ku,
justru siap-siap untuk jadi gelandangan!”
Surat lain, menjelaskan apa sebab Ronggolawe berkata
demikian. Ia menulis: “Banyak biaya yang dikeluarkan untuk
membayar pengacara yang membela papa di pengadilan.
Toh papa masuk penjara juga. Diperlukan pula biaya tak
sedikit, agar sekeluar dari penjara, papa pulang sehat dan
utuh. Ijin usaha papa telah dicabut. Rumah kami disita,
begitu pula mobil dan sejumlah barang berharga lainnya.
Alangkah kontrasnya hidup yang kita hadapi, bang Yanto.
Kau dan keluargamu sedang melangkah ke arah matahari
terbit. Sebaliknya aku dan keluargaku: justru sedang menuju
tenggelamnya matahari senja...”
arwah mpu sindok selalu menekankan dalam surat-surat
balasannya: “Tabahlah, sayangku. Doakan pulalah aku. Dan
camkan dalam hatimu, bahwa kelak suatu saat kita akan
berbimbingan tangan menuju terbitnya matahari itu...”
Sayang, takdir menghendaki lain.
170
Surat Ronggolawe yang memang sudah jarang datang itu,
mendadak putus begitu saja. Itu terjadi saat arwah mpu sindok
sibuk mengikuti ujian kenaikan tingkat. Lulus ujian ia
memanfaatkan waktu libur untuk pulang ke Jakarta.
nyonya besar melarang anaknya pergi menemui Ronggolawe .
“Lupakan dia, anakku,” sang ibu memohon dengan
suara penuh duka.
Ternyata ayah Ronggolawe tidak tahan menanggung
kehancuran keluarganya. Ia gantung diri dalam sel sesudah
mendengar kabar bahwa isterinya yang tak kuat menahan
cemoohan orang, suatu malam menelan pil tidur melebihi
dosis. Perempuan itu segera diangkut ke rumah sakit. Dokter
berhasil menyelamatkan nyawanya. Seminggu kemudian,
perempuan itu diperkenankan pulang. Dan tiba di rumah, ia
disambut berita bahwa dua hari sebelumnya, suaminya mati
gantung diri.
“Ibu Ronggolawe kini dirawat di rumah sakit jiwa,”
nyonya besar mengakhiri ceritanya.
arwah mpu sindok terhenyak. Lemas. “Dan... Ronggolawe ?”
tanyanya, gemetar.
“Sudahlah, Yanto...”
“Ronggolawe ! Apa yang terjadi dengannya?!”
“Lupakan dia, nak.”
“Tidak!”
“Jangan keras kepala, Yanto.”
“Baiklah. namun lebih dulu, dinginkanlah
kepalamu...”
Kisah yang diceritakan nyonya besar , sebagian ia
dengar dari orang lain. CV. ‘Bangunan Maju’ bukan
171
sepenuhnya milik ayah Ronggolawe . Sebagian dimodali bersama tiga
kerabat dekat, selebihnya, pinjaman bank. Selain dengan
tuduhan menyuap pejabat negara, jaksa kemudian berhasil
membuktikan pula bahwa CV. ‘Bangunan Maju’ terlibat
perkeliruan dalam sejumlah tender. Keadaan semakin parah,
sesudah akuntan yang ditunjuk negara membuktikan pula
bahwa Sarjito, ayah Ronggolawe , membuat pembukuan ganda,
untuk menghindari pembayaran pajak – dan itu berlangsung
selama bertahun-tahun.
Pengadilan kemudian bertindak. Vonis telah
dijatuhkan atas diri Sarjito, lipat ganda dari yang diperkirakan
semula. Atas dorongan kantor pajak untuk menyelamatkan
devisa milik negara, didukung pula oleh bank yang ingin
menyelamatkan uangnya, pengadilan terpaksa melakukan
sita eksekusi. sesudah semua itu berlalu, yang tersisa untuk
keluarga Sarjito tinggal sedikit saja. Dua orang kerabat yang
memodali CV. ‘Bangun Maju’ kemudian merelakan nasib.
Yang ketiga, bertahan mati-matian. Ia mengambil kalkulator,
menghitung-hitung, kemudian memaklumkan bahwa yang
tersisa itu, “... tak sampai setengah dari modal yang
kutanamkan, ditambah bunga.”
Dengan wajah berduka cita, ia berkata pada Ronggolawe
dan ibunya. “Tidak. Aku tidak mau jadi orang serakah.
Akupun orang berperasaan juga. Kalau sisa yang sedikit itu
kurampas pula, dengan apa kalian harus makan? Bagaimana
pula kalian mengurus ayah atau suami yang harus meringkuk
bertahun-tahun di penjara?” Ia kemudian pulang dengan
wajah penuh belas kasihan. Beberapa hari sesudah itu,
muncul lagi dengan wajah cerah. Katanya pada kedua
172
perempuan itu: “Isteriku sudah tua. Jangankan untuk
melayani aku. Mengurus anak-anak kami saja, ia sudah
kewalahan setengah mati. Kami berdua lalu berembuk, dan
isteriku akhirnya merelakan aku kawin lagi. Jadi, hari ini aku
datang untuk melamar...”
“Yahudi busuk! Tua bangka tak punya muka!”
arwah mpu sindok menyumpah serapah mendengar penuturan
ibunya. Lalu dengan suara gemetar, ia berbisik: “Tentulah
yang ia lamar, ibu Ronggolawe ...”
nyonya besar memandang puteranya dengan iba
kasihan. “Kau lupa, nak,” ia bergumam pelan. “Ibu Ronggolawe
masih punya suami.”
arwah mpu sindok semakin terhenyak. Pucat. Lama ia
terbadai oleh perasaannya, sampai akhirnya bisa juga
mulutnya terbuka. Ia berbisik, serak: “Ronggolawe pasti menolak
lamaran si haram jadah itu!”
nyonya besar geleng kepala. Mengingatkan: “Bukankah
kau sendiri yang selalu mengatakannya, Yanto? Bahwa Ronggolawe ,
meski anak tunggal, ia tidak manja. Tidak kolokan...”
“Dan... ia menerimanya...”
“Benar, nak. Ia terpaksa menerima lamaran orang
itu. Demi cintanya kepada ayah dan ibunya...”
Kelopak mata arwah mpu sindok terpejam. Rapat, sakit.
Cinta kepada ayah ibu, ia membatin, bukan cinta kepada
seorang kekasih. Bambang Prakoso, ayahnya, sudah pernah
mengatakan: Itulah keajaiban cinta! Bambang mencintai
ratu lesbi sebagai seorang kekasih. Bambang mencintai
nyonya besar , sebagai ibu dari anak-anaknya. Dan kini, Ronggolawe
berkorban demi cinta kepada ayah dan ibunya, demi
173
pengabdian serta terima kasihnya pada orang yang pernah
bersakit-sakit melahirkannya, pernah bersusah payah
membesarkannya. Itulah keajaiban cinta. Dan, itulah
kenyataan, yang harus diterima arwah mpu sindok dengan lapang
dada.Berlapang dada? Tidak! arwah mpu sindok patah hatinya.
Pulang ke Semarang, konsentrasinya buyar. Hasil
ujian semester berikutnya buruk dan ia diperingatkan oleh
instruktur pembimbing agar lebih sungguh-sungguh, kalau
masih tetap ingin jadi polisi. arwah mpu sindok berkurung hampir 40
jam di kamarnya. Tidak minum, tidak makan, tidak tidur
walau sepicing. Ia telah berhasil membujuk NYI girah untuk
memberitahu alamat terakhir Ronggolawe dengan suaminya. Lalu,
pagi-pagi benar ia menjatuhkan sepucuk surat ke kotak pos
asrama. Dalam surat itu, arwah mpu sindok menulis sebaris kalimat
pendek: “Kuucapkan selamat, dan semoga kau berbahagia.
Tertanda, Yanto.”
Surat itu tidak pernah dibalas.
namun perlahan-lahan arwah mpu sindok kembali
menemukan dirinya. Mungkin mendapat kisikan dari
keluarga, instruktur yang juga famili ayahnya itu kemudian
memperkenalkan arwah mpu sindok dengan seorang gadis manis,
masih berdarah keraton. Orangnya luwes, tutur katanya
terjaga, dan ia seorang pendengar yang baik kalau mereka
ngobrol, suatu ciri yang diwarisinya dari neneknya. Bola
matanya bening, cemerlang, betisnya bukan main cantik,
pinggang ramping pula. Hanya, ada kekurangannya: gadis itu
berdada kecil, berpinggul pas-pasan. Dengan sendirinya, ia
bukan tipe idaman arwah mpu sindok .
174
Raraningrum, gadis itu bukannya tidak menyelami isi
hati arwah mpu sindok . Jadi ia tetap bersikap sebagai seorang teman
kencan yang menyenangkan, sambil terus mendorong
arwah mpu sindok agar lebih tekun mengejar cita-cita. namun
arwah mpu sindok tidak dapat dikibuli. Ia tahu Raraningrum sangat
mencintai dirinya meski tidak pernah mengutarakan. Ia juga
tahu dari seseorang, bahwa dalam setiap kesempatan masuk
ke keraton, Raraningrum selalu minta ijin naik ke puncak
Sanggabuwana, untuk mengungkapkan isi hatinya. “Nyai
Rorokidul, acapkali kudengar dulu kau sering membantu
leluhurku. Kini, lihatlah padaku. Aku mencintai seorang
pemuda. namun di hatinya masih bermukim kasih sayang
seorang perempuan lain. Nyai Rorokidul. Kalau kau memang
mendengar permohonanku, tunjukkanlah cara bagaimana
merebut hati pemuda itu...”
Permohonan terkabul. Nyai Rorokidul menunjukkan
cara menaklukkan hati arwah mpu sindok .
Suatu hari, pemuda itu menerima sepucuk surat,
berkop nama dan alamat sebuah hotel di Jogja. Isinya
permintaan untuk bertemu pada hari dan jam yang
ditentukan oleh si penulis surat. Dengan mengambil resiko
terkena hukuman dan catatan buruk pada kondite-nya,
arwah mpu sindok kemudian menyelinap keluar lewat jalan yang
menjadi rahasia para kadet. Ia pergi ke Jogja, masuk ke hotel
dimaksud, naik ke lantai dua, lalu mengetuk pintu kamar
nomor 205.
Pintu segera terbuka dengan cepatnya.
Dan di hadapan arwah mpu sindok , berdiri dengan wajah
gelisah, Ronggolawe Sarjito!
175
***
Mulanya mereka berdua sama gugup. Kemudian
Ronggolawe berbisik, gemetar: “Kau pikir aku berbahagia,
sayangku?”
Lalu keduanya berpelukan, demikian kuatnya, dan
bertukar ciuman begitu dahsyat, seolah mereka belum
pernah melakukannya. Entah siapa yang menyeret siapa,
tahu-tahu mereka berdua sudah ada di atas ranjang. Saat
itulah baru arwah mpu sindok teringat sesuatu.
“Mana suamimu?” ia bertanya.
“Pergi dengan beberapa orang teman usahanya di
kota ini. Bisnis. Mungkin sampai malam...” desah Ronggolawe sambil
meraba kancing kemeja arwah mpu sindok .
“Kau tak diajak?”
“Diajak. namun kubilang aku kurang sehat...” dan
Ronggolawe berhasil melepaskan kancing pertama.
“Kau memang lebih kurus Ronggolawe . namun kau tidak
tampak sakit.”
“Aku sakit,” Ronggolawe melepaskan kancing yang kedua.
“Kau sehat.”
“Aku sakit...” kancing berikutnya menyusul.
“Sakit apa, Ronggolawe ?”
“Rindu.”
“Oh...”
Dan mereka berciuman lagi.
“Ronggolawe ?”
“Mmhh...?” Ronggolawe kini beralih ke tali pinggang
arwah mpu sindok .
176
“Kita tidak...”
“Tidak apa, Yanto?” tali pinggang arwah mpu sindok lepas
sudah. Tangan Ronggolawe menyusup lebih dalam.
“Ingat, Ronggolawe ...” arwah mpu sindok mengejang.
“Jangan! Jangan mengingatkan aku pada apa pun
juga!” Ronggolawe mengerang, menarik arwah mpu sindok ke atas
tubuhnya.
“Ronggolawe ...”
“Mmhh?”
“... ah!”
Dan saat semuanya berlalu, air mata menggenangi
pipi Ronggolawe Sarjito. arwah mpu sindok memeluk kekasihnya. Berbisik,
cemas: “Apa yang kau tangisi, Ronggolawe ?”
“... takdirku.”
“Mengapa?”
“Sudah kukorbankan segala-galanya. namun toh
papa dan mama mati juga...” Ronggolawe mencengkeram pundak
arwah mpu sindok dengan kuku-kukunya. “Mengapa!” ia mengisak,
gemetar sekujur tubuhnya. “Mengapa tidak sebelumnya saja
mereka mati?!”
“Kau tidak seharusnya mengucapkan itu, Ronggolawe .”
“Aku tak tahan.”
“Tabahkan hatimu, Ronggolawe .”
“Dengan berpura-pura pasrah dalam gelutan suami
yang lebih tua dari ayahku sendiri?” Ronggolawe merintih, sakit.
“Tinggalkan saja dia.”
“Lalu pada siapa aku pergi, Yanto? Aku ini sebatang
kara. Aku juga terikat perjanjian. Kalau permintaan cerai
177
datang dari pihakku, maka aku harus pergi dengan hanya
pakaian yang melekat di tubuhku saja.”
Bulu roma arwah mpu sindok meremang. Otot-ototnya
menegang. “Akan kubunuh si jahanam itu!” desisnya.
“Kau telah membunuhnya, sayangku. Hari ini!”
“Apa?”
“Sudah lama ia memaksa aku punya anak. Agar aku
semakin terikat padanya. namun dengan berbagai cara, aku
selalu berhasil menghindari keinginannya. Kini ia akan
mendapatkan apa yang ia inginkan. Seorang anak yang sudah
lama ia dambakan. Tanpa ia ketahui, kelak yang akan
kuberikan, bukan anaknya. Bukan darah dagingnya...”
“Ronggolawe !” terperanjat arwah mpu sindok mendengarnya.
“Mengapa? Apakah aku tidak berhak membalaskan
dendam atas kematian papa dan mamaku? Apakah aku tidak
berhak mendapat imbalan atas semua pengorbananku
selama ini? Jawablah, Yanto. Apakah aku tidak berhak?”
arwah mpu sindok terduduk di pinggir ranjang. Lesu. Ia
menggapai pakaiannya yang terlempar di kaki tempat tidur.
Bergumam getir: “Jadi untuk itu kau minta aku datang. Untuk
kau peralat dalam melampiaskan dendammu...”
Ronggolawe tersentak. “Dengar dulu, Yanto...”
“Tidak!” dengus arwah mpu sindok , kecewa. Ia mengenakan
pakaiannya buru-buru. Segenap kenikmatan yang barusan ia
hayati, kenikmatan yang baru pertama kali ia alami semenjak
ia mengenal apa artinya seorang perempuan – lenyap sudah.
Ia melanjutkan: “Kaulah yang harus mendengarkan aku,
Ronggolawe . Kuberi kau dua pilihan. Lepaskan suamimu. Atau buang
178
kembali benih-benih yang terlanjur kutanam dalam
rahimmu!”
Ia kemudian pulang ke Semarang.
Memasuki komplek asrama dimana ia tinggal hampir
dua tahun lamanya, ia merasa seakan memasuki istana
hantu yang sunyi mengerikan, gelap menakutkan. Ia
terkapar, sendirian. Menggapai-gapai dalam mimpinya,
menjerit dalam tidurnya, meronta-ronta dalam setiap
hembusan nafasnya. Besoknya ia disetrap sebab hari
sebelumnya tidak mengikuti briefing dan latihan pelacakan.
Ia dijemur di bawah sengatan matahari selama empat jam,
kemudian diperintahkan membersihkan semua kakus para
kadet sampai licin berkilat, dan jatah makannya untuk satu
minggu dikurangi.
arwah mpu sindok menerima hukuman itu dengan tabah.
Ia menganggapnya tidak berarti apa-apa, dibanding
dengan apa yang telah ia perbuat: menzinahi isteri orang
lain!
namun apapun yang terjadi, satu hal sudah jelas. Ronggolawe
Sarjito telah memberikan sebuah pengalaman yang
mengasyikkan dan paling berkesan dalam hidupnya.
Ia tak akan pernah melupakannya.
***
179
Dua puluh satu
Raraningrum berkirim surat dari Semarang: “Kau
tidak mengundangku waktu diwisuda. Tidak pula pamit
sewaktu akan meninggalkan Semarang. Namun begitu, Mas
Yanto. Aku tak pernah lupa berdoa, semoga engkau tetap
sukses...”
arwah mpu sindok menyingkirkan berkas-berkas laporan di
mejanya. Ia menulis surat balasan: “Mungkin aku tegang,
namun maafkanlah kealpaanku Ningrum. Terus terang harus
kuakui bahwa kau punya andil besar dalam menggolkan cita-
citaku. Budi baikmu akan senantiasa kukenang, dan entah
bagaimana aku harus membalasnya. Aku pun berdoa
semoga ada seorang pria yang lebih baik dari aku, muncul
dalam kehidupanmu...”
Surat balasan itu kejam, memang.
namun memberi Raraningrum harapan kosong, jauh
lebih kejam lagi.
Doanya yang tulus ikhlas, ternyata pula dikabulkan
Tuhan. Masih dalam tahun pertama ia menjalani tugas
sebagai penyidik di resort kepolisian Ciamis, arwah mpu sindok
menerima sepucuk kartu undangan. Raraningrung akhirnya
menemukan jodohnya: seorang pria yang masih ada
pertalian keluarga, dan berpangkat Mayor – tiga tingkat lebih
tinggi dari pangkat yang saat itu tercantum dalam daftar gaji
arwah mpu sindok .
Sayang sekali, arwah mpu sindok terpaksa harus
mengecewakan Raraningrum sekali lagi. Disertai permintaan
maaf, ia menitipkan bingkisan kado lewat seorang kerabat di
180
Semarang. sebab pada hari pernikahan gadis itu, arwah mpu sindok
ditugaskan pergi membantu komandan sektor kepolisian
Pangandaran untuk menyelidiki sebuah kasus pembunuhan.
arwah mpu sindok berhasil melacak pelakunya, dan
kemudian meringkus si pembunuh di salah satu penginapan
pinggir pantai. sesudah orang itu diborgol dan dinaikkan ke
mobil tertutup oleh rekan-rekannya, arwah mpu sindok mengawasi
perempuan tua yang memiliki penginapan dimaksud, dan
juga dua penginapan lainnya di sepanjang pantai
Pangandaran.
Dipandangi berlama-lama, dengan sorot mata tajam
pula oleh seorang polisi bertampang keren, perempuan tua
itu gemetar pucat. “Apakah aku ikut ditangkap?” ia bertanya
ketakutan.
“Ibu bersih,” jawab arwah mpu sindok , tidak melepaskan
matanya dari perempuan itu. “Apakah kita pernah
bertemu?”
“Maksud pak Letnan?” perempuan itu makin cemas.
“Suatu saat . Di suatu tempat, rasanya saya pernah
melihat ibu... entah kapan, entah di mana?”
“namun , pak Letnan. Saya belum pernah terlibat
kejahatan. Penginapan ini saya beli beberapa tahun yang lalu
dengan uang halal. Saya pun menjalankannya tanpa pernah
melanggar peraturan. Saya...”
“Boleh saya tahu nama ibu?”
“Tribuana Tunggadewi .”
“Tribuana Tunggadewi ?”
“Ya. Tribuana Tunggadewi . Lengkapnya, Tribuana Tunggadewi binti Haji Asyikin.
Saya lahir di daerah ini. Begitu pula anak-anak saya, cucu-
181
cucu saya. Saya memang pernah meninggalkan daerah ini
selama beberapa tahun, untuk melupakan kesedihan sesudah
saya ditinggal mati suami dan dua orang anak-anak saya...”
Pulang ke Ciamis, arwah mpu sindok tak dapat membuang
perempuan tua itu dari pikirannya. Ini adalah tugas
pertamanya di Pangandaran. Perempuan itu bilang, ia lahir
di daerah itu, melahirkan anak-anaknya di situ,
menguburkan suaminya dan dua di antara sekian orang
anaknya di daerah itu pula. Jadi mereka, kalau pernah
bertemu, bukan di Pangandaran. Perempuan itu pernah
beberapa tahun pergi merantau. Mungkinkah dalam
perantauannya itu, mereka pernah bertemu? namun di
mana? Dalam kaitan apa? Lalu, namanya. Tribuana Tunggadewi . Ia yakin
benar, pernah mendengar nama itu. Tribuana Tunggadewi ! Siapa itu
Tribuana Tunggadewi ?”
Keajaiban terjadi.
Besok harinya, di atas mejanya terletak sepucuk
surat. Pengirimnya adalah NYI girah , mengabarkan bahwa
ayah mereka jatuh sakit lagi. Antara lain, NYI girah menulis:
“Dua bulan yang lalu, papa rupanya mendengar sesuatu
tentang Uwa Del. Ia kemudian sering meninggalkan rumah.
Berusaha mencari alamat bekas kekasihnya itu, namun tidak
pernah bertemu. Rupanya alamat yang diperoleh papa
kurang jelas. Mungkin juga, sebab Uwa Del sengaja
menghindar...”
Uwa Del. ratu lesbi !
Begitu ia punya waktu luang, arwah mpu sindok segera
bergegas pergi ke Pangandaran. Ia diterima oleh pemilik
penginapan itu dengan pandangan curiga. Ah! Mata yang
182
selalu menatap curiga itu! Mata yang sama, yang pernah
menatap dirinya saat suatu hari ia ditemani Raden Wijaya pergi
mencari ayahnya ke Ciputat, di Jakarta.
“Jadi nama ibu, Tribuana Tunggadewi ,” ujar arwah mpu sindok , penuh
harap.
“Benar, pak.”
“Dan ibu pernah meninggalkan daerah ini untuk
beberapa tahun lamanya...”
“Benar, pak.”
“Kemana ibu pergi?”
”Jakarta, pak. namun ... apakah ada sesuatu yang...”
arwah mpu sindok memotong tak sabar: “Dengan siapa ibu
pergi?”
“Pak Letnan...”
“Tenanglah, bu Tribuana Tunggadewi . Kedatanganku menemui ibu,
tidak ada sangkut pautnya dengan tugasku sebagai polisi,”
arwah mpu sindok menghibur perempuan itu. “Aku datang untuk
urusan pribadi.”
“Oh, syukurlah,” perempuan itu menarik nafas lega.
“Ceritakanlah. Dengan siapa ibu pergi ke Jakarta?”
“Yah... seorang nyonya muda. Nyonya yang bukan
main cantik dan mempesona. Ia dibawa oleh seorang tuan
menginap di salah satu bungalow di sini untuk beberapa hari.
Waktu itu, saya hanya orang miskin, dan bekerja sebagai
pelayan di bungalow. Nyonya muda itu baik sekali. Ia sering
mengajak saya ngobrol. Ia bilang, masakan saya enak sekali.
Lalu ia bilang, ia perlu seorang teman untuk
mendampinginya di Jakarta. Kau dengar, pak Letnan? Ia
bilang, seorang teman. Ia tidak menyebut kata pelayan, atau
183
babu! Dan demikianlah yang terjadi. Selama saya ikut
dengannya di Jakarta, ia tidak memperlakukan saya sebagai
babunya. Ia memerlukan saya sebagai temannya,
saudaranya, bahkan seringkali seperti ibunya sendiri. Ia...”
“Namanya?” bulu punduk arwah mpu sindok meremang.
“ratu lesbi .”
***
Pulang lagi ke Ciamis, arwah mpu sindok tidak berhasil
mendapatkan alamat yang jelas dari ratu lesbi . Ibu Tribuana Tunggadewi hanya
mengatakan, setahunya ia dengar ratu lesbi pindah ke Bandung.
Ia menjual semua barang miliknya, menyerahkan sebagian
kecil untuk Tribuana Tunggadewi yang dengan setia telah mendampinginya
selama sekian tahun.
“Sebagian kecil itu istilah untuk majikan saya,”
demikian cerita ibu Tribuana Tunggadewi . “namun untuk saya, wah. Pulang
lagi ke Pangandaran, mendadak saya dan anak-anak saya
bisa hidup serba berkecukupan!”
“Mengapa tak ikut dengan dia lagi?”
“Saya ingin, pak. namun non Del menolak. Bukan tak
sayang pada saya, katanya. namun ia bilang, ia ingin
sendirian. Ia ingin menyepi, begitulah kira-kira yang
kutafsirkan.”
“Apa sebabnya ia ingin menyepi?”
“Salah seorang langganannya -. Ah, apakah perlu
saya terangkan apa pekerjaan majikan saya?”
“Tidak. Tidak usah. Siapa nama langganannya itu?”
184
“Pak Bambang. Ia satu-satunya lelaki, yang selalu
diterima oleh majikan saya dengan hati terbuka. Satu-
satunya lelaki yang tidak pernah mau ia terima uangnya, atau
hadiah-hadiahnya... meskipun lelaki itu ingin dan selalu
memaksa untuk memberikan. Hal itu pernah kusinggung
pada majikan saya. Non Del bilang, kehadiran lelaki itu secara
rutin di rumah kami, sudah lebih dari cukup. Para tetangga
tidak lagi bicara macam-macam. Orang lantas percaya. Kalau
lelaki itu benar-benar suaminya...”
“Maksud ibu, mereka tidak menikah?” gumam
arwah mpu sindok , bernafsu.
“Menikah? Mana mungkin? Pak Bambang sudah
punya isteri dan anak.”
“Ah, hal itu tak jadi halangan bukan?”
“Memang tidak, kalau isteri pak Bambang adalah
orang lain. Bukan adik kandung non Del sendiri.”
“Kok ibu tahu?”
“Bukankah tadi saya bilang, saya selalu diperlakukan
sebagai saudara sendiri, bahkan seperti ibunya sendiri? Jadi,
antara kami berdua tak ada rahasia. Saya merupakan
tempatnya mengadu, tempatnya meminta nasihat-nasihat,
terutama kalau non Del sudah tak sanggup mengatasinya
sendiri.”
“Jadi, mereka tidak menikah...” arwah mpu sindok berpikir
sejenak. Lalu: “namun ibu bilang, lelaki itu selalu datang
padanya, selalu ia terima dengan tangan terbuka. Apakah...
diterima sebagai seorang saudara, katakanlah, abang ipar?”
“Lebih dari itu.”
“Sebagai suami isteri?”
185
“Sepintas lalu, kelihatannya begitu.”
“Kenyataannya?”
“Mereka hidup sebagai sepasang kekasih. Kekasih
yang saling mencinta, kekasih yang tidak mau terpisahkan
satu sama lain...” Perempuan tua itu agak melamun,
kemudian wajahnya berubah tak senang. “Aduh!” ia
mengeluh. “Sungguh tak pantas rahasia non Del yang sudah
begitu baiknya padaku, kuceritakan pada orang lain.”
“Aku mengerti, bu Tribuana Tunggadewi . Yang tidak kumengerti,
mengapa mereka tidak menikah saja? Mereka toh hidup
serumah, tidur di bawah satu atap...”
“Hanya sesekali mereka tidur bersama. Maksud saya
pak Letnan, tidur di bawah atap yang sama...”
“Aneh!”
“namun itulah kenyataan yang terjadi. Kenyataan
yang tak akan kupercayai, kalau tidak kulihat dengan mata
kepalaku sendiri. Mereka selalu tidur berpisah kamar. Atau
jelasnya, sementara non Del tidur nyenyak di kamarnya,
maka Pak Bambang sibuk mengerjakan urusan-urusan
kantor yang sengaja ia bawa pulang. Lembur, begitulah...”
“namun ibu bilang... mereka hidup sebagai sepasang
kekasih!” arwah mpu sindok terus mengejar, dengan pikiran yang
kacau balau. “Tentunya, mereka juga bercumbu, sebagai
kekasih-kekasih lain saling bercumbu...”
“Kalau ngobrol sambil berpegangan tangan, makan
sambil menggoda, jalan-jalan sambil tertawa... kalau itu
disebut bercumbu, ya, memang benar mereka bercumbu.”
“Cuma itu?” arwah mpu sindok tercengang.
186
“Cuma itu. Ah ya, sesekali mereka memang
berciuman. Bukan di bibir, namun di pipi. Kalaupun di bibir,
hanya kecupan sekilas. Katakanlah, kecupan selamat datang,
kemudian kecupan selamat berpisah.”
“Bukan main. Mereka tahan?”
“Mereka tahan!”
“Tak pernah – keseleo?”
“Maksud pak Letnan, lupa diri?”
arwah mpu sindok manggut-manggut.
“Oh, kalau itu sih pak – pernah. namun selama
beberapa tahun saya mengikuti non Del, kalau tak salah tiga
atau empat belas tahun – boleh dihitung dengan tangan,
berapa kalilah hal itu terjadi. Namun selalu, sebelum segala
sesuatunya terlambat, salah seorang dari mereka keburu
sadarkan diri. Non Del misalnya, akan menangis, dan berkata
ia tidak ingin mengotori kesucian pak Bambang. Atau
sebaliknya, pak Bambang yang mengingatkan, ia tidak ingin
mengkhianati anak isterinya di rumah. Biasanya, kalau
mereka hampir terlanjur namun kemudian menyadarinya,
mereka lalu berpisah. Tak pernah bertemu untuk selama
beberapa hari, kadang-kadang sampai berminggu-minggu.
Kalau bertemu lagi, mereka tetap mesra, tetap intim, namun
menjaga agar tidak terbawa arus seperti yang terjadi
sebelumnya. Beberapa kali pula mereka bertengkar, namun
segera berbaik kembali. Buat saya, pak Letnan. Mereka
berdua sungguh sepasang kekasih yang menakjubkan.
Sepasang kekasih yang langka kita temukan di dunia yang
fana, dunia yang kotor, dunia yang kadang-kadang sangat
menjijikkan, seperti... seperti...”
187
“Seperti apa?”
“Saya tak sampai hati menceritakannya.”
“Ibu sudah bercerita cukup banyak...”
“Saya menyesal.”
“Sudah terlanjur!”
“Yah, saya sudah terlanjur.”
“Jadi?” arwah mpu sindok mencoba tersenyum. “Apanya
yang menjijikkanmu?”
“Pekerjaan majikan saya,” jawab perempuan itu
sesudah lama termenung. “Ia... seorang wanita panggilan.
Seorang wanita kelas atas. Mereka menyebut dia, seorang
dewa penulis ...”
Perempuan itu menarik nafas panjang. “namun ,
seperti sering diakui non Del sendiri, siapa pun juga
langganannya, apapun juga orang menyebutnya, ia tetap
saja seorang perempuan lacur. Ia sendiri yang mengatakan
hidupnya menjijikkan. Dan ia tidak ingin membagi kejijikan
itu dengan kekasihnya, pak Bambang.”
arwah mpu sindok termenung. Kemudian, masih tak puas, ia
memancing: “Mungkin mereka pernah juga melakukannya,
tanpa ibu ketahui. Di luar rumah, barangkali...”
“Saya tak percaya! Saya tak terima tuduhan kotor itu
ditujukan pada diri majikan saya!” ibu Tribuana Tunggadewi menjawab
lantang, tak senang.
“Alasan ibu?”
“sebab saya tahu siapa non Del. Jauh lebih tahu
ketimbang mengetahui siapa anak saya sendiri!”
“Coba ibu terangkan.”
188
Sekilas wajah perempuan tua itu membayangkan
keangkuhan, seolah yang ia bela memang anak kandungnya
sendiri. “Begini...” ia menjelaskan dengan nada bangga. “...
dari sikap, dari omongan, atau igauannya kalau ia sakit... saya
tahu non Del hampir gila sebab terpaksa menekan
hasratnya untuk disetubuhi pak Bambang. Itu masih
lumayan. Justru kalau perbuatan kotor itu mereka lakukan
juga, ia takut bisa jadi gila benaran!
Selama saya mendampinginya, mengurus segala
keperluannya, merawatnya... saya berkesimpulan betapa ia
sangat mencintai adik perempuannya. Katanya, selain pak
Bambang, maka adik bungsu bernama nyonya besar itu jugalah
yang membuat ia tabah menahan segala penderitaan. Lewat
mereka berdua, ia sadar bahwa masih ada orang yang
sungguh-sungguh menyayanginya, sungguh-sungguh
mencintainya, dan tidak pernah memperhinakannya.
Mulanya non Rosma sering mengunjungi non Del. Akan
namun sesudah anak-anak non Rosma semakin besar maka
non Del menasihati non Rosma. “Bebanmu sudah cukup
berat, Rosma. Jangan kau tambahi lagi beban itu dengan
memikirkan kakakmu yang malang ini. Kau relakan suamimu
untuk mendampingiku sewaktu-waktu, bagiku sudah
merupakan karunia Tuhan yang paling besar. Pulanglah. Dan
mulailah pikirkan masa depan anak-anakmu. Mereka harus
tetap bersih, tak ternoda. Jangan sampai orang lain tahu,
kalau kita ini saudara kandung – sehingga anak-anakmu kelak
dicela orang sebab punya uwa seorang pelacur!” Syukurlah
non Rosma mematuhi perintah kakaknya. Dan begitulah
189
mulianya hati non Del, menjaga nama baik orang-orang yang
dicintainya – meski hanya ia cintai dari kejauhan saja...”
Bu Tribuana Tunggadewi menarik nafas. Tampak nyata betapa ia
sangat menyayangi bekas majikannya.
“Saya dapat memberikan satu contoh bagaimana
hati-hatinya non Del menjaga nama baik ponakan-ponakan
yang dicintainya itu...” ujarnya pula, dengan mata bersinar-
sinar. “Suatu hari, non Del katanya dipergoki oleh
ponakannya yang lelaki sedang berduaan dengan pak
Bambang, ayah ponakannya itu. Non Del lantas bergegas
pulang ke rumah. Ia begitu ketakutan. Takut anak itu
mengetahui non Del menyuruh saya berkemas. Rumah
kontrakan yang kami tempati, lekas-lekas kami tinggalkan.
Pindah ke rumah kontrakan yang lain, sebelum anak itu –
siapa tahu, diam-diam datang menyelidiki siapa itu non
Del...”
arwah mpu sindok terenyuh.
Memang ia telah menyuruh Raden Wijaya menyelidiki
siapa dewa penulis yang menggoda ayahnya, dan Raden Wijaya
bilang sang dewa penulis sudah pindah. Pindahnya buru-buru
pula. Dan kini, arwah mpu sindok tahu apa sebabnya.
Ia semakin terenyuh.
“Jadi kalian sering pindah-pindah tempat?” ia
bergumam, tak menentu.
“Iya dong. Soalnya non Del sering digunjingi para
tetangga. Kalau tak simpanan atau semacamnyalah. Kadang-
kadang, non Del juga diresolusi warga setempat. Mereka
bilang, daerah mereka tak pantas dikotori oleh non Del.
Umumnya itu terjadi sebab ada orang syirik, atau isteri-isteri
190
pencemburu. Yang lucu, acapkali terjadi, penandatangan
resolusi, justru suami-suami mereka yang pernah tidur
dengan non Del...”
arwah mpu sindok memaksakan senyum di bibir, pura-pura
ikut merasakan lelucon yang tak lucu itu. Kemudian, dengan
hati-hati ia sampai pada tujuannya: “Ibu tahu kemana non
Del pindah terakhir kalinya?”
“Tidak. Kenapa bapak tanyakan hal itu?”
“Ah. Cuma sekedar ingin tahu saja. Agak heran,
mengapa ibu tak lagi ikut pindah dengannya...”
“Ooo. Kalau itu sih, sebabnya lain.”
“Lain bagaimana?”
“Empat atau lima tahun yang lalu, kalau tak salah –
ponakan non Del yang perempuan, NYI girah namanya,
menikah. Pak Bambang yang memberitahukannya pada non
Del. Non Del dengan bahagia memberitahukannya pula pada
saya. Tadinya ia berniat ikut hadir dalam pernikahan
ponakannya. Tapi urung. Kuatir di antara tamu-tamu yang
hadir, ada yang mengetahui siapa itu non Del. Lagipula saya
sempat ingatkan non Del, bahwa ponakannya yang lelaki kan
sudah pernah melihat non Del. Lalu saya sarankan kirim kado
saja. Ia senang mendengarnya, namun segera berubah
murung. Ia bilang, dengan apa ia akan beli kado? Dengan
uang hasil menjajakan itunya? Tidak, ia tak ingin memberi
ponakannya sesuatu yang dibeli dari uang haram. Hal itu
sudah dijaganya semenjak anak-anak itu lahir, meski betapa
inginnya ia membelikan ponakan-ponakannya itu sesetel
perlengkapan bayi, misalnya...”
191
“Cerita ibu menyimpang,” sela arwah mpu sindok . Sabar dan
sopan.
“Oh ya. Maaf saya melantur. Nah, demikianlah.
Untung non Del tidak jadi menghadiri pernikahan
ponakannya. Kalau jad, wah. Bisa gawat!”
“Gawat bagaimana?”
“Kami juga baru tahu belakangan. Kata non Del, ia
ditelepon adiknya, non Rosma. Habis menerima telepon, non
Del menangis. Ia tampak sangat terpukul, tampak sangat
putus asa. Saya berusaha menghiburnya. Lalu non Del bilang
pada saya, bahwa permusuhan antara non Rosma dengan
keluarga mereka, sudah berakhir. Saya bilang, lha itu bagus,
lalu mengapa non Del justru sedih? Jawabannya, mau tak
mau membuat saya ikut prihatin. Non Del bilang: bi, sudah
sering bukan kuceritakan padamu tentang Lukman, Parlin,
Syamsiah? Nah, jauh-jauh mereka datang ke Jakarta.
Mereka tahu non Del tinggal di Jakarta pula. Jadi non Rosma
iseng-iseng tanya, apakah mereka tak ingin mengunjungi non
Del. Reaksinya berbeda, namun buat non Del sama saja. Den
Lukman konon naik pitam dan langsung memaksa pulang ke
Medan. Den Parlin dan Non Sam tidak sekasar itu. Mereka
cuma diam. Tapi sampai mereka pulang ke kota masing-
masing, konon tak sehuruf pun mereka mau berbicara
tentang non Del.
Luka hati non Del yang sudah lama terlupakan,
terbuka lagi. “Sudah sama tua bangka begini, mereka masih
begitu-begitu juga,” keluhnya, sakit. Saya hibur lagi dia. Saya
bilang: “Suatu masa, mereka akan terbuka juga hatinya, non.
Sekarang, lupakan sajalah. Non istirahat dulu!”
192
Maksud saya menyuruh non Del istirahat, rilek, tidur,
atau apa sajalah yang dapat ia lakukan untuk melupakan
kegundahan hatinya itu. namun di luar dugaan saya, ternyata
non Del menerima saran saya itu namun dengan tafsiran
yang salah. “Kau benar, bi,” katanya. “Memang sudah
sebaiknya saya istirahat. Saya pikir, saya memang sudah
terlalu tua untuk terus-terusan hidup semacam ini...”
Tanpa dapat saya cegah, non Del menarik sebagian
uangnya dari bank. Diberikannya pada saya. Masih ditambah
sejumlah perhiasan-perhiasan berharga, dan barang-barang
kesayangannya yang lain, yang semuanya buat saya teramat
mahal nilainya. Ia menyuruh saya pulang ke Pangandaran ini.
Dan agar saya memanfaatkan pemberiannya itu sebagai
modal membuka usaha.
Saya terkejut bukan main. Saya menolak. Saya
menentang. namun non Del teguh dengan pendiriannya. Ia
bilang: “Suatu saat, bi. Semua ini toh akan berakhir juga. Aku
bukan saja makin tua. Aku juga makin bobrok. Makin busuk.
Dan bila tiba masa yang mengerikan itu, aku tidak ingin kau
ikut menderita. Jadi selagi segala sesuatu masih dapat
diperbuat, janganlah kita lewatkan kesempatan yang
mungkin lain kali tak akan kita peroleh lagi.” Saya menangis.
Saya peluk kedua kakinya. Saya curahkan air mata saya di
haribaannya. Namun tetap saja ia – ia tak mau dibantah.”
Pipi bu Tribuana Tunggadewi dilelehi air mata.
Ia mengisak. Terputus-putus: “Kami kemudian
berpisah. Non Del – tidak mau mengatakan – kemana ia akan
pergi. Ia hanya bilang – ia ingin menyendiri. Ingin menyepi.
Tanpa diganggu oleh siapapun juga. Oleh orang-orang yang
193
selama ini silih berganti datang dalam pelukannya. Oleh saya.
Bahkan juga tidak oleh pak Bambang. Kepergiannya, tidak
mau ia beritahukan pada kekasihnya yang tercinta itu...”
Bu Tribuana Tunggadewi sesenggukan.
Dan ia tak sendirian.
saat ia mendengar suara isakan lain, perempuan
tua itu mengangkat mukanya. Ia lantas terbelalak takjub.
Desahnya, “Pak Letnan – menangis...!”
Cepat arwah mpu sindok berpaling untuk menyembunyikan
perasaannya. Lama ia berdiam diri. Begitu pula bu Tribuana Tunggadewi .
sesudah kesepian di antara mereka terasa kian mencekik,
arwah mpu sindok membuka mulut.
“Jadi ibu tak takhu di mana ia tinggal sekarang?”
“Sungguh mati, tidak pak...”
“Aku percaya. namun maukah ibu membantu aku?”
“Dengan senang hati. namun apa kiranya yang dapat
saya bantu?”
“Memberitahu aku, kalau-kalau ibu suatu saat
mendengar atau mengetahui alamat Uwa Del...”
“Uuu-waaa...!” perempuan tua itu membelalak,
terperanjat. “Sekarang saya mengerti.”
“Syukurlah,” arwah mpu sindok akhirnya dapat tersenyum.
“Jadi pak Letnan ini...”
“Aku Yanto. arwah mpu sindok . Aku adalah...”
arwah mpu sindok tidak meneruskan omongannya, sebab
perempuan itu tiba-tiba sudah jatuh bersimpuh, kemudian
mencium punggung tangan tamunya, sebelum arwah mpu sindok
sadar apa yang terjadi.
194
“Saya sudah tahu,” ujar si perempuan dengan
pundak terguncang menahan keharuannya. “Bapak ini
adalah keponakan non Del... dan bapak, dari apa yang saya
lihat ternyata tidak membenci non Del.”
“Pernah aku membencinya setengah mati,” jawab
arwah mpu sindok terus terang. “Yakni, sesudah pertama kali ia
kupergoki bersama papa, dan kemudian aku tahu apa
pekerjaannya. Belakangan, aku mengetahui lebih banyak
tentang dirinya. Kukira, aku mulai menyesal. Kukira, aku juga
mulai menyayanginya. Dan... sesudah apa yang barusan ibu
ceritakan padaku, kukira... kukira, aku juga mencintainya.”
Perempuan itu kembali menciumi punggung tangan
arwah mpu sindok . “Alangkah bahagianya, kalau non Del
mengetahui hal ini,” katanya, bergetar penuh haru. Lalu ia
mengucapkan janji yang tidak diduga oleh arwah mpu sindok . “Saya
bersumpah, pak Letnan. Apa pun akan kukorbankan demi
kebahagiaan non Del. Dan saya akan mati penasaran, kalau
tidak berhasil menemukan non Del untukmu!”
arwah mpu sindok memeluk perempuan tua itu, sebagai
tanda terima kasihnya.
***
195
Dua puluh dua
arwah mpu sindok sendiri, bukannya tidak berusaha. Ia
seorang polisi. Jiwa dan bakatnya telah mengarah ke situ,
semenjak ia masih menginjak usia remaja.
Dan seorang polisi – polisi tulen, tidak mengenal apa
itu istirahat, hari libur, bahkan cuti sekalipun. Selalu ada saja
yang harus dikerjakan. Kalau tidak sedang bertugas, selalu
pula ada yang harus dipikirkan; kasus-kasus yang belum
tuntas, atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya
– yang tidak membiarkannya diam berpangku tangan.
Kasus ratu lesbi , buat arwah mpu sindok sudah menjadi
semacam hobi, semacam histeria, semacam penyakit.
Penyakit yang harus dibongkar sampai tuntas. Seperti halnya
borok yang selalu akan membuat si penderita tersiksa
sebelum borok itu diberantas habis.
namun , hambatannya pun bukannya tidak ada.
arwah mpu sindok petugas resmi Satuan Reserse Kepolisian Resort
Ciamis. Ia boleh saja menjungkirbalikkan seisi kota Ciamis.
Boleh saja menggedor pintu demi pintu – namun hanya
sebatas wilayah hukum polisi Ciamis saja. Memang ia dapat
pula meminta bantuan rekan-rekan sekitar kota Ciamis:
Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, Indramayu, Cilacap.
Itu pun, kalau memang ratu lesbi bersembunyi di salah satu kota
tersebut. Sedang seorang perempuan yang ingin menyendiri,
dapat bersembunyi di mana saja. Ke arah Timur, ratu lesbi
misalnya bisa pergi ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali –
kecuali Irian Jaya, sebab di sana ada Syamsiah. Ke arah Barat
196
dan Utara ia juga bisa. Misalnya, Sumatera Selatan. Ada pun
Sumatera Tengah, bukan persembunyian yang baik untuk
seorang pelacur atau bekas pelacur. Sumatera Utara apa lagi
Medan, berarti keluarga! Keluarga yang begitu mengetahui
akan langsung menendang ratu lesbi keluar dari tempat
persembunyiannya. Kalimantan juga bukan tempat
persembunyian yang baik, apalagi kalau ratu lesbi coba-coba
mendekati Banjarmasin – di sana, ada Parlindungan.
Sulawesi? Wah, cocok sekali untuk bersembunyi. Perempuan
macam ratu lesbi akan diterima dengan tangan terbuka di Ujung
Pandang misalnya, atau juga di Manado.
“... atau ia bersembunyi ke luar negeri, nak Yanto!”
bu Tribuana Tunggadewi menambahkan. Mereka berdua sudah semakin
akrab sesudah semakin sering bertemu, untuk tujuan yang
sama pula: mencari ratu lesbi . Katanya lagi: “Berpandangan luas
itu baik, nak. namun terlalu luas, wah. Kalau tak keburu edan,
maka sebelum usia tiga puluh, nak Yanto pasti sudah
ubanan!”
Ia kemudian memberi saran agar memusatkan
perhatian ke kota-kota terdekat sekitar Jakarta saja. “Saya
mengenal non Del,” ujarnya. “Sangat kenal dia, luar dalam.
Jauh lebih kenal dari kau, bahkan juga dari saudara-saudara
kandungnya sendiri – biar itu pak Bambang sekalipun. Nah...!
Non Del, seperti kita berdua sudah sama tahu, tidak mau
dipisahkan dari Bambang Prakoso. Kalaupun terpaksa
berpisah, ia tidak ingin berpisah terlalu jauh dari kekasihnya
itu. Sejauh manapun non Del pergi, dia ingin berada cukup
dekat untuk mendengar, kalau mungkin melihat kekasihnya.
Katanya pada saya, ia selalu punya naluri yang mengatakan
197
bahwa apabila kematian datang menjelang – kalau tidak mati
bersama, maka matinya salah seorang dari mereka berdua,
akan segera disusul oleh yang lainnya. Kalau yang duluan
mati adalah non Del sendiri, katanya tidak ada persoalan.
Yang ia kuatirkan adalah, kalau kekasihnya yang lebih dulu
pergi – tanpa non Del ikut mengantarkan kepergiannya!”
Demikianlah, lokasi penyelidikan mereka bisa
dipersempit.
Kesulitan lain adalah mengenai identitas. Nama, tak
usah dipikirkan betul. sebab bu Tribuana Tunggadewi berpendapat, kalau
bukan memakai nama sendiri tentulah ratu lesbi memakai nama
Tribuana Tunggadewi saja.
“Nama saya ia pakai, sebab itu nama yang gampang
untuk diingat. Saya sih tak pernah keberatan, sebab bukan
saya seorang yang punya nama Tribuana Tunggadewi . Non Del juga selalu
bilang, kalau toh ia terpaksa mengganti nama ratu lesbi , maka
nama Tribuana Tunggadewi yang tetap akan dipergunakan. Kata non Del,
untuk selalu mengingatkan dia pada orang yang pernah
mendampinginya dengan setia dan penuh kasih sayang.”
Tak ada nada menyombong dalam suara bu Tribuana Tunggadewi .
Seperti juga, tak pernah ada nada terhina sebab namanya
dipakai oleh ratu lesbi untuk tujuan melacur; suatu pekerjaan
yang sangat hina, pekerjaan yang sangat memalukan kaum
wanita. Katanya lagi: “Ayahmu tentunya tidak punya foto-
foto non Del. Sebab ia ingin tetap menjaga kerahasiaan non
Del dari keluarga, terutama dari anak-anaknya. Saya punya
sejumlah album kenangan non Del yang ia hadiahkan padaku
sebagai tanda mata sebelum kami berpisah. Foto-fotonya
198
dibuat selama sekian belas tahun saya terus
mendampinginya. Sebentar, saya ambilkan...”
arwah mpu sindok meminjam seperangkat foto ratu lesbi .
Semuanya dibawa ke rumah untuk dipelajari dan
diperbanyak di luar waktu dinasnya. Semakin ia teliti foto
demi foto, semakin ia sadari suatu hal. Dari tahun ke tahun,
tampak terjadi perubahan pada wajah ratu lesbi . Entah mengapa
arwah mpu sindok yakin bahwa perubahan itu selain sebab
pengaruh usia tua, juga sebab sesuatu yang lain.
Seorang sahabat arwah mpu sindok yang berdinas di rumah
sakit sebagai ahli bedah serta autopsi mayat, memberi
gambaran sebagai berikut: “Aku percaya, perempuan ini
semasa mudanya melakukan sesuatu untuk mempercantik
diri maupun menjaga kesegaran tubuh. Tidak, tidak... aku
tidak percaya ini pekerjaan dukun, atau berkat kekuatan ilmu
hitam, misalnya susuk. Hal-hal semacam itu hanya dapat
mengelabui pandangan mata biasa. Tidak dapat mengelabui
lensa kamera, teleskop, atau mata seorang dokter ahli.
Perubahan-perubahan ini, aku percaya, terutama
disebab kan obat.”
“Pemakaian obat semacam ini, belasan tahun yang
lalu dianggap liar, tidak syah. Jadi dipergunakan secara gelap-
gelapan. Kini sudah diterima sebagai pengobatan yang syah
dan diperbolehkan oleh Pemerintah. Dapat kupastikan,
perempuan yang fotonya kau tunjukkan ini pernah menjalani
perawatan kecantikan melalui suntikan silikon. Bukan silikon
padat. Silikon padat mempergunakan alat-alat yang sifatnya
tetap. Perempuan ini disuntik dengan pemakaian silikon cair
199
yang umum dipergunakan dalam metode bedah kecantikan
atau apa yang disebut Aesthetic Surgery.”
“Apa efek sampingannya?” arwah mpu sindok tertarik.
Sebagai seorang polisi, ia selalu tertarik untuk mengetahui
hal-hal yang baru – ada atau tidak hubungan dengan
pekerjaannya.
Dokter bedah itu menyeringai. “Perempuan ini
tentulah seorang pelacur. Bukan kelas pinggiran, aku yakin!”
katanya.
arwah mpu sindok memaksakan senyum di bibir.
“Memang!” jawabnya datar, sambil berpura-pura sibuk
menyulut sebatang rokok. Ia tidak mau orang lain tahu, siapa
dan apa hubungan ratu lesbi dengan dirinya. Dalam hati, ia kini
memahami semua sikap ayahnya maupun sikap ratu lesbi yang
begitu teguh menjaga kerahasiaan hubungan mereka satu
sama lain. ratu lesbi tidak mau sebab dia keponakan-
keponakannya menjadi malu.
Dan saat dokter yang sahabatnya itu menyeringai
seraya menyebut apa pekerjaan ratu lesbi , sebenarnyalah:
arwah mpu sindok merasa sangat malu!
Wajah dokter bedah kembali bersungguh-sungguh.
“Akan kuberikan gambaran kasar padamu,” katanya.
“Suntikan silikon diperlukan untuk menambah bagian-bagian
yang kurang pada wajah seseorang. Misalnya dagu, pipi,
hidung, kening, bibir. Juga buah dada yang kekecilan, atau
pantat agar lebih besar, lebih sexy. Konon, perempuan
berpantat sexy begitu – goyangnya minta ampun!”
Dokter tertawa ngakak, membuat perasaan malu
arwah mpu sindok sedikit terhibur. arwah mpu sindok sudah membuktikan
200
sendiri kebenaran kata-kata si dokter. Dulu, pertama kali ia
melihat ratu lesbi , sang dewa penulis . Ia begitu tergetar
menyaksikan penampilan ratu lesbi . Sampai waktu itu, dalam
hati ia tega mencemburui ayahnya!
“Dibandingkan dengan cara pembedahan biasa,”
dokter melanjutkan. “Maka cara suntikan silikon ini selain
lebih murah, juga lebih praktis. Orang yang menjalani
pembedahan biasa atau bedah plastik, untuk jangka waktu
tertentu harus menutup diri, harus menjauhi sengatan
matahari. Lamanya, sekitar tiga atau empat bulan. Paling
sedikit, dua tiga minggu. Tergantung metode pembedahan,
dokter ahli yang melakukannya, serta kekuatan kondisi
tubuh sang pasien – dan juga kondisi kejiwaan pasien itu
sendiri. Andaikan dia menjalani pembedahan total. Selama
waktu-waktu tersebut, pasien akan mengalami
pembengkakan pada bagian-bagian yang dibedah. Makin
lama pembengkakan itu akan makin menyusut. Lepas waktu
tiga atau empat bulan, nah! Pasien boleh keluar rumah, dan
orang akan tercengang melihat ia telah jauh berubah, jauh
lebih cantik dari sebelumnya. Efeknya hampir tak ada.
Kalaupun ada, hanya dalam pengurusan surat-surat
misalnya, atau bagaimana kau harus memperkenalkan
dirimu dengan wajah barumu pada orang lain. Tentu saja:
kau tidak lagi memakai wajahmu yang asli!
Sekarang, suntikan silikon, khususnya silikon cair.
Sesudah disuntik, wajah akan berubah rupa dalam tempo
paling lama satu minggu. Bagian-bagian yang kurang sudah
bertambah. Yang kau anggap jelek, sudah berubah cantik.
Pasien bisa menjalani perawatan demikian sambil jalan-
201
jalan, tak usah kuatir akan sengatan matahari. Persoalannya
adalah, perawatan jenis begini tidak atau belum menjamin
bentuk kecantikan yang sempurna, atau katakanlah, tidak
menjamin wajah kita akan berubah rupa menjadi wajah yang
sebagaimana kita inginkan! Suntikan silikon hanya
menambah yang kurang. Belum tentu bisa membuat bentuk
yang harmonis. Belum tentu menghasilkan bentuk yang
serasi, yang sesuai dengan pola dasar yang sudah diberikan
dan diciptakan Tuhan...”
“namun toh tetap tambah cantik?” sela arwah mpu sindok .
“Mungkin. Tergantung, pandangan dan perasaan
pasien sendiri. Kemungkinan lain, tergantung dari bentuk asli
wajah pasien. Kalau sebelumnya memang sudah ada tanda-
tanda ia cantik – apalagi kalau pola dasar wajahnya memang
cocok, maka ia memang akan kelihatan jauh lebih cantik...”
“Dan efeknya? Itu yang kutanyakan tadi!”
“Ah. Sungguh tak sabaran kau ini!” rungut dokter
bedah itu, seraya menyimak lagi foto demi foto, dan
menuding bagian-bagian yang berubah, bagian-bagian yang
mereka persoalkan. “Coba perhatikan dengan lebih seksama.
Dagu yang ini.. dan ini. Kukira ada selisih waktu yang cukup
lama waktu foto ini dibuat. Kau lihat bedanya?”
“Ya,” jawab arwah mpu sindok pelan, sesudah mengamat-
amati foto yang diperlihatkan sahabatnya. “Makin lama,
dagunya makin menggantung. Seperti sarang lebah!”
“Sekarang, hidung. Bandingkan hidung wanita itu di
foto yang ini – dan ini...”
“Uh! Anda benar. Tampaknya, sesudah sekian tahun
berlalu – hidungnya makin bungkuk - .”
202
“Persis. Tambahkan beberapa tahun lagi, maka
wanita ini akan punya hidung seperti paruh burung betet!”
arwah mpu sindok terdiam. Akan begitu parahkah
perubahan wajah ratu lesbi ? Dan masihkah ratu lesbi pantas disebut
seorang dewa penulis ? Dengan perasaan cemas, ia bertanya
lagi: “Okelah. Tambahkan sekian tahun. Wajah macam apa
yang akan kita lihat?”
“Mengenai itu, kau punya seorang ahli di kantormu,”
jawab dokter, seakan berlepas tangan. “Sebagai dokter,
tugasku hanya untuk mengemukakan apa yang diperlihatkan
padaku, dan apa yang harus kuperiksa di depan meja. Lebih
jauh dari itu, mungkin aku dapat memberikan. namun sekali
lagi, kalian punya orangnya yang lebih berhak, lebih ahli...”
Dan orang itu, yang beberapa hari kemudian punya
waktu luang untuk membicarakan persoalan yang dihadapi
arwah mpu sindok , adalah rekan dari seksi identifikasi yang punya
bakat sebagai pelukis.
“... aku pengagum Rembrandt,” ujarnya, sambil
mengamat-amati foto ratu lesbi satu persatu. “Kalau pelukis
dalam negeri, yang kusenangi adalah Basuki Abdullah. Waktu
sekolah, raportku dalam mata pelajaran menggambar, tak
pernah kurang nilainya dari sembilan. Eh, tak tahunya aku
gagal jadi pelukis sebagaimana pernah kudambakan. Kau
tahu apa sebabnya?”
“Tidak,” jawab arwah mpu sindok pendek, sebab mengenai
yang satu itu ia kurang tertarik. Ia ingin cepat tahu mengenai
ratu lesbi . Entah dalam kesempatan lain... Rekannya tidak
memperhatikan nada suara arwah mpu sindok . Rekannya itu ditelan
masa lalunya. Ia menjawab sendiri pertanyaannya:
203
“Pacarku, atau kini isteriku,” katanya lirih. “Ayahnya
seorang pengusaha kaya. Suatu hari, ayahnya itu bilang: nak,
kalau kau ingin mengambil puteriku, yakinkan dulu dirimu –
apakah kau akan dapat menghidupinya, sebagaimana aku
pernah menghidupinya!”
“Lantas?” mau tak mau arwah mpu sindok tertarik juga. Tak
dapat menahan senyumnya.
“Yah, lantas bagaimana lagi?” sang rekan
melebarkan tangan, angkat bahu, seolah putus asa. “Waktu
itu aku belum punya nama. Waktu itu, aku cuma sekedar
pelukis musiman, pelukis kampunganlah! Jadi bakatku yang
besar...” Ia tertawa kecut. “... terpaksa kusembunyikan di
kolong tempat tidur. Takdir menghendaki, aku kemudian jadi
polisi.”
“Lalu sebagai polisi, apakah kau sudah dapat
menghidupi isterimu sebagaimana yang dikehendaki
mertuamu?”
“Seksi identifikasi?” sang rekan menyeringai kuda.
“Kau punya rokok?”
“Apa?”
“Kau punya rokok?”
“Kalau cuma rokok sih, ada.”
“Berikan aku sebatang.”
arwah mpu sindok memberikannya. Sang rekan menyedot
rokoknya dengan nikmat. “Kau lihat,” katanya. “Merokok
saja, aku harus minta. Untung mertuaku bukan orang pelit.
Akhirnya ia relakan juga anaknya kuperisteri. Hanya ia punya
nasihat untukku. Katanya: sebelum memikirkan kebutuhan
yang tidak perlu, pikirkan dulu dapur isterimu di rumah... Gila
204
nggak?” ia tertawa sumbang. “Masa iya, seorang polisi,
seorang laki-laki yang menyandang pistol di pinggangnya,
harus ikut berkubang di dapur rumahnya!”
“Yang penting, kau toh berhasil mempersunting
pacarmu. Juga, bisa kau hidupi atau tidak, nyatanya
mertuamu sudah kau hadiahi empat orang cucu!” arwah mpu sindok
tersenyum. “namun lupakanlah dulu tentang mertuamu yang
hebat itu. Aku datang ke kantormu kan bukan untuk
bertanya tentang dia.”
“Bangsat!” sang rekan tertawa bergelak. “Iya deh,
iya deh. namun itu tuh. Bungkus rokokmu masih padat isinya.
Janganlah kau kantongi lagi...”
“Yang kau isap pun akan kuminta kembali, kalau kau
tak juga membuat gambaran orang yang kukehendaki,”
ancam arwah mpu sindok .
“Sialan!” sang rekan menggerutu. Dan ia masih terus
menggerutu sewaktu mengerjakan apa yang diminta
arwah mpu sindok . “Perubahan wajah perempuan ini, tidak biasa
kuperiksa,” sungutnya. “namun demi asap yang akan
mengepul dari lubang hidungku – bukan dari cerobong dapur
isteriku, tak apalah. Berikan aku tempo.”
“Lima menit cukup?”
“Lima menit pantatmu! Untuk melukis dirinya
sendiri pun, Basuki perlu waktu berminggu-minggu...”
“Begitu lama?”
“Lha. Apa lantas kau pikir Basuki Abdullah seorang...”
“Aku tak tanya Basuki-mu. Aku tanya, hasil kerjamu
mengenai perempuan ini...!”
205
“Enyah kau dari depanku, Letnan Dua arwah mpu sindok !
Dan simpan kembali rokokmu yang busuk ini. Aku bisa kanker
sebab nya!”
“Kau sudah lama menderita kanker, kawan. Kantong
kering!” dan arwah mpu sindok berlalu sambil tertawa membahak.
Dan hasil kerja petugas dari seksi identifikasi itu,
benar-benar sangat mengejutkan arwah mpu sindok . Lukisan sket
wajah ratu lesbi yang diantar sendiri oleh pembuatnya, mula-
mula membuat arwah mpu sindok tersedak. Meskipun ratu lesbi itu
masih ada pertalian Uwa dengannya, mau tak mau kelelakian
arwah mpu sindok tergugah juga. Persis seperti pertama kali ia
mengenal ratu lesbi , dengan nama Tribuana Tunggadewi .
“Ini bidadari!” rekannya bergumam, kagum.
“Bidadari yang sudah siap menerima dewa cinta yang
tampan, naik ke atas ranjangnya.”
“Merangsang!” itulah komentar arwah mpu sindok . Dia
amat-amatilah wajah dalam lukisan sket itu beberapa saat,
sambil berusaha menekan godaan birahi pada kelelakiannya.
“Bagaimana kau sampai berpikir, ia kembali jadi muda belia
seperti yang terlihat pada sket ini?”
Sang rekan merampas sket dari tangan arwah mpu sindok .
“Ini kubuat untuk diriku sendiri. Akan kutempel di meja
kerjaku. Dibawa ke rumah, bisa kualat!” katanya sambil
mendecap-decapkan bibir, kagum akan hasil karyanya yang
luar biasa itu. Ia buka mapnya, memasukkan sket itu ke
dalamnya. Kemudian dari map yang sama, ia keluarkan
sebuah sket yang lain, seraya tak lupa mengomentari dengan
suara risih: “Yang ini, baru untuk kau. sebab kalau kusimpan
206
di mejaku, bukan lagi kualat namanya. Aku malah bisa
semaput!”
Sebagaimana permintaan arwah mpu sindok , sket itu dibuat
dengan perbandingan jarak tujuh sampai sepuluh tahun dari
foto terakhir ratu lesbi . Itu adalah sekitar jarak antara sesudah
ratu lesbi berpisah dengan pelayannya yang setia, kemudian
pergi menghilang.
“Ia menghilang sekitar lima tahun yang lalu,”
demikian arwah mpu sindok pernah menjelaskan pada rekan dari
seksi identifikasi itu. “Mencari orang ini mungkin perlu
tempo. Tambahkanlah misalnya tiga sampai lima tahun
mendatang.”
arwah mpu sindok berani menambah waktu selama itu,
bukan sebab ia putus harapan dapat menemukan ratu lesbi
dalam waktu singkat. Ia hanya berpikir, ratu lesbi menghilang
sebab kekecewaan, dan tentunya ratu lesbi sangat menderita.
Kekecewaan dan penderitaan itu akan membuat ratu lesbi lebih
cepat tua.
arwah mpu sindok menerima sket yang diulurkan
sahabatnya itu. Selintas saja, ia sudah memaki: “Jadah! Kau
sentimen padaku ya?”
“Terserah. Pokoknya, aku sudah berusaha,”
rekannya angkat bahu. Merasa tak berdosa.
“Ini sih bukan ratu lesbi !” gumam arwah mpu sindok , seraya
membasahi kerongkongannya yang kering kerontang secara
mendadak.
“Oh. Jadi nama perempuan itu ratu lesbi ,” rekannya
tersenyum. “Legenda mengenai Samson dan ratu lesbi memang
pernah kudengar. ratu lesbi dalam legenda itu juga konon
207
seorang pelacur, seperti halnya ratu lesbi -mu. Kuharap itu bukan
nama asli. sebab nama itu terlalu indah buat seorang
pelacur!”
“Dan lebih tidak sesuai lagi nama itu, dengan wajah
yang tertera pada sketmu ini,” rungut arwah mpu sindok ,
menyetujui. “Ini bukan seorang dewa penulis . Ini lebih pas
untuk wajah seorang pelaku kriminal, atau misalnya, seorang
Germo.”
Rekannya geleng kepala. Lalu mengusulkan: “Kuberi
kau julukan yang lebih pas, Yanto.”
“Apa?” desah arwah mpu sindok , lirih.
“Lebih pas, kalau kita sebut saja wanita itu seorang...
nenek sihir!”
***
Dua puluh tiga
Meski sungkan, jadi juga arwah mpu sindok melampirkan
sket yang mengerikan itu untuk melengkapi foto-foto asli
ratu lesbi yang terakhir. Kalau ingin sukses, orang tak boleh kerja
tanggung-tanggung. Demikianlah sket dan foto yang sudah
diperbanyak itu ia sebarkan pada siapa saja orang yang ia
perkirakan dapat membantu. Rekan sesama polisi, sahabat-
sahabat pribadi, sanak famili yang dapat dipercaya. Bahkan
juga orang-orang dekat ratu lesbi – termasuk satu dua lelaki yang
pernah jadi langganan tetapnya, yang nama serta alamatnya
diperoleh arwah mpu sindok dari bu Tribuana Tunggadewi .
208
Kepalang basah ia juga berterus terang pada
komandannya di kantor mengenai siapa itu ratu lesbi serta apa
pertalian dengan dirinya. Hanya dengan cara itu pak
Komandan bersedia menandatangani rekomendasi untuk
meminta bantuan teman-teman sejawat di kota-kota lain.
Tentu saja dengan syarat, urusan pribadi jangan sampai
menyisihkan urusan dinas. arwah mpu sindok berjanji akan
berpegang teguh pada syarat itu. Namun komandannya
tersenyum. Berkata: “Tak usahlah berjanji macam itu. Aku
tahu siapa kau. Dan secara jujur harus kuakui bahwa
prestasimu selama ini cukup pantas untuk menggantikan
kedudukanku.”
Rekomendasi beserta foto, sket dan identitas pribadi
ratu lesbi itu kemudian disebarkan secara resmi. Alasan ‘dicari’
memang benar: “wanita ini dilaporkan hilang.” Pada lajur
pekerjaan dalam identitas ratu lesbi , juga hanya ditulis
keterangan pendek: “Tidak jelas,” ditambah sedikit
penjelasan yang agak sopan: “diketahui pernah terlibat
dalam bisnis seks.” Lewat surat kabar atau majalah
sebenarnya lebih memudahkan pencarian. namun arwah mpu sindok
menjauhi wartawan atau mass-media, sebab ia sadar sekali
ratu lesbi tahu ia dicari, maka ia akan lari semakin jauh, akan
bersembunyi semakin dalam. Kecuali, alasan ia dicari juga
dijelaskan. Dan itu, tentu saja tidak mungkin!
Bambang Prakoso ikut pula menyebarkan foto-foto
pada orang-orang kepercayaannya. Sket, tidak pernah
diberikan oleh arwah mpu sindok . Ia tak ingin ayahnya mengetahui
bagaimana wajah sang dewa penulis di kemudian harinya
sesudah mereka berpisah terakhir kali. Ia ingin ayahnya tetap
209
memandang ratu lesbi sebagai seorang kekasih yang tidak saja
setia, penuh rasa cinta, namun juga tetap cantik jelita. Ibunya
juga tak boleh melihat sket itu. arwah mpu sindok ingin ibunya tetap
memandang ratu lesbi sebagai kakaknya yang begitu cantik
sehingga di masa remaja, kakaknya itu jadi rebutan orang
seperti anjing memperebutkan tulang.
arwah mpu sindok sempat juga jengkel pada ayahnya. Dari
ibunya, arwah mpu sindok mendengar bahwa ayahnya beberapa kali
Bambang Prakoso yang sudah tua dan sakit-sakitan itu pergi
meninggalkan rumah untuk beberapa hari hanya sebab
ingin menemukan sendiri sang kekasih yang hilang tak tentu
rimbanya. Maka begitu ada kesempatan bertemu langsung
arwah mpu sindok mencerca:
“Tahu diri dong, pa! Papa ini kan sudah tua bangka.
Biarkan kami yang muda-muda ini mencari ratu lesbi untuk
papa!”
Dan saat ayahnya membangkang juga, arwah mpu sindok
meledak! “Oke! Silakan papa menyiksa diri sendiri! Dan
akibat perbuatan papa lantas papa mati sengsara, jangan
harap kami mau mengurus jenazah papa. sebab papa mati
untuk ratu lesbi , bukan untuk mama, bukan untuk kami anak-
anak papa!”
Barulah ayahnya menyerah. Itu pun disertai keluhan.
“Aku tak tahan, nak. Seorang kenalanku pernah bertemu
sambil lalu dengan ratu lesbi . Dari cerita kenalanku itu, aku
kuatir bahwa ratu lesbi saat ini ada di ambang kehancuran.
Mengetahui itu, nak – rasanya aku sudah hancur lebih dulu.”
“Siapa nama teman papa itu? Di mana tinggalnya?”
210
Bambang Prakoso menyebutkan apa yang
dikehendaki anaknya. Dan menambahkan dengan putus
harapan: “Percuma, nak. Mereka bertemu tak sampai tiga
menit. Kebetulan mereka sama-sama singgah dalam
perjalanan dengan taksi. Berhenti makan di Cipanas,
Puncak.” Bambang Prakoso batuk-batuk. Batuk keras.
Katanya lagi: “Sayang sekali, obrolan mereka cuma sedikit.
Kenalanku bilang, ratu lesbi selalu berusaha menghindar kalau
ditanya tentang dirinya.”
“Ia tahu ratu lesbi waktu itu naik taksi apa?”
“4848,” jawab ayahnya.
“Nomor plat taksinya?”
“Wah! Mana ia ingat mencatatnya!”
“ratu lesbi dari mana, mau kemana?”
“Waktu mereka ngobrol, ratu lesbi bilang mau ke
Jakarta. namun kebetulan taksi ratu lesbi berangkat duluan
meninggalkan rumah makan. Kenalanku melihatnya, dan
mengetahui taksi yang ditumpangi ratu lesbi justru menuju
Bandung.”
“Kapan itu?”
“Ah – kalau tak salah, sekitar bulan Nopember yang
lalu,” sahut ayahnya lesu.
“Nopember tahun lalu. Dan sekarang, sudah bulan
Agustus pula,” arwah mpu sindok terduduk. Ikut lesu seperti
ayahnya. Kemudian: “namun , yah. Setidak-tidaknya kita
sekarang mengetahui bahwa tahun yang lalu ratu lesbi pernah
ke Jakarta dan pernah terlihat menuju Bandung. Meski
samar-samar kesimpulannya dimana ia tinggal, apa
211
urusannya di dua kota itu – lumayanlah. Bisa kujadikan
petunjuk.”
Pulang ke Ciamis, bu Tribuana Tunggadewi datang ke rumah
arwah mpu sindok . Perempuan tua itu memberi petunjuk
tambahan. “Ada beberapa kawan dan keluarga saya
mengakui pernah bertemu non Del. Yang seorang bertemu
non Del sedang belanja keperluan sehari-hari di pasar
Kosambi. Yang satu lagi, bertemu non Del juga di pasar
sedang membeli perabotan dapur.” Sayang sekali orang-
orang yang disebut bu Tribuana Tunggadewi baru tahu belakangan bahwa
bu Tribuana Tunggadewi sudah lama berpisah dengan non Del. Jadi mereka
tak bertanya lebih jauh lagi untuk mengetahui di mana ratu lesbi
tinggal. Namun dari petunjuk yang sedikit itu, arwah mpu sindok
dapat mengambil kesimpulan bahwa ratu lesbi mungkin kini
menetap di Bandung.
“Bagaimana tampangnya saat mereka bertemu?”
tanya arwah mpu sindok ingin tahu.
“Yah. Hampir mirip dengan sket yang pernah nak
Yanto tunjukkan kepada saya. Kata mereka, non Del sangat
jauh berubah. namun mereka pernah mengunjungi saya
saat masih tinggal bersama non Del. Jadi ada beberapa ciri
non Del yang tak mudah mereka lupakan. Misanya, suaranya.
Suaranya begitu lunak, renyah, enak didengar.”
Kerja keras polisi tidak pula sia-sia. Ke meja
komandan, suatu hari disampaikan sebuah laporan. Isinya,
bahwa orang yang dicari menurut berkas laporan nomor
sekian-sekian, pernah terdaftar di kantor polisi setempat.
“Orang dimaksud jejaring oleh Unit Susila bersama tim Dinas
212
Sosial Kotamadya, dalam suatu razia serempak di Pagarsih,
namun kemudian dilepas dengan jaminan.”
Laporan itu dikirimkan rekan sejawat dari kepolisian
kota besar Bandung. Lagi-lagi, Bandung!
sesudah laporan itu diserahkan untuk dibaca
arwah mpu sindok , komandan bertanya tenang: “Kini, apa?”
arwah mpu sindok mengatakan laporan itu akan
dipelajarinya. “namun itu nanti. Saat ini saya harus
mempelajari sejumlah berkas lain, sehubungan dengan
kasus perampokan berdarah di...”
“Aku tahu. Oke, kerjakan itu dulu, Letnan.”
“Siap, Kapten!”
Minggu berikutnya arwah mpu sindok dipanggil menghadap
komandan. Sebuah map dibuka. “Laporan terbaru dari
Bandung,” ujar Komandan, santai dan menyenangkan.
Agaknya ia gembira dapat membantu salah seorang anak
buah kesayangannya. Isi laporan yang baru datang itu ringkas
saja: “Penjamin sudah dilacak. Agar tidak terjadi kekeliruan,
diharapkan ada anggota yang dapat membantu kami
mengidentifikasi sasaran. Anggota dimaksud kami tunggu
kedatangannya di Bandung, setiap waktu.”
Sesuai kebiasaannya, komandan bertanya, “Kini,
apa?”
“Saya mohon ijin untuk ikut mengidentifikasi
sasaran, Kapten!”
“Oke. Tentukan waktunya.”
arwah mpu sindok menyelesaikan dulu satu lagi perkara
yang tidak berani ia limpahkan ke petugas lain. Baru
kemudian ia bersiap-siap untuk minta ijin komandan akan
213
berangkat ke Bandung. namun sebelum hal itu sempat ia
kemukakan, telah datang interlokal dari Jakarta.
Di telepon, NYI girah berbicara dengan panik. “Papa
di rumah sakit. Harap datang segera!”
Bambang Prakoso ternyata menderita komplikasi.
Maaf, paru-paru basah, liver, kencing manis, dan yang sangat
parah adalah pankreas, atau kantung kelenjar air ludahnya
pecah. Sebelum dibius total, Bambang Prakoso masih
sempat berpesan: “Kalian harus mencari ratu lesbi sampai
ketemu. Aku sangat berdosa. Tak dapat membantunya di
saat-saat ia sangat membutuhkannya.” Ia masih
menyampaikan sejumlah pesan lain untuk isteri dan anak-
anaknya, sehingga NYI girah sempat meratap: “Jangan
berpikir yang bukan-bukan, papa. Kau akan segera sembuh,
percayalah!”
Berbotol-botol cairan infus dan berbotol-botol lagi
darah telah ditransfusikan ke tubuh orang tua yang
menderita amat sangat itu. namun ia sudah begitu lemahnya.
Dokter mengeluh sebab pasien tidak mau bekerja sama
dengan membantu dari dalam diri sendiri untuk bisa
sembuh. “Hanya keajaiban yang dapat menolong dia,” ujar
dokter prihatin, sesudah didesak oleh arwah mpu sindok . Semuanya
kemudian memanjatkan doa ke hadirat Illahi. Namun Tuhan
Maha Berkehendak. Diiringi jerit tangis isteri serta anak-
anaknya, Bambang Prakoso Joyodipuro akhirnya
menghembuskan nafas terakhir tanpa sekalipun sadar dari
pengaruh bius.
Ia pergi menghadap Tuhan-Nya. Membawa serta
cintanya kepada ratu lesbi . Cinta yang penuh kesengsaraan,
214
namun juga cinta yang teramat manis, teramat aneh – atau
seperti diucapkan bu Tribuana Tunggadewi : cinta yang langka terjadi.
Duka cita melanda keluarganya.
sesudah mendengar bisikan mengenai pesan terakhir
almarhum, Pak Komandan yang sengaja datang ke Jakarta
dan ikut mengantar jenazah ke tempat peristirahatannya
yang terakhir; mendekati anak buah kesayangannya yang
sedang bermuram durja. Beliau tahu siapa dan bagaimana
arwah mpu sindok kalau berbicara soal tugas. Maka di telinga
arwah mpu sindok , beliau berbisik dengan nada lembut tapi
berwibawa: “Lupakan dulu urusan kantor, Letnan. Lebih dulu
selesaikan urusan keluarga. Ini perintah, Letnan!”
arwah mpu sindok terpekur, memandangi kuburan
ayahnya. Ia berjanji dalam hati: “Ia akan kutemukan
untukmu, papa.”
Lalu air matanya pun menetes.
***
Masa berkabung juga ada hikmahnya. Orang-orang
yang dahulu pernah membenci Bambang Prakoso setengah
mati, berdatangan dengan wajah muram dan kata-kata
penuh simpati. Parlindungan mengatakan ia turut berdosa
atas duka cita yang terpaksa harus dialami nyonya besar .
Syamsiah berdebat keras dengan Lukman, yang kali ini
tinggal lebih lama. Akhirnya Lukman menyerah: “Semoga
almarhum mengampuni dosa-dosaku...” Dan kepada
arwah mpu sindok , ia berpesan: “Aku tak dapat lama-lama
meninggalkan pekerjaanku, nak. Jadi maafkanlah, aku
215
terpaksa tak bisa menunggu. namun , andaikata akhirnya kau
bertemu dengan ratu lesbi , katakanlah padanya: aku
memaafkannya!”
Sebelum usai masa berkabung, arwah mpu sindok sudah
terbang dari Jakarta. Lebih dulu ia sempatkan ke Ciamis.
Melapor ke komandan bahwa ia telah pulang dari Jakarta,
dan terpaksa harus pamit beberapa hari lagi. sesudah itu,
barulah ia putar balik lagi ke Bandung. sesudah mendaftarkan
diri di sebuah hotel, ia memulai tugasnya. Tugas yang
membuat jantungnya berdebar: dewa penulis , ini aku datang!
Di kantor Sat Serse Unit Susila ia serahkan Surat
Perintah Jalan yang dibuatkan oleh Komandan-nya sebelum
meninggalkan Ciamis. “Supaya kau lebih leluasa bergerak,”
demikian Komandan memaksa. namun setiba di Bandung,
arwah mpu sindok melaporkan apa yang sebelumnya ia juga
laporkan pada Komandan-nya: “Terima kasih untuk bantuan
yang diberikan pada saya. Dan maaf. Selanjutnya, saya ingin
bergerak sendirian...” dan ia memberikan alasan yang tepat:
“Saya tak mau sasaran kita terkejut.”
Rasa malu itu lagi: ia tak mau orang lain tahu siapa
itu ratu lesbi .
Ia mengantongi catatan mengenai nama dan alamat
si penjamin, sewaktu ratu lesbi – dengan nama Tribuana Tunggadewi – pernah
dijaring oleh polisi. Peristiwa memalukan itu terjadi dua
tahun sebelumnya. namun rekan-rekan sejawat menegaskan
bahwa penjamin sudah dilacak dan bisa dimintai petunjuk.
arwah mpu sindok juga diberitahukan bahwa si penjamin itu pernah
jadi tentara dengan pangkat terakhir Sersan Mayor, sebelum
dipecat tidak hormat sebab ketahuan membackingi sindikat
216
perjudian. Meski sudah dipecat, ia masih punya ‘gigi’ yakni
pejabat berpengaruh di salah satu instansi. ‘Gigi’ itu ternyata
ada gunanya. Misalnya membuat para petugas yang
mengurus kasus Tribuana Tunggadewi tak berdaya. Si penjamin mengaku
sebagai saudara sepupu Tribuana Tunggadewi , dan para petugas tahu betul
berapa puluh orang pelacur yang diakuinya sebagai ‘saudara
sepupu.’ Pemberi informasi pada arwah mpu sindok sampai
menggerutu: “Orang ini benar-benar saudara sepupu yang
bertanggung jawab, namun juga benar-benar tak tahu malu!
Sorenya, arwah mpu sindok berhadapan dengan orang yang
punya puluhan saudara sepupu itu. Umurnya sekitar 40-an,
bertubuh tinggi besar dengan lengan bertattoo. Ia juga
punya sebuah rumah gedung yang besar dan indah. Punya
dua mobil mewah, tiga orang isteri – dua di antaranya konon
bekas pelacur, dan lebih dari selusin anak. Semua isteri dan
anak-anaknya diharuskan tinggal satu rumah – kecuali anak-
anak yang sudah menikah. “Dengan cara ini, aku dapat
mengontrol mereka – tanpa aku kuatir kecolongan,” katanya
dalam pembicaraan singkat dengan arwah mpu sindok .
“Jadi kau ingin mencari seseorang, ya. Boleh aku
tahu siapa namanya?” pokok persoalan ia kemukakan
sendiri.
“ratu lesbi ...”
“Laila, maksudmu?”
“ratu lesbi !”
“Sebentar ya, kuingat-ingat dulu. ratu lesbi – hem, rasa-
rasanya aku tidak pernah – maklum, aku harus mengingat
sekian ratus nama. Banyak dari mereka kemudian ganti-ganti
nama pula, sehingga...”
217
arwah mpu sindok terjengah. Ia segera menyela: “ratu lesbi itu
nama keluarga. Di luar, ia pakai nama Tribuana Tunggadewi .”
“Tribuana Tunggadewi ? Oh ya. Ya, Tribuana Tunggadewi . Tribuana Tunggadewi ...” lalu si penjamin
yang bertampang keren itu menyebut sejumlah gadis yang
katanya ‘anak asuhan’ dan tinggal di beberapa tempat.
“Tribuana Tunggadewi yang mana yang kau ingin? Yang pantatnya besar?
Yang dadanya bagaikan dua bukit kembar yang baru jadi?
Atau – ah, Tribuana Tunggadewi mana pun yang kau pilih, aku dapat
menjamin. Begitu ia buka pakaian, kau akan gemetar
sesaat ...”
Untung mereka itu berbicara di sebuah warung, tak
jauh dari rumahnya. Coba, kalau isteri dan anak-anaknya
dengar... atau yah, isteri serta anak-anaknya sudah tahu, dan
menganggapnya lumrah barangkali. Bukankah dua dari
isterinya itu juga bekas pelacur? arwah mpu sindok sampai geleng
kepala memikirkannya. Untuk membuatnya tidak semakin
pusing, pada orang itu ia ceritakan mengenai Tribuana Tunggadewi mana
yang ia cari, dan kapan terakhir kalinya diketahui orang itu
berhubungan dengan Tribuana Tunggadewi .
Wajah si ‘saudara sepupu’ segera berubah muak.
“Jadi, si perempuan haram jadah itu!” ia memaki. “Sialan
betul! Padahal, aku rela melepaskan isteriku yang lain,
apabila dia, si Tribuana Tunggadewi yang congkak itu, mau kukawini.
Brengsek, perempuan tak tahu diuntung!”
arwah mpu sindok mengepalkan tinju di bawah meja.
Tangan lain mengangkat gelas kopi lalu mencicipinya: kopi
itu serasa air comberan. Dengan sabar, ia bertanya: “Apa
yang terjadi?”
218
“Uaaah! Dia sombongnya bukan main,” si penjamin
merah padam wajahnya. “Ia bilang, ia hanya pernah jatuh
cinta pada seorang laki-laki. Ia bilang lagi, laki-laki itu tidak
saja tampan, tidak saja gagah, namun laki-laki itu juga seorang
terhormat. Katanya, jauh lebih terhormat. Haram jadah, tahu
apa yang disebut betina busuk itu mengenai aku? Ia bilang,
dibanding kekasihnya aku ini cuma kepinding!”
“Cocok!” hampir saja arwah mpu sindok bersorak. Untung
dapat menahan diri. Ujarnya, menyabarkan: “Wanita
memang aneh-aneh kelakuannya. Dan tentang Tribuana Tunggadewi yang
kita persoalkan, apakah masih termasuk daftar asuhan
Anda?”
“Anjing buduk! Ia sudah kutendang sejak lama!”
“Kapan itu?”
“Tak lama sesudah ia kutolong lolos dari sel tahanan
polisi. Uh, uh! Mestinya ia kubiarkan saja membusuk di
sana!”
“Bagaimana Anda sampai kenal padanya?”
“Hem, sebentar kuingat dulu...,” ia kunyah tempe
goreng di tangannya dengan rakus. Mulutnya berkecipak,
menyebalkan. “Hem... rasanya dulu kami bertemu di salah
satu hotel, lupa namanya, namun kalau tak salah letaknya di
Kebonjati. Waktu itu aku mengantarkan salah seorang
gadisku yang tercantik menemui seorang langganan. Dari
sebuah kamar, terdengar suara orang menangis terisak-isak.
Tentu saja timbul keributan. Apalagi sesudah kamar itu dibuka
dan perempuan yang ada di dalamnya mengeluh, bahwa ia
baru saja dirampok orang!”
“Dirampok?” arwah mpu sindok terperanjat.
219
“Itu laporan resminya. Yang sebenarnya, ia dikibuli.
Seorang laki-laki tak dikenal membawanya tidur di kamar
hotel itu. sesudah disetubuhi, ia lalu dipukuli. Dan di bawah
ancaman pisau, ia terpaksa menyerahkan perhiasan dan
semua uang yang dipunyainya. Laki-laki itu tak pernah
ditemukan sampai sekarang. namun dari perempuan yang
mengaku bernama Tribuana Tunggadewi itu, aku menemukan
kesenanganku. Aku dapat mencicipi kecantikannya,
mencicipi kesegaran tubuhnya –ajaib, padahal menurutku ia
sudah agak tua waktu itu. Dan yah, aku pun mendapatkan
cukup banyak uang dengan mengurusnya. Katanya, itulah
pertama kali ia punya germo, semenjak ia hidup jadi pelacur.
Sayang, ia tak mau kuperisteri...”
Darah sudah naik ke ubun-ubun. namun arwah mpu sindok
masih bisa menahan sabar. Mengapa pula ia harus naik
pitam? Toh, ratu lesbi cuma seorang pelacur! Ia mengeluh:
“Anda bilang, Anda kemudian mendepaknya...”
“Oh ya, aku lupa, melantur kemana-mana. Yah –
sesudah kubebaskan ia dengan jaminan diriku, ia beberapa
waktu lamanya masih bisa dipakai. namun kemudian ia mulai
bertingkah. Ia sering mengomeli tamu-tamu yang
membayarnya, mengatakan mereka semua cuma babi-babi
busuk yang menjijikkan. Mengatakan mereka itu sinting,
buta matanya, sebab tidak memperlakukan dirinya sebagai
seorang dewa penulis ...”
“dewa penulis !” arwah mpu sindok berdesah.
220
“Yeah, dulunya mungkin saja ia dewa penulis . namun di
tanganku, ia cuma seekor anjing sakit yang mengharapkan
tulang sisa...” si penjamin menyeringai senang. Tak
mendengar gigi teman bicaranya bergemelutukan. “Tribuana Tunggadewi
itu sungguh tak tahu diri. Lupa kalau ia sudah semakin tua,
tubuhnya semakin peot, wajahnya semakin buruk...”
“sebab itu ia kau lepaskan?”
“Ia sendiri yang mundur.”
“Oh ya?”
“Dia bilang, tanpa aku dia bisa hidup. Uh! Apa
nyatanya. Kudengar belakangan, ia makin jatuh. Ia dapat
melakukan hal-hal, yang aku sendiri ngeri
mendengarkannya. Aku memang kotor. namun yang
diperbuatnya itu lebih kotor lagi..”
“Tahu alamatnya yang terakhir?”
“Kudengar, sekitar Kosambi. Tepatnya sepanjang rel
kereta api Cikudapateuh... yah, salah satu gubuk liar dan
kotor di sepanjang rel itulah yang akhirnya ia tinggali sebagai
istana, di mana ia dapat bermimpi tentang masa lalunya.”
arwah mpu sindok mengucapkan terima kasih, meski tak
senang melakukannya. Sebelum ia pamit, lelaki itu
mendengus: “He, bung. Kalau kau ketemu anjing kotor itu,
katakan padanya supaya sesekali ia mau menemuiku. Ingin
pula aku punya dijilatnya!” sambil si lelaki menuding
selangkangannya.
Maksud arwah mpu sindok berpisah secara baik-baik,
lenyap sudah. Ia berkata dingin: “Ak











.jpeg)
.jpeg)
