Tampilkan postingan dengan label raja 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 7. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

raja 7

i laut. 
Angkatan laut patih sering mengirim konvoi kapal ke 
titik ini, lalu membawa   senjata dan perbekalan ke 
benteng kota. 
"Bulan Ke9 sungguh menyegarkan." ujar 
patih ronggolawe  sambil memandang bulan di langit malam. 
"Ichigrindana! Hei, Ichigrindana!" 
Para pelayan menghambur keluar dari kemah, 
masing-masing berusaha mendahului  yang lain. 
Ichigrindana tidak tampak di antara mereka. Sementara 
para pelayan berusaha saling mengalahkan. patih ronggolawe  
memberikan perintah. 
"Siapkan tikar di tempat berpemandangan bagus di 
Bukit tengkorak. Malam ini kita membuat acara 
memandang bulan. Ayo, jangan bertengkar. Ini pesta, 
bukan pertempuran." 
"Baik, tuanku." 
"Toranosuke." 
"Ya, tuanku." 
"Ajaklah ngabehi  untuk menemaniku, kalau dia 
  
merasa cukup sehat untuk memandang bulan." 
Tak lama lalu  dua pelayan kembali dan 
memberitahu patih ronggolawe  bahwa tikar sudah disiapkan. 
Mereka  memilih tempat di dekat puncak Bukit tengkorak, 
sedikit di atas perkemahan. 
"Pemandangannya memang indah," patih ronggolawe  ber-
komentar. Sekali lagi ia berpaling kepada para pelayan 
dan berkata, "Ajak juga keraton   ke sini. Sayang sekali 
kalau dia tidak menikmati keindahan bulan ini." 
lalu  ia menyuruh seorang pdayan bergegas ke 
tenda keraton  . 
 
Pelataran untuk memandang bulan didirikan di 
bawah  pohon cemara besar. sudah  tersedia anggur  dingin 
dalam botol berleher bangau, dan santapan pada baki 
berbentuk bujur sangkar yang terbuat dari kayu pohon 
cemara. Meski tak dapat dikatakan mewah, pelataran 
ini cukup memadai untuk melepas lelah di tengah 
operasi militer terutama dengan bulan terang di atas 
kepala. Ketiga laki-laki itu duduk berdampingan di 
tikar, patih ronggolawe  di tengah, ngabehi  dan keraton  di 
kedua sisinya. 
Mereka menatap bulan yang sama, namun  
pemandangan itu menimbulkan perasaan berbeda 
dalam diri masing-masing. patih ronggolawe  teringat ladang-
ladang di lemahlaban , ngabehi  mengenang bulan di atas 
Gunung Bsinuhun i, dan hanya keraton   yang memikirkan 
hari-hari yang akan datang. 
"Kau kedinginan, ngabehi ?" keraton   bertanya pada 
  
sahabatnya, dan patih ronggolawe , mungkin sebab  men-
dadak cemas, ikut menoleh dan menatap ngabehi . 
"Tidak, aku baik-baik saja." ngabehi  menggelengkan 
kepala, namun saat itu wajahnya tampak lebih  pucat 
dibandingkan bulan. 
Laki-laki hebat ini bertubuh lemah. patih ronggolawe  
mendesah. Ia lebih mencemaskan kesehatan ngabehi  
dibandingkan  ngabehi  sendiri. 
Suatu hari, ngabehi  pernah muntah darah saat   
berkuda di lojibenteng , dan ia sering jatuh sakit selama  
operasi di Utara. saat   mereka  berangkat untuk 
menghadapi centeng  patih, patih ronggolawe  sempat  ber-
usaha mencegah ngabehi  dengan berkata bahwa 
sahabatnya itu terlalu memaksakan diri. 
"Apa maksudmu?" ngabehi  membalas  sambil lalu, 
dan tetap menyertai patih ronggolawe  ke medan laga. 
patih ronggolawe  merasa lebih  tenang jika ngabehi  berada 
di sisinya. ngabehi  memberikan kekuatan nyata dan 
kekuatan batin hubungan mereka  hubungan antara 
junjungan dan pengikut, namun  dalam hati patih ronggolawe  
memandang ngabehi  sebagai  guru. Kini ia meng-
hadapi tugas berat berupa operasi Barat, perangnya 
berkepanjangan. dan banyak resi  lain merasa iri 
padanya. patih ronggolawe  sedang menempuh perjalanan  
terberat selama  hidupnya, dan sebab  itu ia semakin 
mengandalkan ngabehi . 
Namun ngabehi  sudah dua kali jatuh sakit sejak 
mereka  memasuki wilayah provinsi-provinsi Barat. 
patih ronggolawe  begitu ccmas, sehingga ia memerintahkan 
  
ngabehi  menemui dokter di trowulan . namun  dalam waktu 
singkat ngabehi  sudah   kembali lagi. 
"Sejak kecil hamba sudah sakit-sakitan, jadi hamba 
sudah terbiasa dengan keadaan ini. Pengdesa guritan tak 
ada gunanya bagi hamba. Medan peranglah tempat 
bagi centeng adipati ." lalu ia kembali  bekerja dengan tekun di 
markas patih ronggolawe , tanpa memperlihatkan tanda-tanda 
keletihan. Namun tubuhnya yang lemah merupakan 
kenyataan yang tak dapat ditolak. Dan tak ada cara 
untuk mengalihkan penyakitnya, tak peduli betapa  
kuatnya semangat  yang ia miliki. 
Hujan turun deras saat   centeng  pindah dari 
Tajima. Mungkin sebab  perjalanan  berat itu, ngabehi  
melapor sakit dan tidak muncul di hadapan patih ronggolawe  
selama dua hari, sejak mereka mendirikan per-
kemahan di Bukit tengkorak. Memang biasa ngabehi  tidak 
menemui patih ronggolawe  jika ia sedang sakit keras; ia tak 
ingin membuat junjungannya gelisah khawatir . namun  sebab  
ngabehi  tampak sehat dalam beberapa  hari terakhir, 
patih ronggolawe  pikir mereka  bisa duduk duduk di bawah  
bulan dan berbincang-bincang seperti yang sudah lama 
tidak mereka lakukan. Namun bukan hanya sebab  
cahaya bulan, seperti yang ditakutkan patih ronggolawe , 
memang ada vang tidak beres dengan corak kulit 
ngabehi . 
saat  menyadari kecemasan patih ronggolawe  dan 
keraton ,  ngabehi  sengaja membelokkan pembicaraan 
ke arah lain. 
"keraton , menurut berita yang kuterima kemarin 
  
dari pengikut provinsi asalku, putramu, ki pakanewon, 
tampaknya sehat-sehat saja, dan akhirnya mulai 
terbiasa dengan lingkungannya yang baru." 
"sebab  ki pakanewon berada di provinsi asalmu, 
ngabehi , aku tidak gelisah khawatir . Aku hampir tak pernah 
memikirkan hal itu." 
Selama  beberapa  waktu keduanya berbincang-
bincang mengenai putra keraton , patih ronggolawe . yang 
belum juga dikaruniai keturunan, mau tak mau 
merasa agak iri saat   mendengarkan percakapan 
kedua ayah itu. ki pakanewon merupakan pewaris 
keraton , namun  saat   keraton   menyadari perkembangan 
di masa depan, ia mempercayakan putranya pada 
aidit  sebagai  tanda iktikad baik. 
Sandera muda itu ditempatkan di bawah  asuhan 
ngabehi , yang lalu mengirim ki pakanewon ke benteng kotanya 
di betari jawi  dan membesarkannya seperti putranya 
sendiri. Jadi, dengan patih ronggolawe  sebagai poros 
hubungan mereka, keraton   dan ngabehi  juga terikat 
oleh tali persahabatan. Dan walaupun mereka  ber-
saing sebagai  resi , di antara keduanya tak sedikit 
pun ada rasa iri dan dengki. Pepatah "dua orang 
besar tak dapat berdiri berdampingan" tak berlaku di 
markas patih ronggolawe . 
saat  memandang bulan, mereguk anggur , dan 
membicarakan orang-orang besar di masa lampau dan 
masa sekarang, dan  pasang-surut provinsi dan marga, 
ngabehi  tampaknya dapat melupakan penyakitnya. 
Namun keraton   kembali  ke pembicaraan semula. 
  
"Walaupun seseorang memimpin centeng  besar di 
pagi hari, dia tidak tahu apakah dia masih hidup pada 
waktu matahari terbenam. namun  jika kita menyimpan 
ambisi besar tak pengaruh betapa hebatnya kita kita 
harus hidup cukup lama agar jerih payah kita dapat 
membuahkan hasil. Banyak pahlawan  gagah dan 
pengikut setia yang akan dikenang sepanjang masa, 
walaupun hidup mereka singkat. Bagaimana kalau 
mereka hidup lebih lama? Tak ada salahnya kita 
menyesali singkatnya kehidupan. Kehancuran yang 
mengiringi penyingkiran hal-hal lama dan per-
tempuran melawan  kejahatan bukan satu-satunya 
tugas orang besar. Tugasnya belum selesai sampai 
seluruh bangsa dibangun kembali ." 
patih ronggolawe  mengangguk penuh semangat. lalu  
ia berkata pada ngabehi  yang membisu. "sebab  itu, 
kita harus menyayangi kehidupan. Dan sebab  alasan 
itulah kuminta agar kau memperhatikan kesehatan-
mu, ngabehi ." 
"Aku pun sependapat,." keraton  menambahkan 
"dibandingkan  memacu dirimu secara berlebihan, 
mengapa kau tidak bertetirah di sebuah kuil di trowulan , 
dengan dokter yang pandai, dan mengurus dirimu? 
Aku mengusulkan ini sebagai sahabat, dan kurasa 
memberikan ketenangan pikiran pada junjunganmu 
merupakan bukti kesetiaan." 
ngabehi  mendengarkan mereka, dipenuhi rasa 
terima kasih pada kedua sahabatnya. "Kuterima 
usulmu. Aku akan pergi ke trowulan  untuk beberapa   
  
waktu. namun  sekarang ini kita sedang menyusun 
rencana, jadi aku baru berangkat sesudah   mengetahui 
bahwa semuanya sudah rampung." 
patih ronggolawe  mengangguk. Sejauh ini ia mendasarkan 
strateginya pada usul-usul ngabehi , namun  ia belum 
melihat keberhasilannya. 
"Kau cemas sebab  Akashi Kagechika?" tanya 
patih ronggolawe . 
"Benar," jawab  ngabehi  sambil mengangguk. "Jika 
tuanku berkenan memberikan waktu lima atau enam 
hari sebelum hamba mulai bertetirah, hamba akan 
menyusup ke Gunung aryadwinata  dan menemui 
Akashi Kagechika. Hamba akan berusaha membujuk-
nya agar pindah ke pihak kita. Setujukah tuanku?" 
"Itu akan merupakan kemenangan besar. namun  
bagaimana kalau terjadi sesuatu? Kau tentu sadar 
bahwa kemungkinannya 9 atau sembilan dari 
sepuluh. Bagaimana kalau begitu?" 
"Hamba akan mati," jawab  ngabehi  tanpa berkedip. 
Nada suaranya membuktikan bahwa ia tidak sekadar 
omong besar. 
Scsudah   penaklukan benteng kota Miki, Akashi Kage-
chika merupakan lawan  berikut yang menanti 
patih ronggolawe . namun  sementara ini patih ronggolawe  tak sanggup 
merebut benteng kota Miki. Namun ia pun tidak ber-
maksud melakukan pengepungan secara membabi 
buta. benteng kota Miki hanyalah sebagian operasi untuk 
menaklukkan seluruh daerah Barat. Jadi, ia tak punya 
pilihan selain menerima rencana ngabehi  untuk meng-
  
hasut Akashi. 
"Kau akan pergi?" tanya patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  masih ragu-ragu, walaupun ngabehi  sudah  
membulatkan tekad. Kalaupun ngabehi  berhasil 
melewati segala rintangan yang menghadang dalam 
perjalanan dan menemui Akashi. Jika perundingan 
bcrakhir dengan kegagalan, tak dapat dipastikan 
bahwa pihak musuh akan mengembalikan ngabehi  
dalam keadaan hidup. Di pihak lain, patih ronggolawe  pun 
tak dapat memastikan bahwa ngabehi  ingin kembali  
dengan tangan kosong. Mungkinkah ngabehi  
scsungguhnya bermaksud mati? Entah ia mati sebab  
penyakitnya atau sebab  dibunuh musuh, ia hanya 
bisa mati satu kali. 
keraton  lalu mengajukan rencana lain. Ia mem-
punyai beberapa kenalan di antara para pengikut 
Ukita Naoie. Sementara ngabehi  mendekati marga 
Akashi, ia sendiri bisa menemui para pengikut senior 
marga Ukita. 
saat   mendengar ide ini, patih ronggolawe  langsung 
merasa tenang. Memang ada kemungkinan marga 
Ukita bisa dibujuk. Sejak penyerbuan provinsi-
provinsi Barat, orang-orang Ukita menunjukkan sikap 
hangat-hangat kuku, menunggu sampai jelas pihak 
mana yang berada di atas angin. Ukita Naoie sudah  
minta bantuan marga patih, namun  jika ia bisa dipercaya-
kan bahwa masa depan adalah milik aidit ... 
Kecuali itu, persekutuan marga Ukita dengan marga 
patih mungkin terbukti tak berharga jika mereka tidak 
  
memperoleh dukungan militer. Itu dapai berarti 
kematian bagi pihak Ukita. Mereka menarik pelajaran 
saat  patih ditarik mundur, sesudah  benteng kota Kozuki 
berhasil direbut kembali . 
"Jika marga Ukita mencapai kata sepakat dengan 
kita, Akashi Kagechika tak punya pilihan selain 
mengikuii langkah mereka." patih ronggolawe  berkata 
mengemukakan pemikirannya. "Dan jika Kagechika 
tunduk pada kita, pihak Ukita akan segera memohon 
damai. Melakukan kedua perundingan pada waktu 
yang sama merupakan ide gemilang." 
Keesokan harinya ngabehi  minta cuti sebab  
penyakitnya di depan umum, dan mengumumkan 
bahwa ia akan pergi ke trowulan  untuk berobat. Dengan 
dalih ini, ia meninggalkan perkemahan di Bukit tengkorak, 
hanya ditambah   dua atau tiga orang. sesudah  beberapa   
hari, keraton   pun meninggalkan perkemahan. 
ngabehi  pcrtama-tama menemui adik Kagechika, 
Akashi Kanjiro. Ia bukan teman Kanjiro, namun  ia 
pernah bcrtemu dua kali dengannya di Kuil Nanzen di 
trowulan , tempat mereka  sama-sama menekuni meditasi 
Zen. Kanjiro tertarik pada ajaran Zen. Menurut 
ngabehi , jika pembicaraan dengan Kanjiro dilandasi 
semangat  Zen, dengan cepat mereka akan mencapai 
persetujuan. sesudah  itu ngabehi  akan berbicara 
dengan kakaknya, Kagechika. 
Sebelum bertemu dengannya, baik Akashi Kanjiro 
maupun kakaknya, Kagechika, bertanya-ranya kebijak-
sanaan seperti apa yang akan dikemukakan oleh 
  
ngabehi , dan seberapa pandai ia bersilat lidah. 
Bagaimanapun, ia guru patih ronggolawe  dan ahli taktik yang 
tersohor. namun , saat  berbicara dengannya, mereka 
ternyata menemukan bahwa ia laki-laki yang suka 
berterus terang dan sama sekali tidak menyimpan tipu 
muslihat. 
Pendirian dan ketulusan ngabehi  begitu berbeda 
dari tipu daya yang biasa dipergunakan dalam 
perundingan antarmarga centeng adipati , sehingga orang-
orang Akashi mempercayainya dan memutuskan 
hubungan dengan marga Ukita. Baru sesudah   berhasil 
merampungkan tugas, ngabehi  akhirnya minta cuti 
pendek. Kali ini ia benar-benar meletakkan kewajiban-
kewajiban militer vang diembannya, lalu pergi ke 
trowulan  untuk berobat. 
patih ronggolawe  berbicara dengannya saat  ia hendak 
berangkat, dan memintanya mengunjungi aidit . 
ngabehi  ditugaskan memberitahu aidit  bahwa 
mereka berhasil membujuk Akashi Kagechika untuk 
bergabung dengan persekutuan sinuhun . 
saat  mendengar berita itu, aidit  sangat 
gembira. "Apa? Kalian berhasil menaklukkan Gunung 
aryadwinata  tanpa menumpahkan darah? Bagus, bagus 
sekali!" centeng  sinuhun , yang sebelumnya sudah  men-
duduki seluruh sumberdadi , kini untuk pertama kali 
memasuki wilayah Bizen. Langkah pertama itu 
memiliki  arti besar. 
"Kau tampak lebih kurus. Ambillah waktu untuk 
memulihkan kesehatanmu."  ujar aidit , dan 
  
sebagai penghargaan atas jasa baik ngabehi , ia 
menycrahkan dua puluh keping perak kepadanya. 
Kepada patih ronggolawe  ia menulis: 
 
Kau menunjukkan kebijakan luar biasa dalam situasi ini. 
Aku menanti laporan terperinci pada saat kita bertemu, 
namun  untuk sementara, inilah tanda terima kasihku. 
 
Dan ia mengirimkan seratus keping emas, jika 
aidit  gembira, kegembiraannya meluap-luap. 
Dengan meraih segelnya yang berwarna merah terang, 
ia menunjuk patih ronggolawe  sebagai  penguasa militer di 
sumberdadi . 
 

 
Operasi di Bukit tengkorak dan  pengepungan benteng kota 
Miki yang berkepanjangan sudah  memasuki jalan 
buntu. namun  dengan pembelotan marga Akashi ke 
pihak mereka, orang-orang sinuhun  berangsur-angsur 
berhasil menjalankan manuver-manuver mereka. 
Namun, seperti bisa diduga dari sebuah marga yang 
demikian termasyhur, marga Ukita tidak mudah 
terpengaruh oleh perundingan, walaupun keraton   
sudah  mengerahkan segenap kelihaiannya dalam meng-
hadapi mereka. Sebagai  penguasa Provinsi Bizen dan 
Mimakasa, orang-orang Ukita berada dalam posisi 
terjepit antara pihak sinuhun  dan pihak patih. Jadi tidak-
lah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan 
provinsi-provinsi Barat sepenuhnya tergantung pada 
  
sikap mereka. 
Ukita Naoie mengandalkan nasihat empat pengikut 
senior, Osafune Kii, Twilangan  Higo, Oka radenkanjeng , dan 
Hanabusa Sukebei. Di antara mereka, Hanabusa yang 
memiliki hubungan dengan Kursinuhun  keraton . Dan 
Hanabusa-lah yang pertama-tama didatangi keraton . 
keraton  berbicara sepanjang malam, membahas 
keadaan negeri di masa sekarang dan masa men-
datang. Ia membicarakan cita-cita aidit  dan 
watak patih ronggolawe , dan berhasil merangkul Hanabusa. 
Hanabusa lalu membujuk Twilangan  Higo untuk ber-
gabung dengan mereka, dan sebab  berhasil mepercaya-
kan kedua orang ini, keraton   akhirnya dapat menemui 
Ukita Naoie. 
sesudah  mendengarkan alasan-alasan mereka, Naoie 
berkata. "Kita harus mempertimbangkan bahwa 
kekuatan besar yang menjangkau seluruh negeri 
sedang bangkii dari Timur. Jika kita diserang oleh 
Yang Mulia aidit  dan Yang Mulia patih ronggolawe , 
seluruh marga Ukita akan binasa untuk membela 
marga patih. Untuk menyelamatkan nyawa   ribuan 
prajurit dan berjasa bagi negeri ini, ketiga putraku 
dengan senang hati menyambut kematian di wilayah 
musuh. Walau harus menyerahkan ketiga putraku 
sebagai  sandera di daerah musuh, jika aku dapat 
melindungi wilayah ini dan menyelamatkan ribuan 
nyawa  , doa-doaku akan terkabul." 
Kata-kata Naoie ini mengakhiri perdebatan di 
kalangan pengikut-pcngikutnnya. Pertemuan ditutup, 
  
dan sepucuk surat berisi pernyataan kesediaan bekerja 
sama dari marga Ukita diserahkan pada banaspati , 
yang lalu membawa  nya ke Bukit tengkorak. Dengan 
demikian, patih ronggolawe  meraih kemenangan di belakang 
centeng nya tanpa melepas satu anak panah pun. 
Tanpa pertumpahan darah Provinsi Bizen dan 
Mimakasa menjadi sekutu marga sinuhun . 
patih ronggolawe  tentu saja ingin secepat mungkin 
menyampaikan kabar mengenai perkembangan meng-
gembirakan ini pada junjungannya, namun  mengirim 
surat mungkin berbahaya, katanya dalam hati. Urusan 
ini menuntut kerahasiaan. Sampai kesempatan yang 
tepat tiba, persekutuan ini harus ditutup-tutupi agar 
tidak diketahui oleh pihak patih. 
Ia mengirim keraton  ke trowulan  untuk menyampaikan 
hal ini pada aidit . 
keraton   langsung bertolak ke ibu kota. Tiba di sana, 
ia diterima oleh aidit . 
Sewaktu mendengarkan laporan keraton , aidit  
tampak sangat tak senang. Sebelumnya, pada waktu 
ngabehi  datang ke Istana Nijo dan melaporkan bahwa 
marga Akashi berhasil ditundukkan, aidit  
gembira sekali dan memuji-mujinya. namun  kali ini 
tanggapannya berbeda sama sekali. 
"Siapa yang memberi perintah ini? Kalau patih ronggolawe  
yang bertanggung jawab , dia akan menanggung 
akibatnya! Lancang sekali dia membuat kesepakatan 
dengan Provinsi Bizen dan Mimakasa. Kembalilah dan 
sampaikan hal ini pada patih ronggolawe !" lalu . 
  
seakan-akan tcguran keras itu belum cukup, ia 
melanjutkan, "Menurut surat patih ronggolawe , dalam 
beberapa hari dia akan datang ke madukara  bersama 
Ukita Naoie. Kauberitahu dia bahwa aku tak sudi 
menerima Naoie, biarpun dia datang ke sini. Aku 
bahkan tidak bersedia menemui patih ronggolawe !" 
aidit  begitu geram, sehingga keraton  pun tak 
sanggup menghadapinya. sesudah  mencmpuh per-
jalanan yang sia-sia, ia kembali ke sumberdadi  dengan 
memendam perasaan tak senang. 
Walaupun merasa malu melaporkan hasil 
kunjungannya, mengingat segala kesulitan yang sudah   
dilalui patih ronggolawe , keraton   juga tidak dapat menutup-
nutupinya. saat   keraton   menatap wajah patih ronggolawe , 
patih ronggolawe  bisa melihat ia memaksakan senyum di 
wajahnya yang cekung. 
"Ya, aku mengerti," ujar patih ronggolawe . "Yang Mulia 
marah sebab  aku membuat persekutuan yang tak 
perlu atas wewenangku sendiri." Tampaknya ia tidak 
sekecewa keraton . "Kurasa Yang Mulia aidit  
sebetulnya  berkcinginan agar kita menghancurkan 
marga Ukita, supaya dia dapat membagi-bagi wilayah 
kekuasaan mereka di antara para pengikutnya." 
lalu , untuk mcnghibur keraton   yang murung, ia 
berkata. "Memang berat rasanya kalau rencana kita 
tidak berjalan seperti yang diharapkan. Rencana yang 
disusun sepanjang malam tiba-tiba mentah lagi pada 
pagi hari, dan siasat-siasat yang kita miliki pagi hari 
sudah berubah lagi saat  sore tiba." 
  
keraton   tiba-tiba menyadari bahwa hidupnya berada 
di tangan orang ini. Di lubuk hatinya yang paling 
dalam, ia merasa takkan menyesal mati demi 
patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  bisa membaca hati aidit . Jika ia 
benar-benar memahami bagaimana mengabdi pada 
aidit , tentunya ia pun mengetahui jalan pikiran 
junjungannya itu. Kini keraton  mengerti bahwa 
kepercayaan dan status yang dinikmati patih ronggolawe  
merupakan hasil pengabdiannya selama  dua puluh 
tahun. 
"Kalau begitu, apakah ini berarti tuanku mengada-
kan kesepakatan dengan pihak Ukita, meskipun 
tuanku tahu ini bertentangan dengan keinginan Yang 
Mulia aidit ?" tanya keraton . 
"Mengingat cita-cita Yang Mulia, memang sudah 
bisa di pastikan bahwa dia akan gusar. saat   
raden mas  ngabehi  melaporkan bahwa Akashi 
Kagechika sudah   tunduk, Yang Mulia begitu gembira, 
sehingga memberikan imbalan berlebihan pada 
ngabehi  dan aku. Tentunya Yang Mulia merasa 
tunduknya marga Akashi akan mempermudah 
serangan terhadap marga Ukita, dan serangan yang 
berhasil akan memungkinkan Yang Mulia membagi-
bagi wilayah Ukita dan menawarkan nya sebagai  tanda 
penghargaan. namun , sesudah  orang-orang Ukita tunduk 
pada kita, rasanya tak mungkin Yang Mulia merampas 
tanah mereka, bukan?"      
"Kalau dijelaskan seperti ini, aku dapat memahami 
  
perasaan Yang Mulia aidit . namun  Yang Mulia 
begitu marah, sehingga takkan mudah bagi tuanku 
untuk melakukan pembicaraan dari hati ke hati. Yang 
Mulia berpesan, jika Ukita Naoie datang ke madukara , 
atau bahkan jika tuanku datang sebagai  perantara, 
Yang Mulia menolak bertemu." 
"Aku harus menemuinya, tak peduli betapapun dia 
marah. Selalu ada cara untuk menghindari per-
tengkaran antara suami-istri, namun  sia-sia belaka kalau 
kita berusaha menghindari amarah junjungan kita. 
Tak ada yang dapat membuatnya merasa lebih baik 
dibandingkan  permohonan maaf secara langsung, 
walaupun untuk itu aku harus menerima caci maki 
sambil menyembah di kakinya." 
Pernyataan tertulis yang diperoleh dari Ukita Naoie 
berada di tangan patih ronggolawe , namun  patih ronggolawe  hanya 
komandan lapangan. Jika kesepakatan itu tidak 
berkenan di hati aidit , pernyauan itu tak ada 
artinya sama sekali. 
Selain itu, sebagai  formalitas, tata krama menuntut 
agar Naoie pergi ke madukara , mempcrlihatkan ketaatan-
nya pada aidit , dan menanyakan perintah lebih  
lanjut. Pada hari yang sudah ditetapkan sebelumnya, 
patih ronggolawe  menyertai Naoie ke madukara . namun  
kemarahan aidit  belum padam. 
"Aku tidak mau bertemu mereka." Hanya itu yang ia 
sampaikan melalui pembantunya. 
patih ronggolawe  kehabisan akal. Ia hanya dapat 
menunggu. Ia kembali  ke ruang tamu tempat Naoie 
  
sedang menunggu, dan melaporkan hasilnya. "Yang 
Mulia sedang tidak enak hari hari ini. Sudikah Tuan 
menungguku di tempat Tuan menginap?" 
"Sakitkah beliau?" tanya Naoie dengan perasaan tak 
senang. saat   memohon damai, ia tidak bermaksud 
minta belas kasihan aidit . Ia masih dapat 
mengandalkan centeng nya yang hebat. Ada apa 
sebetulnya ? Mengapa ia memperoleh sambutan 
demikian dingin? Kata-kaia itu tak pernah terucap, 
namun  mau tak mau ia memikirkannya sambil men-
dongkol. 
Naoie tak tahan dipermalukan lebih lanjut 
Barangkali lebih baik jika ia secepatnya pulang ke 
provinsi asalnya dan kembali  bersikap sebagai  lawan . 
Tampak jelas bahwa niat itu sempat  terlintas di dalam 
benaknya. 
"Tidak, tidak." kaia patih ronggolawe  kepadanya. "Kalau 
sekarang ada masalah, kita bisa menemuinya nanti. 
Untuk sementara ini, mari kita pergi ke kota benteng kota." 
patih ronggolawe  sudah  mengatur penginapan Naoie di 
Kuil Sojitsu. Keduanya bergegas kembali  ke kuil, lalu 
Naoie membuka pakaian resmi dan berbicara dengan 
patih ronggolawe . 
"Aku akan meninggalkan madukara  sebelum malam 
tiba, dan menginap satu malam di ibu kota. sesudah  
itu, rasanya lebih  baik kalau aku pulang seorang diri 
ke provinsi asalku." 
"Ah, mcngapa Tuan hendak berbuat demikian? 
Mengapa Tuan hendak berbuat demikian sebelum 
  
kita pergi menemui Yang Mulia aidit  sekali lagi?" 
"Aku tidak berminat lagi bertemu dia." Untuk 
pertama kali Naoie menegaskan perasaannya melalui 
roman muka dan ucapannya. "Tampaknya Yang Mulia 
aidit  pun tidak berminat menemui aku. Lagi 
pula ini provinsi musuh, dan aku tidak menjalin 
hubungan di sini. Rasanya paling baik bagi kita 
berdua jika aku segera pergi." 
"Itu melanggar kehormatanku." 
"Di lain kesempatan, aku akan datang lagi dan 
mengucapkan terima kasih secara pantas atas segala 
kebaikan yang kuterima, Tuan patih ronggolawe . Aku takkan 
meupakan kebaikan Tuan." 
"Sudikah Tuan tinggal satu malam lagi? Aku tak 
tega melihat dua marga kupertcmukan untuk 
perundingan damai tiba-tiba kembali terlibat per-
tempuran. Hari ini kita tidak berhasil menemui 
beliau, dan Yang Mulia punya alasan sendiri atas 
sikapnya itu. Mari kita bertemu lagi nanti malam, dan 
aku akan bercerta. Sekarang ini aku pun akan kembali  
ke tempat penginapanku. Aku akan berganti pakaian 
dahulu . Kumohon Tuan menungguku sebelum mulai 
makan." 
Tak ada yang dapat dilakukan Naoie, jadi ia 
menunggu sampai waktu malam tiba. patih ronggolawe  
berganti pakaian dan sekali lagi mengunjungi Sojitsu. 
Mereka  mengobrol dan tertawa  sambil makan malam, 
dan sesudah   selesai, patih ronggolawe  berkomencar, "Ah. 
betul. Aku sudah  berjanii untuk bercerita mengapa 
  
Yang Mulia aidit  memperlakukanku begitu keras 
kali ini." 
Dan ia mulai bercerita, seakan-akan baru teringat 
masalah itu. sebab  ingin mendengar cerita 
patih ronggolawe , Naoie sudah  menunda keberangkatannya. 
Kini patih ronggolawe  memperoleh perhatiannya secara 
penuh. 
Dengan terus terang patih ronggolawe  menjelaskan 
mengapa tindakannva menyinggung aidit . 
"sebetulnya  tak pantas aku berkara begini, namun  
cepat atau lambat, baik Provinsi wirongeni  maupun 
Bizen  akan menjadi milik marga sinuhun . sebab  itu, 
persetujuan damai dengan marga Ukita tidak 
diperlukan. namun  jika Yang Mulia aidit  tidak 
menghancurkan marga Ukita, dia pun tak dapat 
membagi-bagikan wilayah itu di antara resi  
jcndralnya sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka. 
Disamping itu, aku tidak minta persetujuan dari 
madukara , dan ini tidak termaafkan. sebab  inilah Yang 
Mulia begitu marah." Ia tertawa  sambil berbicara, namun  
kata-katanya tak sedikit pun mengandung kepalsuan. 
Kebenaran ucapannya tampak nyata, bahkan dari 
balik senyumnya. 
Naoie terpukul sekali. Wajahnya merah akibat anggur , 
tiba-tiba menjadi pucat. Namun ia tidak meragukan 
bahwa memang demikianlah jalan pikiran aidit . 
"Jadi, beliau sedang tidak enak hati," patih ronggolawe  
melanjutkan. "Yang Mulia tidak mau menemui aku, 
dan juga tidak berkenan menerima Tuan. Kalau sudah 
  
bertekad seperti itu, beliau takkan mengubah sikap. 
Pikiranku buntu, dan perasaanku tak keruan. 
Pernyataan yang Tuan percayakan padaku belum juga 
disahkan, dan selama  beliau belum membubuhkan 
segelnya, kita tak dapat berbuat apa-apa. Aku akan 
mengembalikannya pada Tuan, jadi Tuan dapat saja 
memutuskan hubungan dengan kami, membatalkan 
perjanjian itu, dan bergegas pulang ke provinsi asal 
Tuan besok pagi." 
Lalu patih ronggolawe  mengeluarkan pernyataan yang 
diberikan kepadanya dan menyerahkannya pada 
Naoie. Namun Naoie hanya memandang lentera yang 
berkelap-kelip, dan sama sekali tidak menyentuh 
dokumen itu. 
patih ronggolawe  membisu. 
"Tidak." Naoie tiba-tiba memecahkan keheningan. 
Dengan santun ia merapatkan kedua tangan. 
"Kumohon Tuan sekali lagi bersedia mengerahkan 
segala upaya. Aku akan sangat bcrterima kasih jika 
Tuan sudi menjadi perantara bagiku." 
Kali ini ia bersikap seperti orang yang menyerah 
dari lubuk hati. Sebelumnya, tampaknya ia menyerah 
hanya sebab  argumen-argumcn yang dikemukakan 
Kursinuhun  keraton  . 
"Baiklah. Jika kepercayaan Tuan terhadap marga 
sinuhun  sedemikian besar," kata patih ronggolawe  sambil meng-
angguk-angguk. Dan ia berjanji untuk menangani 
urusan itu. 
Lebih dari sepuluh hari Naoie tinggal di Kuil 
  
Sojitsu untuk menanti hasilnya patih ronggolawe  cepat-cepat 
mengirim kurir ke padalarang , dengan harapan tungguljaya 
dapai meluluhkan hati aidit . sebab  memang 
ada keperluan di ibu kota, tak lama lalu  
tungguljaya bertolak ke trowulan . 
ditambah   oleh Naoie, patih ronggolawe  lalu diterima oleh 
tungguljaya. Akhirnya, berkat perantaraan tungguljaya, 
sikap aidit  melunak. Pada hari yang sama. 
capnya yang berwarna merah terang dibubuhkan pada 
pernyataan Naoie, dan marga Ukita sepenuhnya 
memutuskan hubungan dengan pihak patih dan 
menyeberang ke kubu sinuhun . 
Tidak sampai tujuh hari sesudah   itu, entah sebab  
kebetulan atau sebab  keputusan militer yang cepat, 
salah satu resi  sinuhun , dimasireng , meng-
khianati aidit  dan bergabung dengan marga 
patih, mengibarkan bendera pemberontakan tepat di 
depan hidung orang-orang sinuhun . 
 
 
 
  
  
Pengkhianatan Murashige 
 
 
 
"BOHONG! Ini pasti kabar bohong!" Mula-mula 
aidit  tak dapat mempercayainya. saat  berita 
mengenai pemberontakan ini sampai di telinga 
aidit  di madukara , tindakan pertama yang diambil 
aidit  adalah menyangkal kebenarannya. namun  
gkertoarjo tnya keadaan segera terbukti saat  Takayama 
brojolijo dari wonorejo  maupun Nakagkertoarjo  Sebei dari 
Ibaragi mengikuti langkah Murashige dan mengibar-
kan bendera pemberontakan. 
aidit  mengerutkan alis dengan cemas. 
Anehnya ia tidak menunjukkan kemarahan maupun 
wataknya yang cepat naik darah saat   menghadapi 
perkembangan tak terduga ini. Keliru jika orang 
menggolongkan watak aidit  sebagai  api. namun  
keliru juga kalau dengan mengamati ketenangan 
wataknya ia digolongkan sebagai air. Pada saat 
dianggap api, ia menjadi air; pada saat dipandang 
sebagai air, ia menjadi api. Panasnya api dan dingin-
nya air saling berdampingan dalam dirinya. 
"Panggil patih ronggolawe !" aidit  tiba-tiba me-
merintahkan. 
"Yang Mulia patih ronggolawe  sudah   bertolak ke sumberdadi  
tadi pagi." danakertoarjo   membalas  dengan was-was. 
"Dia sudah pergi?" 
"Beliau tentu belum jauh. Dengan seizin tuanku, 
  
hamba akan mengambil kuda dan mengejar beliau." 
Jarang-jarang ada orang yang demikian tanggap, 
sehingga sanggup menyelamatkan junjungannya dari 
ketidaksabarannya sendiri. saat  para pengikut 
menoleh untuk mencari tahu siapa orang itu, mereka 
melihat  mpu salmah , pelayan setia aidit . 
aidit  meluluskan permintaannya dan men-
desaknya agar bergegas. 
Pagi berganti siang, dan  mpu salmah  belum juga 
kembali. Sementara itu, laporan-laporan para 
pengintai dari daerah ponorojo  dan benteng kota wonorejo  
terus berdatangan. Satu laporan membuat terperanjat, 
sebab  berisi perkembangan baru lagi. 
"Tadi pagi sebuah armada besar dari pihak patih 
mendekati Pantai mardirejo . Prajurit-prajurit mendarat 
dan memasuki benteng kota Murashige di Hanakuma." 
Jalan raya pesisir di dekat mardirejo , yang melintas di 
bawah  benteng kota Hanakuma, merupakan satu-satunya 
jalan penghubung antara madukara  dan sumberdadi . 
"patih ronggolawe  takkan sanggup menerobos." saat   
aidit  menyadari ini, ia juga memahami bahaya 
yang mengancam jika komunikasi antara centeng  
patih ronggolawe  dan madukara  terputus. Ia hampir dapat 
merasakan cengkeraman tangan musuh pada lehernya. 
" mpu salmah  sudah kembali ?" tanya aidit . 
"Dia belum kembali ." 
Sekali lagi aidit  termenung-menung. Marga 
Hatano, marga Bessho, dan dimasireng  kini tiba-
tiba memperlihatkan ikatan mereka dengan musuh 
  
pihak patih dan ronggodwijoyo  dan aidit  merasa  
terkepung. Selain itu, kalau memandang ke Barat, ia 
melihat bahwa marga Hojo dan marga mpu ireng  belum 
lama ini sudah  mencapai kesepakatan. 
 mpu salmah  memacu kudanya melewati gendingan, dan 
akhirnya berhasil mengejar patih ronggolawe  di dekat Kuil 
Mii. patih ronggolawe  sedang beristirahat di sana. Ia sudah  
memperoleh kabar mengenai pemberontakan Araki 
Murashige, dan mengutus Horio ki pralayan ditambah    dua 
atau tiga pengikut lain untuk memastikan kebenaran 
laporan itu dan mencari keterangan terperinci. 
 mpu salmah  menghentikan kudanya dan berbicara 
pada patih ronggolawe . "Yang Mulia menyuruh hamba 
mengejar Tuan. Beliau hendak berbicara lagi dengan 
Tuan. Sudikah Tuan kembali ke madukara  secepat 
mungkin?" 
patih ronggolawe  meninggalkan anak buahnya di Kuil Mii 
dan kembali  ke madukara , hanya discrtai oleh  mpu salmah . 
Dalam perjalanan, patih ronggolawe  membavangkan apa 
yang akan terjadi. aidit  tentu marah sekali 
sebab  pemberontakan Murashige. Murashige pertama 
kali mengabdi pada aidit  dalam serangan 
terhadap Istana Nijo, saat   mereka  mengusir bekas 
pandita . aidit  adalah jenis orang yang suka 
menunjukkan rasa terima kasih pada semua orang 
yang menyenangkan hatinya, dan ia sangat meng-
hargai keberanian Murashige. Kasih sayang aidit  
terhadap Murashige melebihi kasih sayangnya ter-
hadap kebanyakan orang. Dan Murashige sudah  meng-
  
khianati kepercayaan aidit . patih ronggolawe  dapat 
membayangkan bagaimana perasaan aidit . 
" mpu salmah , kau tidak mendengar apa-apa mengenai 
kejadian ini?" tanya patih ronggolawe . 
"Maksud Tuan, mengenai pengkhianatan Tuan 
Murashige?"  
"Apa kiranya yang membuat dia begitu tidak puas, 
sehingga memberontak terhadap Yang Mulia 
aidit ?" Perjalanan yang mereka  hadapi panjang, 
jika mereka  terus bergegas, kuda-kuda yang mereka  
tunggangi akan ambruk. saat  patih ronggolawe  men-
jalankan kudanya dengan pelan, ia menoleh ke arah 
 mpu salmah  di belakang, yang mengikutinya dengan 
kecepatan sama. 
"Sebelumnya memang sudah ada desas-desus," ujar 
 mpu salmah . "Di antara pengikut-pengikut Yang Mulia 
Murashige konon ada satu orang yang menjual 
beras jatah centeng  kepada para biksu-prajurit 
ronggodwijoyo . kahuripan  sedang mengalami kekurangan beras. 
Sebagian besar jalan darat sudah terputus, dan jalur-
jalur laut diblokir oleh armada kita, jadi tak ada 
kemungkinan untuk mengangkut perbekalan dengan 
kapal-kapal perang patih. Harga beras melambung 
tinggi, dan jika seseorang menjual beras di sana, dia 
bisa meraih keuntungan luar biasa. Itulah yang 
dilakukan oleh pengikut Yang Mulia Murashige, dan 
saat  perbuatannya terbongkar, Yang Mulia 
Murashige mengambil inisiatif dan mengibarkan 
bendera pemberontakan, sebab  merasa bahwa 
  
bagaimanapun juga Yang Mulia aidit  akan 
menuntut tanggung jawab nya atas kejahatan itu. 
Paling tidak, inilah cerita yang beredar." 
"Kedengarannya seperti hasutan yang sengaja 
disebarkan oleh musuh. Ini pasti fitnah yang tak 
berdasar."  
"Hamba pun sependapat. Dari apa yang hamba 
lihat, banyak orang merasa iri sebab  jasa-jasa Yang 
Mulia Murashige. Hamba rasa bencana ini disebabkan 
oleh kedengkian orang tertentu." 
"Orang tertentu?" 
"Tuan tunggadewa . sesudah   desas-desus mengenai 
Yang Mulia Murashige mulai terdengar, Tuan 
tunggadewa  terus menjelek-jelekkannya di hadapan 
Yang Mulia aidit . Hamba selalu berada di sisi 
Yang Mulia, diam-diam memasang telinga, dan 
memang, hambalah salah seorang yang merasa gundah 
sebab  kejadian ini." 
 mpu salmah  mendadak terdiam. Rupanya ia sadar 
bahwa ia terlalu banyak bicara, dan ia menyesalinya. 
 mpu salmah  menyembunyikan perasaannya terhadap 
tunggadewa  seperti anak perawan . Pada saat-saat seperti 
itu, patih ronggolawe  selalu bersikap tidak memperhatikan 
pembicaraan. Ia bahkan tampak tak peduli sama 
sekali. 
"Ah, aku sudah bisa melihat madukara . Mari bergegas!" 
Begitu menunjuk ke kejauhan, patih ronggolawe  memacu 
kudanya. Sedikit pun ia tidak menanggapi ucapan 
rekan seperjalanannya. 
  
Gerbang utama benteng kota diramaikan oleh orang 
suruhan pengikut-pengikut yang mendengar kabar 
mengenai pemberontakan Murashige dan datang ke 
benteng kota, dan  oleh kurir-kurir dari provinsi-provinsi 
tetangga. patih ronggolawe  dan  mpu salmah  mencmbus 
kerumunan orang itu dan memasuki benteng kota dalam, 
namun  diberitahu bahwa aidit  sedang mengadakan 
pertemuan.  mpu salmah  masuk dan berbicara dengan 
aidit , lalu cepat-cepat kembali  dan memberitahu 
patih ronggolawe . "Yang Mulia minta Tuan menunggu di 
Ruang Bambu." Ia mengantar patih ronggolawe  ke sebuah 
menara bertingkat tiga di benteng kota dalam. 
Ruang Bambu merupakan bagian kediaman 
aidit . patih ronggolawe  duduk seorang diri, me-
mandang ke danau. Tak lama lalu  aidit  
muncul, berseru gembira melihat patih ronggolawe , dan 
mengambil tempat duduk dengan mengabaikan segala 
formalitas. patih ronggolawe  membungkuk penuh normal 
dan tetap membisu. Keheningan berlangsung selama  
beberapa  saat. Tak ada yang angkat bicara. 
"Bagaimana pendapatmu mengenai ini, patih ronggolawe ?" 
Inilah ucapan pertama aidit , dan kata-kata itu 
menunjukkan bahwa berbagai pendapat yang di-
kemukakan dalam pertemuan belum menghasilkan 
keputusan. 
"dimasireng  adalah laki-laki yang luar biasa 
jujur. Hamba tidak bermaksud buruk, namun  dia bisa 
dinamakan  orang bodoh dengan keberanian menonjol. 
Hanya saja hamba tak menduga bahwa dia begitu 
  
bodoh," balas patih ronggolawe . 
"Tidak." aidit  menggelengkan kcpala. "Aku 
tidak sependapat. Dia tak lebih  dari sampan. Dia 
merasa was-was mengenai masa depanku, dan meng-
adakan kontak dengan marga patih, sebab  silau oleh 
keuntungan yang terbayang. Ini perbuatan orang 
berpikiran dangkal. Murashige terjebak oleh kedang-
kalannya sendiri.'' 
"sebetulnya  dia hanya orang bodoh. Dia sudah   
menikmati kebaikan berlcbihan, dan tak punya alasan 
untuk merasa tidak puas," ujar patih ronggolawe . 
"Orang yang berniat memberontak pasti akan 
mewujudkan niatnya, tak peduli betapa  baiknya dia 
diperlakuan." aidit  mengemukakan perasaannya 
tanpa tedeng aling-aling. Ini pertama kali patih ronggolawe  
mendengar aidit  menyebut seseorang sebagai  
sampah. Biasanya aidit  takkan bicara demikian 
sebab  marah atau benci; justru sebab  ia tidak mem-
perlihatkan kemarahan secara terbuka, pertemuan tadi 
belum menghasilkan keputusan. Namun, seandainya 
patih ronggolawe  ditanya, ia pun kehabisan akat. Haruskah 
mereka  menyerang benteng kota ponorojo ? Ataukah mereka  
harus mendekati Murashige dan membujuknya untuk 
membuang jauh-jauh gagasan pemberontakan? 
Masalahnya, mereka harus memilih satu dari kedua 
alternatif itu. Menaklukkan benteng kota ponorojo  tentu tidak 
sukar. namun  penyerbuan daerah Barat baru saja 
dimulai. Jika mereka salah langkah dalam urusan 
sepele ini, ada kemungkinan semua  rencana mereka  
  
terpaksa ditinjau kembali . 
"Bagaimana kalau hamba bertindak sebagai  utusan 
dan berunding dengan Murashige?" patih ronggolawe  meng-
usulkan. 
"Jadi, kau pun berpendapat bahwa kita sebaiknya 
tidak memakai  kekerasan?" 
"Kecuali kalau terpaksa," balas patih ronggolawe . 
"tunggadewa  dan dua atau tiga orang lain juga 
menyarankan demikian. Kau sependapat dengan 
mereka, namun  rasanya lebih baik orang lain yang 
dikirim sebagai  utusan." 
"Tidak, hamba ikut bertanggung jawab  atas kejadian 
ini. Murashige wakil hamba, dan sebab  itu juga 
bawah an hamba. Jika dia melakukan tindakan 
bodoh..." 
"Tidak!"  aidit  menggelengkan kepala dengan  
tegas.  "Mengirim utusan yang terlalu akrab dengannya 
tidak bermanfaat. Aku akan mnugaskan grindanai, 
tunggadewa . dan Mami. Mereka takkan membujuk 
Murashige, melainkan sekadar menyelidiki kebenaran 
desas-desus yang beredar." 
"Itu langkah tepat," patih ronggolawe  menyetujui. 
lalu  ia mengucapkan beberapa  patah kata demi 
kepentingan Murashige maupun aidit . "Ada 
pepatah yang mengatakan bahwa kebohongan biksu 
zoroaster  dinamakan  kebijaksanaan, dan bahwa pem-
berontakan dalam marga centeng adipati  dinamakan  strategi. 
Tuanku jangan tcrpancing untuk bertempur, sebab itu 
hanya menguntungkan pihak patih." 
  
"Aku tahu." 
"sebetulnya  hamba ingin menunggu hasil 
perundingan para utusan, namun  masalah-masalah di 
sumberdadi  membuat hamba tidak tenang. Barangkali 
lebih baik jika hamba segera mohon diri." 
"Benar?" aidit  tampak agak enggan melepas-
kan patih ronggolawe . "Bagaimana dengan jalan yang menuju 
ke sana? Rasanya mustahil kau bisa melewati mardirejo  
kalau tidak berhati-hati sekali." 
"Jangan gelisah khawatir , masih ada jalur laut." 
"Hmm, apa pun hasilnya. aku akan memberitahu-
kannya padamu. Dan jangan lalai mengirim kabar 
untukku." 
Akhirnya patih ronggolawe  berangkat. Meski lelah, dari 
madukara  ia menyebcrangi Danau Biwa ke gendingan, ber-
malam di Kuil Mii, dan keesokan harinya bertolak ke 
trowulan . Ia menyuruh dua pelayannya mendahului 
rombongan dengan perintah untuk menyiapkan kapal 
di mpu , sementara ia dan para pengikutnya 
menempuh perjalanan  ke Kuil Nanzen. Di sana ia 
mengumumkan bahwa mereka  akan berhenti sejenak 
untuk melepas lelah. 
Di kuil ini ada seseorang yang ingin ditemuinya. 
Orang itu tentu saja raden mas  ngabehi  yang sedang 
bertetirah di tempat bertapa di Kuil Nanzen. 
Para biksu menjadi bingung sebab  kedatangan tak 
terduga seorang tamu agung, namun  patih ronggolawe  berbicara 
dengan salah satu dari mereka, dan minta agar mereka  
meniadakan sambutan yang biasa diberikan kepada 
  
tamu yang setaraf dengannya. 
"Semua pengikutku membawa   bekal, jadi ke-
butuhan kami hanya air panas untuk membuat teh. 
Dan sebab  aku datang untuk menengok raden mas  
ngabehi , aku tak perlu disuguhi anggur  maupun teh. 
sesudah  selesai bicara dengan ngabehi , aku akan 
berterima kasih jika dibuatkan makanan ringan." 
Akhirnya ia bertanya, "Apakah keadaan si pasien 
sudah membaik sejak kedatangannya?" 
"Kelihatannya dia hanya mengalami sedikit 
kemajuan, tuanku," si biksu menjawab  sedih. 
"Obatnya diminum secara teratur?" 
"Baik pagi maupun malam." 
"Dan dia diperiksa dokter secara berkala?" 
"Ya, ada dokicr yang khusus datang dari ibu kota. 
Dan dokter pribadi Yang Mulia aidit  pun 
mengunjunginya secara teratur."  
"Apakah dia sedang bangun?" 
"Tidak, dia tidak bangun selama  tiga hari terakhir."  
"Di mana dia sekarang?"  
"Di tempat bertapa, jauh dari keramaian." 
saat patih ronggolawe  melangkah ke pekarangan, 
seorang pembantu yang melayani ngabehi  berlari 
untuk menyambutnya. "Tuan ngabehi  sedang berganti 
pakaian agar dapat mencmui tuanku," anak itu 
berkata. 
"Dia tidak boleh bangun." patih ronggolawe  menggerutu, 
lalu mempercepat langkahnya menuju tempat bertapa. 
saat  ngabehi  mendengar bahwa patih ronggolawe  hendak 
  
menjenguknya, ia langsung minta agar tempat tidur-
nya disingkirkan dan menyuruh seorang pelayan 
untuk menyapu ruangan, sementara ia sendiri  
berganti pakaian. lalu , dengan mengenakan 
sandal kayu, ia membungkuk di sungai kecil yang 
mengalir di tengah-tengah bunga serunai di gerbang 
bambu, dan berkumur dan  membilas tangan. Ia 
berbalik saat   seseorang menyentuh pundaknya. 
"Oh, hamba tidak tahu tuanku ada di sini." ngabehi  
cepat-cepat berlutut. "Di sebelah sana, tuanku," 
katanya, mengajak patih ronggolawe  ke ruangannya. Dengan 
gembira patih ronggolawe  duduk di tikar. Di ruangan itu tak 
ada apa-apa selain lukisan tinta yang tergantung di 
dinding. Pakaian patih ronggolawe  sama sekali tidak men-
colok di antara warna-warna madukara , namun  di tempat 
bertapa yang bersahaja ini, baik mantel maupun baju 
tempurnya tampak gemilang dan mengesankan. 
Membungkuk sambil melangkah, ngabehi  pergi ke 
serambi, lalu memasukkan sekuntum bunga serunai 
ke dalam tempat bunga yang terbuat dari ruas bambu. 
lalu  ia kembali duduk di samping patih ronggolawe  
dan meletakkan tempat bunga di dekatnya. 
patih ronggolawe  mengerti. Walaupun tempat tidur sudah   
disingkirkan, ngabehi  gelisah khawatir  bau obat-desa guritan dan 
keapakan ruangan masih tercium. dibandingkan  mem-
bakar dupa, ia mencoba menyegarkan udara dengan 
wangi bunga itu. 
"Aku sama sekali tidak terganggu. Jangan pikirkan 
soal itu," ujar patih ronggolawe , lalu menatap  sahabatnya 
  
dengan prihatin. "ngabehi , bukankah sukar bagimu 
untuk bangun seperti ini?" ngabehi  mundur sedikit 
dan sekali lagi membungkuk rendah-rendah. Namun 
di balik sikap kaku ini, kegembiraannya mengenai 
kunjungan patih ronggolawe  tetap terbaca di wajahnya. 
Tuanku jangan cemas." katanya. "Selama beberapa   
hari terakhir, hkertoarjo  memang dingin, jadi hamba tetap 
tinggal di dalam ruangan, berlindung di bawah  
selimut. namun  hari ini udara mulai menghangat, dan 
hamba pikir sudah waktunya bangun dari tempat 
tidur." 
"Sebentar lagi trowulan  sudah memasuki musim 
dingin, dan kabarnya udara di pagi dan malam hari 
dingin sekali. Bagaimana kalau kau pindah ke tempat 
yang lebih hangat selama  musim dingin?"       
"Tidak, tidak. Dari hari ke hari keadaan hamba 
terus bertambah  baik. Hamba akan sembuh sebelum 
musim dingin tiba."  
"Kalau memang begitu, semakin banyak alasan 
bagimu untuk tidak meninggalkan tempat  perkertoarjo tan-
mu selama musim dingin. Kali ini kau sebaiknya 
bertetirah sampai benar-benar sembuh. Tubuhmu 
bukan milikmu semata-mata." 
"Perhatian tuanku pada hamba lebih besar dibandingkan  
yang patut hamba terima." ngabehi  duduk dengan  
lesu, matanya tertuju ke bawah . Tangannva merosot 
dari lutut dan seiring dengan air matanya 
menyentuh lantai saat  ia menyembah. Sesaat ia 
membisu. 
  
Ah, dia begitu kurus sekarang, pikir patih ronggolawe , dan 
mendesah. Pergelangan tangan ngabehi  tampak kurus 
kering, pipinya cekung. Benarkah penyakit yang meng-
gerogotinya tidak tersembuhkan? Hati patih ronggolawe  
serasa disayat-sayat. Bagaimanapun, siapakah yang 
menarik orang sakit ini ke dunia yang kacau, 
bertentangan dengan  kehendaknya sendiri? Berapa 
kalikah ia tersiram hujan dan diterpa angin dingin di 
medan pertempuran? Dan siapakah yang, bahkan di 
masa damai pun, membebaninya dengan  masalah-
masalah intern maupun hubungan diplomatik, tanpa 
memikirkan kesempatan beristirahat. ngabehi  laki-Iaki 
yang seharusnya dipandang sebagai guru, namun  nyatanya 
patih ronggolawe  memperlakukannya sama saja seperti para 
pengikut lain. 
patih ronggolawe  merasa bersalah atas kondisi ngabehi  yang 
gkertoarjo t, dan akhirnya, saat   ia membuang muka, air 
matanya mulai mengalir. Di hadapannya, bunga 
serunai di tempat bunga semakin putih dan wangi 
sebab   terendam air. 
Dalam hati, ngabehi  menyalahkan diri sendiri atas 
air mata patih ronggolawe . Sebagai  pengikut dan centeng adipati , ia 
merasa bersalah sebab  memicu  patih ronggolawe  ber-
kecil hati di saat patih ronggolawe  mengemban tanggung 
jawab  militer yang begitu berat. 
"Hamba pikir Tuanku tentu lelah sebab   operasi 
militer yang berkepanjangan ini, jadi hamba memetik 
sekuntum serunai di pekarangan," kata ngabehi . 
patih ronggolawe  membisu, namun  pandangannya tertuju 
  
pada bunga itu. Ia tampak lega sebab  topik 
pembicaraan mereka  sudah  berubah. 
"Wanginya sangat menyenangkan. Mungkin bunga-
bunga serunai juga bermekaran di Bukit tengkorak, namun  
aku tidak memperhatikannya. Barangkali semuanya 
terinjak-injak oleh sandal kami yang berlumuran 
darah," balas patih ronggolawe  sambil tertawa  , berusaha 
mcnghibur ngabehi  yang merana. 
Keharuan yang diperiihatkan ngabehi  saat   
mencoba bcrsimpati kepada junjungannya dibalas oleh 
usaha patih ronggolawe  untuk menghibur pengikutnya. 
"Di sini aku benar-benar merasa sulit terus-menerus 
mempertahankan hidupku dengan jiwa dan raga yang 
bertindak sebagai satu kesatuan," ujar patih ronggolawe . 
"Medan perang membuatku sibuk dan kasar. Di sini 
aku merasa tenang dan bahagia. Kontras itu kini sudah  
jelas, dan hatiku menjadi mantap." 
"Ya, orang memang menghargai waktu senggang 
dan pikiran yang tenang, namun  sebetulnya  tak ada 
keuntungan yang dapat diraih dengan menjadi orang 
yang hidup demi kesenangan duniawi. Tuanku tak 
sedikit pun memiliki waktu luang antara satu 
kecemasan dan kecemasan berikut. Jadi, hamba dapat 
membayangkan bahwa saat-saat penuh kedamaian 
seperti ini merupakan obat penkertoarjo r yang manjur. 
Kalau bagi hamba..." 
Sepertinya ngabehi  hendak menyalahkan diri dan 
minta maaf sekali lagi, jadi patih ronggolawe  tiba-tiba 
memotong. "Oh, ya, kau sudah mendengar berita 
  
mengenai pemberontakan Murashige?" 
"Sudah, semalam seseorang mengunjungi hamba 
dengan membawa   laporan terperinci." ngabehi  ber-
bicara tanpa perubahan ekspresi, seakan-akan masalah 
itu tidak penting. 
"Aku ingin membicarakannya sejenak." kata 
patih ronggolawe , lalu maju sedikit sambil tetap berlutut. 
"Rapat dewan Yang Mulia aidit  di madukara  sudah   
memutuskan untuk mendengarkan keluhan-keluhan 
Murashige, dan menempuh segala upaya untuk 
menenangkannya dan mencapai kesepakatan dengan-
nya. namun  aku meragukan bahwa itu gagasan yang baik. 
Dan apa yang harus kita lakukan kalau Murashige 
ternyata sungguh-sungguh memberontak? Aku ingin 
mendengar pendapatmu. Itu salah satu alasanku 
datang ke sini." patih ronggolawe  menanyakan strategi untuk 
menyelesaikan situasi itu, namun  ngabehi  hanya men-
jawab  singkat, 
"Hamba kira itu tindakan yang tcpat." 
"Hmm, kalau utusan dikirim dari madukara  dengan 
membawa    pesan yang menyejukkan, apakah benteng kota 
ponorojo  dapat ditenteramkan tanpa insiden?" 
"Tentu saja tidak." ngabehi  menggelengkan kepala. 
"Menurut hamba, sekali orang-orang di benteng kota itu 
mengibarkan bendera pemberontakan, mereka takkan 
menggulungnya kembali dan tunduk pada madukara ."  
"Kalau memang begitu, bukankah sia-sia saja kita 
mengirim utusan?"  
"Tampaknya memang demikian, namun  sebetulnya  
  
tetap ada manfaat yang dapat ditarik. Dengan me-
nunjukkan perikemanusiaan dan dengan menyadar-
kan seorang pengikut akan kesalahannya, dunia akan 
melihat kelebihan Yang Mulia aidit . Selama  
masa itu, Tuan Murashige akan sangat sedih bingung. 
dengan demikian anak panah yang ditarik tanpa 
alasan dan kepercayaan akan melemah dari hari ke hari."  
"Stratcgi apa yang harus kita gunakan jika kita 
menyerangnya, dan bagaimana ramalanmu untuk 
provinsi-provinsi Barai?" 
"Hamba rasa, baik pihak patih maupun ronggodwijoyo  
takkan bertindak gegabah. Murashige sudah   mem-
berontak, jadi mereka akan membiarkan dia 
memberikan perlawan an sengit. lalu , kalau 
mereka melihat bahwa orang-orang kita di sumberdadi  dan 
di markas besar Yang Mulia di madukara  melemah, 
mereka akan menerjang untuk mengisi kekosongan 
dan menyerang dari segala arah." 
"Itu benar, mereka akan memanfaatkan kebodohan 
Murashige. Aku tidak tahu keluhan apa yang 
disimpannya, atau umpan apa yang diberikan 
padanya, namun  pada dasarnya dia dimanfaatkan sebagai  
perisai oleh orang-orang patih dan ronggodwijoyo . Begitu 
perannya sebagai  tameng selesai, dia tak punya 
pilihan selain bunuh diri. Dari segi keberanian 
bertempur, dia jauh di atas orang lain, namun  otaknya 
tumpul. Kalau ada cara untuk menyelamatkan dia, 
aku ingin mengusahakannya."    
"Strategi terbaik adalah berusaha agar dia tidak 
  
terbunuh. Orang seperti itu patut diselamatkan dan 
dipertahankan sebagai  sekutu." 
"namun , jika kau beranggapan bahwa pengiriman 
utusan dari madukara  sia-sia belaka, pada siapa 
Murashige mungkin tunduk?" 
"Mula-mula, cobalah mengirim keraton . Kalau 
keraton   berbicara dengannya, dia mestinya sanggup 
menjelaskan duduk perkaranya pada Murashige, atau 
setidaknya membangunkan dia dari mimpi buruknya." 
"Bagaimana kalau dia menolak menemui keraton ?" 
"Kalau begitu, marga sinuhun  mengirim utusan mereka  
yang terakhir." 
"Yang terakhir?" 
"Tuanku sendiri." 
"Aku?" Sesaat patih ronggolawe  termenung-menung. 
"Hmm, kalau itu terjadi, semua nya sudah terlambat." 
"Ajarkan perihal kewajiban padanya, dan hadapi dia 
dengan persahabatan Kalau dia tidak menerima 
ucapan tuanku, tak ada lagi yang dapat dilakukan 
selain menyerang dengan alasan menumpas pem-
berontakan. Jika tindakan itu terpaksa diambil, 
benteng kota ponorojo  jangan diserbu dengan sekali gebrak. 
Penyebab keberanian Tuan Murashige bukan 
kekuatan benteng kota ponorojo , melainkan kerja sama dua 
orang yang diandalkannya bagaikan tangan kanan dan 
tangan kiri. 
"Maksudmu Nakagkertoarjo  Sebei dan Takayama brojolijo?" 
"Jika kedua orang itu bisa dijauhkan darinya, dia 
akan mirip  badan tanpa lengan. Dan kalau 
  
Takayama atau Nakagkertoarjo  berhasil diajak membelot, 
menjauhkan mereka dari Tuan Murashige takkan 
merupakan masalah." ngabehi  seakan-akan lupa pada 
penyakitnya dan berbicara mengenai ini-itu, sampai 
kepucatan di wajahnya hampir lenyap. 
"Bagaimana aku dapat merangkul Takayama?" 
patih ronggolawe  bertanya penuh semangat, dan ngabehi  
tidak mengecewakannya. 
"Takayama pemeluk ajaran ilmu tenagadalam . Jika tuanku 
memberikan kondisi yang memungkinkan bagi 
penyebaran kepercayaannya, tak perlu diragukan 
bahwa dia akan meninggalkan Murashige." 
"Ya, itu jelas," ujar patih ronggolawe  dengan kagum. Dan 
kalau ia bisa membujuk Takayama untuk mepercayakan 
Nakagkertoarjo , itu berarti ia menyelam sambil minum air. 
Ia menghentikan pertanyaannya. ngabehi  pun tampak 
lelah. patih ronggolawe  berdiri untuk berangkat lagi. 
"Tinggallah sebentar lagi." ngabehi  memohon. Ia 
berdiri  dan keluar dari ruangan, mungkin ke arah 
dapur. 
patih ronggolawe  teringat bahwa ia lapar. Para pembantu-
nya tentu sudah selesai makan siang. namun   sebelum  
ia sempat memikirkan umuk pergi ke ruang tamu kuil 
dan makan sedikit, seorang balita  laki-laki, yang 
tampaknya pelayan ngabehi , membawa    masuk dua 
baki, salah satu berisi tempat  anggur . 
"Ke mana ngabehi ? Apakah dia lelah sebab   
pembicaraan kami yang panjang-lebar? 
"Bukan, Yang Mulia. Tuan ngabehi  berada di dapur. 
  
Dia sendiri yang menyiapkan sayur-mayur untuk 
santapan Yang Mulia. Sekarang dia sedang menanak 
nasi, dan dia akan kembali begitu nasinya sudah 
matang." 
"Apa? ngabehi  memasak untukku?" 
"Ya, Tuanku." 
patih ronggolawe  menggigit sepotong talas yang masih 
panas, dan sekali lagi matanya berkaca-kaca. Aroma 
talas tidak hanya terkecap oleh lidahnya, melainkan 
seolah-olah mengisi seluruh tubuhnya. Walaupun 
ngabehi  seorang  pengikut, dari ngabehi -lah patih ronggolawe  
mempelajari prinsip-prinsip rahasia pengetahuan 
militer Ona. Hal-hal yang dipelajarinya saat   duduk 
bersama ngabehi  setiap hari bukanlah hal-hal biasa 
memerintah rakyat di masa damai, dan  keharusan 
untuk menjalankan disiplin diri. 
"Dia tak perlu berbuat begitu," Tiba-tiba patih ronggolawe  
meletakkan baskom , dan sambil meninggalkan balita  
pelayan, ia pergi ke dapur, tempat ngabehi  sedang 
menanak nasi. 
patih ronggolawe  meraih tangannya. "ngabehi , ini 
keterlaluan. Mengapa kau tidak duduk bersamaku dan 
mengobrol untuk beberapa waktu? 
Ia mengajak ngabehi  kembali  ke ruangan tadi dan 
menyuruhnya mengambil sebaskom anggur . namun , sebab   
sakit yang dideritanya, ngabehi  hanya dapat 
menempelkan baskom itu ke bibirnya. lalu  
mereka  makan. Sudah lama junjungan dan pengikut 
itu tidak menikmati santapan bersama-sama. 
  
"Sudah waktunya pergi. namun  aku merasa segar 
kembali. Sekarang aku bisa bertempur. ngabehi , 
jagalah dirimu baik-baik." 
saat   patih ronggolawe  meninggalkan Kuil Nanzen, hari 
sudah mulai senja, dan langit di atas ibu kota berubah 
menjadi merah tua. 
 

 
Suasana hening, tanpa satu letusan senapan pun 
begitu hening, sehingga orang mungkin tak percaya 
bahwa ini medan pertempuran; begitu hening, 
sehingga bunyi belalang sentadu yang bergerak di 
tengah-tengah rumput kering terdengar menggerisik di 
telinga. Musim gugur di provinsi-provinsi Barat sudah  
mencapai pertengahannya. Di semua puncak gunung 
dan bukit, daun-daun pohon sudah  berubah merah 
selama dua atau tiga hari terakhir, dan kemerahan itu 
seolah-olah membakar mata patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  sudah  kembali  ke perkemahannya di 
Bukit tengkorak. Ia duduk di hadapan keraton , di bawah  
pohon cemara, di bukit tempat  mereka  memandang 
bulan beberapa  waktu lalu. sesudah  membicarakan 
berbagai hal, mereka akhirnya menarik kesimpulan 
penting. 
"Hmm, bersediakah kau pergi untukku?" 
"Dengan senang hati hamba akan menjalankan 
tugas ini. Apakah hamba berhasil, terserah para dewa."  
"Aku mengandalkanmu." 
  
"Hamba akan berusaha sekuat tenaga. Selebihnya 
hamba serahkan pada Tuhan. Jika hamba tidak 
kembali  dalam keadaan hidup, Tuanku sudah tahu 
apa yang akan menyusul." 
"Kekerasan."  
Mereka berdiri. Suara seekor burung bulbul ter-
dengar dari seberang lembah di sebelah barat. Daun-
daun merah yang tampak di sana sungguh men-
cengangkan. Kedua laki-laki itu menuruni bukit 
sambil membisu, dan berjalan ke arah perkemahan. 
Momok kematian dan  perpisahan yang sudah 
dekat mengujawa  suasana sore yang damai dan 
menyelubungi pikiran kedua sahabat itu. 
"keraton ," patih ronggolawe  menoleh ke belakang saat   
menuruni jalan setapak yang sempit dan curam. 
Kemungkinan bahwa sahabatnya takkan kembali  lagi 
mengusik hatinya, dan ia menyangka keraton   
mungkin hendak menyampaikan kata-kata terakhir. 
"Masih ada hal lain?" 
"Tidak." 
"Tak ada pcsan untuk benteng kota  mendutrejo?"  
"Tidak." 
"Barangkali pesan untuk ayahmu?" 
"Tolong jelaskan mengapa hamba menjalankan 
tugas ini."  
"Baik." 
Udara sangat cerah, dan benteng kota musuh di Miki 
terlihat di kejauhan. Sejak musim panas, jalan menuju 
benteng kota  sudah  terputus, jadi mudah membayangkan 
  
rasa lapar dan haus yang diderita orang-orang di 
dalamnya. Meski demikian, seperti yang bisa diharap-
kan dari centeng  penjaga benteng kota yang terdiri atas 
resi -resi  paling bersemangat dan prajurit-
prajurit paling berani di sumberdadi , mereka tetap 
memperlihaikan jiwa juang yang luar biasa. 
Musuh yang terkepung itu dipaksa melancarkan 
serangan tiba-tiba terhadap centeng  sinuhun  yang 
mengeilinginya. Namun patih ronggolawe  memberikan 
perintah keras pada anak buahnya agar tidak 
terpancing oleh sepak terjang musuh, dan agar tidak 
mengambil tindakan berdasarkan durongan hati. 
Scgala upaya ditempuh untuk mencegah sampainya 
berita mengenai situasi di luar ke benteng kota, jika orang-
orang di dalam benteng kota  memperoleh kabar mengenai 
pemberontakan dimasireng  terhadap aidit , 
semangat mereka akan berkobar-kobar kembali. Bagai-
manapun, pemberontakan Murashige bukan sekadar 
menimbulkan kecemasan di madukara . Pemberontakan 
itu mengancam seluruh operasi di daerah Barat. Dan 
bukan itu saja. Begitu Odera Masamoto, penguasa 
benteng kota Gochaku, mengetahui pemberontakan 
Murashige, ia segera menyatakan memisahkan diri 
dari aidit , dan pada suatu malam bahkan pergi 
ke markas musuh. 
"Semestinya provinsi-provinsi Barat tidak diserah-
kan begitu saja ke tangan para penyerbu." Odera 
berkata pada mereka. "Sebaiknya pihak patih ber-
tindak sebagai  poros untuk mempersatukan kekuatan. 
  
sesudah   itu usir orang-orang sinuhun  dari sini." 
Odera Masamoto merupakan junjungan ayah 
keraton , dan dengan demikian juga junjungan keraton . 
sebab  itu. keraton   menghadapi dilema: di satu pihak 
ada aidit  dan patih ronggolawe , di pihak lain ayahnya 
dan Odera Masamoto. 
dimasireng  tersohor sebab  keberaniannya. 
namun  ia juga dikenal sebagai  orang yang suka mem-
bangga-banggakan diri. Kehalusan perasaan dan 
pemahaman mengenai tanda zaman berada di luar 
kemampuannya. sesudah  mencapai umur yang oleh 
Konfusius discbut "bebas dari kebimbangan", yakni 
empat puluh tahun. Pada usia itu, seorang laki-laki 
mestinya sudah   matang, namun  rupanya watak Murashige 
tidak berubah banyak selama  sepuluh tahun terakhir. 
Tanpa kebijakan dan kehalusan budi bahasa yang 
seharusnya ia miliki, ia belum maju satu langkah pun 
dari keadaannya semula  centeng adipati  yang menakutkan. 
Dapai dikatakan bahwa dengan membujuk 
Murashige sebagai  wakil patih ronggolawe , aidit  sudah  
menutupi kekurangan-kekurangan patih ronggolawe . namun  
Murashige berpandangan lain. Ia tak pernah segan 
memberi nasihat, namun baik patih ronggolawe  maupun 
aidit  tak pernah menjalankan gagasan-
gagasannya. 
Murashige merasa terganggu dengan kehadiran 
patih ronggolawe . namun  ia tak pernah memperlihatkan 
kctidaksenangannya saat berhadapan dengan 
patih ronggolawe . 
  
Dari waktu ke waktu ia menunjukkan kesebalannya, 
dan bahkan tertawa  keras di depan pengikut-
pengikutnya sendiri. Di dunia ini ada orang-orang 
yang tak dapat dibuat tersinggung, tak peduli apa yang 
dilakukan terhadap mereka, dan bagi Murashige, 
patih ronggolawe  termasuk kelompok orang itu . Dalam 
serangan di benteng kota Kozuki, Murashige berada di 
garis depan. Namun, saat   waktu bertempur tiba 
dan patih ronggolawe  memberi perintah menyerbu, 
Murashige hanya duduk bersilang tangan dan tak mau 
beranjak dari tempatnya. 
"Kenapa kau tidak terjun ke dalam kancah 
peperangan?" patih ronggolawe  menegurnya lalu .  
"Hamba tidak ikut dalam pertempuran yang tidak 
menarik minat hamba," Murashige menjawab  tanpa 
berkedip. 
namun  sebab  patih ronggolawe  hanya tertawa , Murashige 
pun memaksakan senyum. Masalahnya ditutup, namun  
desas-desus yang beredar di antara para resi  ber-
nada mencela. 
tunggadewa  mengecam tindak-tanduk Murashige 
dengan keras. Murashige, sebaliknya memandang 
rendah resi -resi  seperti tribuana  tunggadewa  dan 
hyangkertoarjo  wiryabhumi  yang merupakan orang terpelajar. 
Ia gemar memberi julukan banci pada orang-orang 
seperti itu. Penilaian ini didasarkan atas kebenciannya 
terhadap pesta sajak dan upacara minum teh yang 
acap kali mereka selenggarakan di perkemahan. Satu-
satunya hal yang mengesankan bagi Murashige adalah 
  
bahwa patih ronggolawe  rupanya tidak melaporkan sikapnya. 
baik pada aidit  maupun tungguljaya. 
Murashige meremehkan patih ronggolawe  sebagai prajurit 
berhati lemah, namun  justru sebab  itu ia menganggap 
patih ronggolawe  orang yang sukar ditangani. Namun yang 
paling menyadari sikapnya di medan perang adalah 
musuh-musuhnya, orang-orang patih. Mereka  men-
dapat kesan bahwa Murashige menyimpan berbagai 
keluhan, dan bahwa jika mereka bisa berbicara 
dengannya, ada kemungkinan ia akan beralih ke pihak 
mereka. Kurir-kurir rahasia, baik dari pihak patih 
maupun ronggodwijoyo , berulang kali keluar-masuk per-
kemahan Murashige, bukan keluar-masuk benteng kota 
ponorojo . Ini menunjukkan bahwa mereka bukan tamu 
yang tak diharapkan. Tindakan Murashige merupakan 
undangan tanpa kata bagi mereka. 
Kalau orang tanpa kecerdasan memadai mencoba 
mengandalkan kecerdikannya, berarti ia bermain api. 
Berkali-kali para penasihat Murashige mewanti-wanti 
junjungan mereka bahwa rencananya tak mungkin 
berhasil, namun  peringatan mereka  tidak digubrisnya. 
"Jangan bicara yang bukan-bukan! Apalagi marga 
patih sudah mengirim perjanjian tertulis padaku." 
Dengan berpegang teguh pada perjanjian tertulis 
itu, ia segera dan dengan jelas memperlihatkan 
semangat pemberontakannya pada aidit . 
Padahal, di zaman yang serbakacau itu, kalau orang 
dengan seenaknya menyingkirkan perjanjian antara 
pengikut dan junjungannya seperti sepasang sandal 
  
tua, apalah arti sebuah perjanjian tertulis dari marga 
patih, yang notabene sampai kemarin masih merupa-
kan musuh? Murashige tidak berpikir sejauh itu, dan 
ia pun tidak melihat pertentangan yang dihadapinya. 
"Dia hanya orang jujur yang bodoh. Percuma saja 
kita mendendam padanya," patih ronggolawe  sempat  berkata 
pada aidit  untuk menenangkannya. Rasanya 
ucapan patih ronggolawe  memang paling tepat untuk kondisi 
waktu itu. 
Namun situasinya tak dapat diremehkan oleh 
aidit , sehingga ia mewanti-wanti, "namun  dia orang 
kuat."   
Masalah yang dihadapi aidit  ditambah  lagi 
dengan pertanyaan bagaimana pengaruh pem-
berontakan itu terhadap resi -resi  lain di bawah  
komandonya dan bagaimana akibat psikologis yang 
muncul . sebab   itu, aidit  menempuh segala cara, 
termasuk mengutus tunggadewa  untuk menenangkan 
Murashige. 
Namun upaya-upaya itu justru membuat Murashige 
semakin curiga. Ia segera mempergiat persiapannya 
untuk menghadapi perang dan berkata, "Aku sudah 
menunjukkan sikap bermusuhan, jadi kalau aku 
sampai termakan oleh bujuk rayu mereka dan men-
jawab  panggilan dari madukara , tak pelak lagi aku akan 
dibunuh atau dipcnjara." 
aidit  sakit hati. Akhirnya keputusan untuk 
bertempur melawan  Murashige diumumkan, dan pada 
hari kesembilan di Bulan Kesebelas, aidit  sendiri  
  
membawa    centeng  sampai ke bukittanjung . centeng  
madukara  akan dibagi tiga. centeng  pertama, yang terdiri 
atas centeng  danakertoarjo   ngabeni, tribuana  tunggadewa , 
dan Niwa Nagahide, mengelilingi benteng kota Ibaragi; 
centeng  kedua, yang merupakan gabungan centeng  
betari jawi , madya, Sassa, dan Kanapatih, mengepung 
benteng kota  wonorejo . 
Markas besar aidit  didirikan di Gunung 
Amano. Pada waktu barisannya mulai membentuk 
formasi tempur, ia masih menyimpan harapan bahwa 
centeng  pemberontak dapat ditundukkan tanpa per-
tumpahan darah. Harapan itu berhubungan dengan  
patih ronggolawe  yang sudah  kembali  ke sumberdadi  dan baru 
saja mengirim pesan.  
Hamba memiliki  satu ide lagi, patih ronggolawe  menulis. 
Di balik kata-katanya terselip persahabatannya dengan  
Murashige, dan  perasaan bahwa keberanian 
Murashige terlalu berharga untuk disia-siakan. Dengan  
sungguh-tungguh ia memohon agar aidit  
menunggu sedikit lagi. Tangan kanan patih ronggolawe , 
Kursinuhun  keraton , secara mendadak meninggalkan 
perkemahan di Bukit tengkorak pada suatu malam. 
Keesokan harinya Kursinuhun  keraton   bergegas ke 
benteng kota Gochsku, dan berkata pada Odera 
Masamoto. "Ada desas-desus bahwa Yang Mulia ber-
sekongkol dengan  Yang Mulia Murashige, bahwa 
benteng kota  ini sudah  berpaling dari marga sinuhun , dan 
bahwa Yang Mulia hendak beralih ke kubu marga 
patih." ia bicara terus terang, dari hati ke hati. 
  
Senyum tipis muncul di bibir Masamoto saat   
mendengar ucapan keraton . Dari segi umur, keraton   
pantas menjadi putranya; dari segi kedudukan pun ia 
tak lebih dari putra pengikut senior. sebab   itu, tidak 
mengherankan bahwa jawaban pasti Masamoto bernada 
amat congkak. 
"keraton , kelihatannya kau serius, namun  coba pikir 
sebentar. Sejak marga ini menjadi sekutu aidit , 
apa yang kami peroleh sebagai  balasan? Tidak ada." 
"Menurut hamba, urusan ini bukan urusan untung-
rugi semata-mata."  
"Kalau begitu, apa?"  
"Ini masalah kesetiaan. Marga Odera merupakan 
marga termasyhur, dan menjadi sekutu marga sinuhun  di 
sumberdadi . Jika Yang Mulia tiba-tiba bergabung dengan 
pemberontakan dimasireng  dan membelakangi 
teman-teman lama, itu berarti menginjak-injak norma 
kesetiaan." 
"Apa maksudmu?" tanya Masamoto. Ia memperlaku-
kan keraton  seperti juru runding tak berpengalaman, 
dan semakin sungguh-sungguh sikap keraton , semakin 
dingin tanggapan yang diberikan Masamoto. 
"Sejak pertama, persekutuanku dengan aidit  
bukan masalah kesetiaan." katanya. "Kau dan ayahmu 
tampak percaya bahwa masa depan negeri ini berada di 
tangan aidit ; dan saat   ia menduduki ibu kota, 
langkah yang paling bijaksana adalah bekerja sama 
dengannya. Paling tidak, seperti itulah situasi yang 
dijelaskan padaku, dan aku pun terbujuk. namun  
  
sebetulnya  mulai sekarang aidit  menghadapi 
banyak bahaya. Bayangkanlah kapal besar yang hendak 
mengarungi lautan. Dari darat, kapal itu tampak 
aman: kaupikir jika kau menaiki kapal itu, kau takkan 
gentar menantang ombak dan badai. namun  lalu  
kau benar-benar menaikinya dan mempertaruhkan 
nasibmu pada nasib kapal itu. sesudah  itu, bukan 
kedamaian yang kauperoleh, melainkan keraguan dan 
kebimbangan. Setiap kali ombak menerjang, kau 
merasa tidak tenang dan menyangsikan kekuatan 
kapal itu. Ini memang sifat manusia." 
Tanpa sadar keraton  menepuk lutut. "Dan sekali 
kita sudah menaiki kapal, kita tak mungkin turun di 
tengah jalan." 
"Kenapa tidak? Jika kita menyadari bahwa kapal itu 
takkan sanggup menahan pukulan ombak, mungkin 
tak ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa   selain 
meninggalkan kapal dan berenang ke tepian sebelum  
kapalnya karam. Kadang-kadang kita harus menutup 
mata terhadap perasaan kita." 
"Ini pemikiran yang memalukan, Yang Mulia. 
sesudah  badai berlalu dan kapal yang tadinya terancam 
mara bahaya menaikkan layar dan akhirnya memasuki 
bandar, justru orang yang gemetar saat   diterjang 
topan, menyangsikan kapal yang dipercayainya, meng-
khianati teman-teman seperjalanannya, dan dengan 
bingung melompat ke laut, yang akan menjadi bahan 
tertawa an." 
"Aku bukan tandinganmu dalam bersilat lidah." 
  
Masamoto tertawa . "sebetulnya  kau malah terlalu 
fasih berpidato. Mula-mula kau berkata bahwa 
aidit  akan menyapu daerah Barat dengan cepat. 
namun  centeng  yang dikirim bersama patih ronggolawe  hanya 
berjumlah lima atau enam ribu orang. Dan meskipun 
tungguljaya dan resi -resi  lain acap kali datang 
membantu, orang-orang di ibu kota tetap merasa was-
was, dan sepertinya centeng  patih ronggolawe  takkan lama 
bertahan di sini. sesudah   itu aku akan dimanfaatkan 
sebagai barisan depan dan diminta mengerahkan 
prajurit, kuda, dan perbekalan, namun  pada gilirannya 
aku hanya akan menempati posisi sebagai penyangga 
antara aidit  dan musuh-musuhnya. Coba 
renungkan masa depan marga sinuhun . Lihatlah 
bagaimana dimasireng  yang sudah  diangkat ke 
posisi yang begitu penting oleh aidit  membalik 
situasi di ibu kota saat   dia bersckutu dengan marga 
patih! Rasanya alasan kenapa aku meninggalkan marga 
sinuhun  bersama Murashige sudah cukup jelas." 
"Rencana yang baru saja hamba dengar sungguh 
menyedihkan. Hamba kira Yang Mulia akan segera 
menyesalinya." 
"Kau masih muda. Kau hebat dalam pertempuran, 
namun  tidak dalam urusan duniawi." 
"Yang Mulia, hamba mohon agar Yang Mulia sudi 
berubah pikiran." 
"Itu takkan terjadi. Aku sudah menjelaskan pada 
semua pengikutku bahwa aku sudah  memberi janji 
kepada Murashige, dan sudah  memutuskan untuk ber-
  
gabung dengan  marga patih." 
"namun  jika Yang Mulia sudi mempertimbangkan 
sekali lagi..." 
'Sebelum  kau berkata apa-apa lagi, cobalah bicara 
dengan  dimasireng . Kalau dia batal membelot, 
aku akan mengikuti jejaknya." 
Dewasa dan kanak-kanak. Perbedaan di antara 
mereka bukan saja cara berpikir yang tak masuk akal. 
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa orang seperti 
keraton  pun. yang dianggap unik di daerah Barat 
sebab   kecakapan dan gagasan-gagasannya yang maju, 
takkan mampu bertahan di hadapan lawan  seperti 
Odera Masamoto, tak pengaruh apakah ia benar atau 
salah. 
Masamoto menekankan sekali lagi. "Bagaimanapun, 
bawa  lah ini dan pergilah ke ponorojo . Lalu segera 
sampaikan jawab annya padaku. Kalau aku sudah men-
dengar pendapat Murashige, aku akan memberikan 
jawaban pasti yang pasti." 
Ia menulis pesan untuk dimasireng . keraton   
menyelipkannya ke balik jubah , lalu  bergegas 
ke ponorojo . Situasinya genting, dan setiap tindakannya 
mungkin berdampak besar. saat  mendekati benteng kota  
ponorojo , ia melihat prajurit-prajurit menggali selokan 
dan mendirikan pagar kayu runcing. 
Tanpa memedulikan lingkaran tombak yang segera 
mengelilinginya, ia berkata, seolah-olah tak ada yang 
perlu digelisah khawatir kan. "Aku Kursinuhun  keraton   dari 
benteng kota mendutrejo. Aku bukan sekutu Yang Mulia 
  
aidit  maupun Yang Mulia Murashige. Aku 
datang sendiri  untuk pembicaraan empat mata yang 
penting dengan Yang Mulia Murashige." Dan 
lalu  ia mendesak. 
Ia melewati beberapa  gerbang, akhirnya memasuki 
benteng kota dan segera bertemu Murashige. Kesan 
pertamanya saat   menatap  wajah Murashige adalah 
bahwa laki-laki itu tidak setegar yang dibayangkannya. 
Roman muka Murashige tidak mengesankan. keraton   
menyadari semangat dan rasa percaya diri yang goyah 
pada diri lawan nya, dan bertanya-tanya mengapa ia 
memilih berperang melawan  aidit , yang 
dianggap sebagai  orang paling menonjol dari 
generasinya. "Hmm, sudah lama kita tak berjumpa," 
Murashige berkata tak berketentuan. Nadanya hampir 
menyanjung. keraton   menduga kalau resi  sehebat 
bersikap demikian, itu berarti ia masih diliputi 
kebingungan. 
keraton  berbasa-basi sejenak, sambil terus tersenyum 
pada Murashige. Murashige tak mampu menutup-
nutupi keluguannya dan kelihatan kikuk sekali. 
Ia merasa wajahnya memerah. "Apa keperluanmu?" 
ia bertanya.  
"Aku mendengar desas-desus."  
"Bahwa aku mcngcrahkan centeng ?"  
"Tuan menghadapi masalah besar." 
"Ada yang berkata baik, ada yang buruk." 
"Pendapat orang-orang rupanya masih terpecah-
belah. Seharusnya mereka menunggu sampai 
  
pertempuran selesai sebelum  memutuskan siapa yang 
benar dan siapa yang salah. Reputasi seseorang tak 
pernah ditetapkan sebelum dia mati." 
"Sudahkah Tuan mempertimbangkan apa yang akan 
terjadi sesudah   Tuan tiada?" 
"Tentu saja." 
"Kalau begitu, aku percaya Tuan sadar bahwa akibat 
dari keputusan Tuan tak dapat ditarik kembali."  
"Kenapa begitu?" 
"Nama buruk yang akan Tuan peroleh sebab  
menentang junjungan yang begitu banyak menunjuk-
kan kebaikan terhadap Tuan takkan pupus selama  
beberapa   generasi." 
Murashige terdiam. Denyut nadi di pelipisnya 
penuh emosi, namun  lidahnya tak cukup lincah untuk 
menyangkal. 
"anggur  sudah siap," seorang pengikut memberitahu-
nya. 
Murashige tampak lega. Ia berdiri. "keraton , mari 
masuk. Bagaimanapun, kita sudah lama tidak 
bertemu. Mari minum bcrsama-sama," ia mengusul-
kan. 
Murashige bersikap sebagai  tuan rumah yang baik. 
Ia sudah  mcnyuruh pelayan-pdayan menyiapkan 
jamuan makan di benteng kota utama. Tentu saja kedua 
laki-laki itu mcnghindari setiap perdebatan saat   
minum anggur , dan roman muka Murashige tampak 
melunak. Namun pada suatu titik keraton  kembali  ke 
topik pembicaraan semula. 
  
"Bagaimana, Tuan? Mcngapa Tuan tidak meng-
hentikan semua  ini sebelum  berlanjut terlalu jauh?" 
"Sebelum  apa berlanjut terlalu jauh?" 
"Unjuk kekuatan yang tak berguna ini." 
"Pendirianku dalam masalah penting ini tak ada 
sangkut-pautnya dengan unjuk kekuatan." 
"Itu mungkin benar, namun  orang-orang menyebutnya 
pengkhianatan. Bagaimana perasaan Tuan mengenai 
ini?" 
"Ayo, mari tambah  anggur  lagi."      
"Aku tak mau menipu diri sendiri. Tuan sudah  
melayaniku dengan sebaik-baiknya hari ini, namun  anggur  
yang Tuan sajikan serasa agak pahit." 
"Kau diutus oleh patih ronggolawe ." 
"Tentu saja. Yang Mulia patih ronggolawe  sangat men-
cemaskan Tuan. Bukan itu saja, beliau juga terus 
membela Tuan, tanpa memedulikan omongan orang. 
Beliau menyebut Tuan orang yang berharga dan 
pejuang yang gagah berani. Beliau mewanti-wanti agar 
kami tidak melakukan kesalahan, dan aku tahu beliau 
takkan pernah melupakan persahabatan dengan  
Tuan." 
Murashige menarik napas panjang dan berkata dari 
lubuk hati, "sebetulnya  aku sudah  menerima dua atau 
tiga surat teguran dari patih ronggolawe . dan aku terharu 
oleh persahabatannya. namun  tribuana  tunggadewa  dan 
para pengikut sinuhun  yang lain berdatangan sebagai  
utusan Yang Mulia aidit , dan aku menampik 
mereka  semua . Tentunya tak mungkin aku menuruti 
  
kata-kata patih ronggolawe  sekarang." 
"Kurasa itu tidak benar. Jika Tuan menyerahkan 
urusan ini pada Yang Mulia patih ronggolawe , aku percaya 
beliau akan menemukan cara untuk menengahi 
sengketa ini." 
"Aku tidak sependapat," ujar Murashige dengan  
muram. "Kabarnya, saat  tunggadewa  dan mpu wiragajah  
memperoleh kabar bahwa aku memberontak, mereka  
bertepuk tangan dan bersukacita. tunggadewa  datang ke 
sini untuk menenteramkanku. Dia membujukku 
dengan  kata-kata manis, namun  siapa yang tahu laporan 
macam apa yang diberikannya pada aidit . 
Seandainya aku membuka benteng kota dan kembali ber-
lutut di hadapan aidit , pada akhirnya dia hanya 
akan memerintahkan anak buahnya untuk men-
jambak rambutku dan memotong kepalaku. Tak satu 
pun pengikutku berkeinginan kembali pada 
aidit . Mereka sudah  sampai ke titik di mana 
mereka menganggap berjuang sampai mati merupakan 
pilihan terbaik, jadi ini bukan pendapatku semata-
mata. Kalau kau kembali ke sumberdadi , tolong 
sampaikan pada patih ronggolawe  agar jangan berpikiran 
buruk tentangku." 
Kelihatannya keraton  takkan mudah membujuk 
Murashige. sesudah  minum beberapa baskom anggur  lagi, 
ia mengeluarkan surat Odera Masamoto yang hampir 
terlupakan, dan menyerahkannya pada Murashige. 
keraton   sudah mempelajari isi surat itu. Bunyinya 
sedcrhana, namun  mengecam tindakan Murashige. 
  
Murashige bergegas mendekati sebuah lentera dan 
membaca suratnya, namun  begitu selesai membaca, ia 
mohon diri dan meninggalkan ruangan. 
saat  ia melangkah keluar, sekelompok prajurit 
mendesak masuk. Mereka mengepung keraton , mem-
bentuk pagar baju tempur dan tombak di sekeliling-
nya. 
"Berdiri!" mereka  berscru. 
keraton   meletakkan baskom nya dan menatap  wajah-
wajah geram di sekelilingnya. "Apa yang akan terjadi 
sesudah  aku berdiri ?" ia bertanya. 
"Tuanku Murashige memerintahkan agar kau 
digiring ke penjara," salah satu prajurit menjawab . 
"Penjara?" keraton  berseru. Ia ingin tertawa  keras-
keras. Sejenak ia menyangka maut sudah  menunggu-
nya. dan ia menyadari betapa ia kelihatan bodoh 
sebab  masuk ke perangkap Murashige. 
Ia bangkit sambil tersenyum. "Kalau begitu, mari 
kita berangkat. Tak ada yang dapat kulakukan selain 
menurut, kalau memang  begitu cara Tuan Murashige 
memperlakukan utusan." 
Tanpa berkata apa-apa, para prajurit menggiring 
keraton   menyusuri koridor utama. Gemerincing baju 
tempur mereka bercampur baur dengan suara 
langkah. Mereka  melewati selasar-selasar dan tangga-
tangga gelap. keraton  disuruh berjalan di tempat-
tempat yang gelap gulita, tak berbeda kalau matanya 
diikat dengan kain, dan ia bertanya-tanya kapan 
mereka akan membunuhnya. Ia sudah siap meng-
  
hadapi kemungkinan itu, namun  rupanya Murashige 
tidak memerintahkan demikian. Bagaimanapun, 
tempat tak bercahaya yang dilewatinya mungkin 
sebuah terowongan rumit yang membelah benteng kota. 
Beberapa  saat lalu , sebuah pintu berat dibuka. 
"Masuk!" ia diperintahkan, dan sesudah  berjalan 
maju sekitar sepuluh langkah, ia menemukan dirinya 
di tengah-tengah sebuah sel. Pintu sel menutup di 
belakangnya. Kali ini keraton   tertawa  keras-keras ke 
dalam kegelapan. Lalu ia berpaling ke dinding dan 
berkata dengan geram, hampir seperti membaca sajak. 
"Aku sudah  masuk perangkap Murashige. Hmm... 
moral orang-orang semakin rumit saja. Rupanya sikap 
yang pantas sudah tidak berlaku." 
Ia menebak bahwa ia berada di bawah  sebuah 
gudang senjata. Sejauh yang dapat diketahuinya 
dengan meraba-raba dengan telapak kaki, lantai selnya 
terbuat dari papan-papan kayu yang tebal dan saling 
mengunci. keraton  melangkah dengan tenang, meng-
ikuti keempat dinding. Akhirnya ia menyimpulkan 
bahwa sel tempat ia ditawa n berukuran tiga puluh 
meter persegi. 
"Ah, Murashige patut dikasihani. Apa yang dia 
harapkan dengan menahanku di sini? Keuntungan apa 
yang hendak diraihnya?" 
Ia duduk bersilang kaki di tempat yang ia kira 
merupakan tengah-tengah sel. Pantatnya terasa dingin, 
namun  sepertinya tidak ada tikar jerami di ruangan itu. 
Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia tidak disuruh 
  
menyerahkan pedang pendeknya, dan berpikir. "Ini 
patut disyukuri. Selama  aku punya senjata ini... kapan 
saja aku bisa...." 
Dalam hati ia berkata bahwa walaupun pantatnya 
mati rasa, semangatnya tetap takkan pudar. Meditasi 
Zen yang ditekuninya di masa muda mungkin ber-
manfaat sekarang. Pikiran inilah yang terlintas dalam 
benaknya saat   waktu berlalu. Untung saja aku yang 
datang, adalah pikiran berikutnya. Seandainya 
patih ronggolawe  sendiri yang bertindak sebagai utusan, 
bencana kecil ini akan berubah jadi bencana besar. 
Tak lama lalu , seberkas sinar menerangi 
wajahnya. Dengan tenang keraton  memandang ke arah 
sumber cahaya itu. Sebuah jendela sudah  dibuka, dan 
wajah seorang laki-laki muncul di balik kisi-kisi. Orang 
itu dimasireng . 
"Dinginkah di dalam sana, keraton ?" tanya 
Murashige.  
keraton  menatapnya, lalu menjawab  tenang. "Tidak, 
tubuhku masih hangat sebab  anggur  tadi, namun  men-
jelang tengah malam nanti keadaannya mungkin 
kurang nyaman. Jika Tuanku patih ronggolawe  mendengar 
bahwa Kursinuhun  keraton  mati beku, dia tentu akan 
datang sebelum  fajar dan memajang kepalamu di atas 
gerbang penjara. Murashige, kenapa tidak kaupakai 
otakmu? Apa yang ingin kaucapai dengan  me-
menjarakanku di sini?" 
Murashige tak sanggup berkata apa-apa, ia juga 
menyadari bahwa tindakannya sudah  mencoreng arang 
  
di kening sendiri. Namun akhirnya ia tertawa   dengan 
nada menghina. 
"Berhentilah menggerutu, keraton . Kau berkata aku 
tak punya otak, namun  bukankah justru kau yang masuk 
perangkap ini?" 
"Ejekanmu tak berguna. Tak sanggupkah kau 
mengucapkan sesuatu yang masuk akal? Ayolah. 
Murashige." 
Murashige tidak mcngatakan apa-apa, dan keraton   
melanjutkan. "Kau tentu menuduhku sebagai  ahli 
siasat atau setan berakal bulus, namun  aku menangani 
masalah-masalah besar, bukan tipuan-tipuan tak 
berarti. Tak pernah terpikir olehku untuk ber-
sekongkol melawan  kawan  sendiri, dan menarik 
keuntungan. Aku hanya memikirkanmu dan ke-
susahan Yang Mulia patih ronggolawe . sebab  itu aku datang 
seorang  diri ke sini. Belum mengerti jugakah kau? 
Bagaimana dengan persahabatan Yang Mulia Hide-
yoshi? Bagaimana dengan  kesetiaanmu?" 
Murashige tidak tahu harus menjawab  apa. Sesaat ia 
membisu, namun  akhirnya ia bcrkata, "Kau bicara tentang 
persahabatan dan prinsip-prinsip moral, namun  kata-kata 
itu hanya berkilau di masa damai, bukan? Sekarang 
berbeda. Negcri ini dilanda perang, dan seluruh dunia 
kacau-balau. Kalau kau tidak berkomplot, kau akan 
menjadi korban persekongkolan orang lain, jika kau 
tidak menghantam lebih dahulu , orang lain akan meng-
hantammu. Dunia ini begitu suram, sehingga kau 
mungkin harus membunuh atau dibunuh dalam 
  
waktu sepersekian detik saat kau meraih sumpit. 
Sekutu kemarin bisa menjadi musuh hari ini, dan jika 
seseorang merupakan musuhmu walaupun dia teman-
mu tak ada pilihan selain memasukkannya ke 
penjara. Semuanya taktik semata-mata. Hanya sebab   
kasihan aku belum membunuhmu." 
"Ah, begitu rupanya. Sekarang aku memahami 
pandangan hidupmu, pandanganmu mengenai 
peperangan, dan  kedalaman akhlakmu. Kau pun tak 
luput dari kebutaan yang mencirikan zaman ini, dan 
aku sudah tak berminat untuk berdiskusi denganmu. 
Silakan, hancurkanlah dirimu sendiri." 
"Apa? Kauanggap aku buta?" 
"Benar. Ah, tidak, sekarang pun aku tak sanggup 
mencampakkan sisa rasa persahabatan. Ada satu hal 
lagi yang perlu kuajarkan padamu." 
"Apa? Apakah orang-orang sinuhun  memiliki  strategi 
rahasia?" 
"Ini bukan masalah untung-rugi. Kau patut di-
kasihani. Meski tersohor sebab  keberanianmu yang 
luar biasa, kau tak paham bagaimana caranya hidup di 
negeri yang kacau-balau ini. Bukan itu saja, kau juga 
tidak memiliki keinginan untuk menyelamatkan dunia 
dari kekacauan. Kau bukan manusia, kau lebih hina 
dibandingkan  orang kota atau petani. Berani-beraninya kau 
mengaku centeng adipati !" 
"Apa! Kauanggap aku bukan manusia?" 
"Benar. Kau binatang." 
"Bah!" 
  
"Silakan! Marahlah sehebat-hebatnya. Semuanya 
hanya ditujukan pada dirimu sendiri. Dengar, 
Murashige. Jika manusia kehilangan akhlak dan 
kesetiaan, dunia ini tak lebih dari dunia binatang. Kita 
berperang dan terus berperang, dan api persaingan 
manusia tak pernah padam. Jika kau hanya 
memikirkan perang, intrik, dan kekuasaan, dan  
melupakan akhlak dan perikemanusiaan, kau bukan 
saja musuh Yang Mulia aidit . Kau musuh 
segenap umat manusia, dan merupakan wabah bagi 
seluruh dunia. Kalau kau orang semacam itu, dengan 
senang hati aku akan memuntir batang lehermu." 
sesudah  mengemukakan pendapatnya secara terus 
terang, lalu terdiam. keraton  mendengar kegegeran. Di 
luar jendda penjara. Murashige dikelilingi pengikut-
pengikut dan para pembantu pribadinya, dan semua 
nya berteriak menuntut. 
"Dia harus menerima akibatnya!"  
"Tidak, dia tidak boleh dibunuh!" 
"Dia keterlaluan."  
"Jangan bertindak gcgabah!" 
Rupanya Murashige terperangkap di antara mereka  
yang hendak menarik keluar keraton  dan mem-
bantainya di tempat, dan mereka yang menyatakan 
bahwa membunuh keraton  hanya akan berakibat 
buruk. Dan sepertinya ia tak dapat mengambil 
keputusan. 
Namun akhirnya diputuskan kalaupun mereka  
akan membunuhnya, mereka  tak perlu terburu-buru. 
  
sesudah  itu suasananya menjadi lebih tenang, dan 
suara langkah Murashige dan yang lainnya terdengar 
menghilang di kejauhan. 
Dengan kejadian ini, keraton  segera memahami 
keadaan di benteng kota ponorojo . 
Walaupun bendera pemberontakan sudah  jelas-jelas 
dikibarkan, sampai sekarang pun orang-orang di 
dalamnya masih terpecah ke dalam dua kubu. Ada 
yang hendak memerangi marga sinuhun  dengan hati 
panas, dan ada pula yang menyarankan untuk bekerja 
sama dengan bekas sekutu mereka  itu. Di bawah  satu 
atap, mereka  berselisih dalam hampir segala hal, dan 
situasinya terbaca dengan mudah. 
Murashige, yang terjebak di tengah-tengah per-
selisihan ini, sudah  mengusir para utusan aidit  
dan mempergiat persiapan militernya. Dan kini ia 
memenjarakan keraton . 
Kelihatannya dia sedang menuju kehancurannya. 
Ah, betapa menyedihkan, pikir keraton . Tanpa 
menyesali nasibnya sendiri, ia menyayangkan ke-
bodohan Murashige. sesudah  suara-suara di luar 
lenyap, lubang jendela ditutup lagi, namun  keraton  tiba-
tiba menyadari bahwa secarik kertas jatuh ke dalam. Ia 
memungutnya, namun  tak bisa mengamatinya malam itu. 
Keadaan di dalam sel begitu gelap, sehingga jarinya 
sendiri  nyaris tak kelihatan. 
Namun, keesokan harinya, saat  cahaya pagi mulai 
tampak, ia langsung teringat kertas itu dan mem-
bacanya. Kertas itu rupanya sepucuk surat dari Odera 
  
Masamoto di sumberdadi , yang ditujukan pada Araki 
Murashige. 
 
Oknum merepotkan yang sempat kita bicarakan ternyata 
datang ke sini, memperingatkanku agar berubah pikiran. 
Aku mengelabui dia dengan menyuruhnya menanyakan 
pendapatmu dahulu , jadi kemungkinannya dia tiba di 
benteng kotamu bersamaan dengan surat ini. Dia orang yang 
panjang akal, jadi selama dia hidup, dia akan tetap 
menjadi beban. Kalau dia tiba di benteng kota ponorojo , 
kusarankan agar kau memanfaatkan kesempatan dan tidak 
melepaskan dia lagi. 
 
keraton  terkejut melihat tanggal surat itu, sebab 
ternyata surat itu ditulis pada hari yang sama dengan 
saat ia berbicara dengan Masamoto dan meninggalkan 
benteng kota Gochaku. 
"Hmm, kalau begitu dia mengirim surat segera 
sesudah   aku pergi," keraton  bergumam dengan kagum. 
Ia tiba-tiba menyadari bahwa dunia ini penuh dengan 
orang cerdik. Meski demikian, dunia memandang 
dirinya ia yang begitu berupaya menghindari pe-
mikiran dangkal dan rencana-recana picik sebagai  
ahli siasat. 
"Menarik sekali, bukan? Hidup di dunia ini." 
Sambil menatap langit-langit, ia bicara tanpa 
menyadarinya. Suaranya menggema, seolah-olah ia 
berada di dalam gua. Betapa menarik hidup di dunia 
ini. 
Seperti bisa diduga, ada kebohongan dan 
  
kebenaran, ada bentuk dan kehampaan, ada 
kemarahan dan kegembiraan, ada kepercayaan dan ke-
bimbangan. Inilah hidup di dunia. namun  paling tidak 
selama beberapa  dongeng gu, keraton   akan terpisah jauh 
dari dunia. 
 

 
centeng  penyerbu yang menyebar di sekeliling ponorojo , 
wonorejo , dan Ibangi siap menyerang kapan saja. 
Meski demikian, perintah menyerang tak kunjung tiba 
dari markas besar aidit  di Gunung Amano. Di 
masing-masing perkemahan, hari demi hari berlalu 
begitu tenang, sehingga kesabaran para prajurit mulai 
menipis. "Belum ada kabar?" 
Sudah dua kali pada hari itu aidit  mengajukan 
pertanyaan itu . Namun penyebab kegelisahannya 
justru berlawan an dengan sumber ketidaksabaran para 
prajurit. Saat itu kerumitan posisi marga sinuhun  sudah 
mencapai taraf luar biasa, bahkan berbahaya bukan 
sehubungan dengan  provinsi-provinsi Barat maupun 
Timur, melainkan malah di sekitar ibu kota, jika ada 
pilihan, aidit  cenderung tidak bertempur di sini 
pada waktu ini. Dan saat   hari demi hari berlalu, ia 
mencemaskan keputusannya untuk menghindari per-
tempuran di daerahnya sendiri.  
Setiap kali aidit  merasa gelisah, patih ronggolawe -lah 
yang menyibukkan pikirannya. Ia ingin patih ronggolawe  
terus berada di sisinya. Belum lama berselang, sebuah 
  
laporan tiba dan resi  yang begitu diandalkannya 
itu, yang memberitahunya bahwa keraton  sudah  mem-
berikan uraian kepada bekas majikannya, Odera 
Masamoto, lalu langsung pergi ke benteng kota ponorojo  
untuk membujuk Murashige agar bersedia berunding. 
keraton  bahkan bersedia mati dalam tugas ini. 
patih ronggolawe  berpesan, dan memohon agar aidit   
mau menunggu. 
"Kelihatannya dia percaya sekali," ujar aidit . 
"dan patih ronggolawe  tidak biasa bersikap lalai." 
namun  biarpun aidit  memaksa diri untuk 
bersabar, suasana di markas besarnya mulai tegang 
sebab  kejengkelan para resi  lain. Setiap kali 
patih ronggolawe  melakukan kesalahan sepele, kedongkolan 
mereka  langsung meledak, seakan-akan sudah lama 
membara di bawah  permukaan. 
"Aku tidak mengerti kenapa patih ronggolawe  mengutus 
dia! Siapa keraton  itu? Kalau latar belakangnya 
diselidiki, ketahuan bahwa dia pengikut Odera 
Masamoto. Dan ayahnya pun pengikut senior 
Masamoto. Sedangkan Masamoto sendiri ber-
sekongkol dengan dimasireng . Mereka  mem-
buka hubungan dengan pihak patih dan mengkhianati 
kita. Masamoto dan Murashige sama-sama mengibar-
kan bendera pemberontakan di daerah Barat. 
Bagaimana mungkin patih ronggolawe  memilih keraton   
untuk tugas sepenting ini?" 
patih ronggolawe  dicela sebab  tidak melihat ke depan, 
dan beberapa orang malah curiga bahwa ia berunding 
  
dengan  marga patih. 
Laporan-laporan yang mulai berdatangan membawa    
informasi yang sama: Odera Masamoto bukannya 
tunduk pada uraian keraton , ia malah semakin 
menentang Yang Mulia aidit . Ia menyebarkan 
desas-desus mengenai kelemahan-kelemahan pihak 
sinuhun , dan ia semakin sering berkomunikasi dengan  
orang-orang patih. 
aidit  terpaksa mengakui bahwa itu benar. 
"Tindakan keraton  tak lebih dari tipu daya. 
Sementara kita menunggu kabar gembira dari orang 
yang tak dapat diandalkan itu, musuh justru mem-
perkuat diri dan menyempurnakan pertahanan, 
sehingga pada akhirnya centeng  kita takkan mencapai 
apa-apa, tak peduli betapa hebatnya serangan yang kita 
lancarkan."  
Pada titik itulah berita dari patih ronggolawe  tiba. Namun 
beritanya tidak menggembirakan. keraton  belum juga 
kembali, dan informasi yang jelas belum berhasil 
diperoleh. Selain itu, surat itu bernada putus asa. 
aidit  mendecakkan lidah. Tiba-tiba ia men-
campakkan kantong yang semula berisi surat. 
"Sudah terlambat!" Tak kuasa menahan diri lebih  
lama lagi, aidit  tiba-tiba membentak, "juru tulis! 
Tulis ini sckarang juga dan alamatkan pada patih ronggolawe . 
Suruh dia datang ke sini secepat mungkin." 
lalu  ia menatap mpu wiragajah  mpu wiraghanda dan 
berkata. "Aku mendengar bahwa raden mas  ngabehi  
mengurung diri di Kuil Nanzen untuk bertetirah. 
  
Masih di sanakah dia?" 
"Hamba kira masih." 
Tanggapan aidit  atas jawaban pasti mpu wiraghanda 
menyusul secepat gema. "Kalau begitu, pergilah ke 
sana dan sampaikan ini pada ngabehi : putra Kursinuhun  
keraton , ki pakanewon, dikirim sebagai sandera ke 
benteng kota ngabehi  oleh patih ronggolawe  beberapa  waktu lalu. 
Dia harus segera dipancung, dan kepalanya harus 
dikirim ke ayahnya di ponorojo ." 
mpu wiraghanda membungkuk. Sejenak semua  orang di 
sekitar aidit  meringkuk ketakutan sebab  
ledakan amarahnya. Tak ada yang berani bersuara, 
dan mpu wiraghanda pun tidak segera kembali tegak. 
Suasana hati aidit  dapat berubah dalam sekejap, 
dan kemarahannya meledak dengan mudah. 
Kesabaran yang ia perlihatkan sampai saat itu bukan-
lah bagian dari watak sebetulnya . Kesabaran itu 
hanyalah akibat dari akal sehatnya. sebab  itu, jika ia 
mencampakkan kendali diri yang begitu dibencinya 
dan meninggikan suara, telinganya akan memerah, 
dan roman mukanya tiba-tiba terkesan garang. 
"Tuanku, bersabarlah sedikit lagi." 
"Ada apa, ngabeni? Kau hendak menegurku?" 
"Tidak pada tempatnya orang seperti hamba 
menegur Yang Mulia, namun  mengapa tuanku tiba-tiba 
memberi perintah untuk membunuh putra Kursinuhun  
keraton ? Seyogyanya tuanku mempertimbangkan 
keputusan ini masak-masak." 
"Aku tak perlu pertimbangan lebih  lanjut untuk 
  
mengetahui pengkhianatan keraton . Dia pura-pura 
berbicara dengan Odera Masamoto, sesudah  itu dia 
sekali lagi mengelabuiku agar aku menyangka dia 
berunding dengan dimasireng . Sepuluh hari aku 
menahan diri untuk bertindak, dan semuanya sebab  
rencana-rencana busuk keraton  keparat itu. patih ronggolawe  
baru saja melaporkannya. patih ronggolawe  pun jera diper-
mainkan oleh keraton ." 
"namun  bagaimana kalau tuanku memanggil 
patih ronggolawe  untuk memperoleh  laporan lengkap, dan 
berbicara dengannya mengenai hukuman untuk putra 
keraton ''' 
"Usulmu hanya cocok untuk masa damai. Keadaan 
sekarang tidak memungkinkannya. Dan aku tidak 
memanggil patih ronggolawe  ke sini untuk mendengarkan 
pendapatnya. Aku ingin tahu bagaimana dia sampai 
menimbulkan bencana ini. Cepat bawa   pesan itu, 
mpu wiraghanda." 
"Baik. tuanku. Hamba akan menyampaikannya 
pada ngabehi ." 
aidit  semakin muram. Ia berpaling kepada 
juru tulisnya dan bertanya, "Sudah kautulis pesanku 
untuk patih ronggolawe ?" 
"Mungkin Yang Mulia hendak membacanya?" 
Surat itu ditunjukkan pada aidit , lalu segera 
diberikan pada kepala kurir, yang diperintahkan 
mengantarkannya ke sumberdadi . 
namun  sebelum kurir itu berangkat, seorang  pengikut 
mengumumkan. "Yang Mulia patih ronggolawe  baru saja 
  
tiba." 
"Apa? patih ronggolawe ?" Roman muka aidit  tidak 
bcrubah, namun  sejenak kemarahannya tampak ber-
kurang. 
Tak lama lalu  suara patih ronggolawe  terdengar, 
ceria seperti biasa. Begitu aidit  mendengar 
patih ronggolawe , ia harus memaksakan diri untuk memper-
tahankan tampang gusar. Kemarahannya mencair 
dalam dada, seperti es mencair di bawah  terik 
matahari, dan ia tak dapat mencegahnya. Sikapnya 
langsung berubah begitu ia mengctahui kcdatangan 
patih ronggolawe . 
Sambil menyapa para jcndral yang hadir, patih ronggolawe  
memasuki petak bertirai. Ia melewati dewan resi  
dan berlutut dengan  santun di hadapan aidit , 
lalu menatap  junjungannya itu. 
aidit  tidak berkata apa-apa. Ia berusaha 
menunjukkan kemarahannya. Tak banyak komandan 
yang sanggup berbuat sesuatu selain menyembah 
ketakutan jika berhadapan dengan kebisuan 
aidit . 
sebetulnya , dari anggota-anggoia keluarga 
aidit  pun tak ada yang sanggup menghadapi 
perlakuan seperti itu. Jika resi -resi  senior seperti 
dijoyo  dan mpu wiraghanda menjadi sasaran kemarahan 
aidit , mereka  langsung pucat pasi. Orang-orang 
yang sudah banyak makan asam garam seperti Niwa 
dan danakertoarjo   menjadi bingung dan tergagap-gagap. 
Dengan segala kebijakannya, tribuana  tunggadewa  juga 
  
tak mampu mengatasinya, dan segenap kasih sayang 
aidit  pun tak banyak membantu  mpu salmah . namun  
sikap patih ronggolawe  dalam situasi semacam ini sangat 
berbeda. Jika aidit  marah dan mendelik atau 
memelototinya, patih ronggolawe  tidak menunjukkan reaksi 
sama sekali. Ia bukannya meremehkan junjungannya. 
Justru sebaliknya, lebih dari orang-orang lain, ia meng-
agung-agungkan aidit . Biasanya ia akan menatap  
aidit  seperti menatap langit mendung, tanpa 
mengucapkan sepatah kata pun. 
Yang Mulia tampak agak gusar, patih ronggolawe  sedang 
berkata dalam hati. Ketenangan ini seolah-olah 
merupakan bagian dari jati diri patih ronggolawe , dan tak ada 
yang mampu menirunya. Seandainya dijoyo  atau 
tunggadewa  mencoba mengikuti sikap patih ronggolawe , itu 
berarti mereka  menyiram api minyak, dan kemarahan 
aidit  tentu akan meledak-ledak. 
aidit  rupanya kalah dalam adu kesabaran ini. 
Akhirnya ia angkat bicara. 
"patih ronggolawe , kenapa kau datang ke sini?" 
"Hamba datang untuk menerima cercaan Yang 
Mulia." patih ronggolawe  menjawab  dengan normal. 
Dia selalu siap dengan jawaban pasti yang tepat, pikir 
aidit . Semakin sukar baginya untuk tetap ber-
sikap marah. Dengan ketus ia menghardik. "Apa 
maksudmu, kau datang untuk dicerca? Kaupikir 
masalah ini bisa diselesaikan dengan ucapan minta 
maaf? Kau membuat kesalahan besar yang bukan saja 
berpengaruh padaku, melainkan juga pada seluruh 
  
centeng ." 
"Yang Mulia sudah membaca surat yang hamba 
kirimkan?" 
"Sudah!" 
"Mengirim keraton   sebagai  penengah jelas-jelas ber-
akhir dengan kegagalan. Sehubungan dengan ini..." 
"Kau mencari-cari alasan?" 
"Tidak, namun  sebagai  tanda penyesalan, hamba 
menerobos barisan musuh untuk menawarkan  sebuah 
rencana yang mungkin dapat mengubah bencana ini 
menjadi keberuntungan. Dengan segala hormat 
hamba mohon agar Yang Mulia sudi memerintahkan 
semua  orang keluar dari sini, atau berkenan pindah 
ke tempat lain. Selain itu, jika ada hukuman atas 
kesalahan hamba, hamba siap menerimanya." 
aidit  merenung sejenak, lalu meluluskan 
permohonan patih ronggolawe  dan menyuruh semua  orang 
pergi. Para resi  lain terbengong-bengong melihat 
kejemkertoarjo an patih ronggolawe , namun , sambil saling pandang, 
mereka tak dapat berbuat apa-apa selain menaati 
perintah aidit . Di antara mereka ada yang ter-
heran-heran melihat patih ronggolawe  tetap lancang, 
walaupun jelas-jelas sudah  bersalah. Ada pula yang 
mendecakkan lidah sambil mendongkol dan 
menuduhnya mencari muka. patih ronggolawe  seakan-akan 
tidak memperhatikan mereka, dan ia menunggu 
sampai hanya ia dan aidit  yang masih tertinggal. 
sesudah  semua orang pergi, wajah aidit  agak 
melunak. 
  
"Nah, usul seperti apa yang membuatmu jauh-jauh 
datang ke sini dari sumberdadi ?" 
"Hamba menemukan cara untuk menyerang ponorojo . 
Saat itu kira tinggal melancarkan serangan hebat ke 
kubu dimasireng ." 
"Dari semula memang  sudah begitu. ponorojo  sendiri  
tidak sebcrapa penting, namun  kalau para biksu-prajurit 
ronggodwijoyo  dan Murashige bekerjta sama dengan marga 
patih, kita bisa mengalami kesulitan besar." 
"Tidak juga. Justru kalau kira bergerak terlalu cepat, 
sekutu-sekutu kita mungkin kewalahan, dan kalau di 
antara mereka  ada yang salah langkah, tanggul yang 
tuanku dirikan dengan begitu cermat mungkin runtuh 
sesaat ." 
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" 
"Hamba sendiri pun sempat habis akal, namun  
raden mas  ngabehi , yang berada di ibu kota untuk 
bertetirah, dapat memahami situasi yang kita hadapi 
sekarang." patih ronggolawe  lalu membeberkan rencana itu 
pada aidit , persis seperti yang didengarnya dari 
ngabehi . Pada dasarnya, rencana menumpas pem-
berontakan benteng kota ponorojo  menghcndaki korban di 
pihak sinuhun  sesedikit mungkin. Tanpa terburu-buru. 
mereka  harus berupaya dahulu  agar Murashige terkucil, 
dengan  memotong sayap-sayapnya. 
aidit  menyetujui rencana itu tanpa ragu 
sedetik pun. Secara garis besar, memang itu yang 
hendak dilakukannya. Rencana ditctapkan, dan 
aidit  sama sekali lupa menegur patih ronggolawe . Masih 
  
banyak hal yang perlu ditanyakan pada patih ronggolawe  
sehubungan dengan  strategi-strategi belakangan ini. 
"sebab  urusan mendcsak ini sudah selesai, 
barangkali lebih baik kalau hamba kembali  ke sumberdadi  
hari ini," ujar patih ronggolawe  sambil menatap langit 
malam. Namun aidit  berpendapat bahwa per-
jalanan darat terlalu berbahaya, dan ia menyuruh 
patih ronggolawe  pulang naik kapal pada malam hari. sebab   
patih ronggolawe  akan pulang naik kapal dan masih banyak 
waktu, junjungannya takkan membiarkannya pergi 
tanpa mengisi baskom anggur  dahulu . 
patih ronggolawe  duduk lebih  tegak dan bertanya. "Yang 
Mulia akan membiarkan hamba pergi tanpa 
hukuman?" 
aidit  memaksakan senyum. "Hmm, apa yang 
harus kulakukan?" ia berkelakar. 
"Jika Yang Mulia memaafkan hamba, namun tetap 
diam seribu bahasa, entah bagaimana anggur  yang hamba 
tcrima dari Yang Mulia berkurang rasa nikmatnya." 
Untuk pertama kali aidit  tertawa  lepas. 
"Ah, bagus. Ini bagus." 
"Kalau begitu," ujar patih ronggolawe , seakan-akan dari tadi 
sudah  menunggu saat yang tcpat. "keraton  pun tak 
dapat disalahkan, bukan? Sedangkan setahu hamba, 
kurir yang membawa   perintah untuk memenggal 
kepala putranya sudah berangkat." 
"Tidak, kau tidak bisa menjamin jalan pikiran 
keraton . Bagaimana mungkin kau mengatakan dia 
tidak bersalah. Takkan kutarik kembali perintahku 
  
untuk membawa    kepala putranya ke benteng kota ponorojo , 
ini masalah disiplin militer, dan sia-sia saja kau ber-
usaha ikut campur." Dengan sewenang-wenang 
aidit  menyuruh pengikutnya tutup mulut. 
Malam itu patih ronggolawe  kembali ke sumberdadi , namun  
begitu tiba di sana, diam-diam ia mengutus kurir 
untuk mengantarkan sepucuk surat pada ngabehi  di 
ibu kota. Isi surat itu  akan diketahui nanti, namun  
pada dasarnya mencakup keprihatinan patih ronggolawe  
mengenai putra sahabat penasihatnya. 
Kurir aidit  pun bergegas ke trowulan . Dalam 
perjalanan pulang, ia mampir sejenak di Gereja 
Kenaikan Yesus Kristus. saat   kembali  ke markas 
besar aidit  di Gunung Amano, ia ditambah   
seorang  mpu  Jesuit asal Italia, mpu  saka , seorang  
misionaris yang sudah bertahun-tahun bermukim di 
majapahit . Di mpu , madukara , dan trowulan  ada banyak 
misionaris ilmu tenagadalam , namun  di antara orang-orang asing 
itu, mpu  saka -lah yang paling berkenan di hati 
aidit . aidit  bukannya tidak menyukai 
orang ilmu tenagadalam . Dan walaupun ia sudah  bertempur 
melawan  orang-orang zoroaster  dan mmbumihangus-
kan kubu-kubu mereka, ia pun tidak membenci ajaran 
zoroaster , sebab ia mengakui nilai-nilai yang ter-
kandung dalam agama. 
Bukan mpu  saka  saja, semua misionaris resi lik 
yang dari waktu ke waktu diundang ke madukara  ber-
usaha keras mengajak Nubunaga memeluk agama 
mereka. namun  mencoba menyelami hati nurani 
  
aidit  sama saja dengan mencoba menyendok 
bayangan bulan di ember berisi air. 
Salah satu mpu  sudah  memberi aidit  seorang  
budak kulit hitam yang dibawan ya dari seberang 
lautan, sebab aidit  rupanya tertarik pada orang 
itu. Setiap kali aidit  meninggalkan benteng kotanya, 
biarpun hanya ke trowulan , budak itu turut dan  dalam 
rombongannya. Para misionaris merasa agak iri, dan 
suatu saat   mereka  bertanya pada aidit . "Yang 
Mulia tampak sangat tertarik pada budak hitam itu. 
sebetulnya  hal apa pada dirinya yang mem-
bangkitkan minat yang Mulia?" 
".Aku bersikap baik terhadap kalian semua, bukan?" 
aidit  sgera menjawab . Tanggapan ini dengan 
jelas memperlihatkan sikap aidit  terhadap para 
misionaris. Perhatian yang ditunjukkan aidit  
kepada mpu  saka  dan para mpu  lain pada 
dasarnya tidak berbeda dengan perhatiannya kepada 
budaknya yang berkulit hitam. Ini membawa    kita ke 
hal yang lain. saat  mpu  saka  pertama kali 
menghadap aidit , ia membawa    sejumlah tanda 
mata dari negeri seberang. Daftarnya mencakup 
sepuluh senapan, 9 teropong, dan kaca 
pembesar, lima puluh kulit harimau , sebuah kelambu. 
dan seratus potong kayu gaharu. Di antara cendera 
matanya ada barang-barang langka seperti jam, 
bola dunia, tekstil, dan barang pecah belah. 
aidit  minta agar hadiah-hadiah itu dipajang, 
dan ia mengamati semuanya, seperti anak kecil. 
  
Dengan bola dunia di hadapannya, malam demi 
malam aidit  mendengarkan cerita mpu  saka  
mengenai negeri asalnya, Italia: jarak-jarak yang harus 
diseberangi: perbedaan-perbedaan antara Eropa bagian 
utara dan selatan: dan tentang pengembaraannya di 
India, Annam, Luzon, dan kedhiri  bagian selatan. Di 
antara orang-orang yang itu ada satu orang yang 
bahkan lebih  tekun mendengarkan kisah-kisahnya 
dan tak pernah kehabisan pertanyaan patih ronggolawe . 
"Ahh, syukurlah Tuan datang." Dengan gembira 
aidit  menyambut saka  di perkemahannya.  
Misionaris itu dapat bercakap-cakap dalam bahasa 
majapahit . 
"Apa kiranya yang memicu  Yang Mulia 
memanggil hamba ke sini? Rupanya urusannya cukup 
penting." 
"Silakan duduk."  aidit   menunjuk kursi  
pendeta  zoroaster  yang sengaja disediakan. Kursi yang biasa dipakai  petinggi zoroaster  itu dianggap cocok 
bagi seorang  mpu . 
"Oh, terima kasih," ujar mpu  saka  sambil 
duduk. Ia seperti bidak cadangan pada sebuah papan 
catur, bertanya-tanya kapan jasanya akan dimanfaat-
kan. Dan justru sebab  itu aidit  mendatang-
kannya. 
"Tuan pernah menyerahkan petisi atas nama para 
misionaris di majapahit , dan memohon izin umuk 
mendirikan gereja dan menyebarkan ajaran ilmu tenagadalam ." 
"Hamba tidak tahu berapa tahun sudah kami 
  
menanti-nanti saat Yang Mulia berkenan meluluskan 
permohonan kami."  
"Sepertinya hari itu sudah dekat."  
"Apa? Yang Mulia sudi memperkenankan kami?" 
"Bukannya tanpa syarat. Seorang  centeng adipati  tidak 
biasa memberikan anugerah khusus pada orang-orang 
yang belum menunjukkan jasa baik."  
"Apa sebetulnya  maksud Yang Mulia?" 
"Aku mendengar bahwa putra Takayama brojolijo dari 
wonorejo  menjadi pemeluk ajaran ilmu tenagadalam  saat   dia  berusia sekitar empat belas tahun. Aku bisa membayangkan bahwa Tuan mengenalnya dengan  baik." 
"patih lewung  Yang Mulia?" 
"Seperti Tuan ketahui, dia mendukung pem-
berontakan dimasireng  dan mengirim dua 
anaknya sebagai  sandera ke ponorojo . Kukira sikapnya itu tidak didasarkan pada alasan kuat." 
"Situasi ini memang  memilukan, dan kami, teman-
teman seimannya, merasa sangat sedih. Entah berapa banyak doa yang sudah  kami panjatkan agar beliau 
tetap dalam perlindungan Yang Maha Kuasa." 
"Begitukah? Hmm, mpu  saka , dalam keadaan 
seperti sckarang, doa-doa yang dipanjatkan di gereja Tuan rupanya tidak membawa    hasil. Kalau kecemasan Tuan mengenai brojolijo memang begitu besar, Tuan  tentu akan menaati perintah yang kuberikan sekarang.  Kuminta Tuan mendatangi benteng kota wonorejo  dan 
memberikan pencerahan pada Takayama brojolijo 
mengenai perbuatannya yang tidak bijaksana." 
  
"Kalau itu sesuatu yang dapat hamba kerjakan, 
hamba bersedia berangkat kapan saja. namun  setahu 
hamba, benteng kota  beliau sudah  dikepung oleh centeng  
Yang Mulia tungguljaya dan  oleh centeng  Yang Mulia 
betari jawi , madya, dan Sassa. Barangkali mereka  takkan 
membiarkan kami lewat." 
"Aku akan menyiapkan centeng  pengawal  dan 
memberikan surat jalan. Jika para misionaris dapat 
menjelaskan masalah ini pada Takayama brojolijo dan 
putranya, dan  membujuk mereka  untuk kembali  ke 
dalam barisanku, aku akan memberikan imbaian yang 
sepadan. Aku akan memberi izin mendirikan gereja 
dan kebebasan untuk mewartakan Kabar Gembira. 
Aku berjanji." 
"Oh, Yang Mulia..." 
"namun  tunggu." aidit  lalu berkata kepada mpu  
saka . Tuan sebaiknya paham bahwa jika brojolijo 
menolak usul Tuan dan tetap menentangku, aku akan 
memperlakukan semua orang Kristen seperti marga 
Takayama. Aku akan menghancurkan kuil-kuil Tuan, 
menghapuskan agama Tuan dari tanah majapahit , dan 
membinasakan para misionaris dan pengikut-pengikut 
mereka. Aku ingin agar kebcrangkatan Tuan ditambah   
kesadaran mengenai hal ini." 
Wajah mpu  saka   mendadak pucat. Sejenak ia 
menatap  ke bawah . Tak satu pun orang-orang yang 
menaiki kapal dan berlayar ke Timur dari Eropa bisa 
dituduh berhati kecut, namun  saat   duduk di hadapan 
aidit  dan diperingatkan seperti itu, mpu  
  
saka   merasa tubuhnya mengerut sebab  takut. 
Sebaliknya, sosok aidit  tak dapat dikatakan 
mirip  iblis, dan sebetulnya  penampilan 
maupun tutur katanya cukup halus. namun  sudah   terukir 
dalam benak para misionaris bahwa laki-laki itu tak 
pernah mengumbar ancaman kosong. Contohnya 
adalah penghancuran Gunung brahma dan penaklukan 
bukit tengkorak . Dan sebetulnya , semua keputusan yang 
pernah dikeluarkan aidit  merupakan bukti. 
"Hamba akan pergi ke sana. Hamba akan bertindak 
sebagai utusan, sesuai kehendak Yang Mulia, dan akan 
menemui Yang Mulia brojolijo," mpu  saka   berjanji. 
Dikawal  sekitar selusin prajurit berkuda, ia 
mengarah ke jalan yang menuju wonorejo . sesudah   
mengantar mpu  saka , aidit  merasa semua-
nya berjalan sesuai rencana. namun  mpu  saka   pun, 
yang seolah-olah dengan mudah diatur-atur, merasa 
puas. Tak semudah itu ia dapat dipengaruhi oleh 
aidit . Warga trowulan  pada umumnya sudah   
menyadari bahwa jarang ada orang secerdik para mpu  
Jesuit. Bahkan sebelum aidit  menyuruhnya 
menghadap, mpu  saka  sudah berkali-kali ber-
hubungan lewat surat dengan Takayama brojolijo. Ayah 
brojolijo acap kali minta pendapat penasihat rohaninya 
mengenai masalah yang kini dihadapinya. Dan setiap 
kali mpu  saka  memberi jawaban pasti yang sama. 
Menentang kehendak penguasa bukanlah jalan yang 
benar. Yang Mulia aidit  merupakan junjungan 
Murashige maupun brojolijo. 
  
brojolijo sudah  membeberkan perasaannya dari lubuk 
hati yang paling dalam. 
 
Kami sudah  menyerahkan dua anak kami sebagai sandera 
kepada marga Araki, sehingga istri maupun ibuku tidak 
bersedia tunduk pada Yang Mulia aidit . Kalau bukan 
sebab  itu, aku pun tak ingin terlibat dalam pemberontakan 
ini. 
 
Jadi, mpu  saka  tak perlu meragukan ke-
berhasilan  tugasnya.  Ia merasa brojolijo belum-belum 
sudah setuju dengan usul yang akan diajukannya.  
Tak lama lalu  Takayama brojolijo meng-
umumkan bahwa ia tak dapat memalingkan muka saat 
agamanya dihancurkan walaupun ia dibenci oleh 
anak-istri sebab   membelanya. Kita bisa mengabaikan 
rumah dan keluarga, namun  tidak Jalan Kebenaran. 
Diam-diam ia meninggalkan benteng kotanya pada suatu 
malam, dan melarikan diri ke Gereja Kenaikan Yesus 
Kristus. Ayahnya, dwikerto , segera memohon suaka pada 
dimasireng  di ponorojo , dan dengan getir men-
jelaskan situasinya. "Kita dikhianati oleh putraku yang 
hina." 
Di kubu Murashige ada banyak orang yang memiliki 
ikaian erat dengan marga Takayama, sehingga 
Murashige tak dapat menjatuhkan hukuman kepada 
para sandera Takayama. Jadi, meskipun Murashige 
bukan orang yang peka, samar-samar ia pun sanggup 
melihat kepelikan situasi yang dihadapinya. 
Tak ada yang bisa dilakukan. Kalau brojolijo memang  
  
berkhianat, sandera-sandera ini tak berguna." sebab   
menganggap kedua anak itu sebagai  beban belaka, ia 
mengembalikan mereka pada ayah brojolijo. saat   
mpu  saka  menerima kabar ini, ia ditambah    brojolijo 
pergi ke Gunung Amano untuk menghadap 
aidit . 
"Tuan berhasil." aidit  gembira sekali. Ia ber-
kata pada brojolijo bahwa ia akan memberikan tanah di 
sumberdadi , lalu memberinya hadiah berupa beberapa 
potong jubah  sutra dan seekor kuda. 
"Hamba ingin meninggalkan kehidupan duniawi 
dan mengabdi pada Yang Maha Kuasa." 
namun  aidit  tidak setuju dan berkata, "Belum 
saatnya orang seusiamu bertindak demikian." 
Jadi, pada akhirnya, segala sesuatu berjalan seperti 
yang direncanakan aidit  dan diduga oleh mpu  
saka . namun  sikap brojolijo, yang sudah  menyelamatkan 
kedua anaknya, merupakan hasil kelihaian mpu  
saka  semata-mata. 
Keadaan kemarin tidak dipandang berdasarkan 
keadaan hari ini, sebab perubahan waktu berjalan 
sekejap demi sekejap. Berubah pendirian pun tak ada 
salahnya. Alasan mengapa orang melakukan kesalahan 
dalam mengejar cita-cita dan kehilangan nyawa   tak 
kalah banyak dari jamur di musim hujan. 
Bulan Kesebelas sudah  hampir berakhir, Nakagkertoarjo  
Sebei orang yang diandalkan bagaikan tangan kanan 
sendiri oleh Murashige tiba-tiba meninggalkan 
benteng kotanya dan menyerah pada aidit . 
  
"Ini masa penting bagi seluruh bangsa. Kesalahan-
kesalahan kecil tak perlu dihukum," ujar aidit . Ia 
bukan saja tidak meminta pertanggung-jawaban pasti Sebei 
atas kejahatannya, melainkan malah memberinya tiga 
puluh keping emas. Sebei menyerah atas desakan 
Takayama brojolijo. 
Para resi  sinuhun  tentu saja bertanya-tanya mengapa 
kedua orang itu diperlakukan begitu baik. aidit  
pun menyadari rasa tidak puas di kalangan anak 
buahnya, namun ia tak dapat berbuat lain jika masih 
ingin meraih sasaran militernya. 
Upaya perdamaian, diplomasi, dan kesabaran tidak 
sesuai dengan watak aslinya. sebab  itu musuh-
musuhnya terus dihajar dengan serangan-serangan 
gencar dan sengit. Sebagai contoh, aidit  
menyerang benteng kota Hanakuma di mardirejo  dan tidak  menunjukkan bellas kasihan saat   membakar kuil-kuil dan desa-desa sekitarnya. Pembangkangan sekecil 
apa pun tidak diampuninya, entah dilakukan oleh 
yang tua atau yang muda, laki-laki maupun 
wanita lesbian . namun  kini segala siasat dan gerakan mulai membuahkan hasil. 
dimasireng  terkucil di benteng kota ponorojo , sebuah 
kubu yang sudah  kehilangan kedua sayapnya. Baik 
Takayama brojolijo maupun Nakagkertoarjo  Sebei tidak 
tampak lagi dalam barisan tempurnya. 
"Kalau kita bergerak sekarang, dia akan tumbang 
bagaikan boneka pengusir burung di ladang," ujar 
aidit . Ia percaya ponorojo  dapat direbut kapan saja ia 
  
menghendakinya. Serangan gabungan dilancarkan 
pada awal  Bulan Kedua Belas. Pada hari pertama, 
serangan dimulai sebelum  hari terang dan berlanjut 
sampai kegelapan kembali  menyelubungi bumi. Di 
luar dugaan, ia menghadapi perlawan an sengit. 
Komandan salah satu korps penyerang tewas ter-
bunuh, dan korban jiwa dan  luka-luka mencapai 
ratusan orang. 
Pada hari kedua, jumlah korban semakin 
meningkat, namun centeng  sinuhun  tetap tidak berhasil 
menduduki benteng kota. Bagaimanapun, Murashige 
tersohor sebab  keberaniannya, dan prajurit-prajurit-
nya banyak yang tak kalah gagah. Kecuali itu, saat   
Murashige hendak menggulung bendera pem-
berontakan sesudah  aidit  berusaha mencapai 
perdamaian, justru anggota-anggota keluarga dan  para 
perwira yang mencegahnya dengan berkata. "Menyerah 
sekarang sama saja dengan menyerahkan kepala kita 
kepadanya." 
Gema pertempuran itu dengan cepat menjalar ke 
seluruh sumberdadi , mengguncang para pejabat di kahuripan . 
Gaung peristiwa itu merambat sampai ke hadijaya  dan 
Sanin. 
Di provinsi-provinsi Barat, patih ronggolawe  segera 
memulai serangan terhadap benteng kota Miki, dan 
menyuruh centeng  tambah an di bawah  mpu wiraghanda 
dan punggawapatih  memaksa centeng  patih mundur sampai 
ke perbatasan Bizen. Ia menduga bahwa begitu marga 
patih mendengar seruan-seruan dari ibu kota, centeng  
  
mereka  akan bergerak menuju trowulan . Di hadijaya , 
marga Harano menganggap keadaan sedang 
menguntungkan, dan mulai memberontak. Daerah 
itu  berada di bawah  kekuasaan tribuana  tunggadewa  
dan hyangkertoarjo  wiryabhumi , dan keduanya bergegas untuk 
mempertahankannya. 
Pihak ronggodwijoyo  dan centeng  patih berkomunikasi 
melalui pesan-pesan yang disampaikan lewat jalur laut, 
dan musuh-musuh yang kini menghadapi aidit , 
patih ronggolawe , dan tunggadewa  menari mengikuti irama 
kedua kekuatan itu. 
"Rasanva kita sudah selesai di sini," ujar aidit  
sambil memandang benteng kota ponorojo . Artinya ia 
menganggap segala sesuatu sudah beres. Walau ter-
isolasi, benteng kota ponorojo  belum menyerah. Namun di 
mata aidit  benteng kota itu sudah takluk. sesudah  
menemparkan centeng  pengepung, ia tiba-tiba 
kembali  ke madukara . 
Penghabisan tahun sudah  tiba, aidit  
merencanakan untuk melewatkan Tahun Baru di 
madukara . Tahun yang sudah  dilewatinya merupakan 
tahun penuh gangguan dan operasi militer tak 
terduga, namun  saat  memandang jalan-jalan di kota 
benteng kota, ia menangkap bayangan seluruh budaya baru 
yang sedang terbentuk. Toko-toko, baik besar maupun 
kecil, berderet-deret dengan  rapi, menunjukkan hasil 
kebijaksanaan perniagaan yang dijalankan aidit . 
Penginapan-penginapan dipadati tamu, sementara di 
tepi danau, tiang-tiang layar dari kapal-kapal yang 
  
sedang berlabuh mirip  hutan. 
Sebagian besar perkampungan centeng adipati , dengan  
jaringan jalan-jalan sempit, maupun kediaman para 
resi  terkemuka sudah selesai dikcrjakan. Kuil-kuil 
pun sudah  diperluas, dan mpu  saka  juga sudah  
mulai membangun gereja. 
Apa yang kita sebut "budaya" sebetulnya  
mirip  kabut kedua-duanya tak dapat diraba. 
Yang bermula sebagai tindakan penghancuran kini 
tiba-tiba membentuk sebuah budaya baru, tepat di 
depan kaki aidit . Dalam seni musik, seni teater, 
seni lukis, kesusastraan, seni minum teh, pakaian, seni 
memasak, dan  arsitektur, sikap dan gaya lama 
dicampakkan, digantikan oleh yang baru dan segar. 
Pola-pola baru untuk jubah  wanita pun saling 
berlomba dalam budaya madukara  yang berkembang 
pesat ini. 
Inilah Tahun Baru yang kutunggu-tunggu. Tahun 
Baru bagi bangsa ini. Rasanya tak perlu dijelaskan 
bahwa membangun lebih  menyenangkan dari-pada 
menghancurkan, pikir aidit . Ia membayangkan 
bahwa budaya baru yang penuh dinamika itu akan 
datang bagaikan air pasang, membanjiri provinsi-
provinsi Timur, bahkan daerah Barat dan Pulau 
Kyushu, tanpa menyisakan sejengkal tanah pun. 
aidit  masih termenung-menung saat   
mpu wiragajah  mpu wiraghanda, dengan punggung disinari 
matahari cerah, menyapanya dan melangkah ke dalam 
ruangan. Mellihat mpu wiraghanda, aidit  tiba-tiba 
  
teringat. 
"Ah, betul. Bagaimana kelanjutan urusan itu?" ia 
langsung bertanya, sambil menyerahkan baskom di 
tangannya kepada pelayan yang lalu memberikannya 
pada mpu wiraghanda. 
Penuh hormat mpu wiraghanda mengangkat baskom itu ke 
keningnya, dan berkata, "Urusan itu?" Ia menatap alis 
junjungannya dengan  tajam. 
"Betul. Aku sudah menyinggung ki pakanewon, 
bukan? Putra keraton  yang ditawa n sebagai  sandera di 
benteng kota  raden mas  ngabehi ." 
"Ah, urusan sandera itu yang dimaksud Tuanku." 
"Kau kusuruh menyampaikan perintah pada ngabehi  
untuk memenggal kepala ki pakanewon dan membawa  -
nya ke ponorojo . namun  sesudah  itu belum ada kabar lagi. 
Kau sudah mendengar sesuatu?" 
"Belum, Yang Mulia." mpu wiraghanda menggelengkan 
kepala, dan saat   menjawab , ia rupanya teringat 
pada tugasnya tahun lalu. Ia sudah  menyelesaikan 
tugasnya, namun  ki pakanewon dititipkan pada raden mas  
ngabehi  di blambangan , jadi perinrah itu tak mungkin di-
laksanakan sesaat . 
"Jika ini kehendak Yang Mulia aidit , hamba 
akan melaksanakannya, namun  hamba butuh waktu lebih 
banyak," jawab  ngabehi  waktu itu. Ia menanggapi 
perintah aidit  dengan cara lazim, dan 
mpu wiraghanda, tentu saja, memahaminya. 
"Baiklah, aku sudah  menyampaikan perintah Yang 
Mulia," mpu wiraghanda sempat menambahkan, lalu segera 
  
kembali untuk melapor pada aidit . 
Akibat kesibukan-kesibukan yang dihadapinya, 
aidit  rupanya melupakan urusan itu; namun  
sebetulnya  mpu wiraghanda pun tak ingat pada nasib 
ki pakanewon. Ia beranggapan bahwa ngabehi  akan 
langsung melapor pada aidit . 
"Tuanku belum menerima kabar mengenai urusan 
ini dan patih ronggolawe  maupun ngabehi ?" 
"Mereka tak pernah menyinggungnya."  
"Itu agak mencurigakan." 
"Kau percaya sudah  menyampaikan perintahku pada 
ngabehi ?" 
"Tuanku tak perlu meragukannya. namun  belakangan 
ini ngabehi  memang  luar biasa lamban." mpu wiraghanda 
bergumam dengan jengkd. "Kalau dia meremehkan 
urusan yang menyangkut putra seorang  pengkhianat 
ini, dan belum mengambil tindakan walau sudah  
menerima perintah Yang Mulia, ketidakpatuhannya 
tak dapat didiamkan. Saat hamba kembali  ke garis 
depan, hamba akan mampir di trowulan  dan minta 
pertanggungjawaban pasti ngabehi ." 
"Begitu?" aidit  berkata sambil lalu. Ketegasan-
nya saat memberikan perintah itu dan cara ia 
menanggapinya sekarang mencerminkan dua keadaan 
mental yang sama sekali berbeda. Namun ia tidak 
menyuruh mpu wiraghanda melupakan masalahnya, sebab 
itu akan mencoreng arang di kening orang yang diberi 
tugas. 
Bagaimana reaksi mpu wiraghanda? Mungkin ia menduga 
  
bahwa aidit  menyangkanya melaksanakan 
tugasnya dengan tidak benar, sebab ia cepat-cepat 
menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru, lalu 
segera mohon diri, dan pada waktu kembali  ke 
benteng kota ponorojo  yang sedang dikepung, ia sengaja 
mampir ke Kuil Nanzen. 
Ia berkata pada biksu yang menyambutnya. "Aku 
tahu Tuan ngabehi  terpaksa berdiam di kamar sebab  
penyakitnya, namun  kedatanganku dalam rangka tugas 
dari Yang Mulia aidit ." Permintaan untuk 
bertemu disampaikannya secara keras dan dalam 
bentuk perintah. Biksu itu pergi, segera kembali dan 
mempersilakan mpu wiraghanda mengikutinya. mpu wiraghanda 
hanya menganggukkan kepala, dan mengikuti biksu 
itu. Pintu bangunan beratap jerami yang mereka 
datangi tertutup rapat, namun  suara batuk yang tak putus-
putus dan mungkin sebab  ngabehi  terpaksa 
meninggalkan tempat tidur untuk menyambut 
tamunya terdengar dari dalam. Sejenak mpu wiraghanda 
menunggu di luar. Ia memandang langit dan 
menyadari bahwa salju akan turun. Walaupun masih 
siang, udara terasa dingin di bayang-bayang gunung di 
sekitar kuil. 
"Silakan masuk," sebuah suara berkata dari dalam. 
dan seorang pembantu membuka pintu geser ke ruang 
penerimaan tamu yang berukuran kecil. Sosok kurus 
majikannya duduk di lantai. 
"Selamat datang," ngabehi  menyapa. mpu wiraghanda 
langsung masuk, dan sesudah   membungkuk, ia segera 
  
menjelaskan maksud kedatangannya. 
"Tahun lalu aku menyampaikan perintah untuk 
membunuh ki pakanewon, dan menduga bahwa urusan 
itu akan segera ditangani. Namun sejak itu belum ada 
laporan bahwa perintah itu  sudah dilaksanakan, 
dan Yang Mulia aidit  pun mulai bertanya-tanya. 
Hari ini aku ditugaskan untuk kedua kalinya. Kali ini 
untuk memastikan apa yang tcrjadi. Aku ingin tahu 
apa yang akan Tuan katakan." 
"Hmm, hmm...," gumam ngabehi . Ia membungkuk 
sambil menempelkan tangan ke lantai, memper-
lihatkan punggung setipis papan. "Apakah ke-
cerobohanku sudah  menimbulkan kecemasan di hati 
Yang Mulia? Aku akan bergegas dan berusaha 
menjalankan kehendak Yang Mulia sesudah  penyakitku 
berangsur-angsur membaik." 
"Apa?! Apa kata Tuan?" mpu wiraghanda mulai 
kehilangan kendali diri. Atau Lebih  tepat, dilihat dari 
roman mukanya, ia begitu marah sebab  jawaban pasti 
ngabehi , sehingga tak dapat menahan kegusarannya.  
Sambil menghela napas, ngabehi  dengan  tenang 
mengamati kebingungan tamunya. 
"Kalau begitu... mungkinkah ada yang,..?" 
Pandangan mpu wiraghanda tetap beradu dengan  
pandangan ngabehi . Ia batuk tak terkendali, lalu 
bertanya. "Mungkinkah Tuan belum memenggal 
kepala sandera itu? Mungkinkah Tuan belum 
mengirim kepalanya pada Kursinuhun  keraton   di benteng kota  
ponorojo ? Itukah masalahnya?" 
  
"Semuanya persis seperti yang Tuan katakan." 
"Persis seperti yang kukatakan? jawaban pasti Tuan 
sungguh tidak lazim. Mungkinkah Tuan sengaja 
mengabaikan perintah Yang Mulia?" 
"Jangan mengada-ada. Aku memahami perintah 
beliau." 
"Kalau begitu, kenapa belum Tuan bunuh anak 
itu?" 
"Dia dipercayakan padaku. Kupikir aku bisa 
melakukannya kapan saja, tanpa harus terburu-buru."  
"Kemurahan hati Tuan terlalu berlebihan. 
Kelambanan ini harus ada batasnya. Belum pernah 
aku merasa sejanggal seperti pada tugas ini." 
"Tuan tidak melakukan kesalahan dalam menjalan-
kan tugas. Sudah jelas bahwa aku sengaja menunda-
nunda urusan ini berdasarkan pertimbanganku 
sendiri." 
"Sengaja?" 
"Meski aku tahu tugas ini amat penting, secara 
sembrono perhatianku lebih tertuju pada penyakit-
ku..." 
"Bukankah sudah cukup kalau Tuan mengutus 
kurir yang membawa   pesan?" 
"Tidak. Dia memang  sandera dari marga lain, namun  
sudah bertahun-tahun dia dipercayakan pada kita. 
Orang-orang di sekitar anak yang begitu menyenang-
kan tentu bersimpati padanya dan pasti merasa berat 
untuk membunuhnya. Aku gelisah khawatir  kalau 
kemungkinan terburuk terjadi, dan kepala anak lain 
  
dikirim pada Yang Mulia aidit , aku tak dapat 
mberikan alasan pada Yang Mulia. Jadi kupikir lebih  
baik kalau aku sendiri  pergi ke sana untuk 
memenggal kepalanya. Barangkali tak lama lagi 
kondisiku akan membaik." Sambil bicara. ngabehi  
mulai batuk tak terkendali. Ia menutup mulutnya 
dengan saputangan, namun  sepertinya ia tak bisa 
berhenti. 
Salah satu pembantu melangkah ke belakang 
ngabehi  dan mulai menggosok-gosok punggungnya. 
mpu wiraghanda tak dapat berbuat apa-apa selain diam 
menunggu sampai ngabehi  agak tenang. namun  duduk di 
hadapan laki-laki yang berusaha mengendalikan 
batuknya dan sedang dipijit-pijit mulai terasa 
menyiksa. 
"Mengapa Tuan tidak beristirahat dahulu ?" Untuk 
pertama kali nada suara mpu wiraghanda mengandung 
simpati, namun roman mukanya tetap keras. "Bagai-
manapun, dalam beberapa hari mendatang harus ada 
tindakan sehubungan dengan perintah Yang Mulia. 
Aku sungguh heran melihat kelalaian Tuan, namun  
sesudah   kusampaikan semuanya ini, tak ada lagi yang 
dapat kulakukan. Aku akan mengirim surat ke madukara  
untuk menjelaskan situasi apa adanya. Betapa pun 
parahnya penyakit Tuan, penundaan lebih lanjut 
hanya akan memancing kemarahan Yang Mulia. Ini 
memang tidak menyenangkan, namun  aku harus men-
jelaskan semuanya pada beliau!" 
Tanpa memedulikan sosok ngabehi  yang tampak 
  
tersiksa dan masih terus terbatuk-batuk, mpu wiraghanda 
berdiri, memohon diri, dan pergi. saat   sampai di 
serambi, ia berpapasan dengan seorang  wanita lesbian  
yang membawa    baki. Bau ramuan obat tercium jelas. 
wanita lesbian  itu cepat-cepat meletakkan bakinya dan 
menyembah untuk memberi hormat. mpu wiraghanda 
mengamatinya dengan saksama, mulai dari tangannya 
yang putih, yang menyentuh lantai kayu, sampai ke 
lehernya, dan akhirnya berkata, "Rasanya aku sudah 
pernah bertemu denganmu. Ah, ya, betul. Waktu aku 
diundang ke lojibenteng  oleh Yang Mulia aidit . 
Aku ingat kau melayani beliau waktu itu." 
"Ya. Hamba diberi izin untuk mengurus kakak 
hamba, jadi hamba akan menetap di sini selama  
beberapa   waktu. 
"Oh, kalau begitu kau adik ngabehi ?" 
"Ya, nama hamba Oyu." 
"Kau Oyu," mpu wiraghanda bergumam. "Kau cantik." 
lalu  ia meneruskan langkahnya. 
Oyu hanya mengangguk saat   mpu wiraghanda pergi. 
Suara batuk kakaknya masih terdengar dari balik 
pintu geser, dan Oyu lebih cemas kalau ramuan obat 
yang dibawan ya menjadi dingin, dibandingkan  mengenai 
pendapat tamu ini tentang dirinya. Oyu menduga 
tamunya sudah pergi, namun  mpu wiraghanda berbalik sekali 
lagi dan berkata. "Apakah belakangan ini ada kabar 
dari Yang Mulia patih ronggolawe  di sumberdadi ?"  
"Tidak." 
"Kakakmu sengaja mengabaikan perintah Yang 
  
Mulia aidit , namun  ini tak mungkin sebab   
petunjuk patih ronggolawe , bukan? Aku takut junjungan kita 
mungkin merasa ragu-ragu mengenai ini. Jika 
patih ronggolawe  menyulut kemarahan Yang Mulia, dia 
berada dalam kesulitan besar. Aku akan mengata-
kannya sekali lagi. Kupikir putra Kursinuhun  keraton   
sebaiknya segera dieksekusi." Sambil menatap langit, 
mpu wiraghanda cepat-cepat pergi. Sosoknya yang menjauh 
dan atap besar Kuil Nanzen mulai diselubungi salju. 
"Tuan Putri!" Di balik pintu geser, suara batuk 
ngabehi  tiba-tiba berhenti, digantikan oleh suara 
bingung seorang  pembantu. Dengan  dada berdebar-
debar Oyu membuka pintu dan memandang ke 
dalam. ngabehi  tengkurap di lantai. Saputangan kertas 
yang tadi menutupi mulutnya tampak merah oleh 
darah segar. 
 
  
TOKOH dan TEMPAT 
 
 
 
ki pakanewon, putra Kursinuhun  keraton  
KUMAraden karto, pengikut raden mas  ngabehi   
ki wirogeni, penguasa benteng kota Miki 
GOTO MOTOKUNI, pengikut senior marga Bessho 
dasna patih pitaloka , pengikut senior marga sinuhun  
kertoraharja  wirajaya , pengikut senior marga 
mpu ireng  
Nishina mpu wiraghanda, saudara laki-laki mpu ireng  
mpu jengger  
pangeran wiropati , pengikut senior marga tribuana  
YUSHO, pelukis 
 
MIKI, benteng kota ki wirogeni 
NIRASAKI, ibu kota baru Kai 
TAresi , benteng kota Nishina mpu wiraghanda 
  
Kewajiban Seorang Pengikut 
 
 
 
OPERASI-OPERASI militer di bawah  pimpinan 
patih ronggolawe  di provinsi-provinsi Barat dan di bawah  
pimpinan tunggadewa  di hadijaya , dan  pengepungan 
benteng kota ponorojo  yang berkepanjangan masih terus 
menyibukkan aidit . Operasi militer di provinsi-
provinsi Barti dan pengepungan benteng kota  ponorojo  masih 
menghadapi jalan buntu, dan hanya di hadijaya  ada 
sedikit kemajuan. Setiap hari tak terhitung banyaknya 
surat dan laporan yang datang dari ketiga kkertoarjo san itu. 
Semua dokumen disaring oleh perwira-perwira staf 
dan para asisten pribadi, sehingga aidit  hanya 
membaca yang terpenting saja. 
Di antara surat-surat ini ada sepucuk surat dari 
mpu wiragajah  mpu wiraghanda. aidit  membacanya, lalu 
mencampakkannya dengan  gusar. Orang yang 
bertugas mengumpulkan surat-surat yang dibuang 
adalah pelayan kepercayaan aidit   mpu salmah . 
sebab  menduga perintah aidit  diabaikan, diam-
diam ia membaca surat itu. Ternyata tak ada sesuatu 
pun dalam surat itu yang mungkin membuat 
aidit  marah. Bunyinya sebagai berikut: 
 
Di luar dugaan hamba, ngabehi  ternyata belum 
mengambil tindakan apa pun untuk melaksanakan 
perintah Yang Mulia. Sebagai kurir Yang Mulia, hamba 
mengingatkannya akan kesalahannya, mem-beritahunya 
  
bahwa jika ia mengabaikan perintah Yang Mulia, hamba 
akan dituduh lalai. Hamba kira perintah Yang Mulia 
akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Masalah ini 
sangat membebani hamba, dan dengan segala kerendahan 
hati hamba memohon kemurahan hati Yang Mulia. 
 
Orang memperoleh kesan bahwa di balik kata-
katanya. mpu wiraghanda terutama mencoba menutup-
nutupi kesalahannya sendiri. Dan sebetulnya  memang 
demikian niatnya. Namun  mpu salmah  tak melihat apa 
yang tersirat. 
Kemarahan aidit  atas surat itu, dan kesadaran 
bahwa mpu wiraghanda sudah  berubah, baru belakangan 
terwujud nyata. Sampai saai itu, rasanya sukar bagi 
siapa pun selain aidit  untuk memahami 
perasaan sebetulnya . Gelagat yang terlihat hanyalah 
bahwa aidit  tidak tampak marah sebab   sikap 
ngabehi  bahkan sesudah  menerima surat mpu wiraghanda 
dan bahwa sesudah  kejadian itu, urusan itu   
dilupakan. aidit  sendiri memang tidak 
mempermasalahkannya lagi. namun  ngabehi  tentu saja 
tidak menyadari perubahan rumit dalam pemikiran 
aidit . Akhirnya bukan ngabehi , melainkan Oyu 
dan pan pengikut yang merkertoarjo t ngabehi , yang merasa 
bahwa ngabehi  harus melakukan sesuatu. Rupanya ia 
belum memutuskan langkah apa yang akan diambil-
nya. 
Satu bulan berlalu. Pohon-pohon prem sedang 
berbunga di gerbang utama Kuil Nanzen dan 
sekeliling tempat  tetirah ngabehi . Hari demi hari 
  
berlalu dan matahari pun bertambah  hangat, namun  
kondisi ngabehi  tidak membaik. 
Ia tidak tahan kejorokan, jadi setiap hari ia minta 
agar kamar tidurnya dipel sampai bersih, dan sesudah  
itu ia biasa duduk berjemur di serambi. 
Adiknya membuatkan teh untuknya, dan satu-
satunya kesenangan selama sakit adalah mengamati 
uap mengepul-ngepul dari baskom teh, di tengah  sinar 
matahari pagi yang cerah. 
"Kakak kelihatan lebih segar pagi ini," Oyu berkata  
dengan  gembira. 
ngabehi  menggosok pipi dengan tangannya yang 
kurus. "Rupanya aku pun tak luput dan pengaruh 
musim semi, ini menyenangkan. Selama dua atau tiga 
hari terakhir aku merasa  cukup baik," ia menjawab  
sambi tersenyum. 
Suasana hati dan pancaran wajahnya memang 
membaik  selama dua atau tiga hari terakhir, dan Oyu 
merasa  senang  saat   menatapnya pagi ini. namun  tiba-
tiba ia jadi sedih sebab  teringat kata-kata dokter. 
"Kecil harapan untuk sembuh." Namun Oyu tak mau 
menyerah pada perasaannya. Berapa banyak pasien 
yang pulih sesudah  dokter mereka  menyatakan tak ada 
harapan lagi? Oyu berjanji pada diri sendiri bahwa ia 
akan merkertoarjo t kakaknya sampai sehat kembali 
melihat ngabehi  dalam keadaan sehat merupakan 
hasrat yang dibaginya bersama patih ronggolawe , yang sehari 
sebelumnya mengirim surat dari sumberdadi  untuk mem-
besarkan hati ngabehi . 
  
"Kalau keadaanmu terus membaik seperti ini, kau 
pasti sudah sanggup bangun pada waktu pohon-pohon 
ceri berbunga." 
"Oyu, selama ini aku hanya merepotkanmu, 
bukan?" 
'Kakak jangan bicara begitu." 
ngabehi  tertawa  lemah. "Aku belum pernah 
mengucapkan terima kasih sebab  kita kakak-adik, 
namun  pagi ini aku merasa  harus mengatakan sesuatu. 
Barangkali sebab   aku merasa  jauh lebih baik." 
"Aku bahagia membayangkannya." 
"Sudah sepuluh tahun berlalu sejak kita meninggal-
kan Gunung penanggungan " 
Waktu berjalan cepat. Kalau kita melihat ke 
belakang, kita sadar bahwa hidup berlalu seperti 
mimpi." 
"Kau terus berada di sisiku dari waktu itu, mem-
buatkan makananku pagi dan malam, mengurusku. 
bahkan menyiapkan obatku." 
"Ah, sebetulnya  belum lama. dahulu  Kakak terus 
berkata bahwa Kakak takkan pernah pulih. namun  
begitu kesehatan Kakak membaik, Kakak bergabung 
dengan  Yang Mulia patih ronggolawe , ikut bertempur di 
Sungai Ane, Nagashino, dan radenkanjeng . Kakak cukup 
sehat waktu itu, bukan? 
"Kurasa kau benar. Tubuh lemah ini ternyata 
cukup alot." 
"Jadi, asal Kakak mau menjaga diri, kali ini pun 
Kakak akan sehat lagi. Aku bertekad agar Kakak dapat 
  
kembali seperti  semula." 
"Aku bukannya ingin mati." 
"Kakak tidak akan mati!" 
"Aku ingin hidup. Aku ingin hidup untuk 
memastikan dunia ini menemukan kedamaian lagi. 
Ah, kalau saja aku sehat, aku bisa membantu  
junjunganku dengan  segenap kemampuanku." Suara 
ngabehi  mendadak bertambah  pelan. namun  umur 
manusia, siapa yang tahu? Apa yang dapat kulakukan 
dalam keadaan  seperti  ini?" 
saat   menatap mata kakaknya, hati Oyu terasa 
pedih. Adakah sesuatu yang disembunyikan kakaknya? 
Bunyi lonceng di Kuil Nanzen menandai jam siang. 
Walaupun seluruh  negeri dilanda perang sipil. orang-
orang terlihat memandang pohon-pohon prem yang 
tengah bcrbunga, dan suara burung bulbul terdengar 
di antara kuntum-kuntum bunga yang gugur. 
Musim semi tahun itu dianggap menyenangkan, 
namun  Bulan Kedua belum berlalu. saat   malam tiba 
dan lentera-lentera mulai berkelap-kelip. ngabehi  
kembali terbatuk-batuk. Di malam hari, Oyu harus 
bangun beberapa kali untuk menggosok-gosok 
punggung kakaknya. Memang ada pengikut-pengikut 
lain, namun  ngabehi  tidak mau diurus seperti  itu oleh 
mereka. 
"Mereka semua  akan ikut ke medan tempur 
bersamaku. Tak sepantasnya mereka diminta 
menggosok-gosok punggung orang sakit," ia 
menjelaskan. 
  
Malam itu pun Oyu bangun untuk memijit-mijit 
punggung kakaknya. saat  pergi ke dapur untuk 
menyiapkan obat, ia tiba-tiba mendengar suara di luar, 
seakan-akan ada orang yang menyenggol pagar bambu. 
Oyu memasang telinga. Ia mendengar suara bisik-bisik 
di luar. 
"Ada lentera. Tunggu sebentar. Pasti ada yang 
bangun." Suara-suara di luar itu semakin dekat. 
lalu  seseorang  mengetuk daun penutup 
jendela. 
"Siapa itu?" tanya Oyu. 
"Tuan Putri? Hamba Kumaraden karto dari kuburan . 
Hamba baru kembali dari ponorojo ." 
"Kumaraden karto ada di luar!" Oyu berseru  pada ngabehi . 
Ia membuka pintu geser di dapur dan melihat tiga 
laki-laki berdiri dalam cahaya bintang. 
Kumaraden karto meraih ember yang disodorkan Oyu 
padanya. Ia memanggil kedua rekannya, dan bertiga   
mereka pergi  ke sumur. 
Oyu bertanya-tanya siapa kedua orang itu. 
Kumaraden karto adalah pengikut yang mereka asuh di 
Gunung kuburan . Pada waktu itu namanya masih 
patih keboabang , namun  kini ia sudah menjadi centeng adipati  muda 
yang gagah. sesudah  Kumaraden karto menimba dan 
menuangkan air ke dalam ember yang diterimanya 
dari Oyu, kedua orang lain itu membersihkan tangan 
dan kaki dari lumpur dan membilas lengan baju 
untuk menghilangkan darah. 
Meski malam sudah  larut. ngabehi  menyuruh Oyu 
  
menyalakan lentera di ruang tamu yang kecil, 
memasukkan beberapa  potong arang membara ke 
dalam anglo, dan mengambil bantal-bantal untuk para 
tamu. 
saat   ngabehi  memberitahunya bahwa salah satu 
dari kedua orang yang menyertai Kumaraden karto pasti 
Kursinuhun  keraton , Oyu tak dapat menyembunyikan rasa 
terkejutnya. Oyu sudah  banyak mendengar berita  
simpang-siur mengenai Kursinuhun : bahwa ia ditawa n di 
benteng kota ponorojo  sejak  tahun lalu, atau bahwa ia sudah  
menyeberang ke kubu musuh dan tinggal di sana atas 
kemauannya sendiri. Biasanya tidak semua pengikut 
diajak bicara mengenai urusan tugas oleh ngabehi  
apalagi mengenai urusan rahasia seperti  ini sehingga 
Oyu pun tidak mengetahui  ke mana Kumaraden karto pergi  
sebelum  Tahun Baru, atau mengapa ia pergi  umuk 
waktu begitu lama. 
"Oyu, tolong bawa  kan mantelku," ujar ngabehi . 
Walau cemas akan kesehatan kakaknya, Oyu tahu 
bahwa ngabehi  akan berkeras menemui para tamu 
tanpa memedulikan penyakitnya. Ia memasang mantel 
pada bahu kakaknya. 
sesudah  menyisir rambut dan berkumur, ngabehi  
keluar ke ruang penerima tamu, tempat Kumaraden karto dan 
kedua tamu lainnya sedang duduk menunggu sambil 
membisu. 
ngabehi  menanggapi tegur sapa para tamu dengan  
perasaan mendalam. "Ah, kau selamat!" lalu duduk 
dan meraih tangan keraton . "Aku mencemaskanmu." 
  
"Kau tak perlu cemas sebab   aku. Seperti  kaulihat, 
aku baik-baik saja," balas keraton . 
"Untung saja kau berhasil." 
"Rupanya aku sudah  menimbulkan kegelisah khawatir an 
dalam dirimu. Aku mohon maaf." 
"Bagaimanapun, kita patut bersyukur bahwa kita 
dipertemukan lagi. Bagiku ini kegembiraan besar." 
namun  siapakah laki-laki yang satu lagi, yang lebih 
tua, yang memperhatikan ngabehi  dan keraton  sambil 
membisu, enggan mengganggu perjumpaan kedua 
sahabat itu? Akhirnya keraton  minta agar ia mem-
perkenalkan diri. 
"Hamba kira ini bukan pertama kali kita bertemu, 
tuanku. Hamba pun mengabdi pada Yang Mulia 
patih ronggolawe , dan hamba sering melihat tuanku dari 
jauh. Hamba anggota centeng  ninja yang tidak sering  
bergaul dengan para centeng adipati  lain, jadi mungkin saja 
Tuanku tak ingat pada hamba. Hamba kepribadian  
syam  banaspati . dul  latief . Hamba 
gembira sekali bisa berkenalan dengan  tuanku."    
ngabehi  menepuk lutut. "Kau dul  latief ! 
Aku sudah mendengar banyak mengenaimu. Dan 
rasanya aku memang pernah melihatmu sekali-dua kali 
sebelum ini." 
Kumaraden karto berkata, "Hamba secara kebetulan 
bertemu latief  di penjara di benteng kota ponorojo . Rupanya 
dia menyusup ke sana dengan  maksud yang sama 
seperti  hamba." 
"Hamba tidak tahu apakah ini sekadar kebetulan 
  
atau memang sudah digariskan oleh para dewa, namun  
hanya sebab   kami berdua bertemu kami dapat mem-
bebaskan Yang Mulia keraton . Seandainya kami 
bertindak sendiri-sendiri, kami tentu akan terbunuh 
dalam usaha itu," ujar latief  sambil tersenyum. 
latief  menyusup ke benteng kota ponorojo  sebab   
patih ronggolawe  pun berusaha membebaskan Kursinuhun  
keraton . Mula-mula patih ronggolawe  mengirim urusan untuk 
membujuk dimasireng  agar melepaskan keraton , 
lalu  ia memakai  jasa seorang  biksti 
zoroaster  yang dipercaya Murashige dengan  maksud 
sama. Ia sudah  menempuh segala cara, namun  Murashige 
tetap menolak membebaskan keraton . Sebagai  upaya 
terakhir, patih ronggolawe  memerintahkan latief  untuk 
mengeluarkan keraton  dari penjara. 
latief  menyusup ke dalam benteng kota, lalu mem-
peroleh kesempatan untuk membebaskan keraton . 
Para penghuni benteng kota  sedang  merayakan sesuatu, 
dan seluruh keluarga dimasireng  dan  semua  
pengikutnya berkumpul di ruang pertemuan utama, 
sementara setiap prajurit memperoleh jatah anggur . 
Kebetulan malam itu amat gelap, tanpa bulan maupun 
angin. latief  tahu bahwa itulah waktu untuk 
bertindak. Ia sudah  mempelajari medan, dan sedang  
menyelidiki daerah di bawah  menara saat   ia 
melihat orang lain mengintai ke dalam penjara, 
seseorang  yang kelihatannya bukan penjaga. Orang 
itu tentunya juga menyusup ke dalam benteng kota. Ia 
memperkenalkan diri sebagai  pengikut raden mas  
  
ngabehi , Kumaraden karto. 
"Aku agen Yang Mulia patih ronggolawe ," balas latief . 
Dengan  demikian, keduanya mengetahui bahwa 
mereka mengemban tugas yang sama. Bersama-sama 
mereka mencongkel jendela penjara dan membebas-
kan keraton . Terselubung kegelapan, mereka melewati 
tembok pertahanan, mengambil perahu kecil dari 
pintu air di belakang selokan, lalu melankan diri. 
sesudah  mendengarkan penjelasan terperinci 
mengenai kesulitan-kesulitan yang mereka lalui, 
ngabehi  berpaling pada Kumaraden karto dan berkaia. "Aku 
sempat cemas bahwa kau kusuruh menjalankan tugas 
yang tak mungkin berhasil, dan aku menyadari bahwa 
peluangmu hanya satu atau dua berbanding sepuluh. 
Ini pasti berkat pertolongan para dewa. namun  apa yang 
terjadi pada hari-hari sesudahnya? Dan bagaimana 
kalian bisa sampai di sini?" 
Kumaraden karto berlutut penuh hormat. Tampaknya ia 
tidak merasa  bangkit sebab   sudah  melakukan sesuatu 
yang patut dipuji. "Keluar dari benteng kota  ternyata tidak 
seberapa sukar. Kesulitan sebetulnya  baru meng-
hadang lalu . centeng  Araki berjaga-jaga di sana-
sini, di balik pagar kayu runcing, jadi kami beberapa  
kali terkepung, dan kadang-kadang kami terpisah satu 
sama bun di tengah-tengah  tombak dan pedang 
musuh. Akhirnya kami berhasil menerobos barisan 
mereka, namun  Yang Mulia keraton  sempat memperoleh 
cedera di lutut kiri, dan sebab nya kami tak dapat 
berjalan  jauh. Kami terpaksa bermalam di sebuah 
  
gudang jerami. Kami bergerak pada malam hari dan 
tidur di kuil-kuil di tepi jalan selama hari terang. 
Akhirnya kami berhasil sampai ke trowulan ." 
keraton  melanjutkan ceritanya, "Kalau saja kami 
bisa menghubungi centeng  sinuhun  yang mengepung 
benteng kota ponorojo , semuanya tentu lebih mudah. namun  
menurut apa yang kudengar di dalam benteng kota. Araki 
Murashige sudah  mengumumkan bahwa Yang Mulia 
aidit  mencurigai tindak-tandukku. Dia memberi-
tahu orang-orang bahwa aku sebaiknya pindah ke 
kubunya, namun  aku hanya menanggapinya dengan  
senyum." 
keraton  memaksakan senyum  sedih, dan ngabehi  
mengangguk tanpa bcrkomentar. 
Pada waktu semua pertanyaan sudah  terjawab , langit 
malam sudah kelihatan putih pucat. Oyu sedang  
memasak sup di dapur. 
Keempat laki-laki itu merasa lelah sesudah  ber-
bincang-bincang sepanjang malam, dan semuanya 
tidur sejenak. Begitu terbangun, mereka melanjutkan 
pembakaran. 
"Oh, ya," ngabehi  berkata  pada keraton . "Aku tahu 
ini amat mendadak, namun  aku merencanakan untuk 
pulang ke blambangan  hari ini, lalu pergi  ke madukara  untuk 
menghadap  Yang Mulia aidit . sebab   aku akan 
menyampaikan kisahmu pada Yang Mulia, 
kusarankan kau langsung menuju sumberdadi ." 
"Tentu aku tak ingin menyia-nyiakan waktu, 
biarpun hanya satu hari," ujar keraton , namun  lalu  
  
ia menatap ngabehi  dengan ragu. "Kau masih sakit. 
Bagaimana pengaruh perjalanan mendadak ini 
terhadap  kesehatanmu?" 
"Aku memang sudah berniat pergi  ke sana. Kalau 
aku tunduk pada penyakitku, takkan ada habis-
habisnya. Lagi pula aku merasa lebih sehat belakangan 
ini." 
"namun  kau harus pulih sepenuhnya. Aku tidak tahu 
seberapa mendesak urusan yang akan kaukerjakan, 
namun  tak bisakah kau menundanya beberapa waktu dan 
bertetirah di sini?" keraton  bertanya.  
"Aku terus berdoa agar aku cepat sembuh seiring 
datangnya Tahun Baru, dan kesehatanku pun kujaga 
baik-baik. sesudah  percaya kau selamat, aku tidak lagi 
dihantui kecemasan. Aku sudah  melakukan kejahatan, 
dan aku harus menerima hukuman di madukara . 
Rasanya hari ini hari yang baik untuk bangkit dari 
tempat  tidur dan mengucapkan selamat tinggal." 
"Kejahatan yang harus dihukum di madukara ?" 
Baru sekarang ngabehi  memberitahu keraton  bagai-
mana ia mengabaikan perintah aidit  selama 
lebih dari satu tahun. 
keraton  terpukul sekali. Kecurigaan aidit  ter-
hadapnya masih dapat dimengerti. namun  bahwa 
aidit  memberi  perintah agar kepala ki pakanewon 
dipenggal, itu sama sekali di luar dugaan keraton . 
"Begitukah kejadiannya?" keraton  mengeluh. Tiba-
tiba perasaannya terhadap aidit  menjadi dingin 
dan hampa. Begitu besar risiko yang sudah  dipikulnya 
  
menyusup ke benteng kota ponorojo  seorang diri, dipenjara, 
mempertaruhkan nyawa   namun  akhirnya untuk 
siapakah ia berkorban? Pada saat yang sama, ia tak 
dapat menahan air mata sebab  kepercayaan yang di-
perlihatkan patih ronggolawe  dan persahabatan ngabehi . 
"Aku berutang budi, namun  kenapa kau mau me-
lakukan ini demi putraku? Kalau keadaannya memang 
seperti  ini, biarlah aku sendiri yang pergi  ke madukara  
untuk menjelaskan semuanya." 
"Jangan, akulah yang melakukan kejahatan dengan  
melalaikan perintah. Satu-satunya permintaanku 
adalah agar kau bergabung dengan Yang Mulia 
patih ronggolawe  di sumberdadi . Entah aku dianggap bersalah 
atau tidak, aku tahu bahwa hari-hariku di dunia ini 
sudah bisa dihitung. Aku berharap kau secepat 
mungkin menuju sumberdadi ." 
ngabehi  bersujud di hadapan keraton , seakan-akan 
memohon kesediaan sahabatnya itu. Ia memperlihat-
kan tekad seseorang yang dirongrong penyakit. 
Kecuali itu, ia ngabehi , laki-laki yang sukar 
tergoyahkan; sekali mengucapkan sesuatu, ia takkan 
menariknya kembali. 
Hari itu kedua sahabat itu  berpisah, satu 
menuju ke timur, satu ke barat. keraton  hendak 
bergabung dengan centeng  patih ronggolawe  di sumberdadi , 
ditambah   oleh  dul  latief . ngabehi  bertolak  ke 
blambangan , hanya ditambah   oleh  Kumaraden karto. 
Mata Oyu berkaca-kaca saat  ia mengantar kakak-
nya ke gerbang Kuil Nanzen. Ia membayangkan bahwa 
  
ngabehi  mungkin takkan kembali lagi. Para biksu 
berusaha menghibur Oyu dengan berkata  bahwa 
kesedihannya akan segera berlalu, namun  akhirnya 
mereka hampir terpaksa memapahnya pada waktu 
kembali dari gerbang utama. 
ngabehi  pun diusik oleh pikiran serupa, dan 
kesedihannya bahkan lebih mendalam lagi. Tubuhnya 
terayun-ayun di atas kuda saat   ia mendekati sebuah  
tanjakan. 
Tiba-tiba ngabehi  menarik tali kekang, seakan-akan 
baru teringat  sesuatu. "Kumaraden karto," ujarnya, "ada 
sesuatu yang lupa kukatakan tadi. Aku akan menulis-
kannya, kuminta kau kembali dan menyerahkannya 
pada Oyu." Ia mengambil secarik kertas, menuliskan 
sesuatu, dan menyerahkannya pada Kumaraden karto. "Aku 
akan jalan pelan-pelan, supaya kau bisa menyusul 
nanti." 
Kumaraden karto mengambil surat itu, membungkuk 
hormat, dan berlari-lari kembali ke kuil. 
Bukan cuma sekali aku melakukan kesalahan. Ia 
berpikir sedih sambil memandang Kuil Nanzen untuk 
terakhir  kali. Aku tidak menyesal  mengenai jalan 
yang kutempuh, namun  mengenai adikku... Ia membiar-
kan kudanya melangkah semaunya. 
Jalan yang ditempuh seorang centeng adipati  adalah jalan 
lurus, dan sesudah  ngabehi  turun dari Gunung 
kuburan , tak sekali pun ia menyimpang dari jalan 
itu . Ia pun takkan menyesal seandainya hidupnya 
berakhir hari itu. namun  ia merasa sedih sebab  Oyu 
  
sudah  menjadi gundik patih ronggolawe . Sebagai  kakak Oyu, 
ngabehi  terus-menerus merasa dicela oleh suara 
hatinya. Bagaimanapun, Oyu berada di sampingnya 
saat   tiba waktu untuk menentukan jalannya sendiri, 
ngabehi  berkata  dalam hati. Ia yang harus disalahkan, 
bukan adiknya. Diam-diam ia mencemaskan tahun-
tahun yang membentang di depan adiknya sesudah  ia 
tiada. 
Betapa malang kaum wanita lesbian . Kebahagiaan 
mereka tak pernah  bertahan seumur hidup. ngabehi  
semakin sedih sebab  ia merasa sudah  mensinuhun i 
kesucian Jalan centeng adipati  jalan yang didasarkan pada 
kematian. Entah berapa  kali ia merenungkan masalah 
ini sambil menggcrutu, berpikir bahwa ia harus 
mohon maaf pada patih ronggolawe  dan minta diberhenti-
kan, atau bahwa ia harus membebaskan diri dari 
perasaan bersalah dengan meminta agar adiknya 
hidup dalam pengasingan. namun  kesempatan untuk itu 
tak pernah  muncul. 
Kim ia akan menempuh  perjalanan terakhir dan ia 
tahu bahwa ia tidak akan kembali, jadi tentu saja ia 
hendak menyampaikan pandangannya mengenai 
urusan ini pada Oyu. Ia tak sanggup berkata  apa-apa 
saat  Oyu berdiri di hadapannya, namun  sekarang  
barangkali ia bisa menulis  sajak pendek yang 
mungkin lebih mudah diterima oleh  adiknya. sesudah  
ia tiada, Oyu mungkin dapat memakai  alasan 
berkabung untuk menjauhkan diri dari kelompok 
wanita lesbian  yang berkerumun di sekitar kamar tidur 
  
patih ronggolawe , seperti  tanaman rambat di sebuah 
gerbang. 
Pada waktu tiba di kediamannya di blambangan , ngabehi  
segera berziarah ke makam leluhurnya, lalu mampir 
sejenak di Gunung penanggungan  Sudah lama ia tidak 
berkunjung ke sana, namun  ia tidak menyerah pada 
keinginannya untuk tinggal lebih lama. 
saat   bangun keesokan paginya, ia cepat-cepat 
merapikan rambut dan memanaskan air untuk mandi, 
sesuatu yang jarang dilakukannya. 
"Panggil Ito Hanemon ke sini!" ia memerintahkan. 
Kicauan burung bulbul sering  terdengar, baik dari 
dataran di sekitar Gunung penanggungan maupun dari pohon-
pohon di pekarangan benteng kota. 
"Hamba siap menerima perintah, tuanku." Dengan  
pintu geser di belakangnya, seorang centeng adipati  setengah  
baya berpenampilan kokoh membungkuk rendah-
rendah. Ito adalah wali ki pakanewon. 
"Hanemon? Masuklah. Hanya kau yang memahami 
masalah ini secara terperinci, namun  keberangkatan 
ki pakanewon ke madukara  akhirnya tak dapat ditunda-
tunda lagi. Kita berangkat hari ini juga. Aku tahu ini 
mendadak, namun  tolong beritahu semua  pembantu dan 
suruh mereka bersiap-siap untuk perjalanan ini." 
Hanemon  memahami kesulitan majikannya. dan 
wajahnya mendadak pucat. 
"Berarti nyawa   Tuan Muda ki pakanewon..." 
ngabehi  melihat orang tua itu gemetar, dan untuk 
menenangkannya ia berkata  sambil tersenyum, 
  
"Tidak, kepalanya takkan dipenggal. Aku akan mereda-
kan kemarahan Yang Mulia aidit , walaupun 
untuk itu aku harus mengorbankan nyawa  ku sendiri. 
Begitu dibebaskan dari benteng kota ponorojo , ayah 
ki pakanewon langsung menuju garis depan di sumberdadi , 
suatu bukti bahwa dia tidak bersalah. Kini tinggal satu 
hal yang belum terselesaikan, yaitu kelalaianku dalam 
menjalankan perintah  Yang Mulia." 
Tanpa berkata  apa-apa, Hanemon menarik diri 
dan pergi  ke kamar ki pakanewon. saat   mendekat, ia 
mendengar suara gembira anak itu, diiringi bunyi 
rebana. ki pakanewon diperlakukan begitu baik oleh  
marga raden mas , sehingga sukar untuk membayang-
kan bahwa ia dititipkan sebagai sandera. 
Jadi, saat  para pengasuhnya, yang tidak 
mengetahui situasi sebetulnya , mendengar bahwa 
mereka harus bersiap-siap untuk melakukan per-
jalanan, mereka tentu saja cemas akan keselamatan 
ki pakanewon. 
Hanemon  berusaha menenteramkan hati mereka. 
"Kalian tak perlu takut. Percayalah pada rasa keadilan 
Yang Mulia ngabehi . Kurasa sebaiknya kita serahkan 
semuanya pada beliau." 
ki pakanewon tidak tahu apa yang terjadi dan terus 
bermain dengan  riang, memukul rebana dan menari-
nari. Walaupun ia seorang sandera, ia mewarisi 
ketabahan ayahnya dan menjalani latihan centeng adipati . Ia 
sama sekali bukan anak kecil yang takut-takut. 
"Apa kata Hanemon?" tanya ki pakanewon sambil 
  
meletakkan rebana. Melihat roman muka pengasuh-
nya, anak itu menyadari bahwa terjadi sesuatu, dan ia 
pun tampak cemas. 
"Tuan Muda tak perlu gelisah khawatir ." salah satu 
pengasuhnya menjawab . "Kita harus segera bersiap-siap 
untuk pergi  ke madukara ." 
"Siapa yang akan pergi ?" 
"Tuan Muda sendiri." 
"Aku ikut juga? Ke madukara ?" 
Para pengasuh memalingkan wajah, agar anak itu 
tak dapat melihat air mata mereka. Begitu ki pakanewon 
mendengar kata-kata mereka, ia melompat berdiri dan 
bertepuk tangan. 
"Betulkah? Hore!" Dan ia berlari kembali ke 
kamarnya. "Aku akan pergi  ke madukara ! Mereka bilang 
aku akan pergi  bersama Yang Mulia ngabehi . Tak ada 
lagi menari dan menabuh rebana, berhenti semuanya!" 
lalu  ia bertanya keras-keras. "Pantaskah 
pakaianku ini?" 
Ito masuk dan berkata, "Yang Mulia ingin agar 
Tuan Muda mandi dan mengatur rambut dengan  
rapi." 
Para pengasuh membawa   ki pakanewon ke pemandi-
an, menyuruhnya berendam di dalam bak, dan 
merapikan rambutnya. namun  saat   mereka mulai 
membantunya mengenakan pakaian untuk perjalanan 
itu, mereka melihai bahwa baju dalam maupun 
jubah  yang disediakan untuknya terbuat dari sutra 
putih pakaian kematian. 
  
Para pembantu ki pakanewon segera menyangka 
bahwa Ito sengaja berbohong untuk menenangkan 
mereka, dan bahwa kepala anak itu akan dipenggal di 
hadapan aidit . Mereka mulai berurai air mata 
lagi, namun  ki pakanewon sama sekali tidak memperhatikan 
mereka dan mengenakan jubah  putih, baju luar dari 
kain brokat berwarna merah, dan  jubah dari sutra 
kedhiri . Berpakaian seperti  ini dan diapit oleh  kedua 
pembantunya, ia dibawa   ke kamar ngabehi  
Dalam keadaan  riang gembira, ki pakanewon tidak 
memedulikan wajah sedih para pembantunya. Ia 
justru mendesak ngabehi . "Mari kita berangkat." 
ngabehi  akhirnya berdiri dan berkata  kepada para 
pengikutnya. "Tolong urus segala sesuatu sesudah  ini." 
saat  mereka merenungkan ucapannya lalu , 
mereka menyadari bahwa junjungan mereka memberi  
tekanan khusus pada kata-kata "sesudah  ini". 
 

 
Seusai pertempuran di Sungai Ane, aidit  sudah  
memberi kesempatan pada ngabehi  untuk meng-
hadapnya. Pada kesempatan itu aidit  berkata, 
"Kudengar dari patih ronggolawe  bahwa dia memandangmu 
bukan sebagai  pengikut belaka, melainkan sebagai  
guru. Harap kauketahui bahwa aku pun tidak 
meremehkanmu." 
sesudah  itu, saat ngabehi  diperkenankan menghadap  
atau sekadar pergi ke madukara , aidit  memper-
  
lakukannya seperti  pengikutnya sendiri. 
Kini ngabehi  mendaki jalan ke benteng kota madukara , 
membawa   dan  putra keraton , ki pakanewon. Didera 
penyakit, kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun 
dengan mengenakan pakaian terbaiknya, ia berjalan 
langkah demi langkah dengan kepala tegak, menaiki 
menara tempat aidit  duduk. Kedatangan mereka 
sudah  dilaporkan pada aidit  semalam sebelum-
nya, dan ia sudah menunggu. 
"Begitu jarang aku bertemu denganmu," aidit  
berkata  dengan gembira saat   melihat ngabehi . "Aku 
senang kau ada di sini. Mendekatlah. Kau boleh  
mengambil bantal. Pelayan, ambilkan sesuatu yang 
bisa diduduki ngabehi ." Sambil memperlihatkan 
simpati yang luar biasa, ia berkata  pada ngabehi  yang 
tetap bersujud penuh hormat. "Sudah membaikkah 
keadaanmu? Bisa kubayangkan bahwa kau lelah jiwa-
raga sebab  perang berkepanjangan di sumberdadi . 
Menurut dokterku, terlalu berbahaya untuk mengirim-
mu kembali ke medan tempur sekarang. Dia bilang 
kau harus beristrahat penuh selama paling tidak satu-
dua tahun lagi." 
Selama dua-tiga tahun terakhir. aidit  hampir 
tak pernah mengguna-kan kata-kata sehalus itu jika 
berbicara dengan seorang pengikut. Hati ngabehi  
diliputi kebingungan yang bukan berasal dari 
kegembiraan maupun kesedihan. 
"Hamba tak patut menerima kemurahan hati 
seperti  ini, Yang Mulia. Di medan laga, hamba jatuh 
  
sakit; sesudah  kembali, hamba tidak melakukan apa-apa 
selain menikmati kebaikan hati Yang Mulia. Hamba 
hanya orang sakit yang tidak melakukan apa-apa untuk 
tuanku." 
"Tidak benar! Aku akan mengalami kesulitan besar 
jika kau tidak menjaga kesehatanmu. Jangan sampai 
patih ronggolawe  patah scmangat." 
"Hamba mohon Yang Mulia jangan berkata  begitu, 
sebab ucapan Yang Mulia membuat hamba malu hati," 
ujar ngabehi . "sebetulnya  hamba memberanikan 
diri untuk minta waktu menghadap, sebab  tahun lalu 
mpu wiragajah  mpu wiraghanda menyampaikan perintah Yang 
Mulia mengenai eksekusi ki pakanewon. namun  sampai 
sekarang ..." 
"Tunggu sebentar," aidit  memotong. 
Pandangannya beralih ke pemuda yang berlutut di 
samping ngabehi . "ki pakanewon-kah itu?" 
"Ya. Yang Mulia." 
"Hmm, begitu. Dia mirip ayahnya, dan dia 
kelihatan sedikit berbeda dengan  anak-anak lain. Aku 
percaya dia memiliki masa depan yang cerah. Urus dia 
baik-baik, ngabehi ." 
"Kalau begitu, bagaimana dengan  perintah Yang 
Mulia untuk mengirimkan kepalanya?" Tubuh ngabehi  
menegang dan ia menatap aidit  dengan  mantap. 
Jika aidit  berkeras bahwa kepala anak itu harus 
dipenggal, ngabehi  sudah  bertekad mempertaruhkan 
nyawa   dengan menegur junjungannya. namun  sejak awal  
pertemuan, tampaknya bukan itu maksud aidit . 
  
ngabehi  kini mulai menyadari. 
Di bawah  tatapan ngabehi , aidit  tiba-tiba 
tertawa  keras-keras, seakan-akan tak sanggup lagi 
menyembunyikan kebodohannya. "Lupakan semua 
nya! Aku sendiri langsung menyesal begitu mem-
berikan perintah  itu. Aku memang orang yang mudah 
curiga. Urusan ini sangat merepotkan, baik bagi 
patih ronggolawe  maupun keraton . namun  ngabehi  yang bijak 
mengabaikan perintahku dan tidak membantai anak 
itu. sebetulnya , saat  aku mendengar bagaimana 
kau menangani masalah ini, aku merasa  lega. Mana 
mungkin aku menyalahkanmu? Akulah yang harus 
disalahkan. Maafkanlah aku, tindakanku tidak pada 
tempatnya." Meski tidak menundukkan kepala atau 
membungkuk, aidit  tampaknya ingin segera 
mengalihkan pembicaraan. 
Namun kemurahan haii aidit  tidak diterima 
begitu saja oleh ngabehi . aidit  menyuruhnya 
melupakan semuanya, membiarkan semuanya hanyut 
terbawa   waktu, namun  roman muka ngabehi  tidak 
memperlihatkan kegembiraan sedikit pun. 
"Kelalaian hamba dalam menjalankan perintah  
Yang Mulia mungkin berpengaruh pada wibawa   Yang 
Mulia di lalu  hari. Jika Yang Mulia membiarkan 
ki pakanewon hidup sebab   keraton  tidak bersalah dan 
sudah  berjasa, perkenankanlah anak muda ini mem-
buktikan bahwa dia patut menerima kemurahan hati 
Yang Mulia. Kecuali itu, tak ada yang lebih meng-
gembirakan bagi hamba selain menerima perintah  
  
Yang Mulia untuk melakukan sesuatu, guna menebus 
kesalahan hamba." ngabehi  bicara dari lubuk hati yang 
paling dalam. Sekali lagi ia bersujud dan menunggu 
tanggapan aidit . Inilah yang diinginkan 
aidit  sejak  awal . 
sesudah  menerima pengampunan junjungannya 
untuk kedua kali, ngabehi  berbisik agar ki pakanewon 
mengucapkan terima kasih dengan  sopan. lalu  
ia kembali berpaling pada aidit . "Barangkali ini 
terakhir  kali Yang Mulia dan hamba bertemu dalam 
hidup ini. Hamba berdoa agar keberuntungan di 
medan tempur semakin besar bagi Yang Mulia." 
"Perkataanmu agak janggal, bukan? Apakah kau 
hendak menentang perintahku lagi?" aidit  
mendesak ngabehi  untuk menjelaskan maksudnya. 
"Takkan pernah lagi." ngabehi  menggelengkan 
kepala, lalu menatap  ki pakanewon. "Hamba mohon 
Yang Mulia sudi memperhatikan cara berpakaian anak 
ini. Dia akan bertolak  ke sumberdadi  untuk bertempur di 
sisi ayahnya. Dia bertekad mengukir nama yang tak 
kalah harum dari nama keraton , siap menyerahkan 
segalanya pada nasib." 
"Apa? Dia mau maju ke medan  tempur?" 
"keraton  centeng adipati  tersohor, dan Shojumar
u putra-
nya. Hamba mohon Yang Mulia berkenan memberi-
kan restu padanya. Suatu kebahagiaan tak terhingga l

jika Yang Mulia memerintahkannya berperang dengan  
gagah berani." 
"namun  bagaimana denganmu?" 
  
"Sebagai  orang sakit, hamba sangsi bahwa hamba 
dapat menambah kekuatan centeng  kita, namun  rasanya 
ini waktu yang baik untuk menyertai ki pakanewon 
dalam perjalanan menuju medan  laga." 
"Sanggupkah kau? Bagaimana dengan  kesehatan-
mu?" 
"Hamba lahir sebagai centeng adipati , dan meninggal 
dengan  tenang di tempat tidur amatlah memalukan. 
Jika ajal tiba, manusia tak kuasa menolaknya." 
"Kalau begitu, pergilah. Aku pun mengharapkan 
segala keberuntungan bagi ki pakanewon dalam per-
tempurannya yang pertama." aidit  memberikan 
isyarat mata kepada pemuda itu, lalu menyerahkan 
sebilah pedang pendek buatan ahli senjata terkemuka. 
lalu  ia menyuruh seorang pengikut mengambil 
anggur , dan mereka minum bersama-sama.  
TAK seorang pun dapat meramalkan sebelumnya 
bahwa ki wirogeni sanggup mempertahankan 
benteng kota  Miki untuk waktu begitu  lama. Sudah tiga 
tahun benteng kota   itu dikepung, dan selama lebih dari 
enam bulan hubungan dengan  dunia luar diputus 
oleh  centeng  patih ronggolawe . 
centeng  patih ronggolawe  terkesima setiap kali mengamati 
kesibukan dan mendengar suara orang-orang di dalam 
benteng kota. Mungkinkah sedang terjadi keajaiban? 
Kadang-kadang mereka percaya bahwa musuh 
memiliki kekuatan gaib, sehingga masih dapat 
bertahan. Mereka terlibat adu ketahanan, dan centeng  
penyerang berada di pihak yang kalah. Tak peduli 
bagaimana mereka memukul, menghantam, me-
nendang, dan mencekik, musuh mereka tetap tak 
berhenti menggeliat. 
Jalur perbekalan dan jalur air centeng  penjaga 
benteng kota  berkekuatan 50000 lima ratus orang sudah  
terputus. Seharusnya mereka sudah terancam 
kelaparan pada pertengahan Bulan Pertama, namun  pada 
akhir bulan itu benteng kota Miki belum tertaklukkan 
juga. Dan kini sudah Bulan Ketiga. 
patih ronggolawe  menyadari kelelahan centeng nya, namun  
memaksa diri untuk menyembunyikan rasa cemas. 
Janggut kasar yang tumbuh di dagunya dan  matanya 
  
yang cekung merupakan bukti kegelisah khawatir an dan 
keletihan akibat pengepungan berkepanjangan itu. 
Aku salah perhitungan, patih ronggolawe  mengakui dalam 
hati. Dari semula aku tahu mereka  akan bertahan, 
namun  aku tak menyangka selama ini. Ia sudah  menarik 
pelajaran bahwa perang bukan sekadar masalah angka 
dan keuntungan logistik. 
Semangat orang-orang di dalam benteng kota justru 
semakin berkobar. Sama sekali tak ada tanda-tanda 
bahwa mereka mungkin menyerah. Bahwa mereka 
kehabisan perbekalan, itu tak perlu diragukan. Para 
prajurit yang terkepung tentu sudah memakan badak -
badak  dan kuda-kuda mereka, bahkan akar-akar pohon 
dan rerumpuran. Segala hal yang menurut patih ronggolawe  
akan menentukan kejatuhan benteng kota ternyata justru 
memperkokoh semangar dan persatuan centeng . 
Di Bulan Kelima mereka memasuki musim hujan. 
Mereka berada di daerah pegunungan, jadi bersama 
hujan yang turun tanpa henti, semua  jalan berubah 
mirip  air terjun, dan selokan-selokan yang 
semula kosong kini tergenang air lumpur. Orang-
orang terus tergelincir pada waktu naik-turun gunung. 
dan pengepungan yang akhirnya mulai menampak-
kan hasil sekali lagi dimentahkan oleh kekuatan 
alam. 
Lutut Kursinuhun  keraton  yang cedera saat  ia 
melarikan diri dari benteng kota ponorojo  tak pernah pulih 
benar, dan ia memeriksa barisan depan dari atas 
tandu. Setiap kali teringat bahwa ia mungkin akan 
  
pincang seumur hidup, ia selalu memaksakan senyum. 
Pada waktu ngabehi  melihat kegigihan sahabatnya, 
ia melupakan penderitaannya sendiri dan mulai men-
jalankan tugas beratnya. Staf lapangan patih ronggolawe  
sungguh ganjil. Kedua resi  utamanya, yang ia 
hargai bagaikan sepasang permata berkilauan, sama-
sama terganggu kesehatannya. Yang satu menderita 
penyakit tak tersembuhkan; yang satu lagi terpaksa 
memimpin pertempuran dari atas usungan. 
namun   bantuan besar yang diberikan kedua laki-laki 
itu pada patih ronggolawe  tidak berupa kepanjangan akal 
semata-mata. Setiap kali ia menatap  mereka, hatinya 
tergerak oleh perasaan yang luhur dan matanya 
berkaca-kaca. ngabehi  dan keraton  sudah  menyatu 
dalam jiwa dan raga, dan hanya sebab  inilah 
semangat centeng  tidak goyah. Paling tidak setengah  
tahun sudah  berlalu, namun  kini perlawan an benteng kota   
Miki mulai melemah. Seandainya centeng  penyerang 
tidak dipimpin oleh ngabehi  dan keraton , benteng kota   
Miki barangkali takkan pernah takluk. lalu  
kapal-kapal patih mungkin berhasil menembus 
kepungan dan membawa   perbekalan, atau centeng  
mereka melintasi pegunungan, bergabung dengan  
centeng  penjaga benteng kota, dan menghancurkan para 
penyerbu. Dan riwayat patih ronggolawe  akan tamat di 
tempat itu juga. Dengan semangat seperti ini, ada-
kalanya patih ronggolawe  pun merasa terlampaui oleh  
kecerdikan keraton . Setengah berkelakar ia menunjuk-
kan kekagumannya dengan menyebut keraton  "si Cacat 
  
Celaka". namun  jelas bahwa dalam hati ia sangat 
menghormari laki-laki yang begitu  diandalkannya itu. 
Musim hujan sudah  lama berakhir, hkertoarjo  panas 
musim kemarau pun sudah  berlalu, dan kesejukan 
musim gugur tiba seiring datangnya Bulan Ke9. 
Penyakit ngabehi  mendadak bertambah  parah, dan kali 
ini tampaknya ia takkan pernah  lagi mengenakan baju 
tempur. 
Ah, mungkinkah para dewa akhirnya berpaling 
dariku? patih ronggolawe  berkeluh kesah. ngabehi  terlalu 
muda dan terlalu cakap untuk mati. Tak bisakah 
takdir memberikan lebih banyak waktu padanya? 
patih ronggolawe  mengurung diri di pondok tempat 
ngabehi  terbaring, menemani sahabatnya siang dan 
malam, namun  malam itu, saat  ia dipanggil sebab   
urusan penting lainnya, kondisi ngabehi  memburuk 
dengan cepat. benteng kota-benteng kota musuh di Tatinggi sumbing dan 
Gunung aryadwinata  terselubung kabut senja. saat   
malam tiba, letusan senapan terdengar menggema. 
"Tentu saja si Cacat Celaka lagi!" pikir patih ronggolawe . 
"Seharusnya dia jangan menerobos barisan musuh 
sejauh itu." 
patih ronggolawe  mencemaskan keselamatan keraton  yang 
sudah  menyerang musuh, namun  belum kembali. 
Langkah-langkah cepat terdengar mendekat dan ber-
henti di sampingnya. saat  ia menoleh, seseorang  
sedang  bersujud sambil menitikkan air mata. 
"ki pakanewon?" 
sesudah  ki pakanewon tiba di perkemahan di Gunung 
  
tengkorak, ia sudah beberapa kali terjun ke kancah 
pertempuran. Dalam waktu singkat ia sudah  menjadi 
laki-laki dewasa yang gagah perkasa. Kira-kira 
sepertinya  sebelumnya, saat   kondisi ngabehi  tampak 
memburuk, patih ronggolawe  menyuruh ki pakanewon menjaga 
ngabehi . 
"Aku percaya ngabehi  lebih suka jika kau berada di 
sampingnya dibandingkan  seorang diri. sebetulnya  aku 
ingin mengurusnya sendiri, namun  aku takut kalau dia 
merasa menyusahkanku, keadaannya akan semakin 
parah." 
Bagi ki pakanewon, ngabehi  merupakan guru sekaligus 
ayah pengganti. Kini ia menunggui ngabehi  siang dan 
malam tanpa melepaskan baju tempur, mencurahkan 
segenap tenaga untuk membuat ramuan obat dan 
memenuhi segala kebutuhan ngabehi . ki pakanewon ini-
lah yang mendatangi patih ronggolawe  dan menyembah 
sambil berlinang air mata. Sesaat   dada patih ronggolawe  
scrasa ditusuk. 
"Kenapa kau menangis, ki pakanewon?" ia menegur 
pemuda itu. 
"Hamba mohon ampun," ujar ki pakanewon sambil 
mengusap-usap mata. "Tuan ngabehi  hampir tak 
sanggup bicara lagi. Beliau mungkin takkan bertahan 
sampai tengah malam. Jika Yang Mulia dapat 
meninggalkan pertempuran sejenak, sudikah Yang 
Mulia menemui beliau?" 
"Saatnya sudah tiba?" 
"Ha... hamba kira begitu." 
  
"Itukah yang dikatakan dokter?"  
"Ya Tuan ngabehi  melarangku menceritakan keada-
an beliau kepada Yang Mulia atau siapa pun di 
perkemahan ini, namun  dokter dan para pengikut beliau 
mengatakan bahwa kepergian beliau dari dunia ini 
sudah dekat, dan mereka menyarankan agar Yang 
Mulia segera diberitahu." 
patih ronggolawe  sudah  mengambil keputusan. "Shoju-
maru, dapatkah kau menggantikan tempatku di sini 
untuk sementara? Kurasa tak lama lagi ayahmu akan 
kembali dari medan  tempur di Tatinggi sumbing." 
"Ayah hamba bertempur di Tatinggi sumbing?" 
"Seperti biasa, dia mengatur segala sesuatu dari 
tandunya." 
"Kalau begitu, perkenankan hamba pergi ke Tatinggi sumbing 
untuk menggantikan ayah hamba di sana. Hamba 
akan memberitahunya untuk segera menuju  ke sisi 
Tuan ngabehi ." 
"Ucapanmu sungguh gagah! Pergilah, kalau 
keberanianmu memang sebesar itu." 
"Selama Tuan ngabehi  masih bernapas, ayah hamba 
tentu ingin berada bersama beliau. Tuan ngabehi  tidak 
mengatakannya, namun  hamba percaya beliau pun ingin 
melihat ayah hamba," ki pakanewon berkata dengan  
gagah, dan sambil menyambar tombak yang kelihatan 
terlalu besar untuknya, bergegas menuju  bukit-bukit. 
patih ronggolawe  berjalan ke arah berlawan an. Semakin 
lama langkah-langkahnya semakin panjang. Cahaya 
lentera memancar dari salah satu pondok. Di pondok 
  
itulah raden mas  ngabehi  terbaring, dan tepat pada saat 
itu bulan mulai bersinar samar-samar di atas atapnya. 
Dokter yang dikirim patih ronggolawe  berada di samping 
tempat tidur, sama halnya dengan para pengikut 
ngabehi . Pondok itu tak lebih dan pagar kayu, namun  
kain penutup seprai sudah  ditumpuk-tumpuk di atas 
tikar jerami, dan di salah satu pojok ada dinding 
penyekat yang dapat dilipat. 
"ngabehi , kau bisa mendengarku? Ini aku, 
patih ronggolawe . Bagaimana keadaanmu?" patih ronggolawe  duduk 
di sisi sahabatnya, menatap wajahnya di atas bantal. 
Mungkin sebab   gelap, wajah ngabehi  tampak tembus 
cahaya, bagaikan permata. Mau tak mau air mata 
orang yang melihatnya mulai mengalir. "Bagaimana 
mungkin seseorang bisa sekurus ini?" patih ronggolawe  ber-
tanya dalam hati. Pemandangannya sungguh memilu-
kan; hati patih ronggolawe  serasa diiris-iris. 
"Dokter, bagaimana keadaannya?" 
Yang ditanya tak sanggup berkata apa-apa. 
Kebisuannya menunjukkan bahwa ini hanya masalah 
waktu saja, walau sebetulnya  patih ronggolawe  ingin 
mendengar bahwa masih ada harapan.  
ngabehi  menggeser tangannya. Rupanya ia men-
dengar suara patih ronggolawe , dan sambil membuka mata 
sedikit, ia berusaha mengatakan sesuatu pada salah 
satu pembantunya, yang lalu membalas. "Yang Mulia 
berkenan mengunjungi tuanku..." 
ngabehi  mengangguk, namun  kelihatannya ia resah 
mengenai sesuatu. Sepertinya ia minta dibantu duduk. 
  
"Bagaimana?" si pelayan bertanya sambil menatap 
Dokter. Dokter itu hampir tak sanggup menjawab , 
namun  patih ronggolawe  memahami maksud ngabehi . 
"Apa? Kau hendak duduk? Mengapa tidak ber-
baring saja?" ia berkata seakan-akan menenangkan 
anak kecil. ngabehi  menggeleng lemah dan kembali 
mengatakan sesuatu kepada para pembantunya. Ia tak 
sanggup bicara keras-keras. namun  hasratnya terbaca jelas 
di matanya yang cekung. Dengan hati-hati mereka  
mengangkat bagian atas tubuhnya yang tipis bagaikan 
papan, namun  saat   mereka hendak mendudukkannya, 
Hanbd mendorong mereka. Ia menggigit bibir dan 
perlahan-tahan turun dari tempat tidur. Tindakan ini 
menuntut usaha besar dari seorang laki-laki sakit yang 
hanya dengan  susah payah dapat menarik napas. 
Terkesima oleh  apa yang mereka lihat, patih ronggolawe , 
si dokter, dan para pengikut ngabehi  hanya dapat 
menahan napas dan menonton. Akhirnya, sesudah  
merangkak beberapa langkah dari tempat tidur, 
ngabehi  berlutut di atas tikar jerami, Dengan bahunya 
yang lancip, lututnya yang kurus, dan tangannya yang 
pucat, ngabehi  hampir kelihatan seperti anak 
wanita lesbian . Mulutnya terkatup rapat-rapat, dan 
sepertinya ia sedang mengatur napas. Akhirnya ia 
membungkuk begitu rendah, sehingga badannya 
seolah-olah patah. 
"Malam ini hamba akan berpisah dengan Yang 
Mulia. Sekali lagi hamba harus menunjukkan terima 
kasih atas segala kemurahan hati Yang Mulia, yang 
  
hamba peroleh selama bertahun-tahun." lalu  ia 
terdiam sejenak. "Entah daun-daun gugur atau 
bermekaran, hidup atau mati, kalau kita merenung-
kannya, kita akan sadar bahwa warna-warni musim 
gugur dan musim semi mengisi seluruh alam semesta. 
Hamba merasa dunia ini merupakan tempat yang 
menarik. Tuanku, hamba memiliki hubungan karma 
dengan  tuanku, dan sudah  menikmati kemurahan hati 
tuanku. Jika hamba memandang ke belakang, tiada 
penyesalan dalam diri hamba, selain bahwa hamba tak 
sempat berbuai sesuatu untuk tuanku." 
Suara ngabehi  pelan sckali, namun  ucapannya 
meluncur dengan  lancar. Semua  yang hadir duduk 
lebih tegak saat  melihatlihat  keajaiban ini. 
patih ronggolawe , terutama, meluruskan punggung, me-
nundukkan kepala, dan dengan kedua tangan di 
pangkuan, mendengarkan ngabehi , seakan-akan tak 
rela kehilangan sepatah kata pun. Lentera yang 
hampir padam akan menyala cerah tepat sebelum 
mati. Hidup ngabehi  kini seperti  itu, sekejap saja. Ia 
terus berbicara, penuh hasrat untuk meninggalkan 
kata-kata terakhirnya bagi patih ronggolawe . 
"Segala kejadian... segala kejadian dan perubahan 
yang akan dialami dunia sesudah ini, hamba 
bersimpati dengan semuanya. majapahit  berada di 
ambang perubahan besar. Hamba ingin melihat apa 
yang akan terjadi dengan bangsa ini. Inilah yang 
tersimpan dalam hati hamba, namun  umur yang 
dianugerahkan pada hamba tidak memungkinkannya." 
  
Kata-katanya berangsur-angsur bertambah  jelas, dan 
sepertinya ia berbicara dengan sisa tenaga terakhir. 
Sejenak ia berjuang untuk menghirup udara, namun  
lalu  ia menahan napas agar dapat melanjutkan 
ucapannya. 
"namun ... tuanku... tidakkah tuanku merasa  terpilih 
sebab  dilahirkan di masa seperti ini? sesudah  
mengamati tuanku dengan  saksama, hamba tak dapat 
menemukan ambisi untuk menjadi penguasa selumh 
negeri." ngabehi  terdiam sebentar. "Sampai sekarang, 
ini suatu kelebihan dan sebagian dari watak tuanku. 
sebetulnya  tak patut hamba menyinggungnya, namun  
saat  tuanku menjadi pembawa   sandal Yang Mulia 
aidit , tuanku melaksanakan tugas itu dengan  
segenap hati. sesudah  mencapai kedudukan centeng adipati , 
tuanku mengerahkan seluruh kemampuan untuk 
menjalankan tugas-tugas centeng adipati . Tak sekali pun 
tuanku menoleh ke atas dan berusaha mencapai 
kedudukan lebih tinggi lagi. Yang hamba gelisah khawatir kan 
sekarang sesuai dengan  sifat tuanku ini tuanku akan 
menyelesaikan tugas tuanku di provinsi-provinsi Barat, 
atau melaksanakan tugas yang diembankan Yang 
Mulia aidit , atau menundukkan benteng kota Miki 
tanpa memperhatikan perkembangan dunia maupun 
mencari jalan untuk menonjolkan diri." 
Suasana hening sekali, seakan-akan tak ada orang 
lain di dalam ruangan. patih ronggolawe  mendengarkan 
uraian ngabehi  demikian saksama, hingga seolah-olah 
tak dapat menegakkan kepala atau bergerak. 
  
"namun  ... kemampuan yang dibutuhkan seseorang 
untuk memcgang kendali di zaman seperti ini 
merupakan anugerah dari para dewa. Para panglima 
perang saling bersaing memperebutkan kekuasaan, 
masing-masing mengaku bahwa hanya dirinyalah yang 
sanggup membawa   fajar baru ke dunia yang dilanda 
kekacauan, dan menyelamatkan rakyat dari kesusahan. 
namun   kramajaya  , yang begitu hebat, sudah  menemui 
ajal. mpu betarakatong  dari Kai sudah  tiada; Motonari dari 
provinsi-provinsi Barat meninggal dunia dengan  
pesan agar para penerusnya melindungi warisan 
mereka dengan mengenali kemampuan mereka: di 
samping itu, baik marga mpu djiwo maupun marga jawa  
sudah  tertimpa bencana akibat kesalahan sendiri. Siapa 
yang akan membawa   pemecahan untuk masalah ini? 
Siapa yang memiliki kemampuan membentuk budaya 
baru untuk era berikut, dan diterima oleh rakyat? 
Orang seperti  itu lebih sedikit dari jumlah jari di satu 
tangan." 
patih ronggolawe  tiba-tiba menegakkan kepala, dan mata 
ngabehi  yang cekung tampak menyorot. ngabehi  sudah 
di ambang maut, dan patih ronggolawe  pun tak dapat 
memastikan umur yang diberikan padanya, namun  
sejenak pandangan mereka beradu. 
"Hamba maklum, tuanku tentu bingung men-
dengar ucapan hamba, sebab kini tuanku mengabdi 
pada Yang Mulia aidit . Hamba memahami 
perasaan tuanku. Tuanku dan Yang Mulia mpu mojosongo  tidak 
memiliki  semangat yang diperlukan untuk men-
  
dobrak situasi ini, maupun kepercayaan untuk 
mengatasi segala persoalan yang muncul  sampai 
sekarang. Siapa, selain Yang Mulia aidit , yang 
sanggup memimpin negeri sejauh ini melalui 
kekacauan zaman? namun  ini tidak berarti bahwa dunia 
sudah  diperbarui melalui sepak terjang beliau. Hanya 
dengan menundukkan provinsi-provinsi Barat, 
menyerang Kyushu, dan berdamai dengan  Shikoku, 
bangsa ini belum tentu memperoleh kedamaian, 
keempat golongan rakyat belum tentu hidup 
berdampingan secara harmonis, budaya baru belum 
tentu terbentuk, dan landasan untuk kesejahteraan 
generasi-generasi berikut pun belum tentu terwuiud." 
Rupanya ngabehi  sudah  merenungkan hal-hal 
itu  secara mendalam, menelaah semuanya 
dengan berpedoman pada kitab-kitab klasik dari kedhiri . 
Ia sudah  membandingkan  pergolakan  yang dihadapi  
negerinya dengan kejadian-kejadian sejarah, dan sudah  
menganalisis gejolak-gejolak di balik situasinya dewasa 
ini. 
Selama benahun-tahun menjadi anggota staf 
lapangan patih ronggolawe , ia sudah  memperoleh  pandangan 
umum mengenai perkembangan majapahit . Namun 
kesimpulannya tetap ia rahasiakan. Bukankah 
patih ronggolawe  "orang berikutnya"? Bahkan di antara para 
pengikut patih ronggolawe  sendiri, yang siang-malam berada 
di dekatnya, yang kadang-kadang melihatnya bersama 
istri, berkelakar mengenai urusan sepele, tampak lesu, 
dan bicara tak keruan atau yang membandingkan 
  
penampilannya dengan  penampilan para pemimpin 
marga lain tak ada satu dari sepuluh yang 
menganggap junjungannya memiliki bakat alam yang 
menonjol. namun  ngabehi  tidak menyesal sudah  
mengabdi di sisi patih ronggolawe  atau menghabiskan se-
tengah hidupnya demi kepentingan laki-laki itu. Ia 
justru bersukacita sebab  para dewa mempertemu-
kannya dengan  junjungan seperti  itu, dan ia merasa  
tidak menyia-nyiakan hidupnya, sampai ke titik 
penghabisan. 
Jika junjungan ini menjalankan perannya seperti  
yang kuduga, dan merampungkan tugas besar yang 
menanti di masa mendatang, pikir ngabehi , hidupku 
tidak sia-sia. Dengan  semangat dan masa depan yang 
dimilikinya, secara garis besar angan-anganku dapat 
terlaksana. Orang mungkin berkata  aku mati muda, 
namun  aku mati dengan  baik. 
"Selain itu," ujar ngabehi , "tak ada lagi yang perlu 
dikatakan. Hamba mohon tuanku menjaga diri baik-
baik. Percayalah tuanku tak dapat digantikan, dan 
berusahalah lebih keras lagi sesudah  hamba tiada." 
Begitu ngabehi  selesai berbicara, dadanya roboh seperti  
sepotong kayu busuk. Tak sedikit pun tersisa tenaga di 
tangannya yang kurus, yang seharusnya menopang 
badannya. Wajahnya membentur lantai, darah segar 
mulai menggenangi tikar jerami. 
patih ronggolawe  melompat maju dan menahan kepala 
ngabehi , dan darah yang kini mengalir deras mem-
basahi pakaiannya. 
  
"ngabehi ! ngabehi ! Kau hendak meninggalkan aku? 
Kau hendak pergi seorang diri? Apa yang harus 
kulakukan di medan  tempur kalau kau tak lagi berada 
di sisiku?" Ia meratap, menangis sejadi-jadinya, tanpa 
memedulikan penampilan maupun reputasinya. 
Wajah ngabehi  yang pucat tampak letih, kepalanya 
bersandar di pangkuan patih ronggolawe . "Mulai sekarang  
tuanku tak perlu khkertoarjo tit mengenai apa pun." 
Mereka  yang lahir pada pagi hari, mati sebelum 
malam: dan mereka yang lahir di malam hari, mati 
sebelum fajar tiba. Hal ini tidak mutlak men-
cerminkan pandangan ajaran zoroaster  mengenai 
kefanaan, jadi orang mungkin saja bertanya-tanya. 
mengapa justru kematian ngabehi  yang melontarkan 
patih ronggolawe  ke dalam lembah kesedihan. Bagai-
manapun, ia berada di medan  perang. Setiap hari 
orang tewas bagaikan daun-daun berjatuhan di musim 
gugur. namun  kesedihannya begitu  mendalam, sehingga 
orang-orang yang turut berduka pun terperanjat, dan 
saat   ia akhirnya sadar seperti anak kecil sehabis 
meraung-raung dengan hati-hati ia mengangkat tubuh 
ngabehi  yang dingin dari pangkuan, dan tanpa 
bantuan meletakkannya di tempai tidur beralas kain 
putih, berbisik-bisik, seakan-akan ngabehi  masih 
hidup. 
"Gagasan-gagasanmu begitu besar. Kalaupun kau 
hidup dua atau tiga kali lebih lama dari umur manusia 
biasa, mungkin baru setengah dari harapan-
harapanmu yang sempat terpenuhi. Kau tak ingin 
  
mati. Seandainya aku menjadi dirimu, aku pun takkan 
mau mati. Betul, ngabehi ? Kau tentu menyesal  sebab   
begitu banyak hal terpaksa kautinggalkan dalam 
keadaan  belum rampung, jika seorang jenius seperti 
kau lahir ke dunia, dan kurang dari seperseratus 
gagasanmu terlaksana, sudah sewajarnya kau tak ingin 
mati." 
Betapa dalam kasih sayangnya untuk laki-laki itu! 
Tak henti-hentinya patih ronggolawe  berkeluh kesah di 
hadapan jenazah ngabehi . la tidak merapatkan tangan 
dan mengucapkan doa, namun  permohonannya untuk 
ngabehi  seakan-akan tanpa akhir. 
keraton , yang mengetahui kondisi ngabehi  dari 
putranya, baru tiba sekarang . 
"Terlambatkah aku?" keraton  bertanya cemas. Kaki-
nya yang pincang melangkah secepat mungkin. Ia 
melihat patih ronggolawe  yang duduk dengan  mata merah di 
sisi tempat tidur, dan tubuh ngabehi  yang membujur 
kaku, dingin. keraton  duduk sambil mengerang, 
seolah-olah jiwa-raganya mendadak remuk. keraton  
dan patih ronggolawe  duduk diam, tanpa berkata -kata, hanya 
memandang jasad ngabehi . 
Ruangan itu gelap seperti gua, namun tak satu 
lentera pun dinyalakan. Kain putih di bawah  jenazah 
tampak seperti salju di dasar sebuah  jurang. 
"keraton ," patih ronggolawe  akhirnya berkata dengan  suara 
sarat oleh duka, "ini sungguh memilukan. Aku tahu 
ini takkan mudah, namun ..." 
keraton  tak mampu menjawab . Sepertinya ia pun 
  
tak sanggup berpikir jernih. "Ah, aku tak mengerti. 
Enam bulan lalu dia masih sehat. Dan sekarang ..." 
sesudah  terdiam sejenak, ia melanjutkan seakan-akan 
baru sadar, "Ayolah. Apakah kita hanya akan duduk 
dan menangis? Kita harus menyapu ruangan dan 
memandikan jenazah untuk disemayamkan dalam 
kebesaran. Kita harus menyiapkan pemakaman yang 
pantas." 
Sementara keraton  memberikan perintah, Hide-
yoshi menghilang. Dalam cahaya lentera yang ber-
kelap-kelip, saat  orang-orang mulai bekerja dengan  
kaku, seseorang  menemukan sepucuk surat yang 
ditinggalkan ngabehi  di bawah  bantalnya. Surat itu 
ditujukan pada keraton , ditulis dua hari sebelumnya. 
Mereka mengebumikan ngabehi  di Bukit tengkorak. 
Tiupan angin musim gugur menambah suasana pilu. 
keraton  memperlihatkan surat terakhir ngabehi  pada 
patih ronggolawe . Isinya tidak menyangkut dirinya; ngabehi  
menulis mengenai patih ronggolawe , dan  rencana-rencana-
nya untuk masa depan. Sebagian surat itu berbunyi 
demikian: 
 
Kalaupun tubuhku hancur dan tinggal tulang-belulang di 
dalam tanah, jika tuanku tidak melupakan ketulusanku 
dan mengenangku walau hanya sesekali, jiwaku akan terus 
berembus dan takkan berhenti mengabdi, bahkan dari dalam 
liang kubur. 
 
sebab  beranggapan bahwa jasa-jasanya tidak 
memadai, namun tanpa menyesali kematiannya yang 
dini, ngabehi  menanti ajal dengan berpegang pada 
  
kepercayaan bahwa ia akan terus mengabdi junjungan-
nya, meski yang tersisa dari dirinya hanyalah tulang-
belulang yang sudah  memutih. Kini, pada waktu 
patih ronggolawe  merenungkan perasaan ngabehi  yang paling 
dalam, mau tak mau ia menitikkan air mata. Tak 
peduli betapa ia berusaha mengujawa  diri, ia tak kuasa 
membendung tangisnya. 
Akhirnya keraton  berkata dengan tegas. "Tuanku, 
seyogyanya tuanku tidak terus berduka seperti ini. 
Hamba mohon tuanku sudi membaca sisa surat 
ngabehi  dan berpikir dengan kepala dingin. Yang 
Mulia ngabehi  sudah  menuliskan rencana untuk 
merebut benteng kota  Miki." 
Kesetiaan keraton  pada patih ronggolawe  tak tergoyahkan, 
namun  dalam situasi sekarang, nada suaranya menunjuk-
kan ketidaksabaran terhadap cara patih ronggolawe  mem-
perlihatkan sisi emosional wataknya.      
Dalam suratnya, ngabehi  meramalkan bahwa 
benteng kota  Miki akan takluk dalam seratus hari. namun  ia 
pun mewanti-wanti agar kemenangan jangan diraih 
dengan  serangan frontal, yang akan membawa   banyak 
korban di pihak mereka, lalu ia menuliskan rencana 
terakhir: 
 
Di benteng kota Miki, tak seorang pun lebih pandai mem-baca 
situasi dibandingkan  resi  Goto Motokuni. Dalam 
pandanganku, dia bukan prajurit yang menutup mata 
terhadap keadaan negeri dan menunjukkan kegagahannya 
dengan bertempur se-cara membabi buta. Sebelum operasi 
militer ini dimulai, aku beberapa kali berbincang-bincang 
  
dengannya di benteng kota mendutrejo, jadi dapat dikatakan 
bahwa kami sudah  menjalin hubungan baik. Aku sudah  
mengirim surat padanya, berisi desakan untuk menjelas-
kan keuntungan dan kerugian situasi saat ini kepada 
junjungannya, ki wirogeni. Jika Yang Mulia 
Nagaharu memahami ucapan Goto, matanya seharusnya 
terbuka, dan dia akan menyerah dan memohon damai. 
namun  agar rencana ini dapat berjalan, kita harus 
menunggu saat yang tepat. Menurutku, waktu yang paling 
tepat adalah pada akhir musim gugur, saat  tanah 
tertutup daun-daun kering, bulan tampak sepi dan dingin 
di langit, dan para prajurit musuh menundukkan sanak 
tauladan. Para prajurit di benteng kota Miki sudah terancam 
kelaparan. Mereka pasti sadar bahwa maut sudah  
mengintai, dan mereka tentu didera oleh kesengsaraan. 
Serangan besar-besaran pada saat itu hanya memberikan 
kesempatan yang baik untuk mati pada mereka. namun  jika 
kau menunda serangan dan, sesudah  memberi waktu pada 
mereka untuk berpikir dengan kepala dingin, mengirim 
surat untuk menjelaskan duduk perkaranya pada yang 
Mulia Nagaharu dan para pengikutnya, aku tidak ragu 
bahwa kau akan memperoleh hasil dalam tahun ini. 
 
keraton  menyadari bahwa patih ronggolawe  sangsi, apakah 
rencana ngabehi  dapai berhasil, dan kini ia me-
nambahkan pemikirannya sendiri. 
"sebetulnya  sudah dua-tiga kali ngabehi  me-
nyinggung rencana ini saat  dia masih hidup, namun  
selalu ditunda sebab  waktunya belum tepat. Dengan 
seizin tuanku, hamba setiap saat siap bertugas sebagai  
utusan untuk menemui Goto di benteng kota  Miki." 
  
"Jangan, tunggu," ujar patih ronggolawe  sambil meng-
gelengkan kepala. "Bukankah baru musim semi yang 
lalu kita memakai rencana serupa, yaitu mendekati 
salah seorang resi  di dalam benteng kota melalui 
kerabat tanah  pinisepuh ? saat  itu tak ada jawab an. 
Belakangan kita baru mengetahui bahwa pada waktu 
orang kita menyarankan ki wirogeni untuk 
menyerah, para resi  dan prajurit marah dan men-
cincangnya. Rencana yang ditinggalkan ngabehi  
sekarang kedengarannya sama saja. bukan? Dan kurasa 
memang sama. Kalau tidak ditangani dengan cermat. 
kita hanya akan memperlihatkan kelemahan kita dan 
tidak meraih keuntungan apa pun." 
"Bukan begitu, tuanku. Hamba kira ngabehi  justru 
menekankan pentingnya menunggu saat yang tepat. 
Dan hamba pikir saat itu sudah  tiba." 
"Kaukira sekarang  saat yang tepat?" 
"Hamba percaya sepenuhnya." Tiba-tiba mereka  men-
dengar suara-suara di luar. Selain suara para resi  
dan prajurit yang sudah biasa mereka  dengar, juga ada 
suara wanita lesbian . Suara itu milik adik ngabehi , Oyu. 
Begitu diberitahu bahwa kakaknya berada dalam 
kondisi kritis. Oyu bertolak  dari trowulan , hanya ditambah   
oleh  beberapa  pembantu. Dengan  harapan ia masih 
dapat menjumpai ngabehi  dalam keadaan  hidup, Oyu 
bergegas ke Bukit tengkorak, namun  semakin dekat ia ke garis 
depan, semakin berat medan yang harus ditempuhnya. 
Akhirnya ia terlambat. 
Di mata patih ronggolawe , wanita lesbian  yang kini mem-
  
bungkuk di hadapannya sudah  berubah sama sekali. Ia 
menatap pakaian Oyu dan wajahnya yang kurus, dan 
lalu , saat  ia hendak angkat bicara. keraton  dan 
para pelayan sengaja menarik diri untuk membiarkan 
mereka berdua. Mula-mula Oyu hanya bisa mencucur-
kan air mata, dan untuk waktu lama ia tak sanggup 
menatap patih ronggolawe . Selama operasi militer di provinsi-
provinsi Barat berlangsung, Oyu ingin bertemu 
dengannya, namun  kini, pada waktu berdiri di hadapan-
nya, ia hampir tak sanggup menghampiri laki-laki itu. 
"Kau sudah tahu bahwa ngabehi  sudah  tiada?" 
"Sudah." 
"Kau harus menerimanya. Tak ada yang dapat kita 
lakukan." Hati Oyu runtuh bagaikan salju yang men-
cair, dan ia tersedu sedan sampai tubuhnya ter-
guncang-guncang. 
"Hentikan tangismu; ini tak pantas." patih ronggolawe  
kehilangan kesabaran. Walau tak ada orang lain yang 
hadir, para pernbantu berdiri tepat di luar petak 
bertirai, dan ia merasa terpojok saat   membayang-
kan apa saja yang mungkin mereka dengar. 
"Mari kita pergi  ke makam ngabehi  bersama-sama," 
ujar patih ronggolawe , dan ia mengajak Oyu menyusuri jalan 
setapak di belakang perkemahan, yang menuju  
puncak sebuah  bukit kecil. 
Angin musim gugur bertiup dingin saat   mereka 
menuju  ke sebatang pobon cemara yang tumbuh di 
tempat terpencil. Di bawah nya ada gundukan 
tanah yang masih basah, berikut batu nisan. Biasanya, 
  
jika ada waktu senggang, selembar tikar digelar di kaki 
pohon cemara ini, dan keraton , ngabehi , dan  
patih ronggolawe  duduk bersama-sama, membahas masa lalu 
dan keadaan sekarang, sambil memandang bulan. 
Oyu menyingkap semak-semak, mencari kembang 
untuk diletakkan di atas makam. lalu  ia meng-
hadap gundukan tanah tadi dan membungkuk di 
samping patih ronggolawe . Air matanya sudah  berhenti. Di 
puncak bukit ini, rerumpuran dan pepohonan di 
akhir musim gugur memperlihatkan bahwa keadaan 
yang dihadapinya sekarang merupakan prinsip alam. 
Musim gugur berganti dengan  musim dingin, musim 
dingin berganti dengan musim semi alam tak 
mengenal duka maupun air mata. 
"Tuanku, hamba ada permintaan, dan hamba ingin 
menanyakannya di sini, di tempat kakak hamba ter-
baring." 
"Ya?" 
"Barangkali sanubari tuanku dapat memahaminya."  
"Aku memahaminya." 
"Hamba mohon tuanku sudi membiarkan hamba 
pergi. Jika tuanku berkenan meluluskan permohonan 
ini, hamba tahu bahwa kakak hamba akan merasa  
lega, walau sudah  berada di akhirat." 
"ngabehi  meninggal dengan pesan bahwa jiwanya 
tetap akan mengabdi dari liang kubur. Bagaimana 
mungkin aku bisa menutup mata terhadap sesuatu 
yang dicemaskannya saat   dia masih hidup? Ikutilah 
kata hatimu." 
  
"Terima kasih. Dengan seizin tuanku, hamba akan 
berusaha memenuhi permintaannya yang terakhir." 
"Ke manakah kau hendak pergi ?" 
"Ke sebuah kuil di salah satu desa terpencil." Sekali 
lagi Oyu meitikkan air mata. 
 

 
sesudah  memperoleh restu dari patih ronggolawe , Oyu 
menerima sejumput rambut dan  pakaian ngabehi . 
Tak sepantasnya seorang wanita lesbian  berlama-lama di 
perkemahan militerer, jadi keesokan harinya Oyu 
segera menghadap patih ronggolawe  dan memberitahunya 
bahwa ia sudah siap berangkat. 
"Hamba datang untuk berpamitan. Hamba mohon 
Yang Mulia mau menjaga diri baik-baik," katanya. 
"Kenapa kau tidak tinggal dua atau tiga hari lagi di 
sini?" tanya patih ronggolawe . 
Selama beberapa  hari berikut Oyu tinggal seorang 
diri di sebuah pondok terpencil, berdoa bagi arwah 
kakaknya. Hari demi hari berlalu tanpa kabar dari 
patih ronggolawe . Gunung-gunung sudah  diselubungi bunga 
es. Setiap kali turun hujan di awal  musim dingin ini, 
daun-daun berguguran. lalu , pada malam 
pertama bulan tampak jelas, seorang pelayan men-
datangi Oyu dan berkata, "Yang Mulia ingin bertemu, 
dan beliau menunggu Tuan Putri di makam Tuan 
ngabehi . Beliau juga minta agar Tuan Putri malam ini 
bersiap-siap berangkat." 
  
Persiapan Oyu untuk menempuh perjalanan tidak 
banyak. Ia menuju makam ngabehi  ditambah    Kumaraden karto 
dan dua pembantu lainnya. Pohon-pohon sudah  
kehilangan daun. Rerumputan pun layu. Seluruh 
bukit tampak gersang. Tanah kelihatan putih dalam 
cahaya bulan, seakan-akan dilapisi bunga es. 
Salah satu dari keenam pengikut yang menyertai 
patih ronggolawe  mengumumkan kedatangan Oyu. 
"Terima kasih atas kedatanganmu, Oyu," patih ronggolawe  
berkata dengan lembut. "Sejak pertemuan kita yang 
terakhir, aku begitu sibuk menangani masalah-masalah 
militer, sehingga tak sempat mengunjungimu. Akhir-
akhir ini udara sangat dingin, kau tentu kesepian." 
"Hamba sudah  bertekad menghabiskan sisa hidup 
hamba di sebuah desa terpencil, jadi hamba takkan 
kesepian." 
"Kuharap kau berdoa untuk arwah ngabehi . Tempat 
mana pun yang kaupilih sebagai tempat tinggal, aku 
tetap percaya bahwa kita akan berjumpa lagi," 
patih ronggolawe  berpaling pada makam ngabehi  di bawah  
pohon cemara. "Oyu, aku sudah  menyiapkan sesuatu 
untukmu di sana. Aku sangsi apakah aku akan 
mendengar kemerduan koto-mu lagi. sesudah  malam 
ini. Bertahun-tahun lalu, kau menyertai ngabehi  dalam 
pengepungan benteng kota lawangpitu di blambangan . Kau me-
mainkan koto dan mencairkan hati para prajurit yang 
bertempur bagaikan iblis, sehingga mereka akhirnya 
menyerah. Kalau kau mau memainkannya sekarang, 
permainanmu akan merupakan persembahan bagi 
  
arwah ngabehi , sekaligus kenang-kenangan bagiku. 
Selain itu, jika nada-nadanya terbawa   angin sampai ke 
benteng kota, para prajurit musuh mungkin akan tergugah 
untuk menyadari bahwa kematian mereka kini sia-sia 
belaka. ngabehi  pun akan bersukacita seandainya 
usaha ini berhasil." 
patih ronggolawe  mengajak Oyu ke pohon cemara, tempat 
sebuah koto disiapkan di tikar jerami. 
 
sesudah  menghadap pengepungan selama tiga tahun 
dengan segenap keberanian dan ketulusan, kegagahan 
para prajurit provinsi-provinsi Barat, yang memandang 
rendah pada orang lain, kini tinggal bayang-bayang. 
"Aku tak peduli apakah aku mati hari ini atau 
besok, asal tidak mati kelaparan," salah satu dari 
mereka  berkata. 
Keadaan mereka demikian parah, sehingga mati 
dalam pertempuran merupakan harapan terakhir  
yang masih tersisa. Penampilan mereka  masih seperti 
manusia, namun kini mereka merasa terpaksa meng-
isap-isap sumsum tulang kuda-kuda yang sudah mati 
dan makan tikus, kulit pohon, dan akar-akaran. 
Untuk musim dingin yang sudah di ambang pintu, 
mereka sudah siap merebus tikar-tikar tatami dan 
makan tanah liat yang menempel di dinding-dinding. 
Dengan mata cekung, mereka saling menghibur, dan 
semangat mereka masih cukup guna menyusun 
rencana untuk melewati musim dingin sebaik 
mungkin. Jika musuh mendekat, mereka bahkan 
  
sanggup melupakan rasa lapar dan lelah, dan keluar 
untuk bertempur. 
Namun sudah lebih dari setengah bulan para 
prajurit patih ronggolawe  tidak mendekati benteng kota, dan ini 
lebih menyiksa centeng  yang bertahan dibandingkan  
bayangan kematian. Pada waktu matahari terbenam, 
seluruh benteng kota diselubungi kegelapan pekat bagaikan 
di dasar rkertoarjo . Tak satu lentera pun dinyalakan. 
Seluruh persediaan minyak ikan dan minyak lobak 
sudah  dihabiskan. Sebagai  makanan. Banyak burung 
yang biasa berkerumun di pekarangan benteng kota pada 
pagi dan malam hari sudah  ditangkap dan disantap, 
dan belakangan ini burung-burung yang masih tersisa 
tak pernah  datang lagi, mungkin sebab   mengetahui 
nasib yang menanti mereka. Para prajurit sudah 
makan begitu  banyak burung gagak, sehingga hampir 
tak ada lagi yang dapat mereka tangkap. Di tengah 
kegelapan, mata para penjaga berbinar-binar kalau 
mendengar musang menyelinap. Secara naluri, cairan 
lambung mereka mulai mengalir, dan mereka saling 
berpandangan sambil menyeringai. "Perutku serasa 
diperas, seperti  lap basah." 
Bulan malam itu tampak indah, namun  para prajurit 
hanya mcnyayangkan bahwa bulan tak dapat dimakan. 
Daun-daun mati berjatuhan ke atap benteng kota dan di 
sekitar gerbang. Salah satu prajurit mengunyah daun-
daun itu dengan rakus, 
"Enak?" rekannya bertanya. 
"Lebih baik dibandingkan  jerami," jawab  prajurit itu, lalu 
  
memungut daun berikut. Mendadak ia tampak mual. 
batuk beberapa kali, dan memuntahkan daun-daun 
yang baru saja dimakannya. 
"resi  Goto!" seseorang tiba-tiba berseru, dan 
semuanya berdiri tegak. Goto Motokuni, pengikut 
utama marga Bessho, berjalan ke arah para prajurit 
tadi dari menara yang gelap gulita. 
"Ada yang perlu dilaporkan?" Goto bertanya. 
"Tidak ada, Yang Mulia." 
"Betulkah?" Goto memperlihatkan sebatang panah 
pada mereka. "Panah ini ditembakkan ke dalam 
benteng kota  oleh musuh tadi. Sepucuk surat terikat pada 
panah ini, berisi pesan agar aku menemui salah satu 
resi  Yang Mulia patih ronggolawe , Kursinuhun  keraton , di 
sini." 
"keraton  mau datang malam ini! Laki-laki yang 
mengkhianati junjungannya demi orang-orang sinuhun . 
Dia tak pantas menjadi centeng adipati . Kalau dia muncul. 
kami akan menyiksanya sampai mati." 
"Dia utusan Yang Mulia patih ronggolawe , dan tidak 
seharusnya kita membunuh orang yang sudah  mem-
berita bukan kedatangannya lebih dahulu . Di kalangan 
centeng adipati  berlaku kesepakatan bahwa utusan tak boleh  
dibunuh." 
"resi  musuh mana pun yang datang. Sebagai  
utusan akan kami perlakukan dengan baik, asal bukan 
keraton . namun  dengan keraton , rasanya belum cukup 
kalau kami menggerogoti daging dari tulang-tulang-
nya." 
  
"Jangan perlihatkan perasaan kalian pada musuh. 
Tertawa lah pada waktu kalian menyambutnya." 
saat  Goto memandang ke dalam kegelapan, ia 
dan pihak anak buahnya seakan-akan mendengar 
bunyi sayup-sayup di  kejauhan. 
Sesaat  benteng kota Miki diliputi keheningan yang 
ganjil. Di malam yang sepekat tinta, rasanya tak 
seorang pun sanggup menarik napas, sementara daun-
daun gugur berputar-putar dan menari-nari tak 
beraturan dalam suasana gaib.  
"Suara kotor," salah satu prajurit berkata sambil 
menatap kehampaan di atasnya. 
Kegembiraan mereka hampir meluap saat   men-
dengar bunyi yang membangkitkan kerinduan itu. 
Orang-orang di menara pengintai, di ruang jaga, dan 
di setiap bagian benteng kota  memiliki pikiran yang sama. 
Di bawah  hujan panah, tembakan senapan, dan  
teriakan perang dari fajar sampai senja, dan dari senja 
sampai fajar orang-orang yang sudah tiga tahun 
berada di dalam benteng kota, terputus dari dunia luar, 
tetap bertahan dengan gigih, tanpa menyerah maupun 
mundur. Kini suara kotor tiba-tiba membangkitkan 
berbagai pikiran dalam benak masing-masing. 
 
Tanah Leluhur,  
Sudikah kau menanti 
Laki-laki yang tidak tahu  
Apakah malam ini  
Malam terakhir baginya 
 
  
Inilah sajak kematian Kikuchi Takejayawisesa , resi  
setia pengikut  Gsinuhun igo, yang dikirim kepada istrinya 
saat   ia dikepung centeng  pemberontak. 
saat  orang-orang di dalam benteng kota merenungkan 
sajak itu dalam hati, para prajurit yang berada jauh 
dari rumah tentu ada yang memikirkan ibu, anak, 
kakak, dan adik yang sudah lama tidak terdengar 
kabarnya. Dan para prajurit yang tak lagi memiliki 
tempat pulang pun ikut terpengaruh oleh  perasaan 
yang muncul  akibat nada-nada koto itu. Tak seorang 
pun sanggup membendung air matanya. 
Dalam hati Goto merasakan hal yang sama seperti  
anak buahnya, namun  saat  melihat roman muka para 
prajurit di sekelilingnya, ia cepat-cepat menahan diri. 
Ia sengaja bersikap ceria saat  menegur mereka. 
"Apa? Bunyi koto dari perkemahan musuh? Dasar! 
Untuk apa mereka membawa   koto? Ini membuktikan 
betapa lemahnya para prajurit musuh. Mereka tentu 
lelah sebab  pengepungan berkepanjangan ini, lalu 
mengambil pesinden dari salah satu desa dan berusaha 
menghibur diri. Prajurit yang membiarkan semangat-
nya begitu goyah tak patut diampuni. Jiwa prajurit 
sejati tidak selemah itu!" 
Ucapannya membuyarkan lamunan para anak 
buahnya. 
"dibandingkan  memperhatikan kebodohan seperti  int. 
lebih baik masing-masing orang menjaga posnya 
sendiri. Sebuah  benteng kota  mirip  tanggul yang 
menahan terjangan air lumpur. Tanggulnya panjang 
  
dan meliuk-liuk, namun  kalau satu bagian saja ambruk. 
keseluruhannya akan runtuh. Kalian semua  seharus-
nya berdiri tegak, bahu-membahu, tak bergerak 
bahkan saat ajal tiba. Kalau salah seorang dari kalian 
meninggalkan tempatnya, sehingga benteng kota Miki 
jatuh ke tangan musuh, leluhurnya akan meratap di 
akhirat dan keturunannya akan menanggung aib dan 
menjadi bahan tertawa an." 
Goto sedang membangkitkan semangat anak buah-
nya saat  ia melihat dua atau tiga orang berlari ke 
benteng kota. Mereka segera memberitahunya bahwa 
resi  musuh yang kedatangannya sudah  diumumkan 
sudah sampai di pagar kayu runcing di kaki bukit. 
keraton  tiba, diusung tandu. Tandunya ringan, ter-
buat dari kayu, jerami, dan bambu. Tak ada atap, dan 
kedua sisinya rendah, ia sudah  terbiasa mengayun-
ayunkan pedang dari atas tandu jika menggempur 
musuh dalam pertempuran. namun  malam ini ia datang 
dengan  maksud damai sebagai utusan. 
Di atas jubah tipis berwarna kuning. keraton  me-
makai baju tempur dan mantel dengan sulaman perak 
di atas dasar putih. Untung saja pertemananya kecil, 
sekitar seratus lima puluh tiga senti dan lebih ringan 
dari rata-rata, sehingga orang-orang yang menggotong 
tandunya tidak keberatan dan gerak-geriknya sendiri 
tidak terlambat. 
Tak lama lalu  terdengar suara langkah dari 
batik gerbang di pagar pertahanan. Sejumlah prajurit 
dari benteng kota  berlari menuruni lereng bukit. 
  
"Tuan Utusan. Tuan diperkenankan masuk!" 
mereka berseru. Begitu keraton  mendengar seruan 
keras itu, gerbang di hadapannya membuka. Dalam 
kegelapan ia melihat sekitar seratus prajurit saling ber-
desakan. Setiap kali mereka bergerak-gerak, kilau 
lombak-tombak mereka seakan-akan menusuk mata-
nya. 
"Maaf kalau kedatanganku merepotkan," keraton  
berkata pada orang yang mempersilakannya masuk. 
"Aku pincang, jadi aku terpaksa memakai  tandu. 
Maafkanlah sikapku yang kurang pantas ini," 
lalu  ia berpaling dan berkata kepada putranya, 
ki pakanewon, satu-satunya orang yang ikut ditambah   nya. 
"Kau jalan di depan." 
"Baik." sesudah  melewati tandu ayahnya, ki pakanewon 
menerobos barisan tombak musuh. 
Keempat pengusung mengikuti langkah Shoju-
maru. saat   melihat ketenangan yang diperlihatkan 
anak berusia tiga belas tahun itu dan  ayahnya yang 
pincang, para prajurit benteng kota  Miki yang haus darah 
dan kelaparan tak bisa marah, walaupun mereka ber-
hadapan dengan musuh. Kini mereka paham bahwa 
pihak musuh memiliki keteguhan dan kegigihan yang 
sebanding dengan keteguhan dan kegigihan mereka 
sendiri, sehingga sebagai sesama prajurit, mereka 
bersimpati dengan  para utusan. Anehnya, keraton  dan 
ki pakanewon bahkan menggugah perasaan mereka. 
sesudah  melewati pagar pertahanan dan gerbang 
benteng kota, keraton  dan putranya tiba di gerbang utama, 
  
tempat Goto dan centeng  pilihannya menunggu 
dengan acuh tak acuh.         
Sekarang aku mengerti bagaimana benteng kota Miki di-
pertahankan oleh orang-orang ini, pikir keraton . 
benteng kota ini takkan runtuh, walaupun mereka 
kehabisan perbekalan. Mereka akan bertahan, tanpa 
memedulikan harga yang harus mereka bayar. keraton  
melihat bahwa semangat tempur orang-orang itu tidak 
berkurang sedikit pun, dan beban tanggung jawab nya 
terasa semakin berat. Perasaan ini segera berubah 
menjadi keprihatinan mendalam atas situasi yang di-
hadapi patih ronggolawe . Tanpa bersuara keraton  mengulangi 
ikrarnya di dalam hati. Entah bagaimana caranya, namun  
misi yang diembankan padaku harus berhasil. 
Goto dan para anak buahnya terkejut oleh  sikap 
utusan yang mendatangi mereka. Inilah resi  
centeng  penyerang, namun  orang itu tidak menatap 
mereka dengan angkuh. Ia malah hanya ditambah   
seorang pemuda tampan. Bukan itu saja; saat   
keraton  menyapa Goto, ia cepat-cepat minta tandunya 
diturunkan, dan dengan berdiri di atas kedua kaki, 
menyapanya sambil tersenyum. 
"resi  Goto, aku Kursinuhun  keraton , dan aku datang 
sebagai utusan Yang Mulia patih ronggolawe . Aku merasa  
tersanjung bahwa semua orang keluar untuk 
menyambutku." 
keraton  sama sekali tidak bersikap tinggi hati. 
Sebagai  utusan musuh, ia memberi  kesan yang sangat 
baik. Ini mungkin sebab  ia mendekati mereka dari 
  
hati ke hati, tanpa memedulikan menang atau kalah, 
dengan pengertian bahwa ia dan para musuhnya sama-
sama centeng adipati . Namun alasan ini belum cukup untuk 
memaksa pihak musuh menerima tujuan kedatangan-
nya, yaitu membujuk mereka untuk menyerah. Sekitar 
satu jam keraton  berbicara dengan Goto di salah satu 
ruangan di benteng kota yang gelap gulita, lalu bangkit dari 
tempat duduknya sambil berkata, "Baiklah, aku akan 
menunggu jawaban pasti Tuan." 
"Aku akan memberikan jawaban pasti sesudah  berunding 
dengan  Yang Mulia Nagaharu dan para resi  lain," 
ujar Goto, dan ikut berdiri. Dengan demikian, pem-
bicaraan malam itu memberi kesan bahwa hasil 
negosiasi melebihi harapan keraton  dan patih ronggolawe  
namun  lima hari berlalu, lalu  tujuh, sepuluh, dan 
belum juga ada jawaban pasti dari benteng kota. Bulan Kedua 
Belas datang dan pergi, dan kedua centeng  yang 
bertikai menyongsong Tahun Baru ketiga dari 
pengepungan. Di perkemahan patih ronggolawe , para 
prajurit masih memiliki nasi untuk dimakan dan 
sedikit anggur  untuk diminum, namun  mereka tak dapat 
melupakan bahwa orang-orang di dalam benteng kota   
tidak memiliki  perbekalan dan hanya dengan  
susah payah menyambung nyawa  . Sejak misi keraton  di 
Bulan Kesebelas, benteng kota Miki tenggelam dalam 
kesedihan dan kesunyian. Konon para prajuritnya 
bahkan kehabisan peluru untuk menembak centeng  
penyerang. Namun patih ronggolawe  tetap menunda serbuan 
besar-besaran, dan berkata, "Barangkali mereka  
  
takkan bertahan lebih lama lagi." 
Kalau pengepungan ini dipandang sekadar sebagai  
adu ketahanan, posisi yang kini ditempati patih ronggolawe  
tak dapat dinamakan  sulit atau tidak menguntungkan. 
Namun sebetulnya  perkemahan di Bukit tengkorak 
maupun posisi patih ronggolawe  bukan bagian dari per-
juangannya sendiri. Pada dasarnya, ia menggempur 
salah satu mata rantai persekutuan musuh yang terdiri 
atas orang-orang yang menentang supremasi Nobu-
naga, dan ia sendiri tak lebih dari perpanjangan 
tangan aidit  yang mencari lubang untuk men-
dobrak barisan musuh yang mengelilinginya. sebab   
itu, lambat laun aidit  mulai bertanya-tanya 
mengenai operasi militer di provinsi-provinsi Barat 
yang tak kunjung berakhir. 
Dan musuh-musuh patih ronggolawe  dalam staf lapangan 
aidit  mulai mempertanyakan pilihan aidit  
dalam menentukan komandan. Mereka berkilah 
bahwa sejak  semula tanggung jawab  ini terlalu berat 
bagi patih ronggolawe . 
Untuk membuktikan perasaan mereka saingan-
saingan patih ronggolawe  menuduh bahwa ia menghambur-
hamburkan uang militer untuk meraih popularitas di 
kalangan rakyat setempat, atau ia tidak tegas melarang 
anggur  di perkemahan sebab   takut memancing antipati 
para prajurit. namun  apa pun yang dipertanyakan oleh  
para saingannya, segala urusan sepele yang tak pantas 
sampai di telinga aidit  terdengar juga di madukara  
dan dimanfaatkan untuk memfitnah patih ronggolawe . 
  
Namun patih ronggolawe  tak pernah memedulikan 
gunjingan mengenai dirinya. Tentu saja ia pun 
manusia biasa yang memiliki perasaan seperti  semua  
orang lain, dan ia juga bukannya tidak mengetahui 
desas-desus yang beredar: ia hanya tak mau dipusing-
kan oleh  hal-hal seperti ini. 
"Urusan sepele setiap urusan sepele," ia biasa ber-
kata: "Kalau diselidiki, semuanya akan jelas dengan 
sendirinya." Satu-satunya hal yang membebani 
pikirannya adalah komplotan penentang aidit  
yang bertambah  kuat setiap hari. Marga patih yang 
memiliki kekuatan besar sedang membenahi, 
menyusun rencana dengan pihak ronggodwijoyo , ber-
hubungan dengan  marga mpu ireng  dan Hojo yang jauh 
di Timur, dan menghasut marga-marga di pesisir laut 
majapahit . Kekuatan mereka dapat dipahami dengan  
mengkaji posisi dimasireng  di benteng kota ponorojo , 
yang walau dikepung oleh centeng  utama aidit . 
belum juga berhasil ditaklukkan. 
sebetulnya  yang diandalkan Murashige dan 
marga Bessho bukanlah kekuatan mereka sendiri, 
maupun kekokohan tembok-tcmbok pertahanan 
scmata-mata. Tak lama lagi centeng  patih akan datang 
membantu! Sebentar lagi aidit  akan kalah! Inilah 
yang memicu  semangat mereka tetap tegak. Pada 
umumnya, masalah paling berat bukan musuh yang 
berhadap-hadapan langsung dengan aidit , me-
lainkan musuh yang menunggu dalam bayang-bayang. 
Pihak ronggodwijoyo  dan patih memang musuh 
  
aidit , namun  dimasireng  di ponorojo  dan Bessho 
Nagaharu di benteng kota Miki-lah yang secara langsung 
merintangi ambisinya. 
Malam itu patih ronggolawe  tiba-riba memutuskan untuk 
menyalakan api unggun. Ia sedang melawan  udara 
malam yang dingin, saat  ia berbalik dan melihat 
para pelayan muda yang riang berdiri di dekat api. 
Mereka setengah telanjang dan meributkan sesuatu 
yang rupanya lucu bagi mereka. 
"Sakichi! ki pakanewon! Ada apa dengan kalian 
berdua?" tanya patih ronggolawe , hampir iri akan kegembira-
an mereka. 
"Tidak ada apa-apa." jawab  ki pakanewon, yang baru-
baru ini diangkat sebagai pelayan pribadi. Cepat-cepat 
ia berpakaian dan merapikan baju tempumya. 
"Tuanku." Sakichi menyela. "ki pakanewon malu hati 
mengemukakan masalah pada tuanku, sebab   
memang menjijikkan. namun  hamba akan angkat bicara, 
scbab kalau kami tidak memberitahukannya, tuanku 
tentu akan curiga."     
"Baiklah. Apa yang sedemikian menjanjikan se-
hingga ki pakanewon harus malu?" 
"Kami saling mencari kutu."  
"Kutu?" 
"Ya. Mula-mula salah satu dari kami menemukan 
seekor merayap di kerah baju hamba, lalu Toranosuke 
memperoleh  seekor lagi di dengan baju Sengoku. 
Akhirnya semua berkata bahwa yang lain terserang 
kutu, dan di tengah-tengah  seloroh itu, saat  kami 
  
datang ke sini untuk menghangatkan badan di dekat 
api, kami menemukan kutu merayap pada baju 
tempur semua orang. Sekarang kami mulai merasa  
gatal-gatal, jadi kami akan membantai seluruh centeng  
musuh. Kami akan melakukan pembasmian, persis 
seperti saat  Gunung brahma dibumihanguskan!" 
"Begitukah?" patih ronggolawe  tertawa . "Rasanya kutu-kutu 
pun letih sebab   terus dikepung." 
"namun  situasi kami berbeda dengan benteng kota Miki. 
Kutu-kutu ini tidak kekurangan perbekalan, jadi kalau 
kami tidak membakar semuanya, mereka takkan 
pernah  menyerah." 
"Cukup. Sekarang  aku pun mulai terserang gatal-
gatal." 
"Sudah lebih dari sepuluh hari tuanku tidak mandi. 
bukan? Hamba percaya tuanku pun tengah menghadapi 
serangan gerombolan 'musuh'!" 
"Cukup, Sakichi!" Seakan-akan hendak menambah 
kegembiraan para pelayan, patih ronggolawe  bergegas meng-
hampiri mereka dan mengguncang-guncangkan badan 
Sebagai bukti bahwa bukan mereka saja yang 
mengatasi masalah kutu. 
Tiba-tiba seorang prajurit mengintip dari luar 
kemah. "Apakah Tuan ki pakanewon ada di sini?" 
"Ya, aku di sini," balas ki pakanewon. Prajurit itu salah 
satu pengikut ayahnya. 
"Kalau Tuan tidak sedang sibuk melaksanakan 
tugas, ayah Tuan ingin bertemu." 
ki pakanewon minta izin pada patih ronggolawe . sebab   
  
permintaan ini kurang lazim, patih ronggolawe  tampak 
terkejut, namun  cepat-cepat memberikan persetujuannya. 
ki pakanewon segera pergi, ditambah   oleh pengikut 
ayahnya. Api unggun menyala di mana-mana, dan 
semua  kesatuan sedang  bergembira ria. Mereka 
sudah kehabisan makanan dan anggur , namun  sebagian 
suasana Tahun Baru masih terasa. Malam ini 
menandai hari kelima belas di Bulan Pertama. Ayah 
ki pakanewon tidak berada di perkemahan. Tanpa 
mengindahkan hkertoarjo  dingin, ia duduk di sebuah  
kursi, di puncak bukit yang jauh dari barak-barak 
darurat. 
Tak ada perlindungan dari terpaan angin dingin 
yang menusuk-nusuk kulit dan hampir membuat 
darah berhenti mengalir. namun  keraton  hanya me-
mandang ke dalam kegelapan. scolah-olah ia sebuah  
patung prajurit yang terbuat dari kayu. 
"Ayah, aku sudah datang." 
keraton  hanya bergerak sedikit saat  ki pakanewon 
melangkah ke sampingnya dan berlutut. 
"Kau sudah memperoleh izin dari majikanmu?" 
"Sudah, dan aku segera datang." 
"Kalau begitu, temani aku duduk di sini sejenak" 
"Baik." 
"Perhatikan benteng kota Miki. Bintang-bintang ter-
selubung awan  dan tak satu lentera pun menyala di 
dalam benteng kota, jadi kau mungkin tidak melihat apa-
apa. namun  kalau matamu sudah terbiasa dengan 
kegelapan ini, benteng kotanya akan tampak samar-samar." 
  
"Untuk inikah aku diminta datang?" 
"Ya," ujar keraton , sambil memberikan tempat 
duduknya pada putranya. "Selama dua atau tiga hari 
terakhir  aku mengamati benteng kota, dan entah kenapa 
aku memperoleh kesan bahwa sedang  terjadi sesuatu di 
dalamnya. Sudah setengah tahun kita tidak melihat 
asap, namun  sekarang ada sedikit, dan ini mungkin 
membuktikan bahwa hutan kecil yang mengelilingi 
benteng kota satu-satunya rintangan yang menghalangi 
pandangan dari luar sedang  ditebang dan dipakai  
Sebagai  kayu bakar. Kalau kau pasang telinga saat 
malam sudah  larut, kau akan merasa mendengar suara-
suara, namun  sulit untuk mengatakan apakah itu suara 
tangis atau tawa . Pokoknya, selama Tahun Baru sudah  
terjadi sesuatu yang tidak biasa di dalam benteng kota." 
"Ayah percaya?" 
"sebetulnya  tidak ada perubahan nyata, dan kalau 
aku ternyata keliru namun  sudah keburu mengumum-
kannya, orang-orang kita mungkin menjadi tegang 
dengan sia-sia. Itu mungkin merupakan kesalahan 
serius yang dapat menimbulkan saat lengah, dan 
kelengahan ini bisa saja dimanfaatkan oleh pihak 
musuh. Tidak, aku hanya duduk di sini memandangi 
benteng kota pada malam kemarin dan malam sebelumnya, 
dan aku merasa sedang terjadi sesuatu. Bukan 
memandang dengan  mata kepala, melainkan dengan 
mata batin." 
"Itu sulit sekali." 
"Ya, memang sulit, namun  bisa juga dianggap mudah. 
  
Kau tinggal menenangkan hati dan mengosongkan 
batinmu. sebab  itulah aku tak bisa memanggil para 
prajurit lain. Kuminta kau duduk di sini dan meng-
gantikanku untuk beberapa waktu." 
"Aku paham." 
"Jangan sampai tertidur. Kau memang diterpa angin 
dingin, namun  sesudah  terbiasa, kau akan mengantuk." 
"Aku takkan melakukan kesalahan." 
"Satu hal lagi. Segera lapor pada resi -resi  Iain 
begitu kau melihat api di dalam benteng kota, walau hanya 
sekilas. Dan kalau kau melihat prajurit musuh me-
ninggalkan benteng kota, nyalakan sumbu cerkertoarjo t, lalu lari 
menghadap Yang Mulia." 
"Baik." 
ki pakanewon mengangguk sambil menatap panah api 
yang tertancap di tanah di depannya. Situasinya 
lumrah untuk medan  tempur, namun  tak sekali pun 
ayahnya bertanya, apakah tugas itu berat atau 
menyiksa, dan keraton  pun tidak berusaha menenang-
kan anak itu. Namun ki pakanewon memahami bahwa 
ayahnya selalu berusaha menurunkan ilmu 
kemiliterannya, sesuai situasi yang tengah dihadapi. 
ki pakanewon merasakan pancaran kehangatan, bahkan 
dari balik sikap ayahnya yang teramat serius, dan ia 
menganggap dirinya sangat beruntung. 
keraton  meraih tongkatnya, dan sambil terpincang-
pincang menuju ke arah barak-barak. namun  ia tidak 
memasuki perkemahan, melainkan terus menuruni 
gunung seorang diri. Dengan cemas para pem-
  
bantunya bertanya ke mana ia hendak pergi . 
"Ke bukit-bukit di bawah ," keraton  menjawab  
singkat, dan walaupun harus bertopang pada 
tongkatnya, ia mulai menuruni jalan setapak dengan 
langkah yang hampir dapat dikatakan ringan. Orang-
orang yang semula menyertai keraton , patih Tahei dan 
Kuriyama Zensuke, segera menyusulnya. 
"Tuanku!'' patih memanggil. "Tunggu!" 
keraton  berhenti, memegang tongkat, dan menoleh  
ke arah mereka. "Rupanya kalian berdua?" 
"Hamba tercengang melihat kelincahan tuanku," 
ujar patih, tersengal-sengal. "Dengan  kaki tuanku yang 
cedera, hamba gelisah khawatir  tuanku akan celaka." 
"Aku sudah tcrbiasa berjalan dengan kakiku yang 
pincang," keraton  menampik sambil tertawa . "Aku 
hanya jatuh kalau aku mcmikirkan kakiku saat aku 
melangkah. Belakangan ini aku bisa bergerak lebih 
bebas. namun  aku tak ingin memamerkannya." 
"Tuanku sanggup melakukannya di tengah-tengah 
pertempuran?" 
"Kurasa tandu lebih baik untuk medan perang. 
Dalam pertempuran jarak dekat pun aku bebas meng-
genggam pedang dengan kedua tangan atau merebut 
tombak musuh. Satu-satunya hal yang tak dapat 
kulakukan hanyalah berlari maju-mundur. Jika aku 
duduk di tandu dan melihat gelombang prajurit 
musuh siap menerjang, aku dikujawa  oleh  gejolak tak 
tertahankan. Rasanya seolah-olah musuh akan 
mundur hanya dengan mendengar suaraku." 
  
"Ah, namun  keadaan sekarang sangat berbahaya. 
Bagian-bagian tebing yang terlindung dari matahari 
masih disdimuti salju, dan tuanku mungkin tergelincir 
dalam arus salju yang mencair." 
"Di bawah  sana ada sungai, bukan?" 
"Perkenankan hamba menggendong tuanku ke 
seberang." patih menawarkan  punggungnya. 
keraton  digotong menyeberangi sungai. Ke mana-
kah mereka  hendak pergi ? Kedua pengikut keraton  
tak punya bayangan sama sekali. Beberapa jam 
sebelumnya, mereka  melihat seorang prajurit datang 
dari pagar pertahanan di kaki gunung dan menyerah-
kan sesuatu yang tampak seperti surat pada keraton , 
dan tak lama lalu , mereka tiba-riba disuruh 
menyertai keraton , namun  tidak memperoleh  keterangan 
lebih lanjut. 
sesudah  perjalanan lumayan jauh, Kuriyama mulai 
menyinggungnya. "Tuanku, apakah komando pos jaga 
di kaki gunung mengundang tuanku malam ini?" 
"Apa? Kaukira kita diundang makan?" keraton  
terkekeh-kekeh. "Kaupikir perayaan Tahun Baru tak 
ada habis-habisnya? Bahkan Yang Mulia patih ronggolawe  
pun sudah tidak lagi mcngadakan upacara minum 
teh." 
"Kalau begitu, ke manakah kita pergi ?" 
"Ke pagar pertahanan di tepi Sungai Miki."  
"Pagar pertahanan di tepi sungai? Itu tempat 
berbahaya!" 
"Tentu saja berbahaya. namun  pihak musuh juga 
  
menganggapnya begitu. Di situlah kedua perkemahan 
bertemu." 
"Hmm, bukankah lebih baik kalau kita membawa   
lebih banyak orang?" 
"Tidak perlu. Pihak musuh pun tidak membawa   
rombongan besar. Kurasa kita hanya akan menemui 
seorang pembantu dan seorang anak kecil." 
"Anak kecil?"  
"Benar." 
"Hamba tidak mengerti." 
"Ikut sajalah. Dan jangan ribut. Aku bukannya tak 
mau memberi tahu kalian, namun  untuk sementara lebih 
baik kalau urusannya tetap kurahasiakan. sesudah  
benteng kota Miki takluk, aku juga akan menjelaskan 
duduk perkatanya pada Yang Mulia patih ronggolawe .' 
"benteng kota  Miki akan takluk?" 
"Apa jadinya kalau tidak? Pertama-tama, kemung-
kinan besar musuh akan menyerah kalah dalam dua 
atau tiga hari mendatang. Mungkin bahkan besok." 
"Besok?" Kedua pengikut itu menatap keraton  
dengan mata terbelalak. Wajahnya tampak putih 
terkena pantulan cahaya dari air sungai yang jernih. 
Ilalang kering terdengar berdesir di tempat-tempat 
dangkal. patih dan Kuriyama berhenti sebab  ngeri. 
Mereka melihat sebuah sosok berdiri di antara ilalang 
di tepi seberang. 
"Siapa itu?" Kejutan berikut berbeda dari kejutan 
pertama. Sepertinya mereka berhadapan dengan 
resi  musuh yang berkedudukan tinggi, namun  orang 
  
itu hanya ditambah   satu pembantu yang menggendong 
anak kecil di punggung. Tak ada tanda-tanda bahwa 
ketiganya datang dengan maksud buruk. Sepertinya 
mereka sedang menunggu kedatangan mmbongan 
keraton . 
"Tunggu di sini," keraton  memerintahkan. 
Dengan taat kedua pengikutnya memperhatikan 
majikan mereka menjauh. 
saat  keraton  mulai berjalan, musuh yang berdiri 
di tengah ilalang pun maju satu-dua langkah. Begitu  
mereka dapat saling melihat dengan jelas, keduanya 
menegur sapa, seakan-akan mereka sahabat lama. 
Seandainya pertemuan rahasia antarmusuh di tempat 
seperti ini sempat diaksikan oleh  orang lain, orang itu 
tentu akan mencium persekongkolan, namun  kelihatan-
nya keraton  maupun resi  musuh yang ditemuinya 
sama sekali tidak mengacuhkan pertimbangan se-
macam itu. 
"Anak yang hendak kutitipkan pada Tuan berada di 
punggung laki-laki itu. Pada waktu benteng kota  akhirnya 
takluk dan aku menemui ajal di medan tempur besok, 
kuharap Tuan tidak menertawa kan kasih sayang 
seorang ayah. Dia anak kecil tak berdosa dan masih 
begitu polos." Inilah resi  musuh, komandan 
benteng kota  Miki, Goto Motokuni. Ia dan keraton  kini 
berbicara dengan akrab, sebab  baru pada akhir 
musim gugur tahun lalu keraton  mendatangi benteng kota   
Miki sebagai utusan patih ronggolawe , menyarankan agar 
mereka  menyerah. Pada waktu itu pun pembicaraan 
  
mereka berlangsung dalam suasana bersahabat. 
"Rupanya Tuan sudah  membulatkan tekad. Aku 
ingin bertemu dengannya. Suruh orang itu membawa  -
nya kc sini."  
saat  keraton  memberi  isyarat halus, pengikut 
Goto maju dari balik majikannya, melepaskan tali 
yang mengikat anak di punggungnya, dan menurun-
kan anak itu dengan  hati-hati. 
"Berapa  umurnya?"  
"Baru tujuh tahun." Pengikut Goto tentu sudah 
lama bertugas sebagai  pengasuh anak itu; ia menjawab  
pertanyaan keraton  sambil mengusap matanya yang 
berkaca-kaca, membungkuk satu kali, lalu mundur 
lagi. 
"Namanya?" tanya keraton , dan kali ini ayah anak 
itu yang menjawab . 
"Dia dipanggil Iwanosuke. Ibunya sudah  tiada, dan 
tak lama lagi ayahnya akan menyusul. Tuan keraton , 
aku mohon dengan sangat agar Tuan sudi menjaga 
masa depan anak ini." 
"Jangan gelisah khawatir . Aku pun seorang ayah. Aku 
memahami perasaan Tuan, dan aku akan memastikan 
dia dibesarkan di bawah  pengawasan ku sendiri. Kalau 
dia sudah  dewasa kelak, nama marga Goto takkan 
lenyap dari muka bumi," 
"Kalau begitu, besok aku bisa menyambut maut 
tanpa penyesalan." Goto berlutut dan mendekap 
putranya. "Perhatikan baik-baik apa yang dikatakan 
ayahmu sekarang. Umurmu sudah tujuh tahun. Putra 
  
centeng adipati  tak pernah  menangis. Upacara akil baligmu 
masih jauh, dan kau masih merindukan cinta kasih 
ibumu dan ingin berada di sisi ayahmu. namun  kini 
dunia dilanda pertempuran. Kita tak kuasa mencegah 
perpisahan ini, dan sudah sewajarnya aku gugur ber-
sama junjunganku. namun  sebetulnya  nasibmu tidak 
terlalu malang. Kau beruntung bisa berada bersamaku 
sampai malam ini, dan untuk itu kau harus 
memanjatkan syukur kepada dewa-dewa langit dan 
bumi. Mulai sekarang, kau akan berada di sisi laki-laki 
ini, Kursinuhun  keraton . Tuan keraton  akan menjadi 
majikan sekaligus orangtua yang membesarkanmu, 
jadi kau harus taat kepadanya. Kau mengerti?" 
saat  ayahnya menepuk-nepuk kepalanya dan ber-
bicara dengannya, Iwanosuke berulang kali meng-
angguk sambil membisu, sementara air mata mengalir 
di pipinya. Nasib benteng kota Miki kini sudah jelas. 
Semua orang di dalam benteng kota, yang berjumlah 
beberapa ribu, tentu saja berikrar untuk gugur ber-
sama junjungan mereka, dan sudah  bertekad untuk 
menghadapi kematian dengan gagah berani. Kemauan 
Goto sekeras batu karang, dan sekarang pun ia tak 
goyah sedikit pun. namun  ia memiliki putra yang masih 
kanak-kanak, dan ia tak sampai hati melihatlihat  
kematian seorang anak yang tak berdosa. Iwanosuke 
masih terlalu kecil untuk memikul beban sebagai  
keturunan centeng adipati . 
Selama hari-hari sebelum pertemuan ini, Goto 
mengirim surat pada keraton  yang walaupun berada 
  
di pihak musuh dipandangnya sebagai orang yang 
dapat dipercaya. Goto sudah  membuka hatinya pada 
keraton , memohon keraton  untuk membesarkan 
putranya. 
saat   menguliahi putranya yang masih kecil itu, ia 
menyadari bahwa saat perpisahan sudah  tiba, dan 
setetes air mata mengalir tanpa dapat dicegah. 
Akhirnya ia berdiri dan dengan tegas menyuruh 
Iwanosuke menghampiri keraton , seakan-akan hendak 
mencampakkan balita  malang itu. 
"Iwanosuke, kau pun harus memohon kemurahan 
hati Tuan keraton ." 
"Tenangkanlah pikiran Tuan," keraton  mepercayakan 
laki-laki itu saat  ia meraih tangan putranya. Ia 
memerintahkan salah satu pengikutnya untuk mem-
bawa   anak itu kembali ke perkemahan.  
Baru sekarang  kedua pengikut keraton  memahami 
maksud majikan mereka. patih mengangkat Iwanosuke  
ke punggungnya dan berangkat bersama Kuriyama. 
"Baiklah," ujar keraton . 
"Ya, inilah saat untuk berpisah." balas Goto. 
Ucapan dan tindakan tidak selalu berjalan seiring. 
keraton  berusaha mengeraskan hati dan pergi  
secepatnya, namun  walaupun ia menganggap ini sebagai  
tindakan paling baik, kakinya terasa berat melangkah. 
Akhirnya Goto berkata sambil tersenyum, "Tuan 
keraton , jika besok kita berjumpa di medan tempur, 
dan kita membiarkan ujung tombak kita menjadi 
tumpul sebab   perasaan kita, kita akan menanggung 
  
aib sampai akhir zaman. Kalau yang terburuk terjadi, 
aku takkan segan-segan memenggal kepala Tuan. 
Secmoga Tuan tidak lengah!" Ia menyemburkan kata-
kata itu sebagai ucapan perpisahan, lalu  
langsung berbalik dan berjalan  ke arah benteng kota. 
keraton  pun segera kembali ke Bukit tengkorak, 
menghadap patih ronggolawe , dan memperlihatkan putra 
Goto. 
"Besarkan dia dengan  baik." patih ronggolawe  berpesan. 
"Itu akan merupakan perbuatan amal. Dia kelihatan 
gagah, bukan?" patih ronggolawe  sangat sayang pada anak 
kecil, dan ia memandang wajah Iwanosuke dengan  
ramah dan menepuk-nepuk kepalanya. 
Barangkali Iwanosuke belum mengerti; usianya 
baru tujuh tahun. Ia berada di perkemahan asing 
bersama orang-orang asing, sehingga ia menatap segala 
sesuatu di sckelilingnya dengan mata terbelalak. 
Berthun-tahun lalu  ia akan meraih ke-
masyhuran sebagai prajurit marga Kursinuhun . namun  
sekarang ia hanya balita  cilik yang ditinggal seorang 
diri, hampir seperti kera gunung yang jatuh dari 
pohonnya. 
Hari yang dinanti-nanti pun tiba. benteng kota Miki 
akhirnya berhasil ditaklukkan. Hari itu hari ketujuh 
belas di Bulan Pertama tahun masa pemerintahan dinasti syailendra  Ke9. 
Nagaharu, adik laki-lakinya Tomoyuki, dan para 
pengikut seniornya membelah perut masing-masing, 
benteng kota dibuka, dan Uno Uemon menyampaikan 
surat penyerahan pada patih ronggolawe . 
 
  
Kami bertahan selama dua tahun dan sudah  mengerahkan 
segala daya sebagai prajurit. Satu-satunya hal yang tak tega 
kusaksikan adalah kematian beberapa ribu prajurit setia 
dan para anggota keluargaku. 
Demi para pengikutku aku memohon dan berbarap Tuan 
sudi memperlibatkan belas kasihan. 
 
patih ronggolawe  meluluskan permohonan jantan ini dan 
menerima penyerahan benteng kota Miki. 
 
  
Kaum mpu  
 
 
 
WALAUPUN patih ronggolawe  dan aidit  berdiam di 
tempat yang saling berjauhan, patih ronggolawe  merasa  
bahwa pengiriman berita secara berkala ke madukara  
merupakan salah satu kewajibannya sebagai  panglima 
perang. Dengan cara ini, aidit  memperoleh  
gambaran umum mengenai situasi di provinsi-provinsi 
Barat, sehingga ia merasa tenteram. 
sesudah  melihatlihat  keberangkatan patih ronggolawe  ke 
provinsi-provinsi Barat. aidit  menyambut Tahun 
Baru di madukara . Tahun Kesepuluh masa pemerintahan dinasti syailendra  sudah  tiba. 
Suasana Tahun Baru lebih semarak dibandingkan 
tahun lalu, dan perayaannya diiringi kecelakaan. 
Kejadian berikut tercatat dalam Riwayat Hidup 
aidit : 
 
saat  para pembesar provinsi, sanak saudara, dan orang-
orang lain berdatangan ke madukara  untuk menyampaikan 
ucapan selamat Tahun Baru kepada Yang Mulia, desakan 
massa begitu kuat, sehingga sebuah tembok runtuh dan 
banyak yang tewas tertimbun bebatuan yang jatuh. 
Kekacauan besar tak terelakkan. 
 
"Kenakan biaya seratus mon pada setiap tamu yang 
datang pada hari pertama, tanpa memandang siapa 
orangnya," aidit  memerintahkan pada malam 
Tahun Baru. "Sudah sewajarnya orang membayar 
  
pajak kunjungan, sebab  diperkenankan menghadap-
ku untuk mengucapkan selamat Tahun Baru." 
namun  bukan itu saja. Sebagai  imbalan atas pajak 
kunjungan yang dibayar, aidit  juga membuka 
bagian-bagian benteng kota  yang biasanya tertutup untuk 
umum. 
Tempat-tempat penginapan di madukara  sudah lama 
dipesan habis oleh para pelancong tamasya para 
pembesar, saudagar, cerdik pandai, dokter, seniman, 
pengrajin, dan  para centeng adipati  dari segala tingkatan. 
Semuanya tak sabar menanti kesempatan melihat Kuil 
Sokenji, melewati Gerbang Luar, dan menuju  
Gerbang Ketiga, lalu dari sana melintasi daerah 
hunian dan memasuki taman pasir putih, untuk 
lalu  menghaturkan selamat Tahun Baru pada 
junjungan mereka. 
Para pengunjung Tahun Baru menyusuri benteng kota, 
memandang ruang demi ruang. Mereka mengagumi 
pintu-pintu geser yang dihiasi lukisan tinggi sumbing Eitoku. 
terpukau oleh tikar-rikar tatami dengan  pinggiran 
berupa brokat blambangan , dan dibuat tercengang oleh  
dinding-dinding yang dipoles dan dilapisi emas. 
Para pengawal  menggiring massa keluar lewat 
gerbang istal, namun  tanpa diduga jalan mereka terhalang 
oleh aidit  dan beberapa  pembantunya. 
"Jangan lupa membayar sumbangan! Masing-masing 
seratus mon!" aidit  berseru. Ia menerima uang itu 
dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke 
belakang. 
  
Dengan cepat tumpukan keping uang di 
belakangnya mulai menggunung. Uang itu dimasuk-
kan ke dalam kantong-kantong oleh sejumlah prajurit, 
lalu diberikan kepada pejabat-pejabat yang berwenang 
dan dibagi-bagikan pada kaum papa di madukara . Jadi, 
dengan  hati senang aidit  membayangkan bahwa 
selama Tahun Baru tak ada yang perlu menahan lapar 
di madukara . 
saat  aidit  berbicara dengan pejabat yang 
bertugas mengumpulkan sumbangan, yang semula 
merasa  rikuh sebab  aidit  hendak melibatkan 
diri dalam kegiatan yang demikian kampungan, orang 
itu terpaksa mengakui. "Gagasan Yang Mulia sungguh 
cemerlang. Orang-orang yang mengunjungi benteng kota   
memperoleh  kisah yang dapat mereka ceritakan 
sepanjang hayat, dan orang-orang miskin yang mem-
peroleh 'sumbangan' akan menyebarkan beritanya. 
Semua orang menganggap keping-keping itu bukan 
uang biasa, melainkan uang yang sudah  tersentuh 
tangan Yang Mulia aidit , dan sebab   itu sayang 
dikeluarkan lagi. Mereka bilang akan memakai -
nya sebagai msinuhun l. Wah, para petugas pun merasa  
gembira. Hamba pikir kegiaran amal ini merupakan 
contoh baik untuk Tahun Baru berikut, dan untuk 
tahun-tahun mendatang." 
namun  di luar dugaan orang itu, aidit  
menggelengkan kepala dengan  dingin dan berkata, 
"Aku tidak akan melakukannya lagi. Membiarkan 
orang miskin terbiasa menerima sedekah merupakan 
  
kesalahan bagi orang yang memegang tampuk 
pemerintahan." 
 

 
Bulan Pertama sudah  berlalu setengahnya. sesudah  
perhiasan Tahun Baru dicopot dari pintu-pintu 
rumah, para warga madukara  menyadari bahwa sedang  
terjadi sesuatu begitu banyak kapal memuat barang 
dan berlayar setiap hari. 
Kapal-kapal itu, tanpa kecuali, berlayar dari bagian 
selatan danau ke arah utara. Dan ribuan bungkus 
beras dibawa   lewat jalan darat oleh  iring-iringan kuda 
dan gerobak yang panjang dan meliuk-liuk. Semuanya 
menuju  utara. 
Seperti biasa, jalan-jatan di madukara  dipenuhi oleh  
pelancong-pclancong yang berlalu-lalang dan para 
pembesar yang datang dan pergi. Tak satu hari pun 
berlalu tanpa kurir yang memacu kudanya, atau 
kedatangan utusan dari provinsi lain. 
"Kau tidak mau ikut?" aidit  berseru riang pada 
Nakagkertoarjo  Sebei. 
"Ke mana, tuanku?" 
"membawa   elang untuk berburu!" 
"Itu olahraga kesukaan hamba! Bolehkah hamba 
menyertai tuanku?"  
"Sansuke, kau ikut juga." 
Pada suatu pagi di awal  musim semi, aidit  
bertolak dari madukara . Rombongan yang menyertainya 
  
sudah ditentukan malam sebelumnya, namun  Nakagkertoarjo  
Sebei yang baru tiba di benteng kota ikut diajak, begitu  
juga putra dasna patih pitaloka , Sansuke. 
aidit  gemar berkuda, menyukai gulat sumo, 
berburu dengan elang, dan upacara minum teh, namun  
berburulah yang merupakan hiburan favoritnya. 
Seusai acara berburu, para penabuh dan pemanah 
selalu letih sekali. Kegiatan seperti ini mungkin 
dianggap sebagai hiburan, namun aidit  tak 
pernah mengerjakan sesuatu setengah-setengah. 
Dengan gulat sumo, misalnya, jika sebuah basho 
diadakan di madukara , ia akan mengumpulkan lebih dari 
seribu lima ratus pegulat dari gunungselatan, trowulan , Naniwa, 
dan provinsi-provinsi jauh lainnya. Para pembesar 
akan menonton beramai-ramai, dan aidit  pun 
seakan-akan tak jemu-jemunya melihatlihat  per-
tarungan demi pertarungan, walaupun malam sudah  
larut. Ia justru menunjuk orang-orang dari kalangan 
pengikutnya sendiri dan menyuruh mereka naik ke 
arena. 
Namun acara berburu ke Sungai Echi di Bulan 
Pertama itu tak lebih dari pesiar belaka, dan burung-
burung elang pun tak dilepaskan. sesudah  berhenti 
sejenak untuk melepas lelah, aidit  memberi 
perintah untuk kembali kc madukara . 
saat  rombongannya memasuki kota, aidit  
mengekang kudanya dan berpaling ke sebuah  
bangunan yang tampak asing dan dikelilingi 
pepohonan. Gesekan biola mengalun dari salah satu 
  
jendela. Mendadak aidit  turun dari kuda dan 
melewati pintu ditambah    sejumlah pembantu. 
Dua atau tiga mpu  Jesuit bergegas menyambutnya, 
namun  aidit  sudah melangkah memasuki bangunan 
itu. 
"Yang Mulia!" para mpu  berseru kaget. 
Inilah sekolah yang dibangun bersebelahan dengan  
Gereja Kebangkitan Yesus Kristus. aidit  merupa-
kan salah satu orang yang membantu pendirian 
sekolah itu, namun  segala sesuatu, mulai dari kayu untuk 
keperluan konsituksi sampai ke perlengkapannya, di-
sumbangkan oleh  para pembesar provinsi yang sudah  
beralih pada ajaran ilmu tenagadalam .  
"Aku ingin melihat bagaimana kalian mendidik 
murid-murid kalian," ujar aidit . "Kukira mereka  
ada di sini." 
Mendengar keinginan aidit , para mpu  
bersukaria dan saling memberitahu betapa besar 
kehormatan yang mereka peroleh. namun  aidit  
tidak memedulikan ocehan mereka, dan segera 
menaiki tangga. 
Terburu-buru, nyaris panik, salah satu mpu  men-
dahulu i aidit  ke ruang kelas, dan memberitahu 
para murid bahwa mereka  memperoleh kunjungan tak 
terduga dari seorang tamu agung. 
Bunyi biola mendadak berhenti, dan bisik-bisik 
para murid langsung dihentikan. Sejenak aidit  
berdiri di mimbar dan memandang berkeliling. 
Baginya sekolah itu sungguh ganjil. Kursi-kursi dan 
  
meja-meja di dalam ruang kelas tampak asing di 
matanya, dan di atas setiap meja ada sebuah buku 
pelajaran. Seperti bisa diduga, semua murid merupa-
kan putra para pembesar dan pengikut. Penuh hormat 
mereka membungkuk di depan aidit . 
Anak-anak itu berusia antara sepuluh dan lima 
belas tahun. Semuanya berasal dari keluarga ter-
pandang, dan pemandangan yang terlihat, yang di-
ilhami oleh kebudayaan Eropa yang asing namun 
menakjubkan, mirip  taman bunga yang tak 
tertandingi oleh sekolah kuil majapahit  mana pun di 
madukara . 
namun  pertanyaan mengenai sekolah mana ilmu tenagadalam  
atau zoroaster  yang menawarkan  pendidikan paling 
baik rupanya sudah  terjawab  dalam benak aidit , 
sehingga ia tidak kagum maupun terpesona pada apa 
yang dilihatnya. Ia meraih buku pelajaran seorang 
murid dari meja paling dekat, membolak-balik 
halamannya, lalu mengembalikannya pada pemiliknya. 
"Siapa yang memainkan biola tadi?" ia bertanya. 
Salah seorang mpu  berbicara dengan para murid, 
mengulangi pertanyaan aidit . 
aidit  segera paham. Baru sekarang para guru 
masuk ke ruang kelas, dan para murid memanfaatkan 
ketidakhadiran mereka untuk memainkan alat musik, 
berbincang-bincang, dan bercanda ria. 
"Jerome yang memainkannya," ujar si mpu . 
Semua  murid menoleh  pada satu anak yang 
duduk di tengah-tengah  mereka. aidit  mengikuti 
  
arah pandangan mereka, dan matanya bertumpu pada 
seorang pemuda berusia empat belas atau lima belas 
tahun. 
"Ya. Itu dia. Itu Jerome." saat   si mpu  menunjuk-
nya, pemuda itu tersipu-sipu dan menundukkan 
kepala. aidit  sangsi apakah ia mengenalnya atau 
tidak. 
"Siapa Jerome ini? Putra siapakah dia?" ia kembali 
bertanya.  
Dengan keras mpu  tadi menegur anak itu. "Berdiri-
lah, Jerome. jawab  pertanyaan Yang Mulia." 
Jerome berdiri dan membungkuk. 
"Hamba yang memainkan biola tadi, Yang Mulia." 
Ucapannya tegas, tanpa merendah: kelihatan jelas ia 
keturunan keluarga centeng adipati . 
aidit  terus menatap mata Jerome, namun  
pemuda itu tidak mengalihkan pandangannya. 
"Apa yang kaumainkan tadi? Itu pasti musik bangsa 
barbar dari Selatan." 
"Ya, benar. Hamba memainkan Mazmur Daud," 
Pemuda itu tampak sangat gembira. Ia bicara 
demikian lancar, seakan-akan sudah lama menanti-
nanti kesempatan untuk menjawab  pertanyaan sepeni 
itu. 
"Siapa yang mengajarkannya padamu?" 
"Hamba belajar dari mpu  Valignani." 
"Ah. Valignani." 
"Yang Mulia mengenalnya?" tanya Jerome. 
"Ya, aku pernah  bertemu dengannya." balas 
  
aidit . "Di mana dia sekarang?" 
"Dia berada di majapahit  selama Tahun Baru, namun  
mungkin sudah bertolak dari Nagasaki dan kembali ke 
India lewat Macao. Menurut surat dari sepupu hamba, 
kapalnya seharusnya berlayar pada tanggal dua puluh." 
"Sepupumu?" 
"Namanya Ito Anzio," 
"Aku belum pernah mendengar nama itu 'Anzio'. 
Apa dia tak punya nama majapahit ?" 
"Dia kepribadian  Ito Yoshimasu. Namanya Yoshi-
kata." 
"Oh, begitu rupanya. Kerabat Ito Yoshimasu, 
penguasa benteng kota  Obi. Dan bagaimana denganmu?" 
"Hamba putra Yoshimasu." 
aidit  merasa  geli. saat   menatap pemuda 
lancang namun  menyenangkan ini, ia langsung mem-
bayangkan sosok ayahnya, Ito Yoshimasu yang ber-
cambang dan ugal-ugalan. Kota-kota benteng kota di pesisir 
Pulau Kyushu di bagian barat majapahit  berada dalam 
kekuasaan orang-orang seperti Oiomo, Omura, Arima, 
dan Ito. Dan belakangan ini daerah itu  mulai ter-
pengaruh kebudayaan Fropa. 
Apa pun yang dibawa   dari Eropa entah senjata api, 
mesiu, teropong, obat-obat dan alat-alat kedokteran, 
kulit, kain celup dan kain tenun, dan  barang-barang 
kebutuhan sehari-hari aidit  menerimanya de-
ngan rasa terima kasih. Ia terutama menaruh minat 
pada dan bahkan sangat menginginkan penemuan-
penemuan yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, 
  
ilmu bintang, dan kemiliteran. Namun sebaliknya ada 
dua hal yang ditolaknya mentah-mentah: ajaran 
ilmu tenagadalam  dan pendidikan ilmu tenagadalam . namun  jika kedua hal 
ini tidak diperkenankan kepada para misionaris, 
mereka takkan datang membawa   senjata, obat-desa guritan, 
dan kejaiban-kejaiban lainnya. 
aidit  menyadari bahwa ia perlu memelihara 
berbagai kebudayaan, dan ia sudah  mengizinkan pem-
bangunan gereja dan sekolah di madukara . namun  sesudah  
benih-benih yang dibiarkannya tumbuh bertunas, ia 
menggelisah khawatir kan masa depan murid-murid itu. Jika 
diabaikan terlalu lama, situasi ini tentu akan mem-
bawa   masalah. 
aidit  meninggalkan ruang kelas, dan oleh  
para mpu  ia dituntun ke sebuah  ruang tunggu yang 
nyaman. Di sana ia duduk di kursi berwarna-warni 
dan berkilau-kilau yang disediakan khusus bagi tamu 
agung. Para mpu  lalu mengeluarkan teh dan 
tembakau dari negeri asal mereka, yang begitu  mereka  
banggakan, dan menawarkan nya pada aidit , namun  
aidit  tidak menyentuhnya. 
"Putra Ito Yoshimasu baru saja memberitahuku 
bahwa Valignani berlayar dari majapahit  bulan ini. 
Apakah dia sudah berangkat?" 
Salah seorang mpu  menjawab , "mpu  Valignani 
menyertai rombongan dari majapahit ." 
Rombongan?" aidit  tampak curiga. Kyushu 
belum berada di bawah  kekuasaannya, sehingga tidak 
mengherankan bahwa hubungan persahabatan dan 
  
perniagaan antara Eropa dan para pembesar dari 
pulau itu membuatnya bersikap waspada. 
"Menurut mpu  Valignani, jika anak-anak orang 
majapahit  yang berpengaruh tak pernah memperoleh  
kesempatan untuk melihat peradaban Eropa, 
hubungan niaga dan diplomatik takkan pernah  ter-
bentuk dengan baik. Dia menyurati raja-raja di Eropa 
dan  Sri Paus dan mcmbujuk mereka untuk 
mengundang rombongan dari majapahit . Yang tertua dari 
mereka yang terpilih untuk misi ini berumur enam 
belas tahun." 
lalu  ia menyebutkan nama-nama mereka. 
Hampir semuanya merupakan putra marga 
tcrpandang di Kyushu.  
Mereka pemberani." aidit  malah gembira 
bahwa serombongan pemuda yang paling tua baru 
berusia enam belas berlayar ke Eropa yang begitu  
jauh. Dalam hati, ia pikir ada baiknya seandainya ia 
sempat bertemu dengan  mereka, dan sebagai bekal 
bagi mereka, berbicara mengenai kepercayaan dan 
kepercayaannya sendiri. 
Mengapa para raja Eropa dan  orang seperti mpu  
Valignani begitu bersemangat agar anak-anak para 
pembesar provinsi mcngunjungi Eropa? aidit  
memahami tujuan mereka, namun  ia juga melihat 
maksud yang terselubung. 
"saat   bertolak  dari trowulan  untuk kunjungan ini, 
Valignani mengungkapkan penyesalannya... mengenai 
Yang Mulia."  
  
"Penyesalan?" 
"Bahwa dia kembali ke Eropa sebelum membaptis 
Yang Mulia."  
"Begitukah? Dia bilang begitu ?" aidit  tertawa . 
Ia bangkit dari kursi dan berpaling kepada pembantu-
nya. Orang itu membawa   elang yang bertengger di 
tangannya. "Kita sudah terlalu lama di sini. Mari kita 
pergi." 
Begitu  ucapan itu meluncur dari bibirnya, ia sudah 
menuruni tangga dengan langkah lebar. Di luar pintu 
ia segera menyuruh seseorang  mengambilkan kuda-
nya. Ito Jerome murid yang memainkan biola tadi 
dan  para murid lain berbaris di pekarangan sekolah 
untuk mengantar aidit . 
 

 
benteng kota di Nirasaki, ibu kota Kai yang baru, sudah  
rampung sampai ke dapur dan hunian para dayang. 
Tanpa memedulikan bahwa hari itu hari kedua 
puluh empat di Bulan Kedua Belas, tepat di akhir 
tahun, mpu ireng  mpu jengger  pindah dari loji abang , yang 
selama bergenerasi-generasi merupakan ibu kota para 
leluhurnya, ke ibu kotanya yang baru. Kemegahan dan 
keindahan kepindahan itu masih menjadi buah bibir 
para petani di sepanjang jalan. 
Mulai dari tandu untuk mpu jengger  dan istrinya dan  
dayang-dayang mereka, berlanjut dengan tandu untuk 
bibi dan purri bibinya, tandu para pembesar dan 
  
kerabat mpu ireng  berjumlah ratusan. 
Dari iring-iringan yang memukau ini para centeng adipati  
dan pengikut, para pembantu pribadi, para pejabat 
dengan pelana emas dan perak, hiasan kulit kerang, 
kemilau lapisan emas, payung-payung yang dibuka, 
para pemanah dengan busur dan tempat anak panah, 
gagang-gagang lombak yang mirip  hutan yang 
paling menarik perhaitan semua orang adalah panji-
panji marga mpu ireng . Tiga belas aksara kedhiri  tampak 
berkilau dengan warna emas di atas kain merah 
terang, berdampingan dengan bendera lain. Dua baris 
aksara emas tampak pada bendera panjang berwarna 
biru tua: 
 
Gesit bagaikan angin  
Hening bagikan hutan  
Panas bagaikan api  
Diam bagaikan gunung 
 
Semua orang tahu bahwa kaligrafi sajak ini merupa-
kan karya Kaisen, biksu kepala Kuil Erin. 
"Ah, sungguh menyedihkan bahwa jiwa bendera ini 
meninggalkan benteng kota di Tsutsujtgasaki dan ber-
pindah ke tempat lain." 
Semua orang di ibu kota lama tampak sedih. Setiap 
kali bendera dengan ucapan tunggawesi dan bendera 
dengan aksara-aksara kedhiri  dikibarkan dan dibawa   ke 
medan perang, para prajurit yang gagah kembali 
dengan membawa   kejayaan. Dalam kesempatan seperti 
itu, mereka dan para warga kota bersorak-sorai sampai 
  
serak, memekikkan teriakan kemenangan. Peristiwa-
peristiwa seperti itu terjadi di zaman mpu betarakatong , dan 
sekarang semuanya merindukan masa itu. 
Walaupun bendera dengan kata-kata tunggawesi tidak 
berubah secara fisik, orang-orang merasa bendera itu 
berbeda dengan yang kerap mereka lihai sebelumnya. 
namun  saat   rakyat Kai melihatlihat  harta yang luar 
biasa dan  persediaan amunisi dipindahkan ke ibu 
kota baru, berikut tandu-tandu dan pelana-pelana 
emas seluruh marga, dan iring-iringan kereta lembu 
yang meliuk-liuk sepanjang bermil-mil, maka pulihlah 
kepercayaan mereka bahwa Provinsi Kai tetap provinsi 
kuat. Perasaan bangga yang meliputi mereka sejak  
zaman mpu betarakatong  ternyata masih hidup dalam hati para 
prajurit dan orang kebanyakan. 
Tak lama sesudah mpu jengger  pindah ke benteng kota  di 
ibu kota baru, bunga-bunga prem berwarna merah dan 
putih di pekarangan mulai mekar. mpu jengger  dan 
pamannya, mpu ireng  Shoyoken, berjalan-jalan di kebun 
buah, tanpa memperhatikan kicauan burung. 
"Dia bahkan tidak datang untuk perayaan Tahun 
Baru. Dia mengaku sakit. Apa dia tidak mengirim 
kabar kepada Paman?" 
mpu jengger  berbicara mengenai sepupunya, kertoraharja  
wirajaya , penguasa benteng kota Ejiri. Oleh orang-orang 
mpu ireng , benteng kota yang terletak di perbatasan dengan 
kertanegara  itu dianggap sebagai titik strategis penting di 
daerah Selatan. Lebih dari setengah tahun sudah  
berlalu sejak wirajaya  terakhir kali mengunjungi 
  
mpu jengger , selalu berdalih bahwa ia sakit, dan 
mpu jengger  merasa  cemas. 
"Tidak, hamba rasa dia benar-benar sakit. Dia biksu 
dan dikenal jujur. Hamba kira dia takkan pura-pura 
sakit." 
Shoyoken merupakan orang yang amat baik hati, 
jadi jawab annya tak mampu mcnenteramkan pikiran 
mpu jengger . 
Shoyoken terdiam. 
mpu jengger  pun tidak mengucapkan apa-apa lagi, dan 
keduanya berjalan  sambil membisu. 
Di antara menara dan benteng kota dalam ada 
sebuah jurang sempit yang ditumbuhi berbagai jenis 
pohon. Seekor burung turun mendadak, seakan-akan 
jatuh dari langtt, mengepak-ngepakkan sayap, lalu 
kembali terbang. Secara bersamaan seseorang  
terdengar memanggil dari deretan pohon prem. 
"Yang Mulia! Yang Mulia! Hamba membawa   berita 
penting." Wajah pengikut itu tampak pucat. 
"Tenangkan dirimu. Seorang centeng adipati  mestinya 
sanggup menyampaikan berita penting dengan 
tenang," Shoyoken  memarahinya. Shoyoken  bukan 
sekadar menegur orang itu, ia juga hendak me-
nenangkan kepribadian nya. Tidak seperti biasa. 
mpu jengger  pun tampak pucat sebab   kaget. 
"Ini bukan urusan sepde. Beritanya sungguh 
penting, ruanku." balas Gcnshiro sambil menyembah. 
"brantas  damovija  dari Fukushima berkhianat!" 
"brantas ?" Nada suara Shoyoken  menunjukkan bahwa 
  
ia merasa  ragu, sekaligus ingin menyangkal kebenaran 
berita itu. Sedangkan mpu jengger , ia mungkin sudah 
menduga bahwa ini akan terjadi. Ia hanya menggigit 
bibir dan menatap pengikut yang bersujud di 
hadapannya. 
Degup dalam dada Shoyoken pun takkan mudah 
diredam, dan ketidaktenangannya terdengar dalam 
suaranya yang bergetar. "Suratnya! Mana suratnya!" 
"Kurir tadi berpesan bahwa urusannya begitu  men-
desak, sehingga tak ada waktu yang boleh  terbuang," 
ujar Genshiro, "dan bahwa kita akan menerima surat 
dari kurir berikutnya." 
Sambil berjalan dengan langkah lebar, mpu jengger  
melewati pengikut yang masih bersujud, dan berseru 
pada Shoyoken, "Kita tak perlu menunggu surat dari 
Goro. Dalam tahun-tahun terakhir sudah banyak 
tanda mencurigakan mengenai damovija  dan 
wirajaya . Aku tahu permintaanku ini sangat merepot-
kan, Paman, namun  aku sekali lagi memerlukan Paman 
sebagai  pemimpin centeng . Aku pun akan turut 
scrta." 
Sebelum dua jam berlalu, genderang besar di 
menara benteng kota baru berdentam, dan bunyi 
sangkakala berkumandang di kota benteng kota, menanda-
kan pengerahan centeng . Kembang-kembang prem 
hampir putih saat  senja musim semi yang penuh 
damai di provinsi pegunungan ini mulai berganti 
malam. centeng  Kai bertolak sebelum  hari berakhir. 
Dipacu oleh  matahari yang sedang terbenam, lima 
  
ribu orang berbaris di jalan raya Fukushima, dan 
saat  malam tiba, hampir sepuluh   ribu prajurit sudah  
meninggalkan Nirasaki. 
"Hah, malah kebetulan! Dia memperlihatkan pem-
berontakannya secara terang-terangan. Seandainya ini 
tidak terjadi, aku mungkin takkan pernah  memperoleh 
kesempatan untuk menghabisi pengkhianat yang tak 
tahu diri itu. Kali ini kita harus menumpas semua 
orang dengan kesetiaan mendua di Fukushima." 
Sambil melampiaskan kedongkolan yang begitu  
sukar dikendalikan, mpu jengger  bergumam-gumam 
sementara kudanya terus melangkah. namun  selain  
mpu jengger  hanya sedikit yang marah sebab   peng-
khianatan brantas . 
Seperti biasa, mpu jengger  penuh percaya diri. saat   
memutuskan hubungan dengan marga Hojo, ia mem-
bubarkan sebuah persekutuan tanpa memandang 
kckuatan marga yang sudah  memberikan dukungan 
begitu  besar kepadanya. 
Atas saran orang-orang yang mengelilinginya, 
mpu jengger  juga sudah  mengembalikan putra 
aidit  yang selama bertahun-tahun menjadi 
sandera pihak mpu ireng  ke madukara ; namun  dalam hati ia 
tetap memandang rendah pemimpin marga sinuhun  itu, 
lebih-lebih lagi pada prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo   di bratangbinangun. 
Sejak pertempuran di Nagashino, mpu jengger  sudah 
memperlihatkan sikap agresif ini. 
Seesngguhnya kekokohan semangat mpu jengger  
tanpa cela. Ia selalu berpikiran positif. Memang, 
  
kekokohan semangat merupakan zat yang seharusnya 
mengisi hati sampai meluap. Dan selama periode itu, 
yang ditandai oleh provinsi-provinsi yang saling ber-
perang, golongan centeng adipati  secara keseluruhan dapat 
dikatakan memiliki semangat sepertii itu. namun  dalam 
situasi yang kini dihadapi mpu jengger , orang sebaiknya 
mengandalkan kekuatan yang penuh kesabaran, yang 
sepintas lalu mungkin saja dianggap kelemahan. 
Unjuk kekuatan secara sembrono takkan dapat meng-
gertak musuh, bahkan sebaliknya, justru memperkuat 
semangatnya. sebab  alasan inilah kegagahan dan 
keberanian Karsuyori dianggap enteng oleh aidit  
dan mpu mojosongo . 
Dan bukan oleh mereka saja, musuh-musuhnya. Di 
provinsinya sendiri terdengar suara-suara yang ber-
harap mpu betarakatong  masih hidup. 
mpu betarakatong  berkeras menegakkan pemerintahan 
militer yang kuat di Kai, baik para pengikutnya 
maupun rakyat Kai merasa mereka akan aman selama 
mpu betarakatong   masih hidup, sehingga  mereka sepenuhnya 
bertopang pada dirinya. 
Dalam masa pemerintahan mpu jengger  pun, dinas 
militer, penarikan pajak, dan segala bidang pe-
merintahan lainnya tetap dijalankan berdasarkan 
hukum yang disusun oleh mpu betarakatong . Namun ada 
sesuatu yang hilang. 
mpu jengger  tidak tahu apa "sesuatu" itu. Sayangnya, ia 
bahkan tidak sadar bahwa ada yang hilang. namun  yang 
tidak dimilikinya adalah kepercayaan pada keselarasan 
  
dan  kemampuan untuk membangkitkan kepercayaan 
terhadap pemerintahannya. Inilah yang mulai me-
nimbulkan pertentangan dalam tubuh marga. 
Di zaman mpu betarakatong   ada hukum tak tertulis 
yang dianut oleh golongan atas maupun bawah , yang 
membuat mereka semua teramat bangga. Takkan 
pernah ada musuh yang diperkenankan menjejakkan 
satu kaki pun ke wilayah Kai. 
namun  kini perasaan was-was muncul  di mana-mana 
Rasanya tak perlu dijelaskan, semua orang menyadari 
bahwa kekalahan di Nagashino menandakan akhir 
sebuah  zaman. Bencana ini bukan semata-mata akibat 
kegagalan perlengkapan dan strategi centeng  Kai. 
Bencana ini disebabkan oleh kekurangan-kekurangan 
dalam watak mpu jengger ; dan orang-orang di sekitar-
nya bahkan rakyat kebanyakan, yang menganggapnya 
sebagai sokoguru mengalami kekecewaan yang luar 
biasa. mpu jengger , mereka menyadari, bukanlah 
mpu betarakatong . 
Meski brantas  damovija  menantu mpu betarakatong , ia ber-
komplot untuk mengkhianati mpu jengger  dan tak 
percaya bahwa mpu jengger  sanggup bertahan lama. Ia 
mulai menghitung-hitung prospek Kai di masa men-
datang. Melalui perantara di blambangan , sudah dua tahun 
ia diam-diam menjalin hubungan dengan aidit . 
centeng  Kai berpencar, membentuk sejumlah 
barisan, dan maju ke arah Fukushima. 
Para prajurit mdelngkah dengan mantap, penuh 
percaya diri. Acap kali mereka terdengar berkata, 
  
"centeng  brantas  akan kita injak-injak." 
namun  saat  hari demi hari berlalu, berita yang 
disampaikan ke markas besar tak dapat membuat 
mpu ireng  mpu jengger  tersenyum puas. Justru sebaliknya, 
laporan-laporan itu malah mencemaskannya. 
"brantas  tetap keras kepala." 
"Medannya berbukit-bukit, dan pertahanan mereka 
kuat, jadi barisan depan kita membutuhkan waktu 
beberapa hari untuk mendekat." 
Setiap kali mpu jengger  mendengar hal-hal seperti ini, 
ia menggigit bibir dan bergumam, "Kalau aku sendiri 
yang pergi  ke sana..." 
mpu jengger  memang cepat naik darah jika situasi 
perang tidak menguntungkan baginya. 
Bulan Pertama berlalu, dan kini hari keempat di 
Bulan Kedua. 
Berita mencemaskan sampai ke telinga mpu jengger : 
aidit  tiba-tiba memberi perintah untuk 
mengerahkan centeng  di madukara , dan ia sendiri 
bahkan sudah bertolak dari gunungselatan. 
Mata-mata lain pun membawa    kabar buruk: 
"centeng  prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  sudah  bertolak dari 
kertanegara ; centeng  Hojo Ujimasa sudah  berangkat dari 
Kanto; dan Kanapatih dwikerto  meninggalkan benteng kota-
nya. Semuanya menuju Kai, dan kabarnya centeng  
aidit  dan tungguljaya sudah  terpecah dua dan kini 
siap menyerbu. saat  hamba mendaki sebuah  
gunung tinggi dan memandang berkeliling, hamba 
melihat asap membubung ke segala arah." 
  
mpu jengger  merasa seperti diempaskan ke tanah. 
"aidit ! mpu mojosongo ! Dan Hojo Ujimasa juga?" 
Berdasarkan laporan-laporan rahasia itu, mpu jengger  
bagaikan tikus yang terperangkap. 
Menjelang matahari terbenam, berita baru tiba: 
centeng  Shoyoken sudah  membelot malam sebelum-
nya.  
"Tak mungkin!" ujar mpu jengger . Namun sesungguh-
nya itulah yang terjadi, dan berita-beita selanjutnya 
membawa    bukti yang tak dapat disangkal. 
"Shoyoken! Bukankah dia pamanku, dan termasuk 
pengetua marga? Apa-apaan dia meninggalkan medan  
tempur dan lari tanpa izin? Dan yang lainnya, cis. 
bicara tentang orang-orang durhaka itu hanya 
mengotori mulutku." 
mpu jengger  mencerca langit dan bumi, namun  seharus-
nya kemarahan itu ditujukan pada dirinya sendiri. 
Biasanya ia tidak lemah hati, namun  seseorang  dengan  
keberanian luar biasa pun mau tak mau merasa  ngeri 
aki