Tampilkan postingan dengan label putri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label putri. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Desember 2022

putri




  laki-laki  itu merapatkan tubuh ke dinding pondok. Hujan badai sudah  berhenti. namun  ia masih diliputi ketakutan yang belum pernah ia alami sebelum ini. Liar matanya menatap ke luar pintu pondok, mengawasi kegelapan malam yang seolah mengurung dan menjebak laki-laki  itu agar tidak sempat meloloskan diri dari perangkap dosa-dosa yang bertaburan di sekelilingnya. Kabut tipis datang bergulung gulung dari segala arah.  Bentuk dan datangnya merupakan suatu fantasi yang mengerikan, berdesah-desah, terkadang mengaum penuh misteri. Di dalam pondok kering. namun  kabut membuat sekujur tubuh dan sekitar balai balai bambu tem patnya meringkuk, lembab basah. Dingin terus-menerjang dari luar, didan i kehampaan malam yang semakin pekat.  
Sekelompok domba bergerak gelisah di dalam pondok sempit itu. Berdiri dempet satu sama lain untuk saling menghangatkan. Sekelompok kecil lainnya, terikat di luar pondok, mulai mengembik liar. Satu dua ekor malah menendang-nendangkan kaki ke dinding pondok, menimbulkan bunyi asing di tengah desau angin malam. laki-laki  itu menggigil.  Gigi bergemeletukan, biar ia sudah  semakin rapat di pojok balai-balai dan berusaha menjepit tubuh seekor domba gemuk dengan ke dua pahanya yang terjuntai ke tanah. Tiap sebentar ia mendongak lewat dinding pondok yang rendah. Meninjau ke bawah tebing di mana pondok itu terletak. Jalan lintas perkebunan di bawah pondok, hampir tidak terlihat oleh mata telanjang. Kabut seakan sudah  mengambil jalan itu dan membuangnya jauh-jauh, sehingga si laki-laki  semakin tersudut.  “ ... mana kendaraan itu ?” ia bersungut sendirian.  Gumam yang keluar dari mulut, menumbuhkan semangatnya. Tidak banyak, namun cukup untuk mengatasi rasa sepi. Takut-takut, ia keraskan suara. Berkata pada diri sendiri: “Mereka cuma terhalang badai. Percayalah. Mereka akan datang sebentar lagi!” Ya. laki-laki  itu berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa teman-temannya bukan melarikan diri. Mereka cuma terhalang di perjalanan. Mungkin sebab  jembatan rusak. Atau mobil mogok sebab  mesinnya dimasuki air. namun  semuanya akan beres. Tak 
lama lagi mereka akan datang, ia dan semua domba yang ada di dalam maupun di luar pondok, akan diangkut segera. Dijauhkan dari perangkap kabut yang menakutkan itu, lalu lalu  kembali berkumpul dengan keluarga, api tungku yang hangat, kopi kental yang nikmat, dan mungkin saja juga si Painah yang manis mau menemuinya, begitu mendengar kabar dia sudah punya uang.  Empat ekor domba tercecer di tengah jalan saat  hujan badai mulai turun. laki-laki  itu bersama salah seorang teman yang menggiringnya dari sebuah desa, tak punya waktu untuk mencari Mereka berdua menggiring domba lain menjauhi desa selekas mungkin sebab  hujan badai sudah  membangunkan seorang dua penduduk. Masih ada dua belas, paling tidak sepuluh ekor domba yang berhasil mereka giring. lalu  temannya pergi, sebab  setiba di pondok yang sudah ditentukan, kendaraan yang akan mengangkut mereka ternyata belum muncul.  “Akan kususul,” kata temannya.  Dan, temannya pun tidak muncul muncul, selama hujan badai yang menakutkan itu, dan selama malam semakin merangkak dan kini udara dinihari yang berbau kabut itu semakin menebal.  “Apakah ia tersesat ?” laki-laki  itu bergumam lagi.  Domba mengembik liar di sekitar pondok, begitu tiba-tiba sehingga laki-laki  itu terlonjak kaget. Apakah binatang-binatang 
itu mendengar bunyi mesin kendaraan ? Atau ada penduduk salah satu desa mengendap endap di luar pondok untuk menyergapnya? “Tak mungkin!” laki-laki  itu menjawab sendiri. “Tak ada yang memergoki kami ! Tak ada yang tahu !” dan memang itulah yang sebenarnya. Temannya punya ilmu sirep. Butir-butir pasir ditaburkan ke atap rumah penduduk yang kandang dombanya akan mereka satroni. lalu  binatang-binatang itu juga mereka sirep. Diberi rumput segar bercampur irisan bawang merah yang dicelupkan ke minyak kesturi. Tak seekor pun domba-domba itu membuat ulah bahkan mengembik waktu mereka keluarkan dari kandang masing-masing.  Lalu hujan badai itu turun.  Pengaruh sirep tertawar sedikit, dan binatang-binatang itu mulai ribut.  Empat hilang lenyap sebab nya. Berarti empat puluh ribu rupiah tidak akan dibayarkan tukang tadah di kota. Apa boleh buat. Masih tersisa, tarohlah sepuluh ekor, jadi seratus ribu rupiah masih mereka peroleh untuk dibagi-bagikan.  Dia akan memperoleh bagian sekitar tiga puluh ribu, mungkin kurang sedikit. Dari jumlah itu, ia masih harus membayar utang di warung bi Minah sebesar lima ribu. Jadi, Painah masih akan mendapat sekitar dua puluh ribu, paling sedikit. Janda itu akan  tertawa riang, membuatkan dia kopi kental, mengajaknya tidur dan minggu berikutnya akan resmi jadi isterinya. Keluarganya mungkin akan marah besar. namun  tak seorang pun berhak melarang dia. ia sudah membuntingi Painah, dan ia mencintai janda itu setengah mati. Terbayang mata Painah yang redup mengundang, tawanya yang sendu merayu, dan gerak pahanya yang menantang gairah.  laki-laki  itu tersenyum.  Sebentar cuma. lalu  senyumnya hilang, waktu samar-samar ia dengar suara bergemuruh. Bunyi mesin kendaraankah ? Atau sungai yang airnya tengah meluap. Ah, sungai jauh di sebelah utara. Sedang kendaraan bunyinya tidak bergemuruh seperti itu. Domba-domba yang berkelompok di luar apalagi di dalam pondok, bergerak liar dan mengembik riuh rendah. Aji sirep itu sudah  semakin tawar, dan kini domba-domba itu rupanya sudah  sadar kalau mereka tidak sedang ada di kandang yang semestinya.  Si laki-laki  menyingkirkan domba yang menghalangi jalannya, lalu melangkah ke luar pondok. Jalan di bawah masih gelap, berselimut kabut. namun  kabut itu kian menipis jua, dan satu dua sinar bintang di langit biru mulai menerawang dari celah-celah pucuk pepohonan yang menjulang. Diam sebentar mendengarkan, barulah laki-laki  itu mengetahui mengapa domba pada ribut dan apa kiranya yang tadi menimbulkan suara bergemuruh.  
Tanah di bawah kakinya, bergerak! Dinding pondok bergoyang perlahan. Atapnya lalu  rubuh tiba-tiba, diterjang angin keras yang meluncur dari atas bukit. Bersama kelompok domba itu, si laki-laki  lari menghindar. Serabutan. Sambil menghindar masih sempat ia raih salah satu ujung tali induk dan menyeret sekitar empat atau lima domba bersamanya. Namun sebatang pohon besar yang ia manfaatkan sebagai perlindungan, mulai pula bergerak.  laki-laki  itu panik.  Tanah basah bercampur pasir menerjang mukanya, ia mengelak, dan jatuh terguling ke bawah. Sebuah batu besar menahan tubuhnya jatuh lebih jauh, namun toh punggungnya terasa berderak. Mungkin ada tulangnya yang patah. Matanya sampai berair, menahan perih yang alang kepalang.  Dan saat  matanya ia buka, toh ia masih bersyukur.  Pondok tempatnya berlindung, hilang lenyap sudah.  Tanah datar tempat pondok itu terletak, sudah longsor seluruhnya, jatuh ke jalan di bawah tebing. Begitu pula pohon-pohon di sekitarnya, rubuh bertumbangan tak tentu arah. Suara hiruk pikuk yang beberapa saat sebelumnya melemahkan jantung, perlahan-lahan lenyap.  Nyalinya yang ciut, mekar sedikit demi sedikit.  
“Cilaka !” ia lalu  memaki, lesu, manakala ia sadari kelompok domba itu sudah tak kelihatan lagi. Mungkin terseret lalu tertimbun tanah longsor, mungkin pula ada yang melarikan diri. ia tidak berniat mengejarnya lagi. ia lebih mengutamakan keselamatan diri sendiri.  Painah akan marah sebab  ia tak membawa uang, namun  Painah pasti mengerti apabila mengetahui ada tulang puntungnya yang patah. ia mencoba duduk.  Sakit bukan main. Matanya berkunang kunang. Menunggu sebentar, mengatur nafas, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya sempoyongan. Punggung perih, dan toh ia kembali harus bersyukur, ia mampu berjalan, meski lambat dan tertatih-tatih, dan  siksaan di punggungnya kian reda. Jadi, tak ada tulang yang patah! Seekor domba mengembik lemah. Binatang itu sedang sekarat, tertimpa batang pohon. Ususnya terburai.  Gemetar dan pucat, laki-laki  itu menyingkir jauh-jauh. ia merangkak sepanjang tebing, mencari jalan turun ke bawah. Tak jauh dari bekas pondok itu sebelumnya berdiri, ia mendadak tertegun.  Tanah longsor itu meninggalkan suatu bidang lebar yang terbuka di bawah langit kelam. Di antara rubuhan pohon, batu-batuan dan rumput ilalang yang hampir tenggelam ditelan gundukan tanah 
yang berserakan, tampak benda-benda putih yang samar. Rembulan mulai muncul, dan kabut lalu  terbang menjauh. Si laki-laki  mendekat, ragu-ragu.  Membungkuk sedikit, memperhatikan. Lantas, berteriak kaget dan mundur beberapa tindak dengan wajah semakin pucat pasi.  Apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya, adalah beberapa potong tulang belulang manusia yang bersembulan dari dalam tanah. Sebuah tengkorak kepala terhantar di dekat sebatang pohon besar, dengan liang-liang mata menatap kosong ke arah si laki-laki . Yang lebih mengerikan ialah. tulang-belulang itu bergerak-gerak! Terangkat dari tanah, seakan melayang sebentar lalu  bergerak mengambang ke tempat datar terbuka di depannya. Waktu ia simak dengan sepasang mata melotot lebar, barulah ia ketahui apa sebabnya tulang belulang itu bergerak begitu aneh. Beberapa ekor kucing  beramai-ramai menggigit tulang lalu menggotongnya. kucing -kucing  berwarna coklat, hitam, dan besarnya luar biasa. Kucing yang paling galak pun akan berlari menghindar bila bertemu. kucing -kucing  itu besarnya melebihi kucing biasa, namun  tak lebih besar dari anak domba yang baru lahir. Makhluk-makhluk pengerat itu bekerja teratur, acuh tak acuh. Si laki-laki  yang terkesima, hanya tegak mematung. Menatap ta'jub campur ngeri. Kengerian itu kian menjadi-jadi, tatkala ia lihat 
lebih banyak ti kus yang muncul, besar kecil, semua menggotong tulang-tulang, besar kecil pula, dan paling akhir menyeret tengkorak dekat batang pohon ymy tumbang tadi.  Hanya dalam beberapa kejap mata, makhluk-makhluk itu sudah  menyelesaikan tugasnya. Kerangka manusia itu sudah  lengkap, dan tersusun menurut aturan yang semestinya. Tulang belulang besar, tulang belulang kecil, dan tengkorak. Kerangka itu seperti rebah dengan damai bersiram cahaya rembulan. Namun letak tengkorak kepalanya, dibuat sedemikian rupa - atau memang harus begitu ! -, sehingga menatap lurus ke mata si laki-laki .  Ingin rasanya ia menyebut nama Tuhan.  Malang, yang ke luar dari mulut si laki-laki , hanyalah seruan seram : “Ya, ampun - Apa ... apa yang...”  Kerangka itu berbaring diam.  Tengkorak itu, menatap diam.  Ternyata, pekerjaan belum rampung seluruhnya. Hal itu baru diketahui si laki-laki , saat  dengan ketakutan yang amat sangat ia bergerak mundur dengan niat lari terbirit-birit, menjauhkan diri. Niat, hanya niat belaka. sebab , ia tidak dapat lari sekarang.  Baru saja ia memutar tubuh, desis dan suara mencicit yang bergaung seram sudah  memenuhi udara di sekitarnya. Bau busuk tercium sangit, dan makhluk-makhluk coklat dan hitam sudah  
mengerubung dirinya. Belasan, puluhan, mungkin ratusan. Dan ratusan pasang mata kecil berwarna kemerah-merahan, berkilat tajam menatapnya. Ratusan taring-taring runcing, mengancam di antara misai-misai yang bergoyang.  “Hei. Mau apa - kalian ?” laki-laki  itu bersungut.  Kerubungan makhluk-makhluk itu bukannya kabur, malah semakin merapat setengah lingkaran, memaksa si laki-laki  bergerak mundur ... langsung ke arah kerangka itu terletak.  Dia mulai berteriak, takut : “Pergi ! Pergi ! Entah kalian ! Enyah - aku bukan - aku - !”  Kakinya menendang, ia jatuh. Tangannya mencakar, memukul, meninju.  Beberapa ekor makhluk itu terhenyak, mati. namun  lebih banyak yang datang mengurung, mengerat, menggerogoti, mencakar dengan kuku-kuku yang tajam dan berbau busuk. Darah merah membercik kian kemari. lalu  sesuatu terasa menusuk ke dalam dada, ke dalam lambung, ke dalam lambung, ke dalam rongga matanya.  laki-laki  itu memekik.  Angin malam berdesah, garang.  Kecuali bunyi angin, segala sesuatunya menyepi. Diam. Bahkan makhluk-makhluk berwujut kucing -kucing  besar kecil itu, pada  termangu, begitu kelejot-an dan peki si laki-laki  kian lemah lalu hilang, yang sudah menjadi mayat.  Mata tengkorak, menatap.  Lalu tiupan angin menggerakkannya sedikit. Gerakan yang mirip anggukan menyetujui, atau memberi tanda. Lalu makhluk-makhluk itu bergerak pula, serempak. Mereka tinggalkan mayat si laki-laki  yang sudah tercabik-cabik, lantas bergerak mendekati kerangka, mengitarinya sejenak dengan mata memerah saga dan kuku dan  taring memerah darah. kucing  yang terbesar lalu  merangkaki kerangka itu, menjatuhkan serpihan-serpihan jantung, paru-paru, ginjal dan darah yang menetes-netes di lambung dan  dada kerangka. Gerakan ini diikuti puluhan ekor kucing  lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti kerangka diikuti puluhan ekor kucing  lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti kerangka di sana-sini, nyatanya tidak. Mkhluk-makhluk itu justru mengolesi setiap potong tulang kerangka dengan darah segar yang terus menetes melalui moncong, taring dan misai mereka. Suatu saat, saat  rembulan semakin bersinar, dan saat  bintang gumintang pada berloncatan di langit biru kelam, makhluk-makhluk itu menjauhi kerangka, berbaring diam. Menunggu. Angin dingin bertiup perlahan, berdesah bersama suara-suara roh dari alam gaib.  Perlahan namun  pasti, wujut kerangka itu mengalami proses perubahan. Dari tulang belulang dan tengkorak yang terlantar, berubah jadi sesosok tubuh manusia. Betisnya ramping, pahanya bulat mulus, pinggang meliuk indah, dada membukit dengan putik-putik merah segar, leher jenjang, wajah cantik dengan rambut tebal hitam berkilauan.  Sisa-sisa kabut lalu  menari di sekitar tubuhnya, membentuk suatu wujut seperti gaun putih indah. Lalu payudara bulat merangsang itu, bergerak naik turun. Kelopak mata, mengerjap. Terbuka. Menatap kehidupan, yang suatu saat berakhir dan suatu saat bangkit.  Hidup dan kehidupan, yang sampai kapan pun akan tetap merupakan misteri alam yang sukar diungkapkan.    JALAN itu lengang. Bulan yang redup di langit seakan enggan meneranginya, sehingga radensoebandrio   dan teman-temannya, sesekali terpaksa menyalakan lampu senter untuk tidak sampai menginjak kubangan yang penuh lumpur bekas-bekas roda pedati yang lewat di jalan itu sepanjang hari. Sesekali butir-butir air jatuh dari atas.  radensoebandrio   tengadah. Hanya tampak dedaunan yang rimbun. Hitam dan gelap. Entah mengapa, ia menggigil. 
“Dingin !” sungut radensoebandrio  . “He-eh !” sambut seorang temannya. Yang lain cuma diam. Lalu sepi lagi. Bunyi cengkerik yang tadi bersahut-sahutan, perlahan-lahan berhenti ke mudian senyap sama sekali, saat  mereka sampai di dekat kali.  “ ... banjir lagi,” seseorang menggerutu. Yang lain mendehem. Dan serentak, seperti dikomando menoleh ke samping. Lewat batang dan rimbunan bambu, tampak aliran air sungai yang samar-samar. Deras sekali. Dan sedikit menderu.  “Tak ada yang hanyut hari ini ?” sungut radensoebandrio  .  “Kambing Uwa Enoh. Tiga ekor sekaligus,” sahut teman di sebelahnya.  “Kalau begitu kambingnya tinggal dua,” sungut radensoebandrio   lagi.  “Satu,” ralat temannya pula. Dan yang lain menambahkan : “Kan dua hari yang lalu kambing Wa Enoh yang terbesar dicuri orang.”  “Hem,” yang jalan paling belakang mendehem. “Lihay pencuri itu. Sudah beberapa kali ia beroperasi tanpa pernah kita pergoki. Rasanya aku sudah bosan begini. Meronda sampai subuh. Kehujanan. Kedinginan. Belum lagi perut keroncongan sebab  belum sempat makan saat  meninggalkan rumah.”  “Kita ke Posko saja,” kata yang terdepan.” Di sana kita masak kopi. Pak Haji tadi mengirimkan sebaskom ubi rebus !”  
Langkah-langkah mereka kian bergegas. Dan : “Aku mau ke kali dahulu  !” kata radensoebandrio  .  “Ngapain ?” yang terdepan bertanya tanpa me noleh.  “Ngosongin perut dahulu , agar ada persediaan untuk ubi rebus,” ia ingat betul, tempat paling dekat di mana ia akan buang hajat biasanya dipakai wanita lesbian -wanita lesbian  kampung mereka untuk mandi dan mencuci. Lalu ia melangkah tepi air yang menjilati tebing, melompati sebuah batu besar dan siap untuk ber-jongkok di atasnya. Pada saat itulah ia menangkap sebuah bayangan tak jauh di depan. Bayangan itu agak sedikit di tepi kali, dan saat  radensoebandrio   melihatnya bayang-bayang berwarna putih itu menghilang di balik sebuah pohon besar.  Jantung radensoebandrio   berhenti berdenyut. “Pencuri-kah ?” bisiknya dengan hati menggeletar, ia kancingkan kembali celananya. Dengan satu loncatan panjang, ia sudah  berada di atas tebing kali. ia tegak sebentar. Memperlihatkan. namun  bayangan itu tak muncul lagi. Debur jantung radensoebandrio   perlahan mereda. namun  ia belum yakin. Siapa tahu bayangan itu masih bersembunyi di balik pohon. Itu bukan ilusi, ia tahu betul.  Begitu jelas tadi ia melihat bayangan putih itu meloncat lalu menghilang di balik pohon kira-kira tiga meter di depannya. “Siapa di situ ?” radensoebandrio   memberanikan diri.  
Tak ada sahutan. radensoebandrio   melangkah. Satu. Dua. Tiga. Perasaannya mulai waswas. Entah mengapa. sebab  itu ia membuka mulut lagi : “Siapa di situ ?”  Tetap tak ada sahutan.  “Keluarlah cepat ! Biar aku tahu !” kata radensoebandrio   penuh ketakutan.  radensoebandrio   mencoba mengancam . “Kalau tak menjawab, aku akan berteriak. Biar teman-teman yang lain datang.”  Perlahan-lahan terdengar suara : “ ... aku.”  Denyut jantung radensoebandrio   mengencang lagi. Begitu halus suara itu. Mirip-mirip bisikan. “Aku siapa ?”  “Aku ! “ “Keluarlah ! Biarlah aku tahu !”  “Kang soebandrio  dong yang ke sini !”  Suara wanita lesbian  ! radensoebandrio   menjilat bibirnya yang terasa kering. Siapa wanita lesbian  itu ? Dan ngapain dia malam-malam begini ada di pinggir kali? Rumah yang terdekat letaknya lebih dari seratus meter dari tempat itu. Tadi ia tidak melihat obor. Atau melihat orang menuju tepi kali. Tak mungkin si wanita lesbian  jalan sendirian dalam gelap. Apalagi berada di dekat kali yang airnya tengah meluap.  “Apa kerjamu di sini ?” radensoebandrio   belum yakin. Takut dijebak.  
“Mau buang air.” “Hem, lalu ?”  “Akang datang. Aku malu, lalu sembunyi.”  “Sekarang keluarlah. Tak perlu lagi malu. Keluarlah, biar kutemani kau. Kau Marniah, bukan ?”  Angin dingin berhembus menyapu wajah radensoebandrio   saat  bayangan putih itu muncul perlahan-lahan dari balik pohon. Begitu perlahan, sehingga gerakannya seperti asap. Denyut jantung .radensoebandrio   benar-benar sudah tidak teratur, saat  di hadapannya berdiri seorang gadis bertubuh semampai, berpakaian putih polos yang menutupi seluruh tubuh dari batas leher sampai ... ah, sampai ke tanah.  radensoebandrio   heran. Baju wanita lesbian  itu tidak kotor walau menyapu tanah berlumpur. Dan lebih heran lagi, sesudah  melihat wajah yang putih kemilau dan tampak jelas di udara subuh yang remang remang itu.  wanita lesbian  itu bukan Marniah, anak pak Haji. namun  seorang wanita lesbian  yang tampak asing, namun seolah-olah ia kenal : “Akang lupa padaku ?” tanya si wanita lesbian  sambil  mendekati.  Hampir kaku seluruh tubuh radensoebandrio  . Kaku kedinginan.  “Eh ... eh, yyyaaa...,” jawabnya gagap.  “Ah, masa !” 
wanita lesbian  itu tersenyum. Manis sekali. Bibirnya tampak merah merekah. Lembu mempesona.  “Sss ... sung ... ggguh !”  “Ingat-ingat dong, kang soebandrio  !”  “Sssiii ... ssiaappa ?” “Aku nyi girah . nyi girah  !”  Dalam kekalutan pikiran dan keheranannya radensoebandrio   mencoba mengingat-ingat. Memang ia pernah mendengar nama itu. Seolah dekat sekali dengan dirinya. Dekat sekali dengan hatinya. Bagai kan nama itu pernah menjadi kekasihnya. Ataukah gadis idamannya ?  Sementara itu, si gadis sudah berada hanya di depan tubuhnya. Uap nafas gadis itu terasa hangat Wajah radensoebandrio   kembali bersemu merah, dialir darah. Dijelalatinya wajah gadis itu sepuasnya Matanya bersih dan besar. Bersinar tajam, namun  tampak menggairahkan. Jantung radensoebandrio   sudah tak bisa ia kendalikan lagi. Lebih-lebih saat  tangan si wanita lesbian  terangkat, perlahan-lahan mem belai pipi radensoebandrio  . “Kau tampan sekali, kang soebandrio ,” bisik si wanita lesbian .  “Ah,” hanya itu yang terucap di mulut radensoebandrio  .  “Yah. Kau tampan. Gadis-gadis seluruh kampung ini pun mengatakan bahwa kau jantan.”  
“Ah,” lagi, radensoebandrio   mendesah.  “namun  kau jahat, kang !”  Sepasang mata radensoebandrio   menyipit. Apa maksud si wanita lesbian  ? Ditelitinya wajah gadis itu. Tidak ada gambaran apa-apa untuk menguatkan kata-kata yang terucap dari bibirnya yang merah merekah. Malah wajah itu demikian lembut, hangat dan mempesona. Sehingga kejantanan radensoebandrio   seperti diumbang-ambingkan, digoda dan dipanas-panasi.  “Apa maksudmu T-” keberaniannya muncul kembali.  “Kau jahat. sebab  itu aku datang menemuimu malam ini.”  “Mau apa kau T,” suara radensoebandrio   melemah. Betapa tidak. Jari jemari gadis itu sudah  melepas kancing-kancing kemejanya. Dan perlahan lahan menggelitik dada radensoebandrio   yang berbulu. radensoebandrio   jadi gemas. Si gadis memekik halus, lalu  meronta-ronta.  “Kang, jangan !” namun  suara membantah itu bertolak belakang dengan tatap mata dan senyum di bibir. radensoebandrio   semakin menjadi nekad. Si wanita lesbian  menggeliat, dan perlahan-lahan membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. radensoebandrio   memandang dari atas, dengan mata nyalang dan lutut menggeletar.  “Kang soebandrio  ... ,” si wanita lesbian  memelas. radensoebandrio   tidak perduli lagi. Tak perduli siapa wanita lesbian  itu, mengapa ia berada di 
tempat itu, mengapa begitu mudah jatuh dalam pelukannya meski memang selama ini di kampung mereka radensoebandrio   dikenal sebagai seorang petualang wanita lesbian , ia tidak perduli mengapa baju si wanita lesbian  yang putih bersih tetap tidak kotor sesudah  berbaring di atas tanah berlumpur. Yang diperdulikan radensoebandrio   cuma dorongan dalam dirinya saja.   ORANG-ORANG yang tengah menyantap kopi panas dan ubi rebus di Posko HANSIP, tersentak saat  mendengar suara jerit yang menyayat di kejauhan. Laki-laki yang bertubuh paling besar dan selalu berada di depan sepanjang malam itu, serentak berdiri.  “Kalian dengar itu ?” bisiknya. Yang lain tak menjawab. Diam mendengarkan.  Lalu jeritan itu menggema lagi. Mirip raungan. Raungan yang tengah menghadapi kematian. Lalu seorang di antara yang duduk melemparkan ubi rebus di tangannya, berdiri dan berlari keluar.  “Itu suara si soebandrio  !” serunya.  “radensoebandrio   !” gerutu si lelaki bertubuh tinggi kekar yang pertama-tama berdiri. “Celaka. Boleh jadi pencuri itu ia pergoki!”  Mereka semua membayangkan kemungkinan itu. 
Selagi mereka berlari dahulu mendahului ke arah sungai di mana radensoebandrio   tadi mereka tinggalkan, benak mereka seolah-olah memadu dalam suatu bayangan. radensoebandrio   memergoki si pencuri yang sering mengganggu keamanan kampung mereka belakangan ini, radensoebandrio   tidak bersenjata. Dan si pencuri mungkin punya kapakkeramat . Atau pisau. Atau bambu runcing. Atau apa saja. Yang bisa menghantam radensoebandrio  .  “Cepat !” yang paling depan berseru. “Cepat ! Cepat !” yang lainnya dikomando, Ajaib, mereka mengucapkan kata-kata yang sama, dan mereka terus berlari dan berlari. Mereka sudah kecapaian, namun  tempat yang mereka tuju tak juga sampai-sampai. Mereka sadar mereka terus berlari, namun  betapa lamanya. Dan betapa jauhnya terasa.  Tempat yang tadi mereka tinggalkan jarak nya cuma sepuluh menit jalan kaki dari arah Posko, namun  dengan berlari, justru semakin lambat dan jauh. Sementara itu jerit dan raung itu menggema dan menggema terus. Jerit kesakitan, raung kematian.  “Celaka !” sungut orang yang bertubuh tinggi besar saat  raungan menggema di kesenyapan su buh itu perlahan-lahan mereda lalu  lenyap sama sekali. “Pencuri itu sudah  membunuhnya!”  Lalu dengan tiba-tiba, kekuatan mereka kembali pulih. Begitu jerit itu lenyap, begitu mereka mera sakan langkah-langkah kaki  mereka kian cepat dan hanya dalam beberapa detik mereka sudah  sampai di tempat di mana tadi radensoebandrio   mereka tinggal kan.  “soebandrio  ! radensoebandrio   !” mereka ganti berganti me manggil. Tidak ada sahutan. Yang ada hanyalal deru dedaunan bambu gemersik ditiup angin, lalu deru air yang mengalir ke hilir. Sorot lampu senter melonjak-lonjak ke sana kemari. Dari balik dedaunan bambu, ke batang-batang bambu. Dari tebing, kepermukaan air. Dari batu-batu di tengah kali, sampai tanah berlumpur di pinggiran. Dan seseorang tiba-tiba berteriak : “Itu dia !”  Yang lain menoleh. Dan sorot lampu senter seperti dikomando, bersatu padu ke arah sesosok tubuh yang menggeletak di bawah sebuah pohon bakau, di antara akar-akar raksasa yang bergantungan, menjuntai di atas tanah dan di permukaan air.  Nafas-nafas mereka mendadak berhenti saat  mereka kenali tubuh itu.  “radensoebandrio   !” seseorang berbisik. Sendu, dan mengerikan.    TUBUH itu polos. Pakaiannya bertaburan di sana sini. saat  sorot-sorot lampu senter didan i pekik-pekik tertahan memenuhi tempat itu, sesuatu berwarna putih tiba-tiba meloncat dari arah 
pangkal paha radensoebandrio   yang sudah diam tak berkutik. Tiba di tanah berlumpur, bayangan putih itu berhenti sejenak, ia menantang sorot lampu senter yang diarahkan padanya dengan mulut menyeringai. Tampak noda-noda darah di antara misai-misainya yang halus.  “kucing  putih!” seru orang yang menyenter benda itu. Dan sebelum ia dan  kawan-kawannya ingat untuk berbuat sesuatu, kucing  putih sebesar betis itu sudah  meluncur masuk dalam gelap, menghilang di antara akar-akar bakau sambil  mencicit-cicit nyaring. Bergidik bulu roma peronda-peronda malam yang hadir di situ..  “Lihat !” petugas ronda yang bertubuh kekar menyorotkan lampu senternya ke arah dari mana tadi kucing  putih itu bersembunyi sebelum loncat untuk menghilang. Semua mata tertuju ke arah paha radensoebandrio  .  Pekik-pekik tertahan sahut bersahut lagi. Hampir semua memejamkan mata sejenak, untuk dengan enggan membukakan-nya lagi dan melihat bahwa apa yang berada di depan biji mata mereka bukanlah impian buruk. Hampir seluruh bagian alat vital radensoebandrio   sebagai seorang lelaki, hancur.  Keempat orang peronda malam itu berjongkok serentak. Denyut nadi di tangan radensoebandrio   diperiksa. Juga jantung radensoebandrio   itu'ah, ia tiba-tiba mencium bau anyir. Matanya terbeliak waktu ia sadari bahwa mulutnya mencercah pada darah yang melelehi 
dada radensoebandrio  . Darah itu berasal dari lehernya. Waktu orang itu menyorotkan lampu senter di tangan, ia merasakan seluruh tubuhnya dingin dan kaku. Tenggorokan radensoebandrio   terbelah dengan kasar bagaikan dicabik-cabik oleh gigi-gigi yang runcing dan tajam-tajam.  Beberapa detik berlalu dengan kebisuan yang mencengkam dan mendirikan bulu kuduk. Hanya deru aliran sungai saja yang terdengar, diselingi oleh semilirnya angin yang menggeseki batang-batang dan dedaunan bambu sehingga menimbulkan bunyi yang tidak mengenakkan hati maupun telinga.  “Mari kita angkut ia ke rumahnya,” perlahan-lahan peronda yang paling besar tubuhnya membuka suara. Getaran suaranya terdengar jelas.  Juga saat  yang lain menggumam, tanda setuju. Gumaman-gumaman itu menggletar, seakan-akan tertahan di kerongkongan. Lutut dan tangan-tangan mereka pun terasa goyah waktu mereka sama-sama berjongkok lalu  ramai-ramai mengangkat tubuh radensoebandrio   yang sudah  menjadi mayat. Da lam samar-samar cahaya subuh, hati mereka agak menciut melihat sepasang mata radensoebandrio   yang terpentang lebar, seakan-akan melihat dan merasakan sesuatu yang mengerikan dan  membuatnya amat menderita.  Mereka berjalan dengan suara membisu menuju rumah keluarga radensoebandrio  . Meskipun begitu, semakin dekat ke rumah korban, 
semakin banyak juga orang yang mengiringi rombongan. Rupanya jerit dan raung radensoebandrio   sudah  membangunkan beberapa penduduk yang memberanikan diri keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ada belasan orang yang mengiringi mayat itu sampai dibaringkan di ruangan tengah rumah keluarganya.  “Panggilkan pak Lurah !” seseorang berseru.  Bersamaan dengan terdengarnya kokok ayam yang kian ramai bersahut-sahutan, maka di dalam rumah keluarga radensoebandrio   pun sahut bersahut pulalah suara jerit dan tangis yang pilu menyayat hati. Seluruh kampung gempar dengan tiba-tiba. Semua pintu dan jendela terbuka. Jalan-jalan desa menjadi ramai. Orang-orang berhamburan dan mengerumuni rumah dan halaman di mana jerit dan tangis kematian itu menggema berkepanjangan. Dan saat  pagi tiba, kerumunan itu mulai menipis dan tinggallah keluarga radensoebandrio   dan  anak-anaknya yang ada, termasuk keempat petugas ronda malam itu dan Pak Lurah yang khusus dipanggil untuk nenyelidiki sebab-sebab kematian radensoebandrio   yang demikian menyeramkan.  sesudah  memeriksa luka-luka di bagian kelelakian dan  tenggorokan radensoebandrio   yang sama-sama hancur, orang tua yang jenggotan dan ubanan itu mengeluh;  “ia bukan dibunuh orang !” Tertegak leher empat petugas ronda didekatnya. “Bukan dibunuh?” 
“Memang dibunuh. namun  bukan oleh manusia biasa !”  Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya sudah  pucat, semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan bayangan buruk yang munghuntui kepala mereka.  Sementara itu sedu sedan anak dan isteri radensoebandrio   semakin berderai mendengar keterangan si orang tua. Berapa menit pula lewat dalam ketegangan yang mencekik, sampai peronda bertubuh kekar itu membuka mulutnya lagi.  “Pak fredy krueger  bisa cari makhluk apa yang kira-kira membunuhnya ?”  “ ... sebentar,” sungut lurah yang dipanggil Pak fredy krueger  itu. ia sesaat taffakur, kumat kamit membaca se suatu lalu membelalakkan mata. Sorot matanya yang tajam ditujukan pada telapak tangan kanan radensoebandrio   yang sejak dibawa ke rumah ini tetap mengepal dan tak bisa dibuka. Tubuh Pak fredy krueger  bergidik sejenak, lalu  matanya terpejam lagi. Beberapa helaan nafas sesudah  itu ia menjadi biasa lagi. Sambil tersenyum penuh kemenangan, ia me-raba pergelangan tangan kanan radensoebandrio  . Dengan mengangkatnya sedikit, kepalan tangan kanan radensoebandrio   sudah  berada di depan mulutnya.  “Cuih !” ia meludah.  Semburan ludah itu membasahi jari jemari Mar soebandrio  yang sudah  memutih kebiruan. lalu  te lapak tangan Pak fredy krueger  yang 
satunya lagi diangkat melebar dan diputar-putarkan di atas kepalan tangan radensoebandrio  . Lalu, perlahan-lahan ia membuka satu per satu jari jemari yang mengatup keras itu hanya dalam waktu yang singkat dan sangat mudah kelihatannya, dibuka oleh Pak fredy krueger . ia membuka jari jemari radensoebandrio   seperti mengupas kulit pisang. Begitu telapak tangan radensoebandrio   mengembang terbuka, semua mata yang hadir terbelalak Tangani yang tadinya diduga berisi sesuatu yang berhasil direnggut oleh radensoebandrio   dari pembunuhnya sebelum ia menghembuskan nafas, ternyata memang berisi sesuatu. Bukan baju atau sesuatu yang menunjukkan benda itu sebagai milik pembunuh radensoebandrio   yang diduga oleh peronda-peronda sebagai pencuri yang akhir-akhir ini mengganas di kampung mereka; melainkan sebuah benda yang tidak mereka duga sama sekali.  “kuntum bunga !” sungut laki-laki bertubuh kekar, yang mencondongkan wajahnya ke depan begitu tangan radensoebandrio   mengembang terbuka. “nyi girah ,” sahut Pak fredy krueger  menambahkan . Dan masih segar dan baru. radensoebandrio   tidak merenggutkan ini dari pembunuhnya. namun  ia menerimanya secara baik-baik, lalu ia genggam kuat-kuat seakan tak mau melepaskannya lagi orang tua itu terdiam sejenak. Berpikir. Seperti tidak percaya pada diri sendiri lalu  ia melanjutkan : “Yah ... seseorang memberi kuntum 
nyi girah  ini pada radensoebandrio  , sebelum ia melaksanakan niat jahatnya.” “Seseorang ! Pencuri itukah ?”  Pak fredy krueger  geleng-geleng kepala. “Luka luka di tubuh radensoebandrio   adalah bekas-bekas gigitan. Dan gigi-gigi manusia tak mungkin membentuk cabikan-cabikan yang sedemikian rupa. Mestinya ini gigitan seekor binatang.” “Binatang !” sungut peronda bertubuh kekar. “ namun  Pak fredy krueger  bilang soebandrio  dibunuh oleh seseorang.” “Seseorang yang lalu  berubah jadi binatang,” sungut Pak fredy krueger . “namun  aku belum yakin benar. Ini cuma dugaanku saja.”  Terdengar seruan-seruan tertahan. Keluarga-keluarga almarhum yang tadinya bertangis-tangisan sudah  hilang sedu sedannya. Rupanya mereka pun mendengarkan pembicaraan itu, dan menjadi asyik sebab nya. Lupa bahwa salah seorang anggota keluarga baru saja meninggalkan mereka, dalam keadaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Berpasang-pasang mata yang terbuka lebar seperti mulut-mulut mereka yang melongo pertanda ta'jub dan ketidakpercayaan yang saling bercampur, tertuju ke arah Pak fredy krueger  yang memandangi para peronda didekatnya satu per satu. Yang dipandang menjadi gugup. Namun sinar mata pak fredy krueger  tidak menuduh. Melainkan memancarkan pertanyaan, yang lalu  dikuatkan oleh kata-
kata yang keluar dari mulutnya yang keriput: “ ... kalian tak melihat binatang apa yang ada di tempat kalian menemukan tubuh radensoebandrio   ?”  Sepi sejenak. Lalu : “kucing  !” keluar suara serempak.  “kucing  putih !” kata orang yang pertama-tama melihat makhluk yang meloncat dari arah paha radensoebandrio   saat  mereka temukan mayatnya. Dan dengan bernafsu ia meneruskan : “kucing  itu sempat menyeringai. Misai, tepi bibir dan gigi-giginya yang runcing, bergelimang warna merah. Warna darah.”  “Darah radensoebandrio   !” sungut pak fredy krueger . Mendengar itu, meledak pulalah tangis isteri, lalu  anak dan ditambah lagi oleh tangis wanita lesbian -wanita lesbian  lain yang hadir di ruangan itu. Semakin lama semakin tinggi lengking dan tangis itu, sehingga pak fredy krueger  dan para laki-laki lain cuma diam menunduk dengan wajah-wajah tubuh besar berbisik agak keras di dekat telinga pak fredy krueger : “Apakah kucing  itu yang membunuh radensoebandrio   ?”  Pak fredy krueger  mengangguk.  “namun  ... bagaimana mungkin ? Mestinya radensoebandrio   melawan. Dan... mengapa ia bertelanjang bulat ? Hanya si pencuri yang mungkin dapat melakukan hal serupa itu.” Orang tua itu memandangi peronda itu, juga yang lain-lainnya. sesudah  menarik nafas panjang ia bergumam. Lesu : “Pembunuh 
itu bukan pencuri. sebab  yang membunuh radensoebandrio   adalah seorang yang gemar pada bunga...”  “wanita lesbian  ?” mata si peronda menyipit. “Coba lihat keadaan radensoebandrio   saat  kalian temukan. Keadaan bajunya yang bertaburan dan tubuh radensoebandrio   yang kalian katakan basah oleh butir-butir keringat di antara darah-darahnya.” “Maksud bapak ... radensoebandrio   meniduri wanita lesbian  itu, lantas…”  “Lantas selagi korbannya terlena, wanita lesbian  itu merubah wujudnya jadi kucing  lalu  ... ah, sudahlah. Mengapa tidak kita cari saja sarang kucing  itu sebelum ia menjatuhkan korban lebih banyak?”   namun  yang tinggal di pinggir kali tempat mayat radensoebandrio   diketemukan, hanya sobekan-sobekan pakaian radensoebandrio  . Darah-darah yang berasal dari lu ka-luka gigitan di tenggorokan dan kelelakian cepat meski matahari baru saja muncul di ufuk timur. Yang anehnya, gumpalan darah yang sudah  membeku itu, warnanya hitam kebiruan.  “ ... warna berlumur dosa !” berbisik pak fredy krueger .  Empat orang laki-laki peronda tadi malam yang ikut bersamanya, saling berpandangan.  
“namun  sudahlah !” lanjut pak fredy krueger . “Toh soebandrio  sudah mati !”  Sementara laki laki yang lain mencari kalau ada jejak-jejak manusia atau pertanda-pertanda lain yang mencurigakan dan merupakan petunjuk apa atau siapa membunuh radensoebandrio  , maka laki-laki tua bertubuh kurus ceking dengan jenggotnya yang melambai-lambai ditiup angin, memperhatikan sebuah lubang kecil di bawah sebuah akar bakau.  “Ada yang bawa parang ?” tanyanya. Hampir berupa bisikan. sebab  yang lain-lain berpencar dan tekun dengan usaha masing-masing, pertanyaan itu tidak terjawab. Pak fredy krueger  mengulangi lagi, lebih keras : “Parang ! Ada yang bawa parang !?”  Barulah orang-orang yang berada di situ memperhatikan. Seseorang maju, menyerahkan sebuah kapakkeramat  panjang. namun  ditolak oleh Pak fredy krueger . Sambil tak melepaskan pandangannya dari bawah akari bakau, ia menggerutu: “Potong akar itu !”  Orang yang memegang parang, dengan heran menurutkan arah jari telunjuk pak fredy krueger . Di depan lubang menganga yang ia temui, sesaat ia coba meneliti ke dalam. “Ularkah di dalam ? Atau kedua-duanya ?”  “Potong !” teriak pak fredy krueger .   “Bret !” sekali tebas, akar bakau yang menjuntai itu jatuh menggelinding di tanah. Terdengar suara berisik, lalu lubang yang 
menganga itu membentuk warna yang lebih hitam. Sebelum si pemegang parang sadar apa yang ia lihat, pak fredy krueger  berseru lagi :  “Menghindar !”  namun  terlambat. Dari lubang yang menganga semakin lebar sesudah  akar bakau yang menutupinya jatuh, meloncat keluar beberapa benda hitami sebesar paha manusia. Orang yang memegang parang itu menjerit kaget dan ketakutan. Parang di, tangan bukannya ia pergunakan, melainkan ia lembarkan. Kedua lengan ia pergunakan menutup mukanya yang dihinggapi oleh benda-benda hitam yang tak lain dari kucing  besar dan mengerikan. Orang itu melolong dan meraung, ditolak oleh Pak fredy krueger . namun  kucing -kucing  itu semakin gencar menyerang tidak saja muka, namun  tangan, bahu, dada dan lehernya. Teman-temannya segera datang membantu. namun  mereka justru jadi sasaran serangan kucing -kucing  yang luar biasa besar dengan gigi-gigi yang tajam dan  runcing bagaikan gergaji pemotong kayu. Jerit dan lolong kesakitan segera menggema di sepanjang tepi sungai pagi hari itu.   PAK fredy krueger  cepat-cepat bersimpuh sementara keempat laki-laki lainnya panik dan kelabakan menghadapi serangan kucing -kucing  besar yang seolah-olah semakin banyak keluar dari lubang. 
Sementara jerit dan lolong kesakitan dan  raung amarah orang-orang itu memecah kesepian di pinggir sungai, pak fredy krueger  malah kumat kamit sambil sebentar-sebentar meludah ke kiri dan ke kanan, ia meludah terus dan terus, sampai kerongkongannya seperti sudah kering kerontang dan tenaga tuanya semakin menciut. Keringat membanjir di tiap pori-pori tubuhnya.  Lalu tiba-tiba, ya, tiba-tiba sekali : “Musnah !” ia berteriak melengking.  Suara mencicit yang riuh rendah dari kucing -kucing  itu, mendadak lenyap dan berganti dengan keheningan yang mencekam.  Angin pagi silir semilir dengan suara tenang. Gesekan bambu-bambu yang tertiup menimbulkan bunyi lembut. Deru air mengalir menggema perlahan. Lalu dedaunan yang entah dari mana munculnya yang bertebaran di sekitar keempat laki-laki yang kepayahan itu, satu per satu melayang dan jatuh ke bumi. Darah-darah berceceran di sana sini.  “ ... bukalah mata kalian !” suara pak fredy krueger  lembut.  Keempat lelaki yang semenjak mendapat serangan itu menutup mata takut digigit, perlahan-lahan membuka mata masing-masing. Samar-samar mereka melihat bayangan dedaunan bakau yang besar-besar jatuh bergelimpangan di tanah. Banyak di antaranya yang terpotong-potong dan tersobek-sobek.  
“... ke mana kucing -kucing  keparat itu ?” peronda yang terbesar tubuhnya bersungut-sungut sambil memegangi lengannya yang luka berdarah. Seluruh bajunya sobek dan hancur. Dari dadanya mengucur darah. Tampak luka-luka memanjang di sekitar dada yang bidang berbulu itu.  “kucing ?” pak fredy krueger  tersenyum halus. “Tidak ada seekor kucing  pun!”  Peronda-peronda itu saling berpandangan lagi. Benar-benar tidak percaya pada apa yang mereka dengar. Sampai seorang di antara-nya berteriak marah : “Lalu luka-luka di tubuh kami ini..?” sambil menampar pipi yang menunjukkan tanda-tanda yang ia katakan.  “Kalian mencakar diri kalian sendiri !”  “Mustahil !”  “Perhatikanlah kuku jari-jari tangan kalian.”  Sesaat keempat lelaki yang berpakaian compang camping sebab  robek-robek itu tertegun. Berpanjangan lagi, lalu  saling mengembangkan tangan memperhatikan kuku masing-masing. Mereka terpekik serempak.  “Lalu ... kucing -kucing  itu ... aku ingat aku ada menghancurkan beberapa ekor di antaranya,” bersungut-sungut laki-laki peronda yang bertubuh kekar itu.  “Kalian cuma menghancurkan dedaunan,” kata pak fredy krueger  sambil  menunjuk pada daun-daun bakau yang bertumpuk-tumpuk 
bergelimpangan di sekitar mereka. “Dedaunan yang. dibayang-bayangi oleh kekuatan sihir. Aku yakin kini. Semua ini pekerjaan seorang tukang teluh !” ia lalu  berdiri. Mengambil parang yang tergeletak di tanah dan dengan langkah yang tegap ia berjalan ke dekat lubang. Di sana ia meludah lagi. Ke kiri sekali, ke kanan sekali, dan ke dalam lubang dua kali.  “Kalian galilah lubang ini dahulu ,” perintahnya.  Orang-orang yang mengerubunginya mundur setapak.  “Jangan takut,” senyum pak fredy krueger . “Tak akan ada kucing -kucing . Tadi sebelum akar itu terpotong, aku melihat bayangan putih. Kukira kucing  yang kalian lihat subuh-tadi. namun  ternyata tidak. Galilah.”  Lubang itu ternyata tidak dalam. Tidak pula memanjang. Tiada ular. Ataupun kucing . Lubang itu tampaknya dibuat oleh manusia. Dan saat  tanah di sekitarnya sudah  terbongkar dengan mudah yang tampak hanyalah beberapa kuntum bunga nyi girah  yang masih segar segar dan baru dipetik.  “Seseorang meletakkannya di situ. Orang itulah yang membunuh radensoebandrio  ” berbisik pak fredy krueger .  Keempat laki laki lainnya memandang orang tua itu dengan penuh perhatian. Tak seorang pun yang berani membuka mulut Mereka sadar kini, bahwa mereka berada di tengah-tengah alam nyata dan alam gaib.  Mereka merasa sekujur tubuh mereka kesakitan. Rasa takut dan ngeri perlahan sudah hi-lang, namun belum semuanya. sebab  itu mereka cuma diam dan pasrah kepada pak fredy krueger , yang bersikap tenang dan hati-hati dalam melakukan segala tindakan.  “nyi girah ,” kembali suara pak fredy krueger  terdegar halus sekali, ia berpikir-pikir. Matanya terpejam lama. Menggelengkan kepala berulang-ulang. Meludah sekali. Lalu membuka matanya. Bertanya: “Ingatkah kalian ?”  “Ap-paaa ?, empat mulut lain serempak membuka.  “Si nyi girah  !”  Mereka menggelengkan kepala.  “Ah, orang-orang muda sekarang memang lekas pelupa. namun  yah ... seingatku, memang tidak seorang pun di antara kalian yang ikut terlibat dalam pembunuhan terhadap keluarga nyi girah .” Pak fredy krueger  sesaat menghela napas. “namun  radensoebandrio   ikut. Dan kini ia mati di tangan nyi girah , apakah si gadis cucu peneluh itu, mulai membalaskan dendam keluarganya ?”  Semua yang ada di situ tahu peneluh mana yang dimaksud pak fredy krueger .  Semua yang mendengar pada bergidik. Pucat. Hal itu tampak pula di wajah sang lurah, namun ia dapat menyembunyikan perasaan dengan tidak berkeluh kesah Jauh di sanubari, sebenarnya ia merasa kuatir.  “Aku pun terlibat” ia merintih. 
Tak lama. Wajahnya berubah cerah lagi, saat  ia teringat sesuatu. “Masih ada harapan,” pikirnya. “Aku harus menemui dia sekarang juga !” Lantas sesudah  mereka pulang ke rumah masing-masing dengan janji ia akan mengobati luka-luka mereka, ia berlalu.  Dengan kepala menekur. Dalam.    SEBENARNYA nyi kembang sari baru menginjak usia 36 tahun, seminggu sebelum mayat radensoebandrio   ditemukan. namun  tekanan bathin dan hati yang sudah lama terluka, memicu  wanita lesbian  itu tampak lebih tua sepuluh tahun. Tubuhnya kurus, dan gurat-gurat di beberapa sudut wajahnya menggaris semakin nyata dari tahun ke tahun. Namun begitu, di wajah dan potongan tubuhnya masih tertinggal sisa-sisa kecantikan yang pernah ia banggakan sebab  sempat membuat beberapa orang lelaki tergila-gila, ada yang sampai cerai dengan isterinya dan ada pula yang bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup - kecuali wanita lesbian  yang ia nikahi, nyi kembang sari.  Laki-laki itulah yang siang hari ini mengetuk pintu rumah nyi kembang sari di ujung desa. Suatu kehormatan dikunjungi orang 
paling mulia di desa mereka, namun toh nyi kembang sari menyambut pak fredy krueger  dengan sikap biasa, malah setengah tak acuh. Sebagai warga yang baik, ia mempersilahkan tamu nya masuk dan lalu  pergi ke dapur untuk membuatkan teh.  “ ... kau baik-baik saja, nyi kembang  ?” bertanya lurah desa, sesudah  mereka lalu  duduk berhadap-hadapan.  “Biasa saja, pak.”  “Kudengar kau sakit .”  “Dari dahulu  juga aku sudah sakit-sakitan, pak fredy krueger ,” wanita lesbian  itu mencoba tersenyum. Hanya keinginan untuk tidak mati sia-sia membuat ia tetap bertahan hidup, demikian yang tersirat di balik sinar mata nyi kembang sari.  Pak fredy krueger  menghela nafas panjang. Berkata, lirih : “Kau menyiksa diri sendiri, nyi kembang . Dari tahun ke tahun, kau tak pernah berubah. Selalu melamunkan orang-orang yang sudah meninggal, padahal kau masih tinggal bersama mereka yang masih tetap hidup ...”  “Apa bedanya ? Mereka yang masih hidup, toh tidak pernah memandang sebelah mata pun padaku. Dibiarkan sendirian, aku sudah berterima kasih. Ini ... kau tahu sendiri bukan, pak fredy krueger  ?”  Yang ditanya, mau tak mau terdiam.  
Ke mana pun wanita lesbian  ini pergi, orang tetap berbisik-bisik : “Itu dia si nyi kembang , anak tukang teluh !” Lebih menyakitkan lagi : “Tahu tidak. Anaknya, si nyi girah , hilang rahib ! Tentu saja : anak itu lahir dari kekuatan sihir !”  Hanya berkat pengaruh pak fredy krueger  sebagai lurah di desa itu, nyi kembang sari tidak diusir. Sebagai kepala desa, dia pulalah yang paling gigih menolak keinginan penduduk untuk membakar saja si nyi kembang  Terkutuk, agar pengaruh sihir tak bersisa lagi di daerah mereka. “Dia sudah ditinggal mati suami, anak dan ayahnya. Kalian tahu sendiri, dia tidak pernah pula ikut ikutan ayahnya bertapa di gunung, ia bersih, aku jamin kalian semua. Jadi biarkan dia. Jangan sudah jatuh, kalian timpa pula dengan tangga.” Dan kalau masih ada penduduk yang bersikeras, pak fredy krueger  dengan halus mengancam : “Kalian berani ? Silahkan. Akibatnya, tanggung sendiri. Jangan lupa, ayah nyi kembang  seorang tukang sihir. Jadi siapa tahu, dia punya ilmu juga.”  Lalu semua penduduk mengucilkan nyi kembang sari. Setiap orang membencinya, namun  sekaligus takut kepadanya. Kecuali pedagang-pedagang dari kota. Tengkulak-tengkulak itu dengan rajin mendatangi rumah nyi kembang sari, membuka kolam-kolam ikan milik wanita lesbian  itu dan memboyong isinya ke kota. Kebetulan pula kolam-kolam ikan milik nyi kembang sari termasuk subur, ikan-ikannya gemuk dan cepat besar, ia rajin mengurusnya, itu sebabnya. namun  penduduk bilang, kolam ikan itu berisi makhluk 
jadi-jadian. Paling kurang, diberi makanan oleh roh-roh jahat. Para tengkulak tak perduli. Mereka cuma bilang : “Ikan ya ikan. Makin baik, makin laku dijual.”  “ ... terkadang,” suara nyi kembang sari mengejutkan pak fredy krueger . “Terkadang, ingin aku menyingkir. Ke mana saja. Pokoknya, ke tempat di mana aku tidak dikenal orang, dan diperlakukan sebagaimana me-reka memperlakukan warga desa yang lain. namun  aku lahir di sini, besar dan ingin mati di sini. Aku tidak ingin berpisah dengan ayahku, suamiku, anakku.”  “Mereka sudah lama mati, nyi kembang .”  “Jasad mereka, ya. Rohnya, tidak.”  “Uh. Apa pula itu ? Jangan membuatku percaya apa yang digunjingkan orang selama ini tentang dirimu, nyi kembang .”  Si wanita lesbian  diam saja. Wajahnya tidak menggambarkan kecewa, marah, sakit hati. Apalagi kegembiraan. Agak lama, baru ia membuka mulut kembali: “ ... kau tahu apa yang kumaksud, pak fredy krueger .”  Ya. Pak fredy krueger  tahu : nyi kembang  tidak mau jauh dari kuburan suami dan ayah kandungnya. Dan seperti apa yang juga berulang kali diucapkan nyi kembang sari, wanita lesbian  itu masih tetap penasaran. Ingin tahu di mana anaknya terkubur, ia yakin anaknya sudah meninggal, namun  ia baru puas kalau sudah melihat sendiri 
kuburan nyi girah , dan bahwa nyi girah  dimakamkan secara wajar.  Pak fredy krueger  sesaat  teringat akan tujuannya berkunjung.  “ ... salah seorang warga kita, sudah  meninggal,” katanya, berusaha mencari kalimat yang paling halus diungkapkan. “Namanya radensoebandrio  . Ia…” “Sudah kudengar,” ujar nyi kembang sari, dingin.  “Oh ya ?”  “Ada beberapa orang lewat di depan rumahku, tadi. Mereka menuding-nuding. Bahkan ada yang berteriak ....”  “Berteriak ?”  “Ya”  “Apa yang mereka teriakkan ?”  “Bahwa aku seorang pembunuh !” wajah nyi kembang sari muram. Terluka. “Aku dituduh membu-nuh si radensoebandrio  .” “Jadah ! Tuduhan itu tidak benar !” pak fredy krueger  blingsatan sendiri.  “Memang tidak. Sepanjang malam aku tidak keluar dari rumahku. sesudah  pedagang-pedagang itu pergi, satu minggu ini aku sibuk mengurusi kolam-kolam di belakang rumah. Aku letih, tertidur dan .. Ah, ah. Mengapa pula harus kuceritakan padamu, pak fredy krueger ? 
Toh tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat bahwa aku sungguh-sungguh tak ke…” “Aku percaya padamu, nyi kembang ,” bisik lurah desa, renyuh. “Aku percaya. Dan entah bagaimana caranya, akan kupertahankan kepercayaanku ini bila ada warga yang mendesak.”  “Jangan melibatkan diri, pak.”  “Mengapa tidak ? Aku seorang lurah. Sudah tanggung jawabku untuk membela setiap warga yang tidak bersalah  “Dari mana kau tahu aku tidak bersalah, pak fredy krueger  ?”  “Naluriku yang mengatakan.” nyi kembang sari diam. Matanya menatap lurus ke mata pak fredy krueger . Yang dipandang tidak mengelak, ia balas menatap. Lembut, berperasaan. Cuping telinganya mesti merah padam, apabila ia masih berusia remaja. Di usianya yang sekarang, cuping telinganya cuma bergeming sedikit. Semuanya wajar, semuanya tampak biasa saja. Ia melanjutkan lagi : “Kau tahu, nyi kembang  ? sesudah  mayat radensoebandrio   ditemukan dan aku memeriksa segala sesuatunya, naluriku mengatakan pula. nyi girah  sudah kembali !”  Beberapa saat lamanya, nyi kembang sari menegang, kaku. lalu  ia tertawa. Parau. Katanya : “ ... mustahil !”  
Pak fredy krueger  angkat bahu. Mengeluh : “Kau tak pernah ikut-ikutan dengan ayahmu, nyi kembang . namun  si nyi girah , tak pernah lekang dari dia. Mereka berdua saling sayang menyayangi, saling pengaruh mempengaruhi. Aku tahu benar, apa yang ada dalam pikiran almarhum ayahmu. Kau tidak mewarisi darahnya. Darah keturunan, ya. namun  darah pembawa bakat ilmu yang dimiliki ayahmu, tidak. Si nyi girah  memilikinya .”  “Maksudmu-“ nyi kembang sari menggigil. Dingin sekujur tubuhnya. “Anakku sudah  kembali - dalam wujut yang lain ?”  Pak fredy krueger  membasahi bibirnya yang kering. Lalu, menjawab segan: “Benar.”  “Wujut bagaimana ?”  “… ia sudah  kembali. Hanya itu yang dapat kukatakan padamu. Selebihnya, kau percayakan saja pa daku, nyi kembang . Dan jangan mendesak aku, sebab  aku tidak ingin menambah luka di hatimu...” “Punya rencana, pak fredy krueger  ?”  Yang ditanya, diam sesaat. lalu  : “Tidak.” Itu jelas bukan jawaban yang jujur. namun  bagaimana ia mungkin menjelaskannya ? Mempersatukan darahnya dengan darah nyi kembang sari, untuk melawan kekuatan darah nyi girah . Melawan kekuatan anak kandung wanita lesbian  itu sendiri, ia tahu, 
nyi kembang sari seorang wanita lesbian  baik-baik. Namun sebaliknya, dia juga tahu, diam-diam nyi kembang sari menyimpan kepenasaran : ingin tahu siapa pembunuh ayahnya dan puterinya. Ingin melihat pembunuh-pembunuh itu mati tersiksa.  Menarik nafas panjang sebentar, pak fredy krueger  berkata lagi : “Maksudku, untuk sementara ini aku belum punya rencana apa-apa. Entah lain kali..” ia lalu  bangkit. Berjalan ke pintu. Di situ, ia membalik dan menatap nyi kembang sari yang masih terhenyak di kursinya. Bimbang, dia bertanya : “Kapan kau berhenti melamunkan orang yang sudah meninggal, nyi kembang ?”  nyi kembang sari diam saja. Pak fredy krueger  tidak putus asa. ia tersenyum manis, berkata lebih manis lagi : “Aku masih tetap dengan tekadku, nyi kembang . Kapan kau mulai berpikir mengenai mereka yang masih hidup, kuharap akulah orangnya yang pertama-tama kau beritahu.”  nyi kembang sari tetap saja diam. ia menunggu sampai lurah desa itu lenyap dari pandangan matanya.  lalu  berjalan ke jendela. Menatap salah satu kolam di luar. Kolam yang tak pernah ditaburi benih ikan. Kolam itu tempat mandi si nyi girah . Kolam kesayangan puterinya, yang dengan tekun dan asyik merawat bunga-bunga nyi girah  yang tumbuh di tengah kolam. Ada suatu kebiasaan anaknya yang membuat nyi kembang sari merasa heran. Anaknya akan menyingkirkan bunga 
atau bibit nyi girah  yang berwarna merah, biru, ku ning malah Jingga yang begitu indah. Sebaliknya, anaknya tetap membiarkan nyi girah  tumbuh subur dengan memberi alasan, putih nyi girah , adalah putih hatinya.  Dan, dia sudah  kembali - kata pak fredy krueger .  Mustahil untuk dipercaya. Namun, jauh di sanubarinya nyi kembang sari meragukan kepercayaan-nya sendiri. Si nyi girah  datang menemuinya tadi ma lam. Gadis itu mengenakan gaun putih yang aneh dan belum pernah dilihat nyi kembang sari. Gaun yang seolah terbuat dari asap - ataukah kabut? Gaun yang menambah kecantikan wajah dan keindahan tubuh anaknya, membuat si nyi girah  tampak lebih mekar, lebih dewasa.  “Boleh kupetik bunga-bungaku, mak ?” bertanya gadis itu, tersenyum penuh harap.  “Ambillah. Itu punyamu, nak,” jawab nyi kembang sari. Lalu anaknya menghilang, lenyap seperti asap, seperti kabut. nyi kembang sari terbangun dari tidur, me-rasa ia sudah  bermimpi. Tadi pagi ia membuka jen-dela dan melihat ke kolam bekas anaknya sering bermain. ia tercengang menyaksikan apa yang terjadi. Sekarang, tidak lagi. Sekarang, ia dengan pasti berdiri di belakang jendela. Menatap ke tengah kolam.  Di sana, tumbuh berkelompok-kelompok bunga nyi girah .  Itu tidak aneh, Yang aneh, bunga-bunga warna merah, kuning, biru 
dan Jingga yang ia biarkan tumbuh subur semenjak anaknya menghilang sekian tahun, tidak tampak lagi menghiasi permukaan air kolam yang bening jernih. Daun, batang, akar dan bunga-bunga nyi girah  warna warni itu tampak berhamburan di pinggir kolam, seolah dising-kirkan dengan perasaan jijik.  Yang tinggal hanya kelompok nyi girah .  Dan beberapa kuntum di antaranya, sudah  hilang dipetik.   SUASANA di pekuburan desa hening di saat jenasah radensoebandrio   diturunkan ke liang lahat. Seseorang lalu  bangkit untuk membacakan do'a, dan tiga laki-laki bertubuh kekar hitam terbakar matahari bersama-sama menimbunkan tanah ke dalam liang. Seorang anggota keluarga ikut membantu, sementara dua orang gadis mendekat dengan baskom yang penuh berisi air dan  bunga rampai warna warni.  “ ... itulah semuanya,” pak fredy krueger  mendesah, lirih.  stephenking  yang berdiri di dekatnya, sengaja men jauh dari kelompok pengiring jenasah di sekitar liang kubur, tampak sedikit pucat, ia menjilati bibirnya yang semakin kering selama mendengarkan penjelasan lurah desa mereka, yang juga adalah uwanya itu. Hampir tak kentara tampak tubuh stephenking  gemetar. 
Peluh dingin membuat ketiaknya terasa lembab. “Kalau bukan Uwa sendiri yang mengatakan, aku akan tertawa,” ia berkata pelan. “Si nyi girah  bangkit dari kubur. Ya Tuhan !”  “Sayang,” timpal Uwanya, suram.” Kita pernah melupakan Tuhan.”  stephenking  kembali membasahi bibir yang semakin kering. Pak fredy krueger  benar. Mereka pernah melupakan Tuhan. Emosi dan nafsu menguasai diri, kehormatan dan nama baik tanpa sadar diinjak-injak. Semua itu gara-gara ia mencintai nyi girah  yang tumbuh pesat dalam usianya yang baru menginjak 12 tahun. Umur 7 tahun, dada nyi girah  sudah  mengambang subur dan pada umur 12, betapa gatal tangan yang melihat untuk menjamah, gemas pingin meremas. Ayahnya yang waktu itu menjabat kepala desa, sempat dibuat bingung oleh polah stephenking  yang uring-uringan. Tidak mau melanjutkan sekolah. Enggan pula bekerja di sawah. Kerjanya berkelahi. Siapa saja yang mendekati bahkan melirikkan mata ke arah nyi girah , stephenking  langsung naik pitam, ia seorang pesilat yang tangguh. Kalaupun lawannya tidak jatuh oleh sepak terjangnya, maka kedudukan ayahnya sebagai kepala desa merupakan jurus terakhir namun  sangat ampuh.  “Ingat, nak. nyi girah  masih bocah ingusan,” pernah ayahnya memperingatkan. “Lagipula, kita semua tahu kakeknya itu seorang bekas pertapa. Memang banyak orang sakit atau terlantar 
yang sudah  ia tolong. namun  ada pula kita dengar, kakek nyi girah  dengan mudah akan menciderai seseorang atas permintaan dengan bayaran tinggi. Si nyi girah  pun konon sudah menerima ilmu yang sama dari kakeknya. Dia bukan gadis yang sepadan untukmu, nak. Masih banyak yang lain. Anak keluarga baik-baik. Si Saerah, anak Haji Suleh. Si Ningrum, anak bekas Camat. Kalau kau masih kurang puas, aku dekat dengan Bupati. Puteri bungsu Bupati sedang meningkat dewasa, dan kalau dikait-kaitkan kita masih ada pertalian keluarga dari nenek sepupumu, ia juga tak kalah cantik dengan cucu pertapa itu...” stephenking  tidak tertarik. ia makin liar, makin tidak dapat dikendalikan. Sebelum keluarga dibuat malu, mau tidak mau ayahnya yang kepala desa terpaksa menemui keluarga nyi girah . Ayahnya didan i pula oleh uwa-nya, pak fredy krueger  dan beberapa orang sanak fami-li yang pintar ngomong. Siapa nyana, salah seorang! pengiring ayah stephenking  kehadirannya membuat rusak suasana.  “Dia itu,” kakek nyi girah  menuding orang dimaksud. “ ... dahulu  paling bersikeras mengatakan me nantuku mati sebab  kujadikan tumbal. Dia berkoar kian kemari mengatakan aku menempuh jalan sesat - memuja setan, menyembah roh jahat penghuni lereng gunung tempatku sering bersemadhi mensucikan diri.”  Pengiring keluarga itu bermerah muka sebab  malu.  
Ayah stephenking  menyesal membawanya, namun  salah seorang pengiring lain dengan cepat mengete-ngahi. Katanya : “ia dipengaruhi orang. Terlalu cepat menangkap kabar burung. Padahal kita se mua tahu, menantu bapak memang meninggal, sebab  dipatuk ular. Suatu musibah yang setiap orang pun dapat saja terkena, bukankah begitu?” si pembicara menatap orang-orang yang datang bersamanya. Semua mengangguk menyetujui.  Kemarahan kakek nyi girah  mencair, apalagi sesudah  pengiring keluarga yang ulahnya pernah membuat malu itu, dengan tulus ikhlas memohon maaf dan lain kali akan menjaga telinga, mata dan mulutnya.  Namun itu belum berarti niat mereka tercapai.  “ ... cucu kami masih terlalu muda untuk kawin,” kakek nyi girah  tetap menolak lamaran yang diajukan. “Coba. ia masih 12 tahun. Membersihkan ingus pun masih perlu dibantu. Apalagi mengurus suami, wah ...!”  “ia dapat belajar,” si pembicara keluarga stephenking  belum menyerah. “Lagi pula, bukankah banyak gadis-gadis lain seumur nyi girah  yang sudah  berumah tangga ?”  “Memang benar. namun  banyak di antara mereka ang lalu  hidup menjanda, ya tidak ?”  “Kita tidak mengharap, pak. Dan kalaupun pada akhirnya itu terjadi, nyatanya janda-janda yang kita kenal cepat dapat jodoh 
kembali,” pembicara keluarga stephenking  lalu  mencoba berseloroh: “Mereka laku keras, ketimbang yang masih perawan .” Seorang dua tersenyum, namun  tidak kakek nyi girah . “Cucuku boleh saja menikah. namun  kami tidak ngin suatu saat  ia menjanda seumur hidup seperti ibunya ...”  “Itu sebab  ibu nyi girah  terlalu mencintai almarhum suaminya,” pak fredy krueger  ikut buka suara, sekali-gus melirik ke balik pintu ruang tengah, dari mana sesekali ia lihat bayangan tubuh nyi kembang sari yang diam-diam menguping pembicaraan. Dalam hati, entah apa yang tersirat. stephenking  tahu benar kalau Uwanya menaruh hati pada ibu nyi girah , namun  kalah cepat dengan almarhum suami nyi kembang sari. Celaka dua belas. Ucapan pak fredy krueger  yang tidak dipikir panjang lebar itu, segera ditanggapi kakek nyi girah . Dingin dan tajam menyengat, orangtua itu bergumam : “ Apakah maksud kalian nyi girah  kawin dengan stephenking , tanpa nyi girah  harus mencintai suaminya?” Pak fredy krueger  terdiam. Ayah stephenking , apalagi. Para pengiring sudah mandi keringat, toh tidak ada hasil apa-apa yang dicapai, kecuali salah seorang dari me reka diterima permohonan maafnya. Betapa me malukan. Sudah harus meminta maaf, lamaran pun masih ditolak. Padahal itu lamaran seorang kepala desa yang punya pengaruh sampai ke kantor Bupati. Suatu kehormatan buat penduduk yang beruntung memperolehnya. 
Rombongan pelamar itu akhirnya mengundur kan diri dengan perasaan malu. Lama kelamaan semua penduduk desa mengetahuinya. Aib semakin tercoreng di muka. Hubungan antara keluarga stephenking  dengan keluarga nyi girah  dengan sendirinya semakin retak.  Dari mulai tidak saling kunjung mengunjungi, sampai akhirnya tidak saling menyapa Bertemu di jalan pun dielakkan. Bila kepergok, memalingkan muka. Soal-soal kecil meledakkan perang mulut, merembet pada perkelahian pisik dengan menjadikan soal batas tanah dan pengairan di sawah sebagai biang keladi.  Semua keluarga sudah  ikut campur, sebab  stephenking  bertambah kurus dan suka ngomong sendirian sesudah  tahu lamarannya ditolak. Entah siapa yang memulai, kabar burung mulai tersiar. stephenking  yang makin kurus dan suka berceloteh sendiri, dikatakan kena teluh. Siapa lagi peneluhnya, kalau bukan kakek nyi girah .  Semua keluarga lalu  berembuk. Hasilnya sudah dapat dibayangkan; sebagaimana biasa, seorang tukang teluh harus dibunuh. Beberapa orang sudah  ditunjuk untuk melaksanakan tugas yang dianggap terhormat itu. Akan namun  ayah stephenking  bukan orang sembarangan saat  dipilih jadi kepala desa. ia mencegah niat keluarga Itu. berkata bahwa stephenking  begitu hanya sebab  patah hati. Mungkin saja kakek nyi girah  tukang teluh, namun  ia tidak boleh dihukum untuk suatu perbuatannya yang belum terbukti nyata.  
“Jangan kita sampai malu dua kali,” katanya, memutuskan.  Rencana batal dengan sendirinya. namun  ber kembang kembali, tatkala suatu saat  timbul ben-jolan-benjolan merah yang tidak saja gatal namun  juga menyakitkan di sekujur tubuh ayah stephenking . Segala macam obat sudah  diusahakan, namun  benjol- an itu makin banyak, makin menyiksa. Suatu malam, ayah stephenking  berkelejotan di tempat tidur, menjerit-jerit penuh sengsara, ia lalu  menghembuskan nafas dengan mata terbelalak dan mulut menyeringai menahan sakit yang tiada terperi.  Menteri kesehatan yang memeriksa mayatnya, mengatakan ayah stephenking  meninggal sebab  serangan tumor. Sebagian kecil keluarga, percaya. namun  lebih banyak yang tidak. Kelompok yang menolak kematian ayah stephenking  diakibatkan tumor, lantas saja menuduh kepala desa itu mati kena teluh.  Keluarga kembali berkumpul untuk rembukan. Hasilnya sama seperti dahulu  : peneluh itu harus dibunuh, sebelum jatuh korban yang lain. Hanya bedanya, kali ini tidak ada yang mau ditunjuk mengemban tugas yang jelas tidak gampang itu. sesudah  melihat cara kematian ayah stephenking , hati mereka menjadi ciut. Apalagi ada yang mengatakan, seorang tukang sihir yang dibunuh, hanya jasadnya saja yang mati. Rohnya tetap hidup untuk mengejar dan melakukan pembalasan kejam terhadap orang-orang yang mencelakakannya. 
stephenking  kecewa. ia hampir gila sebab  pikiran ayahnya diteluh, cintanya ditolak dan semua keluarga bernyali kecil. stephenking  lantas membujuk orang lain untuk melaksanakan sakit hatinya. Hanya dua orang yang bersedia. radensoebandrio  , kepala keamanan desa yang diam-diam juga ada hati sama nyi girah  namun  pernah mukanya diludahi si gadis waktu dadanya dijamah radensoebandrio  . Lalu Ajat, tukang pukul yang senantiasa lengket bagaikan lintah ke mana saja stephenking  pergi; sebab  butuh uang dan pengaruh, selain itu dia pulalah guru silat stephenking . Berbagai rencana mereka susun bertiga.  Semuanya terbentur pada satu hal : kakek nyi girah  harus dilumpuhkan sebelum sempat mempe-cundangi mereka. Untuk itu, kelemahan-kelemahan orang tua itu harus diketahui lebih dahulu . Baik stephenking , radensoebandrio   maupun Ajat, tidak tahu apa kelemahan tukang teluh itu.  Yang tahu, hanya pak fredy krueger .    “ ... aku tak melihat Ajat !”  stephenking  terbangun dari lamunannya. Kerumunan orang di sekitar pekuburan menggaungkan suara “amin,” mengikuti do'a yang dibacakan salah seorang pembicara. Sebagai kepala desa, Uwanya akan tampil sebagai pembicara terakhir. Pak fredy krueger  masih berdiri di dekatnya, dan mengulangi ucapannya tadi : 
“ Aku tak melihat Ajat.”  stephenking  menarik nafas. “ ia ke kota,” katanya.  “Kapan ia pulang ?”  “Katanya, sore ini juga. Mungkin terhalang di jalan, atau urusannya di kota belum rampung. Mengapa rupanya, uwa ?”  “Kita harus memberitahukan hal ini kepadanya. Supaya ia juga berjaga-jaga.”  “Bagaimana ?”  “Nantilah aku ke rumahmu. namun  dengar nasihatku, nak. Mulai malam ini, jangan keluar rumah sampai matahari terbit. Beritahu juga anak isteri-mu. Kunci pintu dan jendela rapat-rapat.”  “namun , uwa. Roh jahat tidak akan terhalang pintu yang terkunci.”  “Itulah. Nanti aku ke rumahmu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kalau kau bertemu Ajat, beritahu pula ia supaya datang. Jadi aku tidak perlu bersusah-susah untuk mencarinya ...”  Pembicara tadi selesai membacakan pidato dan do'a.  Kepala desa, giliran berikutnya. Pak fredy krueger  maju ke depan. stephenking  tak beranjak. Pikirannya menerawang, jauh. Jauh ke berapa tahun berselang saat  ia dan dua temannya mendapat persetujuan dari pak fredy krueger  supaya bersedia membantu. sesudah  nyi kembang sari kematian suami, boleh dikata tidak ada halangan apa-apa bagi 
pak fredy krueger  melamar nyi kembang sari. Kecuali bekas gurunya, ayah nyi kembang sari yang jelas akan menolak bermenantukan pak fredy krueger . Dia pernah jadi murid kakek nyi girah  namun  lalu  mereka berpisah sesudah  ketahuan pak fredy krueger  memperdalam ilmu yang tidak disukai gurunya.  “Aku akan membantumu,” kata pak fredy krueger  kepada ponakannya. “namun  kuminta kau dan teman-temanmu berjanji agar menjaga rahasia. Tidak seorang pun boleh tahu bahwa kitalah yang membunuh kakek nyi girah . Lebih-lebih, nyi kembang sari.”  Dengan janji itu, mereka lalu  berangkat.  Kakek tua itu sedang mencangkul di sawah ditemani oleh cucu gadisnya, nyi girah  yang meskipun baru berusia 12 tahun, sudah tampak kejelitaan wajah dan kemontokan tubuhnya. Sesaat, mereka tertegun memandangi gadis cilik yang tengah menyiapkan makan siang kakeknya di dalam dangau. stephenking  menggerutu tidak menentu. radensoebandrio   tersenyum kecut, sementara pak fredy krueger  buru-buru menarik tangan kedua laki-laki muda itu untuk segera menuju ke tengah sawah di mana si kakek membersihkan tubuh untuk segera naik ke dangau. Ajat namun  tinggal di dangau, menjaga nyi girah .  Matahari tepat di atas kepala saat  kakek tua yang bertubuh kekar dan sehat itu samar-samar melihat tiga orang lelaki berdiri di tegalan. Ketiganya berkacak pinggang. Ketiganya dengan mata 
terpentang. Mengenali siapa orang-orang yang ada di hadapannya, si kakek mencoba tersenyum. “Tumben. Perlu apakah kiranya saudara-saudaraku kemari ?” sapanya dengan ramah.  “Cuih !” stephenking  meludah.  Si Kakek terdiam sesaat. lalu  mendekat. Agak tergetar stephenking  dan radensoebandrio  . Lain dengan pak fredy krueger . ia kumat kamit membaca mantera, lalu  meludah ke kiri dan ke kanan. Menyadari gerakan orang yang pernah jadi muridnya itu, si kakek menjadi hati-hati. “Apakah kalian bersedia makan siang bersamaku “, ia berusaha menahan diri.  “Cuih, Kami tak mau makan racun!” sungut stephenking . Lalu, dengan satu teriakan ia mencabut kapakkeramat  dari pinggang, meloncat ke depan didan i pekikan : “Ini untuk ayahku !”  Bacokan itu mengenai pundak si kakek. Pundak kakek itu menganga lebar. Sekalipun terluka, si kakek tidak jatuh, ia mencoba tersenyum.  stephenking  menyerang lagi. Dibantu oleh radensoebandrio   dengan jurus-jurus silat yang ia miliki. Kakek nyi girah  terumbang ambing ke sana ke mari, sementara bekas muridnya, terus menerus membaca mantera sambil tak henti-hentinya meludah, ia baru berhenti meludah saat  kakek Sufredy krueger  terkapar dan terbenam dalam lumpur. 
Pak fredy krueger  tertegun sejenak. Berbisik pada dirinya sendiri, “Orang itu tak melawan, ia tak mengeluarkan ajian-nya.”  lalu  ia berdiri. Lesu. Meninggalkan tempat itu. ia tertatih-tatih menuju desa, sementara kedua anak muda yang sedang kalap itu berjalan menuju dangau. Jerit dan tangis gadis kecil menggema dari dalam dangau, di bawah terik mentari yangkian panas memanggang bumi.   AJAT memacu sepeda motornya pulang ke desa.  Urusannya di kota rampung sekitar pukul dua siang. namun  saking gembira ia memperoleh surat pengangkatan resmi sebagai guru olahraga di SMA kota itu Ajat mengajak beberapa teman dekat makan minum di sebuah restoran. lalu  mengunjungi seorang keluarga untuk memberitahu kabar gembira itu. sebab  sudah maghrib, ia mengambil jalan pintas lewat perkebunan. Memang jalannya jelek namun  bisa menghemat waktu hampir satu jam.  Toh ia terhambat juga.  Di tengah jalan perkebunan itu beberapa orang kuli tengah sibuk membersihkan bongkahan batu. tanah bercampur lumpur yang 
longsor dari tebing di atas. Salah seorang kuli itu mengenali Ajat, dan menanyakan apakah ia punya rokok.  Sambil merokok, Ajat dan kuli-kuli itu ngobrol.  “ ... belum pernah separah ini,” kata yang satu.  “Ada mayat lagi,” tambah yang lain.  “Mayat ?” Ajat lantas tertarik.  “Ya. Wajah dan tubuhnya sedemikian rusak, sehingga sukar dikenali. Tampaknya ia itu maling domba yang sudah sering membongkar kandang ternak beberapa desa di sekitar perkebunan ini. Binatang binatang itu kami temukan berceceran di beberapa tempat. Sebagian sudah jadi bangkai. Yang aneh, kami juga menemukan sejumlah bangkai kucing ...”  Ajat tidak tertarik pada bangkai kucing , ia lebih tertarik pada penemuan mayat itu, siapa tahu salah seorang penduduk desanya. Sayang, kata kuli-kuli tadi mayat maling domba itu sudah dibawa ke kota siang tadi, sesudah  polisi dilapori. Tak ada kartu pengenal di pakaian mayat itu, kecuali beberapa lembar uang dan sepucuk surat yang belum selesai ditulis dan ditujukan kepada seorang wanita lesbian  bernama Painah. Siapapun orang itu, polisi menduga bukan mati tertimpa atau terseret longsor.  “Kuat dugaan, ia dibunuh,” kata kuli yang kenalan Ajat.  “Wah. Siapa pula pembunuhnya ?”  
“Mengapa harus diributkan siapa ? Pokoknya, ia dibunuh. Maling semacam dia itu sudah sepantasnya menerima hukuman demikian. Kalau cuma di tangkap lalu diserahkan ke polisi, masuk bui satu dua bulan. Taruhlah setahun, lalu lalu  bebas. Mencuri lagi. Makin pintar pula, berkat didikan orang-orang hukuman yang berpengalaman, selama di bui. Memang ada juga yang ...”  “Aku tetap dengan pendapatku,” menukas salah seorang kuli. “Orang itu dibunuh bukan oleh manusia. Melainkan oleh kucing -kucing  itu.”  “kucing  lagi,” Ajat nyeletuk, bosan.  “He-eh. kucing -kucing , yang bukan main besarnya. Melihat keadaan di sekitar tempat mayatnya ditemukan, besar kemungkinan orang itu sudah  berjuang mati-matian untuk melawan serbuan gerombolan kucing  yang mengeroyoknya.”  Ajat tertawa. Katanya : “Kau sepertinya mau mengatakan, tempat ini dikuasai kerajaan kucing .”  “Mengapa tidak ? Menejer perkebunan sudah kewalahan menghadapi tebing tebing di sini. Apa saja yang ditanam, tak pernah jadi. Pernah kuli-kuli dikerahkan untuk pembantaian besar-besaran terhadap kucing -kucing . Toh tiap tahun, makhluk-makhluk menjijikkan itu muncul semakin banyak. Tidak sedikit lubang-lubang gelap atau rongga-rongga guha tempat mereka 
dapat berkembang biak dengan subur. Satu dua dapat ditutup. Diratakan. Lainnya tetap dibiarkan penuh misteri. Jangankan masuk, Dekat pun, orang tidak berani. Konon dihuni nyak binatang berbisa. Malah belakangan ada desas desus mengatakan lubang atau guha di sini, dihuni pula oleh roh gentayangan yang suka mengganggu orang-orang yang lewat malam hari...”  Mayat. Lubang-lubang gelap. kucing -kucing .  Meneruskan perjalanan pulang ke desa, terus pu-ia pikiran Ajat menerawang. Mayat, lubang-lubang gelap, kucing -kucing , ia tidak berani bertanya, apakah mereka temukan juga tulang-belulang manusia, tulang belulang yang sudah lama terpendam. Pertanyaan itu akan membuat mereka curiga.  Dan, Banyak lubang. Banyak rongga guha. Ajat sendiri lupa-lupa ingat, yang mana tempat gadis itu dahulu  terperosok jatuh.  Terbayang di mata Ajat peristiwa hari itu.  … ia menunggu di luar dangau di tengah sawah yang sunyi sepi, sementara radensoebandrio   dan stephenking  sibuk di dalam, ia mendengar jerit tangis nyi girah  yang memilukan, ia juga mendengar suara tertawa, ucapan-ucapan kotor dan dengus-dengus nafas kuda dari mulut kedua temannya.  Sesekali ia mengintip ke dalam dangau. Melihat radensoebandrio   dan stephenking  bergantian menggagahi gadis itu. ia lihat paha yang putih 
mulus, ia lihat putik susu yang merah segar. Mau tak mau, dari ingin melerai, malah terbit nafsu birahinya.  Ajat tertawa senang saat  akhirnya radensoebandrio   dan stephenking  selesai, dan mereka pulang ke desa dengan perasaan puas. stephenking  berkata padanya : bereskan anak itu, Jat. Terserah, mau kau apakan. Pendeknya ia tidak boleh buka mulut ! Ajat sengaja menunggu gadis itu benar-benar sadar dari shock-nya. Membiarkan dengan sengaja gadis itu lari ke luar pondok. sesudah  agak jauh barulah Ajat mengejar. Sedapat mungkin ia ber usaha menyudutkan nyi girah  supaya lari ke arah yang diharapkan Ajat.  Menjauhi desa, menjauhi tempat-tempat di mana mereka mungkin keper gok penduduk. Tiap kali ia pergoki, tiap kali ia bu at nyi girah  terkejut dan semakin takut. Sede mikian rupa sehingga gadis itu putus asa. Ke mana pun nyi girah  lari, ke sana Ajat mengejar. Ke mana nyi girah  bersembunyi, ke sana Ajat me nyelinap. Memegang kaki gadis itu diam-diam sampai nyi girah  terpekik. Melepaskan kaki itu sehingga mampu lagi berlari. Di lain tempat, membentak dari balik pohon.  Semakin takut nyi girah , semakin terbang kit nafsu bejat Ajat. namun  belum juga gadis itu tiba pada saat-saat yang ia harapkan. Ajat membayangkan pesta pora sex sepihak, ia gagahi gadis itu dalam pingsannya. Dan nyi girah  tetap bangkit tetap saja 
berlari. Sampai mereka tiba di perkebun an. nyi girah  tersandung batu yang menyembul di bawah semak belukar. Gadis itu terguling jatuh lalu  berhenti tidak bergerak-gerak. Ajat menyangka nyi girah  sudah pingsan.  Dengan gembira ia mendekat. sambil  melepaskan kancing baju, menarik ke luar tali pinggang itu. Namun mendadak nyi girah  bangkit, ia meng-gengam batu besar dengan kedua tangannya. “Babi. Kau babi busuk!” jerit si gadis, lantas melemparkan batu itu ke arah Ajat. Sebagai pesilat, mudah saja buat Ajat berkelit. Batu itu melayang lewat sisi kepalanya. Namun toh ia sempat terjatuh, dan kesempatan itu dipergunakan nyi girah  untuk kabur kembali.  “Jadah !” Ajat memaki. “Anak haram jadah. Tahu rasa kau nanti !” ia berteriak-teriak sambil bangkit mengejar si gadis. “Akan kubiarkan kau tetap sadar. Akan kubiarkan matamu melotot keluar, sementara kau kukerjai !”  Niat Ajat tidak tercapai.  nyi girah  lari ke pinggir tebing, berharap ada orang lewat di jalan sepi di bawah, ia tegak di sebuah batu besar, melonjak-lonjak liar saat  mengetahui tak ada orang lain di sekitar tempat itu, dan mengetahui selain tali pinggang, Ajat kini mengacung-acungkan sebilah kapakkeramat  di tangannya. Gerakan gadis itu membuat batu yang letaknya memang sudah kritis, terangkat dari dalam 
tanah, bergeser lalu jatuh ke bawah membawa dan  tubuh si gadis.  Ajat lekas memburu. Percuma. Tubuh nyi girah  lenyap di tengah rimbunan semak liar.  saat  Ajat turun memeriksa, ternyata ada lubang besar di bawah rimbunan semak liar itu. Ke dalam lubang itulah tubuh nyi girah  jatuh bersama batu tempatnya berpijak. Dari atas tebing, semakin banyak batu dan tanah yang ikut jatuh sampai akhirnya menutupi setengah isi lubang dan tubuh si gadis lenyap tak berbekas.  Dengan bersenjata kapakkeramat  dan batu dan  potongan kayu, Ajat lalu  meruntuhkan bagian tebing-tebing yang kritis di beberapa tempat, sehingga tampak seperti longsor. Semakin banyak batu dan tanah ia timbunkan ke lubang tempat gadis itu menghilang. Beberapa hari lalu  ia sengaja lewat di jalan pintas itu. Dan melihat kuli-kuli perkebunan sudah  meratakan bekas longsoran tebing. Tak lama setelannya, ada orang yang baik hati membangun sebuah pondok tempat berteduh orang lewat.  Ajat tiba di desa. Keadaannya sunyi sepi. Padahal malam belum begitu larut. Bunyi mesin sepeda motornya membuat seorang dua tetangga melongok lalu hilang lagi.  “ ... kata mereka pondok itu rubuh,” gumam Ajat sendirian, membelokkan sepeda motor memasuki halaman rumah. “Rasa-rasanya, bekas lubang itu ada di sekitar pondok. namun  mengapa tulang belulangnya tidak ditemukan ?” ia mematikan mesin sepeda motor. Berpikir lagi, lebih lega: Barangkali lubang lain. Atau kalaupun lubang yang sama, longsornya tidak dalam. Sudahlah. Mengapa harus diributkan ? sudah  lama berlalu.  Sekarang, masuk. Temui Ida, beri dia surprise ! Seekor kucing  lari terbirit birit saat  Ajat membuka pagar. Gerakan kucing  itu tertangkap lampu depan sepeda motor. Seekor yang lain menyelinap depan teras rumah, bersembunyi di antara rimbunan bambu. kucing  yang ini tertangkap cahaya lampu minyak dekat pintu depan.  “kucing  lagi. kucing  lagi !” Ajat memberengut. “Memang salahku. Sudah lama membiarkan pekarangan terlantar. Dan Ida pemalas pula. Mana suka bergunjing di rumah tetangga. Hem !” Ya, hem. Untungnya, Ida punya selera yang sama dengan Ajat. Ajat suka menyakiti, Ida suka disakiti. Sekali dua mereka buat variasi, saling menakut-nakuti sebelum naik ranjang.  Malam ini pun Ida rupanya ingin melakukannya.  Terbukti saat  Ajat melangkah ke teras, pintu yang tadinya tertutup mendadak terbuka. namun  entah bagaimana caranya, Ida tidak menampakkan diri. Lampu petromak ruang tamu tidak dinyalakan. Hanya ada cahaya temaram lampu dinding di ruang tengah.  
Ajat menutup pintu. Menguncinya sekaligus, sementara matanya menatap seisi rumah. Mengapa sunyi benar ? Ah-ah. Tidak sesunyi yang ia sangka. Ada suara bergemeretak di dapur. Lalu suara geresak-geresek di para-para.  Pertunjukan apa pula yang dipersiapkan Ida untuk menakut-nakuti Ajat? Suara-suara aneh, lalu topeng mainan digambari tengkorak menempel di muka, sambil muncul tiba-tiba dari kegelapan ? Sudah dua kali Ida melakukannya. Yang pertama, Ajat memang kaget setengah mati. Yang kedua, Ajat cuma tertawa.  Lantas, mengapa Ida mengulangnya kembali ? Mestinya sesuatu yang lain. Pintu kamar dibuka Ajat, dan tahu-tahu menemukan tubuh Ida mengambang di permukaan lantai. Tergantung di langit-langit. Pura-pura bunuh diri, tentu. Atau supaya lebih sip, yang tergantung itu boneka buatan sebesar tubuh Ida, mengenakan pakaian tidur yang biasa dipakai Ida. Lalu sementara Ajat terpana, dari belakangnya Ida berteriak nyaring. Dan besok pagi, tetangga sebelah akan menggerutu : “Permainan apa pula, tadi malam ?”  Suara bergemeretak lagi. Keresak-keresek, kali ini tidak di para. namun  di laci-laci rak yang tertutup. Lampu dinding tergantung miring di tempatnya. Nyala apinya kecil. Rupanya sumbu sengaja diturunkan, atau memang minyaknya sudah hampir habis. Namun dalam jilatan lampu minyak yang bersinar suram itu, sempat juga ia lihat seekor kucing  lagi ngacir ke arah dapur.  
“Ini sudah keterlaluan !” Ajat bersungut-sungut. ia bergegas membuka pintu kamar. Lampu di dalam juga tidak dinyalakan. Samar-samar ia lihat bayangan tubuh terbaring di ranjang, membelakangi pintu. Ajat menggeram, marah : “Apa-apaan kau, Ida ? Sengaja memancing kucing -kucing  untuk membuatku jijik dan marah ? Mengapa tidak ular saja sekalian ? Atau hantu gentayangan ?”  Tubuh itu menggeliat sedikit. Namun tetap memunggungi.  Ajat mendekat. Lalu menepuk pundak wanita lesbian  di ranjang. Ah, dia sudah berhasil pula, pikir Ajat kesal. Jadi Ida ingin permainan yang melelahkan itu. Remas, cakar, jambak, tindih sekuat-kuatnya. “Baik,” katanya. “Boleh saja. Aku kebetulan sedang senang hati hari ini. Tak lama lagi aku akan terima rapel gaji, tahu engga ?”  Lalu Ajat menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya. Sebelum naik ke tempat tidur, ia berseru : “Ye-aaaan !” lalu sebuah pukulan dengan sisi tangan mendarat di punggung wanita lesbian  itu. Tidak telak, namun pasti menyakitkan. Yeaaa ! pukulan kedua dengan kaki. namun  sebelum mengenai sasaran, wanita lesbian  itu menggeliat menghindar. Sambil lalui menangkap pergelangan kaki Ajat, membuatnya jatuh terhempas di lantai. Untung cuma lantai tanah, kalau tidak, wah.  Namun begitu, toh kepala Ajat berdenging-denging dan matanya  
berkunang-kunang. “Apa-apaan ini, Ida ? Kau yang menyakiti aku. Bukan ?”  “Ayolah, sayang. Naik sekarang,” terdengar suara merdu, merangsang.  “Tidak mau !”  “Tunggu apalagi Jat ? Aku - sudah - tak tahan ...”  “Begitu cepat ?” Ajat bangkit sempoyongan.” Rupanya kau ingin dicambuki ya ? Baik. Baik. Sebentar kuambilkan dahulu  !”  Ajat melangkah ke lemari. Lemari itu tegak menghadap pintu. Jadi cahaya lampu minyak di ruang tengah, menyinarinya sedikit. Dengan kesal dan birahi yang memang sudah terbangkit, Ajat merenggut daun pintu lemari sekaligus. Tangannya siap menggapai ke dalam, untuk mengambilkan alat yang dimaksud. namun  tangan itu sesaat  terdiam kaku, berhenti setengah jalan.  sesudah  terbiasa dengan gelap kamar, dibantu sinar redup lampu minyak dari ruang tengah, Ajat melihat sesosok tubuh wanita lesbian  berdiri tegak di sebelah dalam lemari. Sebuah metoda baru dari Ida sempat ia berpikir, sebentar cuma. sebab  sosok tubuh di lemari itu, begitu rusak mengerikan. Tubuh hancur tercabik-cabik, gaun tidur penuh bersimbah darah dan sebagian isi perut terburai ke luar. Wajahnya tetap utuh, sehingga Ajat dapat mengenali wajah yang pucat membiru itu, mengenali mata yang 
melotot lebar dan mulut yang ternganga mengerikan di depan matanya.  “I - Ida !” bisik Ajat, kelu.  Lalu tubuh siapa yang tadi di tempat tidur. Yang mana boneka, yang mana Ida yang sebenarnya ? Hanya ada satu Ida. Dan Ida yang sesungguhnya, memang yang tegak di sebelah dalam lemari, dan pelan-pelan mulai doyong ke depan lalu jatuh menerpa tubuh Ajat yang berteriak saking kaget dan ngeri, ia dapat merasakan dengan tangannya da ging-daging mentah, usus yang basah, kulit yang hancur, dan mencium bau amisnya darah, sebenar-benarnya darah.  Terdengar tawa renyai dari tempat tidur.  “Hebat bukan, Jat ?”  Ajat menggelupur, meronta-ronta dan menjauhkan diri dari cengkeraman mayat isterinya, berlari ke pintu dengan semua bulu di tubuh merinding! seram.  Suara itu bergema lagi, tajam menusuk : “Benar-benar hebat. Lebih hebat dari caramu menakut-nakuti aku di perkebunan itu.”  Ajat mundur ke ruang tengah, dengan lutut bergemetaran. Dan bayangan tubuh di ranjang, turun dengan santai dan mengikuti Ajat masuk ke ruang tengah, memperlihatkan tubuhnya yang bugil, bersih dan mulus. Ajat menjilati bibir sejenak, lantas berseru tertahan : “nyi girah , kau ...!”  
Hem. Kau mengenaliku sesaat , ya ? Bagus. Tidak seperti si soebandrio  yang keranjingan wanita lesbian  itu. Terlalu banyak yang sudah ia tiduri, sehingga ia lupa padaku. Aku senang mendengarnya, Jat. Jadi kupikir, tak perlu aku menyiksamu berlama-lama. Cukuplah terror yang kau alami sesudah  melihat Ida-mu ke luar dari persembunyiannya di dalam lemari, ia mengira kau yang datang, ingin membuat kejutan - namun  - sedikit ekstra, tak apa bukan ?”  kucing . kucing -kucing  yang bukan main besar itu, tahu-tahu saja sudah bermunculan mengurung Ajat. Makhluk-makhluk mengerikan itu bergerombol-gerombol di ruang tengah, di kamar tidur, di dapur, di ruang tamu. Bermunculan dari dalam tanah, dari pintu dan jendela yang digerogoti.  Waktu para tetangga berdatangan dengan bersenjatakan apa saja di tangan, sebagian rumah Ajat sudah roboh. sebab  amukannya sendiri, dan sebab  serbuan kucing -kucing  itu. Bangkai binatang itu berhamburan di sana sini. Mereka yang berdatangan lalu  lari serabutan saat  gerombolan kucing  yang luar biasa banyaknya itu berhamburan untuk meloloskan diri, sambil menggigit dan mencakar ke kiri kanan. Satu dua orang bertahan dengan senjata kapakkeramat  atau pentungan berupa kayu, tangkai sapu bahkan ada yang membawa linggis.  Seekor kucing  putih menyelinap lewat pintu belakang. Tak seorang pun yang melihatnya. Mereka terlalu kaget dan ngeri oleh  binatang yang mereka hadapi, juga oleh suasana rumah dan pekarangan milik Ajat yang porak poranda. Di antara dinding yang rebah, pintu yang terhumbalang dan atap yang beruntuhan, terkapar mati puluhan ekor bangkai kucing . Mayat Ida ditemukan tergencet lemari pakaian yang tumbang. Di ruang depan rumah, hanya tinggal sedikit kulit dan daging yang masih tersisa di mayat yang mereka kenali sebagai Ajat, guru silat terkenal di desa itu.  Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka alami.   LUKA cakar di tubuh petugas-petugas ronda malam yang ketiban sial di tempat mayat Mar soebandrio  ditemukan, tidaklah seberapa berbahaya. Luka itu diakibatkan polah mereka, mencakari tubuh sendiri dalam usaha melawan serbuan daun-daun yang mereka sangka serbuan kucing . Pak fredy krueger  menyerahkan perawatan mereka sepenuhnya kepa da manteri kesehatan Puskesmas.  Beda halnya dengan lima orang laki-laki pemberani, warga desa yang bermaksud menolorg begitu terdengar huru-hara di rumah Ajat. Luka cakar maupun gigitan yang mereka derita, benar-benar akibat serbuan kucing . Kuku dan  taring binatang binatang itu 
tidak saja mengandung racun. namun  juga mengandung pengaruh jahat roh yang menguasai kucing  kucing  itu.  Pak fredy krueger  terpaksa menangani sendirian kelima orang korban yang malang itu. ia mengerahkan segenap kemampuannya mengobati mereka satu per satu. Tiap kali menyentuh luka yang seorang, sekujur tubuh pak fredy krueger  panas berapi, seakan terbakar sampai ke ubun-ubun. Dari kepalanya sampai ke luar uap tebal yang membuat orang yang melihat, pada mundur dengan perasaan kuatir. lalu  ia terkulai, letih sampai ke jiwa-jiwanya. Kini ia terbaring sendirian di rumah. Sakit.  martini , salah seorang ponakannya yang datang untuk mengantarkan makan siang yang dimasakkan isteri stephenking , baru saja ia paksa untuk pergi ke sekolah. Jangan ikut-ikutan bolos sebab  gempar yang melanda desa sesudah  mayat Ajat dan isterinya dikuburkan pagi hari itu juga.  stephenking  sempat pula menjaganya sebentar. Mereka berdua bicara panjang lebar. lalu  stephenking  ia suruh pulang, dengan dibekali sebilah kapakkeramat  milik uwa-nya untuk dipakai berjaga jaga apabila terjadi sesuatu.  Dari jendela, menerobos masuk cahaya matahari senja. Malam tak lama lagi akan jatuh. namun  lurah desa itu tidak merasa cemas akan dirinya sendiri, ia sudah memagari sekitar rumahnya dengan ajian yang ia percaya sangat ampuh melawan serbuan roh 
jahat, ia hanya mengkuatirkan stephenking  dan anak isteri dan  keponakannya martini  yang tinggal satu rumah dengan stephenking . Ajian yang sama sudah  ia taburkan pula di sekitar rumah ponakannya itu. Namun ia belum merasa puas.  Diam-diam ia merasa, ada sesuatu yang kurang. namun  tidak tahu apa yang kurang itu. Selagi ia berpikir, pintu diketuk orang dari luar. Pak fredy krueger  meluncur dari tempat tidur. Berjalan tersuruk-suruk ke ruang depan dan terkejut sesudah  a membuka pintu.  “Boleh masuk, pak fredy krueger  ?”  “Ah. nyi kembang . Mengapa tidak ?” perasaan letih dan sakit di sekujur tubuh pak fredy krueger , mendadak sontak hilang begitu melihat kehadiran orang yang sudah lama ia impikan. “Tumben, berkunjung. Duduklah ya. Kubuatkan minuman sebentar ...”  “Tak usah repot-repot, pak.”  Melihat wajah nyi kembang sari yang pucat dan sinar matanya yang getir, pak fredy krueger  lalu  duduk dengan perasaan waswas di hadapan wanita lesbian  itu. Bertanya lembut : “Aku gembira kau muncul di rumahku. namun  biarlah, lupakan saja ke-aku- anku. Lebih baik kita bicara tentang kau, nyi kembang . Ada sesuatu yang kau takutkan. Benar ?”  nyi kembang sari menatap lurus ke mata tuan rumah, lalu:  “Kau pernah bilang,” katanya, lirih. “Si nyi girah  sudah kembali.”  
Dingin sekujur tubuh pak fredy krueger . Terbayang di matanya kematian radensoebandrio  . Ajat. Ida. Dan korbar lain yang terluka. Lama, baru ia menjawab : “Ya Kenapa rupanya, nyi kembang  ?”  “Katakanlah terus terang. Seperti apa wujut anakku, pak fredy krueger  ?”  “nyi kembang . Sudah kukatakan aku tidak ingin ...”  “Hatiku tidak saja terluka, pak fredy krueger . Tak usah mencemaskannya. Hatiku kukira malah sudah mulai membusuk. Membusuk oleh hasrat menggebu sebab  ingin tahu siapa pembunuh ayah dan anak ku, dan di mana jasad anakku terkubur. Mungkin pula sudah bernanah, oleh keinginan untuk menyaksikan mereka itu mati. Biar bukan oleh tanganku sendiri.”  “nyi kembang  !” jantung pak fredy krueger  berdetak. Apa yang diucapkan wanita lesbian  itu, sudah lama ia duga akan terlontar juga. Namun saat  sekarang akhirnya ucapan itu terlontar, pak fredy krueger  benar-benar terpukul. Sangat terpukul. Semakin sirna harapannya untuk dapat melamar nyi kembang sari jadi isteri-nya.  “Kau terkejut bukan, pak ?”  “Aku ...”  “sebab  itu, lupakanlah perasaanku pula. Mari kita berbicara mengenai apa yang semestinya harus kita bicarakan,” nyi kembang sari menelan ludah, wa jahnya tampak keruh. “Tadi aku ke warung. Biasa, belanja kebutuhan dapur. Biasanya mereka memperlakukan aku dengan kasar. Mereka membenciku, namun  mereka tidak mungkin membenci uangku. Dan tadi ... Mereka tidak lagi berlaku kasar. Mereka sangat ramah. Malah tampak ketakutan ...”  “Mengapa ?”  “Mana aku tahu. Aku sendiri heran. Tidak tahu apa maksud permintaan mereka.”  “Ha ! Apa pula yang mereka minta padamu, nyi kembang  ?”  “Supaya aku mau turun tangan.”  “Terhadap ?'  “Roh jahat yang kata mereka bergentayangan di desa kita. Roh jahat yang kata mereka muncul berupa gerombolan kucing  yang datang dari segala arah, menghancurkan, membunuh dengan keji, didan i kekuatan sihir !”  “Astaga !” pak fredy krueger  terkejut. “Kurang ajar. Lancang benar mereka mengatakan !”  “Apa salahnya, pak ? Aku sudah  lama jadi kambing hitam. Sekarang mungkin lebih hina lagi : kambing congek. Dan kambing congek inilah yarg mereka harapkan dapat menolong mereka lepas dari kesulitan yang membuat mereka semua tidak dapat tidur,” nyi kembang sari terpejam, kecewa dan marah. Namun masih juga ia mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : “Tahu, pak fredy krueger  ? Mereka bilang, aku sudah  mempergunakan kekuatan sihir untuk 
memaksa semua kucing  keluar dari lubangnya, dan memaksa orang-orang yang malang mencakari diri sendiri...”  “Itu sudah keterlaluan !” pak fredy krueger  terlonjak dari kursinya. “Aku akan mendatangi mereka. Memperingatkan supaya lain kali tidak berlaku sembrono, apalagi tanpa seijin dan sepengetahuan-ku. Aku ...”  “Mereka menyebut-nyebut nyi girah , pak fredy krueger ,” potong nyi kembang sari, tenang. Lurah desa itu terengah. Lantas kembali duduk. Terhenyak. Berkeringat. Katanya : “ ... aku hanya ingin menolongmu. nyi kembang . Meringankan beban penderitaanmu. Tak kubiarkan mereka mengganggumu, menolak uangmu apalagi menjamah keselamatan jiwamu. Kau tahu mengapa, bukan ?”  “Aku tahu, pak fredy krueger ,” mata nyi kembang sari sesaat bersinar, lantas redup lagi dalam sekejap. “sebab  itu, mengapa tanggung-tanggung menolong ? Kepalang basah !”  Pak fredy krueger  bangkit, berjalan mundar-mandir. Semua yang terjadi hari-hari belakangan ini, bahkan di tahun-tahun yang sudah  lama silam, membuatnya resah gelisah. lalu  ia memutuskan: Baiklah. Akan kuberitahu padamu. Kuharap kau tidak semakin terluka, sesudah  mengetahui bagaimana perwujudan anakmu saat  kembali sesudah  sekian tahun menghilang. Namun 
sebelumnya, bicaralah terus terang. Kau tentunya datang menemuiku, sebab  kau punya alasan yang kuat.”  “Ya.”  “Apa itu ?”  “Kolam tempat bermain anakku. Banyak nyi girah  yang sudah  disingkirkan. Yang merah, yang biru, yang kuning, yang Jingga. Pokoknya yang berwarna apa saja, kecuali yang berwarna putih. Hanya anakku yang pernah melakukan hal serupa itu. saat  ia masih hidup. Dan - sesudah  ia datang dalam mimpiku.”  “… ia apa ?”  “Datang dalam mimpiku.” “Jadi, kau tentu sudah tahu perwujutannya.”  “Cuma mimpi. namun  radensoebandrio  , Ajat dan Ida bukan mimpi belaka. Begitu pula nyi girah  nyi girah  yang ditemukan tergenggam di tangan mereka masing-masing. Pemilik warung yang menceritakan Aneh, bukan ? Ada yang memetik kuntum-kuntum nyi girah  yang masih baru dari kolam bermain anakku. Lalu kuntum-kuntum nyi girah  itu ditemukan sudah tergenggam di tangan orang lain. Tangan mayat-mayat itu.”  “Mungkin mereka sendiri yang mencurinya”  “Tak usah mengelak lagi, pak fredy krueger ,” keluh nyi kembang sari, tak sabar. 
“Kau pun tahu sudah sekian tahun lamanya tidak seorang pun berani mendekati rumahku malam-malam. Kata mereka, takut terkena kutuk. Ya Tuhan, aku tidak menyalahkan ayahku pernah jadi pertapa sehingga kami tertimpa kutuk. Aku hanya menyalah-kan diriku sendiri mengapa membiarkan ia menurunkan ilmunya ke pada anakku, sehingga kutuk itu terus berkepanjangan,” kelopak mata nyi kembang sari berlinang butir-butir air bening. Katanya, terdesu-sedan : “Kini dia ... kembali. Bangkit ... dari kuburnya. Kau sendiri yang pernah mengatakan. Jadi, ceritakan-lah pak fredy krueger . Apakah anakku terdapat di antara salah seekor kucing -kucing  itu ?”  Terhenyak lagi lurah desa, hilang akal. “Bodoh,” makinya.  “Ya pak ?”  “Bodoh. Aku bodoh, menceritakan itu padamu. Hanya sebab  ... sebab  aku ingin menolak bala ... ,” ia lalu  mengangkat muka. Berkata tegar: “Ya. Anakmu terdapat di antara kucing -kucing  itu. Namun aku belum pasti benar. Seperti apa rupanya. Seperti kucing , atau seperti apa ia dahulu  adanya. Ini baru dugaanku saja : anakmu tampil dalam wujut kedua-duanya ...”  Dari menangis, nyi kembang sari malah tersenyum. “Syukurlah. Jadi aku tidak lagi bertanya-tanya.”  “Aneh. Kau kok tampak gembira,” tanya pak fredy krueger , heran.  “Aku tidak gembira. Aku cuma pasrah.”  
“Dan membiarkan korban mungkin akan jatuh lebih banyak ?”  “Apa maksud pak fredy krueger  ?” balas nyi kembang sari bertanya.  “Kau pula yang sekarang menghindar,” keluh pak fredy krueger , kecewa, ia sapu wajah dengan telapak tangan, seolah ingin membuang jauh-jauh perasaan enggan untuk berterus terang. Lalu : “Aku sudah lima puluh tahun lebih sekarang ini. nyi kembang . Sedang kau masih muda. Hanya sebab  menyiksa diri, kau tampak lebih tua. Puluhan tahun aku membujang. Belasan tahun pula kau tetap hidup menjanda. Kukira - kau pun sudah lama tahu apa yang tersimpan di sanubariku,” lurah menatap tamunya, sungkan. lalu  tersenyum. Lanjutnya : “Aku tak akan mengutarakan kalimat yang selalu diutarakan orang-orang yang jauh lebih muda dari kita, nyi kembang . Aku hanya ingin memberitahumu menge-nai ini : kau dan aku hidup sendirian. Tak lama lagi kita pun akan menyusul orang-orang yang sudah  lebih dahulu pergi dari kita. Nah ...,” pak fredy krueger  menelan ludah. Puas, sudah  mampu mengungkapkan apa yang selama ini tidak berani ia ungkapkan.  Maka, ia melancarkan serangan terakhir: “Mengapa kita tidak menjalaninya bersama sama? Supaya kelak, bila salah seorang mendahului yang lain, ada yang mendampingi di saat-saat terakhir?”  Wajah nyi kembang sari bersemu merah. ia tersenyum. namun  mulutnya tetap bungkam.  
“Kita sudah sama-sama lanjut usia, nyi kembang ,” kata pak fredy krueger , sabar.  “Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan lambang. Ucapkan-lah, dengan kata-kata,” dan dalam hati, andai masih muda kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan bunga. Bunga ! Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan : nyi girah . Pak fredy krueger  tercenung lagi. Menanti, penuh harap. Sampai akhirnya nyi kembang sari membuka mulut : “Bukannya tidak mau, pak fredy krueger . namun  ...”  “Jadi kau tidak mau !” tukas pak fredy krueger , menge luh. Meski sudah tua, toh hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.  “Dengarkan dahulu ,” nyi kembang sari membujuk. “Aku pernah menyukaimu ... Hanya sayang, dahulu  kau terlambat melamarku.”  Wajah pak fredy krueger  berseri-seri kembali. Katanya, bernafsu : “Tidak ada istilah terlambat untuk melangsungkan niat terpuji, nyi kembang  !”  “Justru itulah sebabnya,” wajah nyi kembang sari kembali murung. “Sekali terlambat, tetap saja terlambat. Aku tahu, kau lalu  kecewa dan mulai bertingkah yang tidak disenangi keluargaku. Ayahku lalu  marah sebab  kau memperdalam ilmu sesat ... jangan tersinggung, pak fredy krueger . Memang itulah yang terjadi di masa lampau, bukan ? Beberapa dari pasien ayahku, diam-diam kau temui. Diam-diam pula kau pergunakan pengaruhmu supaya mereka menyetujui cara pengobatan yang kau lakukan. Kau sengaja membangkit-bangkit siapa musuh-musuh mereka, lalu 
dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu. Dan ayahku yang disalahkan.”  “Kau pun masih tetap marah padaku,” pak fredy krueger  merajuk.  “Tidak. Dari dahulu  aku tidak marah. sebab  aku sadar, semua itu kau lakukan sebab  hati yang patah. sebab  aku menerima lamaran suamiku, meski tahu diam-diam kau juga mencintaiku.”  “Aku tak melihat perbedaannya, nyi kembang .”  “Tidak ? Lupakah kau ayahku sedemikian ma rah sehingga tidak mau lagi mengakuimu jadi mu ridnya ? Dan lalu  bersumpah, keturunannya tidak ia relakan dipersuami atau diperisteri oleh keturunanmu. Maka, sesudah  suamiku meninggal pernah aku berpikir untuk menerima lamaranmu kapan saja kau datang menemuiku. Tahun demi tahun kulalui dengan menyakitkan, pak fredy krueger  Kuingin kita bersatu, sebaliknya kubenci diriku sendiri dan terpaksa berjanji untuk tetap mengabdi pada ayahku. Kau lihat sekarang perbedaannya! bukan ?”  Lurah gemetar. Menggigil hebat. Kursi yang ia duduki sampai terguncang. Lalu, getaran tubuhnya perlahan mere da. Wajahnya yang pucat pasi, kembali memerah Tegar, ia mengeluh, pasrah : “Sudah kubilang. Aku ini bodoh !”  “Boleh aku pergi sekarang ?” suara nyi kembang sari terdengar enggan. Jarang ia bercakap-cakap dengan orang lain selama ini, dan lebih-lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski tidak sangat ia cintai.  Pak fredy krueger  terkejut. “Tunggu,” cegahnya.  nyi kembang sari duduk diam. Menunggu.  “Baiklah. Aku tidak ingin kau melanggar sumpah ayahmu. Sebaliknya, aku sekarang mendesakmu, bukan semata-mata sebab  hasrat bathin dan jasmani sebagai laki-laki ...”  “Tak usah ragu. Katakanlah.”  “sudah  banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang lain. sebab  itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang sedikit? Marilah kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya, sebab  tahu kau ingin melakukan sesuatu yang terpuji.”  “Aku mengerti,” desah nyi kembang sari, getir. “Kita tetap menikah. sebab  itulah salah satu saratnya. Aku tidak mewarisi ilmu yang dimiliki ayahku. Namun aku mewarisi darahnya. Darah turunannya. Yang kalau disatukan dengan darah orang yang juga punya ilmu, apalagi ilmu yang pernah diajarkan ayahku, maka akan tercipta kekuatan dahsyat untuk menggempur kedurjaan roh roh jahat...”  “Syukur, kau memahami,” pak fredy krueger  tersenyum.  nyi kembang sari tidak tersenyum. Hambar, ia berkata : 
“Sayangnya, kau lupa orang yang akan digempur itu, anakku sendiri !”  Senyum pak fredy krueger , sirna sesaat .  “Aku bukan manusia yang sempurna, pak fredy krueger . Betapa sukar untuk hidup sebagai wanita lesbian  suci. Apalagi di tengah lingkungan masyarakat yang mengucilkannya, memperhinakan-nya,” nyi kembang sari bergidik. “ Jadi, sebagai manusia yang tidak sempurna, akupun tidak pernah lepas dari keinginan terkutuk itu, pak fredy krueger . Keinginan untuk mengetahui siapa-siapa pembunuh anak dan ayahku. Keinginan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana mereka lalu  mati tersiksa, untuk menebus dosa-dosanya.” Sesaat , meluaplah kemarahan tuan rumah. “Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !”  “Tebusan dosa,” sahut nyi kembang sari, angkat pundak lalu bangkit dari tempat duduknya. Berjalan ke pintu. “Sekarang aku tahu, si radensoebandrio   dan si Ajat terlibat. Siapa, berikutnya, aku sudah tak sabar menanti.” nyi kembang sari lalu  pergi. Tanpa pamit.  Meninggalkan pak fredy krueger  tegak termangu mangu, gundah. Gelisah. Berpikir ketakutan : “Tahukah dia ? Tahukah dia ?” ia jatuh terduduk. Mengeluh : “Tidak. Tidak mungkin.”  Mengapa tidak mungkin ? Taruhlah tidak ada yang membuka mulut.  namun  nyi kembang sari bagaimanapun keturunan seorang guru ilmu kebathinan. Dan sebagai wanita lesbian  yang lama hidup menyendiri dengan pikiran-pikiran dan  lamunannya, nyi kembang sari punya naluri. Dan nalurinya itu sudah  lama membisikkan ke telinga nyi kembang sari, bahwa fredy krueger  terlibat.  Ya. ia sudah  terlibat. Dalam, sangat dalam malah. Membantu anak-anak muda itu membunuh ayah nyi kembang sari, membiarkan mereka menggagahi pu-terinya yang mayatnya dibuang entah ke mana. Lebih dalam lagi ia terlibat. Membantu pasien-pasien ayah nyi kembang sari melampiaskan iri hati dengan mengirim ilmu hitam ke musuh-musuh mereka. Dia tidak pernah tahu, salah seorang musuh pasien itu justru adiknya sendiri, ayah si stephenking . ia baru tahu, sesudah  segala sesuatunya terlambat.  Kalau ilmu hitam yang ia kirim ke tubuh adiknya ia tarik kembali, maka ilmu itu akan berubah jadi senjata makan tuan. fredy krueger  sudah  membunuh adik kandungnya sendiri. ia sudah  membunuh ayah nyi kembang sari. Secara' tak langsung ia ikut pula membunuh orang lain nya : si nyi girah . radensoebandrio  . Ajat. Ida. Dan mungkin pula stephenking  dan  anak isterinya.  “Aku harus menemui si stephenking  !” jeritnya dalam hati, ketakutan.  namun  baru saja ia mau bangkit, tubuhnya sudah limbung. Jatuh ke lantai. Semua siksaan yang terjadi saat  ia mengobati warga desanya akibat serbuan kucing -kucing  berkekuatan gaib itu, kembali  muncul. Semakin parah. Semakin menyakitkan. sebab  kini ditambah pula oleh kenyataan: nyi kembang sari menolak lamarannya!  Sekujur tubuhnya panas lagi. Membara seperti semula. Kulit bagai melepuh, tulang bagai merapuh.  Dengan susah payah, ia lalu  merangkak ke kamarnya. Naik ke tempat tidur. lalu  rebah dengan jasmani yang luluh lantak. “Aku harus memusatkan pikiran,” gumamnya.  Lalu ia membuang segala sesuatu dari benaknya. Dari hatinya. Dari jiwanya. Benak, hati dan jiwa itu harus bening, jernih. Mungkin bercampur hitamnya jelaga, sebab  dosa-dosanya di masa lalu. namun , benak, hati dan jiwa itu harus kosong. Hampa. Supaya pengaruh jahat itu hilang.  Dengan begitu, kekuatannya akan pulih.  Dan ia kembali siap.   SUDAH lewat tengah malam, stephenking  tak juga bisa tertidur, ia berbaring dengan gelisah. Meskipun udara malam itu dingin sekali, sekujur tubuhnya ia rasakan banjir peluh. Bebunyian ceng-kerik dan pungguk menyambut renyai-renyai hujan di luar, benar-benar mendatangkan perasaan tidak enak. Biarpun bebunyian itu sudah merupakan musik abadi di desa mereka  malah seperti peninabobo yang mengasyikkan bila malam mulai turut menyapu bumi. “Tak usah dipikirkan, Dung !” ia ingat pesan uwanya beberapa hari yang lalu. “Aku sudah memanterai seluruh rumahmu. Yang pokok, jangan kau keluar sendirian dari rumah.”  stephenking  percaya pada ucapan uwanya bahwa rumah mereka akan aman dari gangguan nyi girah . namun  mengapa saat  berkata-kata itu, sang uwa kelihatan pucat dan suaranya gemetar? Mata pak fredy krueger  membayangkan rasa cemas. Seolah-olah bukan ditujukan pada stephenking  seorang.  Diam-diam, stephenking  merasa khawatir kalau uwanya itu juga dihinggapi perasaan waswas. Setidak-tidaknya sebab  ia turut campur dalam usaha pembunuhan kakek nyi girah , dan uwanya itulah yang paling getol menuduh kakek nyi girah  sebagai tukang teluh.  “Krontang ... !!”  stephenking  tercekat bangkit dari baringannya. Dengan wajah pucat ia diam mendengarkan. namun  suara berisik dari arah dapur itu tak terdengar lagi. ia menghela nafas. “Mengapa aku begitu takut ?” tanyanya dalam hati. “Uwa sudah  memberikan mantera-mantera. nyi girah  tak akan berani. Ya, hantu penasaran itu tidak akan berani menggangguku.”  Selintas teringat olehnya cara kematian Ajat dan isterinya.   Lalu dengan takut takut ia coba berbaring kembali.  “Krrraaaak !”  Terpentang lebar mata stephenking . Keringat membasahi jidatnya.  “Krrraaaak, ciuttt... byeaaarrrr... !”  Jendela ! Itu suara jendela dibukakan orang, su ngut stephenking  dalam hati.  nyi girah kah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang beberapa bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah penduduk. Pasti ! Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela ! “Awas kau !” bisik stephenking  dengan muka tegang. lalu  ia meluncur turun dari ranjang. Diam-diam, tanpa menimbulkan suara. Sekilas ia menoleh pada Mira, isterinya. wanita lesbian  itu lelap sekali tidurnya.  Sepanjang hari tadi ia demikian capek mengatur pekerjaan dan makan penduduk yang membantu menanam bibit baru di sawah-sawah mereka. Ah, biarlah ia tak usah diganggu, pikir stephenking .  Lalu ia mengenakan piyama yang ia gantungkan pada paku di dinding kamar sebelum naik ke atas ranjang bersama Mira. Dari dekat gantungan pakai an itu ia sambar sebuah kapakkeramat . Gagang kapakkeramat  itu terbuat dari akar rotan, berukir naga. kapakkeramat  itu senjata keramat pemberian pak fredy krueger . Terngiang kata-kata uwanya itu beberapa hari yang lalu :  
“Kalaupun misalnya nyi girah  berhasil menjebol rumahmu, tunjukkan parang ini ke mukanya. Ingat, kucing  paling takut pada ular !”  “Hem,” sungut stephenking  perlahan. “Tidak ke nyi girah , apa salahnya kupergunakan kapakkeramat  ini menghadapi pencuri itu. Biar dia kapok !” ia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Ruangan tengah rumahnya gelap. Memang martini  sudah mematikan lampu sebelum naik tidur. Hanya ada sedikit cahaya lembut dari bawah pintu kamar anak-anak mereka.  stephenking  membiasakan matanya dalam gelap. lalu  berjingkat ke pintu kamar anak-anak itu, sebab  jendela-jendela ruangan tengah tampaknya tidak diganggu. Dengan mendorong-nya sedikit, pintu kamar terbuka. panjisemirang , anak mereka yang berumur tiga tahun tampak mering kuk memeluk bantal guling, sementara adiknya Lina yang setahun lebih muda, celentang dengan mulut terbuka. stephenking  kurang tau siapa di antara dua anak itu yang sedang mendengkur dengari kerasnya.  “Mungkin Lina salah tidur,” pikirnya sambil  tersenyum dan menutupkan pintu kamar kembali Lalu ia berjingkat-jingkat ke kamar makan. Lampu teplok di sana masih menyala. namun  kelap kelip nya sudah  semakin kecil.  Ah, ia lupa mengisikan minyak tanah tadi sore untuk lampu itu. Diintip nya lewat kain tirai.  
Pintu kamar makan menuju dapur tertutup rapat. Juga jendela samping. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati jendela itu. Merabanya. Terkunci. Dari situ ia menuju pintu ke arah dapur. Mungkin pencuri itu masuk dari sana. Sebab tadi ada bunyi kerontang, entah tersepak kuali si orang sial itu.  Tanpa menimbulkan bunyi, ia buka pintu dapur. Gelap. Gelap sekali. namun  ia segera terbiasa dengan bayangan gelap itu. kapakkeramat  di pinggang ia pegang gagangnya, ia elus-elus, lalu  dicengkam dengan kuat. Siap untuk sesewaktu ia layangkan, kalau si pencuri bermaksud menyerang.  namun  tidak ada gerakan di dapur. Juga tidak ada bayangan yang mencurigakan. Tak ada suara-suara. Kecuali cengkerik dan pungguh di luar rumah yang tiba-tiba menghentikan nyanyian-nyanyian mereka.  Diganti oleh desah nafasnya sendiri yang kencang.  “Bau apa itu ?” ia berbisik. Dilebarkannya lubang hidung. “Bau wangi,” bisiknya, ia berjingkat-jingkat ke tengah dapur. “Bukan. Bukan di sini. namun  di kamar mandi.”  stephenking  menjadi penasaran. Dengan sekali sentak, pintu kamar mandi terbuka. Bau wewangian itu menerobos keluar lebih semerbak. Lalu muncul bayangan putih. Mula-mula seperti asap. Datangnya dari arah lubang pembuangan air. Asap memutih itu kian banyak dan banyak, perlahan-lahan membentuk sebuah 
wujud sementara stephenking  berdiri dengan tubuh kaku dan gemetar saking terke jut dan takut. Rasa terkejut dan takut itu tiba-tiba sekali menyerang dirinya sehingga ia tidak kuasa untuk bergerak, bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang menganga ataupun matanya yang ter-pelotot memperhatikan keajaiban yang terjadi di dekatnya.  Hanya dalam sekejap, bayangan putih itu sudah  membentuk wujud seorang manusia berjenis wanita lesbian . Wajahnya cantik dan menawan, rambut-nya panjang tergerai sampai di pinggul, dan pakaian tipisnya seperti terbuat dari sutera putih tanpa jahitan, yang menyelubungi seluruh tubuh sampai ke lantai, sehingga kakinya pun tidak tampak.  “ ... heran, Dung ?”  Suara itu seperti dari jauh. Sayup-sayup sampai.  “He, stephenking  !” ulang suara itu lebih keras.  Napas stephenking  terlempar keluar. Keringat dingin sudah  mem-banjiri tubuhnya. Tangannya yang memegang bendul pintu kakus, ingin ia lepaskan untuk bisa menyambar kapakkeramat  di pinggang. namun  aneh, seluruh tubuh dan persendiannya seperti lumpuh.   “Siapa ... kau ?” bisiknya dengan gemetar. “Ah, masa lupa ... ?” “Siapa ?” 
“Yang dahulu . Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-tama meniduri aku, sebelum temanmu radensoebandrio   ?”  Rasakan copot jantung stephenking .  “Tid ... daakkk!”  “Tidak apanya ?”  “Kau bukan si ... si nyi girah .”  “Lalu siapa ? Tidak ingatkah kau bahwa sesudah  kalian perkosa dan cekik leherku, jasadku lalu  menghilang ? Sekarang, inilah aku. Inilah aku. Tak usah kau tau, ini jasad atau rohku, bukan ? namun  aku kini lebih cantik Dung. Lebih mempesona. Lebih menggairahkan. Maafkan, bukan aku memuji diri sendiri. namun  sebab  aku ingin kau rayu. Bertahun-tahun aku menginginkan agar kau kembali meniduriku. Terserah padamu. Secara kasar seperti dahulu , ataukah dengan lembut seperti yang kau lakukan pada isterimu Ina itu,” nyi girah  tersenyum.  Begitulah. Dengan tiba-tiba sekali, perasaan stephenking  tergoncang. Rasa takut dan ta'jubnya lenyap dengan mendadak, ia tidak mengerti mengapa, namun  lalu  ia malah tidak perduli. ia kini dapat berdiri tenang, mencoba memperlihatkan kejantanannya sebagai laki-laki. Dan memang, kelelakian-nya sudah  tergoncang begitu melihat keseluruhan wujud dan tantangan yang mesra dari wanita lesbian  yang cantik jelita itu.  “ ... bagaimana kau masuk ke sini ?” tanyanya lebih berani.  “Ah, gampang.”  “namun  ... uwa sudah  meludahi seluruh penjuru rumah.”  nyi girah  tertawa, ia mengelus pipi stephenking , sehingga jantung lelaki itu berdegup tidak teratur. “Ah. Uwa-mu lupa meludahi lubang air ini.”  Sesaat, stephenking  teringat pada kapakkeramat  di pinggangnya.  “Jangan !” sungut si wanita lesbian . “Jangan sentuh itu. Kau tak memerlukan kapakkeramat  itu untuk bisa meniduriku, bukan ?”  Dengan lemah, stephenking  mengangguk. Tatapan mata wanita lesbian  itu benar-benar membuatnya tidak berdaya untuk membantah. kapakkeramat  itu ia cabut, lalu ia lemparkan persis jatuh ke dekat mulut lubang air itu. stephenking  tersenyum tipis. Katanya: “Kau tak akan bisa pergi lagi, nyi girah . Lubang tempatmu muncul sudah  tertutup.”  nyi girah  balas tersenyum.” ... aku akan pergi dari mana dan kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku sudah  berubah, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga tidak semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku masuk berbentuk kucing , dan di depanmu aku kini muncul sebagai manusia.” 
 Tercekat kerongkongan stephenking . “namun  ... namun …” ia berkata dengan gagap.  “Mengapa tak kau rayu aku, Dung ? Mengapa?” si wanita lesbian  menyeringai.  Sekilas, stephenking  menangkap bayangan gigi-gigi taring nyi girah . Panjang dan runcing-runcing. Semakin lebar nyi girah  menyeringai, semakin panjang dan  semakin runcing gigi taringnya.  “Mengapa, Dung ? Atau ... kau mau memperkosaku ?” sungut nyi girah , lalu  ia tertawa. Mengekeh. Mengekeh dan mengekeh, semakin lama semakin lebar sehingga tampaklah lidahnya yang merah bagaikan darah. Darah stephenking  berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya kembali kaku dan lumpuh. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata menceracau ...  “Tidak ... ttitidak ... tidak !”  “Ayolah !” maki si wanita lesbian . Kini wajahnya berubah ganas. Matanya bersinar-sinar. “Ayolah. Lakukan seperti apa yang kau lakukan dahulu  pada diriku. Lakukan ! Lakukan ! Mana keberanian-mu ?”  Lalu wanita lesbian  itu menjambak kerah baju stephenking . Laki-laki itu terkesiap. Tenaganya tiba-tiba muncul, ia mulai meronta. namun  dengan ganas, nyi girah  menyobek-nyobek seluruh baju yang  dipakai stephenking , mencabik-cabiknya dengan kuku dan gigi taring. stephenking  mencoba berteriak meminta tolong, namun  tenggorokannya bagaikan tersumbat. Licinnya lantai kamar mandi memicu  tubuhnya goyah.  Tiba-tiba ia jatuh terjerembab, diikuti oleh si wanita lesbian .  Bunyi tubuh stephenking  bergedebuk keras, sementara tubuh si wanita lesbian  yang ikut jatuh tidak menimbulkan suara apa-apa. Dengan mata melotot ketakutan, stephenking  memperhatikan nyi girah  yang mendekatkan wajahnya ke wajah stephenking . wanita lesbian  itu mulai mencium seluruh wajah stephenking , namun  si lelaki sudah demikian ketakutan sehingga tidak terangsang sama sekali. Lebih-lebih saat  tenggorokannya mulai dijelajahi oleh lidah nyi girah , ia mencoba memekik, namun  taring-taring yang runcing sudah  menghunjam dalam, dalam sekali.  “Aaaaaaaaghhhhhhkkkkkk !” barulah stephenking  bisa menjerit. Kedua kakinya meronta-ronta, menendang-nendang ke sana ke mari menimbulkan bunyi ribut-ribut sebab  menyambar daun pintu kamar mandi yang terbuat dari seng. Dengan mata terbeliak, stephenking  melihat bagaimana wujud wanita lesbian  itu berubah jadi bulat memanjang menggembung di tengah dan ... tangannya yang tadi meraba lengan berselaput kain sutera, seakan-akan memegang kaki-kaki kurus yang berbulu ...  stephenking  memekik lebih keras dengan sisa-sisa suaranya. 
Dan dari dalam rumah terdengar bunyi ribut, lalu pekikan wanita lesbian  memanggil-manggil nama stephenking , langkah-langkah berlari dan saat  tiba di ambang pintu kamar mandi, wanita lesbian  itu mengeluarkan jerit lengking mengerikan.   SUARA jeritan di belakangnya, membuat kucing  putih besar yang sedang menggerogoti bagian tubuh stephenking  yang paling vital itu, terdongak, ia lalu  meloncat. Demikian cepat dan tepat. Dalam satu loncatan saja, kucing  putih yang besar mengerikan itu sudah  hinggap pada Mira. Satu cakaran sudah  cukup membuat Mira jatuh lunglai, pingsan sebab  kaget, sekalipun lukanya berupa goresan kecil saja.  kucing  putih itu meloncat dari Mira, menjauh dengan tenang, ia berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Lehernya mengembung, lalu  cicitnya yang keras dan nyaring menggema di kamar mandi dan seluruh rumah.  Dari loteng, dari lemari, dari dapur, dari tiap sudut bermunculan kucing -kucing  biasa berwarna hitam legam. Mereka semua berkumpul di ambang pintu kamar mandi. kucing -kucing  itulah yang menimbulkan bunyi ribut di dapur rumah stephenking , dan kucing -kucing  itulah yang lalu  dengan diam dan patuh mendengarkan cicit kucing  putih yang besar di hadapan mereka.  
stephenking  yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat dengan mata terbeliak bagaimana kucing -kucing  itu lalu  beramai-ramai menuju lubang kakus. kucing -kucing  itu lalu  perlahan-lahan menggotong kapakkeramat  yang tadi terlempar.  Sedikit demi sedikit, kapakkeramat  itu ditarik ke luar, lalu  mereka seret beramai-ramai dan saling berebut, sehingga hanya tampak sekilas ujung kapakkeramat  yang berbuat dari besi campuran baja. kucing -kucing  itu menarik kapakkeramat  itu terus ke dapur, dan satu cicitan yang keras dan nyaring menimbulkan bunyi riuh lagi di dapur. Bunyi barang-barang bertubruk, bunyi cicit kucing  saling bersahut-sahutan, dan lalu  tiada bunyi apa-apa lagi. Semua sepi, sepi dan sepi....  Tersentak jantung stephenking  saat  sebuah benda hinggap di dadanya. Tak lain dari kucing  putih itu. stephenking  coba menggerakkan tangan untuk menghantam, namun  sang kucing  cuma menyeringai. stephenking  benar-benar kehilangan tenaga, dan hanya bisa melihat bagaimana kucing  itu berubah wujud perlahan-lahan menjadi nyi girah  kembali. nyi girah  duduk bersimpuh di dekat kepala stephenking .  “ ... aku tahu kau masih hidup,” bisik nyi girah  di telinga stephenking .  “Tapi kau akan segera mati. Mati, sesudah  kau sampaikan pesanku pada uwa-mu. Si fredy krueger  terkutuk itu !”  
stephenking  tak bisa berkata-kata.  “Bilang pada uwa mu, padanya supaya datang ke perkebunan. Ada longsor di sana dan ... Ah, sudahlah! kutunggu dia di malam bulan purnama. kalau uwa-mu tak memenuhi permintaanku, itu tandanya ia pengecut. Dan aku akan mengerahkan seluruh kucing  kucing  yang ada di daerah ini untuk menyebar hama penyakit dan memusnahkan padi dan tanaman apa saja yang bisa dimakan penduduk !”  Sehabis berkata demikian. nyi girah  tersenyum. Lembut dan manis sekali. Wujudnya yang menakutkan tidak terlihat sedikitpun. ia tampak demikian cantik; mempesona dan menyenangkan hati. Tangannya yang halus bergerak ke belakang kepalanya. saat  turun kembali, sudah  menggenggam beberapa kuntum bunga nyi girah  berwarna putih. Kuntum bunga itu ia genggamkan pada telapak tangan stephenking . Lalu, ia tersenyum kembali. Manis dan mempesona.  “Hanya inilah yang bisa kuberikan sebagai tanda dariku,” bisiknya dengan lembut. lalu  perlahan-lahan ia menghilang, meninggalkan asap-asap putih yang menggulung ke arah lubang pembuang an air.  Di saat berikutnya terdengar suara kucing  menci-cit nyaring, lalu kecipak air di dalam lubang yang semakin lama semakin menjauh. sesudah  itu sepi. Sepi sekali. Dan bunyi cengkerik dan pungguk di 
luar sana, perlahan-lahan kembali menggema me-musiki kesenyapan subuh. Makin lama makin ramai. Kokok ayam pun ikut memeriahkan suasana, lalu matahari pagi yang lalu  muncul menyi nari bumi... .  stephenking  merayap ke pintu.    SEPANJANG malam nyi kembang sari tidak tidur, ia hanya duduk di sebuah kursi. Matanya tidak mau mengantuk. Tidak pula ada kemau-annya untuk berbaring, ia lebih suka berjaga, sambil menunggu. Siapa tahu nyi girah  muncul lagi, dan bukan hanya sekedar dalam mimpi, ia ingin melihat anaknya. Memeluk dan menciuminya dengan penuh kasih sayang, apapun bentuk perwujudannya. ia juga akan bertanya kepada anaknya : siapa korban berikut? Supaya aku ikut menyaksikan ! sesudah  aku tahu, barulah aku puas. Lalu aku rela menyusulmu. Menyusul ayahmu. Menyusul kakekmu. Lalu kita akan berkumpul lagi seperti biasa. Akan kita cari suatu tempat, di mana lebih banyak nyi girah  dan aku akan menyingkirkanan bunga-bunga yang warnanya tidak kau sukai.  Untuk itulah selama ini nyi kembang sari mampu bertahan supaya tetap hidup, ia ingin melihat siapa siapa mereka itu. Ingin menyaksikan, mereka menebus dosa. namun  malam ini, sesudah  ia 
berbincang-bincang panjang lebar dengan pak fredy krueger , timbul kebimbangan dalam hati nyi kembang sari. Benar, ia tidak mampu jadi wanita lesbian  suci. ia bukan seorang manusia yang sempurna, ia juga tak lepas dari dosa.  “Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !” Terngiang ucapan pak fredy krueger .  Itu juga adalah dosa. Membiarkan korban jatuh semakin banyak. Terhadap pembunuh-pembunuh anaknya, ia tidak begitu acuh. namun  mereka yang lain, yang nyi kembang sari yakin tidak ikut terlibat toh akhirnya terpaksa jatuh jadi korban. Ida. Dan beberapa orang lain yang luka luka.  Salah seorang ia dengan gagal diobati pak fredy krueger , dan mungkin malam ini sudah menghembuskan nafas. Padahal orang itu punya sembilan anak yang masih membutuhkan kasih sayang, tiga di antaranya masih terlalu kecil untuk dapat memahami apa itu dosa.  namun  menyatukan darah dan bathin dengan pak fredy krueger , wahai. Ayah nyi kembang sari pasti menggeliat resah di kuburnya.  Terngiang lagi ucapan laki-laki itu : “Kita harap saja roh ayahmu bersedia menarik sumpahnya. sebab  tahu kau ingin melakukan sesuatu perbuatan yang terpuji.”  Menghentikan terror dan pembunuhan itu memang perbuatan terpuji.  
namun  itu berarti sekaligus ia mencegah anaknya melakukan pembalasan dendam. Pembalasan yang dilandasi nama baik keluar ga. Nama baik ?  Apa pula itu nama baik ? Tak le bih dari selembar kertas basah. Satu sentuhan kecil saja, nama baik itu pun hancur.  nyi kembang sari terpejam. Bimbang lagi.  Lalu mendadak, kelopak matanya terbuka lebar, ia telengkan kepala. Diam, mendengarkan. Bunyi apakah itu ? Seperti suara sesuatu tercebur ke dalam air.  nyi kembang sari bangkit dari duduknya. Berjingkat-jingkat ke jendela ia buka hati-hati. Gelap di luar rumah. Hanya diterangi sinar rembulan yang terlindung oleh bayangan pepohonan. Bayangan itu jatuh memanjang ke arah kolam kecil, tempat anaknya semasa hidup senang bermain.  Permukaan kolam beriak. nyi kembang sari menajamkan pandangan matanya, lalu melihat benda-benda kehitam-hitaman berenang dari tengah kolam, menyeret setangkai besar rumpun nyi girah . Tiba di tepi, benda-benda itu naik. Barulah ia mengetahui, benda-benda itu berupa kucing  kucing  sebesar kucing, yang dengan taring-taringnya memetiki kuntum nyi girah  yang masih baru.  Tercekat nyi kembang sari, sebab  perasaan bergalau. “Yang manakah anakku?”  
Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuka jendela lebar lebar dan berseru perlahan sebab  suaranya sedemikian gemetar : “Hei, nak... !” Beberapa ekor kucing  yang tadi menggotong rumpun nyi girah , sama terkejut. Satu dua mendongak ke arah jendela. Yang lain menggigit tangkai kuntum nyi girah  yang sudah dipetik lantas ngacir melarikan diri, diikuti kucing  kucing  yang lainnya.  “Tunggu !” teriak nyi kembang sari, lalu ia berlari ke pintu, membukanya dan berlari lagi ke tepi kolam. Tak seekor pun kucing  itu yang tampak sekarang. Tinggal rumpun nyi girah  yang kuntumnya baru dipetik. Rumpun itu dibawa riak air, merayap kembali ke tengah kolam. Liar, mata nyi kembang sari mencari-cari. Namun tak seekor pun makhluk tadi kelihatan.  “Jangan pergi !” hampir menangis wanita lesbian  itu, saking kecewa. “Aku ingin melihatnya. Melihat anakku ...”  Lalu seperti orang linglung ia berkeliaran sekitar rumah, menyebut-nyebut nama anaknya, menyatakan keinginannya untuk bersua, menjeritkan rindunya yang lama tersiksa. Dari rumahnya ia pergi ke jalan. Mencari-cari di sekitar rumah tetangga. Terus saja ia mencari, dari satu rumah ke lain rumah, melihat-lihat ke kolong, ke belakang kandang mengibas-ngibaskan rerumputan ilalang, berlari-larian dari satu pohon ke pohon lain. Mulutnya terus kumat-kamit menyebut-nyebut nama 
anaknya, dengan air mata yang mulai terurai. Seluruh desa, hening. Lengang.  Kematian yang susul-menyusul membuat semua penduduk sejak sore hari sudah pada mengunci diri. Tak ada yang mau meronda. Bahkar, ternak-ternak ikut bersembunyi, enggan melihat wajah maut yang mengintai dari tengah kegelapan malam. Di beberapa rumah korban perbuatan nyi girah , ia dengar isak tangis. namun  jendela dan pintu rumah-rumah itu juga tertutup rapat. Lampu-lampu minyak dengan susah payah berusaha melawan pengaruh kegelapan yang demikian dahsyat. nyi kembang sari terus saja mencari. Mencari dan mencari.  “nyi girah , anakku. nyi girah , anakku. Di mana kau, nak ?”  nyi girah . nyi girah . Sekuntum nyi girah  sudah  pula dipetik. Mungkinkah itu berarti akan ada kor ban pula malam ini ? namun  siapa ? Ya Tuhan, coba andaikata nyi kembang sari tahu. ia menyesali pikiran pendeknya, buru-buru memanggil. Mestinya ia turun diam-diam dari rumah lalu mengikuti ke arah mana kucing -kucing  itu pergi membawa kuntum nyi girah .  Sambil menyesali diri, otak nyi kembang sari terus berjalan.  radensoebandrio   sudah jatuh jadi korban. lalu  Ajat. Siapa yang berikutnya? Bukan. Bukan begitu bunyi pertanyaan yang harus dipikirkan. Coba ini: siapa orang yang kira-kira masih atau pernah satu komplotan dengan radensoebandrio   dan Ajat ?  
Kakinya terus pula melangkah. Dengan mata jelalatan.  Akhirnya ia melihat sesosok bayangan menyelinap ke luar dan salah satu rumah. nyi kembang sari bergegas memburu. Bayangan tadi bergegas pula berlari ke rumah yang terdekat. Terdengar suara pintu digedor-gedor, lalu suara anak wanita lesbian  yang berteriak-teriak histeris, “Tolonglah, Tolonglah ! kucing  kucing  itu menyerbu rumah kami. Ya Tuhan, tolonglah. Kang stephenking  ...”  Tak ada yang berani membuka pintu. Setiap orang di dalam rumah yang digedor itu masih ingat bagaimana keadaan mayat radensoebandrio  , lalu Ida dan Ajat apalagi. lalu  orang-orang lain yang bermaksud menolong. Mereka juga ingat kepada pak fredy krueger . Seorang kepala desa, seorang yang punya ilmu, namun  toh kewalahan mengobati mereka. Bahkan ikut jatuh sakit.  Tidak. Tidak ada yang berani membuka pintu.  Penghuni rumah malah semakin rapat berpeluk an satu sama lain.  Bayangan di luar rumah, seorang gadis tanggung, menangis terisak-isak dan dengan panik berlarian ke rumah yang lain untuk meminta tolong. Gadis tanggung itu bentrok dengan nyi kembang sari, yang berlari menyongsong.  “Ada apa, nak ? Kau martini , bukan ?”  “Ya. Bu. Saya suara tangis martini  mendadak sontak hilang lenyap. ia melihat ketakutan ke arah nyi kembang sari. Mundur dengan muka 
pucat dan mata ngeri. “Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon, jangan ... !”  “Nak, aku justru mau membantu,” entah mengapa nyi kembang sri dapat berkata demikian. Membantu mereka, mengusir roh jahat si nyi girah , anak kandung kesayangannya sendiri. “Mari kita pergi sama-sama ke rumahmu.”  “Tidak. Kau tak boleh masuk !”  “Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin menolong saudaramu, bukan ? Ayolah lantas tanpa menunggu jawaban nyi kembang sari berlari-larian masuk ke rumah stephenking . sesudah  ragu sebentar, martini  lalu  mengikut di belakangnya.  stephenking  tergeletak di ruang tengah. Wajah dan lehernya penuh luka-luka menganga. Darah membanjiri lantai.  Seorang yang lain, Mira isteri stephenking  tengah ditarik-tarik dua anak mereka yang masih kecil-kecil ke kamar tidur. Anak-anak itu terus menangis lalu lari serabutan menyembunyikan diri begitu melihat nyi kembang sari masuk. Baru sesudah  martini  ikut masuk, kedua orang bocah itu keluar dari persembunyiannya dan merangkul bibi mereka dengan wajah pucat ketakutan.  “Apa yang terjadi ?” tanya nyi kembang sari sambil berjongkok untuk memperhatikan luka di leher stephenking , lalu  juga selangkangannya. nyi kembang sari terpejam ngeri memandangi leher yang tercabik-cabik dan kemaluan stephenking  yang tinggal sepotong, 
ia hampir muntah. Mundur beberapa tindak. “Tuhanku !” desahnya, lirih. Baru sekarang-lah ia menyaksikan sendiri hasil perbuatan roh jahat yang mereka katakan perwujutan anaknya, si nyi girah . Selama ini ia cuma mendengar. Dan mendengar, tidak seberapa akibatnya dibandingkan dengan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.  Pelan-pelan, stephenking  membuka matanya. martini  tak berani mendekat, ia bergerak ke pojok ruangan, berusaha supaya ponakan-ponakannya yang bocah itu tidak melihat ayah mereka bergerak sekarat. Takut-takut, nyi kembang sari mendekat. “Mau mengatakan sesuatu, Dung ?”  Pandangan stephenking  kabur, ia tidak dapat mengenali wanita lesbian  itu. “Siapa kau ?”  Mulanya nyi kembang sari mau memberitahu. lalu  ia ingat ketakutan di wajah martini  waktu mereka kepergok di luar rumah, ia ingat pula kebencian yang selama ini ditujukan penduduk ke alamat dirinya. Dengan menahan hati, nyi kembang sari mencoba tersenyum. Katanya : “Berbaring sajalah. Akan kupanggilkan seseorang untuk mengobati luka-lukamu.”  “ ... pak Mir - taaa,” ujar stephenking , terputus-putus.  “Ya. Ya. Memang dia yang mau kupanggil...” 
“Jangan !”  “namun ...”  “Aku tak kuat lagi. Rasanya begitu panas. Aku yang berteriak-teriak histeris : “Tolonglah. Tolong-leherku sudah putus ?”  Kalau putus, tentulah dia tak dapat bersuara.  namun  itu bukan jawaban yang pantas. nyi kembang sari mengatakan yang lebih pantas : “Hanya luka sedikit.”  “Sedikit ? Kok sakitnya ia menggeliat-geliat, berusaha mengangkat tangannya, namun  tidak mampu. “Oh ... oh ... aku merasa lumpuh seluruh badan. Aku akan mati... mati.” stephenking  mulai menangis, tersedu-sedu.  martini  cepat-cepat menarik kedua orang ponakannya, pergi menjauh ke dapur. namun  ia berusaha sedapat mungkin untuk dapat mengintai ke ruang tengah. Kalau-kalau wanita lesbian  sihir itu berbuat sesuatu terhadap saudaranya ... !  “Dengarkan !” stephenking  menggapai tangan nyi kembang sari. “Temuilah pak fredy krueger . Katakan ... katakan ... si nyi girah  yang membunuhku. Dia... dia ... kucing  busuk ! kucing  haram jadah itu juga melukai Mira. Mira ... mana Mira ? Miraaaa.”  nyi kembang sari melongok lewat pintu kamar. Mira menggeliat, lalu  diam. Mudah-mudahan cuma pingsan, do'a nyi kembang sari dengan tulus.  Ya Tuhan, jangan ambil nyawa mereka yang tidak 
bersalah ! “Isterimu baik baik saja,” katanya, ter bata-bata. “Kau tadi menyebut nama pak fredy krueger . Apakah dia ... “  “Dia, menunggunya !”  “Dia siapa ? Menunggu siapa ?”  “Si nyi girah .”  “Di mana ?” merinding bulu punduk nyi kembang sari, membayangkan ia akan bertemu dengan anaknya. “Katakanlah, di mana ?”  “sesudah  purnama ... ,” stephenking  semakin lemah suaranya. Terpaksa nyi kembang sari mendekatkan kuping ke mulut stephenking , dan mendengar apa yang dipesankan oleh nyi girah  kepada pak fredy krueger . “Bunuh ... ,” rungut stephenking , geram. “Bunuh gadis terkutuk itu untukku ... !” Lalu kepalanya terku lai.  stephenking  sudah  menyusul radensoebandrio  . Menyusul Ajat.  nyi kembang sari terdiam sejenak. Lalu bangkit terhuyung-huyung. Tubuh setengah telanjang yang mengerikan itu, terlalu seram untuk terus ia lihat. nyi kembang sari berpaling. Dan matanya bertemu dengan mata martini .  Anak tanggung itu mungkin sudah berusia lima belas. Lebih tua beberapa tahun dari nyi girah . namun  mata martini , tak ubah-nya mata nyi girah  yang memandang ketakutan campur permohonan, bila si nyi girah  dihardik nyi kembang sari sebab  berbuat kekeliruan. ia lalu  juga melihat mata panjisemirang  dan Lina yang  masih bocah. Mata bening, polos tak berdosa. nyi kembang sari berpaling lagi. Kali ini matanya beradu dengan tubuh Mira yang masih terkulai di lantai. nyi kembang sari melangkah masuk ke kamar tidur. Diam-diam martini  menyusul. Diam-diam pula martini  membantu nyi kembang sari mengangkat tubuh Mira ke tempat tidur. Membaringkannya, lalu  menyelimutinya baik-baik. Tubuh wanita lesbian  itu panas, namun  luka di lehernya tampak cuma goresan kecil belaka. Mungkin ia akan tertolong, apabila secepatnya didatangkan bala bantuan.  “Kalian tunggu di sini,” kata nyi kembang sari kepada martini . Gadis tanggung itu menatapnya dengan mulut bungkam. “Akan kupanggil pak fredy krueger  untuk mengobati Mira.” nyi kembang sari melangkah ke pintu depan.  Lalu berhenti, saat  mendengar suara martini  : “Bu nyi kembang .”  “Ya, nak ?”  “Bukan kau yang mengerahkan kucing -kucing  mengerikan itu. Benarkah, bu nyi kembang  ?”  nyi kembang sari tersenyum ke arah martini .  Gadis itu tidak tersenyum. Namun sinar matanya menunjukkan persahabatan. nyi kembang sari sampai terenyuh, dan menyeka matanya saat  meninggalkan rumah stephenking , memaki-maki 
marah tiap kali melewati tetangga yang terus ngumpet di dalam rumah masing-masing.  lalu , langkahnya ditujukan ke rumah kepala desa. Tangannya menggenggam kapakkeramat  yang tadi dipegang oleh stephenking  selagi sekarat. nyi kembang sari tahu betul kalau kapakkeramat  itu milik pak fredy krueger . ia mengambilnya tadi dari tangan stephenking , tanpa sadar mengapa ia harus melakukannya.  Jadi, fredy krueger  terlibat !  nyi kembang sari gemetar memikirkannya. Hatinya beku, dingin. Sebeku dan sedingin malam berbau kabut, berbau kematian. fredy krueger  yang dahulu nya pemalu. fredy krueger  yang jatuh cinta untuk pertama kali sesudah  ia berusia tiga puluh tahun, dan gadis yang dia cintai justru baru mencapai setengah usia fredy krueger  sendiri. fredy krueger  yang sadar, bahwa ia dan keluarganya cuma anak penggarap sawah dengan upah yang tak seberapa. fredy krueger  yang terpaksa mundur teratur, sesudah  anak majikannya bergerak lebih cepat, melamar nyi kembang sari. ia teringat saat  suatu hari berjumpa di kali.  nyi kembang sari baru habis mencuci, dan fredy krueger  baru pulang dari sawah. Tubuh dan pakaiannya kotor, wajahnya tampak menyimpan malu.  “Baru pulang, pak ?” tanya nyi kembang sari. Itulah selalu yang membuat fredy krueger  menyimpan isi hati. sebab  nyi kembang sari selalu memanggilnya dengan sebutan “bapak.” Mengapa tidak ? Usia 
mereka berbeda jauh dan fredy krueger  yang sudah terbiasa hidup sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.  “Ya, nyi kembang .”  “Ayo. Sama-sama .”  fredy krueger  pergi menjauh, bersembunyi di balik re rumputan untuk melepas pakaian lalu  terjun ke air. ia mandi tergesa-gesa. Naik lagi tergesa-gesa ke tepian, bersalin pakaian. Begitu ia selesai, nyi kembang sari sudah tak ada di tempat semula. nyi kembang sari sudah jauh di atas bukit, dan memandang padanya sambil  tertawa-tawa.  fredy krueger  memang orang yang sabaran, dahulu nya pernah ia memergoki nyi kembang sari dan kekasihnya sedang bercumbu di sebuah dangau. fredy krueger  yang tak keburu mengelak, terpaksa menyapa : “Maaf. Aku kebetulan lewat.”  nyi kembang sari tersipu malu.  Kekasihnya, ayah si nyi girah  di lalu  hari, tertawa bergelak. “Mau ngintip, ya harus lewat di mana ada tempat ngintip,” katanya. “namun  lain kali, bilang-bilang dong.”  fredy krueger  tidak bermaksud mengintip, nyi kembang sari tahu benar.  namun  ia tidak marah, ia tetap saja tersenyum manis, sopan. Balas pula ia menyindir : “Kalau begitu, Aden beritahu pulalah pada saya, kapan akan bercumbu !”  
nyi kembang sari melempar laki-laki itu dengan sandal. Tentu saja senda gurau belaka. Herannya. fredy krueger  tidak mengelak, ia biarkan sandal itu melayang ke wajahnya, dan ia malah tampak senang. Lain hari mereka bertemu lagi dan nyi kembang sari meminta maaf atas perbuatannya yang lancang.  “Aku tak sengaja,” berkata nyi kembang sari.  “Biarlah. Disengaja atau tidak, aku tetap menerimanya dengan senang hati...”  “Nanti kulempar lagi !” nyi kembang sari mengancam.  “Boleh. namun  dengan hati.”  Dan mereka tertawa. Tanpa nyi kembang sari tahu, fredy krueger  berkata sungguh-sungguh dan tawanya begitu terdengar bahagia.  Suatu malam, nyi kembang sari terlambat pulang, ia rupanya habis kencan dengan calon ayah nyi girah  dan sebab  si kekasih habis bertengkar dengan calon mertua, tidak berani mengantar nyi kembang sari sampai ke rumah. Kebetulan mereka bertemu fredy krueger  yang sudah diangkat murid oleh ayah nyi kembang sari.  “Dari mana saja kalian ?” sang ayah langsung menyenggak.  Sebelum nyi kembang sari sempat menjawab, fredy krueger  sudah berkata : “Maafkan, pak. Saya membawa nyi kembang  nonton reog di desa Banjarsari. Maksudnya mau pulang sore-sore. Eh, tahunya ketemu beberapa teman yang ingin jadi murid bapak. Lalu kami ngobrol. 
Mereka banyak bertanya tentang perguruan kita. Terutama kepada nyi kembang . Habis ngobrol, eh, sudah gelap ...”  “Aku tak bermaksud cari murid tambahan. Dan aku tidak pernah membentuk perguruan. Ini bukan tempat bela diri. namun  tempat membersihkan jiwa yang kotor. Dan kau sudah  mengotori jiwamu, membawa anakku tanpa bilang-bilang. Untuk itu kau perlu dihukum.”  fredy krueger  benar-benar dihukum.  Berendam sepanjang malam sampai matahari terbit esok harinya, di tengah sungai tempat kerbau biasanya berkubang. Seminggu lamanya fredy krueger  jatuh sakit sebab  demam dan penyakit gatal-gatal pada kulitnya.  nyi kembang sari sering mengunjungi, merawat dan memberinya makan, sambil tak henti-hentinya menyesali diri, meminta maaf. fredy krueger  hanya tertawa.  “Anggap saja pengalaman,” katanya. Dan sesudah  ia sembuh, ia mendatangi ayah nyi kembang sari. Berjanji, tidak akan membawa nyi kembang sari lain kali, tanpa seijin keluarga.  Dan itu benar. fredy krueger  tak mungkin mengajak nyi kembang sari pergi ke tempat-tempat pertunjukan atau ke mana saja tanpa ditemani orang-orang ain. sebab  nyi kembang sari sudah keburu dilamar orang, dan setahun lalu  lahirlah nyi girah .  
fredy krueger  mulai menjauhkan diri.  Tak pernah bercampur gaul dengan gadis-gadis lain, atau janda-janda muda yang beberapa di antaranya menaruh hati juga pada laki-laki yang malang itu. fredy krueger  tak menikah. Tetap membujang, sampai akhirnya nyi kembang sari tahu fredy krueger  jadi bujang tua sebab  hanya pernah jatuh cinta pada satu wanita lesbian  saja, sebagaimana halnya nyi kembang sari hanya jatuh cinta pada satu laki-laki saja.  Saudara fredy krueger , ayah si stephenking  lalu  diangkat jadi kepala desa. fredy krueger  diberi kedudukan sebagai pengurus tanah carik desa. Punya rumah sendiri, punya penghasilan yang memadai. Namun tetap saja, ia membujang, sampai ayah nyi girah  meninggal dan fredy krueger  menunggu masa berkabung selesai. Baru berkata terus terang pada nyi kembang sari :  “Kalau kau berhenti menangis, aku akan berhenti membujang.”  Kesedihan ditinggal suami mulai hilang.  nyi kembang sari berhenti menangis. Dan bertanya kepada fredy krueger  : “Katanya mau berhenti membujang.”  “Kau mau menghentikan aku ?” balas fredy krueger .  nyi kembang sari terkejut, sebab  nada suara fredy krueger  yang sungguh-sungguh. Tanpa sadar, ia tertawa Lalu berkata : “Bapak ini berseloro. Lucu !”  fredy krueger  ternyata bisa juga marah.  
Ia melarikan diri ke gunung, dan saat  kembali empat puluh hari berikutnya, ia mendatangi ayah nyi kembang sari dan berkata : “Pernah aku kau marahi padahal bukan sebab  kesalahanku !” Kasar suaranya, kasar sikapnya. Ayah nyi kembang sari terkejut alang kepalang.  “Ada apa dengan kau, fredy krueger  ?”  “Aku ingin membalas sakit hatiku.”  “Membalas ?”  “Ya. Dengan ini,” lalu : cuih ! fredy krueger  meludah. Kena tangan ayah nyi kembang sari tangan yang terkena ludah itu berubah merah, lalu  hitam, lalu melepuh. Ayah nyi kembang sari tak pernah mampu mengobati sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah nyi kembang sari mati, luka itu tetap meninggalkan bekas hitam terbakar. Ayah nyi kembang sari mengeluarkan sumpahnya. nyi kembang sari yang mendengarnya lalu , terkejut, ia lalu berterus terang menceritakan mengapa fredy krueger  sakit hati pada ayahnya.  “Anak bodoh,” bentak ayah nyi kembang sari. “Coba kau beritahu aku dari dahulu -dahulu . Sekarang terlambat sudah. Sumpah sudah  terucap!”  Dan fredy krueger  sudah  dipecat sebagai murid. Peristiwa-peristiwa memalukan pun datang susul menyusul. Ayah nyi kembang sari kambing hitamnya. Seperti, tahun-tahun terakhir ini nyi kembang sari mendapatkan cap yang sama.  
Sambil terus menuju ke rumah kepala desa itu, nyi kembang sari berusaha menahan kebencian yang tiba-tiba muncul. lalu  ia sadari, ia turut berperan atas kelakuan fredy krueger . ia juga mempunyai dosa-dosa. Terbayang mata martini . Mata bocah Dono dan Lina.  nyi kembang sari mengeluh. Dia juga harus menebus dosa, sebelum mata bocah-bocah tak bersalah itu semakin banyak ber-linangkan butir butir penderitaan. stephenking  sudah mati. namun  bocah-bocah itu masih mempunyai ibu. Dan hanya fredy krueger  yang dapat menolong.  nyi kembang sari tertegun.  Tahu-tahu saja, fredy krueger  sudah  tegak di depannya.    BEBERAPA saat lamanya, mereka berdua cuma saling menatap di bawah siraman rembulan. lalu  pak fredy krueger  melihat apa yang dipegang nyi kembang  sari. Lurah itu terkejut. Pucat. Cepat pikirannya bekerja.  “Apakah stephenking  sudah…” ia tidak berani melanjutkan kata-katanya. Terlalu lemas memikirkan apa yang terbayang di kepalanya. Adiknya sudah  mati. Kini, keponakannya. Dan dia yang jadi gara-gara !  “Pak fredy krueger  ...”  
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan sesuatu, namun  tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak ia dengar sama sekali saat  nyi kembang sari berkata : “Kau ingin aku melakukan perbuatan terpuji, bukan ?”  Pak fredy krueger  diam. Belum dapat menangkap makna kata-kata nyi kembang sari.  “stephenking  berpesan ... ,” nyi kembang sari lalu  meneruskan pesan yang dimaksud. “Isterinya masih terbaring di sana. Sakit. Dan anak-anaknya…” nyi kembang sari gemetar. “Anak-anak itu harus diselamatkan.”  “Juga anak-anak lain,” pak fredy krueger  mulai mengerti.  “Ya. Juga anak-anak lain,” nyi kembang sari menyetujui.  “Dan kau mau. Padahal, kau sudah tahu betapa jahat dan bejatnya moralku ...”  nyi kembang sari mencoba tersenyum. Ujarnya : “Pertalian bathin dan darah, tidak selamanya melalui perkawinan, pak fredy krueger . Ada banyak cara yang bisa ditempuh. Yang paling tepat, ini !” Gaung suara nyi kembang sari belum hilang, namun  kapakkeramat  yang terpegang di tangannya sudah terhunjam sampai ke gagang, tenggelam ke dalam lambungnya yang perlahan-lahan mengucurkan darah.  Pak fredy krueger  terkejut. ia melompat ke depan, memeluk nyi kembang sari dan berusaha menarik keluar kapakkeramat  itu dari lambung si 
wanita lesbian . namun  nyi kembang sari mencegahnya. Dengan mata setengah terkatup menahan sengsara,  nyi kembang sari berkata terputus-putus “Manterailah, pak fredy krueger . Manterailah darah yang mengalir dari dari jantungku membasahi kapakkeramat mu. Aku ... aku merindukan nyi girah . Ingin bertemu ... dengannya. Tadinya ... kukira, kami akan .... namun , dengan cara ini...” Tubuh nyi kembang sari terkulai diam.  Betapa lamanya waktu berlalu. Betapa lamanya hasrat pak fredy krueger  untuk memeluk nyi kembang sari, tetap terpendam sia-sia. Dan saat  kini keberuntungan itu benar-benar ia peroleh, nyatanya ia hanya berhak memeluk jasadnya saja.  Jasad yang sudah mati begitu tiba tiba.  Maut memang seringkali datang tanpa pemberitahuan lebih dahulu .    BULAN purnama mengintip dari sela-sela dedaunan pohon-pohon karet, saat  bayangan memanjang itu tertatih-tatih mendekati sebuah makam besar di antara sejumlah makam-makam lainnya yang jauh lebih kecil.  Remang-remang rembulan menimpa permukaan makam sehingga gundukan makam tampak semakin mengembung. Bayangan kurus memanjang itu terhenti sejenak di kepala 
makam. Lalu, tiba-tiba : “Cuih ! Cuih !” ia meludah. Sekali ke kiri, sekali ke kanan. “Ini aku, fredy krueger , datang memenuhi panggilanmu.” ia diam mendengarkan. Tidak ada sahutan. “Cuih ! Cuih !” meludah lagi pak fredy krueger . “Ataukah kau tidak mau menepati janjimu?” Tiba-tiba angin bersilir di sebelah kanan pak fredy krueger . Sesaat  ia tertegun.  “Aku di sini, murid yang tak membalas budi !”  Pak fredy krueger  menoleh. Seseorang gadis semampai yang cantik jelita, berdiri tak jauh di sebelah kanannya, ia memakai sutera putih yang menjuntai sampai di tanah, kontras sekali dengan kepekatan malam yang remang-remang dijilat rembulan.  “ ... nyi girah  !” membisik pak fredy krueger .  “Kau juga ingat padaku, pak fredy krueger .”  “sebab  kau yang mengundangku datang.”  “Kau tidak takut ?”  Pak fredy krueger  sejenak terdiam. Mencoba tersenyum. lalu  meludah. “Ah... ah ... .”  nyi girah  menjauh. “Bau ludahmu tidak enak.”  “Kau yang kini takut ya ?” sungut pak fredy krueger  dengan suara keras.  Si gadis tersenyum. “Tidak!” katanya. “sebab  aku sudah diberitahu kakek tentang keampuhanmu itu sebelum beliau 
menghembuskan nafas terakhir. Ingatkah saat  jasadku tidak ditemukan orang di dalam dangau, lima tahun yang lampau ?”  “Hem,” pak fredy krueger  bersungut-sungut.  “Kau memasuki tubuh kakekmu, begitukah yang mau kau katakan?”  Si gadis tertawa. “ ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak fredy krueger . namun  tidak ada yang bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa. Ternyata kau juga tidak, bukan ? sebab  kakekku lebih tahu bagaimana membutakan matamu dan mematikan keampuhan air liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama dengannya, sampai ke liang kubur, pak fredy krueger .”  Laki-laki tua itu manggut-manggut. “Pantas,” gumamnya.  “Pantas apanya ?”  “Pantas waktu dimakamkan, kuburan kakekmu tidak bisa seukuran dengan makam biasa. sebab  yang dimuatkan ke dalam makam, ternyata dua orang. Meski tak seorang pun melihat orang kedua itu ikut dimakamkan.”  “Kau pintar, pak fredy krueger . Mengapa kepintaranmu itu tidak kau pergunakan untuk menjelaskan pada keluarga kepala desa, bahwa kakekku bukan seorang tukang teluh ? Bahwa kakekku tidak tahu apa-apa tentang kematian kepala desa ? sebab  memang orang itu mati sebab  perbuatan ...”  
“Diam !” Pak fredy krueger  membentak. Tetarai Putih menyeringai. “ ... tentu saja tidak. sebab  kau mengharapkan kehormatan lebih besar dan penghasilan yang lebih banyak, dengan mengenyahkan satu-satunya sainganmu di desa dan sepuluh desa sekitar. Celakanya, justru orang itu adalah kakekku. Orang yang pernah mengajarkan ilmu-ilmu karuhun padamu, untuk mengabdi pada orang-orang sakit yang membutuhkan pengobatan.  Laki-laki itu mengangkat wajah. “Apa perdulimu ?” katanya tersinggung.  “Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh dengan rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau menuduh dan lalu  ikut terlibat dalam pembunuhan kakek.”  “Aku tak ikut,” pak fredy krueger  membantah.  “Secara langsung memang tidak. namun  kau membacakan mantera-mantera.”  “Kakekmu harusnya bisa membunuh mantera manteraku. Salahnya sendiri, mengapa ia tidak melawan.”  nyi girah  tersenyum. Perih. “Kakek tak mau membunuh muridnya sendiri, pak fredy krueger . Dan ia tidak mau menjatuhkan tangan kepada orang-orang yang tidak bersalah, namun  tersesat sebab  bujuk-anmu itu. Dan ia merasa pernah berdoa padamu ...”  
“Lalu mengapa kau membunuh begitu banyak orang ?”  “Untuk kedurjanaan mereka terhadap diriku.” Pak fredy krueger  manggut-manggut. “Aku mengerti,” katanya. “namun  tentunya kau mengundangku kemari, tidak dengan maksud untuk mengatakan hal sepele itu saja, bukan ?”  Si gadis tersenyum, ia mendekat beberapa langkah. “…aku terlanjur bersumpah pada kakekku, pak fredy krueger . Untuk membalas dendam pada orang-orang yang sudah  membunuh kakek dan memperkosaku. Seperti kakek, akupun tidak bermaksud menciderai orang yang tidak bersalah. namun  bagiku, kau tetap bersalah. Kakek amat marah padamu, namun  ia sudah  mati. ia tidak mungkin membalaskan dendamnya. sebab  itu, selama lima tahun lebih aku - rohku dan roh kakekku saling menguji diri. Menguji keampuhan masing-masing. Dan saat  waktunya kami kira sudah tiba, atas kehendak alam kuburanku pun terbuka ...”  Kedua kaki pak fredy krueger  menjejak kuat-kuat ke tanah, hingga tanah di bawahnya merekah. Lututnya gemetar, namun  bukan pertanda takut sebab  dari wajah dan matanya terpancar amarah yang luar biasa. “Kau menganggapku remeh, neng !” sungutnya. Lalu meludah ke kiri dan ke kanan terus ke muka dan ke belakang. “Cobalah dekati diriku !”  Si gadis tersenyum. “Kau lupa aku jijik dengan bau ludahmu. namun  mereka tidak, pak fredy krueger ,” teriak si gadis, ia bergerak ke 
makam besar itu, mencabut nisan di kepala makam dengan sigap. Dari bekas nisan itu terlihat sebuah lubang besar, semakin besar dan lalu  berpuluh-puluh malah mungkin beratus ratus ekor kucing  berloncatan ke luar.  Pak fredy krueger  terkejut. ia mengeluarkan kapakkeramat nya. namun  kucing -kucing  itu tidak menjadi takut sebab nya, malah semakin mendekat juga kepadanya, ia meludah berulang-ulang. kucing -kucing  itu tetap menyerang.  “Itu semua kucing -kucing  biasa, pak fredy krueger . Tak guna kau perlihatkan ajianmu. Itu bukan daun-daun yang pernah menyerang teman-temanmu di pinggir sungai beberapa hari yang lalu. kucing  biasa, pak fredy krueger . kucing  biasa. Lawanlah mereka.”  Orang tua itu tidak sempat mendengarkan semua itu. Sementara si gadis tertawa nyaring dan lengking, kucing -kucing  itu sudah  meloncati tubuh pak fredy krueger . Mereka mencakar dengan kuku dan menggigit dengan gigi di tempat-tempat kucing  itu hinggap. Beberapa ekor di antaranya tertebas oleh kapakkeramat  pak fredy krueger , jatuh bergulingan di tanah dengan meninggalkan bunyi mencicit yang menyayat tulang. namun  kucing -kucing  yang keluar dari lubang makam Itu semakin banyak juga.  Orang tua itu mulai kewalahan, dan keluar dari lingkungan di mana ia tadi meludah, ia sadar bahwa bila ia keluar dari lingkungan semburan ludah nya, kekuatannya akan punah, namun  
kucing -kucing  itu semakin banyak sehingga ia tidak kuasa melawan dorongan mereka, ia mundur, terus mundur. Dan suatu saat ia mengangakan mulut, berteriak:  “Ular-ular itu ! Ular-ular itu !”  Dari balik pepohonan, tiba-tiba muncul banyak bayangan. lalu  obor menerangi kompleks pemakaman yang remang-remang itu. Beberapa penduduk berkeluaran dari persembunyiannya, masing-masing berteriak mengucapkan kata-kata : “Musnahkanlah, roh jahat ! Musnahlah roh jahat !”  Lau keranjang bambu di tangan beberapa orang di antara rombongan penduduk yang muncul bagai air bah itu, dilemparkan ke tanah. Tutupnya terbuka. Dari dalamnya keluar ular berbagai macam yang atas petunjuk pak fredy krueger  sudah  ditangkapi penduduk sementara menunggu waktu pertemuannya dengan nyi girah . Mula-mula ular-ular itu diam tak bergerak. Mungkin sebab  kaku, terkejut. lalu  perlahan-lahan mulai merayap. Merayap berkeliling, meliuk-liuk seram. Penduduk menjauhi tempat itu, meski ular-ular tadi lebih tertarik pada bau kucing . Binatang melata itu terus saja merayap ke arah pak fredy krueger  yang sedang berjuang membebaskan diri dari keroyokan kucing -kucing .  kucing -kucing  itu rupanya melihat gelagat tak baik. Suara mencicit riuh rendah memenuhi jalan lintas perkebunan yang sunyi sepi itu. Lari serabutan. Namun ular-ular yang sudah  mengerung di 
sekitar mendadak berubah ganas lalu meliuk semakin cepat memburu mangsa. Pak fredy krueger  cepat-cepat menghindar, ia menggoyang-goyangkan kepala untuk menghindari rasa sakit dan perih. Samar-samar ia lihat puluhan ekor ular memperoleh santapan ratusan ekor kucing -kucing  besar dan gemuk-gemuk. Sebagian masih mampu melawan. Beberapa ular itu tercabik, mati. Namun naluri seekor kucing  tetap saja naluri kucing . Meski lebih banyak dari penyerangnya, sebagian besar binatang-binatang pengerat itu sudah  lari menyelamatkan diri.  “Terkutuk. Akal bulus terkutuk !” terdengar suara mengumpat.  Pak fredy krueger  menoleh. namun  ia tidak melihat nyi girah , ia hanya melihat bayangan putih samar-samar yang semula tinggi, lalu  merendah dan merendah hampir rata ke tanah.  “kucing  putih,” bisik pak fredy krueger , terpana. Dan saat  ia lihat kucing  putih itu lari menyelinap di antara semak belukar, pak fredy krueger  berteriak :  “Kepung. Ayo, kepung. Jangan biarkan makhluk terkutuk itu kembali ke desa untuk mengambil nyawa anak isteri kalian ... !”  Penduduk yang mendengar perintah itu, meski takut-takut toh berlari larian mematuhi perintah lurah mereka. Lagipula jumlah mereka sangat banyak, mengapa tidak berani ? Musuh pun tampaknya sudah kalang kabut. 
Tinggal satu. Satu, namun  yang paling berbahaya !  Sambil berpegangan tangan dan berdiri berkelompok-kelompok mereka mengurung arah hilang nya kucing  putih itu. Bila terlihat bayangannya, mereka datang merapat dan memaksanya lari ke tempat terbuka.  Makhluk itu melompat kian kemari sambil mengeluarkan suara merintih, menggeram, menjerit-jerit ribut. Bukan mencicit. namun  menjerit-jerit ribut sebagaimana anak wanita lesbian  yang terperangkap di sarang harimau yang kelaparan. Yang aneh, makhluk itu tidak berusaha menyerang para pengepungnya. ia baru menggeram-geram marah kalau melihat pak fredy krueger , berusaha melepaskan diri dari kepungan agar dapat mendekati lurah desa itu.  Sebaliknya, pak fredy krueger  yang datang dengan dipapah beberapa orang priya bertubuh besar kuat, dengan caranya sendiri senantiasa berusaha agar terlindung di balik tubuh orang-orang yang memapahnya. Suatu perbuatan pengecut, namun  ia selamat dan para penolongnya tidak menyadari kepengecutan lurah mereka. Dengan jeritan putus asa, akhirnya kucing  putih itu melakukan lompatan panjang melalui kepala orang-orang yang mengepungnya. Terus kabur menaiki tebing, menuju daerah bekas longsor di mana masih terdapat lubang-lubang dan rongga-rongga guha untuk bersembunyi.  
“kapakkeramat ku. Ke sinikan kapakkeramat ku!” pak fredy krueger  berteriak. ia menyapu wajahnya yang penuh cakaran berlumur darah, menerima kapakkeramat  yang diulurkan oleh seseorang. Lalu membathin : “Darahmu masih melekat di mata kapakkeramat ku, nyi kembang . Bantulah aku. Berikan aku kekuatan untuk menebus dosaku.”  Lagi, suatu sikap pengecut. Meminta bantuan nyi kembang sari untuk membunuh anak nyi kembang sari sendiri. Pak fredy krueger  merasa malu. namun  kepalang basah, ia terus saja membaca mantera. Sekali sekali ia berseru memerintahkan orang yang memapahnya agar mengangkat ia ke sana, ke sini, mengikuti getaran kapakkeramat  dan bayangan kucing  putih hilang menyelinap.  Suatu saat , ujung kapakkeramat  itu terpaku diam di mulut salah satu liang yang gelap. Pak fredy krueger  merasakan telapak tangannya panas, terbakar. Matanya terpejam menahan azab, lalu bergumam : “Biarlah ibumu yang menjemputmu, nyi girah ,” lalu ia meludah sekitar mulut lubang dan sekaligus melemparkan kapakkeramat nya jatuh melayang-layang dalam kegelapan lubang.  Sesaat sepi. Menyentak. lalu  terdengar suara jerit lengking memilukan. Lolongan panjang yang mendirikan bulu roma. semua yang ada di tempat itu, terpaku kaget dan ngeri.  Malah ada yang sampai terkencing di celana. 
“Di sini si cantik nyi girah  mati dan bermukim,” keluh pak fredy krueger  pelan, begitu suara lolongan itu tinggal gaung lemah nun jauh entah di mana. Orang tua itu menengadah, menatap warga desanya yang terheran-heran mendengar apa yang ia utarakan, “Aku berdosa pada gadis kecil itu. Pada kakeknya. Dan ibunya. Masih banyak dosa-dosa besar yang kuperbuat! Terlalu besar untuk ditebus ...”  Tak ada seorang pun yang mengangkat suara.  Dan lebih banyak mereka yang tidak memahami apa yang dimaksud lurah mereka. namun  tak ada bedanya. Tak ada. sebab , serbuan kucing -kucing  itu sudah  mencabik hampir sekujur tubuh pak fredy krueger . Racun dari kuku dan  taring makhluk-makhluk itu sudah  menjalar di sekujur persendian, mengalir di semua pembuluh darah dan lalu  mendekam di jantungnya.  saat  orang-orang yang memapah orang tua itu memperhatikan di bawah sinar obor, barulah mereka terkejut melihat kulit tubuh pak fredy krueger  sudah  berubah hitam pekat kebiru-biruan. Orang tua itu sudah  meninggal dalam keadaan sama mengerikan dengan kematian radensoebandrio  , stephenking  maupun Ajat.  Salah satu obor yang menerangi wajah pak fredy krueger , jatuh ke tanah.  Berkelip sebentar. Lalu padam.   Pagi datang. Dan dari dalam lubang, mereka mengeluarkan selain kapakkeramat  juga seonggok tulang be lulang.  “nyi girah ,” seseorang berbisik. Matahari tersentak di balik bukit.