Tampilkan postingan dengan label homosapien 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label homosapien 1. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Desember 2022

homosapien 1

Sekitar 13,5 miliar tahun lalu, zat, energi, waktu, dan ruang 
tercipta setelah peristiwa yang dikenal sebagai Ledakan Besar 
(Big Bang). Kisah tentang fitur-fitur fundamental alam raya kita 
ini dinamai fisika.
Sekitar 300.000 tahun setelah kemunculannya, zat dan energi 
mulai menyatu menjadi struktur-struktur rumit yang dinamai 
atom-atom; yang kemudian bergabung menjadi molekul-molekul. 
Kisah tentang atom-atom, molekul-molekul, dan interaksinya 
disebut kimia.
Sekitar 3,8 miliar tahun lalu, di sebuah planet bernama 
Bumi, molekul-molekul tertentu bergabung membentuk struktur￾struktur yang cukup besar dan rumit yang disebut organisme. 
Kisah tentang organisme ini dinamai biologi.
Sekitar 70.000 tahun lalu, organisme dari spesies Homo 
sapiens mulai membentuk struktur-struktur yang lebih rumit 
lagi yang dinamakan budaya. Perkembangan selanjutnya dari 
budaya-budaya manusia ini disebut sejarah.
Tiga revolusi penting membentuk jalannya sejarah: Revolusi 
Kognitif mengawali sejarah sekitar 70.000 tahun lalu. Revolusi 
Agrikultur mempercepatnya sekitar 12.000 tahun lalu. Revolusi 
Saintifik, yang baru mulai berjalan 500 tahun lalu, kemungkinan 
akan mengakhiri sejarah dan memulai sesuatu yang benar-benar 
berbeda. Buku ini menceritakan sejarah tentang bagaimana 
ketiga revolusi ini telah memengaruhi manusia dan rekan-rekan 
organismenya.
Manusia sudah ada jauh sebelum ada sejarah. Binatang￾binatang yang sangat mirip manusia modern ada sekitar 2,5 juta 
tahun lalu. Namun, sepanjang banyak generasi yang tak terhitung 
jumlahnya, mereka tidak mampu mengungguli kedigdayaan 
organisme-organisme lain yang berbagi habitat dengan mereka.
Di atas ketinggian di Afrika Timur, 2 juta tahun lalu, 
Anda kemungkinan bisa menjumpai sekumpulan sosok-sosok 
lazimnya manusia: ibu-ibu yang gelisah tengah membuai bayi￾bayi mereka dan kecipak riang anak-anak bermain di lumpur; 
pemuda-pemuda temperamental yang dongkol menentang aturan 
masyarakat dan para tetua yang lelah minta ditinggalkan dalam 
suasana tenang; kaum jagoan dengan dada berdebar-debar yang 
berusaha memikat gadis-gadis cantik lokal dan para nyonya 
rumah yang sudah menyaksikan semua itu. Manusia-manusia 
kuno ini bercinta, bermain, membentuk pertemanan akrab, dan 
bersaing untuk status dan kekuasaan—tetapi begitu juga simpanse, 
babon, dan gajah. Tak ada yang istimewa tentang itu. Tak ada 
satu pun, sekurang-kurangnya manusia-manusia itu sendiri, 
yang punya firasat keturunan mereka suatu hari kelak akan 
berjalan di Bulan, membelah atom, menyibak kode genetik, dan 
menulis buku-buku sejarah. Hal paling penting untuk diketahui 
tentang manusia prasejarah adalah bahwa mereka makhluk yang 
tidak signifikan, tidak memiliki pengaruh lebih besar terhadap 
lingkungan dibandingkan gorila, kunang-kunang, atau ubur-ubur.
Para ahli biologi mengklasifikasi organisme menjadi spesies￾spesies. Binatang-binatang tertentu dikatakan masuk spesies yang 
sama jika cenderung cocok satu dengan yang lainnya, melahirkan 
untuk beranak-pinak. Kuda dan keledai memiliki kesamaan 
leluhur dekat dan punya banyak kesamaan sifat bawaan fisik. 
Namun, kedua spesies itu menunjukkan sedikit ketertarikan 
seksual satu sama lain. Keduanya akan berpasangan jika dipaksa 
melakukannya—tetapi keturunannya, yang disebut bagal, mandul. 
Oleh karena itu, mutasi-mutasi dalam DNA keledai tidak pernah 
bisa menyeberang ke kuda atau sebaliknya. Dengan demikian, 
kedua jenis spesies binatang itu dianggap sebagai dua spesies 
yang terpisah, melintasi jalur-jalur evolusi yang terpisah. Sama 
halnya buldog dan spaniel, mungkin tampak sangat berbeda, tetapi keduanya adalah anggota spesies yang sama, punya kesamaan 
sifat-sifat bawaan DNA. Mereka bisa berpasangan bahagia dan 
anak-anaknya akan tumbuh untuk berpasangan dengan anjing￾anjing lain dan menghasilkan anak-anak anjing.
Spesies-spesies yang berevolusi dari satu lelulur yang sama 
dikelompokkan di bawah nama “genus” (jamak: genera). 
Singa, harimau, macan tutul, dan jaguar adalah spesies-spesies 
yang berbeda dalam genus Panthera. Para ahli biologi melabeli 
organisme-organisme dengan nama Latin yang terdiri dari dua 
kata, genus diikuti spesies. Singa, misalnya, disebut Panthera leo, 
spesies Leo dari genus Panthera. Bisa diasumsikan, setiap orang 
yang membaca buku ini adalah Homo sapiens—spesies sapiens
(bijaksana) dari genus Homo (bijaksana). 
Selanjutnya genera dikelompokkan dalam famili, seperti 
famili kucing (singa, cheetah, kucing piaraan); famili anjing 
(anjing, serigala, rubah, anjing hutan) dan famili gajah (gajah, 
mamut, mastodon). Semua anggota satu famili memiliki garis 
keturunan dari satu nenek moyang atau kakek moyang. Semua 
kucing, misalnya, dari kucing rumahan paling kecil sampai ke 
singa yang paling ganas, punya kesamaan nenek moyang kucing 
yang hidup sekiar 25 juta tahun lalu.
Homo sapiens juga anggota sebuah famili. Fakta yang terang 
benderang ini biasanya menjadi salah satu rahasia sejarah yang 
paling ketat disimpan. Homo sapiens sejak lama memilih untuk 
memandang diri terpisah dari binatang, yatim yang kehilangan 
famili, tak punya saudara atau sepupu, dan paling penting, 
tanpa orangtua. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Suka 
atau tidak suka, kita adalah anggota dari satu famili besar dan 
sangat berisik yang disebut kera besar. Kerabat terdekat kita 
yang masih hidup antara lain simpanse, gorila, dan orangutan. 
Simpanse adalah yang terdekat. Hanya enam juta tahun lalu, satu 
kera betina tunggal punya dua anak perempuan. Satu menjadi 
leluhur simpanse, dan satu lagi adalah nenek buyut kita.
Homo sapiens menyembunyikan sebuah rahasia yang bahkan 
lebih mengusik. Kita tidak hanya memiliki berjibun sepupu tanpa 
peradaban, pada satu masa kita malah punya saudara (perempuan 
dan laki-laki) seperti itu. Kita dulu berpikir hanya kitalah yang 
manusia karena selama 10.000 tahun terakhir, spesies kita 
memang benar-benar satu-satunya spesies manusia yang masih 
ada. Namun, makna sejati dari kata manusia adalah ‘binatang 
yang masuk dalam genus Homo’. Lebih dari itu, seperti yang 
akan kita lihat pada bab terakhir buku ini, dalam waktu yang tak 
begitu lama, pada masa depan kita, kemungkinan akan bersaing 
dengan manusia-manusia non-sapiens. Untuk memperjelas poin 
ini, saya akan sering menggunakan istilah “Sapiens” untuk 
merujuk ke anggota-anggota spesies Homo sapiens, sedangkan 
istilah “manusia” dipertahankan merujuk ke semua anggota genus 
Homo yang masih ada. 
Manusia pertama kali berevolusi di Afrika Timur sekitar 2,5 
juta tahun lalu dari satu genus kera lebih awal yang dinamakan Australopithecus, yang berarti ‘Kera Selatan’. Sekitar dua juta 
tahun lalu, sebagian dari manusia kuno laki-laki dan perempuan 
ini meninggalkan tanah air mereka dalam perjalanan melintasi 
dan menetap di area luas Afrika Utara, Eropa, dan Asia. Karena 
untuk bertahan dalam hutan-hutan bersalju di Eropa utara 
memerlukan kemampuan-kemampuan yang berbeda dari yang 
diperlukan untuk tinggal di belantara Indonesia yang hangat, 
populasi manusia berevolusi ke arah yang berbeda-beda pula. 
Hasilnya adalah beberapa spesies berbeda, yang masing-masing 
oleh para ilmuwan ditandai dengan nama Latin yang mentereng. 
Manusia-manusia di Eropa dan Asia Barat berevolusi menjadi 
Homo neanderthalensis (‘Manusia dari Lembah Neander’), 
yang secara populer dirujuk begitu saja sebagai “Neanderthal”. 
Neanderthal, yang lebih gempal dan lebih berotot daripada kita, 
Sapiens, beradaptasi baik dengan iklim dingin Eurasia Barat pada 
Zaman Es. Semakin ke timur, wilayah Asia dihuni oleh Homo 
erectus, ‘Manusia Tegak’, yang bertahan mendekati dua juta 
tahun, menjadikannya spesies manusia paling awet. Rekor ini 
agaknya tak akan terpecahkan, bahkan oleh spesies kita sendiri. Namun, patut diragukan apakah Homo sapiens masih akan ada 
dalam kisaran seribu tahun dari sekarang, jadi 2 juta tahun jelas 
bukan tandingan kita.
Di Pulau Jawa, Indonesia, hidup Homo soloensis, ‘Manusia 
dari Lembah Solo’, yang cocok dengan kehidupan di wilayah 
tropis. Di pulau lain Indonesia—pulau kecil Flores—manusia 
kuno menjalani proses pengerdilan. Manusia pertama mencapai 
Flores ketika permukaan air laut sangat surut dan pulau itu 
dengan mudah bisa diakses dari daratan utama. Ketika laut 
pasang, sebagian orang terperangkap di pulau, yang miskin 
sumber daya. Orang-orang besar, yang membutuhkan banyak 
makanan, mati lebih dahulu. Sedangkan orang-orang yang lebih 
kecil bisa lebih lama bertahan. Selama beberapa generasi, orang￾orang Flores menjadi kerdil. Spesies unik ini, yang dikenal para 
ilmuwan sebagai Homo floresiensis, mencapai tinggi maksimum 
hanya satu meter dengan berat tak lebih dari 25 kilogram. 
Meski demikian, mereka mampu menghasilkan peralatan dari 
batu, dan bahkan terkadang berhasil memburu gajah-gajah pulau 
tersebut—walaupun, biar adil, gajah-gajah itu juga dari spesies 
kerdil.
Pada 2010, satu lagi saudara yang hilang diselamatkan 
dari pelupaan, ketika para ilmuwan yang mengekskavasi Gua 
Denisova di Siberia menemukan satu fosil tulang jari. Analisis 
genetik membuktikan bahwa jari itu milik spesies manusia yang 
sudah dikenal sebelumnya, yang dinamai Homo denisova. Siapa 
yang tahu berapa banyak kerabat kita yang hilang sesungguhnya 
sedang menunggu untuk ditemukan di gua-gua lain, di pulau￾pulau lain, dan daerah-daerah lain. Ketika manusia-manusia ini 
berevolusi di Eropa dan Asia, evolusi di Afrika Timur juga tidak 
berhenti. Buaian kemanusiaan terus memelihara spesies-spesies 
baru, seperti Homo rudolfensi (‘Manusia dari Danau Rudolf’), 
Homo ergaster (‘Manusia Pekerja’), dan akhirnya spesies kita, yang 
dengan lancang kita namai Homo sapiens (‘Manusia Bijaksana’).
Para anggota dari sebagian spesies ini berbadan besar dan yang 
lainnya kerdil. Sebagian adalah para pemburu yang menakutkan 
dan yang lain penjelajah tumbuh-tumbuhan yang lemah lembut. 
Sebagian hanya tinggal di sebuah pulau, sedangkan banyak yang lain berkelana melintasi batas-batas benua. Namun, semua itu 
tetap anggota genus Homo. Mereka semua manusia.
Ada pandangan yang salah kaprah bahwa spesies-spesies ini 
diatur dalam garis keturunan lurus, yakni ergaster menurunkan 
erectus, erectus menurunkan Neanderthal, dan Neanderthal 
berevolusi menjadi kita. Model linear ini memberi kesan keliru 
bahwa dalam satu kurun waktu tertentu hanya satu tipe manusia 
yang menghuni Bumi, dan seluruh spesies sebelumnya semata￾mata model-model yang lebih lama daripada kita. Yang benar 
adalah bahwa dari sekitar 2 juta tahun lalu sampai 10 ribu tahun 
lalu, dunia menjadi tempat hunian pada waktu yang sama bagi 
beberapa spesies manusia. Dan, mengapa tidak? Kini ada banyak 
spesies rubah, beruang, dan babi. Bumi seratus milenium lalu 
dihuni oleh paling sedikit enam spesies manusia. Eksklusivitas 
kita saat inilah, bukan masa lalu multi-spesies, yang istimewa—
dan mungkin memberatkan. Sebagaimana akan kita lihat segera, 
kita Sapiens memiliki alasan yang baik untuk menindas memori 
tentang saudara-saudara kita.
Harga dari Berpikir
Terlepas dari banyak perbedaannya, semua spesies manusia 
memiliki beberapa kesamaan karakteristik yang mencirikannya. 
Yang paling utama, manusia memiliki otak yang sangat besar 
dibandingkan binatang-binatang lain. Mamalia dengan berat 60 
kilogram rata-rata memiliki ukuran otak 200 sentimeter kubik. 
Manusia laki-laki dan perempuan paling awal, 2,5 juta tahun 
lalu, memiliki otak berukuran sekitar 600 sentimeter kubik. 
Sapiens modern mengusung otak rata-rata 1.200 sampai 1.400 
sentimeter kubik. Otak Neanderthal bahkan lebih besar.
Bahwa evolusi harus memilih otak-otak yang lebih besar bagi 
kita mungkin seperti, yah, tak punya otak. Kita begitu keranjingan 
dengan tingginya kecerdasan kita sehingga berasumsi bahwa 
dalam hal kekuatan serebral, yang lebih besar pasti lebih baik. 
Namun, jika demikian, famili kucing juga tentu menghasilkan 
kucing-kucing yang bisa mengerjakan kalkulus. Mengapa genus Homo menjadi satu-satunya dalam kerajaan binatang yang 
memiliki mesin berpikir begitu besar?
Faktanya adalah bahwa otak jumbo adalah saluran jumbo 
dalam tubuh. Tidak mudah untuk membawa-bawa, terutama 
ketika terbungkus dalam tengkorak yang besar. Bahkan, lebih 
sulit untuk memberinya energi. Dalam Homo sapiens, otak 
menyumbang 2 sampai 3 persen total berat tubuh, tetapi 
mengonsumsi 25 persen energi tubuh ketika tubuh beristirahat. 
Bandingannya, otak kera hanya butuh 8 persen energi saat 
istirahat. Manusia-manusia kuno harus menanggung besarnya 
otak itu untuk dua hal. Pertama, mereka menghabiskan waktu 
lebih banyak untuk mencari makanan. Kedua, otot-otot mereka 
mengalami penyusutan. Layaknya sebuah pemerintahan yang 
mengalihkan dana dari pertahanan untuk pendidikan, manusia 
mengalihkan energi dari otot ke otak. Nyaris tak terelakkan 
untuk menyimpulkan bahwa ini merupakan strategi bagus untuk 
bertahan di savana. Seekor simpanse tak bisa menang berdebat 
dengan Homo sapiens, tetapi kera bisa mencabik-cabik manusia 
seperti boneka butut.
Hari ini besarnya otak berbuah manis karena kita bisa 
memproduksi mobil dan senjata yang memungkinkan kita 
bergerak lebih cepat dari simpanse, dan menembak mereka dari 
jarak aman, ketimbang bergulat. Namun, mobil dan senjata adalah 
fenomena baru. Selama lebih dari 2 juta tahun, jaringan otak 
manusia tumbuh dan terus tumbuh, tetapi di luar pisau batu dan 
tombak, manusia tak punya banyak hal yang bisa diandalkan. 
Lalu, apa yang mendorong maju evolusi otak besar manusia 
dalam waktu 2 juta tahun itu? Sejujurnya, kita tidak tahu.
Satu sifat bawaan tunggal lain yang dimiliki manusia adalah 
bahwa kita berjalan tegak di atas dua kaki. Dengan berdiri, 
lebih mudah menjelajahi savana untuk bermain atau menghadapi 
musuh, dan tangan yang tak diperlukan untuk menggerakkan 
tubuh bebas untuk keperluan lain, seperti melontar batu atau 
memberi isyarat. Semakin banyak hal yang bisa dilakukan 
tangan, semakin sukses pemiliknya sehingga tekanan evolusi 
mendatangkan peningkatan konsentrasi pada otak dan otot-otot 
motorik halus di telapak tangan dan jemari. Hasilnya, manusia bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat rumit dengan 
tangan mereka. Lebih khusus, mereka bisa menghasilkan dan 
menggunakan alat-alat yang lebih canggih. Bukti pertama produksi 
peralatan menunjukkan periode sekitar 2,5 juta tahun lalu, dan 
pembuatan serta penggunaan alat-alat itu menjadi kriteria yang 
dipakai para arkeolog untuk mengenali manusia-manusia kuno.
Meskipun demikian, berjalan tegak memiliki sisi lemah. 
Tulang belulang leluhur primata kita berkembang selama beberapa 
juta tahun untuk mendukung sebuah makhluk yang berjalan 
dengan kaki empat dan memiliki kepala yang relatif kecil. Untuk 
menyesuaikan dengan posisi tegak adalah tantangan, terutama 
jika pijakan harus menopang tengkorak ekstra besar. Manusia 
harus membayar untuk penglihatannya yang bagus dan tangannya 
yang terampil dengan sakit punggung dan leher kaku. Perempuan 
bahkan lebih berat. Berdiri tegak mengharuskan panggul yang 
lebih sempit sehingga mempersempit saluran kelahiran—dan 
semakin berat saat kepala bayi tumbuh menjadi semakin besar. 
Kematian saat melahirkan menjadi bahaya utama bagi manusia 
perempuan. Manusia perempuan yang lebih dahulu melahirkan, 
ketika otak dan kepala bayi relatif lebih kecil dan luwes, bernasib 
lebih baik dan punya lebih banyak anak. Seleksi alamiah dengan 
sendirinya menguntungkan kelahiran-kelahiran yang lebih dahulu. 
Dan sungguh, dibandingkan binatang-binatang lain, manusia 
dilahirkan prematur, ketika banyak dari sistem vital mereka 
masih belum berkembang. Bayi kuda jantan langsung bisa berjalan 
begitu lahir; anak kucing langsung meninggalkan ibunya untuk 
mencari makan saat usianya baru beberapa pekan. Bayi manusia 
tak berdaya, bergantung selama bertahun-tahun kepada orangtua 
untuk ketahanan, perlindungan, dan pendidikan.
Fakta ini memberi kontribusi besar bagi kemampuan sosial 
manusia yang luar biasa dan problem-problem sosialnya yang 
unik. Ibu-ibu yang kesepian hampir tak bisa mencari makan 
untuknya dan anak mereka dengan keberadaan anak di buaian. 
Membesarkan anak membutuhkan bantuan terus-menerus dari 
anggota keluarga lain dan tetangga. Dibutuhkan satu suku 
untuk membesarkan seorang manusia. Dengan demikian, evolusi 
menguntungkan mereka yang mampu membentuk ikatan-ikatan sosial yang kokoh. Selain itu, karena manusia dilahirkan dalam 
keadaan belum berkembang, mereka bisa dididik dan disosialisasi 
pada tingkat yang lebih besar ketimbang binatang mana pun. 
Sebagian besar mamalia muncul dari rahim seperti gerabah 
mengilap yang muncul dari tempat pembakaran—setiap upaya 
untuk mencetak kembali akan menggores atau memecahkannya. 
Manusia keluar dari rahim seperti gelas yang dicairkan di tungku 
pembakaran. Bisa dipilin, ditarik, dan dibentuk dengan derajat 
keleluasaan yang mencengangkan. Itulah mengapa kita mendidik 
anak-anak kita menjadi Kristen atau Buddha, kapitalis atau 
sosialis, penggemar perang atau pencinta perdamaian.
Kita berasumsi bahwa otak besar, penggunaan alat, kemampuan 
belajar yang superior, serta struktur sosial yang kompleks adalah 
keunggulan besar. Sepertinya sudah terbukti dengan sendirinya 
bahwa itu semua menjadikan manusia menjadi binatang paling kuat 
di muka Bumi. Namun, manusia menikmati semua keunggulan 
itu selama 2 juta tahun penuh, ketika mereka tetap menjadi 
makhluk yang lemah dan marginal. Jadi, manusia yang hidup 
satu juta tahun lalu, terlepas dari besarnya otak mereka dan 
tajamnya alat-alat batu mereka, selalu diliputi ketakutan akan 
predator, jarang berburu binatang besar, dan bertahan terutama 
dengan mengumpulkan tumbuh-tumbuhan, menangkap serangga, 
memburu hewan-hewan kecil, dan makan sisa-sisa makanan yang 
ditinggalkan karnivora lain yang lebih kuat.
Salah satu penggunaan paling umum alat dari batu adalah 
untuk membuka tulang agar bisa mendapatkan sumsum. Sebagian 
peneliti percaya bahwa ini merupakan keunggulan orisinal kita. 
Sebagaimana burung pelatuk ahli dalam menyesap serangga dari 
rongga pohon, manusia-manusia awal ahli dalam menyesap 
sumsum dari tulang. Mengapa sumsum? Baik, jika Anda 
mengamati kawanan singa yang dengan bangga melumpuhkan 
serta melahap seekor jerapah. Tunggulah dengan sabar sampai 
mereka selesai. Namun, giliran Anda belum tiba karena pertama￾tama ada hyena dan anjing hutan—dan Anda tak akan berani 
mengusik mereka—mengais sisa-sisanya. Baru setelah Anda dan 
rombongan berani mendekati tulang belulang, tengok hati-hati 
kanan dan kiri, lalu cari lapisan yang masih tersisa.
Ini adalah salah satu kunci untuk memahami sejarah kita 
dan psikologi: Posisi genus Homo dalam rantai makanan, sampai 
masa yang cukup baru, kokoh berada di tengah. Selama jutaan 
tahun, manusia berburu hewan-hewan yang lebih kecil dan 
mengumpulkan apa yang bisa mereka kumpulkan, dan pada 
saat yang sama diburu oleh predator-predator yang lebih besar. 
Baru 400.000 tahun lalu beberapa spesies manusia mulai berburu 
hewan besar secara berkala, dan baru dalam 100.000 tahun 
terakhir—dengan bangkitnya Homo sapiens—manusia melompat 
ke puncak rantai makanan.
Lompatan spektakuler dari tengah ke puncak membawa 
konsekuensi-konsekuensi besar. Binatang-binatang lain di 
puncak piramida, seperti singa dan hiu, berevolusi ke posisi itu 
berangsur-angsur, selama beberapa juta tahun. Ini memungkinkan 
ekosistem berkembang dengan pola keseimbangan yang mencegah 
singa dan hiu menimbulkan terlalu banyak kehancuran. Karena 
singa menjadi semakin mematikan, maka rusa berlari semakin 
cepat, hyena bekerja sama lebih baik, dan badak menjadi 
berperilaku lebih buruk. Secara kontras, manusia yang naik ke 
puncak begitu cepat dalam ekosistem tidak diberi waktu untuk 
menyesuaikan diri. Lebih dari itu, manusia sendiri memang 
gagal untuk menyesuaikan diri. Sebagian besar predator teratas 
di planet adalah makhluk-makhluk gagah perkasa. Jutaan tahun 
kekuasaan memberi mereka kepercayaan diri. Sapiens, sebaliknya, 
lebih seperti sebuah diktator republik pisang (kerajaan yang 
ringkih). Dalam posisi kalah di savana, kita diliputi ketakutan 
dan kecemasan, yang menyebabkan berlipatnya kekejaman 
dan bahaya kita. Banyak bencana historis, dari perang-perang 
mematikan sampai ke bencana ekologis, bersumber dari lompatan 
yang terlalu gegabah ini.
Ras Juru Masak
Satu langkah signifikan dalam jalur menuju puncak itu adalah 
domestikasi api. Sebagian spesies manusia sudah menggunakan 
api sejak 800.000 tahun lalu. Sampai dengan masa 300.000 tahun lalu, Homo erectus, Neanderthal dan beberapa pendahulu Homo 
sapiens, menggunakan api untuk keperluan sehari-hari. Manusia 
kali ini punya satu sumber cahaya dan kehangatan yang bisa 
diandalkan, dan senjata mematikan melawan singa-singa yang 
berkeliaran. Tak lama sesudah itu, manusia mungkin bahkan mulai 
dengan sengaja membakar perkampungan mereka. Pembakaran 
yang dikelola dengan hati-hati bisa mengubah belukar rimbun 
menjadi lahan rumput yang baik untuk bermain. Selain itu, setelah 
api padam, para wiraswasta Zaman Batu bisa berjalan-jalan di 
bekas-bekas asap dan memanen binatang-binatang, kacang, dan 
umbi-umbian yang sudah matang.
Akan tetapi, manfaat terbaik dari api adalah untuk memasak. 
Makanan-makanan yang tidak bisa dimakan manusia dalam 
bentuk alaminya—seperti gandum, padi, dan kentang—menjadi 
unsur pokok dalam makanan kita berkat pemasakan. Api bukan 
hanya mengubah sifat kimiwai makanan, melainkan juga sifat￾sifat biologisnya. Pemasakan bisa membunuh kuman dan parasit 
yang menempel di makanan. Manusia juga menjadi jauh lebih 
mudah untuk mengunyah dan menyantap makanan-makanan 
favorit sebelumnya seperti buah-buahan, kacang, serangga, dan 
daging jika dimasak terlebih dulu. Kalau simpanse butuh waktu 
lima jam sehari untuk mengunyah makanan mentah, satu jam 
saja sudah cukup bagi manusia untuk makan masakan yang 
sudah dimasak.
Kebangkitan memasak memungkinkan manusia makan lebih 
banyak jenis makanan, dan membutuhkan waktu lebih sedikit 
untuk makan, dan itu cocok dengan gigi-giginya yang lebih kecil 
dan usus-ususnya yang lebih pendek. Sebagian sarjana percaya 
ada kaitan langsung antara kemunculan memasak, pemendekan 
usus manusia, dan pertumbuhan otak manusia. Karena usus 
yang panjang dan otak yang besar mengonsumsi lebih banyak 
energi, sulit untuk memenuhi kebutuhan keduanya. Dengan 
pemendekan usus dan berkurangnya konsumsi energi, secara tak 
sengaja memasak membuka jalan menuju otak jumbo Neanderthal 
dan Sapiens.1
Api juga membuka jarak signifikan pertama antara manusia 
dan binatang-binatang lain. Kekuatan hampir semua binatang bergantung pada tubuh mereka: kekuatan otot, ukuran gigi, 
dan lebarnya sayap. Meskipun bisa memanfaatkan angin dan 
arus, mereka tak bisa mengendalikan kekuatan alam, dan 
selalu terhambat oleh desain fisik mereka. Elang, misalnya, 
mengidentifikasi kolom-kolom panas yang naik dari tanah, 
merentangkan sayap raksasanya dan membiarkan udara panas 
mendorong tubuhnya ke depan. Namun, elang tidak bisa 
mengendalikan lokasi kolom-kolom, dan kapasitas dorongnya 
pas secara proporsional dengan rentang sayap.
Ketika manusia mendomestikasi api, mereka mendapatkan 
kendali atas kekuatan yang potensinya terbatas dan apa adanya. 
Tak seperti elang, manusia bisa memilih kapan dan di mana 
menyalakan api, dan mereka bisa mengeksploitasi api untuk 
banyak keperluan. Yang paling penting, kekuatan api tidak 
terbatas pada bentuk, struktur, atau kekuatan tubuh manusia. 
Seorang perempuan dengan batu api atau batang api bisa 
membakar habis satu hutan dalam hitungan jam. Domestikasi 
api adalah sebuah penanda datangnya beberapa hal.
Para Penjaga Saudara-Saudara Kita
Meskipun sudah mendapatkan manfaat api, 150.000 tahun lalu 
manusia masih menjadi makhluk marginal. Mereka memang bisa 
menakut-nakuti singa, menghangatkan diri pada malam-malam 
yang dingin, dan sesekali membakar hutan. Namun, kalau semua 
spesies dihitung, mungkin tak lebih dari satu juta manusia yang 
hidup antara Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Iberia, 
hanya satu titik dalam radar ekologis.
Spesies kita sendiri, Homo sapiens, sudah ada di panggung 
dunia, tetapi sejauh ini baru sibuk dengan urusannya sendiri di 
sebuah sudut Afrika. Kita tidak tahu pasti di mana dan kapan 
binatang-binatang yang bisa diklasifikasi Homo sapiens pertama 
kali berevolusi dari jenis manusia sebelumnya, tetapi kebanyakan 
ilmuwan sepakat bahwa hingga 150.000 tahun lalu, Afrika Timur 
dihuni oleh Sapiens yang tampak seperti kita. Jika salah satu 
dari mereka muncul di rumah mayat modern, ahli patologi lokal tentu mendapati tak ada yang istimewa padanya. Berkat manfaat 
api, mereka punya gigi dan rahang yang lebih kecil dibandingkan 
leluhur mereka, tetapi memiliki otak besar, seukuran otak kita.
Para ilmuwan juga sepakat bahwa sekitar 70.000 tahun lalu, 
Sapiens dari Afrika Timur menyebar ke Semenanjung Arabia, dan 
dari sana mereka dengan cepat menjelajah ke segenap penjuru 
Eurasia.
Ketika Homo sapiens mendarat di Arabia, sebagian besar 
Eurasia sudah dihuni oleh manusia lain. Apa yang terjadi 
pada mereka? Ada dua teori yang saling bertentangan. “Teori 
Perkawinan Silang” menjelaskan cerita tentang daya tarik, seks, 
dan pembauran. Ketika imigran-imigran Afrika menyebar ke 
seluruh dunia, mereka berkembang biak bersama populasi￾populasi manusia lain, dan orang-orang masa kini adalah hasil 
dari perkawinan silang ini.
Misalnya, ketika Sapiens mencapai Timur Tengah dan Eropa, 
mereka mendapati Neanderthal. Manusia-manusia ini lebih 
berotot ketimbang Sapiens, memiliki otak yang lebih besar, 
dan lebih pandai beradaptasi dengan iklim dingin. Mereka 
menggunakan alat dan api, pemburu yang baik, dan merawat 
sesamanya yang sakit dan lemah. (Para arkeolog menemukan 
tulang-tulang Neanderthal yang hidup beberapa tahun dengan 
cacat fisik parah, bukti bahwa mereka dirawat oleh kerabatnya.) 
Neanderthal sering digambarkan dalam karikatur sebagai “orang￾orang gua” kuno yang brutal dan bodoh, tetapi bukti mutakhir 
mengubah citra mereka.
Menurut Teori Perkawinan Silang, ketika Sapiens menyebar 
ke tanah Neanderthal, Sapiens berkembang biak bersama 
Neanderthal sampai dua populasi muncul. Jika benar demikian, 
maka orang-orang Eurasia sekarang tidak murni Sapiens. Mereka 
adalah gabungan dari Sapiens dan Neanderthal. Begitu pula, 
ketika Sapiens mencapai Asia Timur, mereka berkawin silang 
dengan Erectus lokal, jadi orang China dan Korea adalah 
gabungan dari Sapiens dan Erectus.
Pandangan yang berseberang, yang disebut “Teori Penggantian” 
menjelaskan cerita yang sangat berbeda—ketidakcocokan, 
perubahan, dan mungkin bahkan genosida. Menurut teori ini, Sapiens dan manusia-manusia lain punya anatomi yang 
berbeda, dan sangat mungkin punya gaya berpasangan yang 
berbeda, bahkan aroma tubuh yang berbeda. Mereka tak 
mungkin saling tertarik secara seksual. Dan, andaipun seorang 
Romeo Neanderthal dan seorang Juliet Sapiens jatuh cinta, 
mereka tidak bisa menghasilkan anak karena jarak genetika 
kedua populasi itu sudah tak bisa dijembatani. Kedua populasi 
tetap berbeda sepenuhnya, dan ketika Neanderthal mati atau 
dibunuh, gen mereka mati bersama mereka. Menurut pandangan 
ini, Sapiens menggantikan semua populasi manusia sebelumnya 
tanpa percampuran dengan mereka. Jika benar demikian, maka 
garis keturunan semua manusia kontemporer bisa dilacak secara 
eksklusif ke Afria Timur, 70.000 tahun lalu. Kita semua adalah 
“Sapiens murni”.
Banyak sendi dalam perdebatan ini. Dari perspektif evolusi, 
70.000 tahun adalah masa yang relatif singkat. Jika Teori 
Penggantian yang benar, semua manusia yang masih hidup secara 
kasar memiliki kesamaan bawaan genetik, dan perbedaan rasial 
di antara mereka bisa diabaikan. Namun, jika Teori Perkawinan Silang yang benar, mungkin ada perbedaan-perbedaan genetik 
antara orang Afrika, Eropa, dan Asia yang bersumber dari ratusan 
ribu tahun lalu. Ini adalah dinamit politik yang bisa menyediakan 
bahan untuk teori ras yang eksplosif.
Dalam beberapa dekade terakhir ini Teori Penggantian 
menjadi kearifan bersama di bidang ini. Teori ini memiliki 
dukungan arkeologis yang lebih kokoh, dan secara politik lebih 
benar (para ilmuwan tak punya hasrat untuk membuka kotak 
Pandora rasisme dengan mengklaim adanya keragaman genetik 
yang signifikan di antara populasi manusia modern). Namun, 
itu berakhir pada 2010, ketika hasil-hasil dari empat tahun 
upaya untuk memetakan genom Neanderthal diterbitkan. Para 
ahli genetika mampu mengumpulkan cukup DNA Neanderthal 
utuh dari fosil-fosil untuk membuat perbandingan luas dengan 
DNA dari manusia kontemporer. Hasilnya mencengangkan 
komunitas sains.
Ternyata, 1 sampai 4 persen DNA unik manusia dari populasi 
modern di Timur Tengah dan Eropa adalah DNA Neanderthal. 
Itu bukan jumlah yang besar, tetapi signifikan. Kejutan kedua 
datang beberapa bulan kemudian, ketika DNA yang diekstrak 
dari fosil tulang jari Denisova dipetakan. Hasilnya membuktikan 
bahwa sampai dengan 6 persen DNA unik manusia Melanesia 
dan Aborigin Australia adalah DNA Denisova.
Jika hasil itu valid—dan penting untuk dipahami bahwa 
riset lebih jauh sedang berjalan dan mungkin memperkuat atau 
mengubah kesimpulan-kesimpulan ini—Teori Perkawinan Silang 
mendapatkan bukti ada kebenaran di dalamnya. Namun, itu 
tidak berarti bahwa Teori Penggantian salah sepenuhnya. Karena 
Neanderthal dan Denisova berkontribusi DNA hanya dalam 
jumlah kecil ke genom kita hari ini, maka mustahil untuk bicara 
tentang “percampuran” antara Sapiens dan spesies-spesies manusia 
lainnya. Meskipun perbedaan-perbedaan di antara mereka tidak 
cukup besar untuk mencegah sepenuhnya perkawinan, itu cukup 
untuk membuat kontak semacam itu menjadi langka. 
Lalu, bagaimana kita harus memahami keterhubungan biologis 
antara Sapiens, Neanderthal, dan Denisova? Jelas, mereka bukan 
spesies-spesies yang berbeda sama sekali seperti kuda dan keledai. Di sisi lain, mereka bukan sekadar populasi yang berbeda dari 
spesies yang sama, seperti buldog dan spaniel. Realitas biologis 
tidaklah hitam dan putih. Ada juga area abu-abu. Setiap dua 
spesies yang berevolusi dari satu leluhur yang sama, seperti kuda 
dan keledai, pada satu masa menjadi dua populasi dari spesies 
yang sama, seperti buldog dan spaniel. Pasti ada satu titik ketika 
kedua populasi sudah pada keadaan yang berbeda antara satu 
dengan yang lainnya, tetapi sesekali masih bisa berhubungan seks 
dan menghasilkan keturunan yang bisa berbiak (tidak mandul). 
Kemudian, mutasi lain yang terjadi menghapus garis penghubung 
terakhir itu, dan menempuh jalan evolusi terpisah.
Tampaknya, sekitar 500.000 tahun lalu, Sapiens, Neanderthal, 
dan Denisova berada di titik garis perbatasan itu. Mereka hampir, 
tetapi belum sampai, menjadi spesies yang terpisah sepenuhnya. 
Seperti yang akan kita lihat pada bab berikutnya, Sapiens sudah 
sangat berbeda dari Neanderthal dan Denisova, tidak hanya 
dalam kode genetika dan sifat-sifat bawaan fisiknya, tetapi juga 
dalam kemampuan kognitif dan sosialnya. Meskipun demikian, 
masih dimungkinkan juga, walau sangat jarang, satu Sapiens dan 
satu Neanderthal menghasilkan keturunan yang bisa berbiak. 
Jadi, populasi tidak bercampur, tetapi beberapa gen Neanderthal 
beruntung bisa menumpang di Kereta Sapiens. Tentu tidak 
enak—dan mungkin mengguncang hati—membayangkan kita, Sapiens, pada suatu masa berhubungan seks dengan binatang 
dari spesies lain dan menghasilkan anak.
Akan tetapi, kalaupun Neanderthal, Denisova, dan spesies￾spesies manusia lain tidak bercampur dengan Sapiens, mengapa 
mereka punah? Salah satu kemungkinannya adalah Homo sapiens
memunahkan mereka. Bayangkan satu kawanan Sapiens mencapai 
sebuah lembah di Balkan tempat Neanderthal sudah hidup selama 
ratusan ribu tahun. Pendatang baru itu mulai memburu rusa dan 
mengumpulkan kacang serta buah beri yang menjadi persediaan 
makanan tradisional Neanderthal. Sapiens adalah pemburu dan 
penjelajah makanan yang lebih cakap—berkat teknologi dan 
keterampilan sosial yang lebih superior—sehingga jumlah mereka 
menjadi berlipat ganda dan menyebar. Neanderthal yang sumber 
dayanya lebih sedikit semakin kesulitan menghidupi diri. Populasi 
mereka menyusut dan pelan-pelan mati, kecuali mungkin satu 
atau dua anggota yang bergabung dengan tetangganya, Sapiens.
Kemungkinan lainnya adalah bahwa kompetisi memperebutkan 
sumber daya menyala menjadi kerusuhan dan genosida. Toleransi 
bukanlah ciri Sapiens. Dalam abad modern, perbedaan kecil soal 
warna kulit, dialek, atau agama sudah cukup untuk memicu 
sekelompok Sapiens untuk mengenyahkan kelompok lain. Apa 
mungkin Sapiens kuno lebih toleran terhadap spesies manusia 
yang berbeda sama sekali? Maka, sangat mungkin terjadi ketika 
Sapiens bertemu Neanderthal, akibatnya adalah kampanye 
pembersihan etnis pertama dan paling signifikan dalam sejarah.
Yang mana pun yang terjadi, Neanderthal (dan spesies-spesies 
manusia lainnya) menyodorkan salah satu warisan besar sejarah 
dalam bentuk pertanyaan “bagaimana jika”. Bayangkan apa yang 
terjadi kalau Neanderthal atau Denisova bertahan bersama Homo 
sapiens. Jenis budaya, masyarakat, dan struktur politik seperti 
apa yang akan muncul di dunia, tempat beberapa spesies manusia 
yang berbeda hidup bersama? Bagaimana, misalnya, keyakinan 
religius bermula? Akankah Kitab Kejadian mendeklarasikan 
bahwa Neanderthal adalah keturunan Adam dan Hawa, akankah 
Yesus meninggal karena dosa-dosa Denisova, dan akankah al￾Quran sudah mengamankan kursi-kursi di surga untuk semua 
manusia yang saleh, apa pun spesiesnya? Akankah Neanderthal mampu melayani legiun-legiun Romawi, atau birokrasi semrawut 
imperium China? Akankah Deklarasi Kemerdekaan Amerika 
memilik kebenaran yang terbukti dengan sendirinya bahwa 
seluruh genus Homo diciptakan setara? Akankah Karl Marx 
mendesak para buruh dari semua spesies untuk bersatu? 
Dalam 10.000 tahun terakhir, Homo sapiens semakin 
terbiasa menjadi satu-satunya spesies manusia sehingga sulit 
bagi kita untuk membayangkan kemungkinan lain. Ketiadaan 
saudara menyebabkan lebih mudah untuk membayangkan bahwa 
kita adalah intisari dari penciptaan, dan bahwa satu jurang 
memisahkan kita dari anggota lain kerajaan binatang. Ketika 
Charles Darwin menunjukkan bahwa Homo sapiens hanya satu 
jenis binatang, orang marah. Bahkan, hari ini banyak orang 
menolak untuk memercayainya. Kalaupun Neanderthal bertahan, 
mungkinkah kita masih membayangkan diri kita menjadi makhluk 
yang terpisah? Mungkin inilah jawaban persisnya mengapa leluhur 
kita membersihkan Neanderthal. Mereka terlalu nyata untuk 
diabaikan, tetapi terlalu berbeda untuk ditoleransi.
Apakah Sapiens harus disalahkan atau tidak, tak lama setelah 
kedatangan mereka di satu lokasi baru, populasi asli punah. 
Sisa-sisa terakhir Homo soloensis berasal dari masa sekitar 
50.000 tahun lalu. Homo denisova musnah tak lama sesudahnya. 
Neanderthal hadir kira-kira 30.000 tahun lalu. Manusia cebol 
terakhir punah dari Pulau Flores sekitar 12.000 tahun lalu. 
Mereka meninggalkan sejumlah tulang belulang, alat-alat batu, 
beberapa gen DNA, dan banyak pertanyaan tak terjawab. Mereka 
juga meninggalkan kita, Homo sapiens, spesies manusia terakhir. 
Apa rahasia kesuksesan Sapiens? Bagaimana kita berhasil 
menetap begitu pesat di banyak habitat yang jauh dan berbeda 
secara ekologis? Bagaimana kita mendorong spesies-spesies 
manusia lain ke ruang pelupaan? Mengapa Neanderthal yang 
bahkan kuat, berotak, dan tahan cuaca tidak bisa bertahan 
melawan serangan kita? Perdebatannya masih terus berkecamuk. 
Jawaban yang paling mungkin adalah sesuatu yang memungkinkan 
adanya perdebatan itu: Homo sapiens menaklukkan dunia berkat 
bahasanya yang unik. 
Dalam bab sebelumnya kita melihat bahwa meskipun Sapiens 
sudah menghuni Afrika Timur 150.000 tahun lalu, mereka mulai 
menjelajah wilayah lain di Planet Bumi dan mendorong spesies 
manusia lain punah baru sekitar 70.000 tahun lalu. Selama 
beberapa milenium penghubung, sekalipun Sapiens kuno ini 
tampak seperti kita dan otak mereka sebesar otak kita, mereka 
tidak menikmati keunggulan yang menonjol atas spesies-spesies 
manusia lainnya, tidak menghasilkan alat-alat yang sangat 
canggih, dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain 
yang istimewa.
Faktanya, dalam pertemuan pertama yang tercatat antara 
Sapiens dan Neanderthal, Neanderthal-lah yang menang. Sekitar 
100.000 tahun lalu, sekelompok Sapiens bermigrasi ke utara 
menuju Levant, yang merupakan teritori Neanderthal, tetapi 
gagal menancapkan pijakannya. Mungkin itu disebabkan oleh 
penghuni pribumi, iklim yang buruk, atau tak terbiasa dengan 
parasit-parasit lokal. Apa pun penyebabnya, Sapiens pada 
akhirnya mundur, meninggalkan Neanderthal sebagai penguasa 
Timur Tengah.
Prestasi buruk ini membuat para ahli berspekulasi bahwa 
struktur internal otak Sapiens ini mungkin berbeda dari 
kita. Mereka tampak seperti kita, tetapi kemampuan kognitif 
mereka—belajar, mengingat, berkomunikasi—jauh lebih terbatas. 
Mengajari Sapiens kuno seperti itu berbahasa Inggris, mengajarkan 
kebenaran dogma Kristen, memahamkan mereka teori evolusi 
mungkin menjadi pekerjaan yang sia-sia. Sebaliknya, kita mungkin 
akan sangat kesulitan mempelajari bahasanya dan memahami 
cara berpikirnya.
Akan tetapi, kemudian, diawali sekitar 70.000 tahun lalu, 
Homo sapiens mulai melakukan hal-hal yang sangat khusus. Pada 
sekitar masa itu beberapa rombongan Sapiens meninggalkan 
Afrika untuk kali kedua. Kali ini mereka mengusir Neanderthal 
dan semua spesies manusia lainnya tidak hanya dari Timur 
Tengah, tetapi juga dari permukaan Bumi. Dalam periode 
yang sangat singkat, Sapiens mencapai Eropa dan Asia Timur. 
Sekitar 45.000 tahun lalu, mereka menyeberangi laut terbuka 
dan mendarat di Australia—sebuah benua yang belum pernah 
terjangkau oleh manusia. Dalam periode dari sekitar 70.000 
tahun lalu sampai sekiar 30.000 tahun lalu muncullah penemuan 
perahu, lampu minyak, busur dan panah, serta jarum (yang 
diperlukan untuk menjahit baju hangat). Benda-benda pertama 
yang pantas disebut sebagai seni dan perhiasan muncul dari era ini, 
sebagaimana bukti tak terbantahkan untuk agama, perdagangan, 
dan stratifikasi sosial.
Sebagian besar peneliti percaya bahwa pencapaian yang 
belum pernah ada sebelumnya itu merupakan produk dari sebuah 
revolusi kemampuan kognitif Sapiens. Mereka mengemukakan 
bahwa orang-orang yang memunahkan Neanderthal, yang 
berdiam di Australia, dan memahat patung Manusia Singa (Stadel 
lion-man) adalah orang-orang yang pintar, kreatif, dan sensitif 
seperti kita. Andai saja kita bisa bertemu dengan para seniman 
Gua Stadel, kita tentu bisa belajar bahasa mereka dan mereka 
belajar bahasa kita. Kita akan bisa menjelaskan kepada mereka 
segala hal yang kita tahu—dari petualangan Alice in Wonderland
sampai ke paradoks fisika kuantum—dan mereka bisa mengajari 
kita bagaimana pandangan orang-orang mereka tentang dunia.
Munculnya dua cara baru dalam berpikir dan berkomunikasi, 
antara 70.000 tahun dan 30.000 tahun lalu, merupakan 
Revolusi Kognitif. Apa penyebabnya? Kita tidak tahu. Teori yang 
paling banyak dipercaya mengemukakan bahwa mutasi genetik 
tanpa sengaja mengubah penyambungan sel-sel otak Sapiens, 
memungkinkan mereka berpikir dalam cara yang belum pernah 
ada sebelumnya dan berkomunikasi dengan satu jenis bahasa 
yang sama sekali baru. Kita bisa menyebutnya mutasi Pohon 
Pengetahuan. Mengapa itu lebih mungkin terjadi pada DNA Sapiens ketimbang Neanderthal? Sejauh yang bisa kita pahami, 
itu semata-mata masalah kesempatan saja. Namun, yang lebih 
penting untuk dipahami adalah konsekuensi dari mutasi Pohon 
Pengetahuan ketimbang penyebabnya. Apa keistimewaan bahasa 
baru Sapiens yang memungkinkan kita menaklukkan dunia?*
Itu bukan bahasa yang pertama. Setiap binatang punya 
sebentuk bahasa. Bahkan serangga, seperti lebah dan semut, 
tahu bagaimana berkomunikasi dengan cara yang canggih, 
menginformasikan ke rekannya tentang keberadaan makanan. Itu 
juga bukan bahasa vokal pertama. Banyak binatang, termasuk 
semua spesies kera dan monyet, memiliki bahasa vokal. Misalnya, 
kera hijau menggunakan seruan-seruan yang bermacam￾macam jenisnya untuk berkomunikasi. Para ahli binatang telah 
mengidentifikasi salah satu seruan itu berarti, ‘Hati-hati! Ada 
elang!’ Seruan yang agak berbeda bermakna peringatan, ‘Awas! 
Ada singa!’ Ketika peneliti memutar rekaman seruan pertama ke 
sekelompok monyet, monyet-monyet itu berhenti dari apa yang 
sedang mereka lakukan dan mendongak ke atas dalam ketakutan. 
Ketika kepada kelompok yang sama diperdengarkan seruan kedua, 
peringatan adanya singa, mereka cepat-cepat memanjat pohon. 
Sapiens bisa menghasilkan lebih banyak suara berbeda ketimbang 
monyet hijau, tetapi lumba-lumba dan gajah punya kemampuan 
yang sama mengesankannya. Seekor beo bisa mengatakan apa 
pun yang dikatakan Albert Einstein, selain menirukan suara￾suara dering telepon, bantingan pintu, dan raungan sirene. Apa 
pun keunggulan Einstein atas beo, jelas itu bukan vokal. Kalau 
begitu, apa sesungguhnya yang istimewa dari bahasa?
Jawaban yang paling umum adalah bahwa bahasa kita 
luar biasa luwes. Kita bisa menghubungkan sejumlah terbatas 
bunyi dan tanda untuk menghasilkan kalimat dalam jumlah tak 
terbatas, masing-masing dengan makna yang berbeda. Dengan itu kita bisa mencerna, menyimpan, dan mengomunikasikan 
informasi dalam jumlah yang luar biasa besar tentang dunia 
sekeliling. Seekor monyet hijau bisa berteriak ke rekan-rekannya, 
‘Hati-hati! Ada singa!’ Namun, seorang manusia modern bisa 
memberi tahu teman-temannya bahwa pagi ini, dekat tikungan 
sungai, dia melihat seekor singa mengikuti kawanan bison. Dia 
kemudian bisa menjelaskan lokasi pastinya, termasuk jalan-jalan 
yang berbeda menuju ke arah sana. Dengan informasi ini, para 
anggota rombongannya bisa berkumpul bersama dan membahas 
apakah mereka akan mendekati sungai itu untuk menghindari 
singa dan memburu bison. 
Teori kedua menyetujui bahwa bahasa kita yang unik 
berevolusi sebagai sarana berbagi informasi tentang dunia. 
Namun, informasi paling penting yang harus disampaikan adalah 
tentang manusia, bukan tentang singa dan bison. Bahasa kita 
berevolusi menjadi cara bergosip. Menurut teori ini Homo sapiens
pada dasarnya adalah binatang sosial. Kerja sama sosial adalah 
kunci bertahan dan reproduksi kita. Tidak cukup bagi laki-laki 
dan perempuan untuk tahu keberadaan singa dan bison. Yang 
jauh lebih penting bagi mereka adalah tahu siapa dalam kalangan 
mereka membenci siapa, siapa tidur dengan siapa, siapa yang 
jujur, dan siapa penipu.
Jumlah informasi yang harus didapat dan disimpan oleh 
seseorang untuk melacak hubungan-hubungan yang berubah￾ubah di antara beberapa puluh individu sungguh mengejutkan. 
(Dalam satu kawanan lima puluh individu, ada 1.225 hubungan 
satu-satu, dan kombinasi sosial rumit yang tak terhitung.) Semua 
kera menunjukkan minat tinggi pada informasi sosial seperti itu, 
tetapi mereka kesulitan bergosip secara efektif. Neanderthal dan 
Homo sapiens kuno juga kesulitan berbicara sembunyi-sembunyi 
di belakang temannya—kemampuan yang kebanyakan berisi 
untuk menjelek-jelekkan orang lain nyatanya penting untuk 
kerja sama dalam kawanan dengan jumlah besar. Keterampilan 
linguistik yang didapat Sapiens modern sekitar tujuh puluh 
milenium lalu memungkinkan mereka bergosip selama berjam￾jam. Informasi tepercaya tentang siapa yang bisa dipercaya berarti bahwa kawanan-kawanan kecil bisa membesar menjadi 
kelompok-kelompok besar, dan Sapiens bisa mengembangkan 
jenis kerja sama yang lebih ketat dan lebih canggih.1
Teori gosip mungkin terdengar seperti lelucon, tetapi sejumlah 
studi mendukungnya. Bahkan, kini mayoritas besar komunikasi 
manusia—entah itu dalam bentuk surel, percakapan telepon, 
atau kolom surat kabar—adalah gosip. Gosip muncul pada 
kita begitu alamiah sehingga tampak seakan-akan bahasa kita 
berevolusi untuk tujuan ini. Apakah Anda mengira para profesor 
sejarah berbincang tentang alasan Perang Dunia Pertama ketika 
bertemu untuk makan siang, atau bahwa para ahli fisika nuklir 
menghabiskan waktu rehat minum kopi mereka dalam konferensi 
saintifik untuk membicarakan tentang partikel-partikel atom? 
Terkadang ya. Namun, lebih sering, mereka bergosip tentang 
profesor yang memergoki suaminya berselingkuh, pertengkaran 
antara ketua jurusan dan dekan, atau rumor-rumor bahwa seorang 
kolega menggunakan dana riset untuk membeli Lexus. Gosip 
biasanya fokus pada kesalahan. Para pencinta rumor adalah pilar 
keempat asli, yakni para jurnalis yang menginformasikan kepada 
masyarakat tentang—dan karena itu melindungi masyarakat 
dari—penipuan dan para pembonceng.
Sangat mungkin, teori gosip dan teori ada-singa-dekat-sungai 
keduanya valid. Namun, ciri unik sejati dari bahasa kita bukanlah 
kemampuanya meneruskan informasi tentang manusia dan singa, 
melainkan kemampuannya meneruskan informasi tentang hal-hal 
yang tidak tampak sama sekali. Sejauh yang kita tahu, hanya 
Sapiens yang bisa berbicara tentang segala jenis entitas yang 
belum mereka lihat, sentuh, atau endus.
Legenda, mitos, Tuhan, dan agama muncul kali pertama 
dengan kehadiran Revolusi Kognitif. Banyak binantang dan 
spesies manusia sebelumnya bisa mengatakan, “Hati-hati! Ada 
singa!” Berkat Revolusi Kognitif, Homo sapiens memperoleh 
kamampuan untuk mengatakan, “Singa adalah penjaga arwah 
suku kita”. Kemampuan untuk berbicara tentang fiksi ini adalah 
ciri yang paling unik dari bahasa Sapiens.
Relatif mudah untuk menyepakati bahwa hanya Homo 
sapiens yang bisa berbicara tentang hal-hal yang benar-benar tidak nyata, dan meyakini enam hal mustahil sebelum sarapan. 
Anda tidak bisa meyakinkan seekor monyet untuk memberimu 
sebuah pisang dengan menjanjikan pisang dalam jumlah tak 
terbatas setelah kematian di surga monyet. Namun, mengapa 
itu penting? Bagaimanapun, fiksi bisa menjadi penyesatan dan 
pengasingan yang berbahaya. Orang yang pergi ke hutan untuk 
mencari peri dan kuda terbang tampaknya akan punya peluang 
lebih kecil untuk bertahan ketimbang orang-orang yang pergi 
untuk mencari jamur dan rusa. Dan, jika Anda menghabiskan 
waktu selama berjam-jam untuk berdoa pada arwah penjaga yang 
tidak nyata, apakah Anda membuang-buang waktu percuma, 
waktu yang lebih baik digunakan untuk mencari makan, berkelahi, 
dan berzina? 
Akan tetapi, fiksi memungkinkan kita bukan hanya 
membayangkan sesuatu, melainkan juga melakukannya secara 
kolektif. Kita bisa mengabaikan mitos umum seperti kisah 
penciptaan dalam kitab suci, mitos Masa Impian penduduk 
Aborigin Australia, dan mitos nasionalis tentang negara-negara 
modern. Mitos semacam itu memberi Sapiens kemampuan 
yang belum ada sebelumnya untuk bekerja sama secara fleksibel 
dalam jumlah yang besar. Semut dan lebah juga mampu bekerja 
sama dalam jumlah besar, tetapi mereka melakukannya dalam 
cara yang sangat kaku dan hanya dengan kerabat terdekatnya. 
Serigala dan simpanse bekerja sama jauh lebih fleksibel ketimbang 
semut, tetapi mereka melakukannya hanya dengan individu 
dalam jumlah kecil yang mereka kenal sangat akrab. Sapiens 
bisa bekerja sama dalam cara yang jauh lebih fleksibel secara 
ekstrem dengan orang asing dalam jumlah tak terbatas. Itulah 
mengapa Sapiens menguasai dunia, sementara semut makan 
sisa-sisa kita, dan simpanse terkunci di kebun-kebun binatang 
dan laboratorium riset.
Legenda Peugeot
Sepupu kita simpanse biasanya hidup dalam kawanan-kawanan 
kecil berisi beberapa puluh individu. Mereka membentuk pertemanan dekat, berburu bersama, dan berjuang bahu-membahu 
melawan babon, cheetah, dan simpanse-simpanse musuh. Struktur 
sosial mereka cenderung hierarkis. Anggota dominan, yang hampir 
selalu jantan, biasa disebut “jantan alfa”. Pejantan-pejantan lain 
dan para betinanya tunduk kepada jantan alfa dengan merunduk 
di hadapannya sambil mengeluarkan suara-suara dengkur, tak 
ubahnya manusia yang membungkuk di hadapan seorang raja. 
Jantan alfa berjuang keras untuk mempertahankan harmoni 
sosial dalam kawanannya. Ketika dua individu berkelahi, ia 
akan mengintervensi dan menghentikan tindak kekerasan. Tanpa 
ampun, ia mungkin memonopoli secara istimewa makanan idaman 
dan mencegah pejantan kelas bawah mengencani betina.
Ketika dua pejantan berkelahi untuk posisi alfa, mereka 
biasanya melakukannya dengan membentuk koalisi pendukung 
yang besar, baik jantan maupun betina, dari dalam kelompoknya. 
Ikatan di antara anggota-anggota koalisi didasarkan pada kontak 
kesehariannya—pelukan, sentuhan ciuman, pembersihan tubuh, 
dan dukungan timbal balik. Sebagaimana manusia, politisi 
dalam kampanye pemilihan umum berkeliling untuk berjabat 
tangan dan mencium bayi, begitu pula simpanse yang berminat 
menduduki posisi puncak menghabiskan banyak waktu untuk 
memeluk, menepuk punggung, dan mencium bayi simpanse. 
Jantan alfa yang menang biasanya bukan karena kuat secara fisik, 
melainkan karena ia memimpin koalisi yang besar dan stabil. 
Koalisi memainkan peran penting tidak hanya selama perebutan 
posisi alfa, tetapi juga dalam hampir seluruh aktivitas sehari-hari. 
Para anggota koalisi menghabiskan lebih banyak waktu bersama, 
berbagi makanan, dan membantu temannya yang kesulitan.
Ada batas yang tegas ukuran kelompok yang bisa dibentuk 
dan bertahan dengan cara itu. Agar berfungsi, semua anggota 
kelompok harus saling mengenal secara intim. Dua simpanse 
yang tidak pernah bertemu, tidak pernah berkelahi, dan tidak 
pernah terlibat dalam saling membersihkan badan tidak akan tahu 
apakah mereka bisa saling percaya, dan mana di antara mereka 
yang kedudukannya lebih tinggi. Dalam kondisi alamiah, satu 
kawanan simpanse biasanya beranggotakan sekitar dua puluh 
sampai lima puluh individu. Ketika jumlah simpanse dalam satu kelompok meningkat, keteraturan sosial goyah, akhirnya 
mengarah ke perpecahan dan pembentukan kawanan baru oleh 
sebagian anggota dalam kelompok itu. Hanya dalam kasus yang 
sangat sedikit, para ahli binatang mengamati kelompok-kelompok 
yang lebih besar dari seratus simpanse. Kelompok-kelompok 
simpanse jarang yang bekerja sama, dan cenderung bersaing untuk 
teritori dan makanan. Para periset telah mendokumentasikan 
perang panjang antarkelompok, dan bahkan dalam satu kasus 
aktivitas “genosida” terjadi, yang di dalamnya satu kawanan 
secara sistematis membantai sebagian besar anggota kawanan lain.2
Pola-pola serupa mungkin mendominasi kehidupan sosial 
manusia awal, termasuk Homo sapiens kuno. Manusia, seperti 
simpanse, memiliki naluri sosial yang memungkinkan para 
leluhur kita membentuk pertemanan dan hierarki, dan memburu 
atau berkelahi bersama-sama. Namun, sebagaimana naluri sosial 
simpanse, manusia-manusia itu teradaptasi hanya untuk kelompok 
intim kecil. Ketika kelompok tumbuh terlalu besar, keteraturan 
sosialnya goyah dan kelompok terpecah. Andaipun satu lembah 
subur bisa menghidupi 500 Sapiens kuno, tidak mungkin begitu 
banyak orang asing bisa hidup bersama-sama. Bagaimana mereka 
menyepakati siapa yang menjadi pemimpin, siapa yang harus 
memburu di mana, atau siapa yang berpasangan dengan siapa? 
Dengan munculnya Revolusi Kognitif, gosip membantu Homo 
sapiens membentuk kawanan yang lebih besar dan lebih stabil. 
Namun, bahkan gosip pun punya keterbatasan. Riset dalam 
bidang sosiologi telah menunjukkan bahwa maksimum ukuran 
“alamiah” yang diikat oleh gosip adalah sekitar 150 individu. 
Sebagian besar anggota tidak mungkin bisa mengenal secara intim, 
atau menggosip secara efektif tentang lebih dari 150 anggota.
Bahkan, pada masa kini, ambang batas kritis organisasi 
manusia jatuh pada kisaran angka ajaib ini. Di bawah ambang 
batas ini, komunitas, bisnis, jaringan sosial, dan kesatuan militer 
bisa mempertahankan diri yang didasarkan terutama pada 
perkenalan intim dan kegandrungan rumor. Tak dibutuhkan 
pangkat formal, jabatan, dan buku aturan untuk menjaga 
ketertiban.3
 Satu peleton yang berisi tiga puluh tentara atau 
bahkan satu kompi berisi seratus tentara bisa berfungsi baik atas dasar hubungan akrab, dengan disiplin formal yang minim. 
Seorang sersan yang sangat dihormati bisa menjadi “raja kompi” 
dan menegakkan otoritasnya, bahkan kepada seorang opsir yang 
bertugas. Satu bisnis keluarga bisa bertahan dan berkembang tanpa 
dewan direktur, seorang CEO atau satu departemen akunting. 
Namun, begitu ambang batas 150 orang terlampaui, keadaannya 
tidak bisa begitu lagi. Anda tidak bisa menjalankan satu divisi 
dengan ribuan tentara seperti Anda memimpin satu peleton. 
Bisnis keluarga yang sukses biasanya menghadapi krisis ketika 
tumbuh lebih besar dan mempekerjakan lebih banyak personel. 
Jika tak bisa memperbarui diri, perusahaan itu akan pecah.
Bagaimana bisa Homo sapiens berhasil melampaui ambang 
batas kritis ini, yang pada akhirnya mendirikan kota-kota 
berpenduduk puluhan ribu penghuni dan imperium yang 
menguasai ratusan juta orang? Rahasianya mungkin adalah 
munculnya fiksi tadi. Orang asing dalam jumlah besar bisa 
bekerja sama dengan sukses dengan meyakini mitos bersama.
Setiap kerja sama manusia dalam skala besar—entah itu 
negara modern, gereja abad pertengahan, kota kuno, atau 
suku kuno—berakar pada mitos bersama yang muncul hanya 
pada imajinasi kolektif orang-orang. Gereja berakar pada mitos 
religius bersama. Dua orang Katolik yang tidak pernah saling 
bertemu bisa bersama-sama dalam Perang Salib atau menggalang 
dana untuk membangun rumah sakit karena mereka sama-sama 
yakin bahwa Tuhan berinkarnasi dalam daging manusia dan 
memungkinkan Dirinya disalib untuk menebus dosa-dosa kita. 
Negara berakar dari mitos kebangsaan bersama. Dua orang Serbia 
yang tidak saling bertemu mempertaruhkan nyawa untuk saling 
menyelamatkan karena keduanya yakin akan keberadaan negara 
Serbia, tanah air Serbia, dan bandara Serbia. Sistem pengadilan 
berakar dari mitos hukum bersama. Dua pengacara yang tidak 
pernah saling bertemu bisa menyatukan upaya membela orang 
yang benar-benar asing karena mereka percaya pada eksistensi 
hukum, keadilan, hak-hak asasi manusia—dan uang yang 
dibayarkan sebagai upah.
Meskipun demikian, hal-hal ini muncul di luar cerita-cerita 
yang ditemukan dan diceritakan orang ke orang lain. Tak ada Tuhan di alam semesta, tak ada negara, tak ada uang, tak ada 
hak asasi manusia, tak ada hukum, tak ada keadilan di luar 
imajinasi umum makhluk manusia.
Orang dengan mudah memahami bahwa manusia “primitif” 
merekatkan keteraturan sosial dengan meyakini adanya hantu 
dan arwah, dan berkumpul setiap bulan purnama untuk menari 
bersama di sekitar api unggun. Apa yang tak bisa mereka apresiasi 
adalah bahwa institusi-institusi modern kita berfungsi benar-benar 
atas dasar yang sama. Ambil contoh, dunia korporasi bisnis. 
Orang-orang bisnis modern dan para pengacara sesungguhnya 
adalah dukun-dukun hebat. Perbedaan prinsip antara mereka dan 
suku pedalaman terasing adalah bahwa para pengacara modern 
menceritakan kisah yang jauh lebih aneh. Legenda Peugeot 
memberi kita contoh yang bagus.
Sebuah ikon yang agak mirip manusia singa Stadel muncul 
pada masa kini di mobil, truk, dan sepeda motor dari Paris 
sampai Sydney. Itulah hiasan kap yang menghiasi kendaraan 
buatan Peugeot, salah satu pabrikan mobil tertua dan terbesar 
di Eropa. Peugeot bermula dari sebuah bisnis keluarga kecil 
di Desa Valentigney, hanya sekitar 300 kilometer dari Stadel. 
Kini perusahaan itu mempekerjakan sekitar 200 ribu orang di 
seluruh dunia, sebagian besar adalah orang-orang yang asing 
satu sama lain. Orang-orang asing itu bekerja sama begitu efektif 
sehingga pada 2008 Peugeot bisa memproduksi lebih dari 1,5 
juta kendaraan, menghasilkan pendapatan sekitar 55 miliar euro.Dengan cara bagaimana kita bisa mengatakan bahwa 
Peugeot SA (nama resmi perusahaan itu) mampu eksis? Ada 
banyak kendaraan Peugeot, memang, tetapi itu semua bukanlah 
perusahaannya. Sekalipun jika setiap kendaraan Peugeot di 
dunia secara bersamaan dirongsokkan dan dijual sebagai besi 
tua, Peugeot SA tidak akan hilang. Ia akan terus memproduksi 
mobil baru dan menerbitkan laporan tahunan. Perusahaan itu 
memiliki pabrik-pabrik, mesin-mesin, dan rumah-rumah pamer, 
serta mempekerjakan pegawai-pegawai mekanik, akuntan, dan 
sekretaris, tetapi semua itu bersama-sama bukan pembentuk 
Peugeot. Sebuah bencana mungkin membunuh setiap pegawai 
Peugeot, dan kemudian menghancurkan semua jalur perakitan 
dan kantor-kantor eksekutifnya. Sekalipun dalam keadaan 
seperti itu, perusahaan bisa meminjam uang, mempekerjakan 
pegawai-pegawai baru, membangun pabrik-pabrik baru, tetapi 
tetap itu bukan merupakan perusahaannya. Semua manajer bisa 
saja dipecat dan seluruh sahamnya dijual, tetapi perusahaan itu 
tetap akan utuh.
Ini tidak berarti bahwa Peugeot SA kebal atau tak bisa 
mati. Jika seorang hakim memutuskan pembubaran perusahaan, 
pabrik-pabriknya akan tetap berdiri dan para pekerja, akuntan￾akuntan, para manajer, dan para pemegang sahamnya akan tetap 
hidup—tetapi Peugeot SA akan lenyap seketika. Singkatnya, 
Peugeot SA tampaknya tidak memiliki koneksi esensial dengan 
dunia fisik. Apakah ia benar-benar ada?
Peugeot adalah isapan jempol dari imajinasi kolektif kita. 
Para pengacara menyebut ini sebagai “fiksi legal”. Ia tidak bisa 
ditunjuk bukan barang fisik. Namun, ia ada sebagai entitas legal. 
Seperti halnya Anda dan saya, ia diikat oleh hukum negara￾negara tempat ia beroperasi. Ia bisa membuka rekening bank 
dan memiliki properti. Ia membayar pajak, dan ia bisa dituntut 
dan bahkan diadili terpisah dari orang mana pun yang memiliki 
atau bekerja untuknya.
Peugeot milik sebuah genre fiksi legal khusus yang disebut 
“perusahaan liabilitas terbatas”. Ide di balik perusahaan-perusahaan 
seperti itu merupakan sebagian dari penemuan paling asli manusia. 
Homo sapiens hidup selama beribu-ribu tahun tanpa itu. Sepanjang sebagian besar sejarah yang tercatat, properti hanya bisa dimiliki 
oleh daging-dan-darah manusia, jenis yang berdiri di atas dua 
kaki dan punya otak besar. Jika pada abad ke-13 France Jean 
mendirikan bengkel pembuat kereta, dia sendirilah bisnisnya. Jika 
sebuah kereta yang dia buat rusak sepekan setelah pembuatan, 
pembeli yang sewot akan menuntut Jean secara pribadi. Jika Jean 
sudah meminjam 1.000 koin emas untuk mendirikan bengkelnya 
dan bisnis itu gagal, dia harus membayar kembali utangnya dengan 
menjual properti pribadinya—rumah, sapi, tanah. Dia mungkin 
bahkan harus menjual anak-anaknya sebagai tebusan. Jika dia 
tidak bisa membayar utang, dia bisa dijebloskan ke penjara oleh 
negara atau diperbudak oleh pemberi kredit. Dia sepenuhnya bisa 
dimintai pertanggungjawaban, tanpa batas, atas seluruh kewajiban 
yang ditimbulkan oleh bengkelnya.
Jika hidup pada masa itu, Anda mungkin akan berpikir dua 
kali sebelum membuka usaha sendiri. Dan, sungguh situasi legal 
ini menghambat kewirausahaan. Orang-orang takut memulai 
bisnis baru dan menanggung risiko ekonominya. Nyaris tidak 
ada untungnya mengambil kesempatan yang bisa membawa 
keluarganya jatuh ke kemelaratan. 
Itulah mengapa orang mulai secara kolektif membayangkan 
eksistensi perusahaan liabilitas terbatas. Perusahaan-perusahaan 
semacam itu secara legal independen dari orang yang mendiri￾kannya, atau menginvestasikan uang ke dalamnya, atau mengelola￾nya. Selama beberapa abad terakhir ini, perusahaan semacam 
itu telah menjadi pemain-pemain utama dalam arena ekonomi, 
dan kita semakin terbiasa dengannya sehingga kita lupa bahwa 
perusahaan seperti itu hanya eksis dalam imajinasi kita. Di 
Amerika Serikat, istilah teknis untuk perusahaan liabilitas terbatas 
adalah “korporasi”, yang ironis, karena istilah itu berasal dari 
“corpus” (tubuh dalam bahasa Latin)—satu hal yang tidak dimiliki 
oleh korporasi-korporasi ini. Meskipun tidak memiliki tubuh 
riil, sistem legal Amerika memperlakukan korporasi-korporasi 
sebagai person legal, seakan-akan mereka adalah daging-dan￾darah makhluk manusia.
Demikian pula halnya dengan sistem legal Prancis pada 1896, 
ketika Armand Peugeot, yang mewarisi dari kedua orangtuanya sebuah bengkel logam yang memproduksi pegas, gergaji, dan 
sepeda, memutuskan untuk memasuki bisnis otomotif. Untuk 
keperluan itu, dia mendirikan sebuah perusahaan liabilitas 
terbatas.
Dia menamai perusahaan itu dari namanya sendiri, tetapi 
perusahaan itu independen dari dirinya. Jika salah satu mobil 
rusak, pembeli bisa menuntut Peugeot, tetapi bukan Armand 
Peugeot. Jika perusahaan meminjam jutaan franc dan kemudian 
gulung tikar, Armand Peugeot tidak berutang pada pemberi kredit 
satu franc pun. Pinjaman itu, bagaimanapun, sudah diberikan 
ke Peugeot, perusahaan, bukan kepada Armand Peugeot, sang 
Homo sapiens. Armand Peugeot meninggal pada 1915. Peugeot, 
perusahaan itu, masih hidup dan sehat.
Bagaimana sesungguhnya Armand Peugeot, orangnya, 
menciptakan Peugeot, perusahaan? Caranya sama dengan para 
pendeta dan dukun menciptakan tuhan dan setan sepanjang 
sejarah, dan cara yang di dalamnya ribuan curés (ahli pengobatan) 
Prancis masih menciptakan tubuh Kristus setiap Minggu di 
gereja-gereja. Semua itu berkisar pada penceritaan kisah-kisah, 
dan upaya meyakinkan orang agar memercayainya. Dalam kasus 
curés Prancis, kisah krusialnya adalah bahwa kehidupan dan 
kematian Kristus sebagaimana diceritakan oleh Gereja Katolik. 
Menurut cerita ini, pendeta Katolik yang mengenakan kain suci 
mengatakan penuh khidmat kata-kata yang tepat pada saat yang 
tepat, roti anggur duniawi berubah menjadi daging dan darah 
Tuhan. Pendeta berseru “Hoc est corpus meum!” (ungkapan Latin 
yang berarti ‘Ini tubuh saya’) dan hocus pocus—roti berubah 
menjadi daging Kristus. Melihat teratur dan khidmatnya pendeta 
menjalakan semua prosedur itu, jutaan pemeluk Katolik Prancis 
berperilaku seakan-akan Tuhan benar-benar ada dalam roti dan 
anggur yang disucikan itu.
Dalam kasus Peugeot SA, kisah krusialnya adalah ayat 
hukum, sebagaimana ditulis oleh parlemen Prancis. Menurut 
para legislator Prancis, jika seorang pengacara bersertifikat 
mengikuti semua liturgi dan ritual yang benar, menulis semua 
mantra dan sumpah yang diwajibkan pada selembar kertas yang 
dihiasi sangat bagus, dan membubuhkan tanda tangannya yang penuh hiasan di bagaian bawah dokumen, maka abrakadabra... 
sebuah perusahaan baru telah didirikan. Ketika Armand Peugeot, 
pada 1896, ingin menciptakan perusahaannya, dia membayar 
seorang pengacara menjalankan semua prosedur suci itu. Begitu 
pengacara selesai melakukan ritual yang benar dan melafalkan 
semua mantra dan sumpah yang diperlukan, jutaan penduduk 
Prancis yang berdiri tegak berperilaku seakan-akan perusahaan 
Peugeot benar-benar ada.
Menceritakan kisah-kisah yang efektif tidaklah mudah. 
Kesulitannya tidak terletak pada bagaimana menceritakan kisah 
itu, tetapi pada bagaimana meyakinkan setiap orang lain untuk 
memercayainya. Banyak sejarah berkisar pada pertanyaan ini: 
bagaimana seseorang bisa meyakinkan jutaan orang untuk yakin 
pada kisah-kisah tertentu tentang Tuhan, negara, atau perusahaan 
liabilitas terbatas? Namun, ketika berhasil, kisah itu memberi 
Sapiens kekuatan besar, karena memungkinkan jutaan orang 
asing mau bekerja sama dan bekerja menuju tujuan bersama. 
Coba saja bayangkan betapa sulitnya menciptakan negara, gereja, 
atau sistem hukum jika kita hanya mampu bicara tentang hal-hal 
yang benar-benar ada, seperti sungai, pohon, dan singa.
Selama bertahun-tahun orang-orang memintal jalinan cerita 
yang luar biasa rumit. Dalam jalinan itu, fiksi-fiksi seperti 
Peugeot tidak hanya ada, tetapi juga mengakumulasi kekuatan 
besar. Jenis hal yang diciptakan orang dalam jalinan kisah-kisah 
itu dikenal di kalangan akademisi sebagai “fiksi”, “konstruk 
sosial”, atau “realitas yang dibayangkan”. Sebuah realitas yang 
dibayangkan bukanlah kebohongan. Saya bohong kalau saya 
mengatakan ada seekor singa dekat sungai ketika saya tahu 
sepenuhnya bahwa tidak ada singa di sana. Tidak ada yang 
istimewa tentang kebohongan. Monyet hijau dan simpanse bisa 
berbohong. Seekor monyet hijau, misalnya, pernah diobservasi 
menyeru “Awas! Ada singa!” ketika tidak ada seekor pun singa 
di sekitarnya. Peringatan itu dengan mudah menakutkan seekor 
monyet yang baru saja menemukan sebuah pisang, meninggalkan 
pembohongnya mencuri rezeki itu untuk dirinya.
Tak seperti kebohongan, realitas yang dibayangkan adalah 
sesuatu yang dipercaya setiap orang, dan sepanjang kepercayaan bersama itu ada, realitas yang dibayangkan mendatangkan 
kekuatan di dunia. Pematung Gua Stadel mungkin saja secara 
jujur meyakini keberadaan arwah penjaga, manusia singa, itu. 
Sebagian dukun adalah penipu, tetapi sebagian besar secara jujur 
meyakini keberadaan Tuhan dan setan. Sebagian besar miliuner 
secara jujur percaya akan keberadaan uang dalam perusahaan 
liabilitas terbatas. Sebagian besar aktivis hak asasi manusia secara 
jujur meyakini adanya hak-hak asasi manusia. Tak seorang pun 
berbohong ketika, pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 
menuntut agar pemerintah Libya menghormati hak-hak asasi 
manusia warganya, sekalipun PBB, Libya, dan hak-hak asasi 
manusia semuanya adalah isapan jempol dari imajinasi kita 
yang subur.
Sejak munculnya Revolusi Kognitif, Sapiens dengan demikian 
hidup dalam realitas ganda. Di satu sisi, realitas objektif sungai, 
pohon, dan singa; dan di sisi lain, realitas yang dibayangkan 
tentang Tuhan, negara, dan korporasi. Seiring berjalannya waktu, 
realitas yang dibayangkan menjadi semakin kuat, sehingga kini 
sungai-sungai, pohon, dan singa yang bertahan bergantung pada 
kemurahan entitas yang dibayangkan seperti Tuhan, negara, dan 
korporasi.
Memintas Genom
Kemampuan untuk menciptakan realitas yang dibayangkan dengan 
kata-kata memungkinkan banyak orang asing bisa bekerja sama 
secara efektif. Namun, ia juga menghasilkan sesuatu yang lebih 
besar. Karena kerja sama manusia dalam skala besar didasarkan 
pada mitos, cara orang bekerja sama bisa diganti dengan 
mengganti mitosnya—dengan menceritakan kisah yang berbeda. 
Dalam keadaan yang tepat mitos bisa berubah sangat cepat. Pada 
1789, populasi Prancis beralih dalam sekejap dari memercayai 
mitos hak ilahiah raja ke memercayai mitos kedaulatan rakyat. 
Akibatnya, sejak munculnya Revolusi Kognitif, Homo sapiens
bisa merevisi perilakunya dengan cepat sesuai kebutuhan yang 
berubah-ubah. Ini membuka jalur cepat evolusi kultural, memintas kemacetan-kemacetan lalu lintas evolusi genetika. Menyusuri 
jalur cepat ini, Homo sapiens segera jauh mengungguli semua 
spesies manusia dan binatang lain dalam hal kemampuan untuk 
bekerja sama.
Perilaku binatang-binatang sosial lainnya sebagian besar 
di tentukan oleh gen mereka. DNA bukanlah otokrat. Perilaku 
binatang juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan dan kebiasaan￾kebiasaan individu. Bagaimanapun, dalam satu lingkungan 
tertentu, binatang-binatang dari spesies yang sama cenderung 
berperilaku dengan cara yang sama. Perubahan-perubahan 
signifikan dalam perilaku sosial tidak bisa terjadi, pada umumnya, 
tanpa mutasi gen. Misalnya, simpanse-simpanse biasa memiliki 
kecenderungan genetik untuk hidup dalam kelompok-kelompok 
hierarkis yang dipimpin oleh seekor jantan alfa. Spesies yang 
terhubung dekat dengan simpanse, bonobo, biasanya hidup dalam 
kelompok-kelompok yang lebih egaliter, yang didominasi oleh 
aliansi-aliansi betina. Simpanse-simpanse betina biasa tidak bisa 
mengambil pelajaran dari kerabat mereka, bonobo, dan kemudian 
melancarkan revolusi feminis. Simpanse-simpanse jantan tidak 
bisa berkumpul dalam majelis konstitusi untuk menghapuskan 
kantor jantan alfa dan mendeklarasikan bahwa dari sini semua 
simpanse diperlakukan setara. Perubahan-perubahan dramatis 
dalam perilaku semacam itu hanya terjadi jika sesuatu berubah 
dalam DNA simpanse.
Dengan alasan yang sama, manusia-manusia kuno tidak 
menginisiasi revolusi apa pun. Sejauh yang bisa kita ceritakan, 
perubahan-perubahan pola-pola sosial, penemuan teknologi baru 
dan penempatan habitat-habitat asing menghasilkan mutasi-mutasi 
genetik dan tekanan lingkungan lebih dari inisiatif kultural. 
Itulah mengapa manusia butuh ratusan tahun untuk mencapai 
langkah ini. Dua juta tahun lalu, mutasi-mutasi gen menghasilkan 
munculnya spesies manusia baru yang disebut Homo erectus. 
Kemunculannya disertai perkembangan teknologi alat baru, yang 
kini dikenali sebagai ciri khas spesies ini. Selama Homo erectus 
tidak mengalami perubahan genetik labih lanjut, alat-alat batu 
kurang lebih tetap seperti sama—selama hampir 2 juta tahun!
Secara kontras, sejak adanya Revolusi Kognitif, Sapiens 
mampu mengubah perilaku mereka dengan cepat, meneruskan 
perilaku-perilaku baru ke generasi berikutnya tanpa perlu 
perubahan genetik maupun lingkungan. Satu contoh yang sangat 
bagus, lihatlah perulangan kaum elite tak beranak, seperti 
kepastoran Katolik, ajaran monastik Buddha dan birokrasi 
orang kasim China. Eksistensi orang-orang elite semacam itu 
berlawanan dengan prinsip-prinsip paling fundamental dari 
seleksi alam karena para anggota dominan masyarakat itu secara 
sukarela meninggalkan peran sebagai ayah. Kalau jantan alfa 
simpanse menggunakan kekuasaannya untuk berhubungan seks 
dengan sebanyak mungkin betina—dan konsekuensinya menjadi 
ayah dari barisan muda dalam jumlah besar—jantan alfa Katolik 
abstain sepenuhnya dari hubungan seksual dan perawatan anak. 
Pilihan abstain itu bukan akibat dari kondisi lingkungan yang unik 
seperti kelangkaan pangan yang parah atau keinginan pasangan 
potensial. Bukan pula hasil dari perilaku tertentu akibat mutasi 
genetik. Gereja Katolik telah bertahan selama berabad-abad, 
tidak dengan memintas “gen selibat” dari satu paus ke paus 
berikutnya, melainkan dengan cerita-cerita Perjanjian Baru dan 
hukum kanon Katolik.
Dengan kata lain, sementara pola-pola perilaku manusia 
kuno bersifat tetap selama puluhan ribu tahun, Sapiens bisa 
mentransformasi struktur-struktur sosial, sifat hubungan 
interpersonal, dan sejumlah besar perilaku lain hanya dalam waktu 
satu atau dua dekade. Bayangkan seorang warga Berlin, yang lahir 
pada 1900 dan hidup selama seratus tahun. Dia menghabiskan 
masa kanak-kanaknya dalam Imperium Hohenzollern Wilhelm 
II; tahun-tahun dewasanya berada di bawah Republik Weimar, 
rezim Third Reich Nazi dan Jerman Timur Komunis; dan dia 
meninggal sebagai seorang warga Jerman bersatu yang demokratis. 
Dia berhasil menjadi bagian dari lima sistem sosio-politik yang 
berbeda walaupun DNA-nya tetap benar-benar sama.
Inilah kunci dari sukses Sapiens. Dalam perkelahian satu￾lawan-satu, seorang Neanderthal mungkin akan mengalahkan 
Sapiens. Namun, dalam konflik ratusan orang, Neanderthal 
tidak akan mampu bertahan. Neanderthal bisa berbagi informasi 
tentang keberadaan singa, tetapi mereka mungkin tidak akan bisa 
menceritakan—dan merevisi—cerita tentang arwah suku. Tanpa 
kemampuan mengarang fiksi itu, Neanderthal tidak mampu 
bekerja sama secara efektif dalam jumlah besar, juga tidak mampu 
menyesuaikan perilaku sosial mereka dengan tantangan-tantangan 
yang berubah dengan cepat.
Meskipun kita tidak bisa masuk ke dalam pikiran Neanderthal 
untuk memahami bagaimana cara berpikir mereka, kita punya 
bukti tidak langsung tentang keterbatasan kognisi mereka 
dibandingkan dengan rival Sapiens-nya. Para arkeologis yang 
menggali situs-situs Sapiens yang berusia 30.000 tahun di jantung 
Eropa sesekali menemukan di sana kerang-kerang laut dari 
pesisir Mediteran dan Atlantik. Kemungkinannya, kerang-kerang 
itu sampai ke pedalaman benua itu melalui perdagangan jarak 
jauh antara berbagai kawanan Sapiens yang berbeda. Situs-situs 
Neanderthal tidak punya bukti perdagangan semacam itu. Setiap grup membuat alat-alat sendiri dari material lokal.4
Satu contoh lagi datang dari Pasifik Selatan. Kelompok￾kelompok Sapiens yang hidup di Pulau Irlandia Baru, sebelah 
utara Nugini, menggunakan kaca vulkanik yang disebut obsidian 
untuk membuat alat-alat tajam dan sangat kuat. Namun, Irlandia 
baru tidak punya cadangan alam obsidian. Uji-uji laboratorium 
mengungkapkan bahwa obsidian yang mereka gunakan dibawa 
dari cadangan di Britania Baru, sebuah pulau 400 kilometer 
jauhnya. Sebagian dari penghuni pulau-pulai ini pasti navigator 
ulung yang berdagang dari pulau ke pulau menempuh jarak 
yang jauh.5
Perdagangan mungkin tampak sebagai kegiatan yang sangat 
pragmatis, yang tak memerlukan dasar-dasar fiktif. Namun, 
faktanya tidak ada binatang selain Sapiens yang terlibat dalam 
perdagangan, dan semua jaringan perdagangan Sapiens yang 
tentangnya kita punya bukti terperinci didasarkan pada fiksi-fiksi. 
Perdagangan tidak bisa muncul tanpa kepercayaan, dan sangat 
sulit untuk memercayai orang asing. Jaringan perdagangan global 
saat ini didasarkan pada kepercayaan kita pada entitas-entitas 
fiksional seperti dolar, Federal Reserve Bank, dan lambang￾lambang korporasi. Ketika dua orang asing dalam masyarakat 
suku ingin berdagang, mereka akan membangun kepercayaan 
dengan memohon kepada Tuhan, leluhur mitos, atau binatang 
lambang yang sama.
Jika Sapiens kuno yang meyakini fiksi-fiksi semacam itu 
memperdagangkan kerang dan obsidian, maka masuk akal bahwa 
mereka juga bisa memperdagangkan informasi, dan karena itu 
menciptakan jalinan pengetahuan yang lebih padat dan lebih 
luas ketimbang yang dimiliki Neanderthal dan manusia-manusia 
kuno lainnya. Teknik berburu memberikan ilustrasi perbedaan￾perbedaan ini. Neanderthal biasanya berburu sendirian atau 
dalam kelompok-kelompok kecil.
Sapiens, di sisi lain, mengembangkan teknik-teknik yang 
bertumpu pada kerja sama berpuluh-puluh individu, dan 
mungkin bahkan antarkawanan. Satu metode yang sangat 
efektif adalah mengepung seluruh kawanan binatang, seperti 
kuda liar, kemudian memburunya dalam ngarai yang sempit, yang dengan mudah menghabisinya secara massal. Jika semua 
berjalan seperti rencana, kawanan-kawanan manusia itu akan 
memanen berton-ton daging, lemak, dan kulit binatang dalam 
upaya kolektif di satu sore saja, dan entah mengonsumsi harta 
ini dalam pesta besar, atau mengeringkan, mengasapi atau (di 
area-area Arctic) membekukannya untuk dimakan lain waktu. 
Para arkeolog menemukan situs-situs di mana seluruh kawanan 
binatang dibantai setiap tahun dengan cara itu. Bahkan, ada 
situs-situs di mana pagar-pagar dan penghalang didirikan dalam 
rangka menciptakan perangkap artifisial dan lahan pembantaian.
Kita mungkin berasumsi bahwa Neanderthal tidak senang 
melihat lahan perburuan tradisional mereka berubah menjadi 
lahan pembantaian yang dikuasai Sapiens. Namun, jika kerusuhan 
meletus antara kedua spesies itu, nasib Neanderthal tidak terlalu 
lebih baik dari kuda-kuda liar. Lima puluh Neanderthal yang 
bekerja sama dalam pola-pola tradisional yang statis bukanlah 
tandingan bagi 500 Sapiens yang lincah dan inovatif. Dan, 
andaipun Sapiens kalah di babak pertama, mereka bisa dengan 
cepat menemukan tipu daya yang memungkinkan mereka menang 
lain waktu.

Besarnya keragaman dari realitas yang dibayangkan yang 
ditemukan Sapiens, dan keragaman pola-pola perilaku yang 
dihasilkannya, adalah komponen utama dari apa yang kita sebut 
“budaya”. Begitu muncul, budaya-budaya itu tak pernah berhenti 
berubah dan berkembang, dan perubahan-perubahan yang tak 
terhentikan inilah yang kita sebut “sejarah”.
Revolusi Kognitif dengan demikian adalah titik di mana 
sejarah mendeklarasikan kemerdekaannya dari biologi. Sampai 
dengan Revolusi Kognitif, perbuatan-perbuatan semua spesies 
manusia berada dalam ranah biologi, atau, jika Anda lebih 
menyukai, prasejarah (Saya cenderung menghindari istilah 
“prasejarah” karena itu secara keliru membawa makna, bahkan 
sebelum Revolusi Kognitif, manusia ada dalam kategorinya 
sendiri). Sejak Revolusi Kognitif dan seterusnya, narasi-narasi 
sejarah menggantikan teori-teori biologi sebagai sarana utama 
kita dalam menjelaskan perkembangan Homo sapiens. Untuk 
memahami munculnya Kristianitas atau Revolusi Prancis, tidak cukup dengan memahami interaksi gen-gen, hormon-hormon, dan 
organisme-organisme. Diperlukan pula untuk mempertimbangkan 
interaksi ide-ide, gambar-gambar, dan fantasi-fantasi.
Ini tidak berarti bahwa Homo sapiens dan kebudayaan 
manusia terkecualikan dari hukum-hukum biologi. Kita masih 
tetap binatang dan kemampuan fisik, emosional, dan kognitif 
kita masih dibentuk oleh DNA kita.
Masyarakat kita dibentuk dari blok-blok bangunan yang 
sama sebagaimana masyarakat Neanderthal atau simpanse, dan 
semakin jauh kita mencermati blok-blok bangunan ini—sensasi, 
emosi, ikatan keluarga—semakin sedikit perbedaan yang kita 
temukan antara kita dan kera-kera lain.
Meskipun demikian, keliru kalau kita mencari perbedaan￾perbedaan pada level individual dan keluarga. Satu lawan satu, 
atau bahkan sepuluh lawan sepuluh, kita secara mengejutkan 
serupa dengan simpanse. Perbedaan-perbedaan signifikan baru 
mulai muncul ketika kita melampaui ambang batas 150 individu, 
dan ketika kita mencapai 1.000 sampai 2.000 individu, perbedaan￾perbedaan itu mencengangkan. Jika Anda mengumpulkan ribuan 
simpanse di Lapangan Tiananmen, Wall Street, Vatikan, atau 
markas besar PBB, hasilnya akan semrawut. Bandingannya, 
Sapiens bisa berkumpul secara rutin dalam jumlah ribuan di 
tempat-tempat semacam itu. Bersama-sama, mereka menciptakan 
pola-pola teratur—seperti jaringan perdagangan, perayaan 
massal, dan institusi-institusi politik—yang belum pernah mereka 
ciptakan secara terpisah. Perbedaan riil antara kita dan simpanse 
adalah mitos pengikat yang merekatkan individu, keluarga, dan 
kelompok dalam jumlah besar. Perekat itu membuat kita ulung 
dalam penciptaan.
Tentu saja, kita juga butuh keterampilan lain, seperti 
kemampuan untuk membuat dan menggunakan alat. Meskipun 
demikian, pembuatan alat adalah konsekuensi kecil kalau tidak 
digabung kan dengan kemampuan untuk bekerja sama dengan 
banyak orang lain. Bagaimana bisa kita sekarang memiliki misil 
antarbenua dengan hulu ledak nuklir, sementara 30.000 tahun 
lalu kita hanya punya batang dengan mata pisau batu? Secara 
psikologis, tidak ada perbaikan signifikan dalam kapasitas kita dalam pembuatan alat selama 30.000 tahun terakhir. Albert 
Einstein jauh kurang tangkas tangannya dibandingkan dengan 
seorang manusia kuno pemburu-penjelajah. Namun, kapasitas 
kita untuk bekerja sama dengan orang asing dalam jumlah besar 
membaik secara dramatis. Mata pisau batu kuno dibuat hanya 
dalam beberapa menit oleh satu orang, yang bergantung pada 
saran dan bantuan beberapa teman dekat. Produksi hulu ledak 
nuklir modern membutuhkan kerja sama jutaan orang asing di 
seluruh dunia—dari pekerja yang menambang bijih uranium di 
kedalaman Bumi sampai ke para ahli fisika teoretis yang menulis 
rumus-rumus matematika panjang untuk menjelaskan interaksi 
partikel-partikel atom.
Berikut ini adalah ringkasan hubungan antara biologi dan 
sejarah setelah Revolusi Kognitif:
a. Biologi membuat parameter-parameter dasar perilaku dan 
kapasitas Homo sapiens. Keseluruhan sejarah berlangsung 
dalam batasan-batasan arena biologis ini.
b. Meskipun demikian, area ini luar biasa besar, memungkinkan 
Sapiens memainkan ragam permainan yang mencengangkan. 
Berkat kemampuan mereka dalam menemukan fiksi, Sapiens 
bisa menciptakan permainan-permainan yang semakin 
rumit dan semakin rumit, yang berarti setiap generasi 
mengembangkan dan mengelaborasi lebih jauh.
c. Akibatnya, dalam rangka memahami bagaimana perilaku 
Sapiens, kita harus menjelaskan evolusi sejarah tindakan￾tindakan mereka. Merujuk hanya pada hambatan-hambatan 
biologis seperti penyiar radio olahraga yang, ketika meliput 
kejuaraan sepak bola Piala Dunia, menyampaikan kepada 
para pendengarnya penjelasan terperinci tentang lapangan 
permainan, bukan penjelasan tentang apa yang sedang 
dilakukan pemain.
Permainan apa yang dilakukan leluhur Abad Batu kita dalam 
arena sejarah? Sejauh yang kita ketahui, orang-orang yang 
memahat patung manusia singa Stadel sekitar 30.000 tahun lalu 
memiliki kemampuan fisik, emosional, dan intelektual yang sama dengan yang kita miliki. Apa yang mereka lakukan ketika bangun 
di pagi hari? Apa yang mereka makan untuk sarapan—dan makan 
siang? Seperti apa masyarakat mereka? Apakah mereka punya 
hubungan monogami? Apakah mereka melakukan upacara, punya 
aturan-aturan moral, malakukan kontes olahraga, dan ritual￾ritual keagamaan? Apakah mereka berperang? Bab selanjtunya 
akan mengintip apa di balik tirai abad-abad yang menjelaskan 
seperti apa kehidupan dalam milenium-milenium pemisah antara 
Revolusi Kognitif dan Revolusi Pertanian.
Untuk memahami alam, sejarah, dan psikologi, kita harus 
masuk ke dalam kepala para leluhur, para pemburu-penjelajah. 
Hampir sepanjang keseluruhan sejarah spesies kita, Sapiens 
hidup sebagai penjelajah makanan. Masa 200 tahun terakhir, 
yang di dalamnya Sapiens dalam jumlah yang terus bertambah 
mendapatkan makanan harian mereka dari pekerjaan menjadi 
buruh urban dan pekerja kantoran, dan 10.000 tahun sebelumnya, 
yang di dalamnya sebagian besar Sapiens hidup sebagai petani 
dan penggembala, ibarat sekedipan mata dibandingkan dengan 
puluhan ribu tahun yang di dalamnya para leluhur kita berburu 
dan mengumpulkan makanan.
Psikologi evolusi yang semakin maju menjelaskan bahwa 
banyak karakteristik sosial dan psikologis kita masa kini yang 
dibentuk dalam era panjang pra-agrikultural ini. Bahkan sekarang, 
menurut para ahli di bidang ini, otak dan pikiran kita beradaptasi 
dengan kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. 
Kebiasaan makan, konflik-konflik, dan seksualitas kita semua 
adalah hasil dari cara pikiran pemburu-penjelajah berinteraksi 
dengan lingkungan pasca-industri kita saat ini, dengan kota￾kota raksasa, pesawat, telepon, dan komputernya. Lingkungan 
memberi kita lebih banyak sumber daya material dan kehidupan 
yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dirasakan oleh 
generasi mana pun sebelumnya, tetapi itu sering membuat kita 
merasa terasing, tertindas, dan tertekan.
Untuk memahami penyebabnya, menurut para ahli psikologi 
evolusi, kita perlu menyelam ke dunia pemburu-penjelajah yang 
membentuk kita, dunia yang dalam alam bawah sadar masih 
kita huni.
Mengapa, misalnya, orang-orang menyantap makanan tinggi 
kalori yang tak banyak manfaatnya bagi tubuh? Kini masyarakat￾masyarakat makmur berada dalam penderitaan bencana obesitas, 
yang dengan cepat menyebar ke negara-negara berkembang. 
Sebuah teka-teki, mengapa kita gandrung dengan makanan paling 
manis dan paling berminyak yang bisa kita jumpai, sampai kita 
mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan makan para leluhur 
kita. Di savana dan hutan-hutan yang mereka tempati, makanan 
manis tinggi kalori sangat jarang dan persediaan makanan secara 
umum sangat sedikit. Pada masa 30.000 tahun lalu, satu individu 
hanya memiliki akses ke satu jenis makanan manis—buah yang 
matang. Jika seorang perempuan Zaman Batu menemukan 
sebuah pohon berderak menjuntai dengan beban buah-buah ara, 
hal yang paling masuk akal untuk dilakukan adalah memakan 
buah-buah itu sebanyak yang bisa dia lakukan di tempat, sebelum 
kawanan babon lokal memetiknya. Naluri untuk menggandrungi 
makanan tinggi kalori dibentuk dalam gen-gen kita. Kini kita 
mungkin hidup di apartemen-apartemen yang tinggi menjulang 
dengan kulkas-kulkas yang penuh persediaan, tetapi DNA kita 
masih berpikir kita berada di savana. Itulah yang membuat kita 
menyendok tandas seliter Ben & Jerry ketika menemukannya di 
freezer dan mencuci-bersih tenggorokan kita dengan Coke jumbo.
Teori “gen-penyantap” ini diterima secara luas. Teori-teori 
lain jauh lebih kontroversial. Misalnya, kalangan psikologi evolusi 
berpendapat bahwa kawanan-kawanan pencari makan kuno 
tidak tersusun atas keluarga-keluarga nuklir berintikan pasangan￾pasangan monogami. Namun, para pencari makan hidup dalam 
kelompok-kelompok (komun) tanpa properti pribadi, hubungan 
monogamis, bahkan peran keayahan. Dalam kawanan seperti 
itu, seorang perempuan bisa melakukan hubungan seks dan 
membentuk ikatan-ikatan intim dengan beberapa laki-laki (dan 
perempuan) secara simultan, dan semua orang dewasa dalam 
kawanan bekerja sama dalam hal merawat anak-anak. Karena tidak ada laki-laki yang tahu pasti anak mana yang merupakan 
anaknya, para laki-laki menunjukkan kepedulian yang sama 
terhadap semua anak.
Struktur sosial semacam itu bukanlah utopia Akuarian. 
Itu terdokumentasikan dengan baik pada binatang, terutama 
kerabat terdekat kita, simpanse dan bonobo. Bahkan, ada 
sejumlah kultur manusia masa kini yang di dalamnya peran ayah 
bersama dipraktikkan, misalnya di kalangan suku Indian Barí. 
Menurut keyakinan kelompok masyarakat seperti itu, seorang 
anak tidak dilahirkan dari sperma seorang pria tunggal, tetapi 
dari akumulasi sperma dalam rahim perempuan. Seorang ibu 
yang baik akan memastikan untuk melakukan hubungan seks 
dengan beberapa laki-laki, terutama ketika dia sedang hamil, 
agar anaknya menikmati kualitas (dan perawatan paternal) tidak 
hanya dari pemburu terbaik, tetapi juga dari pencerita terbaik, 
petarung terkuat, dan pencinta yang paling penuh perhatian. Jika 
ini terdengar bodoh, pikirkan bahwa sebelum berkembangnya 
studi embriologikal modern, orang tidak punya bukti kuat 
bahwa bayi-bayi selalu dihasilkan oleh satu ayah tunggal, bukan 
banyak laki-laki.
Para pendukung teori “komun kuno” ini berpendapat bahwa 
perselingkuhan yang kerap terjadi yang mencirikan pernikahan 
modern, dan tingginya angka perceraian, belum lagi tumpah 
ruahnya penyakit-penyakit psikologis yang membuat anak-anak 
dan orang dewasa sama-sama menderita, semuanya merupakan 
akibat dari pemaksaan manusia untuk hidup dalam keluarga￾keluarga nuklir dan hubungan monogami yang tidak cocok 
dengan perangkat lunak biologis kita.1
Banyak ahli menolak mentah-mentah teori ini, dengan 
menekankan bahwa baik monogami maupun pembentukan 
keluarga-keluarga nuklir adalah inti dari perilaku manusia. 
Meskipun masyarakat-masyarakat pemburu-penjelajah kuno 
cenderung lebih komunal dan egaliter ketimbang masyarakat 
modern, para periset berpendapat mereka tetap terdiri dari sel￾sel terpisah, yang masing-masing berisi pasangan pencemburu 
dan anak-anak yang mereka besarkan bersama. Inilah mengapa 
kini hubungan monogami dan keluarga-keluarga nuklir menjadi norma dalam banyak kultur, mengapa laki-laki dan perempuan 
cenderung sangat posesif atas pasangan dan anak-anak mereka, 
dan mengapa bahkan dalam negara-negara modern seperti Korea 
Utara dan Suriah otoritas politik diwariskan dari ayah kepada 
anak.
Untuk menyelesaikan kontroversi ini dan memahami 
seksualitas, masyarakat, dan politik, kita perlu mempelajari 
sesuatu tentang kondisi-kondisi yang masih ada dari para 
leluhur kita, untuk menelaah bagaimana Sapiens hidup di antara 
masa Revolusi Kognitif 70.000 tahun lalu, dan awal Revolusi 
Agrikultural sekitar 12.000 tahun lalu.
Sayang sekali, tak banyak hal yang pasti berkaitan dengan 
kehidupan leluhur pengembara kita. Perdebatan antara aliran 
“komun kuno” dan “monogami kekal” didasarkan pada bukti 
sumir. Kita jelas tidak punya catatan-catatan tertulis dari abad 
pengembara itu, dan bukti arkeologis berisi utamanya tulang￾tulang fosil dan alat-alat batu. Artefak-artefak yang terbuat dari 
bahan-bahan mudah rusak—seperti kayu, bambu, atau kulit—
hanya bisa bertahan dalam kondisi tertentu. Kesan umum bahwa 
manusia-manusia pra-agrikultur hidup pada Zaman Batu adalah 
miskonsepsi yang didasarkan pada bias arkeologis. Zaman Batu 
seharusnya lebih tepat disebut Zaman Kayu karena sebagian 
besar alat yang digunakan oleh para pemburu-penjelajah terbuat 
dari kayu.
Setiap rekonstruksi atas kehidupan pemburu-penjelajah kuno 
dari artefak-artefak yang selamat benar-benar problematik. Salah 
satu perbedaan yang paling mencolok antara pengembara kuno 
dan keturunan agrikultural dan industrial mereka adalah bahwa 
para pengembara memiliki artefak yang sangat sedikit untuk 
dijadikan titik awal, dan secara komparatif artefak-artefak ini 
memainkan peranan rendah dalam kehidupan mereka. Sepanjang 
hidupnya, seorang anggota masyarakat modern yang makmur 
akan memiliki beberapa juta artefak—mulai dari mobil dan 
rumah sampai ke kain lap sekali pakai dan kotak-kotak susu. 
Hampir tidak ada aktivitas, keyakinan, atau bahkan emosi yang 
tidak dimediasi oleh benda-benda yang kita rancang. Kebiasaan 
makan kita dimediasi oleh kumpulan hasil pemikiran berupa item-item seperti sendok dan gelas sampai laboratorium rekayasa 
genetik dan kapal-kapal raksasa penjelajah samudra. Dalam 
bermain, kita menggunakan bertumpuk-tumpuk mainan, mulai 
dari kartu-kartu plastik sampai ke stadion berkapasitas 100.000 
kursi. Hubungan romantis dan seksual kita ditemani cincin, 
tempat tidur, pakaian bagus, pakaian dalam seksi, kondom, 
restoran modern, motel murah, ruang tunggu bandara, gedung￾gedung upacara pernikahan, dan perusahaan katering. Agama 
membawakan kesakralan ke dalam hidup kita dengan gereja￾gereja Gothic, masjid Muslim, ashram Hindu, lembaran-lembaran 
Taurat, roda doa Tibet, jubah pastor, lilin, dupa, pohon Natal, 
bola matzah, batu nisan, dan patung-patung.
Kita tidak menyadari betapa banyaknya barang-barang kita 
sampai harus pindah ke sebuah rumah baru. Para pengembara 
pindah rumah setiap bulan, setiap pekan, dan kadang-kadang 
bahkan setiap hari, mengusung apa pun yang mereka punya di 
punggung. Tidak ada perusahaan jasa pemindahan, kereta, atau 
bahkan binatang-binatang pengangkut untuk berbagi beban. 
Akibatnya mereka harus melakukannya hanya dengan benda￾benda miliknya yang paling pokok. Maka, masuk akal untuk 
berasumsi bahwa banyak bagian dari kehidupan mental, religius, 
dan emosional mereka yang dilakukan tanpa bantuan artefak. 
Seorang arkeolog yang bekerja 100.000 tahun setelah masa kini 
mungkin akan bisa membuat gambaran utuh tentang keyakinan 
dan praktik kaum Muslim dari berlimpahnya benda-benda 
yang bisa ditemukan dari reruntuhan masjid. Namun, secara 
garis besar kita kehilangan jejak untuk memahami keyakinan 
dan ritual para pemburu-penjelajah kuno. Kurang lebih dilema 
yang sama akan dihadapi oleh para sejarawan masa depan jika 
mereka harus menggambarkan dunia sosial remaja Amerika abad 
ke-21 dengan semata-mata berdasarkan pada “surat siput” (surat 
yang dikirim lewat pos)—karena tidak ada catatan yang tersedia 
tentang percakapan telepon, surel, blog, dan pesan-pesan teks.
Pengandalan pada artefak dengan demikian akan membiaskan 
penjelasan tentang kehidupan pemburu-penjelajah kuno. Satu 
cara untuk memperbaiki ini adalah dengan melihat masyarakat￾masyarakat penjelajah modern. Ini bisa dipelajari secara langsung, 
dengan observasi antropologis. Namun, ada alasan bagus untuk 
sangat berhati-hati dalam membayangkan kemungkinan dari 
masyarakat penjelajah modern untuk masyarakat kuno.
Pertama, semua masyarakat penjelajah yang bertahan sampai 
ke era modern dipengaruhi oleh masyarakat agrikultur dan 
industrial yang bertetangga. Akibatnya, ada risiko bila berasumsi 
bahwa apa yang benar tentang mereka juga benar tentang puluhan 
ribu tahun lalu.
Kedua, masyarakat-masyarakat penjelajah modern bertahan 
terutama di area-area dengan kondisi iklim sulit dan lahan yang 
tak bisa dihuni, dan kurang cocok untuk agrikultur. Masyarakat￾masyarakat yang telah beradaptasi dengan kondisi-kondisi 
ekstrem di tempat-tempat seperti Gurun Kalahari di Afrika 
bagian selatan bisa memberikan model yang sangat menyesatkan 
untuk memahami masyarakat kuno di area-area subur seperti 
Lembah Sungai Yangtze. Secara khusus, kepadatan populasi 
di area seperti Gurun Kalahari jauh lebih rendah dari sekitar 
Yangtze kuno, dan ini memiliki implikasi yang jauh lebih luas 
untuk pertanyaan-pertanyaan kunci tentang ukuran dan struktur 
kawanan manusia dan hubungan-hubungan di antara mereka. 
Ketiga, karakteristik yang paling menonjol dari masyarakat￾masyarakat pemburu-penjelajah adalah betapa berbedanya satu 
sama lain. Mereka berbeda tidak hanya dari satu bagian dunia 
dengan bagian dunia lain, bahkan di wilayah yang sama. Satu 
contoh bagus adalah besarnya keragaman para pemukim pertama 
Eropa yang ditemukan di antara masyarakat Aborigin Australia. 
Sebelum penaklukan oleh Inggris, sekitar 300.000 sampai 
700.000, pemburu-penjelajah hidup di benua itu dalam 200 
sampai 600 suku, yang masing-masing terbagi menjadi beberapa 
kawanan.2
 Setiap suku memiliki bahasa, agama, norma, dan aturan 
sendiri. Mereka hidup di sekitar tempat yang kini dikenal sebagai 
Adelaide di Australia selatan dalam beberapa klan patrilineal yang 
mengedepankan garis keturunan dari pihak ayah. Klan-klan ini 
terikat menjadi suku-suku atas dasar teritorial yang ketat. Secara 
kontras, beberapa suku di Australia selatan lebih mengedepankan
leluhur maternal seseorang dan identitas kesukuan seseorang 
bergantung pada lambang ketimbang teritorialnya.
Maka, sangat masuk akal bahwa keragaman etnis dan kultural 
di antara pemburu-penjelajah kuno sama mengesankannya, dan 
bahwa 5 juta sampai 8 juta penjelajah yang menghuni dunia 
menjelang Revolusi Agrikultural terbagi ke dalam ribuan suku 
terpisah dengan ribuan bahasa dan budaya yang berbeda.3
 Maka, 
ini merupakan salah satu warisan utama dari Revolusi Kognitif. 
Berkat kemunculan fiksi, bahkan orang dengan susunan genetik 
sama yang tinggal dalam kondisi ekologis yang serupa bisa 
menciptakan realitas-realitas imajinatif yang sangat berbeda, 
yang memanifestasikan diri dalam norma-norma dan nilai-nilai 
yang berbeda-beda.
Misalnya, selalu tersedia alasan untuk percaya bahwa satu 
kawanan penjelajah yang hidup 30.000 tahun lalu di tempat 
Universitas Oxford kini berdiri menggunakan bahasa yang berbeda 
dari kawanan yang hidup di tempat Cambridge kini berada. Satu 
kawanan mungkin gemar berkelahi dan yang lain lebih damai. 
Mungkin kawanan Cambridge bersifat komunal sementara yang 
berada di Oxford didasarkan pada keluarga-keluarga nuklir. 
Orang-orang Cantabrige mungkin menghabiskan waktu berjam￾jam memahat patung kayu arwah penjaga mereka, sementara 
orang-orang Oxonian mungkin beribadah melalui tarian. Yang 
pertama mungkin memercayai reinkarnasi, sedangkan yang kedua 
menganggap itu omong kosong. Di satu masyarakat, hubungan 
sesama jenis kelamin mungkin diterima, sementara di masyarakat 
lain adalah tabu. 
Dengan kata lain, meskipun observasi antropologis terhadap 
masyarakat penjelajah modern bisa membantu kita memahami 
sebagian kemungkinan yang tersedia untuk masyarakat penjelajah 
kuno, horizon kuno tentang kemungkinan-kemungkinan itu 
sangat luas, dan sebagian besar tersembunyi dari pandangan kita.*
Perdebatan yang memanas tentang “cara hidup alamiah” Homo 
sapiens meleset dari poin utamanya. Sejak Revolusi Kognitif, tidak 
ada satu cara hidup natural tunggal untuk Sapiens. Yang ada 
hanyalah pilihan-pilihan kultural, dari palet besar kemungkinan￾kemungkinan.
Masyarakat Makmur yang Asli
Jika demikian, generalisasi seperti apa yang bisa kita buat 
tentang kehidupan dunia pra-agrikultural? Tampaknya aman 
untuk mengatakan bahwa mayoritas besar orang hidup dalam 
kawanan-kawanan kecil berjumlah beberapa puluh orang atau 
paling banyak beberapa ratus individu, dan bahwa semua individu 
adalah manusia. Penting untuk mencatat poin terakhir ini karena 
ini masih jauh dari jelas. Sebagian besar anggota masyarakat 
agrikultural dan industri adalah binatang-binatang yang sudah 
terdomestikasi. Mereka tidak sama dengan tuan-tuan mereka, 
tentu saja, tetapi semua sama-sama menjadi anggotanya. Kini, 
masyarakat menyebut Selandia Baru terdiri dari 4,5 juta Sapiens 
dan 50 juta domba.
Hanya ada satu pengecualian untuk aturan umum ini: anjing. 
Anjing adalah binatang pertama yang didomestikasi Homo 
sapiens, dan ini terjadi sebelum Revolusi Agrikultural. Para ahli 
berbeda pendapat tentang masa pastinya, tetapi kita telah memiliki 
bukti tak terbantahkan tentang domestikasi anjing sejak sekitar 
15.000 tahun lalu. Mereka mungkin telah bergabung dengan 
kawanan manusia ribuan tahun sebelumnya.
Anjing digunakan untuk berburu dan berkelahi, dan sebagai 
sistem tanda bahaya terhadap binatang-binatang buas dan 
manusia-manusia penyusup. Dengan bergulirnya generasi demi 
generasi, penuh perhatian pada kebutuhan dan perasaan rekan 
manusia nya mendapatkan perawatan dan makanan ekstra, dan 
lebih berpeluang untuk bertahan. Secara simultan, anjing belajar 
memanfaatkan orang untuk kebutuhannya sendiri. Ikatan selama 
15.000 tahun telah menghasilkan pemahaman dan afeksi yang 
jauh lebih mendalam antara manusia dan anjing ketimbang antara
manusia dan binatang lain.4
 Dalam beberapa kasus, anjing bahkan 
dikuburkan dengan upacara, sangat mirip dengan manusia.
Para anggota kawanan saling mengenal sangat intim, dan 
sepanjang hidupnya dikelilingi teman dan kerabat. Kesendirian dan 
privasi jarang ada. Kawanan-kawanan yang bertetangga mungkin 
bersaing untuk sumber daya dan bahkan saling berperang, tetapi 
mereka juga melakukan kontak-kontak bersahabat. Mereka 
bertukar anggota, berburu bersama, bertukar kemewahan, 
membuat aliansi-aliansi politik, dan merayakan perayaan-perayaan 
keagamaan. Kerja sama seperti itu merupakan salah satu ciri 
khas Homo sapiens, dan memberinya keunggulan krusial atas 
spesies-spesies manusia lainnya. Terkadang hubungan-hubungan 
dengan kawanan tetangga cukup erat sehingga mereka bersama-
sama merupakan satu suku, menggunakan bahasa yang sama, 
mitos yang sama, dan norma-norma serta nilai-nilai yang sama.
Meskipun demikian, kita tidak boleh berlebihan memandang 
pentingnya hubungan eksternal semacam itu. Sekalipun pada 
masa-masa krisis kawanan-kawanan yang bertetangga menjadi 
semakin dekat, dan sekalipun mereka kadang-kadang berkumpul 
untuk berburu atau berpesta bersama, mereka masih menghabiskan 
sebagian besar waktu dalam isolasi dan independensi penuh. 
Perdagangan umumnya terbatas pada item-item prestise seperti 
kerang, batu amber, dan pewarna. Tidak ada bukti bahwa orang￾orang berdagang barang-barang persediaan seperti buah-buahan 
dan daging, atau bahwa eksistensi satu kawanan bergantung 
pada impor barang dari kawanan yang lain. Relasi-relasi sosial 
juga cenderung sporadis. Suku tidak berfungsi sebagai kerangka 
politik permanen, dan sekalipun suku memiliki tempat-tempat 
pertemuan berkala, tidak ada kota atau institusi permanen. 
Rata-rata orang hidup selama berbulan-bulan tanpa melihat atau 
mendengar manusia dari luar atau dari kawanannya sendiri, dan 
sepanjang hidupnya dia hanya bertemu dengan beberapa ratus 
manusia. Populasi Sapiens tersebar di teritori yang sangat luas. 
Sebelum Revolusi Agrikultural, populasi manusia di segenap 
penjuru planet lebih kecil dari Kairo hari ini.
Sebagian besar kawanan Sapiens hidup di jalanan, berkelana 
dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan. Gerakan 
mereka dipengaruhi oleh pergantian musim, migrasi tahunan 
binatang dan siklus hidup tumbuh-tumbuhan. Mereka biasanya 
bepergian bolak-balik di satu teritorial yang sama, sebuah area 
antara beberapa puluh sampai ratusan kilometer persegi.
Terkadang, kawanan-kawanan berkelana ke luar wilayah 
kekuasaan mereka dan mengeksplorasi tanah-tanah baru, entah 
karena bencana alam, konflik kekerasan, tekanan demografis, 
atau inisiatif pemimpin karismatis. Pengembaraan ini merupakan 
mesin dari ekspansi manusia di seluruh dunia. Jika satu kawanan 
penjelajah terpecah sekali setiap empat puluh tahun dan kelompok 
pecahan bermigrasi ke teritori baru sejauh seratus kilometer ke 
timur, jarak dari Afrika Timur ke China akan bisa ditempuh 
selama sekitar 10.000 tahun. Dalam kasus-kasus pengecualian, 
ketika sumber makanan sangat melimpah, kawanan-kawanan 
menetap dalam kamp-kamp sementara, bahkan permanen. Teknik￾teknik pengeringan, pengasapan, dan pembekuan makanan juga 
memungkinkan mereka untuk menetap dalam periode yang lebih 
lama. Yang paling penting, di sepanjang laut dan sungai yang kaya 
makanan laut dan unggas air, manusia membuat perkampungan 
nelayan—permukiman permanen pertama dalam sejarah, jauh 
sebelum Revolusi Agrikultural. Perkampungan-perkampungan 
nelayan mungkin sudah muncul di pesisir-pesisir Indonesia sejak 
45.000 tahun lalu. Perkampungan-perkampungan ini bisa jadi 
merupakan pangkalan bagi Homo sapiens untuk melancarkan 
parade lintas samudra pertamanya: invasi terhadap Australia.
Pada sebagian besar habitat, kawanan-kawanan Sapiens 
menghidupi diri dalam cara yang elastis dan oportunistis. Mereka 
mencari rayap, memetik beri, menggali akar, mengejar kelinci, 
dan berburu bison dan mamut. Terlepas dari citra populernya 
sebagai “manusia pemburu”, pengumpulan makanan merupakan 
aktivitas utama Sapiens, dan itu memberi mereka sebagian besar 
kalori, di samping bahan-bahan baku seperti batu, kayu, dan 
bambu.
Sapiens tidak menjelajah hanya untuk makanan dan bahan. 
Mereka menjelajah untuk pengetahuan juga. Untuk bertahan, 
mereka memerlukan peta terperinci dalam kepala mereka tentang 
teritori mereka. Untuk memaksimalkan efisiensi pencarian 
makanan harian, mereka membutuhkan informasi tentang 
pola-pola pertumbuhan setiap tumbuhan dan perilaku tiap-tiap 
binatang. Mereka perlu tahu makanan mana yang menyehatkan, 
mana yang membuat sakit, dan bagaimana menggunakan yang 
lain untuk pengobatan. Mereka perlu tahu perkembangan musim 
dan tanda-tanda peringatan apa yang mendahului hujan badai 
atau musim kering. Mereka mempelajari setiap arus, setiap pohon 
kenari, setiap gua beruang, dan setiap cadangan batu pemantik 
di areanya. Setiap individu harus mengerti bagaimana membuat 
pisau batu, bagaimana memperbaiki jubah yang robek, bagaimana 
memasang perangkap kelinci, bagaimana menghadapi longsoran, 
gigitan ular, atau singa lapar. Penguasaan tiap-tiap keterampilan 
ini memerlukan magang dan praktik bertahun-tahun. Rata-rata 
penjelajah kuno bisa mengubah batu menjadi benda tajam dalam 
beberapa menit. Kalau kita mencoba meniru keterampilan itu, 
kita akan gagal sia-sia. Sebagian besar kita tak punya pengetahuan 
bagaimana mengupas properti batu dan basal dan keterampilan 
motorik halus untuk mengerjakan itu secara cermat.
Dengan kata lain, rata-rata seorang penjelajah memiliki 
pengetahuan yang lebih luas, lebih mendalam, dan lebih 
beragam tentang alam sekeliling mereka ketimbang sebagian 
besar keturunan modern mereka. Kini, kebanyakan orang dalam 
masyarakat industri tidak perlu tahu banyak tentang alam untuk 
bertahan hidup. Apa yang benar-benar Anda perlu tahu untuk 
bisa menjadi seorang insinyur komputer, agen asuransi, guru 
sejarah, atau pekerja buruh? Anda tak perlu tahu banyak tentang 
bidang keahlian kecil Anda sendiri, tetapi untuk sebagian besar 
kebutuhan hidup, Anda mengandalkan secara buta bantuan ahli 
lain, yang pengetahuannya juga terbatas pada satu bidang keahlian 
kecil. Secara kolektif manusia memang memiliki pengetahun 
yang lebih jauh daripada kawanan-kawanan kuno. Namun, pada 
level individual, para penjelajah kuno adalah orang yang paling 
berpengetahuan dan paling terampil dalam sejarah.
Ada suatu bukti bahwa ukuran rata-rata otak Sapiens 
sebetulnya menurun sejak abad penjelajahan.5
 Pada masa itu, 
untuk bertahan hidup membutuhkan kemampuan mentalitas 
yang mumpuni dari setiap orang. Ketika pertanian dan industri 
datang, orang semakin bisa mengandalkan keterampilan orang lain 
untuk bertahan hidup, dan terbukalah “ceruk-ceruk baru untuk 
orang-orang bodoh” (niches for imbeciles). Anda bisa bertahan 
dan melampaui gen-gen biasa-biasa Anda ke generasi berikutnya 
dengan bekerja sebagai seorang pengangkut air atau pekerja 
perakitan. Para penjelajah menguasai tidak hanya dunia binatang, 
tumbuhan, dan benda-benda di sekelilingnya, tetapi juga dunia 
internal tubuh dan indra mereka sendiri. Mereka mendengarkan 
gerakan yang paling kecil di rerumputan untuk mengetahui 
apakah ada ular sedang merayap di sana. Mereka dengan cermat 
mengamati dedaunan pohon untuk menemukan buah-buahan, 
sarang lebah, dan sarang burung. Mereka bergerak dengan usaha 
dan suara minimum, dan tahu cara duduk, berjalan, dan berlari
dengan gerakan yang paling gesit dan efisien. Pengerahan tubuh 
dengan cara yang beragam dan terus-menerus membuat mereka 
setangguh pelari maraton. Mereka memiliki ketangkasan fisik 
yang tidak mampu dicapai oleh orang-orang masa kini, bahkan 
setelah bertahun-tahun berlatih yoga atau tai chi.
Cara hidup pemburu-penjelajah berbeda secara signifikan 
antara satu wilayah dengan wilayah lain dan antara satu musim 
dengan musim lain, tetapi seluruh penjelajah tampak menikmati 
gaya hidup yang lebih nyaman dan lebih membawa manfaat 
dibandingkan sebagian besar petani, penggembala, buruh, pekerja 
kantoran yang mengikuti jejak mereka.
Sementara dalam masyarakat makmur masa kini, bekerja 
rata-rata empat puluh sampai empat puluh lima jam per pekan, 
dan orang di dunia berkembang bekerja enam puluh bahkan 
delapan puluh jam per pekan, para pemburu-penjelajah yang kini 
hidup di habitat-habitat yang paling sulit dihuni—seperti Gurun 
Kalahari—bekerja rata-rata hanya tiga puluh jam sampai empat 
puluh jam per pekan. Mereka berburu hanya satu dari tiga hari, 
dan mengumpulkan hasilnya hanya tiga sampai enam jam per 
hari. Dalam waktu-waktu normal, ini cukup untuk menghidupi 
kawanan. Maka, sangat mungkin jika para pemburu-penjelajah 
kuno hidup di zona-zona yang lebih subur ketimbang Kalahari, 
menghabiskan waktu bahkan lebih sedikit untuk mendapatkan 
makanan dan bahan-bahan baku. Di atas itu semua, para 
penjelajah menikmati beban pekerjaan rumah tangga yang lebih 
ringan. Mereka tak punya piring untuk dicuci, karpet untuk 
divakum, lantai untuk dipoles, popok untuk diganti, dan tagihan 
untuk dibayar.
Ekonomi penjelajah menyediakan kehidupan yang lebih 
menarik bagi sebagian besar orang dibandingkan ekonomi 
pertanian atau industri. Kini, seorang pekerja pabrik China 
meninggalkan rumah sekitar pukul tujuh pagi, menempuh jalan￾jalan berpolusi ke pabrik garmen, dan di sana mengoperasikan 
mesin yang sama, dengan cara yang sama, sepanjang hari selama 
sepuluh jam yang panjang dan mematikan pikiran, pulang ke 
rumah sekitar pukul tujuh malam untuk mencuci piring dan 
menyetrika pakaian. Tiga puluh ribu tahun lalu, seorang penjelajah 
China mungkin meninggalkan kamp bersama beberapa rekannya, 
katakanlah, pukul delapan pagi. Mereka menjelajahi hutan-hutan 
dan padang rumput terdekat, mengumpulkan jamur, menggali 
akar-akar yang bisa dimakan, menangkap katak, dan sesekali 
berlari menghindari macan. Ketika siang datang, mereka sudah 
kembali di kamp untuk makan siang. Mereka punya banyak 
waktu untuk bergosip, bercerita, bermain dengan anak-anak, 
dan kongko-kongko. Tentu saja terkadang macan menangkap 
mereka atau ular menggigit mereka, tetapi di sisi lain mereka 
tidak berurusan dengan kecelakaan mobil dan polusi industri.
Di sebagian besar tempat dan sebagian besar masa, 
penjelajahan memberi nutrisi ideal. Itu bukan hal yang 
mengejutkan—sudah menjadi menu makanan selama ratusan 
ribu tahun, dan tubuh manusia cocok dengannya. Bukti dari 
tulang-tulang fosil menunjukkan bahwa para penjelajah kuno 
sangat kecil kemungkinan menderita kelaparan atau malnutrisi, 
dan umumnya lebih tinggi dan lebih sehat daripada keturunan 
mereka yang menjadi petani. Rata-rata harapan hidup tampaknya 
hanya tiga puluh sampai empat puluh tahun, tetapi ini umumnya 
disebabkan karena tingginya angka kematian anak-anak. Anak￾anak yang lolos dari tahun-tahun pertama memiliki peluang 
bagus untuk mencapai usia enam puluh tahun, dan sebagian 
bahkan sampai delapan puluhan. Di antara penjelajah modern, 
perempuan berusia empat puluh lima tahun bisa berharap hidup 
sampai dua puluh tahun kemudian, dan sekitar 5 sampai 8 persen 
populasi berusia di atas enam puluh tahun.6
Rahasia sukses kaum penjelajah, yang melindungi mereka 
dari kelaparan dan malnutrisi, adalah keragaman diet. Para 
petani cenderung makan makanan yang sangat terbatas dan tidak 
berimbang. Terutama pada masa-masa pramodern, sebagian besar 
asupan kalori untuk populasi agrikultur berasal dari satu panen 
tunggal—seperti gandum, kentang, atau beras—yang tak memiliki 
sejumlah vitamin, mineral, dan bahan-bahan nutrisi lain yang 
dibutuhkan manusia. Petani tradisional di China biasa makan nasi 
untuk sarapan, nasi untuk makan siang, dan nasi untuk makan 
malam. Jika beruntung, mereka bisa berharap makan makanan 
yang sama esok harinya. Bandingkan, para penjelajah kuno secara teratur makan puluhan jenis makanan yang berbeda. Para leluhur 
petani yang hidup menjelajah mungkin makan beri dan jamur 
untuk sarapan; buah, bekicot, dan penyu untuk makan siang; 
steik kelinci dengan bawang liar untuk makan malam. Esoknya 
menu bisa benar-benar berbeda. Keragaman itu menjamin bahwa 
para penjelajah kuno menerima semua nutrisi yang dibutuhkan.
Lebih dari itu, dengan tidak bergantung pada satu jenis 
makanan tunggal, mereka lebih tahan menghadapi kesulitan 
ketika satu sumber makanan tertentu gagal. Masyarakat agrikultur 
dilanda kelaparan ketika musim kering, terjadi kebakaran, atau 
gempa bumi memorak-porandakan panen padi atau kentang 
tahunan mereka. Masyarakat penjelajah memang tidak kebal 
pada bencana alam, penderitaan dari periode-periode paceklik 
dan kelaparan, tetapi mereka biasanya mampu mengatasi bencana 
itu dengan lebih mudah. Jika mereka kehilangan satu tumpukan 
persediaan makanan, mereka bisa mengumpulkan atau berburu 
spesies lain, atau pindah ke area yang kurang terdampak bencana.
Para penjelajah kuno juga lebih sedikit menderita dari 
penyakit menular. Sebagian besar penyakit menular yang melanda 
masyarakat agrikultur dan industri (seperti cacar, campak, dan 
TBC) berasal dari binatang-binatang yang didomestikasi dan 
ditularkan ke manusia baru setelah Revolusi Agrikultur. Para 
penjelajah kuno, yang mendomestikasi hanya anjing, bebas dari 
momok itu. Lebih dari itu, sebagian besar orang dalam masyarakat 
agrikultur dan industri hidup dalam permukiman permanen 
yang padat dan tidak higienis—sarang ideal bagi penyakit. Para 
penjelajah menjelajahi tanah dalam kawanan-kawanan kecil yang 
tidak bisa melanggengkan epidemi.
Diet yang menyeluruh dan beragam, pekan kerja yang 
relatif singkat, dan jarangnya penyakit menular membuat para 
ahli mendefinisikan masyarakat penjelajah pra-agrikultur sebagai 
“masyarakat makmur yang asli”. Namun, keliru jika mengidealkan 
kehidupan masyarakat kuno ini. Meskipun mereka menikmati 
kehidupan yang lebih baik dari sebagian besar masyarakat 
agrikultur dan industri, dunia mereka masih keras dan tanpa 
ampun. Periode-periode paceklik dan kesulitan bukan hal yang 
tidak biasa, tingkat kematian anak tinggi, dan kecelakaan yang pada masa kini termasuk kecil bisa menjadi hukuman mati. 
Kebanyakan orang mungkin menikmati keintiman dekat dalam 
kawanan penjelajah, tetapi orang-orang bernasib buruk yang 
menyulut permusuhan atau ejekan terhadap sesama anggota 
kawanan mungkin akan sangat menderita. Para penjelajah modern 
terkadang meninggalkan atau bahkan membunuh orangtua atau 
orang cacat yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kawanan. 
Bayi-bayi dan anak-anak yang tidak diinginkan bisa dibunuh, dan 
bahkan ada kasus-kasus pengorbanan manusia yang terilhami 
ajaran religius.
Masyarakat Aché, pemburu-penjelajah yang hidup di belantara 
Paraguay sampai tahun 1960-an, memberi gambaran sekilas 
tentang sisi gelap masyarakat penjelajah. Ketika seorang anggota 
kawanan yang dihormati meninggal, suku Aché membunuh 
seorang anak perempuan dan mengubur keduanya bersama-sama. 
Para antropolog yang mewawancarai Aché merekam sebuah kasus 
di mana satu kawanan meninggalkan seorang pria setengah baya 
yang sakit dan tak bisa mengikuti gerak kawanan. Dia ditinggalkan 
di bawah pohon. Beberapa burung bangkai bertengger di atasnya, 
menanti makanan yang sudah pasrah. Namun, orang itu sembuh, 
dan, dengan berjalan cepat, dia berhasil bergabung kembali 
dengan kawanan. Tubuhnya penuh dengan kotoran burung, 
sehingga dia dijuluki “Tahi Burung Bangkai”.
Ketika seorang perempuan tua Aché menjadi beban bagi 
kawanan, salah satu pemuda akan menyelinap di belakangnya 
dan membunuhnya dengan ayunan kapak di kepala. Seorang 
pria Aché mengisahkan kepada para antropolog kisah-kisahnya 
pada masa-masa di hutan. “Saya terbiasa membunuh seorang 
perempuan tua. Saya bisa membunuh para bibi saya.... Perempuan￾perempuan itu takut kepada saya. Kini, di sini bersama orang￾orang kulit putih, saya menjadi lemah.” Bayi yang lahir tanpa 
rambut, yang dianggap tidak berkembang, langsung dibunuh. 
Seorang perempuan mengenang bahwa bayi pertamanya seorang 
perempuan dibunuh karena para pria dalam kawanan tidak 
menginginkan ada anak perempuan lagi. Dalam peristiwa lain, 
seorang pria membunuh anak laki-laki karena dia “perasaannya 
sedang buruk dan anak itu menangis”. Seorang anak lainnya 
dikubur hidup-idup karena “tampak lucu dan anak-anak lain 
mentertawainya”.7
Namun, kita harus berhati-hati agar tidak menghakimi Aché 
terlalu cepat. Para antropolog yang hidup bersama mereka selama 
bertahun-tahun melaporkan bahwa kekerasan antara orang 
dewasa sangat jarang. Baik perempuan maupun laki-laki bebas 
berganti pasangan sesukanya. Mereka tersenyum dan tertawa 
terus, tak ada hierarki hubungan, dan umumnya menghindari 
orang-orang dominan. Mereka luar biasa dermawan dengan harta 
miliknya yang sedikit, dan tidak terobsesi dengan sukses atau 
kekayaan. Hal-hal yang paling mereka hargai dalam kehidupan 
adalah interaksi sosial yang bagus dan pertemanan yang sangat 
berkualitas.8
 Mereka memandang pembunuhan anak, orang 
sakit, dan orang tua sama seperti banyak orang pada masa kini 
memandang aborsi dan euthanasia. Harus dicatat pula bahwa 
orang Aché diburu dan dibunuh tanpa ampun oleh para petani 
Paraguay. Kebutuhan untuk menghindari musuh mungkin 
menyebabkan Aché menerapkan sikap sangat keras terhadap 
siapa pun yang mungkin menjadi beban bagi kawanan.
Yang benar adalah bahwa masyarakat Aché, sebagaimana 
setiap masyarakat manusia, sangat rumit. Kita harus hati-hati 
untuk tidak mengutuk atau mengidealkannya berdasarkan 
perkenalan superfisial. Aché bukan malaikat dan juga bukan 
iblis—mereka manusia. Jadi, begitu pula para pemburu-penjelajah 
kuno.
Membicarakan Hantu
Apa yang bisa kita katakan tentang kehidupan spiritual dan 
mental kaum pemburu-penjelajah kuno? Dasar dari ekonomi 
penjelajah bisa direkonstruksi dengan cukup meyakinkan 
berdasarkan faktor-faktor yang bisa dihitung dan objektif. 
Misalnya, kita bisa mengalkulasi berapa banyak kalori per hari 
yang dibutuhkan seseorang agar bertahan hidup, berapa banyak 
kalori yang didapat dari satu kilogram kenari, dan berapa banyak 
kenari yang bisa dikumpulkan dari hutan seluas satu kilometer persegi. Dengan data ini, kita bisa membuat perkiraan terpelajar 
tentang pentingnya kenari dalam diet mereka. Namun, apakah 
mereka menganggap kenari sebagai kelezatan atau makanan 
yang membosankan? Apakah mereka percaya bahwa pohon 
kenari dihuni arwah? Apakah mereka menganggap daun-daun 
kenari itu indah? Jika seorang anak penjelajah ingin membawa 
seorang anak perempuan penjelajah ke tempat romantis, apakah 
bayangan pohon kenari sudah mencukupi? Dunia pikiran, 
keyakinan dan perasaan berdasarkan definisi jauh lebih rumit 
untuk digambarkan.
Sebagian besar ahli sepakat bahwa keyakainan-keyakinan 
animistik lazim di antara para penjelajah kuno. Animisme (dari 
kata anima, ‘jiwa’ atau arwah dalam bahasa Latin) adalah 
keyakinan bahwa setiap tempat, setiap binatang, setiap tumbuhan, 
dan setiap fenomena alam memiliki kesadaran dan perasaan, 
dan bisa berkomunikasi langsung dengan manusia. Jadi, kaum 
animis mungkin percaya bahwa batu besar di puncak bukit 
memiliki hasrat dan kebutuhan. Batu itu mungkin marah terhadap 
sesuatu yang dilakukan orang dan senang terhadap tindakan 
yang lain. Batu itu mungkin menegur atau meminta dukungan. 
Manusia bisa berbicara dengan batu itu, untuk meredakan atau 
mengancam batu itu. Tidak hanya batu, tetapi juga pohon ek di 
dasar bukit adalah makhluk berjiwa, dan begitu juga arus sungai 
yang mengalir di bawah bukit, mata air di hutan, semak-semak 
yang tumbuh di sekitarnya, jalan menuju ke sana, tikus tanah, 
rubah, dan gagak yang minum di sana. Dalam dunia animis, 
benda-benda dan makhluk hidup bukan satu-satunya makhluk 
berjiwa. Ada juga entitas-entitas non-materi—arwah orang-orang 
mati, serta makhluk bersahabat dan jahat, jenis yang pada masa 
kini kita sebut setan, peri, dan malaikat.
Kaum animis percaya bahwa tidak ada penghalang antara 
manusia dan makhluk lain. Mereka semua bisa berkomunikasi 
langsung melalui ucapan, lagu, tarian, dan upacara. Seorang 
pemburu bisa berbicara kepada sekawanan rusa dan meminta 
salah satu dari mereka mengorbankan diri. Jika perburuan sukses, 
pemburu bisa meminta kepada binatang yang mati itu untuk 
memberinya maaf. Ketika seseorang jatuh sakit, seorang dukun 
bisa mengontak arwah yang menyebabkan sakit dan berusaha 
berdamai atau menakut-nakutinya. Jika diperlukan, dukun itu 
bisa meminta bantuan dari arwah-arwah lain. Yang mencirikan 
semua aksi komunikasi ini adalah entitas yang sedang diajak 
bicara adalah makhluk setempat. Mereka bukan tuhan universal, 
melainkan rusa tertentu, pohon tertentu, arus tertentu, hantu 
tertentu.
Sebagaimana tiadanya penghalang antara manusia dan 
makhluk lain, tidak ada pula hierarki yang ketat. Entitas￾entitas non-manusia tidak semata-mata ada untuk mencukupi 
kebutuhan manusia. Mereka juga bukan dewa-dewa yang kuat 
yang menjalankan dunia semaunya. Dunia tidak berputar di 
sekitar orang-orang atau di sekitar kelompok makhluk tertentu. 
Animisme bukan sebuah agama spesifik. Ia adalah nama 
generik untuk ribuan dari setiap agama, kultus, dan keyakinan 
yang berbeda-beda. Yang membuat mereka semua “animis” 
adalah pendekatan umum terhadap dunia dan tempat manusia 
di dalamnya. Mengatakan bahwa para penjelajah kuno mungkin 
animis seperti mengatakan bahwa para agrikulturalis pramodern 
sebagian besar bertuhan. Theisme (dari kata theos, ‘Tuhan’ 
dalam bahasa Latin) adalah pandangan bahwa tata universal 
didasarkan pada hubungan-hubungan hierarkis antara manusia 
dan sekelompok kecil entitas halus yang disebut dewa. Sudah 
pasti benar untuk mengatakan bahwa kaum agrikulturalis 
pramodern cenderung bertuhan, tetapi itu tidak mengajarkan 
kita banyak hal tentang hal-hal khusus. Label generik “theis” 
mencakup rabbi Yahudi dari abad ke-18 Polandia, para tukang 
sihir Puritan abad ke-17 Massachusetts, para pendeta Aztec dari 
abad ke-15 Meksiko, kaum mistis Sufi dari abad ke-12 Iran, 
para petarung Viking abad ke-10, anggota legiun Romawi abad 
ke-2, dan para birokrat China abad ke-1. Masing-masing dari 
semua itu memandang keyakinan dan praktik dari kelompok 
lain aneh dan klenik. Perbedaan-perbedaan di antara keyakinan 
dan praktik kelompok-kelompok penjelajah “animistik” itu 
mungkin memang besar. Pengalaman religius mereka mungkin 
bergolak dan penuh kontroversi, pembaruan-pembaruan dan 
revolusi-revolusi. Namun, generalisasi hati-hati ini adalah titik yang bisa kita jangkau. Setiap upaya untuk menjelaskan secara 
spesifik spiritualitas kuno sangatlah spekulatif karena hampir 
tidak ada bukti untuk ditelusuri dan bukti yang kita miliki 
sangat sedikit—dan sejumlah artefak serta lukisan gua—bisa 
diinterpretasikan dengan banyak sekali cara. Teori-teori para 
ahli yang mengklaim tahu apa yang dirasakan para penjelajah 
justru memperjelas prasangka para pengarangnya alih-alih agama￾agama Zaman Batu.
Ketimbang menegakkan gunung-gunung teori di atas 
gundukan tanah relik makam, lukisan gua, dan patung-patung 
tulang, lebih baik jujur mengakui bahwa kita hanya memiliki 
catatan-catatan paling kabur tentang agama-agama para penjelajah 
kuno. Kita berasumsi bahwa mereka animis, tetapi itu sangat 
tidak informatif. Kita tidak tahu arwah mana yang mereka 
sembah, perayaan mana yang mereka rayakan, atau tabu apa 
yang mereka yakini. Yang paling penting, kita tidak tahu kisah 
apa yang mereka ceritakan. Itu salah satu lubang terbesar dalam 
pemahaman kita tentang sejarah.
Dunia sosiopolitik para penjelajah hanyalah area lain yang 
kita hampir tidak tahu apa-apa tentangnya. Seperti dijelaskan 
di atas, para ahli bahkan tidak bisa sepakat tentang dasar-dasar, seperti eksistensi properti pribadi, keluarga nuklir, dan hubungan 
monogami. Sangat mungkin bahwa kawanan-kawanan yang 
berbeda memiliki struktur yang berbeda. Sebagian mungkin 
sehierarkis, setegang, sekeras, dan semesum kelompok simpanse, 
sedangkan kawanan lain sedatar, sedamai, dan sepasang kelompok 
bonobo. 
Di Sungir Rusia, para arkeolog menemukan, pada 1955, 
sebuah tempat pemakaman berusia 30.000 tahun milik kultur 
pemburu mamut. Dalam satu kuburan mereka menemukan 
tulang-tulang seorang pria berusia lima puluh tahun, yang 
tertutup rangkaian manik-manik gading mamut, berisi sekitar 
3.000 manik-manik. Di kepala orang mati itu ada sebuah topi 
yang dihiasi gigi-gigi rubah, dan di pergelangan tangannya ada 
dua puluh lima gelang gading. Beberapa kuburan lain dari 
situs yang sama berisi barang-barang yang jauh lebih sedikit. 
Para ahli menyimpulkan bahwa para pemburu mamut Sungir 
hidup dalam masyarakat hierarkis, dan orang yang mati itu 
mungkin pemimpin dari satu kawanan atau suku yang terdiri 
dari beberapa kawanan. Agaknya tidak mungkin bahwa beberapa 
puluh anggota satu kawanan bisa memproduksi sendiri begitu 
banyak benda kuburan. 
Para arkeolog kemudian menemukan sebuah kuburan yang 
lebih menarik lagi. Kuburan berisi dua kerangka, dikubur kepala 
bertemu kepala. Satu milik seorang anak laki-laki berusia sekitar 
dua belas atau tiga belas tahun, dan yang lainnya seorang anak 
perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun. Anak itu ditutupi 
5.000 manik-manik gading. Dia mengenakan topi gigi rubah dan 
ikat pinggang dengan 250 gigi rubah (paling sedikit dibutuhkan 
enam rubah untuk hiasan sebanyak itu). Si anak perempuan 
dihiasi 5.250 manik-manik gading. Kedua anak itu dikelilingi 
patung-patung dan beragam benda gading. Seorang pengrajin 
terlatih (bisa laki-laki atau perempuan) mungkin memerlukan 
waktu empat puluh lima menit untuk menyiapkan satu butir 
manik-manik gading. Dengan kata lain, dengan hiasan 10.000 
manik-manik gading yang menutupi kedua anak itu, belum lagi 
benda-benda lainnya, dibutuhkan sekitar 7.500 jam pekerjaan 
rumit, yang bisa menghabiskan waktu tiga tahun pekerja dengan 
kemampuan sebagai seniman berpengalaman.
Sangat tidak mungkin bahwa anak semuda itu di Sungir 
telah mampu membuktikan diri sebagai pemimpin atau 
pemburu mamut. Hanya keyakinan-keyakinan kultural yang 
bisa menjelaskan mengapa mereka mendapatkan penghormatan 
begitu besar dalam penguburan. Satu teori menyatakan bahwa 
mereka adalah anak dari seseorang berkedudukan tinggi. Mungkin 
mereka anak-anak dari para pemimpin, dalam sebuah kultur 
yang meyakini karisma keluarga atau aturan-aturan ketat tentang 
sukses. Menurut teori lainnya, anak-anak itu diidentifikasi sejak 
lahir sebagai inkarnasi dari arwah-arwah yang telah lama mati. 
Teori ketiga menjelaskan bahwa penguburan anak-anak itu 
mencerminkan cara mereka mati ketimbang status kehidupan 
mereka. Mereka dikorbankan secara ritual—mungkin sebagai 
bagian dari ritual penguburan sang pemimpin—dan kemudian 
dimakamkan dengan kemegahan.9
Jawaban mana pun yang benar, anak-anak Sungir menjadi 
potongan bukti terbaik bahwa 30.000 tahun lalu Sapiens bisa 
menemukan sandi-sandi sosiopolitik yang jauh melampaui aturan 
DNA kita dan pola-perilaku spesies manusia dan binatang lain.
Damai atau Perang?
Akhirnya, ada pertanyaan pelik tentang peranan perang dalam 
masyarakat penjelajah. Para ahli membayangkan masyarakat￾masyarakat pemburu-penjelajah kuno sebagai surga nan damai, 
dan mengemukakan bahwa perang dan kekerasan baru mulai pada 
Revolusi Agrikultural, ketika orang-orang mulai mengakumulasi 
properti pribadi. Ahli-ahli lain mengemukakan bahwa dunia 
penjelajah kuno sangat kejam dan kasar. Kedua aliran pemikiran 
itu ibarat istana di udara, yang terhubung dengan tanah oleh 
tali-tali tipis peninggalan-peninggalan arkeologis dan observasi￾observasi antropologis terhadap penjelajah masa kini.
Bukti-bukti arkeologis memang mencengangkan tetapi 
problematik. Para penjelajah masa kini hidup terutama di area￾area terisolasi dan tak bisa dihuni seperti Arktik atau Kalahari, 
yang kepadatan populasinya sangat rendah dan peluang untuk 
memerangi orang lain terbatas. Lebih dari itu, dalam generasi￾generasi mutakhir, para penjelajah itu semakin terdesak oleh 
otoritas negara-negara modern, yang mencegah ledakan konflik 
berskala besar. Para ahli Eropa hanya punya dua peluang untuk 
mengobservasi populasi besar dan relatif padat penjelajah 
independen: di belahan barat laut Amerika Utara pada abad 
ke-19, dan di bagian utara Australia pada abad ke-19 dan awal 
abad ke-20. Budaya Amerindian dan Aborigin Australia sering 
mengalami konflik bersenjata. Namun, masih bisa diperdebatkan 
apakah ini merepresentasikan kondisi “tanpa batasan waktu” 
atau merupakan dampak dari imperialisme Eropa.
Temuan-temuan arkeologis masih jarang dan kabur. Petunjuk￾petunjuk cerita seperti apa yang tersisa dari perang yang terjadi 
puluhan ribu tahun lalu? Tak ada benteng dan dinding pada 
masa itu, tidak ada tembakan artileri atau bahkan pedang dan 
tameng. Senjata-senjata tajam kuno mungkin digunakan dalam 
perang, tetapi bisa digunakan pula untuk berburu. Tulang-tulang 
manusia yang memfosil tak kurang sulitnya untuk diinterpretasi. 
Sebuah retakan bisa menunjukkan adanya luka akibat perang 
atau kecelakaan. Ketiadaan retakan dan torehan pada kerangka 
kuno juga tidak bisa menjadi bukti untuk menyimpulkan bahwa 
pemilik kerangka itu mati bukan akibat kekerasan. Kematian 
mungkin disebabkan oleh benturan terhadap lapisan lembut 
yang tidak meninggalkan bekas di tulang. Bahkan yang lebih 
penting, dalam peperangan era pra-industri lebih dari 90 persen 
korban tewas terbunuh oleh kelaparan, dingin, dan penyakit, 
bukan oleh senjata. Bayangkan bahwa 30.000 tahun lalu satu 
suku mengalahkan tetangganya dan mengusir mereka dari lahan 
penjelajahan idaman. Dalam pertempuran yang menentukan itu, 
sepuluh anggota suku yang dikalahkan terbunuh. Pada tahun 
berikutnya, seratus lagi anggota suku yang kalah mati akibat 
kelaparan, cuaca dingin, dan penyakit. Para arkeolog yang 
meneliti 110 kerangka itu mungkin dengan mudah menyimpulkan 
bahwa sebagian besar korban jatuh akibat bencana alam. 
Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa mereka semua korban dari perang tanpa ampun?
Dengan memperhatikan itu, kita kini bisa beralih ke temuan￾temuan arkeologis. Di Portugal, sebuah survei dilakukan terhadap 
400 kerangka dari periode tepat sebelum Revolusi Agrikultur. 
Hanya dua kerangka yang menunjukkan bersih dari tanda 
kekerasan. Survei serupa dilakukan terhadap 400 kerangka dari 
periode yang sama di Israel, menunjukkan satu retakan tunggal 
dalam satu tengkorak yang bisa dianggap sebagai akibat dari 
kekerasan manusia. Satu survei lagi terhadap 400 kerangka dari 
berbagai situs pra-agrikultural di Lembah Danube memberikan 
bukti kekerasan pada 18 kerangka. Delapan belas dari 400 
mungkin terdengar tidak banyak, tetapi itu sesungguhnya 
persentase yang sangat tinggi. Jika kedelapan belas itu benar-benar 
mati akibat kekerasan itu berarti sekitar 4,5 persen kematian di 
Lembah Danube disebabkan oleh kekerasan manusia. Kini, rata￾rata global hanya 1,5 persen, dengan menggabungkan perang 
dan kejahatan. Pada abad ke-20, hanya 5 persen kematian 
manusia diakibatkan oleh kekerasan manusia—dan dalam abad 
ini kita melihat perang paling berdarah dan genosida paling besar 
sepanjang sejarah. Jika pengungkapan itu biasa, maka Lembah 
Danube kuno adalah sekeras abad ke-20.**
Temuan-temuan yang mencengangkan dari Lembah Danube 
didukung oleh serangkaian temuan yang sama mengejutkan 
dari area-area lain. Di Jabl Sahaba di Sudan, sebuah kuburan 
berusia 12.000 tahun ditemukan berisi 50 kerangka. Moncong 
panah dan senjata tajam ditemukan menempel atau tergeletak 
di dekat tulang-belulang 24 kerangka, 40 persen dari temuan. 
Kerangka salah seorang perempuan mengungkapkan 12 luka. Di 
Gua Ofnet di Bavaria, para arkeolog menemukan kerangka 38 
penjelajah, kebanyakan perempuan dan anak-anak, yang dilempar 
ke dalam dua lubang penguburan. Separuh kerangka, termasuk 
anak-anak dan bayi, memiliki tanda kerusakan akibat senjata manusia seperti kelewang dan pisau. Beberapa kerangka milik pria 
dewasa menyimpan tanda bekas kekerasan paling buruk. Dalam 
semua kemungkinan, satu kawanan penuh dibantai di Ofnet.
Mana yang paling bagus merepresentasikan dunia penjelajah 
kuno: kerangka-kerangka damai dari Israel dan Portugal atau 
penjagalan di Jabl Sahaba dan Ofnet? Jawabannya bukan 
keduanya. Sebagaimana para penjelajah menunjukkan susunan 
keagamaan dan struktur sosial, demikian pula, mereka mungkin 
mendemonstrasikan beragam tingkat kekerasan. Jika sebagian area 
dan sebagian periode menikmati kedamaian dan ketenangan, area 
dan masa yang lain mungkin dipenuhi konflik sengit.10
Tirai Bisu
Jika gambaran lebih besar tentang penjelajah kuno sulit 
direkonstruksi, peristiwa-peristiwa tertentu umumnya malah 
tak bisa diteliti kembali. Ketika satu kawanan Sapiens kali 
pertama memasuki sebuah lembah yang dihuni Neanderthal, 
beberapa tahun kemudian mungkin terjadi drama historis yang 
mencengangkan. Sayang sekali, tak ada apa pun yang bisa selamat 
dari perjumpaan seperti itu kecuali, dalam kemungkinan yang 
terbaik, beberapa tulang fosil baru dan beberapa alat batu yang 
tetap bisu di bawah penelitian ahli yang saksama. Kita bisa saja 
menarik dari semua itu informasi tentang anatomi manusia, 
teknologi manusia, makanan manusia, dan mungkin bahkan 
struktur sosial manusia. Namun, semua itu tak menunjukkan 
apa pun tentang aliansi politik yang dibuat antara kawanan￾kawanan Sapiens yang bertetangga, tentang arwah mati yang 
memberkati aliansi ini, atau tentang manik-manik gading yang 
diberikan kepada dukun lokal dalam rangka mendapatkan berkah 
dari arwah.
Tirai bisu ini menyelubungi puluhan ribu tahun sejarah. 
Milenium-milenium panjang ini menyaksikan perang dan revolusi, 
gerakan-gerakan religius eskatis, teori-teori filosofis profan, 
mahakarya-mahakarya artistik yang tiada tara. Para penjelajah 
mungkin memiliki Napoleon sang penakluk ala mereka, yang menguasai imperium-imperium setengah ukuran Luxembourg; 
Beethoven yang berbakat yang tak punya orkestra simfoni tetapi 
membuat orang-orang meneteskan air mata dengan suara seruling￾seruling bambunya; dan nabi-nabi seperti Muhammad tetapi yang 
menyampaikan wahyu pohon ek lokal, bukan dari Tuhan pencipta 
segenap alam. Namun, semua itu hanya tebakan. Tirai bisu begitu 
tebal sehingga kita bahkan tidak bisa yakin hal-hal seperti itu 
pernah terjadi—apalagi menjelaskannya secara terperinci. Para 
ahli cenderung hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang 
bisa mereka dambakan jawabannya. Tanpa penemuan alat-alat 
riset yang sampai kini belum tersedia, kita mungkin tidak pernah 
tahu apa yang dipercaya para penjelajah kuno atau drama politik 
seperti apa yang mereka alami. Meskipun demikian, penting 
untuk ditanyakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Kalau 
tidak, kita mungkin akan membuang masa 60.000 dari 70.000 
tahun sejarah manusia, dengan alasan bahwa “orang-orang yang 
hidup pada zaman itu tidak punya makna apa pun.”
Yang benar adalah mereka memang melakukan banyak hal 
penting. Lebih khusus, mereka membentuk dunia di sekitar kita 
sampai ke tingkat yang lebih besar dari yang bisa disadari sebagian 
besar orang. Para petualang yang mengunjungi tundra Siberia, 
gurun tengah Australia, dan hutan tropis Amazon percaya bahwa 
mereka memasuki lanskap-lanskap perawan yang tak tersentuh 
tangan-tangan manusia. Namun, itu ilusi. Para penjelajah berada 
di sana sebelum kita dan mereka membawa perubahan-perubahan 
dramatis, bahkan di belantara paling padat dan sebagian besar 
mendesolasi belantara. Bab berikutnya menjelaskan bagaimana 
para penjelajah membentuk sepenuhnya ekologi planet kita jauh 
sebelum desa pertanian dibangun. Kawanan-kawanan tukang 
cerita pengelana Sapiens adalah kekuatan paling penting dan 
paling destruktif yang pernah dihasilkan oleh kerajaan binatang.
Menjelang Revolusi Kognitif, manusia dari semua spesies 
hidup secara eksklusif di hamparan tanah Afro-Asia. Benar 
bahwa mereka memang telah mendiami beberapa pulau dengan 
berenang melintasi rentangan-rentangan pendek perairan atau 
menyeberanginya dengan perahu-perahu sederhana berbahan baku 
seadanya. Flores, misalnya, dikolonisasi sejak 850.000 tahun lalu. 
Namun, mereka tidak mampu mengarungi lautan terbuka, dan 
tak satu pun yang menjangkau Amerika, Australia, atau pulau￾pulau terpencil seperti Madagaskar, Selandia Baru, dan Hawaii.
Laut menjadi penghalang tidak hanya bagi manusia, tetapi 
juga banyak binatang dan tumbuhan Afro-Asia, untuk mencapai 
“Dunia Luar” ini. Akibatnya, organisme-organisme dataran jauh 
seperti Australia dan Madagaskar berevolusi dalam isolasi selama 
berjuta-juta tahun, mengambil bentuk-bentuk dan sifat-sifat yang 
sangat berbeda dari kerabat mereka nun jauh di Afro-Asia. Planet 
Bumi terbagi menjadi beberapa ekosistem yang berbeda-beda, 
masing-masing tersusun atas kumpulan binatang dan tumbuhan 
yang unik.
Homo sapiens berada pada titik siap mengakhiri kesuburan 
biologis ini. Menyusul Revolusi Kognitif, Sapiens mendapatkan 
teknologi, kemampuan organisasional, dan bahkan mungkin visi 
yang diperlukan untuk keluar dari Afro-Asia dan mendiami Dunia 
Luar. Pencapaian pertama mereka adalah kolonisasi Australia 
sekitar 45 juta tahun lalu. Para ahli kesulitan menjelaskan prestasi 
ini. Untuk mencapai Australia, manusia harus menyeberangi 
sejumlah saluran laut, dengan luas perkiraan lebih dari seratus 
kilometer, dan ketika tiba, mereka harus beradaptasi nyaris 
seketika dengan sebuah ekosistem yang sama sekali baru
Teori yang paling masuk akal mengemukakan, sekitar 
45.000 tahun lalu, Sapiens yang hidup di Kepulauan Indonesia 
(sekelompok pulau yang terpisah dari Asia dan terpisah satu sama 
lain oleh selat-selat sempit) mengembangkan masyarakat pelayaran 
pertama. Mereka belajar bagaimana membangun kapal-kapal dan 
mengendalikannya di laut lepas, serta menjadi nelayan, pedagang, 
dan penjelajah jarak jauh. Ini sudah pasti membawa transformasi 
yang belum ada sebelumnya dalam kapabilitas dan gaya hidup 
manusia. Setiap mamalia yang hidup di laut—anjing laut, sapi 
laut, dan lumba-lumba—harus berevolusi selama berabad-abad 
untuk mengembangkan organ-organ dan tubuh hidrodinamis 
berkemampuan spesialis. Sapiens di Indonesia, keturunan 
dari kera yang hidup di savana Afrika, menjadi pelaut Pasifik 
tanpa menumbuhkan sirip dan tanpa harus menunggu hidung 
mereka bermigrasi ke bagian atas kepala mereka seperti yang 
dialami paus. Namun, mereka membangun perahu-perahu dan 
belajar cara mengendalikannya. Dan, kemampuan-kemampuan 
ini memungkinkan mereka untuk menjangkau serta mendiami 
Australia.
Benar bahwa para arkeolog masih belum menemukan perahu￾perahu, dayung-dayung, atau desa-desa nelayan yang bertarikh 
45.000 tahun lalu (mereka akan sulit menemukannya karena 
naiknya permukaan laut telah mengubur garis pantai kuno 
Indonesia ratusan meter di bawah samudra). Meskipun demikian, 
ada bukti tidak langsung yang kuat untuk mendukung teori ini, 
terutama fakta bahwa dalam ribuan tahun setelah mendiami 
Australia, Sapiens mengolonisasi banyak sekali pulau-pulau kecil 
dan terisolasi di sebelah utaranya. Sebagian, seperti Buka dan 
Manus, terpisah dari tanah terdekatnya oleh 200 kilometer 
perairan terbuka. Sulit untuk memercayai bahwa siapa pun 
orangnya mampu mencapai Manus dan mengolonisasi Manus 
tanpa kapal dan kemampuan berlayar yang canggih. Seperti 
disebutkan sebelumnya, ada pula bukti kuat perdagangan laut 
reguler antar pulau-pulau ini, seperti Irlandia Baru dan Britania 
Baru.1
Perjalanan manusia pertama ke Australia adalah salah satu 
peristiwa paling penting dalam sejarah, sekurang-kurangnya 
sepenting perjalanan Columbus ke Amerika atau ekspedisi Apollo 
11 ke Bulan. Itulah kali pertama manusia berhasil meninggalkan 
sistem ekologis Afro-Asia—sungguh, untuk kali pertama mamalia 
besar darat berhasil menyeberang dari Afro-Asia ke Australia. 
Yang lebih penting maknanya adalah apa yang dicapai para 
pelopor manusia tersebut di dunia baru ini. Momen ketika 
pemburu-pengumpul menginjakkan kaki di pantai Australia adalah 
momen ketika Homo sapiens merangkak ke puncak dalam rantai 
makanan pada hamparan tanah tertentu setelah menjadi spesies 
paling mematikan dalam sejarah Planet Bumi.
Hingga masa itu, manusia sudah menampilkan adaptasi dan 
perilaku inovatif, tetapi pengaruh mereka pada lingkungan masih 
bisa diabaikan.
Mereka menunjukkan sukses yang jelas dalam memasuki 
dan menyesuaikan diri dengan beragam habitat, tetapi mereka 
melakukannya tanpa mengubah habitat-habitat itu secara drastis. 
Para pemukim di Australia, atau lebih tepatnya para penakluk 
itu, tak cuma beradaptasi, mereka mentransformasi ekosistem 
Australia tanpa sadar.
Jejak kaki manusia pertama di pantai pasir Australia 
langsung tersapu ombak. Meski demikian, ketika para penyerbu 
itu merangsek ke pedalaman, mereka meninggalkan jejak kaki 
yang berbeda, jejak yang tidak akan pernah terhapus. Seiring 
gerak maju mereka, mereka berjumpa dengan sebuah alam asing 
yang dihuni makhluk-makhluk tak dikenal antara lain kanguru 
berukuran dua meter dan berat 200 kilogram, singa berkantung, 
juga harimau masa kini yang besar, yang merupakan predator 
terbesar di benua itu. Koala-koala dengan tubuh yang kelewat 
besar bagi pepohonan untuk menopang tubuh mereka yang 
bergelayutan dan burung-burung tak bisa terbang dengan ukuran 
dua kali burung unta berlarian di dataran. Kadal-kadal mirip 
naga dan ular-ular lima meteran merayap di bawah semak-semak. 
Diprodoton raksasa, yakni wombat berberat 2,5 ton, menjelajahi 
hutan-hutan. Kecuali burung-burung dan reptil, semua binatang 
ini berkantung—seperti kanguru, mereka melahirkan bayi-bayi 
mungil tak berdaya seperti orok yang kemudian mereka susui 
dalam dekapan kantung perut. Mamalia-mamalia berkantung hampir tak dikenal di Afrika dan Asia, tetapi di Australia mereka 
ada di mana-mana.
Dalam beberapa ribu tahun, hewan-hewan raksasa ini benar￾benar punah. Dari 24 spesies binatang Australia yang beratnya 50 
kilogram atau lebih, 23 di antaranya punah.2
 Spesies-spesies lain 
yang lebih kecil dalam jumlah besar juga hilang. Rantai makanan 
di seantero ekosistem Australia runtuh dan tersusun kembali. Itu 
merupakan transformasi paling penting dalam ekosistem Australia 
selama jutaan tahun. Apakah itu karena ulah Homo sapiens?
Bersalah seperti yang Dituduhkan
Sebagian ahli berusaha membebaskan spesies kita dari kesalahan 
itu, dengan menyalahkan liku-liku iklim (kambing hitam yang 
biasa dalam kasus-kasus semacam itu). Namun, sulit untuk 
meyakini bahwa Homo sapiens tak berdosa sama sekali. Ada tiga 
potong bukti yang melemahkan alibi iklim, dan menimpakan 
kesalahan kepada nenek moyang kita atas punahnya megafauna 
Australia. Pertama, meskipun iklim Australia berubah sekitar 
45.000 tahun lalu, kepunahannya tidaklah berarti. Sulit untuk 
melihat hanya pola-pola cuaca baru itu yang menyebabkan 
kepunahan yang demikian masif. Memang umum pada masa kini 
untuk menjelaskan segala sesuatu dan segala hal adalah akibat 
dari perubahan iklim, tetapi yang benar adalah bahwa iklim 
Bumi tak pernah beristirahat. Ia terus mengalir. Setiap peristiwa 
dalam sejarah terjadi dengan latar belakang perubahan iklim.
Secara khusus, planet kita mengalami banyak siklus pen￾dinginan dan penghangatan. Dalam beberapa juta tahun terakhir, 
ada zaman es setiap 100.000 tahun. Yang terakhir berlangsung 
dari sekitar 75.000 tahun sampai 15.000 tahun lalu. Bukan 
sesuatu yang aneh bagi satu zaman es ada dua puncak di 
dalamnya, yang pertama sekitar 75.000 tahun lalu dan yang 
kedua sekitar 20.000 tahun lalu. Diprotodon raksasa muncul 
di Australia selama lebih dari 1,5 juta tahun lalu dan berhasil 
melalui sepuluh zaman es sebelumnya. Ia juga selamat dari 
puncak pertama zaman es terakhir, sekitar 70.000 tahun lalu. Lalu, mengapa ia hilang 45.000 tahun lalu? Tentu saja, kalaupun 
diprotodon menjadi satu-satunya binatang raksasa yang hilang 
pada masa itu, berarti itu hanya kebetulan. Namun, lebih dari 90 
persen megafauna Australia hilang bersama diprotodon. Bukti ini 
memang tidak langsung, tetapi sulit dibayangkan bahwa Sapiens, 
hanya secara kebetulan, tiba di Australia pada titik yang tepat 
ketika binatang-binatang ini binasa oleh udara dingin.3
Kedua, ketika perubahan iklim menyebabkan kepunahan 
massal, makhluk laut biasanya terdampak sama kerasnya dengan 
makhluk darat. Namun, tidak ada bukti kepunahan signifikan 
fauna laut pada masa 45.000 tahun lalu. Keterlibatan manusia 
bisa dijelaskan dengan mudah mengapa gelombang kepunahan 
melenyapkan megafauna darat Australia sementara binatang￾binatang laut di dekatnya selamat. Terlepas dari berkembangnya 
kemampuan navigasi mereka, Homo sapiens masih merupakan 
kedigdayaan darat yang luar biasa.
Ketiga, kepunahan massal yang mirip dengan penggundulan 
dasar Australia terjadi lagi dan lagi dalam milenium berikutnya—
setiap kali orang-orang mendiami bagian lain Dunia Luar. Dalam 
kasus-kasus ini, kesalahan Sapiens tak terbantahkan. Misalnya, 
megafauna Selandia Baru—yang mengalami cuaca dan apa yang 
diduga sebagai “perubahan iklim” 45.000 tahun lalu tanpa goresan 
sedikit pun—mengalami pukulan hebat seketika setelah manusia￾manusia pertama menginjakkan kaki di kepulauan itu. Maori, 
koloni Sapiens pertama Selandia Baru, menjangkau kepulauan itu 
sekitar 800 tahun lalu. Hanya dalam beberapa abad, mayoritas 
megafauna setempat punah, bersamaan dengan 60 persen dari 
semua spesies burung. Nasib serupa menimpa populasi mamut 
Pulau Wrangel di Samudra Arktik (200 kilometer sebelah utara 
pesisir Siberia). Selama beberapa juta tahun sebelumnya mamut 
berbiak subur di sebagian besar belahan utara, tetapi begitu Homo 
sapiens menyebar—mula-mula di Eurasia, kemudian di Amerika 
Utara—mamut menyusut. Sampai dengan 10.000 tahun lalu, tak 
satu pun mamut ditemukan di dunia, kecuali di beberapa pulau 
terpencil Arktik, yang paling mencolok di Wrangel. Mamut￾mamut Wrangel terus tumbuh subur selama beberapa milenium 
sesudah itu, kemudian tiba-tiba musnah sekitar 4.000 tahun lalu, tepat ketika manusia-manusia pertama mencapai pulau tersebut.
Kalaupun kepunahan penghuni Australia merupakan peristiwa 
tunggal, kita bisa mengakui faedah keraguan itu. Namun, catatan 
historis membuat Homo sapiens tampak seperti pembunuh 
berantai ekologis.
Apa yang dimiliki pemukim Australia hanyalah teknologi Zaman 
Batu. Bagaimana bisa mereka menyebabkan sebuah bencana 
ekologis? Ada tiga penjelasan sangat bagus yang bertautan.
Binatang besar—korban utama kepunahan Australia—berbiak 
lambat. Masa kehamilannya panjang, keturunan per kehamilan 
sedikit, dan ada jeda-jeda panjang setelah kehamilan. Akibatnya, 
jika manusia membunuh walau hanya satu diprotodon setiap 
beberapa bulan, itu sudah cukup untuk menyebabkan kematian 
diprotodon mengalahkan jumlah kelahiran. Dalam beberapa ribu 
tahun, diprotodon terakhir yang kesepian pun mati bersama 
segenap spesiesnya.4
Nyatanya, dengan segala ukuran mereka, diprotodon dan 
raksasa-raksasa lain Australia mungkin tak akan terlalu sulit untuk 
diburu karena mereka pasti menghadapi serangan dadakan dari 
penyerang-penyerang berkaki dua. Berbagai spesies manusia telah 
berkeliaran dan berevolusi di Afro-Asia selama 2 juta tahun. 
Mereka pelan-pelan mengasah kemampuan berburu, dan mulai 
memburu binatang-binatang sekitar 400.000 tahun lalu. Biantang￾binatang buas besar Afrika dan Asia belajar menghindari manusia 
sehingga ketika mega-predator baru itu—Homo sapiens—sampai 
di Afro-Asia, binatang-binatang besar sudah tahu untuk menjauh 
dari makhluk-makhluk yang tampak seperti itu. Sebaliknya, 
raksasa-raksasa Australia tak punya waktu untuk belajar melarikan 
diri. Kedatangan manusia-manusia tidak dianggap berbahaya. 
Mereka tak punya gigi panjang tajam atau tubuh lentur berotot. 
Jadi, ketika seekor diprotodon, mamalia berkantung terbesar 
yang pernah berjalan di muka Bumi, untuk kali pertama melihat 
monyet yang tampak ringkih, ia hanya menatap sebentar, 
kemudian melanjutkan keasyikannya mengunyah daun. Binatang￾binatang ini butuh evolusi untuk takut pada manusia, tetapi 
sebelum berhasil, mereka sudah musnah.
Penjelasan kedua adalah bahwa pada saat Sapiens mencapai 
Australia, mereka sudah menguasai pertanian berbasis api. 
Menghadapi lingkungan asing yang mengancam, mereka dengan 
sengaja membakar area-area luas belukar tebal dan hutan-hutan 
lebat yang tak tertembus untuk menciptakan lahan rumput 
terbuka, yang menghadirkan permainan berburu yang lebih 
mudah, dan lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan mereka. 
Dari sanalah mereka mengubah sepenuhnya ekologi bagian-bagian 
besar Australia dalam beberapa milenium singkat.
Satu sosok bukti yang mendukung pandangan ini adalah 
catatan fosil tumbuhan. Pohon eukaliptus jarang di Australia 
45.000 tahun lalu. Namun, kedatangan Homo sapiens meresmikan 
masa keemasan bagi spesies itu. Karena eukaliptus sangat tahan 
api, spesies ini menyebar jauh dan meluas sementara pohon￾pohon dan semak-semak lain lenyap.
Perubahan-perubahan vegetasi ini memengaruhi binatang￾binatang pemakan tumbuhan dan karnivora pemakan vegetarian. 
Koala-koala, yang bergantung hidupnya pada daun eukaliptus, 
dengan gembira menjelajahi teritori-teritori baru. Sebagian 
besar binatang lain sangat terpukul. Banyak rantai makanan 
Australia runtuh, mendorong setiap mata rantai terlemah menuju 
kepunahan.5
Penjelasan ketiga menyepakati bahwa perburuan dan 
pertanian berbasis pembakaran memainkan peran signifikan 
dalam kepunahan, tetapi menekankan bahwa kita tidak bisa 
sepenuhnya mengabaikan peran iklim. Perubahan-perubahan iklim 
yang menimpa Australia sekitar 45.000 tahun lalu mendestabilkan 
ekosistem dan menjadikannya benar-benar rawan. Dalam keadaan 
normal, sistem itu mungkin bisa pulih kembali, sebagaimana yang 
sering terjadi sebelumnya. Namun, manusia muncul tepat pada 
persimpangan kritis ini dan mendorong ekosistem rapuh tersebut 
menuju neraka. Kombinasi perubahan iklim dan perburuan 
oleh manusia memorak-porandakan terutama binatang-binatang 
besar karena kombinasi itu menyerang mereka dari sudut yang 
berbeda. Sulit untuk menemukan strategi bertahan bagus yang 
bisa bekerja secara simultan menghadapi ancaman ganda.
Tanpa ada bukti lebih jauh, tak ada jalan untuk memutuskan 
mana di antara ketiga skenario itu yang benar. Namun, ada 
alasan-alasan yang benar-benar bagus untuk percaya bahwa kalau 
saja Homo sapiens tidak pernah berlaga, Australia tentu masih 
menjadi rumah bagi singa-singa berkantung, diprotodon, dan 
kanguru-kanguru raksasa.
Akhir Riwayat Kungkang
Punahnya megafauna Australia mungkin merupakan pertanda 
pertama yang signifikan dari keberadaan Homo sapiens di planet 
kita. Tanda itu diikuti oleh bencana ekologis yang bahkan lebih 
besar, kali ini di Amerika. Homo sapiens adalah spesies manusia 
pertama dan satu-satunya yang mencapai belahan barat lahan luas 
itu, tiba sekitar 16.000 tahun lalu, yakni di dalam atau sekitar 
14.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Orang-orang Amerika 
pertama tiba dengan jalan kaki. Hal itu bisa dilakukan karena 
pada saat itu permukaan laut cukup rendah sehingga tersedia 
jembatan tanah yang menghubungkan Siberia timur laut dengan 
Alaska barat laut.
Tak mudah, tentu saja—perjalanan itu sulit, mungkin lebih 
sulit daripada jalur laut menuju Australia. Untuk menyeberang, 
Sapiens pertama-tama harus tahu bagaimana bertahan menghadapi 
kondisi ekstrem Arktik di Siberia utara, sebuah wilayah yang tak 
pernah diterpa sinar Matahari pada musim dingin, dan suhunya 
bisa anjlok ke minus 50 derajat Celsius.
Tak ada spesies manusia sebelumnya yang berhasil menembus 
tempat-tempat seperti Siberia utara. Bahkan, spesies Neanderthal 
yang sudah beradaptasi dengan dingin membatasi diri mereka di 
daerah-daerah yang relatif lebih hangat jauh di bagian selatan. 
Namun, Homo sapiens, yang tubuhnya teradaptasi untuk hidup 
di savana Afrika ketimbang tanah-tanah salju atau es, merancang 
solusi-solusi cerdik. Ketika kawanan-kawanan Sapiens penjelajah 
bermigrasi ke iklim-iklim yang lebih dingin, mereka belajar untuk 
membuat sepatu-sepatu salju dan pakaian penghangat yang efektif, 
yang terbuat dari lembaran bulu dan kulit binatang, dijahit kuat 
dengan bantuan jarum. Mereka mengembangkan senjata-senjata baru dan teknik-teknik berburu canggih yang memungkinkan 
mereka untuk memburu dan membunuh mamut dan binatang 
besar lainnya jauh ke utara. Seiring dengan membaiknya pakaian 
penghangat dan teknik berburu, Sapiens berani bertualang 
semakin dalam dan semakin dalam ke daerah-daerah beku. 
Dan, ketika mereka bergerak ke utara, pakaian-pakaian mereka, 
strategi-strategi berburu, dan kemampuan-kemampuan bertahan 
lainnya terus membaik.
Akan tetapi, mengapa mereka peduli? Mengapa pula 
membahayakan diri dengan sengaja menuju Siberia? Mungkin 
sebagian kawanan terdesak ke utara oleh peperangan, tekanan 
demografis, atau bencana-bencana alam. Sebagian yang lain 
mungkin berkelana ke utara dengan alasan-alasan yang lebih 
positif, seperti protein binatang. Tanah-tanah Arktik penuh 
binatang besar nan lezat seperti rusa kutub dan mamut. Setiap 
mamut adalah sumber daging dalam jumlah besar (yang, 
mengingat suhu bekunya, bahkan bisa dibekukan untuk dimakan 
kemudian), gajih yang lezat, bulu yang hangat, dan gading yang 
bernilai. Sebagaimana kesaksian temuan-temuan dari Sungir, 
para pemburu mamut tidak hanya bertahan hidup di utara yang 
beku, mereka juga berbiak subur. Seiring berjalannya waktu, 
kawanan-kawanan menyebar jauh dan meluas, memburu mamut, 
mastodon, kuda nil, dan rusa kutub. Sekitar 14.000 tahun SM, 
perburuan membawa mereka dari Siberia timur laut ke Alaska. 
Tentu saja, mereka tidak tahu telah menemukan sebuah dunia 
baru. Bagi mamut maupun manusia, Alaska hanyalah perluasan 
Siberia semata.
Mula-mula, gunung es mengadang jalan mereka dari Alaska 
ke bagian lain Amerika, mungkin hanya beberapa penyintas 
yang sanggup menembus lahan-lahan ke selatan. Namun, pada 
sekitar 12.000 tahun SM, pemanasan global mencairkan es dan 
membuka jalur lebih mudah. Dengan menggunakan koridor baru 
itu, orang-orang bergerak massal ke selatan, menyebar ke seluruh 
bagian kontinen. Meskipun semula teradaptasi dengan medan 
berburu binatang besar di Arktik, mereka segera menyesuaikan 
diri dengan keragaman iklim dan ekosistem yang luar biasa. 
Para keturunan Siberia itu mendiami hutan-hutan lebat bagian timur Amerika Serikat, rawa-rawa Delta Mississippi, gurun 
Meksiko, dan belantara hangat di Amerika Tengah. Sebagian 
membuat rumah di wilayah lembah Sungai Amazon, yang lain 
menancapkan akar di ngarai-ngarai Gunung Andean atau pampa￾pampa terbuka Argentina. Dan, ini semua berlangsung hanya 
dalam satu atau dua milenium! Sampai dengan 10.000 tahun 
SM, manusia sudah mendiami titik paling selatan Amerika, 
Pulau Tierra del Fuego di ujung selatan kontinen. Pengembaraan 
manusia ke Amerika menjadi saksi kecerdikan tiada tara dan 
adaptabilitas tak tertandingi Homo sapiens. Tak ada binatang 
lain yang pernah bergerak ke habitat yang begitu beragam dan 
secara radikal begitu berbeda, dengan begitu cepat, di mana￾mana dengan menggunakan gen yang sama.6
Sapiens yang mendiami Amerika tak kurang berdarahnya. 
Spesies ini meninggalkan jejak panjang korban-korban. Fauna 
Amerika 14.000 tahun lalu jauh lebih kaya dari masa kini. 
Ketika orang-orang Amerika pertama bergerak ke selatan dari 
Alaska menuju dataran-dataran Kanada dan bagian barat Amerika 
Serikat, mereka menemukan mamut dan mastodon, tikus-tikus 
seukuran beruang, kawanan kuda dan unta, singa-singa raksasa, 
dan puluhan spesies lain yang contoh miripnya pada masa kini, 
di antaranya kucing-kucing bergigi menakutkan dan kungkang￾kungkang darat raksasa seberat 8 ton dan tinggi sampai 6 meter. 
Amerika Selatan menjadi rumah bagi kumpulan mamalia besar, 
reptil, dan burung-burung yang bahkan lebih eksotis. Amerika 
merupakan laboratorium besar eksperimentasi evolusi, sebuah 
tempat di mana binatang-binatang dan tetumbuhan yang tak 
dikenal di Afrika dan Asia pernah berevolusi dan tumbuh subur. 
Akan tetapi, tak berlangsung lama. Dalam 2.000 tahun sejak 
kedatangan Sapiens, sebagian besar spesies unik ini musnah. 
Menurut perkiraan saat ini, dalam interval singkat itu, Amerika 
Utara kehilangan tiga puluh empat dari lima puluh tujuh 
genera mamalia besar. Amerika Selatan kehilangan lima puluh 
dari enam puluh. Kucing-kucing bergigi tajam, setelah berbiak 
subur selama lebih dari 30 juta tahun, musnah, dan begitu juga 
kungkang-kungkang darat raksasa, singa-singa raksasa, kuda-kuda 
asli Amerika, unta asli Amerika, tikus-tikus raksasa dan mamut. Ribuan spesies mamalia yang lebih kecil, reptil, burung, bahkan 
serangga dan parasit juga punah (ketika mamut punah, semua 
spesies kutu mamut pun ikut punah). Selama beberapa dekade, 
para ahli palaeontologi dan arkeologi binatang—orang-orang 
yang meneliti dan mempelajari sisa-sisa binatang—telah menyisir 
dataran-dataran dan pegunungan Amerika untuk mencari tulang￾tulang fosil unta kuno dan kotoran-kotoran kungkang darat 
raksasa yang sudah berubah bentuk. Ketika mereka menemukan 
apa yang mereka cari, benda-benda pusaka itu dikemas dengan 
hati-hati dan dikirim ke laboratorium, di mana setiap tulang 
dan setiap koprolit (nama teknis untuk fosil kotoran) dipelajari 
dengan saksama dan ditentukan masanya.
Berulang kali, analisis-analisis ini menghasilkan temuan yang 
sama: bola kotoran paling baru dan tulang-tulang unta paling 
mutakhir bertarikh masa yang sama ketika manusia membanjiri 
Amerika, kira-kira antara 12.000 dan 9.000 tahun SM. Hanya 
di satu area para ilmuwan menemukan bola kotoran yang 
lebih muda: di beberapa pulau Karibia, terutama Kuba dan 
Hispaniola, mereka menemukan kotoran kungkang darat yang 
sudah berubah bertarikh sekitar 5.000 tahun SM. Ini adalah 
masa tepat ketika manusia pertama berhasil menyeberangi Laut 
Karibia dan mendiami kedua pulau besar ini.
Lagi-lagi, beberapa ahli berusaha membebaskan Homo 
sapiens dan menyalahkan perubahan iklim (yang mengharuskan 
mereka berasumsi bahwa, karena penyebab misterius, iklim di 
Kepulauan Karibia tetap statis selama 7.000 tahun sementara 
wilayah lainnya di belahan barat itu tetap hangat). Namun, 
di Amerika, bola kotoran itu tak bisa disangkal. Kitalah biang 
keroknya. Kebenaran itu tak bisa diragukan lagi. Sekalipun 
perubahan iklim memang bersekongkol dengan kita, kontribusi 
manusia jelas menentukan.7
Bahtera Nuh
Jika kita kombinasikan kepunahan massal di Australia dan 
Amerika, dan tambahkan kepunahan berskala kecil yang terjadi 
saat Homo sapiens menyebar di Afro-Asia—seperti punahnya 
semua spesies manusia lain—dan kepunahan yang terjadi ketika 
para penjelajah kuno mendiami pulau-pulau terpencil seperti 
Kuba, kesimpulan tak terelakkan adalah bahwa gelombang 
pertama kolonisasi Sapiens merupakan salah satu bencana 
ekologis terbesar dan tercepat yang menimpa kerajaan binatang. 
Yang paling parah terdampak adalah makhluk-makhluk besar 
berbulu. Pada masa Revolusi Kognitif, planet menjadi rumah 
bagi sekitar 200 genera mamalia besar darat yang beratnya di 
atas 50 kilogram. Pada saat Revolusi Agrikultur, hanya sekitar 
seratus yang tersia. Homo sapiens mendorong kepunahan 
sekiar setengah binatang besar planet ini jauh sebelum manusia 
menemukan roda, tulisan, atau alat-alat besi.
Tragedi ekologis ini terulang kembali dalam skala mini yang 
tak terhitung jumlahnya setelah Revolusi Agrikultur. Catatan 
arkeologis pulau demi pulau mengisahkan cerita sedih yang 
sama. Tragedi dimulai dengan sebuah adegan yang menunjukkan 
populasi kaya dan beragam binatang-binatang besar tanpa jejak 
manusia. Dalam adegan dua, Sapiens muncul, dibuktikan oleh 
adanya tulang manusia, ujung tombak, atau mungkin pecahan 
tembikar. Adegan tiga segera menyusul, yang di dalamnya 
manusia laki-laki dan perempuan menduduki pentas utama dan 
sebagian besar binatang besar, bersama banyak binatang lain 
yang kecil, hilang.
Pulau besar Madagaskar, sekitar 400 kilometer sebelah timur 
daratan utama Afrika, menjadi contoh yang masyhur. Selama 
jutaan tahun terisolasi, sebuah koleksi unik binatang berevolusi 
di sana. Di dalamnya termasuk burung gajah, binatang tak bisa 
terbang setinggi 3 meter dan berat hampir 0,5 ton—burung 
terbesar di dunia—dan lemur raksasa, primata terbesar di Bumi. 
Burung-burung gajah dan lemur raksasa, bersama sebagian besar 
binatang besar lain di Madagaskar, tiba-tiba lenyap sekitar 1.500 
tahun lalu—tepat ketika manusia pertama menginjakkan kaki 
di pulau itu.
Di Samudra Pasifik, gelombang kepunahan pertama 
dimulai sekitar 1.500 tahun SM, ketika para petani Polynesia 
mendiami Kepulauan Solomon, Fiji, dan Kaledonia Baru. Mereka 
membinasakan, secara langsung maupun tidak langsung, ratusan 
spesies burung, serangga, bekicot, dan makhluk-makhluk penghuni 
lainnya. Dari sana, gelombang kepunahan bergerak pelan-pelan 
ke timur, selatan, dan utara, menuju jantung Samudra Pasifik, 
melenyapkan fauna unik Samoa dan Tonga (tahun 1200 SM); 
Kepulauan Marquis (Tahun 1 M); Pulau Paskah, Kepulauan 
Cook, dan Hawaii (tahun 500 M); dan akhirnya Selandia Baru 
(Tahun 1200 M).
Bencana-bencana ekologis serupa terjadi hampir setiap 1.000 
tahun di pulau-pulau yang bertebaran di Samudra Atlantik, 
Samudra India, Samudra Arktik, dan Laut Mediteran. Para 
arkeolog telah menemukan bahkan di pulau-pulau paling kecil 
bukti eksistensi burung-burung, serangga, dan bekicot yang hidup 
di sana dalam generasi yang tak terhitung jumlahnya, musnah 
ketika manusia-manusia petani pertama tiba. Hanya sedikit pulau￾pulau yang sangat terpencil lolos dari perhatian manusia sampai abad modern, dan pulau-pulau ini mempertahankan keutuhan 
faunanya. Kepulauan Galapagos, sebagai satu contoh yang paling 
terkenal, tetap tak dihuni manusia sampai abad ke-19 sehingga 
mempertahankan kumpulan binatang uniknya, termasuk penyu 
raksasa yang, seperti diprotodon kuno, tak takut manusia.
Gelombang Kepunahan Pertama, yang disertai penyebaran 
manusia penjelajah, diikuti Gelombang Kepunahan Kedua, 
yang disertai penyebaran petani, dan memberi kita perspektif 
penting tentang Gelombang Kepunahan Ketiga, yang kini 
disebabkan oleh aktivitas industri. Jangan percaya cerita-cerita 
bodoh bahwa para leluhur kita hidup harmonis dengan alam. 
Jauh sebelum Revolusi Industri, Homo sapiens memiliki catatan 
di antara semua organisme atas ulahnya mendorong sebagian 
besar spesies tumbuhan dan binatang menuju kepunahan. Kita 
memiliki watak meragukan sebagai spesies paling mematikan 
dalam sejarah biologi.
Mungkin, jika lebih banyak orang menyadari Gelombang 
Pertama dan Kedua Kepunahan, mereka akan lebih peduli tentang 
Gelombang Ketiga yang di dalamnya mereka ambil bagian. Jika 
kita tahu berapa banyak spesies yang sudah kita enyahkan, kita 
menjadi lebih termotivasi untuk melindungi spesies-spesies yang 
masih bertahan. Ini terutama relevan terhadap binatang-binatang 
besar di lautan. Tak seperti rekan mereka di darat, binatang￾binatang laut besar relatif kurang terdampak oleh revolusi 
Kognitif dan Agrikultural. Namun, banyak di antara mereka ada 
di tubir kepunahan saat ini sebagai akibat dari polusi industrial 
dan penggunaan berlebihan oleh manusia atas sumber daya laut. 
Jika keadaan ini berlanjut dengan kecepatan seperti sekarang, 
kemungkinan paus , hiu , tuna, dan lumba-lumba akan menyusul 
diprotodon, kungkang darat, dan mamut menuju kepunahan. Di 
antara makhluk besar dunia, yang selamat dari banjir manusia 
hanyalah manusia itu sendiri, dan binatang-binatang di ladang 
yang menjadi budak di atas geladak Bahtera Nuh.


Selama 2,5 juta tahun manusia menghidupi diri dengan 
mengumpulkan tumbuhan dan memburu binatang yang hidup 
dan jenisnya tanpa intervensi mereka. Homo erectus, Homo 
ergaster, dan Neanderthal memetik ara liar dan memburu 
domba-domba liar tanpa memutuskan di mana pohon-pohon 
ara harus tumbuh, di padang rumput mana kawanan domba 
harus merumput, atau kambing-kambing bandot mana yang 
harus kawin dengan kambing betina yang mana. Homo sapiens
menyebar dari Afrika Timur ke Timur Tengah, ke Eropa dan 
Asia, dan akhirnya ke Australia dan Amerika—tetapi ke mana 
pun mereka pergi, Sapiens terus hidup dengan mengumpulkan 
tumbuhan-tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar. 
Mengapa pula harus mencari cara lain kalau gaya hidupmu 
memberi kecukupan dan menopang dunia yang kaya dengan 
struktur sosial, keyakinan agama, dan dinamika politik? 
Semua ini berubah sekitar 10.000 tahun lalu, ketika 
Sapiens mulai menghabiskan seluruh waktu dan usaha mereka 
untuk memanipulasi kehidupan beberapa spesies binatang dan 
tumbuhan. Dari fajar sampai terbenamnya Matahari, manusia 
menabur benih, menyirami tanaman, menyiangi rumput dari 
tanah, dan menggiring domba-domba ke padang rumput terbaik. 
Pekerjaan ini, mereka pikir akan menyediakan lebih banyak 
buah, biji-bijian, dan daging. Itulah revolusi dalam cara hidup 
manusia—Revolusi Agrikultur.
Transisi ke pertanian dimulai sekitar 9500–8500 SM di 
negeri perbukitan Turki bagian tenggara, Iran barat, dan Levant. 
Transisi itu dimulai pelan-pelan dan di area geografis terbatas. 
Gandum dan kambing didomestikasi kira-kira 9000 SM; kacang polong dan kacang-kacangan sekitar 8000 SM; pohon zaitun 
pada 5000 SM; kuda pada 4000 SM; dan anggur pada 3500 
SM. Sebagian binatang dan tumbuhan, seperti unta dan kacang 
mede, didomestikasi belakangan, tetapi sampai dengan 3500 SM, 
gelombang utama domestikasi selesai. Bahkan hari ini, dengan 
segala kemajuan teknologi kita, lebih dari 90 persen kalori 
yang menghidupi manusia datang dari segelintir tumbuhan yang 
didomestikasi leluhur kita antara 9500 dan 3500 SM—gandum, 
padi, jagung, kentang, jewawut, dan jelai. Tak ada tumbuhan 
atau binatang yang didomestikasi yang patut dicatat dalam 2.000 
tahun terakhir. Jika pikiran kita seperti para pemburu-penjelajah, 
santapan kita pun sama seperti para petani kuno itu.
Para ahli dulu percaya bahwa pertanian menyebar dari satu 
titik tunggal di Timur Tengah ke empat penjuru dunia. Kini, para 
ahli sepakat bahwa pertanian menyeruak di berbagai bagian lain 
dunia, bukan oleh aksi para petani Timur Tengah yang mengekspor 
revolusi mereka, melainkan seluruhnya secara independen. Orang￾orang di Amerika Tengah mendomestikasi jagung dan biji-bijian 
tanpa mengetahui apa pun tentang penanaman gandum dan kacang polong di Timur Tengah. Orang-orang Amerika Selatan 
belajar cara menumbuhkan kentang dan mengembangbiakkan 
llama, tanpa tahu apa yang terjadi di Meksiko atau Levant. Kaum 
revolusioner pertama China mendomestikasi padi, jewawut, dan 
babi. Para pekebun pertama Amerika Utara kelelahan menyisir 
semak-semak mencari umbi-umbian yang bisa dimakan dan 
memutuskan untuk menanam labu kuning. Orang-orang New 
Guinea mendomestikasi tebu dan pisang, sementara para petani 
Afrika Barat memanfaatkan jewawut Afrika, padi Afrika, sorgum 
dan gandum untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari titik-titik 
pusat awal inilah pertanian menyebar jauh dan meluas. Sampai 
dengan abad ke-1 M, mayoritas penduduk di sebagian besar 
wilayah dunia adalah agrikulturalis.
Mengapa revolusi agrikultur meletup di Timur Tengah, 
China, dan Amerika Tengah, tetapi tidak di Australia, Alaska, 
atau Afrika Selatan? Penyebabnya sederhana: sebagian besar 
spesies tumbuhan dan binatang tak bisa didomestikasi. Sapiens 
bisa menggali jamur-jamur besar yang lezat dan memburu mamut￾mamut berbulu, tetapi mendomestikasi spesies mana pun tak 
ada dalam pikiran mereka. Jamur-jamur sangat sulit dicari, dan 
binatang-binatang buas raksasa terlalu menakutkan. Dari ribuan 
spesies yang diburu dan dikumpulkan para leluhur kita, hanya 
beberapa yang bisa menjadi kandidat cocok untuk pertanian 
dan piaraan. Spesies yang sedikit itu hidup di tempat-tempat 
tertentu, dan di tempat-tempat itulah revolusi agrikultur terjadi.
Dulu para ahli mengklaim bahwa revolusi agrikultur 
adalah sebuah lompatan besar menuju kemanusiaan. Mereka 
mendongengkan cerita kemajuan yang didorong oleh kekuatan 
otak manusia. Evolusi pelan-pelan menghasilkan orang-orang yang 
lebih pintar. Akhirnya, orang-orang begitu pintar sehingga mereka 
mampu menyibak rahasia-rahasia alam, memungkinkan mereka 
untuk mendomestikasi domba dan menanam gandum. Segera 
setelah semua ini terjadi, mereka dengan riang meninggalkan 
kehidupan yang melelahkan, berbahaya, dan sering spartan, 
sebagai pemburu-penjelajah, dengan tinggal menetap untuk 
menikmati kehidupan menyenangkan lagi memuaskan sebagai 
petani.
Dongeng itu adalah fantasi. Tak ada bukti bahwa orang-orang 
menjadi lebih pintar seiring berjalannya waktu. Para pengembara 
tahu rahasia-rahasia alam jauh sebelum Revolusi Agrikultur 
karena kehidupan mereka bergantung pada pengetahuan 
mendalam tentang binatang yang mereka buru dan tumbuhan 
yang mereka kumpulkan. Bukan menjadi penanda kehadiran era 
baru kehidupan yang mudah, Revolusi Agrikultur menghadirkan 
kehidupan yang secara umum malah lebih sulit bagi para petani 
dan lebih tidak memuaskan ketimbang yang dinikmati para 
pengembara. Para pemburu-penjelajah menghabiskan waktu 
mereka dengan cara yang lebih menstimulasi dan lebih beragam, 
dan lebih kecil ancaman bahaya kelaparan serta penyakit. Revolusi 
Agrikultur jelas memperbesar jumlah total makanan yang dimiliki 
manusia. Namun, makanan ekstra tidak bisa diterjemahkan 
sebagai menu yang lebih baik atau waktu luang yang lebih 
banyak. Yang sesungguhnya terjadi adalah ledakan populasi dan 
elite yang manja. Rata-rata petani bekerja lebih keras ketimbang 
rata-rata pengembara, dan mendapatkan menu makanan yang 
lebih buruk sebagai imbalannya. Revolusi Agrikultur adalah 
kecurangan terbesar dalam sejarah.
Siapa yang bertanggung jawab? Bukan raja, bukan pendeta, 
bukan pula pedagang. Pelakunya adalah segelintir spesies 
tumbuhan, termasuk gandum, padi, dan kentang. Tumbuhan￾tumbuhan ini mendomestikasi Homo sapiens, bukan sebaliknya.
Pikirkan sejenak tentang Revolusi Agrikultur dari sudut 
pandang gandum. Sepuluh ribu tahun lalu gandum hanya satu 
jenis rumput liar, salah satu dari banyak, terkurung dalam 
rentang kecil di Timur Tengah. Tiba-tiba, hanya dalam beberapa 
milenium pendek, rumput itu tumbuh di seluruh dunia. Menurut 
kriteria evolusi dasar survival dan reproduksi, gandum menjadi 
salah satu tumbuhan yang paling sukses dalam sejarah di muka 
Bumi. Di area-area seperti Great Palins, Amerika Utara, di mana 
tak sebatang pun tangkai gandum tumbuh 10.000 tahun lalu, 
kini Anda bisa berjalan beratus-ratus kilometer tanpa menjumpai 
tumbuhan lain. Di seluruh dunia, gandum menutupi sekitar 2,25 
juta kilometer persegi permukaan Bumi, hampir sepuluh kali luas Inggris. Bagaimana rumput ini berubah dari tidak signifikan 
menjadi ada di mana-mana?
Gandum melakukannya dengan memanipulasi Homo sapiens
untuk keuntungannya sendiri. Kera ini telah hidup cukup nyaman 
berburu dan mengumpulkan sampai sekitar 10.000 tahun lalu, 
tetapi kemudian mulai menginvestasikan lebih banyak dan lebih 
banyak lagi upaya menanam gandum. Dalam beberapa milenium, 
manusia di banyak bagian dunia merawat tumbuhan gandum. Itu 
tidak mudah. Gandum meminta banyak dari mereka. Gandum 
tidak suka bebatuan dan kerikil, jadi Sapiens meremukkan 
punggung mereka untuk membersihkan lahan. Gandum tidak 
suka berbagi ruang, air, dan nutrisi dengan tumbuhan lain, jadi 
laki-laki dan perempuan bekerja sepanjang hari menyemai di 
bawah sengatan Matahari. Gandum sakit, jadi Sapiens harus 
terus mengawasinya dari serangan ulat dan kutu. Gandum 
tak punya pertahanan melawan organisme lain yang suka 
memakannya, dari kelinci sampai kawanan belalang, maka para 
petani harus menjaga dan melindunginya. Gandum kehausan, 
maka manusia mengalirkan air dari mata air dan sungai-sungai 
untuk mengairinya. Gandum yang kelaparan bahkan mendorong 
manusia mengumpulkan kotoran binatang untuk menyuburkan 
tanah yang menjadi tempat tumbuh gandum.
Tubuh Homo sapiens belum berevolusi untuk tugas semacam 
itu. Ia teradaptasi untuk memanjat pohon-pohon apel dan 
memburu rusa-rusa, bukan untuk membersihkan batu-batu 
dan membawa kantong-kantong air. Tulang belakang manusia, 
lutut, leher, dan lekuk tubuh membayar atas itu. Studi-studi 
atas tulang belulang kuno menunjukkan bahwa transisi menuju 
pertanian membawa banyak penyakit, seperti terkilir, radang 
sendi, dan hernia. Lebih dari itu, tugas-tugas baru pertanian 
menuntut banyak waktu yang menyebabkan manusia dipaksa 
menetap secara permanen dekat dengan ladang-ladang gandum 
mereka. Ini mengubah sepenuhnya cara hidup mereka. Kita 
tidak mendomestikasi gandum. Gandum yang mendomestikasi 
kita. Kata “domestikasi” berasal dari bahasa Latin domus, yang 
berarti ‘rumah’. Siapa yang hidup di rumah? Bukan gandum. 
Sapiens-lah yang hidup dalam rumah.
Bagaimana gandum meyakinkan Homo sapiens untuk 
menukar kehidupan yang sedikit bagus untuk keberadaan yang 
lebih menderita? Apa imbalan yang ditawarkannya? Ia tidak 
memberi makanan yang lebih bagus. Ingat, manusia adalah 
kera omnivora yang tumbuh dengan ragam luas makanan. Biji￾bijian hanya menyumbang bagian kecil dari makanan manusia 
sebelum Revolusi Agrikultur. Makanan berbasis sereal miskin 
akan mineral dan vitamin, sulit ditumbuhkan, dan benar-benar 
buruk untuk gigi dan gusi.
Gandum tidak memberi orang keamanan ekonomi. Kehidupan 
seorang petani lebih tidak aman ketimbang kehidupan pemburu￾penjelajah. Para pengembara bergantung pada puluhan spesies 
untuk bertahan hidup, dan karena itu bisa menghadapi tahun￾tahun sulit, bahkan tanpa persediaan makanan yang disimpan. Jika 
ketersediaan satu spesies berkurang, mereka bisa mengumpulkan 
dan memburu lebih banyak dari spesies-spesies lain. Masyarakat 
bertani, sampai masa yang sangat mutakhir, menggantungkan 
banyak sekali kebutuhan kalori mereka pada ragam sangat kecil 
tumbuhan yang didomestikasi. Di banyak area, mereka hanya 
bergantung pada persediaan makanan tunggal, seperti gandum, 
kentang, atau beras. Jika tak ada hujan, awan belalang datang, atau jamur menulari spesies makanan itu, petani-petani mati 
dalam angka ribuan dan jutaan.
Gandum juga tidak bisa menawarkan keamanan dari kekerasan 
manusia. Para petani awal sekurang-kurangnya sama ganasnya 
dengan leluhur penjelajah mereka, kalau bukan lebih ganas. Para 
petani memiliki lebih banyak hak milik dan membutuhkan lahan 
untuk menanam. Hilangnya lahan-lahan padang rumput untuk 
menyerbu tetangga bisa berarti ketimpangan antara kehidupan 
dan kelaparan, jadi semakin sempit ruang untuk kompromi. 
Ketika satu kawanan pengembara terdesak oleh rival yang lebih 
kuat, kawanan itu biasanya bergerak. Itu sulit dan berbahaya, 
tetapi masih layak. Ketika satu musuh yang kuat mengancam satu 
desa pertanian, mundur berarti menyerahkan ladang, rumah, dan 
lumbung. Dalam banyak kasus, ini mengantarkan para pengungsi 
menuju kelaparan. Oleh karena itu, para petani cenderung 
bertahan dan berperang sampai titik darah penghabisan.
Banyak studi antropologis dan arkeologis menunjukkan 
bahwa dalam masyarakat-masyarakat agrikultur sederhana tanpa 
kerangka politik yang melingkupi desa dan suku, kekerasan 
manusia bertanggung jawab atas sekitar 15 persen kematian, 
termasuk 25 persen kematian laki-laki. Dalam masyarakat 
kontemporer Papua Nugini, kekerasan menyumbang 30 persen 
kematian laki-laki di satu masyarakat suku pertanian, Dani, 
dan 35 persen di suku lain, Enga. Di Ekuador, mungkin 50 
persen orang Waorani dewasa mati akibat kekerasan di tangan 
manusia lain!12 Pada waktunya, kekerasan manusia bisa diatasi 
melalui pengembangan kerangka sosial yang lebih besar—kota￾kota, kerajaan, dan negara. Namun, butuh ribuan tahun untuk 
membangun struktur politik yang demikian besar dan efektif.
Kehidupan desa jelas membawa sejumlah manfaat langsung 
bagi para petani awal, seperti proteksi yang lebih baik dari 
binatang buas, hujan, dan cuaca dingin. Namun, untuk rata-rata 
orang, kerugiannya mungkin melebihi keuntungannya. Sulit bagi 
orang dalam masyarakat makmur saat ini untuk menghargainya. 
Karena kita menikmati kemakmuran dan keamanan, dan karena 
kemakmuran serta keamanan kita dibangun di atas fondasi 
yang dibuat oleh Revolusi Agrikultur, kita berasumsi bahwa Revolusi Agrikultur adalah sebuah perbaikan yang luar biasa. 
Meskipun demikian, salah juga jika menilai ribuan tahun sejarah 
dari perspektif masa kini. Satu sudut pandang yang jauh lebih 
representatif adalah sudut pandang seorang gadis berusia 3 tahun 
yang sekarat akibat malnutrisi pada abad ke-1 di China gara-gara 
panen ayahnya gagal. Akankah dia mangatakan, “Saya sekarat 
akibat malnutrisi, tetapi dalam 2.000 tahun, orang-orang akan 
punya banyak makanan dan hidup di rumah-rumah besar ber￾AC, jadi penderitaan saya adalah pengorbanan yang berarti”?
Lalu, apa yang ditawarkan gandum kepada agrikulturalis, 
termasuk gadis China yang mati kurang gizi itu? Tak ada yang 
diberikan gandum untuk orang-orang sebagai individu.
Akan tetapi, gandum menganugerahkan sesuatu bagi Homo 
sapiens sebagai spesies. Menanam gandum memberi lebih banyak 
makanan per satuan teritorial, dan karena itu memungkinkan 
Homo sapiens berbiak secara eksponensial. Sekitar 13.000 tahun 
SM, ketika orang-orang menghidupi diri dengan mengumpulkan 
tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar, area di 
sekitar oase Jericho di Palestina, bisa menopang paling banyak 
satu kawanan pengembara yang terdiri atas sekitar seratus 
orang yang relatif sehat dan tercukupi gizinya. Sekitar 8500 
SM, ketika tumbuhan-tumbuhan liar menyerah kepada ladang￾ladang gandum, oase itu menopang desa besar tetapi ringkih 
berisi 1.000 orang, yang jauh lebih menderita akibat penyakit 
dan kekurangan gizi.
Mata uang evolusi bukanlah kelaparan dan penderitaan, 
melainkan salinan spiral DNA. Sebagaimana sukses ekonomi 
sebuah perusahaan diukur hanya dengan jumlah dolarnya di 
rekening bank, bukan dari kebahagiaan para pegawainya, jadi 
sukses evolusi dari sebuah spesies diukur dengan jumlah salinan 
DNA-nya. Jika tidak ada lagi salinan DNA yang tersisa, spesies 
itu punah, sebagaimana sebuah perusahaan yang tak punya uang 
berarti bangkrut. Jika satu spesies menggaungkan banyak salinan 
DNA, ia sukses dan spesies itu subur. Dari perspektif semacam 
itu, 1.000 salinan selalu lebih baik dari 100 salinan. Inilah esensi 
dari Revolusi Agrikultur: kemampuan untuk mempertahankan lebih banyak orang hidup di bawah kondisi lebih buruk.
Meskipun demikian, mengapa pula seseorang harus peduli 
dengan kalkulus evolusi ini? Mengapa pula satu orang yang 
sama menurunkan standar hidupnya hanya untuk menggandakan 
jumlah salinan gen Homo sapiens? Tak seorang pun setuju dengan 
kenyataan ini: Revolusi Agrikultur adalah sebuah perangkap.
Perangkap Mewah
Peningkatan pertanian adalah perkembangan yang sangat 
perlahan, menyebar selama berabad-abad dan beberapa milenium. 
Satu kawanan Homo sapiens yang mengumpulkan jamur dan 
kacang serta berburu rusa dan kelinci tidak tiba-tiba mendiami 
sebuah desa permanen, membajak tanah, menyemai gandum 
dan mengangkut air dari sungai. Perubahan itu berjalan tahap 
demi tahap, masing-masing disertai hanya perubahan kecil dalam 
kehidupan sehari-hari.
Homo sapiens mencapai Timur Tengah sekitar 70.000 tahun 
lalu. Selama 50.000 tahun kemudian para leluhur kita tumbuh 
subur di sana tanpa pertanian. Sumber daya alam area itu cukup 
untuk menopang populasi manusianya. Pada satu masa subur 
banyak orang punya anak, dan pada masa sulit lebih sedikit yang 
punya anak. Manusia, seperti mamalia pada umumnya, memiliki 
mekanisme hormonal dan genetik yang membantu mengendalikan 
perkembangbiakan. Pada masa yang baik, perempuan mencapai 
pubertas lebih awal, dan peluang mereka untuk hamil sedikit 
lebih tinggi. Pada masa buruk, pubertas datang lebih lambat dan 
kesuburan menurun.
Selain kendali populasi alamiah ini, datang pula mekanisme 
kultural. Bayi-bayi dan anak-anak kecil, yang bergerak lamban 
dan menuntut perhatian lebih besar, menjadi beban bagi para 
pengembara nomaden. Orang-orang berusaha menjarangkan 
kelahiran anak tiga sampai empat tahun. Perempuan melakukan 
itu dengan mengasuh anak sepanjang waktu dan sampai usia 
anak lebih tua (penyusuan sepanjang waktu secara signifikan 
menurunkan peluang untuk hamil). Metode-metode lain adalah 
pantangan seks penuh atau sebagian (didukung mungkin oleh 
tabu-tabu kultural), aborsi, dan kadang-kadang pembunuhan bayi.
Selama milenium-milenium panjang ini orang terkadang 
makan biji gandum, tetapi ini bagian yang sangat marginal dari 
menu makanan mereka. Sekitar 18.000 tahun lalu, zaman es 
terakhir membuka jalan bagi periode pemanasan global. Ketika 
suhu naik, demikian pula curah hujan. Iklim baru menjadi ideal 
bagi gandum Timur Tengah dan sereal lain, yang berbiak dan 
menyebar. Orang-orang mulai memakan lebih banyak gandum, 
dan sebagai gantinya mereka secara tak sengaja menyebarkan 
pertumbuhannya. Karena tidak mungkin makan biji-bijian liar 
tanpa menampinya dulu, menggiling, dan memasaknya, orang￾orang harus mengumpulkan biji-bijian ini di tempat-tempat 
tinggal sementara untuk memprosesnya. Biji-biji gandum cukup 
kecil dan banyak sehingga tak terelakkan sebagian jatuh dalam 
perjalanan ke tempat tinggal dan hilang. Dari waktu ke waktu 
semakin banyak gandum tumbuh di sepanjang jalur favorit 
manusia dan dekat tempat tinggal mereka.
Ketika manusia membakar hutan dan semak-semak, ini 
juga membantu gandum. Api melenyapkan pohon-pohon dan 
semak belukar, memungkinkan gandum dan rumput-rumut lain 
memonopoli sinar Matahari, air, dan nutrisi. Di tempat-tempat 
yang tersedia gandum melimpah, binatang serta sumber-sumber 
makanan lain juga banyak, kawanan manusia pun pelan-pelan 
meninggalkan gaya hidup nomaden serta tinggal di kamp-kamp 
musiman, bahkan permanen.
Mula-mula mereka mungkin tinggal selama empat pekan 
pada musim panen. Satu generasi kemudian, ketika tumbuhan 
gandum berbiak dan menyebar, kamp panen bertahan sampai 
lima pekan, kemudian enam pekan, dan akhirnya menjadi sebuah 
desa permanen. Bukti permukiman semacam itu telah ditemukan 
di seluruh Timur Tengah, terutama di Levant, di mana kultur 
Natufian tumbuh subur dari 12.500 SM sampai 9500 SM. 
Orang-orang Natufian adalah pemburu-penjelajah yang hidup 
dengan puluhan spesies liar, tetapi mereka hidup di desa-desa 
permanen dan menghabiskan banyak waktu untuk pengumpulan 
dan pemrosesan secara intensif sereal liar. Mereka membangun rumah-rumah batu dan lumbung. Mereka menyimpan biji-bijian 
untuk masa-masa sulit. Mereka menemukan alat-alat baru seperti 
sabit batu untuk memanen gandum, dan penumbuk serta mortir 
dari batu untuk menghaluskannya.
Pada tahun-tahun setelah 9500 SM, para keturunan Natufian 
terus mengumpulkan dan memproses sereal, tetapi mereka juga 
mulai menanamnya dengan cara yang semakin teliti. Ketika 
mengumpulkan biji-bijian liar, mereka menyisihkan sebagian dari 
hasil panen untuk disemai di ladang musim berikutnya. Mereka 
menemukan bahwa dengan menyemai biji-bijian ke dalam tanah, 
mereka bisa mendapatkan hasil yang lebih baik, dibandingkan 
menaburnya secara asal-asalan di permukaan tanah. Jadi, mereka 
mulai mencangkul dan membajak. Pelan-pelan mereka juga mulai 
menyemai di ladang, menjaganya dari parasit, dan mengairi serta 
menyuburkannya. Dengan semakin banyak upaya dilakukan untuk 
menanam sereal, semakin sedikit waktu untuk mengumpulkan 
dan memburu spesies liar. Pengembara pun menjadi petani.
Tak ada satu pun jejak yang membedakan perempuan 
pengumpul gandum liar dengan perempuan yang bercocok￾tanam gandum domestikasi sehingga sulit untuk menyatakan 
secara pasti kapan transisi menentukan ke agrikultur itu 
terjadi. Namun, sampai dengan 8500 SM, Timur Tengah 
dipadati desa-desa permanen seperti Jericho, yang penghuninya 
menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menanam 
beberapa sepesies domestikasi.Dengan pergerakan ke desa￾desa permanen dan naiknya pasokan makanan, populasi mulai 
menanam. Meninggalkan gaya hidup nomaden memungkinkan 
kaum perempuan memiliki anak setiap tahun. Bayi-bayi disapih 
lebih awal—mereka bisa disuapi bubur dan adonan. Tenaga ekstra 
sangat dibutuhkan di ladang. Namun, mulut-mulut ekstra dengan 
cepat menyapu bersih surplus makanan sehingga bahkan semakin 
banyak ladang harus ditanami. Ketika orang mulai hidup di 
permukiman-permukiman yang dipenuhi penyakit, ketika anak￾anak lebih banyak disuapi sereal dan lebih sedikit susu ibu, dan 
ketika setiap anak bersaing untuk mendapatkan bubur dengan 
lebih banyak saudara-saudaranya, tingkat kematian anak pun 
mencuat. Di banyak masyarakat agrikultur sedikitnya satu dari setiap tiga anak sebelum mencapai usia 20 tahun.4
 Meskipun 
demikian, kenaikan angka kelahiran masih di atas naiknya angka 
kematian; manusia tetap punya anak yang jumlahnya lebih besar.
Seiring waktu, “daya tawar gandum” menjadi beban yang 
semakin berat dan semakin berat. Anak-anak mati berbondong￾bondong, dan orang dewasa makan dengan keringat bercucuran 
di kening. Rata-rata orang di Jericho pada 8500 SM hidup lebih 
sulit ketimbang rata-rata orang di Jericho pada 9500 SM atau 
13.000 SM. Namun, tak seorang pun menyadari apa yang sedang 
terjadi. Setiap generasi terus hidup seperti generasi sebelumnya, 
hanya membuat perbaikan-perbaikan kecil di sana sini dan 
dalam cara mengerjakan sesuatu. Secara paradoks, serangkaian 
“perbaikan”, yang masing-masing berarti menjadikan hidup lebih 
mudah, menambahkan satu batu gerinda di leher para petani ini.
Mengapa orang membuat kalkulasi fatal semacam itu? 
Penyebabnya sama dengan miskalkulasi yang dilakukan orang￾orang sepanjang sejarah. Orang tidak mampu memahami 
sepenuhnya konsekuensi-konsekuensi dari keputusan-keputusan 
mereka. Setiap kali mereka memutuskan untuk mengerjakan 
sedikit pekerjaan ekstra—taruhlah untuk mencangkul ladang, 
bukan menabur benih di permukaan—orang mengira “Ya, kita 
harus bekerja lebih keras, tetapi panen akan berlimpah! Kita 
tidak perlu khawatir dengan tahun-tahun mendatang. Anak-anak 
tidak akan pernah lagi tidur kelaparan”. Masuk akal. Jika Anda 
bekerja lebih keras, Anda akan mendapatkan kehidupan yang 
lebih baik. Itulah rencananya.
Bagian pertama dari rencana itu berjalan mulus. Orang￾orang benar-benar bekerja lebih keras. Namun, orang-orang 
tidak bisa melihat bahwa jumlah anak akan bertambah, yang 
berarti bahwa ekstra gandum akan dibagi dengan lebih banyak 
anak. Para petani awal itu juga tidak mengerti bahwa menyuapi 
anak-anak dengan lebih banyak bubur dan lebih sedikit susu 
ibu akan memperlemah sistem kekebalan mereka, dan bahwa 
permukiman-permukiman permanen akan menjadi sarang bagi 
penyakit-penyakit menular. Mereka tidak melihat bahwa dengan 
menaikkan ketergantungan pada satu sumber makanan tunggal, 
mereka sesungguhnya memapar diri dengan ancaman bahaya 
kekeringan. Para petani itu juga tidak melihat pada tahun-tahun 
baik lumbung-lumbung mereka yang berlimpah akan mengundang 
pencuri dan musuh, memaksa mereka mulai membangun dinding 
dan melakukan tugas-tugas penjagaan.
Lalu, mengapa manusia tidak meninggalkan perladangan 
ketika rencananya mendatangkan kesulitan? Sebagian, karena 
perlu beberapa generasi bagi perubahan-perubahan kecil untuk 
berakumulasi dan mentransformasi masyarakat, dan pada 
masa itu, tak seorang pun mengingat bahwa mereka pernah 
hidup secara berbeda. Dan, sebagian karena pertumbuhan 
populasi membakar perahu-perahu kemanusiaan. Jika dengan 
pencangkulan populasi sebuah desa naik dari 100 menjadi 110, 
maka siapa 10 orang yang harus rela kelaparan agar yang lain 
bisa kembali ke keadaan baik pada masa lalu? Tidak ada yang 
bisa kembali. Perangkap sudah terkunci.
Perburuan kehidupan yang lebih mudah menghasilkan lebih 
banyak kesulitan, dan itu bukan yang terakhir. Itu terjadi pada 
kita hari ini. Berapa banyak pemuda lulusan perguruan tinggi 
mengambil pekerjaan berat di perusahaan-perusahaan padat 
karya, dengan berjanji bahwa mereka akan bekerja keras untuk 
mendapatkan uang yang memungkinkan mereka pensiun dan 
mengejar kesenangan pada usia 35 tahun? Namun, ketika usia 
itu tercapai, mereka punya beban besar, anak-anak ke sekolah, 
rumah di pinggiran yang membutuhkan sedikitnya dua mobil 
per keluarga, dan hidup tak terasa nikmatnya tanpa anggur dan 
liburan di luar negeri. Apa yang harus mereka lakukan, kembali 
menggali akar? Tidak, mereka melipatgandakan upayanya dan 
tetap diperbudak.
 Salah satu hukum sejarah adalah bahwa kemewahan 
cenderung menjadi keharusan dan melahirkan beban-beban 
baru. Begitu orang terbiasa dengan satu kemewahan tertentu, 
mereka menerimanya sebagai kebiasaan. Kemudian, mereka mulai 
menjadikannya kebutuhan. Akhirnya mereka mencapai satu titik 
ketika mereka tidak bisa hidup tanpanya. Mari ambil contoh 
lain yang populer pada masa kita. Selama beberapa dekade 
terakhir, kita telah menemukan tak terhitung alat penghemat 
waktu yang diharapkan menjadikan hidup lebih santai—mesin cuci, vacuum cleaner, pencuci piring, telepon, ponsel, komputer, 
surel. Sebelumnya, butuh banyak pekerjaan untuk menulis 
sepucuk surat, menulis alamat, membeli prangko dan amplop, dan 
membawanya ke kotak surat. Perlu beberapa hari atau beberapa 
pekan, bahkan mungkin beberapa bulan, untuk mendapatkan 
jawaban. Kini, saya bisa menulis surel, mengirimnya sejauh 
setengah putaran Bumi, dan (jika yang dituju sedang online) 
menerima jawaban semenit kemudian. Saya menghemat waktu 
dan tenaga, tetapi apakah saya menikmati kehidupan yang lebih 
santai?
Sayangnya tidak. Pada era surat-bekicot dulu, orang-orang 
biasanya menulis surat ketika mereka punya sesuatu yang penting 
untuk disampaikan. Bukan menulis apa yang pertama muncul 
di kepala, mereka mempertimbangkan hati-hati apa yang ingin 
mereka katakan dan bagaimana cara menyampaikannya. Mereka 
berharap menerima jawaban yang dipertimbangkan masak-masak 
juga. Sebagian orang menulis dan menerima hanya segelintir 
surat dalam sebulan dan jarang merasa terpaksa untuk membalas 
segera. Kini, saya menerima puluhan surel setiap hari, semua 
dari orang-orang yang mengharapkan balasan secepatnya. Kita 
mengira menghemat waktu; yang terjadi kita malah mempercepat 
treadmill kehidupan sepuluh kali lebih cepat sehingga membuat 
hari-hari kita lebih mencemaskan dan menggelisahkan.
Di mana-mana ada seorang Luddite*
 yang berkeras menolak 
membuka akun surel, sebagaimana ribuan tahun lalu kawanan￾kawanan manusia menolak ikut berladang, dan menghindari 
perangkap kemewahan. Namun, Revolusi Agrikultur tak butuh 
setiap kawanan di daerah tertentu bergabung. Yang dibutuhkan 
cuma satu kawanan. Begitu ada kawanan yang bermukim 
dan mulai mengolah tanah, entah itu di Timur Tengah atau 
Amerika Tengah, pertanian tak bisa dibendung. Karena pertanian 
menciptakan kondisi-kondisi bagi pertumbuhan demografis cepat, 
para petani biasanya mampu mengatasi para pengembara dengan 
keunggulan jumlah. Para pengembara bisa lari, meninggalkan tanah perburuan mereka ke ladang dan padang rumput, atau 
ikut mengolah tanah. Pilihan yang mana pun, kehidupan lama 
pun hilang.
Cerita perangkap kemewahan membawa serta satu pelajaran 
penting. Pencarian manusia akan kemudahan hidup menghasilkan 
kekuatan besar perubahan yang mentransformasi dunia dengan 
cara yang tak pernah dibayangkan atau diinginkan siapa pun. 
Tak seorang pun merencanakan Revolusi Agrikultur atau 
mengupayakan ketergantungan manusia pada penanaman sereal. 
Serangkaian keputusan kecil yang ditujukan terutama untuk 
mengisi beberapa perut dan mendapatkan sedikit keamanan 
memiliki efek kumulatif yang memaksa para pengembara kuno 
menghabiskan hari-hari mereka membawa kantong-kantong air 
di bawah sengatan Matahari.
Campur Tangan Tuhan
Skenario di atas menjelaskan Revolusi Agrikultur sebagai 
sebuah miskalkulasi. Itu sangat masuk akal. Sejarah penuh 
dengan miskalkulasi yang jauh lebih idiotik. Namun, tidak ada 
kemungkinan lain. Mungkin bukan pencarian kehidupan yang 
lebih mudah yang melahirkan transformasi itu. Mungkin Sapiens 
memiliki aspirasi-aspirasi lain, dan secara sadar bersedia membuat 
hidup mereka lebih berat dalam rangka mencapainya.
Para ilmuwan biasanya berusaha merujukkan perkembangan￾perkembangan sejarah kepada faktor-faktor dingin ekonomi dan 
demografis. Ini memang lebih cocok dengan metode rasional 
dan matematis mereka. Dalam kasus sejarah modern, para ahli 
tidak bisa menghindari pertimbangan faktor-faktor non-material 
seperti ideologi dan budaya. Bukti tertulis memaksa tangan 
mereka. Kita punya cukup dokumen, surat, dan memoar untuk 
membuktikan bahwa Perang Dunia Kedua tidak disebabkan oleh 
kekurangan makanan atau tekanan psikologis. Namun, kita tidak 
punya dokumen dari budaya Natufian, jadi ketika menangani 
periode kuno aliran materialis menunjukkan kekuasaannya. Sulit 
untuk membuktikan bahwa masyarakat praliterasi dimotivasi oleh agama ketimbang kebutuhan ekonomi.
Meskipun demikian, dalam kasus-kasus yang langka, kita 
cukup beruntung menemukan petunjuk-petunjuk. Pada 1995 
para arkeologis mulai mengekskavasi situs di wilayah tenggara 
Turki yang dikenal dengan nama Göbekli Tepe. Di lapisan 
tertua mereka tak menemukan tanda-tanda permukiman, rumah￾rumah, atau aktivitas keseharian. Namun, mereka menemukan 
struktur-struktur pilar monumental berhiaskan pahatan-pahatan 
spektakuler. Setiap batu pilar memiliki berat 7 ton dan mencapai 
ketinggian 5 meter. Di sebuah tambang dekat sana, mereka 
menemukan pilar pahatan setengah jadi seberat 50 ton. Secara 
keseluruhan, mereka menemukan lebih dari sepuluh struktur 
monumental, yang terbesar lebarnya hampir 30 meter. 
Para arkeologis terbiasa dengan struktur-struktur monumental 
semacam itu dari berbagai situs di seluruh dunia—contoh yang 
paling terkenal adalah Stonehenge di Inggris. Namun, setelah 
mereka mempelajari Göbekli Tepe, mereka menemukan sebuah fakta yang menakjubkan. Stonehenge bertarikh 2500 SM, dan 
dibangun oleh sebuah masyarakat agrikultur yang sudah maju. 
Struktur-struktur di Göbekli Tepe bertarikh sekitar 9500 SM, 
dan semua bukti yang tersedia menunjukkan bahwa struktur￾struktur itu dibangun oleh pemburu-penjelajah. Komunitas 
arkeologis mula-mula kesulitan menghargai temuan-temuan ini, 
tetapi pengujian demi pengujian memastikan tarikh struktur￾struktur itu dan masyarakat pra-agrikultur para pembangunnya. 
Kemampuan para pengembara kuno, dan kompleksitas kultur 
mereka tampaknya jauh lebih mengesankan dari yang sebelumnya 
diduga.
Mengapa satu masyarakat pengembara membangun struktur￾struktur semacam itu? Mereka tak punya tujuan sengaja yang 
jelas. Struktur-struktur itu juga bukan rumah jagal mamut, 
juga bukan tempat berteduh dari hujan atau bersembunyi dari 
singa. Maka, yang tersisa bagi kita adalah teori bahwa struktur￾struktur itu dibangun untuk tujuan kultural yang misterius, yang 
sangat menyulitkan para ahli untuk menguraikannya. Apa pun itu, para pengembara berpandangan struktur itu pantas dibuat 
dengan menghabiskan tenaga dan waktu. Satu-satunya cara untuk 
membangun Göbekli Tepe adalah ribuan pengembara dari banyak 
kawanan dan suku yang berbeda bekerja sama dalam rentang 
waktu yang cukup lama. Hanya sistem religius atau ideologis 
canggih yang bisa memelihara upaya semacam itu.
Göbekli Tepe menyimpan rahasia lain yang sensasional. 
Selama bertahun-tahun, para ahli genetika telah melacak asal￾muasal gandum domestikasi. Penemuan-penemuan mutakhir 
menunjukkan bahwa sedikitnya satu varian domestikasi, gandum 
einkorn, berasal dari Perbukitan Karacadag—sekitar tiga puluh 
kilometer dari Göbekli Tepe.5
Sulit untuk mengatakannya sebagai kebetulan. Sangat mungkin 
bahwa pusat kultural Göbekli Tepe terkoneksi dengan domestikasi 
gandum sebelumnya oleh manusia dan domestikasi manusia oleh 
gandum. Untuk menghidupi orang-orang yang membangun dan 
yang menggunakan struktur-struktur monumental itu, makanan 
dalam jumlah yang sangat banyak dibutuhkan. Kemungkinan 
para pengembara beralih dari mengumpulkan gandum liar ke 
penanaman gandum secara intensif, bukan untuk menaikkan 
pasokan makanan normal mereka, melainkan untuk menopang 
pembangunan dan pengelolaan sebuah kuil. Dalam gambaran 
konvensional, para pelopor mula-mula membangun sebuah 
desa, lalu ketika desa itu makmur, mereka mendirikan kuil di 
tengah-tengahnya. Namun, Göbekli Tepe menunjukkan bahwa 
kuil mungkin mula-mula dibangun, dan sebuah desa tumbuh 
belakangan di sekitarnya.
Korban-korban Revolusi
Tawar-menawar Faustian antara manusia dan biji-bijian bukanlah 
satu-satunya perkara yang diputuskan oleh spesies kita. Perkara 
lainnya yang diputuskan adalah menyangkut nasib binatang￾binatang seperti domba, kambing, babi, dan ayam. Kawanan￾kawanan nomaden yang memburu domba liar pelan-pelan 
mengubah konstitusi tentang kawanan binatang yang mereka mangsa. Proses ini tampaknya dimulai dengan perburuan 
selektif. Manusia belajar bahwa tak ada untungnya memburu 
domba dewasa, domba tua, atau domba sakit saja. Mereka 
menyisakan domba-domba betina yang subur dan domba muda 
untuk menjaga vitalitas jangka panjang kawanan binatang lokal. 
Langkah kedua kemungkinan adalah mempertahankan secara aktif 
kawanan binatang itu dari predator, mengusir singa, serigala, 
dan kawanan-kawanan musuh manusia. Kawanan itu kemudian 
mungkin membentengi kawanan domba di sebuah ngarai 
sempit agar lebih mudah mengontrol dan mempertahankannya. 
Akhirnya, mereka mulai melakukan seleksi lebih teliti dalam 
rangka mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan manusia. 
Domba-domba yang paling agresif, yakni yang menujukkan 
perlawanan paling hebat terhadap kontrol manusia, disembelih 
dulu. Begitu pula betina-betina paling kurus dan paling berisik. 
(Penggembala tak menyukai domba yang berisiknya membuat 
mereka menjauh dari gembalanya.) Dengan berlalunya generasi 
demi generasi, domba menjadi semakin gemuk, lebih mudah 
diatur, dan semakin tidak berisik. Voilà! Mary punya domba 
kecil dan ke mana pun Mary pergi domba kecil itu pasti ikut.
Alternatif lain, para pemburu mungkin menangkap seekor 
domba, menggemukkannya pada bulan-bulan subur dan 
menyembelih nya pada musim buruk. Pada tahap tertentu mereka 
mulai memelihara domba semacam itu dalam jumlah lebih besar. 
Sebagian dari domba-domba itu mencapai pubertas dan mulai 
berbiak. Domba-domba yang paling agresif dan paling sulit 
diatur yang mula-mula disembelih. Yang paling penurut dan 
paling bagus dibiarkan hidup lebih lama dan berbiak. Hasilnya 
adalah kawanan domba domestikasi dan penurut.
Binatang-binatang domestikasi semacam itu—domba, ayam, 
keledai, dan lain-lain—memasok makanan (daging, susu, telur), 
bahan baku (kulit, bulu), dan kekuatan otot. Transportasi, 
pembajakan, penumbukan, dan tugas-tugas lain, yang sampai 
sekarang dilakukan dengan otot manusia, kian banyak yang 
dilakukan oleh binatang. Di kebanyakan masyarakat pertanian, 
orang fokus pada penanaman tumbuhan; memelihara binatang 
menjadi aktivitas sekunder. Namun, satu jenis masyarakat baru 
juga muncul di sejumlah tempat, yang terutama didasarkan pada 
eksploitasi binatang: suku-suku penggembala binatang.
Ketika manusia menyebar ke seluruh dunia, begitu pula 
binatang-binatang domestikasi mereka. Sepuluh ribu tahun 
lalu, tidak lebih dari beberapa juta domba, sapi, kambing, babi 
hutan, dan ayam hidup di ceruk-ceruk Afro-Asia yang terbatas. 
Kini dunia berisi sekitar 1 miliar domba, 1 miliar babi, lebih 
dari 1 miliar sapi, dan lebih dari 25 miliar ayam. Dan, mereka 
ada di seluruh dunia. Ayam domestikasi adalah yang paling 
luas penyebarannya. Menyusul manusia, sapi-sapi, babi-babi, 
dan domba domestikasi berada di urutan kedua, sedangkan 
urutan ketiga dan keempat ditempati mamalia-mamalia besar. 
Dari persepektif evolusi sempit, yang mengukur hanya dengan 
jumlah salinan DNA, Revolusi Agrikultur merupakan anugerah 
luar biasa bagi ayam, sapi, babi, dan domba.
Sayang sekali, persepektif evolusi itu merupakan ukuran 
sukses yang tidak lengkap. Ia hanya mengukur segalanya dengan 
kriteria survival dan reproduksi, tanpa mempertimbangkan 
penderitaan dan kebahagiaan individu. Ayam-ayam dan sapi-sapi 
domestikasi akan menjadi kisah sukses evolusi, tetapi mereka juga 
termasuk makhluk paling merana yang pernah hidup. Domestikasi 
binatang dijalankan dengan serangkaian praktik brutal yang hanya 
menjadi semakin brutal seiring abad-abad berlalu.
Rentang masa hidup ayam liar sekitar 7 sampai 12 tahun, 
dan sapi sekitar 20 sampai 25 tahun. Di alam liar, sebagian besar 
ayam dan sapi memang mati jauh sebelum itu, tetapi mereka 
masih punya kesempatan yang memadai untuk hidup lebih lama. 
Sebaliknya, mayoritas besar ayam dan sapi domestikasi disembelih 
pada usia antara beberapa pekan sampai beberapa bulan karena 
ini selalu menjadi usia penyembelihan yang paling optimal dari 
perspektif ekonomi (Mengapa pula memelihara seekor ayam 
selama 3 tahun jika ia sudah mencapai berat maksimum setelah 
usia 3 bulan?)
Ayam-ayam petelur, sapi perah, dan binatang-binatang 
pengangkut kadang-kadang dibiarkan hidup lebih lama. Namun, 
harga yang dibayar adalah penindasan dalam kehidupan yang 
benar-benar asing bagi kehendak dan keinginan mereka. Maka, 
masuk akal untuk dikemukakan, misalnya, bahwa kerbau lebih 
suka menghabiskan hari-hari mereka berkeliaran di dataran 
terbuka dalam kawanan kerbau dan sapi ketimbang menarik 
gerobak dan membajak di bawah arahan si pemegang cemeti.
Untuk mengubah kerbau, kuda, keledai, dan otan menjadi 
binatang pengangkut yang patuh, maka naluri alamiah dan 
hubungan-hubungan sosial mereka harus dihancurkan, agresi dan 
seksualitas mereka ditundukkan, dan kebebasan gerak mereka 
dibatasi. Para petani mengembangkan teknik-teknik seperti 
mengunci binatang dalam kandang dan kurungan, mengekang 
mereka dengan tali dan cambuk, melatih mereka dengan cemeti dan pelecut, dan memutilasi mereka. Proses penundukan hampir 
selalu melibatkan pengebirian pejantan. Ini bisa menghambat 
agresi jantan dan memungkinkan manusia secara selektif 
mengontrol perkembangbiakan binatang.
Pada banyak masyarakat Papua Nugini, kekayaan seseorang 
secara tradisional ditentukan oleh jumlah babi yang dia miliki. 
Untuk memastikan bahwa babi-babi itu tidak lari, para petani di 
bagian utara Papua Nugini mengiris hidung babi. Ini menyebabkan 
nyeri hebat setiap kali babi itu berusaha mengendus. Karena 
babi tidak bisa menemukan makanan atau bahkan mencari 
jalan tanpa mengendus, mutilasi ini membuat mereka benar￾benar tergantung pada manusia pemiliknya. Di area lain Papua 
Nugini, ada kebiasaan mencongkel mata babi sehingga binatang 
itu bahkan tidak tahu ke mana mereka akan pergi.6
Industri susu punya cara sendiri dalam memaksa binatang 
melakukan kehendaknya. Sapi, kambing, dan domba menghasilkan 
susu hanya setelah melahirkan dan hanya sepanjang binatang￾binatang muda itu menyusui. Untuk meneruskan pasokan susu 
binatang, petani perlu memiliki anak-anak sapi, anak domba, dan 
anak kambing untuk menyusu, tetapi harus mencegah mereka 
memonopoli susu. Satu metode yang umum dalam sejarah adalah 
dengan begitu saja menyembelih anak-anak sapi segera setelah 
lahir, memerah susu induk sebanyak yang bisa dikeluarkannya, 
dan kemudian membuat induknya bunting lagi. Ini teknik yang 
menyebar luas. Di banyak ladang susu modern, seekor sapi 
perah biasanya hidup sekitar 5 tahun sebelum disembelih. Selama 
masa 5 tahun itu dia hampir terus-menerus bunting dan subur 
kembali dalam 60 sampai 120 hari setelah melahirkan, dalam 
rangka mempertahankan produksi susu maksimum. Anak-anak 
sapinya dipisahkan dari induknya segera setelah lahir. Yang 
betina disisihkan untuk menjadi generasi sapi perah berikutnya, 
sementara yang jantan diserahkan ke industri daging.7
Metode lainnya adalah memelihara anak-anak sapi dan 
domba dekat induknya, tetapi mencegah mereka dengan berbagai 
siasat dari menyusu terlalu banyak. Cara yang paling sederhana 
untuk melakukan itu adalah membiarkan anak sapi atau domba 
mulai menyusu, tetapi menyingkirkannya begitu susu mulai mengalir. Cara ini biasanya menimbulkan perlawanan dari anak 
maupun induknya. Sebagian suku penggembala biasa membunuh 
keturunan, memakan dagingnya, dan kemudian menyimpan 
kulitnya. Anak sapi yang tinggal kulit itu kemudian disodorkan 
ke induknya agar kehadirannya bisa mendorong produksi susu. 
Suku Nuer di Sudan selama ini melumuri kulit anak sapi dengan urine induknya, untuk memberi aroma palsu anak sapi hidup. 
Teknik Nuer lainnya adalah mengikatkan cincin onak di sekitar 
mulut anak sapi, sehingga menusuk induknya dan menyebabkan 
induk menolak disusu.8
 Para penggembala unta Tuareg di Sahara 
biasa menusuk memotong bagian dari hidung dan bibir atas unta 
muda untuk membuat penyusuan menjadi menyakitkan sehingga 
mencegah mereka mengonsumsi terlalu banyak susu.9
Tak semua masyarakat agrikultur sekejam itu terhadap 
binatang-binatang piaraannya. Kehidupan sebagian binatang 
domestikasi bisa saja cukup bagus. Domba yang dipelihara untuk 
diambil bulunya, anjing dan kucing piaraan, kuda perang dan 
kuda pacu sering menikmati kondisi yang nyaman. Kaisar Romawi 
Caligula diduga berniat menunjuk kuda favoritnya, Incitatus, 
untuk tugas konsulat. Para penggembala dan petani sepanjang 
sejarah menunjukkan kasih sayang terhadap binatang-binatang 
mereka dan memberi perawatan yang baik, sebagaimana banyak 
pemilik budak merasakan kasih sayang dan kepedulian pada 
budak mereka. Bukan kebetulan bahwa raja-raja dan nabi-nabi 
bergaya sebagai penggembala dan menyerupakan cara mereka dan 
Tuhan mencintai umatnya dengan cara penggembala menyayangi 
piaraannya.
Meskipun demikian, dari sudut pandang binatang piaraan, 
bukan dari sudut pandang penggembala, sulit untuk menghindarkan 
kesan bahwa bagi mayoritas besar binatang domestikasi, Revolusi 
Agrikultur adalah bencana yang parah. “Sukses” evolusi mereka 
tak bermakna. Seekor badak liar langka yang berada di tubir 
kepunahan mungkin lebih enak hidupnya ketimbang seekor 
sapi yang menghabiskan hidup singkatnya dalam kotak mungil, 
digemukkan untuk menghasilkan daging steik yang lezat. Badak 
yang beruntung tak kurang beruntungnya menjadi yang terakhir 
dari jenisnya. Sukses numerikal spesies sapi adalah hiburan kecil 
untuk penderitaan yang dialami individu sapi.
Perbedaan antara sukses evolusi ini dan penderitaan individu 
mungkin pelajaran paling penting yang bisa kita tarik dari 
Revolusi Agrikultur. Ketika kita mempelajari narasi tumbuhan 
seperti gandum dan jagung, mungkin itu perspektif evolusi yang 
murni masuk akal. Namun, dalam hal binatang-binatang seperti sapi, domba, dan Sapiens, masing-masing dengan dunia sensasi 
dan emosinya yang kompleks, kita harus mempertimbangkan 
bagaimana sukses evolusi diterjemahkan ke pengalaman individu. 
Pada bab-bab berikut ini kita akan melihat dari waktu ke waktu 
bagaimana peningkatan dramatis kekuatan kolektif dan sukses 
nyata spesies kita berjalan beriringan dengan banyak penderitaan 
individu.
Revolusi Agrikultur adalah salah satu peristiwa paling 
kontroversial dalam sejarah. Sebagian pendukung mengklaim 
bahwa revolusi itu menempatkan manusia di jalan menuju 
kemakmuran dan kemajuan. Yang lain menyatakan revolusi itu 
mengarah kepada kehancuran. Kata mereka, inilah titik balik 
ketika Sapiens membuang simbiosis intimnya dengan alam dan 
berlari menuju ketamakan dan alienasi. Ke mana pun arah jalan 
menuju, tak ada kata kembali. Perladangan memungkinkan 
populasi naik begitu radikal dan cepat sehingga tak ada masyarakat 
agrikultur kompleks yang pernah bisa lagi mempertahankan diri 
jika ia kembali ke perburuan dan pengumpulan. Sekitar 10.000 
SM, sebelum transisi menuju agrikultur, Bumi dihuni sekitar 5 
sampai 8 juta pengembara nomaden. Pada abad ke-1 Masehi 
(M), hanya 1 sampai 2 juta pengembara yang tersisa (terutama 
di Australia, Amerika, dan Afrika), tetapi jumlah mereka tak 
ada apa-apanya dibandingkan dengan 250 juta petani dunia.1
Mayoritas besar petani hidup di permukiman-permukiman 
permanen; hanya sedikit yang menjadi penggembala nomaden. 
Bermukim menyebabkan sebagian besar wilayah orang menyusut 
secara dramatis. Para pemburu-penjelajah kuno biasanya hidup 
dalam teritori yang meliputi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus 
kilometer persegi. “Rumah” adalah teritori menyeluruh, dengan 
perbukitan, sungai-sungai, hutan-hutan, dan langit terbuka. Para 
petani, di sisi lain, menghabiskan sebagian besar hari-harinya 
bekerja di sebuah ladang kecil atau kebun buah, dan kehidupan 
domestik mereka terpusat pada satu struktur reot kayu, batu, 
atau tanah liat, berukuran tak lebih dari beberapa puluh meter—
rumahnya. Petani biasanya mengembangkan keterikatan sangat 
kuat dengan struktur ini. Inilah revolusi yang berjangkauan luas itu, yang berdampak psikologis sekaligus arsitektural. Oleh 
karena itu, keterikatan dengan “rumah saya” dan keterpisahan 
dari tetangga menjadi penanda psikologis dari makhluk yang 
semakin memusatkan diri.
Teritori-teritori agrikultur baru tidak hanya jauh lebih kecil 
dari teritori pengembara kuno, tetapi juga jauh lebih artifisial. 
Selain penggunaan api, para pemburu-penjelajah hanya sedikit 
membuat perubahan-perubahan sengaja atas tanah yang menjadi 
tempat mereka berkelana. Di sisi lain, para petani hidup dalam 
pulau-pulau artifisial manusia, yang mereka iriskan dengan usaha 
keras dari alam bebas di sekelilingnya. Mereka memangkas 
hutan-hutan, menggali saluran-saluran, membersihkan ladang, 
membangun rumah-rumah, menggali parit, dan menanam pohon￾pohon buah dalam barisan-barisan rapi. Habitat artifisial yang 
dihasilkan hanya ditujukan bagi manusia dan tumbuh-tumbuhan 
serta binatang-binatang “mereka”, dan sering dipagari dengan 
dinding dan pelindung. Keluarga-keluarga petani melakukan 
semua yang bisa mereka lakukan untuk mengenyahkan bibit￾bibit yang bertingkah dan binatang-binatang yang liar. Jika ada 
penyusup masuk, mereka mengusirnya. Jika melawan, para 
manusia antagonis mencari cara untuk melenyapkan mereka. 
Pertahanan-pertahanan yang sangat kuat dibuat di sekitar rumah. 
Sejak awal masa agrikultur sampai masa kini, miliaran manusia 
bersenjatakan ranting, pemukul, sepatu, dan semprotan beracun 
tak henti-henti terlibat dalam perang melawan semut-semut gigih, 
kecoak-kecoak gesit, laba-laba petualang, dan kumbang-kumbang 
tersesat yang terus menginfiltrasi domisili manusia.
Pada sebagian besar rentang sejarah, enklave-enklave buatan 
manusia ini tetap sangat kecil, dikelilingi oleh hamparan alam 
yang tak tersentuh. Permukaan Bumi memiliki luas sekiar 510 juta 
kilometer persegi, 155 juta di antaranya berupa daratan. Sampai 
dengan 1400 M, mayoritas besar petani beserta tumbuhan dan 
binatang-binatang mereka, terhimpun dalam area hanya 11 juta 
kilometer persegi—2 persen dari permukaan Bumi.2
 Area lain 
di mana pun terlalu dingin, terlalu panas, terlalu kering, terlalu 
basah, yang tidak cocok untuk pertanian. Dalam irisan mungil 
2 persen dari permukaan Bumi inilah sejarah berkembang.
Orang sulit meninggalkan pulau-pulau artifisial mereka. 
Mereka tidak bisa meninggalkan rumah-rumah, ladang-ladang, 
dan lumbung-lumbung tanpa risiko kehilangan yang mengerikan. 
Lebih dari itu, dari waktu ke waktu mereka mengakumulasi 
semakin banyak dan semakin banyak barang—benda-benda, 
yang tak mudah diangkut, yang mengikat mereka. Para petani 
kuno bagi kita mungkin miskin dan kotor, tetapi satu keluarga 
biasa memiliki lebih banyak artefak dari satu suku pengembara.
Datangnya Masa Depan
Sementara ruang agrikultur menyempit, masa bercocok tanam 
mengembang. Para pengembara biasanya tidak menghabiskan 
waktu untuk memikirkan pekan depan atau bulan depan. Para 
petani mengumbar imajinasinya hingga ke tahun-tahun dan 
dekade-dekade pada masa depan.
Para pengembara tidak memikirkan masa depan karena 
mereka hidup dari tangan dan mulut dan hanya menyimpan 
makanan atau mengumpulkan harta benda dengan susah payah. 
Tentu saja, mereka jelas terlibat dalam suatu perencanaan yang 
maju. Para perancang seni Gua Chauvet, Lascaux, dan Altamira 
hampir pasti meniatkan itu semua bertahan dari generasi ke 
genarsi. Aliansi-aliansi sosial dan persaingan politik adalah 
urusan-urusan jangka panjang. Sering butuh beberapa tahun untuk 
melunasi dukungan atau membalas kesalahan. Bagaimanapun, 
dalam ekonomi penghidupan yang bergantung pada berburu 
dan mengumpulkan, tidak ada batas yang jelas tentang rencana 
jangka panjang semacam itu. Secara paradoks, itu menyelamatkan 
para pengembara dari banyak kecemasan. Tidak ada gunanya 
khawatir tentang hal-hal yang tidak bisa mereka pengaruhi.
Revolusi Agrikultur menjadikan masa depan jauh lebih penting 
dari yang pernah terjadi sebelumnya. Para petani harus selalu 
memikirkan masa depan dan harus bekerja untuknya. Ekonomi 
agrikultur didasarkan pada siklus musim produksi, yang berisi 
bulan-bulan panjang penanaman diikuti periode panen puncak 
yang singkat. Pada malam setelah akhir panen yang berlimpah, para petani mungkin merayakan segala yang mereka capai, tetapi 
dalam sepekan atau lebih mereka kembali lagi bangun pagi untuk 
bekerja sepanjang hari di ladang. Meskipun ada makanan yang 
cukup untuk hari ini, pekan depan, dan bahkan bulan depan, 
mereka harus cemas tentang tahun depan dan tahun sesudahnya.
Kecemasan akan masa depan berakar tidak hanya pada 
siklus-siklus musim produksi, tetapi juga pada ketidakpastian 
fundamental agrikultur. Karena sebagian besar desa hidup dari 
menaman tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang domestikasi 
dengan keragaman yang sangat terbatas, nasib mereka tergantung 
pada kekeringan, banjir, dan wabah. Para petani harus 
memproduksi lebih banyak dari yang mereka konsumsi agar 
bisa menyimpan cadangan-cadangan. Tanpa benih di lumbung, 
guci-guci minyak zaitun dalam tanah, keju di dapur, dan sosis 
yang menggantung dari kasau, mereka bisa kelaparan pada 
tahun-tahun buruk. Dan, tahun-tahun buruk pasti datang, cepat 
atau lambat. Seorang petani hidup dengan asumsi bahwa hidup 
tak selamanya berjalan dengan baik.
Akibatnya, sejak masa paling awal agrikultur, kecemasan 
tentang masa depan menjadi pemain utama dalam teater pikiran 
manusia. Ketika petani bergantung pada hujan untuk mengairi 
ladang, permulaan musim hujan berarti setiap pagi petani menatap 
horizon, mengendus angin, dan menebarkan pandangan matanya. 
Apakah itu awan? Akankah hujan turun tepat waktu? Apakah 
akan cukup? Apakah badai besar menyapu benih dari ladang 
dan mengaduk-aduk tanaman? Sementara itu, di lembah-lembah 
Sungai Eufrat, Indus, dan Kuning, para petani lain tak kalah 
hebohnya memantau ketinggian air. Mereka membutuhkan air 
naik untuk menyebarkan kesuburan tanah bagian atas dataran 
tinggi ke bawah, dan membuat sistem irigasi besar mereka terisi 
air. Namun, banjir yang meluap terlalu tinggi atau datang pada 
saat yang tidak tepat bisa menghancurkan ladang mereka, sama 
buruknya dengan kekeringan.
Para petani khawatir dengan masa depan, bukan hanya 
karena banyak yang mereka khawatirkan, melainkan juga 
karena mereka bisa melakukan sesuatu terhadapnya. Mereka 
bisa membersihkan ladang lain, menggali saluran irigasi lain, menyemai lebih banyak bibit. Petani yang gelisah sama repotnya 
dan sama kerja kerasnya dengan semut pemanen pada musim 
panas, berkeringat untuk menanam pohon-pohon zaitun yang 
minyaknya bisa diperas oleh anak-anak dan cucu-cucu mereka, 
menunda makan makanan yang dipanen hari ini sampai musim 
dingin atau tahun berikutnya.
Stres bertani mengakibatkan dampak sangat jauh. Itu menjadi 
fondasi sistem politik dan sosial berskala besar. Sedihnya, para 
petani yang rajin hampir tidak pernah mencapai keamanan 
ekonomi pada masa depan yang mereka ukir melalui kerja 
keras pada masa kini. Di mana-mana, para penguasa dan elite 
bermunculan, hidup dari surplus makanan petani dan memberi 
mereka hanya bagian yang cukup untuk bertahan hidup.
Pengorbanan surplus makanan ini menghidupi politik, 
perang, seni, dan filsafat. Mereka membangun istana-istana, 
benteng-benteng, dan kuil-kuil. Sampai dengan era modern 
belakangan, lebih dari 90 persen manusia adalah petani yang 
bangun tidur pada pagi hari untuk mengolah tanah dengan 
keringat dari kening mereka. Lebihan hasil produksi mereka 
menghidupi minoritas elite—raja, pejabat pemerintah, tentara, 
pendeta, artis, dan pemikir—yang mengisi buku-buku sejarah. 
Sejarah adalah sesuatu yang dilakukan oleh sangat sedikit orang, 
sedangkan semua orang lainnya membajak sawah dan memikul 
kantong-kantong air.
Sebuah Tatanan yang Diimajinasikan
Surplus-surplus makanan yang diproduksi para petani, 
digabungkan dengan teknologi transportasi baru, pada akhirnya 
memungkinkan lebih banyak dan lebih banyak lagi orang yang 
berjejalan pertama-tama ke desa-desa, kemudian ke kota-kota 
kecil, dan akhirnya kota-kota besar, semua dipersatukan oleh 
kerajaan-kerajaan dan jaringan-jaringan komersial baru.
Akan tetapi, untuk bisa mengambil keuntungan dari peluang￾peluang baru ini, surplus-surplus makanan dan transportasi 
yang membaik tidaklah cukup. Fakta bahwa satu orang bisa menghidupi 1.000 orang di satu kota yang sama atau 1 juta 
orang di satu kerajaan yang sama tidak menjamin mereka bisa 
setuju tentang bagaimana membagi tanah dan air, bagaimana 
menyelesaikan pertikaian dan konflik, dan bagaimana bertindak 
pada masa-masa kekeringan atau perang. Dan, jika tidak ada 
kesepakatan yang bisa dicapai, percekcokan meluas, sekalipun 
gudang-gudang berlimpah. Bukan kekurangan makanan yang 
menyebabkan sebagian besar perang dan revolusi dalam sejarah. 
Revolusi Prancis digalang oleh para pengacara makmur, bukan 
oleh petani-petani yang kelaparan. Republik Romawi mencapai 
puncak kekuasaannya pada abad ke-1 M, ketika armada-armada 
laut dari seluruh Mediterania memperkaya orang-orang Romawi 
melampaui impian paling liar para leluhur mereka. Namun, 
pada masa kemakmuran maksimum itulah tatanan politik 
Romawi runtuh menjadi serangkaian perang saudara mematikan. 
Yugoslavia, pada 1991, memiliki sumber daya yang cukup untuk 
menghidupi semua penghuninya, dan masih terdisintegrasi dalam 
pertumpahan darah yang mengerikan. 
Problem dari akar bencana-bencana itu adalah bahwa manusia 
berevolusi selama jutaan tahun dalam kawanan-kawanan kecil 
berisi beberapa puluh individu saja. Beberapa milenium yang 
memisahkan Revolusi Agrikultur dari kemunculan kota-kota, 
kerajaan-kerajaan, dan imperium-imperium bukanlah waktu 
yang cukup untuk memberi ruang bagi bergulirnya kerja sama 
massal yang naluriah.
Meskipun tidak ada naluri biologis semacam itu, pada era 
pengembaraan, ratusan orang asing bisa bekerja sama berkat 
kesamaan mitos mereka. Namun, kerja sama ini longgar dan 
terbatas. Setiap kawanan Sapiens terus menempuh kehidupan 
independen dan mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan 
hidup masing-masing. Seorang sosiologis arkeologi yang hidup 
20.000 tahun lalu, yang tak punya pengetahuan tentang 
peristiwa-peristiwa setelah Revolusi Agrikultur, sangat mungkin 
menyimpulkan bahwa mitologi memiliki cakupan yang amat 
terbatas. Kisah-kisah tentang arwah leluhur dan benda keramat 
suku cukup kuat untuk membuat 500 orang berdagang kerang 
laut, merayakan perayaan aneh, dan ikut pasukan untuk menyapu bersih satu kawanan Neanderthal, tetapi tidak lebih dari itu. 
Mitologi, mungkin pikir sosiolog kuno tersebut, tidak mungkin 
bisa membuat jutaan orang asing bekerja sama dalam keseharian 
mereka.
Akan tetapi, ternyata itu salah. Mitos, sebagaimana yang 
terjadi, lebih kuat dari yang bisa dibayangkan oleh siapa 
pun. Ketika Revolusi Agrikultur membuka peluang-peluang 
terciptanya kota-kota padat dan imperium-imperium besar, orang 
menemukan cerita-cerita tentang dewa-dewa besar, tanah air 
dan perusahaan-perusahaan saham gabungan untuk memenuhi 
hubungan-hubungan sosial yang dibutuhkan. Sementara evolusi 
manusia merangkak sebagaimana biasa dalam kecepatan bekicot, 
imajinasi manusia membangun jaringan-jaringan kerja sama yang 
mencengangkan, tak seperti yang pernah terlihat di muka Bumi.
Pada sekitar 8500 SM permukiman-permukiman terbesar 
di dunia adalah desa-desa seperti Jericho, yang berisi beberapa 
ratus individu. Sampai dengan 7000 SM Kota Çatalhöyük di 
Anatolia berisi antara 5.000 sampai 10.000 individu. Mungkin 
itu permukiman terbesar di dunia pada masa itu. Dalam 
milenium ke-4 dan ke-5 SM, kota-kota dengan puluhan ribu 
penghuni bertebaran di Bulan Sabit Subur itu, dan masing-masing 
berkuasa atas desa-desa di dekatnya. Pada 3100 SM, segenap 
wilayah hilir Lembah Nil tersatukan ke dalam Kerajaan Mesir. 
Mungkin Fir’aun menguasai ribuan kilometer persegi dan ratusan 
ribu orang. Sekitar 2250 SM Sargon Yang Agung menyatukan 
imperium pertama, Akkadia. Kerajaan itu menaungi satu juta 
penduduk dan angkatan perang 5.400 tentara. Antara 1000 
SM dan 500 SM, mega-imperium pertama muncul di Timur 
Tengah: Imperium Assyria, Imperium Babylonia, dan Imperium 
Persia. Mereka menguasai berjuta-juta penduduk dan memiliki 
puluhan ribu tentara.
Pada 221 SM, Dinasti Qin menyatukan China, dan tak lama 
sesudahnya Romawi menyatukan lembah Mediterania. Pajak yang 
dibebankan pada 40 juta penduduk Qin dibayar untuk mendanai 
angkatan perang berkekuatan ratusan ribu tentara dan birokrasi 
kompleks yang mempekerjakan lebih dari 100.000 pejabat. 
Imperium Romawi pada masa kejayaannya menghimpun pajak 

134/530
dari 100 juta penduduk. Pendapatan ini mendanai angkatan 
perang 250.000 sampai 500.000 tentara, jaringan jalan yang 
masih digunakan 1.500 tahun kemudian, dan teater-teater serta 
amfiteater yang menampung penonton hingga hari ini.
Jelas mengesankan, tetapi kita tidak boleh melabuhkan ilusi 
optimis tentang “jaringan kerja sama massal” yang beroperasi di 
Mesir era Fir’aun atau Imperium Romawi. “Kerja sama” terdengar 
sangat altruistik, tetapi itu tidak selalu sukarela dan terkadang 
egaliter. Sebagian besar jaringan kerja sama manusia digerakkan 
menuju penindasan dan eksploitasi. Para petani membayar 
untuk kerja sama yang berkembang itu dengan surplus-surplus
makanan mereka yang sangat berharga, yang menyengsarakan 
ketika pengumpul pajak menyapu bersih seluruh hasil kerja keras 
setahun penuh dengan satu goresan pena kerajaan. Amfiteater 
terkenal Romawi sering dibangun oleh budak-budak sehingga 
orang-orang kaya penganggur Romawi bisa menonton budak￾budak lain terlibat dalam pertarungan gladiator yang kejam. 
Bahkan, penjara dan kamp-kamp konsentrasi adalah jaringan 
kerja sama, dan hanya bisa berfungsi karena ribuan orang asing 
berhasil mengoordinasi aksi-aksi mereka.
Semua jaringan kerja sama ini—dari kota-kota Mesopotamia 
kuno sampai imperium Qin dan Romawi—adalah “tatanan-tatanan 
yang diimajinasikan”. Norma-norma sosial yang memelihara 
mereka bukan didasarkan pada naluri-naluri bawaan maupun 
perkenalan-perkenalan personal, melainkan pada kepercayaan 
yang sama pada mitos.
Bagaimana mitos bisa menjaga imperium-imperium itu? Kita 
sudah membahas contoh semacam itu: Peugeot. Kini mari kita 
mencermati dua mitos paling terkenal dalam sejarah: Undang￾Undang Hammurabi dari 1776 SM, yang menjadi panduan kerja 
sama bagi ratusan ribu penduduk Babylonia kuno; dan Deklarasi 
Kemerdekaan Amerika pada 1776 M, yang kini masih menjadi 
panduan kerja sama bagi ratusan juta orang Amerika modern.
Pada 1776 SM, Babylon adalah kota terbesar di dunia. 
Imperium Babylonia mungkin yang terbesar di dunia, dengan 
lebih dari satu juta penduduk. Babylonia menguasai sebagian besar 
Mesopotamia, termasuk Irak modern dan bagian-bagian yang kini 
menjadi Suriah dan Iran. Raja Babylonia yang paling terkenal 
kini adalah Hammurabi. Kemasyhurannya terutama disebabkan 
oleh naskah yang memuat namanya, Undang-Undang Hammurabi. 
Ini adalah kumpulan undang-undang dan keputusan-keputusan 
yudisial yang tujuannya untuk menjadikan Hammurabi sebagai 
sosok raja teladan yang adil, menjadi dasar bagi sistem legal 
yang seragam di seluruh imperium Babylonia, dan mengajarkan 
kepada generasi-generasi masa depan tentang apa itu keadilan 
dan bagaimana seorang raja yang adil bertindak.
Generasi-generasi masa depan memperhatikan. Elite 
intelektual dan birokrasi Mesopotamia kuno mengundangkan 
naskah itu, dan ahli-ahli kitab suci terus menyalinnya jauh setelah 
Hammurabi meninggal dan imperiumnya hancur berkeping￾keping. Oleh karena itu, Undang-Undang Hammurabi menjadi 
sebuah sumber bagus untuk memahami tatanan sosial ideal 
Mesopotamia kuno.3
Naskah itu dimulai dengan pernyataan bahwa dewa Anu, 
Enlil, dan Marduk—dewa-dewa utama dalam keagamaan 
Mesopotamia—menunjuk Hammurabi “untuk menjaga keadilan 
di tanah ini, untuk melenyapkan orang fasik dan jahat, untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah”.4
 Naskah itu 
kemudian dilanjutkan dengan daftar sekitar 300 putusan, yang 
dibuat dengan rumusan “Jika begini dan begitu terjadi, maka 
putusannya adalah ....” Misalnya, hukum 196–199 dan 209–214 
yang berbunyi:
196. Jika seorang kalangan atas membutakan mata orang 
kalangan atas, mereka akan membutakan matanya.
197. Jika dia mematahkan tulang orang kalangan atas lainnya, 
mereka akan mematahkan tulangnya.
198. Jika dia membutakan mata orang biasa atau mematahkan 
tulang orang biasa, dia harus membayar 60 shekel perak.
199. Jika dia membutakan mata seorang budak milik orang 
kalangan atas atau mematahkan tulang seorang budak 
milik orang kalangan atas, dia harus membayar 1,5 nilai 
budak (dalam perak).5
209. Jika seorang dari kalangan atas menyerang seorang 
perempuan dari kelas atas dan menyebabkan keguguran 
janin, dia harus membayar 10 shekel untuk janinnya.
210. Jika perempuan itu mati, mereka akan membunuh 
putrinya.
211. Jika dia menyebabkan perempuan dari kalangan biasa 
keguguran janin dengan pemukulan, dia harus membayar 
5 shekel perak.
212. Jika perempuan itu mati, dia harus membayar 30 shekel 
perak.
213. Jika dia menyerang budak perempuan milik orang 
kalangan atas dan menyebabkan keguguran janin, dia 
harus membayar 2 shekel perak.
214. Jika perempuan itu mati, dia harus membayar 20 shekel 
perak.6
Setelah membuat daftar hukuman itu, Hammurabi kembali 
mendeklarasikan bahwa
Ini adalah keputusan-keputusan yang adil yang ditetapkan oleh 
Hammurabi, raja yang cakap, dan dengan demikian mengarahkan 
negeri ini ke jalan kebenaran dan jalan hidup yang benar ... 
Saya Hammurabi, raja yang mulia. Saya tidak gegabah atau abai 
terhadap manusia, menganugerahkan kepedulian saya atas nama 
Dewa Enlil, dan bersama mereka yang bersama Dewa Marduk 
mengutus saya.7
Undang-Undang Hammurabi menegaskan bahwa tatanan 
sosial Babylonia berakar pada prinsip-prinsip keadilan universal 
dan abadi, yang didiktekan oleh para dewa. Prinsip hierarki 
adalah hal paling penting. Menurut undang-undang itu, orang 
dibagi menjadi dua gender dan tiga kelas: kelas atas, orang 
biasa, dan budak. Para anggota tiap gender dan kelas memiliki 
nilai yang berbeda-beda. Hidup perempuan biasa bernilai 30 
shekel perak dan budak perempuan 20 shekel perak, sementara 
mata orang laki-laki biasa 60 shekel perak. Undang-undang 
itu juga menetapkan hierarki ketat dalam keluarga, antara lain 
anak-anak bukanlah pribadi yang merdeka, melainkan hak milik 
orangtua mereka. Oleh karena itu, jika seorang pria kalangan atas 
membunuh putri pria kalangan atas lainnya, putri pembunuh akan 
dibunuh sebagai hukuman. Bagi kita terasa aneh bahwa pembunuh 
tetap tak tersentuh sementara putrinya yang tak berdosa dibunuh. 
Namun, bagi Hammurabi dan masyarakat Babylonia ini keadilan 
yang sempurna. Undang-Undang Hammurabi didasarkan pada 
premis bahwa jika seluruh rakyat raja menerima posisi mereka 
dalam hierarki dan bertindak sesuai posisinya, imperium 
berpenghuni jutaan orang itu akan mampu bekerja sama secara 
efektif. Maka, masyarakat mereka bisa memproduksi makanan 
yang cukup bagi anggotanya, mendistribusikannya secara efisien, 
melindungi mereka dari musuh, dan memperluas teritori agar 
dapat memperoleh kekayaan lebih banyak dan jaminan yang 
lebih baik.
Sekitar 3.500 tahun setelah kematian Hammurabi, para 
penduduk koloni ketiga belas Inggris di Amerika Utara merasakan 
bahwa raja Inggris memperlakukan mereka secara tidak adil. Para 
perwakilan mereka berkumpul di Kota Philadelphia, dan pada 4 Juli 1776 koloni itu mendeklarasikan bahwa para penduduk 
tidak lagi berada di bawah kekuasaan Mahkota Inggris. Deklarasi 
Kemerdekaan menyatakan prinsip-prinsip keadilan yang universal 
dan abadi, yang, sebagaimana Undang-Undang Hammurabi, 
terilhami oleh kekuasaan Tuhan. Meskipun demikian, prinsip 
paling penting yang diajarkan oleh dewa Amerika sedikit berbeda 
dari prinsip yang diajarkan oleh dewa-dewa Babylonia. Deklarasi 
Kemerdekaan Amerika menegaskan bahwa:
Kami berpendirian kebenaran ini ada dengan sendirinya, bahwa 
semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dibekali oleh 
Pencipta dengan hak-hak yang tak bisa diambil, antara lain hak 
hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan.
 Seperti halnya Undang-Undang Hammurabi, dokumen 
pendirian Amerika menjanjikan bahwa jika tindakan manusia 
sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang sakral, jutaan orang akan 
bisa bekerja sama secara efektif, hidup aman dan damai dalam 
masyarakat yang adil dan makmur. Seperti halnya Undang-Undang 
Hammurabi, Deklarasi Kemerdekaan Amerika bukan hanya 
sebuah dokumen yang terikat waktu dan tempat—ia diterima 
oleh generasi-generasi masa depan juga. Selama lebih dari 200 
tahun, anak-anak sekolah Amerika menyalin dan mempelajarinya 
dengan sepenuh hati.
Kedua naskah itu menyodorkan kepada kita sebuah dilema 
yang jelas. Keduanya, yakni Undang-Undang Hammurabi 
dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, mengklaim pernyataan 
prinsip-prinsip keadilan universal dan abadi, tetapi menurut 
orang Amerika semua orang setara, sementara menurut orang 
Babylonia setiap orang sudah pasti tidak setara. Tentu saja, orang 
Amerika akan mengatakan bahwa merekalah yang benar, dan 
Hammurabi salah. Secara alamiah, Hammurabi akan menyergah 
dialah yang benar, dan orang Amerika salah. Faktanya, keduanya 
salah. Hammurabi dan para Pendiri Amerika sama-sama 
mengimajinasikan sebuah realitas yang diatur oleh prinsip-prinsip 
keadilan yang universal dan kekal, seperti kesetaraan atau hierarki. 
Padahal, satu-satunya tempat yang memungkinkan prinsip-prinsip 
uniersal semacam itu adalah dalam imajinasi subur Sapiens, dan 
dalam mitos yang mereka ciptakan dan sebarkan. Prinsip-prinsip 
ini tidak punya validitas objektif.
Mudah bagi kita untuk menerima bahwa pembagian orang 
menjadi “kelas atas” dan “orang biasa” adalah sebuah isapan 
jempol imajinasi. Namun, ide bahwa seluruh manusia setara 
juga sebuah mitos. Dalam pengertian apa seluruh manusia setara 
dengan yang lainnya? Adakah realitas objektif, di luar imajinasi 
manusia, yang di dalamnya kita semua benar-benar setara? Apakah 
seluruh manusia setara dengan yang lainnya secara biologis? Mari 
kita coba menerjemahkan baris paling terkenal dari Deklarasi 
Kemerdekaan Amerika ke dalam terminologi biologis: 
Kami berpendirian kebenaran ini ada dengan sendirinya, bahwa 
semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dibekali oleh 
Pencipta dengan hak-hak pasti yang tak bisa diambil, antara lain 
hak hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan.
Menurut ilmu Biologi, orang tidak “diciptakan”. Mereka 
berevolusi. Dan, mereka pasti tidak berevolusi untuk menjadi 
“setara”. Ide kesetaraan terjalin erat dengan ide penciptaan. 
Orang-orang Amerika mendapatkan ide kesetaraan dari Kristen, 
yang mengajarkan bahwa setiap orang memiliki jiwa ciptaan 
ilahi, dan seluruh jiwa setara di hadapan Tuhan. Namun, jika 
kita tidak memercayai mitos Kristen tentang Tuhan, penciptaan, 
dan jiwa, lalu apa maknanya bahwa setiap orang “setara”? 
Evolusi didasarkan pada perbedaan, bukan pada kesetaraan. 
Setiap orang membawa kode genetik yang berbeda-beda, dan 
terpapar sejak lahir pada pengaruh-pengaruh lingkungan yang 
berbeda-beda pula. Ini menyebabkan perkembangan kualitas 
yang berbeda-beda yang menjadikan peluang survival mereka 
juga berbeda-beda. Oleh karena itu, “diciptakan setara”, harus 
diterjemahkan menjadi “berevolusi secara berbeda”. 
Sebagaimana orang-orang tidak pernah diciptakan, maka 
demikian pula, menurut ilmu Biologi, tidak ada “Pencipta” 
yang “membekali” mereka dengan apa pun. Hanya ada proses 
evolusi yang buta, tanpa tujuan apa pun, yang mengarah pada 
kelahiran individu-individu. “Dibekali oleh pencipta mereka” 
harus diterjemahkan begitu saja menjadi “dilahirkan
Demikian pula, tidak ada sesuatu yang dinamakan hak dalam 
biologi. Yang ada hanyalah organ-organ, kemampuan-kemampuan, 
dan karakteristik-karakteristik. Burung-burung terbang bukan 
karena mereka memiliki hak untuk terbang, melainkan karena 
mereka memiliki sayap. Dan, tidak benar bahwa organ-organ, 
kemampuan-kemampuan, dan karakteristik-karakteristik ini “tak 
bisa diambil”. Banyak dari mereka mengalami mutasi-mutasi yang 
konstan, dan bisa hilang sama sekali dari waktu ke waktu. Burung 
unta adalah burung yang kehilangan kemampuannya untuk 
terbang. Jadi, hak yang “tak bisa diambil” harus diterjemahkan 
menjadi “ciri-ciri yang bisa bermutasi”.
Dan, apa sesungguhnya karakteristik yang berevolusi pada 
manusia? “Kehidupan”, pasti. Namun, “kebebasan”? Tidak ada 
hal seperti itu dalam biologi. Sebagaimana kesetaraan, hak, 
dan liabilitas terbatas perusahaan, kebebasan adalah sesuatu 
yang diciptakan orang dan ada hanya dalam imajinasi mereka. 
Dari sudut pandang biologi, tidak ada artinya mengatakan 
bahwa manusia dalam masyarakat demokratis adalah bebas, 
sedangkan manusia dalam kediktatoran tidak bebas. Dan, 
bagaimana dengan “kebahagiaan”? Sejauh ini riset biologi gagal 
menyodorokan definisi yang jelas tentang kebahagiaan atau 
cara untuk mengukurnya secara objektif. Sebagian besar studi 
biologi mengakui hanya eksistensi kesenangan, yang lebih mudah 
didefinisikan dan diukur. Jadi, “kehidupan, kebebasan, dan 
pencarian kebahagiaan” harus diterjemahkan menjadi “kehidupan 
dan pencarian kesenangan”.
Maka, inilah garis dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika 
yang diterjemahkan ke dalam terminologi biologi:
Kami mengakui bahwa kebenaran untuk ada dengan sendirinya, 
bahwa semua manusia berevolusi secara berbeda, bahwa mereka 
dilahirkan dengan karakteristik-karakteristik tertentu yang bisa 
bermutasi, dan bahwa di antaranya adalah kehidupan dan 
pencarian kebahagiaan.
Para pendukung kesetaraan hak-hak manusia mungkin 
jengkel dengan garis pemikiran ini. Respons mereka mungkin 
begini, “Kami tahu bahwa orang-orang memang tidak setara secara biologis! Namun, jika kita yakin bahwa kita semua setara 
secara esensi, itu akan memungkinkan kita menciptakan sebuah 
masyarakat yang stabil dan makmur”. Saya tak mau menentang 
argumentasi itu. Inilah sesungguhnya yang saya maksud dengan 
“tatanan yang diimajinasikan”. Kita memercayai suatu tatanan 
tertentu bukan karena secara objektif benar, melainkan karena 
memercayainya memungkinkan kita bekerja sama secara efektif 
dan membangun masyarakat yang lebih baik. Tatanan yang 
diimajinasikan bukanlah konspirasi jahat atau fatamorgana yang 
sia-sia, melainkan itulah satu-satunya cara manusia dalam jumlah 
besar bisa bekerja sama secara efektif. Namun, camkan bahwa 
Hammurabi mungkin akan mempertahankan prinsip hierarkinya 
dengan menggunakan logika yang sama: “Saya tahu bahwa 
orang-orang kalangan atas, orang biasa, dan budak, memang 
tidak secara inheren jenis orang berbeda-beda. Namun, jika 
kita yakin bahwa mereka berbeda, itu akan memungkinkan kita 
menciptakan masyarakat yang stabil dan makmur”.
Penganut Sejati
Tentu tak sedikit pembaca menggeliang-geliut di atas kursi 
sewaktu membaca paragraf-paragraf tadi. Sebagian besar kita 
pada masa kini memang dididik untuk bereaksi seperti itu. 
Mudah untuk menerima bahwa Undang-Undang Hammurabi 
adalah sebuah mitos, tetapi kita tidak ingin mendengar bahwa 
hak asasi manusia juga adalah mitos. Jika orang-orang menyadari 
bahwa hak asasi manusia hanya ada dalam imajinasi, adakah 
bahaya yang menyebabkan masyarakat kita runtuh? Voltaire 
berkata tentang Tuhan bahwa “tidak ada Tuhan, tetapi jangan 
katakan kepada pelayan saya kalau tak ingin dia membunuh 
saya malam ini”. Hammurabi mungkin akan berkata hal yang 
sama tentang prinsip-prinsip hierarkinya, juga Thomas Jefferson 
tentang hak asasi manusia. Homo sapiens tak punya hak-hak 
alamiah, sebagaimana laba-laba, hiena dan simpanse juga tak 
punya hak-hak alamiah. Namun, jangan katakan kepada para 
pelayan kami kalau tak ingin mereka membunuh kami malam ini.
Ketakutan seperti itu bisa dibenarkan. Sebuah tatanan natural 
adalah tatanan yang stabil. Tak ada peluang bahwa gravitasi 
akan berhenti berfungsi besok, bahkan jika orang-orang berhenti 
memercayainya. Sebaliknya, sebuah tatanan yang diimajinasikan 
selalu berisiko runtuh karena ia tergantung pada mitos, dan mitos 
musnah begitu orang berhenti memercayainya. Demi mengawal 
sebuah tatanan yang diimajinasikan, upaya-upaya terus-menerus 
dan keras wajib dilakukan. Sebagian dari upaya ini mengambil 
bentuk kekerasan dan kekejaman. Angkatan perang, pasukan 
polisi, pengadilan, dan penjara terus bekerja memaksa orang￾orang untuk bertindak sesuai dengan tatanan yang diimajinasikan. 
Jika seorang Babylonia kuno membutakan tetangganya, kekerasan 
biasanya diperlukan dalam rangka menegakkan hukum “mata 
dibalas mata”. Ketika pada 1860 mayoritas penduduk Amerika 
menyimpulkan bahwa budak-budak Afrika adalah manusia dan 
karena itu harus menikmati hak kebebasan, dibutuhkan perang 
saudara yang berdarah-darah untuk membuat negara-negara 
bagian di Selatan tunduk patuh.
Meskipun demikian, sebuah tatanan yang diimajinasikan tidak 
hanya bisa dipelihara dengan kekerasan. Ia juga membutuhkan 
penganut sejati. Pangeran Talleyrand, yang memulai kariernya 
yang mirip bunglon di bawah Louis XVI, belakangan mengabdi 
kepada rezim revolusioner dan Napoleonik, dan membelotkan 
kesetiaannya pada masa akhir kehidupan dengan bekerja 
untuk monarki yang dipulihkan. Ia merangkum dekade-dekade 
pengalamannya dalam pemerintahan dengan mengatakan, bahwa 
“Anda bisa melakukan banyak hal dengan bayonet, tetapi agak 
tidak nyaman untuk duduk di atasnya”. Satu orang pendeta 
sering kali bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan 
oleh 100 tentara—jauh lebih murah dan efektif. Lebih dari itu, 
seberapa pun efisiennya bayonet, tetap harus ada orang yang 
menggunakannya. Mengapa harus tentara, sipir, hakim, dan 
polisi yang mempertahankan tatanan yang diimajinasikan, yang 
tidak mereka yakini? Dari semua aktivitas kolektif manusia, 
satu yang paling sulit diorganisasi adalah kekerasan. Untuk 
mengatakan bahwa sebuah tatanan sosial dipertahankan dengan 
kekuatan militer langsung menimbulkan pertanyaan: Apa yang mempertahankan tatanan militer? Tidak mungkin mengorganisasi 
sebuah angkatan hanya dengan kekerasan semata. Paling tidak, 
para komandan dan tentara harus benar-benar memercayai 
sesuatu, entah itu Tuhan, kehormatan, tanah air, kejantanan, 
atau uang.
Ada satu pertanyaan yang lebih menarik, yakni tentang 
mereka yang berdiri di puncak piramida sosial. Mengapa mereka 
ingin menegakkan tatanan yang diimajinasikan jika mereka sendiri 
tidak memercayainya? Cukup lazim untuk memandang bahwa 
elite melakukan itu karena keserakahan sinis. Namun, seorang 
sinis yang tak meyakini apa pun tak mungkin menjadi serakah. 
Tak banyak hal untuk memenuhi kebutuhan biologis objektif 
Homo sapiens. Setelah kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi, 
lebih banyak uang akan digunakan untuk membangun piramida, 
berlibur keliling dunia, mendanai kampanye pemilihan umum, 
mendanai organisasi teroris favorit, atau berinvestasi di pasar 
saham dan menghasilkan uang lebih banyak—yang kesemuanya 
adalah aktivitas-aktivitas yang pada akhirnya tak berarti apa-apa 
bagi seorang sinis sejati. Diogenes, filsuf Yunani yang menciptakan 
aliran Sinis, hidup dalam sebuah tong. Ketika Alexander Yang 
Agung suatu ketika mengunjungi Diogenes saat dia bersantai di 
bawah terpaan sinar Matahari, dan bertanya apakah ada yang bisa 
dia lakukan untuknya, filsuf sinis itu menjawab sang penakluk 
adidaya itu, “Ya, ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk 
saya. Tolong bergeser sedikit ke samping. Anda menghalangi 
sinar Matahari.”
Inilah kenapa kaum sinis tidak membangun imperium 
dan mengapa sebuah tatanan yang diimajinasikan hanya bisa 
dipertahankan jika bagian-bagian besar dari populasi—dan 
terutama bagian-bagian besar elite dan pasukan keamanannya—
benar-benar memercayainya. Kristen tidak akan bertahan 2.000 
tahun kalau mayoritas uskup dan pendeta tak mau memercayai 
Kristus. Demokrasi Amerika tidak akan bertahan 250 tahun jika 
mayoritas presiden dan anggota Kongres tidak mau meyakini 
hak asasi manusia. Sistem ekonomi modern tidak akan bertahan 
sehari jika mayoritas investor dan bankir tidak mau meyakini 
kapitalisme.
Bagaimana Anda membuat orang meyakini suatu tatanan yang 
diimajinasikan seperti Kristen, demokrasi, atau kapitalisme? 
Pertama, Anda tidak pernah mengakui bahwa tatanan itu adalah 
imajinasi. Anda selalu menekankan bahwa tatanan-tatanan 
yang mempertahankan masyarakat adalah realitas objektif yang 
diciptakan dewa-dewa besar atau oleh hukum alam. Orang-orang 
tidak setara bukan karena Hammurabi mengatakan demikian, 
melainkan karena Enlil dan Marduk memutuskannya. Orang￾orang setara bukan karena Thomas Jefferson mengatakan 
demikian, melainkan karena Tuhan menciptakan demikian. Pasar 
bebas adalah sistem ekonomi terbaik bukan karena Adam Smith 
mengatakan demikian, melainkan karena ini adalah hukum alam 
yang tak bisa berubah. Anda juga mengedukasi orang-orang 
dengan bersungguh-sungguh. Sejak saat mereka dilahirkan, Anda 
terus-menerus mengingatkan mereka tentang prinsip-prinsip 
tatanan yang diimajinasikan, yang digabungkan dengan apa saja 
dan segala hal. Mereka digabungkan menjadi dongeng, drama, 
lukisan, lagu, etiket, propaganda politik, arsitektur, resep, dan 
busana. Misalnya, kini orang meyakini kesetaraan, maka menjadi 
pantas kalau anak-anak orang kaya mengenakan jins, yang 
awalnya adalah pakaian kelas pekerja. Pada Abad Pertengahan 
orang-orang meyakini pembagian-pembagian kelas sehingga 
tidak ada bangsawan muda yang mengenakan jubah petani. Pada 
masa itu, mendapat sapaan “Tuan” atau “Nyonya” adalah hak 
istimewa yang dikhususkan bagi kaum bangsawan, dan sering 
dibeli dengan darah. Kini seluruh korespondensi yang sopan, 
terlepas dari siapa pun penerimanya, dimulai dengan “Yang 
Terhormat Tuan atau Nyonya”.
Ilmu kemanusiaan dan sosial mengerahkan sebagian besar 
energinya untuk menjelaskan secara tepat bagaimana tatanan 
yang diimajinasikan itu dijalin menjadi permadani kehidupan. 
Dalam ruang terbatas yang kita miliki, kita hanya bisa menoreh 
permukaan. Ada tiga faktor utama yang menghalangi orang 
menyadari bahwa tatanan yang mengatur kehidupan mereka 
hanya ada dalam imajinasi:
a. Tatanan yang diimajinasikan ditempelkan ke dunia material. 
Meskipun tatanan yang diimajinasikan hanya ada dalam pikiran 
kita, ia bisa dijalin menjadi realitas material di sekitar kita, dan 
bahkan dipasang di batu. Sebagian besar orang Barat sekarang 
memercayai individualisme. Mereka percaya bahwa setiap 
manusia adalah seorang individu, yang nilainya tidak tergantung 
pada isi pikiran orang lain tentang dia. Dalam diri setiap kita 
ada pancaran sinar gemilang yang memberi nilai dan arti bagi 
hidup kita. Di sekolah-sekolah modern Barat, para guru dan 
orangtua mengajarkan kepada anak-anak bahwa jika teman-teman 
sekelas mempermainkan mereka, mereka harus mengabaikannya. 
Hanya mereka sendiri, bukan orang lain, yang tahu nilai mereka 
yang sejati.
Dalam arsitektur modern, mitos ini melompat keluar dari 
imajinasi untuk mengambil bentuk dalam batu dan lesung. 
Rumah modern dibagi menjadi banyak kamar sehingga setiap 
anak bisa memiliki ruang privat, tersembunyi dari pandangan, 
untuk memberikan otonomi maksimum. Kamar privat itu hampir 
selalu punya sebuah pintu, dan dalam banyak rumah tangga, 
anak dibenarkan menutup, dan mungkin mengunci pintu itu. 
Bahkan, orangtua dilarang memasukinya tanpa mengetuk dan 
meminta izin. Kamar itu dihiasi sesuai dengan keinginan anak, 
dengan poster-poster bintang rock di dinding dan kaus kaki 
kotor di lantai. Seseorang yang tumbuh dalam ruang seperti itu 
tidak bisa tidak membayangkan diri sebagai “seorang individu”, 
nilai dirinya yang sejati memancar dari dalam, bukan dari 
luar. Kaum bangsawan abad pertengahan tidak memercayai 
individualisme. Nilai seseorang ditentukan oleh tempat mereka 
dalam hierarki sosial dan oleh apa yang orang lain katakan 
tentang mereka. Ditertawai adalah penghinaan mengerikan. 
Para bangsawan abad pertengahan mengajarkan kepada anak￾anak mereka untuk melindungi nama baik dengan harga apa 
pun. Sebagaimana individualisme modern, sistem nilai abad 
pertengahan meninggalkan imajinasi itu dan termanifestasi dalam 
batu kastel-kastel. Kastel jarang berisi kamar-kamar privat untuk 
anak-anak (atau siapa pun yang lain, dalam hal ini). Anak remaja 
laki-laki dari seorang baron abad pertengahan tidak memiliki 
kamar privat di lantai dua kastel, dengan poster-poster Richard 
the Lionheart dan King Arthur di dinding serta pintu yang 
terkunci sehingga orangtua tidak dibolehkan membukanya. Dia 
tidur bersama banyak pemuda lain di sebuah ruang besar. Ia 
selalu ditampilkan dan selalu harus memperhatikan apa yang 
orang lihat dan katakan. Seseorang yang tumbuh dalam kondisi 
semacam itu secara alamiah menyimpulkan bahwa nilai sejati 
seorang pria ditentukan oleh tempatnya dalam hierarki sosial 
dan oleh apa yang dikatakan orang tentang dirinya.8
b. Tatatan yang diimajinasikan membentuk hasrat kita. Sebagian 
besar orang tidak ingin menerima bahwa tatanan yang mengatur 
kehidupan mereka adalah imajiner, tetapi faktanya setiap orang 
dilahirkan dalam sebuah tatanan yang diimajinasikan, yang sudah 
ada sebelumnya, dan hasratnya dibentuk sejak lahir oleh mitos￾mitos dominan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, hasrat￾hasrat personal kita menjadi pertahanan yang paling penting 
dari tatanan yang diimajinasikan tersebut.
Misalnya, hasrat paling menonjol dari orang Barat masa kini 
dibentuk oleh mitos-mistos romantik, nasionalis, kapitalis, dan 
humanis yang sudah ada selama berabad-abad. Orang-orang yang 
berteman saling menasihati, “Ikuti kata hatimu”. Namun, hati 
adalah agen ganda yang biasanya mengambil instruksi dari mitos￾mitos dominan yang berlaku pada masa itu, dan rekomendasi 
“Ikuti kata hatimu” ditanamkan dalam pikiran kita oleh sebuah 
kombinasi mitos-mitos Romantik abad ke-19 dan mitos-mitos 
konsumeris abad ke-20. Perusahaan Coca Cola, misalnya, telah 
memasarkan Diet Coke ke seluruh dunia dengan slogan, “Diet 
Coke. Lakukan apa yang terasa enak”.
Bahkan, apa yang dianggap orang sebagai hasrat paling 
personal biasanya diprogram oleh tatanan yang diimajinasikan. 
Mari perhatikan, misalnya, hasrat populer untuk berlibur ke luar 
negeri. Tidak ada yang natural atau jelas dalam hal ini. Seekor 
simpanse pejantan alfa tidak akan pernah berpikir menggunakan 
kekuasaannya untuk pergi berlibur ke teritori kawanan simpanse 
tetangganya. Elite Mesir kuno menghabiskan harta bendanya 
untuk membangun piramida dan memumi mayat-mayat mereka, tetapi tak ada di antara mereka yang berpikir tentang berbelanja 
di Babylon atau liburan main ski di Phonenicia. Orang-orang 
masa kini menghabiskan banyak uang untuk berlibur ke luar 
negeri karena mereka adalah penganut sejati mitos konsumerisme 
romantik.
Romantisisme mengatakan kepada kita bahwa dalam rangka 
menciptakan sebagian besar potensi kemanusiaan, kita perlu 
memiliki sebanyak mungkin pengalaman yang berbeda. Kita 
harus membuka diri pada spektrum emosi yang luas; kita 
harus mencoba berbagai macam hubungan; kita harus mencoba 
makanan-makanan yang berbeda; kita harus belajar menghargai 
gaya-gaya musik yang berbeda-beda. Salah satu cara terbaik untuk 
melakukan semua itu adalah membebaskan diri dari rutinitas 
keseharian kita, meninggalkan sementara lingkungan yang kita 
kenal, dan pergi ke tempat-tempat yang jauh, di mana kita 
bisa “mengalami” budaya, aroma, citarasa, dan norma-norma 
orang lain. Kita mendengar lagi dan lagi mitos-mitos romantik 
tentang “betapa sebuah pengalaman baru membuka mata kita 
dan mengubah hidup kita”.
Konsumerisme mengatakan kepada kita bahwa untuk menjadi 
bahagia kita harus mengonsumsi sebanyak mungkin produk dan 
jasa. Jika kita merasa bahwa sesuatu hilang atau tidak cukup 
tepat, maka kita mungkin perlu membeli sebuah produk (mobil, 
pakaian baru, makanan organik) atau jasa (pembenahan rumah, 
terapi hubungan, kelas yoga). Setiap iklan televisi adalah legenda 
kecil lain tentang betapa mengonsumsi produk atau jasa tertentu 
akan membut hidup menjadi lebih baik.
Romantisisme, yang mendorong keragaman, bercampur 
secara sempurna dengan konsumerisme. Perkawinan keduanya 
melahirkan “pasar pengalaman yang tak terbatas”, yang di 
atasnya industri pariwisata modern berpijak. Industri pariwisata 
tidak menjual tiket penerbangan dan kamar hotel. Ia menjual 
pengalaman-pengalaman. Paris bukan sebuah kota, India juga 
bukan sebuah negara—keduanya adalah pengalaman-pengalaman, 
yang dengan mengonsumsinya diharapkan dapat meluaskan 
horizon kita, mencukupkan potensi kemanusiaan kita, dan 
membuat kita menjadi lebih berbahagia. Akibatnya, ketika hubungan antara seorang miliuner dan istrinya akan melewati 
jalan terjal, dia membawa istrinya ikut perjalanan mahal ke Paris. 
Perjalanan itu bukan sebuah refleksi suatu hasrat yang independen, 
melainkan sebuah keyakinan yang bergairah pada mitos-mitos 
konsumerisme romantik. Seorang pria kaya di Mesir kuno tidak 
akan pernah mengimpikan mengatasi krisis hubungan dengan 
membawa istrinya berlibur ke Babylon. Namun, dia mungkin 
membangun makam mewah yang selalu diidam-idamkan oleh 
sang istri.
Sebagaimana elite Mesir kuno, sebagian besar di kebanyakan 
budaya mendedikasikan hidup mereka untuk membangun 
piramida. Hanya nama-nama, bentuk-bentuk, dan ukuran-ukuran 
piramida yang berbeda antara satu budaya dan budaya lainnya. 
Bentuknya, misalnya, bisa berupa sebuah penginapan pinggiran 
kota dengan kolam renang dan halaman rumput hijau, atau 
rumah mewah dengan pemandangan yang memikat. Sedikit 
yang mempertanyakan mitos-mitos yang menyebabkan kita 
menempatkan hasrat akan piramida menjadi yang paling utama.
c. Tatanan yang diimajinasikan bersifat intersubjektif. Andaipun 
dengan kehebatan manusia super saya berhasil membebaskan 
hasrat-hasrat personal dari cengkeraman tatanan yang 
diimajinasikan, saya hanyalah satu orang. Untuk mengubah 
tatanan yang diimajinasikan, saya harus meyakinkan jutaan 
orang asing untuk bekerja sama dengan saya. Karena tatanan 
yang diimajinasikan bukanlah sebuah tatanan subjektif yang 
ada dalam imajinasi saya sendiri—ia lebih merupakan tatanan 
intersubjektif, yang ada dalam imajinasi ribuan dan jutaan orang. 
Untuk memahami ini kita perlu memahami perbedaan antara 
“objektif”, “subjektif”, dan “intersubjektif”.
Sebuah fenomena objektif ada secara independen dari 
kesadaran manusia dan keyakinan manusia. Radioaktif, misalnya 
bukanlah sebuah mitos. Emisi radioaktif terjadi jauh sebelum 
orang menemukannya, dan berbahaya sekalipun jika orang￾orang tidak memercayai keberadaannya. Marie Curie, salah 
satu penemu radioaktif, tidak mengetahui saat tahun-tahun 
panjangnya mempelajari material radioaktif bahwa bahan itu bisa 
melukai tubuhnya. Meskipun dia tidak percaya radioaktif bisa 
membunuhnya, dia meninggal akibat anemia aplastik, sebuah 
penyakit yang disebabkan oleh paparan material radioaktif.
Fenomena subjektif adalah sesuatu yang keberadaannya 
bergantung pada kesadaran dan keyakinan satu individu. Ia hilang 
atau berubah jika individu tertentu mengubah keyakinannya. 
Banyak anak meyakini eksistensi teman imajiner yang tidak 
terlihat dan tak bisa didengar oleh semua orang lain di dunia. 
Teman imajiner ada semata-mata dalam kesadaran subjektif 
anak tersebut, dan ketika anak tumbuh dewasa dan berhenti 
memercayainya, teman imajiner itu pun hilang.
Fenomena intersubjektif adalah sesuatu yang ada dalam 
jaringan komunikasi yang menghubungkan kesadaran subjektif 
banyak individu. Jika satu individu mengubah keyakinannya, 
atau bahkan meninggal, maknanya tidak signifikan. Namun, jika 
sebagian besar individu dalam jaringan itu mati atau mengubah 
keyakinannya, fenomena intersubjektif akan bermutasi atau 
menghilang. Fenomena intersubjektif bukan penipuan jahat maupun kepura-puraan tak bermakna. Keberadaannya memang 
berbeda dengan fenomena fisik seperti radioaktif, tetapi 
dampaknya pada dunia masih tetap besar. Banyak pengendali 
sejarah paling penting bersifat intersubjektif: hukum uang, dewa, 
negara.
Peugeot, misalnya bukanlah teman imajiner dari CEO 
Peugeot. Perusahaan itu ada dalam imajinasi bersama jutaan 
orang. CEO memercayai eksistensi perusahaan itu karena dewan 
direkturnya juga memercayainya, sebagaimana banyak pengacara 
perusahaan, sekretaris di kantor, para kasir bank, dan para 
pialang di pasar saham, serta dealer-dealer mobil dari Prancis 
sampai Australia. Jika CEO sendiri tiba-tiba berhenti memercayai 
eksistensi Peugeot, dia dengan cepat akan mendarat di rumah 
sakit jiwa dan seseorang akan menduduki jabatannya.
Demikian pula, dolar, hak asasi manusia, dan Amerika 
Serikat ada dalam imajinasi bersama miliaran orang, dan tak 
seorang pun individu bisa mengancam eksistensinya. Jika saya 
sendirian berhenti memercayai dolar, hak asasi manusia, atau 
Amerika Serikat, tak akan berarti apa-apa. Tatanan-tatanan 
yang diimajinasikan ini bersifat intersubjektif sehingga untuk 
mengubahnya kita harus secara serempak mengubah kesadaran 
miliaran orang, sesuatu yang tidak mudah. Sebuah perubahan 
untuk ukuran sebesar itu hanya bisa dikerjakan dengan bantuan 
organisasi yang kompleks, seperti partai politik, gerakan ideologis, 
atau aliran keagamaan. Namun, dalam rangka membentuk 
organisasi yang kompleks semacam itu perlu meyakinkan banyak 
orang asing untuk mau bekerja sama satu dengan yang lain. 
Dan, ini hanya akan terjadi jika orang-orang asing tersebut 
memercayai mitos yang sama. Maka dari itu, untuk mengubah 
sebuah tatanan yang diimajinasikan, kita harus pertama-tama 
meyakini sebuah alternatif tatanan yang diimajinasikan.
Untuk menghilangkan Peugeot, misalnya, kita perlu 
mengimajinasikan sesuatu yang lebih kuat, seperti sistem hukum 
Prancis. Dalam rangka menghilangkan sistem hukum Prancis, 
kita perlu mengimajinasikan sesuatu yang lebih kuat lagi, seperti 
negara Prancis. Dan, jika kita ingin menghilangkannya juga, kita harus mengimajinasikan sesuatu yang jauh lebih kuat lagi.
Tidak ada jalan untuk membebaskan diri dari tatanan yang 
diimajinasikan. Ketika kita menghancurkan penjara kita, dan 
berlari menuju kebebasan, kita sesungguhnya berlari menuju 
halaman yang lebih luas dari penjara yang lebih besar.
Evolusi tidak membekali manusia dengan kemampuan untuk 
bermain sepak bola. Benar, ia memproduksi kaki untuk 
menendang, siku untuk menyikut, dan mulut untuk memaki, 
tetapi dengan semua itu yang bisa kita lakukan mungkin adalah 
latihan melakukan tendangan penalti sendiri. Untuk masuk ke 
sebuah pertandingan dengan orang asing yang kita temukan di 
halaman sekolah pada sore hari, kita tidak hanya harus bekerja 
secara terpadu dengan rekan satu tim yang mungkin belum 
pernah kita jumpai sebelumnya, tetapi kita juga harus tahu bahwa 
11 pemain di tim lawan bermain dengan aturan yang sama. 
Binatang lain yang melibatkan pihak asing dalam ritual agresi 
pada umumnya melakukan itu berdasarkan naluri—anak anjing 
di seluruh dunia memiliki aturan bermain pura-pura berkelahi 
yang tertanam kuat dalam gen mereka. Namun, manusia remaja 
tak punya gen untuk bermain sepak bola. Ide ini sepenuhnya 
imajiner, tetapi jika setiap orang punya pandangan demikian, 
kita semua bisa memainkan permainan itu.
Hal yang sama berlaku, dalam skala lebih besar, kerajaan￾kerajaan, gereja-gereja, dan jaringan perdagangan, dengan satu 
perbedaan penting. Aturan sepak bola relatif sederhana dan 
ringkas, sangat mirip dengan aturan kerja sama dalam sebuah 
kawanan pengembara atau desa kecil. Setiap pemain bisa dengan 
mudah menyimpannya dalam otak dan masih punya ruang untuk 
lagu-lagu, gambar-gambar, dan daftar belanja. Namun, dalam 
hal ini sistem-sistem besar yang bekerja sama melibatkan bukan 
hanya dua puluh dua, melainkan ribuan, bahkan jutaan manusia, 
membutuhkan penanganan dan penyimpanan informasi dalam jumlah sangat besar, jauh lebih besar dari yang bisa disimpan 
dan diproses oleh otak satu manusia.
Masyarakat-masyarakat besar yang ditemukan dalam 
beberapa spesies lain, seperti semut dan lebah, bersifat stabil 
dan lentur karena sebagian besar informasi yang dibutuhkan 
untuk mempertahankannya tersimpan dalam gen. Misalnya, 
satu larva lebah madu perempuan, bisa tumbuh untuk menjadi 
ratu atau pekerja, tergantung pada makanan yang diasupkan 
kepadanya. DNA-nya memprogram perilaku-perilaku yang 
diperlukan untuk kedua peran itu—entah itu etiket keratuan 
atau kerajinan proletar. Sarang lebah bisa menjadi sruktur sosial 
yang sangat kompleks, berisi banyak jenis pekerja yang berbeda￾beda—pemanen, perawat, dan pembersih, misalnya. Namun, 
sejauh ini riset gagal mengidentifikasi lebah-lebah pengacara. 
Lebah tidak butuh pengacara karena tidak ada bahaya misalnya 
ada yang berusaha melanggar konstitusi sarang lebah dengan 
mengambil hak lebah pembersih untuk hidup, hak kebebasan, 
dan hak mencari kebahagiaan.
Akan tetapi, manusia melakukan hal-hal semacam itu 
sepanjang waktu. Karena tatanan sosial Sapiens diimajinasikan, 
manusia tidak bisa mengamankan informasi penting untuk 
menjalankannya dengan hanya membuat salinan DNA mereka 
dan menurunkan DNA itu kepada keturunan mereka. Sebuah 
upaya sadar harus dilakukan untuk memelihara hukum, peraturan, 
prosedur, tingkah laku, kalau tidak ingin tatanan sosial itu runtuh 
dengan cepat. Misalnya, Raja Hammurabi memutuskan bahwa 
orang dibagi menjadi kalangan atas, orang biasa, dan budak. Ini 
bukan pembagian alamiah—tidak ada jejak itu dalam gen manusia. 
Jika orang-orang Babylonia tak bisa menjaga “kebenaran” ini 
dalam pikiran mereka, masyarakat akan berhenti berfungsi. 
Demikian pula, ketika Hammurabi mewariskan DNA kepada 
keturunannya, itu tidak otomatis menanam aturan yang dia buat 
bahwa seseorang dari kalangan atas yang membunuh perempuan 
biasa harus membayar 30 shekel perak. Hammurabi harus 
secara sengaja mengajari para putranya tentang hukum dalam 
imperium, kemudian para putra dan cucu-cucunya melakukan 
hal yang sama.
Imperium-imperium menghasilkan informasi dalam 
jumlah sangat besar. Di luar urusan hukum, imperium harus 
menyimpan catatan-catatan tentang transaksi dan pajak, inventaris 
peralatan militer dan kapal-kapal dagang, dan kalender festival 
dan kemenangan-kemenangan. Selama jutaan tahun, orang 
menyimpan informasi di satu tempat saja—otak mereka. Sayang 
sekali, otak manusia bukanlah alat penyimpan yang baik untuk 
database seukuran imperium karena tiga alasan utama. Pertama, 
kapasitasnya terbatas. Benar, sebagian orang memiliki daya ingat 
yang mengagumkan, dan pada masa kuno ada kaum profesional 
penghafal yang bisa menyimpan di kepala mereka topografi 
dari seluruh provinsi dan undang-undang semua negara bagian. 
Meskipun demikian, ada batas yang tak bisa dilampaui oleh 
para mnemonic ulung sekalipun. Seorang pengacara mungkin 
hafal di luar kepala seluruh isi undang-undang Persemakmuran 
Massachusetts, tetapi mungkin tidak hafal perincian setiap 
putusan pengadilan yang terjadi di Massachusetts sejak peristiwa 
Pengadilan Kota Sihir Salem (Salem Witch Trials).
Kedua, manusia mati dan otak mereka mati bersamanya. 
Setiap informasi yang disimpan di satu otak akan terhapus dalam 
waktu kurang dari seabad. Tentu saja, dimungkinkan untuk 
meneruskan ingatan satu otak ke otak lain, tetapi setelah beberapa 
transmisi, informasi cenderung menjadi kabur atau hilang.
Ketiga, dan yang paling penting, otak manusia sudah 
teradaptasi untuk menyimpan dan memproses jenis-jenis informasi 
tertentu. Untuk bertahan hidup, para pemburu-penjelajah kuno 
harus mengingat bentuk-bentuk, kualitas, dan pola-pola perilaku 
ribuan spesies tumbuhan dan binatang. Mereka harus mengingat 
bahwa satu jamur keriput berwarna kuning yang tumbuh pada 
musim gugur di bawah pohon ulmus kemungkinan paling 
beracun, sedangkan jamur serupa yang tumbuh pada musim 
dingin di bawah pohon ek bagus untuk pengobatan sakit perut. 
Para pemburu-penjelajah juga harus selalu mengingat pendapat￾pendapat dan hubungan-hubungan beberapa puluh anggota 
kawanan. Jika Lucy membutuhkan bantuan seorang anggota 
kawanan untuk menghentikan gangguan John, penting bagi dia 
untuk mengingat bahwa John bertengkar dengan Mary pekan lalu, dan dengan demikian Mary bisa menjadi sekutu yang antusias. 
Akibatnya, tekanan-tekanan evolusi mengadaptasi otak manusia 
untuk menyimpan jumlah besar informasi tumbuh-tumbuhan, 
binatang, topografi, dan sosial.
Akan tetapi, ketika masyarakat-masyarakat yang sangat 
kompleks mulai muncul setelah kedatangan Revolusi Agrikultur, 
jenis baru informasi menjadi vital—angka. Para pengembara 
tidak pernah diwajibkan untuk menangani data matematis dalam 
jumlah besar. Tak ada pengembara yang perlu mengingatnya, 
katakanlah, jumlah buah di setiap pohon di hutan. Jadi, otak 
manusia tidak beradaptasi untuk menyimpan dan memproses 
angka-angka. Namun, untuk menjaga sebuah kerajaan besar, data 
matematis adalah vital. Tidak pernah cukup dengan membuat 
undang-undang dan menceritakan cerita-cerita tentang dewa￾dewa penjaga. Seseorang juga harus mengumpulkan pajak. 
Untuk memajaki ratusan ribu orang, harus ada pengumpulan 
data tentang pendapatan dan harta benda orang-orang; data 
tentang pembayaran-pembayaran yang dilakukan; data tentang 
tunggakan-tunggakan; data tentang utang dan denda; data tentang 
diskon dan potongan. Belum lagi jutaan data kecil, yang harus 
disimpan dan diproses. Tanpa kapasitas ini, negara tidak akan 
pernah tahu apa sumber daya yang dimilikinya dan sumber daya 
mana lagi yang bisa dialirkan. Jika menghadapi kebutuhan untuk 
menghafal, mengingat kembali, dan menangani semua angka 
ini, sebagian besar otak manusia akan overdosis dan tertidur. 
Batasan mental ini membengkakkan ukuran dan kompleksitas 
kumpulan manusia. Ketika jumlah orang dan properti di satu 
masyarakat tertentu melintasi batas kritis, maka menjadi perlu 
untuk menyimpan dan memproses data matematis dalam jumlah 
besar. Karena otak manusia tak bisa melakukannya, sistem pun 
runtuh. Selama ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur, jaringan 
sosial manusia tetap relatif kecil dan sederhana.
Yang pertama bisa mengatasi masalah itu adalah masyarakat 
Sumeria kuno, yang hidup di wilayah selatan Mesopotamia. Di 
sana, sengatan Matahari yang menimpa dataran subur berlumpur 
menghasilkan panen-panen melimpah dan kota-kota yang 
makmur. Saat jumlah penghuni tumbuh, begitu pula jumlah