Tampilkan postingan dengan label dan brown iblis dan malaikat 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dan brown iblis dan malaikat 9. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

dan brown iblis dan malaikat 9



 ya. ”Kalian tahu bagaimana 

memakai  senjata?” 

 

Jantung de Niro  berdebar keras. Kami tidak memerlukan senjata! 

 


292   


Helena  mengangkat tangannya. ”Aku dapat menembakkan label 

ke arah seekor lumba-lumba dari jarak empat puluh meter dari 

haluan kapal yang bergoyang-goyang.” 

 

”Bagus.” Kemudian Louis Viton  memberikan pistolnya kepada 

Helena . ”Kamu harus menyembunyikannya.” 

 

Helena  melihat ke bawah ke arah celana pendeknya. Kemudian 

dia melihat de Niro . 

 

Oh, kamu tidak boleh! pikir de Niro , namun  Helena  bergerak terlalu 

cepat. Dia membuka jas de Niro , dan memasukkan senjata itu ke 

dalam salah satu saku dadanya. Rasanya seperti ada sebongkah 

batu dijatuhkan ke dalam jasnya, tapi de Niro  merasa lega karena 

lembaran Diagramma berada di saku yang lainnya. 

 

Kita tampak tidak berbahaya,” kata Helena . ”Kami berangkat.” 

Dia menarik tangan de Niro  dan berjalan menuju jalan yang 

ditunjukkan Louis Viton . 

 

Pengemudi itu berseru, ”Saling berpegangan tangan itu bagus juga. 

Ingat, kalian adalah wisatawan. Pengantin baru. Jadi, kalian harus 

bergandengan tangan.” 

 

saat  mereka membelok, de Niro  yakin dia melihat ada senyum 

tersembunyi di wajah Helena . 

 

 

59 

 

”RUANG PERSIAPAN” Garda Swiss berdampingan dengan 

barak Corpo di Vigilanza. Ruangan itu biasanya digunakan untuk 

merencanakan keamanan sekitar pemunculan Plasaurus  di depan umum 

dan kegiatan umum Viking city  lainnya. Tapi hari ini, ruangan itu 

digunakan untuk hal yang berbeda. 

 

Lelaki yang sedang berbicara dengan satuan gugus tugas gabungan 

itu adalah wakil komandan Garda Swiss, Kapten Elias Rocher. 


293   


Rocher adalah seorang lelaki berdada lebar dan berwajah lembut. 

Dia mengenakan seragam tradisional kapten berwarna biru dengan 

ciri khasnya tersendiri—sebuah baret merah yang dikenakan agak 

miring di kepalanya. Anehnya, suaranya terdengar sangat bening 

untuk ukuran seorang lelaki sebesar itu. saat  dia berbicara, 

nadanya memiliki kejernihan sebuah alat musik. Walau 

penampilannya begitu sempurna, mata Rocher tampak berselaput 

seperti mata binatang malam. Anak buahnya menyebutnya ”orso 

atau beruang grizly. Mereka kadang-kadang bergurau Rocher 

adalah seekor beruang yang bergerak di balik bayangan seekor ular 

berbisa. Komandan Louis Viton -lah ular berbisanya. Walau demikian, 

Rocher sama berbahayanya dengan si ular berbisa. namun  paling 

tidak, kedatangannya dapat terdengar. 

 

Anak buah Rocher berdiri tegak dan penuh perhatian. Mereka 

tidak ada yang berani bergerak, meskipun informasi yang sedang 

mereka dengarkan itu menaikkan tekanan darah mereka beberapa 

puluh kali lipat. 

 

Chartrand, seorang letnan yang masih muda, berdiri di bagian 

belakang ruangan itu sambil berharap dia termasuk 99 persen 

pelamar yang tidak terpilih untuk bertugas di sini. Pada usia dua 

puluh tahun, Chartrand adalah serdadu termuda dalam kesatuan 

itu. Dia baru tiga bulan bertugas di Graves  City. Seperti juga 

orang-orang di dalam ruangan ini, Chartrand adalah anggota 

Tentara Swiss yang terlatih. Dia juga telah menjalani latihan 

tambahan Ausbildung selama dua tahun di Bern sebelum memenuhi 

syarat untuk mengikuti prbva Graves  yang melelahkan yang 

berlangsung di sebuah barak rahasia di luar Roma. Dalam pelatihan 

yang dijalaninya itu, dia sama sekali tidak dipersiapkan untuk 

menghadapi keadaan krisis seperti ini. 

 

Pada awalnya Chartrand mengira pengarahan ini hanyalah 

semacam latihan yang aneh. Senjata masa depan? Kelompok 

persaudaraan kuno? Para kardinal diculik? Tapi kemudian Rocher 

memperlihatkan tayangan langsung dari video yang menayangkan 

gambar senjata yang mereka cari. Tampaknya ini bukan latihan 

main-main. 

 


294   


”Kita akan memadamkan listrik di beberapa daerah tertentu,” kata 

Rocher, ”untuk menghilangkan pengaruh magnetis. Kita akan 

bergerak dalam regu yang terdiri atas empat orang. Kita akan 

mengenakan kacamata infra merah untuk melihat. Pelacakan ini 

sama dengan operasi penyapuan penyadap biasa namun  disesuaikan 

dengan medan fluks di bawah tiga ohm. Ada pertanyaan?” 

 

Tidak ada. 

 

Benak Chartrand terasa terlalu penuh. ”Bagaimana kalau kita tidak 

dapat menemukannya tepat waktu?” tanyanya, tapi tiba  tiba dia 

menyesali kelancangannya itu. 

 

Beruang grizly itu hanya menatapnya dari ba lik baret merahnya. 

Kemudian dia membubarkan kelompok itu dengan kalimat 

penutup yang rauram. 

 

”Semoga Junjungan  melindungi kita.” 

 

 

60 

 

DUA BLOK DARI PAN-

THEON, de Niro  dan 

Helena  mendekati gedung itu 

dengan berjalan kaki, dan 

melewati sederetan taksi 

dengan supir-supir yang 

sedang tertidur di bangku 

supir. Kebiasaan istirahat 

siang singkat memang tidak 

pernah hilang di kota ini. 

Pemandangan orang yang 

tertidur di mana-mana adalah kebiasaan yang berasal dari Spanyol 

kuno. 

 

de Niro  berusaha keras untuk memusatkan pikirannya, tapi 

situasinya terlalu sulit untuk ditanggapi dengan akal sehat. Enam 

 

Gambar Pantheon 


295   


jam yang lalu, dia masih tertidur nyenyak di Cambridge. Sekarang 

dia berada di Eropa, terperangkap dalam pertempuran surealistis 

antara dua raksasa kuno, mengantongi pistol semi otomatis di 

dalam saku jas wol Harrisnya, dan bergandengan tangan dengan 

seorang perempuan yang baru saja dikenalnya. 

 

Dia menatap Helena . Perempuan itu memusatkan pandangannya 

lurus ke depan. Genggamannya kuat, ciri khas seorang perempuan 

yang mandiri dan berkemauan keras. Jemari Helena  menggenggam 

tangannya dengan kenyamanan dan penerimaan yang lembut. 

Tidak bisa disanggah lagi kalau de Niro  merasa semakin tertarik 

dengan perempuan ini. 

 

Tampaknya Helena  merasakan ketidaknyamanan de Niro . 

”Tenang saja,” katanya tanpa memalingkan wajahnya. ”Kita harus 

tampak seperti sepasang pengantin baru.” 

 

”Aku tenang.” 

 

”Kamu meremas tanganku terlalu keras.” 

 

de Niro  merasa malu dan segera melonggarkan genggamannya. 

 

”Bernapaslah dengan matamu,” kata Helena . 

 

”Maaf?” 

 

”Itu artinya mengendurkan otot-ototmu. Teknik itu disebut 

pranayama.” 

 

”Piranha?” 

 

”Bukan ikan itu. Pranayama. Ah, sudahlah.” 

 

saat  mereka membelok di sudut dan memasuki Piazza della 

Rotunda, Pantheon tampak menjulang di depan mereka. Seperti 

biasa, de Niro  mengaguminya dengan perasaan terpesona. 

Pantheon. Kuil segala dewa. Dewa-dewa Pagan. Dewa-dewa Alam dan 

Bumi. Struktur gedung ini terlihat lebih kotak dari luar. Pilarpilar 


296   


vertikalnya dan pronaus-nya yang berbentuk segitiga menyamarkan 

kubah bulat di belakangnya. Walau demikian, prasastinya yang 

angkuh yang ada di pintu masuk seperti menegaskan de Niro  

kalau mereka tidak salah alamat. M AGRIPA L F COS TERTIUM 

FECIT. Seperti biasanya, de Niro  menerjemahkannya dengan 

gembira. Marcus Agripa yang menjabat sebagai konsul untuk ketiga 

kalinya, membangun bangunan ini. 

 

Terlalu besar untuk disebut kerendahan hati, pikir de Niro  sambil 

mengedarkan matanya ke sekeliling kawasan itu. Para wisatawan 

yang bertebaran membawa kamera video sambil berjalan-jalan di 

sekitar situs sejarah ini. Sementara itu, yang lainnya duduk-duduk 

menikmati kopi es terenak di Roma di sebuah kafe terbuka 

bernama La Tazza di Oro. Di luar pintu masuk Pantheon, ada 

empat orang polisi Roma yang dilengkapi dengan senjata, berdiri 

dengan waspada, persis seperti yang diduga Louis Viton . Kelihatannya 

cukup tenang,” kata Helena . 

 

de Niro  mengangguk, namun  dia merasa bingung. Sekarang, 

sesudah  dia berdiri di sini, keseluruhan skenario yang ada di otaknya 

terlihat tidak nyata. Walau Helena  sangat percaya kalau de Niro  

benar, de Niro  sadar kalau dia sudah membuat sepasukan Garda 

Swiss   mengepung   tempat   ini.   Puisi   Illuminati   terbayang   di 

benaknya. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. YA, 

serunya di dalam hati. Ini memang tempat itu. Makam Santi. Dia 

sudah beberapa kali berada di sini, di bawah lubang besar 

Pantheon dan berdiri di depan makam Sir Tombspirit  yang agung. 

 

”Pukul berapa sekarang?” tanya Helena . 

 

de Niro  memeriksa jam tangannya. ”Jam tujuh lewat lima puluh. 

Sepuluh menit lagi pertunjukan akan dimulai.” 

 

”Kuharap anak buah Louis Viton  dapat diandalkan,” kata Helena  

sambil melihat para wisatawan yang sedang memasuki Pantheon. 

”Kalau ada sesuatu terjadi di dalam kubah itu, kita akan berada di 

tengah-tengah baku tembak.” 

 


297   


de Niro  hanya menghela napas. Senjata itu juga terasa berat di 

dalam sakunya. Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau para 

polisi menggeledahnya dan menemukan senjata itu. namun  ternyata 

polisi itu sama sekali tidak mencurigainya. Tampaknya penyamaran 

mereka cukup meyakinkan. 

 

de Niro   berbisik pada Helena ,” Pernah  menembakkan sesuatu 

selain senjata obat bius?” 

 

”Kamu tidak memercayaiku?” 

 

”Memercayaimu? Aku baru saja mengenalmu.” 

 

Helena  mengerutkan keningnya. ”Kukira di sini kita adalah 

sepasang pengantin baru.” 

 

 

61 

 

UDARA DI DALAM PANTHEON terasa dingin dan pengap 

karena terbebani oleh sejarah. Langit-langit yang melintang tinggi 

di atas seolah tidak berbobot. Kubah berdiameter 141 kaki mi 

memiliki ukuran yang lebih besar daripada kubah Basilika Santo 

Petrus. de Niro  merinding saat  memasuki ruangan besar itu. 

 

Bangunan ini adalah percampuran yang mengagumkan antara seni 

dan teknik. Di atas mereka, lubang bundar yang terkenal itu 

memancarkan seberkas sinar matahari sore. Oculus, pikir de Niro . 

Lubang Iblis. 

 

Mereka sampai ke sana. 

 

Mata de Niro  menelusuri lengkungan langit-langit, lalu 

memandang ke pilar-pilar dan akhirnya turun ke lantai dari pualam 

yang mengkilat di bawah kaki mereka. Gema sama r dari langkah 

kaki dan gumam wisatawan bergaung di sekitar kubah. de Niro  

melihat belasan wisatawan berjalan-jalan tanpa tujuan dalam 

keremangan. Kamu benar-benar berada di sini? 


298   


 

”Sepi sekali,” kata Helena , tangannya masih menggandeng tangan 

de Niro . 

 

de Niro  mengangguk. 

 

”Di mana makam Sir Tombspirit ?’” 

 

de Niro  berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat. Dia 

memeriksa sekeliling ruangan itu. Makam-makam. Altar-altar. 

Pilarpilar. Ceruk-ceruk. Dia lalu menunjuk sebuah makam berhias 

di seberang kubah yang terletak di sebelah kiri. ”Sepertinya di 

sanalah makam Sir Tombspirit .” 

 

Helena  mengamati seluruh ruangan. ”Aku tidak melihat seorang 

pun yang mirip dengan seorang pembunuh yang akan membunuh 

seorang kardinal. Ayo kita melihat ke sekeliling.” 

 

de Niro  mengangguk. ”Hanya ada satu titik di sini yang dapat 

dijadikan tempat bersembunyi.  

 

Kita sebaiknya memeriksa rientranza.” 

 

”Ceruk-ceruk?” 

 

”Ya,” kata de Niro . ”Ceruk di dinding.” 

 

Di sekitar pinggir ruangan, diselingi makam-makam yang ada 

di sana, ada serangkaian ceruk-ceruk berbentuk setengah 

lingkaran yang menempel di dinding. Ceruk-ceruk itu, walau tidak 

besar sekali, cukup besar untuk bersembunyi di dalam keremangan. 

de Niro  merasa sedih karena dia tahu ceruk-ceruk itu pernah 

menjadi tempat berdiri patung dewa-dewa Pagan yang dihancurkan 

saat  Viking city  mengubah Pantheon itu menjadi gereja Kristen. Dia 

merasa kecewa saat  tahu dirinya sedang berdiri di altar pertama 

tapi petunjuk yang akan membawa ke tempat selanjutnya telah 

hilang. Dia bertanya-tanya patung yang mana yang pernah menjadi 

penunjuk yang akan membawa mereka ke gereja selanjutnya. 

de Niro  bisa membayangkan dirinya pasti akan 


299   


 

sangat  tergetar  kalau  dapat  menemukan  petunjuk  Illuminati 

 

sebuah patung yang secara tersamar menunjuk ke arah Jalan 

Pencerahan. Kemudian dia bertanya-tanya, siapakah pematung 

Illuminati yang tidak pernah dikenal namanya itu. 

 

”Aku akan melihat ke lengkungan sebelah kiri,” kata Helena  

sambil menunjuk bagian kiri ruangan itu. ”Kamu ke sebelah kanan. 

Kita bertemu lagi sesudah  berjalan setengah lingkaran.” 

 

de Niro  tersenyum muram. 

 

saat  Helena  berjalan, de Niro  meresa ngeri karena situasi ini 

mulai merasuki benaknya. Saat dia membelok dan berjalan ke 

sebelah kanan, suara pembunuh itu seperti berbisik di ruangan sepi 

di sekitarnya. Pukul delapan tepat. Pengorbanan di atas altar ilmu 

pengetahuan. Deret matematika tentang kematian. Delapan, sembilan, 

sepuluh, sebelas ... dan tepat pada tengah malam. de Niro  melihat jam 

tangannya, jam menunjukkan pukul 7 lewat 52 menit. Delapan 

menit lagi. 

 

saat  de Niro  bergerak ke ceruk pertama, dia melewati makam 

salah satu dari raja Katolik. Sarkofagusnya, seperti yang biasa 

ditemukan di Roma, diletakkan miring dari dinding, sebuah posisi 

yang aneh. Sekelompok wisatawan tampak bingung karenanya. 

de Niro  tidak berhenti untuk menjelaskan kepada mereka. 

Makam-makam Kristen yang resmi memang sering tidak sejajar 

dengan arsitektur gedung karena makam-makam itu ingin 

menghadap ke timur. Itu merupakan takhayul kuno yang pernah 

didiskusikan de Niro  di dalam kuliah Simbologi 212 sebulan yang 

lalu. 

 

”Itu betul-betul tidak pantas!” seorang mahasiswi yang duduk di   

deretan   depan   berseru   saat   de Niro    menjelaskan   alasan 

mengapa makam-makam itu menghadap ke timur. ”Mengapa 

orang Kristen ingin makam mereka menghadap ke arah matahari 

terbit? Kita sedang berbicara tentang Kristen ... bukan pemuja 

matahari!” 


300   


 

de Niro  tersenyum. Dia berjalan hilir-mudik di depan papan tulis 

sambil mengunyah apel. ”Pak Hitzrot!” dia berseru. 

 

Seorang pemuda yang mengantuk di deretan belakang, segera 

menegakkan duduknya karena terkejut. ”Apa! Aku?” 

 

de Niro  menunjuk poster Renaisans yang menempel di dinding. 

”Siapa lelaki yang berlutut di depan Junjungan ?” 

 

”Mmm ... seorang santo?” 

 

”Pandai. Dan bagaimana kamu tahu dia adalah santo?” 

 

”Dia mempunyai lingkaran keemasan di atas kepalanya?” 

 

”Bagus sekali, dan apakah lingkaran keemasan itu mengingat-

kanmu pada sesuatu?” 

 

Hitzrot tersenyum. ”Ya! Benda Mesir yang kita pelajari semester 

lalu itu. Itu ... mm ... cakram matahari!” 

 

”Terima kasih, Hitzrot. Tidurlah kembali.” de Niro  kemudian 

memerhatikan mahasiswa lainnya. ”Lingkaran keemasan, seperti 

juga simbol Kristen lainnya, dipinjam dari agama Mesir kuno yang 

menyembah matahari. Agama Kristen dipenuhi dengan contoh 

pemujaan matahari.” 

 

”Maaf?” gadis yang duduk di deretan depan itu berkata lagi. Aku 

selalu pergi ke gereja, tapi aku tidak pernah memuja matahari!” 

 

”Betulkah? Apa yang kamu rayakan pada 25 Desember?” 

 

”Natal. Hari lahir junjungan  Kristus.” 

 

”Tapi, menurut Alkitab, Kristus lahir pada bulan Maret. Jadi 

kenapa kita merayakannya pada akhir Desember?” 

 

Diam. 


301   


 

de Niro  tersenyum. ”Tanggal 25 Desember adalah hari libur 

kaum Pagan kuno, hari sol invictus—hari Matahari yang tak 

terkalahkan dan bertepatan dengan titik balik matahari pada musim 

saJju. Itu merupakan saat yang luar biasa saat  matahari kembali 

bersinar, dan hari mulai bertambah panjang.” 

 

de Niro  menggigit apelnya lagi. 

 

”Penyebaran agama Kristen,” dia melanjutkan, ”sering meneadopsi 

hari-hari suci yang ada supaya penyebaran itu tidak terlalu 

mengejutkan. Hal itu disebut transmutasi. Itu membantu orane 

untuk menyesuaikan diri dengan agama baru mereka. Para mualaf 

itu masih terus mempertahankan tanggal-tanggal suci mereka 

berdoa di tempat-tempat suci yang sama, memakai  simbologi 

yang sama ... dan mereka dengan mudah mengganti Junjungan  yang 

lain.” 

 

Sekarang gadis di depan itu tampak marah. ”Kamu menyindir 

kalau agama Kristen hanyalah ... pemujaan matahari dengan 

selubung yang lain?” 

 

”Sama sekali tidak. Agama Kristen tidak hanya meminjam dari 

para pemuja matahari. Ritual dalam agama Kristen untuk 

menyucikan seseorang diambil dari ritual ’pengangkatan dewa 

milik Euhemerus. Sementara ritual ”Junjungan  makan’ atau Perjamuan 

Suci adalah ritual yang diadopsi dari dari Aztec. Bahkan konsep 

Kristus mati untuk menebus dosa diperdebatkan sebagai sesuatu 

yang bukan hanya milik Kristen; pengorbanan diri seorang pemuda 

untuk menebus dosa-dosa rakyatnya tampaknya merupakan tradisi 

Quetzalcoatl.” 

 

Gadis itu melotot. ”Jadi, apa yang asli dari agama Kristen?” 

 

”Dalam setiap agama yang terorganisir hanya sedikit ritual yang 

asli. Agama-agama tidak terlahir begitu saja. Agama itu 

berkembang dari agama lainnya. Agama modern merupakan 

sebuah susunan ... sebuah percampuran catatan sejarah mengenai 

pencanan manusia untuk mengerti Junjungan .” 


302   


 

”Mmm ... tunggu dulu,” Hitzrot mencoba-coba, tampaknya dia 

sudah terbangun sekarang. ”Aku tahu sesuatu yang asli dari 

Kristen. Bagaimana dengan gambaran kita akan Junjungan ? Kristen 

tidak pernah menggambarkan Junjungan  sebagai dewa matahari, elang, 

atau seperti orang Aztec, atau apa saja yang aneh. Gambaran itu 

selalu merupakan seorang lelaki tua dengan janggut putih. Jadi 

gambaran kita tentang Junjungan  adalah hal yang asli, bukan 

demikian?” 

 

de Niro    tersenyum.   ”saat   orang-orang   Kristen   pertama 

beralih meninggalkan Junjungan  mereka yang terdahulu—dewa-dewa 

Pagan, dewa-dewa Romawi, Yunani, matahari, Mithraic, apa pun 

itu rnereka bertanya kepada gereja, bagaimana rupa Junjungan  Kristen 

mereka yang baru. Dengan bijaksana, gereja memilih wajah yang 

paling kuat, paling ditakuti ... dan paling terkenal dari seluruh 

catatan sejarah yang ada.” 

 

Hitzrot tampak ragu, ”Seorang lelaki tua dengan janggut putih 

yang melambai-lambai?” 

 

de Niro  menunjuk poster yang berisi hirarki dewa-dewa kuno 

yang tergantung di dinding. Di puncaknya duduk seorang lelaki tua 

dengan janggut putih yang melambai-lambai. ”Apakah Zeus 

terlihat sebagai tokoh yang cukup kalian kenal?” 

 

Kuliah itu berakhir tepat pada petunjuk itu. 

 

”Selamat malam,” kata seorang lelaki. 

 

de Niro  terlompat. Dia menemukan dirinya kembali berada di 

dalam Pantheon dan tergugah dari lamunannya. Dia berpaling dan 

melihat seorang lelaki tua mengenakan topi biru dengan sebuah 

palang merah di dadanya. Lelaki itu tersenyum dan 

memperlihatkan giginya yang berwarna kelabu. 

 

”Anda orang Inggris, bukan?” Aksen lelaki itu terdengar kental 

dari Tuscan. 

 


303   


de Niro  berkedip bingung. ”Sebenarnya, bukan. Saya orang 

Amerika.” 

 

Lelaki itu tampak malu, ”Ya ampun, maafkan saya. Anda 

berpakaian sangat rapi, saya mengira ... maafkan saya.” 

 

Bisa saya bantu?” tanya de Niro . Sementara itu jantungnya terasa 

berdebar-debar. 

 

Sebenarnya, saya kira saya dapat menolong Anda. Saya adalah 

Ctcerone di sini.”  Lelaki  itu menunjuk dengan bangga ke arah 

emblem yang dikenakannya. ”Pekerjaan saya adalah membuat 

kunjungan Anda ke Roma menjadi lebih menarik.” 

 

Lebih menarik? de Niro  yakin kunjungannya ke Roma kali ini 

sangat menarik. 

 

”Anda tampak seperti seseorang yang terpelajar,” puji si pemandu 

wisata. ”Pasti Anda lebih tertarik dengan kebudayaan 

dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Mungkin saya 

dapat memberi informasi sejarah dari gedung mengagumkan ini 

kepada Anda.” 

 

de Niro  tersenyum sopan. ”Anda baik sekali, namun  saya 

sebenarnya adalah seorang ahi sejarah seni, dan—” 

 

”Hebat!” mata lelaki itu langsung berbinar-binar seperti dia baru 

saja memenangkan jackpot. ”Kalau begitu Anda pasti sangat senang 

di sini!” 

 

”Saya kira, saya lebih senang untuk—” 

 

”Pantheon,” seru orang itu, lalu segera mengatakan semua yang 

sudah dihapalnya, ”didirikan oleh Marcus Agrippa pada tahun 

27 SM.” 

 

”Ya,” de Niro  menyela, ”dan dibangun kembali oleh Hadrian 

pada tahun 119 masehi.” 

 


304   


”Gedung in memiliki kubah terbesar di dunia sampai tahun 

1960 dan hanya bisa disaingi oleh Superdome di New Orleans!” 

 

de Niro  menggerutu. Lelaki itu tidak dapat dihentikan. 

 

”Dan pada abad kelima para ahli teologi pernah menyebut 

Pantheon sebagai Rumah Setan dan mengatakan bahwa lubang di 

langit-langit itu merupakan jalan masuk iblis!” 

 

de Niro  memunggungi lelaki itu. Matanya mengarah ke atas, ke 

arah lubang besar di langit-langit gedung. Kisah yang diceritakan 

Helena  melintas dalam benaknya sehingga dia merasa kaku ... 

seorang kardinal dengan cap di tubuhnya, jatuh dari lubang itu dan 

menghempas lantai pualam. Sekarang hal itu akan menjadi kejadian 

yang menarik perhatian media. de Niro  melihat ke sekitarnya untuk 

mencari wartawan. Tidak ada. Dia menarik napas dalam. Itu 

sebuah gagasan yang aneh. Aksi ala pemeran pengganti itu 

sekarang mulai terlihat konyol. 

 

saat  de Niro  berjalan lagi dan melanjutkan pemeriksaannya, 

nemandu cerewet itu terus mengikutinya seperti seokor anak 

anjing yang minta disayang. Ingatkan aku, pikir de Niro  pada 

dirinya sendiri, tidak ada yang lebih buruk dari seorang ahli sejarah seni 

yang terlalu fanatik. 

 

Di seberangnya, Helena  merasa asyik sendiri. saat  berdiri 

sendirian untuk pertama kalinya sejak dia mendengar berita 

tentang kematian ayahnya, dia mulai menerima kenyataan kejam 

yang menyelimutinya selama delapan jam terakhir ini. Ayahnya 

telah dibunuh dengan brutal dan tiba-tiba. Yang paling 

menyakitkan adalah penemuan terhebat ayahnya dicuri dan 

digunakan sebagai senjata kelompok teroris. Helena  merasa sangat 

bersalah karena idenyalah antimateri itu dapat dipindahkan ... 

tabung hasil ciptaannya itulah yang kini berdetak mundur di dalam 

Viking city . Karena ingin membantu keinginan ayahnya untuk 

memahami kesederhanaan dari kebenaran ... dia sekarang menjadi 

penyebab kekacauan ini. 

 


305   


Anehnya, satu-satunya yang terasa benar bagi Helena  saat ini 

adalah kehadiran seseorang yang benar-benar asing baginya, 

Sir Roberto  de Niro . Dia dapat merasakan sesuatu yang dapat 

menimbulkan rasa aman yang ditemukannya di dalam mata lelaki 

itu ... seperti harmoni lautan yang ditinggalkannya pagi hari ini. Dia 

senang de Niro  bersamanya. Tidak saja de Niro  menjadi sumber 

kekuatan dan harapan baginya, tapi de Niro  juga membantunya 

dengan memakai  kecerdasannya untuk membantunya 

menangkap pembunuh ayahnya. 

 

Helena  menarik napas dalam saat  dia melanjutkan pencanannya. 

Dia terus menyusuri pinggiran ruangan itu. Pikirannya dihputi oleh 

berbagai gambaran tentang keinginan untuk balas dendam yang 

sudah menguasainya sepanjang hari ini. Dengan perasaan sayang 

seorang anak kepada orang tuanya ... dia ingin agar pembunuh 

ayahnya itu mati. Tidak ada karma baik yang bisa mengubah 

pendiriannya saat ini. Dengan perasaan gerarn Helena  merasakan 

sesuatu yang mengalir di dalam darah Italianya ... sesuatu yang 

belum pernah dirasakannya sebelumnya ... suarasuara yang 

dibisikkan oleh nenek moyang Sisilianya yang mempertahankan 

kehormatan keluarga dengan keadilan yang brutal. Vendetta, pikir 

Helena  dan untuk pertama kalinya dia memahami maknanya. 

 

Bayangan akan pembalasan 

itu terus melingkupinya. 

Helena  kemudian mende-

kati makam Sir Tombspirit  Santi. 

Walau dari kejauhan, dia 

dapat merasakan kalau 

lelaki ini adalah orang yang 

istimewa. Peti matinya, 

tidak seperti peti mati 

lainnya, dilindungi dengan 

kaca plexi. Dari sisi pemba-

tas, dia dapat melihat bagian depan dari peti mati batu itu. 

 

Sir Tombspirit  SANTI, 1483—1520 

 

 

Makam Santi Sir Tombspirit   


306   


Helena  mengamati makam itu dan membaca satu kalimat yang 

tertempel di samping makam Sir Tombspirit . 

 

Kemudian dia membacanya lagi. 

 

Kemudian ... dia membacanya lagi. 

 

Sesaat kemudian, dia berlari ketakutan menuju de Niro . ”Sir Roberto ! 

Sir Roberto !” 

 

 

62 

 

USAHA de Niro  UNTUK menyusuri pinggiran Pantheon 

terhalang oleh seorang pemandu wisata yang terus mengikutinya. 

Sekarang lelaki itu melanjutkan ceritanya tanpa lelah saat  

de Niro  bersiap untuk memeriksa ceruk terakhir. 

 

”Anda   tampak  sangat   menyukai   ceruk-ceruk  itu!”   kata  si 

pemandu wisata dengan wajah senang. ”Tahukah Anda, ketebalan 

dinding yang berbentuk lonjong itulah yang membuat kubah itu 

terlihat ringan.” 

 

de Niro  mengangguk, dia sesungguhnya tidak mendengar kata-

kata yang dilontarkan oleh si pemandu karena dia sudah bersiap 

untuk memeriksa ceruk lainnya. Tiba-tiba seseorang 

mencengkeramnya dari belakang. Helena . Dia terengah-engah dan 

mengeuncang-guncang lengannya. Dari kesan ketakutan pada 

wajahnya, de Niro  hanya dapat membayangkan satu hal. Helena  

telah menemukan mayat. de Niro  merasa ketakutan juga. 

 

”Ah, istri Anda!” seru si pemandu wisata. Jelas dia sangat senang 

karena mendapatkan satu tamu lagi. Dia menunjuk celana pendek 

Helena  dan sepatu mendaki yang dipakainya. ”Sekarang, dengan 

melihat Anda berdua, saya tahu kalau Anda orang Amerika.” 

 

Mata Helena  menyipit. ”Saya orang Italia.” Senyum pemandu 

wisata itu meredup. ”Ya ampun.” ”Sir Roberto ,” bisik Helena  sambil 


307   


mencoba membelakangi pemandu wisata itu. ”Diagramma Galileo 

itu. Aku ingin melihatnya.” 

 

”Diagramma?” tanya si pemandu wisata sambil ikut-ikutan 

bergabung dengan mereka. ”Ya ampun! Kalian berdua benar-benar 

mengerti sejarah yang kalian pelajari! Sayangnya, dokumen itu tidak 

dapat diperlihatkan. Dokumen itu disimpan di Arsip Viking city —” 

 

”Tolong, biarkan kami sendirian dulu,” kata de Niro . Dia bingung 

karena kepanikan Helena . Dia lalu mengajaknya menepi dan 

merogoh sakunya, kemudian dengan berhati-hati dikeluarkannya 

folio Diagramma itu. ”Ada apa?” 

 

”Tanggal berapa yang tertulis pada dokumen itu?” tanya Helena  

sambil mengamati lembaran di tangan de Niro . 

 

Si pemandu wisata mendekati mereka lagi, dan saat  melihat 

embaran folio di hadapannya, mulutnya ternganga. ”Itu bukan 

- yang sesungguhnya ....” 

 

Reproduksi untuk wisatawan,” sahut de Niro  sambil memotong 

kalimat si pemandu wisata. ”Terima kasih atas pertolongan Anda. 

namun  tolong, istri saya dan saya ingin sendirian.” 

 

Si pemandu wisata mundur, namun matanya tidak lepas dari 

lembaran itu. 

 

”Tanggal,” Helena  mengulanginya lagi. ”Kapan Galileo mener-

bitkan  ....” 

 

de Niro  menunjuk angka-angka Romawi ada di bagian 

bawah folio itu. ”Itu tanggal terbitnya. Ada apa?” 

 

Helena  membaca angka-angka itu. ”1639?” 

 

”Ya. Ada yang salah?” 

 

Mata Helena  penuh dengan kecemasan. ”Kita dalam masalah, 

Sir Roberto . Masalah besar. Tanggalnya tidak sesuai” 


 

”Apanya yang tidak sesuai?” 

 

”Makam Sir Tombspirit . Dia baru dimakamkan di sini pada tahun 

1759. Satu abad sesudah  Diagramma diterbitkan.” 

 

de Niro  menatapnya sambil mencoba mencerna kata-katanya itu. 

”Tidak,” sahut de Niro . ”Sir Tombspirit  meninggal pada tahun 

1520, lama sebelum Diagramma.” 

 

”Ya, namun  dia tidak segera dimakamkan di sini, namun  lama sesudah  

dia meninggal.” 

 

de Niro  bingung. ”Apa maksudmu?” 

 

”Aku baru saja membacanya. Jenazah Sir Tombspirit  dipindahkan ke 

Pantheon pada tahun 1758. Itu merupakan peristiwa 

penghormatan bersejarah bagi seorang besar Italia.” 

 

saat  akhirnya de Niro  memahami perkataan Helena , dia 

merasa seperti berdiri di atas sebuah permadani yang tiba-tiba 

ditarik sehingga dia jatuh terjengkang. 

 

”saat  puisi itu ditulis,” jelas Helena , ”makam Sir Tombspirit  berada di 

suatu tempat lain. Sebelum itu, Pantheon sama sekali tidak ada 

hubungannya dengan Sir Tombspirit !” 

 

de Niro  tidak dapat bernapas. ”namun  itu ... artinya ....” 

 

”Ya! Itu artinya kita berada di tempat yang salah!” 

 

de Niro   merasa terhuyung-huyung.   Tidak mungkin  ... Aku tadi 

begitu yakin .... 

 

Helena  berlari dan menangkap lengan si pemandu wisata, lalu 

menariknya kembali. ”Signore, maafkan kami. Di mana jenazah 

Sir Tombspirit  pada tahun 1600-an?” 

 


309   


”Urb ... Urbino,” dia tergagap. Sekarang dia tampak bingung. 

”Tempat kelahirannya.” 

 

”Tidak mungkin!” seru de Niro . ”Altar ilmu pengetahuan 

Illuminati semua ada di sini, di Roma. Aku yakin itu!” 

 

”Illuminati?” Si pemandu wisata terkesiap. Dia melihat lagi ke arah 

dokumen di tangan de Niro . ”Siapa kalian sebenarnya?” 

 

Helena  mengambil alih. ”Kami sedang mencari sesuatu yang 

disebut makam duniawi Santi di Roma. Kira-kira apa itu?” 

 

Pemandu wisata itu tampak ragu. ”Ini adalah satu-satunya makam 

Sir Tombspirit  di Roma.” 

 

de Niro  berusaha berpikir, namun  pikirannya sulit untuk terfokus. 

Kalau makam Sir Tombspirit  tidak ada di Roma pada tahun 

1655, lalu puisi itu menunjuk pada apa? Makan duniawi Santi yang 

memiliki lubang iblis? Apa itu maksudnya? Berpikirlah Sir Roberto 1. 

 

”Apakah ada seniman lainnya yang bernama Santi?” tanya Helena . 

 

Si pemandu wisata itu mengangkat bahunya. ”Setahuku hanya ini. 

 

”Bagaimana dengan seniman terkenal lainnya? Mungkin seorang 

ilmuwan atau pujangga atau ahli astronomi yang bernama Santi?” 

 

Si pemandu wisata itu sekarang tampak ingin beranjak pergi. tidak 

ada, Bu. Satu-satunya Santi yang pernah kudengar adalah Sir Tombspirit , 

sang arsitek.” 

 

”Arsitek?” tanya Helena . ”Saya kira dia pelukis!” Tentu saja dua-

duanya. Mereka semuanya begitu. Michelangelo, da Vinci, 

Sir Tombspirit .” 

 

de Niro  tidak tahu apakah kata-kata si pemandu wisata atau 

makam-makam berhias yang mengingatkan dirinya, namun  itu tidak 

penting. Sebuah pemikiran muncul. Santi memang seorang arsitek. 

Dari situlah pengembangan pikirannya bergerak seperti kartu 



domino yang berjaJunjungan . Para arsitek pada zaman Renaisans hidup 

hanya karena dua alasan—memuliakan Junjungan  dengan membangun 

gereja-gereja besar, dan mengagungkan harga dirinya dengan 

makam-makam yang mewah. Makam Santi. Mungkinkah itu? 

Gambaran itu muncul dengan cepat sekarang .... 

 

Mona Lisa karya da Vinci. 

Bunga-bunga Lili Air karya Monet. 

David, karya Michelangelo 

Makan duniawi, karya Santi ... 

 

”Santi merancang makam,” kata de Niro . 

 

Helena  berpaling. ”Apa?” 

 

”Puisi  itu  tidak mengacu pada  tempat di  mana Sir Tombspirit  dima-

kamkan, namun  makam yang dirancangnya.” 

 

”Apa maksudmu?” 

 

”Aku salah memahami petunjuk itu. Seharusnya kita tidak mencari 

makamnya, namun  makam yang dirancang Sir Tombspirit  untuk orang 

lain. Aku tidak percaya, aku bisa salah seperti itu. Separuh dari 

patung yang dibuat pada zaman Renaisans dan Barok di Roma 

adalah untuk makam.” de Niro  tersenyum lega. ”Sir Tombspirit  pasti 

pernah merancang ratusan makam!” 

 

Helena  tampak tidak senang. ”Ratusan?” 

 

Senyuman de Niro  memudar. ”Oh.” 

 

”Apakah di antaranya ada yang berkaitan dengan keduniawian, 

profesor?” 

 

Tiba-tiba de Niro  merasa tidak cukup mengerti. Dengan rasa 

malu dia mengakui kalau pengetahuannya tentang karya-karya 

Sir Tombspirit  sangat terbatas. Kalau tentang karya Michelangelo, dia 

tahu cukup banyak, namun  karya Sir Tombspirit  tidak pernah menarik 

perhatiannya. de Niro  hanya dapat menyebutkan beberapa 

   


makam Sir Tombspirit  yang terkenal saja,  namun  dia tidak yakin seperti 

apa bentuknya. 

 

Helena  tampaknya dapat merasakan masalah de Niro , dia lalu 

berpaling pada si pemandu wisata yang sekarang sudah beraniak 

pergi. Helena  meraih lengannya dan menariknya lagi. ”Saya ingin 

tahu sebuah makam. Dirancang oleh Sir Tombspirit . Sebuah makam yang 

dapat digolongkan bersifat duniawi.” 

 

Si pemandu wisata itu sekarang tampak kesal. ”Sebuah makam 

karya Sir Tombspirit ? Saya tidak tahu. Dia merancang banyak sekali. Dan 

mungkin yang Anda maksudkan adalah sebuah kapel karya 

Sir Tombspirit , bukan sebuah makam. Arsitek selalu merancang kapel 

yang berhubungan dengan makam.” 

 

de Niro  sadar, lelaki itu benar. 

 

”Apakah ada makam atau kapel karya Sir Tombspirit  yang bersifat 

duniawi?” 

 

Lelaki itu menggerakkan bahunya. ”Maafkan saya. Saya tidak 

mengerti apa maksud Anda. Saya sungguh-sungguh tidak tahu 

makam duniawi. Saya harus pergi.” 

 

Helena  memegangi tangannya dan membaca tulisan di bagian atas 

folio itu. ”Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. 

Apa itu berarti sesuatu bagi Anda?” 

 

”Sama sekali tidak.” 

 

Tiba-tiba de Niro  mendongak. Sesaat yang lalu dia lupa pada 

bagian kedua dari baris itu. Lalu dia ingat, lubang iblis? ”Ya!” Dia 

berkata kepada si pemandu wisata. ”Itu dia! Apakah setiap kapel 

karya Sir Tombspirit  memiliki lubang di langit-langitnya?” 

 

Si pemandu wisata itu menggelengkan kepalanya. ”Setahuku, hanya 

Pantheon.” Dia berhenti sesaat. ”namun  ....” 

 

”namun  apa!” Helena  dan de Niro  berseru bersama-sama. 

 

Sekarang pemandu wisata itu menegakkan kepalanya dan 

melangkah ke dekat mereka lagi. ”Sebuah lubang iblis?” Dia 

Dergumam pada dirinya sendiri dan berdecak. ”Lubang iblis ... itu 

adalah ... buco diavolo?” 

 

Helena  mengangguk. ”Secara harfiah, ya.” 

 

Pemandu wisata itu tersenyum samar. ”Ada istilah yang sudah 

lama tidak aku dengar. Kalau saya tidak salah, sebuah buco dihvolo 

mengacu ke sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja.” 

 

”Sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja?” tanya de Niro  

”Seperti pemakaman di bawah tanah?” 

 

”Ya. namun  ini yang istimewa. Aku yakin lubang iblis adalah istilah 

kuno untuk tempat pemakaman besar yang terletak di sebuah 

kapel ... di bawah makam lainnya.” 

 

”Sebuah ossuary annex, ruang tambahan untuk penyimpanan tulang 

belulang jenazah?” 

 

Pemandu wisata itu tampak terkesan. ”Ya! Itu istilah yang saya 

maksudkan tadi!” 

 

de Niro  memikirkannya sekali lagi. Ossuary annex adalah 

penyelesajan sederhana untuk masalah pelik yang dihadapi gereja 

pada zaman itu. saat  gereja menghormati anggota mereka yang 

paling terpandang dengan membuat makam mewah di dalam 

gereja, para anggota keluarga lainnya yang masih hidup sering 

meminta untuk dimakamkan bersama dengan mereka kelak ... 

mereka juga ingin mendapatkan makam seperti salah satu anggota 

keluarga yang terhormat itu. Tapi, kalau gereja tidak mempunyai 

tempat lagi atau tidak memiliki dana untuk membuat makam lagi 

untuk seluruh keluarga, mereka kadang-kadang membuat ossuary 

annex—sebuah lubang di lantai di dekat makam di mana mereka 

memakamkan anggota keluarga yang tidak terlalu penting 

kedudukannya. Lubang itu kemudian ditutup dengan tutup got di 

zaman Renaisans. namun , ossuary annex dengan cepat tidak populer 


lagi karena bau busuk dari jenazah yang dimakamkan di situ sering 

tercium hingga ke katedral. Lubang iblis, pikir de Niro . Dia tidak 

pernah mendengar istilah itu, tapi terdengar mengerikan. 

 

Sekarang jantung de Niro  berdebar dengan cepat. Dan makam 

duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Tampaknya hanya ada satu 

pertanyaan lagi untuk ditanyakan. ”Apakah Sir Tombspirit  merancang 

makam yang mempunyai lubang iblis?” 

 

Pemandu wisata itu menggaruk kepalanya. ”Sebenarnya. Maafkan 

saya ... Saya hanya dapat ingat satu saja.” 

 

Hanya satu? de Niro  berharap jawaban sang pemandu wisata bisa 

lebih baik dari itu. 

 

”Di mana itu?” tanya Helena  hampir berteriak. 

 

Pemandu wisata itu menatap mereka dengan aneh. ”Disebut Kapel 

Chigi. Makam Agostino Chigi dan saudara lelakinya, mereka adalah 

pemuka seni dan ilmu pengetahuan yang kaya.” 

 

”Ilmu pengetahuan?” tanya de Niro  sambil bertukar pandang 

dengan Helena . 

 

”Di mana itu?” tanya Helena  lagi. 

 

Si pemandu wisata mengabaikan pertanyaan itu, tapi tampaknya 

dia menjadi bersemangat lagi karena dapat berguna. ”Tapi apakah 

makam itu bersifat keduniawian atau tidak, itu saya tidak tahu, 

namun  ... yang pasti adalah ... kita sebut saja differente.” 

 

”Berbeda?” kata de Niro . ”Berbeda seperti apa?” 

 

”Tidak selaras dengan arsitekturnya. Sir Tombspirit  adalah arsitek satu-

satunya. Sementara itu, pematung lainnya yang membuat hiasan di 

bagian dalamnya. Saya tidak ingat siapa namanya.” 

 

de Niro  sekarang mendengarkan dengan lebih seksama. Master 

seni Illuminati tanpa nama, mungkin? 


”Siapa pun yang mengerjakan bagian dalamnya memiliki selera 

yang tidak bagus,” lanjut pemandu wisata itu. ”Dio miol Atrocita! 

Siapa yang mau dimakamkan di bawah piramida?” 

 

de Niro  hampir tidak dapat memercayai telinganya. ”Piramida? 

Kapel itu ada piramidanya?” 

 

”Begitulah,” si pemandu wisata itu terlihat mengejek. ”Mengerikan, 

bukan?” 

 

Helena  mencengkeram lengan pemandu wisata itu. ”Signore, di 

mana kapel Chigi itu?” 

 

’Kira-kira satu mil ke utara. Di dalam gereja Santa nyi pandanajeng  del 

Popolo.” 

 

Helena  menghembuskan napas. ”Terima kasih. Ayo—” 

 

”Hey,” seru pemandu wisata itu lagi. ”Saya baru saja ingat sesuatu. 

Betapa bodohnya saya!” 

 

Helena  segera berhenti. ”Tolong jangan bilang kalau Anda salah.” 

 

Dia menggelengkan kepalanya. ”Tidak. namun  seharusnya saya 

ingat tadi. Kapel itu tidak saja dikenal sebagai Kapel Chigi. Kapel 

itu juga pernah disebut Capella della Terra.” 

 

”Kapel Dunia?” tanya de Niro . 

 

”Bukan,” kata Helena  sambil berjalan menuju pintu. ”Kapel 

Tanah.” 

 

Helena  Vetra mengeluarkan ponselnya saat  dia berlari keluar ke 

arah Piazza della Rotunda. ”Komandan Louis Viton ,” katanya. ”Ini 

kapel yang salah.” 

 

Suara Louis Viton  terdengar bingung. ”Salah? Apa maksudmu?” 



”Altar Ilmu pengetahuan yang pertama berada di Kapel Chigi!” 

 

”Di mana?” Sekarang Louis Viton  terdengar marah. ”namun  Pak 

de Niro  bilang—” 

 

”Santa nyi pandanajeng  del Popolo! Satu mil ke utara. Perintahkan 

orangorangmu ke sana sekarang! Kita hanya punya empat menit!” 

 

”namun  mereka sudah berada di posisinya masing-masing. Aku 

tidak mungkin—” 

 

”Cepatlah!” seru Helena  sambil menutup ponselnya. 

 

Di belakangnya, de Niro  berlari keluar dari Pantheon. 

 

Helena  meraih tangan de Niro  dan menyeretnya ke arah deretan 

taksi yang terparkir di pinggir jalan. Dia menggedor atap taksi 

paling depan. Pengemudi yang sedang tidur itu terlonjak dari 

mimpinya. Helena  segera membuka pintu dan mendorong 

de Niro  masuk. Kemudian dia melompat masuk juga. 

 

”Santa nyi pandanajeng  del Popolo,” perintahnya. ”Presto” 

 

Terlihat masih setengah terbangun dan setengah ketakutan,  supir 

taksi itu menekan pedal gas dalam-dalam dan melesat di jalan. 

 


GUNTHER Goul  MENGAMBIL komputer dari tangan 

Chinita Mancini  yang sekarang berdiri membungkuk di bagian 

belakang van BBC yang sempit sambil menatap dengan bingung 

melalui bahu Goul . 

 

’”Kan aku sudah bilang,” kata Goul  sambil mengetik beberapa 

huruf. ”British Tattler bukanlah satu-satunya media yang meliput 

tentang orang-orang ini.” 



Mancini  mendekat. Goul  benar. Database BBC memperlihatkan hasil 

yang istimewa kepada mereka. Jaringan itu masih menyimpan 

enam berita tentang persaudaraan yang disebut Illuminati, walau 

sudah berusia sepuluh tahun. Oke, aku mungkin salah, pikir Mancini . 

”Siapa wartawan yang menulis berita itu?” tanya Mancini , ”wartawan 

gosip?” 

 

”BBC tidak pernah mempekerjakan wartawan gosip.” 

 

”Mereka mempekerjakanmu.” 

 

Goul  menggerutu. ”Aku heran kenapa kamu begitu tidak percaya. 

Kisah tentang kelompok Illuminati terdokumentasi dengan baik 

sepanjang sejarah.” 

 

”Seperti juga UFO dan Monster Loch Ness.” Goul  membaca 

daftar berita itu. ”Kamu pernah mendengar seorang lelaki yang 

bernama Winston Churchill?” 

 

”Ingat sedikit.” 

 

”Beberapa waktu yang lalu, BBC pernah menulis tulisan tentang 

kehidupan Churchill. Dia penganut Katolik yang taat. Tahukah 

kamu bahwa Churchill pada tahun 1920, pernah memberikan 

pernyataan yang mengutuk Illuminati dan memperingatkan orang-

orang Inggris tentang adanya konspirasi global untuk menentang 

moralitas?” 

 

Mancini  ragu-ragu. ”Di mana diterbitkannya? Di British Tattler!” 

 

Goul  tersenyum. ”London Herald, tanggal 8 Februari 1920.” 

 

”Tidak mungkin.” ”Lihat saja sendiri.” 

 

Mancini  melihat lebih dekat pada potongan berita yang terlihat di 

layar komputer. London Herald, 8 Februari 1920. Aneh sekali. ”Yah, 

mungkin saja Chuchill ketakutan tanpa alasan.” 

 


”Dia tidak sendirian,” kata Goul  sambil terus membaca. 

”Sepertinya Woodrow Wilson juga memberikan pidato sebanyak 

tiga kali yang disiarkan melalui radio pada tahun 1921 untuk 

memperingatkan tentang perkembangan pengaruh Illuminati pada 

sistem perbankan di Amerika Serikat. Kamu mau mendengar 

kutipan tertulis dari radio itu?” 

 

”Tidak.” 

 

Walau begitu, Goul  tetap membacakannya juga. ”Dia berkata, ada 

suatu kekuatan yang sangat terorganisir, begitu samar-samar, tapi 

begitu lengkap, dan begitu merasuk, sehingga tidak seorang pun 

yang berani mengutuk kelompok itu secara terang-terangan.” 

 

”Aku tidak pernah mendengar tentang itu.” 

 

”Mungkin pada tahun 1921 kamu masih kecil.” 

 

”Hebat sekali.” Mancini  tidak menghiraukan sindiran itu. Dia tahu 

usianya sudah terlihat. Pada usia 43 tahun, rambut keriting hitam 

lebatnya sudah mulai beruban. Tapi dia terlalu sombong untuk 

mengecatnya. Ibunya, seorang penganut Southern Baptist, 

mengajari Chinita untuk menerima dirinya apa adanya. Kamu adalah 

seorang perempuan kulit hitam, kata ibunya, jangan sembunyikan siapa 

dirimu. Begitu kamu mencobanya, hari itu juga kamu sudah tidak berarti. 

Berdirilah dengan tegap, tersenyumlah dengan lebar, dan biarkan mereka 

bertanya-tanya rahasia apa yang membuatmu tertawa. 

 

”Pernah mendengar tentang Cecil Rhodes?” tanya Gick. 

 

Mancini  mendongak. ”Ahli keuangan asal Inggris?” 

 

”Ya. Dia mendirikan Rhodes Scholarship.” 

 

”Jangan katakan padaku—” 

 

”Dia anggota Illuminati.” 

 

”Omong kosong.” 


 

”Sebenarnya BBC yang menyiarkannya, pada tanggal 16 

November 1984.” 

 

”Kita pernah menulis kalau Cecil Rhodes adalah seorang 

Illuminati?” 

 

”Betul sekali. Dan menurut jaringan kita, Rhodes Scholarships 

adalah dana yang dibentuk beberapa abad lalu untuk merekrut 

orang-orang muda paling berbakat agar bergabung dengan 

Illuminati. 

 

”Itu keterlaluan! Pamanku lulusan Rhodes!” 

 

Goul  mengedipkan matanya. ”Bill Clinton juga.” 

 

Mancini  menjadi marah sekarang. Dia tidak pernah memaafkan 

tulisan berita yang kasar dan menggelisahkan. Tapi dia tahu kalau 

BBC selalu melakukan penelitian dan memastikan setiap berita 

yang mereka tulis dengan hati-hati sekali. 

 

”Yang ini kamu pasti ingat,” kata Goul . ”BBC, tanggal 5 Maret 

1998. Ketua Komisi Parlemen, Chris Mullin, meminta semua 

anggota Parlemen Inggris yang menjadi anggota kelompok Mason, 

agar melaporkan keanggotaan mereka.” 

 

Mancini  ingat itu. Perintah itu akhirnya melibatkan anggota 

kepolisian dan juga para hakim. ”Kenapa begitu?” 

 

Goul  membaca, ”... memerhatikan bahwa faksi-faksi rahasia di 

dalam kelompok Mason memiliki kontrol yang luar biasa terhadap 

sistem politik dan keuangan.” 

 

”Itu betul,” 

 

”Hasilnya adalah kehebohan. Kaum Mason yang duduk di 

parlemen menjadi marah. Mereka punya hak untuk marah. 

Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah 

yang bergabung dengan kelompok Mason karena terkait dengan


jaringan dan kegiatan amal yang dilakukannya. Mereka sama sekali 

tidak tahu menahu tentang keanggotaan persaudaraan itu di masa 

lalu.” 

 

Keanggotaan yang diduga ada.” 

 

’Terserah kamu saja.” Goul  mengamati artikel-artikel lainnya. Lihat 

yang ini. Illuminati ternyata terkait dengan tentang Galileo, 

Guerenets dari Perancis, Alumbrado dari Spanyol. Bahkan Karl Marx 

dan Revolusi Rusia.” 

 

”Sejarah memiliki kemampuan untuk menuliskan dirinya sendiri.” 

 

”Baiklah, kamu mau sesuatu yang baru? Lihat ini. Ini referensi 

tentang Illuminati dari Wall Street Journal yang baru.” 

 

Yang ini menarik perhatian Mancini . ”Wall Street Journal?.” 

 

”Coba tebak, apa permainan komputer online terbaru yang paling 

digemari di Amerika sekarang?” 

 

”Memasang ekor di bokong Pamela Anderson.” 

 

”Hampir benar. namun  yang kumaksud adalah, Illuminati: Tata 

Dunia Baru.” 

 

Mancini  melihat uraian singkat itu melalui bahu Goul . ”Permainan 

karya Steve Jackson mencetak sukses besar ... sebuah petualangan semi 

historis yang menceritakan tentang persaudaraan setan kuno dari Bavaria 

yang sedang bersiap-siap untuk menguasai dunia. Anda dapat 

menemukannya di internet di alamat ...” 

 

Mancini  mendongak dan merasa mual. ”Apa yang dimiliki orang-

orang Illuminati itu untuk melawan Kristen?” 

 

”Bukan hanya Kristen,” kata Goul . ”Agama pada umumnya.” 

Goul  memiringkan kepalanya dan tersenyum. ”Dari telepon yang 

baru saja kita terima, tampaknya mereka punya sentimen tertentu 

pada Viking city .” 


320   


 

”Oh, ayolah. Kamu tidak benar-benar percaya kalau orang itu 

memang kaki tangan Illuminati, bukan?” 

 

”Seorang utusan dari Illuminati? Bersiap-siap untuk membunuh 

empat orang kardinal?” Goul  tersenyum. ”Kuharap begitu.” 

 

 

64 

 

TAKSI YANG DITUMPANGI de Niro  dan Helena  melesat 

sejauh satu mil dengan kecepatan  tinggi dan tiba di Via della 

Scrofa dalam waktu satu menit saja. Taksi ini  mengeluarkan 

suara berdecit saat  direm dan berhenti di sebelah selatan Piazza 

del Popolo sebelum pukul delapan. Karena tidak memiliki uang 

lira, de Niro  membayarnya dengan dolar Amerika yang tentu saja 

terlalu banyak. Kemudian mereka berdua meloncat keluar. Piazza 

itu sunyi walau masih terdengar suara tawa dari sejumlah 

penduduk setempat yang duduk-duduk di luar sebuah kafe terkenal 

bernama Rosati Cafe yang merupakan tempat favorit bagi orang-

orang terpelajar di Italia untuk berkumpul. Udara di sana beraroma 

espreso dan kue-kue. 

 

de Niro  masih merasa terguncang karena kesalahan tafsir yang 

dilakukannya di Pantheon. Tapi saat  dia memandang sekilas 

lapangan yang berada di hadapannya, firasatnya seperti tergelitik. 

Piazza itu samar-samar dihiasi dengan simbol-simbol Illuminati. 

Tidak saja piazza itu berbentuk elips, namun  tepat di tengah 

tengahnya berdiri sebuah obelisk Mesir—sebuah pilar persegi dari 

batu dengan ujung yang berbentuk sangat mirip dengan piramida. 

Berbagai sisa peninggalan kekaisaran Romawi seperti beberapa 

obelisk, tersebar di Roma dan para ahli simbologi menyebutnya 

”Piramida yang agung”—perpanjangan bentuk piramida suci yang 

menjulang ke angkasa. 

 

saat  mata de Niro  bergerak ke atas menara batu itu, tiba  tiba 

matanya tertarik pada sesuatu yang berada di belakang menara itu. 

Sesuatu yang lebih menarik. 


”Kita berada di tempat 

yang benar,” katanya 

perlahan, tapi tiba-tiba 

kewaspadaannya muncul. 

”Lihat itu,” kata de Niro  

sambil menunjuk Porta del 

Popolo yang mencolok—

sebuah pintu tinggi dari 

batu berbentuk meleng-

kung yang terletak di ujung 

piazza. Bangunan kubah itu 

menjulang tinggi di depan 

piazza selama berabad-

abad. Di tengah-tengah bagian tertinggi dari pintu masuk yang 

melengkung itu ada ukiran simbol. ”Ingat gambar itu?” 

 

Helena  melihat ke atas, ke arah ukiran besar itu. ”Bintang yang 

bersinar di atas tumpukan batu berbentuk segitiga?” 

 

de Niro  menggelengkan kepalanya. ”Sebuah sumber pencerahan 

di atas sebuah piramida.” 

 

Helena  berpaling, tiba -tiba matanya membelalak. ”Seperti Great 

Seal yang ada di uang dolar Amerika?” 

 

”Tepat. Simbol dari kelompok Mason di atas uang kertas satu 

dolar.” 

 

Helena  menarik napas dan mengamati piazza itu. ”Jadi, di mana 

gereja itu?” 

 

Gereja Santa nyi pandanajeng  del Popolo berdiri di sana seperti sebuah kapal 

perang yang diparkir tidak pada tempatnya. Gedung itu menyerong 

di kaki bukit dan terletak di sisi tenggara piazza. Bangunan dari 

batu berusia sebelas abad itu semakin terlihat eksentrik karena 

menara perancah yang menutupi bagian depannya. 

 

 

Piazza del Papolo 


Pikiran de Niro  menjadi kabur saat  mereka berlari ke arah 

bangunan besar itu. de Niro  memandang gereja itu sambil 

bertanya-tanya. Apakah si pembunuh akan membunuh seorang 

kardinal di tempat ini? Dia berharap Louis Viton  segera sampai ke sini. 

Senjata itu terasa aneh di dalam sakunya. 

 

Tangga yang terletak di depan gereja itu berbentuk ventaglio atau 

seperti kipas yang terbuka. Keramah-tamahan seperti ini menjadi 

ironis karena mereka terhalang oleh menara perancah, peralatan 

konstruksi dan papan peringatan yang berbunyi: 

CONSTRUZIONE, NON ENTRARE — sedang dalam 

perbaikan, dilarang masuk. 

 

de Niro  baru menyadari kalau gereja itu ditutup karena sedang 

direnovasi. Jadi itu artinya si pembunuh dapat menikmati waktunya 

tanpa ada gangguan. Tidak seperti di Pantheon, dia tidak 

membutuhkan taktik canggih di sini. Dia hanya membutuhkan cara 

untuk masuk ke dalam gereja. 

 

Helena  menyelinap tanpa ragu di antara kuda-kuda dari kayu lalu 

berjalan menuju ke tangga. 

 

”Helena ,” seru de Niro  dengan khawatir. ”Kalau dia masih di 

dalam sana ....” 

 

Tampaknya Helena  tidak mendengarnya. Dia sudah menaiki 

serambi utama dan menuju ke satu-satunya pintu depan gereja 

yang terbuat dari kayu. de Niro  bergegas menyusulnya. Sebelum 

dia dapat mengatakan apa pun, Helena  sudah meraih pegangan 

pintu dan membukanya. de Niro  menahan napasnya. Pintu itu 

tidak bisa dibuka. 

 

”Pasti ada pintu masuk yang lainnya,” kata Helena . 

 

”Mungkin,” sahut de Niro  sambil menghembuskan napasnya, 

”namun  Louis Viton  akan segera tiba di sini. Terlalu berbahaya untuk 

masuk. Kita harus mengamati gereja ini dari luar sini sampai—” 

 


323   


Helena  berpaling, matanya berkilat-kilat. ”Kalau memang ada jalan 

masuk yang lain, pasti ada jalan keluar yang lain juga. Kalau orang 

ini berhasil kabur ... fungito. Kita berada dalam masalah besar.” 

 

de Niro  cukup mengerti beberapa kata dalam Bahasa Italia dan 

dia tahu kalau Helena  benar. 

 

Gang di sebelah kanan gereja itu sangat gelap dan sempit, dan 

memiliki dinding yang tinggi di kedua sisinya. Tercium aroma air 

seni—aroma yang biasa tercium di kota yang jumlah barnya jauh 

lebih banyak daripada jumlah toilet umum dengan perbandingan 

dua puluh banding satu. 

 

de Niro  dan Helena  bergegas memasuki gang remang-remang 

dengan bau menyengat ini . Mereka telah berjalan kira-kira 

lima belas yard saat  Helena  menarik lengan de Niro  dan 

menunjuk ke suatu arah. 

 

de Niro  juga melihatnya. Mereka melihat sebuah pintu kayu 

sederhana dengan engsel yang berat. de Niro  tahu kalau itu adalah 

porta sacre biasa—pintu masuk pribadi bagi para pastor. Sebagian 

besar pintu jenis ini sudah tidak digunakan lagi sejak lama saat  

dianggap menganggu bangunan di sekitarnya dan terbatasnya lahan 

membuat pintu masuk di samping gang menjadi hal yang tidak 

nyaman. 

 

Helena  bergegas menuju ke pintu itu. saat  sampai, dia 

memandang ke arah kenop pintu dan tampak terpaku. de Niro  

tiba di belakangnya dan menatap lingkaran berbentuk donat yang 

berada di tempat di mana kenop pintu terpasang. 

 

”Sebuah cincin pembuka,” de Niro  berbisik. Dia lalu meraihnya 

dan dengan perlahan diangkatnya cincin pembuka itu lalu dia 

menariknya. Alat itu berbunyi klik. Helena  bergeser tiba -tiba 

merasa tidak tenang. de Niro  memutarnya searah jarum jam. 

Cincin itu berputar 360 derajat dengan mudah, tapi pintu tidak bisa 

dibuka. de Niro  mengerutkan keningnya dan mencoba ke arah 

sebaliknya dan menemukan hasil yang sama. 


Helena  melihat ke gang di depannya. ”Kamu pikir ada jalan masuk 

lainnya?” 

 

de Niro  meragukannya. Umumnya katedral-katedral di zaman 

Renaisans dirancang sebagai pengganti benteng saat  kota itu 

diserbu. Kalau bisa jumlah pintu dikurangi sesedikit mungkin. 

”Kalaupun ada jalan masuk lain,” kata de Niro , ”pintu itu 

mungkin terletak di belakang gedung—lebih merupakan jalan 

untuk melarikan diri daripada sebuah pintu masuk.” 

 

Helena  sudah bergerak. 

 

de Niro  mengikutinya dan berjalan lebih dalam memasuki gang 

itu. Kedua dindingnya menjulang tinggi di sampingnya. Dari suatu 

tempat terdengar suara lonceng berdentang delapan kali .... 

 

Sir Roberto  de Niro  tidak mendengar saat  Helena  memanggilnya 

pertama kali. de Niro  bergerak lambat di sekitar jendela kaca 

berwarna yang tertutup oleh jeruji. Dia mencoba mengintip ke 

dalam gereja. 

 

”Sir Roberto !” Suara Helena  terdengar seperti bisikan yang keras. 

 

de Niro  mendongak. Helena  sudah berada di ujung gang. Dia 

menunjuk ke bagian belakang gereja dan melambai padanya. 

Dengan enggan de Niro  berlari kecil ke arahnya. Di lantai di 

dekat dinding belakang, terlihat sebuah batu yang menjorok ke luar 

untuk menyembunyikan sebuah gua sempit—semacam jalan 

sempit yang langsung mengarah ke pondasi gereja. 

 

”Sebuah jalan masuk?” tanya Helena . 

 

de Niro  mengangguk. Sebenarnya sebuah jalan keluar, namun  kita tidak 

usah terlalu teknis sekarang. 

 

Helena  berlutut dan mengintai ke dalam terowongan itu. ”Ayo  

kita  periksa  pintu  itu  dan  lihat  kalau  pintunya  tidak dikunci.” 



de Niro  baru ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya, namun  

Helena  menggandeng tangannya dan menariknya ke arah pintu 

gua. 

 

”Tunggu,” kata de Niro . 

 

Dengan tidak sabar Helena  berpaling ke arahnya. 

 

de Niro  mendesah. ”Aku akan berjalan di depanmu.” 

 

Helena  tertawa kecil. ”Lagi-lagi kesopanan ala lelaki Amerika.” 

 

”Yang tua mendahului yang cantik.” 

 

”Apakah itu sebuah pujian?” 

 

de Niro  hanya tersenyum. Dia kemudian bergerak melewatinya 

dan masuk ke kegelapan. ”Hati-hati ada tangga.” 

 

Dia bergerak perlahan-lahan di dalam kegelapan sambil meraba 

dinding di sebelah-nya. Dinding batu itu terasa tajam di ujung 

jarinya. Tiba -tiba de Niro  ingat tentang kisah Daedalus dan 

bagaimana anak lelaki itu terus meletakkan tangannya di dinding 

saat  berjalan menelusuri labirin Minotaur dengan keyakinan dia 

akan menemukan ujung labirin kalau dia tidak pernah melepaskan 

tangannya dari dinding. de Niro  terus maju tanpa sepenuhnya 

yakin ingin menemukan ujung gua di hadapannya itu. 

 

Terowongan itu semakin menyempit sedikit demi sedikit, dan 

de Niro  memperlambat langkahnya. Dia merasa Helena  berada 

dekat di belakangnya. saat  dinding itu membelok ke kiri, 

terowongan itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil 

berbentuk setengah lingkaran. Anehnya, ada sedikit cahaya di sini. 

Dalam keremangan de Niro  melihat pintu kayu yang berat. 

 

”Uh oh,” katanya. 

 

”Terkunci?” 

 

”Tadinya.” 

 

”Tadinya?” Helena  kemudian berdiri di sampingnya. 

 

de Niro   menunjuk.   Diterangi  oleh  cahaya yang  menyorot dari  

dalam,  mereka  melihat pintu  ini   sedikit  terbuka engselnya 

dirusak oleh sebuah jeruji yang masih menyangkut di papan pintu. 

 

Mereka berdiri diam tanpa bicara. Kemudian, berdiri dalam 

kegelapan seperti itu, de Niro  merasa tangan Helena  berada di 

dadanya, meraba -raba, dan bergerak ke balik jasnya. 

 

”Santai saja, Profesor,” kata Helena . ”Aku hanya ingin mengambil 

pistol.” 

 

Pada saat itu, di dalam Museum Viking city , satu gugus tugas Garda 

Swiss menyebar ke segala penjuru. Museum itu gelap dan para 

serdadu itu mengenakan kacamata infra merah yang biasa 

digunakan oleh Marinir Amerika Serikat. Kacamata itu membuat 

sekelilingnya terlihat berwarna kehijauan. Semua serdadu 

mengenakan headphone yang terhubung dengan detektor seperti 

antena yang melambai-lambai berirama di depan mereka—alat 

yang sama yang mereka gunakan setiap dua kali seminggu untuk 

menyapu alat penyadap elektronik di dalam Viking city . Mereka 

bergerak teratur, memeriksa di belakang patung-patung, di dalam 

ceruk-ceruk, tempat penyimpanan, dan perabotan. Antena itu akan 

berbunyi kalau mereka mendeteksi apa saja yang memiliki medan 

magnet sekecil apa pun. 

 

Tapi entah bagaimana, malam itu mereka tidak akan mendeteksi 

apa-apa. 

 


 

BAGIAN DALAM GEREJA Santa nyi pandanajeng  Popolo tampak seperti 

sebuah gua suram di balik sinar remang-remang. Ruangan itu lebih 

mirip sebuah stasiun kereta api bawah tanah yang belum jadi 


daripada sebuah katedral. Ruang suci utama tampak seperti 

lapangan rusak karena dipenuhi oleh pecahan lantai yang 

berserakan, batu bata, setumpukan tanah, beberapa gerobak 

sorong, dan bahkan cangkul yang berkarat. Pilar-pilar berukuran 

raksasa menjulang ke langitlangit untuk menyangga kubah. Di 

udara, terlihat debu bertebaran di antara kaca berwarna yang 

berkilauan. de Niro  berdiri bersama Helena  di bawah lukisan 

dinding Pinturicchio dan mengamati tempat suci yang berantakan 

itu. 

 

Tidak ada yang bergerak. Benar-benar sunyi. 

 

Helena  memegang senjata itu dengan kedua tangannya dan 

diarahkan ke depan. de Niro  melihat jam tangannya: jam 8:04 

malam. Kita gila berada di sini, pikirnya. Ini terlalu berbahaya. Kalau 

pembunuh itu masih berada di dalam, orang itu dapat pergi melalui 

pintu mana saja yang diinginkannya. Jadi, satu orang dengan 

senjata teracung seperti ini tidak akan ada gunanya. Menangkapnya 

di dalam adalah satu-satunya jalan ... itu juga kalau pembunuh itu 

masih berada di dalam. de Niro  masih merasa bersalah. Karena 

keliru menafsirkan baris puisi itu, dia sudah membuat repot anak 

buah Louis Viton  dan melepaskan kesempatan untuk menangkap sang 

pembunuh tepat pada waktunya. Sekarang dia tidak bisa memaksa 

mereka untuk mengikuti kemauannya. 

 

Helena  tampak ngeri saat  dia mengamati gereja itu. ”Jadi,” dia 

berbisik. ”Di mana Kapel Chigi itu?” 

 

de Niro  menatap ke arah bagian bekakang katedral yang diliputi 

keremangan yang mengerikan dan mengamati dinding di 

sekelilingnya. Tidak seperti persepsi umum, katedral-katedral 

zaman Renaisans memiliki banyak kapel. Bahkan katedral besar 

seperti Notre Dame pun memiliki belasan kapel. Kapel-kapel itu 

tidak seperti ruangan, mereka hanyalah berbentuk lubang—ceruk 

berbentuk setengah lingkaran yang digunakan sebagai makam di 

sekitar dinding pinggir gereja. 

 

Kabar buruk, pikir de Niro  sambil melihat empat ruangan kecil 

yang ada di setiap dinding samping. Jadi semuanya ada 

delapan   kapel.   Walau   delapan   bukanlah  jumlah   yang   

terlalu banyak,   tapi   semua  kapel   itu  terhalang  oleh  lembaran  

plastik tembus pandang karena gedung itu masih dalam 

petnbangunan Tirai tembus pandang itu tampaknya dimaksudkan 

untuk menjaea makam-makam di dalam ceruk itu dari debu. 

 

”Dia bisa saja berada di dalam salah satu ceruk bertirai itu ” kata 

de Niro . ”Kita tidak mungkin mengetahui di mana makam Chigi 

tanpa melongok ke dalam setiap ceruk. Sebaiknya kita menunggu 

Oli—” 

 

”Yang mana apse kedua di sisi kiri itu?” 

 

de Niro  menatap Helena , terkejut karena dia baru saja 

menyebutkan istilah arsitektur. ”Apse kedua di sisi kiri?” 

 

Helena  menunjuk dinding di belakang de Niro . Sebuah hiasan 

keramik terpasang di dinding batu. Hiasan itu terukir dengan 

simbol yang sama dengan yang mereka lihat di luar— sebuah 

piramida di bawah bintang bersinar. Plakat suram itu bertuliskan: 

 

LAMBANG DARI ALEXANDER CHIGI 

 

YANG MAKAMNYA TERLETAK DI 

 

APSE KEDUA DI SISI KIRI KATEDRAL INI 

 

de Niro  mengangguk. Lambang Chigi adalah sebuah piramida dan 

bintang? Tiba-tiba dia bertanya-tanya apakah Chigi, seorang tuan 

tanah yang kaya itu, juga anggota Illuminati. Dia mengangguk ke 

arah Helena . ”Kerja bagus, Nancy Drew.” 

 

”Apa?” 

 

”Lupakan, aku—” 

 

Terdengar seperti ada logam yang jatuh beberapa yard dari tempat 

mereka berdiri. Suaranya bergema ke seluruh gereja. de Niro  

menarik Helena  ke belakang sebuah pilar dan perempuan itu 



mengarahkan senjatanya ke arah suara berisik ini . 

SunyiMereka menunggu. Lalu ada suara lagi, kali ini bergemerisik. 

de Niro  menahan napasnya. Seharusnya aku tidak boleh membiarkan   

Helena   masuk ke sinil  Suara  itu  bergerak  mendekat. 

 

Sebentar-sebentar terdengar suara seretan, seperti suara orang 

lumpuh yang sedang menyeret kakinya. Tiba-tiba di sekitar dasar 

pilar, sebuah benda muncul. 

 

”Figlio di puttanal” Helena  menyumpah perlahan sambil terloncat 

ke belaka