Tampilkan postingan dengan label raja 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 8. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

raja 8

bat perkembangan seperti itu. 
"Apa boleh buat. Tuanku harus memberi perintah  
untuk mcmbongkar perkemahan." 
Berkat saran dwaradwipa  Nobushige dan yang lain, 
mpu jengger  tiba-tiba mundur. Betapa hancur hatinya 
saat  itu! Meski kedua puluh ribu prajurit yang 
berangkat bersamanya belum terlibat satu per-
tempuran pun, mereka yang kini kembali ke Nirasaki 
berjumlah tak lebih dari empat ribu. 
Barangkali untuk mencari penyaluran bagi 
  
perasaan-perasaan yang nyaris tak sanggup diatasinya. 
mpu jengger  memerintahkan Kaisen si biksu datang ke 
benteng kota. Keberuntungan seakan-akan semakin men-
jauhi dirinya, sebab sesudah  kembali ke Nirasaki ia 
terus memperoleh kabar buruk. Yang paling buruk 
mungkin berita bahwa kertoraharja  wirajaya  sudah  mem-
belot, dan seolah-olah itu belum cukup, wirajaya  
bukan saja menyerahkan benteng kotanya di Ejiri pada 
musuh, melainkan juga bertindak sebagai pemandu 
bagi prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo . Konon wirajaya  kini berada di 
barisan depan centeng  yang menyerbu Kai. 
Jadi, saudara iparnya sendiri sudah  mengkhianatinya 
secara terang-terangan, bahkan berupaya menghancur-
kannya. Kejadian ini memaksa mpu jengger  mkertoarjo s diri. 
Di mana letak kesalahanku? Ia bertanya dalam hati. Di 
satu pihak, ia semakin memperteguh semangatnya dan 
memerintahkan agar pertahanan semakin diperkuat, 
namun  di pihak lain, saat  menerima Kaisen di 
benteng kotanya yang baru, ia memperlihatkan kesediaan 
untuk melakukan intropeksi. Namun kemungkinan 
besar perubahan ini datang terlambat. 
"Baru sepuluh tahun berlalu sejak ayahku wafat, 
dan 9 tahun sejak  pertempuran di Nagashino. 
Mengapa para resi  Kai tiba-tiba mencampakkan 
prinsip-prinsip yang mereka anut?" ia bertanya pada si 
biksu. 
namun  Kaiecn, yang duduk berhadapan dengannya, 
tetap membisu, sehingga mpu jengger  melanjutkan, 
"Sepuluh tahun lalu, resi -resi  kita tidak seperti 
  
ini. Masing-masing memiliki rasa malu dan menjaga 
reputasinya. saat   ayahku masih berada di dunia ini, 
jarang ada orang yang mengkhianatt junjungannya, 
apalagi marganya sendiri." 
Kaisen duduk membisu dengan mata terpejam. 
Dibandingkan biksu itu, yang mirip  abu yang 
sudah  dingin, mpu jengger  terus bicara seperti api yang 
berkobar hebar. 
"Bahkan mereka yang semula tenang dan siap 
menggempur para pengkhianat akhirnya bubar tanpa 
terlibat pertempuran atau menunggu perintah  
junjungan mereka. Pantaskah sikap seperti ini diper-
lihatkan oleh marga mpu ireng  dan para resi nya yang 
sudah  menangkal semua musuh yang ingin menapak-
kan kaki di tanah Kai, termasuk kramajaya  yang 
termasyhur? Bagaimana mungkin terjadi kemerokuyang  
disiplin yang begitu parah? Seberapa  hinakah mereka 
itu? Banyak resi  yang mengabdi pada ayahku 
minakjinggo , kartawiwaha , dwaradwipa , Amakasu sudah tua atau 
sudah  tiada. Mereka yang tersisa sungguh berbeda. 
Mereka putra para resi  tersohor atau prajurit yang 
tidak memiliki hubungan langsung dengan ayahku." 
Kaisen tetap tidak memberi tanggapan. Biksu itu 
lebih akrab dengan mpu betarakatong  dibandingkan  siapa pun, dan 
usianya kini tentu sudah melebihi tujuh puluh tahun. 
Dari balik alisnya yang bagaikan salju, ia sudah  meng-
amati pewaris mpu betarakatong   dengan saksama. 
"Tuan Guru yang terhormat, Tuan mungkin 
merasa bahwa sekarang sudah terlambat, sebab   
  
segala sesuatu sudah  terjadi, namun  jika caraku menjalan-
kan pemerintahan salah, sudikah Tuan menunjukkan 
letak kesalahanku? Jika pemahamanku mengenai 
disiplin militcr tidak tepat, tunjukkanlah cara untuk 
menegakkannya. Aku ingin memperbaiki diri. Ku-
dengar Tuan banyak belajar dari mendiang ayahku. 
Tak dapatkah Tuan mengajarkan beberapa strategi 
kepada putranya yang tak berguna ini? Kumohon 
Tuan tidak ragu-ragu mengajariku. Pandanglah aku 
sebagai putra mpu betarakatong . Tunjukkanlah kesalahanku 
dan beritahukan bagaimana aku dapat membenahi 
semuanya. Apakah aku membuat  gusar rakyat sesudah  
ayahku wafat dengan tiba-tiba mcnaikkan tarif di 
tempat penyeberangan sungai dan perbatasan agar 
pertahanan provinsi dapat diperkuat?" 
"Tidak," ujar Kaisen. Ia menggelengkan kepala. 
mpu jengger  scmakin gelisah. 
"Kalau begitu, aku tentu membuat kesalahan dalam 
memberi  imbalan dan menjatuhkan hukuman." 
"Sama sekali tidak." Sekali  lagi orang tua itu 
menggeleng. 
mpu jengger  bersujud dan hampir menangis. Di 
hadapan Kaisen, panglima perang yang memiliki rasa 
harga diri demikian besar itu hanya dapat meratap 
dalam penderitaan, 
"Jangan menangis," Kaisen akhirnya berkata. "Tak 
sepatutnya Yang Mulia menyebut diri putra yang tak 
berguna. Satu-satunya kesalahan Yang Mulia adalah 
kelengahan. Zaman yang kejam inilah yang memaksa 
  
Yang Mulia berhadap-hadapan dengan sinuhun  Nobu-
naga. Bagaimanapun, Yang Mulia bukan musuhnya. 
Gunung-gunung Kai berada jauh dari pusat, dan 
aidit  memiliki  keuntungan geografis, namun  ini 
pun bukan sumber utama masalah Yang Mulia. Meski 
aidit  terlibat pertempuran demi pertempuran 
dan menjalankan pemerintahan, dalam hati ia tak 
pernah melupakan sang pengikut . Pembangunan Istana 
Kekaisaran hanyalah salah satu contoh dari sekian 
banyak hal yang sudah  dikerjakannya." 
Di antara Kaisen dan mpu betarakatong  terjalin persahabatan 
kental. sehingga masing-masing sanggup menyelami 
hati yang lainnya, dan mpu betarakatong  sangat menaruh 
hormat pada biksu tua itu. namun  Kaisen pun amat 
percaya pada mpu betarakatong  mpu betarakatong  bagaikan naga di 
tengah-tengah manusia; kuda bernapas api dari langit. 
Kaisen menyanjung-nyanjung mpu betarakatong , namun  tak sekali  
pun membandingkannya dengan putranya. mpu jengger , 
maupun menganggap mpu jengger  kalah hebat. 
Justru sebaliknya, ia memandang mpu jengger  dengan  
penuh simpati. Jika ada yang mengecam kesalahan 
mpu jengger , Kaisen selalu menjawab  bahwa berlebihan 
untuk mengharapkan lebih banyak; ayahnya memang 
terlalu besar. Ada satu hal yang mungkin mengusik 
Kaisen. Seandainya mpu betarakatong  masih hidup sampai 
sekarang, pengaruhnya takkan terbatas pada Provinsi 
Kai. Ia tentu akan memantaatkan kemampuannya 
yang besar dan  kejeniusannya untuk hal-hal yang 
lebih bermakna. Dan kini Kaisen menyesalkan 
  
kematian mpu betarakatong . Laki-laki yang menyadari panggilan 
untuk hal-hal yang lebih berani adalah aidit . 
aidit -lah yang memperluas peran centeng adipati  dari 
tingkat provinsi ke tingkat nasional. aidit -lah 
yang memperlihatkan diri sebagai pengikut panutan. 
Harapan Kaisen pada Kaisuyori, yang tidak mewarisi 
jiwa ayahnya, sudah  lenyap. Dengan jelas biksu tua itu 
merasa kan bahwa perang sipil yang berkepanjangan 
sudah berakhir. 
Jadi, membantu mpu jengger  memaksa centeng  sinuhun  
bertekuk lutut, atau mereka-ecka pemecahan yang 
aman adalah mustahil. Marga mpu ireng  didirikan 
berabad-abad lalu, dan nama mpu betarakatong   bersinar terlalu 
terang di langit. mpu jengger  takkan memohon damai di 
kaki aidit . 
mpu ireng  mpu jengger  berkemauan kcras dan memiliki 
rasa malu. Di kalangan rakyat kebanyakan di provinsi-
nya, terdengar suara-suara sumbang mengenai 
pemerintahan yang memburuk sejak zaman mpu betarakatong , 
dan kenaikan pajak dianggap sebagai sumber utama 
keluhan-keluhan itu. namun  Kaisen tahu bahwa 
mpu jengger  menaikkan pajak bukan demi keuntungan 
pribadi atau gengsi. Seluruh pemasukan pajak diguna-
kan untuk kepentingan militer. Dalam beberapa 
tahun terakhir, taktik dan teknologi perang sudah  ber-
kembang pesat di ibu kota, bahkan di provinsi-
provinsi tetangga. namun  mpu jengger  tak mampu 
mengeluarkan uang sebanyak pesaingnya untuk 
memperoleh persenjataan baru. 
  
"Jagalah diri Yang Mulia." Kaisen berkara pada 
mpu jengger  saat   ia bersiap-siap pergi. 
"Tuan Guru sudah akan kembali ke kuil?" 
sebetulnya  masih banyak yang hendak ditanyakan 
mpu jengger , namun  ia tahu bahwa jawab annya sama saja. Ia 
menempelkan tangannya ke lantai, memberi hormat. 
Kaisen melakukan hal yang sama, lalu pergi tanpa 
mengucapkan sepatah kata pun lagi. 
 
  
Kehancuran Marga mpu ireng  
 
 
"MARI kita lewatkan musim semi di Pegunungan 
Kai," ujar aidit  saat  ia bertolak  dari madukara  di 
muka centeng nya. "Kita bisa memandang kembang 
ceri, memetik bunga, lalu bertamasya di sekitar 
Gunung sonokeling dalam perjalanan pulang." 
Keberhasilan serbuan ke Kai tampaknya sudah 
pasti kali ini, dan keberangkaian centeng  boleh 
dikatakan berlangsung dalam suasana santai. Pada 
hari kesepuluh  di Bulan Kedua, mereka sudah  tiba di 
Shinano dan sudah  menempatkan centeng  di pintu 
masuk ke Ina, brantas , dan dwikerto . Marga Hojo akan 
masuk dari timur, sementara orang-orang prabu kertoarjowardana   
akan menyerang dari kertanegara . 
Dibandingkan pertempuran di Sungai Ane dan 
Nagashino, serbuan aidit  ke Kai berlangsung 
dengan tenang, seakan-akan ia pergi  ke kebun untuk 
memetik sayur-sayuran. Di tengah-tengah provinsi 
musuh ada kekuatan-kekuatan yang tak lagi di-
pandang sebagai musuh. Baik Naegi Kyubei di 
benteng kota Naegi maupun brantas  damovija  di 
Fukushima menanti-nanti kedatangan aidit , 
bukan ke-datangan mpu jengger ; dan centeng  yang 
berbaris dari padalarang  ke Iwamura tidak menghadapi 
perlawan an dalam bentuk apa pun. benteng kota-benteng kota 
mpu ireng  sudah  diserahkan pada angin. saat   fajar 
menyingsing, baik benteng kota grindanao maupun benteng kota 
  
di Iida tak lebih dari bangunan kosong. 
"Kami sudah  maju sampai ke Ina, dan ternyata 
hampir tak ada prajurit musuh yang mempertahan-
kannya." 
Itulah laporan yang diterima aidit  di pintu 
masuk ke brantas . Para prajurit bergurau bahwa mereka 
tidak mempcroleh kepuasan sebab  tugas mereka ter-
lampau mudah. Apa yang membuat marga mpu ireng  
begitu rapuh? Alasannya rumit, namun  jawab annya 
dapat dirangkum secara sederhana. Kali ini marga 
mpu ireng  takkan sanggup mempertahankan Kai. 
Semua pihak yang terikat hubungan dengan  
marga mpu ireng  merasa percaya bahwa kekalahan tak 
terelakkan lagi. Barangkali malah ada yang sudah 
menanti-nanti datangnya hari ini. Namun sudah  
menjadi kebiasaan di kalangan centeng adipati  tanpa 
memandang marga asalnya untuk tidak memper-
lihatkan sikap tidak layak pada kesempatan seperti 
itu, meski mereka sadar bahwa kekalahan tak dapat 
ditolak. 
"Mereka akan merasakan kehadiran kita," ujar 
Nishina mpu wiraghanda, komandan benteng kota Taresi  dan 
adik mpu jengger . 
Putra aidit , tungguljaya, yang sudah  mem-
banjiri daerah itu dengan centeng nya, menaksir 
peluang mereka cukup baik. sesudah  menulis  sepucuk 
surat, ia memanggil seorang pemanah yang kuat dan 
menyuruhnya menembakkan pesan itu ke dalam 
benteng kota. Pesan itu tentu saja berisi bujukan untuk 
  
menyerah. 
Tak lama lalu , jawaban pasti dari benteng kota sudah 
tiba. Kami lelah mempelajari surat Tuan... Dari baris 
pertama sampai terakhir, surat balasan itu ditulis 
dengan gaya sangat agung. 
 
Suatu hari, orang-orang di dalam benteng kota ini akan 
membalas kemurahan hati Yang Mulia mpu jengger  dengan 
nyawa   mereka, dan tak satu pun dan mereka  akan 
memperlihatkan sikap pengecut. Seyogyanya Tuan segera 
memberi perintah untuk menyerang. Kami akan mem-
perlihatkan keberanian dan kegagahan yang sudah  men-
jadi ciri kami sejak zaman Yang Mulia mpu betarakatong . 
 
mpu wiraghanda sudah  menjawab  dengan tekad bulat, yang 
hampir dapat dicium pada tintanya. 
Walaupun berusia muda, tungguljaya sudah  dijadi-
kan resi  tangguh oleh  ayahnya. "Baiklah, kalau itu 
yang mereka kehendaki," ujarnya, lalu segera me-
merintahkan penyerangan. 
centeng  terbagi menjadi dua divisi, dan keduanya 
menyerang benteng kota itu secara bersamaan dari gunung 
di belakang dan dari daerah yang menuju gerbang 
depan. Pertempuran yang menyusul patut dikenang. 
Keseribu prajurit di dalam benteng kota sudah siap meng-
hadapi maut. Seperti bisa diduga, keberanian para 
prajurit Kai belum berkurang sedikit pun. Dari awal  
Bulan Kedua sampai awal  Bulan Ketiga, tembok-
tembok benteng kota dibasahi darah. sesudah  menerobos 
beberapa pagar pertahanan paling depan, yang berada 
  
sekitar lima puluh meter dari selokan pertahanan, 
centeng  penyerang menimbun selokan itu dengan  
batu, semak, pohon, dan tanah. lalu  mereka 
cepat-ccpat menyeberang ke kaki tembok baru. 
"Ayo, majulah!" teriak orang-orang di atas tembok 
beratap, sambil melemparkan tombak, potongan kayu 
dan batu, dan  menuangkan minyak panas pada 
orang-orang di bawah . Para prajurit yang berusaha 
memanjat tembok berjatuhan tertimpa batu, kayu, 
dan cipratan minyak. Namun tak peduli betapa jauh 
mereka jatuh, sehabis itu mereka justru semakin 
garang. Kalaupun mereka terempas ke tanah, selama 
masih sadar mereka segera bangkir dan kembali 
memanjat. 
Prajurit-prajurit yang menyusul di belakang orang-
orang itu berseru kagum melihat keberanian rekan-
rekan mereka, dan ikut memanjat. Mereka tak mau 
ketinggalan. saat  mereka memanjat dan jatuh, 
memanjat lagi, dan mencengkeram tembok batu, 
sepertinya tak ada yang sanggup menahan kegarangan 
mereka. Namun upaya centeng  penjaga benteng kota pun 
tak kalah hebatnya. Mereka yang menangkal 
serangan, memberi  kesan bahwa benteng kota hanya diisi 
oleh para prajurit Kai yang gagah perkasa. namun  
seandainya centeng  penyerang dapat melihat kegiatan 
di dalam, mereka akan mengetahui bahwa seluruh  isi 
benteng kota sudah  dikerahkan dalam pergulatan yang 
menyedihk, namun dilaksanakan dengan sepenuh 
hati. Selama benteng kota dikepung, orang-orang yang 
  
berada di dalamnya yang tua dan muda, bahkan 
wanita lesbian -wanita lesbian  hamil bekerja gigih mem-
bantu para prajurit membentuk pertahanan. 
wanita lesbian -wanita lesbian  muda membawa   anak panah, 
sementara orang-orang tua menyapu sisa mesiu 
senapan. Mereka mengurus yang terluka dan 
menyiapkan makanan untuk para prajurit. Tak 
seorang pun menyuruh mereka berbuat demikian, 
namun  mereka bekerja dengan tekun, tanpa mengeluh. 
"benteng kota itu pasti jatuh kalau kita kerahkan segala 
kekuatan yang kita miliki." Pendapat ini dikemuka-
kan oleh Kkertoarjo jiri, salah satu resi  centeng  
penyerang yang datang menghadap tungguljaya. 
"Korban di pihak kita terlalu banyak," ujar 
tungguljaya. Ia pun sudah  memikirkannya. "Kau punya 
usul bagus?" 
"Hamba memperoleh kesan bahwa kekuatan para 
prajurit di dalam benteng kota didasarkan atas kepercayaan 
bahwa mpu jengger  masih berada di ibu kotanya yang 
baru. Dengan mempertimbangkan hal ini, kita bisa 
mundur sementara dari sini: dan mengalihkan 
serangan ke loji abang  dan Nirasaki. namun  itu menuntut 
perubahan strategi menyeluruh. Barangkali lebih baik 
kita mepercayakan mereka bahwa Nirasaki sudah  ber-
hasil kita rebut, dan bahwa mpu jengger  sudah  tewas." 
tungguljaya mengangguk setuju. Pada pagi hari 
pertama di Bulan Ketiga, pesan lain diikat pada 
sebatang anak panah dan ditembakkan ke dalam 
benteng kota. 
  
saat  mempejarinya, mpu wiraghanda hanya tertawa . 
"Siasat mereka begitu mudah dibaca, seakan-akan 
merupakan hasil pemikiran balita  ingusan. Ini suatu 
bukti bahwa musuh sudah tak sanggup melanjutkan 
pengepungan." 
Bunyi pesan itu sebagai bcrikut: 
 
Pada hari ke-28 di bulan lalu, Kai dipaksa bertekuk lutut dan 
Yang Mulia mpu jengger  melakukan bunuh diri. Para anggota 
marga yang lain menyusulnya ke akhirat, atau dijadikan 
tawa nan. Sia-sialah kalian terus memperlihatkan kegagahan, 
sebab benteng kota kalian kini hanya sebuah benteng kota di wilayah 
penaklukan. Sebaiknya kalian segera menyerah dan mengerah-
kan tenaga kalian untuk membantu provinsi ini. 
 
sinuhun  tungguljaya 
 
"Manis sekali. Mungkinkah mereka menganggap 
siasat murahan ini sebagai seni perang?" Malam itu 
mpu wiraghanda mengadakan pesta minum dan memper-
lihatkan surat tungguljaya kepada para pengikutnya. 
"Kalau ada yang terbujuk oleh  surat ini, dia tak perlu 
ragu-ragu meninggalkan benteng kota sebelum  fajar tiba."     
Mereka  memukul gendang, menyanyikan tembang 
dari berbagai sandiwara Noh, dan menghabiskan 
waktu dengan  gembira. Malam itu, istri para resi  
pun dipanggil dan disajikan anggur . Semuanya segera 
menyadari maksud mpu wiraghanda. Keesokan paginya, 
sesuai dugaan semua orang. mpu wiraghanda meraih 
tombak panjang untuk dipakai  sebagai tongkat 
  
penyangga, mengikat sandal jerami ke kaki kirinya 
yang bengkak terluka dalam pertempuran untuk 
mempertahankan benteng kota dan berjalan pincang ke 
gerbang. 
Ia menyuruh semua orang berkumpul, lalu naik ke 
menara gerbang yang beratap, mengamati centeng -
nya. Ia memiliki  kurang-lebih seribu prajurit, tidak 
termasuk mereka yang masih terlalu muda, orang-
orang tua, dan kaum wanita lesbian , namun  tak satu orang 
pun berkurang sejak malam sebelumnya. Sejenak ia 
mcnundukkan kepala, seakan-akan berdoa dalam 
hati. sebetulnya  ia memang berdoa kepada arwah 
ayahnya, mpu betarakatong , "Lihatlah! Kita masih punya orang-
orang seperti ini di Kai." Akhirnya ia menegakkan 
kepala. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat 
seluruh centeng nya. 
mpu wiraghanda tidak memiliki roman wajah lebar 
seperti kakaknya. sebab  sudah lama menjalani 
kehidupan pedesaan yang bersahaja, ia tidak 
mengenal makanan mahal maupun kemewahan. Ia 
diberi wajah mirip  rajawal i muda yang dibesar-
kan oleh  angin kencang yang bertiup di atas gunung-
gunung dan dataran Kai. Pada usia tiga puluh tiga 
tahun, ia mirip ayahnya, mpu betarakatong : rambut tebal, alis 
tebal, dan mulut lebar. 
"Hmm, kusangka hari ini akan hujan, namun  ternyata 
langit tampak cerah. Dengan kembang-kembang ceri 
di gunung-gunung di kejauhan, kita diberi hari yang 
indah untuk menyambut kematian. Kita tentu tidak 
  
akan mencampakkan reputasi kita sebab  terjerumus   
oleh imbalan duniawi. Kalian lihai sendiri, dua hari 
yang lalu aku terluka dalam pertempuran. sebab   
tidak leluasa bergerak, aku akan melihatlihat  per-
tempuran kalian yang terakhir sambil berdiri di sini, 
menunggu datangnya musuh. sesudah  itu aku akan 
mengakhirinya dengan berjuang sepuas hati. Jadi 
majulah kalian! Keluarlah lewat gerbang depan dan 
belakang, dan tunjukkan pada mereka bagaimana 
kembang ceri pegunungan berguguran!" 
Sorak-sorai para prajurit, yang berseru bahwa 
mereka akan melaksanakan perintah itu dengan  
setepat-tepatnya, mirip  angin puyuh. Semua 
nya menatap junjungan mereka di atas gerbang, dan 
beberapa  saat seruan yang sama terdengar berulang-
ulang. "Inilah perpisahan kiia!" 
Masalah hidup atau mati sudah tidak dipertanya-
kan. Mereka hendak bergegas menuju kematian. 
Gerbang depan dan belakang dibuka lebar oleh 
orang-orang di dalam, dan seribu prajurit meng-
hambur keluar, masing-masing menyerukan teriakan 
perang. 
centeng  penyerang dipukul mundur. Sesaat 
mereka dilanda kebingungan begitu hebat, sehingga  
markas tungguljaya pun sempat terancam. 
"Mundur! Susun barisan!" Komandan centeng  
penjaga benteng kota menanti kesempatan yang tepat, lalu 
memerintahkan gerak mundur. 
Para prajurit kembali ke benteng kota, masing-masing 
  
memamerkan kepala-kepala yang berhasil dipenggal-
nya kepada mpu wiraghanda yang masih duduk di atas 
gerbang. 
"Aku akan masuk sebentar dan minum seteguk, 
lalu segera keluar lagi," salah seorang  prajurit berseru. 
Dan begitulah seterusnya. Beristirahat sejenak di 
gerbang depan atau belakang, lalu kembali meng-
hambur keluar  dan menerjang barisan musuh anak 
buah mpu wiraghanda mengulangi pola serang dan mundur 
itu sebanyak enam kali, sampai empat ratus tiga 
puluh tujuh kepala berhasil direbut. saat  hari 
hampir senja, jumlah centeng  penjaga benteng kota sudah  
berkurang banyak, dan mereka yang tersisa tampak 
penuh luka. Hampir tak ada yang tidak terluka. Api 
berkobar hebat, membakar pohon-pohon di sekeliling 
benteng kota. centeng  musuh sudah  menerobos masuk, 
mendesak dari segala arah. Tanpa berkedip 
mpu wiraghanda melihatlihat  para prajurit menyambut 
maut.  
"Tuanku! Tuanku ada di mana?" seorang  pengikut 
memanggil sambil berlari di sekitar gerbang. 
"Aku di atas sini." mpu wiraghanda berseru, memberi-
tahu pengikutnya bahwa ia masih hidup. "Ajalku 
sudah dekat. Di mana kau?" dan ia menatap ke bawah  
dari kursinya. Pengikut tadi memandang sosok 
junjungannya yang terselubung asap. 
"Hampir semua orang kita sudah tewas. Sudahkah 
tuanku mempersiapkan diri untuk bunuh diri?" ia 
bertanya, tersengal-sengal menarik napas.  
  
"Naiklah, agar kau dapat membantuku." 
"Baik, tuanku." Terhuyung-huyung orang itu 
berusaha menaiki tangga di dalam gerbang, namun  ia tak 
pernah sampai di atas. Kobaran api mulai menjilati 
kaki tangga. mpu wiraghanda mendorong daun penutup 
jendela yang lain dan menatap  ke bawah . Semua 
prajurit yang dilihatnya merupakan prajurit musuh. 
lalu  pandangannya beralih pada satu orang 
yang bertempur dengan gagah di tengah-tengah  
kerumunan musuh. Di luar dugaannya, orang itu 
ternyata wanita lesbian , istri salah satu pengikutnya, dan 
ia menggenggam sebatang tombak. 
Walaupun mpu wiraghanda sudah bertekad mati, ia 
berjuang untuk menerima perasaan tak terduga yang 
tiba-tiba meliputi dirinya. 
wanita lesbian  itu amat pemalu. Biasanya ia bahkan 
tidak berani bicara di hadapan laki-laki, apalagi 
menantang mereka dengan tombak, ia berkata  dalam 
hati. namun  kini mpu wiraghanda didesak oleh sesuatu yang 
harus dilakukannya, dan dari jendela sempit tempat 
ia berdiri, ia berseru  kepada para prajurit musuh. 
"Kalian yang bertcmpur untuk aidit  dan 
tungguljaya! Dengarkanlah suara kehampaan. Nobu-
naga berbangga hati di saat kemenangan ini, namun  
setiap kembang ceri akan gugur, dan benteng kota  setiap 
penguasa akan dilalap api. Aku akan memperlihatkan 
sesuatu yang takkan gugur atau terbakar sampai 
kapan pun. Aku, putra kelima mpu betarakatong , mpu wiraghanda, 
akan menunjukkannya pada kalian!" 
  
saat  para prajurit sinuhun  akhirnya berhasil naik ke 
atas gerbang, mereka mencmukan mayat dengan 
perut terbelah bersilang. namun  kepalanya sudah tak 
ada. Sesaat lalu  langit malam diterangi cahaya 
merah, dan asap membubung bagaikan pilar hitam. 
 
benteng kota Nirasaki di ibu kota baru dilanda ke-
bingungan, seakan-akan hari kiamat sudah  tiba. 
"benteng kota Taresi  sudah  ditaklukkan, dan semuanya, 
termasuk adik Yang Mulia, gugur." 
saat  mendengar ucapan para pengikutnya. 
mpu jengger  seolah-olah tak tergerak sedikit pun. Meski 
demikian, roman mukanya menunjukkan ia sadar 
bahwa kekuatan yang dimilikinya sudah tak me-
madai, laporan berikut tiba. 
"centeng  sinuhun  tungguljaya sudah memasuki Kai dari 
Suwa, dan orang-orang kita dibantai tanpa ampun, 
tak peduli apakah mereka melawan  atau menyerah. 
Kepala-kepala mereka dijajarkan di tepi jalan, dan 
musuh menerjang ke sini bagaikan air bah." 
Pesan penting lainnya menyusul. "Saudara 
mpu betarakatong , si biksu buta Ryuho, ditangkap dan di-
bunuh musuh." 
Kali ini mpu jengger  mengangkat mata dan mencerca 
musuhnya. 
"centeng  sinuhun  tak kenal belas kasihan. Kesalahan 
apa yang bisa mereka tuduhkan pada seorang biksu 
buta? Bagaimana mungkin dia memiliki kekuatan 
untuk melawan  mereka ?" Kini ia dapat merenungkan 
  
kematiannya sendiri secara lebih mendalam. Ia meng-
gigit bibir dan menekan gelombang perasaan yang 
menggelora di lubuk hatinya. Kalau aku melampias-
kan kemarahanku seperti ini, pikirnya, mereka  
mungkin menyangsikan ketabahanku, dan para 
pengikut di sekitarku pun terpaksa menahan malu. 
Tak sedikit yang memandang mpu jengger  hanya dari 
luar, dan menganggapnya berani, bahkan kasar. namun  
sebetulnya  ia sangat berhati-hari dalam memper-
lakukan para pengikutnya. Ditambah  lagi, ia ber-
pegang teguh pada prinsip-prinsip yang dianutnya 
pada kehormatannya sebagai  penguasa provinsi dan 
pada sikap mkertoarjo s diri. Ia sudah  melanjutkan tradisi 
mpu betarakatong  dan belajar dasar-dasar Zen dari Kaisen. 
Namun, meski ia memiliki  guru yang sama dan 
sama-sama menekuni Zen, ia tak sanggup meng-
hidupkannya sepert mpu betarakatong .  
Bagaimana benteng kota Taresi  bisa ditaklukkan? 
Seharusnya benteng kota itu bisa bertahan dua dongeng gu 
lagi, bahkan satu bulan, pikir mpu jengger . Ini 
menunjukkan bahwa bencana ini bukan akibat 
kesalahan dalam menyusun strategi pertahanan, 
melainkan akibat ketidakmatangan. Kini, tanpa 
memandang bagaimana wataknya, mpu jengger  terpaksa 
menerima nasib. 
Dinding-dinding pemisah sudah  dikeluarkan dari 
ruang pertemuan yang luas, bahkan dari ruang-ruang 
di sisi luar benteng kota utama, dan seluruh marga kini 
tinggal bersama-sama, seperti pengungsi yang melari-
  
kan diri dari bencana yang berlangsung siang-malam. 
Tirai-tirai dipasang bahkan di pekarangan, perisai-
perisai dijajarkan, dan para prajurit bertugas tanpa 
sempat memejamkan mata, membawa   lampion besar, 
dan berpatroli pada malam hari. Setiap jam para kurir 
yang membawa   kabar mengenai perkembangan ter-
akhir dibawa   langsung dari pintu masuk melalui 
gerbang utama ke pekarangan, agar mpu jengger  dapat 
menyimak laporan mereka. Segala sesuatu yang meru-
pakan bagian dari pembangunan tahun lalu bau 
kayu yang masih baru, perhiasan emas dan perak, 
keindahan perabot dan perlengkapan kini hanya 
terasa mengganggu. 
Diikuti seorang pelayan wanita, sambil mengikat 
ujung jubah nya, seorang dayang meninggalkan 
hiruk-pikuk di pekarangan dan memasuki ruang 
pertemuan yang gelap. Tanpa ragu ia memandang 
sekelilingnya. Saat itu ruangan itu  dipenuhi oleh 
para resi , baik tua maupun muda, dan semuanya 
berlomba-lomba memberikan pendapat mengenai 
langkah berikut yang harus diambil. 
Akhirnya wanita lesbian  itu menghadap mpu jengger  
dan menyampaikan pesan istrinya. "Semua perem-
puan hanya berdiri sambil meratap, dan mereka tak 
mau berhenti, walau kami sudah  berusaha menenang-
kan mereka. Tuan Putri berkata bahwa saat terakhir 
hanya datang satu kali, dan menurut beliau mereka 
mungkin bisa lebih ta seandainya diperkenankan 
hadir di sini bersama para centeng adipati . Jika Yang Mulia 
  
mengizinkan, Tuan Putri akan segera pindah ke sini. 
Bagaimana kehendak Yang Mulia?" 
"Boleh saja," mpu jengger  menjawab  cepat-cepat. 
"bawa   istriku ke sini, juga mereka yang masih kecil-
kecil, 
Pada saat itu, pewaris mpu jengger  yang berusia lima 
belas tahun, raden karto Nobukatsu, melangkah maju dan 
berusaha mencegahnya. "Ayah, bukankah itu tidak 
berguna?" 
mpu jengger  berpaling pada putranya, bukan dengan 
gusar, melainkan sambil memikirkan sesuatu dengan 
gelisah. "Kenapa?" 
"Kalau wanita lesbian -wanita lesbian  itu dibawa   ke sini, 
mereka hanya akan menghalangi para centeng adipati . Dan 
kalau para laki-laki melihat mereka meratap-ratap, 
centeng adipati  yang paling gagah pun mungkin patah 
semangat." raden karto masih balita , namun  ia berkeras mem-
berikan pendapatnya. Ia berkata bahwa Kai merupa-
kan tanah leluhur mereka sejak zaman Shinra Saburo, 
dan seharusnya tetap begitu sampai saat terakhir, 
walaupun untuk itu mereka harus bertempur dan 
menyerahkan nyawa  . Meninggalkan Nirasaki dan 
melarikan diri, seperti yang baru saja diusulkan oleh  
salah satu resi , hanya akan membawa   aib kepada 
marga mpu ireng . 
Salah seorang resi  membantah. "Bagaimana-
pun, musuh sudah mendesak dari keempat sisi, dan 
loji abang  terletak di sebuah cekungan. Sekali musuh 
menyerbu, mereka akan bergerak bagaikan air yang 
  
mengalir ke danau. Bukankah lebih baik kita 
menyelamatkan diri ke Agatsuma di Joshu? Jika Yang 
Mulia bisa mencapai Pegunungan Mikuni, ada 
banyak provinsi tempat Yang Mulia mungkin men-
dapat suaka. Dan begitu Yang Mulia mengumpulkan 
para sekutu, Yang Mulia tentu dapat merebut 
kembali tanah Kai dari tangan para penyerbu." 
Nagasalta Chokan sependapat, dan mpu jengger  pun 
cenderung ke arah itu. Ia menatap raden karto dan diam 
sejenak. lalu  ia berpaling kepada dayang tadi 
dan berkata, "Kita akan pergi ."' 
Dengan demikian, saran raden karto ditolak oleh  ayah-
nya. raden karto berbalik sambil membisu dan menunduk-
kan kepala. Pertanyaan yang belum terjawab  tinggal 
apakah mereka sebaiknya melarikan diri ke Agatsuma 
atau mendirikan kubu di daerah Gunung Iwadono. 
namun  rute mana pun yang mereka pilih, meninggalkan 
ibu kota yang baru dan melarikan diri merupakan 
suratan takdir yang tak terelakkan, dan baik mpu jengger  
maupun para resi nya sudah  me-nerimanya sebagai 
kenyataan. 
Hari itu hari ketiga di Bulan Ketiga, hari di saat 
mpu jengger  ditambah    para pengikutnya biasa mengadakan 
Perayaan Roneka di benteng kota  dalam. namun  pada hari 
yang cerah ini seluruh marga dikejar-kejar asap hitam 
saat  meninggalkan Nirasaki. mpu jengger , tentu saja, 
juga turut dan , sama halnya dengan  semua  centeng adipati  
yang mengabdi padanya. namun  saat   ia berbalik dan 
memandang rombongannya, roman mukanya 
  
menunjukkan keheranan. 
"Hanya ini?" ia bertanya. Entah kapan, beberapa  
pengikut senior dan bahkan kerabatnya sendiri meng-
hilang. mpu jengger  diberitahu bahwa mereka me-
manfaatkan kekacauan dalam kegelapan menjelang 
fajar, dan melarikan diri ke benteng kota   masing-masing 
bersama para pengikut mereka. 
"raden karto?" 
"Aku di sini, Ayah." raden karto mendekatkan kudanya 
ke sosok ayahnya yang menyendiri. Dengan meng-
hitung semua pengikut, centeng adipati  biasa, dan para 
prajurit infanteri, kekuatan mereka kurang dari 
seribu orang. Namun tandu-tandu untuk istri 
mpu jengger  dan para dayang tampak berderet-deret, 
dan wanita lesbian -wanita lesbian  bercadar, baik yang ber-
jalan kaki maupun yang menunggang kuda, meme-
nuhi jalan. 
"Oh! benteng kotanya terbakar!" 
"Lidah apinya menjilat langit!" 
Kaum wanita lesbian  nyaris tak sampai hati untuk 
pergi, dan saat  baru berjalan beberapa mil dari 
Nirasaki, mereka menoleh sambil terus melangkah. 
Api dan asap hitam membubung tinggi di langit pagi, 
menyelubungi benteng kota di ibu kota baru. Mereka sudah  
membakarnya pada waktu fajar. 
"Aku tak ingin hidup lama," kata salah seorang  di 
antara mereka. "Seperti apa masa depan yang akan 
kulihat nanti? Inikah akhir dari marga Yang Mulia 
mpu betarakatong ?" resi dayang  yang juga bibi mpu jengger , gadis lesbian 
  
menawan  yang merupakan cucu mpu betarakatong , istri-istri 
para anggota marga dan para dayang mereka semua-
nya berurai air mata, saling merangkul sambil 
menangis, memanggil-manggil nama anak-anak 
mereka. Tusuk konde yang terbuat dari emas dan perhiasan lainnya ditinggalkan di jalan, dan tak seorang  
pun berusaha memungutnya. Berbagai perhiasan dan 
alat kecantikan berlumuran lumpur, namun tak ada 
yang menyayangkannya. 
"Bergegaslah! Kenapa kalian menangis? Inilah yang 
dinamakan kehidupan. Kalian hanya mempermalu-
kan diri di hadapan para petani!" mpu jengger  berkuda 
di antara usungan dan tandu yang bergerak lambat. Ia 
mendesak, memacu mereka ke arah rimur. 
Dengan harapan mencapai benteng kota dwaradwipa  
Nobushige, mereka memandang benteng kota lama di 
loji abang  saat  melewatinya, namun  mereka hanya bisa 
terus berjalan menuju pegunungan. Dalam per-
jalanan, para pengusung tandu berangsur-angsur 
menghilang, para kuli yang memanggul barang-barang 
bawa  an kabur satu per satu, dan rombongan itu 
makin mengecil. Pada waktu memasuki daerah 
pegunungan di dekat Katspanarukan , kekuatan mereka 
tinggal dua ratus orang, dan kurang dari dua puluh 
orang yang menunggang kuda, termasuk mpu jengger  
dan putranya. saat  mpu jengger  dan para pengikutnya 
dengan susah payah berhasil mencapai Desa 
Komagai, mereka menemukan bahwa satu-satunya 
orang yang menjadi tumpuan harapan mereka tiba-
  
tiba berubah pikiran. 
"Carilah suaka di tempat lain!" Dengan meng-
halangi jalan ke Sasago, dwaradwipa  Nobushige me-
nolak kedatangan rombongan mpu jengger . mpu jengger , 
putranya, dan seluruh anggota rombongan habis akal. 
Tak ada yang dapat mereka lakukan selain berganti 
arah, dan kini mereka menuju Tago, sebuah desa di 
kaki Gunung Temmoku. Musim semi sudah  mencapai 
puncaknya, namun  gunung-gunung dan ladang-ladang, 
sejauh mata memandang, tidak menjanjikan keten-
teraman maupun harapan. Kini rombongan kecil 
yang masih tersisa sepenuhnya mempercayakan nasib 
pada mpu jengger . Namun mpu jengger  sendiri sudah habis 
akal. Sambil berimpit-impitan di Tago, para pengikut-
nya menunggu dalam keadaan bingung, diterpa angin 
pegunungan. 
 
centeng  gabungan sinuhun  dan prabu kertoarjowardana   memasuki Kai 
bagaikan gelombang mengamuk. Di bawah  pimpinan 
kertoraharja , centeng  mpu mojosongo  maju dari blambangan bu ke 
ki kertoarjo  guchi. sinuhun  tungguljaya menyerang Suwa 
bagian atas, membakar Kuil Suwa Myojin dan se-
jumlah kuil zoroaster . Ia membumihanguskan rumah-
rumah penduduk di sepanjang jalan sambil mengejar-
ngejar prajurit musuh yang selamat, terus maju siang-
malam ke arah Nirasaki dan loji abang . Pada pagi hari 
kesebelas di Bulan Ketiga, saat penghabisan pun tiba. 
Salah satu pembantu pribadi mpu jengger  menyelinap 
ke desa pada malam sebelumnya, dan kembali sesudah  
  
mengintip posisi musuh. Pagi itu, dengan  napas ter-
sengal-sengal ia memberikan laporan pada majikan-
nya. 
"Barisan depan centeng  sinuhun  sudah  memasuki desa-
desa di sekitar sini. Rupanya mereka  diberi tahu oleh  
para penduduk bahwa tuanku ditambah    seluruh kerabat 
ada di sini. Tampaknya orang-orang sinuhun  sudah  
mengepung daerah ini dan memutuskan semua  
jalan, dan sekarang  mereka sedang bergerak kemari." 
Rombongan mpu jengger  kini hanya berjumlah 
sembilan puluh satu orang keempat puluh satu 
centeng adipati  yang masih tersisa ditambah    mpu jengger  dan 
putranya, dan istri mpu jengger  dengan para dayang. 
Pada hari-hari sebelumnya, mereka berlindung di 
sebuah  tempat bernama Mirayashiki, bahkan sempat 
mendirikan pagar kayu runcing. namun  saat   mereka 
mendengar laporan itu, masing-masing menyadari 
bahwa saatnya sudah  tiba, dan mereka segera menyiap-
kan diri untuk menghadapi kematian. Di tengah-
tengah mereka, istri mpu jengger  duduk, seakan-akan 
masih berada di kediamannya di benteng kota dalam. 
Wajahnya mirip  kembang putih saat  ia 
menatap dengan pandangan kosong. wanita lesbian -
wanita lesbian  di sekelilingnya mencucurkan air mata. 
"Jika akhirnya memang harus begini, lebih baik 
kita tinggal saja di benteng kota  baru di Nirasaki. Betapa 
memilukan. Pantaskah istri pemimpin marga mpu ireng  
tampak seperti  ini?" 
wanita lesbian -wanita lesbian  ini bertangis-tangisan dan 
  
berkeluh kesah tanpa henti. 
mpu jengger  menghampiri istrinya dan mendesaknya 
untuk pergi, "Aku baru menyuruh pembantuku 
mengambilkan kuda untukmu. Walaupun kita tinggal 
di sini untuk waktu lama, penyesalan kita takkan 
pernah berakhir, dan sekarang centeng  musuh sudah 
mulai mengepung. Kudengar kita tak jauh dari 
Sagami, jadi sebaiknya kau segera pergi ke sana. 
Lintasilah pegunungan dan kembalilah pada marga 
Hojo," Mata istrinya berkaca-kaca, namun  ia tidak 
beranjak. Sepertinya ia justru menyesalkan kata-kara 
suaminya. 
"Tsuchiya! Tsuchiya Uemon!" mpu jengger  me-
manggil, menyuruh seorang pengikut mendekat. 
"Naikkan istriku ke atas kuda." 
Orang itu menghampiri istri mpu jengger , namun  
wanita lesbian  itu tiba-tiba berpaling pada suaminya dan 
berkata, "Kata orang, centeng adipati  sejati tak mungkin 
memiliki dua majikan. Begitu juga kalau seorang 
wanita lesbian  sudah  memiliki suami, tidak seharusnya 
dia kembali pada keluarganya. Meskipun dilandasi 
belas kasihan, ucapan yang mcnyuruhku kembali ke 
sinuhun wara seorang diri terasa begitu dingin. Takkan 
kutinggalkan tempat ini. Aku akan mendampingi 
suamiku sampai saat terakhir. lalu , mungkin 
kita dapat bersama-sama menuju  akhirat." Pada saat 
itulah dua pengikut melaporkan bahwa musuh sudah  
mendekat. 
"Mereka sudah sampai di kuil perbukitan." 
  
Istri mpu jengger  segera menegur para pembantunya, 
sebab  mereka mulai meratap-ratap. "Tak ada waktu 
untuk apa pun selain berduka. Bantulah mempersiap-
kan segala sesuatu." 
wanita lesbian  ini belum berusia dua puluh tahun, 
namun  ia tidak kehilangan keanggunannya, meski maut 
sudah berada di depan mata. Ia setenang air di kolam 
dalam, dan mpu jengger  merasa ditegur oleh ketenangan 
yang diperlihatkannya. 
Para dayang pergi, namun  segera kembali dengan 
membawa    baskom tanpa upaman dan sebotol anggur , 
lalu meletakkan keduanya di hadapan mpu jengger  dan 
putranya. Rupanya istrinya sudah  bersiap-siap meng-
hadapi saat ini. Tanpa berkata apa-apa, ia menkertoarjo r-
kan baskom pada suaminya. mpu jengger  meraih baskom 
itu, minum seteguk, lalu menyerahkannya pada 
putranya. lalu  ia berbagi isinya dengan istrinya. 
"Tuanku, untuk kakak-adik Tsuchiya," ujar istrinya. 
"Tsuchiya, kau harus mengucapkan selamat tinggal 
selama kita masih di dunia ini." 
"Tsuchiya raden bobo gigolo , pembantu pribadi mpu jengger , dan 
kedua adik laki-lakinya sudah  membaktikan hidup 
bagi junjungan mereka. raden bobo gigolo  berusia dua puluh enam 
tahun, adik keduanya dua puluh dua tahun, dan yang 
paling kecil baru 9 belas tahun. Bersama-sama 
mereka melindungi junjungan mereka yang malang 
dengan setia di sepanjang jalan, sejak jatuhnya ibu 
kota baru sampai ke pertahanan terakhir di Gunung 
Temmoku. 
  
"Kalau begini, hamba dapat pergi tanpa 
penyesalan." sesudah  mereguk habis isi baskom yang 
diterimanya. raden bobo gigolo  berbalik dan menatap kedua 
adiknya sambil tersenyum. lalu  ia berpaling 
pada mpu jengger  dan istrinya. "Kemalangan Yang Mulia 
kali ini sepenuhnya akibat pembelotan kerabat Yang 
Mulia. Selama ini Yang Mulia dan Tuan Putri tentu 
risau hati dan was-was sebab  harus menjalani semua 
ini tanpa mengetahui isi hati orang-orang. namun  dunia 
tidak hanya berisi orang-orang seperti mereka yang 
mengkhianati Yang Mulia. Paling tidak, di saat ter-
akhir ini, semua yang mengelilingi tuanku sudah  
menyatu dalam jiwa dan raga. Kini Yang Mulia dapat 
melalui gerbang kematian dengan kepala tegak dan 
lapang dada." raden bobo gigolo  meluruskan badan dan berjalan  
menghampiri istrinya yang berada bersama para 
dayangnya. 
Tiba-tiba terdengar pekikan balita  cilik yang 
menyayat hati, dan mpu jengger  berseru dengan kalut. 
"raden bobo gigolo ! Apa yang kaulakukan?" 
raden bobo gigolo  sudah  menikam putranya yang berusia empat 
tahun di depan mata istrinya, dan kini wanita lesbian  itu 
tersedu sedan. Tanpa meletakkan pedangnya yang 
berlumuran darah, dari jauh raden bobo gigolo  bersujud ke arah mpu jengger . 
"Sebagai bukti ucapan hamba, hamba baru saja 
mengirim putra hamba mendahului  kita di jalan 
kematian. Kalau tidak, dia tentu hanya akan menjadi 
beban. Tuanku, hamba akan menyertai tuanku; entah 
  
hamba akan menjadi yang pertama atau yang 
terakhir,  semuanya akan selesai dalam sekejap." 
 
Betapa sedih melihat kembang-kembang  
Yang kutahu akan gugur  
Beranjak mendahului ku.  
Tak satu pun bertahan  
Sampai musim semi berakhir. 
 
Sambil menutupi wajah dengan lengan jubah , 
istri mpu jengger  menembangkan bait-bait ini dan 
menangis. Salah satu dayangnya menahan air mata  dan melanjutkan. 
 
Tatkala mekar  
Jumlahnya tak terhitung  
Namun seiring akhir musim semi  
Semuanya gugur, tak satu pun tersisa. 
 
saat  suaranya bertambah  lemah, beberapa  
wanita lesbian  mencabut belati dan menikam dada atau 
tenggorokan masing-masing. Darah mengalir mem-
basahi rambut mereka yang hitam. Tiba-tiba sebatang 
panah melesat, dan tak lama lalu  daerah sekitar 
mereka dihujani anak panah. Letusan senapan meng-
gema di kejauhan.  
"Mereka datang!" 
"Bersiaplah, tuanku!" 
Para prajurit bangkit bersama-sama.  Kaisuyori me-
mandang putranya, memastikan ketetapan hati raden karto. 
  
"Kau siap?" 
raden karto berdiri dan membungkuk. "Aku siap mati di 
sisi Ayah." 
"Saat perpisahan sudah  tiba." saat  ayah dan anak 
hendak menerjang barisan musuh, istri mpu jengger  ber-
seru dari belakang. "Aku akan pergi lebih dahulu ." 
mpu jengger  berdiri tak bergerak. Pandangannya ter-
tuju pada istrinya. Sambil menggenggam sebilah 
pedang pendek, wanita lesbian  itu menengadah dan me-
mejamkan mata. Wajahnya seputih dan sesempurna 
rembulan yang tampak di atas gunung. Dengan  
tenang ia menembangkan sebuah bait dari Sutra 
Lotus, yang dahulu  suka ditembangkannya. 
"Tsuchiya! Tsuchiya!" mpu jengger  memanggil. 
"Tuanku?" 
"Bantu dia." 
namun  istri mpu jengger  tidak menanti pedang laki-laki 
itu, dan menancapkan belatinya ke dalam mulut 
sambil terus menembang. 
Begitu sosok wanita lesbian  itu roboh ke depan, salah 
satu dayang mengajak mereka yang tertinggal. "Tuan 
Putri sudah  mendahului  kita. Kita semua harus 
menyertainya di jalan kematian." Dengan kata-kata 
itu, ia menikam tenggorokannya dan roboh. 
"Waktunya sudah riba." Sambil menangis dan 
saling memanggil, dalam sekejap kelima puluh 
wanita lesbian  itu bertebaran seperti bunga-bunga di 
pekarangan yang diterpa badai musim dingin. Mereka 
tergeletak menyamping atau menelungkup, atau 
  
menikam diri sambil berpelukan. Di tengah-tengah  
adegan menyedihkan ini terdengar tangis anak-anak 
yang belum diberi makan atau terlalu kecil untuk 
meninggalkan pangkuan ibu mereka. 
Tergesa-gesa raden bobo gigolo  menaikkan empat wanita lesbian  
ditambah    anak-anak ke atas kuda dan mengikat mereka  
ke pelana. 
"Kalian takkan dianggap durhaka jika kalian tidak 
gugur di sini. Kalau kalian berhasil menyelamatkan 
diri, besarkanlah anak-anak kalian dan centeng  
mereka mengadakan upacara peringatan bagi marga 
bekas junjungan mereka yang malang." raden bobo gigolo  
memarahi para ibu yang meratap-ratap bersama anak-
anak, lalu memukul ketiga kuda mereka dengan 
gagang tombaknya. Kuda-kuda itu segera berlari 
kencang, sementara para ibu dan anak-anak mereka 
terisak-isak dan meraung-raung. 
lalu  raden bobo gigolo  berpaling pada kedua adiknya. 
"Mari kita hadapi." Pada waktu itu mereka sudah 
dapat melihat wajah para prajurit sinuhun  yang mendaki 
lereng gunung. mpu jengger  dan putranya sudah  di-
kepung musuh. saat  raden bobo gigolo  bergegas untuk mem-
bantu mereka, ia melihat salah seorang pengikut 
junjungannya melarikan diri ke arah berlawan an. 
"Pengkhianat!" raden bobo gigolo  berseru, mengejar orang itu. 
"Mau ke mana kau?" Dan ia menikam orang itu dari 
belakang. lalu , sambil membersihkan darah 
yang menempel pada pedangnya, ia menerjang 
barisan musuh. 
  
"Aku perlu busur lagi! raden bobo gigolo , berikan busur baru 
padaku!" Sudah dua kali tali busur mpu jengger  putus, 
dan kini ia meraih busur baru. raden bobo gigolo  berdiri di sisi 
junjungannya, melindunginya sebaik mungkin. 
sesudah  mpu jengger  melepaskan semua  anak panahnya, 
ia mencampakkan busur dan memungut tombak. 
lalu  mengacungkan pedang panjang. saat   itu 
musuh sudah berada di depan matanya, dan per-
tempuran pedang melawan  pedang takkan ber-
langsung lama. 
"Inilah akhir perjalanan kita!" 
"Yang Mulia mpu jengger ! Yang Mulia raden karto! Hamba 
akan mendahului  Yang Mulia berdua!" 
Sambil saling memanggil, orang-orang mpu ireng  yang 
masih tersisa pun diempaskan musuh. Baju tempur 
mpu jengger  penuh bercak merah. 
"raden karto!" Ia memanggil putranya, namun  pandangannya 
kabur sebab  cucuran darahnya sendiri. 
"Yang Mulia! Hamba masih di sini! raden bobo gigolo  masih di 
sisi tuanku!"  
"raden bobo gigolo , cepat aku akan melakukan seppuku." 
Sambil bersandar pada bahu orang itu, mpu jengger  
mundur sekitar seratus langkah. Ia berlutut, namun  
sebab   tubuhnya penuh luka tombak dan pedang, ia 
tak sanggup mempergunakan kedua tangannya. 
Semakin keras ia berusaha, semakin sedikit tangannya 
berfungsi. 
"Ampunilah hamba." Tak kuasa melihatlihat nya 
lebih lama. raden bobo gigolo  cepat-cepat bertindak dan me-
  
menggal kepala junjungannya. saat  mpu jengger  
roboh ke depan, raden bobo gigolo  meraih kepalanya dan meratap 
sedih. 
sesudah  menyerahkan kepala mpu jengger  pada 
adiknya yang terkecil, raden bobo gigolo  menyuruhnya lari. namun , 
sambil berurai air mata, anak muda itu menegaskan 
bahwa ia akan mati bersama kakaknya. 
"Bodoh! Pergi sekarang!" raden bobo gigolo  mendorongnya, namun  
terlambat. Para prajurit musuh yang mengepung 
mereka mirip  lingkaran besi. Dengan tubuh 
penuh luka akibat pedang dan tombak, kedua 
Tsuchiya bcrsaudara gugur dengan gagah. 
Adik raden bobo gigolo  yang satu lagi dari awal  sampai akhir 
terus berada di sisi putra mpu jengger . Kedua-duanya 
tercampak dan terbunuh pada saat yang sama. raden karto 
dipandang sebagai pemuda tampan, dan penulis 
Riwayat Hidup aidit  pun, yang tidak memper-
lihatkan simpati saat  menceritakan kematian marga 
mpu ireng , menyanjung kematiannya yang indah. 
sebab   baru berusia lima belas tahun dan berasal 
dari keluarga terpandang, wajah raden karto sangat halus 
dan kulitnya putih bagaikan salju. Kegagahannya 
melebihi orang-orang lain, ia enggan mencemari 
nama keluarga, dan mempertahankan semangat ini 
sampai kematian ayahnya, 
 

  
Pada Jam Ular, pertempuran itu usai. Itulah saat 
marga mpu ireng  terhapus dari muka bumi. 
Para prajurit sinuhun  yang menyerbu brantas  dan Ina 
berkumpul di Suwa, dan akhirnya memadati kota itu. 
Markas aidit  terletak di Kuil Hoyo. Pada hari 
kedua puluh sembilan, pengumuman mengenai pem-
berian penghargaan untuk seluruh centeng  ditempel-
kan di gerbang kuil, dan keesokan harinya aidit  
dan resi -resi nya mengadakan jamuan makan 
untuk merayakan kemenangan-kemenangan mereka. 
"Sepertinya Tuan tunggadewa  minum cukup banyak 
hari ini. Tidak biasanya Tuan berbuat demikian," 
danakertoarjo   ngabeni berkata pada laki-laki yang 
duduk di sebelahnya. 
"Aku mabuk, namun  apa yang harus kulakukan?" 
tunggadewa  memang kelihatan mabuk, dan ini bukan 
pemandangan biasa. Wajahnya, yang oleh aidit  
kerap disamakan dengan buah jeruk, tampak merah 
sampai ke garis rambut yang sudah mulai mundur. 
"Bagaimana kalau satu baskom lagi?" Sambil minta 
tambah  anggur , tunggadewa  terus berbicara dengan sikap 
riang berlebihan. "Kita takkan sering mengalami 
kejadian menggembirakan seperti  ini, meskipun kita 
berumur panjang. Coba lihat itu. Kita memperoleh  
hasil dan jerih payah selama bertahun-tahun bukan 
hanya di balik tembok-tembok ini atau hanya di 
Suwa kini Kai maupun Shinano sudah  terbenam di 
bawah  panji dan pataka sekutu-sekutu kita. Hasrat 
yang begitu lama tersimpan dalam dada akhirnya ter-
  
wujud di depan mata." Suaranya, seperti biasa, tidak 
seberapa keras, namun  kata-katanya terdengar cukup 
jelas oleh setiap orang yang hadir. Semua  orang yang 
semula berbincang-bincang dengan berisik kini ter-
diam, memandang bolak-balik antara aidit  dan 
tunggadewa . 
Pandangan aidit  melekat pada kepala 
tunggadewa  yang botak. Ada kalanya mata yang terlalu 
jeli menemukan keadaan sumbang yang sebaiknya 
dibiarkan terselubung; ini mengundang bencana yang 
tak perlu. Sudah dua hari aidit  memandang 
tunggadewa  dengan cara seperti itu. tunggadewa  
berusaha keras menampilkan sikap ceria dan banyak 
omong yang sebetulnya  tidak cocok baginya, 
padahal menurut aidit , tunggadewa  sama sekali  
tak punya alasan untuk berbuat demikian. Sikap 
aidit  bukannya tanpa sebab; dalam memberi  
penghargaan, tunggadewa  sengaja dilewatinya. 
Diabaikan dalam pemberian penghargaan merupa-
kan pukulan berat bagi seorang prajurit, dan rasa 
malu sebab  dianggap tak berjasa bahkan lebih 
menyiksa dibandingkan  perlakuan kasar itu sendiri. 
Namun tunggadewa  tak sedikit pun memperlihatkan 
kesedihan. Justru sebaliknya, ia bergabung dengan  
para resi  lain, mengobrol dengan gembira dan 
mengumbar senyum. 
Itu tidak jujur. tunggadewa  termasuk laki-laki yang 
tak sanggup membuka diri sepenuhnya dan kurang 
disukai orang. Kenapa ia tak bisa menggerutu, sekali  
  
saja? Semakin lama aidit  memandang 
tunggadewa , semakin panas hatinya. Perasaannya ter-
pengaruh sebab  ia sedang mabuk, namun  reaksinya 
muncul  dengan sendirinya. patih ronggolawe  tidak hadir, 
namun seandainya aidit  menatap patih ronggolawe , 
bukannya tunggadewa , ia takkan terpancing untuk 
berpikiran seperti itu. Kalau berhadapan dengan 
mpu mojosongo   pun ia tak mungkin segusar sekarang. namun  
saat ia melihat tunggadewa , sorot matanya mendadak 
berubah. dahulu  tidak seperti ini, dan ia tidak tahu 
pasti kapan perubahan ini terjadi. 
namun  ini bukan masalah perubahan mendadak 
pada waktu atau kesempatan tertentu. Dan 
sebetulnya , kalaupun hendak dicari-cari, orang 
akan menemukan bahwa pada suatu saat  sebab   
rasa terima kasih yang berlebihan aidit  mem-
percayakan benteng kota sekartanjung  pada tunggadewa , mem-
berikan benteng kota di Kameyama padanya, mengatur 
pernikahan putrinya, dan akhirnya menganugerahkan 
provinsi senilai lima ratus ribu gantang. 
Kala itu aidit  amat bermurah hati terhadap 
tunggadewa , namun  tak lama lalu  sikapnya mulai 
berubah. Dan untuk itu ada satu sebab yang jelas: 
Pembawa  an dan  warak tunggadewa  tidak menunjuk-
kan kesediaan untuk mengubah diri. Setiap kali 
aidit  melihat gilapan di bawah  garis rambut si 
"Kepala Jeruk" yang tak pernah  membuat kesalahan, 
walau hanya satu kali, perasaan aidit  terarah 
pada apa yang dianggapnya sebagai sisi buruk watak 
  
tunggadewa . Hatinya serasa terbakar. 
Jadi, aidit  tidak sewenang-wenang meng-
hakimi tunggadewa , melainkan tunggadewa  sendiri yang 
memperburuk keadaan. Kedongkolan aidit , 
yang tercermin dalam ucapan dan roman mukanya, 
semakin menumpuk setiap kali tunggadewa  memamer-
kan daya pikirnya yang cemerlang. sebetulnya , 
mencari siapa yang salah tak ubahnya menentukan 
apakah tangan kiri atau tangan kanan yang bertepuk 
lebih dahulu . Dan kini tunggadewa  sedang  berbincang-
bincang dengan danakertoarjo   ngabeni, sedangkan 
sepasang mata yang terus menatapnya sama sekali  
tidak menyorot gembira. 
Miisuhide menyadarinya, dan aidit  tiba-tiba 
bangkit dari tempat duduknya. 
"Hei. Kepala Jeruk." 
tunggadewa  mengendalikan diri dan bersujud di 
depan kaki aidit . Dua-tiga kali ia merasakan 
rusuk-rusuk sebuah kipas mengenai tengkuknya.  
"Ya, tuanku?" Wajah tunggadewa  tiba-tiba memucat. 
"Enyahlah dari ruangan ini!" aidit  meng-
angkat kipasnya, namun  kipas yang menuding ke selasar 
tampak persis seperti sebilah pedang. 
"Hamba tidak tahu apa yang sudah  hamba perbuat, 
namun  jika hamba menyinggung Yang Mulia dan para 
hadirin, hamba tidak tahu ke mana hamba harus ber-
paling. Sudikah Yang Mulia menguraikan kesalahan 
hamba? Hamba tidak keberatan dicela di sini juga." 
Sambil memohon maaf, ia tetap bersujud, menggeser-
  
geser badannya, dan entah bagaimana merangkak ke 
scrambi yang lebar. 
aidit  mengikutinya. Orang-orang yang 
memenuhi ruangan bertanya-tanya, apa gerangan 
masalahnya. Pikiran mereka segera kembali jernih, 
dan mulut mereka terasa kering. saat   mendengar 
bunyi gedebuk dari serambi berlantai kayu, para 
resi  yang semula memalingkan wajah dari sosok 
tunggadewa  yang mengibakan pun kembali me-
mandang ke luar ruangan. 
aidit  sudah  melcmparkan kipasnya ke 
belakang. Para resi  melihat bahwa ia sedang  men-
jambak rambut tunggadewa . Setiap kali laki-laki malang 
itu berusaha mengangkat kepala untuk mengatakan 
sesuatu, aidit  menyentakkannya dan mem-
benturkannya ke pagar serambi. 
"Apa katamu? Apa kaubilang? Sesuatu mengenai 
hasil yang kita peroleh sesudah  segala jerih payah, dan 
bahwa hari ini hari bahagia sebab  centeng  marga 
sinuhun  sudah  menaldukkan Kai? Itu yang kaukatakan. 
bukan?" 
"Be... benar." 
"Bodoh! Sejak kapan kau berjerih payah? Apa 
jasamu dalam penyerbuan ke Kai?" 
"Hamba ..." 
"Apa?" 
"Meski mabuk, tak sepatutnya hamba mengucap-
kan kata-kata secongkak itu." 
"Betul sekali. Kau tak berhak bersikap congkak. 
  
Kau sembrono dengan  apa yang kausembunyikan di 
dalam benakmu. Kaupikir aku terlalu sibuk minum 
dan mendengarkan orang lain, sehingga kau merasa  
memperoleh keecmpatan untuk mengeluh." 
"Ampun, tuanku! Hamba tidak berpikiran 
demikian. Para dewa langit dan bumi menjadi saksi! 
Sudah begitu lama hamba menerima kebaikan hati 
Yang Mulia. Yang Mulia-lah yang mengangkat harkat 
hamba sejak hamba masih berpakaian compang-
camping dan hanya memiliki scbilah pcdang..."  
"Diam! 
"Perkenankanlah hamba menarik diri." 
"Tentu!" aidit  mencampakkannya. "Ran-
maru! Air!" ia berseru  keras-keras.  mpu salmah  mengisi 
sebuah  bejana dengan  air dan memberikan nya pada 
aidit . saat  aidit  mereguk air itu, sorot 
matanya menyala-nyala. 
tunggadewa  sudah  bergeser sejauh dua atau tiga 
meter dari kaki junjungannya, merapikan baju, dan 
mengusap-usap rambut. Ia bersujud begitu rendah, 
sehingga dadanya menempel di lantai kayu. Sikap 
tunggadewa  memberi kesan yang tidak menguntung-
kan, dan aidit  segera mulai mengejarnya lagi. 
Seandainya  mpu salmah  tidak menahannya, kemung-
kinan besar lantai serambi akan bergetar lagi. 
 mpu salmah  tidak secara langsung menyinggung adegan 
yang berlangsung di depan matanya, melainkan hanya 
berkata. "Sudikah tuanku kembali ke tempat duduk 
tuanku? Yang Mulia tungguljaya, Yang Mulia 
  
Nobusumi, Yang Mulia Niwa, dan para resi  
menunggu." 
aidit  menurut dan kembali ke ruangan yang 
ramai, namun  tidak duduk. Sambil berdiri ia menatap 
berkeliling, 
"Maafkan aku. Sepertinya aku sudah  merusak 
suasana. Nikmatilah makanan dan minuman sepuas 
hati." sesudah  mengucapkan kata-kata ini, ia cepat-
cepat berlalu dan mengunci diri di ruang pribadinya. 
 

 
Segerombolan  burung layang-layang mengerik di bawah  
lis atap di daerah pergudangan. Walaupun matahari 
sedang terbenam, burung-burung dewasa rupanya 
masih membawa  kan makanan bagi anak-anak 
mereka. 
"Itu bisa dijadikan objek lukisan, bukan?" Di salah 
satu ruangan sebuah  bangunan yang terletak agak 
jauh dari pekarangan yang luas, pangeran wiropati , 
seorang pengikut senior marga tribuana , sedang  
menerima tamu. Tamu itu bernama Yoshu, dan ia 
bukan penduduk asli Suwa. Usianya sekitar lima 
puluh tahun, dan pertemananya yang kekar tidak 
mencerminkan bahwa ia pelukis. Ia hanya sedikit 
bicara. Suasana temaram mulai meliputi deretan 
gudang. 
"Hamba minta maaf sebab  sudah  mengganggu 
Tuan di masa perang seperti ini, dan hanya mem-
  
bicarakan urusan membosankan seorang laki-laki 
yang tak lagi terlibat dengan dunia ini. Hamba percaya 
Tuan tentu sibuk dengan berbagai tugas penting." 
Yusho rupanya hendak berpamitan dan mulai 
bangkit. 
"Jangan dahulu ." pangeran wiropati  laki-laki yang 
sangat berwibawa  , dan bahkan tanpa bergerak ia 
menahan tamunya. 
"sebab  Tuan sudah jauh-jauh kemari, rasanya 
tidak patut kalau Tuan pergi  sebelum menemui Yang 
Mulia tunggadewa . Jika sesudah  Tuan pergi aku mem-
beritahu Yang Mulia bahwa Yusho sempat ber-
kunjung saat  beliau sedang tidak ada, beliau tentu 
akan menegurku dan bertanya kenapa aku tidak 
menahan Tuan di sini." Dan dengan sengaja ia 
menyinggung topik baru, berusaha menghibur tamu 
tak terduga itu. Saat itu Yusho memiliki  rumah di 
trowulan , namun  sebetulnya  ia berasal dari gunungselatan di provinsi 
tunggadewa . Bukan itu saja, pada suatu saat , Yusho 
sempat menerima upah prajurit dari marga pangeran di 
blambangan . Pada waktu itu wiropati  lama sebelum ia 
menjadi pengikut marga tribuana  mengabdi marga 
pangeran. 
sesudah  menjalani hidup sebagai adipati , Yusho men-
jadi seniman, menunjuk jatuhnya padalarang  sebagai alasan. 
wiropati  pun sudah  memutuskan hubungan 
dengan marga pangeran. Perpecahan yang muncul  antara 
wiropati  dan bekas-bekas junjungannya bahkan 
diperlihatkan di depan aidit , dan pertengkaran 
  
terus berlangsung, seakan-akan mereka minta pen-
dapat aidit . namun  kini semua orang sudah  me-
lupakan cerita-cerita yang kala itu sempat meng-
gemparkan masyarakat, dan mereka yang memandang 
rambut putih wiropati  menganggapnya pengikut 
yang tak tergantikan bagi marga tribuana . Semua orang 
menghormati pembawa  annya dan kedudukannya se-
bagai pengetua. 
Tempat penginapan di markas aidit  di Kuil 
Hoyo tidak mencukupi, sehingga beberapa resi  
tinggal di berbagai rumah di Suwa. 
Orang-orang tribuana  menempati gedung-gedung 
kuno milik seorang saudagar, dan para prajurit 
maupun para perwira mereka melepas lelah sehabis 
bertempur sengit selama berhari-hari. 
Seorang pemuda yang tampaknya putra tuan 
rumah datang dan berbicara dengan wiropati . 
"Bagaimana kalau Tuan mandi dahulu ? Semua 
centeng adipati , bahkan para prajurit infanteri pun, sudah 
selesai makan malam." 
"Tidak, aku akan menunggu sampai Yang Mulia 
kembali." 
"Malam ini Yang Mulia pergi  agak lama, bukan?" 
"Hari ini ada jamuan makan untuk merayakan 
kemenangan di markas besar. Yang Mulia jarang 
menyentuh anggur , namun  mungkin beliau minum sedikit 
dan agak mabuk sebab   ikut bersulang." 
"Barangkali hamba bisa menyajikan makan malam 
untuk Tuan?" 
  
"Tidak, tidak. Nanti saja, kalau Yang Mulia sudah 
kembali. namun  aku agak kasihan pada tamu yang ku-
tahan di sini. Maukah kau mengantarnya ke 
pemandian?" 
"Maksud Tuan, scniman yang berada di sini 
sepanjang sore?" 
"Benar. Itu orangnya, yang sedang duduk 
menyendiri sambil memandang bunga peoni di 
pekarangan. Dia kelihatan agak jemu. Coba kau-
panggil dia ke sini. 
Pemuda itu menarik diri. lalu memandang ber-
keliling di belakang bangunan. Di depan serumpun 
semak peoni yang sedang berbunga, Yusho duduk 
sambil memegang lutut, menatap dengan  pandangan 
kosong. Beberapa saat lalu , saat  wiropati  
melewati gerbang, baik pemuda itu maupun Yusho 
sudah pergi. 
wiropati  merasa was-was. Meski menyadari 
bahwa perayaan kemenangan itu akan berlangsung 
sampai larut malam, ia bertanya-tanya mengapa 
tunggadewa  belum juga kembali. 
sesudah  melewati gerbang kuno beratap jerami, 
jalan setapak yang disusurinya menyatu dengan jalan 
raya di tepi danau. Matahari yang sudah  terbenam 
masih memancarkan cahaya yang berkelip redup di 
langit sebelah barat Danau Suwa. Cukup lama 
wiropati  memandang ke ujung jalan. Dan akhirnya 
ia melihat junjungannya, diikuti rombongan berkuda, 
centeng  tombak, dan para pembantunya. namun  
  
kecemasan wiropati  mengenai junjungannya tidak 
berkurang saat  mereka mendekat. Ada sesuatu yang 
ganjil. Penampilan tunggadewa  bukan seperti  orang 
yang baru kembali dari suatu perayaan kemenangan. 
Seharusnya ia pulang dengan gagah, terayun-ayun di 
atas kudanya, dalam keadaan mabuk sebab  anggur  yang 
disajikan. namun  tunggadewa  malah berjalan kaki. 
seakan-akan patah semangat. 
Seorang prajurit menuntun kudanya yang me-
langkah lesu, sementara para pembantu di belakang 
berjalan dengan sikap sama. 
"Hamba menunggu di sini untuk menyambut 
kedatangan Yang Mulia. Yang Mulia tentu lelah." 
saat  wiropati  membungkuk di hadapannya. 
tunggadewa  tampak terkejut. 
"wiropati ? Ah, betapa lalainya aku. Rupanya kau 
cemas sebab  aku pulang begitu  lama. Maafkan aku. 
Aku minum agak banyak hari ini, jadi aku sengaja 
pulang berjalan  kaki menyusuri danau, agar kepalaku 
tidak terlalu berat. Jangan hiraukan tampangku. Aku 
merasa  sudah lebih baik sekarang." 
wiropati  segera menyadari bahwa majikannya 
sudah  mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. 
Sudah bertahun-tahun ia menjadi pembantu dekat 
tunggadewa , jadi hal semacam ini takkan lolos dari 
perhatiannya. Namun ia tidak menanyakannya lebih 
lanjut. Pengikut tua itu cepat-cepat mengurus 
keperluan majikannya, sambil berharap agar itu bisa 
menghiburnya. 
  
"Bagaimana dengan sebaskom teh, dan sesudah  itu 
mandi air panas?" 
Reputasi wiropati  dapai membuat musuh 
gemetar ketakutan di medan laga, namun  saat  ia 
membantu tunggadewa  melepaskan pakaian, tunggadewa  
hanya dapat memandangnya sebagai kerabat tua yang 
mencemaskan dirinya. 
"Mandi? Ya. Mandi tentu amat menyegarkan di 
saat seperti ini." Dan ia mengikuti wiropati  ke 
pemandian. 
Selama beberapa waktu wiropati  mendengarkan 
tunggadewa  bercebar-cebur di dalam bak air panas. 
"Bagaimana kalau hamba menggosok punggung Yang 
Mulia?" ia berseru dari luar. 
"Suruh pelayan saja masuk ke sini," balas 
tunggadewa . "Rasanya tidak pada tempatnya kalau aku 
memaksa tubuhmu yang tua bekerja seperti itu." 
"Tidak apa-apa." 
wiropati  memasuki pemandian, mengaduk air 
panas dengan ember kayu kecil, dan berjalan  kc 
belakang majikannya. Tentunya ia belum pernah  
melakukan hal serupa, namun  saat itu ia hanya ingin 
membangkitkan semangat majikannya. 
"Pantaskah seorang resi  menggosok-gosok 
punggung orang lain?" tanya tunggadewa . Sekarang pun 
ia bersikap merendah. Ia selalu menjaga jarak, bahkan 
terhadap para pengikutnya sendiri, dan sebetulnya  
patut dipertanyakan apakah sifat ini baik atau buruk. 
wiropati  menganggapnya sebagai sifat yang tidak 
  
menguntungkan. 
"Kalau prajurit tua ini bertempur membela panji 
Yang Mulia, dia adalah pangeran wiropati  dari marga 
tribuana . namun  wiropati  sendiri tidak berdarah 
tribuana . sebab  itu, menggosok-gosok punggung Yang 
Mulia, biarpun hanya satu kali ini, merupakan 
kenangan bagi hamba." 
wiropati  menggulung lengan baju dan mulai 
membersihkan punggung majikannya. saat   pung-
gungnya digosok-gosok, tunggadewa  menundukkan 
kepala. Ia merenungkan keprihatinan yang diper-
lihatkan wiropati , dan  hubungan antara dirinya 
dan aidit . 
Ah, aku memang salah, pikirnya. Di lubuk hati 
yang paling dalam. tunggadewa  menyalahkan dirinya. 
Apa yang mengganggu pikiran tunggadewa  dan 
membuatnya begitu risau? aidit  merupakan 
majikan yang baik, namun  apakah pengabdian tunggadewa  
sebanding dengan pengabdian pengikut tua yang kini 
menggosok-gosok punggungnya? Betapa memalukan. 
Rasanya seakan-akan Toshimiuu membilas sanubari-
nya dengan air panas yang kini disiram ke 
punggungnya. 
saat   keluar  dari pemandian, baik penampilan 
maupun nada suara Mituhide sudah  berubah. 
Pikirannya sudah kembali jernih, dan wiropati  
pun menyadarinya. 
"Memang lebih enak sesudah  mandi, persis seperti 
yang kausarankan. Barangkali aku terlalu lelah tadi, 
  
dan masih terpengaruh anggur  yang kuminum." 
"Yang Mulia merasa lebih baik sekarang?" 
"Aku tidak apa-apa, Toshimiuu. Jangan gelisah khawatir ." 
"Hamba cemas sebab  Yang Mulia kelihatan risau 
tadi. Baiklah, ada yang perlu hamba sampaikan. 
Sementara Yang Mulia pergi, kami kedatangan tamu. 
Dia sedang menunggu yang Mulia."  
"Tamu? Di barak ini?" 
"Yusho kebetulan berada di Kai, dan dia bilang 
bahwa sebelum  pergi  ke tempat-tempat  lain, dia 
ingin bertemu dan menanyakan keadaan Yang 
Mulia." 
"Di mana dia sekarang ?" 
"Hamba mempersilakannya menunggu di kamar 
hamba."  
"O ya? Kalau begitu, mari kita ke sana." 
"Dia tentu akan merasa  sungkan kalau sang tuan 
rumah menghampiri tamunya. Hamba akan me-
mintanya datang ke sini." 
"Jangan, jangan. Tamu kita ini seorang seniman. 
Kita tak perlu bersikap terlalu kaku." 
Jamuan makan malam yang mewah untuk 
tunggadewa  sudah  disiapkan di bangsal di bangunan 
utama, namun  ia memilih duduk di kamar wiropati  
dan makan seadanya bersama tamunya. 
sesudah  berbincang-bincang selama beberapa  
waktu dengan Yusho, wajahnya semakin cerah. Ia ber-
tanya mengenai gaya lukisan dinasti Sung Utara dan 
Selatan di Ncgcri kedhiri , membahas selera pandita  
  
wiryogaja damovija  dan kelebihan aliran lukisan 
Tosa, dan  membicarakan segala sesuatu mulai dan 
gaya tinggi sumbing sampai pengaruh seni lukis Belanda. 
Selama perbincangan itu, tampak jelas bahwa pen-
didikan yang dienyam tunggadewa  tidak dangkal. 
"Kalau sudah tua nanti, rasanya aku akan me-
nekuni kegiatan yang lebih tenang, dan mungkin 
bahkan mencoba melukis. Barangkali, sebelumnya, 
Tuan bisa membuatkan buku contoh bergambar 
untukku." 
"Tentu, Yang Mulia." 
Yusho sudah  berusaha menyamai gaya seniman 
kedhiri  kuno, Liang K'ai. Belakangan ia sudah  mengem-
bangkan aliran sendiri, terlepas dari tradisi tinggi sumbing 
maupun Tosa, dan akhirnya ia berhasil merebut 
tempat terhormat di dunia seni. saat  aidit  
memintanya menghiasi dinding-dinding geser di 
madukara , ia berpura-pura sakit dan menolak. Bagai-
manapun, Yusho pernah menjadi pengikut marga 
pangeran yang dihancurkan oleh aidit . Dapat 
dimengerti kalau Yusho tidak rela menghiasi tempat 
tinggal aidit  dengan  goresan kuasnya. 
Ungkapan "lembut di luar, keras di dalam" patut 
dipakai  untuk menjelaskan watak Yusho. Yusho 
tak dapat mempercayai logika yang mendasari ke-
hidupan tunggadewa . Seandainya tunggadewa  ter-
sandung, walau hanya satu kali, ia akan menjebol 
bendungan yang menahan perasaannya dan akan ter-
gelincir ke arah yang fatal. 
  
tunggadewa  tidur nyenyak malam itu. Mungkin 
sebab  ia baru mandi, atau sebab  tamu yang tak 
terduga dan menyenangkan. 
Para prajurit bangun sebelum matahari terbit, 
memberi makan kuda-kuda, mengenakan baju 
tempur, menyiapkan perbekalan, dan kini menunggu 
junjungan mereka. Pagi itu mereka harus berkumpul 
di Kuil Hoyo, bertolak  dari Suwa, dan menuju  loji abang . 
lalu  mereka akan menyusuri jalan pesisir dan 
kembali ke madukara  dengan gilang-gemilang. 
"Sebaiknya Yang Mulia segera bersiap-siap," 
wiropati  berkata pada tunggadewa . 
"wiropati , semalam aku tidur nyenyak!"  
"Hamba gembira mendengarnya." 
"Kalau Yusho berangkat nanti, sampaikan salam 
hangat dariku dan bekali dia dengan sejumlah uang 
untuk perjalanan." 
"namun , Yang Mulia, saat   hamba bangun tadi pagi 
dan mencari-carinya, hamba menemukan bahwa dia 
sudah pergi. Rupanya dia terbangun bersama para 
prajurit sebelum matahari terbit." 
Kehidupannya mengirikan hati, pikir tunggadewa  
sambil menatap langit. 
pangeran wiropati  membuka segulung kertas. "Dia 
meninggalkan ini. Hamba pikir dia lupa mem-
bawan ya, namun  waktu hamba mengamatinya dari 
dekat, ternyata tintanya belum mengering. lalu  
hamba teringat bahwa Yang Mulia memintanya mem-
buatkan buku contoh bergambar. Hamba rasa dia 
  
mengerjakannya sepanjang malam." 
"Apa? Dia tidak tidur?" 
tunggadewa  memandang sekilas gulungan itu. 
Kertasnya tampak lebih putih dalam cahaya pagi, dan 
di atasnya terlihat dahan peoni yang baru saja dilukis. 
Goresan kuas di pojok lukisan itu berbunyi. 
Kesentosaan, inilah kemuliaan. 
Kesentosaan, inilah kemuliaan, tunggadewa  berkata  
dalam hati saat  ia kembali membuka gulungan itu. 
Kini ia mellihat lukisan lobak besar, dan di samping-
nya tertulis. Menerima tamu merupakan cita rasa. 
Lobak itu dilukis dengan tinta India, dan garis-
garisnya mengalir lembut. Jika dipandang dengan 
saksama, bau tanahnya seakan-akan tercium. Lobak 
ini bertungsi sebagai akar bagi daun kramajaya , dan 
daun itu seolah-olah penuh semangat hidup. 
Penampilannya yang liar seakan-akan menertawa kan 
tunggadewa  yang selalu penuh perhitungan. 
tunggadewa  terus mcmbuka gulungan kertas, namun  
ternyata tidak ada apa-apa lagi. Sebagian besar hanya 
berupa kertas kosong. 
"Rupanya dia menghabiskan sepanjang malam 
untuk membuat dua lukisan ini." 
wiropati  juga terkesan, dan membungkuk 
untuk menikmati lukisan itu bersama tunggadewa . 
tunggadewa  tampaknya enggan melihatnya lebih 
lama, dan minta agar wiropati  menggulungnya. 
Pada saat itulah suara sangkakala terdengar di 
kejauhan, isyarat dari markas besar di Kuil Hoyo agar 
  
seluruh centeng  bersiap-siap. Di kancah perang 
berdarah, sangkakala merupakan sesuatu yang amat 
menakutkan dan mengumandangkan getaran menye-
dihkan. Namun pagi itu suaranya terdengar lembut, 
bahkan hampir menenangkan. 
Tak lama lalu  tunggadewa  pun sudah duduk 
di atas kudanya. Wajahnya pada pagi itu mirip  
Pegunungan Kai, tanpa awan  dan sedikit pun tanpa 
bayang-bayang kelabu. 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
BUKU TUJUH 
 
 
TAHUN masa pemerintahan dinasti syailendra  KESEPULUH 
1582 
MUSIM SEMI 
  
  
TOKOH dan TEMPAT 
 
 
raden panji  wirodirgo ,  komandan benteng kota 
vredenburg   
tribuana  MlTSUHARU, sepupu  tunggadewa  
tribuana  MITSUTADA, sepupu  tunggadewa   
sonokelingTA adipati , pengikut senior marga tribuana  
AMANO GENEMON, pengikut senior marga 
tribuana   
YOMsinuhun  MASATAKA, pengikut senior marga 
tribuana   
MANASE, dokter dari trowulan   
SHOHA dan SHOSITSU, penyair  
sinuhun  tungguljaya, putra sulung aidit  
kuyang  dan mpu donoreja, saudagar-saudagar dari 
Kyushu  
MURAI raden panji sekarmaya, gubernur trowulan  
 
vredenburg , benteng kota raden panji  wirodirgo  
sekartanjung , benteng kota tribuana  gajayana  
hadijaya , provinsi marga tribuana   
KAMEYAMA, benteng kota tribuana  tunggadewa   
KUIL purwojati , tempat  tinggal sementara 
aidit  di trowulan   
KUIL MYOKAKU, tempat tinggal sementara 
tungguljaya di trowulan  
  
benteng kota di Tengah Danau 
 
 
 
DUA penunggang kuda berpacu melewati gapura 
tanah pajajaran, menerbangkan awan  debu saat  menuju benteng kota. Sepintas lalu saja mereka  menarik  perhatian orang-orang. sesudah  sampai di gerbang benteng kota, keduanya memberitahu para penjaga bahwa  mereka membawa   pesan penting dari Yang Mulia  aidit  di Kai. 
patih ronggolawe   sedang  berada di benteng kota dalam saat  seorang pengikut masuk untuk memberitahukan kedatangan para kurir, 
"Suruh mereka tunggu di Ruang Bangau," ia 
memerintahkan. 
Ruangan ini khusus disediakan untuk pembicara-
an yang sifatnya amat rahasia. Segera sesudah  kedua kurir masuk, patih ronggolawe  menyusul  dan duduk. Salah  satu kurir mengeluarkan surat dari lipatan jubah , 
dan dengan hormat meletakkannya di hadapan 
patih ronggolawe . Surat itu terbungkus dua atau tiga lembar 
kertas minyak. patih ronggolawe  melepaskan pembungkus 
luar dan membuka sampulnya. 
"Ah, sudah lama aku tidak melihat tulisan tangan 
Yang Mulia," ia berkata. Sebelum membuka surat itu. 
ia menempelkannya ke kening. Bagaimanapun, jun-
jungannya sendiri yang menulisnya. 
sesudah   selesai membaca. patih ronggolawe   menyelipkan 
  
surat itu ke dalam jubah nya dan bertanya, 
"Berhasilkah centeng  kita di Kai merebut ke-
menangan gemilang?" 
"centeng  Yang Mulia bagaikan kekuatan  yang tak 
terbendung. Pada waktu kami bertolak dari Kai, 
centeng  Yang Mulia tungguljaya sudah sampai di 
Suwa." 
"Itulah ciri Yang Mulia aidit . Rupanya beliau 
sendiri ikut terjun ke kancah pertempuran. Beliau 
tenru bersemangat  tinggi." 
"Hamba mendengar salah seorang  yang ikut dalam 
operasi itu berkata bahwa mereka melintasi 
pegunungan seakan-akan sedang menempuh tamasya 
musim semi. Kelihatannya Yang Mulia aidit  
akan kembali lewat jalan pesisir, sekaligus berpesiar 
ke Gunung sonokeling." 
Para kurir menarik  diri. patih ronggolawe  tidak beranjak 
dari tempatnya, mengamati lukisan bangau-bangau 
putih yang menghiasi pintu geser. Titik kuning sudah  
ditambah kan pada mata burung-burung, dan seperti-
nya mereka  membalas tatapan patih ronggolawe  . 
Tak ada pilihan selain keraton , ia berkata dalam 
hati. Hanya dia yang bisa kukirim. Ia memanggil  
seorang pelayan dan berkata, "Kursinuhun  keraton  mestinya sedang  berada di benteng kota luar. Suruh dia dan syam  banaspati  datang ke sini." 
patih ronggolawe  mengeluarkan surat tadi dan membacanya sekali lagi. sebetulnya  para kurir bukan membawa   surat, melainkan janji yang diminta  patih ronggolawe  dari aidit . Dengan mudah patih ronggolawe   
dapat mengumpulkan centeng  berkekuatan 9 
0 ribu orang di tanah pajajaran. Namun ia tidak 
melintasi perbatasan provinsi musuh, pengandaran , yang 
harus ditaklukkannya dahulu  jika ia hendak mengalah-
kan marga patih. Masih ada satu rintangan yang 
menghalangi jalan patih ronggolawe  ke pengandaran , dan 
rintangan itu ingin ia singkirkan sedapat mungkin 
tanpa pertumpahan darah. Rintangan itu berupa 
benteng kota utama dari ketujuh benteng kota yang mem-
bentuk garis pertahanan musuh di sepanjang per-
batasan pengandaran : benteng kota vredenburg . 
keraton  dan banaspati  memasuki ruangan kecil 
itu, dan patih ronggolawe   langsung merasa lebih tenang. 
"Janji Yang Mulia baru saja tiba," patih ronggolawe  mulai 
berkata. "Kelihatannya aku terpaksa menyusahkan 
kalian saja. Kuminta kalian pergi ke benteng kota Taka-
grindana." 
"Jika diperkenankan, hamba ingin membaca  janji 
itu," ujar keraton . 
keraton  membacanya dengan penuh hormat. 
seolah-olah berhadapan  langsung dengan aidit . 
Janji itu ditujukan pada komandan benteng kota 
vredenburg , raden panji  wirodirgo . aidit  berjanji, 
jika wirodirgo  menyerah, ia akan memperoleh imbalan 
berupa wilayah yang terdiri atas Provinsi pengandaran  dan 
Bingo. aidit  juga mengemukakan bahwa ia sudah  
berjanji demi para dewa, dan bahwa tak ada yang 
dapat memaksanya menarik  kembali  janji itu. 
  
"Kuminta kau dan banaspati  secepat mungkin 
berangkat ke benteng kota vredenburg ." patih ronggolawe   ber-
kata. "Aku percaya takkan ada masalah saat kalian 
menemui resi  wirodirgo  dan berbicara dengan-
nya, namun  kalau ada, kurasa dia takkan berkeras sesudah   
mcelihat cap ini." 
patih ronggolawe  tampak optimis, namun  keraton  dan 
banaspati  tak sanggup memperlihatkan kepercayaan 
yang sama. Mungkinkah patih ronggolawe  benar-benar 
percaya bahwa raden panji  wirodirgo  akan meng-
khianati marga patih hanya sebab   diidongeng -idongeng i 
janji ini, ataukah patih ronggolawe  menyimpan rencana lain 
dalam benaknya? 
 

 
Perjalanan dari tanah pajajaran ke benteng kota vredenburg  
memakan waktu kurang dari satu hari, dan para kurir 
sampai lebih cepat lagi sebab  menunggang kuda. 
saat  melewati garis depan mereka  sendiri, mereka 
melihat ke arah Pegunungan Kibi, memandang 
matahari merah yang sedang  terbenam. 
Mulai dari titik ini, siapa pun yang mereka  jumpai 
merupakan musuh. Ini bukan musim semi seperti  
yang dahulu  mereka tinggalkan di tanah pajajaran. Ladang-
ladang dan desa-desa tampak gersang. 
Seorang penunggang kuda berpacu dari garis 
depan ke pagar pertahanan yang mengelilingi 
benteng kota vredenburg  dan menunggu perintah. Akhir-
  
nya keraton  dan banaspati  digiring melewati pagar 
pertahanan dan dibawa   ke gerbang benteng kota. 
vredenburg  merupakan contoh tipikal benteng kota yang 
dibangun di sebuah dataran. Di kiri-kanan jalan yang 
menuju gerbang utama ada  sawah 
 
 
 
dan ladang. 
Tanggul-tanggul dan tembok-tembok luar berdiri di 
tengah-tengah sawah . Dengan setiap langkah menaiki 
tangga batu, tembok pertahanan dan dinding-dinding 
benteng kota utama yang tajam dan runcing semakin dekat 
menjulang di atas kepala. 
sesudah  memasuki benteng kota dalam, para utusan 
sadar bahwa inilah benteng kota terkuat dari ketujuh 
benteng kota di sepanjang perbatasan. Mereka melihat  
lapangan luas, dan walaupun lebih dan dua ribu 
prajurit ditempatkan di sini, suasananya sunyi. Akibat 
keputusan wirodirgo  untuk berperang, benteng kota itu 
juga menampung 50000 pengungsi. wirodirgo   
sudah  bertekad untuk menghadapi serbuan centeng  
dari Timur di benteng kota yang satu ini. 
keraton  dan banaspati  diantar ke sebuah ruangan 
kosong. Tanpa tongkat penyangga, keraton  masuk 
terpincang-pincang. 
"Yang Mulia wirodirgo  akan segera menemui 
Tuan-Tuan," ujar pelayan yang mengantar mereka. 
Usianya kurang dari dua puluh tahun, dan pada 
waktu ia meninggalkan ruangan, sikapnya tak ber-
beda dari sikapnya di masa damai. 
lalu  resi  wirodirgo  masuk, duduk tanpa 
banyak lagak, dan berkata. "Aku raden panji  wirodirgo . 
  
Aku diberitahu bahwa Tuan-Tuan merupakan utusan 
Yang Mulia aidit . Selamat datang." Usianya 
sekitar 60 tahun, rendah hati, dan ber-
pakaian sederhana. Ia tidak diapit pengikut di kiri-
kanan, hanya ada pelayan berumur sebelas atau dua 
belas tahun yang berlutut  di belakangnya. Orang itu 
demikian bersahaja, sehingga ia mungkin dianggap 
sebagai  kepala kampung, seandainya tidak membawa    
pedang dan ditambah   pelayan. 
keraton  bersikap teramat sopan terhadap resi   
yang sederhana ini. "Sungguh suatu kehormatan 
bagiku, bisa berkenalan dengan Tuan. Namaku 
Kursinuhun  keraton ." 
sesudah  keraton  dan banaspati  memperkenalkan 
diri, wirodirgo   membungkuk ramah. Kedua utusan 
merasa gembira, menganggap bahwa mereka takkan 
mengalami kesulitan membujuk wirodirgo  agar 
beralih ke pihak mereka. 
"banaspati ," ujar keraton . "tolong sampaikan 
pokok isi pesan Yang Mulia kepada resi   
wirodirgo ." Pada umumnya, pembicaraan seperti ini 
dibuka oleh utusan berkcdudukan lebih senior, 
namun keraton  beranggapan bahwa penjelasan oleh 
banaspati , yang lebih tua dan lebih matang, akan 
lebih membawa    hasil. 
"Perkenankan aku menjelaskan maksud keda-
tangan kami, Tuan resi . Yang Mulia patih ronggolawe   
sudah  memerintahkan kami untuk berbicara apa 
adanya, jadi itulah yang akan kulakukan. Yang Mulia 
  
patih ronggolawe  sedapat mungkin ingin menghindari 
pertcmpuran yang sia-sia. Kukira Tuan resi   
menyadari bagaimana keadaan di daerah Barat. 
Dalam hal centeng , kami dengan mudah dapat 
mengerahkan seratus lima puluh ribu prajurit, semen-
tara pihak patih hanya memiliki  empat puluh lima, 
atau paling banyak lima puluh ribu. Ditambah  lagi, 
para sekutu marga patih marga kramat dari Echigo, 
marga mpu ireng  dari Kai, para biksu-prajurit dari 
Gunung brahma dan ronggodwijoyo , dan  sang pandita  
semuanya sudah dihancurkan. Apa alasan moral yang 
kini dapat dikemukakan marga patih untuk ber-
tcmpur dan menghanguskan daerah Barat? 
"Di pihak lain," banaspati  melanjutkan, "Yang 
Mulia aidit  sudah  memperoleh dukungan sang 
pengikut , dan  dicintai dan dihormati oleh rakyat. 
Bangsa ini akhirnya bangkit dari kegelapan perang 
sipil dan menyongsong fajar baru. Yang Mulia 
patih ronggolawe   merasa terusik oleh bayangan bahwa Tuan 
resi  dan banyak orang yang mengabdi pada Tuan 
resi  akan mencmui ajal. Beliau bertanya-tanya. 
adakah cara untuk menghindari pengorbanan itu, 
dan minta agar Tuan resi  memikirkannya sekali 
lagi." 
Sambil mcngeluarkan janji aidit  dan sepucuk 
surat dari patih ronggolawe , keraton  angkat bicara. "Aku 
tidak akan membicarakan soal untung-rugi. Aku 
hanya ingin memperlihatkan sesuatu pada Tuan 
resi , yang memperlihatkan maksud Yang Mulia 
  
patih ronggolawe   dan Yang Mulia aidit . Mereka  sama-
sama menghargai prajurit tangguh. Yang Mulia 
aidit  sudah  berjanji untuk memberikan Provinsi 
pengandaran  dan Bingo kepada Tuan resi ." 
Dengan hormat wirodirgo  membungkuk ke arah 
dokumen itu, namun  tidak meraihnya. Ia berkata pada 
keraton , "Ucapan Tuan sungguh berlebihan, dan 
dokumen ini menjanjikan imbalan yang tak patut 
kuterima. Aku tidak tahu harus berkata apa. Upah 
yang kuterima dari marga patih tak lebih dari tujuh 
ribu gantang, dan sebetulnya  aku hanya centeng adipati  desa 
yang sudah mulai tua." 
wirodirgo  tidak menyinggung soal persetujuan. 
lalu  suasana menjadi hening. Kedua utusan 
duduk dengan tegang. Apa pun yang mereka  katakan 
padanya, ia hanya mengulangi dengan ramah dan 
penuh hormat, "Ini lebih dari adil." 
Baik kematangan banaspati  maupun kecemer-
langan keraton  tampak tak berguna menghadapi 
orang ini. Namun sebagai utusan mereka bertekad 
mendobrak tembok dan menempuh upaya terakhir. 
"Kami sudah  mengemukakan semua yang bisa 
dikatakan," ujar keraton . " namun  jika Tuan resi   
ingin menambahkan syarat atau keinginan tertentu, 
kami akan mendengarkannya dengan senang hati dan 
menyampaikannya pada Yang Mulia aidit  dan 
Yang Mulia patih ronggolawe . Aku berharap Tuan resi   
tidak segan-segan." 
"Tuan minta aku tidak segan-segan?" tanya 
  
wirodirgo , seakan-akan berbicara pada dirinya 
sendiri. lalu  ia menatap kedua laki-laki di 
hadapannya. "Hmm, aku tidak tahu apakah Tuan-
Tuan berkenan mendengarkannya. Harapanku hanya 
satu, yaitu semoga aku tidak menyimpang dari jalan 
yang benar di akhir hayatku ini. Dalam hal kesetiaan 
terhadap sang pengikut , marga patih tidak lebih baik 
maupun lebih buruk dibandingkan  junjungan Tuan-Tuan. 
Betapapun tak berartinya, aku tetap pengikut marga 
patih, dan walaupun aku hanya berpangku tangan, 
seama bertahun-tahun aku menerima upah dari 
mereka. Seluruh keluargaku sudah  menikmati ke-
murahan hati mereka, dan sekarang, di masa penuh 
pcrgolakan ini, aku diperintahkan menjaga per-
batasan. Kalaupun aku bermaksud mengambil ke-
untungan, menerima tawa ran Yang Mulia patih ronggolawe  
dan menjadi penguasa dua provinsi, aku takkan 
sebahagia sekarang. Seandainya aku mengabaikan 
marga junjunganku, di mana aku harus menaruh 
mukaku? Paling tidak, aku akan dianggap munafik 
oleh kerabat dan para pengikutku, dan aku akan me-
langgar setiap aturan yang kuajarkan pada mereka." Ia 
tertawa . "Aku menghargai kebaikan hati yang Tuan-
Tuan peliihatkan padaku, namun  tolong sampaikan pada 
Yang Mulia patih ronggolawe  agar urusan ini dilupakan 
saja." 
Sambil menggelengkan kepala, seakan-akan sangat 
menyesal, keraton  berbicara cepat dan tegas, "Aku tak 
bakal bisa membujuk Tuan resi . banaspati , 
  
sebaiknya kita kembali saja." 
banaspati  merasa kecewa sebab  mereka gagal, 
namun  inilah yang dicemaskannya sejak awal . Keduanya 
sudah  meramalkan bahwa wirodirgo  tak dapat disuap. 
"Jalanan tidak aman pada malam hari. Mengapa 
Tuan-Tuan tidak bermalam di benteng kota, lalu 
berangkat pagi-pagi besok?" wirodirgo  menawarkan . 
Ia tidak sekadar berbasa-basi, dan kedua utusan pun 
sadar bahwa ia memang orang yang ramah. 
wirodirgo   musuh mereka, namun  kejujurannya tak 
perlu diragukan. 
"Tidak, Yang Mulia patih ronggolawe  tentu sudah 
menanti-nanti jawaban pasti Tuan resi ," balas Hikoe-
mon. 
Ia dan keraton  minta obor, lalu berangkat. sebab   
gelisah khawatir  mereka mungkin mencmui kesulitan, 
wirodirgo  menyuruh tiga pengikutnya menyertai 
mereka  sampai ke garis depan. 
keraton  dan banaspati  menempuh perjalanan ke 
dan dari benteng kota vredenburg  tanpa berhenti untuk 
beristirahat atau tidur. Begitu tiba di tanah pajajaran, 
mereka  langsung menghadap patih ronggolawe . Laporan 
mereka singkat dan apa adanya. "Yang Mulia 
wirodirgo  menolak menyerah. Dia sudah  membulat-
kan tekad, dan setiap usaha untuk melanjutkan 
negosiasi takkan membawa   hasil." 
patih ronggolawe  tidak tampak terkejut. Ia menyuruh 
kedua orang itu menghadap lagi sesudah   beristirahat. 
Belakangan pada hari itu, patih ronggolawe   memanggil  
  
para utusan dan beberapa resi nya untuk mengada-
kan rapat. 
Sambil menunjuk peta daerah  itu, keraton  
berkata, "Ketujuh benteng kota musuh terletak di sini, di 
sini, dan di sini." 
patih ronggolawe  mengalihkan pandangannya dari peta 
dan meregangkan tubuh, seakan-akan merasa lelah. 
Sebelumnya ia sudah  menerima kabar kemenangan 
aidit  di Kai. saat  membandingkan keber-
hasilan junjungannya yang begitu mudah tercapai 
dengan kesulitan-kcsulitan yang dihadapinya, ia ber-
harap keberuntungannya akan membaik. Ia segera 
mengirim surat pada aidit , untuk memberi 
selamat dan menjelaskan upaya-upaya yang ditempuh-
nya, dan untuk memberitahukan bahwa ia sudah  
membatalkan niatnya untuk membujuk raden panji  
wirodirgo  agar menyerah. 
 
Sekitar pertengahan Bulan Ketiga, kedua puluh ribu 
prajurit yang sudah  siaga di mendutrejo tiba di tanah pajajaran, 
dan marga Ukita mengirim sepuluh ribu orang lagi. 
Jadi, dengan centeng  berkekuatan tiga puluh ribu 
orang, patih ronggolawe  pelan-pelan bergerak memasuki 
pengandaran . Namun, saat  mereka  baru maju kira-kira 
tiga mil, ia sudah menghentikan centeng  dan me-
nunggu  laporan para pengintai; sesudah  enam mil 
lagi, ia kembali berhenti dan melakukan pengintaian. 
Semua prajurit sudah mengetahui kemenangan 
gemilang di Kai, jadi banyak yang dibuat frustrasi 
  
oleh sikap patih ronggolawe   yang amat berhati-hati ini. 
Beberapa orang bahkan sesumbar bahwa benteng kota 
vredenburg  dan benteng kota-benteng kota lain yang lebih kecil 
dapat direbut dengan satu serbuan saja. 
Namun, sesudah  mengetahui kondisi medan dan  
posisi-posisi musuh, mereka terpaksa mengakui 
bahwa memang sukar meraih kemenangan cepat. 
patih ronggolawe  mendirikan perkemahan pertama di 
Bukit Ryuo, sebuah dataran tinggi jauh di sebelah 
utara benteng kota vredenburg . Dari sana ia bisa melihat  
langsung ke dalam benteng kota. Dalam sekejap ia sudah  
mempelajari medan dan hubungan antara ketujuh 
benteng kota musuh. Ia juga dapat menyerbu  pergerakan 
centeng  dari markas besar pihak patih, sehingga 
setiap pengiriman bala bantuan takkan luput dari per-
hatiannya. 
patih ronggolawe  mengawal i operasi dengan merebut  
benteng kota-benteng kota yang lebih kecil satu per satu, sampai 
hanya vredenburg  yang tersisa. Prihatin sebab   
perkembangan tidak menguntungkan ini, wirodirgo   
berutang kali mengirim pesan kepada marga patih, 
memohon bantuan. Kurir demi kurir diutus, masing-
masing dengan membawa   permohonan yang semakin 
mendesak, namun  keadaan tidak memungkinkan pihak 
patih melancarkan serangan balasan. Mereka  memer-
lukan waktu beberapa dongeng gu untuk mengerahkan 
centeng -centeng  berkekuatan empat puluh ribu 
orang dan menuju benteng kota vredenburg . Satu-satunya 
yang dapat mereka lakukan hanyalah membesarkan 
  
hati wirodirgo  agar terus bertahan, dan mepercaya-
kannya bahwa bala bantuan sedang dalam perjalanan. 
lalu  segala komunikasi antara benteng kota itu dan 
para sckutunya terputus. 
Pada hari kedua puluh tujuh di Bulan Kccmpat. 
patih ronggolawe  memulai pengepungan benteng kota Taka-
grindana. namun  kelima belas ribu prajurit di markasnya 
di Bukit Ryuo tidak bergerak. patih ronggolawe  menempat-
kan lima ribu orang di daerah tinggi di Hirayama, 
sementara kesepuluh ribu prajurit dari marga Ukita 
disiagakan di Gunung aryadwinata . 
Para resi   patih ronggolawe  mengambil posisi di 
belakang centeng  Ukita. Susunan centeng nya 
mirip  susunan awal  pada papan go, dan penem-
patan para pengikutnya di belakang centeng  Ukita, 
yang belum lama berselang masih bersekutu dengan 
marga patih, merupakan tindakan berjaga-jaga. 
Sejak hari pertama sudah  terjadi pertempuran-
pertempuran kecil di antara barisan depan kedua 
centeng . Kursinuhun  keraton , yang baru kembali sesudah   
memeriksa garis depan, menghadap patih ronggolawe  dan 
melaporkan bentrokan berdarah di hari pertama. 
"Dalam pertempuran tadi pagi," keraton  mulai 
berkata. "korban di pihak centeng  Yang Mulia Ukita 
berjumlah lebih dari lima ratus orang, sementara 
musuh kehilangan tak lebih dari seratus orang. 
9 puluh prajurit musuh tewas, dan dua puluh 
ditawa n, namun  hanya sebab   mereka  cedera berat." 
"Mcmang sudah bisa diduga," ujar patih ronggolawe . 
  
"benteng kota ini takkan bertekuk lutut tanpa per-
tumpahan darah. namun  kelihatannya orang-orang 
Ukita bertempur dengan gagah." 
Kesetiaan centeng  Ukita sudah  diuji, dan mereka  
lulus. 
 

 
Pada Bulan Kelima, cuaca berubah cerah dan kering. 
centeng  Ukita, yang kehilangan banyak orang di awal  
peperangan, menggali parit perlindungan di muka 
tembok benteng kota. Mereka  bekerja selama lima malam, 
dilindungi oleh kegelapan. Begitu parit itu  
rampung, mereka  kembali melancarkan serangan. 
saat  centeng  penjaga benteng kota melihat para 
prajurit Ukita sudah maju sampai ke gerbang dan 
tembok sebelah luar, mereka tak henti-hentinya men-
cerca. Tak sukar membayangkan kemarahan yang 
mereka rasakan terhadap orang-orang yang semula 
bersekutu dengan mereka, namun  kini bertempur 
sebagai barisan depan patih ronggolawe . Begitu memperoleh 
kesempatan, centeng  wirodirgo  membuka gerbang 
dan menyerbu keluar. 
"Serang belatung-belatung ini!" mereka  memekik. 
"Bunuh semuanya!" 
centeng adipati  melawan  centeng adipati , prajurit melawan  
centeng adipati , mereka  bergulat dan saling hantam. Kepala-
kepala dipenggal dan diacung-acungkan, dan mereka  
bertempur dengan kegarangan yang jarang terlihat di 
  
medan perang. 
"Mundur! Mundur!" para resi  Ukita tiba-tiba 
berseru di tengah-tengah awan  asap dan debu. 
Sambil mendelik ke arah centeng  Ukita yang ber-
gerak mundur, para penjaga benteng kota terbawa   emosi 
hendak menginjak-injak musuh. Mereka mulai 
mengejar sambil berseru, "Tumpas mereka!" dan 
"jangan berhenti sebelum panji-panji mereka ada di 
tangan kita!" 
Komandan barisan depan terlambat melihat  parit 
perlindungan yang membentang di hadapan anak 
buahnya. Melihat perangkap yang menghadang, ia 
berusaha menghentikan mereka, namun  mereka terus 
maju, tanpa menyadari bahaya yang mengancam. 
Sesaat  terdengar letusan senapan dan asap mesiu 
menggumpal-gumpal dari parit. Para penyerang ter-
huyung-huyung, berjatuhan. 
"Mereka pasang perangkap! Jangan masuk 
perangkap musuh! Tiarap! Tiarap!" si komandan ber-
seru. "Biarkan mereka menembak! Tunggu sampai 
mereka harus mengisi senapan, lalu sergap mereka!" 
Sambil melepaskan teriakan perang yang menegak-
kan bulu roma, beberapa orang mengorbankan diri; 
mereka bangkit untuk memancing tembakan musuh 
dan dihujani peluru. Sambil menaksir selang waktu 
sebelum berondongan berikut, yang lainnya berlarian 
ke parit dan melompat ke dalamnya. Dalam sekejap 
tanah sudah  merah sebab   darah. 
Malam itu hujan mulai turun. Panji-panji dan 
  
petak-petak bernilai di Bukit Ryuo basah kuyup. 
patih ronggolawe  berlindung di sebuah pondok dan meng-
amati awan -awan  musim hujan. Tampangnya tidak 
gembira. 
Ia memandang berkeliling dan berseru pada 
seorang pengikut, "Toranosuke, suara hujankah itu 
atau bunyi langkah seseorang? Coba kauperiksa." 
Toranosuke keluar, namun  segera masuk lagi dan 
melaporkan. "Yang Mulia keraton  baru kembali dari 
medan laga. Dalam perjalanan ke sini, salah satu 
pengusung tandunya terpeleset di jalan setapak yang 
curam, dan Yang Mulia keraton  terjatuh. Beliau 
terpaksa digotong. Yang Mulia keraton  hanya tertawa , 
seolah-olah merasa geli." 
Mengapa keraton  berada di garis depan saat hujan 
seperti ini? Seperti biasa, patih ronggolawe  terkesan oleh 
semangat keraton  yang tak kenal lelah. 
Toranosuke menyingkir ke ruangan sebelah dan 
meletakkan kayu bakar ke dalam tungku. Seiring 
datangnya hujan, nyamuk mulai menetas. Serangga-
serangga itu sangat mengganggu, terutama pada 
malam hari. Api di tungku menambah suasana 
pengap, namun  paling tidak juga mengusir gerombolan  
nyamuk. 
"Banyak sekali asap di sini," ujar keraton , terbatuk-
batuk. Terpincang-pincang ia melewati para pelayan 
dan memasuki ruangan patih ronggolawe  tanpa memberi-
tahukan kedatangannya. 
Tak lama lalu  ia dan patih ronggolawe   sudah asyik 
  
bercakap-cakap. Suara mereka seakan-akan saling ber-
saing. 
"Kurasa ini takkan mudah," kata patih ronggolawe  . 
patih ronggolawe  dan keraton  terdiam sejenak mendengar-
kan hujan membentur atap pondok darurat itu. 
"Ini hanya masalah waktu," ujar keraton . "Serangan 
habis-habisan kedua mengandung risiko besar. 
Namun di pihak lain, jika kita membiarkan 
pengepungan berlangsung berkepanjangan, itu pun 
tidak bebas dari bahaya. Keempat puluh ribu prajurit 
patih mungkin tiba di sini dan menyerang kita dari 
belakang, dan kalau begitu, kita akan terjepit di 
antara mereka dan orang-orang di dalam benteng kota 
vredenburg ." 
"Inilah yang mengusik pikiranku di musim hujan 
ini. Apakah kau tidak punya ide yang baik, keraton ?" 
"Selama dua hari terakhir hamba menyusun garis 
depan, mengamati posisi benteng kota musuh dan kondisi 
medan sekitarnya. Saat ini hamba hanya punya satu 
rencana yang dapat kita pakai untuk mempertaruh-
kan semuanya." 
"Penaklukan benteng kota vredenburg  bukan masalah 
penaklukan satu benteng kota musuh semata-mata." 
patih ronggolawe  berkata. "Jika benteng kota itu berhasil kita 
rebut, tak lama lalu  benteng kota Yosdwikerto  akan 
menyusul. namun  kalau kita sampai tersandung di sini, 
jerih payah kita selama lima tahun akan sia-sia. Kita 
perlu rencana, keraton . Orang-orang di ruang sebelah  
sudah kusuruh menyingkir, jadi kau bisa bicara 
  
dengan bebas. Aku ingin tahu apa yang kaupikirkan." 
"Tak sepatutnya hamba berkata begini, namun  rasanya 
tuanku juga harus menyusun rencana." 
"Aku tidak membantahnya." 
"Bolehkah hamba menanyakan rencana tuanku 
lebih dahulu ?" 
"Bagaimana kalau kita tuliskan saja?" patih ronggolawe   
mengusulkan, lalu mengambil kertas, kuas, dan tinta. 
sesudah  selesai, keduanya bertukar lembaran kertas. 
patih ronggolawe  menuliskan satu kata, "air", dan keraton  
menuliskan dua kata, "serangan air". 
Sambil tertawa  keras-kcras, keduanya meremas-
remas kertas di tangan masing-masing dan menyelip-
kannya ke dalam lengan jubah . 
"Kecerdasan manusia rupanya tidak melewati 
batas-batas tertentu," patih ronggolawe   berkomentar. 
"Itu benar," ujar keraton . "benteng kota vredenburg  
terletak di sebuah dataran yang dikelilingi gunung-
gunung. Selain itu, Sungai Ashipatih dan tujuh sungai 
lain membelah dataran itu . Mestinya tidak sukar 
membelokkan aliran sungai-sungai itu dan mem-
banjiri benteng kota. Ini rencana berani yang mungkin 
bahkan tak terpikir oleh kebanyakan resi . Hamba 
kagum betapa ceparnya tuanku memahami situasi 
yang kita hadapi. namun  mengapa tuanku ragu-ragu 
untuk bertindak?" 
"Hmm, sejak zaman dahulu  sudah banyak contoh 
mengenai serangan api yang berhasil menaklukkan 
benteng kota musuh, namun  hampir tak pernah ada serangan 
  
dengan memanfaatkan air." 
"Rasanya hal seperti ini disinggung dalam catatan 
sejarah militer mengenai Dinasti Han dan mengenai 
masa Tiga Kerajaan. Dalam salah satu catatan, hamba 
membaca sesuatu tentang negeri kita sendiri selama  
masa pemerintahan Kaisar Tenchi. saat  majapahit  
diserbu centeng  kedhiri , prajurit-prajurit kita men-
dirikan tanggul untuk menyimpan air. Dan pada 
waktu orang-orang kedhiri  menyerang, para prajurit 
majapahit  diperintahkan mcnjebol semua tanggul agar 
musuh tersapu air bah." 
"Memang, namun  rencana itu akhirnya tidak jadi 
dilaksanakan, sebab  centeng  kedhiri  lebih dahulu  ber-
gerak mundur. Jika kita melaksanakan rencana kita 
ini, aku akan memakai  strategi yang belum 
pernah dicoba. Jadi, aku harus menyuruh beberapa  
orang yang memahami geografi untuk menentukan 
apa saja yang dibutuhkan, baik dari segi waktu, biaya, 
dan tenaga." 
Yang diinginkan patih ronggolawe  bukan sekadar perkira-
an kasar, melainkan angka-angka yang tepat dan  
rencana tanpa cela. 
"Tentu saja. Salah satu pengikut hamba sangat 
pikertoarjo i dalam hal-hal seperti ini, dan jika tuanku 
meyuruhnya segera menghadap, hamba percaya dia 
dapat memberikan jawaban pasti yang jelas sekarang juga. 
sebetulnya , strategi  yang hamba susun didasarkan 
atas gagasan orang ini." 
"Siapa dia?" tanya patih ronggolawe . 
  
"Yosdwikerto  Rokuro," balas keraton . 
"Hmm, suruh dia ke sini." lalu  patih ronggolawe  
menambahkan. "Aku juga punya orang yang 
mengujawa  bidang konstruksi dan memahami kondisi 
medan. Bagaimana kalau dia kita panggil juga supaya 
bisa bicara langsung dengan Rokuro?"  
"Hamba setuju. Siapakah dia?" 
"Dia bukan pengikutku, melainkan centeng adipati  dari 
pengandaran . Namanya Senbara Kyuemon. Dia ada di sini 
sekarang, dan dia khusus kutugaskan membuat peta 
daerah ini." 
patih ronggolawe  bertepuk tangan untuk memanggil  
pelayan, namun  rupanya semua pembantu pribadi dan 
pelayan menyingkir agak jauh, dan bunyi tepuk 
tangannya tidak sampai ke tempat mereka. Suara 
hujan membuatnya semakin tidak terdengar. Hide-
yoshi berdiri, melangkah ke ruang sebelah dan ber-
seru dengan nada yang lebih pantas dipakai  di 
medan tempur. "Hei! Apa tidak ada siapa-siapa di 
sini?" 
 
Begitu diputuskan untuk melancarkan serangan air, 
perkemahan utama di Bukit Ryuo dipandang tidak 
memadai lagi. Pada hari ketujuh di Bulan Kelima, 
patih ronggolawe   pindah ke Bukit Ishii, yang dipilih sebab   
dari sana orang dapat langsung memandang ke dalam 
benteng kota vredenburg . 
Keesokan harinya patih ronggolawe  berkata. "Mari kita 
mulai mengukur jarak-jarak." 
  
patih ronggolawe , ditambah   sekitar setengah  lusin resi , 
berkuda ke sebelah barat benteng kota vredenburg , ke 
Monzen, di tepi Sungai Ashipatih. Selama perjalanan, 
pandangannya terus melekat pada benteng kota di sebelah  
kanannya. Sambil mengusap keringat dari wajah, 
patih ronggolawe   memanggil  Kyuemon. "Berapa jarak dari 
punggung Bukit Ishii ke Monzen?" ia bertanya. 
"Kurang dari tiga mil," jawab  Kyuemon. 
"Coba kulihat petamu." 
patih ronggolawe  mengambil peta dari Kyuemon, lalu 
membandingkan rencana pembangunan tanggul de-
ngan kondisi medan. Di tiga sisi ada gunung-
gunung, membentuk format mirip  teluk alami, 
di sebelah  barat membentang dari Kibi sampai ke 
gunung-gunung di daerah hulu Sungai Ashipatih; di 
utara dari Bukit Ryuo ke pegunungan di sepanjang 
perbatasan tanah pajajaran; di timur sampai ke sisi Bukit 
Ishii dan Kkertoarjo zugahana. benteng kota vredenburg  terletak  
tepat di tengah-tengah dataran terbuka ini. 
patih ronggolawe   mengembalikan peta pada Kyuemon. Ia 
mepercayai kelayakan proyek ini. Sekali lagi ia menaiki 
kudanya. "Mari berangkat," ia berseru kepada para 
pembantunya, lalu berkata pada Rokuro dan 
Kyuemon, "aku akan berkuda dari sini ke Bukit Ishii. 
Tentukan ukuran tanggul dengan mengikuti jejak 
kudaku." 
patih ronggolawe  mengarahkan kudanya ke timur dan 
langsung memacunya, menempuh garis lurus dari 
Monzen ke Harakoza. lalu mengambil jalan melingkar 
  
dari sana ke Bukit Ishii. Kyuemon dan Rokuro berlari 
mengikutinya, meninggalkan jejak tepung beras. 
Mereka disusul rombongan pekerja yang menancap-
kan pasak untuk menandai garis tanggul. 
Pada waktu garis itu berubah menjadi tanggul, 
seluruh daerah itu akan menjadi danau besar ber-
bentuk daun lotus yang setengah  terbuka. saat  
orang-orang mengamati medan yang membentuk 
perbatasan antara Bizen dan pengandaran , mereka  me-
nyadari bahwa di masa silam wilayah itu pernah 
menjadi bagian dari laut. Perang sudah  dimulai. 
Bukan perang berdarah, melainkan perang melawan  
bumi. 
Tanggul itu akan membentang sejauh tiga mil; 
lebarnya sepuluh meter di puncaknya dan dua puluh 
meter di dasarnya. Yang menjadi masalah adalah 
tingginya yang harus proporsional dengan tinggi 
tembok benteng kota vredenburg , yang merupakan sasaran 
serangan air. 
Faktor utama yang menjamin keberhasilan 
serangan air itu adalah kenyataan bahwa tembok luar 
benteng kota itu  hanya setinggi empat meter. sebab   
itu, tinggi tanggul sebesar 9 meter merupakan 
hasil perhitungan atas dasar empat meter. Jika air 
naik sampai ketinggian itu, bukan tembok luar saja 
yang akan terbenam, melainkan seluruh benteng kota 
akan tertutup air setinggi dua meter. 
Namun jarang sekali sebuah proyek berhasil di-
rampungkan mendahului jadwal yang sudah  disusun. 
  
Dan masalah yang begitu mengusik keraton  adalah 
masalah tenaga kerja, terpaksa mengandalkan para 
pectani setempat. namun  penduduk di desa-desa sekitar 
tinggal sedikit. wirodirgo  sudah  menampung lebih 
dari lima ratus keluarga petani sebelum pengepungan 
dimulai, dan banyak lagi yang melarikan diri ke 
gunung. 
Para petani yang mengungsi ke benteng kota sudah  ber-
tekad hidup atau mati bersama junjungan mereka. 
Mereka orang baik, bersahaja, dan sudah  bertahun-
tahun mengabdi pada wirodirgo . Banyak di antara 
mereka  yang memilih tinggal di desa-desa merupakan 
orang berwatak buruk, atau orang yang mencari 
kesempatan dan bersedia bekerja di medan perang. 
patih ronggolawe  juga dapat mengandalkan bantuan 
Ukita Naoie, dan keraton  sanggup mengerahkan 
beberapa ribu orang dari tanah pajajaran. Namun yang 
mengganggu pikirannya bukanlah mengumpulkan 
orang sebanyak itu; masalahnya adalah bagaimana 
caranya memanfaatkan mereka  seefisien mungkin. 
Suatu saat , pada waktu melakukan inspeksi, ia 
memanggil Rokuro dan minta laporan mengenai 
kemajuan yang sudah  dicapai. 
"Hamba sangat menyesal, namun  ada kemungkinan 
kami tidak dapat menepati jadwal yang ditentukan 
Yang Mulia," Rokuro membalas dengan sedih. 
Bahkan orang secermat Rokuro pun tak mengerti 
bagaimana membuat para buruh dan bajingan mau 
bekerja keras. Untuk ini, di sepanjang tanggul sudah  
  
dibangun pos-pos jaga, berjarak sembilan puluh meter 
satu sama lain, dan di masing-masing pos ditempat-
kan beberapa prajurit yang bertugas memacu para 
pekerja. namun  sebab  prajurit-prajurit ini hanya 
disuruh menyerbu  pembangunan, para pekerja yang 
berjumlah ribuan, yang mengayunkan pacul dan 
memanggul tanah seperti semut, tetap bekerja dengan 
lamban. 
Kecuali itu, jadwal yang ditetapkan patih ronggolawe  
sangat ketat. Siang dan malam ia menerima pesan-
pesan penting. Keempat puluh ribu prajurit patih 
sudah  dipecah menjadi tiga centeng , masing-masing di 
bawah  komando Kikkkertoarjo , Kobayakkertoarjo , dan Teru-
moto, dan mereka  semakin mendekati perbatasan 
provinsi. 
keraton  memperhatikan para pekerja. Lelah sebab   
bekerja siang-malam, beberapa orang nyaris tak 
bergerak sama sekali. Mereka  hanya punya waktu dua 
dongeng gu untuk menuntaskan pembangunan. 
Dua hari. Tiga hari. Lima hari berlalu. 
Dalam hati keraton  mengeluh. Kemajuannya 
begitu lambat, sehingga kita takkan sanggup menye-
lesaikan tanggul ini dalam lima puluh hari, atau 
bahkan seratus hari, apalagi dua dongeng gu. 
Rokuro dan Kyuemon tak sempat memejamkan 
mata. Mereka  terus menyerbu  para pekerja. Namun, 
apa pun yang mereka lakukan, para pekerja tetap 
tidak puas dan besar mulut. Lebih buruk lagi, 
beberapa orang sengaja mengacaukan jadwal pem-
  
bangunan dengan menghasut rekan-rekan mereka  
yang lumayan rajin agar bekerja dengan lambat. 
keraton  tak sanggup melihatlihat nya sambil ber-
pangku tangan. Akhirnya ia sendiri turun ke 
lapangan. Sambil berdiri di atas gundukan tanah 
basah, di salah satu bagian tanggul yang sudah 
rampung, ia memandang  ke bawah  dengan mata 
menyala-nyala, menyerbu  para pekerja . Setiap kali 
menemukan seseorang yang bekerja setengah hati, ia 
bergegas mcnghampiri dengan kecepatan yang tak 
terbayangkan bagi orang cacat, dan menghajar orang 
yang bersangkutan dengan tongkat. 
"Hei, tidak bisakah kau bekerja lebih giat? Kenapa 
kau bermalas-malasan?" 
Para pekerja gemeiar ketakutan dan bekerja 
dengan giat, namun  hanya selama  keraton  menyerbu  
mereka. 
"awas  si Siluman Pincang melihat ke sini lagi!" 
Akhirnya keraton  melaporkan hal itu  pada 
patih ronggolawe . "Pembangunannya tak mungkin selesai 
pada waktunya. Hamba mohon tuanku sudi me-
nyusun suatu strategi untuk menghadapi kemung-
kinan bala bantuan patih tiba pada waktu tanggul 
baru setengah  rampung. Memaksa para buruh untuk 
bekerja lebih sukar dibandingkan  mengatur centeng ." 
Tidak seperti  biasanya. patih ronggolawe  tampak gelisah. 
Sambil membisu ia berhitung memakai  jari. 
Setiap jam ia memperoleh laporan mengenai pergerakan 
centeng  patih. 
  
"Jangan purus asa, keraton . Kita masih punya tujuh 
hari lagi. 
"Kurang dari sepertiga yang sudah rampung. 
Bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan 
tanggul dalam waktu yang masih terstsa?" 
"Pasti bisa." Untuk pertama kali ucapan patih ronggolawe  
berlawan an dengan ucapan keraton , "Kita pasti bisa 
menyelesaikannya. namun  tidak kalau ke50000 
pekerja kita hanya mengerahkan tenaga 50000 
orang. Kalau setiap orang bekerja seperti tiga atau 
bahkan lima orang, kita punya tenaga sepuluh ribu 
orang. Kalau para centeng adipati  yang menyerbu  mereka  
bertindak dengan cara yang sama, satu orang dapat 
mengerahkan semangat sepuluh orang, dan kita dapat 
mencapai apa saja yang kita inginkan. keraton , aku 
sendiri akan pergi ke lapangan." 
Keesokan paginya, seorang petugas berjubah 
kuning berkeliling di tempat pembangunan, me-
merintahkan para buruh agar berhenti bekerja dan 
menyuruh mereka berkumpul di sekeliling bendera 
yang dipasang di atas tanggul. 
Para pekerja yang bertugas malam dan kini hendak 
pulang, dan  orang-orang yang baru datang, semuanya 
mengikuti mandor masing-masing. saat  ke50000 
pekerja itu berkumpul, rasanya sukar untuk mem-
bedakan warna tanah dari warna kulit mereka . 
Mereka maju dengan gelisah, namun mereka tetap 
bersikap angkuh, terus berkelakar dan berolok-olok. 
Tiba-tiba semuanya terdiam saat  patih ronggolawe   
  
menuju kursi yang berada di samping bendera. Para 
pelayan dan pengikutnya berada di kedua sisinya. Si 
Siluman Pincang, yang setiap hari menjadi sasaran 
kebencian para buruh, berdiri di samping, bertumpu 
pada tongkatnya. Ia berbicara pada mereka  dari atas 
tanggul. 
"Hari ini Yang Mulia patih ronggolawe  berkeinginan men-
dengar keluhan-keluhan kalian. Seperti kalian 
ketahui, waktu yang disediakan untuk membangun 
tanggul ini sudah habis setengahnya, namun  pem-
bangunannya terlalu lamban. Yang Mulia patih ronggolawe   
berpendapat bahwa salah satu sebabnya adalah 
sebab   kalian tidak bekerja dengan sungguh-
sungguh. Beliau menyuruh kalian berkumpul di sini 
agar kalian dapat menjelaskan secara terus terang apa 
yang membuat kalian tidak puas, dan apa yang kalian 
kehendaki." 
keraton  berhenti sejenak dan menatap para 
pekerja. Di sana-sini ia melihat orang saling berbisik-
bisik. 
"Para mandor tentu memahami perasaan anak 
buah mereka. Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk 
mengemukakan keluhan kalian pada Yang Mulia. 
Kuminta lima atau enam orang naik ke sini sebagai  
wakil untuk menyampaikan keinginan kalian. Setiap 
tuntutan yang memang beralasan pasti akan men-
dapat tanggapan." 
Menyusul ucapan keraton , seorang laki-laki 
jangkung, bertelanjang dada, dan dengan ekspresi 
  
membangkang, melangkah maju. Penuh nafsu ia naik 
ke atas tanggul, seakan-akan hendak dianggap 
pahlawan  oleh rekan-rekannya. Melihat ini, tiga atau 
empat pekerja menyusulnya. 
"Hanya ini wakil kalian?" tanya keraton . 
saat  menghampiri tempat duduk patih ronggolawe , 
mereka  masing-masing berlutut di tanah. 
"Kalian tidak perlu berlutut." ujar keraton . "Yang 
Mulia patih ronggolawe  sudah  bermurah hati dengan mem-
beri keecmpatan untuk menjelaskan ketidakpuasan 
yang kalian rasakan. Kini kalian menghadap beliau 
sebagai wakil semua pekerja, jadi bicaralah terus 
terang. Apakah pembangunan tanggul ini bisa selesai 
pada waktunya, tergantung pada kalian. Kami minta 
kalian memberitahukan alasan ketidakpuasan yang 
kalian sembunyikan sampai sekarang. Kita mulai dari 
orang yang datang pertama. Bicaralah." Suara keraton  
bernada mendamaikan. 
saat  keraton  untuk kedua kali mendesak agar 
mereka berterus terang, salah satu dari kelima wakil 
pekerja angkat bicara. 
"Hmm. Baiklah, namun  jangan gusar kalau ucapan 
hamba tidak berkenan di hati Tuan. Pertama-tama... 
ehm, begini... tolong dengarkan ini..." 
"Bicaralah!" 
"Begini, kami diberi satu kilo beras dan seratus 
mon untuk setiap kantong pasir yang kami angkut. 
dan sebetulnya  kami semua beberapa ribu orang 
miskin bersyukur bahwa kami dipekerjakan. namun , 
  
ehm, kami semua termasuk hamba merasa waswas 
bahwa janji Tuan akan ditarik kembali sebab  bagai-
manapun, kami hanya buruh kasar." 
"Hah," balas keraton . "atas dasar apa kalian men-
curigai seseorang dengan reputasi seperti Yang Mulia 
patih ronggolawe ? Setiap kali kalian mengangkat kantong 
plastik, kalian diberi sepotong bambu bercap yang 
pada malam hari dapat kalian tukarkan dengan upah 
kalian, bukan?" 
"Benar, Yang Mulia, kami memang diberi 
potongan bambu, namun  kami hanya memperoleh satu 
sho beras dan seratus mon, biarpun kami sudah  
mengangkat sepuluh atau dua puluh karung. Sisanya 
berupa tanda utang dan kupon jatah beras." 
"Itu betul." 
"Inilah yang meresahkan kami, Yang Mulia. Upah 
kami sebetulnya  memadai jika dibayar tunai, namun  
kalau seperti  sekarang, buruh harian seperti  hamba 
tak mampu menghidupi anak-istri." 
"Bukankah satu sho beras dan seratus mon jauh 
lebih tinggi danpada pendapatan kalian biasanya?" 
"Hamba mohon Yang Mulia jangan bergurau. 
Kami bukan kuda atau badak , dan jika kami mem-
banting tulang seperti  ini selama  satu tahun, kami 
takkan pernah bisa bekerja lagi. namun  baiklah, kami 
sudah sepakat mengikuti perintah Yang Mulia, dan 
kami sudah  bekerja siang-malam. Nah, kami tidak 
keberatan melakukan pekerjaan yang tak masuk akal, 
asal keinginan kami pun dipenuhi. Kami ingin bisa 
  
menikmati anggur  seusai bekerja, melunasi utang-utang, 
dan membelikan baju baru untuk istri. namun  kalau 
kami dibayar dengan janji, kami tak dapat terus-
menerus bekerja dengan sepenuh hati." 
"Hmm, kalian benar-benar sukar dimengerti. 
centeng  Yang Mulia patih ronggolawe  berprinsip untuk 
selalu berbuat baik, dan sejauh ini belum pernah 
melakukan tindakan lalim. Apa sebetulnya  yang 
kalian keluhkan?" 
Kelima pekerja tertawa  sinis. Salah satu dari 
mereka  berkata. "Yang Mulia. kami tidak mengeluh. 
Kami hanya menuntut apa yang menjadi hak kami. 
Kami tak bisa mengisi perut dengan kertas bekas dan 
kupon beras. Dan yang lebih penting lagi, siapa yang 
akan menukarkan kertas bekas itu dengan uang 
sesudah   Yang Mulia patih ronggolawe  kalah?" 
"Kalau itu masalahnya, kalian tak perlu  gelisah khawatir ." 
"Ah, tunggu dahulu . Yang Mulia percaya akan meraih 
kemenangan, dan Yang Mulia dan  semua resi   
mempertaruhkan nyawa   untuk itu, namun  hamba 
enggan memasang uang untuk taruhan seperti itu. 
Hei, semuanya! Betul, tidak?" 
Ia mengayun-ayunkan tangan di atas tanggul, 
menanyakan pendapat para pekerja. Sesaat  ter-
dengar seruan membahana, dan gelombang kepala 
orang terlihat bergerak naik-turun, sejauh mata me-
mandang. 
"Hanya ini keluhan kalian?" tanya keraton .  
"Ya. Itulah yang ingin kami selesaikan pertama-
  
tama," jawab  pekerja tadi. Ia memandang  kerumunan 
massa, mencari dukungan, namun  tidak memperlihatkan 
rasa takut sama sekali.     
"Enak saja!" Untuk pertama kali keraton  melepas-
kan topengnya. Langsung saja ia mencampakkan 
tongkatnya, menghunus pedang, dan membelah 
orang itu. lalu  ia cepat-cepat beralih pada 
orang lain yang berusaha melarikan diri, dan 
membunuhnya. Secara bersamaan, Rokuro dan 
Kyuemon yang berdiri di belakang keraton  meng-
gunakan pedang masing-masing untuk menghabisi 
ketiga orang lainnya. 
Dengan cara ini, keraton , Kyuemon, dan  Rokuro 
membagi tugas dan menewaskan kelima orang itu 
secepat kilat menyambar. 
Terkejut oleh tindakan yang tak disangka-sangka 
ini, para pekerja menjadi diam seperti rumput di 
tengah kuburan. Tak ada lagi yang menyuarakan 
ketidakpuasan. Wajah-wajah lancang, menantang, tak 
terlihat lagi. Yang tersisa hanyalah wajah-wajah pucat, 
gemetar sebab   ngeri. 
Sambil mengangkangi kelima mayat itu, ketiga 
centeng adipati  melotot ke arah para pekerja. 
Akhirnya keraton  berseru dengan garang. "Kelima 
orang ini yang mewakili kalian kami menyuruh 
mereka  naik ke sini, mendengarkan keluhan mereka  
dan memberikan jawaban pasti yang teramat jelas. namun  
mungkin masih ada lagi yang ingin mengatakan 
sesuatu." Ia terdiam, menunggu seseorang angkat 
  
bicara. "Tentu ada seseorang di bawah  sana yang 
ingin naik ke atas tanggul. Siapa berikutnya? Kalau 
ada seseorang yang hendak bicara atas nama kalian 
semua, sekaranglah waktunya!" 
keraton  berhenti sejenak, memberikan kesempatan 
berpikir pada orang-orang yang berdiri di bawah . Di 
antara kepala-kepala yang tak terhitung banyaknya itu 
ada beberapa yang roman mukanya berubah dari 
ngeri ke menyesal. keraton  menghapus darah dari 
pedang dan mengembalikannya ke dalam sarungnya. 
Dengan sikap lebih lembut, ia lalu menguliahi para 
pekerja. 
"Rupanya tak ada yang mau menyusul kelima 
orang tadi, jadi kurasa maksud kalian berbeda dengan 
mereka. Kalau dugaanku benar, sekarang giliranku 
berbicara. Ada yang keberatan?" 
jawaban pasti para pekerja bernada lega, seakan-akan 
mereka baru saja diselamatkan dari kematian. Tak 
ada yang keberatan. Tak ada yang berniat mengeluh. 
Orang-orang yang tadi tampil ke depanlah yang 
bertanggung jawab  atas segala keterlambatan. Yang 
lain akan mengikuti perintah dan bekerja. Namun, 
apakah patih ronggolawe  akan mengampuni mereka? 
Ke50000 orang itu berbicara kian kemari, ada 
yang berbisik, ada pula yang berseru-seru, sehingga  
sukar untuk memastikan siapa mengatakan apa. namun  
mereka  semua  merasakan hal yang sama. 
"Tenang!" keraton  melambaikan tangan untuk 
mengendalikan mereka. "Baiklah. Inilah yang ku-
  
anggap paling tepat. Aku takkan menyampaikan 
sesuatu yang rumit, namun  pada dasarnya paling baik 
kalau kalian bekerja dengan gembira dan cepat  ber-
sama istri dan anak-anak kalian di bawah  ke-
pemimpinan Yang Mulia. Jika kalian bermalas-
malasan atau serakah, kalian hanya akan menunda 
hari yang kalian nanti-nantikan. centeng  yang di-
kirim oleh Yang Mulia aidit  takkan dikalahkan 
oleh orang-orang patih. Tak pengaruh betapa  besar-
nya provinsi yang dikujawa  marga patih, provinsi itu 
sudah  ditakdirkan runtuh. Ini bukan sebab  marga 
patih lemah, melainkan sebab  perubahan zaman. 
Mengertikah kalian?"  
"Ya," para buruh menjawab  serempak.  
"Baiklah, kalau begitu. Apakah kalian akan 
bekerja?"  
"Kami akan bekerja. Kami akan bekerja dengan 
sungguh-sungguh!"  
"Bagus!" keraton  mengangguk tegas dan berpaling 
pada patih ronggolawe . "Tuanku, tuanku sudah mendengar 
jawaban pasti para pekerja. Sudikah tuanku memperlihat-
kan kemurahan hati untuk kali ini?" Ia hampir 
memohon-mohon untuk mereka . 
patih ronggolawe   bangkit. Ia memberikan perintah pada 
keraton  dan dua petugas yang berlutut di hadapannya. 
Hampir sesaat  beberapa prajurit infanteri men-
dekat. Mereka memanggul sesuatu yang tampak 
seperti  karung uang segunung karung jerami berisi 
uang. 
  
Sambil kembali menghadap ke arah para pekerja  
yang terperangkap dalam ketakutan dan penyesalan. 
keraton  berkata. "Kalian tak patut dipersalahkan. 
Kalian semua  berada dalam situasi yang mengibakan. 
Kalian disesatkan oleh dua atau tiga oknum berniat 
busuk. Itulah keputusan Yang Mulia patih ronggolawe ; dan 
agar tak ada lagi yang membebani pikiran kalian, 
beliau sudah  memerintahkan untuk memberikan 
bonus, agar kalian bekerja lebih giat. Terimalah, 
haturkan terima kasih, lalu segera  kembali  bekerja." 
saat  perintah diberikan kepada para prajurit 
infanteri, semua karung jerami dibuka dan keping-
keping uang berhamburan keluar, hampir menutupi 
bagian atas tanggul. 
"Ambil sebanyak mungkin, lalu berikan kesem-
patan pada yang lain. namun  masing-masing hanya satu 
genggam." 
Ucapannya terdengar lantang, namun para pekerja  
masih ragu-ragu. Mereka saling berbisik-bisik dan 
saling memandang, namun  gunung uang di hadapan 
mereka  tetap di tempat. 
"Siapa cepat, dia dapat! Jangan mengeluh kalau 
kehabisan. Setiap orang boleh  ambil segenggam, jadi 
beruntunglah orang yang dilahirkan dengan tangan 
besar. Dan bagi mereka  yang memiliki tangan kecil, 
jangan biarkan satu keping pun menyelinap lewat 
sela-sela jari. awas  jangan terlalu bernafsu. sesudah   
itu, kembalilah bekerja." 
Kini para pekerja tak lagi diliputi kebimbangan. 
  
saat  melihat senyum pada wajah keraton  dan men-
dengar komentar-komentarnya yang lucu, mereka  
menyadari bahwa ia bersungguh-sungguh. Orang-
orang yang berada di baris terdepan segera  menyerbu  
gunung uang itu. Mereka gemetar sedikit, seolah-olah 
gentar menghadapi uang sebanyak itu, namun  begitu 
orang pertama meraup segenggam dan mundur, 
semuanya bersorak-sorai gembira. Sepintas lalu 
teriakan mereka  mirip  teriakan kemenangan. 
Hampir sesaat  suasana menjadi kacau-balau, 
sehingga keping-keping uang, orang-orang, dan 
gumpalan-gumpalan tanah nyaris tak dapat dibeda-
kan. Namun tak seorang  pun mencoba berbuat  
curang semuanya sudah  menanggalkan segala ke-
licikan dan ketidakpuasan. Dengan segenggam keping 
uang di tangan, mereka  tampak berubah, dan setiap 
orang bergegas ke tempat kerja masing-masing. 
Gema pacul dan sekop yang dipakai  dengan 
sungguh-sungguh terdengar di mana-mana. Sambil 
berseru-seru, para pekerja menimbun tanah, me-
masukkan tiang-tiang kayu ke dalam keranjang-
keranjang jerami, dan memanggul kantong-kantong 
pasir. Keringat yang bercucuran membuat mereka  
semakin gembira dan segar, dan mereka mulai ber-
seru-seru, saling menyemangati. 
"Siapa bilang kita tak sanggup menyelcsaikan 
tanggul ini dalam lima hari? Hei semuanya... kalian 
masih ingat banjir besar dahulu ?" 
"Benar. Pekerjaan ini tak ada artinya dibandingkan 
  
usaha untuk menghalau air bah." 
"Ayo kita kerjakan! Kerahkan segenap kekuatan  
kalian."  
"Aku takkan mau menyerah!" 
Dalam setengah hari saja, lebih banyak pekerjaan 
berhasil diselesaikan dibandingkan  dalam lima hari 
sebelumnya. 
Cemeti para pengawas dan tongkat keraton  tak 
diperlukan lagi. Pada malam hari para pekerja  
menyalakan api unggun, pada siang hari awan  debu 
menyelubungi langit, dan akhirnya pembangunan 
hampir rampung. 
Seiring kemajuan pembangunan tanggul, pekerja-
an mengalihkan ketujuh sungai di sekitar benteng kota 
vredenburg  pun berlanjut. Hampir dua puluh ribu 
orang dikerahkan untuk mengenakan proyek ter-
sebut. Membendung dan mengalirkan air Sungai 
Ashipatih dan Naruya dianggap sebagai  tugas ter-
berat. 
Para petugas yang bertanggung jawab  mem-
bendung Sungai Ashipatih sering mengeluh pada 
patih ronggolawe . "Setiap hari permukaan air terus naik 
akibat hujan deras di pegunungan. Sepertinya tak ada 
cara untuk membendung sungai itu," 
Pada hari sebelumnya. keraton  sempat meninjau 
proyek itu bersama  Rokuro, dan ia memahami 
situasi sulit yang dihadapi regu-regu pekerja. 
"Arusnya begitu deras, sehingga batu yang harus 
didorong dua puluh atau tiga puluh orang pun 
  
langsung hanyut terbawa  ." 
saat  keraton  pun hanya dapat membawa    berita 
buruk, patih ronggolawe  akhirnya pergi ke sungai untuk 
mengamati keadaan sebetulnya . Namun, pada 
waktu ia berdiri  di sana dan melihat arus yang 
demikian kuat, ia sendiri juga habis akal. 
Rokuro menghampirinya dan mengemukakan 
usul, "Kalau pohon-pohon di bagian hulu sungai kita 
tcbang, lalu kita dorong ke dalam sungai berikut 
semua dahan dan daun, arusnya mungkin dapat di-
perlambat sedikit." 
Rencana itu dilaksanakan, dan selama  setengah  
hari. Icbih dari seribu pekerja  sibuk mencbang dan 
mendorong pohon-pohon kc dalam sungai. Namun 
usaha ini pun gagal mcmperlambat arus sungai. 
Kcmudian Rokuro menyampaikan usul berikut-
nya, yaitu menenggelamkan tiga puluh perahu besar 
berisi bongkahan-bongkahan batu di lokasi ben-
dungan. 
namun  menarik perahu-perahu besar menentang arus 
terbukti mustahil, jadi papan-papan kayu dijajarkan 
di darat dan disiram minyak. Lalu dengan susah 
payah ketiga puluh perahu itu dihela ke arah hulu, 
dan sesudah  diisi batu, ditenggelamkan di mulut 
sungai. 
Sementara itu, tanggul raksasa yang membentang 
sejauh tiga mil sudah  berhasil diselcsaikan, dan arus 
Sungai Ashipatih berubah menjadi buih dan percikan 
air saat  dibelokkan kc dataran yang mengelilingi 
  
benteng kota vredenburg . 
Kira-kira pada waktu yang sama, air dari keenam 
sungai lainnya disalurkan ke daerah  itu. Hanya 
proyek pengalihan Sungai Naruya yang ternyata ter-
lalu berat untuk diselesaikan tepat pada waktunya. 
Empat belas hari sudah  berlalu sejak hari ketujuh di 
Bulan Kelima. Seluruh pembangunan berhasil di-
rampungkan dalam dua dongeng gu. 
Pada hari kedua puluh satu Bulan Kelima. 
centeng  patih berkekuatan empat puluh ribu orang, 
di bawah  komando Kikkkertoarjo  dan Kobayakkertoarjo , tiba di 
perbatasan satu hari sesudah  daerah sekitar benteng kota 
vredenburg  diubah menjadi danau berlumpur. 
Pada pagi hari kedua puluh satu, patih ronggolawe  ditambah    
para resi nya berdiri  di markas besar di Bukit Ishii 
dan mengamati hasil karyanya. Apalah dianggap 
sebagai pemandangan gemilang atau tontonan celaka, 
luapan air dibantu oleh hujan yang turun pada 
malam hari memicu  benteng kota vredenburg  ber-
diri terpencil di tengah-tengah sebuah danau. 
Tembok-tembok batu sebelah luar, seluruh hutan, 
jembatan jungkat, atap-atap rumah, seluruh desa, 
ladang-ladang, sawah -sawah , dan jalan-jalan semuanya 
terbenam. dan permukaan air masih terus naik. 
"Di mana Sungai Ashipatih?" 
Menanggapi pertanyaan patih ronggolawe , keraton  me-
nunjuk ke arah serumpun pohon cemara yang ter-
lihat samar-samar di sebelah  barat. 
"Seperti  tuanku lihat sendiri, di sana tanggulnya 
  
terputus sepanjang empat ratus lima puluh meter, 
dan di tempat itulah kami mengalirkan air Sungai 
Ashipatih yang sudah  dibendung." 
Pandangan patih ronggolawe  menyusuri pegunungan di 
kejauhan, yang membentang dari barat ke selatan. Di 
bawah  langit tepat di selatan, ia melihat Gunung 
Hizashi yang terletak di perbatasan. Seiring fajar, 
panji-panji barisan depan centeng  patih muncul di 
gunung itu. 
"Mereka  memang musuh, namun  mau tak mau kita 
bersimpati dengan perasaan Kikkkertoarjo  dan Kobaya-
kkertoarjo  tadi pagi, saat   mereka  tiba dan melihat 
danau. Mereka tentu mengentak-entakkan kaki 
sambil mendongkol," ujar keraton . 
Pada saat itu, putra petugas yang bertanggung 
jawab  atas pekerjaan di Sungai Naruya bersujud di 
hadapan patih ronggolawe . Ia menangis.  
"Ada apa?" tanya patih ronggolawe . 
"Tadi pagi," pemuda itu menjawab , "ayah hamba 
mengaku sudah  bersikap lalai. Dia menuliskan surar 
permintaan maaf ini dan melakukan seppuku." 
Petugas itu  ditugaskan memotong gunung 
sejauh lima ratus meter. Pagi itu masih tersisa 
sembilan puluh meter. Jadi ia tak sanggup menaati 
batas waktu yang sudah  diberikan. sebab  merasa 
bertanggung jawab  atas kcgagalan ini, ia lalu mengor-
bankan nyawan ya sendiri. 
patih ronggolawe  menatap putra orang itu, yang masih 
berlumuran lumpur pada tangan, kaki, dan rambut-
  
nya. Dengan lembut ia memberi isyarat untuk men-
dekat. 
"Jangan ikuti jejak ayahmu dengan melakukan 
seppuku. Berdoalah bagi arwah ayahmu melalui sepak 
terjangmu di medan laga." Ia menepuk-nepuk 
punggung pemuda itu. 
Si pemuda tidak menutup-nutupi tangisnya. Hujan 
pun mulai turun dari awan -awan  tebal yang semakin  
rendah. 
 
Hari kedua puluh dua di Bulan Kelima sudah  berganti 
malam, malam sesudah  centeng  patih mencapai per-
batasan. 
Terselubung kcgelapan, dua orang berenang bagai-
kan ikan, melintasi danau berlumpur dan merayap ke 
atas tanggul. Tak sengaja mereka menyenggol seutas 
tali yang terentang di sepanjang tepi danau dan sudah  
digantungi sejumlah genta dan lonceng. Tali itu 
diikat pada batang-batang bambu dan semak-semak. 
dan sengaja dibuat mirip  batang mkertoarjo r liar 
yang menjalar ke mana-mana. 
Api unggun berkobar-kobar di setiap pos jaga di 
sepanjang tanggul. Para penjaga segera berdatangan 
dan meringkus satu orang, sementara yang satu lagi 
berhasil melarikan diri. 
"Tak ada ditambah  ya apakah dia prajurit dari benteng kota 
atau sedang melaksanakan tugas marga patih. Sebaik-
nya Yang Mulia patih ronggolawe  menginterogasi dengan 
cermat." 
  
Komandan para pengawal  mengirim tawa nan itu 
ke Bukit Ishii. 
"Siapa orang ini?" tanya patih ronggolawe  saat   ia keluar 
ke serambi. 
Beberapa pengikut memegang lentera di kiri-
kanannya, dan ia menatap prajurit musuh yang 
berlutut di bawah  lis atap yang basah sebab  hujan. 
Orang itu berlutut dengan gagah, kedua tangannya 
diikat tali. 
"Orang ini bukan prajurit dari benteng kota. Dia pasti 
kurir marga patih. Apakah dia tidak membawa   se-
suatu?" patih ronggolawe  bertanya pada pengikut yang meng-
giring si tawa nan ke pondoknya. 
Dalam pemeriksaan awal , pengikut itu menemu-
kan botol anggur  berisi sepucuk surat terselip di dalam 
pakaian si tawa nan, dan kini ia meletakkan botol itu 
di hadapan patih ronggolawe  . 
"Hmm... kelihatannya seperti surat balasan dari 
wirodirgo , dialamatkan pada Kikkkertoarjo  dan Kobaya-
kkertoarjo . Coba dekatkan lentera ke sini." 
Bala bantuan yang dikirim marga patih ternyata 
menjadi kecil hati saat  melihat danau yang mem-
bentang sejauh mata memandang. Selama perjalanan 
mereka terus bergegas, namun  kini mereka habis akal, 
tak tahu bagaimana membantu benteng kota yang sudah  
dikelilingi air. Mereka menyarankan agar wirodirgo   
menyerah pada patih ronggolawe , dan dengan demikian 
menyelamatkan nyawa   ribuan orang di dalam 
benteng kota. 
  
Surat yang kini berada di tangan patih ronggolawe   me-
rupakan balasan wirodirgo   terhadap saran itu. 
 
Marga patih tidak melupakan kami di sini, dan ucapan 
Tuan-Tuan penuh kebajikan. Namun benteng kota Taka-
grindana kini menjadi poros provinsi-provinsi Barat, dan 
kekalahan benteng kota ini akan merupakan isyarat kematian 
marga patih. Kami semua sudah  menikmati kemurahan 
hati marga patih sejak zaman Yang Mulia Motonari, 
dan di sini tak ada satu orang pun yang sudi mem-
perpanjang umurnya, biarpun hanya satu hari, dengan 
menjual lagu kemenangan kepada musuh. Kami sudah  
siap menghadapi pengepungan. dan sudah  bertekad gugur 
bersama benteng kota ini. 
 
Dalam suratnya. wirodirgo   malah membesarkan 
hati centeng  bala bantuan. Kurir patih yang ditawa n 
menjawab  setiap pertanyaan patih ronggolawe  dengan sikap 
terus terang yang di luar dugaan. sebab  surat 
wirodirgo   sudah dibaca oleh  musuh, ia rupanya 
sadar bahwa tak ada gunanya menyembunyikan apa 
pun. namun  patih ronggolawe   tidak mengadakan pemeriksaan 
lengkap. Ia enggan mempermalukan seorang  
centeng adipati . Sesuatu yang sia-sia tetap dinilai sia-sia, dan 
patih ronggolawe  membelokkan pikirannya ke arah lain. 
"Kurasa sudah cukup. Lepaskan ikatan orang itu 
dan bebaskan dia." 
"Dia dibebaskan?" 
"Dia berenang melintasi danau bcrlumpur, dan 
sepertinya dia kedinginan. Beri dia makan dan 
  
siapkan surat jalan untuknya, supaya dia tidak 
ditangkap lagi nanti." 
"Baik.,Yang Mulia." 
Si pengikut membuka ikatan tawa nan itu. Sebenar-
nya orang itu sudah bersiap-siap menghadapi ajal, 
sehingga kini ia tampak bingung. Sambil membisu 
dan membungkuk ke arah patih ronggolawe , ia mulai ber-
diri. 
"Yang Mulia Kikkkertoarjo  tentu dalam keadaan sehat-
sehat saja," ujar patih ronggolawe . "Tolong sampaikan salam-
ku padanya." 
Kurir patih itu berlutut dengan sopan. Menyadari 
kebaikan hati patih ronggolawe , ia membungkuk penuh 
hormat. 
"Rasanya juga ada biksu bernama yosobremargo  dalam staf 
lapangan Yang Mulia Terumoto. yosobremargo  dari Ankokuji."  
"Memang benar. Yang Mulia." 
"Sudah lama aku tidak berjumpa dengannya. Aku 
juga ingin menitipkan salam untuknya." 
Begitu si kurir berangkat, patih ronggolawe  berbalik dan 
bertanya pada seorang  pengikut. "Mana surat tadi?" 
"Hamba menyimpannya di tempat aman, tuanku." 
"Surat itu berisi pesan rahasia yang sangat penting. 
bawa  lah surat itu langsung pada Yang Mulia 
aidit ."  
"Hamba takkan membuat  kesalahan." 
"Tak pelak lagi, tekad pengikut marga patih tadi 
tak kalah dengan tekadmu. namun  dia tertangkap, dan 
sepucuk surat berisi rencana wirodirgo   dan Kikkkertoarjo  
  
jatuh ke tanganku. Berhari-hatilah." 
patih ronggolawe  duduk menghadap lentera. Surat yang 
dipercayakannya pada kurir itu guna dibawa   ke 
madukara  mendesak aidit  untuk memimpin 
centeng  ke daerah  Barat. 
Nasib benteng kota vredenburg  mirip  nasib ikan 
yang sudah terjaring. centeng  gabungan patih 
Terumoto, Kobayakkertoarjo  Takakage, dan Kikkkertoarjo  
Motoharu sudah  datang. Sekaranglah saatnya! Penak-
lukan wilayah Barat dapat dituntaskan dengan sekali 
pukul. patih ronggolawe  ingin memperlihatkan tontonan 
akbar ini pada aidit , dan ia percaya kehadiran 
junjungannya akan menjamin kemenangan yang 
penting. 
 
  
"Kepala Jeruk" 
 
 
 
KOTA benteng kota madukara  sudah  menjadi pusat sebuah 
budaya baru. Para warganya, dengan baju ber-
warna-warni, memadati jalan-jalan, dan di atas 
mereka, warna emas dan biru pada donjon di 
benteng kota tampak seperti disulam oleh hijaunya 
daun-daun musim semi. 
Keadaannya sungguh berbeda dengan keadaan 
di daerah Barat. Di Bulan Kelima, sementara 
patih ronggolawe  dan para anak buahnya siang-malam 
membanting tulang di tengah lumpur untuk 
menaklukkan benteng kota vredenburg , jalan-jalan di 
madukara  malah dihiasi, dan suasana di seluruh kota 
teramat semarak, seakan-akan para warga meng-
adakan perayaan Tahun Baru dan perayaan 
Pertengahan Musim Panas secara bersamaan. 
aidit  sedang bersiap-siap menyambut tamu 
agung. namun  siapa yang demikian penting? Para 
warga bertanya-tanya. Orang yang tiba di madukara  
pada hari kelima belas di Bulan Kelima tak lain 
dari Yang Mulia prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  dari dusun nyi kembang . 
Kurang dari satu bulan sebelumnya, arak-arakan 
aidit  sesudah   meraih kemenangan di Kai juga 
melewati provinsi mpu mojosongo , jadi mungkin saja 
aidit  kini sekadar menerima kunjungan 
balasan. namun  kunjungan ini jelas-jelas demi 
  
kepentingan mpu mojosongo . Mereka hidup di zaman yang 
penuh pergolakan, dan hanya si pandir yang 
mengabaikan masa depan. Jadi, walaupun mpu mojosongo  
jarang melakukan  kunjungan resmi ke provinsi-
provinsi lain, ia datang ke madukara , ditambah   
rombongan pengikut yang gemerlapan. 
Penginapan-penginapan terbaik di madukara  di-
sediakan untuknya, dan tribuana  tunggadewa  ber-
tanggung jawab  atas acara penyambutan. Selain 
itu, aidit  sudah  menyuruh putranya, Nobu-
tada, yang sudah hendak bertolak menuju provinsi-
provinsi Barat, membantu menyiapkan jamuan 
makan mewah selama tiga hari. 
Sementara itu orang bertanya-tanya, mengapa 
aidit  memberi sambutan begitu meriah 
untuk mpu mojosongo  yang 9 tahun lebih muda dan 
merupakan penguasa sebuah provinsi yang sampai 
beberapa waktu lalu masih terhitung kecil dan 
lemah. Orang lain membalas bahwa tak ada yang 
aneh. Sudah lebih dari dua puluh tahun per-
sekutuan antara marga sinuhun  dan marga prabu kertoarjowardana   
berlangsung tanpa adanya kecurigaan, persetujuan 
yang dilanggar. maupun pertempuran, dan ini 
merupakan keajaiban di suatu masa yang penuh 
pengkhianatan dan perebutan kekuasaan fesinuhun l. 
Kelompok ketiga berpendapat bahwa alasan di 
balik penyambutan besar-besaran ini tentu bukan 
sekadar menerima kunjungan balasan mpu mojosongo . 
Mereka  mengatakan bahwa pemimpin marga sinuhun  
  
akan mencapai keberhasilan besar di masa men-
datang. Daerah Barat merupakan batu loncatan ke 
pulau paling selatan di majapahit , Kyushu, dan dari 
sana ke pulau-pulau kaya di Laut Selatan. Jika 
aidit  bermaksud menaklukkan pulau-pulau 
itu, ia harus menyerahkan bagian utara majapahit  
pada seseorang yang dapat dipercayainya. 
Sudah beberapa lama aidit  merencanakan 
untuk mengunjungi provinsi-provinsi Barat guna 
menegakkan hukumnya sendiri, seperti yang di-
lakukannya di Kai. Sekarang pun ia tengah sibuk 
dengan persiapan untuk bertolak ke garis depan. 
Meski demikian, ia menunda berbagai pekerjaan 
penting untuk menyambut mpu mojosongo . 
Tentu saja mpu mojosongo  diberi segala yang terbaik di 
madukara , baik dalam hal penginapan, perabot, per-
lengkapan, anggur , maupun makanan. namun  ada dua 
hal yang secara khusus hendak diberikan pada 
mpu mojosongo  oleh  aidit , dua hal yang bisa ditemui 
di rumah-rumah bersahaja rakyat kebanyakan dan 
di sekitar tungku masyarakat pedesaan per-
sahabatan dan kepercayaan. 
Kedua hal inilah yang memicu  per-
sekutuan mereka terus bertahan. Dan mpu mojosongo  sudah  
berulang kali membuktikan diri sebagai sekutu 
yang dapat diandalkan. mpu mojosongo  menyadari bahwa 
kepentingannya sendiri terjalin erat dengan 
kepentingan aidit , walaupun aidit  
kadang-kadang bersikap sewenang-wenang dan 
  
mementingkan diri sendiri. Jadi, meski beberapa 
kali dipaksa menelan pil pahit, ia tetap men-
dukung aidit  dan sudah  bersumpah akan 
mengikutinya sampai saat penghabisan. 
Seandainya orang ketiga yang tidak terlibat 
diminta mengamati persekutuan di antara kedua 
orang itu, lalu diminta menilai siapa yang untung 
dan siapa yang rugi, kemungkinan besar ia akan 
menjawab  bahwa kedua-duanya sama-sama me-
narik  keuntungan. Tanpa persahabatan mpu mojosongo  di 
masa mudanya, saat  ia baru mulai menetapkan 
arah hidupnya, aidit  takkan pernah tiba di 
madukara . Dan seandainya mpu mojosongo  tak pernah me-
nerima  bantuan aidit , Provinsi dusun nyi kembang  yang 
lemah dan kecil tentu takkan sanggup menahan 
tekanan-tekanan dari tetangga-tetangganya. 
Disamping terikat oleh tali persahabatan, kedua 
orang itu juga memiliki watak yang saling mengisi. 
aidit  memiliki  cita-cita yang bahkan tak 
terbayangkan oleh orang yang hati-hati seperti 
mpu mojosongo , dan ia juga dianugerahi kemauan untuk 
mewujudkan cita-citanya itu. mpu mojosongo , aidit  
pun mengakui, memiliki  kelebihan yang tak 
dimilikinya, yakni kesabaran, kerendahan hati, dan 
kesederhanaan. Dan sepertinya mpu mojosongo  tidak me-
nyimpan ambisi pribadi. Ia memperhatikan ke-
pentingan provinsinya sendiri, namun  tak pernah 
membuat  sekutunya merasa waswas. Ia tak pernah 
ragu menghadapi musuh-musuh bersama  mereka, 
  
sebuah benteng kota bisu di belakang aidit . 
Dengan kata lain, dusun nyi kembang  merupakan sekutu 
ideal, dan mpu mojosongo  teman yang dapat diandalkan. 
saat  merenungkan segala kesusahan dan bahaya 
yang mereka hadapi bersama selama dua puluh 
tahun terakhir, aidit  tergerak untuk 
menyebut mpu mojosongo  "kawan  lama yang setia", dan 
menyanjung-nyanjungnya sebagai orang yang 
paling berjasa dalam mewujudkan madukara . 
Pada waktu perayaan berlangsung, mpu mojosongo  me-
nyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas 
perlakuan aidit , namun  sesekali ia merasa bahwa 
ada yang kurang, dan akhirnya ia bertanya pada 
aidit . "Bukankah Tuan tunggadewa  yang ber-
tanggung jawab  atas penyelenggaraan jamuan ini? 
Apa yang terjadi dengannya? Aku sama sekali 
belum melihatnya hari ini, dan pada waktu per-
tunjukan Noh kemarin aku juga tidak melihatnya." 
"Ah, tunggadewa ," jawab  aidit . "Dia sudah 
kembali ke benteng kota sekartanjung . Dia harus be-
rangkat cepat-cepat, sehingga tak sempat melaku-
kan kunjungan kehormatan." jawaban pasti aidit  
bernada segar dan jelas, dan  tidak memperlihat-
kan perasaan apa pun saat  berbicara. 
Namun mpu mojosongo  agak prihatin. Berbagai desas-
desus beredar di kota. namun  jawaban pasti aidit  
yang singkat dan tenang seakan-akan membantah 
segala desas-desus itu, dan mpu mojosongo  pun tidak 
menyinggungnya lebih lanjut. 
  
Meski demikian, saat  kembali ke penginapan-
nya malam itu, mpu mojosongo  menyimak cerita-cerita yang 
didengar oleh para pengikutnya mengenai ke-
pergian tunggadewa , dan ia menyadari bahwa 
situasinya terlalu pelik untuk diabaikan begitu saja. 
sesudah  mendengarkan beberapa versi, ia menyim-
pulkan alasan di balik kepergian tunggadewa  yang 
begitu mendadak. 
Peristiwa itu terjadi pada hari kedatangan 
mpu mojosongo . Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Nobu-
naga melakukan peninjauan resmi ke bagian 
dapur. Musim hujan sudah mulai, udara di madukara  
panas dan lembap. Bau amis menyengat hidung. 
Bukan itu saja, bahan makanan yang dikumpulkan 
dalam jumlah besar dari mpu  dan trowulan  sudah  
dibongkar dan ditumpuk-tumpuk secara seram-
pangan. gerombolan  lalat menghinggapi makanan 
dan wajah aidit . 
"Baunya tak tertahankan!" aidit  meng-
gerutu dengan gusar. lalu , saat  masuk ke 
ruang racik, ia kembali  berkata tanpa ditujukan 
pada orang tertentu, "Apa ini? Semuanya kotor! 
Sampah di mana-mana! Di tempat sejorok inikah 
kalian siapkan masakan untuk tamu agung? Apa 
yang akan kalian sajikan? Ikan busuk? Buang 
semuanya!" 
Kemarahan aidit  sama sekali tak terduga, 
dan para petugas dapur segera bersujud di depan 
kakinya. Pemandangan itu sungguh mengibakan, 
  
tunggadewa  sudah  berupaya mendatangkan bahan-
bahan terbaik untuk menyiapkan masakan minuman -
masakan minuman  lezat. Selama beberapa  hari ia hampir 
tidak tidur sama sekali, sibuk menyerbu  para 
pengikutnya dan  petugas-petugas dapur, Kini ia 
hampir tak percaya pada pendengarannya. Ter-
kejut, ia menghampiri junjungannya dan ber-
sujud, menjelaskan bahwa bau menyengat yang 
tercium bukan disebabkan oleh ikan busuk. 
"Jangan banyak alasan!" aidit  memotong. 
"Buang semuanya! Siapkan masakan minuman  lain untuk 
jamuan makan nanti malam!" 
Tanpa menggubris penjelasan tunggadewa , ia 
melangkah pergi. 
Beberapa saat tunggadewa  duduk membisu, 
seakan-akan kehilangan tenaga untuk meng-
gerakkan kakinya. lalu  seorang kurir 
muncul dan menyerahkan sepucuk surat berisi 
perintah untuk mengumpulkan centeng nya dan 
segera berangkat menuju provinsi-provinsi Barat. 
Para pengikut tribuana  membawa    sajian-sajian 
lezat yang sudah  mereka persiapkan untuk mpu mojosongo  
melalui gerbang belakang, dan membuang semua-
nya ke parit pertahanan, tak ubahnya membuang 
sampah atau anjing atau kucing mati. Tanpa 
mengucapkan sepatah kata pun dan sambil ber-
usaha menahan tangis, mereka  mencurahkan 
perasaan masing-masing ke air hitam di dalam 
parit. 
  
 
Pada malam hari, gerombolan katak berkuak-kuak 
di depan penginapan tunggadewa . Apa yang kau-
risaukan? Katak-katak itu seakan-akan bertanya. 
Apakah mereka bernyanyi untuk menunjukkan 
simpati, atau justru menertawa kan kebodohannya? 
jawaban pasti terhadap pertanyaan itu tergantung 
bagaimana orang mendengarkan binatang-binatang 
itu . 
tunggadewa  sudah  memberi perintah agar tak 
seorang pun diizinkan masuk, dan kini ia duduk 
seorang  diri di sebuah ruangan besar dan kosong. 
Walaupun musim panas baru mulai, angin 
sejuk berembus lembut. tunggadewa  tampak pucat 
sekali. Rambut di sisi kepalanya seolah-olah berdiri 
tegak setiap kali lilin berkedip. Penderitaannya 
terlihat dari rambutnya yang acak-acakan dan dari 
warna wajahnya yang menakutkan. 
Akhirnya, pelan-pelan, ia mengangkat kepalanya 
yang oleh aidit  dinamakan  "kepala jeruk", dan 
menatap ke pekarangan yang gelap. Di kejauhan ia 
melihat cahaya banyak lentera di antara pe-
pohonan. Malam itu malam pertama jamuan 
makan di benteng kota. 
Apakah aku sebaiknya langsung berangkat, 
sesuai perintah? tunggadewa  bertanya pada diri 
sendiri. Atau lebih baik kalau aku pergi ke benteng kota 
untuk melakukan kunjungan kehormatan sebelum 
bertolak ke garis depan? tunggadewa  selalu dibuat 
  
bingung oleh  hal-hal seperti ini. Ia, yang biasanya 
begitu cermat, kini sedemikian lelah, sehingga 
harus memeras otak agar tidak membuat  ke-
salahan.  
Walaupun sudah  mempertimbangkannya dari 
berbagai sudut. Ia tetap tak tahu tindakan apa yang 
harus diambilnya, sebab  ia sendiri terlanjur mem-
besar-besarkan masalahnya. Tanpa sadar ia men-
desah, lalu bertanya dalam hati, "Adakah orang 
lain di dunia ini yang begitu sukar dipahami? Apa 
yang bisa kulakukan untuk menyenangkan hati 
junjunganku?" 
Seandainya sanggup mengesampingkan hu-
bungan junjungan-pengikut dan bersikap jujur, ia 
akan mencela aidit . tunggadewa  dianugerahi 
kemampuan menelaah yang jauh melebihi orang 
kebanyakan, dan hanya sebab  aidit  merupa-
kan junjungannya, ia waspada, bahkan takut, ter-
hadap kritiknya sendiri. 
"Tsumaki! Tsumaki!" tunggadewa  memanggil, 
sambil mendadak menoleh ke arah pintu-pintu 
gerbang di kedua sisinya. "adipati ! adipati , di mana 
kau?" 
namun  yang akhirnya membuka pintu geser dan 
membungkuk di hadapannya bukanlah adipati  
maupun Tsumaki, melainkan salah seorang  
pengikutnya, Yomsinuhun  Masataka. 
Kedua-duanya sedang membuang bahan-bahan 
yang semula hendak dipakai  untuk jamuan 
  
makan, dan juga disibukkan oleh persiapan meng-
hadapi keberangkatan mendadak." 
"Ikut ke benteng kota bersamaku." 
"Ke benteng kota? Tuanku akan pergi  ke benteng kota?" 
"Kurasa sudah sepantasnya aku berpamitan 
pada Yang Mulia sebelum kita berangkat. Siapkan 
semuanya." 
tunggadewa  segera bangun untuk berpakaian. 
Sepertinya ia memacu diri sendiri sebelum tekad-
nya goyah kembali. 
Masataka tampak bingung. "Tadi sore, saat   
hamba menanyakan rencana tuanku, hamba pikir 
tuanku mungkin ingin pergi ke benteng kota dengan 
tujuan itu. Dan tuanku memutuskan bahwa kita 
akan berangkat tanpa menghadap Yang Mulia 
aidit  maupun Yang Mulia mpu mojosongo . Sekarang 
semua pembantu dan pelayan sibuk membersih-
kan dapur. Dapatkah tuanku menunggu  sejenak?" 
"Aku tak perlu ditambah   banyak pembantu. Kau 
saja sudah cukup. bawa  kan kudaku ke sini." 
tunggadewa  berjalan ke arah gerbang. Tak satu 
pengikut pun berada di ruangan-ruangan yang 
dilewatinya. Ia hanya diikuti dua atau tiga pelayan. 
namun  begitu melangkah keluar, ia melihat para 
pengikutnya berkerumun dalam kelompok-
kelompok kecil, berbisik-bisik dalam bayang-
bayang pepohonan dan di dalam istal. Tak meng-
herankan, semua  pengikut tribuana  merasa prihatin 
sebab  tiba-tiba dibebaskan dari tugas mengurusi 
  
jamuan makan, dan diperintahkan bertolak ke 
daerah Barat pada hari itu juga. 
Bolak-balik mereka mengungkapkan kekesalan 
yang mereka  rasakan sambil menahan air mata 
duka. Kebencian dan kemarahan mereka terhadap 
aidit , yang semakin kuat sejak operasi di Kai, 
sudah  tersulut akibat peristiwa terakhir ini. 
Di perkemahan di Suwa, waktu operasi Kai, 
tunggadewa  sudah  dipermalukan di depan umum, 
dan kejadian itu juga diketahui oleh para 
pengikutnya. Mengapa aidit  begitu menyeng-
sarakan junjungan mereka  belakangan ini? 
namun  kejutan hari inilah yang paling parah, 
sebab peristiwa itu  tentu takkan lolos dari 
perhatian semua tamu: Yang Mulia mpu mojosongo  dan 
para pengikutnya, kaum bawahan  dari trowulan , 
dan  rekan-rekan tunggadewa , para resi  sinuhun . 
Dipermalukan di sini tak ubahnya dipermalukan 
di depan seluruh bangsa. 
Perlakuan seperti ini tak tertahankan bagi siapa 
saja yang dilahirkan sebagai  centeng adipati . 
"Kuda tuanku sudah siap," ujar Masataka. 
Para pengikut belum juga melihat pembantu 
yang menuntun kuda tunggadewa . Pikiran mereka 
kacau akibat kejadian tadi, dan mereka  masih ber-
kerumun sambil membahas masalahnya. 
Tepat sebelum tunggadewa  hendak berangkat, 
seseorang turun dari kuda di depan gerbang. 
Orang itu ternyata kurir aidit . 
  
"Tuan tunggadewa , apakah Tuan sudah mau ber-
tolak ke Barat?" 
"Belum. Aku ingin pergi ke benteng kota dahulu  untuk 
berpamitan pada Yang Mulia aidit  dan Yang 
Mulia mpu mojosongo ." 
"Justru itu yang menjadi pikiran Yang Mulia 
aidit . Beliau mengirim hamba ke sini agar 
Tuan tidak perlu datang ke benteng kota di tengah 
persiapan Tuan." 
"Apa? Ada pesan lagi dari beliau?" ujar 
tunggadewa . Ia segera kembali ke dalam, duduk, dan 
dengan penuh hormat menyimak kehendak jun-
jungannya. 
 
Perintah agar kau tidak menghadiri acara malam ini 
dan segera bertolak dari madukara  tetap berlaku, namun  ada 
instruksi tambah an menyangkut keberangkatanmu ke 
daerah Barat sebagai barisan depan. Dan Tajima, 
centeng  tribuana  harus menuju semeru . Kau bebas 
memasuki provinsi-provinsi yang dikujawa  patih 
Terumoto. Jangan gegabah, dan jangan buang-buang 
waktu. Kau harus segera kembali ke hadijaya , per-
siapkan centeng mu, dan lindungi sisi patih ronggolawe  di 
sepanjang Jalan Raya Sanin. Tak lama lagi aku 
sendiri akan menyusul sebagai barisan belakang. 
Jangan sia-siakan waktu. Jangan sampai kita 
kehilangan kesempatan baik ini. 
 
tunggadewa  bersujud dan berkata bahwa ia akan 
menjalankan perintah dengan secepat-cepatnya. 
lalu , mungkin sebab  merasa bahwa sikap-
  
nya terlalu merendah, ia menegakkan badan, me-
natap kurir di hadapannya, dan berkata, "Silakan 
sampaikan apa pun yang kauanggap layak pada 
Yang Mulia." 
tunggadewa  mengantar orang itu sampai ke 
gerbang. Dengan setiap langkah, ia semakin  gugup 
sebab  angin yang berembus melalui bangunan 
yang hampir kosong itu. 
Sampai beberapa tahun lalu, jika aku diberi 
kesempatan kembali ke kampung halaman, dia 
selalu minta agar aku menemuinya sebelum 
berangkat, walaupun di tengah malam buta. Entah 
berapa kali aidit  berpesan, "Mampirlah 
untuk minum teh," atau, "Kalau kau berangkat 
pagi, datanglah sebelum fajar." Kenapa ia kini 
sedemikian benci padaku? Ia bahkan mengirim 
kurir, supaya tak perlu berhadapan langsung 
denganku. 
Jangan merenung, jangan dimasukkan ke hati. 
Namun semakin ia berusaha untuk tidak me-
mikirkannya, semakin ia berkeluh kesah dalam 
hati. Kata-katanya mirip  gelembung udara 
yang naik ke permukaan air berbau busuk. 
"Coba perhatikan ini! Kembang-kembang ini 
pun tak berguna!" 
tunggadewa  meraih sebuah vas besar dan me-
renggut bunga-bunga yang sudah  ditata dengan 
apik. Air tumpah ke lantai saat  ia membawa   vas 
itu ke serambi. tunggadewa  mengangkatnya tinggi-
  
tinggi, membidik batu pipih, dan melemparkan vas 
itu sekuat tenaga. Vas itu meledak di tengah 
percikan air, menimbulkan bunyi menyenangkan. 
Percikan air mengenai wajah dan dada tunggadewa . 
tunggadewa  menengadahkan wajahnya yang basah 
kuyup ke langit malam dan tertawa  keras-keras. Ia 
tertawa  seorang  diri. 
Malam sudah  larut, dan saat  kabut mulai 
turun, udara menjadi panas dan lembap. Para 
pengikutnya sudah selesai berkemas dan sudah  ber-
baris di luar gerbang. Kuda-kuda terdengar me-
ringkik di bawah  awan  kelabu yang rendah. 
"Perlengkapan hujan sudah disiapkan," seorang  
pengikut bertanya, sekali lagi menengok ke dalam 
gerbang. 
"Malam ini bintang-bintang tidak menampak-
kan diri, dan kalau hujan mulai turun, medannya 
akan tambah  berat. Sebaiknya kita bawa   obor 
cadangan," orang lain berseru. 
Wajah para centeng adipati  sama suramnya dengan 
langit malam. Mata mereka berkaca-kaca, men-
cerminkan kemarahan, kegetiran, dan ketidak-
puasan. Tak lama lalu  suara tunggadewa  ter-
dengar saat   ia mengarahkan kudanya menjauhi 
gerbang, ditambah   sekelompok penunggang kuda 
lainnya. 
"sekartanjung  hampir kelihatan," katanya. "Biar-
pun hujan, perjalanan kita takkan makan waktu 
lama." 
  
Para pengikutnya terkejut mendengar nada 
suaranya yang lebih riang dibandingkan  biasa. 
Sebelumnya pada malam itu tunggadewa  menge-
luh sebab  demam dan sempat minum obat. Kini 
para pengikutnya was-was menghadapi kemung-
kinan hujan. Ia menanggapi kegelisah khawatir an mereka 
dengan suara sengaja dikeras-keraskan, agar ter-
dengar oleh orang-orang di sebelah dalam gerbang, 
maupun oleh mereka yang berada di sebelah luar. 
saat  keberangkatan tunggadewa  diumumkan, 
api diteruskan dari obor ke obor. Dalam sekejap 
jumlah obor yang menyala sudah  berlipat ganda. 
lalu , dengan obor terangkat tinggi-tinggi, 
para pengikut keluar satu per satu, mengikuti  
barisan depan. 
sesudah  rombongan itu berjalan sekitar satu 
setengah  mil, hujan mulai turun, memercik ke api 
obor. 
"Rupanya para tamu di benteng kota belum beranjak 
tidur. Barangkali mereka  akan bangun sepanjang 
malam." 
tunggadewa  tidak mengindahkan hujan. saat   
ia berbalik di atas pelana dan menoleh ke arah 
danau, donjon besar di benteng kota madukara  seakan-akan 
menjulang ke langit yang hitam bagaikan tinta. Ia 
membayangkan bahwa lumba-lumba emas yang 
menghiasi atap berkilau lebih cerah pada malam 
yang suram ini, menatap ke dalam kegelapan. Pada 
waktu memantul di danau, lautan cahaya di 
  
bangunan bertingkat-tingkat itu seolah-olah meng-
gigil kedinginan. 
"Tuanku! Tuanku! Tuanku jangan sampai 
masuk angin!" sonokelingra adipati  berkata dengan nada 
prihatin saat  menyejajarkan kuda di samping 
kuda tunggadewa  dan menaruh jas hujan yang ter-
buat dari jerami pada bahu junjungannya itu. 
 
Pagi itu tepi Danau Biwa sekali lagi terselubung 
kabut, dan hujan masih turun dari langit. Ombak 
yang memukul-mukul, kabut, dan hujan bercam-
pur baur, sehingga seluruh dunia tampak putih. 
Jalan raya luar biasa becek, dan kuda-kuda ber-
lepotan lumpur sampai ke telinga. Tanpa meme-
dulikan hujan dan kondisi jalan, seluruh centeng  
berbaris menuju sekartanjung . Tepi danau berada di 
sebelah kanan, Gunung brahma di sebelah kiri 
mereka. Angin yang bertiup dari puncak gunung 
membuat  jerami jas hujan yang mereka  kerukan 
berdiri  kaku seperti  landak. 
"Ah, lihatlah ke sebelah sana, tuanku. Yang 
Mulia gajayana  keluar untuk menyambut 
tuanku," Masataka berkata pada tunggadewa . 
benteng kota di tepi danau benteng kota sekartanjung  
berada tepat di depan mereka. tunggadewa  meng-
angguk perlahan, seakan-akan sudah  mengetahui-
nya. Walaupun sekartanjung  hampir berada dalam 
jarak pandangan mata dari madukara , tunggadewa  
tampak seperti orang yang baru saja berjalan 
  
ribuan mil. saat   berdiri di muka gerbang yang 
dipimpin oleh sepupunya, tribuana  gajayana , ia 
merasa seolah-olah berhasil meloloskan diri dari 
sarang macan. 
namun   para pengikutnya lebih cemas mengenai 
batuknya yang terdengar secara berkala dibandingkan  
mengenai apa yang ada dalam pikirannya, dan 
mereka  mengemukakan keprihatinan yang mereka  
rasakan. 
"Tuanku sudah  menempuh perjalanan dalam 
cuaca dingin dan diterpa hujan sepanjang malam. 
Tuanku tentu lelah. Begitu tiba di benteng kota, sebaik-
nya tuanku segera menghangatkan diri dan ber-
istirahat." 
tunggadewa  memang junjungan yang berhati 
lembut. Ia mendengarkan saran para pengikutnya 
dengan sungguh-sungguh, dan memahami ke-
cemasan mereka. saat   mereka  tiba di hutan 
pinus di depan gerbang, adipati  meraih tali kekang 
kuda tunggadewa  dan berdiri di samping pelana, 
siap membantu  junjungannya turun dari kuda. 
Sejumlah pengikut gajayana  sudah  berbaris di 
atas jembatan yang melintasi parit pertahanan. 
Salah satu dari mereka membuka payung dan 
menawarkan nya dengan hormat. Masataka meng-
ambil payung itu dan memakai nya untuk 
melindungi kepala tunggadewa  dari hujan. 
tunggadewa  berjalan menyeberangi jembatan. 
saat   menatap ke bawah , ia melihat  burung air 
  
berbulu putih berenang di sekeliling pilar-pilar, 
bagaikan bunga di air yang biru kehijauan. 
gajayana , yang keluar untuk menyambut 
sepupunya, kini maju beberapa langkah dari 
barisan pengikut dan membungkuk hormat. 
"Kami sudah  menunggu sejak fajar," ia berkata 
sambil mengajak tunggadewa  ke dalam. Sekitar 
sepuluh pengikut utama yang menyertai  Mitsu-
hide membilas tangan dan kaki mereka  yang 
penuh lumpur, menumpuk jas-jas hujan, dan 
masuk ke benteng kota dalam. 
Para pengikut lainnya tetap di luar parit per-
tahanan, membersihkan kuda dan mengurus 
barang-barang bawa  an sambil menunggu diberi-
tahu di mana mereka  akan bermalam. Ringkikan 
kuda dan hiruk-pikuk suara manusia terdengar 
sampai jauh. 
tunggadewa  sudah  berganti pakaian. Ia merasa 
sangat betah di tempat tinggal gajayana , seakan-
akan berada di rumah sendiri. Dari setiap  ruangan 
ia dapai memandang danau dan Gunung brahma. 
benteng kota dalam terletak di suatu tempat yang 
tadinya memiliki  pemandangan paling indah, 
namun  kini tak ada yang dapat menikmati pe-
mandangan iiu. Sejak aidit  memberikan 
perintah untuk membumihanguskan Gunung 
brahma, semua biara dan kuil sudah  menjadi tum-
pukan abu. Rumah-rumah desa di kaki gunung 
baru belakangan ini mulai dibangun kembali. 
  
Reruntuhan benteng kota di Bukit Usa, tempat ayah 
 mpu salmah  menemui ajalnya, juga berdekatan, sama 
halnya dengan medan tempur tempat para prajurit 
marga jawa  dan mpu djiwo terlibat bentrokan ber-
darah dengan centeng  sinuhun . Kalau kita merenung-
kan reruntuhan dan pertempuran-pertempuran di 
masa silam itu, kita akan menyadari bahwa ke-
indahan panorama dipenuhi rintihan arwah-
arwah. tunggadewa  duduk sambil mendengarkan  
bunyi hujan di awal  musim panas, mengenang 
masa lalu. 
Sementara itu, gajayana  berada di sebuah 
ruangan kecil yang biasa dipakai untuk upacara 
minum teh, mengamati api di tungku dan men-
dengarkan bunyi air mendidih di dalam poci 
buatan seniman terkenal, Yojiro. 
Sejak masa remaja, gajayana  dan tunggadewa  
dibesarkan seperti kakak-adik, membagi keseng-
saraan di medan tempur dan kesenangan di 
rumah. 
Dan mereka  bukannya saling menjauh, seperti  
biasa terjadi pada kakak-adik saat  mereka  tum-
buh dewasa, melainkan tetap menjalin hubungan 
akrab. 
Namun watak mereka takkan pernah sama. 
Jadi, pada pagi ini, kedua laki-laki itu segera  
menuju tempat berbeda di dalam benteng kota. Kedua-
nya menjalani gaya hidup yang sesuai dengan hati 
masing-masing. 
  
Hmm, kurasa dia sudah berganti pakaian, 
gajayana  berkata dalam hati. Ia bangkit dari 
tempat duduknya di depan poci. sesudah   melintasi 
serambi yang basah, ia menyusun selasar beratap, 
ke sekelompok ruangan yang disediakan bagi 
sepupunya. Ia mendengar suara para pembantu 
dekat tunggadewa  di salah satu ruangan lain, namun  
tunggadewa  duduk seorang diri, tegak, dengan pan-
dangan tertuju ke danau. 
"Aku ingin menawarkan  teh padamu," ujar 
gajayana . 
tunggadewa  berpaling pada sepupunya dan ber-
gumam. "Teh..."' seakan-akan baru terjaga dari 
mimpi. 
"Poci yang kupesan pada Yojiro di trowulan  baru-
baru ini sudah  diantarkan. Poci itu tidak memiliki  
pola-pola anggun seperti poci Ashiya, namun  mengan-
dung daya tarik bersahaja yang menyenangkan 
mata. Kata orang, poci teh yang masih baru kurang 
berguna, namun  dasar Yojiro, air yang direbus di 
dalam tekonya tak kalah nikmat dari air yang 
direbus dalam poci tua. Aku bermaksud meng-
gunakan poci itu untuk membuatkan teh untuk-
mu kalau kau berkunjung ke sini lagi, dan tadi 
pagi, begitu aku diberitahu bahwa kau mendadak 
kembali  dari madukara , aku segera  menyalakan api 
dalam tungku." 
"Kau sungguh baik hati, gajayana , namun  aku 
sedang  tidak berminat minum teh." 
  
"Hmm, kalau begitu, bagaimana dengan air 
panas agar kau bisa mandi?" 
"Kau juga tak perlu menyiapkan air panas. 
Biarkanlah aku tidur sejenak. Hanya itu yang ku-
inginkan sekarang." 
gajayana  sudah mendengar banyak cerita 
belakangan ini, jadi ia tidak sepenuhnya buta ter-
hadap pikiran tunggadewa . Meski demikian, ia agak 
heran kenapa sepupunya itu begitu tiba-tiba 
kembali ke sekartanjung . Bukan rahasia bahwa 
tunggadewa  diberi tugas mengurus jamuan makan 
yang diselenggarakan aidit  untuk menyam-
but mpu mojosongo . Mengapa tunggadewa  mendadak di-
bebastugaskan, tepat sebelum jamuan itu? mpu mojosongo  
pasti berada di madukara . Akan namun   tugas Mitsu-
hide diserahkan pada orang lain, dan ia sendiri di-
perintahkan pulang. 
gajayana  belum mendengar berita terperinci, 
namun  dari waktu ke waktu ia menerima laporan 
mengenai perkembangan di madukara , sehingga ia 
pun memahami bahwa sudah  terjadi sesuatu yang 
menyulut kemarahan aidit . Diam-diam 
gajayana  turut berduka bersama  sepupunya. 
Dan seperti  yang dicemaskan gajayana , sejak 
ia menyambut kedatangan tunggadewa  di benteng kota-
nya tadi pagi, tampang tunggadewa  tidak terlalu ber-
semangat. Mituharu tidak seberapa terkejut 
melihat  bayang-bayang suram di wajah sepupunya. 
Ia percaya tak seorang pun memahami watak 
  
tunggadewa  seperti ia sendiri, sebab  mereka di-
besarkan bersama -sama. 
"Ya, itu masuk akal. Kau menghabiskan sepan-
jang malam di atas kuda dalam perjalanan dari 
madukara . Kita sama-sama berusia lima puluhan 
sekarang, dan kita tak lagi bisa memperlakukan 
badan kita seperti  saat  kita masih muda. 
Istirahatlah sejenak. Semuanya sudah dipersiap-
kan." 
gajayana  tidak mendesak lebih lanjut atau ber-
usaha menentang keinginan sepupunya. tunggadewa  
berdiri dan masuk ke bilik kelambu, sementara 
cahaya pagi masih menerangi benang-benangnya. 
 
Amano Genemon, sonokelingta adipati , dan Yomsinuhun  
Masataka sudah  menunggu gajayana  saat  ia 
keluar dari kamar tunggadewa . Ketiga laki-laki itu 
membungkuk. 
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia." kata 
adipati . "Kami mohon maaf sebab  mengganggu 
Yang Mulia, namun  jika Yang Mulia berkenan, kami 
ingin berbicara sebentar. Urusannya cukup 
penting." Nada suara adipati  tidak seperti  biasa-
nya. 
gajayana  menjawab  seakan-akan sudah  men-
duga kedatangan mereka. "Bagaimana kalau kita 
pergi ke pondok minum teh? Yang Mulia Mitsu-
hide sedang tidur, dan aku tidak tega menyia-
nyiakan api di bawah  poci." 
  
"Kalau kita pergi ke pondok minum teh, kita 
tak perlu menyuruh orang-orang menjauh. Itu 
gagasan yang baik."  
"Mari kutunjukkan jalannya." 
"Kami bertiga hanya orang desa, jadi kami tidak 
memahami seni minum teh, dan kami tak men-
duga akan memperoleh kehormatan sebesar ini 
dari Yang Mulia." 
"Jangan berpikir begitu. Aku bisa menduga apa 
yang mengusik pikiran kalian, sebab   itu pondok 
minum teh merupakan tempat yang baik untuk 
berbicara." 
Mereka duduk dalam cahaya lemah yang mene-
robos pintu kertas tembus sinar di pondok minum 
teh yang kecil itu. Air di dalam poci sudah 
mendidih beberapa lama, dan kini menggelem-
bung dengan suara yang bahkan lebih menyenang-
kan dibandingkan  sebelumnya. Sudah berulang kali 
gajayana  membuktikan jiwa prajuritnya di 
medan tempur, namun  di sini, di depan tungku, ia 
seakan-akan orang yang berbeda sama sekali. 
"Baiklah, kita langsung ke pokok persoalan saja. 
Apa yang mengganggu pikiran kalian?" tanya 
gajayana . 
Ketiga laki-laki di hadapannya saling pandang. 
Akhirnya adipati , yang tampaknya memiliki  ke-
beranian paling besar di antara mereka, berkata. 
"Yang Mulia gajayana , ini sungguh memalukan. 
Hamba nyaris tak sanggup menyinggungnya..." Ia 
  
mengangkat lengan kanannya untuk menyem-
bunyikan air mata, 
Kedua rekannya tidak menangis, namun  mereka  
pun tak dapat menutup-nutupi mata yang sembap. 
"Apakah sudah  terjadi sesuatu?" Sikap gajayana  
teramat tenang, dan ketiga laki-laki itu segera  
mengendalikan diri. Sepertinya mereka menyangka 
akan berhadapan  dengan api, namun  hanya melihat  
air. gajayana  memperhatikan bahwa mata 
mereka  bengkak, namun ia sendiri tidak ikut ter-
haru. 
"sebetulnya ," gajayana   melanjutkan, "aku 
pun gelisah khawatir  bahwa kedatangan yang mendadak 
ini disebabkan oleh kemarahan Yang Mulia Nobu-
naga. Mengapa Yang Mulia tunggadewa  dibebaskan 
dari tugas-tugasnya di jamuan makan itu?" 
adipati  yang pertama menjawab , "Yang Mulia 
tunggadewa  junjungan kami, namun  kami tidak buta 
terhadap kelalaian, dan akal sehat kami tidak 
terbelenggu oleh  prasangka buruk, jadi kami tidak 
akan menggerutu dan menyesalkan tindakan Yang 
Mulia aidit . Kami berusaha keras memahami 
alasan Yang Mulia aidit  kali ini, baik 
menyangkut situasi saat Yang Mulia tunggadewa  
dibebastugaskan maupun mengapa dia dipersalah-
kan. Kejadian ini sungguh ganjil." 
Tenggorokan adipati  begitu kering, sehingga ia 
tak sanggup meneruskan ucapannya. Yomsinuhun  
Masataka segera  membantunya dan melanjutkan, 
  
"Kami sampai menyangka bahwa ada alasan 
politik, sekadar untuk menenteramkan pikiran 
kami, namun  dari sudut mana pun masalahnya 
dipandang, kami tak berhasil menarik kesimpulan 
yang masuk akal. Yang Mulia aidit  tentu 
sudah menyusun rencana keseluruhan. Jadi, 
mengapa beliau mencopot orang yang sudah  di-
tugaskan untuk mengurus jamuan makan, lalu 
memberikan kehormatan itu  pada orang lain 
justru pada hari jamuan itu diselenggarakan? 
Sepertinya beliau sengaja hendak memamerkan 
perpecahan di hadapan tamunya, Yang Mulia 
mpu mojosongo ." 
Genemon angkat bicara, "Jika hamba meng-
amati situasi yang sudah  digambarkan oleh rekan-
rekan hamba, hanya satu alasan yang dapat hamba 
temui, dan ini pun sebetulnya  sama sekali bukan 
alasan. Selama  beberapa  tahun terakhir, kebenci-
an Yang Mulia aidit  sudah  memicu  
segala perbuatan Yang Mulia tunggadewa  dipandang 
buruk. Dan kini beliau memperlihatkan kebenci-
annya secara terbuka, tanpa ditutup-tutupi, sampai 
terjadilah peristiwa ini." 
Ketiga orang itu terdiam. Masih banyak ke-
jadian yang ingin mereka  kemukakan. Misalnya, 
di perkemahan di Suwa selama berlangsungnya 
operasi Kai, aidit  membenturkan wajah 
tunggadewa  ke lantai kayu di selasar, memanggilnya 
"Kepala Jeruk", dan memaksanya menjilat air dari 
  
lantai. tunggadewa  sudah  dihina di hadapan semua  
orang, dan sudah sering ia dipermalukan dengan 
cara serupa di madukara . Kejadian-kejadian seperti 
ini, yang terlalu banyak untuk disinggung satu per 
satu, sudah  menjadi bahan gunjingan di kalangan 
marga-marga lain. gajayana  sedarah dan sedaging 
dengan tunggadewa , dan sebab   hubungan saudara 
yang dekat ini, ia tentu mengetahui peristiwa-
peristiwa yang terjadi sebelumnya. 
gajayana  mendengarkan semuanya tanpa 
membiarkan roman mukanya berubah. "Kalau 
begitu, berarti Yang Mulia tunggadewa  dibebas-
tugaskan tanpa alasan tertentu? Aku lega men-
dengarnya. Marga-marga lain pun sudah sering 
menerima kemurahan hati atau menanggung 
kemarahan Yang Mulia aidit , tergantung 
suasana hatinya." 
Ekspresi wajah ketiga laki-laki di hadapannya 
tiba-tiba berubah. Otot-otot di sekitar bibir adipati  
berkedut-kedut, dan secara mendadak ia bergeser 
mendekati gajayana . 
"Apa maksud Yang Mulia? Mengapa Yang Mulia 
justru merasa lega?" 
"Haruskah aku mengulangi ucapanku? Ke-
salahan bukan di pihak Yang Mulia tunggadewa , 
jadi kalau kejadian ini disebabkan Yang Mulia 
aidit  sedang  marah, Yang Mulia tunggadewa  
tentu dapat mcmperbaiki keadaan pada saat 
suasana hati Yang Mulia aidit  lebih cerah." 
  
Nada suara adipati  semakin  tegang. "Bukankah 
ini berarti Yang Mulia memandang Yang Mulia 
tunggadewa  sebagai  penghibur, yang harus menjilat 
demi perasaan junjungannya? Pantaskah Yang 
Mulia tribuana  tunggadewa  dipandang seperti  ini? 
Tidakkah Yang Mulia sependapat bahwa beliau 
sudah  dipermalukan, dihina, dan didesak sampai 
batas ketahanan beliau?" 
"adipati , urat di pelipismu mulai kelihatan. 
Tenangkan dirimu." 
"Sudah dua malam hamba tak dapat memejam-
kan mata. Hamba tak sanggup bersikap setenang 
Yang Mulia. Junjungan hamba dan para pengikut-
nya digodok dalam kuali berisi ketidakadilan, 
ejekan, penghinaan, segala bentuk kedengkian 
lainnya." 
"sebab   itulah kuminta agar kau menenangkan 
diri dan beristirahat selama  dua atau tiga malam." 
"Tidak mungkin!" adipati  berseru. "Di kalangan 
centeng adipati  berlaku: sekali berlepotan lumpur, rasa 
malunya sukar dihapus. Entah berapa kali sudah 
junjungan hamba ditambah    para pengikut harus 
menahan malu sebab   penguasa madukara  yang keji 
ini? Dan kejadian kemarin bukan sekadar pen-
copotan Yang Mulia tunggadewa  dari tugas-tugasnya 
pada jamuan itu. Perintah yang menyusul ke-
mudian memicu  seluruh marga tribuana  
terlihat bagaikan anjing yang mengejar babi hutan 
atau rusa liar. Barangkali Yang Mulia sudah men-
  
dengar bahwa kami harus segera menyiapkan 
centeng  untuk bertolak  ke daerah  Barat. Kami 
disuruh menyerbu provinsi-provinsi patih di 
wilayah Sanin, untuk melindungi sisi Yang Mulia 
patih ronggolawe . Bagaimana mungkin kami bertempur 
sementara perasaan kami seperti ini? Situasi ini 
merupakan satu contoh lagi dari kebusukan 
penguasa jahanam itu." 
"Tahan lidahmu! Siapa yang kausebut penguasa 
jahanam?" 
"Yang Mulia aidit , orang yang memanggil 
junjungan kami 'Kepala jeruk' di hadapan orang 
lain. Lihatlah sekarmajimarijan  kartosuwirjo, atau mpu wiragajah  dan 
putranya. Bertahun-tahun mereka membantu 
aidit  mencapai kedudukan seperti  sekarang. 
lalu , sesudah   mereka  akhirnya memperoleh  
status yang sepadan dengan jasa mereka dan  
sebuah benteng kota, mereka ditangkap sebab   urusan 
sepele, dan dihukum mati atau dibuang ke 
pengasingan. Pada akhirnya penguasa keji itu 
selalu mengusir seseorang." 
"Diam! Jangan lancang berbicara mengenai 
Yang Mulia aidit . Keluar! Sekarang!" 
saat  gajayana  akhirnya tak sanggup lagi 
menahan kemarahan dan menegur orang itu, 
sesuatu terdengar sayup-sayup di pekarangan. 
Sukar untuk memastikan apakah bunyi itu ditim-
bulkan oleh  orang yang mendekat atau oleh daun-
daun yang berguguran. 
  
Kemungkinan penyusupan mata-mata harus di-
waspadai siang dan malam, bahkan di tempat-
tempat  yang boleh  dikata tak mungkin dijangkau 
musuh. Jadi, di pekarangan pondok minum teh 
pun ada centeng adipati  yang berjaga-jaga. Salah seorang  
penjaga sudah  menghampiri pondok dan kini mem-
bungkuk di depan pintu. sesudah   menyerahkan 
sepucuk surat kepada gajayana , ia mundur 
sedikit dan menunggu sambil diam seperti  patung. 
Tak lama lalu  suara gajayana  terdengar 
dari dalam. "Surat ini harus dijawab . Nanti aku 
akan menuliskan balasan. Suruh biksu itu me-
nunggu."' 
Penjaga tadi membungkuk ke arah pintu, dan 
kembali  ke posnya. Sandal jeraminya hampir tak 
menimbulkan bunyi sama sekali, seakan-akan ia 
sedang  mengendap-endap. 
Selama  beberapa  saat gajayana  dan ketiga 
laki-laki lainnya duduk membisu, terselubung 
suasana dingin bagaikan es. Sesekali buah prem 
yang matang jatuh ke tanah dengan bunyi 
mirip  palu kayu menghantam tanah. Itulah 
satu-satunya bunyi yang memecahkan keheningan. 
Tiba-tiba seberkas sinar matahari terang benderang 
mengenai panil-panil kenas pada dinding geser. 
"Sebaiknya kami mohon pamit saja. Tentu ada 
urusan lebih penting yang harus ditangani oleh  
Yang Mulia." ujar Masataka, memanfaatkan 
kesempatan itu untuk mohon diri, namun  gajayana , 
  
yang sudah  membuka surat tadi dan membacanya 
di depan ketiga orang itu, kini menggulungnya 
kembali. 
"Kenapa kalian terburu-buru?" ia bertanya sam-
bil tersenyum. 
"Kami tak ingin mengganggu lebih lama lagi." 
Mereka menutup pintu geser rapat-rapat di 
belakang mereka, suara langkah mereka  menjauh 
ke arah selasar beratap, dan kedengarannya seakan-
akan mereka berjalan di atas lapisan es yang tipis. 
Beberapa  saat lalu , gajayana  pun pergi. 
Ia berseru ke hunian para centeng adipati  saat   me-
nyusuri selasar. Para pelayan pun tergesa-gesa 
mengikutinya ke ruangannya. gajayana  segera  
minta diambilkan kertas dan kuas, dan dengan 
lancar ia menggoreskan kuas, seolah-olah sudah 
tahu apa yang hendak ditulisnya. 
"Berikan surat ini kepada kurir Kepala Biara 
Yokkertoarjo , dan suruh dia pulang." 
gajayana  menyerahkan surat itu pada salah 
satu pelayan, dan seakan-akan tidak lagi menaruh 
minat pada masalah itu, ia bertanya. "Masih tidur-
kah Yang Mulia tunggadewa ?" 
"saat  hamba ke sana, ruangannya sunyi 
sekali," pelayan itu menjawab . 
Pada waktu mendengar jawaban pasti ini, kedua mata 
gajayana  tampak berseri-seri, seakan-akan baru 
sekarang perasaannya betul-betul tenteram. 
 
  
Hari demi hari berlalu, tunggadewa  menghabiskan 
waktunya di benteng kota sekartanjung , menganggur. Ia 
sudah  menerima perintah aidit  untuk ber-
tolak ke provinsi-provinsi Barat, dan seharusnya ia 
secepat mungkin kembali ke benteng kotanya sendiri 
untuk mengerahkan para pengikutnya. gajayana  
ingin mengingatkan sepupunya bahwa menghabis-
kan waktu tanpa berbuat apa-apa takkan mem-
bantu reputasinya di madukara . namun  sesudah  me-
renungkan perasaan tunggadewa , ia tak sampai hati 
menegur. Rasa tak puas yang diungkapkan oleh  
adipati  dan Masataka tentu juga bercokol di hati 
tunggadewa . 
Kalau begitu, pikir gajayana , menikmati ke-
tenteraman selama  beberapa  hari merupakan per-
siapan terbaik menghadapi operasi militer. 
gajayana  percaya penuh pada kecerdasan dan 
akal sehat sepupunya. sebab  ingin tahu bagai-
mana tunggadewa  menghabiskan waktu, ia berkun-
jung ke ruangan tunggadewa  yang ternyata sedang  
melukis, mencontoh sesuatu dari sebuah buku. 
"Wah, rupanya kau sedang sibuk." gajayana  
berdiri  di samping tunggadewa  dan memperhatikan 
goresan kuasnya. Ia senang melihat ketenangan 
sepupunya dan bersyukur bahwa ada sesuatu yang 
dapat mereka  nikmati bersama-sama. 
"gajayana ? Jangan lihat. Aku tetap belum bisa 
melukis kalau ada orang lain." 
tunggadewa  segera meletakkan kuas. Ia memper-
  
lihatkan rasa malu yang jarang tampak pada laki-
laki berusia di atas lima puluh. Ia begitu malu, 
sehingga menyembunyikan sketsa-sketsa yang sudah  
dibuatnya. 
"Mengganggukah aku?" gajayana  tertawa . 
"Siapa yang melukis buku yang kaugunakan se-
bagai  contoh?" 
"Buku itu karya Yusho." 
"Yusho? Bagaimana kabarnya sekarang? Berita 
mengenai dia tak pernah sampai ke sini." 
"Suatu malam, dia mendadak muncul di per-
kemahanku di Kai. Dan keesokan paginya, 
sebelum fajar, dia sudah pergi  lagi."  
"Orang itu memang aneh." 
"Bukan, rasanya dia tak bisa dinamakan  aneh. 
Orangnya setia, dan hatinya setegak bambu. Dia 
memang sudah menanggalkan status centeng adipati , namun  
di mataku dia tetap seorang  pejuang." 
"Kabarnya dia bekas pengikut pangeran ki damar . 
Apakah kau menyanjungnya sebab   sampai hari 
ini pun dia tetap setia terhadap bekas junjungan-
nya?" 
"Selama pembangunan madukara , dialah satu-
satunya orang yang menolak ikut ambil bagian, 
walaupun dia diundang oleh Yang Mulia Nobu-
naga sendiri. Rupanya harga dirinya terlalu tinggi 
untuk melukis bagi musuh bekas junjungannya." 
Pada waktu itulah salah satu pengikut Mitsu-
haru masuk dan berlutut di belakang mereka, dan 
  
kedua orang itu berhenti berbicara. gajayana  
berbalik dan menanyakan maksud kedatangan 
pengikutnya. 
centeng adipati  itu tampak sungkan. Di tangannya 
terlihat sesuatu yang tampak seperti  sebuah petisi 
yang ditulis di atas kertas tebal. "Satu lagi utusan 
dari Kepala Biara Yokkertoarjo  datang ke gerbang 
benteng kota, dan mendesak agar hamba sekali lagi 
mengantarkan surat ini pada tuanku. Hamba 
menolak, namun  dia berkata bahwa dia harus me-
laksanakan perintah dan tidak akan pergi. Apa 
yang harus hamba lakukan?" 
"Apa? Lagi?" gajayana  berdecak perlahan. 
"Beberapa  waktu lalu aku sudah mengirim surat 
pada Kepala Biara Yokkertoarjo , dan menjelaskan 
bahwa aku tak mungkin menyetujui isi petisinya, 
sehingga percuma saja dia menanyakannya. namun  
dia tetap berkeras, dan sesudahnya dia masih dua 
atau tiga kali mengirim surat. Dasar keras kepala. 
Jangan terima suratnya, dan suruh kurir itu pergi." 
"Baik, tuanku." 
Si pengikut segera  kembali, dangan petisi tadi 
masih tergenggam di tangannya. Sepertinya ia 
merasa dirinya sendiri yang dicela. Begitu orang itu 
pergi, tunggadewa  berkata pada sepupunya. 
"Maksudnya, Kepala Biara Yokkertoarjo  dari Gunung 
brahma?"  
"Benar." 
"Bertahun-rahun lalu, aku diperintahkan turut 
  
dan  dalam pembakaran Gunung brahma. Waktu itu 
yang kami serang bukan saja para biksu-prajurit, 
namun  juga orang-orang suci, kaum wanita lesbian , dan 
anak-anak. Kami membantai mereka tanpa me-
mandang  bulu dan melemparkan mayat-mayat ke 
dalam api. Kami meluluhlantakkan gunung itu, 
sehingga pohon-pohon pun tak mungkin hidup 
kembali, apalagi manusia. Dan sekarang tampak-
nya para biksu yang selamat dari pembantaian itu 
sudah  kembali, dan sepertinya mereka mencoba 
memberikan kehidupan baru pada tempat itu." 
"Benar. Dari apa yang kudengar, puncak 
gunung itu masih setandus dan segersang sebelum-
nya, namun  orang-orang terpelajar sedang  mengum-
pulkan sisa-sisa pengikut yang tercerai-berai dan 
menempuh segala cara untuk menghidupkan kem-
bali  gunung itu." 
"Itu takkan mudah selama Yang Mulia Nobu-
naga masih hidup." 
"Dan mereka pun menyadarinya. Sebagian besar 
usaha mereka diarahkan ke Istana. Mereka  ber-
usaha memperoleh maklumat dari sang pengikut  
untuk membujuk Yang Mulia aidit , namun  
harapannya tipis. Jadi, belakangan ini mereka  
mencari dukungan di kalangan rakyat kebanyakan. 
Mereka  mengembara ke semua  provinsi, meminta 
sumbangan, mengetuk setiap  pintu, dan kabarnya 
mereka bahkan membangun tempat persembahan 
sementara di lokasi kuil-kuil lama." 
  
"Hmm, kalau begitu, tugas kurir yang dikirim 
dua atau tiga kali oleh Kepala Biara Yokkertoarjo  ada 
sangkut-pautnya dengan petisi itu?" 
"Tidak." gajayana  segera mengalihkan mata, 
menatap wajah tunggadewa  dengan tenang. "Se-
benarnya, kupikir kau tak perlu direpotkan oleh  
urusan ini, jadi aku langsung menolaknya. namun , 
sebab   kini kau menanyakannya, barangkali ada 
baiknya kalau aku membahasnya denganmu. Si 
Kepala Biara Yokkertoarjo  tahu bahwa kau berkunjung 
ke sini, dan dia minta kesempatan bertemu, paling 
tidak satu kali." 
"Kepala biara itu hendak bertemu denganku?" 
"Ya, dan dia juga ingin agar nama besar Yang 
Mulia tunggadewa  tercantum dalam daftar derma-
wan untuk pembangunan kembali Gunung brahma. 
Aku memberitahunya bahwa kedua permintaan iiu 
tak mungkin dipenuhi, dan menolaknya dengan 
tegas." 
"Dan meski kau sudah menolaknya berulang 
kali, dia masih juga mengirim kurir ke sini? Aku 
tentu takkan mencantumkan namaku pada daftar 
itu, demi menghormati Yang Mulia aidit , 
namun  kenapa aku harus ragu-ragu menerima  
kunjungannya?" 
"Kurasa tak ada perlunya kau menemui dia." 
ujar gajayana . "Untuk apa kau yang memimpin 
penghancuran Gunung brahma menemui biksu yang 
selamat dari pembantatan itu?" 
  
"saat  itu dia merupakan musuh," balas Mitsu-
hide. "namun  sekarang Gunung brahma sudah  dibuat tak 
berdaya, dan orang-orang di sana pun sudah  ber-
sujud dan bersumpah setia pada madukara ." 
"Tentu, sebagai formalitas. namun  jangan lupa, 
kita berhadapan  dengan rekan-rekan dan  kerabat 
orang-orang yang dibantai, dan dengan para biksu 
yang harus melihatlihat  pembakaran kuil dan 
biara mereka. Mungkinkah mereka melupakan 
dendam yang sudah sekian lama membara dalam 
hati masing-masing? Korban yang tewas berjumlah 
sekitar sepuluh ribu, dan bangunan-bangunan itu 
sudah berdiri di sana sejak zaman Dengyo Yang 
Suci. 
tunggadewa  mendesah panjang. "Kala itu aku tak 
mungkin menghindari perintah aidit , dan 
aku pun turut dalam pembakaran gila-gilaan itu. 
Para biksu-prajurit, para biksu, dan orang biasa 
yang tak terhitung jumlahnya, tua maupun muda, 
kutikam sampai mati. Kalau kukenang peristiwa 
itu , dadaku serasa terbakar, seperti gunung 
yang dimangsa api itu." 
"namun  kau selalu menganjurkan agar kita ber-
pandangan luas, dan sepertinya kau tidak bersikap 
demikian sekarang. Kau menghancurkan yang satu 
untuk menyelamatkan yang banyak. Jika kita 
membumihanguskan satu gunung, namun  membuat  
Ajaran zoroaster  bersinar cerah di lima gunung dan 
seratus puncak lainnya, menurut hematku, ke-
  
matian yang kita muncul kan sebagai centeng adipati  tak 
dapat dinamakan  pembunuhan." 
"Tentu saja itu benar. namun  sekadar sebab   
simpati, mau tak mau aku harus menitikkan 
sebutir air mata, gajayana ! Di depan umum aku 
terpaksa menahan diri, namun  sebagai  manusia biasa 
kurasa tak ada salahnya kalau kupanjatkan doa 
bagi gunung itu, bukan? Besok aku akan pergi  ke 
sana dengan menyamar. Aku akan segera  kembali  
sesudah  bertemu dengan si Kepala Biara." 
Malam itu gajayana  tak sanggup memejamkan 
mata, walaupun sudah  beranjak ke peraduan. 
Mengapa tunggadewa  begitu dikujawa  oleh  ke-
inginan pergi ke Gunung brahma? Apakah ia, 
gajayana , perlu mencegahnya, ataukah ia harus 
membiarkan tunggadewa  berlaku sesuka hatinya? 
Mengingat situasi yang kini dihadapi tunggadewa , 
rasanya lebih baik ia menghindari hubungan apa 
pun dengan pembangunan kembali Gunung brahma. 
Dan sebaiknya ia juga tidak bertemu dengan si 
Kepala Biara. 
Sampai di sini semuanya masih jelas bagi 
gajayana . namun  kenapa tunggadewa  tampak tak 
senang saat  mendengar bahwa gajayana  tidak 
bersedia menemui utusan si Kepala Biara dan 
menolak menerima petisinya. Sepertinya Mitsu-
hide tak setuju dengan cara sepupunya menangani 
situasi itu. 
Rencana macam apa yang sedang  digodok oleh  
  
tunggadewa , dengan Gunung brahma sebagai  poros-
nya? Tak pelak lagi, kunjungan tunggadewa  akan 
menjadi sumber bagi desas-desus bahwa ia ber-
komplot melawan  aidit . Dan yang jelas, ia 
hanya menyia-nyiakan waktu dengan kunjungan 
itu, apalagi ia berada di ambang keberangkatan 
untuk berperang di provinsi-provinsi Barat. 
"Aku harus mencegahnya. Apa pun yang akan 
terjadi, aku harus menccgahnya." sesudah   meng-
ambil keputusan ini, gajayana  akhirnya meme-
jamkan mata. Pada saat berhadapan dengan 
tunggadewa  nanti, ia tentu akan memancing caci 
maki dari sepupunya itu atau membuatnya marah 
sekali, namun  ia akan berusaha sekuat tenaga untuk 
mencegahnya. Dengan tekad ini, ia pun terlelap. 
Keesokan paginya ia bangun lebih pagi dibandingkan  
biasa, namun  saat  sedang membasuh muka, ia men-
dengar suara langkah menyusuri selasar ke arah 
jalan masuk. gajayana  memanggil dan meng-
hentikan salah seorang  centeng adipati  
"Siapa yang pergi ?" 
"Yang Mulia tunggadewa ." 
"Apa?!" 
"Benar, tuanku. Beliau memakai baju tipis un-
tuk pergi ke gunung, hanya ditambah   oleh  Amano 
Genemon. Mereka hendak berkuda sampai ke 
chucky . Itulah yang baru saja dikatakan Yang 
Mulia tunggadewa , saat  dia mengikat sandal 
jeraminya di gerbang." 
  
gajayana  tak pernah melalaikan doa pagi di 
hadapan tempat persembahan benteng kota dan altar 
keluarga, namun  kali ini ia mengabaikan kedua-
duanya. Ia membawa    pedang panjang dan pendek, 
lalu bergegas menuju gerbang. namun  tunggadewa   
dan pengikutnya sudah berangkat. gajayana  
hanya menjumpai pata pembantu yang mengantar 
mereka  dan kini memandang ke arah awan -awan  
putih di atas Shimeigatake. 
 
"Kelihatannya di sini pun musim hujan sudah 
mulai berakhir." 
Kabut pagi yang menyelubungi hutan pinus di 
balik benteng kota belum menipis, hingga menyebab-
kan daerah sekitar tampak seperti dasar lautan. 
Kedua penunggang kuda itu melewati hutan 
dengan santai. Seekor burung besar terbang di atas 
kepala mereka mengepakkan sayap dengan 
anggun. 
"Cuacanya bagus, bukan, Genemon?" 
"Kalau terus seperti ini, udara di gunung akan 
cerah." 
"Sudah lama aku tidak merasa setenteram 
sekarang." 
"Berarti perjalanan kita tidak sia-sia." 
"Aku ingin sekali bertemu dengan Kepala Biara 
Yokkertoarjo . Itulah satu-satunya tujuan perjalananku 
ini." 
"Hamba rasa dia akan terkejut melihat  tuanku." 
  
"Orang pasti akan curiga seandainya aku meng-
undangnya ke benteng kota sekartanjung . Aku harus 
menemuinya di bawah  empat mata. Siapkan segala  
sesuatu, Genemon. 
"Kemungkinan kedatangan tuanku diketahui 
orang lebih besar di kaki gunung dibandingkan  di atas 
gunung. Bisa repot kalau para warga desa menge-
tahui bahwa Yang Mulia tunggadewa   berkunjung ke 
sini. Sebaiknya tuanku turunkan topi agar me-
nutupi wajah, paling tidak sampai kita tiba di 
chucky ." 
tunggadewa  menarik topinya, sehingga hanya 
mulutnya yang masih kelihatan. 
"Pakaian tuanku sederhana, dan pelana tuanku 
hanya pelana prajurit biasa. Takkan ada yang 
menyangka bahwa tuanku ternyata Yang Mulia 
tunggadewa ." 
"Kalau kau memperlakukanku begitu hormat, 
orang akan langsung curiga." 
"Hamba tidak berpikir sejauh itu," Genemon 
berkata sambil tertawa . "Mulai sekarang hamba 
akan lebih berhati-hati, namun  jangan salahkan 
hamba kalau hamba bersikap kasar." 
Kegiatan pembangunan kembali di kaki 
Gunung brahma sudah  berlangsung selama  dua atau 
tiga tahun, dan perlahan-lahan semua jalan kem-
bali ke wujud semula. saat  kedua penunggang 
kuda itu melewati desa dan membelok ke jalan 
setapak yang menuju Kuil Enryaku, matahari pagi 
  
akhirnya mulai berkilau di permukaan danau. 
"Apa yang akan kita lakukan dengan kuda-kuda 
kita nanti?" tanya Genemon. 
"Tempat persembahan baru sudah dibangun di 
lokasi yang lama. Tentu ada rumah-rumah petani 
di sekitarnya. Kalau tidak, kita bisa menitipkan 
kuda-kuda kita pada salah satu pekerja di tempat 
persembahan." 
Seorang penunggang kuda memacu kudanya, 
berusaha menyusul  mereka. 
"Sepertinya ada yang memanggil kita di 
belakang," ujar Genemon dengan was-was. 
"Kalau ada yang mengejar kita, itu pasti 
gajayana . Kemarin aku memperoleh kesan bahwa 
dia ingin mencegahku melakukan  perjalanan ini." 
"Kelembutan hati dan ketulusan yang dimiliki 
beliau kini sudah jarang ditemui. Beliau hampir 
terlalu lembut sebagai  centeng adipati ." 
"Ah, ternyata memang gajayana ." 
"Kelihaiannya beliau bertekad untuk meng-
hentikan tuanku." 
"Aku takkan berputar arah, tak peduli apa yang 
akan dikatakannya. Barangkali dia tidak ber-
maksud menghentikanku. Jika itu yang ingin 
dilakukannya, dia tentu sudah merebut tali kekang 
kudaku di gerbang benteng kota. Lihat, dia pun 
mengenakan pakaian untuk berpesiar ke gunung." 
Rupanya gajayana  sudah  berubah pikiran. Ia 
merasa sebaiknya tidak menentang keinginan 
  
tunggadewa , namun  justru menemaninya, untuk me-
mastikan sepupunya itu tidak membuat kesalahan. 
gajayana  tersenyum cerah saat   menyejajar-
kan kudanya di samping kuda tunggadewa . "Yang 
Mulia terlalu gesit untukku. Aku sempat terkejut 
tadi pagi. Aku tak menyangka Yang Mulia akan 
berangkat sepagi itu." 
"Dan aku tak menyangka kau hendak menyertai  
kami. sebetulnya  kau tak perlu mengejar-ngejar 
kami seperti ini, kalau saja kita sudah membuat 
janji semalam." 
"Aku memang lalai. Meskipun Yang Mulia 
bepergian sambil menyamar, kukira Yang Mulia 
paling tidak ditambah   sepuluh orang berkuda yang 
membawa    perbekalan ringan. Aku juga tak men-
duga Yang Mulia akan memacu kuda sekencang 
ini." 
"Seandainya ini kunjungan biasa, perkiraanmu 
memang tepat." ujar tunggadewa . "namun  tujuan 
perjalananku hari ini adalah berdoa bagi mereka  
yang bertahun-tahun lalu tewas dalam amukan api, 
dan mengadakan upacara peringatan bagi mereka. 
Tak pernah terlintas dalam benakku untuk mem-
bawa    anggur  dan makanan lezat." 
"Di antara ucapan-ucapan kemarin mungkin 
ada yang menyinggung Yang Mulia, namun  aku 
memang cenderung terlalu berhati-hati. Sebenar-
nya aku hanya tak ingin Yang Mulia melakukan  
sesuatu yang mungkin menimbulkan salah 
  
pengertian di madukara . Melihai pakaian yang 
dikenakan Yang Mulia, dan mengingat bahwa 
Yang Mulia hendak memanjatkan doa bagi mereka  
yang tewas, aku percaya Yang Mulia aidit  pun 
takkan keberatan. Aku sendiri belum pernah ber-
kunjung ke gunung ini, walaupun aku bertempat 
tinggal di benteng kota yang berdekatan dengan 
sekartanjung . Jadi, kupikir sekaranglah kesempatan 
yang baik. Silakan berjalan di depan, Genemon."    
Sambil memacu kudanya agar mengimbangi 
kecepatan kuda tunggadewa , gajayana  mulai me-
ngajaknya berbincang-bincang, seolah-olah takut 
sepupunya itu akan merasa jemu. Ia membicara-
kan tumbuhan dan kembang yang mereka lihat di 
tepi jalan, menjelaskan tingkah laku berbagai 
burung yang ia bedakan berdasarkan kicauan 
masing-masing, dan terus bersikap seperti  perem-
puan ramah yang berusaha menghibur seseorang 
yang bersedih hati sebab   sakit. 
tunggadewa  tak kuasa menolak ungkapan perasa-
an seperti itu, namun  gajayana  hanya berbicara 
tentang alam, sementara pikiran tunggadewa  selalu 
disibukkan oleh  masalah manusia, baik pada saat 
tidur maupun terjaga, atau bahkan kalaupun ia 
sedang  memegang kuas di atas lukisan. Ia hidup di 
tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah per-
saingan, di dalam api dendam dan dengki. Walau-
pun nyanyian tekukur terdengar menggema, darah 
panas yang sempat naik ke pelipisnya pada waktu 
  
ia kembali dari madukara  belumlah dingin. 
saat  tunggadewa  mendaki Gunung brahma, hati-
nya tak pernah tenang, walau sekejap pun. Betapa  
tandusnya tempat itu, dibandingkan kemakmuran 
yang pernah bersemi di sini. Mereka menyusun 
Sungai Gongen ke arah Pagsinuhun  Timur, tanpa 
melihat tanda-tanda kehidupan manusia. Hanya 
kicauan burung yang tidak berubah. Sejak dahulu  
gunung itu terkenal sebagai  tempat perlindungan 
bagi burung-burung langka. 
"Aku tak melihai satu biksu pun," ujar Mitsu-
hide saat   berdiri  di depan reruntuhan sebuah 
kuil. Ia seolah-olah kaget melihat  hasil kesungguh-
sungguhan aidit . "Masa tak ada satu orang 
pun di gunung ini? Coba kita periksa bangunan 
kuil utama." 
Sepertinya ia lebih dari sekadar kecewa. Barang-
kali ia diam-diam berharap akan melihat  kekuatan  
para biksu-prajurit bangkit kembali  di gunung ini. 
namun  saat   mereka  akhirnya tiba di lokasi kuil 
utama dan gedung ceramah, mereka hanya melihat  
gundukan abu. Hanya di sekitar bekas biara 
tampak sejumlah pondok. Bau dupa tercium dari 
arah itu, sehingga Genemon pergi  ke sana untuk 
menyelidikinya. Ia menemukan empat atau lima 
pertapa yang duduk mengelilingi sepanci bubur 
beras yang sedang  dimasak di atas api. 
"Mereka  bilang si Kepala Biara Yokkertoarjo  tidak 
ada di sini," Genemon melaporkan. 
  
"Jika kepala biara itu tak ada di sini, barangkali 
ada cendekiawan  atau pengetua dari zaman dahulu ?" 
Sekali lagi Genemon menghampiri para per-
tapa, namun  jawaban pasti yang lalu  dibawan ya ter-
nyata tidak menggembirakan. "Rupanya tak ada 
orang seperti itu di gunung ini. Mereka tidak 
diperkenankan datang ke sini tanpa izin dari 
madukara  atau dari Gubernur trowulan . Kecuali itu, 
sampai sekarang pun undang-undang tidak mem-
perbolehkan pemukiman permanen di sini, selain  
untuk sekelompok biksu yang jumlahnya dibatasi." 
"Undang-undang tinggal undang-undang," ujar 
tunggadewa , "namun  semangat keagamaan bukan 
seperti api yang dapat disiram air, lalu padam 
untuk selama-lamanya. Kurasa para pengetua 
menyangka kita prajurit dari madukara , sehingga  
mereka mungkin bersembunyi. Si Kepala Biara 
dan para pengetua yang selama tentu berada di 
sekitar sini. Genemon, jelaskan pada pertapa-
pertapa itu bahwa mereka  tak perlu  gelisah khawatir , lalu 
tanyai mereka  sekali lagi." 
saat  Genemon mulai menjauh, gajayana  
berkata pada tunggadewa . "Biar aku saja yang ber-
bicara dengan mereka. Mereka  takkan berani buka 
mulut kalau ditanyai oleh Genemon dengan sikap-
nya yang serbakeras itu." 
namun  saat  menunggu gajayana , tunggadewa  
dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tak di-
sangka-sangka. 
  
Laki-laki itu mengenakan tudung berwarna 
kehijauan dan jubah biksu dengan warna yang 
sama, dan memakai pembalut kaki berwarna putih 
dan  sandal jerami. Usianya lebih dari tujuh puluh 
tahun, namun  bibirnya masih semerah bibir anak 
muda. Alisnya putih bagaikan salju, dan ia tampak 
seperti burung bangau yang memakai jubah biksu. 
Ia membawa    seorang balita  kecil dan dua pelayan. 
"Tuan tunggadewa ? Wah, wah, aku tak menyang-
ka akan bertemu Tuan di sini. Kudengar Tuan 
berada di madukara . Apa yang membawa   Tuan ke 
gunung tandus ini?" 
Bicaranya bukan seperti orang itu, suaranya 
nyaring, dan bibirnya terus-menerus menyungging-
kan senyum. 
Justru sebaliknya. tunggadewa lah yang tampak 
bingung. Terpengaruh oleh sorot mata tajam orang 
itu, tanggapannya jelas-jelas bernada hati-hati. 
"Ah, Sinshe Manase, bukan? Aku bertamu di 
benteng kota sekartanjung  selama beberapa hari, dan 
kupikir berjalan-jalan di pegunungan ini bisa 
memulihkanku dari kesuraman musim hujan." 
"Memang tak ada obat yang lebih mujarab 
untuk jiwa dan raga selain sesekali membersihkan 
ch'i dengan berjalan-jalan di pegunungan dan 
menikmati alam. Sepintas lalu, Tuan kelihatannya 
sudah agak lama mengalami kelelahan. Apakah 
Tuan sedang  cuti sakit dan kembali  ke kampung 
halaman?" sinshe itu bertanya, menyipitkan mata 
  
sampai seukuran jarum. Entah kenapa, tunggadewa   
merasa tak sanggup mengelabui orang dengan 
mata seperti itu. Manase sudah lama berpraktek 
sebagai sinshe, sejak ayah yosodiprojo , rangawesi , 
menduduki posisi pandita . Sudah agak lama kedua 
orang itu tidak berjumpa, namun  tunggadewa  sudah 
beberapa kali berbincang-bincang dengan sinshe 
tersohor itu di madukara . aidit  sering meng-
undang Manase untuk menghadiri upacara minum 
teh, dan setiap kali ia jatuh sakit, ia segera me-
manggil  Manase. aidit  lebih percaya pada 
orang itu dibandingkan  sinshe-sinshenya sendiri. 
Namun pada dasarnya Manase kurang suka 
dipekerjakan oleh para pembesar, dan sebab  ia 
bertempat tinggal di trowulan , bepergian ke madukara  
terasa melelahkan, walaupun ia termasuk orang 
yang tahan banting. 
Saat itulah gajayana  kembali. Ia belum sempat 
mencapai pondok, sebab  Genemon segera  me-
ngejarnya untuk memanggilnya kembali. 
"Kita bertemu seseorang, dan situasinya agak 
kacau." Genemon berbisik. namun  saat  gajayana  
melihat Manase, ia segera  ikut berbincang-bincang 
dengan gembira, menunjukkan bahwa ia pun 
akrab dengan sinshe itu. 
"Ini kejutan yang menyenangkan, Tuan Manase. 
Tuan Sinshe selalu tampak lebih sehat dibandingkan  
orang yang berada di puncak kejayaannya. Tuan 
datang dari trowulan ? Barangkali Tuan juga ingin 
  
menikmati keindahan alam di sini?" 
Manase gemar mengobrol, dan ia gembira 
sebab   berjumpa teman lama di atas gunung. 
"Setiap tahun, di musim semi atau awal  musim 
panas, aku mendaki Gunung brahma, dan sekali lagi 
di musim gugur. Di sini pasti banyak tumbuhan 
untuk jamu yang belum kita kenal." 
Sepertinya Manase tidak terlalu memperhatikan 
tunggadewa , meski sesekali ia menatap orang itu 
dengan pandangan seorang sinshe. Akhirnya ia 
mengalihkan pembicaraan pada kesehatan Mitsu-
hide. 
"Kudengar dari Yang Mulia gajayana  bahwa 
Tuan akan segera bertolak ke medan tempur di 
wilayah Barat. Jagalah kesehatan Tuan baik-baik. 
Kalau orang sudah melewati umur lima puluh, dia 
sukar menyangkal usianya, tak peduli seberapa 
kuatnya orang itu." 
Dalam ucapannya tersirat rasa prihatin men-
dalam. 
"Begitukah?" tunggadewa  tersenyum dan menang-
gapi saran Manase, seakan-akan membicarakan 
kesehatan orang lain. "Belakangan ini aku memang  
kurang enak badan, namun  badanku kuat, dan aku 
tidak menganggap diriku sakit." 
"Hmm, jangan terlalu percaya. Orang sakit sebaik-
nya menyadari keadaannya dan mengambil lang-
kah pencegahan yang tepat. Kalau seseorang  
terlalu percaya, seperti Tuan, bukan tak mungkin dia 
  
membuat kesalahan fatal." 
"Kalau begitu, Tuan Sinshe menduga bahwa 
aku digerogoti penyakit yang sudah  berurat-berakar? 
"Hanya dengan mengamati paras dan men-
dengarkan suara tuan sudah ketahuan bahwa 
kondisi kesehatan Tuan tidak seperti biasanya. 
Kurasa penyebabnya bukan penyakit, melainkan 
kelelahan pada organ-organ tubuh tuan." 
"Kalau itu masalahnya, aku pun sependapat. 
sebab   berbagai pertempuran dalam tahun-tahun 
terakhir dan sebab  pengabdianku pada jun-
junganku, aku kerap memakai tubuh ini melewati 
batas kekuatannya." 
"Membicarakan hal seperti ini di hadapan Tuan 
tak ubahnya mengajarkan Dharma kepada sang 
zoroaster , namun  sebetulnya  Tuan perlu lebih 
menjaga kesehatan. Kelima organ tubuh hati, 
jantung, limpa, paru-paru, dan ginjal terwujud 
dalam kelima aspirasi, kelima tenaga, dan kelima 
suara. Sebagai contoh, jika hati terkena penyakit. 
air mata Tuan akan berlebihan; jika jantung ter-
luka, Tuan akan dikujawa  rasa rakut, seberapa 
besar pun keberanian Tuan biasanya; jika limpa 
terganggu, Tuan akan mudah marah; jika paru-
paru tidak berfungsi dengan benar, Tuan akan 
mengalami siksaan mental dan tidak memiliki 
kekuatan psikologis untuk memahami sebabnya. 
Dan jika ginjal Tuan lemah, perasaan Tuan akan 
terombang-ambing dengan hebat." 
  
Manase terus mengamati paras laki-laki di 
hadapannya. namun  tunggadewa  sendiri merasa percaya 
akan kesehatannya, dan tidak berniat mendengar-
kan ucapan Manase. Ia berusaha menutup-nutupi 
perasaannya dan memaksakan senyum, namun 
sebetulnya  ia merasa jengkel dan tidak senang. 
Akhirnya, sesudah  kesabarannya habis, ia me-
nunggu-nunggu kesempatan untuk menjauhi 
orang tua itu. 
Manase, di pihak lain, tidak bermaksud ber-
henti di tengah jalan Meskipun ia memahami arti 
sorot mata tunggadewa , ia terus menasihatinya. 
"Sejak pertama berjumpa dengan Tuan tadi, 
warna kulit Tuan sudah menarik perhatianku. 
Kelihatannya Tuan takut atau cemas mengenai 
sesuatu. Tuan berusaha menampik kemarahan, 
namun  aku melihat bahwa mata Tuan tidak hanya 
berisi kemarahan laki-laki, melainkan juga air mata 
wanita lesbian . Belakangan ini pernahkah Tuan 
merasa kedinginan sampai ke ujung jari tangan 
dan kaki pada malam hari? Dan bagaimana dengan 
suara mendenging di telinga? Atau air liur yang 
mengering dan mulut yang rasanya seperti habis 
mengunyah onak duri? Adakah gejala-gejala ini 
pada diri Tuan?" 
"Memang adakalanya aku tak sanggup meme-
jamkan mata, namun  semalam aku tidur nyenyak. 
Baiklah, aku berterima kasih atas perhatian Tuan 
Sinshe, aku akan memperhatikan makananku dan 
  
terus minum obat," tunggadewa  segera  memanfaat-
kan kesempatan ini, dan memberikan isyarat pada 
gajayana  dan Genemon bahwa sudah waktunya 
mereka berangkat lagi. 
 

 
Hari itu Shinshi Sakuzaemon, pengikut marga 
tribuana , bertolak dari madukara  ke benteng kota Saka-
moto, ditambah   romhongan kecil. Keberangkatan 
junjungannya, tunggadewa , begitu mendadak, se-
hingga Shinshi tinggal lebih lama untuk menye-
lesaikan urusan-urusan yang belum tuntas. 
Begitu ia berganti baju sesudah   tiba di benteng kota 
sekartanjung , beberapa orang berkerumun di kamar-
nya dan menghujaninya dengan pertanyaan. 
"Bagaimana keadaannya sesudah kami pergi?" 
"Seperti apa desas-desus yang menyebar di 
madukara  sesudah   Yang Mulia berangkat?" 
Shinshi menjawab  sambil mengertakkan gigi, 
"Baru 9 hari berlalu sejak Yang Mulia me-
ninggalkan madukara , namun  bagi orang-orang yang 
menerima upah dari marga tribuana , rasanya seperti 
tiga tahun berbaring di atas paku. Semua pelayan 
dan orang biasa di madukara  sempat melewati bangsal 
besar yang kosong tambil mencerca. 'Inikah tempat 
yang ditinggalkan Tuan tunggadewa ? Pantai saja 
baunya seperti ikan busuk. Kalau begini terus, 
cahaya yang menerangi si Kepala Jeruk tentu akan 
  
segera  padam.'" 
"Tak ada yang mencela tindakan Yang Mulia 
aidit  sebagai  tindakan yang tak masuk akal 
atau tidak adil?" 
"Pasti ada beberapa  pengikut yang memahami 
duduk perkaranya. Apa kata mereka?" 
"Selama beberapa hari sesudah  keberangkatan 
Yang Mulia, berlangsung jamuan makan untuk 
Yang Mulia mpu mojosongo , dan semua  orang di benteng kota 
madukara  disibukkan oleh  acara itu. Barangkali Yang 
Mulia mpu mojosongo  merasa heran bahwa pejabat yang 
bertanggung jawab  atas penyelenggaraan jamuan 
itu mendadak diganti, dan kabarnya beliau sempat 
bertanya pada Yang Mulia aidit  mengapa 
Yang Mulia tunggadewa  tiba-tiba menghilang. namun  
Yang Mulia aidit  hanya menjawab  acuh tak 
acuh bahwa dia menyuruhnya pulang ke kampung 
halamannya." 
Semua  yang mendengar laporan ini menggigit 
bibir. Shinshi lalu  memberitahu rekan-
rekannya bahwa sebagian besar pengikut senior 
marga sinuhun  merasakan  kemalangan yang menimpa 
tunggadewa  sebagai keuntungan bagi mereka. 
Kecuali itu, ada kemungkinan aidit  hendak 
memindahkan marga tribuana  ke suatu tempat  
terpencil. Ini tak lebih dari desas-desus, namun 
jarang ada asap tanpa api.  mpu salmah , pelayan 
kesayangan aidit , merupakan putra patih 
ki abang , pengikut marga sinuhun  yang beberapa  
  
tahun silam gugur dalam pertempuran di 
sekartanjung . sebab   alasan ini,  mpu salmah  diam-diam 
mendambakan benteng kota sekartanjung . Dan konon 
aidit  sudah  berjanji untuk memberikan 
benteng kota itu padanya. 
Dan masih ada lagi. Banyak orang beranggapan 
bahwa tunggadewa  sengaja ditugaskan menuju Jalan 
Raya Sanin, dengan perhitungan bahwa sesudah  
menduduki wilayah itu, ia akan segera diangkat 
sebagai  gubernur. benteng kota sekartanjung , yang begitu 
dekat ke madukara , lalu  akan diserahkan pada 
patih  mpu salmah . 
Sebagai bukti, Shinshi menyinggung perintah 
yang diberikan kepada tunggadewa  oleh aidit  
pada hari kesembilan belas di bulan itu, lalu 
berpaling dengan geram. Ia tak perlu memberi 
penjelasan. Perintah itu sudah  menyulut ke-
marahan tunggadewa  dan semua pengikutnya. 
Bunyinya sebagai  berikut: 
 
Agar kau dapat bertindak sebagai barisan belakang di 
pengandaran , kau harus bertolak dari kampung halamanmu 
dalam beberapa hari mendatang, dan dengan 
demikian mendahului ku ke medan perang. sesudah  tiba di 
sana, tunggu perintah lebih lanjut dari Hideyothi. 
 
Surat itu , yang disebarkan pada semua  
resi  dan pengikut sinuhun , jelas-jelas ditulis atas 
suruhan aidit . Jadi, saat   surat itu sampai 
ke tangan para prajurit marga tribuana , mereka  
  
begitu geram sampai meniiikkan air mata ke-
marahan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa marga 
tribuana  dipandang lebih tinggi kedudukannya 
dibandingkan  marga dasna dan Hori, dan setingkat 
dengan marga Haeyang  dan nyoto . Meski 
demikian, junjungan mereka bukan saja dicantum-
kan di bawah  nama komandan-komandan itu, namun  
juga ditempatkan di bawah  komando patih ronggolawe . 
Pelecehan terhadap kedudukannya merupakan 
penghinaan terbesar yang mungkin dialami se-
orang  centeng adipati . Rasa malu akibat peristiwa jamuan 
makan kini ditambah  lagi dengan perintah itu. 
Sekali lagi orang-orang tribuana  merasa sakit hati. 
Sore sudah  berganti senja, dan matahari yang 
sedang  terbenam memancarkan cahayanya yang 
terakhir. Tak ada yang angkat bicara, namun  tak 
sedikit yang menitikkan air mata. saat  itulah 
suara langkah sejumlah centeng adipati  terdengar di 
selasar. Menduga bahwa junjungan mereka  sudah  
kembali, orang-orang itu berhamburan keluar 
untuk mcnyambutnya. 
Hanya Shinshi yang menunggu sampai di-
panggil. namun  tunggadewa , yang memang baru tiba 
dari Gunung brahma, baru memanggil Shinshi sesudah   
mandi dan makan. 
Kecuali gajayana , tak seorang pun berada ber-
samanya, dan Shinshi melaporkan sesuatu yang 
tidak diceritakannya kepada para pengikut lain, 
yaitu bahwa aidit  sudah  mengambil kepu-
  
tusan dan sedang bersiap-siap untuk bertolak dari 
madukara  pada hari kedua puluh sembilan di bulan 
itu. Ia akan menginap satu malam di trowulan , lalu 
segera  menuju wilayah Barat. 
tunggadewa  mendengarkan dengan saksama. 
Sorot matanya mencerminkan kecerdasan dan 
kecermartn yang dimilikinya. Ia menanggapi setiap  
ucapan Shinshi dengan anggukan kepala. 
"Berapa orang yang akan menyertai beliau?" 
tanyanya. 
"Beliau akan ditemani beberapa pengikut dan 
sekitar tiga puluh sampai empat puluh pelayan." 
"Apa?! Beliau hendak pergi ke trowulan  dengan 
rombongan sekecil itu?" 
Sejak semula gajayana  lebih banyak diam, namun  
sebab  kini tunggadewa  pun membisu, ia memper-
silakan Shinshi menarik diri dari hadapan mereka. 
sesudah  Shinshi pergi, gajayana  dan tunggadewa  
kembali berduaan saja. tunggadewa  seolah-olah 
ingin mencurahkan isi hati kepada sepupunya, namun  
gajayana  tidak memberikan kesempatan pada-
nya. gajayana  justru berbicara mengenai kesetia-
an terhadap aidit , dan mendesak tunggadewa  
untuk segera berangkat ke wilayah Barat, agar tidak 
menyulut kemarahan junjungannya. 
Sikap tulus yang diperlihatkan sepupunya di-
warnai suatu ketegaran yang selama  empat puluh 
tahun terakhir menjadi tempat bertumpu bagi 
tunggadewa , dan kini ia memandang gajayana   
  
sebagai orang yang paling dapat diandalkan. 
sebab  itu, meskipun sikap gajayana  tidak se-
jalan dengan hari nurani tunggadewa , ia tak bisa 
marah atau mencoba mendesaknya. 
sesudah  hening beberapa saat, tunggadewa  men-
dadak berkata. "Sebaiknya kita utus rombongan 
pendahuluan untuk menemui para pengikutku di 
Kameyama, supaya persiapan untuk menuju 
medan perang dapat dirampungkan secepat 
mungkin. Dapatkah kau mengurus itu, Mitsu-
haru?" 
Dengan gembira gajayana  menyanggupi 
permintaan itu. 
Malam itu sebuah rombongan bergegas menuju 
benteng kota Kameyama. 
Sekitar giliran jaga keempat, tunggadewa  tiba-tiba 
duduk tegak. Bermimpikah ia? Ataukah ia untuk 
kesekian kali memikirkan sesuatu, lalu menyingkir-
kan gagasan itu dari dalam benaknya? Tak lama 
lalu  ia kembali  menyelimuti tubuhnya dan 
berusaha tidur lagi. 
Kabut atau hujankah yang mempengaruhi diri-
nya? Debur ombak di danau, atau angin yang 
bertiup dari puncak Gunung brahma? Sepanjang 
malam, angin dari gunung itu tak henti-hentinya 
berembus. Walaupun tidak sampai menerobos ke 
dalam, lilin di samping bantal tunggadewa  berkelap-
kelip, seakan-akan digoyang-goyangkan oleh roh 
jahat. 
  
tunggadewa  membalikkan badan. Walaupun di 
musim panas ini malam tak berlangsung lama, bagi 
tunggadewa  rasanya pagi masih lama sekali. Akhir-
nya, saat  irama napasnya baru saja mulai teratur, 
ia sekali lagi menyingkap selimut dan duduk tegak. 
"Ada siapa di sana?" ia berseru ke arah ruang-
ruang para pelayan. 
Sayup-sayup terdengar bunyi pintu bergeser. 
Pelayan yang bertugas jaga malam masuk tanpa 
bersuara dan langsung bersujud. 
"Suruh Matabei segera datang ke sini." Mitsu-
hide memerintahkan. 
Semua  orang di tempat  tinggal para centeng adipati  
sedang tidur lelap, namun  berhubung sejumlah 
pengikut tunggadewa  bertolak ke Kameyama  pada 
sore sebelumnya, mereka  yang masih berada di 
sekartanjung  diliputi ketegangan, sebab   tidak tahu 
kapan junjungan mereka, tunggadewa , akan menyu-
sul. Malam itu semuanya naik ke peraduan dengan 
pakaian perjalanan sudah  siap di samping bantal. 
"Tuanku memanggil  hamba?" 
Yomsinuhun  Matabei muncul. Ia pemuda kekar 
yang sudah  menarik perhatian tunggadewa . 
tunggadewa  menyuruhnya mendekat dan membisik-
kan sebuah perintah ke telinganya. 
saat  menerima perintah rahasia dari Mitsu-
hide, wajah pemuda itu memperlihatkan emosi 
meluap-luap. 
"Sekarang juga hamba akan berangkat!" ia men-
  
jawab , menanggapi kepercayaan junjungannya de-
ngan segenap haii. 
"Kau pasti dikenali sebagai  centeng adipati  tribuana , jadi 
pergilah cepat-cepat sebelum fajar menyingsing. 
Gunakan akalmu. dan jangan lakukan kesalahan." 
sesudah  Matabei pergi, ternyata masih ada waktu 
sebelum hari terang, dan baru sekarang tunggadewa  
dapat tidur nyenyak. Banyak pengikutnya men-
duga bahwa pada hari itulah mereka akan berang-
kat ke Kameyama, dan bahwa rencana itu  
akan diumumkan pagi-pagi sekali. Mereka ter-
peranjat saat  mengetahui bahwa junjungan 
mereka ternyata bangun lebih siang dibandingkan  
biasanya.  
Menjelang siang, suara tunggadewa  terdengar di 
bangsal. 
"Kemarin aku seharian berjalan-jalan di gunung, 
dan sudah lama aku tidak tidur senyenyak se-
malam. Barangkali itu sebabnya aku merasa begitu 
enak hari ini. Rupanya aku sudah sembuh 
sepenuhnya." 
Para pengikutnya tampak lega. Tak lama ke-
mudian tunggadewa  memberikan  sebuah perintah 
kepada para pembantunya. 
"Malam ini, pada pertengahan kedua Jam Ayam 
Jantan, kita akan bertolak dari sekartanjung , 
menyeberangi Sungai Shirakkertoarjo , melewati bagian 
utara trowulan , dan kembali  ke Kameyama. Pastikan 
semua  persiapan sudah  rampung." 
  
Lebih dari 50000 prajurit akan menyertainya 
ke Kameyama. Malam mendekat. tunggadewa  
mengenakan pakaian perjalanan dan keluar untuk 
mencari gajayana . 
"sebab  aku akan menuju wilayah Barat, aku 
tak bisa memastikan kapan aku akan kembali. 
Malam ini aku ingin bersantap bersamamu dan 
keluargamu." 
Dengan demikian mereka sekali lagi berkumpul 
dalam lingkungan keluarga, sampai tunggadewa  
berangkai. 
Orang tertua yang hadir adalah paman 
tunggadewa  yang terkenal eksentrik, Chokansai. 
yang sudah  mengucapkan sumpah keagamaan. 
Tahun itu ia berusia enam puluh enam tahun, 
bebas dari penyakit apapun, dan ia gemar men-
ceritakan lelucon. Ia duduk bersebelahan dengan 
putra gajayana  yang berusia tujuh tahun dan 
menggsinuhun nya dengan jenaka. 
namun  orang tua yang baik hari itulah satu-
satunya yang tersenyum dari awal  sampai akhir. 
Tanpa menyadari karang-karang tersembunyi yang 
mengancam marga tribuana , ia mempercayakan sisa 
usianya pada kapal yang sedang  berlayar di laut 
musim semi, dan ia tampak setenteram biasanya. 
"Suasana begitu semarak di sini. Rasanya seperti  
di rumah sendiri. Pak Tua, berikan baskom ini pada 
Mitsutada.'" 
tunggadewa  sudah  menghabiskan dua atau tiga 
  
baskom , dan kini menyerahkan baskom nya pada 
Chokansai, yang lalu  menimbang nya pada 
kepribadian  -nya, Mitsutada. 
Mitsutada komandan Bcnteng Hachijo dan 
baru tiba hari itu. Ia yang termuda di antara ketiga 
sepupu. 
Mitsutada mereguk anggur -nya, dan sambil ber-
ingsut-ingsut mendekati tunggadewa , mengembali-
kan baskom . Istri gajayana  memegang botol anggur  
dan menuangkan isinya, dan tepat pada saat itu 
tangan tunggadewa  mulai gemetar. Biasanya ia tidak 
termasuk orang yang mungkin terkejut sebab  
bunyi tak terduga, namun  sekarang, saat  seorang  
prajurit memukul genderang di muka benteng kota, 
wajahnya mulai agak memucat. 
Chokansai berpaling pada tunggadewa  dan ber-
kata. "Sebentar lagi Jam Ayam Jantan sudah tiba, 
jadi itu pasti genderang yang memanggil centeng  
ke lapangan upacara." 
tunggadewa  semakin muram. "Aku tahu," ia 
berkata dengan nada getir, lalu menghabiskan isi 
baskom terakhir. 
Dalam satu jam ia sudah siap di atas kuda. Di 
bawah  bintang-bintang yang bersinar redup, tiga 
ribu orang meninggalkan benteng kota di tepi danau 
dengan membawa   obor. Mereka membentuk 
barisan meliuk-liuk, dan menghilang di perbukitan 
di Shimeigatake. 
gajayana  memperhatikan mereka dari puncak 
  
benteng kota. Ia akan menyusun kesatuan yang terdiri 
atas pengikut-pengikut sekartanjung  semata-mata, dan 
akan bergabung dengan centeng  utama di 
Kameyama lalu . 
centeng  di bawah  tunggadewa  berbaris tanpa ber-
henti. Tepat tengah malam mereka memandang  
dari sebelah Shimeigatake dan melihat  kota trowulan  
yang sedang  terlelap. 
Untuk menyeberangi Sungai Shirakkertoarjo , mereka  
akan menuruni lereng Gunung Uriyu dan tiba di 
jalan raya sebelah selatan Kuil Ichijo. Sejak tadi 
mereka terus mendaki, namun  mulai tilik itu jalan 
setapak yang mereka susuri akan terus menurun. 
"Kita beristirahat sebentar!" 
Mitsutada menyampaikan perintah tunggadewa  
kepada para prajurit. 
tunggadewa  pun turun dari kudanya, melepas 
lelah sejenak. Seandainya mereka  tiba pada siang 
hari, ia akan dapat melihat  jalan-jalan di ibu kota. 
namun  kini seluruh kota diselubungi kegelapan, dan 
hanya atap-atap kuil dan puncak-puncak pagsinuhun  
dan  sungai lebar yang tampak membayang. 
"Apakah Yomsinuhun  sudah menyusul  kita?" 
"Sejak semalam hamba belum melihatnya. 
Apakah tuanku memberikan tugas khusus pada-
nya?"  
"Benar." 
"Pergi  ke manakah dia?" 
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kalau dia kem-
  
bali, suruh dia menemuiku dengan segera. Biarpun 
kita di tengah perjalanan."  
"Baik. tuanku." 
Begitu terdiam kembali, tunggadewa  kembali  
mengalihkan pandangannya ke arah atap-atap 
gelap di kota. Barangkali sebab  kabut mulai 
menipis atau sebab  matanya sudah mulai terbiasa 
dengan kegelapan malam, berangsur-angsur ia 
dapat membeda-bedakan bangunan-bangunan di 
ibu kota. Tembok putih Istana Nijo-lah yang 
paling berkilau. 
Dengan sendirinya pandangan tunggadewa  ter-
tarik ke titik putih iiu. D sanalah putra aidit , 
tungguljaya, menginap. Juga ada prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  
yang sudah  meninggalkan madukara  beberapa hari 
yang lalu dan pergi  ke ibu kota. Yang Mulia mpu mojosongo  
mungkin sudah meninggalkan ibu kota, pikir 
tunggadewa  . 
Akhirnya ia bangkit dengan tiba-tiba, mengejut-
kan semua  resi nya. "Ayo kita berangkai lagi. 
Kudaku." 
Kecemasan para bawah annya mirip  riak 
yang berpusat pada tindak-tanduknya yang serba 
gelisah. Dalam beberapa hari terakhir ia secara ber-
kala mengucilkan diri dari para pengikutnya, dan 
tingkah lakunya lebih seperti  anak yatim dibandingkan  
pemimpin marga centeng adipati . 
Walaupun para prajurit hanya dengan susah 
payah dapat mengikuti jalan setapak dalam 
  
kegelapan berkerumun di sekeliling tunggadewa  
dan bolak-balik menyerukan peringatan mereka  
terus turun perlahan-lahan, dan akhirnya men-
dekati pinggiran ibu koia. 
saat  barisan ke50000 orang dan kuda 
mencapai Sungai Kamo dan berhenti sejenak, 
semua prajurit menoleh ke belakang, dan Mitsu-
hide pun melakukan hal yang sama. Melihai 
gelombang-gelombang di sungai memantulkan 
cahaya merah, mereka  tahu bahwa matahari pagi 
sudah muncul dari balik punggung bukit di 
belakang mereka. 
Perwira yang bertanggung jawab  atas perbekalan 
centeng  menghampiri Mitsutada dan bertanya 
mengenai makan pagi. "Apakah kita akan makan 
di sini, atau melanjutkan perjalanan sampai ke 
Nishijin?" 
Mitsutada baru ingin menanyakan kehendak 
tunggadewa , namun  pada saat itu Yomsinuhun  Masataka 
sedang berada di samping tunggadewa , dan kedua 
orang itu mengarahkan pandangan mereka ke 
Sungai Shirakkertoarjo  yang sudah  mereka lintasi. 
Mitsutada memutuskan untuk menunggu.  
"Masataka, Matabei-kah itu? 
"Kelihatannya begitu." 
tunggadewa  dan Masataka memperhatikan se-
orang penunggang kuda berpacu melewati kabut 
pagi. 
"Matabei." Sementara menunggu orang yang 
  
kedatangannya sudah  dinanti-nantikan itu, Mitsu-
hide berpaling kepada para komandan di sekeli-
lingnya. "Kalian pergilah menyeberangi sungai. 
Aku akan segera  menyusul." 
Barisan depan sudah  melintasi bagian dangkal 
Sungai Kamo ke tepi seberang. Para komandan 
lain segera menjalankan perintah tunggadewa . Lang-
kah kuda-kuda mereka menimbulkan buih putih 
di air yang bening. Satu per satu mereka  menye-
berangi sungai itu. 
Mitsutada memanfaatkan kesempatan ini untuk 
bertanya, "Di manakah kita akan makan pagi? 
Apakah kiia sebaiknya menunggu  sampai kita tiba 
di Nishijin?" 
"Semuanya pasti lapar, namun  lebih baik kita tidak 
berhenti di wilayah ibu kota. Kita akan menerus-
kan perjalanan sampai Kitano," balas tunggadewa . 
Pada jarak sekitar dua puluh meter, Yomsinuhun  
Matabei turun dari kuda dan melilitkan tali 
kekang pada sebuah tonggak yang tertancap di 
dasar sungai. 
"Mitsutada dan Masataka, kalian berdua ikut 
menyeberang, lalu tunggu aku di sana. Jangan 
gelisah khawatir , aku takkan lama." 
Baru sesudah   kedua orang terakhir ini menjauh, 
tunggadewa  berpaling pada Matabei dan memberi 
isyarat agar ia mendekat. 
"Baik, tuanku!" 
"Bagaimana keadaan di madukara ?" 
  
"Laporan yang sudah  tuanku dengar dari Amano 
Genemon rupanya benar." 
"Aku menyuruhmu menyelidiki kebenarannya 
untuk memastikan apakah Yang Mulia aidit  
akan meninggalkan ibu kota pada hari kedua 
puluh sembilan, dan  untuk mengetahui seberapa 
besar rombongan yang dibawan ya. jawab anmu 
bahwa laporan sebelumnya tidak keliru tak ber-
guna sama sekali. jawab lah dengan tegas: Apakah 
informasi itu dapat diandalkan atau tidak?" 
"Sudah dapat dipastikan bahwa beliau akan 
bertolak dari madukara  pada hari kedua puluh 
sembilan. Hamba tidak berhasil memperoleh  
nama para resi   utama yang akan menyertainya, 
namun  sudah  diumumkan bahwa beliau akan mem-
bawa   rombongan yang terdiri atas sekitar empat 
puluh sampai lima puluh pelayan dan pembantu 
dekat." 
"Bagaimana dengan tempat penginapan beliau 
di ibu kota?" 
"Beliau akan menginap di Kuil purwojati ." 
"Apa?! Kuil purwojati ?" 
"Benar, tuanku." 
"Bukan di Istana Nijo?" 
"Semua laporan menyebutkan bahwa beliau 
akan bermalam di Kuil purwojati ," Matabei men-
jawab  tegas, agar tidak dicerca sekali lagi. 
  
Tempat Persembahan Dewa Api 
 
 
 
TEPAT di tengah tembok lumpur itu ada 
gerbang berukuran raksasa, dan masing-masing 
anak candi mempunyat pagar dan gerbang  sendiri. 
Hutan cemara seolah-olah disapu sampai bersih, 
dan kelihatan seperti  taman Zen. Kicauan burung 
dan sinar matahari yang menerobos lewat puncak 
pepohonan semakin  memperkuat suasana damai. 
sesudah  mengikat kuda masing-masing, Mitsu-
hide  dan para pengikutnya menyantap bekal yang 
mereka siapkan untuk makan pagi dan makan 
siang. Walau semua  berencana untuk makan pagi 
di dekat Sungai Kamo, mereka akhirnya menung-
gu  sampai tiba di Kitano. 
Tiga atau empat biksu dari Kuil Myoshin yang 
berdekatan mengenali orang-orang itu sebagai  
anggota marga tribuana , dan mengundang mereka  
ke pekarangan kuil. 
Para prajurit membawa   ransum untuk satu hari: 
tahu mentah, acar buah prem, dan nasi. Sejak se-
malam mereka belum mengisi perut, dan kini 
mereka makan dengan lahap. 
tunggadewa  menduduki sebuah kursi dalam 
bayangan tirai yang didirikan para pembantunya. 
Ia sudah  selesai makan dan sedang mendiktekan 
surat pada sekretarisnya. 
  
"Para biksu dari Kuil Myoshin... mereka  paling 
cepat sebagai kurir! Panggil mereka ke sini!" Ia 
memerintahkan seorang pelayan. saat  para biksu 
kembali, tunggadewa  menyerahkan surat yang di-
tulis oleh sekretarisnya. "Bersediakah kalian meng-
antarkan surat ini ke kediaman Penyair Shoha 
dengan segera?" 
Segera sesudah nya ia berdiri dan menuju kuda-
nya, sambil berkata kepada para biksu, "Sayang 
sekali kami tak punya waktu luang dalam per-
jalanan ini. Aku terpaksa tak dapat menemui Tuan 
Kepala Biksu. Tolong sampaikan salamku pada-
nya." 
Udara sore semakin  panas. Jalan raya menuju 
Saga kering kerontang, dan dengan setiap  lang-
kah, kuda-kuda mereka menerbangkan awan  debu. 
tunggadewa  terus membisu. Ia sedang memikirkan 
sebuah rencana dengan ketelitian yang sudah  men-
jadi ciri khasnya, menimbang-nimbang peluang 
untuk berhasil, memperkirakan reaksi masyarakat, 
menaksir kemungkinan gagal. Seperti lalat kuda 
yang selalu kembali meski terus diusir, rencana itu 
sudah  menjadi obsesi yang tak dapat disingkirkan 
dari dalam benak tunggadewa . Sebuah mimpi buruk 
sudah  mengujawa  dirinya dan mengisi seluruh 
tubuhnya dengan racun. Ia sudah  kehilangan ke-
mampuannya untuk berpikir dengan akal sehat. 
Sepanjang hidupnya belum pernah tunggadewa  
mengandalkan kebijakannya seperti sekarang. Wa-
  
lau secara objektif ia seharusnya meragukan pe-
nilaiannya sendiri, secara subjektif ia justru merasa 
sebaliknya. Aku tidak membuat  kesalahan sekecil 
apa pun, kata tunggadewa  dalam hati. Takkan ada 
yang bisa menebak apa yang kupikirkan. 
Sewaktu berada di sekartanjung , ia sempat goyah: 
Apakah rencananya sebaiknya dilaksanakan atau 
dibatalkan? namun  tadi pagi, saat  mendengarkan  
laporan kedua, ia akhirnya memperoleh kepastian. Ia 
percaya bahwa waktunya sudah  tiba, dan bahwa 
kesempatan ini merupakan berkah dari para dewa. 
aidit , yang hanya ditambah   oleh sekitar empat 
puluh sampai lima puluh orang bersenjata ringan, 
menginap di Kuil purwojati  di trowulan . Saran yang 
mengujawa    tunggadewa  berbisik bahwa kesempatan 
emas seperti  ini tak boleh  disia-siakan. 
Keputusannya bukan merupakan hasil kemau-
annya sendiri, melainkan muncul  sebagai  reaksi ter-
hadap keadaan di sekitarnya. Manusia ingin per-
caya bahwa mereka hidup dan bertindak ber-
dasarkan kemauan mereka sendiri, namun pada 
kenyataannya mereka hanya dipaksa oleh  keada-
an. Jadi, walaupun tunggadewa  percaya  bahwa para 
dewa berada di pihaknya, sebagian dirinya dicekam 
ketakutan bahwa para dewa justru menentang 
segala tindakannya. 
tunggadewa  menyeberangi Sungai Katsura dan 
mencapai benteng kota Kameyama pada malam hari, 
tepat saat  matahari terbenam. sebab  sudah  
  
diberitahu bahwa junjungan mereka akan pulang, 
para warga kota Kameyama menyambutnya dengan 
sejumlah api unggun yang menerangi langit 
malam. tunggadewa  merupakan penguasa yang di-
cintai rakyat, sebab   gaya pemerintahannya yang 
arif. 
Jumlah hari dalam setahun yang dihabiskan 
tunggadewa  bersama keluarganya dapat dihitung 
dengan jari satu tangan. Selama operasi militer ber-
kepanjangan, ia mungkin saja tidak pulang selama  
dua, bahkan tiga tahun. sebab  itu, hari-hari 
saat  ia berada di rumah disemarakkan oleh ke-
gembiraan berkumpul bersama anak-istri dan ber-
tindak sebagai  suami dan ayah. 
tunggadewa  dianugerahi keluarga yang luar biasa 
besar, dengan tujuh putri dan dua belas putra. 
Dua pertiga dari mereka sudah menikah atau 
diangkat anak oleh keluarga lain, namun  beberapa  
dari yang masih kecil, dan  anak-anak kaum 
kerabat dan cucu-cucu mereka, masih tinggal di 
dalam benteng kota. 
Istri tunggadewa , Teruko, selalu berkata, "Berapa 
usiaku saat aku tak perlu  mengurus anak lagi?" Ia 
mengasuh anak-anak para anggota marga yang 
gugur dalam pertempuran, bahkan membesarkan 
anak-anak suaminya dari wanita lesbian  lain. Perem-
puan lembut dan bijak ini sudah  pasrah meng-
hadapi nasib, dan meskipun umurnya sudah lima 
puluh, ia tetap tahan menghadapi anak-anak dan 
  
segala ulah mereka. 
Sejak bertolak dari madukara , tunggadewa  belum 
menemukan kenyamanan yang menyamai berada 
di rumah sendiri, dan malam itu ia tidur pulas. 
Keesokan harinya pun keriangan anak-anaknya 
dan  senyum istrinya yang setia terasa menen-
teramkan hatinya. 
Orang mungkin menyangka suasana semacam 
ini akan membuat ia berubah pikiran, namun  tekad-
nya tidak goyah sedikit pun. Justru sebaliknya, kini 
ia memperoleh  keberanian untuk mewujud-kan 
ambisi yang bahkan lebih tersembunyi lagi. 
Teruko sudah  berada di sampingnya sejak Mitsu-
hide tidak memiliki  junjungan. Ia puas dengan 
keadaannya sekarang, dan tidak menyimpan 
pikiran selain menjadi ibu bagi anak-anaknya. 
saat   menatap istrinya, tunggadewa   berkata dalam 
hati. "Suamimu takkan selamanya seperti ini. Tak 
lama lagi semua orang akan memandangmu se-
bagai isiri pandita  berikut." Dan pada waktu Mitsu-
hide  memperhaiikan anak-anak dan para anggota 
rumah tangganya yang besar, sejenak ia terbuai 
oleh mimpinya sendiri. Kalian semua akan ku-
boyong dari sini, ke sebuah istana yang bahkan 
lebih megah dibandingkan  madukara . Betapa lebih baha-
gianya hidup kalian kelak! 
lalu , pada hari itu, tunggadewa   meninggal-
kan benteng kota, ditambah   beberapa  pengikut saja. Ia 
mengenakan pakaian ringan dan tidak dilayani 
  
oleh  para pengikut yang biasa. Walaupun tak ada 
pengumuman resmi, para penjaga gerbang pun 
tahu bahwa junjungan mereka akan bermalam di 
Tempat Persembahan Atago. 
Sebelum bertolak ke daerah Barat, tunggadewa   
hendak mendatangi tempat persembahan itu 
untuk memohon keberuntungan dalam pertem-
puran. ditambah   sejumlah teman terdekat, ia akan 
menginap di sana untuk mengadakan acara meng-
gubah sajak, lalu pulang keesokan harinya. 
saat  ia berkata bahwa ia hendak berdoa 
untuk meraih kemenangan dalam pertempuran, 
dan bahwa ia akan mengajak  beberapa  teman dari 
ibu kota, tak seorang pun menduga apa yang ada 
dalam benak tunggadewa . 
Kedua puluh pelayan dan kedua belas pengikut 
berkuda berpakaian lebih ringan dibandingkan  kalau 
mereka pergi untuk berburu. Pada hari sebelum-
nya, rencana kedatangannya sudah  diberitahukan 
kepada para biksu di Kuil Itokuin dan kepada para 
pendeta di Tempat Persembahan Atago, sehingga 
semuanya sudah siap menyambut junjungan mere-
ka. Begitu turun dari kudanya. tunggadewa  mena-
nyai seorang  biksu bernama Gyoyu. 
"Apakah Shoha akan datang?" tunggadewa  ber-
tanya pada biksu itu. saat  Gyoyu menjawab  
bahwa penyair terkcmuka itu sudah  menunggu, 
tunggadewa  berseru, "Apa? Dia sudah di sini? Wah, 
bagus. Apakah dia membawa    penyair-penyair dari 
  
ibu kota?" 
"Rupanya Tuan Shoha tak sempat bersiap-siap. 
Undangan Yang Mulia diterimanya malam ke-
marin, dan semua orang yang hendak diajaknya 
ternyata berhalangan. Selain  putranya, Shinzen, 
dia hanya membawa   dua orang lagi: salah satu 
murid bernama Kennyo, dan seorang saudara ber-
nama Shoshitsu." 
"Begitukah?" tunggadewa  tertawa . "Apakah dia 
mengeluh? Aku tahu permintaanku sukar dipe-
nuhi, namun sesudah  berulang kali mengirim 
tandu dan pengawal  untuk menjemputnya, kali ini 
kupikir sudah sepantasnya dan jauh lebih menye-
nangkan kalau dia yang bersusah payah menemui-
ku. sebab  itulah undanganku demikian men-
dadak. namun , seperti bisa diduga, Shoha tidak 
berpura-pura sakit. Dia langsung mendaki gunung 
dengan terburu-buru.. Shoha tidak sok menjadi 
pertapa, dan dia jelas-jelas teman yang baik." 
Dengan kedua biksu berjalan di depan dan para 
pembantunya di belakang, tunggadewa  menaiki 
tangga batu yang curam. Setiap  kali ia menyangka 
akan melewati tempat datar untuk beberapa  
waktu, namun  ternyata menghadapi tangga lagi. 
Semakin  lama pohon-pohon cemara di sekeliling 
mereka semakin gelap. Mereka  merasakan  malam 
mendekat dengan cepat. Pada setiap langkah, kulit 
mereka merasakan penurunan suhu. Suhu di kaki 
gunung dan puncaknya berbeda cukup jauh. 
  
"Tuan Shoha menyampaikan penyesalannya." 
Gyoyu memberitahu tunggadewa  saat  mereka  
mencapai ruang tamu kuil. "sebetulnya  dia hen-
dak menyambut kedatangan Yang Mulia, namun  
sebab  menduga bahwa Yang Mulia akan berdoa 
dahulu  di kuil-kuil dan tempat-tempat  persembahan, 
dia memutuskan untuk menyambut Yang Mulia 
sesudah  itu." 
tunggadewa  mengangguk tanpa berkata apa-apa. 
Lalu, sehabis minum sebaskom air, ia minta disedia-
kan pemandu. "Pertama-tama, aku ingin meman-
jatkan doa kepada dewa pelindung kuil ini, sesudah   
itu aku akan mengunjungi Tempat Persembahan 
Atago, mumpung hari belum gelap benar." 
Pendeta dari tempat persembahan mengajak  
tamunya menyusuri sebuah jalan setapak yang 
disapu bersih. Ia menaiki tangga luar dan me-
nyalakan lilin-lilin suci. tunggadewa  membungkuk 
rendah-rendah, dan berdiri sambil berdoa untuk 
beberapa waktu. Tiga kali si pendeta mengibaskan 
dahan pohon keramat di atas kepala tunggadewa , 
lalu menyerahkan baskom tembikar ber-isi anggur  suci. 
"Kabarnya tempat persembahan ini dibuat 
untuk Dewa Api. Betulkah itu?" tunggadewa  ber-
tanya lalu .  
"Betul, Yang Mulia," jawab  si pendeta. 
"Dan kata orang, kalau kita memanjatkan doa 
kepada dewa ini lalu berpantang memakai  
api, doa kita akan terkabul." 
  
"Itulah yang dipercayai sejak zaman dahulu ." Si biksu 
menghindari jawaban pasti tegas terhadap per-tanyaan 
itu, lalu mengembalikannya pada Mitsu-hide, 
"Orang-orang kota percaya bahwa jika kita ber-
pantang memakai  api, doa kita akan dikabul-
kan. Hamba pun ingin tahu bagaimana asal mula 
kepercaya an ini." 
lalu  ia mengalihkan pembicaraan, dan 
mulai menjelaskan sejarah tempat persembahan 
itu. Jemu mendengarkan cerita si pendeta, 
tunggadewa  memandang lentera-lentera suci di luar. 
Akhirnya ia berdiri tanpa berkata apa-apa dan 
menuruni tangga. Hari sudah gelap saat  ia 
berjalan ke Tempat Persembahan Atago. Lalu ia 
meninggalkan para biksu, dan pergi  seorang  diri 
ke Kuil pandita  Jizo yang berdekatan. Di sana ia 
menanyakan nasibnya, namun  tanda pertama yang 
diambilnya meramalkan nasib buruk. Ia menarik  
sekali lagi, namun  tanda yang ini pun bertuliskan 
Nasib Buruk. Sejenak tunggadewa  berdiri seperti  
patung. Ia mengangkat kotak berisi tanda-tanda 
nasib, menempelkannya ke kening dengan penuh 
hormat, memejamkan mata, lalu  menarik  
untuk ketiga kali. Kali ini jawab annya Nasib Baik. 
tunggadewa  berbalik dan berjalan ke arah para 
pembantu yang menunggunya. Mereka memper-
hatikannya dari jauh saat  ia menarik tanda-tanda 
nasib, menyangka ia sekadar iseng saja. Bagaimana-
pun, tunggadewa  laki-laki yang sangat bangga akan 
  
kecerdasannya dan selalu bersikap rasional. Ia 
tidak termasuk orang-orang yang memanfaatkan 
ramalan nasib untuk mengambil keputusan. 
 
Cahaya kerlap-kerlip di ruang tamu menerangi 
daun-daun muda. Malam ini Shoha dan rekan-
rekan penyairnya akan menggerus tinta di batu 
tinta untuk mceuliskan sajak masing-masing. 
Acara pada malam hari dimulai dengan jamuan 
makan di mana tunggadewa  menjadi tamu kehor-
matan. Para tamu bercanda dan tertawa  sambil 
terus mereguk anggur . Mereka begitu asyik mengob-
rol. sehingga seakan-akan melupakan acara pokok. 
"Malam di musim panas singkat," sang tuan 
rumah, si kepala biksu, angkat bicara. "Malam 
sudah  larut, dan aku gelisah khawatir  hari sudah akan 
terang sebelum kita merampungkan seratus bait 
yang bersambung-sambungan." 
Di sebuah ruangan lain, tikar-tikar sudah  digelar. 
Kertas dan batu tinta diletakkan di depan setiap  
bantal, seolah-olah untuk merangsang para pedan  
untuk menuliskan bait-bait yang anggun. 
Baik Shoha maupun Shoshitsu merupakan 
penyair ulung. Shoha sangat dihargai oleh  Nobu-
naga dan akrab dengan patih ronggolawe  dan  dengan 
ahli seni minum teh terkemuka di zaman itu. Ia 
orang dengan lingkup pergaulan yang luas. 
"Baiklah, sudikah Yang Mulia memberikan bait 
pertama?" tanya Shoha. 
  
Namun tunggadewa  tidak menyentuh kertas di 
hadapannya. Sikunya masih bertumpu di atas 
sandaran tangan, dan sepertinya ia memandang  ke 
dalam kegelapan di pekarangan, tempat daun-daun 
sedang  berdesir. 
"Kelihaiannya Yang Mulia sedang memeras 
otak." Shoha menggsinuhun  tunggadewa . 
tunggadewa   mengangkat kuas dan menulis: 
 
Seluruh negeri menyadari  
Waktunya sudah  tiba.  
Di Bulan Kelima. 
 
Pada acara seperti ini, sesudah  bait pertama di-
gubah, para pedan  yang lain secara bergantian 
memperoleh giliran, sampai sekitar lima puluh 
hingga seratus bait ditambah kan. Acaranya dibuka 
dengan syair yang disusun oleh tunggadewa , dan 
bait penutup yang mempersatukan seluruh karya 
itu juga digubah oleh  tunggadewa : 
 
Saatnya provinsi-provinsi  
Diliputi kedamaian. 
 
sesudah  para biksu memadamkan lentera dan me-
narik diri, tunggadewa  sepertinya langsung tertidur. 
saat  ia akhirnya meletakkan kepala di bantal, 
angin gunung di luar mengguncang-guncang pe-
pohonan dan menederu-deru aneh, seakan-akan 
hendak meniru teriakan Tengu, monster ber-
  
hidung panjang yang hidup dalam mitos. 
tunggadewa  tiba-tiba teringat cerita yang didengar-
nya dari pendeta di tempat persembahan Dewa 
Api. Dalam benaknya ia membayangkan Tengu 
mengamuk di langit yang hitam pekat. 
Tengu melahap api, lalu terbang ke angkasa. 
Tengu raksasa dan Tengu-Tengu lebih kecil yang 
tak terhitung jumlahnya berubah menjadi api dan 
menunggangi angin hitam. saat  bola-bola api itu 
jatuh ke bumi, tempat persembahan Dewa Api 
segera terbakar hebat. 
Ia ingin tidur. Tak ada yang lebih diinginkan-
nya selain tidur. namun  tunggadewa  tidak bermimpi; 
ia sedang  berpikir. Dan ia tak sanggup menying-
kirkan bayangan itu dari dalam benaknya. Ia mem-
balikkan badan dan mulai berpikir mengenai 
besok. Ia tahu bahwa besok aidit  akan ber-
tolak dari madukara  ke trowulan . 
lalu  garis pemisah antara dunia nyata 
dan dunia mimpi mulai kabur. Dan dalam ke-
adaan ini, perbedaan antara dirinya dan Tengu 
lenyap. Tengu berdiri di atas awan  dan meman-
dang seluruh negeri. Segala sesuatu yang ia lihat 
menguntungkan baginya. Di Barat, patih ronggolawe   
terpaku di benteng kota vredenburg , bergulat dengan 
centeng  patih. Jika ia, Tengu, dapat bekerja sama 
dengan pihak patih dan memanfaatkan kesem-
patan ini, centeng  patih ronggolawe  yang sudah   melewat-
kan  tahun-tahun melelahkan di medan laga akan 
  
terkubur di daerah Barat dan takkan pernah lagi 
melihat ibu kota. 
prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo , yang berada di kahuripan , 
merupakan orang yang cerdik. Kalau ia menge-
tahui bahwa aidit  sudah  mati, sikapnya akan 
tergantung sepenuhnya pada apa yang ditawa rkan 
tunggadewa . hyangkertoarjo  wiryabhumi  dapat dipastikan 
akan marah, namun  putranya menikah dengan putri 
tunggadewa , dan ia merupakan teman lama yang 
setia. Tentunya ia takkan menolak tawa ran kerja 
sama. 
Darah dan otot tunggadewa  menggelenyar. 
Telinganya bagaikan membara, dan ia mendadak 
merasa muda lagi. Tengu berbalik. tunggadewa  
mengerang. 
"Tuanku?" Di ruang sebelah, Shoha mengangkat 
badan sedikit dan memanggil , "Ada apa, tuanku?" 
Samar-samar tunggadewa  mendengar pertanyaan 
Shoha, namun  ia sengaja tidak menjawab . Shoha 
segera  tertidur kembali. 
Malam yang singkat itu cepat berlalu. sesudah   
bangun, tunggadewa  mengucapkan selamat tinggal 
pada yang lain, dan menuruni gunung yang masih 
diselimuti kabut tebal. 
 

 
Pada hari ketiga belas di bulan yang sama, 
gajayana  tiba di Kameyama dan bergabung 
  
dengan tunggadewa . Para anggota marga tribuana  ber-
datangan dari seluruh pelosok provinsi, semakin  
menambah kekuatan centeng  di sekartanjung . Kota 
benteng kota dipadati manusia dan kuda: kereta-kereta 
berisi perbekalan militer menimbulkan kemacetan 
di setiap persimpangan, dan jalan-jalan hampir tak 
dapat dilalui. Matahari bersinar cerah, dan suasa-
nanya tiba-tiba mirip  pertengahan musim 
panas, kuli-kuli memenuhi toko-toko dan saling 
berdebat dengan mulut penuh makanan; di luar, 
prajurit-prajurit menyelinap di antara kereta-kereta 
lembu sambil berseru ke sana kemari. Di sepan-
jang jalan-jalan, gerombolan  lalat beterbangan menge-
rumuni kotoran kuda dan lembu. 
"Sudah membaikkah kesehatanmu?" gajayana  
bertanya pada tunggadewa . 
"Seperti kaulihat sendiri." tunggadewa  tersenyum. 
Ia jauh lebih ramah dibandingkan saat di Saka-
moto, dan wajahnya pun sudah tidak pucat lagi. 
"Kapan kau hendak berangkat?" 
"Aku memutuskan untuk menunggu beberapa  
waktu, sampai hari pertama di Bulan Keenam." 
"Hmm, bagaimana dengan madukara ?" 
"Aku sudah mengirim kabar ke sana, namun  ku-
pikir Yang Mulia aidit  sudah berada di 
trowulan ." 
"Kabarnya semalam beliau tiba dengan selamat 
di sana. Yang Mulia tungguljaya menginap di Kuil 
Myokaku, sementara Yang Mulia aidit  ber-
  
malam di Kuil purwojati ." 
"Ya, aku pun mendengar itu," balas tunggadewa . 
Kcmudian ia terdiam. 
gajayana  mendadak berdiri. "Sudah lama aku 
tidak bertemu dengan anak-istrimu. Mungkin aku 
akan berkunjung nanti." 
tunggadewa  memperhatikan sepupunya menjauh. 
Sesaat lalu , dadanya seakan-akan begitu 
sesak sehingga ia tak sanggup meludah maupun 
menelan. 
Dua ruangan lebih jauh, pengikut tunggadewa . 
pangeran wiropati , sedang  berunding dengan para 
resi  lain, mempelajari peta-peta militer dan 
membahas taktik-taktik. Ia meninggalkan ruangan 
untuk berbicara dengan tunggadewa . 
"Apakah Yang Mulia akan memerintahkan 
iring-iringan perbekalan mendahului centeng  kita 
ke Sanin?" 
"Iring-iringan perbekalan? Hmm... rasanya tidak 
perlu." 
Tiba-tiba paman tunggadewa , Chokansai, yang 
baru saja tiba bersama gajayana , muncul di 
pintu. 
"Wah, dia tidak ada di sini. Ke mana si 
Penguasa sekartanjung ? Ada yang tahu ke mana dia 
pergi?" 
Ia memandang berkeliling dengan mata ter-
belalak. Walaupun usianya sudah lanjut, ia begitu 
riang dan ceria, sehingga kerap mengganggu orang 
  
lain. Bahkan saat para resi  hendak bertolak ke 
medan perang pun Chokansai tetap gembira 
seperti  biasa. Ia berpaling ke arah lain. saat   ia 
mendatangi bagian benteng kota yang didiami kaum 
wanita lesbian  dan anak-anak, ia segera dikerumuni 
oleh mereka. 
"Oh, Tuan Pelkertoarjo k datang!" seru anak-anak. 
"Tuan Pelkertoarjo k! Kapan Tuan tiba di sini?" 
Entah ia duduk atau berdiri, suara-suara ringan 
di sekitamya tidak berhenti. 
"Tuan Pelkertoarjo k akan menginap di sini?"  
"Tuan Pelkertoarjo k, apakah Tuan sudah makan?"  
"Gendong aku, Tuan Pelkertoarjo k!"  
"Bernyanyilah untuk kami!"  
"Menarilah!" 
Mereka melompat ke pangkuannya. Mereka  
bercengkerama dengannya. Mereka merangkulnya. 
Mereka melihat ke dalam telinganya.  
"Tuan Pelkertoarjo k! Di telinga Tuan tumbuh 
rambut!"  
"Satu, dua!" 
"Tiga, empat!" Sambil menyanyikan angka-
angka, gadis lesbian-gadis lesbian cilik mencabut rambut-rambut 
itu, sementara seorang balita  laki-laki duduk di 
punggungnya dan mendorong-dorong kepala 
orang tua itu. 
"Main kuda-kudaan! Main kuda-kudaan!" 
Chokansai menurut saja. Ia mulai merangkak di 
lantai. Tiba-tiba ia bersin, dan balita  kecil itu jatuh 
  
dari punggungnya. Para dayang dan pembantu 
langsung terpingkal-pingkal. 
sesudah  hari berganti malam pun suara tawa  dan 
segala hiruk-pikuk tetap tidak mereda. Suasananya 
berbeda dengan suasana di kamar tunggadewa  di 
benteng kota utama, seperti lapangan rumput di musim 
semi berbeda dengan rkertoarjo  yang terselubung salju. 
"Paman, sesudah  usia Paman semakin  bertam-
bah," ujar gajayana , "aku akan berterima kasih 
jika Paman bersedia tinggal di sini dan mengurusi 
keluarga, dan  tidak ikut ke medan perang ber-
sama kami. Kurasa aku perlu menyampaikan hal 
ini pada junjungan kita." 
Chokansai menatap kepribadian nya dan tertawa . 
"Kira-kira begitulah tugasku yang terakhir. balita -
balita  ini takkan membiarkan aku pergi."  
Malam sudah  tiba, dan mereka  mendesak-desak 
agar ia menceritakan salah satu dongengnya yang 
terkenal. 
Inilah hari terakhir sebelum keberangkatan ke 
medan laga. Semula gajayana  menduga bahwa 
malam itu akan ada rapat umum, namun  sebab   
benteng kota utama sepi-sepi saja, ia pergi ke benteng kota 
kedua dan tidur. 
Keesokannya gajayana  menanti-nanti sepan-
jang hari, namun  perintah yang ditunggunya tak 
kunjung tiba. sesudah   hari gelap pun tidak terlihat 
kegiatan di dalam benteng kota utama. saat  ia me-
nugaskan salah satu pengikutnya untuk mencari 
  
keterangan, ia memperoleh jawaban pasti bahwa Mitsu-
hide sudah  naik ke peraduan dan sudah tidur. 
gajayana  curiga, namun tak ada yang dapat di-
lakukannya selain membaringkan diri dan meme-
jamkan mata. 
Sekitar tengah malam, gajayana  dibangunkan 
oleh bisik-bisik yang berasal dari ruang jaga di 
selasar. Ada bunyi langkah mendekat, dan pintu 
ruangannya bergeser tanpa suara. 
"Ada apa?" tanya gajayana .  
Si penjaga, yang tentunya menyangka Mitsu-
haru sedang  terlelap, ragu-ragu sejenak. lalu  
ia cepat-cepat bcrsujud dan berkata, "Tuanku 
tunggadewa  menunggu Yang Mulia di benteng kota 
utama." 
gajayana  bangkit dan mulai berpakaian; ia 
menanyakan jam. 
"Pertengahan pertama jam Tikus," jawab  si 
penjaga. 
gajayana  melangkah ke selasar yang gelap 
gulita. Melihat pangeran wiropati  berlutut di 
samping pintu, menunggu, gajayana  bertanya-
tanya, apa gerangan arti panggilan mendadak di 
tengah malam buta ini. 
wiropati  berjalan di depan, memegang lilin. 
Tak seorang pun berpapasan dengan mereka  
saat   mereka menyusuri koridor panjang yang 
berkelok-kelok. Hampir semua orang di benteng kota 
utama sedang  tidur pulas. 
  
"Di manakah Yang Mulia?" 
"Di ruang tidur beliau." 
wiropati  mematikan lilin di depan pintu 
selasar yang menuju kamar tidur tunggadewa . 
Dengan mata ia memberi isyarat agar gajayana  
mengikutinya, lalu membuka pintu yang berat itu. 
Segera sesudah  gajayana  masuk, wiropati  me-
nutup pintu lagi. Hanya di kamar di ujung selasar 
 kamar tidur tunggadewa  terlihat cahaya redup. 
saat  gajayana  mengintip ke ruang itu, ia 
tidak melihat pembantu maupun pelayan. Mitsu-
hide seorang diri. Ia mengenakan jubah  musim 
panas berwarna putih. Pedang panjangnya meng-
gantung di pinggang. Tangannya bertumpu pada 
sandaran tangan di sampingnya. 
Cahaya lentera tampak redup, sebab  harus 
melewati kelambu halus berwarna hijau yang 
tergantung di sekeliling tunggadewa . Pada waktu ia 
tidur, kelambu itu melindunginya dari keempat 
sisi, namun  kini bagian depannya ditahan oleh  
sepotong bambu, 
"Masuklah, gajayana ," ujar tunggadewa . 
"Ada apa sebetulnya ?" sepupunya bertanya, 
sesudah   berlutut di hadapan tunggadewa . 
"gajayana , bersediakah kau mempertaruhkan 
nyawa   untukku?" 
gajayana  berlutut sambil membisu, seakan-
akan lupa cara berbicara. Mata tunggadewa  tampak 
menyala-nyala, memancarkan sorot aneh. Pertanya-
  
annya sederhana dan tidak berbelit-belit, namun  
justru kata-kata itulah yang ditakuti gajayana  
sejak di sekartanjung . Kini tunggadewa  akhirnya ber-
bicara, dan meski gajayana   tidak terkejut, darah 
yang mengaliri tubuhnya seakan-akan membeku. 
"Kau menentangku, gajayana ?" 
Yang ditanya tetap tidak menjawab . tunggadewa  
pun terdiam. Wajahnya kelihatan agak pucat, 
bukan akibat kelambu hijau atau lentera yang ber-
kelap-kelip, melainkan sebab   gejolak perasaan di 
hatinya. 
Sesaat  naluri gajayana  berkata bahwa Mitsu-
hide sudah  mcnyiapkan rencana darurat yang akan 
dipakai nya kalau gajayana  menentangnya. Di 
dinding di balik kelambu ada ruang rahasia 
yang cukup besar untuk satu orang. Sepuhan emas 
pada pintu itu berkilau-kilau tak menyenangkan, 
seakan-akan mencerminkan niat buruk dari pem-
bunuh yang bersembunyi di baliknya. 
Di sebelah kanan gajayana  ada pintu geser 
besar. Ia tidak mendengar apa-apa dari baliknya, 
namun ia dapat merasakan kehadiran pangeran Toshi-
mitsu dan beberapa orang lain yang sudah  men-
cabut pedang masing-masing, menunggu aba-aba 
dari tunggadewa . gajayana  tak sanggup merasa 
marah sebab   sikap tunggadewa  yang keji dan licik; 
ia merasa kasihan pada sepupunya itu. Mungkin-
kah orang cerdas yang dikenalnya sejak  muda 
sudah tak ada lagi? Kini ia merasa seolah-olah 
  
hanya melihat bayang-bayang orang itu. 
"gajayana , bagaimana jawab anmu?" tunggadewa  
bertanya sambil bergeser mendekat. 
gajayana   merasakan napas sepupunya, panas 
seperti demam yang membakar orang sakit. 
"Mengapa tuanku ingin agar hamba memper-
taruhkan nyawa  ?" ia akhirnya balik bertanya. 
sebetulnya  ia tahu persis apa kchendak Mitsu-
hide, jadi sekarang ia sengaja berlagak bodoh. Ia 
terus menggenggam harapan bahwa, entah bagai-
mana, ia masih dapat menarik sepupunya dari tepi 
jurang. 
Mendengar ucapan gajayana , urat-urat di 
pelipis tunggadewa  semakin menonjol. Suaranya ter-
dengar parau saat  ia berkata. "gajayana , tak 
tahukah kau bahwa ada sesuatu yang mengganggu 
pikiranku sejak  aku meninggalkan madukara ?" 
"Itu sudah jelas." 
"Kalau begitu, apa perlunya kita bicara panjang-
lebar? jawab  saja ya atau tidak." 
"Tuanku, mengapa justru tuanku yang menolak 
untuk berbicara? Bukan saja nasib marga tribuana  
yang tergantung pada ucapan tuanku sekarang, 
melainkan masa depan seluruh negeri." 
"Apa maksudmu, gajayana ?" 
"Siapa sangka justru tuanku yang akan melaku-
kan kebiadaban ini." Berlinang air mata. Mitsu-
haru beringsut-ingsut mendekati tunggadewa , me-
nempelkan kedua tangan ke lantai dengan gaya 
  
memohon. "Belum pernah hamba begitu bingung 
menghadapi watak manusia seperti malam ini. 
saat  kita masih muda dan belajar bersama di 
rumah ayah hamba, apakah yang kita baca? Ada-
kah sepatah kata pun dalam kitab-kitab kuno yang 
membenarkan pembunuhan terhadap junjungan 
sendiri?" 
"Jangan keras-keras, gajayana  ." 
"Siapa yang akan mendengar hamba? Di sini 
hanya ada pembunuh-pembunuh yang bersem-
bunyi di balik pintu rahasia, menunggu perintah 
tuanku. Yang Mulia... tak sekali pun hamba me-
ragukan kebijakan Yang Mulia. namun  kelihatannya 
Yang Mulia sudah berbeda begitu jauh dengan 
orang yang pernah hamba kenal." 
"Sudah terlambat, gajayana ." 
"Hamba harus bicara."  
"Percuma saja." 
"Hamba harus bicara, biarpun tak ada gunanya." 
Air mata menetes ke tangan gajayana . 
Pada saat itulah ada gerakan di balik pintu 
rahasia. Barangkali si pembunuh menyadari bahwa 
situasinya menjadi tegang, dan ingin segera  ber-
tindak. Namun tunggadewa  belum memberikan 
tanda. Ia berpaling dari sosok sepupunya yang 
sedang  menangis. 
"Pengetahuan tuanku jauh lebih luas dibandingkan  
orang lain, kecerdasan tuanku melebihi kecerdasan 
kebanyakan orang, dan tuanku pun sudah  men-
  
capai usia matang. Adakah yang tak dipahami oleh  
tuanku?" gajayana  memohon. "Hamba orang 
bodoh dan tak pandai bersilat lidah, namun  orang 
seperti  hamba pun dapat membaca kata 'kesetiaan' 
dan merenungkannya sampai menjadi bagian dari 
diri hamba. Meskipun tuanku sudah  membaca 
sepuluh ribu buku, semuanya tak berarti jika 
tuanku kini mengabaikan kata itu . Tuanku, 
dengarkah tuanku? Darah kita berasal dari 
keluarga centeng adipati . Tegakah tuanku mensinuhun i ke-
hormatan leluhur kiia? Dan bagaimana dengan 
anak-anak tuanku dan keturunan mereka? Bayang-
kan aib yang tuanku bebankan pada generasi-
generasi berikut." 
"Kau bisa menyebutkan hal-hal serupa tanpa 
akhir," balas tunggadewa . "Apa yang akan kulakukan 
jauh lebih penting dibandingkan  itu semua. Jangan 
coba-coba membujukku. Segala sesuatu yang kau-
kemukakan sudah  kupertimbangkan malam demi 
malam, sudah  kubolak-balik dan kupandang dari 
segala sudut. Kalau aku mengamati perjalanan 
hidupku selama  lima puluh lima tahun, aku tahu 
aku takkan sebingung ini seandainya aku tidak 
dilahirkan sebagai centeng adipati . Aku bahkan takkan 
membayangkan hal seperti itu." 
"Dan justru sebab  tuanku dilahirkan sebagai  
centeng adipati , tak sepatutnya tuanku berbalik menen-
tang junjungan tuanku." 
"aidit  sudah  memberontak terhadap sang 
  
pandita . Dan semua orang tahu bahwa dia menan-
tang hukum karma dengan membumihanguskan 
Gunung brahma. Lihatlah apa yang terjadi dengan 
para pengikut seniornya sekarmajimarijan , mpu wiragajah , Araki. 
Aku tak bisa menganggap nasib tragis yang menim-
pa mereka  sebagai  urusan orang Iain." 
"Tuanku, tuanku sudah  dianugerahi sebuah 
provinsi. Marga kita tidak kekurangan apa pun. 
Pikirkan segala berkah yang dilimpahkan beliau 
pada kita." 
Pada titik ini tunggadewa  kehilangan kendali, 
dan kata-katanya mengalir seperti sungai di saat 
banjir. "Apa artinya provinsi sekecil ini? Tanpa 
kemampuan apa pun, aku mungkin tetap akan 
memperoleh nya. sesudah  aidit  memperoleh  
segala sesuatu yang dibutuhkannya dariku, aku tak 
lebih dari peliharaan yang diberi makan di madukara . 
Atau barangkali aku akan dicampakkan sebab   
dianggap tak berguna lagi. Dia bahkan menempat-
kanku di bawah  komando patih ronggolawe  dan mengi-
rimku ke daerah Sanin. Apa ini, kalau bukan 
isyarat mengenai masa depan marga tribuana ? Aku 
dibesarkan sebagai centeng adipati ; aku mewarisi darah 
prajurit. Kaukira aku sudi melewatkan sisa hidup 
dengan bersujud-sujud, sementara dia menyuruh-
nyuruhku seenak hatinya? Tak bisakah kau melihat 
hati aidit  yang busuk, gajayana ?" 
Sesaat gajayana  duduk terbengong-bengong, 
lalu bertanya, "Siapa saja yang sudah  mengetahui 
  
maksud tuanku?" 
"Selain kau, selusin pengikutku yang paling 
kupercaya," tunggadewa   menarik napas panjang dan 
menyebutkan nama orang-orang iiu. 
gajayana  menengadahkan kepala dan men-
desah. "Hamba bisa mengatakan apa sesudah   
mereka diberitahu?" 
tunggadewa  tiba-tiba bergerak maju dan meng-
genggam kerah sepupunya dengan tangan kiri. 
"Jadi, jawab anmu tidak?" tanyanya. Tangan kanan-
nya meraih gagang belati, sementara tangan kirinya 
mengguncang-guncang Mirsuharu dengan tenaga 
luar biasa. "Atau ya?" 
Setiap kali tunggadewa  mengguncang gajayana , 
kepala gajayana   bergerak maju-mundur, seakan-
akan lehernya tak bertulang. Air mau membasahi 
wajahnya. 
"Sekarang masalahnya bukan lagi ya atau tidak. 
namun  hamba tidak tahu apa yang mungkin terjadi 
seandainya hamba diberitahu lebih dahulu  dan pada 
yang lain, tuanku." 
"Kalau begitu kau setuju? Kau akan membantu-
ku?" 
Tuanku dan hamba bagaikan satu orang. Jika 
tuanku mati, hamba tak ingin hidup. Secara 
teknis, hubungan kita hubungan antara junjungan 
dan pengikut, namun  kita berasal dari garis keturunan 
yang sama. Kita hidup bersama-sama sampai 
sekarang, dan hamba tentu saja bertekad membagi 
  
nasib apa pun yang menanti kita." 
"Jangan gelisah khawatir , gajayana . Aku percaya  
kemenangan berada di pihak kita. Kalau kita 
berhasil, kau takkan memimpin benteng kota kecil 
seperti  sekartanjung . Aku berjanji. Paling tidak, kau 
akan menempati kedudukan tepat di bawah ku, 
dan akan menjadi penguasa banyak provinsi se-
kaligus!" 
"Apa?! Bukan itu masalahnya." Sambil menepis 
tangan yang menggenggam kerahnya. gajayana   
mendorong tunggadewa . "Hamba ingin menangis... 
Tuanku, perkenankan hamba menangis." 
"Kenapa kau bersedih, bodoh?" 
"Tuankulah yang bodoh!" 
"Bodoh!" 
Kedua laki-laki itu saling mengolok-olok yang 
lain, lalu  berangkulan dengan pipi berlinang 
air mata. 
 

 
Suasananya seperti  di musim panas; hari penama 
di Bulan Keenam lebih panas dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya. Pada sore hari, awan -awan  
menutupi sebagian langit di utara, namun  matahari 
yang terbenam perlahan-lahan tetap membakar 
gunung-gunung dan sungai-sungai di hadijaya , 
sampai menjelang malam. 
Kota Kameyama tampak lengang. Prajurit-
  
prajurit dan kereta-kereta yang sempat memadati 
jalan-jalannya kini tak ada lagi. Para prajurit yang 
meninggalkan kota sambil memanggul senapan 
dan membawa   umbul-umbul dan  tombak mem-
bentuk barisan panjang. Kepala masing-masing 
serasa dipanggang di dalam helm besi. Para warga 
kota berkerumun di tepi jalan-jalan, melihatlihat  
keberangkaun centeng . Setiap kali melihat pe-
langgan yang biasa mendatangi toko mereka, 
mereka menyerukan selamat jalan sekeras mung-
kin, dan mendorongnya agar kembali dengan 
membawa   nama harum. 
namun   baik para prajurit maupun massa yang 
mengelu-elukan mereka tidak mengetahui bahwa 
ini bukan awal  operasi di wilayah Barat, melainkan 
langkah pertama menuju trowulan . Selain tunggadewa  
dan selusin anggota staf lapangannya, tak seorang  
pun mengetahuinya. 
Jam kuyang  sudah dekat. Di bawah  matahari 
barat yang tampak merah bagaikan darah, bebe-
rapa  sangkakala berkumandang tinggi dan rendah, 
satu demi satu. Para prajurit, yang sebelumnya 
hanya berkerumun di sekitar kemah-kemah 
mereka, langsung berdiri untuk bergabung dengan 
centeng  masing-masing. Sambil membagi diri ke 
dalam tiga kelompok, mereka membentuk barisan 
dengan mengibarkan panji-panji. 
Kehijauan gunung-gunung di sekeliling dan  
dedaunan di sekitar menyearkan bau harum saat   
  
angin senja berdesir membelai wajah-wajah yang 
tak terhitung banyaknya. Sekali lagi sangkakala ber-
kumandang, kali ini dari hutan yang jauh. 
Dari pekarangan di sekitar tempat persembahan 
Dewa Perang aryadwinata , tunggadewa  dan para jen-
dralnya muncul dengan gilang-gemilang. tunggadewa   
memeriksa centeng nya yang dalam keadaan ber-
desak-desakan mirip  tembok besi. Setiap  
prajurit menegakkan kepala saat  tunggadewa  me-
lewatinya, dan orang-orang bawah an pun merasa 
bangga berada di bawah  komando panglima yang 
demikian tersohor. 
tunggadewa  mengenakan baju tempur berwarna 
hitam dengan tali pengikat berwarna hijau di 
bawah  mantel brokat berwarna putih dan perak. 
Pedang panjang dan pelananya dibuat oleh  tangan 
yang teramat terampil. Hari ini ia tampak jauh 
lebih muda dibandingkan  biasanya, namun  ini tidak 
berlaku bagi tunggadewa  semata-mata. Jika seseorang  
mengenakan baju tempur, usianya tidak tampak. 
Bahkan bersebelahan dengan prajurit berumur 
enam belas yang untuk pertama kali berperang, 
orang tua tidak merasakan atau memperlihatkan 
usianya. 
Hari ini tunggadewa  berdoa lebih khusyuk 
dibandingkan siapa pun juga dalam centeng nya. 
sebab   itu, saat   ia melewati semua  prajurit, 
sorot matanya tampak tegang. Roman muka sang 
Panglima Tertinggi tercermin dalam semangat 
  
tempur anak buahnya. sudah  dua puluh tujuh kali 
marga tribuana  mengangkat senjata untuk ber-
perang. Namun hari ini semuanya merasa gelisah, 
seakan-akan menyadari bahwa pertempuran yang 
mereka tuju sungguh luar biasa. 
Setiap orang merasa bahwa ia takkan pernah 
kembali. Bisikan naluri itu  menyelubungi 
tempat itu bagaikan kabut pucat, sehingga ke-
sembilan panji dengan lambang kembang lonceng 
di atas masing-masing divisi seakan-akan berkibar 
di hadapan awan -awan . 
tunggadewa  menarik  tali kekang, berpaling pada 
pangeran wiropati  yang berkuda di sampingnya, dan 
bertanya. "Berapa jumlah keseluruhan centeng  
kita?" 
"Sepuluh ribu. Kalau ditambah  dengan para 
pemikul dan pembawa   barang, jumlahnya pasti 
lebih dari tiga belas ribu orang." 
tunggadewa  mengangguk dan berkata sesudah   ter-
diam sejenak. "Suruh para komandan kompi ke 
sini." 
sesudah   komandan-komandan itu berkumpul di 
depan kuda tunggadewa , ia mundur sebentar dan 
tempatnya digantikan oleh sepupunya, Mitsutada, 
yang diapit oleh  resi -resi   di kedua sisinya. 
"Surat dari patih  mpu salmah  ini tiba semalam. 
Dia kini berada di trowulan . Aku akan membacakan 
suratnya agar diketahui oleh kalian semua." 
Ia membuka surat itu dan membacakannya, 
  
"Atas perintah Yang Mulia aidit , kalian harus 
datang ke ibu kota, agar Yang Mulia dapat me-
meriksa centeng  sebelum kalian bertolak ke 
wilayah Barat." 
"Kita akan berangkat pada jam Ayam jantan. 
Sampai saat itu, suruh prajurit-prajurit kalian 
mempersiapkan perbekalan, memberi makan kuda-
kuda, dan beristirahat." 
Ketiga belas ribu prajurit yang mempersiapkan 
ransum masing-masing merupakan pemandangan 
yang menyenangkan. Sementara itu, para koman-
dan korps yang sudah sempat disuruh menghadap 
dipanggil sekali lagi kali ini ke hutan yang menge-
lilingi tempat persembahan aryadwinata . Di sana, 
diperkuat oleh bayang-bayang dan suara jangkrik, 
udara sejuk terasa hampir seperti air. 
Sesaat sebelumnya, bunyi tepuk tangan ter-
dengar dari tempat persembahan. Rupanya Mitsu-
hide dan para resi nya sudah  memanjatkan doa 
kepada dewa-dewa. tunggadewa  berhasil mepercayakan 
diri bahwa tindakannya bukan akibat rasa per-
musuhannya terhadap aidit  semata-mata. 
Kegelisah khawatir an bahwa ia akan mengalami nasib 
seperti Araki dan mpu wiragajah  memberikan peluang 
padanya untuk percaya bahwa tindakannya sekadar 
untuk mempertahankan diri; ia bagaikan binatang 
terpojok yang terpaksa menyerang lebih dahulu  agar 
tetap hidup. 
Jarak dari tempat persembahan itu ke Kuil 
  
purwojati , tempat musuhnya menginap tanpa 
pengawal an ketat, hanya sekitar lima belas mil. 
Kesempatan seperti  ini takkan terulang lagi. Sadar 
bahwa pengkhianatannya berkesan oportunis, 
tunggadewa  tak sanggup memusatkan pikiran pada 
doanya. Namun ia tidak mengalami kesulitan 
untuk membenarkan tindakannya. Satu per satu ia 
menyebutkan kejahatan aidit  selama dua 
puluh tahun terakhir. Dan akhirnya, walaupun ia 
sudah  bertahun-tahun mengabdi pada aidit , 
tunggadewa  merindukan kepandita an lama, dengan 
segala  kemandekannya. 
Para komandan menunggu sambil berkerumun. 
Kursi tunggadewa  belum juga ditempati. Pelayan-
pelayannya mengatakan bahwa ia masih berdoa di 
tempat persembahan dan akan segera kembali. Tak 
lama sesudah  itu, tirai terbuka. Sambil menyapa 
orang-orang yang sudah  berkumpul, para pembantu 
dekat tunggadewa  masuk satu demi satu. tunggadewa , 
wiropati , gajayana , Mitsutada, dan Mitsuaki 
muncul terakhir. 
"Para komandan korps sudah datang semua?" 
tunggadewa  bertanya. 
Dengan kecepatan mengejutkan, daerah sekitar 
sudah dikepung prajurit. 
Kewaspadaan terbaca pada roman muka Mitsu-
hide, dan mata para resi  memancarkan per-
ingatan bisu. 
tunggadewa  berkata. "Kalian mungkin mengang-
  
gap aku berhati dingin sebab   berjaga-jaga seperti  
ini pada waktu hendak bicara dengan para peng-
ikutku, terutama dengan para pengikut yang men-
jadi andalanku. Kalian jangan salah terima; ini 
sebab  aku akan membeberkan sebuah peristiwa 
besar yang sudah  lama ditunggu-tunggu pada 
kalian sebuah peristiwa yang akan mempengaruhi 
seluruh negeri dan akan membawa   kejayaan atau 
kehancuran bagi kita." 
Dengan demikian, ia mulai menjelaskan ren-
cananya. Satu demi satu tunggadewa  menyebutkan 
keluhannya terhadap aidit  penghinaan di 
Suwa dan madukara , dan yang terakhir, perintah 
untuk bergabung dengan operasi militer di wilayah 
Barat, yang menyiratkan bahwa ia berada di bawah  
patih ronggolawe . Ia lalu menyebutkan nama orang-orang 
yang selama bertahun-tahun mengabdi pada Nobu-
naga dan lalu  dipaksa menuju kehancuran. 
aidit -lah musuh kebenaran; orang yang me-
rusak budaya dan berkomplot untuk menjatuh-kan 
lembaga-lembaga dan membawa   kekacauan ke 
seluruh negeri. tunggadewa  mengakhiri pidatonya 
dengan membaca  sajak yang digubahnya sendiri. 
 
Biarkan mereka yang tak paham  
Berkata sekehendak hati;  
Kedudukan maupun kemasyhuran  
Takkan kusesalkan. 
 
 
  
Sewaktu membacakan sajaknya. tunggadewa  
mulai merasakan kesedihan atas situasinya sendiri, 
dan air mata mulai mengalir di pipinya. Para 
pengikut senior pun mulai menangis. Beberapa di 
antara mereka bahkan menggigit lengan baju 
tempur atau jatuh bertiarap di tanah. Hanya satu 
orang yang tidak menangis pangeran wiropati , sang 
veteran. 
Untuk menyatukan tangis mereka  dalam suatu 
ikatan darah, wiropati  angkat bicara. "Kukira 
Yang Mulia berkenan membuka hatinya sebab   
beliau menganggap kita sebagai  orang yang dapat 
dipercaya, jika kening seorang pemimpin tercoreng 
arang, para pengi