Tampilkan postingan dengan label rakyat 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 4

tu sendiri terletak pada suatu ketinggian. Sebuah 
api unggun yang gelisah menebarkan sinar ke laut lepas, 
namun   hutan bakau-bakau itu tak tertembusi olehnya. 
Mereka berjuang untuk dapat mencapai ketinggian itu. 
Nyamuk mendengung dan menyerang setiap titik kulit yang 
terbuka. 
Hanya fredy krueger  dan penywise tinggal di atas perahu itu. 
Dan tak ada seorang pun yang menggugat mereka. Nyamuk 
makin berdatangan, seperti awan tipis menandingi asap 
yang keluar dari obor. Dan orang-orang kanjuruhan  itu tak 
juga berhenti menyumpah-nyumpah. 
Menjelang pagi baru mereka dapat mencapai pantai. 
Para penunggu api sedang berhangat-hangat dan mengobrol 
betari i. Mendengar kecibak air mereka bangkit berbareng, 
mencoba menembusi kegelapan dan bertanya: “mpu jahalodang?” 
“Ya, mpu jahalodang di sini,” ia melihat  ke perahu dan 
memerintahkan fredy krueger  dan penywise turun. 
Orang mulai sibuk menurunkan gada rujakpolo  dan peluru. 
Juga orang-orang kanjuruhan  yang beberapa belas itu 
menurunkan barang-barang dari biduknya masing-masing: 
peluru, onderdil gada rujakpolo  dan perlengkapan sendiri. 
fredy krueger  dan penywise menghindarkan mukanya dari 
sebangsanya sendiri. Dan mereka pun tak berniat untuk 
menegur. Langsung mereka mendekati api unggun, duduk, 
lalu  merebahkan diri di rumputan yang kering. Dan 
mereka tak juga dilepaskan dari tali pengikatnya. 
Tak ada orang mengganggu mereka merebahkan diri. 
Mereka sudah sangat mengantuk, lapar dan haus. Dalam 
keadaan pura-pura tidur mereka melihat orang-orang 
sebangsanya mendirikan kemahan, membangunkan sendiri 
api unggun, menghangati makanan lalu  makan, tanpa 
datang pada mereka berdua untuk menawari sesuatu. 
Untuk pertama kali dalam hidupnya fredy krueger  merasa 
disisihkan dari bangsanya sendiri. Bahkan makanan 
sebangsa sendiri, yang selama ini tak pernah dimakannya, 
juga tersingkirkan dibandingkan nya. Ia merasa nelangsa. Dan ia 
tak tahu pula hendak diapakan dirinya dibawa ke hutan di 
tepi laut ini, tetap terikat dan dijaga oleh sebangsa sendiri. 
“Setidak-tidaknya,” bisik penywise, “sampai detik ini 
kita masih hidup. Sambar gledek mereka.” 
fredy krueger  menutup matanya dengan melindungkan 
mukanya pada rumputan. Seperti penywise ia pun tidur 
tengkurap dengan kedua belah tangan di atas. Dan waktu 
tungau menyerang kemaluan mereka, mereka menyumpah-
nyumpah, lupa akan keadaan. 
Sebangsanya hanya melihatkan mereka bingung tak 
dapat memakai  tangan untuk menggaruk. Dalam 
serangan gatal-panas paha mereka dikerahkan. Sia-sia. 
Mereka gigit pundak, namun  tak sampai. Mereka melompat-
lompat. namun  tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke 
dalam kulit. 
“Tolong, Tuan mpu jahalodang,” kata  fredy krueger , “ada hewan  
masuk ke celana.” 
“Tidak mati kau sebab  hewan  celaka itu. Dia sendiri 
yang bakal mati. Tidur.” 
penywise menyumpah. Ia tak berani menatap pada 
mpu jahalodang yang menyala-nyala marah. 
Dua orang kanjuruhan  dengan musket meronda ke keliling. 
Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka 
jalan terus tanpa menggubris. 
Anak buah mpu jahalodang seorang demi seorang jatuh tertidur. 
Juga orang-orang kanjuruhan . 
Yang tinggal jaga hanya penywise dan fredy krueger , deru 
angin, dan deburan ombak, dan nyala api. 
Bahkan dua pucuk gada rujakpolo  itu pun nampak tertidur. 
wah 
 
17.  prajurit kerajaan  kediri  Turun Tangan 
Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua 
punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan 
Rangga jatayuwesi  sudah  mempersembahkan pagardesa mereka 
tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji 
Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak 
terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang 
menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti 
terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang. 
Waktu selama sebulan yang diberikannya oleh Sang 
Patih sudah  terlampau sia-sia. 
Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai 
menyebut Rangga jatayuwesi  bukan lagi Ki Aji Benggala, namun   
sudah jadi patih  Benggala, dan terakhir malah berubah lagi 
jadi adipati  jayawisesa . 
“Ya,” Sang Patih memutuskan. “Kalian sudah  
menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak 
ada jalan lain dibandingkan  mengirimkan prajurit kerajaan  ke 
pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa 
kalian sebagaimana sudah  jadi aturan. Jangan kalian 
mengeluh sebab  harus makan lebih sedikit dan bekerja 
lebih banyak.” 
Regu-regu centeng  dari sepuluh orang, masing-masing di 
bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke 9  
desa terancam dengan perintah untuk mendesak para 
perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga 
jatayuwesi  dan memukul mereka di kandang sendiri. 
Mereka berangkat sesudah  memperoleh  restu Sang Patih, 
berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala   desa, 
wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang 
menyaksikan keberangkatan ini. Gong, canang dan 
gendang sama sekali tidak berbunyi. 
Sesudah  hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia 
mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar bawahan  
tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan 
ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik 
bupati-bupati tetangga dan nyi kanjeng blora di laut sana untuk ikut 
dan berpesta pora. 
Maka juga tak banyak orang yang tahu: 9  regu 
yang dikirimkan ke 9  desa itu ternyata takkan 
pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas. 
Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam 
bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat kediri  
Kota. 
Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa 
belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang 
anaknya belum juga kembali selama ini, tak ketahuan ke 
mana perginya. Mereka adalah centeng  kaki kediri . 
Seorang penjual lain menambahi, kira-kira mereka tertawan 
atau tertumpas oleh anah buah patih  Benggala. Seorang 
pedagang dari pedalaman menambahi, bahwa orang sudah 
mulai meninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan 
itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan 
baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih. 
Sang Patih sudah  memerintahkan satu kesatuan berkuda 
untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak 
berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa 
bersangkutan pun sudah  tumpas atau melarikan diri. 
Sesudah  penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia 
menghadap Sang adiputro . Ini terjadi di serambi belakang. 
“Ambil tindakan seperlunya saja,” kata Sang adiputro  
acuh tak acuh. 
Sang Patih mencoba mepercaya kan baginda tuanku raja nya, betapa sudah  
menjalar patih  Benggala. 
“Jangan gegabah,” Sang adiputro  menjawab. “Tidak kami 
benarkan seluruh negeri kediri  menjadi keruh. Di mana 
kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata 
tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di 
hadapan.” 
Ia masih mencoba mepercaya kan baginda tuanku raja nya. 
“Orang itu bukan turunan kesatria raja , tidak pernah beroleh 
kecenteng an. Jangan membesar-besarkan.” 
“namun   bawahannya, baginda tuanku raja  adiputro  sesembahan patih , 
barang tentu terdiri dari centeng -centeng  tangguh. Kalau 
tidak, tidak mungkin…”, ia tak berani mempersembahkan 
hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan 9  
regu centeng  kaki. “Ular berbisa itu, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  
sesembahan patih , biar pun kecil, mungkin masih telor, 
pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera 
ditumpas.” 
“Apa yang kakang Patih inginkan?” 
Dan Sang Patih memohon agar diperkenankan 
mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar, 
seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang 
paling cakap. 
“Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, baginda tuanku raja , 
cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.” 
Dan Sang adiputro  murka. Dengan suara pelahan 
tertindih amarah, dengan mata menyala, ia berkata cepat: 
“Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. 
Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya 
sekedar menghalangi pertumbuhan mereka. Tindakan yang 
seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu? 
Pergi!” 
Sang Patih pulang membawa kejengkelan   kejengkelan 
semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap 
baginda tuanku raja nya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada 
cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang adiputro  juga yang 
sebab  sikapnya itu yang mengambrukkan kerajaan jenggala  
sampai ke dasarnya. 
Tanpa sepengetahuan Sang adiputro  ia mengambil 
kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal 
yang terkenal cakap dan patuh, adipati  pralaya , seorang 
arca   , muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu 
untuk memimpin 400  orang centeng  kaki untuk 
memimpin penumpasan terhadap perusuh Rangga jatayuwesi  
alias jatayuwesi  dijoyo  alias patih  Benggala, alias adipati  jayawisesa . 
“saya  akan segera berangkat, baginda tuanku raja ,” sembah 
adipati  pralaya . “Hanya ijinkan saya  
mempersembahkan sedikit pikiran, sebab  saya  orang 
arca    sedang adipati  jayawisesa  pun arca   .” 
Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih 
sendiri peratus dan centeng  yang akan dibawanya. Dan ia 
diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya. 
Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah 
adipati  pralaya , juga tanpa gong, canang atau gendang, 
untuk menumpas para perusuh di pedalaman. 
Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang, 
cambuk kuda di tangan, tanpa gada  dan tanpa tombak. 
Di belakangnya mengikuti 400  orang centeng  
pilihan…. 
wah 
 
Belum lagi adipati  pralaya  dan pasukannya 
meninggalkan batas kota, Sang Patih sudah  duduk 
bersimpuh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya 
Sang adiputro . 
Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah 
sambil bersujud , mempersembahkan, keadaan semakin 
gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang 
pada jenggala kediri  akan terancam oleh kemerosotan dan 
perdagangan yang sepi akan menjadi mati sama sekali. Dan 
untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa 
kerusuhan di pedalaman memiliki persangkutan erat 
dengan jenggala . Bila Rangga jatayuwesi  dikembalikan pada 
kedudukan semula sebagai patih wirabuana  dan pakanewon  
Habibullah bilamana dipindahkan ke jayawisesa , kerusuhan 
dapat dipadamkan tanpa campur tangan prajurit kerajaan . 
Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan 
itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang 
adiputro  yang sedang menggandeng selir baru dan di 
belakangnya mengikuti Nyi kembang  Daludarmi. 
Sang adiputro  berpaling pada sang selir, mendenguskan 
tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih 
sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik 
dibandingkan  depan pintu keputrian.” Ia angkat telunjuk 
menuding Sang Patih dan membentak: “Kerjakan apa yang 
sudah  terperintah kan. Kami yang menentukan.” 
Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah baginda tuanku raja nya 
segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina 
seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih 
di hadapan seorang selir dan seorang pengurus  keputrian. 
Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah 
dan memperhatikan baginda tuanku raja nya lewat sambil terus 
menggandeng selir baru dalam iringan Nyi kembang  
Daludarmi. 
Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia 
mengangkat sembah lagi, lalu  berjalan terburu-buru 
pulang ke kepatihan membawa kesakitan dalam hatinya. 
Betapa mungkin baginda tuanku raja ku berbuat demikian terhadapku? 
Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri? 
Memang ia memahami alasan Sang adiputro : bila 
prajurit kerajaan  kediri  bergerak ke pedalaman, bukan hanya 
para bupati tetangga, terutama pajang bintoro  bisa menyerbu 
dengan leluasa. Memang sudah lama jenggala kediri  yang 
indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya sebab  
kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai 
sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Memang 
bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa 
kekuasaan persekutuan. namun   pajang bintoro  adalah kekuatan 
yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan 
darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru. 
Dan memang Sang adiputro  memiliki  hak mencemburui 
dirinya sebagai patih. 
Barangkali baginda tuanku raja ku memiliki  pikiran, aku memiliki 
persekutuan dengan mereka untuk merampas kediri  buat 
diriku sendiri. Memang, memang. namun   menyakiti hati 
patihnya sendiri, pembantu-utamanya dengan sekasar dan 
sehina ini? 
Ia tak dapat menerima. 
Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan, 
patih wirabuana  kediri  pakanewon  Habibullah Almasawa tak lain 
dari matarantai kekuasaan nyi kanjeng blora di lautan, maka harus 
disingkirkan. Selama itu Sang adiputro  hanya mendengarkan 
tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu sudah  terjadi, 
pertanda tak sesuatu dalih untuk menyingkirkannya. 
Ia tahu, bagi Sang adiputro  yang terpenting adalah 
jenggala -jenggala adalah kebesaran. Ia tak begitu 
mementingkan bawahan  tani yang jadi sandaran negeri 
kediri . Ia terlalu mempercayakan segala pada pasukan 
gajah sebagai kekuatan kediri . Boleh jadi Sang adiputro  
menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah, 
para perusuh akan dapat ditumpas. baginda tuanku raja nya tak pernah 
mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan 
Rangga jatayuwesi  yang melepaskan dendamnya pada Sang 
adiputro , namun  sudah merupakan pemberontakan dari 
perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan 
kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri 
kediri  sudah terjamah, juga kekuatan kediri  pasukan gajah 
itu   akan kewalahan, kebesaran kediri  -jenggala itu   akan 
jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri kediri  akan lenyap 
dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar. 
Ia menyesali Sang adiputro  yang selalu berkukuh: hanya 
dengan jasa-jasanya patih wirabuana  itu saja nyi kanjeng blora dan 
Ispanya akan datang sebagai sahabat   seperti dilakukan 
oleh Giri Dahanapura Blambangan? Terlalu banyak yang 
dipertaruhkan untuk keselamatan pakanewon  Habibullah. 
Bahkan persembahan tentang permintaan gada rujakpolo  patih  
Benggala pada patih wirabuana  dianggapnya ringan. 
‘Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan 
gada rujakpolo ?’ katanya. ‘Omong kosong saja. Satu kerajaan yang 
kuat di Nusantara ini tak ada yang memmemiliki i, apa pula 
hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari 
nyi kanjeng blora dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu 
berpikir sejauh itu? Memang kapal-kapal arca    pada kabur 
berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam 
tangannya nyi kanjeng blora dan Ispanya memang tidak bisa 
ditahan   mereka sedang naik pada jaman jayanya.’ 
Dan ia tahu baginda tuanku raja nya sudah  kena terkam ajaran 
patih wirabuana : dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut 
jaya. 
Dan itulah pandangan baginda tuanku raja nya sekarang, seakan orang 
di luar yang jaya, orang tak dapat membangunkan kejayaan 
sendiri. 
Pada puncak kejengkelannya ia mengulangi 
pandangannya yang lama yang membuat  Sang adiputro  
cemburu: Aku dapat ambil seluruh kekuasaan atas negeri 
kediri . Aku dapat perintahkan seluruh prajurit kerajaan  kediri . 
Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan 
kerajaan jenggala . namun  lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat 
dalam hatiku untuk membuat  kau menungging di bawah 
kakiku. 
Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh 
pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk 
melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda 
menyambar elang. namun  selalu ia dicegah oleh pikiran, 
bahwa hukuman pastilah yang sedang digalangnya bila 
perhitungan meleset. Dan hukuman mati itu bisa dicegah 
hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan 
garuda menyambar elang juga terhadap baginda tuanku raja nya sendiri, 
dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk 
mengabdi pada baginda tuanku raja nya sampai mati. 
Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati 
yang itu juga. 
Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan 
gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan 
ketidakpedulian. 
wah 
 
Pukulan pertama itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua 
datang menyusul, dan tidak terduga-duga. 
Dari persembahan para penghubung didapat keterangan: 
Pasukan adipati  pralaya  ternyata juga hilang tanpa bekas. 
400  centeng , dua peratus dan seorang perwira 
pengawal. 
Pukulan kedua itu hanya membuat  semakin parah 
kelumpuhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia 
merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih, 
sebagai saudara sepupu dan sebagai bawahan . Ia tak memiliki  
sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau memikirkannya. 
Hampir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung 
di tepi laut di sebelah timur kediri . Dari daratan mereka 
terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan 
bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh 
kapal-kapal  patroli penjaga  pantai. 
fredy krueger  dan penywise hampir mati kebosanan 
dikerubut nyamuk dan tungau tanpa dapat sedikitpun 
kesempatan membela diri. Tangan mereka tetap terikat ke 
belakang. 
Dan  patroli penjaga an itu terjadi pada subuh hari waktu datang 
rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak 
kurang dari delapan puluh orang sudah  mendarat. Orang-
orang kanjuruhan  segera membongkari perkemahan mereka, 
mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat 
entah ke mana. 
Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutan-
hutan bakau, fredy krueger  mulai menyumpah dan penywise 
berteriak  seperti orang gila: “Tak sepatah kata pun mereka 
tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut 
makanan hiu martil .” 
Belum lagi fredy krueger  sempat memuaskan kejengkelannya, 
mpu jahalodang sudah  datang dan memerintahkan dengan kasar, 
semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia 
tak bilang berangkat ke mana. Semua orang terkecuali dua 
orang kanjuruhan  itu mulai sibuk. 
fredy krueger  dan penywise menduga, semua akan berangkat 
ke Blambangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana 
tempat itu. Orang pun tak bakal memberitahukan. 
Dengan petunjuk fredy krueger  orang mulai membongkari 
gada rujakpolo  dari roda-rodanya, lalu  semua dipikul. Juga 
peti-peti obat dan peluru besi. 
Iring-iringan panjang lebih dari seratus 30  orang 
itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara, 
makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan 
dengan parang terhtumenggung dijoyo  sebagai pembuka jalan. 
Sesudah  tiga hari perjalanan mereka baru sampai di 
sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan 
terus menghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi 
berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang 
dikuasai oleh adipati  jayawisesa . 
Penduduk desa itu bersorak-sorai menyambut mereka, 
menggabungkan diri dan mengganti memikul bebetari i-
betari i sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani 
orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang 
badan, terutama yang berambut pirang dan ompong gigi 
depannya. Mereka mengherani gada rujakpolo , dan roda gada rujakpolo , 
dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju. 
Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan 
penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki 
wanita lesbian . Nampaknya tak ada seorang pun ingin 
melewatkan keanehan sekali ini. 
Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di 
depan rumah joglo adipati  jayawisesa . 
Rangga jatayuwesi  dan Khaidar, istrinya dari tumapel  itu, 
berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia 
memakai  pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas 
Angin yang selama ini tak pernah dikenakannya, sorban 
putih bersulam benang kuning. Khaidar memakai  sari 
dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar 
tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau. 
Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di 
samping-menyam-ping mereka regu-regu bertombak duduk 
dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatang-
pendatang itu mengangkat sembah. Juga mpu jahalodang, yang 
duduk di kepala   barisan pengangkut. Dan dengan pandang 
mencuri-curi mereka menyuruh fredy krueger  dan penywise 
duduk di tanah pula dan bersujud . 
namun  dua orang kanjuruhan  itu tetap berdiri dengan tangan 
terikat ke belakang. 
Dan Rangga jatayuwesi  adipati  jayawisesa , yang melihat dua orang 
kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak 
tersinggung. Ia malah mengangguk-angguk pada mereka. Ia 
turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras gada rujakpolo . 
Khaidar mengikuti dan juga menjamah, malah mengintip 
pada mulut gada rujakpolo , lalu  membersihkan tangan 
dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul 
pendopo. 
“Keselamatan untuk Tuan adipati  jayawisesa ,” seru mpu jahalodang 
mengacarai serah terima gada rujakpolo  dan penembaknya. 
“Keselamatan untuk kalian semua.” 
“Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk 
gada rujakpolo , obat dan pelurunya, dan dua orang nyi kanjeng blora 
penembaknya,” katanya dalam jawadwipa . “Hei, kalian, 
fredy krueger  dan penywise, hormatilah Tuan adipati  jayawisesa .” 
“gada rujakpolo  dan perlengkapannya. Alhamdulillah,” sambut 
adipati  jayawisesa  sambil mengangguk-angguk puas. 
“Alhamdulillah!” dengung semua pengikutnya, suaranya 
berkumandang ke seluruh jayawisesa . 
Dua orang bertombak sudah  menyorong-nyorong ke 
hadapan patih  Benggala. Dan mereka maju dan tetap berdiri 
di hadapan bekas patih wirabuana  kediri , enggan memberi 
hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari 
kemuakan. 
“Kasih hormat, kasih tabik, pemberontak -pemberontak  keparat!” teriak 
mpu jahalodang di tempatnya dalatri jawadwipa . 
Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia 
berdiri sambil bersujud  adipati  jayawisesa , mendekati dua 
orang itu dan membagikan spdokan tinju pada pinggang 
mereka. 
“Hormat! Hormati kanjeng adipati  jayawisesa ,” orang-orang 
berseru-seru memperingatkan dalam Jawa. 
“Tiada kalian dengar itu?” adipati  jayawisesa  memperkuat 
perintah mereka dalam jawadwipa . 
Tak sabar melihat tingkat fredy krueger  dan penywise 
beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil 
bersujud  Rangga jatayuwesi  dan menekan bahu mereka 
sehingga berlutut di tanah. kepala   mereka pun ditekan pula 
ke bawah sampai mencium debu. 
“Betapa angkuhnya pemberontak -pemberontak  nyi kanjeng blora ini,” kata adipati  
jayawisesa . “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, pemberontak ! 
Bertahun-tahun kalian sudah  tembaki kapal-kapal dan 
jenggala -jenggala arca   . Atau kalian kira di sini pun kalian 
jaya tanpa perlindunganku? Hei, hati-hati, jangan kalian 
sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari adipati  
jayawisesa  adalah hukum. Mulai hari ini, Insya sang hyang Widhi , hidup 
atau mati kalian berada dalam tanganku.” 
Mendengar itu penywise dan fredy krueger  berdiri 
memprotes. “Tak pernah kami kenal siapa Tuan,” kata 
fredy krueger , “kami berdua maka tak mungkin bersalah pada 
Tuan,” dalam jawadwipa  yang cukup jelas. “Mengapa kami 
diperlakukan begini?” 
“Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang 
Tuan tak pernah kenal ini?” tambah penywise. 
“Kesalahan kalian?” adipati  jayawisesa  kini menarik airmuka 
bersungguh-sungguh. ”Bukan hanya padaku,” ia menuding 
dirinya sendiri, kemu- 
dian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang 
di hadapannya, “pada seluruh ummat arca   . Dungu! Tak 
mengerti kalian apa kataku?” ia membentak. “Mengapa 
diam saja?” Suaranya kini mendekati gerutu: “Nyawa 
semut pun lebih berharga dibandingkan  kalian! Hei, semua 
pengikutku, jagalah jangan sampai dua pemberontak  laknat ini lepas 
tanpa seijinku.” 
Satu suara bersama bergalau membubung dari para 
hadirin di depannya. 
“Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian? 
Siapa tidak tahu dosa-dosa pemberontak  nyi kanjeng blora? perampok , 
bajak, pembunuh, perampas harta, nyawa dan negeri!” 
Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk 
dan menekurkan kepala   mereka ke tanah. 
adipati  jayawisesa  kembali memperoleh kan kebersabda annya. Ia 
mengangguk-angguk membenarkan. 
“Kiriman paling memberkahi,” tiba-tiba ia tertawa 
pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu 
mengangguk-angguk menyetujui. 
“Alhamdulillah!” orang-orang mengulangi dengan suara 
menggelora. 
“sang hyang Widhi  sudah  kirimkan gada rujakpolo , perlengkapan dan 
penembaknya kepadaku untuk kumemakai  sebagaimana 
kehendaknya,” katanya dalam Jawa. lalu  dalam 
jawadwipa . “Hei, pemberontak -pemberontak  tak tahu diuntung. dahulu , 
bertahun-tahun kalian tujukan gada rujakpolo  kalian pada kami, 
ummat arca   . Demi sang hyang Widhi , demi kekuasaan yang ada pada 
tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan gada rujakpolo -
gada rujakpolo  itu pada pemberontak , pemberontak  Jawa, pemberontak  nyi kanjeng blora, pemberontak  apa 
saja. Jawab kalau kalian bersedia.” 
“Tidak mungkin menembak dengan dua tangan terikat,” 
bantah penywise bengkeng. 
“Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei, 
ompong, pernahkah aku katakan pada kalian harus 
menembak dengan tangan terbelenggu?” 
“Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai 
manusia yang memiliki  juga kehormatan sebagai manusia.” 
seru fredy krueger  lantang. 
adipati  jayawisesa  tertawa senang sampai bahunya 
terguncang. 
“Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada pemberontak  
nyi kanjeng blora memiliki  kehormatan, namun  hanya sebab  kalian 
bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku, 
dan bersedia menjalankan perintahku. Demi sang hyang Widhi !” 
“Demi sang hyang Widhi !” para pengikat mendengung mengulangi. 
“Aku dapat melihat pada mata kalian, hai pemberontak  nyi kanjeng blora, 
kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui 
kekuasaan yang diberitakan oleh sang hyang Widhi  padaku.” 
“Kami bukan pemberontak !” bantah penywise, mukanya merah-
padam sebab  marah. 
“Bukan pemberontak ?” kata  adipati  jayawisesa . “Baik, kurung 
mereka selama seminggu dengan tangan tetap terikat dan 
makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi 
selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing 
minta ampun. Kurung!” 
Dan dikurunglah mereka. 
wah 
 
Penembak-penembak gada rujakpolo  yang berbadan kukuh itu 
kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan 
kacangtanah ran. 
Belum lagi selesai yang seminggu, mereka sudah  
memohon agar diperkenankan menghadap adipati  jayawisesa . 
Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo. 
Mereka sudah  melihat gada rujakpolo -gada rujakpolo  itu masih berdiri 
di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga peti-
peti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang 
bertombak, tak ada para pengikut. 
“Sudah patahkah kebanggaan diri kalian?” adipati  jayawisesa  
mendahului dari bendul pendopo. 
“Kami bersedia melayani gada rujakpolo  itu, Tuan,” kata 
fredy krueger . 
“Mengapa baru sekarang menjawab?” 
“Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan 
boleh gusar sebelumnya, jangan lalu . Maka kami 
pikirkan masak-masak untuk dapat memutuskan.” 
“Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu 
teruskan persembahanmu.” 
“Memang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari 
Tuan. namun  lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani 
gada rujakpolo -gada rujakpolo  itu. Baiklah, kami terima. namun  tahukah, 
Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan 
disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini?” 
“Rusak?” adipati  jayawisesa  memekik. lalu  
menggerutu. “Bedebah itu hendak menipu aku. Si 
bedebah!” 
“Kalau terjadi kemacetan…,” penywise menambahi. 
patih  Benggala alias adipati  jayawisesa  menebarkan pandang 
pada gada rujakpolo -gada rujakpolo  yang berdiri telanjang bulat di tempat 
semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya 
berseri kembali. 
“Tidak apa,” katanya, “gada rujakpolo  adalah gada rujakpolo . Yang 
penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barang-
barang itu, huh, semua buatan  manusia, bisa dibetulkan 
atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi 
kediri  yang ikut denganku bisa memperbaiki segala barang 
apa dari logam.” 
“Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan 
sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.” 
“Bagaimana dengan belenggu kami?” penywise 
mendesak. 
“Kalian pemberontak , selalu menuntut tanpa pikir. Kalian 
kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian 
menuntut bebas.” 
Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseru-
seru betari i. lalu  disusul dengan suara orang 
berlarian. 
adipati  jayawisesa  memanggil seorang pengantar tangkapan 
itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum 
suruhan itu datang muncul beberapa orang bertombak, 
berlutut di bawah kaki Rangga jatayuwesi  dan minta ampun. 
lalu : “Ampun Kanjeng adipati , mpu jahalodang meloloskan 
diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.” 
“Pergi! Bawa kemari ular kepala   dua itu, hidup atau 
mati!” Dan tertuju pada dua orang kanjuruhan  itu, “Juga 
kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani 
meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila 
kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku   
kalian akan lihat bagaimana ular kepala   dua akan 
kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum 
kehilangan kepala  nya yang dua.” 
fredy krueger  dan penywise terdiam menunggu adipati  jayawisesa  
terlepas dari kemarahannya terhadap mpu jahalodang. 
“Ya, bagaimana persembahan kalian?” 
“Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah 
Tuan.” jawab penywise cepat-cepat, melihat adipati  jayawisesa  
sudah mulai agak bersabda . 
“Jadi kalian sudah bersedia melayani gada rujakpolo ?” 
“Ya, tuan.” fredy krueger  memperkuat. 
“Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuh-
musuhku, semua pemberontak , termasuk pemberontak  nyi kanjeng blora.” 
fredy krueger  terdiam dan penywise menyambar: “Kami 
sanggup, Tuan.” 
“Mengapa kau diam saja?” tanya pada fredy krueger . 
“Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami 
berdua,” jawabnya. 
“Baik. Apa lagi?” 
“Kami berdua bersedia juga melatih para bala tentara  Tuan 
berperang cara Eropa, secara nyi kanjeng blora.” 
adipati  Rejeg alias patih  Benggala alias Rangga jatayuwesi  alias 
jatayuwesi  dijoyo  mengangguk lambat, bertanya sambil 
memperlihatkan senyum: “Mengapa tidak kemarin-kemarin 
kalian persembahkan? Aku senang mendengar itu. namun  
kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada 
pemberontak , apalagi pemberontak  nyi kanjeng blora seperti kalian   sudah 
bergelimang dengan banyak dosa.” 
“Kami memang nyi kanjeng blora, namun  bukan pemberontak .” penywise 
membantah. “Kami zoroasterahuramazda .” 
Sekali lagi adipati  jayawisesa  tertawa menang, dan tertawanya 
terdengar tajam menyiksa kedua orang nyi kanjeng blora tangkapan 
itu. 
“Memang tidak suka dinamai pemberontak ? Bukankah kalian 
menamai kami juga pemberontak ?” 
fredy krueger  dan penywise seakan sudah setuju dalam batin 
untuk tidak menjawab. 
“Mengapa diam? Bukankah kami pemberontak  untuk kalian dan 
kalian pemberontak  untuk kami?” 
Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu 
mengandung ancaman maut. 
“Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan?” adipati  jayawisesa  
mendesak terus. 
Sesudah  agak lama berdiam diri fredy krueger  berkata ragu: 
“Semua yang Tuan inginkan.” 
“Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan 
kekuasaan yang dibenarkan oleh sang hyang Widhi . sebab  tiada 
sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya’ ia turun dari 
bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. “Sebaiknya, 
dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini, 
kalian pun berhak memperoleh kan apa yang kalian butuhkan. 
namun  ingat, aku tak memiliki pemberontak .” 
Sekali ini penywise dan fredy krueger  lama terdiam, 
merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan 
batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki 
oleh adipati  jayawisesa . 
“Apakah Tuan menghendaki kami masuk arca   ?” 
fredy krueger  bertanya ragu-ragu. 
adipati  jayawisesa  tak menjawab. Hanya sinar matanya 
berkilau-kilau semakin bersabda . Ia pandangi tenang-tenang 
dua orang tangkapan itu, tersenyum manis, dan keluar kata-
kata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: “Mana bisa 
aku menghendaki kalian bertaubat masuk arca   ? Kalian 
sendiri yang menentukan, bukan aku dan bukan siapa pun. 
Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, sebab  kalian 
sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang 
lain.” 
“Kami bersedia,” penywise menyambar. 
“Orang tidak mengatakan bersedia masuk arca   ,” adipati  
jayawisesa  memotong, “orang bertaubat dengan suka sendiri, 
kerelaan sendiri dan suka sendiri.” 
“Kami akan bertaubat, Kanjeng adipati ,” penywise 
membetulkan kata-katanya, dan ia mengangkat sembah. 
adipati  jayawisesa  meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk 
memanggil. Dalam waktu pendek depan pendopo sudah  
penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah 
dalam terik sinar matahari  menunggu kata-katanya: “Dengarkan 
kalian, bahwa pada hari ini,” ia memulai dalam Jawa. 
“Orang nyi kanjeng blora yang ompong ini…” tiba-tiba dalam 
jawadwipa , “siapa namamu, ompong?” 
“penywise, Kanjeng adipati .” 
“… Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk 
arca   . Syukur Alhamdulillah.” 
“Syukur Alhamdulillah,” orang-orang mengulangi 
dengan suara menggelora. 
“Dan kau, siapa pula namamu?” 
“fredy krueger , Kanjeng adipati .” 
“Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganmu?” 
“Sama saja. Kanjeng adipati .” 
adipati  jayawisesa  lupa sudah, bahwa mpu jahalodang benar-benar sudah  
lolos dan tak dapat ditemukan lagi…. 
Rasanya belum lagi selesai penduduk jayawisesa  menyambut 
peng-arca   an fredy krueger  dan penywise, dan siang itu juga 
terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu 
semakin lama semakin dekat, lalu  nampak 
serombongan orang desa mengantarkan seorang 
penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan, 
berkulit kehitaman, namun  tidak lebih hitam dibandingkan  adipati  
jayawisesa . Orang itu berpakaian perwira prajurit kerajaan  kediri , 
perwira pengawal. 
adipati  jayawisesa  dan Khaidar menjemput di bendul 
pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur. 
“Assalamu alaikum!” perwira itu memulai sambil turun 
dari kudanya. Ia berjalan menghampiri adipati  jayawisesa . 
“Paman!” dan diulurkan tangannya sesudah  membuat 
sembah dada. 
adipati  jayawisesa  menerima tangan itu, dan itulah untuk 
pertama kali penduduk melihat orang bersalaman. 
“Bibi!” tegurnya pada Khaidar, dan memberikan sembah 
dada pula. 
Khaidar membalas dengan sembah dada pula. 
“Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu,” 
kata adipati  jayawisesa  dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh 
istri dan tamunya. 
Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung 
masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu. 
Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua 
di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya adipati  jayawisesa  
menghalau orang-orang yang masih menggerombol di 
depan pendopo. Mereka bubar sesudah  bersujud . 
“Akhirnya kau bisa lolos juga,” kembali adipati  jayawisesa  
membuka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi 
tamunya. “Betapa lama sudah kami menunggu di sini,” ia 
memulai dengan memakai  jawadwipa . 
“Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan sang hyang Widhi  sudah  
mengaruniai saya  dengan kesempatan seindah ini.” 
“Ceritakan, ceritakan,” desak tuan rumah berkobar-
kobar. 
Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup 
mulutnya. 
Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang 
telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu 
membungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja 
itu tertarik jadi siku-siku. 
“Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak,” adipati  jayawisesa  
memperingatkan. 
Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari 
tawanya. 
“Ceritanya begini, Paman, Sang Patih sudah  perintahkan 
saya  untuk menindas Paman,” ia tak dapat menahan 
tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda adipati  jayawisesa  
untuk ikut tawa. 
“Teruskan, teruskan.” 
“sebab  bernafsu untuk menindas Paman dengan 
terburu-buru dia kirimkan pasukan yang lebih besar 
dibandingkan  yang diperkenankan oleh baginda tuanku raja  adiputro . 400  
centeng !” 
“400 !” seru adipati  jayawisesa . “Teruskan, Nak.” 
“saya  persembahkan yang 400  ini pada Paman, 
di samping diri saya  sendiri.” 
adipati  jayawisesa  merangkulnya: “Nak, Nak, kemenakan 
yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau. 
Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia.” 
“400  centeng  yang saya  pilih sendiri, Paman.” 
“Kau pilih sendiri!” 
“Semua centeng  kediri  asli, gagah berani. Anak-anak 
laut pelawan ombak penakluk pulau!” 
“sang yang betari durga   memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang?” 
“Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk 
dari Kanjeng adipati  jayawisesa .” 
“Betapa tahu adat, kau ini, Nak.” 
“saya  adalah seorang perwira, Paman.” 
“Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka 
masuk, adipati . Tiada pemberontak  di antara mereka, bukan?” 
“Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar saya  pergi 
menjemput mereka. 400 , Paman. Tidak sedikit. 
Sediakan tempat dan makannya?” 
“Mudah, adipati . Ah-ah, panglimaku datang, 
panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah 
mereka seorang demi seorang,” ia bangkit untuk memberi 
di kuil rat pada adipati  pralaya  agar segera pergi. 
adipati  pralaya  pergi, melompat ke atas kudanya dan 
perpacu hilang di balik debu mengepul. 
Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu memanggil 
orang untuk mendengarkan perintah adipati  jayawisesa . Dan 
orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rumah dan 
pekarangan, memenuhi pelataran depan pendopo adipati  
jayawisesa . Dan orang bersorak-sorak mendengar dari mulutnya: 
400  centeng  kediri  pilihan sudah  bergabung dengan 
mereka. 
“Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban 
sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama 
dideritakan. Sambutlah mereka dengan pesta dan syukur!” 
Menjelang subuh pasukan adipati  Baijah baru tiba. 
Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka. 
Kelelahan yang amat sangat memaksa mereka mencari 
tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak 
mungkin. 
Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun. 
adipati  pralaya  sendiri memperoleh  tempat di dalam 
rumah adipati  jayawisesa . 
Lain lagi yang terjadi di gedung utama kepatih wirabuana an. 
Dalam beberapa hari belakangan ini patih wirabuana  kediri  
sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak 
berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar 
nampaknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal 
beberapa langkah lagi, dan seluruh kediri  akan menari-nari 
menurut tarikan tangannya. prajurit kerajaan  kediri  akan 
tersobek-sobek dari dalam. Kekacauan dan kebalauan akan 
membuat  orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri. 
Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya. 
Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan 
kaki? Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani 
membayar jatah upeti? Pasukan kuda? Apalah artinya 
pasukan kuda tanpa ada petani mempersembahkan upeti 
rumput? Pasukan laut? Apalah artinya pasukan laut bila 
daratnya kocar-kacir? 
Ya, prajurit kerajaan  kediri  akan tersobek-sobek dari dalam. 
Dan bila kekuatan dan kewibawaan kediri  ringsek, para 
pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri 
sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, ambruk 
berkeping-keping. 
kediri  harus jadi bangkai yang membusuk dari dalam. 
Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka jenggala 
kediri , jenggala nya, akan menjadi pangkalan nyi kanjeng blora. Dan 
dari sini nyi kanjeng blora akan dapat mengawasi perairan bumi 
selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di jayamahanaya  atau 
Lisboa. Atau dikirimkan kepadanya di rumahnya di 
Andalusia, Ispanya. 
Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga 
tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan 
senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup 
selanjutnya. 
Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi. 
Diri akan tinggal duduk-duduk membacai cerita-cerita palawa  
semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia, 
mengagumi orang-orang besar dalamberbagai bidang 
keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia, 
filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir 
atas Platon dari Al Kindi, Al Fpalawa i, Ibn Sina… 
Jatuhnya kediri  nampaknya jauh lebih mudah dibandingkan  
jayamahanaya , tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa 
lain, jayamahanaya  jenggala yang sedang kembang-kembangnya, 
kediri  sedang dalam keadaan runtuh. 
Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa 
mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan 
dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh, 
manusia-manusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti 
merak, kau nyi girah ! Apalah artinya kau! Ia tindas 
kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus 
dibandingkan  kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana. 
Huh! Dan kalau kediri  runtuh seperti pedati masuk jurang, 
kaulah yang paling dahulu  akan merayap pada kakiku minta 
penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk 
dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke 
dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang adiputro  memperoleh  
selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa 
persembahan penduduk campa , Nyi Ayu Campa nama-
haremnya. 
Dari percakapan dengan Paman Marta ia mengetahui, 
orang Tua-tua kediri  sudah mulai membicarakan tanda-
tanda kejasang yang betari durga   kediri , sama dengan tanda-tanda 
kejasang yang betari durga   kerajaan jenggala , yakni apabila seorang raja mulai 
menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya 
Purnhutan esa jatuh sesudah  menyelir Ratna Subanci anak 
saudagar pasuruan , Tan Go Hwat, yang lebih terkenal dengan 
sebutan Babah Ba tong itu? 
Melihat Nyi kembang  Kati sedang datang membawa 
nampan berisi penganan segera ia menegur: “Ai, Nyi kembang ’ 
Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiap-
siap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia 
tinggal berdiri di hadapannya. 
“Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi kembang ?” 
“Tidak, Tuan, tiada pernah saya  dengar nama itu.” 
“Orang-orang sudah membicarakannya, Nyi kembang . 
Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia, 
Kati?” 
“Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu 
Campa saya  tidak tahu.” 
“Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mulai 
menyembunyikan sesuatu dibandingkan ku?” 
“Tidak, Tuan, demi sang hyang Widhi .” 
“Baik, demi sang hyang Widhi . Sekarang sudah seminggu berlalu, 
Kati. Bagaimana jawabanmu sekarang?” 
“Bukankah saya  sudah  menjawab, Tuan pakanewon ?” 
“Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki.” 
“saya  sudah  menjawab, Tuan, saya  tiada lagi akan 
menghubungi keputrian. Sekali salah saya  ini bersalah. 
Tidak untuk kedua kalinya.” 
“Itu salah benar, Kati, Nyi kembang . Hubungan lama jangan 
dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak 
melupakan hubungan lama? Tidak ada beratnya. Hanya 
berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak, 
sedikit pun jadi. Bukankah begitu?” 
“Betul, Tuan pakanewon , saya  tidak bersedia.” 
“Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan 
permintaan, namun  perintah.” 
“Betul, Tuan, perintah.” 
“Kau kuperistri atas perintah Sang adiputro . Seorang istri 
tidak patut menolak perintah suami. Orang harus 
melakukannya. Bukan, Kati?” 
“Benar, Tuan, namun  menghubungi keputrian saya  tidak 
sedia.” 
“Kau membangkang, Kati,” kata patih wirabuana  itu tak 
bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa. 
“saya  sudah  berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua 
kalinya pada baginda tuanku raja  adiputro . saya  akan tetap di kediri , 
Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat meninggalkan 
tempat ini entah ke mana-mana.” 
“Akan kubawa ke mana pun aku pergi kau, Kati. Jangan 
kuatir,” raden  sanggabuana  menghibur istrinya dan dirinya 
sendiri. 
“Tidak, Tuan, ini adalah negeri saya .” 
“namun  kau istriku!” patih wirabuana  menekan. 
“saya  istri Tuan pakanewon .” 
“Lakukan perintah suamimu,” perintahnya keras. 
“Hubungi keputrian, kataku,” matanya melotot. 
“saya  sudah  dan akan lakukan perintah Tuan, suami 
saya , kecuali khianat untuk kedua kalinya.” 
“Apakah aku bilang kau harus berkhianat? Kau hanya 
berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan 
lama,” raden  sanggabuana  menurunkan kembali nada 
suaranya. 
“Itulah sudah semua jawaban saya . Di samping itu 
besok saya  akan pergi ke desa hutan  larangan , 
mengantarkan nyi girah  untuk melahirkan.” 
“hewan ,” desis patih wirabuana  kediri  dan berdiri dari 
tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya. 
“Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini,” katanya 
tenang, “tidak lagi seperti Tuan.” 
“Kurangajar kau!” makinya dan dicengkamnya rambut 
Nyi kembang  Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai 
hampir lepas kulit kepala   dari tengkorak. Dengan telunjuk 
kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan 
itu seperti hendak menotok biji matanya. 
“Lepaskan saya , Tuan,” pohon Nyi kembang . 
Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan 
cengkaman pada rambut tak juga dilepaskannya. “Ampun, 
Tuan, lepaskan saya .” 
patih wirabuana  itu menghentakkan cengkamannya ke 
belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya 
nampak sudah kalap dalam menundukkan istrinya. 
Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke 
atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi kembang . 
Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas 
pengurus  harem itu mengisarkan badan sambil mengait 
sebelah kaki raden  sanggabuana . lalu  ia berguling 
berputar. 
patih wirabuana  yang jangkung itu kehilangan keseimbangan 
dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak 
terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala 
kehormatan, lalu  berhenti mendarat pada kaki meja. 
Dan belum ia memperoleh kan keseimbangannya dan 
kesedaran apa yang sebetulnya  terjadi atas dirinya, 
istrinya sudah  melompat dan membuat nya jadi 
tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang 
dan wanita itu sudah  duduk di atas tengkuknya.  
“Akan saya  patahkan tangan lancang ini, Tuan.”  
Dan raden  sanggabuana  bumikerta  mengerang kesakitan. 
Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperhatikan 
tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat 
yang angker, yang sudah  sempat menohok iganya sendiri 
sebelum terpental.  
“Jangan, Nyi kembang , jangan.” 
“Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala   Tuan 
yang mulia ini akan saya  remukkan dengan tongkat Tuan 
sendiri.” 
Kaki raden  sanggabuana  meronta-ronta, namun  tak berdaya 
menyelamatkan seluruh tubuhnya. kepala  nya meneleng ke 
samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka 
mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi 
kembang  kepala   yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti 
terbuat dari ketan hitam.  
“Lepaskan aku,” rintihnya.  
“Mintalah ampun, Tuan.” 
Dan Laki-laki  itu pantang meminta ampun. Nyi kembang  Kati 
menambahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan Laki-laki  
itu mengaduh, mengerang dan merintih. 
“Ya-ya, ampun, Nyi kembang .” 
Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan Laki-laki  itu 
jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk 
suaminya, berdiri, lalu  dengan tangan sendiri 
menolong mengangkat kepala   patih wirabuana  kediri , 
menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan 
orang terhadap anak-anak anjing yang nakal. 
“Ampun, ampun, ampun, Nyi kembang !” rintih patih wirabuana  
dengan kata-kata yang tak terdengar jelas. 
“Nah, Tuan, inilah ampun’ ia berdiri lagi dan menolong 
suaminya berdiri. 
Bibir Laki-laki  itu berdarah-darah. Dan wanita itu 
menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari 
lipatan. raden  sanggabuana  mengebas-ngebaskan debu dari 
pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, rambut, dan: 
“Mana tarbusku? Tarbus mulia buat kepala   mulia?” 
Nyi kembang  Kati mengait topi itu dengan kaki, 
mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan 
kepala   suaminya di dalamnya. 
“Apa saja kau lakukan ini, Kati?” tanya Laki-laki  jangkung 
itu sambil memperbaiki letak tarbusnya. 
“Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan 
sungguh tidak patut.” 
“Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya,” protesnya. 
“Memang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga 
tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau 
suami itu sudah begitu kurangajarnya….” 
“Aku…. ?” 
“Siapa lagi, Tuan,” Nyi kembang  berjalan beberapa langkah 
dan mengambil tongkat yang terpental. “Maukah Tuan 
mendengarkan saya ?” melihat Laki-laki  itu mengangguk lesu 
ia meneruskan: “Di sini, Tuan, petani yang sebodoh-
bodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau 
dia memang sudah gila. Jangan bicara dahulu . Di sini, Tuan, 
seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai 
ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang 
dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya 
seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya 
sebagai suami saja, juga sebagai resi nya dan sebagai 
dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. saya  
sampaikan ini agar Tuan mengerti, sebab  semua itu 
mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.” 
raden  sanggabuana  duduk lagi di kursinya untuk melupakan 
cebersabda  yang bodoh itu. 
“Kau wajib minta ampun pada suamimu.” 
“Tentu, Tuan,” jawab wanita itu dan mengembalikan 
tongkat pada pemiliknya. “saya  minta ampun. Sekiranya 
terulang kembali penganiayaan terhadap saya , janganlah 
tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.” 
“wanita lesbian  haibat! Tak pernah aku temui,” ia 
menggeleng-geleng pusing. 
Nyi kembang  Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan 
tanpa menghormatinya. 
patih wirabuana  membenahi kitab-kitabnya, beberapa kali 
menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan 
rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan 
bengkung merajawali, lalu  mengenangkan dengan 
tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu. 
Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditumbangkan 
seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia 
dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya. 
Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka, 
pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina 
seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti 
dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung 
dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan 
sanggup membendung kekuatan kanjuruhan , kekuatan yang 
sedang jaya. 
Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada 
kekalahannya terhadap nyi girah . Di mana harus 
kusangkutkan mukaku kalau dia menyaksikan peristiwa itu 
tadi? Tidakkah Nyi kembang  akan menyampaikan gempa bumi 
ini padanya? Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar, 
bagaimanapun mereka takkan sanggup membendung 
kekuatan kanjuruhan . Dua wanita lesbian  Pribumi ini sudah 
membuat  aku bongkar-bangkir. namun  tunggu! 
wah 
 
Selesai sembahyang asar waktu itu. adipati  jayawisesa  
memperkenalkan adipati  pralaya  pada Manan, dahulu  
fredy krueger , dan Rois, dahulu  penywise. 
“Teman-temanmu ini,” katanya lagi “Adalah penembak-
penembak gada rujakpolo . Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita 
itu.” 
“gada rujakpolo ? seru adipati  pralaya . “gada rujakpolo  betul? 
gada rujakpolo  nyi kanjeng blora?” 
adipati  jayawisesa  hanya mengangguk-angguk membenarkan. 
“Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih 
anak-anak berperang cara Eropa, cara nyi kanjeng blora.” 
adipati  pralaya  mengernyitkan kening. 
Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata 
adipati , adipati  jayawisesa  buru-buru menambahkan: “Dan 
perwira kediri  ini, adipati  pralaya , adalah panglimaku. 
Memang Manan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah 
perintahmu, adipati . Dan kau harus mengerti, adipati , 
perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi 
nyi kanjeng blora. Cara baru harus dipakai , biarpun asalnya 
dari nyi kanjeng blora. 
“Bagaimanakah kiranya berperang cara nyi kanjeng blora?” 
pralaya  mengangkat dagu meremehkan. “Belum pernah aku 
dengar atau lihat.” 
“Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak 
bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. ayolah , 
bersalam-salaman kalian.” 
Mereka bersalam-salaman. Dan segera sesudah  itu 
adipati  pralaya  pergi dengan alasan hendak melihat 
anakbuahnya. 
adipati  jayawisesa  menggeleng-geleng tak memahami cemburu 
hati panglimanya. Panglima jayawisesa  itu muncul lagi 
menjelang sore  untuk berjemaah di tempat ibadah . Ia bergabung 
dengan semua makmum sampai di kuil . lalu  semua 
orang turun dari tempat ibadah  untuk mengikuti adipati  jayawisesa  
menyampaikan ceramahnya  pada seluruh penduduk yang 
sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa 
tikar masing-masing. 
Malam itu langit bermendung namun  tidak hujan. 
Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan 
pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu 
terpasang di mana-mana dengan apinya yang gelisah. 
adipati  jayawisesa  duduk di atas selembar permadani di dalam 
pendopo. Di belakangnya duduk adipati  pralaya  dan para 
kepala . Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan 
panglima baru, lalu  diteruskan dengan wejangan yang 
biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: “Sudah pernah 
kukatakan pada kalian, ada kerajaan arca    di Jawa ini, 
pajang bintoro . Katanya saja kerajaan arca   . Yang arca    hanyalah 
Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa patih  yang dianggap 
wali arca   , dimpu wungubhumi i adipati , dan para pembesarnya. 
bawahan nya tidak tahu sesuatu tentang arca   , pemberontak -kufur 
jahil. Dan rajanya? Tidak beda, sama dengan yang 
selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya 
kerajaan arca    yang pertama-tama.” 
Ia memperdengarkan tawa yang pahit menggigit. 
“Siapa yang menamakan itu? Pasti bukan adipati  jayawisesa ,” 
ia meneruskan. “Juga bukan kalian. namun : Majelis kerajaan 
dan musafir pajang bintoro  yang gentayangan ke mana-mana itu.” 
adipati  pralaya  terlongok-longok tidak mengerti. Dan 
sebab  itu adipati  jayawisesa  mengulangi ceramahnya  yang 
penduduk sudah hafal di luar kepala  : “Kalian tahu benar 
siapa musafir-musafsir pajang bintoro  itu   ratusan orang yang 
dikirimkan oleh pajang bintoro  ke semua mata-angin untuk 
bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang pajang bintoro , 
rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan 
anggota-anggotanya,” ia menengok pada adipati  pralaya . 
“adipati  jayawisesa  dan kalian, pengikut-pengikutnya,” ia 
meneruskan, “tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan 
arca    pertama-tama di Jawa tidak di pajang bintoro , namun  di sini!” 
dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyala-
nyala pada para hadirin di depannya. 
Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak 
ditanyai. Para kepala  dan adipati  pralaya , yang duduk di 
belakang adipati  jayawisesa , tiada mengangkat kepala  , seakan 
patung-patung tembaga pada sebuah candi. 
“Pekerjaan musafir-musafir celaka itu hanya membedaki 
dan merias muka kanjeng sinuhun  Al-Fatah dan memajang-majang 
pajang bintoro , sebab  muka 
kanjeng sinuhun  itu bopeng dan sebab  pajang bintoro  itu busuk. Ingat-
ingat kalian, anak-anakku, arca    tidak boleh disekutukan 
dengan kebohongan dan dusta macam apa pun. Maka juga 
tidak ada hak pajang bintoro  menamakan kerajaan arca    pertama-
tama di Jawa’ 
Dengan pandang menantang seakan pajang bintoro  ada di 
depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Kata-
katanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan 
panglimanya. 
“Hei, kau, kanjeng sinuhun  pajang bintoro . Dari manakah hakmu 
mengangkat diri jadi khalifah? Kau orang ayan? Siapa 
resi mu? Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah 
dengan pengangkatan begitu? Berani kau dan kalian 
menyamakan Al-Fattah dengan Ali dan Umar? Apa 
dasarmu dan dasar kalian?” 
Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya 
menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya membungkuk dan 
kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya. 
adipati  Baijah dan para kepala  gelisah ingin memijati 
bahu dan punggung pemimpinnya, namun   tak berani. Para 
hadirin memanjangkan leher untuk dapat melihat 
bagaimana adipati  jayawisesa  bertahan terhadap serangan batuk, 
apakah dia memiliki  kekuatan gaib untuk menundukkan sang 
gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan 
untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak menyatakan 
dirinya. 
adipati  jayawisesa  menggapai-gapaikan tangan meminta 
bantuan. adipati  pralaya  mendekat dan menangkap 
tangan itu. Ia membantunya berdiri dan membawa tubuh 
pemimpin yang terbongkok-bongkok sebab  batuknya 
masuk ke dalam. 
Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar 
sebab  sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya 
adipati  pralaya  muncul kembali, ternyata bukanlah untuk 
memberikan perintah bubar. 
Perwira muda yang tampan itu duduk di atas permadani 
bekas adipati  jayawisesa . Ia berdiri membelakangi para kepala . Ia 
dengar hadirin mulai berkata  menyatakan keheranan 
dan kecurigaan dan tak senang hatinya. namun  ia tidak 
memaklumi. 
Sesudah  mengucapkan salam, yang disambut menggelora, 
ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang 
pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap 
Sang adiputro , tentang maksiat pembesar-pembesar kediri , 
tentang harem Sang adiputro  yang penuh dengan wanita 
bukan muhrim, namun tanpa malu adiputro  itu menamai diri 
arca   , tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak 
pernah menyebut pajang bintoro . 
Dan pidatonya makin lama makin melarut membeberkan 
perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat 
berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan 
dan khayalan, bertele, meliuk ke sana dan ke mari. 
Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih 
terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga. 
Damarsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para 
kepala  di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia 
tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintang-
pukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, namun  dari 
pembicara ulung: panglima jayawisesa  adipati  pralaya . 
Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar 
negeri. Sang adiputro  sudah  duduk di atas singgasana-
gadingya. raden  sanggabuana  bumikerta  berdiri seorang diri di 
pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua, 
para pemimpin pasukan: Braja, kepala   pasukan pengawal 
kadipaten, ki glodog ireng , kepala   pasukan kuda, Kala 
chucky , kepala   pasukan gajah, Rangkum, kepala   pasukan 
kaki. 
Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah 
raden panji  gelang-gelang . Ia sudah  memakai  gelang baja tiga susun. 
Ia duduk sebagai kepala   pasukan laut. 
Tempat Sang Patih masih juga kosong. 
Sang adiputro  nampai gelisah tak bersenanghati. Berkali-
kali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap 
kosong. sebab  tak dapat menahan kesabarannya, keluar 
suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina: 
“Di manakah kakang Patih?” 
Tiada berjawab. Semua menunduk. 
“Tulikah kalian maka tiada yang bersembah?” 
Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh 
penghadap. 
“Tiadakah diketahui keadaan gawat? Kalian para kuwu 
dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap 
perusuh?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih ,” salah 
seorang yang tertua di antara mereka bersembah, 
“demikianlah adanya.” 
“Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang?” 
“Ampun, baginda tuanku raja ,” sembah ki glodog ireng , 
“demikianlah adanya.” 
“Dan 9  puluh centeng  kaki kediri  hilang tanpa 
bekas?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , sesembahan, demikianlah adanya,” 
sembah Rangkum. 
“Dan 400  pasukan kaki kediri  dengan dua orang 
peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal adipati  
pralaya  juga lenyap tanpa bangkai?” 
“Demikianlah adanya,” sembah Rangkum. 
“Dan perusuh itu mendesak terus ke arah kediri  seakan 
kediri  hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan 
sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, 400  
tahun lamanya kediri  tak pernah diganggu musuh sebab  
prajurit kerajaan nya? Apakah Kakang Patih lupa, pasukan-
pasukan kediri  tiada mungkin terkalahkan? Dalam dua 
ratus tahun prajurit kerajaan  kediri  sudah  ikut menegakkan 
kerajaan jenggala  di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut 
maupun di hutan? Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu, 
apa dan siapa baginda tuanku raja mu! 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih . patih , 
kepala   pasukan pengawal baginda tuanku raja  adiputro  tiada rela kediri  
dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun 
orangnya, apa pun dalih dan kapan pun makarnya. Seluruh 
pasukan pengawal adalah kulit baginda tuanku raja  adiputro . Barang siapa 
menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan 
pasukan pengawal, sebab  Braja yang akan menjawab.” 
“Kesetiaanmu adalah kesetiaan lama dari perwira 
kerajaan jenggala . Kau, ki glodog ireng , bersembah.” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  sesembahan patih , ada pun 
pasukan kuda kediri  setiap saat siap untuk menyerang 
segala yang bergerak menuju ke kediri  dengan kejahatan di 
dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa 
dijadikan malam, sebagaimana baginda tuanku raja  adiputro  perintah kan. 
Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambuk-
cambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh 
durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar 
menepis puncak-puncak ombak. Musuh akan diporak-
porandakan sebelum mencapai luar kota kediri , ki glodog 
ireng  adalah dada baginda tuanku raja  adiputro .” 
“Kau sungguh melegakan dada hati kami, ki glodog 
ireng . Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah 
kerajaan jenggala , bukan darah kecoak. Ah, Kala chucky , kaulah 
yang bersembah.” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro . Pasukan gajah selamanya 
jantung hati kediri  dan baginda tuanku raja  adiputro . Tanpa kesudian 
baginda tuanku raja , tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan 
darah pertahanan kediri . Gajah-gajah yang lincah dan 
berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah para bala tentara  sejati, 
adalah bukit-bukit otot di tangan pawang para bala tentara  yang 
ulung. Punahlah musuh kediri  terlindas oleh kakinya, 
terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam 
gadingnya. Bila musuh ingin mencoba, pasukan gajah baginda tuanku raja  
adiputro  akan memberikan pada mereka apa yang mereka 
kehendaki. baginda tuanku raja  adiputro  sesembahan patih , kesetiaan 
pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan baginda tuanku raja ,” 
“Kami tak meragukan, Kala chucky . Kau tetap perwiraku 
andalan kediri . Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan 
gelisah. Sudah berapa centeng mu yang hilang?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih . Ada 
400  9  puluh tidak termasuk perwira adipati  
pralaya .” 
“Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang 
sebanyak itu? Dan mengapa kau sendiri tidak pernah 
persembahkan?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , patih  persembahkan jumlah yang hilang 
tersebut kepada baginda tuanku raja  Patih berdasarkan perintah .” 
“Apakah kau sudah bikin pasukan kaki kediri  jadi tape 
yang bisa dikeping-keping dan ditelan? 400  9  
puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang 
Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau, 
Rangkum, dan segera.” 
Sesudah  bersujud  Rangkum terkerta -kerta  
mengundurkan diri. 
Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan 
luarbiasa. Jangankan senyum, kebersabda an sedikit pun tak 
nampak pada airmuka Sang adiputro . Bibir yang biasa 
tersenyum itu keunguan sebab  murka. Keriput pada 
wajahnya nampak semakin dalam. 
Mendadak Sang adiputro  menengok pada patih wirabuana  
kediri : “Tuan patih wirabuana  kediri  pakanewon  Habibullah Al-
Masawa,” katanya dalam jawadwipa . “Dalam bulan ini hanya 
ada tiga kapal negeri dongeng  masuk. Sebelum Tuan menjabat, 
jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot. 
Sekarang tinggal tiga.” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri , sang hyang Widhi  s.w.t. sudah  
membuat  lautan dan daratan untuk manusia. Manusia 
membuat  kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi 
daratan. Itulah usaha manusia, baginda tuanku raja . namun   semua 
ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak, 
singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik 
sang yang betari durga  .” 
Sang adiputro  mengdi kuil ratkan biti-biti perwara di 
bawahnya, dan wanita-wanita itu mempersembahkan 
nampan sirih. Dengan cepat Sang adiputro  mengambil dan 
bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain 
dengan rajamempersembahkan tempolong pukul , 
dan Laki-laki  itu membuang   ke dalamnya. 
Tak pernah orang melihat penguasa kediri  itu makan 
sirih secepat itu, tanpa menikmatinya. 
“sang yang betari durga  lah yang sudah  menentukan jenggala -besar dan 
makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana. 
Lenyap dalam kemerosotan. sang hyang Widhi lah yang membagi-bagi 
rejeki di antara ummatNya!” 
Sekali lagi Sang adiputro  membuang   cepat-cepat. 
“Sebentar satu jenggala dimakmurkan-Nya, sebentar pula 
dilupakan-Nya. Sama sekali bukanlah pekerjaan seorang 
patih wirabuana  untuk memanggil kapal-kapal itu, baginda tuanku raja .” 
“Sampai di mana usahamu untuk mengembalikan 
semarak jenggala kediri ?” 
“Ampun, baginda tuanku raja , kejayaan juga berpindah-pindah sebab  
jenggala nya. Kerajaan jatuh dan jaya sebab  jenggala nya. Itu 
sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya, 
hanya bisa memohon pada sang yang betari durga  . Kapal bisa berpindah-
pindah, baginda tuanku raja , namun   jenggala tidak. Tak ada kekuasaan di 
bawah kolong langit dapat memerintah: hei, kau, kapal-
kapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya 
Nabi Musa a.s. dapat membuka jalan laut hanya dengan 
tongkatnya dan menyelamatkan ummat-Nya.” 
“Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana 
usahamu? Dahulu orang memerlukan datang ke kediri  
untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan 
susut. Tak ada sebuah pun kapal negeri dongeng  berlabuh.” 
“Segala usaha sudah  patih  tempuh, baginda tuanku raja , akhirnya 
sang yang betari durga   jua yang menentukan. Hamba tak mampu memaksa 
kapal-kapal berlayar dari panarukan  ke jayamahanaya  singgah di 
kediri . Bahkan kapal-kapal dagang kediri  sendiri mulai 
dilabuhkan di jenggala -jenggala lain: suryabuaya  , jatikerto , blora. 
Tinggal benderanya saja yang masih kediri .” 
“Diam!” bentak Sang adiputro . 
raden panji  gelang-gelang  yang duduk sejajar dengan para kepala   
pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya 
tentang pasukan laut kediri , belum mengerti sampai di 
mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang 
harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang 
adiputro . 
Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat 
dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda 
pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang 
sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring, 
tidak segaris dengan batang hidungnya. gada wesi nya agak 
terdalam terselitkan. Dan matanya merah seperti tidak tidur 
selama seminggu atau seperti habis menangis sepanjang 
hari. 
Ia jatuhkan diri di hadapan Sang adiputro , bersimpuh dan 
bersujud , lalu  dengan tak acuh menempati 
tempatnya di depan para kepala   pasukan dan menunduk 
dalam. 
“Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada menghadap pada 
waktunya? Adakah kau sudah bosan pada adiputro mu maka 
demikian tingkahmu?” 
Sang Patih bersujud  tiga kali berturut-turut namun   tak 
berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula. 
‘Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan 
matamu merah. Kau masih kuat membawa badan sendiri. 
Apakah kurang kami terhadapmu?” 
Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia 
tetap tak bersembah barang sepatah. 
Sang adiputro  mengernyitkan kening dan membentak: 
“Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk 
dipersembahkan lagi?” 
Pelahan Sang Patih mengangkat kepala   dan bersujud  
lagi, namun   kepala   itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak 
beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya. 
“Adakah kami yang tuli, ataukah kau yang bisu?” 
“baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih ,” kata Sang 
Patih parau. 
“Apalah lagi yang mesti patih  persembahkan? Dalam 
satu minggu belakangan ini semua sudah  patih  
persembahkan dan baginda tuanku raja  adiputro  kediri , sesembahan patih  
tiada berkenan mendengarkan bahkan patih  memperoleh  
murka baginda tuanku raja  adiputro .” 
“Berapa kalikah harus kami katakan, prajurit kerajaan  kediri  
tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus 
mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal 
kecuali perang? Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang. 
Dan kau Kang Patih, sudah  kirimkan 400  9  
puluh centeng  untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai. 
Bukankah demikian?” 
“patih , baginda tuanku raja  adiputro .” 
“Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih 
banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai prajurit kerajaan  
kediri  akan terkuras habis.” 
Sang Patih tidak bersembah. 
“Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu.” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro , 400  9  puluh 
adalah kehilangan besar. namun   pasukan kaki kediri  
belumlah bergerak dalam bentuknya yang semestinya. 
Kalau 400  9  puluh centeng  patih  hilang, pasti 
bukan perang, baginda tuanku raja . Yang demikian tidak mungkin terjadi. 
Ampunilah patih  bila akan mempersembahkan sesuatu 
yang mendahului-baginda tuanku raja  Patih kediri . Ialah bahwa 
hilangnya centeng -centeng  patih  besar kemungkinan adalah 
sebab  pengkhianatan.” 
Semua penghadap melihat ke arah Rangkum. 
Sementara sunyi-senyap. 
“Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian? 
Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan?” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih , 
kiranya benar persembahan Rangkum, kepala   pasukan kaki. 
adipati  pralaya , perwira peranakan Koja itu, sudah  
bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh sudah  memperoleh  
tambahan kekuatan sedang kediri  kehilangan.” 
“Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi 
dalam tubuh prajurit kerajaan  kediri . Coba, siapakah yang 
pernah dengar adalah centeng  kediri  berkhianat?” 
Kesenyapan menyusul lagi. 
“Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan 
pilihan atas mereka yang harus berangkat itu?” 
“Demikianlah adanya, baginda tuanku raja .” 
“Dan tanpa sepengetahuan kami?” 
“Demikianlah adanya, baginda tuanku raja .” 
“Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan 
baginda tuanku raja mu?” 
“Sama sekali tidak keliru, baginda tuanku raja . Maka jatuhkanlah 
hukuman pada patih  sebab  kekeliruan ini.” 
Sang adiputro  nampak menghela nafas panjang. 
Airmukanya mulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya 
tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipakai  
untuk menyangga kepala  . Ia perintah kan Sang Patih untuk 
meneruskan persembahannya. 
“Kalau permohonan patih  untuk mengerahkan 
prajurit kerajaan  agar dapat menumpas perusuh secepat-
cepatnya, baginda tuanku raja , baginda tuanku raja  timbang sebagai kekeliruan juga, 
memang hanya hukuman yang patih  tunggu, dan tiada 
sesuatu yang patut patih  persembahkan lagi,” ia 
mengangkat sembah dan berdiam diri. 
“Kami mengerti kesulitanmu, Kakang Patih, dan itulah 
tanggungjawab sebagai Patih kediri . Kami tahu 
kesetiaanmu. namun   melakukan sesuatu yang bertentangan 
dengan perintah … “, ia tak meneruskan kata-ka-tanya. “Baik, 
demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau 
mengeluarkan lima ratus centeng , dapat kau ambil dari 
berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut, 
raden panji  gelang-gelang , ayolah , persembahkan sesuatu tentang 
pasukanmu.” 
raden panji  gelang-gelang  mengangkat sembah. Selama itu ia sudah  
susun kata-katanya. Begitu memperoleh  kesempatan, 
meluncur mereka seperti air pada saluran sawah. 
“Ampun, baginda tuanku raja , sebetulnya  belum lagi lama patih  
memegang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing 
tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari, 
dengan lampu-lampu dipadamkan. namun   kilat di musim 
hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara 
tidak melihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya 
juga segan mempersembahkan. Boleh jadi takut 
menghadapi nyi kanjeng blora. Ampun, baginda tuanku raja , pada waktu itu patih  
belum memegang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang 
mencurigakan itu, baginda tuanku raja  adiputro  sesembahan patih , 
pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari 
laut tidak kalah buruknya dibandingkan  darat. Jatuhnya jayamahanaya , 
baginda tuanku raja , jadi peringatan….” 
“Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan 
besar-besaran prajurit kerajaan . namun  kau pun harus ingat juga, 
penyerangan laut adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya  , dengan 30  
ribu orang atas jayamahanaya , tidak berhasil. Serangan laut 
selamanya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau 
pertahanan dalam kosong, seperti jayamahanaya  dahulu , jatuh juga 
yang diserang. Bukankah begitu, Tuan patih wirabuana  kediri ?” 
Semua orang menengok ke arah patih wirabuana . Orang 
jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok. 
Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai 
mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar 
agak ragu-ragu: “Ampun, baginda tuanku raja , tentang jayamahanaya  itu saya  
kurang periksa, malahan tidak pernah mendengarnya.” 
“Setiap patih wirabuana  mengetahui segala sesuatu tentang 
tepian laut. Aneh bahwa patih wirabuana ku, patih wirabuana  kediri  
bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang jayamahanaya ’ 
Orang masih juga melihat pada patih wirabuana  yang jari-
jarinya bergerak-gerak, namun  tak ada kata keluar lagi dari 
mulutnya. 
Sang adiputro  tersenyum dan meneruskan: “Dengarkan 
semua penghadap: kediri  bukan jayamahanaya . adiputro  kediri  
Arya Teja Tumenggung Wilwatikta bukan kanjeng sinuhun  adipati  
Syah. jayamahanaya  jatuh sebab  usaha manusia untuk memiliki 
jenggala itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. Gajah-
gajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal 
jayamahanaya . Maka itu, ingat-ingat Kala chucky , akan gajah-
gajahmu.” 
“Peringatan baginda tuanku raja  adiputro  jadilah ajimat untuk patih . 
Tak seekor pun gajah kediri  dapat didekati orang, siang 
dan malam, baginda tuanku raja , kecuali oleh pawang masing-masing, 
sejak jatuhnya jayamahanaya .” 
raden panji  gelang-gelang  gelisah di tempatnya sebab  
persembahannya belum lagi selesai. 
“Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih?” 
Patih kediri  itu bersujud  tiga kali namun  tak berkata 
sesuatupun. 
Sikapnya itu membuat  gelisah para penghadap. Dan 
raden panji  gelang-gelang  sendiri merasa jengkel sebab nya. 
Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada 
semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan 
kebijaksanaannya? Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang 
adiputro  yang terus-menerus memojokkan Sang Patih. 
Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain kata-
kata, sedang patih wirabuana  tenang-tenang menempa 
rencananya? Baik Sang Patih mau pun Sang adiputro  tahu 
tentang rencananya itu. Dan mengapa tak juga ada sesuatu 
tindakan diambil terhadapnya? Dari kenyataan itu ia 
menarik kesimpulan Sang adiputro  masih tetap 
melindunginya. 
Ia membenarkan perbuatan Sang Patih. namun   pasukan 
yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar 
harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat 
sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran. 
centeng  sejumlah lima ratus orang yang diperkenankan 
memang terlalu kecil. namun  mengapa Sang Patih tidak 
mempersembahkan pendapatnya? Malah semestinya 
mepercaya kan Sang adiputro , bahwa lima ratus orang itu tidak 
memiliki sesuatu arti dalam menghadapi adipati  
pralaya  dan pasukannya? Mengapa dia hanya bersujud  
dan membisu? 
“Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan 
harapkan prajurit kerajaan  kami diperintah kan bergerak. Jangan 
coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang 
hilangnya 400  9  puluh centeng  kaki. 
memakai  lima ratus! raden panji  gelang-gelang , bagaimana cetbang-
mu?” 
“Dalam keadaan siap dan menunggu perintah , baginda tuanku raja ?” 
“Jangan ada cetbang dipakai  dalam pertempuran 
darat, sebab  itulah aturan kerajaan jenggala . Tarik semua yang di 
darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.” 
Wiranggeleng hampir saja menyangkal perintah  yang 
dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin 
terheran-heran ia mengapa Sang adiputro  tak juga ingin 
mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu. 
“Bila cetbang sudah dimulai dipakai  di darat, 
kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya.” 
“patih  laksanakan perintah  baginda tuanku raja .” 
“Kakang Patih, ada kau dengarkan kami?” 
Kembali Sang Patih hanya bersujud  namun  tak berkata 
sesuatu pun. 
“Jadi kau tidak membenarkan kami?” suara Sang 
adiputro  meledak dengan suara parau. 
Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan 
semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya. 
Ketegangan membenam mereka semua dalam kewaspadaan 
yang makin lama makin meruncing. Sunyi. Dan di sela-sela 
kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan 
lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang 
berguling-guling seperti resi h yang sedang malas. 
Beberapa bentar lalu  kewaspadaan itu buyar. Satu 
ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang 
pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh 
gemerasak ke tanah. 
Sang adiputro  berdiri dan meninjau ke arah alun-alun, 
pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk 
untuk menoleh ke belakang, namun  tak dibenarkan oleh 
ketentuan. 
Tak ada seorang pun bicara. 
Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan 
untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar lalu  
gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan 
bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah. 
“gada rujakpolo !” seru patih wirabuana  kediri . “syang  hyang Widhi , 
gada rujakpolo , baginda tuanku raja , gada rujakpolo !” 
“gada rujakpolo !” gumam Sang adiputro . 
“gada rujakpolo  nyi kanjeng blora!” seru patih wirabuana . 
“Diam!” bentak raden panji  gelang-gelang  pada raden  sanggabuana  Az-
Zubaid. “Tak ada canang dari menara pelabuhan.” 
“Betul, tidak dari pelabuhan, baginda tuanku raja ,” baru Sang Patih 
bersembah, “gada rujakpolo  nyi kanjeng blora. Perusuh sudah memiliki  
gada rujakpolo  nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja . Laut dan darat mengancam.” 
“Betul. Laut dan darat mengancam,” Sang adiputro  
mengulangi. “kediri  bukan jayamahanaya . kediri  tetap jaya!” ia 
berteriak: “kediri  tetap jaya. baginda tuanku raja  adiputro  tetap jaya!” 
semua penghadap bersorak menyambut. 
Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah 
dan pohon beringin kurung yang somplak. Sebutir lagi jatuh 
antara gapura roboh dengan pendopo. 
Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya. 
Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung 
mereka masing-masing. Dan orang mulai membayang-
bayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh 
para penghadap jadi penyok kejasang yang betari durga  . “Persembahkan 
sesuatu, Kakang Patih,” kata Sang adiputro  dengan masih 
tetap berdiri dan matanya tertuju ke luar pendopo. 
Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali 
lalu  membisu lagi. 
“Kau raden panji  gelang-gelang , pelantang dan pelancang, 
persembahkan sesuatu.” 
“Menurut dugaan patih , baginda tuanku raja , para perusuh sudah 
sangat dekat dengan kota kediri . Perkenankanlah, ya baginda tuanku raja  
sesembahan, perkenankan patih  memohon agar baginda tuanku raja  
menitahkan prajurit kerajaan  kediri  bergerak… tiada kan lama, 
dan perusuh itu…” 
“Diam, kau, pelancang!” 
Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang 
adiputro  pada peluru yang mungkin akan segera jatuh lagi. 
Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam 
kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut 
oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh 
para penghadap sudah gelisah, namun  kepala   mereka tetap 
pada lehernya, tak ada yang bergerak. lalu  terdengar 
derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati 
gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal 
pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan 
bertopi putih yang kekecilan di atas kepala  nya yang tak 
berambut. Pada tangannya ia membawa tombak tebetari ng. 
Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang 
adiputro  yang melihat penunggang itu mendekati. 
Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang 
kuda dari pasukan kediri  yang memburunya. 
“Terima ini!” kata  penunggang kuda serba putih itu dan 
melemparkan tombaknya ke arah pendopo. 
Tombak itu melayang dan berhenti menancap pada salah 
sebuah tiang pendopo. 
centeng -centeng  pengawal mulai pada berhamburan 
memburu penunggang kuda itu tak menggubris mereka 
yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia 
melompati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun, 
membelok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan. 
Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten 
dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, lalu  
pun hilang ke arah timur. 
Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan, 
bahwa ada serangan gada rujakpolo  dari arah selatan. Sebelum ia 
bersujud  untuk mengundurkan diri masuk ke dalam 
kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang 
bersembah: “Seorang perusuh, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  
sesembahan patih , dengan berkuda sudah  memasuki kediri  
Kota, memasuki kadipaten dan melemparkan tombak ke 
pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang memburunya. 
Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini,” ia 
bersujud  dan mengundurkan diri. 
“Kakang Patih! Bawa centeng  yang lima ratus itu. Kau 
sendiri yang kami angkat jadi panembahan senapati ki ageng . Dengarkan semua: 
hari ini Kakang Patih kami angkat jadi panembahan senapati ki ageng  kediri . 
Selamatlah kau, sejahteralah kalian. kepala  -kepala   
pasukan, ikuti panembahan senapati ki ageng mu. Pergi!” 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro …,” Sang Patih mencoba 
menyela. 
Penguasa kediri  itu tak dapat lagi mengendalikan 
amarah yang sudah  dicobanya ditindasnya selama ini. 
Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk 
menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang centeng  
pengawal datang menghadap, bersimpuh dan bersujud , 
lalu  dengan terburu-buru mempersembahkan: 
“Ampun, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan, sudah  patih  
cabut tombak perusuh dari tiang pendopo. Padanya 
didankan lontar ini, baginda tuanku raja ,” dan dipersembahkannya surat 
tertulis dalam basa dan huruf Jawa. 
“Baca, biar semua dengar,” perintah  Sang adiputro . 
centeng  itu membawa lontar itu di depan matanya, dan 
mulai membacanya dengan suara lantang sehingga 
terdengar ke seluruh pendopo: “adiputro  kediri  pemberontak -kufur 
Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta, 
“sudah  kau dengar sendiri gelegar gada rujakpolo ku yang 
menggetarkan kediri  Kota dan hatimu,” 
“Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau, 
itulah suara adipati  jayawisesa , aku, yang menguasai negeri 
kediri  selatan.” 
“Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap 
jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, sebab  tak akan 
ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.” 
“Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan 
bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di 
medan perang.” 
“adipati  jayawisesa  tak memerlukan  jawaban dari mulut 
atau hati si pemberontak -kufur tanpa harga.” 
centeng  itu bersujud  dan mempersembahkan lontar-
lontar yang habis dibacanya. Sang adiputro  menentang 
lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan centeng  itu 
pun mengundurkan diri tanpa mengambilnya. 
“Berangkat kau, panembahan senapati ki ageng  kediri , dengan restu kami. 
Dengan jumlah yang sudah  kami tentukan untukmu.” 
Melihat Sang Patih masih juga akan mempersembahkan 
keberatannya Sang adiputro  menyambar tempolong 
kuningan tempat pukul  sirih dari nampan yang dibayang 
oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan 
melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada 
siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan 
pendopo dan hilang dari pemandangan. 
Semua penghadap menurunkan sembah, lalu  
bubar meninggalkan kepala   pasukan yang membantunya 
membersihkan pukul  sirih dari muka, dada dan pakaiannya. 
prajurit kerajaan  kediri  mulai bergerak. 
wah 
 
 
18. Dan Pertempuran Meletus 
adipati  jayawisesa  tak dapat menahan kesabarannya sesudah  
menyaksikan sendiri betapa dua pucuk gada rujakpolo  itu ternyata 
dapat dipakai  dengan baik. Ia melihat bagaimana 
gada rujakpolo  itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan 
peluru dengan iringan halilintar. Peluru-peluru 
menyeberangi langit di atas padang rumput, lalu  di 
kejauhan nampak suara gerak pada kehijauan hutan. 
Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari 
centeng nya untuk melayani gada rujakpolo , dan satu regu khusus 
untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan para 
pelayannya. 
Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara 
nyi kanjeng blora, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua 
orang mualaf kanjuruhan  itu. Dan ia berbesar hati dan percaya , 
kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya. 
Panglima jayawisesa , adipati  pralaya , belum dapat 
menghargai cara perang nyi kanjeng blora, bahkan melihat latihan-
latihan itu pun ia segan. 400  orang yang berada di 
bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut menyertai. 
Ia membuat  latihan-latihan sendiri, adipati  jayawisesa  tak 
mampu mengendalikannya. Akhirnya ia tidak 
memaksanya. 
Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan 
adipati  jayawisesa : prajurit kerajaan  jayawisesa  belum cukup masak untuk 
dipakai .Dan adipati  jayawisesa  sudah melihat sendiri 
bagaimana prajurit kerajaan  kediri  dan kemampuannya, 
memastikan, para bala tentara nya jauh lebih unggul dibandingkan  kediri . 
“Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng 
adipati ,” kata fredy krueger . “Lain halnya dengan yang langsung 
dipimpin oleh panglima jayawisesa .” 
Dengan kepercaya annya adipati  jayawisesa  tak dapat diajak 
bicara lagi. 
fredy krueger  memperingatkan, dalam setiap orang, kesabaran 
diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah 
untuk memenangkan tujuan. namun   adipati  jayawisesa  
membantahnya, sekaranglah waktunya yang setepat-
tepatnya untuk memukul kediri : Ia jatuhkan perintah untuk 
segera menyerang. 
adipati  pralaya , yang memperoleh  perintah, dengan segala 
dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia 
melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia 
tidak membantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara. 
adipati  jayawisesa  melihat para bala tentara nya belum juga bergerak 
tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada 
kepala   pasukan jawadwipa    pelarian dari jayamahanaya  itu. Ia turun 
sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan. 
“Perintah harus dijalankan,” perintahnya. 
Bersama Manan dan Rois dan Jabal, kepala   pasukan 
jawadwipa , dan Panglima jayawisesa , adipati  jayawisesa  ikutserta  
menyaksikan rencana penyerangan. 
adipati  pralaya  menggariskan, penyerangan akan 
dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di mana-
mana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke 
perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak 
dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia melawan dan 
memiliki  persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga 
berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang, 
memanaskan hati musuh agar keluar ke medan 
pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi 
pertarungan penentuan pertama. Sementara itu gada rujakpolo -
gada rujakpolo  harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu 
mereka turun ke gelanggang. 
Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya 
kuno itu. Itu bukan perang cara nyi kanjeng blora, katanya, itu 
hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang 
dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan 
adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, kediri  mesti 
menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang 
pengalaman. kediri  memiliki  balatantara yang kuat, belum 
lagi pagardesa, belum lagi bawahan  biasa, sedang patih  
Benggala adipati  jayawisesa  hanya memiliki  pagardesa dan sedikit 
centeng . Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang 
jadi centeng . Seorang yang dapat melemparkan tombak 
dengan baik, dapat memanah dengan baik, dan dapat 
berbaris cara nyi kanjeng blora dengan baik, belum tentu bisa jadi 
centeng  yang baik. 
adipati  jayawisesa  tak dapat mendengarkan alasan itu. 
adipati  pralaya  diam saja mendengarkan keterangan 
Manan alias fredy krueger . 
Rangga jatayuwesi  merasa tak patut menarik kembali 
perintahnya. 
“Kalau begitu,” kata fredy krueger  alias Manan. “Seluruh 
para bala tentara  Kanjeng adipati  harus dipecah-pecah dalam 
beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak 
semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar 
dengan pimpinan yang baik, dengan centeng  yang baik dan 
dengan cara nyi kanjeng blora, dengan bantuan gada rujakpolo  mungkin 
bisa menghancurkan seluruh kekuatan kediri .” 
“Bukan dengan bantuan gada rujakpolo ,” bantah adipati  jayawisesa , 
“gada rujakpolo  yang harus dibantu oleh semuanya.” 
“Kalau pasukan gada rujakpolo  itu terdiri atas kekuatan dua 
ratus pucuk mungkin bisa terjadi,” kata Manan. 
adipati  pralaya  yang tidak memiliki sesuatu 
pengalaman dengan gada rujakpolo  masih tetap berdiam diri: Dan 
dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang 
perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara 
nyi kanjeng blora itu dapat membuat  para centeng  jadi jari-jari pada 
lengan seorang panglima. Ia sangat setuju. namun   dalam 
menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus 
tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti. 
Semua harus menerima garisnya. 
Ia membantah Manan, ia pun membantah adipati  jayawisesa . 
Pertikaian mulai terjadi. 
adipati  jayawisesa  hampir-hampir tak dapat mengendalikan 
kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, sebab  
dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan 
saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi 
kediri . Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja 
sekarang berani membantahnya. Ia mengalami krisis emosi. 
Dan tak ada seorang pun di antara dua orang mualaf dan 
panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi. 
Mereka hanya melihat adipati  jayawisesa  terengah-engah, 
terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar 
selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya, 
ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera 
dilakukan. 
Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan 
panglima adipati  pralaya . Panglima jayawisesa  terus-menerus 
terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua 
orang nyi kanjeng blora itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka 
berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan 
darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. adipati  pralaya  hanya 
mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan 
itu berarti menerima pemecahan prajurit kerajaan  jadi laskar-
laskar. 
“Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan 
siapa yang memimpin laskar-laskar itu?” 
“Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami 
hanya mengurus    soal gada rujakpolo  dan pasukan pengawalnya.” 
“Apakah gada rujakpolo  juga mendengarkan perintahku?” 
“Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus 
diselesaikan dahulu .” Pertikaian dengan demikian mereda. 
Kesimpulannya : dalam penyerangan pertama tidak 
dipakai  centara perang Jawa. kediri  harus dikejuti 
sedemikian rupa sehingga tak memiliki  kesempatan untuk 
mengerahkan prajurit kerajaan , apalagi pagardesa, harus 
dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan 
kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan 
langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup 
persiapan. 
“Tak pernah terjadi surat tantangan dikirimkan,” bantah 
adipati  pralaya , “perang adalah perang.” 
Dan untuk ke sekian kalinya Panglima jayawisesa  terdesak 
dalam pertikaian tentang makna perang. 
Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak 
dapat lagi dihindari oleh Panglima. 
Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi. 
Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura 
yang roboh untuk mengangkat sembah pada para pembesar 
yang sedang meninggalkan kadipaten. 
Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan 
lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengah-
tengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan 
tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka 
memperoleh kan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak 
tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang somplak, 
melotot di atas tanah. 
Sang Patih, sekarang panembahan senapati ki ageng  kediri , yang berjalan 
paling depan, berhenti, mengambil peluru dan 
mengamatinya sebentar, lalu  menyerahkannya pada 
yang lain. 
Berjalan pada buntut rombongan adalah patih wirabuana  
kediri  pakanewon  Habibullah Almasawa. Langsung di belakang 
Sang Patih adalah kepala  -kepala   pasukan, termasuk 
raden panji  gelang-gelang . 
Selama berjalan kepala   pasukan laut itu mencoba 
memahami mengapa Sang Patih kehilangan semua 
kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya 
sendiri. Sekarang ia hanya memperoleh  lima ratus orang 
centeng  dan musuh memiliki  gada rujakpolo . 
“Masih ingat?” tanya Sang Patih padanya waktu 
memperoleh  giliran memegang peluru itu. 
raden panji  gelang-gelang  menyerahkan peluru itu pada Kala chucky  
dan menjawab: “Tidak, baginda tuanku raja ,” dan ia lihat kepucatan 
sudah agak berkurang pada wajah panembahan senapati ki ageng  kediri  itu. 
“Sama sekali tidak menakutkan sebagaimana 
didongengkan orang,” kata Kala chucky  memberikan 
pendapatnya. “namun  bagaimana mereka bisa sudah memiliki 
gada rujakpolo ?” tanyanya lalu  sambil menyerahkan peluru 
itu pada yang lain. 
“Jangan terpengaruh oleh sebutir besi,” Patih kediri  
merangkap panembahan senapati ki ageng  mulai membuka pidatonya di bawah 
pohon beringin kurung. lalu  kata-katanya keluar 
sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui 
giginya yang sudah banyak ompong: “Keadaan sungguh 
sangat sulit. Sang adiputro  tak berkenan berkisar sedikit pun 
dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup 
kita. Juga Sang adiputro  maklum. Dunia kita sudah mulai 
berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara 
yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya 
perubahan ini. Sang adiputro  juga maklum. Maka  muncul  
banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian. 
Sang adiputro  menghendaki keadaan tetap seperti yang lama 
sementara menghadapi yang baru,” ia melangkah pelahan 
mengitari beringin kurung. “Sang adiputro  menghendaki 
dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap 
yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak. 
Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya 
tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan 
tambahan dari yang baru, dan itu yang baginda tuanku raja  adiputro  tidak 
bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa kediri  
mengirimkan gugusan pasukan laut ke suryabuaya   dengan waktu 
yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas jayamahanaya  
gagal, hancur, kalah. Kita semua memperoleh kan malu. Apa 
pun yang sudah  diperbuat oleh pajang bintoro  terhadap kediri , 
adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya   benar. Sang adiputro  melepaskan 
gugusan kediri  untuk memberikan pukulan berlipat atas 
pajang bintoro , namun   kediri  sendiri yang rugi. jayamahanaya  tidak jatuh, 
nyi kanjeng blora tetap berdiri, dan jenggala kediri  seperti jenggala -
jenggala lain di seluruh Jawa.” 
Dan raden panji  gelang-gelang  tak bisa mengerti mengapa Sang 
Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia 
hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud 
menghentikan pidatonya ia menyambar sengit: “Lima ratus 
centeng  laut kediri  sudah  diberangkatkan ke jayamahanaya , baginda tuanku raja  
Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang 
Trantang. Gugusan kediri  sudah  siap bertempur”. 
“Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikutserta . Apa 
sudah kau perbuat di jayamahanaya ? Tiada sesuatu, kecuali 
melihat apa yang sudah  terjadi dari kejauhan. Lima hari 
kediri  terlambat berangkat, untuk membuktikan keragu-
raguan Sang adiputro  dalam menghadapi yang baru ini.” 
raden panji  gelang-gelang  semakin tak mengerti melihat Sang Patih 
masih juga berpidato. Ia menelan pukul  untuk 
menyabarkan diri. 
“jayamahanaya  hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau 
pun laut. Armada nyi kanjeng blora datang. Kalau bukan sebab  
keterlambatan kediri , jayamahanaya  sudah  beberapa hari jatuh. 
Dan percaya lah, nyi kanjeng blora takkan mampu tandingi para bala tentara  
gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan 
tidak pernah selesai. para bala tentara  gabungan Aceh-suryabuaya   
tertinggal di jayamahanaya . kediri  pulang membawa malu dan 
sesal. namun  baginda tuanku raja  adiputro  berhasil menyelamatkan lima 
kapal dan lima ratus centeng . jayamahanaya  tetap dikuasai 
nyi kanjeng blora. Semua perhitungan adiputro  meleset, sekarang 
kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak 
mampu menderitakan malu, bersumpah takkan 
menginjakkan kaki di bumi kediri .” 
“Ampun, baginda tuanku raja  Patih dan panembahan senapati ki ageng  kediri ,” 
raden panji  gelang-gelang  menyela. “Kaum perusuh sudah dekat, 
baginda tuanku raja .” 
namun   Sang Patih tak peduli dan meneruskan: “Ternyata 
baik di suryabuaya   maupun di pajang bintoro  Raden Kusnan tidak 
pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang 
adiputro  masih juga ragu-ragu, tetap hendak mengikuti yang 
lama sambil memperoleh kan keuntungan dari yang baru. 
“Lihat itu!” ia menuding pada patih wirabuana  kediri  yang 
berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. “Semua orang 
tahu siapa sebetulnya  dia: begundal nyi kanjeng blora.” 
“Tidak benar, baginda tuanku raja  Patih dan panembahan senapati ki ageng  kediri ,” bantah 
raden  sanggabuana  bumikerta , “tak pernah baginda tuanku raja  adiputro  
mendakwa patih  seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang 
yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka 
patih lah yang disalahkan.” 
“Tiada kesatria raja  enggan berperang, pakanewon . Tuan 
menghendaki perang di dalam negeri agar nyi kanjeng blora masuk 
dengan berlenggang. Bukan? Mana dua orang nyi kanjeng blora 
yang kami minta itu?” 
“raden  sanggabuana  bumikerta  mendekati rombongan. Ia 
gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara 
dengan gerak-gerik tangan berat mata bersinar-sinar dan 
senyum terbuka melecehkan: “Ah, baginda tuanku raja  Patih dan panembahan senapati ki ageng  
kediri , tak pernah leluhur patih  membenarkan fitnah, 
apalagi sebab  hukuman seberat-beratnya dijatuhkan pada 
pemfitnah. Demi sang hyang Widhi , bukankah sudah  patih  
persembahkan mereka sudah  lari meninggalkan kediri ? 
Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang adiputro . 
Mereka sudah  larikan badan mereka sendiri, bukan badan 
Pribumi bawahan  kediri .” 
raden panji  gelang-gelang  meremas-remas tangan. Ia merasa sudah  
kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak. 
Dan ia tak dapat bertindak. 
“Bagus,” Sang Patih meneruskan. “Perlukah diingatkan 
padamu, hai, patih wirabuana  kediri , tidak lain dari engkau 
sendiri yang melarikan mereka ke kapal nyi kanjeng blora?” 
“baginda tuanku raja  Patih panembahan senapati ki ageng  kediri ,” raden panji  gelang-gelang  menyela. 
“Perlukah dinamakan kan saksi-saksi? Hei, patih wirabuana  
kediri , sekarang kau masih dilindungi oleh baginda tuanku raja  adiputro  
kediri . namun   akan tiba masanya….” 
“Mereka sedang mendesak kediri , baginda tuanku raja  panembahan senapati ki ageng ,” 
sekali lagi raden panji  gelang-gelang  mencoba memutuskan 
perbantahan dan mengembalikan Sang Patih pada tugasnya 
sebagai panembahan senapati ki ageng . 
namun   Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya 
sendiri: “Yang penting sekarang ini sama sekali bukan 
perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti. 
namun  menyadarkan baginda tuanku raja  adiputro  dari kekeliruannya. Tanpa 
itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia. 
ayolah , Wira, kau sanggup menyedarkan?” 
kepala  -kepala   pasukan lain nampak juga sudah  mulai 
kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi raden panji  gelang-gelang  
yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan 
Sang Patih panembahan senapati ki ageng  dari keasyikan membela kebijaksanaan 
sendiri. 
“Perusuh sedang mengancam, baginda tuanku raja  panembahan senapati ki ageng ,” sekali 
lagi kepala   pasukan laut itu memperingatkan. 
“Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh. 
Dengarkan kalian semua kepala   pasukan. Semua kerusuhan 
berasal dari kekeliruan baginda tuanku raja  adiputro  sendiri. Selama Sang 
adiputro  tak juga menyedari dan berubah pendirian, 
perusuh-perusuh lain akan berdatangan.” 
“Sekarang ini perusuh sudah menyerang, baginda tuanku raja .” 
“Wira!” bentak Sang Patih. “Pernahkah kau merasai 
penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus? Apa 
yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan 
dihina?” 
“Apakah baginda tuanku raja  Patih lupa sudah  diperintah kan jadi 
panembahan senapati ki ageng ?” 
Sang Patih menatap raden panji  gelang-gelang  tenang-tenang, 
mencibir, lalu  mengalihkan tatanannya pada para 
kepala   pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka 
dengan pandangnya membenarkan kepala   pasukan laut itu. 
Juara gulat itu sudah  bertekad untuk memperingatkan 
panembahan senapati ki ageng  akan kewajibannya. 
“Kau, Wira, anak baru kemarin!” 
“Adakah baginda tuanku raja  Patih panembahan senapati ki ageng  ragu-ragu, takut, ataukah 
sedang membangkang?” 
Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi 
Sang Patih panembahan senapati ki ageng  untuk melindunginya dan menjauhkan 
raden panji  gelang-gelang  dibandingkan nya. namun  yang dijauhkan mendesak 
terus untuk mendekat. 
“Dengarkan!” Sang Patih meneruskan dari tengah-
tengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. “Apakah 
yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang 
menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya 
sementara membiarkan musuh berjingkrak di atas 
kepala  nya?” 
“Musuh tidak berjingkrak di atas kepala   kita, baginda tuanku raja  
panembahan senapati ki ageng , dia sedang mendatangi hendak menerkam!” 
sambar raden panji  gelang-gelang  yang menjadi galak. 
“Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu? patih  
Benggala adipati  jayawisesa  atau nyi kanjeng blora? Atau kedua-duanya? 
Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga 
jatayuwesi  sudah  melepaskan peluru nyi kanjeng blora? Rangga jatayuwesi  
adalah nyi kanjeng blora, dan nyi kanjeng blora adalah nyi kanjeng blora. Dan itu 
pakanewon  Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana 
dia si kumis-kumis nyi kanjeng blora itu? Biar aku tunjukkan pada 
kalian semua.” 
“Percuma, baginda tuanku raja . Yang datang bukan nyi kanjeng blora, namun  
Rangga jatayuwesi . Dia datang dari selatan, bukan dari laut.” 
“Aduh, kau priyayi baru,” Patih itu tertawa 
menghinakan. “Apa artinya itu tumenggung  dijoyo  tanpa 
nyi kanjeng blora? Kalau dengan kekuatan kecil para bala tentara  kediri  
bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama 
sekali, dan nyi kanjeng blora akan datang dari utara dengan penuh 
kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si 
trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: pakanewon  
keparat itu perencananya. nyi kanjeng blora memerlukan  
pangkalan di Jawa. kalau tidak kediri , jenggala lain jadilah. 
Selama kumis-kumis nyi kanjeng blora ada di sini, kediri lah yang 
jadi incaran!” 
kepala  -kepala   pasukan tetap membisu, juga tetap 
melindungi mereka. 
“baginda tuanku raja  benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang,” 
bantah raden panji  gelang-gelang . “Perintahkan saja apa yang kami 
harus perbuat sekarang ini.” 
“Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, raden gelang-gelang , 
Gajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. namun  biar 
Gajah Mada pun tak bakal tahu, bila Rangga jatayuwesi  terkutuk 
itu bisa menang atas kediri , nyi kanjeng blora takkan memasuki 
kediri . Kalau kediri  dan patih  Benggala adipati  jayawisesa  terus 
berkelahi, nyi kanjeng blora masuk. Kalau kediri  menang, kita akan 
hadapi nyi kanjeng blora dan adipati -adipati  yang lain yang akan 
muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.” 
Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak 
menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah 
raden panji  gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng  kediri  memang tidak memiliki 
niat untuk bertindak. Di samping nyi kanjeng blora dan adipati  
jayawisesa , panembahan senapati ki ageng  kediri  sendiri kini berdiri di hadapannya 
sebagai musuh kediri . Ia kebaskan apitan, melompat 
menerjang lingkaran, mencabut gada wesi  dan menikam Sang 
Patih pada pinggangnya. 
Orang-orang itu terkata . 
Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh gada wesi  
dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu 
gada wesi  itu masih tetap dipegangi oleh kepala   pasukan laut 
raden panji  gelang-gelang . 
“Ampuni patih , baginda tuanku raja  Patih panembahan senapati ki ageng  kediri !” kata  
juara gulat itu dengan suara lantang. 
“Baik. Aku ampuni kau, raden gelang-gelang . Berangkatlah ke medan 
perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan 
seluruh prajurit kerajaan . Aku ampuni kau! namun  semua akan 
percuma selama raja-raja adalah seperti baginda tuanku raja  adiputro , 
baginda tuanku raja ku.” 
Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya. 
Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah. 
“Aku ampuni, kau.” 
Sang Patih panembahan senapati ki ageng  kediri  mati di tempat. 
Dengan gada wesi  berlumuran darah di tangan raden panji  gelang-gelang  
memindahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat 
matanya menatap semua kepala   pasukan seorang demi 
seorang. Mata itu membeliak siaga “Siapa tidak suka? 
Maju!” 
Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak 
bergerak. “Kalian saksikan, raden panji  gelang-gelang  sudah  bunuh 
baginda tuanku raja  Patih panembahan senapati ki ageng  kediri . Katakan, kalian saksi 
pembunuhan ini.” 
Beberapa orang menyebut ragu-ragu: “Kami saksi, 
raden panji  gelang-gelang  sudah  bunuh Sang Patih panembahan senapati ki ageng  kediri .” 
“Semua!” bentaknya sambil berkeliling memutari 
lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak 
keras namun   masih tetap ragu-ragu. 
“Siapa ragu-ragu? Dia menantang aku. Sebutkan sekali 
lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.” 
Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang, 
mengumandang ke seluruh alun-alun. 
“Sebutkan: kediri  dan baginda tuanku raja  adiputro  harus 
diselamatkan.” … Dengan suara menggelora kepala  -kepala   
pasukan mengulangi. “Sekarang Wilangraden gelang-gelang  panembahan senapati ki ageng  
kediri , panembahan senapati ki ageng  kalian. Sebutkan lebih keras.” 
“raden panji  gelang-gelang  panembahan senapati ki ageng  kami!” 
“raden panji  gelang-gelang  panembahan senapati ki ageng wilareja !”  
raden panji  gelang-gelang  membetulkan. “raden panji  gelang-gelang  
panembahan senapati ki ageng wilareja !” 
kepala  -kepala   pasukan mengulangi dan mengulang 
dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun 
sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya peluru-
peluru nyi kanjeng blora. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari 
alun-alun ke pedalamannya, juga masuk ke bilik-bilik dalam 
kadipaten. 
“kepala  -kepala   pasukan tinggal di sini,” perintahnya. 
“Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera 
kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala   pasukan!” 
Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti 
adalah harus bersujud  pada panembahan senapati ki ageng  baru atau tidak. 
“Tak perlu kalian sembah aku,” katanya 
memperingatkan. Mereka pergi bercepat-cepat. 
“Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju raden panji  gelang-gelang  
panembahan senapati ki ageng  kediri ?” Tak berjawab. 
“Tak ada yang tidak setuju?” 
“Kami menyetujui,” jawab Kala chucky , kepala   pasukan 
gajah.  
“Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku, 
panembahan senapati ki ageng  kediri !” perintahnya. 
Dan gada wesi  berlumuran darah itu masih tetap di 
tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu 
mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka 
bersujud  pada mayat itu lalu  melolosi tanda-tanda 
jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung, 
gada wesi , permata pada destar dan ikat pinggang. 
Semua itu dikenakan pada diri panembahan senapati ki ageng  baru. 
“Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang 
semua di balik semak-semak di sekitar jenggala . Kalau ada 
kapal nyi kanjeng blora datang, atau sebangsanya, jangan biarkan 
berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku 
bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar 
kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak 
cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan 
mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya 
dengan tembakanmu. Hati-hati, sebab  semua kapal perang 
dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari kediri , ke 
suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian 
dan tanda kecenteng an. Pelabuhan kuserahkan padamu.”  
“baginda tuanku raja !” 
“Panggil aku panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja ,” ulangnya rikuh. 
“Jalankan perintah itu dan pergi kau.” 
“Adakah kadipaten tidak dikawal, panembahan senapati ki ageng wilareja ?” 
“Kosongkan dari pengawalan.” 
Braja pergi untuk menjalankan perintah. 
“Dan kalian, kepala  -kepala   pasukan yang lain, ikuti aku. 
Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke 
medan pertempuran, kalian dan aku.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” mereka menyahut. 
“Tidak ada pembangkangan!” perintahnya. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , tidak ada pembangkangan.” 
“Berangkat!” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , berangkat!” 
Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun. 
Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di 
bawah langit bermendung. Meninggalkan kota kediri  yang 
sunyi senyap. 
Sayup-sayup terdengar resi h, namun   tak ada peluru 
gada rujakpolo  datang menyambar. kediri  Kota semakin senyap. 
Sesudah  melepaskan berturut-turut empat butir peluru 
pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar gada rujakpolo -
gada rujakpolo  segera ditarik kembali jauh ke pedalaman. 
Regu gada rujakpolo  itu sedang mendorong-dorong gerobak 
obat dan peluru dan gada rujakpolo  melalui jalan desa yang lebar 
diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda 
datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal 
gada rujakpolo  sudah  menyiapkan tombak. 
Manan memerintah semua berhenti dan bersiaga. 
gada rujakpolo , obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke 
pinggir jalan, dan semua yang bersenjata sudah  bersiap 
untuk berkelahi. 
Dari tikungan jalan muncul adipati  pralaya  tanpa 
pengawal. Ia sudah  menarik cambuk perang, siap hendak 
menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang 
berduri-duri baja.”Kalian sudah lari sebelum berperang!” 
ejeknya pada Manan dan Rois. Ia membuang   ke tanah 
menghinakan. 
“Tidak ada nyi kanjeng blora lari sebelum berperang!” Jawab 
Manan. “Panglima belum lagi berpengalaman perang darat 
dengan gada rujakpolo .”  
“Kalian sudah tinggalkan gelanggang!” 
“gada rujakpolo , Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau 
bergabung dengan pasukan yang hanya bergada  dan 
bertombak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak, 
dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh. 
Dan kita tak memiliki  pasukan kuda.” 
Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang 
hanya beberapa meter tingginya. 
adipati  pralaya  masih tetap marah, namun cambuk 
perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya. 
Waktu Manan memerintahkan meneruskan perjalanan, 
adipati  tak membantah. 
Laskar tombak para bala tentara  adipati  jayawisesa  berbaris dalam serba 
putih melewati mereka. Tombak yang terpanggul berdiri 
pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan 
nampak seperti ulat putih berbulu tombak sedang 
merangkaki jalanan. 
Regu pengawal gada rujakpolo  dan regu pelayannya sendiri 
diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang 
itu bertikai dalam jawadwipa . 
Begitu laskar itu lewat adipati  dari atas kudanya 
menetakkan kata-katanya: “Bukankah sudah  disetujui dan 
diputuskan, gada rujakpolo -gada rujakpolo  harus menembaki musuh 
sebelum mereka turun ke gelanggang?” 
“Benar sekali, Panglima. namun   juga menurut keputusan 
para bala tentara  kita harus mesanggrah menunggu kedatangan 
musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat 
mesanggrah dan memerintahkan langsung masuk ke kediri . 
Kalau mengikuti Panglima, gada rujakpolo -gada rujakpolo  kita bisa jadi 
takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita 
sendiri di tangan mereka.”  
“Aku Panglima.” 
“Benar sekali, namun  yang mengetahui tentang gada rujakpolo  
adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, namun  
gada rujakpolo -gada rujakpolo  ini takkan berguna.” 
adipati  pralaya  menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa 
meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah 
datangnya laskar, mencari kesatuannya. 
Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan 
jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda 
sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di 
tengah-tengah pertigaan. 
Panglima jayawisesa  berpacu menghampirinya. Orang itu 
turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke 
tanah dan menunggu kedatangan adipati  pralaya . 
“baginda tuanku raja  Panglima,” ia memulai. “Adapun pembawa surat 
tantangan sudah  tewas bersama dengan kudanya di dekat 
pasar kediri  Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang 
yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh 
pasukan kuda. Hujan tombak sudah  membuat  dia terjungkal 
bersama kudanya. Mati, baginda tuanku raja  Panglima.” 
“Surat itu sudah sampai?” 
“Sampai dengan pasti.” 
“Baik. Bagaimana hasil gada rujakpolo ?” 
“Peluru-peluru gada rujakpolo  jatuh di alun-alun dan di depan 
kadipaten seperti disengaja, baginda tuanku raja . Waktu itu sudah terjadi 
perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah 
matinya Patih kediri , sedang mayatnya dibiarkan tergeletak 
di alun-alun, sampai saya  berangkat dan sampai di sini 
ini.” 
“Siapa panembahan senapati ki ageng  kediri ?” 
“Tidak berpanembahan senapati ki ageng , baginda tuanku raja  Panglima, sejauh saya  
dengar. Belum tahu sekarang ini.” 
“Tidakkah prajurit kerajaan  kediri  bergerak?” 
“Belum nampak ada tanda-tanda, baginda tuanku raja .” 
“Teruskan pada Kanjeng adipati  jayawisesa .” 
“baginda tuanku raja .” 
Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain. 
adipati  pralaya  memacu kudanya. Pada suatu pinggiran 
hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia 
perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan 
panji-panji. 
Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat 
jalan. 
“Lebih cepat!” perintahnya lagi. 
Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju 
setengah lari. 
Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya 
memperoleh  perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan 
hilang di balik kepulan debu. Lima laskar adipati  jayawisesa  sudah  
hampir sampai di perbatasan kediri  Kota. 
Di mana-mana seakan adipati  pralaya  ada. Ia di 
belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang 
mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan di kuil rat ia 
perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digeleng-
gelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh 
seperti hendak membelah langit. Dan debu pun seakan ikut 
bersorak, mengepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara 
lalu  jatuh menaburi bumi. 
Sekarang adipati  pralaya  mengitari barisannya. 
Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar 
pada ujungnya. Kaki hewan  tunggangannya menari-nari 
rampak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah. 
Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang 
pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah 
barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih. 
Di belakangnya adalah laskar tombak berperisai. Setiap 
orang membawa empat batang tombak yang langsing. 
Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata 
tombaknya langsing. Laskar terakhir adalah bergada  dan 
berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain 
terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji 
dilonjakkan, makin menderu gong dan gendang, dan makin 
cepat langkah para centeng . 
Sorak-sorai, ancaman, ejekan, raungan, berpadu jadi satu 
resi h, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang 
menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan 
menghiba-hiba. 
Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda kediri  muncul 
di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di 
belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin 
nyata. para bala tentara  adipati  jayawisesa  bersorak dengan sekuat paru-
paru mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi 
mereka dari depan mereka mengejek, memaki, menghina 
dengan kata-kata sekotor mungkin. 
Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar 
panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa, 
mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan 
ejekan dan cacian. 
Dan para bala tentara  adipati  jayawisesa  terus juga maju ke jurusan 
kediri  Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis. 
Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan 
melonjak. 
Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian 
tanah lapang seperti sekawanan elang menyambar barisan 
gada  sambil bersorak-sorai: “Kambing gembel dari 
gunung: Mau cari apa ke kediri ?” dan menggeletarkan 
cambuk perang mereka, mengatasi sorak-sorai lawannya. 
“Kirik kediri ! Anjing nyi kanjeng blora!” balas lawannya. “ayolah  
mendekat, lebih mendekat, biar kubelah kepala   kalian!” 
Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh ki glodog 
ireng , terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledek-
ledek, mendekat dan menjauh pada laskar gada  adipati  
jayawisesa , menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh 
lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan membuang i. 
Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu mendengung 
sebab  caci-maki dan geletar cambuk. 
Panglima adipati  pralaya  berteriak-teriak mengelilingi 
para bala tentara nya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi 
parau: “Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan 
menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!” 
Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan sorak-
sorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang. 
Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia 
hampiri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi 
menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar jayawisesa  diam dan 
terus mempercepat langkahnya untuk dapat memasuki 
kediri  sebelum sinar matahari  tenggelam. 
Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan 
cacian. ki glodog ireng  memerintahkan melemparkan 
batu-batu bawaan mereka pada barisan gada . Dan batu-
batu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan gada . Tak 
sebuah pun melayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang 
yang berbaris rapat itu. kata  kesakitan dan marah 
menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak sudah  jatuh 
dan terinjak-injak oleh barisan sendiri. 
Barisan ki glodog ireng  terus menerus mengganggu 
sambil mengintip ke mana-mana untuk mencari tempat 
gada rujakpolo . namun   yang dicari-cari tidak nampak. Mereka 
lepaskan tugas pokoknya dan memperhebat gangguan. 
Batu-batuan terus beterbangan. kata  kesakitan dan geram 
amarah semakin riuh. Gong dan gendang dan sorak 
kembali membelah udara. 
Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil 
memuputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka 
yang sedang kejangkitan semangat perang itu 
memperhatikan. 
adipati  pralaya  menghentikan lagi sorak-sorai. 
Suaranya yang parau terdengar memerintah langsung 
masuk ke kediri  Kota. 
Barisan kuda yang kecil itu mulai menyambar-
nyambarkan cambuk perang pada tubuh para centeng  
jayawisesa . Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah 
mengucur. Perintah-perintah adipati  sudah tidak 
didengarkan oleh barisan gada  lagi. Dan cambuk itu tak 
dapat dilawan dengan perisai dan gada . Juga tak dapat 
ditangkap tangan sebab  tajamnya gerigi baja. Tangan yang 
tercambuk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi 
teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah. 
Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan 
merenggut keluar biji dari rongganya. 
Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda 
musuhnya, pinggiran barisan gada  mulai buyar, tak dapat 
membela diri dan mulai menyerang. 
“Dengarkan baginda tuanku raja mu, dengar Panglima jayawisesa !” kata  
adipati  pralaya  parau, “jangan tinggalkan barisan!” 
Barisan gada  semakin banyak meninggalkan 
laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu 
musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan 
gada  dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar 
gada  itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan 
lagi. 
Melihat bencana sedang mendatangi adipati  pralaya  
berpacu ke depan, memerintahkan barisan pemanah untuk 
memhancur kan barisan kuda yang terlalu sedikit jumlahnya. 
Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai 
memburu, ki glodog ireng  memerintahkan untuk 
memencarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian 
tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang, 
dan lama-kelamaan menjadi lingkaran besar mengepung 
barisan yang sudah  membubarkan diri. 
Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama 
lain. Laskar tombak yang masih utuh itu maju terus ke 
depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari 
tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke 
belakang. 
“Manan keparat! Rois laknat!” sumpah adipati  pralaya . 
“Senang-senang dia di belakang dengan gada rujakpolo nya. 
Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!” 
Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas para bala tentara nya. 
Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan memburu 
barisan ki glodog ireng , juga laskar tombak dengan 
sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang 
sangat pendek semua para bala tentara  adipati  Baijah sudah  
bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda 
kediri . 
Dan itulah justru yang dikehendaki ki glodog ireng . Ia 
perintahkan membuat  gerakan pengepungan semu, 
semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan 
tombak mulai beterbangan di udara. 
Barisan kuda kediri  yang kecil itu semakin melebarkan 
dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada 
gilirannya juga para bala tentara  jayawisesa  menjadi semakin melebar 
mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas 
dataran. 
Pada waktu para bala tentara  jayawisesa  sudah tak dapat dikendalikan 
lagi, semakin lama semakin memecah dan memencarkan 
diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas 
ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik, 
memekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap 
ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di 
bawah pengendalian pawang-pawangnya, hewan -
hewan  yang melihat pertempuran itu lari ke depan 
dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan 
kaki di belakangnya ikut lari mengikuti.  
“Tumpas! Tumpas!” mereka bersorak dan bersorak. 
Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu 
keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tombak. Di situ 
terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah 
sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala   gajah yang 
dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti 
jubah kebesaran, melambai-lambai, juga tak tertembusi oleh 
anak panah dan tombak. Pada setiap langkah kaki belakang 
hewan -hewan  itu berdencing oleh krenyak atau sirah 
baja yang melindungi tumitnya. 
“para bala tentara  putihhhhhhh!” adipati  pralaya  memekik. 
“Gajah! Awas gajah datang!” 
“Gajahhhh!” terdengar seruan dari mana-mana. 
Perhatian para bala tentara  jayawisesa  terpecah-pecah antara kuda dan 
gajah dan dari gajah ke kuda. 
Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah 
dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu 
keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar, 
melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya. 
Gajah-gajah itu terus juga maju memasuki medan 
pertempuran. 
para bala tentara  jayawisesa  kacau-berlarian kehilangan posisi. 
Keadaan itu tak dibiarkan oleh ki glodog ireng . Ia 
perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu. 
Dengan suara parau adipati  pralaya  berseru-seru dari 
atas kudanya dengan di tangan melambai-lambaikan 
gada : “Goblok! Otak hewan ! Mundur. Munduuuuuur! 
Terobos itu kepungan kuda!” 
“ayolah , adipati ! Jangan hanya teriak-teriak!” tantang 
ki glodog ireng . “Perlihatkan moncongmu yang besar 
itu.” 
namun   adipati  tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk 
mengundurkan para bala tentara nya, dengan punggung gada  ia 
hantami centeng nya yang tak mau dengarkan perintah. 
Barisan kuda tak membiarkan mereka menerobos. 
Seakan terbang kuda-kuda itu menyambari para penerobos, 
menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging. 
sinar matahari  hilang di balik mendung. Hujan lebat pun 
mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka 
yang sedang berbunuh-bunuhan. 
Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan 
barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang 
bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya 
merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh 
bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih 
mereka dan bumi negerinya sendiri. 
“Trobos kuda sambil memekik kencaaaang!” perintah 
adipati . Suaranya semakin parau. 
Juga di sana-sini centeng  kuda kediri  menggelimpang 
jatuh untuk lalu  dihujani dengan tombak dan gada . 
Laskar panah jayawisesa  tak dapat berbuat sesuatu pun dalam 
kegalauan medang perang. 
Kepungan semu lalu  bobol. Dan tak bisa lain. 
Gajah-gajah itu sudah  memasuki tengah-tengah medan 
pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya 
menyambar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap 
akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk 
lalu  jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selama-
lamanya. Dan barang siapa kejasang yang betari durga   korban kedua akan 
ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa 
peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang 
pengganda yang menggerincing sebab  krenyaknya. Barang 
siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari 
belakangnya arus anak panah pasukan kaki kediri , 
gelombang demi gelombang, beraturan, melayang seperti 
jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas 
terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya 
dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan 
Batara Yamadiputro . Tak ada bisa meluputkan diri. 
Seperti air membuyar dari dataran tinggi para bala tentara  jayawisesa  
menerobosi kepungan semu barisan kuda ki glodog ireng , 
membuyar lari ke segala jurusan. 
Dan ki glodog ireng  memerintahkan anakbuahnya 
untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang 
dipimpin oleh Kala chucky . Dengan susah-payah mereka 
menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan 
raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya sudah  
bergelantangan anak panah lawannya. 
Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi 
sudah  menjadi merah sebab  darah dan daging menganga. 
Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil 
bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak 
dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar. 
para bala tentara  jayawisesa  terdesak terus dalam keadaan parah dan 
kocar-kacir. 
Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras, 
duduk raden panji  gelang-gelang  dan Kala chucky . Dengan tanda-tanda 
pangkat dan jabatan, tangan kiri panembahan senapati ki ageng  kediri  diletakkan 
di atas pundak Kala chucky . Pada tangan kanannya 
tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia 
menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang 
berlangsung. 
Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda 
berpakaian serba putih di tengah-tengah para bala tentara  putih yang 
kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambai-
lambaikan gada  dengan tangan kanan. Pada tangan 
kirinya ia memegangi cambuk perang. Kendali sama sekali 
tak digubrisnya. 
“Hanya centeng  pengawal kediri  bisa begitu,” katanya. 
“Itulah adipati  pralaya , panembahan senapati ki ageng wilareja , peranakan Koja.” 
“Pantas. Perhatikan bagaimana dia berusaha 
mengundurkan para bala tentara nya dalam keselamatan.” 
Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata betari  
resi   sebelum meninggal: ‘Darah ningrat Jawa sudah 
kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah 
habis di dalam keputrian.’ 
“Pantas,” ia mengulangi; “Peranakan Koja.” 
“Apanya yang dikagumi, panembahan senapati ki ageng wilareja ?” 
“Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selamatkan 
dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa jayamahanaya  
dapat jatuh begitu mudah.” 
Kala chucky  menatap panembahan senapati ki ageng  dari samping, tak 
mengerti. 
“Lihat!” raden panji  gelang-gelang  berseru, “dia sudah  kehilangan 
kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap 
berusaha. Lihat!” 
Kala chucky  nampaknya tak senang mendengarkan puji-
pujian untuk musuh dan pengkhianat itu. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , digusur ke mana para bala tentara  perusuh ini?” 
“Sorong terus ke depan sampai sinar matahari  tenggelam.” 
“Sorong terus sampai sinar matahari  tenggelam,” Kala chucky  
mengulang. “Mereka akan jadi remah-remah.” Ia angkat 
panji-panji dengan menuding ke depan. 
ki glodog ireng  yang melihat panembahan senapati ki ageng nya menuding ke 
arah adipati  pralaya  menghentakkan kendali. Kudanya 
melesit seperti hewan  beralih menembusi awan coklat dan 
putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima 
jayawisesa . gada nya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya 
pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya. 
Porak-poranda centeng -centeng  putih yang sedang kacau itu 
terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah 
terkena garu, licin dan rata. 
“ki glodog ireng !” panembahan senapati ki ageng  kediri  berteriak dengan 
tangan dicorongkan pada mulut. “Kembali! Tarik 
pasukanmu!” 
Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar. 
“Dia akan tangkap adipati , panembahan senapati ki ageng wilareja ,” Kala chucky  
mencoba menerangkan. “Musuh sudah kacau dan lelah, 
jera dan kehabisan senjata.” 
“Tepat! namun  dia tak boleh lakukan itu.” 
“Dia akan mudah ditangkap,” Kala chucky  mencoba 
menerangkan untuk ke sekian kalinya. 
“Tepat! Siapa pun tahu. namun  dia tak boleh lakukan itu. 
Kita harus lihat sampai di mana adipati  bisa urus 
anakbuahnya.” lalu  menjerit: “ki glodog ireng ! 
Kembali!” 
Seorang centeng  kuda yang terkebelakang meneruskan 
teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan 
pertempuran…. 
Dari atas gajah panembahan senapati ki ageng  kediri  melihat adipati  
menyedari akan datangnya pasukan kuda kediri . Ia 
kelihatan berteriak-teriak memperingatkan anakbuah di 
selingkungannya, dan mereka berbalik menghadapi ki glodog 
ireng . 
“Kala chucky ! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka!” 
“Didekatkan pada mereka, panembahan senapati ki ageng wilareja !” 
Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu 
sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil 
bersuling. 
“Biar dia memperoleh  kesempatan selamatkan dan 
undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan 
bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam 
perangkap. Lepaskan dia!” 
Perkelahian dengan gada  sudah  terjadi antara pembela-
pembela adipati  pralaya  dengan centeng -centeng  kuda. 
Logam beradu logam berdentangan memainkan lagu maut. 
centeng -centeng  jayawisesa  yang membela panglimanya tak 
dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak 
semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung 
oleh anakbuah sendiri adipati  dan kudanya tak dapat 
bergerak sebagaimana harusnya. 
adipati  menggeletarkan cambuk perang, namun  cambuk 
itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu 
anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata 
gada  anakbuah sendiri. 
“ki glodog ireng , lepaskan dia!” teriak raden panji  gelang-gelang . 
Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas 
jalanan pasukan kuda. Di atasnya panembahan senapati ki ageng  kediri  
melambai-lambaikan tangan. namun   pasukan kuda tak 
mengerti maksud di kuil ratnya dan terus mendesak. 
adipati  pralaya  dengan para pengawalnya sudah  berada 
dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat. 
Pengawal-pengawal Panglima jayawisesa  berjasang yang betari durga   seorang 
demi seorang. 
“sinar matahari  hampir tenggelam, panembahan senapati ki ageng wilareja !” 
sinar matahari  sudah lama hilang ditelan mendung. 
“Hentikan pengejaran!” perintah panembahan senapati ki ageng . 
“Pengejaran dihentikan, panembahan senapati ki ageng wilareja ,” Kala chucky  
mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya. 
Gajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda sinar matahari  di barat. 
Hanya mendung, perbukitan dan hutan hitam. 
adipati  pralaya  tertinggal seorang diri dalam kepungan. 
Semua gada  terarah padanya. Ia menangkis ke segala 
penjuru. Waktu akhirnya gada nya patah ia berdiri di atas 
punggung kuda. 
“Berhenti!” teriak raden panji  gelang-gelang  dari atas gajahnya. 
gada  ki glodog ireng  melayang menyambar kaki 
adipati . 
Dari atas gajah panembahan senapati ki ageng  melemparkan tombak. Dan 
tombak itu melayang cepat di atas kepala   orang dan kuda. 
Bunyi berdentang menyusul. Mata tombak itu menerjang 
mata gada  ki glodog ireng , patah dua-duanya. Kaki 
adipati  tak jadi tertebang tatas. 
Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan 
mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala 
chucky  dan panembahan senapati ki ageng  melambai-lambaikan tangan menyuruh 
semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati 
mereka: “Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi 
kau, adipati ! Pergi kau dengan damai!” 
centeng -centeng  kuda menurunkan gada  masing-
masing. adipati  duduk kembali di atas kudanya. Ia 
jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya 
dilambaikannya ke atas, berteriak: “Selamat untukmu, 
raden panji  gelang-gelang , anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa 
lagi!” 
Kuda diputarnya lambat-lambat, berjalan melangkahi 
bangkai yang bertebaran di tanah, lalu  memacu tanpa 
menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan 
yang diselaputi rembang senja. 
Dua kekuatan yang bermusuhan sudah  dilerai oleh 
malam. para bala tentara  jayawisesa  menarik diri ke arah kedatangan 
mereka. para bala tentara  kediri  berhenti di tempat dan mesanggrah. 
panembahan senapati ki ageng  kediri  berdiri di atas gajah, masih juga 
melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah 
padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paru-
parunya yang penuh: “Dengarkan semua! Dengarkan, 
bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan 
untuk membunuh sesama, dia adalah bentrokan dari dua 
keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian centeng -
centeng  kediri  yang perwira dan kesatria raja , hargailah juga 
keperwiraan dan kekesatria raja an, sekalipun itu ada pada 
musuhmu. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit 
adipati  pralaya  tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak 
lari sendirian dan membiarkan anakbuahnya tumpas. Dia 
undurkan anakbuahnya pada keselamatan. Dia memiliki  
kesetiaan pada anakbuahnya.” 
“Dia hanya pengkhianat!” kata  ki glodog ireng  
membantah tanpa pikir panjang. 
“Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap baginda tuanku raja  adiputro  
dia akan memperoleh  hukumannya. Sebagai setiawan 
anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian 
ke pesanggrahan. sinar matahari  sudah  tenggelam. Dan hujan akan 
turun.” 
Seluruh centeng  berbalik menuju ke pesanggrahan yang 
sudah  dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang. 
Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar 
kota itu memberikan mereka perlindungan dari hujan yang 
mulai mengancam. 
Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur 
nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua 
butir peluru besi sudah  terbang beriringan menerjang langit 
bermendung melewati perbatasan kota. 
Gajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kuda-
kuda meringkik lemah. 
lalu  sunyi senyap. 
wah 
 
 
19. Kesepian di kediri  
Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar 
seseorang menohok-nohok memperbaiki sesuatu. Pasar 
pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu 
kedatangan rempah-rempah baru dari panarukan  sekarang 
melompong dengan pintu semua terbuka. 
Rejeki sudah  segan datang dari laut. Dari darat pun tiada 
sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan 
pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada 
meninggalkan pondok daun kacangtanah nya, mengungsi entah ke 
mana: Perkampungan orang-orang arca    di sebelah timur 
sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayamnya tidak 
dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa 
pemilik. 
Di pantai barang 30  atau 30  lima perahu 
tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya. 
Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu 
datangnya hujan deras untuk lalu  tenggelam. 
Warung mpu jahalodang pun sudah lama tutup. Ada terdengar 
berita dari seseorang yang sudah  bertemu dengannya di 
pasuruan , ia sudah  membuka warung tuak di sana. Berita lain 
menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan. 
Berita ketiga mengabarkan ia sudah  masuk jadi centeng  pada 
prajurit kerajaan  pajang bintoro . Tak ada berita yang pasti. Yang jelas 
warungnya tinggal tutup. 
Kapal  patroli penjaga  pantai kediri  tiada lagi nampak sebuah 
pun. Semua sudah  diungsikan ke pasuruan  atas perintah 
panembahan senapati ki ageng  kediri . Kapal-kapal itu takkan dapat membela diri 
terhadap serangan nyi kanjeng blora, percuma mondar-mandir 
sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa 
membuat  gada rujakpolo  sendiri maka kapal-kapal itu bisa 
berguna kembali. 
raden  sanggabuana  bumikerta  tak memiliki kegiatan 
harian. Ia kelihatan lebih kurus dibandingkan  biasanya. Jarang ia 
nampak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam 
kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang adiputro . Tak 
sering lagi orang melihatnya berjalan memeriksai bagian-
bagian pelabuhan yang memerlukan  perbaikan. Dana 
untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan 
kepatih wirabuana an. Dan setiap berada di dermaga orang dapat 
melihat ia sedang gelisah meninjau ke jurusan timur. 
Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal 
canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi. 
Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak. 
Kepatih wirabuana an lebih sunyi dibandingkan  di mana pun. 
Gandok kiri dan kanan tiada berpenghuni. Gedung utama 
pun kosong. Gedung batu kedua di seluruh negeri kediri  itu 
kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang sudah  
ditinggalkan oleh pemeluk agamanya. patih wirabuana  sendiri 
jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis 
mpu wungubhumi . Ia dibawa oleh nyi girah  ke hutan  larangan . Nyi kembang  
Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap 
hari kelihatan mengurus    taman. 
Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat 
difahami oleh penduduk. Ratusan Laki-laki  berjalan kuat dan 
tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari 
tanpa pekerjaan. sebab  tiada gada wesi  pada pinggang dan 
tiada tombak pada tangan, orang yang tak mengenalnya 
menduga mereka centeng -centeng  yang sedang melepaskan 
diri dari kesatuan. Dan mereka selalu berada di luar daerah 
pelabuhan. 
Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara 
mereka segera tahu, mereka tidak lain dibandingkan  anggota-
anggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian 
centeng . Gerak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang 
tak pernah dapat memperoleh  keterangan apa sedang mereka 
kerjakan. sebab  di balik semak-semak hutan yang 
membatasi daerah pelabuhan dengan daerah tak 
berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua 
diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka 
disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya 
nyi kanjeng blora atau sebangsanya dari laut, sementara 
pertempuran sedang terjadi di pedalaman. 
Perkampungan non-Nusantara juga sepi sebab  sesudah  
terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya sudah  
meninggalkan kediri  belayar entah ke mana. Hanya 
penduduk Pecinan tidak susut, sebab  hukum kediri  
melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua 
centeng  dari dua belah para bala tentara  yang bermusuhan tidak 
diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk 
kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk 
biasa pun tidak diperkenankan memasuki di waktu perang, 
sekalipun untuk menyelamatkan diri. Belum jelas benar dari 
mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan 
dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak kerajaan jenggala  
atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He 
dengan adiputro  kediri  memperkokoh perjanjian itu untuk 
ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli 
kediri  atas sumber rempah-rempah panarukan  Pecinan malah 
memperoleh  hak bertahan dan hak kepolisian demi 
keselamatan warganya. 
Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat kebetari ian 
dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki 
di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya, 
ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pembunuhan atas 
diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, sudah  
membuat  tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang 
tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang 
dan menerjang-nerjang pelataran tetangga. 
Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari 
tempat semula sebab  serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut 
pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh 
penjuru mata-angin. Tak ada orang memeliharanya. 
Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan. 
Di dalam kadipaten Sang adiputro  kelihatan selalu 
murung dan gusar. Tak ada seorang pun centeng  pengawal 
menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus 
bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya 
kacangtanah ran akan segera mengancam bila keadaan tidak 
berubah. 
Sang adiputro  tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa 
pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa sudah  
diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal 
atas perintah raden panji  gelang-gelang . 
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti, 
tanpa bawahan  yang dengan sukarela melayani dan 
menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu 
pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh 
para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata 
menghadapi ujian. Dan justru sebab  pengetahuan baru itu 
ia menjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus 
diperbuatnya. 
Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan percaya , 
kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia, 
untuk mengatur bawahan , untuk mengatur perang dan 
damai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal 
dari Dia yang membuat  hidup. Maka sudah menjadi 
patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja, 
membangkangnya, adalah juga melanggar dan 
membangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang? 
Sang Patih jelas sudah  membangkang terhadap dirinya. 
Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah 
sudah sepatutnya sebagai kesatria raja    memperoleh  tikaman gada wesi  
sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang membuat  
hidup sudah  mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak 
mati sebab  raden panji  gelang-gelang , pasti sebab  perintahnya. Dan 
itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap 
bawahan . sebab  itu setiap permohonan untuk memelihara 
dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan. 
namun   raden panji  gelang-gelang ! Apakah yang diperbuatnya? Dia 
sudah  menarik dan mengerahkan semua prajurit kerajaan  kediri . 
Ia sudah  bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia sudah  seret 
kediri  seluruhnya dalam perang, memberi kelonggaran 
pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia 
membiarkan kediri  terbuka terhadap pajang bintoro ! Dia sudah  
kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa. 
Tanpa bawahan , tanpa prajurit kerajaan , tanpa punggawa, tanpa 
saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama 
tanpa bawahan  yang menghinakan dan merendahkan diri 
dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri 
  seorang raja tidak memiliki sesuatu arti. Dia sama 
dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gamelan 
tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi 
mata dan hati. Makanan hilang rasa: namun   jantung terus 
juga berdenyut. 
Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam. 
Ya, kelak bila semua sudah  kembali dalam genggaman 
tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi 
kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua mereka. Ia 
akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan 
untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia 
lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di 
dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya 
kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya. 
Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan 
badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh 
dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak memiliki  sesuatu 
arti lagi baginya. 
Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah memiliki  
waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada 
penguasa yang lain sudah  membangunkan sikap batin kesatria raja : 
hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tidak kurang 
dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut 
sebab  lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah sebab  
kehormatan sebagai kesatria raja , di medan perang dan di mana 
saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah sebab  
hukuman dan tidak dengan gada wesi . Dan seorang kesatria raja  hanya 
boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap 
saat ia bersedia mati baik sebab  usia mau pun sebab  
kehormatan. Ia tak pernah memiliki  keraguan. 
Bila ternyata raden panji  gelang-gelang  kelak melakukan 
pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengambil nilai 
kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut, 
dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia 
percaya  dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas 
penghabisan sebagai kesatria raja  dengan kehormatan. Dan apalah 
salahnya selama ia tetap kesatria raja ? Putra-putranya akan 
mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan 
mengerti dan menghormatinya. 
Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan 
mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat 
mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman 
itu sendiri akan membunuh-nya bila ia melawannya, sebab  
jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan  Batara 
Kala itu sendiri, tak peduli mereka arca    atau Hindu, atau 
sri ratu kertanegari  atau nyi kanjeng blora sekalipun. Semua sudah memperoleh  
tempatnya. 
namun   yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan. 
Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di 
selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri 
kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa 
kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah. 
Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang 
tak tahu adat. Seorang anak desa sudah  membunuh saudara 
sepumemiliki , lalu  mengangkat diri sendiri menjadi 
Patih panembahan senapati ki ageng  kediri ! Siapakah dewa sembahannya maka 
dia berbuat tanpa perintah ku? 
Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak 
akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat 
hanya demi keselamatan praja. Seseorang raja tidak akan 
berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya 
demi keselamatan praja. Dan beberapa kalimat lagi se-
bangsanya. 
Dan praja sekarang lumpuh. 
Dan praja adalah raja. 
Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia 
kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga: 
raden panji  gelang-gelang , seorang anak desa tanpa makna yang sudah  
berani membunuh seorang dari darah kerajaan jenggala , darah 
tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa 
lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa 
setiap orang yang dialiri darah kerajaan jenggala  memiliki hak 
untuk menjadi raja. 
Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa kerajaan jenggala  
bisa berdiri hanya sebab  bantuan orang-orang kebanyakan, 
dan orang-orang itu lalu  diangkat oleh Sri Baginda 
Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu 
melenyapkan dendamnya pada raden panji  gelang-gelang . Ia harus 
membunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun 
sebagaimana o-rang-orang lain sudah  juga dibunuhnya. 
Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu 
ini: ia dicintai dan dihormati oleh bawahan  kediri . 
Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai 
dan menghormatinya? Tidakkah bawahan  kediri  akan 
melindunginya, dan itu berarti menentangnya? Hukuman 
padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada 
raja. Dan bagaimana kalau seluruh bawahan  sebab nya 
ingkar dan membangkang terhadap dirinya? 
Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi membenarkan 
kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata 
dewa-dewa juga berpihak pada manusia…. 
Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing. 
Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya 
haremnya. 
Sang adiputro  mendengar peristiwa di dekat pohon 
beringin itu dari persembahan patih wirabuana  kediri . 
Nampaknya orang lain tak ada yang berani menghadap. 
Persembahan yang cukup teliti itu sudah  menyorong 
raden panji  gelang-gelang  ke pojokan sebagai biangkeladi segala 
kebodohan  yang tak patut memperoleh  sedikit pun 
pengampunan dibandingkan nya. 
“Wira, si anak desa itu, baginda tuanku raja , sudah  berani melanggar 
perintah  sesudah  dia mengangkat diri jadi Patih panembahan senapati ki ageng  
kediri ,” raden  sanggabuana  As-Zubaid mengadu, “bukan 
hanya menggerakkan lima ratus centeng . Dia sudah  
perintahkan semua kepala   pasukan untuk mengikuti dan 
menjalankan perintahnya. Dialah yang pertama-tama 
menguasakan kepala   pasukan pengawal. Dia sudah  
membuat -bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih 
dan membunuhnya, membunuh atasannya, ya baginda tuanku raja , 
seperti membunuh anak kambing.” 
Sang adiputro  hanya mengajukan satu pertanyaan: 
“Bagaimana bisa kepala  -kepala   pasukan mendengarkan 
dia?” 
“Takut, baginda tuanku raja . Setan sudah  merasuki dirinya.” 
Sang adiputro  mengerti, bukan sebab  takut mereka 
mendengarkannya. Juga bukan sebab  kerasukan setan. 
Memang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa 
itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewa-
dewa. Dan tidak mungkin kalau hanya sebab  kepala  -
kepala   pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya 
mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa sudah  
berkenan, mereka akan mendengarkannya juga. 
Yang teringat olehnya adalah pemberontakan-
pemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa 
kejayaan kerajaan jenggala , hanya sebab  pembagian kekuasaan 
antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir 
kadipaten kediri ? 
Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing. 
patih wirabuana  kediri  tak membiarkan kesempatan berlalu 
tanpa membakar-bakar Sang adiputro  untuk bertindak 
terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda. 
“Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi 
Patih dan panembahan senapati ki ageng  sekaligus, baginda tuanku raja , itu adalah menyalahi 
darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat,” dan 
ia merenungkan makna dari darah, takdir dan kodrat. 
namun   Sang adiputro  lebih cenderung untuk mengingat-
ingat akan mendesaknya Gajah Mada, si anak desa itu, ke 
atas sehingga jadi Mahapatih kerajaan jenggala . Ia teringat juga 
pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja 
jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken 
Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di 
Jawa lalu . namun   raden panji  gelang-gelang  takkan jadi Patih 
kediri , juga takkan jadi raja kediri , selama adiputro  kediri  
Arya Teja Tumenggung Wilwantikta belum lenyap dari 
muka bumi. 
Dan sejak mempersembahkan peristiwa di alun-alun 
raden  sanggabuana  bumikerta  selain berkitar-kitar di sekeliling 
kadipaten, tak peduli pada bau mayat yang mengembara ke 
mana-mana. Ia merasa lebih aman di dekat Sang adiputro . 
Sebaliknya keputrian yang kadang membosankan itu 
membuat  Sang adiputro  merindukan patih wirabuana  kediri    
satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara. 
Pada kesempatan-kesempatan seperti itu raden  sanggabuana  
suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di 
pedalaman. namun   Sang adiputro  tidak pernah melayaninya. 
Ia percaya pada prajurit kerajaan  kediri . Biar pun musuh itu 
memakai  gada rujakpolo , balatantaranya takkan mungkin 
dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa raden panji  gelang-gelang  
ataupun Sang Patih, prajurit kerajaan  kediri  pasti akan menang. 
Tidak percuma selama 400  tahun jadi andal-andal 
kerajaan jenggala . 
Bila patih wirabuana  kediri  mulai bicara tentang 
raden panji  gelang-gelang  makin jelas gambaran anak desa itu di 
hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu 
akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh 
sudah  dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan 
prajurit kerajaan  kediri  sebagai kemenangannya sendiri. Pada 
waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat 
diangkat jadi panembahan senapati ki ageng , prajurit kerajaan  kediri  akan tetap 
menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing 
yang mengembik-ngembik memohon pengesahan. Dan dia 
akan menunggu datangnya karunia dari tanganku. 
Kambing yang mengembik itu takkan memperoleh  umpan. 
Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton. 
Ia tidak menanggapi raden  sanggabuana  bumikerta . 
Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali 
seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan 
sendiri. Sederhana. 
Di dalam rumah-rumah penduduk kediri  yang suram 
pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang 
perbuatan raden panji  gelang-gelang . Tak ada seorang bawahan  yang 
memiliki perasaan tidak senang terhadap Sang Patih. 
Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak 
desa itu yang membunuhnya? Mengapa raden panji  gelang-gelang ? 
Anak desa yang justru dicintai dan dihormati itu? 
Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi 
pengantin agung dengan nyi girah . Semua orang ikut bersuka 
cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang 
menggoncangkan itu bukan sudah  dibetari lkan dalam 
jatuhnya tandu pengantin? Dan mengapa sebagai panembahan senapati ki ageng  
kediri  ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk? 
Mengapa hanya prajurit kerajaan  yang dikerahkannya? 
Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang 
suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah 
terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya 
pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang kediri , 
gumpilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak 
desa yang naik ke atas. Gajah Mada dan Ken Arok. 
Tetap tak ada yang dapat mengabarkan  apa yang bakal 
terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran 
di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali 
seperti semula. 
Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa 
patih wirabuana  kediri , pakanewon  Habibuliah Almasawa, yang 
dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru 
menjadi semakin dekat pada Sang adiputro . Tak ada seorang 
pun berani menjamah kulitnya. Dan memang orang tidak 
tahu apa yang hidup dalam hati Sang adiputro . 
Dan nyi girah ? Seluruh kota kediri  mengerti dia sedang 
tetirah ke hutan  larangan  untuk melahirkan. Dan mungkin 
juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan 
diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar 
terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan 
terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu 
memang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan 
ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih 
gemilang dibandingkan  kedua orangtuanya. 
Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah 
oleh resi h dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di 
kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan 
menunggu datangnya taufan. 
Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan 
semakin membuat  hati gundah. 
Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan 
melihat  bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur, 
sedang hati penduduk kediri  tawar kehilangan gairah. 
Tinggal Sang adiputro  saja percaya: tak lain dari 
patih wirabuana  kediri , pakanewon  Habibuliah Almasawa yang bisa 
mendatangkan persahabatan dan nyi kanjeng blora dan Ispanya. 
Ia merasa masih memiliki cukup kehormatan: Ia tidak 
akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja 
Blambangan Giri Dahanaputra, Girindra Wardhana. kediri  
tidak perlu mengakui keunggulan jayamahanaya …. 
wah 
 
20. Pertempuran dan Pertempuran 
Hujan jatuh tak semena-mena di atas pesanggrahan 
prajurit kerajaan  kediri . Malam gelap-pekat. Angin kencang 
antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding 
daun kacangtanah  setiap gubuk pesanggrahan. Bila kilat 
mengerjap, gubuk-gubuk itu nampak seperti sekelompok 
anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan induk. 
Dalam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah 
pelita minyak kacangtanah  memancari wajah dan tubuh beberapa 
orang yang berdiri di sekelilingnya. Setiap kali nyala pelita 
itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak 
berubah-ubah, seperti bukan wajah manusia namun   makhluk 
menyeramkan dari alam lain. Tak ada di antara mereka 
tersenyum atau tertawa. Semua memusatkan pikiran dan 
kesungguhan mereka menegangkan suasana. 
“Yang sudah  kita hadapi dan hancurkan pada hari ini 
bukanlah dan belumlah seluruh kekuatan mereka,” kata 
Kala chucky . “Mungkin baru sebagian kecil. Malahan di 
mana disembunyikan gada rujakpolo  itu kita belum lagi tahu.” 
“Dari bunyi ledakannya jelas disembunyikan di arah 
tenggara,” seseorang memberikan pendapatnya. 
“Jelas seperti siang. namun  gada rujakpolo  bisa berpindah setiap 
waktu.” 
“Dia tetap akan meninggalkan bekas.” 
“Orang bisa membuat  supaya tidak berbekas.” 
“Mereka takkan memiliki cukup waktu untuk itu.” 
“Moga-moga.” 
“Selama mereka masih menembakkan gada rujakpolo nya, induk 
pasukan mereka belum lagi bergerak,” sambung Rangkum, 
kepala   pasukan kaki. 
“Dan hanya sedikit-sedikit tembakannya,” Kala chucky  
meneruskan, “barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka 
takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk 
melakukan perang lama seperti Paregreg. Dan bila itu yang 
mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, kediri  
akan diterkam bahaya kacangtanah ran. Sedang jenggala akan 
hanya menjadi beban.” 
“Kita akan usahakan mereka tak memiliki  kemampuan 
untuk berperang lama,” ki glodog ireng  
memperdengarkan suaranya, “pedalaman kita tidak begitu 
subur. Daerah kediri  Kota sendiri tandus. Selama ini hanya 
kebesaran jenggala yang diagung-agungkan. Kalau 
pedalaman kacau dan laut pampat, hanya kacangtanah ran yang 
ada.” 
“Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita 
inilah kunci’ raden panji  gelang-gelang  menyarani. “Kalau mereka 
menghendaki perang panjang, kitalah yang akan membuat  
pendek.” 
ki glodog ireng  mengangkat muka. Suatu perasaan tak 
senang terpancar pada wajahnya. Dengan tenang ia 
memperdengarkan suaranya: “Dan mereka bisa juga 
memegang kunci atas kita. Menyesal sekali adipati  pralaya  
dilepas murah.” 
Kala chucky  mendengus menahan kegusaran ki glodog 
ireng . Ia memang terkenal sebagai jurudamai yang tidak 
pernah berpihak, maka orang mendengarkan setiap 
katanya: “Ikan besar umpan pun besar.” 
“Ikan itu belum lagi kelihatan,” bantah ki glodog ireng , 
“lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang 
berperang.” 
“Dengarkan, kau, Rangkum,” panembahan senapati ki ageng  kediri  
membelokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari 
pasukan kaki. Berangkat malam ini juga, kau dan aku. 
Besok bila mereka bangun, mereka akan tahu sudah  terputus 
dari induk pasukannya sendiri!” 
“Tak pernah ada prajurit kerajaan  bergerak di waktu malam,” 
bantah ki glodog ireng . 
“Apakah panembahan senapati ki ageng  kalian kira keturunan raja? Aturan 
perang panembahan senapati ki ageng  kalian bukan berasal dari para raja. Apa 
katamu, Kala chucky ?” 
“Biarlah kepala   pasukan kaki sendiri yang menjawab.” 
“Mereka sudah terlalu lelah, panembahan senapati ki ageng wilareja ,” jawab 
Rangkum. “Besok mereka masih memerlukan  tenaganya 
sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka 
beristirahat h. Petani-petani pedalaman itu takkan dapat lari 
jauh. Mereka masih ada di dekat-dekat sini, panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
Dan raden panji  gelang-gelang  tahu, hanya panembahan senapati ki ageng  tidak bijaksana 
disangkal oleh bawahannya. Semua mengawasinya seakan 
mengukuhkan ketidakbijak-sanaannya. Dan jatuh hujan di 
atas atap daun kacangtanah  itu kembali terdengar oleh mereka. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja  belum lagi selesaikan perbincangan ini,” 
ki glodog ireng  memperingatkan. 
“Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu, 
hari ini kita sudah  memperoleh kan kemenangan gemilang.” 
“panembahan senapati ki ageng  baru sekali ini berperang,” bantahnya. 
“Dalam seumur hidupku, prajurit kerajaan  kediri  hanya 
sekali ini turun untuk berperang. Pengalamanmu tidak lebih 
banyak dari aku,” jawab panembahan senapati ki ageng . Dengan sendirinya 
tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak 
layak sesudah  kemenangan gemilang hanya sebab  dirinya 
yang memerintahkan dimulainya gerakan, la sudah  
pertaruhkan nasibnya dengan mengambil-alih kepanembahan senapati ki ageng an. 
Ia pandangi kepala   pasukan itu seorang demi seorang. 
Dan ia tak memperoleh  sokongan. Juga Kala chucky  tak 
menyokongnya. 
“Tak ada yang bilang mereka tak boleh beristirahat h. 
Bukan raja pun harus tidur. Cobalah fahami maksud 
panembahan senapati ki ageng ,” katanya menyarani. “Kalian memang boleh 
menyanggah seorang panembahan senapati ki ageng  anak desa, namun  perang 
adalah perang.” 
“kepala   pasukan kaki tidak menyanggah, panembahan senapati ki ageng wilareja . 
Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap panembahan senapati ki ageng wilareja  
bijaksana.” 
“Kala chucky !” panggil panembahan senapati ki ageng . “Juga kau sendiri tahu, 
yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak 
dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari 
pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai 
separoh. Bagaimana jawaban ini?” 
“Rangkum menolak, panembahan senapati ki ageng wilareja , sebagaimana pada 
sebaliknya panembahan senapati ki ageng wilareja  melepaskan adipati  pralaya  dari 
kepungan, demikian juga Rangkum melepaskan 
anakbuahnya untuk beristirahat,” jawab Rangkum tegas. 
“Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu 
pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti 
ini. Namun sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini. 
Sekalipun kalian menolak, aku masih mengharapkan ada 
yang mau berangkat. Siapa siap berangkat?” 
Tak berjawab. panembahan senapati ki ageng  masih memerlukan memandangi 
kepala  -kepala   pasukan sekali lagi untuk memperoleh  jawaban. 
Sia-sia. 
“Baik,” katanya lalu , “ki glodog ireng , sediakan 
untukku seekor kuda yang segar.” 
“Kemana panembahan senapati ki ageng wilareja  akan pergi, seorang diri?” 
“Memutuskan mereka dari induk pasukannya.” 
ki glodog ireng  menatap panembahan senapati ki ageng  dengan diam-diam. 
Melihat raden panji  gelang-gelang  tetap pada pendiriannya, lambat-
lambat namun  pasti ia menjawab: “Baik. Kalau begitu seluruh 
pasukan kuda akan bergerak mengikuti panembahan senapati ki ageng wilareja , malam 
ini juga.” 
“Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan 
sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu 
aturan perang para raja ini bertarung.” 
Sejenak kepala  -kepala   pasukan itu terdiam. ki glodog 
ireng  menatap Rangkum, dan yang belakangan ini 
mengangguk. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja ,” jawab Rangkum, “pasukan kaki akan 
bergerak malam ini juga, mengikuti panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu 
bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat 
menerangi bumi barang sekejap. 
Tanah berumput di bawah kaki memudahkan 
perjalanan. Dan mereka berjalan dan berjalan. Hujan 
berhenti dan curah kembali. Mereka terus berjalan melintasi 
padang rumput berbatu-batu, lalu  memasuki jalanan 
desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan 
bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung. 
Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar 
berkeruyuk. lalu  unggas-unggasan yang lain mulai 
menyanyi dari segala pelosok, dan sinar matahari  pun mulai 
memancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di 
timur sana. 
Laskar-laskar jayawisesa  yang dicari ternyata tiada. 
“Apa katamu sekarang. Rangkum?” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja  benar. Mereka bergerak di malam hari.” 
“Apa artinya itu, Rangkum?” 
“Artinya, kita sudah hancur , bila mereka menyerang 
dengan sepenuh kekuatan, panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
Demikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak 
di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan. 
Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua 
bergerak menyusul panembahan senapati ki ageng . 
Gerakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas mereka pada 
siang kemarin sudah  terhapus oleh hujan. 
Berita, bahwa kediri  terpancing turun ke gelanggang 
tanpa persiapan dan tanpa mengerahkan pagardesa ataupun 
penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan mati 
kacangtanah ran, kehujanan dan kedinginan. 
Sesudah  sore , di depan pendopo, di hadapan para 
pengikut ia memberikan wejangan pendek sebelum di kuil : 
“Anak-anakku, bawahan ku, sudah berkali-kali aku ajarkan 
pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka 
bilang dewa-dewa yang sudah  pilih mereka jadi ningrat 
untuk memerintah orang desa.” 
“Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita 
pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa 
kerajaan jenggala . Di kediri  aku pun sudah banyak dengar tentang 
itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang 
memiliki  perhatian pada kejayaan kerajaan jenggala  di masa silam. 
Juga memiliki  perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar 
itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak mampu berdiri lagi.” 
“Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang 
Paregreg. Bukankah kalian juga masih ingat soalnya sebab  
tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani 
Suhita yang masih juga mau meneruskan memberikan 
kekuasaan pada bukan ningrat? Dan bukankah kalian juga 
masih ingat, bahwa dalam kekuasaan kerajaan jenggala  hampir 
semua pangeran itu tidak mampu melakukan sesuatu 
pekerjaan besar? Dan bahwa yang besar-besar hampir 
seluruhnya dilakukan oleh orang-orang keturunan desa?” 
“Lebih sepuluh tahun aku sudah  mengabdi pada adiputro  
kediri  sebagai patih wirabuana . Aku sudah jelajahi jenggala -
jenggala di Jawa, dari jatikerto  sampai Panarukan. Sama saja 
di mana-mana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di 
bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.” 
Lihat itu raja Ciri Dahanapura Blambangan, yang 
menamakan diri pewaris tunggal kerajaan jenggala . Bukankah 
sudah diketahui semua orang dia mengemis-ngemis gada rujakpolo  
pada nyi kanjeng blora? Pada Kongso Dalbi di jayamahanaya ? Begitulah 
ningrat Jawa. Untuk mengambil hati nyi kanjeng blora, raja 
Blambangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang 
tanah dan tenaga kerja pada nyi kanjeng blora-nyi kanjeng blora di 
Blambangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di 
Panarukan dan Pasuruan. Dibiarkan mereka mendirikan 
rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah arca    datang 
pada kalian sebab  gada rujakpolo ? Dan didani orang palawa nya 
sekali? Tidak! Tak ada orang palawa  menyampaikan ajaran di 
Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan 
Nusantara ini. Orang-orang palawa  datang hanya untuk 
memaneni jerih-payah orang lain. arca    datang dari 
kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati 
mereka yang bersih pula, berkembang damai seperti 
berkembangnya bunga jambu. Lain dengan nyi kanjeng blora 
dengan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan gada rujakpolo , 
dan dengan nyi kanjeng bloranya sekali. arca    datang tanpa 
meminta tanah. Mereka datang dan memerlukan  tanah.” 
Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada 
Rois dan Manan, nyi kanjeng blora mualaf, membersihkan 
tenggorokan dan mulai lagi: “Manan dan Rois datang 
bukan sebagai nyi kanjeng blora Blambangan. Mereka berdua 
datang untuk jadi bagian dari kita. Untuk jadi saudara 
sendiri.” 
Dari kejauhan sudah  terdengar resi h berkata  dan 
gerimis tipis mulai turun. patih  Benggala adipati  jayawisesa  tak 
juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: “Kalau 
kediri  sudah  kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan, 
mengusir Hindu dan Nasrani dan nyi kanjeng blora dari 
Blambangan. Tak ada alasan kediri  bisa mengalahkan kita. 
adiputro  kediri  sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah, 
tak berkemauan. Ingin aman dan senang terus sampai mati, 
tanpa berbuat apa-apa dengan merugikan semua orang. 
Munafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja memerintah 
dia. Pasukan gajahnya kuat, lebih 400  tahun jadi 
perisai kerajaan jenggala . Mengaku arca   . Sekarang kerajaan jenggala  
tinggal segenggam tanah yang bernama Blambangan, 
jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan. 
Dia malah mau meniru raja Blambangan, Girindra Ward-
hana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari nyi kanjeng blora, 
sekalipun dengan caranya sendiri. Malah anak-anaknya 
sendiri pada lari meninggalkannya. 
Hujan mulai melebat. Dan untuk pertama kali dalam 
kekuasaannya di jayawisesa  ia mempersilakan para pengikut 
masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu. 
Dan ia terpaksa meneruskan ceramahnya , sebab  
memang belum lagi sampai pada pokok kesukaan: pajang bintoro . 
“Nah,” ia meneruskan sesudah  semua memperoleh  
tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap 
dirinya kanjeng sinuhun  arca    pertama-tama di Jawa. Kalian 
memanggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak 
sesederhana itu namanya. Lengkapnya: kanjeng sinuhun  Sri Alam 
Akbar Al-Fattah. Sama sekali bukan nama Jawa. Memang 
dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir 
pajang bintoro  berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah kerajaan jenggala . 
Bohong! Semua pemasyhuran tentang pajang bintoro  oleh musafir-
musafir itu bohong belaka. Ningrat Jawa sekarang ini 
takkan memiliki  kemampuan membuat sesuatu yang baru, 
apalagi mendirikan kerajaan arca    pertama. 
“Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas musafir 
pajang bintoro , hei, kau bekas musafir pajang bintoro , benarkah kanjeng sinuhun  
pajang bintoro  orang Jawa?” ia tertawa mengejek. “Yang kalian 
sebut kanjeng sinuhun  pajang bintoro  orang itu sama sekali tidak bisa baca 
dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa bicara 
sedikit jawadwipa . Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan 
tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa? Bukan itu saja, 
kulitnya bukan kulit Jawa dan matanya bukan mata Jawa. 
Hei, kau bekas musafir pajang bintoro , cobalah jawab: sipit atau 
tidakkah kanjeng sinuhun  pajang bintoro ?” 
Seorang pemuda jangkung nampak memanjangkan 
badan dan leher dan menjawab: “saya  belum pernah 
melihatnya, Ki Aji.” 
“Bahkan musafirnya sendiri tak pernah melihatnya. Dia 
memang tak pernah muncul di depan umum. Dan jangan 
percaya kalian pada orang selama dia mengaku diri musafir 
pajang bintoro . Mari aku ceritai kalian: “kanjeng sinuhun  pajang bintoro  memang 
tidak pernah muncul di depan umum. Dia takut dilihat oleh 
bawahan nya sendiri. sebab  itu dia memerlukan  musafir 
untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa.” 
“Jadi siapa gerangan, Kanjeng adipati ?” 
Pertanyaan itu memicu  orang tergugah dari 
kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka 
ketahui: “Itu hanya dalam kitab seorang patih wirabuana . 
Selama ada patih wirabuana  di pelabuhan-pelabuhan di Jawa, 
orang akan dapat memperoleh keterangan yang benar 
tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tambo. Kalian 
harus tahu tambo untuk mengetahuinya duduk perkara. 
Waktu kalian belum ada… “, ia memulai dengan ceritanya, 
“ada tersebut dalam kitab para patih wirabuana , datanglah 
armada dari utara sana, memang bukan untuk 
menaklukkan negeri-negeri seperti nyi kanjeng blora dan Ispanya, 
bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk 
membajak. Mereka datang untuk menguasai perdagangan 
rempah-rempah. Mereka datang dengan dalih sudah  terusir 
dari negerinya dan minta perlindungan pada kerajaan jenggala . 
Tidak lain dari Sang adiputro  kediri  yang lebih tahu 
bagaimana isi perjanjian itu, sebab  dialah waktu itu 
ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre Wijaya Purnhutan esa untuk 
melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao 
Sam sekarang dan Semarang sekarang, namun   mereka tidak 
boleh memasuki perairan panarukan . Mereka boleh 
memperoleh kan rempah-rempah hanya dari jenggala -jenggala di 
Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: Dampo 
Awang. Orang hanya mengenal mpu wungubhumi nya: Ceng He. 
“Memang mereka tidak seperti nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dan 
mereka berdagang biasa, tidak mampu menguasai 
perdagangan rempah-rempah seluruhnya. Mereka melalui 
jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapal-
kapal Jawa.” 
“Armada itu sangat besar, walau mungkin takkan sebesar 
armada kerajaan jenggala  di masa jayanya. Dan sebab  waktu itu 
di Jawa tak ada armada besar lagi, armada itu nampaknya 
memang sangat besar. Orangtua kalian tahu betul tentang 
itu, namun   ada banyak hal yang mereka tidak pernah tahu.” 
“Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka 
datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka 
datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang, 
tidak menembak dengan gada rujakpolo  atau cet-bang, tidak 
merampas jenggala orang dan tidak menumpas rajanya.” 
“Di mana armada itu sekarang, Kanjeng adipati , sebab  
menurut cerita kapal Dampo Awang sendiri tenggelam di 
pantai Rembang.” 
“Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak 
jenggala !” 
Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh 
tampias dan bunyi jatuh air di perlimbahan. 
“Mereka memang tidak kembali ke negeri sendiri. 
Mereka tersekat di sini sebab  di negerinya sendiri terjadi 
pergantian paduka raja . 
Berdasarkan persetujuan dengan kerajaan jenggala , dengan 
Tumenggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah 
rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi jenggala 
perdagangan dengan nama Sampo Toa-lang. 
“dahulu  orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak 
penyakit. Lama-lama ada juga yang datang dan memperoleh  
pelayanan. Tentu tidak sebaik pelayanan kediri  sewaktu 
aku masih jadi patih wirabuana . 
“Dengan jatuhnya kerajaan jenggala  kelompok besar armada 
musafir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur 
untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir 
perjanjian dan Tumenggung Wilwatikta itu kehilangan 
kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat 
adalah Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, maka dari 
timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya. 
Begitulah mereka bentengi pangkalannya dengan melantik 
sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan 
benteng Sampo Toa-lang itulah pajang bintoro .” 
“Bukan Kanjeng adipati , bukan begitu babad berdirinya 
Glagah Wangi pajang bintoro ,” seseorang membantah berapi-api 
sambil berjongkok meninggikan badan. 
“Bukankah kau bekas musafir pajang bintoro , jayamuseswa ?” 
“Betul, Kanjeng adipati , bukan begitu. Sungguh bukan 
begitu.” 
“Memang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk 
jadi musafir pajang bintoro . Coba, adakah pernah seorang raja 
Jawa menyebarkan musafir? Itu bukan adat raja-raja Jawa. 
Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya 
untuk membual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan 
asal-usulnya. Bohong kalau dia keturunan kerajaan jenggala , anak 
Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari pasuruan . 
Dengarkan baik-baik. Babah Ban-tong memang orang 
Tionghoa arca   . Nama sebenarnya Tan Go Hwat. Bapakku 
mengenal dia, sebab  beberapa kali dia memang pernah 
berlayar ke jayamahanaya . Benar anaknya sudah  diselir oleh Sri 
Baginda Bhre Wijaya, namun   tidak benar anaknya itu 
dihadiahkan pada Arya Damar, adiputro  Palembang dan 
melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, orang Jawa. Dalam 
lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada 
yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi patih wirabuana ! 
“Tidak, jayamuseswa , anak ganteng. Retna Subanci tidak 
pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh 
ayahnya ke jayamahanaya  semasa masih gadis kecil. Memang dia 
mengandung dan memperoleh  anak dari raja kerajaan jenggala , namun  
anak itu lalu  mati. Dia sangat menderita di dalam 
keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu 
merengek minta melihat  orangtuanya. Sri Baginda 
dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Tanyalah pada 
Sang adiputro  kediri , ke mana itu Retna Subanci. Boleh jadi 
hanya dialah yang tahu. Anak Babah Bantong itu 
dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada adiputro  kediri . Anak 
yang dilahirkannya di kediri  itu bernama Jaka Seca. 
Selanjutnya kalian tahu sendiri. Oleh ibunya sebelum 
meninggalnya dia diserahkan pada Gouw Eng Cu untuk 
dididik.” 
“Seluruh Majelis Kerajaan pajang bintoro  tidak bakal bisa 
bantah aku, kanjeng sinuhun  pajang bintoro  itu tak lain dari peranakan awak 
armada Ceng He. Itu ada dalam kitab para patih wirabuana , 
boleh jadi juga dalam klenting-klenting di kediri  dan Lao 
Sam, boleh jadi juga di Semarang sendiri.” 
Sebentar terjadi kegaduhan dan mpu  jayamuseswa  
menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya. 
“Apa?” sambar adipati  jayawisesa  yang menangkap 
kegaduhan itu. “Betul Jaka Seca itu lalu  jadi Raden 
Said, sekarang adipati  Kalijaga, tahu betul bahasa Cina, 
maka juga ikut mengelompok di pajang bintoro . pajang bintoro  dan arca    
dibikin jadi satu   dengarkan itu, sebab  kekuatan di Jawa 
sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang arca   . 
Apakah kanjeng sinuhun  pajang bintoro  sebetulnya  sudah setingkat 
kearca   annya dengan adipati  jayawisesa  ini? Hei, kau, bekas 
musafir pajang bintoro , pernahkah kau mendengar kanjeng sinuhun  pajang bintoro  
menyebutkan barang satu ayat dari kitab suci? Atau orang 
pernah bercerita tentang itu? Mengapa kau diam saja? Tak 
ada urusan. Urusannya hanya keselamatan Semarang.” 
Sikap adipati  jayawisesa  yang memusuhi pajang bintoro  itu sudah 
sangat diketahui oleh umum. mpu  jayamuseswa  yang 
dikirimkan ke pedalaman kediri  sama sekali tidak bisa 
menandinginya, apalagi mepercaya kannya. Ia malah tertelan 
oleh pengaruh adipati  jayawisesa . Biar pun begitu pernyataan 
bahwa kanjeng sinuhun  pajang bintoro  bukan berdarah kerajaan jenggala  dan 
peranakan awak kapal Dampo Awang sungguh 
menggoncangkan: 
Dan melihat terjadinya kegaduhan patih  Benggala adipati  
jayawisesa  buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan: 
“Bukan soal ini sebenarnya aku ingin sampaikan. Ialah 
bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja 
armada yang tersekat itu sampai dapat membuka jenggala 
dan perkampungan besar, namun  juga tidak berdaya sesuatu 
melihat ada seorang bukan Jawa sudah  naik tahta jadi raja 
arca    pertama-tama. Mungkin kalian tidak tahu, 
Semaranglah-jenggala pajang bintoro . Apakah kalian tidak malu 
adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa 
bicara Jawa menjadi raja dari orang-orang Jawa?” 
Sampai pada puncak semangatnya kembali ia terserang 
oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk 
bertahan. 
“Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang 
Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan membaca Jawa? 
Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mungkin 
lebih baik dibandingkan  resi -resi  kalian. Dan semua isinya 
omong kosong belaka tanpa bisa dibuktikan. Maka aku 
tidak datang pada ningrat Jawa, namun  pada kaum pedagang 
dan petani seperti kalian, orang-orang biasa, orang desa… 
lain halnya dengan kanjeng sinuhun  pajang bintoro , mendirikan kerajaan 
untuk jadi benteng Semarang. arca    dipakai  dalih.” 
“Dan lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira 
belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di 
sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri Dahanapura 
Blambangan, Pejajaran namanya. Rajanya juga lemah 
seperti Girindra Wardhana. Penghasilannya melimpah-
limpah, tanahnya subur dan bawahan nya rajin dan patuh. 
sebab  rajanya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi 
orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah sebab  
kekayaannya. Dia pun berusaha memperoleh kan persahabatan 
dengan nyi kanjeng blora. Dia mencari persahabatan dari singa yang 
lapar.” Bedug masjid jayawisesa  sudah  memanggil-manggil untuk 
bersembahyang di kuil . 
“Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai 
oleh nyi kanjeng blora,” adipati  jayawisesa  meneruskan, “dan itu tidak 
boleh. Tidak boleh. Demi sang hyang Widhi !” dan ia memberi tekanan 
pada kata-katanya: “Maka aku, orang Benggala, 
mengajukan diri untuk melindungi Jawa dari tangan najis 
pemberontak  nyi kanjeng blora, aku, adipati  jayawisesa .” 
“Maka itu kita harus melawan kediri . Sekarang 
prajurit kerajaan  kediri  sedang terpancing turun ke gelanggang. 
Pasukan gajahnya akan punah oleh gada rujakpolo  kita, akan 
terkubur dalam perangkap, insya sang hyang Widhi , kita pasti menang.” 
wah 
 
adipati  pralaya  dengan membawa dendamnya terhadap 
Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga. 
Kalau tidak, bila seluruh para bala tentara  kediri  yang dikerahkan, 
dengan kuda dan gajahnya sebelum ia memiliki 
persiapan kedua, pasti dan terjadi penumpasan yang tak 
dapat dielakkan. 
Hujan deras yang turun pada malam itu sudah  
diperhitungkannya akan menjadi pelindungnya. prajurit kerajaan  
kediri  tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan 
dapat menemukan. 
Dengan diam-diam ia perintahkan melaksanakan 
rencana Manan dan Rois untuk membangunkan parit-parit 
penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus 
masuk ke dalam penjebakan untuk tumpas. 
Sementara itu ia perintahkan untuk membuat  jejak-jejak 
ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang 
dibangun. Ia memerlukan  waktu pendek untuk 
rencananya itu. 
Hampir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang 
melaporkan, para bala tentara  kediri  sudah  melakukan gerakan di 
malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk menguji 
laporan pertama. Dan dua-dua laporan itu tidak berbeda. 
Memang prajurit kerajaan  kediri  bergerak juga di malam hari. 
Pembuatan  jebakan terpaksa dilakukan siang-malam, 
tak menanggapi  cuaca, dan dengan hasil yang tidak 
memuaskan. Hujan dan air menghalangi penggalian. 
Namun petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah 
dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan 
itu menghemat tenaganya dibandingkan dengan 
pemborosan di waktu panas. namun  air curah itu tetap 
menghalangi kemajuan. 
Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak 
menyetujui perang yang belum waktunya ini. namun  perang 
sudah  dimulai. Kekalahan pada hari pertama ia anggap 
sebagai kewajaran yang harus diterima. Namun ia masih 
juga belum dapat berdamai dengan kekalahannya yang 
pertama. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera 
perang dengan mudah  dari adipati  jayawisesa . Dan ia pun 
menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu, 
bahkan dengan diam-diam mengakui, diri sendiri ingin 
segera masuk ke kediri  kota sebagai pemenang, megah 
dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang 
bakal memerintah, malah memerintah semua orang. Betapa 
lama ia sudah bermimpi kan datangnya hari, semua 
atasannya dahulu  datang padanya, berlutut di bawah kakinya 
dan bersujud  mengakui keunggulannya. 
Kekalahan pertama ini menjauhkan dari impiannya 
sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan 
Rois itu mereka menambahi segalanya pula, sebab  harus 
berbagi pendapat dengan mereka. 
Ia takkan datang melapor pada adipati  jayawisesa  sebab  
kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. Dan sekarang 
melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk 
melindungi pembuatan  jebakan. Sebelum memperoleh  
kemenangan ia tidak akan muncul untuk melapor. 
Anak buah yang membuat  bekas-bekas kaki pun bekerja 
siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia 
memerlukan  paling tidak tiga hari untuk dapat membuka 
pertempuran baru. 
Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois 
adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut 
luas. Pasukan kuda dan gajah musuh harus masuk ke dalam 
kantong tapal kuda ini. Di belakangnya akan dipasang 
pasukan pemanah yang akan melemparkan anak panah api 
dan biasa Bila kuda dan gajah sudah  menjadi kacau 
ketakutan sebab  api, gada rujakpolo  akan beraksi sehingga musuh 
kehilangan keseimbangan. Serangan selanjurnya tinggal 
pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas 
para bala tentara  kediri  sendiri. 
Ia sudah  kirimkan penghubung untuk menempatkan 
gada rujakpolo . Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka 
mengarahkan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan 
pemanah pun sudah  siap di belakang tapal kuda. Tinggal 
gerakan pemancingan terhadap musuh yang berhari-hari 
mencari dengan sia-sia, masih harus dirancang dengan 
seksama. 
Dan semua kegiatan itu melupakannya kepada 
pertentangan dengan fredy krueger  dan penywise, juga pada 
penyesalannya terhadap adipati  jayawisesa  dan diri sendiri. 
wah 
 
Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat 
serombongan centeng  putih melintasi jalanan negeri. Dari 
kejauhan nampak jumlah mereka begitu sedikit. 
Pasukan kaki kediri  segera bersorak dan mengejar. Dan 
sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk 
bergabung. Arus prajurit kerajaan  kediri  mengalir dari segala 
penjuru menuju ke tempat adipati  pralaya  sudah  menunggu 
dengan diam-diam. 
Laskar jayawisesa  yang berjumlah kecil itu seakan lari 
ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati 
tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi 
parit, menyeberanginya dan keluar dari jebakan, hilang di 
balik semak-semak. 
Sebagian dari pasukan kaki Rangkum sudah  memasuki 
jebakan waktu di kejauhan raden panji  gelang-gelang  dari atas gajah 
mengirimkan penghubung berkuda untuk menghentikan 
pasukan kaki. Dari ketinggian itu dilihatnya Rangkum 
sedang memasuki jebakan raksasa. Penghubung itu 
mencapai kepala   pasukan kaki waktu ia sudah berada di 
tengah-tengah jebakan. 
Dengan terbata-bata Rangkum memberikan perintah 
berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu 
serangan. 
ki glodog ireng  menyebarkan pasukannya di luar 
daerah jebakan untuk melakukan gerakan penyisiran. 
adipati  pralaya  melihat para bala tentara  kediri  berhenti di 
tengah-tengah jebakan mengerti, musuh sudah  menyadari 
masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak 
mungkin maju terus. Dengan hati berat ia jatuhkan perintah 
untuk menghujaninya dengan api dan anak-panah. 
Ia lihat centeng -centeng  kediri  mengangkat perisai 
sebagai payung. 
Anak panah dan api berjasang yang betari durga   seperti hujan, 
bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan 
pemanahnya, dan mereka sambil bersorak-sorak 
menggugupkan lawannya. 
ki glodog ireng  mengalami kesulitan dalam melakukan 
penyisiran. Daerah luar jebakan itu ditumbuhi dengan 
semak-semak telakan yang rapat dengan batangnya yang 
liat. Ia tak maju. Dalam semak-semak sendiri gelap 
kegelapan yang memuntahkan anak panah dan api. Ia tak 
dapat menanggulangi serangan. Ia perintahkan pasukannya 
mundur dengan meninggalkan banyak korban. 
Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya raden panji  gelang-gelang  
memerintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan 
kuda. 
Gajah-gajah kediri  itu tak lama lalu  lari memasuki 
semak-semak yang ditinggalkan oleh ki glodog ireng . 
Dari atas gajahnya panembahan senapati ki ageng  melihat pasukan Rangkum 
di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung 
perisai tanpa bisa membalas. Dan dari belakang jebakan 
sorak-sorai para bala tentara  jayawisesa  semakin lama semakin 
bersemangat. 
Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa 
membalas, namun berhasil keluar dari tungku maut. 
Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu 
kudanya melarikan diri dari api yang sedang 
menandatangani, namun   terjungkal dengan kepala   pecah 
kena peluru gada rujakpolo . Ia digotong keluar gelanggang oleh 
anakbuahnya. 
Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi 
rata. centeng -centeng  jayawisesa  yang berada di dalamnya tak 
dapat melukai dan mengenai hewan -hewan  itu ataupun 
penunggangnya, terhalang oleh semak-semak 
persembunyian sendiri, sorak-sorai pengunduran diri 
mereka terdengar riang penuh kemenangan. 
gada rujakpolo  tiba-tiba berhenti menembaki. 
Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran. 
Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak. 
panembahan senapati ki ageng  mengerti berhentinya penembakan gada rujakpolo  
disebabkan sebab  senjata-senjata itu juga terpaksa 
diundurkan. 
adipati  pralaya  dengan senyum puas memerintahkan 
seluruh para bala tentara nya mundur. Ia sudah  terhibur sebab  sudah  
dapat menebus kekalahannya yang pertama. Tak ada 
seorang pun di antara anakbuahnya tewas atau hilang. 
Beberapa orang saja terkena cedera sebab  kecelakaan. 
Sekarang ia memperoleh kan keseimbangannya lagi. Ia akan 
tidak malu lagi menghadap pada adipati  jayawisesa . Kalau perlu 
Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak 
berarti di mata adipati . 
Dalam perjalanan mengundurkan diri ia mulai 
merencanakan pembuatan  parit yang tidak lengkung tapal 
kuda namun  lurus menghadang perjalanan musuh. Pos-pos 
pengintaian akan ditempatkan pada puncak pepohonan 
tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik musuhnya. Ia 
menyadari, ketinggian gajahlah yang memicu  
jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus 
tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutama sekali 
pasukan gajah dan kuda yang harus dihancurkan. 
raden panji  gelang-gelang , sesudah  melihat kerusakan pada pasukan 
kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi 
Rangkum. 
kepala   pasukan itu sedang duduk di atas tandu waktu ia 
datang. 
“Pasukanku rusak, panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Benar. namun  kau tidak kalah. Juga tidak hancur.” 
“Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup 
bergerak terus.” 
Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya 
menginginkan kuda baru. 
Dan panembahan senapati ki ageng  merasa bersyukur. Ia mengerti maksud 
Rangkum, dia menghendaki tugas pendesakan dan 
penggiringan musuh diserahkan pada dirinya. Rangkum 
memaklumi tugasnya mendesak dan menggiring musuh 
sampai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi 
menyerang, melawan, bertahan ataupun bergerak. 
Ia nilai pertempuran kedua sebagai kemenangan, sebab  
para bala tentara  jayawisesa  toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalaman. 
Pertemuan itu terjadi di pendopo antara adipati  jayawisesa , 
adipati  pralaya , fredy krueger  dan penywise. 
Panglima jayawisesa  dengan bersemangat melaporkan tentang 
jalannya pertempuran dan bagaimana kemenangan 
diperoleh. Bahwa pasukan kaki kediri  rusak, dan tak ada 
sesuatu kerugian pada pihak jayawisesa . 
Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak 
memberikan sesuatu pendapat. 
adipati  pralaya  lalu  menjanjikan kemenangan 
gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia sudah  memiliki 
rencana yang masak. 
adipati  jayawisesa  tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh 
semangat kemenangan. 
“Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Paman 
adipati ?” tanyanya lalu . 
“Tentu kau yang lebih mengetahui dibandingkan  aku. 
Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik. 
Teruskan saja,” ia berpaling pada fredy krueger  dan penywise, 
“bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois?” 
“Pengalaman kedua ini sungguh memuaskan,” Manan 
memuji-muji rencananya sendiri, “jebakan, anak panah dan 
api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah 
takkan berani mendekat. Dia takut pada api dan ledakan.” 
“Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan,” 
susul Rois. Tidakkah Kanjeng adipati  memiliki  tenaga yang 
bisa membuat nya? Barang sepuluh orang?” 
adipati  jayawisesa  menjanjikan akan memberikan tenaga itu. 
Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan 
berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan 
gajah. Dan adipati  jayawisesa  mengharap pada Manan dan Rois 
yang memiliki  pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk 
menyatakan pendapatnya. 
“Memang ada jalan yang mudah,” Rois alias penywise 
memulai. “Kelemahan gajah ada pada tumitnya. hewan  
yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, sebab  
kupingnya yang terlalu besar, sangat mudah diserang 
dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangnya 
orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya 
lagi untuk selama-lamanya. Ia akan menggelosot sampai 
mati.” 
“Betul, Kanjeng adipati , itu memang bukan rahasia. 
Semua centeng  yang berpengalaman di benua hitam tahu 
akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mudah.” 
“Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu,” ejek adipati  
pralaya , “untuk itu tak perlu berpengalaman perang di 
mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan 
sambar tumit itu dengan kapak atau tombak… beres. Lihat, 
tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma 
bila setiap ekor gajah kediri  diiringkan oleh paling sedikit 
limapu-luh centeng  kaki. Mereka bukan hanya menyerang 
ke depan. Mereka juga mengawal tumit gajahnya.” 
“namun   Rois betul,” Manan membenarkan temannya. 
“Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada 
kita memang mudah. sebab  tiada, harus diadakan 
penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap 
pasukan kaki pengiring sambil menghancurkan tumit 
hewan  itu.” 
“Di mana pengalaman perang kalian?” adipati  
mengejek. “Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan 
di waktu perang semua tumitnya dilindungi dengan 
zirahbaja? Dengarkan, gajah perang kediri  bila berjalan, 
zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti 
kopyak ki dalang. Ah-ya, mungkin di negeri-negeri lain tak 
demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di 
negeri orang itu.” 
adipati  jayawisesa  tertawa mendamaikan. 
“Kalian semua betul,” katanya. “Serangan cepat 
mendadak membongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.” 
“Tidak semua orang-orang bisa membongkarnya, apalagi 
dengan cepat dalam serangan mendadak,” adipati  
membantah. 
“Setiap buatan  manusia dapat dihancurkan oleh 
manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependek-
pendeknya. Lihatlah, Paman adipati , pembongkaran zirah 
itu sendiri memakan waktu lama di tangan bukan ahli 
dibandingkan  pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai, 
serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan 
saja tidak akan memperoleh  tumit, tidak akan memperoleh  
zirahnya, sebaliknya belalai gajah membantingnya ke 
bumi”. 
“Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu,” 
Manan berkukuh. 
Dan untuk ke sekian kalinya adipati  tak berhasil 
menyudutkan dua orang saingannya itu. 
Pembicaraan itu terputus sebab  datangnya seorang 
penghubung: memberitakan: ada beberapa orang 
penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan 
jebakan baru. 
“Halangi dan belokkan perhatiannya,” perintah 
adipati  pralaya . Dan sesudah  penghubung itu pergi, ia 
meneruskan, “Kita harus berpanen, bukan mengasak. 
Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Paman 
adipati . Pertempuran ke tiga sedang di ambang pintu. Kita 
bersiap-siap.” 
adipati  jayawisesa  berpaling pada Manan, berkata: “Manan, 
aku ikut bersama dengan gada rujakpolo mu.” 
Dan mereka pun berangkat ke medan pertempuran. 
wah 
 
gada rujakpolo -gada rujakpolo  kanjuruhan  itu sudah  ditempatkan pada 
sebuah bukit yang dirimbuni pepohonan. Tempat itu sejuk. 
Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu. 
Peluru-peluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah 
roda-roda gada rujakpolo . Para pelayan pada berdiri dengan 
tampang angker di belakang senjatanya. Pandang mereka 
tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. Dan 
titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal 
gada rujakpolo  bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti 
bulu di selingkaran mata. 
Manan dan Rois sedang sibuk memeriksa sepucuk di 
antara yang dua. 
Dalam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang 
sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya 
sudah  chucky , tebalnya tidak rata lagi. Bila dipakai  
salah-salah kamar ledak itu yang sendiri meledak. 
Melihat adanya kejanggalan itu segera adipati  jayawisesa  
menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan? 
“Musuh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua,” jawab 
Manan mantap. 
Dari atas bukit kecil nampak pasukan kuda kediri  
bergerak pelahan mengapit pasukan gajah. 
adipati  jayawisesa  menuding ke jurusan mereka. 
“Mereka nampak sudah lelah mencari-cari,” katanya 
memberi perhatian. “Hajarlah dengan gada rujakpolo mu, biar 
segera tumpas!” 
“Tidak boleh ada serangan. Kanjeng adipati , sebelum 
mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum 
diberikan oleh Panglima adipati .” 
“Aku lebih tinggi dibandingkan  adipati .” 
Rois tertawa. 
Dan adipati  jayawisesa  tersinggung mendengar tawa itu, 
berpaling padanya dan membentak: “Tertawa.” 
“Kita sudah menguasai medan Kanjeng adipati ,” Manan 
cepat-cepat menengahi. “Tak perlu terburu-buru bertindak. 
Mereka belum lagi sampai di tempat yang sudah  kita 
tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak 
lelah. Kalau dalam keadaan begitu gada rujakpolo  ditembakkan, 
pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.” 
“Jadi kalian tak percaya pada kekuatan prajurit kerajaan  
adipati  jayawisesa , kalian, Manan dan Rois?” tetak adipati . Ia 
menuding Rois dengan tongkatnya. 
Beberapa orang dari pengawal gada rujakpolo  datang berlarian, 
langsung mengepung Manan dan Rois mengacukan tombak 
mereka. 
“Aku tahu apa aku kehendaki,” adipati  jayawisesa  
meneruskan bentakannya. “Tidakkah kalian mengerti 
adipati  jayawisesa  harus saksikan mereka, pemberontak -pemberontak  itu 
bergelimpangan sebab  gada rujakpolo nya? Manan! mengapa kau 
diam saja?” 
“Kanjeng adipati ,” Manan datang mendekati adipati . 
“Seorang centeng  penembak gada rujakpolo  nyi kanjeng blora bersumpah 
sehidup semati dengan gada rujakpolo nya. Dia tidak boleh 
menembak tanpa perhitungan. gada rujakpolo  adalah dirinya 
sendiri yang kedua. Dia harus selamatkan gada rujakpolo nya bila 
dalam keadaan bahaya dan dia….” 
“Diam!” bentak adipati  jayawisesa , “kalian bukan lagi 
penembak gada rujakpolo  nyi kanjeng blora. Kalian penembak gada rujakpolo ku.” 
adipati  jayawisesa  terpaksa menghentikan curah katanya. 
Gelombang batuk tiba-tiba menyerangnya. 
Keadaan itu dipakai  oleh Manan untuk 
menyelamatkan keadaannya menolong adipati  jayawisesa  
meringankan serangan batuk, dan berkata lunak: “Kanjeng 
adipati  menghendaki kemenangan kecil namun  akan berpanen 
kehancuran. Kalau itu yang adipati  kehendaki, baik, kami 
akan menembak!” 
adipati  jayawisesa  mengebaskan diri dari tangan Manan. 
Berkata sengit dan menggigit: “Bukan kau yang 
menentukan. Hanya sang hyang Widhi .” 
Rois hendak membantu temannya namun   sudah  kena 
bentak terlebih dahulu. Ia berjalan mundur-mundur sebab  
ditarik ke belakang oleh para pengawal gada rujakpolo . 
“Semua sang hyang Widhi  yang menentukan, Kanjeng adipati ,” 
Manan masih juga membuka mulut. “Semua Kanjeng 
adipati , namun   yang tahu bertanggung jawab hanyalah 
manusia.” 
“Ajaran pemberontak . Dari mana datangnya ajaran 
tanggungjawab itu? Nasrani? Tak ada aku ajarkan pada 
kalian. Kalian pelayan gada rujakpolo . Atau adipati  jayawisesa  
sendirikah kau ini?” 
“Sudahlah, mari kita menembak,” Rois bersuara lagi dari 
tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap. 
Atas di kuil rat adipati  para pengawal gada rujakpolo  lari menuruni 
bukit dan melakukan tugasnya. 
adipati  jayawisesa  mundur menjauh sambil menutupi dua 
belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan 
tenang kembali kerindangan di bawah pepohonan itu. 
Rois sudah  memasukkan obat ke dalam kamar ledak. 
Manan memasukkan peluru dari moncong gada rujakpolo . 
lalu  laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada 
musuh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. Dan 
roda-roda gada rujakpolo  itu meninggalkan bekas dalam sesudah  
digeser, di sebelahnya terbentuk bukitan tanah kecil di 
bawah kaki. Sumbu obat mulai dibakar. 
patih  Benggala adipati  jayawisesa  mundur lima langkah lagi 
dan semakin merapatkan tangan pada telinga. lalu  
semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga 
orang lain. adipati  jayawisesa  menghadap ke arah musuh untuk 
melihat bagaimana mereka menerima maut dari 
gada rujakpolo nya. 
Api sumbu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak. 
Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia. 
gada rujakpolo  itu seakan hendak melompat muncul dari bumi ke 
angkasa. Api menyebar  dari moncong gada rujakpolo  
melemparkan peluru. 
Dan dari atas bukit kecil itu nampak peluru terlontar itu 
terbang cepat membelah udara menuju ke arah prajurit kerajaan  
musuh yang sedang bergerak 
Mereka berada di luar jarak tembak…. 
Mendengar ledakan gada rujakpolo  dan melihat peluru jatuh di 
hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya 
pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah 
membentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan 
sarang gada rujakpolo  untuk mengepung dan memhancur kannya. 
“Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng adipati !” 
Manan memperingatkannya. 
“Tembaki terus!” 
‘Tidak mungkin, terlalu tipis untuk ditembak.” 
“Mereka akan terhalang oleh parit’ jawab adipati  jayawisesa  
pelahan. “ayolah  tembaki, tembaki terus.” 
“Pengawal” raung Rois, “selamatkan adipati  jayawisesa !” 
adipati  pralaya  datang dengan kudanya. Mukanya 
merah-padam sebab  marah. Tangan kirinya memegang 
kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda. 
“Bangsat!” kata nya murka sambil mencambuk Manan. 
Yang dicambuk melompat menghindar. “Siapa perintahkan 
menembak?” 
“Kanjeng adipati ,” jawab Rois. 
“Apakah kalian sudah buta? adipati  pralaya  Panglima,” 
dengan cambuknya adipati  menyambar kepala   Rois yang 
juga melompat mengelak. 
“Mereka datang kemari!” teriak Manan. 
Panglima jayawisesa  itu mencambuk penggul kudanya dan 
berpacu turun untuk memimpin pertempuran. Derap 
kudanya makin terdengar pelan lalu  hilang sama 
sekali, ditelan oleh semak. 
Dengan dipapah adipati  jayawisesa  menuruni bukit sambil 
berkomat-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas 
tandu, dan berangkat mereka kembali ke desa. 
wah 
 
Sesudah  diurut dengan cermat dan dapat memakai  
tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum 
menolak tandu. Dengan tangan kanan lemah memegangi 
kendali dan tangan kiri membawa cambuk perang ia 
memimpin kembali pasukan kakinya. 
Pasukannya berbaris dalam formasi supit udang 
melewati pasukan gajah dan maju ke depan mengikuti jejak 
pasukan kuda. 
Terhenti sebab  parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu 
melambai pada pasukan kaki di belakangnya untuk 
melebarkan supitnya. Mereka bergerak untuk menemukan 
ujung-ujung parit. 
adipati  pralaya  tak menghendaki mereka menemukan 
ujung-ujung itu. Perintah penyerangan dijatuhkan. namun   
musuhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus 
bergerak meninggalkan jebakan. 
Dari balik-balik semak di seberang parit terjal 
bersemburan anak panah dan api dan tombak. Orang mulai 
bergelimpangan terluka atau mati, terinjak oleh teman-
teman sendiri. 
centeng -centeng  kediri  yang sudah  berhasil mencapai 
ujung-ujung parit segera menyerang musuhnya di seberang 
parit. Pertempuran terjadi. gada rujakpolo  Manan dan Rois 
berdentuman. Pelurunya berjasang yang betari durga   tepat pada tempat yang 
sudah  ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani 
menembaki musuh yang sudah  menyusup dalam semak-
semak di belakang jebakan. 
Dengan semangat hendak menebus kerusakan dalam 
pertempuran kedua, pasukan kaki kediri  sama sekali tak 
menanggapi  bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung 
parit kiri dan kanan mereka mencurahi belakang jebakan, 
mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak 
dan tertebang. Panah tak bisa dipakai . Tombak 
mengambil alih. 
Pasukan kuda mundur mengikuti pasukan kaki yang 
mengamuk. 
Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di 
depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti 
pasukan gajah. Dan prajurit kerajaan  kediri  mendesak terus. 
Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah. 
Melihat para bala tentara  jayawisesa  terdesak Manan segera 
memerintahkan mengungsikan gada rujakpolo  dan segala 
perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari 
naik ke atas dan mengungsikan perlengkapan. Mereka lari 
ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa 
bebannya seperti serombongan kucing menggondol 
anaknya sendiri. Dan pucuk gada rujakpolo  itu menuruni bukit 
dengan mudah . Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan 
sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri. 
para bala tentara  jayawisesa  yang terdesak tak mampu lagi menyusun 
barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam 
rumpunan semak yang lebih dalam. adipati  pralaya  tak 
mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya 
terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri. 
Berpegangan pada pengalaman sebelumnya kini 
raden panji  gelang-gelang  tak mau lagi kehilangan jejak musuhnya. Ia 
memerintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak 
mau para bala tentara nya menderita lelah hanya untuk mencari-cari. 
Sorak-sorai para bala tentara  kediri  yang mengresi h dari dalam 
semak-semak menjadi pertanda jayawisesa  sudah  terdesak dan 
didesak. 
Sorak-sorai para bala tentara  kediri  itu terdengar semakin 
mendekat. Manan memerintahkan agar regu pengangkut 
meninggalkan medan terbuka dan masuk ke dalam hutan. 
Waktu pasukan ki glodog ireng  datang, mereka sudah 
tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal. 
Pecahan-pecahan para bala tentara  jayawisesa  yang bersebaran di 
medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam 
hutan. Mereka membuangi pakaian putihnya dan segera 
hilang di antara kehijauan dan kecoklatan. 
Tandu patih  Benggala adipati  jayawisesa  tergoncang-goncang 
dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar 
terdengar adipati  berseru-seru memperingatkan dari atas 
tandunya. 
Dari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas: 
“Ampun, Kanjeng adipati , mereka sudah dekat’ dan terus 
lari tak peduli tandu semakin berguncangan. 
Waktu derap kuda mulai terdengar, para pemikul 
memerlukan berhenti untuk mengambil nafas dan 
menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan 
kediri  sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan 
cambuk perang ke udara. 
Dengan dan merta mereka turunkan tandu. 
“Lari, Kanjeng adipati , lari, lari dengan kaki sendiri.” 
Dan larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu, 
dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan…. 
wah 
 
Matahari belum lagi tenggelam. 
ki glodog ireng  dan pasukannya menyisiri setiap 
jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi para bala tentara  jayawisesa  untuk 
menandingi kelajuan dan kesigapan mereka. 
Pasukan kaki di bawah Rangkum lalu  datang 
menyusul dan memburu musuhnya masuk ke dalam hutan. 
Baru lalu  nampak pasukan gajah sebagai bukit-
bukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan 
hidungnya. 
Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk mempertemukan 
dua para bala tentara  yang bermusuhan. Di bawahnya ditumbuhi 
semak-semak bamban dan combrang. Rotan melata datar di 
tanah dan menjulur melibati pepohonan tinggi mengatasi 
rambatannya sendiri bergumul meliliti barang apa yang 
dapat ditangkapnya, lalu  melambai-lambaikan 
puncak-puncaknya pada langit dengan penuh kemenangan 
dan keangkuhan. 
Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki 
menerjang semak. Sorak-sorai sudah  padam. Unggas hutan 
sudah  dari tadi terbang melarikan diri, lupa pada kicauannya 
sendiri… 
O0-dw-oO 
 
21, Keributan di jenggala kediri  
Hari ini warung mpu jahalodang nampak terbuka. Langganannya 
hanya seorang: raden  sanggabuana  bumikerta  patih wirabuana  
kediri . Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak. 
mpu jahalodang sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang, 
berdiri dengan diam-diam, bukan sebab  menunggu 
langganan yang tak kunjung datang. 
“percaya kah tuan kita masih selamat dan tetap akan 
selamat?” tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan 
diri. 
“Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu, 
patih wirabuana  kediri  ini selalu berada di kadipaten?” 
“Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang saya  keadaan masih 
tetap aman buat si mpu jahalodang ini?” 
“Lebih aman dibandingkan  di pangkuan ibumu sendiri.” 
“saya  lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun 
saya  tak merasa aman lagi. Sekiranya sudah, tuan 
siapkan surat balasan itu…” 
‘Tak ada surat balasan mpu jahalodang”. 
mpu jahalodang duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan 
raden  sanggabuana  tak mempedulikannya. Mereka duduk 
diam-diam mengikuti pikiran masing-masing. 
“Ya, memang terlalu sepi,” patih wirabuana  membenarkan 
keluhannya. ‘namun  kau hidup dari air dan dari darat, dari 
tuak, arak dan penipuan.” 
“Ah, Tuan patih wirabuana  kediri , hanya untuk jasa-jasa 
tuan si mpu jahalodang celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri 
dari maut dengan pertolongan sang hyang Widhi  saja.” 
“Cukup baik. kediri  takkan melupakan jasa-jasamu.” 
“Bagaimana jadinya jenggala ini. Tuan?” 
“Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan betari i 
kembali.” 
“Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin 
hanya Tuan dengan mpu jahalodang menghabiskan arak ini.” 
“Kau belum lagi bercerita, mpu jahalodang.” 
“Hanya satu yang saya  dengar di Blambangan sana. 
Katanya nyi kanjeng blora sudah menaklukkan sebuah pulau di 
parahyangan  sana”. 
“Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira 
sebab  kapal-kapal pasuruan  terlalu berani menerobos ke 
panarukan    pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau 
nyi kanjeng blora membuka pangkalan baru di parahyangan , tentu 
untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira 
bukan hanya satu, namun  sudah banyak pulau yang 
didudukinya”. 
“O, itu mulai kelihatan orang berdatangan,” seru mpu jahalodang 
pelahan, namun  dari nada suaranya tetap terdengar 
kegelisahan hatinya. 
raden  sanggabuana  menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya 
orang-orang itu berjalan menuju ke jenggala tanpa menengok 
ke arah warung. 
“Tak ada yang singgah ke mari nampaknya.” 
“Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada 
apa gerangan?” 
namun   raden  sanggabuana  bumikerta  sudah mencangkungi 
cawannya lagi, berkata: “Ada apa? Takkan ada apa-apa. 
Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi.” 
“Hampir sama dengan hewan,” mpu jahalodang membenarkan. 
“Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan 
gada rujakpolo . Kau sudah lihat sendiri gada rujakpolo  itu, kan? Ya 
begitulah cetbang, dan begitulah gada rujakpolo ,” patih wirabuana  
kediri  menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk 
senang. “Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun 
tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak 
hidup di jaman gada rujakpolo  ini, mpu jahalodang.” 
“Memang gada rujakpolo  saja yang menentukan dunia sekarang 
ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu 
berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.” 
patih wirabuana  kediri  meneguk. mpu jahalodang kembali 
memperhatikan orang-orang yang makin banyak juga 
menuju ke jenggala . 
“Dan biadab!” patih wirabuana  menambahi. “Arakmu cocok 
sekali hari ini”. 
“Untuk patih wirabuana  kediri  terbaik, arak terbaik. 
Memang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua, 
dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak 
busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobek-
robek anjing. Dan tiada seorang arca    pun memeliharanya. 
Dan mereka mengaku arca    pula, Tuan.” 
“Sudah selayaknya… orang-orang jahil, bodoh itu.” 
“Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling 
jenggala , di balik semak-semak?” tiba-tiba mpu jahalodang 
mengalihkan percakapan. 
“Siapa yang tidak tahu? Uh, apa artinya cetbang?” 
“saya  kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. saya  
lihat sendiri kapal-kapal perang kediri  pada berlabuh di 
pasuruan . Orang-orang pasuruan  pada bernafsu untuk 
menyewanya ke panarukan .” 
“Tentu tak ada yang menyewakan.” 
“Memang tak ada, Tuan.” 
‘kediri  hanya menunggu giliran saja. mpu jahalodang. Apa lagi 
yang kau kua-tirkan?” 
“Boleh jadi pajang bintoro  sana membantu.” 
Mula-mula mpu jahalodang hendak menuntut upah untuk 
keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan 
keamanan yang tergantung pada jaminan raden  sanggabuana  
bumikerta  memicu  ia mengendalikan diri. lalu  
memulai dengan ragu-ragu. 
“Di suryabuaya   sedang terjadi sesuatu, tuan.” 
patih wirabuana  kediri  itu pura-pura tidak berminat, namun   
matanya yang bulat itu melirik sekejab di bawah keningnya. 
‘Tentu saja,” sambutnya tak peduli untuk mencegah 
keluarnya upah. “Masa seorang patih wirabuana  bisa tidak 
tahu? Lagi pula kau sudah terlalu banyak memperoleh  uang 
dari pundi-pundiku,” katanya lagi pura-pura tidak tertarik. 
“Biar pun saya  sudah banyak menerima dari Tuan. 
Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya…,” akhirnya 
mpu jahalodang tak dapat menahan nafsu untuk memperoleh  upah 
juga, “rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang 
sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. mpu jahalodang tak pernah 
merugikan orang.” 
“Jangan terlalu rakus, mpu jahalodang,” patih wirabuana  menasihati, 
“katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok 
dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.” 
Suatu keributan menghentikan pembicaraan. mpu jahalodang 
berdiri dan gugup. raden  sanggabuana  meneguk arak. 
“Apa itu. Tuan patih wirabuana ?” mata mpu jahalodang menjadi liar. 
“Lihat, Tuan,” ia menuding ke jalanan. Berdua mereka 
keluar dari warung dan melihat kuncir yang pang pang di 
balik punggung, juga berjalan ke arah jenggala . 
“Masyaallaaaaah!” teriak patih wirabuana  waktu dilihatnya 
sebuah kapal nyi kanjeng blora sudah  berlabuh dan mengikatkan tali 
pada patok dermaga. “Sudah gila penunggu menara itu!” 
teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke 
pelabuhan. 
Berpuluh-puluh orang tak dikenal sudah  padat memenuhi 
dermaga. Dan patih wirabuana  kediri  tak dapat melihat apa 
yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan 
kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan 
untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih 
keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia. 
Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah 
kapal itu sedang turun namun  dihalang-halangi oleh mereka. 
Padatan orang itu lalu  diketahuinya bersenjatakan 
tongkat kayu. 
Ia melihat yang pang pang menelisip di antara mereka dan 
menjadi bagian dari mereka. lalu  bukan hanya 
punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di 
dalam kepadatan manusia itu. 
“Minggir! Minggir!” sayup-sayup ia dengar teriak 
seorang kanjuruhan  dalam jawadwipa . “Panggilkan patih wirabuana . 
ki ageng argomerta  perlu dilayani.” 
“patih wirabuana  tak ada!” teriak yang lain menjawab. 
“patih wirabuana  sudah mampus!” teriak yang lain. 
Mendengar itu raden  sanggabuana  bumikerta  naik pitam. 
Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana 
dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi 
tongkatnya dan menegakkan bongkok berjalan kian ke mari 
penasaran, berteriak: “Ada di sini Tuan patih wirabuana ! Ada di 
sini!” 
Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja 
menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan 
mendorong, menyerudug dan menerobos. Kekuatannya tak 
mencukupi. 
“Sini patih wirabuana , Tuan patih wirabuana !” kata nya. 
Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan 
tangannya melambai-lambai. Tongkatnya pun berkibar-
kibar. Dan tetap sia-sia. 
“Beri jalan!” kata  ki ageng argomerta . “kanjuruhan  akan 
temui Sang adiputro .” 
“baginda tuanku raja  adiputro  tak menerima siapa pun!” orang berteriak 
berbareng dengan berbagai cara dan nada. 
“Kembali kalian, nyi kanjeng blora!” 
“ayolah , kembali!” 
“Bukan cara kanjuruhan  diperlakukan begini!” kata  de Sa. 
“Tuan patih wirabuana  ada di siniiiiiiii!” raden  sanggabuana  
berteriak . Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug 
dan mendorong. Tetap tanpa hasil. “Buka jalan untuk Tuan 
patih wirabuana !” 
Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan 
menengok ke belakang dan menertawakannya bebetari i-
betari i. 
Sekarang patih wirabuana  itu berseru-seru dalam kanjuruhan : 
“Tuan-tuan, Tuan patih wirabuana  ada di sini,” sambil 
mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti 
burung gereja. 
ki ageng argomerta  di depan sana naik pitam. Kulitnya yang 
kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya 
kembang-kempis. 
“Yesus! Bunyikan gada rujakpolo !” perintahnya dalam jawadwipa . 
“Beri jalan!” raung Jesus Laslo, pengiringnya. “Kalau 
tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri,” dalam 
jawadwipa . 
Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek. 
“Jangan ragu-ragu,” perintah de Sa dalam kanjuruhan , 
“kembali dan bu nyikan.” 
“Kalian nyi kanjeng blora!” tuding yang pang pang dalam 
kanjuruhan , “yang letak kan kekuatan pada gada rujakpolo  semata. 
Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!” 
“Siapa bicara kanjuruhan  itu?” tanya ki ageng argomerta  
melotot. “Katakan pada anjing-anjing ini, kanjuruhan  akan 
menembak!” 
“Kami bisa menembak kalian lebih dahulu . Pergi! 
Tinggalkan kediri !” jawab shinoda Han. 
Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak. 
Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal 
kanjuruhan  mulai mengalir turun dari kapal membawa segala 
macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa 
musket. 
Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan 
manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan 
mengusir, memaksa dan menyorong mereka kembali ke 
kapal. 
Orang pun berteriak -raung senang sambil memainkan 
tongkat. 
Awak kapal yang belum memperoleh kan daratan di bawah 
kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan 
tongkat. Juga ki ageng argomerta  dan Jesus Laslo tidak urung 
terpaksa masuk ke kapal juga. 
Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali 
kapal. Orang makin betari i bersorak berjingkrak melambai-
lambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak. 
“Pergi! ayolah  pergi! Kembali ke jayamahanaya ! Kembali ke 
nyi kanjeng blora! Tinggalkan kediri !” 
“Kapal celaka! Pergi!” 
Kapal kanjuruhan  itu memasang layar. Tak ada seorang pun 
di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan 
kapal itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Di dermaga 
sendiri orang terus juga meledak dan mengejek. 
“ki ageng argomerta  akan datang lagi!” teriak kanjuruhan  itu. 
“Awas!” 
Sesudah  kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan 
oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian 
meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang 
juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang 
mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas 
berterbangan dan kambing dan babi memperoleh  kesempatan 
untuk ikut berjingkrak dengan majikannya. 
Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari 
pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang 
dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka. 
Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka 
menemukan juga tuan patih wirabuana  pakanewon  Habibullah 
Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak 
oleh orang banyak. 
Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu 
yang melekat pada kulit dan pakaiannya. 
“Tongkatku!” perintahnya. 
Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan 
menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan 
memberengut. 
“Tarbusku!” perintahnya lagi. 
Orang tak mengerti maksudnya, dan patih wirabuana  naik 
pitam. 
“Tarbus! Goblok,” waktu dilihatnya tarbus itu 
menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna 
merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan 
terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit! 
punggung dan mengambilnya, membersihkannya dari lebu, 
lalu  menciumnya. 
Pedagang-pedagang pada mengutuk dan memaki 
meninggalkan daerah jenggala . 
Tinggsang hyang Widhi  dia: patih wirabuana  kediri  raden  sanggabuana  Az-
Zubaid alias pakanewon  adipati  Al-Badaiwi alias pakanewon  
Habibuliah Almasawa. Ia berdiri memakai  tarbusnya 
kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada 
tongkatnya. 
Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang 
buatan  pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu 
sudah  ditujukan pada kapal kanjuruhan . Dan lambat-lambat 
namun  pasti kapal itu mulai semakin jauh meninggalkan jarak 
tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan 
ornamen haluan yang indah lagi gagah. 
Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu 
pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung 
agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri 
seorang diri di dermaga menghadap ke laut, dan kapal 
nyi kanjeng blora yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia 
melambai-lambaikan tangan memanggil kembali kapal 
tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya. 
Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpah-
nyumpah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang 
paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap 
tak peduli dan semakin menjauh. 
“Di sini patih wirabuana ! Di sini Tuan patih wirabuana !” 
suaranya parau menghiba-hiba. 
Sekarang imbauan patih wirabuana  dijawab oleh kapal. 
gada rujakpolo  melemparkan peluru-pelurunya ke jenggala . 
Bondongan tembakan pertama memicu  raden  
sanggabuana  bumikerta  terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru 
mendesis ke atas kepala  nya dan suara gemerasak 
menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan 
tembakan kedua memaksa patih wirabuana  merangkak-rangkak 
sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporak-
porandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan 
kembali kepala  nya ke tanah, menengok ke kiri dan 
memanggil-manggil kediri . Mukanya yang tipis berhidung 
panjang bengkung itu menghadap ke warung mpu jahalodang. 
Pewarung itu tidak kelihatan. 
Bondongan peluru yang ke tiga membuat  raden  
terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari 
rangkakannya. 
Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam 
warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak 
menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan 
arak dan barang-barang dagangan. 
Bondongan tembakan ke empat membuat  patih wirabuana  
itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di 
depan kamar kerja kepatih wirabuana an. 
lalu  kanjuruhan  menghentikan tembakannya. 
Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai 
menyambut kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti 
bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala   
ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir 
pun mencapai sasaran. 
patih wirabuana  kediri  nampak tak bergerak lagi. Ia diam 
tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur 
Alhamdulillah, sebab  percaya  tak ada sepasang dan sebelah 
mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak 
henti-hentinya berkomat-kamit. 
Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang 
mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia. 
Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia 
kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan 
tinjunya pada kapal kanjuruhan  yang makin menjauh. 
Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai 
menyumpahi pandai-pandai Trantang. lalu  ia dengar 
juga yang lain mengutuki pandai-pandai peluru. 
Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang 
sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak 
kaget terpandangi oleh pemimpinnya. 
“Jangan memiliki  pikiran buruk terhadap panembahan senapati ki ageng wilareja ,” 
tegurnya. “Memang dia orang desa namun dia lebih 
dibandingkan  hanya kalian. Tutup mulut kalian.” 
Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat 
cetbang tak mampu menandingi gada rujakpolo . Dan dengan 
perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon. 
Dituliskannya sepucuk surat di atas lontar, 
menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam 
daun pisang kering dalam ikat pinggangnya. 
“Cari panembahan senapati ki ageng  sampai dapat,” perintahnya pada dua 
orang yang tadi berbisik-bisik. “Sampaikan lontar ini. Braja 
menunggu di tempat. Pergi.” 
Sesudah  menerima lontar, dua orang melompat ke atas 
kudanya, memasuki kota, lalu  ke pedalaman. 
wah 
 
22. Pertempuran Penentuan 
Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap. 
Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah 
kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di 
seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang 
beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar 
dibandingkan  sebelumnya. Kini diketahui para bala tentara  jayawisesa  
memakai  alat pelempar api. 
hewan -hewan  raksasa itu berlarian gugup tak 
terkendali. 
Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratus-
ratus kentongan bambu dipukul berbareng. 
hewan -hewan  raksasa itu bingung. 
Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala chucky  memberi 
di kuil rat dengan tombak pimpinan, memerintahkan agar 
segera meninggalkan tempat itu. 
Tak terdengar sorak-sorai prajurit kerajaan  kediri . 
Sebaliknya para bala tentara  jayawisesa  di balik semak-semak di 
seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan 
kentongan suaranya riuh rendah membelah langit. Dengan 
bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan 
membunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang 
dan berlari-larian liar merusak tubuh prajurit kerajaan  sendiri. 
“Mundur! Cepat mundur!” kata  Kala chucky  sambil 
menaik-turunkan tombak dengan kedua belah tangan. 
Di sampingnya berdiri raden panji  gelang-gelang  yang mencoba 
menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan 
pandangnya. 
“Tak pernah pasukan gajah kediri  terusir seperti ini. 
panembahan senapati ki ageng wilareja . Dalam cerita mana pun tak pernah ada. 
Memalukan,” gumam Kala chucky . “Dan hanya melawan 
orang desa!” 
“Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau 
orang kota. Sebentar lagi gada rujakpolo  mereka akan menyerang. 
Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.” 
Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu 
menjauhkan diri dari hewan -hewan  yang gugup takut 
itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentar-
bentar memicu  orang jatuh tergelincir. Gajah-gajah itu 
dapat menginjak mereka. 
Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak 
menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh. 
namun  Kala chucky  dengan tombak pimpinan mencegah 
mereka meneruskan niatnya dan memerintah mundur sama 
sekali. 
Waktu akhirnya hewan -hewan  itu dapat diundurkan 
dengan susah-payah, peluru-peluru gada rujakpolo  berjasang yang betari durga   di 
ujung-ujung parit yang sudah  dikosongkan. Peluru-peluru itu 
lalu  juga berjasang yang betari durga   tepat di tengah-tengah medan 
jebakan. 
Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling 
sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan centeng -
centeng  yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi 
dan tak bangun lagi. hewan  yang terkena itu mencoba 
berdiri, la jatuh lagi. 
Dari seberang parit orang bersorak-sorai semakin 
meningkat. Sorak kemenangan. 
Sebuah peluru sudah  menyambar kotak benteng seekor 
gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah 
ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. hewan  yang 
kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke mana dia suka 
tanpa bisa dihalang-halangi. 
Kala chucky  dengan tombak pimpinan terus sibuk 
memberikan perintah mundur. 
Gajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling 
marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia. 
Sulingnya makin lama makin pelahan, lalu  terhenti 
dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya 
menetes airmata. Dan makin lama ia makin jauh 
ditinggalkan oleh yang lain-lain. gada rujakpolo  berhenti 
menembaki. 
Di luar dugaan, dengan alat-alat yang sudah  dipersiapkan, 
para bala tentara  jayawisesa  keluar dari semak-semak, menyeberangi parit 
dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai 
mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan. 
ki glodog ireng  menghampiri gajah panembahan senapati ki ageng  
sebagaimana sudah  diperintahkan kepadanya.  
“Kudamu takut pada api?” tanya panembahan senapati ki ageng  kediri .  
‘Takut, panembahan senapati ki ageng wilareja . namun  nampaknya mereka sudah  
berhenti bermain api. Mereka memakai  anak panah 
biasa.” 
“Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. Gajah 
mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar 
mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang. 
Mereka memerlukan  waktu untuk melemparkan apinya. 
Gajah akan berbalik lagi.” 
Seperti angin ki glodog ireng  lari tanpa kesulitan di atas 
tanah basah berlumpur untuk menjemput pasukannya yang 
bersembunyi di dalam hutan. 
Waktu seluruh pasukan gajah sudah  meninggalkan medan 
jebakan, kecuali yang sudah  terkapar, dan sudah  keluar dari 
jarak tembak gada rujakpolo , muncullah pasukan kuda ki glodog 
ireng , langsung berpacu dalam bentuk supit udang, 
membiarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah. 
Mereka memasuki medan melalui pinggiran jebakan, di atas 
tanah basah, berlumpur dan licin. namun  untuk kaki kuda 
sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran. 
para bala tentara  jayawisesa  yang sedang menyeberangi parit di atas 
titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal 
sambil memperingatkan teman-temannya. 
Di dalam jebakan para bala tentara  jayawisesa  tak dapat melarikan diri 
di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti 
kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetimbangan. 
Orang berjasang yang betari durga   terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi 
mangsa gada  dan cambuk perang. kata -jerit yang 
memilukan menggantikan sorak-sorai. 
Dengan kembalinya pasukan gajah memasuki medan 
jebakan, gerakan penumpasan dimulai. gada rujakpolo  tak lagi 
bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali. 
“Apa boleh buat,” raden panji  gelang-gelang  berkata , 
“penumpasan ini akan mematahkan kekuatan mereka.” 
“para bala tentara  kediri  pelarian belum lagi mereka turunkan, 
panembahan senapati ki ageng wilareja ,” Kala chucky  memperingatkan. 
“adipati  pralaya  takkan sebodoh itu melepaskan 
anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia 
memerlukan  untuk kemenangan dan keamanannya 
sendiri. Lihat Kala chucky , aku tak suka pada penumpasan 
ini namun  apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi. 
Kekalahan mereka selama ini, dan kegagalan bertubi, 
dengan penumpasan ini moga-moga akan mematahkan 
mereka sama sekali.” 
“Tidak patut panembahan senapati ki ageng  berbelas kasihan.” 
“Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala chucky , 
yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga jatayuwesi ,” ia 
menarik napas panjang. “Boleh jadi ada di antara mereka 
itu sanak dan kenalanku sendiri.” 
“Apa boleh buat.” 
“Ya, apa boleh buat. Dan sesudah  ini tinggal centeng -
centeng  sejati saja masih akan berlawan.” 
Tergubal pada lumpur dan hujan para bala tentara  jayawisesa  ini 
terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat 
sesuatu pun sebagai centeng  dalam perang. Membawa diri 
sendiri pun sudah sulit. 
Menjelang jatuhnya malam para bala tentara  jayawisesa  di dalam 
jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda ki glodog ireng  
dan pasukan gajah Kala chucky  tanpa dapat melawan. 
Dan malam itu hujan berhenti. 
Langit merah dan bulan pun mengambang dengan 
manisnya. prajurit kerajaan  kediri  sudah  mesanggrah jauh dari 
bekas medan perang. 
Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap 
raden panji  gelang-gelang , menyampaikan beberapa lembar lontar. 
Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk. 
Duduk di antara kepala  -kepala   pasukan panembahan senapati ki ageng  
membacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan 
orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala   
pasukan ia berkata: “Ketahuilah, dalam soal gada rujakpolo  
memang belum ada yang dapat menandingi nyi kanjeng blora. Kita 
akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita memang 
hanya memiliki  cetbang, dan hanya itu yang kita miliki. 
Jangan kalian memiliki  pikiran panembahan senapati ki ageng  hendak 
memerintahkan kalian berperang melawan gada rujakpolo  
nyi kanjeng blora. Kita akan melawan gada rujakpolo  nyi kanjeng blora dengan 
cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal 
pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan nyi kanjeng blora 
dari pantai sebelum Rangga jatayuwesi  kalah, bukan untuk 
melawan gada rujakpolo  mereka. Kalau cara-cara menghadapi 
mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi 
mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan kata-
kataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati, 
hanya sebab  cetbang tak dapat kalahkan gada rujakpolo .” 
Sesudah  mereka pergi baru ia tanyai Rangkum: 
“Bagaimana menurut perhitunganmu? Apakah para bala tentara  
jayawisesa  sudah banyak kehilangan kekuatannya?” 
“Terlalu banyak, panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Tinggal berapa kiranya kekuatannya?” 
“Kira-kira masih cukup untuk bertempur dua kali.” 
“Dua kali!” panembahan senapati ki ageng  kediri  mengulangi. “Bagaimana 
pendapatmu ki glodog ireng ?” 
“Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada 
kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.” 
“Apa pun kekuatannya,” Kala chucky  menambahi, “yang 
tersisa sudah tidak akan lebih kuat.” 
“Dua kali pertempuran lagi”, panembahan senapati ki ageng  mengulangi kata-
kata Rangkum. “Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku 
mereka masih mencadangkan satu induk dengan para bala tentara  
kediri  pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita 
menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran 
penentuan.” 
“Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini, 
panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum, 
sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku 
perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai 
menjelang fajar dengan memakai  pertolongan bulan. 
Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat 
temukan gada rujakpolo -gada rujakpolo  itu. Pasukan-pasukan tidak 
beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.” 
Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diam-
diam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang 
bulan dan langit yang cerah. 
Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga jatayuwesi  mulai 
merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: adipati  
pralaya . Selama jadi patih wirabuana , sang adiputro  pun tak 
pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai 
sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut 
dan jenggala . adipati  pralaya  lain. Ia jelas jawabannya 
namun   dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tumbuh 
jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak 
berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih 
mendengarkan dia dibandingkan  dirinya. 
Sekarang Panglima jayawisesa  itu semakin membuat  hatinya 
cemburu. Beberapa kali adipati  sudah  menolak 
panggilannya. Sudah lama tak muncul di jayawisesa . Ia selalu 
berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari 
kediri . 
Rangga jatayuwesi  alias jatayuwesi  Indrajid, patih  Benggala adipati  
jayawisesa  merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya 
terhadap penduduk, yang sudah  dibangunkannya siang-
malam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil 
begitu saja oleh adipati  pralaya . 
Pernah terpikir olehnya, untuk memulihkan 
kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya: 
menyingkirkan anak muda itu. namun   bagaimana jalannya? 
Panglima itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya. 
Anakbuahnya dengan dia memiliki satu ikatan nasib di 
hadapan kediri , namun   tidak memiliki  ikatan mesra dengannya 
sebagai seorang adipati . Mereka lebih dekat pada 
Panglimanya. 
Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi 
tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri. 
prajurit kerajaan  jayawisesa  pun sudah  menjadi jarijari pada lengan 
adipati . 
Manan dan Rois, andal-andalannya selama ini, juga 
lebih mendengarkan adipati . 
Dan batuk yang suka menyambar-nyambar dadanya itu 
pun tidak kurang memusingkan. 
Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata 
kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala 
yang diimpikannya selama ini. Dan bila ia renungkan 
segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh 
kenyataan, bahwa sebetulnya  maksud untuk menghalau 
adiputro  kediri  sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah 
sebetulnya  yang mendorong mengangkat diri jadi adipati  
ini. Persoalan nyi kanjeng blora, Hindu Blambangan, Hindu 
Pajajaran, arca    pajang bintoro , yang hendak ditiadakannya, 
hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang 
pertama-tama. 
Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan 
sekali adipati  pralaya  menyentuhnya dengan sebuah saja 
di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan adipati , juga 
tahta dan mahkota kediri  lebih dekat pada tangan adipati  
dibandingkan  adipati . 
Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima 
jayawisesa  berhasil menaklukkan kediri , dia tak mungkin 
menyerahkan tahta dan mahkota itu pada adipati . Dia akan 
marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk dibandingkan  adiputro  
kediri  sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah 
menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu 
tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan 
membuncah tanpa kendali. 
Dan Rangga jatayuwesi  menilai dirinya jauh lebih baik dan 
jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu dibandingkan  sepuluh 
atau lima puluh orang sejenis  adipati  pralaya . Tahta 
dan mahkota kediri  lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat 
melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum 
Manan dan Rois, hanya sebab  mereka berdua sudah  
menembakkan gada rujakpolo  atas perintahnya. Ia masih dapat 
mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan 
perintahnya. 
Keadaan memang berkembang tidak sebagaimana ia 
kehendaki. 
Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di 
manakah mukaku akan kusembunyikan? Tempat yang 
masih terbuka untuk dapat menaungkan diri adalah pajang bintoro  
  satu-satunya kekuasaan arca    yang nyata. namun  musafir-
musafir pajang bintoro  itu tentu sudah melaporkan pada atasannya 
bagaimana sikap adipati  jayawisesa  terhadap Al-Fattah dan 
Semarang. Majelis Kerajaan pajang bintoro  kira-kira sudah 
memiliki sikap pasti akan dirinya. 
Untuk menghibur diri sendiri ia harus memiliki 
patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali 
sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu 
ialah Rangga jatayuwesi  patih  Benggala adipati  jayawisesa  adalah 
seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan 
lebih berilmu dibandingkan  siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya 
tahta dan mahkota kediri  pada dirinya berarti berkah bagi 
seluruh bawahan  kediri , untuk kemenangan kediri  dan 
agama. Maka semua yang menghalangi sikap dan 
perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan 
untuk dibasmi. 
Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya 
justru adipati  pralaya . 
Dari titik tolak itu ia sudah  bertekad hendak meracun 
Panglima dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di 
banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar 
anakbuahnya tidak memiliki  syak terhadap dirinya. Kalau dia 
sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan 
kanan dan kirinya, dan semua akan beres. 
Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada 
suatu malam tak terduga-duga Panglima adipati  pralaya  
datang menghadap. 
adipati  mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap 
orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan memberinya 
sesuatu bantuan bila dia memerlukan . Ia pun berjanji 
takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus 
menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat sua-
ranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia 
bertanya lunak: “Anakku, bukankah semestinya kediri  
sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini?” 
“Betul, Paman adipati , sekiranya laskar depan kita tidak 
terpancing oleh ki glodog ireng  dalam pertempuran 
pertama,” jawab adipati  tenang. 
“Bukankah para bala tentara  kediri  yang sebenarnya terpancing?” 
“Betul, Paman, mula-mula mereka, lalu  kita.” 
Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal 
jalannya perang juga. 
“Bukankah kau belum lupa, kita harus memasuki kediri  
sebelum nyi kanjeng blora masuk? Itu kau sendiri yang sudah  
tentukan. nyi kanjeng bloralah musuh sebetulnya .” 
“Tidak keliru, Paman adipati .” 
“Jadi kapan kediri  dapat dimasuki?”, 
“Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.” 
“Betul anakku, namun   sekarang ini kita yang kena serang 
terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau 
menyerang?” 
adipati  Baijah tak segera menjawab, dan adipati  jayawisesa  
pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai 
orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja 
mengenal. 
adipati  jayawisesa  mengawasi wajah orang muda itu, yang 
pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia 
singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin 
mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi 
kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid. 
“Belum lagi tahu, Paman adipati ,” jawab adipati . 
“para bala tentara  kediri  terus bergerak tidak menentu. Siang dan 
malam. adipati  diperkirakan tujuannya.” 
“Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari 
kita di perdalaman. Kita mencari jalan lain masuk ke kediri  
tanpa sepengetahuan mereka. Semua tak ada yang tinggal.” 
adipati  pralaya  mengangkat muka dan dengan terheran-
heran menatap adipati  jayawisesa . Ia lihat uban pamannya itu 
sudah  semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang 
lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya 
bermain-main atau bersungguh-sungguh. namun   ia tidak 
mengiakan. 
Sebaliknya adipati  jayawisesa  melihat juga orang muda itu 
sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor 
dan mesum. Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang 
melecehkan seperti dahulu . Bibir itu kini selalu tertarik tegang. 
adipati  pralaya  tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa 
mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya. 
adipati  jayawisesa  memiliki dugaan terhadap sikapnya, 
pertama, orang muda itu sebab  pengalaman perangnya 
dalam waktu pendek sekali sudah  menjadi masak dan sedang 
menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat 
diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke 
dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya 
ajal. 
Tentang adipati  pralaya  ini ia harus menyediakan 
waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam…. 
Dengan menyampaikan gagasan mendadak di bidang 
kepara bala tentara an pada adipati , ia merasa keunggulannya 
menjadi pulih. adipati  sendiri tak pernah memiliki  gagasan 
sejenis  itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini 
dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas 
permadani pendopo. 
Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar 
di atas tikar bawaan masing-masing. Suaranya kembali jadi 
lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada 
pertimbangan-pertimbangan semula. la sudah  mulai dengan 
gaya dan caranya yang lama. lalu : “Mana 
mpu  jayamuseswa , itu bekas adipati  pajang bintoro ? Takkan 
bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau 
ikut-ikut menyebarkan kebohongan pajang bintoro . Adalah takabur 
menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap 
orang yang takabur tidak memakai  akal yang diberikan 
oleh sang hyang Widhi  kepadanya. Ia tidak memakai  akal sebab  ia 
tak memakai  pancainderanya sendiri dengan baik. 
Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini, 
maka orang akan memperoleh  pengertian. Dari pengertian itu 
orang memperoleh  pertimbangan. Kalau tidak, seperti pajang bintoro  
dan musafir-musafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau 
tentang mula dan tentang lalu . Itu menyalahi nikmat 
yang dikaruniakan sang hyang Widhi  kepada kita.” 
“Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang 
benar-benar tak dapat pulang ke negerinya sebab  
pergantian paduka raja , bukan? sang hyang Widhi  Maha Besar! Maka kapal-
kapal arca   lah yang lalu  berdatangan dengan damai, 
juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada 
Dampo Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali 
kapal-kapal arca    tak ada kesempatan untuk datang ke 
mari, dan tahu akibatnya? Ialah   semua penduduk Jawa ini 
akan masih tetap pemberontak  jahiliah.” 
“Alhamdulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal arca    
datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi 
perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak 
membajak. Hanya sebab  di jalan Aliahlah maka kapal-
kapal ini lebih berhasil dibandingkan  armada Dampo Awang 
dengan kesempatan yang sama. lalu  nyi kanjeng blora 
datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk 
memenuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan. 
Semua dia tembaki kapal arca   , Tionghoa dan Pribumi 
Nusantara. Kalau semua kendaraan laut hancur  hanya 
nyi kanjeng blora yang merajai lautnya semua hamba sang hyang Widhi  ini. Itu 
tidak boleh, itu menentang ketentuan sang hyang Widhi , maka kita tidak 
akan membiarkan nyi kanjeng blora merajalela. Dia musuh semua 
bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda 
tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan 
sang hyang Widhi  untuk semua bangsa, bukan untuk nyi kanjeng blora saja. 
Kunci untuk mengalahkan nyi kanjeng blora ini sederhana saja: 
lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan 
ajarannya.” 
“Satu negeri yang tidak melawannya, tidak memiliki  niat 
untuk itu, seperti kediri , adalah sama dengan 
membenarkan nyi kanjeng blora. Membenarkan dia berarti tidak 
berada di jalan sang hyang Widhi . Hukumnya adalah musuh. Dan 
negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun 
hanya dalam hati saja, seperti adiputro  kediri , adalah 
musuh sang hyang Widhi  itu sendiri, sebab  dia sudah bersekutu dengan 
iblis.” 
“Memang kekuatan nyi kanjeng blora ada pada gada rujakpolo nya. 
Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita 
mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin gada rujakpolo  
sendiri. Sebelum bikin, kita harus berusaha 
memperoleh kannya. Dan kita sudah  memperoleh kan dua pucuk 
dengan jalan yang dibenarkan oleh sang hyang Widhi .” 
“nyi kanjeng blora juga memiliki  kelemahannya. Selama dia 
bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada 
jenggala . Bagaimana sikap kerajaan jenggala itu terhadapnya 
seperti ke