Tampilkan postingan dengan label homosapien 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label homosapien 3. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Desember 2022

homosapien 3

ari menghiasi salah 

satu ruang Vatikan dengan lukisan dinding pembantaian (ruang 

itu kini terlarang bagi pengunjung).2

 Lebih banyak orang Kristen 

yang dibunuh sesama Kristen dalam 24 jam itu ketimbang oleh 

Imperium Romawi politeis sepanjang eksistensinya.

Tuhan itu Satu

Seiring waktu, sebagian pengikut dewa-dewa politeis menjadi 

begitu asyik dengan patron khusus mereka sehingga mereka 

terseret menjauh dari pemahaman dasar politeis. Mereka mulai 

meyakini bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, 

dan bahwa Dia sesungguhnya kekuatan tertinggi alam semesta. 

Meskipun demikian, pada saat yang sama, mereka terus 

memandang Dia memiliki kepentingan-kepentingan dan bias￾bias, dan meyakini bahwa mereka bisa mencapai kesepakatan￾kesepakatan dengan-Nya. Maka, lahirlah agama-agama monoteis, 

yang para pengikutnya memohon kepada kekuatan tertinggi alam 

semesta agar membantu mereka sembuh dari sakit, menang lotre, 

dan menang dalam perang.

Agama monoteis pertama yang kita kenal muncul di Mesir, 

350 SM, ketika Fir’aun Akhenaten mendeklarasikan bahwa 

salah satu dewa kecil dari jajaran dewa Mesir, dewa Aten, 

sesungguhnya adalah kekuatan tertinggi yang mengatur alam 

semesta. Akhenaten menetapkan penyembahan Aten sebagai 

agama negara dan berusaha memeriksa penyembahan terhadap 
semua dewa. Namun, revolusi religiusnya itu tak berhasil. Setelah 

kematiannya, penyembahan Aten ditinggalkan, kalah oleh jajaran 

dewa lama.

Politeisme terus melahirkan agama-agama monoteisme lain 

di banyak tempat, tetapi semua tetap marginal, paling tidak 

karena gagal menguraikan pesan universalnya. Judaisme, misalnya, 

menyatakan bahwa kekuatan tertinggi alam semesta memiliki 

kepentingan-kepentingan dan bias-bias, tetapi kepentingan 

utamanya adalah pada negara mungil Yahudi dan pada tanah Israel 

yang dijanjikan. Tak banyak yang bisa diberikan Judaisme kepada 

bangsa-bangsa lain, dan hampir sepanjang masa eksistensinya ia 

bukanlah sebuah agama misioner. Tahap ini bisa disebut sebagai 

tahap “monoteisme lokal”.

Terobosan besar datang bersama Kristen. Agama ini bermula 

sebagai sebuah sekte esoterik Yahudi yang berusaha meyakinkan 

orang-orang Yahudi bahwa Yesus dari Nazareth adalah mesiah 

yang telah lama mereka nanti-nantikan. Namun, salah satu dari 

para pemimpin pertama sekte itu, Paulus dari Tarsus, berpendirian 

bahwa jika kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan￾kepentingan dan bias-bias, dan jika Dia repot-repot menjelmakan 

diri dalam daging dan mati di tiang salib untuk penyelamatan 

manusia, maka itu sesuatu yang harus didengar setiap orang, 

bukan hanya oleh bangsa Yahudi. Maka, perlu untuk menyebarkan 

kalimat baik—Injil—tentang Yesus ke seluruh dunia.

Argumentasi Paulus jatuh di tanah yang subur. Orang-orang 

Kristen mulai mengorganisasi aktivitas misioner yang menyebar 

luas yang ditujukan kepada semua manusia. Dalam satu tikungan 

historis yang paling aneh, sekte esoterik Yahudi ini mengambil 

alih raksasa Imperium Romawi.

Kesuksesan Kristen merupakan sebuah model bagi agama 

monoteis lain yang muncul di Semenanjung Arab pada abad 

ke-7—Islam. Sebagaimana Kristen, Islam juga dimulai dari 

sebuah sekte kecil di sudut terpencil dunia, tetapi dalam sebuah 

kejutan yang lebih aneh dan lebih cepat, ia berhasil menyeruak 

di gurun Arabia dan mengukuhkan sebuah imperium besar yang 

terbentang dari Samudra Atlantik sampai ke India. Oleh karena 

itu, ide monoteis memainkan peran penting dalam sejarah dunia.
Kaum monoteis cenderung jauh lebih fanatik dan misioner 

ketimbang kaum politeis. Sebuah agama yang mengakui legitimasi 

agama-agama lain menunjukkan bahwa kalau bukan tuhannya 

merupakan kekuatan tertinggi alam semesta, maka ia menerima 

dari Tuhan hanya sebagian dari kebenaran universal. Karena kaum 

monoteis biasanya meyakini bahwa mereka memiliki seluruh 

pesan dari satu dan satu-satunya Tuhan, mereka tergugah untuk 

merendahkan semua agama lain. Selama 2 milenium terakhir ini, 

kaum monoteis berulang-ulang mencoba memperkuat kekuasaan 

mereka dengan memenangkan semua kompetisi melalui kekerasan.

Berhasil. Pada permulaan abad ke-1 M, hampir tidak ada 

satu pun orang monoteis di dunia. Sekitar tahun 500 M, salah 

satu imperium terbesar di dunia—Imperium Romawi—adalah 

sebuah negara Kristen, dan para misionaris sibuk menyebarkan 

Kristen ke bagian-bagian lain Eropa, Asia, dan Afrika. Pada akhir 

milenium ke-1 M, sebagian besar orang di Eropa, Asia Barat, 

dan Afrika Utara adalah monoteis, dan imperium-imperium dari 

Samudra Atlantik sampai ke Himalaya mengklaim dititahkan 

oleh Tuhan tunggal yang mahabesar. Pada awal abad ke-16, 

monoteisme mendominasi sebagian besar Afro-Asia, dengan 

pengecualian Asia Timur dan beberapa bagian selatan Afrika, 

dan mulai memanjangkan kaki-kakinya menuju Afrika Selatan, 

Amerika, dan Oceania. Kini sebagian besar orang di luar Asia 

Timur mematuhi salah satu agama monoteis, dan tatanan politik 

global dibangun di atas fondasi-fondasi monoteistik.

Meskipun demikian, sebagaimana animisme terus bertahan 

dalam politeisme, demikian pula politeisme terus bertahan dalam 

monoteisme. Secara teori, begitu seseorang meyakini bahwa 

kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan-kepentingan 

dan bias-bias, apa maknanya menyembah kekuatan-kekuatan 

parsial? Siapa yang mau mendekati seorang birokrat tingkat 

rendah ketika kantor presiden terbuka bagi Anda? Malah, teologi 

monoteis cenderung mengingkari eksistensi semua tuhan kecuali 

Tuhan yang tertinggi, dan menuangkan api neraka dan belerang 

kepada siapa pun yang berani menyembah tuhan-tuhan itu.

Akan tetapi, selalu saja ada jurang antara teori-teori teologis 

dan realitas-realitas historis. Sebagian besar orang menyadari 
sulitnya memaknai ide monoteis secara penuh. Mereka terus 

membagi dunia menjadi “kita” dan “mereka”, dan memandang 

kekuatan tertinggi alam semesta sebagai terlalu jauh dan asing bagi 

kebutuhan-kebutuhan duniawi mereka. Agama-agama monoteis 

mengusir dewa-dewa ke pintu depan dengan banyak perayaan, 

hanya untuk membawanya masuk kembali melalui jendela 

samping. Kristen, misalnya, mengembangkan jajaran dewanya 

sendiri, santo-santo, yang kultus-kultusnya sedikit berbeda dari 

kultus dewa-dewa politeistik.

Sebagaimana dewa Jupiter membela Roma dan Huitzilopochtli 

melindungi Imperium Aztec, demikian pula setiap kerajaan Kristen 

memiliki patron santa-nya sendiri yang membantu mengatasi 

kesulitan-kesulitan dan memenangi perang. Inggris dilindungi 

oleh Santo George, Skotlandia oleh Santo Andrew, Hungaria 
oleh Santo Stephen, dan Prancis oleh Santo Martin. Kota-kota 

besar dan kecil, profesi-profesi, dan bahkan penyakit-penyakit—

masing-masing punya santo sendiri. Kota Milan punya Santo 

Amborose, sementara Santo Markus mengawasi Venesia. Santo 

Almo melindungi para pembersih cerobong asap, sedangkan 

Santo Mathew mengulurkan tangan kepada para pengumpul 

pajak yang tertekan. Jika Anda menderita sakit kepala Anda 

harus menyembah Santo Agathius, tetapi jika sakit gigi, maka 

Santo Apollonia adalah pendengar yang jauh lebih bagus.

Santo-santo Kristen tidak semata-mata menyerupai para dewa 

politeis. Sering santo-santo itu adalah dewa-dewa yang menyamar. 

Misalnya, dewi utama Irlandia Celtic sebelum kedatangan Kristen 

adalah Brigid. Ketika Irlandia ter-Kristen-kan, Brigid juga dibaptis. 

Dia menjadi Santo Brigit, yang sampai hari ini merupakan santo 

yang paling dihormati dalam Katolik Irlandia.

Pertarungan yang Baik dan yang Jahat

Politeisme melahirkan tidak hanya agama-agama monoteis, 

tetapi juga agama dualistik. Agama-agama dualistik mengiringi 

keberadaan dua kekuatan yang bertentangan: baik dan jahat. 

Tak seperti monoteisme, dualisme meyakini bahwa kejahatan 

adalah kekuatan yang independen, tidak diciptakan oleh Tuhan 

yang baik, juga bukan subordinasinya. Dualisme menjelaskan 

bahwa seluruh alam semesta ini merupakan ajang pertarungan 

antara kedua kekuatan, dan bahwa segala yang terjadi di dunia 

merupakan bagian dari pertarungan itu.

Dualisme adalah pandangan dunia yang sangat memikat 

karena memiliki jawaban singkat dan sederhana atas Problem 

Kejahatan yang terkenal, salah satu kecemasan fundamental 

pikiran manusia. “Mengapa ada yang jahat di dunia? Mengapa 

ada penderitaan? Mengapa hal-hal buruk terjadi pada orang￾orang baik?” Kaum monoteis harus mempraktikkan gimnastik 

intelektual untuk menjelaskan mengapa Tuhan yang baik yang 

tahu segalanya dan memiliki semua kekuatan membiarkan 

begitu banyak penderitaan di dunia. Satu penjelasan yang 
terkenal adalah bahwa itu cara Tuhan dalam memberi manusia 

kebebasan berkehendak. Jika tidak ada kejahatan, manusia tidak 

bisa memilih antara yang baik dan yang jahat sehingga tidak 

ada kebebasan berkehendak. Namun, ini adalah jawaban non￾intuitif yang langsung memunculkan banyak sekali pertanyaan 

baru. Kebebasan berkehendak memungkinkan manusia memilih 

yang jahat. Banyak malah yang memilih yang jahat dan, menurut 

penjelasan standar monoteis, pilihan itu pasti membawa hukuman 

ilahiah. Jika Tuhan tahu sebelumnya bahwa seseorang tertentu 

akan menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih kejahatan, 

dan bahwa hasilnya dia akan dihukum dengan penyiksaan abadi 

di neraka, mengapa Tuhan menciptakan dia? Para teolog menulis 

tak terhitung buku untuk menjawab pertanyaan semacam itu. 

Sebagian menemukan jawaban yang meyakinkan. Sebagian tidak. 

Yang tak bisa dimungkiri adalah bahwa kaum monoteis kesulitan 

menangani Problem Kejahatan.

Bagi kaum dualis, hal-hal buruk terjadi pada orang baik 

karena dunia tidak diatur oleh Tuhan baik sempurna yang tahu 

segala hal, memiliki segala kekuatan. Ada kekuatan jahat yang 

independen di dunia. Kekuatan jahat itu melakukan hal-hal buruk.

Pandangan dualis sendiri pun memiliki kekurangan￾kekurangan. Benar, ia menawarkan sebuah solusi yang sangat 

sederhana atas Problem Kejahatan. Namun, ia terkesima 

oleh Problem Tatanan. Jika memang ada dua kekuatan yang 

bertentangan di dunia, satu baik dan satu jahat, siapa yang 

menetapkan hukum yang mengatur pertarungan antara keduanya? 

Dua negara yang bermusuhan bisa saling memerangi karena 

keduanya ada pada masa dan ruang, dan mematuhi hukum fisika 

yang sama. Sebuah misil yang diluncurkan dari bumi Pakistan 

bisa menghantam target di teritori India karena hukum fisika 

yang sama berlaku di kedua negara. Ketika yang baik dan yang 

jahat berkelahi, hukum bersama apa yang mereka patuhi, dan 

siap yang menetapkan hukum-hukum itu?

Sebaliknya, kaum monoteis bagus dalam menjelaskan Problem 

Tatanan, tetapi bukan Problem Kejahatan. Ada satu cara logis 

menyelesaikan teka-teki itu: yaitu pandangan bahwa ada satu 
Tuhan mahakuasa yang menciptakan seluruh alam semesta—dan 

itu adalah satu Tuhan jahat. Namun, tak seorang pun dalam 

sejarah sanggup mencerna keyakinan semacam itu.

Agama-agama dualistik tumbuh subur selama lebih dari 1.000 

tahun. Dalam waktu sekitar 1500 SM dan 1000 SM, seorang 

nabi bernama Zoroaster (Zarahustra) aktif di suatu tempat di Asia 

Tengah. Kredonya diturunkan dari generasi ke generasi sampai 

ia menjadi agama dualistik paling penting—Zoroastrianisme. 

Kaum Zoroaster memandang dunia sebagai pertarungan kosmis 

antara dewa baik Ahura Mazda dan dewa jahat Angra Mainyu. 

Manusia harus membantu dewa baik dalam pertarungan ini. 

Zoroastrianisme adalah satu agama penting dalam masa Imperium 

Persia Achaemenid (550–330 SM) dan belakangan menjadi agama 

resmi Imperium Persia Sassanid (224–651 M). Ia menyebarkan 

pengaruh besar ke hampir semua agama Timur Tengah dan 

Asia Tengah, dan mengilhami sejumlah agama-agama dualis lain, 

seperti Gnosticisme dan Manichaenisme.

Pada abad ke-3 dan ke-4 M, kredo Manichaen menyebar 

dari China ke Afrika Utara, dan dalam satu masa terlihat ia akan 

mengalahkan Kristen untuk mencapai dominasi di Imperiuam 

Romawi. Namun, kaum Manichean kalah dengan Kristen dalam 

merebut jiwa Romawi, Imperium Sassanid Zoroaster digulung 

oleh kaum monoteis Muslim, dan dualis surut. Kini hanya 

segelintir komunitas dualis yang bertahan di India dan Timur 

Tengah.

Bagaimanapun, munculnya gelombang monoteisme tidak 

benar-benar menyapu dualisme. Monoteisme Yahudi, Kristen, 

dan Islam menyerap banyak keyakinan dan praktik dualis, dan 

sebagian ide-ide yang paling dasar dari apa yang kita sebut 

“monoteisme”, sesungguhnya berasal dari dan bersemangat dualis. 

Tak terhitung oleh orang Kristen, Muslim, dan Yahudi meyakini 

kekuatan jahat yang dahsyat—seperti yang disebut Setan oleh 

orang Kristen—yang bisa bertindak independen, memerangi 

Tuhan baik, dan menciptakan kekacauan tanpa izin Tuhan.

Bagaimana bisa seorang monoteis mematuhi keyakinan 

dualistik semacam itu (yang lagi pula, Perjanjian Lama tidak 

bisa ditemukan di mana pun)? Secara logis, itu tidak mungkin. 
Entah Anda percaya pada satu Tuhan tunggal yang mahakuasa 

atau Anda meyakini dua kekuatan yang berlawanan, tak satu 

pun yang mahakuasa. Tetap, manusia memiliki kapasitas luar 

biasa untuk meyakini kontradiksi-kontradiksi. Jadi, mestinya 

tidak mengejutkan bahwa jutaan orang Kristen, Muslim, dan 

Yahudi yang berhasil meyakini dalam satu waktu yang sama pada 

Tuhan Yang Mahakuasa dan satu Setan yang independen. Tak 

terhitung orang Kristen, Muslim, dan Yahudi membayangkan 

bahwa Tuhan yang baik bahkan membutuhkan bantuan kita 

dalam pertarungan melawan Setan, yang mengilhami (sebagian 

di antaranya) seruan jihad dan Perang Salib.

Satu konsep penting lainnya dalam pandangan dualistik, 

terutama Gnostik dan Manichaenisme, adalah pembedaan 

tajam antara raga dan jiwa, antara materi dan ruh. Gnostik dan 

Manichaean berpendirian bahwa tuhan baik menciptakan ruh dan 

jiwa, sedangkan materi dan tubuh adalah ciptakan tuhan jahat. 

Manusia, menurut pandangan ini, menjadi arena pertarungan 

antara jiwa yang baik dan jiwa yang jahat. Dari satu perspektif 

monoteistik, itu omong kosong—mengapa membedakan begitu 

tajam antara tubuh dan jiwa, atau materi dan ruh? Dan, 

mengapa pula tubuh dan materi dipandang jahat? Lagi pula, 

segala sesuatu dicptakan oleh Tuhan yang sama. Namun, kaum 

monoteis tak bisa lari dari godaan dikotomi dualis, jelas karena 

dikotomi membantu mereka mengatasi problem kejahatan. Maka, 

pertentangan semacam itu pada akhirnya menjadi pilar bagi 

pemikiran Kristen dan Islam. Keyakinan pada surga (alam Tuhan 

yang baik) dan neraka (alam Tuhan yang jahat) juga berasal dari 

dualis. Tidak ada jejak keyakinan ini dalam Perjanjian Baru, yang 

juga tidak pernah mengklaim bahwa jiwa-jiwa orang terus hidup 

setelah kematian raga.

Faktanya, monoteisme, sebagaimana peran yang telah 

dimainkannya dalam sejarah, adalah sebuah kaleidoskop warisan 

monoteis, dualis, politeis, dan animis, yang menyatu di bawah 

payung ilahiah tunggal. Rata-rata orang Kristen meyakini 

monoteisme Tuhan, tetapi juga Setan dualis, santo-santo politeis, 

dan hantu-hantu animis. Para ahli agama memiliki nama untuk 

persetujuan simultan atas ide-ide yang berbeda dan bahkan kontradiktif dan kombinasi ritual-ritual serta praktik-praktik 

ini yang diambil dari berbagai sumber. Itu disebut sinkretisme. 

Sinkretisme, mungkin, malah satu-satunya agama besar dunia.

Hukum Alam

Semua agama yang telah kita diskusikan sejauh ini memiliki 

kesamaan, satu karakteristik penting: mereka fokus pada satu 

keyakinan kepada tuhan-tuhan dan entitas-entitas supranatural 

lainnya. Ini tampak jelas bagi orang-orang Barat, yang mengenal 

terutama kredo-kredo monoteistik dan politeistik. Namun, 

sesungguhnya sejarah agama dunia tidak bermuara pada sejarah 

tuhan-tuhan. Dalam milenium ke-1 SM, agama-agama sebagai 

sebuah jenis baru secara menyeluruh mulai menyebar di Afro￾Asia. Pendatang-pendatang baru, seperti Jainisme dan Buddhisme 

di India, Daoisme dan Konfusianisme di China, dan Stoisisme, 

Cyncisme, serta Epicureanisme di daratan Mediterania, dicirikan 

oleh pengabaiannya pada dewa-dewa.

Kredo-kredo ini memandang bahwa tatanan manusia super 

yang mengatur dunia adalah produk dari hukum alam, bukan 

kehendak dan keinginan ilahiah. Sebagian dari agama-agama 

hukum alam ini terus mengiringi eksistensi tuhan-tuhan, tetapi 

tuhan-tuhan mereka tunduk pada hukum alam, tak ubahnya 

seperti manusia, binatang, dan tumbuhan. Dewa-dewa memiliki 

ceruknya sendiri dalam ekosistem, sebagaimana gajah-gajah 

dan landak-landak juga memilikinya, tetapi tak bisa mengubah 

hukum alam melebihi yang bisa dilakukan gajah. Satu contoh 

yang sangat bagus adalah Buddhisme, agama hukum alam kuno 

yang paling penting, yang tetap menjadi salah satu agama besar. 

Figur sentral Buddhisme bukan dewa, melainkan manusia yaitu 

Siddhartha Gautama. Menurut tradisi Buddha, Gautama adalah 

pewaris kerajaan kecil Himalaya, sekitar 500 SM. Pangeran 

muda itu sangat tersentuh dengan penderitaan yang dia lihat 

di sekitarnya. Dia melihat pria dan wanita, anak-anak dan 

orang tua, semua menderita tidak hanya oleh bencana-bencana 

yang sesekali terjadi, seperti perang dan wabah, tetapi juga dari 
kecemasan, frustrasi, dan kekecewaan, semua tampak menjadi 

bagian tak terpisahkan dari kondisi manusia. Orang mengejar 

kekayaan dan kekuasaan, mencari pengetahuan dan harta benda, 

mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, dan membangun 

rumah-rumah serta istana-istana. Namun, tak peduli apa pun 

yang mereka capai, mereka tidak pernah puas. Mereka yang 

hidup dalam kemiskinan mengimpikan kekayaan. Mereka yang 

memiliki 1 juta ingin 2 juta. Mereka yang punya 2 juta ingin 

10 juta. Bahkan, orang kaya dan terkenal jarang puas. Mereka 

juga dihantui oleh kepedulian dan kecemasan tiada henti, sampai 

sakit, usia tua, dan kematian membawa akhir pahit bagi mereka. 

Segala sesuatu yang telah dikumpulkan orang lenyap seperti 

asap. Hidup itu seperti perlombaan yang sia-sia. Namun, siapa 

yang bisa lolos darinya?

Pada usia 29 tahun, Gautama menyelinap keluar dari 

istananya pada tengah malam, meninggalkan keluarga dan 

harta bendanya. Dia pergi sebagai gelandangan ke India utara, 

mencari jalan untuk keluar dari penderitaan. Dia mengunjungi 

ashram-ashram dan duduk bersimpuh di kaki para guru, tetapi 

tidak membebaskannya secara menyeluruh—ketidakpuasan selalu 

ada. Dia tidak putus asa. Dia teguh menyelidiki penderitaannya 

sendiri sampai menemukan sebuah metode untuk pembebasan 

sempurna. Dia menghabiskan waktu 6 tahun bermeditasi menari 

esensi, sebab-sebab dan obat bagi penderitaan manusia. Akhirnya, 

dia sampai pada kesadaran bahwa penderitaan bukan disebabkan 

oleh nasib buruk ketidakadilan sosial, atau oleh kehendak ilahiah. 

Namun, penderitaan disebabkan oleh pola-pola perilaku dalam 

pikiran seseorang.

Dalam pemahaman mendalam Gautama, terlepas dari apa 

pun yang dialami, pikiran biasanya beraksi dengan nafsu, nafsu 

selalu melibatkan ketidakpuasan. Ketika pikiran mengalami 

sesuatu yang tidak nyaman, ia bernafsu untuk menyingkirkan 

ketidaknyamanan itu. Ketika pikiran mengalami sesuatu yang 

menyenangkan, ia bernafsu agar kesenangan itu tetap ada dan 

akan membesar. Karena itu, pikiran selalu tidak puas dan selalu 

gelisah. Ini sangat jelas ketika kita mengalami hal-hal yang 

tidak menyenangkan, seperti rasa sakit. Sepanjang rasa sakit itu berlanjut, kita tidak puas dan melakukan semua yang bisa 

kita lakukan untuk menghindarinya. Namun, bahkan ketika kita 

mengalami hal-hal yang menyenangkan kita tidak pernah puas. 

Entah kita takut kesenangan itu akan hilang, atau kita berharap 

itu akan membesar. Orang mengimpikan selama bertahun-tahun 

menemukan cinta, tetapi jarang yang puas ketika menemukannya. 

Sebagian menjadi cemas pasangannya akan pergi; yang lain 

merasa bahwa tempat tinggal mereka murah, dan mestinya 

mendapatkan seseorang yang lebih baik. Dan, kita semua tahu 

orang yang berhasil melakukan keduanya. 

Tuhan-tuhan mahabesar bisa mengirim kita hujan, institusi￾institusi sosial yang menyediakan keadilan dan perawatan 

kesehatan yang baik, serta kebetulan-kebetulan menguntungkan 

bisa mengubah kita menjadi miliuner, tetapi tak seorang pun 

bisa mengubah pola dasar mental kita
Oleh karena itu, bahkan raja-raja paling hebat hidup 

menderita, terus merasakan kesengsaraan dan penderitaan, 

selamanya mengejar kesenangan demi kesenangan yang semakin 

besar. Gautama menemukan bahwa ada satu cara untuk 

keluar dari lingkaran setan itu. Jika mengalami sesuatu yang 

menyenangkan atau tidak menyenangkan, pikiran memahami 

hal-hal sebagaimana adanya, maka tidak ada penderitaan. Jika 

Anda mengalami kesedihan tanpa nafsu bahwa kesedihan itu 

akan pergi, Anda terus merasakan kesedihan itu, tetapi Anda 

tidak menderita karenanya. Sesungguhnya ada kekayaan dalam 

kesedihan. Jika Anda mengalami kesenangan tanpa bernafsu agar 

kesenangan itu terus ada dan membesar, Anda terus merasakan 

kesenangan itu tanpa kehilangan kedamaian dalam pikiran.

Akan tetapi, bagaimana Anda bisa membawa pikiran 

untuk menerima hal-hal sebagaimana adanya, tanpa bernafsu? 

Untuk menerima kesedihan sebagai kesedihan, kesenangan 

sebagai kesenangan, rasa sakit sebagai rasa sakit? Gautama 

mengembangkan seperangkat teknik meditasi yang melatih 

pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya, tanpa nafsu. 

Praktik-praktik ini melatih pikiran memfokuskan semua perhatian 

pada pertanyaan, “Apa yang sedang aku alami sekarang?” bukan 

pada, “Apa yang sebaiknya saya alami?” Memang sulit untuk 

mencapai keadaan pikiran seperti ini, tetapi bukan mustahil.

Gautama mendasarkan teknik-teknik meditasi ini pada 

seperangkat aturan etik yang dimaksudkan untuk memudahkan 

orang fokus pada pengalaman aktual dan menghindari jatuh 

pada nafsu dan fantasi. Dia mengajari para pengikutnya untuk 

menghindari pembunuhan, seks yang kacau, dan pencurian, 

karena perbuatan-perbuatan semacam itu menyulut api nafsu 

(pada kekuasaan, kenikmatan seksual, atau kekayaan). Ketika api 

benar-benar dipadamkan, nafsu diganti oleh keadaan kepuasan 

dan ketenangan sempurna, yang dikenal sebagai nirwana (yang 

secara harfiah bermakna ‘pemadaman api’). Mereka yang 

telah mencapai nirwana sepenuhnya terbebaskan dari semua 

penderitaan. Mereka menjalani realitas dengan kejernihan 

tertinggi, bebas dari fantasi dan delusi. Meskipun kehendak 

mereka sangat mungkin masih menghadapi ketidaksenangan dan 
rasa sakit, pengalaman-pengalaman seperti itu membuat mereka 

tidak menderita. Seseorang yang tidak bernafsu tidak menderita.

Menurut tradisi Buddha, Gautama sendiri mencapai nirwana 

dan benar-benar terbebaskan dari penderitaan. Oleh karena itu, 

dia dikenal dengan nama “Buddha”, yang berarti ‘Orang yang 

Tercerahkan’. Buddha menghabiskan sisa hidupnya menjelaskan 

penemuan-penemuannya kepada orang lain agar setiap orang 

bisa dibebaskan dari penderitaan. Dia mengemas ajaran-ajarannya 

menjadi satu hukum tunggal: penderitaan muncul dari nafsu; 

satu-satunya cara untuk benar-benar terbebas dari penderitaan 

adalah dengan membebaskan sepenuhnya dari nafsu; dan satu￾satunya cara untuk membebaskan dari nafsu adalah melatih 

pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya.

Hukum ini, yang dikenal sebagai dharma atau dhamma, 

dipandang oleh umat Buddha sebagai hukum alam universal. 

Bahwa “penderitaan muncul dari nafsu” adalah selalu benar dan 

berlaku di mana-mana, sebagaimana fisika modern E selalu sama 

dengan mc2

. Umat Buddha adalah umat yang meyakini hukum 

ini dan menjadikannya fulcrum dari semua aktivitas mereka. 

Meyakini dewa-dewa, di sisi lain, adalah hal yang maknanya 

lebih kecil bagi mereka. Prinsip pertama agama monoteis adalah 

“Tuhan ada. Apa yang Dia inginkan dari saya?” Prinsip pertama 

Buddha adalah “Penderitaan ada. Bagaimana saya bisa terbebas 

darinya?”

Buddhisme tidak mengingkari eksistensi dewa-dewa—mereka 

digambarkan sebagai makhluk-makhluk kuat yang bisa membawa 

hujan dan kemenangan—tetapi mereka tidak memiliki pengaruh 

pada hukum bahwa penderitaan muncul dari nafsu. Jika pikiran 

seseorang bebas dari semua nafsu, tidak ada dewa yang bisa 

membuatnya menderita. Sebaliknya, begitu nafsu muncul pada 

pikiran seseorang, semua dewa di alam semesta tidak bisa 

menyelamatkan dia dari penderitaan.

Meskipun demikian, sebagaimana agama-agama monoteis, 

agama-agama hukum alam pramodern seperti Buddhisme tidak 

pernah benar-benar membebaskan diri dari pemujaan dewa￾dewa. Buddhisme mengajarkan kepada orang-orang bahwa 

mereka harus mencapai tujuan tertinggi pembebasan sepenuhnya dari penderitaan, bukan perhentian-perthentian di tengah jalan 

sebagaimana kemakmuran ekonomi dan kekuasaan politik. 

Meskipun demikian, 99 persen orang Buddha tidak mencapai 

nirwana, dan bahkan jika mereka berharap demikian untuk masa 

depan kehidupannya, mereka mencurahkan sebagian besar waktu 

hidup mereka untuk memburu pencapaian-pencapaian duniawi. 

Jadi, mereka terus menyembah bermacam-macam dewa, seperti 

dewa-dewa Hindu di India, dewa-dewa Bon di Tibet, dan dewa￾dewa Shinto di Jepang.

Lebih dari itu, seiring berjalannya waktu, sekte-sekte Buddha 

mengembangkan jajaran-jajaran dewa Buddha dan bodhisattva. 

Semua ini adalah makhluk manusia dan non-manusia dengan 

kapasitas untuk mencapai pembebasan penuh dari penderitaan, 

tetapi menjalani pembebasan ini dengan kasih sayang, dalam 

rangka membantu makhluk yang tak terhitung jumlahnya yang 

masih terperangkap dalam lingkaran penderitaan. Ketimbang 

memuja dewa-dewa, banyak orang Buddha mulai menyembah 

makhluk-makhluk yang tercerahkan ini, memohon kepada mereka 

bantuan tidak hanya dalam mencapai nirwana, tetapi juga dalam 

mengatasi problem-problem duniawi. Jadi, kita menemukan 

banyak Buddha dan bodhisattva di seluruh Asia Timur yang 

menghabiskan waktu mereka membawa hujan, menghentikan 

wabah, dan bahkan memenangkan perang-perang berdarah—

sebagai ganti doa, bunga-bunga berwarna-warni, aroma dupa, 

dan sajian-sajian beras dan permen.

Penyembahan Kepada Manusia

Masa 300 tahun terakhir ini sering digambarkan sebagai masa 

tumbuhnya sekularisme, yang di dalamnya agama-agama semakin 

kehilangan nilainya. Jika kita bicara tentang agama-agama teis, hal 

itu umumnya benar. Namun, kalau kita memasukkan juga agama￾agama hukum alam, maka modernitas ternyata merupakan sebuah 

masa gairah religius yang intens, upaya-upaya misioner yang 

tiada tandingannya, dan perang-perang agama paling berdarah 

dalam sejarah. Abad modern menyaksikan bangkitnya sejumlah 
agama-agama hukum alam baru, seperti liberalisme, komunisme, 

kapitalisme, nasionalisme, dan nazisme. Kredo-kredo ini tidak 

suka disebut agama, dan menganggap diri sebagai ideologi. 

Namun, ini hanyalah percaturan semantik belaka. Jika sebuah 

agama adalah sebuah sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia 

yang bertumpu pada keyakinan terhadap suatu tatanan manusia 

super, maka Komunisme Soviet tak ubahnya sebuah agama 

sebagaimana Islam. Islam tentu saja berbeda dari komunisme 

karena Islam memandang tatanan manusia super itu mengatur 

dunia sebagai titah dari satu Tuhan pencipta yang mahakuasa, 

sedangkan komunisme Soviet tidak meyakini Tuhan. Namun, 

Buddhisme juga memberi perhatian sedikit pada tuhan-tuhan, 

tetapi kita umumnya tetap mengklasifikasinya sebagai agama. 

Sebagaimana kaum Buddhis, orang-orang komunis percaya pada 

satu tatanan manusia super berupa hukum-hukum alam dan 

tak bisa diubah yang harus membimbing perbuatan-perbuatan 

manusia. Sementara orang-orang Buddha meyakini bahwa 

hukum alam ditemukan oleh Siddhartha Gautama, orang-orang 

komunis percaya bahwa hukum alam ditemukan oleh Karl Marx, 

Friedrich Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin. Kemiripannya tidak 

berakhir di sana. Sebagaimana agama-agama lain, komunisme 

juga memiliki kitab suci dan kitab-kitab rasulnya sendiri, seperti 

Das Kapital-nya Marx, yang mengajarkan bahwa sejarah akan 

segera berakhir dengan kemenangan tak terelakkan kaum proletar. 

Komunisme punya hari libur dan hari raya sendiri, seperti 1 

Mei dan ulang tahun Revolusi Oktober. Ia punya teolog-teolog 

yang mahir tentang dialektika Marxis, dan setiap unit dalam 

angkatan perang Soviet memiliki pendeta yang disebut komisar, 

yang memantau kesalehan para tentara dan perwira. Komunisme 

juga punya martir-martir, perang-perang suci, dan klenik-klenik, 

seperti Trotskyisme. Komunisme Soviet adalah agama fanatik dan 

misioner. Seorang pemeluk Komunisme taat tidak bisa menjadi 

Kristen atau Buddhis, dan diharapkan menyebarkan ajaran Marx 

dan Lenin, bahkan dengan harga nyawanya.

Sebagian pembaca mungkin sangat tidak nyaman dengan 

pemikiran ini. Jika membuat Anda merasa lebih baik, Anda 

bebas saja terus menyebut Komunisme sebagai sebuah ideologi, bukan agama. Itu tak ada bedanya. Kita membagi kredo-kredo 

ke dalam golongan agama-agama yang berpusat pada Tuhan dan 

ideologi-ideologi yang tidak bertuhan, yang mengklaim didasarkan 

pada hukum-hukum alam. Namun, dengan begitu, agar konsisten, 

kita perlu memasukkan Buddha, Daois, sekte-sekte Daois, dan 

Stoic juga dalam katalog ideologi, bukan agama. Sebaliknya, kita 

harus melihat bahwa keyakinan pada dewa-dewa bertahan dalam 

banyak ideologi modern, dan bahwa sebagian dari ideologi￾ideologi itu, terutama liberalisme, menjadi kurang bermakna tanpa keyakinan ini. Tidak mungkin melakukan survei di sini 

terhadap sejarah semua kredo modern baru, terutama karena 

tidak ada batasan yang jelas di antara kredo-kredo tersebut. 

Kredo-kredo itu tak urang sinkretis dibandingkan monoteisme 

dan Buddhisme populer. Sebagaimana seorang Buddha memuja 

dewa-dewa Hindu, dan sebagaimana seorang monoteis bisa 

meyakini eksistensi Setan, begitu pula orang Amerika masa kini 

secara simultan adalah nasionalis (ia memercayai eksistensi negara 

Amerika dengan peran istimewa untuk dimainkan dalam sejarah), 

kapitalis pasar-bebas (dia meyakini bahwa kompetisi terbuka 

dan memburu kepentingan sendiri adalah cara terbaik untuk 

menciptakan sebuah masyarakat yang makmur), dan seorang 

humanis liberal (dia memercayai bahwa manusia dibekali oleh 

pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak bisa diingkari). 

Nasionalisme akan dibahas dalam Bab 18. Kapitalisme—agama 

modern paling sukses—dibahas satu bab penuh, Bab 16, yang 

menguraikan keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual prinsipnya. 

Dalam sisa bab I saya akan membahas agama-agama humanis.

Agama-agama teis fokus pada pemujaan dewa-dewa. Agama￾agama humanis memuja kemanusiaan, atau lebih tepatnya Homo 

sapiens. Humanisme adalah sebuah keyakinan bahwa Homo 

sapiens punya sifat unik dan sakral, yang secara fundamental 

berbeda dari sifat semua binatang lain dan semua fenomena lain. 

Para pengikut humanis percaya bahwa sifat unik Homo sapiens

merupakan hal yang paling penting di dunia, dan itu menentukan 

makna segala hal yang terjadi di Bumi, dan menentukan makna 

segala hal yang terjadi di alam semesta. Kebaikan yang tertinggi 

adalah kebaikan Homo sapiens. Selebihnya di dunia ini dan semua 

makhluk yang ada semata-mata untuk manfaat bagi spesies ini.

Seluruh humanis memuja kemanusiaan, tetapi mereka tidak 

menyepakati definisinya. Humanisme terpecah menjadi 3 sekte 

yang bersaing, yang bertengkar soal definisi pasti “kemanusiaan”, 

sebagaimana sekte-sekte Kristen yang bersaing dan bertengkar 

soal definisi pasti tentang Tuhan. Kini, sekte humanis yang 

paling penting adalah humanisme liberal, yang meyakini bahwa 

“kemanusiaan” adalah kualitas manusia-manusia individual 

sehingga kebebasan individu-individu adalah sangat suci. Menurut kaum liberal, sifat sakral kemanusiaan berada dalam setiap 

dan masing-masing individu Homo sapiens. Inti dari manusia 

individual memberi makna kepada dunia, dan menjadi sumber 

bagi seluruh otoritas etis dan politis. Jika kita menghadapi 

sebuah dilema etis atau politis, kita harus melihat ke dalam dan 

mendengarkan suara hati kita—suara kemanusiaan. Firman pokok 

humanisme liberal dimaksudkan untuk melindungi kebebasan 

suara hati itu melawan intrusi atau perusakan. Firman-firman 

ini secara kolektif dikenal sebagai “hak-hak asasi manusia”.

Itulah sebabnya, misalnya, kaum liberal menolak penyiksaan 

dan hukuman mati. Di Eropa era awal modern, para pembunuh 

dipandang melanggar dan mendestabilkan tatanan kosmis. Untuk 

membawa kembali kosmos kepada keseimbangan, diperlukan 

penyiksaan dan eksekusi penjahat secara terbuka, agar setiap 

orang bisa melihat tatanan ditegakkan kembali. Menghadiri 

eksekusi yang mengerikan menjadi hal favorit bagi warga London 

dan Paris masa lalu pada era Shakespeare dan Molière. Pada 

Eropa masa kini, pembunuhan dipandang sebagai pelanggaran 

atas sifat kemanusiaan yang sakral. Untuk memulihkan 

tatanan itu, orang-orang Eropa masa kini tidak menyiksa dan 

mengeksekusi penjahat. Mereka menghukum seorang pembunuh 

dalam apa yang mereka pandang sebagai cara se-“manusiawi” 

mungkin sehingga melindungi dan bahkan membangun kembali 

kesucian kemanusiaannya. Dengan menghormati sifat manusia si 

pembunuh, setiap orang diingatkan akan kesucian kemanusiaan 

dan tatanan dipulihkan. Dengan membela pembunuh, kita 

bertindak benar terhadap apa yang dilakukan secara salah oleh 

pembunuh.

Sekalipun humanisme liberal menyucikan manusia, ia tidak 

mengingkari eksistensi Tuhan, dan justru didasarkan pada 

keyakinan-keyakinan monoteis. Keyakinan liberal pada sifat 

bebas dan sakral setiap individu adalah warisan langsung dari 

keyakinan tradisional Kristen pada kebebasan abadi jiwa-jiwa 

setiap individu. Dengan absennya jiwa-jiwa yang abadi dan satu 

Tuhan Pencipta, maka menjadi benar-benar sulit bagi kaum liberal 

untuk menjelaskan mengapa Sapiens individual begitu istimewa.

Sekte penting lainnya adalah humanisme sosialis. Kaum sosialis percaya bahwa “kemanusiaan” bersifat kolektif ketimbang 

individualistik. Mereka memandang yang sakral itu bukan suara 

hati setiap individu, melainkan spesies Homo sapiens secara 

keseluruhan. Sementara humanisme liberal mengupayakan 

sebanyak mungkin kebebasan bagi manusia-manusia individual, 

kaum humanis sosialis mengupayakan kesetaraan semua manusia. 

Menurut kalangan sosialis, ketidaksetaraan adalah penistaan 

terburuk terhadap kesucian kemanusiaan karena mengistimewakan 

kualitas-kualitas periferal atas esensi universal. Misalnya, ketika 

orang kaya diistimewakan atas orang miskin, itu berarti bahwa 

nilai uang lebih besar dari esensi universal seluruh manusia, 

yang menyetarakan orang kaya dan miskin. 

Sebagaimana humanisme liberal, humanisme sosialis dibangun 

pada fondasi-fondasi monoteis. Ide bahwa seluruh manusia setara 

adalah versi perubahan dari keyakinan monoteis bahwa seluruh 

jiwa setara di hadapan Tuhan. Satu-satunya sekte humanis yang 

benar-benar lepas dari monoteisme tradisional adalah humanisme 

evolusioner, dengan Nazi sebagai representasi yang paling 

terkenal. Yang membedakan kaum Nazi dari sekte-sekte humanis 

lainnya adalah definisi yang berbeda tentang “kemanusiaan”, 

yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi. Berlawanan dengan 

kaum humanis lainnya, Nazi meyakini bahwa manusia bukanlah 

sesuatu yang universal dan kekal, melainkan spesies yang bisa 

bermutasi yang bisa berevolusi atau mengalami penurunan 

derajat. Manusia bisa berevolusi menjadi manusia super atau 

turun derajatnya menjadi setengah manusia.

Ambisi utama Nazi adalah melindungi manusia dari degenerasi 

dan mendorong evolusi progresif. Itulah kenapa orang-orang Nazi 

mengatakan bahwa ras Arya, bentuk kemanusiaan yang paling 

maju, harus dilindungi dan diperkuat, sedangkan jenis-jenis Homo 

sapiens yang rendah seperti Yahudi, Roma, homoseksual, dan 

sakit mental harus dikarantina, bahkan dilenyapkan. Orang-orang 

Nazi menjelaskan bahwa Homo sapiens sendiri muncul ketika 

satu populasi “superior” manusia kuno berevolusi, sedangkan 

populasi-populasi “inferior” seperti Neanderthal punah. Populasi￾populasi yang berbeda ini mula-mula tak lebih dari ras belaka, 

tetapi berkembang secara independen sesuai jalur evolusi masing￾masing. Ini mungkin akan terjadi lagi. Menurut kaum Nazi, Homo 

sapiens sudah terbagi menjadi beberapa ras yang terpisah, yang 

masing-masing memiliki kualitas unik. Salah satu dari ras-ras 

ini, ras Arya, memiliki kualitas terbaik—rasionalisme, keindahan, 

integritas, dan ketekunan. Oleh karena itu, ras Arya memiliki 

potensi untuk mengubah manusia menjadi manusia super. Ras-ras 

lain, seperti Yahudi dan kulit hitam, adalah Neanderthal masa 

kini, yang memiliki kualitas rendah. Jika dibiarkan berbiak, dan 

terutama melalui perkawinan silang dengan Arya, mereka akan 

merusak seluruh populasi manusia dan menyebabkan punahnya 

Homo sapiens.

Para ahli biologi sudah mematahkan teori ras Nazi. Terutama, 

riset genetik yang dilakukan setelah 1945 menunjukkan bahwa 

perbedaan-perbedaan antara berbagai garis keturunan manusia 

jauh lebih kecil ketimbang yang dipostulat** oleh Nazi. Namun, 

konklusi-konklusi ini relatif baru. Jika ditengok keadaan 

pengetahuan saintifik pada 1933, keyakinan-keyakinan Nazi 

sebetulnya nyaris tidak berada dari lingkaran itu. Eksistensi 

ras-ras manusia yang berbeda, superioritas ras kulit putih, dan 

perlunya melindungi dan memelihara ras superior dipegang teguh 

oleh kaum elite Barat. Para sarjana di sebagian besar universitas 

paling prestisius di Barat, dengan menggunakan metode-metode 

saintifik ortodoks masa ini, menerbitkan studi-studi yang diduga 

membuktikan bahwa ras kulit putih lebih pintar, lebih etis, dan 

lebih terampil ketimbang orang Afrika atau India. Para politisi 

di Washington, London, dan Canberra menerimanya sebagai 

kebenaran bahwa tugas merekalah mencegah pengaruh dan 

penurunan derajat ras kulit putih dengan, misalnya, membatasi 

imigrasi dari China atau bahkan dari Italia ke negara-negara 

“Arya” seperti Amerika Serikat dan Australia.

Pandangan-pandangan ini tidak berubah begitu saja karena 

riset saintifik baru diterbitkan. Perkembangan-perkembangan 

sosiologis dan politis adalah mesin-mesin perubahan yang jauh 

lebih kuat. Dalam pengertian ini, Hitler menggali tidak hanya 

kuburannya sendiri, tetapi kuburan rasisme secara umum. Ketika 
melancarkan Perang Dunia II, dia memaksa musuh-musuhnya 

untuk membuat pembedaan yang tegas antara “kita” dan 

“mereka”. Setelah itu, jelas karena ideologi Nazi begitu rasis, 

dan rasisme menjadi terdiskreditkan di Barat. Namun, perubahan 

butuh waktu. Supremasi kulit putih tetap menjadi ideologi arus 

utama dalam politik Amerika, bahkan sampai era 1960-an. 

Politik Australia Putih tetap berlaku sampai 1973. Orang-orang 

Australia etnis Aborigin tidak mendapatkan hak-hak politik yang 

setara sampai 1960-an, dan sebagian besar tidak diberi hak pilih 

dalam pemilihan umum karena mereka diputuskan tidak cocok 

untuk berfungsi sebagai warga negara.Nazi tidak membenci kemanusiaan. Mereka memerangi 

humanisme liberal, hak-hak asasi manusia, dan Komunisme benar￾benar karena mereka mengagumi kemanusiaan dan meyakini 

potensi besar spesies manusia. Namun, dengan mengikuti logika 

evolusi Darwin, mereka berpendapat bahwa seleksi alam harus 

dibiarkan menyingkirkan individu-individu yang tidak layak 

dan menyisakan hanya yang paling layak untuk bertahan dan 

bereproduksi. Dengan membantu yang lemah, liberalisme dan 

Komunisme tidak hanya membiarkan individu-individu yang 

tidak layak untuk bertahan, mereka sesungguhnya memberi 

kesempatan untuk bereproduksi sehingga melemahkan seleksi 

alam. Dalam dunia semacam itu, manusia-manusia yang paling 

layak tak terelakkan akan tenggelam dalam laut spesies rendah 

yang tidak layak. Manusia akan menjadi semakin tidak layak 

dan semakin tidak layak seiring pergantian generasi—yang bisa 

mengarah pada kepunahannya.
Sebuah buku pelajaran biologi Jerman pada 1942 menjelaskan 

dalam bab “Hukum Alam dan Manusia” bahwa hukum alam 

tertinggi adalah bahwa seluruh makhluk terkunci dalam 

pertarungan survival yang terpencil. Setelah menggambarkan 

bagaimana tumbuhan berjuang untuk teritori, bagaimana kumbang 

berjuang untuk mencari pasangan dan seterusnya, buku pelajaran 

itu menyimpulkan bahwa:

Pertarungan untuk eksistensi memang sulit dan tiada ampun, 

tetapi itulah satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan. 

Pertarungan mengeliminasi segala sesuatu yang tidak layak untuk 

hidup, dan menyeleksi segala hal yang mampu bertahan hidup 

.... Hukum alam ini tidak bisa dibantah; makhluk-makhluk hidup 

menunjukkannya dengan survival mereka. Mereka memang tiada 

kenal ampun. 

Mereka yang melawannya akan tersingkir. Biologi tidak 

hanya mengajarkan kepada kita tentang binatang dan tumbuhan, tetapi juga menunjukkan kepada kita hukum itu harus diikuti 

dalam kehidupan kita, dan menguatkan kehendak kita untuk 

hidup dan berjuang menurut hukum ini. Makna dari kehidupan 

adalah perjuangan. Celakalah ia yang berdosa melawan hukum 

ini. 

 Lalu, muncul kutipan dari Mein Kampf: “Orang yang 

berusaha memerangi hukum besi alam dengan demikian 

memerangi prinsip-prinsip yang harus dia syukuri untuk 

kehidupannya sebagai manusia. Memerangi alam adalah men￾datangkan kerusakan dia sendiri”.3

Pada awal milenium ke-3, masa depan humanisme evolusioner 

tidak jelas. Selama 60 tahun setelah akhir perang melawan 

Hitler, pantang menghubungkan humanisme dengan evolusi 

dan mendukung penggunaan metode-metode biologi untuk 

“menaikkan darajat” Homo sapiens. Namun, kini proyek-proyek 

semacam itu kembali samar-samar. Tak ada orang yang berbicara 

tentang pelenyapan ras rendah atau inferior, tetapi banyak 

yang berkontemplasi menggunakan pengetahuan kita yang terus 

bertambah tentang biologi manusia untuk menciptakan manusia￾manusia super.

Pada saat yang sama, satu teluk besar terbuka antara pendirian 

humanisme liberal dan temuan-temuan mutakhir sains kehidupan, 

sebuah teluk yang tidak bisa lagi kita abaikan. Sistem politik 

dan yudisial liberal kita didasarkan pada keyakinan bahwa setiap 

individu memiliki sifat internal yang sakral, tak terpisahkan dan 

tak bisa diubah, yang memberi makna bagi dunia, dan itulah 

sumber segala otoritas etis dan politis. Ini adalah reinkarnasi 

dari keyakinan Kristen tradisional pada jiwa yang bebas dan 

kekal yang berada pada setiap individu. Meskipun demikain 

dalam 200 tahun terakhir, sains kehidupan telah melemahkan 

sepenuhnya keyakinan ini. Para ilmuwan yang mempelajari cara 

kerja internal organisme manusia menemukan tidak ada jiwa di 

sana. Mereka mengemukakan bahwa perilaku manusia ditentukan 

oleh hormon-hormon, gen-gen, dan synaps-synaps, bukan oleh 

kehendak bebas—kekuatan yang sama yang menentukan perilaku 

simpanse, rubah, dan semut. Sistem yudisial dan politis kita 

umumnya berusaha menyapu penemuan-penemuan semacam itu di bawah karpet. Namun, sejujurnya, berapa lama kita bisa 

mempertahankan tembok pemisah departemen biologi dari 

departemen-departemen hukum dan ilmu politik?

Perdagangan, imperium-imperium, dan agama-agama universal 

akhirnya benar-benar membawa setiap Sapiens memasuki dunia 

global yang kita tinggali kini. Bukan berarti proses ekspansi 

dan unifikasi ini linear atau tanpa interupsi. Namun, dengan 

melihat gambar yang lebih luas, transisi untuk banyak kultur 

kecil menuju sedikit kultur besar dan akhirnya menjadi sebuah 

masyarakat global tunggal mungkin merupakan sebuah hasil tak 

terelakkan dari dinamika sejarah manusia.

Akan tetapi, mengatakan bahwa sebuah masyarakat global 

tak terelakkan tidak sama dengan mengatakan bahwa hasil 

akhirnya harus berupa jenis tertentu dari masyarakat global 

yang kita miliki sekarang. Kita bisa membayangkan tentu saja 

hasil-hasil lainnya. Mengapa bahasa Inggris begitu meluas saat 

ini, dan bukan bahasa Denmark? Mengapa ada sekitar 2 miliar 

orang Kristen dan 1,25 miliar orang Muslim, tetapi hanya 

150.000 Zoroaster dan tidak ada satu pun Manichea? Jika kita 

bisa kembali ke masa 10.000 tahun lalu dan menyusun ulang 

prosesnya, dari waktu ke waktu, akankah kita selalu melihat 

munculnya monoteisme dan surutnya dualisme?

Kita tidak bisa melakukan eksperimen semacam itu sehingga 

kita benar-benar tidak tahu. Namun, sebuah pengujian atas dua 

karakteristik krusial sejarah bisa memberi kita beberapa petunjuk.

1. Kekeliruan Memandang ke Belakang

Setiap poin dalam sejarah adalah persimpangan jalan. Satu jalan 

tunggal beranjak dari masa lalu ke masa kini, tetapi banyak sekali 

jalur-jalur bercabang menuju masa depan. Sebagian dari jalur itu 

lebih luas, lebih mulus, dan lebih jelas tandanya sehingga lebih 

mungkin untuk ditempuh, tetapi terkadang sejarah—atau orang￾orang yang membuat sejarah—mengambil belokan tak terduga.

Pada permulaan awal abad ke-4 M, Imperium Romawi 

menghadapi satu horizon luas kemungkinan-kemungkinan 

religius. Mestinya ia bisa tetap saja pada politeisme tradisionalnya 

yang beraneka ragam. Namun, sang kaisar, Constantine, dengan 

memandang ke belakang pada satu era kekacauan perang saudara, 

tampaknya berpikir bahwa satu agama tunggal dengan doktrin 

yang jelas bisa membantu menyatukan dunianya yang secara etnis 

beragam. Dia mestinya bisa memilih yang mana pun di antara 

kultus-kultus kontemporer yang banyak jumlahnya untuk menjadi 

agama nasional—Manichaesisme, Mithraisme, kultus Isis, atau 

Cybele, Zoroaster, Judaisme, dan bahkan Buddhisme semuanya 

adalah opsi-opsi yang tersedia. Mengapa dia memilih Yesus? 

Apakah ada sesuatu dalam teologi Kristen yang memikatnya 

secara personal atau mungkin satu aspek agama yang menjadikan 

ia berpikir itu akan lebih mudah digunakan untuk tujuan￾tujuannya? Apakah dia memiliki sebuah pengalaman religius, 

atau apakah sebagian dari para penasihatnya memberi masukan 

bahwa orang-orang Kristen cepat mendapat pengikut dan akan 

lebih mudah melompat ke dalam kendaraan itu? Para sejarawan 

bisa saja berspekulasi, tetapi tidak akan dapat memberikan 

jawaban definitif. Mereka bisa menggambarkan bagaimana

Kristen mengambil alih Imperium Romawi, tetapi mereka tidak 

bisa menjelaskan mengapa kemungkinan yang sangat khusus ini 

terwujud. Apa perbedaan antara menggambarkan “bagaimana” 

dan menjelaskan “mengapa”? Menggambarkan “bagaimana” 

berarti merekonstruksi serangkaian peristiwa spesifik yang 

bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Menjelaskan “mengapa” 

berarti menemukan koneksi-koneksi kausal yang berarti bagi 

kejadian dari serangkaian peristiwa-peristiwa tertentu dengan 

pengabaian yang lain.

Sebagian ahli benar-benar memberikan penjelasan deterministik 

tentang peristiwa-peristiwa semacam munculnya Kristen. Mereka 

berupaya untuk mereduksi sejarah manusia menjadi ulah 

kekuatan-kekuatan biologis, ekologis, atau ekonomis. Mereka 
memandang bahwa ada sesuatu tentang geografi, genetika, atau 

ekonomi dari Mediterania Romawi yang menjadikan kemunculan 

agama monoteis tak terelakkan. Namun, sebagian besar sejarawan 

cenderung skeptis terhadap teori-teori deterministik semacam itu. 

Ini adalah salah satu tanda pembeda dari sejarah sebagai sebuah 

disiplin akademis—semakin baik Anda tahu suatu periode historis 

tertentu, semakin sulit untuk menjelaskan mengapa sesuatu 

terjadi dengan satu atau lain cara. Mereka yang hanya memiliki 

pengetahuan superfisial tentang periode tertentu cenderung fokus 

hanya pada kemungkinan bahwa hal itu pada akhirnya terwujud. 

Mereka hanya menawarkan pokoknya-ceritanya-begitu untuk 

menjelaskan dengan melihat ke belakang mengapa hasil itu tak 

terelakkan. Mereka yang memiliki informasi mendalam tentang 

periode tersebut akan jauh lebih paham tentang jalan-jalan yang 

tidak ditempuh.

Faktanya, orang-orang yang paling tahu periode itu—

mereka yang hidup pada masa itu—adalah orang yang paling 

tidak memahami. Bagi rata-rata orang Romawi pada masa 

Constantine, masa depan adalah sebuah kabut. Ada hukum besi 

sejarah bahwa apa yang tampak tak terelakkan dalam melihat ke 

belakang justru jauh lebih kurang jelas pada masa itu. Masa kini 

pun tak berbeda. Apakah kita akan keluar dari krisis ekonomi 

global, atau sesuatu yang terburuk masih akan terjadi? Akankah 

China terus tumbuh sampai menjadi adidaya terkuat? Akankah 

Amerika Serikat kehilangan hegemoninya? Apakah menyeruaknya 

fundamentalisme monoteistik merupakan gelombang masa depan 

atau sebuah pusaran lokal dari signifikansi kecil dalam jangka 

panjang? Apakah kita akan menuju bencana ekologis atau surga 

teknologis? Ada argumentasi-argumentasi bagus yang bisa dibuat 

untuk semua hasil-hasil ini, tetapi tidak satu pun yang bisa tahu 

dengan yakin. Dalam beberapa dekade ke depan, orang akan 

melihat ke belakang dan berpikir bahwa jawaban-jawaban pada 

semua pertanyaan-pertanyaan itu jelas.

Sangat penting untuk ditekankan bahwa kemungkinan￾kemungkinan yang tampak sangat tidak mungkin bagi orang 

yang sezaman justru terwujud. Ketika Constantine naik takhta 

pada tahun 306, Kristen hanya sedikit lebih besar dari sebuah 
sekte Timur esoteris. Jika Anda saat itu mengemukakan 

bahwa ia segera menjadi agama negara Romawi, Anda akan 

ditertawakan sebagaimana bila Anda mengatakan hari ini jika 

Anda mengemukakan bahwa pada tahun 2050 Hare Krishna 

akan menjadi agama negara di Amerika Serikat. Pada Oktober 

1913, kaum Bolshevik adalah sebuah faksi radikal kecil Rusia. Tak 

ada orang dengan pikiran yang sehat meramalkan bahwa hanya 

dalam waktu 4 tahun mereka mengambil alih negara. Pada 600 

M, pendapat bahwa satu kawanan Arab udik gurun akan segera 

menaklukkan satu wilayah luas yang terbentang dari Samudra 

Atlantik sampai ke India akan terasa lebih mustahil lagi. Sungguh, 

kalau saja angkatan perang Byzantium mampu menghalau 

serangan awal itu, Islam mungkin akan tetap sebuah kultus samar 

dengan hanya segelintir ahli yang mengetahuinya. Maka, para 

ahli akan mudah sekali menjelaskan mengapa sebuah agama yang 

didasarkan pada wahyu kepada seorang pedagang paruh baya 

tidak pernah bisa berkembang. Bukan untuk mengatakan bahwa 

segala sesuatu mungkin terjadi. Kekuatan geografis, biologis, 

dan ekonomis menciptakan hambatan-hambatan. Namun, 

hambatan-hambatan ini meninggalkan ruang yang longgar bagi 

perkembangan-perkembangan yang mengejutkan, yang tampak 

tidak terikat oleh hukum-hukum deterministik.

Kesimpulan ini mengecewakan banyak orang, yang lebih 

menyukai sejarah bersifat deterministik. Determinisme memang 

menarik karena menunjukkan bahwa dunia kita dan keyakinan￾keyakinan kita adalah produk natural dan tak terelakkan dari 

sejarah. Adalah sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan kita 

hidup dalam negara-negara bangsa, mengorganisasi ekonomi 

dengan prinsip-prinsip kapitalis, dan meyakini dengan penuh 

semangat hak-hak asasi manusia. Mengakui bahwa sejarah 

tidak deterministik adalah mengakui bahwa hanya kebetulan 

belaka bahwa sebagian besar orang kini meyakini nasionalisme, 

kapitalisme, dan hak-hak asasi manusia.

Sejarah tidak bisa dijelaskan secara deterministik dan tidak 

bisa diprediksi karena bersifat kaotis*

. Begitu banyak kekuatan 
yang bekerja dan interaksi-interaksi mereka begitu rumit sehingga 

variasi-variasi yang sangat kecil secara ekstrem dalam dahsyatnya 

kekuatan besar dan cara interaksinya pun bisa menghasilkan 

perbedaan-perbedaan besar. Lebih dari itu, sejarah adalah apa 

yang disebut sebagai sistem kaotik “level dua”. Sistem kaotik 

memiliki dua bentuk. Kekacauan level satu adalah kekacauan 

yang tidak beraksi pada prediksi-prediksi tentangnya. Cuaca, 

misalnya, adalah sistem kaotik level satu. Meskipun ia dipengaruhi 

oleh banyak sekali faktor, kita bisa membangun model-model 

komputer yang bisa memasukkan semakin banyak pertimbangan, 

dan menghasilkan prakiraan-prakiraan cuaca yang jauh lebih baik.

Kekacauan level dua adalah kekacauan yang bereaksi pada 

prediksi tentangnya, dan karena itu tidak pernah bisa diprediksi 

secara akurat. Pasar, misalnya, adalah sistem kaotik level dua. 

Apa yang akan terjadi jika kita mengembangkan sebuah program 

komputer yang meramalkan dengan akurasi 100 persen harga 

minya besok? Harga minyak akan segera bereaksi pada ramalan 

itu, yang akibatnya harga itu pun tidak terwujud. Jika harga 

minyak saat ini $90 per barel, dan program komputer sempurna 

memprediksi besok harganya menjadi $100, para pedagang 

bergegas membeli minyak sehingga mereka bisa mendapatkan 

untung dari naiknya harga yang diprediksi itu. Akibatnya, harga 

langsung melonjak ke $100 per barel hari ini, bukan besok. 

Lalu, apa yang terjadi besok? Tak seorang pun tahu.

Politik juga sistem kaotik level dua. Banyak orang mengkritisi 

Sovietologis karena gagal meramalkan revolusi-revolusi 1989, 

menghukum para pakar Timur Tengah karena tidak mengantisipasi 

revolusi-revolusi Arab Springs pada 2011. Ini tidak adil. Revolusi￾revolusi, per definisi, adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi. 

Sebuah revolusi yang bisa diprediksi tidak pernah meletus.

Mengapa tidak? Bayangkan misalnya sekarang tahun 2010 

dan sejumlah ilmuwan politik genius yang bersekongkol dengan 

seorang ahli komputer mengembangkan suatu algoritma canggih 

yang, setelah dihubungkan dengan antarmuka atraktif, bisa 

dipasarkan sebagai peramal revolusi. Mereka menawarkan layanan 

kepada Presiden Mesir Hosni Mubarak dan, sebagai imbalan 

atas tanda jadi dengan nilai istimewa, memberi tahu Mubarak 
bahwa menurut ramalan mereka sebuah revolusi akan benar-benar 

meletus di Mesir pada tahun depan. Bagaimana reaksi Mubarak? 

Sangat mungkin, dia segera menurunkan pajak, mendistribusikan 

miliaran dolar untuk dibagi-bagi kepada warga negara—dan juga 

menggenjot kewaspadaan pasukan polisi rahasia, untuk berjaga￾jaga. Langkah-langkah preventif itu berhasil. Tahun berganti dan, 

mengejutkan, revolusi tidak terjadi. Mubarak meminta uangnya 

kembali. “Algoritma Anda tidak berguna!” teriaknya kepada para 

ilmuwan. “Saya mestinya bisa membangun istana lagi, bukan 

membuang uang percuma!” “Namun, penyebab revolusi itu 

tidak terjadi adalah karena kami memprediksinya,” kata para 

ilmuwan memberi alasan untuk membela diri. “Nabi-nabi yang 

bisa meramalkan kejadian yang tidak terjadi?” kata Mubarak 

seraya memberi isyarat kepada para pengawal untuk meringkus 

para ilmuwan. “Saya mestinya menciduk selusin orang yang 

nyaris tidak berarti apa-apa bagi pasar Kairo.”

Jadi, mengapa belajar sejarah? Tak seperti fisika dan ekonomi, 

sejarah bukanlah alat untuk membuat prediksi akurat. Kita 

mempelajari sejarah bukan untuk mengetahui masa depan, tetapi 

untuk memperluas cakrawala, untuk memahami bahwa situasi 

kita saat ini bukanlah alamiah atau tak terelakkan, dan bahwa 

kita dengan demikian memiliki lebih banyak kemungkinan di 

depan untuk kita bayangkan. Misalnya, mempelajari bagaimana 

bangsa Eropa mendominasi Afrika memungkinkan kita menyadari 

bahwa tidak ada yang natural atau tak terelakkan tentang hierarki 

rasial, dan bahwa dunia mungkin diatur secara berbeda.

2. Renungan Buta

Kita tidak bisa menjelaskan pilihan-pilihan yang dibuat 

sejarah, tetapi kita bisa mengatakan sesuatu yang sangat penting 

tentang semua itu: pilihan-pilihan sejarah tidak dibuat untuk 

manfaat bagi manusia. Jelas sekali tidak ada bukti bahwa makhluk 

manusia sudah pasti membaik seiring bergulirnya sejarah. Tidak 

ada bukti bahwa kultur-kultur yang membawa manfaat bagi 

manusia pasti dengan sendirinya berhasil dan menyebar, sementara 
kultur-kultur yang kurang membawa manfaat menjadi lenyap. 

Tidak ada bukti bahwa Kristen adalah pilihan yang lebih baik 

ketimbang Manichaeisme, atau bahwa Imperium Arab lebih 

bermanfaat ketimbang Persia Sassanid.

Tidak ada bukti bahwa sejarah bekerja untuk membawa 

manfaat bagi manusia, karena kita tidak punya skala objektif 

untuk mengukur manfaat semacam itu. Kultur-kultur yang 

berbeda mendefinisikan kebaikan secara berbeda pula, dan kita 

tidak punya penggaris objektif yang dengannya kita bisa menilai. 

Para pemenang, tentu saja, meyakini bahwa definisi merekalah 

yang benar. Namun, mengapa kita harus memercayai pemenang? 

Orang Kristen memercayai bahwa kemenangan Kristianitas atas 

Manichaeisme membawa manfaat bagi manusia, tetapi jika kita 

tidak menerima pandangan dunia Kristen maka tidak ada alasan 

untuk sependapat dengannya. Orang Islam meyakini bahwa 

jatuhnya Imperium Sassanid di tangan Muslim membawa manfaat 

bagi manusia. Namun, manfaat-manfaat ini hanya terbukti jika 

kita menerima pandangan dunia Muslim. Bisa saja kita lebih 

suka kalau Kristen dan Islam dilupakan atau dikalahkan.

Semakin banyak ahli memandang kultur sebagai jenis infeksi 

atau parasit mental, dan manusialah yang tanpa sadar menjadi 

pembawanya. Parasit-parasit organik, seperti virus, hidup dalam 

tubuh pembawanya. Parasit-parasit itu berbiak dan menyebar dari 

satu pembawa ke pembawa lain, menggerogoti pembawanya, 

melemahkan mereka, dan terkadang bahkan membunuhnya. 

Sepanjang si pembawa hidup cukup lama untuk meneruskan 

parasit, maka parasit tidak terlalu peduli dengan kondisi si 

pembawa. Dengan cara seperti inilah, ide-ide kultural hidup 

dalam pikiran manusia. Ide-ide itu berbiak dan menyebar dari 

pembawa ke pembawa lainnya, terkadang melemahkan para 

pembawanya, dan kadang-kadang bahkan membunuh mereka. 

Sebuah ide kultural—seperti keyakinan pada surga Kristen di 

atas awan atau surga Komunis di Bumi—bisa menggugah seorang 

manusia untuk mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan 

ide itu, bahkan dengan harga kematian. Manusia mati, tetapi 

idenya menyebar. Menurut pendekatan ini, kultur-kultur bukanlah 

konspirasi yang diciptakan oleh orang-orang tertenu dalam 
rangka mengambil keuntungan dari orang lain (sebagaimana 

kecenderungan berpikir kaum Marxis). Namun, kultur adalah 

parasit mental yang muncul secara kebetulan, dan setelah itu 

mengambil manfaat dari semua orang yang terinfeksi.

Pendekatan ini terkadang disebut memetika. Diasumsikan 

bahwa, sebagaimana evolusi organik didasarkan pada replikasi 

unit-unit informasi organik yang disebut “gen”, demikian pula 

evolusi kultural didasarkan pada replikasi unit-unit informasi 

kultural yang disebut “meme”.1

 Kultur-kultur yang sukses adalah 

kultur yang hebat dalam mereproduksi meme-meme mereka, 

terlepas dari biaya dan manfaatnya bagi manusia si pembawa.

Sebagian ahli dalam bidang kemanusiaan mencela memetika, 

memandangnya sebagai upaya amatir untuk menjelaskan proses￾proses kultural dengan analogi-analogi biologis yang kasar. 

Namun, banyak di antara para ahli itu patuh pada saudara 

kembar perempuan memetika: posmodernisme. Para pemikir 

postmodernis berbicara tentang diskursus, bukan meme-meme 

sebagai batu bata bangunan kultur. Meskipun demikian, 

mereka memandang kultur menyebarkan diri tanpa banyak 

berurusan dengan manfaat bagi manusia. Misalnya, para pemikir 

posmodernisme menggambarkan nasionalisme adalah wabah 

mematikan yang menyebar ke seluruh dunia pada abad ke-19 

dan ke-20, menyebabkan peran, penindasan, kebencian, dan 

genosida. Momen ketika rakyat di satu negara terinfeksi olehnya, 

negara-negara tetangga juga berkemungkinan terjangkiti virus itu. 

Virus nasionalis menampilkan diri sebagai hal yang membawa 

manfaat bagi manusia, tetapi sesungguhnya bermanfaat terutama 

untuk dirinya.

Argumentasi-argumentasi serupa lazim dalam ilmu-ilmu sosial, 

di bawah payung teori permainan. Teori permainan menjelaskan 

bagaimana dalam sistem-sistem dengan banyak pemain, 

pandangan-pandangan dan pola-pola perilaku yang merugikan 

semua pemain tentu berhasil mengakar dan menyebar. Perlombaan 

senjata adalah contoh yang terkenal. Banyak perlombaan senjata 

membangkrutkan semua yang terlibat di dalamnya, tanpa benar￾benar mengubah perimbangan kekuatan militer. Ketika Pakistan 

membeli pesawat-pesawat canggih, India merespons dengan hal yang sama. Ketika India mengembangkan bom nuklir, Pakistan 

mengikutinya. Ketika Pakistan memperbesar angkatan lautnya, 

India pun menandingi. Pada akhir proses, perimbangan kekuatan 

bisa tetap sebagaimana adanya, tetapi sementara itu miliaran dolar 

yang semestinya bisa diinvestasikan di pendidikan atau kesehatan 

dibelanjakan untuk senjata. Namun, dinamika perlombaan senjata 

sulit dilawan. “Perlombaan senjata” adalah sebuah pola perilaku 

yang menyebarkan diri seperti sebuah virus dari satu negara 

ke negara lainnya, merugikan setiap orang, tetapi mengambil 

manfaat untuk dirinya, di bawah kriteria evolusioner survival 

dan reproduksi. (Ingat bahwa persaingan senjata, seperti sebuah 

gen, tidak memiliki kesadaran—ia tidak berusaha secara sadar 

untuk bertahan dan bereproduksi. Penyebarannya adalah hasil 

tak sengaja dari suatu dinamika yang kuat.)

Terserah mau sebut apa—teori permainan, posmodernisme 

atau memetika—dinamika sejarah tidak diarahkan menuju 

penguatan kesejahteraan manusia. Tidak ada dasar untuk berpikir 

bahwa kultur-kultur yang paling sukses dalam sejarah dengan 

sendirinya kultur terbaik bagi Homo sapiens. Sebagaimana 

evolusi, sejarah tidak peduli dengan kebahagiaan individual 

organisme. Dan, manusia-manusia individual pun biasanya terlalu 

bodoh dan terlalu lemah untuk memengaruhi alur sejarah agar 

menguntungkan baginya.

Sejarah berjalan dari satu persimpangan ke persimpangan 

berikutnya, memilih alasan misterius tertentu untuk mengikuti 

jalur ini terlebih dulu kemudian jalur lainnya. Sekitar tahun 1500 

M, sejarah membuat pilihan yang paling penting, mengubah 

tidak hanya nasib manusia, tetapi juga tak terbantahkan nasib 

seluruh kehidupan di muka Bumi. Kita menyebutnya Revolusi 

Saintifik. Ia dimulai di Eropa barat, satu semenanjung besar 

di ujung barat Afro Asia, yang hingga saat itu tidak memiliki 

peran penting dalam sejarah. Mengapa Revolusi Saintifik mulai 

di sana, bukan di tempat lain, dan tidak di China atau India? 

Mengapa ia dimulai pada pertengahan milenium ke-2 M, bukan 

2 abad sebelumnya atau 3 abad sesudahnya? Kita tidak tahu. 

Para sarjana telah mengajukan puluhan teori, tetapi tak satu pun 

di antaranya benar-benar meyakinkan.
Sejarah memiliki horizon kemungkinan-kemungkinan yang 

sangat luas, dan banyak kembungkinan tidak pernah terwujud. 

Pantas untuk membayangkan sejarah berjalan generasi demi 

generasi sambil melengkapi Revolusi Sainifik, sebagaimana pantas 

pula membayangkan sejarah tanpa Kristianitas, tanpa Imperium 

Romawi, dan tanpa koin-koin emas.


Katakanlah seorang petani Spanyol tertidur pada tahun 1000 

M dan bangun 500 tahun kemudian, di tengah kegaduhan para 

pelaut Columbus yang menumpang Niña, Pinta, dan Santa Maria, 

tentu dunia tampak olehnya sangat tidak asing. Sekalipun banyak 

perubahan dalam teknologi, tata cara dan batas-batas politis, Rip 

Van Winkle dari abad pertengahan ini tentu merasa seakan di 

rumah. Namun, seandainya salah satu pelaut Columbus terlelap 

dalam tidur yang sama dan terbangun oleh nada dering iPhone, 

dia tentu akan merasakan dunia aneh yang tak terjangkau 

pemahamannya. “Apakah ini surga?” mungkin dia akan bertanya 

kepada dirinya sendiri. “Atau mungkin neraka?”

Dalam 500 tahun terakhir terjadi pertumbuhan fenomenal 

dan tak ada presedennya berkenaan dengan kekuatan manusia. 

Pada 1500, ada sekitar 500 juta Homo sapiens di seluruh dunia. 

Kini, ada 7 miliar.1

 Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan 

manusia pada 1500 M diperkirakan $250 miliar, dalam nilai 

dolar saat ini.2

 Pada masa sekarang, nilai satu tahun produksi 

oleh manusia mendekati $60 triliun.3

 Pada 1500 M, manusia 

mengonsumsi sekitar 13 triliun kalori energi per hari. Kini, kita 

mengonsumsi 1.500 triliun kalori per hari.4

 (Coba perhatikan 

sekali lagi angka-angka tersebut—populasi manusia bertambah 

4 kali lipat, produksi 240 kali lipat, dan konsumsi energi 115 

kali lipat.)

Bayangkan satu kapal perang modern tunggal membawa 

muatan kembali ke masa Columbus. Hanya dalam hitungan 

detik kapal itu bisa membuat serpihan kayu terapung dari Niña, 

Pinta, dan Santa Maria, kemudian menenggelamkan angkatan 

laut dari setiap kekuatan besar dunia masa itu tanpa tergores 

sedikit pun. Lima pesawat tempur modern tentu bisa mengangkut seluruh kargo yang dimuat oleh semua armada perdagangan 

dunia.5

 Sebuah komputer modern tentu bisa dengan mudah 

menyimpan setiap kata dan angka dalam buku dan gulungan 

naskah-naskah kuno di setiap perpustakaan abad pertengahan 

tanpa menghabiskan ruang. Setiap bank besar masa kini bisa 

menyimpan uang lebih banyak dari uang total semua uang milik 

raja-raja pramodern.6

Pada 1500 M, tak banyak kota yang memiliki penduduk di 

atas 100.000. Sebagian besar bangunan dibangun dengan lumpur, 

kayu, dan jerami; sebuah bangunan tiga lantai adalah pencakar 

langit. Jalan-jalan adalah jalur-jalur tanah dengan bekas-bekas 

lindasan roda, yang berdebu pada musim panas dan becek 

pada musim dingin, disesaki pejalan kaki, kuda-kuda, kambing￾kambing, ayam-ayam, dan beberapa pedati. Kegaduhan urban 

yang paling umum adalah suara manusia dan hewan, dengan 

sesekali dentuman palu dan gesekan gergaji. Ketika Matahari 

terbenam, langit kota menghitam, hanya titik-titik lilin atau 

obor yang bekerjap dalam remang. Jika seorang penghuni kota 

seperti itu bisa melihat toko modern, New York atau Mumbai, 

apa yang akan dipikirkannya?

Menjelang abad ke-16, tidak ada manusia yang berlayar 

mengelilingi Bumi. Ini berubah pada 1522 M, ketika kapal￾kapal Magellan kembali ke Spanyol setelah perjalanan 72.000 

kilometer. Butuh waktu 3 tahun dan nyawa hampir seluruh 

anggota ekspedisi, termasuk Magellan. Pada 1873 M, Jules Verne 

bisa membayangkan bahwa Phileas Fogg, seorang petualang kaya 

asal Inggris, mungkin mampu mengelilingi dunia dalam 8 hari. 

Kini siapa pun dengan pendapatan kelas menengah bisa dengan 

aman dan dengan mudah mengelilingi Bumi hanya dalam 48 jam.

Pada 1500 M, manusia terkurung di atas permukaan Bumi. 

Mereka bisa membangun menara-menara dan memanjat gunung￾gunung, tetapi langit dikhususkan bagi burung, malaikat, dan 

dewa-dewa. Pada 20 Juli 1969 manusia mendarat di Bulan. 

Ini bukan semata-mata pencapaian historis, melainkan sebuah 

keunggulan evolusioner, bahkan kosmis. Dalam evolusi 4 

miliar tahun sebelumnya, tidak ada organisme yang berhasil 

meninggalkan atmosfer Bumi, dan pasti tidak satu pun yang 
meninggalkan jejak kaki atau tentakel di Bulan.

Selama sebagian besar masa sejarah, manusia tak tahu 

apa-apa tentang 99,99 persen organisme di planet—yakni 

mikroorganisme. Ini bukan karena mikroorganisme itu tidak 

penting bagi kita. Setiap kita membawa miliaran makhluk bersel 

tunggal dalam diri kita, dan bukan hanya penumpang gratisan. 

Mereka adalah sahabat-sahabat baik kita, sekaligus musuh-musuh 

paling mematikan. Sebagian dari mereka memakan makanan 

kita dan membersihkan usus-usus kita, sedangkan yang lain 

menyebabkan sakit dan epidemi. Namun, baru pada 1674 M 

mata manusia untuk kali pertama melihat mikroorganisme, 

ketika Anton van Leeuwenhoek mengintip melalui mikroskop 

buatan sendiri dan terkesima melihat sebuah dunia lengkap berisi 

makhluk-makhluk mungil bergerak-gerak dalam setetes air. Dalam 

kurun 300 tahun kemudian, manusia sudah bisa berkenalan 

dengan banyak sekali spesies mikroskopis. Kita telah berhasil 

mengalahkan sebagian besar penyakit menular paling mematikan, 

dan telah menanfaatkan mikroorganisme untuk pelayanan dan 

industri medis. Kini kita merekayasa bakteri untuk memproduksi 

pengobatan, membuat biofuel, dan membunuh parasit-parasit.

Akan tetapi, momen tunggal yang paling nyata dan paling 

menentukan dalam 500 tahun terakhir ini terjadi pukul 05.29.45 

pada 16 Juli 1945. Tepat pada detik itu, para ilmuwan Amerika 

meledakkan bom atom pertama di Alamogordo, New Mexico. 

Dari titik itu dan seterusnya, manusia memiliki kapabilitas tidak 

hanya mengubah alur sejarah, tetapi juga mengakhirinya.

Proses historikal yang mengarah ke Alamogordo dan ke 

Bulan dikenal sebagai Revolusi Saintifik. Dalam periode ini 

manusia telah mendapatkan kekuatan-kekuatan besar baru dengan 

menginvestasikan sumber daya di riset saintifik. Ini sebuah revolusi 

karena, sampai sekitar tahun 1500 M, manusia di muka Bumi 

terlalu meragukan kemampuan mereka untuk meraih kekuatan 

medis, militer, dan ekonomi yang baru. Sementara pemerintahan 

dan patron-patron kaya mengalokasikan dana untuk pendidikan 

dan beasiswa, tujuannya secara umum adalah mempertahankan 

kapabilitas mereka ketimbang meraih kapabilitas-kapabilitas 

baru. Penguasa pramodern biasanya memberi uang kepada 
para pendeta, filsuf, dan penyair dengan harapan mereka bisa 

melegitimasi kekuasaannya dan mempertahankan tatanan sosial. 

Dia tidak berharap orang-orang itu menemukan medikasi baru, 

menciptakan senjata-senjata baru atau menstimulasi pertumbuhan 

ekonomi. Dalam 5 abad terakhir, manusia semakin percaya bahwa 

mereka bisa meningkatkan kapabilitas dengan investasi di riset 

saintifik. Ini bukan keyakinan buta—ini berkali-kali terbukti 

secara empiris. Semakin banyak bukti, semakin banyak sumber 

daya siap dikucurkan oleh orang-orang dan pemerintahan yang 

kaya terhadap ilmu pengetahuan. Kita tidak akan pernah bisa 

berjalan di Bulan, merekayasa mikroorganisme dan memisahkan 

atom tanpa investasi-investasi semacam itu. Pemerintahan 

Amerika Serikat, misalnya, dalam beberapa dekade terakhir 

ini mengalokasikan miliaran dolar untuk studi fisika nuklir. 

Pengetahuan yang dihasilkan oleh riset ini memungkinkan 

konstruksi stasiun-stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir, yang 

menyediakan listrik murah bagi industri Amerika, yang membayar 

pajak kepada pemerintah Amerika, yang menggunakan sebagian 

uang pajak ini untuk mendanai riset lebih lanjut di bidang fisika 

nuklir.

Mengapa manusia-manusia modern mengembangkan 

keyakinan pada kemampuan mereka untuk mendapatkan 

kekuatan-kekuatan baru melalui riset? Apa ikatan yang 

menyatukan sains, politik, dan ekonomi? Bab ini menelusuri 

sifat unik sains modern dalam rangka menyediakan sebagian 

jawabannya. Dua bab selanjutnya menelusuri formasi aliansi 

antara sains, imperium-imperium Eropa, dan ekonomi kapitalisme.

Ignoramus

Manusia sudah berusaha memahami alam semesta sekurang￾kurangnya sejak Revolusi Kognitif. Para leluhur kita mengerahkan 

waktu dan usaha cukup besar dalam rangka menemukan aturan￾aturan yang mengatur alam. Namun, sains modern membedakan 

dari semua tradisi pengetahuan sebelumnya dalam hal penting:

a. Kesediaan mengakui kebodohan. Sains modern didasarkan 

pada injungsi Latin ignoramus— ‘kita tidak tahu’. Bahkan, 

lebih penting lagi, ia menerima bahwa hal-hal yang kita 

pikir kita tahu bisa terbukti salah ketika kita mendapatkan 

pengetahuan lebih banyak. Tidak ada konsep, ide, atau teori 

yang sakral dan tak bisa ditantang.

b. Sentralitas observasi dan matematika. Dengan mengakui 

ketidaktahuan, sains modern bertujuan mendapatkan 

pengetahuan baru. Ia melakukannya dengan mengumpulkan 

observasi-observasi dan kemudian menggunakan sarana￾sarana matematis untuk menghubungkan observasi-observasi 

ini menjadi teori-teori yang komprehensif.

c. Perolehan kekuatan-kekuatan baru. Sains modern tidak puas 

dengan menciptakan teori-teori. Ia menggunakan teori-teori 

ini dalam rangka memperoleh kekuatan-kekuatan baru untuk 

mengembangkan teknologi-teknologi baru. Revolusi Saintifik belum menjadi sebuah revolusi pengetahuan. 

Terutama sekali, ia adalah revolusi ketidaktahuan. Penemuan 

besar yang dihadirkan Revolusi Saintifik adalah penemuan bahwa 

manusia tidak tahu jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan 

mereka yang paling penting.

Tradisi-tradisi pengetahuan pramodern seperti Islam, Kristen, 

Buddhisme, dan Konfusianisme menegaskan bahwa segala hal 

yang penting untuk diketahui tentang dunia sudah diketahui. 

Dewa-dewa besar, atau Tuhan Yang Mahabesar, atau orang-orang 

bijak pada masa lalu memiliki kebijaksanaan yang menyeluruh, 

yang mereka turunkan kepada kita dalam kitab-kitab suci dan 

tradisi-tradisi lisan. Orang-orang biasa mendapatkan pengetahuan 

dengan menggali naskah-naskah dan tradisi-tradisi kuno ini 

dan memahaminya dengan benar. Tak terbayangkan bahwa 

Injil, al-Quran, dan Veda melewatkan rahasia penting alam 

semesta—sebuah rahasia yang mungkin masih harus ditemukan 

oleh makhluk-makhluk berdaging-dan-berdarah.

Tradisi-tradisi pengetahuan kuno hanya mengakui dua jenis 

ketidaktahuan. Pertama, satu individu mungkin tidak tahu sesuatu 

yang penting. Untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan, 

yang perlu dilakukan hanyalah bertanya kepada seseorang yang 

lebih bijaksana. Tidak perlu menemukan sesuatu yang belum 

diketahui siapa pun. Misalnya, jika seorang petani di suatu desa 

Yorkshire sekitar abad ke-13 ingin tahu bagaimana munculnya ras 

manusia, dia berasumsi bahwa tradisi Kristen sudah memegang 

jawaban definitif. Yang harus dilakukan hanyalah bertanya kepada 

pendeta setempat.

Kedua, sebuah tradisi menyeluruh mungkin tidak tahu tentang 

hal-hal yang tidak penting. Berdasarkan definsi, apa pun yang 

tidak dipedulikan oleh dewa-dewa besar atau orang-orang bijak 

untuk disampaikan kepada kita berarti tidak penting. Misalnya, 

jika petani Yorkshire ingin tahu bagaimana laba-laba menjalin 

jejaring mereka, tak ada gunanya bertanya kepada para pendeta 

karena tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini dalam kitab￾kitab suci Kristen. Namun, itu tidak berarti bahwa Kristen tidak 

sempurna. Namun, itu berarti bahwa memahami bagaimana 

laba-laba menjalin jejaring itu tidak penting. Lagi pula, Tuhan tahu sepenuhnya bagaimana laba-laba melakukan itu. Jika itu 

merupakan informasi yang penting, dibutuhkan bagi kemakmuran 

dan penyelamatan manusia, Tuhan akan memasukkan sebuah 

penjelasan komprehensif dalam Injil. Kristen tidak melarang 

orang mempelajari laba-laba. Namun, para ahli laba-laba—jika 

ada pada abad pertengahan Eropa—harus menerima peran 

periferal mereka dalam masyarakat dan tidak relevannya temuan￾temuan mereka bagi kebenaran-kebenaran abadi Kristianitas. Tak 

peduli apa pun yang mungkin bisa ditemukan oleh seorang ahli 

tentang laba-laba, kupu-kupu, atau kutilang-kutilang Galapagos, 

pengetahuan itu tak lebih dari hal sepele, yang tak memiliki 

kebenaran-kebenaran fundamental tentang masyarakat, politik, 

dan ekonomi.

Padahal, tidak sesederhana itu. Pada setiap masa, bahkan 

di kalangan orang-orang yang paling saleh dan konservatif, ada 

orang-orang yang berpendapat bahwa ada hal-hal penting, yang 

luput diketahui oleh segenap tradisi. Namun, orang-orang seperti 

itu biasanya dipinggirkan atau disiksa—atau kalau tidak, mereka 

mendirikan sebuah tradisi baru dan mulai mengemukakan bahwa 

mereka tahu segala sesuatu yang harus diketahui. Misalnya, 

Nabi Muhammad memulai karier religiusnya dengan mengecam 

sesama orang Arab karena hidup dalam ketidaktahuan akan 

kebenaran ilahiah. Namun, Muhammad sendiri dengan cepat 

mengemukakan bahwa dia tahu kebenaran sepenuhnya, dan para 

pengikutnya mulai menyebutnya “Penutup para Nabi”. Oleh 

karena itu, tak diperlukan wahyu-wahyu setelah yang diberikan 

kepada Muhammad.

Sains modern adalah sebuah tradisi pengetahuan yang unik 

karena secara terbuka ketidaktahuan kolektif berkenaan dengan 

pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Darwin tidak pernah 

mengemukakan bahwa dia adalah “Penutup para Ahli Biologi”, 

dan bahwa dia telah menyelesaikan urusan kehidupan sekaligus 

dan tuntas. Setelah berabad-abad riset saintifik yang ekstensif, 

para ahli biologi mengakui bahwa mereka masih belum punya 

penjelasan yang bagus tentang bagaimana otak memproduksi 

kesadaran. Para ahli fisika mengakui bahwa mereka tidak tahu 

apa yang menyebabkan Big Bang (Ledakan Besar), atau bagaimana merekonsiliasi mekanika kuantum dengan teori Relativitas Umum.

Dalam kasus-kasus lain, teori-teori saintifik yang berlawanan 

diperdebatkan dengan sengit atas dasar munculnya bukti baru 

terus-menerus. Satu contoh terbaik adalah perdebatan tentang 

bagaimana cara terbaik menjalankan ekonomi. Meskipun para 

ekonom individual mengklaim bahwa metode merekalah yang 

terbaik, kekolotan berubah bersama setiap krisis finansial dan 

buih pasar saham, dan biasa diterima bahwa kata terakhir tentang 

ekonomi masih belum putus. 

Dalam kasus-kasus lain lagi, teori-teori tertentu didukung 

begitu konsisten dengan bukti yang tersedia sehingga sejak saat 

itu semua alternatif tersingkir. Teori-teori semacam itu diterima 

sebagai kebenaran—tetapi setiap orang setuju bahwa, jika kelak 

ada bukti baru muncul yang berlawanan dengan teori itu, maka 

teori itu akan direvisi atau dibuang. Beberapa contoh yang bagus 

tentang ini adalah teori lempengan tektonik dan teori evolusi. 

Kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan membuat sains modern 

lebih dinamis, lebih lentur, dan lebih aktif mencari ketimbang 

tradisi pengetahuan mana pun sebelumnya. Hal ini memperbesar 

kapasitas kita untuk memahami bagaimana dunia bekerja dan 

kemampuan kita untuk menemukan teknologi-teknologi baru.

Akan tetapi, hal itu juga mendatangkan kepada kita persoalan 

serius yang sebagian besar leluhur kita tidak perlu menghadapinya. 

Asumsi kita saat ini bahwa kita tidak tahu segala hal dan bahwa 

pengetahuan yang kita miliki pun bersifat tentatif, berkembang 

sampai ke mitos-mitos umum yang memungkinkan jutaan orang 

yang tidak saling kenal bisa bekerja sama secara efektif. Jika 

bukti menunjukkan bahwa banyak dari mitos itu meragukan, 

bagaimana kita bisa menyatukan masyarakat? Bagaimana bisa 

masyarakat-masyarakat, negara-negara, dan sistem internasional 

kita berfungsi?

Semua upaya modern untuk menstabilkan tatanan sosio￾politik tak punya pilihan selain bergantung pada satu dari dua 

metode yang tidak saintifik ini:

a. Ambil satu teori saintifik, dan yang berlawanan dengan 

praktik-praktik umum saintifik, deklarasikan bahwa ini 

kebenaran final dan absolut. Inilah metode yang digunakan oleh Nazi (yang mengklaim kebijakan-kebijakan rasial 

mereka adalah buah dari fakta-fakta biologi) dan Komunis 

(yang mengklaim bahwa Marx dan Lenin memiliki kebenaran 

ekonomi absolut yang tidak pernah bisa ditolak).

b. Tinggalkan sains dan hiduplah sesuai dengan kebenaran 

absolut non-saintifik. Ini telah menjadi strategi humanisme 

liberal, yang dibangun di atas keyakinan dogmatis pada nilai 

unik manusia dan hak-hak asasinya—sebuah doktrin yang 

secara memalukan tidak sejalan dengan studi tentang Homo 

sapiens.

Akan tetapi, hal itu tak seharusnya mengejutkan kita. Bahkan, 

sains sendiri harus bergantung pada keyakinan-keyakinan religius 

dan ideologis untuk menjustifikasi dan mendanai risetnya. 

Bagaimanapun, kultur modern telah bersedia mengakui 

ketidaktahuan sampai ke tingkat yang jauh lebih besar ketimbang 

kultur mana pun sebelumnya. Salah satu hal yang memungkinkan 

tatanan-tatanan sosial modern untuk menyatu adalah penyebaran 

suatu keyakinan yang hampir religius pada teknologi dan metode 

riset saintifik, yang pada tingkat tertentu telah menggantikan 

keyakinan pada kebenaran-kebenaran absolut.

Dogma Sainti k

Sains modern memang tidak punya dogma. Namun, ia punya 

satu kesamaan metode riset inti, yang semuanya didasarkan 

pada pengumpulan observasi-observasi empiris—yakni hal-hal 

yang bisa kita observasi dengan setidaknya salah satu dari indra￾indra kita—dan menyatukannya dengan bantuan sarana-sarana 

matematis.

Orang-orang sepanjang sejarah mengumpulkan observasi￾observasi empiris, tetapi makna dari observasi-observasi ini 

biasanya terbatas. Mengapa membuang-buang sumber daya 

untuk mendapatkan observasi-observasi baru ketika kita sudah 

memiliki semua jawaban yang kita butuhkan? Namun, ketika 

orang modern sampai pada pengakuan bahwa mereka tidak 
tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting, 

mereka merasa perlu untuk mencari pengetahuan yang sama 

sekali baru. Akibatnya, metode riset modern dominan menerima 

begitu saja ketidakcukupan pengetahuan lama. Bukan mempelajari 

tradisi-tradisi lama, penekanan kini ditempatkan pada observasi￾observasi dan eksperimen-eksperimen baru. Ketika observasi 

terkini bertabrakan dengan tradisi lama, kita membuka jalan untuk 

observasi. Tentu saja, para ahli fisika yang menganalisis spektra 

galaksi-galaksi jauh, para arkeolog yang menganalisis temuan￾temuan dari kota Zaman Perunggu, dan para ilmuwan politik 

yang mempelajari munculnya kapitalisme bukan mengabaikan 

tradisi. Mereka mulai dengan mempelajari apa yang dikatakan 

dan ditulis orang bijak pada masa lalu. Namun, dari tahun 

pertama kuliah mereka, para calon fisikawan, arkeolog, dan 

ilmuwan politik diajari bahwa misi mereka adalah melampaui 

apa yang pernah diketahui oleh Einstein, Heinrich, Schliemann, 

dan Max Weber.

Akan tetapi, sekadar observasi bukanlah pengetahuan. Dalam 

rangka memahami alam semesta, kita perlu menghubungkan 

observasi-observasi dengan teori-teori yang komprehensif. Tradisi￾tradisi sebelumnya biasanya memformulasikan teori-teori mereka 

dalam kerangka-kerangka cerita. Sains modern menggunakan 

matematika.

Sangat sedikit persamaan, grafik, dan kalkulasi dalam Injil, 

al-Quran, dan Veda atau kitab-kitab klasik Konfusian. Ketika 

mitologi-mitologi dan kitab-kitab suci tradisional meletakkan 

hukum-hukum umum, semua itu disajikan dalam narasi, bukan 

rumus matematika. Jadi, prinsip fundamental agama Manichae 

menegaskan bahwa dunia merupakan ajang pertarungan antara 

yang baik dan yang jahat. Sebuah kekuatan jahat menciptakan 

materi, sedangkan kekuatan baik menciptakan ruh. Manusia 

terjebak di antara kedua kekuatan ini, dan harus memilih 

yang baik atau yang jahat. Namun, nabi Mani tak berusaha 

menawarkan rumus matematika yang bisa digunakan untuk 

meramalkan pilihan-pilihan manusia dengan mengukur seberapa 

besar kekuatan masing-masing. Dia tidak pernah mengalkulasi 

bahwa “kekuatan yang bertindak pada seorang manusia sama 
dengan akselerasi arwah, dibagi massa tubuhnya”.

Inilah yang benar-benar berusaha dituntaskan oleh 

para ilmuwan. Pada 1687, Isaac Newton menerbitkan The 

Mathematical Principles of Natural Philosophy, yang pantas 

disebut sebagai buku paling penting dalam sejarah modern. 

Newton menyajikan sebuah teori umum tentang gerak dan 

perubahan. Kebesaran teori Newton adalah kemampuannya 

menjelaskan dan meramalkan gerakan-gerakan semua tubuh 

dalam alam semesta, dari jatuhnya apel sampai ke bintang-bintang 

yang menembak, dengan menggunakan 3 hukum matematika 

sederhana: 
Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memahami dan 

meramalkan gerakan sebuah peluru meriam atau sebuah planet, 

cukup membuat pengukuran-pengukuran massa benda, arah, dan 

akselerasi, serta kekuatan untuk melakukan gerak itu. Dengan 

memasukkan angka-angka ini ke dalam rumus Newton, posisi 

masa depan sebuah benda bisa diprediksi. Rumus itu bekerja 

seperti sulap. Baru sekitar akhir abad ke-19, para ilmuwan muncul 

dengan beberapa observasi baru yang tidak sesuai dengan hukum 

Newton, dan ini mengarah pada revolusi berikutnya di bidang 

fisika—teori relativitas dan mekanika kuantum.

Newton menunjukkan bahwa buku alam ditulis dalam 

bahasa matematika. Sebagian bab (misalnya) bermuara pada satu 

persamaan yang tegas; tetapi para ahli yang berusaha memasukkan 

biologi, ekonomi, dan psikologi ke dalam persamaan-persamaan Newton mendapati bahwa bidang-bidang ini memiliki tingkat 

kerumitan yang membuat upaya itu sia-sia. Namun, ini tidak 

berarti mereka menyerah dalam hal matematika. Sebuah cabang 

baru matematika dikembangkan dalam 200 tahun terakhir ini 

untuk menangani aspek-aspek realitas yang lebih rumit: statistik.

Pada 1744, pendeta Presbyterian di Skotlandia, Alexander 

Webster dan Robert Wallace, memutuskan untuk mendirikan 

lembaga dana asuransi jiwa yang akan menyediakan pensiun 

bagi para janda dan yatim dari para pendeta yang meninggal. 

Mereka mengajukan bahwa setiap pendeta gereja membayar 

seporsi kecil pendapatannya ke lembaga dana itu, yang akan 

menginvestasikan uangnya. Jika pendeta meninggal, jandanya 

akan menerima deviden dari keuntungan lembaga. Ini akan 

memungkinkan janda tersebut hidup nyaman sampai akhir 

hayat. Namun, untuk menentukan berapa banyak para pendeta 

harus membayar agar lembaga dana punya cukup uang untuk 

memenuhi kewajiban-kewajibannya, Webster dan Wallace harus 

mampu memprediksi berapa banyak pendeta yang meninggal 

setiap tahun, berapa banyak janda dan yatim yang akan mereka 

tinggalkan, dan berapa tahun para janda hidup setelah kematian 

para suaminya.

Perhatikanlah apa yang tidak dilakukan kedua pendeta 

itu. Mereka tidak berdoa kepada Tuhan untuk menemukan 

jawabannya. Mereka juga tidak mencari jawaban dalam kitab￾kitab suci atau di antara karya-karya para teolog kuno. Mereka 

pun tidak memasuki suatu perselisihan filosofis yang abstrak. 

Sebagai orang Skot, mereka termasuk yang praktis. Jadi, mereka 

menghubungi seorang profesor matematika dari University of 

Edinburgh, Colin Maclaurin. Ketiganya mengumpulkan data 

pada usia berapa orang-orang meninggal dan menggunakan ini 

untuk mengalkulasi berapa banyak pendeta yang kemungkinan 

meninggal pada tahun tertentu.

Pekerjaan mereka didasarkan pada beberapa terobosan 

mutakhir dalam bidang statistika dan probabilitas. Salah 

satunya adalah Hukum Angka Besar Jacob Bernoulli. Bernoulli 

telah mengodifikasi prinsip bahwa, meskipun mungkin sulit 

untuk memprediksi dengan pasti sebuah peristiwa tunggal, seperti kematian orang tertentu, terbuka kemungkinan 

untuk memprediksi dengan akurasi tinggi rata-rata hasil dari 

banyak peristiwa serupa. Begitulah, ketika Maclaurin tak bisa 

menggunakan matematika untuk memprediksi apakah Webster 

dan Wallace akan mati tahun depan, dia bisa, dengan tersedianya 

cukup data, memberi tahu Webster dan Wallace berapa banyak 

pendeta Prebysterian di Skotlandia yang hampir pasti mati tahun 

depan. Beruntunglah, mereka memiliki data siap pakai yang 

bisa mereka gunakan. Tabel-tabel aktuaris yang diterbitkan 50 

tahun sebelumnya oleh Edmond Halley terbukti sangat berguna. 

Halley telah mengalisis catatan-catatan 1.238 kelahiran dan 1.174 

kematian yang dia dapatkan dari Kota Breslau, Jerman. Tabel￾tabel Halley memungkinkan untuk melihat, misalnya, seseorang 

yang berusia 21 tahun memiliki peluang 1:100 meninggal pada 

tahun tertentu, tetapi seseorang yang berusia 50 tahun memiliki 

peluang 1:39.

Dengan memproses angka-angka ini, Webster dan Wallace 

menyimpulkan bahwa, rata-rata akan ada 930 pendeta 

Prebysterian Skotlandia pada kurun waktu kapan pun, dan rata￾rata 27 pendeta meninggal setiap tahun, 18 di antara mereka akan 

meninggalkan janda. Lima dari mereka yang tidak meninggalkan 

janda akan meninggalkan anak-anak yatim, dan dua dari yang 

meninggalkan janda juga akan meninggalkan anak-anak dari 

pernikahan sebelumnya yang belum mencapai usia 16 tahun. 

Mereka menghitung lebih jauh berapa lama kemungkinan janda 

akan meninggal atau menikah lagi (dengan dua kemungkinan 

ini pembayaran pensiun akan berhenti). Angka-angka itu 

memungkinkan Webster dan Wallace menentukan berapa banyak 

uang yang harus dibayar oleh para pendeta yang ikut dana pensiun 

untuk orang-orang yang mereka cintai. Dengan membayar £2 

12s. 2d. setahun, seorang pendeta bisa menjamin bahwa istrinya 

yang janda kelak akan menerima sedikitnya £10 setahun—jumlah 

yang besar untuk masa itu. Kalau dia menganggap jumlah itu 

tidak cukup, dia bisa memilih untuk membayar lebih, sampai 

ke tingkat £6 11s. 3d. setahun—yang akan memberi jandanya 

bahkan jumlah yang lebih banyak sebesar £25 setahun.
Menurut kalkulasi mereka, pada 1765, Fund for a Provision 

for the Widows and Children of Ministers of the Church of 

Scotland akan memiliki modal total £58.348. Kalkulasi mereka 

secara menakjubkan terbukti akurat. Ketika tahun itu tiba, 

modal lembaga pensiun itu bertengger di angka £58.347—hanya 

selisih kurang dari £1 dari prediksi! Ini bahkan lebih bagus 

dari nubuat Habakkuk, Jeremiah, atau St. John. Kini, lembaga 

dana Webster dan Wallace, yang dikenal degan sebutan Scottich 

Widows merupakan salah satu perusahaan pensiun dan asuransi 

terbesar di dunia. Dengan aset bernilai £100 miliar, perusahaan 

itu melayani asuransi tidak hanya para janda Skotlandia, tetapi 

juga siapa pun yang bersedia membeli polisnya.7

Kalkulasi-kalkulasi probabilitas seperti yang digunakan 

oleh kedua pendeta Skotlandia itu menjadi dasar tidak hanya 

ilmu aktuarial, yang penting bagi bisnis pensiun dan asuransi, 

tetapi juga bagi ilmu demografi (didirikan oleh pendeta lainnya, 

Robert Malthus, seorang Anglikan). Demografi pada gilirannya 

merupakan landasan bagi Charles Darwin (yang hampir menjadi 

seorang pastor Anglikan) membangun teori evolusinya. Meskipun 

tidak ada persamaan yang bisa memprediksi apa jenis organisme 

yang akan berevolusi di bawah seperangkat kondisi tertentu, 

ilmu genetika menggunakan kalkulasi-kalkulasi probabilitas untuk 

menghitung kemungkinan bahwa suatu mutasi tertentu akan 

menyebar pada satu populasi tertentu. Model-model probalistik 

serupa telah menjadi bagian penting bagi ilmu ekonomi, sosiologi, 

psikologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial serta alam lainnya. 

Bahkan, fisika pada akhirnya menambahkan ke dalam persamaan￾persamaan klasik Newton awan probabilitas mekanika kuantum.

Kita cukup melihat sejarah pendidikan untuk menyadari 

seberapa jauh proses ini telah membawa kita. Pada sebagian 

besar periode sejarah, matematika adalah bidang esoterik yang 

bahkan orang-orang terdidik jarang mempelajarinya secara serius. 

Di Eropa abad pertengahan, logika, tata bahasa, dan retorika 

membentuk inti pendidikan, sementara pengajaran matematika 

jarang melampaui aritmatika dan geometri sederhana. Tidak ada 

yang mempelajari statistik. Raja tak terbantahkan dari semua 

ilmu pengetahuan adalah teologi.
Kini sedikit mahasiswa yang mempelajari retorika; logika 

dibatasi pada jurusan-jurusan filsafat dan teologi di seminari￾seminari. Namun, semakin banyak mahasiswa termotivasi—atau 

dipaksa—mempelajari matematika. Ada arus yang tak bisa dilawan 

menuju ilmu-ilmu eksakta—yang didefinisikan eksakta karena 

penggunaan sarana-sarana matematisnya. Bahkan, bidang-bidang 

studi yang secara tradisional menjadi bagian dari humaniora, 

seperti studi tentang bahasa manusia (linguistik) dan jiwa manusia 

(psikologi), semakin bergantung pada matematika dan berusaha 

menampilkan diri sebagai ilmu eksakta. Mata kuliah Statistika 

kini menjadi bagian dari persyaratan dasar tidak hanya dalam 

bidang fisika dan biologi, tetapi juga dalam psikologi, sosiologi, 

ilmu ekonomi, dan ilmu politik.

Dalam katalog mata kuliah Jurusan Psikologi di universitas 

almamater saya, mata kuliah wajib pertama dalam kurikulum 

adalah “Introduction to Statistics and Methodology in 

Psychological Research”. Mahasiswa tahun kedua psikologi harus 

mengambil “Statistical Methods in Psychological Research”. 

Konfusius, Buddha, Yesus, dan Muhammad pasti bingung jika 

Anda beri tahu mereka bahwa dalam rangka memahami pikiran 

manusia dan mengobati penyakitnya Anda harus pertama-tama 

mempelajari statistik.

Pengetahuan adalah Kekuatan

Sebagian besar orang mengalami kesulitan menelan sains modern 

karena bahasa matematisnya yang sulit untuk diserap pikiran kita, 

dan temuan-temuannya sering bertentangan dengan pengertian 

umum. Dari 7 miliar penduduk dunia, berapa banyak yang 

benar-benar memahami mekanika kuantum, biologi sel, atau 

makro ekonomi? Bagaimanapun, sains menikmati prestise tinggi 

karena kekuatan-kekuatan baru yang ia berikan kepada kita. 

Para presiden dan para jenderal mungkin tidak memahami fisika 

nuklir, tetapi mereka punya pengetahuan yang baik tentang apa 

yang bisa diakibatkan oleh bom nuklir.

Pada 1620, Francis Bacon menerbitkan manifesto saintifik berjudul The New Instrument. Di dalamnya dia mengemukakan 

bahwa “pengetahuan adalah kekuatan”. Ujian riil “pengetahuan” 

bukanlah apakah ia benar, tetapi apakah ia memperkuat kita. 

Para ilmuwan biasanya berasumsi bahwa tidak ada teori yang 

100 persen benar. Akibatnya, kebenaran menjadi ujian lemah 

bagi pengetahuan. Tes riilnya adalah pemanfaatan. Sebuah teori 

yang memungkinkan kita melakukan hal-hal baru merupakan 

pengetahuan.

Selama berabad-abad, sains telah memberi kita banyak alat￾alat baru. Sebagian adalah alat mental, seperti yang digunakan 

untuk memprediksi tingkat kematian dan pertumbuhan ekonomi. 

Yang lebih penting lagi adalah alat-alat teknologikal. Koneksi 

yang menyatukan sains dan teknologi begitu kuat sehingga kini 

orang cenderung mencampuradukannya. Kita cenderung berpikir 

bahwa tidak mungkin mengembangkan teknologi-teknologi baru 

tanpa riset saintifik, dan nilai riset menjadi kecil jika tidak 

menghasilkan teknologi-teknologi baru.

Padahal, hubungan antara sains dan teknologi adalah 

fenomena yang sangat baru. Sebelum tahun 1500, sains dan 

teknologi adalah bidang yang terpisah sama sekali. Ketika 

Bacon menghubungkan keduanya pada abad ke-17, itu adalah 

sebuah ide revolusioner. Dalam abad ke-17 dan ke-18 hubungan 

ini menguat, tetapi simpulnya baru terikat pada abad ke-19. 

Bahkan, pada 1800, sebagian besar penguasa yang menginginkan 

angkatan perang yang kuat, dan sebagian besar raksasa bisnis yang 

menginginkan bisnis yang sukses, tidak peduli untuk mendanai 

riset dalam fisika, biologi, atau ilmu ekonomi.

Saya tidak bermaksud mengklaim tidak ada pengecualian 

dalam aturan ini. Seorang sejarawan yang bagus bisa menemukan 

preseden untuk segala hal. Namun, sejarawan yang lebih baik lagi 

tahu ketika preseden-preseden ini menjadi pertanyaan-pertanyaan 

yang menyelimuti gambaran besar. Secara umum, sebagian besar 

penguasa dan pebisnis pramodern tidak mendanai riset tentang 

sifat alam semesta dalam rangka mengembangkan teknologi￾teknologi baru, dan sebagian besar pemikir tidak berusaha 

menerjemahkan temuan-temuan mereka menjadi wahana-wahana 

teknologis. Para penguasa mendanai institusi-institusi pendidikan yang mandatnya adalah menyebarkan pengetahuan tradisional 

untuk tujuan menjaga tatanan yang sudah ada.

Di mana-mana orang memang mengembangkan teknologi￾teknologi baru, tetapi semua itu biasanya diciptakan oleh 

para pengrajin terdidik dengan cara coba-coba, bukan oleh 

para sarjana dengan menempuh riset saintifik yang sistematis. 

Pabrikan-pabrikan gerobak membangun pedati yang sama dari 

bahan yang sama dari tahun ke tahun. Mereka tidak menyisihkan 

satu persentase dari keuntungan tahunan dalam rangka meneliti 

dan mengembangkan model-model pedati baru. Desain pedati 

terkadang diperbaiki, tetapi itu biasanya berkat keahlian tukang 

kayu tertentu, yang tidak pernah menjejakkan kaki di sebuah 

universitas dan bahkan tidak bisa membaca.

Itu berlaku di sektor pemerintah maupun swasta. Kalau 

negara-negara modern menyerukan para ilmuwannya untuk 

menyediakan solusi-solusi di hampir semua bidang kebijakan 

nasional, dari energi sampai kesehatan sampai pembuangan 

sampah, kerajaan-kerajaan kuno jarang melakukannya. Kontras 

di antara negara kuno dan masa kini paling mencolok dalam 

persenjataaan. Ketika Presiden Dwight Eisenhower yang segera 

habis masa pemerintahannya, pada 1961, memperingatkan 

tumbuhnya kekuatan kompleks militer-industri, dia mengabaikan 

sebagian dari rumus persamaan itu. Dia seharusnya menyiagakan 

negaranya untuk kompleks militer-industri-sains karena perang￾perang masa kini adalah produksi santifik. Kekuatan-kekuatan 

militer dunia menginisiasi, mendanai, dan menyetir bagian besar 

dari riset saintifik dan pengembangan teknologi manusia.

Ketika Perang Dunia Pertama terkunci dalam perang parit 

tak berkesudahan, kedua pihak memanggil para ilmuwan 

mereka untuk memecah kebuntuan dan menyelamatkan negara. 

Orang-orang berpakaian putih menjawab panggilan itu, dan dari 

laboratorium-laboratorium menggelindingkan aliran tanpa putus 

senjata-senjata keajaiban baru: pesawat tempur, gas beracun, 

tank, kapal selam, dan yang lebih efisien lagi, senapan-senapan 

mesin, senjata artileri, senapan, dan bom.

Sains memainkan peran yang bahkan lebih besar pada 

Perang Dunia Kedua. Pada akhir 1944, Jerman terpukul mundur dan kekalahan mendekat. Setahun sebelumnya, sekutu Jerman, 

Italia, telah menggulingkan Mussolini dan menyerah kepada 

Sekutu. Namun, Jerman terus berperang, sekalipun angkatan 

perang Inggris, Amerika, dan Soviet mendekat. Satu alasan yang 

dipkirkan oleh tentara-tentara dan penduduk sipil Jerman untuk 

tidak menyerah adalah karena mereka percaya para ilmuwan 

Jerman akan segera membalikkan gelombang dengan apa yang 

disebut sebagai senjata-senjata ajaib seperti roket V-2 dan 

pesawat bertenaga jet. Sementara Jerman merancang roket-roket 

dan jet-jet tersebut, Manhattan Project milik Amerika berhasil 

mengembangkan bom atom. Pada saat bom sudah siap, awal 

Agustus 1945, Jerman sudah menyerah, tetapi Jepang masih 

terus berperang. Pasukan Amerika terdorong untuk menginvasi 

pulau-pulaunya. Jepang bertekad melawan invasi dan perang 

sampai mati, dan selalu ada alasan untuk yakin bahwa tidak ada 

yang namanya ancaman gertak sambal. Para jenderal Amerika memberi tahu Presiden Harry S. Truman bahwa invasi Jepang 

akan menewaskan sejuta tentara Amerika dan memperpanjang 

perang sampai 1946. Truman memutuskan untuk menggunakan 

bom baru itu. Dua pekan dan dua bom atom kemudian, Jepang 

menyerah tanpa syarat dan perang pun berakhir.

Akan tetapi, sains tidak hanya soal senjata-senjata ofensif. Ia 

memainkan peran besar dalam pertahanan kita juga. Kini banyak 

orang Amerika percaya bahwa solusi bagi terorisme adalah 

teknologi ketimbang politik, dan Amerika Serikat bisa mengirim 

pesawat-pesawat mata-mata ke setiap gua Afganistan, benteng 

Yaman, dan kamp-kamp Afrika Utara. Begitu selesai, para pewaris 

Osama Bin Laden tidak akan mampu membuat secangkir kopi 

tanpa ada pesawat mata-mata CIA meneruskan informasi vital ini 

ke markas besarnya di Langley. Alokasikan jutaan lagi untuk riset 

otak, dan setiap bandara bisa diperlengkapi dengan alat pemindai 

ultracanggih yang bisa langsung mengenali pikiran-pikiran marah 

dan pembenci dalam otak orang. Apakah itu akan berhasil? 

Siapa tahu. Apakah bijak mengembangkan pesawat mata-mata 

dan alat pemindai pembaca pikiran? Tidak dengan sendirinya 

begitu. Taruhlah hal itu benar, seperti yang Anda baca dalam 

baris-baris kalimat ini, Departemen Pertahanan Amerika Serikat 

sedang mentransfer jutaan dolar ke laboratorium-laboratorium 

nanoteknologi dan otak untuk mengerjakan ini semua dan ide￾ide semacam itu. Obsesi pada teknologi militer ini—dari tank ke 

bom atom sampai pesawat mata-mata—adalah fenomena yang 

sangat baru sebetulnya. Sampai dengan abad ke-19, mayoritas 

besar revolusi militer adalah produk dari perubahan-perubahan 

organisasional ketimbang teknologis. Ketika peradaban-peradaban 

asing bertemu untuk kali pertama, jurang teknologi terkadang 

memainkan peran penting. Namun, bahkan dalam kasus￾kasus semacam itu, sedikit yang berpikir tentang penciptaan 

atau perluasan jurang semacam itu secara sengaja. Sebagian 

besar imperium tidak muncul berkat kehebatan teknologi, dan 

penguasa-penguasa mereka tidak banyak memikirkan perbaikan 

teknologi. Bangsa Arab tidak mengalahkan Imperium Sassanid 

berkat kehebatan panah atau pedangnya, Seljuk tidak punya 

keunggulan teknologi atas Byzantium, dan Mongolia tidak 
menaklukkan China dengan bantuan senjata baru yang unggul. 

Faktanya, dalam semua kasus ini yang dikalahkan memiliki 

teknologi militer dan sipil yang superior.

Angkatan Perang Romawi adalah contoh yang sangat bagus. 

Ia adalah angkatan perang terbaik pada masanya, tetapi secara 

teknologis, Romawi tidak punya keunggulan atas Carthage, 

Macedonia, atau Imperium Selucid. Keunggulannya terletak 

pada organisasi yang efisien, kedisiplinan tinggi, dan cadangan 

sumber daya manusia yang besar. Angkatan perang Romawi 

tidak pernah mendirikan departemen riset dan pengembangan, 

dan senjata-senjatanya tetap kurang lebih sama selama berabad￾abad. Jika legiun-legiun Scipio Aemilianus—jenderal yang 

meratakan Carthage dan mengalahkan Numantia pada abad 

ke-2 SM—tiba-tiba bangkit lagi 500 tahun kemudian pada abad 

Constantine Yang Agung, Scipio tentu memiliki peluang yang 

bagus untuk mengalahkan Constantine. Sekarang bayangkan apa 

yang akan terjadi pada seorang jenderal dari periode modern 

awal—katakanlah Albrecht von Wallenstein, seorang pemimpin 

pasukan Imperium Romawi Suci dalam Perang Tiga Belas 

Tahun—jika dia memimpin angkatan perang musketeer (pasukan 

bersenapan), pasukan bertombak, dan kavaleri melawan satu 

batalion kontemporer American Army Rangers. Wallenstein 

adalah seorang ahli taktik brilian, dan orang-orangnya adalah 

profesional ulung, tetapi keterampilan mereka akan sia-sia 

menghadapi persenjataan modern.

Sebagaimana di Roma, demikian pula di China kuno, 

sebagian besar jenderal dan filsuf tidak berpikir dalam tugas 

mereka untuk mengembangkan senjata-senjata baru. Intervensi 

militer paling penting dalam sejarah China adalah bubuk mesiu. 

Meskipun demikian, sebagaimana sangat kita ketahui, bubuk 

mesiu ditemukan secara tidak sengaja oleh ahli kimia Daois yang 

mencari obat keabadian hidup. Karier selanjutnya bubuk mesiu 

semakin menarik. Orang mungkin mengira bahwa para ahli 

kimia Daois akan menggunakan campuran baru itu hanya untuk 

petasan. Sekalipun ketika Imperium Song runtuh menghadapi 

invasi Mongol, tidak ada kaisar yang mendirikan Manhattan 

Project ala abad pertengahan untuk menyelamatkan imperium
dengan menemukan sebuah senjata kiamat. Baru pada abad ke-

15—sekitar 600 tahun setelah penemuan bubuk mesiu—meriam 

menjadi faktor penentu pertempuran-pertempuran Afro-Asia. 

Mengapa butuh waktu begitu lama bagi zat pembunuh potensial 

itu untuk sampai pada penggunaan dalam militer? Karena ia 

muncul pada masa ketika tak ada raja, ahli, atau pedagang yang 

berpikir bahwa sebuah teknologi militer baru bisa menyelamatkan 

mereka atau menjadikan mereka kaya.

Situasi mulai berubah pada abad ke-15 dan ke-16, tetapi 

200 tahun kemudian berlalu sebelum sebagian besar penguasa 

menunjukkan minat mendanai riset dan pengembangan senjata 

baru. Logistik dan strategi terus memiliki dampak semakin 

besar pada hasil pemerangan ketimbang teknologi. Mesin 

militer Napoleonik yang menumpas angkatan perang kekuatan￾kekuatan Eropa dan Austerlitz (1805) bersenjatakan kurang lebih 

persenjataan yang sama dengan yang digunakan angkatan perang 

Louis XIV. Napoleon sendiri, meskipun ia seorang artileri, tak 

terlalu berminat pada senjata-senjata baru, sekalipun para ilmuwan 

dan penemu berusaha membujuk dia mendanai pengembangan 

mesin-mesin terbang, kapal selam, dan roket.

Sains, industri, dan teknologi militer berkelindan hanya 

setelah ada kemajuan sistem kapitalis dan Revolusi Industri. 

Namun, begitu hubungan ini tercipta, ia cepat mentransformasi 

dunia.

Cita-Cita Kemajuan

Sampai dengan Revolusi Saintifik, sebagian besar kultur manusia 

tidak memercayai kemajuan. Mereka berpikir masa kejayaan 

adalah masa lalu, dan bahwa dunia ini stagnan, kalau bukan 

memburuk. Kepatuhan yang ketat pada kearifan tiap-tiap 

masa mungkin bisa membawa kembali kejayaan masa lalu, dan 

kehebatan manusia mungkin bisa memperbaiki secara masuk 

akal keadaan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, diyakini 

bahwa tidak mungkin pengetahuan manusia bisa mengatasi 

problem-problem fundamental dunia. Kalau MuhammadYesus, Buddha, dan Konfusius saja—yang tahu segala hal yang 

harus diketahui—tidak mampu menghapus kelaparan, penyakit, 

kemelaratan, dan perang dari dunia, bagaimana kita bisa berharap 

bisa melakukannya?

Banyak agama meyakini bahwa suatu hari nanti seorang 

almasih akan muncul dan mengakhiri semua perang, kelaparan, 

dan bahkan kematian itu sendiri. Namun, pandangan bahwa 

manusia bisa melakukan itu dengan menemukan teknologi 

baru dan menciptakan alat-alat baru malah lebih buruk dari 

menggelikan—itu namanya kesombongan. Kisah Menara Babel, 

kisah Icarus, kisah Golem, dan tak terhitung mitos-mitos 

mengajarkan orang bahwa setiap upaya untuk melampaui batas 

manusia tak terelakkan mengarah pada kekecewaan dan bencana.

Ketika kultur modern mengakui bahwa ada banyak hal 

penting yang masih belum diketahui, dan ketika pengakuan 

akan ketidaktahuan itu bersekutu dengan ide bahwa penemuan￾penemuan saintifik bisa memberi kita kekuatan-kekuatan baru, 

orang mulai curiga bahwa jangan-jangan kemajuan riil itu 

memang bisa terjadi. Ketika sains mulai mengatasi satu problem 

yang tak terpecahkan satu demi satu, banyak orang menjadi 

yakin bahwa manusia bisa mengatasi problem apa pun dan yang 

mana pun dengan meraih serta menerapkan pengetahuan baru. 

Kemiskinan, sakit, perang, kelaparan, usia tua, dan kematian itu 

sendiri bukanlah nasib tak terelakkan bagi manusia. Semua itu 

hanyalah buah dari ketidaktahuan kita.

Contoh yang terkenal adalah petir. Banyak kultur percaya 

bahwa petir adalah palu dewa yang marah, yang digunakan 

untuk menghukum para pendosa. Pada pertengahan abad ke-18, 

dalam salah satu eksperimen yang paling dielu-elukan dalam 

sejarah sains, Benjamin Franklin menerbangkan sebuah layang￾layang ketika badai petir untuk menguji hipotesisnya bahwa 

petir hanyalah sebuah arus listrik. Observasi empiris Franklin, 

digabung dengan pengetahuannya tentang kualitas-kualitas energi 

listrik, memungkinkan dia menemukan batang petir dan melucuti 

senjata para dewa.

Kemiskinan adalah contoh bagus lainnya. Banyak kultur 

memandang kemiskinan sebagai bagian tak terelakkan dari 
dunia yang tidak sempurna. Menurut Perjanjian Baru, tak lama 

sebelum penyaliban, seorang perempuan mengurapi Kristus 

dengan minyak mulia bernilai 300 denarii. Para murid Yesus 

menghardik perempuan itu karena membuang-buang uang 

sebanyak itu, alih-alih memberikannya kepada orang miskin, 

tetapi Yesus membela dia, dengan berkata, “Orang miskin akan 

selalu ada bersamamu, dan kamu bisa membantu mereka kapan 

pun kamu mau. Tapi, kamu tidak akan selalu bersamaku” 

(Markus 14:7). Kini, semakin sedikit dan semakin sedikit orang, 

termasuk semakin sedikit orang Kristen, yang setuju dengan Yesus 

dalam hal ini. Kemiskinan semakin dipandang sebagai problem 

teknis yang bisa diubah melalui intervensi. Ada kearifan umum 

bahwa kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada temuan-temuan 

terbaru dalam agronomi, ekonomi, kedokteran, dan sosiologi 

bisa mengeliminasi kemiskinan.

Dan sungguh, banyak bagian dari dunia ini sudah dibebaskan 

dari bentuk-bentuk paling buruk dari kemiskinan. Sepanjang 

sejarah, masyarakat-masyarakat menderita karena dua jenis 

kemiskinan: kemiskinan sosial, yang mencegah seseorang meraih 
kesempatan yang tersedia bagi orang lain; dan kemiskinan biologis, 

yang menempatkan kehidupan individu-individu pada risiko 

karena tiadanya makanan dan tempat tinggal. Mungkin kemiskinan 

sosial tidak pernah bisa dientaskan, tetapi di banyak negara di 

seluruh dunia, kemiskinan biologis adalah keadaan masa lalu.

Sampai dengan masa yang mutakhir, sebagian besar orang 

mengambang sangat dekat dengan garis kemiskinan biologis, yang 

di bawahnya orang tidak punya cukup kalori untuk bertahan 

hidup lama. Bahkan, miskalkulasi-miskalkulasi atau kemalangan￾kemalangan kecil bisa dengan mudah mendorong orang ke 

bawah garis itu, menuju kelaparan. Bencana-bencana alam dan 

bencana-bencana akibat ulah manusia sering menjerumuskan 

segenap populasi ke dalam neraka, yang menyebabkan kematian 

jutaan orang. Kini sebagian besar penduduk dunia memiliki 

jaring pengaman yang dibentangkan di bawah mereka. Individu￾individu dilindungi dari kemalangan personal dengan asuransi, 

jaminan sosial yang disponsori negara dan semaraknya organisasi 

non-pemerintah internasional. Ketika bencana melanda satu 

wilayah, upaya-upaya bantuan seluruh dunia biasanya berhasil 

mencegah keadaan memburuk. Orang masih menderita dari 

berbagai degradasi, penistaan, dan sakit terkait kemiskinan, 

tetapi di sebagian besar negara tak seorang pun yang kelaparan 

sampai mati. Malah, di banyak masyarakat semakin banyak 

orang yang berada dalam bahaya kematian akibat kegemukan 

ketimbang kelaparan.

Proyek Gilgamesh

Dari seluruh problem manusia yang seakan-akan tak bisa diatasi, 

ada satu yang tetap paling mengusik, paling menarik, dan paling 

penting: problem kematian itu sendiri. Sebelum era modern akhir, 

sebagian besar agama dan ideologi menerima begitu saja bahwa 

kematian adalah nasib kita yang tak terelakkan. Lebih dari itu, 

sebagian besar agama menjadikan kematian sebagai sumber utama 

pemaknaan kehidupan. Coba bayangkan Islam, Kristen, atau 

agama kuno Mesir dalam sebuah kata tanpa kematian. Kredo￾kredo ini mengajarkan kepada masyarakat bahwa mereka harus 
siap menghadapi kematian dan menggantungkan harapan pada 

kehidupan akhirat ketimbang mencari cara mengatasi kematian 

dan hidup selamanya di sini di muka Bumi. Pikiran-pikiran 

terbaik sibuk memberi makna pada kematian, bukan berusaha 

menghindarinya. Itulah tema mitos yang paling kuno yang sampai 

kepada kita—mitos Gilgamesh Sumeria kuno. Pahlawannya 

adalah pria paling kuat dan paling ulung di seluruh dunia, Raja 

Gilgamesh dari Uruk, yang bisa mengalahkan siapa pun dalam 

pertarungan. Suatu hari, sahabat Gilgamesh, Enkidu, meninggal. 

Gilgamesh duduk di samping mayatnya dan memperhatikannya 

selama beberapa hari, sampai dia melihat seekor belatung jatuh 

dari lubang hidung sahabatnya itu. Saat itu Gilgamesh menggigil 

sangat ketakutan, dan dia bertekad bahwa dia sendiri tidak akan 

pernah mati. Dia berusaha mencari cara untuk mengalahkan 

kematian. Gilgamesh kemudian melakukan sebuah perjalanan 

ke ujung dunia, membunuh singa-singa, memerangi manusia￾manusia kalajengking, dan mencari jalan menuju neraka. Di sana 

dia memecahkan raksasa batu Urshanabi*

 dan laki-laki perahu 

di sungai orang-orang mati, dan mendapati Utnapishtim, orang 

terakhir yang selamat dari banjir primordial. Namun, Gilgamesh 

gagal dalam pencariannya. Dia kembali pulang dengan tangan 

hampa, sefana biasanya, tetapi dengan sepotong kearifan baru. 

Ketika para dewa menciptakan manusia, menurut hasil belajar 

Gilgamesh, mereka menetapkan kematian sebagai akhir tak 

terelakkan bagi manusia, dan manusia harus belajar untuk hidup 

dengan itu.

Para murid kemajuan tidak mau menerima sikap kalah 

tersebut. Bagi orang-orang sains, kematian bukan akhir yang 

tak terelakkan, tetapi semata-mata problem teknis. Orang mati 

bukan karena para dewa memutuskannya, tetapi karena berbagai 

kegagalan teknis—serangan jantung, kanker, infeksi. Dan, setiap 

problem teknis memiliki solusi teknis. Jika jantung berdebar, ia 

bisa distimulasi dengan alat pemacu atau diganti dengan jantung 

baru. Jika kanker menyerang, ia bisa dibunuh dengan obat atau 

radiasi. Jika bakteri berbiak, mereka bisa ditundukkan dengan 
antibiotik. Benar, saat ini kita tidak bisa mengatasi semua problem 

teknis itu. Namun, kita sedang bekerja untuk itu. Pikiran terbaik 

kita bukan untuk menyia-nyiakan waktu mereka untuk berusaha 

memaknai kematian. Namun, mereka sibuk menginvestigasi 

sistem psikologis, hormonal, dan genetika yang menyebabkan 

penyakit dan usia tua. Mereka mengembangkan kedokteran baru, 

perawatan revolusioner, dan organ-organ artifisial yang akan 

memperpanjang hidup kita dan mungkin suatu hari mengalahkan 

Malaikat Maut.

Sampai dengan masa kini, Anda tidak akan pernah 

mendengar ilmuwan, atau siapa pun, berbicara begitu blak￾blakan. “Mengalahkan kematian?! Omong kosong apa itu! 

Kita hanya berusaha mengobati penyakit kanker, tuberkulosis, 

dan Alzheimer”, mereka menegaskan. Orang menghindari 

isu kematian karena tujuannya tampak terlalu sulit. Mengapa 

menciptakan ekspektasi-ekspektasi yang tidak masuk akal? 

Namun, kita sekarang sampai pada titik ketika kita bisa jujur 

tentang itu. Proyek terkemuka Revolusi Saintifik adalah memberi 

manusia kehidupan abadi. Bahkan, jika mengalahkan kematian 

tampak seperti tujuan yang jauh, kita sudah mencapai beberapa 

hal yang tak terbayangkan beberapa abad lalu. Pada 1199, Raja 

Richard Si Hati Singa terkena panah di bahu kirinya. Kini kita 

mengatakan bahwa dia mengalami luka ringan. Namun, pada 

1199, karena tiadanya antibiotik dan metode sterilisasi efektif, 

luka ringan itu menjadi infeksi dan terbentuklah gangren 

(pembusukan). Satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran 

gangren pada abad ke-12 di Eropa adalah dengan memotong 

daging yang terinfeksi, tetapi tidak mungkin karena infeksi itu 

ada di bahu. Gangren menyebar ke seluruh tubuh Si Hati Singa 

dan tak ada yang bisa membantu sang raja. Dia meninggal dalam 

penderitaan mendalam dua pekan kemudian.

Sampai dengan abad ke-19, para dokter terbaik masih belum 

tahu bagaimana mencegah infeksi dan menghentikan pembusukan 

lapisan daging. Di rumah sakit-rumah sakit lapangan, para dokter 

rutin mengamputasi tangan dan kaki tentara yang mengalami 

bahkan luka ringan, karena takut gangren. Amputasi-amputasi ini, 

di samping semua prosedur medis lainnya (cabut gigi), dilakukan tanpa anestesi. Anestesi pertama—entah dengan kloroform atau 

morfin—memasuki era pemakaian reguler dalam kedoteran Barat 

baru terjadi pada pertengahan abad ke-19. Sebelum ditemukannya 

kloroform, empat tentara harus memegangi seorang rekan yang 

terluka sementara dokter memangkas daging yang terluka. Pada 

pagi hari setelah pertempuran Waterloo (1815), tumpukan tangan 

dan kaki yang dipotong bisa dilihat di dekat rumah sakit-rumah 

sakit lapangan. Pada masa itu, para tukang kayu dan tukang jagal 

yang diikutkan dalam angkatan perang sering dikirim untuk dinas 

di korps medis karena operasi memerlukan lebih dari sekadar 

pengetahuan menggunakan pisau dan gergaji.

Dalam dua abad setelah Waterloo, keadaan berubah di luar 

perkiraan. Pil, injeksi, dan operasi-operasi canggih menyelamatkan 

kita dari banjir penyakit dan cedera yang dulu berakhir dengan 

“hukuman mati” yang tak terelakkan. Semua itu juga melindungi 

kita dari tak terhitung jenis sakit harian, yang oleh masyarakat 

pramodern diterima begitu saja sebagai bagian dari kehidupan. 

Rata-rata angka harapan hidup melonjak dari sekitar 25 tahun 

menjadi 40 tahun sampai 67 tahun di seluruh dunia, dan sampai 

80 tahun di negara-negara maju.8

Kemunduran terburuk terjadi di lingkup angka kematian 

anak. Sampai dengan abad ke-20, antara seperempat sampai 

sepertiga anak di masyarakat-masyarakat agrikultur tidak pernah 

mencapai usia dewasa. Sebagian besar takluk pada penyakit 

kanak-kanak seperti difteri, campak, dan cacar. Di Inggris abad 

ke-17, 150 dari setiap 1.000 kelahiran meninggal pada tahun 

pertama mereka, dan sepertiga dari semua anak mati sebelum 

mereka mencapai usia lima belas tahun.9

 Kini, hanya 5 dari 

1.000 bayi Inggris mati di tahun pertama mereka, dan hanya 7 

dari 1.000 mati sebelum usia 15 tahun.10

Kita bisa menangkap pengaruh penuh dari angka-angka ini 

dengan mengesampingkan statistika dan mencermati kisa-kisah 

lain. Satu contoh yang bagus adalah keluarga Raja Edward I 

Inggris (1237–1307) dan istrinya, Ratu Eleanor (1241–1290). 

Anak-anak mereka menikmati kondisi terbaik dan lingkungan 

pengasuhan paling baik yang bisa diberikan oleh Eropa abad 

pertengahan. Mereka hidup dalam istana-istana, makan sebanyak 

makanan yang mereka suka, punya banyak pakaian hangat, tungku 

api dengan persediaan baik, air terbersih, satu pasukan pembantu, 

dan dokter-dokter terbaik. Beberapa sumber menyebutkan enam 

belas anak dilahirkan Ratu Eleanor antara 1255 sampai 1284:

1. Seorang putri tanpa nama, lahir tahun 1255, meninggal saat 

lahir.

2. Seorang putri, Catherine, meninggal pada usia 1 atau 3 tahun.

3. Seorang putri, Joan, meninggal pada usia 6 bulan.

4. Seorang putra, John, meninggal pada usia 5 tahun.

5. Seorang putra, Henry, meninggal pada usia 6 tahun.

6. Seorang putri, Eleanor, meninggal pada usia 29 tahun.

7. Seorang putri, tanpa nama, meninggal pada usia 5 bulan.

8. Seorang putri, Joan, meninggal pada usia 35 tahun.

9. Seorang putra, Alphonso, meninggal pada usia 10 tahun.

10. Seorang putri, Margaret, meninggal pada usia 58 tahun.

11. Seorang putri, Berengeria, meninggal pada usia 2 tahun.

12. Seorang putri, tanpa nama, meninggal tak lama setelah 

kelahiran.

13. Seorang putri, Mary, meninggal pada usia 53 tahun.

14. Seorang putra, tanpa nama, meninggal tak lama setelah 

kelahiran.

15. Seorang putri, Elizabeth, meninggal pada usia 34 tahun.

16. Seorang putra, Edward.

Si bungsu, Edward, adalah anak laki-laki pertama yang 

selamat dari tahun-tahun kanak-kanak yang berbahaya, dan 

kematian ayahnya mengukuhkan putra mahkota Inggris menjadi 

Raja Edward II. Dengan kata lain, Eleanor butuh 16 kali mencoba 

menjalankan misi paling fundamental seorang ratu Inggris—

memberi suaminya laki-laki pewaris. Ibu Edward II pasti seorang 

perempuan yang memiliki kesabaran dan ketabahan istimewa. 

Tidak demikian dengan perempuan yang dipilih Edward menjadi 

istrinya, Isabella dari Prancis. Dialah penyebab terbunuhnya 

Edward pada usia 53 tahun.11

Sepanjang yang bisa kita ketahui, Eleanor dan Edward I 

adalah pasangan sehat dan tak menurunkan penyakit bawaan 

mematikan ke anak-anaknya. Meskipun demikian, 10 dari 

16—62 persen—meninggal pada usia kanak-kanak. Hanya 6 

yang berhasil hidup melewati usia 11 tahun, dan hanya 3—

hanya 18 persen—yang hidup melampaui usia 40 tahun. Selain 

kelahiran-kelahiran ini, Eleanor sangat mungkin mengalami 

beberapa kehamilan yang berakhir dengan keguguran. Rata-rata, 

Edward dan Eleanor kehilangan anak setiap 3 tahun, 10 anak 

susul-menyusul. Hampir mustahil bagi orangtua zaman sekarang 

menanggung beban kehilangan seperti itu.

Berapa lama yang dibutuhkan untuk merampungkan 

Proyek Gilgamesh—pencarian imortalitas? 500 tahun? 1.000 

tahun? Ketika kita mengenang betapa sedikit yang kita tahu 

tentang tubuh manusia pada tahun 1900, dan betapa banyak 

pengetahuan yang kita dapatkan dalam satu abad saja, maka ada 

alasan untuk optimistis. Para insinyur genetika belum lama ini 

berhasil memperbesar 6 kali lipat rata-rata harapan hidup cacing￾cacing Caenorhabditis elegans worms.12 Bisakah mereka lakukan 

hal yang sama untuk Homo sapiens? Para ahli nanoteknologi 

sedang mengembangkan sistem kekebalan bionik yang tersusun 

atas jutaan robot nano, yang akan menghuni tubuh-tubuh kita, 

membuka saluran-saluran darah yang terblokade, memerangi 

virus dan bakteri, mengeliminasi sel-sel kanker dan bahkan 

membalikkan proses-proses penuaan.13 Beberapa ahli yang serius 

mengemukakan bahwa pada 2050, sebagian manusia akan menjadi 

a-mortal (bukan imortal karena mereka tetap masih bisa mati 

akibat kecelakaan, sedangkan a-mortal berarti bahwa dengan 

absennya trauma fatal kehidupan mereka bisa diperpanjang tak 

terbatas).

Entah Proyek Gilgamesh berhasil atau tidak, dari perspektif 

sejarah, menarik untuk melihat bahwa sebagian besar agama 

dan ideologi modern-akhir sudah menempatkan kematian
dan kehidupan setelah mati di luar rumus persamaan. Sampai 

dengan abad ke-18, agama-agama memandang kematian dan 

kehidupan sesudahnya penting untuk memaknai kehidupan. 

Dimulai dari abad ke-18, agama-agama dan ideologi-ideologi 

seperti liberalisme, sosialisme, dan feminisme kehilangan minat 

pada kehidupan setelah mati. Apa, sih, sesungguhnya yang 

terjadi pada seorang komunis setelah dia mati? Apa yang terjadi 

pada seorang kapitalis? Apa yang terjadi pada seorang feminis? 

Tak ada gunanya mencari jawaban dalam tulisan Marx, Adam 

Smith, atau Simone de Beauvoir. Satu-satunya ideologi modern 

yang masih menempatkan kematian pada peran sentral adalah 

nasionalisme. Dalam momen-momennya yang lebih puitis dan 

putus asa, nasionalisme menjanjikan bahwa siapa pun yang mati 

demi negara akan hidup selamanya dalam kenangan kolektif. 

Namun, janji ini begitu membingungkan, yang bahkan orang 

paling nasionalis pun tidak benar-benar tahu seperti apa.

Cukongnya Sains

Kita kini hidup dalam abad teknik. Banyak orang yakin bahwa 

sains dan teknologi menyimpan jawaban untuk semua masalah 

kita. Kita cukup biarkan para ilmuwan dan teknisi melanjutkan 

pekerjaan mereka, dan mereka akan menciptakan surga di sini, 

di muka Bumi. Namun, sains bukanlah sebuah usaha yang 

berlangsung di atas suatu pesawat moral atau spiritual yang 

superior di atas aktivitas manusia lain. Seperti semua bagian 

dari kultur kita, ia dibentuk oleh kepentingan ekonomi, politik, 

dan keagamaan.

Sains adalah urusan yang sangat mahal. Seorang ahli 

biologi yang berusaha memahami sistem kekebalan manusia 

memerlukan laboratorium, tabung-tabung uji, bahan kimia, 

dan mikroskop elektron, belum lagi para asisten lab, tukang 

listrik, tukang ledeng, dan tukang bersih. Seorang ekonom yang 

berusaha membuat model pasar kredit harus membeli komputer, 

membuat bank-bank data raksasa, dan mengembangkan program￾program pemrosesan data yang rumit. Seorang arkeolog yang ingin memahami perilaku para pemburu-penjelajah kuno harus 

bepergian ke tempat-tempat yang jauh, menggali reruntuhan￾reruntuhan kuno dan menetapkan tahun fosil tulang belulang 

dan artefak-artefak. Semua itu butuh uang.

Dalam 500 tahun terakhir sains modern telah mencapai 

keajaiban-keajaiban terutama berkat kesediaan pemerintahan￾pemerintahan, bisnis-bisnis, dan yayasan-yayasan serta donor 

swasta untuk menyalurkan miliaran dolar ke riset saintifik. 

Miliaran dolar ini telah memberi jauh lebih banyak ketimbang 

yang diberikan oleh Galileo Galilei, Christopher Columbus, dan 

Charles Darwin. Seandainya orang-orang genius istimewa ini tidak 

pernah lahir, pengetahuan-pengetahuan mereka mungkin jatuh ke 

orang lain. Namun, jika pendanaan yang cukup tidak tersedia, 

tidak ada kehebatan intelektual yang bisa menggantikannya. 

Kalau saja Darwin tidak pernah dilahirkan, misalnya, kita 

kini merujukkan teori evolusi ke Alfred Russel Wallace, yang 

menyodorkan ide evolusi via seleksi alam yang independen dari 

Darwin dan hanya beberapa tahun sesudahnya. Namun, jika 

kekuatan-kekuatan Eropa tidak pernah mendanai riset geografis, 

zoologis, dan botanikal di seluruh dunia, Darwin maupun 

Wallace tidak akan memiliki data empiris yang dibutuhkan untuk 

mengembangkan teori evolusi. Bahkan, sangat mungkin mereka 

tidak pernah mencobanya.

Mengapa miliaran dolar itu mulai mengalir dari pundi-pundi 

pemerintahan dan bisnis ke lab-lab dan universitas-universitas? 

Dalam lingkaran akademis, banyak orang yang cukup naif untuk 

memercayai sains murni. Mereka percaya bahwa pemerintah dan 

bisnis secara altruis memberi mereka uang untuk melakukan apa 

pun proyek riset yang mereka gemari. Namun, ini hampir tidak 

dapat menggambarkan realitas pendanaan sains.

Sebagian besar studi saintifik didanai karena seseorang 

percaya studi-studi itu bisa membantu mencapai tujuan politik, 

ekonomi, atau keagamaan tertentu. Misalnya, pada abad ke-16, 

raja-raja dan para bankir menyalurkan sumber daya yang sangat 

besar untuk mendanai ekspedisi-ekspedisi geografi di seluruh 

dunia, tetapi tidak sepeser pun untuk mempelajari psikologi 

anak. Ini karena para raja dan para bankir menduga bahwa penemuan pengetahuan geografis baru akan memungkinkan 

mereka menaklukkan wilayah-wilayah baru dan mendirikan 

imperium-imperium dagang, sedangkan mereka tak melihat 

keuntungan apa pun dalam memahami psikologi anak.

Pada 1940-an, pemerintah Amerika Serikat dan Uni Soviet 

menyalurkan sumber daya yang sangat besar ke studi fisika nuklir, 

dibandingkan ke arkeologi bawah laut. Mereka menduga bahwa 

dengan mempelajari fisika nuklir mereka bisa mengembangkan 

senjata-senjata nuklir, sedangkan arkeologi bawah laut tak 

mungkin membantu mereka menang perang. Para ilmuwan sendiri 

kini tidak selalu menyadari kepentingan politik, ekonomi, dan 

keagamaan yang mengendalikan aliran uang; banyak ilmuwan, 

memang, yang bekerja atas dasar keingintahuan intelektual 

murni. Namun, jarang sekali ilmuwan yang mendiktekan agenda 

saintifik mereka.

Andaipun kita ingin mendanai sains murni yang tak ter￾pengaruh oleh kepentingan politik, ekonomi, atau keagamaan, 

itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Bagaimanapun, 

sumber daya-sumber daya kita terbatas. Mintalah seorang 

anggota kongres untuk mengalokasikan tambahan jutaan dolar 

ke National Science Foundation untuk riset dasar, dan dia akan 

bertanya dengan alasan kuat apakah uang itu tidak lebih baik 

digunakan buat pelatihan guru atau memberi keringanan pajak 

bagi pabrik yang kesulitan dalam distriknya. Untuk menyalurkan 

sumber daya terbatas kita harus menjawab pertanyaan semacam, 

“Apanya yang lebih penting?” dan “Apanya yang bagus?” Dan, 

pertanyaan-pertanyaan ini jelas bukan pertanyaan saintifik. 

Sains bisa menjelaskan apa yang eksis di dunia, bagaimana 

sesuatu bekerja, dan apa yang mungkin terjadi di masa depan. 

Berdasarkan definisi, ia tidak punya pretensi untuk tahu apa 

yang harus terjadi pada masa depan. Hanya agama dan ideologi 

yang mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Renungkanlah kerumitan berikut ini: dua ahli biologi dari 

departemen yang sama, memiliki kemampuan profesional yang 

sama, keduanya sudah mengajukan permohonan bantuan satu 

juta dolar untuk mendanai proyek riset mereka yang sedang 

berjalan. Profesor Slughorn ingin mempelajari sebuah penyakit 
yang menginfeksi ambing sapi, yang menyebabkan 10 persen 

penurunan produksi susu. Profesor Sprout ingin mempelajari 

apakah sapi-sapi mengalami sakit mental ketika mereka dipisahkan 

dari anak-anaknya. Dengan asumsi bahwa jumlah uang terbatas, 

dan bahwa tidak mungkin mendanai kedua proyek riset itu, 

mana yang harus didanai?

Tidak ada jawaban saintifik untuk pertanyaan ini. Hanya 

ada jawaban politis, ekonomis, dan religius. Dalam dunia masa 

kini, jelas bahwa Slughorn memiliki peluang yang lebih baik 

untuk mendapatkan uang. Bukan karena penyakit kambing secara 

saintifik lebih menarik ketimbang mentalitas sapi, tetapi karena 

industri susu, yang akan mendapatkan manfaat dari riset itu, 

memiliki pengaruh politis dan ekonomis lebih besar ketimbang 

lobi para aktivis hak-hak binatang.

Mungkin dalam satu masyarakat Hindu yang ketat, di mana 

sapi-sapi disakralkan, atau dalam masyarakat yang berkomitmen 

pada hak-hak binatang, Profesor Sprout-lah yang akan berpeluang 

lebih besar. Namun, sepanjang dia hidup dalam masyarakat yang 

lebih menghargai potensi komersial susu dan kesehatan untuk 

manusia-manusia penduduknya di atas perasaan sapi, maksimal 

dia bisa menyusun proposal riset yang sejalan dengan asumsi￾asumsi itu. Misalnya, dia mungkin akan menulis bahwa “Depresi 

menyebabkan penurunan produksi susu. Jika kita memahami 

dunia mental sapi-sapi perah, kita bisa mengembangkan medikasi 

psikiatris yang akan memperbaiki kondisi mental mereka sehingga 

meningkatkan produksi susu sampai 10 persen. Saya menaksir 

bahwa ada nilai pasar global tahunan sebesar $250 juta untuk 

medikasi psikiatris sapi”.

Sains tidak bisa menentukan prioritasnya sendiri. Ia juga tidak 

mampu menentukan apa yang harus dilakukan dengan penemuan￾penemuannya. Misalnya, dari sudut pandang yang murni saintifik 

tidak jelas apa yang harus kita lakukan dengan meningkatnya 

pemahaman tentang genetika. Apakah kita harus menggunakan 

pengetahuan ini untuk mengobati kanker atau menciptakan 

ras yang secara genetik direkayasa menjadi manusia-manusia 

super, atau merekayasa sapi-sapi perah dengan ambing-ambing 

berukuran super? Jelas bahwa pemerintah liberal, pemerintahan Komunis, pemeritanah Nazi, dan korporasi bisnis kapitalis akan 

menggunakan penemuan saintifik yang sama untuk tujuan-tujuan 

yang sama sekali berbeda, dan tidak ada alasan saintifik untuk 

memilih satu di antara penggunaan-penggunaan itu.

Singkatnya, riset saintifik hanya bisa berkembang dalam 

aliansi dengan agama atau ideologi. Ideologi menjustifikasi biaya 

riset. Sebagai imbalan, ideologi memengaruhi agenda saintifik 

dan menentukan apa yang harus dilakukan dengan penemuan￾penemuan itu. Oleh karenanya, dalam memahami bagaimana 

manusia meneliti Alamogordo dan Bulan—ketimbang tujuan￾tujuan alternatif lain mana pun—tidak cukup dengan mensurvei 

pencapaian-pencapaian para ahli fisika, biologi, dan sosiologi. 

Kita harus mempertimbangkan kekuatan ideologis, politis, dan 

ekonomis yang membentuk fisika, biologi, sosiologi, dengan 

mendorongnya ke arah-arah tertentu seraya mengabaikan yang 

lain.

Ada dua kekuatan yang benar-benar pantas untuk kita 

perhatikan: imperialisme dan kapitalisme. Celah umpan balik 

antara sains, imperium, dan modal telah menjadi mesin utama 

sejarah selama 500 tahun terakhir ini. Bab-bab selanjutnya akan 

menganalisis bagaimana prosesnya. Pertama, kita akan melihat 

bagaimana turbin kembar sains dan imperium saling mengunci, 

dan kemudian menelisik bagaimana keduanya menyangkut ke 

pompa uang kapitalisme.
Berapa jauh Matahari dari Bumi? Ini sebuah pertanyaan yang 

mengusik banyak astronom modern awal, terutama setelah 

Copernicus mengemukakan bahwa Matahari, bukan Bumi, terletak 

di pusat alam semesta. Sejumlah astronom dan matematikawan 

berusaha mengalkulasi jaraknya, tetapi metode mereka membawa 

hasil yang sangat beragam. Satu alat tepercaya untuk melakukan 

pengukuran itu akhirnya diajukan pada pertengahan abad ke-18. 

Setiap beberapa tahun, Planet Venus melintas langsung antara 

Matahari dan Bumi. Durasi pelintasan berbeda ketika dilihat 

dari titik jauh di atas permukaan Bumi karena perbedaan kecil 

sudut yang digunakan pemantau untuk melihatnya. Jika beberapa 

observasi terhadap pelintasan yang sama dilakukan dari kontinen 

yang berbeda, cukup trigonometri sederhana yang dibutuhkan 

untuk mengalkulasi jarak pasti dari Matahari.

Para astronom meramalkan bahwa pelintasan-pelintasan Venus 

berikutnya akan terjadi pada 1761 dan 1769. Maka, ekspedisi￾ekspedisi dikirim dari Eropa ke empat sudut dunia dalam rangka 

mengobservasi pelintasan-pelintasan tersebut dari sebanyak 

mungkin titik jauh. Pada 1761, para ilmuwan mengobservasi 

pelintasan dari Siberia, Amerika Utara, Madagaskar, dan Afrika 

Selatan. Ketika pelintasan mendekat pada 1769, komunitas 

saintifik Eropa meningkatkan upayanya, dan para ilmuwan 

dikirim sampai sejauh Kanada utara dan California (yang saat 

itu masih hutan belantara). Royal Society of London for the 

Improvement of Natural Knowledge menyimpulkan bahwa itu 

tidak cukup. Untuk mendapatkan hasil yang paling akurat, maka 
wajib untuk mengirim seorang astronom ke Samudra Pasifik 

bagian barat daya.

Royal Society mantap mengirim seorang astronom terkemuka, 

Charles Green, ke Tahiti, dan menyiapkan apa pun dan berapa pun 

uang yang dibutuhkan. Namun, karena menyangkut pendanaan 

ekspedisi yang begitu mahal, sulit dibayangkan pendanaan itu 

digunakan hanya untuk sebuah observasi astronomi tunggal. 

Oleh karena itu, Green ditemani satu tim 8 ilmuwan dari 

beberapa disiplin, yang dipimpin 2 ahli tanaman Joseph Banks 

dan Daniel Solander. Dalam tim juga ada seniman-seniman yang 

ditugasi menghasilkan lukisan lahan-lahan baru, tumbuhannya, 

binatangnya, dan orang-orangnya, yang tentu saja bakal ditemui 

para ilmuwan. Dilengkapi dengan alat-alat saintifik yang paling 

maju yang bisa dibeli Banks dan Royal Society, ekspedisi itu 

berada di bawah komando Kapten James Cook, seorang pelaut 

berpengalaman, yang juga seorang ahli Ilmu Bumi dan etnografi 

yang mumpuni.

Ekspedisi bertolak dari Inggris pada 1768, mengobservasi 

pelintasan Venus dari Tahiti pada 1769, mengintai beberapa pulau 

Pasifik, mengunjungi Australia dan Selandia Baru, dan kembali 

ke Inggris pada 1771. Ekspedisi itu membawa pulang data 

dalam jumlah besar di bidang astronomi, geografi, meteorologi, 

botani, zoologi, dan antropologi. Temuan-temuannya memberi 

kontribusi besar bagi sejumlah disiplin, memicu imajinasi bangsa 

Eropa dengan cerita-cerita menakjubkan tentang Pasifik Selatan, 

dan menginspirasi generasi-generasi masa depan ahli ilmu alam 

dan astronomi. Salah satu bidang yang mendapat manfaat dari 

ekspedisi Cook adalah kedokteran. Pada masa itu, kapal-kapal 

yang berlayar ke daratan-daratan yang jauh tahu bahwa lebih 

dari setengah anggota awak mereka akan mati dalam perjalanan. 

Siksaannya bukan berupa penduduk pribumi yang marah, kapal￾kapal musuh atau rindu kampung halaman, melainkan sebuah 

penyakit misterius yang disebut scurvy*

. Kaum pria yang terjangkit 

penyakit itu menjadi lesu dan tertekan, dan gusi serta bagian￾bagian daging lain mereka berdarah. Saat penyakit berkembang, gigi mereka rontok, luka-luka muncul dan mereka demam, tubuh 

menguning, dan kehilangan kontrol keseimbangan. Antara abad 

ke-16 sampai abad ke-18, scurvy diperkirakan menewaskan 

sekitar dua juta pelaut. Tak seorang pun tahu penyebabnya, dan 

apa pun pengobatan yang dicoba, para pelaut terus berguguran. 

Titik baliknya terjadi pada 1747, ketika seorang dokter Inggris, 

James Lind, melakukan eksperimen terkontrol kepada para pelaut 

yang menderita penyakit tersebut. Dia membagi mereka dalam 

beberapa kelompok dan memberi tiap-tiap kelompok perawatan 

yang berbeda-beda. Salah satu kelompok uji disuruh makan buah 

jeruk, obat rakyat yang umum untuk scurvy. Para pasien dalam 

kelompok ini cepat membaik. Lind tidak tahu apa kandungan 

buah jeruk yang tidak dimiliki tubuh para pelaut, tetapi kini 

kita tahu bahwa itu adalah vitamin C. Muatan bekal makanan 

dalam kapal yang umum pada waktu itu tampaknya kurang 

zat-zat yang kaya akan nutrisi esensial ini. Dalam perjalanan￾perjalanan jarak jauh para pelaut biasanya hidup dengan biskuit 

dan dendeng sapi, dan hampir tidak makan buah atau sayur.

Angkatan Laut Kerajaan tak yakin dengan eksperimen Lind, 

tetapi James Cook percaya. Dia mantap untuk membuktikan 

bahwa dokter itu benar. Dia memuat ke kapalnya asinan kubis 

dalam jumlah besar dan memerintahkan para pelautnya makan 

banyak buah-buahan dan sayur-sayuran segar setiap kali ekspedisi 

bertolak. Dan, Cook tidak kehilangan seorang pelaut pun akibat 

scurvy. Dalam beberapa dekade kemudian, semua angkatan laut 

dunia mengadopsi diet laut Cook, dan tak terhitung nyawa 

pelaut dan penumpang terselamatkan.1

Meskipun demikian, ekspedisi Cook membawa hasil lain yang 

jauh lebih mengenaskan. Cook bukan hanya seorang pelaut dan 

ahli Ilmu Bumi berpengalaman, melainkan juga seorang perwira 

angkatan laut. Royal Society memang mendanai banyak bagian 

dari biaya ekspedisi, tetapi kapal itu sendiri disediakan oleh 

Angkatan Laut Kerajaan.

Angkatan Laut juga memperbantukan 85 pelaut dan marinir 

dengan persenjataan bagus, dan memper lengkapi kapal dengan 

artileri, senapan, bubuk mesiu, dan persenjataan lain. Banyak 

informasi yang dikumpulkan oleh ekspedisi itu—terutama 
data astronomi, geografi, meteorologi, dan antropologi—jelas 

memiliki nilai politis dan militer. Penemuan perawatan efektif 

untuk scurvy memberi kontribusi besar bagi kontrol Inggris atas 

lautan dunia dan kemampuannya mengirim angkatan perang ke 

sisi lain dunia. Cook mendapatkan banyak pulau dan daratan 

untuk Inggris, terutama Australia. Ekspedisi Cook meletakkan 

fondasi bagi pendudukan Inggris atas Samudra Pasifik barat 

daya; penaklukan Australia, Tasmania, dan Selandia Baru; dan 

pembasmian kultur-kultur pribumi mereka dan sebagian besar 

populasi pribumi mereka.2

Pada abad sesudah ekspedisi Cook, lahan-lahan paling subur 

Australia dan Selandia Baru direbut dari penghuni asalnya oleh 

para pemukim Eropa. Populasi pribumi turun sampai 90 persen 

dan yang selamat menjadi sasaran penindasan rasial rezim yang 

kejam. Bagi Aborigin Australia dan Maori Selandia Baru, ekspedisi 

Cook adalah awal dari bencana, yang membuat mereka tak 

pernah bisa pulih seperti sediakala.

Nasib lebih buruk menimpa pribumi Tasmania. Setelah 10.000 

tahun selamat dalam isolasi nan megah, mereka benar-benar 

tersapu, sampai laki-laki, perempuan, dan anak terakhir, dalam 

satu abad kedatangan Cook. Para pemukim Eropa pertama￾tama mendesak mereka keluar dari daerah-daerah paling kaya 

di pulau tersebut, dan kemudian, bahkan tergiur oleh belantara 

yang tersisa, memburu dan membunuh mereka secara sistematis. 

Beberapa orang yang selamat diarak menuju kamp konsentrasi 

evangelis. Di sana, para misionaris yang punya maksud baik 

tetapi kurang terbuka pikirannya, berusaha mengindoktrinasi 

mereka dengan cara-cara dunia modern. Orang-orang Tasmania 

diajari membaca dan menulis, agama Kristen, dan berbagai 

“keterampilan produktif” seperti menjahit baju dan berladang. 

Namun, mereka menolak untuk belajar. Mereka bahkan menjadi 

semakin melankolis, berhenti punya anak, kehilangan minat pada 

kehidupan, dan akhirnya memilih satu-satunya rute untuk lari 

dari dunia sains dan kemajuan modern—kematian.

Sayang, sains dan kemajuan mengejar mereka bahkan sampai 

ke liang lahat. Mayat-mayat orang Tasmania terakhir direbut 
atas nama sains oleh para antropolog dan kurator. Mereka 

dibedah, ditimbang, dan diukur, serta dianalisis dalam artikel￾artikel yang dipelajari. Tengkorak-tengkorak dan tulang belulang 

kemudian dipajang di museum-museum dan koleksi-koleksi 

antropologi. Baru pada 1976 Museum Tasmania menyerahkan 

pemakaman tulang-tulang Truganini, pribumi Tasmania terakhir, 

yang meninggal 100 tahun sebelumnya. Sekolah Tinggi Operasi 

Kerajaan Inggris menyimpan sampel-sampel kulit dan rambutnya 

sampai 2002.

Apakah kapal Cook merupakan ekspedisi saintifik yang 

dilindungi kekuatan militer atau ekspedisi militer dengan 

mengikutsertakan sejumlah ilmuwan? Itu sama saja seperti 

bertanya apakah tangki bahan bakar Anda setengah penuh 

atau setengah kosong. Dua-duanya benar. Revolusi Saintifik 

dan imperialisme modern tak terpisahkan. Orang-orang seperti 

Kapten James Cook dan ahli tumbuhan Joseph Banks hampir tak 

bisa membedakan sains dari imperium. Demikian pula Truganini 

yang malang.

Mengapa Eropa?

Fakta bahwa orang-orang dari sebuah pulau besar di Atlantik 

utara menaklukkan sebuah pulau besar di sebelah selatan Australia 

adalah sebuah kejadian yang lebih aneh dalam sejarah. Tak lama 

sebelum ekspedisi Cook, pulau-pulau Inggris dan Eropa barat 

secara umum adalah perairan belakang dunia Mediterania nan 

jauh. Sedikit hal yang berarti terjadi di sana. Bahkan, Imperium 

Romawi—satu-satunya imperium Eropa pramodern—memperoleh 

sebagian besar kekayaannya dari provinsi-provinsi Afrika Utara, 

Balkan, dan Timur Tengah. Provinsi-provinsi Eropa barat Romawi 

adalah sebuah Wild West miskin, yang berkontribusi sedikit, selain 

dari mineral dan budak. Eropa utara juga begitu terpencil dan 

barbar sehingga tak cukup layak untuk ditaklukkan.

Baru pada akhir abad ke-15, Eropa menjadi sebuah arena 

panas yang penting bagi perkembangan-perkembangan militer, 
politik, ekonomi, dan kultural. Antara tahun 1500 sampai 

1750, Eropa barat mendapatkan momentum dan menjadi tuan 

bagi “Dunia Luar”, yang berarti dua kontinen Amerika dan 

samudranya. Meskipun demikian, pada masa itu bahkan Eropa 

bukan tandingan bagi kekuatan-kekuatan besar Asia. Orang￾orang Eropa berhasil menaklukkan Amerika dan mendapatkan 

supremasi di laut, terutama karena kekuatan-kekuatan Asiatik 

menunjukkan minat kecil padanya. Era modern awal adalah 

masa keemasan Imperium Ottoman di Mediterania, Imperium 

Safavid di Persia, Imperium Mughal di India, serta Dinasti Ming 

dan Qing China. Mereka memperluas teritori secara signifikan 

dan menikmati pertumbuhan demografis dan ekonomis yang 

belum ada presedennya. Pada 1775, Asia menyumbang 80 

persen ekonomi dunia. Ekonomi gabungan India dan China saja menyumbang dua pertiga produksi global. Jika dibandingkan, 

Eropa waktu itu adalah cebol.3

Pusat kekuatan dunia baru beralih ke Eropa pada masa 

antara tahun 1750 sampai 1850, ketika Eropa mempermalukan 

kekuatan-kekuatan Asia dalam serangkaian perang dan 

menaklukkan bagian-bagian besar Asia. Sampai tahun 1900 

orang-orang Eropa dengan kokoh menguasai ekonomi dunia dan 

sebagian besar teritorinya. Pada 1950, Eropa Barat dan Amerika 

Serikat bersama-sama menyumbang lebih dari setengah produksi 

global, sedangkan porsi China terpangkas menjadi 5 persen.4

Di bawah pengawasan Eropa, sebuah tatanan global dan kultur 

global baru muncul. Kini seluruh manusia, pada ukuran yang 

lebih besar dari yang mereka biasa akui, adalah Eropa dalam 

hal pakaian, pemikiran, dan citarasa. Mereka mungkin gigih 

anti-Eropa dalam retorika, tetapi hampir setiap orang di muka 

Planet Bumi ini memandang politik, kedokteran, perang, dan 

ekonomi dengan mata Eropa, mendengarkan musik yang ditulis 

dalam gaya Eropa dengan kata-kata dari bahasa-bahasa Eropa. 

Bahkan, ekonomi China yang kini berkembang, yang mungkin 

segera meraih kembali keunggulan globalnya, dibangun dengan 

model produksi dan keuangan Eropa.

Bagaimana orang-orang berjemari kaku dari Eurasia ini 

berhasil mencuat dari sudut terpencil Bumi dan menaklukkan 

seluruh dunia? Para ilmuwan Eropa-lah yang sering mendapat 

pujian. Tak terbantahkan bahwa sejak 1850 dan seterusnya 

dominasi Eropa bertumpu terutama pada jalinan militer-industri￾sains dan keunggulan teknologikal. Seluruh imperium yang 

berhasil pada abad modern akhir menggalang riset saintifik 

dengan harapan panen inovasi-inovasi teknologi, dan banyak 

ilmuwan menghabiskan sebagian besar waktu kerja mereka 

pada senjata, kedokteran, dan mesin-mesin untuk tuan-tuan 

imperium mereka. Ungkapan umum di kalangan para tentara 

Eropa yang menghadapi musuh-musuh Afrika adalah, “Majulah 

dengan apa pun, kami punya senapan mesin, dan mereka tidak.” 

Teknologi-teknologi sipil tak kalah pentingnya. Makanan￾makanan kalengan mengenyangkan tentara, rel kereta api dan 

kapal uap mengangkut tentara dan bekal mereka, sementara satu 
gudang baru obat-obatan mengobati tentara, pelaut, dan para 

insinyur lokomotif. Kemajuan-kemajuan logistik ini memainkan 

peran yang lebih signifikan dalam penaklukan Eropa atas Afrika 

ketimbang senapan mesin.

Akan tetapi, keadaannya tidak demikian sebelum 1850. 

Persekutuan militer-industri-sains masih bayi; buah-buah teknologi 

dari Revolusi Saintifik belum matang; dan jurang teknologi 

antara kekuatan Eropa, Asiatik, dan Afrika masih kecil. Pada 

1770, James Cook sudah pasti memiliki teknologi yang jauh 

lebih bagus ketimbang Aborigin Australia, tetapi demikian pula 

China dan Ottoman. Mengapa kemudian Austrila dieksplorasi dan 

dikolonisasi oleh Kapten James Cook, dan bukan oleh Kapten 

Wan Zhengse atau kapten Hussein Pasha? Lebih penting lagi, jika 

pada 1770 orang-orang Eropa tak punya keunggulan teknologi 

yang signifikan atas Muslim, India, dan China, bagaimana 

mungkin mereka berhasil dalam abad berikutnya membuka jurang 

pemisah antara mereka dan kekuatan lain di dunia?

Mengapa persekutuan militer-industri-sains mekar di Eropa, 

dan bukan di India? Ketika Inggris melompat maju, mengapa 

Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat dengan cepat menyusul, 

sedangkan China tertinggal di belakang? Ketika gap antara 

bangsa-bangsa industri dan non-industri menjadi sebuah faktor 

ekonomi dan politik yang jelas, mengapa Rusia, Italia, dan Austria 

berhasil mendekatinya, sedangkan Persia, Mesir, dan Imperium 

Ottoman gagal? Lagi pula, teknologi dari gelombang industri 

pertama relatif sederhana. Apakah terlalu berat bagi China atau 

Ottoman untuk merancang mesin uap, membuat senapan mesin, 

dan memasang rel kereta api?

Kereta api komersial pertama di dunia terbuka untuk bisnis 

pada 1830, di Inggris. Pada 1850, negara-negara Barat dibelah￾belah oleh hampir 40.000 kilometer jalur kereta api—tetapi 

di seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin hanya ada 4.000 

kilometer jalur. Pada 1880, Barat memasang lagi jumlahnya 

menjadi lebih dari 350.000 kilometer jalur kereta api (dan 

sebagian besar ini buat oleh Inggris di India).5

 Rel kereta api 

pertama di China baru dibuka pada 1876. Panjangnya 25 

kilometer dan dibangun oleh orang-orang Eropa—pemerintah China menghancurkannya setahun kemudian. Pada 1880, 

Imperium China tidak mengoperasikan satu pun rel kereta api. 

Rel kereta api pertama di Persia baru dibangun pada 1888, 

dan rel itu menghubungkan Teheran dengan sebuah situs suci 

Muslim sekitar 10 kilometer di sebelah selatan ibu kota. Rel 

itu dibangun dan dioperasikan oleh sebuah perusahaan Belgia. 

Pada 1950, total jaringan rel kereta api di Persia masih teramat 

kecil, 2.500 kilometer, di sebuah negara dengan ukuran tujuh 

kali luas Inggris.6

China dan Persia tidak kekurangan penemuan teknologi 

semacam mesin uap (yang bisa dengan bebas ditiru atau dibeli). 

Mereka tak punya nilai-nilai, mitos-mitos, perangkat yudisial, 

dan struktur sosiopolitik yang butuh waktu berabad-abad untuk 

terbentuk dan matang di Barat dan yang tidak bisa ditiru dan 

diinternalisasi secara cepat. Prancis dan Amerika Serikat dengan 

cepat mengikuti jejak Inggris karena Prancis dan Amerika sudah 

memiliki mitos-mitos paling penting yang sama dengan mitos￾mitos serta struktur-struktur sosial Inggris. China dan Persia 

tidak bisa mengejar dengan cepat karena mereka memandang 

dan mengorganisasi masyarakat mereka secara berbeda.

Penjelasan ini membuka pemahaman baru tentang periode 

dari 1500 sampai 1850. Pada era ini Eropa tidak memiliki 

keunggulan yang jelas di bidang teknologi, politik, militer, 

atau ekonomi atas kekuatan-kekuatan Asia, tetapi kontinen 

itu membangun sebuah potensi unik, yang maknanya tiba-tiba 

menjadi jelas sekitar 1850. Kesetaraan yang jelas antara dunia 

Eropa, China, dan Muslim pada 1750 sesunggunya hanyalah 

khayalan belaka. Bayangkan dua tukang bangunan, masing￾masing sibuk membangun menara yang sangat tinggi. Satu 

tukang bangunan menggunakan kayu dan batu bata tanah liat, 

sedangkan yang lain menggunakan baja dan beton. Mula-mula 

tampak bahwa tidak banyak perbedaan antara kedua metode 

itu karena kedua menara tumbuh dengan kecepatan sama dan 

mencapai ketinggian yang sama. Namun, begitu ambang batasnya 

terlampaui, kayu dan batu bata tanah liat tidak bisa menahan 

beban dan runtuh, sedangkan menara baja dan beton tumbuh 

lantai demi lantai, sejauh mata bisa melihat.

Potensi apa yang dikembangkan Eropa pada periode modern 

awal sehingga memungkinkannya mendominasi dunia modern 

akhir? Ada dua jawaban yang saling melengkapi untuk pertanyaan 

ini: sains modern dan kapitalisme. Bangsa Eropa biasa berpikir 

dan berperilaku dalam cara saintifik dan kapitalis, bahkan sebelum 

mereka menikmati keunggulan-keunggulan teknologi signifikan 

yang mana pun. Ketika bonanza teknologi dimulai, bangsa Eropa 

bisa memanfaatkannya jauh lebih bagus ketimbang bangsa lain 

mana pun. Jadi, sulit untuk disebut sebagai kebetulan bahwa 

sains dan kapitalisme membentuk warisan paling penting yang 

diwariskan imperialisme Eropa ke dunia pos-Eropa abad ke-21. 

Eropa dan bangsa Eropa tidak lagi menguasai dunia, tetapi sains 

dan modal tumbuh semakin kuat. Kemenangan-kemenangan 

kapitalisme diulas dalam bab sesudah ini. Bab ini dikhususkan 

untuk kisah cinta antara imperialisme Eropa dan sains modern. 

Mentalitas Penakluk

Sains modern tumbuh subur berkat imperium-imperium Eropa. 

Disiplin ini jelas berutang sangat besar pada tradisi-tradisi saintifik 

kuno, seperti Yunani, China, India, dan Islam kuno, tetapi 

karakter uniknya mulai terbentuk baru pada awal periode modern, 

bergandeng tangan dengan ekspansi Spanyol, Portugal, Inggris, 

Prancis, Rusia, dan Belanda. Dalam periode modern awal, bangsa 

China, India, Muslim, Pribumi Amerika, dan Polynesia terus 

memberi kontribusi penting bagi Revolusi Saintifik. Pandangan￾pandangan mendalam para ekonom Muslim dipelajari oleh Adam 

Smith dan Karl Marx, perawatan-perawatan yang dipelopori 

oleh para dokter Pribumi Amerika menemukan jalan memasuki 

naskah-naskah medis Inggris dan data yang diserap dari para 

informan Polynesia merevolusi antropologi Barat. Namun, sampai 

dengan pertengahan abad ke-20, orang-orang yang meramu 

begitu banyak penemuan saintifik, untuk menciptakan disiplin￾disiplin saintifik dalam proses itu, adalah kaum elite berkuasa 

dan intelektual dari imperium-imperium global Eropa. Timur 

jauh dan dunia Islam menghasilkan pikiran-pikiran sepintar dan 
segesit orang Eropa. Namun, antara tahun 1500 sampai 1950 

mereka tidak menghasilkan apa pun yang bahkan mendekati 

penemuan fisika Newton atau biologi Darwinian.

Ini tidak berarti bahwa bangsa Eropa memiliki gen unik untuk 

sains, atau bahwa mereka akan selamanya mendominasi studi 

fisika dan biologi. Sebagaimana Islam memulai sebagai sebuah 

monopoli bangsa Arab, tetapi kemudian diambil alih oleh orang 

Turki dan Persia, demikian pula sains bermula sebagai keahlian 

Eropa, tetapi kini menjadi suatu ikhtiar multi-etnis.

Apa yang menyatukan ikatan historis antara sains modern 

dan imperialisme Eropa? Teknologi adalah sebuah faktor penting 

pada abad ke-19 dan k-20, tetapi pada era modern awal, ia 

memiliki makna yang terbatas. Faktor kuncinya adalah bahwa 

para ahli botani pencari tumbuhan dan perwira laut pencari 

koloni memiliki jalan pikiran yang serupa. Baik ilmuwan maupun 

penakluk memulai dengan pengakuan ketidaktahuan—mereka 

sama-sama mengatakan “Saya tidak tahu apa yang ada di luar 

sana”. Mereka sama-sama merasa tergugah untuk pergi keluar 

dan menghasilkan penemuan-penemuan baru. Dan, mereka 

sama-sama berharap pengetahuan baru yang diperoleh akan 

menjadikan mereka penguasa dunia.

Imperialisme Eropa sama sekali tidak seperti semua proyek 

imperium lain dalam sejarah. Para pembangun imperium 

sebelumnya cenderung berasumsi bahwa mereka sudah memahami 

dunia. Penaklukan semata-mata memanfaatkan dan menyebarkan 

pandangan mereka tentang dunia. Bangsa Arab, sebagai contoh, 

tidak menaklukkan Mesir, Spanyol, atau India dalam rangka 

menemukan sesuatu yang mereka tidak tahu. Bangsa Romawi, 

Mongolia, dan Aztec dengan rakus menaklukkan tanah-tanah baru 

untuk mencari kekuasaan dan kekayaan—bukan pengetahuan. 

Sebaliknya, para imperialis Eropa bertolak menuju daratan￾daratan jauh dengan harapan mendapatkan pengetahuan baru 

yang ada di teritori-teritori baru.

James Cook bukan penjelajah pertama yang berpikir 

demikian. Para pelancong Portugis dan Spanyol abad ke-15 

dan ke-16 sudah melakukan. Pangeran Henry Sang Navigator 

dan Vasco da Gama mengeksplorasi pesisir-pesisir Afrika dan, 
sambil melakukan itu, merebut kontrol atas pulau-pulau dan 

pelabuhan-pelabuhan. Christopher Columbus “menemukan” 

Amerika dan langsung mengklaim kedaulatan atas tanah-tanah 

baru itu untuk raja-raja Spanyol. Ferdinand Magellan menemukan 

jalan ke seluruh dunia, dan secara simultan meletakkan fondasi 

bagi penaklukan Filipina.

Seiring berlalunya waktu, penaklukan pengetahuan dan 

penaklukan teritori menjadi semakin erat terjalin. Pada abad ke-18 

dan ke-19, hampir setiap ekspedisi militer penting yang bertolak 

dari Eropa ke tanah-tanah jauh membawa serta, dalam kapal-kapal 

mereka, para ilmuwan yang tidak ditujukan untuk berperang, 

tetapi untuk menghasilkan penemuan-penemuan saintifik. Ketika 

Napoleon menginvasi Mesir pada 1798, dia membawa 165 ahli 

bersamanya. Di antaranya, mereka mendirikan disiplin yang 

baru sama sekali, Egyptologi, dan memberi kontribusi-kontribusi 

penting bagi studi agama, linguistik, dan botani.

Pada 1831, Angkatan Laut Kerajaan mengirim kapal 

HMS Beagle untuk memetakan pesisir-pesisir Amerika Latin, 

Kepulauan Falkland, dan Kepulauan Galapagos. Angkatan Laut 

itu membutuhkan pengetahuan dalam rangka membangun 

persiapan yang lebih baik guna menghadapi peperangan. 

Kapten kapal, yang seorang ilmuwan amatir, memutuskan 

untuk menambahkan seorang geolog dalam ekspedisi untuk 

mempelajari formasi-formasi geologis yang mungkin mereka 

temukan dalam perjalanan. Setelah beberapa geolog menolak 

undangannya, kapten menawarkan pekerjaan itu kepada seorang 

lulusan Cambridge berusia 22 tahun, Charles Darwin. Darwin 

sudah belajar untuk menjadi seorang pendeta Anglican, tetapi 

jauh lebih tertarik dengan geologi dan ilmu alam ketimbang 

Injil. Dia langsung meraih kesempatan itu, dan selebihnya adalah 

sejarah. Kapten menghabiskan waktu dalam perjalanan untuk 

menggambar peta-peta militer sementara Darwin mengumpulkan 

data-data empiris dan memformulasi pandangan-pandangan yang 

kelak menjadi teori evolusi.

Pada 20 Juli 1969, Neil Amstron dan Buzz Aldrin mendarat di 

permukaan Bulan. Dalam bulan-bulan menuju ekspedisi mereka, 
para astronot Apollo 11 berlatih di sebuah gurun terpencil 

mirip Bulan di Amerika Serikat bagian barat. Area itu adalah 

wilayah beberapa komunitas pribumi Amerika, dan terbetiklah 

kisah—atau legenda—yang menggambarkan pertemuan antara 

para astronot dan salah satu penduduk lokal.

Suatu hari saat latihan, para astronot berpapasan dengan 

seorang tua Pribumi Amerika. Laki-laki itu bertanya kepada 

mereka, apa yang sedang mereka lakukan di sana. Mereka 

menjawab bahwa mereka adalah bagian dari ekspedisi riset yang 

akan segera bepergian untuk mengeksplorasi Bulan. Mendengar 

jawaban tersebut, laki-laki itu terdiam selama beberapa saat, 

dan kemudian menanyakan apakah para astronot itu bisa 

membantunya.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya mereka.

“Ya, masyarakat suku kami percaya bahwa para arwah suci 

hidup di Bulan. Saya berharp Anda bisa menyampaikan sebuah 

pesan penting kepada mereka dari masyarakat saya,” kata laki￾laki itu.

“Apa pesannya?” tanya para astronot.

Pria itu menggumamkan sesuatu dalam bahasa sukunya, 

kemudian meminta para astronot mengulanginya lagi dan lagi 

sampai mereka bisa menghafal dengan benar.

“Apa artinya itu?” tanya para astronot.

“Oh, saya tidak bisa beri tahu kalian. Itu rahasia yang hanya 

boleh diketahui oleh suku kami dan para arwah di Bulan.”

Kembali ke pangkalan mereka, para astronot mencari dan 

terus mencari sampai mereka menemukan seseorang yang 

mengerti bahasa suku itu, dan memintanya untuk menerjemahkan 

pesan rahasia tersebut. Ketika mereka mengulangi apa yang 

telah mereka hafalkan, penerjemah itu mulai tertawa terbahak￾bahak. Ketika tawanya sudah reda, para astronot itu bertanya 

apa artinya. Orang itu menjelaskan bahwa kalimat yang mereka 

hafalkan begitu hati-hati tersebut berarti, ‘Jangan percaya satu 

kata pun yang dikatakan orang-orang ini kepadamu. Mereka 

datang untuk mencuri tanah-tanahmu’.

Mentalitas “penjelajah dan penakluk” tergambar dengan baik 

oleh perkembangan peta-peta dunia. Banyak kultur menggambar 

peta dunia jauh sebelum abad modern. Jelas, tak ada dari 

kultur-kultur itu yang benar-benar tahu keseluruhan dunia. Tak 

ada kultur Afro-Asia yang tahu tentang Amerika, dan tak ada 

kultur Amerika yang tahu tentang Afro-Asia. Namun, area-area 

tak dikenal ditinggalkan begitu saja, atau dihuni oleh monster￾monster dan keajaiban-keajaiban imajiner. Peta-peta ini tidak 

punya ruang kosong. Mereka memberi kesan tentang pengenalan 

seluruh dunia.

Pada abad ke-15 dan ke-16, bangsa Eropa mulai menggambar 

peta-peta yang hilang ruang-ruang kosong itu—satu indikasi 

dari perkembangan pola pikir saintifik, di samping dorongan 

imperium Eropa. Peta-peta kosong adalah terobosan psikologis 

dan ideologis, pengakuan yang jelas bahwa bangsa Eropa tidak 

tahu tentang bagian-bagian besar dunia.

Titik balik penting terjadi pada 1492, ketika Christopher 

Columbus berlayar ke barat dari Spanyol, mencari rute baru ke 

Asia Timur. Columbus masih percaya pada peta-peta dunia lama 

“yang lengkap”. Dengan menggunakan peta-peta itu, Columbus 

mengalkulasi bahwa Jepang seharusnya terletak sekitar 7.000 

kilometer sebelah barat Spanyol. Faktanya, lebih dari 20.000 

kilometer dan sebuah kontinen utuh tak dikenal memisahkan 

Asia Timur dari Spanyol. Pada 12 Oktober 1492, sekitar pukul 

2.00 dini hari, ekspedisi Columbus terhadang oleh kontinen 

tak dikenal itu. Juan Rodriguez Bermejo, yang memandang dari 

tiang kapal Pinta, melihat sebuah pulau yang sekarang kita sebut 

Bahama, dan berteriak “Daratan! Daratan!” 

Columbus percaya dia sudah mencapai sebuah pulau kecil 

dekat pesisir Asia Timur. Dia menyebut orang yang dia temukan 

di sana sebagai orang Hindia karena mengira telah mendarat di 

Hindia—yang sekarang kita sebut Hindia Timur atau Kepulauan 

Indonesia. Columbus terjebak dalam kekeliruan ini sampai akhir 

hayatnya. Ide bahwa dia menemukan banyak kontinen tak dikenal 

tak terbayangkan olehnya dan oleh banyak orang dari generasinya. 

Selama ribuan tahun, tidak hanya para pemikir dan ahli terbesar, 

tetapi juga kitab-kitab suci, yang hanya tahu Eropa, Afrika, dan 

Asia. Bagaimana mungkin mereka bisa salah? Bagaimana mungkin 

Injil luput mengetahui setengah dunia? Itu seolah-olah pada 1969, 

dalam perjalanan ke Bulan, Apollo 11 menabrak sebuah Bulan 

tak dikenal sampai kini yang mengelilingi Matahari, yang gagal 

dilihat oleh seluruh observasi sebelumnya. Dalam penolakannya 

untuk mengakui ketidaktahuannya, Columbus tetaplah seorang 

manusia abad pertengahan. Dia yakin dia tahu seluruh dunia, 

dan bahkan penemuan pentingnya gagal meyakinkan dia untuk 
mengakui hal yang sebaliknya. Orang modern pertama adalah 

Amerigo Vespucci, seorang pelaut Italia yang ikut ambil bagian 

dalam beberapa ekspedisi ke Amerika pada 1499 sampai 1504. 

Antara 1502 sampai 1504, dua teks yang menjelaskan ekspedisi￾ekspedisi ini diterbitkan di Eropa. Keduanya teratribusi ke nama 

Vespucci. Keduanya mengemukakan bahwa tanah-tanah baru yang 

ditemukan oleh Columbus bukanlah kepulauan lepas pantai Asia 

Timur, melainkan sebuah benua utuh yang tak dikenal dalam 

kitab-kitab Suci, para ahli geografi klasik, dan orang-orang biasa 

Eropa. Pada 1507, yakin dengan argumentasi-argumentasi ini, 

seorang pembuat peta terpandang bernama Martin Waldseemüller 

menerbitkan sebuah peta dunia yang diperbarui, yang pertama 

untuk menunjukkan tempat armada-armada Eropa yang berlayar 

ke barat mendarat sebagai sebuah kontinen terpisah. Setelah 

menggambar itu, Waldseemüller harus memberinya nama. Keliru 

meyakini bahwa Amerigo Vespucci sendiri yang menemukannya, 

Waldseemüller menamai kontinen itu untuk menghormatinya—

Amerika. Peta Waldseemüller menjadi sangat populer dan disalin 

oleh banyak pembuat peta, menyebarkan nama yang dia berikan 

pada tanah baru tersebut. Ada keadilan yang puitis dalam fakta 

bahwa seperempat dunia, dan dua dari tujuh kontinennya, 

dinamai dengan nama seorang Italia yang kurang terkenal karena 

klaim tunggalnya yang terkenal adalah bahwa dia memiliki 

keberanian untuk berkata, “Kami tidak tahu”.

Penemuan Amerika adalah sebuah peristiwa fondasi bagi 

Revolusi Saintifik. Ia tidak hanya mengajarkan bangsa Eropa 

untuk menghargai observasi masa kini di atas tradisi-tradisi 

masa lampau, tetapi hasrat untuk menaklukkan Amerika juga 

mewajibkan bangsa Eropa untuk mencari pengetahuan baru 

dengan kecepatan yang menggila. Jika mereka benar-benar ingin 

mengontrol teritori-teritori baru yang mahaluas, mereka harus 

mengumpulkan data baru dalam jumlah sangat besar tentang 

geografi, iklim, flora, fauna, bahasa, kultur, dan sejarah kontinen 

baru. Kitab-kitab suci Kristen, buku-buku geografi tua, dan 

tradisi-tradisi lisan kuno tidak banyak membantu.

Oleh karena itu, tidak hanya para ahli geografi Eropa, tetapi 

juga para sarjana Eropa di hampir semua bidang pengetahuan 
mulai menggambar peta dengan ruang-ruang yang tersisa untuk 

diisi. Mereka mulai mengakui bahwa teori-teori mereka tidak 

sempurna dan bahwa ada hal-hal penting yang mereka tidak tahu. 

Bangsa Eropa ditarik ke titik-titik kosong peta seakan titik-titik 

itu adalah magnet-magnet, dan langsung mulai mengisinya. Dalam 

abad ke-15 dan ke-16, ekspedisi-ekspedisi Eropa menjelajah 

ke Afrika, mengeksplorasi Amerika, menyeberangi Samudra 

Pasifik dan India, serta menciptakan jaringan basis-basis dan 

koloni-koloni di seluruh dunia. Mereka mendirikan imperium￾imperium global pertama yang sejati dan menyulam jaringan 

perdagangan global pertama. Ekspedisi-ekspedisi imperium Eropa 

menstransformasi sejarah dunia: dari hanya serangkaian sejarah 

orang-orang dan kultur-kultur terpisah, menjadi sejarah sebuah 

masyarakat tunggal manusia yang terpadu.

Ekspedisi-ekspedisi jelajah-dan-taklukkan ala Eropa ini begitu 

akrab kita kenal sehingga kita cenderung berlebihan memandang 
betapa luar biasanya mereka. Tak ada yang seperti mereka 

sebelumnya. Perjalanan-perjalanan jarak jauh untuk penaklukan 

bukanlah langkah alamiah. Sepanjang sejarah sebagian besar 

masyarakat manusia terlalu sibuk dengan konflik-konflik lokal 

dan pertengkaran antar tetangga sehingga mereka tak pernah 

berpikir tentang menjelajahi dan menaklukkan daratan-daratan 

jauh. Sebagian besar imperium meluaskan kontrol mereka hanya 

dengan tetangga terdekatnya—mereka menjangkau tanah-tanah 

jauh hanya karena tetangga mereka terus berkembang. Jadi, bangsa 

Romawi menaklukkan Etruria dalam rangka mempertahankan 

Roma (350–300 SM). Mereka menaklukkan Lembah Po dalam 

rangka mempertahankan Etruria (200 SM). Mereka selanjutnya 

menaklukkan Provence untuk mempertahankan Lembah Po 

(120 SM), Gaul untuk Provence (50 SM), dan Inggris untuk 

mempertahankan Gaul (50 M). Butuh waktu 400 tahun untuk 

membawa Romawi sampai ke London. Pada 350 SM, tak ada 

orang Romawi yang akan berpikir tentang berlayar langsung ke 

Inggris untuk menaklukkannya.

Sesekali seorang penguasa atau petualang yang ambisius 

memang akan sampai pada keputusan untuk kampanye 

penaklukan jarak jauh, tetapi kampanye-kampanye seperti itu 

biasanya mengikuti jalur-jalur imperium atau komersial yang 

sudah rata. Kampanye-kampanye Alexander Yang Agung, 

misalnya, tidak menghasilkan berdirinya sebuah imperium baru, 

tetapi merupakan perebutan kekuasaan atas imperium yang sudah 

ada—yakni Persia. Preseden yang paling dekat pada imperium￾imperium Eropa modern adalah imperium-imperium laut kuno 

Athena dan Carthage, dan imperium laut kuno Majapahit, 

yang menyatukan banyak bagian Indonesia pada abad ke-14. 

Meskipun demikian, imperium-imperium ini jarang bertualang 

ke lautan tak dikenal—eksploitasi-eksploitasi laut mereka adalah 

tindakan-tindakan lokal kalau dibandingkan dengan petualangan￾petualangan global Eropa modern.

Banyak ahli mengemukakan bahwa perjalanan-perjalanan 

Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming China berjaya dan 

meredupkan perjalanan-perjalanan penemuan Eropa. Antara 

tahun 1405 sampai 1433, Cheng Ho memimpin 7 armada besar 
dari China untuk mencapai jangkauan jauh Samudra Hindia. 

Armada terbesarnya berisi 300 kapal dan membawa hampir 

30.000 orang.7

 Mereka mengunjungi Indonesia, Sri Lanka, India, 

Teluk Persia, Laut Merah, dan Afrika Timur. Kapal-kapal China 

berlabuh di Jeddah, pelabuhan utama Hejaz, dan di Malindi, 

di pesisir Kenya. Armada Columbus pada tahun 1492—yang 

terdiri dari 3 kapal kecil dengan 120 pelaut—ibarat trio nyamuk 

dibandingkan dengan barisan naga Cheng Ho.8

Akan tetapi, ada perbedaan krusial. Cheng Ho menjelajahi 

samudra-samudra itu, dan membantu para penguasa pro-China, 

tetapi dia tidak berusaha menaklukkan atau mengolonisasi negara￾negara yang dia kunjungi. Lebih dari itu, ekspedisi-ekspedisi 

Cheng Ho tidak mengakar kuat dalam politik dan kultur China. 

Ketika faksi penguasa di Beijing berganti pada tahun 1430-an, 

para penguasa baru menghentikan operasi tersebut secara tiba￾tiba. Armada besarnya dilenyapkan, pengetahuan teknis dan 

geografisnya yang krusial hilang, dan tidak ada penjelajah dengan 

postur dan sarana sebesar itu yang berlayar lagi dari pelabuhan 

China. Para penguasa China pada abad-abad berikutnya, seperti 

sebagian besar penguasa dalam abad-abad sebelumnya, membatasi 

kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi mereka pada lingkup 

dekat Kerajaan Menengah tersebut.

Ekspedisi-ekspedisi Cheng Ho membuktikan bahwa Eropa 

tidak memiliki suatu keunggulan teknologis yang mencolok. Apa 

yang membuat bangsa Eropa istimewa adalah ambisi mereka 

yang tak tertandingi dan tak terpuaskan untuk menjelajah dan 

menaklukkan. Meskipun mereka mungkin memiliki kemampuan 

itu, bangsa Romawi tidak pernah berusaha menaklukkan India 

atau Skandinavia, Persia tidak pernah berusaha menaklukkan 

Madagaskar atau Spanyol, dan China tidak pernah berusaha 

menaklukkan Indonesia atau Afrika. Tidak ada sesuatu yang 

istimewa tentang itu. Keanehannya adalah bahwa bangsa Eropa 

modern awal terjangkiti demam yang mendorong mereka untuk 

berlayar selangkah demi selangkah ke pesisir-pesisir, dan langsung 

mendeklarasikan “Saya mengklaim semua teritori ini untuk raja 

saya!”

Sekitar tahun 1517, para kolonis Spanyol di Kepulauan Karibia 

mulai mendengar rumor aneh tentang imperium kuat di suatu 

tempat di pusat daratan Meksiko. Hanya dalam waktu 4 tahun 

kemudian, ibu kota Aztec itu luluh lantak, Imperium Aztec 

menjadi masa lalu, dan Hernán Cortés menguasai sebuah 

Imperium Spanyol baru yang sangat besar di Meksiko.

Orang-orang Spanyol tidak berhenti takjub pada diri sendiri, 

bahkan tercengang oleh keberhasilan mereka sendiri. Mereka 

segera melancarkan operasi-operasi jelajah-dan-taklukkan ke 

segala arah. Para penguasa sebelumnya atas Amerika Tengah—

Aztec, Toltec, Maya—jarang yang tahu bahwa Amerika Latin 

itu ada, dan tidak pernah mencoba menjajahnya, dalam waktu 

2.000 tahun. Namun, dalam waktu hanya 10 tahun lebih sejak 

Spanyol menaklukkan Meksiko, Francisco Pizzaro menemukan 

Imperium Inca dai Amerika Latin, menjajahnya pada 1532.

Kalau saja bangsa Aztec dan Inca punya sedikit minat pada 
dunia di sekitar mereka—dan kalau saja mereka tahu apa yang 

diperbuat orang-orang Spanyol pada tetangga-tetangga mereka—

mungkin mereka melawan penaklukan Spanyol dengan lebih 

gigih dan sukses. Dalam tahun-tahun antara perjalanan pertama 

Columbus ke Amerika (1492) dan pendaratan Cortés di Meksiko 

(1519), bangsa Spanyol menaklukkan sebagian besar Kepulauan 

Karibia, memasang satu rangai koloni baru. Bagi bangsa-bangsa 

pribumi yang dijajah, koloni-koloni ini adalah neraka dunia. 

Mereka dikuasai dengan tangan besi oleh kaum kolonialis 

rakus lagi jahat yang memperbudak mereka dan memerintahkan 

mereka bekerja di tambang-tambang dan perkebunan-perkebunan, 

membunuh siapa pun yang sedikit saja berusaha melawan. 

Sebagian besar penduduk pribumi mati, baik karena kondisi￾kondisi kerja keras atau karena keganasan penyakit-penyakit yang 

menumpang ke Amerika melalui kapal-kapal layar para penakluk. 

Dalam kurun waktu 20 tahun, hampir seluruh populasi pribumi 

Karibia musnah. Para kolonialis Spanyol mulai mengimpor budak￾budak Afrika untuk mengisi kevakuman itu.

Genosida ini terjadi tepat di depan pintu Imperium Aztec, 

tetapi ketika Cortés mendarat di pesisir timur imperium itu, 

bangsa Aztec tak tahu apa-apa. Kedatangan bangsa Spanyol setara 

dengan invasi alien dari luar angkasa. Bangsa Aztec diyakinkan 

bahwa mereka tahu seluruh dunia dan bahwa mereka sudah 

menguasai sebagian besarnya. Bagi mereka, tak terbayangkan 

bahwa di luar domain mereka bisa ada sesuatu seperti orang￾orang Spanyol ini. Ketika Cortés dan orang-orangnya mendarat 

di pantai-pantai panas yang kini dikenal dengan nama Vera Cruz, 

itulah saat pertama bangsa Aztec bertemu dengan orang-orang 

yang sama sekali asing.

Bangsa Aztec tidak tahu bagaimana cara bereaksi. Mereka 

kesulitan untuk memastikan apa sesungguhnya makhluk-makhluk 

asing ini. Tak seperti semua manusia yang dikenal, alien berkulit 

putih. Mereka juga punya banyak rambut di wajah. Sebagian 

rambutnya sewarna dengan Matahari. Bau mereka busuk luar 

biasa. (Kebersihan pribumi jauh lebih bagus ketimbang orang￾orang Spanyol. Ketika orang-orang Spanyol kali pertama tiba 

di Meksiko, para pribumi dengan membawa dupa yang dibakar
ditugasi untuk menemani mereka ke mana pun mereka ingin. 

Orang-orang Spanyol mengira itu pertanda kehormatan dari 

Tuhan. Kita tahu dari sumber-sumber pribumi bahwa bau para 

pendatang itu benar-benar tak tertahankan.)

Kultur material para alien itu bahkan semakin menjadi-jadi. 

Mereka datang dengan kapal-kapal raksasa, yang tak pernah 

dibayangkan oleh bangsa Aztec, apalagi dilihat. Mereka naik 

punggung binatang-binatang besar yang menakutkan, yang 

larinya secepat angin. Mereka bisa menghasilkan kilat dan petir 

dari batang-batang logam yang bersinar. Mereka punya pedang￾pedang panjang yang berkilau dan senjata-senjata yang tak bisa 

ditembus, berhadapan dengan pedang-pedang kayu pribumi dan 

kapak-kapak batu tak ada gunanya.

Sebagian orang Aztec mengira mereka pasti para dewa. Yang 

lain menduga itu adalah setan-setan, atau hantu-hantu orang mati, 

atau dukun-dukun yang kuat. Bukannya mengonsentrasikan semua 

kekuatan yang tersedia dan mengusir orang-orang Spanyol, orang￾orang Aztec malah berunding, berleha-leha, dan bernegosiasi. 

Mereka tak melihat alasan untuk bergegas. Lagi pula, Cortés 

punya tak lebih dari 550 orang Spanyol bersamanya. Apa yang 

bisa dilakukan 550 orang menghadapi imperium jutaan orang? 

Cortés pun sama tak mengertinya tentang bangsa Aztec, tetapi 

dia dan orang-orangnya memiliki keunggulan signifikan atas 

musuh-musuh mereka. Kalau bangsa Aztec tak punya pengalaman 

untuk bersiap menghadap kedatangan para alien bertampang 

aneh dan berbau busuk itu, orang-orang Spanyol tahu bahwa 

Bumi ini penuh dunia manusia yang tak dikenal, dan tak seorang 

pun punya keahlian hebat dalam menginvasi tanah-tanah alien 

dan mengatasi situasi yang benar-benar tidak mereka pahami. 

Bagi penakluk modern dari Eropa, sebagaimana ilmuwan Eropa 

modern, mencebur ke situasi yang tak dikenal itu mengasyikkan.

Maka, ketika Cortés melego jangkar dekat pantai bermandi 

Matahari itu pada Juli 1519, dia tidak segan untuk bertindak. 

Seperti alien dalam fiksi sains yang muncul dari pesawat ruang 

angkasanya, dia mendeklarasikan kepada penduduk setempat 

yang terkesima: “Kami datang dalam damai. Bawalah kami ke 

pemimpin kalian”. Cortés menjelaskan bahwa dia membawa 

tugas perdamaian dari raja agung Spanyol, dan meminta 

wawancara diplomatik dengan penguasa Aztec, Montezuma 

II. (Ini kebohongan tak tahu malu. Cortés memimpin sebuah 

ekspedisi independen para petualang rakus. Raja Spanyol tak 

pernah mendengar tentang Cortés maupun bangsa Aztec.) Cortés 

diberi bimbingan, makanan, dan bantuan militer oleh musuh￾musuh setempat dari kalangan Aztec. Dia kemudian bergerak 

menuju ibu kota Aztec, kota metropolitan besar Tenochtitlan.

Orang-orang Aztec mengizinkan para alien bergerak ke 

seantero ibu kota, kemudian dengan penuh hormat membimbing 

pemimpin para alien bertemu dengan Kaisar Montezuma. 

Di tengah wawancara, Cortés memberi sinyal, dan orang￾orang Spanyol bersenjata logam itu membantai para pengawal 

Montezuma (yang hanya bersenjata pedang-pedang kayu, 

dan pisau-pisau batu). Tamu terhormat itu menyandera tuan 

rumahnya.

Cortés kini dalam situasi yang sangat pelik. Dia telah 

menangkap kaisar, tetapi dikelilingi puluhan ribu petarung musuh 

yang marah, jutaan penduduk sipil yang liar, dan segenap kontinen 

yang praktis tidak dia mengerti sama sekali. Di pihaknya hanya 

ada beberapa ratus orang Spanyol, dan bala bantuan Spanyol 

terdekat ada di Kuba, lebih dari 1.500 kilometer jauhnya.

Cortés tetap menyandera Montezuma di istana, untuk 

mengesankan bahwa raja tetap bebas dan bertugas. dan seakan￾akan “duta besar Spanyol” tak lebih dari seorang tamu biasa. 

Imperium Aztec sebuah negara yang benar-benar terpusat, dan 

situasi yang tak pernah dialami itu melumpuhkannya. Montezuma 

terus berperilaku seakan-akan dia menguasai imperium, dan 

elite Aztec terus mematuhinya, yang berarti mematuhi Cortés. 

Situasi itu berlangsung selama beberapa bulan, dan dalam masa 

itu Cortés menginterogasi Montezuma beserta para pengikutnya, 

melatih para penerjemah untuk beberapa bahasa lokal, dan 

mengirim ekspedisi-ekspedisi kecil Spanyol ke semua arah agar 

bisa mengenal Imperium Aztec dan berbagai suku, masyarakat, 

dan kota-kota yang dikuasainya.

Elite Aztec akhirnya memberontak melawan Cortés dan 

Montezuma, memilih seorang kaisar baru, dan mengusir orang￾orang Spanyol dari Tenochtitlan. Namun, saat itu sejumlah 

retakan sudah tampak pada bangunan imperium Aztec. Cortés 

menggunakan pengetahuan yang sudah didapatnya untuk 

memperbesar keretakan-keretakan dan memecah imperium dari 

dalam. Dia yakin banyak rakyat imperium yang bersedia ikut 

dengannya melawan elite penguasa Aztec. Rakyat jajahan itu 

benar-benar salah perhitungan. Mereka membenci orang Aztec, 

tetapi tak tahu apa pun tentang Spanyol atau genosida Karibia. 

Mereka berasumsi bahwa dengan bantuan Spanyol, mereka 

akan mengguncang penindasan Aztec. Ide bahwa Spanyol akan 

mengambil alih tidak pernah terpikir oleh mereka. Mereka yakin 

jika Cortés dan beberapa ratus hulubalangnya membuat ulah, 

mereka bisa dengan mudah mengatasinya. Para pemberontak itu 

memberi Cortés angkatan perang puluhan ribu tentara lokal, dan dengan bantuan tersebut Cortés mengepung Tenochtitlan 

dan menaklukkan kota itu.

Sampai tahap ini semakin banyak tentara dan pemukim 

Spanyol mulai tiba di Meksiko, sebagian dari Kuba, yang lain 

langsung berangkat dari Spanyol. Ketika masyarakat lokal 

menyadari apa yang sedang terjadi, keadaannya sudah terlalu 

terlambat. Dalam satu abad setelah pendaratan di Vera Cruz, 

populasi pribumi Amerika menyusut sampai sekitar 90 persen, 

terutama karena penyakit-penyakit tak dikenal yang mencapai 

Amerika bersama para penginvasi. Orang-orang yang selamat 

terjebak di bawah kaki rezim rakus dan rasis yang jauh lebih 

buruk dari rezim Aztec.

Sepuluh tahun setelah Cortés mendarat di Meksiko, Pizarro 

tiba di pantai Imperium Inca. Dia membawa jauh lebih sedikit 

tentara ketimbang Cortés—ekspedisinya hanya berkekuatan 168 

orang! Namun, Pizarro lebih unggul karena semua pengetahuan 

dan pengalaman yang didapat dari invasi-invasi sebelumnya. 

Sebaliknya, Inca tidak tahu apa-apa tentang nasib Aztec. 

Pizarro mencontek Cortés. Dia mendeklarasikan diri sebagai 

pembawa misi perdamaian dari raja Spanyol, meminta penguasa 

Inca, Atahualpa, untuk wawancara diplomasi, dan kemudian 

menculiknya. Pizarro berhasil menaklukkan imperium yang 

lumpuh itu dengan bantuan sekutu-sekutu lokal. Kalau saja 

rakyat jajahan di Imperium Inca tahu nasib para penduduk 

Meksiko, mereka tentu tidak akan menyerahkan nasib mereka 

kepada para penginvasi. Namun, mereka tidak tahu. Masyarakat 

pribumi Amerika tidak hanya orang yang harus membayar 

harga yang sangat mahal untuk kepicikan mereka. Imperium￾imperium besar Asia—Ottoman, Safavid, Mughal, dan China—

dengan cepat mendengar bahwa bangsa Eropa telah menemukan 

sesuatu yang besar. Namun, mereka tak begitu berminat pada 

penemuan-penemuan itu. Mereka terus meyakini bahwa dunia 

berputar di sekitar Asia, dan tak berusaha bersaing dengan Eropa 

untuk menguasai Amerika atau tanah-tanah baru di Samudra 

Atlantik dan Pasifik. Bahkan, kerajaan-kerajaan kecil Eropa, 

seperti Skotlandia dan Denmark, mengirim beberapa ekspedisi 

menjelajah-dan-menaklukkan ke Amerika, tetapi tak ada satu 
pun ekspedisi penjelajahan-penaklukan dikirim ke Amerika dari 

dunia Islam, India, atau China. Kekuatan pertama non-Eropa 

yang berusaha mengirim ekspedisi militer ke Amerika adalah 

Jepang. Itu terjadi pada Juni 1942, ketika satu ekspedisi Jepang 

menaklukkan Kiska dan Attu, dua pulau kecil lepas pantai Alaska, 

yang dalam proses itu menawan 10 tentara Amerika dan seekor 

anjing. Jepang tidak pernah mendekati daratan utama.

Sulit untuk mengatakan bahwa Ottoman atau China terlalu 

jauh, atau mereka tidak memiliki perangkat teknologi, ekonomi, 

atau militer. Sumberdaya yang dikirim Cheng Ho dari China 

ke Afrika Timur pada tahun 1420-an semestinya sudah cukup 

untuk mencapai Amerika. Orang China memang tidak tertarik. 

Itu saja. Peta dunia pertama dari China yang menunjukkan 

Amerika baru dikeluarkan pada 1602—dan saat itu dikeluarkan 

oleh misi Eropa! Selama 300 tahun, bangsa Eropa menikmati 

penguasaan tak tertandingi di Amerika dan Oseania, di Atlantik, 

dan di Pasifik. Satu-satunya pergolakan signifikan di wilayah￾wilayah itu adalah antara kekuatan-kekuatan dari Eropa. 

Kekayaan dan sumber daya yang diakumulasi oleh bangsa Eropa 

akhirnya memungkinkan mereka untuk menginvasi Asia juga, 

mengalahkan imperium-imperiumnya, dan memecah-belahnya. 

Ketika Ottoman, Persia, India, dan China terbangun dan mulai 

memberi perhatian, sudah terlambat.

Baru pada abad ke-20, kultur-kultur non-Eropa mengadopsi 

visi yang benar-benar global. Inilah salah satu faktor yang 

menyebabkan runtuhnya hegemoni Eropa. Maka, dalam Perang 

Kemerdekaan Aljazair (1945–1962), para gerilyawan Aljazair 

mengalahkan angkatan perang Prancis dengan keunggulan jumlah, 

teknologi, dan ekonomi yang sangat besar. Rakyat Aljazair 

menang karena mereka didukung oleh satu jaringan global 

anti kolonial, dan karena mereka bekerja keras memanfaatkan 

media dunia untuk perjuangan mereka—di samping opini 

publik di Prancis sendiri. Kekalahan yang ditimpakan si mungil 

Vietnam Utara pada raksasa Amerika didasarkan pada strategi 

yang sama. Kekuatan-kekuatan gerilya ini menunjukkan bahwa 

bahkan negara adidaya bisa dikalahkan jika perjuangan lokal 

menjadi perjuangan global. Menarik untuk direnungkan apa 
jadinya kalau Montezuma mampu memanipulasi opini publik di 

Spanyol dan mendapat bantuan dari salah satu pesaing-pesaing 

Spanyol—Portugal, Prancis, atau Imperium Ottoman.

Laba-laba Langka dan Aksara-Aksara 

yang Terlupakan

Sains modern dan imperium-imperium modern dimotivasi 

oleh perasaan yang tak kunjung padam bahwa mungkin ada 

sesuatu yang penting di balik horizon—sesuatu yang sebaiknya 

dieksplorasi dan dikuasai. Namun, koneksi antara sains dan 

imperium berlangsung jauh lebih dalam. Tidak hanya motivasi, 

tetapi juga praktik-praktik para pembangun imperium berjalin￾jalin dengan para ilmuwan itu. Bagi bangsa Eropa modern, 

membangun sebuah imperium adalah proyek saintifik, sementara 

membangun sebuah disiplin ilmu pengetahuan adalah sebuah 

proyek imperium.

Ketika Muslim menaklukkan India, mereka tidak membawa 

serta para arkeolog untuk mempelajari secara sistematis sejarah 

India, para antropolog untuk mempelajari budaya-budaya 

India, para geolog untuk mempelajari tanah-tanah India, atau 

para zoologis untuk mempelajari fauna India. Ketika Inggris 

menaklukkan India, mereka membawa semua ini. Pada 10 April 

1802 Survei India Raya dilakukan. Survei itu berlangsung 60 

tahun dengan bantuan puluhan ribu buruh, sarjana, dan pemandu 

pribumi, Inggris dengan hati-hati memetakan seluruh India, 

menandai perbatasan-perbatasan, mengukur jarak, dan bahkan 

menghitung untuk kali pertama ketinggian pasti Puncak Everest 

dan puncak-puncak lain Himalaya. Inggris mengeksplorasi sumber 

daya militer provinsi-provinsi India dan lokasi tambang-tambang 

emasnya, tetapi mereka juga repot-repot mengumpulkan informasi 

tentang laba-laba India, membuat katalog kupu-kupu warna￾warni, melacak asal-usul bahasa-bahasa kuno yang punah, dan 

menggali reruntuhan-reruntuhan yang terlupakan.

Mohenjo-daro adalah salah satu kota utama peradaban 

Lembah Indus, yang berkembang pada milenium ke-3 SM dan hancur sekitar tahun 1900 SM. Tak satu pun penguasa India 

pra-Inggris—termasuk Maurya, Gupta, maupun sultan-sultan 

Delhi, tidak juga Mughal yang agung—menengok reruntuhan￾reruntuhan itu. Namun, survei arkeologis Inggris melihat situs 

itu pada 1922. Satu tim Inggris waktu itu mengekskavasinya, 

dan menemukan peradaban besar pertama India, yang tak pernah 

disadari oleh bangsa India sendiri.

Salah satu contoh menarik tentang keingintahuan saintifik 

Inggris adalah penelahan aksara cuneiform (bentuk runcing). 

Ini adalah aksara utama yang digunakan di Timur Tengah 

selama hampir 3.000 tahun, tetapi orang terakhir yang bisa 

membacanya meninggal sekitar awal milenium ke-1 M. Sejak 

itu, para penduduk wilayah tersebut sering menemukan prasasti 

aksara runcing pada monumen-monumen, tugu-tugu, reruntuhan￾reruntuhan kuno, dan pot-pot pecah. Namun, mereka tak tahu 

cara membaca goresan-goresn aneh dan kaku itu, dan sepanjang 

yang kita ketahui, mereka tidak pernah berusaha. Aksara runcing 

itu mendapat perhatian bangsa Eropa pada 1618, ketika duta 

besar Spanyol di Persia melihatnya di reruntuhan Persepolis 

kuno, tempat dia melihat prasasti-prasasti yang tak seorang 

pun bisa membantu dia untuk membacanya. Berita tentang 

aksara tak dikenal itu menyebar di kalangan para sarjana Eropa 

dan mengusik rasa ingin tahu. Pada 1657, para sarjana Eropa 

menerbitkan transkrip pertama naskah cuneiform dari Persepolis. 

Setelah itu lebih banyak lagi transkrip menyusul, dan selama 

hampir dua abad para sarjana di Barat berusaha memahaminya. 

Tak ada yang berhasil.

Pada 1830-an, seorang perwira Inggris bernama Henry 

Rawlinson dikirim ke Persia untuk membantu Shah melatih 

angkatan perangnya dengan gaya Eropa. Dalam waktu luangnya 

Rawlinson bepergian ke sekitar Persia dan suatu hari dia dipandu 

oleh pemandu setempat ke sebuah tebing di Pegunungan Zagro 

dan diperlihatkan Prasasti Behistun yang sangat besar. Dengan 

tinggi sekitar 15 meter dan lebarnya 25 meter, prasasti itu 

menjulang di permukaan tebing yang dibuat atas perintah Raja 

Darius I sekitar tahun 500 SM. Prasasti itu ditulis dengan aksara 

cuneiform dalam tiga bahasa: Persia Lama, Elamite, dan Babylon. 
Prasasti tersebut sangat dikenal penduduk setempat, tetapi tak 

satu pun bisa membacanya. Rawlinson yakin bahwa jika dia 

bisa memahami tulisan itu, ia dan para sarjana lainnya akan 

bisa membaca banyak prasasti dan naskah-naskah yang pada 

masa itu sedang ditemukan di seluruh Timur Tengah sehingga 

membuka pintu menuju sebuah dunia kuno yang terlupakan.

Langkah pertama untuk memahami aksara itu adalah 

untuk menghasilkan transkrip akurat yang bisa dikirim pulang 

ke Eropa. Rawlinson menantang maut untuk melakukannya, 

memanjat tebing untuk menyalin aksara-aksara yang aneh 

tersebut. Dia mempekerjakan beberapa penduduk setempat untuk 

membantunya, terutama seorang anak Kurdi yang memanjat 

bagian yang paling sulit dijangkau dari tebing itu untuk menyalin 

bagian yang paling tinggi dari prasasti. Pada 1847, proyek tersebut 

rampung, dan satu salinan akurat dikirim ke Eropa. 

Rawlinson tidak bergantung pada para pembantunya. Sebagai 

seorang perwira, dia memiliki misi militer dan politik untuk 

dijalankan, tetapi setiap kali punya waktu luang dia menerka￾nerka rahasia dalam tulisan itu. Dia mencoba satu demi satu 

metode dan akhirnya berhasil memahami bagian Persia Lama 

dari prasasti tersebut. Ini yang paling mudah karena Persia Lama 

tak begitu berbeda dari Persia modern, yang Rawlinson sangat 

pahami. Satu pemaknaan dari bagian Persia Lama memberinya 

kunci yang dia butuhkan untuk membuka rahasia-rahasia pada 

bagian Elamite dan Babylon. Pintu besar itu terbuka, dan segeralah 

keluar suara-suara kuno tapi begitu hidup—keriuhan pasar-pasar 

Sumeria, proklamasi raja-raja Assyria, argumentasi para birokrat 

Babylonia. Tanpa upaya kaum imperialis Eropa modern semacam 

Rawlinson, kita tidak akan pernah tahu banyak tentang nasib 

imperium-imperium Timur Tengah kuno.

Sarjana imperialis terkemuka lainnya adalah William Jones. 

Jones tiba di India pada September 1783 untuk menjadi seorang 

hakim di Pengadilan Tinggi Bengal. Dia begitu terpukau oleh 

keajaiban India sehingga dalam waktu kurang dari 6 bulan 

sejak kedatangannya dia sudah mendirikan Masyarakat Asiatik. 

Organisasi akademis ini ditujukan untuk mempelajari kultur￾kultur, sejarah-sejarah, dan masyarakat-masyarakat Asia, dan lebih 

khusus India. Dalam dua tahun berikutnya Jones menerbitkan The 

Sanskrit Language, naskah induk dari ilmu linguistik komparatif. 

Dalam buku ini Jones menerangkan kemiripan-kemiripan yang 

mengejutkan antara Sansekerta, sebuah bahasa India kuno yang 

menjadi bahasa suci dalam ritual Hindu, dan bahasa Yunani dan 

Latin, di samping kemiripan antara semua bahasa ini dengan 

Gothik, Celtik, Persia Lama, Jerman, Prancis dan Inggris. Maka, 

dalam bahasa Sanskerta, mother (ibu) adalah “mater”, dalam 

bahasa Latin “mater”, dan dalam Celtik lama “mathir”. Jones 

menduga bahwa semua bahasa ini pasti memiliki asal-usul yang 

sama, berkembang dari sebuah leluhur kuno yang kini terlupakan. 

Oleh karena itu, dialah orang pertama yang mengidentifikasi apa 

yang kelak dikenal dengan rumpun bahasa Indo-Eropa.

Buku The Sanskrit Language adalah sebuah studi yang sangat 

berpengaruh bukan semata-mata karena kekuatan hipotesis Jones 

(dan akurasinya), melainkan juga karena ia memiliki metodologi 

runtut yang dia kembangkan untuk membandingkan bahasa￾bahasa. Buku ini diadopsi oleh para sarjana lain, memungkinkan 

mereka secara sistematis untuk mempelajari perkembangan semua 

bahasa-bahasa dunia.

Linguistik mendapat dukungan antusias dari imperium. 

Imperium-imperium Eropa percaya bahwa agar bisa menguasai 

secara efektif, mereka harus tahu bahasa-bahasa dan kultur￾kultur jajahannya. Para perwira Inggris yang tiba di India diduga 

menghabiskan waktu sampai tiga tahun di sebuah sekolah tinggi 

Calcutta, tempat mereka belajar hukum Hindu dan Muslim 

selain hukum Inggris; Sanskerta, Urdu, dan Persia serta Yunani 

dan Latin; dan kebudayaan Tamil, Bengal, dan Hindustani, juga 

matematika, ekonomi, dan geografi. Studi linguistik memberi 

bantuan tak ternilai dalam memahami struktur dan tata bahasa 

bahasa-bahasa lokal. 

Berkat karya orang-orang seperti William Jones dan Henry 

Rawlinson, para penakluk dari Eropa mengenal imperium￾imperium mereka dengan baik. Bahkan, jauh lebih bagus 

ketimbang para penakluk-penakluk sebelumnya atau populasi 

pribumi sendiri. Pengetahuan mereka yang superior memiliki 

keuntungan praktis yang jelas. Tanpa pengetahuan semacam itu, 
tak mungkin sejumlah kecil orang Inggris bisa sukses memerintah, 

menindas, dan mengeksploitasi beratus-ratus juta orang India 

selama dua abad. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20, 

kurang dari 5.000 pejabat Inggris, sekitar 40.000 sampai 70.000 

tentara Inggris, dan mungkin 100.000 orang bisnis dari Inggris, 

tanggungan-tanggungan mereka, para istri, anak-anak cukuplah 

untuk menaklukkan dan menguasai sekitar 300 juta orang India.9

Meskipun demikian, keunggulan-keunggulan praktis ini 

bukanlah satu-satunya alasan mengapa imperium-imperium itu 

mendanai studi linguistik, botani, geografi, dan sejarah. Tak 

kalah pentingnya adalah fakta bahwa sains memberi imperium￾imperium itu justifikasi ideologis. Bangsa Eropa modern percaya 

bahwa meraih pengetahuan baru selalu baik. Fakta bahwa 

imperium-imperium itu menghasilkan arus tetap pengetahuan 

baru memberi cap mereka sebagai golongan progresif dan positif. 

Bahkan kini, sejarah ilmu seperti geografi, arkeologi, dan botani 

tak bisa mengelak untuk menghargai jasa imperium-imperium 

Eropa, paling tidak secara langsung. Sejarah botani tak banyak 

menceritakan tentang penderitaan Aborigin Australia, tetapi 

biasanya ada kata-kata tertentu untuk James Cook dan Joseph 

Banks. Lebih dari itu, pengetahuan baru yang diakumulasi oleh 

imperium-imperium itu memungkinkan, paling tidak secara 

teori, memberi manfaat bagi populasi yang ditaklukkan dan 

membawakan kepada mereka manfaat “kemajuan”—memberi 

mereka pengobatan dan pendidikan, membangun rel kereta 

api, dan kanal-kanal, memastikan keadilan dan kemakmuran. 

Kaum imperialis mengklaim bahwa imperium-imperium mereka 

bukanlah upaya-upaya eksploitasi besar, melainkan proyek-proyek 

altruis yang dilakukan untuk kepentingan ras-ras non-Eropa—

dalam ungkapan Rudyard Kipling, “beban Orang Kulit Putih”:

Mengusung beban Orang Kulit Putih—

Menyodorkan keturunan terbaik 

Mengikat putra-putra kalian di pengasingan

Melayani kebutuhan-kebutuhan para tawanan kalian;

Menanti dalam gandar-gandar yang berat,

Pada gerombolan liar dan bingung—
Orang-orang tangkapan baru kalian yang cemberut,

Setengah setan dan setengah anak.

Tentu saja fakta-fakta sering bertentangan dengan mitos 

ini. Inggris menaklukkan Bengal, provinsi yang kaya di India, 

pada 1764. Penguasa-penguasa baru tak banyak tertarik kecuali 

memperkaya diri mereka. Mereka mengadopsi kebijakan ekonomi 

pembawa bencana yang beberapa tahun kemudian menyebabkan 

meletusnya Kelaparan Besar Bengal. Awalnya terjadi pada 1769, 

mencapai level bencana pada 1770, dan berlangsung hingga 

1773. Sekitar 10 juta orang Bengal, sepertiga populasi provinsi 

itu, mati dalam kesengsaraan.10

Yang benar, cerita penindasan dan eksploitasi maupun kisah 

“Beban Orang Kulit Putih” tidak ada yang sempurna sesuai 

fakta. Imperium-imperium Eropa melakukan begitu banyak hal 

yang bermacam-macam dalam skala besar sehingga Anda bisa 

menemukan banyak sekali contoh untuk mendukung apa pun 

yang ingin Anda katakan tentang itu semua. Anda berpikir 

bahwa imperium-imperium ini anak-anak monster jahat yang 

menyebarkan kematian, penindasan, dan ketidakadilan di seluruh 

dunia? Anda bisa dengan mudah mengisi ensiklopedia kejahatan￾kejahatan mereka. Anda ingin mengemukakan bahwa mereka 

sesungguhnya memperbaiki kondisi rakyat jajahannya dengan 

kedokteran baru, kondisi ekonomi yang lebih baik, dan keamanan 

yang lebih besar? Anda bisa mengisi ensiklopedi lainnya dengan 

prestasi-prestasi mereka. Berkat kerja sama mereka dengan sains, 

imperium-imperium ini menggerakkan begitu besar kekuatan dan 

mengubah dunia sampai ke tingkat yang mungkin mereka tak bisa 

dilabeli begitu saja sebagai baik atau jahat. Mereka menciptakan 

dunia sebagaimana yang kita tahu, termasuk ideologi-ideologi 

yang kita gunakan dalam rangka menilai mereka. 

Akan tetapi, sains juga digunakan oleh para imperialis untuk 

tujuan-tujuan yang lebih buruk. Para ahli biologi, antropolog, dan 

bahkan ahli linguistik memberi bukti saintifik bahwa orang-orang 

Eropa memang superior di atas semua ras lain, dan akibatnya 

memiliki hak (kalau bukan tugas, barangkali) untuk menguasai 

mereka. Setelah William Jones mengemukakan bahwa seluruh
bahasa Indo-Eropa merupakan keturunan dari satu bahasa kuno 

tunggal, banyak ahli tergugah mencari siapa yang menggunakan 

bahasa itu. Mereka melihat bahwa para pengguna paling awal 

bahasa Sanskerta, yang menginvasi India dari Asia Tengah lebih 

dari 3.000 tahun yang lalu, menyebut diri mereka Arya. Para 

pengguna bahasa paling awal Persia menyebut diri mereka 

Airiia. Oleh karena itu, para sarjana Eropa menduga bahwa 

orang yang menggunakan bahasa primordial yang melahirkan 

Sanskerta maupun Persia (juga Yunani, Latin, Gothik, dan Celtic) 

pasti menyebut diri mereka Arya. Bisakah ini disebut kebetulan 

bahwa mereka yang mendirikan peradaban-peradaban raksasa 

India, Persia, Yunani, dan Romawi semuanya adalah orang 

Arya? Selanjutnya, para sarjana Inggris, Prancis, dan Jerman 

mengawinkan teori linguistik tentang bangsa Arya yang rajin 

dengan teori seleksi alam Darwin dan mengemukakan bahwa 

bangsa Arya bukan hanya satu kelompok linguistik, melainkan 

sebuah entitas biologis—sebuah ras. Dan, bukan sembarang ras, 

melainkan ras teratas manusia yang tinggi, berambut terang, 

bermata biru, pekerja keras, dan super rasional yang muncul dari 

keremangan utara untuk meletakkan fondasi-fondasi kultur di 

seluruh dunia. Sayang sekali, orang-orang Arya yang menginvasi 

India dan Persia berkawin silang dengan pribumi setempat yang 

mereka temukan di tanah-tanah itu, kehilangan kulit terang dan 

rambut pirang mereka, beserta rasionalitas dan sifat rajinnya. 

Pera