Tampilkan postingan dengan label rakyat 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 6. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 6

i  gelang-gelang ”. 
Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana 
diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus memecahkan sendiri 
bagaimana sebaiknya menghadapi kanjeng sinuhun . Di bawah 
tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditambah 
dengan kekerasan hati kanjeng sinuhun  sendiri sejak kecil bila 
menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan 
niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang 
berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan 
sebagai Ratu Aisah terhadap kanjeng sinuhun . Ia akan berusaha 
membujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke 
jayamahanaya . 
wah 
 
Waktu tandunya memasuki perbatasan kota pajang bintoro , satu 
regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu 
rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan 
sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda, 
mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selama ini, 
menyambut kedatangannya. Dan barisan-barisan itu 
lalu  bergerak mengiringkannya. 
Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah 
mengerti, semua sudah  diatur menurut kehendak pasukan 
kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam 
balairung penghadapan. kanjeng sinuhun  Trenggono menyambutnya 
dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di 
atas singgasana permaisuri. 
Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia 
membisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke 
pajang bintoro  hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia 
dari singgasana permaisuri. 
Penghadapan bubar dengan kekecewaan. 
Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan 
wanita tua itu langsung menuju ke taman dalam. Juru 
taman sudah  menyingkir dan disanalah ia hadapi kanjeng sinuhun  
sebagai seorang anak. 
“Trenggono, anakku.” katanya lembut. “Aku tahu sejak 
kecil kau kepala   batu. kepala   batu memang tidak apa-apa 
kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi. 
Kau seorang kanjeng sinuhun . Majelis sudah tak kau dengarkan lagi. 
Ibumu sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas 
kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi 
kehendakmu. namun   yang kudengar belakangan ini kau 
tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri 
sudah  perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan 
secara menyolok, berlebih-lebihan”. 
“Tidak benar, bunda. saya  memang kepala   batu. namun  
tidak benar pasukan kuda bisa menekan saya , apalagi 
menelan. Takkan saya  lupakan ajaran kecenteng an, 
sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang 
pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.” 
“Jadi kau akan segera membuat perang?” 
Trenggono tidak menjawab. 
“Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera 
menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa 
pesanku: jayamahanaya .” 
Ratu Aisah pulang kembali ke suryabuaya   tanpa 
penghormatan pasukan kuda. Ia membawa janji kanjeng sinuhun , 
bahwa ia akan mengirimkan armada ke jayamahanaya  dalam 
jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh tumenggung dijoyo . 
Ia pun membawa oleh-oleh: seorang cucu wanita lesbian , 
anak Trenggono’. 
namun   yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan: 
kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang jayamahanaya  terlalu 
kecil. Jadi kanjeng sinuhun  akan tetap menyerang saudara-
saudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa. 
Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda 
tercinta tumenggung dijoyo  dibandingkan  sekutu-sekutu perang. Trenggono 
nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak 
menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk 
menyerang jayamahanaya . Ia akan tetap mencoba dan berusaha, 
Bila takkan diperoleh nya sekutu Jawa, akan dicobanya di 
luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau 
semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu wanita lesbian . Ia 
akan mendidiknya jadi pelaksana cita-cita tumenggung dijoyo . 
Demikian ia memasuki suryabuaya   membawa kekecewaan di 
satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di suryabuaya   yang 
ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada sudah  
berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Namun ia tetap 
tidak putus asa, justru makin meluap. 
Dengan bantuan yang pang pang terjadilah persekutuan 
rahasia dengan mpu logender , seorang pengikut adiputro  tumenggung dijoyo  
yang setia. 
mpu logender  adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia 
memiliki pengaruh besar di kalangan praja dan golongan 
agama. Beberapa tahun sebelum penyerbuan tumenggung dijoyo  ke 
suryabuaya   ia sudah  menunaikan rukun arca    ke lima dan sudah  
menjelajah ke negeri palawa . Ia juga penasihat tumenggung dijoyo  tentang 
persoalan manca praja. 
yang pang pang seorang pemuka serikat rahasia Nan 
Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak 
armada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang 
dengan raja-raja di Jawa. 
Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati 
dan didengarkan di seluruh negeri pajang bintoro  dan suryabuaya  . 
Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan 
usaha pembebasan jayamahanaya  pada satu pihak dan pada pihak 
lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk 
menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya 
untuk menguasai Jawa. 
Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah 
menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan kanjuruhan  dan 
akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya 
rencana Trenggono yang hendak memerangi saudara-
saudaranya sendiri. 
Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak 
kapal yang akan berangkat meninggalkan jenggala suryabuaya   
dan campa . 
Dengan pengaruh yang ada padanya mpu logender  
meniupkan semangat baru pada pasukan laut pajang bintoro  yang 
berkedudukan di suryabuaya   dan lebih suka dinamakan  pasukan laut 
suryabuaya  . Ia sudah  berhasil membuat  pasukan laut itu 
mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan 
mereka, mereka akan bikin suryabuaya   memisahkan diri dari 
pajang bintoro , dan membuat  pajang bintoro  jadi segumpal tanah 
lempung tandus tidak berarti. 
Pasukan laut suryabuaya   sudah  merupakan satu kebulatan. 
Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka, 
mereka pun akan mulai memisahkan diri dari pajang bintoro . 
Beberapa kali yang pang pang memperingatkan mpu logender  
agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang 
yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. sebab  itu 
pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono 
mulai menyerang tetangga-tetangganya, namun   pada waktu 
ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah 
kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke 
jayamahanaya  takkan menemui rintangan.. 
Sesudah  persekutuan rahasia memperoleh  kata sepakat 
dalam semua pokok, mpu logender  meninggalkan suryabuaya   dan 
menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sumatra dan 
Sulawesi Selatan. 
Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada 
umumnya para bupati merdeka dan raja-raja, yang 
dihubunginya, menolak. Mereka tak menyukai kepongahan 
Trenggono. Dan mereka menilai kanjeng sinuhun  baru itu kepala   
batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan 
yang terpokok hanya menghancurkan segala yang sudah  
dibangun oleh abangnya. Dan mpu logender  mewakili siapa? 
Bukankah suryabuaya   pangkalan pasukan laut pajang bintoro ? 
Walau demikian mpu logender , yang selalu memakai  
nama Trenggono dan Ratu Aisah, sudah  menerima 
kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada 
waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan 
menunggu armada suryabuaya   tiba di Aceh. Sekutu lain pajang bintoro , 
pekajan , dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut 
dan. 
Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh 
Bugis sudah  memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji 
Usup akan menghubungi sekutu lama di Jawa: kediri . 
Persekutuan juga sudah  sepakat untuk menampilkan 
raden panji  gelang-gelang  sebagai pimpinan pasukan-pasukan 
gabungan dari Jawa. 
Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui 
tetangganya dan kewalahan. 
wah 
 
Trenggono lalu  mengetahui juga sikap pasukan 
laut di suryabuaya  . Takut pada perpecahan memicu  ia 
menjadi ragu-ragu. namun   pasukan kuda terus menerus 
mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai 
tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang dua-
duanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut 
dan tanpa armada, nyi kanjeng blora sudah lama akan membalaskan 
dendamnya terhadap pajang bintoro . Ia tak boleh melihat suryabuaya   
dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu 
kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat 
perangnya tidak disalurkan. 
Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan 
perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetangga-
tetangganya, yang sebelumnya diawali dengan 
pemberitahuan, pasukan-pasukan pajang bintoro  datang bukanlah 
untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari 
kerusuhan para penjahat. namun   pertempuran 
sebetulnya  terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi 
untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukan-
pasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan 
lama. 
Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk 
surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia membantu 
kanjeng sinuhun , baik dalam penyiaran agama arca    maupun dalam 
usaha perang. 
Surat yang tertulis dalam palawa  berbahasa jawadwipa  itu 
berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di blora 
melawan kanjuruhan . Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai 
cucu Bhre Paramesywara, pendiri jayamahanaya . Dan ia belum 
lagi tahu, yang disuratinya. tumenggung dijoyo , sudah  wafat. 
Dengan sebuah kapal palawa  yang kembali melalui sebelah 
barat Sumatra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah 
datang. 
Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi, 
berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan 
berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang matanya 
dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan 
ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban 
putih tanpa perhiasan. 
Sekali pandang Trenggono sudah  berkenan hatinya pada 
pemimpin perang blora itu. Dalam pembicaraan khusus, 
Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitan-
kesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya 
sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan 
ibunda Ratu Aisah. 
Trenggono memang bukan Fathillah. Trenggono 
menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa. 
Fathillah bermimpi kan penyebaran arca    ke seluruh Jawa 
dan pembalasan dendam terhadap kanjuruhan . Ia masih tak 
dapat melupakan kekalahannya di blora. Dan di pajang bintoro  ia 
melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua 
impiannya. 
“Nampaknya tidak begitu sulit, Baginda kanjeng sinuhun ,” ia 
mulai menjelaskan pikirannya, “pertentangan dengan 
pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. pajang bintoro  akan tetap 
utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun 
akan merestui. patih  berpengalaman perang di darat, dan 
patih  pun pelaut. Apabila Baginda kanjeng sinuhun  ada kepercayaan 
pada patih  biarlah semua itu patih  urus”.  
Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada 
suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan 
diiringkan oleh beberapa belas centeng  kuda Fathillah 
meninggalkan pajang bintoro  masuk ke suryabuaya  . 
Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi 
kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah, 
dan menyampaikan dalam jawadwipa , bahwa pajang bintoro  sudah  
siap mengirimkan seluruh armada ke jayamahanaya . 
“Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima?”  
“Setiap waktu, baginda tuanku raja  Ratu”. 
Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan 
perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat 
menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap 
tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat 
dikendalikan. 
Keesokan harinya ia mengunjungi mpu logender . Percakapan 
dilakukan, dalam palawa  sehingga para saksi tak ada yang 
mengerti. Hanya semua orang melihat, bahwa kedua orang 
itu nampaknya sama-sama puas. 
Ketegangan antara pajang bintoro  dan suryabuaya   nampaknya akan 
reda. 
Tak lebih dari sebulan sesudah  kunjungan Fathillah, 
pajang bintoro  merayakan pesta besar. Oleh kanjeng sinuhun , Fathillah 
dikawinkan dengan adiknya wanita lesbian . 
Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa 
hari ia di samar lalu  pulang lagi ke suryabuaya  . pajang bintoro  
dirasainya terlalu panas. 
Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah 
janji janji Fathillah yang mewakili kanjeng sinuhun , keputusan-
keputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus 
menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak 
percaya pada pajang bintoro  dengan Panglima barunya, yang 
dengan begitu mudah  bisa memperoleh kan kepercayaan dari 
kanjeng sinuhun . 
Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing 
pendatang baru itu pandai melayani dan membenarkan 
semua keinginan pribadi kanjeng sinuhun  dan pasti untuk dapat 
melaksanakan keinginan-keinginan sendiri. 
Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu melihat pada 
suatu hari pasukan kaki pajang bintoro  yang cukup besar 
ditempatkan di luar kota suryabuaya  . 
“Fathillah sudah  mengetahui rencana kita”, mpu logender  
berpendapat “Mereka datang untuk menghalangi pasukan 
laut suryabuaya   bertindak.” 
Dan ia berpendapat pula, hanya sebab  adanya Ratu 
Aisah di antara mereka dalam persekutuan, kanjeng sinuhun  tidak 
mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga shinoda 
Han berpendapat demikian pula. Hanya mereka berdua tak 
sampai hati menyatakan satu kepada yang lain. 
Dalam pertemuan terakhir dipusatkan untuk 
memperoleh kan keterangan, kapan pajang bintoro  akan 
menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh 
Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah 
harus memperoleh kan raden panji  gelang-gelang  untuk jadi pimpinan dan 
lansung menuju ke jayamahanaya . 
Untuk kepentingan itu mpu logender  harus pergi ke kediri  
menghadap Sang adiputro . Dan yang pang pang harus 
kembali ke campa  demi keselamatannya. 
mpu logender  berangkat dengan kapal yang sama dengan 
yang pang pang 
Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di suryabuaya   dengan 
pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima 
pajang bintoro , pendatang baru dari Mekah, putra blora, menantu 
Bhre Paramesywara: Fathillah. 
0odwo0 
 
30. Petani raden panji  gelang-gelang  
Sudah beberapa lama raden panji  gelang-gelang  hidup di desa 
perbatasan hutan  larangan , menjadi petani seperti penduduk 
selebihnya. Ia sudah  dapat melaksanakan impian-mudanya   
impiannya bersama nyi girah . Mereka sudah  mendirikan 
pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu 
berdiri tinggi di atas tiang. 
Di waktu senggangnya Pada ikut membantu semua 
pekerjaan: menebang dan mengangkuti bambu dan 
pemukulnya jadi pelupuh, membuka huma, menggali 
saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah 
membantu menggarap tanah. Untuk itu ia tak memiliki  
kesabaran ataupun kesenangan. 
Pada sudah  membuka pengajian di desa itu pula. 
Persahabatannya dengan raden panji  gelang-gelang  memicu  ia 
memperoleh  kepercayaan dari penduduk desa. Dengan 
bermodalkan kata-kata “raden panji  gelang-gelang lah yang menolong 
jiwaku” dan dibantu oleh kata-kata nyi girah  “mpu  
jayamuseswa  alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak 
raden panji  gelang-gelang ” ia muncul sebagai orang terpandang di desa 
hutan  larangan . Leluhur hutan  larangan  sudah  mengajarkan: 
seorang yang sudah  menolong jiwa orang baik-baik 
seyogyanya dibalas kebaikannya selama hidupnya oleh 
semua orang baik-baik sedesa. 
Dan raden panji  gelang-gelang  sendiri tak memiliki  perhatian terhadap 
kegiatan sehari-hari jayamuseswa . Juga ia tidak menganjurkan 
pada anak-anak desa untuk belajar padanya. nyi girah  juga 
tidak pernah menganjurkan. 
namun   pengalaman Pada yang banyak, 
pengembaraannya yang cukup luas, pergaulannya dengan 
banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, sudah  
menarik anak-anak kepadanya. Gubuknya selalu berisi 
dengan kanak-kanak. Dan gubuk itu diperoleh nya sebagai 
pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di 
belakangnya. namun   ia tak pernah tertarik untuk menggarap 
tanah maka ia pun tidak pernah jadi petani. 
Sesudah  banyak kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya 
ia mulai mendongeng, lalu  memperkenalkan nabi-
nabi yang pernah dipelajarinya di pajang bintoro . namun   segera 
seluruh desa tergoncang waktt ia mulai memasukkan aturan 
yang memisahkan anak-anak Laki-laki  dari wanita lesbian . Orang 
tua-tua memerlukan datang untuk bertanya: apa salahnya 
anak-anak wanita lesbian  itu? Mengapa mereka dibedakan 
hanya sebab  mereka wanita lesbian ? Dan ia menjawab, ia 
seorang bujangan maka tak baik memiliki  murid wanita lesbian . 
Akibat jawaban itu tidak sedikit orang-orang desa yang tak 
memiliki  prasangka keagamaan itu, mendesaknya agar ia 
mengawini salah seorang gadis hutan  larangan . Ia tak pernah 
menjawab dengan jelas, hanya berdalih-dalih. 
lalu  desa dibikin terheran-heran mengapa 
pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan 
bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan 
tidak mengetahui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri? Ia 
menjawab, tentang itu anak-anak itu nanti bisa belajar 
sendiri dari resi -resi  lama dan dari orang-tuanya. 
Kesulitan yang ke sekian mulai dihadapi oleh Pada. 
Huruf palawa  yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa 
dipakai  untuk diucapkan. Dan murid-murid itu mulai 
berguguran seorang demi seorang; Ia sedang menghadapi 
kegagalan. 
Dan raden panji  gelang-gelang  ataupun nyi girah  tidak menyokongnya, 
Bahkan mpu wungubhumi  tidak pernah datang ke pondoknya. Ia 
mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua 
dengan patih  Benggala sudah  cukup tidak menyenangkan dan 
akan kenang-kenangan buruk sepanjang masa; Maka juga ia 
tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan 
dirinya sendiri. 
Satu-satunya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah 
kesabaran. Dimulainya menulis tembang dalam bahasa dan 
tulisan palawa  tentang kisah Rasulullah. Muridnya yang 
tinggal sedikit sudah  merambatkan tembang; itu ke seluruh 
desa hutan  larangan , dan merasa berbahagia dengn 
suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan 
di atas punggung kerbau di padang rumput, atau di malam 
sepi waktu bulan tiada terbit di rumah-rumah yang tersebar 
luas dalam kegelapan. 
Namun muridnya tidak juga bertambah. 
Dan raden panji  gelang-gelang  ataupun nyi girah  tak pernah datang 
menengok gubuknya. 
Kesulitan baru datang menantangnya waktu ia mulai 
mengamatkan tentang larangan-larangan: makanan dan 
minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadanya dan 
menanyakan apa sebabnya babi dan hewan  bertaring 
lainnya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh 
diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak 
makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Orang tua-
tua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan 
ajaran tentang larangan itu. Dan Pada harus mengatakan 
atau ia harus keluar dari desa hutan  larangan . Ia 
mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak, 
sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa. 
Malah orang mulai mencurigainya hendak mendirikan 
kekuasaan baru seperti adipati  jayawisesa  dengan mula-mula 
membuat  peraturan. 
Hanya persahabatan dengan raden panji  gelang-gelang  dan nyi girah  
membuat  ia tidak terusir. 
Suasana mereda, namun  muridnya kian sedikit, tinggal 
barang tiga orang. Tiba-tiba goncangan muncul kembali 
waktu menghadapi pesta panen besar. Pada mengajarkan, 
cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang 
tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dapat dikendalikan lagi. 
Berabad-abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta 
yang tak pernah ditinggalkan. Sesudah  dipurut cacing itu 
direndam dalam air enau selama sehari, lalu  setiap 
orang memakannya. 
Pada terpaksa menarik ajarannya. Dan ia menjadi orang 
yang tidak populer di hutan  larangan . Ia harus lebih bersabar 
lagi. Dalam kesulitan yang amat sangat itu ia datang pada 
sahabatnya untuk minta perlindungan. 
Waktu itu raden panji  gelang-gelang  sedang di hutan untuk 
menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul 
sahabatnya masuk ke dalam hutan. 
wah 
 
Dan setiap Pada datang ke gubuk di pinggir hutan, dan 
raden panji  gelang-gelang  tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang, 
huma atau hutan, nyi girah  dapat melihat sinar aneh pada 
mata orang muda jangkung berkumis dan tidak berjenggot 
itu. 
Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia 
diambil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua 
persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat 
menyeberangi padang alang-alang yang menggentarkan itu, 
melewati hutan muda dan lalu  menyeberangi padang 
rumput pendek… desa pertama, desa kedua, ketiga dan 
sampai ke jalan negeri. 
Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di 
pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang 
aneh itu pula. “Jadi nyi girah  tak membelok ke kanan? ke 
kediri ?”  
“Tidak, Pada”.  
“Ke kiri? hutan  larangan ?” 
Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepala  nya 
menunduk.  
“Dan kau sendiri hendak ke mana, Pada?” ia bertanya.  
“Biar aku antarkan sampai hutan  larangan ”, jawabnya 
lalu . “Itu-pun kalau nyi girah  tidak merasa 
terganggu.” 
“Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang 
mencurigai kau sebagai pelarian pengikut adipati  jayawisesa , 
kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba 
putih”. 
Ia ikuti orang muda itu minta diri barang sebentar dan 
pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan. 
Ia menunggu di gaan. Memang agak lama. lalu  ia 
datang lagi membawa sir pisang susu matang dan 
pakaiannya yang serba putih sudah  menjadi coklat dilumuri 
getah pisang. 
“Begini baik, bukan, nyi girah ?” 
“Cukup baik”. 
Mereka mulai membelok ke kiri ke jurusan hutan  
larangan . 
Waktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang 
mengawasinya, lalu  dengan gugup menyembunyikan 
pandangannya pada pepohonan di kejauhan. Juga sinar 
matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung 
kasmaran. 
“Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada”. 
“Aku adalah seekor burung, nyi girah , di mana pun 
bertengger di sanalah rumahku.” 
Suara Laki-laki  itu terdengar gembira tercampur tawa, dan 
nyi girah  tak tahan mendengarnya. Ia merasai di dalamnya 
terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin 
orang muda ini memicu  ia takut pada Pada, berjalan 
lebih cepat dari biasanya dan ragu-ragu untuk memulai 
percakapan. 
Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dari suara mpu wungubhumi  
yang duduk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa 
Pada berjalan di belakangnya. 
Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari sudah  senja. 
Sawah dan ladang; tepi desa hutan  larangan  sudah  senyap 
ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintik-
rintik. Pintu-pintu rumah desa sudah  tutup untuk menolak 
angin dan dingin. Dari atap-atap keluar asap pendiangan 
ternak atau dapur. 
Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan 
gapura rumah orangtuanya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk. 
Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di 
samping rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang 
terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan 
sanggurdi kuda itu masih terpasang. 
“Ya, nyi girah , memang kuda kediri ”. Pada 
memperingatkan. “Sanggurdinya tak dapat dikelabui, 
kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala   itu. Kau ragu-
ragu, nyi girah ”. 
Ia memang ragu-ragu untuk masuk. 
Dan orang muda itu mendekatinya dengan mpu wungubhumi  masih 
juga duduk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak 
senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguannya dan 
melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan, 
meninggalkan Pada di belakangnya. 
Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah. 
Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa 
menunggu Pada, dan berjalan di belakangnya untuk 
memperoleh kan perlindungan. 
Tali abah-abah tempat pengikat tombak-tombak lempar 
tidak tersimpul. Mungkin penunggang kuda itu membawa 
tombak-tombak-nya ke dalam rumah. 
Mereka tak langsung memasuki pintu, namun  berjalan dari 
samping rumah. Sebentar mereka berhenti untuk 
mendengar-dengarkan. Dan tak ada terdengar sesuatu pun 
dari dalam. 
Juga pintu samping itu tak terkunci, nyi girah  masuk. 
Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di 
manakah orangtua dan adik-adiknya? Dan siapa 
penunggang kuda itu? Dan di mana dia? 
Ia masuk ke dapur, dan api sedang menyala riang di 
dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka   gulai bebek. Ia 
buka dandang di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak, 
dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa. Dalam belanga 
di atas tanah dengan penutup tertindih batu sudah  tersedia 
daging babi panggang yang sudah  disayat-sayat. namun  di 
mana orang-orang rumah? Dan mengapa anjing-anjing pun 
tiada? 
Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang 
jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawa-
tawa betari i   dan suara itu dibawa oleh angin sore yang 
dingin itu. Ia melangkah ke arah kandang sapi. hewan -
hewan  itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan 
sambil memamah-biak. 
“Mungkin semua orang sedang berkumpul di sana,” 
katanya pada diri sendiri. 
Ia suruh Pada dan mpu wungubhumi  beristirahat di ambin ruang 
depan, di mana dahulu  betari  resi   ia rawat. Pada dengan 
mpu wungubhumi  yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan. 
Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. Dan 
untuk pertama kali ia berdebar-debar melihat pancaran 
mata itu. 
Si bayi ia tidurkan di atas ambin dapur dan ia 
meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar 
betari i-betari i di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka 
pintu depan dan keluar. mpu wungubhumi  dan Pada terbangun. 
“Anak desa hutan  larangan  jadi panembahan senapati ki ageng  kediri !” bocah-
bocah berseru mengelu-elukan, “Tidak pernah kalah. Terus 
menerus menang!” 
“Ya-ya, kagumi dia, anak anak! Kagumi, biar kalian 
jadi orang besar juga kelak. Kagumi!” 
Di hadapan nyi girah  satu rombongan besar orang sedang 
melewati gapura, anak anak dan orang dewasa, laki dan 
wanita lesbian . Rombongan itu mengiringkan seorang 
bertubuh dempal perkasa. Dan nyi girah  tidak keliru. Itulah 
suaminya: raden panji  gelang-gelang . Ia lari menyambutnya. Tanpa 
bicara ia menubruk, merangkulnya dan menangis tersedan-
sedan. 
“Dayu, aku tahu kau selamat”. 
Suaminya mengeluarkan popok dari ikat pinggangnya 
dan disekakannya pada wajah istrinya, lalu  
memapahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat 
juara gulat ini. 
“Dengarkan, penduduk hutan  larangan  raden gelang-gelang  panembahan senapati ki ageng  
kediri , kembali ke desanya. Sekarang dia sudah  bertemu 
dengan isterinya. Dan khusus pada nyi girah , “Mana 
Anakku?” 
Mereka memasuki rumah disambut oleh Pada yang 
berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia melihat Laki-laki  muda 
itu seperti terpesona oleh kehadiran raden panji  gelang-gelang . 
Matanya tidak lagi memancarkan sinar aneh. 
Ia lari masuk ke dapur, mengambil bayi yang tidur 
nyenyak diatas ambin depan dan menyerahkannya pada 
bapaknya dengan hangat “Inilah anakmu, belum lagi 
bernama”, dan ia seret mpu wungubhumi  dan diberikannya pada 
raden gelang-gelang , “dan ini mpu wungubhumi  anakku”. 
panembahan senapati ki ageng  kediri  dalam pembuangan itu menerima bayi 
itu menciumnya. Pada wajahnya memancar kebahagiaan, 
kepuasan, syukur dan terima kasih, lalu  
menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat 
mpu wungubhumi  dan berseru: “Kau, mpu wungubhumi , kau sudah bisa menyanyi?” 
“Dia terus menyanyi di atas tengkuk Pada, Kang” 
Air muka raden panji  gelang-gelang  berubah. Tanpa menanggapi  
jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matanya mencari-
cari orang diantara orang sebanyak itu. Airmukanya 
menjadi keras. 
“Pada, di mana kau?” seru nyi girah , dan ia sendiri menjadi 
kuatir melihat perubahan airmuka suaminya. 
“Inilah aku”, jawab Pada dan meneroboskan diri 
menghadap pada panembahan senapati ki ageng . “Inilah aku, Kang, adikmu 
sendiri”. Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki 
raden panji  gelang-gelang . 
“Dia, Kang, mpu  jayamuseswa  alias Pada yang 
menolong jiwaku dan anak-anak raden panji  gelang-gelang ”. 
Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Sunyi-
senyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia 
sebanyak itu. Dan semua mata tertuju pada panembahan senapati ki ageng  kediri  
dan orang yang bersujud di hadapannya. 
Tiba-tiba mpu wungubhumi  merangkul leher Pada, bertanya: 
“Mengapa tak bangun-bangun, Paman?” 
“Ya, bangun, kau, Pada”. 
Dan Pada bangun, berdiri. Mukanya pucat seperti habis 
bangun dari sakit demam sebulan. 
“Nanti akan kuceritakan di depan semua orang ini 
bagaimana ia selamatkan kami, Kang.” 
"Aku datang untuk menyusul kau, nyi girah ”.  
‘Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke 
kediri ”.  
‘Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke kediri , nyi girah . 
Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.”  
“Kang!” seru nyi girah  tak percaya. 
“Kita akan membuka huma, nyi girah , mendirikan gubuk di 
pinggir hutan, di tepian desa”.  
“Kang!” 
Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan 
memperhatikan semua kejadian itu. 
wah 
 
Berita tentang wafatnya adiputro  tumenggung dijoyo  dan digantikan 
oleh Trenggono sudah  memperkukuh niatnya untuk tidak 
kembali ke pajang bintoro . Apalagi sesudah  ia tahu kanjeng sinuhun  baru itu 
tidak memperhatikan dan tidak memerlukan  jasa para 
musafir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi 
menyampaikan laporan. 
namun   alasan terutama adalah nyi girah . Wanita itu 
membuat  ia tak mampu meninggalkan hutan  larangan . 
Bahkan hanya namanya pun sudah  memicu  ia merasa 
tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara 
hatinya   menetap di hutan  larangan . 
Ia sudah  menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah mulai 
memanggilnya patih . Dan ia tidak membantah. 
Dalam percakapan dengan raden panji  gelang-gelang  dan nyi girah  
dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandangan yang 
tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun 
tidak menginginkan harta-benda orang lain. 
Ia tahu beberapa ucapan nyi girah  padanya dalam 
perjalanan dahulu  ada yang tidak cocok dengan…. Ia tak 
pernah membangkit-bangkitnya kembali. namun  ia pun tahu 
betapa wanita lesbian  itu berpengaruh terhadap suaminya. Dan 
mereka berdua begitu cinta-mencintai seakan dunia luar 
tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari 
desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya sebab  
besarnya kepribadian mereka orang-orang justru datang 
pada mereka. 
Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti 
itu, membuang segala impian tentang kebesaran dan 
kehormatan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan 
pajang bintoro , bahkan juga dalam pikirannya. Ia bertekat hendak 
hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi 
bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidupan. Ia 
belajar mepercaya kan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan 
hidup begini. 
Ia pun mengakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya 
yang sudah  mengubah jurusan yang semula hendak 
ditempuhnya, dan mengubah -gaya dan cara hidupnya. 
Orang itu adalah nyi girah . Apa pun yangKtHptitejf buatnya 
seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan 
pikirannya. Dan benang itu secara gaib dikendalikan oleh 
nyi girah . la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus 
hati. nyi girah ! istri sahabatnya! ia yang lebih tua dibandingkan nya! 
ibu dari dua orang anak! istri orang yang sudah  
mengembalikan jiwanya dari tangan adiputro  kediri !. Bila 
kasadarannya bekerja, ia merasa mengkhianati sahabatnya 
dengan diam-diam Dan ia pun sadar: bukan mau dirinya 
sendiri ia mencintai nyi girah . 
wah 
 
lalu  datanglah berita itu: prajurit kerajaan  pajang bintoro  sudah  
membludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan 
barat. 
Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada 
persoalan persoalan pribadi. Dan segera ia lari menuju ke 
gubuk sahabatnya di pinggir desa. Watak lama dari 
pekerjaan lama sudah  mengembalikannya jadi mpu  
jayamuseswa  yang lama. 
Ia dapatkan raden panji  gelang-gelang  sedang menguliti rusa betina 
yang terperangkap dalam ranjaunya. Tangannya 
berlumuran darah. hewan  celaka itu tergolek di atas 
mpu wungubhumi an daun pisang, telanjang tanpa kulit. Dari dalam 
kandungannya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup 
tua. diletakkan hewan  kecil belum berkulit dan bermata 
terlalu besar itu di atas telapak tangan. 
Pada berjongkok di hadapannya. 
“Suka kau?” tanyanya padanya. 
Pada bergidik. 
Dan raden gelang-gelang  memakannya mentah-mentah sampai habis. 
Darah berlumuran pada mulutnya. 
“Seperti Trenggono makan pulau Jawa,” kata Pada. 
raden panji  gelang-gelang  tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia 
meneruskan pekerjaannya, memotong-motong daging 
hewan  celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun 
pisang. 
“Kang raden gelang-gelang , tak kau dengarkan aku?” 
“Seperti Trenggono makan pulau Jawa, katamu. 
Mengapa, Pada apa maksudmu?” 
“Mengapa? Masa kau seorang panembahan senapati ki ageng  tak memiliki  
perhatian? 
“Apa yang perlu diherani? Dan apa yang perlu 
diperhatikan? Sebelum Trenggono naik tahta, orang sudah 
pernah mengabarkan  hati-hatilah kalian terhadap pajang bintoro ”. 
“Jadi bagaimana kau ini kalau kediri  diserang?” 
raden panji  gelang-gelang  meneruskan pekerjaan tanpa 
memperhatikannya. 
“Kau diam saja. Kang?” 
“Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macam-
macam pertanyaanmu”. 
“Tidak benar. Dengan diam-diam kau sudah  
memikirkannya”.  
“Lantas apa kau harapkan dibandingkan ku? Pertahankan 
kediri ? Serang pajang bintoro ? Atau pertahankan tanah ini? Huma 
dan ladang ini, gubuk ijuk ini?” ia menuding pada 
gubuknya.  
“Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi 
Di mana pun aku bisa dapatkan tanah, mungkin lebih baik 
dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan 
aku. Kau orang pajang bintoro .” 
“Aku anak kediri , Kang, dilahirkan dan dibesarkan di 
kediri , seperti kau juga.” 
raden panji  gelang-gelang  berhenti bekerja dan menancapkan pisau 
sayatnya pada daging paha hewan  itu. 
“Itulah persoalanmu. Pada. Kau orang kediri  dan 
pengabdianmu pada pajang bintoro . Bukan persoalanku.” 
“Aku bersungguh-sungguh, Kang. Relakah kau kediri  
diterjang pajang bintoro ?” 
“Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada 
cerita-ceritamu sendiri tentang nyi kanjeng blora dan Ispanya? 
Tentang gada rujakpolo  mereka? Mengapa kau bunuh Sang Patih 
kediri  dan kau meranamun nya untuk sisa hidupmu untuk 
dapat menghancurkan patih  Benggala? Tak mungkin kau tak 
memiliki  perhatian dan pemikiran.”  
”Trenggono bukan patih  Benggala!”  
“Bukan.” 
‘Trenggono sama dengan patih  Benggala.”  
“Memang sama.”  
“Lantas apa lagi?” 
“Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. Dua-duanya 
akan melemahkan Jawa dan memudahkan masuknya 
nyi kanjeng blora. Bukankah itu ceritamu sendiri? Sekarang 
Trenggono membuka medan, dan kau enak-enak bertani 
dan menjebaki rusa dan celeng”.  
“Sudah ada orang lain yang mengurus   , Pada.”  
‘Tak ada yang sebaik kau.” 
raden panji  gelang-gelang  mencabut pisau dan meneruskan 
pekerjaannya.  
Pada merampas pisau itu dan menancapkannya pada 
batang pisang. “Aku sungguh-sungguh, Kang.” 
“Mulai kapan kau dapat jabatan untuk mengurus    soal 
perang?”  
“Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu.”  
“Mengapa kau yang jadi sibuk? Bukan urusanmu.”  
mpu wungubhumi  datang membawa kranjang. Tubuhnya bongsor. 
Hampir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat. 
“Bilang pada makmu, sebagian besar daging supaya 
didendeng. Dan paha ini saja digantung di dapur.” 
“Ha!” seru Pada. “Kau sudah bersiap-siap dengan 
makanan kering. Jadi kau hendak berangkat juga kiranya.” 
“Berangkat ke mana? Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau 
Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai 
utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang 
siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap.” 
“Jadi kau memang sudah memikirkannya, Kang.” 
“Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya 
untuk memikirkannya lagi.” 
“Kau putus asa, Kang.” 
“Aku tak mengharapkan sesuatu. dahulu  aku masih memiliki  
harapan dahulu , sewaktu baginda tuanku raja  tumenggung dijoyo  belum wafat. Dan hanya 
seorang saja, duanya. Sesudah  wafatnya semua nakhoda, 
pedagang dan orang po...... kiranya tahu: seperti bangkai 
rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.” 
“Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah 
urungkan datangnya si pelahap.” 
raden panji  gelang-gelang  berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia 
cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu 
asahan, lalu  berjongkok dan meneruskan 
pekerjaannya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata betari  
resi   dalam ajarannya terakhir di balai-desa hutan  
larangan : Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar sudah  
runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana. 
Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja pajang bintoro . 
Dewa-dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak 
mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian. 
Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau pajang bintoro  
mulai menyerang kalian, tiba  dewa-dewa kalian, 
menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur 
kalian pun tak aman lagi tinggal di alam kahyangan kalian 
sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak 
sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku 
sudah  lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi 
menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar kata-
katamu, betari . 
Sekarang betari lan itu memperlihatkan tanda-tanda akan 
menjadi kenyataan. 
Baru ia menjawab, pelahan, dengan gaya betari  resi  : 
“Waktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada. 
Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan 
terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si 
rakus itu mati tua, kalau dia selamat dari sekian banyak 
medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. Dan begitu si 
rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan, 
mungkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya, 
Pada, tak ada habis-habisnya. Suaranya jadi sayu dan 
murung, “Waktu itu sudah lewat, waktu orang dapat 
mempersatukan Nusantara. Nusantara, Pada, bukan hanya 
Jawa. Dalam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga 
puluh atau 30  tahun orang dapat mempersatukan 
Nusantara. Sampai jambulnya beruban Trenggono takkan 
dapat menguasai Jawa. Ia tak memiliki  syarat untuk itu.” 
Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, sebab  ia 
bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan 
dengan otot-ototnya. 
“Kau bicara tentang syarat, Kang.” 
“Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di pajang bintoro  kau 
tak pernah pelajari itu. Coba dengarkan kata-kata betari  
resi  , yang kau memperoleh  perintah untuk membunuhnya 
itu: ‘Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan 
Nusantara. Kesatuan Nusantara bisa digalang hanya oleh 
jiwa besar, berpandangan luas, meliputi luasnya Nusantara 
dengan darat dan lautnya. Orang itu adalah Gajah Mada.’ 
Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada.” 
“Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya, 
bagaimana kalau Trenggono menyerang kediri ?” 
“Kami akan mengungsi dengan orang-orang sedesa. 
Buka daerah baru. mpu wungubhumi !” kata  raden gelang-gelang , “tiada kau jamu 
pamanmu ini?” 
mpu wungubhumi  yang memasuki umurnya yang ke lima belas itu 
datang berlarian. 
“Mengapa tidak, Bapak? Aku pun sedang membantu 
masak,” ia tertawa pada Pada lalu  lari menghilang. 
raden panji  gelang-gelang  pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan 
kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang. 
“Pada!” tiba-tiba raden gelang-gelang  menengok padanya. “Mengapa 
kau tak juga kawin? Kami berdua hidup berbahagia. Aku 
lihat sudah terlalu lama kau mencintai istriku.” 
“Kang!” Pada terkata , dan kata annya sama seperti 
yang disuarakannya di atas kapal dagang dahulu . 
“Matamu tak dapat bohongi aku, Pada.” 
“Kang,” Pada menyebut lemah. 
“Kau terlalu muda baginya. Lagi pula dia bukan arca   . 
Dia mencintai anak-anaknya. Bahkan aku sendiri tak 
memperoleh  bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan 
hutan  larangan , Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar 
yang betul di sana sambil cari-cari calon istri. Bukan 
salahku, Pada, kalau di seluruh kediri  hanya ada seorang 
nyi girah . Juga bukan salahku mengapa aku tak juga mati.” 
“Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.” 
“Kau sudah dilupakan oleh Sang adiputro . Carilah Liem 
Mo Han. Dia lebih banyak tahu dari hanya berita desas-
desus.” 
Sesudah  makan Pada minta diri. Ia berjalan lambat-
lambat tanpa menoleh. 
nyi girah , raden panji  gelang-gelang , mpu wungubhumi  dan Kumbang 
mengantarkan sampai batas sawah. lalu  suami-istri 
itu mengikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik 
semak-semak petai cina. mpu wungubhumi  lari pulang,dan balik lagi 
membawa kuda, melompat ke atasnya. 
“Biar aku antarkan dia sampai ke desa ke dua!” katanya 
pada raden panji  gelang-gelang , dan tanpa menunggu jawaban ia 
memacu kudanya. 
Tinggsang hyang Widhi  suami-istri itu dan anaknya yang bungsu. 
“Mari naik,” nyi girah  mengajak. 
“Dia mencintai kau, nyi girah ,” bisik suaminya. 
“Kasihan. Begitu muda,” jawab nyi girah  dan membuang 
muka. 
“Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu?” 
nyi girah  naik ke atas tangga rumah, tak sudi meneruskan 
percakapan seperti itu. Dan suaminya mengikutinya cepat-
cepat dari belakang. 
“Jadi kau sudah tahu?” tanyanya. 
“Dia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada 
hukumannya. Mungkin ke campa ”. 
“Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri.” 
“Kumbang! ayolah  naik!” seru nyi girah . “Jangan jauh-jauh 
pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu 
menghindari jebakan.” 
“Sudah kukatakan padanya, sayang hanya ada satu 
nyi girah ,” suaminya meneruskan. 
“Apa kau bicarakan ini?” nyi girah  memprotes. 
namun  raden panji  gelang-gelang  menariknya dan dibawanya ia ke 
beranda gubuk yang menghadap ke jalan. Di kejauhan, 
kepala   kuda dan mpu wungubhumi  dan Pada masih kelihatan di atas 
tajuk semak-semak petai cina. 
“Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh 
dan macannya malas. Begitulah jadinya,” kata nyi girah  pada 
Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu 
nangka kuning, namun   selebihnya terbuat dibandingkan  bambu. 
Dapurnya pun berada di atas. Dan dari atas pula 
pandangan nampak sampai jauh-jauh di sekitar rumah, 
sampai ke batas hutan dan sawah dan ladang. Duduk di 
lantai beranda begini Gateng merasa seperti di atas 
panggung gajah. 
Dan kini para penunggang kuda mulai  muncul  dan 
tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga 
mengikuti dengan pandangan sampai mereka hilang sama 
sekali. 
“Kau tahu apa yang dibawa Pada?” 
“Mana aku tahu?” 
‘Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu.” 
nyi girah  melengos lalu  masuk ke dalam bilik, 
raden panji  gelang-gelang  menarik Kumbang dan memangkunya. 
Pandangnya masih juga pada mereka yang lenyap di balik-
balik semak, la berbisik pada Kumbang: “Kenalkah kau 
siapa nyi girah ?” 
“Emak, Bapak.” 
“Apa lagi?” 
“Penari tanpa tandingan, Bapak.” 
“Apa lagi?” 
“Mak! Mak!” Kumbang berseru memanggil-manggil. 
“Apa lagi, Mak?” 
“Husy! jangan minta bantuan makmu. Dengarkan: 
jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri 
kediri , Kumbang, di seluruh jagad raya.” 
Dan Kumbang tertawa-tawa senang, lalu  meloncat 
dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya. 
Tak lama lalu  terdengar dari dalam bilik suara nyi girah : 
“Husy, jangan dengarkan bapakmu.” 
Dan raden panji  gelang-gelang  duduk seorang diri di beranda 
menunggu kedatangan mpu wungubhumi . Sementara itu ia mulai 
memikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada. 
Tidak! Trenggono tidak boleh memulai perang tanpa akhir 
ini, kalau berita itu benar. Seorang kanjeng sinuhun  harus lebih 
bijaksana. Mungkin dia memang bukan orang bukan 
bijaksana. Kalau tidak dia takkan membunuh abang sendiri 
untuk jadi raja. Atau haruskah dia membunuh saudara 
sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa 
kendali? Takkan ada orang lagi seperti tumenggung dijoyo . Dengan 
alasan arca    ia persatukan raja-raja untuk menggempur 
nyi kanjeng blora, dan kalah. Trenggono tak bisa memakai  
arca    jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan arca    di Jawa. 
Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa, 
ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul   ia hanya 
kerakusan belaka   ingin lebih banyak tanah, lebih banyak 
orang yang takut takluk, mendengarkan dan menjalankan 
perintahnya. Sekali seorang raja memulai…. Tak pernah 
Jawa dipersatukan tanpa persatuan seluruh Nusantara, kata 
betari  resi  . Itu adalah ketentuan Maha Dewa, Hyang 
Widhi, kata betari  pula. 
Dari kejauhan nampak kepala   mpu wungubhumi   muncul  tenggelam 
dari atas tajuk semak-semak. Makin lama makin mendekat, 
lalu  muncul seluruh badannya dan kuda 
tunggangannya di ujung jalan sana. 
Dia lebih pandai menunggang kuda dibandingkan  aku, anak 
semuda ini. Tanpa resi . 
wah 
 
Selang tiga bulan lalu  Pada datang. Langsung ia 
temui. raden panji  gelang-gelang  di hutan sedang menurunkan air enau 
dari pohon. lalu  ia menolongnya memikulkan 
lodong-lodong bambu ke rumah. 
Bersama-sama mereka memasaknya agak jauh dari 
pondok, memakai  kuali tanah besar. 
Pada waktu memasak itu bekas musafir pajang bintoro  itu mulai 
bercerita tentang usaha mpu logender  menghubungi para raja di 
seberang untuk duduk dalam armada gabungan memukul 
jayamahanaya . 
raden panji  gelang-gelang  mendengarkan dengan diam-diam. la 
gembira namun  tidak menunjukkan pada tamunya. 
yang pang pang sudah  menceritakan segala-galanya untuk 
diteruskan pada sahabatnya itu kecuali satu hal: pertikaian 
antara Ratu Aisah dan kanjeng sinuhun  Trenggono. Dalam hati ia 
mengucapkan syukur sudah  ada kesepakatan bulat di pajang bintoro  
untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar dibandingkan  
beberapa belas tahun yang lalu. Aceh juga akan 
menyumbangkan pasukan di samping sendiri akan berusaha 
mengusir nyi kanjeng blora dari blora. 
“Dan, Kang raden gelang-gelang , sekali ini pasukan Bugis-Makasar 
yang gagah berani itu akan ikutserta  juga. Mereka akan 
berangkat lebih dahulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat 
kau bersinar-sinar, Kang.” 
mpu wungubhumi  dan Kumbang berlarian memperoleh kan Pada. 
“Paman kelihatan kurus!” tegur mpu wungubhumi . 
“Dan kau nampak semakin gagah, mpu wungubhumi . Hai, 
Kumbang, sudahkah ada makanan buat paman kurus yang 
kacangtanah ran ini?” 
“Tunggu!” sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga 
Terdengar ia berseru-seru pada emaknya. 
nyi girah  muncul di beranda pondok dan menegur keras-
keras: “Pada Kaukah itu?” 
“Akulah ini, nyi girah . Kalau masak hati-hati,” Pada 
memperingatkan. 
“Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu.” 
“mpu wungubhumi , kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke 
bawah rumah” raden panji  gelang-gelang  memerintahkan anaknya. 
“Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan 
dihindari” 
“Tak bisa lain. Memang harus begitu,” panembahan senapati ki ageng  kediri  
itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia 
hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. Dan 
diulanginya kata-kata yang disukainya itu, “Benar kata 
betari  resi  , Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam 
kesatuan Nusantara. Betapa pamong desa  dia. namun  benarkah 
Trenggono pewaris cita-cita tumenggung dijoyo ? Mungkinkah itu? 
Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh 
Jawa? Apakah bukan kau yang salah dengar?” 
“Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia. 
Kau ragu-ragu terhadapnya?” 
“Apa pun keraguanku, Pada, penghalauan nyi kanjeng blora dan 
jayamahanaya  adalah kunci, kunci segala.” 
“Bayangkan, Kang raden gelang-gelang , berpuluh-puluh kapal dan 
suryabuaya   bergabung dengan kapal dari mana-mana, 
membeludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi 
laksamananya?” Pada diam. 
Laki-laki  yang sedang mengaduk air enau mendidih di 
depannya itu termenung-menung. 
“Dan barangkali juga kediri  ikutserta  di dalamnya,” 
sambungnya. Ia lihat raden panji  gelang-gelang  menggeleng tak 
ke utara . “Kapal suryabuaya   takkan kurang dari tujuh puluh!” 
“Baik, itu baik. mpu wungubhumi , mari aku bantu. Teruskan mengaduk, 
Pada”. Ditinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia 
sendiri mengangkati kayu bakar membantu anaknya. Tak 
lama lalu  ia berseru-seru ke atas: “Jangan terlambat, 
Dayu. Sudah siap-belum kacangtanah  parutan?” 
nyi girah  turun dari rumah membawa kacangtanah  parutan di atas 
daun pisang, menghampiri Pada, melemparkan kacangtanah  itu 
ke dalam bubur gula. Dari tempatnya raden panji  gelang-gelang  dapat 
menangkap pandang Pada yang membelai wajah dan tubuh 
istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka 
merasakan kepahitan hidup sahabatnya. Cepat-cepat 
pikirannya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat 
sana. 
Dalam hati-kecilnya ia masih belum percaya  kanjeng sinuhun  pajang bintoro  
dapat berbalik pikir begitu cepat. Raja itu orang yang tidak 
mampu memegang, tidak mungkin bisa bermufakat dengan 
orang lain. Kalau tidak dia takkan sampai membunuh 
abangnya sendiri. Tak mudah orang dapat meninggalkan 
kerakusan. Bila toh benar Trenggono hendak mengirimkan 
armada besar ke jayamahanaya , barang tentu sudah  terjadi sesuatu. 
Dan apakah sesuatu itu? Adakah muncul orang tertentu 
yang begitu berpengaruh terhadap kanjeng sinuhun ? 
Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada. 
Dan nyi girah  sedang membariskan cetakan gula dari 
potongan-potongan ruas bambu. 
“Apakah yang pang pang pernah menghadap kanjeng sinuhun ?”  
“Itu aku tak tahu.” 
“Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan.” nyi girah  
pergi dan naik ke atas rumah.  
“Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di pajang bintoro ?”  
“Memang ada, Kang raden gelang-gelang , datangnya Fathillah, 
sekarang ipar kanjeng sinuhun .” 
“Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.” 
“Kabarnya ia sudah  diangkat jadi Panglima pajang bintoro . 
Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di 
tangannya, juga seluruh armada pajang bintoro .” 
Dan berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya 
sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka panembahan senapati ki ageng  
kediri  akhirnya: “Hm tampaknya kau tak percaya pada 
keampuhan Fatahillah. Kang, dia orang dari blora.” 
“Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan nyi kanjeng blora di blora, 
Dia sudah  tinggalkan negerinya, makin jauh dari nyi kanjeng blora. 
Mungkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani. 
Mungkinkah sesudah  semakin jauh begitu dia akan berani 
mendatangi jayamahanaya ? Aku ragu, Pada.” 
“Tujuh puluh kapal, Kang raden gelang-gelang , paling tidak dapat 
memuat sepuluh ribu centeng ” 
“pajang bintoro  takkan memiliki  kekuatan sebanyak itu. Kau 
bermimpi . Padas”. 
“Siapa dapat melihat dalamnya telor, Kang raden gelang-gelang . Dan 
itu belum lagi yang bakal bergabung. Dengan armada 
sejenis  itu ayam pun berani menyerbu jayamahanaya .” 
raden panji  gelang-gelang  tetap termangu-mangu. Pikirannya bekerja 
seakan ia kembali jadi panembahan senapati ki ageng  kediri . Tujuh puluh kapal 
besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut. 
gada rujakpolo . Armada nyi kanjeng blora semua tiba-tiba jadi masalahnya 
pribadi. Dan kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit 
tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri. 
Dan pikiran itu selalu menjondil bila nama Trenggono 
masuk kedalamnya. Mungkinkah sudah  terjadi perubahan 
pada kanjeng sinuhun ? namun   pemipin pasukan kuda pajang bintoro  tetap di 
tangannya…. 
Pada mulai menuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa 
bubur itu sudah  surut terkena kacangtanah  parutan dan kini mulai 
mengental. 
“Ada yang belum dikatakan padamu, Kang. Jangan kau 
terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut 
bergabung. Dan, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang 
akan datang dari utara. Perang  sudah  juga mengganggu 
perairan Tiongkok, selamat Kang.” 
raden panji  gelang-gelang  mendengarkan dengan hati-hati dan tetap 
dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda pajang bintoro . 
Waktu makan bersama panembahan senapati ki ageng  kediri  itu sudah  
tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dapat mempercayai 
seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya 
pada Trenggono, sebab  dialah kunci Nusantara sekarang. 
Tak ada sesuatu yang baik yang dapat diharapkan keluar 
dari perbuatan seorang pembunuh saudara. nyi girah  
memperhatikan raut muka dua orang Laki-laki  itu berganti-
ganti. Dan ia mencoba mengalihkan suasana dengan bicara 
soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak 
berhasil. 
Sesudah  selesai makan, kecuali Pada, semua minum 
tuwak. 
Dan orang Laki-laki  itu lalu  menarik diri dan 
bertiduran di geladak serambi. Dan waktu sinar matahari  mulai 
condong ke barat panembahan senapati ki ageng  kediri  membangunkan 
tamunya, memberitahukan sudah tiba waktu baginya untuk 
bersembahyang. 
“Dan akan terus turun ke sawah. Pada, mpu wungubhumi ! Kau yang 
membawa sapi!” 
“Aku ikut,” kata Pada. 
“Kau belum lagi bersembahyang.” 
“Nanti di sawah sana.” 
Dan mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang 
tertinggal di rumah hanya nyi girah  dan Kumbang. 
Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. Dari air 
buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. Dan tidak 
dapat dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami 
sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selama 
setahun penuh, bahkan berlebihan. Di musim kering ia 
berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rumput. 
Pada dan mpu wungubhumi  menggaru bergantian. raden panji  gelang-gelang  
menghancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah 
yang tak terkena garu. Dan bongkah-bongkah tanah yang 
terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing 
tanah dan kelabang dan jengkerik berapungan, berenang 
mencari daratan kering di tanggul-tanggul, menyelamatkan 
diri dari kehancur an. mpu wungubhumi  mencambuki hewan -hewan  
itu sambil menyanyi menyenggaki Pada di atas luku yang 
sedang mendendangkan kisah para nabi. 
Di sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, sebab  
memang belum waktunya. 
Dalam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran 
raden panji  gelang-gelang  tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan 
seluruh badannya bergelimang lumpur. Orang takkan 
mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mukanya dengan 
air lumpur yang agak bening, namun  tak lama lalu  
lumpur menutup mukanya lagi. 
“Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri 
itu yang justru paling banyak tingkah mengurus   nya,” 
pikirnya lalu . “Kalau Trenggono pernah mencangkul 
begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah 
tanah orang lain.” 
Dan pada waktu itu datang seorang penunggang kuda, 
berseru-seru lantang: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! panembahan senapati ki ageng wilareja !” 
raden panji  gelang-gelang  mencaup air yang nampak agak bening, 
menyeka mukanya, dan dari balik pemandangan yang agak 
kabur dilihatnya seorang centeng  pengawal kediri  dan 
menghampiri. 
“Sini!” balas raden panji  gelang-gelang . Dengan masih membawa 
cangkul ia naik ke atas pematang. 
centeng  itu melompat turun dari kuda, lari 
memperoleh kannya, bersujud dan bersujud . 
“Bangun!” bentak panembahan senapati ki ageng  kediri . “Apa artinya semua 
ini?” 
“saya  mengawal baginda tuanku raja  Patih kediri  Sang Wirabumi, 
datang untuk mengunjungi panembahan senapati ki ageng wilareja . Gajahnya masih 
agak jauh di belakang” 
’Dengan gajah. Dia datang sebagai Patih kediri ,’ pikir 
raden panji  gelang-gelang , 
“Urus kudamu.” 
lalu  ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah, 
mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan 
celana yang habis dicucinya. 
“Tani begini, centeng , tak pernah berkulit bersih.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , saya  pun anak petani.” 
“Dan kau lebih suka jadi centeng  pengawal dibandingkan  tani, 
bukan?” 
“saya , panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Jangan panggil aku panembahan senapati ki ageng , aku si petani kotor,” 
katanya sambil memakai  celananya yang basah dan 
melompat naik ke atas tangguk 
“Masa panembahan senapati ki ageng wilareja  lupa pada bidai kecenteng an: Selama 
musuh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, panembahan senapati ki ageng  
tetap panembahan senapati ki ageng ? Marilah panembahan senapati ki ageng wilareja , datang menyongsong 
baginda tuanku raja  Patih Kala chucky  Sang Wirabumi” 
“Berangkat kau dahulu , centeng ! Aku tak menyongsong 
siapa pun.” 
“Ampun, panembahan senapati ki ageng wilareja , bukan maksud saya ….” 
“Berangkat!” perintahnya. 
centeng  itu mengangkat sembah, menuntun kudanya dan 
pergi ke arah datangnya. 
“Ada sesuatu yang sedang terjadi di kediri , Kang,” Pada 
menukas “kediri  memerlukan  seorang raden panji  gelang-gelang .” 
“Husy!” 
“Dan sekali ini aku pasti akan ikut denganmu. Tidak 
untuk kau suruh melompat ke laut.” 
mpu wungubhumi  mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk 
perkara. 
“Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua 
akan selesaikan petak ini.” 
“Pergi dengan bagian luar  basah begini?” 
“Betul juga.” 
Dari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa. 
“Itulah barangkali baginda tuanku raja  Patih kediri ,” mpu wungubhumi  naik ke 
tanggul dan mendengar-dengarkan.  
“Hari ini kita bekerja sampai di sini Paman, mari 
mandi.” raden panji  gelang-gelang  pergi meninggalkan mereka berdua. 
Sesudah  keluar dari hutan muda dari kejauhan nampak 
olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh centeng -
centeng  berkuda bersenjatakan tombak. Kala chucky  berdiri 
di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa, 
tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi 
sembah dengan lambaian tidak ke utara . Destarnya 
gemerlapan sebab  intan-intan yang menghiasinya sedang 
bercumbuan dengan sinar sinar matahari  senja. 
Dan di belakangnya orang-orang desa segera berdiri dari 
sujud dan sembah dan lalu  bersorak riuh. 
Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala chucky  dengan 
kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, lalu  
langsung menuju ke pondoknya. Dilihatnya nyi girah  dan 
Kumbang sudah  turun dari rumah untuk menyambut, dan ia 
menggabungkan diri dengan anak dan istrinya. 
Di hadapan mereka membentang panjang jalanan yang 
dibikin oleh desa sampai ke depan pondok. Dan gajah itu 
sudah  memasuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal 
kadipaten itu mengedrap kudanya seiringan dengan gajah 
yang berjalan lambat. Di belakangnya semua penduduk 
desa mengiringkan. 
Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati 
pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari 
barisan dan seperti melayang menghampiri pondok, 
berhenti di hadapan raden panji  gelang-gelang  dan mengangkat tombak 
mereka. Seorang di antaranya berseru: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! Patih 
kediri  Kala chucky  Sang Wirabumi berkenan datang untuk 
berkunjung.” 
“raden panji  gelang-gelang  sudah menunggu,” jawab panembahan senapati ki ageng . 
centeng -centeng  itu serentak menurunkan tombaknya dan 
kembali menggabungkan diri pada barisannya. 
Gajah itu semakin dekat, makin dekat. 30  depa 
dari pondok hewan  dalam apitan barisan itu berhenti. 
Kala chucky  berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan 
kanan dan berseru: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! Patih kediri  Kala chucky  
Sang Wirabumi datang berkunjung.” 
“Masuklah, Sang Wirabumi!” 
Gajah itu berlutut, lalu  mendekam. Kala chucky  
turun dan mengangkat sembah dada pada panembahan senapati ki ageng . Dan 
raden panji  gelang-gelang  tidak membalasnya. nyi girah  berlutut 
bersujud nya dan Kumbang bersimpuh, bersujud  
pula. 
Jalanan itu sudah  penuh dengan semua penduduk desa, 
juga dari desa-desa lain. kepala   dan kepala  desa keluar dari 
rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium 
kaki bergantian. 
Kala chucky  dan raden panji  gelang-gelang  dan keluarga naik ke 
rumah. Dari bentengan kayu di atas gajah orang 
menurunkan kranjang-kranjang garam dan ikan asin dan 
trasi dan memasukkannya ke pondok nyi girah . Penduduk desa 
masih pada duduk di jalanan menunggu perintah dari Sang 
Patih kediri . 
“Kau datang sebagai Patih kediri  dengan segala 
kebesaran, Kala chucky ,” raden panji  gelang-gelang  memulai. 
“Tetap sebagai teman, panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
“Kau harus menginap. Sebentar lagi malam.” 
“Ya, kami semua harus menginap.” 
“kepala   desa nanti akan mengatur segalanya.” 
“Bagaimana kesehatan panembahan senapati ki ageng wilareja  dan keluarga?”  
“Samalah dengan Sang Patih kediri .”  
‘ah’  
“Nampaknya kau sudah sangat berkuasa, Kala chucky .”  
“gada wesi  panembahan senapati ki ageng wilareja  yang bikin aku jadi patih ini.”  
raden panji  gelang-gelang  merasa tersinggung mendengar jawaban 
itu. Ia tidak menduga tamunya sudah begitu berubah dan 
mabok kekuasaan, sehingga kematian Sang Patih lama 
dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaannya. 
Kala chucky  memperhatikan pakaian tuan rumah yang 
kuning tercampur lumpur. lalu  terdengar suaranya 
yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan: 
“Mana mpu wungubhumi , anak panembahan senapati ki ageng wilareja ?”!’ 
 “Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan 
pulang”  
Dan Kala chucky  belum juga mengatakan apa maksud 
kedatangannya, raden panji  gelang-gelang  memperhatikan airmuka 
tamunya dengan waspada. Patih kediri  itu mendekatinya, 
membisikkan sesuatu, lalu  tertawa terbahak. namun   
tuan rumah tidak menyertainya tertawa. 
“Aku bisa bayangkan,” panembahan senapati ki ageng  mengangguk-angguk, 
“betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan 
bertingkah. Lihat, akan kau biarkan bawahan mu, penduduk 
desa ini bersimpuh menghormati begitu rupa?” 
“Tiada kulihat mereka.” 
“Kau hanya melihat ke atas. Kala chucky ,” ia turun, 
menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam 
dan penginapan untuk tamu agung. Ia memberikan 
petunjuk khusus pada kepala   desa. 
Waktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan 
nyi girah  terdengar olehnya buntut kata-kata nyi girah : “Si 
Kumbang belum cukup dia keloni. baginda tuanku raja .” 
raden panji  gelang-gelang  menghentikan langkahnya. Ia lihat nyi girah  
dengan terburu-buru seperti orang marah, menarik 
Kumbang, memeluknya lalu  dibawanya masuk ke 
dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala chucky  
membalikkan badan untuk menunggu kedatangaannya. 
lalu  dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya; 
“Nasibmu, Nak, nasibmu.” 
raden panji  gelang-gelang  mengawasi Sang Patih dengan mata 
curiga “Bukan maksudku, juga bukan kehendakku. 
panembahan senapati ki ageng wilareja . Sang adiputro  memanggil kembali Sang 
panembahan senapati ki ageng . panembahan senapati ki ageng  sudah  diangkat jadi pimpinan gugusan 
kediri  untuk ke jayamahanaya . Lima ratus orang ada panembahan senapati ki ageng wilareja , 
seperti beberapa belas tahun yang lalu.” 
raden panji  gelang-gelang  terduduk di ambin. Ia terpukau. pada 
sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam 
paha lalu  berubah jadi tinju. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja ! Aku datang sebagai Patih kediri  Sang 
Wirabumi.”  
raden panji  gelang-gelang  tak menjawab. Bibirnya tertarik lempang 
dan menghembuskan nafas desis. 
“Bukankah panembahan senapati ki ageng wilareja  masih bawahan  kediri ?” 
raden panji  gelang-gelang  menarik kedua belah lengannya jadi siku-
siku dan menompangkan tinju pada kedua belah pahanya. 
Duduknya tegak, giginya berkerut. Dari dalam bilik dia 
dengar suara istrinya, tak jelas. 
“panembahan senapati ki ageng wilareja  belum juga menjawab.” 
Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat 
masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu 
percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama. 
lalu , tanpa diduganya, terdengar suara nyi girah  kesal: 
“Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu. 
Bakal memperoleh  apa anak-anak ini nantinya?” 
0odwo0 
 
31. Kembali ke jayamahanaya  
Memang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi. 
Dahulu itu jenggala kediri  penuh dengan umbul-umbul 
dan sorak-sorai yang berkumandang seperti resi h. Pendeta-
pendeta sri ratu kertanegari  dengan jubah kuning menggemerincingkan 
giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah 
banyaknya, untuk memberikan restu. Sri Baginda 
Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan 
berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya 
dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama 
Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini 
harus berhasil, harus, demi Maha sri ratu kertanegari . Kalau tidak, 
Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan. 
Dan berangkatlah armada itu untuk memasuki daerah-
daerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada 
kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil 
menusuk ke selatan, memuntahkan prajurit kerajaan nya yang 
termasyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan 
keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun 
lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara sudah  memerintahkan: 
persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng 
terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian 
armada Singosari muncul dengan segala kebesaran negeri-
negeri jawadwipa . 
400  tiga puluh tiga tahun lalu , pada 1523 
Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer. 
Tidak ke daerah jawadwipa , namun   ke jayamahanaya . Tidak dengan 
umbul-umbul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta sri ratu kertanegari  
membawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal 
perang namun   dengan tiga puluh buah jung! Tidak 
diantarkankan Sang adiputro  kediri , hanya oleh Patih Sang 
Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang 
mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan 
diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang adiputro  menolak 
menyerahkan dua pucuk gada rujakpolo . Juga dalam dada mereka 
yang mengantarkan tanpa sorak sudah  terjalari perasaan 
umum: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka 
prajurit kerajaan  dari gugusan kediri  itu. 
“Baik,” kata raden panji  gelang-gelang  pada Kala chucky  yang berdiri 
di dermaga. “Kami akan berangkat sebagai hukuman.” 
“Patih kediri  tidak menghukum siapa pun, panembahan senapati ki ageng wilareja . 
Semua atas perintah langsung Sang adiputro .” 
“Ingat-ingat ini: raden panji  gelang-gelang  takkan kembali ke negeri 
ini sebelum Sang adiputro  mati.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja , Kala chucky  tak bisa berbuat apa-apa.” 
“Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini?” 
“Jung-jung para pedagang Tionghoa, panembahan senapati ki ageng wilareja , ditarik 
dari mana-mana jenggala oleh shinoda Han. panembahan senapati ki ageng wilareja  
nanti akan bertemu dengannya di campa . Sang adiputro  
tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.” 
“Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan 
kapal nyi kanjeng blora! Kami diharapkan jadi makanan hiu martil . Tak 
dapat bertahan sedikit pun terhadap nyi kanjeng blora. Baik, kami 
jalani hukuman mati ini.” 
“Kala chucky  tak dapat berbuat apa-apa.” 
raden panji  gelang-gelang  tak menggubris ulangan itu. Dengan 
geram ia memasuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyi-
senyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat. 
Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara. 
centeng  laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam 
hati: Apa kesalahan maka Sang adiputro  berlaku demikian 
terhadap bawahan  sendiri, dan siapa sebetulnya  yang 
mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini? 
Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya, 
panembahan senapati ki ageng  raden panji  gelang-gelang . Dan orang melihat, tak seorang 
pun di antara keluarga panembahan senapati ki ageng  datang menguntapkan 
keberangkatannya. Orang pun mengetahui: nyi girah  sudah  
menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki 
di ibukota negeri kediri . Bahkan anaknya memasuki umur 
lima belas itu tidak mengantarkan   suatu hal yang 
dianggap tidak patut bagi seorang anak panembahan senapati ki ageng . Dan 
ditambah lagi dengan sumpah raden panji  gelang-gelang  sendiri yang 
takkan kembali lagi ke kediri  sebelum Sang adiputro  mati. 
Setiap orang memiliki  pikirannya sendiri. Juga panembahan senapati ki ageng . Ia 
masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum 
berangkat meninggalkan hutan  larangan . Anak-anak itu 
bersimpuh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani, 
membantu dan membela ibu mereka. Dan nyi girah , ah, 
wanita yang selalu ditinggalkannya itu   ia tak bicara apa-
apa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya; 
protes keras tak terucapkan terhadap Sang adiputro . Dan 
seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selamat 
jalan. Wanita pada menangis untuk nyi girah , dan Laki-laki  
menekur mengherani keputusan Sang adiputro  mondar-
mandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas 
benteng penduduk: “Jaga Nyi kembang  nyi girah  dan anak-
anaknya. Urus keselamatan dan kesejahteraan mereka.” 
Di kediri  Kota Sang adiputro  menolak dihadap. Dan 
sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke 
medan perang. 
Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia 
mengucapkan syukur alhamdulillah sebab  
keberangkatannya. Setidak-tidaknya ia merasa 
memperoleh kan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh 
jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin mudah 
ia dapat menyusun pikirannya. 
Di hutan  larangan  ia merasa otak dan hatinya 
terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu 
terus juga mendayu-dayu memanggilnya. Kalaulah tidak 
disuruh raden panji  gelang-gelang  tak bakal ia dapat meninggalkan desa 
perbatasan itu untuk menemui shinoda Han. 
Pada hari pertama kedatangannya di campa  ia diajak 
yang pang pang beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati 
pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah. 
Suara Gabah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan 
angin keras terus-menerus, suaranya tetap tak 
menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat 
sepatah demi sepatah. “Memang banyak jenggala -jenggala 
yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan 
nyi kanjeng blora bila serangan gagal. Memang sulit untuk dapat 
mengabarkan . Semestinya jayamahanaya  dengan mudah bisa 
dijatuhkan. Ada suatu kelemahan umum pada mereka: 
penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan. 
Penyerangan dari barisan punggungnya akan membuat  
mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.” 
Dan ia bertanya: “Kita? Maksud Babah Tiongkok juga 
akan ikutserta ?”  
Dan yang pang pang menjawab: “Tidak, kami hanya 
perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa 
membantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan. 
Kami hanya pedagang, bukan centeng . Aku sudah usahakan 
agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka 
menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin.” 
“Siapa mereka itu?” 
yang pang pang tak menjawab, hanya berkata, “Aku 
sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang 
nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orang-
orang Tionghoa memiliki  perhatian dan ikut bergabung dalam 
penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti. 
Kesatuan Tiongkok akan dan. Semoga berhasil.” 
Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami 
dengan tingkah hatinya sendiri yang bermimpi kan nyi girah , 
istri dari seorang sahabat raden panji  gelang-gelang , dan berharga bagi 
dirinya sendiri. 
Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak 
berbahasa Jawa atau jawadwipa . Semua orang Tionghoa totok, 
dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan 
dengan para centeng . Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang 
dipakai . 
Sebagian kecil dari awak kapal beragama arca    dan pada 
setiap kesempatan ikut berjemaat. 
Di campa  armada jung itu berlabuh. 
yang pang pang menjemput raden panji  gelang-gelang  dan 
menemukan Pada ikutserta . 
“Tak perlu lama-lama berlabuh di sini,” pesan Babah 
Liem. “panembahan senapati ki ageng wilareja  bisa tertinggal oleh armada suryabuaya  .” 
Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jung-
jung itu bahan makanan, pakaian dan senjata. 
“Juga tidak perlu bermalam di suryabuaya  . Bila sudah sampai 
di Semenanjung, memantai sebelah barat Sumatra, 
panembahan senapati ki ageng wilareja  mendarat di mana saja di sebelah utara jayamahanaya . 
Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus 
mendarat. Bila panembahan senapati ki ageng wilareja  sampai di Aceh, pasukan 
gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.” 
raden panji  gelang-gelang  terheran-heran mengapa kata-kata 
sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang 
memberikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima 
pajang bintoro  Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang 
tidak mengerti. 
Melihat itu yang pang pang meneruskan dengan gugup: 
“Ya, panembahan senapati ki ageng wilareja , saya  hanya meneruskan pesan baginda tuanku raja  
Ratu Aisah, Ibunda kanjeng sinuhun . kediri , Aceh dan Bugis akan 
merupakan satu kesatuan tersendiri. pajang bintoro  akan 
menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri 
pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur 
Semenanjung. Boleh jadi armada pajang bintoro  sudah berangkat 
terlebih dahulu. Atau lebih lalu .” 
raden panji  gelang-gelang  semakin terheran-heran. Bagaimana bisa 
demikian? Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap 
yang pang pang tak memiliki sesuatu hak untuk 
memberinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan 
ia menatapnya dengan curiga. 
Dan yang pang pang berusaha untuk tidak bicara lagi, 
mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya. 
panembahan senapati ki ageng  kediri  mengucapkan terima kasih atas 
usahanya memperoleh kan jung sebanyak itu. 
Pada berusaha menyertai bicara, namun   yang pang pang 
hanya menghormatinya dengan sopan lalu  
mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal. 
Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap: 
suram bertanya-tanya. 
Walau sudah  dipesan oleh yang pang pang agar tak 
bermalam di suryabuaya  , raden panji  gelang-gelang  memutuskan untuk 
singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin 
memperoleh kan petunjuk dan perintah langsung dari 
Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir 
dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya 
padanya. 
Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem 
Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia 
bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang 
ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan 
ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu. 
Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram. 
“Kosong!” seru raden panji  gelang-gelang  waktu dari jung bendera ia 
melihat pelabuhan suryabuaya   kosong. 
Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal 
bendera adiputro  tumenggung dijoyo  yang dipajang di pelabuhan. 
“Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu!” 
serunya geram. 
Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas 
tahun lamanya menjalankan perintah tumenggung dijoyo  untuk jadi 
tontonan ummat manusia sebagai kapal yang pernah 
bertempur melawan nyi kanjeng blora silelananging jagad. 
Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan! 
Dan kapal pameran itu seakan dimaksudkan sebagai 
lambang kapal mana pun bisa melawan nyi kanjeng blora. 
adiputro  tumenggung dijoyo  sudah  melarang diadakannya perbaikan 
sesudah  1513. 
Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal, 
bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal 
sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal 
menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas 
kerusakan yang bisa membuat  kapal itu tenggelam. Dan 
semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk 
menonton. 
kanjeng sinuhun  Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah 
memerintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya 
pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan. 
Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan 
satu itu. 
Lima ratus centeng  laut kediri  yang bersemangat rendah 
sejak mancal, melihat kekosongan suryabuaya   seperti melihat 
bekas pesta. Di mana-mana nampak daun bekas 
pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup 
angin. Dan kalau selama pelayaran mereka banyak 
termenung-menung, sekarang mereka mulai berteriak-
teriak: ”Kurangajar! Tak tahu diuntung!” 
raden panji  gelang-gelang  dapat mengerti perasaan anakbuahnya. 
Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia sudah  
menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah 
pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana. 
Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun 
sahabatnya itu bekas seorang musafir pajang bintoro , dan mungkin 
masih tetap seorang musafir Trenggono. 
Jung bendera mulai melewati yang satu itu, memasuki 
selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. panembahan senapati ki ageng  kediri  
itu memerlukan mengangkat sembah pada gambaran gaib 
adiputro  tumenggung dijoyo . Dan jung menuju langsung ke pelabuhan. 
jenggala itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang 
umbul-umbul segala warna. Galangan dan bengkel sama 
sekali berhenti bekerja. Bahkan patih wirabuana  pun tak 
nampak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua 
berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di 
samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para 
penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton 
berlabuhnya armada aneh itu. raden panji  gelang-gelang  mendarat 
dengan wajah merah padam.  
“Anakku,” tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu. 
“Sudah kami duga kau akan singgah.” 
panembahan senapati ki ageng  kediri  segera teringat pada wanita tua itu. Ia 
bersimpuh dan bersujud : “baginda tuanku raja  Ratu, patih  singgah.” 
“Armada suryabuaya   sudah  berangkat mendahului. Tentu 
Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu, 
raden panji  gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng  kediri . Jangan berkecil hati, 
sebab  kau, anakku, akan membentuk kesatuan sendiri 
dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah 
dibawa dan dikenakan almarhum tumenggung dijoyo  waktu menyerang 
jayamahanaya , pertanda kau diberi wewenang oleh suryabuaya   dan 
pajang bintoro . Sri Baginda kanjeng sinuhun  Trenggono merestui kau. 
panembahan senapati ki ageng  kediri . sang hyang Widhi  akan memimpin dan memberkati 
dan melindungi kau dan semua anakbuahmu, demi doa 
kami. Insya sang hyang Widhi  selamat dan berhasil.” 
Wanita tua itu minta raden panji  gelang-gelang  mengulurkan 
tangan-kanannya, lalu  memasangkan cincin. Dan 
panembahan senapati ki ageng  membalas dengan sembah dan beribu terimakasih 
dengan kepercayaan itu. 
Ia memberanikan diri mengangkat muka dan bertanya: 
“Ya, baginda tuanku raja  Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami 
diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal 
perang sebagaimana layaknya?” 
“Jangan bertanya, anakku, sebab  itulah kiriman sang hyang Widhi  
dan bukan sekedar manusia yang mengusahakan.” 
“Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung 
untuk bisa bergabung dengan armada suryabuaya  -pajang bintoro ?” 
“Jalan dan tugasmu sudah  ditentukan, anakku. Lepaskan 
armada suryabuaya  -pajang bintoro  dari pikiranmu.” 
“Armada jung ini takkan dapat lari dari nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja  
Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.” 
“Kau takkan dikejar nyi kanjeng blora, juga tidak melawan di 
laut. Tugasmu melakukan pendaratan.” 
Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan 
para penandu lari menghampiri, bersujud , lalu  
mengangkatnya, bergerak meninggalkan jenggala . 
raden panji  gelang-gelang  tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin 
tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera 
mendarat: “Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan 
berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat 
untuk menggempur jayamahanaya . Jangan pikirkan yang lain.” 
Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat 
armada aneh   armada jung berbendera kerajaan jenggala . Armada 
apakah ini gerangan? Armada dagang membawa beras ke 
blora? Dan tidak lain dari raden panji  gelang-gelang  juga yang merasa 
jengkel armada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai 
keanehan jaman yang perlu disaksikan. 
Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas 
tandunya mengantarkan armada jung itu dengan pandang 
yang memendungi selaput awan. 
“Nenenda,” panggil cucunya, “ke mana mereka 
belayar?” 
“jayamahanaya , mengusir nyi kanjeng blora.” 
“Mengapa nenenda menangis?” 
“Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah buatan  
pamanmu. Upik, semestinya mengangkut mereka.” 
“Ya, nenenda, namun  mengapa nenenda menangis?” 
“Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk 
mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan 
diri merasa demikian rendahnya di hadapan sang yang betari durga   Yang 
Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, tumenggung dijoyo , 
penantang nyi kanjeng blora?” 
“Tentu, nenenda. Paman adiputro  tumenggung dijoyo , penantang 
nyi kanjeng blora.” 
“Dan ingat-ingatlah satu nama lagi: raden panji  gelang-gelang . Dia 
pun menantang nyi kanjeng blora. Kau masih terlalu kecil untuk 
dapat mengingat wajah pamanmu almarhum. namun  
raden panji  gelang-gelang  kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau 
lupa seumur hidup.” 
“Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda?” 
“Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang, 
antarkan armadanya dengan doa selamat, cucunda. dani 
nenenda mengucapkan doa untuk kemenangannya.” 
Wanita itu mengucapkan sebaris kalimat doa dan 
cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga 
selesai. lalu  dengan suara dalam sebab  perasaan 
tertekan ia meneruskan: “Kelak kalau orang-orang seumur 
aku sudah  dipanggil sang yang betari durga  , cucunda, orang-orang 
seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu 
lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan 
sentausa, adil dan sejahtera, adalah sebab  mereka. Kalau 
yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau 
akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf, 
berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.” 
Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada 
armada jung dan cericau cucu tentang umbul-umbul dan 
rombongan penonton di pelabuhan. 
Sesudah  bersembahyang sore  Ratu Aisah berdoa 
sampai menjelang di kuil , doa terpanjang yang pernah 
diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata 
ia memohon kedamaian dan kemampuan untuk 
memaafkan putranya kanjeng sinuhun  Trenggono, sebab  armada 
suryabuaya  -pajang bintoro  sudah  dilarang oleh putranya menerima 
penggabungan kediri , dan berangkat satu hari sebelum 
waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang 
berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut 
ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya 
armada itu menuju ke jayamahanaya . Maka ia berdoa agar sang hyang Widhi  
menggerakkan putranya untuk menggerakkan armada itu 
langsung ke sasaran. namun  hatinya tidak percaya . 
Sesudah  bersembahyang di kuil  ia menengok cucunya yang 
ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di 
samping cucunya. 
“Mengapa nenenda begitu terlambat?” tegur cucunya. 
“Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah 
hafal.” 
Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan 
sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah 
untuk lalu  terhenti dan disambung dengan nafasnya 
yang teratur. 
Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik. 
Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman, 
memandangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap. 
Jiwa yang sudah  tua itu berteriak -raung pada antariksa, 
memanggil-manggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam 
kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai 
buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi 
kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini, 
habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa 
daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah 
dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku 
usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku 
dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, sebab  
jaman yang itu akan membuat  sia-sia segala dan semua 
yang sudah  umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya sang hyang Widhi , 
ya sang hyang Widhi . 
Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para 
inang masih juga menunggui. Makan malam sudah  
dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah. 
Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu, 
lalu  kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali 
dan bersembahyang tahajjud sampai subuh. 
Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah 
utara untuk memperoleh kan angin yang lebih 
menguntungkan. 
Dan raden panji  gelang-gelang  masih juga tenggelam dalam 
pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya. 
Orang melihat keterangan sudah  memperkosa airmukanya. 
Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal 
duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada 
orang yang berani menyilakannya makan. 
Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia 
berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang 
serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam. 
Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato 
betari  resi   yang terakhir itu, sewaktu cengkaman resi -
pembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini 
orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan 
tiba-tiba semua pandang terarah pada nyi girah  yang angkat 
bicara: “betari , aku tak begitu tertarik pada kata-katamu 
yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman 
kejayaan yang kau agung-agungkan itu.” 
betari  resi   menengok ke arah nyi girah , tersenyum dan 
mengangguk: “Permintaan yang bijaksana. Gadis, agar 
kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri 
sekarang ini. Dengarkan, Gadis: “Dalam seluruh 
pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman 
kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di 
mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut 
dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang 
sekali. Gadis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya 
mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu 
lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka 
lagi. Kau anak berbahagia, Gadis. Memang aku lebih suka 
melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka, 
sebab  jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan 
kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengah-
lengah tak sanggup membiakkan kacangtanah  itu.” 
“Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri, 
betari ,” seseorang memprotes. 
“Itu menurut kau. Soalnya sebab  kalian sejak dahulu  tak 
mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku 
masih terus bicara dan kalian masih juga menganga 
menunggu datangnya lalat.” 
“Mulailah dengan cerita itu!” nyi girah  mendesak. 
“Baik,” sambar betari  resi   untuk meninggalkan 
pertengkaran secepat mungkin. “Dahulu adalah seorang 
anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah 
kampung nelayan di kediri . Seorang bocah yang oleh para 
dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk kerajaan jenggala  dia 
ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang 
dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan 
ratus o-rang centeng  dan 400  tawanan, kapal-kapal 
besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang 
agungnya selalu terpasang bendera hitam kuning merah  yang 
berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal 
kecil kediri  sekarang ini, hanya lebih pendek. 
“Beratus-ratus kapal sejenis  itu dibuat di galangan-
galangan kerajaan jenggala  di kediri , pasuruan , Kawal, Panarukan, 
Pasuruan, Pacitan, Juana… aku kira jumlahnya takkan 
kurang dari 2000. Penuhlah laut dengan armada 
kerajaan jenggala . Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka 
istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu 
berlayar sutra kuning gemerlapan.” 
“Apakah betari  pernah melihat dan menaikinya?” nyi girah  
bertanya lagi. 
“Waktu muda, ya, dari pasuruan  sampai ke Nalagasari, 
dari jayamahanaya  sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara. 
Tak ada yang menyamai besar dan kelajuannya. Kapal-
kapal negeri dongeng  itu, huh, apalah artinya, seperti kambing 
di sebelah kuda. Dan bila semua layar sudah  dikembangkan, 
laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya 
semua buatan  manusia yang terapung di atas laut. Seribu 
bajak takkan dapat memburu apalagi mengepungnya. Ya, 
Gadis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal 
kerajaan jenggala  ini. Tak ada lagi yang bisa membuat nya 
sekarang.” 
“Mengapa tak bisa? Bukankah di jenggala -jenggala orang 
terus menggalang?” nyi girah  merangsang. “Aku sendiri 
pernah berkunjung ke sebuah galangan kediri  setahun yang 
lalu.” 
‘Tidak bisa. Gadis. Sudah lebih seratus tahun orang tak 
dapat membuat nya lagi. Orang yang dapat mengetahui 
kayu lunas yang dipakai  oleh Mpu Nala sudah tiada. 
“Bocah dari kampung nelayan kediri  itu bukan saja 
seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia 
pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja 
katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar 
dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun 
sesudah  Mpu Nala wafat, orang memang masih 
membangunkan kapal kerajaan jenggala , sebab  masih ada 
persediaan kayu lunas. Sesudah  habis, habis pula 
kemungkinan. 
“Pada suatu kali,” betari  resi   meneruskan. 
Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan 
kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati 
setengah orang, “Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana, 
begitu menurut cerita resi ku dahulu . Ternyata gunung itu 
sudah  meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan 
tetumbuhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima 
dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.” 
“Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tumbuh lagi di 
sana,” raden gelang-gelang  mencoba menyertai. 
“Mungkin kau tak salah, Perjaka. namun  orang sudah tak 
tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa 
diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan 
sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan 
untuk mencari kayu, namun  rempah-rempah semata.” Ia diam 
sebentar untuk minum. “Memang tidak semudah itu. Mpu 
Nala sudah  merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu, 
semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal 
kerajaan jenggala  bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.” 
“Mengapa kau tak bicara lagi, Kang?” nyi girah  berbisik 
pada raden gelang-gelang . 
Dan raden gelang-gelang  hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita 
resi  itu. 
“Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya. 
Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya sudah  berkali 
diganti. Kata resi ku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas, 
beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan 
sesuatu. Orang tak tahu ramuannya. Pewaris tunggal 
ramuan adalah anaknya, juga seorang Mpu kapal. Sayang,” 
ia menghembuskan nafas keluh, “ia tewas dalam 
pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang 
Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang 
mampu membawa ratusan centeng  begitu, dan 
perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapal-
kapal sejenis  itu masih ada, dan sebanyak dahulu , tak bakal 
ada kapal Parsi, palawa  dan Benggala berkeliaran ke mari. 
Satu demi satu kapal itu hancur  dalam Perang Paregreg. 
Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata 
satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut 
akhirnya semuanya. 
Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari kediri  
ke jayamahanaya . Yang melarikan ialah suami paduka raja  Suhita. 
Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran 
Bhre Paramesywara itu marak jadi raja di jayamahanaya , namun   
tak pernah dapat membangunkan sendiri kapal kerajaan jenggala . 
Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau 
kerajaan jenggala  tak mampu hidup di Selatan, kami akan 
hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Paramesywara. 
Ternyata jayamahanaya  tidak pernah melahirkan Mpu Nala. 
jenggala nya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus 
dibandingkan  kediri , namun merugikan jenggala -jenggala di 
bawahnya, dan tinggal jadi jenggala dagang dan 
persinggahan. kerajaan jenggala  runtuh di selatan dan tak bangun 
di utara.” 
“betari ,” seseorang menegur, “sebenarnya kau hendak 
bicara tentang apa? Bicaramu tidak menentu. Kau 
mengagungkan kejayaan kerajaan jenggala . 
Yang kau agungkan runtuh. Di mana pula kejayaannya? 
Bicaramu melompat-lompat seperti katak diburu ular! 
“Uah! kau benar,” betari  during mengangkat dagu 
tinggi-tinggi, mukanya sudah  berkilat-kilat sebab  keringat. 
“Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya 
dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari 
hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan 
mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu melihat katak cuma 
dalam buruan ular. Mengerti kau apa maksudku? Boleh jadi 
kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang 
bisa memperluas hatimu. Puh! betari  resi   bukan si 
pengluas hati.” 
“Tak ada yang berkeberatan betari  seorang pengeluas 
hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baik-
baik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam? 
Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam 
hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau 
bicara tentang yang sudah mati, betari ,” penyanggah itu 
menetak gencar. “Katakanlah, kau bicara tentang suralaya 
atau kerajaan dedemit?” 
“Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak 
tahu. Itulah perkara ppalawa iksu, pandita dan peserta da. Aku 
tak bicara tentang kema-tian.   tentang kehidupan, tentang 
hidup dan bercipta dan mencipta. kerajaan jenggala  kehilangan 
Mpu Nala, dan jayamahanaya  tidak melahirkannya. Di Suralaya 
dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapal-
kapalnya sudah pasti akan datang di jenggala -jenggala seluruh 
dunia. namun  , dengarkan, kau yang tak mengerti tentang 
kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau 
pembantah, negeri dengan jenggala begini,… orang cukup 
duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan 
banyaknya kapal sendiri yang mondar-mandir pergi dan 
datang… orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu. 
Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak 
bakal mengerti maksudku. Dan barangkali sebab  kata-
kataku ini bukan saja seorang namun  banyak Mpu Nala, 
sebab  panggilan ini, membenih dalam guagarba perawan-
perawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini/’ 
betari  resi   diam dan berdoa. Juga raden gelang-gelang  
mengangkat sembah. Kata-kata betari  yang terakhir itu 
menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan 
kawini nyi girah . Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu 
penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan. 
Ia sendiri, seperti yang lain-lain, sudah  banyak mendengar 
tentang kebesaran dan kejayaan kerajaan jenggala    kerajaan jenggala  
yang kini sudah  mati tinggal jadi cerita itu. Doa betari  
resi   ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau, 
kau munculkan dia dari guagarba haridepan. 
Ketika ia menengok pada nyi girah , perawan itu sedang 
tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain 
kerudung pada bahu pacarnya. lalu  tangannya 
mencari tangan nyi girah , dan mereka berpegangan tangan 
seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya. 
“Panas’ bisik nyi girah . 
“Mereka namai dia seorang dewa haridepan,” 
gumamnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan 
penghargaannya, ia angkat kata: “betari , kau tahu tentang 
jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan 
ini seperti kau sendiri sudah  katakan, maka kau berseru-seru 
pada jaman mendatang, seakan kau hendak memberikan 
pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti 
banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu 
permainan.” 
“Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan 
bergandengan tak putus-putusnya.” 
“Ya, bersambungan terus-menerus. namun  tidakkah kau 
keliru. betari , atau sengaja membodohi kami, atau memang 
melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua 
pembohong, waktu kau mengatakan lunas kapal Mpu Nala 
jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti, 
sampai kapal itu mencapai umur lebih dari seratus tahun?” 
“Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Memang aku tak 
dapat membuktikan sebab  barangnya sudah tidak ada. 
Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan. 
Kau sendiri pun takkan dapat membuktikan kebohonganku. 
Di jaman jaya dahulu  memang seorang pembicara harus bisa 
buktikan kebenaran omongannya, kalau diminta. Itu aturan 
dahulu . Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang 
dengan sendirinya.” 
betari  resi   menggerakkan tangan untuk melukiskan 
bentuk lunas. 
“betari , kau tidak memanggil kebesaran pada guagarba 
haridepan. Kau memanggil prajurit kerajaan  kediri  untuk 
menumpas kami…,” seseorang menuduh. 
Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: “Mpu Nala 
bukan sekedar hanya memperoleh kan kayu itu. Dia memiliki  
sumber cipta agung. Dia juga yang membuat aturan 
sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut 
dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang 
ini.” 
“betari , sebab  kau sudah bilang para resi -pembicara 
sekarang ini tak dikenakan aturan membuktikan kebenaran 
kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh membohong 
sekuat mulutmu. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.” 
Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya 
menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerut-
kerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan 
ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para 
pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan pukul . 
Tak ada keluar kata-kata dari mulut. 
Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek. 
Dan mereka yang arif dapat segera melihat, resi -pembicara 
itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal 
wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan 
kejayaan kerajaan jenggala  adalah juga singgungan terhadap 
kehormatan pribadi betari . 
“Mengapa terdiam? Mengapa tidak memekik dan 
berjingkrak?”  
“Jangan menangis, betari ,” seorang dari banjar tengah 
melengking ria, “memang orang-orang muda wajib 
menghormati orang tua, namun  jangan kau kira kau boleh 
semburkan abab semau sendiri.” 
betari  resi   belum juga menjawab. Nampak benar ia 
sedang bergulat untuk menindas perasaannya. 
Tak lain dari nyi girah  yang berusaha menyelamatkan 
betari . Berseru ia keras-keras: “Aku menghargai betari .” 
nyi girah  berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi 
raden gelang-gelang  menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru 
menyokong nyi girah  dan membenarkannya. 
Baru lalu  keluar kata-kata betari  yang berat dan 
sepatah-sepa-tah: “Kalian datang di hadapanku untuk apa? 
Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara.” 
Suara itu bernada rendah memohon simpati…. “Seorang 
diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian 
tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan 
kemerosotan. Lebih 30  tahun aku bicara. namun   
orang masih juga tak mau mengerti.” 
Sekarang suaranya mengambil nada semula, cepat dan 
bersemangat: “Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti, 
jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan 
sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang 
bakal datang tak lain dari kehancur an.” 
“Kalau begitu. betari ,” raden gelang-gelang  memaksa bicara hanya 
untuk menunjukkan simpati. “Ceritai kami bagaimana 
orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan. 
Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak 
mampu mengerti.” “Kau jadi panas, Kang?” nyi girah  berbisik 
memperingatkan. “Para pengejek itu tak hanya sekelompok 
buaya.” Suasana berubah waktu gadis anak kepala   desa 
datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di 
hadapan betari , dan mengambil cawan yang sudah  kosong, 
lalu  pergi lagi. 
resi  itu nampak sangat haus. Ia ambil gendi dan minum 
dari kucuran cucuknya. 
“Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan 
jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman 
dari pengertian-pengertiannya. resi -pembicara seperti aku 
ini hanya menyampaikan pengertian. Orang yang tidak 
bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang 
berganti kalau cambukan perang sudah  mendera-dera pada 
punggungnya. namun   darah dan keringat yang 
dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan 
meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah, 
jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu. 
Kesalahannya hanya: bebal, tak memiliki  kebijaksanaan.” 
Tiba-tiba betari  resi   meringis. Tangannya menelusuri 
perutnya. Sakit perut! orang menduga. lalu  nampak 
betari  mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah 
kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat: 
“Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang sudah  
membangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti dibandingkan  
hanya sekedar menahan kemerosotan.” 
Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri 
perut. 
“Ada seorang anak desa, seorang anak lurah,” katanya 
cepat-cepat. “Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang 
centeng  pelarian prajurit kerajaan  Tatar Kublai Khan. Dari 
pengemongannya si bocah belajar membuat  senjata-api 
penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang 
bocah. Dia pun memiliki  cipta dan dayacipta besar. Aku akan 
perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya, 
dan prajurit kerajaan  yang memakai nya akan menjadi 
pemenang tunggal di atas bumi manusia ini. 
Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat 
memakai  senjatanya. Sesudah  dewasa ia tinggalkan 
desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke 
pusat kerajaan kerajaan jenggala . Dengan ilmu berkelahi dari 
pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala   
ki glodog dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira 
pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia memperoleh  nama 
militer: Gajah Mada.” 
Wajah betari  kelihatan pucat. namun  ia berkukuh 
meneruskan ceritanya: “Dengan daya cipta besar ia berhasil 
meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu 
sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia 
kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan 
nama cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang 
dipersenjatai cetbang armada kerajaan jenggala  tak pernah 
menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara, 
kerajaan-kerajaan jenggala pada takluk dan menyerah.” 
Kembali ia meringis dan menekan-nekan perut. 
nyi girah  bangkit untuk menolongnya. 
betari  resi   meneruskan: “Tidak menemui 
perlawanan di mana pun. Di setiap jenggala kerajaan di 
seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang 
menyongsong armada di jenggala nya. Peluru-peluru cet-bang 
yang berledakan di udara, seperti kilat dan resi h sekaligus, 
membuat  kerajaan jenggala  jadi penguasa tunggal atas Nusantara 
  suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selama tiga ratus 
tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas 
permukaan air memhancur kan armada-armada perampok 
dan bajak laut. Maka darat dan laut aman. 
“Dalam sepuluh tahun lalu  kerajaan jenggala  mulai jadi 
kerajaan . lalu  seluruh Nusantara bersatu di bawah 
bendera hitam kuning merah nya.” 
Ia menresi ti perut, dan dada dan leher. Suaranya 
kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap 
meneruskan: “Waktu itu hanya ada dua paduka raja . paduka raja  
Tiongkok di utara dan paduka raja  kerajaan jenggala  di selatan….” 
Kebesaran dan kejayaan masa lalu, raden panji  gelang-gelang  
berkata , lalu  menghembuskan nafas dalam. Kapal 
besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku 
hanya dengan jung… jung Tiongkok pula…. 
Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas 
kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya, 
dan dibuatnya jadi penutup dada. 
Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini 
mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani. 
Entah sudah berapa puluh saja hewan  itu sudah  memasuki 
jebakan ranjaunya. Semua sudah  ia kuliti, ia potong-potong, 
didendeng. Rusa-rusa itu   makhluk yang tak berbahagia di 
negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami 
seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang 
yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara 
di desa-desa. Yang dungu memiliki segala-galanya dan 
dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat 
kesukaannya. 
Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya. 
Bukan bayangan yang tiba , bukan rusa bukan 
kijang, namun  tanya dan duga yang tiada putus-putusnya. 
Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun 
mendatang? Apakah serba kebalikan dibandingkan  impian betari  
resi   impianku pribadi? Bagaimana bakalnya nasib mpu wungubhumi  
dan Kumbang? Apakah mereka akan lebih buta dan lebih 
tidak berdaya, tidak berkemampuan, dibandingkan  aku? Apakah 
mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang 
dungu? 
Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah 
melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia 
memberanikan diri bertanya: “Bukankah kita tetap menuju 
ke jayamahanaya , Kang?” 
“Jangan pikirkan yang lain-lain,” ia ulangi perintahnya 
pada para peratus di jenggala suryabuaya  . “Kita akan gempur 
jayamahanaya .” 
Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari 
kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung 
naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung, 
dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin 
cerah menantang laut.  
“Kau ingat rumah, Kang?” 
“Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono 
dan Fathillah.” 
“Jung-jung ini takkan mungkin dapat memburu armada 
Fathillah,” Pada mengalihkan percakapan. 
‘Trenggono dan Fathillah, Pada,” raden panji  gelang-gelang  
memperingatkan. 
“Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita 
fikirkan, Kang. Hanya jayamahanaya  tujuan kita. Mereka hanya 
kanjeng sinuhun  dan Panglimanya, laksamananya, mereka hanya ipar 
dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap 
jayamahanaya , Kang.” 
“Mengapa yang pang pang tak bersabda  terhadapmu?” 
“Juga tidak padamu. Urusan kita tetap jayamahanaya , Kang.” 
Armada jung aneh itu tidak menyinggahi jenggala -jenggala 
kecil. Dan centeng -centeng  laut ini berlayar semata-mata 
dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak memiliki 
banyak kerja, dan mencoba melupakan tugas tidak menentu 
dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku 
sebagai seorang resi -pembicara. Bergurau pun tidak terjadi, 
kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin 
mereka. 
Ketiga armada jung akan melalui jenggala jatikerto , dari 
kejauhan nampak armada suryabuaya  -pajang bintoro  seperti sebarisan 
camar yang sedang mengapung di permukaan air, putih-
kelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal 
berlayar dengan layar kuning gemerlapan. 
Semua orang memerlukan meninjau. Dan mereka tidak 
bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali 
tidak mereka harapkan. 
“Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa!” 
perintah raden panji  gelang-gelang . Ia sendiri malu memerintahkan 
untuk mengejar. Yang demikian-memang tidak mungkin. 
Orang menghindarkan pandang dari jenggala jatikerto  dan 
membutakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar 
dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai 
dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan 
keemasan itu makin lama makin kecil. Memang tak 
mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia 
diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul 
jengkel. 
Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama: 
”Aaaaa!” dan armada suryabuaya  -pajang bintoro  membelok ke kiri, 
memantai pesisir barat jatikerto  menuju ke selatan, ke Ujung 
Kulon. 
“Khianat! Benar ada pengkhianatan,” gumam 
raden panji  gelang-gelang  pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum: 
begitu juga barangkali yang dirasakan oleh adiputro  tumenggung dijoyo  
waktu kediri  tidak juga muncul untuk bergabung. 
Sekarang ia sudah  dapat menangkap gambaran 
selengkapnya: semua harapan tentang suryabuaya  -pajang bintoro  harus 
dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari kediri  untuk 
mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal 
mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa 
bersalah pada Sang adiputro . Gila! 
Armada suryabuaya  -pajang bintoro  di bawah Panglima Laksamana 
Fathillah sudah  membelok ke kiri, memantai sepanjang barat 
jatikerto . 
Para centeng  laut suryabuaya   terheran-heran: mengapa tidak 
ke Utara? Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa 
sebetulnya  sedang terjadi? namun   semua di kuil rat dari 
kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak 
berjawab. 
Sampai di Ujung Kulon hanya beberapa regu centeng  
dari kapal bendera diperintahkan mendarat. Juga Panglima-
Laksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin 
anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka 
naik lagi membawa terlalu banyak kacangtanah  muda. 
lalu  armada itu balik lagi ke utara, memasuki selat 
Sunda, kembali ke suryabuaya  . 
Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini 
diserahkan kepada Fathillah oleh kanjeng sinuhun  Trenggono 
berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana 
menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut. 
Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan 
pasukan kuda dapat dipadamkan   dua-duanya 
ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan 
memimpin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini 
akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan 
kediri -Aceh-Bugis sudah  mulai melakukan serangan di 
jayamahanaya . kanjuruhan  akan sibuk melayani serangan, maka 
bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer pajang bintoro  
tidak akan ada. 
Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari 
sebelum gugusan kediri  diperkirakan akan datang ke 
suryabuaya  . Jung-jung itu tak boleh menyusul. pajang bintoro  harus 
bisa memakai  hasil persekutuan rahasia Aisah-Usup-
shinoda Han. 
Sesudah  armada berlabuh untuk beberapa hari di jenggala 
jatikerto  dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak 
tahu, bahwa jung-jung sudah  melihat mereka. Juga tidak 
mengetahui, kediri  sudah  melihat mereka membelok ke kiri. 
Sesampainya di suryabuaya   kembali armada itu beristirahat 
selama tiga bulan, lalu  berangkat lagi, menempuh 
garis pelayaran yang sama. 
Dan tak lain dari mpu logender  yang giat mondar-mandir 
antara suryabuaya  , pajang bintoro  dan campa . Ia tahu urusannya 
sudah  gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke 
utara. Dan seluruh pasukan laut suryabuaya   tak dapat berbuat 
sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan 
kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut sudah  
membuat  centeng -centeng  suryabuaya   itu tak dapat berbuat 
sesuatu pun dibandingkan  mengikuti perintah. 
mpu logender  insaf ia sudah  kehilangan segala-galanya. 
Bahkan ia sudah  kehilangan keberanian ke luar lebih jauh 
dari tiga tempat tersebut. Ia merasa sudah  kehilangan muka. 
Sesudah  kunjungannya terakhir ke campa  ia tak pernah 
lagi meninggalkan suryabuaya  . Ia memilih mati dan berkubur di 
suryabuaya  . 
Pada suatu hari yang sudah  diduganya satu regu pasukan 
pengawal berkuda pajang bintoro  datang mengepung rumahnya. 
Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak 
sudah  menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas 
anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang 
berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri 
dan menantu-wanita lesbian  mati di dalam bilik dengan 
tikaman gada wesi . Cucu kesayangannya yang cuma seorang 
terdapat pecah kepala  nya tersorong di kolong ambin. 
mpu logender  sudah  dipunahkan sampai keturunannya. 
Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar 
dari rumah. Seorang sahabatnya sudah  ditumpas bedan 
seluruh keturunannya: yang pang pang tak pernah muncul. Ia 
menunggu dengan rela datangnya regu pengawal pajang bintoro  
untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita 
tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita 
adiputro  tumenggung dijoyo . 
Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud 
di bawah kakinya, dari Blambangan sampai jatikerto , dari 
laut Jawa sampai lautan Kidul. 
Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa 
pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari 
pajang bintoro . Ia takkan mengampuni kanjeng sinuhun . Dan ia akan 
gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan 
mendidik cucunya, dan mengabdi pada sang yang betari durga  nya, dan 
berdoa tak henti-hentinya untuk keselamatan dan 
kemenangan pasukan gabungan kediri -Aceh-Bugis…. 
wah 
 
Sepanjang pelayaran memantai pesisir barat Sumatra 
armada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak 
pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak 
dalam pemusatan besar, tak pernah memergoki kapal 
nyi kanjeng blora, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai. 
sebab  tak jadi menyinggahi jatikerto  dan perhitungan 
sebab nya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan 
perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai 
dalam suasana gembira. Orang tak lagi memikirkan armada 
suryabuaya  -pajang bintoro . Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai 
kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga 
dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertama kali dalam 
hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang 
pengkhianatan, sarang intrik, sejak kediri  sampai Ujung 
Kulon. 
Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang membaca 
lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan. 
Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantun-
pantunan, sahut-menyahut diikuti gelak tawa. 
Puncak keredupan  ialah waktu mereka mendarat di 
bumi jenggala  Aceh. Beratus-ratus rebana menyambut 
mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan 
baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau 
kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian 
celana dan baju serba genggang dan pasukan kediri  yang 
bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada   
semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka 
bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki 
orang memperoleh kan segala penganan dan pelayanan. Tari-
tarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang 
dan seruling. Setiap orang memperoleh kan kesukaan dan 
persahabatan. 
Untuk pertama kali orang-orang kediri  itu terpeluk 
dalam persahabatan yang semesra ini. 
lalu  datanglah hari keberangkatan. Aceh 
menyerahkan tiga ratus centeng , Bugis 400 . Jumlah 
seluruhnya seribu lebih dua orang: raden panji  gelang-gelang  dan Pada. 
Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan 
perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan sorak-
sorai semua orang. 
Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk 
ummat arca   , memohonkan keselamatan untuk mereka 
yang akan berangkat ke medan perang. 
Begitu mancal dari darat begitu pula mata raden panji  gelang-gelang  
berkaca-kaca melihat ribuan orang, laki dan wanita lesbian , tua 
dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan 
destar, bersorak-sorak mengucapkan selamat berperang. 
Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di kediri , pun tidak di 
suryabuaya  . Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di 
tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih aman, dan 
tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui 
algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: nyi kanjeng blora harus dihalau. 
Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap jayamahanaya  
takkan sia-sia. 
Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung 
nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di 
sebelah utara jayamahanaya . 
Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana, 
menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas 
tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah 
terbaik disediakan bagi raden panji  gelang-gelang  yang sudah  mereka 
angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan 
panggilan Hang Wira. 
Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh 
kampung ini. Geladak pelupuh adalah segala-galanya. Di 
atasnya dimpu wungubhumi i tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada 
perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barang-
barang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur 
di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan 
nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu. 
Dan penduduk tak juga muncul. sebab  tak dapat menahan 
keheranannya raden panji  gelang-gelang  terpaksa bertanya pada Pada: 
“Bukankah kau pernah dengar dari cerita yang pang pang 
pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita? Mana 
batang hidungnya? Semestinya mereka sudah  melihat kita 
datang dan menghubungi kita.” 
“Benar Panglimaku. Aku pun belum melihat batang 
hidungnya. Heran.” 
“Dan manakah armada kecil Tionghoa dari utara itu?”  
“Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat 
kuncirnya.”  
“Apa artinya semua ini?”  
“Tahu, Panglimaku.”  
“Ya, begini inilah jadinya.”  
“Kita hanya memikirkan jayamahanaya  ini saja, Kang.”  
Seorang bocah penduduk kampung sudah  tertangkap oleh 
centeng  yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang 
dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk 
selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu 
dilepaskan sesudah  diberi makan dan perbekalan, dan diikuti 
dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui, 
dan mereka diperintahkan kembali ke kampung. 
Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan 
Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan 
sebaliknya: justru nyi kanjeng blora yang sering datang, baik dari 
darat maupun dari laut. 
Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung 
diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan 
dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan 
kampung dan memasuki hutan belantara. Mereka melalui 
jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan 
semakin memasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas 
sepatu, samar-samar. 
Penduduk yang ditinggalkan melihat semua centeng  pergi 
menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi melihat jung-jung 
dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan harta-
benda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu 
apa. 
Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan melepaskan 
harapan akan bergabungnya pasukan pajang bintoro , Tionghoa 
atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan. 
Perundingan antara kepala  -kepala   pasukan menghasilkan 
keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran. 
Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati 
kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah. 
Penduduknya berlarian entah ke mana. 
Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah 
tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang 
gila. Sama tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang 
diperoleh: sekali-dua nyi kanjeng blora pernah datang dan tak 
pernah melakukan gangguan: Sesudah  dua hari menembusi 
hutan, perundingan antar-sekutu menyimpulkan: 
penyerangan langsung ke jayamahanaya  ternyata tidak mungkin. 
Tak adanya pasukan semenanjung sudah  memusnahkan 
kemungkinan untuk memperoleh kan perbekalan. Tanpa 
perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa. 
Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang 
pertanian harus dibuka terlebih dahulu. 
Pasukan gabungan itu membelok ke timur lebih dalam 
lagi dan membuka huma. Dan tidak lain dari raden panji  gelang-gelang  
yang menyadari: centeng -centeng  ini akhirnya datang tidak 
untuk berperang namun  untuk bertani. Ia tahu sudah sejak 
asal, ekspedisi militer ini akan gagal. 
Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian 
antara tiga macam kesatuan. namun   pembukaan humalah 
yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak henti-
hentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap 
harus ditunda. 
Sekali peristiwa kesatuan Bugis memperoleh  giliran untuk 
mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung 
jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di 
atas tiang-tiang itu sudah  ditinggalkan oleh penduduknya. 
Dan di bawah rumah-rumah itu nyi kanjeng blora sedang sibuk 
memasak-masak. 
Kesatuan Bugis dan-merta merunduk dan melepaskan 
tombak. kata an maut dan seruan terjadi: para bala tentara -para bala tentara  
nyi kanjeng blora yang tidak terkena tombak berlarian membawa 
musket masing-masing dan mulai menembak dari balik-
balik pepohonan. Mereka membuat  lingkaran pertahanan 
dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi. 
Korban di pihak kanjuruhan  jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak 
sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat 
lagi memasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi 
tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilang-
lenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli 
makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat 
pertempuran pertama kini memperoleh  kehormatan jadi 
tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang 
kembali bersama-sama mereka membabat hutan, 
mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma. 
Tidak lebih dari seminggu lalu  di sebelah selatan 
nampak asap besar membubung ke langit Asap itu terlalu 
kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu 
besar untuk dianggap sebagai rumah terbakar. Orang segera 
menduga itulah nyi kanjeng blora sedang membakar sebuah 
kampung besar. 
Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap sebab  tempat 
kebakaran itu tidaklah begitu jauh. 
Dengan separoh kekuatan kesatuan kediri  raden panji  gelang-gelang  
berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai 
sudah  dikirimkan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan 
laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari 
nyi kanjeng blora, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung 
sebelah utara. Jumlah kekuatan mereka cukup besar. 
Kesatuan kediri  segera disusun dalam bentuk jebakan. 
Dari kejauhan sudah  terdengar nyi kanjeng blora menembak-
nembak untuk menghancurkan semangat lawannya. 
raden panji  gelang-gelang  memeriksa tempat penjebakan yang 
ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di 
bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang 
bakal di tempuh oleh para bala tentara -para bala tentara  nyi kanjeng blora. Ia sudah  
banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan 
hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan 
semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka, 
sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang 
berdiri berjajar dalam jarak lima belas depa, sedang tombak 
hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena. 
Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi 
mereka yang sudah mengetahui keampuhannya. 
“Kalian datang ke mari untuk menghadapi mereka. Kita 
akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami 
pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya. 
Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka sudah  berhasil. Kita akan 
juga berhasil.” 
Mereka sudah  memasang perangkap di tempat yang tidak 
terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan 
peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. para bala tentara -
para bala tentara  kanjuruhan  tidak menggerombol sebagaimana halnya 
dengan centeng  kediri  atau para bala tentara  Jawa pada umumnya. 
Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan. 
Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan 
keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja 
kesatuan kediri  yang berada di atas-atas pohon berteriak-
teriak: “nyi kanjeng blora sudah  mengepung kita!” 
Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang 
menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari 
segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah 
mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan 
letusan. Beberapa orang centeng  kediri  terjungkal dari 
panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang 
menyangsang di atas semak-semak atau berkembang bug di atas 
tanah gundul. 
raden panji  gelang-gelang  memerintahkan mengubah hadap ke arah 
tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan, 
menyiapkan tombak atau panah, dan tetap memperhatikan 
datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan 
akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum 
lagi sampai ke jayamahanaya ! 
Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan 
musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya 
mematahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan 
dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang 
dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan 
bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang 
menyerang. 
Satu semprotan musket berlalu di atas kepala   
raden panji  gelang-gelang . Dan ia bergidik. Bulu romanya berdiri. 
”Tahankan!” serunya, “tahankan sampai muka mereka 
bertemu dengan mukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.” 
Pertempuran aneh. centeng -centeng  kediri  dalam jarak 
jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan 
cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam 
semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan 
desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran. 
Dua orang sudah  jatuh pingsan di tempat sebab  
kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu 
orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan 
peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging. 
Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam 
perang dengan musket begini tak ada centeng , tak ada kesatria raja , 
yang ada hanya pembunuh dan korbannya. 
“Mereka lebih hebat dibandingkan  kita,” seru Panglima 
memberanikan. Dengan musketnya nyi kanjeng bloralah yang justru 
mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak 
memerlukan  terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini 
perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah 
kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik 
persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin 
lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi 
berkurang. 
Perkelahian orang-seorang memicu  kanjuruhan  tak 
semudah itu lagi menembak dan membuat  bentengan 
peluru. Mereka mulai memakai  gada . 
Kesatuan kediri  bersorak. Itulah yang mereka 
kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan 
pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya 
di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu. 
Orang mengakui keberanian nyi kanjeng blora menghadapi lawan 
yang jauh lebih besar. Ayunan gada  mereka begitu 
mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang 
menghalangi dan rotan berguguran. 
Hanya sebab  jatuhnya malam saja mereka mulai 
menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan 
meninggalkan korban-korbannya. 
Beberapa pucuk musket sudah  kena rampas, beberapa 
gada , beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga 
kesatuan kediri  kehilangan beberapa centeng nya. 
raden panji  gelang-gelang  mengatakan: pertempuran sekali ini sama 
sekali tidak dimenangkan oleh nyi kanjeng blora, juga tidak oleh 
kediri . Namun seluruh pasukan gabungan sudah  
memperoleh kan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas 
ketakutan terhadap nyi kanjeng blora dan kehebatannya. Dan itulah 
modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari 
jayamahanaya . 
Malam itu juga diadakan penguburan untuk teman-
teman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka 
yang terluka. Separuh dari kesatuan kediri  mengadakan 
pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar 
melawan patih  Benggala. Mereka bermaksud mendahului 
kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya, 
dengan pengetahuan, di malam hari musket kanjuruhan  takkan 
berdaya. 
raden panji  gelang-gelang  memimpin pengejaran. namun   hutan itu 
terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak 
yang sudah  dilalui kanjuruhan . Jalan itu jugalah yang ditempuh. 
Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka 
hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang 
berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya. 
Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan 
musuh melarikan diri. 
Kesatuan kediri  dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa 
dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di 
dekat daerah peluaran kota jayamahanaya . 
0odwo0 
 
32. mpu wungubhumi  Jadi Sandera 
Kemarin dahulu  nyi girah  masih berseru dari beranda gubuk 
panggung itu: “mpu wungubhumi ! jangan begitu. Belajar yang baik!” 
namun  mpu wungubhumi  tak peduli. Dengan melepas kendali ia 
menggantungkan diri di samping kuda, tangan memeluk 
leher hewan nya. Kuda itu lari terus, dan ia melompat 
melalui punggung kuda, berbuat sejenis  itu di samping 
lain. lalu  ia berpacu di jalanan desa dengan 
memunggungi arah. Tak lama lalu  ia berpegangan 
sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda. 
Ia tak mau dengar emaknya memekik-mekik ketakutan. 
Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan sudah  jadi satu. Dan 
berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari 
sehabis kerja. 
Dan sekarang ia menggeletak di atas ambin kayu. 
Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang 
memasuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya. 
Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim: 
“Apa kau renungkan, Buyung! Anak panembahan senapati ki ageng  kediri  bukan 
seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keras-
keras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak 
panembahan senapati ki ageng  memiliki  sejambang airmata.” 
Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya 
dengan bantal. 
Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan 
menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan 
ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain 
masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari ambin 
dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan 
sorai tawa. 
Pada mulanya ia berteriak -raung minta dikasihani 
terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya 
sebelumnya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di 
desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala   desa pun tidak. 
Apakah salahku sampai diperlakukan demikian? Sekarang 
ia tidak berteriak  lagi, walau ia tidak berani melawan atau 
membela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar. 
Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa. 
Semua Laki-laki , centeng , tak ada seorang wanita pun! 
Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar 
olehnya seseorang bicara pada yang lain: “Jangan ganggu 
dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan 
dihormati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak 
tahu batas.” 
mpu wungubhumi  mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat 
olehnya seorang centeng  pengawal bergelang baja bicara 
pada bawahannya. Ia merasa memperoleh  perlindungan. 
Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di 
antara mereka mulai merebahkan diri di samping-
menyampingnya dan segera lalu  tertidur dengan 
menyemburkan bau tuak dari mulut. 
Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi 
tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. lalu  
merangkak lagi ke tempatnya. 
Ia kenangkan kembali percakapan antara centeng  kediri  
itu dengan ibunya: “Nyi kembang  nyi girah , jangan kaget. baginda tuanku raja  
adiputro  kediri  sudah  menitahkan agar mpu wungubhumi , putra Nyi 
kembang  yang pertama, dibawa ke kediri .” 
“Apakah salahnya anakku? Bukankah suamiku sudah 
juga dibawa ke kediri ?” 
“Tak ada yang dapat mencegah perintah  baginda tuanku raja  adiputro , Nyi 
kembang . Panggillah anak itu.” 
Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan 
kukuh tertutup dengan gumpalan otot. 
“mpu wungubhumi , kau akan kami bawa ke kediri .” 
“Bapak berpesan untuk menjaga dan membantu emak 
dan adik.” Ia membantah, dan menerangkan tugasnya 
sebagai Laki-laki  tertua dalam keluarga. 
Dan centeng -centeng  itu mentertawakannya. 
“Seluruh desa akan menjaga dan membantu Nyi kembang . 
Itulah yang jadi perintah  baginda tuanku raja  Patih.” 
“Aku sudah  berjanji pada bapak….” 
Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian 
dan amarah pada mata nyi girah . Dan wajah nyi girah  itu tetap 
cantik seperti semasa masih berada di kediri  dahulu , dan 
tubuhnya tetap semampai berisi sebab  latihan-latihan. 
Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan 
betina yang mencium bahaya yang mendatangi. 
“dahulu  begini juga yang diperbuat oleh patih  Benggala,” 
bentak Nyi kembang . 
“Kami datang membawa perintah  baginda tuanku raja  Patih.” 
“Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan 
pakaianmu.” wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi 
membawa bungkusan kecil dan selembar kain batik 
dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. “Dan ini, 
mpu wungubhumi , kain mak, memakai  kalau kau kedinginan. Kau 
harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu 
pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar, 
hampir lima belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah 
kau seorang Laki-laki .” 
Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat 
mempertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan 
pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun 
berteriak , menjatuhkan diri dan memeluk kaki ibunya. 
Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepala  nya. “Belum 
lagi kepala   ini sempat berdestar…” gumam ibunya. 
Kumbang pun memekik, merangkul leher abangnya 
tercinta, berteriak : “Tidak boleh. Kang mpu wungubhumi  jangan pergi!” 
centeng -centeng  itu dengan hati-hati melepaskan mpu wungubhumi  
dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya. 
Ia angkat mpu wungubhumi  dalam bopongan. Dan yang dibopong 
meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah 
perjalanannya ke kediri . Dalam hidupnya yang semuda itu 
ia mulai dapat merasakan adanya kekuasaan dan pengaruh 
ayah dan ibunya terhadap kehidupan di hutan  larangan . 
raden panji  gelang-gelang  panembahan senapati ki ageng , semua orang senang padanya, 
bahkan Sang Patih kediri  tidak tanpa hormat 
menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan. 
Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang 
tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari 
hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. namun  
apa sekarang? Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk 
pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak 
dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan membantah pun tidak 
bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan, 
bertentangan, bermusuhan, namun  tak pernah terucapkan. 
Dan tanpa diketahuinya kini ia sudah  dijadikan sandera 
oleh Sang adiputro . Penguasa tua itu sudah  menitahkan agar 
ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal 
kadipaten, dipersiapkan untuk jadi centeng  pengawal. 
Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terus-
menerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya 
sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari 
tanpa dirinya? Siapa yang mengambil rusa, atau celeng dari 
ranjau perangkap? Siapa yang menguliti? Siapa pula yang 
mengerjakan sawah dan ladang? Dan siapa yang diajak 
adiknya bermain? Siapa pula yang menjaganya? Betapa 
akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan 
betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan 
kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan 
terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam 
kasih-sayang, tenteram dan damai, yang dimasukinya 
sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan. 
Sampai sejauh itu para centeng  pengawal menduga, si 
bocah itu disanderakan sebab  raden panji  gelang-gelang  pernah 
menyatakan sumpah takkan kembali ke kediri  sebelum 
Sang adiputro  mati. Dugaan yang kurang berdasar, sebab  
Sang adiputro  tak pernah mendengar sumpah itu. Yang 
didengarkan justru lain: Trenggono sudah  menuduh Sang 
adiputro  kediri  bersekongkol dengan raden panji  gelang-gelang  untuk 
menantang kekuasaan pajang bintoro , dan kanjeng sinuhun  mengancam 
akan menangkap Sang adiputro  hidup-hidup di waktu dekat 
mendatang dan akan membelahnya hidup-hidup jadi empat 
bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa, 
namun ia tetap tidak rela kediri  terinjak oleh prajurit kerajaan  
lain. Maka ia menyesal sudah  memberangkatkan 
raden panji  gelang-gelang  dan lima ratus centeng  laut, ia sudah  batalkan 
harapannya akan kematian panembahan senapati ki ageng . Ia memerlukan nya 
untuk mempertahankan kediri . Dengan mpu wungubhumi  sebagai 
sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan 
dapat dipanggilnya kembali. 
mpu wungubhumi  menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya 
memicu  untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai. 
sinar matahari  ternyata sudah  tinggi. 
Sepantun suara keras menggertaknya: “Pemalas! Aturan 
mana orang bangun tertinggal sinar matahari ?” 
Sekarang mpu wungubhumi  mengerti, tak ada seorang pun akan 
melindunginya. Tak percuma emaknya mengharapkan akan 
jadi Laki-laki . Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu. 
Di hadapannya berdiri seorang centeng  bertubuh kekar. 
Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik 
membalik menjadi dendam yang membuncah dalam 
dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan 
dilatihkan oleh bapaknya ia melompat dan menerkam 
centeng  pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak 
ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya 
masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu. 
Dengan dua belah tangan centeng  itu menolaknya keras-
keras. mpu wungubhumi  terjatuh di lantai sesudah  menubruk dinding. 
Dan dada centeng  itu berlumuran darah. 
“Kucing keparat!” sumpahnya sambil menyeka dada 
dengan lengan. “Sekali lagi, kucekik sampai mampus.” 
“Dan kutikam kau sampai mampus!” balas mpu wungubhumi , berdiri 
dan bersiap membela diri terhadap segala penganiayaan 
yang mungkin menyusul. 
“Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang 
dirimu? Sandera!” 
“ayolah , cobalah sekali lagi.” 
“Tak ada yang lebih hina dibandingkan  sandera. Kalau aku 
jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku,” katanya sembari 
terus membersihkan dadanya. 
“Cobalah sekali lagi,” tentang mpu wungubhumi . “Tak bisa kutikam 
waktu jaga. waktu tidur pun kena.” 
Kuatir akan terjadi geger, centeng  itu mengalah dan pergi 
sambil mengurus    dadanya yang berdarah dengan pijitan 
dan cengkaman. 
Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi kata-
kata centeng  itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti 
hidupnya berada di ujung gada . Setiap waktu, tanpa 
pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya 
tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera. 
Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan 
siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang centeng  yang 
sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda 
lainnya. Ia memberi di kuil rat dengan tangan. 
“Naik!” perintahnya. 
Dan mpu wungubhumi  naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi 
lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang 
lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak, 
seseorang sudah  mencambuk hewan nya. Kuda itu terkejut, 
melompat. mpu wungubhumi  terbalik di atas punggung kendaraannya 
dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada 
sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi 
orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh 
menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan. 
centeng  yang memerintahkan tadi mendekati dan dari 
atas kuda membentak. 
“Siapa perintahkan kau turun? Dengar perintah baik-
baik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena,” ia 
menggerakkan kudanya dan memacunya mengelilingi alun-
alun. 
mpu wungubhumi  bangun berdiri, memeriksai kakinya yang sobek-
sobek dan berdarah, lalu  membasahinya dengan 
pukul nya sendiri. hewan nya berhenti di suatu tempat tak 
jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang, 
memang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu 
namanya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak 
dinamakan -sebut belakangan ini: “kanjeng sinuhun ! kanjeng sinuhun !” ia 
menghampirinya sambil berpincang. 
Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus 
datang padanya. Angkuh kau, kanjeng sinuhun ! Dipegangnya kendali 
dan ditepuk-tepuk bahu hewan  itu, dipegang kepala   dan 
diusap-usapnya. kepala   hewan  itu ditariknya ke bawah 
pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai 
bersih. lalu  ia rangkul leher kanjeng sinuhun  dan melompat ke 
atasnya. 
“Lari, kanjeng sinuhun , lari, kejar dia, bikin aku jadi Laki-laki . Susul 
dia, biar aku gebuk kepala  nya.” 
mpu wungubhumi  tak duduk di atas pelana. Ia memeluk leher kuda 
yang tinggi besar itu dan mulai memburu. 
Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk. 
“ayolah , kanjeng sinuhun , jangan kau beri aku malu,” bisiknya pada 
kuping kanjeng sinuhun . 
Melihat centeng  itu mengelak-elak juga, ia menjadi 
bersemangat. “Tubruk, kanjeng sinuhun , tubruk, biar dia 
menjempalit!” 
Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu 
pertarungan. centeng -centeng  mulai turun ke alun-alun 
untuk menonton. lalu  orang lalulalang pun 
memerlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa 
pengumuman penonton semakin lama semakin banyak. 
Orang berjingkrak melompat-lompat, orang menahan nafas 
ketegangan. 
Pada suatu tubrukan yang sudah  direncanakan kudanya, 
tinju bocah itu menggedabir mengenai angin. Dan demikian 
beberapa kali lagi terjadi. 
mpu wungubhumi  naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya sudah  
lapar, dan peluh kuda sudah  bercampur dengan peluhnya 
sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan 
tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu 
membungkuk dengan dua belah tangan erat-erat memeluk 
leher kanjeng sinuhun  dan ia persiapkan diri untuk melakukan 
tubrukan yang menentukan. 
centeng  pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan 
suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke 
sekian kalinya. namun   ia salah perhitungan. Tangan mpu wungubhumi  
tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher 
centeng  itu dua belah kaki dan membuat  jepitan sila. 
Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher centeng  itu 
tetap dalam jepitan mpu wungubhumi . Sorak-sorai menjadi riuh. Orang 
mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia 
itu. Dan tangan mpu wungubhumi  tetap memeluk kanjeng sinuhun . 
“Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!” 
Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan 
dan bahunya sudah  terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh. 
Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan 
centeng  itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula 
melayangkan tumit pada muka centeng  itu. Tak 
diketahuinya tumit sudah  masuk ke dalam rongga mata. Ia 
pun berayun kembali ke atas punggung kudanya. 
Penonton terdiam terkejut. 
Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang 
terakhir sesudah  dapat melihat centeng  itu duduk goyah di 
atas kendaraannya. 
“Sudah! Sudah! Cukup!” orang berseru-seru. 
Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak mpu wungubhumi  
menghentikan kanjeng sinuhun . centeng  itu mulai miring. Tangannya 
yang sebelah memegangi matanya dan kepala  nya 
menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan 
pelan-pelan, lalu  berhenti. 
mpu wungubhumi  turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun 
lari memperoleh kannya. 
“Bodoh!” bentak centeng  bergelang baja yang semalam. 
“Tidak ada aturan memakai  kaki.” 
Orang itu diturunkan dari kuda dengan muka 
berlumuran darah. 
mpu wungubhumi  tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong 
sambil memanggil-manggil kanjeng sinuhun  yang sudah  ia lepas. 
hewan  itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di 
belakangnya. 
Bola mata centeng  itu sudah  keluar dari rongganya. Dan 
mpu wungubhumi  tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan 
pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendamnya menungging, 
dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak 
dapat berbuat sesuatu. 
Hari itu kota kediri  digemparkan oleh berita tentang 
mpu wungubhumi  si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan, 
mpu wungubhumi  anak panembahan senapati ki ageng  kediri , calon centeng  pengawal, calon 
panembahan senapati ki ageng , mpu wungubhumi  anak Nyi kembang  nyi girah . Temui dia dalam 
hidupmu: Dan penduduk kota kediri , terdidik memuliakan 
kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi 
bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan 
sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa 
menjatuhkan seorang centeng  pengawal pada hari pertama 
jadi calon centeng . 
Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk 
mengaguminya. 
kepala  -kepala   regu menjadi sibuk mengurus  para 
pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan 
pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah sebab  
memang sudah jadi adat yang mendarah-daging. Gadis-
gadis datang membawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh 
si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah 
tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagah-
beraninya. 
Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal betari i 
dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan 
daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di 
dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan 
tempat tidur mpu wungubhumi  tak pernah sunyi dari daun bunga yang 
ditebarkan. 
lalu  keadaan pulih kembali seperti biasa. mpu wungubhumi  tak 
mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan 
kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di 
dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap 
dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad 
untuk membalas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus 
bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di 
lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang 
ibu dan adik, tidak ada seorang resi , tiada pula 
pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya 
dan penindasan. 
Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya? Ia 
tidak mengerti. Ia bingung.Seorang centeng  lain yang 
ditugaskan untuk melatihnya memainkan tombak, 
sebelumnya sudah  memamerkan keunggulannya, baik dalam 
melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat, 
untuk mematahkan keberaniannya. 
Dan anak muda desa manakah di kediri  tak tahu 
memainkan tombak? Juga mpu wungubhumi  tahu. Hanya lengannya 
belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan 
permainannya kurang cepat 
Juga pelatihnya memiliki kecenderungan untuk 
menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan 
menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap 
pelatihnya yang angkuh terhadapnya. 
centeng  pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara mpu wungubhumi  
yang dianggap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan 
kelemahan-kelemahan yang memberikan peluang bagi 
lawan untuk memasukkan serangan. mpu wungubhumi  tetap menolak 
tak mau mengikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, namun   
keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap 
dirinya. 
Pelatih yang jadi jengkel namun  segan mengambil tindakan 
itu menghentikan latihannya, mendengus: “kepala   kerbau!” 
“Apa?” 
“Lepaskan cara lama. Salah semua.” 
“panembahan senapati ki ageng wilareja  lebih tahu dibandingkan  kau. Dia resi ku.” 
“panembahan senapati ki ageng  tak pernah dididik jadi centeng ” 
“Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan,” bantahnya. 
“Kalau terus membantah, kau takkan jadi centeng  yang 
baik.” 
“Dan siapa bilang aku harus jadi centeng ?” 
“Ada, yang jauh lebih berkuasa dari centeng ?” 
“Peduli apa?” 
“Dan siapa kau kira bapakmu?” pelatih itu jadi jengkel. 
“Siapa lagi?” 
“panembahan senapati ki ageng  raden panji  gelang-gelang ? Bukan!” centeng  pelatih itu 
menggeleng-geleng dan berkecap. “Siapa bilang panembahan senapati ki ageng  itu 
bapakmu?” 
“Semua orang.” 
“Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu.” 
Dan mpu wungubhumi  merasa kehormatan keluarganya sudah  
dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan. 
Orangtuanya tak pernah bicara sejenis  itu, apalagi 
penduduk hutan  larangan  selebihnya. 
centeng  itu tertawa dan mpu wungubhumi  semakin tersinggung. 
“Memang Nyi kembang  pernah melahirkan kau. Nyi kembang  
yang terhormat itu. namun  panembahan senapati ki ageng  bukan bapakmu. Tidak 
pernah! Coba katakan, apakah raden panji  gelang-gelang  pernah 
mengatakan kau anaknya? Kau, pembohong!” 
Melihat mpu wungubhumi  mulai mengukuhkan pegangan pada 
tombaknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia 
pun tahu sudah  menghinakankeluarga dan pribadi yang 
sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan 
melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya. 
“Jangan mencoba-coba resi mu, pelatihmu,” kata 
centeng  itu. “Kalau bukan sebab  menghormati Sang 
panembahan senapati ki ageng  dan Nyi kembang , kepala  mu sudah pecah. Lepaskan 
tombak itu!” 
Cuping hidung bengkung mpu wungubhumi  sudah kembang-kempis 
sebagai halnya nyi girah  bila marah. 
“Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu 
Sang panembahan senapati ki ageng  sungguh bukan bapakmu.” 
namun   mpu wungubhumi  sudah tak mendengar lagi. Darah yang 
sudah  menyesaki kepala  nya membuat  ia menjadi kalap dan 
menyerang dengan tombaknya. 
Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu 
mengelakkan semua serangan. Ia tahu, mpu wungubhumi  bersungguh-
sungguh hendak memhancur kannya. Ia bersungguh-
sungguh bertahan. 
Perkelahian dengan tombak adalah perebutan 
kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh 
lawan. Mata tombak hampir-hampir tidak dimainkan, namun  
justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada 
lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Dua-
duanya tidak memakai  tombak lempar, namun  tombak 
pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang 
perkelahiannya menyerupai permainan sodor. 
mpu wungubhumi  terus menyerang dan pelatih terus bertahan. 
Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan 
tangkisan silang. Tombak mpu wungubhumi  terlepas dari tangan tanpa 
ia ketahui sebabnya. “Ambil lagi tombakmu!” perintah 
pelatih. 
mpu wungubhumi  melompat memungut senjatanya dengan mata tak 
lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya 
terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat 
melemparkan tombaknya. centeng  itu mengelak lebih cepat 
dan menangkap tangkainya, lalu  melemparkannya 
kembali pada mpu wungubhumi  dan jatuh menancap di antara dua kaki. 
“Ambil tombakmu,” perintahnya lagi. 
Tanpa diketahui oleh mpu wungubhumi , orang sudah datang 
merubung. Dan mpu wungubhumi  mulai melakukan serangan jarak 
pendek. Nafasnya sudah  terengah-engah dan gerak-geriknya 
seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk 
dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari 
tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari, 
melompat dan mengendap, berkelit dan menjuju. 
Seorang kepala   regu berkata : “Bukan orang, iblis 
kacangtanah ran itu,” lalu  memerintahkan: “Selesai! 
Bubar!” 
Bersamaan dengan itu satu pukulan sudah  membuat  jari-
jari mpu wungubhumi  tak dapat mencekam. Tombaknya terlepas jatuh 
ke tanah. Cepat ia mengambilnya kembali.Tombak itu jatuh 
lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu. 
Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendamnya serasa 
akan memecahkan dadanya. 
“Pulang!” perintah kepala   regu. 
Semua bubar. mpu wungubhumi  berjalan paling belakang. Begitu ia 
memasuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang 
berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya 
bergumul bergulung-gulung dengan kemurungan. 
Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya 
dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya 
mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri 
sebab  tak bisa memhancur kan pelatih itu. Dan ia ingin 
dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya. 
Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan 
habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka 
lepaskan ia rasai gatal, panas dan menggigit. Ia makin tidak 
mengerti mengapa semua orang memusuhinya, hanya 
sebab  tidak mampu mencapai apa yang sudah  dicapai oleh 
bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia 
akan melompat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan 
gigi sebab  amarah. Ia panggil-panggil emaknya dalam 
hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut 
perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang 
kekalahannya yang begitu mudah. 
“Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung!” 
seseorang melengking ria. 
“Kalau bantal sudah tertutup mata….” 
“Itulah tanda hujan deras membasahi bumi….” 
Dan ingin sekali ia membuang bantal dan berteriak ia tak 
takut pada siapa pun. Ingin   ingin   namun  seluruh tubuhnya 
menolak melakukan keinginannya. 
“Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung? 
Lihat, seorang wanita datang membawa keranjang….” 
“Mana mpu wungubhumi , anakku?” mpu wungubhumi  mendengar suara wanita   
suara lembut memanggil-manggil. 
“Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan.” 
Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya. 
lalu  terdengar lagi suaranya: “mpu wungubhumi , anakku, 
bangun.” 
“mpu wungubhumi ! Bangun, kau!” kepala   regu memerintah. 
mpu wungubhumi  menghela nafas panjang untuk mendamaikan 
perasaannya, bangun dan menemui wanita itu. 
“Aduh, kau sudah besar begini, mpu wungubhumi , sudah perjaka.” 
Dan mpu wungubhumi  berhadapan dengan seorang wanita bermata 
agak sipit. 
“Perjaka!” orang bersorak-sorak senang. 
mpu wungubhumi  duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu. 
“Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau 
padaku? Orang yang menyambut kedatanganmu yang 
paling mula, waktu kau dilahirkan?” 
“Nyi kembang ,” bisik mpu wungubhumi , lupa pada perasaannya yang 
kacau sebentar tadi. Ia turun dari ambin, bersujud dan 
bersujud . 
Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada 
kepala  nya. 
“Kau sudah berdestar begini,” katanya. “Aku ikut 
mengantarkan panembahan senapati ki ageng wilareja  berangkat. namun  tak ada aku lihat 
dia. Kau pun tak kelihatan. mpu wungubhumi . Mengapa pakaianmu 
begini buruk? Tak dibekali secukupnya dari rumah? 
Keterlaluan nyi girah . Datanglah ke kepatih wirabuana an, mpu wungubhumi .” 
“Tidak boleh, Ibu,” seseorang mencampuri. “Anak yang 
luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan 
balai   tanpa perintah  baginda tuanku raja  adiputro , kecuali kalau sedang 
latihan.” 
“namun  centeng  pengawal lainnya boleh,” bantah Nyi 
kembang . 
“Ya, yang ini tidak.” 
“Baiklah,” sambungnya. “Ini kubawakan penganan 
sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang 
ke mari. Kau sudah memiliki  kelengkapan centeng . mpu wungubhumi ?” 
“Tak ada satu pun padaku kecuali itu,” ia menuding 
pada bungkusan pakaian. 
“Emakmu memang keterlaluan.” 
“Apalah gunanya? Itu pun sudah cukup, Nyi kembang .” 
“Di rumah masih ada peninggalan Sang panembahan senapati ki ageng , 
pakaian, gada  dan empat bilah tombak. Nanti aku 
bawakan.” 
“Jangan. Ibu.” seseorang mencegah, “ia hanya sandera, 
tak boleh memiliki  senjata sendiri.” 
“Sandera!” kata  Nyi kembang  Kati. “Siapa bilang dia 
sandera? Tidak mungkin!” 
“Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat 
diragukan.” 
“Apa kesalahan raden panji  gelang-gelang  Sang panembahan senapati ki ageng ?” 
Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya 
sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang 
dilepas tak menepati tugas. 
“mpu wungubhumi ! mpu wungubhumi !” ratapnya tiba-tiba. “Siapa yang 
memicu  semua ini?” 
Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada 
sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: “Biar, mpu wungubhumi . 
Sabarlah dahulu . Biar aku urus, Nak, semoga berhasil” ia 
mendehem. ‘Tinggsang hyang Widhi  tenang-tenang di sini.” 
Ia bersiap-siap, lalu  pergi bercepat-cepat. 
Tepat sebulan selama di dalam balai   datanglah 
beberapa orang dari hutan  larangan  mengantarkan upeti. 
Mereka mampir untuk menemuinya: kepala   desa dan para 
pemikul. Mereka membawakan untuknya pakaian dan 
perlengkapan centeng : tiga bilah tombak lempar, sebilah 
gada , sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala 
makara. namun   semua kelengkapan itu harus dibawa pulang 
kembali sebab  tidak diperkenankan. Beberapa lembar 
lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung 
jumbai adalah suara dari ibunya: “mpu wungubhumi , anakku. Kau 
harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk 
menjamin kesetiaan panembahan senapati ki ageng  pada Sang adiputro . Maka 
jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu 
sendiri baik-baik, mpu wungubhumi , jagalah keselamatanmu. Kau 
sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk 
dukacitamu, jangan kau permalukan panembahan senapati ki ageng  dan emakmu. 
Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau 
pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat 
melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau memasuki 
balai  , kau sudah menjadi centeng  dan sudah dewasa. 
Maka itu aku meminta padamu, mpu wungubhumi  untuk mengerti satu 
hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih 
mengharapkan dapat bertemu denganmu, pada suatu kali, 
di mana saja. Emak tidak menengokmu di kediri , dan 
jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi 
sumpahku, mpu wungubhumi .” 
Dan mpu wungubhumi  mengerti benar apa yang tersirat di dalam 
lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam 
hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan 
emak! Pada suatu tempat. Ia tak memiliki  persediaan lontar. Ia 
berusaha memperoleh kannya dari tamu-tamunya. 
“Kau tak ada hak untuk menulis surat!” tegah kepala   
regunya. “Jangan menulis.” 
“Sampaikan sembah sujudku pada ibunda ku  yang mulia,” 
katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal, 
“sudah  kubaca lontarnya dan mengerti isinya,” dan ia 
persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali 
mengucapkan terimakasih. 
Orang-orang sedesanya melingkunginya dengan pandang 
belas kasih. Ia bercepat memunggungi mereka, dan waktu 
mereka sudah  pergi semua ternyata para centeng  sedang 
betari i-betari i membaca lontarnya. 
Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal, 
bahkan dari bangsal-bangsal lain orang ikut 
memeriahkannya. 
mpu wungubhumi  diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orang-
orang ini memperlakukan aku seperti itu hanya sebab  aku 
sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh. 
Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia 
tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara 
ibunya yang memanggil mendayu-dayu: ‘pada suatu kali, di 
mana saja’. Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu 
kali nentukan ‘suatu kali’ itu dan ‘di mana saja itu? Jelas 
bukan emaknya. 
Aku sendiri, ia menentukan, tak lain diriku sendiri. 
Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa. 
Sekali ini kepala   desa tidak ikutserta . Juga beberapa lembar 
lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan 
pada dirimu. mpu wungubhumi , Aku sangat berprihatin. Kau dipanggil-
panggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermain-
mainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi 
memiliki kehormatan dan harga diri, seakan-akan 
panembahan senapati ki ageng wilareja  raden panji  gelang-gelang  belum berbuat apa-apa dalam 
hidupnya, seakan-akan nyi girah  tak pernah mencapai sesuatu 
pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain 
dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang 
tua-tua kita mengajarkan tentang kehormatanjdan harga 
diri. Itu di desa-desa, mpu wungubhumi , di kota rupanya orang sudah 
tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai 
tentang betari  resi   dan resi -resi  lainnya. Cerita-cerita 
itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain 
yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. panembahan senapati ki ageng  
raden panji  gelang-gelang  adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak 
ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia 
sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya, 
maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih 
berharga untuk emakmu dibandingkan  seribu pengejekdan 
penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si 
penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur 
hidupnya. namun  kau, mpu wungubhumi , anakku, akan tumbuh lebih 
berharga dibandingkan  mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak 
perlu membalas surat emak ini, sebab  aku tahu kau tak 
diperkenankan. Walau demikian nyi girah  tidak bicara pada si 
gagu-bisu, tanpa surat pun mpu wungubhumi  mengerti perasaan 
emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di 
sesuatu tempat entah di mana. percaya ilah itu, dan jangan 
malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk 
dirimu sendiri.” 
mpu wungubhumi  tak membalas surat itu. Ia sengaja tak mebersabda i 
para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai 
mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di 
dalam balai   yang suka membuang-buang waktu 
melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang 
lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang 
merasa berterima kasih kadang pun merasa malu sebab  
perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud mencari 
orang itu. 
Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang: 
“ayolah , barangsiapa mau merampas surat ini, ayolah  sini!” 
Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia 
tersenyum senang, senyum pertama selama dua bulan ini. 
Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia 
membacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak 
sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan 
pengawal pada umumnya. Dan orang-orang yang 
mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi 
taufan amarah dari nyi girah  sendiri. Juga kepala   regu itu 
menunduk dalam. 
wah 
 
Sesampainya di rumah Nyi kembang  Kati dengan tak 
sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan 
begitu raden  sanggabuana  bumikerta  datang segera saja ia 
menyerang: “Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu 
kejam sejak semula dibandingkan  Tuan. Keji! Bahkan pada 
anaknya sendiri! Tuan malu memiliki  anak seperti dia maka 
kau mau hancur kan dia sebagai sandera,” 
“Ada apa kau ini, Kati?” raden  sanggabuana  terheran-heran 
tak tahu sesuatu apa. 
“Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang 
adiputro  hanya kau!” 
raden  sanggabuana  berubah airmukanya dipanggil kau dan 
bukan tuan.  “Apa kau ini?” ulangnya tersinggung. 
“Kau sudah  menghasut. Kau! Kau bikin mpu wungubhumi , anakmu 
sendiri, jadi sandera,” tuduh Nyi kembang . 
“Dari rumah utama ini, ke rumah nyi girah  sana, dan 
lahirlah mpu wungubhumi . nyi girah  sendiri yang berkata. Seluruh kediri  
tahu ceritanya, semua tahu, siapa mpu wungubhumi , kecuali mpu wungubhumi  
sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu.”  
“Apa kau ini, Kati?” 
“Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda 
sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.” 
raden  sanggabuana  bumikerta  mengambil tongkat dan 
berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan 
ancaman hendak menyerangnya. 
“Betapa kau hinakan nyi girah . Kau paksa dia 
mengandungkan anakmu selama 9  bulan….” 
“Bohong! Tak ada cara begitu pada pakanewon  Habibullah 
Almasawa. Kau kira siapa nyi girah  dibandingkan dengan 
bidadari-bidadari lainnya?” 
“Dan mengapa mereka kau tinggalkan, dan 
menghambakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu 
kau hinakan? Mengapa kau diam saja? Biar aku panggil 
tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini.”  
“Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar?”  
“Dengarkan kata nyi girah ? Kaulah pula yang mengirimkan 
raden panji  gelang-gelang  ke sarang patih  Benggala biar terbunuh.”  
“Kati!” 
“Kaulah yang mengada-ada mengirimkannya ke jayamahanaya  
dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas mpu wungubhumi  
dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan 
dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas 
dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan 
memakai  kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua 
itu tidak benar!” 
“Tak satu pun benar,” raden  sanggabuana  menjawab tegas.  
“Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh 
kau di depan umum,” Nyi kembang  Kati menangkap tangan 
suaminya dan mulai menyeretnya. 
“Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu.” Wanita itu 
menyeretnya terus. 
“Aku pukul kau,” raden  sanggabuana  bumikerta , 
patih wirabuana  kediri  itu melawan tarikan dan 
mengamangkan tongkat. 
Nyi kembang  Kati mendadak melepaskan seretannya dan 
patih wirabuana  itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melompat 
mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan 
suaminya patih wirabuana  itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari 
tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan 
diri. 
“Hancur jari-jari ini,” kata  patih wirabuana ,   
“Biar remuk!” 
“Aku tak bisa menulis lagi nanti,” kata nya.  
Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang 
dikangkangi istrinya sendiri ia tak meneruskan niatnya, namun  
segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan 
pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja 
mencabuti rumput. 
“Peduli apa? Aku sendiri nanti menghadap baginda tuanku raja  
adiputro .”  
“Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi kembang .”  
“Jadi kau mengaku menghasut, memfitnah, 
mencemarkan keluarga sebaik itu? Kau takut pada 
raden panji  gelang-gelang , maka kau carikan kuburan baginya di dalam 
jung. Kau kalah perbawa dari nyi girah , maka kau rampas 
anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus, 
bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu 
tatasusila!” 
Nyi kembang  Kati melepaskan akan injakannya dan 
menyepak kepala   suaminya. 
patih wirabuana  kediri  duduk dan memijit-mijit tangan. 
Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau 
tongkat dan mencoba mengaitnya. 
“Pelindung kepala   mulia!” Nyi kembang  menyepak topi itu 
dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.  
“Dua kali kau aniaya aku. Nyi kembang .” 
“Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau 
menghadap sekarang juga.” 
raden  sanggabuana  melompat berdiri dan menubruk istrinya.  
“Jangan, jangan, baginda tuanku raja  adiputro  sedang gering.”  
”Menghadap Patih kediri  Sang Wirabumi.” 
“Jangan, baginda tuanku raja  Patih sedang ke jayamahanaya .” 
“Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada 
semua orang,” ancam Nyi kembang . 
“Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku 
akan penuhi, Nyi kembang .” 
“Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!”   
“Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar mpu wungubhumi  bebas 
dari sandera. Biar dia lalu  kembali ke desa dan 
berkumpul dengan emak dan adiknya.” 
“Baik, baik, akan kuusahakan. namun  bukan aku yang 
berkuasa. Kau sendiri tahu.” 
“Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia 
sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah… awas, kau 
tahu apa bakal terjadi atas dirimu.” 
Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu 
tidur dan hidup berpisahan. raden  sanggabuana  As-Zubaid 
terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya 
yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di 
malam hari, apa pula kapal-kapal negeri dongeng  tak juga 
kunjung berlabuh. 
Dan Nyi kembang  Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya 
selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya 
satu coretan setiap hari. 
Dan sudah beberapa kali patih wirabuana  menghadap untuk 
mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang 
nasib mpu wungubhumi . 
Nyi kembang  tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu 
coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak. 
Dan raden  sanggabuana  bumikerta  memang tak ada 
maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali membuai 
Sang adiputro  dalam dongengan…. 
wah 
 
Memasuki bulan ke tiga mpu wungubhumi  dianggap lulus dalam naik 
kuda dan memmemakai  tombak di atas tanah.ua 
pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan 
mendatang adalah memainkan tombak di atas punggung 
kuda dan memmemakai  cambuk perang. 
Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang 
sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan 
terendah dalam tata hidup kediri . Sahabat seorang sandera 
dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam 
diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan 
menghinanya? Tampangnya adalah lain dari pada yang 
lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lima jari lebih 
rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai patih wirabuana  
kediri  pakanewon  Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada 
sesuatu yang lucu di rumah dahulu  dan tersenyum, bahkan 
senyumnya pun sama dengan tuan patih wirabuana  sewaktu dia 
masih bayi. 
“Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai 
sandera?” 
Darah mpu wungubhumi  tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan 
sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan 
patih wirabuana , bahwa emaknya tidak memiliki kesetiaan 
pada Sang adiputro , bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh. 
Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu: 
Emaknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada 
suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya 
yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta 
Sang adiputro . Mak, aku dengar suaramu, Mak! Aku dengar! 
Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak. 
mpu wungubhumi  mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, pura-
pura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari 
terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari 
kecil sambil mengaduh. Makin jauh berjalan, makin sunyi 
Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang 
di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. lalu  
sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang 
kuda. 
“kanjeng sinuhun ! kanjeng sinuhun !” bisiknya memanggil-manggil. 
hewan  yang dipanggilnya bangun berdiri dan 
meringkik pelahan. 
mpu wungubhumi  masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang 
pintu, memeluk kuda itu pada lehernya, dan membawanya 
keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk 
leher kuda itu, berbisik: “Bawa aku pulang. kanjeng sinuhun , jangan 
gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam 
ini.” ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa 
sanggurdi. 
Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai 
berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang, 
memasuki padang alang-alang. Sesudah  jauh dari daerah 
perumahan mpu wungubhumi  memacunya ke jurusan jalanan negeri 
Malam terang bulan itu tiada angin meniup. Pepohonan 
berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada 
berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di 
angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah 
berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak 
hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang 
mengepul di belakang. 
Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan. 
mpu wungubhumi  tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya 
dan nafas kanjeng sinuhun . Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang 
di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang 
adalah maut dan penindasan. 
Dan kanjeng sinuhun  akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya, 
biarpun ditambah dengan tiga lemparan tombak. 
0odw-o0 
 
33. pajang bintoro  Mulai Bergerak 
Begitu sudah  memperoleh  kepastian pasukan gabungan 
kediri -Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota 
jayamahanaya , dan kanjuruhan  terpaksa membatasi ruang geraknya 
di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan menyerang. 
Pasukan kuda dan kaki pajang bintoro  dengan cepat menerjang 
kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan 
jatuh. prajurit kerajaan  itu bergerak tenis mengejar bab para bala tentara  
Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan 
para bala tentara  bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga 
itu tak memiliki  pasukan kuda. Trenggono memperhitungkan: 
juga Blora akan segera jatuh. 
Semua orang Laki-laki  kabupaten Santenan yang berumur di 
atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat melarikan 
diri, di seret terus ke timur untuk jadi para bala tentara  tambahan. 
prajurit kerajaan  gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari 
kelemahannya memasang perangkap-perangkap kaki kuda 
dengan ranjau gambangan dari bambu, yang dijajar 
renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan 
dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan 
terdepan pasukan kuda pajang bintoro  memasuki semua perangkap 
dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya. 
Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada 
pasukan kuda kesayangannya. Ia mengancam bupati-bupati 
bersangkutan akan merejamnya hidup-hidup. 
Maka pasukan kaki pajang bintoro  yang digalakkan oleh 
harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh 
jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak 
prajurit kerajaan  yang bermusuhan tidak lagi menanggapi  
aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk lalu  
bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan pajang bintoro  
mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya, 
menerjang yang terkena terjang membongkar yang terkena 
bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung 
yang dilewati. 
Di sebelah utara, prajurit kerajaan  pajang bintoro  yang sudah  
dipusatkan Mfeetumnya di Juana, juga bergerak ke timur. 
Rembang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya 
dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah 
terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang 
pesisir di mana penikan kuda pajang bintoro  tak dapat berbuat 
sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga 
Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan 
sendiri turun ke medan. 
Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan, 
armada suryabuaya   pajang bintoro , armada terbesar sesudah  jatuhnya 
kerajaan jenggala , tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh 
Panglima-Laksamana Fathillah. meninggalkan jenggala 
suryabuaya   untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran 
yang sama: ke jurusan jatikerto . 
Sama halnya dengan dua pelayaran sebelumnya di setiap 
jenggala dikatakan mereka sedang berlayar untuk 
menghadap nyi kanjeng blora. 
Mengetahui, bahwa prajurit kerajaan  pajang bintoro  bergerak ke 
jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati 
tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga. 
Mengapa armada yang ditimang-timang adiputro  tumenggung dijoyo  itu 
tak juga menuju ke jayamahanaya . Maka di setiap jenggala hanya 
dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan 
Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke 
jatikerto  dan membelok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan 
memang sedang berja-ga-jaga agar kanjuruhan  tak masuk ke 
Jawa. Walau demikian seluruh jatikerto  sudah  bersiaga. 
Kepercayaan orang terhadap Trenggono sudah  punah sama 
sekali. 
Gerak-gerik armada diikuti oleh jatikerto  dari pesisir 
Mereka melihat armada besar itu menurunkan beberapa 
pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu 
pasukan jatikerto  Pertempuran sengit segera terjadi. Armada 
menurunkan pasukan bantuan, lalu  mengangkat sauh 
dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukan-
pasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam 
pertempuran. 
Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda. 
Tiba-tiba membelok ke kanan, memasuki jenggala jatikerto  
sambil melepaskan tembakan-tembakan cetbang. jatikerto  
pun melepaskan cetbangnya, namun   pasukan-nya sudah  
banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran 
cetbang yang berjalan selama setengah hari sudah  
menghabiskan peluru jatikerto . 
Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan 
pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana, 
ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga 
pajang bintoro  meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi 
sedang sibuk di jayamahanaya , dan mungkin melakukan sergapan 
dari belakang. 
jenggala besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya 
Pada hari ketiga sesudah  pendaratannya kekuatan pajang bintoro  
memasuki ke pedalaman jatikerto . prajurit kerajaan  jatikerto  kalah 
dalam jumlah dan persiapan. Dan sesudah  seminggu 
bertahan pertahanannya pasukan jatikerto  jatuh ke dalam 
kekuasaan pajang bintoro . 
Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orang-
orang pajang bintoro  jadi pemegang kekuasaan di jatikerto . Dengan 
keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan 
penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan 
datangnya kanjuruhan . Sebagian dari kapal-kapalnya 
melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir 
barat dan utara jatikerto . 
Taraf pertama persekutuan militer Trenggono-Fathillah 
sudah  berhasil. Dengan jatikerto  sebagai pangkalan pajang bintoro , 
seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan pajang bintoro  
harus jadi modal. 
Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih 
kembali. Fathillah mulai memanggili penduduk dewasa 
untuk dijadikan centeng . Dengan jalan demikian ia sudah  
ganti kerugian manusia selama pertempuran seminggu. 
Semua pandai besi dikerahkan untuk membuat  peralatan 
perang baru. jenggala dibuka kembali Dan negeri yang kaya 
akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari negeri dongeng . 
jatikerto  adalah penghasil lada dan minyak kacangtanah . 
Dengan jatuhnya jayamahanaya  dan blora, ia sudah  menggantikan 
kedudukan pasuruan  sebagai jenggala terbesar di Jawa. namun   
jatikerto  sendiri tidak memiliki armada dagang ataupun 
militer, sebab  percaya kegiatan perdagangan takkan 
memicu  kekuasaan lain akan berniat menyerbu 
selama dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain. 
Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini 
sudah  diperhitungkan oleh Fathillah 
Dan sekarang Fathillah akan memakai  penghasilan 
bumi dan laut jatikerto  untuk memperluas gerakan 
memasuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk 
jenggala jatikerto  sendiri membantu dan menyokongnya. 
Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampung-
kampung tersebar di sekitar jenggala . Sebagian adalah 
penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara 
dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan 
takluk dan setia pada pajang bintoro . Tak bisa lain: prajurit kerajaan  
Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu 
takkan mungkin dapat ditahan oleh kekuasaan manapun! 
Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh 
orang di jatikerto  yang sudah  naik haji, dan seorang di antara 
beberapa belas orang yang tahu berbahasa palawa . Dengan 
pengetahuannya tentang agama arca    dalam waktu hanya 
beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan 
melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di 
tempat ibadah  dengan bahasa jawadwipa , la panggili para ulama 
setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan 
majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan 
agama arca    secara teratur, juga mewajibkan padanya 
membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan 
oleh pajang bintoro , hanya sekarang untuk memasyhurkan 
Gubernur-Panglima-Laksamana Fathillah. 
Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman. 
Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk 
menghalau penduduk yang menolak arca    dalam segala isi 
dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan 
senjata, namun   kekuatan besar pajang bintoro  yang membeludak itu 
tiada terlawan. lalu  mereka melawan dengan kata-
kata   makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun 
tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan 
daerah hidup baru tanpa Fathillah. 
Jatuhnya jatikerto  dan Pesantenan ke dalam kekuasaan 
pajang bintoro  sampai pada raden panji  gelang-gelang  dua bulan lalu : 
“Khianat” bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke 
suatu tempat untuk memikirkannya “Tepat sebagaimana 
kuduga. Semua sudah  berkhianat! Semua hendak menari-
nari dengan nyi kanjeng blora di atas pundak si raden panji  gelang-gelang , anak 
desa ini: Trenggono, adiputro  kediri , Fathillah shinoda 
Han, Kala chucky , Ratu Aisah,… Dan pasukan gabungan ini 
sekarang menjadi lola di negeri orang ” 
Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang 
terjadi sudah  melawan cita-cita betari  resi  , bertentangan 
dengan adiputro  tumenggung dijoyo . 
Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan 
Jawa. Ia tak mampu. Semua memiliki  ikatan dengan Jawa, 
justru bersangkut-sangkutan, bertali-temali. 
Ia pulang ke markasnya. Dan Pada sudah  menunggunya, 
juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu 
teguran. raden panji  gelang-gelang  tak menegurnya. 
panembahan senapati ki ageng  itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu 
pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati 
bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi 
pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan nyi kanjeng blora, 
dapat digarap jadi daerah pertanian tetap. 
Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak memberikan 
jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang menyetujui. 
‘Tidak, Hang Wira,” jawabnya, “bukan soal tidak atau 
kurang menyetujui. Kami ada persoalan lain. Sesudah  kanjeng sinuhun  
Mughayat Syah, kanjeng sinuhun  kami, kanjeng sinuhun  jenggala  Aceh 
Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik, 
dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang.” 
Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu kanjeng sinuhun  Aceh 
yang baru sudah  kehilangan kepercayaannya pada 
Trenggono. 
“Sembah sujudku ke bawah duli Baginda kanjeng sinuhun . Semoga 
penumpasan terhadap nyi kanjeng blora dari jayamahanaya  tetap jadi 
perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaik-
baiknya.” 
Berita dari Jawa itu sudah  melumpuhkan semangat 
kesatuan kediri . Di mana-mana tempat mereka 
menggerombol dan membicarakan kemungkinan terjadinya 
penyerbuan pajang bintoro  terhadap kediri  sendiri 
“Sedang kita ada di sini’ mereka mengeluh. 
Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang 
Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata 
betul tidak untuk pembebasan jayamahanaya , sebaliknya untuk 
melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi. 
‘Trenggono!” sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin 
kesatuan, “sudah  mengubah kedudukan kita menjadi badut 
yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui 
nyi kanjeng blora berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan 
sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan 
kepergian kesatuan Aceh.” 
“Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda 
kanjeng sinuhun  dan mempersembahkan semua ini,” pimpinan 
kesatuan Aceh menyampaikan, “bebasnya jayamahanaya  dari 
nyi kanjeng blora juga jadi urusan jenggala  Aceh Darussalam.” 
“Kami akan tetap tinggal di sini,” pimpinan kesatuan 
Bugis memberikan jaminan. “Jatuhnya jayamahanaya  juga jadi 
urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke 
utara akan kembali terbuka.” 
Dua minggu sesudah  itu kesatuan Aceh minta diri untuk 
kembali. Kesempatan itu dipakai  Hang Wira untuk 
mengirimkan Pada pulang ke Jawa. 
“Carilah berita yang benar, dan tengok nyi girah mu dan 
kemenakan-kemenakan,” pesan Hang Wira. “Cari Liem 
Mo Han, cari keterangan tentang Kala chucky : jangan lupa 
menghadap baginda tuanku raja  Ratu Aisah.” 
Dan dengan demikian berangkatlah Pada. 
Sesudah  pertahanan Rembang patah dan medan 
pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, prajurit kerajaan  
pajang bintoro  memasuki Rembang, menjarah-riah segala yang 
dapat dan ditemuinya. 
Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman. 
prajurit kerajaan  pemenang itu lalu  membelok ke 
selatan untuk membantu menghancurkan persekutuan 
militer Pesantenan Blora. 
Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya 
balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan 
melarikan diri ke selatan. 
prajurit kerajaan  pajang bintoro , di bawah pimpinan Trenggono 
sendiri, menang untuk ketiga kalinya. 
kanjeng sinuhun  pajang bintoro  semakin berbesar hati. Seorang ke jatikerto  
dan memberikan perintah baru: Ambil Sunda kacangtanah ! 
Dalam pada itu prajurit kerajaan  pajang bintoro  dari barat dan utara 
yang bertemu di Blora, dengan membawa para bala tentara  baru dari 
tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan menerobos ke 
timur laut untuk menaklukkan kediri  dan kahuripan . 
Patih kediri  Kala chucky  Sang Wirabumi sudah  
menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik prajurit kerajaan  
pajang bintoro . Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang 
dari jurusan barat daya kediri , disiapkannya pasukan gajah 
di perbatasan. Ia percaya pajang bintoro  takkan mungkin dapat 
menembus pasukan gajah. 
sudah  ia pilih tanah lapang untuk membuka medan ini di 
mana ia berjanji akan giling bonyok prajurit kerajaan  musuhnya. 
Ditunggunya para penyerbu itu menyeberangi tanah lapang 
itu. Dan perhitungannya tidak keliru. 
Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda 
pajang bintoro  yang bersenjata tombak berjumbai berwama-wami 
itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip 
kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke 
pinggiran lapangan, gajah-gajah kediri  pada berdiri, 
bersuling, lari ke depan membawa bentengan kayu di atas 
punggung. 
Kuda-kuda pajang bintoro  terkejut Tombak-tombak mereka 
yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar 
siap untuk melayang. namun   mereka tak pernah berlatih 
menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu 
menyulitkan pembidikan. 
Sebaliknya panah dan tombak dari atas gajah 
berlayangan bebas menuju ke sasaran. 
Kuda-kuda pajang bintoro  masih terus berlarian gugup melihat 
gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di 
hadapannya. Kegugupan pajang bintoro  memicu  tubrukan-
tubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di 
belakangnya langsung membelok menghindari tanah 
lapang. 
“Lindungi kanjeng sinuhun !” seseorang berseru. 
Mendengar kanjeng sinuhun  ada dalam pasukan kuda itu Kala 
chucky  menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan 
kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang 
bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. “Tangkap 
kanjeng sinuhun !” ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui 
ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di 
medan pertempuran. prajurit kerajaan  pajang bintoro  mengalami 
banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum 
pasukan kaki kediri  dikerahkan memburu. Bagi Trenggono 
sendiri kemenangan atas kediri  menjadi petaruh untuk 
gerakan militer selanjurnya. Dari kediri lah seluruh Jawa 
Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas 
Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda kacangtanah  akan 
ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan 
Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi arca    atas 
namanya. Dan arca   , menurut Fathillah yang lalu  
juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari 
nyi kanjeng blora. 
Khusus untuk Trenggono, Blambangan adalah gudang 
peninggalan kerajaan jenggala . Dengan benda-benda kerajaan 
kerajaan jenggala  itu pajang bintoro  saja yang bakal jadi kerajaan pewaris 
syah dan tunggal dari kerajaan jenggala , dan seluruh Jawa akan 
sujud dengan badan dan matinya padanya, pada pajang bintoro . 
Kegagalannya di perbatasan barat daya kediri  membuat  
ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke 
utara untuk dapat merebut kediri  dari pesisir. Sebagian 
kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki 
pasukan gajah. 
namun   Kala chucky  tidak dapat ditipu dengan siasat itu. 
Melihat prajurit kerajaan  pajang bintoro  mengurangi kekuatannya ia 
pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota. 
Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan 
untuk menyibuki pasukan kuda pajang bintoro . 
Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi 
terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa 
kerusakan pada kedua belah pihak. 
Induk pasukan pajang bintoro  yang bergerak dari pesisir utara 
menghindari daerah koloni Tionghoa campa , lalu  
mengancam perbatasan timur kediri . 
gada rujakpolo  kanjuruhan  di tangan kediri  menyambut 
kedatangan mereka. 
pajang bintoro  tertegun menerima peluru-peluru besi itu 
sehingga gerakannya terhenti sama sekali. lalu  
mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada 
tertahankan. Cetbang-cetbang kediri  mulai berledakan. 
pajang bintoro  meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan 
pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri. 
prajurit kerajaan  kediri  yang dipaksa bertahan melepaskan 
pasukan gajah. Dan pajang bintoro  meliuk kembali ke utara. Sekali 
ini pajang bintoro  berhasil menjebol pertahanan kediri  dengan 
meninggalkan pasukan gajah. 
ki glodog ireng  dengan pasukan kudanya belum juga 
dikeluarkan oleh Kala chucky . Patih-Panglima kediri  itu 
memiliki  rencana hendak memakai nya untuk menyergap 
dari belakang, bila pajang bintoro  berhasil dengan desakannya. 
Tidak diketahui penghubungnya sudah  tertangkap oleh 
musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran. 
Di kota kediri , kehidupan masih berjalan tenang. Tak 
ada orang percaya pajang bintoro  bisa menembusi pasukan gajah 
kediri . 400  tahun lamanya pasukan ini sudah  jadi 
tulang punggung kerajaan jenggala  pajang bintoro  hanya kerajaan 
kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga 
pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di 
tempatnya masing-masing. Kala chucky  pun belum lagi 
memberikan perintah untuk siaga. 
gada rujakpolo  kanjuruhan  dan cetbang tak berhasil membendung 
desakan pajang bintoro . Sorak-sorainya kini mulai terdengar di 
kediri  kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa 
perintah Patih-Panglima mulai disiagakan untuk 
mempertahankan kadipaten dan kota. 
Dengan kerta -kerta  Braja memasuki kadipaten untuk 
mempersiapkan pengungsian Sang adiputro . Beberapa orang 
perwira diperintahkannya memberitahukan pada penduduk 
untuk mengungsi. 
Di depan pintu peraduan Sang adiputro  didapati Braja 
dua orang pengawal bertombak itu masih berdiri di 
tempatnya. “Siapkan tandu!” perintahnya. Dua orang itu 
lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga masuk. 
Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk 
memperoleh kan kata-kata yang tepat. Ia bersujud , menarik 
tali untuk memberitahukan pada penjaga di dalam. namun   
tarikannya tak memperoleh  jawaban. Ia buka pintu. 
Dilihatnya Sang adiputro  tergolek tenang di atas peraduan. 
Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu.  
“Braja!” panggil Sang adiputro .  
Braja menjatuhkan diri, berlutut dan bersujud . 
“Ampun baginda tuanku raja ku, baginda tuanku raja  adiputro  kediri  sesembahan patih .”  
‘Trenggono berkhianat”  
“Sorak-sorainya sudah  terdengar dari sini. baginda tuanku raja .”  
“Kami tak dengar. Sorak-sorai pajang bintoro ?”  
“Sorak-sorai pajang bintoro , baginda tuanku raja .” 
“Khianat! Khianat!” ia ulangi kata-kata itu dengan suara 
semakin lama semakin pelahan, lalu  tak terdengar 
lagi.  
“baginda tuanku raja , sudah datang waktunya untuk mengungsi.” Sang 
adiputro  tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi. 
Sang adiputro  sudah tak bernapas lagi. Wajahnya sudah  
menjadi begitu ciut dan rambutnya yang begitu putih 
seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan 
jatuh di samping kepala  . Ia ambil destar itu, ia tutupkan 
pada wajah jenasah itu. lalu  ia lari keluar dan 
berteriak-teriak: “Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi! 
baginda tuanku raja  adiputro  kediri  jangan ditunggu. baginda tuanku raja  sudah  
mangkat.” 
Ia terus lari ke belakang, tak mempedulikan orang 
berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu 
itu terkirai, ia masuk di bawah protes Nyi kembang  Daludarmi, 
ia tak peduli, berteriak: “Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke 
mana saja kalian suka. Sang adiputro  mangkat. prajurit kerajaan  
pajang bintoro  sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua 
barang kalian! wanita lesbian -wanita lesbian  itu pada menjerit 
kebingungan. 
“Diam!” bentak Braja. “Bawa harta-benda kalian. Lari 
sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.” 
la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa 
sekarang ia kawal? Jenasah Sang adiputro ? Harta-benda 
kadipaten? Ia lari masuk ke dalam balai  , memanggil 
semua anakbuahnya, lalu  memerintahkan semua 
bergerak ke selatan untuk memperoleh kan Kala chucky  Sang 
Wirabumi. 
“Gila! Balik! Pertahankan kediri  Kota.” 
“Apa yang dipertahankan? Sang adiputro  sudah  mangkat.” 
Kala chucky  berlutut. kepala  nya menunduk dalam. 
Mangkat? Ia termangu-mangu. Apa lagikah yang harus 
dipertahankan? 
Dan kediri  Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan para bala tentara  
pajang bintoro    tiga puluh ribu centeng . prajurit kerajaan  pajang bintoro  asli! 
Tambahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu! 
Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari 
kendaraannya di depan gedung kabupaten kediri . Dengan 
langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para 
pengawal. 
‘Takluk menyerah kalian yang di dalam!” serunya, 
“kanjeng sinuhun  Trenggono pajang bintoro  datang!” 
Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri 
kediri  tidak, selir-selir pun tidak, apalagi Laki-laki nya. 
Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu 
datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri 
dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia menengok ke 
belakang. Semua centeng nya turun belakangan dari kuda 
masing-masing dan tak menyaksikan suatu penyerahan. 
“Bedebah! Tumpas setiap yang hidup di dalam sini” 
perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten, 
Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung. 
“Peraduan adiputro  kediri ,” seorang perwira 
mempersembahkan. “Bedebah! Keluar kau anjing kediri !” 
pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang 
bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada 
Sang adiputro  yang terbujur di peraduan. la cabut gada wesi nya. 
Dan tubuh terbujur itu tiada memperdulikan-nya. 
“Kaulah ini kiranya,” bentaknya murka, dan dicabutnya 
destar itu dari wajah Sang adiputro  kediri . 
Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat 
Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali 
gada wesi nya dan berkata , “Sayang. Tak kau saksikan 
bagaimana kejasang yang betari durga  mu sendiri. Takkan lagi kau saksikan 
bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang 
kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobek-
sobek oleh pasukan kuda pajang bintoro !” Ia berbalik lagi dan 
melusuhi mayat itu. Dengan demikian ia tak jadi bermarkas 
di kadipaten. 
Pasukan kediri  menyingkir ke selatan. Dan Kala chucky  
masih juga tak dapat memutuskan apa harus diperbuat. 
Tak lain dari ki glodog ireng  yang sangat kecewa 
terhadap pimpinan Kala chucky . Ia lebih suka mati di medan 
pertempuran dibandingkan  menderita kan malu sudah  kalah 
tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan 
kuda kediri , biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela 
kalah sebelum bertempur 
Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa 
memberitahukan atau minta diri dan Kala chucky  pasukan 
kuda itu melakukan serangan mendadak atas kediri  Kota 
yang sudah  jatuh ke tangan musuhnya. 
Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan 
yang sudah  kehilangan raja melakukan serangan pembalasan 
Maka juga pajang bintoro  tak pernah memikirkan terjadinya 
kemungkinan itu 
namun  serangan adalah serangan. Dan pagi itu prajurit kerajaan  
pajang bintoro , yang masih lelah dari berpesta merayah dan 
menjarah kemarin dan semalam, masih aman tenang 
bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan 
cambuk-perang dan gada  terhtumenggung dijoyo  pasukan kuda kediri  
menyambar-nyambar seperti elang 
prajurit kerajaan  pajang bintoro  lari kocar-kacir ke jurusan barat 
dengan meninggalkan jarahannya 
Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan 
terjadi. centeng  pengawal membangunkannya dengan kasar 
dan menariknya pada kuda yang sudah  disiapkan.  
“Bedebah!” kata  Trenggono  
“Mereka menyerang, kembali. baginda tuanku raja ”  
“Siapa menyerang, bedebah? adiputro  kediri  sudah 
mampus.” Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya 
mencari gada nya, namun   senjata itu belum lagi padanya. 
Bila ada, centeng  itu akan belah jadi dua. 
Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan ki glodog 
ireng  mengresi h dan segala penjuru.  
Buru-buru Trenggono melompat ke atas kudanya.  
“Ke sini. baginda tuanku raja ,” seorang centeng . 
Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan 
pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya 
serasa hendak meledak sebab  murka, merasa dihina dan 
dipermainkan . 
Dan dalam serangan mendadak itu ki glodog ireng  
bertindak menggiring musuhnya keluar kota kediri . Ia 
segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang adiputro . 
lalu  dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali, 
meninggalkan kediri  Kota dalam keadaan kosong. 
Meninggalnya adiputro  kediri  tak didengar oleh 
raden panji  gelang-gelang . Dengan berita masuknya pajang bintoro  ke negeri 
kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus 
mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat. 
Kalau pajang bintoro  menyerang kediri , jelas kediri  tidak 
berkhianat lagi pada cita-cita adiputro  tumenggung dijoyo . namun  mengapa 
kediri  mengirimkan armada jung? Di mana kapal-
kapalnya? Mengapa tidak diserahkan padanya? Dan 
mengapa gada rujakpolo nya ditahannya sendiri? la belum dapat 
memutuskan. Setidak-tidaknya pajang bintoro  harus dipisahkan 
dari persoalan kediri . dahulu  pajang bintoro  menyerang nyi kanjeng blora, 
dan kediri  mengkhianati. Sekarang pajang bintoro  tidak 
menyerang nyi kanjeng blora, namun  menyerang kediri , dan kediri  
mengirimkan kekuatannya ke jayamahanaya . dahulu  kediri  
mengirimkan para bala tentara nya ke jayamahanaya  dengan ragu-ragu, 
sekarang pun masih tetap ragu-ragu. 
Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya. 
Kelolaan memicu  pasukan ini tiada memiliki pusat 
pengabdian. Memang gerakannya sudah  berhasil membatasi 
ruang-gerak musuhnya. namun   apakah artinya semua itu 
bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak 
mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap nyi kanjeng blora? 
Dan beban tambahan yang tak kurang memberati 
pikirannya adalah kemerosotan semangat centeng nya. Dari 
centeng  yang berani dengan cepat mereka berubah jadi 
petani yang bersenjata. Dari mengusir nyi kanjeng blora tugas 
mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan 
nyi kanjeng blora dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan 
cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang 
subur menghidupi itu. 
Hanya dengan ancaman hukuman keras saja ia berhasil 
memerintahkan telik-teliknya memasuki jayamahanaya  untuk 
memperoleh kan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya 
mengetahui, Pribumi dalam negeri jayamahanaya  tidak 
memiliki perhatian terhadap pembebasan negerinya 
sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi 
Nasrani, menjadi nyi kanjeng blora itu sendiri. 
Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini? 
Dan tak ada yang dapat membantunya berpikir. Kadang-
kadang ia menyesali diri bodoh hanya sebab  berasal dari 
desa. lalu  ia bantah kembali: apa kurangnya 
Trenggono? Dia kanjeng sinuhun  memiliki segala-segalanya, namun 
dungu! 
Dari pengalaman selama ini ia merasa hanya 
memperoleh kan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang 
untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan 
pelajaran ini takkan dilupakannya selama ia masih 
menghadapinya. 
Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata 
tidak benar seluruhnya. kanjuruhan  hanya mengutamakan 
jenggala -jenggala pangkalan untuk dapat menyelamatkan 
pelayaran ke panarukan  pulang balik. Ia tak mengutamakan 
luasnya daerah taklukan seperti Trenggono. 
Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan kanjuruhan  
sendiri? Para telik tidak tahu. raden panji  gelang-gelang  pun tidak. 
Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi, 
malah makin lama makin kendor kehabisan gairah, 
mengetahui pula armada suryabuaya  -pajang bintoro  tidak ditujukan 
pada jayamahanaya . kanjuruhan  mulai memikirkan kembali rencana 
lama untuk menguasai sumber lada dari selatan. 
Jatuhnya jenggala jatikerto  ke tangan musuhnya yang lama, 
Fathillah, sudah  membuat  kering arus lada. Harganya di 
benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali 
lipat itu pun masih sulit diperoleh . kanjuruhan  sudah  memberi 
penntah pada Goa, Goa pada jayamahanaya  agar segera mengisi 
pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya. 
Pedagang-pedagang sekongkol kanjuruhan  memberitakan 
armada pajang bintoro  kini merajai Selat Sunda, melakukan apa 
yang dilakukan oleh kanjuruhan  di Selat jayamahanaya , mengawasi 
kapal dan perahu yang meninggalkan atau memasuki 
jenggala . 
jayamahanaya  sudah  mengirimkan sekongkol-sekongkolnya 
untuk menyelidiki apa sebetulnya  sedang terjadi di 
daerah Selatan Dan jayamahanaya  memperoleh  berita: armada 
pajang bintoro  mulai menutup lalulinlas laut dengan… bukan 
hanya jatikerto , juga Sunda kacangtanah , sumber utama lada. 
Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama 
saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade. 
raden panji  gelang-gelang  tidak tahu sama sekali tentang apa yang 
terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin 
menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Kedua-
duanya sudah  makin memerosotkan kegiatan kemiliteran, 
dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menambah 
kekuatan manusia? centeng  setempat tidak ada. Kampung-
kampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan 
penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada 
pertanian dan pertukaran barang semata-mata. Mereka tak 
memiliki kepentingan dengan penghalauan terhadap 
kanjuruhan . Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung 
merupakan yang luarbiasa . Dan pemuda-pemuda itu 
lalu  dibenci oleh orang-orang sekampungnya. 
Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil 
itu kehilangan daya dalam mengimbangi kebusang yang betari durga   asmara 
dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang 
yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita 
Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin 
banyaknya berita yang datang tentang gerakan prajurit kerajaan  
pajang bintoro , semangat para centeng  kediri  itu semakin merosot 
juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di kediri , di 
negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan 
penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam 
soal-soal asmara. Maka centeng -centeng  mulai berubah jadi 
pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu 
seorang centeng  menikahi seorang perawan kampung, 
seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah 
wanita lesbian  kampung. Yang belum berhasil 
menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke 
kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu 
pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai centeng . Ia 
menjadi petani atau nelayan saja. 
raden panji  gelang-gelang  tahu ia tak memiliki  kemampuan untuk 
membendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya sudah  buyar 
sebab  Trenggono. Ia tahu juga: jayamahanaya  takkan bakal jatuh 
ke tangannya. 
Pada meninggalkan jenggala  Aceh Darusalam 
menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa 
mendarat di Makasar. Di sini ia menumpang sebuah perahu 
Bali dan mendarat di pasuruan . Dengan perahu pasuruan  ia 
menuju ke kediri . 
jenggala itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan. 
Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kepatih wirabuana an pun 
sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar. 
Warung mpu jahalodang terkunci dari dalam. 
Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia 
mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai prajurit kerajaan  
kediri , namun  pajang bintoro , Celaka! pikirnya. 
Kewaspadaan terhadap kemungkinan ditangkap 
punggawa Sang adiputro  sebab  dosa-dosa lama lenyap, 
digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan pajang bintoro . Ia 
rasai ke mana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut 
juga yang menganga. 
Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke 
Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing, 
yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh 
penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga 
Pecinan mengangakan mulut maut. 
la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepat-
cepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri, 
menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun. 
Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada 
apa-apanya? 
Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu 
itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di 
situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya 
manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di 
perguruan  dan pertapaan , dan resi -resi , dari dongengan 
dan wayang dari kediri  dan manusia, dari kehidupan dan 
orang tua sendiri, ambyar tanpa makna. 
Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang 
lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari 
tak bisa membela diri. Puluhan ribu centeng  yang bersorak-
sorak di kejauhan itu hanya memiliki  dua perhatian: Jarahan 
dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau 
anjangsana namun  untuk membunuh dan hanya membunuh. 
Terlepas dari centeng  yang satu orang akan jatuh ke tangan 
yang lain. 
Pada alias mpu  jayamuseswa  berseru-seru dalam 
tengkurapnya pada sang yang betari durga  nya, memohon perlindungan atas 
dirinya untuk sekali ini saja, sebab  dalam keadaan seperti 
itu ia merasa sudah  kehilangan kemampuan untuk dapet 
melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya. 
Ia mengintip dan melihat pasukan kaki kediri  berlarian 
tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian sudah  
berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan 
berpendaran ke mana-mana mencari jalan paling dekat 
untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar 
mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai prajurit kerajaan  
pajang bintoro  makin lama makin mendekat 
Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan 
perisai yang mengganggu gerak. Ratusan orang yang diburu 
oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan 
timur lenyap dari penglihatan Pada. 
Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan 
ketakutan yang amat sangat menusuk seperti jarum panjang 
di dalam dadanya sang yang betari durga  , suruhlah prajurit kerajaan  pajang bintoro  
mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. Sesudah  
berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia 
merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu 
dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang 
mencintai dan menyayangi aku? Bahkan pikirannya sendiri 
ogah menjawab, la gigit lengannya untuk membunuh 
pikirannya sendiri. sang yang betari durga   menjauhkan aku dari pikiran 
khianat. 
Dan di depan matanya kini melela pasukan kuda pajang bintoro  
yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang 
memburu tikus. Masing-masing membawa perisai dan 
tombak yang sudah  siap di lempar atau dijojohkan. Ya, 
seperti petani-petani sedang memburu tikus di sawah. 
Itukah wajah pajang bintoro  yang selama itu kumasyhurkan? 
Itukah wajahnya yang sebetulnya ? 
Sebagian kecil pasukan kuda itu membelok ke kiri, 
memasuki daerah pelabuhan. 
Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras 
tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur 
agar tepukan berhenti. namun   sesuatu yang merambat pada 
tulang belakang memaksa pantat ini menggelombang, 
memukuli tangannya, gelombang demi gelombang. Detapa 
memalukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas 
dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan 
manusia yang sudah jadi lain Ini… aku hanya seekor 
cacing. Ya sang yang betari durga  , bila kau tamatkan aku dari bahaya ini, 
aku akan lebih berbakti pada-Mu, lebih, lebih dari yang 
sudah-sudah. 
Lima orang centeng  berkuda pajang bintoro  mengelilingi tiang-
tiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada sudah  
basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup 
matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela 
geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah 
pelabuhan. 
Sunyi-senyap sekarang. 
Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur. 
bagian luar  dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak 
berani mengucapkan syukur pada sang yang betari durga  nya. Sesudah  agak 
tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih 
kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik 
selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian 
kotor dan kaki 
Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan. 
Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan 
kuda berdatangan lagi untuk lalu  bertemu dengan 
pasukan kaki. Mereka mengerumun seperti gerombolan 
semut. 
Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu membubarkan 
diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumah-
rumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak. 
Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang 
tidak membuka diri dirusak. 
Rumah kepatih wirabuana an dilindas oleh bondongan orang. 
Warung mpu jahalodang bedah hingga dinding-dindingnya. Orang 
mengambil apa saja yang dapat diambil, memasukkan 
jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah 
jadi makian dan tawa bahak. 
Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi 
menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan 
kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak 
kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah 
canang perunggu. 
Gelombang centeng  pajang bintoro  mulai menyerbu ke 
pelabuhan. Galangan kapal lalu  jadi api unggun, 
demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuh-
rendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa 
jarahan masing-masing. 
Sekarang kediri  Kota memperoleh  giliran. 
Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempat-
tempat lain. 
Pada alias mpu  jayamuseswa  sudah  lama dingin di 
tempat. 
0odwo0 
 
34. Kekacauan di Jawa 
Pada sadar. Keadaan sudah  sunyi dan malam sudah  larut. 
Galangan dan bangunan lainnya di pelabuhan sudah  runtuh 
menjadi bara. 
Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia 
membersihkan diri. 
Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan 
bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah. 
Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa 
kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik 
lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada 
keselamatannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi. 
Di bawah ia merasa resah sebab  belum merasa bersih. 
Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa 
memperoleh kan air. Satu pikiran menegahnya: kediri  sudah  
jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan 
kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarah-
menjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan 
pikirkan kebersihan. 
Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya 
lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia 
melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia 
merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia 
tidak percaya pada kekuasaan sang yang betari durga  nya. Kalau peristiwa 
itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada 
dirinya sendiri. 
Sesampainya di luar kota ia memasuki pekarangan 
rumah yang sudah  ditinggalkan, langsung mencari sumur 
dan membersihkan diri, mencuci pakaian yang 
dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati, 
tanpa membangkitkan bunyi. 
Dengan memakai  pakaian basah ia mengambil 
wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang 
sudah  dilanda para penjarah. 
Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian 
basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin 
menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri 
dari kedinginan  sengaja ia mempercepat jalan, tubuh lari sampai 
terengah-engah. 
Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih 
dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia. 
Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik: 
hutan  larangan    nyi girah . Ah, benar ia mengakui. nyi girah lah 
yang meniupkan keberanian menerobos! kediri . Kota 
dalam pendudukan pajang bintoro , la berjalan cepat, lari, terengah-
engah. 
Waktu sinar matahari  pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke 
dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu 
datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia 
memakannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson 
kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam 
serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang 
sebelumnya sudah  di-injak-injaknya menjadi kasur. 
la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya 
masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu 
benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas 
hangat memuputi mukanya. Dan ia meronta. lalu  ia 
dengar suara: “Bangun! Ya-ya, bangun,” suara wanita. 
Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam 
pelukan seseorang. 
“Tidak salah lagi. Pada Uh ini,” suara seorang wanita 
lainnya.  
Pada merontak bangun. “Mati, matilah aku sekarang,” 
pikirnya, “mereka sudah tangkap aku.” 
“Tidak salah lagi” terdengar wanita lain berseru lega, 
“memang Pada ini” 
“Benar,” seru wanita lain menggarami dengan suara 
hati-hati. ‘Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat 
dicuri. Memang dia.” 
“Sudah jantan dia sekarang,” suara wanita pertama-tama 
menambahi dan pelukannya dilepaskan. 
Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri. 
Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat 
diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki 
terpakukan pada tanah. 
“Jangan lari Pada!” mereka menegah. “Kau harus tolong 
kami” Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba 
mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung 
rapat oleh lebih dari 30  orang: Semua wanita. Ya. 
wanita. Mengapa wanita? Tak ada seorang pun di 
antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada 
yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak 
pernah kena sinar sinar matahari , kemerah-merahan, kulitnya 
memancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak 
seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda 
mereka semua tak bersuami. namun   mengapa tidak hitam? 
Adakah semua penari? Hanya seorang di antara mereka 
nampak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit, 
jelas seorang gadis Tionghoa. 
“Lupakah kau padaku, Pada? Pada kami? Jantanku?” 
seseorang bertanya. “Mengapa nampak takut pada kami?” 
Lambat-lambat namun  pasti ingatan Pada mulai bekerja dan 
mencakup kenangan lama: para selir Sang adiputro ! Ia 
tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik. 
“Lepaskan aku.” kata nya sopan. “Mengapa Nyi Ayu 
sekalian ada di sini?” 
“Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai 
tak tahu ada perang? Dan baginda tuanku raja  adiputro  sudah mangkat?” 
“Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada?” 
seseorang bertanya, lalu  menggelendot padanya. 
Pada sedang teringat pada sumpah raden panji  gelang-gelang . Dan 
sekarang Hang Wira sudah  terbebas dari sumpahnya: Sang 
adiputro  sudah  mangkat. Ia bisa pulang ke kediri . 
“Senang kau melihat kami terlantar seperti ini?” 
“Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari 
perbatasan, bukan?” 
“Tidak semua,” salah seorang menyangkal. 
“Aku pun tidak!” yang paling tua di antara mereka 
membenarkan. Suaranya tegas dan mantap. 
“Dan saya  dari campa ,” gadis Tionghoa itu 
memperdengarkan suaranya. 
Pada menatap yang tertua dan termuda itu berganti-
ganti. Ia belum pernah mengenal mereka. Yang tua tentulah 
pengurus  keputrian, yang muda tentu selir terbaru. 
“Nyi kembang ?” ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu 
menjawab dengan sembah dada. 
Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di 
antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara 
bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak 
tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu. 
“Mari berjalan,” Pada menyilakan. 
“Kakiku, Pada,” seseorang menyatakan protes sambil 
memijit-mijit kakinya. 
“Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan 
terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan 
harapkan aku mau menggendong.” 
“Jantanku! Jantanku! Begitu kejamnya kau sekarang. 
Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung?” 
Pada tertegun dan menengok padanya. 
“Barangkali sebab  aku sudah jadi tua begini, Pada?” 
Dan Pada merasa iba. namun  cepat-cepat dibuangnya 
perasaan. 
Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak, 
menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian 
mengikutinya seperti anak-anak ayam membuntuti 
induknya. Dan semua membawa bungkusan, di-sunggi di 
atas kepala  , dibopong atau digendong. Dari ujung paling 
belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti 
cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat. 
Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang 
sekali, seakan ia sedang memperlihatkan diri sudah 
memunggungi masa lalunya untuk selama-lamanya. Antara 
sebentar ia dengar suara memanggil-manggil minta 
ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja 
baginya sudah pahala yang mencukupi. 
Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat, 
terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi 
kembang  semua berebutan untuk berada di dekat Pada. 
Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas 
bumi ini. 
Nampaknya Nyi kembang  Daludarmi sudah  banyak 
mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseru-
seru: “Pada, Pada, berhenti dahulu !” katanya seperti 
memerintah. 
Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanita-
wanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan 
pengurus  harem itu. 
“baginda tuanku raja  adiputro  sudah mangkat,” katanya bersungguh-
sungguh, “namun  aku masih membawa tugasnya, mengemong 
wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan 
mereka di masa-masa yang lalu. Aku pun tak peduli apa 
perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta, 
pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang 
memerlukan  perlindungan.” 
Sejenak Pada memberontak terhadap kata-kata itu. 
Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh 
pada tugasnya. 
“Aku ada kepentingan sendiri’ Pada menerangkan. 
“Bila pasukan pajang bintoro  memburu, kau pun tak bakal 
selamat sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa memburu 
kepentingan sendiri? Kepentingan kita semua sama: 
selamat’ 
Dan mereka yang sudah  melewatinya kini pada berbalik 
melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh 
paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan 
hewan  buas hutan. namun  hutan itu makin lama makin 
rapat juga. 
Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap 
berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai 
penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat 
merasakan, ia menaruh hormat padanya, namun  ia takkan 
mengucapkannya. 
Beberapa orang sudah  mengeluh kacangtanah ran. Ia tak 
menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak 
mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan 
berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai 
menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti. 
Senja sudah  membuat  hutan rapat itu jadi gelap. 
Perjalanan memang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia 
memerintahkan menyiapkan tempat tidur masing-masing di 
atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai 
mengmpu wungubhumi  apa saja yang patut dipakai  jadi tilam. 
Api unggun disiapkan. 
Ia lalu  menyiapkan obor dari ranting-ranting dan 
pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari 
umbi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti 
perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari 
percakapan. 
Dengan diam-diam pula orang membakar dan 
memahami pendapatan mereka. 
Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka 
sudah  dirambati oleh semut dan segala macam serangga, 
juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersih-
bersihkan. 
Pada memisahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura 
tak mengetahui sesuatu. Melihat itu wanita lesbian -wanita lesbian  
itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekat-
dekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur 
demikian ketakutan lebih banyak pada hewan  buas 
dibandingkan  manusia buas. 
Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin. 
Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa 
risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya 
agar tak padam sampai tengah malam. 
Dalam desakan wanita yang terbaring di samping-
menyampingnya Pada memikirkan soal lain: sekiranya 
Sang adiputro  masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya 
terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini 
mengepungnya? Adakah dia akan melindungi mereka dari 
prajurit kerajaan  pajang bintoro ? Ataukah dia akan melarikan diri 
sendiri? Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawar-
tawar ini? Dan dengan puas hati ia menjawab 
pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selamatkan diri 
sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang 
sudah  lolos dari hukuman matinya, justru yang melindungi 
orang-orang penghiburnya selama itu. Pada! tidak lain dari 
Pada! 
Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini, 
ia merasa sebagai manusia yang lebih agung dibandingkan  
seorang adiputro  yang pernah berkuasa atas hidup dan 
matinya. Dan sudah  mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita 
penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya. 
Ia jadi iba hati. 
Bukan hanya Sang adiputro , ia berani memastikan, 
sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa 
ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan 
lain. sang yang betari durga  , ampunilah orang-orang ywg tak memiliki  
kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang 
sebab  kedaifan, tanpa ajaranMu, sudah  melanggar 
laranganMu. 
Selir-selir yang jauh dibandingkan nya, dan tak percaya  akan 
keselamatan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya, 
berebutan memeluk atau memeganginya untuk 
memperoleh kan perasaan terlindung dari hewan  buas. 
Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. “Lepaskan 
aku!” kata nya lembut ‘Takut, Pada, kami semua takut.” 
“Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. ayolah , 
tidur, api itu pun harus kujaga.” Dari kejauhan terdengar 
auman harimau. Semua terdiam, juga Pada.  
“Macan,” akhirnya seseorang berbisik memperingatkan. 
“sebab  itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa 
menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku 
pergi seorang diri malam ini juga.” 
Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi 
kembang  Daludarmi. Dari tempatnya wanita itu 
memperingatkan para selir. “Kalau tak mau diatur, uruslah 
sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan.” 
Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang paduka raja  
yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani, 
seorang panglima yang kehabisan musuh. 
Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain dibandingkan  
mengikuti perintah. Tiada antara lama lalu  mereka 
mulai tertidur. Pada mendengar Daludarmi 
menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang 
menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang 
adiputro  dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri, 
menggabungkan diri dengan yang lain-lain, lalu  
membaringkan badannya yang berisi itu di atas tilam 
semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh 
api. la pun segera jatuh tertidur. 
Pada menghampiri mereka, mengamati seorang demi 
seorang. Semua sudah  tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada 
seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur 
dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat 
mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat 
mengingat mana-mana yang pernah digaulinya semasa 
kanak-kanak dahulu , dan semua beberapa tahun lebih tua 
dibandingkan nya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang 
seorang itu semua lebih tua dibandingkan  Nyi kembang  nyi girah . 
Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun 
jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan 
kesudian Sang adiputro . Dan Sang adiputro  tidak jarang 
hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam 
sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan 
paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong 
yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka 
dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala 
macam bahaya. 
Dengan berbantalkan bungkusan masing-masing mereka 
tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang 
adiputro . Kemarin dahulu  orang bisa kehilangan kepala   bila 
kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja! 
Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus 
perjaka saja pernah bermimpi kan kasih sayang dan tubuh 
dan hati mereka dahulu nya? Berapa saja di antaranya sudah  
putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang 
adiputro , dan lari meninggalkan desa dan harapan masing-
masing? 
Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah 
menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok 
dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada 
menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan 
prastika. 
Sekali lagi ia umpani api dengan kayu bakar baru. 
Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia 
bertayamum, lalu  bersembahyang, bertakbir, 
bertahmid dan beristigfar. Dan ia memohon memperoleh kan 
kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam 
takwa. Dan ampunilah mereka, ya sang yang betari durga  , sebagaimana 
Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu. 
Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di 
bawah kaki mereka dan tertidur. 
Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada 
keras lagi. 
Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari 
sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun 
terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan 
mereka, tanpa memberi peluang untuk bisa bermanja atau 
mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan 
bersama-sama mereka mengitari tempat sekeliling. Ia 
potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan 
buah mlinjo, dan pungutkan mereka madu lebah. 
lalu  mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang 
tidak secepat kemarin. Ia pun mau membantu memikulkan 
beberapa bungkusan. 
Sampai di depan Gowong Pada sengaja berhenti untuk 
mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan 
nyi girah  dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik 
kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang 
dipujanya. Memang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa 
yang bersama nyi girah . Tak ada tubuh dan jiwa lain di 
dalamnya, apa lagi jiwa selir. Dan nyi girah : ibu dari dua orang 
anak dan istri sahabatnya. 
Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat 
digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru 
mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya? 
“Mengapa berhenti di sini?” Daludarmi bertanya. 
Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan 
rumput sudah  menutup sebagian mulut gua. Pada merasai 
suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam 
bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya. 
“Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalamnya’ ia 
mendongeng, “dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua 
itu…. lalu  datang seorang kesatria raja … dan ia merasa diri 
kesatria raja  yang dinamakan nya sendiri, dan sekarang ia pun merasa 
sebagai kesatria raja  gagah, didapatinya kepala   drubiksa sudah  
bunuhi bawahannya sebab  ia ingin memiliki Sang Dewi 
untuk dirinya sendiri. namun   Sang Dewi menolaknya.” 
Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, namun  tak 
berani tebarkan pandang pada mulut gua. 
“Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam 
sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatnya tak seorang 
pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran 
mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa kesatria raja  itu dan 
siapa pula dewi itu. Ia kecewa. “Mengapa kalian tak 
bertanya mengapa Sang Dewi menolak?” 
“Mari berjalan terus,” seseorang yang kengerian 
memohon. 
“Ya, mari berjalan terus. kesatria raja  itu membunuh kepala   
drubiksa itu dengan gada wesi nya, jauh lalu  hari ia merasa 
menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan gada wesi … oh, 
tidak, ia menghabisinya dengan pisau dapur.” 
‘Tentu kesatria raja  itu sejenis  orang linglung.” Daludarmi 
menyela, “Tak ada seorang kesatria raja  membawa pisau dapur ke 
mana-mana.” 
“Ya, barangkali sejenis  kesatria raja  linglung,” Pada 
menjawab. 
Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan 
Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi 
dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan Gua 
Gowong. Dengan nada memaksa sekarang ia bertanya: 
“Mengapa Sang Dewi menolaknya?” 
“Mungkin Sang kesatria raja  sudah linglung.” 
“Mungkin Sang kesatria raja  sudah tua,” seseorang 
memaksakan diri menjawab. 
“Sang adiputro  adalah kesatria raja  tua, kalian masih juga mau 
menerimanya. Itu bukan alasan.” 
“Kalau begitu Sang kesatria raja  masih terlalu muda.” 
“Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan 
kesatria raja , dan kalian pernah juga mau menerimanya.” 
Mereka semua tertawa terkikik-kikik. 
“sebab  Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir 
tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke 
kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.” 
Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi 
pula apakah gunanya orang lain harus melihat 
kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah? Ia 
kembali berdiam diri. 
Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi 
dalam hutan Memasuki daerah alang-alang yang 
menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada 
nampak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan 
wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua 
mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi. 
Kini semua termangu-mangu di tepi hutan. Pada masuk 
lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang 
memohon keselamatan untuk seluruh rombongan. Ia 
berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke 
langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua 
keselamatan, ya sang yang betari durga  , penguasa bumi dan langit. 
Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan 
padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan 
teguhkan iman, sang yang betari durga  -lah semua yang menentukan. 
“Mari berangkat!” 
Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan 
atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling 
depan dibandingkan  paling belakang. Tak ada seorang pun 
berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi. 
Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Permukaan 
alang-alang tak juga mau tenang, mengimbak-imbak seperti 
ombak laut setiap angin datang meniup, menyesatkan orang 
dari gerakan yang mencurigakan itu. 
Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir 
akan membangunkan raja maut yang sedang mengintip 
entah dimana. Ketakutan pada mati sudah  menindas 
perasaan-perasaan yang lebih kecil. 
“Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada 
maut,” gumam Pada sesudah  selamat melalui padang alang-
alang dan memasuki hutan muda. “Alhamdulillah, ya 
sang hyang Widhi , ya Robbi,” ia duduk tersandar pada sebatang pohon 
kluwih dan para selir duduk mengelilingi. “Mereka yang 
kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan 
sejenis  itu,” bisiknya lalu  pada dirinya sendiri. 
Suaranya dikeraskan: “Kalau sudah terlewati hutan muda 
ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di 
sana.” 
‘Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri,” seseorang 
membantah. 
“Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita 
nanti? Kami akan tetap mengikuti,” seorang lain 
membantah juga. 
“Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama 
matahari sedang tenggelam dan kita menginap di sana.” 
Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam 
sudah  jatuh. Tak ada suara gamelan. Tak ada lampu 
menyala. 
Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki. 
Masih ada orang tinggal di dalamnya: suami-istri dengan 
dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala 
kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin 
dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak 
mencukupi untuk orang sebanyak itu. 
Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari 
mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi. 
Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan 
seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan 
rombongan yang lain. 
“Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya.” 
Orang-orang yang menanggung kacangtanah ran dan kelelahan 
dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus 
merasa aman di dalam lingkungan manusia yang belum 
diubah perangainya oleh perang. 
Belum lagi lama mereka tidur, dan sinar matahari  sudah  
menyembul di timur. 
Derap kuda memaksa semua orang melompat dari 
ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya 
sudah  lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi 
padang rumput menuju ke hutan. 
Bagi Pada tak ada jalan lain dibandingkan  naik ke atas pohon 
nangka di samping rumah: Pohon itu sangat rimbun namun   
tiada berbuah. 
centeng -centeng  berkuda itu memasuki rumah dengan 
masih berkendara. Seorang centeng , yang melihat beberapa 
orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah, 
segera mengejar dan menyambar salah seorang dan 
mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa 
berhenti dan kembali ke rumah mengikuti perintah. 
Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat 
cambuk-perang pada pinggang centeng  itu. Bukan para bala tentara  
kediri , ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang, 
apakah dia para bala tentara  pajang bintoro  atau kediri ? Ia mendekam 
mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara 
pelabuhan dahulu . 
Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta 
ketakutan. centeng  itu memeluknya sambil tertawa-tawa. Di 
dalam rumah selir-selir lain memekik-mekik pula. Dan 
centeng  itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana. 
kata -kata  semakin meriuh dalam rumah. Pada hanya 
bisa mendengarkan. lalu  tak terdengar lagi 
perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang 
menyesatkan. 
Tiada antara lama lalu  mendadak serombongan 
centeng  kaki datang bersorak-sorak. Mereka sudah  melihat 
beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu. 
Dari pintu belakang rumah nampak centeng -centeng  
berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat 
lari membawa gada  masing-masing menuju ke hutan, 
melintasi padang rumput. 
Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar 
mengepung dan memasuki rumah. Dan Pada dapat melihat 
di antara dedaunan nangka itu tombak-tombak beterbangan 
mengejar. Yang dikejar memakai  gada nya 
menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada 
ketelanjangannya di bawah matahari . Mereka terus lari ke arah 
hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa 
orang centeng  kaki kediri  melompat ke atas kuda-kuda 
yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak 
masing-masing. Dalam waktu pendek yang terkejar 
tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari Gemerincing 
gada  beradu gada  dan tombak terdengar nyaring dari 
tempat Pada. 
Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat 
seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang 
yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun 
lagi buat selama-lamanya, la dapat saksikan dari balik 
dedaunan centeng -centeng  yang telanjang bulat itu tertubruk 
oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas. 
Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari 
pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan 
rumah petani itu, hilang dari pemandangan. 
Empat orang berkuda dengan gada  atau tombak 
berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah 
persembunyian Pada. 
“Memang selir-selir baginda tuanku raja  adiputro ,” seseorang berkata. 
“Bagaimana bisa sampai ke mari?” 
“Mengikuti orang bernama Pada, hendak kembali ke 
desa.” 
“Di mana Pada sekarang?” 
“Katanya lari waktu orang-orang pajang bintoro  datang.” 
“Dia tidak melindungi selir-selir itu?” 
“Melindungi bagaimana? Dia tak bersenjata, bukan 
centeng . Katanya juga baginda tuanku raja  adiputro  sudah  mangkat” 
Pasukan kediri  sudah  pergi. Ia belum juga turun dari 
tempatnya. lalu  nampak seekor gajah perang berjalan 
diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang 
perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi. 
Ia masih harus menunggu sampai sinar matahari  tenggelam, 
baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula 
kembali. 
“Begitu sehari-hari,” tuanrumah memulai. Dikeluarkan 
ubi dan gembili lalu  dibakarnya. “Sudahlah, tak perlu 
kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain?” 
“Sudah dibawa para bala tentara  kediri .” 
“O,” ia tak meneruskan. 
Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka 
tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-masing, 
lalu  tak terdengar lagi suaranya. 
Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan 
beribu tenma-kasih. 
Pada subuh hari sampailah ia di rumah nyi girah . 
Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rumahnya 
sudah  dipalang silang dengan dua potong bambu belah 
sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu 
yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk 
ke dalam. 
Hampir saja ia terlelap begitu menyandarkan badan pada 
daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya 
yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga, 
berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk 
menebak di mana nyi girah  berada. dahulu  ia dan raden panji  gelang-gelang  
dan mpu wungubhumi  sudah  membuka huma di dalam hutan untuk 
tempat pengungsian bila perang terjadi. 
Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi sebab  sudah  
kejasang yang betari durga   luruhan daun selama ini. Dan ia berjalan dengan 
susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi, 
terperosok dan tersasar. 
Pada tengah hari sesudah  berputar-putar dalam hutan 
sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia 
sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan 
baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan 
huma itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana 
berdiri di tengah-tengah. Dan tentu mpu wungubhumi  ada di dalam situ. 
Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya 
terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah 
nyi girah  segera akan nampak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar 
melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi 
tombak menyambar di atas kepala  nya. Dan tangkai tombak 
itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon 
tempat ia tadi berhenti. 
“mpu wungubhumi ! Aku di sini, aku, Pada,” ia memekik. 
“Pamankah itu?” terdengar suara mpu wungubhumi , dan pemuda itu 
muncul dari balik semak-semak. “Beribu ampun, Paman, 
tiada terduga. Paman dari jayamahanaya ? Mengapa kelihatan 
lebih tinggi dan kurus? Mari, mari.” 
Ia dapatkan nyi girah  tiada kurang suatu apa. Nampak ia 
terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan 
bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyambutnya. 
“Kau kelihatan lebih tua. Pada.” 
“Dan nyi girah  kelihatan lebih muda lagi’ jawabnya 
menegang. lalu  ia langsung bercerita tentang 
raden panji  gelang-gelang  dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di 
Semenanjung. 
nyi girah  mendengarkan dengan diam-diam. Dan mpu wungubhumi  
mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu 
membuat  ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap 
orang-orang besar yang mempermain mainkan panembahan senapati ki ageng . 
“Dan kau, mpu wungubhumi , kau kelihatan lebih kukuh,” Pada 
langsung memasuki persoalan pribadi sesudah  ceritanya 
selesai. “Lemparan tombakmu seperti centeng  sungguh.” 
Dan mpu wungubhumi  hanya tersenyum senang mendengar pujian 
itu. Ia malu bercerita sudah  lari dari pasukan pengawal. 
Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari 
Semenanjung sampai ke kediri  dengan suara semakin lama 
semakin pelahan. 
“Kau lelah. Pada.” tegur nyi girah . “Dan matamu merah 
seperti itu. Sudahlah, kau tidur dahulu .” 
Sesudah  beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali 
ke jayamahanaya . Masih banyak yang harus dikerjakan Dan nyi girah  
seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia 
semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru sebab  
itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya 
pada nyi girah  dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus 
disampaikannya pada panembahan senapati ki ageng . Dan dari tiga orang ibu-
beranak itu ia hanya memperoleh kan satu pesan untuk yang 
tercinta di jayamahanaya  sana: pulanglah, sebab  Sang adiputro  
sudah  mangkat, dan tak ada orang yang menyokong 
pembebasan atas jayamahanaya  
Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang 
wanita yang dicintainya dan tidak pernah membalas 
cintanya. namun  juga gembira sebab  akan dapat melepaskan 
dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama 
berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya, 
memandangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan 
ketabahannya. namun   bila sebab  sesuatu hal pandangnya 
bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah 
menerjang dadanya, dan darahnya membeludag seakan 
hendak membuat  jantungnya meledak. Beberapa kali saja 
ia memohon ampun pada sang yang betari durga  nya sebab  sudah  mencintai 
wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, ampun., namun   
hatinya memiliki  kemauan dan hukum sendiri 
Waktu ia minta diri nyi girah  hanya menatapnya, lalu  
mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan, 
bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia 
menambahi: 
“Ampuni aku sudah  menyusahkan nyi girah  selama ini.” 
Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh 
wanita tercinta itu. 
mpu wungubhumi  pergi untuk mengurus    kuda. Ia akan mengantarkan 
tamunya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk 
membelah kayu bakar. 
“Ya, pergilah kau dengan selamat. Dan kalau aku boleh 
berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi 
aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan 
wanita lesbian  yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan 
terbebas dari sikap yang mengganggu hidupmu selama ini’ 
Pada membuang muka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk, 
ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, lalu  
bersama mpu wungubhumi  menerobos hutan berkendara dua ekor kuda. 
“Mengapa kau tak di medan perang. mpu wungubhumi ?” tanya Pada 
untuk melupakan kata-kata nyi girah . 
“Di pihak siapa. Paman?” 
“Di pihak kediri  tentu.” 
“kediri ? Apakah yang sudah diperbuat adiputro  kediri  
terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku 
sendiri? Kau lihat sendiri Paman, bapakku. panembahan senapati ki ageng , sudah  
dibuangnya di negeri orang untuk berperang.” 
Ia dapat temukan kata-kata berontak dari nyi girah , dari 
panembahan senapati ki ageng  dan dari betari  resi  . Keluarga ini nampaknya 
benar-benar anak-rohani betari  during. Dan sekilas ia 
teringat pada ajaran salah seorang resi nya dahulu  bagaimana 
seorang musafir pajang bintoro  harus bersikap dan berbuat 
terhadap resi -pembicara pemberontak  tumpas! Ternyata pengaruh 
betari  resi   sangat besar terhadap keluarga seorang yang 
dicintainya.  muncul  dorongan dalam hatinya untuk 
mengetahui lebih banyak tentang resi -resi  itu. namun  ia tak 
jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini? Sudah bukan 
tugasnya lagi. 
“mpu wungubhumi , kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang 
luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang 
penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik 
kuda dan melemparkan tombak, segera aku dapat 
mengetahui kau pernah jadi centeng .” 
“Betul, Paman. Aku pernah jadi calon centeng  pengawal 
kediri ,” mpu wungubhumi  mengakui. “lalu  sebentar jadi centeng  
pajang bintoro .” 
“pajang bintoro ?” 
“Betul.” 
“Kau mondar-mandir tidak karuan.” 
mpu wungubhumi  tertawa, lalu  meneruskan: “Aku rasa, tinggal 
bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk 
emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada 
kediri  dan pajang bintoro ? Sampai sekarang aku tak tahu.” 
Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa mondar-mandir 
pada dua daerah yang saling bermusuhan.” 
‘Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang 
lain.” 
“Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk? pajang bintoro  
arca   , kediri  setengah Warn.” 
“Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk 
pembebasan jayamahanaya , apalagi sesudah  ternyata panembahan senapati ki ageng wilareja  
dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat 
hanya dengan jung!” 
Sekali Pada melihat semangat si raden panji  gelang-gelang  di dalam 
kata-katanya. Dan ia membiarkan mpu wungubhumi  meneruskan kata-
katanya. 
Begitu, paman, hanya di rumah aku merasa damai. Di 
kediri  orang selalu mengejek dan mengganggu dan 
menghina. Benarkah aku bukan anak panembahan senapati ki ageng wilareja ?” 
Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di 
belakang mpu wungubhumi  sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah 
itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu 
tajam ke jurusan lain. 
“Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak 
mau menerangkan.” 
“Tahu apa aku tentang itu? 
Yang kuketahui selama mi kau anak panembahan senapati ki ageng  dengan 
nyi girah . Mengapa justru bertanya padaku 
“Emak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang ‘tidak cukup 
baikkah raden panji  gelang-gelang  dan nyi girah  jadi orang tuamu?’ Aku 
tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku 
matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku 
tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang resi -
pembicara, ia lupa namanya… ia mengulangi kutipan itu 
hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin 
bimbang” 
“Apa katanya?” 
“Tak ada seorang manusia pun,” katanya, “pernah 
meminta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi. 
Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang 
dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.” 
“Itulah resi -pembicara dungu.” Pada terangsang. 
“Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak 
atau ibunya.” 
“Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja’ 
Pada terkejut, namun   pura-pura tak memperhatikan. Tak 
pernah ada orang bicara sejenis  itu. Sendiri seorang resi -
pembicara, bekas musafir pajang bintoro , dilatih untuk 
mematahkan pengaruh resi -pembicara bukan golongan 
sendiri, pemberontak , secara naluriah ia bangkit untuk mengobrak-
abrik pengaruh itu. 
“mpu wungubhumi , mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran 
bukan saja membawa rahmat, juga membawa pesan pada 
dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja. 
Pesan itu juga diberikan kepadamu, padaku, juga untuk kita 
teruskan Dari negeri jawadwipa  sana datang bidai ‘Raja adil 
raja disembah, raja lalim raja disanggah’”. 
“Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang 
kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan 
perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti 
pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan 
karunia?” 
Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir 
Pada. Dan cepat-cepat ia membelokkan: “mpu wungubhumi , cobalah 
singkirkan dahulu  soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir, 
bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti 
halnya sekarang? Bukankah itu karunia?” 
Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu 
tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan 
Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para 
resi -pembicara yang sudah  berakar di dalam keluarga 
raden panji  gelang-gelang . 
Akhirnya mereka terdiam kebosanan. 
namun  mpu wungubhumi  tak urung mengulangi pertanyaannya: 
‘Paman belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak 
panembahan senapati ki ageng wilareja ?” 
“Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan 
perjalanan seorang diri, mpu wungubhumi . Tentang itu, datanglah pada 
emakmu. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup 
dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui. 
Aku tak tahu apa-apa, dan tidak memiliki  hak apa-apa. Nah, 
terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada 
emakmu, dan berbaktilah lebih baik.” 
Ia ulurkan tangan untuk dicium mpu wungubhumi , namun   bocah itu 
tak mengenal adat itu. mpu wungubhumi  mengangkat sembah dada. 
Kepemberontak an masih berkuasa atas mereka, keluhnya, 
lalu  ia berjalan kaki keluar dari hutan. 
Begitu lepas dari cengkebetari n hutan ia berhadapan 
dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia memerlukan naik ke 
atasnya, meninjau gubuk yang selama ini ditinggali oleh 
wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu sudah  
tergeletak jauh di beranda, dan pintunya sudah  terbuka. Ia 
masuk ke dalam. 
Semua perkakas sudah  berantakan di lantai: orang-orang 
pajang bintoro  sudah  memasuki rumah ini. 
Cepat-cepat ia turun, lari, balik memasuki hutan. 
0odwo0 
 
35. campa    Pajajaran -Sunda kacangtanah  
Perang di kediri  bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada 
untuk menghadap Patih kediri  Kala chucky  Sang Wirabumi 
gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerah-
daerah pertempuran ia memasuki campa  dari sebelah 
selatan. 
Belum lagi memasuki daerah perkampungan campa  ia 
sudah  mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia sudah  terkena 
dilaso. Seutas tali sudah  menjerat kaki, membantingnya ke 
tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeong-
geonglah ia dengan kepala   ke bawah. Bungkusan 
bawaannya terlempar entah di mana. 
Kelelahan dari perjalanan memicu  ia tak mampu 
mengangkat badan untuk membebaskan kaki dengan 
tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah 
dan menyesak dalam kepala  nya. Nafasnya terengah-engah. 
Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang 
Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih 
tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia sudah  
jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan. 
Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang 
bertanya: “kediri  apa pajang bintoro ?” 
Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab 
tabah: “Dua-duanya tidak.” 
“Bukankah kau Pribumi?” 
“Betul,” Pada su