Tampilkan postingan dengan label Popular 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Popular 5. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Popular 5

 




u tahu apa jawab Tribuana Tunggadewi .” 

“Oh ya? Kira-kira apa?” 

 221 

“Ini...,” arwah mpu sindok  melayangkan kakinya yang 

bersepatu, dan dengan keras mendarat di selangkangan 

lelaki itu. Sementara yang jadi korban tendangan karatenya 

meliuk ke lantai warung, arwah mpu sindok  menambahkan: “Enak 

ya, punyamu dijilat sepatu?” 

Malam sudah jatuh saat  arwah mpu sindok  tiba di 

Cikudapateuh. 

Ia berkeliaran tak menentu, masuk gang keluar gang, 

bertanya sana bertanya sini dengan hati-hati – sangat 

memalukan kalau orang tahu ia mencari seorang pelacur, 

kelas pinggiran lagi: kelas pinggiran kereta api! Gagal 

mencari, ia pulang ke hotel. Mandi. sesudah  itu, kembali lagi 

ke Cikudapateuh, hampir saja tertabrak kereta api malam, 

dan akhirnya bertemu seorang pelacur muda. Pelacur itu 

habis kencing di selokan. Pelacur itu berkata sesuatu tentang 

laki-laki di tempat tidurnya yang ia sebut kerbau, baru saja 

memuntahkan ‘lahar’nya kemudian tidur mendengkur. 

arwah mpu sindok  diajak masuk. Ia menolak, dan menyebutkan 

bahwa ia mencari seseorang perempuan tua bernama Tribuana Tunggadewi . 

“Nenek sihir itu?” si pelacur muda bergidik seram. 

“Jadi Oom lebih suka ditemani tidur nenek sihir itu? Astaga! 

Ia akan menghisap Oom sampai habis!” 

namun  mau juga ia menunjukkan gubuk Tribuana Tunggadewi . 

“Anjing! Orang lagi enak-enak mimpi!” itulah makian 

Tribuana Tunggadewi  yang ia dengar saat  arwah mpu sindok  minta dibukai pintu. 

Dan di bawah sorotan lampu listrik 25 watt, arwah mpu sindok  

dengan hati yang hancur luluh melihat bukti nyata dari 

lukisan sket rekan sejawatnya, bukti yang juga diucapkan si 

pelacur muda tadi. Yang berdiri setengah membungkuk di 

 222 

hadapan arwah mpu sindok  bukan seorang dewa penulis . Melainkan, 

seorang nenek sihir! 

“Kau...,” mulut nenek sihir itu ternganga. “Kau bukan 

dia...” 

arwah mpu sindok  paham maksud si perempuan. Wajahnya 

memang mirip dengan wajah Bambang Prakoso, ayahnya. 

Namun ia bertanya juga untuk meyakinkan: “Dia siapa, bu?” 

arwah mpu sindok  menyebut ‘ibu’ sebab  pengaruh dari penampilan 

bekas dewa penulis  itu. 

“Bambang. Tidak. Kau bukan Bambang...” 

“Memang bukan!” jawab Bambang, tersedak. 

“Siapa kau?” 

“Anaknya!” 

Perempuan itu kelihatannya shock sesaat . Apalagi 

sesudah  dijelaskan oleh arwah mpu sindok , bahwa kekasih tercinta 

Tribuana Tunggadewi  yakni Bambang Prakoso, telah meninggal dunia. Luar 

biasa reaksi Tribuana Tunggadewi . Tiba-tiba ia mengamuk. Tiba-tiba 

tubuhnya yang tampak lemah, mampu menjungkir balikkan 

kursi dan meja, bahkan mammpu merobek-robek daun 

pintu. Habis mengamuk, Tribuana Tunggadewi  jatuh pingsan. 

“Tribuana Tunggadewi ... Tribuana Tunggadewi , bu Tribuana Tunggadewi !” arwah mpu sindok  

menghambur menolong perempuan itu naik ke dipan 

berkasur tak tentu warna, berbau apek menyesakkan rongga 

hidung. Tetangga sekitar berdatangan dengan ribut. Cukup 

lama waktu berlalu sebelum bekas dewa penulis  itu siuman 

dari pingsannya. Mulanya, ia masih meronta-ronta histeri. 

Rontaannya baru terhenti, sesudah  arwah mpu sindok  

berbisik di telinganya: “Tenanglah ratu lesbi . Aku akan 

membawamu pulang, ratu lesbi .” 

 223 

Mendengar namanya yang asli disebut sedemikian 

lembut dan intim, perempuan tua itu langsung memeluk 

arwah mpu sindok  dan meratap setengah sadar: “Bambang-ku, oh 

Bambang kekasihku!” 

saat  mata semua yang hadir memandanginya 

dengan heran, arwah mpu sindok  tersenyum. 

Aneh. Ia tidak lagi merasa malu! 

 

*** 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 224 

BAB EMPAT – AKHIR PERJALANAN 

Dua puluh empat 

 

ratu lesbi  terus saja bergayut di lengan arwah mpu sindok  

sampai mereka berdua tiba di hotel. Mulutnya tak pula 

berhenti berkicau. Ia menyebut-nyebut arwah mpu sindok  

kekasihnya tercinta, pujaan hatinya tersayang, buah hatinya 

seorang. Lain saat ia bilang arwah mpu sindok  sebagai Bambangnya 

yang malang, Bambangnya yang patut dikasihani. 

Bambangnya yang harus dimaafkan.  

Sekali ia menceracau: “Kau terlalu setia pada 

isterimu. Terlalu manja pada anak-anakmu. Ayo, kita lupakan 

mereka sesekali. Kita bercumbu. Kita lepaskan rindu yang 

sudah lama kita pendam. Kita nikmati berahi yang sudah 

lama kita hindari. Ayo – kita buang kepura-puraan tolol 

selama ini. Kau mengingini aku, bukan? Aku, lebih-lebih lagi. 

Kuingin keperkasaan tubuhmu menghancurkan aku sampai 

tak bersisa. Dan kau, akan kubuat lupa pada alam 

sekelilingmu. Kau akan...” 

Ia juga mengingatkan percintaan mereka yang 

sangat mengasyikkan dulu, di antara pepohonan sawit, di 

sela-sela rerumputan ilalang. “Alangkah tolol, kita tidak 

melakukannya sejak dulu-dulu...” celotehnya. 

Turun dari becak, perubahan suasana dari gubuknya 

yang gelap dan mesum di Cikudapateuh dengan suasana 

hotel yang cemerlang dan romantis, membuat igauannya 

kian menggila. “Aku tahu, Bambang. Aku tahu. Kau bawa aku 

 225 

ke tempat ini, sebab  kau pun akhirnya tak tahan lagi ingin 

segera menggumuliku...” 

Masuk ke kamar yang sudah dipesan arwah mpu sindok  

siang harinya, ratu lesbi  berjingkrak, menari-nari gembira seperti 

gadis remaja yang baru pertama kali menerima surat cinta. 

“Aku siap, sayangku!” ia setengah menjerit histeri. 

“Tunggulah, aku mandi dulu sebentar. Akan kurias wajahku 

lebih cantik. Dan kau, siramilah ranjang pengantin kita itu 

dengan parfummu yang terharum. Tralala-trilili...” dan ratu lesbi  

benar-benar menyelinap ke kamar mandi. 

Sejenak arwah mpu sindok  kebingungan. Kemudian 

membatin: “Biarkanlah dia dengan impian-impiannya yang 

memabukkan.” Lalu ia meraih telepon, menghubungi bagian 

pelayanan hotel, minta dipanggilkan dokter. Untung hotel itu 

punya dokter sendiri, dan rumahnya pun cuma 50 meter 

jaraknya dari hotel. Meski sudah dini hari, dokter bergegas 

datang memenuhi panggilan. Ia telah muncul di pintu kamar 

arwah mpu sindok , sebelum keluar dari kamar mandi. 

“Mana pasiennya?” ia bertanya sesudah  dibukakan 

pintu. 

arwah mpu sindok  menggerakkan dagunya ke arah kamar 

mandi. Dari balik pintu kamar mandi, terdengar nyanyian 

sendu seorang perempuan tua: “Kalau kau tahu ... isi hatiku, 

air matamu ... jadi penawar rindu... Belai daku, semesra 

dulu... cumbulah aku sepuas hatimu...” 

Dokter mendengarkan sejenak, kemudian berujar 

segan: “Maaf. Kukira aku salah masuk kamar,” lalu berputar 

mau berlalu. 

 226 

“Jangan pergi, dokter,” arwah mpu sindok  menahannya. Ia 

lalu menceritakan persoalan yang dihadapinya secara 

ringkas. “Bantuan dokter sungguh-sungguh sangat 

dibutuhkan,” katanya. 

Dokter mulanya ragu-ragu. Namun keraguannya 

segera lenyap sesudah  ratu lesbi  keluar dari kamar mandi. Tubuh 

kurusnya hanya berlapis sehelai handuk saja. ratu lesbi  tak malu-

malu akan keadaan dirinya, dan dengan riang berkata pada 

arwah mpu sindok : “Oh, sayangku. Rupanya kita kedatangan tamu 

ya?” 

arwah mpu sindok  membimbing ratu lesbi  ke tempat tidur. 

Menyuruh perempuan tua itu berbaring. Sambil lalu ia 

menerangkan: “Tamu kita ini seorang dokter, ratu lesbi . Ia ingin 

meyakinkan apakah kau sehat-sehat saja.” 

“Oh begitu? Aku bersih, Bambangku sayang. Untuk 

kau seorang, aku selalu berusaha agar bersih sampai ke yang 

paling dalam...” ia tertawa meringkik, namun  mau juga 

mematuhi permintaan arwah mpu sindok , yang segera mengerling 

pada dokter. 

Dokter itu segera mendekati tempat tidur. Ia 

membuka tas, mengeluarkan peralatan untuk memeriksa 

denyut jantung dan dada ratu lesbi . Ia juga kemudian memeriksa 

mata serta rongga mulut. Lalu dari tasnya ia keluarkan alat 

suntik serta ampul berisi cairan bening. “Disuntik ya?” 

katanya lembut sopan. “Biar Anda rilek...” 

“Bagus. Bagus!” ratu lesbi  mendesak senang. “Untuk 

bercinta dengan seorang kekasih, kita memang harus rilek...” 

ia masih memuntahkan serentet kalimat yang memerahkan 

telinga, sementara dokter menyuntiknya. 

 227 

“Nah. Selesai sudah. Tak terasa sakit, bukan?” 

“Oleh suntikan itu? Ah, tak ada artinya dokter. Nanti 

aku akan disuntik Bambang-ku pula. Alat suntiknya, pasti 

akan membuat dokter cemburu... Hai dokter. Awas ya. 

Jangan ngintip. Mendengar dari balik pintu, boleh-boleh saja. 

Kalau birahi dokter naik sampai ke ubun-ubun, tinggal bilang 

– dan aku... aku akan mencoba... mencoba...,” suara ratu lesbi  

makin lemah, makin sayup. Kemudian ia jatuh tertidur. 

Dokter sekali lagi melakukan pemeriksaan ulang. 

Ujarnya lirih, “Ia sudah tenang sekarang.” 

“Keterangan lain?” tanya arwah mpu sindok  cemas. 

“Ia mengalami kejutan mental. namun  begitu ia 

bangun, kejutan itu akan hilang dengan sendirinya.” 

“Kapan kira-kira ia akan bangun?” 

“Paling cepat besok siang. Mungkin sore, mungkin 

pula malamnya. Tergantung pada kondisi fisiknya...” 

“Apakah ia cukup kuat menempuh perjalanan jauh?” 

“Sambil tidur?” 

“Ya.” 

“Tak dapat kupastikan. Sejauh mana?” 

“Jakarta.” 

“Kalau sejauh Jakarta saja, kukira ia akan kuat. 

Kusarankan, agar ia diselimuti tebal-tebal. Jangan singgah-

singgah di jalan. Jangan pula dia sampai terguncang-

guncang.” 

“Terima kasih, dokter.” 

“Memang aku yakin, ia baru sadar besok siang. 

Namun untuk berjaga-jaga, Anda akan kubekali beberapa 

butir pil...,” kata dokter seraya mengeluarkan dari tasnya 

 228 

botol kecil berisi pil-pil yang ia maksudkan, sambil 

menerangkan penggunaan dan manfaatnya. 

“Terima kasih sekali lagi, dokter,” arwah mpu sindok  

menerima botol berisi pil itu. Dari saku celananya ia 

keluarkan dompet untuk mengambil uang. 

Segera dokter mencegah. “Pasienku yang satu ini,” 

katanya, “... kelihatannya dia telah menempuh perjalanan 

menyedihkan hampir sepanjang hidupnya. Aku sebenarnya 

ingin membantu lebih banyak. namun  Anda rupanya 

bergegas...” Ia memandangi tubuh memelas di tempat tidur. 

Menyambung: “Aku sarankan, pergunakanlah setiap sen 

yang Anda punya untuk membahagiakan dia selama sisa-sisa 

akhir hayatnya... Kukira, waktunya tak lama lagi!” 

arwah mpu sindok  terdiam mendengar kalimat terakhir 

dokter itu. Pikirannya melayang jauh. Teringat penyesalan 

ayahnya: “ratu lesbi  di ambang kehancuran... aku sangat 

berdosa. Tak dapat menolong dia di saat-saat ia 

membutuhkannya!” Terngiang pula cerita bu Tribuana Tunggadewi : “... non 

Del tak mau berpisah terlalu jauh dari kekasihnya – ia punya 

naluri bahwa apabila kematian datang menjelang – kalau 

tidak mati bersama, maka matinya salah seorang akan segera 

disusul yang lainnya...” 

“Maha Besar Engkau ya Allah... Ampunilah dosa-

dosa kami!” ia bergumam, getir. Dan saat  ia berpaling, 

dokter sudah menghilang dari kamar. Dengan sekujur tubuh 

bahkan jiwanya terasa amat letih, ia meraih telepon sekali 

lagi untuk memesan taksi. 

Sambil berkemas-kemas ia memandangi ratu lesbi  di 

tempat tidur. 

 229 

Perempuan itu sudah diselimuti baik-baik. Ia 

kenakan pula pakaian ratu lesbi  yang oleh seseorang di 

Cikudapateuh sempat dikumpulkan dan dijejalkan dalam 

sebuah kantong plastik. 

ratu lesbi  terlelap. Pulas. 

Bibir tuanya yang berkeriput, mengulas senyum. 

“Tentulah ia bermimpi ketemu dengan kekasihnya,” 

pikir arwah mpu sindok , terharu. 

Pintu kamar kemudian diketuk. Pelayan 

memberitahu bahwa taksi sudah menunggu di bawah. 

 

*** 

 

 

Dua puluh lima 

 

Meski masih lemah, ratu lesbi  benar-benar sudah sadar 

kalau ia kini ada di rumah nyonya besar , si bungsu. Sebaliknya, 

diperlukan waktu tidak sedikit untuk menyadarkan 

nyonya besar , bahwa perempuan kurus kering berwajah tak 

sedap dipandang itu, sebenarnyalah kakak kandungnya 

sendiri. Si bungsu mekar indah di perkebunan Sawit 

Seberang, si dewa penulis  mempesona yang meratui hotel-

hotel terkemuka di Jakarta. saat  menangis kakaknya 

tercinta yang kini rusak poranda itu, nyonya besar  sempat 

pingsan. Syamsiah tak henti-hentinya meratap menyesali 

diri. Sedang Parlindungan, sesudah  tiga jam lebih duduk 

seperti orang hilang ingatan, segera berangkat ke kantor pos 

 230 

untuk mengetok telegram ke Medan: “ratu lesbi  sudah 

ditemukan!” 

Suasana berkabung sesudah  ditinggal mati Bambang 

Prakoso, justru terasa semakin panjang dengan kehadiran 

ratu lesbi  yang sedemikian rupa menyedihkan. Ia menolak 

dibawa ke rumah sakit. “Dalam tidurku, kulihat Bambang 

melambai dari balik kabut. Ia menungguku!” katanya. 

Ada baiknya Syamsiah dan Parlindungan tidak segera 

pulang sesudah  Bambang Prakoso dimakamkan. Tahu bahwa 

mereka sengaja tinggal lebih lama sebab  penasaran ingin 

bertemu muka dengan si anak hilang yang dulu terkutuk, 

ternyata banyak membantu. ratu lesbi  terdorong untuk jangan 

terlalu pasrah menghadapi kematian. 

“Ajal memang tak dapat ditolak,” Parlindungan 

bernasihat. “namun  kalaupun ajal itu akhirnya datang, 

sambutlah dengan jiwa yang tenteram, dengan hati yang 

damai...” 

saat  diberitahu bahwa Lukman sudah 

memaafkannya, ratu lesbi  tertawa getir. “Aku atau dia yang 

harus dimaafkan?” Kegetirannya baru lenyap sesudah  ia lihat 

perut NYI girah  yang membesar. “Jadi kau akan 

memberikan seorang cucu untuk aku ya?” desahnya. 

NYI girah  tertawa gembira. Ia lalu memberikan 

surprisenya. “Ini bakal cucumu yang ketiga, Uwa Del. Dua 

yang lain, nantilah kuperkenalkan...” 

“Yang ketiga? Astaga! Rasanya baru kemarin siang 

kau kudengar kawin! Kok menggebu-gebu begitu? Apa tidak 

ikut KB?” 

 231 

“Dua yang terdahulu semua perempuan, Uwa Del. 

Jadi bapaknya anak-anak, membuntingi aku lagi. Ia ingin 

punya anak laki-laki. Dia bilang, bukan seorang ayah 

namanya kalau tidak punya anak laki-laki. Tak mau dia 

marganya tak bisa diturunkan!” 

“Begitu ya? Ayo. Panggil dia kemari. Biar kujewer 

teliganya! Apa anak perempuan tak berhak diakui, he?!” 

Tentu saja Parlaungan buru-buru datang, buru-buru 

pula meminta maaf. Ia berusaha membela diri. Katanya: 

“Kita kan orang Batak. Jadi tanpa anak perempuan...” 

“Lalu, siapa yang melahirkan kau Laung?” 

“Yaa... ibuku, dong.” 

“Apakah ibumu itu laki-laki?” 

“Yaa... perempuan dong.” 

“Dan meski ia perempuan, ia tetap saja orang Batak, 

bukan? Tetap saja ia anak nenekmu, bukan anak nenekku!” 

“Aduh!” Parlaungan jadi salah tingkah. 

sesudah  dokter menjamin bahwa ratu lesbi  lumayan 

sehat, Parlindungan pamit untuk pulang ke Banjarmasin. 

Begitu pula Syamsiah. Seolah punya naluri, dari Medan 

datang telegram balasan. Lukman mengatakan dalam 

telegramnya: “Maafkan adikmu yang bodoh ini. Kudoakan 

segera sembuh.” 

“Nah, itu baru saudara namanya,” ujar ratu lesbi  senang. 

Kesehatannya pun dari hari ke hari semakin pulih. Ia 

sangat senang saat  bu Tribuana Tunggadewi  datang tergopoh-gopoh dari 

Pangandaran, menangis tersedu-sedu sambil menciumi 

tangan majikannya, dan berkata memohon: “Perkenankan 

aku terus mengabi padamu, non Del.” 

 232 

“Terima kasih, Tribuana Tunggadewi . Mestinya permintaan 

semacam itu datangnya justru dari pihakku. Bagaimana 

perkembangan usahamu? Apa kabar anak-anak serta cucu-

cucumu?” Lalu sesudah  Tribuana Tunggadewi  menceritakan serba sedikit, 

ratu lesbi  mengeluh: “Aku pun sudah punya banyak cucu 

sekarang. Sialan benar, mereka menyuruh aku supaya jadi 

nenek-nenek!” 

Ia kemudian mulai mau diajak berjalan-jalan keluar 

rumah. Tak keberatan mengujungi sanak keluarga terutama 

dari pihak Bambang Prakoso. namun  ia menolak diajak terlalu 

dekat dengan hotel-hotel tertentu, tak mau pula diajak 

minum di bar, atau nonton di bioskop. Melewati nite-club, 

wajahnya akan berubah muak.  

Ia paling rajin ziarah ke makam Bambang Prakoso. 

Tiap kali tak pernah ia lupa membawa setangkai mawar 

putih. “Terimalah lambang cinta suci kita, sayangku,” 

bisiknya setiap meletakkan bunga mawar putih itu di depan 

batu nisan kekasihnya. 

Ia juga senang mengobrol dengan NYI girah . Dan 

selalu berlari-lari menyongsong kalau melihat arwah mpu sindok  

datang berkunjung dari Ciamis. “Mengapa tidak pindah saja 

ke Jakarta, Yanto?” ia mengeluh. 

Ponakannya menjawab: “Ingin sih ingin, Uwa Del. 

namun  kan ada aturan permainannya.” 

“Hem. Kau benar. Coba, kalau aku masih seperti 

dulu. Masih dewa penulis . Relasiku banyak, bukan orang 

sembarangan. Aku tinggal angkat telunjuk, dan mereka akan 

segera lari kucar-kacir untuk memenuhi permintaanku. 

 233 

Hem... barangkali saja masih ada seorang dua di antara 

mereka yang bisa kumintai tolong.” 

“Sudahlah, Uwa Del. Kau sekarang kan sudah nenek-

nenek!” arwah mpu sindok  mengingatkan. 

“Ya. Betul juga kau,” wajah ratu lesbi  berubah murung. 

Sebentar kemudian cerah lagi. Ia bertanya: “Kau kapan pula 

memberikan seorang cucu untuk aku?” 

“Tak tahulah, Uwa Del.” 

“Belum berpikir untuk mengambil seorang isteri?” 

“Tak ada yang mau.” 

“Dusta besar! Kau kira Bambang Prakoso tidak 

pernah mengomel padaku mengenai kelakuanmu ya? 

Jangan-jangan, anakmu sudah berceceran dimana-mana. 

Hayo, ngaku!” 

“Sungguh, Uwa Del.” 

“Hem. Kau patah hati ya?” sebab  arwah mpu sindok  

sempat terbungkam, ratu lesbi  lantas menegur. “Kau bukan laki-

laki, kalau perempuan membuatmu patah hati. Oh ya, sambil 

lalu, siapa kiranya gadismu yang telah berlaku kejam itu?” 

Mulanya arwah mpu sindok  tidak mau mengaku. namun  

dalam kunjungan berikutnya, ia terpojok oleh ucapan ratu lesbi . 

“Aku sudah ngobrol dengan ibumu. Ronggolawe -kah orangnya?” 

“Dia tidak...” 

“Dia sudah! Sudah berhasil menjatuhkanmu. Apa 

yang terjadi nak?” 

Pancingan ratu lesbi  mengena. Suara ratu lesbi  yang lembut, 

dan tatap matanya yang bersinar penuh kasih, membuat 

arwah mpu sindok  mati kuti. Untuk pertama kali ia membuka 

rahasianya pada orang lain. Itupun sesudah  lebih dulu ia 

 234 

celingak sana celinguk sini untuk meyakinkan tak ada pihak 

ketiga yang berlaku curang: nguping diam-diam. 

“Aku dulu memang suka gonta-ganti pacar. namun  

gadis pertama yang pernah kujamah tubuhnya, baru Ronggolawe ...” 

“Kau apakan dia?” 

“Tak kuapa-apakan, Uwa Del. Ia keburu mens!” 

“Astaga. Lalu?” 

“Suatu hari, waktu aku masih kadet polisi di 

Semarang, kami bertemu lagi. Kali ini, kami berbuat lebih 

jauh...,” dan sesudah  bercerita pada ratu lesbi , arwah mpu sindok  

bukannya menyesal atau malu hati. Malah dadanya yang 

selama ini sumpek, mendadak terasa lapang. Ganjalan yang 

menakutkan itu sirna begitu saja. 

“Jadi kau memberi dia dua pilihan,” ratu lesbi  

bergumam, sesudah  lama termenung untuk mencerna 

pengakuan ponakannya. “Lalu pilihan mana yang diambil 

Ronggolawe ?” 

“Wah. Mana pula aku tahu, Uwa Del. Tak pernah lagi 

kudengar tentang dia,” jawab arwah mpu sindok , rikuh. 

“Kau sih. sesudah  kau cicipi kesegaran tubuhnya, 

lantas kau lupakan. Dasar laki-laki.” 

“Nanti dulu, Uwa Del. Aku...” 

“Buktinya, kau tak pernah berusaha mencari dia. 

Paling sedikit, mencari keterangan mengenai apa 

pilihannya!” 

“Iya ya...” 

“Nah. Mau mencarinya kelak?” 

“Wah, bagaimana ya? Ia sudah punya suami...” 

“Kalau itu pilihannya!” 

 235 

“Maksud Uwa, Ronggolawe  telah minta cerai?” 

“Itu pilihan kedua!” 

“namun ...” 

“Percuma berdebat. Yang penting, cari dan temukan. 

Kau akan melaksanakan pekerjaan itu dengan mudah. Jauh 

lebih mudah ketimbang waktu kau mengemban amanat 

ayahmu: cari dan temukan ratu lesbi . Wahai. Tak percuma aku 

punya ponakan macam kau. Dan tak sia-sia aku dan ayahmu 

selama ini menjaga kesucian hubungan kami...” 

Lantas ia bercerita tentang apa yang sebelumnya 

sudah didengar arwah mpu sindok  dari bu Tribuana Tunggadewi . Hanya kisah yang 

diutarakan ratu lesbi  lebih mendetil. Misalnya, ia menjelaskan 

keanehan hubungan cinta mereka. “Kami juga manusia 

biasa, Yanto. Manusia dengan segala kelemahannya. 

Manusia yang suatu saat bisa lupa diri, bisa tergoda. Ciuman 

bibir, contohnya. Betapa pun kuatnya iman seseorang, 

ciuman di bibir apalagi di bibir sang kekasih, pasti 

menimbulkan getaran-getaran. Awalnya sih cuma getaran 

kasih sayang, getaran bahagia, getaran suka cita. Namun bila 

dilakukan semakin lama, semakin berubah getaran itu. 

Timbullah birahi. Lalu sekali getaran birahi itu mulai 

menggoda, setan pun akan menari-nari di kepala. Dan apalah 

daya seorang manusia, manakala setan jahanam sudah 

merajalela...!” 

Kemudian ia juga menjelaskan mengenai sikap 

Bambang Prakoso mengenai hubungan cinta antara 

NYI girah  dengan Parlaungan. “Itu juga pengaruh setan,” 

katanya. “Setan yang menciptakan kebencian teramat 

sangat dalam jiwa ayahmu kepada orang-orang sedaerah 

 236 

kami; orang Batak. Sebenarnya kalau kita tilik dalam-dalam, 

ayahmu tidak membenci Batak-nya. Yang ia benci hanya 

nenekmu perempuan, yakni ibuku. Hanya suatu kebetulan 

saja, nenekmu itu orang Batak 

Nenekmu, juga belum tentu bersalah. Yang salah 

adalah lingkungan di mana nenekmu lahir. Lingkungan 

dimana nenekmu hidup dan menghidupinya. Lingkungan itu 

kita sebut tradisi, atau adat istiadat. Kita memang dapat 

merubah kebiasaan orang seorang hari ini atau besok lusa. 

namun  merombak suatu tradisi apalagi yang sudah mendarah 

daging, bukan saja diperlukan tempo. Juga sangat diperlukan 

ketabahan, keberanian, mungkin juga – kekuasaan!” 

“Kekuasaan? Kekuasaan macam apa?” tanya 

arwah mpu sindok  berminat. 

“Orang-orang berpengaruh, nak. Orang-orang 

berpendidikan, banyak makan asam garam dunia. Dan 

orang-orang itu, baik ia sudah tua maupun masih semuda 

engkau, haruslah berani mengakui kesalahan, haruslah jujur 

terhadap dirinya sendiri. Bisa juga, kekuasaan lewat 

pengaruh agama. Nyatanya, sudah tak aneh lagi kita 

mendengar. Bukan saja di Batak, namun  juga di daerah-

daerah lain. Mereka konon fanatik dalam soal agama, tahu 

setiap huruf isi Kitab Suci. namun  sebagian mereka yang 

katanya fanatik agama itu, kalau sudah berhadapan dengan 

adat, maka agama ditempatkan di urutan kedua...” 

“Tuhan kan di atas segala-galanya, Uwa Del?” 

“Benar, nak. namun  namanya juga manusia. Kau 

misalnya. Apakah saat  pertama kali kau menjamah tubuh 

 237 

Ronggolawe  yang sudah bugil total, kau teringat Tuhan? Lalu kau 

batalkan niat jahatmu?” 

arwah mpu sindok  dengan malu mengakui: “Peristiwa itu 

tak terjadi, sebab  ia keburu mengeluarkan darah.” 

“Bagaimana yang kedua kali? Kau tahu ia punya 

suami. namun  kau lakukan juga, meski aku percaya kau 

senantiasa melakukan sholat lima waktu sehari semalam...” 

Melihat arwah mpu sindok  sesak nafas sebab  tak mampu 

lagi membantah, ratu lesbi  cepat menimpali lagi: “Orang ber-

Tuhankah engkau, Yanto, saat  kau berikan dia dua pilihan 

namun tak kau periksa pilihan mana yang diambil Ronggolawe ?” 

“Aku bersalah,” gumam arwah mpu sindok , menyerah. 

“Kupikir, ia tentunya akan memilih suaminya. Hal itu pun 

tidaklah terlalu kusalahkan. Waktu aku akan 

meninggalkannya, kukira aku telah menghina dia dengan 

membuat pilihan berbahaya itu.” 

“Berbahaya, nak?” ratu lesbi  geleng kepala. “Kalau 

begitu, kau memang belum tahu apa itu cinta murni, cinta 

sejati. Kau lebih tak tahu lagi, apa yang dapat diperbuat 

orang. Seorang wanita yang dilanda cinta murni dan sejati 

itu. Wanita yang dalam keadaan seperti itu, dapat berbuat 

hal-hal yang akan membuat kalian kaum lelaki, tercengang 

setengah mati...”  

ratu lesbi  menarik nafas panjang. Lanjutnya getir: “Dan 

itulah yang kuperbuat, saat  ayahmu muncul lagi dalam 

kehidupanku sesudah  aku jadi pelacur, sesudah  aku dikucilkan, 

dibenci, dikutuk habis-habisan oleh keluargaku. Aku 

kemudian teringat suratnya yang kuterima saat  aku masih 

 238 

punya suami. Ayahmu bilang: suatu saat kita akan bertemu, 

akan bercinta lebih mesra, lebih syahdu! 

Dan itulah yang kami perbuat. 

Kami bercinta lebih mesra. Lebih syahdu dari yang 

kami alami selagi masih remaja. Semacam cinta yang tidak 

dikotori oleh naluri seksuil. Kecuali ayahmu punya isteri, dan 

isteri ayahmu justru adik kandungku sendiri. Kuakui, 

terkadang kami ingin melakukannya. namun  waktu itu hampir 

terjadi, kami berdua sudah lebih dewasa, sudah lebih matang 

dan sudah lebih tahan menghadapi penderitaan. Lalu kami 

berpikir, apakah hanya sebab  kenikmatan seksuil satu dua 

jam, harus porak poranda cinta suci yang kami bina sekian 

belas tahun?” 

“Itu sebabnya Uwa Del menyuruh papa menikahi 

mama?” 

“Itu lain lagi nak. Sudah kubilang, aku ini pelacur. Aku 

ini dengan sendirinya sudah bergelimang dosa, bergelimang 

kotoran, bergelimang kenistaan. Sedang ayahmu waktu itu, 

masih suci bersih, polos tanpa noda. Tidak. Ia tidak boleh 

kecipratan dosa-dosaku, kotoranku, kenistaanku. sebab  itu 

ia kusarankan untuk memilih jodoh yang lebih sesuai dengan 

dirinya. namun  ia bilang, ia hanya mencintai aku seorang. Ia 

bilang, ia tidak ingin dipisahkan dari aku oleh hadirnya pihak 

ketiga. Lantas kubilang, mengapa tidak kau ambil nyonya besar ? 

nyonya besar  suci bersih, polos, tak ternoda seperti aku. Dan 

dengan menikahi nyonya besar , kau tetap tidak terpisahkan dari 

aku. Kau tetap bisa mencintaiku... sebab  aku tahu, siapa itu 

nyonya besar , si bungsu kesayanganku dan sangat 

menyayangiku.” 

 239 

“Lalu mengapa kau tidak lantas menghentikan saja 

pekerjaanmu yang... yang lain itu, Uwa Del?” 

“Yang menjijikkan, maksudmu,” ratu lesbi  tersenyum pahit. 

“Begini nak. Sekali kau menjalani suatu kehidupan, dan kau 

sadar kehidupan itu telah mengusaimu, tak mau 

melepaskanmu lagi – apa yang kau perbuat? Kemudian, kau 

juga sadar bahwa kau sudah hancur, sudah bobrok, sudah 

busuk sebusuk-busuknya? Kemudian lagi; kau coba 

melarikan diri, namun  di tempat pelarianmu kau tak mampu 

berbuat apa-apa. sebab  di tempat itu, kau tidak punya 

keahlian lain, tidak punya pengetahuan untuk dapat 

menolong agar kau tetap hidup?!”  

Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan, 

arwah mpu sindok  perlu waktu untuk memikirkan jawabannya. 

ratu lesbi  menambahkan pula: “Jadilah aku terpaku di tempatku 

berdiri. Dan di situ, aku dapat tetap hidup, dapat 

bergemilang kemewahan. Memang, cuma itu yang boleh 

kumiliki. Seperti tadi kukatakan, di dalam aku ini hancur, 

bobrok, busuk. Namun setidak-tidaknya aku masih dapat 

bernafas. Aku masih berhak pula menikmati cinta kasih dan 

belaian sayang seseorang. Bambang Prakoso, ayahmu.” 

arwah mpu sindok  termenung. Lama berpikir. Lantas: 

“Bukankah Uwa Del pernah lari? Yakni, sesudah  Uwa Del 

mendengar bahwa aku tahu siapa itu Tribuana Tunggadewi , siapa itu Uwa 

Del?” 

“Aku sangat ketakutan, nak. Takut kau membenci 

dan mengutuk aku pula, seperti keluargaku pernah 

membenci dan mengutuk aku. Juga aku takut, sebab  aku 

masa depanmu terancam hancur – ah, ah, ya. Kini baru aku 

 240 

tahu, pikiranku itu ternyata keliru. namun  yah, waktu itu 

maklumlah. Aku begitu panik. Lalu aku mencoba lari. Lari dari 

kehidupanku sebelumnya. namun  kemudian di tempat 

pelarianku, aku terbentur pada dinding tebal yang tak 

mampu kurobohkan. Aku bisa lari dari seseorang. namun  aku 

tak akan pernah bisa lari dari kenyataan!” 

“Lalu Uwa Del terjerumus lagi.” 

“Aku kehabisan uang. Itu mulanya. Kemudian, 

pengaruh suntikan silikon yang pernah kujalani, makin terasa 

akibatnya. Suntikan itu... Eh, apakah kau tahu apa yang 

kumaksud?” 

“Tahu sedikit. Dari seorang sahabat di rumah sakit 

Ciamis,” lalu arwah mpu sindok  menceritakan secara ringkas 

pembicaraannya dengan dokter bedah yang ia maksud. 

“Apakah papa juga mengetahuinya?” 

“Tidak, nak. Suntikan itu kujalani, memang sesudah  

aku bertemu lagi dengan ayahmu. Begitu aku dikucilkan dan 

dikutuk habis keluarga – aku jatuh sakit cukup lama, cukup 

parah. Dengan bantuan beberapa teman, aku dapat sembuh 

kembali. namun  sesudah  itu, aku mulai lupa menjaga diri, 

menjaga kondisi – sebab  aku sudah hilang harapan. Dengan 

cepat, tubuhku yang kurus kering sebab  sakit, berubah jadi 

gemuk menyebalkan. Wajahku pun tampak semakin jelek. 

Laki-laki yang sebelumnya bersedia mencium telapak kakiku 

untuk kuhadiahi kenikmatan jasmani, pelan-pelan berpaling 

pada perempuan lain. Keuanganku dengan sendirinya 

terancam. Dan sebelum aku habis betul, kuturuti anjuran 

seorang teman untuk menjalani suntikan silikon itu. Pada 

 241 

saat itu, belum dikenal adanya silikon padat, apalagi 

pembedahan plastik. 

Dokter yang merawatku dengan tarif sangat mahal 

berkata kalau aku beruntung punya pola dasar wajah yang 

dari sananya sudah cantik. Ia mengusulkan pembuangan 

lemak. Aku menolak. sebab  dengan suntikan silikon aku 

dapat merubah bentuk-bentuk tertentu di wajahku. Aku 

ingin tampi sebagai seorang yang baru! 

Waktu aku masih sakit, aku bersembunyi dari 

ayahmu. Tak ingin aku menyusahkannya. sesudah  aku 

sembuh, tiba-tiba aku dijangkiti suatu keinginan yang luar 

biasa. Suatu hasrat yang tak bisa kukendalikan. Aku jelek dan 

menyebalkan lelaki. Lalu aku kuatir, ayahmu akan bersikap 

serupa. Maka dalam persembunyianku, suntikan silikon 

itupun kujalani. Dengan harapan, ayahmu – seperti juga 

banyak lelaki lainnya, akan tetap mengagumiku, tetap 

mengejar aku, tak akan pernah meninggalkan aku lagi. Tahu 

apa yang terjadi, sesudah  kami bertemu kemudian?” 

arwah mpu sindok  menggelengkan kepala. 

ratu lesbi  tidak melihat gelengan kepala ponakannya. Ia 

tengah ditelan lamunannya. Katanya: “Ayahmu sempat 

jengkel. Dia bilang... ia lebih menyukai wajahku yang lama. 

Mengapa kau jadi macam ini, Del? Kau apakan wajahmu, 

Del? Aku tetap merahasiakannya. sebab  toh pada akhirnya, 

ia juga menyukai penampilanku yang berbeda. Tepatnya, 

bagaimanapun juga penampilanku... hati ayahmu 

terhadapku. Tak pernah berubah.” 

ratu lesbi  lagi-lagi menarik nafas panjang. Katanya: 

“Kembali pada pertanyaanmu semula. Aku kehabisan uang, 

 242 

sedang pengaruh suntikan silikon itu kian terasa. Bukan saja 

menimbulkan perasaan sakit. namun  wajahku juga semakin 

tembem, hampir-hampir mirip monster...” 

“Mirip nenek sihir!” arwah mpu sindok  nyelutuk, syukur 

cuma di hati. 

“Maka dengan sisa uang yang masih kumiliki,” lanjut 

ratu lesbi  kembali. “Aku kemudian pulang lagi ke Jakarta. Aku 

pergi ke sebuah klinik di kawasan Pluit. Dokter di klinik itu 

memeriksa wajahku, meneliti perkembangan tubuhku. 

Kemudian ia bilang, cairan silikon itu telah menyatu, telah 

bersenyawa dengan daging, otot, sel-sel darah, urat-urat 

saraf. Memang masih dapat dibedah plastik, namun  hasilnya 

tidak dapat ia jamin. Selain itu, tarifnya sungguh membuat 

aku sakit jantung. Maka aku kembali lagi ke Bandung. 

Berusaha keras mengumpulkan uang untuk dapat menjalani 

bedah plastik. namun  aku kemudian dirampok orang. Aku 

jatuh ke tangan seorang germo, yang memaksaku kawin 

dengannya namun  kutolak mentah-mentah. Dia menghinaku 

pula, jadi aku lekas-lekas menyingkir. Semenjak itu, aku 

semakin jatuh, semakin terperosok... Dan aku sudah hampir 

tidak mengenal lagi siapa diriku sebenarnya, saat  kau 

datang ke gubukku yang  mesum di pinggir rel kereta api 

itu...” 

arwah mpu sindok  tidak menceritakan bahwa ia telah 

membalaskan sakit hati ratu lesbi  pada sang germo. Ia cuma 

berkata: “Aku gembira dapat menemukanmu.” 

“Betapa besar terima kasihku padamu, arwah mpu sindok . 

Dan ketahuilah, meski kekasihku sudah mati, aku masih 

 

dapat menikmati kebahagiaan dengan adanya kau, kakakmu, 

dan ibumu... nyonya besar ku sayang, nyonya besar ku malang.” 

Namun ratu lesbi  sendiri sudah mengaku. Di dalam ia 

hancur, bobrok, busuk. Kenyataan itu tak dapat ia bantah. 

Kebahagiaan yang dinikmati ratu lesbi  tanpa kehadiran 

kekasihnya, cuma ia nikmati sekitar setengah tahun. Suatu 

malam, tanpa ada pertanyaan sebelumnya, ratu lesbi  meninggal 

dunia di tempat tidurnya. Dan ia meninggal jelas penuh 

dengan siksaan azab sengsara. Rupanya malam itu seisi 

rumah sudah tidur. Dari sejumlah petunjuk yang dipelajari 

arwah mpu sindok  sesudah  diberitahu mengenai kematian ratu lesbi , 

dapat diambil gambaran peristiwanya sebagai berikut: ratu lesbi  

mengambil air minum ke dapur untuk melancarkan pil-pil 

yang harus ia telan. Di dapur, ia merasakan sakit pada bagian 

dalam tubuhnya. Gelas berisi air masih sempat ia letakkan di 

meja dapur. Gelas itu terguling, isinya tumpah. Kemudian ia 

merayap ke kamar tidurnya. Ia melewati kamar tidur 

nyonya besar , namun entah mengapa tak mau minta tolong 

pada adiknya itu. Ia merayap terus ke kamar tidurnya sendiri. 

Sempat menjangkau ples berisi pil namun terjatuh dari 

tangannya. Tubuhnya lalu mengejang dengan hebatnya. Ia 

mati dengan sebelah tangan mencengkeram kaki tempat 

tidur. Sebelah lagi masih berusaha menggapai pil-pil yang 

berserakan. Matanya melotot hampir keluar dari rongganya. 

Mulut menyeringai seram, pertanda betapa mengerikan 

azab yang harus ditanggungnya.  

Dokter yang memeriksa jenazahnya kemudian 

menjelaskan: “Dia rupanya ingin meninggal tanpa 

menyusahkan orang lain.” 

 244 

Sungguh suatu keajaiban. nyonya besar  tidak histeri 

sebab nya. Ia pandangi jenazah kakaknya, lantas berkata 

pada anak-anaknya: “ratu lesbi  kini sudah bertemu dengan 

kekasihnya.” 

sesudah  mengucapkan pernyataan yang lugu itu, 

barulah nyonya besar  meneteskan air mata. 

 

 

 

ratu lesbi  tidak pergi begitu saja. Ia sangat berterima 

kasih pada ponakannya, dan ingin membalasnya. ratu lesbi  

diam-diam mengerjakan sesuatu menjelang akhir hayatnya. 

Sesuatu yang mestinya semenjak dulu-dulu dikerjakan 

sendiri oleh ponakannya, arwah mpu sindok . 

Di rumah ada telepon. Jadi ratu lesbi  bebas 

berhubungan ke luar. Saking seringnya, nyonya besar  pernah 

menyindir: “Asyik benar. Dengan siapa nih? Pacar ya?” 

Jawab ratu lesbi  pendek saja: “Teman lama.” 

nyonya besar  beberapa kali menerima telepon yang 

aneh. Ia mengatakan pada kakaknya: “Tadi ada yang 

menelepon. sesudah  kubilang kakak masih tidur, telepon 

lantas diputuskan. Dia bilang, namanya si Perkutut. Siapa 

sih?” 

Jawabannya sama: “Teman lama.” 

Uang, juga tidak jadi persoalan buat ratu lesbi  meski ia 

tidak lagi menjalani bisnis seksnya. nyonya besar  tak pernah 

 245 

lupa memberi. Mulanya ditolak oleh ratu lesbi . namun  nyonya besar  

selalu ngomel: “Habis? Dibelikan kebaya, maunya rok 

terusan. Dibelikan sandal kulit, maunya sandal jepit. 

Dibelikan makanan enak-enak, maunya yang dibuatkan 

Tribuana Tunggadewi . Sudah, terima saja uang ini. Beli sendiri deh 

keperluanmu biar cespleng!” 

NYI girah  pun tak lalai memberikan uang. Kalau 

ditolak, NYI girah  marah-marah. “Uwa Del ini bagaimana 

sih? Baiklah. Uwa Del menolak uangku. Jadi lain kali, jangan 

harap Uwa Del kuperkenankan bermain-main dengan 

cucumu!”  

Yah, mau apalagi? ratu lesbi  sebenarnya tidak 

membutuhkan uang sesudah  ia tinggal menetap dengan 

nyonya besar . Namun begitu ia teringat untuk membalas budi 

baik ponakannya, tiba-tiba ia menjadi boros dengan 

uangnya. 

Hanya Tribuana Tunggadewi  seorang yang tahu untuk apa uang itu 

dipergunakan majikannya. Pelayan yang setia itu menutup 

mulutnya rapat-rapat kalau ditanya. Sehingga Raden Wijaya  

misalnya, seringkali dibuat tak habis mengerti. Mengapa 

Tribuana Tunggadewi  bertengkar hebat dengan seorang lelaki tua bangka 

namun  perlente dan bertampang pengusaha. Atau pada siapa 

Tribuana Tunggadewi  berkunjung, dan mengapa setiap kali habis berkunjung 

Tribuana Tunggadewi  memperlihatkan wajah atau sikap yang teramat 

serius. Raden Wijaya  hanya tahu bahwa ia beberapa kali dipanggil 

ratu lesbi . “Nih, uang untuk beli bensin, beli rokok. Tapi tolong 

ya antarkan  ke suatu tempat.” Dan saat  suatu hari 

Raden Wijaya  penasaran menguntit Tribuana Tunggadewi  masuk ke sebuah gang 

sempit berliku-liku, dengan maksud ingin menemani – eh, 

 246 

malah ia dimarahi habis-habisan oleh pelayan itu. Di 

belakang hari, barulah Raden Wijaya  diberitahu Tribuana Tunggadewi : “Non Del 

lebih dulu ingin memastikan dugaannya tidak meleset. 

sesudah  semua jelas, nanti baru aku boleh buka rahasia...” 

Mengenai laki-laki tua bangka yang naik pitam itu, Tribuana Tunggadewi  di 

belakang hari menjelaskan: “Ya, siapa pula yang tidak naik 

pitam kalau ditanya: Benarkah aku sudah dicerai oleh bini 

mudamu yang cantik itu?!” 

sesudah  terbukti dugaannya tidak meleset, ratu lesbi  

gembiranya bukan main. Ia menginterlokal ke Ciamis: 

“arwah mpu sindok . Maukah kau kuajak bertemu dengan 

seseorang?” 

“Siapa, Uwa Del?” 

“Wah. Kalau kuberitahu sekarang, nggak rame dong. 

Pokoknya kalau mau, datanglah ke Jakarta.” 

“Bilangin dong!” 

“Nggak usah ya!” 

“Uwa Del kok gitu ya?” 

“Habis? Kau sih. Jual mahal. Mau nggak?” 

“Kalau Uwa Del memaksa...” 

“Tak ada paksaan, nak. Aku juga cuma ngajak kok.” 

“Iya deh. namun  mungkin aku baru bisa ke Jakarta 

akhir bulan depan. Nggak apa-apa kan?” 

“Kutunggu, arwah mpu sindok !” 

namun  macam-macam penyakit yang sudah 

membusuk dalam tubuh ratu lesbi  tidak mau menunggu. Ia 

keburu meninggal sebelum sempat arwah mpu sindok  memenuhi 

ajakannya. Namun ia tidak mati sia-sia. Diam-diam ia 

 

mengerjakan sesuatu, ingin membuat keponakannya 

tersayang itu surprise. 

Memang surprise! 

Sepulang dari pemakaman ratu lesbi , arwah mpu sindok  melihat 

seseorang keluar dari kamar tidur dan saat  mata mereka 

bertemu, arwah mpu sindok  merasa seakan tengah bermimpi. 

Mulutnya terbuka, menyebut sebuah nama yang sering ia 

panggil dalam mimpinya. Namun yang keluar dari mulutnya 

hanya desahan nafas yang hampir tidak terdengar. 

Orang yang berdiri di hadapannya, berkata lebih 

dulu: “Maaf. Aku terlambat mengetahui Uwa ratu lesbi  sudah 

tiada. Aku baru datang, dan...” 

Antara sadar dan tidak, arwah mpu sindok  bergumam: 

“Pilihan mana yang kau ambil, Ronggolawe ?” 

Yang ditanya, menjawab lirih: “Benih-benihmu. 

Benih yang kau tanamkan di rahimku!” 

arwah mpu sindok  menjilat bibir. Terbata-bata, ia bertanya: 

“Laki-laki... atau perempuan, Ronggolawe ?” 

“Laki-laki.” 

arwah mpu sindok  mendadak tersenyum. Katanya, bangga: 

“NYI girah  pasti cemburu. Anaknya yang ketiga, lagi-lagi 

perempuan!” Ia kemudian menyadari sesuatu, dan bertanya 

dengan suara gemetar: “Mana dia, Ronggolawe ?” 

“Siapa?” Ronggolawe  balas bertanya. Takut mendengar apa 

jawaban arwah mpu sindok . Ketakutannya lenyap sesaat  

manakala arwah mpu sindok  menjawab:  

“Anakku. Mana dia?” 

“Barusan kutidurkan di kamar,” jawab Ronggolawe , lembut. 

 248 

arwah mpu sindok  langsung menghambur ke kamar, 

melewati Ronggolawe  yang mengawasi tingkah arwah mpu sindok  dengan 

air mata berlinang. Demikianlah caranya mereka bertemu 

kembali. Tidak ada ucapan-ucapan mesra, tidak ada 

rengekan cengeng, tidak ada ucapan cinta. Ronggolawe  dan 

arwah mpu sindok  bukan lagi Ronggolawe  dan arwah mpu sindok  yang dulu. Kini 

mereka sudah lebih dewasa. Mereka juga sudah memasuki 

lembaran hidup baru yang lebih matang. Ronggolawe  sebagai ibu, 

arwah mpu sindok  sebagai ayah. 

Itu terjadi, berkat ratu lesbi .  

Dugaan bekas dewa penulis  itu memang tidak meleset. 

Lewat bantuan bekas teman-teman lama ratu lesbi  memperoleh 

alamat suami Ronggolawe . sesudah  itu, Tribuana Tunggadewi  yang mengerjakan. 

Dengan menempuh resiko dipermalukan orang Tribuana Tunggadewi  

berhasil membuktikan bahwa sepulang dari Jogja dulu, Ronggolawe  

langsung tidak mau disetubuhi suaminya. Ronggolawe  sengaja 

membuat macam-macam kegaduhan sehingga sang suami 

akhirnya terpaksa menceraikannya. 

Sesuai perjanjian mereka sebelum menikah, Ronggolawe  

meninggalkan rumah sang suami tua bangka namun  kaya raya 

itu, dengan hanya membawa pakaian miliknya beberapa 

lembar, sedikit uang tabungan hasil menyisihkan uang 

belanja dapur, dan beberapa gram perhiasan peninggalan 

ibunya – yang kemudian meninggal selagi menjalani 

perawatan di rumah sakit jiwa. Berkat bantuan salah seorang 

bekas teman arisan ibunya, Ronggolawe  diterima bekerja sebagai 

pelayan toko. Gajinya tidak seberapa, namun  cukuplah untuk 

menghidupi diri sendiri. saat  Tribuana Tunggadewi  berhasil melacaknya, 

 249 

Ronggolawe  masih bekerja di toko yang sama namun  dengan gaji 

yang lebih memadai. 

Tribuana Tunggadewi  tidak langsung memperkenalkan diri pada 

Ronggolawe . Tribuana Tunggadewi  justru mendekati pelayan lain di toko itu. sesudah  

dua tiga kali berbelanja – apa saja, asal belanja – Tribuana Tunggadewi  

menjadi akrab dengan si pelayan dan berhasil memancing 

keterangan dari mulutnya. Oh dia? Kudengar sih sudah 

janda. Apa, kawin lagi? Rasanya mustahil! Dilirik laki-laki pun 

ia tak sudi... 

Alamat rumah Ronggolawe  pun berhasil didapatkan Tribuana Tunggadewi . 

Ronggolawe  menyewa kamar di sebuah rumah petak setengah 

tembok dan suasana sekelilingnya serba hiruk pikuk. Gang 

masuknya sempit, berliku-liku pula. Sekali kita kurang teliti, 

tahu-tahu sudah terjebak masuk dapur rumah orang. Pemilik 

rumah percaya bahwa Tribuana Tunggadewi  ‘ingin mencari kamar untuk 

seorang cucu yang suka hemat’; namun  sayang semua kamar 

sudah terisi, entah lain kali. Oh, yang kamarnya resik itu? 

Yang menempatinya bernama Ronggolawe . Oh dia memang sudah 

janda, kok tahu? Tidak-tidak, ia bukan perempuan semacam 

itu. Biar sudah janda, masih muda, cantik pula lagi – wah ia 

akan berubah galak bukan main kalau ada laki-laki yang coba-

coba mengganggu! 

sesudah  lengkap sudah keterangan yang 

diperolehnya dan yakin semua keterangan itu benar, barulah 

ratu lesbi  sendiri yang turun tangan. Ia mendatangi Ronggolawe  secara 

pribadi, memperkenalkan siapa dirinya, dan bertanya 

apakah Ronggolawe  masih mencintai arwah mpu sindok . 

Jawab Ronggolawe : “Kalau tak cinta, benih-benih yang ia 

tanam di rahimku tak akan kubiarkan hidup.” 

 250 

“Kau bersedia kawin dengan dia, Ronggolawe ?” 

Ronggolawe  mengeluh: “Pertanyaan itu bukan untukku. 

Pertanyaan itu lebih pantas diajukan pada ponakan ibu!” 

“Aku dapat menjamin dia,” sahut ratu lesbi  tegas. 

“Tinggal jawaban dari engkau yang menentukan.” 

“Mana mungkin aku kawin dengan dia? Aku janda. 

Aku miskin. Ibuku pernah masuk rumah sakit jiwa!” 

“Kau janda atau kau miskin, bukan persoalan. sebab  

kalian sudah terikat pertalian bathin dengan lahirnya anak 

itu. Soal ibumu pernah masuk rumah sakit jiwa, memang 

agak rumit. namun  kupikir, orang yang sakit jiwa, jauh lebih 

terhormat dari seorang pelacur!” 

“Pelacur? Siapa yang melacur?” 

“Aku. Uwanya arwah mpu sindok !” ratu lesbi  menahan nafas. 

“Kalau keterusteranganku ini membuat kedudukan 

ponakanku jatuh di matamu, silahkan. Lupakan sajalah 

arwah mpu sindok ...” 

“Hal itu tak merubah apa-apa,” jawab Ronggolawe , tegas.  

“Kau yakin?” 

“Yakin.” 

“Kau siap menerima arwah mpu sindok ?” 

“... aku siap menerima ayah dari anakku.” 

“Terima kasih, Ronggolawe .” 

“Akulah yang berterima kasih.” 

“Bukan kau. namun  aku. Sebelum aku meninggal – 

dan aku yakin hal itu tak akan lama lagi – aku ingin melakukan 

sesuatu untuk ponakanku. Selamat tinggal, Ronggolawe .” 

“Selamat jalan, Uwa ratu lesbi .” 

 251 

Mereka saling melambai. Lalu berpisah. Untuk 

selama-lamanya! 

 

*** 

 

saat  menziarahi makam ratu lesbi , Ronggolawe  menangis dan 

berkata tersendat pada arwah mpu sindok : “Aku baru sekali 

mengenalnya. Itu pun cuma sebentar. namun  harus kuakui, 

aku sangat berterima kasih dan sayang padanya.” 

arwah mpu sindok  tersenyum. Katanya: “Itulah buktinya, 

Ronggolawe . Bukti, bahwa seorang dewa penulis !” 

Mereka kemudian berlalu. Berlalu bersama 

datangnya angin senja yang sepoi-sepoi basah. Angin senja 

itu membelai lembut dua batu nisan yang letaknya 

berdampingan. Di batu nisan yang satu, tertulis nama 

Bambang Prakoso Joyodipuro. Di batu nisan sebelahnya 

tertulis nama, yang akan membuat orang harus berpaling 

sekali lagi untuk kembali membacanya: ratu lesbi , dewa penulis  

Tersayang. 

Seorang dewa penulis  memang harus dilihat sekali lagi. 

Lagi. 

Dan lagi.