Tampilkan postingan dengan label kudeta 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kudeta 6. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

kudeta 6

yes yang menggambarkan betapa lembaga tertinggi  perwakilan rakyat‘ itu berisi dengan orang orang yang hanya bisa mengatakan  yes kepada Soekarno. Soekarno yang marah, bersama 
soebandrio  , melontarkan tuduhan bahwa aksi aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh Nekolim. 
namun   berbeda dengan masa pra G30S, pada saat itu tudingan seperti  itu sudah  hilang 
keampuhannya dan tidak lagi memicu  gentar mereka yang dianggap . Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala dan bukannya  membersihkan kabinetnya dari unsur unsur Kom, malah dalam reshuffle kabinet 24 Pebruari ia  memasukkan beberapa  tokoh yang dianggap sebagai simpatisan PKI seperti Oei Tjoe Tat SH dari Baperki. Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di Jakarta  turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu lintas. Mobil mobil  dikempeskan bannya sehingga menteri menteri  yang akan dilantik terhambat ke istana. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga  ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah  terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan memicu   gugurnya  Arief Rahman Hakim dan  memicu   luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti  Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu lalu  dan jenazahnya 
dikirim kepada orangtuanya di Bandung. Dalam insiden sehari sebelumnya, sudah  juga  jatuh 
korban 9 mahasiswa yang menderita luka berat sebab  peluru pasukan Cakrabirawa “Tanggal 10 Maret, wakil wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan  di sana partai partai ini   untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku 
opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan 
pernyataan yang tidak membenarkan tindakan tindakan yang dilakukan para mahasiswa 
dan para pelajar dan  pemuda”. ”Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan „apa‟pun yang 
diinginkannya. Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk 
ke dalam tahap  kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya”. sesudah  insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, keesokan harinya, 25  Februari, Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang justru mengumumkan Keputusan Kogam mengenai  pembubaran KAMI. Selain itu, di Jakarta juga diberlakukan jam tengah malam , yang berlaku sejak 21.00 hingga 06.00 pagi dan larangan berkumpul lebih dari lima orang. Pembubaran KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam 
sesudah  pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yaitu  jam 24.00 tanggal 25 Februari, mahasiswa Bandung sudah  mengeluarkan penegasan penolakan ini . Penolakan ini memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota untuk juga ikut menolak keputusan pembubaran KAMI ini . yaitu  juga  tengah tengah malam  menjelang tanggal 25 
Pebruari itu, mahasiswa mahasiswa Bandung yang menilai bahwa rekan rekannya di Jakarta 
sedang mengalami tekanan berat dari penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke 
Jakarta, jumlahnya ratusan namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam diam. 
Mahasiswa Bandung, sudah  berpengalaman saat  long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966 
sebagai suatu pergerakan  terbuka dihambat oleh aparat keamanan, maupun sebab  terjadinya 
pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno   Siswono Judohusodo dan kawan kawan dari 
GMNI. Rombongan pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta   belakangan akan dikenal sebagai Kontingen Bandung   terdiri dari empat puluh orang dengan memakai  dua bus 
umum. Selama perjalanan, 40 mahasiswa yang seluruhnya dari mahasiswa yang  dinamakan kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto Ramelan mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura pura untuk tidak saling kenal. Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa  Elektro ITB Bernard Mangunsong, memakai  kereta api pukul enam pagi dan turun di  Stasiun Jakarta Kota. Sedang rombongan ketiga yang juga memakai  kereta api pukul  10 pagi, turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini biasanya  anggota 
Batalion I Resimen Mahawarman. sedang  rombongan terbesar dan terakhir, yang terdiri dari 
kurang lebih 150 mahasiswa memakai  kereta api pukul tiga sore, dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak Bandung Jakarta Kota dalam tempo empat setengah jam.  Selain mahasiswa yang datang berombongan ini, ada  juga  beberapa  mahasiswa yang datang  dengan berbagai cara secara berangsur angsur selama beberapa hari, belum lagi yang sudah  berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya, termasuk mahasiswa mahasiswa penggerak  seperti Zaenal Arifin dan kawan kawan dari kelompok Bangbayang. Sehingga secara  keseluruhan kontingen ini berkekuatan 400 an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus  perguruan tinggi di Bandung, namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebetulnya  tidak terlalu  besar di tengah ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen  Bandung ini memicu nya berperanserta . Pada tengah malam  kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas 
Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus   artinya tak ada 
mahasiswa yang boleh menginap   dengan alasan ada kemungkinan serangan dari pasukan 
pasukan yang pro Soekarno. Terutama sesudah  terjadinya serangan bersenjata terhadap satu mobil Pasukan Tjakrabirawa. Hanya satu tengah malam  Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba, sebab  
keesokan harinya berangsur angsur mereka kembali ke sana. Mereka bertahan seterusnya di 
sana, sementara beberapa  tokoh mahasiswa Jakarta yang tertekan sebab  teror dan ancaman, 
menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad untuk keselamatan mereka.  Kontingen 
Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan 
atau Soekarno dilumpuhkan , kata  Muslimin Nasution, salah seorang pimpinan kontingen   
bersama dengan antara lain Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat. Kedatangan Kontingen 
Bandung itu sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, memiliki  arti 
tersendiri untuk menaikkan spirit rekan rekannya mahasiswa Jakarta. Anggota anggota 
Kontingen ini juga berinisiatif melakukan pergerakan  pergerakan  mengejutkan ke sasaran sasaran 
strategis. Meskipun bisa saja dianggap keterlaluan, mahasiswa mahasiswa seni rupa ITB   
Riswanto Ramelan, T. Soetanto dan kawan kawan   yang ada di Kontingen itu menciptakan 
kreasi kreasi seperti patung besar soebandrio   dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna 
Peking. Patung ini ikut dibawa saat  Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta 
dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak abrik ruang kerja soebandrio   di 
Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari cari untuk disita oleh aparat Kodam Jaya, dan 
akhirnya  dengan terpaksa ‘ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan pelajar sesudah  diarak, dalam suatu 
acara simbolik di kampus Salemba.  
Pada hari hari berikutnya, tak henti hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa KAMI 
dengan anggota anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini yaitu  buah dari pengerahan yang 
diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung Soekarno, terutama dengan 
pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar 
dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa 
juga melakukan penyerbuan ke Kantor Berita RRT Hsin Hua, namun gagal. Tanggal 10 Maret, 
wakil wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai partai 
ini   untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno, 
lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan 
tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar dan  pemuda. 
Pada 11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak pagi pagi, 
mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi pengempesan ban mobil 
untuk memacetkan jalan. Sengaja atau tidak, peningkatan tekanan yang terjadi akibat 
demonstrasi besar besaran mahasiswa ini memperkuat bargaining position Mayjen Soeharto 
terhadap Soekarno. Ditambah dengan efek kejut yang dimuncul kan oleh kemunculan pasukan 
tanpa pengenal lengkap   yang sebetulnya  digerakkan oleh Brigjen Kemal Idris   yang diisukan 
sebagai pasukan tak dikenal yang akan mengepung istana, maka Soekarno tiba pada suatu posisi 
psikologis dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan 
tergesa gesa meninggalkan istana memakai  helikopter menuju Istana Bogor. 
mengenai  peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr soebandrio   memiliki  versi 
sendiri. Ia menulis  di beberapa buku disebutkan bahwa sesudah  Presiden Soekarno membuka 
sidang, lalu   pengawal presiden, Brigjen Saboer, menyodorkan secarik kertas 
ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. lalu   
presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya 
lalu  menyusul keluar. Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot sebab  terburu buru. 
Memang benar. dahulu  saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin 
sebab  kegerahan duduk lama menunggu, namun   sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh 
Anggota   sidang sebab  tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting 
sehingga presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu buru 
sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu . 
Lebih jauh, soebandrio   menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, yang tidak pernah dituliskan 
siapa pun, ia merasa bingung, akan ke mana,   Saya memperoleh  informasi , pasukan tak dikenal itu 
sebetulnya  mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung 
Karno yang keluar ruangan lebih dahulu . Dalam kondisi  bingung saya lihat sebuah sepeda, entah 
milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil 
semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk di sekitar 
istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang mengetahui  bahwa saya yaitu  soebandrio   yang 
sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang 
meneriakkan yel yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap sukarno . Memang, saat 
menggenjot sepeda saya selalu menunduk, namun   jika  ada yang teliti pasti saya ketahuan . 
soebandrio   mengaku seAnggota ya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia . 
namun   ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa sampai jalan Thamrin. Ia ragu apakah 
bisa lolos.  Maka ia kembali mengayuh sepeda kembali ke istana dan  hebatnya dia sampai di 
istana tanpa diketahui  para demonstran. 
 Begitu tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak mengetahui  apakah sejak tadi heli 
itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin sebab  saya panik, saya tidak melihat heli yang 
ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan yaitu  bahwa lalu   saya 
melihat sukarno  didampingi para ajudan berjalan menuju heli. sebab  itu sepeda saya 
geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah, saat  berlari menuju heli tanpa 
sepatu, saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran koran: Dr soebandrio   berlari 
menyusul sukarno  menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan 
terbang bersama sukarno  menuju Istana Bogor . 
Apapun yang terjadi dengan soebandrio   dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu, tengah malam nya 
lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat  bersama‘ tiga jenderal yang sebetulnya  dekat dengan 
Soeharto, yaitu  Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen Muhamad Jusuf dan Brigjen Amirmahmud. 
Dan atas dasar Surat Perintah itu, Soeharto lalu  membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. 
Beberapa hari lalu , 18 Maret, Soeharto melakukan tindakan untuk  mengamankan‘ 15 
Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan 
 apa‘pun yang diinginkannya. 
Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam tahap  
kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya. 
(Dari:Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun  1966    Mitos dan Dilema, Mahasiswa 
Dalam Proses Perubahan Politik 1959 1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006).  
 “Kenapa menghadap Soeharto lebih dahulu  dan bukan Soekarno ,  “Saya pertama  
yaitu  seorang anggota TNI. sebab  Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai 
perwira paling senior tentu yaitu  Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation 
procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. namun  terlepas dari itu, Jusuf memang 
dinamakan seorang dengan „intuisi‟ tajam. Dan tentunya, juga memiliki  kemampuan 
yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan sebab nya memiliki kemampuan 
melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang sudah  dibuktikannya dalam berbagai 
pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat”. 
TIGA JENDERAL yang berperanserta  dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret 
1966   Super Semar   muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang 
khas dan dengan cara yang khas juga . Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu 
wilayah yang abu abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter 
yang berbeda juga . Jenderal yang pertama yaitu  Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi 
Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Brigadir 
Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah  menjadi 
Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Perindustrian 
Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan saat  
itu menjadi Panglima Kodam Jaya. 
Mereka semua memiliki  posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan sering kali digolongkan 
sebagai de beste zonen van Soekarno, sebab  kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan 
itu. Dan yaitu  sebab  kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno 
di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal 
angkatan darat, mereka pun bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin 
hubungan yang lebih baik segera sesudah  Peristiwa 30 September 1965 terjadi, melebihi 
hubungan di masa lampau. 
Ketiga jenderal ini memiliki  persamaan, yaitu  bergerak di suatu wilayah abu abu dalam 
proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu. Persamaan lain, yaitu  
bahwa ketiganya tidak memiliki  jalinan kedekatan   dan memang tampaknya tidak menganggapnya 
sebagai suatu keperluan   dengan mahasiswa pergerakan   1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan 
Basuki Rachmat ketidakdekatan itu yaitu  sebab  memang tidak dekat saja, maka bagi 
Amirmahmud ketidakdekatan itu kadang kadang bernuansa ketidaksenangan sebagaimana yang 
terlihat dari beberapa sikap dan tindakannya di masa lampau dan kelak di hari berikutnya . 
Namun, dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga 
jenderal, sama sama menjalankan peranserta  signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun  
1966 itu, melalui dua saat saat  penting. Mahasiswa berperanserta  dalam pendobrakan awal dalam 
nuansa, motivasi dan tujuan tujuan yang idealistik, sedang tiga jenderal berperanserta  dalam titik 
awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Hanya ditambah  ya, kelompok mahasiswa 
pergerakan   1966 bekerja dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan 
Soeharto, sedang  tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu abu terhadap 
kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun  1966 yang  bergolak‘ itu. namun   pada masa masa 
menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga persentuhan dengan 
beberapa  eksponen mahasiswa pergerakan   1966, terutama kelompok kelompok asal Sulawesi 
Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan 
jalur ekstra parlementer dan memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik 
di MPRS. Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun 
hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat. sebetulnya , saat  
menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf beberapa kali melakukan juga komunikasi dengan 
para mahasiswa Universitas Hasanuddin, khususnya bila ada insiden yang melibatkan 
mahasiswa. Biasanya ia memarahi mahasiswa dengan  bahasa campuran negara kita  Belanda, 
 Jullie semua sudah dewasa….. . 
Kisah Tiga Jenderal 
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan bulan terakhir menjelang Peristiwa 30 
September 1965, sebetulnya  berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden Soekarno. 
Pada bulan Juni tahun  1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan diminta menjadi Menteri 
Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan Departemen Perindustrian menjadi 
Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai Menteri Koordinator yaitu  Dr Azis Saleh. 
sebetulnya  tak ada alasan objektif bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal perang  
seperti Jusuf untuk menjadi Menteri Perindustrian jika  didasarkan kepada kompetensi 
keahlian teknis. namun   memang saat  menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf 
menunjukkan perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya. Meskipun 
demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf yaitu  lebih sebab   kebutuhan‘ Soekarno 
untuk menarik para jenderal potensial ke dalam barisan pendukungnya. 
Dalam Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964    28 Maret 1966), ada  setidaknya sembilan 
orang menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution dan Brigjen Muhammad 
Jusuf. Dalam deretan itu ada  nama nama Mayjen KKO Ali Sadikin, Mayjen Dr Soemarno, 
Mayjen Prof Dr Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen Hidajat dan Laksamana Udara Iskandar. 
Selain itu ada empat Panglima Angkatan yang diletakkan dalam posisi menteri. Beberapa 
menteri yang lain, diangkat juga  sebagai perwira tinggi tituler, setingkat jenderal. 
Merasa terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu saat  Soekarno bahkan pernah  menyatakan di 
depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian Ringan itu menjadi Wakil 
Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai tambahan atas tiga Waperdam yang sudah  ada. 
Dengan beberapa pertimbangan yang cukup   masuk akal, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal 
Ahmad Yani menyatakan penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan Soekarno 
mengurungkan niatnya, namun   menjelang akhir September 1965, saat  ia bermaksud 
 menggeser‘ Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi 
Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat  pembuangan ke atas‘ bagi Ahmad Yani. 
Belakangan sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang demonstrasi 
mahasiswa, Februari 1966, jabatan Waperdam IV itu akhirnya terwujud juga, yang diduduki oleh 
tokoh NU KH Idham Chalid. 
saat  Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat 
Mayor Jenderal per 1 Januari tahun  itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf yaitu  Panglima Kodam 
Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah negara kita  
Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama sama berkedudukan di Makassar, 
Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai 
Panglima Mandala, konsentrasi Soeharto yaitu  pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian 
Barat, sementara sebagai Panglima Hasanuddin, Jusuf dimisi kan untuk menumpas DI TII 
pimpinan Kahar Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI TII itu mengganggu misi  
misi  Komando Mandala. sebab  sekota, Soeharto dan Jusuf bagaimanapun kenal baik satu sama 
lain. Namun, secara pribadi, yang lebih terjalin yaitu  kedekatan Brigjen Jusuf dengan Mayjen 
Ahmad Yani yang tak lama lalu  diangkat menjadi Menteri Panglima AD dengan pangkat 
Letnan Jenderal. 
saat  masih berpangkat Kolonel dan menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi 
Selatan dan Tenggara (KDMSST), Jusuf juga sempat amat bersimpati kepada atasannya, KSAD 
Mayor Jenderal AH Nasution, dan memiliki sikap anti komunis yang sama. namun   dalam 
Peristiwa Tiga Selatan, yaitu  pembekuan PKI di tiga propinsi selatan, yaitu  Sulawesi Selatan, 
Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, Kolonel Jusuf merasa kecewa terhadap Nasution. 
saat  Jusuf dipanggil Soekarno, bersama dua panglima selatan lainnya, dan didamprat habis 
habisan, Nasution tidak melakukan pembelaan di depan Soekarno. Kekecewaan itu ternyata 
berlangsung berkepanjangan.  Jusuf tak bisa melupakan insiden itu dan  kekecewaannya 
terhadap Nasution….. Ini juga menjelaskan lalu , mengapa Jusuf lebih senang berhubungan 
dengan Ahmad Yani, lebih lebih sesudah  Yani menggantikan kedudukan Nasution pada tahun  
1962 sebagai KSAD. 
Persentuhan yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari sesudah  Peristiwa 30 
September, sepulang nya Jusuf dari Peking (Beijing). Jusuf pada akhir September 1965 termasuk 
dalam delegasi besar negara kita  yang menghadiri  perayaan 1 Oktober di Peking. Dan saat  
terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota rombongan   
termasuk Waperdam III Chairul Saleh   yang melihat nformasi  versi pemerintah Peking, 
Brigjen Jusuf memperoleh  juga  versi kedua. Ini memicu  dirinya memutuskan untuk segera 
kembali ke Jakarta dan bersama seorang anggota delegasi ia menempuh jalan panjang pulang  ke 
tanah air. Mula mula naik kereta api dari Peking, sambung menyambung 2000 kilometer jauhnya 
hingga Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu tengah malam . Lalu melintasi perbatasan 
menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris. Atas bantuan Konsul Jenderal RI di 
Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan dengan Garuda ke Jakarta   route 
Tokyo Hongkong Jakarta   yang memakai  turbo propeller jet Lockheed Electra yang 
berbaling baling empat. Setibanya di Kemayoran, Jusuf langsung menuju Markas Kostrad untuk 
bertemu Mayjen Soeharto, seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M. Jusuf, 
Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta, Jakarta 2006). 
Kenapa menghadap Soeharto lebih dahulu  dan bukan Soekarno ,   Saya pertama  yaitu  
seorang anggota TNI. sebab  Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling 
senior tentu yaitu  Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu , demikian 
alasan Jenderal M. Jusuf. namun  terlepas dari itu, Jusuf memang dinamakan seorang dengan 
 intuisi‘ tajam. Dan tentunya, juga memiliki  kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan 
situasi, dan sebab nya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana 
yang sudah  dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat. 
Dalam pertemuan dengan Soeharto ini Jusuf menyatakan dukungan terhadap tindakan tindakan 
yang sudah  diambil Panglima Kostrad itu. Dan sejak saat itu, hingga beberapa waktu lamanya, ia 
bolak balik ke Kostrad, sebab  ia sudah  menjadi tim  politik‘ Soeharto. Barulah pada 6 Oktober 
saat berlangsungnya suatu sidang kabinet di Istana Bogor, de beste zonen van Soekarno ini 
melapor kepada Soekarno mengenai  kepulanganya dari ibukota RRT, Peking. 
Mayor Jenderal Basuki Rachmat, yaitu  yang paling senior dari trio jenderal 11 Maret ini. Saat 
peristiwa terjadi ia yaitu  Panglima Divisi Brawidjaja. Hanya beberapa jam sebelum para 
jenderal diculik dinihari 1 Oktober, Basuki Rachmat bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad 
Yani di rumah  Jalan Lembang. Ia yaitu  perwira tertinggi pangkatnya yang terakhir bertemu 
Yani dalam kondisi  hidup. Basuki Rachmat memiliki kedekatan dengan Yani, namun ia pun 
memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno untuk beberapa lama, sehingga ia pun sempat 
termasuk de beste zonen van Soekarno. Ia memiliki akses untuk melapor langsung dan memang 
sering kali dipanggil oleh Soekarno untuk itu. Namun pada beberapa bulan terakhir sebelum 
Peristiwa 30 September, Soekarno berdasar keterangan saksi  beberapa jenderal berkali kali menyatakan sedikit 
ketidaksenangannya terhadap beberapa tindakan Basuki Rachmat sebagai Panglima di Jawa 
Timur.  Saya tidak pernah ditegur langsung oleh Presiden Soekarno, namun   saya pernah  dengar 
dari pak Yani dan beberapa jenderal , demikian Rachmat menjelaskan hubungannya dengan 
Soekarno di tahun  1965 (Wawancara Rum Aly dengan Basuki Rachmat untuk Mingguan 
Mahasiswa Indonesia  , Purwakarta Juli 1968). 
Selain itu, fakta  bahwa ia berkali kali bertemu Nasution pada bulan bulan terakhir itu, 
menambah ketidaksenangan Soekarno atas dirinya. Secara pribadi, ia tak tercatat sebagai perwira 
yang condong kepada golongan kiri, namun sebaliknya ia tak ada di barisan depan deretan 
perwira yang terkenal sebagai perwira anti komunis, seperti contohnya  Mayjen Ibrahim Adjie dan 
Brigjen Jusuf. namun  , sebagai panglima di Jawa Timur, ia tak memiliki  kemampuan prima 
membendung pengaruh PKI di kalangan perwira bawahannya, sehingga banyak batalion Divisi 
Brawidjaja dipimpin oleh komandan yang sudah  masuk kawasan pengaruh PKI. Salah satu 
batalion, yaitu  Batalion 530 bahkan turut dan  dalam pergerakan  30 September. Tegasnya, ia 
berada di lingkungan yang abu abu. mengenai  Batalion 530, suatu kali di tahun  1968, Basuki 
hanya mengatakan,  yang sudah lewat, sudahlah . 
“Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah 
„pasukan tak dikenal‟ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan 
itu memicu  demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. 
namun   sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, 
mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk 
menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos 
istana”. 
ada  beberapa  Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno 
sebagai Pangti ABRI   suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara 
yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa menghadap oleh Menteri 
Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang meskipun memiliki  akses langsung dengan 
Soekarno, tetap menjalankan tatakrama untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya. 
namun   ada juga yang sama sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh beberapa  
jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan bulan terakhir sampai September 
1965 selalu  tembak langsung‘ menghadap Soekarno yaitu  Brigjen Sjafiuddin dari Kodam 
Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di 
antara dua kategori itu. Ia juga termasuk jenderal yang memiliki  akses terhadap Soekarno, dan 
bahkan dimasukkan dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada 
Yani, dan banyak kali juga tidak. 
Dalam peristiwa  yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno sesudah  
Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar 
Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang diciptakan 
Amirmahmud yaitu  bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang 
semua kegiatan PKI dan ormas ormasnya pada bulan Oktober tahun  1965, tanggal 19, namun   
masih lebih lambat dibandingkan beberapa  Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya 
dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada 1 
Oktober, saat  Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan 
pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi 
satu satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir pula . berdasar keterangan saksi  informasi  Munadi kepada 
Jenderal Nasution lalu , ketidakhadir pula an itu disambungkan sang panglima didatangi oleh Ketua 
PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan  bahwa Panglima Kodam itu 
ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan. 
saat  Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya memicu  
tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit prajurit Kodam Jaya sering  bertindak keras dan 
kasar kepada mahasiswa. Perwira perwira bawahan Amirmahmud pun umumnya tidak 
menunjukkan simpati terhadap pergerakan  pergerakan  mahasiswa, untuk tidak menyebutnya bersikap 
memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung 
cukup   dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam 
Kolonel AJ Witono dan  Letnan Kolonel Urip Widodo. 
Sebagai seorang Soekarnois, berkali kali juga  Amirmahmud  menampilkan lakon kesetiaan 
kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan Soekarno. namun  , agaknya ini justru 
menjadi hikmah juga  baginya, sebab  sedikitnya ia makin memperoleh  tempat di hati Soekarno, 
yang lalu  memudahkannya berperanserta  dalam kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan yaitu  
sebab  peran nya pada tanggal 11 Maret, ia lalu  memperoleh  tempat yang lebih layak di sisi 
Soeharto dalam kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri 
sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan lalu  menjadi Ketua 
MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong  terang benderang‘. 
Hal lain yang memicu  Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto yaitu  bahwa ia tidak 
termasuk di antara para jenderal yang  fasih‘ berbahasa Belanda dan memakai  bahasa 
campuran Belanda negara kita  dalam percakapan sehari hari satu sama lain. Soeharto yaitu  
orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang 
umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran Jepang. Namun dari Soekarno, 
setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto memperoleh   gelar‘ 
dalam bahasa Belanda dari Soekarno, yaitu  sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa 
nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri  para jenderal berbahasa Belanda 
ini, seperti contohnya  HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan kawan. Ketidaknyamanan yang sama 
dirasakannya saat  ia masih bekerja   di Divisi Siliwangi sebelum bekerja   di luar Jawa. Divisi 
Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang 
pendidikan baik, melebihi divisi yang lain biasanya . Percakapan sehari hari di antara 
kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat umum  memakai  bahasa 
Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya Koneksi nya sesama 
perwira Siliwangi, tidak memakai  bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari 
Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani dan para perwira terasnya di Mabes AD yaitu  para 
jenderal yang juga berbahasa Belanda. 
Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira 
intelektual dalam Angkatan Bersenjata negara kita . Meski demikian, sebagai pengecualian, 
Amirmahmud bisa juga memicu  dirinya  betah‘ bila hadir pula  dalam pertemuan dengan Bung 
Karno, kendati sang Presiden banyak memakai  kata kata Belanda yang tak semua 
dipahaminya. namun   yaitu  menarik bahwa Soekarno sendiri nyaris tak pernah  memakai  
istilah istilah bahasa Belanda bila berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain 
yang diketahui nya tidak terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan 
Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh 
dari kebiasaan memakai  bahasa Belanda. 
Sejak pagi hari 11 Maret sebetulnya  Presiden Soekarno ada dalam suatu kondisi  cemas dan 
tertekan. berdasar keterangan saksi  rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was was akan faktor 
keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya 
Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan 
di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa apa. 
Beberapa jam lalu , saat  sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada 
Amirmahmud dan memperoleh  jawaban  Jamin pak, aman . Soekarno meminta Amirmahmud 
untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun saat  sidang baru berlangsung sekitar sepuluh 
menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang ulang menyampaikan memo kepada 
Amirmahmud. Isinya memberitahukan  adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di 
sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, 
namun   Panglima Kodam ini berulang ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan 
ayunan kiri kanan seakan isyarat takkan ada apa apa. namun  bisa juga sekedar tanda bahwa ia 
tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa 
suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya. 
Tak memperoleh  tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen 
Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. sesudah  membaca, 
tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang 
ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena dan 
meninggalkan ruang sidang dengan tergesa gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia 
bertanya,  Mir, bapak ini mau dibawa ke mana,  . Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang 
tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya 
menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan soebandrio   menuju 
Istana Bogor. 
sebetulnya , Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu 
menjamin keamanan sidang kabinet ini , saat itu tak mengetahui  mengenai kehadiran 
pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Pangkostrad Kemal 
Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda  satuannya dan bergerak ke sekitar 
istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan kemudian bahwa pasukan ini  
sebetulnya  dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, sebab  dalam peristiwa 
sebelumnya para mahasiswa itu berkali kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, 
dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim. 
Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebetulnya  terjadi beberapa benturan di berbagai penjuru 
Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar    dibukukan dengan judul ‘Angkatan 66’, Penerbit Sinar 
Harapan, Jakarta 1981   yaitu  salah satu sumber yang tepat untuk dikutip guna menggambarkan 
situasi hari itu. Pagi pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu 
serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam hitam.  Gerombolan 
berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka 
menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, sebab  kena tusuk. Laskar S. Parman dan 
Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. perang  batu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya 
gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan 
Pramuka ikut menghadang mereka. kondisi  kacau balau, sebab  perkelahian pada front luas 
terbuka . namun   tiba tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu. 
Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala pelajar 
dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa 
dengan nyaring mengucapkan  Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota 
Tjakrabirawa . namun  Tjakrabirawa yang sudah  berhasil memicu  takut para mahasiswa, akhirnya 
berlalu dengan membawa bawa  empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa jam 
lalu , para mahasiswa itu dilepaskan. 
Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, namun  hari itu mereka 
merambah ke mana mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa  Di Jalan Salemba terjadi perang  
pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi  Pernyataan Kebulatan Tekad Partai 
partai Politik‘. sedang  pelajar membagikan stensilan  reaksi pemuda pelajar mahasiswa atas 
sikap partai politik‘… . Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan 
truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan saat  diteriaki dan diejek oleh para pelajar. 
Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang  bermarkas‘ dekat tempat 
kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan  balasan‘. Anggota Para Armed (Artileri 
Medan) dari arah lain, juga melepaskan tembakan. 
Pada sore tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe 
Tat SH dan melakukan perusakan.  Hari ini, situasi sampai psedang caknya. Demonstrasi kontra 
demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik . Saat 
berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah  pasukan tak 
dikenal‘ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu memicu  
demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. namun   sebaliknya, 
seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran 
pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin 
saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan dengan 
Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD  sengaja‘ tak hadir pula  dalam sidang kabinet hari itu 
dengan alasan sakit 
“Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, sebab  ketiga Jenderal Super 
Semar sudah  tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam 
kondisi „tak mau‟ dan „tak bisa‟ diklarifikasi, yaitu  apakah peristiwa lahirnya Surat 
Perintah 11 Maret itu yaitu  by accident terjadi sebab  situasi mendadak di tanggal 11 
Maret itu, ataukah ada seperti  setting sebelumnya, ”. “Terlepas dari kontroversi yang 
ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebetulnya  yang merupakan 
persoalan lebih penting yaitu  bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan 
penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal hal lainnya 
sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun  
terakhir”. 
Istana Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan berkendaraan 
sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Menteri 
Perindustrian Ringan. Dua lainnya yaitu  Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan 
Demobilisasi, dan  Brigadir Jenderal Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan 
berangkat ke Bogor menemui Soekarno diambil sesudah  Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar 
detail persoalan mengenai  kenapa Soekarno tergesa gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter. 
Meskipun hadir pula  dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak mengetahui  persis mengenai adanya pasukan 
tak kenal mendekati istana dan tak terlalu mengetahui  ketegangan yang tercipta oleh Brigjen 
Saboer dan Brigjen Amirmahmud. 
Sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini menemui Jenderal Soeharto di rumah  Jalan 
Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu digambarkan sedang 
demam. Soeharto menyetujui keberangkatan mereka bertiga ke Bogor, dan berdasar keterangan saksi  Jusuf, 
Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas   berbeda dengan beberapa versi lain yang 
diperhalus   yaitu bahwa Soeharto  bersedia memikul tanggungjawab jika  kewenangan untuk 
itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan 
Tritura . 
Soekarno yang pada pagi harinya sempat panik di Jakarta dan tergesa gesa berangkat ke Bogor, 
sempat meneruskan istirahat siangnya dan membiarkan tiga jenderal itu menunggu sampai pukul 
14.30 sebelum menerima mereka. Soekarno bisa tampil cukup    tenang‘ saat  pesan Jenderal 
Soeharto disampaikan padanya, namun berdasar keterangan saksi  gambaran Muhammad Jusuf terjadi  dialog 
yang begitu berat dan kadang kadang tegang . Tidak seperti pada masa masa sebelumnya, 
dimana dalam setiap pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani 
berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan, yaitu  Soekarno 
merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno akhirnya menyetujui suatu pemberian 
kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan konsepnya memakan waktu cukup   lama dan berkali 
kali mengalami perubahan. berdasar keterangan saksi  para jenderal itu lalu , perubahan atas konsep juga 
termasuk oleh tiga Waperdam yang datang lalu , lalu mendampingi Soekarno dalam 
pembicaraan. 
Dalam ingatan Jusuf, coretan coretan perubahan dari soebandrio   dan Chairul Saleh, mengecilkan 
kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan Jenderal Nasution, butir yang 
berasal dari soebandrio   yaitu  mengenai  keharusan Menteri Panglima AD untuk berkoordinasi 
dengan para panglima angkatan lainnya dalam pelaksanaan perintah. Sementara itu, berdasar keterangan saksi  
soebandrio   sendiri, saat  dirinya bersama dua waperdam lainnya bergabung, pertemuan 
sudah menghasilkan suatu konsep. soebandrio   menuturkan,  Saya masuk ruang pertemuan, 
sukarno  sedang membaca surat . Basuki Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf 
duduk di depan Soekarno.  lalu  saya disodori surat yang dibaca sukarno , sedang  
Chairul Saleh duduk di samping saya. Isi persisnya saya sudah lupa. namun   intinya ada empat 
hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan 
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden atas 
semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden dan  
seluruh keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran sukarno . Soal 
urutannya, mungkin terbalik balik, namun intinya berisi seperti itu . 
Lebih jauh, soebandrio   menuturkan   dalam naskah ‘Kesaksianku mengenai  G30S’   bahwa 
Soekarno bertanya kepadanya,  Bagaimana, Ban,  Kau setuju,  . Beberapa saat soebandrio   diam. 
 Saya pikir, sukarno  hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya 
tidak setuju . soebandrio   yang agaknya terkejut oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya, 
masih belum pulih semangatnya, meskipun ia tak mengakui dirinya takut, termasuk saat  ia 
berkali kali merasa dipelototi oleh para jenderal itu.  Saya merasa sukarno  sudah ditekan. 
Terbukti ada kalimat  Mengamankan pribadi presiden dan keluarganya‘. Artinya keselamatan 
presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat ini  dikeluarkan . Lama terdiam, 
akhirnya soebandrio   ditanyai lagi oleh Soekarno,  Bagaimana, Ban,  Setuju,  . soebandrio   
menjawab,  Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya,  sukarno  sudah berunding tanpa kami , 
yang dipotong Soekarno,  namun , kau setuju,  . soebandrio   menjawab lagi,  jika  bisa perintah 
lisan saja . soebandrio   melirik,  tiga jenderal itu melotot ke arah saya. namun   saya tidak takut. 
Mereka pasti geram mendengar kalimat saya terakhir . lalu  Amirmahmud menyela,  Bapak 
Presiden  tanda tangan saja. Bismillah saja, pak . soebandrio   menduga Soekarno sudah ditekan 
oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi.  Raut wajahnya terlihat ragu ragu, namun   seperti 
mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga 
menyatakan setuju. sukarno  lalu  teken . 
Seingat Hartini Soekarno, sebelum menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno 
sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda,  Tak ada keterangan , saya 
serahkan sepenuhnya kepada anda . Sedang dari Chairul Saleh ada anjuran untuk berdoa dahulu  
memohon petunjukNya. Terakhir dari soebandrio   ada keterangan , juga dalam bahasa Belanda, 
 jika  anda menandatanganinya, sama saja masuk perang kap . Pukul 20.30 para jenderal itu 
kembali ke Jakarta dengan membawa bawa  Surat Perintah 11 Maret yang sudah ditandatangani 
Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri 
menyimpan tembusan lainnya, yang kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno. 
Belakangan, terutama sesudah  lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, terjadi kesimpangsiuran 
mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Terutama sebab  manuscript  asli yang ditandatangani 
Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah manuscript  asli ada di tangan Jenderal 
Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin manuscript  asli itu bisa ada di tangan Jusuf, 
sebab  manuscript  itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga jenderal itu ke tangan Jenderal 
Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan Haji Agus Salim. Jusuf sendiri, hanya memegang 
tembusan karbon surat perintah itu yang tanpa tanda tangan Soekarno.  Hilangnya‘ manuscript  asli 
itu memicu  tuduhan bahwa ada manipulasi  atas Surat Perintah 11 Maret, yaitu dengan 
 memotong‘ bagian batas waktu berlaku Surat Perintah ini , lalu  dicopy lalu aslinya 
disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas  perintah‘ Soeharto. 
berdasar keterangan saksi  Sudharmono SH yang pernah  menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto, 
dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun  
1965’) mengatakan hilangnya manuscript  itu yaitu  sebab  terselip dan sepenuhnya kealpaan 
manusiawi dari Soeharto sendiri. namun   sepanjang pokok pokok Surat Perintah 11 Maret 
sebagaimana yang diingat soebandrio   tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada 
dalam versi Sekretariat Negara dan versi Jenderal Jusuf. Versi yang ada dalam buku  memoar‘ 
Jenderal Jusuf yang disusun oleh Atmadji Sumarkidjo,  Jenderal M. Jusuf, Panglima Para 
Prajurit’ (2006, Penerbit Kata Hasta) yaitu  sebagai berikut ini. Untuk dan atas nama 
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat (1) Mengambil segala 
tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan dan  kestabilan 
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, dan  menjamin keselamatan pribadi dan 
kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi 
untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia  , dan melaksanakan dengan pasti segala 
ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan 
Panglima panglima angkatan lain dengan sebaik baiknya; (3) agar   melaporkan segala sesuatu 
yang bersangkut paut dalam misi  dan tanggungjawabnya  seperti ini  di atas. Sampai 
meninggal dunia 7 September 2004, Jenderal Jusuf tak pernah  memberikan penegasan mengenai 
isu mengenai  keberadaan manuscript  asli Surat Perintah 11 Maret maupun mengenai tembusan 
karbon yang ada di tangannya. 
Dalam memoar Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun  2006 itu, soal manuscript  asli itu maupun 
soal manipulasi  isi surat perintah ini    bahwa surat perintah itu memiliki  jangka waktu masa 
berlaku   tak dapat ditemukan pemaparannya. jika  ada soal, kenapa Jenderal Jusuf  tetap 
menyimpannya rapat rapat ,  Seakan akan masalah itu tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang 
akan menyebarkan  malapetaka‘ dan  kejahatan‘ bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik 
Harry Tjan Silalahi yang dekat dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa ia sempat melihat 
sendiri asli Surat Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi bahwa sepanjang 
yang ia ketahui  tak pernah  ada manipulasi . Bahwa manuscript  asli surat itu hilang, ia menunjuk 
pada fakta  buruknya kebiasaan dalam administrasi pengarsipan di negara kita , sebab  naskah 
asli Pembukaan UUD 1945 pun hilang tak diketahui  sampai sekarang (Wawancara, Rum Aly). 
Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, sebab  ketiga Jenderal Super Semar 
sudah  tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi  tak mau‘ 
dan  tak bisa‘ diklarifikasi, yaitu  apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu yaitu  
by accident terjadi sebab  situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada seperti  
setting sebelumnya,  Pertanyaan ini muncul, sebab  berdasar keterangan saksi  Soeripto SH, yang kala itu 
berkecimpung di lingkungan intelijen   dan berkomunikasi intensif dengan Yoga Sugama, 
Asisten I di Kostrad   pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 tengah malam  mendengar dari seorang Letnan 
Kolonel Angkatan Darat bahwa esok hari Soekarno akan menyerahkan kekuasaan kepada Mayor 
Jenderal Soeharto. Artinya fakta kehadiran dari apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di 
depan istana, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs 
Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebetulnya  yang merupakan persoalan lebih penting 
yaitu  bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11 
Maret itu secara faktual, bukan hal hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan 
kontroversi berkepanjangan beberapa tahun  terakhir. 
“namun   di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan usaha  
menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan 
pernyataan pernyataan keras. muncul  spekulasi bahwa ia sebetulnya  sudah  mengalah pada 
Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya 
sendiri melakukan pembubaran itu. Dan yaitu  Soeharto yang melakukan hal itu 12 
Maret sesudah  melalui suatu lekuk liku proses kekuasaan yang khas Jawa   bagaikan dalam 
dunia pewayangan   antara dirinya dengan Soekarno”. 
Pintu menuju kekuasaan baru 
BUTIR BUTIR yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada 
Jenderal Soeharto, untuk sebagian yaitu  butir butir  karet‘ yang bisa serba tafsir, baik bagi 
Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang 
dalam penafsiran. Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Jenderal Soeharto 
sebagai pemegang Surat Perintah ini , akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno. 
Dan pada waktunya, pasti akan dicabut. namun   faktanya, saat itu kekuatan Soekarno sedang 
mengalami erosi, meski belum longsor sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu 
taktisnya untuk seberapa lama, sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh 
penjuru negara kita , sesudah  teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman   membunuh 
enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di 
Yogyakarta   melalui pergerakan  30 September. Sedang Soekarno sendiri tampaknya bersikeras 
untuk tidak membubarkan PKI, dan memilih menentang arus utama opini kala itu. 
Sementara itu, PNI yang semestinya menjadi sumber dukungan strategis bagi Soekarno, sesudah  
peristiwa ikut mengalami imbas sebab  dalam opini masa lampau tergambarkan sebagai partner 
PKI dalam struktur Nasakom. Apalagi, Sekertaris Jenderal PNI Ir Surachman diindikasikan 
sebagai berideologi kiri. Selain itu, secara faktual, sejak lama internal PNI juga tidak utuh, dan 
segera sesudah  Peristiwa 30 September, sayap ini  melepaskan‘ diri sebagai PNI Osa Usep. 
Pemisahan diri ini memicu   pembelahan kekuatan PNI secara nasional, termasuk di tingkat 
organisasi sayap. 
Meskipun sebagian pengikut PNI Osa Usep masih mendukung Soekarno, namun   tak kurang juga  
yang berangsur angsur berubah menjadi penentang Soekarno. Tokoh GMNI Jawa Barat, Sjukri 
Suaidi contohnya , yang tergabung dalam kesatuan aksi bahkan sampai kepada pernyataan 
meragukan kepantasan Soekarno untuk tetap dianggap sebagai Bapak Marhaen. Sementara itu 
tokoh GMNI yang lain, mahasiswa ITB Siswono Judohusodo yang pertengahan Januari ikut 
dalam Barisan Soekarno, tersudut ke dalam suatu posisi dilematis. Kendati ia yaitu  pemuja 
Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia juga bisa membenarkan pendapat 
rekan rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno yang sudah  terlalu lama berkuasa dan 
pada masa masa terakhir kekuasaannya kala itu sudah  tergelincir melakukan beberapa  kekeliruan 
politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya. 
berdasar keterangan saksi  Siswono, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apapun, 
pokoknya sukarno  tak boleh diapa apakan. Yang kedua, yaitu  sebaliknya, Soekarno 
memang harus memperoleh  pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat. 
Yang ketiga, memang sudah saatnya Soekarno diganti, namun   hendaknya dengan cara yang 
terhormat, tanpa merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju 
dengan yang pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang sudah  merendahkan 
Soekarno.  Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang 
begitu saja,  . sebab  mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti 
Soekarno, maka Siswono dianggap berada di  seberang‘, meskipun ia pernah  dalam kebersamaan 
pada Peristiwa 10 Mei 1963. Apalagi lalu  ia bergabung dengan barisan Soekarno, dan 
melakukan pendudukan kampus ITB di bulan Pebruari saat  mahasiswa ITB baru saja 
memulai suatu long march ke Jakarta. Ia mengaku menduduki kampus agar long march batal. 
sebab ,  long march itu akan berdampak terjadinya benturan luar biasa . Ia kuatir mahasiswa 
mahasiswa itu akan berhadapan dengan pendukung pendukung Soekarno yang tidak ingin 
Soekarno diturunkan, apalagi dengan cara tidak terhormat. Keterlibatannya dalam pendudukan 
kampus ITB, memicu  Siswono ditangkap oleh Siliwangi pada bulan Maret dan ditahan sampai 
April. mengenai  Barisan Soekarno yang terlibat dalam tindak kekerasan dalam Peristiwa 19 
Agustus 1966, ia memberi penjelasan,  itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya 
pimpin . Ia mengaku,  saya sendiri tidak mengetahui  dari mana orang  yang banyak itu . 
Sementara itu yaitu  ironis juga  bahwa saat  di berbagai daerah PNI menjadi tumbal yang 
berpasangan dengan PKI dan di daerah lainnya lagi bahkan menjadi tumbal pengganti bagi PKI, 
justru di daerah basisnya di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur dan  Bali, PNI mengalami 
benturan dengan massa PKI dalam pola pilihan  lebih dahulu  membantai atau dibunuh ‘. Dengan 
aneka ragam sikap dalam tubuh PNI, dan  aneka masalah yang dihadapi lapisan massa PNI, 
sebagai resultante tercipta PNI yang tidak siap menjadi pendukung handal bagi Soekarno untuk 
saat itu, dalam artian hanya cukup   untuk keperluan defensif. 
Situasi terberat yang dihadapi Soekarno kala itu yaitu  bahwa ia sebetulnya  mulai  tersisih‘   
setidaknya berkemungkinan untuk itu   dari arus utama opini dan pengharapan rakyat yang sudah  
melangkah ke tahap memikirkan suatu perubahan, dan tinggal memiliki sisa sisa penghormatan 
berdasar paternalisme dari sebagian rakyat. Kaum elite Jakarta   yang pada hakekatnya banyak 
menyerap referensi pemikiran dan gaya kehidupan barat yang modern   contohnya , di bawah 
permukaan sejak lama sudah  merasa terganggu kebebasannya oleh Soekarno yang melakukan 
serba pembatasan. Mulai dari pelarangan film film barat, dansa barat jenis baru sampai kepada 
permusuhan terhadap musik yang disebutnya sebagai ngak ngik ngok   terutama The Beatles dari 
Inggeris dan Koes Bersaudara   padahal musik musik dinamis itu memikat hati kaum muda 
terutama dari kalangan elite yang sebetulnya  lebih nyaman dan terbiasa dengan hal hal yang 
berbau barat. Soekarno juga merampas kebebasan pilihan cara berpakaian dan bersikap, dengan 
intervensi untuk mengatur soal  pakaian dan cara bersikap lainnya yang harus  sesuai dengan 
kepribadian nasional . 
Sementara itu, perlahan namun pasti, kalangan rakyat di lapisan akar rumput, mulai jenuh akan 
kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan dan mengalami pengikisan rasa percaya kepada 
pemerintahan Soekarno kendati masih mendua sebab  masih ada nya sisa rasa  pemujaan‘ 
mereka terhadap Soekarno. Selain Soekarno, tentu saja PKI dengan segala provokasi anti barat 
dan anti kebebasan perorangan, menjadi sasaran kebencian terpendam dan atau sasaran pantul 
dari mereka yang masih mendua terhadap Soekarno, seperti contohnya  yang banyak terjadi di kalangan elite pengikut PNI. namun  dalam banyak masalah , PNI sendiri justru juga mengalami bias 
kebencian itu. Ini menjelaskan, kenapa seruan Soekarno untuk membentuk Barisan Soekarno 
dalam realitanya hanya mampu memicu  riak riak kecil perlawanan untuk pembelaan 
Soekarno, namun tak pernah  mencapai tingkat yang signifikan untuk membalikkan posisi 
Soekarno yang melemah. 
Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan 
PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Sejak gerak cepatnya berhasil 
membersihkan Jakarta dari pergerakan  30 September, Soeharto sudah  tampil di mata mahasiswa, 
pelajar, pemuda dan rakyat biasanya  sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo 
yang cukup   cepat dan sistimatis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Kini dengan 
pelimpahan surat perintah tanggal 11 Maret itu dari Soekarno, ia melangkah setapak lagi lebih ke 
depan ke dalam kekuasaan negara, dan memulai  kelahiran mitos baru sebagai pahlawan yang 
dengan kesaktian Pancasila sudah  menyelamatkan bangsa dan negara dari malapetaka bahaya 
komunis. Dengan posisi dan situasi baru di atas angin, penafsirannya terhadap butir butir Surat 
Perintah 11 Maret itu, lebih unggul. Meskipun dalam setiap kesempatan formal Soekarno masih 
selalu menolak pembubaran PKI, Soeharto toh melakukannya melalui suatu surat keputusan 
selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Konsep surat keputusan pembubaran itu, 
disusun oleh Kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto 
melalui Ketua G 5 KOTI Brigjen Soetjipto. 
cukup   menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang 
mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti sesudah  beberapa 
menteri dalam kabinetnya, terutama soebandrio  , mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan 
complain. Suatu kemarahan yang mungkin saja artifisial, lalu ditunjukkan oleh Soekarno. 
berdasar keterangan saksi  ucapan Sajidiman Surjohadiprodjo yang waktu itu yaitu  perwira staf di Markas 
Besar Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel, Soekarno menganggap Soeharto sudah  
melampaui wewenang. Itu dinyatakannya kepada Amirmahmud, salah seorang perwira tinggi 
yang menjemput Surat Perintah 11 Maret di Istana Bogor dua hari sebelumnya. Panglima Kodam 
Jaya ini menjawab bahwa sesuai surat perintah itu, Soeharto memang berhak bertindak untuk dan 
atas nama Presiden Soekarno, sepanjang hal itu perlu menjamin keamanan dan menjaga 
kewibawaan presiden. Namun, tulis Sajidiman,  Presiden Soekarno tidak dapat menerima 
argumentasi itu dan memanggil panglima angkatan lainnya . 
Digambarkan adanya peran  soebandrio   untuk memicu  kegusaran Soekarno, dengan 
menyampaikan informasi  bahwa Jenderal Soeharto dan TNI AD bermaksud akan menyerang 
Istana Presiden.  sebab  informasi  itu, angkatan angkatan lainnya mengadakan konsinyering 
pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, sebab  setiap saat dapat terjadi pertempuran 
antara TNI AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, lalu  Jenderal AH Nasution 
berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak 
memiliki  legalitas untuk melakukan hal itu, namun   wibawanya masih cukup   besar untuk 
memicu  ketiga panglima bersedia hadir pula . Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh 
Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa 
samasekali tidak ada rencana TNI AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim. 
Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan sebab  melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya. 
sesudah  semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan 
ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar . Soeharto 
sendiri mengakui bahwa sekitar waktu itu,  sudah ada yang berbisik bisik pada saya, untuk 
merebut kekuasaan dengan kekerasan. namun   tidak pernah terlintas satu kalipun di benak saya 
untuk melakukannya .  namun   di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras 
menunjukkan usaha  menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap 
mengeluarkan pernyataan pernyataan keras. muncul  spekulasi bahwa ia sebetulnya  sudah  
mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan 
mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan yaitu  Soeharto yang melakukan hal itu 12 
Maret sesudah  melalui suatu lekuk liku proses kekuasaan yang khas Jawa   bagaikan dalam dunia 
pewayangan   antara dirinya dengan Soekarno 
“Semar memiliki tiga putera yaitu  Bagong, Petruk dan Gareng. Di antara ketiga putera 
ini, yaitu  Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol kelemahan insan di dunia. 
saat  sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan kekuasaannya dalam 
kondisi  „benar benar mabok‟. Ungkapan „Petruk Dadi Raja‟, secara empiris berkali kali 
terbukti sebagai cerminan perilaku manusia negara kita  saat berkesempatan menjadi 
penguasa”. 
sesudah  RRI melalui warta berita 06.00 pagi Sabtu 12 Maret 1966 mengumumkan bahwa 
Letnan Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan 
ormas ormasnya, sejenak Jakarta mendadak diliputi suatu suasana  pesta kemenangan‘. Ini 
contohnya  tergambarkan dalam catatan Yosar Anwar, bahwa dengan pembubaran PKI itu maka 
 kemenangan tercapai, hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa 
bulan ini . 
Suasana pesta kemenangan itu, dalam pemaparan Yosar yang hiperbolis, tak kalah dengan saat  
rakyat London merayakan kemenangan atas kekejaman Nazi Hitler, sama dengan kegembiraan 
rakyat Paris menyambut pahlawannya Jenderal de Gaulle kembali ke tanah air.  Begitulah 
suasana di Jakarta hari ini. Betapa generasi muda berjingkrak jingkrak menyambut kemenangan 
dari suatu perjuangan lama dan melelahkan. Semua wajah cerah. Rakyat mengelu elukan 
pahlawan dan pejuang Ampera seperti RPKAD, Kostrad, Kujang Siliwangi, KAMI dan KAPPI. 
Gembira, tertawa dalam menyambut lahirnya Orde Baru. Suatu kehidupan baru. Hilang 
kelelahan rapat terus menerus selama ini, atau aksi yang berkepanjangan . Hari itu memang ada 
parade yang diikuti oleh pasukan pasukan RPKAD, Kostrad dan Kujang Siliwangi, massa 
mahasiswa, pelajar dan berbagai kalangan masyarakat. 
Beberapa nama aktivis dicatat dalam  memori‘ Yosar yang  romantis‘.  Terbayang kawan 
kawan seiring, kawan berdiskusi, kawan dalam rapat, kawan dalam aksi. Beberapa nama muncul 
selama saya berhubungan dalam aksi ini. KAMI Pusat   Zamroni, Cosmas, Elyas, Mar‘ie, 
Sukirnanto, Djoni Sunarja, Farid, Hakim Simamora, Abdul Gafur, Savrinus, Han Sing Hwie, 
Ismid Hadad, Nono Makarim. KAMI Jaya   Firdaus Wajdi, Liem Bian Koen, Marsilam 
Simanjuntak, Sjahrir. Laskar Ampera   Fahmi Idris, Louis Wangge, Albert Hasibuan. KAMI 
Bandung   Muslimin Nasution, Dedi Krishna, Awan Karmawan Burhan, Soegeng Sarjadi, Adi 
Sasono, Freddy Hehuwat, Aldi Anwar, Odjak Siagian, Bonar, Robby Sutrisno, Sjarif Tando, 
Pande Lubis, Anhar, Aburizal Bakrie, Rahman Tolleng. Koneksi  IMADA   Rukmini Chehab, 
Zulkarnaen, Boy Bawits, Alex Pangkerego, Asril Aminullah, Sofjan, Piping dan banyak lagi. 
Juga tempat kami sering berdiskusi, baik sipil maupun militer, seperti Subchan, Harry Tjan, 
Liem Bian Kie, Lukman Harun, Buyung Nasution, Maruli Silitonga, Soeripto, Anto, 
Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Harsono. Juga dengan dosen saya   Prof Sarbini, Prof Widjojo, Dr 
Emil Salim, atau orang militer seperti Kemal Idris, Sarwo Edhie, Ali Murtopo, sedang  di 
Bandung dengan Ibrahim Adjie, HR Dharsono, Hasan Slamet, Suwarto . 
Tentu saja, masih ada begitu banyak nama aktivis di Jakarta, Bandung dan kota kota lain yang 
luput dari catatan Yosar, sebab  pergerakan  di tahun  1966 itu melibatkan massa generasi muda 
dalam jumlah kolosal dan melahirkan begitu banyak nama tokoh pergerakan . sesudah  menuliskan 
daftar nama nostalgia perjuangan itu, Yosar juga mengajukan pertanyaan,  namun , apakah dengan 
kemenangan yang tercapai berarti perjuangan sudah  selesai ,  Apakah perjuangan Tritura tamat 
riwayatnya ,  . 
sebetulnya , cukup   banyak mahasiswa Jakarta yang sejenak sempat menganggap  perjuangan‘ 
mereka selesai, dan kemenangan sudah  tercapai, saat  Soeharto dan tentara tampak makin 
berperan  dalam kekuasaan negara  mendampingi‘ Soekarno. Kala itu tak jarang ada  
kenaifan dalam memandang kekuasaan. Bagi beberapa orang, cita cita tertinggi dalam kekuasaan 
yaitu  bagaimana bisa turut dan  bersama Soekarno selaku bagian dari kekuasaan. 
Menggantikan Soekarno yang sudah  diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, hanyalah 
seperti  hasrat dan  cinta terpendam‘, tak berani diutarakan dan ditunjukkan, dan hanya 
dikhayalkan seraya menunggu kematian datang menjemput sang pemimpin. saat  pada 18 
Maret tak kurang dari 16 menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan ditangkap   dengan 
memakai  istilah diamankan    atas perintah Letnan Jenderal Soeharto berdasarkan 
kewenangan selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, itu dianggap hanya sebagai bagian dari 
pembersihan kekuasaan dari sisa sisa bahaya pengaruh kiri. Tak kurang dari Soeharto sendiri 
selalu menyebutkan bahwa tindakan tindakan yang diambilnya berdasarkan SP 11 Maret yaitu  
untuk menyelamatkan integritas Presiden yang berada dalam bahaya. 
Pembubaran PKI dan penangkapan para menteri itu, seakan sudah  memenuhi dua tuntutan dalam 
Tritura, yaitu  pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora. sedang  perbaikan ekonomi, 
diharapkan membaik dengan perubahan susunan kekuasaan, dan untuk jangka pendek Soeharto 
mengeluarkan himbauan agar para pengusaha membantu ketenangan ekonomi nasional. Namun 
apakah segala sesuatunya bisa semudah itu,  Sebelum tanggal 18 Maret, saat  mulai terdengar 
adanya keinginan Soeharto merubah kabinet, Soekarno bereaksi dengan keras. Suatu pernyataan 
tertulisnya, 16 Maret tengah malam  dibacakan oleh Chairul Saleh   disiarkan RRI dan TVRI   yang 
isinya menegaskan bahwa dirinya hanya bertanggungjawab kepada MPRS yang sudah  
mengangkatnya sebagai Presiden Seumur Hidup, seraya mengingatkan hak prerogatifnya dalam 
mengangkat dan memberhentikan menteri. 
Jenderal Soeharto menjawabnya dengan penangkapan 16 menteri dengan tuduhan terlibat 
Peristiwa 30 September dan atau PKI. Sebagian besar penangkapan dilakukan oleh Pasukan 
RPKAD. Bersamaan dengan itu, diumumkan pembentukan suatu Presidium Kabinet, yang terdiri 
dari enam orang, yaitu  Letnan Jenderal Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam 
Malik, KH Idham Chalid, Johannes Leimena dan Roeslan Abdulgani. Dalam praktek sehari hari 
lalu , tiga nama yang disebutkan lebih dahulu , menjadi penentu kebijakan sebetulnya  dari 
Presidium Kabinet ini.  Dari 18 menteri yang ditangkap, hanya 5 yang diadili, yaitu  Dr 
soebandrio  , Drs Jusuf Muda Dalam, Mayjen Achmadi, Drs Mohammad Achadi dan Oei Tjoe 
Tat SH. Sisanya, ditahan  tanpa pernah  diadili, mereka yaitu  Dr Chairul Saleh, Ir Setiadi 
Reksoprodjo, Astrawinata SH, Armunanto, Sudibjo, Drs Soemardjo, Letkol M. Imam Sjafei, 
Soetomo Martopradoto, JK Tumakaka, Koerwet Kartaadiredja dan Mayjen Soemarno 
Sosroatmodjo. 
Penangkapan 16 orang menteri memicu   kekosongan yang harus segera diisi. Untuk 
sementara kekosongan itu diisi oleh Soeharto dengan mengeluarkan sebuah  Keputusan 
Presiden‘ atas nama Soekarno, mengenai  penunjukan menteri ad interim. Ternyata lalu , 
dalam proses selanjutnya, Soeharto tidak  mendesak‘ Soekarno terlalu jauh untuk mengganti 
menteri menteri yang tersisa, kecuali pengisian posisi yang kosong.  Meskipun posisi Soekarno 
sudah jauh melemah dibandingkan dengan sebelum Peristiwa 30 September terjadi, pada 
pertengahan Maret 1966 itu bagaimanapun Soekarno masih cukup   kuat jika  hanya untuk 
sekedar bertahan. 
Chairul Saleh yang terjepit dalam perubahan pertengahan Maret 1966 itu oleh para  mahasiswa 
Bandung digolongkan ke dalam kelompok kaum vested interest, yaitu  yang memiliki  
kepentingan tertanam pada suatu kondisi . Ia dinamakan orang yang anti komunis, namun 
sesudah  Peristiwa 30 September, ia mengikuti sikap Soekarno yang cenderung membela PKI. 
Dalam masa kekuasaan Soekarno yang sering disebut masa Orde Lama waktu itu, Chairul sudah  
merasa terjamin kepentingan kepentingan politis maupun kepentingan ekonomisnya, sehingga ia 
mendukung statusquo. Padahal, bila ia memiliki keberanian memisahkan keterikatan 
kepentingan pribadinya terhadap Soekarno, saat saat  peristiwa September 1965 justru bisa 
dipakai nya untuk tampil di muka rakyat sebagai pemimpin pejuang yang berkarakter seperti 
pernah  ditunjukkan di masa lampau pada masa mudanya. 
Tanggal 16 Pebruari, Chairul Saleh malah muncul membacakan pengumuman presiden yang 
mengecilkan arti Surat Perintah 11 Maret. sebab  sikap politiknya yang terkesan sejajar 
Soekarno itu ia akhirnya ikut  diamankan‘ bersama 15 menteri lain pada 18 Maret 1966. namun   
alasan penangkapan dan penahanannya, seperti dikatakan Soeharto selaku Panglima Kopkamtib, 
tidak terkait keterlibatan dalam pergerakan  30 September, melainkan sebab  beberapa  tuduhan 
pidana menyangkut penggunaan uang negara. Ia meninggal 8 Pebruari 1967 dalam usia 50 tahun  
dalam tahanan, suatu kondisi  yang tragis sebetulnya .  Patut disayangkan bahwa Chairul Saleh 
meninggal dalam tahanan, sesudah  hampir setahun  meringkuk, mengingat kejadian seperti ini bisa 
mengesankan tidak adanya kepastian hukum dan hak hak azasi di negeri ini, seperti pernah  
dipraktekkan rezim Soekarno di zaman Orde Lama , tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia  , 12 
Pebruari 1967, saat  memberitakan kematiannya. 
Sejak soebandrio   dan Chairul Saleh ditangkap, praktis Soekarno kehilangan pendamping politik 
senior yang tangguh dan hanya tersisa dr Leimena. namun   Leimena ini sejak 1 Oktober 1965 
memperlihatkan kecenderungan memilih posisi tengah. Dia lah yang menyarankan Soekarno ke 
Istana Bogor sesudah  Soeharto mengultimatum sang Presiden untuk meninggalkan Halim 
Perdanakusumah, yang pesannya disampaikan Soeharto melalui Kolonel KKO Bambang 
Widjanarko. Sikap  tengah‘ kembali ditunjukkan Leimena saat  mendampingi Soekarno 
menghadapi tiga jenderal  Super Semar‘, pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Soeharto 
cukup   mengapresiasi peran  peran  tengah Leimena, namun   di hari berikutnya , ia tak terbawa 
dan  ke dalam pemerintahan baru di bawah Soeharto. 
Meski Soekarno kehilangan beberapa  menteri setianya sebab  penangkapan yang dilakukan 
Soeharto, 18 Maret, waktu itu tetap dipercaya bahwa bila terhadap Soekarno pribadi dilakukan 
tindakan yang  berlebih lebihan‘, pendukungnya di Jawa Tengah dan juga di Jawa Timur akan 
bangkit melakukan perlawanan. Fakta dan anggapan seperti ini memicu  Soeharto memilih 
untuk bersikap hati hati dalam menjalankan keinginan keinginannya terhadap Soekarno. 
Penyusunan kembali kabinet yang dilakukan 27 Maret, dan diumumkan oleh Soekarno, yaitu  
kabinet statusquo yang tidak memuaskan mereka yang menghendaki perombakan total, namun 
sudah  memasukkan juga  orang  yang diinginkan Soeharto. 
Pada waktu itu, kendati PNI sudah  jauh melemah dan terbelah menjadi dua kubu, toh dalam setiap 
kubu masih ada  tokoh  kuat yang tak mungkin meninggalkan Soekarno begitu saja. 
Belakangan, menjelang SU IV MPRS sampai Sidang Istimewa MPRS tahun  1967, tokoh  
PNI yang bukan kelompok Ali Surachman (sering diringkas Asu) menjadi lebih dekat dengan 
Soekarno dan malah  lebih Asu dari PNI Asu seperti dikatakan seorang aktivis 1966. Di tubuh 
Angkatan Darat sendiri pun bahkan masih ada  jenderal jenderal pemegang komando 
teritoral yang meskipun anti komunis, namun yaitu  pendukung setia Soekarno. Contoh paling 
menonjol yaitu  dua Panglima Kodam di wilayah yang amat dekat dengan pusat pemerintahan, 
yaitu  Brigjen Amirmahmud yang merangkap sebagai Pepelrada untuk Jakarta dan sekitarnya, 
dan  Mayjen Ibrahim Adjie yang memegang komando di wilayah hinterland Jakarta, yaitu  
Kodam Siliwangi di Jawa Barat. 
Di luar Angkatan Darat, Soekarno tetap memiliki dukungan kuat. Seperti contohnya , Panglima 
KKO AL Mayor Jenderal Hartono. Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Muljadi, 7 
Oktober 1966, memberikan penghargaan Hiu Kencana kepada Soekarno, yang bisa menunjukkan 
betapa masih cukup   kuatnya pengaruh Soekarno di tubuh Angkatan Laut setidaknya sepanjang 
tahun  1966. Di tubuh kepolisian, ada Anton Soedjarwo Komandan Resimen Pelopor yang gigih 
mendukung Soekarno dan siap membasmi semua kekuatan yang mencoba menjatuhkan 
Soekarno. 
Proses penyusunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi itu, diakui Soeharto sendiri, 
suasananya  masih dalam jalur gagasan Presiden Soekarno. Dengan beberapa perhitungan, 
Soeharto memilih untuk kompromistis terhadap Soekarno. Atas keinginan Soekarno, Jenderal 
Abdul Harris Nasution, tak lagi diikutdan kan dalam kabinet. Dan Soeharto tidak merasa perlu 
terlalu mati matian mempertahankan seniornya itu dalam pemerintahan, walau berdasar keterangan saksi  Nasution 
untuk  kegagalan‘ itu Soeharto sengaja datang ke rumah menyatakan penyesalan. Namun, dalam 
suatu proses yang berlangsung dengan dukungan kuat dari bawah, dari kelompok kelompok 
yang makin terkristal sebagai kekuatan anti Soekarno, Nasution memperoleh  posisi baru sebagai 
Ketua MPRS dalam Sidang Umum IV MPRS Juni 1966. 
lalu  hari, Soeharto ternyata  menikmati‘ juga kehadiran Nasution di MPRS, yang dimulai 
dengan pengukuhan mandat bagi Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret, yang 
umum  diringkas sebagai Super Semar, yang mengacu kepada nama tokoh pewayangan Semar, 
punakawan kaum Pandawa, yang titisan dewa. Semar memiliki tiga putera yaitu  Bagong, Petruk 
dan Gareng. Di antara ketiga putera ini, yaitu  Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol 
kelemahan insan di dunia. saat  sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan 
kekuasaannya dalam kondisi   benar benar mabok‘. Ungkapan  Petruk Dadi Raja‘, secara 
empiris berkali kali terbukti sebagai cerminan perilaku manusia negara kita  saat berkesempatan 
menjadi penguasa.  
“Apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan 
apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini 
dengan sadar „melakukan‟ pembagian misi  untuk pencapaian pencapaian posisi politik 
sekaligus pencapaian posisi keberhasilan „fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan 
apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti 
Sjahrir dan kawan kawan, dan  Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang 
(setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi „melawan‟ terus menerus, sebelum akhirnya 
sempat turut masuk ke dalam kekuasaan sesudah  Soeharto atau dunia kepartaian…”. 
SIKAP Soeharto lalu  berubah menjadi sangat taktis dan kompromistis terhadap Soekarno, 
justru sesudah  ia menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret dan meningkat dengan pengukuhan 
suatu Tap MPRS. Ini mengecewakan beberapa  aktifis generasi muda yang sejak Januari 1966   
bahkan sejak Oktober 1965   sampai Maret 1966 sebetulnya  menjadi ujung tombak pergerakan   
yang sengaja atau tidak sudah  menciptakan begitu banyak kesempatan kekuasaan bagi Soeharto. 
Namun ada situasi mendua, tepatnya pembelahan, di dalam tubuh aktivis pergerakan   generasi 
muda sesudah  11 Maret 1966. Sebagian mulai terlibat ancang ancang masuk dalam barisan 
Soeharto   terutama melalui beberapa  jenderal atau jenderal politisi maupun politisi sipil di 
lingkungan Soeharto   untuk turut dan  dalam kekuasaan praktis, baik itu masih berupa sharing 
dengan Soekarno maupun lalu  pada waktunya sepenuhnya tanpa Soekarno lagi. Mungkin 
dalam kelompok ini dapat dimasukkan aktivis aktivis seperti dua bersaudara Liem Bian Koen 
dan Liem Bian Kie yang memiliki  kedekatan khusus dengan Ali Moertopo dan kawan kawan yang 
sejak awal berada di lingkaran Soeharto. Belakangan akan bergabung nama nama seperti 
Cosmas Batubara   tokoh KAMI yang paling legendaris di tahun  1966   dan Abdul Gafur. Ini 
semua bisa dikaitkan  dengan fakta bahwa saat  Soeharto memilih untuk bersikap lebih 
taktis, secara diam diam seperti yang digambarkan John Maxwell (2001), Soeharto mengambil 
langkah langkah di balik layar untuk melakukan misi  yang sulit, yaitu merehabilitasi 
perekonomian negara kita  yang sekarat dan mengganti kebijaksanaan luar negeri Soekarno yang 
penuh petualangan dengan mengakhiri kampanye konfrontasi. 
Untuk tujuan yang lebih pragmatis,  pada saat yang sama, Soeharto segera bergerak menggalang 
dukungan politik di dalam dan di luar tubuh militer . Pembersihan dilakukan di dalam tubuh 
angkatan bersenjata, khususnya di tubuh Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan 
Kepolisian yang paling kuat mendukung Soekarno. Proses yang sama dilakukan di semua tingkat 
birokrasi pemerintahan di bawah pengawasan aparat sosial politik tentara. Dalam rangka 
konsolidasi di tubuh angkatan bersenjata, ada yang dirangkul ada yang diringkus, atau dirangkul 
dahulu  lalu diringkus. Brigjen Soedirgo, Komandan Korps Polisi Militer, yaitu  salah satu contoh 
dari pola  dirangkul lalu diringkus‘. Soedirgo yang sebelum peristiwa tanggal 30 September 
1965, pernah  memperoleh  perintah Soekarno untuk menindaki jenderal jenderal yang tidak loyal, 
sempat diberi posisi puncak di pos intelijen selama beberapa lama, sebelum akhirnya dijebloskan 
ke dalam tahanan di tahun  1968. 
Kelompok yang paling cepat meluncur kepada tahap  mengakhiri kekuasaan Soekarno dengan 
segera yaitu  terutama kelompok mahasiswa di Bandung biasanya , yang sejak awal 
terjadinya Peristiwa 30 September, menunjukkan sikap anti Soekarno, bukan sekedar anti 
komunis, yang makin menguat hanya dalam tempo enam bulan hingga Maret 1966. Secara 
historis, sikap anti Soekarno ini bahkan sudah ada bibitnya masih pada zaman Nasakom. 
Kekuatan mahasiswa Bandung terutama ada pada organisasi organisasi intra kampus, dengan 
tiga kampus utama sebagai basis, yaitu  ITB dan Universitas Padjadjaran lalu Universitas 
Parahyangan. Dan satu lagi, yang berbeda dengan kampus utama lainnya, yaitu  IKIP, yang 
secara tradisional student government nya tanpa jedah didominasi oleh HMI. Sementara itu di luar kampus, ada  kelompok kelompok mahasiswa yang memiliki  peran  dalam pergerakan   mahasiswa. namun   yang khas yaitu  bahwa mereka, meskipun sering  bergerak di luar pagar kampus, tetap memiliki  aspirasi yang sama dan bahkan memperkuat aspirasi intra kampus. Banyak dari mereka, selain bergerak di luar malahan juga yaitu  aktivis intra kampus, namun tidak membawa bawa  bawa nama kelompoknya di luar dalam kegiatannya di kampus sehingga tidak menghadapi resistensi di kampus. Salah satu kelompok yang terkenal yaitu  kelompok Bangbayang. Lainnya yaitu  kelompok Kasbah dan kelompok Masjid Salman ITB. Di luar itu, ada Rahman Tolleng dan kawan kawan yang lalu  sesudah  terbitnya Mingguan Mahasiswa Indonesia   (mulanya sebagai edisi Jawa Barat) 19 Juni 1966 menjelma menjadi satu kelompok politik tangguh dan dinamakan Kelompok Tamblong Dalam sesuai nama jalan tempat kantor mingguan itu berada. Pada kelompok Tamblong ini bergabung beberapa  tokoh mahasiswa intra kampus maupun ekstra kampus, mulai dari organisasi organisasi yang tergabung dalam Somal, Damas (Daya Mahasiswa Sunda), Mapantjas, PMKRI sampai GMNI Osa Usep, dan  aktivis mahasiswa independen lainnya. Aktivis dari HMI dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiah) hanya satu dua yang terselip di sini. Dalam kelompok Bangbayang ada   campuran‘ aktivis dengan catatan sepak terjang yang  beraneka ragam dengan keterlibatan dalam beberapa peristiwa politik penting. Ada tokoh  
seperti Dedi Krishna, Tari Pradeksa, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, yang terlibat 
Peristiwa 10 Mei 1963 dan berbagai peristiwa di ITB dan sebagainya. Nama lain dalam 
kelompok ini yang umumnya yaitu  mahasiswa ITB yaitu  Roedianto Ramelan, Anhar Tusin, 
Fred Hehuwat, Riswanto Ramelan, Santoso Ramelan, Zainal Arifin, Indra Abidin, Bernard 
Mangunsong, Irwan Rizal, Utaryo Suwanto, Andi Sjahrandi dan lain lain. Yang dari Universitas 
Padjadjaran yaitu  Parwito Pradotokusumo dan  beberapa nama lain. Sampai bertahun  tahun  
lalu  kelompok Bangbayang ini masih ada dengan nama Persaudaraan Bangbayang dengan 
ratusan  anggota‘ yang masih sering  berkomunikasi satu sama lain. 
Kelompok ini, melalui beberapa  anggota‘nya, memiliki persinggungan dengan berbagai 
kelompok politik, seperti kelompok PSI (Jalan Tanjung), kelompok perwira militer idealis yang 
berperanserta  pada masa peralihan Orde Lama Orde Baru, juga dengan intelijens AD, dan  kelompok 
politik Islam dari Masjumi. Namun dengan segala persentuhan itu, Bangbayang tetap termasuk 
dalam kelompok mahasiswa independen. Melalui Muslimin Nasution, Bangbayang memiliki 
titik singgung dengan kelompok (Islam) Masjid Salman (dan HMI). Dan sebab  kebersamaan 
dalam Peristiwa 10 Mei 1963, memiliki  titik singgung dengan mahasiswa GMNI Ali 
Surachman, Siswono Judohusodo (Barisan Soekarno Bandung, 1966). Secara  geografis‘ 
Bangbayang bertetangga dengan kelompok mahasiswa Islam  Kasbah‘. Anggota kelompok 
Kasbah ini, umumnya yaitu  mahasiswa berketurunan Arab   seperti Ridho, mahasiswa 
Universitas Padjadjaran   dan sebab  itu memperoleh  nama Kasbah, suatu wilayah tersohor di ibukota Marokko. Kebanyakan dari mereka yaitu  anggota HMI dari  aliran garis keras ‘, berbeda  dengan aktivis Salman ITB yang yaitu  Islam  independen‘ atau anggota HMI beraliran 
moderat. Sebagai barisan mahasiswa pergerakan   1966, Bangbayang memiliki berbagai akses kemudahan. Di situ ada Aburizal Bakrie putera Achmad Bakrie (pengusaha yang banyak berkontribusi kepada pergerakan  mahasiswa 1966), ada keponakan tokoh militer konseptor AD (Seminar AD I/II)  Mayjen Soewarto, ada putera Mayjen Kemal Idris, ada kedekatan dengan Soedarpo dan  sebagainya. Hal yang menarik dari kelompok Bangbayang ini yaitu  ada nya seperti  
pembagian misi  tidak resmi secara internal, yaitu  kelompok pemikir yang terdiri dari tokoh 
tokoh pergerakan   mahasiswa senior dan kelompok pelaksana lapangan yang bisa bergerak 
bagaikan pasukan tempur yang umumnya terdiri dari kalangan mahasiswa yang lebih junior. 
Selain itu ada juga  istilah  baduy dalam‘ dan  baduy luar‘, seperti yang dituturkan Utaryo 
Suwanto. Baduy dalam yaitu  untuk mereka yang tinggal bersama dalam satu rumah di Jalan 
Bangbayang yang kepemilikannya ada hubungannya dengan orangtua Roedianto Ramelan. Sedang istilah baduy luar dikenakan terhadap mereka yang sehari hari dalam kegiatan bergabung dengan kelompok ini , namun bermukim di luar  rumah bersama‘ di Bangbayang. sesudah  Soekarno, pada masa awal Orde Baru, Bangbayang berbeda sikap dengan kelompok 
mahasiswa (independen) Bandung lainnya (Tamblong Dalam) mengenai masuknya wakil 
mahasiswa ke parlemen (yang ingin melakukan  struggle from within’). Kelompok Bangbayang 
ini   setidaknya yang terlihat pada permukaan   memilih untuk lebih cepat meninggalkan kancah 
politik praktis sesudah  1966 dan masuk ke dunia profesional. Mereka antara lain mengintrodusir 
proyek padi unggul Sukasono di Garut. Cepat mendorong  anggota‘nya back to campus untuk 
menyelesaikan kuliah, dan segera terjun ke bidang profesional seperti dunia bisnis dan 
pemerintahan. Muslimin Nasution masuk Bulog dan Departemen Koperasi, beberapa lainnya 
masuk ke berbagai departemen bidang profesional seperti Pertambangan, Perindustrian, 
Perbankan dan beberapa BUMN atau perusahaan perusahaan swasta dan kelak menduduki 
posisi posisi cukup   penting dan mencapai sukses di tempat tempat ini . Kelompok Tamblong sementara itu, memilih untuk lebih dalam menerjunkan diri ke medan politik praktis, 
baik di DPR maupun organisasi politik seperti Golkar. Sedikit perkecualian dari Bangbayang 
yaitu  Rudianto Ramelan yang banyak bersinergi dengan kelompok Tamblong dan untuk 
beberapa waktu melakukan  struggle from within’. 
mungkin  apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan 
dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini 
dengan sadar  melakukan‘ pembagian misi  untuk pencapaian pencapaian posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan  fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa 
yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan 
kawan kawan, dan  Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 
1974) ada dalam posisi  melawan‘ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke 
dalam kekuasaan sesudah  Soeharto atau dunia kepartaian seperti yang dilakukan Sjahrir. 
Sikap yang serupa   mengenai Soekarno sesudah  11 Maret 1966   dengan kelompok kelompok 
mahasiswa Bandung itu, di kalangan mahasiswa dan aktivis Jakarta, selain oleh Marsilam 
Simanjuntak dan kawan kawan, juga ditunjukkan contohnya  oleh orang  seperti Soe Hokgie, 
Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution. Dalam skala politis yang lebih terkait dengan 
aspek kepartaian, sikap kritis terhadap Soekarno itu sejak dini juga sudah  terlihat pada tokoh 
tokoh seperti Harry Tjan dari Partai Katolik dan Subchan Zaenuri Erfan dari Partai Nahdatul 
Ulama. Kontingen Mahasiswa Bandung yang sudah  berada di Jakarta sejak 25 Pebruari, mengakhiri keberadaannya di Jakarta dan kembali ke Bandung 23 Maret 1966. namun   antara 12 Maret hingga saat kepulanganya ke Bandung, mahasiswa mahasiswa Bandung sempat ikut dan  
dalam beberapa aksi bersama mahasiswa Jakarta yang waktu itu terfokus kepada pembersihan 
lanjutan terhadap Kabinet Dwikora yang disempurnakan, sesudah  penangkapan 16 Menteri. Meski tak selalu menyebutkan nama Soekarno secara langsung banyak  serangan‘ yang dilakukan mereka tertuju kepada berbagai tindakan politik Soekarno. Salah satu kegiatan 
Kontingen Bandung ini yang menonjol yaitu  membangun Radio Ampera, yang dilaksanakan 
oleh Anhar Tusin, Santoso Ramelan dan kawan kawan yang berasal dari group Bangbayang. 
Lokasi pemancar ini semula di kampus UI Salemba tempat Kontingen Bandung berada selama di Jakarta. Namun saat  ada isu kampus UI akan diserbu 25 Pebruari, pemancar itu di bawa ke rumah Ir Omar Tusin   kakak Anhar   selama dua hari untuk lalu  dipindahkan ke rumah 
Mashuri SH yang letaknya tak jauh dari rumah  Soeharto di Jalan H. Agus Salim.  keikutsertaan  Soe Hokgie dan kakaknya Soe Hokdjin   belakangan dikenal dengan nama barunya, Arief Budiman   menyajikan naskah bagi Radio Ampera yang  sasarannya tajam tertuju kepada Soekarno, sudah  memberi warna tersendiri dalam pergerakan   mahasiswa di Jakarta. Kegiatan Radio Ampera ini, sejak pertengahan Maret berangsur angsur dipindahkan ke Jawa 
Tengah (Magelang dan sekitarnya), sebab  menganggap daerah itu perlu memperoleh  penjelasan penjelasan mengenai kesalahan kesalahan yang sudah  dilakukan pemerintahan Soekarno sehingga diperlukan koreksi koreksi. Belakangan, suatu pemancar radio serupa yang lebih kecil disimpan di Surabaya yang dititipkan pengelolaannya ke beberapa aktivis KAMI Surabaya, Buchori Nasution dan kawan kawan. Pemancar yang ditempatkan di Jawa Tengah disumbangkan oleh RPKAD, berkekuatan 400 watt yang bisa menjangkau ke barat ke arah Sumatera dan ke timur hingga pulau  Bali. beberapa  aktivis eks Kontingen Bandung bergantian menyelenggarakan  siaran di Magelang hingga 31 Desember 1966, seperti Thojib Iskandar, Arifin Panigoro, Bernard Mangunsong dan kawan kawan.  Penjaga‘ tetap pemancar di Magelang ini yaitu  Tari Pradeksa. Sementara itu di Bandung ada  beberapa  pemancar radio yang didirikan dan dikelola oleh para mahasiswa. Ada Radio ITB yang dikelola para mahasiswa ITB. Ada juga  Radio Mara yang amat terkenal pada masa masa pergerakan   mahasiswa di tahun  1966 dan berfungsi sebagai penghibur sekaligus pemberi spirit bagi pergerakan   mahasiswa. Radio Mara didirikan dan diasuh oleh kelompok mahasiswa seperti Mohammad S. Hidajat, Bawono, Atang Juarsa, Harkat Somantri dan kawan kawan. Beberapa perwira Siliwangi, termasuk Mayjen HR Dharsono, sering kali ikut melakukan siaran dengan memakai  nama samaran Bang Kalong. Radio itu sampai sekarang masih eksis. 
“Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat rapat keinginannya mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga mengetahui  bahwa Soeharto memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu 
saat saat  demi saat saat  sudah  membuka peluang peluang untuk itu bagi dirinya. 
sering  kali Soeharto berbasa basi menyatakan bahwa ia tak memiliki  ambisi, namun   melalui 
kata kata bersayap tak jarang juga  ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia yaitu  seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan 
hanya bertindak sesudah  percaya  mengenai apa yang akan dicapainya”. 

mahasiswa Bandung sesudah  Surat Perintah 11 Maret, bukannya tanpa masalah. Hasjroel 
Moechtar, dalam bukunya ‘Mereka dari Bandung’ (1998), menggambarkan adanya perubahan 
iklim dan situasi.  KAMI tanpa terasa sudah  tumbuh sebagai suatu kekuatan atau lembaga 
kemahasiswaan yang formal . Keberadaannya sebagai suatu organisasi mulai tampil menyerupai 
sebagai suatu instansi resmi.  Sifat sifat dan watak perjuangannya yang semula tampak spontan, tidak resmi resmian, agaknya mulai mengalami perubahan. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret, lalu dibubarkannya PKI, menempatkan KAMI   dan dengan sendirinya juga mahasiswa   sebagai pemenang. Ada prosedur, ada protokol, ada upacara, ada hirarki, pokoknya ada  birokrasi‘ 
organisasi . Dengan anggapan diri sebagai pemenang, setiap organisasi mahasiswa yang tergabung di dalamnya, mulai mengambil ancang ancang untuk memperjelas posisi dan peran nya dalam KAMI Bandung.  Mulai muncul gejala tuntutan pembagian peran . Mulai juga  kelihatan munculnya pengelompokan di antara ormas ormas mahasiswa dalam versi baru . Dengan nada tajam penuh kecaman, Hasjroel mengatakan  tanpa disadari KAMI sudah muncul sebagai kekuatan masyarakat yang ikut  berkuasa‘ atau setidak tidaknya memiliki pengaruh sebagaimana alat alat kekuasaan yang lainnya. kondisi  atau gejala itu sangat jauh berbeda dari situasi yang dihadapi pada tanggal 5 Oktober 1965 saat  mahasiswa Bandung yang anti komunis melancarkan aksi pertama kalinya. Waktu itu, setiap pimpinan mahasiswa saling menunjuk rekannya yang lain untuk tampil memimpin aksi mengganyang PKI. Bahkan banyak dari mereka dengan berbagai alasan takut takut dan menunda atau bahkan tidak mau menandatangani pernyataan yang menolak Dewan Revolusi tanggal 1 Oktober 1965 saat  Letnan Kolonel Untung mengumumkannya melalui siaran Radio Republik Indonesia   . Kembalinya Kontingen Bandung dari Jakarta, sesudah  Peristiwa 11 Maret 1966, seakan mengikuti 
 naluri‘ saja, sebab  memang tampaknya pergerakan   berdasarkan idealisme semata pun sudah  berakhir. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Erna Walinono bahwa pada dasarnya kebanyakan mahasiswa Bandung bergerak berlandaskan kepercaya an sebagai pergerakan  moral dan bukan pergerakan  politik. Lalu, sebagian besar mahasiswa dengan cepat beralih kepada pergerakan  pergerakan  kemasyarakatan seperti pergerakan  anti korupsi. Bahwa mahasiswa mahasiswa Bandung 
dengan ciri pergerakan  moral ini seterusnya terlibat juga  dalam pergerakan   menjatuhkan‘ Soekarno hingga setahun  ke depan, agaknya tak bisa dilepaskan dari sikap perlawanan terhadap 
ketidakadilan, sikap a demokratis dan otoriter dari kekuasaan Soekarno. Tidak dalam konotasi 
politik untuk memperjuangkan tegaknya kekuasaan Soeharto. namun  berdasar keterangan saksi  Erna, hingga sejauh itu, mahasiswa memang masih menaruh kepercayaan kepada tentara terutama yang direpresentasikan oleh tokoh  seperti HR Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo. Agaknya kala itu mayoritas mahasiswa belum melihat adanya  detail‘ yang berbeda dalam tubuh tentara, bahwa tidak seluruh perwira tentara seperti ketiga tokoh yang mereka 
kagumi saat itu. Merupakan juga  fakta  lalu  pada sisi yang lain, sesudah  lahirnya Surat Perintah 11 
Maret, tahap idealisme memang sudah  bergeser memasuki tahap yang lebih pragmatis 
menyangkut posisi kekuasaan. Secara umum sesudah  itu memang praktis pergerakan  pergerakan  fisik yang bermakna idealisme mulai menyurut untuk pada saatnya nanti akan berakhir, yang sekaligus menandai surut dan berakhirnya KAMI. pergerakan   pergerakan   yang terjadi lalu , 
jika pun melibatkan mahasiswa atau generasi muda, sudah dalam konotasi berbeda, yaitu  lebih 
cenderung kepada kepentingan politik praktis, terutama ekstra universiter yang mengikuti 
ideologi organisasi induknya. Atau setidaknya, sudah  terbalut dengan kepentingan politik praktis 
dalam rangka penentuan akhir posisi dalam kekuasaan negara. Bahkan di lingkungan HMI yang semestinya lebih independen, terlihat kecenderungan  mencari‘ induk politik, yang nampaknya waktu itu akan terpenuhi dengan mulai munculnya kabar mengenai  adanya keinginan menghidupkan kembali Masjumi yang dibubarkan Soekarno pada era Nasakom. 
Kala itu, kekuasaan di negara kita  seolah olah memiliki matahari kembar yang menciptakan 
dualisme. Di satu pihak ada Soekarno yang oleh para pendukungnya ingin tetap dipertahankan 
untuk lalu  dikembalikan ke posisi semula. Para pendukung ini tidak memiliki  bayangan 
apapun mengenai  kekuasaan tanpa Soekarno. Soekarno tanpa kekuasaan mutlak menjadi 
pengalaman baru yang menakutkan mereka. PNI yang terbelah pun seakan kembali mulai 
menyatu dalam kepentingan bersama mempertahankan Soekarno, dengan PNI Osa Usep sebagai pembawa bendera sebab  diterima oleh mahasiswa anti Soekarno dan partai partai bukan kiri. Pada pihak lain beberapa  kaum intelektual di Jakarta, terlepas dari suka atau tidak suka secara pribadi kepada Soeharto, melihat kehadiran Soeharto sebagai suatu peluang untuk suatu perubahan, tepatnya pembaharuan tata kekuasaan negara. Soeharto yang dianggap muncul sebagai fenomena dari  historical by accident yaitu  realitas objektif dan alternatif satu satunya untuk saat itu bila berbicara mengenai  perubahan kekuasaan. Memang masih ada figur Jenderal AH Nasution, namun   saat saat  demi saat saat  yang lepas sejak 1 Oktober 1965 hingga Maret 1966, menjauhkannya dari peluang. Apalagi, pada waktu bersamaan, di  sekeliling Soeharto sudah  muncul dengan cepat suatu lingkaran kuat yang semakin mengental dengan tujuan akhir 
menjadi  Soeharto sebagai pemimpin nasional berikutnya sesudah  Soekarno, cepat atau lambat. 
Posisi Soeharto dalam kaitan keinginan kaum intelektual yang ingin menginginkan pembaharuan 
kekuasaan, maupun dalam kaitan keinginan lingkaran politik di sekitar Soeharto, yaitu  sebagai 
objek atau alat. namun   sebaliknya Soeharto juga memperalat mereka yang menginginkan 
perubahan itu, untuk mewujudkan keinginannya sendiri yang sudah  tumbuh, baik dari hasrat 
pribadinya secara manusiawi, maupun sebab  penciptaan situasi dan kondisi yang cukup   cerdik 
dari lingkaran politik sekelilingnya. 
Terlihat bahwa beberapa  kelompok mahasiswa yang tadinya merupakan satu kesatuan besar   
lintas asal ideologis maupun sebagai campuran pergerakan  intra kampus dan ekstra kampus   
berangsur angsur kembali ke sarangnya masing masing. Organisasi ekstra kembali ke partai 
induk ideologisnya, sementara mahasiswa intra kembali ke dalam kehidupan yang lebih 
memperhatikan dan terkait dengan kampusnya. Sementara itu, di antara kutub kutub arus balik 
itu ada  beberapa  kelompok mahasiswa non ideologis, dan  beberapa  cendekiawan yang 
lebih senior, yang untuk sebagian disebut kelompok independen yang berasal dari berbagai 
sumber, terjun ke suatu pergulatan baru untuk merombak dan memperbaharui struktur politik 
lama. Dalam satu garis logika dan konsistensi, pertama  dengan sendirinya berarti 
mengakhiri kekuasaan Soekarno sebagai representan utama struktur politik lama. Tahap 
berikutnya, tentu saja menyangkut pembaharuan kehidupan kepartaian. Justru dilemanya, yaitu  
bahwa dalam rangka kepentingan mengakhiri kekuasaan Soekarno, sebagian kekuatan partai itu 
diperlukan  sebagai faktor, terutama dari sudut kepentingan Soeharto. namun   suatu toleransi 
untuk memberi peran  kepada partai partai ideologis dari struktur lama itu, pada akhirnya 
hanya akan menghasilkan sekedar penggantian pemegang peran  di panggung politik dan tidak 
menciptakan suatu sistim dan praktek politik baru yang rasional. Sekedar mengganti pelaku di 
atas panggung untuk permainan buruk yang sama. 
Sadar atau tidak sadar, tak bisa dihindari bahwa gagasan pembaharuan politik dengan konotasi 
pertama  mengganti Soekarno, dalam banyak hal berimpit dalam suatu wilayah abu abu 
antara idealisme gagasan kaum intelektual dengan strategi penyusunan kekuasaan dari kelompok 
politik Soeharto yang terdiri dari campuran tentara dan cendekiawan sipil. namun   kelompok non 
ideologis yang independen pada akhirnya lebih banyak berjalan sejajar dengan beberapa  perwira 
militer anti komunis yang digolongkan sebagai kelompok perwira idealis atau kelompok perwira 
intelektual. Termasuk paling menonjol dari barisan perwira idealis ini yaitu  Mayor Jenderal 
Hartono Rekso Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat dari Kepala Staf 
menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi. Perwira idealis lainnya yaitu  
Mayjen Kemal Idris dan Mayjen Sarwo Edhie Wibowo. Tak ada jenderal lain yang begitu dekat 
dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka, 
sehingga kadangkala kepopuleran Sarwo Edhie dan HR Dharsono contohnya  melebihi kepopuleran  
Soeharto saat itu, apalagi saat  Soeharto lalu  terlalu berhati hati dan taktis menghadapi 
Soekarno sehingga di mata mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Kepopuleran tiga jenderal 
ini lalu  juga menjadi seperti  bumerang bagi karir mereka selanjutnya. Melalui suatu 
proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari posisi posisi strategis dalam 
kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama sekali. Bagi para mahasiswa yang sangat dinamis dan menghendaki perubahan cepat, sikap alon alon 
waton klakon dan mikul dhuwur mendhem jero Soeharto seringkali tak bisa dipahami. Dalam 
banyak hal perwira perwira intelektual ini berbeda gaya dengan Soeharto dalam menghadapi 
Soekarno. Kelompok idealis ini lebih to the point dalam menyatakan ketidakpuasan mereka 
terhadap Soekarno dan tidak menyembunyikan keinginan mereka untuk mengganti Soekarno 
secepatnya. Terminologi yang mereka gunakan lebih lugas, jarang mengangkat istilah istilah dari 
perbendaharaan tradisional, khususnya dari khasanah kultur Jawa. Mereka memakai  kata 
kata yang tegas dan dinamis seperti pendobrakan, pengikisan, diikuti terminologi yang 
mencerminkan keinginan akan perubahan seperti perombakan atau restrukturisasi dan 
pembaharuan total, terhadap sistem dan struktur politik contohnya . Pernyataan pernyataan yang 
memperlihatkan keinginan mengganti Soekarno bukan hal yang tabu untuk diucapkan. 
Sebaliknya, Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat rapat keinginannya 
mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga mengetahui  bahwa Soeharto memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu 
saat saat  demi saat saat  sudah  membuka peluang peluang untuk itu bagi dirinya. sering  kali 
Soeharto berbasa basi menyatakan bahwa ia tak memiliki  ambisi, namun   melalui kata kata bersayap  tak jarang juga  ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia yaitu  seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan hanya bertindak sesudah  percaya  mengenai apa yang akan dicapainya. Tak mudah ia tergoda menerkam setiap peluang yang muncul. (Sumber: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun  1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006) “Peristiwa 30 September 1965 memang yaitu  sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa negara kita ”. Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan 
ketegangan dan pergesekan kronis”. lumuran darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa negara kita  merdeka dalam sejarah negara kita  modern. Tepat pada tahun  keduapuluh negara kita  merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh pergerakan  30 September, yang terutama terkait dengan beberapa  tokoh Partai Komunis  Indonesia   dan perwira tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa sisa kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini. Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum negara kita  merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan  kekuatan politik‘ angkatan bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing masing yang tak lain bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung petarung dalam perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dahulu , namun pada saat sang pemenang surut sebab  waktu, maupun kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh 
saat saat  untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri. 
Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka 
berkesempatan memperoleh  dan menggali informasi  jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam sebab  pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak 
terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal sebab  pertalian darah dan 
pertalian kepentingan yang diwariskan. 
Terlepas dari apapun pemicunya  dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi lebih 
dari 40 tahun  silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah negara kita  merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan   yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira menengah di Jawa Tengah   bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam sejarah negara kita  hingga sejauh ini. Apalagi, sesudah  pembunuhan keji itu terjadi,  menyusul juga  rentetan pembunuhan massal   siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun   terhadap beberapa  orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih. Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini sebetulnya ,  Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun  sesudah  Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran beberapa  intelektual muda kala itu, media itu mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini,  Peristiwa 30 September 1965 memang yaitu  sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa negara kita . Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan  ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis . Sebuah peristiwa yang merupakan 
resultante dari kontradiksi kontradiksi yang ada  secara objektif dalam masyarakat kala itu, 
yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke masa masa berikutnya, hingga kini. fakta menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran ini , kontradiksi kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat negara kita , yang berakar dari beberapa  faktor disintegrasi yang belum juga  tersembuhkan. sesudah  pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September 
1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan 
pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti), 
sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap kantor kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, namun   juga menjalar ke kota kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset, terutama 
kantor kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia. 
jika  pun ada tindakan terhadap anggota anggota organisasi kiri, yaitu  sebatas  meringkus‘ 
untuk selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat. saat  para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh  organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. berdasar keterangan saksi  Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun  1960 an,  sepengetahuan   saya, Soeharto waktu itu memberi perintah, semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh . Kebetulan politbiro PKI saat  itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah juga  sebabnya banyak tokoh PKI yang  merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh  PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung  dan tidak pernah menegur. 
tahap  berdarah babak kedua 
RPKAD yang sudah  merampungkan misi  di Jakarta, memperoleh  misi  lanjutan untuk melakukan 
penyisiran untuk menangkap tokoh  PKI dan organisasi onderbouwnya terutama  di Jawa 
Tengah dan Jawa Timur, lalu lalu  di Bali. namun   bersamaan dengan itu terjadi juga  satu 
gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan 
organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian 
kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah darah. Berlangsung secara horizontal, 
terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh beberapa  organisasi massa dalam 
kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah 
seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan dan  secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa 
Barat. Bila yang terjadi di kota kota besar yaitu  tindakan fisik terhadap kantor kantor 
organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan 
mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah 
daerah yaitu  malapetaka sosiologis. 
Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang 
pembalasan yang paling parah di pulau  Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa 
Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi 
organisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI 
merupakan partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok 
komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama yaitu  Pemuda Marhaenis, 
dan memperoleh  bantuan dari pemuda pemuda Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna. 
Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis versus kelompok non komunis, 
kekuatan utama non komunis yaitu  massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat 
seperti Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis. 
Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan PNI, 
mulai dari posisi posisi di badan badan perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan. 
berdasar keterangan saksi  tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani 
menghadapi aksi aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan 
kalangan dunia usaha di Jawa Tengah biasanya  yaitu  pendukung pendukung PNI, 
sementara para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih 
miskin, biasanya  yaitu  pengikut pengikut PKI. saat  BTI melakukan aksi aksi sepihak 
dalam rangka UUPA terhadap tanah tanah yang dianggap milik para tuan tanah dan para petani 
kaya, yang terkena biasanya  yaitu  pengikut pengikut PNI. Dan saat  SOBSI tak 
henti hentinya menjalankan aksi aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok 
 majikan‘ yang umumnya yaitu  warga PNI. 
tokoh  PNI, seperti contohnya  Hardi SH pernah  mengadu langsung mengenai  sikap provokatif 
dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan kepentingannya di Jawa Tengah, namun   
Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam 
Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan sudah  melakukan serangan 
serangan politik kepada PNI. PKI juga berkali kali melakukan serangan serangan politik yang 
menggoyang para bupati yang kebetulan yaitu  dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa 
tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun  sudah  mengakumulasi 
kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI di daerah 
ini . Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini yaitu  bahwa di beberapa 
daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama 
dan dalam banyak peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya 
menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi organisasi mantelnya seperti 
BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, beberapa  perwira berhaluan komunis 
pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk seberapa 
lama. 
Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun  1964, sebagaimana dilaporkan oleh sebuah 
tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan 
Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan misi  pengawalan saat  BTI membantu seorang petani 
menggarap kembali sawahnya yang pernah  dijualnya   dan bahkan sudah dikalahkan di 
pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata kata 
 Teruslah kalian mengerjakan sawah. jika  ada orang PNI datang biar saya tembak mereka . 
Banyak Puterpra, terutama di kabupaten kabupaten yang Komandan Kodim nya yaitu  perwira 
berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora melakukan pelatihan 
pelatihan kemiliteran secara intensif di desa desa yang didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda 
Rakyat. Bahkan ada beberapa  desa yang sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis 
sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan . Beberapa 
desa memiliki persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah 
menjalani latihan militer 
“keikutsertaan  sebagai pembantai bahkan sering kali dianggap seperti  misi  suci oleh 
beberapa anak muda belasan tahun . „Seorang teman sekolah saya di SMA, sering  
bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada tengah malam  sebelumnya‟, kata Sjahrul. 
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur 
angsur menjadi tidak wajar”. 
sesudah  Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober dinihari, setengah jam sebelum Halim 
Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD, Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi kekuasaan 
oleh Soekarno, berangkar ke Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut 
dalam percaturan 1 Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di wilayah 
Jawa Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI. Bertepatan dengan kehadiran Aidit di 
Jawa Tengah, 2 Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan 
Kolonel Sugijono diculik lalu dibunuh. Adanya penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan 
bahwa selain Jakarta, situasi Jawa Tengah dan Yogyakarta juga cukup   krusial. Faktanya 
memang, bahwa di Jawa Tengah ini PKI lebih bersikap agresif, sebab  memang cukup   kuat. PKI 
di wilayah itu yang  dominan‘ dalam opini dan kegiatan politik yang aktif selama periode 
Nasakom   dan hanya diimbangi oleh PNI   sesudah  Peristiwa 30 September merasa dihadapkan 
kepada suatu situasi dengan pilihan lebih dahulu  membantai atau dibunuh . Dan sebab  itu, pada sisi 
sebaliknya pada kelompok non komunis juga berlaku pilihan serupa. 
Dalam laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen, terlihat bahwa sejak awal 
Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk mendahului bertindak. Mereka melakukan 
pembantaian besar besaran dalam skala ratusan korban, yang memicu  juga  ratusan tokoh 
PNI dan NU dan  massa mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri. Dapat 
dikatakan suasana dibunuh  atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai 
Nopember, dengan korban cukup   banyak pada kedua belah pihak. berdasar keterangan saksi  laporan penelitian 
itu, massa PKI juga sempat melakukan  gerakan gerakan ‘ atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang 
ada di kantor kecamatan. 
Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, saat  orang  PKI menculik dan menawan banyak 
tokoh  PNI dan anggota organisasi non komunis lainnya, maka terjadi juga  usaha  
membebaskan dengan menyerbu desa desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. sebab  
adanya suasana balas membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi 
bahwa di tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa, 
sering kali terjadi salah bantai, dan tak kurang juga  ekses berupa pemanfaatan situasi balas 
dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak ada kaitannya 
dengan masalah ideologi dan politik. 
Tercatat juga  keterlibatan anggota anggota KKO AL (Korps Komando Angkatan Laut) sebagai 
perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah  
dituturkan seorang perwira KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe yang pernah  menjadi Pjs Panglima 
Pasukan Komando Armada I di Surabaya, yaitu  sebab  faktor emosional semata akibat 
jatuhnya anggota keluarga mereka sebagai korban dalam gelombang mass murder yang terjadi. 
Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibunuh  secara membabi buta itu yaitu  dengan 
tuduhan terlibat PKI   meskipun sebetulnya  terselip juga  kejadian sebaliknya, menjadi korban 
pembunuhan oleh orang  PKI   maka keterlibatan anggota anggota KKO ini sempat 
menjelma menjadi suatu isu nasional. Sementara itu, anggota anggota KKO yang keluarganya 
belum menjadi korban, namun terancam oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam usaha  usaha  
membela dan melindungi keluarga mereka itu dan sering kali dengan bantuan teman teman satu 
korps sebagai tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebetulnya . Saat melakukan 
usaha  perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan satuan satuan 
Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bekerja   melakukan penyisiran 
terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebetulnya  terjadi juga  di Jawa Timur. 
Dan dalam suatu koinsidensi pada masa berikutnya, Panglima KKO Mayor Jenderal (lalu  
Letnan Jenderal) Hartono  kebetulan‘ juga banyak tampil dengan pernyataan pernyataan yang 
dianggap sebagai pembelaan terhadap Soekarno, sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh 
lagi dengan konotasi bertentangan  dengan Angkatan Darat sesudah  30 September. Letnan Jenderal 
Hartono dikenal juga  sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat yang dianggapnya 
terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai Angkatan Darat, yaitu  sikap 
 pembangkangan‘ dan politik politikan beberapa  jenderal terhadap Presiden Soekarno.  dahulu  
saya memang tidak setuju Soekarno diturunkan jika  tidak melalui cara hukum dan konstitusi. 
Kita yaitu  tentara, dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela . 
Sikap yang mencela terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat ini, termasuk dalam 
menghadapi Soekarno, berdasar keterangan saksi  Laksamana Laut Mursalin Daeng Mamangung, cukup   merata di 
kalangan perwira tinggi Angkatan Laut, bukan hanya Letjen Hartono. Nasib Letnan Jenderal 
Hartono sendiri, menjadi tragis di hari berikutnya . sesudah  Soeharto menjadi Presiden, untuk 
beberapa bulan Hartono tetap  dibiarkan‘menjadi Panglima KKO. sesudah  itu, ia diangkat 
menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara. Suatu waktu saat  sedang berada di Jakarta, 
ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan turunnya hujan deras. Tamu itu diterimanya di 
salah satu ruangan. Tak ada sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota keluarganya yang 
ada di rumah dalam suasana hujan yang deras. lalu   ia ditemukan tewas 
sebab  luka tembakan dengan sebuah pistol di dekatnya. Hartono lalu  disimpulkan secara 
resmi tewas sebab  bunuh diri. 
Laksamana Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai perwira tinggi AL waktu itu 
sempat datang menengok ke rumah  Hartono dan bertemu dengan beberapa anggota keluarga. 
berdasar keterangan saksi  Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan 
tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke 
leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan 
sengaja. Dan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun  tahun  
sebelumnya kepada Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi, masalah  kematian 
Letnan Jenderal Soeharto, masuk dalam daftar X masalah  masalah  yang tak  terungkapkan‘. 
saat  gelombang pembalasan dari kelompok non komunis makin meningkat dan makin banyak 
juga  campur tangan tentara, maka pada akhirnya jumlah korban yang jatuh di kalangan 
kelompok komunis juga semakin lebih banyak, dan memasuki skala mass murder. Angka 
moderat korban yang jatuh di Jawa Tengah yaitu  dalam skala puluhan ribu, namun   mengingat 
panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa korban mencapai angka dua ratus ribuan 
khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta saja. 
kondisi  yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana 
massa PKI mendahului bersikap agresif dan melakukan pembantaian, biasanya  mereka lah 
yang lebih banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan 
penculikan dan pembunuhan, namun   sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi 
sasaran. Terjadi juga  suatu kondisi  khusus di suatu daerah yang pendukung PKI nya lebih 
dominan. beberapa  anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa menjadi tameng 
luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda Rakyat. Suatu saat , ada 
serangan pembalasan atas desa ini , dan dua orang anggota Banser tertawan, lalu  diadili‘. 
Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap  darah dingin‘ menebas leher 
salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan menangis nangis memberitahukan  
bahwa mereka sebetulnya  yaitu  anggota Banser yang dijadikan tameng. sesudah  dilakukan 
pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu yaitu  anggota Banser, namun   bagaimana pun 
juga kepala yang sudah  terpancung itu tak dapat direkatkan lagi. 
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bekerja   di Malang, Sjahrul   yang 
lalu  menjadi aktivis mahasiswa dari ITB di Bandung sejak tahun  1967   mengisahkan 
betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian 
tergantung di pagar kantor ayahandanya. keikutsertaan  sebagai pembantai bahkan sering kali 
dianggap seperti  misi  suci oleh beberapa anak muda belasan tahun .  Seorang teman sekolah 
saya di SMA, sering  bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada tengah malam  sebelumnya . 
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur angsur 
menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia 
itu dilakukan sebab  diperintah, oleh tentara contohnya , namun   berdasar keterangan saksi  Sjahrul cukup   banyak yang 
melakukannya semata mata sebab  terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa 
disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, memicu  ekstase. Apalagi bila para korban tak 
berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati 
keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana, 
pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan dipercaya  sebagai bagian misi  
membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali 
Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang sudah  diberantas. Kasat mata dan berdasar keterangan saksi  
perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban 
peristiwa peristiwa di Jawa Tengah. 
Kisah „pembantaian‟ di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti halnya di Jawa Tengah dan 
Jawa Timur, di Bali orang  PKI juga  mengakumulasi‘kan beberapa  tindakan yang 
memicu  keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi 
Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi beberapa  aksi kekerasan yang dilakukan 
anggota anggota PKI di pedesaan pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat 
beberapa aksi sepihak, seperti contohnya  yang dilakukan Wayan Wanci dan   dari 
BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu saat  sewa menyewa itu dihentikan. 250 
massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, ditambah   aksi penghancuran 
rumah Pan Tablen. Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang 
anggota BTI dengan mertuanya. saat  mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang 
menantu dan   dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas 
tanah ini , lalu menduduki dan menggarap sawah itu. 
Aksi aksi sepihak yang serupa terjadi berkali kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para 
pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, 
beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam 
lainnya. namun   suatu serangan pembalasan tidak segera terjadi sesudah  Peristiwa 30 September, 
kendati arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah  masuk beritanya ke 
Bali. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa apa di Bali. namun  pada bulan 
berikutnya mulai muncul  hasutan‘, terutama dari tokoh  PNI yang memiliki dendam, 
seperti dituturkan Soe Hok gie dalam tulisannya, ‘Pembantaian di Bali’. 
Tekanan utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada soal soal ideologis, meskipun 
perbedaan ideologis yaitu  satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan 
manusiawi yang sudah laten antara pengikut pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka 
Mahendra. PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka 
masyarakat umumnya yaitu  pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki 
massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. namun   PKI di Bali sementara itu berhasil 
memasuki celah celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat 
pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah yang kecil atau samasekali tidak 
memiliki tanah. sebetulnya  selama puluhan tahun  ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik 
tanah dengan para petani, melalui seperti  sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali ada 
perselisihan, mekanisme adat dan peran  kaum agamawan senantiasa berhasil menjadi media 
penyelesaian. namun    kehadiran yang lebih menonjol dan perubahan perilaku politik PKI 
pada tahun  tahun  terakhir menjelang Peristiwa 30 September, sudah  menghadirkan  beberapa  
perubahan. Beberapa petani menunjukkan sikap yang lebih agresif  “Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok gie dalam tulisannya, yaitu  Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini yaitu  adik laki laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR 
GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti lalu  bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”. Faktor lain yang memicu  PKI menonjol di Bali yaitu  bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja   seorang yang dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan memiliki  kedekatan dengan PKI   sesuai  perintah‘ Soekarno, PKI memperoleh   keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama juga   terjadi sesudah  Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, 
digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun  1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang 
sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan yaitu  menarik, meskipun secara horizontal di 
lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite 
PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh  PKI. Bahkan terjadi beberapa 
jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa 
pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh  PKI juga memiliki  
jalinan dengan tokoh  PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, 
sebaliknya dalam beberapa masalah  lainnya terjadi juga  persaingan kepentingan ekonomi dan 
politik yang tajam di antara tokoh  PNI tertentu dengan tokoh  PKI di Bali. PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin memiliki  kedekatan khusus 
dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, sesudah  Peristiwa 30 
September terjadi, pada pertengahan Oktober saat  arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, 
dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang 
dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. namun   , sejauh yang dapat dicatat, 
tidaklah terlalu jelas  kategori‘ sebetulnya  dari mereka yang ditangkap, sebab  sebaliknya 
banyak yang berdasar keterangan saksi  perkiraan umum akan ditangkap ternyata  lolos‘ atau diloloskan. Belum lagi, beberapa  masalah  salah tangkap. berdasar keterangan saksi  Soe Hok gie, pemicu kekerasan yang lalu  terjadi di Bali yaitu  hasutan hasutan beberapa  tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang  untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan  bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang  PKI, dan 
bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan 
bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum.  Kelompok kelompok 
yang berjaga jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan Anggota g, pisau, 
pentungan dan bahkan senjata api. Rumah rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI 
dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan tindakan yang lebih 
kejam . lalu  pembantaian pun mulai terjadi di mana mana.  Selama tiga bulan berikutnya, 
Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian . Dengan perkiraan yang paling konservatif, 
berdasar keterangan saksi  Soe Hok gie,  paling tidak 80.000 orang terbunuh , dari berbagai tingkat usia, laki-laki  dan wanita. Soe Hok gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit   istilah bahasa Belanda untuk spontanitas   melainkan terutama sebab  hasutan tokoh  PNI. 
Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali. 
Pertama, sebab  memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI 
sebelumnya kepada orang  PNI di pedesaan pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru 
muncul sesudah  beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan 
November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang sebab  ingin menutupi  kolaborasi ‘nya dengan PKI di masa lampau, lalu  memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi gila sebab  tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya yang 
bernama Lie Lie Tjien yang justru yaitu  pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh sebab  ia bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.  Selain pembunuhan pembunuhan dan pembakaran rumah rumah, terjadi juga  tindakan tindakan pemerkosaan terhadap beberapa  besar wanita  yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok gie dalam  tulisannya, yaitu  Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini yaitu  adik laki laki 
Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti lalu  bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita korbannya mengajukan masalah nya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yaitu  3 tahun  penjara. Pelaku pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar akar  rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta. Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol  meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. namun   penggambaran bahwa pada masa masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan  mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa  seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan  yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI 
unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yaitu  Harian 
Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dinamakan tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat 
nasional berasal dari daerah ini. Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini yaitu  Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI sesudah  Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal,  sebab  organisasi kepemudaan ini melihat nformasi  cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi sebetulnya  melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa yang  menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu  kemarahan‘ mereka,  sebab  Jenderal Nasution yaitu  tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan perkebunan yaitu  Soksi. Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup   banyak  anggotanya akhirnya juga cukup   berperanserta  dalam pergerakan  pembasmian PKI di Sumatera Utara.  Salah satu tokohnya di Sumatera Utara yaitu  Bomer Pasaribu yang cukup   berperanserta  dalam  kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional. PKI, PNI dan peranserta  para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu kondisi  yang agak terbalik 
dari Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi 
Selatan amat menonjol. Dan inilah yang lalu  menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi 
Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh  PKI di wilayah ini cukup   vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau  Jawa yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan  moderat‘. Aksi aksi sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui pernyataan pernyataan. jika  pun pernah  terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi di Tanah Toraja. Anggota anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak pernah  melakukan tindakan kekerasan berdarah darah seperti yang dilakukan contohnya  di Bandar Betsi Sumatera Utara, dan  tidak melakukan pergerakan  perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI TII di wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama sebab  kehadiran DI TII di wilayah wilayah luar perkotaan itu. maka , PKI Sulawesi Selatan sebetulnya  terhindar dari melakukan tindakan tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka yaitu  menarik bahwa bila lalu  terjadi tindakan  balas dendam‘ yang cukup   kejam di daerah ini, seperti contohnya  yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf. 
Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu juga  
contohnya  tokoh  organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI 
contohnya , tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan 
cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti contohnya  
Mochtar dan Nurul Muhlisa. namun  salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa, 
yaitu  Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, 
sebab  selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan 
mengenai komunisme. Ia selalu memuji muji PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner, 
termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, saat  kondisi  berbalik sesudah  patahnya pergerakan  30 
September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non 
komunis. Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu 
digiring ke tempat lain. berdasar keterangan saksi  seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer). sesudah  itu, orang tak pernah  melihatnya lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar,  lalu dihabisi di sana. namun   seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya yaitu  biasa saja, 
tidak sebab  suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang 
sehari harinya sebetulnya  tidak bersikap  ganas‘ sebagai anggota HSI yang partainya sedang 
naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak 
beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi  kesempatan‘ untuk meninggalkan Makassar. 
Putera puterinya   hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah   yang masih berstatus 
pelajar dan mahasiswa ikut memperoleh  getahnya, padahal sehari harinya mereka tak pernah  
tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus juga   meninggalkan‘ 
kota Makassar entah ke mana ”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu.  Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang orang PKI. Pencincangan yaitu  mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan 
bagian bagian tubuh sehingga „terpisah‟ dalam potongan potongan”. Bernasib lebih buruk yaitu  beberapa tokoh pengurus daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing masing, dibawa ke suatu tempat dan tak diketahui  lagi keberadaannya. Dapat  dipastikan, mereka dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari hari itu menjadi  sangat agresif   sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai pergerakan  mereka sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa dan  cerita dari mulut  ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan, mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan dieksekusi entah di mana.  Keberanian massa melakukan  pengganyangan‘ PKI masih sejak hari hari pertama sesudah   gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP, menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora. Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, sesudah  apel dalam rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi pergerakan  pergerakan  massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. tokoh  PNI yang menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu, sebab  dianggap partainya sukarno , menjadi sasaran  pengganyangan‘. Rumah  tokoh  PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS   mereka 
bertiga yaitu  pengelola Harian Marhaen di Makassar   diserbu dan diporakporandakan oleh 
massa yang terutama dari ormas ormas onderbouw partai partai Islam dan  HMI dan PII. 
sebetulnya  PNI sendiri waktu itu sudah  terbelah menjadi dua kubu, yaitu  kubu Ali 
Sastroamidjojo Surachman dengan kubu yang lalu  hari akan dinamakan kelompok 
Osa Usep. namun   dalam masalah  penyerbuan massa, hampir hampir saja kedua kubu itu tak lagi 
dibedakan. Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali Surachman, yang ikut 
apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah jambu ikut dikejar kejar 
massa. Untung saja sebab  mereka yaitu  kaum ibu, maka banyak anggota masyarakat yang 
turun tangan mencegah terjadinya perlakuan fatal. 
Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) juga diserbu, namun massa hanya 
bisa menjebol pintu pekarangan dan tak bisa memasuki gedung konsulat sebab  dihalau oleh 
tentara yang memakai  tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun seAnggota ya 
dan menonton dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan yang 
putus sebab  tembakan tugas  . Yang sama malangnya, yaitu  etnis Cina. Dalam rangkaian 
pergerakan  massa yang terjadi lalu , mereka justru menjadi korban. Rumah mereka diserbu, 
harta benda mereka banyak yang ditumpas habis, tanpa ada sebab musabab politik yang jelas. 
Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih jauh lebih semarak tampilannya, dan 
menunjukkan keunggulan, termasuk dalam posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua 
suratkabar terkemuka, dan salah satunya yaitu  Harian Marhaen,  milik‘ PNI. kehadiran media 
cetak ini memicu  PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi salah 
satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak  dilihat‘orang. Sementara itu, 
PKI tidak memiliki  media pers, sehingga tidak menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak 
mengenai sepak terjang PKI di pulau  Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama 
tercipta dari citra PKI di pulau  Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh 
lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak 
melebihi kepopuleran  GMNI kendati anggota HMI sebetulnya  sangat jauh lebih banyak dari 
GMNI. Begitu besarnya sebetulnya  jumlah anggota HMI di Makassar, sehingga salah seorang 
tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa  ‘di perguruan perguruan tinggi Makassar 
hampir tidak ada yang bukan HMI . 
Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada 
pawai pawai di kota Makassar, barisan GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju baju dan 
jaket mereka yang mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu 
sedang krisis sandang. Kain kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota masyarakat 
dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui RW RW, sedang yang 
dijual di toko toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal dan tak terjangkau kebanyakan 
orang. Bahwa anak anak GMNI tetap bisa tampil wah, bisa dimaklumi sebab  mereka umumnya 
berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan 
GMNI waktu itu yaitu  bahwa pada deretan deretan depan ditampilkan mahasiswi dan 
mahasiswa yang rupawan. Salah satu primadonanya yaitu  seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang dokter terkemuka di Makassar. Bisa dibandingkan dengan anggota anggota HMI dan lain lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis hingga tahun  1965 itu situasinya masih dalam suasana  pergolakan sebab  adanya DI TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. namun , pemimpin HMI Sulawesi Selatan yang lalu  menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf 
Kalla, yaitu  anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, 
Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone, 
Kabupaten Bone. Merupakan  kelebihan‘ Jusuf Kalla, wajah dan penampilannya secara alamiah, 
meskipun anak orang kaya bagaimanapun juga selalu memicu  kesan sederhana dan tidak 
wah. Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses  pemiskinan‘ pada masa itu, 
sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah saat itu, pengurus pengurus dan anggota 
anggota Partai Komunis  Indonesia  , termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah 
miskinnya. Bahkan mungkin termiskin, sebab  kaum urban yang datang dari pedesaan oleh 
faktor kekacauan daerah, bagaimanapun masih memiliki  tanah di kampung asalnya. Seorang 
mahasiswa yang ikut pergerakan  penyerbuan ke rumah rumah para tokoh PKI, sempat tertegun 
melihat gubuk yang menjadi rumah  Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat 
mengibakan hati.  Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa apa di sana. Saya hanya bisa melihat 
dari kejauhan , ia menuturkan lalu . Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu lalu , berupa penyerbuan rumah tahanan (penjara) tempat beberapa  anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang  PKI. Pencincangan yaitu  mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian bagian tubuh sehingga  terpisah‘ dalam potongan potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam pemaparan pemaparan berikut ini. 
PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak memperoleh dukungan kaum 
bangsawan di daerah itu. Inilah yang memicu  untuk sekian tahun  lamanya hingga menjelang 
kuartal akhir tahun  1965, PNI menjadi partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda 
dengan di pulau  Jawa   di mana kaum bangsawan memiliki  kekuasaan‘ yang jelas dengan 
memiliki Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya   bangsawan  Sulawesi Selatan memiliki 
posisi dan peran  yang cukup   besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan mengundang 
kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik sebab  kepemilikan warisan turun temurun   terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni   maupun sebab  penempatan diri mereka dalam posisi posisi pemerintahan. Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya   sebab  bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya   berupa perilaku perilaku yang sangat tercela yang sering  kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat. Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira perwira berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat pangkat puncak. Para 
bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur kepemerintahan feodal di 
masa pengawasan kolonial Belanda, memperoleh  prioritas untuk menyekolahkan anak anaknya. 
Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan baik, sebab  pandangan tradisional tertentu, 
terutama untuk anak anak wanita  yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi tinggi. Mereka 
yang pada dasarnya anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu 
bagi anak anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa di 
antara kaum bangsawan menjalankan peranserta  besar, dan kelak tercatat dalam sejarah sebagai 
pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya menjalankan peranserta  sebaliknya 
dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik 
dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami 
pencincangan tubuhnya dengan cara yang amat mengerikan. Dalam pergolakan sesudah  penyerahan kedaulatan, kaum bangsawan tercatat sebagai pemegang  peranserta  dalam berbagai peristiwa besar, di antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun  tahun  pergolakan daerah, tercatat juga  Peristiwa Andi Selle, yang psedang cak peristiwanya hampir merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebetulnya  seorang bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi   suatu gelar Pangeran   namun lalu  menanggalkan gelarnya ini . Nama lengkapnya semula yaitu  Andi Muhammad Jusuf Amir. sesudah  Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi  ragu-ragu ‘ dan ‘risih‘ dengan gelar kebangsawanannya, terutama di kalangan militer. Keragu-ragu an itu tercermin  dari tidak dicantumkannya lagi gelar gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan menanggalkan gelar itu, dan sehari hari tetap menerima perlakuan perlakuan hormat dari lingkungannya. 
Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah perseteruan besar dalam catatan sejarah, 
yaitu  antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Untuk suatu jangka waktu yang panjang dalam 
negara kita  merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang penamaan sebagai pengkhianat sebab  membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan 
representasi etnis Bugis sedang Kerajaan Gowa yaitu  representasi etnis Makassar, yang dahulu  
kala terlibat dalam seperti  perseteruan antar etnis yang cukup   tajam. Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa masa terakhir ini mengalami seperti  koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang sudah  meninggalkan perspektif hitam putih dalam  memahami satu peristiwa sejarah. Aru Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang merasa terancam dan pernah  tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun memiliki motif pribadi yang kuat berdasar keterangan saksi  sistim nilai masyarakat Bugis, dalam membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang  antara Bone dengan Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka mengalami 
perlakuan kejam   dicincang dalam lesung penumbuk padi   sehingga tewas. Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan beberapa  kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah, perkawinan perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang  diharapkan akan mampu menghapuskan dendam dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat  sebagai anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar, sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. namun   segala perlakuan itu  tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka terhadap Kerajaan Gowa.  Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya, sesudah  membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat peperang an melawan Belanda. yaitu  sebab  kepopuleran PNI dan organisasi organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan,  maka sesudah  terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih memperoleh   perhatian‘. Dan sebab  kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan sesudah  Peristiwa 30 September 
1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini, sebab  selama beberapa tahun  sebelum 
Peristiwa 30 September, peran  PNI begitu dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang 
terjadi saat itu menjadi saat saat  bagi partai partai dan kekuatan politik dan  kekuatan kepentingan lainnya untuk mengeliminasi PNI  “Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru „hilang‟ sebab  bersih dari pemalsuan sejarah,  Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial ini , yang sebetulnya  tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, beberapa  orang juga menjadi tahanan politik bertahun  tahun  lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh negara kita  dan lalu  di pulau  Buru”. SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara cukup   menonjol, di antaranya di 
kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di 
Bali, maka peran   pembasmian‘ terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh 
massa PNI dan organisasi organisasi mantelnya, dan  massa NU yang memiliki dendam antara 
lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang menjadi sasaran aksi 
aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan kebencian dan sikap anti 
komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta, kebencian itu tidak sampai memicu   
adanya kekerasan berlebih lebihan terhadap anggota PKI sesudah  Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, sebab  PKI 
hanya sebatas melakukan provokasi dengan ucapan ucapan bernada ancaman kepada para 
pemilik tanah yang luas luas, bahwa saat  waktu massa akan menduduki tanah mereka. Jadi 
memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan bagi suatu gelombang 
pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, sebab  beberapa  tokoh pemerintahan atau eks 
pejabat yang diketahui  memiliki  sejarah melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang 
Mongondow, justru diduduki dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya 
dengan keterlibatan pada PKI. 
Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI yang dibunuh, namun jumlahnya 
terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja dalam masalah  masalah  seperti ini. biasanya , 
massa yang bergerak hanyalah melakukan pengrebegan terhadap anggota anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI, lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak anak mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya kena cat dengan kotak hitam, ditambah   tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di Sulawesi Utara ini yaitu  masalah  40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo   yang di Sulawesi Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono   lalu dibawa ke pulau  Jawa dengan memakai  sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah tiba di pulau  Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah  kembali ke Sulawesi Utara.  Mungkin ditenggelamkan 
di tengah laut , kata  Lukman Mokoginta mengutip anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya 
sendiri terjadi tahun  1967, sudah cukup   jauh dari akhir 1965. Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau  Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin yaitu  yang terjadi di Jawa Barat. saat  praktis seluruh pulau  Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. pergerakan  pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah sebab  lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor kantor 
milik PKI dan organisasi organisasi sayapnya. Lagijuga  penyerbuan penyerbuan ke kantor 
kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak memiliki  niat dan 
kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut 
pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, 
dilakukan oleh organisasi organisasi massa. 
Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun  sebelumnya. 
orang  komunis di Jawa Barat, sudah  lebih dahulu  mengalami pembasmian sampai ke akar 
akarnya, sejak tahun  1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di priangan  
Timur. Sejak sebelum tahun  1950, khususnya 1945 1948, pembelahan yang nyata terlihat di 
antara kaum santri yang umumnya dari NU dengan kaum kakak an, persis seperti dalam teori 
sosiologi berdasar keterangan saksi  Clifford Geertz. kehadiran DI TII merubah perimbangan. Sejak 1950 1951 terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut pengikut komunis seperti anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan pedesaan priangan  Timur. Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut pengikut komunis yang menghuni desa desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh pasukan pasukan DI TII. Garut saat itu berada dalam wilayah 
 kekuasaan‘ salah satu panglima perang  DI TII yang terkenal di priangan  Timur, bernama Zainal Abidin. namun   selain oleh DI TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci 
orang  komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan 
dan merupakan musuh Islam. Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup   panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup   massal secara akumulatif, juga terutama sebab  berlangsung dalam jangka waktu yang cukup   panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis angka korban puluhan dalam setiap peristiwa yaitu  umum . Pembasmian serupa, tak hanya terjadi di wilayah Garut, namun   merata di priangan  Timur. Hal serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi juga  di daerah daerah di mana pengaruh DI TII cukup   kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit sebab  tercampur dengan korban korban DI TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur juga  dengan data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI TII dan pasukan Siliwangi. Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, memicu   terjadinya arus  pengungsian‘ pengikut komunis ini ke kota kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup   baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961 1965. Sementara itu, sebab  akar akarnya sudah  ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan saat  pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat. sebab  penangguhan „political solution‟ yang dijanjikan Soekarno,  Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis sesudah  Peristiwa 30 September 1965,  Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 1.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 100 sampai 1000. namun  , Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, sesudah  peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu saat  menyebut angka 1000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah  
meralat angka yang disebutkannya itu. sebetulnya , Sarwo Edhie memiliki catatan catatan mengenai  pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis ini . Mungkin ada angka angka signifikan dalam catatan ini . Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu  hilang‘ di tangan orang yang dititipi   dalam rangka usaha menerbitkannya   oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu sesudah  sang jenderal meninggal. 
Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal hal yang 
amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru 
 hilang‘ sebab  bersih dari pemalsuan sejarah,  Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial 
ini , yang sebetulnya  tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, beberapa  orang juga 
menjadi tahanan politik bertahun  tahun  lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh 
negara kita  dan lalu  di pulau  Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 100 
tahanan politik. Suatu angka yang sebetulnya  lebih rendah dibandingkan  fakta  yang ada, apalagi 
penangkapan terus berlangsung sampai bertahun  tahun  sesudah peristiwa, tak terkecuali korban 
salah tangkap. Pada tahun  tahun  1966 1967 bahkan hingga beberapa tahun  berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers negara kita  cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti contohnya  Soe Hok gie melalui tulisan tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia  , edisi pusat 
maupun edisi Jawa Barat. yaitu  sebab  tulisan tulisannya, Soe Hokgie berkali kali menjadi 
sasaran teror. Di tahun  1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia  , 
cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dinamakan MT Zen pernah  
menyentuh substansi masalah ini . MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan 
rakyat negara kita  terhadap teror PKI selama beberapa tahun  terakhir, sebagaimana yang 
lalu   terbukti‘ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu,  sebagai akibat selalu