Tampilkan postingan dengan label selingkuh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label selingkuh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Desember 2022

selingkuh


udara yang kering menggantung di terminal bis 
joyoboyo surabaya   meskipun hari masih terhitung pagi.Baru jam sepuluh lewat sepuluh. martini  bermaksud menyapu butir-butir keringat halus di puncak hidungnya yang mencuat manis kemerah-merahan saat  ia merasa sudah  kehilangan sesuatu, la percaya  saat  tadi turun dari mobil yang mengantarkannya sampai di pintu masuk terminal, saputangan batik yang ia butuhkan terlipat dalam genggaman telapak tangannya. Tidak, 
tidak mungkin ia masukkan kembali ke dalam tas. 
Matanya mencari-cari dan lalu  melihat 
saputangan itu, setengah terhampir di lantai bis dan ujung sebuah sepatu Laki-laki  hampir saja menginjaknya.  martini  buru-buru membungkuk untuk memungut saputangan itu. dan pada waktu yang bersamaan si Laki-laki  rupanya juga melakukan hal yang serupa. Laki-laki  
itu ternyata lebih cepat dan martini  sudah duduk dengan lurus saat  si Laki-laki  menyerahkan saputangan itu sambil  berkata  :  
“Apakah ini yang ...,” suara itu terhenti tiba-tiba. 
Lalu, berlanjut dalam bentuk seruan tertahan : “martini . Kau!” 
menengadah  martini  sesaat , dan ia segera be 
hadapan dengan seraut wajah yang tidak terlalu 
tampan dengan garis-garis tegas dan bentuk dagu 
yang menunjukkan kesungguhan hati. la ini 
tampaknya sudah berumur empat puluh, lima tahun lebih tua dari usianya yang sebetulnya , dan sepuluh tahun lebih sudah  berlalu semenjak terakhir kali martini  melihatnya, namun tetap tidak bisa melupakan dia. Tercengang sesaat, martini  membelalakkan mata dan lalu  balas berseru : 
“chucky . Ngapain kau di sini?” 
Laki-laki itu tertawa kecil, lalu  mengambil 
tempat duduk di sebelah martini  yang memang masih kosong. Tidak banyak penumpang saat  itu, dan pertemuan  yang tidak diduga-duga di manapun juga  seringkah terjadi dengan akibat kehadiran orang-orang lain apalagi penumpang penumpang sambil lalu dan sebuah bis antarkota tidak menjadi penting  artinya. sambil  berjabatan tangan dengan riangnya, 
laki-laki bernama chucky  itu berkata  : 
“Ngapain aku di sini? sebab  enggan jalan kaki, 
tentu. Jarak surabaya  pasuruan  bisa menghabiskan satu 
lusin sepatu,” ia tertawa lagi. “Dan kau, nyonya 
dokter?” Wajah martini  sedikit memerah. 
“Husy, jangan ...” 
“Baiklah, martini . Mau ke pasuruan  juga?” 
Ke pasuruan  atau tidak, bus sudah  merangkak ke 
luar dari terminal. Mula-mula merambat dan sesudah  berada di jalan lurus ke arah pasuruan , mulai tancap gas ditambah  tancapan suara kenek bis yang tak putus putusnya meneriakkan rit kendaraan hampir kepada  setiap orang yang tengah berdiri untuk satu dan lain 
maksud sepanjang pinggir jalan. martini  dan chucky   hanya saling pandang selama beberapa menit dengan  wajah sama-sama seperti memperoleh surprise, dan sekali lagi : dalam hal ini, penumpang-penumpang lain sangatlah tidak penting artinya. Lama lalu  : 
 ... rasanya lama waktu sudah berlalu, martini , 
namun  kau masih tampak seperti dahulu juga. Sudah berapa anakmu?” 
“Tiga. Yang seorang di teka, yang dua masih di 
es-de. Sebaliknya dengan kau, chucky . Kau sudah 
berubah, tidak lebih tua betul namun  tampak lebih 
matang.” 
“Di panggang kehidupan kota Metro.” 
“Sudah berapa pula anakmu?” 
“Kali dua dengan kau, tambah satu ...” 
“Amboi, rapat benar. Tidak ka-be?” 
“Ka-be sih ka-be, namun  paling-paling hanya 
dalam soal pengaturan uang gaji,” dan mereka 
tertawa berderai lagi. 
“Enak ya kedudukanmu sekarang?” 
“Alah, apalah artinya pegawai negeri. Guru lagi. 
Memang di perguruan tinggi. namun  dengan anak-
anak yang kalau berkumpul memerlukan dua buah 
meja makan, kau kan bisa maklum. Kalau tidak, aku 
sebetulnya  lebih suka naik kendaraan sendiri. Malu dong sama mahasiswa, bisa dihitung dengan jari berapa banyak yang mau berlelah-lelah berebutan  kursi di dalam bis. Dan kau, mengapa naik bis pula, martini ?” 
“Suamiku ...” 
Sampai di situ, martini  tertegun sejenak, la 
memandang lurus ke mata chucky  yang juga 
memandang ke matanya. Ada pembahan pada mata Laki-laki  itu saat  martini  mengucapkan kata “suamiku”, dan yang pasti, tiba-tiba ada semacam perasaan terlanjur dalam diri martini  sesudah  mengucapkannya. 
Beberapa saat ia hanya terdiam, lalu  
memalingkan muka ke luar jendela, Tiada lagi surprise, tiada lagi kegembiraan yang 
mereka peroleh sekejap tadi di terminal joyoboyo , 
hanya semata-mata sebab  secara tidak disengaja 
persoalan sudah  beralih pada sumber mala petaka itu;  beruntungnya martini  dengan mas kawin yang 
dihadiahkan oleh suaminya. Dokter syam kamaruzaman   wisnuwardana . Sisa perjalanan ke pasuruan  jadinya lebih banyak mereka isi dengan lamunan, dan hanya Tuhan yang  tahu apa yang ada di benak mereka berdua. martini  
berusaha dengan susah payah  seperti sepuluh 
tahun lebih sudah ia lakukan , untuk tidak mengingat  kembali kenangan manis selama dua tahun ia  berhubungan secara intim dengan chucky  selagi mereka masih sama-sama tinggal di jombang .  Mereka baru saja akan mencanangkan rencana untuk melanjutkan hubungan itu dalam tali perkawinan, saat  musibah itu muncul seperti petir di siang bolong. 
Pembersihan besar-besaran di Perusahaan 
Perkebunan tempat ayah martini  bekerja menghasilkan sebuah besluit pensiun jauh sebelum waktunya, justru 
pada saat ibu martini  sedang digerogoti oleh penyakit 
kanker yang menyita hampir semua daging-daging 
ditubuhnya. Pada saat yang sama, dua orang adik martini  yang Laki-laki  menamatkan studi di es-em-a, dan nilai  mereka yang baik dan masa depan mereka yang sudah lama di angan-angankan terancam punah. Sedangkan chucky , hanyalah anak seorang petani biasa, yang orangtuanya dengan susah payah harus banting 
tulang di sawah untuk bisa memenuhi keinginan anak  satu-satunya itu masuk perguruan tinggi. Dan muncullah syam kamaruzaman  wisnuwardana , dokter muda yang saat  itu belum jadi spesialis dan masih berpraktek sebagai dokter umum, yang selama ini merawat ibu 
martini . chucky  tahu diri, dan membiarkan martini  bersimbah air mata saat  ia duduk di pelaminan 
bersama suaminya yang sekarang. 
Satu-satunya yang bisa menghibur hati martini  
saat  itu di samping kesehatan ibunya yang pulih dan terangkatnya kembali reruntuhan hidup keluarganya, adalah kabar bahwa chucky  lalu  menikah dengan anak gadis lesbian  seorang Haji yang kaya di pasuruan  dan dengan bantuan mertuanya itulah chucky  bisa menamatkan studinya yang sempat terbengkalai. Semenjak itu mereka tidak pernah bertemu lagi. martini  diboyong suaminya ke surabaya , dan belakangan ia 
dengar chucky  juga memboyong isterinya ke kota 
yang sama. Namun rupanya mereka berpendirian 
sama dalam satu hal : berusaha saling melupakan, 
dengan cara berusaha untuk tidak saling mencari satu dengan yang lain. 
Siapa nyana, sesudah  lama tahun berlalu 
“ ... turun di mana, Lies?” 
martini  tersentak, la memandang chucky  dan 
saat  itulah laki-laki yang duduk di sampingnya 
menyadari satu hal; pipi wanita lesbian  itu basah 
berkilauan. 
“Kau… kau…,” dan chucky  tidak melanjutkan 
kata-katanya, sesudah  nalurinya mengingatkan : ia 
tidak boleh membuka rahasia pribadi martini  di depan umum. martini  menangis! 
“Hhh ...,” keluh martini  dalam, dan mencoba 
tersenyum. 
“Aku turun di terminal. Dari sana, naik bemo ke 
namun  apa gunanya ia memberitahu alamat orang 
tuanya? “Dan kau?” 
Sebagai jawaban, chucky  menggapai ke arah 
kondektur bis yang bertanya lantang : “Istana ada 
yang turun?” 
Bis berhenti. Beberapa orang penumpang 
turun, namun  justru Henda yang tadi menggapai, tidak. 
Kondektur memperhatikan chucky  dengan penuh 
tanda tanya namun  cepat-cepat chucky  berkata : “Tak 
jadi,” dan bus berjalan lagi. martini  yang sempat 
terenyuh waktu tadi chucky  menggapaikan tangan, 
memperlihatkan kegembiraan yang tersembunyi di 
balik sinar matanya, la berharap chucky  tidak 
mengetahui hal itu dan dengan tersenyum manis 
bertanya sambil lalu : 
“Kau termasuk penumpang yang cerewet ya?” 
“Tepatnya, penumpang yang bayar!” 
Dan mereka sama-sama tersenyum, dengan 
kegembiraan yang perlahan-lahan menyelinap 
kembali, tanpa diminta, seperti juga tak sampai 
setengah jam berselang, lenyap tanpa diminta. 
Mereka berdua lalu  sama-sama turun di 
terminal dan sudah banyak bemo yang ke luar masuk 
tanpa satupun yang mereka naiki. Mereka hanya 
berdiri saja memperhatikan kendaraan-kendaraan 
kecil itu pulang balik dalam keadaan hampir kosong, 
sambrl duduk berdamping di ruang tunggu, 
menghirup udara yang sedikit lebih segar ketimbang 
udara terminal joyoboyo . 
“ ... jam berapa kau mengajar?” tanya martini  
sesudah  lama mereka hanya saling berdiam diri. 
“Dua belas lewat lima belas.” 
martini  melirik arlojinya, dan terkejut: 
“Kau hampir terlambat, chucky .” 
“Ya.” 
“Lalu mengapa… ” 
“Kau belum mengatakan kapan kita bisa 
bertemu lagi.” 
“chucky ...” 
“Bagaimana kalau jam empat sore?” 
“Aku harus sudah kembali pada anak-anakku, 
chucky .” 
“Satu jam sebelumnya?” 
“Orangtuaku pasti masih kangen…” 
“Kalau begitu, kita jalan-jalan sebentar ke kota 
sekarang? Ada tempat minum di…” 
martini  tersenyum. Katanya, setengah mengingatkan : 
“dahulu  kau suka ngomel-ngomel kalau ada dosen 
kalian yang tak muncul di saat kau dan teman-
temanmu membutuhkannya. Apakah kau mau 
menjilat ludah, chucky ?” 
Laki-laki itu terdiam. 
la sudah tiga puluh lima tahun. Belum terlalu 
tua. Dan martini , kata chucky  tadi; masih seperti dahulu  
juga. martini  menarik nafas. Panjang. lalu , sambil  
memandangi ujung sepatunya, berkata  : 
“Bagaimana kalau kita coba saling melupakan, 
chucky ? Kita toh sudah  pernah melakukannya.” 
Tidak ada jawaban. martini  menunggu. Tetap tidak 
ada jawaban. 
saat  ia menoleh, chucky  sudah lenyap dari 
sampingnya. martini  tersentak dan sesaat  terlonjak 
berdiri. saat  itulah sebuah kartu nama terjatuh dari 
haribaannya, la cepat-cepat memungutnya. Kartu 
nama itu milik chucky , dilengkapi alamat tempat 
tinggal, dan alamat perguruan tinggi di mana ia 
mengajar. Di balik kartu nama tertulis : Antara jam 
10.00-14.00 phone ke ...,” 
dan tercantum nomor telephone yang sama dengan 
alamat kantor fakultas yang terlampir di permukaan 
pertama tadi dari kartu nama itu. martini  termenung. 
“Jangan, chucky . Aku tak akan…” kalimat itu 
hanya tercetus di dasar hatinya, la ingin mengutarakan 
itu pada si Laki-laki , dan dengan panik matanya mencari-
cari di seputar ruang tunggu. Dari sana, ia meluncur ke 
tempat bemo ke luar masuk dan memperhatikan 
setiap penumpang, bahkan juga bemo-bemo yang 
sedang menjauh. Sebuah bus dari Bandung masuk ke 
terminal, menghalangi penglihatannya. martini  mundur 
buru-buru, dan sesudah  bus itu tidak menghalangi 
pemandangannya lagi, kembali ia mencari-cari ke 
kejauhan. Jauh, jauh, semakin jauh, dan tiba-tiba martini  
merasa ia sudah  kehilangan sesuatu. Betapa inginnya, 
sesuatu itu setengah terhampar di dekat kakinya, lalu 
ada ujung sebuah sepatu Laki-laki  hampir menginjaknya, 
martini  memungutnya bersamaan dengan si Laki-laki  
memungut itu pula, lalu : “martini , kau ...!” namun  tidak 
ada seruan tertahan yang riang. Tidak ada yang 
mereka pungut bersamaan. sebab  yang hilang itu, 
bukanlah lagi sehelai saputangan kecil yang tidak 
berarti apa-apa, melainkan sesuatu yang hanya ada di sudut hati martini , dan tidak bisa dinilai dengan apapun juga ... masih memeluk boneka kesayangannya, si bungsu  nyi girah  lelap juga tidurnya sesudah  lewat jam tujuh. 
Kedua orang saudaranya sedang ribut mempertengkar  kan soal matematika saat  martini  masuk kembali ke ruang tengah untuk menemani mereka. peniwise  dengan muka merah padam berteriak dengan sengit 
pada kembarannya si rambut galing Pranajaya : 
“Blo'on! Ngaco! Besok kubilangi ibu guru biar 
kau di…” 
“Getok pakai mistar ya?” balas adiknya yang 
berbeda kelahiran hanya tiga jam. “Boleh. Boleh. Tak 
bakalan kupinjami kau buku bahasa Inggeris-ku lain 
kali, hayo!” 
“Biar!” 
“Sumpah?” Pranajaya mengkaitkan jari telunjuk 
yang ia lengkungkan langsung ke jari telunjuk 
peniwise . 
“Hai, apa-an?” tegur martini  dengan mata 
dipelototkan. “Kecil-kecil sudah tidak bisa kerja-sama. 
Main sumpah-sumpah segala. Mau jadi apa kalian 
kalau sudah besar-besar, he?” 
“hwang jang lee !” enak saja peniwise  
menjawab. 
“Dokter. Seperti papa!” tak mau kalah 
Pranajaya. 
“Kau, peniwise . Kalau mau jadi hwang jang lee , 
harus berkepala dingin, tidak emosi-emosian begitu. 
Dan kau, Yaya, kalau mau jadi seperti papamu, jangan 
pelit-pelitan. Kalau terlalu hitungan, bisa-bisa kau sakit 
otak dan bukannya dokter, malah kau jadi pasien 
papamu,” lantas sambil  tersenyum melihat kedua 
orang anak kembarnya yang duduk satu kelas itu 
saling berpandang-pandangan. martini  memerintah : 
“Hayo. Sekarang, salam-salaman. Kalau kalian 
tak kompak, siapa nanti yang jaga nyi girah  kalau ada 
yang ganggu?” 
Meskipun toh mereka tidak bersalam-salaman 
namun  cukup dengan saling tukar senyum kecut kedua 
bersaudara itu setengah jam berikutnya 
bergandengan tangan masuk ke kamar tidur, 
menyusul adik mereka, meninggalkan martini  duduk  sendirian menghadapi televisi, sedikit tersenyum  memikirkan tingkah laku anak-anaknya. namun  acara di televisi tidak menarik. Wawancara lagi, wawancara lagi, dan ia segera mematikannya, dan mencoba  mengisi waktu dengan membuka beberapa lembar majalah yang tadi sore ia beli di jalan. Seperti biasa, dari rumah sakit syam kamaruzaman  tidak pulang langsung, 
melainkan terus ke tempat di mana ia buka praktek 
pribadi. Kalau pasien jarang biasanya ia sudah pulang, namun  hidangan di meja makan sudah semakin dingin dan suaminya belum muncul juga. 
martini  sudah bisa membayangkan bagaimana 
kondisi suaminya nanti. Dan benar saja. 
Sesudah  gelisah bukan sebab  menunggu 
melainkan terutama sebab  pikiran yang bercabang-cabang semenjak ia bertemu hari itu dengan chucky , 
akhirnya martini  mendengar juga suara sentakan-
sentakan klakson mobil dengan ipeniwise nya yang khas 
itu. Pembantu rumah-tangganya bergegas dari 
belakang untuk membuka pintu depan namun  martini  
menahannya. 
“Kembali saja ke belakang, mbok.” 
Lantas dengan langkah-langkah gontai ia 
berjalan ke pintu depan. Suaminya sudah berada di 
depan ambang pintu, dengan jas yang lusuh, rambut 
sedikit awut-awutan, tangan lunglai menjinjing tasnya 
yang besarnya dan berat dan  yang sudah pasti; mata 
kemerah-merahan. Senyumnya rutine saja saat  ia 
melihat siapa yang membuka pintu. Juga 
pertanyaannya yang sambil lalu saat  masuk: 
“Anak-anak sudah tidur, mam?” 
martini  menyambut tas kerja suaminya, 
menyimpannya ke dalam sambil menyahuti 
seperlunya : 
“Sudah, pap.” 
“Bagaimana kabar bapak dan ibu di pasuruan ? Aku 
harap mereka baik-baik saja.” 
“Alhamdulillah, baik-baik saja. Kirim salam 
mereka untukmu.” 
Tiada reaksi. Tentu saja. Lelah sesudah  bekerja 
sepanjang hari, syam kamaruzaman  memerlukan waktu 
istirahat, dan tidak punya kesempatan memikirkan 
soal-soal yang tidak ada hubungan dengan 
pekerjaannya, bahkan kadang-kadang persoalan yang 
menyangkut rumahtangganya sendiri, la harus rilek, dan diusahakan tetap santai waktunya setiap ada di 
rumah. sebab  ke luar dari rumah, maka pikiran, 
perasaan dan otot-ototnya akan bekerja keras tanpa 
henti-hentinya, dan lebih banyak tanpa memperduli 
kan jangankan kesenangan, malah juga kesehatan 
dirinya sendiri.  
martini  membantunya membuka pakaian kerja 
dan menyiapkan pakaian rumah.  
“Makan dahulu , atau mandi pap?” Pertanyaan 
rutine, tentu lagi. Jawabnya jelas:  
“Nanti saja ...!” 
la lalu  masuk ke kamar-kerjanya untuk 
menyelesaikan beberapa pekerjaan sementara martini  
mempersiapkan segala sesuatu di kamar mandi dan 
menyuruh pembantu untuk menyediakan segala 
sesuatunya di meja makan syam kamaruzaman  mandi sebentar, 
dan makanpun cuma sedikit. Sesudah  itu ia rebahan di 
sofa, tak lupa sambil lalu bertanya : 
“Film seri apa sekarang ya mam?” 
Tak bersemangat. martini  menyahut: 
“13th friday ...” 
“Oh. Petualangan di gurun sahara  itu…” lantas 
acuh tak acuh pada martini  yang memainkan chanel tivi, 
ia menyambar selembar surat kabar dan mulai 
membaca. Tahu kebiasaan suaminya, martini  bertanya 
hati-hati: 
“Tak dimasukkan garasi mobilnya, pap?” 
“Nanti saja…” 
Dan, beberapa menit sesudah nya, keerrr ... 
syam kamaruzaman  sudah mendengkur di sofa. Koran yang ia 
baca menggelimpang di lantai. Terkapar tidak 
berdaya. Seperti juga martini , yang duduk menghadapi 
televisi, dengan jantung yang berdenyut-denyut tanpa 
daya, sehingga beberapa kali ia terpaksa menarik 
nafas panjang, berat dan menyakitkan. Betapa 
inginnya ia ditanya apa saja kesan-kesan di jalan waktu 
ke pasuruan , bagaimana keadaan adik-adik martini , apakah 
ibunya tidak bertambah pikun sekarang, atau bus 
masih suka ngebut atau tidak dan etese etese ... 
Terutama malam ini, betapa inginnya martini  ditanya : 
“Ketemu kenalan lama di jalan?” 
Dan ia akan menceritakannya. Menceritakan 
pertemuannya dengan chucky , dan bahwa mereka 
berpisah secara baik-baik, dan  apa yang mereka 
percakapkan adalah hal-hal yang biasa, la ingin 
melihat reaksi suaminya, la ingin tahu, bagaimana 
kalau suaminya itu tahu perasaan apa yang 
mencengkeram jantung isterinya saat itu, setidak-
tidaknya saat-saat ia berpisah dengan chucky  di 
terminal. Cemburukah ia. Marah. Atau memberi tanda 
sympathi. Atau yang paling pahit : acuh tak acuh. 
namun  syam kamaruzaman  sudah mendengkur. Dan martini  
kembali dan kembali hanya bisa menarik nafas. 
Benar. dahulu  ia tidak cinta pada laki-laki ini, 
saat  ia pertama kali naik bersama ke ranjang 
pengantin. namun  sesudah  kelahiran si kembar 
peniwise -Pranajaya, terlebih-lebih si mungil nyi girah , 
maka tidak ada lagi persoalan cinta atau tidak. Saling 
menyukai, sudah lebih dari cukup. Rumah tangga 
jarang diisi pertengkaran, dan hampir semua 
kebutuhan selalu terpenuhi. Piknik ke luar daerah, ke 
luar kota bahkan pernah ke luar negeri. Mula-mula 
sekali seminggu, lalu  sekali sebulan, lalu  
lagi makin jarang dan sesudah  sepuluh tahun berlalu, 
jangankan untuk ke luar kota. Ke luar rumah sajapun 
syam kamaruzaman  sudah tidak punya waktu, la seorang ahli 
bedah yang tenaganya sangat dibutuhkan, yang 
bantuannya diperlukan oleh ribuan orang setiap 
saat...! 
“Oh! Aku terlalu egois!” keluh martini  tiba-tiba, 
menyesali diri. 
Padahal ia sudah tabah selama ini. Sudah 
terbiasa. 
namun  sesudah  kemunculan chucky  ... 
“Tidak. Aku harus menjaga kehormatanku 
sebagai seorang isteri dan ibu yang setia ...” 
martini  menyeka pipinya yang basah, dan 
bersimpuh di samping sofa. 
“Maafkan aku, pap,” dan ia mengecup pipi 
suaminya. 
syam kamaruzaman  menggeliat, dan dalam tidurnya 
berubah menelentang sehingga piyamanya berubah 
letak. Kancing-kancing kemejanya terlepas mem 
perlihatkan dada bidang yang berbulu, bergerak 
teratur. martini  mengelus bulu-bulu dada itu dengan jari 
jemari gemetar, menggosokkan pipinya ke tempat 
yang sama dengan hati yang ikut tergetar. 
syam kamaruzaman  tersenyum dalam tidurnya, tampak 
betapa manis. 
“Sayangku,” desah martini  dan mencium bibir 
yang tersenyum itu dengan mesra. 
syam kamaruzaman  membuka matanya. 
namun  martini  semakin membenamkan bibirnya, 
dan mulai memeluk laki-laki itu. la tidak sadar kalau 
suaminya terbangun, dan baru mengetahuinya saat  
syam kamaruzaman  pelan-pelan membalas pelukannya dan 
dengan segenap kekuatan yang ada padanya menarik 
tubuh wanita lesbian  itu ke atas sofa, menghimpit 
tubuhnya sendiri. Mereka berpelukan dan berciuman 
dengan nafas mendesah-desah, sampai akhirnya 
dengan mata setengah mengatup martini  berbisik 
ditelinga suaminya : 
“Jangan di sini, pap ...” 
Berpelukan mereka masuk ke kamar tidur. 
Dan martini  baru saja melepas pakaian yang 
melekat di tubuhnya dan sudah siap naik ke ranjang, 
saat  telephone berdering keras di ruang tengah, 
menyentak kesepian yang menggetarkan di antara 
mereka. martini  terkejut sebentar, lalu  tersenyum 
lalu menekan tubuh suaminya ke tempat tidur. namun  
telephone itu terus berdering. Berdering. Dan 
berdering. 
“Kuputus saja ya pap?” 
martini  sudah menyambar selimut untuk masuk 
ke ruang tengah, namun  suaminya mendahului : “Kau 
tunggu di sini. Paling-paling dari rumah sakit... ” 
martini  setengah menghempas di ranjang. 
Matanya mulai terasa perih, la sudah bisa 
membayangkan! 
syam kamaruzaman  masuk ke kamar dan langsung 
berganti pakaian. 
Katanya: 
“Ada korban pembunuhan. Terlambat sedikit, 
kata mereka tidak akan punya harapan lagi!” 
la lalu  mengecup bibir isterinya yang 
bergulung di bawah selimut. 
“Aku tak akan lama, sayang.” 
Lalu ia pergi. 
martini  menangis tersendat-sendat. 
Tak lama, katanya, namun  jam empat pagi ia 
baru pulang ke rumah, dan martini  baru saja tertidur 
dengan kepala yang masih berdenyut-denyut. saat  
martini  bangun, suaminya sudah tidur di sampingnya, 
dengan sebuah nota di kepala tempat tidur : 
“Bangunkan aku jam sembilan, mam.” martini  
memandangi nota itu dengan mata yang terasa sangat 
perih. Ingin rasanya ia menelan nota itu, siapa tahu 
bisa jadi obat mujarab terhadap perasaan mual dalam 
lambungnya. 
Mereka sarapan tanpa bicara sepatahpun juga. 
syam kamaruzaman  hanya bertanya sedikit: “Anak-anak 
sudah pergi?”  
“Ya, pap.” 
“Kau antar sendiri ke sekolah?” 
“Taksi, pap. Aku harus membangunkan kau 
pada waktunya, bukan?”  
Habis sampai di situ. 
Apakah yang menggelisahkan suaminya, soal 
senggama mereka yang tidak selesai tadi malam? 
Kalau ya, pasti ada penyesalan di matanya atau nada 
suaranya. namun  tiada gambaran itu. Tiada pula 
pernyataan maaf. Jadi jelaslah sudah ; laki-laki itu 
tengah memikirkan operasi yang ia lakukan di meja 
bedah rumah sakit sepanjang malam, dan sekarang 
harus ia teliti hasilnya. Oh. 
konon kata orang, wanita lesbian  yang sedang dilanda 
sakit hati akan mampu membalikkan dunia semudah 
ia membalikkan telapak tangannya. Hal ini rupanya 
berlaku juga pada diri martini . la tidak pernah 
berkeinginan  bahkan teringat pun tidak!  untuk 
membalikkan peradaban umat manusia dipermukaan 
bumi ini seperti sudah  pernah dilakukan kaumnya yang 
bernama Cleoparta dan Eva Braun di jaman yang 
berbeda-beda. saat  ia meninggalkan rumah pagi itu, 
martini  pun sama sekali tidak menduga langkahnya yang 
ia ambil akan sempat menggoncangkan kehidupan 
rumahtangganya, paling tidak menggerogoti 
kesetiaan yang selama ini ia pegang teguh sebagai 
seorang isteri. 
la sudah  menelephone chucky . 
Dan satu jam lalu , dengan naik taksi ia 
sudah  tiba di sebuah bar yang tidak begitu populer di kawasan darmo . Di samping sebab  tarip 
hidangannya yang mahal juga sebab  pengunjungnya hanya orang-orang tertentu saja. Yang ingin memisahkan diri dari orang lain, sebab  satu dan lain hal ingin tidak terganggu oleh banyaknya orang-orang yang hadir, la tidak pernah tahu tempat itu sebelum 
ini. la hanya menolak saat  chucky  bertanya apakah mereka bertemu di rumah martini  dan tentu saja chucky  tidak mau martini  berkunjung ke rumahnya pula. Dan mereka tidak mau, ada seseorang yang mengenal dan  lalu  pasang mulut ke mana-mana... 
“Seorang kawan pernah menyebut sebuah 
tempat,” chucky  yang memberi usul. 
Dan saat  chucky  menerangkan situasi tempat 
yang ia usulkan, sempat martini  nyekiki. Sindirnya : “Apa kau baru terima gaji?” 
Dijawab oleh chucky  dengan nada kemalu-maluan :“Dua gelas minuman cukup untuk basa-basi 
pada pemilik bar itu, bukan?” 
Dan chucky  sudah menunggu di sana saat  martini  tiba. 
chucky pun benar-benar memenuhi ucapannya. 
Mereka hanya minum masing-masing segelas sari 
buah ditambah beberapa potong kue ringan. Untuk 
lebih leluasa, mereka memilih sebuah meja yang 
terletak di pojok berdindingkan daun-daun lebar 
pohon palma berwarna merah hati disatu bidang, 
tembok dengan lukisan candi di bidang kedua dan 
bidang saat  teak-wood setinggi dada bila berdiri. 
Bidang ke empat adalah pintu masuk, namun terlalu 
sempit untuk seseorang yang bermaksud untuk 
mengintai ke dalam tanpa terlihat dengan jelas. Dan 
siapa pula tamu-tamu baru seperti itu yang mau 
bersusah payah untuk melakukannya, kecuali kalau 
tamu itu seorang yang bermuka tembok. 
“Aku senang kau mau menemuiku lagi,” itulah 
ucapan pertama chucky  sesudah  mereka duduk 
berhadapan. Sambil berkata demikian, ia letakkan 
telapak tangannya yang lebar dan bertonjolan urat-
uratnya di punggung tangan martini , tanpa wanita lesbian  
itu berusaha untuk menghindarnya. 
Memerah cupil telinga martini . 
“Aku hanya mau minta maaf,” dalihnya. 
“Maksudmu?” 
“Kemaren aku berlaku kasar.”  
chucky  tersenyum. 
“Justru aku yang tidak bisa tidur sepanjang 
malam, sebab  membiarkan kau sendirian, tanpa 
pamit.” 
Lantas martini  teringat bagaimana perasaannya 
saat  itu. 
“Aku sangat kehilangan kau,” katanya, jujur, 
polos, tak terduga, sehingga pipinya kemerah-
merahan oleh perasaan malu sebab terlanjur. 
“martini !” desah chucky  sambil  mempererat 
pegangannya, sesudah  mendengar ucapan yang tidak 
disengaja itu. Sesuatu yang tidak disengaja, selalu 
terlahir dari sesuatu yang murni dan tidak palsu. 
chucky  tahu itu, dan dengan percaya  ia bertanya secara 
langsung: 
“Kau mencintainya?” 
martini  terjengah. 
“chucky , pertanyaanmu terlalu sulit untuk ... 
Ah, maksudku, kau kan harus tahu, biar bagaimana 
pun aku adalah isteri mas syam kamaruzaman .” 
“Kau berbahagia?” chucky  menyederhanakan. 
“Ya. Maksudku, belum pernah terjadi sesuatu 
yang bisa menimbulkan perpecahan di antara kami. Dan ...” dan apa yang ia lakukan, bukankah suatu jalan  termudah menuju sebuah perpecahan. Tiba-tiba martini   sadar akan dirinya dan dengan halus melepaskan  genggaman tangan chucky . “Bagaimana dengan kau 
sendiri?” ia balas bertanya, sekedar untuk mengurangi 
ketegangan yang perlahan-lahan merayapi dadanya.  
chucky  mengeluh. 
Enggan, ia meneguk minuman di gelasnya. 
“Makanlah kuenya, Lies.” 
“Kau belum jawab pertanyaanku.” 
“Ah. Sama sukarnya. Dengan tujuh orang anak, 
kau tahu.” 
“Lahirnya anak belum jadi jaminan lahirnya 
kebahagiaan,” martini  menuduh, dan ia sendiri memang 
sudah merasakannya selama ini. Kelahiran peniwise , 
Pranajaya lalu  nyi girah , lebih tepat dinamakan  sebagai 
tali pengikat yang menimbulkan suatu pertanggung 
jawaban. Kebahagiaan itu memang ia miliki, dari anak-
anaknya, namun  tidak dari suami. Ada kalanya orang 
cukup dengan kebutuhan yang berbentuk pembalut 
tubuh, namun  seorang wanita lesbian  terutama sangat 
membutuhkan isi jiwa dari tubuh yang dibalut itu. 
“Kau benar …” 
“Maksudmu, selama ini kau ...” 
“Lies, tak baik menjelek-jelekkan rumahtangga 
sendiri, kata orang. namun  apa yang terjadi dengan 
diriku? Hampir semua orang tahu. Perkawinan itu 
lebih mirip dari persatuan balas budi, sebuah yayasan 
yang orang-orangnya terikat pada suasana saling 
membutuhkan secara materiel. Kau tahu masa laluku 
sebelum menikah dengannya, bukan?” 
martini  mengangguk hati-hati. Hati-hati pula ia 
menambahkan : 
“Hanya dengar-dengar.”  
chucky  mengeluh lagi. Dalam. Dan kembali 
mereguk minumannya. Kali ini sampai habis. Melihat 
itu, martini  tersenyum. 
“Kau masih sanggup membayar extra satu gelas lagi?” 
chucky  terjengah oleh peralihan suasana itu. 
“Ha?” cetusnya. 
“Kalau tidak, kau habiskan saja punyaku…” dan 
kembali ia tidak bisa menahan diri. “Bukankah dahulu  
punyaku adalah-punyamu pula?” 
Dan kembali kedua belah pipi martini  yang ranum, 
memerah. la menjadi khawatir, lama-lama ia benar-benar 
bisa lupa diri. Oleh sebab  itu ia cepat-cepat melirik ke 
arloji tangannya dan lalu  berdiri. 
“Maafkan aku, chucky ,” katanya. “Aku harus 
menjemput anak-anak.” 
“Baru sedetik, Lies ...” 
“Sudah lebih dari satu jam!” 
“Kau kira, cukupkah itu, sesudah  lebih dari 
sepuluh tahun berlalu dengan sia-sia?” 
“Aku aku ...” 
“Aku tak pernah bisa melupakan kau, Lies. 
Seringkali aku berangan-angan buruk. Bila suatu saat  
kelak aku berjumpa lagi denganmu, rasanya maulah 
aku mengorbankan segala sesuatu yang kumiliki saat 
itu.” 
“chucky !” martini  berusaha agar sudut-sudut 
matanya tidak berlinang. 
la menggigit bibirnya keras-keras, lalu : 
“Aku harus pergi. nyi girah  masih kecil. Masih 
Taman Kanak-Kanak!” 
chucky  bernafas dalam. lalu  berdiri, dan 
mereka bergandengan ke luar dari balik box, berjalan 
kemeja kassier dan martini  lebih cepat, la membayarkan 
apa yang sudah  dipesan oleh chucky , dan laki-laki itu 
tidak berselera untuk menjaga gengsi. saat  
menunggu taksi di luar bar, chucky  mendesak : 
“Kapan aku bisa menghubungimu lagi, Lies ...” 
“Jangan!” cegah martini  dengan wajah pucat. 
“Aku takut, seseorang di rumah bisa nguping.” 
“Kalau begitu, kapan kau akan hubungi aku lagi?” 
“Aku aku sungguh, chucky . Aku tak tahu apa 
yang mau kukatakan,” dan martini  benar-benar 
berlinang air matanya kini. la menggenggam jari-
jemari chucky  erat-erat, seakan-akan ingin 
menyalurkan segala keresahan hatinya ke tangan 
Laki-laki  itu. Dalam usahanya menahan tangis, ia sedikit 
tengadah, dan matahari hampir saja berada di ubun-
ubun. nyi girah  sudah lama tentunya menunggu di 
kelasnya, menunggu saudara-saudaranya selesai 
mengikuti pelajaran untuk lalu  bertiga mereka 
menunggu martini  tersayang.  
chucky  menggapai sebuah taksi. 
martini  naik, dan chucky  cepat-cepat memutus-
kan: 
“Aku akan menunggui di sini pada jam yang 
sama besok!”  
Dan taksi itu melaju, meninggalkan chucky : 
berdiri termangu-mangu.  
martini  melihatnya lewat kaca belakang 
mobil,terkesan oleh bayangan yang semakin menjauh 
dari laki-laki itu. Betapa hangat tadi dadanya saat  
mereka bertemu, dan betapa bergejolak darahnya kini 
saat  mereka berpisah. Dan martini  sudah berhadapan 
dengan anak-anaknya siang itu, namun kehadiran 
bocah-bocah itu tak mampu untuk menggoyahkan 
tekadnya. 
Besoknya mereka duduk lagi di pojok yang sama. 
Dan chucky  berbisik dengan suara serak : 
“Belum pernah aku sebahagia ini.” 
Lalu ia bukan saja lagi menggenggam, namun  
lalu  mencium punggung tangan martini  yang ia 
bawa ke wajahnya, ia dekapkan lama di sana, dan 
dengan mata yang seperti menerawang jauh mirip 
bulan yang berusaha melarikan diri dari kepungan 
awan pekat, ia meneruskan, “Cintaku tidak pernah 
padam-padam, Lies. Camkanlah itu!” 
“Ingat anak-anakmu, chucky ,” memperingat 
kan martini  dengan jantung yang seperti mau copot. 
“Itu merupakan berbedaan.” 
“Kalau bregitu, ingatlah istrimu.” 
“Ia sudah  merasa cukup memberikan tujuh 
orang anak dan merasa terlalu sibuk mengurus 
mereka. Ia sudah tidak teringat lagi mengurus dirinya 
dan hanya untuk anak-anaknya, bukan lagi milik 
suaminya… Dan kau, Lies, kau pasti tahu. Ia hanya 
memiliki jasadku selama ini. Tidak jiwaku…” 
“Oh!'“ martini  ganti menarik tangan chucky . 
sambil  menangis ia mencium tangan laki-laki itu 
berulang-ulang, dan mendesah dengan suara 
terputus-putus : 
“Jangan ulangi lagi, chucky , bisa mati aku kau 
buat. Oh!” 
Tiga empat kali di bar, akhirnya pada kali yang 
kelima mereka memberanikan diri untuk memilih 
tempat yang lebih tertutup dari box yang memang 
sudah sangat tertutup itu. Keputusan itu sampai 
menimbulkan pertentangan. chucky  yang mengaju 
kan, dan martini  dengan muka merah mula-mula 
menolak. 
“Apakah itu perlu kita lakukan?” tanyanya 
dengan suara getir. 
“Kita saling membutuhkan, martini !” 
“Cukup dengan bertemu begini. Dan bertukar 
pikiran.” 
“Seorang laki-laki yang sudah dewasa, tidak 
puas dengan itu. Demikian pula dengan seorang 
wanita lesbian  yang sama dewasanya.” 
“Kau mencari kepuasan belaka?” tuduh martini . 
“Bukan badani,” tangkis chucky . “namun  jiwa!” 
Dengan suara mepercaya kan, chucky  berkata. Tandas: 
“Kau pasti memerlukannya.” 
“namun , chucky  ...” 
“Kita bertemu di sini lagi, besok dan sesudah  itu 
kita pergi ke tempat yang lebih berarti daripada 
sebuah box kecil di antara box-box lain seperti di sini.” 
“Jangan besok.” 
“Kapan?” 
“Kau mendesak.” 
“Apakah kau tidak, martini ?” 
Lama martini  berpikir. Bimbang. Lalu : 
“Selasa depan! Sedikit lebih pagi. Pada waktu 
itu, mas syam kamaruzaman  harus bertugas di tiga rumah sakit 
sekaligus, sehingga ia tidak berpraktek pribadi. 
Seorang baby sister tetap akan hadir di rumah. Dan 
pada hari itu, akan ada pertemuan isteri-isteri dokter. 
Mutlak milik isteri-isterinya, tanpa kehadiran suami, dan tanpa turut campur orang lain. Biasanya untuk 
bergunjing, dengan dalih silaturrahmi. Cocktail, 
pemutaran film kewanitaan, sedikit diskusi, makan 
siang, dan film import yang belum diputar untuk 
umum. Hampir satu hari penuh. Apakah itu cukup?”  
chucky  tersenyum. 
“Apakah kau kira cukup, Lies?” ia balik bertanya. 
“Tak akan pernah, sayangku,” martini  mengakui. 
Dan mereka semakin erat bergenggaman 
tangan, dengan sikap seperti sudah tidak sabar untuk 
saling bergenggaman lebih dari sekedar tangan-
tangan kecil yang sebab  keadaan, hanyalah benda-
benda lemah yang tidak punya kemampuan apa-apa 
untuk mempersatukan kebahagiaan yang sesungguh 
nya dari hidup ini! 
namun  saat  sudah berada di lingkungan anak-
anaknya, pikiran martini  kembali bimbang. Memandang 
nyi girah  yang sibuk dengan boneka-bonekanya dan 
berlagak sebagai seorang ibu terhadap anak-anaknya, 
pengasih, telaten dan suka bercerita lucu sambil 
kadang-kadang menyusun boneka-bonekanya di 
depan peralatan masak-memasak yang terbuat dari 
plastik seakan mengajari boneka-boneka itu tentang 
urusan dapur. martini  sangat terpukul. Anak umur empat 
tahun yang baru duduk di kelas nol kecil itu, tanpa 
disadarinya sudah  menyindir pribadi ibunya sendiri. la 
seharusnya hidup untuk anak-anaknya, tidak lagi 
untuk dirinya sendiri, seperti apa yang oleh chucky  
dilakukan oleh isteri laki-laki itu. Tanpa sadar, ia 
melompat memeluk bocah mungil yang lucu itu. 
Ia memeluknya, danan menangis terisak-isak. 
“Mami. Mami… kok nangis mami…,” bibir kecil 
itu merengek dan hampir ikut latah untuk menangis. 
“Oh, tidak anakku. Ibu tidak menangis,” buru-
buru martini  menyeka air matanya. 
“Mami bohong. Mami bohong. Kok pipinya 
basah ...” 
“Hanya pedih.” 
“Pedih kenapa, mami? Kemasukan pasir ya? 
Mana sinir bukakan mata mami ... biar nyi girah  korek.” 
“Eh, kok dikorek,” martini  tiba-tiba tertawa 
sendiri. “Nanti mami buta.” 
“Kalau gitu jangan nangis dong.” 
“Tidak, nak. Tidak lagi.” 
“Eeeyy, jadi mami benar nangisnya tadi ya?” 
“Ampun ini anak!” 
Dan martini  tertawa terbahak-bahak. 
Ia menangis, la tertawa. Tanpa tempo yang 
terlalu jauh. Dan itu adalah perlambang, betapa ia 
sangat mencintai anak-anaknya. Dan malam itu ia 
utarakan pada suaminya menjelang tidur. Alangkah 
baik, bila mereka berhari Minggu sesekali. 
“Bukankah kau selalu membawa mereka, 
martini ?” tanya syam kamaruzaman .  
“Tanpa kau tidak lengkap, pap.” 
“Hem ...” 
“Sekali ini saja pap. Sudah lebih setahun kita 
tidak berjalan jauh...” 
“Apa rencanamu?” 
“Bali!” 
“Wah. Itu berarti akan makan tempo,” dan 
untuk menguatkan alasannya ia mengingatkan : 
“Jangan ajari anak-anak untuk bolos dari sekolah.” 
“Pap. Sabtu ini mereka pulang jam sepuluh pagi. 
Jam berikutnya kita terbang ke Bali, dan Minggu sore 
pulang. Jangan tolak permintaanku sekali ini, Pap,” 
dan ucapannya seolah-olah memperlihatkan, bahwa 
niat itu terutama bukan saja untuk menyenangkan 
anak-anak mereka, akan namun  juga untuk 
menyenangkan martini  sebagai seorang isteri yang 
sudah jarang mendapat perhatian. syam kamaruzaman  bisa 
memahami keadaan itu, dan ia lalu  
memutuskan : 
“Okey. namun  harus benar-benar sampai 
Minggu sore saja!” 
martini  berseru riang dan mengulum bibir 
suaminya lama-lama. 
Dalam hatinya, ia bersorak : suasana bahagia di 
Bali, akan membuang jauh-jauh keinginan untuk 
melakukan apa yang sudah  ia rencanakan bersama 
chucky . Alangkah terkutuknya. Seharusnya bertemu 
di bar, bercakap-cakap dengan leluasa mengadukan 
hal masing-masing, sudah lebih dari cukup. Mereka 
seharusnya hanya berhubungan sebagai teman-kalau 
perlu sebagai saudara. Tidak lagi harus tergugah oleh 
masa lalu, yang sudah  pernah berhasil dibunuh martini ! 
la segera mempersiapkan segala kebutuhan 
mereka untuk berweekend itu sementara suaminya 
mengebut pekerjaan sebanyak mungkin agar dua hari 
waktu yang ia pergunakan tidak akan merepotkan 
asisten-asistennya. Dalam keadaan terdesak, ia 
menunjuk seorang dokter bedah pengganti. Begitulah 
hasil laporan syam kamaruzaman  pada martini , hari pertama. Dan 
hari kedua ia muncul di rumah dengan wajah lesu dan 
mata yang takut-takut menatap martini . 
Berdebar dada martini . 
“Ada apa, pap?” 
“Atasan menugaskan aku untuk meninjau 
praktek bedah baru oleh dokter-dokter Jepang di 
Tokyo.” 
“Bukankah itu suatu kesempatan?” 
“Benar. Masalahnya, soal waktu.” 
“Maksudmu 
Dengan suara menyesal, syam kamaruzaman  menerangkan : 
“Aku harus berangkat sore ini juga, dan baru 
bisa kembali Minggu pagi lusa!” 
martini  terduduk dengan tubuh lemas. 
“Maafkan aku, martini .” 
martini  berdiam diri. Bibirnya kering. 
“Penugasan itu mendadak. Bukan kehendak, ku. 
Barangkali, di lain Minggu kita…” 
“Ya. Ya. Barangkali,” dan martini  bangkit ter-
huyung-huyung dari kursi. “Barang-barang apa saja 
yang akan kau bawa?” 
Dan tanpa menunggu jawaban suaminya, martini  
menyeret kakinya masuk ke kamar kerja syam kamaruzaman . 
Pagi-pagi, seorang wanita lesbian  muda sudah  hadir 
di rumah mereka, la adalah baby-sitter yang pernah 
diceritakan oleh martini  pada chucky . Sudah biasa 
bertugas di rumah mereka manakala anak-anak 
sebab  sesuatu keperluan tidak bisa ditemani ibu 
mereka. 
“Kau agak pucat, zus Renny,” sambut martini  
saat  tamunya masuk. 
“Ah. Hanya sedikit pusing. namun  tak akan 
mengganggu, saya harap.” 
“Okey, kalau begitu. Segala yang kau butuh kan 
sudah tersedia seperti biasa. Dan mobil tidak dipakai 
oleh papinya anak-anak. Seorang supir dari rumah 
sakit akan menemani bila perlu.”  
“Terimakasih.” 
“Mudah-mudahan tidak mengganggu masa 
pengantin zus Renny. Tentu masih sono-sonoan 
dengan sang suami ya?” 
“Ah. Sudah lewat waktu bulan madu, Tante.” 
“Syukurlah.” 
Dan hari itu martini  meninggalkan rumah dengan 
pikiran tenteram terhadap keselamatan anak-
anaknya, namun bercampur dengan keresahan yang 
menggebu-gebu, kalau teringat akan apa yang bakal ia 
perbuat. Tidakkah ini merupakan suatu 
pengkhianatan? namun  ia sudah  bertemu dengan 
chucky . Dan bukan sekali dua. Itu saja sudah bisa 
dicap penghianatan. Sekarang, kepalang basah ... 
Lagipula, mas syam kamaruzaman  itu! Kariernya adalah yang 
pertama-tama. Anak isteri, harus puas dengan 
menempati urutan kedua. Mungkin yang ketiga, 
sesudah  dirinya sendiri! 
“Kau sedikit terlambat,” sambut chucky  waktu 
mereka bertemu di darmo . 
“Aku harus ke wisma dahulu . Memberikan alasan 
ketidak hadiranku.” 
“Yang penting, kau sudah  datang, Lies.” 
Dan dengan taksi mereka ngebut ke Puncak, 
dan langsung ke bungalow mungil yang mereka 
rencanakan semula. Letaknya agak jauh dari jalan raya 
utama, melalui jalan tak beraspal yang berliku-liku, 
dan persis berada di kaki sebuah bukit. Bukit itu 
merupakan dinding belakang bungalow, dan latar 
depan sesudah  pekarangan yang diisi tanaman bunga 
anggrek adalah sebuah lereng yang tidak begitu terjal 
yang bertemu dengan persawahan yang padinya 
sudah mulai menghijau. 
Pemandangan di situ betapa amat menarik hati. 
namun , chucky  dan martini  tidak bernafsu untuk 
melihatnya. Begitu turun dari mobil, mereka langsung 
masuk ke bungalow. Dan sesudah  penunggu bungalow 
menyerahkan anak kunci, chucky  membuka pintu, 
dan dengan elegance sedikit membungkuk 
mempersilahkan martini  : Lady first! Pintu lalu  
tertutup di belakang mereka, dan suasana remang-
remang di dalam tidak memerlukan tempo lama untuk 
menggugah hati kedua anak manusia itu. Mereka 
berdiri berhadap-hadapan, saling tatap dengan 
kelopak mata tidak berkedip, dan lalu  tas 
tangan milik martini , terjatuh ke lantai waktu mereka 
saling merenggut dalam sebuah pelukan yang seperti 
tidak akan terlepaskan lagi.  
Untuk pertama kali sesudah  lebih sepuluh tahun, 
bibir mereka saling berpagut. 
Semacam kerinduan yang tidak tertahankan, 
segera menyusul. 
Masih berpelukan, mereka saling menyeret 
tubuh ke kamar tidur yang pintunya terbuka. 
“chucky  ...,” desah martini  sengau. 
“martini !” balas chucky , terengap. 
Entah siapa yang memulai, mereka sudah  tidak 
saling berpakaian selembar benang pun lagi. martini  
menangis saat  ia merebahkan tubuhnya di atas 
ranjang. 
Dan ia masih menangis, saat  lebih dari satu 
jam lalu  ia memeluk chucky  dengan tubuh yang 
lemah lunglai sambil  berbisik terputus-putus di telinga 
Laki-laki  itu : 
“Demi Tuhan, sayangku, belum pernah aku 
sebahagia hari ini!” 
Hari yang bahagia itu mereka isi seluruhnya di 
dalam bungalow. Bukan sebab  mereka tidak tertarik 
dengan panopeniwise  di luar. Bukan pula sebab  mereka 
takut seseorang yang mengenali diri mereka 
dikirimkan Tuhan untuk lewat di sekitar bungalow. 
namun , hari yang berbahagia itu, hanya bisa dinamakan  
demikian, sebab  kebahagiaan itu habis mereka cicipi 
di dalam. Sekali mereka ke luar dari pintu, maka 
mereka akan kehilangan sebahagian dari kebahagiaan 
yang sangat berharga itu! 
Namun begitu, waktu terasa berlalu sangat cepat. 
Menjelang tiba di rumah sore harinya martini  tidak 
merasa perlu mendandani dirinya secara berlebihan 
selagi duduk di jok belakang taksi yang membawanya 
sesudah  berpisah dengan chucky  di darmo . 
Kebahagiaan yang meluap-luap membuat keinginan 
nya sangat keras untuk menyaksikan wajahnya saat itu 
di depan kaca toilet kamar tidurnya. la ingin tahu, martini  
yang bagaimanakah ia sekarang, sesudah  ia menikmati 
kebahagiaan yang tiada bertara dalam hidupnya 
selama ini.  
Dan martini  tidak pernah sempat berkaca. 
Baby-sitter yang bernama Renny itu tidak lagi 
menemani anak-anaknya saat  martini  masuk melalui 
pintu yang menganga terbuka. Mobil mereka ada di 
depan, namun  juga ia tidak melihat supir rumah sakit. 
Di pekarangan, pembantu rumah tengah menyiram 
kembang-kembang dan sebab  ia membelakangi jalan 
wanita lesbian  tua itu tidak mengetahui kehadiran martini . 
Dan martini  pun tidak perlu bertanya pada 
pembantunya, mengapa Renny tidak menunggu 
sampai martini  pulang sebagaimana yang sudah  ia 
instruksikan. 
Tiadanya Renny, diterangkan langsung oleh 
ayah anak-anaknya! 
syam kamaruzaman  tengah main halma bertiga dengan 
peniwise  dan Pranajaya, saat  martini  masuk ke ruang 
tengah. Kedua anak itu tekun menghadapi permainan, 
akan namun  syam kamaruzaman  yang wajahnya tampak kusut, 
melihat kehadiran martini . Ia menoleh, memperhatikan 
isterinya hanya secara sambil lalu. Hanya sambi Ialu. 
Lantas sambil menjalankan biji dadu untuk 
gilirannya, ia bertanya juga sambil lalu : 
“Kukira kau tak akan pulang secepat ini, martini .”  
martini  berdiri mematung, tak bisa menghindari 
kegugupan di matanya. Bahkan ia pucat saat  itu, 
namun  untunglah suaminya berusaha menekuni 
permainan seperti anak-anak mereka, sehingga 
perubahan yang sekejap terjadi di wajah martini , tidak ia 
perhatikan. Atau, pura-pura tidak ia perhatikan? 
martini  hampir-hampir tak sanggup mengatur nafas. 
LALU sambil berjalan ke pintu kamar tidurnya, ia 
berkata  :  
“Tidak dinas, pap?”  
“Terpaksa tidak!” 
martini  tertegun. Kembali gugup, lalu bergegas 
masuk ke kamar. Di kaca, ia lihat, betapa pucat 
wajahnya, la berusaha merapihkan diri, memupuri 
wajahnya dengan powder dan eye shadow untuk 
menutupi keterkejutan. 
Baru sesudah  itu ke luar, berusaha tenang dan 
ikut asyik melihati permainan halma itu, ia 
mengemukakan rasa ingin tahunya:  
“Renny sudah pulang?”  
“He-eh. Tengah hari ia menelephone ke rumah 
sakit. Katanya tidak enak badan. Sesudah  kudesak, ia 
baru mengakui bahwa ia tengah hamil muda. Apa 
boleh buat, terpaksa kuijinkan ia pulang.”  
“Oh!” 
Sepi sebentar. Lalu : 
“Ee, koplok!” seperti biasa, peniwise  
menghardik adiknya. “Kau turun tangga sampai di sini 
...,” dan ia menggeser ke bawah biji halma Pranajaya. 
Untung, kali ini adiknya mengaku salah. 
“Aku sudah coba hubungi kau ke Wisma ...” 
celetuk syam kamaruzaman . 
“Aku tak di sana, pap. Aku membezuk seorang 
teman yang sakit.” 
“Mereka juga mengatakan begitu,” ia tiba-tiba 
menegor peniwise  : “Eh, kau jangan licik,” dan ia 
geser biji halma anaknya yang juga terkena kotak 
larangan. peniwise  garuk-garuk kepala sambil  
tersenyum-senyum kecut, sementara Pranajaya 
menjulurkan lidahnya ke depan muka abangnya. 
peniwise  melotot, dan hampir naik pitam kalau tak 
keburu ayahnya memperingatkan : “Hayo, giliranmu 
sudah tiba lagi!” 
Tidak ada keinginan martini  untuk tertawa melihat 
tingkah laku anak-anaknya yang tidak pernah kompak 
itu. 
sebab , sebelum perutnya digelitik oleh rasa 
geli, syam kamaruzaman  sudah melanjutkan : “Aku sudah  
mencoba menyusun sejumlah daftar, martini .” 
“Daftar?” 
“Alamat teman-teman terdekatmu, sejauh yang 
kuketahui. namun  sesudah  menelephone mereka satu 
persatu, mereka semua bilang mereka sehat-sehat 
saja, dan tidak melihat kau hari ini ...” 
martini  terjebak. 
namun  ia tidak mau menyerah semudah itu. 
“Pap, kau toh tidak bermaksud menuduh…”  
“Aku tak berkata begitu.”  
martini  kini terjepit. 
Untuk menghindar dari kesulitan itu, ia 
mengalihkan persoalan : “Mana nyi girah ?” 
Acuh tak acuh, syam kamaruzaman  menyahut: 
“Justru sebab  dialah aku pulang. Kata zus 
Renny, suhu badan nyi girah  meninggi. Sesudah  kuberi, 
obat, baru turun lagi. Tak usah cemas, la sudah tidur 
nyenyak di kamarnya…” 
Namun toh berlari juga martini  ke kamar. 
Benar. nyi girah  tidur nyenyak, dan suhu badannya 
agak panas. 
martini  menggigit bibir. Dalam hati, ia menjerit : 
“Anakku. Maafkan dosa ibumu yang terkutuk ini!” 
Tidak habis sampai di situ rasa penyesalan martini . 
Suaminya tak lama lalu  pamit untuk kembali ke 
rumah sakit. Namun sebelum pergi ia toh masih 
sempat menyatakan “sympathi”-nya : 
“Kuharap penyakit temanmu itu sudah sembuh, 
martini .” 
Akibatnya, martini  menangis tersedu-sedu di 
kamar anaknya. 
hari demi hari berlalu tanpa terjadi sesuatu 
yang ditakutkan martini  datang dari pihak suaminya. 
syam kamaruzaman  bersikap biasa saja, seolah-olah tidak 
terjadi sesuatu yang patut ia curigai, la tetap 
melakukan kesibukan-kesibukannya dan kalau berada 
di rumah tetap dengan kebiasaan-kebiasaannya. Bila 
tidak sedang dicekoki persoalan pekerjaannya, peniwise 
pada anak-anak dan berusaha membimbing mereka 
dalam pelajaran sekolah yang sulit-sulit. Terhadap 
martini , sikapnya tidak mengalami perubahan. Namun 
jauh di dasar sanubari wanita lesbian  itu, tergurat sebuah 
luka. Tiap kali berpandangan mata dengan suaminya, 
tiap kali ia melihat sesuatu yang tersembunyi di balik 
mata itu. 
Betapa inginnya ia agar syam kamaruzaman  mengemuka 
kannya terus terang. Dan ia akan berkata jujur tentang 
segala-galanya.  
Ia bahkan berani untuk menyatakan ini : 
“Terserah kau, pap. Aku memang bersalah, dan 
apapun yang ingin kau lakukan atas diriku, akan 
kuterima dengan pasrah.” 
namun  syam kamaruzaman  tetap kebungkamannya yang 
misterius. 
Dan martini  semakin tersiksa. Meskipun ia melihat 
adanya perubahan lain pada kebiasaan suaminya 
sesudah  hari berbahagia yang penuh dosa bagi martini  
itu, si wanita lesbian  tetap tertekan bathinnya. Hampir 
hampir tidak ada artinya baginya hal-hal yang baru ini 
: syam kamaruzaman  berusaha semakin sering didekat isteri dan 
anak anaknya, ia akan menelephone dari rumah sakit, 
seperti mula-mula mereka kawin, untuk mengatakan 
jam berapa ia akan pulang, atau apakah ia akan makan 
siang di rumah atau di kantin saja. Malam hari, ia tidak 
lagi ngorok di sofa dengan majalah atau suratkabar 
terhampar kian kemari. Juga ini: Dering telephone 
yang selama ini kebanyakan sangat dibenci martini , 
mulai pula dibatasi syam kamaruzaman  untuk melayani. 
Perasaan berdosa itulah yang mendorong martini  
untuk melanggar janji kencan dengan chucky , 
sebagaimana yang mereka ikrarkan tersama saat  di 
Puncak. Jangankan ke bungalow. Ke bar yang penuh 
pengertian di darmo  itupun, martini  sudah bersumpah 
tidak akan menginjaknya lagi seumur hidup. Tentu saja 
; bila chucky  menunggunya di sana, tanpa kehadiran 
syam kamaruzaman , suami martini . 
Sekali waktu, chucky  nekad menelphone ke 
rumah martini . 
Untung ia sendiri yang menerima, dan tidak ada 
orang di rumah kecuali pembantu. 
“Ya Tuhanku. Aku sudah demikian cemas 
memikirkan kau. Kusangka kau jatuh sakit, atau apa 
...” 
“Aku sehat-sehat saja, chucky . Berkat do'amu.” 
“namun  mengapa ...” 
“Kumohon, chucky ,” ujar martini  sungguh-
sungguh. “Putuskan hubungan telephone ini. Dan 
akhiri segala dosa yang sudah  kita perbuat.” 
“Lies…!” 
“Perlukah aku datang untuk bersujut di telapak 
kakimu, chucky ? Kalau memang itu syaratnya, aku 
bersedia!” 
“Hai, apa ini?” 
“Hanya soal sepele, chucky  : Kesetiaan.” 
“Ah ...” 
“Memang tidak lucu kedengarannya. namun  aku 
tidak bermaksud mengumbar kata-kata muluk. 
Ingatlah, chucky . Kau punya isteri dan sejumlah anak-
anak. Tidak. Jangan potong kata-kataku dahulu . 
Kuulangi, kau punya isteri dan anak. Aku juga, chucky . 
Aku masih syah jadi isteri syam kamaruzaman … tunggu, demi 
Tuhan, jangan memutus pembicaraanku,” nafas martini  
sesak di corong telephone. “Perasaanku terhadap mas 
syam kamaruzaman  masih seperti semula. Percayalah, chucky . 
namun  terhadap anak-anakku… Oh!” martini  terisak. 
“Tahukah kau apa yang terjadi dengan nyi girah  saat  
dosa itu kuperbuat di Puncak bersamamu?” ia 
mengurut dadanya yang seperti mau meledak. “Ia 
sakit panas, chucky !” 
“Barangkali suatu kebetulan dan…” 
“Demi Tuhan. Itu naluri. Naluri seorang anak!” 
“Mustahil!” 
“Kau tak akan mengerti. sebab  kau seorang-
laki-laki.” 
“Baiklah. Jangan tersinggung. namun , tak 
mungkin perpisahan kita harus secara ini.” 
“Apa boleh buat, chucky . Akupun merasa berat, 
terlalu konyol dan dungu rasanya.” 
“Sekali saja, Lies!” 
“Tidak…!” 
“Untuk terakhir kali, kalau itu yang kau 
kehendaki!”  
“Tidak ...” 
“Kumohon padamu, Lies.” 
“Okey. Berjanjilah, untuk terakhir kali. Dan 
hanya untuk berjabatan tangan sebagai tanda 
perpisahan terhadap masa-masa manis yang kita 
jalani, sekaligus tanda persaudaraan untuk masa-masa 
datang...” 
Ada keluhan dalam di seberang sana. Lalu : 
“Aku setuju.” 
“Kapan?” 
“Hari ini juga!” 
Itu lebih baik. Makin cepat, makin mudah 
menetapkan pendirian. Terutama, sesudah  martini  kini 
digantungi dosa yang kian memberat itu, dan dicekoki 
oleh penyesalan tiada tara. Tidak akan chucky  bisa 
merubah pendiriannya lagi. 
Masih punya waktu dua jam sebelum 
menjemput anak-anak ke sekolah, martini  segera 
mengebut mobilnya ke darmo . Tidak lagi 
mempergunakan taksi. Toh, pertemuan ini adalah 
untuk tujuan baik, bukan lagi untuk ... Wahai, betapa 
mengerikannya kebahagiaan itu. Betapa terkutuknya 
karunia yang penuh kenikmatan itu! 
martini  menggigit bibirnya keras-keras, agar tidak 
sampai menangis. 
la harus tabah di hadapan chucky . 
namun  sesudah  berada di balik box tertutup itu, 
chucky  melakukan sebuah gerakan yang tidak terduga 
oleh martini . Dibantu oleh suasana bar yang memang 
sedang tiada pengunjung sebab  masih terlalu pagi, 
chucky  langsung saja memeluk martini  dan menekan 
tubuhnya ke tembok. martini  meronta namun  ia merasa 
malu untuk berteriak. Dan mana kala bibirnya 
terbenam dalam kuluman bibir chucky  yang panas 
berapi api, ia bahkan tidak teringat lagi untuk 
menjerit. 
la justru membalas pelukan Laki-laki  Itu. 
Menyambut ciumannya dengan segenap rasa 
cinta. 
“Kekasihku. Kekasihku…,” desahnya lalu . 
Dan ia benar-benar menangisi!  
Bukan itu saja. 
“Ada hotel beberapa ratus meter dari sini, Lies,” 
bisik chucky . 
“chucky , jangan ...” 
“Aku bisa gila kau kau menolak, Lies!” 
“namun ...” 
“Jangan mendustai dirimu.” 
Dan mereka ngebut ke hotel yang dimaksud 
demikian tergesa-gesa sampai martini  lupa mereka 
mempergunakan mobil suaminya. Betapa tidak. Di 
mobil chucky  menyatakan betapa inginnya ia bercerai 
saja. Dengan martini  melarikan diri ke tempat jauh, 
betapa tidak berbahagianya ia selama sepuluh tahun 
ini, dan betapa indahnya hari-hari yang sekarang tak 
ubahnya karunia Tuhan yang tiba-tiba dijatuhkan dari 
langit untuknya. Untuk martini . Untuk mereka berdua. 
Hanya mereka berdua! 
Mereka sudah siap memasuki pintu sebuah 
kamar diantar oleh seorang pelayan, saat  seseorang 
berseru : 
“Hai, bung chucky . Ngapain di sini?”  
Celakanya, pelayan sudah membuka pintu 
kamar, bahkan sudah mempersilahkan chucky  dan 
“isteri”  sebagaimana ia cantumkan di buku tamu , 
saat  orang itu datang mendekat dan lalu  
berhadap-hadapan dengan chucky  yang wajahnya 
mendadak berubah kecut. 
“Aku ah. Perkenalkan. Ini, martini .”  
Laki-laki setengah baya dan berkacamata itu, 
memperhatikan martini  dengan seksama. Tiba-tiba, ia 
tersenyum kecil, dan bermain mata dengan chucky , sambil menyindir : “Seorang mahasiswi untuk teman 
berpraktek lagi, chucky ?” dan ia mengulurkan tangan 
untuk berjabatan dengan martini . Dan segera terkejut 
waktu menyadari betapa pucat wajah dan betapa 
gemetar tubuh si wanita lesbian . Butir-butir air 
mengambang di sudut-sudut mata martini . 
“Maafkan Nona, saya tidak bermaksud…” 
Ucapan itu tidak perlu ia lanjutkan. sebab , 
sesaat  martini  sudah menghambur meninggalkan 
mereka, dan berlari-lari seperti maling dikejar hansip 
menuju ke mobil yang diparkir di halaman hotel. 
Disaksikan pandangan mata orang-orang yang 
keheranan, martini  menghidupkan mesin mobil, 
membelok ke jalan besar dengan suara ban yang 
menjerit-jerit lengking, lalu  terbang membelah 
lalu lintas yang peniwise i seperti seorang pembalap yang 
sudah ketinggalan beberapa lap dari lawan-lawannya. 
chucky , dengan wajah pucat pasi, menarik 
temannya kebalik sebuah tiang beton besar dan tinggi. 
“Demi setan!” ia memaki “Apa yang kau 
lakukan?” 
Bingung, temannya menyahut: 
“Aku kira ia salah seorang mahasiswi nakal yang 
berhasil kau rayu seperti biasa, jadi ...” 
“Kau pikir kau suci, eh?”  
“Memang tidak. namun  dengan anak didik 
sendiri…”  
“Setan alas! Ia kekasihku semenjak selusin 
tahun berselang. Bodoh. Jadah!” dan selusin pula 
umpat caci yang ia lontarkan sambil  menyingkir dari 
hotel melalui halaman samping. Betapa malunya 
chucky . Tidak saja terhadap orang-orang di situ. 
namun  terutama terhadap martini . Benar, ia suka main 
wanita lesbian  selama beberapa tahun terakhir, tapi 
semua itu sebab  tiada kebahagiaan dalam rumah 
tangganya. Dengan martini , ia bersungguh-sungguh, dan 
akan berusaha dengan segala daya upaya untuk 
memperoleh wanita lesbian  itu. 
la akan mengobarkan kecemburuan suaminya, kalau 
perlu, dan kalau perlu lagi, ia akan bersabar untuk 
menunggu sampai martini  kembali sendirian, dan ia bisa 
melamarnya, sebagar isterinya yang tercinta. Sama, seperti rencana yang sudah pernah, ia pikirkan masa 
selusin tahun berselang.  
Dan hanya dalam tempo beberapa detik, semua 
itu buyar berantakan! 
martini  tidak ke sekolah. 
la langsung ke rumah sakit, dan bersabar 
menunggu suaminya ke luar dari kamar operasi. 
Matanya sembab saat  akhirnya mereka 
bertemu. syam kamaruzaman  memandang martini  dengan wajah 
terheran-heran. 
“Ada apa, sayangku? nyi girah  panas lagi?”  
martini  memeluk suaminya. 
Tersendat, ia berkata.  
“Aku sudah  berdosa, pap. Aku …” 
Aku syam kamaruzaman  tersenyum polos. Dan, berkata 
lembut. 
“Aku tahu. Dan aku juga tahu, sesudah  
menyadari dosa-dosamu, kau akan menemuiku. 
Sudahlah. Jangan pula menangis di sini. Tidakkah kau 
lihat, sarung tanganku bergelimang darah? Dan eh…” 
ia mengangkat dagu isterinya, menatap mesra ke 
matanya : “Sudah waktunya anak-anak dijemput, 
mam. Kita ke sekolah bersama-sama, ya?” 
pada pandangan yang pertama, mereka berdua 
sudah sama-sama memutuskan untuk menerima 
lamaran pekerjaan yang diajukan laki-laki yang 
memperkenalkan diri dengan nama dul latief  itu. la 
berumur 30 tahun dan sudah  melalui masa dua tahun 
bekerja sebagai seorang supir taxi liar sebelum 
membaca iklan di surat kabar yang kini ia paparkan di 
atas meja tamu dengan menambah sedikit alasan : 
“Saya sudah lelah memburu setoran yang tidak 
selalu bisa saya penuhi. Soalnya, taxi semakin banyak. 
Sudah waktunya saya mencari penghasilan yang 
tetap...!” 
Alasan yang benar-benar terlalu sedikit, namun  
cukup masuk akal. Bagi nyi kembang  alasan dul latief  itu 
sebetulnya  tidak urgent betul. Apa yang mendorong 
hatinya untuk sesaat  menerima lamaran Laki-laki  itu 
adalah wajah dul latief  yang lembut, tatapan matanya 
yang ragu-ragu sehingga sekali pandang tampaknya ia 
adalah seorang laki-laki yang mudah diatur.  
Lain halnya dnngan tiny . Begitu membuka 
pintu untuk tamu itu seperempat jam berselang ia 
sudah terkesan oieh bentuk tubuhnya yang atletis 
lalu  langkah jalannya yang gagah saat  
melangkah masuk dan ragu-ragu sebelum dipersilah 
kan duduk. Namun ada satu hal yang paling pokok dan 
satu-satunya pula hal yang sama dalam pandangan 
kedua wanita lesbian  itu : dul latief  benar-benar seorang 
Laki-laki  yang tampan! 
Sesudah  nyi kembang  saling pandang dengan 
tiny , pelan-pelan ia bertanya :  
“Berapa permintaan gaji yang kau ingini?” 
Andai saja laki-laki itu mengajukan harga yang 
tinggi, tentulah nyi kembang  tidak akan menampiknya. 
Namun tentu pula ia harus berbincang-bincang dahulu  
dengan tiny  untuk mendapatkan persetujuan dari 
anak gadis lesbian nya itu, sekedar agar ia tidak tampak terlalu 
otoriter dan terlalu bernafsu untuk menerima 
kehadiran Laki-laki  itu. Bisa-bisa anak gadis lesbian nya menjadi 
curiga. 
Di luar dugaan, dul latief  menjawab : 
“Posisi saya adalah sebagai orang yang 
menadahkan tangan. Jadi soait jumlah gaji, saya 
serahkan kepada orang yang akan memberi!” 
Jawabannya tegas. Dan sangat diplomatis.  
tiny  mendehem kecil, sebellum bertanya: 
“Suka ngebut tidak?” 
Laki-laki itu ragu-ragu sebentar. Lalu : 
“Tergantung …” 
“Ya?” 
dul latief  menjelaskan : 
“Tiap ada penumpang yang naik ke taksi saya, 
saya akan selalu mengajukan pertanyaan yang sama : 
slow saja, Tuan? namun  sekali seorang penumpang 
tampak sangat terburu-buru, maka saya akan 
langsung tancap gas. Apalagi kalau sudah penumpang 
sendiri yang minta. Malah pernah ada yang maksa 
saya lari seratus di tengah-tengah lalu lintas yang 
peniwise i.” 
“Gila!” 
“Apa boleh buat. Maunya penumpang. 
Namun...,” dul latief  tersenyum kecut. “Tak jarang pula 
terjadi, Bandung-Lembang yang biasanya memakan 
tempo seperempat jam, harus saya tempuh dalam 
satu jam lebih. Penumpang yang ini mungkin punya 
turunan dengan siput…” 
nyi kembang  dan tiny  tertawa berbareng, dan 
keputusan pun dibuat: 
“Okey. Anda kami terima!” 
Satu dua hari pertama, segalanya berjalan 
lancar. dul latief  ganti berganti mengantarkan kedua 
wanita lesbian  itu. nyi kembang  ke butik yang sudah 
bertahun-tahun ia usahakan tak jauh dari Braga. 
Kadang-kadang ke pertemuan dengan organisasi 
wanita, dan arisan-arisan. tiny  punya Honda 
bebek yang ganti setengah tahun sekali, namun  
semenjak kehadiran dul latief  ia mulai manja. 
Jangankan shoping atau pergi ke kuliah. Pergi ke 
rumah teman pun ia minta di antar. dul latief  appel 
tiap jam tujuh pagi di rumah anak beranak itu dan 
mengakhiri pekerjaannya sekitar jam sepuluh malam, 
sesudah  mana ia lalu  boleh pulang ke rumah di 
mana katanya ia kost di Tegal lega. 
Sampai pada suatu malam, penyakit pusing-
pusing yang sudah rutine mendatangi nyi kembang , 
muncul sekonyong-konyong sedangkan persediaan 
obat di rumah sudah habis. tiny  buru-buru 
menelephone dokter langganan ibunya, namun  
ternyata telephone rusak. Terpaksalah tengah malam 
itu juga tiny  mengebut mobilnya ke rumah dokter 
dan menjelang subuh penyakit ibunya mulai reda. 
namun  sebuah putusan mereka kompromikan dari 
kejadian malam itu : dul latief  tidak boleh jauh-jauh 
dari mereka, agar sesewaktu diperlukan ia selalu 
hadir. Jadi satu-satunya jalan adalah menawarkan 
posisi baru bagi laki-laki itu. 
Pagi-pagi, saat  ia muncul dan ikut sarapan, 
pada dul latief  diajukan pertanyaan setengah 
memohon ini: 
“Apakah kau keberatan tinggal bersama kami? 
Ada kamar yang bisa kau tempati. Makan tak usah 
bayar…” 
dul latief  tidak menolak. Alasannya kali ini juga 
masuk akal, tepeniwise t masuk akal: 
“Kebetulan sekali. Ongkos indekost semakin 
melangit saja sekarang ini.”  
Namun tentu sebagai seorang laki-laki yang 
tahu harga diri --setidak-tidaknya sebagai orang Timur 
yang bisa menjaga sopan santun, ia merasa perlu 
untuk menambahkan basa-basi ini : “namun  saya 
merasa diberi kehormatan terlalu tinggi. Padahal saya 
belum lama bekerja dan Anda berdua belum kenal 
betul dengan pribadi saya.” 
Hanya Tuhan yang tahu, mengapa anak beranak 
itu menjawab serempak : “Lebih dekat akan lebih ...” 
dul latief  mengernyitkan dahi, memandang 
kedua orang wanita lesbian  itu, yang menjadi tersipu-
sipu sebab nya. Dengan bijaksana nyi kembang  
mengulangi apa yang ia dan anak gadis lesbian nya tadi ingin 
katakan: 
“Maksud kami, bukankah semakin berdekatan, 
semakin mudah untuk mengenal pribadi masing-
masing?” ia lalu  tersenyum. Manis, dan 
berusaha agar sinar matanya tidak tampak terlalu 
gembira waktu melanjutkan : “Jadi, bung dul latief  
tidak keberatan tinggal bersama kami. Kapan kau 
bermasksud pindah? Maksud saya, agar mbok Paijah 
kami suruh mempersiapkan kamar untukmu…” 
Pembantu rumah yang sudah tua itu sudah  
merapihkan kamar yang akan ditempati dul latief  pada 
hari itu juga. namun  laki laki itu baru menempatinya 
tiga hari lalu , dengan alasan ia harus memberes 
kan segala sesuatunya di tempat lama. nyi kembang  dan 
tiny  kembali sama-sama maklum; tentulah 
dul latief  tidak ingin ketahuan, betapa bernafsunya ia 
untuk segera bisa pindah ke rumah mereka. Begitu 
dul latief  menempati kamar yang cukup besar dengan 
segala perabotan yang sudah disediakan lengkap, 
maka laki-laki itu pun rupanya tahu membalas budi 
juga. Pada waktu Mercedez mereka menganggur, 
maka dul latief  membantu pekerjaan tukang kebun di 
pekarangan depan dan di belakang rumah. Sehingga, 
malang bagi tukang kebun itu. Meskipun ia diberi 
pesangon setahun gaji, ia terpaksa harus melepaskan 
pekerjaannya dengan hati berat. Majikannya bukanlah 
orang yang suka mengeluarkan uang dari sela-sela jari 
yang dirapatkan dengan dahi dikerutkan. Lebih sering 
memberi hadiah daripada melemparkan kata-kata 
kemarahan. 
Untunglah nyi kembang  memberikan jalan :  
“Bawa surat ini ke Tuan Harjadinata di 
Supratman. la akan menerimamu bekerja di sana…” 
Tukang kebun itu sangat berterimakasih. 
Tadinya dalam hati ia sudah hampir mengutuk 
dul latief . Kehadiran orang itu sudah  merampas 
kebahagiaannya. Kini, ia meninggalkan rumah itu 
dengan dada yang agak lebih lapang, dan  
mendo'akan kebahagiaan dan  panjang umur bagi 
kedua orang majikannya, la tidak pernah tahu, di kelak 
lalu  hari bukan saja kebahagiaannya yang sudah  
dirampas orang baru itu, akan namun  juga kebahagiaan 
kedua orang majikannya. Dan perampasan yang 
dilakukan dul latief  itu betapa kejam. Betapa 
mengerikan! 

Dalam waktu yang singkat, dul latief  sudah bisa 
mengenal pribadi kedua orang wanita lesbian  yang 
menjadi majikannya. Di antara nyi kembang  dan tiny  
terdapat perbedaan umur yang sangat menyolok. 
Sang ibu sudah mencapai usia 45 tahun, namun sangat 
telaten merawat diri dengan bantuan kosmetik kelas 
satu dan rajin ke salon dan belakangan ia ketahui juga 
suka minum jamu. Tidak heran kalau wanita lesbian  ini 
tampak sepuluh tahun lebih muda. Pakaiannya sering 
diganti. Kadang-kadang tiga empat kali sehari. 
Tergantung berapa kali ia pergi ke luar rumah, 
terutama ke butik tempat ia menduduki jabatan 
sebagai direktris dan pemegang saham terbesar 
sesudah  anaknya tiny . namun  saham yang dinamakan  
terakhir ini baru bisa jadi milik penuh tiny , jika  
tiny  sudah menikah dengan sepertujuan nyi kembang . 
tiny  sendiri yang menentukan syarat itu sebagai 
tanda bakti seorang anak terhadap ibunya yang sudah 
hidup menjanda. Anak itu tidak ingin mengabaikan 
kedudukan nyi kembang  sebagai seorang ibu yang tidak 
ada pelindungnya lagi, kecuali tiny  sendiri. 
Pada minggu-minggu pertama dul latief  bekerja 
di rumah itu sebagai supir pribadi merangkap tukang 
kebun, ia bisa mengetahui bahwa ada beberapa orang 
Laki-laki  yang secara tetap berhubungan dengan janda 
yang sudah berumur akan namun  masih tetap cantik 
dan bertubuh sintal itu. Mula mula ia menduga 
tentulah Laki-laki -Laki-laki  itu sanak famili, kenalan biasa 
atau bussines-bussines man biasa. namun  dari hasil 
sesekali nguping ia lalu  bisa memaklumi sejauh 
mana kedudukan orang-orang itu dalam diri nyi kembang . 
Tuan Suparja misalnya, seorang duda dengan tiga 
orang anak dan bekerja sebagai manager sebuah 
perusahaan tekstiel, tepeniwise t berminat untuk 
memperisteri wanita lesbian  itu. namun  nyi kembang  lebih 
mementingkan Laki-laki  itu sebagai jalan termudah 
memperoleh bahan baku yang baik dengan harga 
murah untuk butik yang ia jalankan. 
Lain halnya dengan Tuan Ferdian, seorang Laki-laki  yang suka bicara soal politik dan kesibukannya 
menjelang Pemilihan Umum sebagai seorang Perwira 
Menengah, la rupanya bekas teman sekerja suami 
nyi kembang  di ketenteraan, sebelum laki-laki yang 
dinamakan  terakhir ini meninggal dalam sebuah 
kecelakaan mobil dan sudah  dianggap orang dekat 
dalam keluarga mereka. Mata dul latief  yang tajam 
bisa melihat, andaikata tuan Ferdian yang berpangkat 
Kolonel itu tidak terikat oleh disiplin yang keras 
dengan keharusan beristeri satu, maka dalam waktu 
yang singkat ia sudah bisa menjadi penghuni tetap 
rumah nyi kembang . Akan namun , hal itu bukan merupakan 
halangan buat tuan Ferdian untuk sesekali 
“berkunjung” ke tempat tidur janda tua berwajah 
cantik dan bertubuh sintal itu. 
Hal ini rupanya diketahui juga oleh anak 
gadis lesbian nya, tiny . 
namun  sekali waktu, dalam pembicaraan yang 
entah mengapa menjadi intim antara dul latief  dengan 
gadis lesbian  yang menginjak usia 21 namun  belum berniat 
untuk hidup sendiri itu, tiny  mengemukakan 
pendiriannya: 
“kanjeng mami  seorang manusia biasa, la bukan 
seorang Dewi, dalam arti ingin mempertahankan 
kesucian, la butuh penyaluran. Sekurang-kurangnya, 
ia membutuhkan seorang teman…” 
“Bukankah ada Nona?” 
“Aku? Paling-paling untuk membicarakan soal 
mode, soal tingkah laku teman-temannya soal 
pergantian menu di rumah, dan kadang-kadang soal 
masa depanku. Lucu, kalau kami bicara soal 
kebutuhan akan sex!” 
“Toh tak ada salahnya. Nona sudah dewasa 
untuk itu.” 
gadis lesbian  itu tersenyum riang. 
“kanjeng mami  punya lingkungan sendiri, demikian juga 
aku. Dan kami ingin berdiri di lingkungan kami masing-
masing. Saling menghormati. Tidak saling mengusik. 
Dengan demikian kami bisa terhindar dari usaha saling 
cakar-cakaran. Kau kan tahu, kami sama-sama 
wanita lesbian !” 
Dan mereka sama-sama berjalan terpisah. 
nyi kembang  dengan tuan Ferdian, dan tiny  dengan 
Laki-laki -Laki-laki  yang sebaya dengan dirinya. Anton, 
temannya satu kuliah, Lukman Santosa yang masih 
terhitung famili, Hardianto yang menjadi pelatih tetap 
tiny  mempergunakan senjata api di Perbakin, dan 
masih ada sederetan nama-nama lagi yang tidak bisa 
dihapal satu persatu oleh dul latief . Dalam keadaan-
keadaan tertentu, tiny  suka juga membicarakan 
teman-teman Laki-laki nya itu yang ia layani seadanya 
saja, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang 
gajian. Lebih banyak ia sahuti dengan kata-kata : ya, ah 
masa', tidak, oh ya, begitu? Paling banter ia 
berkomentar sesekali : orang pemarah memang 
begitu, mungkin ia cemburu, habis sih nona 
mengabaikan janji dengannya. 
“Kau juga suka naik pitam kalau pacarmu 
nyalahi janji, bung dul latief ?” tanya gadis lesbian  itu dalam 
sebuah kesempatan. 
“Tergantung ...” 
“Apanya?” 
“Kalau gadis lesbian  saya itu cantik jelita, saya terpaksa 
harus makan hati. Kalau tak kuat nahan hati, cari saja 
pacar yang jeleknya engga ketolongan!” 
tiny  tertawa bergelak. 
“Pacarmu pasti cantik ya?” ia menerka. 
“Oh, tidak.” 
“Yang benar!” 
“Punya juga belum kok!” 
dul latief  sebetulnya  berdusta dengan 
mengatakan ia tidak punya pacar. Kalau tidak punya 
pacar tetap, barulah benar. Soalnya, dul latief  lekas 
bosan dengan seorang wanita lesbian . Terutama, sebab  
ia belum punya penghasilan tetap sebelum ini, dan  
masa depan tidak ada sama sekali, la khawatir tidak 
bisa bertanggung jawab penuh untuk membentuk 
suatu rumah tangga, sedangkan wanita lesbian -
wanita lesbian , sekali jatuh cinta, akan lantas minta 
kawin. Tak heran kalau tiny  mendesak: 
“Bohong kau ya?” 
“Sungguh!” 
“Sungguh-sungguh bohong?” 
“Ya eh, bukan!” 
tiny  tertawa bergelak lagi. Entah mengapa, 
duduknya semakin merapat ke tubuh dul latief . Suatu 
siang, pulang kuliah waktu tiny  ia jemput gadis lesbian  itu 
bukan saja merapatkan duduknya, akan namun  malah 
juga mengajukan sebuah penawaran:  
“Ada film bagus di President Pingin nonton, 
namun  teman-teman yang lain lagi punya acara sendiri-
sendiri. Mau kau temani aku, dul latief ?” 
Dan mereka masuk gedung pertunjukan, teraya 
bergandengan tangan! 
Terus terang saja, perhatian dul latief  tidak lagi 
tertuju ke layar putih selama pertunjukan 
berlangsung. Tangan gadis lesbian  itu tidak mau lepas dari 
genggamannya, belum lagi desah nafas hangat yang 
sesekali menyapu leher. Hanya sebab  tahu 
kedudukannya sebagai orang gajian yang menyebab 
kan dul latief  berusaha untuk tetap tenang dan hanya 
sesekali membalas tatap mata si gadis lesbian  dalam 
keremangan bioskop, la tahu apa arti tatapan mata 
tiny , dan dul latief  agak gemetar jadinya saat  
mereka pulang ke rumah dan sebelum berangkat 
menjemput nyi kembang  ke butik, telinga dul latief  sempat 
mendengar bisikan mendesah dari mulut si gadis lesbian  : 
“Nanti malam, pintu kamarku tidak akan terkunci…” 
goncangan hati yang membahana terus menerus 
mengganggu pikiran dul latief  sementara ia mengebut 
kendaraan milik majikannya ke tengah kota. Tingkah 
laku anak gadis lesbian  majikannya akhir-akhir ini sudah 
menjurus ke satu hal, dan kata-kata : “Pintu kamarku 
tidak terkunci” bukan lagi sebuah ajakan, namun  sudah 
merupakan tantangan. dul latief  pelan-pelan 
menghubungkan tantangan itu dengan masa 
depannya yang suram. Sekarangkah waktunya ia 
mengambil kesempatan? 
namun  tiba-tiba ia berpikir. tiny  sering 
berganti pria. Habis yang satu, ambil yang lain. 
Bukankah ada kemungkinan suatu saat  juga ia akan 
dicampakkan begitu saja? namun  gadis lesbian  ini kaya, cantik 
pula lagi. Sayang, ayah yang membimbing sudah tidak 
ada, sedangkan ibunya lebih sering berada di luar 
rumah. Ke butik, ke rapat organisasi, ke arisan, ke 
salon, menghadiri show-show amal ini dan itu, 
meskipun tampaknya semua kesibukan itu lebih tepat 
didorong oleh keinginan untuk melupakan pikiran-
pikiran buruk hidup menjanda. nyi kembang  lupa, ia lepas 
kontrol terhadap anak gadis lesbian nya tiny . Dan kontrol 
yang lepas itu kini mengalir kejurusan dul latief . 
Tidakkah tiny  terlalu cepat? 
Tiba di butik, barulah dul latief  bisa memahami 
mengapa tiny  seperti berkejaran dengan waktu, la 
disambut senyuman manis yang mengembang di bibir 
nyi kembang . Senyuman manis yang sering diterima 
dul latief  akhir-akhir ini dari wanita lesbian  itu. Di butik, di 
jalan, bahkan di meja makan sehingga tidak luput dari 
perhatian tiny . Biasanya kalau nyi kembang  
tersenyum manis, maka dul latief  sudah siap-siap 
untuk menerima hadiah. Baju baru, sepatu baru, 
kacamata atau arloji tangan. Pernah dul latief  
menyatakan dengan halus : 
“Bagaimana kalau barang itu tak usah di beli? 
Lebih baik uangnya ditambahkan pada Tabanas saya di 
bank…” 
Kali inipun, sambil  membereskan meja 
kerjanya, wanita lesbian  itu berkata dengan riang dan 
sifat pemurahnya: 
“Aku dapat untung besar, dul latief . namun  aku 
tidak mau makan sendiri. Aku sedang memikirkan 
untuk membeli mobil sendiri untuk tiny . 
Bagaimana pendapatmu?” 
Ditanya begitu, dul latief  berpikir sebentar. Lalu: 
“Wah. Pertanyaan itu sebaiknya nyonya 
tanyakan pada yang bersangkutan saja…” 
“Ku ingin surprise. Betul toh?” 
“Lah, tak ada persoalan kalau begitu.” 
nyi kembang  geleng-geleng kepala, dan ia 
tampaknya amat serius waktu menjelaskan : 
“Inilah persoalannya. Sebuah mobil baru, 
berarti diperlukan seorang supir baru 
“Oh!” sahut dul latief , agak tersudut. “Benar 
juga. Supir untuk siapa kira-kira, kalau boleh saya 
tahu?” 
wanita lesbian  itu menatap lurus ke mata dul latief . 
Tajam dan tidak ingin di bantah. Katanya :  
“tiny , tentu!”  
“Oh!” lagi. 
“Mengapa oh?” nyi kembang  memandang dengan 
curiga. 
dul latief  berusaha tersenyum sepolos mungkin. 
Polos pula, ia menjawab : 
“Akan diperlukan waktu yang lama untuk 
menemukan supir yang cocok dengan selera nona 
tiny . Dan itu pun, kalau ia membutuhkan supir 
yang lain. Mudah-mudahan ia lebih suka menyetir 
sendiri kendaraannya…” 
Hari sudah malam saat  mereka meninggalkan 
butik. 
nyi kembang  tidak ingin langsung pulang ke rumah. 
“Kita makan di restoran saja malam ini,” 
katanya. 
Dan selagi makan, sesudah  berpikir agak lama 
sehingga seleranya tampak agak menurun, nyi kembang  
nyeletuk: 
“... yang kubingungkan, dul latief , kalau nyi kembang  
lebih suka dicari supir baru.” 
“Oh ya? Clear dong kalau begitu.” 
“Kalau untuknya, memang. namun  kalau yang ia 
cari untukku ... nah! Inilah yang membuatku bingung.” 
“Mengapa?” tanya dul latief , sedikit berhati-
hati. 
“Aku menginginkan kau, dul latief . Hanya kau!” 
dul latief  terkejut. 
Itu bukanlah lagi sekedar perintah resmi. Ada 
bau-bau tidak resmi dalam nada suara janda berumur 
itu. Bau-bau yang hanya laki-laki bermata awas saja 
yang bisa memahaminya, laki-laki yang sudah biasa 
berhadapan dengan wanita lesbian . dul latief  berpikir-
pikir, apakah ini artinya mengapa nyonya nyi kembang  
mulai membatasi hubungannya dengan tuan Fredian? 
Sang Kolonel sudah semakin jarang ke rumah mereka 
bahkan kali terakhir ia datang, hanya sempat duduk di 
kursi tamu untuk minum sesloki scoth. nyi kembang  
berusaha keras agar suami dari wanita lesbian  beranak 
tujuh itu tidak berkesempatan melangkahkan kaki ke 
kamar tidurnya sebagai mana biasa ... 
“Bagaimana pendapatmu, dul latief ?” 
Bingung juga dul latief  menjawab. namun  lalu  :  
“Kalau itu putusan nyonya, saya toh harus ...” 
“Kerelaanmu, dul latief . Kerelaanmu yang ku 
kehendaki!” 
dul latief  mencoba tersenyum. 
“Bagaimana nyonya saja. Saya toh hanya orang 
gajian.” 
wanita lesbian  itu tampaknya tersinggung. 
“Bodoh!” umpatnya. Pendek. Lalu buru-buru 
berdiri lantas bergegas meninggalkan restoran. 
Untunglah dul latief  selalu membekali kantongnya 
dengan sejumlah uang, sehingga rekening ia bisa 
bayarkan tanpa harus menahan majikannya. 
Di dalam mobil, wanita lesbian  itu kusut mukanya. 
Barulah ia tampak tua. dul latief  merasa kasihan 
dan salah tingkah. Sesudah  lama saling berdiam diri, ia 
akhirnya memulai : 
“Maafkan saya, nyonya...” 
wanita lesbian  itu menarik nafas. 
“Ah. Tak ada yang perlu dimaafkan,” sahutnya. 
“namun  nyonya, kata-kata saya tadi ah, 
bagaimana ya. Soalnya saya malu untuk menentukan 
sikap. Maklumlah, saya ini hanya orang lain dalam 
keluarga nyonya, sehingga ...” 
“dul latief ,” ujar wanita lesbian  itu, dan tiba-tiba 
saja tangannya sudah  menyentuh lengan supir 
pribadinya itu. dul latief  kaget, namun  bisa menahan 
diri. Diam-diam saja ia dengarkan lanjutan kata-kata 
majikannya : “Kau sudah lama tinggal bersama kami, 
dul latief . Kami tidak memperlakukan kau sebagai 
orang lain selama ini, bukan? Bagi kami, kau tak 
bedanya dengan keluarga sendiri, bahkan ... bahkan 
mungkin lebih dari itu!” 
“Nyonya ...,” dul latief  tidak melanjutkan kata-
katanya, oleh sebab  si wanita lesbian  tau-tau sudah  
merebahkan wajahnya di bahu dul latief . Tidak se-
patah katapun terucap dari bibir wanita lesbian  itu, 
kecuali rebahan wajah itu. Mobil agak tergoncang oleh 
ketidak stabilan tangan dul latief  di setir, terlebih-lebih 
lagi sesudah  dengan ekor matanya ia lihat pipi 
wanita lesbian  itu basah. Bahkan ia dapat merasakan 
betapa jari-jemari nyi kembang  yang mencengkeram 
lengannya, gemetar. 
Dalam kebingungannya, sebelah tangan 
dul latief  meninggalkan setir lantas dengan ragu-ragu 
mengembang untuk memeluk pundak nyi kembang . 
Pelukan itu membuat si wanita lesbian  benar-benar 
menangis. Di antara isak tangisnya ia berkata 
tersendat-sendat: 
“... jadi kau mengerti ... dul latief  ... Kau sudah 
tahu, perasaanku. Aku ... aku tidak mungkin kucing-
kucingan dengan Laki-laki ... Sudah waktunya aku 
memilih. Padamulah pilihanku jatuh, dul latief . Aku 
percaya  itu, semenjak kau datang ke rumah dengan 
selembar koran di tangan. Aduh, dul latief , aku cinta 
padamu, sayangku. Patutkah ini? Patutkah?” 
dul latief  menelan ludah. 
wanita lesbian  ini cantik. Tubuhnya sintal, bahkan 
ia dapat merasakan betapa hangat dada wanita lesbian  
itu terasa menempel di lengannya. namun  ia sudah 
empat puluh lima, sedangkan dengan jujur dul latief  
harus mengakui bahwa diam-diam ia lebih 
menjuruskan perhatiannya pada tiny , anak gadis lesbian  
nyi kembang . 
“Mengapa kau diam saja, dul latief ? Katakanlah 
sesuatu. Biarpun menyakitkan, aku akan tabah 
mendengarkannya. Apakah sebab  sebab  aku sudah 
berusia lanjut, dul latief ?” 
Memang itulah pokok pangkalnya, pikir 
dul latief , namun  di mulut ia berkata lain :  
“Bukan itu persoalannya, Nyonya. namun …” 
“Nyonyal Nyonya! Kapan kau berhenti 
memanggilku dengan sebutan yang buruk itu? Panggil 
saja namaku, dul latief . Bukankah sudah tahu? Atau 
kalau kau segan dan masih dibatasi oleh soal 
perbedaan usia, panggil aku “mami” atau apa saja, 
asal jangan nyonya ,...” 
dul latief  membasahi bibirnya yang kering… 
Usia yang jauh berbeda, pikirnya. Aku tiga 
puluh, ia ini empat lima. Aku masih punya kesempatan 
banyak dan cukup jauh, sedang ia ini tidak lama lagi. 
Mungkin tinggal setahun dua tahun lagi, siapa tahu? 
Dan sesudah  itu, dengan ia tercantum sebagai suami 
yang syah ...  
dul latief  memutuskan : 
“nyi kembang , bagiku tak ada persoalan. Aku 
menyukaimu, namun ...” 
“Itu sudah cukup, dul latief ,” pelukan nyi kembang  
kian erat, ditambah  pula sebuah ciuman yang mendarat 
di bibir Laki-laki  itu. Panas. Dan berapi-api. 
“Untuk menikah diperlukan cinta yang tulus. 
Aku harus berlaku jujur...” 
“Aku tidak membutuhkan cinta, dul latief . Aku 
sudah muak dengan itu. Almarhum suamiku juga 
mengatakan itu, namun  toh masih juga ia menyimpan 
wanita lesbian  lain di luaran. Ferdian, apalagi, namun  
kalau ia benar benar cinta, apa susahnya menceraikan 
isterinya? Tidak, dul latief . Aku tidak membutuhkan 
ucapan omong kosong itu lagi. Aku membutuhkan 
seorang laki-laki. Seorang yang bersedia dan suka 
melindungiku…” 
Mereka hampir sampai. 
dul latief  sudah melihat rumah mereka, dan 
bahkan ia seolah-olah sudah bisa melihat tiny . 
tiny , di kamar yang pintunya tidak terkunci... Kau 
menghendakiku, tiny , bagaimana aku juga 
menghendaki kau, namun  ibumu ... Rupanya nyi kembang  
juga sudah melihat rumah mereka, sebab  dengan 
tiba-tiba ia menyuruh dul latief  membelokkan 
Mercedez itu. Sesudah  jauh dari rumah, dul latief  
bertanya ke mana mereka harus pergi. 
“Aneka Plaza saja, dul latief -ku,” menyahut 
nyi kembang . Mesra. 
Dua jam lebih mereka habiskan waktu di nite 
club itu. saat  mereka ke luar keringat membasahi 
hampir sekujur tubuh, dan wanita lesbian  itu tampak 
sudah mulai mabuk, la hampir tersungkur di pintu ke 
luar kelab malam kalau tak keburu dipegangi dul latief  
yang membantunya naik ke dalam mobil. Sesudah  
duduk di belakang setir, dul latief  memperingatkan : “Apa tiny  tak marah kalau melihat kau 
mabuk, nyi kembang ?” 
wanita lesbian  itu tersenyum. 
“Kalau demikian, sebaiknya aku pulang dalam 
keadaan segar bugar.” 
“Wah. Bagaimana mungkin?” 
“Ada sebuah motel di Karangsetra, dul latief .” 
dul latief  tersenyum. Jalan di depan mobil 
tampak terbuka lebar. Lebar. Semakin lebar ... 
la tancap gas dengan dada yang berbunga-bunga. 
sebelum membelok memasuki motel, dul latief  
meminta nyi kembang  ke luar sebentar dari dalam mobil.  
“Hirup udara segar banyak-banyak ...”  
“Untuk apa?” tanya nyi kembang  dengan kepala 
teleng sebab  mabuk. 
“Hirup saja. Panjang ... lebih panjang lagi…” 
Susah payah, nyi kembang  berhasil juga melakukan 
apa yang diperintahkan oleh dul latief . Ada dua 
maksud dari laki-laki itu. Pertama, biar kepala nyi kembang  
yang puyeng agak ringan sedikit sehingga ia tidak 
harus merasa malu membawa seorang wanita lesbian  
yang berjalan tersuruk-suruk masuk motel. Di samping 
itu, kesediaan nyi kembang  berarti banyak hal buat 
dul latief . wanita lesbian  itu mau diperintahnya. Biarpun 
dalam keadaan setengah mabuk, namun  sebagai 
permulaan sudah cukup. Tidak lagi ia yang berada di 
bawah perintah. Hal ini sangat penting artinya bila 
sekali waktu ia harus hidup sebagai suami wanita lesbian  
ini. 
Meskipun tamu wanita lesbian  yang muncul 
bersama laki-laki tampan yang berbeda jauh usianya 
itu tampak sedikit mabuk, penerima tamu motel 
bersikap acuh tidak acuh saja. Yang ada di benaknya 
hanyalah musim hujan yang panjang, mana bulan 
tanggung sehingga kamar-kamar motel banyak yang 
kosong. Tidak pula boleh diabaikan begitu saja, tip 
yang lumayan yang diberikan oleh nyi kembang  pada 
penerima tamu itu, sehingga ia bergegas memanggil 
pelayan untuk mengantarkan tamu mereka ke kamar 
yang mereka sukai. saat  tamunya itu menjauh, si 
penerima tamu bersungut-sungut iri: 
“Laki-laki  itu pasti seorang gigolo. Beruntung 
benar dia dapat wanita lesbian  ini. Memang sudah tua, 
namun  cantik dan pinggulnya ...” ia gemetar sendiri, 
sambil  mengepal-ngepal kan tangan yang terasa gatal. 
Sesudah  pintu tertutup di belakang mereka, 
nyi kembang  langsung memeluk dan menciumi dul latief  
dengan bernafsu. Laki-laki itu melayaninya sebentar, 
lalu  berkata terengah-engah. 
“Aku mau ke kamar mandi dahulu  ...”  
“Nanti saja!” cengah nyi kembang . 
“namun ...” 
“Ngggg…” nyi kembang  bergayut di leher dul latief  
dengan kedua belah mata setengah terpejam dan 
mulut setengah terbuka, mengeluarkan bau minuman 
keras. dul latief  terpaksa mengikuti kemauan nyi kembang  
untuk segera naik ke atas kasur busa yang lebar dan 
hangat. Mereka langsung jatuh bergulingan di atas 
permukaan kasur itu, sampai setengah bagian tubuh 
mereka tenggelam tampaknya di dalam kasur. Ada 
sebuah jendela yang terbuka, menghadap ke taman 
yang samar-samar tampak dalam kegelapan di luar. dul latief  melihatnya dan berusaha melepaskan 
pelukan dan ciuman nyi kembang  yang bertubi-tubi. 
“Mau ... ke mana kau!” 
“Jendela terbuka” 
“Biar ...” 
“Dingin.” 
“Biar!” 
“Entar ada yang ngintip.”  
“Ngghml Biar. Biar! Biar...!”  
Dan tubuh mereka yang mandi keringat 
semakin tenggelam ke dalam kasur. 
dinihari baru mereka pulang ke rumah. 
Untuk menghindari kecurigaan tiny , 
nyi kembang  yang langsung memijit bel sementara 
dul latief  menunggu di dalam mobil tepat di depan 
pintu garasi yang tertutup. Dalam hati nyi kembang  
berharap yang membuka pintu adalah mbok Paijah, 
bukan anak gadis lesbian nya. sebetulnya  ia tidak perlu 
khawatir tiny  tahu permainannya dengan 
dul latief  sebab  selama ini tiny  toh tidak perduli 
dengan Laki-laki  mana saja ibunya pergi, seperti nyi kembang  
juga berusaha untuk tetap menghormati tiap Laki-laki  
yang membawa tiny  untuk berkencan. 
namun  adalah terlalu pagi untuk membuka kartu 
sekarang. 
tiny  yang membuka pintu. Rambutnya 
kusut, dan matanya tampak agak kemerah-merahan. 
saat  mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya, 
gadis lesbian  itu memperhatikan ibunya sejurus. Pernah sekali 
dua ia melakukan hal yang sama, akan namun  kali ini 
tatapan mata tiny , dimata nyi kembang  tampak 
sangat ganjil. Sebaliknya, ibunya selama ini bersikap 
biasa tiap kali tiny  membuka pintu untuk 
wanita lesbian  yang ia kasihi itu. Akan namun , tidakkah 
salah pandangan tiny ? Sinar mata kanjeng mami  kok 
tampak janggal ... 
“... belum tidur, nak?” sapa nyi kembang  sambil 
masuk sesudah  lama mereka berdua tertegun dan 
saling berdiam diri, “Belum, kanjeng mami .”  
“Tekun belajar lagi ya?” tiny  angkat bahu.  
“Tolong kau bukakan pintu garasi.”  
tiny  tersentak. 
Membukakan pintu garasi? Bukankah dul latief  
bisa melakukannya sendiri? Dan mengapa harus 
ibunya memerintah dia? 
Mesti. Mesti ada apa-apa diantara mereka. Tak 
biasa kanjeng mami  pulang selarut ini. Kalau ia rapat atau 
arisan atau apa, biasanya dul latief  selalu pulang ke 
rumah, untuk mengisi waktunya yang kosong dengan 
mengurus anggrek atau tanaman lain di kebun. 
dul latief  tidak menyiram kembang-kembang itu sore 
ini. la tidak pulang, untuk mengerjakannya, atau untuk 
menanyakan apakah tiny  perlu diantar ke rumah 
teman atau ke mana, dan pada waktunya baru pergi 
lagi untuk menjemput nyi kembang . Pasti. Pasti ada apa-
apa yang sudah  terjadi antara ibunya dengan dul latief ! 
Atau, apakah tiny  salah sangka? sebab  
cemburu? 
Dengan perasaan tidak menentu. tiny  
masuk ke garasi. sebetulnya  ia bisa saja 
membangunkan pembantu rumah tangga mereka 
untuk melakukan pekerjaan itu. namun  ah, kasihan 
mbok Paijah yang sudah tua itu. la tepeniwise t lelah 
mengurus rumah seharian, memasak, mencuci, 
biarpun dengan mempergunakan mesin-mesin 
elektris dan gas dan  kadang-kadang dibantu oleh 
tiny  sendiri, namun  haknya untuk tidur nyenyak 
yang cuma-sedikit tak patutlah direbut semena-mena, 
hanya untuk membukakan pintu garasi. 
dul latief  tersenyum waktu memasukkan mobil 
ke garasi. 
Wajah Laki-laki  itu tampak biasa, sehingga 
tiny  berusaha membuang pikirannya jauh-jauh. 
Ah, mana mungkin ibunya main kucing-kucingan 
dengan laki-laki yang berusia sangat jauh berbeda, dan 
sudah pantas jadi anaknya? Mana mungkin dul latief  
tertarik pada wanita lesbian  yang lebih patut ia anggap 
ibu? Terlebih lagi, tiny , yang lebih muda, lebih 
cantik, sudah terang-terangan mengemukakan 
perasaan hatinya tadi siang! 
“Hai nona tiny …” 
Gugup, tiny  menyahut. 
“Hai ...” 
“Belum tidur?” 
Ibunya juga menanyakan hal yang sama. Apa 
artinya? Ah, tentu saja tidak ada arti apa-apa. Lumrah 
mereka menanyakan mengapa ia belum tidur selarut 
ini. Padahal ia tidak sedang menghadapi tentamen 
atau ujian-ujian semacamnya. Kampus sedang disibuki 
oleh masa perkenalan mahasiswa baru yang sudah 
hampir usai, sehingga kuliahpun berjalan tidak terlalu 
lancar. Apa yang membuat tiny  tidak bisa tertidur, 
hanya satu hal. la terus menerus memikirkan Laki-laki  ini, 
tanpa dapat melupakannya barang sedikitpun juga.  
“dul latief ?” 
Laki-laki  yang sedang menutup kembali pintu 
garasi, tertegun. “Ya?” 
tiny  rapat sekali dengan tubuhnya. 
Sukar bagi dul latief , untuk menghindari tatapan 
gadis lesbian  itu, betapapun ia takut rahasia dirinya akan 
terukir jelas-jelas di matanya, tak ubahnya mata lensa 
televisi yang memperlihatkan adegan-adegan seronok 
yang tadi ia lakukan bersama nyi kembang  di motel. 
“ ... dari tadi aku menunggumu.” 
“Oh,” dul latief  bernafas lega. 
“Aku merindukanmu ...” 
dul latief  tersenyum. 
“Kok senyum!” 
Senyum dul latief  lenyap sesaat . 
“Bodoh. Ciumlah aku, sayangku!” 
Ragu-ragu, dul latief  merundukkan wajah. 
Dengan tidak sabar, tiny  merangkulkan 
kedua lengan di pundak dul latief , menaikkan tumitnya 
dan dengan setengah paksa menjejalkan bibirnya ke 
bibir dul latief , melumatnya dengan rakus sementara 
Laki-laki  itu bingung tidak tahu mau berbuat apa. 
Sesudah  puas mencium, tiny  mendesak dengan 
suara setengah mengisak : 
“Kau tak sehangat yang kuduga, sayangku ...” 
Gugup, dul latief  menyahut: 
“Nona, aku, aku…” 
tiny  tersenyum. 
“Jadi itukah sebabnya?” mata si gadis lesbian  berbinar-
binar. “Sebab kau masih merasa dirimu pegawai 
ibuku? dul latief , sayangku. Lupakan. Lupakanlah 
semua yang sudah  berlalu. Coba anggap dirimu sebagai 
anggota keluarga kami setidak-tidaknya, sebagai 
temanku. Temanku yang tersayang!” 
“Nona ...” 
“Sekali lagi Nona, aku harus tidur di garasi!” 
“Ah ...” 
“Hayo?” 
“Baiklah, tiny . Akan…” 
“Nah. Begitu lebih baik,” tiny  mengecup 
pipi dul latief . “Kita katakan pada kanjeng mami  sekarang?” 
dul latief  tercengang. Lalu :  
“Jangan!” 
“Eh. Mengapa?” 
“Terlalu cepat, tiny .” 
“Lambat atau cepat, tak ada bedanya. Sekarang 
lebih baik.” 
“namun  aku malu. Lagi pula ...,” dul latief  
berusaha mencari jalan ke luar yang terbaik di tengah-
tengah kepanikan yang menggoncangkan kepalanya.  
“Lagi pula, lebih baik di-approach dahulu  
perlahan-lahan. Didadak, bisa pingsan nanti ibumu!” 
“Lani?” sekonyong-konyong terdengar nyi kembang  
memanggil dari dalam. Kedua remaja itu terkejut.  
“Ya kanjeng mami ?”  
“Kok lama?” 
tiny  gugup. Cepat-cepat dul latief  membisikkan : 
“Bilang pintu garasi macet!” 
“Macet, kanjeng mami !” seru tiny  cepat-cepat. 
“Apanya yang macet?” 
“Pintu, kanjeng mami .” 
“Pintu?” 
“Ya, kanjeng mami . Pintu mobil, eh pintu garasi!” 
Lantas sambil  tertawa kecil ia bergegas masuk 
ke pintu korridor belakang dan dari sana masuk ke 
ruang tengah. nyi kembang  rupanya sudah berganti 
pakaian. saat  tiny  masuk, ibunya tengah 
memperhatikan beberapa buah sket dari disain 
pakaian yang sore tadi diantar perancang mode 
mereka ke rumah. 
Tanpa melihat pada tiny , nyi kembang  bertanya 
acuh tak acuh. 
“Zus Ita tak pesan apa-apa?” 
“Tidak, kanjeng mami . Hanya disain disain itu saja.” 
“Mudah-mudahan saja ia tidak lupa dengan 
show minggu depan. Ada beberapa peragawati yang 
mulai bertingkah, kau tahu ...” 
“Ya, kanjeng mami .” 
nyi kembang  meninggalkan disain-disain di atat 
meja kerjanya itu, lalu duduk di sofa. 
“Tolong ambilkan minuman untukku, Lani.” 
“Ya kanjeng mami .” 
Sesudah  tiny  mengantarkan segelas Martini 
tanpa es, ia lalu  berusaha duduk tenang di dekat 
ibunya. 
“Kau tak ke mana-mana sepanjang sore?” 
“Di rumah saja kanjeng mami . Menghapal!” 
“Syukurlah,” ujar nyi kembang . Dan dalam hati 
tiny  bersyukur juga, sambil nyeletuk : coba kalau 
kanjeng mami  tahu, yang kuhapa! adalah wajah dan liku-liku 
tubuh dul latief  yang menggetarkan jantung! Sesudah  
berbincang ke sana ke mari, ibunya bertanya dengan 
serius: 
“Tampaknya Honda bebekmu itu sudah jarang 
kau pakai, Lanni.” 
“Ah. Lagi males saja, kanjeng mami . Cuaca sedang 
buruk-buruknya.” 
“Andai kanjeng mami  ganti dengan mobil, mau?”  
tiny  terlonjak, lalu  berlari memeluk 
ibunya dan mengecup kedua belah pipi wanita lesbian  itu 
dengan segenap kasih sayang. Baru lalu  ia 
berdiri sambil  memandangi ibunya dengan mata 
bertanya tanya: 
“Mema beriungguh-sungguh?” 
“Apa kanjeng mami  pernah bermain main, Lanni?” 
“Oh!” tiny  menekapkan tangan ke dada. 
“Kau suka merk apa?” 
DAN bayangan punya mobil sendiri 
memicu  tiny  malam itu lupa apakah pintu 
kamarnya terkunci atau tidak, la tertidur nyenyak 
malam itu, dan baru sesudah  bangun agak kesiangan 
keesokan harinya ia sadar kalau pintu kamarnya bukan 
saja tidak terkunci, malah tidak tertutup. Sejenak ia 
berpikir-pikir apakah ia hanya bermimpi tadi malam? 
la naik mobil sepanjang jalan ke luar kota, ngebut 
diantara lidah-lidah ombak yang menjilati pantai 
dengan dul latief  duduk rapat di sampingnya. Ya, ya, 
itu memang hanya impian, yang tak bakal lama lagi 
akan menjadi sahara taan, la tentunya lupa mengunci 
pintu, dan sebab  pulang terlalu larut, dul latief  pasti 
tertidur dan lupa pula bahwa tiny  berpesan 
bahwa gadis lesbian  itu akan menantikannya di kamar tidur 
untuk ... 
“Hem. Biarlah,” bisik tiny  pada dirinya 
sendiri sambil turun dari tempat tidur, membuka 
jendela dan menghirup udara pagi yang segar.  
“Nanti nanti juga kesempatan bercumbu cukup 
banyak…”  
Lantas sambil  bernyanyi-nyanyi kecil ia bergegas ke 
kamar mandi. 
nyi kembang  benar. Apa yang ia khawatirkan segera 
terjadi sesudah  tiny  memiliki mobil sendiri. gadis lesbian  
yang manja itu memilih jenis yang lebih mungil dan 
lebih ringan dari Mercy ibunya. Sebuah Capella. 
sebetulnya  tiny  tidak mengalami kesulitan 
menyetir sendiri, dan ia memang melakukannya untuk 
beberapa waktu. namun  diam-diam ia memperhatikan 
bagaimana kemanjaan ibunya sudah  terbagi dua, tidak 
lagi terhadap tiny  seorang namun  juga terhadap 
dul latief . Laki-laki  itu tidak lagi tampak sebagai 
pegawai di rumah mereka. Dandanan dan  apa-apa 
yang ia pakai sudah semakin mentereng. Dan di 
rumah, ia sudah ikut menentukan mulai dari rencana 
usaha butik, beberapa buah rumah kontrakan 
peninggalan almarhum ayah tiny , sampai kepada 
jadwal waktu untuk mereka lakukan sehari-hari. 
“Aku tak mengerti,” desah tiny  penasaran 
saat  suatu hari ia berkesempatan berdua-dua saja 
dengan dul latief  di rumah. “kanjeng mami  tampaknya sudah 
memperlakukan kau sebagai kepala keluarga, bukan 
lagi sebagai pegawai ...” 
“Penasihat usaha tepatnya,” dul latief  
memperbaiki ucapan tiny . Lalu sambil tersenyum 
dengan gaya yang menarik, ia menatap lurus ke mata 
tiny  waktu meneruskan : “Atau, kalau kau 
menginginkan aku kembali pada kedudukanku yang 
semula, aku tidak akan keberatan, kekasihku ...” 
“Kekasihku. Oh!” tiny  terlonjak, lalu 
memeluk dan menciumi Laki-laki  itu. “Itulah yang 
semestinya. Kau adalah kekasihku, bukan pegawai 
kami ... Sayang, kau pernah melanggar janji.” 
“Ah?” 
“Tak ingat?”  
“Sungguh, aku…” 
“Nah. Belum apa-apa, sudah mulai lalai. 
Bukankah pernah aku mengatakan, pintu kamarku 
tidak terkunci?” 
“Kau!” dul latief  mencubit paha tiny . 
Gemas. 
“Tawaranku masih berlaku, sayang.” 
“Kapan?” tanya dul latief  bimbang. 
“Setiap saat kau mau. Sekarangpun boleh…” 
“Husy. Kau lupa, aku harus menjemput kanjeng mami  
lima menit lagi.” 
“Nanti malam?” 
“Lani ...” 
“Nanti malam, atau tidak sama sekali!” 
tiny  setengah mengancam, dan dul latief  
tidak bisa menolak. saat  ia pergi untuk menjemput 
nyi kembang  dari tempat arisan, pikirannya berbuncah. la 
tidak saja memperoleh kasih sayang, namun  juga 
memperoleh kebutuhan materi yang berlimpah dari 
kedua wanita lesbian  itu. Namun, untuk meniduri 
mereka sekaligus, dul latief  masih harus berpikir. 
nyi kembang  dan tiny  anak beranak. dul latief  tidak 
bisa membayangkan ia akan membuat sebuah dosa 
terbesar yang paling di kutuk Tuhan. la sudah  cukup 
merasa berdosa selama ini, memberi hati kepada 
wanita lesbian  itu meskipun secara sembunyi-sembunyi 
di hadapan yang satu dengan yang lain. la juga berdosa 
sudah  bergaul dengan nyi kembang  di luar nikah. Barangkali 
dosa yang ini bisa dihapus bila kelak suatu saat mereka 
jadi suami isteri. 
Namun ada sebuah dosa yang sukar untuk 
dilupakannya. 
Dalam hati dul latief  masih belum bisa 
melepaskan keinginan yang bukan-bukan itu. yaitu , kelak sesudah  ia menjadi suami nyi kembang , wanita lesbian  
itu tidak berumur lebih panjang. Pusing-pusing yang 
rutine dialami nyi kembang  terutama diakibatkan darah 
tinggi. Hanya wajah dokter yang marah-marah yang 
membuat nyi kembang  mampu untuk menahan keinginan 
memakan jenis-jenis makanan yang merupakan 
pantangan penyakitnya. namun  kelak bila dul latief  sudah jadi suaminya, maka dengan berpura-pura 
sayang pada isteri, dul latief  akan berkata: 
“Obat mudah dicari, nyi kembang . Dan soal umur, 
toh Tuhan sudah menentukan. Kalau kau bersikeras 
untuk makan daging yang berlemak itu... ya, 
bagaimana aku bisa melarang?” 
Dan itu merupakan jalan tercepat menuju ke 
kematian! 
Sebagai seorang bekas mahasiswa fakultas 
hukum yang gagal, dul latief  melihat kematian 
nyi kembang  itu tidak akan melibatkan dirinya barang 
seujung rambutpun juga. la bebas dari segala tuduhan, bersih dari segala tuntutan hukum, sehingga dengan 
demikian maka iapun bisa dinyatakan bersih sebagai 
seorang pewaris yang berhak penuh atas sebagian 
besar peninggalan nyi kembang . 
“Kalau tak sudah terlanjur,” dul latief  mengeluh 
setiba di tempat arisan. “Maulah aku lari saja dari 
belenggu kemewahan yang mengerikan ini!” 
kepalang basah, malam itu ia memenuhi 
janjinya pada tiny . 
gadis lesbian  itu cuma mengenakan kimono tidur 
warna merah darah yang tipis, kontras dengan warna 
kulitnya yang putih cemerlang waktu dul latief  
berjingkat-jingkat memasuki kamar tidurnya. 
“Tutupkan pintu, dul latief  ...,” bisik si gadis lesbian , 
bergetar. 
Gemetar pula jari jemari dul latief  saat  
menutup dan sekaligus memutar anak kunci di lubang 
pintu. Lututnya apalagi, saat  ia berdiri di pinggir 
tempat tidur, dan dengan mata terkembang lebar 
memperhatikan gadis lesbian  yang menelentang di atas 
ranjang. Seraut wajah yang lembut tanpa garis-garis 
ketuaan, liku-liku tubuh yang penuh padat, tidak 
selembek yang dimiliki nyi kembang , dan tentunya lebih 
panas dari api ... 
“Apa lagi yang kau tunggu, sayangku?” 
“Ibumu ...” 
“kanjeng mami ? Kau menunggu kanjeng mami ?”  
tiny  tersenyum nakal. 
“Maksudku eh, kalau tiba-tiba ia bangun…”  
“Jangan khawatir, dul latief . Tadi sudah ku 
masukkan obat tidur dalam minumannya.”  
dul latief  menelan ludah. gadis lesbian  ini bekerja tidak 
kepalang tanggung, pikirnya. Dan tiny  memang 
tidak pula kepalang tanggung melampiaskan hasrat 
kewanita lesbian nya malam itu pada dul latief . Laki-laki  itu 
sampai sakit-sakit otot-otot tubuhnya waktu kembali 
menjelang subuh ke kamar tidurnya sendiri. Betapa 
tidak. Di kamar yang berlainan, selagi tiny  
menghadapi kuliahnya di fakultas, dul latief  sudah  lebih 
dahulu melayani ibu si gadis lesbian . Lain kali, ia akan 
berusaha mengatur waktu. Harus. 
Kalau tidak, bakal habis dia! 
Merasa puas pada malam itu, rupanya tiny  
sudah menetapkan pilihannya, ia sesaat  melupakan 
nama-nama Lukman, Anton, Hardianto, Akhdiat, 
Handrian dan banyak nama lain yang sempat mengisi 
lubuk hatinya. Lebih-lebih sebab  dul latief  rupanya 
tidak kecewa sesudah  mengetahui bahwa tiny  
sudah tidak perawan. Terus terang tiny  pada 
malam itu juga mengaku dengan jujur perbuatannya 
selama ini. Dimulai dari secara tidak sengaja ia pernah 
melihat ayah ibunya saat  masih berumur enambelas 
tahun, dan lebih sering sengaja daripada tidak pada 
tahun-tahun berikutnya Oom Ferdian menggantikan 
tugas ayahnya atas tempat tidur ibunya. 
“ ... kau tidak sampai hamil?” tanya dul latief  
heran, sesudah  agak lama terdiam. 
“kanjeng mami  tidak, mengapa aku juga tidak? Obat 
gampang dicari!” 
dul latief  termenung. 
“Kau kecewa?” tanya tiny  cemas. 
“Kecewa? Ah, tidak. Kecuali, kalau aku kau 
anggap sama dengan Laki-laki -Laki-laki  sebelum aku…” 
“Sayangku, lebih baik aku mati kalau aku 
berpikir seburuk itu. Demi Tuhan, hanya kau kini yang 
kucintai. Kau seorang, sayangku!” 
Dan, hanya dul latief  semenjak itu yang harus 
menemani tiny  ke mana saja gadis lesbian  itu ingin pergi, 
meskipun untuk memenuhi keinginan itu ia harus 
bertengkar dengan ibunya! Tak terperikan marahnya 
nyi kembang . Hanya sebab  masih menjaga hubungannya 
dengan dul latief , ia berusaha keras tidak marah di 
hadapan tiny . Di belakang gadis lesbian  itu, berkeranjang-
keranjang umpat caci ia lontarkan pada dul latief , dan 
mendesak mati-matian sejauh mana Laki-laki  itu sudah  
berbuat dengan tiny . 
“Sebagai abang, nyi kembang . Sebagai abang. Tak lebih.” 
“Dusta!” amuk nyi kembang . “Jangan kau tipu aku. 
Mataku bisa melihat perubahan pada sikap tiny  
akhir-akhir ini. Hayo, katakan dengan jujur. Kau 
mencintainya, bukan?” 
Lesu, dul latief  menjawab: 
“Bukan aku, nyi kembang , namun  anakmu!” 
nyi kembang  sangat terpukul, lebih-lebih sesudah  
bicara berdua dengan tiny , anak gadis lesbian nya itu 
mengiyakan apa yang sudah  dikatakan oleh nyi kembang . 
Dalam keadaan terpukul itu, nyi kembang  di datangi 
perasaan takut. Takut yang berlipat ganda. Takut 
kehilangan dul latief , dan lebih takut lagi, dul latief  
sudah  berbuat sejauh apa yang ia perbuat bersama 
Laki-laki  itu terhadap tiny . Sebuah hubungan 
intim, yang hanya dilakukan oleh suami dengan isteri. 
Dengan suara gemetar, ia bertanya hati-hati : 
“Lanni, anakku. Apakah kau dan dul latief  sudah  ...” 
“kanjeng mami !” tukas tiny , tandas. “Aku 
mencintai dul latief , namun  itu tidak berarti rasa 
hormatku berkurang padamu. Aku tidak ingin 
memberi kau malu, kanjeng mami . Demi nama baikmu, aku 
selalu berusaha menjaga diri. Bukankah itu yang 
selama ini kulakukan. Kalau aku mau, dari dahulu -dahulu  
toh aku sudah…” 
nyi kembang  memeluk anaknya sambil  menangis 
tersedu-sedu. 
“Aku percaya, nak. Aku percaya!” 
tiny  tahu ibunya percaya, sebab  selama ini 
ibunya pun selalu percaya. Sejak mula pertama 
tiny  mengenal Laki-laki , ibunya sudah  tidak menaruh 
curiga. Terutama, sebab  ia hampir-hampir tidak 
mempunyai kesempatan untuk menaruh kecurigaan 
itu. la terlalu dirundung kesedihan ditinggal mati oleh 
suaminya, lalu  terlalu disibukkan oleh urusan-
urusan di luar rumah untul melupakan kesedihan, 
lalu  lagi disibukkan oleh percintaan yang tidak 
jujur dengan Oom Ferdlan, sehingga perhatiannya 
tidak tercurah lagi padi tiny . Memenuhi apa-apa 
yang diminta anak nya, ia rasa sudah cukup. Membuat 
anak itu senang sebab  tidak di kekang, bagi nyi kembang  
sudah merupakan kebanggaan. Ya, tiny  sudah 
dewasa. Sudah bisa menjaga diri. 
“ ... dan, anakku, kau sudah waktunya kawin, 
bukan? Selama ini kau terlalu memikirkan kanjeng mami , 
kalau-kalau suamimu tidak mau kanjeng mami  jadi beban 
kalian. Sekarang lupakan pikiran itu. kanjeng mami  tak akan 
membebani kau dengan suamimu, sehingga kau 
dengan bebas bisa menikah kapan kau mau ... namun ,” 
ia menatap tajam ke mata anaknya, dengan wajah 
yang sukar dibaca. “Satu-satunya yang kunasihatkan 
dan harus kau perhatikan adalah ini… demi Tuhan, 
jangan berpikir untuk menjadi istri si dul latief !” 
tiny  tersentak, malah sempat terpekik 
halus. la mundur menjauhkan diri dari pelukan ibunya. 
Lama lalu , dengan bibir pucat dan kering, ia 
bertanya:  
“Mengapa, kanjeng mami ? Mengapa?” 
“Aku tak bisa mengatakannya, nak. Tidak bisa. 
Jangan aku kau paksa.” 
tiny  tidak memaksa, la hanya mendesak 
dul latief , namun  dul latief  selalu memperoleh jawaban 
yang masuk akal namun tidak memuaskan hati 
tiny . Ketegangan di dalam rumah itu tidak bisa lagi 
dihindari. Hubungan secara sembunyi-sembunyi itu 
masih beruntung bisa dipertahankan oleh mereka, 
dengan cara yang oleh dul latief  ditempuh sebijaksana 
mungkin : kamar-kamar tidur di rumah itu dijaga tetap 
suci semenjak keributan itu di-mulai. Di rumah tidak, 
di luar rumah boleh. nyi kembang  dengan meninggalkan 
pekerjaannya di butik, dan tiny  dengan meninggal 
kan jam-jam kuliah atau jam-jam latihan menembak di 
Bumi Sangkuriang. 
celakanya, orang yang berdiri di tengah-tengah yang 
jadi korban. dul latief  semakin terjepit, dan semakin 
kehabisan alasan terhadap kedua wanita lesbian  itu. 
Tampaknya ia malah terancam akan diusir oleh salah 
seorang di antara kedua anak beranak itu. Kalau oleh 
tiny , tidaklah jadi persoalan. namun  kalau oleh 
nyi kembang , bakal ludes semua yang ia miliki selama ini, 
dan bakal putus harapan baik yang sudah terbayang di 
masa depan. Dalam kepanikan yang sering menggoda 
dirinya, dul latief  yang sudah hampir-hampir 
kehilangan pegangan itu, membuat keputusan secara 
gampang. 
“Kuhasut saja mereka!” pikirnya. 
Kesempatan pertama tiba saat  suatu sianq 
tiny  dan dul latief  di tengah perjalanan pulang dari 
mencuri waktu ke Lembang, gadis lesbian  itu berkata  
dengan suara pahit: 
“kanjeng mami  mengancam akan menghapus hakku 
sebagai ahli waris, kalau aku meneruskan hubungan 
dengan seorang laki-laki yang katanya bekas supir dan 
orang tak berketentuan asal usulnya ... Aku sakit hati, 
dul latief . Bukan oleh niatnya yang membabi buta, 
namun  oleh cap yang ia berikan atas dirimu.” 
dul latief  mengakui kedudukannya. Juga 
mengakui asal-usulnya, la seorang yatim piatu yang 
diangkat anak oleh keluarga yang kehidupan ekonomi 
nya tak berkecukupan, lalu  sebab  dorongan 
darah muda hidup sebagai anggota gang yang suka 
berkelahi dan bikin ribut. Sekali dua berurusan dengan 
polisi, lepas lagi, berkelahi lagi, sehingga orangtua 
angkatnya menyingkirkan dia. Sesudah  lama 
menganggur, akhirnya dul latief  yang sudah agak jera 
bekerja jadi calo kendaraan umum, lalu  tukang 
pukul kumpulan taksi liar sampai lalu  
memperoleh kesempatan jadi supir beberapa buah 
taksi. 
“Namun,” keluhnya dengan suara putus asa, 
dan benar-benar seperti minta dibelas kasihani. “Aku 
sudah kapok oleh masa laluku, Lanni. Aku sudah ingin 
jadi orang. Kau tahu, umurku sudah tidak mengijinkan 
aku main koboi-koboian lagi…” 
“Aku tahu. Aku tahu ...” tangis tiny  sambil  
memeluknya. “Aku juga sudah mengatakan itu pada 
kanjeng mami . namun  ia tetap tidak pernah mau tahu!” 
“Kau harus patuh padanya, Lani.” 
“Dengan melepaskan dirimu? Tidak, sayangku. 
Tidak. Tahukah kau? Aku sudah  hamil...!” 
dul latief  terjengah. 
“Kau main-main, Lani.” 
“Aduh, dul latief . Apakah kau tidak berbahagia 
mendengar aku hamil? Dengan laki-laki lainnya aku 
tak sudi, namun  dengan kau ... dul latief , dul latief , aku 
cinta padamu. Apapun akan kulakukan, demi kau!” 
dul latief  balas memeluk gadis lesbian  itu. 
“Aku bahagia mendengarnya, sayang ... namun  ...” 
“namun  apa, sayangku. Katakanlah ...” 
“Ibumu ...” 
“Mengapa? Aku toh tidak takut dengan 
ancamannya tidak mendapat hak waris.” 
“Lalu dengan apa anak itu harus kita beri 
makan? Jadi calo lagi, Lanni? Kau mau suamimu 
kelihatan lusuh, kotor berdebu, pakai sandal jepit cari 
penumpang dan bertengkar soal komisi dengan supir? 
Tega kau, Lannie?” 
“namun , dul latief . Bagaimana...” 
“Pertahankan hak warismu. Kalau perlu, dengan 
jalan kekerasan.” 
“Aku aku tak mengerti.” 
“Ibumu sudah tua. Masa hidupnya tidak lama 
lagi. Apa salahnya, kalau penderitaan hidupnya kita 
akhiri lebih cepat.” 
“dul latief , kau ...!” 
dul latief  memotong dengan penuh amarah :  
“Anak bodoh! Tidakkah terpikir olehmu, apa 
maksud ibumu dengan berpura-pura membenci 
engkau? la tahu kalau kau harus memilih maka kau 
akan memilih diriku. Bila itu terjadi, hak warismu 
batal, dan segala harta peninggalan ayahmu praktis 
jatuh seluruhnya pada ibumu!” 
Betapapun terkejut dan terpukulnya tiny  
mendengar ucapan-ucapan dul latief , namun cintanya 
terhadap laki-laki itu membuat pikirannya ter-
umbang-ambing. Mula-mula ia mengutuk dul latief , 
namun  saat  Laki-laki  itu mengancam akan meninggalkan 
mereka begitu saja, ia berkata akan memikirkan usul 
dul latief . Meskipun dul latief  meminta agar ia 
memberikan keputusan secepat mungkin, namun  toh 
tiny  memerlukan waktu berminggu-minggu untuk 
menetapkan hati. Revolver peninggalan ayahnya di 
kamar nyi kembang , mungkin akan menolong. Dengan alat 
peredam suara. Sebuah tembakan mematikan, yang 
tidak akan menyiksa, dengan sebuah gambaran bunuh 
diri ataukah usaha perampokan yang gagal? 
Waktu itu terlalu lama, sehingga perubahan 
pada perut tiny  tidak bisa dirahasiakan lagi. 
nyi kembang  yang memperhatikan hal itu diam-diam, tidak 
membutuhkan tempo yang panjang untuk berpikir. 
Dalam kemarahan dan kesakit-hatiannya, ia 
mengambil keputusan dengan cepat, la tidak ingin 
punya cucu yang dilahirkan oleh laki-laki yang tak bisa 
menjaga diri, di tubuh tiny  membuat nyi kembang  
nekad. Persetan dengan kebahagiaanku. Persetan 
dengan impian-impian muluk ku selama ini, laki-laki 
itu tidak saja akan kuusir. Laki-laki itu harus 
kulenyapkan dari muka bumi ini. Laki-laki terkutuk, 
laki-laki yang lebih patut dinamakan  binatang dari pada 
manusia! 
malam itu ada show dalam rangka malam dana 
untuk yatim piatu bertempat di Grand Hotel Lembang. 
Butik milik nyi kembang  mendapat kesempatan 
memperagakan koleksi-koleksi pribadi yang akan 
dilelang dengan harga tinggi. tiny  tinggal sendirian 
di rumah, dan dengan leluasa masuk ke kamar ibunya, 
dan berhasil menemukan apa yang ia cari di laci salah 
satu lemari yang lebarnya memenuhi dinding kamar. 
Sepucuk revolver, lengkap dengan peredam. namun  
tiny  juga menemukan sesuatu yang lain. Sebuah 
amplop yang di lak dan terasa agak berat waktu ia 
angkat. Sudut kiri amplop tertera nama seorang 
pengacara dan di bawah garis pemisah tertulis : SURAT 
WASIAT, dan di tengah-tengah amplop mirip susunan 
nama dan alamat seperti pada amplop biasa di mana 
tertera nama dan alamat nyi kembang . 
Ingin tahu, tiny  membuka lak amplop itu 
dengan hati-hati dengan mempergunakan uap panas 
yang mengebul dari thermos berisi air panas... 
Pada waktu yang bersamaan, di Lembang, 
dengan alasan mau ke kamar kecil nyi kembang  bangkit 
dari kursinya meninggalkan dul latief  bercakap-cakap 
dengan beberapa orang relasi. Diam-diam ia dari 
kamar mandi menerobos diantara penonton-
penonton tanpa karcis yang berdesak-desakan di 
korridor bagian samping gedung dan dari sana 
menyelinap ke halaman parkir. Petugas parkir rupanya 
tengah asyik mengintip band yang sedang gembrang-
gembrong di atas panggung, sehingga nyi kembang  
bersyukur bisa masuk ke mobilnya tanpa ketahuan, la 
membuka kap depan, ke luar dari mobil, dengan 
beberapa peralatan dengan apa ia lalu  sibuk 
merusak susunan sistim rem dan saluran bensin. 
nyi kembang  sudah nekad. Kehilangan sekian belas 
juta rupiah tidak soal lagi baginya, meski pada saat 
bekerja membongkar sistim rem dan saluran bensin, 
sempat terlintas di benaknya, mengapa ia tidak 
berminat selama ini untuk mengasuransikan mobil 
tersebut. Suasana pertunjukan di lobby hotel kota 
kecil yang lengang itu tepeniwise t menguntungkan 
pekerjaan nyi kembang . la tak lama lalu  sudah  
kembali duduk di tempatnya semula, dan berusaha 
agar bau bensin bekas membersihkan minyak olie 
yang mengotori tangannya tidak terbaui, dengan lebih 
dahulu  mencucinya pakai sabun di kamar mandi. Semua 
itu berlangsung, tanpa seorangpun yang mengetahui. 
Tiba-tiba, ia seperti teringat sesuatu.  
“dul latief ,” bisiknya pada laki-laki yang jadi 
tumpuan pikirannya itu.  
“Ya, nyi kembang ?” 
“Ada notulen-notulen yang lupa kubawa dan 
tertinggal di rumah. Bisa kau ambil dalam satu jam?” 
dul latief  berdiri sambil  tersenyum.  
“Kau selalu melarangku ngebut,” katanya 
dengan mata bersinar. “Kali ini tidak, bukan?” 
nyi kembang  membalas senyuman dul latief  tanpa 
berkata apa-apa. Jantungnya berdegup demikian 
kencang sehingga ia khawatir senyum di bibirnya 
kelihatan janggal. namun  suasana lobby yang remang-
remang kembali menolong. dul latief  bergegas pergi, 
tanpa menaruh kecurigaan apa-apa. Dentam-dentam 
bass-guitar dan drum di panggung, rasanya tidak 
sehebat bunyi dentuman-dentuman yang meledak-
ledak di dada nyi kembang . la hampir kuat menahannya 
sehingga terpaksa menyandarkan diri ke kursi.  
“Sakit?” tanya Zus Ita, perancang mode-nya. 
“Lelah, itu saja. Tak usah persoalkan.” 
Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat waktu 
seorang anggota panitia menyentuh bahunya dan 
mengatakan ada telephone. Padahal baru beberapa 
detik dan dul latief  pasti baru memasuki mobil. Apakah 
... 
“Dari nona tiny  ...,” menerangkan orang itu. 
“Oh,” dan dengan nafas lega nyi kembang  bergerak 
menuju tempat telephone. 
dul latief  agak mengalami kesulitan ke luar 
dari pelataran parkir yang penuh sesak. Baru 
lalu  dengan bantuan Hansip dan petugas parkir 
yang susah payah dicari baru bertemu, Mercedez yang 
ia naiki bisa lepas bebas di jalan, sesudah  mana ia 
tancap gas, mula-mula tidak terlalu cepat di jalanan 
menurun dan berbelok-belok menuju ke kota 
Bandung. Tangannya merasakan keganjilan sesudah  
meninggalkan Lembang, namun  ia pikir mungkin 
sebab  ia terlalu cepat. Oleh sebab  itu lari mobil agak 
ia kurangi, dengan keputusan akan minta maaf pada 
nyi kembang  bila ia tidak bisa datang pada waktunya. 
Sementara itu, sebuah mobil lain melaju dengan 
kecepatan tinggi dari Bandung menuju Lembang, 
Sebuah Capella mungil yang masih baru, dengan suara 
rem yang berdecit-decit nyaring melalui jalan berbelok 
dan suara angin menderu menempuh jalan menanjak 
yang lurus. Di belakang setir, duduk tiny  dangan 
mata lurus memandang ke depan, dan pikiran yang 
menerawang. 
“Aku harus cepat ...,” ia berkata  sendirian. 
“Waktuku cuma sedikit. Sebuah tembakan akan 
meninggalkan petunjuk. namun  tidak sebuah mobil 
yang hancur masuk jurang ...” 
dul latief  mengutuk setengah mati sebab  di 
beberapa tempat jalan sedang diperbaiki dan 
semalam itu masih banyak kendaraan yang pulang 
pergi antara Bandung-Lembang. Mengapa ia 
mengiyakan saja diberi waktu satu jam, dan mengapa 
pula rem ini agak mengulah? la ingin turun untuk 
memeriksanya, namun  itu tentu akan memakan tempo 
sedikit. Persetan dengan janji, yang penting 
keselamatan, pikirnya, lalu memutuskan untuk santai 
saja, dan bersenandung kecil sepanjang jalan sekedar 
meredakan kegelisahan ... 
Menjelang daerah Cirateun, ia melewati jalan 
yang di kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang 
lampu depannya pada menyala terang benderang. 
Lalu tiba-tiba ia melihat sebuah mobil di parkir di balik 
bayangan kegelapan pohon di pinggir jalan yang 
sedikit membelok. Waktu melewati mobil itu sekilas 
dul latief  melihat ada percikan api kecil. Seperti dari 
bensin gas. Ah tidak. Seperti percikan mercon atau ... 
Atau apa, dul latief  tidak mengetahuinya lagi, sebab  
sekonyong-konyong samping kepalanya seperti 
diterpa sebuah benda berat dan sesuatu menembus 
kepalanya melalui otak dan membuat darah 
bercipratan ke kaca depan mobil. 
Dalam detik-detik terakhir, dul latief  menginjak 
rem sekeras-kerasnya. namun  pedal itu tidak bereaksi. 
dul latief  hanya kaget sebentar, sebab  sesudah nya ia 
sudah tidak ingat apa-apa lagi. Mobil meluncur ke 
samping, menghantam kandang kerbau di samping 
rumah seorang penduduk, lalu  meluncur 
merambas kebun ketela dan terbang ke jurang 
berbatu-batu di bawahnya ... 
Tepat pada saat Mercedez itu lenyap ke dalam 
jurang, mobil yang parkir semenjak tadi di balik 
bayangan pohon, melakukan putaran cepat lalu  
tancap gas menuruni jalan lurus ke kota Bandung. Di 
belakang setir duduk tiny  dengan pipi yang basah 
oleh air mata. la dapat mengenali dengan baik mobil 
yang meluncur dari arah Lembang saat  ia menunggu 
tak jauh dari rumah-rumah berlampu terang 
benderang itu. Bahkan ia dapat melihat dengan jelas 
wajah dul latief  yang tampaknya sedang bersiul-siul di 
belakang setir Mercedez. 
Tangan tiny  gemetar waktu meletakkan 
revolver pada jok di sampingnya. Lewat kaca spion, ia 
melihat cahaya kuning membersit dari samping kiri 
jalan nun semakin jauh di belakang, muncul dari arah 
jurang yang tadinya gelap menganga. Cahaya itu 
semakin cemerlang dan tiny  semakin merasa pasti 
warna yang ganjil itu dimuncul kan oleh kobaran api 
dari sebuah mobil yang terbakar hebat. 
“dul latief ku yang malang,” gumam tiny  
dengan suara pahit. “Maafkan aku. Sesudah  kau, calon 
anakmu dalam kandunganku ini akan segera 
menyusulmu. Apa boleh buat. Daripada aku harus 
bersuamikan laki-laki penghasut busuk seperti kau ...!” 
Betapa tidak. 
Amplop yang laknya ia buka di rumah, berisi 
surat wasiat ibunya yang dibuat hanya beberapa jam 
sebelum amplop itu dicuri lihat oleh tiny . Di situ 
tersirat dengan jelas pribadi nyi kembang  yang sebetulnya  
sebagai seorang ibu. “Apapun yang terjadi,” demikian 
nyi kembang , “tiny  adalah anakku. Segala harta 
kekayaan yang kumiliki mutlak jatuh atas tiny , 
sebagai pertanda kasih sayangku padanya. Seburuk 
apapun langkah yang ia tempuh, senista apapun dosa 
yang sudah  ia perbuat, tiny  tetap menerima 
haknya. Hal ini berlaku selama aku hidup maupun 
jika  sesuatu yang fatal terjadi atas diriku. 
Keputusan ini kubuat sebagai kata akhir atas nama 
hukum, dengan jiwa yang sadar sesadar-sadarnya 
dan…” 
Dan air mata tiny  semakin bersimbah. 
anting-anting itu dibentuk menyerupai ular, 
melingkar seperti cincin dengan sebutir permata kecil 
yang berkilau-kilauan di masing-masing kepalanya. 
Kubayangkan permata itu menempel di cuping telinga 
Leliana, mempermanis wajahnya yang lembut 
kekanak-kanakan, seakan bersaing dengan mata 
bocahnya yang bundar berseri-seri. Akan namun  
melihat harganya yang tercantum pada secarik kertas 
persegi, mau tidak mau aku terpaksa membayangkan 
pula berapa banyak uang yang harus kukeluarkan. 
Harga emas sudah  melonjak jauh lebih tinggi dari 
dugaanku semula sebelum berangkat dari rumah. 
Betapa tidak sebanding dengan gaji suamiku yang 
jangankan naik, penggunaannya dapat kupertahankan 
pun sudah syukur. 
Selagi aku kebingungan, tiba-tiba ada suara 
berkata  di sampingku: “Bagus, ya?” 
Semula aku tidak memperhatikannya. Mungkin 
seorang pembeli lain tengah bercakap-cakap dengan 
temannya. Akan namun  suara itu semakin k dekat di 
telingaku, bahkan ia menyebut sebuah nama yang 
sesaat  membuatku berpaling : 
“Boleh aku membelikannya untukmu, nyi girah ?” 
Dari terheran-heran, aku lalu  menjadi 
pucat. 
la  seorang Laki-laki  dengan cambang yang tidak 
terurus dan rambut yang bergelombang panjang 
menutupi pundak , sudah  sedemikian rapat dengan 
tubuhku sehingga saat  aku menoleh, wajah kami 
hampir beradu. Matanya bersinar-sinar saat  
menatapku, dan dari bibirnya yang tipis dan tajam, 
melambangkan kekerasan hati, tersungging seulas 
senyum yang sesaat membuat jantungku berdebar. 
“K-kaa-kauuu ...” aku mendengus, tergagap. 
Senyumnya semakin lebar.  
“Apakah aku tampak seperti orang asing, 
nyi girah ?” 
Aku mencoba tersenyum. Namun gagal. namun  
tampaknya ia tidak perduli. Sesudah  memperhatikan 
wajahku sejurus, ia berkata , seolah kepada dirinya 
sendiri : 
“Kau semakin cantik saja, nyi girah …” 
Wajahku bersemu merah dengan cepat. 
Dengan gugup aku memandang berkeliling. Untunglah 
pembeli yang sedang berkerumun di sekitar etalase 
toko emas itu sedang asyik dengan persoalannya 
sendiri-sendiri. Namun mau tidak mau aku agak malu 
juga melihat tatap penuh tanda tanya dari pelayan 
toko yang sedari tadi dengan sabar menunggu di 
depanku, dibatasi etalase kaca setinggi dada. saat  
mata kami beradu, mata pelayan toko itu mengerdip 
dan ia melepas seulas senyum menggoda. 
“Berapa sih harga anting-anting ini?” aku 
bertanya sambil  menunjuk ke benda yang kumaksud, 
meski sudah melihat harganya tercantum di kertas 
persegi itu. Pelayan toko melebarkan senyumnya dan 
menyidik ke balik etalase kaca, lantas dengan suara 
peniwise ia menyebutkan jumlah yang kutanya, ditambah  
dengan bujukan halus dari seorang sales yang 
berpengalaman : 
“Model baru. Dan tidak terlalu mahal…” ia 
memandangku bergantian, lalu  ke wajah laki-
laki di sampingku, kembali kepadaku lantas 
menambahkan : “Apakah adik nona berwajah bujur 
telur dan…” 
Cepat aku menukas, dengan tekanan yang 
cukup jelas: 
“Bukan adik. namun  untuk anakku. Ya, benar. 
Leliana bujur telur wajahnya ...” 
“Oooo,” pelayan yang peniwise tamah itu melirik 
sekilas kepada laki-laki di sampingku, lantas memberi 
suntikan yang menentukan : 
“Anting-anting model ini sangat cocok untuk 
raut wajah seperti anak nyonya,” ia sudah  merubah 
panggilan dari nona ke nyonya, dan  sikapnya tampak 
lebih hati-hati. 
Aku terpesona oleh sikapnya itu. Secara 
naluriah aku agak menghindar sedikit dari sisi laki-laki 
di sampingku. Tidak terlalu menyolok sehingga 
menyinggung perasaannya, namun cukup untuk 
memberi tanda bahwa aku pun bisa bersikap lebih 
hati-hati dari pelayan itu. Dengan bimbang 
kupandangi anting-anting yang bagus itu, tertarik 
amat sangat terutama sesudah  pelayan itu berhasil 
menunaikan tugasnya untuk membujuk sang pembeli. 
Namun kembali teringat persediaan uang dalam tas 
membuatku semakin ragu-ragu. Setidak-tidaknya aku 
harus meminta pendapat suamiku, meski ia tidak akan 
banyak cingcong kalau aku membelinya sekarang juga. 
“Tidak kurang lagi?” tanyaku setengah hati. 
Pelayan itu mendekati seorang wanita lesbian  
bermata sipit dengan dress yang terbuat dari bahan 
jersey mahal, berbisik-bisik sebentar lantas kembali 
menghadapiku. ditambah  senyuman manis, ia 
mengatakan harganya bisa diturunkan sampai batas 
lima ratus rupiah, namun  tidak lebih dari itu. Berarti, 
aku harus kembali ke rumah, menunggu suamiku 
pulang sambil memandangi wajah anak tersayang 
yang ingin kumanja melebihi apa pun di dunia ini. Aku 
minta maaf pada pelayan itu dan tidak berani untuk 
berjanji akan datang kembali. Belum juga sempat aku 
menarik nafas, laki-laki di sampingku sudah berkata 
dengan tandas :  
“Bungkuslah. Aku yang bayar!”  
Sesaat , aku menjadi gemetar dan kembali 
pucat. 
“Jangan!” dengusku dengan khawatir, lantas 
menjauhi toko perhiasan itu, tanpa mengacuhkan 
pandangan mata orang-orang lain yang rupanya mulai 
tertarik. Aku semakin malu dan bergegas menuju 
pelataran proyek pertokoan itu di mana Vespa-ku 
terparkir. Dalam beberapa langkah panjang laki-laki 
tadi sudah  berjalan di sampingku, dan suaranya nyata-
nyata memperlihatkan kekecewaan hati. 
“Mengapa, nyi girah ?” tanyanya, setengah 
memprotes, setengah memohon. “Bulan depan anak 
itu genap berusia lima tahun. Salahkah aku 
memberikan hadiah untuknya?” 
Aku tertegun, dan semakin pucat.  
“Apa apa maksudmu?”  
la kelihatan gusar. 
“Tak usahlah berpura-pura. Aku tahu siapa anak 
yang kau maksud. Dan aku tak pernah lupa 
menghitung bulan dan tahun berapa ia lahir. Dan kau 
sendiri tahu, bahwa kau belum pernah mengandung 
sebelum itu ...!” 
Aku gemetar dan mulai takut. 
“Mus ...,” aku tergagap, tak tahu apa yang mau 
ku utarakan. 
“Hem?” ia memandangku, penuh harap. 
Dan aku segera memutuskan : 
“Mengapa tidak kau tinggalkan saja aku sekarang?” 
Kegusaran kembali meronai wajahnya. la 
tampak lebih keras dan jantan dengan cambang 
bauknya, sedikit lebih dewasa, namun sinar matanya 
membuatku merasa takut. Pundaknya bergerak-gerak 
sebentar, mulutnya kumat-kamit tanpa mengeluarkan 
suara, la jelas tengah berjuang melawan perasaan 
hatinya, dan sungguh mentakjubkan, ia berhasil. 
Senyuman peniwise kembali bermain di bibirnya. Lantas 
dengan lembut ia membujuk : “Setidak-tidaknya, kau 
tak akan menolak kutraktir minum ... Ada sebuah bar 
yang menyenangkan di bagian dalam proyek…” 
“Terima kasih.” 
“namun  nyi girah …” 
“Aku sudah  punya suami!” 
“Ah. Aku tahu, jauh sebelum ini. namun  nyi girah , 
aku aku rindu kepadamu dan dan, nyi girah , apakah anak 
itu sehat-sehat saja? la wanita lesbian , bukan? sebab  
kau bermaksud beli anting-anting untuknya, la tentu 
cantik sekali. Seperti siapakah dia? Dan siapa 
namanya?” 
Dengan gundah, aku berkata dalam hati, bahwa 
Leliana mirip ayahnya. Bukan ayah angkat, melainkan 
ayah kandungnya, laki-laki yang kini berdiri dengan 
sikap seorang bawahan menghadap majikannya. 
Alangkah terkutuknya kalau kuutarakan isi hatiku itu. 
Untuk melenyapkan perasaan gundah, kujawab saja 
pertanyaannya yang terakhir: 
“Namanya Leliana. Kami memanggilnya Anna.” 
“Dua nama yang tak mungkin kulupakan ia 
berkata . “nyi girah . Dan kini, Anna!” 
Sudut-sudut matanya berlinang.  
“donald duck ,” kukira aku hampir runtuh.” Maukah 
kau memaafkan aku?” 
“Untuk?” ia tersentak. 
“Meninggalkan aku sekarang!” 
Ia menggigit bibir keras-keras. Kelihatan betapa 
ingin ia untuk memeluk, sekurang-kurangnya di 
perkenankan menyalamiku. namun  dari tatap mataku 
ia sadar ia tidak akan memperolehnya. Sesudah  
bingung sejenak, ia berbisik: 
“Aku merindukanmu. Merindukan anakku. 
Merindukan masa-masa lalu…” 
“Semua sudah  lewat, donald duck . Dan semua itu, 
adalah dosa. Terkutuklah, kalau aku harus mengulangi 
nya kembali, sesudah  aku memperoleh ketentepeniwise n 
dari suamiku…” 
“Kau kau berbahagia dengan dia, nyi girah ?”  
Mulutku mau terbuka untuk menjawab 
pertanyaan itu, namun  hati kecilku menahannya. Yang 
ke luar lalu  adalah ucapan tajam yang tidak ingin 
dibantah : 
“Lupakanlah aku, Mus. Anggaplah kita tidak 
pernah bertemu bahkan berkenalan. Apalagi, dari 
perkenalan itu sudah  lahir benih-benih kas ...,” aku 
menggigit bibir, ingin menangis, ingin mengutuki 
keterlanjuran ucapanku. Oh, oh aku bergegas menuju 
pelataran parkir, mencari Vespa itu dan lalu  
bergegas menaikinya. Sesudah  membayar ongkos 
parkir, aku menderu ke jalan raya, tanpa menoleh-
noleh lagi. Diterpa angin gersang di siang bolong yang 
terik itu, wajahku terasa perih, mataku semakin basah 
dan jiwaku runtuh berkeping-keping. Hampir saja. 
Hampir saja kukatakan bahwa dari hubunganku 
dengan laki-laki itu, sudah  lahir benih-benih kasih 
sayang!  
Betapa terkutuknya! 
Betapa tidak tahu dirinya aku ini. Maafkan aku, 
mas nyoto , ampunilah isterimu yang meragukan cinta 
kasihmu ini! 
“hei! awas!” 
Aku tersentak oleh seruan peringatan itu. 
Dengan mengerjapkan mata untuk menghilangkan 
gangguan yang menggoncangkan jiwaku selama 
beberapa saat tadi, aku melihat mas nyoto  berdiri dari 
tempat duduknya. sambil  melemparkan surat kabar 
yang tengah ia baca ia berlari-lari menuruni terras dan 
buru-buru memandangku Leliana yang tergeletak di 
tanah. Untung tidak ada batu di sana, dan hanya ada 
rumput tebal sehingga tidak melukai Leliana saat  ia 
terpeleset waktu mencoba menarik sehelai kain dari 
jemuran. 
“Ke mana saja matamu, mbok?” rungut mas 
nyoto  sambil  memangku anak itu. Wajahnya tampak 
sangat gusar. 
wanita lesbian  setengah umur yang tengah 
menjahit jemuran, menjawab dengan cemas : 
“Sudahlah, mas!” aku berseru dari terras. “Toh 
salah Leliana sendiri. Lagi pula ia tidak cidera, lihat 
saja, bahkan menangis pun ia tidak ...” 
Anak itu memandangiku lewat pundak ayah-ya, 
lalu  merengek:  
“kanjeng mami  itu baju Anna, boleh ya, ambil...”  
“Husy. Kain jemuran kelewat tinggi untukmu,” 
ayahnya bersungut. “Sudah sana, main boneka!” 
Mas nyoto  lalu  membawa Leliana masuk 
ke rumah, dan tak lama lalu  kudengar mereka 
berdua tengah bermain-main di dalam. Leliana ribut 
meneriakkan boneka-bonekanya, dan sama sekali mas 
nyoto  mengumandangkan lagu Pinokio yang sedang 
populer dengan ipeniwise  yang sumbang. Leliana tertawa-
tawa saat  mendengar ayahnya tidak keruan 
menyanyikan bait demi bait lagu itu, bahkan 
menambahkan kata-kata yang sebetulnya  tidak ada, 
sehingga anak yang lebih hafal lagu itu dari ayahnya 
terdengar sesekali “mengajarkan” dengan suara 
bocahnya yang lugu dan lucu. 
Betapa intimnya anak beranak itu. 
Seolah mereka terlahir dari satu darah, dari satu 
keturunan. sudah  lama aku menganggap semua itu 
wajar, bahkan pelan-pelan aku merasa percaya  bahwa 
Leliana adalah anak mas nyoto , dan mas nyoto  adalah 
ayah kandung Leliana. namun  seseorang sudah  muncul 
hari ini. Seseorang yang kembali mengingatkan aku 
kepada kodrat alam, yang tidak bisa dibantah. Leliana 
bukan anak mas nyoto . Dan ayah dari anak itu, entah di 
mana sekarang berada. 
“Aku merindukanmu,” terngiang kembali 
ucapannya tadi siang “Merindukan anakku ...” 
Aku menangkupkan wajah di telapak tangan. 
Menahan tangis. Apalagi katanya tadi? 
“Dua nama yang tidak bisa kulupakan. nyi girah . 
Dan kini, Anna ...” 
Suara donald duck  mengiang-ngiang di telinga, 
menggema seperti alunan musik dari kejauhan, 
merambat bersama semilirnya angin, menusuk dalam, 
berusaha memporak-porandakan hati yang sudah  
sekian tahun tenggelam dalam kebahagiaan yang 
semu. 
Wajah tampan dan tubuh yang gagah itu sudah  
menunggu di luar gerbang sekolahan, begitu pelajaran 
terakhir selesai dan aku berjalan ke luar bersama 
beberapa teman sekelas yang lain. la duduk dengan 
santai di jok motor 175 cc-nya, namun  tampak perkasa 
dan penuh daya pesona, saat  ia berdiri saat  
melihatku muncul di kejauhan. Dua tiga orang teman-
temanku mulai berbisik-bisik, bahkan yang seorang 
sudah  meledak : 
“Ah, kita-kita ini, apalah. Ayoh, kamu semua. 
Menyingkir…,” lantas sambil  tertawa cekikikan Maria 
menyeret Lusi dan Donna menjawab, sementara 
Marwan dan Hadisusanto tersenyum kecut lantas 
membiarkan aku sendirian, berjalan ke tempat di 
mana Laki-laki  itu menanti. Dan aku tahu, ia sudah  di 
sana, lebih dari satu jam, dan sudah  menghabiskan 
paling tidak lima batang rokok... 
“Hai, nyi girah  ...,” ia menyapa lembut. 
“Hai ... Mus. Sudah lama?” 
la tertawa. 
“Bosan aku mendengar ucapanmu yang itu ke 
itu juga,” sepeda motornya ia starter, menderu-deru 
bunyinya, seram dan gagah seperti pemiliknya. 
Kebanggaan dan kekaguman meledak-ledak dalam 
jiwa remajaku, dan dengan gemetar oleh daya pesona 
yang ajaib aku lalu  duduk di jok belakang, 
dengan lengan kiri memeluk tas sekolah dan lengan 
kanan melingkar di pinggang ramping namun  keras dan 
padat. 
“Ke mana kita hari ini, nyi girah ?” 
“Terserah kau, Yang!” 
la mengelus telapak tanganku yang menekap 
bagian depan perutnya. Lembut dan hangat lalu  
motor kaliber berat itu melonjak dengan gagah ke 
jalan raya, menderu seperti angin dengan suara yang 
riuh rendah. Mataku nanap memandang kian kemari, 
dan dengan penuh kebanggaan membalas lambaian 
seorang dua teman yang memandang kagum dari 
kejauhan. 
“Ada sebuah filem bagus. Bintangnya…” 
Tidak, Mus,” aku menolak, sambil  menyibak 
kan rambut yang menutupi mataku oleh terpaan angin 
deras. “Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, 
hari ini.” 
Sesaat tubuhnya terasa menegang. namun  
segera mengendur kembali, dan dengan tenang ia 
berujar: 
“Baiklah. Bagaimana kalau kita pergi ke tempat 
yang biasa?” 
“Terserah, Yang.” 
Diusapnya lagi punggung telapak tanganku, 
bahkan sedikit ia remas, setengah gemas, setengah 
manja. Menderu-deru kendaraan itu membelah udara 
senja, melesat melalui kendaraan-kendaraan di 
depan, menyelinap dari satu ke lain mobil, dengan 
suara klakson yang menjerit-jerit minta diberi jalan. 
saat  akhirnya kami turun dekat pintu gerbang 
sebuah pemandian air panas, pelataran parkir sudah  
sepi. Langit senja di ufuk Barat tampak kemerah-
merahan, dan angin lembut menyelinap dengan 
belaiannya yang menggetarkan kulit di balik blouse 
sekolahku yang longgar.  
donald duck  tidak membeli tiket masuk.  
Penjaga loket yang sudah mengenal kami 
dengan baik, memberikan anggukan yang sudah 
terbiasa kami terima saat  kami melewati loket karcis 
dan langsung menuju sebuah cottage kecil berdinding 
tembok namun beratapkan injuk tebal berwarna 
hitam pekat, dengan bentuk yang artistik. Begitu kami 
berada di dalam cottage, donald duck  menutupkan pintu. 
lalu  kami saling berhadapan, bertukar pandang 
dengan gejolak hati yang penuh gelora. Dalam sekejap 
kami sudah  saling berpelukan, dengan lidah saling 
mencari di antara bibir yang berpagut, panas dan 
penuh birahi. 
“Muss…,” aku lalu  sadar diri, dan 
merenggang dari pelukannya. 
la menatapku dengan mata redup. 
“Ada apa, nyi girah ?” 
Aku melangkah ke sebuah kursi rotan dengan 
lapis jok yang tebal, menghenyakkan pantat dengan 
perasaan gelisah. 
“Maukah kau mengambilkan minuman, 
sebelum kita berbicara?” 
la memandangiku sebentar, lalu  ke luar 
dari cottage. Tak lama lalu  ia kembali dengan 
sebuah baki, di atas mana terdapat sebotol coca-cola, 
sebotol bier dan sepiring sate kambing yang masih 
kebulan asapnya sesaat  merangsang perutku. Kami 
duduk berhadapan dan menghabiskan dua puluh 
tusuk sate hanya dalam beberapa menit. Sesudah  
membersihkan mulut dengan Coca Cola untukku dan 
bier untuk Mustopa, mataku terasa setengah 
mengantuk. Lelah oleh perjalanan, sahara ng sebab  
kebanyakan makan. 
“Hei, kau,” ia menepuk-nepuk wajahku, lembut. 
“Jangan tidur. Kita tak boleh kemalaman,  bukan?” 
Susah payah, kubuka mataku. 
“Aku ngantuk sekali.” desahku, setengah ingat 
setengah tidak. “Barangkali lebih baik aku mandi 
dahulu .” 
Aku lalu  bangkit dengan malas dan 
berjalan ke sebuah pintu bagian dalam cottage. Uap 
hangat segera menerpa wajahku saat  pintu itu 
terbuka. Aku melangkah masuk ke dalam, sesudah  
lebih dahulu melepas sepatu. Kulepas pakaian 
sekolahku, sampai ke lapis yang paling dalam 
lalu  terjun ke bak selebar dua kali tiga meter 
dengan dalam setinggi dada. Tanpa memperdulikan 
perubahan suhu yang mengejutkan kulit, kubenamkan 
tubuh sampai ke dasar bak, bertahan di dalam selama 
beberapa detik lalu  menyembulkan kepala di 
permukaan air dengan nafas terengah-engah. 
“Obat mujarab menghilangkan kantuk, bukan?” 
Yang bertanya itu adalah donald duck . la sudah  
tardiri di pinggir bak, dan mataku mengerjap dengan 
getaran-getaran yang tidak tertahan. saat  aku 
berpaling ke gantungan pakaian, di kapstok itu aku 
tidak saja melihat pakaianku, namun  juga pakaian 
donald duck . 
“Sabarlah menunggu, Mus ...” aku memprotes, 
namun  tidak sepenuh hati. 
la tertawa lunak. 
“Kau selalu bilang, tidak enak mandi sendirian,” 
katanya, lantas dengan gaya seenaknya ia 
mencemplungkan tubuhnya yang tinggi kekar ke 
dalam air. la berenang berkeliling sebentar, dan saat  
ia berhenti, kami sudah  berdiri berhadap-hadapan di 
tengah-tengah. Sesaat, matanya menatap ke mataku, 
dan saat  turun melewati leherku, ia kelihatan sedikit 
terguncang. 
“nyi girah  ...,” bisiknya, saat  ia kembali 
menatapku. 
Kedua tangannya terjulur ke depan. Kubiarkan 
jari-jemarinya yang gemetar menyapu wajah 
lalu  pundakku, dan aku merasa terbang di 
awang-awang saat  ia menarikkan tubuhku rapat ke 
tubuhnya. 
“Mus, jangan…” aku mencoba memprotes. 
“Aku cinta padamu, nyi girah . Aku ingin 
memilikimu, sampai kapan pun. Aku merindukanmu, 
menyayangimu, dan tidak tahan terlalu jauh dari 
engkau nyi girah , sayangku, nyi girah , manisku, nyi girah , cantikku 
...” 
Air dalam bak berkecipak, melimpah sampai 
keluar saat  tubuh kami serentak terbenam kedalam, 
berpadu jadi satu, seolah tidak terpisah-lagi. Sesekali 
kami berdua mengapung kembali ke permukaan air, 
menghirup udara segar, lantas kembali menyelam 
dengan tubuh yang semakin tidak terpisahkan. Suatu 
saat, aku meronta dalam air, mengerang dengan suara 
megap-megap, sehingga donald duck  terpaksa menyeret 
ku naik dan membaringkan tubuhku di lantai yang 
lembab dan licin, ia menatapku sejenak, namun -
lalu  tidak lagi memberiku kesempatan untuk 
bernafas. 
Kupejamkan mata, dan kubiarkan segalanya 
berlalu.  
Dan... 
 Mas nyoto  tahu-tahu sudah  menyentuh bahuku. 
“Sudah malam, nyi girah . Tidakkah kau kedinginan 
di luar sini?” 
Aku menoleh dengan kaget, dan tengadah 
menatap wajahnya. 
“Oh!” ucapku, tersadar.  
“Kau ... sakit?” 
“Ah, tidak…” aku merundukkan muka, 
menyembunyikan perasaan hati. 
“namun  kau gemetar. Dan dan wajahmu 
berkeringat.” 
Aku menggigit bibir, bingung dan gelisah. 
“Kau demam. Tak usah membantah…” katanya, 
sambil  mengangkatku berdiri, dan membimbingku 
masuk ke dalam rumah. “Sudah berapa kali kau 
kuperingatkan, sayangku, agar tidak terlalu kerja 
berat. Dan ah, tadi siang kau tentu sudah  berlelah-lelah 
pergi ke pasar, padahal kandunganmu ...” 
“Mas,” aku merebahkan kepala di bahunya. 
“Aku,… aku takut.” 
la terkejut, dan memutar tubuh, menghadapi 
ku. 
“Apa yang kau takutkan, sayangku?” 
“Kukira aku terlalu sering muntah dan dan 
meskipun kandunganku baru berumur tiga bulan, 
rasa-rasanya aku sudah  menerima pemberontakan 
yang kuat di dalam.” 
sebetulnya  aku berkata sekenanya saja, 
sekedar menutupi kegugupanku sebab  ia kejutkan 
dari lamunan ke masa laluku yang terkutuk itu. Namun 
suamiku yang selalu polos dan jujur menghadapiku, 
menanggapi ucapanku tanpa curiga apa-apa. Malah ia 
tertawa, renyai dan bahagia, sesudah  mana ia 
lalu  berkata dengan nada menggoda : 
“Itu pertanda, kita bakal punya anak Laki-laki !”  
Kutatap matanya. Tajam. Teringat olehku, 
sesuatu, kini. 
“Kau kau tak akan membeda-bedakan kasih 
sayangmu, bukan?” 
“Ha? Membedakan apa?” 
“Anakmu kelak ...” 
“Dengan siapa? Kau?” ia tersenyum, mesra. 
“Tidak, manisku. Tidak akan!” 
“Maksudku, anak Laki-laki mu, dengan ... Leliana!” 
Sepasang matanya membesar. 
“Ah, aku mengerti kini,” ia membuang nafas 
panjang, lega. “Itu yang membuat kau khawatir dan di 
luar tadi, jadi seorang pelamun. nyi girah , sayangku. Kau 
tidak meragukan aku, bukan?” 
Ingin aku menjawab. namun  mulutku terkatup, 
leherku kaku. 
“Anna anakku,” ia mendengus, tandas, “la anak 
wanita lesbian ku yang sangat manis, sangat lucu. Dan eh, 
kau katakan tadi, anak Laki-laki  ... Duh, nyi girah . Kalau itu 
terjadi, lengkaplah sudah mainan kita. Sepasang 
bocah, yang satu Laki-laki , yang satu wanita lesbian . Sesudah  
itu, bakal dapat keturunan atau tidak, aku tidak akan 
perduli lagi ...” ia mengecup pipiku, lembut, lalu : 
“Makan malam masih hangat. Ayoh, jangan kita 
biarkan sampai dingin.” 
Ia tertidur pulas di sampingku, sesudah  kami naik 
ke tempat tidur menjelang tengah malam. Aku 
betulkan letak sebelah tangannya yang terlipat di 
bawah pinggangnya, dan lebih merapatkan tangannya 
yang lain yang mendekap rapat ke perutku. Aku 
berbaring telentang, menatap langit-langit kamar dan 
tetap gagal untuk berusaha memejamkan mata, yang 
dari saat ke saat terasa semakin perih. Mengapa? 
Wahai, mengapa donald duck  muncul, justru di saat 
kebahagiaan yang semu itu perlahan namun  nyata 
mulai membentuk jadi kebahagiaan yang murni? 
Apa yang ia kehendaki, sesudah  sekian tahun 
berlalu? 
la merindukanku, katanya. Dan ia juga 
merindukan anakku, yang tetap ia pertahankan 
sebagai anaknya! Anak yang dahulu  hampir saja tidak 
mau ia pertanggung-jawabkan, hampir saja tidak mau 
ia akui kehadirannya. Betapa mengerikan. Betapa 
menjijikkan. Hampir pingsan aku senja itu, di dalam 
cottage terkapar lesu di tempat tidur yang empuk 
namun  kehangatannya seolah sudah  berlalu. 
“Aku ... aku belum siap, nyi girah ,” ujarnya, terbata-
bata. 
Kemarahan mendera kepalaku dengan kejam. 
Nafasku sesak, namun  kesadaranku masih bersisa. Kemarahan itu tidak akan membuat suasana menjadi 
lebih baik. Bahkan mungkin, akan meninggalkan aku 
terlunta-lunta. Dengan susah payah aku bisa juga 
menguasai diri, namun lama lalu  baru aku bisa 
mengeluarkan suara yang seolah terjepit di 
kerongkongan: 
“Kau tidak bisa membantahnya, Mus. Aku 
hamil. Dan kukira, aku tidak mungkin berlama-lama 
menyimpan rahasia ini pada orang-tuaku!” 
la tercenung. Lama. Lantas : 
“Jadi, belum ada yang tahu.” 
Aku gemetar oleh nada suaranya yang ganjil. 
“Ya. Lalu, bagaimana?” 
“Masih ada jalan lain yang bisa kita tempuh.” 
“Maksudmu?” 
“Kandunganmu. Belum terlalu tua untuk di...” 
Aku terlonjak dari baringku, pucat dan gemetar. 
“Maksudmu… maksudmu…” aku mendengus, 
liar dan tidak terkendali, sampai-sampai kalimat yang 
meledak-ledak dalam dada tidak mampu ke luar sama 
sekali, dan menghancurkan sendiri dadaku di dalam. 
Air mataku merembes ke luar, tak bisa ditahan lagi. 
“nyi girah , tenanglah,” donald duck  memelukku. namun  
betapa lengan-lengannya berubah dingin, tidak 
hangat dan sepanas saat  beberapa saat sebelumnya 
lengan yang sama menggelutiku di dalam air.  
“Kau tahu, aku tidak mungkin meminta kepada 
orangtuamu. Aku memang bisa datang, dan 
mengatakan akan melamarmu, namun  ... nyi girah , kau 
sendiri tahu. Mereka tidak akan menerimaku. Mereka 
akan : menendangku jauh-jauh. Dan sekali kukatakan 
bahwa aku sudah  membuntingimu, mereka tidak saja 
akan membunuhku, namun  juga kau!” 
“Tidak. Tidak. Tidaaak,” aku menjerit, histeri. 
donald duck  merangkulku dengan keras, mencium 
mulutku dengan ganas, sehingga jeritan-jeritanku 
tenggelam dan histeriku lenyap perlahan-lahan. saat  
ciuman yang menyesakkan nafas itu berakhir, 
donald duck  berkata dengan suara terengah-engah : 
“Mereka, nyi girah ... Orang tuamu selalu menuntut 
... Aku harus punya pekerjaan tetap, tidak mengandal 
kan kekayaan orangtuaku belaka. Pekerjaan yang 
hasilnya akan mencukupi rumah-tanggaku, menjauh 
kan kau dari kesengsaraan yang mereka takutkan. 
Mereka sudah  memanjakanmu melebihi apa pun di 
dunia ini dan mereka tidak melepaskan engkau ke 
tangan seorang Laki-laki  yang tidak ada apa-apanya di 
depan mata mereka.” 
“Aku tak perduli!” tangisku. “Aku ingin kau 
nikahi, secepat mungkin. Aku tak perduli, apakah 
sesudah  itu aku bisa kau beri makan atau tidak.” 
“Justru itu yang kuragukan, nyi girah !” 
Aku terjengah. 
“Maksudmu?” 
la menatapku. Muram wajahnya, suram matanya. 
“Kau kau tidak tahu siapa aku sebetulnya , nyi girah . 
Orangtuaku tidak saja terlahir di tengah-tengah 
kemiskinan, namun  juga juga mereka sudah lama tidak 
mengaku anak padaku. Pendidikanku hanya sampai di 
kelas satu es-em-a, dan semenjak itu, aku harus 
berjuang sendirian menghadapi hidup yang suram dan 
menakutkan.” 
“Aku akan menemanimu. Aku akan 
mendampingimu. Kalau anak kita lahir kelak, aku akan 
memperkenalkan anak kita kepada orangtuamu, 
supaya mereka bisa menerima kehadiranmu kembali.” 
“namun , nyi girah , bagaimana dengan orang tuamu 
sendiri?” 
Aku terpana. 
Papa selalu mengingatkan: 
“Kau boleh lanjutkan hubunganmu dengan 
gelandangan yang tidak karuan silsilah keluarganya 
itu. namun , kuharap, kau menyingkir dari rumah ini!” 
Dengan lidah kelu, aku mendesah :  
“donald duck , sayangku. Aku lebih mementingkan 
engkau. Jangan pikirkan orangtuaku ...!” 
namun  ternyata tidak begitu gampang persoalannya. 
Suatu saat , aku terhempas di kamar mandi. 
Masih untung aku sempat berpegangan ke tepi bak 
mandi, sebelum meluncur jatuh ke lantai. Kepalaku 
pusing, seolah ditusuk-tusuk beribu-ribu jarum. 
Keringat membanjir ke luar dari seluruh pori-pori 
kulitku. Mas Totok yang menemukanku terkapar di 
lantai kamar mandi segera membopongku ke kamar 
tidur dan membaringkan aku yang dalam keadaan 
setengah pingsan di atas ranjang. kanjeng mami  menangis 
kalang kabut, dan papa di telephone ke kantor, la 
muncul setengah jam lalu , ditambah  dokter 
pribadi keluarga kami. Dokter itu hanya memerlukan 
waktu tak lebih dari lima menit untuk memeriksa 
keadaanku dan lalu  menyampulkan diagnosa 
nya: 
“Anak bapak hamil. Kandungannya sudah 
berumur empat bulan.” 
kanjeng mami  menjerit lengking, lantas jatuh pingsan. 
Mas Totok ternganga. Dan papa... Wajahnya berubah 
kelabu. saat  ia lalu  menatapku yang terbaring 
kaku ketakutan di tempat tidur, matanya berubah liar 
dan mulutnya berbusa saat  ia mengeluarkan 
teriakan-teriakan marah. Kalau tidak ada dokter dan 
mas Totok yang menghalang-halangi, tentu aku sudah 
berhasil ia cekik sampai mati, saat itu juga. 
Sesudah  ia diberi obat penenang oleh dokter, 
malam itu papa menuntut: “donald duck -kah orangnya?!”  
Leherku bagaikan patah, saat  mengangguk 
kan kepala. 
Ayah bangkit berdiri. Dan langsung membuka 
laci. la memiliki ijin resmi untuk sepucuk pestol kaliber 
tiga delapan yang segera tergenggam di tangannya. Melihat itu, kanjeng mami  berlari menyerbu dan berusaha 
merampas pestol itu. 
“Sadarlah, pak. Tahan emosimu!” jerit kanjeng mami , 
ngeri. 
“Diam! Biarkan aku!” ayah membentak. “Akan 
kubunuh laki-laki itu ...!” 
“Dan, membiarkan anakmu menjanda tanpa 
menikah?!” dengus kanjeng mami . 
Papa terhenyak. 
Senjata yang mengerikan itu lepas dari 
tangannya, jatuh menggelinding di lantai, dengan 
suara berisik yang memekakkan telinga. Sepi 
menyesak beberapa lama, sampai lalu  papa 
menghela nafas panjang, lantas berkata kepada mas 
Totok: 
“Carilah bangsat itu, Tok. Dengan cara apa pun, 
bawalah ia ke mari!” 
Totok yang merah padam wajahnya semenjak 
tadi, menggerematkan gigi, lantas bergegas ke luar. 
kanjeng mami  berlari-lari menyusulnya, dan di pintu depan 
samar-samar kudengar kanjeng mami  mengingatkan :  
“Aku tak mengharapkan salah seorang di antara 
kalian sampai ada yang terluka, anakku!”  
Dan mas Rotok menjawab : 
“Demi kau, ma, aku berjanji.” 
mas totok pulang saat  matahari sudah  terbit. 
Wajahnya lesu, rambut dan pakaiannya kusut, 
sekusut tetapan matanya, saat  ia mendatangi papa 
yang tidak bergerak seinci pun di tempat duduknya 
semenjak malam harinya, dan berkata dengan suara 
patah-patah: 
“la sudah  kucari di mana-mana. Jangankan 
batang hidungnya. Kabar beritanya pun tak kudapat!” 
Hari demi hari berlalu. 
Tidak saja kesepian dan ketegangan 
menggantung selama penungguan itu. namun  juga 
neraka. kanjeng mami  dan papa sekali terlihat dalam 
pertengkaran sengit. kanjeng mami  menyalahkan papa yang 
terlalu ekstrim mengawasi anak-anaknya. Sebaliknya 
papa menuduh kanjeng mami  terlalu memanjakan kami, 
sehingga lepas dari kontrol mereka sebagai orangtua. 
Dan aku terpaku diam, tidak bisa berkata sepatah pun 
158 
 
jua, jika  sesudah  mendengar papa dan kanjeng mami  
bertengkar, mas Totok langsung mendatangiku. Dan 
ucapannya selalu, adalah : 
“Mereka tidak patut saling salah menyalahkan!” 
Aku tak menyahut. 
Tak sunggup. Dan ia memang tidak memberi 
kesempatan. sebab  selalu ia sudah melanjutkan : 
“Kau yang salah. Tak bisa menahan nafsu. Tak 
bisa menjaga kehormatan dirimu sendiri!” 
Sesekali aku membalas dengan marah : 
“Dan kau? Apakah kau kira hanya kau yang 
benar di rumah ini? Bagaimana dengan isterimu yang 
sudah kau cerai?” 
Plak! Tamparan deras hinggap di pipiku. Sakit 
alang kepalang. 
Ingin aku meludah. namun  buih-buih kemarahan 
hanya bisa menggumpal dalam mulutku, yang kering 
kerontang. 
“Kami tidak bercerai,” dengusnya, marah, 
“Kami hanya berpisah sementara, untuk lebih 
mendewasakan diri, dan menunggu tempo dimana 
159 
 
kami bisa bersatu kembali, dengan menenggang rasa 
satu sama lain, agar tidak kelewat angkuh!” 
“Kesombongan orang-orang yang masih bersisa 
feodal!” aku menuduh. 
“namun  kami tetap menjaga kehormatan diri, 
nyi girah . Camkan itu.” 
“Lantas, pelacur-pelacur yang kau tiduri?” 
Matanya memerah saga. 
Dan ia tidak berkata sepatah pun lagi. la tinggal 
kan aku sendirian di kamarku. Sendirian menelan 
kemenangan, sekaligus kekalahanku! 
nyoto -lah orangnya yang mempertegas 
kekalahanku itu. 
nyoto  yang masih terhitung famili, dan diam-
diam pernah menitip pesan pada mas Totok bahwa 
suatu saat  kelak ia akan memperisteriku. la sangat 
percaya  pada cita-citanya itu. namun  ia harus menunggu 
dua tiga tahun, untuk melaksanakannya. Menunggu 
pendidikannya selesai dahulu , sehingga ia memperoleh 
kedudukan dan gaji yang lebih baik di kepolisian, 
tempat ia mengabdikan diri semenjak menamatkan 
sarjana mudanya di AKABRI. 
saat  ia tahu aku lebih tertarik pada laki-laki lain, 
dengan sabarnya ia berkata : 
“Tidak. Laki-laki itu tidak akan memilikimu!” 
Tentu saja, seperti biasa, ucapan itu ia utarakan 
lewat mulut mas Totok, yang membuatku tertawa 
setengah mati. 
“Apa haknya untuk mengatakan itu?” rengutku 
kepada mas Totok. “Memandang mataku pun, ia tidak 
berani!” 
namun , betapa luar biasa tajam dan menusuk 
mata nyoto  saat  hari itu ia muncul di rumah. Aku, mas 
Totok, papa dan kanjeng mami  mengelilinginya, dan semua 
memusatkan perhatian kepada mulutnya, la sudah  
berkata bahwa ia akan mengatakan sesuatu mengenai 
Totok. Dan, sesudah  kami berempat hampir kehabisan 
nafas menunggu, baru mulutnya yang tiba-tiba 
menarik perhatian semua orang itu, terbuka. Dan apa 
yang ia katakan, adalah ledakan bom yang lebih 
mengejutkan dari pengaruh ledakan bom sesungguh 
nya: 
“donald duck  ditangkap!” 
la menatap kami satu persatu, baru lalu  
memperjelas arti ucapan pembukaan itu : 
“sudah  lama ia melakukan operasi bersama 
teman-temannya, dan belum pernah berurusan 
dengan polisi. namun  dua hari yang lalu, ia tertangkap 
basah saat  menggerayangi isi sebuah toko emas!” 
nyoto  yang menuntunku sore harinya ke kantor polisi. 
la memegang lenganku dengan kuat, menjaga 
kalau-kalau aku sampai jatuh pingsan, selama aku dan 
donald duck  saling bertemu muka dibatasi oleh jeriji besi. 
Tetap tampan dan gagah, donald duck  memperlihatkan 
senyumnya yang penuh daya pesona itu saat  
melihatku, da seolah demikian percaya  akan dirinya, 
saat  menerangkan bahwa apa yang ia lakukan 
adalah apa yang selama ini ia kerjakan. 
“Demi hidup, nyi girah ,” katanya tandas. “Dan 
saat  kau mendesak untuk kawin, aku tidak melihat 
jalan lain. Aku bermaksud menguras habis isi toko itu 
sebagai hadiah perkawinan. namun  mereka menggagal 
kannya. Kuharap kau mau memaafkan aku, nyi girah  ...” 
Memaafkannya? 
Tidak. Tidak mungkin, la sudah  mendustaiku 
semenjak lama. Mengatakan ia ikut dengan paman 
nya, seorang pengusaha yang kaya-raya. Pamannya itu 
memberikan modal untuk berusaha sendiri, beberapa 
kali jatuh bangun. lalu  sebab  sahara ng oleh 
kegagalan, ia memisahkan diri dari pengaruh moril 
dan  materiel pamannya, lalu bersama beberapa 
orang temannya melakukan obyek-obyek yang lebih 
menguntungkan, meskipun dengan hasil yang tidak 
tetap dan teratur. Baru sekarang aku tahu, apa obyek 
yang ia maksud. 
“Yang paling tidak bisa kumaafkan, Mus,” aku 
terisak-isak, sambil  memegangi jeriji besi dengan 
buku-buku jari memutih. “Mengapa pemilik toko itu 
mesti kau bunuh?” 
la angkat bahu. Katanya: 
“Tak ada jalan lain. la mengenalku, dan aku 
tidak ingin tertangkap.” 
“Kau ...,” aku setengah berteriak. “Tegakah kau 
membiarkan anakmu suatu saat  kelak, tahu ayahnya 
seorang pembunuh?!” 
Baru pada saat itulah, donald duck  runtuh, la 
menjadi pucat, gemetar, lalu  menjauh dari jeriji 
besi. 
Semenjak itu aku tidak pernah lagi melihatnya. 
Tidak saja sebab  ia selalu menolak kehadiranku, dan 
keluargaku selalu bersikeras agar aku melupakannya 
saja. namun  terutama sebab , nyoto  suatu hari 
bertanya: 
“Kau tidak akan menjadi seorang pembunuh 
seperti donald duck , bukan?” 
Aku mengangkat kepalaku dari bantal. sudah  
seminggu lebih bantal itu melekat di bawah kepalaku 
yang letih dan selalu berdenyut-denyut, yang oleh 
dokter pribadi keluarga kami dikatakan sebagai akibat 
shock mental. 
“Apa maksudmu, mas nyoto ?” tanyaku lirih.  
“Anak dalam kandunganmu. Biarkan ia lahir ...” 
Aku menangis. 
“Tidak. Tidak mungkin, la tak boleh lahir tanpa ayah…” 
“la akan lahir, disaksikan oleh ayahnya.” 
“A-ayahnya? Maksudmu ...” 
“Benar, nyi girah . Aku akan menikahimu, hari ini 
juga. Semua keluarga sudah  setuju. Dan persetanlah 
kau, kalau suatu saat  kau mengatakan anak dalam 
kandunganmu ini, bukan anakku!” 
la menundukkan wajah, mencium bibirku. 
Ciuman lembut, tidak bergelora dan panas 
menggebu-gebu seperti kalau donald duck  menciumku. 
Betapa jauh rasanya. Dan betapa jauh perbedaannya. 
Ciuman yang penuh nafsu donald duck , dengan noda 
mengiringinya, dan  ciuman lembut penuh kasih 
sayang nyoto , dengan kebahagiaan yang ia selundup 
kan ke dalamnya. Kebahagiaan yang selama beberapa 
tahun, seolah-olah tidak pernah kumiliki. Betapa ia 
pasrah dan sabar menunggu. 
Penungguan yang tidak sia-sia. 
Pada ulang tahun perkawinan kami yang 
keempat, aku berbisik di telinga mas nyoto :  
“Kemaren dahulu  aku ke dokter, mas…” 
“Ha? Kau sakit?” 
“Justru sebaliknya. Aku pasti sakit, kalau tidak 
ke dokter.” 
“Apa yang sudah  kau lakukan?” 
“Membuka ikatan yang menyakiti iniku…” aku 
menunjuk ke bawah perutku, tepat di selangkangan, lantas mengerdip dengan nakal. Mas nyoto  terbelalak 
sebentar, dan saat  ia mengerti apa yang kumaksud, ia memeluk dan menciumiku dengan hangat. 
“Kau kau bersedia juga akhirnya untuk menerima 
benih-benihku dalam kandunganmu, nyi girah ?” 
Aku mengangguk. 
Dan dengan lebih nakal, kutambahkan : “Kau 
boleh menanam benih itu, mulai malam ini, mas.” 
aku tengah menyempurnakan motif kembang di 
popok bayi yang kusulam saat  telephone berdering. 
Mbok Enah yang lagi ngepel lantai dan kebetulan 
berada paling dekat dengan meja segera berdiri dan 
menyambar telephone itu. Sesudah  menyahuti 
sebentar, ia memandangku. 
“Dari Tuan…” katanya. 
Kutinggalkan sulamanku, dan berjalan ke telephone. 
Sementara mbok Enah meneruskan pekerjaannya, di 
seberang sana kudengar suara suamiku yang riang: 
“Kau baik-baik saja, sayang?” 
“Ah, mas,” sahutku, lembut. “Terimakasih, kau 
menelephone. Tidak sibuk rupanya?” 
“Sibuk sih, lumayan. Kau 'kan tahu apa yang 
tengah kuhadapi. Eh, nyi girah , sudah hampir jam 
167 
 
sepuluh. Kalau kau tak sempat, biar aku yang 
menjemput Anna…” 
“Teruskan saja pekerjaanmu, mas. Aku masih 
ada waktu.” 
“Tak akan terlambat lagi, bukan? Dua hari yang 
lalu ia mengadu padaku. Katanya ia menangis di pintu 
pagar, sebab  kelewat lama menunggu ...” 
“Nggg, jangan layani dia, Mas. Nanti jadi manja.” 
“Uh. Namanya juga, turunan ibunya!” ia 
tertawa, lantas. “Cup, ya?”  
“Cup, mas nyoto .” 
Telephone kuletakkan kembali di tempatnya. 
Sesudah  menyimpan sulaman di kotak mesin jahit, aku 
lalu  bergegas ke dapur mengambil tas. Sekalian 
bermaksud belanja, sesudah  menjemput Leliana di 
Taman Kanak-Kanak tempat ia sekolah, yang letaknya 
tidak begitu jauh dari Pasar. Baru saja aku akan ke luar, 
saat  telephone berdering lagi. Kali ini, aku yang lebih 
dahulu mengangkatnya, sebab  mbok Enah sudah 
keburu masuk ke ruang dalam. 
“Hallo. Ada apalagi, Mas…” 
Kalimatku diputus oleh suara asing di seberang sana: 
168 
 
“Hai, manis. Aku bukan mas-mu,” terdengar 
tawa yang lunak dan sedikit serak, lalu : “namun  kalau 
kau tetap ingin kubelikan mas yang di toko itu ...” 
“donald duck !” aku mendengus pucat.  
“Ah, kau mengenal suaraku juga akhirnya.”  
Aku gemetar sesaat . “Mau apa kau?” 
“Ingin berbincang-bincang. Tak lebih.” 
“Aku ada urusan. Maaf.”  
Telephone baru mau kuletakkan dengan jengkel 
saat  kudengar ia menukas dengan suara setengah 
berteriak: 
“Hai, tunggu. Ini tentang Anna!” 
Hampir saja telephone terlepas dari genggamanku. la 
tertawa. Renyai, dan setengah mengejek.  
“Apa kabarmu, manis?” 
“Mus. Kau bicara soal Anna, bukan ...” 
“Kau dan Anna adalah milikku. Satu sama lain 
tak bisa dipisahkan, sudah  kukatakan padamu, bukan?” 
“Demi Tuhan, donald duck . Lupakanlah!”  
la tertawa lagi. Kali ini, tak beremosi.  
169 
 
“Dengarkan, nyi girah . Aku beberapa menit yang 
lalu bertemu Leliana di sekolah. Aku bermaksud 
membelikan permen loli, namun  ia lari saat  
melihatku. Maukah kau lain kali, mengatakan agar ia 
jangan takut padaku, dan menjelaskan bahwa aku 
adalah ayahnya?” 
“Mus!” 
“Eh, mengapa cemas? Permintaanku wajar, 
toh?” 
“Darimana kau tahu nomor telephoneku? Dan 
bagaimana kau tahu tempat Anna sekolah, dan  ...” 
“nyi girah , manisku. Jangan terlalu banyak 
bertanya. Kau membuang waktu saja. Lekaslah jemput 
Anna, sebelum terlambat...” 
Sesaat , gagang telephone terlepas dari 
tanganku. Aku berlari ke luar rumah, menstarter 
Vespa lalu  ngebut ke sekolah Leliana. Aku tiba 
lima menit sebelum waktu pelajaran selesai, dan tidak 
melihat bayangan laki-laki tinggi kekar bercambang 
tidak terurus di sekitarnya. Meskipun selalu 
dianjurkan agar orangtua murid mempercayakan 
anak-anak mereka kepada guru, agar anak-anak tidak 
kolokan, aku bergegas juga pergi ke ruang kelas di 
mana Leliana belajar. Lewat kisi-kisi kawat tipis, aku 
170 
 
mengintai ke dalam, dengan jantung berdebar 
kencang. 
Guru kelas tengah berbicara dengan seorang anak. 
Dan anak itu, adalah Anna.  
Kusandarkan tubuhku yang gemetar ke dinding 
kelas, dan menarik nafas lega berulang-ulang. 

Melihat mas nyoto  yang letih saat  pulang untuk 
makan siang, keinginan untuk menceritakan kejadian 
hari itu kusimpan saja dalam hati, meski pikiranku 
sangat kacau balau sebab nya, la dengan riang 
melayani anaknya yang minta disuapin, sehingga aku 
menegur Leliana : 
“Husy, Anna. Malu dong. Kau sudah besar!”  
Leliana merengut. 
la tentu akan menghentakkan kaki ke lantai, 
kalau tak keburu mas nyoto  membujuk : 
“Anna mau yang mana? Telor dadar? Atau gepuk?” 
Wajah Leliana menjadi cerah. 
sambil  merangkul lengan ayahnya, ia berseru 
manja: 
171 
 
“Epuk, papa, epuk ...” sambil  menunjuk ke 
daging gepuk di piring. Selagi ayahnya mengambilkan 
gepuk, anak itu menghadiahkan tidak saja lirikan 
mata, namun  juga bibir yang dicibirkan. Untuk 
menyempurnakan kedongkolannya, dari mulut 
bocahnya masih sempat melepaskan kata-kata : 
“Idii, kanjeng mami , maluuuu ...!”  
Mau tak mau, aku mencubit lengannya dengan 
campuran dongkol dan gemas. Leliana menjerit-jerit, 
dan minta tolong pada ayahnya. Mas nyoto  pura-pura 
menamparku dengan menamparkan kedua telapak 
tangannya di atas pundakku, lantas tertawa bergelak. 
Tuhanku, aku mengeluh. 
Tegakah donald duck  merusak kebahagiaan anak 
beranak ini? 

  
172 
 
 
 
 
 
 
 
UNTUNGLAH guru kelas Leliana bersedia mengawasi 
anakku begitu ia kulepas di gerbang sekolahan, sampai 
aku datang menjemputnya kembali, la tidak bertanya 
mengapa aku tampak begitu khawatir, namun  untuk 
menghilangkan kecurigaannya aku lalu  
menjelaskan :   
“la makin nakal. Kemarin, ia kabur dari rumah, 
untung cepat ketahuan.” 
Dusta besar itu bisa menimbulkan tafsiran yang 
bukan-bukan dari gurunya terhadap Leliana, namun  
aku tidak melihat jalan lain untuk ditempuh. Lagipula, 
guru yang baik itu lebih tahu mengenai Anna   di 
sekolah. Apakah ia anak yang nakal dan suka kabur, 
atau tidak. Anna itu anak yang baik dan penurut, suatu 
hari guru kelas itu berkata. Heran, kalau ia sampai 
kabur dari rumah. Mendengar itu, cepat aku mencari 
173 
 
alasan; wah, maklum, banyak teman-teman sebaya 
nya yang kurang diawasi orangtua. Mereka yang 
ngajak Anna pergi lebih jauh dari rumah... 
Nah, kali ini kesalahan kutuduhkan ke alamat 
tetangga. 
Pada siapa kesalahan berikut akan kutimpakan? 
Dan sampai kapan aku bisa mengkambing hitamkan 
orang lain? Terutama terhadap mas nyoto , yang 
meskipun sibuk mengurus promosi kenaikan pangkat 
untuk menjadi kepala bagian, namun matanya cukup 
awas untuk mengetahui apa yang terjadi? 
“Kau tampak gelisah akhir-akhir ini, nyi girah ,” 
katanya, suatu malam. “Dan kau berusaha menyimpan 
sendiri kesusahanmu. Apakah aku sudah tidak kau 
percaya sebagai teman bicaramu?” 
“Aduh, mas. Apa yang kau katakan ini?” aku 
pura-pura tersinggung, untuk mengelakkan kekagetan 
ku oleh ucapannya yang langsung itu. 
“Apakah ada sesuatu yang salah padaku, nyi girah ?” 
“Mas nyoto . Kau sangat baik padaku, pada 
anakku dan ...” 
“Eh, apa pula ini. Kau menyebut 'anakku', bukan 
'anak kita' seperti biasanya. Bukankah kau sudah 
174 
 
pernah berjanji untuk tidak mengucapkan segala 
omong kosong itu?” 
Mendengar tuduhannya yang berbau 
kemarahan itu, aku segera menemukan jawab dalam 
usaha melepaskan diri dari kecurigaan mas nyoto . 
“Bukan begitu, mas. Maafkanlah. namun , 
lumrah toh, kalau seorang ibu mengkhawatirkan 
anaknya. Lebih-lebih, sesudah  kini aku mengandung 
anak yang lahir dari darah dagingmu. Sudah banyak 
yang mengatakan, bahwa jika  seorang suami 
memperoleh anak yang lahir dari benihnya sendiri, 
maka sang suami itu akan mulai berkurang kasih 
sayangnya kepada anak yang dibawa sang isteri dari 
suami atau laki-laki lain ...!” 
la tiba-tiba mencengkeram pundakku dengan marah. 
“Katakan siapa orang itu, nyi girah ! Dan aku akan 
mengajarinya bagaimana cara hidup bertetangga yang 
baik!” 
“Aduh, mas!” aku menyeringai, kesakitan, la 
cepat-cepat melepaskan cengkepeniwise nnya, namun 
tetap mendengus-dengus, marah. “Sudah mas, 
lupakan sajalah apa yang kukatakan.” 
175 
 
“Huh ...” ia mengeluh. “Makanya kalau kelewat 
sering nenangga, lantas mau bergunjing.”  
Aku diam saja. 
Dan merasa menyesal, sudah  membangkitkan 
kemarahan mas nyoto , bahkan membangkitkan 
kecurigaannya kepada orang lain yang tidak bersalah. 
Diam-diam aku merasa khawatir, ia akan memperlihat 
kan sikap yang bisa merusak hubungan baik kami 
selama ini dengan tetangga-tetangga atau kenalan 
yang suka berkunjung ke rumah. Wahai, betapa 
semakin banyak dosa-dosa yang sudah  kuperbuat, 
justru sesudah  dosa-dosa masa lalu belum lagi hapus 
dari ingatan, apalagi ampunan Tuhan! 
Celakanya, donald duck  tidak mau mengurangi 
tekanannya. 
Suatu hari ia menelephone : 
“Hai, sombong amat. Kupanggil-panggil, namun  
terus ngebut dengan Vespa-nya. Masih suka merajai 
jalanan seperti dahulu , ya?” 
Betapa kurang ajarnya donald duck . 
la coba mengingatkan aku ke masa lalu. Suka 
ngebut bersama teman-teman. Selama itu, kami tidak sampai mencelakakan orang lain maupun diri sendiri. namun  kecelakaan yang tidak terduga-dugalah yang justru terjadi. Di arena kebut-kebutan itulah aku mulai 
berkenalan dengan donald duck , yang berlanjut ke 
hubungan intim dan berakhir dengan “kecelakaan” 
yang membuat malu sanak keluargaku, kalau tak 
keburu muncul mas nyoto  sebagai dewa penolong 
dalam “kecelakaan” itu. 
Lain hari, si terkutuk itu menelephone lagi  
“Mengapa kabur dari pasar kemaren, nyi girah ?”  
Bagaimana tidak. Tiba-tiba ia sudah  berada di 
sampingku waktu aku sedang menawar harga seekor 
ayam boiler. la menegurku dengan peniwise h, tapi 
jangankan untuk membalas tegurannya, untuk 
membeli ayam boiler itupun aku sampai lupa, sebab  
ingatanku hanya segera kabur pulang ke rumah. 
Herannya, aku tidak meletakkan telephone 
sesudah  tahu ia yang menghubungiku. Setidak-
tidaknya aku masih bisa mengharapkan satu hal dari 
donald duck , sesuatu yang kuharap akan baik untuk kami 
berdua, namun  menurut dia sangat kejam dan terlalu. 
“Meninggalkan dan melupakan kau dan Anna? 
Tak bisa, nyi girah . Tak bisa. Aku akan mati penasaran 
kalau ...” 
“Kalau begitu, mungkin mati adalah yang paling 
baik untukmu, Mus,” aku mendengus, marah dan 
jengkel. “Hentikan menggangguku terus-terusan, atau 
kalau tidak...” 
“Kalau tidak,…” ia yang kali ini memotong 
pembicaraan. “Kau akan mengadukanku pada 
suamimu, bukan? Sudah demikian takutkah kau meng 
hadapiku sekarang, meski aku hanya ingin melepaskan 
perasaan rindu dan kasih sayang yang sudah  sekian 
lama terpendam?”  
Aku terpaku, diam. la meneruskan: 
“Bahkan, tak sekalipun kau bertanya, kapan aku 
ke luar dari penjara, dan apa pekerjaanku sekarang.” 
“Aku,… aku,...” 
“Katakanlah, nyi girah ,” ia berbisik di telephone, 
penuh harap. “Katakanlah, bahwa kau masih 
mencintaiku!” 
Gagang telephone, jatuh dari tanganku, dan aku 
berlari ke kamar tidur, menangis tersedu-sedu. 
Sesudah  tangisku reda, lalu  kuputuskan untuk 
tidak menerima telephone dari donald duck , dan 
mengingatkan mbok Enah agar mengatakan aku tidak 
di rumah, kalau yang menelephone bukan mas nyoto . 
Suamiku dengan heran bertanya, mengapa setiap kali 
ia menelephone yang menerima selalu pembantu 
rumah. Pertanyaan itu kujawab, sebab  aku sibuk 
menyulam dan menjahit pakaian bayi, atau sedang 
sibuk di dapur. 
Dan saat  aku suatu hari berpapasan dengan 
donald duck  justru saat  aku baru saja ke luar rumah 
untuk mengantar Leliana ke sekolah, kesabaranku 
mencapai batas akhir. 
Ingin kulabrak tubuhnya yang menghalangi 
jalan ke luar di pintu pagar. namun  pandangan 
matanya yang lurus tertuju ke wajah Leliana, 
membuatku tertegun sendiri, dan bingung untuk 
sesaat. 
“la cantik sekali, bukan nyi girah ?” gumam ustapa, 
renyuh. 
Aku terbungkam. Benar-benar terbungkam.  
“Maukah kau mencium pipiku nak?” tiba-tiba 
saja ia sudah  mendekat dan berjongkok di samping 
Vespa. 
Leliana agak merungkut, dan menatapku degan 
mata penuh tanda tanya. Air mataku hampir 
merembes ke luar, dan saat  berpaling mataku 
beradu dengan pandangan mata mbok Enah yang 
kebetulan sedang menjemur kain di pekarangan 
samping. Dengan gugup, aku lantas berujar, tanpa 
melihat ke arah donald duck  : 
“Jangan mengharap dia yang melakukan, Mus. 
Kaulah yang mengecup, kalau kau ingin!” 
Tanpa menunggu sedetikpun, donald duck  
memeluk Leliana dan mengecup kedua belah pipinya 
dengan penuh kasih sayang. Ajaib namun mengerikan, 
anak itu tidak menjerit dan menangis ketakutan 
sebagaimana kuharapkan. Melainkan, Leliana diam 
saja saat  donald duck  memeluknya berlama-lama, dan 
bahkan mendekatkan pipinya untuk dicium. 
lalu , ia tertawa, sambil  berkata dengan gaya 
kebocahannya :  
“Ih, gatal ...” 
donald duck  melirikku, lantas kembali menatap 
Leliana. Entah perasaan apa yang berkecamuk di 
dadanya. 
“Apanya yang gatal, Anna?” 
“Rambut oom ...,” ia menunjuk ke kumis dan 
cambang donald duck , sehingga laki-laki itu tertawa. 
Dapat kurasakan betapa kebanggaan dan keharuan 
bercampur aduk dalam suara ketawanya, sehingga 
membuat hatiku tergoncang dan aku terpaksa 
menggigit bibir keras-keras menahan tangis yang mau 
meledak ke luar. 
“Sudah, Mus?” aku berusaha bersikap sepeniwise 
mungkin. 
donald duck  berdiri. 
“Aku berterimakasih, kau memberi 
kesempatan,” ujarnya, lirih. 
“Ya. Untuk yang pertama, dan demi Tuhan, 
semoga yang terakhir kali. Berjanjilah ...!” 
la menatapku, tajam. 
Lalu, merogo sesuatu dari kantong celananya. 
saat  tangannya ia keluarkan kembali, ia sudah  
menggenggam sebuah bungkusan plastik berwarna 
bening, sehingga aku bisa melihat isinya. Sepasang 
anting-anting emas berbentuk ular, dengan butir 
permata berkilauan di masing-masing kepalanya. 
Darahku berdesir, saat  melihat benda itu. 
“Kau kau merampoknya?” desisku, kelu. 
Wajah donald duck  merah dadu. 
“Hentikan menghinaku, nyi girah . Aku sudah 
berhenti me…” 
“Simpan kembali perhiasan itu, donald duck .”  
“namun  ia akan berulang tahun minggu depan. 
Dan aku bermaksud ...”  
Versnelling Vespa kumasukkan. Lantas 
berkata , keras dan tajam :  
“Tinggalkanlah kami sekarang. Aku tak mau 
dilihat orang!” 
Matanya menjadi liar, saat  ia menatapku. 
Otot-otot tubuhnya mengencang, dan nafasnya 
mendengus seperti kuda habis berpacu. 
“Baik,” bisiknya, serak dan parau.” Ternyata kau 
bukan nyi girah  yang dahulu  lagi. nyi girah  yang selama ini 
kuharapkan. Aku akan pergi. namun  kesalahan jangan 
ditimpakan kepada diriku semata, sehingga kau 
semena-mena merendahkan martabat dan 
keLaki-laki anku. Penghinaanmu hari ini sudah lebih dari 
cukup. Lain kali, adalah giliranku!” 
la membalikkan tubuh, lalu  berlalu. Aku 
tidak berani menatapnya. Bahkan aku tidak berani 
meneruskan niat untuk pergi mengantar Leliana ke 
sekolah. Vespa kuputar kembali, memasuki 
pekarangan rumah. lalu  menuntun Leliana ke 
dalam, dengan lutut goyah dan jari-jemari gemetar. 
Samar-samar kudengar Leliana. 
“Siapa orang itu, kanjeng mami ?” 
Aku memandangi anakku, dengan mata yang 
mengabur, ia diam, menunggu jawaban ke luar dari 
mulutku, dan akhirnya aku bisa memenuhi 
keinginannya, meski apa yang kuucapkan, adalah 
dusta terbesar dan paling terkutuk, yang pernah 
kuucapkan kepada Leliana: 
“la teman papamu, Anna. namun  papa tak suka 
pada orang itu, sebab  ia jahat. sebab  itu, papa akan 
marah, kalau Anna ceritakan pernah bertemu dengan 
teman yang tidak disukai papa.” 
Matanya terbelalak. 
“Jahat, kanjeng mami ? Apa yang mau ia beri tadi untuk 
Anna?” 
Aku bersimpuh, dan menatap tajam ke mata Leliana. 
Ujarku: 
“Racun, nak. Racun!” 
hari hari berikutnya ketegangan yang mengerikan 
selalu menghantui diriku. Aku terkejut kalau 
mendengar telephone berdering, kadang-kadang 
malah sampai menjerit kaget kalau seseorang 
menegur atau menyentuh pundakku dari belakang, 
manakala aku tengah menunggui Leliana di 
sekolahnya. Anak itu tidak kulepaskan barang 
sedikitpun dari pengawasanku, dan aku sendiri 
mengurangi kebiasaan ke luar rumah, dan hanya mau 
kalau ditemani oleh mas nyoto . Urusan ke pasar 
kuserahkan kepada mbok Enah, dan kalau aku 
sendirian di rumah, pintu dan jendela selalu kubiarkan 
terkunci. 
Keganjilan itu bukan tak disidik oleh mas nyoto . 
“Kau seperti takut rumah kita di rampok orang!” 
Mendengar kata “rampok” itu, aku setengah 
terpekik. Mas nyoto  yang maksudnya bergurau, heran 
melihat perubahan sikapku itu. Selama beberapa saat 
ia tampak berpikir keras, dan saat  matanya mengecil 
sadarlah aku, bahwa yang bau itu sudah  tercium juga 
akhirnya. 
“nyi girah  ...,” ia memegang lenganku. Lembut. 
namun  dengan tatap mata yang keras: 
“Apakah ia ...,” mas nyoto  tidak meneruskan 
kata-katanya, melainkan tampak berpikir, dan ia 
bernafas berat sebelum melanjutkan ucapannya : “Ah, 
benar. Mengapa baru sekarang aku teringat. donald duck  
sudah  waktunya bebas dari penjara ...” 
Mataku terpejam, takut. 
Kalau saja mas nyoto  bertanya. 
namun  ia justru memelukku. Rapat, dan hangat, 
lantas berbisik di telingaku, lembut dan mesra: 
“Maafkan aku, nyi girah . Seharusnya aku tahu, apa 
yang selama ini kau cemaskan ...” 
Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. 
Namun keesokan harinya ia menelephone dari 
kantor: 
“donald duck  memang sudah bebas. Menurut 
laporan yang kuterima, ia sudah  menyingkir ke lain 
kota, dan berusaha hidup menjadi seorang petani. 
Jadi, nyi girah , tak ada yang perlu kau cemaskan bukan?” 
Pertanyaan itu, sepintas lalu kedengaran tidak 
bermaksud apa-apa. 
Namun buat telingaku sebagai isterinya, jelas ia 
mengharapkan jawaban dari mulutku. Jawaban 
terhadap pertanyaan yang tersirat di balik pertanyaan 
biasa itu. Lama aku kebingungan mencari kata-kata 
yang tepat, sampai akhirnya aku memutuskan.  
Ujarku : 
“Mas. Selagi kau ada di sampingku, aku tidak 
takut menghadapi apapun juga!”  
Kudengar ia menarik nafas lega. Malah, kubayangkan 
ia tersenyum bangga. Dan sebetulnya lah, ketegangan 
itu terlalu berlebihan menggoda pikiranku. donald duck  
tidak pernah lagi menelephone atau berusaha 
menemuiku muka ke muka. Kukira ia hanya 
mengeluarkan ancaman didorong oleh kemarahan 
emosionil semata, dan sesudah  memikirkan segala 
macam akibatnya, ia sudah  melupakan tidak saja 
ancamanannya, namun  juga melupakan bahwa aku dan  dia pernah bertemu. 
saat  ulang tahun Leliana tiba, ia kembali 
muncul. Tidak dalam wujud dirinya, melainkan dalam 
wujut sebuah paket berisi kado ulang tahun. Kami 
merayakan pesta kecil yang sederhana. Hanya dihadiri 
oleh beberapa teman sekelas Leliana, tetangga-
tetangga dan beberapa orang sanak famili. Acara 
makan siang hanyalah berupa nasi kuning, ditambah 
kueh ringan untuk teman-teman Leliana, pemotongan 
kueh taart dan peniupan lilin ulang tahun sebanyak 
lima batang. 
Tiap orang memberi kadonya. 
Termasuk seorang tukang pos yang mengirim 
kan sebuah paket untuk kami. Sesudah  tukang pos itu 
kami suruh makan dan minum, ia lalu  pergi, 
sesudah  mana disusul oleh tamu-tamu yang lain. 
Tinggal aku dan suamiku, Leliana, dan salah seorang 
tetangga paling dekat yang dengan anak-anaknya 
membantu mbok Enah membereskan segala bekas 
perhelatan yang sangat sederhana itu.  
Kado terakhir yang kami buka, adalah paket 
yang diserahkan tukang pos. Sementara Leliana 
dengan suara ribut membuka kado-kado yang lain, aku 
dan suamiku tidak melepaskan pandangan mata dari 
kado yang berstempel pos luar kota itu. saat  
akhirnya Leliana membukanya, aku memejamkan 
mata, tidak berani melihat isinya. lalu , kudengar 
Leliana bernyanyi-nyanyi riang, ditambah  helaan nafas 
panjang mas nyoto . Kubuka mataku. 
Dan, tentu saja tidak ia sengaja, Leliana mengaman-
amangkan kantong plastik berisi anting-anting yang 
sudah tidak asing bagiku itu, tepat di depan biji 
mataku. Anak itu berseru riang:  
“la memberikan juga. Oom yang baik itu ...”  
Tiba-tiba, wajah Leliana berubah keruh, waktu 
ia melihat wajahku memucat dan sepasang mataku 
membesar. Pelan-pelan terdengar Leliana bersungut : 
“... Oom yang jahat, ya kanjeng mami ?” 
Lantas ia mengembalikan anting-anting itu ke 
dalam bungkusan kado, sesudah  mana menyibukkan 
diri dengan kado yang lain. Demikian banyak boneka, 
sehingga Leliana segera terlupa kepada anting-anting 
dan Oom-nya yang baik namun  jahat itu. 
Tidak demikian halnya dengan mas nyoto . 
Sesudah  Leliana tertidur pulas malam itu sambil  
memeluk boneka-bonekanya, barulah mas nyoto  
mengeluarkan unek-unek yang dari tadi menggelisah kan dirinya. 
“Paket itu tanpa nama pengirim ...” gumamnya, 
lirih. “Anna menyebut si pengirim itu Oomnya yang... Ah, Oom yang baik hati, mengapa harus kau katakan 
jahat, nyi girah ?” 
Aku merungkut di bawah selimut.  
Tidak melihat jalan lari.  
“la ia memang pernah menemuiku, Mas,” aku 
mengeluarkan pengakuan yang seolah sudah  lama 
meracuni diriku, sehingga aku terbanting-banting 
dalam penderitaan yang tiada berperi. 
“Heem...,” ia menarik nafas. Berat. “donald duck -
kah orangnya?” 
Di mataku, tiba-tiba mas nyoto  berubah sebagai 
papa, yang pernah mengajukan pertanyaan yang 
sama. Dan seperti saat  papa menanyakannya, kali ini 
juga aku tidak kuasa untuk mengelak. Leherku patah-
patah lagi rasanya, saat  aku menganggukkan kepala. 
Hanya bedanya, dahulu  aku berdiam diri sebab  
takut, kini aku berani membela diri, juga sebab  
perasaan takut: 
“Demi Tuhan, mas. Aku tidak pernah 
membiarkan ia menjamah ...” 
Mas nyoto  menekankan jari telunjuknya ke bibirku. 
Lantas berkata: 
“Cukup, nyi girah . Aku percaya padamu.” 
kandunganku sudah  berusia empat bulan saat  mas 
nyoto  menerima kenaikan pangkat sekaligus 
penempatannya di kepala bagian bidang ekonomi. 
Upacara pelantikan yang disusul dengan upacara 
timbang terima yang langsung dihadiri oleh Kadapol 
berlangsung dari pagi sampai lewat tengah hari, 
sebab  di samping suamiku juga dilantik beberapa 
temannya yang lain. Pidato-pidato panjang benar-
benar terasa sangat melelahkan sehingga jauh-jauh 
sebelum upacara itu selesai, belakang kepalaku sudah 
berdenyut-denyut dengan perutku mengalami 
gangguan rutine. 
Perhatianku tidak lagi tertarik pada upacara 
penting itu. 
Aku berkeringat dingin menahan sakit di 
perutku, sampai-sampai tidak sempat mengomentari 
ucapan isteri salah seorang teman suamiku yang juga 
ikut dilantik. Padahal begitu seriusnya ia berkata, dan 
begitu menggembirakan nada suaranya: 
“Mbakyu beruntung. Suami mbakyu 
ditempatkan di posisi yang basah.” 
Aku tidak tahu apa yang ia maksud dengan 
posisi basah itu. Yang kutahu hanyalah bahwa sekujur 
tubuhku sudah basah oleh peluh, bahkan sebagian 
kebayaku yang ketat membelit tubuh, sudah lekat 
dengan kulit, dan melembab di sana sini oleh keringat. 
Untunglah aku bisa bertahan sampai upacara itu 
selesai. namun  begitu suamiku kembali menemaniku, 
ia segera mengetahui bahwa aku sakit, dan segera 
membawaku pulang. Di tengah jalan ia menyarankan 
agar kami langsung ke dokter, namun  aku menolak 
dengan berkata bahwa yang kualami adalah gangguan 
biasa yang dialami oleh wanita lesbian -wanita lesbian  
lainnya yang sedang hamil. 
Mas nyoto  menungguiku sampai malam jatuh. 
Sehingga aku terpaksa menyehat-nyehatkan 
diri dan mendesak agar ia tidak terlalu menggelisah 
kan diriku. 
“Pergilah, mas. Teman-temanmu tentu me 
nunggumu!” 
la mula-mula bersikeras untuk tinggal 
menemaniku. namun  aku berkata bahwa aku bisa 
menjaga diri. 
“Baiklah,” ia lalu  mengalah. “sebetulnya , 
tidak pantas kalau aku pergi ke pesta itu sendirian.” 
“Aku ingin menemanimu, mas. namun  ah, aku 
tak ingin menyusahkan engkau dalam kegembiraan 
merayakan keberhasilanmu dan teman-temanmu 
nanti…” 
Tak lama sesudah  ia berangkat, aku sudah  merasa 
lebih sehat. Kukatakan hal itu saat  ia menelephone 
sekitar jam delapan malam lewat beberapa menit, la 
mengucapkan syukur dan bertanya apakah tidak lebih 
baik aku dijemput untuk ikut menikmati suasana riang 
gembira di wisma kepolisian, tempat pertemuan itu 
dilangsungkan. sebab  takut masuk angin aku 
menolak, la lalu  menyerah, dan katanya ia 
sangat kesepian tanpa kehadiranku di sampingnya, 
dan  bermaksud untuk pulang secepat mungkin, 
meski aku bersikeras melarang. 
Maka, saat  bel di pintu depan berbunyi, 
dugaanku tentu mas nyoto  kembali lebih cepat dari 
semestinya, meninggalkan pesta yang riang gembira 
itu, demi aku dan jabang bayinya dalam kandunganku. 
Sesudah  menjenguk sebentar ke kamar tidur sebelah 
lewat pintu tembus, dan melihat Leliana tertidur 
pulas, pintu kamar tembus itu kututup rapat, dan aku 
bergegas ke ruang depan. Bel itu berbunyi lagi. 
Dengan nada yang biasa dilakukan oleh suamiku. 
Sekali panjang, dua kali pendek berturut-turut. 
Teeeeeeet, teeeeteet! 
sambil  membayangkan betapa merasa 
kesepiannya ia di tengah-tengah perayaan yang peniwise i 
itu, aku membuka pintu dengan perasaan terharu dan 
sudah merencanakan untuk memeluk dan memberi 
kan hadiah ciuman panjang, dengan kuluman lidah 
yang ia gemari. Aku sendiri tergetar oleh rencanaku 
yang mempesona itu, dan barulah aku tersadar saat  
melihat siapa yang berdiri di depan ambang pintu, 
tanpa melindungi dirinya dari jilatan lampu terras yang 
terang benderang. 
“Hai,” sapanya, lembut, tersenyum di bawah 
kumisnya yang tebal. Cambangnya sedikit bergerak, 
ditiup angin malam yang berhembus lebih keras dari 
malam-malam sebelumnya. 
Untuk sedetik, aku terpana, kaget. 
Pada detik berikutnya, semangatku yang 
terbang kembali hinggap, dan bergegas aku mau 
menutupkan pintu kembali dengan hempasan yang 
keras. namun  ia menahan dengan kakinya, sehingga 
pintu tetap terbuka dan ia menerobos masuk ke dalam 
meskipun aku sudah  berusaha menahan. Sesudah  ia 
berada di dalam, ia langsung menutupkan pintu. Aku 
melompat mundur, ketakutan.  
“Mau apa kau?” tanyaku, gugup. Dandanannya 
lebih rapih kini, memperlihatkan ketampanan dan 
kegagahannya yang dahulu  pernah membuatku lupa diri. 
Ditambah cambang bauknya yang digunting secara 
khas, sehingga ia tampak jauh dewasa, dan  dengan pandangan ata yang menampakkan kepercayaan akan dirinya sendiri. 
“Sudah kukatakan, aku akan menemuimu suatu 
saat , nyi girah ,” ia berbisik, sambil  tersenyum. “namun  
Salahkah, kalau aku tetap merindukanmu?”  
Sesaat , tubuhku bergidik. Darahku tersirap 
melihat ia melangkah maju.  
“Jangan dekati aku, donald duck . Kalau tidak, aku 
akan menjerit...”  
la menyeringai. 
“Aku tahu kau tak akan menjerit,” ujarnya, 
menantang. 
Mulutku terbuka lebar. Namun sebelum jeritan 
ku lepas, ia sudah  melompat ke depan. Dan suatu 
gerakan yang terlatih ia sudah  berhasil meringkusku 
dalam sebuah pelukan yang kuat, sementara sebelah 
tangannya menutup rapat mulutku. Terkunci sama 
sekali, bahkan hidungku ikut tertutup sehingga aku 
hampir tidak bisa bernafas. Dengan mata terbelalak 
ketakutan aku menatap kebuasan merajalela di 
wajahnya. Dengan sekuat dayaku ia kulawan dengan 
mencakar dan menendang, namun  lalu  ia juga 
mengunci lenganku di punggungku, sementara mulut 
ku yang terbebas dari telapak tangannya sudah  ganti ia 
kunci dengan mulutnya. 
Panas berapi-api, dengan lidah menyelusup 
kian kemari. 
“Mhhh-mhhhh…” aku terengah-engah. 
namun  ia sudah  melakukannya. Melakukan apa 
yang dahulu  pernah kulawan saat  pertama kali ia 
mengambil kehormatan yang kuperjuangkan mati-
matian, namun dengan keahliannya sebagai seorang 
Laki-laki , kupasrahkan dengan penuh penyerahan. Di 
mataku  tanpa bisa kuelakkan  terbayang saat-saat 
kami bergumul di tepi air terjun, terbayang saat-saat 
saat  ujung-ujung kakiku yang telanjang tersentak-
sentak menyepak-rerumputan yang basah 
berembun... 
saat  donald duck  melepaskan ciumannya, aku 
sudah  ia rebahkan di sofa ruang tengah, dengan 
kimono yang sudah tidak karuan lagi letaknya. Kancing 
kemejanya sudah ia lepas beberapa buah hingga bulu-
bulu dadanya yang tebal dan menantang garang, 
menyentuh kulit dadaku lembut lunak, sehingga 
tubuhku bergetar oleh perasaan ganjil yang sama, 
saat  pertama kali bulu-bulu dada itu menyentuh 
kulit tubuhku lima tahun berselang.  
donald duck  menyeringai. 
Seringai mesra, bercampur nafsu birahi. Aku 
terengah-engah, dan merasa adanya dua tekanan 
benda di tubuhku, yang berasal dari balik pakaian yang 
masih melekat di tubuhnya. Salah satu benda itu 
terletak di balik celananya, tekanan keLaki-laki an. Itu 
mungkin bisa kutolak, namun  aku mencemaskan 
tekanan benda lain yang tersembunyi di balik 
pinggang kemejanya. Benda yang lebih keras, dingin 
dan berbau maut. Suamiku pernah menyimpan benda 
yang sama tiap kali ia pulang berlatih. Sebilah pisau 
komando, yang punya arti lebih mengerikan 
ketimbang benda lain yang mengancam kehormatan 
ku sebagai seorang wanita lesbian . 
“Ternyata, kerinduanku tidak sia-sia bukan, 
nyi girah ?” ia mendengus, dan menatap tajam ke mataku 
yang sudah nanar oleh peperangan bathin. Perang 
yang terjadi antara hati kecilku yang menolak 
kehadirannya, dan naluri kewanita lesbian ku yang 
pernah mencintai dirinya. Selagi perang itu terus 
bergolak, donald duck  melanjutkan dengan nada 
kebanggaan seorang laki-laki :  
“sudah  lama aku menunggu saat-saat ini, 
sayangku. Menunggu saat-saat di mana aku bisa 
membuktikan, bahwa aku lebih mampu menguasaimu 
dibanding dengan laki-laki lain. Termasuk yang 
namanya Sunyoto  itu!” 
Tangannya dengan liar menggerayangi tubuhku. 
Mataku terpejam, tanpa aku tahu, mengapa 
harus terpejam. 
“Aku sudah mengatakan padamu, nyi girah , bahwa 
aku akan ...,” ia tidak meneruskan ucapannya, la 
kembali menekan tubuhku, menghimpitku dengan 
keras, dan menciumi apa saja yang bisa dicapai oleh 
mulutnya. Aku mengerang, merintih, menggapai-
gapai mencari pegangan, berusaha menolak dengan 
segala daya. Aku hampir saja runtuh, kalau saja ia tidak 
meraba perutku, tanpa sengaja. Rabaan tertegun, aku 
bisa merasakannya, dan di antara kesadaranku yang 
hampir hilang, aku dapat memaklumi mengapa rabaan 
tangannya tertegun. Pada saat itulah, aku teringat 
akan kandunganku. Teringat akan jabang bayi, yang 
tercipta dari benih-benih kasih sayang suamiku. 
“Ya Tuhan,” aku mengeluh. 
namun  ketertegunan donald duck  hanya sejenak. 
Mendengar keluhanku, rabaan tangannya justru 
menjadi liar, dan ciumannya semakin membabi buta. 
namun  aku tidak lagi mau menyerah begitu ja. 
Kandunganku memberi kekuatan gaib pada diriku 
yang sudah lemah, dan menunjukkan jalan luar yang 
penuh perhitungan pada akal sehatku yang hampir 
lenyap. 
“Tunggu, donald duck …” bisikku di telinganya, 
saat  ia akan merenggut putus sisa-sisa kancing 
kimonoku. “Aku aku mendengar sesuatu ...”  
la tertegun. 
“Apa?” tanyanya, dengan sikap waspada.  
Kurasakan sebelah tangannya ditekapkan ke 
pinggang, di tempat mana pisau komando-nya 
tersimpan. 
“... rasanya dari belakang. Dekat dapur. 
Mungkin mbok Enah terbangun…” aku menahan 
nafas. “Maukah kau melihatnya barang sebentar? Aku 
tak akan ke mana-mana. Aku akan menunggumu di 
sini…,” kuperlihatkan seulas senyuman birahi  yang 
ya Tuhan, semoga berhasil  “Cepatlah, sayangku. 
Aku tak sabar menunggu lebih lama…” 
saat  ia beranjak ragu-ragu ke ruang belakang, 
aku lantas berdiri. Mas nyoto  tidak membawa senjata 
sebab  ia dan teman-temannya ingin menjauhkan 
segala sesuatu yang berbau tidak menyenangkan dari 
pesta mereka. Senjata itu kini tersimpan dalam laci, di 
kamar tidur. Kalau saja aku bisa mengambilnya ... 
namun  langkah-langkah kaki donald duck  sudah terdengar 
kembali dari arah dapur. Pikiranku bekerja dengan 
cepat. Kubuka kotak mesin jahit yang terletak sangat 
dekat dengan sofa, di mana aku selalu beristirahat 
sesudah  lelah membuat pakaian bayi. Aku menemukan 
gunting yang kucari, dan cepat menyimpannya di kaki 
sebelah dalam sofa, di lantai yang terlindung oleh 
kegelapan. 
Lalu rebah kembali di sofa, dengan sebelah kaki 
diangkat. 
“la hanya mimpi, namun  sudah tidur lagi,” rungut 
donald duck , dengan mata liar memandangiku sesudah  ia 
tegak di samping sofa. 
“Oh ya?” aku mendengus.  
la menyeringai. 
Lalu duduk di pinggir sofa, mengelus wajah dan 
leherku. Matanya berkedip sesaat. Dan aku merasa 
takut dan tiba-tiba. Takut, aku tidak akan mampu 
untuk melaksanakan rencana membela kehormatan 
diriku dari kedurjanaannya. Barangkali, sebaiknya aku 
mengulur waktu, sambil berharap mas nyoto  menepati 
janjinya untuk pulang lebih cepat. 
“Mus...” 
“Nggghm?” 
“Bagaimana kau tahu rumahku?” 
“Untuk laki-laki yang jatuh cinta, alamat rumah 
bukanlah persoalan yang sukar untuk dicari,” Bibirnya 
tersenyum, lalu membungkuk, dan mencium bibirku, 
lebih lembut dari tadi. Rupanya, ia sudah  mulai 
dirangsang oleh birahi, yang didorong perasaan kasih 
sayang. 
“Lalu bunyi bel yang menipuku…” 
la menyeringai. 
“Oh, itu?” seringainya melebar. Matanya 
bersinar bangga. “Aku menginginkan engkau. Aku 
tahu suatu saat kau akan sadar bahwa aku mencintai 
mu, dan aku akan membawamu pergi bersama 
anakku, anak kita ...,” matanya berubah tajam, saat  
melihat perubahan di wajahku. Kucoba tersenyum, 
dan ia meneruskan: “Aku sudah  lama mengintai 
kebiasaan suamimu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang, 
bagaimana caranya ia memijit bel ...” 
“Oh. Luar biasa,” aku mengeluh. Apalagi yang 
sudah  ia rencanakan. Melarikan aku, dan Leliana ya… 
Tuhan! 
“Mus...” 
“Nghhmmm?” 
“Ciumlah aku lagi lebih mesra, lebih lembut ...” 
Matanya bersinar-sinar, ia tidak saja memeluk, 
tidak saja mencium, namun  juga mulai melepaskan sisa 
pakaian yang masih melekat di tubuhku. 
Dan saat ia sibuk melakukan itulah, dengan gemetar 
tanganku meraba-raba ke bawah sofa. saat  
terpegang gunting itu, terasa dingin di telapak 
tanganku yang berkeringat. Aku menjadi gugup 
sesaat, dan ragu-ragu apakah aku akan melakukan 
niatku semula, atau tidak. Namun, saat  ia kembali 
menghimpitku, dan kehormatanku sudah berada 
dalam genggamannya, kesadaranku muncul kembali.  
sambil  menjerit tertahan, tanganku ke luar dari 
bawah sofa. lalu  kilauan gunting tampak diterpa 
sinar lampu. Mataku silau sebab nya, dan tanganku 
yang gemetar tidak menemui sasaran yang tepat. 
Gunting itu hanya menggores pipinya dan melukai 
sedikit pundaknya. 
“Haram jadah!” ia tersentak berdiri, sambil  
menyumpah serapah. 
Dengan pukulan yang keras, ia seolah 
melumpuhkan pergelangan tanganku. Gunting itu 
terjatuh membentur lantai, ribut dan berisik. Selagi 
aku masih dilanda kesakitan, benda dingin dan tajam 
sudah  menekan leherku, tepat di tenggorokan. 
Ujungnya menekan kulit leherku, dan dengan panik 
aku dicengkam ketakutan kalau pisau yang 
mengerikan itu ia tekan lebih dalam. Dan matanya 
nyata-nyata menunjukkan apa yang termaksud dalam 
hatinya. 
“wanita lesbian  hina. Pengkhianat cinta,” makinya, 
sambil  menyeka darah yang melelehi pipi dan  
pundaknya dengan sebelah tangan. “Kau akan 
merasakan akibat dari perbuatanmu ini. namun …” 
Ia menyeringai, buas. “Sebelumnya, aku akan 
memberikan kenikmatan dunia padamu, kenikmat-
terakhir yang bisa kau cicipi, sebelum kau mati...” 
Lumpuh oleh ketakutan dan keputusasaan, aku 
hanya bisa terbelalak menerima kebejatan donald duck . Tidak lagi nafsuku untuk menjerit, apalagi untuk 
melawan. namun  bayangan gunting di lantai, kembali 
menggodaku. Tanganku yang letih dan sakit, berusaha 
menggapainya, sampai tiba-tiba aku melihat sebuah 
bayangan lain, dan... 
Dan tubuh besar dan berat donald duck  terangkat 
dari atas tubuhku. 
Terdengar makian kemarahan, suara tinju 
mengenai dagu dan lalu  tubuh donald duck  terbang 
melewati sofa lalu terjun menghantam tembok. 
Terdengar suara berderak yang samar-samar. 
Mungkin tembok yang rekah, mungkin leher yang 
patah. 
donald duck  menggeliat sebentar. 
la mencoba bangkit, namun  hanya mampu untuk 
duduk, dengan kepala yang lunglai ke dada. 
Matanya menatap tajam ke jurusan mana mata 
ku lalu  sama menatap. Mas nyoto  saat  itu sudah  
menyambar kimonoku dari lantai, menutupkannya ke 
tubuhku. Tanpa mengenakan seadanya, aku bangkit 
dari sofa, berlari memeluk dan menangis di dadanya. 
Aku dapat merasakan betapa dada suamiku meledak-
ledak di dalam, dan nafasnya menderu seperti badai. 
Diantara isak tangisku, aku dengar suaranya yang 
rendah dan tajam: 
“Aku bisa saja membunuhmu saat ini, 
donald duck ,” wahai, ia masih bicara sepeniwise itu, sesudah  
apa yang ia saksikan! “namun  di kamar itu ...,” mas nyoto  
menunjuk ke kamar Leliana. “Tidur nyenyak darah 
dagingmu. Aku sudah  menganggapnya sebagai anakku 
sendiri. Oleh sebab  itu, aku tidak ingin suatu saat  
kelak ...,” mas nyoto  menarik nafas, letih dan susah. “... 
aku harus berkata padanya, bahwa aku sudah  
membunuh ayah kandungnya!” 
donald duck  mengerang, berusaha bangkit. 
la mampu, namun  tidak cukup kuat untuk berdiri 
tanpa bertahan ke tembok. Lehernya kebiru-biruan, 
dan dari sudut sudut mulutnya mengalir darah. 
“Aku ...,” ujarnya, terputus-putus. 
“Pergilah,” tukas suamiku. “Dengan damai, 
kuharap demi anakmu, darah dagingmu yang selama 
ini beranggapan, ayahnya adalah seorang laki-laki 
terhormat yang sangat mengasihi dirinya!” 
donald duck  menggigit bibirnya keras-keras. 
Sempoyongan, ia berjalan ke pintu sambil  
membetulkan letak pakaiannya yang sudah tidak 
karuan. Di pintu, ia menoleh sebentar. Mulutnya 
kumat-kamit mau mengucapkan sesuatu, namun  
rupanya ia mengurungkan niatnya, la lalu  
berjalan ke luar, tanpa ingat menutupkan pintu di 
belakangnya, lalu  lenyap ditelan kegelapan. 
Angin malam yang dingin menerobos masuk ke dalam. 
Aku menggigil.  
Dan mas nyoto  mengerang:  
“... semoga ia tidak kembali. Kalau tidak…” mas 
nyoto  memandangi kedua belah tangannya. “Tak 
tahulah, apa yang harus kulakukan!”  
“kanjeng mami ?”  
Kami tersentak. 
Leliana berdiri di pintu kamarnya, menyeka-
nyeka mata setengah mengantuk. Aku berlari 
mendapatkan, memeluk dan menangisinya, sehingga 
kantuk anak itu hilang, dan ia dengan takut berkata: 
“Anna ngompol... lagi!” 
Aku tersenyum. Kecut Kalau Leliana ngompol, 
itu berarti ia sudah  bermimpi buruk. Entah apa yang ia 
impikan, namun  apa yang terjadi malam ini, mungkin 
jauh lebih buruk dari impiannya. Mas nyoto  masih 
tertegun di tempatnya berdiri, sambil  menatap ke 
pintu depan yang menganga, memandang jauh ke 
dalam kepekatan malam ... Telapak tangannya tampak 
bergetar. Dan aku sadar dengan tiba-tiba, telapak 
tangannya itu tidak akan segan-segan untuk 
melakukan sesuatu yang bisa mencelakakan dirinya, 
demi aku dan anakku ...  
telapak tangan suamiku itu kembali gemetar, 
saat  lima tahun lalu  ia membaca sepucuk 
surat yang baru tiba dari seberang. 
“... anakku sudah  lahir, ia lucu sekali, yang aneh, 
wajahnya mirip kau, mas nyoto ,” demikian antara lain 
donald duck  menulis dalam suratnya. “Mungkin sebab  
aku selalu mengingatmu, selama aku menikmati 
kemesraan yang abadi dengan isteriku, puteri seorang 
petani di desa ini ...” 
Surat itu ia tutup dengan sebuah ajakan : 
“Aku akan bahagia, kalau sesekali kalian mau 
berkunjung!” 
Telapak tangan suamiku mengatup rapat. Tidak 
lagi gemetar. Dan dari mulutnya, terdengar guman 
lirih: 
“Kami akan datang, donald duck . Kami akan datang...!” 
martini  bersimbah air mata saat  duduk di pelaminan 
bersama suaminya, seorang dokter spesialis yang 
lamarannya diterima martini  sebab  terpaksa. Di lain 
tempat, chucky  kekasihnya menikah pula dengan 
seorang gadis lesbian  anak keluarga kaya; pernikahan yang 
dilandasi sakit hati belaka. 
Takdir menentukan, tiba-tiba mereka bertemu lagi 
sesudah  sepuluh tahun waktu berlalu dalam 
kegersangan, kesepian, ketidakbahagiaan. Apa yang 
dahulu sudah  gagal mereka gapai, kini ingin mereka 
raih kembali. martini  lupa diri. Lupa anak, Iupa suami. 
namun  entah mengapa, justru cintanya kepada sang 
suami mendadak baru muncul , sesudah  pengkhianatan 
itu terjadi. 
martini  merasa sangat berdosa. Dan tiba-tiba pula ia 
terpaksa harus memilih. chucky  yang pernah jadi 
dambaan hidupnya, atau suami dan anaknya. 
Sayangnya, ia sudah  membuka pintu yang salah. 
Mundur tak bisa, maju ia tak berani. 
Apakah seorang isteri yang tidak setia, masih berhak 
memperoleh cinta kasih sejati?