan petualangan Eljabato, seorang pahlawan imajiner 

Iberia kuno yang perang melawan para penindas dari Roma. 

Orang-orang Numantia kuno bagi Spanyol masa kini adalah 

puncak heroisme dan patriotisme, menyediakan keteladanan 

bagi kaum muda negara itu.

Meskipun demikian, para patriot Spanyol memuji orang￾orang Numatia dalam bahasa Spanyol—bahasa roman yang 

merupakan keturunan dari Latin-nya Scipio. Orang Numantia 

berbicara bahasa Celtic yang kini sudah mati. Cervantes menulis 

The Siege of Numantia dalam naskah Latin, dan drama itu 

mengikuti model-model artistik Yunani-Romawi (Graeco￾Roman). Numantia tidak punya teater. Para patriot Spanyol yang 

mengagumi heroisme Numantia juga cenderung pengikut loyal 

Gereja Katolik Roma—jangan lewatkan kata terakhirnya—gereja 

yang pemimpinnya masih duduk di Roma dan yang Tuhan-nya 

lebih menyukai dipuja dalam bahasa Latin. Demikian pula, 

hukum Spanyol modern lebih berasal dari hukum Romawi; 

politik Spanyol dibangun di atas fondasi-fondasi Romawi; dan 

makanan serta arsitektur Spanyol berutang jauh lebih besar pada 

warisan Romawi ketimbang pada warisan Celtic Iberia. Benar￾benar tak ada yang tersisa dari reruntuhan Numantia. Bahkan, 

kisahnya sampai kepada kita hanya berkat tulisan-tulisan para 

sejarawan Romawi. Kisah itu dikemas untuk sesuai dengan selera 

khalayak Romawi yang sangat menikmati kisah-kisah kaum barbar pencinta kebebasan. Kemenangan Roma atas Numantia 

begitu sempurna sehingga para pemenang mengkooptasi memori 

bangsa yang dihancurkannya.

Ia bukan jenis cerita kita. Kita suka melihat penantang 

menang. Namun, tidak ada keadilan dalam sejarah. Sebagian 

besar budaya masa lalu cepat atau lambat jatuh dimangsa oleh 

angkatan perang imperium yang tak kenal belas kasih, yang 

mengirim mereka menuju kemusnahan. Imperium-imperium juga 

pada akhirnya jatuh, tetapi mereka cenderung meninggalkan 

warisan yang kaya dan awet. Hampir semua orang pada abad 

ke-21 adalah keturunan dari salah satu imperium.

Apa itu Imperium?

Imperium adalah sebuah tatanan politik dengan dua karakteristik 

penting. Pertama, memiliki kualifikasi untuk sebutan yang 

Anda pakai untuk berkuasa atas sejumlah signifikan masyarakat 

yang berbeda-beda, masing-masing memiliki identitas kultural 

yang berbeda dan satu wilayah yang terpisah. Berapa banyak 

masyarakat tepatnya? Dua atau tiga tidak cukup. Dua puluh 

atau tiga puluh sudah banyak. Ambang batas imperium kira￾kira di antara itu.

Kedua, imperium dicirikan oleh perbatasan-perbatasan 

fleksibel dan gairah yang secara potensial tidak terbatas. Mereka 

bisa mencaplok dan menelan lebih banyak bangsa dan teritori 

tanpa mengubah struktur dasar atau identitasnya. Negara Inggris 

kini memiliki perbatasan-perbatasan yang cukup jelas yang tak bisa 

dilampaui tanpa mengubah struktur dan identitas fundamental 

negara. Seabad lalu, hampir setiap tempat di muka Bumi bisa 

menjadi bagian dari Imperium Inggris.

Keragaman kultural dan fleksibilitas terotorial memberi 

imperium tidak hanya karakter uniknya, tetapi juga peran 

sentralnya dalam sejarah. Berkat kedua karakteristik inilah 

imperium berhasil menyatukan kelompok-kelompok etnis dan 

zona-zona ekologis yang beragam di bawah satu payung politik 

tunggal sehingga menyatukan segmen-segmen yang semakin besar dan semakin besar dari spesies manusia di Planet Bumi.

Harus ditegaskan bahwa sebuah imperium didefinisikan 

semata-mata oleh keragaman kultural dan perbatasan-perbatasan 

fleksibelnya, ketimbang oleh asal-usul, bentuk pemerintahan, 

luas teritorial, atau ukuran populasinya. Sebuah imperium tidak 

harus muncul dari penaklukan militer. Imperium Athena mulai 

hidup sebagai sebuah liga sukarela, dan Imperium Habsbung lahir 

dalam ikatan perkawinan, yang dikokohkan dengan rangkaian 

aliansi-aliansi perkawinan yang cerdik. Tidak pula imperium 

harus dikuasai oleh seorang kaisar otokratik. Imperium Inggris, 

imperium terbesar dalam sejarah, diperintah dengan sebuah 

demokrasi. Imperium-imperium demokratis lain (atau sekurang￾kurangnya republikan) termasuk Belanda, Prancis, Belgia, dan 

Amerika, di samping imperium-imperium pramodern Novgorod, 

Roma, Carhage, dan Athena. 

Ukuran juga sungguh tidak penting. Imperium bisa mungil. 

Imperium Athena pada masa kejayaannya jauh lebih kecil daripada 

ukuran dan populasi Yunani masa kini. Imperium Aztec lebih 

kecil dari Meksiko saat ini. Namun, keduanya tetap imperium, 

sedangkan Yunani modern dan Meksiko modern bukan imperium 

karena Athena dan Aztec secara perlahan menguasai beberapa 

puluh bahkan ratusan negara yang berbeda, sedangkan Yunani 

maupun Meksiko tidak. Athena mencaplok lebih dari seratus 

negara kota yang sebelumnya merdeka, sedangkan Imperium 

Aztec, jika kita memercayai catatan pajaknya, menguasai 371 

suku dan masyarakat yang berbeda.1

Bagaimana dulu bisa terjadi, memeras sebuah bunga rampai 

manusia ke dalam teritori sebuah negara modern yang sederhana? 

Itu bisa terjadi karena pada masa lalu ada lebih banyak bangsa 

berbeda di dunia, masing-masing memiliki populasi kecil dan 

menduduki teritori yang lebih kecil dari bangsa umumnya masa 

kini. Wilayah antara Mediterania dan Sungai Yordan, yang kini 

berjuang untuk memuaskan ambisi-ambisi hanya dua bangsa, yang 

bisa dengan mudah diakomodasi beberapa puluh kali negara, 

suku, kerajaan kecil, dan negara kota.

Imperium adalah salah satu alasan utama reduksi drastis 

keragaman manusia. Mesin penggerak imperium pelan-pelan melenyapkan karakteristik-karakteristik unik banyak bangsa 

(seperti Numantia), menyatukan mereka menjadi kelompok￾kelompok baru dan lebih besar.

Imperium-Imperium Jahat?

Pada masa kita, “imperialis” menempati urutan kedua di 

bawah “fasis” dalam leksikon kata-kata umpatan politik. Kritik 

kontemporer terhadap imperium umumnya memiliki dua bentuk:

1. Imperium tidak bisa bekerja. Dalam jangka panjang, 

tidak mungkin menguasai secara efektif bangsa-bangsa 

yang ditaklukkan dalam jumlah besar.

2. Sekalipun itu bisa dilakukan, tidak seharusnya itu 

dilakukan karena imperium adalah mesin jahat destruksi 

dan eksploitasi. Setiap bangsa memiliki hak untuk 

menentukan nasib sendiri, dan tidak pernah boleh 

dikuasai oleh kekuasaan bangsa lain.

Dari perspektif historis, pernyataan pertama adalah omong 

kosong belaka, dan pernyataan kedua sangat problematik.

Yang benar adalah bahwa imperium telah menjadi bentuk 

paling umum di dunia dari organisasi politik selama 2.500 

tahun terakhir. Sebagian besar manusia dalam 2,5 milenium ini 

hidup dalam imperium-imperium. Imperium juga merupakan 

bentuk pemerintahan yang sangat stabil. Sebagian besar 

imperium telah mengalami betapa sangat mudahnya me￾nundukkan pemberontakan. Secara umum, imperium-imperium 

itu diruntuhkan hanya oleh invasi eksternal atau oleh per pecahan 

dari dalam elite yang berkuasa. Sebaliknya, bangsa-bangsa 

yang ditaklukkan tidak memiliki catatan selama ratusan tahun. 

Yang umum terjadi, bangsa-bangsa itu pelan-pelan dicerna oleh 

imperium yang menaklukkannya, sampai kultur-kultur khas 

mereka menyeruak.

Misalnya, ketika Imperium Romawi Barat akhirnya jatuh 

oleh suku-suku Jerman pada 476 M, Numantia, Arveni, 

Helvetia, Samnite, Lusitania, Umbria, Etrusca, dan ratusan 
bangsa lain yang terlupakan, yang ditaklukkan Romawi berabad￾abad sebelumnya, tidak muncul dari bangkai imperium yang 

dihancurkan seperti Nabi Yunus dari perut ikan besar. Tak satu 

pun yang tersisa. Keturunan-keturunan biologis dari bangsa 

itu yang mengidentifikasi diri sebagai anggota bangsa-bangsa 

tersebut, yang menggunakan bahasa-bahasa mereka, menyembah 

tuhan-tuhan mereka dan menceritakan mitos-mitos serta legenda￾legenda mereka, kini berpikir, berbahasa dan menyembah sebagai 

bangsa Romawi.

Dalam banyak kasus, penghancuran satu imperium nyaris 

tidak pernah berarti kemerdekaan bangsa yang dijajah. Namun, 

sebuah imperium baru memasuki kevakuman yang diciptakan 

ketika imperium lama runtuh atau mundur. Tak ada tempat 

yang lebih jelas untuk hal ini selain Timur Tengah. Konstelasi 

politik saat ini di wilayah itu—perimbangan kekuasaan antara 

banyak entitas politik merdeka dengan perbatasan-perbatasan 

yang kurang lebih stabil—hampir tanpa tandingan pada masa 

mana pun dalam beberapa milenium terakhir ini. Terakhir kali 

Timur Tengah mengalami situasi seperti itu adalah pada abad 

ke-8 SM—hampir 3.000 tahun lalu! Dari kebangkitan Imperium 

Neo-Assyria pada abad ke-8 SM sampai runtuhnya imperium 

Inggris dan Prancis pada pertengahan abad ke-20 M, Timur 

Tengah lepas dari kekuasaan satu imperium ke imperium lain, 

seperti sebuah tongkat dalam lomba lari estafet. Dan, pada 

masa ketika Inggris dan Prancis akhirnya melepaskan tongkat 

itu, bangsa Aramea, Ammonit, Phoenisia, Philistin, Moabit, 

Edomit, dan bangsa-bangsa lain yang ditaklukkan Assyria telah 

lama hilang.

Benar bahwa Yahudi, Armenia, dan Gorgia masa kini 

mengklaim dengan ukuran keadilan tertentu bahwa mereka 

adalah keturunan bangsa Timur Tengah kuno. Namun, ini 

hanyalah pengecualian-pengecualian yang membuktikan rumus 

tersebut, dan bahkan klaim-klaim ini agak dilebih-lebihkan. Tak 

perlu dijelaskan bahwa praktik-praktik politik, ekonomi, dan 

sosial Yahudi modern, misalnya, memiliki utang jauh lebih besar 

kepada imperium-imperium yang menguasainya pada masa 2 

milenium ketimbang pada tradisi-tradisi kerajaan kuno Judaea. Kalau saja Raja David (Dawud) muncul dalam sinagog ultra￾Ortodox Yerusalem masa kini, dia pasti benar-benar terperangah 

melihat bangsa Yahudi berpakaian ala Eropa Timur, berbahasa 

salah satu dialek Jerman (Yiddish) dan tiada henti bertengkar 

tentang makna teks Babylonia (Talmud). Dulu tidak ada sinagog, 

berjilid-jilid Talmud, bahkan gulungan-gulungan Taurat pada 

masa Judaea kuno.

Membangun dan mempertahankan sebuah imperium biasanya 

membutuhkan pembantaian kejam populasi besar dan penindasan 

brutal terhadap siapa pun yang tersisa. Panduan imperium standar 

mencakup perang, perbudakan, deportasi, dan genosida. Ketika 

Romawi menginvasi Skotlandia pada 83 M, mereka menemui 

perlawanan sengit dari suku-suku Kaledonia setempat, dan beraksi 

dengan menghamparkan sampah di atas negara itu. Sebagai 

balasan atas tawaran perdamaian Romawi, panglima Calgacus 

menyebut orang-orang Romawi “kaum bajingan dunia”, dan 

mengatakan, “pencurian, pembantaian, dan perampokan mereka 

gunakan sebagai alas bagi nama imperium; mereka menciptakan 

gurun dan menyebut itu perdamaian”.2

Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa imperium tidak 

meninggalkan apa pun yang bermakna dalam kemunculannya. 

Menghitamkan semua imperium dan mengingkari semua warisan 

imperium sama saja dengan menolak sebagian besar budaya 

manusia. Elite-elite imperium menggunakan keuntungan dari 

penaklukan untuk mendanai tidak hanya angkatan perang dan 

benteng, tapi juga filosofi, seni, keadilan, dan amal. Tak bisa 

dimungkiri bahwa satu bagian signifikan dari prestasi-prestasi 

kultural kemanusiaan sesungguhnya ada berkat eksploitasi 

terhadap populasi-populasi yang ditaklukkan itu. Keuntungan￾keuntungan dan kemakmuran yang dibawa imperialisme Romawi 

memberi Cicero, Seneca, dan Santo Augustine kelonggaran dan 

bekal yang dibutuhkan untuk berpikir dan menulis; Taj Mahal 

tidak dibangun tanpa kekayaan yang diakumulasi oleh eksploitasi 

Mughal atas India sebagai jajahan; dan keuntungan-keuntungan 

Imperium Habsburg dari penguasaan atas Slavia, Hungaria, dan 

provinsi-provinsi berbahasa Rumania dipakai untuk membayar 

gaji Haydn dan komisi Mozart.
Tidak ada satu pun penulis Kaledonia yang mengabadikan 

pidato Calgacus untuk anak cucu. Kita tahu itu berkat sejarawan 

Romawi Tacitus. Malah, Tacitus-lah yang membuatnya. Sebagian 

besar ahli kini sepakat bahwa Tacitus tidak hanya menciptakan 

pidato itu, tetapi juga menciptakan karakter Calgacus, sang 

panglima Kaledonia, untuk menjadi corong bagi apa yang dia 

dan kalangan atas Romawi lainnya pikirkan tentang negara 

mereka sendiri.

Demi Kebaikanmu Sendiri

Imperium pertama yang kita dapatkan informasinya secara 

definitif adalah Imperium Akkadia Sargon Yang Agung (2250 

SM). Sargon memulai karier sebagai Raja Kish, sebuah negara 

kota kecil di Mesopotamia. Dalam beberapa dekade dia berhasil 

menaklukkan tidak hanya seluruh Negara Kota Mesopotamia, 

tetapi juga teritori-teritori besar di luar daratan utama 

Mesopotamia. Sargon membual bahwa dia telah menaklukkan 

seluruh dunia. Kenyataannya, dominion yang dia kuasai terentang 

dari Teluk Persia sampai Mediterania, dan mencakup sebagian 

besar wilayah yang kini bernama Irak dan Suriah, di samping 

beberapa potong wilayah Iran dan Turki modern.

Imperium Akkadia tidak berlangsung lama setelah kematian 

pendirinya, tetapi Sargon meninggalkan sebuah mantel imperium 

yang jarang luput dari klaim. Selama 1.700 tahun kemudian, 

raja-raja Assyria, Babylonia, dan Hittite mengadopsi Sargon 

sebagai tokoh panutan, dengan membual bahwa mereka juga 

telah menaklukkan seluruh dunia. Kemudian, sekitar 550 SM, 

Cyrus Yang Agung dari Persia datang dengan bualan yang lebih 

mengesankan lagi. Raja-raja Assyria tetap hanya raja-raja Assyria. 

Bahkan, ketika mereka mengklaim telah menguasai seluruh dunia, 

jelas bahwa mereka melakukan itu demi kejayaan Assyria Raya 

saja, dan mereka tak berapologi akan hal itu. Sementara itu, 

Cyrus mengklaim tidak semata-mata menguasai seluruh dunia, 

tetapi juga melakukan itu demi kepentingan segenap rakyat. 

“Kami menaklukkan Anda untuk kepentingan Anda sendiri,” kata orang-orang Persia. Cyrus ingin rakyat yang dijajahnya mencintai 

dia dan menganggap diri mereka beruntung menjadi pengikut 

Persia. Contoh paling terkenal dari upaya inovatif Cyrus untuk 

mendapatkan persetujuan bangsa yang berada di bawah kekuasaan 

imperiumnya adalah titahnya bahwa orang-orang Yahudi buangan 

di Babylonia diizinkan pulang ke kampung halamannya, Judaea, 

dan membangun kembali Kuil mereka. Dia bahkan menawarkan 

mereka bantuan finansial. Cyrus tidak melihat dirinya seorang 

raja Persia yang berkuasa atas bangsa Yahudi—dia juga raja orang 

Yahudi sehingga bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.

Perasaan menguasai seluruh dunia untuk kepentingan seluruh 

penghuninya itu mencengangkan. Evolusi telah menjadikan Homo 

sapiens, seperti mamalia sosial lainnya, makhluk xenofobia*


Sapiens secara naluri membagi manusia dalam dua golongan, 

“kita” dan “mereka”. Kita adalah orang-orang seperti Anda dan 

saya, yang bahasa, agama, dan kebiasaannya sama. Kita semua 

bertanggung jawab atas sesama, tetapi tidak bertanggung jawab 

atas mereka. Kita selalu berbeda dari mereka, dan tak berutang 

apa pun kepada mereka. Kita tidak ingin melihat satu pun dari 

mereka ada di teritori kita, dan kita tidak peduli pada sedikit 

pun apa yang terjadi pada teritori mereka. Mereka bahkan nyaris 

bukan manusia. Dalam bahasa bangsa Dinka di Sudan, Dinka

berarti ‘rakyat’. Rakyat yang bukan Dinka, bukanlah rakyat. 

Musuh bebuyutan Dinka adalah Nuer. Apa arti kata Nuer dalam 

bahasa Nuer? Artinya adalah ‘rakyat yang asli’. Ribuan kilometer 

dari gurun Sudan, di tanah es yang membeku di Alaska dan 

bagian timur laut Siberia, hidup bangsa Yupik. Apa arti Yupik

dalam bahasa Yupik? Artinya ‘rakyat yang sejati’.3

Bertolak belakang dengan keeksklusifan etnis ini, ideologi 

imperium dari Cyrus dan sesudahnya cenderung menjadi 

inklusif dan meliputi semua. Sekalipun sering ditekankan pada 

perbedaan ras dan kultur antara penguasa dan yang dikuasai, 

ideologi imperium masih mengakui kesatuan dasar seluruh dunia, 

eksistensi seperangkat tunggal prinsip-prinsip yang mengatur 

semua tempat dan semua masa, dan tanggung jawab bersama seluruh manusia. Manusia dipandang sebagai satu keluarga besar: 

hak-hak istimewa orangtua bersanding dengan tanggung jawab 

atas kesejahteraan anak-anak.


Visi baru imperium ini bergulir dari Cyrus dan orang-orang 

Persia ke Alexander Yang Agung, dan dari dia ke raja-raja 

Hellenistik, para kaisar Romawi, para khalifah Muslim, dinasti￾dinasti India dan akhirnya bahkan ke para perdana menteri 

Soviet dan presiden-presiden Amerika. Visi imperium yang penuh 

kebajikan itu menjustifikasi keberadaan imperium-imperium, dan 

mengatasi tidak hanya upaya-upaya oleh rakyat jajahan untuk 

memberontak, tetapi juga upaya-upaya oleh bangsa merdeka 

untuk melawan ekspansi imperium.

Visi-visi imperium serupa berkembang secara independen 

dari model Persia di beberapa bagian dunia, yang paling utama 

di Amerika Tengah, di wilayah Andea, dan di China. Menurut 

teori politik tradisional China, langit (Tian) adalah sumber 

semua otoritas yang sah di muka Bumi. Langit memilih orang 

atau keluarga yang paling pantas untuk memberi mereka 

Mandat dari surga. Orang atau keluarga ini berkuasa atas Semua 

Yang Ada Di Bawah Langit (Tianxial) untuk kebaikan seluruh 

penghuninya. Jadi, sebuah otoritas yang sah adalah—menurut 

definisi—universal. Jika penguasa tak memiliki Mandat dari 

langit, maka dia tak memiliki legitimasi untuk berkuasa bahkan 

atas sebuah kota kecil. Jika penguasa mendapat mandat itu, dia 

wajib menyebarkan keadailan dan harmoni ke seluruh dunia. 

Mandat langit tidak bisa diberikan kepada beberapa kandidat 

secara bersamaan, dan akibatnya orang tidak bisa melegitimasi 

keberadaan lebih dari sebuah negara merdeka.

Kaisar pertama imperium China bersatu, Qín ShHuángdì, 

membual bahwa “di keenam penjuru arah [alam semesta] segalanya 

milik kaisar ... di mana pun ada jejak kaki manusia, tidak ada 

satu pun yang menjadi jajahan [imperium] ... kebaikannya bahkan 

menjangkau sapi dan kuda. Tidak ada seorang pun yang tidak 

mendapatkan manfaatnya. Setiap manusia selamat di bawah 

atapnya sendiri”.4

 Dengan demikian, dalam pemikiran politik 

China serta memori historis China, periode-periode imperium 

dipandang sebagai masa keemasan keteraturan dan keadilan. 

Bertolak belakang dengan pandangan modern Barat bahwa 

sebuah dunia yang adil tersusun atas negara-negara bangsa 

terpisah, di China periode-periode fragmentasi politik dipandang 

sebagai abad-abad gelap kekacauan dan ketidakadilan. Persepsi 

ini memiliki pengaruh jauh bagi sejarah China. Setiap kali 

imperium runtuh, teori politik dominan memancing kekuatan￾kekuatan agar tidak menyerah pada pemerintahan-pemerintahan 

independen yang remeh, tetapi mengupayakan reunifikasi. Cepat 

atau lambat upaya-upaya ini selalu berhasil.

Ketika Mereka Menjadi Kita

Imperium-imperium memainkan peranan menentukan dalam 

menyatukan banyak kultur kecil menjadi kultur-kultur besar yang 

lebih sedikit. Ide-ide, bangsa-bangsa, benda-benda, dan teknologi 

menyebar lebih mudah dalam perbatasan-perbatasan sebuah 

imperium ketimbang dalam sebuah wilayah yang terfragmentasi 

secara politik. Cukup sering, imperium-imperium itu sendirilah 

yang secara sengaja menyebarkan ide-ide, institusi-institusi, 

kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma. Satu alasannya adalah 

untuk menjadikan hidup lebih mudah bagi mereka sendiri. Sulit 

untuk menguasai sebuah imperium yang di dalamnya setiap 

distrik kecil memiliki seperangkat hukum sendiri, bentuk tulisan 

sendiri, bahasa sendiri, dan uang sendiri. Standarisasi adalah 

anugerah bagi para kaisar.

Alasan kedua yang sama pentingnya mengapa imperium￾imperium secara aktif menyebarkan kultur bersama adalah 

untuk meraih legitimasi. Sekurang-kurangnya sejak masa-masa 

Cyrus dan Qín Sh Huángdì, imperium-imperium menjustifikasi 

tindakan-tindakan mereka—entah itu pembangunan jalan 

atau pertumpahan darah—sebagai sesuatu yang perlu untuk 

menyebarkan sebuah kultur superior, yang dari sana pihak yang 

ditaklukkan mendapatkan manfaat bahkan lebih besar daripada 

penakluknya.

Manfaat-manfaat itu terkadang menonjol—penegakan hukum, 

perencanaan kota, standarisasi berat dan ukuran—dan terkadang 

patut dipertanyakan—pajak, wajib militer, penyembahan kaisar. 

Namun, sebagian besar elite imperium meyakini dengan sepenuh 

hati bahwa mereka bekerja demi kesejahteraan umum seluruh 

penghuni imperium. Kelas penguasa China memperlakukan 

negara-negara tetangga dan jajahan-jajahan asing sebagai barbar 

merana, yang kepada mereka imperium harus membawa 

manfaat dari budaya. Mandat dari langit dianugerahkan kepada 

kaisar tidak dalam rangka mengeksploitasi dunia, tetapi dalam 

rangka mendidik kemanusiaan. Orang Romawi juga men￾justifikasi dominion mereka dengan mengatakan bahwa mereka 

menganugerahi kaum barbar dengan perdamaian, keadilan, dan 

perbaikan. Orang-orang liar Jerman dan orang-orang Gaul yang 

terkurung hidup dalam kemelaratan dan kebodohan sampai 

orang-orang Romawi menjinakkan mereka dengan hukum, 

membersihkan mereka dalam rumah pemandian umum, dan 

memperbaiki mereka dengan filosofi. Imperium Maurya pada 

abad ke-3 SM menetapkan misinya untuk mendiseminasi ajaran￾ajaran Buddha ke dunia yang bodoh. Para khalifah Muslim 

menerima mandat ilahi untuk menyebarkan wahyu Nabi, secara 

damai jika memungkinkan, tetapi dengan pedang jika diperlukan. 

Imperium Spanyol dan Portugis memproklamasikan bahwa bukan 

kekayaan yang mereka cari di Hindia dan Amerika, melainkan 

pembimbingan kepada agama yang benar. Matahari tidak pernah 

terbenam dalam misi Inggris untuk menyebarkan Injil kembar 

liberalisme dan perdagangan bebas. Soviet merasa tergugah untuk 

mengabdi demi memfasilitasi pawai historis yang tak terelakkan 

dari kapitalisme menuju kediktatoran utopia proletar. Banyak 

orang Amerika sekarang memandang bahwa pemerintahan 

mereka memiliki kewajiban moral untuk membawakan kepada 

negara-negara Dunia Ketiga manfaat demokrasi dan hak asasi 

manusia, sekalipun jika kebaikan-kebaikan ini dihadirkan dengan 

rudal-rudal jelajah dan pesawat-pesawat tempur F-16.

Ide-ide yang disebarkan imperium jarang merupakan kreasi 

eksklusif elite penguasa. Karena visi imperium cenderung 

universal dan inklusif, maka relatif mudah bagi para elite 

imperium untuk mengadopsi ide-ide, norma-norma, dan tradisi￾tradisi dari mana pun yang mereka temukan, ketimbang patuh 

secara fanatik pada satu tradisi tunggal yang sempit. Sekalipun 

sebagian kaisar berusaha memurnikan kultur mereka dan kembali kepada apa yang mereka pandang sebagai akarnya, pada bagian 

terbesarnya, imperium menurunkan peradaban-peradaban hibrida 

yang menyerap banyak dari bangsa jajahannya. Kultur imperium 

Romawi hampir sepadan ke-Yunani-an dan ke-Romawi-annya. 

Kultur imperium Abbasiyah adalah sebagian Persi, sebagian 

Yunani, sebagian Arab. Kultur imperium Mongolia adalah tiruan 

China. Dalam Imperium Amerika Serikat, seorang presiden 

berdarah Kenya bisa mengunyah piza sambil menonton film 

favoritnya, sebuah film epos Inggris tentang pemberontakan 

Arab melawan Turki.

Bukan percampuran kultural ini yang membuat proses 

asimiliasi kultural lebih mudah bagi yang ditaklukkan. Peradaban 

imperium bisa dengan mudah menyerap banyak kontribusi dari 

berbagai bangsa yang ditaklukkan, tetapi hasil hibrida masih 

asing bagi mayoritas besar imperium. Proses asimiliasi sering 

menyakitkan dan traumatik. Tidak mudah untuk melepaskan 

tradisi lokal yang dikenal dan dicintai, sebagaimana sulit dan 

beratnya memahami dan mengadopsi sebuah kultur baru. Lebih 

buruk lagi, bahkan ketika bangsa jajahan berhasil mengadopsi 

kultur imperium, itu butuh waktu beberapa dekade, kalau bukan 

berabad-abad, sampai elite imperium menerimanya sebagai bagian 

dari “kita”. Generasi-generasi antara penaklukan dan penerimaan 

ditinggalkan kedinginan. Mereka sudah kehilangan kultur lokal 

yang dicintai, tetapi mereka belum dibolehkan untuk mengambil 

bagian yang sama dari dunia imperium. Sebaliknya, kultur adopsi 

mereka terus memandang mereka sebagai barbar.

Bayangkanlah seoang Iberia yang berkualitas baik hidup 

seabad setelah jatuhnya Numantia. Dia berbahasa asli dialek Celtic 

dengan kedua orangtuanya, tetapi sudah sempurna menguasai 

Latin, dengan hanya sedikit aksen karena dia membutuhkannya 

untuk menjalankan bisnis dan berhubungan dengan pejabat. Dia 

memanjakan selera istrinya dengan pernak-pernik hiasan rumit, 

tetapi sedikit jengkel karena dia, seperti perempuan-perempuan 

lokal lainnya, mempertahankan citarasa relik Celtic ini—dia akan 

lebih senang kalau istrinya mengadopsi kesederhanaan perhiasan 

yang bersih yang dikenakan istri gubernur Romawi. Dia sendiri 

mengenakan tunik Romawi dan, berkat kesuksesannya sebagai pedagang ternak, berkat keahliannya yang mumpuni tentang 

seluk-beluk hukum Romawi, dia mampu membangun sebuah 

vila bergaya Romawi. Meskipun demikian, walau dia mampu 

melafalkan Buku III Georgic karya Virgil dengan penuh perasaan, 

orang Romawi masih memperlakukan dia sebagi semi-barbar. Dia 

menyadari dengan frustrasi bahwa dia tidak pernah mendapatkan 

penunjukan sebagai pejabat pemerintah, atau salah satu dari 

kursi amfiteater yang sangat bagus.

Pada akhir abad ke-19, banyak orang India terdidik diajari 

pelajaran yang sama oleh tuan-tuan Inggris mereka. Salah satu 

anekdot terkenal menceritakan tentang seorang India ambisius 

yang menguasai seluk-beluk bahasa Inggris, mengambil pelajaran 

tari ala Barat, dan bahkan terbiasa makan dengan pisau dan 

garpu. Berbekal etiket baru itu, dia bepergian ke Inggris, belajar 

hukum di Univesitas London, dan menjadi seorang pengacara 

yang cakap. Namun, ahli hukum muda berkostum jas dan dasi 

itu diturunkan dari kereta api di sebuah koloni Inggris di Afrika 

Selatan karena ngotot ingin naik kereta kelas satu, bukannya 

duduk di kelas tiga, tempat orang-orang kulit berwarna seperti 

dia harus naik. Namanya adalah Mohandas Karamchand Gandhi.

Dalam sejumlah kasus, proses-proses akulturasi dan asimilasi 

pada akhirnya melabrak pembatas antara pendatang baru dan 

elite lama. Yang ditaklukkan tidak lagi memandang imperium 

sebagai sistem penjajahan asing, dan penakluk memandang 

jajahan mereka setara dengan mereka. Para penguasa dan yang 

diperintah sama-sama memandang “mereka” sebagai “kita”. 

Semua jajahan Romawi pada akhirnya, setelah berabad-abad 

kekuasaan imperium, dianugerahi kewarganegaraan Roma. 

Orang-orang non-Romawi bangkit untuk menduduki jabatan 

puncak di korps perwira legiun Romawi dan ditunjuk menjadi 

anggota Senat. Pada 48 M kaisar Claudius mengangkat anggota 

Senat dari kalangan tokoh terkemuka Gallic, seperti dia utarakan 

dalam pidato, “Telah bercampur dengan kita karena kebiasaan￾kebiasaan, kultur dan ikatan-ikatan pernikahan”. Para senator 

yang congkak memprotes pengangkatan para bekas musuh 

ini ke jantung sistem politik Romawi. Claudius mengingatkan 

mereka tentang kebenaran yang tidak nyaman. Sebagian besar
keluarga sentaor mereka adalah keturunan dari suku Italia yang 

dulu berperang melawan Romawi, dan belakangan dianugerahi 

kewarganegaraan Romawi. Malah, kata kaisar mengingatkan, 

keluarganya sendiri berasal dari leluhur Sabine.5

Pada abad ke-2 M, Romawi diperintah oleh sebaris kaisar 

kelahiran Iberia, yang urat-urat nadinya mungkin dialiri paling 

sedikit beberapa butir darah Iberia lokal. Kekuasaan Trajan, 

Hadrian, Antonius Pus, dan Marcus Aurelius umumnya dipandang 

sebagai masa keemasan imperium. Setelah itu, seluruh bendungan 

etnis diruntuhkan. Kaisar Septimius Severus (193–211) adalah 

keturunan keluarga Punic dari Libya. Algebalus (218–222) adalah 

orang Suriah. Kaisar Philip (244–249) mendapat julukan “Philip 

si Arab”. Para warga baru imperium mengadopsi kultur imperium 

Romawi dengan sesemangat itu sehingga selama berabad-abad 

dan bahkan beberapa milenium setelah runtuhnya imperium, 

mereka terus menggunakan bahasa imperium, meyakini Tuhan 

Kristen yang diadopsi oleh imperium dari salah satu Provinsi 

Levantine, dan hidup dengan hukum imperium.

Proses serupa terjadi di Imperium Arab. Ketika didirikan pada 

pertengahan abad ke-7 M, imperium itu didasarkan pada sebuah 

pemisahan tegas antara elite Arab-Muslim dan bangsa-bangsa 

terjajah Mesir, Suriah, Iran, dan Berber, yang bukan Arab dan 

bukan pula Muslim. Banyak jajahan imperium berangsur-angsur 

mengadopsi keyakinan Muslim, bahasa Arab, dan sebuah kultur 

imperium hibrida. Elite Arab lama memandang kaum kaya baru 

ini dengan permusuhan mendalam, takut kehilangan status dan 

identitasnya yang unik. Para pemeluk baru yang frustrasi itu 

menuntut pembagian yang setara dalam imperium dan dalam 

dunia Islam. Pada akhirnya, mereka pun ikut. Orang-orang Mesir, 

Suriah, dan Mesopotamia semakin dipandang sebagai “Arab”. 

Bangsa Arab, pada gilirannya—entah itu Arab autentik dari 

Arabia atau cetakan baru Arab dari Mesir dan Suriah—semakin 

didominasi oleh Muslim non-Arab, terutama oleh orang Iran, 

Turki, dan Berber. Sukses besar proyek imperium Arab adalah 

budaya imperium yang diciptakannya diadopsi dengan sepenuh 

hati oleh banyak bangsa non-Arab, yang terus menjunjung tingginya, mengembangkannya, dan menyebarkannya—bahkan 

setelah imperium asalnya runtuh dan bangsa Arab sebagai satu 

kelompok etnis kehilangan dominion.

Di China, sukses proyek imperium malah lebih tuntas. Selama 

lebih dari 2.000 tahun, satu percampuran kelompok-kelompok 

etnik dan kultural yang pertama-tama disebut barbar sukses 

terintegrasi ke dalam kultur imperium China dan menjadi China 

Han (diambil dari nama Imperium Han yang menguasai China 

dari 206 SM sampai 220 M). Pencapaian puncak dari Imperium 

China adalah bahwa ia masih hidup dan memikat walaupun 

sulit untuk menyebutnya sebagai imperium kecuali di wilayah￾wilayah terpencilnya, Tibet dan Xinjiang. Lebih dari 90 persen 

populasi China memandang diri mereka, dan dipandang oleh 

orang lain, sebagai Han. Kita bisa memahami proses dekolonisasi 

beberapa dekade terakhir ini dengan cara yang serupa. Di masa 

modern, bangsa Eropa menaklukkan banyak bagian dari Bumi 

ini dengan penyamaran menyebarkan kultur Barat yang superior. 

Mereka juga begitu berhasil sehingga miliaran orang pelan-pelan 

mengadopsi bagian-bagian signifikan dari budaya itu. Orang India, 

Afrika, Arab, China, dan Maori belajar bahasa Prancis, Inggris 

dan Spanyol. Mereka mulai meyakini hak asasi manusia dan 

prinsip penentuan nasib sendiri, dan mereka mengadopsi ideologi￾ideologi Barat seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, 

feminisme, dan nasionalisme.

Pada abad ke-20, kelompok-kelompok lokal yang telah 

mengadopsi nilai-nilai Barat mengklaim kesetaraan dengan para 

penakluk mereka dari Eropa atas nama nilai-nilai ini. Banyak 

perjuangan anti kolonial dilancarkan di bawah bendera penentuan 

nasib sendiri, sosialisme, dan hak asasi manusia, yang semua 

itu adalah warisan Barat. Sebagaimana orang-orang Mesir, Iran, 

dan Turki mengadopsi dan mengadaptasi kultur imperium yang 

mereka warisi dari para penakluk dari Arab, demikian pula 

orang India, Afrika, dan China masa kini telah menerima banyak 

bagian dari kultur para bekas tuannya dari Barat, sambil berusaha 

mencetaknya sesuai dengan kebutuhan dan tradisi mereka.
Memang menggoda, membagi sejarah menjadi orang baik dan 

orang jahat, dengan menempatkan semua imperium sebagai 

orang jahat. Lagi pula, hampir semua imperium ini didirikan 

dengan darah, dan mempertahankan kekuasaan mereka melalui 

penindasan dan perang. Meskipun demikian, kebanyakan budaya 

masa kini didasarkan pada warisan-warisan imperium. Jika 

imperium per definisi adalah jahat, lalu bagaimana dengan kita?

Ada beberapa aliran pemikiran dan gerakan-gerakan politik 

yang berusaha menumpas kultur imperialisme manusia sehingga 

menyisakan apa yang mereka klaim sebagai peradaban autentik 

murni, tak ternoda oleh dosa. Ideologi-ideologi ini pada tingkat 

terbaiknya adalah naif; pada tingkat terburuknya adalah kedok 

licik bagi nasionalisme dan kefanatikan yang kasar. Mungkin 

Anda bisa mengajukan sanggahan bahwa sebagian dari kultur￾kultur yang muncul berlimpah pada awal sejarah yang tercatat 

murni, tak tersentuh dosa dan tak terkotori oleh masyarakat￾masyarakat lain. Namun, sejak awal itu pun tak ada kultur yang 

bisa membuat klaim tersebut secara masuk akal, juga kultur 

yang ada di muka Bumi saat ini. Semua kultur manusia paling 

tidak memiliki bagian yang merupakan warisan dari imperium￾imperium atau peradaban-peradaban imperium, dan tak ada 

pembedahan akademis maupun politis yang sanggup memisahkan 

warisan imperium tanpa membunuh pasiennya.

Pikirkan, misalnya, tentang hubungan cinta-benci antara 

republik India masa kini dan Raja Inggris. Penaklukan oleh 

Inggris dan penjajahan India membunuh jutaan orang India, 

dan bertanggung jawab atas penghinaan terus-menerus serta 

eksploitasi ratusan juta lainnya. Meskipun demikian, bangsa 

India mengadopsi, dengan gairah para pemeluk baru, ide-ide 

Barat seperti penentuan nasib sendiri dan hak asasi manusia, 

serta kecewa ketika Inggris menolak untuk menghidupkan nilai￾nilai yang mereka deklarasikan sendiri dengan memberi pilihan 

kepada pribumi India: hak-hak setara sebagai jajahan Inggris 

atau kemerdekaan.
Bagaimanapun, negara India modern adalah anak dari 

Imperium Inggris. Inggris membunuh, melukai, dan menyiksa 

para penduduk anak benua itu, tetapi mereka menyatukan 

sebuah mosaik yang membingungkan kerajaan-kerajaan, daerah￾daerah, dan suku-suku yang saling berperang, menciptakan 

sebuah kesadaran nasional bersama dan sebuah negara yang 

berfungsi kurang lebih sebagai sebuah satu kesatuan politik 

tunggal. Mereka meletakkan fondasi bagi sistem yudisial India, 

menciptakan struktur pemerintahannya, dan membangun jaringan 

kereta api yang penting bagi integrasi ekonomi. Negara India 

merdeka mengadopsi demokrasi Barat, dalam penjelmaan ke￾Inggris-annya, sebagai bentuk pemerintahan. Bahasa Inggris 

masih menjadi bahasa pemersatu (lingua franca) anak benua itu, 

sebuah bahasa netral yang bisa digunakan penutur asli Hindi, 

Tamil, dan Malayalam untuk berkomunikasi. Bangsa India adalah 

pemain cricket dan peminum teh chai yang bersemangat, dan baik 

olahraga maupun minuman itu merupakan warisan dari Inggris.

Perkebunan teh komersial tidak ada di India sampai 

pertengahan abad ke-19, ketika teh diperkenalkan oleh British 

East India Company. Para sahib Inggris-lah yang menyebarkan 

kebiasaan minum teh ke seluruh India.

Berapa banyak orang India kini yang mau menyerukan 

pemungutan suara untuk melepaskan diri mereka dari demokrasi, 

Inggris, jaringan kereta api, sistem legal, cricket, dan teh atas 

dasar bahwa semua itu warisan imperium? Andaipun mereka 

melakukannya, bukankah aksi menyerukan pemungutan suara 

untuk memutuskan isu tersebut menunjukkan mereka berutang 

pada para bekas tuan mereka?

Andaipun kita menolak sepenuhnya warisan sebuah imperium 

brutal dengan harapan merekonstruksi dan melindungi kultur￾kultur autentik yang mendahuluinya, dalam sebuah probabilitas 

yang akan kita bela tak lebih dari warisan satu imperium yang 

lebih tua dan tak kurang brutalnya. Mereka yang membenci 

mutilasi kultur India oleh Raja Inggris tak terelakkan menguduskan 

warisan-wairsan Imperium Mughal dan penaklukan kesultanan 

Delhi. Dan, siapa pun yang berusaha menyelamatkan “kultur 

India autentik” dari pengaruh-pengaruh asing yang dibawa 
253/ 530
imperium Muslim ini menguduskan warisan Imperium Gupta, 

Imperium Kushan, dan Imperium Maurya. Jika kaum nasionalis 

Hindu ekstrem hendak menghancurkan seluruh bangunan yang 

ditinggalkan para penakluk dari Inggris, seperti stasiun kereta 

api utama Mumbai, bagaimana dengan bangunan-bangunan yang 

ditinggalkan oleh para penakluk Muslim, seperti Taj Mahal?

Tak seorang pun tahu bagaimana mengatasi masalah pelik 

warisan kultural ini. Apa pun jalan yang kita tempuh, langkah 

pertamanya adalah mengakui kompleksitas dilema dan menerima 

bahwa pemisahan secara simplistis masa lalu menjadi orang baik 

dan orang jahat tidak akan menuju ke mana-mana. Tentu saja, 

jika kita tidak mau mengakui bahwa kita biasanya mengikuti 

jalan orang jahat.
Sejak sekitar 200 SM, sebagian besar manusia hidup dalam 

imperium-imperium. Tampaknya pada masa depan pun, sebagian 

besar manusia akan hidup dalam satu imperium. Namun, kali 

ini imperiumnya akan benar-benar global. Visi imperium tentang 

dominion atas seluruh dunia bisa dekat.

Begitu abad ke-21 tersibak, nasionalisme dengan cepat 

kehilangan pijakan. Semakin banyak dan semakin banyak orang 

percaya bahwa seluruh umat manusia adalah sumber sah dari 

otoritas politik, ketimbang anggota-anggota nasionalitas tertentu, 

dan bahwa melindungi hak asasi manusia dan melindungi kepentingan seluruh spesies manusia harus menjadi cahaya 

pembimbing politik. Jika demikian, maka memiliki hampir 

200 negara merdeka sebetulnya lebih merupakan penghalang 

ketimbang pendukung. Karena orang Swedia, Indonesia, dan 

Nigeria berhak atas hak asasi manusia yang sama, bukankah lebih 

sederhana untuk melindungi mereka dengan satu pemerintahan 

global tunggal?

Munculnya problem-problem global yang esensial, seperti 

mencairnya gunung-gunung es, menggerogoti apa pun legitimasi 

yang tersisa pada negara-negara bangsa merdeka. Tak ada negara 

berdaulat yang akan sanggup mengatasi pemanasan global 

sendirian. Mandat China dari langit diberikan oleh langit untuk 

mengatasi masalah umat manusia. Mandat modern langit akan 

diberikan oleh umat manusia untuk mengatasi masalah langit, 

seperti lubang lapisan ozon dan akumulasi gas rumah kaca. 

Warna imperium global mungkin akan hijau. Sampai 2013, 

dunia masih terfragmentasi secara politik, tetapi negara-negara 

dengan cepat mendeklarasikan kemerdekaannya. Tak satu pun 

dari negara-negara itu yang benar-benar mampu mengeksekusi 

kebijakan ekonomi secara independen, mendeklarasikan dan 

melancarkan perang sesukanya, atau bahkan menjalankan urusan 

internalnya sendiri yang dianggap pas. Negara-negara semakin 

terbuka kepada mekanisasi pasar global, pada interferensi 

perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi non-pemerintah 

global, dan pada supervisi opini publik global serta sistem 

yudisial global. Negara-negara wajib mematuhi standar-standar 

perilaku finansial, kebijakan lingkungan, dan keadilan global. 

Derasnya aliran modal, buruh, dan informasi mengubah dan 

membentuk dunia, dengan semakin mengabaikan batas-batas 

serta opini-opini negara.

Imperium global yang sedang disatukan di depan mata 

kita tidak diatur oleh satu negara atau kelompok etnis 

tertentu mana pun. Sangat mirip dengan mendiang Imperium 

Romawi, imperium global diperintah oleh satu elite multi etnis, 

dan dipersatukan oleh satu kesamaan kultur dan kesamaan 

kepentingan. Di seluruh dunia, semakin banyak dan semakin 

banyak pebisnis, insinyur, ahli, sarjana, pengacara, manajer 
terpanggil untuk bergabung dalam imperium itu. Mereka pasti 

memikirkan cara menjawab panggilan imperium itu atau tetap 

loyal pada negara dan bangsa mereka. Semakin banyak dan 

semakin banyak yang memilih imperium.

Dalam pasar abad pertengahan di Samarkand, sebuah kota yang 

dibangun di oase Asia Tengah, para pedagang Suriah menjajakan 

sutra-sutra halus China; orang-orang suku dari kawasan padang 

rumput Siberia memajang rombongan baru budak-budak berambut 

jerami dari barat jauh, dan para pemilik toko mengantongi koin￾koin emas mengilap bertera tulisan-tulisan dan gambar eksotis 

raja-raja yang tak dikenal. Di sini, di persimpangan besar antara 

timur dan barat, utara dan selatan, masa itu, penyatuan manusia 

adalah sebuah fakta sehari-hari. Proses yang sama bisa disaksikan 

sedang berjalan ketika angkatan perang Kubilai Khan berderak 

untuk menginvasi Jepang pada 1281. Pasukan kuda Mongolia 

yang berpakaian kulit dan bulu bercengkerama dengan tentara￾tentara infanteri China bertopi bambu, para tentara Korea yang 

mabuk memancing perkelahian dengan pelaut-pelaut bertato dari 

Laut China Selatan, para insinyur dari Asia Tengah menyimak 

dengan rahang merunduk kisah-kisah para petualang Eropa, dan 

semua mematuhi komando satu kaisar tunggal.

Sementara itu, di sekitar Ka’bah di Mekkah, penyatuan 

manusia berlangsung dengan sarana lain. Kalau Anda pernah 

melakukan ibadah haji ke Mekkah, mengelilingi tempat paling 

suci umat Islam itu pada tahun 1300, Anda mungkin merasakan 

berada di tengah-tengah kawan sepesta dari Mesopotamia, dengan 

jubah-jubah mengembang tertiup angin, mata berbinar-binar 

penuh sukacita, dan mulut mereka mengulang satu per satu dari 

99 Asmaul Husna. Tepat di depan Anda mungkin Anda melihat 

seorang tua Turki yang terp anggang cuaca dari kawasan padang 

rumput Asia, jalan terpincang-pincang dengan bertumpu tongkat 

sambil mengusap janggutnya penuh perasaan. Di salah satu sisi 

Anda, perhiasan emas berkilau memancar dari kulit hitam pekat, mungkin dikenakan sekelompok Muslim dari kerajaan Mali, 

Afrika. Aroma cengkih, kunyit, kapulaga, dan garam laut akan 

menandai adanya saudara-saudara dari India, atau mungkin dari 

pulau-pulau rempah-rempah misterius nun jauh di timur.

Kini agama sering dipandang sebagai sumber diskriminasi, 

perselisihan, dan perpecahan. Namun, sesungguhnya agama 

telah menjadi pemersatu terbesar ketiga bagi manusia, selain 

uang dan imperium. Karena semua tatanan sosial dan hierarki 

diimajinasikan, semua itu merupakan struktur-struktur yang 

rapuh. Agama-agama menegaskan bahwa hukum kita bukanlah 

hasil dari ulah manusia, melainkan dititahkan oleh satu otoritas 

absolut dan mahatinggi sehingga menjamin stabilitas sosial.

Dengan demikian, agama bisa didefinisikan sebagai sebuah 

sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia yang didasarkan 

pada keyakinan pada satu tatanan manusia super. Ini mencakup 

dua kriteria yang khas:

1. Agama berpendirian bahwa ada sebuah tatanan manusia 

super, yang bukan produk dari keinginan atau kesepakatan 

manusia. Sepak bola profesional bukanlah agama karena 

terlepas dari banyaknya hukum upacara dan sering 

ritual-ritual aneh, setiap orang tahu bahwa manusialah 

yang menciptakan sepak bola, dan FIFA kapan pun 

bisa memperbesar ukuran gawang atau menangguhkan 

aturan offside.

2. Berdasarkan pada tatanan manusia super ini, agama 

menciptakan norma-norma dan nilai-nilai yang dipandang 

mengikat. Banyak orang Barat kini percaya pada hantu, 

peri, dan reinkarnasi, tetapi keyakinan-keyakinan ini 

bukan sumber standar moral dan perilaku. Karenanya, 

semua itu bukan merupakan agama.

Terlepas dari kemampuannya untuk melegitimasi tatanan 

sosial dan politik yang menyebar luas, tak semua agama meng￾aktualkan potensi tersebut. Dalam rangka mempersatukan sebuah 

teritori yang sangat luas di bawah pengawasannya, sebuah agama harus memiliki dua kualitas lainnya. Pertama, ia harus 

menopang sebuah tatanan universal manusia super, yang selalu 

benar di mana pun. Kedua, agama harus menekankan pada 

penyebaran keyakinan ini kepada setiap orang. Dengan kata lain, 

ia harus universal dan misioner. Agama yang paling terkenal 

dalam sejarah, seperti Islam dan Buddha, bersifat universal dan 

misioner. Akibatnya, orang cenderung meyakini bahwa semua 

agama seperti mereka. Faktanya, mayoritas agama kuno bersifat 

lokal dan eksklusif. Para pengikutnya meyakini dewa-dewa dan 

arwah-arwah, dan tak punya minat untuk menarik semua ras 

manusia menjadi pemeluknya. Sejauh yang kita ketahui, agama￾agama universal dan misioner mulai muncul baru pada milenium 

ke-1 SM. Kemunculan agama-agama itu menjadi salah satu 

revolusi penting dalam sejarah, dan menjadi kontribusi vital bagi 

penyatuan manusia, sangat mirip dengan munculnya imperium￾imperium universal dan uang universal.

Membungkam Domba-Domba

Ketika animisme menjadi sistem keyakinan dominan, norma￾norma dan nilai-nilai manusia harus mempertimbangkan 

sosok dan kepentingan banyak makhluk lain, seperti binatang, 

tumbuhan, peri, dan hantu. Misalnya, satu kawanan pengembara 

di Lembah Gangga mungkin sudah membuat aturan yang 

melarang orang untuk menebang pohon ara yang sangat besar, 

agar arwah penjaga pohon tiak marah dan membalas. Satu 

kawanan pengembara lain yang hidup di Lembah Indus melarang 

orang berburu rubah berekor putih karena rubah berekor putih 

dulunya mengungkapkan kepada seorang perempuan tua bijak 

di mana mereka bisa menemukan obsidian yang bagus.

Agama-agama seperti itu cenderung sangat lokal dalam 

sosoknya, dan menekankan hal-hal unik dari lokasi-lokasi 

tertentu, iklim, dan fenomenanya. Sebagian besar pengembara 

menghabiskan seluruh hidup mereka di satu area tak lebih dari 

1.000 kilometer persegi. Agar bisa bertahan hidup, para penghuni 

satu lembah tertentu perlu memahami tatanan manusia super yang 
mengatur lembah mereka, dan menyesuaikan perilaku mereka 

dengan aturan itu. Tak ada gunanya meyakinkan penguni dari 

lembah yang jauh untuk mengikuti aturan yang sama. Orang￾orang Indus tidak pusing berpikir untuk mengirim misionaris 

ke Gangga untuk meyakinkan penduduk setempat agar jangan 

memburu rubah berekor putih.

Revolusi Agrikultur tampaknya disertai suatu revolusi 

keagamaan. Para pemburu-penjelajah memetik dan mencari 

tumbuhan-tumbuhan serta binatang-binatang liar, yang bisa 

dipandang memiliki status setara dengan Homo sapiens. Fakta 

bahwa manusia memburu domba tidak membuat domba lebih 

rendah derajatnya daripada manusia, sebagaimana fakta bahwa 

harimau memburu manusia tidak berarti manusia lebih rendah 

dari harimau. Makhluk hidup saling berkomunikasi secara 

langsung dan menegosiasikan aturan-aturan untuk mengatur 

habitat bersama mereka. Sebaliknya, para petani memiliki 

dan memanipulasi tumbuhan dan binatang, dan hampir tak 

menurunkan derajat mereka sendiri dengan menegosiasikan 

kepemilikan. Oleh karena itu, efek religius pertama dari Revolusi 

Agrikultur adalah mengubah tumbuhan dan binatang dari anggota 

setara dari sebuah meja bundar spiritual menjadi properti.

Meskipun demikian, ini menciptakan sebuah problem besar. 

Para petani mungkin sudah mengidamkan kontrol absolut atas 

domba mereka, tetapi mereka tahu sepenuhnya bahwa kontrol 

mereka terbatas. Mereka bisa saja mengunci domba dalam 

kandang, mengebiri domba jantan, dan memelihara secara selektif 

domba-domba betina, tetapi mereka tidak bisa memastikan bahwa 

domba-domba itu bunting dan melahirkan anak-anak domba 

yang sehat, tidak pula mereka bisa mencegah ledakan epidemi 

mematikan. Kalau begitu, bagaimana melindungi kesuburan 

ternak?

Satu teori terkemuka tentang asal-usul dewa-dewa ber￾pendapat bahwa dewa-dewa menjadi berarti karena menawarkan 

sebuah solusi pada problem ini. Dewa-dewa seperti dewi 

kesuburan, dewa langit, dan dewa pengobatan mengambil 

posisi penting ketika tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang 

kehilangan kemampuan untuk bicara, dan peran utama dewa￾dewa adalah memediasi antara manusia dan tetumbuhan dan 

binatang-binatang yang membisu itu. Banyak mitologi kuno 

sesungguhnya merupakan kontrak hukum yang di dalamnya 

manusia menjanjikan penyembahan selamanya kepada dewa￾dewa sebagai imbalan untuk penguasaan atas tumbuhan dan 

binatang—bab pertama dari Kitab Kejadian adalah contoh 

sempurna. Selama ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur, 

liturgi keagamaan berisi terutama pengorbanan domba, anggur, 

dan kue kepada kekuatan-kekuatan ilahiah, yang menjanjikan 

sebagai imbalannya panen berlimpah dan hewan-hewan ternak 

yang subur.

Revolusi Agrikultur pada mulanya memiliki dampak yang 

jauh lebih kecil pada status anggota lain sistem animis, seperti 

bebatuan, mata air, hantu, dan setan. Namun, semua ini juga 

secara perlahan kehilangan status, tergeser oleh dewa-dewa 

baru. Selama orang tinggal sepanjang hidup mereka dalam 

teritori terbatas beberapa ratus kilometer persegi, sebagian 

besar kebutuhan mereka bisa dipenuhi oleh arwah-arwah 

setempat. Namun, begitu kerajaan-kerajaan dan jaringan-jaringan 

perdagangan meluas, orang butuh mengontak entitas-entitas 

yang kekuasaan dan otoritasnya mencakup seluruh kerajaan dan 

seluruh area perdagangan.

Upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini membawa 

kemunculan agama-agama politeistik (dari kata Yunani: poly

yang berarti ‘banyak’, theos yang berarti ‘dewa’). Agama-agama 

ini memahami dunia dikuasai oleh sekelompok dewa yang kuat, 

seperti dewi kesuburan, dewa hujan, dan dewa perang. Manusia 

bisa memohon kepada dewa-dewa ini dan para dewa, mungkin, 

jika mereka menerima penyembahan dan pengorbanan, berkenan 

mendatangkan hujan, kemenangan, dan kesehatan.

Animisme tidak sepenuhnya lenyap saat kedatangan 

politeisme. Setan-setan, peri-peri, hantu-hantu, batu-batu suci, 

mata air suci, dan pohon-pohon suci tetap menjadi bagian integral 

dari hampir seluruh agama politeis. Arwah-arwah ini memang 

jauh lebih tidak penting ketimbang dewa-dewa besar, tetapi untuk 

kebutuhan-kebutuhan duniawi kebanyakan masyarakat biasa, 

mereka cukup baik. Sementara raja di ibu kota mengorbankan puluhan domba gemuk kepada dewa perang, bersembahyang 

untuk kemenangan atas kaum barbar, petani di gubuknya 

menyalakan lilin untuk peri penunggu pohon ara, berdoa agar 

dia membantu mengobati putranya yang sakit.

Akan tetapi, dampak terbesar dari bangkitnya dewa-dewa 

besar bukanlah pada domba atau setan-setan, melainkan pada 

status Homo sapiens. Kaum animis memandang bahwa manusia 

hanya salah satu dari banyak makhluk yang menghuni dunia. 

Kaum politeis, di sisi lain, semakin jauh memandang dunia 

sebagai sebuah cerminan dari hubungan antara para dewa dan 

manusia. Doa-doa kita, pengorbanan-pengorbanan kita, dosa￾dosa kita, dan kebajikan-kebajikan kita menentukan nasib dari 

seluruh ekosistem. Sebuah banjir dahsyat mungkin menyapu 

miliaran semut, belalang, kura-kura, rusa, jerapah, dan gajah, 

hanya karena beberapa Sapiens bodoh membuat para dewa marah. 

Oleh karena itu, politeisme tidak hanya memuliakan status para 

dewa, tetapi juga status manusia. Para anggota yang kurang 

beruntung dari sistem animis lama kehilangan kedudukannya 

dan menjadi entah hiasan-hiasan ekstra atau bisu dalam drama 

besar hubungan manusia dengan para dewa.

Manfaat Pemujaan Berhala

Selama 2.000 tahun cuci otak oleh paham monoteis menyebabkan 

sebagian besar orang Barat melihat politeisme sebagai pemujaan 

berhala yang bodoh dan kekanak-kanakan. Ini adalah stereotipe 

yang tidak adil. Agar memahami inti dari logika politeisme, 

diperlukan penyerapan ide penopang keyakinan pada banyak 

dewa.

Politeisme tidak dengan sendirinya menentang eksistensi 

satu kekuatan atau hukum tunggal yang mengatur seluruh alam 

semesta. Faktanya, agama-agama yang paling politeis dan animis 

mengakui kekuatan tertinggi semacam itu yang berdiri di belakang 

semua dewa yang berbeda-beda, setan-setan, dan batu-batu suci. 

Dalam politeisme klasik Yunani, Zeus, Hera, Apollo, dan kolega￾kolega mereka adalah bawahan dari satu kekuatan mahakuasa dan mencakup segala hal—Nasib (Moira, Ananke). Dewa-dewa 

Nordik juga merupakan budak nasib, yang menumpas mereka 

dalam bencana Ragnarök (Senjakala Para Dewa). Dalam agama 

politeistik Yoruba di Afrika Barat, semua dewa dilahirkan dari 

dewa tertinggi Olodumare, dan tetap patuh kepadanya. Dalam 

politeisme Hindu, satu pemimpin tunggal, Atman, menguasai 

banyak dewa dan arwah, manusia, dan dunia biologis serta fisik. 

Atman adalah esensi abadi atau jiwa dari seluruh alam semesta, 

di samping arwah setiap individu dan setiap fenomena.

Makna fundamental dari politeisme, yang membedakannya 

dari monoteisme, adalah bahwa kekuatan tertinggi yang mengatur 

dunia terbebas dari kepentingan-kepentingan dan bias-bias, dan 

karena itu tidak berurusan dengan hasrat-hasrat, kepedulian, 

dan kecemasan duniawi manusia. Tidak ada gunanya meminta 

kepada kekuatan ini kemenangan perang, kesehatan, atau hujan 

karena dari titik kedudukannya yang meliputi segala hal, ia 

tidak membedakan apakah satu kerajaan tertentu menang atau 

kalah, apakah sebuah kota tertentu makmur atau terpuruk, 

apakah seseorang tertentu sembuh atau mati. Orang Yunani 

tidak membuang sia-sia pengorbanan demi Nasib, dan Hindu 

tidak membangun kuil untuk Atman.

Satu-satunya alasan untuk mendekati kekuatan tertinggi alam 

semesta adalah menahan segala nafsu dan menerima keburukan 

dengan kebajikan—bahkan menerima kekalahan, kemelaratan, 

sakit, dan kematian. Oleh karena itu, sebagian orang Hindu, 

yang dikenal sebagai Sadhus atau Sanyasis, membaktikan 

hidup mereka untuk bersatu dengan Atman sehingga mencapai 

pencerahan. Mereka kokoh memandang dunia dari sudut pandang 

prinsip fundamental ini, untuk menyadari bahwa dari perspektif 

keabadiannya seluruh hasrat dan kecemasan duniawi adalah 

fenomena yang tak bermakna dan tak kekal.

Meskipun demikian, sebagian besar orang Hindu bukanlah 

Sadhus. Mereka tenggelam di kedalaman rawa urusan duniawi, 

di mana Atman tidak banyak membantu. Untuk mendapatkan 

pertolongan dalam urusan-urusan semacam itu, orang-orang 

Hindu mendekati para dewa yang memiliki kekuatan-kekuatan 

parsial. Tepat karena kekuatan-kekuatan mereka parsial, dan tidak mencakup semua hal, dewa-dewa seperti Ganesha, Lakshmi, 

dan Saraswati memiliki kepentingan-kepentingan dan bias. Oleh 

karena itu, manusia membuat kesepakatan-kesepakatan dengan 

kekuatan-kekuatan parsial ini dan bergantung pada bantuan 

mereka agar bisa menang perang dan sembuh dari sakit. Dengan 

sendirinya ada banyak kekuatan seperti ini yang lebih kecil karena 

begitu Anda mulai membagi-bagi kekuatan yang menyeluruh dari 

kekuatan tertinggi, Anda tak terelakkan sampai ke lebih dari 

satu dewa. Oleh karena itu, hadirlah pluralitas dewa.

Pemahaman mendalam politeisme kondusif untuk toleransi 

religius dengan cakupan luas. Karena kaum politeis percaya, di 

satu sisi, pada kekuatan tunggal dan sepenuhnya tidak memihak, 

dan di sisi lain percaya pada banyak kekuatan parsial yang bias, 

tidak ada kesulitan bagi para pemeluk satu Tuhan untuk menerima 

eksistensi dan kemanjuran dewa-dewa lainnya. Politeisme secara 

inheren berpikiran terbuka, dan jarang mengadili kaum “bidah” 

dan “kafir”.

Bahkan, ketika kaum politeis menaklukkan imperium￾imperium besar, mereka tidak berusaha menjadikan bangsa 

jajahannya pemeluk baru. Bangsa Mesir, Romawi, dan 

Aztec tidak mengirim misionaris ke tanah-tanah asing untuk 

menyebarkan penyembahan Osiris, Jupiter, atau Huitzilopochtli 

(dewa tertinggi Aztec), dan mereka sudah pasti tidak mengirim 

angkatan perang untuk tujuan itu. Bangsa-bangsa jajahan dalam 

imperium diharapkan menghormati dewa-dewa dan ritual-ritual 

imperium karena dewa-dewa dan ritual-ritual ini melindungi 

dan melegitimasi imperium. Namun, mereka tidak diharuskan 

meninggalkan dewa-dewa dan ritual-ritual lokal mereka. Dalam 

Imperium Aztec, bangsa jajahan diwajibkan membangun kuil-kuil 

Huitzilopochtli, tetapi kuil-kuil ini dibangun bersandingan dengan 

dewa-dewa lokal, bukan menggantikannya. Dalam banyak kasus, 

elite imperium sendiri mengadopsi dewa-dewa dan ritual-ritual 

bangsa jajahannya. Orang-orang Romawi dengan senang hati 

menambahkan dewi Asia Cybele dan dewi Mesir Isis dalam 

jajaran dewa mereka.

Satu-satunya dewa yang lama ditolak orang Romawi adalah 

tuhan monoteistik dan evangelis Kristen. Imperium Romawi tidak mengharuskan orang Kristen meninggalkan keyakinan 

dan ritual mereka, tetapi diharapkan menghormati dewa-dewa 

pelindung imperium dan keilahian kaisar. Ini dipandang sebagai 

deklarasi loyalitas politik. Ketika orang-orang Kristen gigih 

menolak melakukannya, dan terus menolak semua upaya untuk 

berkompromi, orang Romawi bereaksi dengan menganiaya orang 

yang mereka anggap sebagai faksi subversif politik. Bahkan, ini 

dilakukan dengan setengah hati. Dalam 300 tahun sejak penyaliban 

Kristus sampai konversi Kaisar Konstantin, para kaisar politeis 

Romawi menginisiasi tak lebih dari empat penyiksaan umum 

terhadap orang Kristen. Para administrator dan gubernur lokal 

menghasut kerusuhan anti-Kristen. Tetap saja, jika kita gabungkan 

semua korban dari semua penyiksaan itu, ternyata bahwa dalam 

tiga abad tersebut, kaum politeis Romawi membunuh tak lebih 

dari beberapa ribu orang Kristen.1

 Sebaliknya, dalam 1.500 tahun 

kemudian, orang Kristen membantai orang Kristen sampai jutaan 

orang untuk mempertahankan interpretasi yang sedikit berbeda 

dari agama cinta dan kasih itu.

Perang agama antara Katolik dan Protestan yang melanda 

Eropa pada abad ke-16 dan ke-19 benar-benar sangat kejam. 

Semua yang terlibat mengakui keilahian Kristus dan ajaran 

cinta dan kasih-Nya. Kaum Protestan percaya bahwa cinta ilahi 

begitu agung sehingga Tuhan menjelmakan diri dalam daging 

dan membiarkan Dirinya disiksa dan disalib sehingga menebus 

dosa asal dan membuka gerbang surga bagi seluruh umat yang 

beriman kepada-Nya. Orang Katolik menganggap keyakinan itu 

memang esensial, tetapi tidak cukup. Untuk memasuki surga, 

umat beriman harus berpartisipasi dalam ritual-ritual gereja dan 

melakukan kebajikan-kebajikan. Orang Protestan menolak untuk 

menerima ini, dengan alasan bahwa quid pro quo*

 ini mengecilkan 

kebesaran dan kasih Tuhan. Siapa pun yang berpikir bahwa 

masuk surga bergantung pada kebajikannya berarti membesarkan 

makna dirinya, dan berimplikasi bahwa penderitaan Kristus di 

tiang salib dan kasih Tuhan pada manusia tidak cukup
Perselisihan teologis ini berubah menjadi begitu beringas 

sehingga pada abad ke-16 dan ke-17, orang Katolik dan Protestan 

saling bunuh sampai ratusan ribu. Pada 23 Agustus 1572, orang￾orang Katolik Prancis yang menekankan pentingnya kebajikan 

menyerang komunitas Protestan Prancis yang mengedepankan 

kasih Tuhan pada umat manusia. Dalam serangan itu, Hari 

Pembantaian Santo Bartholomew, antara 5.000 sampai 10.000 

orang Protestan dibantai dalam waktu kurang dari 24 jam. 

Ketika Paus di Roma mendengar kabar dari Prancis itu, dia 

begitu gembira sehingga menyelenggarakan doa untuk merayakan 

peristiwa tersebut dan menugasi Giorgio Vas