Tampilkan postingan dengan label presiden 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label presiden 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

presiden 1


 tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera setengah tiang-lain soal Anda patuh atau keberatan-Soeharto yang berpulang Ahad dua 
pekan lalu sudah menjadi "pahlawan". Suka atau tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit Pertamina hingga wafat, tiga pekan lalu , ia masih seorang master dengan kuasa 
penuh. Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya menelan 
berita kematian pedagang "gorengan" Slamet, yang putus asa lalu bunuh diri akibat harga  kedelai ekstra tinggi. Semua stasiun televisi-beberapa memang milik anak-anaknya- mengarahkan moncong kamera ke rumah sakit, seraya mengulang-ulang sejarah  perjalanannya saat  mengemudikan negeri. Tentu saja, untuk menghormati dia yang sakit keras, sengaja dipilih berita-berita bagus saja. Di rumah sakit, keluarga menetapkan "protokoler" ketat: hanya mereka yang  mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota lingkaran dekat lolos  seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri tidak pernah lupa minta petunjuk sang bos, 
entah kenapa tak masuk hitungan. Juga Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut 
Soeharto sebagai profesornya itu. Di tengah paduan suara politikus merapal permintaan maaf untuknya, rupanya belum tersedia maaf untuk dua bekas setiawan itu. 
saat  ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin bersemangat menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah, rating meningkat 
mengalahkan sinetron mana pun-artinya iklan pasti datang berduyun-duyun. Usaha 
"menggoreng" perasaan rakyat lewat TV harus dikatakan berhasil. 
Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi simpati dan 
dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung dosa dan salahnya, seakan 
keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan dendam. Mungkin Asep Purnama Bahtiar benar. 
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan media massa  bukan lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang sebuah "dunia" yang  diciptakan media massa dan pihak-pihak yang terlibat.  Sebentar lagi, sesudah  Astana Giribangun, makam keluarga yang megah itu, tidak lagi 
menjadi berita, yang tersisa yaitu  masalah  perdata yayasan Soeharto, dan debat tentang 
status hukum ahli waris. Pemerintah jangan sampai habis waktu mengurus soal ahli waris 
ini. Semua aturan sudah jelas. Bila anak-anak almarhum tidak meminta penetapan menolak 
waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh ke tangan enam anaknya. sesudah  apa yang 
diberikan Soeharto, mestinya tidak masuk akal bila ada di antara anak-anaknya yang berpikir 
untuk menolak waris itu. Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam 
perkara perdata. 
 
masalah  pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, namun  para kroni  yang masih hidup perlu terus dipersoalkan. Pemerintah tinggal menyatakan kebijakan 
zaman Soeharto yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan, melawan hukum, atau 
membelokkan kebijakan publik untuk keuntungan diri dan kelompok sendiri. Siapa pun yang 
menikmati manfaat dari kebijakan semacam itu bisa langsung ditetapkan sebagai obyek 
pengusutan. Dan para penikmat tak bisa menghindar. Selama ini mereka tidak melakukan 
usaha apa pun untuk menolak "madu" privilese yang mereka isap dengan riang. 
Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan memiliki  niat. Audit semua 
kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu. Harta yang bersumber dari privilese, atau 
yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya, bisa dibawa ke pengadilan. Secara prinsip, menikmati 
keuntungan dari kebijakan yang melawan hukum termasuk perbuatan melawan hukum 
juga. 
Bukti-bukti sudah sedemikian gamblang. Dokumen rahasia dari Departemen Luar 
Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih bisa dipakai sebagai bukti tambahan untuk 
mengusut korupsi di zaman Orde Baru itu. 
Publik tinggal menunggu, apakah di pengadilan para kroni akan buang badan dengan 
menimpakan semua kesalahan kepada Soeharto, tokoh yang kini mereka puja dan sudah 
begitu banyak memberikan "gula-gula" kepada mereka. Hanya pengecut tulen yang sanggup 
"menusuk" sang tuan yang sudah di alam baka. 
Mengusut para kroni merupakan keharusan, kalau pemerintah memang ingin 
menegakkan keadilan ekonomi dan melaksanakan pesan konstitusi untuk menjamin 
persamaan kesempatan berusaha bagi warga negara. Tanpa tindakan apa-apa, fasilitas 
istimewa dan kenikmatan yang selama ini diduga diperoleh secara curang tidak akan pernah 
berakhir. Hanya kerajaan boneka yang membiarkan keadaan buruk ini terus berlangsung. 
Sebaiknya pemerintah memberi prioritas mengusut para kroni-tindakan yang 
diamanatkan MPR itu. Menyelesaikan masalah  ini lebih penting ketimbang sibuk 
mempertimbangkan gelar pahlawan untuk Soeharto-usul yang dipekikkan lantang Priyo Budi 
Santoso, orang Golkar yang pernah tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan 
Korupsi itu. 
 jakarta, 1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin 
yang gegap-gempita itu digantikan seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya 
ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar. 
Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang, sesudah  jenazahnya dikebumikan 
di Astana Giribangun, Karanganyar, Senin pekan lalu, jenderal pendiam itu terus mengharu 
biru bangsa ini. Ya, Soeharto (1921-2008) tak berhenti di situ. 
Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya 
dahulu , manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil 
di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggung-
panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak 
toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif saat  separatisme 
mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua, dan belahan lain di negeri ini. 
Bagaimana ia bisa begitu merasuk ke dalam aliran darah bangsa ini? 
Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu saja memiliki  banyak kesempatan 
untuk berbuat baik maupun buruk-ia melakukannya, silih berganti. Namun ada proses yang 
seakan terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan yang panjangnya hanya bisa 
dikalahkan oleh pemimpin Kuba Fidel Castro itu, yaitu sentralisasi, bahkan lalu  
personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai nukleus sentral seluruh negeri. 
Tak aneh, para pengamat budaya sering membandingkan pemerintah Orde Baru 
dengan kerajaan Jawa Mataram-sistem politik dengan konsep yang menempatkan raja 
sebagai pusat kekuasaan yang menghimpun segenap kekuatan kosmis. Raja yaitu  sosok 
sakti, sangat sakti. Dalam tradisi Jawa, demikian Benedict Anderson dalam bukunya yang 
klasik The Idea of Power in Javanese Culture, legitimasi tidak datang dari manusia. Dengan 
kesaktiannya sang ratu bisa menaklukkan manusia lain di sekitarnya. Dan Soeharto, sadar 
atau tidak, tampaknya yakin dialah titik pusat itu. 
Proses sentralisasi mungkin bisa tercium sejak dini. Tepatnya  saat  ia 
menyederhanakan partai-partai-kantong-kantong kekuasaan di luar pemerintah-
peninggalan demokrasi liberal yang dibikin lumpuh Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. 
Pada Pemilu 1971, seperti ditulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional 
Democracy in Indonesia, partai yang jumlahnya puluhan itu menjadi hanya sepuluh partai. 
Dan segenap aturan pemilu digiring ke satu tujuan: kemenangan Golkar. 
Waktu itu, para demokrat pendukungnya, termasuk para mahasiswa Angkatan 66 
yang menurunkan Soekarno sebelumnya, sama sekali tidak menaruh curiga. "Kami tahu dia 
tentara yang tidak senang politik," kata Arief Budiman, salah seorang aktivis.  
Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan pada 
pundaknya. Soeharto membebaskan tahanan politik dan mengizinkan surat kabar yang 
dibredel Soekarno terbit kembali. Orde Baru dengan cepat "menjelma" menjadi koreksi 
terhadap Orde Lama; dan Soeharto sendiri merupakan koreksi terhadap Soekarno. Ia 
terbukti mengucapkan selamat tinggal kepada model pemerintah yang gemar 
mengutarakan slogan-slogan, pemerintah yang sibuk berseru ganyang Malaysia dan 
membiarkan ekonomi negeri ini tercampak dengan inflasi sampai 600 persen. Sebuah 
program pembangunan direntangkan, inflasi dikendalikan, dan Indonesia mulai memasuki 
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Modal asing berdatangan. 
namun  pengikisan kekuasaan di luar nukleus pemerintahan Orde Baru ternyata tidak 
berhenti. Sebuah kejadian pada pertengahan 1970-an lantas mengantar pengikisan 
selanjutnya: sepuluh partai diringkas menjadi dua partai dan satu golongan. Peristiwa Malari 
(1974) menghadang pemerintah yang berencana mewujudkan gagasan Tien Soeharto, 
Taman Mini Indonesia Indah, dan mulai diroyan korupsi. Tantangan para mahasiswa kali ini 
dihadapi dengan tangan besi. Wajah pemerintah yang dahulu  toleran dan terbuka itu pun 
digantikan wajah galak dan represif. Beberapa tahun lalu , 1978-1979, tantangan yang 
frontal dari mahasiswa dijawab dengan NKK/BKK-larangan berpolitik bagi para mahasiswa di 
kampus. 
Pada 1980-an, sentralisasi kekuasaan yang berjalan selama satu periode itu pun 
mencapai tahap yang cukup mencengangkan: nukleus itu melebar. Putra-putri Presiden 
Soeharto yang sudah mulai besar itu menjadi bagian dari inti sel dan terjun ke dunia bisnis 
berbekal "hak-hak istimewa" sebagai anak presiden. Sebuah edisi majalah Forbes 
memberitakan, sesudah  krisis moneter 1997, kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai 
US$ 16 miliar. 
Dalam memoarnya yang tebal, From Third World to First, mantan Perdana Menteri 
Singapura Lee Kuan Yew menyebut, "Saya tidak mengerti mengapa anak-anaknya perlu 
menjadi begitu kaya." Dalam buku yang sama, Lee menyayangkan Soeharto sudah  
mengabaikan nasihat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny Moerdani pada 
akhir 1980-an agar ia mengekang gairah anak-anaknya untuk mendapatkan aneka privilese 
bisnis. 
Menurut Kuntowijoyo, seperti dikutip Eriyanto dalam buku Kekuasaan Otoriter, 
Soeharto yaitu  tipe manusia yang mendasarkan diri pada an act of faith-perbuatan 
berdasarkan keyakinan-dan bukan tipe jenis an act of reason, perbuatan berdasarkan akal. 
sebab  itu, banyak ucapan dan tindakan Soeharto yang mengejutkan, namun  ia tidak pernah 
ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak perlu pertimbangan rasional saat  
membubarkan PKI, namun  sebab  keyakinannya sendiri. Dalam biografi yang disusun O.G. 
Roeder, ditunjukkan betapa yakin Soeharto saat  mengisi kekosongan pimpinan Angkatan 
Darat. "Saya bertindak atas keyakinan saya sendiri."  
Dan agaknya dengan keyakinan yang sama pulalah ia memutuskan untuk 
melancarkan operasi "petrus" alias penembakan misterius untuk membasmi preman. Sikap 
keras yang sama boleh jadi mendasari keputusan untuk melakukan tindakan drastis yang 
melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua, dan beberapa  tempat 
lain. Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia ini sungguh tak mudah dihapuskan 
begitu saja. 
Puncak sentralisasi yang sangat nepotistis itu akhirnya tampil dalam bentuk yang 
begitu transparan pada 1997: ia terpilih untuk ketujuh kalinya, dan itu berarti hampir 
separuh dari usianya dihabiskan sebagai presiden negeri ini. Dalam Kabinet Pembangunan 
VII, Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, diangkat menjadi Menteri Sosial. Dan 
manakala jangkauan wewenang yang diberikan kepada seorang Menteri Sosial lalu  
terlihat begitu luas, orang pun mulai membayangkan sebuah suksesi yang tidak berbeda 
dengan peristiwa keluarga: sang putri sulung mengambil alih peran ayahnya. 
Gaya Soeharto memang sentralistis, nepotistis, dan kerap kali represif. namun  dari cara 
itu lahir pula program kesejahteraan yang berhasil-dan ujung-ujungnya menampilkan 
citranya yang populis. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, buku 
yang berisi kumpulan tulisan yang membahas periode itu, menyebut keberhasilan Keluarga 
Berencana, program yang bermula pada 1970 dan bertumpu pada pertimbangan nilai-nilai 
ekonomi semata. Soeharto percaya setiap anak membutuhkan sandang, pangan, 
pendidikan; dan segenap kebutuhan itu tak mungkin terpenuhi jika negeri ini mengalami 
ledakan pertumbuhan penduduk. 
Pelaksanaan program Keluarga Berencana bersifat top-down dan sama sekali tidak 
berasal dari aspirasi masyarakat. Dengan Tien Soeharto pada puncak organisasi, dan 
didukung istri pemimpin tertinggi di daerah-daerah, mesin birokrasi menggerakkan program 
Keluarga Berencana sampai ke desa-desa terpencil. Di dalamnya ada represi yang berbuah 
beberapa  kisah pedih, walau dunia melihatnya sebagai prestasi. 
Kelewat lama berkuasa, Soeharto dan lingkaran kecil sahabat dan  keluarga dekat 
tumbuh menjadi satu-satunya kalangan yang bertanggung jawab atas aneka gejala sosial 
ekonomi di negeri ini: represi, keberhasilan model kesejahteraan, korupsi yang demikian 
mengerikan, juga kehancuran ekonomi akibat krisis moneter 1997-1998. 
Ahad dua pekan lalu, hidupnya yang panjang berakhir sudah, namun  lakon dan 
legasinya-baik yang lama maupun yang belum lagi terungkap-terus menghantui negeri ini. 
 Dari Istana ke Astana 
beberapa  petinggi negara yang tadinya asyik bersenda-gurau tiba-tiba terdiam. 
Suasana senyap. Jenazah Soeharto diusung masuk ke pemakaman Astana Giribangun. 
sesudah  diletakkan, peti dibuka. Tidak cuma dilapisi kain kafan, jenazah itu juga 
diselimuti kain tebal warna putih. 
Suwardi, pengurus pemakaman Desa Karang Bangun, cukup kesulitan membuka kain 
itu, pada saat jenazah hendak dimasukkan ke liang lahat. Membuka kain itu saja 
memerlukan waktu sekitar tiga menit. 
Keluarga memutuskan Soeharto dikubur bersama peti yang dikalungi untaian melati. 
namun  tubuhnya diganjal tanah. Dimiringkan ke arah kiblat. Enam pengurus makam 
berpakaian sorjan perlahan memasukkan jenazah diiringi jeritan terompet militer. 
sesudah  itu, jasad dihujani kembang aneka rupa. Ditutup tanah. Sebiji kelapa yang 
sudah dibelah tengkurap di atas kubur. Menghabiskan usia 87 tahun-32 tahun di antaranya 
memerintah dengan penuh kontroversi-Soeharto selesai sudah. 
Di perhentian terakhir itu, jasadnya dimakamkan di antara sang istri, Siti Hartinah, 
yang wafat pada 28 April 1996, dan sang mertua, KRA Soemoharjono. Liang lahat itu sudah 
digali beberapa tahun lalu namun  selama ini hanya ditimbuni pasir. Dindingnya kukuh. Dilapisi 
beton marmer kasar. 
Makam Astana Giribangun itu didirikan pada 1974 oleh yayasan Mangadeg yang 
dipimpin Siti Hartinah. Cara membangunnya cukup unik. Sebuah bukit setinggi 17 meter 
dipotong, lalu di atasnya dibangun kompleks pemakaman setinggi bukit itu. 
Arsitek pemakaman itu yaitu  Ali Surono, seorang dosen di Universitas Gadjah 
Mada. Astana artinya makam. Giri artinya gunung. Jadi, Giribangun, "Artinya gunung yang 
dibangun," kata Sukirno, juru kunci pemakaman. 
Pada Senin pekan lalu itu, semua mata tertuju ke sana. Jumlah pelayat sekitar 20 
ribu orang. Mereka berjubel hingga pertigaan Matesih, empat kilometer dari Astana. 
Lima ratus juru warta, dalam dan luar negeri, bersesakan meliput jalannya prosesi 
pemakaman. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan secara langsung. 
Jalan macet total. Banyak pelayat yang lewat jalan tikus. beberapa  menteri malah 
terjebak di pertigaan Matesih. Mereka terlihat cemas sebab  rombongan jenazah sudah 
bergerak dari Bandara Adisoemarmo. Takut terlambat, beberapa  menteri pun melompat 
dari mobil lalu meminta polisi mencarikan ojek. 
Seorang tukang ojek bernama Parno mengaku kebagian mengangkut seorang 
menteri wanita. Saat itu, katanya, dia cuma mau menonton rombongan jenazah. Tiba-tiba ia 
dipanggil polisi untuk mengantar Ibu Menteri. 
Parno agak grogi sebab  jalan menuju pemakaman sudah dipenuhi polisi dan 
tentara. namun  si penumpang memberikan jaminan. Kalau dicegat, katanya, "Bilang saja mau 
mengantar Ibu Menteri," tutur Parno kepada Tempo. 
Begitu turun, Parno diberi ongkos Rp 50 ribu. Dia gembira sebab  biasanya sewa ojek 
cuma lima ribu perak. namun  yang kebagian mengantar orang asing lebih gembira daripada 
Parno. "Saya dan teman saya dapat Rp 100 ribu," kata Warto, tukang ojek yang mengangkut 
seorang tambun berkulit putih. 
Petinggi lain yang memakai  jasa ojek yaitu  Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, 
juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 
Ginandjar Kartasasmita. Banyak pula yang berjalan kaki. Ali Alatas, Menteri Luar Negeri 
zaman Soeharto, terlihat berjalan kaki 300 meter. sebab  letih, dia dipapah ajudan. 
AREAL pelataran makam itu tidak mampu menampung semua pejabat yang datang. 
Di sana hanya terlihat keluarga Soeharto, keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 
Wakil Presiden Jusuf Kalla, orang dekat Cendana, dan petugas pemakaman. 
Sedangkan para menteri, mantan pejabat, dan para pengusaha kondang duduk di 
luar pelataran. Di sana terlihat pengusaha Prajogo Pangestu dan Tito Sulistyo, Mantan Ketua 
Umum Golkar Akbar Tandjung, juga mantan Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita. 
Walau terlihat lelah, semuanya takzim mengikuti prosesi pemakaman yang ditayangkan 
lewat layar monitor. Mereka baru masuk melihat makam itu sesudah  prosesi selesai. Mantan 
ajudan Soeharto, Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, malah memilih berdiri di luar 
kompleks makam. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan ini memakai  pakaian militer. 
Entah kenapa jenderal bintang tiga ini tak masuk kawasan makam. Padahal beberapa  
jenderal bintang dua hilir-mudik ke sana. Ada Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya 
Mayor Jenderal Suryo Prabowo dan Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Darpito 
Pudyastungkoro. 
Selain pejabat dalam negeri, beberapa  pejabat dari luar negeri juga menghadiri acara 
pemakaman itu. Ada Presiden Timor Leste Xanana Gusmao, Sultan Hassanal Bolkiah dari 
Brunei Darussalam, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, dan perwakilan 
beberapa  negara. Dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upacara pemakaman 
berlangsung khidmat. Mata Yudhoyono terlihat sendu saat  jenazah Soeharto dimasukkan ke liang lahat.  
Pidato Yudhoyono di pemakaman itu sangat ditunggu orang ramai. Sebab, Soeharto 
pergi meninggalkan setumpuk masalah , mulai dari masalah  pidana korupsi, perkara tujuh yayasan 
yang diduga merugikan negara Rp 1,7 triliun, hingga masalah  pelanggaran hak asasi manusia. 
Gerilya pengikut Soeharto guna menutup beberapa  perkara itu juga sudah marak 
sejak dia terkulai di Rumah Sakit Pusat Pertamina, 4 Januari 2008. Banyak yang mendesak 
agar pemerintah Yudhoyono memaafkan penguasa Orde Baru itu. Tuntutan mereka kian 
nyaring sesudah  Soeharto wafat 24 hari lalu , Minggu dua pekan lalu. 
namun  yang menuntut agar Soeharto segera diadili juga banyak. beberapa  kelompok 
berunjuk rasa di Rumah Sakit Pertamina, tempat Soeharto dirawat. Mereka berdoa agar 
kakek 87 tahun itu lekas sembuh, "Biar bisa diadili." 
Dua pekan lalu, sebuah kelompok anak muda malah menjaring pendapat anak gaul 
yang lalu-lalang di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Hasilnya, lebih dari seribu orang 
menandatangani spanduk yang menuntut pemerintah, "Segera mengadili Soeharto." 
Di Astana Giribangun, Senin pekan lalu itu, Yudhoyono memilih menjauh dari 
polemik ini. Soeharto, katanya, "Manusia biasa. Almarhum tidak luput dari kekurangan." 
Berpidato sekitar sepuluh menit, dia sama sekali tidak menyinggung soal masalah  Soeharto.  
pemakaman Soeharto yaitu  yang terbesar sepanjang sejarah negeri ini. Presiden 
 menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Semua kantor pemerintah, badan usaha negara, 
dan rumah warga memasang bendera setengah tiang, walau faktanya cuma sebagian yang 
patuh. 
Prosesi pelepasan jenazah di Jakarta juga diikuti ribuan orang. Pukul enam pagi, 
Senin pekan lalu, sekitar 400 tentara dari tiga angkatan sibuk mengadakan gladi resik 
upacara pelepasan jenazah di Cendana. 
saat  hari terang tanah, sebuah pesawat Boeing 737 terbang dari Lapangan Udara 
Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur menuju Bandara Adisoemarmo di Solo. Ini pesawat 
khusus yang mengangkut rombongan Presiden Yudhoyono. 
Jenazah dilepas dari Cendana pukul tujuh pagi. Dihadiri sekitar seribu orang dan 
dipimpin Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono. 
Sepanjang jalan orang berjubel menonton. Hampir semua stasiun televisi 
menyiarkan perjalanan jenazah. Sebuah stasiun televisi bahkan menyewa helikopter untuk 
mengambil gambar dari langit. 
Sekitar 20 pesawat terbang membawa penumpang yang mengikuti pemakaman itu. 
Pemerintah menyiapkan tujuh pesawat dari berbagai jenis. Satu C-130 Hercules VVIP, empat 
C Hercules Troopseat, dan dua Fokker 28 VIP. 
 saat  jenazah Soeharto disemayamkan di rumah duka di Jalan Cendana, Minggu 
malam dua pekan lalu itu, sebuah pesawat yang membawa logistik pemakaman sudah 
terbang lebih awal ke Solo. "Pesawat itu khusus membawa kendaraan khusus," kata Kepala 
Dinas Penerangan Angkatan Udara, Marsekal Pertama Daryatma. Keluarga Cendana sendiri 
mencarter sembilan pesawat guna mengangkut pelayat ke Solo. Maskapi yang dicarter 
antara lain Trans Wisata, Indonesian Air Service, dan Pelita Air. 
sebab  Bandara Adisoemarmo tidak mampu menampung banyak pesawat, ada juga 
yang mendarat di Madiun, Jawa Timur. Keluarga ini juga mencarter sekitar 50 mobil 
membawa pelayat dari bandara ke Astana Giribangun. 
Berapa total biaya pemakaman itu? Pada Rabu pekan lalu, Menteri Sekretaris Negara 
Hatta Rajasa mengaku belum menghitungnya. "Belum kami rekap," katanya. Menurut 
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978, biaya perawatan dan pemakaman seorang mantan 
presiden memang ditanggung negara. 
Pada 2007, contohnya , anggaran untuk kesehatan mantan presiden dan mantan wakil 
presiden di pos Sekretariat Negara yaitu  Rp 800 juta. Padahal, beberapa  sumber 
menyebutkan, selama 24 hari Soeharto dirawat, total biaya yang dikeluarkan sudah sekitar 
Rp 1,2 miliar. Menteri Sekretaris Negara zaman Soeharto, Moerdiono, memastikan, "Seluruh 
biaya rumah sakit ditanggung keluarga." 
  di ketinggian 666 meter di atas laut, Soeharto sudah mendirikan rumahnya yang 
akan datang. Rumahnya itu nanti bernama Astana Giribangun. Inilah sebuah 
kompleks makam termuda leluhur dinasti Mataram Imogiri, Yogyakarta. 
Astana Giribangun terletak di bawah Astana Mangadeg. Sedangkan Astana 
Mangadeg yaitu  tempat tertua di Karanganyar disusul Astana Girilayu, Astana Utara, 
Astana Giri, Astana Kablokan, Pesarean Mantenan, Pesarean Karangtengah, Pesarean 
Rangusongo, Pesarean Temuireng, Pesarean Ngendo Kerten, dan Astana Giribangun. 
Di belakang atau sebelah selatan bukit Giribangun mengalir Kali Samin. Di depan 
pintu kompleks makam Giribangun yang selalu tertutup, ada  dua pohon jambu mawar 
yang masing-masing berada di kanan-kiri pintu. "Mbak Mamiek (Siti Hutami Adiningsih, putri 
bungsu Soeharto) paling suka. Kalau pas berbuah, biasanya dikirim ke Jakarta," kata Paino, 
salah satu petugas makam. 
Ini memang sebuah tempat yang teduh dan nyaman. Bahkan fasilitas di kompleks 
makam juga lengkap, mulai dari palereman atau bangunan khusus untuk menginap keluarga 
Soeharto hingga masjid. Pengurus dan pegawai Astana Giribangun juga secara berdedikasi 
memelihara kompleks itu. Kayu jati masih tampak mengkilap; sesekali dipelitur. 
Makam rajin dipoles, bunga peziarah selalu dibersihkan setiap pagi, dan karpet pun dicuci 
setiap minggu. 
Semua siap di makam yang dibangun oleh 700 orang pekerja tanpa memakai  
traktor dan alat berat lainnya itu. Makam yang terletak sekitar 35 kilometer dari Solo itu 
dapat ditempuh dalam waktu sekitar sejam saja sebab  jalan menuju kompleks makam dari 
Matesih sangat mulus. 
Astana Giribangun dibangun Yayasan Mangadeg, yayasan yang bertujuan 
membangun dan memperbaiki makam-makam leluhur, seperti makam Pangeran Samber 
Nyowo. Soeharto dan Hartinah masuk sebagai pendiri yayasan yang berdiri pada 28 Oktober 
1969 itu. Dan sebetulnya  makam di kompleks Giribangun itu dipakai  untuk 
keluarga Yayasan Mangadeg, tidak terbatas hanya pihak keluarga Mangkunegaran. 
Makam yang dibangun di atas bukit Giribangun itu-saat  dibangun, bukit dipapras-
diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Acara itu ditandai dengan dipindahkannya 
kerangka jenazah ayah dan ibu Hartinah, KRMTH Soemoharjomo dan KRA Soemoharjomo. 
Bangunan utama makam terdiri dari bagian yang ditandai dengan trap-trap. Bagian 
pelataran bawah disebut Cungkup Argotuwuh. Siapa pun yang masuk ke area ini harus 
melepaskan alas kaki. Anggota keluarga Yayasan Mangadeg dapat dimakamkan di area 
seluas 700 meter persegi ini. Trap selanjutnya yaitu  Argokembang dengan luas 600 meter 
persegi. Dan yang paling puncak yaitu  Argosari seluas 300 meter persegi. 
Di Argosari inilah terletak makam utama keluarga Soeharto, yaitu di ruangan 80 
meter persegi yang dikelilingi gebyok ukiran. Karpet empuk cokelat muda menghampar di 
ruangan ini. Seluruh bangunan didominasi kayu jati: mulai dari kayu untuk atap hingga tiang 
penyangga. 
Pada bangunan utama itu, ada  empat makam yang sudah lama terisi dan satu 
petak yang sengaja dikosongkan. Berurutan dari ujung paling timur ada  makam kakak 
tertua Hartinah, Siti Hartini Oudang, lalu  ayah dan ibu Hartinah. Di ujung paling barat 
ada makam Hartinah. Nah, di antaranya itulah makam Soeharto. "Sudah dibuat liangnya 
sejak dahulu , namun  diisi pasir dan ditutup marmer," kata Paino, salah satu pegawai makam, 
kepada Tempo. 
Argosari memiliki emperan yang nantinya juga akan menjadi makam untuk anak-
anak dan menantu Soeharto, yang semuanya sudah siap huni. "namun  saya tidak tahu 
jumlahnya dan untuk siapa," kata Paino. Masih ada bagian dari Argosari yang juga dipakai  
untuk makam kerabat Hartinah. Beberapa di antaranya sudah terisi. Di Cungkup 
Argokembang tersedia 116 calon makam, sedangkan di Argotuwuh terdiri dari 156 calon 
makam. 
Doa bagi keluarga Soeharto tak hanya berdengung saat ia sakit. Ini memang sesuatu 
yang rutin. namun  tentu saja, begitu mendengar Soeharto masuk rumah sakit, Suparmi, warga 
Kelurahan Kalitan, Kecamatan Laweyan, Solo, termasuk salah seorang warga desa yang 
datang ke Astana Giribangun untuk mendoakan kesembuhan Soeharto. Suparmi hanya 
penduduk desa biasa, seperti halnya puluhan warga yang datang ke kompleks pemakaman 
keluarga Mangkunegaran di Desa Karangbangun, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah, 
Minggu 21 Maret 2006. Dan ternyata tidak sekali atau dua kali saja perempuan 36 tahun itu 
secara sukarela ikut berdoa bersama untuk kesehatan Soeharto dan untuk almarhum 
istrinya, Siti Hartinah-biasanya setiap malam Senin Pon-baik di Kalitan maupun di 
Giribangun. 
Sartono, 39 tahun, yaitu  warga Kalitan lainnya yang mengaku sering mendoakan 
Ibu Tien maupun Soeharto. sebab , menurut dia, pada zaman pemerintahan Soeharto, 
harga-harga murah, jalan-jalan jarang rusak, dan cari nafkah gampang. "Kami melakukannya 
dengan sukarela sebab  menginginkan beliau sehat dan selalu mendapat perlindungan dari 
Yang di Atas," kata Sartono, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit. 
Warga di sekitar Astana Giribangun, terutama warga Kalitan-tempat tinggal keluarga 
Hartinah di Solo-memang rutin mendoakan Soeharto, terutama jika sakit. Di Giribangun 
sendiri, doa rutin dikumandangkan setiap usai salat magrib oleh para karyawan piket dan 
 tiga hari sekali selepas salat isya. Sedangkan pada hari pasaran Kliwon, sesuai dengan weton 
Soeharto, mereka juga melakukan doa bersama dengan tahlilan di depan makam Hartinah. 
Doa-doa untuk Soeharto memang selalu akan dilantunkan dari Astana Giribangun, 
sebab  itu yaitu  tempat peristirahatan terakhir Soeharto. Di kompleks itu, tempat 
untuk jasad Soeharto sudah dipersiapkan sejak makam itu dibangun, pada Rabu Kliwon-
sama dengan weton Soeharto-27 November 1974. Letaknya ada di antara pusara istrinya 
dan Raden Ayu Kanjeng Soemoharjomo, ibunda Hartinah. "Semuanya sudah ready, tinggal 
tunggu peluit saja," kata Sukirno, pengurus kantor Giribangun. 
Giribangun memiliki dua area parkir. Satu yang cukup luas ada  di kaki bukit dan 
dikitari kios-kios. namun , semenjak Soeharto lengser, Giribangun sepi sehingga para pedagang 
pun jarang berjualan. Satu lagi area parkir persis di samping kompleks makam. 
Di salah satu sudut Argokembang, sebelah utara, ada  ukiran Surat Yassin, 
pemberian seseorang dari Jepara. Di sudut lainnya terpampang tulisan berisi petikan Serat 
Wedatama, sebuah sastra Jawa klasik karya Mangkunegoro IV. Kutipannya: 
    Lila lamun kelangan nora gegetun Trimah yen ketaman saserik Sameng dumadi tri 
legawa nalangsa srahing bathara. (Ikhlas, jika kehilangan, tak akan menyesal Menerima 
dengan lapang jika mendapatkan kebencian dari sesama Berbesar hati dan menyerahkan 
segalanya kepada Yang Kuasa) 
Petikan Serat Wedatama ini memang menunjukkan bahwa Giribangun yaitu  gerbang yang memisahkan Soeharto dari yang fana dengan keabadian. 
 uang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Senin lalu terasa senyap. Hari 
itu, mestinya digelar sidang perdata perkara negara melawan Yayasan Supersemar 
dan mantan presiden Soeharto. Diperkirakan, ditambah dua kali sidang lagi, masalah  itu 
bakal selesai. namun , apa daya, sehari sebelumnya Soeharto meninggal. "Kami minta diurus 
ahli waris secepatnya," kata hakim ketua Wahjono kepada tim jaksa pengacara negara dan 
para pengacara Soeharto. 
Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dua yurisprudensi 
Mahkamah Agung, jika  tergugat meninggal dunia, posisinya sebagai tergugat dapat digantikan oleh ahli warisnya. Namun, menyeret anak-anak penguasa Orde Baru yang  berjumlah enam orang sebagai ahli waris tak gampang. "Pihak keluarga bisa menolak," kata 
Juan Felix Tampubolon, salah seorang anggota tim pengacara Soeharto. 
Sidang di aula utama pengadilan itu pun ditunda sampai ada ahli waris yang 
diajukan. Persidangan tuntutan negara berupa ganti rugi Rp 185 miliar dan US$ 425 juta 
dan  ganti rugi imateriil Rp 10 triliun itu menjadi tak keruan ujungnya. Bukan tidak mungkin, 
peradilan masalah  perdata ini gagal diselesaikan seperti dalam masalah  pidana Soeharto yang 
digelar pada 31 Agustus 2000. 
masalah  hukum Soeharto memang cenderung menyusut. saat  reformasi berputar 
pada 1998, semangat mengadili sang jenderal besar begitu berkobar. Dilandasi Ketetapan 
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 11 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, 
Kolusi, dan Nepotisme, pemerintah berniat segera mengadili Soeharto. Kala itu, Jaksa Agung 
Andi M. Ghalib yang ditunjuk menjadi Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto menjanjikan 
pengusutan penuh harapan. 
Ia unjuk gigi dengan mengumumkan indikasi penyimpangan penggunaan dana di 
tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto. Yayasan itu meliputi Yayasan Supersemar, Yayasan 
Dharma Bhakti Sosial, Dana Abadi Karya Bhakti, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti 
Muslim Pancasila, Dana Kemanusiaan Gotong Royong Kemanusiaan Siti Hartinah, dan 
Yayasan Bantuan Beasiswa Yatim Piatu Tri Komando Rakyat. Dengan kekayaan mencapai Rp 
4 triliun, dana tujuh yayasan itu justru mengucur ke bisnis keluarga Soeharto dan kroni. 
Badan Pertanahan Nasional bahkan ikut menyetor daftar tanah Soeharto ke 
Kejaksaan Agung. Menurut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat 
itu, Hasan Basri Durin, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum menguasai 
204 ribu hektare tanah bersertifikat. Bank Indonesia juga melaporkan rekening atas nama 
Soeharto di 72 bank dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, hampir semuanya 
disimpan di Bank BCA-saat  itu masih milik taipan Liem Swie Liong, kroni terdekat Soeharto. 
Namun, harapan itu layu di tengah jalan. Jaksa Agung Andi M. Ghalib mengumumkan 
penyimpangan bukan pada Keputusan Presiden Soeharto, melainkan pada pelaksanaannya. 
Padahal, Kejaksaan baru dua kali memeriksa Soeharto dalam perkara yang masuk tahap 
penyidikan pada 9 Desember 1998 ini. Sejak itu juga Soeharto mulai sakit-sakitan. Perkara 
ini makin tak jelas sesudah  Jaksa Agung Ismudjoko menerbitkan surat penghentian 
penyidikan perkara (SP3) pada 8 Oktober 1999 sesudah  mendengar pendapat para pakar. 
Saat itulah lalu  diusulkan pembentukan Komisi Negara untuk perkara 
Soeharto. "Komisi itu diperlukan agar perkara Soeharto tidak terkatung-katung," kata 
pengacara senior Adnan Buyung Nasution, salah satu pakar yang dimintai masukan. Namun, 
usulan ini tak berlanjut. Malahan, pada April 2000, Jaksa Agung Marzuki Darusman yang 
menggantikan Ismudjoko mencabut SP3 yang dikeluarkan pendahulunya. 
Soeharto pun mulai diperiksa meskipun tim dokter kepresidenan dan tim dokter 
pribadi menyatakan Soeharto menderita kerusakan otak. Kala itu, tim Kejaksaan delapan 
kali mendatangi Cendana. Jawaban Soeharto hanya dua: tidak ingat dan tidak tahu. Walau 
begitu, tim Kejaksaan tetap melimpahkan masalah  ini ke Pengadilan Jakarta Selatan. 
Tibalah agenda sidang yang menyedot ribuan warga masyarakat. Soeharto yang 
diminta hadir dalam sidang di aula Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, tidak datang 
dengan alasan sakit. Ketua majelis hakim Lalu Mariyun memerintahkan terdakwa diobati 
sampai sembuh. Berkas perkara Soeharto pun tergeletak di Pengadilan Jakarta Selatan. Pada 
Mei 2006, kesehatan Soeharto kritis dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina. 
Dimotori Partai Golkar, beberapa  tokoh politik menggagas pengampunan bagi 
presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
menyambut gagasan itu dan memerintahkan Kejaksaan Agung memberikan solusi 
keadilan dan kepastian hukum. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh-melalui Kejaksaan Negeri 
Jakarta Selatan-memilih menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan perkara 
(SKP3) pada 12 Mei 2006. 
Kejaksaan tak bersedia mengadili Soeharto secara in absentia. "In absentia dilakukan 
jika terdakwa mangkir tanpa alasan sah," katanya. Selain itu, SKP3 dipilih sebab  beberapa  
alasan. Selain menghormati keadaan  Soeharto yang sakit, SKP3 bukan usaha  pengampunan. 
"Perkara bisa dibuka kembali," Abdul Rahman menegaskan. Sampai kapan? "Sampai 
ditemukan alasan baru, contohnya  dokter menyatakan Soeharto sembuh." 
Pemberian SKP3 oleh Kejaksaan disusul gugatan perdata sebagai jalan 
mengembalikan kerugian negara. Mengacu kepada Undang-Undang Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi, gugatan perdata, kalaupun tersangkanya meninggal, perkara bisa dialihkan 
ke ahli warisnya. Langkah Jaksa Agung ini mengundang reaksi lembaga swadaya masyarakat 
dan para akademisi. Mereka menggugat ke Pengadilan Jakarta Selatan. Hakim Andi Samsan 
Nganro menyatakan SKP3 tidak sah, namun  hakim pengadilan banding memenangkan Jaksa 
Agung. Perkara Soeharto lain yang mencolok mata yaitu  masalah  pelanggaran hak asasi 
manusia. Komisi Nasional HAM periode 2002?2007 menangani lima perkara berat yang 
diduga melibatkan Soeharto. masalah  itu yaitu  Pulau Buru, penembakan misterius, peristiwa 
Tanjung Priok, kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua, dan  masalah  27 Juli. 
"Dalam masalah  Pulau Buru, korbannya sangat spesifik, yakni mereka yang dituduh menjadi 
anggota Partai Komunis Indonesia," kata M.M. Billah, salah satu anggota Komnas HAM. 
Adapun tragedi Tanjung Priok, korbannya yaitu  kelompok Islam yang dianggap anti-
Pancasila. 
Tragisnya, berbagai dugaan pelanggaran ini bak pohon mati sebelum ditanam. 
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM 2002?2007, pengusutan 
pelanggaran HAM Soeharto menunggu terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 
"masalah  itu terjadi sebelum Undang-Undang Dasar 45 diamendemen dan keluarnya Undang-
Undang Peradilan HAM," katanya. Pada undang-undang itu diberlakukan asas 
larangan penerapan surut suatu undang-undang (retroaktif). 
Peluang makin menguap sesudah  Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-
Undang 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada Desember 2006. "Selain 
bertentangan dengan konstitusi, undang-undang ini tidak memiliki konsistensi hukum 
sehingga menimbulkan ketidakpastian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. 
Keputusan itu dianggap melebihi tuntutan (ultra petita) sebab  pemohon dari 
kalangan LSM dan korban pelanggaran HAM hanya mengajukan pembatalan pasal yang 
mengatur pemberian kompensasi dan rehabilitasi korban. Itu pun jika permohonan amnesti 
mereka diterima presiden. "Pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu kembali ke titik 
nol," kata Asmara Nababan, salah seorang pemohon yang juga anggota Komnas HAM, kesal. 
Kini, Soeharto sudah meninggal. Menurut guru besar kriminologi Universitas 
Indonesia, Muhammad Mustofa, sesudah  ini masalah  hukum Soeharto makin pelik. 
Penyelesaiannya-ia menunjukkan kuncinya-yaitu melalui pemulihan keadilan (restorative 
justice) untuk para korban kebijakan Soeharto. "Intinya ada perdamaian antara pelaku dan 
korban," katanya. 
Ia menambahkan, itu bukan sekadar permintaan maaf seperti yang diucapkan 
Soeharto saat dipaksa meletakkan jabatannya pada 1998. Pemulihan keadilan itu harus pula 
diikuti kompensasi atas kerusakan dan kerugian yang diderita korban. Gagasan ini pernah 
diajukan saat  ada usulan pembentukan Komisi Negara pada 1999 namun  tak terwujud. Cara 
ini, kata Mustofa, perlu dilakukan sebab  hukum formal gagal menyelesaikan perkara Soeharto. 
EMO berklasifikasi sangat rahasia dan sensitif itu dipergunjingkan  di Internet persis saat 
jasad Soeharto dikuburkan di Karanganyar. Isinya yaitu  manuskrip  perbincangan antara Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, Menteri Luar Negeri Henry 
Kissinger, dan Presiden Soeharto di Gedung Putih pada Mei 1970. National Security Archive (NSA), lembaga penelitian di Universitas George 
Washington, yang memaparkan kabar itu. Bukan cuma dengan Nixon, disebutkan pula 
pertemuan Soeharto dengan beberapa  petinggi Amerika seperti Presiden Gerald Ford, Ronald Reagan, sampai George Bush. Di sana juga diungkapkan hubungan Washington 
dengan Soeharto dari 1966 hingga 1998. 
Pandangan Amerika terhadap Soeharto saat dia mengawali kekuasaannya pada 1966 
juga dibeberkan. Begitu pula perebutan Irian Barat 1969, penyerbuan ke Timor Timur 1975, 
dan  masalah  penembakan misterius sepanjang 1983-1984, tercatat secara detail. 
Laporan itu dibuka berdasar akta kebebasan informasi (FOIA). Tujuannya yaitu  
mengungkap korupsi dan kebijakan represi rezim Soeharto yang "direstui" Amerika. "Tidak 
sekali pun para Presiden AS pernah memakai  pengaruh maksimumnya atas rezim 
(soeharto " kata Brad Simpson kepada AFP. 
Brad yaitu  pimpinan proyek "Dokumentasi Arsip Indonesia/Timor-Timur" yang 
digarap NSA pada 2002. Lembaga ini mengumpulkannya dari National Archive (NARA) dan 
perpustakaan kepresidenan AS. Tebalnya sampai puluhan ribu halaman. 
Salah satunya tertera dalam memo 26 Mei 1970. Di depan Nixon, Soeharto terang-
terangan mengakui menumpas kekuatan Partai Komunis Indonesia. Puluhan ribu orang yang 
diduga anggota PKI diinterogasi dan ditahan. Presiden AS ke-37 itu meresponsnya dengan 
pernyataan dukungan. 
Menurut NSA melalui situsnya, sesudah  dua hari kunjungan Soeharto ke Washington, 
Amerika berjanji menambah bantuan US$ 18 juta. Duit itu memungkinkan Indonesia 
membeli 15 ribu pucuk senapan M-16 guna mengganti senapan AK-47. 
Memo lain mengungkap bagaimana rezim Soeharto memberikan berbagai konsesi 
kehutanan. Salah satunya, dalam memo 5 Desember 1972, diungkapkan usaha  
Weyerhaeuser mendapat konsesi kayu di Kalimantan. Perusahaan kayu Amerika itu 
mengirim surat keluhan ke Gedung Putih. 
Di Indonesia, Weyerhaeuser harus membayar berbagai pungutan, baik ke militer 
maupun sipil di Indonesia kendati militer sudah mendapatkan bagian 35 persen saham. "Hal 
itu mengancam operasional perusahaan," ujar seorang pejabat perusahaan itu. 
Memo lain pada 7 September 1973 mengungkap bagaimana Soeharto memberi 
konsesi kepada tiga perusahaan boneka milik keluarga dan kroninya. Padahal, pada saat 
yang sama perusahaan AS, International Paper Company, sedang merundingkan konsesi. 
Namun, berita tak sedap ini ditanggapi dingin oleh Cendana. Koordinator kuasa 
hukum Soeharto, Otto Cornelis Kaligis, menganggap data itu tak akan menjadi berkas 
perkara hukum kliennya. "Dalam ranah hukum, dokumen itu tidak berlaku," ujarnya. 
Jaksa Agung Hendarman Supandji sedang mempelajari data rahasia itu. 
Dokumen itu akan menjadi pertimbangan apakah masih bisa dipakai  atau tidak dalam 
penyidikan. "Harus dilihat kedaluwarsanya. Kalau belum, ya, tentu kami tindaklanjuti," ujar 
Jaksa Agung. 
 Asvi Warman Adam 
Ahli Peneliti Utama LIPI 
apakah Soeharto terlibat dalam Gerakan 30 September? Yang pasti, Soeharto yaitu  
orang yang paling diuntungkan dari kudeta itu (dan Presiden Sukarno yang  sangat dirugikan). Pertemuannya dengan Kolonel Latief pada malam 30 September 
1965, beberapa jam sebelum operasi militer itu dilaksanakan, memicu  sebagian 
penulis menganggap Soeharto sudah tahu sebelum peristiwa itu terjadi. Namanya tidak 
termasuk dalam daftar perwira tinggi yang diculik. Kenyataan pula bahwa ia tidak 
melaporkan hal itu kepada atasannya seperti Jenderal Yani. 
Keterlibatan Soeharto dalam kudeta yang terkesan "disengaja untuk gagal" 
diperlihatkan Subandrio dengan mengkaji peran para mantan anak buah Soeharto di Kodam 
Diponegoro. Ada trio untuk dikorbankan (Soeharto-Untung-Latief) dan ada trio yang dipakai 
untuk masa selanjutnya (Soeharto-Yoga Sugama, dan Ali Murtopo). Pandangan ini 
merupakan analisis post-factum yang dikeluarkan sesudah  peristiwa itu terjadi. Dengan 
melihat rangkaian kejadian itu, ditarik kesimpulan. Jadi, bukanlah sesuatu yang 
direncanakan secara mendetail dari awal sampai akhir. 
Dari pengamatan ini terlihat bahwa proses pengambilan kekuasaan itu dilakukan 
secara bertahap, sehingga disebut creeping coup (kudeta merangkak). Yang merupakan 
paradoksal, lazimnya kudeta merupakan perebutan kekuasaan secara cepat dan tidak 
terduga. Namun, di sini ternyata itu dilakukan secara berangsur-angsur atau bertahap. 
Kudeta merangkak yaitu  rangkaian kegiatan untuk mengambil kursi kepresidenan 
secara bertahap sejak 1 Oktober 1965 sampai 1966 (keluarnya Supersemar) atau 1967 
(pejabat presiden) atau 1968 (menjadi presiden). Saskia Wieringa menamakan peristiwa 
tahun 1965 sebagai kup pertama dan tahun 1966 sebagai kup kedua. Peter Dale-Scott 
melihatnya sebagai kudeta tiga tahap: pertama, Gerakan 30 September yang merupakan 
"kudeta gadungan"; kedua, tindakan balasan yaitu pembunuhan terhadap anggota PKI 
secara massal; dan ketiga, pengikisan sisa-sisa kekuatan Soekarno. 
Menurut Subandrio, kudeta merangkak Soeharto terdiri dari empat tahap. Tahap 
pertama, menyingkirkan pesaingnya di Angkatan Darat, seperti Yani dll. Tahap kedua, 
membubarkan PKI, yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, 
melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang loyal 
terhadap Soekarno, termasuk Subandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari 
Presiden Soekarno (tahun 1967 sebagai pejabat presiden, dan tahun 1968 sebagai presiden). 
berapa peristiwa dapat ditambahkan dalam tahapan yang disusun oleh Subandrio. 
contohnya , pengembalian pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa ke induk pasukan di 
daerah asal masing-masing pada akhir Maret 1966 dapat dimasukkan ke dalam tahap ketiga. 
Tjakrabirawa, yang terdiri dari 4 batalion dan satu detasemen (jadi sekitar 4.000-5.000 
anggota pasukan), merupakan kekuatan pendukung Bung Karno. 
Perlu dicatat bahwa usaha  pengambilan kekuasaan memang dilakukan Soeharto 
secara serius. Supersemar bukan keluar secara mendadak atau bukan pula inisiatif spontan 
Jenderal Jusuf, Basuki Rahmad, dan Amir Machmud. Tanggal 9 Maret 1966, Soeharto 
melalui Jenderal Alamsyah sudah  mengutus dua penguasa yang dekat Bung Karno (Dasaat 
dan Hasyim Ning) ke Istana Bogor untuk membujuk beliau menyerahkan pemerintahan. 
Tidak dapat dibujuk, maka dilakukan penekanan terhadap Bung Karno, antara lain dengan 
demonstrasi besar-besaran mahasiswa tanggal 11 Maret 1966. 
Ternyata kudeta merangkak itu bukan saja dilakukan oleh Soeharto dan 
kelompoknya, namun   dilaksanakan berbarengan dengan apa yang saya sebut "kudeta 
merangkak" MPRS. MPRS berperan sangat besar secara yuridis untuk mengalihkan 
kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Walaupun ironisnya, sesudah  kekuasaan itu 
diperoleh, MPRS pun "dimatikan" secara perlahan-lahan. 
Uraian tentang kudeta merangkak ini tidak disebut dengan istilah demikian, namun 
diberikan secara gamblang oleh Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo (alm) dalam didan sinya di 
Universitas Airlangga Surabaya tahun 1990 mengenai Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoretis 
dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara. Tahap-tahap kudeta merangkak MPRS dilaksanakan 
secara berikut: 
Pertama, Supersemar, yang dikeluarkan 11 Maret 1996, dikukuhkan menjadi Tap 
IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Menjadi pertanyaan, kenapa harus dikukuhkan dengan 
ketetapan MPRS? Kalau demikian, apakah segala tindakan yang diambil dengan 
memakai  Supersemar itu termasuk pembubaran PKI tanggal 12 Maret 1966 tidak sah? 
Bukankah Presiden Soekarno sendiri sebetulnya menolak dan memarahi Soeharto mengenai 
kebijakan itu? 
Kedua, tanggal 5 Juli 1966 dikeluarkan Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966, yang 
berisi antara lain: a) Penetapan tidak perlunya jabatan wakil presiden, b) jika  presiden 
berhalangan, pemegang SP 11 Maret 1966 memegang jabatan presiden. 
Ketetapan MPRS ini jelas melanggar UUD 1945 sebab  di dalam UUD 1945 
ditetapkan jabatan wakil presiden. UUD 1945 ini belum diamandemen. Jadi, ketetapan 
itu bersifat inkonstitusional. Kedua, jika  presiden berhalangan, maka wakil 
presiden yang menggantikannya, bukan pemegang SP 11 Maret. Lagi-lagi pasal ini 
melanggar UUD 1945. 
ketiga, tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pidato Pelengkap 
Nawaksara kepada Pimpinan MPRS. Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan Pimpinan 
MPRS No. 13/B/1967 tentang Penolakan Pidato Nawaksara. Keputusan MPRS berbeda 
dengan ketetapan MPRS sebab  keputusan MPRS itu hanya bersifat internal MPRS. Jadi, 
penolakan terhadap pidato Nawaksara itu hanya dilakukan oleh beberapa pimpinan MPRS, 
bukan hasil sidang paripurna lembaga itu. 
Keempat, tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno/Mandataris MPRS 
mengeluarkan "Pengumuman tentang Penyerahan Kekuasaan kepada Pengemban Tap 
MPRS No. IX/MPRS/1966". Penyerahan kekuasaan semacam ini tidak ada dasarnya dalam 
UUD 1945. 
Penyerahan kekuasaan berarti mengalihkan kekuasaan dan tanggung jawab, yang 
secara teoretis harus dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi kekuasaan. 
Penyerahan kekuasaan itu berbeda dengan pengembalian mandat. Pengembalian mandat 
tidak membutuhkan persetujuan pemberi kuasa, sedangkan proses peralihan kekuasaan 
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu  dari pemberi kekuasaan. 
Pemberi kekuasaan kepada presiden yaitu  MPRS. Jadi, kalau presiden, selaku 
mandataris MPRS, mengembalikan mandatnya kepada MPRS, ia tidak perlu meminta 
persetujuan dari MPRS. namun  , kalau presiden akan menyerahkan kekuasaannya kepada 
orang lain, ia harus meminta persetujuan MPRS. 
Ini yang tampaknya dicoba dikoreksi dengan Tap No. XXXIII/1967, yang dikeluarkan 
20 hari lalu . Waktu 20 hari itu sebetulnya dapat dikategorikan sebagai apa: 
kevakuman pemerintahan, atau ada pemerintahan namun   tidak sah menurut konstitusi? 
Kelima, tanggal 12 Maret 1967 MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. 
XXXIII/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. 
Ketetapan ini memiliki  beberapa masalah. Pertama, mendiskreditkan Presiden 
Soekarno dengan mengaitkannya dengan percobaan kudeta Gerakan 30 September. Kedua, 
ayat-ayat dalam ketetapan ini bertentangan. Pasal 6 tap ini menyatakan "penyelesaian 
persoalan hukum menyangkut Dr Ir Soekarno akan dilakukan dengan ketentuan hukum, dan 
keadilan dan pelaksanaannya diserahkan kepada pejabat presiden". Kalau mau diselesaikan 
secara hukum, tentu Soekarno harus diadili (niscaya beliau akan bebas sebab  tidak akan 
terbukti bersalah), jadi diproses melalui sidang pengadilan. namun   pelaksanaannya 
diserahkan pejabat presiden: ini yang kontradiktif dengan ketentuan yang pertama. 
(Kenyataan, sampai Bung Karno wafat tahun 1970, Presiden Soeharto membuat masalah  ini 
mengambang tanpa keputusan hukum.) 
Keenam, bersamaan dengan pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno, Jenderal 
Soeharto selaku pemegang Supersemar diangkat sebagai "pejabat presiden". Lembaga 
pejabat presiden yaitu  lembaga "ekstra-konstitusional" sebab  tidak dikenal dalam UUD 1945. 
Ketujuh, tanggal 28 Februari 1968 muncul Pernyataan Pendapat DPRGR No. 
12/DPRGR/III/1966-1967, yang isinya mendesak Pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 
untuk melakukan penyegaran keanggotaan MPRS dan mendesak agar Jenderal Soeharto 
diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia. Anggota MPRS yang loyal kepada Soekarno 
dikeluarkan dan diganti dengan pendukung Soeharto. 
Kedelapan, tanggal 27 Maret 1968 Soeharto diangkat sebagai presiden sampai 
terpilihnya presiden hasil pemilihan umum. 
Dalam sidang MPRS tahun 1966 ditetapkan sebetulnya pemilihan umum akan 
dilaksanakan pertengahan tahun 1968. Soeharto sesudah  terpilih jadi presiden langsung 
mengundurnya sampai tahun 1971. 
sesudah  Soeharto menjadi presiden, yang pertama dilakukannya yaitu  pergi ke 
Jepang untuk merundingkan utang luar negeri. sesudah  itu, MPRS, yang sudah  "berjasa" 
menjadikannya sebagai presiden, mulai dimatikan secara perlahan-lahan. Lembaga ini 
dijadikan sebagai lembaga yang hanya bersidang sekali lima tahun. Kegiatan Badan Pekerja 
MPRS diboikot oleh Fraksi Golkar dan ABRI dengan tidak menghadiri sidang-sidangnya. 
Jenderal Nasution dan juga Subchan ZE, yang sering berpidato di mana-mana dengan 
mengeluarkan pendapat atas nama pimpinan MPRS, dikritik pihak keamanan Orde Baru 
bahwa pernyataan itu tidak sah, sebab  suara MPRS haruslah dikeluarkan melalui sidang 
pleno. sesudah  itu, memang MPRS tidak berfungsi lagi sampai terbentuknya MPR hasil 
pemilu. 
Menjelang akhir tugasnya, Nasution dkk masih sempat menulis Laporan Pimpinan 
MPRS Tahun 1966-1972. Buku itu memuat kritik tajam terhadap berbagai kekurangan pada 
awal Orde Baru dan hal-hal yang seharusnya dilaksanakan (contohnya  otonomi daerah). 
Namun, laporan itu tidak boleh beredar dan konon kabarnya ribuan eksemplar dibakar oleh 
aparat keamanan. Untunglah ada beberapa eksemplar yang dapat diselamatkan, dan itulah 
yang diulas secara khusus oleh majalah Tempo edisi 22-28 Juli 2002. 
Nasution sudah  berjasa mengantarkan Soeharto ke kursi kepresidenan, namun 
sesudah  itu ia disingkirkan. Habis manis, sepah dibuang. Tujuan menghalalkan segala cara. 
"Kudeta merangkak" MPRS yaitu  kisah tragis dan ironis tentang ketatanegaraan di 
Indonesia. Hukum dimanfaatkan untuk melegitimasi kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu 
sendiri berada di atas hukum. 
Cendana, sesudah  Keputusan Itu... Di akhir kekuasaannya, ia gamang. Prabowo 
dianggap mengkhianati Cendana. 
amis, 21 Mei 1998. Raungan sirene itu menghentikan kegiatan belasan orang yang 
sejak siang berkumpul di ruang keluarga rumah Jalan Cendana 8, Menteng, Jakarta 
Pusat. Beberapa mobil masuk ke halaman dan seperti diberi aba-aba, para penghuni 
rumah serentak berdiri. Dari mobil Mercedes Benz hitam itu keluar Soeharto, tokoh yang 
dinanti-nanti. Bersafari lengan pendek biru gelap, wajah jenderal besar itu muram dan 
pucat. Ia berjalan diiringi putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, dan mantan Menteri 
Sekretaris Negara Saadilah Mursjid, 
Sampai di ruang tamu, ia mengangkat kedua tangan. "Allahu Akbar. Lepas sudah 
beban yang terpikul di pundak saya selama berpuluh tahun," katanya. Ruangan senyap. 
Sesekali terdengar isak tangis dua putri Soeharto, Siti Hedijati (Titiek) dan Siti Hutami 
Adiningsih (Mamiek). 
Satu per satu, anak, menantu, cucu dan kerabat lainnya menyalami, memeluk dan 
mencium tangan Soeharto. Di belakang menyusul teman keluarga, ajudan, pengawal, sopir, 
dan pembantu. Hari itu rumah dibekap kesedihan. "Sulit melupakan peristiwa itu. Itulah saat 
pertama Bapak pulang sebagai warga negara biasa," kata Tutut mengenang. Sejak Kamis 
pagi 21 Mei 1998, Soeharto bukan lagi presiden. Di Credentials Room, Istana Merdeka, ia 
menyampaikan pidato pengunduran diri sesudah  32 tahun berkuasa. Pidatonya ringkas, 
disiarkan secara nasional dan mendapat perhatian seluruh dunia. 
Soeharto terlihat rileks. "Ini yaitu  sejarah. Saya memutuskan mundur susaha  tak 
jatuh korban lagi," kata Soeharto membuka percakapan. Menurut dia, jika ia tetap 
berkukuh, situasinya kian keruh dan akan jatuh korban. "Jelek-jelek, saya dahulu  naik sebab  
didukung mahasiswa," katanya. "Sekarang sudah jatuh korban mahasiswa. Saya nggak mau 
ada korban lagi." 
 gelombang demonstrasi mahasiswa berujung tragedi penembakan mahasiswa 
Universitas Trisakti. Jakarta menyala. Kerusuhan, pembakaran, penjarahan. Orang-orang 
mengheningkan cipta. Ibu Pertiwi hamil tua. 
Soeharto bagai duduk di atas bara: ia mempersingkat kunjungannya ke Kairo, Mesir, 
untuk menghadiri KTT Nonblok. Dari jauh ia menerima kabar: aparat tak berhasil meredam 
kerusuhan. Tutut mengurungkan kepergiannya ke Boston, Amerika Serikat, menghadiri 
wisuda putrinya. Ia memantau keadaan. "Bapak terus menerima laporan dari berbagai 
pihak," kata Tutut. Satu jam sesudah  mendarat di Jakarta, Jumat 15 Mei 1998, Soeharto 
disambut cerita putra-putri dan adik tirinya, Probosutedjo, tentang Jakarta yang remuk 
redam. Laporan komplet dari Wakil Presiden B.J. Habibie, para menteri bidang polkam, 
Panglima ABRI, Kejaksaan Agung, dan Kabakin diterima Soeharto beberapa jam lalu . 
saat  itu dengan tegas Soeharto membantah kalau dia akan mundur. 
Sejak hari itu, penjagaan di Cendana diperketat. Di luar, berbagai kelompok 
masyarakat termasuk pimpinan MPR/DPR mendesak Soeharto hengkang dari kursi 
kepresidenan. beberapa  tokoh seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais, Malik Fadjar 
menggodok konsep reformasi. Tekanan politik tak bisa dielakkan saat  mahasiswa 
menguasai gedung MPR/DPR seraya mendesak pimpinan lembaga itu menggelar Sidang Istimewa. 
 keluarga Soeharto sebetulnya  tak tinggal diam. Menantu Soeharto yang juga Pangkostrad, Prabowo Subianto, menceritakan pembicaraannya dengan Panglima ABRI 
Jenderal Wiranto saat bertemu di Cendana, Senin 18 Mei 1998 malam. Wiranto 
mengatakan, anak-anak Soeharto ingin melakukan perlawanan, namun  Prabowo ragu. 
"Bagaimana bisa? " katanya dalam Buku Putih Prabowo, 1999. Hari itu, Amien Rais 
mengeluarkan seruan menggelar aksi 20 Mei di Monas. Menurut Prabowo, mencegah 
protes akan memicu  korban jatuh. 
beberapa  kawan karib anak Cendana menawarkan agar Tutut dan Bambang 
Trihatmodjo, dua anak Soeharto yang menjadi pengurus Golkar, melobi fraksi-fraksi di DPR 
dan MPR, namun Tutut skeptis. "Lo percuma. Pimpinannya saja sudah bersikap begitu," kata 
Tutut seperti ditirukan salah satu sahabatnya. 
sebetulnya  usaha  pendekatan ke fraksi-fraksi DPR dan MPR juga sudah dilakukan. 
Saat pertemuan digelar di Cendana, malam itu Probo meminta bantuan tokoh Golkar, AA 
Baramuli. namun  Baramuli mengaku tak bisa menolong sebab  para politisi itu sudah berubah 
sikap. 
Malam itu, Soeharto bertemu dengan Nurcholish Madjid di Cendana. Menurut 
Nurcholish, ia menyampaikan gagasan reformasi termasuk mendesak Soeharto mundur 
dan  menggelar pemilu yang dipercepat. Namun, Soeharto minta bertemu beberapa  tokoh esok harinya. 
 tak ingin Jakarta lebih remuk, Soeharto berniat membentuk Komando Operasi 
Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (Pangkopkkn), lembaga semacam Kopkamtib. 
Rencana itu disampaikannya Sabtu pagi, 16 Mei 1998, kepada Wiranto, Saadilah Mursjid, 
dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. Rencananya, kata Subagyo, 
peresmian lembaga ini akan dilakukan Senin 18 Mei. Subagyo ditunjuk sebagai wakil, 
Wiranto sebagai panglima. namun  semuanya berubah saat  Subagyo diminta merapat ke 
Cendana, Minggu petang, untuk sebuah pertemuan empat mata. 
Kepada mantan pengawalnya itu, Soeharto menanyakan peta situasi pengamanan 
pascakerusuhan. "Menurut isu, ada dua kelompok. Kelompok Pak Wiranto dan kelompok 
Prabowo. Sedangkan saya di tengah-tengah. keadaan  keamanan secara umum membaik," 
kata Subagyo. 
Belakangan, Soeharto menawari Subagyo jabatan Pangkopkamtib, namun Subagyo 
menolak. " Sejak awal sudah disepakati, posisi Pangkopkamtib dijabat Panglima ABRI, 
sedangkan Wakil Pangkopkamtib oleh KSAD," kata Subagyo dalam biografinya, KSAD dari 
Piyungan, Jakarta 2004 . Mendengar jawaban itu, Soeharto meminta ajudannya, Kolonel 
(Pol.) Sutanto-kini Kepala Polri-mengirimkan pembatalan undangan pelantikan Pangkopkkn 
yang rencananya digelar 18 Mei. Perubahan sikap Soeharto itu, menurut salah satu kerabat 
Cendana, disebabkan oleh keraguannya atas loyalitas Wiranto dan Prabowo. Lama 
terdengar kabar kedua jenderal bersaing pengaruh. 
itulah sebuah pernyataan pers yang mengatasnamakan Mabes ABRI yang 
menyebutkan ABRI mendukung sikap Nahdlatul Ulama yang meminta Soeharto turun. 
Salinan pernyataan itu diantar Prabowo kepada mertuanya. "Ini artinya militer meminta 
Bapak turun," katanya. Soeharto tak langsung percaya. Prabowo diminta mengecek soal itu 
ke KSAD. Sebaliknya, secara diam-diam, menurut seorang kerabat Cendana, Soeharto juga 
mengutus putranya, Bambang Trihatmodjo untuk mengkonfirmasikan soal ini ke Wiranto. 
Bambang memang dikenal dekat dengan Wiranto. Prabowo yang malam ini membawa 
Subagyo ke Cendana malah mengusulkan agar Wiranto digantikan Subagyo saja. Mendengar 
usul itu, Soeharto tersenyum datar. 
Minggu subuh, Wiranto menemui Soeharto di Cendana dan mengklarifikasi masalah 
ini. Ia meminta Soeharto memecatnya jika tak percaya lagi. Soeharto menggeleng. 
"Teruskan saja tugasmu," katanya. 
Sebetulnya, desakan tentang penggantian Wiranto juga pernah disampaikan 
Prabowo kepada Tutut saat  mahasiswa mulai menguasai DPR. Saat itu, Tutut 
mempertanyakan, apa yang harus dilakukan mengatasi keadaan? Prabowo menyarankan, 
Pak Harto mengganti Wiranto dan membuat dekrit darurat. Namun, Tutut mengatakan, 
ayahnya tak mau melakukan saran itu. sebab  itu, jalan lain, menurut Prabowo, yaitu  
Soeharto mundur. Tutut bertanya, apa yang terjadi kalau ayahnya turun. "Sesuai konstitusi, 
Habibie menjadi presiden," jawab Prabowo. 
 
DI Istana Negara, saat bertemu dengan sembilan tokoh reformasi, Soeharto 
mengatakan siap mundur. "Hanya, apakah dengan mundur keadaan bisa diatasi?" Dari 
pertemuan itu, Soeharto memutuskan membentuk komite reformasi, merombak kabinet, 
 dan melakukan pemilu secepatnya. Ia menegaskan tak mau dicalonkan sebagai presiden. 
"Saya sudah kapok." 
Di ruangan lain di Istana, sambil menunggu pertemuan Soeharto dengan sembilan 
tokoh, beberapa  orang berkumpul. Tampak hadir Prabowo Subianto, Mendagri R. Hartono, 
KSAD Subagyo, Panglima ABRI Wiranto, Probosutedjo, dan Tutut. Probo lalu bertanya 
kepada Wiranto, kenapa mahasiswa malah digerakkan ke Senayan. "Mereka kan tambah 
kuat dan seenaknya. Disuplai makanan lagi, " kata Probo. Wiranto menjawab, kalau tidak 
dikumpulkan, mereka bisa melakukan kekerasan di jalanan dan itu membuat situasi tambah 
kacau. 
Tekanan massa dan mahasiswa tak bisa dibendung lagi. Gedung DPR seperti pasar 
malam: orang-orang berteriak, berpidato, memanjat atap gedung. Pimpinan MPR/DPR, yang 
biasanya tak bergigi, mendadak berubah haluan: mereka ikut mendesak Soeharto mundur 
dan meminta waktu bertemu Presiden. namun  Soeharto sibuk menyusun daftar komite 
reformasi. Ada 45 orang yang disiapkan: politisi, rektor, agamawan, cendekiawan. 
Dalam pertemuan keluarga malam itu, Tutut menanyakan perkembangan terakhir. 
Menurut Prabowo, ia sempat melaporkan situasi terakhir. Desakan agar Soeharto mundur 
tak tertahankan. Saat itu, Soeharto juga mengatakan akan mundur sesudah  kabinet 
reformasi dan komite reformasi terbentuk. Pertanyaannya, siapa yang akan 
menggantikannya. Sesuai UUD, memang Habibie. "namun  Habibie tak akan sanggup 
memegang kekuasaan dan akan terjadi chaos. Jika sudah begitu, tentara bisa mengambil 
alih," ujar Soeharto. 
Seorang kerabat keluarga itu mengatakan, malam itu Soeharto menyampaikan 
keraguannya jika wakil presiden bisa mengatasi keadaan. "Pak Harto sebetulnya  meragukan 
kemampuan Habibie," ujar sumber itu. Soeharto menyadari posisinya di tubir jurang. Rabu 
20 Mei menjelang malam ia menyampaikan kepada Habibie rencananya berhenti pada 23 
Mei. Namun, sesudah Habibie pulang, Soeharto harus menemui fakta banyak tokoh 
menolak bergabung dalam komite yang ditawarkannya. 
Yang membuat jenderal besar itu terpukul, 14 menteri dari kabinetnya mengirimkan 
surat pengunduran diri. Padahal, mayoritas dari mereka sebetulnya  sudah diminta duduk 
lagi dalam kabinet reformasi. Soeharto tak memiliki  pilihan. 
Malam itu, saat  konsep pidato pengunduran dirinya disusun, Soeharto 
mengumpulkan anak-anak dan kerabat. "Apa pun risikonya, saya akan 
pertanggungjawabkan," katanya. Saat itu, Probo menanyakan siapa yang bakal jadi 
pengganti. Soeharto menjawab, "Habibie sudah mengatakan bersedia menjadi presiden". 
Probo tak percaya. "Yakin dia sanggup, Mas?" Soeharto tersenyum datar. "Ya, sanggup. Mudah-mudahan." 
Sesaat ruangan itu senyap. Salah satu kerabat bercerita, saat itu Bambang Tri sempat 
bertanya, "Kenapa tidak tanggal 23 Mei saja? Bukankah sudah diputuskan hari itu?" 
Soeharto diam saja. Malah Tutut yang menjawab. "Mau lusa atau besok, toh sama saja. 
Bapak memang harus mundur." Hening. Sayup-sayup terdengar isak Titiek dan Mamiek. 
Seseorang menyentil: situasi ini disebabkan aparat membiarkan mahasiswa menguasai DPR. 
Tak berapa lama, Prabowo masuk. Belum lagi ia duduk, Mamiek bangkit seraya 
menudingkan telunjuk. "Pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi! Keluar!" 
Malam itu, Prabowo mengaku sebetulnya  enggan keluar. Ia melihat Titiek, istrinya, 
menangis. namun  bertahan di ruangan itu dianggapnya tidak menyelesaikan masalah.  
sudah lama terdengar hubungan Soeharto dan anak-anaknya dengan Prabowo tak 
harmonis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, semua anak Soeharto 
dendam kepada Bowo. "Cuma Sigit yang agak netral," kata Sumitro dalam Jejak Perlawanan  Begawan Pejuang, 2000. 
Soeharto memendam syak wasangka bahwa Prabowo dan Habibie sedang 
menggalang persekongkolan untuk menumbangkannya. Salah satunya yaitu  soal 
kedekatan Bowo dengan beberapa  tokoh yang saat itu menjadi lawan politik Soeharto. Dari 
istrinya, Prabowo mengetahui ia dianggap pengkhianat sesudah  bertemu Amien Rais, Gus 
Dur, dan Habibie. 
namun  Prabowo memiliki  pandangan lain soal mengapa ia dibenci. Menurut dia, selama 
ini ia selalu mengatakan keadaan semakin memburuk jika Soeharto bertanya tentang 
keadaan  keamanan. "Pak Harto mulai tak suka kepada saya. Ia berbicara serius dengan 
semuanya, kecuali saya. Saya sama sekali tak dihiraukan," kata Prabowo dalam buku 
putihnya, Maret 2000. 
Dua hari sebelum Soeharto lengser, Prabowo memang terlibat pertengkaran sengit 
dengan Tutut dan Mamiek. Keduanya menggugat Bowo yang tidak optimal membela 
Soeharto. "Kamu ke mana saja? Mengapa kamu membiarkan mahasiswa menduduki DPR?" 
Prabowo dengan sengit balik membalas." Apakah saya harus menembaki mereka? Ini sama 
saja bikin chaos." 
 upacara serah-terima jabatan itu berlangsung singkat. Selesai berpidato, Soeharto 
berdiri menunggu hakim agung mengambil sumpah B.J. Habibie. Begitu selesai, Soeharto 
menyalami Habibie, juga para hakim agung yang hadir. Tak sepatah kata pun terucap, ia 
langsung balik badan menuju Ruang Jepara tempat menunggu pimpinan MPR/DPR. 
Syarwan Hamid, salah satu Wakil Ketua DPR waktu itu, melukiskan Soeharto hanya 
bicara semenit. Berdiri setengah membungkuk dengan tangan bersilang di perut, mantan 
 penguasa itu berpamitan. "Saudara-saudara, saya tak menjadi presiden lagi. Tadi sudah saya 
umumkan kepada rakyat. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, Habibie sudah mengucapkan sumpah di 
depan MA. Saya harap MPR dan DPR bisa menjaga bangsa ini. Terima kasih," kata Soeharto. 
Ketua MPR/DPR Harmoko dan wakilnya, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hassan 
Metareum, dan  Syarwan Hamid hanya mengangguk. 
Soeharto keluar ruangan. Menggamit lengan Tutut, mantan presiden itu menuruni 
tangga Istana. Menyunggingkan senyum tipis, ia melambaikan tangan kepada juru foto. 
Sesaat lalu , dikawal pengamanan ketat ia melesat kembali ke Cendana. 
Itulah pertemuan terakhir Soeharto dengan bekas anak buahnya. sesudah  lengser, 
meski masih banyak petinggi militer dan para pejabat yang datang menjenguk, Soeharto 
memilih menarik diri. Satu-satunya saat ia menerima tamu yaitu  saat  Lebaran dan 
perayaan ulang tahunnya. namun  pernah, sehari sesudah  lengser, beberapa  orang datang dan 
meminta Soeharto menengahi konflik di tubuh ABRI, namun  Soeharto tak mau. "Lho kalian 
yang menginginkan seperti ini. Kenapa harus meminta saya lagi?" kata Soeharto seperti 
ditirukan seorang petinggi militer. 
Probosoetedjo juga emoh saat  Nurcholish Madjid menitipkan pesan padanya. Saat 
itu Cak Nur meminta Soeharto mengingatkan Habibie bahwa posisinya sebagai pejabat 
presiden hanya sementara. "Jangan sampai dia menganggap dirinya sebagai presiden 
definitif," kata Cak Nur seperti ditirukan Probo. Namun, Probo menggeleng. "Nggak ah. Saya 
tak mau berhubungan dengan orang itu," kata Probo. Belakangan, keluarga ini memilih 
menutup diri. Apalagi rumah mereka belakangan dibanjiri demonstran yang menuding 
Soeharto korupsi. "Semua keluarga terganggu," ujar Tutut. 
Agaknya, sebab  itu pula, Juli 1998, dua bulan sesudah  lengser, Soeharto 
mengumpulkan keluarganya di Puri Retno, Anyer, Banten. Seusai makan malam di pinggir 
pantai, Soeharto minta anak-anak, menantu, dan cucu menerima keadaan  pahit ini dan tabah 
melaluinya. 
Menurut dia, ini yaitu  konsekuensi dari keputusannya untuk mundur. Dan begitu 
mundur, hujatan bukannya reda, justru malah bertubi-tubi. sebab nya, ia minta anak-
anaknya tak bereaksi. Katanya, "Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya 
sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan 
ikhlas. Mudah-mudahan, ini mengurangi beban saya di akhirat." 
 menjelang isya, surat itu tiba di kediaman Presiden Soeharto, Jalan Cendana 10, Jakarta. yaitu  ajudan presiden, Kolonel Sumardjono, yang menerimanya dari 
utusan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita. 
Rabu, 20 Mei 1998, langit Jakarta kusut masai. Ratusan ribu warga dan mahasiswa  menyemut di depan gedung DPR, Senayan, menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Di Cendana, Soeharto memiliki  firasat tak enak. Surat dari Ginandjar itu tak langsung dibuka, 
melainkan dibawanya masuk kamar. Tak lama lalu , jenderal besar itu keluar dengan  raut sekusut kertas diremas. 
Pesan dari Ginandjar itu memang tidak biasa. Terdiri dari dua lembar, surat itu 
ditandatangani 14 menteri yang diurutkan sesuai dengan abjad: Akbar Tandjung, A.M. 
Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, 
Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi 
Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, 
Tanri Abeng 
Isinya membuat Soeharto terkesiap. Pada alinea pertama, para menteri meminta 
Soeharto mundur-meski dengan bahasa yang dihaluskan. "Kami berkesimpulan bahwa situasi ekonomi kita tidak akan mampu bertahan lebih dari satu minggu jika  tidak 
diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang hidup dan 
berkembang di tengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai reformasi di segala bidang, 
seperti antara lain yang direkomendasi oleh DPR RI dengan pimpinan fraksi-fraksi pada 
Selasa, 19 Mei 1998," begitu petikan surat itu. Sehari sebelum rapat di parlemen, 
pemimpin DPR meminta Soeharto mundur "secara arif dan bijaksana". 
Keempat belas pembantu Presiden yang baru menjabat dua bulan itu juga menolak 
bergabung dalam kabinet baru hasil reshuffle. Saat itu, Soeharto memang berencana 
merombak kabinetnya dengan membentuk Kabinet Reformasi. 
Menurut Probosutedjo, adik tiri Soeharto, yang saat itu berada di Cendana, sang 
kakak terlihat gugup sesudah  membaca pesan itu. Ia tak menyangka menerima surat itu, kata 
Probo. Sehari sebelumnya, penguasa Orde Baru itu masih berbincang dengan Ginandjar 
untuk membahas susunan kabinet baru. Ginandjar bahkan mengusulkan beberapa nama 
menteri yang perlu diganti dicopot dan menyebutkan penggantinya. "Pak Harto 
memutuskan mundur sesudah  membaca surat itu," kata Probo beberapa hari sesudah  
Soeharto meletakkan kekuasaannya, 21 Mei 1998. 
Bagaimana surat itu disusun? Menurut Theo Sambuaga, surat itu dibuat di ruang 
rapat kecil gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di kawasan 
Taman Surapati, Menteng, Jakarta Pusat. Di gedung ini pula Ginandjar berkantor sebagai 
Ketua Bappenas merangkap menteri koordinator. 
Awalnya, Ginandjar mengundang para menteri bidang ekonomi melakukan rapat 
koordinasi. Ada 15 menteri yang hadir: Ginandjar, Akbar, Hendropriyono, Giri Suseno, 
Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro, Rachmadi, Rahardi, Subiakto, Sanyoto, 
Sumahadi, Theo Sambuaga, Tanri Abeng, dan Ary Mardjono. Hadir pula Gubernur Bank 
Indonesia Syahril Sabirin. 
Tiga menteri absen. Menteri Keuangan Fuad Bawazier tak ada kabar, Menteri 
Perindustrian dan Perdagangan Bob Hassan mengaku tidak bisa datang sebab  penjagaan 
tentara di Jakarta yang berlapis-lapis. Adapun Menteri Lingkungan Hidup Juwono Sudarsono 
sedang sakit. 
Dalam rapat, para menteri melaporkan terus memburuknya perekonomian. Menteri 
Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto, contohnya , melaporkan berkurangnya 
cadangan bahan bakar minyak. "Rapat menyimpulkan perekonomian terus merosot," kata 
Theo, yang saat ini Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Tempo. 
Ginandjar, menurut Tanri Abeng, lalu meminta para menteri ekonomi memusatkan 
perhatian lebih dahulu  pada situasi politik. "Juga bagaimana mengontrolnya," ujarnya. 
Sesaat sebelum menutup rapat pada setengah tiga siang, Ginandjar meminta para 
menteri tak pulang dahulu . Ia mengajak mereka bertemu lagi di ruang rapat kecil, tanpa 
dihadiri pejabat di bawahnya. "Kami bicara dari hati ke hati," kata Theo. "Pertemuan hanya 
diikuti para menteri sebab  itu diskusi informal." 
Para menteri itu lalu membahas perkembangan politik. Sesekali, mereka memelototi 
layar televisi di ruangan itu yang sedang menayangkan situasi di gedung DPR. Dua hari 
sebelum rapat itu digelar, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan 
Rakyat, Harmoko, terang-terangan meminta Soeharto mundur. Suasana tegang. Beberapa 
menteri berdiri sambil menarik napas panjang. Menjelang sore, semua sepakat posisi 
Soeharto seperti di tubir jurang. Menurut Theo, tak ada perdebatan dalam pertemuan itu. 
Sebagian besar sepakat Presiden sebaiknya menuruti permintaan rakyat, yakni mundur dari 
jabatannya. 
Para pembantu itu lalu merumuskan sikap. Semula digagas untuk membuat 
pernyataan mundur dari kabinet. Namun, kata Theo, pedan  pertemuan menganggap sikap 
itu tidak tepat. Menjelang magrib, disepakati bahwa mereka hanya menyatakan menolak 
bergabung dalam Kabinet Reformasi yang sedianya akan diumumkan Presiden esok harinya. 
sesudah  kesepakatan tercapai, rapat diskors. Ginandjar mengaku meminta Akbar 
Tandjung membuat konsep surat ke Soeharto. "Konsep surat yang sudah selesai lalu 
dibacakan. sesudah  disepakati, baru ditandatangani," katanya.
Dari 15 menteri plus Gubernur BI yang hadir, 14 menteri menandatangani kertas itu 
sesuai dengan urutan abjad. Syahril menolak meneken sebab  menganggap Gubernur BI 
yaitu  posisi independen. "Siapa pun presidennya, Pak Syahril akan tetap pada jabatannya," 
kata Theo lagi. 
Satu lagi yang menolak yaitu  Ary Mardjono, orang yang dikenal dekat dengan 
keluarga Cendana. Masih menurut Theo, Sekretaris Jenderal Golongan Karya itu merasa 
mengkhianati Soeharto bila ikut menolak bergabung dalam kabinet baru. "namun  Pak Ary diam 
saja selama pertemuan, ia hanya berbisik-bisik dengan saya," kata Theo. 
Menurut Tanri Abeng, Ary menolak tanda tangan sebab  ingin berkonsultasi dahulu  
dengan beberapa  partai. Tanri sendiri mengaku ikut tanda tangan sebab  Soeharto tak lagi 
bisa efektif sebagai presiden. "Dengan demikian, kami juga tak bisa lagi bekerja," katanya. 
Suara mencibir datang dari Fuad Bawazier. Katanya, para menteri yang 
menandatangani surat itu hanya mencari selamat. "Biar mereka bisa terpilih di kabinet 
berikutnya." Tanri sendiri tak menjawab tegas. "Saya bukan politisi. Sampai saat ini saya 
tidak mengerti bagaimana semua ini terjadi," kata pria yang kini menjadi Komisaris Utama 
PT Telkom itu. Theo juga tak merasa mengkhianati Soeharto. "Kami tak memukul dari 
belakang. Pak Ginandjar waktu itu bilang bahwa pertemuan itu hanya diikuti pribadi-
pribadi," kata Theo. 
Apa pun, surat itu akhirnya diteken. Semula mereka berencana menyampaikan hasil 
pertemuan itu langsung kepada Soeharto. Namun, akhirnya diputuskan untuk 
menyampaikannya melalui surat. 
Menurut Theo, Ginandjar dan Akbar ditunjuk sebagai wakil. "Mereka berdua menteri 
paling senior dalam pertemuan itu," katanya. Namun, kepada Tempo, Akbar mengaku tak 
pergi ke Cendana mengantar surat itu. "Saya tak pernah mengantar surat itu ke Cendana," 
kata bekas Ketua Umum Partai Golkar itu. Adapun Ginandjar mengakui mengirim orang 
untuk mengantar surat bersejarah itu. Yang jelas, para pedan  pertemuan meninggalkan 
Bappenas selepas magrib. 
Tanri bercerita, sekitar pukul 8 malam ia ditelepon Wakil Presiden B.J. Habibie yang 
memintanya datang ke rumah dinas Wakil Presiden di Patra Kuningan, Jakarta Selatan. 
Di sana, beberapa  menteri yang lain sudah hadir, di antaranya Menteri Koordinator 
Politik dan Keamanan Feisal Tanjung dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat 
Haryono Suyono. Menurut Theo, Habibie lalu menjelaskan hasil pertemuannya dengan 
Soeharto, beberapa jam sebelumnya. 
Di situ Habibie bercerita bahwa Soeharto sudah  memutuskan membentuk Komite 
Reformasi dan merombak kabinetnya. Soeharto, kata dia, juga berencana mempercepat 
pemilu. Dalam pemilihan itu, Soeharto menyatakan tak akan mencalonkan diri lagi. 
 Namun, menjelang tengah malam, Habibie menerima telepon dari Saadilah Mursyid. 
Menteri Sekretaris Negara itu memberitahukan bahwa Soeharto memutuskan untuk 
mundur. Saadilah juga menyampaikan pesan Soeharto agar Habibie bersiap diambil 
sumpahnya sebagai presiden. 
Theo menuturkan, para menteri yang hadir di Patra Kuningan langsung memberi 
selamat kepada mantan Menteri Riset dan Teknologi itu. 
Soeharto merasa ditinggalkan oleh para menterinya. Dalam tulisan yang dimuat di 
situs Internet Soehartocenter.com, "Deklarasi Surapati" disebut sebagai bagian dari 
pengkhianatan beberapa menteri yang dibesarkan Soeharto. Habibie juga dianggap ikut 
bertanggung jawab dalam peristiwa itu. 
Beberapa mantan menteri mencoba menjalin silaturahmi lagi dengan keluarga 
Cendana. Akbar, contohnya , datang ke rumah Soeharto, saat Lebaran. Theo juga selalu datang 
saat  Lebaran dan saat Soeharto sakit. Tak jelas bagaimana sikap Soeharto terhadap 
kunjungan itu. Boleh jadi, di matanya, ke-14 menteri yaitu  Brutus yang menikam 
pada hari terakhir ia berkuasa. 
awal dan akhir kekuasaan Soeharto ditandai dengan dua hal: kecemasan dan darah. 
Demonstrasi besar-besaran, penembakan mahasiswa, dan aksi massa yang  memakan korban terjadi sesaat sebelum Soeharto mengambil alih kekuasaan dari 
Soekarno, 1996. 
Hal yang sama terjadi saat  ia dipaksa turun dari jabatannya. Di ujung 32 tahun 
pemerintahannya, keadaan ekonomi negara juga hancur. Nilai tukar rupiah terhadap dolar 
Amerika terjerembap sangat cepat. 
Terjungkalnya Rupiah 
2/1/1998   5985 
8/1/1998  10676.8 
14/1/1998  7287.2 
23/1/1998  14555 
28/1/1998  11041.8 
3/2/1998  10011.2 
10/2/1998  7287.9 
16/2/1998  9699.3 
19/2/1998  8566.5 
23/2/1998  9429.5 
27/2/1998  8569.5  
10/3/1998 10477.8 SU MPR menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto 
periode 1993-1998. 
25/3/1998  8290.8 
13/4/1998  7375.3  Kerusuhan massal pecah di sekitar kampus Universitas 
Trisakti 
5/5/1998  8042.4 
9/5/1998  12281.4 
19/5/1998  12281.4  Soeharto bertemu beberapa  ulama dan tokoh masyarakat, 
di istana. 
26/5/1998  10165.5 
29/5/1998  11117.7 
 
Akhir Kekuasaan 
Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti dan kerusuhan massal  sesudah nya memicu kejatuhan Soeharto. Namun, berbagai rentetan peristiwa sebelumnya  juga menunjukkan "tanda-tanda" pudarnya pengaruh sang jenderal besar itu. 
1997 Juli 
Krisis ekonomi mulai menghantam Indonesia. Ditandai dengan nilai tukar rupiah  yang terus merosot. 
Aksi demonstrasi besar-besaran mulai muncul di kampus Institut Teknologi Bandung. Mereka menyuarakan reformasi. Aksi ini menjalar ke seluruh Indonesia. Mereka mencoba keluar dari kampus, sesuatu yang dilarang saat itu. Bentrokan mahasiswa dengan aparat 
keamanan pun terjadi di mana-mana. 
1998 Februari-Maret 
beberapa  aktivis demokrasi diculik selama berhari-hari. Penculikan ini diyakini 
sebagai usaha meredam gerakan mereka. Belakangan diketahui penculikan dilakukan oleh 
Komando Pasukan Khusus, yang saat itu dipimpin Komandan Jenderal Mayjen Prabowo 
Subianto. 
Mereka yang diculik yaitu  Nezar Patria, Andi Arif, Desmon J. Mahesa, Pius 
Lustrilanang, Haryanto Taslam, Herman Hendrawan, Rahardjo Waluyo Djati, Faisal Riza, dan 
Mugianto. Sebagian di antara mereka tak ketahuan nasibnya hingga kini. 
10 Maret 
Sidang Umum MPR menyatakan menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto 
sebagai presiden periode 1993-1998. Pada saat yang sama, para mahasiswa menggelar 
"Sidang Umum Tandingan" yang menyatakan menolak pidato pertanggungjawaban 
presiden. 
11 Maret 
MPR memilih kembali Soeharto sebagai presiden. Ini yaitu  periode ketujuh 
pemerintahannya, dan kali ini ia didampingi Wakil Presiden B.J. Habibie. 
14 Maret 
Presiden Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Kabinet ini disorot 
sebab  menyertakan putri Presiden, Siti Hardijanti (Tutut), sebagai Menteri Sosial, dan salah 
satu kroninya, Bob Hasan, sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 
12 Mei 
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas dalam unjuk rasa di kampus itu. Mereka 
yaitu  Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie. 
13 Mei 
Kerusuhan massal pecah di sekitar kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. 
Presiden Soeharto, yang sedang melawat ke Kairo, Mesir, mengatakan siap mundur secara 
konstitusional bila rakyat menghendaki. Ia menyatakan akan "mendekatkan diri kepada 
Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan keluarga, anak-anak, dan  cucu-cucu". 
14 Mei 
Kerusuhan meluas di Jakarta. Aksi serupa muncul di Solo, yang ditambah penjarahan. beberapa  gedung, pertokoan, dan rumah terbakar, ratusan orang tewas. 
15 Mei 
Ratusan korban tewas terbakar ditemukan di Toserba Yogya, Klender, Jakarta Timur. 
16 Mei 
Ratusan lagi korban tewas terbakar di Ciledug Plaza, Ciledug, Tangerang. 
17 Mei 
Angka resmi menunjukkan 499 korban tewas dan lebih dari 4.000 gedung hancur  atau terbakar akibat kerusuhan.
18 Mei 
Ribuan mahasiswa di berbagai daerah menggelar demonstrasi besar-besaran  menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Di Jakarta, mereka menduduki kompleks 
DPR/MPR, Senayan. 
Ketua MPR/DPR, Harmoko, menyampaikan hasil rapat pimpinan MPR yang meminta 
Soeharto mundur dari jabatannya secara arif dan bijaksana. namun  Panglima ABRI Jenderal TNI 
Wiranto mengatakan permintaan Harmoko itu tidak memiliki landasan hukum yang kuat. 
19 Mei 
Di Istana Merdeka, Presiden Soeharto bertemu beberapa  ulama dan tokoh 
pertemuan dua generasi itu terjadi September 2005. Disaksikan ratusan pasang 
mata, ketiga putri Soeharto menjabat erat tangan Liem Sioe Liong yang gemetar 
dimakan usia. Siti Hardijanti Rukmana, Siti Hediati Harijadi, dan Siti Hutami Endang 
Adiningsih bergiliran menjura takzim kepada konco lawas ayahnya itu. 
Taipan nomor wahid di zaman Orde Baru itu pun membalasnya hangat. Meski sambil 
duduk, tak lupa ia mengumbar senyum. Ketiga putri itu tentulah mengingatkannya pada 
masa-masa keemasan selama berpuluh tahun yang sudah  dirajutnya bersama kekuasaan 
Soeharto. 
Soeharto, yang saat itu sudah divonis "sakit permanen" oleh tim dokter, memang tak 
bisa lagi hadir di hajatan kolega lamanya ini. Padahal, Liem, yang juga beken dengan nama 
Soedono Salim, sedang menggelar pesta ulang tahunnya ke-90. 
Pesta megah dua malam dengan ongkos Rp 20 miliar itu digelar di Hotel Shangri-La, 
Singapura. Sekitar 2.500 tamu menyesaki The Island Ballroom Hotel yang disulap bak istana 
kekaisaran Cina di masa dinasti Ming dan Ching. Meski dipenuhi konglomerat dan beberapa  
pejabat Orde Baru, kehadiran tiga putri Soeharto tampaknya memiliki  tempat tersendiri di hati 
Om Liem. 
Itu sebabnya, ketiga putri Presiden RI ke-2 ini pun selalu mendapat perhatian 
istimewa penyelenggara pesta. Begitu pula saat  mereka mengha-diri pesta perkawinan 
berlian Liem dengan Lie Shu Zen, gadis asal Lasem, Jawa Tengah, April 2004 lalu, di Singapura juga. 
 persahabatan Soeharto dengan Liem merupakan bagian dari cerita panjang 
sejarah Orde Baru. Bersama Mohamad "Bob" Hasan, ketiganya menjadi pusat pusaran arus 
ekonomi-politik negeri ini, hingga Orde Baru runtuh pada 1998 berbarengan dengan 
lengsernya Soeharto. 
Pertalian ketiganya memang terbukti memiliki  "hoki" bagus. Berkat imperium bisnis 
mereka yang menjalar ke segala penjuru negeri, majalah Forbes edisi 28 Juli 1997 bahkan 
pernah menobatkan ketiganya menjadi bagian dari orang terkaya di muka bumi ini. 
Jika dirunut ke belakang, persahabatan Soeharto dengan Liem terbuhul sejak lima 
dekade silam. Bermula dari kedatangan Liem muda di Kudus, Jawa Tengah, pada 1938. 
saat  meninggalkan tanah kelahirannya di Fujian, Cina, usia Liem baru 22 tahun. 
Bersama saudara-saudaranya, di Kudus, Liem membuka toko kelontong sembari 
membantu perjuangan RI lewat perkumpulan pedagang Cina, Cong Siang Hwee. 
Perkenalannya dengan ayah Fatmawati, mertua Bung Karno, kian melempangkan bisnisnya 
memasok kebutuhan tentara. 
Demikianlah hingga Soeharto menjabat Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, 
pada 1950-an. Atas saran Soeharto, Liem lalu  menggabungkan usahanya dengan 
kelompok bisnis Djuhar Sutanto alias Liem Oen Kian, yang juga sama-sama kelahiran Fujian. 
saat  itu, lewat bendera Four Seas, Djuhar menjadi pemasok TNI Angkatan Laut. 
Belakangan, Four Seas berganti nama menjadi Five Stars, dengan masuknya Lim Chin Song, 
yang membawa dua pegawainya, termasuk Ibrahim Risjad. Singkat cerita, Liem dan Djuhar sepakat mendirikan PT Waringin Kentjana. Inilah 
cikal-bakal imperium bisnis Grup Salim. Risjad, yang juga bergabung di perusahaan itu, 
mengajak saudara sepupu Soeharto, Sudwikatmono, yang kala itu masih berjualan karung 
goni. Empat serangkai inilah yang selanjutnya dijuluki The Gang of Four-empat pilar  bisnis Grup Salim. 
George J. Aditjondro, yang rajin menelisik harta keluarga Cendana, menyebutkan 
awal 1950-an sebagai titik awal dibangunnya kerajaan bisnis keluarga Cendana. saat  itu 
Soeharto menjabat Pangdam Diponegoro. 
Berkat dukungan Soeharto, Liem dan Bob Hasan saat itu banyak memenangi kontrak 
pasokan berbagai kebutuhan prajurit Kodam Diponegoro. Mulai dari nasi, pakaian seragam, 
hingga obat-obatan. 
Hubungan segi tiga itu makin kompak sesudah  Soeharto pindah ke Jakarta dan 
diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) 
pada awal 1960-an. Ia segera mendirikan Yayasan Dharma Putera Kostrad, satu dari puluhan 
yayasan Soeharto yang kerap dijadikan instrumen bisnis keluarga Cendana. 
sesudah  Soeharto menjadi presiden, ia pun mengajak Liem, sahabat lamanya, ke 
puncak kekuasaan. Pada 1971-1972, keduanya sepakat membangun pabrik tepung terigu 
raksasa, PT Bogasari Flour Mills-cikal-bakal Indofood-di Jakarta dan Surabaya 
Sebagai bentuk proteksi, kata George, pesaingnya dari Singapura hanya diizinkan 
beroperasi di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, dan menggarap pasar Indonesia bagian 
timur. Pasar utama di Indonesia bagian barat-dengan pangsa 80 persen-khusus digarap 
Bogasari. "Inilah tambang uang utama yang pertama mereka bangun," kata George. 
Penguasaan Soeharto di perusahaan ini tentu tak langsung. Selain ada 
Sudwikatmono di sana, kontrol dilakukan lewat salah satu yayasan yang didirikannya. 
Sedikitnya ada 40 yayasan di bawah kendali keluarga Cendana yang memiliki  saham di 
berbagai perusahaan besar. Selain Bogasari, berbagai sektor bisnis dimasukinya, mulai dari 
pabrik semen, pupuk, jalan tol, hingga perkebunan kelapa sawit. Kebanyakan perusahaan itu 
terkait dengan Liem dan Bob Hasan. 
 SOAL Bob Hasan, kedekatannya dengan keluarga Cendana tak bisa dilepaskan dari 
bisnisnya dengan anak-anak Soeharto. Bersama Sigit Harjojudanto, ia membangun 
Nusantara Ampera Bhakti (Nusamba), salah satu mesin uang Cendana. 
Sekitar 80 persen saham perusahaan di bidang pertambangan dan telekomunikasi ini 
dimiliki tiga yayasan Soeharto: Supersemar, Dakab, dan Dharmais. Sisanya dibagi di antara 
Bob dan Sigit. 
Teman main golf dan memancing Soeharto ini juga menggandeng Tommy Soeharto 
di Sempati. Sedangkan Bambang Trihatmodjo dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan 
Darat dirangkulnya di International Timber Corp. Berkat kepiawaiannya inilah, PT Kiani 
Kertas yang dibangun Bob mendapat kucuran dana ratusan miliar rupiah dari yayasan 
Soeharto. 
Perkenalannya dengan Soeharto bermula dari nasib baik Bob, yang sejak terlahir di 
Ngadirejo, Jawa Tengah, pada 24 Februari 1931, dibesarkan oleh Jenderal Gatot Subroto. 
Sang Jenderal yaitu  sahabat karib ayahnya, Soetedjo, pria Jawa dari keluarga juragan 
tembakau yang memperistri perempuan Tionghoa. 
 berkolaborasi dengan kedua pilar bisnisnya itulah, keluarga Cendana lambat-laun 
menancapkan kukunya di jagat bisnis nasional. Lewat keenam anaknya, menurut majalah 
Time edisi 24 Mei 1999, imperium bisnisnya menjalar di 18 sektor. Mulai dari 
pertambangan, kehutanan, bank, telekomunikasi, jalan tol, transportasi udara, hingga  media. 
Michael Backman, peneliti bisnis dan perusahaan di Asia, pernah berhitung: jumlah 
perusahaan keluarga Cendana lebih dari 1.247. Dalam tulisannya di harian The Asian Wall 
Street Journal, 26 Mei 1998, disebutkan perusahaan-perusahaan itu setidaknya tersebar 
pada 20 konglomerat. 
Padahal itu belum memperhitungkan perusahaan di luar negeri. Belum juga 
termasuk perusahaan di luar keluarga inti, seperti Grup Hanurata, yang dibangun 
Sudwikatmono bersama Sigit dan Indra Rukmana (suami Siti Hardijanti). 
Menurut taksiran majalah Time dan Forbes, total kekayaan Soeharto saat lengser 
mencapai US$ 15 miliar, atau sekitar Rp 150 triliun (dengan kurs Rp 10 ribu per dolar). 
Angka lebih fantastis pernah diungkap majalah Newsweek (Januari 1998) dan AWSJ (Januari 
1999), yang menyebut US$ 40 miliar. 
Betapapun digdayanya, kerajaan bisnis Cendana akhirnya koyak-moyak saat badai 
krisis ekonomi menerpa Asia pada 1997-1998. Putra-putri Soeharto, yang dahulu  tak tersentuh 
aparat, pun terjerat utang raksasa ke negara. 
Nasib tak berbeda dialami Salim dan Bob Hasan, dua kroni Soeharto. namun , benarkah 
imperium bisnis ketiganya sudah  ambruk? Sulit mempercayainya. Sebab, bagaimanapun, 
ketiga konglomerasi yang menggurita puluhan tahun ini sudah  menjadi pilar ekonomi 
Indonesia. Jika roboh, bangunan ekonomi nasional pun runtuh sesaat . 
 jenderal atau menteri, yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk!" Kata-
kata itu meluncur dari mulut Soeharto di atas pesawat kepresidenan, pertengahan 
1989. saat  itu dia dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia. 
Soeharto tak menyebut nama namun  publik tahu siapa yang dimaksud. Leonardus 
Benyamin Moerdani. Di akhir 1980-an sang Presiden memang sedang sengit-sengitnya 
kepada Benny. Bawahan yang paling dia percaya itu berani menganjurkan dia untuk tidak 
lagi menjadi presiden dan  menentang anak-anaknya. 
Itulah isu yang berkembang. Mayjen (Pur) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad, 
malah mengatakan Benny ingin melakukan kudeta. Informasi ini yang menurut Kivlan 
dilaporkan Prabowo Subianto kepada mertuanya yang berujung pemecatan Benny dari 
jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR 1988. 
Benny tegas-tegas membantahnya. "Bagi saya seorang prajurit yang pernah 
melawan pemimpin tertingginya berarti sudah cacat seumur hidupnya," katanya kepada 
Brigjen (Pur) FX Bachtiar yang menanyakan hal itu. 
Kata-kata Benny itu dikutip Bachtiar dalam artikelnya di biografi "LB Moerdani 
Pengabdian Tanpa Akhir" yang terbit Desember 2004. Puluhan sahabat dan kenalan yang 
ikut menuliskan pengalaman mereka mengatakan Benny seorang loyalis. Ucapan Benny 
kepada Letjen (pur) Sofian Effendy menggambarkan hal itu: "Soeharto yaitu  guru saya. Dia 
yang membesarkan saya." 
Membesarkan? Ya. Mereka berkenalan dalam Operasi Mandala untuk merebut Irian 
Barat pada 1961. Soeharto, sang Komandan, mengagumi keberanian Kapten Benny yang 
saat  itu memimpin Pasukan Naga. Mereka kembali bertemu pada 1965 kala Benny 
ditempatkan di satuan intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang 
dipimpin Soeharto. 
Hubungan mereka kian dekat. sesudah  berkuasa, pada 1974 Soeharto mengangkat 
Benny menjadi Kepala Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. namun  Benny sering 
meninggalkan posnya sebab  memiliki  tugas "sampingan": mengawal Soeharto dalam berbagai 
lawatan ke luar negeri. Lakon pengawal tak resmi ini dia jalankan hingga bertahun-tahun. 
Saking percayanya, Pada 1975 Soeharto menunjuk Benny memimpin Operasi Seroja 
ke Timor Timur. Dan Benny sukses. Enam tahun lalu , dia ditugaskan memimpin 
pasukan Kopasandha membebaskan pesawat GadudaWoyla DC-9 yang dibajak di Bandar 
Udara Don Muang, Thailand. Ada yang mengatakan itu rekayasa Soeharto agar bisa 
mendongkrak pangkat Benny. 
Benar atau tidak, yang pasti sejak itu karir Benny maju pesat. Puncaknya saat  
Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-
1988). namun , laporan Prabowo membuat Soeharto marah dan "memensiunkan" anak emasnya itu lebih awal. 
Mantan dokter tentara dalam Operasi Mandala Ben Mboi, bercerita, Soeharto sudah 
lama jengkel pada Benny. Soalnya, dia berani meminta si Bos "menjauhkan" anak-anaknya 
dari kekuasaan. Itu dia sampaikan saat  keduanya bermain bilyar, sendirian, di Cendana. 
Saat itu Benny sudah menjadi Pangab. "saat  saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto 
berhenti bermain, masuk kamar tidur dan tinggalkan saya di kamar bilyar," ujar Benny kepada Ben. 
Anehnya, Soeharto seperti tak bisa benar-benar membenci Benny. saat  menyusun 
kabinetnya pada 1988, Benny mendapatkan pos menteri pertahanan dan keamanan. 
Keputusan tak terduga itu membuat Benny kalah taruhan dan harus membayar Laksamana 
(Pur) Sudomo satu set golf plus 2.000 bola. 
Padahal saat  bertemu Sudomo beberapa waktu sebelum pengumunan kabinet, 
Soeharto masih amat marah pada Benny. Itu sebab  Benny mengusulkan penguasa Orde 
Baru untuk mundur dari pentas politik sesudah  1993. Benny khawatir, kalau diteruskan nasib 
Soeharto akan seperti Presiden Soekarno: diturunkan dengan paksa. 
Soeharto akhirnya diturunkan sesudah  huru-hara pada 1998. namun  itu justru berkah 
bagi kedua "sahabat" yang hampir sepuluh tahun marahan. Pada ulang tahun Soeharto 
pertama sesudah  lengser-8 Juni 1998- Benny datang. Keduanya kembali saling mengunjungi 
dan berkirim kartu ucapan hingga Benny berpulang pada 29 Agustus 2004. 
 beringin yang rimbun, pohon keluarga Pak Harto dipenuhi banyak cabang dan 
ranting. Dari enam anak terus berpinak menjadi 13 cucu, masing-masing tiga cucu dari 
Siti Hardijanti Hastuti (dengan Indra Rukmana), Sigit Harjojudanto (Ilsje Anneke 
Ratnawati), dan Bambang Trihatmodjo (Halimah Augustina). Dua cucu dari Hutomo Mandala 
Putra (dengan Tata), dan masing-masing satu cucu dari Siti Hediyati Hariadi (Prabowo 
Subianto), dan  Siti Hutami Endang Adiningsih (Pratikto Prayitno Singgih). 
Namun, jumlah itu masih bisa bertambah, bergantung pada sisi mana melihatnya. 
contohnya , apakah anak Bambang dengan penyanyi Mayangsari, yang lahir bulan lalu, mau 
dihitung dengan cara yang sama? Atau, anak perempuan Sandy Harun, yang tahun lalu 
diklaimnya sebagai benih dari Tommy Soeharto, contohnya , itu bagaimana pula? Yang jelas, 
beberapa cucu kesayangan Pak Harto sudah melanjutkan kelanggengan trah mereka dengan 
memberikan cicit kepada sang eyang. contohnya  seperti kakak-adik Ari dan Eno Sigit. 
Beberapa cucu Soeharto baru saja memasuki mahligai pernikahan, seperti Danty Rukmana 
ataupun Gendis Trihatmodjo. 
saat  generasi ketiga keluarga Cendana ini masih kanak-kanak atau bahkan 
menginjak remaja, mereka praktis hanya dikenal oleh para kerabat dan segelintir pejabat 
Orde Baru. Namun, memasuki 1990-an, seiring dengan bertambahnya usia, beberapa cucu 
Pak Harto mulai berbisnis dan memasuki ruang publik sehingga dikenal oleh masyarakat. 
Ari Sigit 
SAMPAI saat jatuhnya Pak Harto dari tampuk pemerintahan pada 1998, jika 
terdengar kata "cucu", yang dimaksud pastilah Haryo Wibowo Sigit Harjojudanto, yang lebih 
dikenal sebagai Ari. Bukan hanya sebab  ia putra pertama pasangan Sigit-Ilsje, melainkan 
sebab  Ari juga cucu tertua keluarga Cendana. 
Saat para sepumemiliki  masih kecil, Ari sudah menggegerkan dunia bisnis nasional 
persis satu dekade silam. Waktu itu ia berkongsi dengan Emir Baramuli dan Ichdar Kuneng 
Bau Masseppe membentuk PT Arbamass Multi Invesco. Bukan sebab  akronim nama 
ketiganya membentuk kata "Arbamass" yang membuat heboh, melainkan cara mereka 
menjadikan perusahaan itu sebagai pemasok tunggal minuman keras di Bali yang membuat 
orang geleng-geleng kepala. Apalagi, Arbamass berniat mengatur penjualan minuman keras 
di Pulau Dewata itu lewat penjualan stiker. Kontroversi baru reda sesudah  Soeharto 
menyatakan tak boleh ada "tata niaga" untuk minuman keras. 
Sisi lainnya, gemerlap dunia hiburan. Ia pernah meluncurkan album rekaman di 
pertengahan 1990-an dengan bantuan mentornya di bidang musik, penabuh drum Jelly 
Tobing. Mantan istri pertamanya, Annisa Tri Banowati, dan istri ketiganya sekarang, Rika 
ICallebout, yaitu  bintang sinetron. Hanya bekas istri kedua, Gusti Maya Firanti Noor, yang 
tak berasal dari dunia hiburan. Meski begitu, gosip terus saja menerpa kehidupan Ari. 
Belakangan, Ari dikabarkan mulai aktif mendalami agama. Ia menjadi murid Abah Ijai 
(Guru Sekumpul)-nama panggilan KH Zaini Abdul Ghani, ulama karismatis Banjarmasin. 
Fakta ini terungkap saat  Ari menghadiri pelantikan Rudy Ariffin sebagai Gubernur 
Kalimantan Selatan, Agustus 2005. Seolah mengetahui keheranan para anggota Dewan, Ari 
menjelaskan kehadirannya itu sebagai teman. "Saya dan Pak Rudy Ariffin sama-sama murid 
Abah Ijai," katanya. 
Eno Sigit 
LAHIR sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Sigit-Ilsje, alumnus sekolah 
mode London dengan nama lengkap Retnosari Widowati Harjojudanto ini untuk beberapa 
saat menambah panjang daftar perancang busana di Tanah Air. Namun, sekarang ia lebih 
menikmati peran sebagai panitia penyelenggara (event organizer) acara anak-anak seperti 
Barney dan Holiday On Ice. "Saya sedang menikmati peran sebagai ibu," ujar ibu dua balita 
dari pernikahannya dengan Fahmi David ini. 
sesudah  sembilan tahun tinggal di London (1987?1996), Eno balik ke Jakarta dengan 
menyalurkan hobinya yang lain: menyanyi. Ia membuat album rekaman bersama komedian 
Harry de Fretes, yang saat itu sedang populer sebagai pimpinan Lenong Rumpi, kelompok 
yang menyajikan seni tradisional lenong dengan cita rasa lebih metropolitan. Sama seperti 
nasib rekaman abangnya, nama besar sebagai cucu orang nomor satu-waktu itu-di 
Indonesia pun tak bisa mendongkrak popularitas dan penjualan album. Selera memang tak 
bisa dipaksa. 
Di dunia bisnis, Eno dikenal lewat bendera PT Mahardika Bangun Pratama, yang 
mengerjakan proyek pengembangan pelabuhan terpadu Tanjung Perak-Gresik di Teluk Kali 
Lamong, Gresik. Proyek ini dimulai sejak 1992, dan seharusnya selesai akhir 1998 sebelum 
ikut gonjang-ganjing dihantam badai krisis moneter. 
Dandy Rukmana 
BERBEDA dengan Ari sepumemiliki , pemilik nama lengkap Dandy Nugroho Hendro 
Maryanto ini malah nyaris tak pernah dikaitkan dengan dunia hiburan. Padahal, ia justru 
pernah mengawaki Televisi Pendidikan Indonesia yang didirikan oleh ibunya. Anak pertama 
pasangan Siti Hardijanti Hastuti dengan Indra Rukmana ini lebih dikenal dengan kiprahnya di 
dunia olahraga otomotif. Ia banyak mengikuti reli, baik nasional maupun internasional, 
antara lain dengan navigator tingkat dunia seperti mendiang Roger Freeman. 
Dandy, yang lama di Boston, memiliki pembawaan bisnis yang paling menjanjikan 
dari generasi ketiga Cendana. Sebagai contoh, ia dan sang paman, Bambang Trihatmodjo, 
bisa sama-sama menjadi komisaris PT Bimantara Citra Tbk. berdasarkan RUPSLB pada 2004, 
dengan jabatan direktur utama diduduki oleh Bambang I. Tanoesoedibjo. 
Meski begitu, Dandy termasuk irit bicara kepada pers. Tak mengherankan jika akhir 
tahun lalu namanya kerap dipertukarkan publik dengan adik bungsunya, Danny Rukmana, 
saat  pecah berita tentang pernikahan artis Lulu Tobing dengan seorang cucu keluarga 
Cendana. Cukup banyak media massa yang awalnya memberitakan hal itu sebagai kabar 
pernikahan Dandy, bukan Danny. Akibatnya, seorang tokoh keluarga Cendana terkekeh 
mendengar kisah simpang-siur itu. "Mas Dandy kan sudah menikah. Mana mungkin kawin 
lagi," katanya saat  dimintai konfirmasi akhir tahun lalu. 
Danty Rukmana 
SELASA 23 Mei 2006, pernikahan Danty Rukmana dengan Adrianto Supoyo genap 
berumur empat tahun. Saat upacara pernikahan itu berlangsung di rumah orang tuanya di 
Cendana, terjadi sebuah peristiwa yang menggegerkan Indonesia. Bukan sebab  itu 
pernikahan kedua Danty sesudah  pernikahan pertamanya dengan Triyono yang berlangsung 
28 Maret 2000 kandas tak sampai dua tahun, melainkan sebab  munculnya laporan seorang 
wartawan Bali Post, Heru B. Arifin, yang menyaksikan di acara itu bahwa Pak Harto, yang 
selalu dikabarkan sakit, ternyata segar bugar dan bisa berjalan tegap tanpa ada yang 
menuntun atau memegangi tangannya. 
Heru bisa menyelinap masuk sebagai tamu tanpa diketahui petugas keamanan yang 
melakukan sensor ketat atas setiap tamu. sesudah  kejadian ini, semua pesta pernikahan cucu 
keluarga Cendana berlangsung dengan penjagaan superketat, tanpa tamu dari kalangan 
wartawan, seperti pada pernikahan Gendis Trihatmodjo bulan lalu. 
Romansa Danty dengan Adrianto terbilang menarik sebab  dicomblangi secara 
khusus oleh sang kakak, Dandy Rukmana. Bibit-bibit cinta itu disemai keduanya di Negeri 
Abang Sam, tempat Dandy dan Danty lebih sering menghabiskan waktu. Namun, Danty dan 
Adri sebetulnya  sudah berkenalan lama sekali saat  mereka masih menjadi murid di 
sebuah TK dan SD di Menteng. 
Dalam bidang bisnis, Danty terkesan lebih low profile, tidak seperti kakaknya atau 
sepumemiliki , Eno Sigit. 
Gendis & Panji Trihatmodjo 
NAMA Gendis Tri Hatmanti dan Panji Adhi Kumoro, anak pertama dan kedua 
pasangan Bambang-Halimah, baru santer terdengar sesudah  mereka membagikan 2.000 
paket sembako (sembilan bahan pokok) kepada masyarakat Pe-tamburan, Oktober 2005. 
"Setiap tahun keluarga kami selalu membagikan sembako, namun  memang baru sekarang ini 
kami yang membagikan," ujar Gendis. Panji menambahkan, "Pemberian sembako ini untuk 
memperingati ulang tahun pernikahan orangtua kami ke-24." 
23 April 2006, Gendis menikah dengan Arif Putra Wicaksono di Masjid At-Tiin, Taman 
Mini Indonesia Indah. Yang unik, dalam resepsi yang digelar keesokan harinya di Ballroom 
Hotel Grand Hyatt, para tamu mendapat hadiah sepotong kue tart putih di dalam kotak 
plastik transparan. Jika kotak dibuka dan tak terjadi perubahan warna, berarti kue bisa 
langsung dimakan. namun  jika terjadi perubahan warna, tunggu dahulu , sibak kue dengan hati-
hati, dan hup! temukan sebentuk cincin berlian yang bisa membuat hati para tamu semakin 
berbunga. 
Berbeda dengan Gendis, tampang kalem Panji semakin dikenal sesudah  ia "go public" 
sebagai pacar pemain film Laudya Cynthia Bella (Virgin). "Orangnya memang pendiam, 
nggak pecicilan. Perhatian dan enak diajak ngobrol," ujar Bella yang memanggil Panji dengan 
sebutan mesra: Miu. 
namun  seberapa seringkah para cucu ini bertemu Pak Harto? Menurut Gendis, sebelum 
menikah, hampir setiap malam Minggu mereka berkumpul dengan Eyang. Apakah soal 
politik termasuk yang dibicarakan? "Tidak pernah," Gendis menukas cepat. "Biasanya cuma 
nonton TV bareng." 
 Saiful Mujani 


Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)/Peneliti Freedom Institute 
bagaimana mengintegrasikan kelompok-kelompok masyarakat ke dalam sistem besar 
yang disebut negara-bangsa seperti Indonesia? Bagaimana keinginan masyarakat 
dikomunikasikan kepada elite pemerintah dan sebaliknya kebijakan dari pemerintah 
disampaikan kepada masyarakat dalam negara yang kompleks pada zaman modern ini? 
Partai politik, walaupun bukan satu-satunya, yaitu  jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan besar itu. 
Selain berfungsi mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam politik nasional, partai 
politik juga berfungsi mengintegrasikan kelompok masyarakat dari Sabang sampai Merauke. 
Dengan kata lain, partai politik, dalam studi Bill Liddle tahun 1960-an, memiliki  fungsi untuk 
integrasi nasional. Individu-individu, kelompok suku, agama, kelas sosial, dan sentimen 
kedaerahan yang begitu besar di negeri kita, dimediasi dan dipertemukan dalam unit-unit 
lebih besar dalam partai politik. Partai politik juga mendekatkan jarak politik dari pusat 
kekuasaan kepada rakyat. 
Fungsi integratif dan artikulatif partai politik inilah yang diabaikan sepanjang sejarah 
kekuasaan Soeharto. Kebutuhan rezim Orde Baru Soeharto untuk integrasi nasional dan 
untuk memperantarai rakyat dengan elite pemerintahan dipenuhi terutama lewat kekuatan 
angkatan bersenjata dan oleh Golongan Karya (Golkar)-kelompok fungsional yang diciptakan 
elite tentara sendiri. 
Sifat dasar partai yaitu  refleksi dari pembelahan sosiologis masyarakat-apakah itu 
sebab  perbedaan ideologis, kelas sosial, ataupun perbedaan primordial (agama, suku, atau 
kedaerahan). sebab  itu, sejak awal, oleh para pendirinya, Golkar didefinisikan bukan 
sebagai partai politik, namun  sebagai kelompok fungsional lintas sosiologis. sebab  itu Golkar 
tidak berideologi, tidak merepresentasikan kelompok primordial atau kelas sosial tertentu. 
Ia berpretensi mewakili semuanya. Kalaupun mau disebut berideologi politik, ideologi yang 
dimaksud yaitu  Pancasila. Ia diciptakan bagi lintas golongan ataupun lintas kelompok 
sosial. Golkar seperti negara; negara dalam negara, atau bentuk lain dari negara. 
Akar dari gagasan Golongan Karya, sebagai organisasi non-partai, ini dapat ditarik 
jauh ke belakang. Setidaknya sampai pada gagasan Soekarno tahun 1920-an yang 
menghendaki adanya kelompok nasional yang mencerminkan lintas golongan dan 
kelompok, bukan partai politik yang beragam sebagai cerminan dari keragaman golongan 
atau kelompok masyarakat. 
sesudah  merdeka, elite politik lain seperti Mohammad Hatta menolak gagasan 
semacam itu. Yang mengisi pentas politik yaitu  partai-partai politik dengan ideologi yang  berwarna-warni seperti umumnya ditemukan di negara demokrasi. namun  sesudah  Soekarno 
"mengubur partai-partai politik" lewat pidatonya, bersamaan dengan berakhirnya 
Demokrasi Parlementer, tahun 1958, gagasan itu direalisasikan. Rekrutmen terhadap 
golongan-golongan ini (buruh, tani, pegawai pemerintah, guru agama, kelompok 
profesional, dan TNI) dilakukan lewat apa yang oleh Soekarno disebut Front Nasional. 
Golongan-golongan ini mendapat kursi di MPR Demokrasi Terpimpin Soekarno. Lewat 
wadah inilah TNI secara formal masuk politik. Keinginan Jenderal Nasution agar tentara juga 
berperan dalam politik nasional tertampung di sana. Sebelumnya TNI, dan presiden sendiri, 
di luar arena politik sebab  sistem parlementer yang dianut dalam demokrasi waktu itu tidak 
memberikan tempat politik pada presiden sebagai kepala negara dan TNI sebagai pengawal 
keamanan negara. Akibatnya, Soekarno dan tentara sama-sama anti-partai politik. 
Pada zaman Demokrasi Terpimpin, tentara juga membentuk organisasi-organisasi di 
berbagai sektor untuk menyaingi PKI, yang waktu itu sangat berpengaruh. Yang paling 
menonjol di antara organisasi ini yaitu  Sarekat Pekerja, yang terdiri dari organisasi pekerja 
di perusahaan perkebunan pemerintah. Organisasi bikinan tentara inilah lalu  yang 
menjadi cikal-bakal Golongan Karya. 
Secara historis, Golkar lahir sebagai wujud dari sentimen anti-partai. Berkat kerja 
tentara atas instruksi Soeharto, organisasi-organisasi yang bernaung di bawah Golkar ini 
bertambah dalam waktu singkat: dari 64 pada 1965 menjadi 252 pada 1967. Sekretariat 
bersama Golkar yang mengkoordinasi kekuatan-kekuatan golongan ini sepenuhnya di 
bawah kendali tentara. 
Sentimen anti-partai politik di kalangan petinggi tentara waktu itu mengemuka 
dengan jelas dalam seminar yang diselenggarakan di Seskoad Bandung pada 1966. Dalam 
seminar itu diusulkan agar sistem pemilu diubah dari proporsional menjadi distrik. Motif di 
balik usul ini: mencegah partai yang ada kembali mendominasi dan agar tokoh-tokoh partai 
nasional tidak memiliki  pengaruh terhadap perolehan suara. Usul tentang perubahan sistem 
pemilu oleh Angkatan Darat ini ditolak DPR namun  Soeharto mencari jalan tengah: sistem 
proporsional dipertahankan namun  tentara dikasih jatah kursi lewat pengangkatan. Di samping 
itu juga ada kursi di MPR yang mewakili golongan. Yang terakhir ini juga diangkat oleh 
presiden. 
Sentimen anti-partai pada masa awal kekuasaan Soeharto terlihat contohnya  dari 
peraturan Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud pada 1969, yang melarang pegawai 
pemerintah berafiliasi dengan partai politik namun  boleh menjadi anggota Golkar, sebab  
Golkar bukan partai politik. Ini lalu  menjadi tradisi sepanjang sejarah politik Indonesia 
di bawah Soeharto. 
Pemilihan umum pertama terselenggara pada 1971. Sebanyak 10 partai politik ikut 
dan . Masjumi dan Partai Sosialis yang dibubarkan Soekarno tidak direhabilitasi. namun  
Soeharto mempersilakan membentuk partai baru sebagai wadah bagi keluarga besar 
Masjumi: Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan catatan pemimpin Masjumi, 
Muhammad Natsir, tidak boleh kembali terjun di gelanggang politik. 
Hasil pemilihan umum pertama Orde Baru 1971 menunjukkan kemenangan mutlak 
kekuatan golongan anti-partai politik, yang diorganisasi di dalam Golkar, dengan perolehan 
suara 65 persen. Untuk sukses besar ini, serangkaian rekayasa politik dilakukan. Di 
antaranya dengan kebijakan agar partai politik tidak memiliki  hubungan langsung dengan 
konstituen mereka. Pengurus partai dan kantornya hanya sampai tingkat kabupaten. Tidak 
boleh sampai kecamatan apalagi desa-desa. Sedangkan Golkar, sebagai kekuatan bukan 
partai politik, dapat memobilisasi massa langsung lewat birokrasi pemerintah hingga tingkat 
desa, dan bahkan RW/RT. 
Hasil akhir dari politik pemilu ini yaitu  tergerusnya kekuatan partai politik. 
Penggerusan terhadap partai ini tidak berhenti sampai di situ. Menjelang Pemilihan Umum 
1977, Soeharto melakukan penyederhanaan sistem kepartaian, dari sistem dengan sepuluh 
menjadi hanya tiga partai. Penyederhanaan dilakukan bukan secara lazim, contohnya  dengan 
diserahkan pada hasil pemilu dan peningkatan electoral threshold, namun  dengan cara 
sewenang-wenang. 
Partai yang berlatar belakang Islam seperti Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti 
disatukan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berlatar belakang nasionalis 
seperti PNI, dan non-Islam seperti Partai Kristen Indonesia (Parkindo), disatukan menjadi 
Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua kelompok partai ini bersaing menghadapi kekuatan 
"negara", yakni Golkar. Mereka selalu kalah selama enam kali pemilu Orde Baru. 
Soeharto lalu membuat keputusan baru bahwa semua organisasi politik, seperti 
partai politik, harus berasas sama, yakni Pancasila. Jika sebelumnya masih sedikit ada aroma 
partai di partai politik itu, dengan keputusan politik baru itu partai-partai itu 
menjadi kurang lebih sama dengan Golkar sebagai kekuatan bukan partai politik, melainkan 
bentuk lain dari negara. 
Deparpolisasi oleh rezim Soeharto ini berlanjut dengan mengontrol partai-partai 
yang sudah tidak berbentuk itu dengan mendukung figur-figur yang bisa dipercaya oleh 
pemerintah. Biasanya figur yang kurang memiliki  akar kuat di masyarakat, atau yang 
cenderung independen dari pengaruh pemerintah. 
Di PPP, contohnya , pemerintah lebih cenderung pada orang Muslimin Indonesia 
sebab  dukungan massa terhadap tokoh-tokoh ini umumnya sudah mulai pudar berkat 
sukses pemerintah mencegah rehabilitasi Masjumi dan tokoh-tokohnya. Juga berkat sukses 
Golkar menggerogoti massa konstituennya. 
Kalaupun tokoh dari unsur NU yang didukung, biasanya bukan dari NU Jawa Timur 
yang memiliki  hubungan sangat kuat dengan massa yang lebih besar. Akibatnya, PB NU yang 
didominasi para kiai Jawa Timur, termasuk Gus Dur, menyatakan tidak lagi mendukung PPP. 
Bagi Soeharto ini yaitu  bentuk pembangkangan, dan kita tahu Gus Dur yaitu  tokoh NU 
yang dikucilkan Soeharto. Demikian juga untuk kepemimpinan PDI: Megawati tidak 
didukung sebab  memiliki  hubungan langsung dengan Soekarno. 
Secara umum retorika yang membenarkan deparpolisasi politik Indonesia pada 
zaman Soeharto itu yaitu  untuk menciptakan politik nasional lebih stabil dan 
terbebas dari konflik dan kekerasan. Meski bertujuan luhur, deparpolisasi ternyata bukan 
cara untuk mencapai tujuan itu. Stabilitas politik tidak bisa diciptakan dengan 
depluralisasi politik. 
Buktinya sangat nyata. Rezim Soeharto yang dibangun di atas sentimen dan program 
politik anti-partai ternyata berujung rusuh bahkan tumbang secara tidak hormat. Begitu 
Soeharto tumbang, ratusan partai politik muncul. Golkar yang begitu perkasa menciut 
menjadi partai yang kurang lebih seimbang dengan partai-partai lain. Setidaknya ia tidak 
bisa memerintah sendiri. Munculnya tiga pemilu yang bebas plus ratusan partai pasca-
deparpolisasi Soeharto ternyata tidak menciptakan instabilitas politik dan konflik sosial. Ini 
menunjukkan bahwa retorika deparpolisasi Orde Baru Soeharto palsu. 
Kepalsuan yang tak boleh terulang. Itu juga pelajaran bagi siapa pun yang kurang 
peduli terhadap partai. Tak terbayangkan sebuah negara yang besar dan kompleks, apalagi 
kalau harus demokratis, tanpa kehadiran partai politik yang kuat. 
 jabatan mereka memang bukan jabatan tinggi, glamor, megah, seperti seorang panglima 
atau menteri. Mereka yaitu  orang yang berada begitu dekat dengan Soeharto selama 
menjabat presiden; yang bisa meraba suasana hatinya hingga memahami geraman 
suaranya atau senyum bahagianya. Ada ajudan, ada wartawan Istana, ada teman 
memancing, dan ada fotografer. Dari mereka, kita lalu  mengenal Soeharto sebagai 
manusia. 
Soerjadi 
Ajudan Presiden 1981-1986 
Pengalaman pertama Letnan Kolonel Soerjadi bertemu dengan Soeharto sungguh 
mendebarkan. Sebelum ia berada satu mobil dengan Presiden, dia sudah mendapat tips dari 
para pendahulunya: Soeharto hanya mau mendapat laporan yang baik-baik saja. 
Hari itu Soerjadi ingin membuktikan. Duduk di sebelah pengemudi, tepat di depan 
Soeharto, dia membuka pembicaraan di sela-sela alunan klenengan (musik Jawa) dari tape 
mobil. 
"Mohon maaf, Pak," kata Soerjadi. 
"Hmm," Soeharto menanggapi dengan suara berat. 
"Mohon izin, mungkin suatu saat nanti saya memberi laporan yang kurang berkenan 
bagi Bapak," katanya. 
Soerjadi menunggu jawaban dengan hati berdebar. Di belakang, Soeharto mengisap 
cerutunya dalam-dalam. Tiba-tiba...whuz...! Soeharto menyemburkan asap cerutunya 
menghantam tengkuk Soerjadi. Soerjadi kaget dan langsung merinding. "Itu pertama kali 
saya mencium bau asap cerutu, dan saya langsung terdiam sepanjang perjalanan," katanya. 
Masih di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah Presiden di Jalan Cendana, Jakarta, 
Soeharto memecah kebisuan. "Soer, di sini tempatnya belajar," kata Soeharto. 
Peristiwa 27 tahun lalu itu tak terlupakan bagi Soerjadi selama lima tahun menjadi 
ajudan presiden sejak 1981. Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 61 tahun lalu ini hanyalah 
satu dari belasan perwira yang pernah mendampingi Presiden. namun   selama Soerjadi 
menjadi ajudan-lalu  ia juga dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis 
Seluruh Indonesia (1993-1997)-Soeharto mengalami beberapa peristiwa penting. Di 
antaranya peristiwa berdarah Tanjung Priok dan pembajakan pesawat Garuda. 
Soerjadi masih ingat persis suasana Cendana saat peristiwa pembajakan pesawat DC-
9 Woyla milik Garuda di Bandara Don Muang, Thailand, Maret 1981. Dia menjadi 
penghubung antara Soeharto dan pasukan di lapangan yang dipimpin Kepala Badan 
Koordinasi Intelijen (Bakin) Jenderal Yoga Sugomo dan Asisten Intelijen Hankam Letjen 
Benny Moerdani. 
Menjelang sore hari, pasukan elite antiteroris sudah siap menyerbu pesawat. Yoga 
menghubungi Cendana. "Kita mau nyerang, mohon petunjuk Bapak (Soeharto), jam berapa 
baiknya?" pesan Yoga ke Soerjadi agar ditanyakan kepada Soeharto. Soerjadi menemui 
Soeharto, yang sedang membaca koran di ruang kerjanya. "Wis, Benny wis ngerti," kata 
Soeharto sesudah  mendengar laporan Soerjadi. Soerjadi lalu  melaporkan kepada Yoga. 
"Lapor, Pak," kata Soerjadi. 
"Apa dhawuhe?" tanya Yoga. 
"Bapak tidak bicara apa-apa. Kata bapak, Benny wis ngerti," kata Soerjadi. 
"Opo maksude?" Yoga bertanya lagi. 
"Saya juga nggak tahu, Pak," jawab Soerjadi. 
Sekitar pukul tiga dini hari, operasi pembebasan berhasil menewaskan lima 
pembajak dan membebaskan seluruh penumpang dengan selamat. Hanya Kapten Pilot 
Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang dari pasukan antiteroris yang tewas 
ditembus peluru pembajak. 
Jenderal Yoga melaporkan ke Presiden melalui Soerjadi. Membawa berita baik, 
Soerjadi memberanikan diri mengetuk kamar tidur Presiden. Dari dalam kamar, terdengar 
Ibu Negara bertanya dengan suara lantang. "Ono opo bengi-bengi bapake kok ditangek-ke 
(ada apa malam-malam membangunkan bapak)?" tanya Ibu Tien Soeharto sambil membuka 
pintu. "Mau melapor, Bu," jawab Soerjadi. Dari dalam kamar, Soeharto menyusul. "Sudah 
selesai, Pak," Soerjadi melanjutkan. Soeharto menjawab singkat, "Yo wis." Dan pintu 
kembali ditutup. 
Selain urusan kenegaraan, ada tugas plus yang harus dikerjakan Soerjadi. Setiap 
Jumat dan Sabtu malam, Soeharto selalu memanggilnya dan bertanya, "Soer, Mas Tommy 
neng endi?" Dan Soerjadi harus bisa menjawab saat itu juga, di mana Hutomo Mandala 
Putra (Tommy), putra bungsu Soeharto, menghabiskan malam. Melalui para telik sandi, 
Soerjadi memang terus memantau pergerakan putra kesayangan Soeharto ini. Bagaimana 
dengan anak Soeharto yang lain? "Bapak hampir tidak pernah bertanya," kata Soerjadi. 
Husni Wirajaya 
Teman Memancing 
"Entuk maneh..., entuk maneh... (Dapat lagi.., dapat lagi...)." Soeharto mendendangkan kalimat pendek itu berulang-ulang sambil tangannya mengangkat kenur 
yang berat digondol ikan. Nada dendangnya seirama suara klenengan (gamelan Jawa) dari 
radio tape kecil di sampingnya. Senyuman tak lepas dari wajah Presiden Soeharto. 
Hanya dalam tempo dua jam, delapan orang yang berada di perahu sebesar minibus 
itu mengail 224 ikan. Hampir separuhnya hasil pancingan Soeharto. 
Dari jarak sekitar 10 meter di atas kapal pengawal sebesar truk peti kemas, Husni 
Wirajaya tersenyum lega. "Saat itu saya ikut gembira sekali," kata Husni yang masih ingat 
persis peristiwa 22 Maret 1984 itu. Husni bukanlah pengawal. Pengusaha perlengkapan 
listrik itu menjadi kawan memancing Soeharto sejak 1980. 
Kedekatan Husni berawal dari ajakan almarhum Satiri, nelayan yang biasa melayani 
Soeharto saat memancing. Husni, yang memang memiliki  kegemaran memancing, dikenal 
pandai mencari lokasi berkumpulnya ikan. namun   selama tiga tahun pertama, Husni hanya 
bisa berada di lingkar ketiga pengamanan. sesudah  beberapa kali lokasi yang ditunjukkannya 
memuaskan Soeharto, baru dia bisa berada satu perahu dengan Soeharto. 
Saat paling sibuk terjadi dua hari menjelang jadwal memancing. "Saya harus 
melakukan survei beberapa lokasi dan mencobanya untuk memastikan di sana banyak ikan," 
kata pria yang biasa dipanggil Kwik itu. Tidak jarang, meski sudah diyakini lokasinya bagus, 
hasil tangkapan kurang memuaskan. Dia menolak sebuah gosip yang mengatakan ada 
sepasukan amfibi yang menyelam dan memasang ikan di kail Soeharto. "Yang penting 
lokasinya harus bagus," kata Husni. 
Jika hasil pancingan memuaskan Soeharto, esok harinya Husni akan mendapat 
telepon dari pengawal presiden, "Pak Harto nggak ngemut permen (cemberut)." Suasana 
hati itu membuat para pengawal pun bisa merasa tenang bekerja. 
Peristiwa yang tak bisa terlupakan terjadi Jumat, 26 Maret 1996. Pagi hari Husni 
bersama wakil komandan pasukan pengawal presiden sudah memastikan lokasi memancing 
yang strategis di Kepulauan Seribu. Mereka lalu  mencoba dengan melempar umpan. 
"Kebetulan kami belum sarapan," kata Husni, yang kini berusia 61 tahun. Berdua mereka 
mendapat 20 ikan hanya dalam beberapa menit. "Cukup, jangan kita habiskan!" sang 
pengawal mencegah. 
Siang hari, Soeharto datang bersama rombongan. Meski sudah memancing hampir 
empat jam, mereka hanya memperoleh dua ekor ikan. "Saya merasa bersalah, padahal 
arusnya memang tiba-tiba menjadi lebih kuat," kata Husni. Jemu tak mendapat ikan, 
Soeharto kembali ke kapal utama tanpa banyak bicara dan langsung mandi. Suasana tegang. 
Saat ia masih berlumuran sabun, air tawar yang dipakai mandi habis. Soeharto keluar 
dan menanyakan hal itu pada pengawal. Benar saja, air ternyata habis. "Mungkin ada yang 
membuka keran dan lupa menutupnya," kata Husni. Meski Soeharto tidak menunjukkan 
amarah, suasana makin tegang saja. Sesampai di pelabuhan, Soeharto turun kapal dengan 
murung. Husni memburunya. "Maaf, Pak, lain waktu saya akan survei lebih baik lagi," 
katanya memohon. "Ndak apa-apa, sudah baik, kok," Soeharto menghibur. Soeharto 
memerintahkan rombongan melanjutkan memancing. 
Esok harinya semua anggota rombongan dipanggil menghadap ke rumah Soeharto di 
Cendana, sambil membawa hasil pancingan mereka. Mereka bertanya-tanya dan agak 
gemetar. "Kami sudah siap dengan keadaan yang terburuk," kata Husni. Ternyata Soeharto 
bukannya mau memarahi, melainkan dia lupa memberi uang tips kepada rombongan 
kemarin. Hari itu mereka mendapat tips. Namun, ikan hasil tangkapan mereka diminta 
Soeharto untuk diserahkan kepada Ibu Negara. "Kami semua lega," kata pria kelahiran Pasar 
Minggu, Jakarta ini. 
Hanya dua hari sesudah  hari memancing yang nahas itu atau sehari usai mereka 
menghadap ke Cendana, Ibu Negara Tien Soeharto meninggal. 
Toeti Kakiailatu 
Wartawan Istana 
Lima Oktober 1965. Saat itu, Toeti Kakiailatu ingat. Dia masih bekerja sebagai 
wartawan Sankei Shimbun, sebuah harian Jepang. Orang berduyun-duyun menuju Taman 
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hari itu yaitu  hari ulang tahun ABRI yang ke-
20, bertepatan dengan dimakamkannya lima pahlawan revolusi. 
Toeti melihat beberapa perwira tinggi hadir, di antaranya Jenderal Nasution, yang 
sudah bertongkat. Tak jauh dari Nasution, ada pria berbaju loreng berkacamata hitam. Di 
ketiaknya terapit tongkat komando. "Itu Pak Harto dari Kostrad," bisik seorang istri tentara 
kepada Toeti. "Gambaran laki-laki  itulah yang membayangi pemikiran saya terhadap 
Soeharto," kata Toeti. 
Tahun berikutnya, Juni 1966, Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden dalam 
Sidang Umum IV MPRS. Soeharto berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat 15, Jakarta 
Pusat. Akibatnya, wartawan Istana selalu wira-wiri antara Istana Merdeka dan Medan 
Merdeka Barat 15. lalu , muncul kebijakan melarang wartawan me-ngunjungi 
Soekarno di Istana Merdeka. 
Setiap hari, Soeharto ke kantor mengendarai jip. Dia tetap berbaju loreng dan 
berkacamata hitam. Suatu hari pada April 1967, dia mengajak wartawan piknik ke 
Kepulauan Seribu. Di sinilah dia pertama kali menanggalkan seragam tempurnya itu, 
berganti setelan safari dan peci. 
Di tempat piknik, para wartawan bersantap siang bersama Soeharto. Menu 
utamanya: ikan bakar dan sambal yang diulek oleh Tien Soeharto. Kendati berakrab-akrab, 
Soeharto menolak diwawancarai, apalagi menyangkut masalah politik. 
 Secara resmi, Soeharto menggantikan Soekarno pada Maret 1968. "Kami masih 
bebas berkunjung ke Jalan Cendana (kediaman Soeharto)," kata Tuti. Istrinya, Tien Soeharto, 
juga sangat perhatian kepada wartawan. Jika ada wartawan yang tak dilihatnya muncul ke 
Cendana, Tien Soeharto pasti akan bertanya. 
saat  Toeti, yang tak bertugas selama beberapa pekan, muncul, Tien Soeharto 
langsung menghampirinya. "Mengapa sudah lama tak tampak?" dia bertanya. "Saya 
melahirkan, Bu," jawab Tuti. Sembari tersenyum, Tien berkata: "Tunggu ya, Toeti." Dia 
mengambil kain batik dan beberapa baju bayi sebagai hadiah. 
Setiap Idul Fitri, banyak wartawan yang berkunjung ke rumah Soeharto, termasuk 
Toeti. "Anak saya yang bungsu bebas ke sana kemari, tanpa ada yang melarang," katanya. 
Toeti rikuh, mencoba melarang. "Biarkan saja," kata Tien. 
saat  pamitan pulang, Tien memanggil anak Toeti. Dia dihadiahi apel dan buah 
anggur. "Ayo, bilang apa?" kata Ibu Tien. "Terima kasih, Tante," jawabnya. "Eh, jangan bilang 
tante. Ini eyang," Tien menyergah. "Terima kasih, Eyang." Soeharto tertawa melihat adegan 
ini. 
Kendati begitu akrab, menurut Toeti, para wartawan tak pernah bisa bertanya 
langsung kepada Presiden. Segala kebijakan pemerintah selalu diterangkan Menteri 
Penerangan B.M. Diah. "Pernah suatu hari Pak Harto membuka wawancara langsung 
dengan wartawan Istana, yang saya lupa tanggalnya," kata Toeti. 
namun   apa yang terjadi? Semua pertanyaan wartawan dikumpulkan jadi satu dan 
dijawabnya sekaligus. sesudah  itu tak ada lagi pertanyaan tahap kedua, dan wawancara 
selesai. 
Sedangkan dengan Ibu Negara, Toeti bisa mewawancarainya secara khusus suatu kali 
untuk Radio Australia. Dalam wawancara, Tien berkata: "Saya hanya bersekolah Ongko Loro. 
sebab  orang tua saya kurang mampu, saya harus memberi kesempatan bersekolah kepada 
adik saya laki-laki. lalu  saya les mengetik dan membatik. saat  zaman revolusi, saya 
dilamar bapak," demikian tutur Tien Soeharto. Mereka menikah tahun 1947. Tien waktu itu 
usianya 25 tahun dan Soeharto, yang masih berpangkat letnan kolonel, 26 tahun. 
Wawancara kedua untuk majalah Tempo, April 1971. "Semula, saya hanya diberi 
waktu dua jam," kata Toeti. saat  wawancara, Toeti mengawali pertanyaannya tentang 
masa remaja. Saat itu Tien berkata lulus SMA. "Kendati berbeda dengan isi wawancara 
pertama, saya tak menyangkal," kata Toeti. 
Tien Soeharto menjawab pertanyaan Toeti sambil duduk bersila di atas sofa. Kakinya 
terlihat berbalut stocking. Sembari wawancara, Tien melirik tape recorder. Toeti mencoba 
menghidupkan alat perekam itu, namun   gagal. Hingga Tien bertanya: "Tahu enggak, sih, 
kamu dengan tape itu?" Toeti terdiam sebentar. "Maaf Bu, saya kurang paham," jawabnya. 
 "Ya sudah, ndak usah pakai rekaman. Saya juga ndak tahu tentang alat itu. Ngobrol sajalah, 
enakan." 
Wawancara yang semula dimulai pukul 10.00, belum berakhir sampai pukul 14.00. 
"Kami masih ngobrol terus saat  Pak Harto pulang dari Bina Graha. Pak Harto hanya 
memberi salam, tertawa, terus naik ke ruang atas," kata Toeti. 
Wawancara ketiga, saat Toeti menjadi wartawan majalah Femina. Tak banyak 
pertanyaan diajukannya. saat  itu Tien menganjurkan bagaimana seharusnya perilaku 
seorang istri dan bagaimana membantu karier suami. "Jangan lupa, minumlah jamu," pesan 
Tien. 
Saidi 
Fotografer Istana 
"Saya Ini Diajak Ikut, itu kepanjangan nama saya, Saidi," kata Saidi, bergurau. Pria 
yang kini berusia 65 tahun ini menjadi juru foto di Sekretariat Negara sejak Soeharto 
menjadi pejabat presiden. Perkenalannya dengan Soeharto dimulai sejak sang Jenderal 
memimpin Operasi Mandala membebaskan Irian Barat, 1963. 
Saidi mengabadikan pertempuran itu sebab  tugasnya sebagai staf penerangan di 
Angkatan Darat. saat  Soeharto menggantikan presiden pertama Soekarno, dia dipanggil 
menjadi juru foto Istana. "sesudah  itu, ke mana saja Pak Harto ke luar negeri, saya diajak," 
kata bapak empat anak dan kakek sembilan cucu ini. 
Selama 32 tahun menjadi juru foto di Istana, dia sudah  merekam puluhan ribu bahkan 
mungkin seratusan ribu gambar. 
Ia mengaku jarang sekali berbicara dengan Presiden. "Saya ini hanya pion, tak 
banyak bicara dengan bapak," katanya. Selain mengabadikan berbagai acara kenegaraan, 
Saidi juga selalu diminta menjadi juru foto acara keluarga. Kameranya tak pernah 
ketinggalan zaman. Sebab, jika bukan kantor yang memperbarui perlengkapannya, anak-
anak Soeharto sering kali membelikannya kamera jenis terbaru. 
Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, ini mengaku Soeharto tidak pernah 
membatasi mana peristiwa yang boleh difoto dan mana yang haram. Dia sendiri yang harus 
tahu batasannya. "Kalau bapak menerima tamu pribadi, saya tahu tidak akan saya foto," 
katanya. Meski dia menolak siapa yang dimaksud sebagai tamu pribadi itu. 
Sebuah peristiwa yang membuatnya tidak enak hati yaitu  saat  mengiringi 
Soeharto bertemu Klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) di 
Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto berniat meneruskan perjalanan ke Pacitan, Jawa Timur, 
memakai  helikopter. Heli kecil itu hanya muat empat orang, Soeharto bersama tiga jenderal TNI. 
Sebelum heli berangkat, tiba-tiba Soeharto bertanya. "Saidi mana?" Pilot menjawab, 
"Helinya tidak cukup, Pak." Soeharto lalu  memerintahkan salah seorang mayor 
jenderal turun untuk mencari Saidi. Saat Saidi menghadap, Soeharto memerintahkannya 
naik. Terpaksa sang mayor jenderal yang memanggil Saidi batal ikut. 
namun   masa yang paling dikenang Saidi yaitu  saat  Soeharto lengser. Dialah satu-
satunya fotografer yang mengabadikan Soeharto turun tangga Istana diiringi putri 
sulungnya, Siti Hardijanti Indra Rukmana. Saidi bahkan mengiringi Soeharto hingga pulang 
ke rumahnya di Jalan Cendana. 
Saat itu suasananya murung sekali. Anak-anak dan menantunya sudah menunggu di 
rumah. Soeharto tak banyak bicara. Keriangan cucu-cucunya pun tak mampu menghibur. 
Pesan terakhir yang diingat Saidi menjelang pulang dari Cendana: "Wis, Di, kamu ikut 
Habibie." Itulah saat terakhir pengabdiannya. 
 M. Sadli 
Ekonom, kolom ini ditulis dua tahun sebelum M. Sadli wafat. 
selama 30 tahun, Soeharto berhasil membangun ekonomi Indonesia dari keadaan yang 
morat-marit pada 1965/6 menjadi salah satu Macan Asia yang pertumbuhannya 
menakjubkan. namun   Indonesia tetap negara yang paling miskin di antara negara-
negara itu sebab  dasar permulaannya juga yang paling rendah. Pada 1996/7 pendapatan 
per kapita Indonesia menurut Bank Dunia sudah sedikit melebihi US$ 1.000 setahun, namun   
Malaysia sudah tiga kali lebih tinggi dan Thailand 1,6 kali lebih tinggi. Ekspor Indonesia yang 
juga tumbuh cepat dan mencapai sekitar US$ 55 miliar setahun, namun   masih lebih rendah 
daripada Malaysia (sekitar US$ 75 miliar) dan Thailand (sekitar US$ 60 miliar tanpa minyak 
bumi) walaupun kedua negara itu penduduknya (jauh) lebih kecil. 
Yang membuat Indonesia ketinggalan yaitu , selain angka awal (starting base)-nya 
rendah, kualitas sumber daya manusia dan  pendidikan jauh terbelakang oleh sebab  sejak 
kemerdekaan tidak banyak dikucurkan dana dan daya kepada sektor yang sangat strategis 
ini. sebab  SDM Indonesia kekurangan dasar, maka industrialisasi di Indonesia juga tidak 
bisa bersifat "mandiri" (kurang tergantung dari impor) seperti di Taiwan dan Korea Selatan. 
Kedua negara itu mewarisi kultur yang lebih pro-pendidikan (dasar) dari penjajah Jepangnya 
sebelum Perang Dunia Kedua. 
Selama sekitar 30 tahun itu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,7 persen 
setahun. Ini berarti bahwa selama 30 tahun itu PDB tumbuh 8?10 kali dan PDB per kapita 
sekitar 4 kali, dari US$ 250 menjadi US$ 1.000 per tahun. sebab  golongan mayoritas yang 
bawah tidak menikmati kenaikan pendapatan empat kali itu, maka golongan "kelas 
menengah" di kota-kota, baik di Jakarta maupun di daerah, mengalami kemajuan 
pendapatan yang jauh lebih besar. Lepas dari adil atau tidaknya, kemakmuran dan  
purchasing power (daya beli) inilah yang pada dirinya menjadi sumber pertumbuhan lebih 
lanjut. 
Krisis tahun 1997/8 mengguncang sendi-sendi itu dan sampai sekarang tingkat 
kehidupan tahun 1996/7 untuk sebagian besar masyarakat belum bisa diraih kembali. Kalau 
para ekonom yang "populis" seperti Dr. Mubyarto mengatakan bahwa krisis ekonomi tidak 
pernah memukul daerah di luar Jawa dan di luar kota, maka itu sebagian saja benar. Sejak 
1997, penduduk tetap tumbuh dan penduduk muda yang keluar sekolah bertambah banyak 
pula. namun  , dengan krisis dan pertumbuhan ekonomi rendah, kesempatan kerja menjadi 
sangat terbatas. Maka, masalah sosial yang sekarang pun mengganggu kehidupan sosial di 
daerah-daerah yang lebih rural yaitu  kegelisahan di antara penduduk yang muda yang 
kurang memiliki  harapan akan mendapat pekerjaan dan  pendapatan yang sesuai dengan 
aspirasi mereka. Masalah inilah yang dialami oleh berbagai proyek pertambangan, 
perkebunan, dan lain-lain agribisnis, terutama proyek besar yang PMA, seperti di bidang 
migas (contoh Caltex di Riau) dan pertambangan (contoh-contoh: Freeport, Newmont 
Mining, Kaltim Prima, PT KEM, PT Inco, dan sebagainya) yang semuanya mengalami 
masalah-masalah dengan masyarakat sekitarnya. Perusahaan-perusahaan itu menjadi 
tumpuan harapan penduduk setempat untuk mendapat pekerjaan dan status sosial (sebagai 
karyawan). Mereka benci tenaga kerja pendatang yang lebih mahir dan sering menang 
dalam rekrutmen. Orang-orang asing yang memimpin perusahaan-perusahaan 
pertambangan itu di daerah (yang agak terpencil itu) yang mencemaskan kemungkinan 
meletusnya pergolakan sosial sebab  pemerintah, baik pusat maupun daerah, sekarang 
tidak mampu, mungkin tidak berani, menegakkan law and order, ketertiban sosial, dan 
perlindungan keamanan kepada perusahaan besar. 
Keberuntungan Soeharto pada 1966 yaitu  bahwa ia bisa menggaet kelompok 
"teknokrat", kebanyakan dosen ekonomi di Universitas Indonesia, sebagai pembantu dan 
yang berangsur-angsur menjadi menterinya. Di bidang hukum dan politik juga tersedia 
dosen-dosen dari Gadjah Mada dan Padjadjaran, yang semuanya mengejar di Seskoad 
(sekolah jenderal di Bandung) sejak 1957. Kolonel (almarhum) Suwarto yang menjadi Wakil 
Kepala Seskoad memainkan peran penting meletakkan dasar strategic alliance antara TNI 
dan kaum teknokrat ini, sedangkan Pak Harto menjadi siswa/pedan  pada 1958. Maka, para 
jenderal itu cukup mengenal para dosen dari UI, Gadjah Mada dan Padjadjaran itu. Yang 
mendukung keberhasilan di bidang ekonomi yaitu  para dosen dari FE UI, dengan Prof. 
Widjojo Nitisastro sebagai primus interparis-nya, ketua tim yang berhasil memimpin 
kelompoknya lebih dari 30 tahun tanpa adanya keretakan atau persaingan yang keras. Dasar 
dari kerja sama yang erat sekali ini diletakkan di University of California, Berkeley, saat  
kelompok Widjojo ini bersama-sama mengikuti program S3 dari 1957 sampai 1962. Mereka 
ini memakai  malam minggu untuk berkumpul dan membicarakan "masalah-masalah 
ekonomi dan pembangunan" tanah airnya. 
Kaidah-kaidah ekonomi dan politik yang berlaku di zaman Soekarno, 1957?1966, 
dijungkirbalikkan oleh Soeharto sebab  dianggap gagal menyusun landasan untuk 
meningkatkan kemakmuran bangsa. Kaidah pertama zaman Soekarno itu yaitu  ekonomi 
terpimpin, bahwa kekuatan pasar tidak diizinkan melakukan fungsinya. Maka, di zaman 
Orde Baru, pasar dan harga diberi kesempatan jauh lebih banyak untuk melakukan fungsi 
alokasinya. 
Kedua, pemerintah Orde Lama tidak ramah terhadap dunia Barat dan lebih berpihak 
kepada poros antiimperialis. Bantuan ekonomi lebih banyak datang dari Uni Soviet, namun   
proyek-proyeknya kurang mampu meningkatkan produksi dan kemakmuran, juga oleh 
sebab  banyak proyek tidak bisa diselesaikan. Contohnya yaitu  pabrik baja Krakatau. 
Stadion besar Senayan banyak manfaatnya, akan namun   bukan proyek ekonomi. 
Orde Baru mengubah orientasi politik luar negeri menjadi "bebas aktif" untuk 
menerima bantuan dari Barat dan tidak menolak bantuan dari blok Timur asal diberikan 
dengan syarat-syarat yang sama. Kesamaan syarat ini juga diberlakukan pada rescheduling 
utang, yang dirundingkan lebih dahulu  dengan blok Barat lewat Paris Club. 
Ekonomi Orde Baru tidak identik dengan ekonomi liberal ataupun kapitalistis yang 
murni. Walaupun Prof. Widjojo dkk menjadi perumus utama banyak kebijakan ekonomi 
tahap pertama Orde Baru itu (1966?1973), Orde Baru lebih merupakan rezim TNI dengan 
Jenderal Soeharto sebagai panglimanya. Kaum militer tidak terkenal sebagai "demokratis", 
"liberal", terbuka, dan sebagainya. Nalurinya lebih banyak otoritarian, sentralistis, 
intervensionis, top-down atau mengikuti sistem komando. 
Bahwa Soeharto dan para jenderal bisa mengikuti, bahkan mendukung, resep-resep 
kebijakan ekonomi yang disarankan oleh kelompok Widjojo, ini memang tidak alamiah, dan 
harus bisa dijelaskan. Mungkin sebab  di tahun-tahun pertama (1966?1968) mereka tidak 
melihat alternatif yang lebih baik. Banyak perwira sudah  mendapat didikan di Amerika 
Serikat dan menjadi kagum atas keberhasilan sistem ekonomi di situ. Lagi pula, Widjojo cs 
juga tidak merupakan ancaman ataupun persaingan bagi mereka. Widjojo dan timnya lebih 
memusatkan perhatian kepada penataan makroekonomi, bukan mikroekonomi. Bagi-bagi 
rezeki, contohnya  HPH kehutanan, penunjukan kontraktor, dan sebagainya ada di bidang 
mikroekonomi yang tidak dijamah oleh Widjojo cs. Widjojo dan kawan-kawannya puas 
menguasai Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas, Perdagangan dan 
Penanaman Modal, yang menjadi benteng-benteng para ekonom teknokrat. Departemen 
Industri, Kehutanan, Pekerjaan Umum, Bulog, Pertamina, bukan daerah jajahannya. Lagi 
pula, budaya KKN belum terlalu menjamur pada 1966?1973. Putra-putri Soeharto masih 
kecil, konglomerat kroni belum besar juga. 
Salah suatu kebijakan utama pemerintah yang baru yaitu  promosi penanaman 
modal asing dan dalam negeri. Motifnya lebih banyak kebutuhan daripada ideologi. 
Ekonomi yang berantakan memerlukan modal banyak untuk membangun. Sebagian 
diusahakan dari bantuan internasional. Maka, IGGI digalang dan arus tahunan yang 
diperoleh semakin besar, dari beberapa ratus juta dolar pada 1967 sampai beberapa miliar 
setahun akhir-akhirnya. Sebagian besar dana ini dipakai untuk anggaran belanja 
pembangunan, untuk membangun infrastruktur fisik dan sosial, termasuk di bidang 
pertanian, pendidikan dan kesehatan, pembangunan jalan, listrik, dan sebagainya. 
Maka, untuk sektor industri dan jasa-jasa diharapkan masuknya PMA dan PMDN, 
dan dua undang-undang diterbitkan untuk memberikan insentif dan jaminan. Kebijakan ini 
berhasil sekali. Modal Amerika dan Barat masuk di bidang migas dan pertambangan umum, 
dan modal Jepang masuk antara lain ke bidang industri. PMDN ramai masuk di industri, 
kehutanan, real estate. 
Tahap 1966?1973 yaitu  tahap ekonomi bebas, artinya belum banyak 
pembatasannya. Rizal Mallarangeng di bukunya, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 
menyebut tahap ini tahap liberalisasi yang pertama. Ekonomi rata-rata tumbuh di atas 7 
persen setahun sebab  sifatnya rehabilitasi dan sektor pertanian masih bisa tumbuh banyak 
sebab  tersedianya teknologi baru produksi padi. 
namun  , pada 1973?1974 timbul reaksi (Malari) dalam bentuk demonstrasi mahasiswa 
besar-besaran. Dampak kesenjangan dari ekonomi pasar, yang pada dirinya berhasil 
meningkatkan laju pertumbuhan, menampakkan dirinya. Amarah mahasiswa ditujukan 
kepada PMA Jepang, dicetuskan oleh kunjungan Perdana Menteri Jepang. namun  , gejala 
protes mahasiswa ini juga terjadi di Bangkok sehingga merupakan gejala regional. Maka, 
dilema ekonomi pembangunan yang klasik muncul: laju pertumbuhan yang pesat lewat 
pasar yang bebas juga menimbulkan kesenjangan. Sebagian masyarakat mulai menolak 
kapitalisme, pasar bebas, PMA, menguatnya ekonomi nonpribumi. 
Maka, sejak 1974 meningkatlah proteksionisme, dirigisme, penjatahan, 
pemberdayaan usaha pribumi. Rizal Mallarangeng melihat periode 1973?1983 sebagai 
sentralisme yang kembali. Kelompok Widjojo masih berkuasa dan mencari akomodasi 
kepada kecenderungan politik ini sambil berusaha agar ekonomi masih berjalan cukup 
efisien dan terbuka. Antara lain mereka berhasil menangani krisis Pertamina dengan restu 
Soeharto. 
Kebetulan periode ini dikurniai rezeki minyak bumi, sehingga jumlah dana yang 
tersedia bagi pemerintah lebih dari cukup. Industrialisasi masih bisa berjalan berdasarkan 
pasar dalam negeri, yang daya belinya disirami oleh rezeki minyak. Biasanya tahap import 
substitution industrialization hanya berlangsung 10 tahun. Di Indonesia bisa berlangsung 
sampai 1983, sebab  ada semacam tahap kedua, dimungkinkan oleh rezeki minyak. Baru 
pada 1983 produksi tekstil dalam negeri mulai menumpuk sebab  tidak mampu dijual di luar 
negeri. Baru sesudah  devaluasi ekspor naik sangat besar. 
Sementara itu, harga minyak bumi jatuh di permulaan dasawarsa delapan puluhan. 
Masa pancaroba keuangan ini melahirkan kesempatan, dan keharusan, untuk banting setir 
dalam kebijakan ekonomi umum. Maka, sejak 1983 ada kesempatan menjalankan 
deregulasi di berbagai bidang. Widjojo (yang bukan lagi Menko Perekonomian di tahun itu 
namun   masih berkantor di Bappenas dan tetap "Pak Lurah" bagi kelompoknya), Ali 
Wardhana, Saleh Afiff, Radius, Sumarlin mencanangkan deregulasi (tahap pertama) di 
bidang perbankan, perdagangan luar negeri (SGS dari Swiss menggantikan peran Bea-Cukai), 
memangkas perizinan di bidang industri dan investasi. Deregulasi ini dijalankan secara 
bergelombang, artinya tidak dalam satu kali pukul, dan tuntas sekitar 1989. Sebetulnya, 
deregulasi masih berjalan terus, namun   tambah lama tambah sukar untuk mendapat 
dukungan Presiden Soeharto. Di masa boom, kesediaan Pak Harto meneruskan deregulasi 
berkurang sebab  memerlukan pengorbanan. 
Laju pertumbuhan PDB pada dasawarsa delapan puluhan secara rata-rata hanya 
mencapai 6,1 persen setahun. Ini disebabkan sektor pertanian dan pertambangan mulai 
jenuh tumbuh (sesudah  swasembada beras dicapai pada 1983?1984), namun   laju 
pertumbuhan di sektor industri manufaktur mencapai rekor 12 persen setahun, tertinggi di 
Asia Tenggara. Berkat berbagai deregulasi, maka laju pertumbuhan PDB 1990?1996 
mencapai 7,7 persen setahun. 
Dua kali terjadi bahwa paket kebijakan yang cocok untuk zamannya dan 
menghasilkan laju pertumbuhan tinggi pada dirinya menyimpan benih kegagalannya. Pasar 
bebas 1966?1973 sangat berhasil menumbuhkan ekonomi, namun   tidak berhasil 
memperkecil jurang kesenjangan yang bisa dilihat di Jakarta. Deregulasi 1986?1996 
melahirkan boom ekonomi, namun   berakhir dengan krisis dahsyat sebab  tidak ditambah 
landasan institusional dan lembaga dan  sistem pengawasan yang kukuh. Maka, di era 
Reformasi, institution building dan rebuilding menjadi penting. Pedoman-pedoman yang 
baru yaitu  transparency, accountability & good governance. 
 ABAR dari kawasan Bintaro itu cepat mencapai Jalan Yusuf Adiwinata, Menteng, 
Jakarta Pusat. Pemilik rumah langsung menggelar rapat keluarga. Ia mengumpulkan 
keempat adiknya, kecuali Hutomo Mandala Putra. 
Justru Hutomo, alias Tommy, yang jadi pusat keprihatinan. Adik laki-laki bungsu itu 
diberitakan tertangkap di Bintaro pada 28 November 2001. Elza Syarief, pengacara Tommy 
yang ikut dalam rapat keluarga itu, mencatat peran Siti Hardijanti Rukmana-biasa disebut 
Tutut-si pemilik rumah. 
sesudah  menyimak semua saran, putri sulung Soeharto itu memutuskan agar tim 
pengacara Tommy diperkuat. "Tim pengacara Pak Harto jadi ikut membantu kami," kata Elza 
kepada Ami Afriatni dari Tempo. 
Tommy, yang didakwa membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan 
memiliki senjata, lalu diadili. "Sampai berbulan-bulan Mbak Tutut sulit tidur ngurusin masalah  
Mas Tommy," kata Elza. Tommy jadi buronan selama setahun dan 22 hari. 
Tutut ibarat ganjal bagi keluarga Soeharto. Ia mengurusi mulai dari tuntutan 
pengadilan sampai soal kesehatan ayahnya. Ringkas kata, perempuan yang menikah dengan 
Indra Rukmana pada 29 Januari 1972 itu selalu tampil di depan membela trah Soeharto. 
Orang tuanya memang sudah  lama memberikan kepercayaan kepada emak tiga anak 
ini. saat  ayahnya masih presiden, Tutut mengakui kurangnya waktu Pak Harto dan Ibu Tien 
memperhatikan anak-anaknya. "sebab  itu, sejak di SMA saya sudah  menjadi ibu sekaligus 
bapak untuk adik-adik saya," kata Tutut, yang tidak menamatkan kuliah di Fakultas Teknik 
Universitas Trisakti, Jakarta, kepada Kompas. 
Soeharto selalu mendorong Tutut bergiat di lapangan sosial dan politik. Dalam 
Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, orang kuat Orde Baru itu memuji aktivitas 
sosial Tutut. "Itu ajaran yang kami berikan kepadanya, agar tidak hidup sendirian, namun  
bermasyarakat." 
Tutut lahir pada 23 Januari 1949 di Yogyakarta, saat  Soeharto sedang menyiapkan 
Serangan Umum 1 Maret. Kelahiran Tutut, kata Soeharto dalam otobiografinya, "Ternyata 
menambah semangat saya untuk berjuang." 
Pada awal 1990-an, Tutut mendirikan Yayasan Tiara Indah, yang menggelar Kirab 
Remaja Nasional. Ia juga menjadi orang nomor satu di Himpunan Pekerja Sosial Indonesia, 
Perhimpunan Donor Darah Indonesia, Organisasi Federasi Perhimpunan Donor Darah 
Internasional, dan Palang Merah Indonesia. 
Di dunia bisnis, nama Tutut berkilau pada 1990, saat  perusahaannya, PT Citra 
Marga Nusaphala Persada, berhasil membangun jalan tol Cawang-Tanjungpriok. Ini 
perusahaan swasta pertama yang membangun dan mengoperasikan jalan tol. 
lalu  dia melenggang ke bisnis media dengan mendirikan Televisi Pendidikan 
Indonesia (TPI) dan beberapa stasiun radio. Dunia politik? Jangan tanya. Dalam Musyawarah 
Nasional Golkar 1993, dia terpilih menjadi salah satu ketua dewan pimpinan pusat. 
Menjelang Pemilihan Umum 1997, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama saat  itu, 
Abdurrahman Wahid, menggandeng Tutut ke beberapa  pesantren. Kepada para kiai dan 
santri, Gus Dur menyebut Tutut tokoh masa depan. 
Dalam Sidang Umum MPR 1998, Soeharto terpilih lagi menjadi presiden. Tutut 
masuk kabinet sebagai Menteri Sosial. Ikut masuk kabinet beberapa  orang dekat Tutut di 
Golkar: Jenderal (Purn.) Hartono, Theo Sambuaga, Ary Mardjono, dan Muladi. 
namun , apa daya, kabinet itu hanya bertahan dua bulan. Soeharto lengser sebab  
gelombang unjuk rasa mahasiswa. Redupkah ambisi politik Tutut? Ternyata tidak. 
Menjelang Pemilu 2004, ia mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa, yang dipimpin Hartono 
dan Ary Mardjono. 
Partai itu, yang menggadang-gadangnya sebagai calon RI-1, memang tak digubris 
pemilih. namun  Tutut tak kekurangan pekerjaan, terutama merawat ayahnya, yang sejak 
lengser sering sakit-sakitan-sampai akhirnya menutup mata. 
IGIT Harjojudanto sekarang sudah berubah. Putra kedua Soeharto ini gemar menyepi. 
Terkadang berminggu-minggu mengurung diri di salah satu hotel di Bali. Bila pulang 
ke rumahnya di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat, pria 57 tahun ini lebih senang di 
dalam kamar. 
Sebelum Soeharto meninggal, ayah tiga anak itu jarang kumpul bersama kerabatnya 
di Jalan Cendana. Ia juga renggang dengan istrinya, Elsje Anneke Ratnawati. contohnya , Sigit 
tak terlihat dalam pengajian keluarga. Kalaupun ia keluar rumah, ia hanya berjalan kaki di 
dekat kediamannya. Lidahnya juga tak asing dengan makanan murahan kaki lima. 
Cerita yang disampaikan oleh orang dekat Sigit ini memang bertolak belakang 
dengan kehidupannya pada masa ayahnya berkuasa. Menurut seorang partner bisnisnya, 
Sigit gemar berjudi. Hobinya itu, konon, pernah membuat Soeharto jengkel sehingga 
melarang Sigit ke luar negeri. 
Soal uang tak jadi masalah baginya. laki-laki  yang cuma mengecap pendidikan di 
sekolah lanjutan atas ini memiliki saham di puluhan perusahaan. 
Sigit yaitu  tipikal putra Soeharto yang pendiam. Dia cenderung menutup diri dari 
hiruk-pikuk media massa. Cuma satu kegiatannya yang membuatnya tak menghindar dari 
wartawan, yaitu menyangkut aktivitasnya di bidang olahraga. Di sini dia menorehkan "nama 
baik". 
Sigit mendirikan klub sepak bola Arseto pada 1978. Sigit memang penggemar bola. 
"saat  di SMP, saya yaitu  penyerang," katanya waktu itu. Peran di klub bola inilah yang 
lalu  mengantar Sigit menjadi Ketua Harian Liga Sepak Bola Utama pada 1980-an. 
Dia pula yang merintis PSSI Garuda. Di tangannya, tim PSSI mencatat prestasi yang 
bagus, yaitu menempati posisi kedua perebutan Piala Raja di Thailand, 1983. Pada tahun 
yang sama, dia ditabalkan menjadi Pembina Olahraga Terbaik 1983. 
Di dunia usaha, ia pernah berbisnis dengan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal 
Siregar. Sigit yaitu  salah seorang pemegang saham di PT Victor Jaya Raya (VJR) yang 
berkantor di Medan, Sumatera Utara. Perusahaan pengembang ini membangun hunian 
mewah lengkap dengan lapangan golf di Pancur Batu, Sumatera Utara. Berdiri pada 1991, 
VJR mengandalkan kucuran kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU). 
Mula-mula kredit mengalir ke VJR Rp 18 miliar, hingga 1996 tercatat utang VJR di 
BPDSU mencapai Rp 200 miliar. Perusahaan ini gampang memperoleh kredit sebab  
pengaruh Sigit dan Raja Inal. Kendati macet, tak ada yang mempersoalkannya kala itu. Raja  Inal sendiri tak lagi bisa dimintai konfirmasi. Pada September 2005 ia tewas dalam  kecelakaan pesawat Mandala Airlines di Bandar Udara Polonia, Medan. sesudah  Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan, masalah  Sigit muncul ke permukaan. 
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pernah mempersoalkan pada 1998. Hanya, kredit 
macetnya tetap tak tersentuh. Dia tak pernah memenuhi panggilan jaksa di Medan itu. 
Bukan hanya Sigit, bahkan istrinya, Elsje, juga berurusan dengan penyidik Kepolisian 
Daerah Metro Jaya, Maret 2002. Seorang pria bernama Stephanus Setiawan membuat 
laporan ke Polda Metro Jaya, isinya: Elsje memiliki   Rp 20 miliar. Laporan itu kandas di 
tengah jalan. Baik Sigit dan Elsje tak bisa dimintai konfirmasi. namun , kata Juan Felix 
Tampubolon, kuasa hukum keluarga Soeharto. "Semua itu hanya omong kosong belaka." 
 lebih dari 10 tahun namanya tenggelam bak ditelan bumi, pada akhir tahun lalu ia 
kembali menjulang. Nama Bambang Trihatmodjo mendadak masuk jajaran superkaya 
versi Forbes Asia edisi 13 Desember. Berada di urutan ke-33, ia menjadi satu-satunya 
anak Soeharto di deretan orang tajir di Indonesia. Lulusan Polytechnic Institute of Virginia, 
Amerika Serikat, 1979 ini memiliki kekayaan US$ 200 juta atau Rp 1,9 triliun. Sebagian besar 
berasal dari hampir 13 persen saham Asriland di Global Mediacom-nama baru Bimantara-
konglomerasi yang dirintisnya sejak ia masih berusia 28 tahun. 
Sejarah Bimantara memang fenomenal. Awalnya, grup bisnis ini hanya bergerak di 
bidang perdagangan, namun  dengan cepat mereka menggurita. Asuransi, rumah mewah, 
konstruksi, televisi, perhotelan, transportasi, perkebunan, perikanan, otomotif, makanan, 
kimia, dan pariwisata dirambah dengan mudah. Di puncak kejayaan, ada 56 perusahaan 
yang bernaung di bawah beberapa induk perusahaan dengan Bimantara sebagai bintangnya. 
Analis GSH Consulting, Goei Siaw Hong, mengatakan bisnis Bimantara melejit sebab  
mendapat banyak perlakuan istimewa. Mereka yang pertama mendapat lisensi jaringan 
seluler GSM melalui Satelindo, lalu  dijual ke Indosat. Mereka juga yang paling dahulu  
mendapat izin mendirikan stasiun televisi swasta di Indonesia, RCTI. 
Bambang pernah memonopoli perdagangan jeruk di Kalimantan melalui PT Bima 
Citra miliknya. Pada 1993, dia melepasnya sesudah  dikritik keras sebab  merugikan petani. 
"Memang keistimewaannya tak sebanyak yang didapat Tutut dan Tommy," kata Hong. 
Mendapat banyak kesempatan, kemudahan, dan pinjaman bank, membuat bisnis 
mereka melaju tanpa hambatan. Boleh dikatakan, tak ada saingan berarti. Itu membuat 
untung datang berlipat-lipat. Rezekinya terus melimpah bagai menunggu jam pasir. "Ini 
sebetulnya  tipikal konglomerat di Indonesia, bukan hanya Bambang," kata Hong. 
Gerakan melambat saat  krisis ekonomi terjadi pada 1997. Turunnya Soeharto 
setahun lalu  membuat beberapa  perusahaan mereka mulai limbung. Bisnis tanpa 
fondasi kuat itu satu per satu ambruk. Utang yang menumpuk akibat ekspansi tanpa 
perhitungan matang makin membuat jalannya terseret-seret. 
Catatan BPPN pada 1999 menunjukkan Bambang Trihatmodjo menjadi peminjam 
terbesar Bank Mandiri di antara 50 debitor kakap lainnya. Utangnya di atas Rp 20 triliun. 
Tempat kedua diduduki adiknya, Hutomo Mandala Putra, dengan kredit hampir Rp 5 triliun. 
Uang itu sebagian besar disalurkan Bambang ke Chandra Asri, yang dirancang dengan 
investasi US$ 2,25 miliar. Kredit kedua terbesar dikucurkan ke Apac Centertex sebesar Rp 
865,4 miliar. 
Contoh keistimewaan lainnya yaitu  saat  Bank Andromeda miliknya dilikuidasi 
pada 1997. Dua minggu lalu , ia mendapat izin membeli 99 persen saham Bank Alfa. 
Izin turun sebab  dia lolos dari daftar orang tercela Bank Indonesia. Memang, tak semua 
pemilik dan direksi bank likuidasi menjadi orang tercela. Bambang beruntung, tak termasuk 
salah satu di antaranya. 
Suami artis Mayangsari ini juga satu-satunya yang dibolehkan membayar sendiri 
deposannya. Bankir lain, yang banknya dilikuidasi bersamaan, tidak mendapat kesempatan 
itu. Pembayaran deposan mereka dialihkan ke bank yang ditunjuk pemerintah. 
Angin bisnis berbalik arah. Chandra Asri sudah lama dilepas kepada Prajogo 
Pangestu, sebagai bagian dari restrukturisasi utang. Peter Gontha mengatakan Bambang 
memang menjual saham di sebagian perusahaan. "Kita tidak tahu strategi apa yang ia 
jalankan," kata Peter, yang masih sering bertemu sobat lamanya itu. Peter tak mau bicara 
soal geliat bisnis di masa lalu. 
Lewat Global Mediacom, pria 53 tahun ini, kini masih memiliki belasan perusahaan, 
seperti televisi, radio, koran, telekomunikasi hingga Plaza Indonesia. Meski tak sampai habis-
habisan dan masih kaya