Tampilkan postingan dengan label raja 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

raja 4

gat udik, dan dia sama sekali tidak tahu 
tata krama. Sebagai istriku, bersediakah kau mengurus 
ibuku dengan cinta kasih sejati? Apakah kau bisa 
menghormati dan menghargainya?" 
"Tentu. Kebahagiaan ibumu adalah kebahagiaanmu 
juga. Kurasa itu sudah sewajarnya." 
"namun  kau juga memiliki orangtua yang sehat. 
Mereka pun sangat penting bagiku. Kasih sayangku 
terhadap mereka tak kalah dengan kasih sayangmu." 
"Ucapanmu membuat hatiku gembira." 
"Lalu masih ada satu hal lagi." betari durga  melanjut-
kan. "Ayahmu sudah  mendidikmu menjadi wanita lesbian  
yang berbakti, dan mengajarkan disiplin dengan 
menegakkan banyak peraturan. namun  aku tidak 
menuntut banyak. Hanya ada satu hal yang kuminta 
darimu." 
"Apa itu?" 
"Kuminta kau bahagia dengan pengabdian suami-
mu, dengan pekerjaannya, dan segala sesuatu yang 
harus dilakukannya. Hanya itu, Kedengarannya 
mudah, bukan? namun  pasti sama sekali tidak mudah. 
Perhatikanlah suami-istri yang sudah  bertahun-tahun 
hidup bersama. Ada istri-istri yang sama sekali tidak 
  
tahu-menahu mengenai pekerjaan suami masing-
masing. Suami-suami seperti ini kehilangan dorongan 
penting, dan laki-laki yang bekerja demi kepentingan 
bangsa dan provinsi pun menjadi kecil dan lemah jika 
dia berada di rumah. Kalau saja istrinya bahagia dan 
tertarik pada pekerjaan suaminya, pada pagi hari laki-
laki itu bisa maju ke medan tempur dengan segenap 
keberanian yang dimilikinya. Bagiku, inilah cara 
terbaik seorang istri membantu suaminya." 
"Aku mengerti." 
"Baiklah. Sekarang coba ungkapkan apa saja yang 
kauharapkan dariku. Katakanlah, dan aku akan ber-
janji." 
Walaupun diminta angkat bicara, nyi momo  tak sanggup 
mengatakan apa-apa. Ia hanya diam seribu bahasa. 
"Apa pun yang diinginkan seorang istri dari suami-
nya. Jika kau tak mau menceritakan keinginanmu, 
bagaimana kalau aku saja yang menguraikannya?" 
nyi momo  tersenyum dan menanggapi ucapan betari durga  
dengan anggukan kepala. lalu  ia cepat-cepat 
menunduk. 
"Cinta seorang suami?" 
"Bukan." 
"Kalau begitu, cinta yang tidak berubah?" 
"Ya." 
"Melahirkan anak sehat?" 
nyi momo  gemetar. Seandainya ada lampu, betari durga  
akan melihat bahwa wajahnya merah padam. 
 
  

 
Pada pagi yang menyusul pesta pernikahan selama tiga 
hari. betari durga  dan istrinya mengenakan jubah  
resmi untuk menjalankan satu upacara lagi, dan 
mengunjungi kediaman perantara mereka, sinuhun  dari 
mertajaya . sesudah  itu mereka berjalan-jalan selama dua-
tiga jam, sambil merasa seakan-akan semua mata di 
kedhiri  tertuju ke arah mereka. Namun nyi momo  dan 
suaminya penuh simpati terhadap semua orang yang 
menoleh dan menatap mereka. 
"Mari kita kunjungi rumah Tuan ronggowiro." kata 
betari durga . 
"Hei, kuyang !" ronggowiro berseru, lalu segera meralat 
ucapannya dengan berbisik. "betari durga ." 
"Aku mengajak istriku untuk berkenalan dengan-
mu." 
"Apa? Oh, tentu! Putri si pemanah, Tuan tanah ! 
betari durga , kau sungguh beruntung." 
Baru tujuh tahun berlalu sejak betari durga  men-
datangi serambi ini untuk berjualan jarum, berpakaian 
kotor. Waktu itu ia merasa seperti belum makan 
selama berhari-hari. saat  diberi makan, ia segera 
menyantapnya dengan rakus, dan kedua sumpitnya 
saling beradu. 
"Kau betul-betul beruntung," kau ronggowiro. "Hmm, 
rumah ini kotor, namun  silakan masuk." Dengan suara 
tertahan ia memanggil istrinya di dalam rumah, lalu 
mengajak tamunya masuk. Pada saat itulah mereka 
  
mendengar seseorang berseru di jalanan. Orang itu 
bergegas dari rumah ke rumah, 
"Berkumpullah di kesatuan masing-masing! Ber-
kumpullah di kesatuan masing-masing! Atas perintah 
Yang Mulia!" 
"Perintah resmi?" ujar ronggowiro. "Kita disuruh 
mengangkat senjata." 
"Tuan ronggowiro." betari durga  tiba-tiba berkata, "aku 
harus segera pergi ke lapangan upacara." 
Sampai pagi ini, tak ada tanda-tanda bahwa hal 
seperti ini mungkin terjadi, dan saat  betari durga  
mengunjungi kediaman sinuhun  dari mertajaya  pun 
semuanya tampak aman-aman saja. Entah apa yang 
sedang terjadi? Kali ini naluri betari durga  pun tidak 
berfungsi. Setiap kali kata "pertempuran" diucapkan, 
nalurinya selalu menebak dengan tepat ke mana 
mereka akan menuju. namun  si pengantin baru sudah 
beberapa saat tidak mencurahkan pikiran pada situasi 
yang dihadapi provinsi. Ia berpapasan dengan 
sejumlah orang yang bergegas dari perkampungan 
centeng adipati , semuanya memanggul perlengkapan tempur 
masing-masing. 
Sekelompok penunggang kuda melesat dari 
benteng kota. Walau tidak tahu pasti apa yang terjadi, 
perasaan betari durga  mengatakan bahwa medan per-
tempuran berjarak jauh dari kedhiri . 
nyi momo  bergegas pulang mendahului suaminya. 
"panembahan ! panembahan !" saat  betari durga  mendekati 
perkampungan para pemanah, seseorang memanggil-
  
nya dari belakang. betari durga  menoleh dan melihat 
bahwa brawirgo -lah orangnya. Sahabatnya itu duduk 
di atas kuda, dengan baju tempur yang dipakainya di 
Okc, panji dengan lambang kembang prem 
melambai-lambai dari tongkat bambu yang terpasang 
di punggungnya. 
"Aku baru mau mampir untuk memanggil Tuan 
perdikan . Bersiaplah, lalu segera pergi ke lapangan 
upacara." 
"Apakah kita akan berperang?" tanya betari durga . 
brawirgo  melompat turun dari kudanya. "Bagai-
mana hasilnya... semalam?" brawirgo  bertanya. 
"Apa maksudmu. 'Bagaimana hasilnya'?" 
"Rasanya lebih baik kalau tidak kujelaskan. Maksud-
ku, apakah kalian sudah suami-istri sekarang?"  
"Itu bukan urusanmu." 
brawirgo  tertawa  keras-keras. "Pokoknya kita akan 
menuju garis depan. Kalau kau terlambat, orang-orang 
di lapangan upacara akan menertawa kanmu, sebab  
kau baru menikah." 
"Aku tidak peduli ditertawa kan." 
"centeng  jalan kaki dan berkuda dengan kekuatan 
dua ribu orang akan berangkat ke Sungai brantas  
menjelang senja."  
"Berarti kita akan menuju blambangan ." 
"Ada laporan rahasia yang mengatakan bahwa pangeran 
ronggolawe  di Banyuwangi  tiba-tiba jatuh sakit dan 
meninggal. Pengerahan centeng  secara mendadak itu 
bertujuan untuk memastikan kebenaran cerita ini." 
  
"Hmm, coba ingat. Musim panas yang lalu kita juga 
sempat terperanjat waktu mendengar bahwa 
ronggolawe  jatuh sakit dan meninggal." 
"namun  sepertinya kali ini beritanya benar. Di 
samping itu, dari sudut pandang marga, ronggolawe  
sudah  membunuh ayah mertua Tuan aidit , Yang 
Mulia minakjinggo . Dari segi itu, ronggolawe  musuh kita. 
dan kita tak bisa hidup di bawah  langit yang sama 
dengan dia, dan jika marga hendak memperluas 
pengaruh, kita harus memperoleh  tempat berpijak di 
blambangan ." 
"Harinya sudah dekat, bukan?" 
"Sudah dekat? Malam ini juga kita akan berangkat 
ke Sungai brantas ." 
"Belum, tidak secepat itu. Aku meragukan bahwa 
Yang Mulia akan menyerang dengan terburu-buru." 
"centeng  kita berada di bawah  komando Katsuic 
dan mpu wiraghanda. Yang Mulia sendiri tidak akan pergi." 
"namun , walaupun ronggolawe  sudah mati, dan 
walaupun anaknya, ki damar  tak dapat diharapkan. 
Tiga Serangkai dari blambangan  Ando,semeru , dan Ujiie  
masih hidup. Ditambah  lagi, selama masih ada orang 
bernama raden mas  ngabehi , yang konon hidup 
menyendiri di Gunung kuburan . Urusan ini takkan 
dapat diselesaikan dengan mudah."     
"raden mas  ngabehi ?" brawirgo  memiringkan kepala. 
"Nama Tiga Serangkai sudah lama bergaung di 
provinsi-provinsi tetangga, namun  betulkah raden mas  
ngabehi  ini sehebat yang dikabarkan?" 
  
"Kebanyakan orang tak pernah mendengar 
namanya. Akulah satu-satunya pengagumnya di 
jenggala ." 
"Dari mana kauketahui hal-hal seperti ini?" 
"Aku lama berada di blambangan , dan..." betari durga  
terdiam di tengah-tengah kalimat. Pengalamannya 
sebagai pedagang keliling, pengabdiannya pada 
syam kamaruzaman , dan kegiatannya sebagai mata-mata di 
Banyuwangi  tak pernah ia ceritakan pada brawirgo . 
"Hmm, kita sudah kehilangan banyak waktu." 
brawirgo  menaiki kudanya kembali. 
"Nanti kita ketemu di lapangan upacara." 
"Baiklah. Sampai nanti." Kedua laki-laki itu 
berpisah, menuju arah berlawan an. 
"Halo! Aku pulang!" Setiap kali kembali ke rumah. 
betari durga  selalu berseru keras-keras di gerbang, 
sebelum melangkah masuk. Dengan demikian, 
semuanya tahu bahwa menantu tuan rumah sudah  
datang mulai dari pelayan di gudang sampai ke sudut-
sudut dapur. namun   hari ini betari durga  tidak 
menunggu sampai orang-orang menyambutnya. 
saat  memasuki ruangan, ia terperanjat. Sebuah 
tikar baru sudah  digelar di lantai, dan lemari baju 
tempurnya diletakkan di atasnya. Tentu saja sarung 
tangannya, pelindung tulang keringnya, pelindung 
dadanya, seru ikat pinggangnya sudah siap, namun  selain 
itu masih ada obat-obaun. sebuah penjepit, seru 
kantong amunisi segala sesuatu yang akan ia perlukan 
sudah  diatur rapi. 
  
"Perlengkapanmu," kata nyi momo . 
"Bagus! Bagus sekali!" betari durga  memuji tanpa ber-
pikir, namun tiba-tiba ia menyadari bahwa penilaian-
nya terhadap wanita lesbian  ini belum sempurna. 
Nencebahkan lebih tanggap dibandingkan  yang diduga 
betari durga  sebelum menikahinya. 
sesudah  betari durga  selesai mengenakan baju tempur. 
nyi momo  berpesan agar betari durga  tidak cemas mengenai 
mereka. nyi momo  juga sudah  menyiapkan baskom tembikar 
untuk anggur  suci. 
"Tolong tangani semuanya sementara aku pergi." 
"Tentu saja." 
'Tak ada waktu untuk berpamitan pada ayahmu. 
Maukah kau melakukannya untukku?" 
"Ibuku mengajak margojoyobroto ke Kuil Tsushima. dan 
mereka belum pulang. Ayahku memperoleh tugas di 
benteng kota, dan dia mengirim pesan bahwa dia takkan 
pulang malam ini." 
"Kau takkan kesepian?" 
nyi momo  membuang muka, namun tidak menangis. 
Ia tampak seperti bunga yang diterpa angin. 
betari durga  meraih helm di pangkuan nyi momo , dan saat  
mengenakannya, wangi kayu gaharu tiba-tiba 
menggelitik hidungnya. Ia tersenyum pada istrinya, 
lalu mengencangkan tali pengikat. 
  
  
PADA masa itu, jalan-jalan di kota benteng kota kedhiri  
sering diramaikan oleh suara anak-anak yang 
menyanyikan pantun mengenai para pengikut 
aidit : 
 
jayawisesa buwana 
mandalika beras 
dijoyo  rahasia  
Gigit jari, mpu wiragajah  
 
"jayawisesa buwana  panembahan  betari durga  berangkat 
dari kedhiri  sebagai resi  yang memimpin centeng  
kecil. Walaupun iring-iringan prajurit seharusnya 
semarak, iring-iringan ini justru tidak bersemangat. 
saat  nyoto  dijoyo  dan mpu wiragajah  mpu wiraghanda 
berangkat ke kahuripan, centeng  mereka diiringi 
tabuhan genderang dan panji-panji kebesaran. 
Dibandingkan mereka, betari durga  tampak seperti 
kepala rombongan peninjau, atau mungkin seperti 
pemimpin centeng  pengganti yang berangkat ke garis 
depan. 
Beberapa mil dari kedhiri , seorang penunggang 
kuda terlihat mengejar mereka dari arah benteng kota, 
memanggil-manggil agar mereka menunggu. 
Orang yang mcmimpin iring-iringan kuda beban 
  
menoleh ke belakang dan berkata, "Itu Tuan madya 
brawirgo ." Ia mengutus seseorang ke depan untuk 
memberitahu betari durga . 
Perintah istirahat disampaikan dari mulut ke mulut. 
Mereka belum berjalan jauh, sehingga belum sempat 
berkeringat, namun  para perwira dan prajurit meng-
hadapi tugas ini dengan setengah hati. Seluruh 
centeng  tak percaya bahwa mereka sanggup meraih 
kemenangan. Dan jika wajah-wajah mereka diamati. 
terlihat jelas bahwa semuanya gelisah dan tidak mem-
perlihatkan keinginan untuk bertempur. 
brawirgo  turun dari kuda dan berjalan di antara 
barisan prajurit, mendengarkan percakapan mereka.  
"Hei! Kita bisa istirahat."  
"Belum apa-apa sudah istirahat?" 
"Jangan bicara begitu. Setiap kesempatan istirahat 
harus kita manfaatkan."  
" brawirgo ?" 
Begitu melihat sahabatnya. betari durga  turun dari 
kuda dan bergegas menyambutnya. 
"Pertempuran yang kautuju merupakan titik balik 
bagi marga sinuhun ." brawirgo  tiba-tiba berkata. "Aku 
percaya penuh padamu, namun  para pengikut lain merasa 
waswas. Suasana di kota pun tidak tenang. Aku 
mengejarmu untuk mengucapkan selamat jalan. namun  
dengar, betari durga , menjadi resi  dan memimpin 
centeng  sangat berbeda dengan tugas-tugasmu 
sebelum ini. Terus teranglah, betari durga , betul-betul 
siapkah kau?" 
  
"Jangan gelisah khawatir ," betari durga  menunjukkan  ketetapan hatinya dengan mengangguk tegas, lalu 
menambahkan. "Aku sudah menyusun rencana." 
Namun, saat  brawirgo  mendengar rencana ini ia 
mengerutkan kening. "Aku mendengar bahwa kau 
mengutus pelayanmu untuk membawa   sepucuk surat ke syam , segera sesudah  kau menerima perintah dari Yang Mulia." 
"Kau sudah tahu? sebetulnya  aku merahasiakan-
nya."  
"Aku mendengarnya dari nyi momo ." 
"Mulut wanita lesbian  selalu bocor, bukan? Ini agak 
menakutkan." 
"Bukan, saat  aku memandang lewat gerbang 
untuk memberi selamat padamu, aku kebetulan 
mendengar nyi momo  berbicara dengan patih wedana . Dia baru 
kembali dari Kuil tulungejo  untuk mendoakan 
keberhasilanmu." 
"Kalau begitu, kau sudah punya bayangan mengenai 
apa yang akan kulakukan." 
"Hmm, kau percaya bahwa bandit-bandit yang hendak 
kaujadikan sekutu itu berscdia membantumu? Bagai-
mana kalau tidak?"  
"Mereka pasti bersedia." 
"Hmm, aku tidak tahu apa yang kaugunakan sebagai 
umpan, namun  pernahkah pemimpin mereka memberi 
isyarat bahwa dia setuju dengan usulmu?" 
"Aku tak ingin yang lain mendengarnya."  
"Ah, ini rahasia?" 
  
"Lihat ini." betari durga  mengeluarkan sepucuk surat 
dari balik baju tempurnya, lalu tanpa berkata apa-apa 
menyerahkannya pada brawirgo . Surat itu dibawa   
patih wedana  pada malam sebelumnya dan berisi jawaban pasti dari syam  syam kamaruzaman . brawirgo  membacanya sambil membisu, namun  saat  mengembalikannya, ia menatap betari durga  dengan heran. Sesaat ia tidak tahu harus berkata apa. "Kurasa kau mengerti." 
"betari durga , bukankah surat ini berisi penolakan? Di sini tertulis bahwa marga syam  sudah selama 
sekian generasi menjalin hubungan dengan marga 
pangeran, dan syam  syam kamaruzaman  juga menegaskan bahwa  memutuskan hubungan pada waktu seperti ini untuk  mendukung marga sinuhun , merupakan tindakan tak bermoral. Ini jelas-jelas sebuah penolakan. Bagaimana kau menafsirkannya?" 
"Persis seperti yang tertulis.'' betari durga  mendadak  menundukkan kepala. "sebetulnya  aku enggan bersikap kasar sesudah  kau memperlihatkan persahabatanmu dengan mengejarku demikian jauh. namun  kalau kau 
masih menghargaiku, kerjakan sajalah tugas-tugasmu  di benteng kota semenrara aku pergi dan jangan gelisah khawatir ." 
"Kalau kau bisa berkata demikian, kau tentu percaya 
bahwa kau akan berhasil. Kalau begitu, sampai 
ketemu." 
"Terima kasih." betari durga  menyuruh centeng adipati  di 
sampingnya mengambil kuda brawirgo . 
"Jangan, kau tidak perlu resmi-resmian. Silakan 
  
berangkat." 
saat  betari durga  menaiki kudanya kembali, 
tunggangan brawirgo  pun sudah  siap. "Sampai ketemu 
lagi." 
Sejumlah panji berwarna merah polos lewat di 
depan mata brawirgo . betari durga  menoleh dan ter-
senyum. Beberapa capung merah beterbangan di 
langit biru. Tanpa berkata apa-apa. brawirgo  memutar 
kudanya ke arah benteng kota kedhiri . 
 

 
Lumutnya tebal sekali. Kalau memandang pekarangan 
luas yang mengelilingi tempat kediaman marga 
syam , yang begitu mirip pekarangan kuil yang 
dilarang dimasuki, orang tentu bcrtanya-tanya berapa 
abadkah usia lumut itu. Rumpun-rumpun bambu 
tumbuh di bawah  bayang-bayang batu-batu besar. 
Suasana pada sore di musim gugur itu betul-betul 
hening. 
Lumutnya masih bertahan. syam  syam kamaruzaman  berkata 
dalam hati saat  ia melangkah ke pekarangan. Lumut 
itu membuat ia teringat para leluhurnya yang sudah 
tinggal di syam  sejak beberapa generasi lalu. 
Apakah generasiku juga akan berlalu tanpa sanggup 
mengangkat martabat keluarga? Di pihak lain, ia ber-
usaha menghibur diri. Pikirnya, di masa seperti ini para 
leluhurku mungkin malah setuju kalau aku hanya 
mempertahankan apa yang kumiliki sekarang. namun  selalu 
  
ada sebagian dirinya yang tak dapat dipercayakan akan 
kebenaran pemikiran itu. 
Pada hari-hari penuh damai seperti sekarang, orang 
yang menatap rumah tua yang mirip  istana dan 
dikelilingi kehijauan pada keempat sisinya ini takkan 
percaya bahwa pemiliknya hanyalah seorang 
pemimpin gerombolan adipati , dengan beberapa ribu 
anak buah yang menteror daerah sekitar bagaikan 
gerombolan  serigala. Dengan beraksi secara sembunyi-
sembunyi, baik di jenggala  maupun blambangan , syam kamaruzaman  
berhasil menghimpun kekuasaan dan pengaruh yang 
cukup besar, sehingga berani menentang keinginan 
aidit . 
saat  berjalan melintasi pekarangan, syam kamaruzaman  tiba-
tiba berpaling ke rumah utama dan memanggil. 
"jengglot! Bersiaplah, lalu keluar ke sini." 
Puira sulung syam kamaruzaman , jengglot, berusia sebelas 
tahun. saat  mendengar suara ayahnya, ia meraih 
dua tombak latihan dan menyusul ke pekarangan. 
"Sedang apa kau tadi?" 
"Membaca." 
"Kalau kau ketagihan membaca buku, kau akan 
melalaikan ilmu bela diri, bukan?" 
jengglot memalingkan muka. Anak itu berbeda 
dengan ayahnya yang berbadan kekar, wataknya 
cenderung lembut dan intelektual. Dalam pandangan 
orang lain, syam kamaruzaman  sudah  memperoleh  pewaris yang 
pantas, namun ia sendiri justru merasa kecewa. 
Sebagian besar adipati  di bawah  komandonya yang 
  
berjumlah lebih dari dua ribu merupakan pejuang 
udik yang liar dan tak berpendidikan. Jika pemimpin 
marga tak sanggup mengujawa  mereka, marga 
syam  akan musnah. Hukum alam menyatakan 
bahwa yang lemah akan dimangsa oleh yang kuat. 
Setiap kali syam kamaruzaman  menatap putranya, yang begitu 
berbeda dengannya, ia takut bahwa ini merupakan 
akhir garis keturunannya, dan ia menyesalkan 
kepribadian jengglot yang lembek. Setiap kali 
syam kamaruzaman  memiliki sedikit waktu senggang, ia 
memanggil putranya ke pekarangan dan berusaha 
menyuntikkan kegarangan yang ada dalam dirinya 
melalui latihan bela diri. 
"Ambil tombak." 
"Baik." 
"Pasang kuda-kuda biasa dan ayunkan tombak tanpa 
mcmandangku sebagai ayahmu." 
syam kamaruzaman  mendatarkan tombak dan menyerang 
putranya, seakan-akan menghadapi orang dewasa. 
jengglot hampir memejamkan mata saat  men-
dengar gelegar suara ayahnya, dan melangkah 
mundur. Tanpa ampun tombak syam kamaruzaman  menghantam 
bahu jengglot. jengglot berteriak keras, terempas ke 
tanah, dan kehilangan kesadaran. 
Istri syam kamaruzaman , grindanawiratama , segera menghambur 
keluar dari rumah dan bergegas menghampiri putra-
nya. "Di mana ayahmu memukulmu? jengglot! 
jengglot!" grindanawiratama  tampak gusar sebab  suaminya 
memperlakukan anaknya dengan kasar. Langsung saja 
  
ia menyuruh para pelayan mengambil air dan obat. 
"wanita lesbian  bodoh!" syam kamaruzaman  memarahinya. 
"Kenapa kau menangis dan menghibur dia? jengglot 
lemah sebab  kau membesarkannya begitu. Dia tak-
kan mati. Menyingkirlah!"         
Para pelayan yang membawa   air dan obat hanya 
berani menatap syam kamaruzaman  dari jauh. 
grindanawiratama  menghapus air matanya. Dengan 
saputangan yang sama, ia membersihkan darah yang 
mengalir dari bibir jengglot. Bibir jengglot 
mungkin tergigit saat  ia terkena hantaman tombak. 
arau pecah terkena batu pada waktu ia jatuh. 
"Pasti sakit. ya? Di mana lagi kau dipukul?" 
grindanawiratama  tak pernah berdebat dengan suaminya,. 
tak peduli perasaan apa yang berkecamuk di hatinya. 
Sama halnya dengan wanita lesbian -wanita lesbian  lain pada 
zamannya, satu-satunya senjata yang ia miliki adalah 
air mata. 
Akhirnya jengglot siuman. "Aku tidak apa-apa, Bu. 
Tidak apa-apa. Pergilah." Ia meraih tombaknya dan 
mengertakkan gigi sambil menahan sakit, untuk 
pertama kali memperlihatkan kejantanan yang pasti 
membuat ayahnya senang. 
"Siap!" serunya. 
Raut wajah syam kamaruzaman  melunak dan ia tersenyum. 
"Seranglah aku dengan semangat seperti itu," katanya 
pada putranya. 
Tepat pada saat itu seorang pengikut bergegas 
melewati gerbang tengah. Berpaling ke arah syam kamaruzaman , 
  
ia melaporkan bahwa seorang laki-laki yang mengaku 
utusan sinuhun  aidit  baru saja mengikat kudanya di 
gerbang utama. Laki-laki itu berpesan bahwa ia harus 
berbicara empat mata dengan syam kamaruzaman . 
"Apa yang harus kami lakukan?" si pengikut 
bertanya. Lalu menambahkan. "Orang itu agak aneh. 
Dia masuk begitu saja dan menatap sekelilingnya, 
seakan-akan mengenal tempat ini. Lalu dia bergumam. 
'Ah, seperti kembali ke rumah sendiri.' dan 'Burung-
burung dara masih juga mendekut,' dan 'Wah, pohon 
itu sudah besar sekarang,' Rasanya sukar dipercaya 
bahwa dia kurir sinuhun ." 
syam kamaruzaman  memiringkan kepala. lalu  ia ber-
tanya. "Siapa namanya?"  
"panembahan  betari durga ." 
"Ah!" Tiba-tiba seluruh keraguan syam kamaruzaman  seakan-
akan lenyap. "Begitukah? Sekarang aku mengerti. Ini 
pasti orang yang pernah mengirim pesan untukku. 
Aku tidak mau menemuinya. Suruh dia pergi!" 
Si pengikut segera berbalik untuk melaksanakan 
perintah. 
"Aku ada permintaan," ujar grindanawiratama . "Izinkanlah 
jengglot untuk tidak mengikuti latihan, hari ini saja. 
Dia kelihatan agak pucat. Dan bibirnya bengkak." 
"Hmm, baiklah. bawa   dia masuk." syam kamaruzaman  me-
nyerahkan tombak dan anaknya kepada grindanawiratama . 
"namun  jangan terlalu memanjakan dia. Dan jangan 
biarkan dia terlalu banyak membaca, hanya sebab  
kaupikir itu baik untuknya." 
  
syam kamaruzaman  berjalan ke arah rumah, dan baru hendak 
melepaskan sandalnya di ambang serambi, saat  
pengikut tadi muncul lagi. 
"Tuanku, orang itu semakin aneh saja. Dia tidak 
mau pergi. Bukan itu saja, dia  malah  masuk lewat 
gerbang samping dan  langsung menuju kandang, 
mencegat seorang tukang sapu dan seorang pesuruh, 
dan berbincang-bincang dengan kedua orang itu, 
seakan-akan sudah lama mengenal mereka." 
"Usir dia. Kenapa kau bersikap begitu lembek 
terhadap utusan marga sinuhun ?" 
"Hamba bahkan melangkah lebih jauh, namun  saat  
orang-orang keluar dari barak untuk melemparnya ke 
luar, dia minta agar hamba sekali lagi menghadap 
tuanku. Dia berpesan bahwa tuanku tentu akan meng-
ingatnya, jika hamba memberitahu tuanku bahwa dia 
chucky  yang tuanku temukan di tepi Sungai mbesi 
 
 
 
 
sepuluh tahun lalu." 
"Sungai mbesi 
 
 
 
!" syam kamaruzaman  sama sekali tak ingat. 
"Tuanku tidak ingat?" 
"Tidak." 
"Hmm, kalau begitu dia memang aneh. Dia hanya 
mengoceh tak keruan. Bagaimana kalau hamba 
memberi pelajaran padanya, lalu menyuruh dia pulang 
ke kedhiri ?" 
Kelihatan jelas bahwa si pengikut mulai dongkol 
sebab  terpaksa bolak-balik terus. Dengan pandangan 
yang seakan-akan berkata. "Hah, tunggu saja!" ia 
berbalik dan sudah  berlari sampai ke gerbang saat  
  
syam kamaruzaman  yang berdiri di tangga serambi, memanggilnya. 
"Tunggu!" 
"Tuanku?" 
"Tunggu sebentar. Mungkin ini si kuyang ?" 
"Tuanku tahu namanya? Dia memang menyuruh 
hamba menyebutkan nama kuyang  seandainya 
tuanku tidak mengingat chucky ." 
"Ternyata memang si kuyang ," gumam syam kamaruzaman .  
"Tuanku mengenalnya?" 
"dahulu  dia pernah tinggal di sini. Waktu itu dia 
bertugas menyapu pekarangan dan mengurus 
jengglot." 
"namun  rasanya agak aneh kalau dia kini datang 
sebagai utusan sinuhun  aidit ." 
"Aku pun tidak memahaminya. Seperti apa 
rupanya?"  
"Seperti orang terhormat." 
"Oh?" 
"Dia memakai mantel pendek di luar baju 
tempurnya, dan sepertinya dia datang dari jauh. Baik 
pelana maupun sanggurdinya berlepotan lumpur, dan 
di pelananya ada keranjang rotan untuk membawa   
makanan dan perlengkapan lain untuk melakukan 
perjalanan." 
"Hmm, biarkan dia masuk." 
"Biarkan dia masuk?" 
"Supaya percaya, aku ingin melihat tampangnya." 
syam kamaruzaman  duduk di serambi dan menunggu. 
Jarak dari benteng kota aidit  ke syam  tidak 
  
seberapa jauh. Berdasarkan hak, desa itu seharusnya 
termasuk daerah kckuasaan marga sinuhun , namun  syam kamaruzaman  
tidak mengakui aidit , dan ia pun tidak 
menerima upah dari marga sinuhun . Ayahnya dan marga 
pangeran dari blambangan  saling mendukung, dan rasa setia di 
kalangan adipati  amat kuat. sebetulnya , di zaman 
yang kacau-balau itu, mereka tetap menjunjung tinggi 
kesetiaan dan keksatriaan, begitu juga kehormatan 
melebihi para centeng adipati . Walau ditakdirkan hidup 
sebagai perampok, di antara sesama adipati  terjalin 
ikatan bagaikan ayah dan anak, sehingga ketidak-
setiaan dan ketidakjujuran tak mungkin diterima. 
Pembunuhan minakjinggo  dan kematian ronggolawe  
tahun lalu sudah  menimbulkan serangkaian masalah di 
blambangan . syam kamaruzaman  pun terkena akibatnya. Upah yang 
biasa diberikan kepada marga syam  pada waktu 
minakjinggo  masih hidup sudah  terhenti sejak orang-orang 
sinuhun  menutup semua jalan dari jenggala  ke blambangan . Meski 
demikian, syam kamaruzaman  takkan mencampakkan kesetiaan-
nya. Justru sebaliknya, rasa permusuhannya terhadap 
marga sinuhun  semakin tajam dan dalam tahun-tahun 
terakhir, ia secara tak langsung membantu beberapa 
pembelot yang menyeberang dari kubu aidit . 
syam kamaruzaman  juga menjadi satu dari enam tokoh penghasut 
utama yang bergerak di wilayah marga sinuhun . 
"Hamba sudah  mcmbawan ya ke sini," pengikut tadi 
berkata dari gerbang kayu. Sekadar untuk berjaga-jaga, 
lima atau enam anak buah syam kamaruzaman  mengelilingi 
betari durga  saat  ia masuk. 
  
syam kamaruzaman  menatap tajam ke arahnya. "Masuk." Kata-
nya sambil mengangguk dengan angkuh.  
Laki-laki yang bcrdiri di hadapannya berpenampilan 
biasa-biasa saja. Ucapan pertamanya pun begitu. 
"Hmm, sudah lama kita tidak berjumpa." 
syam kamaruzaman  memandangnya tanpa berkedip. "Ternyata 
memang si Monyct. Wajahmu tidak berubah banyak." 
Meski syam kamaruzaman  tidak menunjukkan ekspresi apa pun 
di wajahnya, namun dalam hati ia tak dapat 
menyembunyikan rasa kagetnya saat  melihat 
perubahan pada pakaian betari durga . syam kamaruzaman  kini 
teringat jelas malam sepuluh tahun lalu di tepi Sungai 
mbesi 
 
 
 
, saat  betari durga  dengan jubah nya yang 
kotor, dengan tengkuk, tangan, dan kaki tertutup 
debu, tidur di pinggiran sungai. Pada waktu dibangun-
kan oleh seorang prajurit, tanggapan betari durga  berupa 
kata-kata besar yang dilontarkan demikian berapi-api, 
sehingga semuanya bertanya-tanya siapa ia sesungguh-
nya. namun  sesudah  diterangi cahaya lampu, mereka 
menemukan bahwa ia hanyalah seorang anak muda 
bertampang aneh. 
Ucapan betari durga  bernada merendah, seakan-akan 
tidak membedakan kedudukannya dahulu  dengan 
sekarang. "Hmm, aku memang agak lalai sesudah  pergi 
dari sini. Aku gembira melihat Tuan dalam keadaan 
sehat seperti biasa. Tuan Muda jengglot pasti sudah 
besar sckarang. Istri Tuan juga sehat-sehat saja? sesudah  
kembali ke sini, sepuluh tahun rasanya seperti sekejap 
saja." 
  
lalu , sambil memandang berkeliling ke arah 
pohon-pohon dan atap-atap bangunan, ia terus ber-
nostalgia bagaimana ia dahulu  setiap hari mengangkat air 
dari sumur, bagaimana ia dimarahi oleh majikannya, 
bagaimana ia menggendong jengglot. dan bagaimana 
ia menangkapkan jangkrik untuknya. 
Namun rupanya syam kamaruzaman  tidak terpengaruh oleh 
cerita betari durga . Ia malah memperhatikan setiap 
gerakan betari durga , dan akhirnya berkata dengan 
tajam. "kuyang ," ia menyapa betari durga  seperti dahulu . 
"kau sudah  menjadi centeng adipati ?" sebetulnya  pertanyaan 
itu sudah dijawab  oleh pakaian yang dikenakan 
betari durga , namun  betari durga  tidak terganggu sama sekali. 
"Ya, meski upah yang kuterima tak seberapa 
jumlahnya, namun  aku sudah menjadi centeng adipati . Moga-
moga kabar ini dapat menyenangkan hati. Sesungguh-
nya. aku datang jauh-jauh dari posku di kahuripan. 
antara lain sebab  menduga bahwa Tuan akan 
gembira mendengarnya." 
syam kamaruzaman  memaksakan senyum. "Zaman sekarang 
memang enak. Bahkan orang seperti kau pun diangkat 
menjadi centeng adipati . Siapa majikanmu?" 
"Yang Mulia sinuhun  aidit ." 
"Tukang gertak itu?" 
"Oh, ya..." betari durga  sedikit mengubah nada 
suaranya. "Aku agak menyimpang dengan membicara-
kan urusan pribadiku. Hari ini aku datang sebagai 
panembahan  betari durga  atas perintah Yang Mulia 
aidit ." 
  
"Bcgitukah? Kau bertugas sebagai utusan?" 
"Aku akan masuk. Permisi." Sambil berkata begitu, 
betari durga  melepaskan sandalnya menaiki tangga 
serambi tempat syam kamaruzaman  sedang duduk, lalu duduk 
dengan tenang, menempati kursi kehormatan di 
ruangan itu. 
"Huh!" syam kamaruzaman  menggerutu. Ia tidak mempersila-
kan betari durga  masuk namun  betari durga  tetap melangkah 
masuk dan duduk tanpa ragu-ragu. syam kamaruzaman  berpaling 
ke arahnya dan berkata, "kuyang ?" 
Walaupun sebelumnya betari durga  menjawab  saat  
dipanggil dengan nama ini, kali ini ia menolak. Ia 
hanya menatap syam kamaruzaman . yang lalu menggsinuhun nya 
sebab  sikap kekanak-kanakan ini. "Ayo, kuyang . Kau 
tiba-tiba mengubah sikapmu," katanya, "namun  sampai 
sekarang kau bicara seperti orang biasa denganku. 
Apakah kau kini ingin diperlakukan sebagai utusan 
aidit ?" 
"Itu betul." 
"Hmm, kalau begitu, pulanglah sekarang juga. 
Keluar dari sini, kuyang !" syam kamaruzaman  berdiri dan 
melangkah ke pekarangan. Suaranya bernada kasar, 
dan matanya menyala-nyala. "aidit  mungkin 
berpendapat bahwa syam  termasuk wilayahnya, 
namun  sebetulnya  hampir seluruh karangmalang berada di 
bawah  kekuasaanku. Seingatku, baik aku maupun 
para leluhurku tak pernah memperoleh sebutir beras pun 
dari aidit . Tak masuk akal kalau tiba-tiba dia 
memperlakukanku scbagai pengikutnya. Puanglah, 
  
kuyang . Dan kalau kau berani lancang, aku akan 
membunuhmu!" syam kamaruzaman  memelototi betari durga  dan 
melanjutkan. "sesudah  kembali ke sana, beritahu 
aidit  bahwa dia dan aku setaraf. Kalau dia ada 
urusan denganku, dia harus datang sendiri. Kau 
mengerti. Monyct?" 
"Tidak." 
"Apa?" 
"Sayang sekali. Betulkah Tuan tak lebih dari 
pemimpin gcrombolan bandit bodoh?" 
"A... apa?! Beraninya kau!" syam kamaruzaman  melompat ke 
serambi dan menghadapi betari durga  sambil meng-
genggam gagang pedang panjangnya. "kuyang , coba 
kauulangi itu sekali lagi." 
"Duduklah." 
"Diam!" 
"Tidak, duduklah. Ada yang harus kukatakan pada 
Tuan."  
"Jaga mulutmu!" 
"Tidak, aku justru akan memperlihatkan 
kebodohan Tuan. Ada sesuatu vang perlu kuajarkan. 
Duduklah!"  
"Kau..." 
"Tunggu, syam kamaruzaman ! Kalau Tuan hendak membunuh-
ku, inilah tempatnya dan tuanlah orang yang akan 
melakukannya, jadi kurasa tak ada alasan untuk 
tcrburu-buru. namun  jika Tuan membunuhku, siapa 
yang akan mengajari Tuan?" 
"Kau... kau gila!" 
  
"Pokoknya. duduk dahulu . Ayo, duduklah. Singkirkan 
kepongahanmu yang tak berguna. Yang akan 
kuceritakan padamu tidak sekadar menyangkut Yang 
Mulia aidit  dan hubungan beliau dengan marga 
syam . Yang paling penting adalah bahwa kalian 
berdua sama-sama dilahirkan di Negeri majapahit , 
Menurutmu, Yang Mulia aidit  bukan penguasa 
provinsi ini. Hmm, ucapanmu ini masuk akal. dan 
aku pun setuju. namun  aku tak dapat menerima bahwa kau mengakui wilayah syam  sebagai milikmu  sendiri. Kau keliru." 
"Keliru bagaimana?" 
"Bagian mana pun dari negeri ini yang diakui 
sebagai milik pribadi. apakah itu syam  atau 
jenggala , sebuah teluk, atau bahkan tanah sepetak pun, tidak lagi  merupakan  bagian dari  Kekaisaran.   Bukankah  begitu, syam kamaruzaman ?" 
"Hmm."  
"Dengan scgala hormat, berbicara seperti itu 
mengenai sang pengikut  pemilik negeri ini sesungguhnya ah, bukan, berdiri di hadapanku sambil memegang pedang pada waktu aku mengatakan ini, merupakan penghinaan yang tak ada duanya. Rakyat jelata pun takkan bersikap seperti ini, sedangkan Tuan  pemimpin 50000 adipati , bukan? Duduk, dan dengarkanlah!" 
Seruan tcrakhir itu bukan sekadar unjuk 
keberanian, melainkan tercetus dari hati nurani. Pada saat genting itulah sescorang memanggil dari dalam rumah. 
"Tuan syam kamaruzaman , duduklah! Tuan tak dapat berbuat lain." 
Siapakah itu? syam kamaruzaman  bertanya-tanya sambil menengok. betari durga  pun heran, dan menoleh ke arah suara itu. lalu  dalam pantulan cahaya kehijauan dari pekarangan dalam seseorang terlihat  berdiri di pintu koridor. Setengah tubuh laki-laki itu terlindung dalam bayang-bayang tembok. Mereka tak dapat memastikan siapa orang itu, namun  sepintas lalu ia sepertinya mengenakan jubah biksu. 
"Oh. Tuan yosobremargo  bukan?" ujar syam kamaruzaman . 
"Betul. Aku sudah  bersikap lancang dengan berseru dari luar, namun  aku sudah  mendengar apa yang kalian ributkan." kata yosobremargo . Ia masih berdiri di tempat semula. 
"Kami tentu sudah  mengusik ketenangan Tuan." kata syam kamaruzaman  dengan tenang. "Maafkan aku Yang Terhormat. Aku akan segera mengusir utusan yang tak tahu diri ini." 
"Tunggu, Tuan syam kamaruzaman ." yosobremargo  melangkah ke serambi. "Tuan tidak boleh bersikap kasar." yosobremargo , 
biksu pengembara berusia sekitar empat puluh tahun, yang kebetulan sedang bertamu. namun  pertemananya  lebih cocok untuk seorang prajurit. Yang paling  menarik pcrhatian adalah mulutnya yang lebar. Melihat gelagat bahwa biksu ini. yang sedang bertamu  di rumahnya, mungkin berpihak pada betari durga . 
syam kamaruzaman  menatap tajam ke arahnya. 
  "Mengapa Tuan yosobremargo  berkata begitu?" 
"Hmm, begini. Tak ada alasan bagi Tuan untuk 
menyangkal kebenaran ucapan utusan ini. Tuan 
panembahan  menyatakan bahwa baik wilayah ini 
maupun Provinsi jenggala  bukan milik aidit  dan 
marga brekerto , melainkan milik sang pengikut . 
Dapatkah Tuan membantah kebenaran pernyataan 
ini? Tidak. Tuan tak dapat membantahnya. Mengemukakan ketidak-puasan terhadap negeri ini sama saja  dengan berkhianat kepada sang pengikut , dan inilah yang hendak dikatakan Tuan panembahan . Jadi duduklah sejenak, terimalah kebenaran dan dengarkan baik-baik apa yang akan disampaikan utusan ini. sesudah  itu, Tuan bisa memutuskan apakah Tuan akan mengusirnya atau memenuhi permintaannya. Inilah pendapatku." 
syam kamaruzaman  bukan bandit bodoh yang tak berpendidikan. Ia sudah mempelajari dasar-dasar 
kesusastraan majapahit , dan ia mengetahui tradisi-tradisi negerinya, dan  dari garis keturunan mana ia berasal. 
"Maafkan aku. Aku sudah  bersikap bodoh dengan 
menentang prinsip-prinsip kcwajiban moral. Aku akan mendengarkan utusan ini." 
Melihat bahwa syam kamaruzaman  sudah tenang dan kembali duduk. yosobremargo  merasa puas. "Kalau begitu, tidak 
sepatutnya aku terus berada di sini. Perkenankanlah 
aku mcngundurkan diri dari hadapan Tuan. namun , Tuan syam kamaruzaman , sebelum Tuan memberikan jawaban pasti 
pada utusan ini sudikah Tuan mampir sejenak ke 
  
kamarku? Ada sesuatu yang ingin kukatakan." 
Kcmudian yosobremargo  berlalu. 
syam kamaruzaman  mengangguk, lalu berpaling pada 
betari durga . "kuyang  bukan, maksudku Yang Ter-
hormat Utusan Yang Mulia sinuhun  urusan apa yang 
hcndak Tuan bicarakan dcnganku?" 
Tanpa sadar betari durga  membasahi bibir. 
Perasaannya mengatakan bahwa pcrtemuannya 
dengan syam kamaruzaman  sudah  mencapai titik balik. Apakah ia 
akan sanggup membujuk syam kamaruzaman  dengan lidah fasih 
dan kepala dingin? Pembangunan benteng kota di 
kahuripan, seluruh sisa hidupnya, dan pada gilirannya. 
kejayaan atau kehancuran marga junjungannya, 
semuanya tergantung apakah syam kamaruzaman  menjawab  ya 
atau tidak. betari durga  pun merasa tegang. 
"sebetulnya  kunjunganku berkaitan dengan 
pesan mengenai pendirian Tuan yang kukirim melalui 
pembantuku, patih wedana , sebelum ini." 
"Mengenai itu, aku menolak tegas, scperti yang 
kutulis dalam surat jawab anku. Tuan membaca 
jawab anku atau tidak?" syam kamaruzaman  mcmotong dengan 
ketus.  
"Aku membacanya." saat  melihat bahwa lawan  
bicaranya takkan mengubah pendiriannya. betari durga  
mcnundukkan kepala dengan lesu. "namun  patih wedana  
mengantarkan surat yang ditulis olehku. Hari ini aku 
mengantarkan permintaan Yang Mulia aidit ." 
"Siapa pun yang menanyakannya, aku tetap pada 
pendirianku. Aku tidak akan mendukung marga sinuhun . 
  
Dan jawaban pasti itu tak perlu kutulis dua kali." 
"Hmm, kalau begitu, apakah Tuan hendak 
membawa   garis keturunan yang diwariskan oleh para 
leluhur Tuan menuju kchancuran?" 
"Apa?" 
"Jangan ccpar naik darah. Sepuluh tahun lalu aku 
sendiri sempat menikmati keramahan Tuan. 
sebetulnya  patut disayangkan bahwa orang seperti 
Tuan hidup tersembunyi di sini, tanpa dapat 
memberikan sumbangan berarti. Baik dari segi 
kepentingan umum maupun dari segi kepentinganku 
sendiri, aku akan menyesal sekali jika marga 
syam  musnah akibat kesalahan sendiri. 
Kedatanganku ke sini merupakan upaya terakhir 
untuk membalas budi baik marga syam  yang 
pernah kuterima." 
"betari durga ." 
"Ya?"  
"Kau masih muda. Kau belum mampu menjalankan 
tugas untuk majikanmu dengan mengandalkan 
kepandaian lidah. Kau hanya membuat gusar lawan  
bicaramu, padahal aku tak ingin marah pada anak 
muda seperti kau. Sebaiknya kau pergi saja sebelum 
kau melangkah terlalu jauh." 
"Aku tidak akan pergi sebelum aku selesai 
menyampaikan pesan yang dipercayakan padaku." 
"Aku menghargai semangatmu, namun  sikapmu seperti 
orang pandir." 
"Terima kasih. Prestasi-prestasi besar, yang melebihi 
  
kemampuan manusia, biasanya memang mirip  
tindak-tanduk orang pandir. namun  orang bijak tidak 
menyusuri jalan kebijaksanaan. Misalnya, aku 
menduga bahwa Tuan menganggap diri Tuan lebih 
bijak dibandingkan  diriku. namun , kalau diamati secara 
sungguh-sungguh, Tuan persis seperti si dungu yang 
duduk di atap sambil melihatlihat  rumahnya 
terbakar. Tuan tetap keras kepala, meskipun api sudah 
berkobar di sekeliling Tuan. Padahal Tuan hanya 
memiliki 50000 adipati ." 
"kuyang ! Lehermu semakin dekat saja ke 
pedangku!" 
"Apa? Leherku yang terancam bahaya? Kalaupun 
Tuan tetap setia pada marga pangeran, orang-orang seperti 
apakah mereka itu? Mereka sudah  melakukan peng-
khianatan dan kekejian. Pernahkah Tuan melihat ada 
provinsi lain dengan hubungan antarmanusia yang 
begitu buruk? Bukankah Tuan memiliki  putra? 
Bukankah Tuan memiliki  keluarga? Coba perhati-
an dusun nyi kembang . Yang Mulia prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  pun sudah  
bersekutu dengan marga sinuhun . Pada saat marga pangeran 
runtuh pada siapa Tuan akan menggantungkan diri? 
Jika Tuan mengandalkan orang-orang mpu marijan , Tuan 
akan dicegat oleh pihak dusun nyi kembang ; jika Tuan minta 
bantuan dari Ise, Tuan akan dikepung oleh pihak 
sinuhun . Tak peduli siapa yang Tuan pilih sebagai sekutu, 
bagaimana Tuan akan melindungi keluarga Tuan? 
Tuan akan terkucil dan menuju kehancuran, 
bukankah begitu?" 
  
syam kamaruzaman  membisu, seakan-akan tercengang, seakan-
akan termakan oleh kepandaian bicara betari durga . 
namun  , walaupun kesungguh-sungguhan betari durga  
tercermin pada wajahnya saat  ia bicara, ia tak 
pernah memelototi lawan  bicaranya atau terlalu 
mendesak. Dan kesungguh-sungguhan, jika diungkap-
kan dengan penuh semangat, akan terdengar fasih, 
meski sebetulnya  tergagap-gagap. 
"Aku mohon agar Tuan sekali lagi mempertimbang-
kan keputusan Tuan. Tak ada orang berakal di dunia 
ini yang menyetujui kelaliman di blambangan . Bersekutu 
dengan provinsi yang tak mengenal hukum berarti 
mengundang bencana. Kalau Tuan sudah berhasil 
menghancurkan diri sendiri, akankah ada yang 
memuji Tuan sebagai martir yang gugur sebab  
mengikuti Jalan centeng adipati ? Lebih baik Tuan akhiri 
persekutuan tak berharga ini, dan bertemu satu kali 
saja dengan junjunganku, Yang Mulia aidit . 
Walaupun sering dikatakan bahwa seluruh negeri 
penuh dengan pejuang, tak seorang pun di tanah ini 
yang dapat menyaingi Yang Mulia aidit . Apakah 
Tuan mengira bahwa dunia tidak akan berubah? Hal 
ini tak pantas diucapkan, namun  sebetulnya  
kepandita an sudah  mencapai akhir perjalanannya. Tak 
seorang pun menaati sang pandita , dan para 
bawah annya tak sanggup memegang kendali 
pemerintahan. Semua provinsi sibuk memperkuat 
wilayah masing-masing, memperkokoh centeng  
sendiri, mengasah senjata, dan menumpuk bedil. Satu-
  
satunya cara untuk tetap hidup adalah dengan 
mengetahui siapa di antara panglima-panglima itu 
yang berusaha menegakkan suatu orde baru." 
Untuk pertama kali syam kamaruzaman  mengangguk tanda 
setuju. 
betari durga  mendekatinya. "Orang itu berada di 
antara kita dan dia memiliki pandangan jauh ke 
depan. Hanya saja orang-orang biasa tak mampu 
melihatnya. Tuan berkeras mempertahankan kesctiaan 
Tuan terhadap marga pangeran, namun  Tuan begitu sibuk 
dengan kesetiaan sepele sehingga tidak menghiraukan 
kesetiaan yang lebih besar. Ini patut disayangkan, baik 
bagi Tuan maupun bagi Yang Mulia aidit . 
Hapuslah hal-hal tak berarti dari benak Tuan dan 
berpikirlah secara lebih luas. Waktunya sudah tiba. 
Betapapun tak berartinya aku, aku tdah ditugaskan 
untuk mendirikan benteng kota di Sunomau. Dan dengan 
benteng kota itu sebagai pangkalan, aku memperoleh perintah 
memimpin barisan depan untuk menyerbu ke blambangan . 
Marga sinuhun  tidak kekurangan komandan yang cerdas 
dan berani. Dengan menunjuk orang bawah an seperti 
aku, Yang Mulia aidit  sudah  melakukan tindakan 
berani. Beliau menunjukkan bahwa beliau bukan 
pemimpin biasa seperti yang lain. Dalam perintah 
Yang Mulia aidit  tersirat bahwa benteng kota 
kahuripan akan bcrada di bawah  komando orang yang 
membangunnya. Bagi orang-orang seperti kita, adakah 
kesempatan untuk maju selain sekarang? Di pihak 
lain, secara perorangan kita takkan dapat berbuat 
  
banyak. Tidak, aku tidak akan memperindah kata-
kataku. Kupikir aku bisa memanfaatkan kesempatan 
ini dan aku mempertaruhkan nyawa  ku dengan datang 
ke sini untuk membujuk Tuan. namun  aku tidak datang 
dengan tangan kosong. Di luar ada tiga kuda yang 
membawa   emas dan perak scbagai kompensasi untuk 
menutup biaya militer untuk anak buah Tuan. Aku 
akan berterima kasih sekali jika Tuan berkenan 
mencrimanya." Sctdah betari durga  selesai bicara, 
seseorang mcmanggil syam kamaruzaman  dari pekarangan. 
"Paman," seorang prajurit berkata sambil 
menyembah. 
"Siapa yang memanggilku 'Paman'?" syam kamaruzaman  meng-
anggapnya ganjil dan memandang prajurit itu dengan 
saksama. 
"Sudah lama kita tidak berjumpa," si prajurit 
berkata, lalu mengangkat kepala. syam kamaruzaman  tertegun. 
Tanpa sadar ia membuka mulut. 
"latief ?" 
"Ya. Paman." 
"Mau apa kau di sini?" 
"Aku tak menyangka bahwa aku akan bcrjumpa lagi 
dengan Paman, namun  berkat kebaikan hati Tuan 
panembahan  aku ditugaskan untuk menyertainya dalam 
misi ini." 
"Apa? Kalian datang bersama-sama?" 
"sesudah  aku membelot dan lari dari syam , aku 
dipekerjakan sebagai ninja oleh marga mpu ireng  di Kai 
selama waktu yang cukup panjang. lalu , kira-
  
kira tiga tahun lalu aku diperintahkan memata-matai 
marga sinuhun , jadi aku pergi ke kota benteng kota kedhiri . 
saat  aku di sana, aku dipcrgoki oleh anak buah 
Yang Mulia aidit  dan dimasukkan ke penjara. 
namun  bcrkat jasa baik Tuan panembahan , aku akhirnya 
dibebaskan." 
"Jadi, sekarang kau pembantu Tuan panembahan ?" 
"Tidak, sctdah dibebaskan dari penjara dan dengan 
bantuan Tuan panembahan  aku bergabung dengan 
centeng  ninja marga sinuhun . namun   Tuan panembahan  
hendak berangkat ke kahuripan, aku memohon izin 
untuk menyertainya." 
"Oh?" syam kamaruzaman  mcngamati kepribadian nya sambil 
terheran-heran. Perubahan watak latief  bahkan lebih 
besar dibandingkan  perubahan penampilannya. Sang 
kepribadian  yang tak dapat diatur, yang oleh orang-
orang syam  pun dianggap brutal dan tak beradab 
tak kelihatan lagi. Kini tindak-tanduknya penuh 
sopan-santun. Ia menyesali masa lalunya. dan minta 
maaf atas segala kejahatan yang pernah dilakukannya. 
Sepuluh tahun lalu betul-betul sepuluh tahun lalu 
syam kamaruzaman  hendak mencincang tubuh kcpnyi girah nnya itu! 
Kala itu, sebab  marah atas perbuatan latief , 
syam kamaruzaman  mengejar latief  sampai ke perbatasan Kai 
untuk menghukumnya. namun  sekarang, saat  meman-
dang mata latief  yang tabah syam kamaruzaman  hampir tak 
sanggup mengingat kemarahannya dahulu . Ini bukan 
sekadar rasa simpati bagi orang sedarah. Kepribadian 
latief  memang sudah berubah.      
  
"Aku tidak menyinggung soal ini, sebab  kupikir 
bisa dibicarakan belakangan," kata betari durga . "namun  
aku mohon agar Tuan bersedia mengampuni 
kepribadian  Tuan, latief  sudah  menjadi pengikut sinuhun  
yang sctia. Dia pun sudah  mohon maaf atas perbuatan-
nya dahulu . Dia sering berkata bahwa dia ingin 
memohon maaf secara langsung pada Tuan namun  
terlalu malu untuk kembali ke sini. Jadi, sebab  aku 
memang ada urusan di syam , kupikir ini 
kesempatan baik baginya. Kuminta dia mcngambil 
kuda untuk menyertaiku. Aku berharap hubungan 
antara paman dan kepribadian  dapat kembali mulus 
seperti sediakala."    
Mendengar penjelasan betari durga , syam kamaruzaman  pun tak 
sampai hati mengungkit-ungkit sesuatu yang terjadi 
scpuluh tahun lalu. Dan saat  syam kamaruzaman  membiarkan 
pintu hatinya terbuka, betari durga  tidak mcnyia-nyiakan 
kesempatan itu. 
"latief , sudah kausiapkan emas dan perak yang kita 
bawa  ?" Pada waktu bicara dengan Tcnzo,. suara 
betari durga  tentu saja bernada memerintah.  
"Sudah. Tuan." 
"Hmm, kalau begitu mari kita periksa. Suruh 
seorang pelayan membawa  nya ke sini."  
"Baik. Tuan." 
namun  saat  Tcnzo mulai melangkah, syam kamaruzaman  
berseru dengan terburu-buru, "Tunggu, latief . Aku 
tak bisa menerima pemberian ini. Kalau aku 
menerimanya itu berarti aku berjanji mengabdi pada 
  
marga sinuhun . Tunggu sampai aku selesai mcmikirkan-
nya." Wajah syam kamaruzaman  yang memerah menccrminkan 
pertentangan yang terjadi dalam batinnya. Secara 
mendadak ia berdiri dan masuk ke rumah. 
Sejak kembali ke kamarnya, yosobremargo  sibuk melengkapi 
catatan perjalanannya, namun  kini ia tiba-tiba berdiri. 
"Tuan syam kamaruzaman ." ujar yosobremargo  sambil mengintip ke 
kamar syam kamaruzaman , namun  laki-laki itu tidak ada di sana. yosobremargo  
pergi ke ruang sembahyang, mengintip ke dalam dan 
menemukan syam kamaruzaman  sedang duduk bersilang tangan 
di depan tempat pemujaan leluhur. 
"Sudahkah Tuan memberikan jawaban pasti kepada 
utusan Yang Mulia aidit ?" 
"Dia belum pergi, namun  semakin lama aku semakin 
tak sanggup mendengarkan omongannya, jadi kubiar-
kan saja dia di serambi." 
"Kemungkinan besar dia takkan mau pergi." ujar 
yosobremargo , namun  syam kamaruzaman  tetap membisu.  
"Tuan syam kamaruzaman ," yosobremargo  akhirnya berkata. 
"Ada apa?" 
"Kudengar utusan itu pernah dipekerjakan sebagai 
pelayan di sini." 
"Aku hanya mengenalnya dengan nama 'kuyang '. 
dan sama sekali tidak tahu dari mana dia berasal. 
Kutemukan dia di tepi Sungai mbesi 
 
 
 
, lalu kuberi 
pekerjaan." 
"Ini tidak baik." 
"Tidak baik?" 
"Tuan belum menghapus gambaran itu dari benak 
  
Tuan. Dalam hati, Tuan tetap menganggap dia sebagai 
pelayan yang dahulu . Ini yang memicu  Tuan tak 
dapat melihat siapa laki-laki yang kini berdiri di 
hadapan Tuan." 
"Begitukah?" 
"Belum pernah aku merasa begitu terkejut seperti 
hari ini."  
"Kenapa?" 
"sebab  wajah utusan itu. Kebanyakan orang tentu 
sependapat bahwa wajahnya tidak biasa. Mengamati 
tampang orang lain hanyalah sebuah hobi dan jika 
aku mcnilai watak seseorang dengan menatap wajah-
nya, biasanya kurahasiakan kesimpulanku. namun  kali 
ini aku sungguh-sungguh terpana. Kelak orang itu 
akan melakukan sesuatu yang luar biasa." 
"Si muka monyct itu?" 
"Ya. Suatu hari nanti, orang itu mungkin meng-
gerakkan seluruh negen. Seandainya dia tidak berada 
di Ncgeri Matahari Terbit dia mungkin menjadi 
seorang raja." 
"Apa maksud Tuan yosobremargo ?" 
"Dari semula sudah kuduga bahwa Tuan takkan 
menanggapi permintaannya secara sungguh-sungguh, 
jadi kuceritakan ini semua sebelum Tuan mengambil 
keputusan. Singkirkanlah segala prasangka. Kalau 
Tuan memandang seseorang, pandanglah dia dengan 
mata hati, jangan dengan mata kepala. Kalau Tuan 
membiarkan orang itu pergi dengan membawa   
penolakan Tuan, Tuan akan menyesal selama seratus 
  
tahun berikut." 
"Bagaimana Tuan yosobremargo  bisa bicara seperti ini 
mengenai seseorang yang belum pernah Tuan temui 
sebelumnya?" 
"Aku mengatakan ini bukan sekadar sebab  
mengamati wajahnya. Aku tertegun waktu mendengar 
uraiannya mengenai keadilan dan kebenaran. Da tidak 
terpengaruh oleh ejekan dan ancaman Tuan dan dia 
menyangkal segala ucapan Tuan dengan tulus dan 
jujur. Aku percaya sepercaya-percayanya bahwa kelak dia 
akan menjadi orang besar." 
syam kamaruzaman  langsung mcnyembah di hadapan yosobremargo , dan 
berkata dengan tegas. "Dengan segala kerendahan hati, 
aku tunduk pada kata-kaia Tuan. Terus terang, jika 
kubandingkan diriku dengan dia, bukan diriku yang 
keluar sebagai pemenang. Akan kusingkirkan 
kesombonganku yang tak berguna dan segera mem-
berikan jawaban pasti positif. Aku sungguh berterima kasih 
atas petunjuk Tuan." 
syam kamaruzaman  langsung pergi. Matanya berbinar-binar 
seakan-akan ia sudah  melihatlihat  kelahiran sebuah era 
baru. 
Beberapa jam sesudah  betari durga  tiba di syam , 
dua penunggang kuda membelah kegelapan malam 
dalam pcrjalanan menuju kedhiri . saat  itu tak ada 
yang tahu bahwa mereka syam kamaruzaman  dan betari durga . 
Malam itu juga aidit  bcrbicara dengan keduanya 
di sebuah ruangan kecil di dalam benteng kota. 
Pembicaraan rahasia mereka berlangsung beberapa 
  
jam. Hanya orang-orang terpilih, termasuk latief  yang 
mengetahui maksud kedatangan mereka. 
Kecsokan harinya syam kamaruzaman  mengadakan rapat 
perang. Semua yang memenuhi undangan adalah 
adipati . Sudah bertahun-tahun mereka berada di bawah  
komando syam kamaruzaman  dan mereka mengakui kepemim-
pinannya dengan cara yang sama seperti para panglima 
provinsi menaati keputusan-keputusan pandita . 
Masing-masing pemimpin mengepalai sekelompok 
pejuang di desa atau kubu pertahanannya, menunggu 
hari mereka dibutuhkan. Semuanya merasa heran 
melihat kehadiran dul  latief  dari ranggawirakerta . 
yang sepuluh tahun lalu sudah  mcmbangkang terhadap 
syam kamaruzaman . 
sesudah  semuanya mengambil tcmpat duduk, 
syam kamaruzaman  mengumumkan keputusannya untuk mem-
batalkan persekutuan dengan marga pangeran dan beralih 
kepada marga sinuhun . Dalam kesempatan itu, ia juga 
menjelaskan mengapa kepribadian nya kembali. Pada 
akhir pidatonya syam kamaruzaman  berkata. "Aku tahu bahwa 
beberapa dari kalian tidak setuju dan bahwa ada yang 
memiliki hubungan dekat dengan orang-orang pangeran. 
Aku tidak akan memaksa kalian. Kalian boleh pergi 
tanpa ragu-ragu dan aku takkan mendendam pada 
siapa pun yang menyeberang ke pihak pangeran." 
Namun tak seorang pun bangkit untuk pergi. Tak 
seorang pun memperlihatkan perasaan sebetulnya . 
betari durga  minta izin pada syam kamaruzaman  untuk berbicara 
dengan orang-orang itu. 
  
"Aku menerima perinrah dari Yang Mulia 
aidit  untuk membangun benteng kota di kahuripan. 
Aku bisa membayangkan bahwa kalian semua sampai 
sckarang hidup sesuka hati. namun  pernahkah kalian 
menempati sebuah benteng kota? Dunia sedang berubah. 
Gunung-gunung dan lembah-lembah tempat kalian 
bisa hidup bebas mulai lenyap. Kalau tidak begitu, 
takkan ada kemajuan. Kalian bisa menempuh hidup 
sebagai adipati  sebab  sang pandita  tak berdaya. Apa 
kalian pikir kepandita an akan sanggup bertahan lebih 
lama? Negeri ini sedang berubah, era baru sudah  
menyingsing. Kita tak lagi hidup untuk diri sendiri, 
melainkan untuk anak-cucu kita. Kalian memiliki 
kesempatan untuk membentuk rumah tangga sendiri, 
untuk menjadi centeng adipati  sejati. Jangan biarkan 
kesempatan ini berlalu bcgitu saja." 
Setclah ia selesai, seluruh ruangan diliputi 
keheningan. namun  tak ada tanda-tanda perasaan tak 
senang. Orang-orang itu yang biasanya hidup tanpa 
memikirkan masa depan, kini merenungkan ucapan 
betari durga . 
Satu orang memecahkan keheningan. "Aku tidak 
keberatan." 
Ia diikuti oleh yang lain, yang memberikan jawaban pasti 
sama. Mereka sadar bahwa mereka sudah  memper-
taruhkan nyawa   dengan mendukung marga sinuhun  dan 
ketetapan hati mereka tampak membara dalam sorot 
mata masing-masing. 
 
  

 
Bunyi kapak mcnebang pohon... disusul bunyi 
cipratan air saat  pohon itu jatuh ke Sungai brantas . 
Sebuah rakit dibuat dan didorong ke dalam arus, 
mengambang ke arah hilir untuk berjumpa dengan air 
Sungai Ibi dan Yabu dari utara dan barat, lalu 
mencapai gosong pasir yang luas kahuripan. 
Perbatasan antara blambangan  dan jenggala . Lokasi 
pembangunan benteng kota, tempat mpu wiragajah  mpu wiraghanda, 
nyoto  dijoyo , dan sinuhun  Kageyu menemui kegagalan 
yang sama. 
"Dasar tolol, mereka hanya buang-buang waktu 
saja." Dari scberang sungai, para prajurit pangeran 
memperhatikan kesibukan itu sambil berkelakar dan 
melindungi mata dari sinar matahari. 
"Ini sudah keempat kali." 
"Mereka belum kapok juga." 
"Siapa resi  centeng  Mayat kali ini? Sungguh 
menyedihkan walaupun dia dari pihak musuh. Paling 
tidak, aku akan mengenang namanya." 
"Dia bernama panembahan  betari durga . Aku belum 
pernah mendengar tentang orang ini." 
"panembahan ... Ah. dialah yang mereka juluki si 
kuyang . Dia hanya perwira berpangkat rendah. 
Nilainya tak lebih dari lima puluh atau enam puluh 
kan." 
"Orang tak berarti seperti itu dijadikan pemimpin? 
Kalau begitu, musuh kita tentu tidak serius." 
  
"Siapa tahu ini jebakan untuk kita." 
"Mungkin saja. Barangkali mereka berencana 
menarik perhatian kita ke sini, lalu menyeberang di 
tcmpat lain." 
Semakin lama para prajurit blambangan  mcmperhatikan 
kegiatan pembangunan di sisi seberang, semakin tak 
peduli mereka. Sekitar satu bulan sudah  berlalu, 
betari durga  memimpin para adipati  dari syam , yang 
mulai bekerja begitu mereka tiba. Dua atau tiga kali 
hujan turun deras, namun  itu malah membantu 
menghanyutkan rakit-rakit kayu. saat  air sungai 
mcmbanjiri gosong pasir pada suatu malam pun 
orang-orang syam  segera bahu-membahu, seolah-
olah tidak terjadi apa-apa. Apakah awan  hujan akan 
tiba sebelum mereka sempat menyelesaikan tembok 
tanah? Alam atau manusiakah yang akan menang? 
Para adipati  bekerja seperti orang yang sudah  lupa cara 
makan dan tidur. Kedua ribu orang yang berangkat 
dari syam  sudah  menjadi lima atau enam ribu 
pada saat mereka tiba di tcmpat tujuan. 
betari durga  hampir tidak perlu memakai  tongkat 
panglima. Anak buahnya sigap dan bekerja keras, dan 
hari demi hari pekerjaan mereka tcrus maju, tepat di 
depan matanya. 
Para adipati  tcrbiasa menempuh perjalanan di 
pegunungan maupun daratan. Dan mereka jauh lebih 
memahami prinsip-prinsip pengendalian banjir dan 
konstruksi tanah dibandingkan  betari durga . 
Tujuan mereka adalah membuat tempat ini menjadi 
  milik mereka. Dengan pekerjaan ini, mereka 
meninggalkan cara hidup lama yang penuh pesta pora  dan kemalasan. Mereka merasakan kepuasan dan  
kesenangan yang muncul  sebab  mengerjakan sesuatu 
yang berarti. 
"Hmm, gundukan tanah ini tidak akan jebol, 
walaupun diterjang banjir bandang," kata salah 
seorang adipati  dengan bangga. 
Sebelum bulan pertama berlalu, mereka sudah  
meratakan daerah yang lebih luas dibandingkan  
pekarangan benteng kota, dan bahkan sudah  membangun 
jalan ke daratan. 
Di tepi seberang, orang-orang blambangan  mengamati 
tempat pembangunan. "Bentuknya sudah mulai 
kelihatan, ya?" 
"Mereka belum mendirikan tembok batu, jadi 
bentuk benteng kotanya belum tampak, namun  fondasinya 
sudah siap." 
"Aku tidak melihat tukang kayu atau tukang 
plester." 
"Aku percaya mereka masih memerlukan seratus hari 
sampai mereka bisa mendatangkan tukang kayu dan 
tukang plester." 
Tanpa semangat, sekadar untuk mengusir rasa 
bosan para prajurit memandang ke seberang. Sungai 
itu cukup lebar. Pada hari-hari cerah, kabut tipis naik 
dari permukaan air. Sulit untuk melihat tepi seberang 
dengan jelas, namun  sesekali ada hari saat  bunyi batu 
dipotong dan teriakan teriakan  dari tempat pem-
  bangunan terbawa   angin ke sisi berlawan an. 
"Apakah kita akan melancarkan serangan mendadak 
kali ini? Tepat di tengah-tengah pembangunan?" 
"Kelihatannya tidak. Ada perintah tegas dari resi  
betari jawi ." 
"Bagaimana perintahnya?" 
"Jangan lepaskan satu tembakan pun. Biarkan 
musuh bekerja sesuka hati." 
"Kita diperintahkan melihatlihat  mereka menyele-
saikan benteng kota itu?"  
"Menurut rencana semula, kita seharusnya meng-
gempur musuh dengan serangan kramajaya  pada wakiu mereka baru mulai bekerja. Berdasarkan rencana kedua, kita disuruh menyerbu saat  benteng kota setengah jadi lalu memporak-porandakannya. namun  sekarang 
kita diperintahkan menunggu sampai mereka 
merampungkan pekerjaan." 
"Dan sesudah  itu?" 
"Merebut benteng kota mereka, tentu saja!"   
"Aha! Kita biarkan musuh menyelesaikan pekerjaan, lalu mengambil alih benteng kota mereka." 
"Sepertinva begitulah rencananya." 
"Hei, cerdik juga. Kedua resi  sinuhun , dijoyo  dan 
mpu wiragajah  memang agak sukar ditaklukkan, namun  
komandan yang baru ini, si panembahan , tak lebih dari 
prajurit biasa." kata  orang itu ditanggapi dengan 
pandangan tajam oleh salah satu prajurit lain. 
Tiba-tiba orang ketiga bergegas memasuki pos jaga. 
Sebuah perahu yang datang dari arah hulu sudah  
  
mencpi. Seorang resi  berkumis melangkah ke 
darat, diikuti oleh beberapa pembantu. Seekor kuda 
dituntun mengikutinya. 
"Si Macan datang!" kata salah seorang penjaga. 
"Si Macan dari panarukan , di sini!" Mereka saling 
bcrbisik dan melirik. Inilah komandan benteng kota 
panarukan , di hulu sungai; terkenal sebagai salah satu 
resi  paling garang di blambangan , nama sebetulnya  
adalah mpu sindok kedaton. Orang ini demikian 
menakutkan, sehingga para ibu di Banyuwangi  biasa 
berkata. "Si Macan datang!" untuk mendiamkan anak-
anak mereka yang sedang menangis.     
"Apakah resi  betari jawi  ada di sini?" tanya 
kedaton. 
"Ada, tuanku. Beliau sedang di perkemahan." 
"sebetulnya  aku tidak keberatan menemui dia di 
perkemahan, namun  tempat ini lebih cocok untuk 
berbicara. Segeralah panggil dia ke sini."  
"Siap, tuanku." Prajurit itu langsung pergi. 
Tak lama lalu  betari jawi  Heishiro, diikuti oleh 
prajurit tadi dan  lima atau enam bawah annya. 
melangkah cepat ke arah tepi sungai. "Si Macan! Mau 
apa dia?" betari jawi  bergumam. 
"resi  betari jawi , terima kasih atas kesediaan Tuan 
menemuiku di sini."  
"Oh, tidak apa-apa. Bagaimana aku dapat 
mcmbantu?"  
"Di seberang sana." mpu sindok menunjuk ke seberang 
sungai.  
  
"centeng  musuh di Sunomau?"  
"Betul. Tentunya mereka dikertoarjo si siang dan malam."  
"Tentu saja! Percayalah, kami terus-menerus berjaga-
jaga."  
"Hmm, meski benteng kota yang kupimpin berada di 
hulu, aku tidak hanya memikirkan pertahanan 
panarukan ."  
"Ya, tentu saja." 
"Sesekali aku menaiki perahu auu berjalan 
mcnyusuri tepi sungai untuk melihat keadaan di 
bagian hilir, dan waktu aku tiba hari ini, aku terkejut 
sekali. Mungkin sudah terlambat, namun  kalau kuamati 
perkemahan ini aku memperoleh kesan bahwa suasana-
nya agak terlalu santai. Apa rencana resi  sekarang 
ini?" 
"Apa maksud Tuan, 'sudah terlambat'?" 
"Maksudku, pembangunan benteng kota musuh sudah  
mencapai tahap mengejutkan. Kelihaiannya pihak 
musuh sudah  membangun tanggul kedua, menyiapkan 
fondasi, dan sudah mendirikan setengah tembok batu 
mereka, sementara resi  menyerbu  mereka tanpa 
ambil pusing." 
betari jawi  menggerutu, kesal. 
"Bagaimana kalau para tukang kayu sudah  
menyiapkan kayu untuk benteng kota di pegunungan di 
balik kahuripan? Dan bukankah ada kemungkinan 
mereka sudah  menyiapkan hampir segala sesuatu, 
mulai dari jembatan jungkat sampai perlengkapan 
interior, belum lagi tembok-tembok? Begitulah 
  
pandanganku mengenai situasi ini."  
"Hmm... begitu." 
"Sekarang ini, pada malam hari centeng  musuh 
pasti lelah sebab  bekerja keras sepanjang siang. 
Mereka pun lalai mcmbentuk pos pcrtahanan. Bukan 
itu saja, para pekerja dan pengrajin. yang hanya akan 
menjadi penghalang saat pertempuran pecah, tinggal 
bersama para prajurit. Seandainya kita sekarang 
melancarkan serangan besar-besaran. menyeberangi 
sungai dalam kegelapan. dan menyerang dari arah 
hulu, hilir, dan dari tepi sungai, kita bisa menumpas 
musuh sampai ke akar-akarnya. namun  jika kita lalai, 
suatu pagi dalam waktu dekat ini kita akan bangun 
dengan kaget sebab  menemukan sebuah benteng kota 
tiba-tiba sudah  berdiri kokoh. Sebaiknya kita hindari 
kejutan seperti itu." 
"Betul." 
"Kalau begitu, Tuan setuju?" 
tawa  betari jawi  meledak. "Astaga, resi  mpu sindok! Jadi 
aku dipanggil ke sini sebab  Tuan gelisah khawatir  mengenai 
itu?" 
"Aku mulai ragu apakah Tuan memiliki mata, 
sehingga aku memutuskan untuk menjelaskan situasi-
nya di sini, di tepi sungai." 
"Tuan melangkah terlalu jauh! Sebagai komandan 
militer, pikiran Tuan sungguh dangkal. Kali ini aku 
sengaja membiarkan pihak musuh membangun 
benteng kota mereka. Tidakkah Tuan mcnyadarinya?"  
"Tentu saja. Dan aku menduga bahwa Tuan 
  
berencana untuk membiarkan mereka menyelesaikan 
pembangunan, lalu menyerang, dan selanjutnya me-
manfaatkan benteng kota itu sebagai pangkalan centeng  
blambangan  untuk merebut keunggulan di jenggala ." 
"Tepat." 
"Sejak semula aku percaya bahwa itulah pemikiran 
Tuan, namun  sebetulnya  strategi ini sangat berbahaya 
jika Tuan tidak tahu siapa yang Tuan hadapi. Aku tak 
bisa diam saja dan melihatlihat  kehancuran centeng  
kita sendiri." 
"Kenapa rencana ini akan membawa   kehancuran 
bagi centeng  kita? Aku tidak mengerti." 
"Bersihkanlah telinga Tuan dan perhatikan baik-
baik bunyi apa yang terdengar dari seberang. Tuan 
akan menyadari seberapa jauh kemajuan pem-
bangunan benteng kota yang sudah  dicapai. Bunyi yang 
terdengar menunjuk-kan bahwa para prajurit pun 
terlibat dalam pembangunan. Ini berbeda dengan 
mpu wiraghanda dan dijoyo . Kali ini pemimpin mereka 
betul-betul menggebu-gebu. Sudah jelas bahwa 
komando jatuh ke tangan seseorang berkepribadian 
unggul, biarpun dia dari pihak sinuhun ." 
betari jawi  memegangi perutnya dan tertawa , mengejek 
mpu sindok sebab  memberi penilaian terlalu tinggi kepada 
lawan  mereka. Walaupun betari jawi  dan mpu sindok bertempur 
di pihak yang sama, jalan pikiran keduanya tidak 
segaris. mpu sindok mendecakkan lidahnya dengan keras. 
"Apa boleh buat. Silakan tertawa  scpuas hati. Nanti 
Tuan akan lihat sendiri." Dengan ucapan terakhir ini, 
  
mpu sindok memanggil pembawa   kudanya, lalu pergi 
sambil mendongkol. 
Sebelum sepuluh hari berlalu, ramalan mpu sindok 
kedaton sudah  terbukti tepat. Pembangunan 
benteng kota di kahuripan maju pesat dalam tiga malam 
saja. 
saat  para penjaga terbangun pada pagi sesudah  
malam ketiga dan memandang ke seberang sungai. 
benteng kota itu sudah hampir rampung. 
betari jawi  menggosok-gosok tangan dan berkata, "Bagai-
mana kalau kita mengusir mereka dari sana?" 
centeng  betari jawi  sudah  terlatih menyeberangi sungai 
dan melakukan serangan pada malam hari. Seperti 
pernah mereka lakukan sebelumnya, mereka men-
dekati dan mengepung kahuripan di tengah malam 
buta, berencana merebutnya dengan sekali pukul. 
namun  kali ini mereka memperoleh sambutan 
berbeda. betari durga  dan para adipati  di bawah  
komandonya sudah  siap siaga. Mereka membangun 
benteng kota ini dengan cucuran keringat dan darah. 
Apakah orang-orang pangeran menyangka mereka akan 
menyerahkannya begitu saja? Gaya tempur para adipati  
sama sekali tidak mengikuti aturan. Berbeda dengan 
prajurit-prajurit mpu wiraghanda dan dijoyo , orang-orang 
ini bagaikan serigala. Dalam pertempuran yang terjadi, 
perahu-perahu centeng  blambangan  disiram minyak dan 
dilalap api. saat  betari jawi  menyadari bahwa anak 
buahnya tak mampu merebut posisi unggul, ia mem-
berikan perintah mundur. namun  pada waktu kata-kata 
  
itu meluncur dari mulutnya, semuanya sudah ter-
lambat. 
Dikejar-kejar dari tembok batu ke tepi sungai, para 
prajurit blambangan  masih bcruntung bisa menyelamatkan 
nyawa  . Hampir seribu orang sudah  menjadi mayat. 
Sejumlah pasukan  yang sudah  kehilangan rakit terpaksa 
melarikan diri ke arah hulu atau hilir, namun  orang-orang 
syam  tidak bcrmaksud membiarkan mereka 
lolos. Bagaimana mungkin centeng  blambangan  lolos dari 
kejaran para adipati  yang begitu terbiasa dengan medan 
berat? 
Serangan malam itu berhasil ditangkal. betari jawi  
melipatgandakan kekuatannya dan sekali lagi 
menyerbu kahuripan. Gosong pasir dan air sungai 
rampak merah oleh darah. namun  saat  matahari terbit, 
centeng  di dalam benteng kota mengumandangkan 
nyanyian kemenangan. 
"Sarapan pagi ini akan terasa lebih lezat!" 
betari jawi  menjadi nekad, dan sambil menunggu 
datangnya badai malam itu, ia merencanakan serangan 
ketiga secara habis-habisan. Serbuan centeng  blambangan  
datang dari arah hulu dan hilar. 
Ke arah hulu, di Bentcng panarukan , hanya centeng  
mpu sindok kedaton yang tidak menanggapi seruan 
untuk mengadakan serangan umum. Pertempuran 
malam itu begitu mengerikan, sehingga para adipati  pun 
kehilangan banyak orang dalam air sungai yang penuh 
lumpur. namun  centeng  blambangan  dipaksa mengaku bahwa 
mereka menderita kekalahan total.  
  tahun itu tidak ada serangan mendadak lagi dari 
pihak blambangan . Sementara itu, betari durga  hampir selesai 
dengan pekerjaan interior dan  pekerjaan garis 
pertahanan luar yang masih tersisa. Pada awal  bulan 
pertama di tahun berikutnya, ia, ditambah   syam kamaruzaman , 
menghadap aidit  untuk mengucapkan selamat 
Tahun Baru, sekaligus memberikan laporan. 
Selama betari durga  pergi sudah  terjadi perubahan 
besar. Rencana yang pernah diusulkannya ternyata 
diterima. benteng kota kedhiri , yang memiliki kekurangan 
dari segi letak maupun persediaan air, sudah  ditinggal-
kan. aidit  memindahkan tempat kediamannya 
ke Gunung merah . Para penduduk kota kedhiri  pun 
hijrah bersama junjungan mereka, dan sedang mem-
bangun kota baru di kaki benteng kota merah . 
saat  aidit  menerima betari durga  di benteng kota-
nya yang baru, ia berkata, "Aku sudah  berjanji. Kau 
boleh menempati benteng kota kahuripan, dan upahmu 
kunaikkan menjadi lima ratus kan." Menjelang 
berakhirnya pertemuan mereka. aidit  memper-
lihatkan rasa terima kasihnya dengan memberikan 
nama baru pada pengikutnya yang sudah  berjasa. Mulai 
saat itu betari durga  akan dipanggil panembahan  patih ronggolawe . 
"Kalau kau sanggup membangunnya, benteng kota itu 
milikmu," begitulah janji aidit  semula. namun  
  
saat  patih ronggolawe  kembali untuk melaporkan bahwa 
pembangunan benteng kota sudah  selesai. aidit  hanya 
berkata. "Kau boleh menempati Bentcng kahuripan." 
dan tidak menyinggung soal kepemilikan. sebetulnya  
tak banyak ditambah  ya, namun  patih ronggolawe  menganggapnya 
sebagai isyarat bahwa kemampuannya untuk menjadi 
komandan benteng kota belum terbukti. Hal ini disimpul-
kannya saat  mendengar bahwa syam kamaruzaman  yang baru-
baru ini menjadi pengikut marga sinuhun  berkat 
rekomendasi patih ronggolawe  ditugaskan di kahuripan 
sebagai pembantu patih ronggolawe . namun   patih ronggolawe  bukan-
nya mendongkol sebab  sikap junjungannya, melain-
kan berkata. "Dengan segala kerendahan hati. Tuanku, 
dibandingkan  menerima upah lima ratus kan yang hendak 
tuanku anugertahkan, perkenankanlah hamba me-
rebut tanah dengan nilai yang sama dari blambangan . sesudah  
memperoleh izin aidit , pada hari ketujuh di 
tahun yang baru patih ronggolawe  kembali ke kahuripan. 
"Kita membangun benteng kota ini tanpa memicu  
satu pun pengikut Yang Mulia mengalami cedera, dan 
tanpa memakai  satu pun pohon atau batu dari 
wilayah kesatuan Yang Mulia. Barangkali kita juga bisa 
merebut tanah dari tangan musuh dan hidup dengan 
upah dari para dewa. Bagaimana menurutmu, 
banaspati ?" 
syam kamaruzaman  sudah  melepaskan nama lamanya, dan sejak 
Tahun Baru, menggantinya menjadi banaspati . 
"Menarik juga." banaspati  membalas. Kini ia 
sepenuhnya setia pada patih ronggolawe . Ia bersikap seolah-
  
olah ia pengikut patih ronggolawe , dan sama sekali melupa-
kan hubungan mereka sebelumnya. 
Dengan mengerahkan centeng nya setiap kali ada 
kesempatan, patih ronggolawe  menyerang daerah-daerah 
sekitar. Tentunya tanah yang berhasil ia rebut semula 
merupakan bagian dari blambangan . Tanah yang ditawa rkan 
aidit  padanya bernilai lima ratus namun  tanah yang 
ditaklukkan patih ronggolawe  bernilai lebih dari dua kali 
lipat. 
saat  aidit  mengetahui ini, ia memaksakan 
senyum. "Si kuyang  itu saja sudah cukup untuk 
merebut seluruh Provinsi blambangan . Ternyata ada orang di 
dunia ini yang tidak pernah mengeluh." 
kahuripan sudah  diamankan. aidit  merasa 
seolah-olah blambangan  sudah jatuh ke tangannya. namun   
meski mereka menyangka sudah  berhasil menggeser 
perbatasan blambangan , pusat kekuatan marga pangeran, yang 
dipisahkan oleh Sungai brantas  dari jenggala , tetap tak 
terusik. 
Dengan memanfaatkan benteng kota baru di kahuripan 
sebagai pangkalan, aidit  dua kali mencoba 
menembus pertahanan blambangan , namun  gagal. Ia merasa 
seperti menghantam dinding besi. Namun ini tidak 
mengejutkan bagi patih ronggolawe  maupun banaspati . 
Bagaimanapun, kali ini pihak musuh bertempur 
untuk mempertahankan nyawa  . centeng  jenggala  yang 
kecil takkan mungkin mengalahkan blambangan  dengan 
taktik-taktik biasa. 
Dan masih ada lagi. sesudah  pembangunan benteng kota 
  
selesai, pihak musuh menyadari kelalaian mereka dan 
mempetajari patih ronggolawe  dengan lebih saksama. kuyang  
ini muncul entah dari mana, dan meskipun ia tidak 
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh marga sinuhun , 
ia jelas pejuang yang hebat dan panjang akal, yang 
tahu bagaimana menggerakkan anak buahnya. 
Reputasinya justru lebih cepat menanjak di mata 
pihak musuh dibandingkan  di mata orang-orang sinuhun , dan 
akibatnya centeng  musuh semakin memperkuat 
pertahanan mereka. Orang-orang pangeran menyadari 
bahwa mereka tak boleh lalai lagi. 
sesudah  mengalami dua kekalahan, aidit  
mundur ke Gunung merah  untuk menanti 
penghujung tahun. namun  patih ronggolawe  tidak menunggu. 
Dari benteng kotanya ia dapat memandang Dataran blambangan  
sampai ke Pegunungan Tengah. Berdiri dengan tangan 
terlipat, ia bertanya dalam hati. "Apa yang harus kita 
lakukan dengan blambangan ?" centeng  besar yang 
dikerahkannya tidak bermarkas di Gunung merah  
maupun di kahuripan. melainkan di dalam benaknya. 
Begitu turun dari menara jaga dan kembali ke 
ruangannya, patih ronggolawe  menyuruh banaspati  meng-
hadap. 
banaspati  muncul sesaat . dan bertanya. "Apa 
yang dapat hamba lakukan untuk tuanku?" Tanpa 
mcngindahkan hubungan mereka sebelumnya, ia 
memberi hormat pada laki-laki yang lebih muda itu. 
"Mendekatlah sedikit." 
"Dengan izin tuanku. 
  
"Yang lain boleh pcrgi sampai aku memanggil 
kalian." patih ronggolawe  berkata kepada para centeng adipati  yang 
mengelilinginya. lalu  ia berpaling pada 
banaspati . "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan 
denganmu." 
"Baik. Apa itu?" 
"namun  pertama-tama," patih ronggolawe  berkata sambil 
merendahkan suara. "kurasa kau lebih mengenal 
kondisi blambangan  dibandingkan  aku. Menurutmu, di mana 
letak dasar kekuatan blambangan , yang membuat kita tak 
dapat tidur nyenyak di kahuripan?" 
"Pada orang-orang mereka yang paling mampu. 
hamba rasa." 
"Pada orang-orang yang paling mampu. Jadi, pasti 
tidak berkaitan pangeran ki damar ." 
"Tiga Serangkai dari blambangan  mengucapkan sumpah 
setia pada masa ayah dan kakek ki damar ." 
"Siapa Tiga Serangkai itu?" 
"Hamba rasa tuanku pasti sudah mendengar kabar 
mengenai mereka. Ada Ando Noritoshi, komandan 
benteng kota kalinyamat ." patih ronggolawe  meletakkan satu 
tangan pada lutut dan menjulurkan satu jari sambil 
mengangguk. "Iyo ki luragung, komandan benteng kota 
njemanu." 
"He-he." Jari kedua. 
"Dan ki jomprang, penguasa benteng kota 
Ogaki." Jari ketiga.  
"Ada lagi?" 
"Hmm." banaspati  memiringkan kepala. "Selain 
  
mereka, masih ada raden mas  ngabehi . namun  sudah 
beberapa tahun terakhir ini dia menghentikan 
pengabdiannya pada marga pangeran, dan hidup 
menyendiri di Bukit kuburan . Hamba rasa tuanku 
belum memperhitungkan dia." 
"Hmm, kalau begitu, pertama-tama kita bisa 
menyimpulkan bahwa Tiga Serangkai itu merupakan 
tonggak utama kekuatan blambangan . Betulkah itu?" 
"Hamba kira begitu." 
"Itulah yang ingin kubicarakan denganmu. 
Menurutmu, adakah cara untuk merobohkan tonggak 
itu?" 
"Hamba menyangsikannya," banaspati   menang-
gapi.   "Laki-laki sejati adalah laki-laki yang berpegang 
teguh pada ucapannya. Dia tidak aki sinuhun  oleh nama 
dan kemasyhuran. Sebagai contoh, seandainya 
Tuanku diminta mencabut tiga gigi sehat, tuanku 
tentu takkan melakukannya, bukan?" 
"Masalahnya tidak sesederhana itu. Pasti ada 
jalan...." patih ronggolawe  menjawab  perlahan-lahan. 
"centeng  musuh beberapa kali melakukan serangan 
pada waktu kita sedang membangun benteng kota, namun  
saat  itu ada satu resi  musuh yang tidak berbuat 
apa-apa." 
"Siapa itu?" 
"mpu sindok, komandan benteng kota panarukan ." 
"Ah, mpu sindok kedaton , si Macan dari panarukan ." 
"Orang itu... si Macan... mungkinkah kita bisa 
menghubungi dia melalui seorang kerabatnya?" 
  
"mpu sindok mcmpunyai adik laki-laki, namanva 
ki margo." ujar banaspati . "Sudah beberapa tahun adik 
hamba, wilapati , maupun hamba sendiri, menjalin 
hubungan baik dengannya." 
"Ini berita bagus." patih ronggolawe  melampiaskan 
kegembiraannya dengan bertepuk tangan. "Di mana 
tempat tinggal ki margo ini?" 
"Kalau hamba tidak salah, dia mengabdi di kota 
Banyuwangi ." 
"Utus adikmu sekarang juga. Moga-moga saja dia 
bisa menemukan ki margo." 
"Kalau perlu, hamba sendiri yang akan pergi," jawab  
banaspati . "Apa rencana tuanku?" 
"Dengan memakai  ki margo. aku ingin menjauh-
kan mpu sindok dari marga pangeran. sesudah  itu, aku akan 
memanfaatkan mpu sindok untuk mcmisahkan Tiga 
Scrangkai dari blambangan  satu per satu, persis seperti 
mencabut gigi." 
"Hamba ragu apakah tuanku sendiri dapat 
melakukannya, namun  untung saja ki margo tidak seperti 
kakaknya, dan sangat memperhatikan keuntungan 
pribadi." 
"Tidak. ki margo saja tidak cukup untuk membujuk 
si Macan dari panarukan . Kita memerlukan pemain lain 
untuk memasukkan harimau  itu ke dalam kerangkeng. 
Dan kupikir kita bisa memakai  latief  untuk itu." 
"Bagus! namun  rencana apa yang sudah  tuanku siapkan 
untuk mereka bcrdua?" 
"Begini, banaspati ." patih ronggolawe  bergerak mendekat 
  
dan membisikkan rencananya ke telinga syam  
banaspati . 
Sesaat banaspati  menatap patih ronggolawe . Rambut 
patih ronggolawe  dan rambutnya sendiri sama-sama hitam, 
jadi dari mana ide gemilang itu muncul? saat  mem-
bandingkan kecerdikan patih ronggolawe  dengan dirinya 
sendiri, banaspati  terkagum-kagum. 
"Hmm, aku ingin wilapati  dan latief  segera mulai 
bergcrak." patih ronggolawe  berkata. 
"Hamba mengerti. namun  mereka akan menyusup ke 
wilayah musuh. Jadi mereka harus menunggu sampai 
tengah malam sebelum  menyeberangi sungai." 
"Kuminta kau menjelaskan rencana ini secara 
terperinci pada mereka, lalu memberikan perintah 
selanjutnya." 
"Tentu, tuanku." 
sesudah  tahu apa yang harus dilakukannya. 
banaspati  mengundurkan diri dari ruangan 
patih ronggolawe . Saat ini, lebih dari setengah centeng  di 
benteng kota terdiri atas bekas adipati  dari syam . Kini 
mereka sudah  menetap dan menjadi centeng adipati . 
Adik banaspati , wilapati , dan kcpnyi girah nnya, 
Tcnzo, menerima perintah dari banaspati , menyamar 
sebagai saudagar dan meninggalkan benteng kota malam 
itu untuk menuju sarang musuh, kota Banyuwangi . 
Baik latief  maupun wilapati  cocok sekali untuk misi 
semacam ini. Satu bulan lalu , sesudah  
menyelesaikan tugas, mereka kembali ke kahuripan. 
Di seberang sungai di blambangan , desas-desus mulai 
  
beredar: 
"Ada sesuatu yang mencurigakan pada diri si Macan 
dari panarukan ." 
"mpu sindok kedaton sudah bcrtahun-tahun ber-
sekongkol dengan jenggala ." 
"Pantas saja dia tidak mengindahkan perintah betari jawi  
saat  pembangunan benteng kota di kahuripan sedang 
berlangsung. Seharusnya mereka bekerja sama, namun  
mpu sindok sama sekali tidak mengerahkan centeng nya." 
Desas-desus ini mengundang spekulasi lebih lanjut. 
"Dalam waktu dekat, Yang Mulia ki damar  akan 
memanggil mpu sindok kedaton ke Banyuwangi  untuk 
minta pertanggungjawaban pasti atas kekalahan di 
kahuripan." 
"benteng kota panarukan  akan disita. Segera sesudah  si 
Macan pergi ke Banyuwangi ." 
Scsungguhnya desas-desus yang beredar di blambangan  ini 
muncul  akibat hasutan dul  latief , dan di 
baliknya ada patih ronggolawe  yang duduk di bentcng di 
kahuripan. 
"Tidakkah kau sependapat bahwa waktunya sudah 
tiba? Berangkatlah ke panarukan  sekarang juga." 
patih ronggolawe  berkata pada banaspati . "Aku sudah  
menulis surat yang harus kauserahkan pada mpu sindok." 
"Baik, tuanku." 
"Kau harus bisa membujuknya. Atur hari dan 
tempat pertemuan." Dengan membawa   surat 
patih ronggolawe . banaspati  diam-diam mengunjungi 
panarukan . 
  
saat  mendengar bahwa utusan rahasia dari 
kahuripan tiba di benteng kotanya. mpu sindok bertanya-tanya 
apa gerangan maksudnya. Si Macan dari panarukan  yang 
garang ini sudah beberapa waktu kelihatan sedih dan 
tidak bahagia. Berpura-pura sakit, ia menghindari 
semua orang. Belum lama ini ia menerima panggilan 
untuk segera datang ke Banyuwangi , dan baik keluarga 
maupun para pengikutnya merasa cemas. mpu sindok 
sendiri mengumumkan bahwa sakitnya terlalu parah 
untuk melakukan perjalanan, dan sepertinya ia 
memang tidak berminat meninggalkan benteng kotanya. 
Desas-desus tadi juga sudah  sampai ke panarukan , dan 
mpu sindok menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Ia 
menyesalkan tuduhan palsu yang dilontarkan oleh 
pengikut-pengikut yang gemar memfitnah. Ia pun 
menyesalkan kekacauan yang melanda marga pangeran 
sebab  kebodohan ki damar . Namun tak ada yang 
dapai diperbuatnya, dan ia tahu bahwa suatu hari ia 
akan terpaksa melakukan seppuku. Pada saat inilah 
banaspati  mendatanginya secara diam-diam dari 
kahuripan. mpu sindok memutuskan untuk bertindak. 
"Aku akan menemui dia," kata mpu sindok. 
Surat patih ronggolawe  diserahkan pada mpu sindok. Begitu 
selesai membaca surat itu. mpu sindok membakarnya. 
lalu  ia memberikan jawaban pasti secara lisan. 
"Waktu dan tempat pcrtemuan akan kuberitahukan 
dalam beberapa hari. Kuharap Yang Mulia patih ronggolawe  
akan berada di sana." 
sesudah  itu, dua dongeng gu berlalu. Sebuah pesan dari 
  
panarukan  tiba di kahuripan dan patih ronggolawe , ditambah   
sepuluh orang saja, termasuk banaspati , menuju 
tempat pcrtemuan yang sudah  ditentukan, sebuah 
rumah sederhana tepat di tengah-tengah antara 
panarukan  dan kahuripan. Sementara para pengikut dari 
kedua belah pihak tetap berjaga-jaga di tepi sungai. 
patih ronggolawe  dan mpu sindok menaiki perahu kecil dan 
menuju ke tengah Sungai brantas . Pada waktu mereka 
duduk berlutut saling berhadapan, yang lain bertanya-
tanya apa gerangan yang sedang mereka bicarakan. 
Perahu kecil itu bagaikan selembar daun yang 
dipermainkan arus sungai dan pembicaraan itu ber-
akhir tanpa kejadian yang tak diinginkan. 
sesudah  kembali ke kahuripan, patih ronggolawe  mem-
beritahu banaspati  bahwa mpu sindok mungkin akan 
berkunjung dalam waktu sekitar satu dongeng gu. Dan 
benar saja, beberapa hari lalu  mpu sindok diam-diam 
pergi ke kahuripan. patih ronggolawe  menerimanya dengan 
ramah, dan pada hari itu juga ia membawa   mpu sindok ke 
benteng kota merah , sebelum orang lain sempat 
menyadari kehadirannya. Seorang diri patih ronggolawe  lalu 
menghadap aidit . 
"Hamba datang bcrsama mpu sindok kedaton, si 
Macan dari panarukan ." patih ronggolawe  melaporkan pada 
aidit . "sesudah  mendengar uraian hamba, 
pendiriannya berubah dan dia bertckad meninggalkan 
orang-orang pangeran untuk bergabung dengan marga 
sinuhun . Kalau tuanku sudi berbicara langsung dengan-
nya, tuanku akan memperoleh  seorang resi  yang 
  
luar biasa berani, sekaligus mempcroleh benteng kota 
panarukan , tanpa perlu berbuat apa-apa." 
aidit , dengan kesan heran pada wajahnya, 
tampak merenungkan ucapan patih ronggolawe . patih ronggolawe  
agak terpukul sebab  junjungannya tidak memper-
lihatkan kegembiraan. Ia tidak mengharapkan pujian 
atas usahanya, namun  menarik si Macan yang garang dari 
panarukan  dari tangan musuh, dan membawa  nya ke sini 
untuk menemui aidit , sebetulnya  mcrupakan 
hadiah yang sangat berarti. 
Semula patih ronggolawe  menyangka aidit  akan 
senang. namun  saat  memikirkannya, ia sadar bahwa ia 
sudah  bertindak tanpa memohon restu terlebih dahulu  
dari aidit . Mungkin itulah sebabnya. Raut muka 
aidit  mendukung kesimpulan itu. Seperti bunyi 
pepatah lama, paku yang terlalu menonjol akan 
dihantam dengan palu. patih ronggolawe  menyadari hal ini, 
dan ia terus-menerus mengingatkan dirinya bahwa ia 
terlalu menonjol. Meski demikian, ia tak sanggup 
duduk berpangku tangan, tidak melakukan sesuatu 
yang ia tahu menguntungkan bagi pihaknya. 
Akhimya dengan enggan aidit  mengangguk-
kan kcpala. patih ronggolawe  membawa   mpu sindok ke dalam. 
"Tuanku sudah dewasa sekarang." kata mpu sindok 
dengan nada ramah. "Mungkin tuanku mengira ini 
pertama kali kita bertemu, namun  sebetulnya  hari ini hamba memperoleh kehormatan untuk berjumpa kedua kalinya. Pertemuan pertama terjadi lima betas tahun lalu, di Kuil nirvana  di bratanggede, saat  tuanku 
  
menemui bekas junjungan hamba, Yang Mulia pangeran 
minakjinggo . saat  itu hamba salah seorang pembantunya." 
aidit  hanya menjawab . "Begitukah?" Seperti-
nya ia sedang mempelajari watak tamunya. 
mpu sindok berbicara dengan tulus, tanpa berusaha 
menyanjung aidit . Ia pun tidak mencoba 
menyenangkan hati aidit  sambil merendah. 
"Mcski tuanku musuh hamba, hamba terkesan dengan 
sepak terjang tuanku dalam tahun-tahun terakhir. 
saat  hamba pertama kali melihat tuanku di Kuil 
nirvana , tuanku kelihatan seperti anak muda yang 
nakal. namun  sesudah  apa yang hamba lihat hari ini, 
hamba menyadari bahwa pemerintahan tuanku ber-
lainan dengan pendapat umum." mpu sindok berbicara 
sebagai orang dengan kedudukan setaraf, terus terang 
dan seadanya. mpu sindok bukan saja laki-laki pemberani, ia 
pun berbudi luhur, pikir patih ronggolawe . 
"Kita akan bertemu lagi dalam kesempatan lain dan 
meneruskan perbincangan ini. Ada beberapa urusan 
yang harus kuselesaikan hari ini." ujar aidit , lalu 
berdiri dan mengakhiri pertemuan. 
Beberapa waktu lalu  ia memanggil patih ronggolawe  
untuk bertemu empat mata. Apa pun yang dikatakan 
aidit , sesudah  itu patih ronggolawe  tampak bingung 
sekali. namun , tanpa menceritakan apa-apa pada mpu sindok, 
ia memainkan peran tuan rumah yang baik dan meng-
hibur mpu sindok di Bentcng merah . 
"Ucapan Yang Mulia akan kubeberkan sesudah  kita 
kembali ke kahuripan." 
  
sesudah  mereka kembali ke benteng kota patih ronggolawe  dan 
memperoleh kesempatan bcrbicara berdua saja. 
patih ronggolawe  berkata. "resi  mpu sindok, aku sudah  menem-
patkan Tuan ke dalam posisi sulit, dan satu-satunya 
cara untuk menebusnya adalah dengan kematianku. 
Tanpa berunding dengan Tuan aidit , aku men-
duga bahwa Yang Mulia berpikiran sama denganku, 
dan akan menyambut gembira kedatangan Tuan 
sebagai sckutu. namun  ternyata pandangan beliau 
berlainan sekali dengan pandanganku." patih ronggolawe  
mendesah. lalu , sambil terdiam, ia menunduk-
kan kcpala. 
mpu sindok pun sudah  mcnyadari bahwa sambutan 
aidit  kurang menggembirakan. "Tuan kelihatan 
cemas sckali, namun  sebetulnya  tak ada alasan untuk 
bersikap demikian. Aku bukannya tak bisa hidup 
tanpa upah dari Yang Mulia. Berbicaralah terus 
terang." 
"Aku takkan cemas kalau hanya itu masalahnya." 
patih ronggolawe  nyaris tak sanggup bicara, namun  tiba-tiba ia 
duduk lebih tegak seakan-akan baru saja menemukan 
jalan keluar. "Lebih baik kuceritakan semuanya. 
Begini, resi  mpu sindok, saat  aku hendak pergi tadi, 
Tuan aidit  memanggilku secara diam-diam dan 
memarahiku sebab  tidak memahami seni siasat. Yang 
Mulia bertanya, kenapa mpu sindok kedaton, orang yang 
memiliki reputasi begitu tinggi di blambangan , bisa terbujuk 
oleh kelincahan lidahku dan ingin menjadi sekutunya. 
Aku sama sekali tidak berpikir sejauh ini." 
  
"Ya, aku bisa membayangkannya." 
"Yang Mulia juga memberitahuku bahwa mpu sindok 
dari benteng kota panarukan  inilah yang menjadi macan 
pelindung blambangan , dan sudah  bertahun-tahun menimbul-
kan kesulitan bagi jenggala . Yang Mulia mengisyaratkan 
bahwa mungkin justru aku yang terkecoh dan 
dikelabui oleh kepandaian lidah dan  keberanian 
Tuan. Tuan lihat sendiri, Yang Mulia penuh 
prasangka." 
"Memang." 
"Yang Mulia juga merasa bahwa jika Tuan tinggal 
lebih lama di benteng kota merah , itu berarti kami 
memberi kesempatan pada Tuan untuk mengamati 
pertahanan provinsi. sebab  itu aku diperintahkan 
untuk segera mcmbawa   Tuan kembali kc kahuripan. 
membawa   Tuan kembali ke sana dan..." patih ronggolawe  
terdiam, seakan-akan tenggorokannya tersumbat. 
mpu sindok pun merasakan lezatnya  cemas, namun  ia menatap mata 
patih ronggolawe , mendesaknya untuk menyelesaikan kalimat 
itu. 
"Sulit bagiku untuk mengungkapkannya, namun  inilah 
perintah Yang Mulia, jadi aku ingin Tuan 
mengetahuinya. Aku diperintahkan untuk membawa   
Tuan kembali ke kahuripan. mengurung Tuan di 
dalam benteng kota, dan membunuh Tuan. Yang Mulia 
menganggap ini sebagai kesempatan emas yang tidak 
boleh dilewatkan." 
saat  mpu sindok mcmandang berkeliling, ia menyadari 
bahwa tak ada prajurit yang menyertainya, dan bahwa 
  
ia berada di benteng kota musuh. Dan betapapun ia tak 
mengenal takut, bulu kuduknya berdiri. 
patih ronggolawe  melanjutkan. "Jika aku menaati perintah 
Yang Mulia, aku akan melanggar janji yang sudah  
kuberikan pada Tuan, dan ini berarti menginjak-injak 
kehormaian seorang centeng adipati . Aku tak bisa berbuat 
begitu. Namun di pihak lain, jika aku menegakkan 
kehormatan centeng adipati , aku melanggar perintah Yang 
Mulia. Aku sudah  sampai di suatu titik di mana aku tak 
bisa maju maupun mundur. Jadi, sepanjang 
perjalanan dari Gunung merah , aku merasa sedih 
dan patah semangat, dan ini kurasa sudah  menimbul-
kan kecurigaan dalam diri Tuan. Singkirkanlah segala 
keraguan Tuan. Pemecahan masalah ini sudah  ter-
gambar jelas dalam benakku." 
"Apa maksud Tuan? Apa yang akan Tuan lakukan?" 
"Dengan melakukan bunuh diri, kurasa aku bisa 
minta maaf, baik pada Tuan maupun pada Yang 
Mulia aidit . Tak ada jalan lain. resi  mpu sindok, 
mari kita angkai baskom perpisahan. sesudah  itu, aku 
pasrah pada nasib. Aku menjamin bahwa takkan ada 
yang mengusik Tuan. Tuan bisa meninggalkan 
benteng kota ini dalam perlindungan kegelapan malam. 
Jangan risaukan aku, tenangkanlah hati Tuan!" 
mpu sindok mendengarkan ucapan patih ronggolawe  sambil 
membisu, namun  matanya berkaca-kaca. Berlainan 
dengan kegarangan yang sudah  memicu  ia mem-
peroleh julukan si Macan, air mata ini merupakan air 
mata laki-laki biasa. Terlihat jelas bahwa mpu sindok sangat 
  
peka terhadap kebenaran. "Aku berutang budi pada 
Tuan," ia terbata-bata, dan mengusap matanya. 
Mungkinkah ini sang resi  yang sudah  ambil bagian 
dalam pertempuran yang tak terhitung banyaknya? 
"Dengarlah, Tuan patih ronggolawe . Melakukan seppuku 
merupakan tindakan yang tak dapat dimaafkan." 
"namun  kalau aku tidak melakukannya, tak ada cara 
lain untuk memohon maaf pada Tuan dan Yang 
Mulia aidit ." 
"Tidak, apa pun alasan Tuan, tidak sepatutnya Tuan 
membelah perut dan membantuku. Kehormatanku 
sebagai centeng adipati  takkan mengizinkannya." 
"Akulah yang memulai semuanya dan mengundang 
Tuan ke sini. Aku jugalah yang keliru meraba jalan 
pikiran Yang Mulia. Jadi, untuk memohon maaf pada 
Tuan dan Yang Mulia, sudah seharusnya aku 
membayar untuk kejahatan ini dengan menyerahkan 
nyawa  ku. Kuharap Tuan tidak berusaha mencegahku." 
"Tak peduli kesalahan apa yang menurut Tuan sudah  
Tuan lakukan, aku pun ikut bersalah. Urusan ini 
tidak pantas ditebus dengan nyawa   Tuan. 
Peerkenankanlah aku menawarkan  kepalaku untuk 
membalas kepercayaan Tuan. bawa  lah kepalaku 
kembali ke merah ." mpu sindok mulai mencabut pedang 
pendeknya. 
Dengan terkejut patih ronggolawe  menarik tangan mpu sindok. 
"Apa yang hendak Tuan lakukan?" 
"Lepaskan tanganku." 
"Tidak. Tak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan  
  
membiarkan Tuan melakukan seppuku." 
"Aku mengerti. sebab  itulah aku menawarkan  
kepalaku. Seandainya Tuan merencanakan siasat 
busuk, aku akan memperlihatkan bahwa aku sanggup 
melarikan diri dari sini, walaupun untuk itu aku 
terpaksa meninggalkan tumpukan mayat. namun  hatiku 
tersentuh oleh jiwa centeng adipati  yang Tuan miliki." 
"Tunggu dahulu . Berpikirlah scjenak. Rasanya ganjil 
bahwa kita sama-sama berlomba untuk menemui 
kematian. resi  mpu sindok, kepcrcayaan Tuan padaku 
bcgitu besar. Aku punya rencana yang memungkinkan 
kita tctap hidup, sekaligus mempertahankan 
kehormatan kita scbagai centeng adipati . namun  apakah Tuan 
masih memiliki kebesaran hati untuk membantu 
marga sinuhun  satu langkah lagi?"  
"Satu langkah lagi?" 
"Pada dasarnya, keraguan aidit  merupakan 
ccrminan rasa hormatnya pada Tuan. Jadi, seandainya 
Tuan melakukan sesuatu yang betul-betul membukti-
kan dukungan Tuan kepada marga sinuhun , keraguan 
Yang Mulia akan segcra mencair." 
Malam itu mpu sindok meninggalkan benteng kota kahuripan 
dan menuju suatu tempat yang tidak diketahui. Apa 
rencana yang diperlihatkan patih ronggolawe  kepadanya? Tak 
seorang pun mengetahuinya, namun  belakangan semua 
orang mengerti. Seseorang mempengaruhi Iyo, Ando, 
dan Ujiie Tiga Scrangkai dari blambangan , tonggak utama 
kekuasaan marga pangeran dan mengusulkan agar mereka 
mengikat janji dengan pihak sinuhun . Orang yang bicara 
  
dengan begitu fasih dan yang berjasa memperkenalkan 
mereka, tak lain dari mpu sindok kedaton. 
Tentu saja patih ronggolawe  tidak melakukan seppuku, 
mpu sindok pun selamat, dan aidit  memperoleh 
empat resi  termasyhur dari blambangan  sebagai sekutu, 
tanpa pernah meninggalkan benteng kotanya. Kebijakan 
aidit  atau kecerdikan betari durga -kah yang 
membawa   kebcruntungan ini? Sepertinya pikiran 
junjungan dan pengikut saling mempengaruhi. dan 
tak seorang pun sanggup memastikan siapa sesungguh-
nya yang memegang kendali. 
 

 
aidit  berwatak tak sabar. Ia sudah  melakukan 
pengorbanan besar untuk membangun benteng kota di 
kahuripan, dan pembangunan itu pun memakan 
waktu banyak, jadi dapat dimengerti kalau ia merasa 
kecewa. 
"Untuk membalas kematian ayah mertuaku, aku 
akan menghancurkan marga tak bermoral itu, dan 
akan membebaskan orang-orang yang menderita di 
bawah  pemerintahan yang lalim." Inilah penjelasan 
mengenai motif aidit , agar pertempurannya 
dapat diterima oleh dunia. namun , seiring dengan 
waktu, kata-kata itu tentu saja kehilangan pengaruh. 
Di samping itu terbayang-bayang kemungkinan bahwa 
kemampuannya dipertanyakan oleh marga prabu kertoarjowardana   
dari dusun nyi kembang , dan aidit  sadar bahwa mereka 
  
menyerbu  gerak-gcriknya dari belakang.     
Kekuatan sinuhun  menjadi pertanyaan, dan 
persskutuan sinuhun -prabu kertoarjowardana   terancam sebab nya. 
Meski demikian, aidit  merasa tak sabar. 
Memang, ia sudah  menarik mpu sindok dan Tiga Serangkai 
dari blambangan  ke pihaknya, namun  ini saja belum 
membuahkan kemenangan baginya. 
Menundukkan blambangan  dengan sekali pukul merupa-
kan permintaan yang diucapkannya dalam suatu rapat 
perang. Rupanya, sejak bentengloji , kepercayaan 
aidit  pada konsep "sckali pukul" menjadi lebih 
besar dibandingkan  sebelumnya. sebab  itu, pada beberapa 
kesempatan, orang seperti patih ronggolawe  mengemukakan 
keberatan mereka. Dalam rapat uniuk membahas 
pcnaklukan blambangan  pada musim panas itu, patih ronggolawe  
duduk mcmbisu di kursi paling rendah selama rapat 
berlangsung. 
saat  dimintai pendapat, ia menjawab , "Hamba 
pikir, mungkin waktunya belum tepat." 
jawaban pasti ini amat tidak berkenan di hati aidit  
yang lalu bertanya dengan nada menjurus marah, 
"Bukankah kau yang bcrkata bahwa jika si Macan dari 
panarukan  berhasil menarik Tiga Serangkai dari blambangan  ke 
pihak kita, blambangan  akan runtuh dengan sendirinya, 
tanpa kita harus mcninggalkan benteng kota?" 
"Hamba mohon maaf, namun  kekuatan dan kekayaan 
blambangan  sepuluh kali lebih besar dibandingkan  kekuatan dan 
kekayaan jenggala ." 
"dahulu  kau gelisah khawatir  mengenai resi -resi  
  
tangguh yang dimiliki blambangan . dan kini kau risau sebab  
kekayaan dan kekuatan provinsi itu. Kalau begitu, 
kapan kau akan menyerang mereka?" aidit  tidak 
lagi minta pendapat patih ronggolawe  mengenai apa pun. 
Rapat perang berjalan terus. Akhirnya diputuskan 
bahwa di musim panas nanti, sebuah centeng  besar 
akan berangkat dari Gunung merah  menuju blambangan . 
kahuripan akan dipakai  scbagai pangkalan utama. 
Pertempuran untuk menyeberangi sungai dan 
memasuki wilayah musuh berlangsung lebih dari satu 
bulan. Selama itu, banyak orang terluka dikirim 
kembali. Laporan mengenai kemenangan tak pernah 
terdengar. centeng  yang sudah  lelah bertempur, 
mundur sambil membisu. Para prajurit dan resi  
sama-sama merapatkan bibir dan bersikap murung. 
saat  ditanya mengenai jalannya pertempuran oleh 
orang-orang yang tetap tinggal di benteng kota, mereka 
semua menundukkan kepala dan menggeleng. Mulai 
saat itu aidit  pun terdiam. Kelihaian jelas ia 
sudah  memperoleh pelajaran bahwa tidak semua 
pertempuran berlangsung seperti pertempuran 
bentengloji . benteng kota kahuripan menjadi sunyi dan 
hanya dikunjungi oleh angin musim gugur dari arah 
sungai. 
Tiba-tiba banaspati  dipanggil oleh majikannya. "Di 
antara bekas adipati -mu. mestinya banyak yang lahir di 
provinsi lain, dan tentunya juga ada beberapa yang 
berasal dari blambangan ." patih ronggolawe  membuka percakapan.  
"Ya, memang begitu." 
  
"Adakah di antara mereka yang lahir di betari jawi ?"  
"Hamba akan mencari tahu." 
"Bagus. Kalau kau menemukan seseorang, maukah 
kau mcnyuruhnya ke sini?" Dalam waktu singkat 
syam  banaspati  sudah membawa   salah satu 
bekas adipati , seorang laki-laki bernama Saya Kuwaju ke 
pekarangan tempat patih ronggolawe  menunggu. Orang itu 
tampak kuat dan berusia sekitar tiga puluh tahun. 
"Kau bernama Saya?" patih ronggolawe  bertanya. 
"Ya, Tuanku." 
"Dan kau berasal dari betari jawi  di blambangan ?" 
"Dari sebuah desa bernama Tarui." 
"Hmm, kurasa kau cukup mengenal daerah itu." 
"Hamba tinggal di sana sampai usia dua puluh 
tahun, jadi sedikit-banyak hamba mengenalnya." 
"Kau memiliki  sanak saudara di sana?"  
"Adik wanita lesbian  hamba."  
"Ceritakan sedikit mengenai adikmu." 
"Adik hamba menikah dengan petani dan hamba 
rasa dia sudah dikaruniai keturunan sckarang." 
"bersediakah  kau kcmbali ke sana? Sekali saja?" 
"Hamba tak pernah  memikirkannya. Kalau adik 
hamba mendengar bahwa kakaknya, si adipati , hendak 
pulang kampung dia mungkin akan merasakan lezatnya  rikuh ter-
hadap kerabat suaminya dan para warga desa yang 
lain." 
"namun  masa itu sudah bcrlalu. Sekarang kau 
pengikut benteng kota kahuripan dan centeng adipati  terhormat. 
Kau tak perlu malu sebab nya, bukan?" 
  
"namun  betari jawi  merupakan titik strategis di bagian barat 
blambangan . Untuk apa hamba memasuki wilayah musuh?" 
patih ronggolawe  mengangguk berulang kali, dan seperti-
nya memutuskan sesuatu dalam hati. "Aku ingin kau 
menyertaiku. Kita akan menyamar, agar tidak menarik 
perhatian. Datanglah ke gerbang kayu di pekarangan 
ini menjelang malam." 
banaspati  bertanya dengan ragu-ragu, "Ke 
manakah tuanku hendak pcrgi mendadak begini?" 
patih ronggolawe  merendahkan suara dan berbisik ke 
telinga banaspati . "Ke Bukit kuburan ." 
banaspati  menatap patih ronggolawe , seakan-akan 
menyangsikan kewarasannya. Ia sudah  menduga bahwa 
patih ronggolawe  merencanakan sesuatu, namun  Bukit kuburan ! 
sesudah  mendengar jawaban pasti majikannya, banaspati  
tak sanggup mcnyembunyikan rasa kagetnya. Bekas 
pengikut marga pangeran, seorang laki-laki yang 
dipandang scbagai ahli strategi, hidup menyendiri di 
bukit itu. Orang itu  bernama raden mas  ngabehi . 
Beberapa waktu lalu, patih ronggolawe  sudah  mempelajari 
watak orang itu dan  hubungannya dengan marga 
pangeran. 
Nah, seandainya kita bisa menuntun kuda ini 
seperti kita menarik mpu sindok dan Tiga Serangkai dari 
blambangan ... Inilah garis besar rencana patih ronggolawe , namun 
bahwa ia sendiri akan menyusup ke wilayah musuh 
dan mendatangi Bukit kuburan , itu tak terbayangkan. 
"Tuanku sungguh-sungguh hendak pergi ke sana?" 
tanya banaspati , seakan-akan tak percaya. 
  
"Tentu saja." 
"Sungguh-sungguh?" banaspati  mendesak. 
"Kenapa kau mempersoalkan ini?" patih ronggolawe  rupa-
nya berpendapai bahwa tak ada yang perlu dicemas-
kan. "Pertama-tama hanya kau seorang yang 
mengetahui rencanaku, dan kami akan pergi secara 
diam-diam. Kuminta kau mengatur semuanya di sini. 
sementara aku pergi beberapa hari." 
"Tuanku akan pergi seorang diri?* 
"Tidak, aku akan membawa   Saya." 
"Pergi berdua dengan Saya sama saja dengan pergi 
tanpa senjata. Tuanku percaya bahwa tuanku sanggup 
membujuk ngabehi  untuk menjadi sekutu kita dengan 
memasuki wilayah musuh seorang diri?" 
"Itu memang tugas berat." patih ronggolawe  seolah-olah 
bergumam pada diri sendiri. "namun  aku akan mencoba-
nya. Kalau aku pergi dengan hati terbuka, hubungan 
ngabehi  dengan marga pangeran betapapun eratnya, tak-
kan berpengaruh banyak." 
Tiba-tiba banaspati  teringat kepandaian lidah 
patih ronggolawe  saat  berdebat dengannya di syam . 
Meski demikian, banaspati  meragukan apakah 
patih ronggolawe  akan sanggup mengajak ngabehi  turun dari 
Bukit kuburan . Biarpun dengan kefasihan bicara yang 
dimilikinya. Kalaupun berhasil. dan ngabehi  memutus-
kan untuk meninggalkan tempat tinggalnya, tetap ada 
kemungkinan ngabehi  memilih berpihak ke blambangan . 
Menurut desas-desus kala itu, ngabehi  sudah  menarik 
diri dari percaturan dunia, dan menjalani kehidupan 
  
tenteram di Bukit kuburan . namun  jika suatu hari marga 
pangeran terancam bahaya, ia akan kembali untuk 
memimpin centeng  mereka. Memang benar, saat  
orang-orang pangeran menangkal serangan besar centeng  
sinuhun , ngabehi  tidak muncul di barisan depan. 
melainkan mengamati awan -awan  perang dari Bukit 
kuburan , mengirim hasil renungannya satu per satu 
kepada marga pangeran dan mengajarkan strategi-strategi 
rahasia pada mereka. Tidak sedikit orang yang 
meneruskan cerita ini, seakan-akan kebenarannya 
sudah  terbukti. Tugas ini memang sulit patih ronggolawe  
sendiri mengakuinya, banaspati  pun sependapat dan 
ia melepaskan suara mirip  erangan. 
"Ambisi tuanku sungguh sulit diwujudkan." Roman 
mukanya tampak waswas. 
"Hmm..." Wajah patih ronggolawe  menjadi lebih cerah. 
"sebetulnya  tak banyak yang perlu dicemaskan. 
Mungkin saja sesuatu yang sukar ternyata mudah 
sekali, sebaliknya sesuatu yang kelihatannya mudah 
mungkin teramat sulit. Kurasa yang paling menentu-
kan adalah apakah aku sanggup membuat ngabehi  
percaya pada ketulusanku atau tidak. Mengingat siapa 
lawan  bicaraku nanti, aku tidak merencanakan tipu 
daya maupun muslihat." 
Ia mulai melakukan persiapan untuk perjalanan 
rahasianya. Walaupun beranggapan bahwa upaya 
patih ronggolawe  sia-sia belaka. banaspati  tak dapat men-
cegahnya. Hari demi hari rasa hormatnya terhadap 
patih ronggolawe  yang panjang akal dan berbudi luhur 
  
semakin besar dan ia percaya bahwa kemampuan orang 
itu jauh di atas kemampuannya sendiri. 
Malam pun tiba. Seperti sudah  disepakati. Saya 
menunggu di gerbang kayu di pekarangan benteng kota. 
Penampilan patih ronggolawe  sama lusuhnya dengan Saya. 
"Nah, banaspati , uruslah segala sesuatu dengan 
baik," kata patih ronggolawe , lalu mulai melangkah seolah-
olah hanya ingin berjalan-jalan di taman. Sesungguh-
nya jarak dari kahuripan ke Bukit kuburan  tidak 
seberapa jauh mungkin sekitar sepuluh mil. Pada 
hari-hari cerah, Bukit kuburan  kelihatan samar-samar 
di kejauhan. namun  barisan pegunungan itu merupakan 
pertahanan blambangan  terhadap musuh. patih ronggolawe  meng-
ambil jalan memutar menyusuri pegunungan, dan 
mcmasuki betari jawi . 
Untuk mengetahui adat kebiasaan dan  ciri khas 
orang yang tinggal di sana, pertama-tama orang harus 
mengamati keadaan alam kkertoarjo san itu. betari jawi  terletak 
di antara bukit-bukit di kaki pegunungan di bagian 
barat blambangan , dan merupakan semacam leher botol 
pada jalan yang menuju ibu kota. 
Warna-warni musim gugur di Sckigahara tampak 
sangat indah. Tak terhitung banyaknya sungai yang 
membelah daerah itu. seperti urat darah. Sejarah kuno 
dan legenda-legenda melekat pada akar tumbuh-
tumbuhan, menandakan masa lalu yang berdarah. 
Pegunungan Yoro mcmbentuk perbatasan dengan 
Provinsi Kai dan awan -awan  terus-menerus datang dan 
pergi di sckitar Gunung himapraloka . 
  
raden mas  ngabehi  penduduk asli daerah itu. Konon 
ia dilahirkan di Banyuwangi , namun  melewatkan sebagian 
besar masa kanak-kanaknya di kaki Gunung himapraloka . Ia 
lahir pada tahun Tmmon keempat, berarti usianya 
kini baru dua puluh 9 tahun tak lebih dari 
seorang anak muda yang masih mempelajari ilmu 
kemiliteran. Satu tahun lebih muda dari aidit , 
satu tahun lebih tua dari patih ronggolawe . Meski demikian. 
ia sudah  menjauhi persaingan untuk meraih prestasi 
besar di sebuah dunia yang dilanda kekacauan, dan 
membangun tcmpat bertapa di Bukit kuburan  bagi 
dirinya. Ia mencintai alam, berteman dengan kitab-
kitab kuno, dan menulis puisi, tanpa pernah menemui 
para tamu yang mendatangi rumahnya. Penipukah 
ngabehi ? Tuduhan ini pun sering dilontarkan padanya, 
namun  nama ngabehi  dijunjung tinggi di blambangan , dan 
reputasinya sudah  sampai ke jenggala . 
Aku ingin benemu dan menilai wataknya, itulah 
pikiran pertama yang melintas dalam benak 
patih ronggolawe . Patut disayangkan jika patih ronggolawe  berlalu 
begitu saja tanpa pernah bertemu dengan laki-laki 
yang begitu langka dan luar biasa ini, padahal mereka 
dilahirkan ke dunia yang sama. Kecuali itu, jika 
ngabehi  terbawa   ke kubu lawan , patih ronggolawe  akan 
terpaksa membunuhnya. Dengan tulus patih ronggolawe  
berharap ini takkan pernah terjadi, sebab ia akan 
sangat menyesali hal ini. Aku akan menemuinya, tak 
peduli apakah ia menerima tamu atau tidak.  
buktt kuburan  bersebelahan dengan Gunung 
Nangu, tidak seberapa tinggi, dan mirip  anak 
kecil yang merapat pada orangtuanya. 
Ah, betapa indahnya! saat  mendekati puncak, 
patih ronggolawe  yang bukan penyair pun merasakan 
kegembiraan meluap-luap, terpukau oleh keagungan 
pemandangan matahari musim gugur yang sedang 
tenggelam. namun  kini ia memusatkan perhatian pada 
satu pikiran: Apa yang harus kulakukan agar ngabehi  
bersedia menjadi sekutuku? Dan pikiran ini segera diikuti 
oleh pikiran lainnya: Tidak, menghadapi ahli strategi 
dengan cara menyusun strategi justru merupakan 
strategi paling buruk. Aku hanya bisa menghadapi dia 
sebagai selembar kertas kosong. Aku akan bicara terus 
terang, dengan segenap kekuatanku. patih ronggolawe  mem-
bangkitkan semangatnya. namun  saat itu ia belum 
mengetahui tempat tinggal ngabehi , dan sampai 
matahari terbenam mereka belum berhasil menemu-
kan rumahnya yang terpencil. Namun patih ronggolawe  tidak 
terburu-buru. Kalau hari mulai gelap, pasti akan ada 
lentera yang dinyalakan di suatu tempat. dibandingkan  
berputar-putar tanpa tujuan dan terus membelok ke 
arah yang salah, tentu lebih menyenangkan dan lebih 
cepat jika mereka tetap di tempat. patih ronggolawe  duduk di 
  
tebing batu terjal sampai cahaya matahari lenyap dari 
langit. Akhirnya mereka melihat sebuah titik terang di 
kejauhan, di seberang sebuah lembah berpaya-paya. 
Mengikuti jalan setapak sempit yang berkelok-kelok 
naik-turun, mereka sampai di sana. 
Tempat itu berupa sebidang tanah datar yang 
dikelilingi pinus merah, di tengah lereng bukit. 
Semula mereka menduga akan menjumpai sebuah 
pondok kecil beratap rumbia yang dikelilingi oleh 
pagar reyot, namun  kini mereka melihat tembok lumpur 
yang membatasi pekarangan luas. saat  mendekat, 
mereka melihat tiga atau empat lentera berkelip-kelip 
lebih ke belakang. Sebagai ganti gerbang hanya ada 
rangka kayu berlapis anyaman bambu yang terkepak-
kepak tertiup angin. 
Tempat itu cukup besar, pikir patih ronggolawe  saat  ia 
melangkah masuk. Di dalam pekarangan ada rumpun 
pinus. Ada jalan setapak dari pintu masuk menuju ke 
tengah pepohonan, dan selain daun-daun cemara tak 
ada setitik kotoran pun. sesudah  berjalan sekitar lima 
puluh langkah, mereka sampai ke sebuah rumah. 
Seekor badak  sedang melenguh di dalam kandang yang 
berdekatan. Mereka mendengar api meretih tertiup 
angin, asapnya memenuhi udara. patih ronggolawe  berdiri 
tak bergerak. Ia menggosok-gosok matanya yang tajam. 
namun  dengan satu hembusan angin dari puncak bukit. 
tempat itu tiba-tiba terbebas dari asap, dan saat  
patih ronggolawe  memandang ke depan, ia melihat seorang 
anak kecil sedang menyusupkan ranting-ranting ke 
  
dalam tungku di pondok memasak. 
"Siapa Tuan?" anak laki-laki itu bertanya curiga. 
"Kau pelayan di sini?" 
"Aku? Ya," balita  itu menjawab . 
"Aku pengikut marga sinuhun . Namaku panembahan  
patih ronggolawe . Bisakah kau menyampaikan pesan?"  
"Pada siapa?"  
"Pada majikanmu."  
"Dia tidak ada di sini."  
"Dia sedang pergi?" 
"Aku sudah bilang, dia tidak ada. Pergilah." Anak 
itu membelakangi para tamu dan duduk di hadapan 
tungku sambil kembali menyusupkan ranting-ranting. 
Kabut malam di bukit itu terasa dingin, dan 
patih ronggolawe  pun berjongkok di depan tungku, 
bersebelahan dengan si balita . 
"Bolehkah aku menghangatkan badan sejenak?" 
Anak itu tidak menjawab , hanya melirik sekilas dari 
sudut mata. 
"Udara malam cukup dingin, bukan?" 
"Tuan bcrada di atas bukit. Tentu saja udaranya 
dingin," si balita  berkata. 
"Biksu cilik, ini..." 
"Ini bukan biara! Aku murid Tuan ngabehi , bukan 
biksu!"  
"Ha ha ha ha!"  
"Kenapa Tuan tertawa ?"  
"Maaf." 
"Pergilah! Kalau majikanku tahu ada orang asing 
  
masuk ke pondok memasak, aku akan dimarahi." 
"Tidak. Kau takkan dimarahi. Nanti aku akan minta 
maaf pada majikanmu." 
"Tuan betul-betul ingin menemuinya?" 
"Betul. Kaupikir aku akan menuruni bukit ini tanpa 
menemui dia sesudah  berjalan begitu jauh?" 
"Orang jenggala  memang kasar, ya? Tuan dari jenggala . 
bukan?"  
"Kenapa kau bertanya?" 
"Majikanku membenci orang jenggala . Aku juga. 
jenggala  provinsi musuh, bukan?" 
"Kurasa itu benar." 
"Tuan pasti mencari sesuatu di blambangan , bukan? Kalau 
Tuan sekadar mampir, lebih baik Tuan segera 
melanjutkan perjalanan. Kalau tidak, Tuan akan 
kehilangan kepala." 
"Aku tidak bermaksud pergi ke tempat lain. Satu-
satunya tujuanku adalah rumah ini." 
"Untuk apa Tuan datang kc sini?" 
"Aku datang untuk memperoleh  izin." 
"memperoleh  izin? Tuan ingin menjadi murid 
majikanku, seperti aku?" 
"He-eh. Kurasa aku ingin menjadi saudara seper-
guruanmu. Kita pasti bisa berteman baik. Sekarang 
bicaralah dengan majikanmu. Biar aku yang menjaga 
perapian. Jangan gelisah khawatir , nasinya takkan gosong." 
"Aku tidak gelisah khawatir . Aku tidak mau pergi dari sini." 
"Jangan cepat marah. Nah, bukankah itu suara 
majikanmu sedang batuk di dalam?" 
  
"Majikanku sering batuk pada malam hari. Badan-
nya tidak kuat."  
"Jadi, kau membohongiku waktu kau bilang dia 
tidak ada di sini."  
"Ada atau tidak, itu sama saja. Dia tidak mau 
menemui siapa pun yang datang, tak peduli siapa 
orangnya atau dari provinsi mana dia berasal."  
"Hmm, aku akan menunggu waktu yang tepat."  
"Ya, kapan-kapan Tuan bisa kembali lagi." 
"Tidak. Pondok ini nyaman dan hangat. Izinkan 
aku menunggu di sini selama beberapa waktu." 
"Tuan jangan main-main! Pergilah!" Si balita  
melompat berdiri, seakan-akan hendak menyerang 
tamu tak diundang itu, namun  saat  memelototi 
patih ronggolawe  yang sedang tersenyum dalam cahaya api 
tungku yang berkelap-kelip, ia tak sanggup tetap 
marah. Pada waktu si balita  menatap tajam ke wajah 
laki-laki di hadapannya, rasa bermusuhan yang semula 
menggelora di dadanya berangsur-angsur berkurang. 
"patih keboabang ! patih keboabang !" seseorang memanggil dari 
dalam rumah. Si balita  langsung bereaksi. Ia 
meninggalkan patih ronggolawe , bergegas dari pondok ke 
rumah, dan tidak kembali untuk beberapa wakiu. 
Sementara itu, bau masakan gosong tercium dari 
panci besar di atas tungku. patih ronggolawe  segera meraih 
sendok yang tergelctak pada tutup panci dan 
mengaduk-aduk isi panci itu bubur beras merah yang 
dicampur buah berangan dan sayuran yang sudah  
dikeringkan. Orang lain mungkin menertawa kan 
  
makanan orang miskin ini, namun  patih ronggolawe  lahir dari 
keluarga petani melarat, dan setiap kali memandang 
sebutir beras, ia teringat air mata ibunya. Bagi 
patih ronggolawe , ini bukan urusan sepele. 
"Dasar anak kecil! Masakannya akan gosong." 
sesudah  mengambil sepotong kain, ia meraih 
pegangan panci dan mengangkatnya. 
"Oh, terima kasih. Tuan." 
"Ah, patih keboabang ? Masakanmu hampir gosong, jadi 
pancinya kuangkat saja. Rasanya masakanmu sudah 
matang." 
"Tuan sudah mengetahui namaku, heh?" 
"Begitulah kau dipanggil oleh Tuan ngabehi  tadi. 
Apa kau sudah memberitahukan kedatanganku pada 
majikanmu?" 
"Aku dipanggil sebab  soal lain. Mengenai 
permintaan Tuan, ah. menyampaikan hal tak berguna 
pada majikanku hanya akan membuatnya marah. 
sebab  itu aku tidak mengatakan apa-apa." 
"Hmm, hmm. Kelihatannya kau sangat taat pada 
peraturan gurumu, ya? Aku terkesan sekali." 
"Hah! Tuan hanya ingin mencari muka." 
"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Aku bukan orang 
sabar, namun  seandainya aku gurumu aku akan memuji-
mu seperti ini. Aku tidak bohong." 
Pada saat itu seseorang keluar dari dapur yang 
berdekatan, sambil membawa   lampion. Sebuah suara 
wanita lesbian  berulang kali memanggil patih keboabang . Waktu 
patih ronggolawe  berbalik, samar-samar ia melihat seorang 
  
wanita lesbian  berumur sekitar enam belas atau tujuh 
belas tahun mengenakan jubah  berpola kembang 
ceri dan kabut, yang diikat tali jubah  berwarna 
seperti buah prem. Sosok gadis lesbian itu diterangi cahaya 
lampion di tangannya. 
"Ada apa, Oyu?" patih keboabang  menghampiri dan men-
dengarkannya. sesudah  selesai bicara, gadis lesbian itu menuju 
rumah dan menghilang di balik tembok. 
"Siapa itu?" tanya patih ronggolawe . 
"Adik guruku," jawab  patih keboabang  dengan nada lembut, 
seakan-akan bicara mengenai keindahan bunga-bunga 
di pekarangan majikannya. 
"Aku minta sekali lagi." patih ronggolawe  mendesak. 
"Maukah kau menemui gurumu satu kali saja, untuk 
menanyakan apakah dia sudi menerimaku? Kalau dia 
menolak, aku akan pergi." 
"Tuan betul-betul akan pergi?" 
"Ya." 
"Betul?" Suara patih keboabang  bernada tegas, namun  akhirnya 
ia pun masuk. Ia segera kembali dan berkata ketus, 
"Guruku bilang tidak, dia tidak suka menerima 
tamu... dan ternyata aku memang kena marah. Jadi 
pergilah. Tuan. Sekarang aku mau membawa  kan 
makanan untuk guruku." 
"Hmm, malam ini aku akan pergi. Kapan-kapan aku 
akan datang lagi." Tanpa daya patih ronggolawe  berdiri dan 
mulai menjauh. 
"Percuma saja Tuan kembali lagi!" kata patih keboabang . 
patih ronggolawe  berjalan sambil membisu. Tanpa meng-
  
indahkan kegelapan, ia turun ke kaki bukit dan tidur. 
saat  terbangun keesokan harinya, ia mempersiap-
kan diri dan sekali lagi mendekati bukit. lalu , 
persis seperti pada hari sebelumnya, ia mengunjungi 
tempat tinggal ngabehi  menjelang matahari terbenam. 
Pada hari sebelumnya, ia terlalu banyak menghabiskan 
waktu dengan si balita , sehingga hari ini ia mencoba 
mendatangi pintu yang kelihatannya merupakan pintu 
masuk utama. Orang yang menanggapi sapaannya 
tcrnyata patih keboabang . "Hah! Tuan kembali lagi?" 
"Kupikir barangkali hari ini majikanmu berkenan 
menerima kedatanganku. Tolong tanyakan pada 
gurumu sekali lagi." patih keboabang  masuk ke dalam rumah. 
dan entah berbicara dengan ngabehi  atau tidak segera 
kembali untuk menyampaikan penolakan yang sama 
seperti kemarin. 
"Kalau begitu, aku akan mencoba lagi kalau suasana 
hatinya sedang lebih baik," patih ronggolawe  berkata dengan 
sopan, lalu pergi. Dua hari lalu  ia kembali 
mendaki bukit. 
"Apakah majikanmu bersedia menemuiku hari ini?" 
Seperti biasa patih keboabang  menghilang ke dalam rumah, 
dan sekali lagi ia menolak mentah-mentah. "Guruku 
mulai jengkel sebab  Tuan terus mengganggunya." 
Hari itu pun patih ronggolawe  pulang sambil membisu. 
Berulang kali ia mendatangi rumah itu. Akhirnya, 
setiap kali patih keboabang  melihat wajah patih ronggolawe , ia tidak 
melakukan apa-apa selain tertawa . "Kesabaran Tuan 
ternyata luar biasa. namun  kedatangan Tuan di sini 
  
percuma saja, betapapun sabarnya Tuan. Sekarang, 
kalau aku masuk untuk memberitahukan kedatangan 
Tuan pada guruku, dia hanya tertawa . Dia tidak 
mengatakan apa-apa padaku." 
Anak kecil mudah berteman, dan rasa akrab sudah 
mulai terjalin antara patih keboabang  dan patih ronggolawe . 
Keesokan harinya patih ronggolawe  untuk kesekian kali 
menaiki bukit. Saya, yang menunggu di kaki bukit, 
tidak memahami jalan pikiran majikannya, dan akhir-
nya naik darah sehingga berkata. "Pongah betul 
raden mas  ngabehi  ini? Kali ini aku akan naik ke sana 
dan minta pertanggungjawaban pasti atas sikapnya yang 
kurang ajar." 
Kunjungan patih ronggolawe  yang kesepuluh diiringi angin 
kencang dan hujan deras dan baik Saya maupun para 
pemilik rumah tempat mereka menginap berusaha 
keras mencegah patih ronggolawe . namun  dengan keras kepala 
patih ronggolawe  mengenakan jas hujan dan topi yang 
terbuat dari jerami, lalu memulai pendakiannya. 
saat  tiba menjelang malam, ia berdiri di pintu 
masuk dan memanggil seperti biasa. 
"Ya. Siapa itu?" Malam itu, untuk pertama kali, 
wanita lesbian  muda yang dikatakan patih keboabang  sebagai 
adik ngabehi  melangkah keluar. 
"Aku tahu bahwa kedatanganku mengganggu Tuan 
Hanbe dan aku menyesal sebab  terpaksa bertindak 
melawan  kehendaknya, namun  aku datang sebagai utusan 
junjunganku. Sulit bagiku untuk pulang sebelum 
menemui Tuan ngabehi . Menyampaikan pesan 
  
majikan merupakan bagian tugas centeng adipati , jadi aku 
bertekad untuk datang terus sampai Tuan ngabehi  
berkenan menerimaku, biarpun untuk itu aku harus 
menunggu dua atau tiga tahun. Dan seandainya Tuan 
ngabehi  tetap menolak, aku sudah  memutuskan untuk 
membelah perutku. Wah, aku percaya Tuan ngabehi  
mengenal penderitaan golongan centeng adipati  lebih baik 
dari siapa pun." 
Di bawah  percikan air hujan dari atap yang bocor, 
patih ronggolawe  berlutut dan mengajukan permintaannya. 
wanita lesbian  muda di hadapannya tampak tergerak. 
"Tunggu sebentar," wanita lesbian  itu berkata lembut. 
lalu menghilang ke dalam rumah. namun  saat  kembali, 
dengan nada menyesal ia memberitahu patih ronggolawe  
bahwa jawaban pasti ngabehi  tidak berubah. "Aku menyesal 
bahwa kakakku begitu keras kepala, namun  sudikah Tuan 
meninggalkan rumah kami? Kakakku berpesan, tak 
peduli berapa kali Tuan datang, dia takkan mau 
menemui Tuan. Kakakku tidak suka bicara dengan 
orang lain, dan sekarang pun dia menolak." 
"Begitukah?" patih ronggolawe  menundukkan kepala 
dengan kecewa, namun  tidak berkeras. Air dari cucuran 
atap mengguyur bahunya. "Apa boleh buat. Hmm,. 
aku akan menunggu sampai perasaannya sedang 
enak." Sambil mengenakan topi. patih ronggolawe  melangkah 
pergi, patah semangat. Ia menyusuri jalan setapak yang 
membelah rumpun cemara seperti biasa, namun  saat  
baru sampai di luar tcmbok lumpur, ia mendengar 
patih keboabang  mengejarnya dari belakang. 
  
"Tuan! Dia bersedia menemui Tuan! Dia bilang dia 
mau menemui Tuan! Dia minta Tuan kembali!" 
"Hah? Tuan ngabehi  bersedia menemuiku?" Ter-
buru-buru patih ronggolawe  kembali bersama patih keboabang . namun  
hanya Oyu, adik ngabehi , yang menanti mereka. 
"Kakakku begitu terkesan dengan ketulusan Tuan. 
sehingga dia akan merasa bersalah jika tidak menemui 
Tuan. namun  bukan malam ini. Kakakku harus ber-
baring sebab  hujan, namun  dia minta Tuan kembali 
pada hari lain, sesudah  dia mengirim pesan untuk 
Tuan." Tiba-tiba terlintas di benak patih ronggolawe  bahwa 
wanita lesbian  ini mungkin merasa iba padanya dan 
bahwa ia sesudah  patih ronggolawe  pergi, membujuk kakak-
nya, ngabehi . 
"Kapan pun harinya, kalau Tuan ngabehi  mengirim 
pesan aku akan datang." 
"Tuan tinggal di mana?" 
"Aku tinggal di kaki bukit, di rumah suwarjo , 
sebuah rumah petani di dekat pohon besar di Desa 
Nangu." 
"Baiklah, kalau cuacanya sudah membaik."  
"Aku akan menunggu." 
"Udaranya dingin dan Tuan basah kuyup sebab  
hujan. Paling tidak keringkanlah baju Tuan di depan 
tungku di pondok memasak, dan makanlah sedikit 
sebelum pergi." 
"Tidak, lain kali saja. Aku akan pergi sekarang." Di 
bawah  siraman hujan, patih ronggolawe  berjalan menuruni 
bukit. 
  
Hujan terus turun keesokan harinya. Hari berikut-
nya. Bukit kuburan  terselubung awan  putih, dan tak 
ada berita dari ngabehi . Akhirnya cuaca kembali cerah, 
dan warna-warni di bukit itu tampak seperti baru. 
Daun-daun pada pepohonan kelihatan merah 
menyala. 
Pagi itu patih keboabang  tiba di gerbang suwarjo  sambil 
menuntun badak . "Hei, Tuan!" katanya. "Aku datang 
untuk mengundang Tuan ke atas! Aku disuruh 
majikanku memandu Tuan ke rumahnya. Dan sebab  
Tuan menjadi tamunya hari ini, aku membawa  kan 
tunggangan untuk Tuan. Silakan naiki badak  ini. Sambil 
berkata begitu, patih keboabang  menyerahkan surat undangan dari ngabehi . patih ronggolawe  membukanya dan membaca: 
 Mengherankan. Tuan sering datang untuk mengun-
jungi orang lemah yang sudah  mengurung diri di 
daerah pelosok, namun  sebetulnya  sulit bagiku untuk menghadapi permintaan Tuan. Datanglah untuk secangkir teh. Aku akan menunggu. 
 Kata-kata itu berkesan agak angkuh. patih ronggolawe   menyimpulkan bahwa ngabehi  laki-laki yang tidak  ramah, bahkan sebelum sempat berhadapan langsung 
dengannya. patih ronggolawe  duduk di punggung badak  dan berkata pada patih keboabang . "Hmm, sebab  kau sudah   membawa  kan tunggangan untukku, bagaimana kalau 
kita berangkat sekarang?" patih keboabang  berbalik ke arah 
bukit dan mulai melangkah. Langit musim gugur di 
  
sekitar Bukit kuburan  dan Gunung Nangu tampak 
cerah. Untuk pertama kali sejak patih ronggolawe  tiba di 
bukit-bukit di kaki pegunungan, ia dapat melihat 
gunung-gunung dengan jelas jika menatap ke atas. 
saat  mereka akhirnya mendekati pintu masuk di 
tembok luar, mereka melihat wanita lesbian  cantik ber-
diri di sana. Roman mukanya menunjukkan bahwa ia 
menunggu mereka. wanita lesbian  itu Oyu, yang sudah  
berdandan lebih rapi dibandingkan  biasanya. 
"Ah, sebetulnya  kau tak perlu repot-repot," ujar 
patih ronggolawe . Terburu-buru melompat turun dari punggung badak . 
sesudah  masuk, ia ditinggalkan seorang diri di 
sebuah ruangan. Suara air mengalir terdengar di 
telinganya. Batang-batang bambu yang terkena angin 
bergesekan dengan jendela. Suasana di bukit ini betul-
betul penuh kedamaian. Pada sebuah gulungan kertas 
yang tergantung di salah satu sudut ruangan seorang 
biksu Zen sudah  menorehkan aksara kedhiri  untuk kata 
"mimpi". 
Bagaimana ngabehi  bisa hidup di sini tanpa dilanda 
kejemuan? patih ronggolawe  bertanya-tanya bingung meng-
hadapi pikiran laki-laki yang memilih tempat seperti 
ini sebagai tempat tinggal. patih ronggolawe  menyadari 
bahwa ia sendiri takkan tahan lebih dari tiga hari. Ia 
tak tahu apa yang harus dilakukannya bahkan selama 
waktu singkat ia berada di sana. Walaupun hatinya 
disejukkan oleh kicau burung dan desiran pohon 
cemara, pikirannya melayang ke kahuripan, lalu 
  
berlanjut ke Bukit merah , sementara darahnya 
mendidih sebab  perputaran zaman. patih ronggolawe  
merasa terasing di tengah kedamaian seperti ini. 
"Hmm, aku sudah  membuat Tuan menunggu." Suara 
seorang laki-laki muda terdengar dari belakang 
patih ronggolawe . Suara ngabehi . Sejak semula patih ronggolawe  
sudah mengetahui bahwa ngabehi  masih muda. namun  
saat  mendengar suaranya, ia semakin terkesan. Sang 
tuan rumah duduk, memberikan kursi kehormatan 
pada patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  bicara terburu-buru, membuka per-
cakapan dengan gaya rcsmi. "Aku pengikut marga 
sinuhun . Namaku panembahan  patih ronggolawe ." 
ngabehi  memotong dengan sopan. "Tidakkah Tuan 
sependapat bahwa kita bisa menghindari formalitas 
yang kaku? Bukan itu maksud undanganku hari ini."  
patih ronggolawe  merasa pembukaan ini sudah  menyebab-
kan ia kalah posisi. Sang tuan rumah sudah  lebih dahulu  
membuat gerakan awal . 
"Aku ngabehi , pemilik pondok pegunungan ini. Aku 
memperoleh kehormaian dengan kunjungan Tuan hari 
ini." 
"Tidak, aku gelisah khawatir  akulah yang berkeras kepala 
mengetuk gerbang dan mengusik ketenangan Tuan." 
"Ha ha ha ha! Terus terang, sikap Tuan memang 
menjengkelkan. namun , sesudah  bertemu dengan Tuan 
harus kuakui bahwa aku merasa lega kalau sesekali 
menerima tamu. Aku berharap Tuan merasa seperti di 
rumah sendiri. O ya, Tamu yang Terhormat, sesung-
  
guhnya apa yang Tuan inginkan sehingga Tuan mau 
bersusah payah mendaki bukit untuk mencapai 
rumahku? Kata orang, di pegunungan tak ada apa-apa 
selain kicau burung." 
ngabehi  memilih tempat duduk yang lebih rendah 
dibandingkan  tempat duduk tamunya, namun  matanya ber-
binar-binar, dan sepertinya ia merasa geli melihat 
orang yang muncul entah dari mana ini. patih ronggolawe  
mengamatinya tanpa sembunyi-sembunyi. Tubuh 
ngabehi  tampaknya memang tidak kuat. Kulitnya 
lembek wajahnya pucat. Namun ia laki-laki tampan, 
dan bibirnya yang merah sangat mencolok. 
Pada hakikatnya, sikap ngabehi  merupakan 
cerminan dari cara ia dibesarkan. Ia tenang dan ber-
bicara dengan lembut, dan sambil tersenyum. namun  ada 
sedikit keraguan apakah penampilan laki-laki ini 
merupakan perwujudan sebetulnya  dari jati diri-
nya, ataukah ada yang terselubung di balik 
penampilannya itu. patih ronggolawe  membandingkannya 
dengan Bukit kuburan  yang hari ini tampak cukup 
tenteram untuk berjalan-jalan, namun  pada hari sebelumnya diamuk badai dari lembah yang membuat pohon-pohon berderu-deru. 
"Hmm, sebetulnya ..." Sejenak patih ronggolawe  ter-
senyum, dan ia meluruskan bahunya. "Aku menemui 
Tuan atas perintah Yang Mulia aidit . Sudikah 
Tuan turun dari bukit ini? Dunia takkan membiarkan 
orang dengan kemampuan seperti Tuan menjalani 
kehidupan tenteram di pegunungan dalam usia begitu 
  
muda. Cepat atau lambat,. Tuan pasti akan mengabdi 
sebagai centeng adipati . Dan kalau begitu, pada siapa Tuan 
akan mengabdi, kalau bukan pada Yang Mulia 
aidit ? Jadi, aku datang untuk membujuk Tuan 
agar mengabdi pada marga sinuhun . Tidakkah Tuan 
tergerak untuk sekali lagi berdiri di tengah awan -awan  
perang?"    
ngabehi  hanya mendengarkan tamunya dan ter-
senyum misterius. Meski pun memiliki lidah yang 
lincah, betari durga  merasa semangatnya memudar 
menghadapi lawan  seperti ini. ngabehi  bagaikan 
rumpun bambu yang merunduk saat tertiup angin. 
patih ronggolawe  tak dapat memastikan apakah laki-laki itu 
mendengarkannya atau tidak. Ia membisu beberapa 
saat dan menunggu tanggapan ngabehi . Sampai akhir 
pertemuan mereka, ia membawa   diri seperti selembar 
kertas kosong menghadapi laki-laki itu tanpa siasat 
maupun luapan perasaan. 
Selama itu, kipas di tangan ngabehi  menimbulkan 
embusan angin lembut. Sebelumnya ngabehi  sudah  
menaruh tiga potong arang ke dalam anglo, dan 
sesudah  meletakkan penjepit, ia mengipas arang itu 
sampai menyala, tanpa menerbangkan abu. Air di 
dalam cerek mulai mendidih. Sementara itu, ngabehi  
meraih serbet yang dipakai  dalam Upacara Minum 
Teh dan mengelap dua baskom kecil, masing-masing 
untuk tuan rumah dan tamunya. Gerak-geriknya 
anggun dan seakan-akan tanpa cela, namun  sekaligus 
tenang dan berhati-hati. 
  
patih ronggolawe  merasa kakinya  mulai kesemutan, namun  ia 
tak sanggup menemukan kesempatan tepat untuk 
ucapan berikutnya. Dan sebelum ia menyadarinya, hal-
hal yang dibicarakannya secara terperinci sudah  hilang 
terbawa   angin ke arah pohon-pohon cemara. 
Sepertinya tak ada yang tersisa di telinga ngabehi . 
"Hmm, sudikah Tuan memberi tanggapan 
mengenai hal-hal yang baru saja kukemukakan? Aku 
percaya bahwa bujukan dengan nama dan pangkat 
bukanlah cara tepat untuk menarik Tuan dari sini, 
jadi takkan kusinggung. Nah, memang benar jenggala  
provinsi kecil, namun  di masa mendatang jenggala -lah yang 
akan mcngendalikan seluruh ncgeri, sebab selain 
junjunganku tak ada yang memiliki kemampuan 
untuk itu. Jadi, tak sepatutnya Tuan hidup terpencil 
di pegunungan sementara dunia dilanda kekacauan. 
Demi kepentingan bangsa, Tuan seharusnya turun 
dari bukit ini." Sang tuan rumah tiba-tiba berpaling ke 
arah patih ronggolawe , dan tanpa sadar patih ronggolawe  menahan 
napas. namun  ngabehi  hanya menawarkan  baskom teh. 
"Silakan hirup teh ini." karanya. lalu , sesudah  
meraih baskom kecil, ngabehi  menghirup berulang kali, 
seakan-akan tak ada hal lain yang menjadi perhatian-
nya. 
"Tamu yang Terhormat..." 
"Ya?" 
"Apakah Tuan menyukai anggrek? Di musim semi 
anggrek indah sekali, namun  di musim gugur pun daya 
tariknya tidak berkurang."  
  
"Anggrek! Apa maksud Tuan, anggrek?" 
"Bunga anggrek. Kalau Tuan berjalan sekitar tiga-
empat mil ke dalam hutan, Tuan akan menemukan 
bunga-bunga anggrek yang menyimpan embun masa 
lampau pada tebing-tebing dan celah-celah. Aku sudah  
meminta pelayanku, patih keboabang , memetik sekuntum dan 
menaruhnya dalam pot. Sudikali Tuan melihatnya?" 
"Ti... tidak." patih ronggolawe  tcrdiam. "Aku tidak biasa 
mengamati anggrek."  
"Bcgitukah?" 
"Kuharap suatu hari kelak aku bisa menikmati 
keindahan anggrek, namun  sekarang mimpi-mimpiku 
selalu berkisar di sekitar medan laga, walaupun aku 
berada di rumah. Aku hanyalah pelayan marga sinuhun . 
Aku tidak memahami perasaan orang yang hidup 
bersenang-senang." 
"Hmm, ini memang masuk akal. namun  tidakkah 
Tuan menyia-nyiakan hidup Tuan dengan memeras 
tenaga untuk meraih keuntungan dan kemasyhuran? 
Kehidupan di pegunungan memiliki makna yang 
sangat dalam. Mengapa Tuan tidak meninggalkan 
kahuripan dan mendirikan pondok di bukit ini?" 
Bukankah ketulusan sama saja dengan ketololan? 
Dan pada akhirnya, bukankah tanpa strategi berarti 
tanpa kebijakan? Barangkali ketulusan saja belum 
cukup untuk mengetuk hati nurani seseorang. Aku 
tidak mengerti, pikir patih ronggolawe  saat  ia menuruni 
bukit sambil mcmbisu. Segala usahanya  sia-sia belaka. 
Kunjungannya ke rumah ngabehi  tidak membuahkan 
  
hasil apa pun. Dengan hati terbakar, patih ronggolawe  
menoleh dan memandang ke belakang. Kini tak ada 
yang tersisa selain kemarahan. Tak ada penyesalan. 
Seusai pertemuan pertama ini, patih ronggolawe  secara halus 
diminta pergi. Barangkali aku takkan pernah berjumpa 
lagi dengannya. patih ronggolawe  berkata dalam hati. Tidak. 
Pada pertemuan berikut aku akan mengamati kepalanya 
sesudah  dibawa   ke hadapanku di medan tempur, demikian 
ia berjanji pada diri sendiri sambil menggigit bibir. 
Berapa kalikah ia sudah  menyusun jalan setapak ini 
dan menundukkan kepala, bersikap sopan dan 
menyembunyikan mulut jalan setapak ini sudah  
menjadi duri bagi patih ronggolawe . Sekali lagi ia berbalik. 
"Dasar setan !" ia berseru tanpa daya. Barangkali ia 
teringat wajah ngabehi  yang pucat dan tubuhnya yang 
letih. Dengan geram patih ronggolawe  mempercepat langkah-
nya. lalu , saat  melewati sebuah tikungan, di 
tcpi jurang ia seolah-olah mendadak teringat sesuatu 
yang sudah  mengganjal hatinya sejak ia meninggalkan 
rumah ngabehi . Sambil berdiri di tepi jalan, ia 
membuang air kecil ke lembah di bawah . Arus 
membusur itu berubah menjadi kabut di tengah jalan. 
patih ronggolawe  menyelesaikan hajatnya. lalu berseru. 
"Cukuplah sudah!" Ia semakin mempercepat langkah. 
dan bergegas menuruni bukit. 
saat  tiba di rumah suwarjo , ia berkata. "Saya, 
perjalanan ini ternyata menghabiskan waktu lebih 
lama dari yang diduga. Besok kita bangun pagi-pagi 
dan kembali ke kahuripan." Melihat majikannya 
  
begitu bersemangat, Saya menduga bahwa pertemuan 
dengan raden mas  ngabehi  berjalan mulus dan ia 
merasa bahagia untuk majikannya. patih ronggolawe  dan 
Saya melewatkan malam hari bersama suwarjo  dan 
keluarganya, lalu  tidur. patih ronggolawe  terlelap 
dengan nyenyak. Saya begitu heran mendengar 
majikannya mendengkur, sehingga dari waktu ke 
waktu ia membuka mata. namun  saat  merenungkan-
nya, ia menyadari bahwa kecemasan dan  kelelahan 
fisik sebab  berulang kali mendaki Bukit kuburan  
pasti tidak kecil. Akibatnya mata Saya pun berkaca-
kaca. 
Berusaha mencapai kejayaan, biarpun hanya sedikit. 
pastilah luar biasa, ia berkata pada diri sendiri. Bahwa 
upaya majikannya berakhir dengan kegagalan sama 
sekali tak terbayangkan olehnya. Sebelum fajar, 
patih ronggolawe  sudah hampir selesai dengan persiapan 
untuk perjalanan yang akan ditempuhnya. Membelah 
embun, mereka meninggalkan desa. Tak pelak lagi 
banyak keluarga masih terlelap. 
"Tunggu. Saya." 
patih ronggolawe  mendadak berhenti dan berdiri tegak. 
menghadap ke matahari terbit. Bukit kuburan  masih 
tampak gelap di atas lautan kabut pagi. Di balik bukit. 
awan -awan  berkilauan diterpa cahaya matahari 
cemerlang. 
"Ah, aku keliru." patih ronggolawe  bergumam. "Aku datang 
untuk meraih seseorang yang sukar diraih. Jadi, tidak 
mengherankan kalau aku tak berhasil. Ketulusanku 
  
belum cukup. Bagaimana mungkin aku melakukan 
hal-hal besar jika jiwaku tctap kerdil?" 
Ia berbalik. "Saya, aku akan pergi sekali lagi ke Bukit 
kuburan . Pulanglah lebih dahulu ." lalu  ia 
mendadak berbalik badan dan kembali menyusuri 
jalan yang menanjak, mengoyak kabut pagi di lereng 
bukit, melangkah dengan mantap. saat  patih ronggolawe  
tiba di tepi paya lebar yang berdekatan dengan rumah 
ngabehi , ia mendengar sebuah suara mcmanggilnya 
dari kejauhan. 
Rupanya Oyu, dan patih keboabang  pun bersamanya. Oyu 
membawa   keranjang berisi berbagai macam daun, dan 
sedang menunggang badak . patih keboabang  mcmcgang tali 
kekang. 
"Wah, aku terkejut. Tuan memang luar biasa. 
Guruku pun menduga bahwa Tuan sudah kapok dan 
takkan kcmbali lagi." 
Sambil turun dari punggung badak , Oyu meng-
ucapkan salam seperti biasa. namun  patih keboabang  memohon 
pada patih ronggolawe . 
"Tuan, janganlah Tuan pergi ke sana, paling tidak 
untuk hari ini saja. Guruku berkata bahwa dia demam 
semalam, sebab  tecrlalu lama berbincang-bincang 
dengan Tuan. Tadi pagi pun suasana hatinya buruk 
sekali, dan aku dimarahinya." 
"Jangan kasar," Oyu memperingatkan patih keboabang , lalu 
minta maaf pada patih ronggolawe . lalu  ia memohon 
secara tak langsung agar patih ronggolawe  membatalkan 
kunjungannya. "Bukan Tuan yang memicu  
  
kakakku jatuh sakit. Kelihaiannya dia terkena flu. Hari 
ini dia berbaring di tempat tidur, jadi aku akan 
memberitahunya bahwa Tuan hendak berkunjung. 
namun  mohon jangan hari ini." 
"Kedatanganku tentu akan mengganggu. Aku akan 
membatalkan niatku dan kembali ke bawah . namun ..." 
patih ronggolawe  mengambil kuas dan tinta dari 
jubah nya dan menulis pesan pada secarik kertas. 
 
Tak ada kesenangan dalam kehidupan yang lamban. 
Itu sebaiknya hanya dijalani burung dan binatang  
Rasa terasing bisa muncul di tengah keramaian. 
Ketenteraman bisa diperoleh di tengah kota.  
awan  gunung tak mengenal beban duniawi.  
Datang dan pergi sesuka hati  
Apakah mungkin tempat mengubur tulang-belulang 
Hanya terbatas pada gunung-gunung yang hijau? 
 
patih ronggolawe  sadar betul bahwa sajaknya tidak 
bermutu, namun  hasil karyanya itu mengungkapkan 
perasaannya dengan tepat. Ia menambahkan satu hal 
lagi. 
 
Ke manakah arah awan  yang meninggalkan puncak 
gunung?  
Ke barat? Ke timur? 
 
"Aku percaya Tuan ngabehi  akan menertawa kanku, 
dan  menganggapku lancang dan tak tahu malu, namun  
  
ini terakhir kali aku mengganggumu. Aku akan 
menunggu di sini sampai aku memperoleh  jawab an. 
Dan jika aku memperoleh kesan bahwa perintah 
junjunganku tak mungkin dapat dilaksanakan, aku 
akan melakukan seppuku di tepi paya ini. Jadi 
tolonglah, himbau dia satu kali lagi." patih ronggolawe  
bahkan lebih bersungguh-sungguh dibandingkan 
kemarin. Dan ia mengucapkan kata seppuku tanpa 
menyimpan akal bulus. Kata itu seakan-akan meluncur 
dengan sendirinya dari lubuk hati yang paling dalam. 
Oyu bukannya memandang rendah pada patih ronggolawe , 
ia malah merasakan simpati mendalam dan kembali 
ke tempat tidur kakaknya dengan membawa   surat 
patih ronggolawe . ngabehi  membaca surat itu satu kali dan 
tidak mengatakan apa-apa. Ia memejamkan mata 
selama hampir setengah hari. Senja pun tiba, dan hari 
berubah menjadi malam yang diterangi cahaya bulan. 
"patih keboabang , bawa   badak  kita ke sini." ngabehi  tiba-tiba 
berkata. 
Melihat kakaknya hendak meninggalkan rumah, 
Oyu langsung cemas dan mengambilkan baju katun 
dan  jubah  tebal untuknya. lalu  ngabehi  
berangkat, duduk di punggung badak . Dengan patih keboabang  
sebagai pemandu, mereka menuruni lereng bukit ke 
arah paya. Di sebuah gundukan tanah di kejauhan. 
mereka melihat sosok seseorang yang belum 
menyentuh makanan maupun minuman, bersilangkan 
kaki seperti biksu Zen di bawah  rembulan. Pemburu 
yang melihatnya dari kejauhan pasti berpendapat 
  
bahwa patih ronggolawe  merupakan sasaran empuk. ngabehi  
turun dari badak  dan langsung menghampirinya. 
lalu  ia berlutut di hadapan patih ronggolawe  dan 
membungkuk. 
"Tuan Tamu, aku berlaku tidak sopan hari ini. Aku 
tidak tahu mengapa Tuan menaruh harapan pada 
seorang laki-laki letih yang hidup di pegunungan, namun  
Tuan bersikap lebih santun dibandingkan  yang patut 
kuterima. Orang sering berkata bahwa seorang 
centeng adipati  rela mati untuk seseorang yang sungguh-
sungguh mengenalnya. Aku tak ingin Tuan mati sia-
sia, dan aku akan mengukir ini di hatiku. Namun aku 
pun pernah mcngabdi pada marga pangeran. Aku tidak 
mengatakan bahwa aku akan mengabdi pada 
aidit . Aku akan mengabdi pada Tuan, dan  
menyerahkan tubuh ini untuk kepentingan Tuan. 
Aku datang untuk menyampaikan ini. Sudikah Tuan 
memaafkan kekasaran yang kuperlihatkan selama 
beberapa hari terakhir ini?" 
 

 
Sudah beberapa lama tidak terjadi pertempuran. Baik 
jenggala  maupun blambangan  memperkuat pertahanan dan 
membiarkan musim dingin dikujawa  salju dan angin 
membekukan. Bersamaan dengan gencatan senjata tak 
rcsmi, jumlah orang dan iringan kuda beban yang 
melakukan perjalanan di antara kedua provinsi itu 
meningkat. Tahun Baru berlalu, dan akhirnya kuncup-
  
kuncup pohon-pohon prem mulai memperlihatkan 
warna. Para warga kota Banyuwangi  menyangka 
kehidupan akan berlangsung sentosa selama seratus 
tahun lagi. 
Matahari musim semi menerpa tembok-tembok 
benteng kota Banyuwangi  yang putih menyelubungi semua-
nya dengan suasana lamban menjemukan. Pada hari-
hari seperti ini, para warga kota menatap ke benteng kota, 
dan bertanya-tanya mengapa mereka membangun 
benteng kota itu di puncak gunung tinggi. Kalau pusat 
kehidupan mereka dilanda ketegangan, mereka segera 
merasakannya; jika kelesuan merajalela, mereka pun 
menjadi apatis. Tak peduli seberapa banyak 
pengumuman resmi ditempelkan pada pagi dan 
malam hari, tetap saja tak ada yang memberikan 
tanggapan serius. 
Hari sudah  siang. gerombolan  bangau putih dan unggas 
air berkata  di kolam-kolam. Bunga-bunga pohon 
persik berguguran. Meskipun kebun buah-buahan itu 
berada di dalam tembok benteng kota, jarang ada hari 
tanpa angin di puncak Gunung Banyuwangi  yang 
tinggi. ki damar  tergeletak pingsan sebab  mabuk di 
pondok teh di kebun buah. 
pangeran Kuroemon dan sri baginda  Hayato, dua penasihat 
senior ki damar , sedang mencari si penguasa 
Banyuwangi . Gundik-gundik ki damar  mungkin tak 
dapai menyaingi "harem 50000 kembang cantik" 
dalam legenda kedhiri , namun  di sini pun tak ada 
kekurangan akan kecantikan. Jika para dayang ikut 
  
diperhitungkan, jumlah mereka lebih besar dibandingkan  
jumlah buah persik di kebun buah. Duduk 
berkelompok, mereka menunggu, sedih dan jemu, 
sampai majikan mereka terbangun.  
"Di mana Yang Mulia?" tanya Kuroemon. 
"Yang Mulia mungkin lelah. Beliau tertidur di 
pondok teh." pelayan ki damar  membalas. 
"Maksudmu, beliau sedang mabuk?" ujar 
Kuroemon. Ia dan Hayato mengintip ke pondok teh. 
Mereka melihat ki damar  di tengah-tengah kerumunan 
wanita lesbian , terbaring dengan rebana sebagai ganjal 
kepala. 
"Hmm, nanti saja kita kembali lagi," kata pangeran. 
Kcduanya mulai pergi. 
"Siapa itu? Aku mendengar suara laki-laki!" ki damar  
mengangkat wajahnya yang memerah. Telinganya 
seakan-akan berpendar. "Kaukah itu, Kuroemon? Dan 
Hayato? Kenapa kalian ke sini? Kami sedang 
mengamati kembang. Dan kalian belum memperoleh 
anggur !". 
Sepertinya mereka datang untuk mengadakan pem-
bicaraan pribadi. namun  saat  disapa dengan cara 
demikian, keduanya membatalkan niat untuk 
menyampaikan laporan-laporan dari provinsi-provinsi 
musuh. 
"Mungkin nanti malam." namun  pada malam hari 
kembali terjadi pesta mabuk-mabukan. 
"Mungkin besok." Sekali lagi mereka menunggu, 
namun  siang hari tersita oleh pagelaran musik. Tak satu 
  
hari pun dalam sepertinya  ki damar  mengurus masalah 
pemerintahan. Tugas itu ia serahkan kepada para 
pengikut seniornya. Beruntung, banyak dari mereka 
merupakan veteran yang sudah  menjadi abdi marga 
pangeran seama tiga generasi. Merekalah yang menegak-
kan kekuasaan marga di tengah-tengah kekacauan. 
Membiarkan ki damar  asyik dengan kesibukannya 
sendiri, para pengikut senior tak tega menikmati 
kemewahan seperti tidur pada siang hari di musim 
semi. 
Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan mata-
mata Hayato, marga sinuhun  sudah  menarik pelajaran dari 
kekalahan pahit yang mereka alami pada musim panas 
sebelumnya. dan sudah  menyadari bahwa percuma saja 
mereka mencobanya sekali lagi. "aidit  hanya 
menyia-nyiakan centeng  dan uang dalam serangan-
scrangannya ke blambangan , dan mungkin dia sudah 
membatalkan niatnya sama sekali." Hayato menyim-
pulkan. Berangsur-angsur ia jadi percaya bahwa 
aidit  sudah  mencampakkan rencana-rencananya 
sebab  kehabisan uang. 
Musim semi itu, aidit  mengundang seorang 
ahli upacara teh dan seorang penyair ke benteng kota, dan 
mengisi hari-harinya dengan menjalankan Upacara 
Teh dan mengadakan acara menulis sajak. Paling 
tidak, bagi orang luar, aidit  terlihat memanfaat-
kan masa damai ini untuk menikmati hidup, seakan-
akan tak ada hal lain yang membebani pikirannya. 
 
  
Tepat seusai Perayaan Orang Mati di pertengahan 
musim panas, kurir-kurir yang membawa   berita-berita 
penting memacu kuda masing-masing dari Gunung 
merah  ke semua distrik di jenggala . Kota benteng kota 
heboh. Pemeriksaan terhadap orang-orang yang 
menyeberang semakin diperketat. Pengikut-pengikut 
datang dan pergi, dan sering bertemu dalam rapat-
rapat yang diadakan larut malam di benteng kota. Kuda-
kuda diambil alih. Para centeng adipati  mendesak-desak para 
pembuat baju tempur untuk segera menyelesaikan 
baju tempur dan senjata yang sudah  mereka kirim guna 
diperbaiki. 
"Bagaimana dengan aidit ?" Hayato bertanya 
kepada para mata-matanya. 
Mereka menjawab , meski kurang percaya. "Tak ada 
perubahan dalam bentcng. Lampu-lampu terus 
menyala sampai fajar, dan nada-nada seruling dan  
genderang masih terdengar bergema." 
saat  kemarau berganti musim gugur, berita itu 
akhirnya bocor: "aidit  menuju ke barat dengan 
centeng  berkekuatan sepuluh ribu orang! Mereka 
berpangkalan di benteng kota kahuripan. Sekarang ini pun 
mereka sudah mulai menyeberangi Sungai brantas ." 
ki damar , yang biasanya bersikap tak peduli pada 
dunia luar, menjadi histeris saat  akhirnya dipaksa 
menghadapi kenyataan. Para penasihatnya pun merasa 
cemas, sebab  mereka belum memikirkan tindakan 
balasan yang harus diambil. 
"Barangkali ini hanya kabar angin," ujar ki damar  
  
berulang-ulang. "Marga sinuhun  tak mampu mengerahkan 
centeng  berkekuatan sepuluh ribu orang. Belum 
pernah mereka sanggup menggelar centeng  sebesar 
itu." 
namun  saat  para mata-mata memberitahunya bahwa 
centeng  sinuhun  kali ini memang berkekuatan sepuluh 
ribu orang, rasa ngeri menjalar sampai ke sumsum 
ki damar . Kini ia meminta pendapat para penasihat 
seniornya. 
"Hmm, serangan ini tak lebih dari spekulasi 
sembrono. Apa yang akan kita lakukan untuk 
memukul mereka sampai mundur?" 
Akhirnya, persis seperti orang yang selalu minta 
pertolongan para dewa saat menghadapi kesulitan, 
ki damar  mengirim surat panggilan kepada Tiga 
Serangkai. Namun tak satu pun dari mereka bergegas 
ke benteng kota Banyuwangi . 
"Bagaimana dengan si Macan dari panarukan ?" 
"Dia? Beberapa waktu terakhir dia berlagak sakit 
dan mengurung diri di benteng kotanya. Dia tak bisa kita 
andalkan." 
Mendadak semangat ki damar  pulih kembali. 
seakan-akan menertawa kan kebodohan para pengikut-
nya, atau tiba-tiba menemukan rencana gemilang. 
"Sudahkah kalian mengirim kurir ke Bukit kuburan ? 
Panggil ngabehi ! Ada apa dengan kalian? Kenapa 
kalian tidak menuruti perintahku? Jangan mengulur-
ulur waktu dalam keadaan seperti ini! Utus seseorang 
sekarang juga! Sekarang juga!" 
  
"Beberapa hari yang lalu, tanpa menunggu perintah 
tuanku, kami sudah  mengirim pesan mengenai situasi 
gkertoarjo t yang kami hadapi kepada ngabehi . Kami 
mendesaknya untuk segera turun gunung, namun ..." 
"Dia tidak mau datang?" ki damar  mulai tak sabar. 
"Kenapa? Menurut kalian, kenapa dia tidak bergegas 
ke sini dengan centeng nya? Bukankah dia pengikut 
yang setia?" 
Dalam benak ki damar , kata-kata "pengikut yang 
setia" itu menggambarkan seseorang yang biasanya 
bicara tanpa tedeng aling-aling, dan mengganggu 
matanya dengan tampang yang tidak menyenangkan. 
namun  dalam keadaan gkertoarjo t, orang itu pula yang 
pertama-tama menerjang maju untuk membela 
junjungannya, tak peduli seberapa jauh ia berada. 
"Kirim utusan sekali lagi." ki damar  berkeras. 
Para pengikut utama menganggapnya tak berguna. 
Namun uniuk keempai kalinya mereka mengutus 
kurir ke Bukit kuburan . Orang itu kembali dengan 
hati remuk. 
"Hamba akhirnya berhasil menemuinya, namun  sesudah  
membaca perintah tuanku, dia tidak memberi 
tanggapan apa pun. Dia hanya meneteskan air mata 
dan mendesah, bergumam mengenai para penguasa 
yang malang di dunia ini." si kurir melaporkan. 
ki damar  merasa dipermainkan mendengar berita 
itu. Wajahnya menjadi merah sebab  marah, dan ia 
mencaci para pengikutnya. "Percuma saja mengandal-
kan orang sakit!" 
  
Hari demi hari berlalu penuh kesibukan. centeng  
sinuhun  sudah  mulai menyeberangi Sungai brantas , dan sudah  
mulai melawan  centeng  musuh dalam pertempuran 
sengit. Setiap jam ada laporan baru mengenai 
kekalahan centeng  pangeran. 
ki damar  tak bisa tidur, matanya tampak merah. 
Dalam waktu singkat suasana di benteng kota Banyuwangi  
menjadi kacau-balau dan pilu. ki damar  sudah  
memerintahkan agar di syosobremargo ling kebun buah dipasang 
tirai, dan di sanalah ia duduk. di tengah-tengah para 
pengikutnya. 
"Kalau centeng  kita tidak memadai, kerahkan bala 
bantuan dari setiap distrik di wilayah kita. Cukupkah 
centeng  di kota benteng kota? Kita tak perlu meminjam 
centeng  dari marga jawa , bukan? Bagaimana menurut 
kalian?" Suaranya melengking ketakutan, bergetar 
sebab  ngeri. Para pengikut harus berhati-hati agar 
keadaan ki damar  tidak sampai mempengaruhi 
prajurit-prajuritnya sendiri. 
saat  malam tiba, orang-orang di dalam benteng kota 
bisa melihat kobaran api. Siang-malam centeng  sinuhun  
mendesak maju, dari wonorejo  dan Dataran tinggi sumbing di 
selatan dan dari hulu anak-anak Sungai nagari . 
sampai ke Goto dan kalinyamat  di barat. Kebakaran-
kebakaran yang mengikuti gerak maju centeng  sinuhun  
berubah menjadi lautan api yang menghanguskan 
langit. Pada hari ketujuh di bulan itu, orang-orang 
sinuhun  mengepung Banyuwangi , benteng kota utama pihak 
musuh. 
  
Untuk pertama kali aidit  memimpin centeng  
yang demikian besar. Dari segi itu saja, tekadnya 
untuk berhasil dapat dimengerti. aidit  sudah  
mengerahkan kekuatan seluruh provinsi. Jika mereka 
kalah, baik jenggala  maupun marga sinuhun  akan lenyap 
dari muka bumi. 
Begitu centeng  sinuhun  mencapai Banyuwangi , gerak 
majunya terhenti, dan selama beberapa hari kedua 
belah pihak terlibat pertempuran sengit. Letak 
Banyuwangi  yang menguntungkan dan  para veteran 
berpengalaman dari pihak pangeran terbukti sangat 
berharga. namun  yang paling merugikan centeng  sinuhun  
adalah persenjataan mereka. Kekayaan blambangan  sudah  
memungkinkan orang-orang pangeran membeli senjata api 
dalam jumlah cukup besar. 
Pihak pangeran memiliki  kesatuan bedil sesuatu 
yang tidak dimiliki centeng  sinuhun  yang melepaskan 
tembakan kepada para penycrang pada waktu mereka 
mendekati kota benteng kota. tribuana  tunggadewa , orang 
yang membentuk kesatuan itu, sudah lama meninggal-
kan blambangan  dan menjadi adipati . Meski demikian, 
kesatuan bedil itu memiliki dasar-dasar kokoh, sebab  
tunggadewa  sudah  mencurahkan segenap perhatiannya 
untuk mempelajari senjata api. 
Bagaimanapun, sesudah  beberapa hari mengalami 
hkertoarjo  panas dan pertempuran jarak dekat, centeng  
sinuhun  akhirnya mulai lelah. Seandainya saat itu marga 
pangeran meminta bala bantuan dari gunungselatan atau Ise, 
scpuluh ribu orang takkan pernah melihat jenggala  lagi. 
  
Yang paling mencemaskan adalah sosok Bukit 
kuburan , Gunung Nangu, dan Gunung Bsinuhun i, yang 
membayang di kejauhan. 
"Tuanku tak perlu menaruh pcrhatian ke arah itu." 
patih ronggolawe  mepercayakan aidit . 
Namun aidit  tetap cemas. "Pengepungan 
bukanlah strategi yang tepat, namun   ketidaksabaran 
hanya akan membawa   kerugian bagi centeng ku. Aku 
tidak melihat jalan untuk merebut benteng kota itu, apa 
pun yang kita lakukan." 
Rapat demi rapat diadakan, namun  sepertinya tak 
seorang pun memiliki usul bagus. Akhirnya disetujui 
untuk menjalankan rencana patih ronggolawe , dan suatu 
malam ia menghilang dari barisan terdepan. 
Mulai dari persimpangan jalan panarukan  dan jalan 
dwikerto , yang berjarak sekitar empat sampai lima mil dari 
ujung barisan gunung tempat Banyuwangi  berdiri tegak, 
patih ronggolawe  berangkat dengan sembilan orang 
kepercayaan saja. Bermandikan keringat, rombongan 
itu mendaki Gunung Zuiryuji yang cukup jauh dari 
Banyuwangi , sehingga takkan dijaga. Di antara yang 
menyertai patih ronggolawe  ada banaspati  dan  adik-
nya, wilapati . Bertindak sebagai pemandu adalah 
laki-laki yang baru-baru ini menjadi akrab dengan 
patih ronggolawe  dan merasa bcrutang budi padanya, mpu sindok 
kedaton, si Macan dari panarukan .      
"Dari kaki tebing besar itu kalian harus menuju ke 
arah lembah. Seberangi sungai kecil nun di sana, lalu 
berjalanlah ke arah paya-paya." 
  
saat  mereka menduga sudah  mencapai ujung 
lembah, sekaligus ujung jalan setapak, mereka meihat 
tanaman rambat menempel di sebuah tebing. sesudah  
mencari-cari, mereka menemukan jalan setapak 
menuju lembah tersembunyi di balik rumpun bambu. 
"Jarak dari sini ke bagian belakang benteng kota sekitar 
dua mil. Kalau kalian berjalan sejauh itu dengan 
mengikuti peta, kalian akan menemukan sebuah pintu 
air yang menuju ke dalam. Nah, sekarang aku mohon 
diri." 
mpu sindok meninggalkan rombongan itu dan kembali 
seorang diri. Ia laki-laki yang menjunjung tinggi 
kesetiaan. Walaupun sudah  memutuskan untuk 
membantu patih ronggolawe , ia pun pernah bersumpah setia 
pada marga pangeran. Batinnya, tentu tersiksa sekali saat  
ia menuntun rombongan patih ronggolawe  menyusuri jalan 
setapak rahasia yang menuju benteng kota utama bekas jun-
jungannya. patih ronggolawe  memahami perasaan mpu sindok, 
dan sengaja menyuruhnya kembali sebelum mereka 
mencapai tempat tujuan. 
Dua mil tidak seberapa jauh, namun  sebetulnya  tak 
ada jalan setapak yang dapat mereka ikuti. Sambil 
berjalan, patih ronggolawe  terus-menerus mengamati peta, 
berusaha mencari jalan setapak rahasia. namun   gambar 
pada peta dan keadaan sebetulnya  ternyata tidak 
sesuai. 
Ia tak dapat mencmukan sungai kecil yang seharus-
nya menjadi patokan bagi mereka. Mereka tersesat. 
Sementara itu, matahari mulai tenggelam, dan udara 
  
mulai dingin. patih ronggolawe  tidak memperhitungkan 
kemungkinan tersesat. Pikirannya tertuju pada 
centeng  yang mengepung Banyuwangi . Jika ia gagal 
menjalankan rencananya sampai matahari terbit 
keesokan paginya, rekan-rekannya itu akan meng-
hadapi kesulitan yang tidak kecil. 
"Tunggu!" salah seorang anggota rombongan 
mereka berkata, begitu mendadak, sehingga yang lain 
tersentak kaget. "Aku melihat cahaya." 
Cahaya lampu di lereng gunung memang men-
curigakan, apalagi jika berdekatan dengan jalan 
setapak rahasia menuju benteng kota Banyuwangi . Rupanya 
mereka sudah di dekat benteng kota, dan kemungkinan 
besar cahaya ini berasal dari pos jaga musuh. 
Mereka segera bersembunyi. Dibandingkan para 
adipati  yang bisa bergerak lincah saat mendaki gunung 
maupun berjalan biasa, patih ronggolawe  merasa lamban. 
"Berpeganglah pada ini." kata banaspati , 
menimbang  gagang tombaknya. patih ronggolawe  ber-
pegangan erat, dan banaspati  menaiki tebing yang 
terjal, menarik patih ronggolawe  di beakangnya. Mereka tiba 
di sebuah lapangan datar. saat  malam semakin 
gelap, cahaya yang mereka lihat sebelumnya tampak 
berkelap-kelip dari sebuah celah di gunung sebelah 
barat mereka. 
Dengan berasumsi bahwa itu sebuah pos jaga, jalan 
setapak rahasia itu hanya mungkin menuju ke satu 
arah.  
"Tak ada pilihan lain," mereka berkata, bertekad 
  
untuk menerobos maju. 
"Tunggu," patih ronggolawe  segera menenangkan mereka. 
"Kemungkinan besar hanya ada beberapa orang di pos 
jaga itu, tidak cukup banyak untuk merepotkan kita, 
namun  kita tak boleh membiarkan mereka mengirim 
isyarat ke Banyuwangi . Kalau memang ada tempat 
untuk memberi sinyal, letaknya pasti di sekitar pos 
jaga. Jadi, mari kita cari, lalu tempatkan dua orang di 
sana. sesudah  itu, untuk mencegah para penjaga 
melarikan diri ke benteng kota, setengah dari kita meng-
ambil tempat di balik pos," 
Mengangguk pertanda setuju, mereka merangkak 
seperti binatang penghuni hutan, melewati sebuah 
cekungan dan memasuki lembah. Wangi rami di 
ladang-ladang terasa mengejutkan. Selain itu juga ada 
petak-petak beras, bawan g, dan ubi jalar. 
patih ronggolawe  memiringkan kepala. Pondok itu 
dikelilingi ladang-ladang dan dibuat secara sederhana, 
tidak mirip  pos jaga. "Jangan terburu-buru. Aku 
akan mengintai dahulu ." 
patih ronggolawe  merangkak di tengah-tengah rami, 
berusaha untuk tidak menimbulkan suara. 
Berdasarkan apa yang dilihatnya, rumah itu hanyalah 
rumah kumuh milik keluarga pctani. Dalam cahaya 
lentera remang-remang, patih ronggolawe  melihat dua orang. 
Yang satu rupanya wanita lesbian  tua yang tidur 
berbaring di tikar jerami. Yang satu lagi kelihatan 
seperti putranya, dan ia sedang memijat pinggang 
wanita lesbian  tua itu. 
  
Sejenak patih ronggolawe  lupa di mana ia berada. Hatinya 
diliputi perasaan haru saat melihat adegan di 
hadapannya. Rambut wanita lesbian  tua itu sudah 
memutih. Putranya cukup kckar, walaupun usianya 
baru sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. 
patih ronggolawe  tak dapat menganggap anak dan ibu ini 
sebagai orang asing. Tiba-tiba ia merasa seakan-akan 
melihat ibunya di lemahlaban  dan  dirinya sendiri 
saat  masih anak-anak. 
Anak muda itu mendadak bcrdiri dan berkata, "Ibu, 
tunggu sebentar. Ada sesuatu yang aneh." 
"Ada apa, ki pralayan?" wanita lesbian  tua itu mengangkat 
kepala. 
"Jangkrik-jangkrik tiba-tiba berhenti mengerik." 
"Paling-paling binatang yang mau masuk ke 
gudang." 
"Bukan." ki pralayan menggelengkan kepala. "Binatang 
takkan berani mendekat pada waktu lentera masih 
menyala." Ia bergeser ke arah serambi, siap keluar 
rumah, dan meraih pedang. "Siapa yang berkeliaran di 
luar!" serunya. 
patih ronggolawe  tiba-tiba berdiri. 
Terkejut. ki pralayan menatap patih ronggolawe . Akhirnya ia 
bergumam. "Ada apa ini? Sudah kuduga ada orang di 
luar. centeng adipati  dari Kashihara-kah Tuan?" 
patih ronggolawe  tidak menjawab , melainkan berbalik dan 
memanggil anak buahnya dengan isyarat tangan. 
"Kepung pondok itu! Kalau ada yang keluar, gunakan 
pedang kalian!" Para prajurit melompat dari petak 
  
rami dan langsung mengepung pondok.  
"Bersusah payah mengepung rumahku," kata 
ki pralayan, seolah-olah menantang patih ronggolawe  yang 
belum mendekat. "Hanya ibuku dan aku yang ada di 
sini. Tak ada yang patut dikepung dengan begitu 
banyak orang. Apa yang kalian cari di sini, centeng adipati ?" 
Sikap ki pralayan saat  berdiri di serambi jauh dari 
bingung. Justru sebaliknya, ia tampak terlalu tenang. 
Ia jelas-jelas memandang rendah pada mereka. 
patih ronggolawe  duduk di tepi serambi dan berkata, 
"Bukan, anak muda, kami hanya berhati-hati. Kami 
tidak bermaksud menakut-nakuti kalian." 
"Aku sama sekali tidak takut, namun  ibuku kaget. 
Kalau mau minta maaf, mintalah maaf pada ibuku." 
ki pralayan bicara tak gentar. Anak muda itu pasti bukan 
petani biasa. patih ronggolawe  menatap ke dalam pondok. 
"Ah, ki pralayan. Kenapa kau bersikap kasar terhadap 
seorang centeng adipati ?" ujar wanita lesbian  tua di dalam 
rumah. lalu  ia berpaling pada patih ronggolawe  dan 
berkata. "Hmm, hamba tidak tahu siapa Tuan. namun  
anak hamba tak pernah bercampur dengan masyarakat 
luas, dan dia hanya anak kampung yang tidak tahu 
sopan santun. Maafkanlah dia, Tuan." 
"Kau ibu anak muda ini?" 
"Ya. Tuan." 
"Kau mengatakan dia hanya anak kampung yang 
tidak tahu sopan santun, namun  dari ucapan dan roman 
mukamu, rasanya sukar dipercaya bahwa kalian petani 
biasa." 
  
"Kami menyandang hidup dengan bcrburu di 
musim dingin, dan  dengan membuat dan menjual 
arang di musim panas." 
"Sekarang mungkin memang begitu, namun  tidak 
sebelumnya. Paling tidak, kalian berasal dari keluarga 
berketurunan baik. Aku bukan pengikut marga pangeran, 
namun sebab  keadaan, aku tersesat di pegunungan 
ini. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian. Kalau 
tidak keberatan, dapatkah kau memberitahu kami di 
mana kami berada?" 
ki pralayan, yang sudah  duduk di samping ibunya, tiba-
tiba bertanya. "Tuan centeng adipati , Tuan berbicara dengan 
logat jenggala . Apakah Tuan berasal dari jenggala ?" 
"Ya, aku lahir di lemahlaban ." 
"lemahlaban ? Itu tidak jauh dari desa kami. Aku lahir 
di sungai brantas  ."  
"Kalau begitu, kita dari provinsi yang sama." 
"Kalau Tuan pengikut jenggala , aku akan mencerita-
kan scmuanya. Nama ayahku Horio Tanomo, abdi 
Yang Mulia Nobukiyo di benteng kota Koguchi." 
"Ah, jika ayahmu abdi Yang Mulia Nobukiyo, kau 
pun pengikut Yang Mulia aidit ." Aku bertemu 
orang yang tepat, pikir patih ronggolawe  dengan gembira. 
sesudah  diangkat menjadi komandan kahuripan, ia 
mencari orang-orang yang berkemampuan untuk 
mengabdi padanya. patih ronggolawe  tak pernah mem-
pekerjakan seseorang lebih dahulu , baru lalu  
menilai kecakapannya. Jika mempercayai seseorang, ia 
langsung mempekerjakan orang itu, lalu  ber-
  
angsur-angsur memanfaatkan jasanya. Cara itu pula 
yang dipakai  patih ronggolawe  saat  mencari istri. Ia luar 
biasa jeli melihat bakat sejati dalam diri seseorang. 
"Ya, aku mengerti. namun  kurasa, sebagai ibu ki pralayan, 
kau tentu tidak menginginkan ki pralayan menghabiskan 
hidupnya sebagai pembuat arang dan pemburu. 
Kenapa tidak kaupercayakan saja anakmu padaku? 
Aku sadar bahwa aku akan mcngambil segenap 
milikmu. Kedudukanku tidak tinggi, namun  aku 
pengikut Yang Mulia sinuhun  aidit . Namaku 
panembahan  patih ronggolawe . Upahku tak sebcrapa, dan aku 
meng-anggap diriku sebagai orang yang menghadapi 
dunia hanya bersenjatakan tombak. Maukah kau 
mengabdi padaku?" patih ronggolawe  bertanya, menatap ibu 
dan anak.  
"Apa? Aku?" ki pralayan membelalakkan mata. 
Begitu bahagia sampai bertanya-tanya apakah ia 
mimpi atau tidak, kedua mata si wanita lesbian  tua ber-
kaca-kaca. "Jika dia bisa mengabdi pada marga sinuhun , 
suamiku yang mati tak terhormat dalam per-
tempuran pasti bahagia sekali. ki pralayan! Terimalah 
tawa ran ini dan bersihkanlah nama ayahmu." 
ki pralayan tentu saja tidak keberatan, dan langsung 
mengucapkan sumpah setia sebagai pengikut. 
lalu  patih ronggolawe  memberikan perintah per-
tama pada ki pralayan. "Kami dalam perjalanan ke bagian 
belakang benteng kota Banyuwangi . Kami memiliki peta 
gunung ini, namun  tidak berhasil menemukan jalan yang 
benar. Ini memang cukup sulit sebagai tugas pertama, 
  
namun  kau harus menunjukkan jalan ke sana. Kaulah 
satu-satunya andalan kita." 
ki pralayan mempelajari peta itu selama beberapa 
waktu, melipatnya, dan mengembalikannya pada 
patih ronggolawe . "Aku mengerti. Adakah yang perlu makan? 
Cukupkah persediaan kita untuk dua kali makan?" 
Berhubung tersesat, persediaan makanan yang 
mereka bawa   sudah menipis. 
"Jarak ke benteng kota memang hanya dua setengah mil, 
namun  sebaiknya kita bawa   persediaan untuk dua kali 
makan." 
ki pralayan segera menanak nasi dan mencampurkan 
buah prem yang sudah  diasinkan, cukup untuk sepuluh 
orang. lalu  ia memungut gulungan tali rami 
dan mengikat batu api dan  pedang ayahnya ke 
pinggangnya. 
"Ibu, aku pcrgi sekarang." ujar ki pralayan. "Menuju 
medan laga adalah cara terbaik untuk mengawal i 
pengabdianku, namun  tergantung nasibku sebagai 
centeng adipati , mungkin ini terakhir kali kita saling 
mcngucapkan selamat tinggal. Jika itu yang terjadi, 
terimalah kehilangan putramu dengan hati lapang." 
Waktu untuk berangkat sudah tiba, namun ibu dan 
anak tentu saja merasa berat untuk berpisah. 
patih ronggolawe  hampir tak tega melihatlihat  mereka. Ia 
berjalan menjauhi pondok dan memandang ke arah 
pegunungan yang gelap gulita. 
Pada saat ki pralayan hendak beranjak, ibunya 
memanggil. wanita lesbian  tua itu menimbang  sebuah 
  
labu. "Isilah dengan air dan bawa  lah bersamamu." 
pesannya.  "Kau pasti akan haus dalam perjalanan 
nanti." 
patih ronggolawe  dan yang lain merasa senang. Sampai 
sekarang, mereka sudah lebih dan sekali menderita 
sebab  kekurangan air, sebab di pegunungan hanya 
ada beberapa tempat mata air mengalir. namun  semakin 
dekat mereka ke puncak, semakin sedikit air yang bisa 
mereka peroleh. 
saat  mereka tiba di sebuah tebing, ki pralayan 
melemparkan tali, mengikatnya pada akar pohon 
cemara, memanjat naik, lalu menarik yang lain ke atas. 
"Mulai dari sini, medan yang harus ditempuh akan 
semakin berat." katanya. "Ada beberapa tempat, seperti 
gardu jaga di Gua Akagkertoarjo , di mana kita mungkin 
menangkap oleh para penjaga." Mendengar itu, 
patih ronggolawe  memahami kebijaksanaan ki pralayan yang 
saat  disuruh mengamati peta, mempelajarinya 
sejenak tanpa segera memberikan komentar. Dalam 
beberapa hal ki pralayan masih berkesan kekanak-
kanakan, namun  ini justru memperdalam kasih sayang 
patih ronggolawe  terhadapnya. 
Air di dalam labu akhirnya menjadi keringat pada 
wajah kesepuluh orang itu. ki pralayan mengusap peluh 
yang membasahi wajahnya dan berkata, "Kita takkan 
sanggup bertempur jika selelah ini. Bagaimana kalau 
kita tidur di sini?" 
"Kurasa itu gagasan baik." patih ronggolawe  menyetujui, 
namun lalu  benarnya seberapa jauh mereka 
  
masih harus berjalan untuk mencapai bagian belakang 
benteng kota. 
"Tinggal turun ke sana." kata ki pralayan, menunjuk ke 
lembah. 
Semuanya gembira, namun  ki pralayan menenangkan 
mereka dengan gerakan tangan. "Kita tak bisa bicara 
keras-keras lagi sekarang. Suara kita mungkin terbawa   
angin ke arah benteng kota."    
patih ronggolawe  menatap ke bawah . Pepohonan gelap 
yang menyelubungi lembah tampak seperti danau 
tanpa dasar. namun  saat  matanya sudah  terbiasa dengan 
kegelapan, samar-samar ia melihat tembok yang 
terbuat dari batu-batu besar, sebuah tembok per-
tahanan, dan sesuatu yang tampak seperti gudang di 
antara pepohonan. 
"Kita tepat di atas musuh. Baiklah, kita tidur di sini 
sampai fajar tiba." 
Mereka duduk di tanah. ki pralayan membungkus labu 
yang kini sudah  kosong dengan kain, dan menyisip-
kannya ke bawah  kepala majikannya. Sementara yang 
lain tidur selama dua jam. ki pralayan tetap membuka 
mata berjaga-jaga. 
"Hei!" serunya. 
patih ronggolawe  mengangkat kepala. "Ada apa, ki pralayan?"  
ki pralayan menunjuk ke timur. "Matahari terbit." 
Ternyata betul, langit malam mulai terang. Lautan 
awan  bertengger di puncak gunung, lembah di balik 
benteng kota Banyuwangi , yang berada tepat di bawah  
mereka, tak kelihatan sama sekali. 
  
"Hmm, mari kita serang mereka," kata salah 
seorang. banaspati  dan yang lain merasakan luapan 
semangat, dan segera mengencangkan tali baju tern 
pur. 
"Jangan, tunggu. Kita makan dahulu ," ujar patih ronggolawe . 
Pada waktu matahan muncul di atas lauun awan  
yang luas. mereka menghabiskan makanan yang 
disiapkan ki pralayan malam sebelumnya. Persediaan air 
mereka sudah  habis. namun  nasi yang terbungkus daun 
ek terasa manis sekali, begitu manis, sehingga mereka 
percaya takkan pernah melupakannya. 
Seusai makan, kabut di lembah mulai menipis. 
Mereka melihat sebuah tebing curam dan sebuah 
jembatan gantung yang dipenuhi tanaman rambat. Di 
balik jembatan ada pagar batu atau tembok 
pertahanan yang diselubungi lumut tebal berwarna 
hijau. Tempatnya gelap, dan angin bertiup terus-
menerus. 
"Mana tabung suar? Berikan pada ki pralayan dan 
ajarkan cara menyalakannya." 
patih ronggolawe  berdiri pelan-pelan dan bertanya pada 
ki pralayan, apakah ia mengetahui cara memakai tabung 
suar, lalu berkata, "Kita akan turun sekarang dan 
menerobos masuk. Bukalah telingamu lebar-lebar. 
Begitu mendengar teriakan, segeralah nyalakan tabung 
suar. Mengerti? Jangan keliru." 
"Aku mengerti." ki pralayan mengangguk dan berdiri di 
samping tabung suar. Melihat majikannya dan yang 
lain turun ke lembah dengan semangat menyala-nyala, 
  
ia tampak agak sedih. sebetulnya  ia ingin ikut 
bersama mereka. awan -awan  mulai mirip  
ombak besar yang sedang mengamuk, dan dataran 
antara blambangan  dan jenggala  akhirnya tampak di bawah  
lapisan awan . 
sebab  musim panas baru berlalu, matahari masih 
terik. Tak lama lalu  kota benteng kota Banyuwangi , 
aliran Sungai nagari , bahkan persimpangan-
persimpangan di antara rumah-rumah, sudah 
kelihatan. Namun tak seorang pun terlihat. Matahari 
semakin tinggi. 
"Ada apa?" ki pralayan bertanya-tanya dengan gelisah. 
Jantungnya berdentum-dentum. Kcmudian, tiba-tiba. 
ia mendengar letusan bedil menggema. Sinyal yang di 
tembakkannya meninggalkan jalur asap di langit biru, 
seperti cumi-cumi melepaskan tintanya. 
 
patih ronggolawe  dan anak buahnya tampak tenang saat  
mendekati bagian belakang benteng kota. 
Prajurit-prajurit benteng kota Banyuwangi  yang pertama-
tama melihat mereka menyangka rombongan itu 
terdiri atas orang-orang mereka sendiri. Ditempatkan 
sebagai penjaga gudang bahan bakar dan lumbung 
padi, mereka menghabiskan jatah makan pagi sambil 
bergosip. Meski pertempuran sengit sudah  berlangsung 
selama beberapa hari, ini benteng kota besar, dan seluruh 
hiruk-pikuk terjadi di gerbang depan. Di sini, di 
bagian belakang benteng kota alami ini, suasana begitu 
tenang, sehingga kicau burung pun terdengar jelas. 
  
Pada waktu terjadi pertempuran di bagian depan 
benteng kota, para prajurit di bagian belakang dapat 
mendengar letusan bedil dari jalan berliku-liku sang 
menuju gerbang depan. namun  mereka. yang hanya 
segelintir orang, menyangka takkan terlibat sampai 
menjelang akhir pertempuran. 
"Mereka digempur habis-habisan di depan." kata 
salah seorang prajurit dengan prihatin. 
Sambil menghabiskan jatah makanan masing-
masing, para prajurit memperhatikan patih ronggolawe  dan 
anak buahnya, dan akhirnya mulai curiga dengan 
kehadiran mereka. "Siapa mereka?" 
"Maksudmu, orang-orang di sebelah sana itu?" 
"He-eh. Cara mereka berkerumun agak aneh, 
bukan? Mereka mengintip ke gardu jaga di tembok 
pertahanan."  
"Paling-paling mereka dan garis depan."  
"namun  siapa mereka?" 
"Semua orang tampak mirip kalau sedang memakai 
baju tempur." 
"Hei, salah satu dari mereka baru keluar dapur 
sambil membawa   kayu berapi! Mau diapakan kayu 
berapi itu?" 
Di bawah  pandangan para prajurit yang sedang 
memegang sumpit, laki-laki yang membawa   kayu 
berapi memasuki gudang bahan bakar dan menyulut 
tumpukan kayu bakar. Yang lainnya menyusul 
membawa   dan melemparkan obor ke bangunan-
bangunan di sekitar mereka. 
  
"Mereka musuh!" seru para penjaga. 
Dua orang, patih ronggolawe  dan banaspati , berpaling ke 
arah mereka dan tertawa . 
Di bagian depan benteng kota, begitu melihat suar 
menyala, centeng  sinuhun  menyerbu, menyusuri ketiga 
jalan setapak yang menuju gerbang utama. 
Pertempuran sengit segera pecah, namun  dalam setengah 
hari benteng kota Banyuwangi  sudah  jatuh. Bagaimana 
benteng kota yang seakan-akan tak tertaklukkan ini bisa 
jatuh dengan begitu mudah? Pertama-tama, keadaan di 
dalam benteng kota dilanda kekacauan sebab  kobaran api 
di bagian belakang. Kedua, sorak-sorai patih ronggolawe  dan 
anak buahnya menimbulkan kepanikan di tengah 
centeng  yang bertahan, sehingga mereka mulai saling 
bertempur, menyangka ada pengkhianat di antara 
mereka. namun  faktor paling penting dalam kekalahan 
Banyuwangi , dan ini baru disadari lalu , 
merupakan hasil nasihat seseorang. 
Beberapa hari sebelumnya, ki damar  sudah  mem-
bawa   anak-istri para prajurit yang bertempur di luar 
dan  keluarga warga kota kaya ke dalam benteng kota 
untuk dijadikan sandera, agar para prajuritnya tidak 
menyerah pada musuh. 
namun  yang merancang strategi ini tak lain daro Iyo, 
salah satu dari Tiga Serangkai dari blambangan , yang sudah  
bersekutu dengan patih ronggolawe . Jadi. "strategi" ini tak 
lebih dari komplotan durhaka. Dan sebab nya, 
kekacauan yang terjadi di dalam benteng kota selama 
serbuan berlangsung sungguh mengerikan, sehingga 
  
centeng  yang bertahan tak sanggup memberikan 
perlawan an berarti. Pada puncak kekacauan. 
aidit , yang selalu mencari-cari kesempatan, 
mengirim surat pada ki damar : 
 
Hari ini marga Tuan yang tak bermoral sudah  
diselubungi api pembalasan dewa-dewa, dan akan 
segera diluluhlantakkan oleh prajurit-prajuritku. Warga 
provinsi ini menanti-nanti hujan yang akan 
memadamkan api ini, dan sorak-sorai kegembiraan 
sudah terdengar dari kota benteng kota. Tuan kepribadian  
istriku. Bertahun-tahun aku mengasihani kekecutan 
hati dan ketololan Tuan, dan aku tak sanggup 
menghukum Tuan dengan pedangku. Sebaliknya, aku 
bersedia menyelamatkan nyawa   Tuan dan memberikan 
upah untuk Tuan. Jika Tuan ingin hidup, segeralah 
menyerah dan kirim utusan ke perklemahanku 
 
Bcgitu ki damar  membaca surat itu, ia memerintah-
kan centeng nya agar meletakkan senjata, dan ia 
bersama anggota-anggoia keluarganya meninggalkan 
benteng kota, ditambah   tiga puluh pengikut saja. sesudah  
menugaskan prajurit-prajurit sendiri sebagai pengawal , 
aidit  mengasingkan ki damar  ke Kaisei, namun  
bcrjanji menganugerahkan sedikit tanah pada adik 
ki damar , Shingoro, agar marga pangeran tidak sampai 
musnah. 
Dengan penyatuan jenggala  dan blambangan , nilai wilayah 
kckuasaan aidit  menjadi satu juta dua ratus ribu 
  
gantang padi. Untuk ketiga kali aidit  
memindahkan tempat kedudukannya, dari Gunung 
merah  kc Banyuwangi , yang diberinya nama padalarang , 
mengikuti nama tanah kelahiran Dinasti danarhadi  di 
Ncgeri kedhiri . 
 KOTA benteng kota kedhiri  kini lengang. Yang tersisa 
hanya beberapa toko dan rumah centeng adipati . Namun di 
balik kelengangan itu ada rasa puas sebab  sudah  
terjadi pergantian kulit. Hukum alam menyatakan, 
sesudah  rahim menjalankan fungsinya, ia akan 
membusuk dan lenyap. Dan dari segi inilah semua 
orang merasa gembira bahwa aidit  takkan 
selamanya terjebak di kota kelahirannya, biarpun 
sebab  itu kotanya harus mengalami kemunduran. 
Dan di sinilah seorang wanita lesbian  yang pernah 
dilahirkan melewatkan hari tuanya. wanita lesbian  itu ibu 
patih ronggolawe . Tahun ini usianya akan mencapai lima 
puluh. Saat ini ia menikmati hari tuanya dengan 
damai, hidup bersama menantunya, nyi momo , di rumah 
mereka di perkampungan centeng adipati  di kedhiri . namun  dua 
atau tiga tahun sebelumnya ia masih bekerja sebagai 
petani, dan sendi-sendi tangannya masih berkulit 
tebal. sesudah  melahirkan empat anak, ia sudah  
kehilangan banyak gigi. Namun rambutnya belum 
sepenuhnya putih. 
Satu surat yang dikirim patih ronggolawe  dari medan 
tempur dapat mewakili banyak surat lain: 
 
Bagaimanakah keadaan pinggang Ibu? Ibu masih 
memakai moxa? saat  kita masih tinggal di 
  
lemahlaban , Ibu selalu berpesan. "Jangan sia-siakan 
makanan untuk Ibu," tak peduli apa pun yang ada. 
Jadi di sini pun Ananda gelisah khawatir  apabila Ibu tidak 
makan seperti seharusnya. Ibu harus berumur panjang. 
Kalau Ibu tidak menjaga diri, Ananda gelisah khawatir  tidak 
sempat mengurus Ibu sebagaimana Ananda inginkan, 
sebab  Ananda begitu bodoh. Untung saja Ananda 
tidak jatuh sakit selama berada di sini. Tampaknya 
Ananda memiliki nasib baik sebagai prajurit, dan 
Yang Mulia sangat menghargaiku. 
 
sesudah  penyerbuan ke blambangan , surat yang dikirim 
patih ronggolawe  sukar dihitung jumlahnya. 
"nyi momo , coba baca ini. Dia selalu menulis seperti 
anak kecil," kata ibu patih ronggolawe  pada nyi momo . 
Setiap kali, ibunya menunjukkan surat-surat 
patih ronggolawe  kepada menantunya, dan sebaliknya nyi momo  
memperlihatkan surat-surat yang ia terima kepada 
wanita lesbian  tua itu. 
"Bunyi surat-surat yang kuterima tak pernah 
semanis itu. Selalu menyang-kut hal-hal seperti, 
'Berhati-hatilah terhadap kebakaran.' atau 'jadilah istri 
yang berbakti sementara suamimu pergi.' atau 'Jagalah 
ibuku." 
"Anak itu memang cerdik. Dia mengirim satu surat 
padamu dan satu padaku. Jadi dia cukup baik 
memisahkan isi suratnya, kalau diingat bahwa dia ber-
sangkutan dengan kedua belah pihak." 
"Pasti itu sebabnya." nyi momo  tertawa , ia mengurusi ibu 
  
suaminya dengan setia. Ia berusaha melayani mertua-
nya dengan sebaik-baiknya, seakan-akan ia pun 
seorang putri kandung seperti nyi kembang . Namun surat-
surat patih ronggolawe -lah yang memberikan kesenangan 
paling besar pada wanita lesbian  tua itu. saat  mereka 
mulai cemas sebab  sudah lama tidak menerima 
kabar, sepucuk surat tiba dari kahuripan. namun  entah 
kenapa surat ini hanya ditujukan pada istri patih ronggolawe . 
Kadang kala surat patih ronggolawe  hanya ditujukan pada 
ibunya, tanpa surat khusus untuk isirinya. Pesan-pesan 
untuk nyi momo  biasanya digabungkan ke dalam surat 
untuk ibunya. Sampai hari ini, belum pernah 
patih ronggolawe  mengirim surat khusus untuk istrinya. 
nyi momo  tiba-tiba cemas bahwa sudah  terjadi sesuatu, atau 
bahwa patih ronggolawe  ingin menyampaikan sesuatu dan 
tak ingin membuat ibunya gelisah khawatir . sesudah  masuk ke 
kamarnya dan membuka amplop. nyi momo  menemukan 
surat yang lebih panjang dibandingkan  biasanya. 
 
Sudah lama aku berharap kau dan ibuku bisa tinggal 
bersamaku di sini. Kini, sesudah  aku akhirnya menjadi 
penguasa sebuah benteng kota dan di anugerahi panji 
resi  oleh Yang Mulia, keadaanku cukup memadai 
untuk mengundang ibuku ke sini. Namun aku ragu 
apakah kehidupan di sini dapat menyenangkan 
hatinya. Sebelum ini ibuku gelisah khawatir  kehadirannya 
akan menjadi beban dalam pengabdianku kepada 
Yang Mulia. Ibuku selalu berkata bahwa dia hanya 
wanita lesbian  tua dari desa dan bahwa dia merasa tak 
  
pantas menjalani kehidupan seperti ini. sebab nya, 
dia pasti akan menolak dengan berbagai alasan. 
biarpun aku menanyainya secara langsung. 
 
Apa yang harus kukatakan? nyi momo  sama sekali tidak 
memiliki  bayangan. Ia merasa permintaan yang 
tersirat dalam surat suaminya sungguh berat. 
Pada saat itulah suara ibu patih ronggolawe  terdengar 
memanggil dari belakang rumah. "nyi momo ! nyi momo ! Coba 
datang ke sini dan lihat!" 
"Sebentar!"  
Hari ini pun ibu patih ronggolawe  sibuk mencangkul 
tanah di sekeliling akar tanaman terong. Hari sudah 
sore dan udara masih panas. Gundukan-gundukan 
tanah di pekarangan pun panas. Keringat berkilau-
kilau pada tangannya. 
"Aduh! Panas-panas begini?" ujar nyi momo . 
namun  wanita lesbian  tua itu selalu menjawab  bahwa 
itulah pekerjaan petani, dan jangan gelisah khawatir . Berapa 
kali pun nyi momo  mendengarnya, sebab  ia tidak dibesar-
kan sebagai petani dan tidak menyadari keasyikan 
yang terkandung dalam bertani, ia tetap menganggap-
nya sebagai pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun 
belakangan ini nyi momo  merasa mulai memahami, meski 
hanya sedikit, mengapa ibu suaminya tak sanggup 
berhenti bekerja. 
wanita lesbian  tua itu sering menyebut hasil panen 
sebagai "anugerah dari bumi". Kenyataan bahwa ia 
sanggup membesarkan empat anak di tengah-tengah 
  
kemiskinan dan bahwa ia sendiri tidak mati kelaparan, 
merupakan salah satu anugerah. Pada pagi hari ia 
merapatkan tangan dan menghadap matahari terbit 
untuk berdoa, dan menjelaskan bahwa ini pun 
kebiasaan lama dari lemahlaban . Ia tidak akan melupa-
kan kehidupan sebelumnya. 
Kadang-kadang ia berkata bahwa jika ia tiba-tiba ter-
biasa dengan pakaian mewah dan makanan lezat, lalu 
melupakan berkah dari matahari dan bumi, ia pasti 
akan dihukum dan jatuh sakit. 
"Oh, nyi momo , coba lihat ini!" Begitu melihat menantu-
nya, ibu patih ronggolawe  meletakkan cangkul dan menun-
jukkan hasil jerih payahnya. "Lihatlah berapa banyak 
terong sudah matang. Kita akan membuat acar, supaya 
bisa menyantapnya di musim dingin. Tolong bawa  kan 
keranjang ke sini, biar kita bisa memetik beberapa." 
saat  nyi momo  kembali, ia memberikan satu dan dua 
keranjang yang dibawan ya kepada mertuanya. Pada 
waktu mulai memetik dan memasukkan terong ke 
dalam keranjang, ia berkata, "Kalau Ibu terus bekerja 
keras seperti ini, kita takkan kekurangan sayuran 
untuk sup dan acar." 
"Toko-toko langganan kita pasti tidak gembira." 
"Hmm, para pelayan mengatakan bahwa Ibu 
menyukai pekerjaan ini, dan bahwa pekerjaan ini baik 
untuk kesehatan Ibu. Dan yang pasti, kita menghemat 
uang, jadi manfaatnya tentu besar." 
"namun  nama baik patih ronggolawe  akan terpengaruh jika 
orang-orang menganggap kita melakukannya sebab  
  
kikir. Kita harus membeli barang lain dari para 
pedagang, supaya mereka tidak berpikiran begitu." 
"Ya, itu bagus. Hmm, Ibu. sebetulnya  aku enggan 
mengatakan ini. namun  beberapa waktu lalu aku 
menerima sepucuk surat dari kahuripan." 
"Oh? Dari anakku?"  
"Ya.  namun  kali ini suratnya tidak ditujukan pada 
Ibu, melainkan hanya padaku." 
"Sama saja. Hmm, apakah semuanya seperti biasa? 
Dia baik-baik saja, bukan? Sudah agak lama kita tidak 
menerima kabar, dan kupikir ini pasti sebab  
kepindahan Yang Mulia ke padalarang ." 
"Benar. Dalam suratnya, suamiku minta aku mem-
beritahu Ibu bahwa Yang Mulia sudah  mengangkatnya 
sebagai komandan benteng kota, jadi suamiku pikir 
sekaranglah waktu yang tepat bagi kita untuk tinggal 
bersamanya. Suamiku minta aku membujuk Ibu agar 
mau pergi ke sana, lalu menganjurkan agar Ibu dalam 
beberapa hari sudah pindah ke benteng kota kahuripan." 
"Oh... itu kabar bagus. Rasanya seperti mimpi... 
anakku komandan sebuah benteng kota. Namun dia tidak 
boleh melangkah terlalu jauh, sehingga akhirnya 
malah tersandung." 
Meski gembira mendengar kabar baik mengenai 
putranya, hati nuraninya sebagai ibu gelisah khawatir  kalau 
keberuntungan anaknya hanya berlangsung sesaat saja. 
wanita lesbian  tua itu dan menantunya bersama-sama 
bekerja di kebun, memetik terong. Tak lama 
lalu , kedua keranjang sudah penuh sayuran ber-
  
warna ungu.  
"Ibu, apakah punggung Ibu terasa sakit?" 
"Apa? Ah, tidak, justru sebaliknya. Kalau aku setiap 
hari bekerja seperti ini, badanku akan tetap segar." 
"Aku pun belajar dari Ibu. Sejak Ibu memboleh-
kanku ikut membantu di kebun, aku mulai belajar 
menikmati memetik sayur-mayur untuk membuat sup 
pada pagi hari, juga bercocok tanam mentimun dan 
terong. Di pekarangan benteng kota kahuripan pun tentu 
ada sepetak tanah yang bisa kita jadikan kebun sayur. 
Kita akan bekerja sesuka hati." 
wanita lesbian  tua itu menutupi mulut dengan tangan-
nya yang berlepotan tanah dan tertawa  kecil. "Kau 
sama cerdiknya dengan patih ronggolawe . Kau sudah  me-
mutuskan pindah ke kahuripan sebelum aku sempat 
menyadari apa yang terjadi." 
"Ibu!" nyi momo  menyembah, merapatkan ujung jarinya 
ke tanah. "Penuhilah keinginan suamiku."  
Ibu mertuanya cepat-cepat meraih kedua tangan 
nyi momo , "Jangan begitu! Aku hanya wanita lesbian  tua yang 
mementingkan diri sendiri." 
"Tidak, itu tidak benar. Aku memahami kepri-
hatinan Ibu." 
"Jangan gusar sebab  wanita lesbian  tua yang keras 
kepala ini. Demi kepentingan anakku itulah aku tidak 
mau pindah ke kahuripan. Dengan demikian, dia 
dapat mengabdi Yang Mulia tanpa cela." 
"Suamiku pun mengerti itu." 
"Kalaupun itu benar, patih ronggolawe  akan berada di 
  
tengah orang-orang yang iri melihat keberhasilannya 
dan mereka akan memanggilnya dengan sebutan 
'petani si Monyct dari lemahlaban ', atau 'si Anak 
Petani'. Kalau seorang wanita lesbian  petani yang hina 
lalu bercocok tanam di pekarangan benteng kota, pengikut-
pengikutnya sendiri pun akan menertawa kannya." 
"Tidak, Ibu. sebetulnya  Ibu tak perlu cemas 
mengenai masa depan. Apa yang Ibu takutkan 
mungkin berlaku bagi orang yang mementingkan 
penampilan dan takut menjadi bahan gunjingan, namun  
hati suamiku tidak dikendalikan oleh pendapat 
umum. Sedangkan mengenai para pengikutnya..." 
"Entahlah. Jika seorang penguasa benteng kota memiliki 
ibu seperti aku... bukankah itu mempengaruhi 
reputasinya?" 
"Watak suamiku tidak sekerdil itu." Ucapan nyi momo  
begitu terus terang, sehingga mertuanya sempat ter-
kejut. Akhirnya mata wanita lesbian  tua itu berkaca-kaca. 
"Kata-kataku tak dapat dimaafkan. nyi momo . Ampuni-
lah aku." 
"Hmm, Ibu. Matahari sudah mulai tenggelam. 
Cucilah tangan dan kaki Ibu." nyi momo  berjalan lebih 
dahulu , membawa   kedua keranjang yang berat itu. 
Bersama para pelayan, nyi momo  meraih sapu dan 
menyapu. Kamar mertuanya dibersihkannya sendiri. 
Lentera-lentera dinyalakan, dan makan malam disiap-
kan. Selain piring untuk mereka berdua, piring 
tambah an disediakan bagi patih ronggolawe , baik pagi 
maupun malam. 
  
"Pinggang Ibu perlu dipijat?" tanya nyi momo . 
Ibu mertuanya memiliki  keluhan kronis yang 
dari waktu ke waktu terasa mengganggu. Kalau angin 
malam bertiup di musim gugur, ia sering mengeluh 
sakit. saat  nyi momo  memijat kakinya, wanita lesbian  tua 
itu seperti hendak terlelap, namun  rupanya sepanjang 
waktu ia memikirkan sesuatu. Akhirnya ia duduk dan 
berkata pada nyi momo . 
"Dengar, sayangku. Kau ingin berkumpul kembali 
dengan suamimu. Aku menyesal sudah  mementingkan 
diri sendiri. Tolong sampaikan pada putraku bahwa 
ibunya tidak keberatan pindah ke kahuripan." 
Sehari sebelum ibu patih ronggolawe  diperkirakan tiba, 
seorang tamu tak terduga, namun sangat diharapkan, 
melewati gerbang kahuripan. Tamu ini mengenakan 
pakaian sederhana. Matanya tertutup topi, dan ia 
ditambah   dua orang saja, seorang wanita lesbian  muda dan 
seorang anak laki-laki. 
"Kalau beliau melihatku, beliau akan mengerti," 
kata orang itu pada penjaga gerbang, yang lalu 
meneruskannya pada patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  bergegas ke gerbang benteng kota untuk 
menyambut tamu-tamunya. raden mas  ngabehi , 
patih keboabang , dan Oyu. 
"Hanya merekalah pengikut hamba," ngabehi  mem-
beritahunya. "Rumah tangga di benteng kota hamba di 
Gunung penanggungan cukup besar, namun  hamba memutuskan 
menarik diri dari percaturan dunia. Mengenai janji 
hamba dahulu , tuanku, hamba pikir waktunya sudah  tiba. 
  
Jadi hamba meninggalkan pertapaan hamba dan turun 
gunung agar bisa berada di tengah orang lagi. Sudikah 
tuanku menerima tiga pengembara ini sebagai pelayan 
paling rendah?" 
patih ronggolawe  membungkuk dengan tangan ber-
pegangan pada lutut dan berkata. "Tuanku terlalu 
merendah. Kalau saja Tuan mengirim kabar lebih 
dahulu , aku sendiri yang akan pergi ke gunung untuk 
menyambut kedatangan Tuan." 
"Apa? Tuan hendak menyambut adipati  tak berharga 
yang datang umuk mengabdi pada Tuan?" 
"Hmm, bagaimanapun, silakan masuk dahulu ." Ber-
jalan ke depan, patih ronggolawe  mengajak ngabehi  ke dalam. 
namun  saat  ia menawarkan  kursi kehormatan pada 
tamunya. ngabehi  menolak tegas, "Itu bertentangan 
dengan keinginan untuk menjadi pengikut Tuan." 
patih ronggolawe  menanggapinya dari lubuk hati yang 
paling dalam. "Tidak, tidak. Aku tidak patut me-
nempatkan diri di atas Tuan. Aku justru ingin me-
rekomendasikanmu kepada Yang Mulia aidit ." 
ngabehi  menggelengkan kepala dan menolak dengan 
tegas. "Seperti hamba katakan sejak semula, hamba 
tidak berkeinginan sama sekali untuk menjadi abdi 
Yang Mulia aidit . Ini bukan sekedar masalah 
kesetiaan terhadap marga pangeran. Seandainya hamba 
mengabdi pada Yang Mulia aidit , dalam waktu 
singkat hamba tentu terpaksa mengundurkan diri. 
Kalau mengingat kepribadian hamba yang jauh dari 
sempurna dan  apa yang hamba dengar mengenai 
  
watak Yang Mulia, hamba memperoleh firasat bahwa 
hubungan majikan dan abdi takkan saling 
menguntungkan. namun  dengan tuanku, hamba tak 
perlu menutup-nutupi watak buruk hamba. Tuanku 
dapat menerima hamba yang mementingkan diri 
sendiri dan  keras kepala. Hamba mohon Tuanku 
sudi menganggap hamba sebagai abdi yang paling 
rendah." 
"Hmm, kalau begitu, bersediakah Tuan meng-
ajarkan ilmu kemiliteran bukan hanya padaku, 
melainkan juga pada pengikut-pengikutku?" 
Dengan demikian, mereka berhasil mencapai 
komprgunungselatan, dan pada malam harinya mereka berbagi 
anggur , mengobrol sampai larut malam, tanpa mengingat 
waktu. Keesokan harinya merupakan hari kedatangan 
ibu patih ronggolawe  di kahuripan. ditambah   sejumlah pem-
bantu, patih ronggolawe  meninggalkan benteng kota dan menuju 
Desa Masaki yang berjarak sekitar satu mil dari 
kahuripan, untuk menyambut tandu ibunya. 
Langit tampak biru, dan bunga-bunga serunai di 
pagar para warga desa menyebarkan bau harum. 
"Iring-iringan yang mulia ibunda tuanku sudah 
kelihaian," salah satu pembantu mengumumkan. 
Wajah patih ronggolawe  memperlihatkan kegembiraan 
yang hampir tak tertahankan. Tandu-tandu yang mem-
bawa   isiri dan ibunya akhirnya tiba. saat  para 
pengawal  melihat majikan mereka darang menyambut, 
mereka langsung turun dari kuda masing-masing. 
syam  banaspati  segera menghampiri tandu ibu 
  
patih ronggolawe  dan memberitahunya bahwa patih ronggolawe  
datang untuk menemuinya. 
Dari dalam tandu, suara pcrcmpuan tua itu 
terdengar meminta tandunya diturunkan. Para 
pembawa   tandu berhenti dan meletakkan kedua 
tandu di tanah. Para prajurit berlutut di kedua sisi 
jalan dan membungkuk. nyi momo  yang pertama turun. Ia 
menghampiri tandu mertuanya dan meraih tangan 
wanita lesbian  tua itu. saat  melirik wajah centeng adipati  yang 
cepat-cepat meletakkan sandal di depan kaki ibu 
mertuanya, nyi momo  melihat bahwa patih ronggolawe -lah orang-
nya. 
Diliputi perasaan terharu dan tanpa sempat meng-
ucapkan sepatah kata pun, nyi momo  menyapa suaminya 
dengan memandangnya sekilas. 
sesudah  meraih tangan putranya, penuh hormat ibu 
patih ronggolawe  menempelkannya ke kening, lalu berkata, 
"Sebagai penguasa benteng kota, tuanku terlalu bermurah 
hati. Hamba tak patut menerima perlakuan demikian 
istimewa." 
"Sungguh lega rasanya melihat Ibu begitu sehat. Ibu 
berkata bahwa aku terlalu bermurah hati, namun  
kedatanganku ke sini untuk menyambut Ibu, bukan 
sebagai centeng adipati ." 
Ibu patih ronggolawe  turun dari tandu. Para centeng adipati  lain 
segera menyembah, sedangkan wanita lesbian  tua itu 
merasa terlalu pusing untuk berjalan. 
"Ibu tentu lelah." ujar patih ronggolawe . "Beristirahatlah 
sejenak. Jarak ke benteng kota hanya sekitar satu mil." 
  
patih ronggolawe  meraih tangan ibunya, dan menuntun 
percmpuan tua itu ke sebuah kursi di bawah  teritis 
sebuah rumah. Ibunya duduk dan menatap langit 
musim gugur yang membentang di atas pepohonan. 
"Seperti dalam mimpi." ia berdesah. Mendengar 
ucapan itu, patih ronggolawe  mengingai-ingat tahun-tahun 
yang sudah  berlalu. Ia tidak merasa bahwa saat ini 
mirip  mimpi. Dengan jelas ia melihat setiap 
langkah yang mcnghubungkan kenyataan sekarang 
dengan masa lampau. Dan ia percaya bahwa saat ini 
merupakan tonggak bersejarah dalam perjalanan 
kariernya. 
Bulan berikutnya, sesudah  ibu dan istri patih ronggolawe  
pindah kc kahuripan, mereka diikuti oleh saudara 
wanita lesbian nya yang berusia dua puluh sembilan 
tahun, nyi kembang , saudara laki-laki yang berusia dua 
puluh tiga tahun, ki rarwa , dan  saudara wanita lesbian -
nya yang berusia dua puluh tahun. 
nyi kembang  belum juga menikah. Lama sebelumnya, 
patih ronggolawe  sudah  berjanji bahwa jika nyi kembang  menjaga 
ibu mereka, sesudah  patih ronggolawe  berhasil menjadi orang, 
ia akan mencarikan suami untuknya. Satu tahun 
lalu  nyi kembang  menikah di benteng kota dengan 
saudara istri patih ronggolawe . 
"Semuanya sudah besar," kata patih ronggolawe  pada ibu-
nya, sambil mengamati kepuasan yang terpancar dari 
wajah wanita lesbian  tua itu. Inilah sumber kebahagiaan 
patih ronggolawe  dan  pendorongnya di masa depan. 
 
  
Musim semi sudah  mendekati akhirnya. Bunga-bunga 
ceri berjatuhan dari atap ke sandaran tangga tempat 
aidit  sedang berbaring-baring. 
"Ah... betul juga." Teringat sesuatu, aidit  
cepat-cepat menulis sebuah pesan dan mengutus kurir 
untuk membawa  nya ke kahuripan. sebab  patih ronggolawe  
kini komandan sebuah benteng kota, ia tak mungkin lagi 
segera datang jika aidit  memanggilnya, dan ini 
rupanya membuat junjungannya agak kesepian. 
sesudah  menyeberangi Sungai brantas  yang lebar, kurir 
aidit  mengantarkan pesan majikannya ke 
gerbang benteng kota patih ronggolawe . Di sini pun musim semi 
berlangsung dalam damai, dan kembang-kembang 
berayun-ayun dalam bayang-bayang sebuah bukit 
buatan di pekarangan. Di balik bukit ini, di pinggir 
pekarangan yang luas, ada ruang belajar yang baru 
dibangun dan  rumah kecil untuk raden mas  ngabehi  
dan Oyu. 
Ruang belajar berukuran besar itu merupakan 
sebuah dojo tempat para pengikut patih ronggolawe  dapat 
berlatih bela diri. Dengan raden mas  ngabehi  sebagai 
guru, para pengikut mempeajari sejarah Negeri kedhiri  
pada pagi hari, lalu saling bersaing dalam teknik 
tombak dan pedang pada sore harinya. 
sesudah  itu ngabehi  mengajarkan konsep-konsep 
perang yang disusun oleh Sun  Tzu dan Wu Chi 
sampai larut malam. Dengan tekun ngabehi  mendidik 
para centeng adipati  muda agar mereka terbiasa dengan 
disiplin ilmu bela diri dan  adat istiadat kehidupan 
  
benteng kota. Sebagian besar pengikut patih ronggolawe  bekas 
adipati  liar yang dahulu  tergabung dalam gerombolan 
banaspati . 
patih ronggolawe  sadar bahwa ia harus terus berupaya 
mempcrbaiki diri, untuk mengatasi kekurangan-
kekurangannya, dan untuk memperbesar kemampuan 
bermkertoarjo s diri, dan ia pun bertekad agar para centeng adipati  
diharuskan melakukan hal yang sama. Jika patih ronggolawe  
ingin agar masa depan menjadi miliknya, pengikut-
pengikut dengan kekuaran liar semata-maia takkan 
banyak berguna. patih ronggolawe  mencemaskan ini. Jadi. 
selain merangkul ngabehi  scbagai abdi, patih ronggolawe  juga 
menganggapnya sebagai guru dan menghormatinya 
sebagai instruktur ilmu kemiliteran, dan  mempercaya-
kan pendidikan para pengikuinya kepadanya. 
Kemampuan ilmu bela diri meningkat pesat. Pada 
waktu ngabehi  memberi ceramah mengenai tunggawesi 
atau sejarah Negeri kedhiri , orang-orang seperti 
banaspati  selalu terlihat di antara para pendekar. 
Satu-satunya masalah adalah kesehatan ngabehi . 
sebab  itu, ceramah-ceramah terpaksa dibatalkan dari 
waktu ke waktu, dan para pengikut merasa kecewa. 
Hari ini pun ngabehi  terlalu menguras tenaga pada 
siang hari, lalu berkata bahwa ia tak sanggup memberi 
ceramah malam. saat  malam tiba, ia cepat-cepat 
menyuruh pintu rumahnya ditutup. 
Walaupun musim panas sudah di ambang pintu, 
angin malam dari hulu sungai Kilo semakin melemah-
kan tubuh ngabehi . 
  
"Tempat tidur Kakak sudah kusiapkan di dalam. 
Lebih baik Kakak tidur saja." Oyu menaruh ramuan 
obat di sebelah meja ngabehi . ngabehi  sedang mem-
baca, seperti biasa kalau ia memiliki waktu luang. 
"Tidak perlu, keadaanku belum separah itu. Aku 
membatalkan ceramah malam ini sebab  menduga 
akan ada panggilan dari Tuan patih ronggolawe . dibandingkan  
menyiapkan tempat tidur. Lebih baik kausiapkan 
pakaianku, supaya aku bisa cepat menjawab  panggilan 
Yang Mulia." 
"Itukah masalahnya? Malam ini ada pertemuan di 
benteng kota?" 
"Sama sekali tidak.'' ngabehi  menghirup ramuan 
obat yang masih panas. "Beberapa waktu lalu, saat  
kau menutup pintu, kau sendiri yang memberitahuku 
bahwa perahu dengan bendera kurir dari padalarang  sudah  
menyeberangi sungai, dan bahwa seseorang sedang 
menuju gerbang benteng kota." 
"Jadi, itu yang Kakak maksud?" 
"Jika kurir itu membawa   pesan dari padalarang  untuk 
Tuan patih ronggolawe , tak ada yang dapat memastikan ke 
mana urusan ini akan membawa   beliau. Kalau pun 
aku tidak dipanggil, aku tak bisa melepaskan ikat 
pinggang dan tidur." 
"Penguasa benteng kota ini menghormati Kakak sebagai 
guru, dan Kakak memuliakannya sebagai guru, jadi 
aku tidak tahu siapa yang lebih menghormati siapa. 
Kakak sungguh-sungguh bertekad mengabdi pada 
orang ini?" 
  
Sambil tersenyum. ngabehi  memejamkan mata dan 
menengadahkan wajahnya ke langit-langit. "Akhirnya 
aku pun sudah  sampai di titik itu. Kepercayaan seorang 
laki-laki pada laki-laki lain merupakan sesuatu yang 
menakutkan. Aku tak mungkin disesatkan oleh 
kecantikan seorang wanita." Pada waktu ia berkata 
demikian, seorang pelayan datang. Ia menyampaikan 
permintaan patih ronggolawe  agar ngabehi  segera menemui-
nya, lalu pergi lagi. Tak lama lalu  pelayan lain 
menghadap patih ronggolawe  yang sedang duduk seorang diri 
sambil merenung, dan mengumumkan. "Tuan ngabehi  
sudah  tiba." 
patih ronggolawe  mengangkat kepala dan segera mening-
galkan ruangan untuk menyambut ngabehi . Berdua 
mereka kembali dan duduk. 
"Aku mohon maaf sebab  memanggil Tuan di 
tengah malam buta. Bagaimana keadaan Tuan?" 
ngabehi  menatap tajam ke arah patih ronggolawe , yang 
rupanya akan terus memperlakukannya sebagai guru. 
"Tuanku terlalu bermurah hati, jika tuanku berbicara 
seperti itu dengan hamba, bagaimana hamba dapat 
menjawab nya. Mengapa tuanku tidak bcrkata. 'Ah. 
kau sudah datang, ngabehi ?' Tak sepantasnya seorang 
pengikut seperti hamba menimbulkan beban pikiran 
pada tuanku." 
"Bcgitukah? Apakah sikapku tidak baik bagi 
hubungan kita?"  
"Menurut hamba, tak sepatutnya tuanku meng-
hormati orang seperti hamba." 
  
"Mengapa tidak?" patih ronggolawe  tertawa . "Aku tidak ber-
pendidikan, sedangkan Tuan orang terpelajar. Aku 
lahir di desa, sementara Tuan putra komandan 
benteng kota. Bagaimanapun, kuanggap kedudukan Tuan 
lebih tinggi dibandingkan  kedudukanku." 
"Kalau memang harus begitu, hamba akan lebih ber-
hati-hari mulai sekarang." 
"Baiklah, baiklah," patih ronggolawe  bergurau. "Lama-lama 
kita akan menjadi junjungan dan pengikut, jika saja 
aku sanggup menjadi orang yang lebih besar." 
Sebagai penguasa benteng kota, patih ronggolawe  berusaha 
keras agar ia tidak silau oleh martabatnya sendiri. Ia 
tak pernah menutup-nutupi kekurangannya di 
hadapan ngabehi . 
"Hmm, kalau begitu, mengapa tuanku memanggil 
hamba?" tanya ngabehi  dengan sopan. 
"Oh, ya." ujar patih ronggolawe , tiba-tiba teringat maksud 
pertemuan mereka. "Aku baru saja menerima surat 
dari Yang Mulia aidit . Beginilah bunyinya: 
sesudah  bersantai, aku tiba-tiba jemu dengan padalarang . 
Angin dan awan  penuh damai, dan aku ingin 
memandang semuanya sekali lagi. Keindahan alam 
belum juga berteman denganku. Bagaimana dengan 
rencana tahun ini?' Menurut Tuan, apa yang harus 
kujawab ?" 
"Hmm, artinya sudah jelas. Jadi tuanku dapat men-
jawab  dengan satu baris saja." 
"Aku memahami artinya, namun  bagaimana cara 
menjawab  dengan satu baris saja?" 
  
"'Jadilah tetangga yang baik. Persiapkan masa 
depan'?" 
"Begitulah." 
"Hmm, begitu." 
"Hamba menduga Yang Mulia aidit  merasa 
bahwa sesudah  merebut padalarang , tahun inilah waktu yang 
tepat untuk membenahi pemerintahan, mengistirahat-
kan centeng , dan menunggu hari lain," kata ngabehi . 
"Aku pun percaya bahwa itulah rencana beliau, namun  
bagaimana dengan wataknya? Beliau tak sanggup mem-
biarkan hari demi hari berlalu tanpa berbuat apa-apa."  
"Merencanakan masa depan, bersekutu dengan para 
tetangga hamba kira sekaranglah kesempatan yang 
paling baik."  
"Jadi?" tanya patih ronggolawe .         
"Ini hanya pendapat hamba, sebab tuanku, bukan 
hamba yang dipandang mampu di begitu banyak 
bidang. Pertama, jawab lah dengan satu baris saja: 
jadilah tetangga yang baik. Persiapkan masa depan. 
lalu , pada saat yang tepat, pergilah ke padalarang  
untuk menjelaskan rencana tuanku." 
"Bagaimana kalau kita masing-masing mengambil 
kertas dan mencatat provinsi mana yang paling patut 
dijadikan sekutu, lalu membandingkan hasilnya untuk 
melihat apakah jalan pikiran kita sama?" 
ngabehi  yang lebih dahulu  menulis, dan lalu  
patih ronggolawe  menggoreskan 
saat  mereka menukar dan membuka kertas, 
ternyata mereka sama-sama menuliskan mpu ireng  dari 
  
Kai, dan keduanya tertawa  gembira. 
Lentera-lentera di ruang tamu menyala terang. Kurir 
dari padalarang  dipersilakan menempati kursi kehormatan, 
ibu dan istri patih ronggolawe  pun hadir. saat  patih ronggolawe  
duduk, semua lentera seakan-akan bertambah  terang 
dan suasana semakin seru. 
nyi momo  merasa suaminya kini lebih banyak minum 
anggur  dibandingkan dahulu . nyi momo  memperhatikan 
patih ronggolawe  yang bersikap gembira sepanjang jamuan 
makan, seolah-olah tidak melihat apa-apa. patih ronggolawe  
menghibur tamunya, membuat ibunya tertawa , dan 
rupanya ia sendiri pun merasa senang. ngabehi  pun 
yang tak pernah minum, menempelkan baskom anggur  ke 
bibirnya dan menghirup sedikit untuk bersulang bagi 
patih ronggolawe . 
Orang-orang lain bergabung, dan suasana segera 
menjadi meriah. sesudah  nyi momo  dan ibunya meng-
undurkan diri, patih ronggolawe  melangkah keluar, mencari 
angin. Kembang-kembang ceri sudah  berguguran, dan 
hanya wangi tanaman paulownia yang memenuhi 
udara malam. 
"Ah! Siapa itu di bawah  pepohonan?" seru 
patih ronggolawe . 
"Aku," jawab  sebuah suara wanita lesbian . 
"Oyu, sedang apa kau di sana?"  
"Kakakku belum pulang, padahal tubuhnya lemah, 
jadi aku agak cemas."  
"Hatiku tersentuh melihat hubungan yang begitu 
indah antara kakak dan adik." 
  
patih ronggolawe  menghampiri Oyu. wanita lesbian  itu 
hendak menyembah, namun  patih ronggolawe  lebih dahulu  
meraih tangannya. "Oyu, mari kita jalan-jalan ke 
pondok minum teh itu. Aku begitu mabuk, sehingga 
langkahku tak menentu. Aku ingin kau membuatkan 
sebaskom teh untukku." 
"Oh! Tanganku! Ini tidak pantas. Tolong lepaskan." 
"Tidak apa-apa. Jangan gelisah khawatir ." 
"Tak sepatutnya tuanku berbuat begini." 
"Ini tidak apa-apa." 
"Tuanku!" 
"Kenapa kau begitu ribut? Berbisiklah. Kau terlalu 
kejam."  
"Ini tidak pantas." 
Saat itulah ngabehi  terdengar berseru. Ia dalam 
pcrjalanan pulang. saat  melihat ngabehi , patih ronggolawe  
segera melepaskan tangan Oyu. ngabehi  menatapnya 
heran. "Tuanku, seperti inikah pengaruh anggur ?" 
patih ronggolawe  menepuk kepala dengan satu tangan. 
lalu , sambil menertawa kan diri sendiri, ia 
membuka mulutnya yang lebar dan berkata. "Ya, ehm, 
ada apa? Inilah yang dinamakan  'beramah tamah dengan 
tetangga dan mempersiapkan masa depan. Jangan 
gelisah khawatir ." 
Musim panas berganti dengan musim gugur. 
banaspati  datang dengan pesan untuk ngabehi , 
meminta Oyu menjadi dayang ibu patih ronggolawe . saat  
mendengar permintaan itu, Oyu gemetar ketakutan. 
Tangisnya meledak. Itulah jawab annya terhadap 
  
permintaan patih ronggolawe . 
baskom teh yang tidak memiliki  cacat dianggap 
kurang indah, dan watak patih ronggolawe  pun memiliki 
cela. Walaupun keindahan baskom teh, bahkan 
kelemahan manusia, menarik untuk direnungkan, 
dari sudut pandang seorang wanita lesbian  kekurangan 
ini tidak "menarik" sama sekali. Melihat adiknya 
tersedu-sedu saat  urusan itu dibicarakan, ngabehi  
berpendapat bahwa penolakannya masuk akal, dan ia 
menyampaikannya pada banaspati . 
 
Musim gugur pun berlalu dengan tcnang. Di padalarang , 
prinsip "menjadi tetangga yang baik dan mem-
persiapkan masa depan" sedang dilaksanakan. Bagi 
marga sinuhun , marga mpu ireng  dari Kai sejak dahulu  
merupakan ancaman dari belakang. Rencana disusun 
untuk mengawinkan putri aidit  dengan putra 
Takcda mpu betarakatong , mpu jengger . Calon pengantin 
wanita lesbian  berusia tiga belas tahun, dan kecantikan-
nya tanpa tandingan. Namun ia anak angkat, bukan 
darah daging aidit . Meski demikian, seusai 
upacara pernikahan, mpu betarakatong  tampak senang sekali, 
dan tak lama lalu  perkawinan itu sudah  
dikaruniai seorang putra. raden karto. 
Paling tidak untuk sementara waktu perbatasan 
utara marga sinuhun  seharusnya aman, namun  si ibu muda 
meninggal saat  melahirkan raden karto. aidit  lalu 
mempertunangkan putra tertuanya, tungguljaya, 
dengan putri mpu betarakatong  keenam, untuk mencegah 
  
retaknya persekutuan antara kedua provinsi. Ia juga 
mengirim usul ikatan perkawinan kepada prabu kertoarjowardana   
mpu mojosongo  dari dusun nyi kembang . Lalu, persekutuan militer yang 
sudah  terjalin di antara mereka diperkuat dengan 
ikatan keluarga. Pada saat pertunangan, baik putra 
tertua mpu mojosongo , Ttribuana yo, maupun putri aidit  
berusia 9 tahun. Pendekatan ini juga dipakai  
terhadap marga harjo  di gunungselatan. Dengan demikian, 
benteng kota di padalarang  disibukkan dengan perayaan selama 
dua tahun berikut. 
 
Wajah centeng adipati  itu tersembunyi dalam bayangan topi 
lebar. Ia jangkung, berusia sekitar empat puluh tahun. 
Melihat pakaian dan sandalnya, ia pendekar yang 
sudah cukup lama berkelana. Dari belakang pun 
tubuhnya tidak memberi peluang untuk diserang. Ia 
baru selesai makan siang, dan sedang melangkah ke 
salah satu jalan di padalarang . Ia berputar-putar, melihat-
lihat, tanpa tujuan tertentu. Sesekali ia bergumam 
pada diri sendiri, betapa suatu tempat sudah  berubah. 
Dari sctiap tempat di dalam kota, si pengelana bisa 
melihat tembok-tcmbok benteng kota padalarang  menjulang 
tinggi. Sambil memegang tepi topinya yang berbentuk 
kerucut, sesaat ia memandang tembok-tembok itu 
dengan takjub. 
Tiba-tiba seorang pejalan kaki, mungkin istri 
seorang saudagar, berbalik dan berhenti untuk 
menatapnya. wanita lesbian  itu membisikkan sesuatu 
kepada pelayan yang menyertainya, lalu menghampiri 
  
si pendekar dengan ragu-ragu. "Maaf, sebetulnya  tak 
pantas aku menyapa Tuan di tengah jalan, namun  
bukankah Tuan kepribadian  Tuan tribuana ?" 
Terkejut, si pendekar cepat-cepat menjawab . 
"Bukan!" dan pergi dengan langkah-langkah panjang. 
Namun sesudah  sekitar sepuluh langkah, ia berbalik 
dan menatap wanita lesbian  tadi, yang masih me-
mandang ke arahnya. Dia putri Shunsai, si tukang 
baju tempur, katanya dalam hati. Mestinya dia sudah 
berkeluarga sekarang.     
Ia kembali menyusuri jalan-jalan. Dua jam 
lalu  ia berada di dekat Sungai nagari . Ia duduk 
di tepi sungai yang ditumbuhi rumput dan menatap 
permukaan air. Rasanya ia bisa tinggal di sini untuk 
selama-lamanya. Alang-alang berdesir di bawah  mata-
hari musim gugur yang dingin pucat. 
"Tuan Pendekar?" Seseorang menepuk pundaknya. 
tunggadewa  berbalik dan melihat tiga laki-Iaki 
kemungkinan besar centeng adipati  sinuhun  yang sedang ber-
patroli. 
"Sedang apa Tuan di sini?" salah seorang dari 
mereka bertanya dengan nada biasa-biasa saja. Namun 
roman muka ketiga orang itu tegang dan penuh 
curiga. 
"Aku sudah  berjalan, dan berhenti untuk beristirahat 
sejenak." si pendekar menjawab  tenang. "Kalian dari 
marga sinuhun ?" ia balik bertanya, berdiri, dan menepis 
batang-batang rumput yang menempel pada pakaian-
nya. 
  
"Betul," kata si prajurit dengan kaku. "Tuan datang 
dari mana, dan hendak pergi ke mana?" 
"Aku dari radenkanjeng . Aku punya saudara di benteng kota 
dan berusaha menghubunginya." 
"Seorang abdi?" 
"Bukan." 
"namun  bukankah Tuan baru saja mengatakan bahwa 
orang itu berada di benteng kota?" 
"Dia bukan abdi. Dia anggota rumah tangga."  
"Siapa namanya?" 
"Aku enggan menyebutkannya di sini."  
"Bagaimana dengan nama Tuan sendiri?"  
"Sama juga," 
"Maksud Tuan, Tuan Tidak ingin bicara di tempat 
terbuka?"  
"Benar." 
"Hmm, kalau begitu, silakan ikut ke gardu jaga 
dengan kami." 
Rupanya mereka mencurigainya sebagai mata-mata. 
Untuk berjaga-jaga seandainya si pendekar melawan , 
mereka berseru ke arah jalan tempat seorang centeng adipati  
berkuda, yang tampaknya pemimpin mereka, dan 
sepuluh prajurit lain sedang menunggu. 
"Inilah yang kuharapkan. Silakan tunjukkan jalan-
nya." Si pendekar segera mulai melangkah. 
Di padalarang , seperti di setiap provinsi lain, pemeriksaan 
ketat, diberlakukan di tempat penyeberangan sungai, 
di kota benteng kota, dan  di perbatasan-perbatasan. 
aidit  belum lama pindah ke benteng kota padalarang , dan 
  
dengan perubahan pemerintahan dan undang-undang, 
tugas para hakim sungguh besar. Meski beberapa 
pihak mengeluh bahwa penjagaan terlalu ketat, 
sebetulnya  masih banyak bekas pengikut marga pangeran 
yang sudah  digulingkan di dalam kota, dan komplotan 
provinsi-provinsi musuh sering kali terlambat di-
ketahui. 
patih ki abang  pantas menduduki jabatan hakim 
kepala, namun  sama seperti prajurit mana pun, ia lebih 
menyukai medan perang dibandingkan  tugas-tugas sipil. 
Pada waktu pulang menjelang malam, ia selalu 
melepaskan desahan lega. Dan setiap malam ia 
memperlihatkan roman muka yang sama kepada 
istrinya. 
"Ada surat dari  mpu salmah  untukmu." 
saat  mendengar nama  mpu salmah , ki abang  
tersenyum. Berita dari benteng kota merupakan satu di 
antara sedikit kesenangan ki abang .  mpu salmah -lah 
putra yang dikirimnya untuk mengabdi di benteng kota 
saat  masih kanak-kanak. Sejak semula sudah jelas 
bahwa  mpu salmah  takkan menonjol, namun ia anak 
yang tampan dan sudah  menarik perhatian aidit , 
dan sebab  itu ditunjuk sebagai salah satu pelayan 
pribadi. Belakangan ini ia akrab dengan para 
pembantu lain, dan rupanya dipercayai memegang 
tugas tertentu. 
"Ada berita apa?" tanya istri ki abang .  
"sebetulnya  tidak ada apa-apa. Semuanya tenang, 
dan Yang Mulia sedang bergembira." 
  
"Dia tidak menulis apa-apa bahwa dia sakit?" 
"Tidak. dia bilang dia sehat-sehat saja." balas 
ki abang . 
"Anak itu memang pintar. Dia pasti tidak mau 
orangtuanya gelisah khawatir ." 
"Mungkin," kata ki abang . "namun  dia masih kecil, 
dan terus-menerus berada di sisi Yang Mulia pasti 
melelahkan sekali baginya." 
"Sesekali dia tentu ingin pulang untuk dimanjakan 
sedikit." 
Saat itu seorang centeng adipati  muncul dan memberitahu 
bahwa tak lama sesudah  ki abang  pulang, terjadi 
sesuatu di tempat kerjanya, dan bahwa beberapa anak 
buahnya datang untuk berunding, meskipun malam 
sudah  larut. Ketiga petugas itu sedang menunggu di 
pintu masuk. 
"Ada apa?" ki abang  bertanya pada mereka. 
Pemimpin mereka memberi laporan. "Menjelang 
malam, salah satu patroli menangkap seorang 
pendekar yang tampak mencurigakan di dekat Sungai 
nagari ." 
"Lalu?" 
"Orang itu menurut saja saat  digiring ke gardu 
jaga. namun  saat  kami menanyainya, dia menolak 
menyebutkan nama maupun provinsi asalnya, dan dia 
berkata bahwa dia akan mengungkapkannya hanya 
jika bisa berbicara dengan Tuan ki abang . lalu  
dia mengaku bukan mata-mau, dan bahwa saudara-
nya seorang wanita lesbian  sudah bekerja dalam rumah 
  
tangga sinuhun  sejak Yang Mulia bertempat tinggal di 
kedhiri . namun  dia tak mau mengatakan apa-apa lagi, 
kecuali jika dihadapkan pada orang yang berwenang. 
Dia sangat keras kepala.'' 
"Hmm, hmm. Berapa umurnya?" 
"Sekitar empat puluh tahun." 
"Seperti apa dia?" 
"Penampilannya cukup mengesankan. Rasanya 
sukar dipcrcaya bahwa dia cuma pendekar pengelana 
biasa." 
Beberapa saat lalu , orang yang ditangkap itu 
dibawa   masuk. Seorang pengikut tua menggiringnya 
ke salah satu ruangan di bagian belakang rumah. 
Sebuah bantal dan semmlah makanan sudah  
menantinya. 
"Tuan ki abang  akan segcra menemui Tuan," kata 
si pengikut, lalu pergi. 
Asap dupa memasuki ruangan. Si pendekar, dengan 
pakaian kotor akibat perjalanan yang ditempuhnya, 
menyadari bahwa dupa itu amat bermutu, terlalu 
bermutu untuk dibakar bagi sembarang orang. Sambil 
membisu ia menunggu kedatangan tuan rumah. 
Wajah yang semula tcrsembunyi di balik pinggiran 
topi kini mengamati cahaya lentera yang berkelap-
kelip. Tak dapat disangkal, ia terlalu pucat untuk 
membuat patroli tadi percaya bahwa ia pendekar 
pengelana. Selain itu, sorot matanya lembut dan 
penuh damai berlainan dengan sorot mata seseorang 
yang sehari-harinya makan-tidur bersama pedang. 
  
Pintu geser membuka, dan seorang wanita lesbian  
dengan pakaian dan sikap yang menunjukkan bahwa 
ia bukan pelayan, mengantarkan semangkuk nasi. 
Tanpa berkata apa-apa, wanita lesbian  itu meletakkan 
mangkuk di hadapan si pendekar, lalu mengundurkan 
diri, menutup pintu geser di belakangnya. Sekali lagi, 
kalau bukan sebab  dianggap tamu penting, si 
pendekar takkan memperoleh perlakuan seperti itu. 
Beberapa saat lalu , sang tuan rumah, 
ki abang , melangkah masuk, dan secara tak langsung 
minta maaf sebab  sudah  membiarkan tamunya 
menunggu. 
Si pendekar bcrgeser dari bantal ke posisi berlutut 
yang lebih resmi. "Apakah aku memperoleh kehormatan 
untuk berhadapan dengan Tuan patih? Kurasa sikapku 
sudah  menimbulkan sedikit kesulitan bagi anak buah 
Tuan. Aku sedang menjalankan misi rahasia bagi 
marga mpu djiwo di radenkanjeng . Namaku tribuana  
tunggadewa ." 
"Ternyata benar. Kuharap Tuan sudi memaafkan 
kekasaran bawah an-bawah anku. Aku sendiri dibuat 
terkejut oleh apa yang kudengar beberapa saat yang 
lalu, dan bergegas untuk menemui Tuan."  
"Aku tidak menyebutkan nama maupun tempat 
asalku, jadi dari mana Tuan mengetahui siapa aku?" 
"Tuan sempat menyinggung seorang wanita lesbian  
kepribadian  Tuan, kalau aku tidak salah yang sudah 
agak lama menjadi anggota rumah tangga Yang Mulia. 
saat  hal ini dilaporkan padaku, aku langsung 
  
menduga bahwa Tuan yang datang. kepribadian  Tuan 
bernama ki pasopati , bukan? Dia sudah  mengabdi pada istri 
Yang Mulia aidit  sejak kepindahannya dari blambangan  
ke jenggala ." 
"Betul! Pengetahuan Tuan mengenai detail seperti 
ini sungguh mengesankan." 
"Itu memang bagian dari tugasku. Kami biasa 
menyelidiki tempat asal, keturunan, dan  kerabat 
semua orang, mulai dari para dayang senior sampai 
gadis lesbian-gadis lesbian pelayan." 
"Kewaspadaan Tuan patut dipuji." 
"Kami juga menyelidiki latar belakang kepribadian  
Tuan. Pada saat Yang Mulia minakjinggo  menemui ajal, 
salah satu paman ki pasopati  melarikan diri dari blambangan  dan 
menghilang. ki pasopati  sering bercerita pada istri Yang 
Mulia mengenai seseorang bernama tunggadewa  dari 
benteng kota tribuana . Inilah yang sampai ke telingaku. Jadi, 
saat  para bawah anku menggambarkan umur dan 
penampilan Tuan, dan memberitahuku bahwa Tuan 
menghabiskan setengah hari dengan berjalan-jalan di 
kota benteng kota, aku menggabungkan semuanya dan 
menerka bahwa Tuan-lah yang dimaksud." 
"Kemampuan Tuan untuk menarik kesimpulan 
memang mengagumkan." kata tunggadewa  sambil ter-
senyum. 
ki abang  berseri-seri. Dengan nada lebih resmi, ia 
lalu bertanya. "namun , Tuan tunggadewa . urusan apa 
kiranya yang membawa   Tuan demikian jauh dari 
radenkanjeng ?" 
  
Roman muka tunggadewa  langsung serius, dan ia 
segera merendahkan suara. "Apakah ada orang lain di 
sini?" Pandangannya tertuju ke pintu geser. 
"Tuan tidak perlu gelisah khawatir . Para pelayan sudah 
kusuruh pergi. Orang di balik pintu adalah pengikut 
kepercayaanku. Dan selain penjaga di ujung koridor, 
tidak ada siapa-siapa lagi." 
"sebetulnya  ada dua surat untuk Yang Mulia 
aidit  yang dipercayakan padaku. Yang pertama 
dari pandita  yosodiprojo . yang satu lagi dari Yang Mulia 
hyangkertoarjo  wiryabhumi ." 
"Dari sang pandita !" 
"Hal ini harus dirahasiakan dari marga mpu djiwo, jadi 
Tuan dapat membayangkan betapa sulitnya menem-
puh perjalanan sampai ke sini." 
Tahun scbdumnya, pandita  rangawesi  dibunuh oleh 
wakil gubernur resi nya, dyahbalitung  patih dyahwkertoarjo  , dan 
pengikut dyahbalitung , grindananaga jamawangsa , yang meram-
pas kekuasaan sang pandita . rangawesi  memiliki  
dua adik laki-laki. Yang lebih tua, seorang kepala biara 
zoroaster , dibunuh olch para pemberontak. Yang lebih 
muda, yosodiprojo , yang saat  itu menjadi rahib di 
Nara, mcnyadari bahaya yang mengancamnya dan 
meloloskan diri dengan bantuan hyangkertoarjo  wiryabhumi . 
Selama beberapa waktu ia bersembunyi di gunungselatan, 
melepaskan kedudukannya sebagai rahib, dan meng-
ambil gelar pandita  keempat belas pada usia dua puluh 
enam tahun. 
sesudah  itu sang "pandita  pengembara" mendekati 
  
marga Wada, marga harjo , dan beberapa marga lain 
untuk mencari dukungan. Sejak awal  yosodiprojo  meren-
canakan untuk tidak tergantung pada kebaikan orang 
lain. Ia berniat mengalahkan para pembunuh kakak-
nya dan  mengembalikan kedudukan dan kewibawa  an 
keluarganya. Ia mencari bantuan, memohon marga-
marga di provinsi yang jauh. 
namun  sebetulnya  urusan ini menyangkut seluruh 
negeri, sebab dyahbalitung  dan grindananaga sudah  merebut 
pemerintahan pusat. Meskipun yosodiprojo  bergelar 
pandita , dalam kenyataan ia hanya seorang tanpa harta 
yang hidup di pengasingan. Ia tidak memiliki uang. 
apalagi centeng  sendiri. Kecuali itu, ia pun tidak 
terlalu disukai oleh rakyat. 
tunggadewa  mengawal i ceritanya dengan kedatangan 
yosodiprojo  di Bentcng mpu djiwo di radenkanjeng . Pada saat itu, 
seorang laki-laki bernasib buruk yang belum diterima 
sebagai pengikut marga sedang mengabdi pada 
mpu djiwo. Orang itu adalah tribuana  tunggadewa  sendiri. 
Di sanalah tunggadewa  pertama kali bertemu hyangkertoarjo  
wiryabhumi . 
tunggadewa  melanjutkan. "Ceritanya agak panjang, 
namun  jika Tuan bersedia mendengarkannya, kuminta 
Tuan menyampaikannya pada Yang Mulia aidit . 
Tentunya surat dari sang pandita  harus kuserahkan 
secara langsung pada Yang Mulia." 
lalu , untuk menjelaskan situasinya sendiri, 
tunggadewa  menceritakan peristiwa-peristiwa yang ter-
jadi sejak ia meninggalkan benteng kota tribuana  dan 
  
melarikan diri dari blambangan  ke radenkanjeng . Selama lebih 
dari sepuluh tahun, tunggadewa  merasakan penderitaan 
di dunia. Sesuai dengan wataknya, ia mudah tertarik 
pada buku-buku dan ilmu pengetahuan. Ia bersyukur 
atas kemalangan yang dialammya. Masa pengembara-
annya yang penuh kesusahan itu memang panjang. 
benteng kota tribuana  hancur dalam perang saudara di 
blambangan , dan hanya ia dan sepupunya, gajayana , yang 
berhasil lolos ke radenkanjeng . Pada tahun-tahun sesudah 
itu tunggadewa  menghilang, menjalani hidup sebagai 
adipati  dan menyambung hidup dengan mengajar anak-
anak petani membaca dan menulis. 
Satu-satunya hasrat yang tersimpan di dadanya 
adalah menemukan junjungan yang tepat, dan  satu 
kesempatan baik. Sambil mencari jalan keberhasilan, 
tunggadewa  mengamati semangat juang, keadaan 
ekongunungselatan, dan benteng kota-benteng kota di berbagai provinsi 
dengan mata ahli strategi militer, bersiap-siap meng-
hadapi masa yang akan datang. 
Ia terus berkelana dan mengunjungi semua provinsi 
di daerah barat. tunggadewa  memiliki alasan kuat untuk 
berbuat demikian. Daerah baratlah yang selalu lebih 
dahulu  menerima penemuan asing, dan kemungkinan 
besar di sanalah ia dapat menambah pengetahuan 
mengenai bidang yang menjadi keahliannya senjata 
api. Pengetahuan tunggadewa  dalam hal senjata api 
menimbulkan berbagai peristiwa di provinsi-provinsi 
barat. Seorang pengikut marga patih bernama Kaisura 
menangkap tunggadewa  di kota Yamaguchi, sebab  
  
mencurigainya sebagai mata-mata. Saat itu tunggadewa  
berterus terang mengenai tempat asalnya, situasinya, 
dan  harapan-harapannya, dan bahkan mengemuka-
kan penilaiannya mengenai provinsi-provinsi tetangga. 
saat  menanyai tunggadewa , Katsura begitu terkesan 
oleh pengetahuannya, sehingga ia lalu memuji-muji 
tunggadewa  di hadapan junjungannya, patih Motonari. 
"Hamba rasa dia memiliki bakat yang luar biasa. 
Seandainya dia diberi pekerjaan di sini, hamba percaya 
dia akan melakukan hal-hal besar di lalu  hari." 
Pencarian orang-orang berbakat berlangsung di 
mana-mana. Orang-orang seperti itu, yang meninggal-
kan kampung halaman dan mengabdi di provinsi lain, 
suatu saat  akan berhadapan sebagai musuh dengan 
bekas junjungan mereka. Begitu Motonari mendengar 
kabar mengenai tunggadewa , ia ingin bertemu dengan-
nya. Suatu hari tunggadewa  dipanggil ke benteng kota 
Motonari. Keesokan harinya, Katsura seorang diri 
menghadap Motonari, dan menanyakan pendapatnya 
mengenai tamunya. 
"Seperti kaukatakan, orang berbakat jarang ditemui. 
Sebaiknya kita beri dia sejumlah uang dan beberapa 
potong pakaian, lalu mempersilakannya melanjutkan 
perjalanan." 
"Baik, namun  tidakkah dia membuat tuanku terkesan?" 
"Memang. Ada dua macam orang besar: mereka 
yang benar-benar besar, dan para bajingan. Nah, kalau 
seorang bajingan juga orang terpelajar, dia akan 
membawa   kehancuran bagi dirinya sendiri dan bagi 
  
majikannya." Motonari melanjutkan, "Ada sesuatu 
yang licik pada penampilannya. Pada waktu dia bicara 
dengan tenang dan sorot mata cerah, daya pikatnya 
sungguh memukau. Ya, dia memang laki-laki yang 
menawan , namun  aku lebih menyukai sikap para prajurti 
daerah barai yang tak pernah banyak omong. Kalau 
kutempatkan orang ini di tengah-tengah prajuritku, 
dia akan menonjol seperti burung bangau di tengah 
gerombolan  ayam. Ini saja sudah cukup untuk menolak-
nya." Dengan demikian tunggadewa  tidak diterima oleh 
marga patih. 
Ia menjelajahi Hizen dan Higo, dan  daerah 
kekuasaan marga Otomo. Ia menyeberangi laut ke 
Pulau Shikoku, tempat ia mempelajari jurus-jurus 
marga Chosokabe. 
saat  tunggadewa  kembali ke rumahnya di radenkanjeng . 
ia baru mengetahui bahwa istrinya sudah  jatuh sakit 
dan meninggal, dan sepupunya, gajayana , pergi 
untuk mengabdi pada marga lain. sesudah  enam tahun 
berkelana, situasinya ternyata belum bertambah  baik. 
Ia belum juga melihat titik terang pada jalan yang 
membentang di hadapannya. 
Di saat yang serbasusah itulah ia menemui Ena, 
kcpala rahib Kuil Shonen di radenkanjeng . Ia menyewa 
rumah di depan kuil dan mulai mengajari anak-anak 
tetangga. Sejak awal  tunggadewa  sudah  menyadari bahwa 
mengajar di sekolah bukanlah panggilan hidupnya. 
Dalam beberapa tahun ia sudah  memahami seluk-beluk 
pemerintahan dan  masalah-masalah yang dihadapi 
  
provinsinya. 
Selama masa itu, radenkanjeng  berulang kali dirongrong 
pemberontakan para anggota sekte sayap kiri . Suatu saat . 
pada waktu centeng  mpu djiwo melewatkan musim 
dingin di medan perang melawan  para biksu yang 
memberontak. tunggadewa  bertanya pada Ena, "Ini 
hanya pendapat hamba yang tak berguna, namun  hamba 
ingin menyampaikan sebuah strategi kepada marga 
mpu djiwo. Siapakah yang harus hamba temui untuk 
itu?" 
Ena langsung mengerti apa yang tersimpan dalam 
benak tunggadewa . "Temuilah mpu djiwo Kageyuki. 
Kurasa dia bersedia mendengarkanmu." 
tunggadewa  mempercayakan murid-muridnya pada 
Ena dan pergi ke perkemahan mpu djiwo Kageyuki. 
sebab  tidak memiliki perantara. ia langsung saja 
memasuki perkemahan, membawa   rencana yang 
dicatatnya pada secarik kenas. Ia ditangkap, tanpa 
mengetahui apakah rencananya diserahkan pada 
Kageyuki atau tidak, dan selama dua bulan ia tidak 
memperoleh kabar apa pun. Walaupun dipenjara, dari 
pergerakan dan semangat centeng , tunggadewa  menarik 
kesimpulan bahwa Kageyuki menjalankan rencananya. 
Mula-mula Kageyuki merasa curiga pada tunggadewa . 
sebab  inilah tunggadewa  dipenjara. namun  sebab  tak 
ada jalan lain untuk mengatasi jalan buntu yang 
dihadapinya di medan laga. Kageyuki memutuskan 
untuk mencoba rencana tunggadewa . saat  kedua laki-
laki itu akhirnya benemu. Kageyuki memuji tunggadewa  
  
sebagai prajurit berpengetahuan luas mengenai sejarah 
dan ilmu bela diri. sesudah  memperkenankan 
tunggadewa  berjalan-jalan di perkemahan, Kageyuki 
memanggilnya dari waktu ke waktu. Namun rupanya 
tidak mudah bagi tunggadewa  untuk memperoleh status 
pengikut, sebab  itu pada suatu hari ia berkata dengan 
tegas. "Jika tuanku berscdia itu meminjamkan senjata 
api pada hamba, hamba akan menembak resi  
musuh di tengah-tengah perkemahannya." 
"Kau boleh bawa   satu," kata Kageyuki, namun  sebab  
rasa curiganya belum pupus sama sekali, ia diam-diam 
menunjuk seseorang untuk menyerbu  tunggadewa . 
Pada masa itu, sepucuk senapan sangat berharga, 
bahkan untuk marga mpu djiwo yang kaya sekalipun. 
sesudah  mengucapkan terima kasih atas kebaikan 
Kageyuki. tunggadewa  mengambil senapan itu, terjun ke 
tengah centeng , dan menuju garis depan. saat  
pertempuran meletus, ia menghilang di balik barisan 
musuh. 
Mendengar bahwa tunggadewa  menghilang, Kageyuki 
lalu minta pertanggungjawaban pasti orang yang ditugaskan 
menyerbu  tunggadewa , dan bertanya kenapa ia tidak 
menembaknya dari belakang. "Mungkin saja dia ter-
nyata memang mata-mata musuh yang datang ke sini 
untuk mempelajari kcadaan." 
namun  beberapa hari lalu  terdengar laporan 
bahwa resi  musuh ditembak oleh penyerang tak 
dikenal saat  ia memeriksa garis tempur. Semangat 
centeng  lawan  dikabarkan tiba-tiba menipis. 
  
Tak lama sesudah  itu, tunggadewa  kembali ke 
perkemahan. saat  bertemu Kageyuki, ia segera 
menegurnya. "Kenapa tuanku Tidak mengerahkan 
seluruh centeng  dan menumpas musuh kita? Patutkah 
orang yang membiarkan kesempatan seperti ini lewat 
begitu saja diberi pangkat resi ?" 
tunggadewa  memenuhi janjinya. Ia sudah  menyusup 
ke wilayah musuh, menembak resi  mereka, lalu 
kembali. 
saat  mpu djiwo Kageyuki kembali ke benteng kota 
Ichijogadani, ia menceritakan kejadian itu pada 
mpu djiwo Yoshikage, Yoshikage mengamati tunggadewa  
dan memintanya menjadi pengikutnya. lalu  
Yoshikage menyuruh para bawah annya mendirikan 
sasaran di pekarangan benteng kota, dan memerintahkan 
tunggadewa  untuk memperlihatkan kebolehannya. Dari 
seratus tembakan yang dilepaskan tunggadewa , yang 
bukan ahli menembak, enam puluh 9 mengenai 
sasaran. 
tunggadewa  kini memperoleh tempat tinggal di kota 
benteng kota, dan diberi upah sebesar seribu kan seratus 
putra pengikut ditempatkan di bawah  bimbingannya, 
dan sekali lagi ia membentuk kesatuan penembak. 
tunggadewa  begitu berterima kasih pada Yoshikage, 
sebab  diselamatkan dari penderitaan, sehingga 
selama beberapa tahun ia bekerja tanpa kenal lelah 
untuk membalas berkah dan budi baik yang diterima-
nya. 
namun  pada akhirnya pengabdian tunggadewa  justru 
  
memancing rasa dengki orang-orang sekitarnya. 
Mereka menuduhnya bersikap congkak dan angkuh. 
Tak peduli apa yang sedang dibicarakan atau dikerja-
kan, kecemerlangan tunggadewa  tampak nyata di mata 
semua orang. 
Sikap tunggadewa  tidak berkenan di hati para 
pengikut marga mpu djiwo yang mulai mengeluh 
mengenai dirinya: 
"Dia memang sombong." 
"Dia tinggi hati." 
Tentu saja, keluhan-keluhan ini juga sampai ke 
telinga Yoshikage. Prestasi tunggadewa  pun mulai ber-
kurang. Dilahirkan dengan watak dingin, ia kini 
menjadi sasaran tatapan yang sama dinginnya. Per-
soalannya mungkin lain seandainya Yoshikage me-
lindunginya, namun  Yoshikage ditahan oleh para 
pengikutnya. Perselisihan itu membuat ke seluruh 
benteng kota, bahkan ke selir-selir favorit Yoshikage. 
tunggadewa  sendiri tidak memiliki koneksi, dan di 
tempat yang dianggapnya rumah tempat ia hanya 
diberikan perlindungan sementara. Hatinya gundah 
gulana, namun  tak ada yang dapat ia lakukan. 
Aku membuat kesalahan, tunggadewa  berkata dalam 
hati. Ia sudah  memperoleh sandang pangan, namun  kini ia 
menyesali keputusannya. sebab  terburu-buru hendak 
meloloskan diri dari kemalangan, ia tidak menyadari 
bahwa pelabuhan yang dipilihnya merupakan 
pelabuhan yang salah. Begitulah pikirannya sesudah  
melewati hari-hari tanpa kebahagiaan. Aku sudah  
  
menyia-nyiakan seluruh hidupku! Tekanan batin yang 
ia alami rupanya berpengaruh pada kesehatannya, dan 
ia mulai menderita penyakit kulit yang lalu  men-
jadi serius. tunggadewa  mengajukan permohonan cuti 
pada Yoshikage agar dapat berobat di kota per-
mandian Yamashiro. 
Pada waktu berada di sana, ia memperoleh kabar 
bahwa Istana Nijo diserang pemberontak, dan bahwa 
pandita  rangawesi  mati terbunuh. Di Yamashiro pun, 
di tengah-tengah pegunungan. orang-orang merasa ter-
kejut dan gelisah. 
"Kalau sang pandita  terbunuh. negeri ini akan 
dilanda kekacauan lagi." tunggadewa  segera bersiap-siap 
untuk kembali ke Ichijogadani. Kekacauan di trowulan  
berarti kekacauan di seantero negeri. Peristiwa itu 
dengan sendirinya akan membawa   akibat di provinsi-
provinsi. Tak pelak lagi, di mana-mana persiapan 
dibuat dengan tergesa-gesa. 
Aku bisa saja merajuk dan merasa tertekan sebab  
hal-hal sepele, namun  itu memalukan bagi laki-laki yang 
sedang berada dalam masa jayanya, tunggadewa  
memutuskan. Penyakit kulit yang ia derita sudah  
sembuh, dan kini tunggadewa  cepat-cepat menghadap 
junjungannya. Yoshikage nyaris tidak menanggapi 
kedatangannya, dan tunggadewa  menarik diri tanpa 
memperoleh perhatian Yoshikage. sesudah  itu ia tak 
pernah dipanggil lagi. Sementara berobat, ia sudah  
dibebastugaskan dari jabatannya sebagai komandan 
kesatuan penembak, dan di mana-mana ia diperlaku-
  
kan dengan sikap bermusuhan. sesudah  kepercayaan 
Yoshikage pada tunggadewa  berubah sama sekali. 
tunggadewa  sekali lagi mengalami penderitaan batin. 
Saat itulah ia menerima kunjungan dari hyangkertoarjo  
wiryabhumi , yang hanya dapat dilukiskan sebagai tamu 
utusan para dewa. tunggadewa  begitu terkejut, sehingga 
ia sendiri melangkah keluar untuk menyambut orang 
iiu, seakan-akan tak percaya bahwa orang dengan 
kedudukan seperti wiryabhumi  sudi datang ke rumahnya. 
Pembawa  an wiryabhumi  tepat seperti yang disukai 
tunggadewa . Sikapnya agung dan terpelajar. tunggadewa  
sudah lama mengeluh bahwa ia tak pernah berjumpa 
dengan orang-orang besar, dan tamu seperti itu tentu 
saja menimbulkan kegembiraan di hatinya. Namun ia 
merasa ragu-ragu mengenai maksud kunjungan 
wiryabhumi . 
Meskipun berasal dari keluarga bawahan , pada 
saat ia diam-diam mengunjungi rumah tunggadewa , 
wiryabhumi  tak lebih dari orang buangan. sesudah  terusir 
dari trowulan , yosodiprojo  mengungsi dan berkelana dari 
provinsi ke provinsi. wiryabhumi -lah yang mendekati 
mpu djiwo Yoshikage untuk kepentingan sang pandita . 
Sambil mengelilingi provinsi-provinsi untuk ber-
khotbah mengenai kesetiaan, sekaligus berusaha mem-
pengaruhi para penguasa daerah agar mengambil 
tindakan, hyangkertoarjo  wiryabhumi  merupakan satu-satunya 
orang yang ikut menderita bersama yosodiprojo . Segala 
upaya dijalankannya untuk mengatasi kemalangan 
yang menimpa junjungannya. 
  
"Tentunya marga mpu djiwo akan berpihak pada sang 
pandita . Jika Provinsi Wakasa dan radenkanjeng  bergabung 
dengan kami, semua marga di daerah utara akan 
bergegas mendukung perjuangan kami." 
Yoshikage berniat menolak permintaan itu. Tak 
peduli apa yang dikatakan wiryabhumi  mengenai kesetia-
an. Yoshikage tidak berminat mengangkat senjata 
demi pandita  yang tanpa kekuasaan dan hidup dalam 
pengasingan. Masalahnya bukan kekuatan militer 
maupun kekayaan, Yoshikage memang mendukung 
keadaan saat itu. 
wiryabhumi  segera melihat bahwa situasinya tidak 
menguntungkan bagi mereka, dan menyadari 
nepotisme dan  pergulatan dalam marga mpu djiwo, ia 
membatalkan usaha mencari dukungan di sana. namun   
Yoshikage dan para pengikutnya sudah dalam 
perjalanan menuju radenkanjeng . 
Walaupun orang-orang mpu djiwo merasa terganggu, 
sang pandita  tak bisa diperlakukan dengan semena-
mena, dan mereka menyediakan sebuah kuil sebagai 
tempat tinggal sementara. Mereka menerimanya 
dengan baik, namun sekaligus berdoa agar ia segera 
angkat kaki lagi. 
lalu , secara tiba-tiba tunggadewa  memperoleh 
kunjungan dari wiryabhumi . namun  ia tak dapat meraba-
raba maksud kunjungan itu. 
"Aku mendengar bahwa Tuan menggemari puisi. 
Aku sempat melihat karya yang Tuan buat saat  pergi 
ke Mishima." kata wiryabhumi  pada awal  percakapan 
  
mereka. Ia tidak tampak seperti orang yang hatinya 
sedang digerogoti kesusahan. Roman mukanya lembut 
dan ramah. 
"Oh, puisiku tak patut mendapai perhatian Tuan," 
tunggadewa  tidak sekadar merendah; ia sungguh-
sungguh merasa malu. wiryabhumi  memang terkenal 
sebab  puisi-puisinya. Hari itu perbincangan mereka 
dibuka dengan puisi, lalu beralih pada sastra majapahit . 
"Astaga, percakapan kita begitu menarik, sehingga 
aku lupa bahwa ini pertama kali aku bertamu di sini." 
sesudah  meminta maaf sebab  kunjungannya begitu 
lama, wiryabhumi  mohon diri. 
tunggadewa  semakin bingung. Memandangi lentera 
di hadapannya, ia duduk termenung-menung. wiryabhumi  
berkunjung dua atau tiga kali lagi, namun  tema 
pembicaraan mereka tak pernah menyimpang dari 
puisi atau Upacara Minum Teh. namun  suatu hari 
saat  itu hujan turun begitu dcras, sehingga lentera-
lentera terpaksa dinyalakan di dalam rumah wiryabhumi  
bersikap lebih resmi dan pada biasa. 
"Hari ini aku ingin membahas sesuatu yang sangat 
serius dan rahasia," katanya. 
tunggadewa  memang sudah  menanti-nanti ucapan ini, 
dan menjawab . "Kalau kepercayaan Tuan padaku 
begitu besar sehingga Tuan mau membuka rahasia, 
aku berjanji untuk menjaganya. Silakan bicara secara 
terbuka, mengenai apa saja." 
wiryabhumi  mengangguk. "Aku percaya orang secerdik 
Tuan tentu sudah paham mengapa aku sering 
  
berkunjung. sebetulnya  kami, para pembantu sang 
pandita , datang ke sini dengan bertumpu pada 
harapan bahwa Yang Mulia mpu djiwo akan mendukung 
perjuangan kami. Sampai sekarang sudah berkali-kali 
kami diam-diam memohon kesediaan beliau dan 
melakukan perundingan rahasia. Namun jawaban pasti 
Yang Mulia ditunda-tunda terus, dan tampaknya 
takkan ada keputusan dalam waktu dekat. Sementara 
itu kami mempelajari pemerintahan Yang Mulia 
mpu djiwo, dan sekarang aku percaya bahwa beliau tak 
ingin bertempur bagi sang pandita . Mereka yang 
mengajukan permohonan pun menyadari bahwa ini 
sia-sia belaka. Meski demikian..." wiryabhumi  kini tampak 
berbeda sama sekali dengan laki-laki yang berkunjung 
sebelumnya. "Siapa di antara para panglima provinsi 
terkecuali Yang Mulia mpu djiwo yang dapat kami 
andalkan? Siapa panglima perang di negeri ini yang 
paling bisa dipercaya sekarang? Adakah orang sepcrti 
itu?" 
"Ada." 
"Ada?" Mata wiryabhumi  berbinar-binar. 
Dengan tenang tunggadewa  memakai  jari untuk 
menuliskan sebuah nama di lantai: sinuhun  aidit . 
"Sang penguasa padalarang ?" wiryabhumi  menarik napas. Ia 
mengalihkan pandangannya dari lantai ke wajah 
tunggadewa , dan terdiam sejenak. lalu  kedua 
orang itu membahas aidit  untuk waktu yang 
cukup panjang. tunggadewa  pernah menjadi anggota 
marga pangeran, dan saat  mengabdi pada bekas 
  
junjungannya, pangeran minakjinggo , ia sempat mengamati 
watak menantu minakjinggo . Jadi, ucapan tunggadewa  
memang memiliki bobot. 
Beberapa hari lalu , tunggadewa  menemui 
wiryabhumi  di gunung-gunung di balik kuil yang menjadi 
tcmpat menginap sang pandita . wiryabhumi  menyerahkan 
sepucuk surat yang ditulis sendiri oleh sang pandita  
dan dialamatkan pada aidit . Malam itu 
tunggadewa  meninggalkan Ichijogadani. Tentu saja ia 
melepaskan kediaman dan para pengikutnya, sebab  
menyangka ia takkan kembali. Keesokan harinya 
seluruh marga mpu djiwo gempar. 
Teriakan "tunggadewa  melarikan diri!" terdengar 
menggema. Regu pelacak dibentuk untuk membawa  -
nya kembali, namun  tunggadewa  tak dapat ditemukan 
dalam batas-batas provinsi. lalu  mpu djiwo 
Yoshikage memperoleh kabar bahwa salah seorang 
pengikut sang pandita , hyangkertoarjo  wiryabhumi , sering 
mengunjungi tunggadewa , dan kini Yoshikage berpaling 
pada sang pandita . "Tak pelak lagi, dialah yang meng-
hasut tunggadewa  dan mungkin mengutusnya sebagai 
kurir ke provinsi lain." Walhasil Yoshikage mengusir 
sang pandita  dari radenkanjeng . 
Sejak semula wiryabhumi  sudah  meramalkan per-
kembangan ini. Jadi, dengan memanfaatkannya 
sebagai kesempatan baik, ia ditambah    rombongannya 
pergi dari radenkanjeng  ke gunungselatan, dan diterima oleh jawa  
kalasan  di benteng kota sinuhun ni. Di sanalah wiryabhumi  
menunggu kabar dari tunggadewa . 
  
Dan inilah sebabnya tunggadewa  datang ke padalarang . 
membawa   surat sang pandita , selama dalam 
perjalanan ia acap kali mempertaruhkan nyawa  . Kini 
tunggadewa  berhasil mencapai setengah dari tujuannya. 
Ia sudah menembus sampai ke kediaman patih 
ki abang , dan malam ini sedang duduk berhadap-
hadapan dengan sang tuan rumah, menjelaskan 
misinya secara terperinci dan meminta kesediaan 
ki abang  untuk bertindak sebagai perantara guna 
menghadap aidit .  
 
Hari itu hari ketujuh di Bulan Kesepuluh pada tahun 
Eiroku kesembilan. Hari itu mungkin dianggap hari 
yang menentukan oleh sementara orang. patih sudah  
menjadi perantara bagi tunggadewa , dan seluk-beluk 
keadaan sudah disampaikan pada aidit . Hari 
inilah tunggadewa  memasuki benteng kota padalarang  dan 
bertemu untuk pertama kali dengan aidit . 
tunggadewa  berusia tiga puluh 9 tahun enam 
tahun lebih tua dibandingkan  aidit . 
"Aku sudah  mempelajari surat-surat dari Yang Mulia 
hyangkertoarjo  dan sang pandita ." kata aidit , "dan 
kulihat mereka menginginkan dukunganku. Betapa-
pun tak berartinya aku, aku akan mengerahkan 
segenap kekuatan yang kumiliki." 
tunggadewa  membungkuk dan menanggapi ucapan 
aidit . "Mempertaruhkan nyawa   hamba yang hina 
merupakan tugas yang jauh melampaui status hamba." 
Tak ada kepalsuan dalam kata-kata tunggadewa . 
  
Ketulusannya membuat aidit  terkesan, begitu 
juga sikap dan pembawa  annya, pemilihan katanya 
yang cerdik, dan  kecerdasannya yang patut dikagumi. 
Semakin lama aidit  memperhatikannya, ia 
semakin terkesan. Orang ini pasti akan berguna, katanya 
dalam hati. Dengan demikian, tribuana  tunggadewa  
menemukan dirinya di bawah  sayap marga sinuhun . 
Dalam waktu singkat ia sudah  menerima anugerah 
berupa tanah senilai empat ribu di blambangan . Di samping 
itu, sebab  sang pandita  dan para pengikutnya berada 
bersama marga jawa , aidit  mengutus sejumlah 
orang di bawah  pimpinan tunggadewa  umuk mengawal  
mereka ke benteng kota padalarang , aidit  bahkan pergi ke 
perbatasan provinsi untuk menyambut kedatangan 
sang pandita , yang sudah  diperlakukan sebagai orang 
yang merepotkan di provinsi-provinsi lain. 
Di gerbang benteng kota, aidit  meraih tali kekang 
kuda sang pandita  dan memperlakukannya sebagai 
tamu kehormatan. namun   sebetulnya  aidit  
tidak sekadar meraih tali kekang kuda sang pandita , 
melainkan mengambil alih kendali atas seluruh negeri. 
Mulai saat itu, jalan mana pun yang ditempuhnya, 
awan  badai dan angin zaman berada di tangan yang 
menggenggam tali kekang demikian erat. 
 
  
Sang pandita  Pengelana 
 
 
 
sesudah  sang pandita  dan rombongannya menemu-
kan tempat perlindungan bersama aidit , mereka 
ditempatkan di sebuah kuil di padalarang . Namun para 
pengikut pandita  sombong dan berjiwa kerdil, dan 
satu-satunya keinginan mereka adalah menegakkan 
wibawa   mereka sendiri. Mereka tidak menyadari 
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, 
dan begitu mereka menetap, mereka mulai bersikap 
congkak dan mengeluh kepada para pengikut 
aidit . 
"Makanan ini kurang enak." 
"Tempat tidur kami terlalu keras." 
"Aku tahu kuil sempit ini hanya untuk sementara, 
namun  tempat semacam ini tidak sepadan dengan 
martabat sang pandita ." 
Mereka tak mengenai batas. "Kami ingin melihat 
perlakuan yang lebih baik terhadap sang pandita . 
Carilah tempat yang indah untuk membangun istana 
bagi sang pandita , dan mulailah dengan pekerjaan 
pembangunan.'' 
aidit , yang mendengar tuntutan mereka, 
menganggap orang-orang itu patut dikasihani. 
Sesaat  ia memanggil para pengikut yosodiprojo  dan 
berkata pada mereka, "Aku memperoleh kabar bahwa 
kalian ingin aku membangun istana bagi sang pandita . 
  
sebab  kediamannya sekarang terlalu sempit." 
"Memang!" juru bicara mereka menanggapinya. 
"Tempat tinggal beliau yang sekarang tidak memadai. 
Kuil itu sama sekali tidak pantas sebagai kediaman 
sang pandita ." 
"Hmm, hmm," balas aidit  dengan nada 
melecehkan. "Bukankah pikiran Tuan-Tuan agak 
lamban? Sang pandita  mendatangiku sebab  berharap 
aku akan mengusir dyahbalitung  dan grindananaga dari 
trowulan , merebut kembali wilayah kekuasaannya, dan 
mengembalikan beliau ke kedudukan yang menjadi 
hak beliau." 
"Itu benar." 
"Betapapun tak beraninya aku, aku bertekad 
memikul tanggung jawab  besar ini. Selain itu, aku 
merasa sanggup mewujudkan harapan-harapan sang 
pandita  dalam waktu dekat, bagaimana mungkin aku 
meluangkan waktu untuk mendirikan istana bagi 
beliau? Apakah Tuan-Tuan sungguh-sungguh sudah  
melepaskan harapan untuk kembali ke trowulan  guna 
menegakkan pemerintahan yang sah? Puaskah Tuan-
Tuan dengan melewatkan hidup secara tenang di 
suatu tempat berpemandangan indah di padalarang , dan 
tinggal sebagai pertapa di sebuah istana besar, dengan 
makanan yang disediakan oleh tuan rumah?" 
Para pengikut yosodiprojo  menarik diri tanpa berkata apa-apa lagi. sesudah  itu mereka tidak banyak mengeluh. aidit  tidak mengada-ada. Pada waktu musim panas berganti musim gugur, aidit  
 memerintahkan mobilisasi umum di seluruh blambangan  dan jenggala . Pada hari kelima di Bulan Kesembilan, hampir tiga puluh ribu prajurit siap bergerak. Pada hari ketujuh, mereka sudah berbaris meninggalkan padalarang , menuju ibu kota. Dalam pesta besar yang diadakan di benteng kota pada malam sebelum keberangkatan, aidit  berkata kepada para perwira dan anak buahnya. "Kekacauan di negeri ini, yang merupakan akibat dari persaingan para panglima provinsi, memicu  penderitaan berkepanjangan bagi rakyat. Tak perlu dikatakan  bahwa kesengsaraan yang melanda seluruh negeri menimbulkan kesedihan bagi sang pengikut . Sejak 
zaman donosukomerto
 
 
 
, mpu  margojoyo , sampai sekarang, marga 
sinuhun  berpegang pada peraturan tak tertulis bahwa 
kewajiban utama seorang centeng adipati  adalah melindungi 
sang pengikut  ditambah    kerabatnya. Jadi, pada waktu 
menuju ibu kota, kalian tidak bertempur untukku, 
melainkan atas nama sang Kaisar." 
Setiap komandan dan prajurit menanggapi perintah 
berangkat dengan semangat berkobar-kobar. 
Untuk langkah besar ini, prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  dari 
dusun nyi kembang , yang belum lama ini menjalin persekutuan 
militer dengan aidit , mengirim centeng  
berkekuatan seribu orang. Saat seluruh centeng  mulai 
bergerak, sejumlah orang mengemukakan kritik. 
"Orang yang dikirim si penguasa dusun nyi kembang  tidak 
banyak. Dia memang licik, persis seperti yang kita 
dengar selama ini." 
  
aidit  tidak menghiraukannya. "dusun nyi kembang  sedang 
membenahi pemerintahan dan ekongunungselatan, sebab  itu 
mereka tak punya waktu untuk pertimbangan-
pertimbangan lain. Saat ini mpu mojosongo  tak mungkin 
mengirim centeng  besar. Dia memilih bertindak 
cermat, meski sadar bahwa dia akan dicerca 
sebab nya. namun  dia pun bukan panglima biasa. Aku 
percaya bahwa centeng  yang dikirimnya terdiri atas 
orang-orang terbaik di dusun nyi kembang ." 
Sesuai dugaan aidit , keseribu prajurit dusun nyi kembang  
di bawah  grindanadaira Kanshiro tak pernah dilampaui 
dalam pertempuran. Selalu bertcmpur di baris 
terdepan, mereka membuka jalan bagi para sekutu 
mereka, dan keberanian mereka menambah 
keharuman nama mpu mojosongo . 
Setiap hari cuaca tetap indah. Tiga puluh ribu 
pejuang bergerak bagaikan garis hitam di bawah  langit 
musim gugur. Barisan mereka begitu panjang. 
sehingga pada waktu ujung depannya mencapai 
Kashiwabara, ujung belakangnya masih melewati Tarui 
dan Akasaka. Panji-panji mereka menutupi langit. 
saat  mereka melewati kota Hino dan memasuki 
Takamiya, dari depan terdengar seruan-seruan. 
"Kurir! Ada rombongan kurir dari ibu kota!" 
Tiga resi  berkuda maju untuk menemui mereka. 
"Kami ingin menghadap Yang Mulia aidit ." 
Para kurir membawa   surat dari dyahbalitung  patih dyahwkertoarjo   
dan grindananaga jamawangsa . 
saat  permintaan mereka disampaikan ke markas, 
  
aidit  berkata. "bawa   mereka ke sini." 
Para kurir segcra dipanggil, namun  aidit  men-
cemooh tawa ran perdamaian dalam surat itu sebagai 
siasat musuh. "Katakan pada mereka bahwa jawaban pasti 
akan kuberikan sesudah  aku tiba di ibu kota." 
saat  matahari terbit pada hari kesebelas, ujung 
depan centeng  aidit  menyeberangi Sungai Aichi. 
Kccsokan harinya aidit  bergerak menuju kubu 
pertahanan orang-orang harjo  di lengisireng  dan 
rejopati . benteng kota lengisireng  berada di bawah  
komando haryokodarmo Putra darmowondo , haryokowardani . 
mempersiapkan benteng kota rejopati  menghadapi 
pengepungan. Marga harjo  dari gunungselatan bersekutu 
dengan dyahbalitung  dan grindananaga, dan saat  yosodiprojo  
mencari perlindungan bersama mereka, mereka malah 
berusaha membunuhnya. 
gunungselatan merupakan kkertoarjo san stratcgis yang mem-
bentang sepanjang Danau Biwa, di tepi jalan yang 
menuju ke arah selatan. Dan di sinilah orang-orang 
harjo  menunggu, berseru  bahwa mereka akan 
melumatkan aidit  seperti aidit  meng-
hancurkan mpu marijan  mpu kepenuwoan  dengan sekali pukul. 
haryokowardani  meninggalkan benteng kota rejopati , 
bergabung dengan centeng  ayahnya di lengisireng , dan 
membagi-bagi centeng nya di semua benteng kota gunungselatan yang 
berjumlah 9 belas. 
Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, 
aidit  memandang dari tempat tinggi dan tertawa . 
"Barisan musuh sungguh gemilang. Persis seperti 
  
dalam risalah kuno." 
Ia memrintahkan mpu wiragajah  mpu wiraghanda dan Niwa 
Nagahide untuk merebut benteng kota rejopati , dan 
menempatkan centeng  dusun nyi kembang  di barisan terdepan. 
lalu  ia berpesan, "Seperti kukatakan pada 
malam sebelum keberangkatan kita, gerakan menuju 
ibu kota ini bukan balas dendam pribadi. Aku ingin 
setiap prajurit dalam centeng  kita paham bahwa kita 
bertempur untuk sang pengikut . Jangan bunuh mereka 
yang melarikan diri. Jangan bakar rumah-rumah para 
penduduk. Dan, sejauh mungkin, jangan menginjak-
injak ladang yang belum dipanen." 
 

 
Dalam kabut pagi, air Danau Biwa belum tampak. 
Mengoyak-ngoyak kabut itu, tiga puluh prajurit mulai 
bergerak. saat  aidit  melihat sinyal api yang 
menandakan serangan terhadap benteng kota rejopati  
oleh centeng  Niwa dan mpu wiragajah , ia memberi perintah. 
"Pindahkan markas ke benteng kota Wada." 
benteng kota Wada merupakan kubu pertahanan 
musuh, jadi perintah aidit  untuk memindahkan 
markas ke sana berarti menyerang dan merebut 
benteng kota itu. Namun perintah itu diucapkannya 
seakan-akan anak buahnya tinggal menempati posisi 
yang sudah  dikosongkan oleh centeng  musuh. 
"aidit  sendiri ikut dalam penyerangan!" 
resi  yang memimpin benteng kota Wada bersorak, 
  
menanggapi seruan para pengintai di menara jaga. 
Sambil menepuk pangkal pedang, ia berpidato di 
depan centeng nya. "Ini berkah dari para dewa! Baik 
benteng kota lengisireng  maupun benteng kota rejopati  
seharusnya mampu bertahan selama paling tidak satu 
bulan, dan sementara itu centeng  grindananaga dan 
dyahbalitung  ditambah    sekutu-sekutu mereka di sebelah utara 
danau bisa memotong jalur mundur aidit . 
namun   aidit  sudah  mempercepat kematiannya 
dengan menyerang benteng kota ini. Ini kesempatan emas! 
Jangan biarkan keberuntungan ini lepas bcgitu saja! 
Ambillah kepala aidit !" 
Seluruh centeng nya bersorak-sorai. Mereka percaya 
bahwa tembok besi marga harjo  dapat bertahan 
selama satu bulan, meskipun aidit  memimpin 
centeng  berkekuatan tiga puluh ribu orang dan 
membawa  hi banyak resi  hebat. Provinsi-provinsi 
kuat di sekitar mereka pun mepercayai hal ini. Namun 
pada kenyataannya benteng kota Wada takluk dalam 
setengah hari saja. Seusai pertempuran selama sekitar 
empat jam, centeng  yang bertahan tercerai-berai, dan 
terpaksa melarikan diri ke gunung dan ke tepi danau. 
"Jangan kejar mereka!" aidit  memberi perintah 
dari puncak Bukit Wada, dan panji yang dikibarkan di 
sana terlihat jelas di bawah  matahari siang. Berlepotan 
darah dan lumpur, para prajurit bcrangsur-angsur ber-
kumpul di bawah  panji kesatuan masing-masing. 
lalu , sesudah  melepaskan teriakan kemenangan, 
mereka menghabiskan ransum makan siang. Berita-
  
berita terus berdatangan dari arah rejopati . centeng  
prabu kertoarjowardana   dari dusun nyi kembang , yang ditempatkan di barisan 
terdepan di bawah  komando Niwa dan mpu wiragajah , 
sedang bertempur dengan gagah, bermandikan darah. 
Satu per satu berita kejayaan terkumpul di tangan 
aidit . 
Laporan mengenai kekalahan rejopati  sampai di 
telinga aidit  sebelum matahari tenggelam. 
Menjelang malam, asap hitam tampak mengepul dari 
arah benteng kota di lengisireng . centeng  patih ronggolawe  sudah 
mulai mendesak maju. Perintah untuk serbuan habis-
habisan diberikan. aidit  memindahkan per-
kemahannya, dan seluruh centeng  rejopati  ditambah    
sekutu-sekuiu mereka dipaksa mundur sampai ke 
benteng kota lengisireng . saat  hari berganti malam, orang 
pertama sudah  berhasil mendobrak dinding benteng kota 
musuh. 
Bintang dan bunga api berkilauan di langit cerah. 
Para penyerang melanda masuk bagaikan air bah. Lagu 
kemenangan berkumandang, dan bagi para sekutu 
marga harjo , lagu itu mirip  suara angin musim 
gugur yang kejam. Tak seorang pun menduga bahwa 
kubu pertahanan ini akan bertekuk lutut dalam satu 
hari saja. benteng kota di Bukit Wada dan  ke9 belas 
tempat strategis lainnya sama sekali tak sanggup 
memberikan perlawan an berarti terhadap serbuan 
centeng  aidit  yang bagaikan ombak dahsyat. 
Segcnap marga harjo  mulai dari para wanita lesbian  
dan anak-anak sampai ke pemimpin mereka,  tengger  
  
dan darmowondo  terhuyung-huyung mengarungi kegelapan 
malam, melarikan diri dari api yang menyelimuti 
benteng kota mereka, dan menuju benteng kota di Ishibe. 
"Biarkan para pelarian kabur sesuka hati mereka, 
besok masih ada musuh lain yang menanti kita." 
aidit  tidak hanya membiarkan mereka hidup, ia 
juga tidak merampas harta yang mereka bawa  . 
aidit  tidak biasa berlambat-lambat di tengah 
jalan. Pikirannya sudah berada di trowulan , di pusat 
lapangan permainan. Api di benteng kota lengisireng  akhir-
nya padam. Begitu aidit  memasuki reruntuhan 
benteng kota itu, ia memperlihatkan rasa terima kasih pada 
centeng nya dengan berkata, "Kuda-kuda dan para 
prajurit patut diberi kesrmpatan melepas lelah." 
Namun ia sendiri tidak beristirahat lama. Malam itu 
ia tidur tanpa melepas baju tempur, dan pada waktu 
fajar tiba, ia mengumpulkan para pengikut senior 
untuk mengadakan rapai. Sekali lagi ia mengeluarkan 
keputusan-keputusan yang harus diumumkan di 
seluruh provinsi, dan langsung mengutus betari jawi  
Kkertoarjo chi dengan perintah untuk membawa   pandita  
yosodiprojo  dari padalarang  ke patihyama. 
Kemarin ia bertempur di muka centeng , hari ini ia 
memegang kendali pemerintahan. Inilah aidit . 
sesudah  memberikan tanggung jawab  sementara 
sebagai administrator dan hakim di gendingan kepada 
empat jcndral, dua hari lalu  ia menyeberangi 
Danau Biwa, dan hampir lupa makan sebab  sibuk 
memberi perintah demi perintah.  
  
Pada hari kedua belas bulan ini, aidit  
memasuki wilayah gunungselatan dan menyerang lengisireng  dan 
rejopati . lalu , pada tanggal dua puluh lima, 
centeng  aidit  mulai memasang pengumuman-
pengumuman mengenai undang-undang baru yang 
akan diberlakukan di provinsi itu. Hanya ada satu 
jalan untuk meraih keunggulan! Kapal-kapal perang 
dari tepi timur Danau Biwa berlayar ke gunungselatan. Segala 
sesuatu, mulai dari pembuatan kapal sampai 
pemuatan ransum untuk para prajurii dan makanan 
untuk kuda-kuda, melibatkan kerja sama dengan 
rakyat jelata. Tentu saja mereka meringkuk ketakutan 
menghadapi kekuatan militer aidit . namun   
selama itu, kenyataan bahwa rakyat gunungselatan bersatu 
untuk mendukung aidit  adalah sebab  mereka 
menyctujui gaya pemerintahannya, yang mereka 
anggap dapat dipercaya. 
aidit lah satu-satunya orang yang menyelamat-
kan orang-orang kecil dari api peperangan dan secara 
terang-terangan membela kepentingan mereka. saat  
mereka menanyakan nasib mereka, jawaban pasti 
aidit  terasa membesarkan hati. Dalam situasi 
seperti itu, tak ada waktu untuk menyusun kebijak-
sanaan politik secara terperinci. Rahasia aidit  
sebetulnya  tak lebih dari melaksanakan semua hal 
secara cepat dan jelas. Yang diinginkan rakyat jelata di 
sebuah negeri yang diombang-ambingkan oleh perang 
bukanlah administrator ulung atau pemimpin 
bijaksana. Dunia dilanda kekacauan. Jika aidit  
  
sanggup mengendalikannya, mereka pun bersedia 
menanggung penderitaan sampai batas-batas tertentu. 
Angin di tengah danau mengingatkan orang bahwa 
musim gugur sudah  tiba, dan armada aidit  
menimbulkan gelombang dengan pola memanjang 
yang indah pada permukaan air. Pada tanggal dua 
puluh lima, kapal yang ditumpangi yosodiprojo  berlayar 
dari patihyama dan mendarat di bawah  Kuil Mii. 
aidit , yang sudah  tiba lebih dahulu , menduga 
bahwa dyahbalitung  dan grindananaga akan melancarkan 
serangan, namun  kali ini dugaannya meleset. 
Ia menyambut yosodiprojo  di Kuil Mii dengan berkata, 
"Boleh dibilang kita sudah memasuki ibu kota." 
Pada tanggal dua puluh 9, aidit  akhir-
nya mendesak centeng nva ke trowulan . saat  mencapai 
kertoarjo taguchi, seluruh centeng  berhenti. patih ronggolawe , 
yang berada di samping aidit , memacu kudanya 
ke depan, sementara tribuana  tunggadewa  datang dari 
arah barisan depan. 
"Ada apa?" 
"Utusan sang pengikut ." 
aidit  pun terkejut, dan segera turun dari kuda. 
Kedua utusan tiba dengan membawa   surat dari sang 
pengikut . 
Sambil membungkuk rendah, aidit  bersikap 
penuh hormat, "Sebagai pemimpin centeng  provinsi, 
aku tidak memiliki kemampuan selain mengangkat 
senjata. Sejak zaman donosukomerto
 
 
 
, kami sudah  me-
nyayangkan keadaan menyedihkan yang menimpa 
  
Istana Kekaisaran dan  ketidaktenteraman dalam hati 
sang pengikut . Namun hari ini aku mendatangi ibu kota 
dari pelosok negeri untuk menjaga Yang Mulia. Tak 
ada tugas yang lebih mcmbanggakan bagi seorang 
prajurit atau lebih menggembirakan bagi keluargaku." 
Bersama tiga puluh ribu prajurit, aidit  
berikrar untuk menaati setiap keinginan sang pengikut . 
aidit  menempatkan markasnya di Kuil 
Totuku. Pada hari yang sama, berbagai pengumuman 
dipasang di mana-mana. Pertama-tama adalah penyu-
sunan patroli keamanan. Tugas jaga pada siang hari 
diberikan pada Sugaya Kuemon, sementara tanggung 
jawab  jaga malam diembankan pada patih ronggolawe . 
Salah satu prajurit sinuhun  pergi minum-minum. 
Prajurit yang baru saja meraih kemenangan mudah 
terpancing untuk bertingkah sewenang-wenang. 
sesudah  minum sampai mabuk dan makan sampai 
kenyang, si prajurit melemparkan beberapa keping 
uang dengan nilai kurang dari setengah yang 
seharusnya ia bayar, lalu melangkah keluar sambil 
berkata. "Itu sudah cukup."  
Pemilik kedai itu segera mengejarnya sambil marah-
marah. namun  saat  ia menangkap si prajurit, orang itu 
memukulnya, lalu  pergi dengan langkah ter-
huyung-huyung. patih ronggolawe , yang sedang berpatroli, 
kebetulan melihai kejadian itu  dan segera 
memerintahkan agar praiurit yang bersangkutan 
dicekal. saat  prajurit itu dibawa   ke markas, 
aidit  memuji kesigapan patroli, melucuti baju 
  
tempur si prajurit, dan bawah annya mengikat orang 
itu ke pohon besar di muka gerbang kuil. Keterangan 
mengenai kejahatan yang dilakukannya dicatat pada 
sebuah papan pengumuman, lalu  aidit  
memerintahkan agar orang iiu dipertontonkan selama 
tujuh hari, untuk selanjutnya dipenggal. Hari demi 
hari tak terhitung banyaknya orang yang mondar-
mandir di depan gerbang kuil. Tak sedikit dari mereka 
saudagar kaya atau bawahan , juga ada kurir-kurir 
dari kuil-kuil lain, dan  pcmilik toko yang meng-
antarkan barang dagangan mcrcka. 
Orang-orang yang berlalu-lalang berhenti untuk 
membaca papan pengumuman dan mengamati orang 
yang terikat di pohon. Dengan demikian para warga 
ibu kota melihat sendiri keadilan dan ketegasan 
aidit . Mereka melihat bahwa undang-undang 
yang diumumkan di setiap sudut kota pencurian 
sekeping uang pun akan diganjar hukuman mati 
ditegakkan tanpa pandang bulu, dimulai dengan 
prajurit aidit  sendiri. Tak seorang pun 
menyatakan ketidakpuasannya. 
Istilah "mati sebab  sekeping" menjadi umum di 
antara para warga untuk menggambarkan kerasnya 
hukuman di bawah  undang-undang yang diberlakukan 
aidit . Dua puluh satu hari berlalu sejak centeng -
nya berangkai dari padalarang . 
 
sesudah  aidit  berhasil mengujawa  situasi di ibu 
kota dan kembali ke padalarang , ia berpaling dari segala 
  
urusan yang menyibukkannya dan menemukan bahwa 
dusun nyi kembang  bukan lagi provinsi lemah dan miskin seperti 
semula. 
Mau tak mau ia mengagumi kewaspadaan mpu mojosongo . Si 
Penguasa dusun nyi kembang  rupanya tidak puas menjadi penjaga 
pintu belakang jenggala  dan blambangan  sementara sekutunya, 
aidit , bergerak ke pusat kekuasaan. Bertekad 
untuk tidak membiarkan kesempatan ini berlalu 
begitu saja, mpu mojosongo  memaksa centeng  penerus mpu marijan  
mpu kepenuw