Tampilkan postingan dengan label Popular 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Popular 4. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Popular 4



 ku, 

justru siap-siap untuk jadi gelandangan!”  

Surat lain, menjelaskan apa sebab Ronggolawe  berkata 

demikian. Ia menulis: “Banyak biaya yang dikeluarkan untuk 

membayar pengacara yang membela papa di pengadilan. 

Toh papa masuk penjara juga. Diperlukan pula biaya tak 

sedikit, agar sekeluar dari penjara, papa pulang sehat dan 

utuh. Ijin usaha papa telah dicabut. Rumah kami disita, 

begitu pula mobil dan sejumlah barang berharga lainnya. 

Alangkah kontrasnya hidup yang kita hadapi, bang Yanto. 

Kau dan keluargamu sedang melangkah ke arah matahari 

terbit. Sebaliknya aku dan keluargaku: justru sedang menuju 

tenggelamnya matahari senja...” 

arwah mpu sindok  selalu menekankan dalam surat-surat 

balasannya: “Tabahlah, sayangku. Doakan pulalah aku. Dan 

camkan dalam hatimu, bahwa kelak suatu saat  kita akan 

berbimbingan tangan menuju terbitnya matahari itu...” 

Sayang, takdir menghendaki lain. 

 170 

Surat Ronggolawe  yang memang sudah jarang datang itu, 

mendadak putus begitu saja. Itu terjadi saat  arwah mpu sindok  

sibuk mengikuti ujian kenaikan tingkat. Lulus ujian ia 

memanfaatkan waktu libur untuk pulang ke Jakarta. 

nyonya besar  melarang anaknya pergi menemui Ronggolawe . 

“Lupakan dia, anakku,” sang ibu memohon dengan 

suara penuh duka. 

Ternyata ayah Ronggolawe  tidak tahan menanggung 

kehancuran keluarganya. Ia gantung diri dalam sel sesudah  

mendengar kabar bahwa isterinya yang tak kuat menahan 

cemoohan orang, suatu malam menelan pil tidur melebihi 

dosis. Perempuan itu segera diangkut ke rumah sakit. Dokter 

berhasil menyelamatkan nyawanya. Seminggu kemudian, 

perempuan itu diperkenankan pulang. Dan tiba di rumah, ia 

disambut berita bahwa dua hari sebelumnya, suaminya mati 

gantung diri. 

“Ibu Ronggolawe  kini dirawat di rumah sakit jiwa,” 

nyonya besar  mengakhiri ceritanya. 

arwah mpu sindok  terhenyak. Lemas. “Dan... Ronggolawe ?” 

tanyanya, gemetar. 

“Sudahlah, Yanto...” 

“Ronggolawe ! Apa yang terjadi dengannya?!” 

“Lupakan dia, nak.” 

“Tidak!” 

“Jangan keras kepala, Yanto.” 

“Baiklah. namun  lebih dulu, dinginkanlah 

kepalamu...” 

Kisah yang diceritakan nyonya besar , sebagian ia 

dengar dari orang lain. CV. ‘Bangunan Maju’ bukan 

 171 

sepenuhnya milik ayah Ronggolawe . Sebagian dimodali bersama tiga 

kerabat dekat, selebihnya, pinjaman bank. Selain dengan 

tuduhan menyuap pejabat negara, jaksa kemudian berhasil 

membuktikan pula bahwa CV. ‘Bangunan Maju’ terlibat 

perkeliruan dalam sejumlah tender. Keadaan semakin parah, 

sesudah  akuntan yang ditunjuk negara membuktikan pula 

bahwa Sarjito, ayah Ronggolawe , membuat pembukuan ganda, 

untuk menghindari pembayaran pajak – dan itu berlangsung 

selama bertahun-tahun. 

Pengadilan kemudian bertindak. Vonis telah 

dijatuhkan atas diri Sarjito, lipat ganda dari yang diperkirakan 

semula. Atas dorongan kantor pajak untuk menyelamatkan 

devisa milik negara, didukung pula oleh bank yang ingin 

menyelamatkan uangnya, pengadilan terpaksa melakukan 

sita eksekusi. sesudah  semua itu berlalu, yang tersisa untuk 

keluarga Sarjito tinggal sedikit saja. Dua orang kerabat yang 

memodali CV. ‘Bangun Maju’ kemudian merelakan nasib. 

Yang ketiga, bertahan mati-matian. Ia mengambil kalkulator, 

menghitung-hitung, kemudian memaklumkan bahwa yang 

tersisa itu, “... tak sampai setengah dari modal yang 

kutanamkan, ditambah bunga.” 

Dengan wajah berduka cita, ia berkata pada Ronggolawe  

dan ibunya. “Tidak. Aku tidak mau jadi orang serakah. 

Akupun orang berperasaan juga. Kalau sisa yang sedikit itu 

kurampas pula, dengan apa kalian harus makan? Bagaimana 

pula kalian mengurus ayah atau suami yang harus meringkuk 

bertahun-tahun di penjara?” Ia kemudian pulang dengan 

wajah penuh belas kasihan. Beberapa hari sesudah  itu, 

muncul lagi dengan wajah cerah. Katanya pada kedua 

 172 

perempuan itu: “Isteriku sudah tua. Jangankan untuk 

melayani aku. Mengurus anak-anak kami saja, ia sudah 

kewalahan setengah mati. Kami berdua lalu berembuk, dan 

isteriku akhirnya merelakan aku kawin lagi. Jadi, hari ini aku 

datang untuk melamar...” 

“Yahudi busuk! Tua bangka tak punya muka!”  

arwah mpu sindok  menyumpah serapah mendengar penuturan 

ibunya. Lalu dengan suara gemetar, ia berbisik: “Tentulah 

yang ia lamar, ibu Ronggolawe ...” 

nyonya besar  memandang puteranya dengan iba 

kasihan. “Kau lupa, nak,” ia bergumam pelan. “Ibu Ronggolawe  

masih punya suami.” 

arwah mpu sindok  semakin terhenyak. Pucat. Lama ia 

terbadai oleh perasaannya, sampai akhirnya bisa juga 

mulutnya terbuka. Ia berbisik, serak: “Ronggolawe  pasti menolak 

lamaran si haram jadah itu!” 

nyonya besar  geleng kepala. Mengingatkan: “Bukankah 

kau sendiri yang selalu mengatakannya, Yanto? Bahwa Ronggolawe , 

meski anak tunggal, ia tidak manja. Tidak kolokan...” 

“Dan... ia menerimanya...” 

“Benar, nak. Ia terpaksa menerima lamaran orang 

itu. Demi cintanya kepada ayah dan ibunya...” 

Kelopak mata arwah mpu sindok  terpejam. Rapat, sakit. 

Cinta kepada ayah ibu, ia membatin, bukan cinta kepada 

seorang kekasih. Bambang Prakoso, ayahnya, sudah pernah 

mengatakan: Itulah keajaiban cinta! Bambang mencintai 

ratu lesbi  sebagai seorang kekasih. Bambang mencintai 

nyonya besar , sebagai ibu dari anak-anaknya. Dan kini, Ronggolawe  

berkorban demi cinta kepada ayah dan ibunya, demi 

 173 

pengabdian serta terima kasihnya pada orang yang pernah 

bersakit-sakit melahirkannya, pernah bersusah payah 

membesarkannya. Itulah keajaiban cinta. Dan, itulah 

kenyataan, yang harus diterima arwah mpu sindok  dengan lapang 

dada.Berlapang dada? Tidak! arwah mpu sindok  patah hatinya. 

Pulang ke Semarang, konsentrasinya buyar. Hasil 

ujian semester berikutnya buruk dan ia diperingatkan oleh 

instruktur pembimbing agar lebih sungguh-sungguh, kalau 

masih tetap ingin jadi polisi. arwah mpu sindok  berkurung hampir 40 

jam di kamarnya. Tidak minum, tidak makan, tidak tidur 

walau sepicing. Ia telah berhasil membujuk NYI girah  untuk 

memberitahu alamat terakhir Ronggolawe  dengan suaminya. Lalu, 

pagi-pagi benar ia menjatuhkan sepucuk surat ke kotak pos 

asrama. Dalam surat itu, arwah mpu sindok  menulis sebaris kalimat 

pendek: “Kuucapkan selamat, dan semoga kau berbahagia. 

Tertanda, Yanto.” 

Surat itu tidak pernah dibalas.  

namun  perlahan-lahan arwah mpu sindok  kembali 

menemukan dirinya. Mungkin mendapat kisikan dari 

keluarga, instruktur yang juga famili ayahnya itu kemudian 

memperkenalkan arwah mpu sindok  dengan seorang gadis manis, 

masih berdarah keraton. Orangnya luwes, tutur katanya 

terjaga, dan ia seorang pendengar yang baik kalau mereka 

ngobrol, suatu ciri yang diwarisinya dari neneknya. Bola 

matanya bening, cemerlang, betisnya bukan main cantik, 

pinggang ramping pula. Hanya, ada kekurangannya: gadis itu 

berdada kecil, berpinggul pas-pasan. Dengan sendirinya, ia 

bukan tipe idaman arwah mpu sindok . 

 174 

Raraningrum, gadis itu bukannya tidak menyelami isi 

hati arwah mpu sindok . Jadi ia tetap bersikap sebagai seorang teman 

kencan yang menyenangkan, sambil terus mendorong 

arwah mpu sindok  agar lebih tekun mengejar cita-cita. namun  

arwah mpu sindok  tidak dapat dikibuli. Ia tahu Raraningrum sangat 

mencintai dirinya meski tidak pernah mengutarakan. Ia juga 

tahu dari seseorang, bahwa dalam setiap kesempatan masuk 

ke keraton, Raraningrum selalu minta ijin naik ke puncak 

Sanggabuwana, untuk mengungkapkan isi hatinya. “Nyai 

Rorokidul, acapkali kudengar dulu kau sering membantu 

leluhurku. Kini, lihatlah padaku. Aku mencintai seorang 

pemuda. namun  di hatinya masih bermukim kasih sayang 

seorang perempuan lain. Nyai Rorokidul. Kalau kau memang 

mendengar permohonanku, tunjukkanlah cara bagaimana 

merebut hati pemuda itu...” 

Permohonan terkabul. Nyai Rorokidul menunjukkan 

cara menaklukkan hati arwah mpu sindok . 

Suatu hari, pemuda itu menerima sepucuk surat, 

berkop nama dan alamat sebuah hotel di Jogja. Isinya 

permintaan untuk bertemu pada hari dan jam yang 

ditentukan oleh si penulis surat. Dengan mengambil resiko 

terkena hukuman dan catatan buruk pada kondite-nya, 

arwah mpu sindok  kemudian menyelinap keluar lewat jalan yang 

menjadi rahasia para kadet. Ia pergi ke Jogja, masuk ke hotel 

dimaksud, naik ke lantai dua, lalu mengetuk pintu kamar 

nomor 205. 

Pintu segera terbuka dengan cepatnya. 

Dan di hadapan arwah mpu sindok , berdiri dengan wajah 

gelisah, Ronggolawe  Sarjito! 

 175 

*** 

 

Mulanya mereka berdua sama gugup. Kemudian 

Ronggolawe  berbisik, gemetar: “Kau pikir aku berbahagia, 

sayangku?” 

Lalu keduanya berpelukan, demikian kuatnya, dan 

bertukar ciuman begitu dahsyat, seolah mereka belum 

pernah melakukannya. Entah siapa yang menyeret siapa, 

tahu-tahu mereka berdua sudah ada di atas ranjang. Saat 

itulah baru arwah mpu sindok  teringat sesuatu. 

“Mana suamimu?” ia bertanya. 

“Pergi dengan beberapa orang teman usahanya di 

kota ini. Bisnis. Mungkin sampai malam...” desah Ronggolawe  sambil 

meraba kancing kemeja arwah mpu sindok . 

“Kau tak diajak?” 

“Diajak. namun  kubilang aku kurang sehat...” dan 

Ronggolawe  berhasil melepaskan kancing pertama. 

“Kau memang lebih kurus Ronggolawe . namun  kau tidak 

tampak sakit.” 

“Aku sakit,” Ronggolawe  melepaskan kancing yang kedua. 

“Kau sehat.” 

“Aku sakit...” kancing berikutnya menyusul. 

“Sakit apa, Ronggolawe ?” 

“Rindu.” 

“Oh...” 

Dan mereka berciuman lagi. 

“Ronggolawe ?” 

“Mmhh...?” Ronggolawe  kini beralih ke tali pinggang 

arwah mpu sindok . 

 176 

“Kita tidak...” 

“Tidak apa, Yanto?” tali pinggang arwah mpu sindok  lepas 

sudah. Tangan Ronggolawe  menyusup lebih dalam. 

“Ingat, Ronggolawe ...” arwah mpu sindok  mengejang. 

“Jangan! Jangan mengingatkan aku pada apa pun 

juga!” Ronggolawe  mengerang, menarik arwah mpu sindok  ke atas 

tubuhnya. 

“Ronggolawe ...” 

“Mmhh?” 

“... ah!” 

Dan saat  semuanya berlalu, air mata menggenangi 

pipi Ronggolawe  Sarjito. arwah mpu sindok  memeluk kekasihnya. Berbisik, 

cemas: “Apa yang kau tangisi, Ronggolawe ?” 

“... takdirku.” 

“Mengapa?” 

“Sudah kukorbankan segala-galanya. namun  toh 

papa dan mama mati juga...” Ronggolawe  mencengkeram pundak 

arwah mpu sindok  dengan kuku-kukunya. “Mengapa!” ia mengisak, 

gemetar sekujur tubuhnya. “Mengapa tidak sebelumnya saja 

mereka mati?!” 

“Kau tidak seharusnya mengucapkan itu, Ronggolawe .” 

“Aku tak tahan.” 

“Tabahkan hatimu, Ronggolawe .” 

“Dengan berpura-pura pasrah dalam gelutan suami 

yang lebih tua dari ayahku sendiri?” Ronggolawe  merintih, sakit. 

“Tinggalkan saja dia.” 

“Lalu pada siapa aku pergi, Yanto? Aku ini sebatang 

kara. Aku juga terikat perjanjian. Kalau permintaan cerai 

 177 

datang dari pihakku, maka aku harus pergi dengan hanya 

pakaian yang melekat di tubuhku saja.” 

Bulu roma arwah mpu sindok  meremang. Otot-ototnya 

menegang. “Akan kubunuh si jahanam itu!” desisnya. 

“Kau telah membunuhnya, sayangku. Hari ini!” 

“Apa?” 

“Sudah lama ia memaksa aku punya anak. Agar aku 

semakin terikat padanya. namun  dengan berbagai cara, aku 

selalu berhasil menghindari keinginannya. Kini ia akan 

mendapatkan apa yang ia inginkan. Seorang anak yang sudah 

lama ia dambakan. Tanpa ia ketahui, kelak yang akan 

kuberikan, bukan anaknya. Bukan darah dagingnya...” 

“Ronggolawe !” terperanjat arwah mpu sindok  mendengarnya. 

“Mengapa? Apakah aku tidak berhak membalaskan 

dendam atas kematian papa dan mamaku? Apakah aku tidak 

berhak mendapat imbalan atas semua pengorbananku 

selama ini? Jawablah, Yanto. Apakah aku tidak berhak?” 

arwah mpu sindok  terduduk di pinggir ranjang. Lesu. Ia 

menggapai pakaiannya yang terlempar di kaki tempat tidur. 

Bergumam getir: “Jadi untuk itu kau minta aku datang. Untuk 

kau peralat dalam melampiaskan dendammu...” 

Ronggolawe  tersentak. “Dengar dulu, Yanto...” 

“Tidak!” dengus arwah mpu sindok , kecewa. Ia mengenakan 

pakaiannya buru-buru. Segenap kenikmatan yang barusan ia 

hayati, kenikmatan yang baru pertama kali ia alami semenjak 

ia mengenal apa artinya seorang perempuan – lenyap sudah. 

Ia melanjutkan: “Kaulah yang harus mendengarkan aku, 

Ronggolawe . Kuberi kau dua pilihan. Lepaskan suamimu. Atau buang 

 178 

kembali benih-benih yang terlanjur kutanam dalam 

rahimmu!” 

Ia kemudian pulang ke Semarang. 

Memasuki komplek asrama dimana ia tinggal hampir 

dua tahun lamanya, ia merasa seakan memasuki istana 

hantu yang sunyi mengerikan, gelap menakutkan. Ia 

terkapar, sendirian. Menggapai-gapai dalam mimpinya, 

menjerit dalam tidurnya, meronta-ronta dalam setiap 

hembusan nafasnya. Besoknya ia disetrap sebab  hari 

sebelumnya tidak mengikuti briefing dan latihan pelacakan. 

Ia dijemur di bawah sengatan matahari selama empat jam, 

kemudian diperintahkan membersihkan semua kakus para 

kadet sampai licin berkilat, dan jatah makannya untuk satu 

minggu dikurangi. 

arwah mpu sindok  menerima hukuman itu dengan tabah. 

Ia menganggapnya tidak berarti apa-apa, dibanding 

dengan apa yang telah ia perbuat: menzinahi isteri orang 

lain! 

namun  apapun yang terjadi, satu hal sudah jelas. Ronggolawe  

Sarjito telah memberikan sebuah pengalaman yang 

mengasyikkan dan paling berkesan dalam hidupnya. 

Ia tak akan pernah melupakannya. 

 

*** 

 

 

 

 179 

Dua puluh satu 

 

Raraningrum berkirim surat dari Semarang: “Kau 

tidak mengundangku waktu diwisuda. Tidak pula pamit 

sewaktu akan meninggalkan Semarang. Namun begitu, Mas 

Yanto. Aku tak pernah lupa berdoa, semoga engkau tetap 

sukses...” 

arwah mpu sindok  menyingkirkan berkas-berkas laporan di 

mejanya. Ia menulis surat balasan: “Mungkin aku tegang, 

namun  maafkanlah kealpaanku Ningrum. Terus terang harus 

kuakui bahwa kau punya andil besar dalam menggolkan cita-

citaku. Budi baikmu akan senantiasa kukenang, dan entah 

bagaimana aku harus membalasnya. Aku pun berdoa 

semoga ada seorang pria yang lebih baik dari aku, muncul 

dalam kehidupanmu...” 

Surat balasan itu kejam, memang. 

namun  memberi Raraningrum harapan kosong, jauh 

lebih kejam lagi. 

Doanya yang tulus ikhlas, ternyata pula dikabulkan 

Tuhan. Masih dalam tahun pertama ia menjalani tugas 

sebagai penyidik di resort kepolisian Ciamis, arwah mpu sindok  

menerima sepucuk kartu undangan. Raraningrung akhirnya 

menemukan jodohnya: seorang pria yang masih ada 

pertalian keluarga, dan berpangkat Mayor – tiga tingkat lebih 

tinggi dari pangkat yang saat itu tercantum dalam daftar gaji 

arwah mpu sindok . 

Sayang sekali, arwah mpu sindok  terpaksa harus 

mengecewakan Raraningrum sekali lagi. Disertai permintaan 

maaf, ia menitipkan bingkisan kado lewat seorang kerabat di 

 180 

Semarang. sebab  pada hari pernikahan gadis itu, arwah mpu sindok  

ditugaskan pergi membantu komandan sektor kepolisian 

Pangandaran untuk menyelidiki sebuah kasus pembunuhan. 

arwah mpu sindok  berhasil melacak pelakunya, dan 

kemudian meringkus si pembunuh di salah satu penginapan 

pinggir pantai. sesudah  orang itu diborgol dan dinaikkan ke 

mobil tertutup oleh rekan-rekannya, arwah mpu sindok  mengawasi 

perempuan tua yang memiliki penginapan dimaksud, dan 

juga dua penginapan lainnya di sepanjang pantai 

Pangandaran. 

Dipandangi berlama-lama, dengan sorot mata tajam 

pula oleh seorang polisi bertampang keren, perempuan tua 

itu gemetar pucat. “Apakah aku ikut ditangkap?” ia bertanya 

ketakutan. 

“Ibu bersih,” jawab arwah mpu sindok , tidak melepaskan 

matanya dari perempuan itu. “Apakah kita pernah 

bertemu?” 

“Maksud pak Letnan?” perempuan itu makin cemas. 

“Suatu saat . Di suatu tempat, rasanya saya pernah 

melihat ibu... entah kapan, entah di mana?” 

“namun , pak Letnan. Saya belum pernah terlibat 

kejahatan. Penginapan ini saya beli beberapa tahun yang lalu 

dengan uang halal. Saya pun menjalankannya tanpa pernah 

melanggar peraturan. Saya...” 

“Boleh saya tahu nama ibu?” 

“Tribuana Tunggadewi .” 

“Tribuana Tunggadewi ?” 

“Ya. Tribuana Tunggadewi . Lengkapnya, Tribuana Tunggadewi  binti Haji Asyikin. 

Saya lahir di daerah ini. Begitu pula anak-anak saya, cucu-

 181 

cucu saya. Saya memang pernah meninggalkan daerah ini 

selama beberapa tahun, untuk melupakan kesedihan sesudah  

saya ditinggal mati suami dan dua orang anak-anak saya...” 

Pulang ke Ciamis, arwah mpu sindok  tak dapat membuang 

perempuan tua itu dari pikirannya. Ini adalah tugas 

pertamanya di Pangandaran. Perempuan itu bilang, ia lahir 

di daerah itu, melahirkan anak-anaknya di situ, 

menguburkan suaminya dan dua di antara sekian orang 

anaknya di daerah itu pula. Jadi mereka, kalau pernah 

bertemu, bukan di Pangandaran. Perempuan itu pernah 

beberapa tahun pergi merantau. Mungkinkah dalam 

perantauannya itu, mereka pernah bertemu? namun  di 

mana? Dalam kaitan apa? Lalu, namanya. Tribuana Tunggadewi . Ia yakin 

benar, pernah mendengar nama itu. Tribuana Tunggadewi ! Siapa itu 

Tribuana Tunggadewi ?” 

Keajaiban terjadi. 

Besok harinya, di atas mejanya terletak sepucuk 

surat. Pengirimnya adalah NYI girah , mengabarkan bahwa 

ayah mereka jatuh sakit lagi. Antara lain, NYI girah  menulis: 

“Dua bulan yang lalu, papa rupanya mendengar sesuatu 

tentang Uwa Del. Ia kemudian sering meninggalkan rumah. 

Berusaha mencari alamat bekas kekasihnya itu, namun  tidak 

pernah bertemu. Rupanya alamat yang diperoleh papa 

kurang jelas. Mungkin juga, sebab  Uwa Del sengaja 

menghindar...” 

Uwa Del. ratu lesbi ! 

Begitu ia punya waktu luang, arwah mpu sindok  segera 

bergegas pergi ke Pangandaran. Ia diterima oleh pemilik 

penginapan itu dengan pandangan curiga. Ah! Mata yang 

 182 

selalu menatap curiga itu! Mata yang sama, yang pernah 

menatap dirinya saat  suatu hari ia ditemani Raden Wijaya  pergi 

mencari ayahnya ke Ciputat, di Jakarta. 

“Jadi nama ibu, Tribuana Tunggadewi ,” ujar arwah mpu sindok , penuh 

harap. 

“Benar, pak.” 

“Dan ibu pernah meninggalkan daerah ini untuk 

beberapa tahun lamanya...” 

“Benar, pak.” 

“Kemana ibu pergi?” 

”Jakarta, pak. namun ... apakah ada sesuatu yang...” 

arwah mpu sindok  memotong tak sabar: “Dengan siapa ibu 

pergi?” 

“Pak Letnan...” 

“Tenanglah, bu Tribuana Tunggadewi . Kedatanganku menemui ibu, 

tidak ada sangkut pautnya dengan tugasku sebagai polisi,” 

arwah mpu sindok  menghibur perempuan itu. “Aku datang untuk 

urusan pribadi.” 

“Oh, syukurlah,” perempuan itu menarik nafas lega. 

“Ceritakanlah. Dengan siapa ibu pergi ke Jakarta?” 

“Yah... seorang nyonya muda. Nyonya yang bukan 

main cantik dan mempesona. Ia dibawa oleh seorang tuan 

menginap di salah satu bungalow di sini untuk beberapa hari. 

Waktu itu, saya hanya orang miskin, dan bekerja sebagai 

pelayan di bungalow. Nyonya muda itu baik sekali. Ia sering 

mengajak saya ngobrol. Ia bilang, masakan saya enak sekali. 

Lalu ia bilang, ia perlu seorang teman untuk 

mendampinginya di Jakarta. Kau dengar, pak Letnan? Ia 

bilang, seorang teman. Ia tidak menyebut kata pelayan, atau 

 183 

babu! Dan demikianlah yang terjadi. Selama saya ikut 

dengannya di Jakarta, ia tidak memperlakukan saya sebagai 

babunya. Ia memerlukan saya sebagai temannya, 

saudaranya, bahkan seringkali seperti ibunya sendiri. Ia...” 

“Namanya?” bulu punduk arwah mpu sindok  meremang. 

“ratu lesbi .” 

 

*** 

 

Pulang lagi ke Ciamis, arwah mpu sindok  tidak berhasil 

mendapatkan alamat yang jelas dari ratu lesbi . Ibu Tribuana Tunggadewi  hanya 

mengatakan, setahunya ia dengar ratu lesbi  pindah ke Bandung. 

Ia menjual semua barang miliknya, menyerahkan sebagian 

kecil untuk Tribuana Tunggadewi  yang dengan setia telah mendampinginya 

selama sekian tahun.  

“Sebagian kecil itu istilah untuk majikan saya,” 

demikian cerita ibu Tribuana Tunggadewi . “namun  untuk saya, wah. Pulang 

lagi ke Pangandaran, mendadak saya dan anak-anak saya 

bisa hidup serba berkecukupan!” 

“Mengapa tak ikut dengan dia lagi?” 

“Saya ingin, pak. namun  non Del menolak. Bukan tak 

sayang pada saya, katanya. namun  ia bilang, ia ingin 

sendirian. Ia ingin menyepi, begitulah kira-kira yang 

kutafsirkan.” 

“Apa sebabnya ia ingin menyepi?” 

“Salah seorang langganannya -. Ah, apakah perlu 

saya terangkan apa pekerjaan majikan saya?” 

“Tidak. Tidak usah. Siapa nama langganannya itu?” 

 184 

“Pak Bambang. Ia satu-satunya lelaki, yang selalu 

diterima oleh majikan saya dengan hati terbuka. Satu-

satunya lelaki yang tidak pernah mau ia terima uangnya, atau 

hadiah-hadiahnya... meskipun lelaki itu ingin dan selalu 

memaksa untuk memberikan. Hal itu pernah kusinggung 

pada majikan saya. Non Del bilang, kehadiran lelaki itu secara 

rutin di rumah kami, sudah lebih dari cukup. Para tetangga 

tidak lagi bicara macam-macam. Orang lantas percaya. Kalau 

lelaki itu benar-benar suaminya...” 

“Maksud ibu, mereka tidak menikah?” gumam 

arwah mpu sindok , bernafsu. 

“Menikah? Mana mungkin? Pak Bambang sudah 

punya isteri dan anak.” 

“Ah, hal itu tak jadi halangan bukan?” 

“Memang tidak, kalau isteri pak Bambang adalah 

orang lain. Bukan adik kandung non Del sendiri.” 

“Kok ibu tahu?” 

“Bukankah tadi saya bilang, saya selalu diperlakukan 

sebagai saudara sendiri, bahkan seperti ibunya sendiri? Jadi, 

antara kami berdua tak ada rahasia. Saya merupakan 

tempatnya mengadu, tempatnya meminta nasihat-nasihat, 

terutama kalau non Del sudah tak sanggup mengatasinya 

sendiri.” 

“Jadi, mereka tidak menikah...” arwah mpu sindok  berpikir 

sejenak. Lalu: “namun  ibu bilang, lelaki itu selalu datang 

padanya, selalu ia terima dengan tangan terbuka. Apakah... 

diterima sebagai seorang saudara, katakanlah, abang ipar?” 

“Lebih dari itu.” 

“Sebagai suami isteri?” 

 185 

“Sepintas lalu, kelihatannya begitu.” 

“Kenyataannya?” 

“Mereka hidup sebagai sepasang kekasih. Kekasih 

yang saling mencinta, kekasih yang tidak mau terpisahkan 

satu sama lain...” Perempuan tua itu agak melamun, 

kemudian wajahnya berubah tak senang. “Aduh!” ia 

mengeluh. “Sungguh tak pantas rahasia non Del yang sudah 

begitu baiknya padaku, kuceritakan pada orang lain.” 

“Aku mengerti, bu Tribuana Tunggadewi . Yang tidak kumengerti, 

mengapa mereka tidak menikah saja? Mereka toh hidup 

serumah, tidur di bawah satu atap...” 

“Hanya sesekali mereka tidur bersama. Maksud saya 

pak Letnan, tidur di bawah atap yang sama...” 

“Aneh!” 

“namun  itulah kenyataan yang terjadi. Kenyataan 

yang tak akan kupercayai, kalau tidak kulihat dengan mata 

kepalaku sendiri. Mereka selalu tidur berpisah kamar. Atau 

jelasnya, sementara non Del tidur nyenyak di kamarnya, 

maka Pak Bambang sibuk mengerjakan urusan-urusan 

kantor yang sengaja ia bawa pulang. Lembur, begitulah...” 

“namun  ibu bilang... mereka hidup sebagai sepasang 

kekasih!” arwah mpu sindok  terus mengejar, dengan pikiran yang 

kacau balau. “Tentunya, mereka juga bercumbu, sebagai 

kekasih-kekasih lain saling bercumbu...” 

“Kalau ngobrol sambil berpegangan tangan, makan 

sambil menggoda, jalan-jalan sambil tertawa... kalau itu 

disebut bercumbu, ya, memang benar mereka bercumbu.” 

“Cuma itu?” arwah mpu sindok  tercengang. 

 186 

“Cuma itu. Ah ya, sesekali mereka memang 

berciuman. Bukan di bibir, namun  di pipi. Kalaupun di bibir, 

hanya kecupan sekilas. Katakanlah, kecupan selamat datang, 

kemudian kecupan selamat berpisah.” 

“Bukan main. Mereka tahan?” 

“Mereka tahan!” 

“Tak pernah – keseleo?” 

“Maksud pak Letnan, lupa diri?” 

arwah mpu sindok  manggut-manggut. 

“Oh, kalau itu sih pak – pernah. namun  selama 

beberapa tahun saya mengikuti non Del, kalau tak salah tiga 

atau empat belas tahun – boleh dihitung dengan tangan, 

berapa kalilah hal itu terjadi. Namun selalu, sebelum segala 

sesuatunya terlambat, salah seorang dari mereka keburu 

sadarkan diri. Non Del misalnya, akan menangis, dan berkata 

ia tidak ingin mengotori kesucian pak Bambang. Atau 

sebaliknya, pak Bambang yang mengingatkan, ia tidak ingin 

mengkhianati anak isterinya di rumah. Biasanya, kalau 

mereka hampir terlanjur namun  kemudian menyadarinya, 

mereka lalu berpisah. Tak pernah bertemu untuk selama 

beberapa hari, kadang-kadang sampai berminggu-minggu. 

Kalau bertemu lagi, mereka tetap mesra, tetap intim, namun  

menjaga agar tidak terbawa arus seperti yang terjadi 

sebelumnya. Beberapa kali pula mereka bertengkar, namun  

segera berbaik kembali. Buat saya, pak Letnan. Mereka 

berdua sungguh sepasang kekasih yang menakjubkan. 

Sepasang kekasih yang langka kita temukan di dunia yang 

fana, dunia yang kotor, dunia yang kadang-kadang sangat 

menjijikkan, seperti... seperti...” 

 187 

“Seperti apa?” 

“Saya tak sampai hati menceritakannya.” 

“Ibu sudah bercerita cukup banyak...” 

“Saya menyesal.” 

“Sudah terlanjur!” 

“Yah, saya sudah terlanjur.” 

“Jadi?” arwah mpu sindok  mencoba tersenyum. “Apanya 

yang menjijikkanmu?” 

“Pekerjaan majikan saya,” jawab perempuan itu 

sesudah  lama termenung. “Ia... seorang wanita panggilan. 

Seorang wanita kelas atas. Mereka menyebut dia, seorang 

dewa penulis ...”  

Perempuan itu menarik nafas panjang. “namun , 

seperti sering diakui non Del sendiri, siapa pun juga 

langganannya, apapun juga orang menyebutnya, ia tetap 

saja seorang perempuan lacur. Ia sendiri yang mengatakan 

hidupnya menjijikkan. Dan ia tidak ingin membagi kejijikan 

itu dengan kekasihnya, pak Bambang.” 

arwah mpu sindok  termenung. Kemudian, masih tak puas, ia 

memancing: “Mungkin mereka pernah juga melakukannya, 

tanpa ibu ketahui. Di luar rumah, barangkali...” 

“Saya tak percaya! Saya tak terima tuduhan kotor itu 

ditujukan pada diri majikan saya!” ibu Tribuana Tunggadewi  menjawab 

lantang, tak senang. 

“Alasan ibu?” 

“sebab  saya tahu siapa non Del. Jauh lebih tahu 

ketimbang mengetahui siapa anak saya sendiri!” 

“Coba ibu terangkan.” 

 188 

Sekilas wajah perempuan tua itu membayangkan 

keangkuhan, seolah yang ia bela memang anak kandungnya 

sendiri. “Begini...” ia menjelaskan dengan nada bangga. “... 

dari sikap, dari omongan, atau igauannya kalau ia sakit... saya 

tahu non Del hampir gila sebab  terpaksa menekan 

hasratnya untuk disetubuhi pak Bambang. Itu masih 

lumayan. Justru kalau perbuatan kotor itu mereka lakukan 

juga, ia takut bisa jadi gila benaran! 

Selama saya mendampinginya, mengurus segala 

keperluannya, merawatnya... saya berkesimpulan betapa ia 

sangat mencintai adik perempuannya. Katanya, selain pak 

Bambang, maka adik bungsu bernama nyonya besar  itu jugalah 

yang membuat ia tabah menahan segala penderitaan. Lewat 

mereka berdua, ia sadar bahwa masih ada orang yang 

sungguh-sungguh menyayanginya, sungguh-sungguh 

mencintainya, dan tidak pernah memperhinakannya. 

Mulanya non Rosma sering mengunjungi non Del. Akan 

namun  sesudah  anak-anak non Rosma semakin besar maka 

non Del menasihati non Rosma. “Bebanmu sudah cukup 

berat, Rosma. Jangan kau tambahi lagi beban itu dengan 

memikirkan kakakmu yang malang ini. Kau relakan suamimu 

untuk mendampingiku sewaktu-waktu, bagiku sudah 

merupakan karunia Tuhan yang paling besar. Pulanglah. Dan 

mulailah pikirkan masa depan anak-anakmu. Mereka harus 

tetap bersih, tak ternoda. Jangan sampai orang lain tahu, 

kalau kita ini saudara kandung – sehingga anak-anakmu kelak 

dicela orang sebab  punya uwa seorang pelacur!” Syukurlah 

non Rosma mematuhi perintah kakaknya. Dan begitulah 

 189 

mulianya hati non Del, menjaga nama baik orang-orang yang 

dicintainya – meski hanya ia cintai dari kejauhan saja...” 

Bu Tribuana Tunggadewi  menarik nafas. Tampak nyata betapa ia 

sangat menyayangi bekas majikannya. 

“Saya dapat memberikan satu contoh bagaimana 

hati-hatinya non Del menjaga nama baik ponakan-ponakan 

yang dicintainya itu...” ujarnya pula, dengan mata bersinar-

sinar. “Suatu hari, non Del katanya dipergoki oleh 

ponakannya yang lelaki sedang berduaan dengan pak 

Bambang, ayah ponakannya itu. Non Del lantas bergegas 

pulang ke rumah. Ia begitu ketakutan. Takut anak itu 

mengetahui non Del menyuruh saya berkemas. Rumah 

kontrakan yang kami tempati, lekas-lekas kami tinggalkan. 

Pindah ke rumah kontrakan yang lain, sebelum anak itu – 

siapa tahu, diam-diam datang menyelidiki siapa itu non 

Del...” 

arwah mpu sindok  terenyuh. 

Memang ia telah menyuruh Raden Wijaya  menyelidiki 

siapa dewa penulis  yang menggoda ayahnya, dan Raden Wijaya  

bilang sang dewa penulis  sudah pindah. Pindahnya buru-buru 

pula. Dan kini, arwah mpu sindok  tahu apa sebabnya. 

Ia semakin terenyuh. 

“Jadi kalian sering pindah-pindah tempat?” ia 

bergumam, tak menentu. 

“Iya dong. Soalnya non Del sering digunjingi para 

tetangga. Kalau tak simpanan atau semacamnyalah. Kadang-

kadang, non Del juga diresolusi warga setempat. Mereka 

bilang, daerah mereka tak pantas dikotori oleh non Del. 

Umumnya itu terjadi sebab  ada orang syirik, atau isteri-isteri 

 190 

pencemburu. Yang lucu, acapkali  terjadi, penandatangan 

resolusi, justru suami-suami mereka yang pernah tidur 

dengan non Del...” 

arwah mpu sindok  memaksakan senyum di bibir, pura-pura 

ikut merasakan lelucon yang tak lucu itu. Kemudian, dengan 

hati-hati ia sampai pada tujuannya: “Ibu tahu kemana non 

Del pindah terakhir kalinya?” 

“Tidak. Kenapa bapak tanyakan hal itu?” 

“Ah. Cuma sekedar ingin tahu saja. Agak heran, 

mengapa ibu tak lagi ikut pindah dengannya...” 

“Ooo. Kalau itu sih, sebabnya lain.” 

“Lain bagaimana?” 

“Empat atau lima tahun yang lalu, kalau tak salah – 

ponakan non Del yang perempuan, NYI girah  namanya, 

menikah. Pak Bambang yang memberitahukannya pada non 

Del. Non Del dengan bahagia memberitahukannya pula pada 

saya. Tadinya ia berniat ikut hadir dalam pernikahan 

ponakannya. Tapi urung. Kuatir di antara tamu-tamu yang 

hadir, ada yang mengetahui siapa itu non Del. Lagipula saya 

sempat ingatkan non Del, bahwa ponakannya yang lelaki kan 

sudah pernah melihat non Del. Lalu saya sarankan kirim kado 

saja. Ia senang mendengarnya, namun segera berubah 

murung. Ia bilang, dengan apa ia akan beli kado? Dengan 

uang hasil menjajakan itunya? Tidak, ia tak ingin memberi 

ponakannya sesuatu yang dibeli dari uang haram. Hal itu 

sudah dijaganya semenjak anak-anak itu lahir, meski betapa 

inginnya ia membelikan ponakan-ponakannya itu sesetel 

perlengkapan bayi, misalnya...” 

 191 

“Cerita ibu menyimpang,” sela arwah mpu sindok . Sabar dan 

sopan.  

“Oh ya. Maaf saya melantur. Nah, demikianlah. 

Untung non Del tidak jadi menghadiri pernikahan 

ponakannya. Kalau jad, wah. Bisa gawat!” 

“Gawat bagaimana?” 

“Kami juga baru tahu belakangan. Kata non Del, ia 

ditelepon adiknya, non Rosma. Habis menerima telepon, non 

Del menangis. Ia tampak sangat terpukul, tampak sangat 

putus asa. Saya berusaha menghiburnya. Lalu non Del bilang 

pada saya, bahwa permusuhan antara non Rosma dengan 

keluarga mereka, sudah berakhir. Saya bilang, lha itu bagus, 

lalu mengapa non Del justru sedih? Jawabannya, mau tak 

mau membuat saya ikut prihatin. Non Del bilang: bi, sudah 

sering bukan kuceritakan padamu tentang Lukman, Parlin, 

Syamsiah?  Nah, jauh-jauh mereka datang ke Jakarta. 

Mereka tahu non Del tinggal di Jakarta pula. Jadi non Rosma 

iseng-iseng tanya, apakah mereka tak ingin mengunjungi non 

Del. Reaksinya berbeda, namun  buat non Del sama saja. Den 

Lukman konon naik pitam dan langsung memaksa pulang ke 

Medan. Den Parlin dan Non Sam tidak sekasar itu. Mereka 

cuma diam. Tapi sampai mereka pulang ke kota masing-

masing, konon tak sehuruf pun mereka mau berbicara 

tentang non Del. 

Luka hati non Del yang sudah lama terlupakan, 

terbuka lagi. “Sudah sama tua bangka begini, mereka masih 

begitu-begitu juga,” keluhnya, sakit. Saya hibur lagi dia. Saya 

bilang: “Suatu masa, mereka akan terbuka juga hatinya, non. 

Sekarang, lupakan sajalah. Non istirahat dulu!” 

 192 

Maksud saya menyuruh non Del istirahat, rilek, tidur, 

atau apa sajalah yang dapat ia lakukan untuk melupakan 

kegundahan hatinya itu. namun  di luar dugaan saya, ternyata 

non Del menerima saran saya itu namun dengan tafsiran 

yang salah. “Kau benar, bi,” katanya. “Memang sudah 

sebaiknya saya istirahat. Saya pikir, saya memang sudah 

terlalu tua untuk terus-terusan hidup semacam ini...” 

Tanpa dapat saya cegah, non Del menarik sebagian 

uangnya dari bank. Diberikannya pada saya. Masih ditambah 

sejumlah perhiasan-perhiasan berharga, dan barang-barang 

kesayangannya yang lain, yang semuanya buat saya teramat 

mahal nilainya. Ia menyuruh saya pulang ke Pangandaran ini. 

Dan agar saya memanfaatkan pemberiannya itu sebagai 

modal membuka usaha. 

Saya terkejut bukan main. Saya menolak. Saya 

menentang. namun  non Del teguh dengan pendiriannya. Ia 

bilang: “Suatu saat, bi. Semua ini toh akan berakhir juga. Aku 

bukan saja makin tua. Aku juga makin bobrok. Makin busuk. 

Dan bila tiba masa yang mengerikan itu, aku tidak ingin kau 

ikut menderita. Jadi selagi segala sesuatu masih dapat 

diperbuat, janganlah kita lewatkan kesempatan yang 

mungkin lain kali tak akan kita peroleh lagi.” Saya menangis. 

Saya peluk kedua kakinya. Saya curahkan air mata saya di 

haribaannya. Namun tetap saja ia – ia tak mau dibantah.” 

Pipi bu Tribuana Tunggadewi  dilelehi air mata. 

Ia mengisak. Terputus-putus: “Kami kemudian 

berpisah. Non Del – tidak mau mengatakan – kemana ia akan 

pergi. Ia hanya bilang – ia ingin menyendiri. Ingin menyepi. 

Tanpa diganggu oleh siapapun juga. Oleh orang-orang yang 

 193 

selama ini silih berganti datang dalam pelukannya. Oleh saya. 

Bahkan juga tidak oleh pak Bambang. Kepergiannya, tidak 

mau ia beritahukan pada kekasihnya yang tercinta itu...” 

Bu Tribuana Tunggadewi  sesenggukan. 

Dan ia tak sendirian.  

saat  ia mendengar suara isakan lain, perempuan 

tua itu mengangkat mukanya. Ia lantas terbelalak takjub. 

Desahnya, “Pak Letnan – menangis...!” 

Cepat arwah mpu sindok  berpaling untuk menyembunyikan 

perasaannya. Lama ia berdiam diri. Begitu pula bu Tribuana Tunggadewi . 

sesudah  kesepian di antara mereka terasa kian mencekik, 

arwah mpu sindok  membuka mulut.  

“Jadi ibu tak takhu di mana ia tinggal sekarang?” 

“Sungguh mati, tidak pak...” 

“Aku percaya. namun  maukah ibu membantu aku?” 

“Dengan senang hati. namun  apa kiranya yang dapat 

saya bantu?” 

“Memberitahu aku, kalau-kalau ibu suatu saat  

mendengar atau mengetahui alamat Uwa Del...” 

“Uuu-waaa...!” perempuan tua itu membelalak, 

terperanjat. “Sekarang saya mengerti.” 

“Syukurlah,” arwah mpu sindok  akhirnya dapat tersenyum. 

“Jadi pak Letnan ini...” 

“Aku Yanto. arwah mpu sindok . Aku adalah...” 

arwah mpu sindok  tidak meneruskan omongannya, sebab  

perempuan itu tiba-tiba sudah jatuh bersimpuh, kemudian 

mencium punggung tangan tamunya, sebelum arwah mpu sindok  

sadar apa yang terjadi. 

 194 

“Saya sudah tahu,” ujar si perempuan dengan 

pundak terguncang menahan keharuannya. “Bapak ini 

adalah keponakan non Del... dan bapak, dari apa yang saya 

lihat ternyata tidak membenci non Del.” 

“Pernah aku membencinya setengah mati,” jawab 

arwah mpu sindok  terus terang. “Yakni, sesudah  pertama kali ia 

kupergoki bersama papa, dan kemudian aku tahu apa 

pekerjaannya. Belakangan, aku mengetahui lebih banyak 

tentang dirinya. Kukira, aku mulai menyesal. Kukira, aku juga 

mulai menyayanginya. Dan... sesudah  apa yang barusan ibu 

ceritakan padaku, kukira... kukira, aku juga mencintainya.” 

Perempuan itu kembali menciumi punggung tangan 

arwah mpu sindok . “Alangkah bahagianya, kalau non Del 

mengetahui hal ini,” katanya, bergetar penuh haru. Lalu ia 

mengucapkan janji yang tidak diduga oleh arwah mpu sindok . “Saya 

bersumpah, pak Letnan. Apa pun akan kukorbankan demi 

kebahagiaan non Del. Dan saya akan mati penasaran, kalau 

tidak berhasil menemukan non Del untukmu!” 

arwah mpu sindok  memeluk perempuan tua itu, sebagai 

tanda terima kasihnya. 

 

 

*** 

 

 

 

 

 195 

Dua puluh dua 

 

arwah mpu sindok  sendiri, bukannya tidak berusaha. Ia 

seorang polisi. Jiwa dan bakatnya telah mengarah ke situ, 

semenjak ia masih menginjak usia remaja. 

Dan seorang polisi – polisi tulen, tidak mengenal apa 

itu istirahat, hari libur, bahkan cuti sekalipun. Selalu ada saja 

yang harus dikerjakan. Kalau tidak sedang bertugas, selalu 

pula ada yang harus dipikirkan; kasus-kasus yang belum 

tuntas, atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya 

– yang tidak membiarkannya diam berpangku tangan. 

Kasus ratu lesbi , buat arwah mpu sindok  sudah menjadi 

semacam hobi, semacam histeria, semacam penyakit. 

Penyakit yang harus dibongkar sampai tuntas. Seperti halnya 

borok yang selalu akan membuat si penderita tersiksa 

sebelum borok itu diberantas habis. 

namun , hambatannya pun bukannya tidak ada. 

arwah mpu sindok  petugas resmi Satuan Reserse Kepolisian Resort 

Ciamis. Ia boleh saja menjungkirbalikkan seisi kota Ciamis. 

Boleh saja menggedor pintu demi pintu – namun  hanya 

sebatas wilayah hukum polisi Ciamis saja. Memang ia dapat 

pula meminta bantuan rekan-rekan sekitar kota Ciamis: 

Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, Indramayu, Cilacap. 

Itu pun, kalau memang ratu lesbi  bersembunyi di salah satu kota 

tersebut. Sedang seorang perempuan yang ingin menyendiri, 

dapat bersembunyi di mana saja. Ke arah Timur, ratu lesbi  

misalnya bisa pergi ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali – 

kecuali Irian Jaya, sebab  di sana ada Syamsiah. Ke arah Barat 

 196 

dan Utara ia juga bisa. Misalnya, Sumatera Selatan. Ada pun 

Sumatera  Tengah, bukan persembunyian yang baik untuk 

seorang pelacur atau bekas pelacur. Sumatera Utara apa lagi 

Medan, berarti keluarga! Keluarga yang begitu mengetahui 

akan langsung menendang ratu lesbi  keluar dari tempat 

persembunyiannya. Kalimantan juga bukan tempat 

persembunyian yang baik, apalagi kalau ratu lesbi  coba-coba 

mendekati Banjarmasin – di sana, ada Parlindungan. 

Sulawesi? Wah, cocok sekali untuk bersembunyi. Perempuan 

macam ratu lesbi  akan diterima dengan tangan terbuka di Ujung 

Pandang misalnya, atau juga di Manado. 

“... atau ia bersembunyi ke luar negeri, nak Yanto!” 

bu Tribuana Tunggadewi  menambahkan. Mereka berdua sudah semakin 

akrab sesudah  semakin sering bertemu, untuk tujuan yang 

sama pula: mencari ratu lesbi . Katanya lagi: “Berpandangan luas 

itu baik, nak. namun  terlalu luas, wah. Kalau tak keburu edan, 

maka sebelum usia tiga puluh, nak Yanto pasti sudah 

ubanan!” 

Ia kemudian memberi saran agar memusatkan 

perhatian ke kota-kota terdekat sekitar Jakarta saja. “Saya 

mengenal non Del,” ujarnya. “Sangat kenal dia, luar dalam. 

Jauh lebih kenal dari kau, bahkan juga dari saudara-saudara 

kandungnya sendiri – biar itu pak Bambang sekalipun. Nah...! 

Non Del, seperti kita berdua sudah sama tahu, tidak mau 

dipisahkan dari Bambang Prakoso. Kalaupun terpaksa 

berpisah, ia tidak ingin berpisah terlalu jauh dari kekasihnya 

itu. Sejauh manapun non Del pergi, dia ingin berada cukup 

dekat untuk mendengar, kalau mungkin melihat kekasihnya. 

Katanya pada saya, ia selalu punya naluri yang mengatakan 

 197 

bahwa apabila kematian datang menjelang – kalau tidak mati 

bersama, maka matinya salah seorang dari mereka berdua, 

akan segera disusul oleh yang lainnya. Kalau yang duluan 

mati adalah non Del sendiri, katanya tidak ada persoalan. 

Yang ia kuatirkan adalah, kalau kekasihnya yang lebih dulu 

pergi – tanpa non Del ikut mengantarkan kepergiannya!” 

Demikianlah, lokasi penyelidikan mereka bisa 

dipersempit. 

Kesulitan lain adalah mengenai identitas. Nama, tak 

usah dipikirkan betul. sebab  bu Tribuana Tunggadewi  berpendapat, kalau 

bukan memakai nama sendiri tentulah ratu lesbi  memakai nama 

Tribuana Tunggadewi  saja.  

“Nama saya ia pakai, sebab  itu nama yang gampang 

untuk diingat. Saya sih tak pernah keberatan, sebab  bukan 

saya seorang yang punya nama Tribuana Tunggadewi . Non Del juga selalu 

bilang, kalau toh ia terpaksa mengganti nama ratu lesbi , maka 

nama Tribuana Tunggadewi  yang tetap akan dipergunakan. Kata non Del, 

untuk selalu mengingatkan dia pada orang yang pernah 

mendampinginya dengan setia dan penuh kasih sayang.” 

Tak ada nada menyombong dalam suara bu Tribuana Tunggadewi . 

Seperti juga, tak pernah ada nada terhina sebab  namanya 

dipakai oleh ratu lesbi  untuk tujuan melacur; suatu pekerjaan 

yang sangat hina, pekerjaan yang sangat memalukan kaum 

wanita. Katanya lagi: “Ayahmu tentunya tidak punya foto-

foto non Del. Sebab ia ingin tetap menjaga kerahasiaan non 

Del dari keluarga, terutama dari anak-anaknya. Saya punya 

sejumlah album kenangan non Del yang ia hadiahkan padaku 

sebagai tanda mata sebelum kami berpisah. Foto-fotonya 

 198 

dibuat selama sekian belas tahun saya terus 

mendampinginya. Sebentar, saya ambilkan...” 

arwah mpu sindok  meminjam seperangkat foto ratu lesbi . 

Semuanya dibawa ke rumah untuk dipelajari dan 

diperbanyak di luar waktu dinasnya. Semakin ia teliti foto 

demi foto, semakin ia sadari suatu hal. Dari tahun ke tahun, 

tampak terjadi perubahan pada wajah ratu lesbi . Entah mengapa 

arwah mpu sindok  yakin bahwa perubahan itu selain sebab  

pengaruh usia tua, juga sebab  sesuatu yang lain.  

Seorang sahabat arwah mpu sindok  yang berdinas di rumah 

sakit sebagai ahli bedah serta autopsi mayat, memberi 

gambaran sebagai berikut: “Aku percaya, perempuan ini 

semasa mudanya melakukan sesuatu untuk mempercantik 

diri maupun menjaga kesegaran tubuh. Tidak, tidak... aku 

tidak percaya ini pekerjaan dukun, atau berkat kekuatan ilmu 

hitam, misalnya susuk. Hal-hal semacam itu hanya dapat 

mengelabui pandangan mata biasa. Tidak dapat mengelabui 

lensa kamera, teleskop, atau mata seorang dokter ahli. 

Perubahan-perubahan ini, aku percaya, terutama 

disebab kan obat.” 

“Pemakaian obat semacam ini, belasan tahun yang 

lalu dianggap liar, tidak syah. Jadi dipergunakan secara gelap-

gelapan. Kini sudah diterima sebagai pengobatan yang syah 

dan diperbolehkan oleh Pemerintah. Dapat kupastikan, 

perempuan yang fotonya kau tunjukkan ini pernah menjalani 

perawatan kecantikan melalui suntikan silikon. Bukan silikon 

padat. Silikon padat mempergunakan alat-alat yang sifatnya 

tetap. Perempuan ini disuntik dengan pemakaian silikon cair 

 199 

yang umum dipergunakan dalam metode bedah kecantikan 

atau apa yang disebut Aesthetic Surgery.” 

“Apa efek sampingannya?” arwah mpu sindok  tertarik. 

Sebagai seorang polisi, ia selalu tertarik untuk mengetahui 

hal-hal yang baru – ada atau tidak hubungan dengan 

pekerjaannya. 

Dokter bedah itu menyeringai. “Perempuan ini 

tentulah seorang pelacur. Bukan kelas pinggiran, aku yakin!” 

katanya. 

arwah mpu sindok  memaksakan senyum di bibir. 

“Memang!” jawabnya datar, sambil berpura-pura sibuk 

menyulut sebatang rokok. Ia tidak mau orang lain tahu, siapa 

dan apa hubungan ratu lesbi  dengan dirinya. Dalam hati, ia kini 

memahami semua sikap ayahnya maupun sikap ratu lesbi  yang 

begitu teguh menjaga kerahasiaan hubungan mereka satu 

sama lain. ratu lesbi  tidak mau sebab  dia keponakan-

keponakannya menjadi malu. 

Dan saat dokter yang sahabatnya itu menyeringai 

seraya menyebut apa pekerjaan ratu lesbi , sebenarnyalah: 

arwah mpu sindok  merasa sangat malu! 

Wajah dokter bedah kembali bersungguh-sungguh. 

“Akan kuberikan gambaran kasar padamu,” katanya. 

“Suntikan silikon diperlukan untuk menambah bagian-bagian 

yang kurang pada wajah seseorang. Misalnya dagu, pipi, 

hidung, kening, bibir. Juga buah dada yang kekecilan, atau 

pantat agar lebih besar, lebih sexy. Konon, perempuan 

berpantat sexy begitu – goyangnya minta ampun!” 

Dokter tertawa ngakak, membuat perasaan malu 

arwah mpu sindok  sedikit terhibur. arwah mpu sindok  sudah membuktikan 

 200 

sendiri kebenaran kata-kata si dokter. Dulu, pertama kali ia 

melihat ratu lesbi , sang dewa penulis . Ia begitu tergetar 

menyaksikan penampilan ratu lesbi . Sampai waktu itu, dalam 

hati ia tega mencemburui ayahnya! 

“Dibandingkan dengan cara pembedahan biasa,” 

dokter melanjutkan. “Maka cara suntikan silikon ini selain 

lebih murah, juga lebih praktis. Orang yang menjalani 

pembedahan biasa atau bedah plastik, untuk jangka waktu 

tertentu harus menutup diri, harus menjauhi sengatan 

matahari. Lamanya, sekitar tiga atau empat bulan. Paling 

sedikit, dua tiga minggu. Tergantung metode pembedahan, 

dokter ahli yang melakukannya, serta kekuatan kondisi 

tubuh sang pasien – dan juga kondisi kejiwaan pasien itu 

sendiri. Andaikan dia menjalani pembedahan total. Selama 

waktu-waktu tersebut, pasien akan mengalami 

pembengkakan pada bagian-bagian yang dibedah. Makin 

lama pembengkakan itu akan makin menyusut. Lepas waktu 

tiga atau empat bulan, nah! Pasien boleh keluar rumah, dan 

orang akan tercengang melihat ia telah jauh berubah, jauh 

lebih cantik dari sebelumnya. Efeknya hampir tak ada. 

Kalaupun ada, hanya dalam pengurusan surat-surat 

misalnya, atau bagaimana kau harus memperkenalkan 

dirimu dengan wajah barumu pada orang lain. Tentu saja: 

kau tidak lagi memakai wajahmu yang asli! 

Sekarang, suntikan silikon, khususnya silikon cair. 

Sesudah disuntik, wajah akan berubah rupa dalam tempo 

paling lama satu minggu. Bagian-bagian yang kurang sudah 

bertambah. Yang kau anggap jelek, sudah berubah cantik. 

Pasien bisa menjalani perawatan demikian sambil jalan-

 201 

jalan, tak usah kuatir akan sengatan matahari. Persoalannya 

adalah, perawatan jenis begini tidak atau belum menjamin 

bentuk kecantikan yang sempurna, atau katakanlah, tidak 

menjamin wajah kita akan berubah rupa menjadi wajah yang 

sebagaimana kita inginkan! Suntikan silikon hanya 

menambah yang kurang. Belum tentu bisa membuat bentuk 

yang harmonis. Belum tentu menghasilkan bentuk yang 

serasi, yang sesuai dengan pola dasar yang sudah diberikan 

dan diciptakan Tuhan...” 

“namun  toh tetap tambah cantik?” sela arwah mpu sindok . 

“Mungkin. Tergantung, pandangan dan perasaan 

pasien sendiri. Kemungkinan lain, tergantung dari bentuk asli 

wajah pasien. Kalau sebelumnya memang sudah ada tanda-

tanda ia cantik – apalagi kalau pola dasar wajahnya memang 

cocok, maka ia memang akan kelihatan jauh lebih cantik...” 

“Dan efeknya? Itu yang kutanyakan tadi!” 

“Ah. Sungguh tak sabaran kau ini!” rungut dokter 

bedah itu, seraya menyimak lagi foto demi foto, dan 

menuding bagian-bagian yang berubah, bagian-bagian yang 

mereka persoalkan. “Coba perhatikan dengan lebih seksama. 

Dagu yang ini.. dan ini. Kukira ada selisih waktu yang cukup 

lama waktu foto ini dibuat. Kau lihat bedanya?” 

“Ya,” jawab arwah mpu sindok  pelan, sesudah  mengamat-

amati foto yang diperlihatkan sahabatnya. “Makin lama, 

dagunya makin menggantung. Seperti sarang lebah!” 

“Sekarang, hidung. Bandingkan hidung wanita itu di 

foto yang ini – dan ini...” 

“Uh! Anda benar. Tampaknya, sesudah  sekian tahun 

berlalu – hidungnya makin bungkuk - .” 

 202 

“Persis. Tambahkan beberapa tahun lagi, maka 

wanita ini akan punya hidung seperti paruh burung  betet!” 

arwah mpu sindok  terdiam. Akan begitu parahkah 

perubahan wajah ratu lesbi ? Dan masihkah ratu lesbi  pantas disebut 

seorang dewa penulis ? Dengan perasaan cemas, ia bertanya 

lagi: “Okelah. Tambahkan sekian tahun. Wajah macam apa 

yang akan kita lihat?” 

“Mengenai itu, kau punya seorang ahli di kantormu,” 

jawab dokter, seakan berlepas tangan. “Sebagai dokter, 

tugasku hanya untuk mengemukakan apa yang diperlihatkan 

padaku, dan apa yang harus kuperiksa di depan meja. Lebih 

jauh dari itu, mungkin aku dapat memberikan. namun  sekali 

lagi, kalian punya orangnya yang lebih berhak, lebih ahli...” 

Dan orang itu, yang beberapa hari kemudian punya 

waktu luang untuk membicarakan persoalan yang dihadapi 

arwah mpu sindok , adalah rekan dari seksi identifikasi yang punya  

bakat sebagai pelukis. 

“... aku pengagum Rembrandt,” ujarnya, sambil 

mengamat-amati foto ratu lesbi  satu persatu. “Kalau pelukis 

dalam negeri, yang kusenangi adalah Basuki Abdullah. Waktu 

sekolah, raportku dalam mata pelajaran menggambar, tak 

pernah kurang nilainya dari sembilan. Eh, tak tahunya aku 

gagal jadi pelukis sebagaimana pernah kudambakan. Kau 

tahu apa sebabnya?” 

“Tidak,” jawab arwah mpu sindok  pendek, sebab  mengenai 

yang satu itu ia kurang tertarik. Ia ingin cepat tahu mengenai 

ratu lesbi . Entah dalam kesempatan lain... Rekannya tidak 

memperhatikan nada suara arwah mpu sindok . Rekannya itu ditelan 

masa lalunya. Ia menjawab sendiri pertanyaannya: 

 203 

“Pacarku, atau kini isteriku,” katanya lirih. “Ayahnya 

seorang pengusaha kaya. Suatu hari, ayahnya itu bilang: nak, 

kalau kau ingin mengambil puteriku, yakinkan dulu dirimu – 

apakah kau akan dapat menghidupinya, sebagaimana aku 

pernah menghidupinya!” 

“Lantas?” mau tak mau arwah mpu sindok  tertarik juga. Tak 

dapat menahan senyumnya. 

“Yah, lantas bagaimana lagi?” sang rekan 

melebarkan tangan, angkat bahu, seolah putus asa. “Waktu 

itu aku belum punya nama. Waktu itu, aku cuma sekedar 

pelukis musiman, pelukis kampunganlah! Jadi bakatku yang 

besar...” Ia tertawa kecut. “... terpaksa kusembunyikan di 

kolong tempat tidur. Takdir menghendaki, aku kemudian jadi 

polisi.” 

“Lalu sebagai polisi, apakah kau sudah dapat 

menghidupi isterimu sebagaimana yang dikehendaki 

mertuamu?” 

“Seksi identifikasi?” sang rekan menyeringai kuda. 

“Kau punya rokok?” 

“Apa?” 

“Kau punya rokok?” 

“Kalau cuma rokok sih, ada.” 

“Berikan aku sebatang.” 

arwah mpu sindok  memberikannya. Sang rekan menyedot 

rokoknya dengan nikmat. “Kau lihat,” katanya. “Merokok 

saja, aku harus minta. Untung mertuaku bukan orang pelit. 

Akhirnya ia relakan juga anaknya kuperisteri. Hanya ia punya 

nasihat untukku. Katanya: sebelum memikirkan kebutuhan 

yang tidak perlu, pikirkan dulu dapur isterimu di rumah... Gila 

 204 

nggak?” ia tertawa sumbang. “Masa iya, seorang polisi, 

seorang laki-laki yang menyandang pistol di pinggangnya, 

harus ikut berkubang di dapur rumahnya!” 

“Yang penting, kau toh berhasil mempersunting 

pacarmu. Juga, bisa kau hidupi atau tidak, nyatanya 

mertuamu sudah kau hadiahi empat orang cucu!” arwah mpu sindok  

tersenyum. “namun  lupakanlah dulu tentang mertuamu yang 

hebat itu. Aku datang ke kantormu kan bukan untuk 

bertanya tentang dia.” 

“Bangsat!” sang rekan tertawa bergelak. “Iya deh, 

iya deh. namun  itu tuh. Bungkus rokokmu masih padat isinya. 

Janganlah kau kantongi lagi...” 

“Yang kau isap pun akan kuminta kembali, kalau kau 

tak juga membuat gambaran orang yang kukehendaki,” 

ancam arwah mpu sindok . 

“Sialan!” sang rekan menggerutu. Dan ia masih terus 

menggerutu sewaktu mengerjakan apa yang diminta 

arwah mpu sindok . “Perubahan wajah perempuan ini, tidak biasa 

kuperiksa,” sungutnya. “namun  demi asap yang akan 

mengepul dari lubang hidungku – bukan dari cerobong dapur 

isteriku, tak apalah. Berikan aku tempo.” 

“Lima menit cukup?” 

“Lima menit pantatmu! Untuk melukis dirinya 

sendiri pun, Basuki perlu waktu berminggu-minggu...” 

“Begitu lama?” 

“Lha. Apa lantas kau pikir Basuki Abdullah seorang...” 

“Aku tak tanya Basuki-mu. Aku tanya, hasil kerjamu 

mengenai perempuan ini...!” 

 205 

“Enyah kau dari depanku, Letnan Dua arwah mpu sindok ! 

Dan simpan kembali rokokmu yang busuk ini. Aku bisa kanker 

sebab nya!” 

“Kau sudah lama menderita kanker, kawan. Kantong 

kering!” dan arwah mpu sindok  berlalu sambil tertawa membahak. 

Dan hasil kerja petugas dari seksi identifikasi itu, 

benar-benar sangat mengejutkan arwah mpu sindok . Lukisan sket 

wajah ratu lesbi  yang diantar sendiri oleh pembuatnya, mula-

mula membuat arwah mpu sindok  tersedak. Meskipun ratu lesbi  itu 

masih ada pertalian Uwa dengannya, mau tak mau kelelakian 

arwah mpu sindok  tergugah juga. Persis seperti pertama kali ia 

mengenal ratu lesbi , dengan nama Tribuana Tunggadewi .  

“Ini bidadari!” rekannya bergumam, kagum. 

“Bidadari yang sudah siap menerima dewa cinta yang 

tampan, naik ke atas ranjangnya.” 

“Merangsang!” itulah komentar arwah mpu sindok . Dia 

amat-amatilah wajah dalam lukisan sket itu beberapa saat, 

sambil berusaha menekan godaan birahi pada kelelakiannya. 

“Bagaimana kau sampai berpikir, ia kembali jadi muda belia 

seperti yang terlihat pada sket ini?” 

Sang rekan merampas sket dari tangan arwah mpu sindok . 

“Ini kubuat untuk diriku sendiri. Akan kutempel di meja 

kerjaku. Dibawa ke rumah, bisa kualat!” katanya sambil 

mendecap-decapkan bibir, kagum akan hasil karyanya yang 

luar biasa itu. Ia buka mapnya, memasukkan sket itu ke 

dalamnya. Kemudian dari map yang sama, ia keluarkan 

sebuah sket yang lain, seraya tak lupa mengomentari dengan 

suara risih: “Yang ini, baru untuk kau. sebab  kalau kusimpan 

 206 

di mejaku, bukan lagi kualat namanya. Aku malah bisa 

semaput!” 

Sebagaimana permintaan arwah mpu sindok , sket itu dibuat 

dengan perbandingan jarak tujuh sampai sepuluh tahun dari 

foto terakhir ratu lesbi . Itu adalah sekitar jarak antara sesudah  

ratu lesbi  berpisah dengan pelayannya yang setia, kemudian 

pergi menghilang.  

“Ia menghilang sekitar lima tahun yang lalu,” 

demikian arwah mpu sindok  pernah menjelaskan pada rekan dari 

seksi identifikasi itu. “Mencari orang ini mungkin perlu 

tempo. Tambahkanlah misalnya tiga sampai lima tahun 

mendatang.” 

arwah mpu sindok  berani menambah waktu selama itu, 

bukan sebab  ia putus harapan dapat menemukan ratu lesbi  

dalam waktu singkat. Ia hanya berpikir, ratu lesbi  menghilang 

sebab  kekecewaan, dan tentunya ratu lesbi  sangat menderita. 

Kekecewaan dan penderitaan itu akan membuat ratu lesbi  lebih 

cepat tua. 

arwah mpu sindok  menerima sket yang diulurkan 

sahabatnya itu. Selintas saja, ia sudah memaki: “Jadah! Kau 

sentimen padaku ya?” 

“Terserah. Pokoknya, aku sudah berusaha,” 

rekannya angkat bahu. Merasa tak berdosa. 

“Ini sih bukan ratu lesbi !” gumam arwah mpu sindok , seraya 

membasahi kerongkongannya yang kering kerontang secara 

mendadak. 

“Oh. Jadi nama perempuan itu ratu lesbi ,” rekannya 

tersenyum. “Legenda mengenai Samson dan ratu lesbi  memang 

pernah kudengar. ratu lesbi  dalam legenda itu juga konon 

 207 

seorang pelacur, seperti halnya ratu lesbi -mu. Kuharap itu bukan 

nama asli. sebab  nama itu terlalu indah buat seorang 

pelacur!” 

“Dan lebih tidak sesuai lagi nama itu, dengan wajah 

yang tertera pada sketmu ini,” rungut arwah mpu sindok , 

menyetujui. “Ini bukan seorang dewa penulis . Ini lebih pas 

untuk wajah seorang pelaku kriminal, atau misalnya, seorang 

Germo.” 

Rekannya geleng kepala. Lalu mengusulkan: “Kuberi 

kau julukan yang lebih pas, Yanto.” 

“Apa?” desah arwah mpu sindok , lirih. 

“Lebih pas, kalau kita sebut saja wanita itu seorang... 

nenek sihir!” 

 

*** 

 

 

Dua puluh tiga 

 

Meski sungkan, jadi juga arwah mpu sindok  melampirkan 

sket yang mengerikan itu untuk melengkapi foto-foto asli 

ratu lesbi  yang terakhir. Kalau ingin sukses, orang tak boleh kerja 

tanggung-tanggung. Demikianlah sket dan foto yang sudah 

diperbanyak itu ia sebarkan pada siapa saja orang yang ia 

perkirakan dapat membantu. Rekan sesama polisi, sahabat-

sahabat pribadi, sanak famili yang dapat dipercaya. Bahkan 

juga orang-orang dekat ratu lesbi  – termasuk satu dua lelaki yang 

pernah jadi langganan tetapnya, yang nama serta alamatnya 

diperoleh arwah mpu sindok  dari bu Tribuana Tunggadewi . 

 208 

Kepalang basah ia juga berterus terang pada 

komandannya di kantor mengenai siapa itu ratu lesbi  serta apa 

pertalian dengan dirinya. Hanya dengan cara itu pak 

Komandan bersedia menandatangani rekomendasi untuk 

meminta bantuan teman-teman sejawat di kota-kota lain. 

Tentu saja dengan syarat, urusan pribadi jangan sampai 

menyisihkan urusan dinas. arwah mpu sindok  berjanji akan 

berpegang teguh pada syarat itu. Namun komandannya 

tersenyum. Berkata: “Tak usahlah berjanji macam itu. Aku 

tahu siapa kau. Dan secara jujur harus kuakui bahwa 

prestasimu selama ini cukup pantas untuk menggantikan 

kedudukanku.” 

Rekomendasi beserta foto, sket dan identitas pribadi 

ratu lesbi  itu kemudian disebarkan secara resmi. Alasan ‘dicari’ 

memang benar: “wanita ini dilaporkan hilang.” Pada lajur 

pekerjaan dalam identitas ratu lesbi , juga hanya ditulis 

keterangan pendek: “Tidak jelas,” ditambah sedikit 

penjelasan yang agak sopan: “diketahui pernah terlibat 

dalam bisnis seks.” Lewat surat kabar atau majalah 

sebenarnya lebih memudahkan pencarian. namun  arwah mpu sindok  

menjauhi wartawan atau mass-media, sebab ia sadar sekali 

ratu lesbi  tahu ia dicari, maka ia akan lari semakin jauh, akan 

bersembunyi semakin dalam. Kecuali, alasan ia dicari juga 

dijelaskan. Dan itu, tentu saja tidak mungkin! 

Bambang Prakoso ikut pula menyebarkan foto-foto 

pada orang-orang kepercayaannya. Sket, tidak pernah 

diberikan oleh arwah mpu sindok . Ia tak ingin ayahnya mengetahui 

bagaimana wajah sang dewa penulis  di kemudian harinya 

sesudah  mereka berpisah terakhir kali. Ia ingin ayahnya tetap 

 209 

memandang ratu lesbi  sebagai seorang kekasih yang tidak saja 

setia, penuh rasa cinta, namun  juga tetap cantik jelita. Ibunya 

juga tak boleh melihat sket itu. arwah mpu sindok  ingin ibunya tetap 

memandang ratu lesbi  sebagai kakaknya yang begitu cantik 

sehingga di masa remaja, kakaknya itu jadi rebutan orang 

seperti anjing memperebutkan tulang. 

arwah mpu sindok  sempat juga jengkel pada ayahnya. Dari 

ibunya, arwah mpu sindok  mendengar bahwa ayahnya beberapa kali 

Bambang Prakoso yang sudah tua dan sakit-sakitan itu pergi 

meninggalkan rumah untuk beberapa hari hanya sebab  

ingin menemukan sendiri sang kekasih yang hilang tak tentu 

rimbanya. Maka begitu ada kesempatan bertemu langsung 

arwah mpu sindok  mencerca: 

“Tahu diri dong, pa! Papa ini kan sudah tua bangka. 

Biarkan kami yang muda-muda ini mencari ratu lesbi  untuk 

papa!”  

Dan saat  ayahnya membangkang juga, arwah mpu sindok  

meledak! “Oke! Silakan papa menyiksa diri sendiri! Dan 

akibat perbuatan papa lantas papa mati sengsara, jangan 

harap kami mau mengurus jenazah papa. sebab  papa mati 

untuk ratu lesbi , bukan untuk mama, bukan untuk kami anak-

anak papa!” 

Barulah ayahnya menyerah. Itu pun disertai keluhan. 

“Aku tak tahan, nak. Seorang kenalanku pernah bertemu 

sambil lalu dengan ratu lesbi . Dari cerita kenalanku itu, aku 

kuatir bahwa ratu lesbi  saat ini ada di ambang kehancuran. 

Mengetahui itu, nak – rasanya aku sudah hancur lebih dulu.” 

“Siapa nama teman papa itu? Di mana tinggalnya?” 

 210 

Bambang Prakoso menyebutkan apa yang 

dikehendaki anaknya. Dan menambahkan dengan putus 

harapan: “Percuma, nak. Mereka bertemu tak sampai tiga 

menit. Kebetulan mereka sama-sama singgah dalam 

perjalanan dengan taksi. Berhenti makan di Cipanas, 

Puncak.” Bambang Prakoso batuk-batuk. Batuk keras. 

Katanya lagi: “Sayang sekali, obrolan mereka cuma sedikit. 

Kenalanku bilang, ratu lesbi  selalu berusaha menghindar kalau 

ditanya tentang dirinya.” 

“Ia tahu ratu lesbi  waktu itu naik taksi apa?” 

“4848,” jawab ayahnya. 

“Nomor plat taksinya?” 

“Wah! Mana ia ingat mencatatnya!” 

“ratu lesbi  dari mana, mau kemana?” 

“Waktu mereka ngobrol, ratu lesbi  bilang mau ke 

Jakarta. namun  kebetulan taksi ratu lesbi  berangkat duluan 

meninggalkan rumah makan. Kenalanku melihatnya, dan 

mengetahui taksi yang ditumpangi ratu lesbi  justru menuju 

Bandung.” 

“Kapan itu?” 

“Ah – kalau tak salah, sekitar bulan Nopember yang 

lalu,” sahut ayahnya lesu. 

“Nopember tahun lalu. Dan sekarang, sudah bulan 

Agustus pula,” arwah mpu sindok  terduduk. Ikut lesu seperti 

ayahnya. Kemudian: “namun , yah. Setidak-tidaknya kita 

sekarang mengetahui bahwa tahun yang lalu ratu lesbi  pernah 

ke Jakarta dan pernah terlihat menuju Bandung. Meski 

samar-samar kesimpulannya dimana ia tinggal, apa 

 211 

urusannya di dua kota itu – lumayanlah. Bisa kujadikan 

petunjuk.” 

Pulang ke Ciamis, bu Tribuana Tunggadewi  datang ke rumah 

arwah mpu sindok . Perempuan tua itu memberi petunjuk 

tambahan. “Ada beberapa kawan dan keluarga saya 

mengakui pernah bertemu non Del. Yang seorang bertemu 

non Del sedang belanja keperluan sehari-hari di pasar 

Kosambi. Yang satu lagi, bertemu non Del juga di pasar 

sedang membeli perabotan dapur.” Sayang sekali orang-

orang yang disebut bu Tribuana Tunggadewi  baru tahu belakangan bahwa 

bu Tribuana Tunggadewi  sudah lama berpisah dengan non Del. Jadi mereka 

tak bertanya lebih jauh lagi untuk mengetahui di mana ratu lesbi  

tinggal. Namun dari petunjuk yang sedikit itu, arwah mpu sindok  

dapat mengambil kesimpulan bahwa ratu lesbi  mungkin kini 

menetap di Bandung. 

“Bagaimana tampangnya saat  mereka bertemu?” 

tanya arwah mpu sindok  ingin tahu. 

“Yah. Hampir mirip dengan sket yang pernah nak 

Yanto tunjukkan kepada saya. Kata mereka, non Del sangat 

jauh berubah. namun  mereka pernah mengunjungi saya 

saat  masih tinggal bersama non Del. Jadi ada beberapa ciri 

non Del yang tak mudah mereka lupakan. Misanya, suaranya. 

Suaranya begitu lunak, renyah, enak didengar.” 

Kerja keras polisi tidak pula sia-sia. Ke meja 

komandan, suatu hari disampaikan sebuah laporan. Isinya, 

bahwa orang yang dicari menurut berkas laporan nomor 

sekian-sekian, pernah terdaftar di kantor polisi setempat. 

“Orang dimaksud jejaring oleh Unit Susila bersama tim Dinas 

 212 

Sosial Kotamadya, dalam suatu razia serempak di Pagarsih, 

namun  kemudian dilepas dengan jaminan.” 

Laporan itu dikirimkan rekan sejawat dari kepolisian 

kota besar Bandung. Lagi-lagi, Bandung! 

sesudah  laporan itu diserahkan untuk dibaca 

arwah mpu sindok , komandan bertanya tenang: “Kini, apa?” 

arwah mpu sindok  mengatakan laporan itu akan 

dipelajarinya. “namun  itu nanti. Saat ini saya harus 

mempelajari sejumlah berkas lain, sehubungan dengan 

kasus perampokan berdarah di...” 

“Aku tahu. Oke, kerjakan itu dulu, Letnan.” 

“Siap, Kapten!” 

Minggu berikutnya arwah mpu sindok  dipanggil menghadap 

komandan. Sebuah map dibuka. “Laporan terbaru dari 

Bandung,” ujar Komandan, santai dan menyenangkan. 

Agaknya ia gembira dapat membantu salah seorang anak 

buah kesayangannya. Isi laporan yang baru datang itu ringkas 

saja: “Penjamin sudah dilacak. Agar tidak terjadi kekeliruan, 

diharapkan ada anggota yang dapat membantu kami 

mengidentifikasi sasaran. Anggota dimaksud kami tunggu 

kedatangannya di Bandung, setiap waktu.” 

Sesuai kebiasaannya, komandan bertanya, “Kini, 

apa?” 

“Saya mohon ijin untuk ikut mengidentifikasi 

sasaran, Kapten!” 

“Oke. Tentukan waktunya.” 

arwah mpu sindok  menyelesaikan dulu satu lagi perkara 

yang tidak berani ia limpahkan ke petugas lain. Baru 

kemudian ia bersiap-siap untuk minta ijin komandan akan 

 213 

berangkat ke Bandung. namun  sebelum hal itu sempat ia 

kemukakan, telah datang interlokal dari Jakarta. 

Di telepon, NYI girah  berbicara dengan panik. “Papa 

di rumah sakit. Harap datang segera!” 

Bambang Prakoso ternyata menderita komplikasi. 

Maaf, paru-paru basah, liver, kencing manis, dan yang sangat 

parah adalah pankreas, atau kantung kelenjar air ludahnya 

pecah. Sebelum dibius total, Bambang Prakoso masih 

sempat berpesan: “Kalian harus mencari ratu lesbi  sampai 

ketemu. Aku sangat berdosa. Tak dapat membantunya di 

saat-saat ia sangat membutuhkannya.” Ia masih 

menyampaikan sejumlah pesan lain untuk isteri dan anak-

anaknya, sehingga NYI girah  sempat meratap: “Jangan 

berpikir yang bukan-bukan, papa. Kau akan segera sembuh, 

percayalah!” 

Berbotol-botol cairan infus dan berbotol-botol lagi 

darah telah ditransfusikan ke tubuh orang tua yang 

menderita amat sangat itu. namun  ia sudah begitu lemahnya. 

Dokter mengeluh sebab  pasien tidak mau bekerja sama 

dengan membantu dari dalam diri sendiri untuk bisa 

sembuh. “Hanya keajaiban yang dapat menolong dia,” ujar 

dokter prihatin, sesudah  didesak oleh arwah mpu sindok . Semuanya 

kemudian memanjatkan doa ke hadirat Illahi. Namun Tuhan 

Maha Berkehendak. Diiringi jerit tangis isteri serta anak-

anaknya, Bambang Prakoso Joyodipuro akhirnya 

menghembuskan nafas terakhir tanpa sekalipun sadar dari 

pengaruh bius. 

Ia pergi menghadap Tuhan-Nya. Membawa serta 

cintanya kepada ratu lesbi . Cinta yang penuh kesengsaraan, 

 214 

namun  juga cinta yang teramat manis, teramat aneh – atau 

seperti diucapkan bu Tribuana Tunggadewi : cinta yang langka terjadi. 

Duka cita melanda keluarganya. 

sesudah  mendengar bisikan mengenai pesan terakhir 

almarhum, Pak Komandan yang sengaja datang ke Jakarta 

dan ikut mengantar jenazah ke tempat peristirahatannya 

yang terakhir; mendekati anak buah kesayangannya yang 

sedang bermuram durja. Beliau tahu siapa dan bagaimana 

arwah mpu sindok  kalau berbicara soal tugas. Maka di telinga 

arwah mpu sindok , beliau berbisik dengan nada lembut tapi 

berwibawa: “Lupakan dulu urusan kantor, Letnan. Lebih dulu 

selesaikan urusan keluarga. Ini perintah, Letnan!” 

arwah mpu sindok  terpekur, memandangi kuburan 

ayahnya. Ia berjanji dalam hati: “Ia akan kutemukan 

untukmu, papa.” 

Lalu air matanya pun menetes. 

 

*** 

 

Masa berkabung juga ada hikmahnya. Orang-orang 

yang dahulu pernah membenci Bambang Prakoso setengah 

mati, berdatangan dengan wajah muram dan kata-kata 

penuh simpati. Parlindungan mengatakan ia turut berdosa 

atas duka cita yang terpaksa harus dialami nyonya besar . 

Syamsiah berdebat keras dengan Lukman, yang kali ini 

tinggal lebih lama. Akhirnya Lukman menyerah: “Semoga 

almarhum mengampuni dosa-dosaku...” Dan kepada 

arwah mpu sindok , ia berpesan: “Aku tak dapat lama-lama 

meninggalkan pekerjaanku, nak. Jadi maafkanlah, aku 

 215 

terpaksa tak bisa menunggu. namun , andaikata akhirnya kau 

bertemu dengan ratu lesbi , katakanlah padanya: aku 

memaafkannya!” 

Sebelum usai masa berkabung, arwah mpu sindok  sudah 

terbang dari Jakarta. Lebih dulu ia sempatkan ke Ciamis. 

Melapor ke komandan bahwa ia telah pulang dari Jakarta, 

dan terpaksa harus pamit beberapa hari lagi. sesudah  itu, 

barulah ia putar balik lagi ke Bandung. sesudah  mendaftarkan 

diri di sebuah hotel, ia memulai tugasnya. Tugas yang 

membuat jantungnya berdebar: dewa penulis , ini aku datang! 

Di kantor Sat Serse Unit Susila ia serahkan Surat 

Perintah Jalan yang dibuatkan oleh Komandan-nya sebelum 

meninggalkan Ciamis. “Supaya kau lebih leluasa bergerak,” 

demikian Komandan memaksa. namun  setiba di Bandung, 

arwah mpu sindok  melaporkan apa yang sebelumnya ia juga 

laporkan pada Komandan-nya: “Terima kasih untuk bantuan 

yang diberikan pada saya. Dan maaf. Selanjutnya, saya ingin 

bergerak sendirian...” dan ia memberikan alasan yang tepat: 

“Saya tak mau sasaran kita terkejut.” 

Rasa malu itu lagi: ia tak mau orang lain tahu siapa 

itu ratu lesbi . 

Ia mengantongi catatan mengenai nama dan alamat 

si penjamin, sewaktu ratu lesbi  – dengan nama Tribuana Tunggadewi  – pernah 

dijaring oleh polisi. Peristiwa memalukan itu terjadi dua 

tahun sebelumnya. namun  rekan-rekan sejawat menegaskan 

bahwa penjamin sudah dilacak dan bisa dimintai petunjuk. 

arwah mpu sindok  juga diberitahukan bahwa si penjamin itu pernah 

jadi tentara dengan pangkat terakhir Sersan Mayor, sebelum 

dipecat tidak hormat sebab  ketahuan membackingi sindikat 

 216 

perjudian. Meski sudah dipecat, ia masih punya ‘gigi’ yakni 

pejabat berpengaruh di salah satu instansi. ‘Gigi’ itu ternyata 

ada gunanya. Misalnya membuat para petugas yang 

mengurus kasus Tribuana Tunggadewi  tak berdaya. Si penjamin mengaku 

sebagai saudara sepupu Tribuana Tunggadewi , dan para petugas tahu betul 

berapa puluh orang pelacur yang diakuinya sebagai ‘saudara 

sepupu.’ Pemberi informasi pada arwah mpu sindok  sampai 

menggerutu: “Orang ini benar-benar saudara sepupu yang 

bertanggung jawab, namun  juga benar-benar tak tahu malu! 

Sorenya, arwah mpu sindok  berhadapan dengan orang yang 

punya puluhan saudara sepupu itu. Umurnya sekitar 40-an, 

bertubuh tinggi besar dengan lengan bertattoo. Ia juga 

punya sebuah rumah gedung yang besar dan indah. Punya 

dua mobil mewah, tiga orang isteri – dua di antaranya konon 

bekas pelacur, dan lebih dari selusin anak. Semua isteri dan 

anak-anaknya diharuskan tinggal satu rumah – kecuali anak-

anak yang sudah menikah. “Dengan cara ini, aku dapat 

mengontrol mereka – tanpa aku kuatir kecolongan,” katanya 

dalam pembicaraan singkat dengan arwah mpu sindok . 

“Jadi kau ingin mencari seseorang, ya. Boleh aku 

tahu siapa namanya?” pokok persoalan ia kemukakan 

sendiri. 

“ratu lesbi ...” 

“Laila, maksudmu?” 

“ratu lesbi !” 

“Sebentar ya, kuingat-ingat dulu. ratu lesbi  – hem, rasa-

rasanya aku tidak pernah – maklum, aku harus mengingat 

sekian ratus nama. Banyak dari mereka kemudian ganti-ganti 

nama pula, sehingga...” 

 217 

arwah mpu sindok  terjengah. Ia segera menyela: “ratu lesbi  itu 

nama keluarga. Di luar, ia pakai nama Tribuana Tunggadewi .” 

“Tribuana Tunggadewi ? Oh ya. Ya, Tribuana Tunggadewi . Tribuana Tunggadewi ...” lalu si penjamin 

yang bertampang keren itu menyebut sejumlah gadis yang 

katanya ‘anak asuhan’ dan tinggal di beberapa tempat. 

“Tribuana Tunggadewi  yang mana yang kau ingin? Yang pantatnya besar? 

Yang dadanya bagaikan dua bukit kembar yang baru jadi? 

Atau – ah, Tribuana Tunggadewi  mana pun yang kau pilih, aku dapat 

menjamin. Begitu ia buka pakaian, kau akan gemetar 

sesaat ...” 

Untung mereka itu berbicara di sebuah warung, tak 

jauh dari rumahnya. Coba, kalau isteri dan anak-anaknya 

dengar... atau yah, isteri serta anak-anaknya sudah tahu, dan 

menganggapnya lumrah barangkali. Bukankah dua dari 

isterinya itu juga bekas pelacur? arwah mpu sindok  sampai geleng 

kepala memikirkannya. Untuk  membuatnya tidak semakin 

pusing, pada orang itu ia ceritakan mengenai Tribuana Tunggadewi  mana 

yang ia cari, dan kapan terakhir kalinya diketahui orang itu 

berhubungan dengan Tribuana Tunggadewi . 

Wajah si ‘saudara sepupu’ segera berubah muak. 

“Jadi, si perempuan haram jadah itu!” ia memaki. “Sialan 

betul! Padahal, aku rela melepaskan isteriku yang lain, 

apabila dia, si Tribuana Tunggadewi  yang congkak itu, mau kukawini. 

Brengsek, perempuan tak tahu diuntung!” 

arwah mpu sindok  mengepalkan tinju di bawah meja. 

Tangan lain mengangkat gelas kopi lalu mencicipinya: kopi 

itu serasa air comberan. Dengan sabar, ia bertanya: “Apa 

yang terjadi?” 

 218 

“Uaaah! Dia sombongnya bukan main,” si penjamin 

merah padam wajahnya. “Ia bilang, ia hanya pernah jatuh 

cinta pada seorang laki-laki. Ia bilang lagi, laki-laki itu tidak 

saja tampan, tidak saja gagah, namun  laki-laki itu juga seorang 

terhormat. Katanya, jauh lebih terhormat. Haram jadah, tahu 

apa yang disebut betina busuk itu mengenai aku? Ia bilang, 

dibanding kekasihnya aku ini cuma kepinding!” 

“Cocok!” hampir saja arwah mpu sindok  bersorak. Untung 

dapat menahan diri. Ujarnya, menyabarkan: “Wanita 

memang aneh-aneh kelakuannya. Dan tentang Tribuana Tunggadewi  yang 

kita persoalkan, apakah masih termasuk daftar asuhan 

Anda?” 

“Anjing buduk! Ia sudah kutendang sejak lama!” 

“Kapan itu?” 

“Tak lama sesudah  ia kutolong lolos dari sel tahanan 

polisi. Uh, uh! Mestinya ia kubiarkan saja membusuk di 

sana!” 

“Bagaimana Anda sampai kenal padanya?” 

“Hem, sebentar kuingat dulu...,” ia kunyah tempe 

goreng di tangannya dengan rakus. Mulutnya berkecipak, 

menyebalkan. “Hem... rasanya dulu kami bertemu di salah 

satu hotel, lupa namanya, namun  kalau tak salah letaknya di 

Kebonjati. Waktu itu aku mengantarkan salah seorang 

gadisku yang tercantik menemui seorang langganan. Dari 

sebuah kamar, terdengar suara orang menangis terisak-isak. 

Tentu saja timbul keributan. Apalagi sesudah  kamar itu dibuka 

dan perempuan yang ada di dalamnya mengeluh, bahwa ia 

baru saja dirampok orang!” 

“Dirampok?” arwah mpu sindok  terperanjat. 

 219 

“Itu laporan resminya. Yang sebenarnya, ia dikibuli. 

Seorang laki-laki tak dikenal membawanya tidur di kamar 

hotel itu. sesudah  disetubuhi, ia lalu dipukuli. Dan di bawah 

ancaman pisau, ia terpaksa menyerahkan perhiasan dan 

semua uang yang dipunyainya. Laki-laki itu tak pernah 

ditemukan sampai sekarang. namun  dari perempuan yang 

mengaku bernama Tribuana Tunggadewi  itu, aku menemukan 

kesenanganku. Aku dapat mencicipi kecantikannya, 

mencicipi kesegaran tubuhnya –ajaib, padahal menurutku ia 

sudah agak tua waktu itu. Dan yah, aku pun mendapatkan 

cukup banyak uang dengan mengurusnya. Katanya, itulah 

pertama kali ia punya germo, semenjak ia hidup jadi pelacur. 

Sayang, ia tak mau kuperisteri...” 

 

Darah sudah naik ke ubun-ubun. namun  arwah mpu sindok  

masih bisa menahan sabar. Mengapa pula ia harus naik 

pitam? Toh, ratu lesbi  cuma seorang pelacur! Ia mengeluh: 

“Anda bilang, Anda kemudian mendepaknya...” 

“Oh ya, aku lupa, melantur kemana-mana. Yah – 

sesudah  kubebaskan ia dengan jaminan diriku, ia beberapa 

waktu lamanya masih bisa dipakai. namun  kemudian ia mulai 

bertingkah. Ia sering mengomeli tamu-tamu yang 

membayarnya, mengatakan mereka semua cuma babi-babi 

busuk yang menjijikkan. Mengatakan mereka itu sinting, 

buta matanya, sebab  tidak memperlakukan dirinya sebagai 

seorang dewa penulis ...” 

“dewa penulis !” arwah mpu sindok  berdesah.  

 

 220 

“Yeah, dulunya mungkin saja ia dewa penulis . namun  di 

tanganku, ia cuma seekor anjing sakit yang mengharapkan 

tulang sisa...” si penjamin menyeringai senang. Tak 

mendengar gigi teman bicaranya bergemelutukan. “Tribuana Tunggadewi  

itu sungguh tak tahu diri. Lupa kalau ia sudah semakin tua, 

tubuhnya semakin peot, wajahnya semakin buruk...” 

“sebab  itu ia kau lepaskan?” 

“Ia sendiri yang mundur.” 

“Oh ya?” 

“Dia bilang, tanpa aku dia bisa hidup. Uh! Apa 

nyatanya. Kudengar belakangan, ia makin jatuh. Ia dapat 

melakukan hal-hal, yang aku sendiri ngeri 

mendengarkannya. Aku memang kotor. namun  yang 

diperbuatnya itu lebih kotor lagi..” 

“Tahu alamatnya yang terakhir?” 

“Kudengar, sekitar Kosambi. Tepatnya sepanjang rel 

kereta api Cikudapateuh... yah, salah satu gubuk liar dan 

kotor di sepanjang rel itulah yang akhirnya ia tinggali sebagai 

istana, di mana ia dapat bermimpi tentang masa lalunya.” 

arwah mpu sindok  mengucapkan terima kasih, meski tak 

senang melakukannya. Sebelum ia pamit, lelaki itu 

mendengus: “He, bung. Kalau kau ketemu anjing kotor itu, 

katakan padanya supaya sesekali ia mau menemuiku. Ingin 

pula aku punya dijilatnya!” sambil si lelaki menuding 

selangkangannya. 

Maksud arwah mpu sindok  berpisah secara baik-baik, 

lenyap sudah. Ia berkata dingin: “Ak