Tampilkan postingan dengan label raja 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 6. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

raja 6

ng patih ronggolawe  berkata bahwa benteng kota 
itu  sudah  dianugerahkan padanya. Namun untuk 
  
sementara aidit  mengesampingkan masalah ini. 
"Bukankah itu segera sesudah  serangan terhadap 
Gunung brahma, saat  kau mengunjungiku di padalarang  
untuk mengucapkan selamat Tahun Baru?" tanya 
aidit . 
"Betul. Dalam perjalanan pulang, raden mas  ngabehi  
jatuh sakit dan kami terlambat. saat  kami tiba di 
benteng kota mergoharjoyo , hari sudah gelap." 
"Aku sedang tidak berminat mendengarkan cerita 
panjang-lebar, langsung saja kemukakan maksudmu." 
"Musuh ternyata mengetahui bahwa hamba tidak 
ada di benteng kota, dan sedang melancarkan serangan 
malam. Tentu saja mereka dipukul mundur, dan saat 
iiu kami pun berhasil menangkap biksu bernama 
Miyabe Zensho." 
"Kau menangkapnya hidup-hidup?" 
"Ya. dibandingkan  memenggal kepalanya, kami me-
mutuskan untuk memperlakukannya dengan ramah, 
dan lalu , saat  hamba punya sedikit waktu, 
hamba memberinya ceramah mengenai masa yang 
akan datang dan menunjukkan arti sebetulnya  dari 
kehidupan centeng adipati . Dia lalu berbicara dengan bekas 
majikannya, Onogi Tosa, dan membujuknya agar 
menyerah pada kami." 
"Betulkah ini?" 
"Medan perang bukan tempat untuk bergurau," kata 
patih ronggolawe . 
aidit  pun terkagum-kagum akan kecerdikan 
patih ronggolawe . Medan perang bukan tempat untuk 
  
bergurau. Dan seperti dikatakan patih ronggolawe , Miyabe 
Zensho dan Onogi Tosa dibawa   ke hadapan 
aidit  oleh salah seorang pengikut patih ronggolawe . 
aidit  minta penjelasan terperinci dari Tosa 
untuk memastikan kebenaran cerita patih ronggolawe . 
resi  itu menjawab  terus terang. "Bukan hamba 
saja yang memilih menyerah. Kedua pengikut senior 
lain yang ditempatkan di trenggono juga menyadari 
bahwa pertempuran melawan  Tuan bukan saja 
merupakan tindakan bodoh, melainkan juga mem-
percepat kejatuhan marga dan memicu  pen-
deritaan yang tak perlu bagi warga provinsi." 
 
Usia kalasan  belum mencapai tiga puluh, namun  ia 
sudah  diberi empat anak oleh Putri radenmas  yang baru 
berumur dua puluh tiga tahun. kalasan  mendiami 
kubu ketiga di benteng kota sinuhun ni. yang sebetulnya  terdiri 
atas tiga benteng kota yang digabung menjadi satu. 
Bunyi tembakan senapan terdengar sampai malam 
dari jurang di sebelah selatan. Letusan meriam 
bergema secara berkala, dan setiap kali langit-langit 
bergetar, seakan-akan hendak runtuh. 
Secara naluri radenmas  menatap ke atas dengan 
matanya yang ketakutan, dan mendekap bayinya lebih 
erat ke dadanya. Anak itu masih menyusu. Tak ada 
angin, namun  jelaga terlihat di mana-mana. dan cahaya 
lentera tak henti-hentinya berkedap-kedip. 
"Ibu! Aku takut!" Putri keduanya. Hat mi. Meng-
genggam lengan baju radenmas  yang sebelah kanan, 
  
sementara putri sulungnya, subanda, merangkul lutut 
kirinya sambil membisu. Namun putranya tak mau 
datang ke pangkuan ibunya, walaupun ia masih kecil. 
Ia mengacungkan anak panah pada seorang dayang. 
Inilah pewaris kalasan , Manjumaru. 
"Aku mau lihat! Aku mau lihat pertempuran!" 
Manju berteriak kesal sambil memukul dayang tadi 
dengan panah yang tak bermata. 
"Manju," ibunya menegur, "kenapa kau memukul 
dia? Ayahmu sedang bertempur. Kau sudah lupa pesan 
ayahmu, bagaimana kau harus bersikap kalau ada 
pertempuran? Kalau kau ditertawa kan para pengikut, 
kau takkan menjadi resi  yang baik jika kau sudah 
besar nanti." 
Manju sudah cukup besar untuk memahami se-
bagian ucapan ibunya. 
Sejenak ia mendengarkannya tanpa berkala apa-apa. 
namun  tiba-tiba ia berseru dengan keras. 
"Aku mau lihat pertempuran! Aku mau lihat!" Guru 
anak itu juga tidak tahu apa yang harus dilakukan, 
dan hanya berdiri sambil memandangnya. Saat itu 
pertempuran agak mereda, namun  letusan senapan masih 
terus terdengar. Putri sulung radenmas , subanda, sudah 
berusia tujuh tahun, dan rupanya ia mengerti 
kesulitan ayahnya, kesedihan ibunya, dan  perasaan 
para prajurit di dalam benteng kota. 
Dengan sikap terlalu dewasa untuk usianya, ia 
berkata, "Manju! Jangan bikin Ibu tambah  gelisah. 
Kau pikir ini tidak menakutkan bagi Ibu? Ayah ada di 
  
luar sana, berperang melawan  musuh. Betul, kan, Bu?" 
Ditegur seperti itu. Manju menatap kakaknya dan 
menerjangnya, masih sambil mengacungkan anak 
panah. "subanda bodoh!" 
subanda menutupi kepala dengan lengan baju dan 
bersembunyi di balik ibunya. 
"Jangan nakal!" Sambil berusaha menenangkan 
Manju, radenmas  mengambil anak panah itu. 
Tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa-gesa di 
selasar. 
"Apa maksud kalian? Menyerah pada orang-orang 
sinuhun ? Mereka itu hanya centeng adipati  udik yang datang dari 
pedalaman jenggala . Kalau pikir aku sudi tunduk pada 
orang seperti aidit ? Mereka tidak setaraf dengan 
marga jawa !" Tanpa pemberitahuan. jawa  kalasan  
melangkah masuk, diikuti dua atau tiga resi . 
saat  melihat istrinya tidak terancam bahaya di 
ruangan besar bercahaya remang-remang, ia merasa 
lega. "Aku agak lelah." katanya, lalu duduk dan 
mengendurkan tali baju tempurnya. lalu  ia ber-
pesan kepada para resi  di belakangnya. "Melihat 
perkembangan malam ini, centeng  musuh mungkin 
akan melancarkan serangan besar-besaran sekitar 
tengah malam Sebaiknya kita beristirahat dahulu  
sekarang." 
saat  para komandan berdiri dan memohon diri. 
kalasan  melepaskan desahan lega. Di tengah-tengah 
pertempuran pun ia masih ingat bahwa ia juga seorang 
ayah dan suami. 
  
"Apakah suara tembakan tadi membuatmu takut. 
Sayang?" ia bertanya pada istrinya. 
Dikelilingi oleh anak-anak mereka, radenmas  men-
jawab . "Tidak, kami berada di ruangan ini, jadi suara-
nya tidak terlalu mengganggu." 
"Manju dan subanda tidak ketakutan dan 
menangis?" 
"Kau harus bangga. Mereka bersikap seperti orang 
dewasa." 
"Betul?" ujar kalasan  sambil memaksakan 
senyum. lalu  ia melanjutkan, "Jangan gelisah khawatir . 
centeng  sinuhun  melancarkan serangan hebat, namun  kita 
berhasil memukul mundur mereka dengan beron-
dongan senapan. Biarpun mereka terus menyerbu 
selama dua puluh atau tiga puluh, bahkan seratus 
tahun, kita tidak akan menyerah. Kita marga jawa ! 
Kita tidak akan tunduk pada orang seperti aidit ." 
Naganiasa mencerca orang-orang sinuhun , namun  tiba-tiba ia 
terdiam. 
Dengan cahaya lentera di belakangnya, wajah radenmas  
tampak merapat pada bayi yang sedang menyusu, 
inilah adik wanita lesbian  aidit ! Perasaan kalasan  
teraduk-aduk. Wajah radenmas  pun mirip kakaknya. 
"Kau menangis?" 
"Si kecil kadang-kadang nakal dan menggigit 
putingku kalau susunya tidak mau keluar." 
"Susunya tidak mengalir?"  
"Tidak." 
"Ini sebab  kau memendam kesedihan, dan sebab  
  
kau mulai terlalu kurus. Kau seorang ibu, dan inilah 
pertempuran sejati seorang ibu."  
"Aku tahu." 
"Aku menduga kau menganggapku suami yang 
keras." 
radenmas  merapat ke sisi suaminya, masih sambil men-
dekap bayinya ke dada. "Aku tidak berpendapat 
begini. Kenapa aku harus kesal? Aku menganggapnya 
sebagai suratan takdir." 
"Manusia tak mungkin menerima nasib begitu saja. 
Kehidupan istri centeng adipati  lebih menyakitkan dibandingkan  
menelan pedang. Jika kau tidak bertekad dengan 
sepenuh hati, tekadmu tak ada artinya." 
"Aku pun berusaha mencapai pemahaman seperti 
itu, namun  yang dapat kupikirkan hanya bahwa aku 
seorang ibu."  
"radenmas , pada hari aku menikahimu pun aku tahu 
bahwa kau takkan menjadi milikku untuk selama-
lamanya. Dan ayahku juga tidak mengizinkan kau 
menjadi istri sejati orang jawa ." 
"Apa? Apa katamu?" 
"Pada saat seperti ini, seorang laki-laki harus berkata 
apa adanya. Saat ini takkan terulang kembali, jadi aku 
membuka isi hatiku. saat  aidit  mengirimmu 
untuk menikah denganku, dia sekadar menjalankan 
strategi politik. Sejak semula aku bisa membaca isi 
hatinya." kalasan  terdiam sejenak. "namun , walaupun 
aku mengetahui ini. di antara kita tumbuh cinta yang 
tak dapat dihalangi oleh apa pun. lalu  kita 
  
dikaruniai empat anak. Sekarang ini kau tidak lagi 
adik aidit . Kau istriku dan ibu anak-anakku. Aku 
takkan membiarkan kau berurai air mata untuk pihak 
musuh. Jadi. kenapa badanmu jadi kurus, dan kenapa 
kau menahan air susu yang seharusnya kauberikan 
pada anak kita?" 
Sekarang radenmas  mengerti. Segala sesuatu yang 
dianggapnya suratan takdir ternyata merupakan hasil 
strategi politik. Perkawinannya merupakan per-
kawinan politik. Sejak pertama kalasan  memandang 
aidit  sebagai orang yang perlu dikertoarjo si. namun  
aidit  sungguh-sungguh menyayangi adik iparnya. 
aidit  percaya bahwa pewaris marga jawa  
memiliki masa depan yang baik. dan ia percaya 
padanya.  Dengan menggebu-gebu ia mendukung per-
kawinan itu. namun  sejak awal  pertalian itu tidak kokoh, 
sebab  adanya hubungan yang jauh lebih tua antara 
marga jawa  dan marga mpu djiwo dari radenkanjeng . 
Persekutuan mereka tidak sekadar kerja sama 
pertahanan, melainkan merupakan hubungan 
kompleks yang didasarkan atas persahabatan dan 
saling menolong. Sudah bertahun-tahun marga 
mpu djiwo dan sinuhun  bermusuhan. saat  aidit  
menyerang marga pangeran di Giro, seberapa banyak 
mereka menghalanginya dan membantu pihak pangeran? 
aidit  mengatasi rintangan ini dengan 
mengirim janji tertulis kepada marga mpu djiwo, bahwa 
ia takkan memasuki wilayah mereka. 
Tak lama sesudah  upacara pernikahan, baik ayah 
  
kalasan  dan marga mpu djiwo ia berutang budi pada 
mereka mulai mendesak kalasan  agar memandang 
istrinya dengan curiga. Sementara itu, marga jawa  
sudah  bergabung dengan orang-orang mpu djiwo, sang 
pandita , mpu ireng  mpu betarakatong  dari Kai, dan para biksu-
prajurit di Gunung brahma, membentuk persekutuan 
yang menentang aidit . 
Pada tahun berikutnya aidit  menyerbu 
radenkanjeng . Tiba-tiba ia diserang dari belakang. kalasan  
memotong jalur mundur aidit . dan bersama 
marga mpu djiwo ia merencanakan pembinasaan orang 
itu. Waktu itu kalasan  memperlihatkan pada 
aidit  bahwa penilaiannya takkan dipengaruhi 
oleh istrinya, namun  aidit  tak mau percaya. 
Kekuatan jawa  dan keberanian laki-laki yang di-
percayai aidit  sudah  menjadi api yang berkobar di 
hadapannya, bahkan sudah  menjadi rantai yang mem-
belenggu. namun  sesudah  kekalahan radenkanjeng , benteng kota 
sinuhun ni tidak lagi merupakan ancaman. 
Meski demikian, pada saat ini aidit  masih 
berharap tidak perlu membunuh kalasan . Tentu ia 
menghargai keberanian kalasan , namun  lebih dari itu, 
ia diganggu oleh kasih sayangnya terhadap radenmas . 
Orang-orang menganggapnya aneh, mengingat bahwa 
saat  menaklukkan Gunung brahma dengan api, laki-
laki ini tidak keberatan dijuluki Raja Setan. 
 
Musim gugur terus berlanjut. Pada waktu fajar, embun 
pada rumput di sekeliling benteng kota terasa basah dan 
  
dingin. 
"Tuanku, hamba membawa   berita buruk." Nada 
suara sonokelingkake dusun nyi kembang  gelisah sekali. Malam itu 
kalasan  tidur di dekat kelambu yang melindungi 
istri dan anak-anaknya, namun  ia sendiri tidak melepas-
kan baju tempur. 
"Ada apa, dusun nyi kembang ?" Ia segera keluar dari kamar 
tidur. Napasnya berat. Serangan fajar! Itulah yang 
penama-tama terlintas dalam benaknya. namun  bencana 
yang dilaporkan dusun nyi kembang  bahkan lebih gkertoarjo t dibandingkan  
itu. 
"Kubu trenggono jatuh ke tangan orang-orang sinuhun  
semalam." 
"Apa?" 
"Mula-mula hamba pun tidak percaya. namun  tuanku 
bisa melihatnya dari menara jaga." 
"Tidak mungkin." kalasan  segera menaiki 
menara, berkali-kali kakinya tersandung di tangga yang 
gelap. Walaupun kubu trenggono berada cukup jauh 
dari menara, kubu im terlihat seakan-akan berada 
tepat di bawah  kalasan . Di puncak benteng kota itu 
terlihat sejumlah besar panji, namun  tak satu pun milik 
marga jawa . Salah satunya berkibar-kibar tertiup angin, 
dan menandakan kehadiran panembahan  patih ronggolawe . 
"Kita dikhianati! Hah! Biar kutunjukkan pada 
mereka! Biar kutunjukkan pada aidit  dan semua 
centeng adipati  di negeri ini." kalasan  berkata sambil 
memaksakan senyum. "Akan kuperlihatkan bagaimana 
jawa  kalasan  menyambut maut!" 
  
kalasan  menuruni tangga menara. Para pengikut 
yang mengikutinya seakan-akan menyertai junjungan 
mereka jauh ke bawah  permukaan bumi. 
"Apa... apa yang terjadi?" salah seorang resi  
meratap. 
"Onogi Tosa, jawa  yodono, dan Mitamura Uemon 
menyeberang ke pihak musuh," jawab  resi  lain. 
Orang lain berkata dengan getir. "Walaupun 
mereka pengikut senior, mereka mengkhianati ke-
percayaan yang diberikan saat  memperoleh 
tanggung jawab  atas trenggono." 
"Biadab." 
kalasan  berbalik dan berkata. "Jangan mengeluh 
terus!" 
Mereka berdiri di ruangan luas berlantai kayu di 
kaki tangga, yang diterangi lentera redup. Ruangan itu 
mirip  kerangkeng atau sel penjara berukuran 
besar. Banyak di antara yang terluka dibawa   ke sini. 
dan berbaring di tikar-tikar jerami sambil mengerang-
erang. 
saat  kalasan  melewati mereka, para centeng adipati  
yang terbaring pun berusaha untuk berlutut. 
"Takkan kubiarkan mereka mati sia-sia! Takkan 
kubiarkan!" kalasan  berkata sambil menitikkan air 
mata. Sekali lagi ia berpaling kepada para resi  dan 
memperingatkan mereka agar jangan mengeluh. 
"Percuma saja menghina orang lain. Kalian semua 
harus memilih jalan masing-masing apakah itu 
menyerah pada musuh atau gugur bersamaku. Kedua 
  
belah pihak memiliki kewajiban moral. aidit  
berjuang untuk membentuk tatanan baru. Aku ber-
juang demi nama dan kehormatan golongan centeng adipati . 
Kalau kalian merasa lebih baik menyerah pada 
aidit , datangilah dia. Aku takkan menghentikan 
kalian!" sesudah  berkata demikian, kalasan  keluar 
untuk memeriksa pertahanan benteng kota. Belum lagi ia 
berjalan seratus langkah, sesuatu yang lebih gkertoarjo t 
dibandingkan  pengkhianatan kubu trenggono dilaporkan 
padanya. 
"Tuanku! Tuanku! Berita buruk!" Salah satu 
perwiranya, bermandikan darah, berlari menghampiri 
kalasan  dan berlutut di hadapannya. 
"patih ragapati , ada apa?" 
Sebuah firasat buruk mulai mencengkeram Naga-
masa. Wakui patih ragapati  bukanlah centeng adipati  yang di-
tempatkan di kubu ketiga; ia pengikut ayah kalasan . 
"donosukomerto
 
 
 
 tuanku, Tuan buanakarta. baru saja 
melakukan seppuku. Hamba menerobos barisan musuh 
untuk menyampaikan kabar ini pada tuanku." Sambil 
tersengal-sengal patih ragapati  mengeluarkan jambul Hisa-
masa dan jubah  sutra yang membungkusnya, dan 
meletakkan keduanya ke tangan kalasan .  
"Apa? Kubu pertama juga sudah jatuh?" 
"Sesaat sebelum tajar. sekelompok prajurit 
menyusuri jalan rahasia dari trenggono ke depan 
gerbang benteng kota. Mereka mengibarkan panji Onogi 
dan mengatakan bahwa Onogi perlu menemui Yang 
Mulia buanakarta sebab  ada hal mendesak yang ingin 
  
dibicarakan. sebab  menyangka Onogi memimpin 
anak buahnya sendiri, para penjaga membuka gerbang 
benteng kota, namun  begitu mereka membukanya, sejumlah 
besar prajurit menyerbu dan menerobos sampai ke 
benteng kota dalam." 
"Prajurit musuh?" 
"Sebagian besar dari mereka pengikut patih ronggolawe . 
namun  orang-orang yang menunjukkan jalan adalah anak 
buah Onogi, si pengkhianat."  
"Hmm. bagaimana dengan ayahku?" 
"Beliau bertempur dengan gagah sampai akhir. 
Beliau sendiri yang menyulut api di benteng kota dalam, 
lalu melakukan bunuh diri, namun  musuh memadamkan 
kebakaran dan kini menduduki benteng kota." 
"Ah! Itulah sebabnya kami tidak melihat api 
maupun asap." 
"Seandainya api terlihat berkobar di kubu pertama, 
tuanku tentu akan mengirim bala bantuan, atau 
membakar kubu ini dan melakukan bunuh diri 
bersama istri dan anak-anak tuanku. Hamba rasa 
inilah yang ditakuti dan berusaha dicegah oleh 
musuh."  
Tiba-tiba patih ragapati  membenamkan kukunya ke tanah 
dan berkata. "Tuanku... maut sudah menjemput." Ia 
roboh dan mengembuskan napas penghabisan. 
patih ragapati  sudah memenangkan pertempurannya yang 
terakhir. 
"Satu lagi centeng adipati  gagah mendahului kira." Se-
seorang berkata di belakang kalasan , lalu mulai 
  
melantunkan sebuah doa dengan suara pelan. 
Bunyi tasbih memecah keheningan. saat  berbalik. 
kalasan  melihat tasbih itu dalam genggaman Biksu 
Kepala, Yuzan seorang pengungsi. 
"Hamba turut menyesal bahwa Yang Mulia 
buanakarta menemui ajal tadi pagi." kata Yuzan. 
"Yang Terhormat, aku ada permintaan," ujar 
kalasan  dengan mantap. Ucapannya tenang, namun  
nada sedih dalam suaranya tak dapat disembunyikan. 
"Aku memperoleh giliran berikut. Aku ingin mengum-
pulkan seluruh pengikutku dan mengadakan upacara 
pemakaman, paling tidak secara simbolis, pada waktu 
aku masih hidup. Di lembah di balik sinuhun ni ada 
batu peringatan berukir nama kematian yang 
diberikan Yang Terhormat padaku. Sudikah Yang 
Terhormat mengatur agar batu itu dipindahkan kc 
dalam benteng kota? Sebagai biksu. Yang Terhormat tentu 
diizinkan melewati barisan musuh." 
"Tentu saja." 
Yuzan langsung pergi. Salah satu resi  kalasan  
hampir bertabrakan dengannya saat  ia bergegas 
masuk. 
"betari jawi  Mitturuni berada di depan gerbang benteng kota."  
"Siapa dia?" 
"Pengikut Yang Mulia aidit ." 
"Musuh?" kalasan  berseru. "Usir dia. Pengikut 
aidit  tidak kubutuhkan. Kalau dia tidak mau 
pergi, lempari dia dengan batu dari gerbang." 
centeng adipati  itu menuruti perintah kalasan  dan 
  
segera kembali, namun  tak bma lalu  komandan 
lain datang. 
"Kurir pihak musuh masih berdiri di depan 
gerbang. Dia tidak akan pergi, tak peduli apa yang kita 
katakan. Dia berdalih bahwa perang adalah perang 
dan perundingan adalah perundingan, dan bertanya 
kenapa kita menunjukkan sikap tak pantas terhadap 
seseorang yang mewakili provinsinya." 
kalasan  tidak memedulikan keluhan ini, lalu 
mencaci maki orang yang menyampaikannya. 
"Mengapa kau menjelaskan protes orang yang sudah  
kuperintahkan untuk diusir? 
Pada saat itu, resi  ketiga maju. "Tuanku, 
peraturan perang mengharuskan tuanku menemui dia, 
biarpun hanya sejenak. Hamba tak sudi jika orang ber-
kata bahwa jawa  kalasan  begitu bingung, sehingga 
kehilangan ketenangan dan menolak menerima 
utusan musuh." 
"Baiklah, biarkan dia masuk. Aku akan 
menemuinya. Di sebelah sana," kata kalasan  sambil 
menunjuk ke ruang jaga. 
Lebih dari setengah prajurit di dalam benteng kota jawa  
berharap bahwa damai melangkah melewati gerbang. 
Mereka bukannya tidak menghormati atau tidak setia 
pada junjungan mereka, namun  "kewajiban" yang 
digembar-gemborkan oleh kalasan  dan  alasan 
untuk perang ini amat dipengaruhi oleh hubungannya 
dengan radenkanjeng  dan kebenciannya terhadap ambisi 
dan keberhasilan aidit . Para prajurit sangat 
  
memahami kontras ini. 
Dan masih ada lagi. Walaupun benteng kota sinuhun ni 
masih bertahan, kubu pertama dan kedua sudah  jatuh. 
Masih adakah harapan menang bagi mereka yang 
terkurung dalam benteng kota terpencil ini? 
Jadi, kedatangan utusan pihak sinuhun  terasa bagaikan 
langit biru bersih yang mereka nanti-nanti. betari jawi  
memasuki benteng kota, melangkah ke ruangan tempat 
kalasan  menunggu, dan berlutut di hadapannya. 
Orang-orang di dalam memandang tajam ke arah 
betari jawi ; rambut mereka acak-acakan, dan luka terlihat di 
tangan maupun kepala mereka. Suara betari jawi  yang 
sedang berlutut demikian lembut, sehingga orang 
mungkin meragukan bahwa ia seorang resi . 
"Hamba memperoleh kehormatan dengan ditunjuk 
sebagai utusan Yang Mulia aidit ." 
"Basa-basi tidak diperlukan di medan perang. 
Kemukakanlah maksud kedatanganmu." 
"Tuanku aidit  mengagumi kesetiaan Yang 
Mulia terhadap marga mpu djiwo, namun  kini marga 
mpu djiwo sudah  runtuh, dan sekutu mereka, sang 
pandita , berada dalam pengasingan. Segala utang budi 
dan dendam sekarang sudah  menjadi bagian dari masa 
lampau, jadi untuk apa marga sinuhun  dan mpu djiwo saling 
menggempur? Bukan itu saja, namun  tuanku aidit  
merupakan kakak ipar Yang Mulia; Yang Mulia 
merupakan suami adik tuanku." 
"Ini semua sudah pernah kudengar. Jika kau 
mencari kesepakatan untuk berdamai, aku menolak 
  
tegas. Aku takkan termakan oleh kefasihan lidahmu." 
"Dengan segala hormat. Yang Mulia tidak mem-
punyai pilihan selain menyerah. Sikap yang diper-
lihatkan Yang Mulia sampai sekarang patut dijadikan 
teladan. Mengapa Yang Mulia tidak menyerahkan 
benteng kota ini secara jantan, lalu bekerja demi masa 
depan marga tuanku? Jika Yang Mulia setuju, tuanku 
aidit  bersedia memberikan seluruh Provinsi 
mojolaban   kepada Yang Mulia." 
kalasan  melepaskan tawa  bernada menghina. Ia 
menunggu sampai juru runding dari pihak musuh 
selesai bicara. "Tolong sampaikan pada Yang Mulia 
aidit  bahwa aku takkan terbujuk oleh kata-kata 
manis. Yang dia cemaskan adalah adiknya, bukan 
aku." 
"Pandangan Yang Mulia sungguh sinis." 
"Terserah penilaianmu," kalasan  mendesis. 
"Kembalilah dan beritahu dia bahwa aku tidak ber-
maksud menyelamatkan diri melalui hubunganku 
dengan istriku. Dan katakan pada aidit  bahwa 
dia sebaiknya menyadari bahwa radenmas  kini istriku, 
bukan adiknya lagi." 
"Hmm, kalau begitu Yang Mulia siap mengalami 
nasib yang sama seperti benteng kota ini?" 
"Aku sudah  membulatkan tekad, bukan untuk diriku 
saja, melainkan juga untuk istriku." 
"Kalau begitu, tak ada lagi yang perlu dibicarakan." 
Dengan ini, betari jawi  langsung kembali ke perkemahan 
aidit . 
  
lalu , keputusan atau lebih tepat, kehampa-
an memicu  suasana di dalam benteng kota menjadi 
muram. Para prajurit yang mengharapkan utusan 
pihak sinuhun  membawa   damai, hanya dapat menduga-
duga bahwa perundingannya gagal. Kini mereka mem-
perlihatkan kesedihan secara terang-rerangan, sebab 
sejenak mereka berharap nyawa   mereka dapat di-
selamatkan. 
Ada satu alasan lagi bagi suasana muram yang 
menyelubungi benteng kota. Walaupun pertempuran 
sedang berlangsung, upacara pemakaman bagi ayah 
kalasan  terus berjalan, dan keesokan harinya suara-
suara yang menembangkan sutra terdengar dari 
menara. 
Mulai hari itu radenmas  dan keempat anaknya 
mengenakan baju duka dari sutra berwarna putih. Tali 
yang mengikat rambut mereka berwarna hitam. 
Mereka seakan-akan memiliki kemurnian yang tidak 
berasal dari dunia ini, walaupun mereka masih hidup, 
dan walaupun para pengikut yang sudah  bertekad 
menemui ajal dalam benteng kota merasa nasib mereka 
terlalu malang untuk diungkapkan melalui kata-kata. 
Yuzan kembali ke benteng kota, diikuti pekerja yang 
menggotong batu peringatan. Sesaat sebelum fajar, 
dupa dan kembang-kembang diletakkan di mangan 
utama benteng kota, untuk melaksanakan upacara 
pemakaman bagi mereka yang masih hidup. 
Yuzan berpidato di hadapan para pengikut marga 
jawa  yang sudah  berkumpul. "Dengan menjunjung 
  
tinggi namanya sebagai centeng adipati . Yang Mulia jawa  
kalasan . penguasa benteng kota ini, gugur bagaikan 
bunga yang indah. sebab  itu sudah sepantasnya 
kalian, sebagai pengikutnya, memberikan peng-
hormatan terakhir." 
kalasan  duduk di balik batu peringatan, seolah-
olah ia sendiri sudah mati. Mula-mula para centeng adipati  
tampak tak mengerti. Mereka bertanya-tanya apakah 
semuanya ini memang diperlukan, dan berkasak-kusuk 
dalam suasana aneh. 
namun   radenmas  dan anak-anaknya dan  para anggota 
keluarga yang lain berlutut di hadapan batu 
peringatan dan meletakkan dupa ke dalam alat 
pembakar. 
Seseorang mulai menangis, dan tak lama lalu  
semuanya terpengaruh. Para laki-laki berbaju tempur 
yang memenuhi ruangan menundukkan kepala dan 
memalingkan wajah. Tak seorang pun mengangkat 
kepala. 
Seusai upacara, Yuzan berjalan di depan, beberapa 
centeng adipati  memanggul batu peringatan dan meng-
gotongnya keluar benteng kota. Kali ini mereka berjalan 
sampai ke Danau Biwa. menaiki perahu kecil, dan di 
suatu tirik yang berjarak kira-kira seratus meter dari 
Pulau Chikubu, mereka menenggelamkan batu itu ke 
dasar danau. 
kalasan  berkata tanpa takut, menghadapi 
kematian yang menantinya. Kelemahan semangat 
juang para prajurit yang meletakkan harapan pada 
  
perundingan damai tak luput dari perhatiannya. 
Upacara pemakaman bagi yang masih hidup 
berpengaruh baik terhadap moral centeng nya. Jika 
junjungan mereka sudah  bertekad gugur dalam per-
tempuran, mereka pun akan mengikuti langkahnya. 
Saat kematian sudah  tiba. Tekad kalasan  yang 
menyedihkan sudah  membangkitkan semangat anak 
buahnya. namun  , walaupun ia resi  yang cakap, ia 
bukan seorang jenius. kalasan  tidak tahu bagaimana 
membuat orang rela mengorbankan nyawa  . Mereka 
berdiri, menunggu serangan penghabisan. 
 
  
Tiga Putri 
 
 
 
MENJELANG siang, prajurit-prajurit di gerbang mulai 
berteriak. "Mereka datang!" 
Para penembak dorong-mendorong di atas tembok 
pertahanan, berlomba-lomba memilih sasaran. namun  
satu-satunya musuh yang mendekat adalah seorang 
penunggang kuda, dan ia menghampiri gerbang 
dengan gaya seenaknya. Seandainya ia dikirim sebagai 
utusan, ia pasti dikawal  oleh sejumlah penunggang 
kuda lainnya. Dengan curiga centeng  itu bertahan, 
melihatlihat  orang itu mendekat. 
saat  ia semakin dekat, salah satu komandan 
berkata pada seorang prajurit bersenapan, "Dia pasti 
resi  musuh. Dia tidak kelihatan seperti kurir, dan 
dia sangat berani. Tembak dia sekarang juga." 
Sebcnarnya komandan itu menghendaki agar satu 
orang melepaskan tembakan peringatan, namun  tiga atau 
empat anak buahnya menarik picu secara bersamaan. 
saat  mereka menembak, si penunggang kuda ber-
henti, seakan-akan merasa heran. lalu  ia meng-
acungkan kipas perang berlambang matahari merah 
pada latar belakang emas, melambai-lambaikannya di 
atas kepala, dan berseru, "Hei, prajurit! Tunggu dahulu ! 
Apakah panembahan  patih ronggolawe  termasuk orang yang 
mau kalian tembak? Kalau begitu, tembaklah aku 
sesudah  aku bicara dengan Yang Mulia kalasan ." Ia 
  
berlari sambil bicara, sampai berada hampir tepat di 
bawah  gerbang benteng kota. 
"Hmm, rupanya panembahan  patih ronggolawe  dari pihak 
sinuhun . Mau apa dia di sini?" resi  marga jawa  yang 
menatap ke bawah  merasa curiga terhadap maksud 
kedatangan patih ronggolawe , namun  lupa untuk mencoba 
menembaknya. 
patih ronggolawe  menengadahkan kepala. "Aku ingin 
menyampaikan pesan ke benteng kota dalam," ia kembali 
berseru. 
Apa yang terjadi? Suara-suara yang tengah berdebat 
terdengar jelas. Tak lama lalu , tawa  mengejek 
bercampur dengan suara-suara itu, dan seorang resi  
marga jawa  menyembulkan kepala melewati tepi 
tembok. 
"Lupakan saja. Kurasa Tuan hanya juru runding 
yang dikirim sebagai utusan oleh aidit . Tuan 
hanya membuang-buang waktu, enyahlah dari sini!" 
patih ronggolawe  meninggikan suaranya. "Diam! Mana ada 
peraturan yang memperbolehkan seorang pengikut 
mengusir tamu majikannya, tanpa lebih dahulu  minta 
izin pada majikannya? benteng kota ini boleh dibilang 
sudah berada di tangan kami, dan aku takkan mau 
repot-repot menjadi utusan sekadar untuk memper-
cepat penaklukannya." Ucapan patih ronggolawe  sedikit pun 
tidak bernada merendah. "Aku datang sebagai wakil 
Yang Mulia aidit , dan ingin memberikan peng-
hormatan terakhir. Kalau kami tidak salah dengar. 
Yang Mulia kalasan  sudah bertekad menyambut 
  
maut, dan sudah  menyelenggarakan upacara pe-
makamannya pada saat dia masih hidup. Mereka 
pernah berteman. Jadi bukankah Yang Mulia 
aidit  seharusnya diperkenankan membakar 
dupa? Sudah tidak adakah tenggang rasa bagi 
seseorang yang menjunjung tinggi persahabatan? 
Apakah ketetapan hati Yang Mulia kalasan  dan 
para pengikutnya tidak lebih dari kepura-puraan? 
Apakah ini sekadar gertakan atau keberanian palsu 
seorang pengecut?" 
Wajah di atas gerbang menghilang, mungkin sebab  
malu. Selama beberapa saat tak ada jawab an, namun  
akhirnya gerbang membuka sedikit. 
"resi  sonokelingkake dusun nyi kembang  bersedia menemui Tuan." 
ujar laki-laki yang memberi isyarat untuk masuk 
kepada patih ronggolawe . namun  lalu  ia menambahkan, 
"Tuanku kalasan  menolak menerima kedatangan 
Tuan." 
patih ronggolawe  mengangguk. "Tak mengapa. Aku meng-
anggap Yang Mulia kalasan  sudah  tiada, dan aku 
takkan mempersoalkan hal ini." 
Sambil bicara, ia melangkah masuk tanpa menoleh 
kiri-kanan. Bagaimana mungkin laki-laki ini berjalan 
demikian tenang di tengah-tengah musuh? 
saat  patih ronggolawe  menyusuri jalan setapak yang 
panung dan gerbang pertama ke gerbang utama, ia 
sama sekali tidak memedulikan orang yang mengantar-
nya. Pada waktu ia mendekati pintu benteng kota dalam, 
dusun nyi kembang  keluar untuk menyambutnya. 
  
"Sudah lama kita tidak berjumpa." ujar patih ronggolawe , 
seakan-akan hanya bertegur sapa biasa.      
Mereka pernah bertemu sebelumnya, dan dusun nyi kembang  
membalas ucapan patih ronggolawe  sambil tersenyum. "Ya. 
memang sudah lama. Bertemu dalam situasi seperti 
sekarang agak di luar dugaan, Tuan patih ronggolawe ." 
Semua prajurit di dalam benteng kota tampak bermata 
merah, namun  wajah resi  tua ini tidak kelihatan 
seperti wajah seseorang di bawah  tekanan. 
"resi  dusun nyi kembang , terakhir kali kita bertemu pada 
hari pernikahan Putri radenmas , bukan? Sudah lama 
sekali." 
"Memang demikian." 
"Hari itu hari bahagia bagi kedua marga." 
"Tak ada yang dapai meramalkan nasib. namun  kalau 
Tuan mengingat gangguan dan bencana di masa 
lampau, situasi ini pun tidak terlalu aneh. Mari, 
silakan masuk. Aku tak bisa memberikan sambutan 
berarti, namun  perkenankanlah aku menawarkan  
sebaskom teh." 
dusun nyi kembang  mengajaknya ke pondok minum teh. 
saat  patih ronggolawe  menatap punggung resi  tua 
berambut putih itum, ia menyadari bahwa dusun nyi kembang  
sudah  melewati garis pemisah antara hidup dan mati. 
Pondok minum teh yang mereka tuju berukuran 
kecil dan agak terpencil, di ujung jalan setapak yang 
menembus pepohonan. patih ronggolawe  duduk, dan merasa 
ia berada di dunia lain. Dalam keheningan di pondok 
minum teh, baik tuan rumah maupun tamunya untuk 
  
sementara dibersihkan dari penumpahan darah di 
dunia luar. 
Penghujung musim gugur sudah  di ambang pintu. 
Daun-daun di pohon-pohon terdengar berdesir, namun  
tak setitik debu pun menempel pada lantai kayu yang 
mengilap. 
"Kabarnya para pengikut Yang Mulia aidit  
mulai mempraktekkan upacara minum teh." Sambil 
beramah tamah, dusun nyi kembang  mengangkat sendok air ke 
ketel besi. 
patih ronggolawe  menyadari kesantunan orang itu dan 
cepat-cepat minta maaf. "Tuanku aidit  dan para 
pengikutnya memahami upacara minum teh, namun  aku 
sendiri hanya orang bodoh dan tidak mengerti apa-apa 
mengenai itu. Aku hanya menyukai rasa teh." 
dusun nyi kembang  meletakkan baskom dan mengaduk teh 
dengan sapu kecil. Gerakannya yang anggun hampir 
mirip  gerakan wanita. Tangan dan tubuh yang 
ditempa oleh baju tempur tidak tampak kaku sedikit 
pun. Dalam ruangan yang dihiasi baskom teh dan ketel 
sederhana, gemerlap baju tempur resi  tua ini 
berkesan ganjil. 
Aku bertemu dengan orang yang tepat, pikir 
patih ronggolawe  dan ia lebih memperhatikan watak orang 
itu dibandingkan  tehnya. namun  bagaimana radenmas  bisa 
dibawa   keluar dari benteng kota? Jika aidit  merasa 
susah, patih ronggolawe  pun demikian. Sejauh ini semua 
rencana patih ronggolawe  berhasil, sehingga ia juga merasa 
bertanggung jawab  untuk mengatasi masalah ini. 
  
benteng kota sinuhun ni akan takluk kapan saja mereka 
menghendakinya, namun  tak ada gunanya mengerjakan 
sesuatu dengan ceroboh, lalu terpaksa mencari 
permata dalam reruntuhan. Lebih jauh lagi, kalasan  
sudah  memperlihatkan pada kedua pihak bahwa ia 
sudah  bertekad menyambutr kematian, dan istrinya 
bersikap sama. 
aidit  menyimpan harapan yang tak mungkin 
terkabul, yaitu memenangkan pertempuran dan 
menyelamatkan radenmas  tanpa cedera. 
"Jangan pikirkan etika," ujar dusun nyi kembang , sambil 
menawarkan  baskom teh dari tempat ia berlutut di 
depan tungku. 
patih ronggolawe  duduk dengan gaya prajurit, bersilang 
kaki. Ia menerima baskom yang disodorkan kepadanya, 
dan menghabiskan isinya dengan tiga teguk. 
"Ah, nikmat sekali. Aku tidak tahu bahwa teh bisa 
senikmat ini. Dan aku tidak sekadar berusaha 
menyanjung."  
"Satu baskom lagi?" 
"Tidak, dahagaku sudah  terpuaskan. Paling ridak. 
dahaga di mulutku. namun  aku tidak tahu bagaimana 
memenuhi dahaga di dalam hatiku, resi  dusun nyi kembang , 
tampaknya resi  orang yang bisa diajak bicara. 
Sudikah resi  mendengarkanku?" 
"Aku pengikut marga jawa . dan Tuan utusan marga 
sinuhun . Dari posisi itulah aku akan mendengarkan tuan." 
"Kumohon resi  mengatur pertemuan antara aku 
dan Yang Mulia kalasan ." 
  
"Permohonan itu sudah  ditolak pada waktu Tuan 
berdiri di depan gerbang. Tuan diperkenankan masuk 
sebab  Tuan mengaku kedatangan Tuan bukan untuk 
menemui Yang Mulia kalasan . Tuan sudah  sampai 
di sini. Menarik kembali ucapan Tuan merupakan 
siasat yang tidak terpuji. Aku tak bisa mengizinkan 
Tuan menemui beliau." 
"Bukan. Bukan. Aku tidak bermaksud menemui 
Yang Mulia kalasan  yang masih hidup. Sebagai 
wakil tuanku aidit , aku ingin memberi 
penghormatan kepada arwah Yang Mulia." 
"Jangan bermain kata. Kalaupun aku menyampai-
kan keinginan Tuan kepada Yang Mulia, tak ada 
alasan untuk berharap beliau sudi menerima Tuan. 
sebetulnya  aku berharap mengambil bagian dalam 
etiket centeng adipati  dengan minum teh bersama Tuan. Jika 
Tuan memiliki  rasa malu, pergilah sekarang, 
sebelum Tuan mencoreng arang di kening Tuan." 
Jangan bergerak. Jangan pergi. patih ronggolawe  sudah  
bertekad untuk tidak mengalah sebelum berhasil 
mencapai tujuannya. Ia duduk sambil membisu. 
Mengumbar kata bukan strategi tepat untuk 
menghadapi resi  tua yang berpengalaman ini. 
"Hmm, aku akan mengantar Tuan ke gerbang." 
dusun nyi kembang  menawarkan . 
Dengan geram patih ronggolawe  memandang ke arah lain. 
dan tidak mengatakan apa-apa. Sementara itu, sang 
tuan rumah menyiapkan sebaskom teh untuk dirinya. 
sesudah  menghirupnya dengan cara yang serasi, ia 
  
menyingkirkan peralatan membuai teh. 
"Aku tahu permintaanku ini egois, namun  per-
kenankanlah aku tinggal sedikit lebih lama," ujar 
patih ronggolawe . Ia tetap tak bergerak. Roman mukanya 
menunjukkan bahwa ia takkan beranjak dari tempat-
nya. 
"Tuan boleh tinggal di sini selama Tuan suka, namun  
ini tidak akan bermanfaat." 
"Belum tentu." 
"Hanya ada satu cara untuk mengartikan kata-kata 
yang baru saja kuucapkan. Apa yang hendak Tuan 
lakukan di sini?" 
"Aku mendengarkan suara air mendidih di dalam 
ketel." 
"Air di dalam ketel?" dusun nyi kembang  tertawa . "Dan Tuan 
mengaku tidak tahu apa-apa mengenai upacara minum 
teh!" 
"Memang, aku tidak tahu apa-apa mengenai itu, namun  
suaranya menyenangkan. Mungkin sebab  aku hanya 
mendengar teriakan perang dan pekikan kuda selama 
perang berkepanjangan ini, namun  suara airnya menye-
nangkan sekali. Izinkanlah aku duduk sejenak di sini. 
agar aku bisa merenung." 
"Aku tidak tahu apa yang hendak Tuan renungkan, 
namun  aku tidak mengizinkan Tuan menemui Yang 
Mulia, atau bahkan maju satu langkah ke arah 
menara." ujar dusun nyi kembang  saat  ia berdiri untuk pergi. 
patih ronggolawe  hanya menjawab . "Bunyi ketel ini 
sungguh menyenangkan." Ia bergeser mendekati 
  
tungku, dan sambil terkagum-kagum menatap ketel 
besi itu. Yang tiba-tiba menarik perhatiannya adalah 
pola yang menonjol pada permukaan besi. Sukar 
untuk menentukan apakah pola itu menggambarkan 
manusia atau kuyang , namun   makhluk kecil itu. 
dengan kaki dan tangannya ditopang oleh dahan-
dahan pohon, berdiri dengan sombong di antara 
langit dan bumi. 
Dia mirip aku! pikir patih ronggolawe . tanpa mampu 
menahan senyum. Tiba-tiba ia teringat pada masa 
sesudah  ia meninggalkan rumah radenmas  panji  dan 
menjelajahi gunung dan hutan, tanpa makanan dan 
tanpa tempat berteduh. 
patih ronggolawe  tidak tahu apakah dusun nyi kembang  berdiri di luar 
dan mengintip, atau sudah  pergi dengan gusar, namun  
yang jelas. dusun nyi kembang  tidak lagi berada di pondok minum 
teh. 
Ah, ini menarik. Ini benar-benar menarik, pikir 
patih ronggolawe . Sepertinya ia sedang bicara dengan ketel 
itu. Seorang diri ia menggelengkan kepala. Sambil 
menggeleng ia merenungkan keputusannya untuk 
tidak bergerak, tak peduli apa yang terjadi. 
Di suatu tempat di pekarangan, patih ronggolawe  
mendengar suara lugu dua anak kecil yang sedang 
berusaha agar tidak tertawa . Anak-anak itu menatap 
patih ronggolawe  melalui celah-celah pagar yang mengelilingi 
pondok minum teh. 
"Lihat, dia mirip kuyang ." 
"Ya! Persis seperti kera." 
  
"Dari mana dia, ya?" 
"Dia pasti utusan Dewa kuyang ." 
patih ronggolawe  berbalik dan menemukan anak-anak itu 
berlindung di balik pagar. 
Sementara patih ronggolawe  asyik mengamati ketel air. 
kedua anak itu diam-diam mengamati dirinya. 
"Oh!" Kegembiraan patih ronggolawe  meluap-luap. Anak-
anak itu adalah dua dari keempat anak kalasan . 
patih ronggolawe  percaya bahwa anak laki-laki itu Manju, dan 
anak wanita lesbian  di sebelahnya kakaknya, subanda. Ia 
melemparkan senyum pada mereka. 
"Tuan Monyei tersenyum." 
Kedua anak itu langsung mulai berbisik-bisik. 
patih ronggolawe  pura-pura cemberut. Hasilnya bahkan lebih 
hebat dibandingkan  senyuman. Menyadari bahwa orang 
asing bermuka kuyang  itu mau bermain-main dengan 
mereka, Manju dan subanda menjulurkan lidah dan 
mengerut-ngerutkan muka. 
patih ronggolawe  memelototi mereka, dan mereka 
memelototi patih ronggolawe , mencoba siapa yang tahan 
lebih lama. 
patih ronggolawe  tertawa  berderai, mengaku kalah. 
Manju dan subanda tertawa  gembira. Dengan 
lambaian tangan. patih ronggolawe  memberi isyarat agar 
mereka mendekat dan bermain-main lagi. 
Ajakan itu menggugah rasa ingin tahu kedua anak 
itu, dan diam-diam mereka membuka pintu pagar. 
"Tuan datang dari mana?" 
patih ronggolawe  turun dari serambi dan mulai mengikat 
  
tali sandal jeraminya. Manju menggsinuhun nya dengan 
menggelitik tengkuk patih ronggolawe  dengan sebatang 
rumput. patih ronggolawe  tidak menanggapi keusilan ini, dan 
terus mengikat tali sandal. 
namun  saat  ia berdiri, dan kedua anak melihat 
roman mukanya, mereka ketakutan dan berusaha 
kabur. 
patih ronggolawe  sendiri pun sempat terkejut. Begitu 
Manju mulai lari, patih ronggolawe  menangkap kerah 
bajunya. Pada waktu yang sama ia berusaha 
menangkap subanda dengan tangannya yang satu lagi, 
namun  gadis lesbian cilik itu menjerit sekuat tenaga dan lari 
sambil menangis. Manju begitu kaget, sehingga 
bahkan tidak merengek. namun  saat  ia terjatuh dan 
menatap patih ronggolawe  dari bawah , melihat wajah orang 
itu berikut seluruh langit dalam keadaan terbalik, ia 
akhirnya berteriak. 
sonokelingkake dusun nyi kembang  sudah  meninggalkan patih ronggolawe  
seorang diri di pondok minum teh, dan sudah  
melewati jalan setapak. dusun nyi kembang -lah orang pertama 
yang mendengar jeritan subanda dan teriakan Manju 
di pondok itu. Dengan cemas ia kembali ke sana, 
untuk memeriksa apa masalahnya 
"Apa? Manusia celaka!" dusun nyi kembang  melepaskan 
teriakan ngeri, dan secara naluriah tangannya bergerak 
meraih gagang pedang. 
Sambil berdiri mengangkangi Manju, patih ronggolawe  
berdiri dengan nada memaksa agar orang tua itu 
berhenti. Ketegangan memuncak. dusun nyi kembang  hendak 
  
menyerang patih ronggolawe  dengan pedangnya, namun  
mundur ketakutan saat  melihat apa yang akan 
dilakukan lawan nya. Sebab mata dan pedang di 
tangan patih ronggolawe  menunjukkan bahwa ia siap 
menusuk batang leher Manju tanpa ragu sedikit pun. 
Bulu roma resi  tua yang tenang itu berdiri tegak. 
"Ma... manusia celaka! Hendak kauapakan anak 
iru?" Nada suara dusun nyi kembang  hampir sedih. Perlahan-lahan 
ia mendekat. Seluruh tubuhnya gemetar sebab  
menyesal dan geram. Waktu para pengikut yang 
menyertai resi  itu memahami apa yang terjadi, 
mereka berteriak-teriak, melambai-lambaikan tangan, 
dan segera memberitahukan kejadian ini pada semua 
orang. 
Para penjaga dari gerbang utama dan benteng kota 
dalam juga sudah  mendengar jeritan subanda, dan kini 
bergegas ke tempat kejadian. 
Mengelilingi musuh aneh yang memelototi mereka 
sambil menempelkan pedangnya ke leher Manju, para 
centeng adipati  membentuk lingkaran baja. Mereka menjaga 
jarak, mungkin sebab  ngeri terhadap apa yang 
terlihat di mata dan tangan patih ronggolawe . Mereka tidak 
tahu apa yang harus mereka perbuat, selain berseru-
seru bingung. 
"resi  dusun nyi kembang !" patih ronggolawe  memanggil satu wajah 
di antara mereka. "Apa jawaban pasti resi ? Cara ini 
memang agak kasar, namun  aku tidak melihat jalan lain 
untuk menyelamatkan muka junjunganku. Kalau 
resi  tidak menjawab , aku akan membunuh Tuan 
  
Manju!" patih ronggolawe  memandang berkeliling dengan 
pandangan garang. "resi  dusun nyi kembang , perintahkan 
prajurit-prajurit ini mundur! sesudah  itu kita bicara. 
Begitu sulitkah untuk menentukan apa yang harus 
jendra) lakukan? Pemahaman resi  sungguh 
lamban. Mungkinkah resi  membunuhku, sekaligus 
menyelamatkan anak laki-laki ini tanpa memicu  
dia menderita cedera? Masalah resi  serupa dengan 
masalah tuanku aidit  yang hendak menaklukkan 
benteng kota ini, sekaligus menyelamatkan radenmas . 
Bagaimana mungkin resi  menyelamatkan nyawa   
Manju? Kalaupun aku ditembak dengan senapan, 
pedang ini akan menembus lehernya pada saat yang 
sama." 
Beberapa saat hanya lidah patih ronggolawe  yang aktif, dan 
kata-katanya meluncur deras. namun  sekarang matanya 
ikut bergerak-gerak, dan seiring dengan peragaan 
kefasihan lidahnya, seluruh indranya terus memper-
hatikan musuh yang mengelilinginya. 
Tak ada yang dapat berbuat apa-apa. dusun nyi kembang  
menyadari bahwa ia sudah  membuat kesalahan besar, 
dan dengan saksama ia mendengarkan ucapan 
patih ronggolawe . Ia sudah  pulih dari rasa kagetnya dan 
kembali memancarkan ketenangan yang ia perlihatkan 
sebelumnya, di pondok minum teh. Akhirnya dusun nyi kembang  
memberi isyarat kepada orang-orang yang mengepung 
patih ronggolawe . "Jauhi dia. Serahkan urusan ini padaku. 
Biarpun aku harus bertukar tempat dengannya, Tuan 
Muda tidak boleh celaka. Semua kembali ke pos 
  
masing-masing." lalu  ia berpaling pada 
patih ronggolawe  dan berkata, "Seperti yang Tuan minta, 
mereka sudah bubar. Sekarang harap serahkan Tuan 
Manju padaku." 
"Tidak!" patih ronggolawe  menggeleng tegas, namun  
lalu  mengubah nada suaranya. "Aku akan 
melepaskan Tuan Muda, namun  aku ingin mengembali-
kannya langsung kepada Yang Mulia kalasan . 
Bersediakah resi  mengatur penemuan antara aku 
dan Yang Mulia kalasan  besena Putri radenmas ?" 
kalasan  berdiri di tengah kerumunan yang baru 
saja bubar. saat  mendengar patih ronggolawe , ia tak dapat 
menahan diri lebih lama. Dikujawa  oleh kasih sayang 
kepada putranya, ia bergegas maju sambil mencaci 
maki patih ronggolawe . 
"Permainan busuk macam apa ini, mempertaruhkan 
nyawa   balita  tak berdosa, hanya agar kau bisa bicara! 
Jika kau memang resi  sinuhun  yang bernama 
panembahan  patih ronggolawe , kau seharusnya malu sebab  
memakai  siasat busuk seperti ini. Baiklah! Jika 
kau menyerahkan Manju padaku, kita akan bicara." 
"Oh! Yang Mulia ada di sini?" ujar patih ronggolawe . 
Tanpa memedulikan roman muka laki-laki itu. 
patih ronggolawe  membungkuk memberi hormat. Namun ia 
tetap mengangkangi Manju dan menempelkan ujung 
pedang pendeknya ke leher anak laki-laki itu. 
sonokelingkake dusun nyi kembang  berkata dengan suara bergetar. 
"Tuan patih ronggolawe ! lepaskanlah anak itu! Tidak 
percayakah Tuan pada janji Yang Mulia? Serahkanlah 
  
Tuan Muda padaku." 
patih ronggolawe  tidak memperhatikan ucapan dusun nyi kembang , 
melainkan memandang ke arah jawa  kalasan . 
saat  menatap wajah pucat kalasan  dan matanya 
yang putus asa. patih ronggolawe  akhirnya mendesah 
panjang. 
"Ah, Rupanya Yang Mulia pun mengenal kasih 
sayang terhadap darah daging sendiri? Yang Mulia 
mengerti ikatan batin dengan orang yang dicintai? 
Hamba pikir Yang Mulia tidak memahami hal-hal 
semacam ini." 
"Bajingan, kau tetap tidak mau melepaskan putra-
ku? Kau akan membunuh anak kecil ini?" 
"Sedikit pun hamba tidak bermaksud demikian. 
namun  Yang Mulia, seorang ayah, sama sekali tidak 
menghargai pertalian darah." 
"Bicaramu tak keruan! Bukankah setiap orangtua 
menyayangi anaknya?" 
"Betul. Bahkan binatang liar pun demikian." 
patih ronggolawe  sependapat. "Dan sebab  itu, hamba kira 
Yang Mulia tak mungkin mencemooh tuanku 
aidit  yang sebab  keinginannya untuk menye-
lamatkan radenmas  tak dapat menghancurkan benteng kota 
ini. Dan bagaimana dengan Yang Mulia sendiri? 
Bagaimanapun. Yang Mulia suami radenmas . Bukankah 
Yang Mulia memanfaatkan kelemahan tuanku Nobu-
naga dengan berusaha mempertautkan nyawa   radenmas  
dan anak-anaknya dengan nasib benteng kota ini? Itu sama 
saja seperti aku kini mengancam Tuan Manju dengan 
  
pedangku agar dapat bicara dengan Yang Mulia. 
Sebelum mencela tindakanku sebagai perbuatan 
pengecut, harap Yang Mulia pertimbangkan dahulu  
apakah strategi Yang Mulia sendiri tidak sama saja." 
Sambil bicara, patih ronggolawe  menangkap Manju dan 
mendekapnya. Melihat kesan lega yang muncul di 
wajah kalasan . patih ronggolawe  tiba-tiba melangkah maju. 
menyerahkan Manju, lalu menyembah di depan 
kakinya. "Hamba mohon ampun atas perbuatan kasar 
ini. Sejak awal  hamba melakukannya tidak dengan 
sepenuh hati. Hamba mengambil tindakan ini 
terutama untuk mencoba mengurangi penderitaan 
batin tuanku aidit . namun  hamba juga menyesal-
kan bahwa Yang Mulia, seorang centeng adipati  yang mem-
perlihatkan ketetapan hati sampai akhir hayatnya, 
sesudah  ini mungkin akan dibicarakan sebagai orang 
yang kehilangan kendali diri dalam saat-saat 
terakhirnya. Jangan membuat kesalahan. Tindakan ini 
antara lain juga demi kebaikan tuanku. Bebaskanlah 
radenmas  dan anak-anaknya." 
patih ronggolawe  tidak merasa memohon pada komandan 
musuh. Ia menghadapi hati nurani laki-laki itu dan 
sepenuhnya membeberkan perasaan sebetulnya . 
Kedua tangannya bersilang di depan dada, dan ia 
berlutut penuh hormat di depan kalasan . Terlihat 
jelas bahwa sikapnya itu lahir secara tulus. 
kalasan  memejamkan mata dan mendengarkan 
patih ronggolawe  sambil membisu. Ia menyilangkan tangan, 
kakinya menapak kokoh, ia tampak seperti patung 
  
dengan baju tempur lengkap. Sepertinya patih ronggolawe  
sedang membacakan doa bagi arwah kalasan . yang 
seakan-akan sudah menjadi mayat hidup, seperti 
dikemukakan patih ronggolawe  pada waktu ia memasuki 
benteng kota. 
Sanubari kedua laki-laki itu yang satu bermaksud 
berdoa, yang satu lagi bertekad mati bersentuhan 
sejenak. Batas antara dua musuh lenyap, dan seluruh 
perasaan kalasan  terhadap aidit  tiba-tiba 
terkelupas dari tubuhnya. 
"dusun nyi kembang , bawa  lah Tuan patih ronggolawe  ke tempat lain 
dan temani dia. Aku memerlukan waktu untuk 
berpamitan."  
"Berpamitan?" 
"Aku akan meninggalkan dunia ini, dan aku ingin 
mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anak-
anakku. Aku sudah menanti-nanti kematian. dan 
bahkan sudah  mengadakan upacara pemakaman, namun ... 
mungkinkah perpisahan saat kita masih hidup lebih 
berat dibandingkan  perpisahan saat  maut menjemput? 
Kurasa utusan Yang Mulia aidit  sependapat 
bahwa yang pertamalah yang lebih berat." 
patih ronggolawe  terperanjat. Ia mengangkat wajah dan 
menatap laki-laki di hadapannya. "Maksud Yang 
Mulia, radenmas  dan anak-anaknya boleh pergi?" 
"Menyerahkan istri dan anak-anakku ke dalam 
pelukan maut dan membiarkan mereka binasa 
bersama benteng kota ini sangatlah tercela. Aku sudah  
memutuskan bahwa tubuhku sudah mati, namun 
  
hatiku tetap dikujawa  hkertoarjo  nafsu dan prasangka yang 
dangkal. Ucapan Tuan membuatku malu. Aku 
memohon agar Tuan bersedia menjaga radenmas  yang 
masih begitu muda, dan anak-anakku." 
"Dengan nyawa   hamba. Yang Mulia." patih ronggolawe  
membungkuk sampai keningnya menempel di lantai. 
Ia langsung membayangkan wajah aidit  yang 
gembira. 
"Hmm, nanti kita bertemu lagi," ujar kalasan  
sambil berbalik. Dengan langkah panjang ia berjalan 
menuju menara. 
dusun nyi kembang  mengantar patih ronggolawe  ke sebuah ruang 
tamu, kali ini sebagai utusan resmi aidit . 
Rasa lega tercermin dalam mata patih ronggolawe . 
lalu  ia berbalik dan berkata kepada dusun nyi kembang . 
"Maaf, dapatkah resi  menunggu sejenak sementara 
aku memberi isyarat kepada orang-orang di luar 
benteng kota?" 
"Isyarat?" dusun nyi kembang  curiga, dan bukannya tanpa 
alasan. 
Namun patih ronggolawe  melanjutkan seakan-akan per-
mintaannya merupakan hal yang wajar. "Betul. Aku 
berjanji memberi isyarat saat  aku datang ke sini atas 
perintah tuanku aidit . Seandainya perundingan 
tidak berjalan lancar, aku seharusnya menyulut 
kebakaran sebagai tanda penolakan Yang Mulia 
kalasan . walaupun untuk itu aku harus 
mengorbankan nyawa  . sesudah  itu tuanku aidit  
akan langsung menyerang. Sebaliknya, jika semua 
  
berjalan sesuai rencana dan aku bisa bertemu Yang 
Mulia kalasan , aku harus mengibarkan bendera. 
Pokoknya, kami sudah  sepakat bahwa centeng  kami 
akan menunggu sinyal dariku." 
dusun nyi kembang  tampak terkejut saat  memperoleh 
penjelasan mengenai persiapan laki-laki di hadapan-
nya. namun  yang membuatnya semakin terkejut adalah 
selongsong isyarat yang disembunyikan patih ronggolawe  di 
dekat tungku di pondok minum teh. 
sesudah  mengibarkan bendera dan kembali ke ruang 
tamu. patih ronggolawe  tertawa  dan berkata, "Seandainya aku 
sempat memperoleh kesan bahwa perundingan tadi tidak 
mengalami kemajuan, aku sudah bersiap-siap lari ke 
pondok minum teh dan menendang cerkertoarjo t ke dalam 
tungku. Itu pasti akan membuat upacara minum teh 
jadi semarak sekali!" 
patih ronggolawe  ditinggal seorang diri. Sudah tiga jam 
berlalu sejak dusun nyi kembang  mengantarnya ke ruang tamu 
dan memintanya menunggu sejenak. 
Rupanya dia tidak terburu-buru, pikir patih ronggolawe  
dengan jemu. Bayang-bayang malam sudah mulai 
menggapai langit-langit di ruangan kosong itu. 
Ruangan itu cukup gelap, hingga perlu dinyalakan 
lentera, dan saat  patih ronggolawe  menatap ke luar, ia 
melihat matahari musim gugur membanjiri 
pegunungan di sekeliling dengan cahaya merah. 
Piring di hadapannya kosong. Akhirnya ia 
mendengar suara langkah. Seorang laki-laki memasuki 
ruangan. 
  
"benteng kota ini sedang dikepung. Tak banyak yang 
dapat kutawa rkan, namun  Yang Mulia sudah  memintaku 
menyiapkan makan malam untuk Tuan." Laki-laki itu 
menyalakan sejumlah lentera. 
"Hmm, dalam keadaan seperti sekarang, Yang Mulia 
tak perlu memikirkan makan malam untukku. Aku 
sendiri justru ingin bicara dengan resi  dusun nyi kembang . 
sebetulnya  aku tak ingin merepotkan, namun  
mungkinkah resi  dusun nyi kembang  dipanggil ke sini?" 
dusun nyi kembang  muncul tak lama lalu . Dalam waktu 
kurang dari empat jam ia tampak sepuluh tahun lebih 
tua: seluruh tenaganya seakan-akan lenyap, dan 
kelopak matanya menunjukkan bekas air mata. "Maaf-
kan aku," katanya. "Aku sudah  melalaikan Tuan." 
"Ini bukan waktunya merisaukan etiket." balas 
patih ronggolawe . "namun  aku heran mengapa Yang Mulia 
kalasan  begini berlama-lama. Apakah dia sudah 
berpamitan pada radenmas  dan anak-anaknya? Hari sudah 
malam." 
"Tuan benar. namun  apa yang mula-mula diucapkan 
secara perkasa oleh tuanku kalasan ... ehm... Yang 
Mulia sedang memberitahu anak-istrinya bahwa 
mereka harus berpisah untuk selama-lamanya... kurasa 
Tuan bisa membayangkan....'' resi  tua itu me-
nunduk dan mengusap mata dengan jari. "Putri radenmas  
berkeras tak ingin meninggalkan sisi suaminya untuk 
kembali pada kakaknya. Dia terus memohon, jadi 
sukar memastikan kapan mereka selesai." 
"Ya, namun ..." 
  
"Putri radenmas  bahkan memohon padaku. Dia berkata 
bahwa saat  dia menikah, dia bersumpah bahwa 
benteng kota ini akan menjadi makamnya. Dan tampaknya 
subanda pun memahami bencana yang menimpa ayah 
dan ibunya. Tangisnya mengibakan hati dan dia 
bertanya mengapa dia harus berpisah dengan ayahnya 
dan mengapa ayahnya harus mati. resi  patih ronggolawe , 
maafkanlah aku, sikapku ini tidak pada tempatnya." 
dusun nyi kembang  mengusap mata, berdeham, lalu menangis. 
patih ronggolawe  bersimpati atas apa yang sedang dialami 
dusun nyi kembang , dan ia pun memahami kesedihan kalasan  
dan Okhi. patih ronggolawe  lebih mudah terharu dibandingkan  
orang-orang lain, dan kini air mata mulai membasahi 
pipinya. Berulang kali ia tersedu-sedu dan menatap 
langit-langit. namun  ia tidak melupakan misinya dan 
menegur dirinya sendiri ia tak boleh disesatkan oleh 
emosi. Ia menghapus air matanya dan kembali 
mendesak. 
"Aku sudah  berjanji untuk menunggu, namun  kita tak 
bisa menunggu terus. Aku berharap mereka diberi 
batas waktu. Misalnya, Tuan bisa menentukan sampai 
jam berapa mereka diberi waktu." 
"Tentu. Hmm... keputusan ini merupakan tanggung 
jawab ku, namun  aku berharap Tuan sudi menunggu 
sampai jam Babi. sesudah  itu aku menjamin bahwa 
sang ibu ditambah    anak-anaknya sudah meninggalkan 
benteng kota." 
patih ronggolawe  tidak menolak. Namun sebetulnya  tak 
ada waktu untuk berlama-lama. aidit  benekad 
  
merebut sinuhun ni sebelum matahari tenggelam. Seluruh 
centeng  sedang menunggu penuh harap. Walaupun 
patih ronggolawe  sudah  mengibarkan bendera sebagai tanda 
bahwa usaha penyelamatan berhasil, terlalu banyak 
waktu berlalu. Baik aidit  maupun para resi  
tak bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam 
benteng kota. Selama masa penantian, patih ronggolawe  bisa 
membayangkan kebingungan mereka, perbedaan 
pendapat yang terjadi di markas besar, dan keragu-
raguan di wajah aidit  saat  ia mendengarkan 
suara-suara bimbang. 
"Usul Tuan masuk akal," ujar patih ronggolawe . "Baiklah, 
mereka tak perlu terburu-buru. Kita tunggu sampai 
Jam Babi." 
dusun nyi kembang  gembira atas persetujuan patih ronggolawe  dan 
kembali ke menara. Saat itu hari sudah semakin gelap. 
Beberapa pelayan membawa  kan sajian lezat dan anggur  
bagi patih ronggolawe . 
sesudah  para pelayan pergi. patih ronggolawe  minum 
seorang diri. Sepertinya seluruh tubuhnya menghirup 
musim gugur dari baskom di tangannya. anggur  yang 
diminumnya tak bisa membuat mabuk dingin dan 
agak pahit. Hah, sebaiknya ini pun kutenggak penuh 
semangat. Seberapa besar perbedaan antara mereka 
yang menuju kematian dan mereka yang ditinggalkan? 
Mungkin hanya sekejap, jika dilihat dari sudut filsafat, 
mengingat ribuan tahun yang sudah  berlalu. Ia 
berusaha untuk tertawa  keras. namun  setiap kali ia 
mereguk minumannya, hatinya serasa disayat-sayat. 
  
Entah kenapa, ia merasa seakan-akan dikelilingi isak 
tangis dalam keheningan yang mengimpit. 
Kesedihan dan sedu sedan radenmas ; kalasan ; wajah 
anak-anak yang tak berdosa. patih ronggolawe  bisa mem-
bayangkan apa yang sedang berlangsung di menara. 
Bagaimana seandainya aku berada di tempat jawa  
kalasan ? ia bertanya-tanya. lalu  pikiran itu 
membelok, dan ia teringat ucapan terakhirnya pada 
nyi momo . 
"Aku centeng adipati . Aku mungkin gugur dalam per-
tempuran kali ini. Jika aku mati. kau sebaiknya 
menikah lagi sebelum kau berusia tiga puluh. sesudah  
kau berusia tiga puluh, kecantikanmu akan memudar, 
dan kemungkinan untuk memperoleh perkawinan 
bahagia semakin kecil. Kau mampu menentukan 
pilihan sendiri, dan manusia sebaiknya siap untuk 
memilih-milih dalam menempuh hidup ini. Jadi, jika 
kau sudah lebih dari tiga puluh, pilihlah jalan yang 
kauanggap terbaik. Aku tidak menyuruhmu menikah 
lagi. Selain itu, seandainya kita punya anak. 
rencanakanlah masa depan agar anak itu menjadi 
pusat perhatianmu, baik saat  kau masih muda atau 
bertahun-tahun lalu . Jangan menyerah pada 
keluhan wanita lesbian . Berpikirlah sebagai seorang ibu. 
dan gunakan naluri seorang ibu dalam segala hal." 
patih ronggolawe  sudah  terlelap. Ini tidak berarti ia 
berbaring, ia duduk tegak dan kelihatan seperti sedang 
bermeditasi. Dari waktu ke waktu kepalanya meng-
angguk. Ia ahli dalam hal tidur. Kemampuan ini ber-
  
kembang selama masa mudanya yang penuh 
keprihatinan, dan ia begitu berdisiplin, sehingga ia 
bisa tertidur kapan saja ia mau, tak peduli waktu 
maupun tempat. 
Ia terjaga sebab  mendengar bunyi rebana. 
Makanan dan anggur  sudah  disingkirkan. Cahaya lentera 
berkedap-kedip. Rasa pening sudah  hilang dari kepala, 
begitu juga kelelahan yang semula dirasakannya. 
patih ronggolawe  menyadari bahwa ia rupanya tidur cukup 
lama. Secara bersamaan ia merasakan kegembiraan 
menyelubungi dirinya. Sebelum ia terlelap, suasana di 
benteng kota terasa muram dan pilu, namun  kini suasananya 
sudah  berubah dengan bunyi rebana dan tawa , dan 
anehnya, kehangatan yang ramah mengalir entah dari 
mana. 
Mau tak mau patih ronggolawe  merasa seperti tersihir. 
namun   ia terjaga, dan semuanya nyata. Ia mendengar 
bunyi rebana, dan seseorang sedang bersenandung. 
Suara-suara itu berasal dari menara dan terdengar 
sayup-sayup, namun  patih ronggolawe  percaya bahwa baru saja ada 
orang tertawa  berderai-derai. 
Tiba-tiba patih ronggolawe  ingin berada di tengah 
keramaian, dan ia keluar ke selasar, ia melihat banyak 
lentera dan banyak orang di kediaman kalasan , di 
seberang pekarangan luas. Angin lembut membawa   
bau anggur , dan pada waktu angin bertiup ke arahnya, ia 
mendengar para centeng adipati  bertepuk tangan mengatur 
irama dan bersenandung. 
 
 
  
Kembang-kembang merah Tua,  
Buah prem wangi.  
Pohon-pohon hijau. 
Nilai laki-laki tergantung pada hati nuraninya. 
Laki-laki di antara laki-laki. 
centeng adipati , itulah kami; 
Kembang di antara kembang. 
centeng adipati , itulah kami 
Hidup manusia berlalu seperti ini. 
Apa artinya tanpa kesenangan 
Biarpun kita takkan melihat hari esok. 
 
Terutama jika kita takkan melihat hari esok. Inilah 
teori yang dianut patih ronggolawe . Ia, yang membenci 
kegelapan dan mencintai cahaya, sudah  menemukan 
sebuah berkah di dunia ini. Hampir tanpa sadar ia 
menuju ke arah keramaian, seakan-akan ditarik oleh 
suara-suara ceria. Pelayan-pelayan tampak bergegas. 
Mereka membawa   baki besar dengan tumpukan 
makanan, dan  gentong berisi anggur . 
Gerak-gerik mereka memperlihatkan semangat yang 
sama seperti yang akan mereka perlihatkan dalam 
pertempuran mempertahankan benteng kota. Pestanya 
semarak, dan semangat hidup tampil di setiap wajah. 
Sebersit keraguan menyelinap ke benak patih ronggolawe . 
"Hei! Bukankah itu Tuan patih ronggolawe ?" 
"Oh, resi  dusun nyi kembang !" 
"Aku tidak berhasil menemukan Tuan di ruang 
tamu, lalu kucari ke mana-mana." Pipi dusun nyi kembang  pun 
memerah akibat anggur , dan ia tidak lagi kelihaian begitu 
  
kurus dan cekung. 
"Kenapa suasana demikian riang?" tanya patih ronggolawe . 
"Jangan gelisah khawatir . Seperti kujanjikan, semuanya 
akan berakhir pada Jam Babi. Konon, sebab  kita 
semua harus mati suatu hari, kita sebaiknya mati 
dengan gemilang. Tuanku kalasan  dan seluruh anak 
buahnya sedang bergembira, jadi tuanku kalasan  
membuka semua gentong anggur  di benteng kota dan 
mengadakan Sidang centeng adipati . Dengan cara ini, mereka 
akan saling berpamitan sebelum meninggalkan dunia 
ini." 
"Bagaimana dengan perpisahan Yang Mulia dengan 
anak-istrinya?" 
"Itu sudah diselesaikan." Meski dalam keadaan 
mabuk, resi  dusun nyi kembang  kembali menitikkan air mata. 
Sidang centeng adipati  ini suatu hal biasa dalam setiap 
marga centeng adipati , suatu kesempatan di mana pembagian 
kasta antara junjungan dan pengikut diperlonggar, 
dan semuanya bersenang-senang dengan minum-
minum sambil bernyanyi. 
Pertemuan itu memiliki  dua tujuan: inilah 
perpisahan kalasan  dengan para pengikutnya yang 
akan ikut menyambut kematian bersamanya, dan 
dengan anak-istrinya yang akan hidup terus. 
"namun  aku pasti akan jemu kalau hanya menunggu 
sampai Jam Babi," kata patih ronggolawe . "Dengan seizin 
resi , aku ingin menghadiri acara ini. 
"Itulah sebabnya aku mencari-cari Tuan tadi. Dan 
itu pula keinginan Yang Mulia." 
  
"Apa? Yang Mulia kalasan  mengharapkan 
kehadiranku?" 
"Tuanku kalasan  berpesan, sebab  dia akan 
mempercayakan anak-istrinya kepada marga sinuhun , 
mulai sekarang Tuan harus menjaga mereka. 
Terutama anak-anaknya yang masih kecil." 
"Yang Mulia tidak perlu gelisah khawatir  mengenai ini! 
Dan aku ingin menegaskannya secara langsung. 
Sudikah resi  mengantarku ke hadapan Yang 
Mulia?" 
patih ronggolawe  mengikuti dusun nyi kembang  ke sebuah ruangan 
besar. Semua mata di mangan itu beralih ke arah 
patih ronggolawe . Bau anggur  tercium jelas. Tentu saja semua 
orang mengenakan baju tempur lengkap, dan 
semuanya sudah  bertekad untuk mati. Mereka akan 
mati bersama-sama. Seperti kuntum-kuntum bunga 
yang terguncang-guncang oleh angin, mereka siap 
gugur bersamaan, namun  sekarang, saat  mereka sedang 
bersenang-senang, tiba-tiba muncul musuh di tengah-
tengah mereka! Sebagian besar memelototi patih ronggolawe  
dengan mata merah kebanyakan orang akan gemetar 
ketakutan jika dipandang seperti itu. 
"Permisi," ujar patih ronggolawe , tanpa menujukan 
ucapannya pada orang tertentu. Ia masuk, berjalan 
dengan langkah kecil, maju sampai ke hadapan 
kalasan , dan menyembah. 
"Hamba datang, penuh terima kasih atas perintah 
Yang Mulia bahwa hamba pun patut diberi baskom . 
Mengenai masa depan putra dan ketiga putri Yang 
  
Mulia, hamba akan menjaga mereka, dan nyawa   
hamba menjadi tamhannya," patih ronggolawe  berkata dalam 
satu tarikan napas. Seandainya ia berhenti sejenak 
atau tampak takut, biarpun hanya sedikit, para 
centeng adipati  di sekelilingnya mungkin terpancing untuk 
bertindak gegabah sebab  mabuk dan rasa benci. 
"Itulah permintaanku, resi  patih ronggolawe ." Naga-
masa meraih sebuah baskom dan menyerahkannya pada 
patih ronggolawe . 
patih ronggolawe  menerima baskom itu dan mereguk isinya. 
kalasan  tampak puas. patih ronggolawe  tidak berani 
menyebut nama radenmas  maupun aidit . Istri 
kalasan  yang muda dan cantik duduk di sisi 
ruangan bersama anak-anaknya, tersembunyi di balik 
tabir perak. Mereka berimpitan seperti bunga seruni 
yang mekar di tepi sebuah kolam. patih ronggolawe  
mengamati cahaya lentera yang bcrkedap-kedip dari 
sudut mata, namun   tidak langsung memandang ke arah 
mereka. Penuh hormat ia mengembalikan baskom nya 
kepada kalasan . 
"Untuk sementara, lupakanlah permusuhan di 
antara kita," ujar patih ronggolawe . "sesudah  menerima anggur  
dalam sidang ini, dengan seizin Yang Mulia, aku ingin 
membawa  kan tarian pendek." 
"Kau mau menari?" kata kalasan , mewakili 
keheranan semua orang yang hadir. Mereka terpesona 
oleh laki-laki kecil ini. 
radenmas  menarik anak-anaknya mendekat, seperti 
induk ayam yang hendak melindungi anak-anaknya. 
  
"Jangan takut. Ibu ada di sini," ia berbisik. 
sesudah  memperoleh izin dari kalasan . patih ronggolawe  
berdiri dan berjalan ke tengah ruangan, ia baru 
hendak mulai saat  Manju berseru. "Itu dia!" 
Manju dan subanda menggenggam baju radenmas . 
Mereka memandang laki-laki yang sebelumnya begitu 
menakutkan itu. patih ronggolawe  mulai mengatur irama 
dengan entakan kaki. Secara bersamaan ia membuka 
kipas yang memperlihatkan bulatan merah di atas 
dasar emas. 
 
Dengan waktu tertuang. 
Aku menatap laku di gerbang. 
Sesekali angin sepoi 
Tak terduga di sini, kebetulan di sana: 
Tak terduga, kebetulan. 
Labu yang merambat, betapa menarik. 
 
Ia bersenandung dengan suara lantang, dan menari 
seakan-akan tak ada hal lain yang membebani 
pikirannya. namun   sebelum tariannya rampung, 
letusan senapan terdengar dari luar tembok benteng kota. 
lalu  terdengar rembakan balasan dari jarak 
lebih dekat. Sepertinya pihak di dalam maupun di luar 
benteng kota mulai menembak secara bersamaan. 
"Persetan!" patih ronggolawe  mengumpat dan membanting 
kipasnya. Jam Babi belum tiba, namun   orang-orang di 
luar benteng kota tidak tahu apa-apa mengenai kesepakatan 
ini. patih ronggolawe  tidak memberikan isyarat susulan. 
  
sebab  menduga mereka takkan menyerang, ia merasa 
cukup aman. namun   rupanya kesabaran para resi  di 
markas besar akhirnya habis, dan mereka memutuskan 
untuk mendesak aidit  agar segera mengambil 
tindakan. 
Persetan! Kipas patih ronggolawe  jatuh di depan kaki para 
komandan benteng kota yang sudah  berdiri semua. Dan ini 
memicu  perhatian mereka beralih pada 
patih ronggolawe , yang sampai sekarang tidak dianggap 
sebagai musuh. 
"Serangan!" seseorang berseru. 
"Dasar pengecut! Dia membohongi kita!" 
Kerumunan centeng adipati  terbagi dua. Kelompok yang 
lebih besar bergegas keluar, sementara sisanya 
mengepung patih ronggolawe , siap mencincangnya dengan 
pedang masing-masing. 
"Siapa yang memerintahkan ini? Jangan sentuh dia! 
Orang itu tidak boleh dibunuh!" kalasan  tiba-tiba 
berteriak sekuat tenaga. 
Anak buahnya membalas berteriak, seolah-olah 
menentang, "namun  centeng  musuh melancarkan 
serangan besar-besaran!" 
kalasan  tidak memedulikan keluhan mereka, dan 
memanggil. "wilangan  Denshiro, nongkojajar Sakon!" 
Kedua laki-laki ini pembimbingnya. saat  mereka 
maju dan menyembah, kalasan  juga memanggil 
sonokelingkake dusun nyi kembang . "Kalian bertiga akan melindungi 
anak-istriku dan mengantar patih ronggolawe  ke luar 
benteng kota. Laksanakan!" kalasan  memerintahkan. 
  
lalu  ia menatap patih ronggolawe  dengan tajam, dan 
sambil menenangkan diri sedapat mungkin, berkata, 
"Baiklah, kupercayakan mereka padamu." 
Istri dan anak-anaknya menyembah-nyembah di 
depan kakinya, namun   kalasan  menepiskan mereka 
dan berseru. "Selamat tinggal!" Seiring ucapan itu, 
kalasan  meraih kapak perang dan berlari ke dalam 
kegelapan. 
Satu sisi benteng kota sudah  diselubungi api. Sambil 
berlari, secara naluri kalasan  melindungi wajahnya 
dengan satu tangan. Serpihan-serpihan kayu yang 
terbakar menyerempet wajahnya. Asap tebal berwarna 
hitam merayap di permukaan tanah. centeng adipati  sinuhun  
pertama dan kedua yang berhasil menerobos masuk 
sudah  menyerukan nama masing-masing. Lidah api 
sudah  mencapai menara dan dengan rakus menjilati 
talang air. kalasan  melihat sekelompok orang 
berhelm besi bersembunyi di daerah itu, dan tiba-tiba 
melompat ke samping. 
"Musuh!" 
Para pengikut terdekat dan anggota keluarga berdiri 
di sekitarnya, menyambut serbuan musuh. Di atas 
mereka api mengamuk, di sekeliling mereka asap 
hitam bergulung-gulung. Baju tempur terdengar 
gemerincing. tombak beradu dengan tombak, pedang 
dengan pedang. Dalam waktu singkat mayat-mayat dan 
orang-orang terluka sudah  bergelimpangan di tanah. 
Sebagian besar prajurit di dalam benteng kota mengikuti 
jejak kalasan  dan berjuang selama mungkin, 
  
masing-masing gugur dengan gagah. Hanya sedikit 
yang tertangkap atau menyerah. Keruntuhan sinuhun ni 
berbeda bagaikan bumi dan langit dengan kekalahan 
orang-orang mpu djiwo di radenkanjeng  atau kekalahan sang 
pandita  di trowulan . Ini membuktikan bahwa penilaian 
aidit  tidak keliru saat  ia memilih kalasan  
sebagai adik ipar. 
Kesulitan patih ronggolawe , yang sudah  menyelamatkan 
radenmas  dan anak-anaknya dari kobaran api, dan  
kesulitan sonokelingkake dusun nyi kembang  tidak berkaitan dengan 
pertempuran itu. Seandainya saja centeng  penyerang 
mau menunggu tiga jam lagi, patih ronggolawe  dan orang-
orang yang dipercayakan padanya dengan mudah 
dapat meninggalkan benteng kota. namun  hanya beberapa 
menit sesudah  mereka pergi, bagian dalam benteng kota 
sudah  dipenuhi api dan prajurit-prajurit yang saling 
menggempur, sehingga sukar sekali bagi patih ronggolawe  
untuk melindungi keempat anak kecil itu dan mem-
bawa   mereka keluar. 
sonokelingkake dusun nyi kembang  menggendong anak wanita lesbian  
paling kecil di punggungnya; kakaknya, Haisu, berada 
di punggung nongkojajar Sakon, sedangkan Manju 
diikat di punggung gurunya, wilangan  Denshiro. 
"Naiklah ke bahuku," patih ronggolawe  berkata pada 
Cacha, namun  gadis lesbian cilik itu tak mau beranjak dari sisi 
ibunya. Dengan paksa patih ronggolawe  memisahkan mereka. 
"Kalian tidak boleh terluka. Aku memohon, inilah 
permintaan Yang Mulia kalasan  padaku." 
Ini bukan saatnya memperlakukan mereka secara 
  
halus, dan meskipun ucapan patih ronggolawe  tetap sopan, 
nada suaranya terasa mengancam. radenmas  menaikkan 
subanda ke punggung patih ronggolawe . 
"Semua sudah siap? Ikuti aku. Tuan Putri harap 
genggam tanganku." Sambil memikul subanda. 
patih ronggolawe  menarik tangan radenmas  dan mulai 
melangkah maju. radenmas  terseok-seok. dengan susah 
payah berusaha menjaga keseimbangan. Tak lama 
lalu  ia menarik tangannya dari genggaman 
patih ronggolawe , tanpa berkata apa-apa. Ia terus berjalan 
seperti seorang ibu, dengan hati kacau sebab  
memikirkan anak-anaknya yang terperangkap di 
tengah kegilaan ini. 
aidit  kini sedang mengamati kebakaran di 
benteng kota sinuhun ni. Lidah apinya nyaris sanggup meng-
hanguskan wajahnya, begitu kecil jarak yang 
memisahkannya dari neraka itu. Gunung-gunung dan 
lembah-lembah di ketiga sisi tampak merah, dan 
benteng kota yang sedang terbakar berderu-deru bagaikan 
tungku pengecoran raksasa. 
saat  api akhirnya berubah menjadi abu yang 
mengepulkan asap dan semuanya sudah  berlalu. 
aidit  tak sanggup menahan air mata atas nasib 
yang menimpa adik iparnya. Dasar bodoh! Ia memaki 
kalasan . 
saat  api memangsa semua kuil dan biara di 
Gunung brahma berikut nyawa   semua biksu dan orang 
biasa di gunung itu. aidit  melihatlihat nya tanpa 
berkedip. namun  kini matanya berkaca-kaca. Pem-
  
bantaian di Gunung brahma tak bisa dibandingkan 
dengan kematian adiknya. 
Manusia memiliki akal sehat dan naluri, dan 
keduanya sering saling bertentangan. namun   
aidit  percaya penuh pada pemusnahan Gunung 
brahma bahwa dengan menghancurkan satu gunung, tak 
terhitung banyaknya yang akan memperoleh ke-
bahagiaan dan kemakmuran. Kematian kalasan  
tidak memiliki arti sebesar itu. kalasan  berjuang 
dengan pandangan sempit mengenai kewajiban dan 
kehormatan, oleh sebab itu aidit  terpaksa 
melakukan hal yang sama. aidit  pernah meminta 
agar kalasan  melepaskan pandangannya yang picik 
dan mendukung visi aidit  yang lebih luas. 
Sampai akhir ia memperlakukan kalasan  dengan 
penuh pertimbangan dan kemurahan hati. namun  
kemurahan hati harus ada batasnya. Sampai malam ini 
pun aidit  bersedia menunjukkan sikap lunak, 
namun  para resi nya tidak mengizinkan. 
Walaupun mpu ireng  mpu betarakatong  dari Kai sudah  tiada, 
para resi  dan prajuritnya masih siaga, dan 
kemampuan putranya konon melebihi kemampuan 
sang ayah. Musuh-musuh aidit  hanya menunggu 
sampai ia tersandung. Hanya orang bodoh yang akan 
berlama-lama menunggu tanpa bertindak di bagian 
utara gunungselatan sesudah  menghancurkan radenkanjeng   dengan 
sekali pukul. saat  mendengar argumen-argumen  
seperti  ini dari para  resi nya. aidit  pun tak 
sanggup mengatakan apa-apa demi menyelamatkan 
  
adiknya. namun  lalu  patih ronggolawe  memohon agar 
ditunjuk sebagai utusan aidit  untuk satu hari 
saja. Namun, walaupun  patih ronggolawe  sempat mengirim 
isyarat menggembirakan saat  hari masih terang, 
senja pun tiba, lalu malam, tanpa isyarat susulan 
dalam bentuk apa pun dari patih ronggolawe . Para resi  
aidit  marah sekali. "Mungkinkah ini hanya siasat 
musuh?"  
"Mungkin dia sudah mati terbunuh." 
"Musuh sedang menyusun rencana sementara kita 
tidak berbuat apa-apa. 
aidit  terpaksa mengalah, dan akhirnya mem-
berikan perintah untuk melancarkan serangan habis-
habisan. namun , sesudah  mengambil keputusan itu , 
ia bertanya-tanya apakah ia tidak mengorbankan 
nyawa   patih ronggolawe , dan penyesalannya nyaris tak ter-
tahankan. 
Tiba-tiba seorang centeng adipati  muda dengan baju 
tempur bertali hitam menghampirinya, la begitu 
terburu-buru, sehingga tombaknya hampir mengenai 
aidit . 
"Tuanku!" ia terengah-engah. 
"Berlutut!" seorang resi  membentak. "letakkan 
tombak di belakangmu!" 
Di bawah  tatapan para pengikut yang mengelilingi 
aidit , centeng adipati  muda itu segera berlutut. 
"Yang Mulia patih ronggolawe  baru saja kembali. Dia 
berhasil keluar dari benteng kota tanpa cedera." 
"Apa? patih ronggolawe  sudah  kembali?" aidit  berseru. 
  
"Seorang diri?" ia bertanya cepat-cepat. 
Kurir muda itu menambahkan, "Dia ditambah   tiga 
orang jawa , dan  Putri radenmas  dan anak-anaknya." 
aidit  gemetar. "Kau percaya? Kau melihat 
mereka?" 
"Sekelompok centeng adipati  mengawal  mereka dalam 
perjalanan ke sini, sejak mereka keluar dari benteng kota 
yang roboh dimakan api. Mereka lelah sekali, jadi 
kami membawa   mereka ke suatu tempat aman dan 
memberi mereka air. Yang Mulia patih ronggolawe  me-
merintahkan hamba berlari ke markas untuk 
melaporkan hal ini." 
aidit  berkata. "Kau pengikut patih ronggolawe . Siapa 
namamu?" 
"Hamba kepala pelayan, Horio ki pralayan." 
"Terima kasih atas kabar baik yang kausampaikan. 
Sekarang pergilah, lalu beristirahat." 
"Terima kasih, tuanku, namun  pertempuran masih 
berlangsung sengit." Dengan ini, ki pralayan cepat-cepat 
mohon diri dan bergegas ke arah teriakan para prajurit 
di kejauhan. 
"Bantuan dewa-dewa...," seseorang bergumam 
sambil mendesah. Orang itu dijoyo . resi -resi  
lain pun mengucapkan selamat kepada aidit . 
"Ini berkah yang tak terduga. Tuanku tentu gembira 
sekali." 
Perasaan yang sama menyelinap ke dalam hati 
mereka. Orang-orang ini iri terhadap keberhasilan 
patih ronggolawe , dan merekalah yang terus mendesak untuk 
  
melancarkan serangan besar-besaran. 
namun , bagaimanapun, kegembiraan aidit  me-
luap-luap. dan suasana hatinya yang riang segera mem-
buat suasana di markas menjadi lebih cerah. 
Sementara yang lain sibuk mengucapkan selamat, 
dijoyo  yang cerdik diam-diam berkata pada Nobu-
naga, "Perlukah hamba menyambut dia?" 
sesudah  memperoleh izin dari aidit , ia ditambah    
beberapa pengikut bergegas menuruni lereng ke arah 
benteng kota. Akhirnya, di bawah  perlindungan patih ronggolawe , 
radenmas  yang sudah dinanti-nanti tiba di markas. 
Sekelompok prajurit pembawa   obor berjalan di depan. 
patih ronggolawe  menyusul di belakang mereka, masih sambil 
menggendong subanda di punggungnya. 
Hal pertama yang terlihat oleh aidit  adalah 
butir-butir keringat pada kening patih ronggolawe , berkilau-
kilau terkena cahaya obor. Berikutnya ada resi  tua, 
sonokelingkake dusun nyi kembang , dan kedua pembimbing, masing-
masing dengan seorang anak di punggung. aidit  
memandang anak-anak itu sambil membisu. Wajahnya 
tidak memperlihatkan emosi. lalu , kira-kira dua 
puluh langkah di belakang. nyoto  dijoyo  muncul. 
Sebuah tangan putih berpegangan pada bahu baju 
tempurnya. Tangan itu tangan radenmas , yang kini 
setengah tak sadar. 
"Putri radenmas ." kata dijoyo . "Kakak Tuan Putri ada 
di sebelah sini." Cepat-cepat dijoyo  menuntunnya 
kepada aidit . 
saat  radenmas  sadar kembali, ia hanya dapat men-
  
cucurkan air mata. Sejenak isak tangis wanita lesbian  itu 
menutupi semua bunyi lain di perkemahan. Hati para 
resi  veteran yang hadir pun serasa disayat-sayat. 
aidit , di pihak lain, tampak muak. Inilah adik 
tercinta yang sampai beberapa saat lalu membuatnya 
begitu cemas. Mengapa ia tidak menyambutnya 
dengan gembira? Adakah sesuatu yang sudah  mengusik 
suasana hatinya? Para resi  kelihatan cemas. Bahkan 
patih ronggolawe  pun tidak memahami apa yang sudah  
terjadi. Para pengikut utama aidit  terus-menerus 
direpotkan oleh perubahan suasana hati junjungan 
mereka yang serba mendadak. saat  mereka melihat 
roman muka yang sudah  akrab bagi mereka, tak 
seorang pun dari mereka sanggup berbuat apa-apa 
selain berdiri membisu; dan di tengah-tengah 
keheningan, aidit  sendiri pun tak mampu meng-
hibur diri. 
Tidak banyak pengikut aidit  yang dapat mem-
baca pikirannya dan membebaskannya dari kekusutan 
akibat wataknya yang murung dan tertutup. 
sebetulnya , hanya patih ronggolawe  dan tribuana  
tunggadewa , yang kini tidak hadir, yang memiliki 
kemampuan itu. 
patih ronggolawe  mengamati situasinya sejenak, dan 
sebab  sepertinya tak ada yang akan berundak, ia 
berkata pada radenmas , "Wah, wah, Tuan Putri. Sapalah 
Yang Mulia. Percuma saja Tuan Putri berdiri di sini 
dan menangis gembira. Ada apa? Bukankah Yang 
Mulia dan Tuan Putri kakak-beradik?" 
  
radenmas  tidak bereaksi. Ia bahkan tak sanggup 
memandang wajah kakaknya. Pikirannya berada di sisi 
kalasan . Bagi radenmas , aidit  tak lebih dari 
resi  musuh yang membunuh suaminya dan 
membawa  nya ke sini sebagai tawa nan di perkemahan 
musuh. 
aidit  tahu persis apa yang tersembunyi di 
dalam hati adiknya. Jadi, selain merasa puas sebab  
berhasil menyelamatkannya, ia pun menyesalkan 
wanita lesbian  bodoh ini, yang tidak memahami betapa 
besar cinta kasih kakaknya. 
"patih ronggolawe , biarkan saja. Percuma saja, kau hanya 
buang-buang waktu." aidit  berdiri mendadak. Ia 
mengangkat sebagian tirai yang mengelilingi markas-
nya. 
"sinuhun ni sudah  takluk," ia berbisik sambil menatap 
kobaran api. Baik teriakan-teriakan perang maupun 
deru api yang menghanguskan benteng kota mulai ber-
kurang, dan bulan yang sedang menyusut membanjiri 
gunung-gunung dan lembah-lembah dengan cahaya 
keperak-perakan saat  mereka menunggu fajar. 
Pada saat itu, seorang perwira ditambah    anak buahnya 
berlari mendaki bukit sambil melepaskan teriakan 
kemenangan. saat  mereka meletakkan kepala jawa  
kalasan  dan para pengikutnya di hadapan Nobu-
naga. radenmas  menjerit, dan anak-anak yang berpegangan 
erat padanya mulai menangis. 
aidit  berseru, "Hentikan! dijoyo ! bawa   anak-
anak keluar dari sini! Kuserahkan mereka ke dalam 
  
perlindunganmu baik radenmas  maupun anak-anaknya. 
Bergegaslah dan bawa   mereka ke suatu tempat di 
mana tak seorang pun melihat mereka." 
lalu  aidit  memanggil patih ronggolawe  dan 
bcrkata padanya. "Kau akan bertanggung jawab  atas 
bekas wilayah marga jawa ." Ia sudah memutuskan 
untuk kembali ke padalarang  begitu benteng kota sinuhun ni berhasil 
direbut. 
radenmas  terpaksa dipapah. Belakangan ia menikah 
dengan dijoyo . namun   salah satu dari ketiga putri 
cilik kalasan  mengalami nasib yang bahkan lebih 
aneh dibandingkan  ibunya. Putri tertua kalasan , subanda. 
di lalu  hari dikenal sebagai Putri watangsewu gimi, 
gundik patih ronggolawe . 
awal  bulan ketiga di tahun berikut sudah  tiba. Kabar 
baik sampai kepada nyi momo , berupa surat dari suaminya. 
 
Walaupun beberapa dinding di benteng kota lojibenteng  masih 
agak kasar, begitu lama waktu sudah  berlalu, sehingga aku 
hampir tak sabar menunggu untuk melihat kalian berdua. 
Tolong beri tahu Ibu agar bersiap-siap menghadapi 
kepindahan dalam waktu dekat. 
 
Dengan surat-surat sesingkat ini, sukar untuk mem-
bayangkan apa yang sudah  terjadi, namun  sebetulnya  
suami-istri itu sudah beberapa kali saling mengirim 
surat sesudah  Tahun Baru. Tak sedikit pun waktu 
patih ronggolawe  tersisa untuk bersantai-santai. Berbulan-
bulan ia berperang di bagian utara gunungselatan, bertempur di 
sana-sini, dan kalaupun ada sedikit waktu luang, ia 
  
segera diutus ke tempat lain. 
Jasa patih ronggolawe  pada penaklukan sinuhun ni tidak ter-
tandingi oleh siapa pun. Sebagai tanda terima kasih, 
aidit  untuk pertama kali menganugerahkan 
sebuah benteng kota bagi patih ronggolawe  ditambah    tanah senilai 
9 ratus ribu gantang dari bekas wilayah jawa . 
Sampai saat itu patih ronggolawe  hanya seorang resi , namun  
dengan satu lompatan ia memasuki jajaran penguasa 
provinsi. Secara bersamaan aidit  juga mem-
berikan nama baru padanya: Haeyang . 
Di musim gugur itu Haeyang  patih ronggolawe  menjadi 
orang terkenal, dan kini berdiri sejajar dengan para 
resi  veteran marga sinuhun  yang lain. Namun ia tak 
puas dengan benteng kotanya yang baru di sinuhun ni; benteng kota 
itu benteng kota defensif, baik untuk mengurung diri dan 
bertahan terhadap pengepungan, namun  tidak cocok 
sebagai titik tolak untuk melancarkan serangan. Tiga 
mil ke arah selatan, di tepi Danau Biwa, ia 
menemukan tempat yang lebih memadai: sebuah desa 
bernama lojibenteng . sesudah  memperoleh persetujuan 
aidit , ia segera mulai dengan kegiatan pem-
bangunan. saat  musim semi tiba, menara yang 
berdinding putih, tembok-tembok yang kokoh, dan  
gerbang-gerbang besi sudah  berhasil dirampungkan. 
syam  banaspati  diberi tugas mengawal  istri 
dan ibu patih ronggolawe  dari kahuripan, dan ia tiba dari 
lojibenteng  beberapa hari sesudah  nyi momo  menerima surat 
patih ronggolawe . nyi momo  dan ibu mertuanya dibawa   dengan 
tandu berlapis sampang, dan rombongan pengawal  
  
mereka terdiri atas seratus orang. 
Ibu patih ronggolawe  minta pada nyi momo  agar mereka 
melewati Gitu, dan agar nyi momo  menghadap aidit  
untuk mengucapkan terima kasih atas segala berkah 
yang sudah  mereka nikmati. nyi momo  merasa tugas ini 
suatu tanggung jawab  besar, dan bahkan meng-
anggapnya sebagai siksaan. Ia percaya bahwa jika ia 
mendatangi benteng kota padalarang  dan menghadap aidit  
seorang diri, ia takkan sanggup berbuat apa-apa selain 
duduk dan gemetar. 
Hari yang sudah  ditentukan pun tiba, dan dengan 
meninggalkan ibu mertuanya di penginapan, seorang 
diri nyi momo  pergi ke benteng kota, sambil membawa   oleh-
oleh dari Sunomara. sesudah  sampai di benteng kota, ia 
seakan-akan melupakan segala kecemasan yang ia 
rasakan sebelumnya. Begitu berada di sana, untuk 
pertama kali ia memandang junjungannya, dan ber-
lawan an dengan dugaannya, aidit  bersikap ter-
buka dan ramah tamah. 
"Kau pasti sudah  mengerahkan segenap tenagamu 
untuk mengurus benteng kota itu demikian lama, sekaligus 
menjaga ibu mertuamu. Dan lebih dari itu, kau tentu 
kesepian sekali," kata aidit  dengan sikap begitu 
akrab, sehingga Nenc menyadari bahwa keluarganya 
sendiri memiliki hubungan dengan keluarga 
aidit . Ia merasa bisa bersikap terus terang. 
"Hamba merasa tak patut hidup tenteram di rumah, 
sementara orang lain sedang berperang. Dewa-dewa 
mungkin menghukum hamba jika hamba mengeluh 
  
sebab  kesepian." 
aidit  menghentikannya dengan tertawa . 
"Tidak, tidak. Hati seorang wanita tetap hati seorang 
wanita, dan kau tak perlu menutup-nutupinya. Justru 
dengan merenungkan kesepian kala kau mengurus 
rumah tangga, kau dapat lebih memahami kelebihan 
suamimu. Seseorang pernah menulis sajak mengenai 
ini; bunyinya kira-kira begini. 'Dalam perjalanan, sang 
suami memahami nilai istrinya di penginapan yang 
terselubung salju.' Aku bisa membayangkan bahwa 
patih ronggolawe  pun sudah tak sabar. Bukan itu saja, namun   
benteng kota di lojibenteng  juga masih baru. Menanti 
selama perang berlangsung pasti terasa berat, namun  
kalau kalian bertemu nanti, kalian akan merasa seperti 
pengantin baru lagi." 
nyi momo  tersipu-sipu dan menyembah. Rupanya ia 
teringat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru. 
aidit  pun dapat menebak pikirannya dan 
tersenyum. 
Makanan dan baskom anggur  berwarna dibawa   masuk. 
sesudah  menerima baskom dari tangan aidit . nyi momo  
mencicipi anggur -nya dengan anggun. 
"nyi momo ," ujar aidit  sambil tertawa . Akhirnya, 
sesudah  merasa sanggup memandang langsung wajah 
junjungannya. nyi momo  mengangkat kepala dan bertanya-
tanya apa yang hendak dikatakannya. aidit  
berkata mendadak. "Satu hal, jangan cemburu." 
"Ya, tuanku." nyi momo  menjawab  tanpa berpikir lebih 
dahulu , namun  sesudah  itu wajahnya langsung memerah lagi. 
  
nyi momo  pun sempat mendengar desas-desus mengenai 
patih ronggolawe . yang mendatangi benteng kota padalarang  dengan 
ditemani wanita lesbian  cantik. 
"Itulah patih ronggolawe . Dia tidak sempurna. namun   
baskom teh yang sempurna tidak memiliki daya pikat. 
Semua orang memiliki  kekurangan. Kalau orang 
biasa memiliki  silat buruk, dia menjadi sumber 
masalah: namun   hanya sedikit orang yang memiliki 
kemampuan seperti patih ronggolawe . Aku sering bertanya-
tanya, wanita lesbian  seperti apa yang akan memilih laki-
laki seperti dia. Kini, sesudah  bertemu denganmu hari 
ini, aku tahu bahwa patih ronggolawe  pasti mencintaimu. 
Jangan cemburu. Hiduplah dengan rukun." 
Bagaimana mungkin aidit  begitu memahami 
perasaan wanita lesbian ? Walaupun agak menakutkan, ia 
merupakan laki-laki yang dapat dijadikan tempat ber-
sandar oleh Nenc dan suaminya. nyi momo  tidak tahu 
apakah harus gembira atau merasa malu. 
Ia kembali ke tempat penginapan di kota benteng kota. 
namun   yang paling banyak dibicarakan nyi momo  dengan 
ibu mertuanya yang sudah  menunggu bukanlah nasihat 
aidit  mengenai kecemburuan. "Setiap kali se-
seorang menyebut nama aidit . semua orang 
gemetar ketakutan, jadi aku pun bertanya-tanya seperti 
apa orangnya. namun  rasanya hanya sedikit penguasa di 
negeri ini yang selembut dia. Aku tak sanggup mem-
bayangkan bagaimana orang berperasaan halus seperu 
itu bisa berubah menjadi momok menakutkan jika 
berada di atas kuda. Yang Mulia juga mengetahui 
  
sesuatu mengenai Ibu, dan dia berkata bahwa Ibu 
memiliki  putra yang patut dibanggakan, dan bahwa 
Ibu seharusnya merupakan orang paling bahagia di 
seluruh majapahit . Dia memberitahuku bahwa negeri ini 
hanya memiliki sedikit orang seperti patih ronggolawe , dan 
bahwa aku memilih suami yang baik. Yang Mulia 
bahkan menyanjungku dan berkata bahwa aku mem-
punyai mata yang tajam." 
Kedua wanita lesbian  itu melanjutkan perjalanan 
dengan damai. Mereka melintasi betari jawi , dan akhirnya 
menatap ke luar dari tandu, mengagumi pe-
mandangan musim semi di Danau Biwa.  mpu ireng  mpu jengger  sudah  mengalami tiga puluh 
musim gugur. Ia lebih tinggi dan lebih  kekar dibandingkan  ayahnya, mpu ireng  mpu betarakatong , dan konon ia laki-laki yang 
tampan. Tiga tahun sudah   berlalu sejak kematian mpu betarakatong . Bulan keempat merupakan akhir masa dukacita.   Perintah terakhir mpu betarakatong , "Sembunyikan duka 
kalian selama tiga tahun," dijalankan secepat-cepatnya. 
Namun setiap tahun pada hari kematiannya, lentera-
lentera di semua  kuil di Kai dan terutama lentera-
lentera di Kuil Kitin dinyalakan untuk mengadakan 
upacara pcringatan secara sembunyi-sembunyi. Selama  
tiga hari mpu jengger  mengabaikan semua  urusan militer 
dan mengunci diri di Kuil kuceswara  untuk ber-
meditasi. Pada tahun ketiga, mpu jengger  menyuruh buka pintu-pintu kuil untuk mengeluarkan asap dupa yang dibakar selama  upacara peringatan mpu betarakatong . Begitu 
mpu jengger  selesai berganti pakaian, Atobe ranggawesi  minta waktu untuk menghadap. 
"Tuanku." ranggawesi  mulai berkata. "harap tuanku segera membaca surat ini, dan memberi jawaban pasti pada  hamba. jawaban pasti lisan pun sudah cukup. Hamba akan 
menuliskannya untuk Tuanku." mpu jengger  cepat-cepat membuka surat itu. "Oh... 
  dari swaradwipa." Terlihat jelas bahwa surat itu sudah  beberapa  lama ditunggu-tunggunya, dan ekspresi yang melintas di wajah mpu jengger  saat  membacanya juga  bukan ekspresi biasa. Sesaat ia seakan-akan tak dapat mengambil keputusan. 
Kicauan seekor burung terdengar dari kejauhan, 
yang menandakan kedatangan musim panas. 
mpu jengger  menatap langit lewat jendela. "Aku 
mengerti. Itu jawab anku."  ranggawesi  memandang junjungannya. "Cukupkah 
itu, tuanku?" ia bertanya, sekadar untuk memastikan. "Ya," jawab  mpu jengger . "Kesempatan emas ini tak  boleh disia-siakan. Kurir yang membawa   pesan ini 
harus orang yang dapat dipercaya." 
"Urusan ini teramat penting. Tuanku tak perlu 
gelisah khawatir ." Tidak lama sesudah  ranggawesi  meninggalkan  kuil, sebuah pemberitahuan mengenai pengerahan centeng  mulai beredar. Prajurit-prajurit terlihat berdatangan sepanjang malam, dan kesibukan di dalam dan di luar benteng kota tak ada habis-habisnya. saat   fajar menyingsing, sekitar lima belas ribu prajurit 
basah akibat embun pagi, sudah   menunggu di 
lapangan upacara di luar benteng kota. Dan prajurit-prajurit lain masih terus berdatangan. Sebelum matahari terbit, bunyi sangkakala yang menandakan  keberangkatan centeng . Beberapa kali terdengar bergema di atas rumah-rumah di loji abang . 
Malam itu mpu jengger  hanya tidur sebentar, namun  kini 
ia sudah  mengenakan baju tempur lengkap. 
  
Penampilannya bukan seperti orang yang kurang 
tidur, dan kesehatannya yang luar biasa dan  impian-
nya untuk mencapai hal-hal besar tampak bersinar, 
seperti embun pada daun-daun muda. 
Ia tidak menyia-nyiakan satu hari pun sejak 
kematian ayahnya tiga tahun yang lalu. Pegunungan 
dan sungai-sungai berarus deras membentuk per-
tahanan alami di sekeliling Kai, namun  mpu jengger  tidak 
puas dengan provinsi yang diwarisinya. Bagaimana-
pun, ia dianugerahi keberanian dan kecerdikan 
melebihi ayahnya. mpu jengger  berbeda dengan 
keturunan banyak marga centeng adipati  tersohor lainnya 
tak bisa dinamakan  putra yang mengecewakan. Justru 
sebaliknya, kebanggaannya, kesadarannya akan 
kewajiban, dan  kegagahannya dalam pertempuran 
malah bisa dibilang berlebihan. 
Meski marga mpu ireng  berusaha merahasiakannya, 
berita mengenai kematian mpu betarakatong  sudah  sampai di 
provinsi-provinsi rnusuh, dan tidak sedikit yang 
merasa bahwa kescmpaun ini tak dapat diabaikan 
begitu saja. Marga kramat sudah  melancarkan serangan 
mendadak, marga Hojo pun sudah   bcrubah sikap. Dan 
bisa dipastikan bahwa jika ada peluang, marga sinuhun  
dan prabu kertoarjowardana   pun akan melakukan serbuan dari 
wilayah masing-masing. 
mpu jengger , seperti putra setiap orang besar, berada 
dalam posisi sulit. Meski demikian, ia tak pernah 
membawa   aib bagi nama ayahnya. Dalam hampir 
setiap pertempuran, ia keluar sebagai pemenang. 
  
sebab  itu, ada desas-desus bahwa kematian mpu betarakatong  
sengaja direkayasa, sebab ia seolah-olah menampakkan 
diri setiap kali ada kesempatan. 
"resi  minakjinggo  dan resi  kartawiwaha  memohon 
waktu untuk menghadap tuanku sebelum centeng  
maju ke medan laga," seorang pengikut melaporkan. 
centeng  Kai sudah siap berangkat saat  pesan itu 
disampaikan pada mpu jengger . Baik minakjinggo  kertapati  dan 
kartawiwaha  brewirabumi  merupakan pengikut senior sejak 
masa mpu betarakatong . 
mpu jengger  balik benanya. "Apakah keduanya sudah 
siap bergerak? 
"Sudah, tuanku," balas si pembawa   pesan. 
mpu jengger  mcngangguk-angguk. "Kalau begitu, bawa   
mereka ke sini." 
Sesaat lalu , kedua resi  itu muncul di 
hadapan mpu jengger . Ia sudah tahu apa yang akan mereka katakan. 
"Tuanku bisa lihat sendiri." minakjinggo  mulai berkata. 
"kami langsung berangkat ke sini waktu menerima 
kabar mengenai pengerahan centeng  semalam. namun  
kejadian ini sangat tidak lazim. Tak ada rapat perang. 
dan kami berdua tidak memahami tujuan operasi 
militer ini. Keadaan dewasa ini tidak memungkinkan 
kita melakukan pergerakan centeng  dengan 
sembrono." kartawiwaha  melanjutkan. "Mendiang ayah 
tuanku, tuanku mpu betarakatong , berulang kali mencicipi 
pahitnya kekalahan waktu kita menyerang ke barat. 
dusun nyi kembang  memang kecil, namun  prajurit-prajuritnya gagah berani, dan saat ini marga sinuhun  tentu sudah sempat 
mengambil langkah-langkah balasan. Kalau kita maju  terlalu jauh, kita mungkin tak dapat mundur dengan  selamat." 
Sambil bicara bergantian, kedua orang itu 
mengemukakan keberatan masing-masing. Kedua-
duanya merupakan veteran yang dilatih oleh mpu betarakatong  
sendiri, dan kecerdikan dan  keberanian mpu jengger  
tidak dipandang sebelah mata oleh mereka. Justru 
sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai ancaman. 
mpu jengger  sudah agak lama merasakannya, dan 
wataknya menyebab-kan ia tak dapat menerima saran 
mereka bahwa langkah terbaik adalah menjaga 
perbatasan Kai selama  beberapa  tahun. 
"Kalian tahu bahwa aku tak mungkin melancarkan 
operasi militer secara gegabah. Tanyakan detail-
detailnya pada ranggawesi . namun  kali ini bisa dipastikan 
kita akan merebut benteng kota swaradwipa dan benteng kota 
bratangbinangun. Aku akan menunjukkan bagaimana 
caranya mewujudkan sebuah impian lama. Straregi 
kita harus dirahasiakan. Aku takkan memberitahukan 
rencanaku kepada para prajurit sebelum kita mulai 
mendesak musuh." 
Dengan tangkas mpu jengger  menghindari keluhan 
kedua resi nya yang kelihatan tak senang. 
Saran untuk menemui ranggawesi  demi memperoleh 
keterangan lebih lanjut terasa mengganjal di hati 
mereka. Kedua resi  itu saling melirik, dan sekilas 
mereka bertukar pandang sambil terheran-heran. 
  
centeng  dikerahkan tanpa berkonsultasi dahulu  dengan 
mereka resi -resi  paling senior dan keputusan 
diambil dengan orang seperti Atobe ranggawesi . 
Sekali lagi minakjinggo  mencoba berbicara dengan 
mpu jengger . "Nanti kami akan mendengarkan segala 
sesuatu yang mau dikatakan oleh Tuan ranggawesi , namun  
jika tuanku sebelumnya sudi menyampaikan sepatah-
dua kata mengenai rencana rahasia ini, kami sebagai 
resi  tua dapat menatap tempat kematian kami 
dengan hati mantap." 
"Aku tidak mau mengatakan apa-apa lagi di sini." 
ujar mpu jengger  sambil memandang orang-orang di 
hadapannya. lalu  ia menambahkan dengan 
keras, "Aku senang bahwa kalian merasa prihatin, namun  
aku bukannya tidak sadar betapa pentingnya urusan 
ini. Selain itu, aku tak bisa membatalkan rencana itu 
sekarang. Tadi pagi aku sudah   bersumpah demi Mihata 
Tatenashi." 
saat  mendengar nama-nama keramat ini, kedua 
resi  segera menyembah dan mengucapkan doa 
dalam hati. Mihata Tatenashi merupakan benda pusaka 
yang sudah selama  Beberapa  generasi dimuliakan 
oleh marga mpu ireng . Mihata merupakan panji dewa 
perang aryadwinata : Tatenashi adalah baju tempur 
pendiri marga. Marga mpu ireng  memiliki peraturan yang 
tak dapat dilanggar, yaitu jika seseorang sudah  meng-
ucapkan sumpah dengan menyebut nama kedua 
benda pusaka itu, sumpahnya tak dapat ditarik 
kembali. 
  
Pengumuman mpu jengger  bahwa ia bertindak 
bcrdasarkan sumpah keramat berarti tak ada alasan 
lagi bagi kedua resi  untuk terus membantah. Pada 
saat itu, bunyi sangkakala memberi aba-aba bagi 
centeng  untuk membentuk formasi dan bersiap-siap 
berangkat, sehingga kedua resi  terpaksa mohon 
diri. namun , masih diliputi perasaan gelisah khawatir  mengenai 
nasib marga, mereka berkuda untuk menemui 
ranggawesi  di tengah barisan. 
ranggawesi  mengosongkan tempat itu dan dengan 
bangga menceritakan rencana junjungan mereka. Di 
swaradwipa, yang kini diperintah oleh putra mpu mojosongo , 
Nobuyasu, ada laki-laki bernama Oga Yashiro yang 
mengatur keuangan. Beberapa waktu sebelumnya, Oga 
menyeberang ke kubu mpu ireng  dan kini merupakan 
sekutu kepercayaan mpu jengger . 
Kurir yang dua hari sebelumnya datang ke 
Tsutsujigasaki membawa   pesan rahasia dari Oga, yang 
menyatakan bahwa waktunya sudah tiba. aidit  
berada di ibu kota sejak awal  tahun. Bahkan sebelum 
itu, saat  aidit  berusaha menghancurkan para 
biksu-prajurit di bukit tengkorak ,  tidak mengirimkan bala 
bantuan dan hubungan antara kedua provinsi menjadi 
agak tegang. 
Pada waktu centeng  mpu ireng  menyerang dusun nyi kembang  
dengan kecepatannya yang tersohor, Oga akan 
menemukan jalan untuk menyulut kekacauan di 
benteng kota swaradwipa, membuka gerbang benteng kota, dan 
membiarkan centeng  Kai masuk. lalu  mpu jengger  
  
akan membunuh Nobuyasu dan menyandera keluarga 
prabu kertoarjowardana  . benteng kota bratangbinangun takkan memiliki  
pilihan selain menyerah, dan centeng  pengawal nya 
akan bergabung dengan centeng  mpu ireng , sehingga  
terpaksa melarikan diri ke Ise atau blambangan . 
"Ragaimana pendapat Tuan-Tuan? Bukankah ini 
merupakan berkah dari para dewa?" kata ranggawesi  
dengan bangga, seakan-akan ia sendiri yang menyusun 
seluruh rencana itu. Kedua resi  tua tidak berminat 
mendengar lebih  banyak lagi. Mereka  meninggalkan 
ranggawesi , dan kembali ke resimen masing-masing, 
saling memandang sambil membisu. 
"minakjinggo , sebuah provinsi konon bisa runtuh, namun  
gunung-gunung dan sungai-sungai tetap bertahan. Kita 
berdua tak sampai hati melihat gunung dan sungai di 
sebuah provinsi yang hancur," ujar kartawiwaha  dengan 
perasaan mendalam. 
minakjinggo  mengangguk, sorot matanya tampak sedih 
saat  ia berkata. "Akhir hayat kita mendekat dengan 
cepat. Kita tinggal mencari tempat yang baik untuk 
gugur, untuk mengikuti bekas junjungan kita, dan 
untuk menebus dosa-dosa kita sebagai penasihat yang 
buruk." 
Reputasi minakjinggo  dan Yamagara sebagai kedua resi  
mpu betarakatong  yang paling berani sudah  jauh melampaui 
perbatasan Kai. Kepala mereka sudah beruban semasa 
mpu betarakatong  masih hidup, namun  sesudah  kematiannya, 
rambut mereka  dengan cepat berubah putih. 
Daun-daun di pegunungan Provinsi Kai masih 
  
muda dan hijau menjelang musim panas tahun itu, 
dan air Sungai Fuefuki melantunkan nyanyian 
kehidupan abadi. namun  berapa prajurit yang bertanya-
ianya apakah mereka  masih akan melihat gunung-
gunung itu? 
centeng  mpu ireng  bukan lagi centeng  di masa hidup 
mpu betarakatong . Nada sedih yang membunyikan ketidak-
pastian hidup terdengar dalam panji-panji yang ber-
kibar-kibar dan dalam bunyi langkah mereka. namun  
kelima betas ribu prajurit itu memukul genderang 
perang, mengibarkan panji-panji, dan menyeberangi 
perbatasan Kai; kemegahan yang tercermin dalam 
mata rakyat tak kalah gemilang dibandingkan dengan 
di masa mpu betarakatong . 
Tepat saat  warna matahari terbenam mirip  
warna matahari saat terbit, tak peduli ke mana pun 
mata memandang ke para pembawa   pataka atau 
panji-panji masing-masing resimen, atau ke centeng  
berkuda yang maju rapat-rapat di sekitar mpu jengger  
tak ada tanda-tanda kemerokuyang . mpu jengger  sendiri 
tampak sangat pcrcaya diri, sebab  ia membayangkan 
bahwa benteng kota musuh di swaradwipa sudah berada di 
tangannya. Dengan perhiasan emas pada helmnya 
memantul di pipi, masa depan resi  itu kelihatan 
cemerlang. Dan sebetulnya  ia sudah  berhasil mencapai 
beberapa kemenangan yang memacu semangat tempur 
Provinsi Kai, bahkan sesudah   kematian mpu betarakatong  yang 
termasyhur. 
Bertolak dari Kai pada hari pertama di Bulan 
  
Kelima, mereka  akhirnya melintasi Gunung Hira dari 
arah wirogeni dan memasuki wilayah dusun nyi kembang , lalu 
mendirikan perkemahan di tepi sebuah sungai pada 
malam hari. 
Dari tepi seberang, dua centeng adipati  musuh berenang ke 
arah mereka. Para penjaga segera menangkap kedua 
orang itu. Mereka  ternyata centeng adipati  prabu kertoarjowardana   yang 
diusir dari provinsi mereka  sendiri. Mereka  minta 
agar dibawa   ke hadapan mpu jengger . 
"Apa? Kenapa mereka  lari ke sini?" mpu jengger  tahu 
arti kejadian itu. Pengkhianatan Oga sudah   ter-
bongkar. 
mpu jengger  sudah   membawa   centeng nya sampai ke 
dusun nyi kembang . Apakah aku harus menyerang, atau mundur? 
mpu jengger  berulang kali bertanya pada diri sendiri. Ia 
sangat bingung dan merasa patah semangat. Seluruh 
rencana mpu jengger  didasarkan atas pengkhianatan Oga 
dan kekacauan yang seharusnya ia buat di dalam 
benteng kota swaradwipa. Terbongkarnya kedok Oga dan  
penangkapannya merupakan pukulan berat. namun , 
sesudah   maju begitu jauh, tidaklah panias bagi seorang 
centeng adipati  untuk mundur tanpa berhasil mencapai apa 
pun. Di pihak lain, tidak pada tempatnya untuk maju 
secara sembrono. Batin mpu jengger  bergolak hebat. Dan 
ia serasa ditusuk-tusuk saat  teringat bagaimana minakjinggo  
dan kartawiwaha  mewanti-wantinya agar tidak meng-
ambil langkah gegabah, sebelum centeng nya bertolak 
dari Kai. 
"Kirim 50000 prajurit ke arah Nagashino," 
  
mpu jengger  memerintahkan. "Aku sendiri akan 
menyerang benteng kota Yosdwikerto  dan menyapu daerah 
sekitarnya." 
mpu jengger  membongkar kemah sebelum fajar dan 
menuju Yosdwikerto . Tanpa kepercayaan akan kemenangan, 
ia membumihanguskan beberapa  desa sebagai ajang 
pamer kekuatan. Ia tidak menyerang benteng kota Yosdwikerto , 
mungkin sebab  mpu mojosongo  dan putranya, Nobuyasu, sudah  
menggulung para pengkhianat dan cepat-cepat 
mengirim centeng  sampai ke Hajikamigahara. 
Berbeda dengan centeng  mpu jengger  yang kini tak 
dapat maju maupun mundur, sehingga hanya ber-
usaha agar tidak kehilangan muka, centeng  prabu kertoarjowardana   
sudah   membasmi para pemberontak dan menerjang 
dengan semangat menggebu-gebu. 
"Apakah kita provinsi yang sekarat atau yang sedang 
menanjak?" demikian teriakan perang mereka. Jumlah 
mereka  memang kecil, namun  semangat mereka  berbeda 
sama sekali dengan centeng  mpu jengger . 
Barisan depan kedua centeng  itu dua atau tiga kali 
terlibat bentrokan senjata di Hajikamigahara. namun  
centeng  Kai pun bukan centeng  sembarangan, dan 
menyadari bahwa mereka tak dapat menyaingi 
semangat tempur musuh, mereka  tiba-tiba mundur. 
Scruan, "Ke Nagashino! Ke Nagashino!" terdengar 
menggema. Mereka segera berbalik dan membelakangi 
centeng  prabu kertoarjowardana  , lalu berangkat seakan-akan harus 
menangani urusan mendesak di tempat lain. 
Nagashino merupakan medan pertempuran kuno, 
  
dan benteng kotanya konon tak dapat ditaklukkan. Pada 
awal  abad, benteng kota itu  berada di tangan marga 
mpu marijan . Belakangan marga mpu ireng  mengakuinya 
scbagai bagian dari Kai. namun  lalu , di tahun 
pertama masa pemerintahan dinasti syailendra , benteng kota itu direbut oleh mpu mojosongo , dan 
kini berada di bawah  komando Okudaira Sadamasa 
dari marga prabu kertoarjowardana  , dengan centeng  penjaga ber-
kekuatan lima ratus orang. 
sebab  nilai strategisnya, Nagashino merupakan 
pusat segala macam komplotan, pengkhianatan, dan 
pertumpahan darah, bahkan di masa damai. 
Pada malam di hari ke9 Bulan Kelima. 
centeng  Kai sudah   mengepung benteng kota itu. 
benteng kota Nagashino berdiri di pertemuan Sungai 
Taki dan Ono, di daerah bergunung-gunung di bagian 
timur dusun nyi kembang . Di belakangnya, ke arah timur laut, tak 
ada apa-apa selain gunung. Lebar selokan per-
tahanannya, yang mengambil air dari arus deras kedua 
sungai, bcrkisar dari enam puluh sampai sembilan 
puluh meter. Di bagian terendah, tepinya menjulang 
dua puluh tujuh meter, dan di bagian tertinggi 
membentuk tebing setinggi empat puluh lima meter. 
Kedalaman airnya tak lebih  dari satu setengah sampai 
dua meter, namun  arusnya deras. 
"Betapa pongahnya!" ujar Komandan benteng kota 
Nagashino saat  ia mengamati penyusunan centeng  
mpu jengger  dari menara jaga. 
Sejak sekitar tanggal sepuluh, mpu mojosongo  mulai 
mengirim kurir-kurir kepada aidit . Beberapa  
  
kali dalam sehari, untuk melaporkan situasi di 
Nagashino. Setiap ancaman bagi marga prabu kertoarjowardana   juga 
dianggap ancaman terhadap marga sinuhun , dan suasana 
di benteng kota padalarang  sudah terasa lebih tegang dibandingkan  
biasanya. 
aidit  memberikan tanggapan positif, namun  ia 
tidak terburu-buru mengerahkan centeng nya. Rapat 
perang berlangsung selama dua hari. 
"Tak ada kemungkinan menang. Percuma saja kita 
kerahkan centeng ," patih Kkertoarjo chi memperingatkan. 
"Tidak! Itu berarti kita melalaikan kewajiban kita!" 
orang lain berdalih. 
Yang lain, sepertni mpu wiraghanda, mengambil jalan 
tengah. "Seperti dikatakan resi  patih, sudah jelas 
bahwa peluang menang melawan  Kai kecil sekali, namun  
kalau kita menunda pengiriman centeng , orang-orang 
prabu kertoarjowardana   bisa menuduh kita berbuat tidak jujur, dan 
kalau kita tidak berhati-hati, ada kemungkinan mereka  
pindah ke pihak musuh, bergabung dengan centeng  
Kai, dan berbalik melawan  kita. Hamba rasa kita 
sebaiknya mengerahkan centeng  secara pasif." 
lalu , dari tengah-tcngah pedan  rapat perang, 
sebuah suara terdengar lantang, "Tidak! Tidak!" Suara 
itu milik patih ronggolawe  yang sudah  bergegas datang dari 
lojibenteng . 
"Sekarang ini benteng kota di Nagashino mungkin 
kelihatan tidak penting," lanjutnya. "namun  sesudah   
menjadi titik tolak bagi penyerbuan oleh Provinsi Kai, 
pertahanan orang-orang prabu kertoarjowardana   akan mirip  
  
tunggul bobol, dan kalau itu terjadi, sudah jelas 
centeng  prabu kertoarjowardana   takkan sanggup menahan Kai 
lama-lama. Jika kita sekarang memberikan keuntungan 
semacam itu pada Kai, bagaimana kita bisa menjamin 
keamanan benteng kota padalarang ?" Ia bicara dengan lantang, 
suaranya bergetar penuh emosi. Orang-orang yang 
hadir tak dapat berbuat lain dari memandangnya. Ia 
kembali bcrkata. "Sepengetahuanku tidak ada strategi 
militer yang membenarkan pengutusan centeng  secara 
pasif, kalau centeng  itu  sudah dikerahkan. 
dibandingkan  begitu, bukankah lebih baik kalau kita maju 
segera dan dengan percaya? Apakah marga sinuhun  akan 
runtuh? Apakah marga mpu ireng  akan meraih 
kemenangan?" 
Semua resi  menyangka aidit  akan 
mengirim enam ribu atau tujuh ribu prajurit pasti tak 
lebih dari sepuluh ribu namun  keesokan harinya ia 
memberi pcrintah untuk menyiapkan centeng  besar 
berkekuatan tiga puluh ribu orang. 
Walaupun aidit  tidak menyatakan sependapat 
dengan patih ronggolawe  selama  rapat perang berlangsung, 
ia kini menunjukkannya melalui tindakan vang di-
ambilnya. Ia sungguh-sungguh, dan ia sendiri yang 
akan memimpin centeng nya. 
"centeng  ini bisa saja dinamakan  bala bantuan," 
aidit  berkata. "namun  sebetulnya  nasib marga sinuhun -
lah yang sedang dipertaruhkan." 
centeng  besar itu bertolak dari padalarang  pada hari ketiga belas, dan mencapai swaradwipa keesokan harinya. 
  
centeng  aidit  hanya beristirahat satu hari. Pada 
pagi hari keenam belas, mereka  sudah sampai di garis depan. 
Kuda-kuda di seluruh desa mulai meringkik saat  
mega-mega fajar mulai tampak. Panji-panji terdengar 
berdesir terkena angin, dan sangkakala ber-
kumandang. Jumlah prajurit yang bertolak dari kota 
benteng kota swaradwipa pada pagi itu memang luar biasa 
besar, dan para warga provinsi kecil itu kelihatan 
takjub. Mereka  lega sekaligus iri melihat centeng  
dan  perlengkapan yang dikerahkan oleh provinsi 
hebat yang merupakan sekutu mereka. saat  ketiga 
puluh ribu prajurit sinuhun  berbaris dengan segala panji 
dan pataka, jumlah kesatuan mereka sukar dipastikan. 
"Lihat senapan-scnapan yang mereka  miliki!" seru 
orang-orang di pinggir jalan. Para prajurit prabu kertoarjowardana   
pun tak sanggup menyembunyikan perasaan iri. Dari 
ketiga puluh ribu prajurit aidit , hampir sepuluh 
ribu merupakan centeng  senapan. Mereka juga 
menarik meriam besar yang terbuat dari besi cor. namun  
yang paling aneh, hampir setiap prajurit yang tidak 
memanggul senapan membawa   tombak runcing yang 
biasa dipakai  untuk membuat pagar pertahanan, 
dan  sepotong tali. 
"Kenapa orang-orang sinuhun  membawa   tombak seperti 
itu?" para penonton bertanya-tanya. 
centeng  prabu kertoarjowardana   yang berangkat ke garis depan 
pada pagi hari berjumlah kurang dari 9 ribu 
orang. Dan itu sudah merupakan bagian terbesar dari 
  
kekuatan dusun nyi kembang . Satu-satunya hal yang tidak kurang 
adalah semangat mereka . 
Bagi marga sinuhun , wilayah ini merupakan daerah 
asing sebuah dacrah yang mereka  datangi sebagai 
bala bantuan. namun  bagi para prajurit marga 
prabu kertoarjowardana  . ini adalah tanah leluhur mereka, tanah 
yang tidak boleh diinjak musuh. Sejak awal , para 
prajurit rendahan pun berpegang pada kepercayaan ini. 
Dibandingkan perlengkapan centeng  sinuhun , jelaslah 
bahwa perlengkapan mereka  kalah jauh. namun  mereka  
tidak merasa rendah diri. sesudah  menempuh 
Beberapa  mil, orang-orang prabu kertoarjowardana   mempercepat 
langkah mereka. saat  mendekati Desa Ushikubo, 
mereka berganti arah, bergegas menjauhi centeng  
sinuhun  dan menuju Sdwikerto ragahara bagaikan awan  badai. 
 
Gunung Gokurakuji terletak tepat di depan dataran 
Sdwikerto ragahara, dan dari puncaknya posisi-posisi 
mpu ireng  di Tobigasu, Kiyoida, dan Arumigahara 
tampak jelas. 
aidit  mendirikan markas besarnya di atas 
Gunung Gokurakuji, sementara  memilih Gunung 
mandala . Ketiga puluh 9 ribu prajurit prabu kertoarjowardana   
dan sinuhun  di kedua gunung itu sudah  selesai 
mengadakan pcrsiapan untuk menghadapi per-
tecmpuran. 
Langit mulai dipenuhi awan , namun tak ada tanda-
tanda petir maupun angin. 
Di Gunung Gokurakuji, para resi  dari centeng  
  
sinuhun  dan prabu kertoarjowardana   berkumpul di sebuah kuil di 
puncak gunung untuk mengadakan rapat gabungan. 
Di tengah-tengah rapat, dibentahu bahwa para 
pengintai baru saja kembali. 
saat  aidit  mendengar ini, ia berkata. 
"Mereka  datang pada waktu yang tepat. bawa   mereka  
ke sini, agar kita semua  bisa mendengarkan laporan 
tcntang pergerakan musuh." 
Kedua pengintai memberikan laporan sambil 
bersikap sok penting. Yang pertama memulai dengan 
berkata, "Yang Mulia Katsuyon mendirikan markas-
nya di sebelah barat kawedanan songgopitu . Para pengikutnya 
dan  centeng  berkudanya tampak cukup andal, 
jumlah mereka  mencapai sekitar empat ribu orang, 
dan sepertinya mereka  sama sekali tidak gelisah." 
Pengintai kedua melanjutkan. "desa gurit  Nobusada 
dan korps penyerangnya menyerbu  medan per-
tempuran dari sebuah bukit rendah, agak ke selatan 
dari Kiyoida. Hamba melihat centeng  utama ber-
kekuatan sekitar 50000 orang di bawah  mpu jalapala  Shuri 
berkemah di Kiyoida sampai ke jawa . Sayap kiri 
mereka, yang juga berkekuatan sekitar 50000 orang, 
bcrada di bawah  komando kartawiwaha  brewirabumi  dan 
dwaradwipa  brewinaraja . Dan terakhir, sayap kanan 
dipimpin oleh kertoraharja  wirajaya  dan minakjinggo  kertapati . 
Mereka  kelihatan sangat mengesankan." 
"Bagaimana dengan centeng  yang mengepung 
benteng kota Nagashino?" tanya mpu mojosongo . 
"Kurang-lebih dua ribu orang tetap tinggal di sekitar 
  
benteng kota itu, dan mereka  cukup merepotkan centeng  
yang bertahan. Sepertinya juga ada korps pengintai di 
sebuah bukit di sebelah barat benteng kota, dan ada 
kemungkinan sekitar seribu prajurit bersembunyi di 
benteng kota-benteng kota sekitar Tobigasu." 
Laporan kedua orang itu sebetulnya  kurang 
lengkap. namun  para resi  yang mereka sebut itu 
terkenal garang dan berani, dan baik minakjinggo  maupun 
desa gurit  tersohor sebagai ahli strategi. Wajah para 
resi  sinuhun  dan prabu kertoarjowardana   menjadi pucat saat  
mendengar laporan kedua pengintai mengenai posisi 
musuh, semangat tempur mereka, dan  ketenangan 
dan rasa percaya diri vang mereka perlihatkan. 
Semuanya mcmbisu, sepertni orang-orang yang 
diserang rasa takut tepat sebelum pertempuran 
dimulai. Tiba-tiba mpu  jayadijaya  angkat bicara. 
Suaranya begitu keras, sehingga mengejutkan orang-
orang di sekelilingnya. 
"Hasilnya sudah jelas. Tak perlu berdiskusi panjang-
lebar. Mana mungkin musuh yang begitu lemah 
sanggup melawan  centeng  raksasa kita?" 
"Cukup sekian perundingan kita," aidit  
sependapa, lalu menepuk lutut. "jayadijaya  patut 
dijadikan teladan. Di mata seorang pengecut, burung 
bangau yang terbang di atas sawah 
 
 
 
mirip  panji 
musuh dan membuatnya gemetar kctakutan." ia ber-
kata sambil tertawa . "Aku merasa sangat lega sesudah   
mendengar laporan para pengintai. Tuan mpu mojosongo , kita 
harus merayakannya!" 
  
Akibat pujian yang diterimanya, mpu  jayadijaya  
terbawa   luapan scmangat dan menambahkan. 
"Menurut pendapat hamba, kelemahan musuh yang 
terbesar terletak di Tobigasu. Jika kita mengambil 
jalan melingkar dan menyerang titik lemah mereka  
dari belakang dengan orang-orang bersenjata ringan, 
moral seluruh centeng  mereka  akan mengendur, dan 
prajurit-prajurit kita..." 
"jayadijaya !" aidit  berkata dengan tajam. "Apa 
manfaatnya siasat seperti itu dalam pertempuran besar 
ini? Kau terlalu pongah. Kurasa lebih baik kalau 
semuanya menarik diri." Dengan memakai  
teguran sebagai alasan, aidit  mengakhiri rapat 
itu. Sambil menahan malu, jayadijaya  pergi bersama 
yang lain. 
Namun, sesudah   semuanya meninggalkan kuil, 
aidit  berkata pada mpu mojosongo . "Maafkan aku sebab  
menegur jayadijaya  yang gagah dengan begitu keras di 
depan semua orang tadi. Kupikir rencananya baik 
sekali, namun  aku takut sebab  mungkin ada yang 
membocorkannya pada musuh. Sudikah Tuan 
menghiburnya nanti?" 
"Tidak, memang tidak seharusnya jayadijaya  mem-
beberkan rencana kita, walaupun dia berada di antara 
sekutu. Itu pelajaran yang baik baginya. Dan aku pun 
belajar sesuatu." 
"Teguranku tadi begitu keras, sehingga orang-orang 
kita sendiri pun takkan menyangka bahwa kita akan 
memakai  rencana itu. Panggil jayadijaya , dan 
  
izinkan dia melancarkan serangan dadakan ke 
Tobigasu." 
"Aku percaya bahwa itulah keinginannya yang 
paling besar." 
 mpu mojosongo  menyuruh pelayannya memanggil Tada-
tsugu, lalu menyampaikan pesan aidit . 
jayadijaya  tidak memerlukan dorongan lebih lanjut 
untuk bertindak. Secara diam-diam ia menyelesaikan 
persiapan untuk kesatuannya, lalu menghadap 
aidit  untuk pertemuan empat mata. 
"Hamba akan berangkat saat matahari terbenam, 
tuanku." Hanya itu yang dikatakan jayadijaya . 
aidit  pun tidak banyak berkata. namun  ia 
menugaskan lima ratus prajurit bersenapannya untuk 
menyertai jayadijaya . Seluruh centeng  berkekuatan 
lebih dari 50000 orang. 
Mereka  meninggalkan perkemahan pada senja kala, 
diselubungi kegelapan Bulan Kelima. saat  mereka  
berangkat, tirai hujan mengiris-iris kegelapan. Dalam 
keadaan basah kuyup mereka berbaris sambil mem-
bisu. 
Sebclum mendaki Gunung grindana, seluruh kompi 
bersembunyi di pekarangan sebuah kuil di kaki 
gunung. Para prajurit melepaskan baju tempur masing-
masing, meninggalkan kuda-kuda, dan memanggul 
semua  perlengkapan yang akan mereka bawa   dan . 
Lereng gunung teramat curam dan berlumpur 
akibat hujan yang sangat lebat. Setiap kali melangkah 
maju, kaki mereka  merosot lagi. Sambil berpegangan 
  
pada gagang tombak dan menggapai-gapai tangan 
rekan-rekan di atas mereka, para prajurit menempuh 
jarak tiga ratus lima puluh meter ke puncak. 
Cahaya pucat mulai tampak di langit malam 
mendahului fajar yang akan menyusul. awan -awan  
mulai terkuak, dan kemegahan matahari pagi 
menembus lautan kabut tebal. 
"Langit mulai cerah!" 
"Berkah dari para dewa!" 
"Kondisinya sempurna!" 
Di puncak gunung, para prajurit mengenakan baju 
tcmpur, lalu membagi diri menjadi dua kelompok. 
Kelompok pertama akan melancarkan serangan fajar 
terhadap kubu musuh di gunung itu, sementara 
kelompok kedua akan menyerang Tobigasu. 
Orang-orang mpu ireng  sudah   menyepelekan bahaya 
yang mengancam mereka. dan kini mereka berteriak-
teriak bingung. Api yang disulut oleh centeng  
prabu kertoarjowardana   memicu  asap hitam mengepul-ngepul 
dari kubu musuh. Dalam keadaan kocar-kacir, orang-
orang mpu ireng  melarikan diri ke arah Tobigasu. namun  
saat  itu divisi kedua jayadijaya  sudah membobol 
tembok benteng kota. 
Pada malam sebelumnya, sesudah  keberangkaran 
jayadijaya , seluruh centeng  aidit  sudah  
diperintahkan maju. Namun ini bukan awal  per-
tempuran. 
centeng nya mengabaikan hujan deras dan terus 
maju sampai ke dekat Gunung Chausu. Sejak itu 
  
sampai fajar, para prajurit memancang tonggak-
tonggak yang mereka bawa  , lalu mengikat ujung-
ujungnya dengan tali, sehingga membentuk pagar 
kayu runcing yang mirip  kelabang meliuk-liuk. 
saat  fajar mendekat, aidit  memeriksa 
pertahanan dari atas kudanya. Hujan sudah  berhenti. 
dan pembangunan pagar sudah rampung. 
aidit  berpaling kepada para resi  prabu kertoarjowardana   
dan berseru sambil tertawa . "Tunggu saja! Hari ini kita 
akan membiarkan centeng  Kai mendekat, sesudah   itu 
mereka  akan menjadi sasaran empuk bagi kita." 
Begitukah? Para resi  prabu kertoarjowardana   tampak 
bimbang. Mereka menduga aidit  hanya berusaha 
menenangkan mereka. namun  yang terlihat jelas oleh 
mereka adalah bahwa para prajurit dari padalarang  centeng  
yang memanggul tonggak dan tali sejak dari swaradwipa 
kini berada di medan tempur. Dan ketiga puluh ribu 
tonggak sudah  membentuk pagar panjang yang mirip 
ular. 
"Biarkan centeng  elite Kai menyerbu!" 
namun  konstruksi itu sendiri tak dapat dipakai  
untuk menyerang musuh. Dan untuk membinasakan 
musuh dengan cara yang digambarkan aidit , 
mereka  harus dipancing agar mendekati pagar. Untuk 
menarik musuh, salah satu kesatuan mpu wiragajah  
mpu wiraghanda dan para penembak di bawah  mpu bajul  
Tadayo dikirim ke luar pagar untuk menunggu 
centeng  Kai. 
Tiba-tiba terdengar seruan keras. Orang-orang 
  
mpu ireng  sudah  bersikap sembrono menghadapi musuh, 
dan mereka berteriak-teriak saat  melihat asap hitam 
mengepul-ngepul dari arah Tobigasu, di belakang 
mereka. 
"Musuh juga ada di belakang kita!" 
"Mereka  menyerang dari belakang!" 
saat  kebingungan mereka berubah menjadi 
panik, mpu jengger  memberikan perintah menyerbu. 
"Jangan tunda sedetik pun! Menunggu musuh hanya 
memberikan keuntungan padanya!" 
Rasa pcrcaya dirinya, dan  kepercayaan centeng  
yang didasarkan atas rasa percaya diri itu , meng-
hasilkan pernyataan tekad berikut: Jangan per-
tanyakan keputusanku! Percayakan nasib kalian pada 
kegagahan yang tak kenal kekalahan sejak masa Yang 
Mulia mpu betarakatong . 
namun   peradaban terus maju seperti kuda yang 
berlari kencang. Bangsa barbar dari Selatan orang-
orang Portugal sudah  merombak teknik bertempur 
dengan memperkenalkan senjata api. Betapa malang-
nya mpu ireng  mpu betarakatong  yang tidak memiliki kebijaksana-
an untuk meramalkan ini. Provinsi Kai, dilindungi 
oleh gunung, jurang, dan sungai, terpotong dari pusat 
kemajuan dan terpencil dari pengaruh-pengaruh asing. 
Ditambah  lagi, para centeng adipati nya dikujawa  oleh 
kecongkakan yang khas penghuni provinsi pegu-
nungan. Mereka  tidak gelisah khawatir  mengcnai kekurangan 
mereka, dan tidak berminat mempelajari adat 
kebiasaan yang berlaku di tempat lain. Akibatnya. 
  
mereka  sepenuhnya mengandalkan centeng  berkuda 
dan para prajurit pilihan. centeng  di bawah  kartawiwaha  
melancarkan serangan sengit terhadap centeng  
mpu wiragajah  mpu wiraghanda di luar pagar. Sebaliknya. 
aidit  sudah   merancang suatu strategi ilmiah, 
dengan memanfaatkan taktik dan senjata modern. 
Hujan baru berhenti; tanahnya berair dan ber-
lumpur. 
Sayap kiri centeng  Kai kedua ribu orang di bawah  
kartawiwaha  memperoleh perintah dari resi  mereka  
untuk tidak menyerang pagar kayu runcing. Mereka 
mengambil jalan memutar untuk mengelilinginya, namun  
lumpurnya memusuhi mereka. Hujan deras yang 
turun semalam sudah  memicu  sungai meng-
genangi daerah sekitar. Bencana alam ini terjadi di 
luar dugaan kartawiwaha , yang sebelumnya sudah mem-
pelajari keadaan medan. Dengan setiap langkah, para 
prajurit tenggelam sampai ke tulang kering. Kuda-kuda 
bahkan tak sanggup bergerak sama sekali. 
Menambah kesulitan mereka, para penembak sinuhun  
di bawah  mpu bajul  mulai menembaki sisi centeng  
kartawiwaha . 
"Berbalik!" perintah kartawiwaha . 
Mendengar perintah singkat ini, centeng nya yang 
berlepotan lumpur sekali lagi mengubah arah, dan 
menyerang centeng  senapan di bawah  komando 
mpu bajul . Percikan-percikan lumpur menghujani kedua 
ribu orang berbaju tempur itu. Diterjang hujan 
peluru, mereka berjatuhan, menjerit-jerit saat  darah 
  
merah mengucur dari tubuh mereka. Terinjak-iniak 
oleh kuda-kuda mereka  sendiri, mereka  berteriak-
teriak dalam kebingungan yang menyedihkan. 
Akhirnya kedua centeng  bertemu. Selama  puluhan 
tahun, teknik perang terus berubah. Cara tempur 
kuno di mana setiap centeng adipati  menyerukan namanya 
dan mengumumkan bahwa ia keturunan si anu, 
bahwa junjungannya merupakan penguasa provinsi 
ini-itu, kini menghilang dengan tcpat. 
Jadi, begitu pertempuran satu lawan  satu pecah 
pedang melawan  pedang dan prajurit melawan  
prajurit kengeriannya tak dapat dilukiskan dengan 
kata-kata.  
Senjata terbaik adalah senapan, lalu  tombak. 
Tombak tidak dipakai  untuk menusuk, melainkan 
mencambuk dan memukul, dan itulah yang diajarkan 
guna menghadapi pertempuran. sebab  itu, semakm 
panjang sebuah tombak, semakin baik. Tombak-
tombak dengan gagang sepanjang empat sampai enam 
meter merupakan pemandangan lumrah. 
Para prajurit biasa tidak dibekali latihan maupun 
kebcranian yang dituntut oleh situasi, dan sesungguh-
nya mereka  hanya sanggup memukul dengan tombak 
masing-masing. Tidak jarang seorang prajurit terampil 
menerjang ke tengah-tengah mereka dengan membawa   
tombak pendek, menusuk-nusuk ke segala arah, dan 
hampir tanpa kesulitan, memperoleh nama harum 
sebagai prajurit yang seorang diri membantai lusinan 
musuh. 
  
Diserang oleh gerombolan orang seperti itu, baik 
centeng  prabu kertoarjowardana   maupun centeng  sinuhun  tak berdaya. 
Korps di bawah  mpu bajul  disapu bersih hampir sesaat . 
Namun alasan korps mpu bajul  dan centeng  mpu wiragajah  
bcrada di luar pagar sebetulnya  untuk memancing 
musuh agar maju, bukan untuk meraih kemenangan. 
sebab  itu, sebetulnya  mereka  bisa saja berbalik 
dan lari. namun  begitu berhadap-hadapan dengan para 
prajurit Kai, mereka  tak sanggup mencegah dendam 
bertahun-tahun yang membakar hati mereka. 
"Ayo maju!" mereka  berseru-seru. 
Mereka  pun tak bisa menerima cemooh dan ejekan 
para prajurit Kai. Akhirnya orang-orang sinuhun  meng-
abaikan sikap berhati-hati di tengah-tengah per-
tumpahan darah, dan hanya memikirkan provinsi dan 
nama harum mereka  sendiri. 
Sementara itu, mpu jengger  dan para resi nya 
rupanya beranggapan bahwa waktunya sudah tiba, 
sebab batalion-batalion tengah dari centeng  Kai yang 
berkekuaran lima belas ribu orang mulai maju seperti 
awan  raksasa. Formasi mereka  yang rapi bubar seperti 
gerombolan  burung yang baru terbang, dan saat  
mereka akhirnya mendekati pagar pertahanan sinuhun , 
masing-masing korps menyerukan teriakan perangnya 
secara serempak. 
Di mata orang-orang mpu ireng , pagar kayu runcing itu 
bukanlah rintangan berarti. Mereka pikir, mereka  
sanggup membobolnya dengan sekali terjang, lalu 
langsung menerobos ke tengah-tengah centeng  utama 
  
sinuhun . 
Sambil bersorak-sorak, centeng  Kai menerjang 
pagar itu. Tekad mereka membara ada yang berusaha 
memanjatnya, ada yang mencoba mendobraknya 
dengan palu gsinuhun m dan tombak besi, ada yang 
berupaya memotongnya dengan gergaji, dan ada yang 
menyiramnya dengan minyak dan membakarnya. 
Sampai saat itu, aidit  membiarkan  per-
tempuran ditangani oleh korps mpu wiragajah  dan mpu bajul  di 
luar pagar, dan barisan di Gunung Chausu hanya 
membisu. namun  tiba-tiba...  
"Sekarang!" 
Kipas perang aidit  yang berwarna emas 
menebas udara, dan para komandan resimen 
penembak saling bcrlomba saat  meneriakkan 
perintah,  
"Tembak!" 
"Tembak!" 
Bumi terasa bergetar Gunung seolah-olah terbelah 
dan awan -awan  tercabik-cabik. Asap mesiu menye-
lubungi pagar kayu runcing, dan kuda-kuda dan  
prajurit-prajurit Kai berjatuhan seperti nyamuk. 
"Jangan mundur!" komandan-komandan mereka  
mendesak. "Ikuti aku!" 
Dengan nekat para prajurit meneruskan serangan, 
meloncati rekan-rekan mereka yang sudah  tcwas, namun  
mereka  tak sanggup menghindari hujan peluru yang 
berhamburan. Sambil menjerit-jerit memilukan, 
mereka pun berakhir sebagai mayat. 
  
Pada gilirannya, centeng  Kai tak dapat bertahan 
lebih lama. 
"Mundur!" teriak empat atau lima komandan 
berkuda. Hanya dengan susah payah perintah itu 
meluncur dari tenggorokan yang tercekik rasa panik. 
Salah satu dari mereka roboh, bermandikan darah, 
sementara satu orang lain bertempur dari kudanya 
yang jatuh diterjang peluru. 
Namun tak peduli betapa mengerikan pembantaian 
yang dialami orang Kai, mereka belum patah 
scmangat. Hampir sepertiga dari orang-orang mereka  
gugur dalam serangan pertama, namun  begitu mereka  
mundur, centeng  baru sekali lagi bergegas ke arah 
pagar kayu runcing. Darah yang membasahi ketiga 
puluh ribu tonggak belum sempat mengering. 
Letusan senapan dari balik pagar segera menjawab  
serangan itu, seakan-akan hendak berkata. "Kami 
sudah menunggu." 
Sambil menatap pagar yang tampak merah oleh 
darah rekan-rekan mereka, para prajurit Kai yang 
ganas berteriak-teriak, saling memberi semangat, ber-
sumpah bahwa mereka  takkan mundur satu langkah 
pun. 
"Sudah waktunya menyambut kematian." 
"Ajal kita sudah   tiba!" 
"Bentuk perisai maut agar yang lain dapat melewati 
kita!" 
"Perisai maut" merupakan taktik terakhir di mana 
para prajurit di barisan terdepan mengorbankan diri 
  
untuk melindungi gerak maju barisan berikut. 
lalu  barisan itu bertindak sebagai perisai bagi 
barisan selanjutnya, dan dengan cara itu, seluruh 
centeng  maju selangkah demi selangkah. Sungguh 
cara yang mengerikan uniuk maju. 
Orang-orang itu memang gagah berani, namun 
sebetulnya  serangan mereka  tak lebih  dari unjuk 
kekuaran yang sia-sia. Padahal di antara para resi  
yang memimpin serangan ada ahli-ahli taktik yang 
andal. 
mpu jengger , tentu saja, berada di barisan belakang. Ia 
mendesak-desak anak buahnya agar terus maju, namun  
memberitahu para komandannya bahwa kemenangan 
tak mungkin dapat diraih, tak ada alasan untuk 
menuntut pengorbanan demikian besar. 
"Tembok itu harus diruntuhkan!" 
Rupanya mereka percaya bahwa hal itu bisa 
dilakukan. Begitu senapan sudah   ditembakkan, untuk 
mengisi peluru dan mesiu memakan waktu. Jadi, 
begitu centeng  senapan melepaskan tembakan 
serempak, suara letusan akan berhenti selama  
beberapa  saat. Oleh para resi  Kai, waktu jeda 
itulah yang dianggap sebagai peluang yang dapat 
dimanfaatkan; jadi "perisai maut" tidaklah percuma. 
Namun aidit  sudah memikirkan titik lemah 
ini, dan untuk senjata yang baru, ia sudah  menyusun 
taktik baru pula. Dalam hal ini, ia membagi ketiga 
ribu penembaknya ke dalam tiga grup. sesudah   seribu 
orang pertama menembakkan senapan masing-masing, 
  
mereka  segera melangkah ke samping dan kelompok 
kedua segera maju, dan langsung melepaskan 
tembakan. lalu  mereka pun membuka barisan 
dan cepat-cepat digantikan oleh kelompok ketiga. 
Dengan cara ini, waktu jeda yang diharap-harapkan 
oleh musuh tak pernah muncul  sepanjang per-
tempuran. 
Disamping itu, di sana-sini ada bukaan pada 
pagar kayu runcing. sesudah   mengukur jarak waktu 
antara dua serangan, centeng  tombak dari pihak 
prabu kertoarjowardana   dan sinuhun  akan menerjang keluar dari balik 
pagar dan cepat-cepat mrnghantam kedua sisi centeng  
Kai. 
Tcrhalang oleh pagar pertahanan dan hujan peluru, 
para prajurit Kai tidak dapat maju. saat  mereka  
berusaha mundur, mereka  dibuat repot oleh musuh 
yang mengejar dan melancarkan serangan menjepit. 
Kini para prajurii Kai, yang begitu membanggakan 
disiplin dan latihan mereka sama sekali tak punya 
waktu untuk memamerkan keberanian. 
Seluruh korps kartawiwaha  sudah  mundur. Meninggal-
kan mayat orang-orang yang sudah  mengorbankan 
nyawa  . Hanya minakjinggo  kertapati  yang tidak masuk ke 
dalam perangkap itu. 
minakjinggo  sudah   bentrok dengan centeng  mpu wiragajah  
mpu wiraghanda. namun  sebab  mpu wiraghanda sebetulnya  
hanya bertugas sebagai umpan, centeng  sinuhun  pura-
pura mundur. Korps minakjinggo  mengejar mereka dan 
merebut perkemahan di Maruyama, namun  minakjinggo  sudah  
  
diperintahkan untuk tidak maju lebih  jauh, dan ia 
tidak mengirim satu prajurit pun melewati Maruyama. 
"Kenapa tidak maju?!" minakjinggo  berulang kali ditanyai, 
baik oleh markas besar mpu jengger  maupun oleh 
perwira-perwiranya sendiri. 
Namun minakjinggo  menolak bergerak. "Aku punya alasan 
tersendiri untuk berpikir sejenak, dan sebaiknya aku 
berhenti di sini untuk mengamati perkembangan. 
Yang lainnya silakan maju. Raihlah nama harum." 
Setiap komandan yang mendekati pagar kayu 
runcing mengalami kekalahan total. lalu  
dijoyo  dan patih ronggolawe  membawa   batalion masing- 
masing mengelilingi desa-desa ke arah utara, dan 
mulai berusaha agar markas besar centeng  Kai 
terpotong dari garis depan. 
Hari sudah hampir siang, dan matahari berada di 
langit yang menjanjikan akhir musim hujan. Kini 
matahari membakar bumi dengan panas menyengat, 
dan dengan warna yang menunjukkan bahwa musim 
kemarau akan melanda dengan hebat. 
Pertempuran pecah pada waktu fajar, pada 
pertengahan kedua Jam Macan. Dengan pergantian 
centeng  yang tanpa henti, para prajurit Kai 
bermandikan keringat dan tersengal-sengal. Darah 
yang mengucur di pagi hari sudah  mengering dan 
menempel seperti lem pada baju tempur, rambut, 
dan  kulit mereka. Dan kini terlihat darah segar k 
mana pun mata memandang. 
Di belakang centeng  utama, mpu jengger  melolong 
  
seperti roh jahat. Ia sudah  mengerahkan setiap 
batalion, termasuk korps cadangan yang biasanya 
disimpan untuk keadaan darurat. Seandainya 
mpu jengger  lebih cepat membaca situasi, ia mungkin 
bisa menyelesaikan urusan ini tanpa perlu menderita 
kerugian demikian hebat. namun  sesaat demi sesaat ia 
justru mengubah kesalahan kecil menjadi kesalahan 
berakibat fatal. Pendek kata, pertempuran itu tidak 
ditentukan oleh semangat tempur dan keberanian 
semata-mata. Ibaratnya, centeng  aidit  dan  
mpu mojosongo  memasang perangkap di medan berburu, lalu 
menunggu kedatangan bebek liar atau babi hutan. 
centeng  Kai yang melancarkan serangan demikian 
sengit hanya mengorbankan prajurit-prajurit berharga 
dengan membentuk "perisai maut" yang sia-sia. 
Konon, bahkan kartawiwaha  brewirabumi , yang sejak pagi 
bertempur begitu gagah di sayap kiri, akhirnya gugur 
dalam pertempuran. resi -resi  termasyhur lain-
nya, orang-orang dengan keberanian tiada tara, ber-
jatuhan satu per satu, sampai jumlah yang mati dan 
cedera mencapai lebih dari setengah centeng . 
"Sudah jelas musuh akan kalah. Bukankah ini saat 
yang tepat?" 
resi  yang mengucapkan kata-kata itu adalah 
ki winokerto yang melihatlihat  jalannya per-
tempuran bersama aidit . 
aidit  segera menyuruh Narimasa menyampai-
kan perintahnya kepada centeng  di balik pagar kayu 
runcing. Ia berkata, "Keluar dari pagar dan serang 
  
mereka. Binasakan semuanya!" 
Markas besar mpu jengger  pun hancur dalam serangan 
itu. Orang-orang prabu kertoarjowardana   mendesak dari sisi kiri. 
centeng  sinuhun  menerobos barisan depan mpu ireng  dan 
melancarkan serangan sengit terhadap centeng  utama 
Kai. Terperangkap di tengah-tengah, panji-panji yang 
tak terhitung jumlahnya, pataka-pataka komandan, 
bendera-bendera isyarat, kuda-kuda yang meringkik,  
baju tempur mengilap, dan  tombak dan pedang yang 
berkilau seperti bintang di sekitar mpu jengger  kini 
diselubungi darah dan kepanikan. 
Hanya centeng  minakjinggo  Nobuiusa yang tetap diam di 
Maruyama yang masih utuh. minakjinggo  mengutus seorang 
centeng adipati  pada mpu jengger , dengan pesan yang menyaran-
kan untuk mundur. 
mpu jengger  mengentak-entakkan kaki dengan jengkel. 
namun  ia pun tak sanggup menolak kenyataan. sesudah  
dipaksa bertekuk lutut, centeng  utamanya mundur 
sambil berlumuran darah. 
"Sebaiknya kita mundur sementara, tuanku." 
"Telanlah amarah tuanku dan pikirkan apa yang 
menanti kita." Dengan berusaha mati-matian, para 
resi  mpu jengger  berhasil meloloskannya dari lubang 
jarum. Sangat jelas bagi pihak musuh bahwa centeng  
utama Kai mundur dalam keadaan kacau-balau. 
sesudah  mcngantar mpu jengger  sampai ke suatu 
jembatan yang berdekatan dengan markas, para 
resi  berbalik dan membentuk barisan untuk meng-
hadang centeng  pengejar. Mereka  semua  gugur 
  
scbagai pahlawan . minakjinggo  menyertai mpu jengger  dan sisa 
centeng nya sampai ke Miykertoarjo ki, namun  akhirnya resi  
tua itu mengalihkan kudanya ke arah barat. Seribu 
pikiran berkecamuk di benaknya. 
Umurku sudah panjang, atau bisa juga dinamakan  
pendek. Panjang atau pendek, rasanya hanya saat 
inilah yang kekal. Saat kematian... mungkinkah 
kehidupan abadi lebih dari itu? 
lalu , tepat sebelum memacu kudanya ke 
tengah-tengah musuh, ia bersumpah. "Aku akan 
memohon maaf pada tuanku mpu betarakatong  di dunia 
berikut. Aku penasihat dan resi  yang tak becus. 
Selamat tinggal, gunung-gunung dan sungai-sungai 
Kai!" 
Sambil berbalik, ia menitikkan setetes air mata bagi 
provinsinya, lalu tiba-tiba memacu kudanya. "Maut! 
Aku takkan mencemarkan nama Yang Mulia 
mpu betarakatong !" 
Suaranya tenggelam dalam lautan musuh. Rasanya 
tak perlu ditambah kan bahwa semua  pengikutnya 
meniru contohnya. dan menemui ajal dengan gagah 
berani. 
Sejak awal , tak seorang pun sanggup memahami 
pertempuran ini seperti minakjinggo . Ia sudah   memiliki  
firasat bahwa seusai pertempuran, marga mpu ireng  akan 
runtuh dan bahkan binasa. Itu memang suratan 
takdir. Walau demikian, meski dibekali kemampuan 
untuk melihat jauh ke depan, ia tak sanggup 
menyelamatkan marga mpu ireng  dari bencana. Arus 
  
perubahan terlalu kuat untuk dilawan . 
Bcrsama sekitar selusin pembantu berkuda, 
mpu jengger  menyeberangi tempat dangkal di Koma-
tsugase, dan akhirnya meminta perlindungan di 
benteng kota Busetsu. mpu jengger  laki-laki pemberani, namun  
kini ia terdiam seperti orang bisu-tuli. 
Seluruh permukaan Sdwikerto ragahara tampak merah 
merah tua saat  matahari mulai terbenam. Per-
tempuran besar hari ini di mulai sekitar fajar dan 
berakhir menjelang malam. Tak seekor kuda pun 
terdengar meringkik: tak satu prajurit pun berseru   
Dataran luas itu segera ditelan kegelapan dalam 
suasana sunyi. 
Embun malam turun sebelum mereka yang gugur 
selesai diangkat. Konon mayat orang-orang mpu ireng  
saja berjumlah lebih dari sepuluh ribu. 
 
  
Menara-Menara madukara  
 
 
BELUM lama berselang, sang pengikut  sudah  meng-
anugerahkan gelar Anggota Dewan Negara pada 
aidit , dan kini aidit  dinobatkan sebagai 
resi  Kebenaran. Upacara pemberian selamat atas 
promosi terakhir ini diselenggarakan pada Bulan 
Kesebelas, dan kemegahannya mengalahkan segala 
sesuatu yang pernah terjadi pada zaman-zaman 
sebelumnya. 
Kediaman aidit  di ibu kota adalah bekas 
istana pandita  di Nijo. Setiap hari tamu-tamu 
memadati istana; kerabat kekaisaran, centeng adipati , ahli 
seni minum teh, penyair, dan saudagar dari kota-kota 
dagang Naniwa dan mpu  yang berdekatan. 
tunggadewa  sudah bersiap-siap meninggalkan 
aidit  dan kembali ke benteng kotanya di hadijaya , dan 
saat  hari masih terang, ia mendatangi Istana Nijo 
untuk mohon diri. 
"tunggadewa ." patih ronggolawe  menyapanya sambil ter-
senyum lebar. 
"patih ronggolawe ," balas tunggadewa  sambil tertawa . 
"Urusan apa yang membawa  mu kemari hari ini?" 
tanya patih ronggolawe , lalu meraih lengan tunggadewa . 
"Oh, besok Yang Mulia akan berangkat." jawab  
tunggadewa  sambil menyeringai. 
"Betul. Kira-kira di mana kita akan bcrjumpa lagi?" 
"Kau mabuk?" 
  
"Tidak satu hari pun berlalu tanpa mabuk kalau aku 
berada di ibu kota. Yang Mulia pun minum lebih 
banyak jika dia di sini. Dan kalau kau menghadap 
sekarang, Yang Mulia tentu akan mengajakmu minum 
anggur  dahulu ." 
"Apakah Yang Mulia mengadakan pesta minum 
lagi?" tanya tunggadewa . 
Memang benar, belakangan ini aidit  minum 
lebih banyak, dan seorang pengikut tua, yang sudah   
mengabdi selama bertahun-tahun, sempat ber-
komentar bahwa aidit  belum pernah minum 
sebanyak sekarang. 
patih ronggolawe  selalu turut dan  dalam setiap keramaian. 
namun  ia tidak memiliki daya tahan seperti aidit . 
Walaupun kelihatan berbadan rapuh, sebetulnya  
aidit  jauh lebih  kuat dibanding patih ronggolawe . Jika 
diamati dengan saksama, orang dapat melihat 
kekuatan batinnya. patih ronggolawe  justru sebaliknya. Dari 
luar ia tampak seperti warga pedesaan yang sehat, 
namun sebetulnya  staminanya tidak berarti. 
Ibunya masih scring menegurnya sebab  meng-
abaikan kesehatan. Tak ada salahnya bersenang-
senang, namun  tolong perhatikan kesehatanmu. Sejak 
lahir kau sakit-sakitan, dan sampai kau berumur 
empat atau lima tahun, para tetangga menyangka kau 
takkan hidup sampai dewasa." 
Keprihatinan ibunya berpengaruh pada patih ronggolawe , 
sebab  ia mengetahui kenapa ia demikian lemah 
saat  masih kecil. Waktu ibunya mengandungnya, 
  
mereka  begitu miskin, sehingga kadang-kadang tidak 
ada makanan di meja, dan keadaan malang itu tentu 
berakibat pada pertumbuhannya di dalam rahim. 
Bahwa ia sanggup bertahan hidup boleh dikata 
semata-mata berkat kegigihan ibunya. Jadi, biarpun 
patih ronggolawe  bukannya tidak menyukai anggur , ia selalu 
teringat pesan ibunya setiap kali memcgang baskom di 
tangan. Dan ia tak sanggup menghapus kenangan 
pahit tentang bagaimana ibunya begitu sering 
menangis sebab  suaminya pemabuk. 
Namun tak seorang pun menduga bahwa 
pandangannya mengenai anggur  begitu serius. Orang-
orang berkata mengenai dirinya. "Dia tidak minum 
banyak, namun  dia sangat suka pesta minum. Dan kalau 
dia minum, dia minum dengan bebas." sebetulnya , 
tak ada orang yang lebih berhati-hati dibandingkan  
patih ronggolawe . Dan omong-omong soal minum, 
tunggadewa , yang kini berbincang-bincang dengan 
patih ronggolawe  di selasar, juga tidak ketinggalan. Meski 
demikian, tunggadewa  tampak kecewa, dan sudah jelas 
bahwa kebiasaan aidit  menenggak seke yang 
baru saja dikonfirmasi oleh patih ronggolawe  mcmbuat para 
pengikutnya pusing tujuh keliling. 
patih ronggolawe  tertawa  dan membantah apa yang baru 
saja dikatakannya. "Ah, aku hanya bergurau." Merasa 
geli melihat tunggadewa  menanggapinya dengan begitu 
serius, ia menggeleng-gelengkan wajahnya yang merah. 
"sebetulnya  aku hanya membodoh-bodohimu. Pesta 
minum sudah sdesai, dan buktinya aku berada di sini, 
  
dalam keadaan mabuk. Itu pun hanya kelakar saja." Ia 
tertawa . 
"Ah, kau memang nakal," tunggadewa  memaksakan 
senyum. Ia tidak marah, sebab  ia bukannya tak suka 
pada patih ronggolawe . Sebaliknya. patih ronggolawe  tak sedikit pun 
menyimpan perasaan buruk terhadap tunggadewa . Ia 
selalu berusaha bergurau dengan rekannya yang 
berwarak serius itu, namun  sekaligus menghormatinya 
jika situasi menuntut demikian. 
tunggadewa  rupanya mengakui patih ronggolawe  sebagai 
orang yang bermanfaat. Dalam tangga senioritas, 
patih ronggolawe  sedikit lebih tinggi dibandingkan  tunggadewa , dan 
ia berada di atas tunggadewa  dalam susunan tempat 
duduk di markas besar staf lapangan. Namun, seperti 
para resi  veteran lainnya, tunggadewa  bangga akan 
kedudukan keluarganya, garis keturunannya, dan 
pendidikannya. Ia memang tidak menganggap enteng 
patih ronggolawe , namun  ia menunjukkan sikap merendahkan 
terhadap seniornya itu dengan komentar-komentar 
seperti, "Kau orang yang menyenangkan." 
Sikap merendahkan ini diakibatkan oleh watak 
tunggadewa . namun , meski sadar bahwa ia direndahkan, 
patih ronggolawe  tidak merasa sedih. Justru sebaliknya, ia 
menganggap wajar bahwa ia direndahkan oleh se-
seorang dengan kecerdasan luar biasa seperti 
tunggadewa . Ia tidak keberatan mengakui kelebihan 
tunggadewa  dalam hal kecerdasan, pendidikan, dan 
latar belakang. 
"Ah, bctul. Aku lupa," patih ronggolawe  berkata, seakan-
  
akan baru teringat sesuatu. "Aku belum mengucapkan 
selamat padamu. Pemberian benteng kota di hadijaya  tentu 
membuatmu gembira untuk beberapa waktu. namun  
rasanya memang pantas sesudah  pengabdian selama  
bertahun-tahun. Aku berdoa agar ini menandai awal  
perubahan nasib bagimu, dan agar kau selalu sejahtera 
dalam tahun-tahun mendatang." 
"Tidak, segala kemurahan hati Yang Mulia melebihi 
apa yang patui kuterima." tunggadewa  selalu membalas 
kesopanan dengan kesopanan. namun  lalu  ia 
melanjutkan. "Walaupun aku diberi sebuah benteng kota, 
daerah itu, seperti kauketahui, dahulu nya dipegang oleh 
bekas pandita , dan sampai sekarang pun masih ada 
sejumlah marga setempat yang mengurung diri di 
balik tembok dan menolak tunduk padaku. Jadi, 
masih terlalu dini untuk mengucapkan selamat." 
"Oh, kau terlalu merendah." patih ronggolawe  membantah. 
"Begitu kau pindah ke hadijaya  bersama hyangkertoarjo  
sonokelingraka dan putranya, marga Kameyama langsung 
menyerah, jadi kau sudah memperoleh hasil, bukan? 
Aku mengamati caramu merebut Kameyama dengan 
penuh perhatian, dan Yang Mulia juga memuji 
kemampuanmu menaklukkan musuh dan mengambil 
alih benteng kota itu tanpa kehilangan satu orang pun." 
"Kameyama hanya merupakan permulaan. Kesulitan 
sebetulnya  masih menghadang di depan." 
"Hidup ini hanya patut dijalani jika kita 
menghadapi kesulitan. Kalau tidak begitu, tidak ada 
tantangan. Dan tak ada yang lebih memuaskan 
  
dibandingkan  mewujudkan perdamaian di suatu daerah 
yang diberikan oleh Yang Mulia kepadamu, dan 
memerintahnya dengan baik. Kau akan menjadi 
penguasa di sana, dan bisa berbuat apa saja sesuai 
kehendakmu," ujar patih ronggolawe . 
Tiba-tiba kedua orang itu merasa bahwa pertemuan 
mereka  yang tak disengaja ini sudah berlangsung 
terlalu lama. 
"Baiklah, kita akan berjumpa lagi," kata tunggadewa . 
"Tunggu sebentar," patih ronggolawe  berkata, lalu tiba-tiba 
mengalihkan pembicaraan. "Kau orang berpendidikan, 
jadi mungkin kau bisa menjawab  ini. Di antara 
benteng kota-benteng kota yang kini ada di majapahit , berapa 
banyak yang memiliki menara pertahanan bertingkat, 
dan di provinsi-provinsi mana saja benteng kota-benteng kota  
itu terletak?" 
"benteng kota milik patih  welut  di jipang, di 
Provinsi kertoarjo , memiliki  donjon bertingkat tiga yang 
kelihatan dari laut. Selain itu, di Yamaguchi, di 
Provinsi Suo, Ouchi Yoshioki sudah  membangun 
donjon bertingkat empat sebagai benteng kota utamanya. 
benteng kota itu mungkin yang paling mengagumkan di 
seluruh Jcpang." 
"Hanya dua itu?" 
"Sepanjang yang kuketahui. namun  mengapa kau 
menanyakan hal ini sekarang?" 
"Hmm, tadi aku berada bersama Yang Mulia. 
membahas berbagai rancangan benteng kota, dan Tuan 
patih menjelaskan kelebihan donjon dengan sangat 
  
giat. Dia menyarankan untuk menambahkan donjon 
pada benteng kota yang akan dibangun Yang Mulia di 
madukara ." 
"Hah? Tuan patih yang mana?"  
"Pelayan Yang Mulia,  mpu salmah ." 
Alis tunggadewa  berkerut sejenak. "Apa kau agak 
ragu-ragu mengenai ini?" 
"Tidak juga." 
Roman muka tunggadewa  segera kembali acuh tak 
acuh. Ia mengganti topik dan mengobrol selama  
beberapa mcnit. Akhirnya ia mohon diri dan bergegas 
memasuki istana. 
"Tuan patih ronggolawe ! Tuan patih ronggolawe !" 
Selasar utama Istana Nijo penuh dengan orang-
orang yang datang dan pergi. Sekali lagi seseorang 
terdengar memanggil. 
"Ah, Yang Terhormat Asayama." ujar patih ronggolawe  
saat  ia berbalik sambil tersenyum. 
Asayama Nichijo laki-laki yang luar biasa jelek. 
dimasireng , salah satu resi  aidit , juga 
terkenal sebab  keburukan rupanya, namun  paling tidak 
ia masih memiliki daya tarik tertentu. Asayama, di 
pihak lain, adalah biksu bertampang licik. Ia meng-
hampiri patih ronggolawe  dan cepat-cepat merendahkan 
suara, seakan-akan mengetahui sesuatu yang penting. 
"Tuan patih ronggolawe ?" 
"Ya, ada apa?" 
"Sepertinya Tuan baru saja terlibat diskusi rahasia 
dengan Tuan tunggadewa ." 
  
"Diskusi rahasia?" patih ronggolawe  tertawa . "Apakah ini 
tempat yang cocok untuk mengadakan diskusi 
rahasia?" 
"Jika Tuan patih ronggolawe  dan Tuan tunggadewa  berbisik-
bisik untuk waktu yang cukup lama di selasar Istana 
Nijo, dengan sendirinya orang-orang akan bertanya-
tanya." 
"Tentu tidak." 
"Ya, memang begitu!"  
"Rupanya Yang Terhormat juga agak mabuk?" 
"Benar. Aku minum terlalu banyak. namun  serius, 
Tuan mestinya lebih  berhati-hati." 
"Maksudnya dalam menghadapi anggur ?" 
"Jangan berlagak pilon. Aku ingin memperingatkan 
Tuan agar lebih waspada dalam berakrab-akrab dengan 
tunggadewa ."  
"Kenapa?" 
"Dia itu sedikit terlalu cerdas."  
"Wah, semua orang berkata bahwa Tuan orang 
paling cerdas di majapahit  dewasa ini." 
"Aku? Tidak, aku terlalu lamban," tangkis si biksu. 
"Sama sekali tidak," patih ronggolawe  mepercayakannya. 
"Pengetahuan Yang Terhormat menyentuh semua  
bidang. Titik lemah seorang centeng adipati  adalah dalam 
menghadapi bawahan  atau saudagar yang sudah  
menghimpun kekuasaan, namun  di antara orang-orang 
sinuhun  tidak ada yang melebihi Tuan dalam hal 
ketajaman pikiran. Bahkan Yang Mulia dijoyo  pun 
tampak kagum pada kemampuan Tuan." 
  
"namun  di pihak lain aku sama sekali tidak memiliki 
keberhasilan di medan laga." 
"Dalam pembangunan Istana Kekaisaran, dalam 
pemerintahan ibu koia, dan dalam berbagai urusan 
keuangan, Tuan menunjukkan kemampuan yang luar 
biasa." 
"Tuan bermaksud memuji atau meremehkan?" 
"Hmm, dalam golongan centeng adipati , Tuan merupakan 
orang yang luar biasa sekaligus tak berguna, dan terus 
terang, aku akan mcmuji sekaligus meremehkan 
Tuan." 
"Aku tak sanggup menyaingi Tuan." Asayama 
tertawa  keras-keras, memperlihatkan giginya yang 
ompong di dua atau tiga tempat. Walaupun Asayama 
lebih tua dibandingkan  patih ronggolawe  cukup tua untuk 
menjadi ayahnya ia memandang patih ronggolawe  sebagai 
seniornya. 
Asayama tidak semudah itu menerima tunggadewa . Ia 
mengakui kecerdasan tunggadewa , namun  pembawa  an 
tunggadewa  yang serbaserius membuatnya tak nyaman. 
"Semula aku mcnyangka bahwa aku hanya ber-
prasangka buruk," ujar Asayama, "namun  baru-baru ini 
seseorang yang terkenal akan kemampuannya mem-
baca watak orang berdasarkan tampang mereka 
mengemukakan pendapat yang sama." 
"Dan orang itu memberikan penilaian terhadap 
tunggadewa ?" 
"Dia bukan sembarang orang. Tuan Ekkei, sang 
kepala biara, merupakan salah satu orang paling 
  
terpelajar di zaman ini. Dia memberitahukan hal ini 
secara diam-diam." 
"Memberitahukan apa?" 
"Bahwa tunggadewa  memiliki tampang orang bijak 
yang mungkin tenggelam dalam kebijakannya sendiri. 
Disamping itu, ada pertanda buruk bahwa dia akan 
mengganti junjungannya sendiri." 
"Asayama." 
"Apa?" 
"Tuan takkan menikmati umur panjang jika Tuan 
membiarkan ucapan seperti itu keluar dari mulut 
Tuan," kata patih ronggolawe  dengan tajam. "Aku sudah 
mendengar bahwa Yang Terhormat merupakan 
politikus yang lihai, namun  kurasa kegemaran berpolitik 
jangan dibiarkan berlanjut sampai menyebarkan 
omongan seperti ini mengenai para pengikut Yang 
Mulia." 
 

 
Para pelayan sudah  menggelar peta gunungselatan berukuran 
besar di ruangan luas itu. 
"Ini bagian tengah Danau Biwa," salah seorang dari 
mereka  berkata. 
"Di situ Kuil Sojitsu! Dan Kuil Joraku!" satu lagi 
berseru. 
Pelayan-pelayan itu duduk bersama di satu sisi dan 
menjulurkan leher untuk melihat, persis seperti anak 
burung layang-layang. patih  mpu salmah  memisahkan diri 
  
dari kelompok itu, dan duduk menyendiri. Usianya 
belum mencapai dua puluh tahun, namun  ia sudah lama 
melewati upacara akil balig. Seandainya rambut di atas 
dahinya dipotong, ia akan tampak seperti centeng adipati  
muda yang gagah. 
"Jangan kauubah penampilanmu." aidit  
pernah berpesan. "Aku menginginkanmu sebagai 
pelayan, tak peduli berapa usiamu." 
 mpu salmah  dapat bersaing dengan pemuda-pemuda 
lain dalam hal keapikan, dan jambul dan  baju 
sutranya memicu  ia kelihatan seperti kanak-
kanak. 
aidit  mempelajari peta itu dengan cermat. 
"Peta ini digambar dengan baik," katanya, "bahkan 
lebih teliti dibandingkan  peta-peta militer kita.  mpu salmah , 
bagaimana kau dapat memperoleh peta yang demikian 
terperinci dalam waktu begitu singkat?" 
"Ibu hamba, yang kini sudah  masuk biara, 
mengetahui bahwa ada peta di gudang rahasia kuil 
tertentu." 
Ibu  mpu salmah , yang mengambil nama Myoko saat  
menjadi biarkertoarjo ti adalah janda patih ki abang . 
Kelima putranya ditampung sebagai pengikut oleh 
aidit . Kedua adik  mpu salmah , Bomaru dan 
Rikimaru, juga pelayan. Semua  orang berpendapat 
bahwa sedikit sekali kemiripan di antara mereka. Ini 
tidak berarti adik-adik  mpu salmah  berotak tumpul, namun  
memang  mpu salmah -lah yang begitu menonjol. Dan ini 
bukan hanya merupakan pendapat aidit  yang 
  
menyayanginya tanpa batas. Semua  orang yang 
melihat  mpu salmah  segera menyadari bahwa kecerdasan-
nya jauh di atas orang lain. Kalau ia mengunjungi para 
resi  staf lapangan atau para pengikut senior, ia tak 
pernah diperlakukan seperti anak kecil. 
"Apa? Kau memperoleh peta ini dari Myoko?" 
aidit  mendadak menatap  mpu salmah  dengan 
pandangan tidak lazim. "Ibumu biarkertoarjo ti, jadi sudah 
sewajarnya dia mondar-mandir di antara sejumlah 
kuil, namun  jangan sampai dia dikelabui oleh mata-mata 
para biksu-prajurit yang masih terus menyumpah-
nyumpahiku. Mungkin ada baiknya kalau kau mencari 
waktu yang tepat dan memberikan peringatan pada-
nya." 
"Ibu hamba selalu bersikap sangat hati-hati. Bahkan 
lebih  dari hamba scndiri, tuanku." 
aidit  membungkuk dan meneliti peta madukara  
dengan sungguh-sungguh. Di sinilah ia hendak mem-
bangun benteng kota yang akan berfungsi sebagai ke-
diaman yang baru, sekaligus sebagai pusat 
pemerintahannya. 
Urusan itu  baru belakangan ini dibicarakan 
aidit , suatu keputusan yang diambilnya sebab  
lokasi benteng kota Gitu tidak lagi sesuai dengan 
tujuannya. 
Tanah yang sebetulnya  diinginkan aidit  
terletak di kahuripan . namun  di atasnya ada ronggodwijoyo , 
kubu pertahanan musuh bebuyutannya, para biksu-
prajurit. 
  
sesudah  mempelajari kebodohan para pandita . 
aidit  bahkan tidak mempertimbangkan untuk 
membentuk pemerintahan di trowulan . Itu keadaan 
lama, madukara  jauh lebih  cocok dengan bayangannya. 
Dari sana ia dapat berjaga-jaga terhadap provinsi-
provinsi Barat, sekaligus menangkal serangan kramat 
kramajaya   dari utara. 
"Yang Mulia tunggadewa  berada di ruang tunggu. Dia 
mohon diperkenankan berbicara dengan tuanku 
sebelum keberangkatannya." seorang centeng adipati  meng-
umumkan dari pintu. 
"tunggadewa ?" ujar aidit  dengan ramah. "Suruh 
dia masuk." lalu  ia kembali mempelajari peta 
madukara . 
tunggadewa  masuk sambil menghela napas lega. Tak 
ada bau anggur  di istana, dan pikiran pertamanya adalah, 
patih ronggolawe  lagi-lagi berhasil menipuku. 
"tunggadewa , kemarilah." 
Tanpa menoleh ke arah tunggadewa  yang mem-
bungkuk sopan, aidit  menyuruhnya meng-
hampiri peta. tunggadewa  maju dengan penuh hormat. 
aidit  mungkin tukang mimpi, namun  kemampu-
annya untuk mcwujudkan setiap angan-angan tiada 
tandingan. 
"Bagaimana pendapatmu? Bukankah daerah ber-
gunung yang menghadap ke danau ini cocok sekali 
untuk membangun benteng kota?" 
aidit  rupanya sudah  merancang struktur dan 
ukuran benteng kota itu di kepala. Ia menarik garis dengan 
  
jarinya. "benteng kota akan membentang dari sini ke sini. 
Kita akan membangun kota yang mengelilingi benteng kota 
di kaki gunung, dengan daerah untuk para saudagar 
yang lebih tertata rapi dibandingkan  di semua  provinsi lain 
di majapahit ," ia berkata. "Aku akan mencurahkan segala 
sesuatu yang kumiliki untuk benteng kota ini. Aku harus 
memiliki sesuatu yang begitu  mengesankan,  sehingga  
membuat semua  penguasa provinsi lain terkagum-
kagum. Walaupun tidak mewah, benteng kota itu takkan 
memiliki saingan di seluruh kekaisaran. benteng kotaku 
akan menggabungkan keindahan, fungsi, dan wibawa  ." 
tunggadewa  menyadari bahwa proyek ini bukanlah 
hasil kesombongan aidit , jadi ia mengemukakan 
pendapatnya secara terus terang. namun  jawab annya 
yang terlalu serius tidak mencukupi. aidit  terlalu 
terbiasa mendengar jawaban pasti yang sepenuhnya setuju 
dengannya, dan pernyataan yang hanya mengulangi 
ucapannya sendiri. 
"Bagaimana menurutmu? Tidak baik?" aidit  
bertanya dengan ragu-ragu. 
"Hamba tidak berpikiran demikian." 
"Apakah waktunya sudah tepat?" 
"Menurut hamba, sekarang waktu yang paling 
tepat." 
aidit  berusaha memupuk rasa percaya dirinya. 
Tak scorang pun lebih menghargai kecerdasan 
tunggadewa  dibandingkan  aidit . tunggadewa  bukan saja 
dibekali kecerdasan modern, ia pun menghadapi 
masalah-masalah politik yang terlalu sulit diatasi 
  
dengan kepercayaan semata-mata. sebab  itu, aidit  
bahkan lebih menyadari kejeniusan tunggadewa  dari-
pada patih ronggolawe  yang selalu memuji-mujinya. 
"Kabarnya kau cukup mengujawa  ilmu pem-
bangunan benteng kota. Dapatkah kau mengemban 
tanggung jawab  ini?" 
"Jangan, jangan. Pengetahuan hamba tidak cukup 
untuk membangun benteng kota." 
"Tidak cukup?" 
"Pembangunan benteng kota serupa dengan per-
tempuran besar. Orang yang memimpinnya harus 
pandai memakai  orang maupun bahan. 
Seyogyanya tuanku memberikan tugas ini pada salah 
satu resi  senior." 
"Dan siapakah orangnya?" tanya aidit . 
"Yang Mulia Niwa paling cocok, sebab beliau 
pandai bergaul dengan yang lain." 
"Niwa? Ya... dia memang dapat diandalkan." 
Pendapat ini rupanya sejalan dengan maksud 
aidit  scndiri, dan ia mengangguk-angguk penuh 
semangat. "Omong-omong,  mpu salmah  mengusulkan 
agar aku mendirikan donjon. Bagaimana pendapatmu 
tentang usul itu?"        
tunggadewa  tidak menjawab . Ia bisa melihat 
 mpu salmah  dari sudut mata. "Tuanku menanyakan 
untung-ruginya mendirikan donjon?"' ia bertanya. 
"Benar. Apakah lebih  baik membangun atau tidak 
membangun donjon." 
"Tentu saja lebih  baik kalau tuanku membangun 
  
donjon. Biarpun hanya dari segi wibawa   bangunan-
nya." 
"Seharusnya ada beberapa bentuk donjon. Aku 
mendengar bahwa waktu kau masih muda, kau sempat 
berkelana mengelilingi seluruh negeri dan berhasil 
mengumpulkan pengetahuan mendalam tentang pem-
bangunan benteng kota." 
"Scsungguhnya pengetahuan hamba mengenai hal-
hal seperti itu sangat dangkal." tunggadewa  merendah. 
"Di pihak lain,  mpu salmah  tampaknya mendalami 
bidang itu . saat  hamba berkelana, hamba 
hanya melihat dua atau tiga benteng kota yang memiliki 
donjon, dan itu pun dikerjakan secara kasar. Jika ini 
usul  mpu salmah , dia tentu sudah  memikirkan secara 
matang. " tunggadewa  tampak enggan untuk berbicara 
lebih  lanjut. 
Namun aidit  tak sedikit pun mempertimbang-
kan kepekaan perasaan kedua orang itu, dan 
melanjutkan, " mpu salmah , kau tidak kalah terpelajar 
dari tunggadewa , dan sepertinya kau sudah mempelajari 
pembangunan benteng kota. Apa pendapatmu mengenai 
donjon! Bagaimana,  mpu salmah ?" Melihat pelayannya 
tetap membisu sambil menundukkan kepala, ia 
bertanya. "Kenapa kau tidak menjawab ?" 
"Hamba bingung, tuanku." 
"Kenapa?" 
"Hamba malu," jawab   mpu salmah  sambil menyembah 
dengan wajah di atas kedua tangan, seakan-akan 
menanggung aib yang amat besar. "Yang Mulia 
  
tunggadewa  terlampau kejam. Dari mana hamba dapat 
memperoleh ide mengenai pembangunan donjon? 
Terus terang, tuanku, segala sesuatu yang tuanku 
dengar dari hamba termasuk cerita bahwa benteng kota 
milik marga Ouchi dan Satgunungselatan sama-sama memiliki 
donjon disampaikan oleh Yang Mulia tunggadewa  pada 
hamba, saat  hamba sedang bertugas jaga malam." 
"Begitukah?" aidit  tertawa . "Jadi, hanya itu 
masalahnya?" 
"namun  Yang Mulia tunggadewa  menanggapinya 
dengan cara berbeda,"  mpu salmah  melanjutkan. 
"jawaban pasti yang baru saja diberikan beliau memberi 
kesan seakan-akan hamba sudah  mencuri ide orang 
lain. Yang Mulu tunggadewa  sendiri yang memberitahu 
hamba bahwa beliau memiliki beberapa gambar 
berharga dari donjon marga Ouchi dan Satgunungselatan, dan 
bahkan sebuah buku sketsa yang langka. Jadi. 
mengapa beliau menahan diri dan mengalihkan 
tanggung jawab  pada orang yang tak berpengalaman 
seperti hamba?" 
Walaupun penampilan  mpu salmah  kekanak-kanakan. 
sikapnya menunjukkan bahwa ia seorang laki-laki. 
"Benarkah itu, tunggadewa ?" tanya aidit . 
Di bawah  tatapan langsung aidit , tunggadewa  
tak sanggup tetap tenang. Tergagap-gagap ia men-
jawab , "Ya." Ia pun tak sanggup mengendalikan 
kemarahannya terhadap  mpu salmah . tunggadewa  sengaja 
menyimpan pendapatnya sendiri dan mengangkat 
pengetahuan  mpu salmah , sebab ia mengctahui kasih 
  
sayang aidit  terhadap pemuda itu, dan secara tak 
langsung bermaksud menunjukkan iktikad baiknya. Ia 
bukan saja memberi keuntungan pada  mpu salmah , 
melainkan juga berusaha tidak mempermalukannya. 
tunggadewa  sudah  memberitahu  mpu salmah  segala 
sesuatu yang diketahuinya mengenai donjon dan pem-
bangunan benteng kota pada waktu mereka berjaga malam. 
Sungguh konyol bahwa  mpu salmah  menyampaikan hal 
itu  sebagai hasil pikirannya sendiri pada 
aidit . namun  jika tunggadewa  berkata demikian 
sckarang,  mpu salmah  akan teramat malu, dan aidit  
temu merasa muak. sebab  beranggapan bahwa men-
cegah situasi pelik seperti itu akan menguntung-kan 
baginya, tunggadewa  bersikap scelah-olah  mpu salmah  yang 
memperoleh  ide itu . namun  hasilnya justru 
kebalikan dari yang diharapkannya. 
aidit  sepertinya dapat menduga apa yang 
berkecamuk dalam benak tunggadewa . Tiba-tiba ia 
tertawa  keras-keras. "Ternyata tunggadewa  pun bisa 
bersikap terlalu hati-haii. namun ... bisakah kauambilkan 
gambar-gambar itu?" 
"Hamba memiliki Beberapa, namun  hamba ragu 
apakah gambar-gambar itu mencukupi." 
"Jangan gelisah khawatir . Pinjamkan saja padaku untuk 
beberapa waktu."  
"Hamba akan mengambil semuanya." 
tunggadewa  menyalahkan diri sendiri sebab  sudah   
berusaha membohongi aidit , dan walaupun 
urusannya sudah selesai, justru ia sendiri yang 
  
menderita kerugian. Namun, saat  pembicaraan 
beralih pada benteng kota-benteng kota di provinsi lain, 
aidit  tetap kelihatan riang. Dan sesudah  makan 
malam didwikerto ngkan, tunggadewa  menarik diri tanpa 
perasaan buruk. 
Keesokan paginya, sesudah aidit  meninggal-
kan Nijo,  mpu salmah  pergi menemui ibunya. 
"Ibu, menurut adikku dan pelayan-pdayan lain, 
Tuan tunggadewa  mewanti-wanti Yang Mulia bahwa Ibu 
mungkin membocorkan rahasia militer kepada para 
biksuprajurit, sebab  Ibu sering keluar-masuk kuil. 
Jadi, kemarin, waktu dia berada di hadapan Yang 
Mulia, aku sempat membalas perbuatannya. Bagai-
manapun, sejak ayahku meninggal, keluarga kita lebih  
sering menikmati kemurahan hati Yang Mulia 
dibandingkan  orang lain, sehingga tidak aneh kalau ada 
yang merasa dengki. Berhati-hatilah dan jangan 
percaya pada siapa pun." 
 

 
Segera sesudah  perayaan Tahun Baru di Tahun 
Keempat masa pemerintahan dinasti syailendra , pembangunan benteng kota di madukara  
dimulai, seiring proyek kota benteng kota dengan ukuran 
yang tak pernah dilihat sebelumnya. Pengrajin-
pengrajin berkumpul di madukara  bersama murid-murid 
dan tukang-tukang mereka. Mereka  berdatangan dari 
ibu kota dan kahuripan , dari provinsi-provinsi Barat yang 
jauh, dan bahkan dari Timur dan Utara: pandai besi. 
  
tukang batu. tukang plester, pengrajin logam, bahkan 
tukang pasang kertas dinding wakil-wakil dari setiap 
keterampilan yang ada. 
tinggi sumbing Eitoku yang tersohor dipilih untuk membuat 
gambar pada pintu-pintu, dinding-dinding penyekat, 
dan langit-langit. Untuk proyek ini, tinggi sumbing tidak 
sekadar mengandaikan tradisi perguruannya sendiri. 
Ia berkonsultasi dengan para pemuka dari perguruan-
perguruan lain, lalu  menciptakan karya-karya agung, 
menerangi dunia seni yang mengalami kemorokuyang  
selama  tahun-tahun perang saudara. 
Ladang-ladang buah murbei lenyap dalam semalam. 
digantikan oleh jaringan jalan yang terencana, 
sementara di puncak gunung, kerangka donjon muncul 
scbelum orang-orang menyadarinya. benteng kota utama. 
yang dirancang berdasarkan mitos Gunung Meru, 
memiliki  empat menara mewakili para Raja 
Keempat Mata Angin di sekeliling donjon bertingkat 
lima. Di bawah nya ada gedung besar yang terbuat 
dari batu, dan dari gedung itu beberapa bangunan 
tambah an memencar. Di bawah  dan di atasnya ter-
dapat lebih  dari seratus bangunan yang berhubungan, 
dan sulit dikatakan berapa tingkat dimiliki oleh 
masing-masing bangunan. 
Di Ruang Pohon Prem, Ruang 9 
Pemandangan Termasyhur, Ruang Burung Pegar, dan 
Ruang Kanak-Kanak kedhiri , si pelukis menerapkan 
keahliannya tanpa sempat memejamkan mata. Tukang 
pernis, yang benci mendengar kata debu dinamakan -sebut, 
  
memberi lapisan pernis pada pegangan tangan yang 
merah dan dinding-dinding yang hitam. Seorang ahli 
tembikar asal Gina ditunjuk sebagai mandor pembuat 
ubin. Siang-malam asap mengepul-ngepul dari tempat 
pembakarannya di tepi danau. 
Seorang biksu tampak bergumam-gumam saat  
memandang ke arah benteng kota. Ia hanya seorang biksu 
pengembara, namun  alisnya yang tebal dan mulutnya 
yang lebar sangat menarik perhatian. 
"Bukankah ini yosobremargo ?" tanya patih ronggolawe . Ia menepuk-
nepuk pundak orang itu dengan pelan, agar tidak 
mengejutkannya. patih ronggolawe  sudah   memisahkan diri 
dari sekclompok resi  yang berdiri tak jauh. 
"Wah, wah! Tuan patih ronggolawe !" 
"Aku tak menyangka akan bertemu Tuan di sini," 
patih ronggolawe  berkata dengan riang. Sekali lagi ia 
menepuk bahu yosobremargo  dan tersenyum ramah. "Sudah 
lama sekali sejak kita terakhir kali berjumpa. Kalau 
tidak salah, di rumah Tuan syam kamaruzaman  di syam ." 
"Ya, benar. Belum lama ini mungkin sekitar akhir 
tahun di Istana Nijo aku mendengar Tuan tunggadewa  
berkata bahwa Tuan datang ke ibu kota. Aku datang 
bersama utusan patih Terumoto dan sempat berdiam 
di trowulan  selama beberapa waktu. Utusan itu sudah 
kembali sekarang, namun  sebab  aku hanya biksu tanpa 
urusan mendesak, aku mendatangi berbagai kuil di 
trowulan  dan sekitarnya. Kupikir proyek pembangunan 
Yang Mulia aidit  ini bisa menjadi kisah per-
jalanan menarik, jadi aku mampir untuk melihatnya. 
  
Terus terang, aku sangat terkesan." 
"Kabarnya Tuan juga terlibat dalam kegiatan 
pembangunan," patih ronggolawe  mendadak berkomentar. 
yosobremargo  tampak terkejut, namun  patih ronggolawe  tertawa  dan me-
nambahkan, "Bukan, bukan pembangunan benteng kota. 
Aku mendengar kabar bahwa Tuan membangun biara 
yang diberi nama Ankokuji." 
"Ah, biara itu." Ketegangan di wajah yosobremargo  mencair, 
dan ia pun tertawa . "Pembangunan Ankokuji sudah   
rampung. Kuharap Tuan bisa mengunjungiku suatu 
hari nanti, namun  kurasa kesibukan Tuan sebagai 
penguasa benteng kota lojibenteng  tidak memungkin-
kannya." 
"Aku memang sudah  menjadi penguasa benteng kota, 
namun upahku masih rendah, jadi posisiku pun tidak 
berarti banyak. namun  aku percaya aku tampak lebih  
dewasa dibandingkan saat terakhir kali Tuan 
melihatku di syam ." 
"Tidak. Tuan tidak berubah sedikit pun. Tuan 
masih muda, namun  hampir semua anggota staf lapangan 
Yang Mulia aidit  sedang berada dalam masa 
kejayaan. Sejak semula aku sudah terpukau oleh 
kemegahan rencana pembangunan benteng kotanya dan 
oleh semangat para resi nya. Tampaknya Yang 
Mulia aidit  memiliki kekuatan matahari terbit." 
"Ankokuji dibiayai oleh Yang Mulia patih, bukan? 
Provinsinya kaya dan kuat, dan kurasa dalam hal 
orang-orang berbakat, marga tuanku aidit  bukan 
tandingannya." 
  
yosobremargo  berupaya agar tidak terlibat dalam percakapan 
seperti itu, dan sekali lagi ia memuji pembangunan 
donjon dan  pemandangan sekeliling. 
Akhirnya patih ronggolawe  berkata, "lojibenteng  terletak di 
tepi pantai sebelah utara, tidak jauh dari sini. 
Perahuku terawat di sini, jadi mengapa Tuan tidak 
ikut dan menginap satu-dua malam? Aku sedang bebas 
tugas, dan rasanya aku ingin kembali ke lojibenteng ." 
yosobremargo  memanfaatkan ajakan ini untuk berpamitan 
secara tergesa-gesa. "Mungkin lain kali. Tolong sampai-
kan salamku pada Tuan syam kamaruzaman , maksudku, Tuan 
banaspati ." Dan tiba-tiba saja ia pergi. 
saat  patih ronggolawe  memperhatikan yosobremargo  menjauh. 
dua biksu, yang sepertinya murid yosobremargo , keluar dari 
rumah scorang warga biasa dan segera mengejarnya. 
Hanya ditemui oleh ki pralayan, patih ronggolawe  menerus-
kan perjalanan ke tempat pembangunan yang 
mirip  medan perang. sebab  tidak diberi 
tanggung jawab  penting dalam pembangunan benteng kota, 
patih ronggolawe  sebetulnya  tak perlu tinggal di madukara , namun  
ia sering menempuh perjalanan laut dari lojibenteng  
ke madukara . 
"Tuan patih ronggolawe ! Tuan patih ronggolawe !" seseorang 
memanggilnya. saat  menoleh, patih ronggolawe  melihat 
 mpu salmah  yang tersenyum dan memamerkan deretan 
gigi putih, berlari ke arahnya. 
"Oh, Tuan  mpu salmah . Di mana Yang Mulia?" 
"Sepanjang pagi beliau berada di donjon, namun  
sekarang beliau sedang beristirahat di Kuil Sojitsu." 
  
"Kalau begitu, mari kita ke sana." 
"Tuan patih ronggolawe , biksu yang baru saja berbincang-
bincang dengan Tuan... bukankah itu yosobremargo , ahli 
fisiogngunungselatan itu?" 
"Benar. Aku mendengarnya dari orang lain. namun  
aku ragu apakah seorang ahli fisiogngunungselatan sanggup 
melihat watak sebetulnya  dari orang lain." ujar 
patih ronggolawe , pura-pura kurang tertarik pada topik itu. 
Setiap kali  mpu salmah  mengobrol dengan patih ronggolawe , 
ia tidak menjaga ucajpannya seperti kalau berhadapan 
dengan tunggadewa . Ini tidak berarti  mpu salmah  
menganggap patih ronggolawe  orang yang mudah di-
pengaruhi, namun  adakalanya patih ronggolawe  berlagak bodoh, 
dan  mpu salmah  merasa ia mudah diajak bergaul. 
"Oh, tentu saja sanggup!" balas  mpu salmah . "Ibu 
hamba selalu berkata demikian. Sebclum ayah hamba 
gugur dalam pertempuran, seorang ahli ilmu firasat 
meramalkan kematiannya. Dan sebetulnya , ehm, 
hamba tertarik pada salah satu ramalan yosobremargo ." 
"Apakah kauminta dia meramalkan nasibmu?" 
"Bukan, bukan. Ini bukan mengenai hamba." 
 mpu salmah  menoleh ke kiri-kanan, lalu berbisik. "Ini 
mengenai Tuan tunggadewa ."  
"Tuan tunggadewa ?" 
"yosobremargo  melihar pertanda buruk, bahwa Tuan 
tunggadewa  kelihatan seperti orang yang akan 
menentang junjungannya." 
"Kalau kau mencari sifat seperti itu, kau pasti akan 
menemukannya. Bukan hanya dalam diri Tuan 
  
tunggadewa ." 
"Hamba serius! yosobremargo  berkata demikian." 
patih ronggolawe  mendengarkannya sambil tersenyum 
simpul. Orang lain tentu akan menegur  mpu salmah  
sebab  kegemarannya bergosip, namun  kalau ia berbicara 
seperti ini, rasanya ia tak lebih dari balita  nakal. 
sesudah   menanggapinya secara main-main selama  
beberapa   waktu, patih ronggolawe  bertanya lebih serius, 
"Dari siapa kaudengar hal-hal itu?" 
 mpu salmah  segera membuka rahasianya dengan 
berkata. "Dari Asayama Nichijo." 
patih ronggolawe  mengangguk-angguk, seakan-akan sudah   
menduganya. Tentunya bukan Asayama sendiri yang 
memberitahu. Cerita itu pasti lewat orang lain. Coba 
lihat, apakah aku bisa menebaknya."  
"Silakan." 
"Orang itu ibumu. bukan?"  
"Dari mana Tuan mengetahuinya?"  
patih ronggolawe  hanya tertawa . 
"Dari mana Tuan mengetahuinya?" desak  mpu salmah . 
"Myoko pasti pcrcaya pada hal-hal semacam itu," 
kata patih ronggolawe . "Atau lebih tepatnya, dia menggemari 
hal-hal seperti itu. Dan dia punya hubungan baik 
dengan Asayama. namun  kalau menurutku, aku 
cenderung percaya bahwa Asayama lebih pandai 
menilai fisiogngunungselatan sebuah provinsi dibandingkan  jati diri 
orang lain." 
"Fisiogngunungselatan sebuah provinsi?"      
"Jika penilaian watak seseorang berdasarkan 
  
tampangnya dapat dinamakan  fisiogngunungselatan, penilaian watak 
sebuah provinsi dengan cara yang sama juga dapat 
dinamakan  demikian. Aku menyadari bahwa yosobremargo  sudah  
mengujawa  seni itu. Sebaiknya kau jangan terlampau 
akrab dengan orang-orang seperti dia. Sepertinya dia 
hanya biksu biasa, namun  sebetulnya  dia kaki tangan 
patih Terumoto, si penguasa provinsi-provinsi Barat. 
Bagaimana menurutmu,  mpu salmah ?" patih ronggolawe  me-
nambahkan sambil tertawa . "Bukankah aku lebih 
hebat dibandingkan  yosobremargo ?" 
Gerbang Kuil Sojitsu mulai tampak. Kedua laki-laki 
itu masih tertawa  saat  mereka  menaiki tangga batu. 
Pembangunan benteng kota maju dengan pesat. Pada 
akhir Bulan Kedua tahun itu, aidit  sudah  
meninggalkan padalarang  dan pindah. benteng kota padalarang  
diberikan pada putra sulung aidit , tungguljaya, 
yang berusia sembilan belas tahun. 
Akan namun  , sementara benteng kota madukara  tanpa 
tandingan dalam kekokohan, sekaligus awal  era baru 
di bidang pembangunan benteng kota menjulang tinggi di 
atas persimpangan strategis itu, ada juga yang mem-
pertanyakan nilai militernya, termasuk para biksu-
prajurit dari ronggodwijoyo , patih Terumoto dari provinsi-
provinsi Barat, dan  kramajaya   dari Echigo. 
madukara  bcrada di tepi jalan raya yang menghubung-
kan Echigo dengan trowulan . kramajaya  , tentu saja, juga 
memiliki  rencana untuk memasuki ibu kota, jika 
kesempatan yang tepat tiba, ia akan melintasi gunung-
gunung, muncul di sebelah utara Danau Biwa, dan 
  
dengan sekali pukul, mengibarkan panji-panjinya di 
trowulan . 
Sang pandita  dalam pengasingan, yosodiprojo , yang 
sudah cukup lama tidak terdengar kabarnya, mengirim 
pesan-pesan pada kramajaya  , dan mencoba menghasut-
nya untuk benindak. 
 
Saat ini baru bagian luar benteng kota madukara  yang sudah 
rampung. Penyelesaian bagian dalamnya akan makan 
waktu dua setengah tahun. Begitu pem-bangunan benteng kota 
itu tuntas, jalan antara Echigo dan trowulan  bisa dianggap 
tak ada lagi. Sekaranglah waktu yang tepat untuk 
bergeratk. Aku akan mengelilingi provinsi-provinsi dan 
membentuk persekutuan di antara semua pihak yang 
menentang aidit , termasuk Yang Mulia Terumoto 
dari provinsi-provinsi Barat, marga Hojo, marga mpu ireng , 
dan marga Yang Mulia sendiri di Echigo. namun , jika Yang 
Mulia tidak bertindak sebagai pemimpin prakarsa ini, aku 
tidak berani meramalkan keberhasilannya. 
 
kramajaya   memaksakan senyum. lalu berkata dalam 
hati. "Apakah cacing kecil ini hendak menggeliat-geliat 
sampai dia berumur seratus tahun?" kramajaya   bukan 
pemimpin bodoh yang mungkin terpancing oleh 
umpan seperti itu." 
Dari Tahun Baru sampai ke musim panas, kramajaya   
memindahkan centeng nya ke Kaga dan Noto, dan 
mulai mengancam perbatasan sinuhun . Secepat kilat bala 
bantuan dikirim dari gunungselatan. Di bawah  komando 
nyoto  dijoyo , centeng  danakertoarjo  , patih ronggolawe , Niwa, 
Sasu, dan madya mengejar-ngejar musuh dan 
  
membakar desa-desa yang dipakai  sebagai tempat 
berlindung, sampai ke Kanatsu. 
Seorang utusan datang dari kubu kramajaya   dan 
berseru lantang bahwa surat yang dibawan ya hanya 
boleh dibaca oleh aidit . 
"Tak pelak lagi, ini tulisan tangan kramajaya   sendiri," 
ujar aidit  saat  ia membuka segelnya. 
 
Sudah lama aku mendengar nama besar Tuan, dan aku 
menyesal sebab  belum diberi kesempatan bertatap muka. 
Sekaranglah kesempatan terbaik. Jika kita tidak bertemu 
dalam pertempuran, kita berdua akan menyesal selama 
bertahun-tahun. Pertempuran akan dimulai besok, pada 
Jam Kelinci. Aku akan menemui Tuan di Sungai Kanatsu. 
Semuanya akan diselesaikan pada waktu kita berhadapan 
satu lkertoarjo an satu. 
 
Surat itu berisi tantangan resmi untuk bertcmpur. 
"Ke mana utusannya?" tanya aidit . 
"Dia segera kembali," jawab  seorang pengikutnya.   
aidit  mcrinding. Malam itu ia tiba-tiba 
memerintahkan untuk membongkar perkemahan, dan 
centeng nya mundur. 
kramajaya   tertawa  keras-keras saat  mendengar kabar 
itu. "Itulah aidit . Seandainya dia tetap di tempat, 
besok dia bisa menyerahkan semuanya untuk diinjak-
injak oleh kaki kudaku, dan selain bertemu dengan-
nya, seharusnya aku sekaligus bisa membantu 
memenggal kepalanya di tepi sungai itu." 
namun  aidit  cepat-cepat kembali ke madukara , 
  
ditambah   satu regu prajuritnya. saat  teringat surat 
tantangan kramajaya   yang bergaya kuno, mau tak mau 
ia tersenyum meringis. 
"Mungkin cara inilah yang dipakai  untuk 
memancing mpu betarakatong  di Kkertoarjo riakajima. Dia memang tak kenal takut. Dan dia sangat bangga akan pedang 
panjangnya, yang dibuat oleh Azuki Nagamitsu. 
Rasanya aku tidak berminat melihat pedang itu 
dengan mata kepala sendiri. Sayang sekali kramajaya   
tidak lahir di masa lampau, saat  para centeng adipati  
memakai baju tempur dengan lempeng emas. Entah 
bagaimana pendapatnya mengenai madukara , yang men-
campuradukkan gaya Jcpang, kedhiri , dan bangsa barbar 
dari Selatan? Segala perubahan dalam persenjataan 
dan strategi sudah  membawa   kita ke sebuah dunia 
baru. Bagaimana mungkin seseorang berkeras bahwa 
seni perang tidak ikut berubah pula? Barangkali dia 
menertawa kan gerak mundurku sebagai tindakan 
pengecut, namun  pemikirannya yang sudah  ketinggalan 
zaman justru kalah dibandingkan pemikiran para 
pengrajinku. 
Mereka  yang mendengarkan ini dengan sungguh-
sungguh bisa belajar banyak. Ada juga yang diajari. 
namun  tak pernah belajar apa pun. 
sesudah   aidit  kembali ke madukara , ia diberitahu 
bahwa terjadi sesuatu selama  operasi di Utara, antara 
panglima centeng nya, nyoto  Katsutc, dan 
patih ronggolawe . Penyebabnya tidak jelas, namun  kedua orang 
ini berselisih mengenai strategi. Akibatnya patih ronggolawe  
  
mengumpulkan anak buahnya dan kembali ke 
lojibenteng , sementara dijoyo  cepat-cepat memohon 
pada aidit  dengan berkata, "patih ronggolawe  merasa 
tak perlu menaati perintah tuanku dan kembali ke 
benteng kotanya. Sikapnya tak dapat dimaafkan, dan dia 
harus dihukum sebab nya." 
Tak ada kabar dari patih ronggolawe . Menyangka bahwa 
patih ronggolawe  memiliki alasan kuat untuk tindakannya. 
aidit  memutuskan menunggu sampai semua  
resi  kembali dari operasi di Utara, sebelum 
menyelesaikan masalahnya. Namun desas-desus terus 
berdatangan. 
"Yang Mulia dijoyo  marah sekali." 
"Yang Mulia patih ronggolawe  terlalu lekas marah. Tak ada 
resi  yang menarik centeng nya di tengah operasi 
militer tanpa mencoreng arang di kening sendiri." 
Akhirnya aidit  menyuruh seorang pembantu-
nya menydidiki persoalan itu. 
"Apakah patih ronggolawe  benar-benar sudah kembali ke 
lojibenteng ?" tanya aidit . 
"Ya, kelihatannya dia memang berada di sana," 
pembantunya menjawab . 
aidit  terpancing amarah, dan ia mengirim 
utusan untuk menyampaikan teguran keras. "Sikapmu 
sungguh kurang ajar. Sebelum melakukan apa-apa. 
perlihatkanlah penyesalanmu." 
saat  utusannya kembali, aidit  bertanya. 
"Seperti apa ekspresinya waktu mendengar teguranku?" 
"Dia tampak seakan-akan berpikir. 'Oh, begitu?'" 
  
"Hanya itu?" 
"lalu  dia mengatakan sesuatu mengenai 
beristirahat sejenak."  
"Dia terlalu berani dan mulai besar kepala." Roman 
muka aidit  tidak memperlihatkan bahwa ia 
benar-benar murka terhadap patih ronggolawe , walaupun ia 
sudah  menegur patih ronggolawe  secara lisan. Namun, saat  
dijoyo  dan para resi  lain akhirnya kembali. 
kemarahan aidit  pun meledak. 
Salah satu sebabnya, walaupun patih ronggolawe  dikena-
kan tahanan rumah di benteng kota lojibenteng , ia bukan-
nya menunjukkan penyesalan, melainkan justru 
mengadakan pesta minum setiap hari. Tak ada alasan 
bagi aidit  untuk tidak marah, dan orang-orang 
menerka bahwa dalam keadaan paling buruk, 
patih ronggolawe  akan diperintahkan melakukan seppuku, 
dan dalam keadaan baik, ia disuruh datang ke 
benteng kota madukara  untuk dihadapkan ke mahkamah 
militer. namun , sesudah  beberapa saat, aidit  rupa-
nya sudah melupakan kejadian itu, dan lalu  tak 
pernah menyinggungnya lagi. 
 

 
Di benteng kota lojibenteng . patih ronggolawe  mulai terbiasa 
bangun siang. Setiap hari nyi momo  melihat wajah suami-
nya saat matahari sudah tinggi di langit. 
Bahkan ibunya merasa gelisah khawatir  dan berkomentar 
pada nyi momo , "Tidak biasanya dia seperti ini." 
  
Sulit bagi nyi momo  untuk menemukan jawab annya. 
patih ronggolawe  selalu tidur sampai siang sebab  ia minum-
minum pada malam harinya. Kalau ia minum di 
rumah, wajahnya langsung merah sesudah   empat atau 
lima baskom kecil, lalu  ia cepat-cepat menyelesai-
kan makan malamnya. sesudah  itu ia mengumpulkan 
para centeng adipati  kkertoarjo kan dan minum-minum sampai 
larut malam, tanpa mengindahkan waktu. Akibatnya 
ia tertidur di ruang pelayan. Suatu malam, saat  
istrinya sedang berjalan di selasar utama bersama para 
dayang, ia melihat seorang laki-laki melangkah 
perlahan ke arahnya. Laki-laki itu mirip patih ronggolawe , 
namun  nyi momo  berseru. "Siapa itu?" seakan-akan tidak 
mengenalinya. 
Suaminya terperanjat, dan berbalik untuk menyem-
bunyikan kebingungannya, namun  dengan gerakannya 
yang kikuk, ia malah kelihatan seperti sedang berlatih 
menari. "Aku tersesat." Ia menghampiri nyi momo  dan 
menjaga keseimbangan dengan meraih bahu istrinya 
itu. "Ah, aku mabuk. nyi momo , gendonglah aku! Aku tak 
sanggup jalan." 
Kctika nyi momo  melihat betapa patih ronggolawe  berusaha 
menutup-nutupi keadaannya, ia langsung tertawa . 
Lalu ia menegur sambil berlagak marah. "Baik, baik, 
aku akan menggendongmu. Omong-omong, ke mana 
tujuanmu?" 
patih ronggolawe  naik ke punggung nyi momo  dan mulai 
tertawa  cekikikan. 
"Ke kamarmu. bawa   aku ke kamarmu!" ia me-
  
mohon dengan sangat, lalu menendang-nendang 
seperti anak kccil. 
nyi momo , yang terbungkuk sebab  beban yang 
dibawan ya, bergurau dengan dayang-dayangnya, 
"Dengar, semuanya, ke mana aku harus membawa   
pengelana lusuh yang kutemui di jalan ini?" 
Para dayang merasa begitu geli, hingga terpingkal-
pingkal sampai keluar air mata. lalu  mereka  
mengelilingi laki-laki yang digendong nyi momo , dan 
bersenda gurau sampai pagi di kamar nyi momo . 
Kejadian seperti itu dapat dihitung dengan jari satu 
tangan. Pada pagi hari, nyi momo  sering merasa seakan-
akan tugasnya adalah menatap wajah suaminya yang 
cemberut. Apa yang disembunyikan patih ronggolawe ? 
Mereka  sudah  lima belas tahun menikah. Usia nyi momo  
kini sudah lebih  dari tiga puluh, dan suaminya empat 
puluh satu tahun. Ia tak bisa percaya bahwa roman 
muka getir yang setiap pagi diperlihatkan patih ronggolawe  
hanya akibat suasana hati yang sedang tidak enak. 
walaupun ia menyesalkan sikap suaminya, dengan 
tulus ia berdoa agar diberi petunjuk untuk memahami 
kesusahannya biarpun hanya sedikil dan meringan-
kan penderitaannya. 
Pada saat-saat scperri ini, nyi momo  menganggap ibu 
patih ronggolawe  sebagai teladan. Suatu pagi ibu mertuanya 
bangun lebih dini, dan pergi ke kebun sayur di 
pekarangan utara, saat  embun masih membasahi 
bumi. 
"nyi momo ," ia berkata, "masih banyak waktu sebelum 
  
patih ronggolawe  bangun. Mari kita petik terong di kebun. 
Tolong bawa  kan keranjang." 
wanita lesbian  tua itu mulai memetik. nyi momo  mengisi 
satu keranjang, lalu mengambil keranjang lain. 
"Hei, nyi momo ! Kau dan Ibu ada di sana?" 
Suara itu milik suaminya suaminya yang 
belakangan ini begitu jarang bangun pagi. 
"Aku tidak tahu kau sudah bangun," nyi momo  
memohon maaf. 
"Aku tiba-tiba saja terjaga. Para pelayan pun ke-
lihatan kaget." patih ronggolawe  tersenyum cerah, pe-
mandangan yang sudah cukup lama tak pernah dilihat 
nyi momo . "raden mas  ngabehi  melaporkan bahwa kapal 
dengan bendera utusan sedang menuju ke sini dari 
madukara . Aku langsung bangun, pergi ke altar, lalu 
pergi ke sini untuk minta maaf sebab  meng-
abaikanmu akhir-akhir ini." 
"Aha! Kau sudah minta maaf kepada para dewa!" 
ujar ibunya sambil terkekeh-kekeh. 
"Benar. sesudah   itu, rasanya aku harus minta maaf 
pada ibuku, dan bahkan pada istriku," patih ronggolawe  
menambahkan dengan sungguh-sungguh. "Untuk itu-
kah kau datang ke sini?" 
"Ya, dan kalau saja kalian mengerti bagaimana 
perasaanku, aku tak perlu melakukannya lagi," 
"Oh, anak ini memang pintar." 
Walaupun ibu patih ronggolawe  mungkin agak curiga 
melihat putranya tiba-tiba bersikap demikian ceria, ia 
segera memahami sebabnya. 
  
"Tuan madya dan Tuan Nonomura baru saja tiba di 
gerbang. Mereka  datang sebagai kurir resmi dari 
madukara . Tuan banaspati  langsung menyambut dan 
membawa   mereka  ke ruang penerima tamu," ki pralayan 
mengumumkan. 
patih ronggolawe  menyuruh pelayannya pergi dan mulai 
memetik terong bersama ibunya. "Ah, terongnya 
tumbuh subur. Ibu sendirikah yang menaburkan 
pupuk?" 
"Bukankah kau harus bergegas untuk menemui para 
kurir Yang Mulia?" tanya ibunya. 
"Tidak perlu. Aku sudah bisa menebak maksud 
kedatangan mereka, jadi tak perlu bingung. Aku ingin 
memetik beberapa terong dahulu . Tentu menyenangkan 
memamerkan warna zamrud yang berkilau dan ber-
selubung embun pagi pada Yang Mulia aidit ." 
"Kau akan memberikan terong kepada para utusan 
sebagai tanda mata untuk Yang Mulia?" 
"Bukan, aku sendiri yang akan membawa  nya pagi 
ini." 
"Apa?!"      
Bagaimanapun, patih ronggolawe  sudah  membangkitkan 
kemarahan junjungannya, dan dikenakan tahanan 
rumah. Pagi itu ibunya mulai merasa ragu, dan dalam 
sekejap hampir bingung sebab  cemas. 
"Tuanku? Kedatangan tuanku sudah dinanti-nanti."    
ngabehi  datang menjemput patih ronggolawe , yang akhirnya 
meninggalkan ladang terong.  
sesudah  persiapan untuk perjalanan tuntas, 
  
patih ronggolawe  meminta para utusan menyertainya kembali 
ke madukara . 
Tiba-tiba ia berhenti. "Oh, aku lupa sesuatu! Tanda 
mata untuk Yang Mulia." Ia menyuruh seorang 
pengikut mengambil keranjang berisi terong. 
Semuanya sudah ditutup daun, dan embun masih 
menempel. 
Usia kota benteng kota madukara  belum lagi setahun, namun  
sepertiganya sudah   rampung dan para warganya hidup 
dalam kesejahteraan. Semua orang yang singgah di sini 
terkesan oleh kesibukan kota baru ini, oleh jalan 
berlapis pasir perak yang menuju gerbang benteng kota, 
tangga yang dibuat dengan bongkahan batu besar, 
dinding-dinding yang diplester, dan perlengkapan 
logam yang dipoles sampai berkilau. 
Dan scmcniara pemandangan itu memang 
memukau, kemegahan donjon bertingkat lima tak 
dapat dilukiskan, apakah dilihat dari danau, dari jalan-
jalan kota benteng kota di bawah nya, atau bahkan dari 
pekarangan benteng kota sendiri. 
"patih ronggolawe , kau datang." Suara aidit  terdengar 
dari balik pintu geser yang tertutup. Ruangan itu, di 
tengah-tengah pernis emas, merah, dan biru madukara , 
dihiasi oleh lukisan tinta yang bersahaja. 
patih ronggolawe  masih agak jauh, menyembah di ruang 
sebelah. 
"Kurasa kau sudah mendengamya, patih ronggolawe , 
Hukumanmu sudah kubatalkan. Masuklah." 
patih ronggolawe  maju perlahan-lahan dari ruang sebelah, 
  
sambil membawa   keranjang berisi terong. 
aidit  menatapnya curiga. "Apa itu?" 
"Ehm, moga-moga tanda mata ini berkenan di hati 
tuanku." patih ronggolawe  bergerak maju dan meletakkan 
keranjangnya di hadapan aidit . "Ibu dan istri 
hamba menanam terong ini di kebun di benteng kota." 
"Terong?" 
"Tuanku mungkin menganggapnya tanda mata yang 
konyol dan aneh, namun  sebab  hamba datang naik 
perahu cepat, hamba pikir tuanku sempat melihat 
terong ini sebelum embunnya menguap. Hamba 
sendiri yang memetik semuanya tadi pagi." 
"patih ronggolawe , kurasa yang hendak kauperlihatkan 
tentu bukan terong maupun embun yang belum 
menguap. Apa sebetulnya  yang hendak kausampai-
kan?" 
"Tuanku tentu dapat menebaknya. Hamba pelayan 
yang tak berarti, namun  tuanku sudah   mengangkat hamba 
dari petani bersahaja menjadi pengikut yang 
mengujawa  wilayah senilai dua ratus dua puluh ribu 
gantang. Walau demikian, ibu hamba yang tua tak 
pernah lalai mengangkat pacul, menyiram sayur-
mayur, dan menabur pupuk di ladang. Setiap hari 
hamba berterima kasih atas pelajaran yang diberi-
kannya. Tanpa perlu berkata apa-apa, dia memberi 
tahu hamba, Tak ada yang lebih  berbahaya dibandingkan  
petani yang menjadi orang besar, dan kau sebaiknya 
membiasakan diri bahwa perasaan dengki orang lain 
berasal dari kesombongan mereka sendiri. Jangan lupa 
  
masa lalumu di lemahlaban , dan ingatlah selalu 
kemurahan hati yang ditunjukkan junjunganmu 
padamu." 
aidit  mengangguk, dan patih ronggolawe  melanjut-
kan. "Percayakah tuanku bahwa hamba mungkin 
menyusun strategi yang tidak menguntungkan bagi 
tuanku, kalau hamba memiliki ibu seperti itu? Hamba 
menganggap pelajarannya sebagai jimat. Walaupun 
hamba bertikai secara terbuka dengan panglima 
centeng , dalam dada hamba tidak ada kepalsuan." 
Pada titik itu, tamu di samping aidit  menepuk 
pahanya dan berkata, "Terong ini benar-benar tanda 
mata yang baik. Nanti kita cicipi bersama." 
Baru sekarang patih ronggolawe  menyadari bahwa ada 
orang lain di dalam ruangan: seorang laki-laki yang 
tampak berusia tiga puluhan. Mulutnya yang besar 
memperlihatkan kemauannya yang keras. Alisnya 
tebal, dan pangkal hidungnya agak melebar. Sulit 
dikatakan apakah ia keturunan petani atau sekadar 
berbadan tegap, namun  sorot matanya dan  kilauan 
kulitnya yang berwarna merah tua menunjukkan 
bahwa ia memiliki kekuatan batin yang hebat. 
'Apakah terong dari kebun ibu patih ronggolawe  juga 
menyenangkanmu, keraton ? Aku sendiri senang 
menerimanya," ujar aidit  sambil tertawa . 
lalu , dengan sikap lebih serius, ia memper-
kenalkan tamunya pada patih ronggolawe . 
"Ini Kursinuhun  keraton , putra Kursinuhun  Mototaka, 
pengikut senior Odera Masamoto di sumberdadi ." 
  
Mendengar ini, patih ronggolawe  tak sanggup menyem-
bunyikan rasa terkejutnya. Kursinuhun  keraton  adalah 
nama yang terus-menerus didengarnya. Disamping itu, 
ia sering melihat surat-suratnya. 
"Wah! Jadi, Tuan-lah Kursinuhun  keraton ." 
"Dan aku berhadapan dengan Yang Mulia 
patih ronggolawe , yang namanya sudah sering kudengar?"  
"Selalu dalam surat." 
"Ya, namun  aku tak bisa menganggap ini sebagai 
pertemuan kita yang pertama." 
"Dan sekarang aku ada di sini, memohon ampun 
pada junjunganku. Aku gelisah khawatir  Tuan akan 
menertawa kanku. Inilah patih ronggolawe , orang yang selalu 
dimarahi oleh junjungannya." Dan ia tertawa  dengan 
suar, yang seakan-akan menyapu segala sesuatu. 
aidit  pun tertawa  lepas. Dengan patih ronggolawe  ia 
bisa tertawa  gembira mengenai hal-hal yang sebenar-
nya tidak menggembirakan. 
Dalam waktu singkat, terong yang dibawa   patih ronggolawe  
selesai dimasak, dan tak lama lalu  ketiga orang 
itu sudah memulai pesta minum. keraton  sembilan 
tahun lebih muda dari patih ronggolawe , namun  tak kalah 
sedikit pan dalam pemahaman mengenai arus zaman 
atau intuisi tentang siapa vang akan meraih tampuk 
kekuasaan. Ia tak lebih  dari putra pengikut sebuah 
marga berpengaruh di sumberdadi , namun  ia memiliki  
benteng kota kecil di mendutrejo, dan sejak muda sudah   meng-
genggam ambisi besar. Selain itu, dari orang di 
provinsi-provinsi Barat, hanya ia sendiri yang cukup 
  
jeli membaca perkembangan, sehingga mendatangi 
aidit  dan diam-diam menekankan pentingnya 
penaklukan daerah tcrscbut. Pihak paling berkuasa di 
daerah Barat adalah marga patih yang memiliki 
pengaruh di dua puluh provinsi. keraton  hidup di 
tengah-tengah mereka, namun  ia tidak silau melihat 
kebesaran mereka. Ia menyadari bahwa sejarah bangsa 
mengalir ke satu arah. Dibekali pengertian ini, ia 
mencari-cari satu orang: aidit . Dari sudut itu 
saja, sulit menganggap keraton  sebagai orang 
kebanyakan. sebetulnya  ia merupakan orang yang 
pandai membeda-bedakan. 
Ada pepatah yang mengatakan bahwa satu orang 
besar selalu dapat mengenali orang besar lainnya. 
Dalam percakapan mereka pada pertemuan patih ronggolawe  
dan keraton  tampak akrab, seakan-akan sudah  saling 
mengenal selama seratus tahun. 
  
Si kuyang  Menuju ke Barat 
 
 
 
TlDAK lama sesudah   pertemuannya dengan keraton , 
patih ronggolawe  menerima tugas khusus dari aidit . 
"sebetulnya ." aidit  mulai berkata, "aku sendiri 
ingin memimpin centeng  dalam ekspedisi ini, namun  
keadaan tidak memungkinkan. sebab  alasan itu, aku 
mempercayakan semuanya padamu. Kau akan me-
mimpin tiga centeng , membawa   mereka  ke provinsi-
provinsi Barat, dan membujuk marga patih agar mau 
tunduk padaku. Ini tanggung jawab  besar yang hanya 
dapat diemban oleh kau seorang. Bersediakah kau?" 
patih ronggolawe  membisu. Ia begitu gembira dan di-
penuhi rasa terima kasih sehingga tak sanggup men-
jawab  langsung. 
"Hamba menerima tugas ini," ia akhirnya berkata 
dengan emosi mendalam. 
Ini baru kedua kali aidit  mengerahkan tiga 
centeng  dan menyerahkan kepemimpinan kepada 
salah satu pengikutnya. Sebelumnya ia menugaskan  
dijoyo  sebagai  panglima tertinggi operasi di  Utara. 
namun  sebab  demikian penting dan begitu sukar, 
penyerbuan ke provinsi-provinsi Barat tak dapat 
dibandingkan dengan operasi di Utara. 
patih ronggolawe  merasa seolah-olah beban yang teramat 
berat diletakkan ke atas bahunya. saat  melihat 
roman muka patih ronggolawe  yang ragu-ragu, aidit  
  
tiba-tiba waswas dan bertanya-tanya apakah tanggung 
jawab  itu  tidak terlalu berat. "Apakah patih ronggolawe  
memiliki kepercayaan diri untuk memikul tanggung 
jawab  ini?" ia bertanya dalam hati. 
"patih ronggolawe , apakah kau akan kembali dahulu  ke 
benteng kota lojibenteng  sebelum mengerahkan centeng ?" 
tanya aidit . "Atau kau lebih  suka bertolak dari 
madukara ?" 
"Jika tuanku memperkenankan, hamba akan 
berangkat dari madukara  hari ini juga." 
"Kau tidak menyesal meninggalkan lojibenteng ?" 
"Tidak. Ibu, istri, dan anak angkat hamba berada di 
sana. Mengapa hamba harus merasa sedih?" 
Anak angkat yang dimaksud adalah putra keempat 
aidit , Tsugimaru. patih ronggolawe  sudah   diperkenan-
kan aidit  untuk membesarkannya. 
aidit  tertawa , lalu bertanya, "Kalau operasi ini 
ternyata berkepanjangan dan provinsi asalmu jatuh ke 
tangan anak angkatmu, di mana kau akan membentuk 
wilayahmu sendiri?" 
"sesudah   menundukkan daerah Barat, hamba akan 
memintanya." 
"Dan kalau tidak diberikan?" 
"Barangkali hamba bisa menaklukkan Kyushu dan 
tinggal di sana." aidit  tertawa  terbahak-bahak, 
dan melupakan perasaan waswasnya kemula. 
Dengan gembira patih ronggolawe  kembali ke ruangannya, 
dan segera menceritakan perintah aidit  pada 
ngabehi . ngabehi  langsung mengirim kurir pada 
  
banaspati , yang bertanggung jawab  di lojibenteng  
selama patih ronggolawe  pergi. banaspati  berjalan sepanjang 
malam, memimpin centeng  untuk bergabung dengan 
majikannya. Sementara itu, sebuah pemberitahuan 
diedarkan pada semua  resi  aidit , berisi kabar 
mengenai penugasan patih ronggolawe . 
saat  banaspati  tiba pada pagi hari dan 
mendatangi ruangan patih ronggolawe , ia menemukan 
patih ronggolawe  sendirian, sedang mengoleskan moxa ke 
tulang kering. 
"Itu persiapan yang baik untuk menghadapi operasi 
militer," ujar banaspati . 
"Aku masih punya setengah lusin bekas luka di 
punggung, dari waktu aku diobati dengan moxa saat  
aku kanak-kanak." jawab  patih ronggolawe  sambil mengena-
kan gigi sebab  menahan panas yang hebat. "Aku tidak 
suka moxa sebab  sengatannya, namun  kalau aku tidak 
melakukan ini, ibuku akan cemas. Kalau kaukirim 
kabar ke lojibenteng , tolong tuliskan bahwa aku 
memakai moxa setiap hari." 
Begitu selesai mengoleskan moxa, patih ronggolawe  
berangkat ke garis depan. centeng  yang bertolak dari 
madukara  pada hari itu benar-benar memesona. 
aidit  mengamati mereka  dari donjon. Si kuyang  
dari lemahlaban  sudah maju sekali, ia berkata dalam 
hati. Tak terhitung banyaknya perasaan yang melintas 
di dadanya saat  ia melihatlihat  panji berlambang 
labu emas milik patih ronggolawe  menghilang di kejauhan. 
Provinsi sumberdadi  merupakan mutiara giok dalam 
  
pertarungan antara naga dari Barat dan macan dari 
Timur. Apakah provinsi itu akan bergabung dengan 
kekuatan sinuhun  yang sedang bangkit? Atau justru 
berpihak pada kekuasaan tua marga patih? 
Semua  marga, baik yang besar maupun yang kecil, 
di provinsi-provinsi Barat yang membentang dari 
sumberdadi  ke Hoki kini menghadapi pilihan yang sukar. 
Beberapa berpcndapat. "Marga patih merupakan 
kekuatan utama di daerah Barat. Mereka  tentu takkan 
runtuh." 
Yang lain, yang tidak begitu percaya, membalas. 
"Tidak, kita tak bisa mengabaikan orang-orang sinuhun  
yang tiba-tiba menanjak dengan pesat." 
Orang biasa mengambil keputusan dengan mem-
bandingkan kelebihan kedua belah pihak luas wilayah 
masing-masing, jumlah praiurit, dan sekutu. namun  
dalam hal ini, mengingat hebatnya pengaruh marga 
patih dan luasnya wilayah marga sinuhun , kekuatan kedua 
belah pihak tampak seimbang. 
Siapa yang akan menaklukkan masa depan? 
Provinsi-provinsi Barat yang terombang-ambing 
antara gelap dan terang dan  tak sanggup menentukan 
pilihan inilah yang dituju oleh centeng  patih ronggolawe  
pada hari kedua puluh tiga di Bulan Kesepuluh. 
Ke Barat. Ke Barat. 
Tanggung jawab nya teramat berat. saat  patih ronggolawe  
berkuda di bawah  panji berlambang labu emas, 
wajahnya tampak cemas. Usianya empat puluh satu 
tahun. Kedua bibirnya merapat, membentuk garis 
  
panjang, sewaktu kudanya melangkah tenang. Debu 
yang ditcrbangkan angin menyelubungi seluruh 
centeng . 
Sesekali patih ronggolawe  mengingatkan diri bahwa ia 
sedang maju ke provinsi-provinsi Barat. Bagi 
patih ronggolawe  sendiri, hal ini tidak banyak pengaruhnya, 
namun  saat  ia bertolak dan madukara , para resi  lain 
mengucapkan selamat padanya. 
"Yang Mulia akhirnya mengambil keputusan tepat 
dan mengusahakan agar kau dapat berguna. Tuan 
patih ronggolawe , Tuan tidak kalah dari siapa pun. Tuan 
harus membalas kemurahan hati Yang Mulia." 
Berlawan an dengan ini, nyoto  dijoyo  tampak 
sangat tidak senang. "Apa? Dia ditunjuk sebagai 
panglima tertinggi operasi di provinsi-provinsi Barat?!" 
dijoyo  tertawa  mengejek saat  membayangkannya. 
Mudah dipahami mengapa dijoyo  berpikiran 
seperti itu. Pada waktu patih ronggolawe  masih seorang 
pelayan yang bertugas membawa   sandal aidit  
dan bertempat tinggal di kandang bersama kuda-kuda, 
dijoyo  sudah menjadi resi  marga sinuhun . Selain itu, 
ia menikah dengan adik aidit  dan memimpin 
provinsi senilai lebih dari tiga ratus ribu gantang. Dan 
lalu , saat  dijoyo  dijadikan panglima tertinggi 
operasi Utara, patih ronggolawe  sudah  melanggar perintah 
dan kembali ke lojibenteng  tanpa pemberitahuan lebih 
dahulu . Sebagai pengikut senior, dijoyo  kini melakukan 
berbagai manuver politik untuk mengecilkan arti 
penyerbuan kc provinsi-provinsi Barat. 
  
Di atas kudanya dalam perjalanan ke daerah Barat 
itu, tak putus-putusnya patih ronggolawe  terkekeh-kekeh. 
Segala hal itu tiba-tiba melintas dalam benaknya 
pada waktu ia mulai jemu dengan ketenteraman di 
jalan yang menuju ke Barat. patih ronggolawe  tertawa  keras-
keras. ngabehi , yang berkuda di sebelahnya, menduga 
ada yang terlewatkan olehnya dan bertanya. "Tuanku 
mengatakan sesuatu?" sekadar untuk memastikannya.  
"Oh, tidak," jawab  patih ronggolawe . 
centeng nya sudah  menempuh jarak cukup jauh hari 
ini, dan mereka  sudah  mendekati perbatasan sumberdadi .  
"ngabehi , ada kejutan menyenangkan untukmu 
kalau kita memasuki sumberdadi  nanti." 
"Hmm, apa kiranya?" 
"Rasanya kau belum pernah berjumpa dengan 
Kursinuhun  keraton ." 
"Belum, hamba belum pernah berjumpa dengannya, 
namun  sudah lama hamba mendengar namanya dinamakan -
sebut." 
"Dia tokoh yang patut diperhatikan. Kalau bertemu 
dia, kau tentu segera berteman dengannya." 
"Hamba sudah  banyak mendengar centa tentang 
dia." 
"Dia putra pengikut senior marga Odera, dan baru 
berumur tiga puluhan." 
"Bukankah operasi ini diprakarsai olehnya?"  
"Benar. Dia cerdas dan bermata jeli."  
"Tuanku kenal baik dengannya?" 
"Aku mengenalnya lewat surat, namun  baru-baru ini di 
  
madukara  aku bertemu dia untuk pertama kali. Kami ber-
bincang-bincang secara terbuka selama  setengah hari. 
Ah, aku merasa percaya sekali. Dengan raden mas  
ngabehi  di sisi kiri dan Kursinuhun  keraton   di sisi kanan, 
aku sudah  memiliki staf lapangan." 
Tiba-tiba terjadi sesuatu yang menimbulkan 
kekacauan dalam centeng . tawa  salah seorang pelayan 
meledak. 
banaspati  menoleh dan memberikan perintah 
pada ki pralayan, kepala para pelayan. ki pralayan lalu meng-
hardik para pelayan di belakangnya. "Diam! Sebuah 
centeng  harus maju dengan penuh wibawa  ." 
saat  patih ronggolawe  menanyakan apa yang terjadi, 
banaspati  tampak salah tingkah. "sebab  hamba 
mengizinkan para pelayan berkuda, mereka bermain-
main dan mengacaukan barisan, seakan-akan hendak 
berpiknik. Mereka  membuat kegaduhan dan bersenda 
gurau, dan ki pralayan pun tak dapat mengendalikan 
mereka. Mungkin lebih baik kalau hamba menyuruh 
mereka  berjalan kaki." 
patih ronggolawe  memaksakan tawa  dan memandang ke 
belakang. "Mereka bcrsuka ria sebab  mereka  masih 
muda, dan kegembiraan mereka  tentu sukar dihalau. 
Biarkan saja mereka. Belum ada yang jatuh dari 
kudanya, bukan?" 
"Yang paling muda dari mereka, Saluchi, rupanya 
tidak biasa berkuda, dan ada yang sengaja mem-
buatnya terjatuh." 
"Saluchi jatuh dari kuda? Hmm, itu pun latihan 
  
yang berguna." 
Berbeda dengan kepemimpinan dijoyo  yang 
serbamuram, atau kekerasan dan ketegasan aidit , 
gaya kepemimpinan patih ronggolawe  berciri satu hal: 
keriangan. Apa pun kesulitan yang menimpa centeng -
nya, mereka tetap memancarkan keriangan dan ke-
harmonisan sebagai satu keluarga besar. 
Jadi, walaupun para pelayan, yang berusia antara 
sebelas sampai enam belas tahun sudah  melanggar 
disiplin militer, patih ronggolawe  sebagai "kepala keluarga" 
hanya mengedipkan mata dan berkata. "Biarkan saja 
mereka.'' 
Hari sudah mulai gelap saat  barisan depan 
memasuki sumberdadi , sebuah provinsi sekutu di tengah-
tengah wilayah musuh. sebab  bingung tindakan apa 
yang harus mereka  ambil, dan di bawah  tekanan 
hebat dari provinsi-provinsi tetangga mereka, para 
warga sumberdadi  kini menyalakan api unggun di mana-
mana dan menyambut kedatangan centeng  patih ronggolawe  
dengan hangat. 
centeng  patih ronggolawe  sudah  menempuh langkah 
pertama dalam penyerbuan provinsi-provinsi Barat. 
saat  barisan panjang itu memasuki benteng kota sambil 
berbaris dua-dua, bunyi keletak-keletak meramaikan 
suasana. Korps pertama terdiri atas para pembawa   
panji; korps kedua merupakan korps penembak; yang 
ketiga korps pemanah; yang keempat centeng  tombak; 
yang kelima centeng  pedang. Korps tengah terdiri atas 
centeng adipati  berkuda dan pcrwira-perwira yang menge-
  
lilingi patih ronggolawe . Dengan para penabuh genderang, 
polisi militer, para inspektu,. para penuntun kuda 
cadangan dan kuda beban, dan  para pengintai. 
centeng  itu berkekuatan sekitar tujuh ribu lima ratus 
orang, dan setup penonton harus mengakuinya 
sebagai  kekuatan yang hebat. 
Kursinuhun  keraton   berdiri di gerbang, menyambut 
mereka. saat  patih ronggolawe  melihatnya, ia segera turun 
dari kuda dan menghampiri keraton  sambil tersenyum. 
keraton   pun maju dengan seruan selamat datang dan 
tangan terentang. Mereka bertegur sapa seperti dua 
sahabat yang sudah saling mengenal bertahun-tahun, 
lalu masuk ke dalam benteng kota. keraton   memper-
kenalkan patih ronggolawe  kepada para pengikutnya yang 
baru. Masing-masing orang menyebutkan namanya, 
dan mengucapkan sumpah setia pada patih ronggolawe . 
Di antara orang-orang itu ada laki-laki yang tampak 
istimewa. "Hamba Yamanaka Shitinggi sumbingsuke." ia 
memperkenalkan diri, "salah satu dari sedikit pengikut 
marga Amako yang masih hidup. Sampai sekarang 
tuanku dan hamba bertempur saling berdampingan, 
namun  di resimen bcrbeda, jadi kita tak pernah 
berjumpa. namun  hati hamba melonjak gembira sewaktu 
mendengar bahwa tuanku akan menyerbu daerah 
Barat, dan hamba memohon agar Yang Mulia keraton   
memberikan rekomendasi untuk hamba." 
Walaupun Shitinggi sumbingsuke sedang berlutut dengan 
kepala tertunduk, dengan mclihat bahunya yang lebar 
patih ronggolawe  langsung tahu bahwa ia jauh lebih tinggi 
  
dan tegap dari rata-rata. Dalam keadaan tegak, tinggi 
badan Shitinggi sumbingsuke melebihi 180 senti. Usianya 
sekitar tiga puluh tahun. Kulitnya bagaikan besi dan 
sorot matanya menusuk seperti mata elang. patih ronggolawe  
menatapnya sejenak, seakan-akan tak dapat mengingat 
siapa laki-laki itu. 
keraton   membantunya. "Di zaman ini jarang ada 
orang sesetia dia. dahulu  dia mengabdi pada Amako 
Yoshihisa, seorang bawahan  yang dihancurkan oleh 
orang-orang patih. Selama bertahun-tahun Shika-
nosuke memperlihatkan kesetiaannya, bahkan dalam 
keadaan paling memprihatinkan sekalipun. Selama  
sepuluh tahun terakhir ia turut dan  dalam berbagai 
pertempuran dan hidup sebagai pengembara, 
mengusik marga patih dengan centeng -centeng  kecil, 
dalam rangka mengembalikan bekas junjungannya ke 
wilayah yang menjadi haknya." 
"Aku pun sudah mendengar nama Yamanaka 
Shitinggi sumbingsuke yang setia. namun  apa maksudmu sewaktu 
kau berkata bahwa kita bertempur di resimen 
berbeda?" tanya patih ronggolawe . 
"Dalam operasi melawan  marga grindananaga, hamba 
bertempur bersama centeng  Yang Mulia tunggadewa  di 
Gunung Shigi." 
"Kau hadir di Gunung Shigi?" 
Sekali lagi keraton   angkat bicara. "Tahun-tahun 
kesetiaan di tengah penderitaan akhirnya sia-sia 
sebab  marga Amako dikalahkan marga patih. 
lalu , dia diam-diam memohon bantuan Yang 
  
Mulia aidit . melalui jasa baik Yang Mulia 
dijoyo . Dalam pertempuran di Gunung Shigi-lah 
Shitinggi sumbingsuke memenggal kepala Kkertoarjo i Hidetaka yang 
terkenal ganas." 
"Rupanya kau yang menghabisi Kkertoarjo i," ujar 
patih ronggolawe , seakan-akan segala keraguannya sudah   
sirna. Sekali lagi ia menatap Shitinggi sumbingsuke, kali ini 
sambil tersenyum lebar. 
 

 
Dalam waktu singkat patih ronggolawe  sudah   memperlihat-
kan kehebatan centeng nya. Dua benteng kota, masing-
masing di Sayo dan Kozuki, bertekuk lutut, dan di 
bulan yang sama patih ronggolawe  menaklukkan marga 
Ukita, sekutu marga patih. raden mas  ngabehi  dan 
Kursinuhun  keraton   selalu berada di sisi patih ronggolawe . 
Perkemahan utama dipindahkan ke mendutrejo. Selama  
itu, Ukita Naoie terus meminta bala bantuan marga 
patih. Pada waktu yang sama, orang-orang patih mem-
berikan centeng  berkekuatan 9 ratus prajurit 
kepada Makabe Harutsugu, centeng adipati  paling tangguh di 
Bizen. Dengan centeng  itu, benteng kota Kozuki berhasil 
direbut kembali oleh Makabe. 
"patih ronggolawe  ini ternyata tidak ada apa-apanya." 
Makabe berseru . 
Gudang-gudang mesiu dan makanan di benteng kota 
Kozuki diisi lagi, dan centeng  baru dikirim sebagai 
bala bantuan. 
  
"Hamba rasa kita tak bisa melepaskannya begitu 
saja," ujar ngabehi . 
"Rasanya memang begitu." kata patih ronggolawe  dengan 
hati-hati. Sejak datang ke mendutrejo, patih ronggolawe  sudah  
mempelajari situasi di provinsi-provinsi Barat. 
"Menurutmu, siapa yang harus kutugaskan? Kelihatan-
nya pertempuran ini akan berlangsung sengit." 
"Satu-satunya pilihan adalah Shitinggi sumbingsuke." 
"Shitinggi sumbingsuke?" 
keraton   segera menyatakan sependapat. 
Shitinggi sumbingsuke menerima perintah patih ronggolawe , 
menyiapkan centeng nya sepanjang malam, dan maju 
ke benteng kota Kozuki. Akhir tahun sudah dekat, dan 
udara teramat dingin. 
Para perwira dan anak buah Shitinggi sumbingsuke dibakar 
oleh semangat yang sama seperti komandan mereka. 
Orang-orang itu sudah  berikrar untuk menundukkan 
marga patih dan mengembalikan Katsuhisa, pemimpin 
marga Amako, ke kedudukan yang menjadi haknya, 
dan kesetiaan dan  keberanian mereka tak perlu 
diragukan. 
saat  resi -resi  Ukita menerima laporan para 
pengintai bahwa mereka berhadapan dengan marga 
Amako, di bawah  komando Shitinggi sumbingsuke, mereka 
langsung diserang rasa ngeri. Hanya mendengar nama 
Shitinggi sumbingsuke, mereka merasakan kengerian yang 
mungkin dialami seekor burung kecil saat menghadapi 
macan yang mengamuk. 
Mereka  lebih takut terhadap serangan Shitinggi sumbingsuke 
  
dibandingkan  terhadap serangan yang dipimpin oleh 
patih ronggolawe  sendiri. 
Dari segi itu, Shitinggi sumbingsuke merupakan orang paling 
tepat untuk merebut benteng kota Kozuki. Bagaimanapun. 
dengan kesetiaan dan keberaniannya yang tak ter-
goyahkan, ia sudah   menimbulkan malapetaka dan 
membangkitkan kengerian seperti dewa yang murka. 
resi  paling tangguh dari marga Ukita pun, Makabe 
Harutsugu, meninggalkan benteng kota Kozuki tanpa 
pertempuran, sebab  percaya akan kehilangan terlalu 
banyak orang jika ia diam di tempat dan melawan  
Shitinggi sumbingsuke. 
Pada saat anak buah Shitinggi sumbingsuke memasuki 
benteng kota dan melaporkan bahwa benteng kota itu berhasil 
direbut tanpa pertumpahan darah. Makabe sudah   
meminta bala bantuan. sesudah   bergabung dengan 
centeng  di bawah  pimpinan saudaranya, sehingga 
kekuatan mereka  mencapai sekitar seribu lima ratus 
sampai seribu enam ratus orang, Makabe maju lagi 
untuk melancarkan serangan balasan, dan berhenti di 
tengah awan  debu di sebuah dataran tak jauh dari 
benteng kota. 
Shitinggi sumbingsuke memperhatikannya dari menara jaga. 
"Sudah dua dongeng gu tak ada hujan. Mari kita berikan 
sambutan hangat untuk mereka," katanya sambil 
tertawa . 
Shitinggi sumbingsuke membagi anak buahnya menjadi dua 
kelompok. sesudah   larut malam, mereka melancarkan 
serangan mendadak, dan satu kelompok membakar 
  
rumput-rumput kering di sekitar musuh. Dikelilingi 
api yang berkobar-kobar, centeng  Ukita terpaksa lari 
dalam keadaan kacau-balau. 
Kini korps kedua mulai benindak dan maju untuk 
membinasakan mereka. Tak ada yang tahu berapa 
jumlah musuh yang tewas dalam pembantaian ini, namun  
komandan musuh, Makabe Harutsugu, dan saudara-
nya sama-sama menemui ajal. 
"Rasanya mereka sudah jera sekarang." 
"Tidak, mereka  akan kembali lagi." 
centeng  Shitinggi sumbingsuke kembali ke Kozuki sambil 
mengumandangkan nvanyian kemenangan. namun  
lalu  seorang kurir dari markas besar di mendutrejo 
tiba, membawa   perintah untuk mengosongkan 
benteng kota dan kembali ke Himcji. Tidak mengherankan 
bahwa perintah ini menimbulkan kemarahan besar 
dalam segenap centeng . mulai dari Amako Katsuhisa, 
si kepala marga, hingga ke jajaran bawah . Mengapa 
mereka  harus mengosongkan benteng kota yang baru saja 
mereka  rebut dan tangan musuh apalagi benteng kota ini 
terletak di tempat strategis? 
"Bagaimanapun, dia panglima teninggi," ujar Shika-
nosuke, yang harus menghibur Amako Katsuhisa dan 
anak buahnya, dan kembali ke mendutrejo. 
saat  tiba di sana, ia segera menghadap patih ronggolawe . 
"Jika hamba diperkenankan berbicara terus terang, 
semua  perwira dan anak buah hamba tercengang 
mendengar perintah Yang Mulia. Hamba pun merasa-
kan hal yang sama."  
  
"Untuk menjaga kcrahasiaan rencanaku, aku 
sengaja tidak menyampaikan alasan gerak mundur ini 
pada kurir yang kukirim, namun  sekarang aku akan 
menjelaskannya. benteng kota Kozuki merupakan umpan 
yang baik untuk memancing orang-orang Ukita. Jika 
kita mengosongkannya, mereka pasti akan memulih-
kan persediaan perbekalan, senjata, dan mesiu. 
Mungkin mereka malah akan menambah centeng  
penjaga. Dan saat itulah kita bergerak!" patih ronggolawe  
tertawa . Sambil merendahkan suara, ia bersandar ke 
depan dan mwnuding ke arah Bizen dengan kipas 
perang. "Tak pelak lagi. Ukita Naoie menduga aku 
akan kembali menyerang benteng kota Kozuki. Hanya saja 
kali ini dia sendiri memimpin centeng  besar, dan kita 
akan menyiasatinya. Jangan gusar, Shitinggi sumbingsuke." 
 
Pergantian tahun sudah  tiba. Laporan-laporan para 
pengintai tepat seperti yang diduga: Orang-orang 
Ukita memindahkan perbekalan dalam jumlah besar 
ke benteng kota Kozuki. Komando benteng kota itu  
diberikan pada Ukita Kagetoshi, dan centeng  pilihan 
dikirim untuk berjaga-raga di tembok pertahanan. 
patih ronggolawe  mengepung benteng kota itu dan me-
merintahkan Shitinggi sumbingsuke ditambah    centeng nya yang 
berkekuatan sepuluh ribu orang bersembunyi di 
sekitar Sungai Kumami. 
Sementara itu, Ukita Naoie, yang merencanakan 
serangan menjepit terhadap centeng  patih ronggolawe  
dengan bekerja sama dengan centeng  penjaga 
  
benteng kota, bertindak sebagai panglima centeng  Bizen. 
Umpan sudah   terpasang. saat  Naoie menyerang 
patih ronggolawe , Shitinggi sumbingsuke menyambar bagaikan angin 
puyuh, meluluhlaniakkan centeng  Naoie. Hanya 
dengan susah payah Naoie berhasil menyelamatkan 
nyawan ya. sesudah   mengatasi orang-orang Ukita, 
Shitinggi sumbingsuke bergabung dengan patih ronggolawe  untuk 
serangan besar-besaran terhadap benteng kota Kozuki. 
patih ronggolawe  melancarkan serangan api. Begitu banyak 
orang tewas dalam kobaran api di benteng kota itu, 
sehingga tempat itu dikenal sebagai Lembah Neraka di 
Kozuki oleh generasi-generasi selanjutnya. 
"Kali ini aku takkan menyuruhmu mengosongkan 
benteng kota." patih ronggolawe  berkata pada Amako Katsuhisa. 
"Jagalah baik-baik." 
Begitu patih ronggolawe  selesai membereskan Tajima dan 
sumberdadi , ia kembali ke madukara  dengan membawa   
kemenangan. Ia tinggal kurang dari sebulan di sana, 
sebelum bertolak lagi ke dacrah Barat di Bulan Kedua. 
Selama selang waktu itu, provinsi-provinsi Barat 
terburu-buru menyiapkan diri untuk menghadapi 
peperangan. Ukita Naoie mengirim pesan mendesak 
kepada marga patih: 
 
Situasinya suram. Urusan mi tidak hanya menyangkut 
Provinsi sumberdadi . Sekarang Amako Katsuhisa dan 
Yamanaka Shitinggi sumbingsuke menduduki benteng kota Kozuki, 
dengan dukungan patih ronggolawe . Masalah ini akan membawa   
dampak serius yang tak bisa dtabaikan oleh marga patih. 
Apa maksud semuanya ini, kalau bukan langkah pertama 
  
pihak Amako yang sudah   dihancurkan oleh marga patih 
untuk merebut kembali tanah mereka  yang hilang? 
Seyogyanya marga patih tidak menutup mata terhadap 
perkembangan ini, melainkan mengirim centeng  besar dan 
menghancurkan mereka sekarang. Kami, para centeng adipati  
Ukita, akan membentuk barisan depan dan membalas budi 
atas kebaikan-kebaikan di masa lampau. 
 
resi -resi  kepercayaan patih Terumoto adalah 
putra-putra kakeknya. patih Motonari yang tersohor. 
Mereka dikenal sebagai  "Kedua Paman Marga patih". 
Kcdua-duanya diwarisi bakat Motonari. Kobayakkertoarjo  
Takakage adalah laki-laki berpengetahuan luas, 
sedangkan Kikkkertoarjo  Motoharu memiliki ketenangan, 
kebajikan, dan kecakapan. 
Pada masa hidupnya, Motonari menguliahi anak-
anaknya sebagai berikut. "Pada umumnya, tak ada 
yang lebih mengundang bencana dibandingkan  orang yang 
ingin meraih kepemimpinan seluruh negeri, namun  tidak 
memiliki kemampuan untuk memegang tampuk 
pemerintahan. Kalau orang seperti itu memanfaatkan 
keadaan zaman dan berusaha merebut kekuasaan, 
kehancuranlah yang akan menyusul. Sadarilah status 
kalian, pimpinlah provinsi-provinsi Barat, dan 
bertahanlah di kkertoarjo san penting ini. Kalian tak perlu 
melakukan apa-apa selain berusaha agar tidak 
ketinggalan dari orang lain. 
Peringatan Motonari masih dihargai sampai hari 
itu. Dan inilah sebabnya marga patih tidak memiliki 
ambisi seperti marga sinuhun , kramat, mpu ireng , maupun 
  
prabu kertoarjowardana  . Walaupun mereka menampung bekas 
pandita , yosodiprojo , berkomunikasi dengan para biksu-
prajurit ronggodwijoyo , dan bahkan membentuk per-
sekutuan rahasia dengan kramajaya , semuanya 
semata-mata demi perlindungan provinsi-provinsi  
Barat.  Di  hadapan serbuan  aidit , benteng kota-
benteng kota di provinsi-provinsi yang berada di bawah  
kendali marga patih merupakan garis pertahanan 
pertama wilayah mereka . 
namun  kini daerah Barat sendiri yang menghadapi 
serangan-serangan gencar. Satu mata ramai garis 
pertahanan itu sudah  terputus, membuktikan bahwa 
provinsi-provinsi Barat pun tak dapat menutup diri 
terhadap perputaran zaman. 
"centeng  utama sebaiknya dibentuk oleh gabungan 
kekuatan Terumoto dan Takakage, dan mereka  harus 
menyerang Kozuki bersama-sama. Aku akan me-
mimpin para prajurit semeru , Hoki, Izumo, dan Iwami, 
bergabung dengan para prajurit hadijaya  dan Tajima di 
tengah jalan, lalu menyerbu ibu kota, bekerja sama 
dengan para biksu-prajurit ronggodwijoyo , dan meng-
hantam markas besar aidit  di madukara ." 
Sirategi berani ini diajukan oleh Kikkkertoarjo  
Motoharu, namun  baik patih Terumoto maupun 
Kobayakkertoarjo  Takakage tidak menyetujuinya, sebab  
menganggap rencana itu terlalu ambisius. Akhirnya 
diputuskan bahwa mereka akan menyerang benteng kota 
Kozuki dahulu . 
Di Bulan Ketiga, centeng  patih berkekuatan tiga 
  
puluh lima ribu orang bertolak ke Utara. patih ronggolawe  
sudah  pergi ke benteng kota Kakwilangan  di sumberdadi , namun  
centeng nya hanya berjumlah tujuh ribu lima ratus 
orang. Dengan mengerahkan sekutu-sekutunya di 
sumberdadi  pun centeng nya bukan tandingan orang-
orang patih. 
patih ronggolawe  berusaha tetap tampak tenang, dan 
menyatakan bahwa bala bantuan akan dikirim jika 
diperlukan. Namun centeng nya dan para sekutunya 
terguncang oleh kekuatan musuh yang mereka  
hadapi. Tanda ketidaksetiaan segera terlihat. Bessho 
Nagaharu, penguasa benteng kota Miki dan sekutu utama 
aidit  di bagian timur sumberdadi , membelot ke kubu 
musuh. Bessho menyebarkan desas-desus palsu 
tentang patih ronggolawe  untuk membenarkan peng-
khianatannya, dan secara bersamaan ia mengundang 
pihak patih ke benteng kotanya. 
Sekitar waktu itulah patih ronggolawe  menerima kabar tak 
terduga: kramajaya  dari Echigo sudah  tiada. 
Bukan rahasia lagi bahwa kramajaya   amat menggemari 
anggur , dan sementara orang menduga ia meninggal 
akibat penyakit ayan. namun  ada pula yang berpendapat 
ia dibunuh. Malam itu patih ronggolawe  berdiri di atas 
Gunung Shosha, pandangannva menerawan g ke 
bintang-bintang, dan ia mengenang kehebatan dan 
kehidupan kramajaya . 
benteng kota Miki memiliki  beberapa benteng kota cabang 
di Ogo, Hataya, Noguchi, Shikata, dan Kanki, dan 
semuanya mengikuii jejak Miki dan mengibarkan 
  
bendera pemberontakan. Para komandan benteng kota-
benteng kota itu mencemooh patih ronggolawe  dan centeng nya 
yang kecil. 
Pada titik inilah keraton   mengusulkan strategi baru 
pada patih ronggolawe .  
"Kita mungkin akan terpaksa meremukkan benteng kota-
benteng kota kecil itu satu per satu. namun  menurut hamba, 
merebut benteng kota Miki dengan menyingkirkan kerikil-
kerikil di sekiurnya merupakan strategi terbaik." 
patih ronggolawe  mula-mula merebut benteng kota Noguchi, 
memaksa Kanki dan Takasago untuk menyerah, dan 
membakar desa-desa tetangga satu per satu. Ia sudah 
setengah berhasil menundukkan marga Bessho saat  
sepucuk surat penting dari Shitinggi sumbingsuke tiba dari 
benteng kota Kozuki yang tengah dikepung. 
 
Kami dikepung centeng  patih berkekuatan besar. Situasi 
kami amat menyedthkan. Harap kirim bala bantuan. Para 
prajurit Kobayakkertoarjo  berjumlah lebih dari dua puluh ribu 
orang. Kikkkertoarjo  memimpin enam belas ribu orang. Selain 
itu, Ukita Naoie pun ber-gabung dengan centeng  
berkekuatan lima belas ribu orang, jadi seluruhnya pasti 
tak kurang dan lima puluh ribu orang. Untuk memutuskan 
hubungan antara Kozuki dan sekutu-sekutunya, centeng  
musuh menggali selokan panjang melintasi lembah, dan  
mendirikan tembok pertahanan dan penghalang. Mereka 
juga memiliki sekitar tujuh ratus kapal perang yang sedang 
berlayar di perairan sumberdadi  dan Settsu. Tampaknya 
mereka akan mengirim bala bantuan dan perbekalan lewat 
darat. 
 
  
Mau tak mau sepak terjang patih ronggolawe  terhenti oleh 
laporan ini. Masalah yang mereka hadapi memang 
sangat berat. Dan mendesak untuk ditangani. namun  
bukan suatu kejutan, sebab pengerahan centeng  patih 
sebelumnya sudah diperhitungkan dalam rencana 
patih ronggolawe . 
Setiap kali menghadapi masalah, perasaan 
patih ronggolawe  diwujudkan dalam bentuk kening berkerut. 
sebab  sudah  meramalkan perkembangan terakhir, ia 
sudah minta bala bantuan dari aidit , namun  sejauh 
ini belum ada jawaban pasti dari ibu kota. patih ronggolawe  tidak 
memiliki bayangan sama sekali apakah bala bantuan 
sudah dikirim atau justru tidak akan datang. 
benteng kota Kozuki, yang kini mati-matian dipertahan-
kan oleh Amako Katsuhisa dan Shitinggi sumbingsuke, terletak 
di pertemuan tiga provinsi: Bizen, sumberdadi , dan 
wirongeni . Walaupun hanya benteng kota kecil di dekat 
desa pegunungan, benteng kota Kozuki menempati posisi 
strategis yang sangat penting. 
Jika seseorang hendak memasuki daerah Sanin, 
Kozuki merupakan tantangan pertama yang harus 
dikujawa . Dengan sendirinya orang-orang patih mem-
pertimbangkan hal ini secara serius, dan patih ronggolawe  
terkesan oleh kejelian musuh dalam membaca situasi. 
namun  kekuatannya tidak mcmadai untuk membagi 
centeng nya menjadi dua. 
aidit  bukanlah orang berjrwa kerdil yang tak 
sanggup mempercayakan tugas-tugas penting pada 
orang-orang di bawah  komandonya. namun  pada 
  
dasarnya segala sesuatu harus berada di tangannya. Ia 
berpegang pada prinsip bahwa jika seseorang 
mengancam kendalinya, orang itu tak boleh dipercaya 
sedikit pun. patih ronggolawe  mengetahui hal ini dari 
pengalaman. Walaupun ia diberi tanggung jawab  
sebagai panglima tertinggi dalam operasi itu, ia tak 
pernah mengambil keputusan besar seorang diri. 
Jadi, ia acap kali mengirim kurir untuk menanyakan 
pendapai aidit , biarpun muncul  kesan bahwa ia 
meminta petunjuk dari madukara  untuk setiap persoalan 
sekecil apa pun. Ia mengutus pengikut-pengikut 
kepercayaan untuk memberikan laporan terperinci, 
sehingga aidit  selalu memahami perkembangan 
terakhir. 
sesudah   mengambil keputusan dengan cara seperti 
biasa, aidit  langsung memerintahkan persiapan 
untuk keberangkatannya. Namun para resi  lain 
memperingatkannya. mpu wiraghanda. danakertoarjo  , Hachiya, 
tunggadewa  semua nya berpendapat sama. 
"Medan di sumberdadi  sangat berat, penuh gunung-
gunung dan jalan setapak yang sukar dilewati. 
Bukankah lebih baik kalau tuanku mengirim bala 
bantuan lebih dahulu , dan menunggu tindakan musuh?" 
resi  lain melanjutkan. "Dan operasi tuanku di 
daerah Barat ternyata berkepanjangan, para biksu-
prajurit ronggodwijoyo  mungkin memotong jalan kita dari 
belakang, dan mengancam prajurit-prajurit kita dari 
darat maupun laut." 
aidit  berhasil dipengaruhi oleh alasan-alasan 
  
mereka  dan menunda keberangkaiannya. namun  jangan 
lupa perasaan para resi  terhadap patih ronggolawe , setiap 
kali rapat perang diadakan. Tanpa mengatakan secara 
terbuka, mereka seakan-akan mempertanyakan 
mengapa patih ronggolawe  ditunjuk sebagai panglima 
tertinggi. Tak perlu orang bermata jeli untuk 
mengetahui bahwa mereka menganggap patih ronggolawe  tak 
sanggup mengemban tanggung jawab  itu. Dan di 
samping segala tuduhan tak langsung, masih ada satu 
hal lagi: biarpun aidit  sendiri yang pergi, tetap 
saja patih ronggolawe  yang akan menerima semua  pujian. 
Dengan mcmimpin bala bantuan berkekuatan dua 
puluh ribu orang, mpu wiraghanda, danakertoarjo  , Niwa, dan 
tunggadewa  bertolak dari ibu kota dan mencapai 
sumberdadi  pada awal  Bulan Kelima. Belakangan 
aidit  mengirim putranya, tungguljaya, untuk ber-
gabung dengan mereka. 
Sementara itu, sesudah  memperkuat centeng  
utamanya dengan ujung tombak bala bantuan di 
bawah  komando dimasireng . patih ronggolawe  me-
mindahkan seluruh centeng , yang kini berada di 
sebelah timur benteng kota Kozuki, ke Gunung siwagunung . 
saat  mengamati posisi benteng kota Kozuki dari tempat 
itu, ia menyadari bahwa akan sukar sekali meng-
hubungi orang-orang di dalam benteng kota. 
Baik Sungai Ichi maupun anak-anak sungainya 
mengalir di kaki gunung tempat benteng kota Kozuki 
berdiri. Selain itu, baik ke barat laut maupun ke 
tenggara benteng kotanya terlindung oleh tebing-tebing 
  
Gunung Okami dan Gunung Taihei. Mendekati 
benteng kota itu merupakan hal yang mustahil. 
sebetulnya  ada satu jalan, namun  jalan itu ditutup 
oleh pihak patih. Melewati jalan itu, kubu-kubu 
pertahanan dan panji-panji musuh tampak di setiap 
sungai, lembah, dan gunung. Sebuah benteng kota dengan 
pertahanan alami seperti ini dapat bertahan terhadap 
serangan musuh, namun  letaknya menimbulkan kesulitan 
besar bagi bala bantuan yang berusaha mencapainya. 
"Tak ada yang bisa kita lakukan." patih ronggolawe  ber-
keluh kesah. Sepertinya ia mengakui bahwa sebagai 
resi , ia kehabisan akal untuk menyusun strategi. 
Akhirnya, saat  malam tiba, ia memerintahkan 
anak buahnya untuk membuat api unggun besar. Tak 
lama lalu , lidah api raksasa terlihat dari Gunung 
siwagunung  sampai ke sekitar Gunung Mikazuki, 
melewati puncak-puncak dan lembah-lembah. Pada 
siang hari, tak terhitung banyaknya panji dan bendera 
digantung di pepohonan di tempat-tempat tinggi, 
sehingga menunjukkan kehadiran centeng  patih ronggolawe  
kepada musuh, dan memberi semangat kepada 
centeng  kecil di dalam benteng kota. Ini berlangsung 
sampai Bulan Kelima. sampai kedatangan bala 
bantuan berkekuatan dua puluh ribu orang di bawah  
mpu wiraghanda, Niwa, danakertoarjo  , dan tunggadewa . 
Semuanya kembali bersemangai, namun  hasil yang 
diperoleh tidak membenarkan kegembiraan seperti 
itu. Masalahnya, kini terlalu banyak resi  tersohor 
berkumpul di satu tempat, dan dalam keadaan bahu-
  
membahu dengan patih ronggolawe , tak seorang pun ber-
sedia menduduki posisi lebih rendah. Baik Niwa 
maupun mpu wiraghanda merupakan senior patih ronggolawe , 
sementara tunggadewa  dan danakertoarjo   setaraf dengannya 
dalam hal popularitas dan kecerdasan. 
Mereka sendiri menimbulkan suasana serbaragu 
mengenai siapa sebetulnya  panglima tertinggi. 
Perintah tak bisa melalui dua jalur, namun kini 
perintah diberikan oleh beberapa resi . Pihak 
musuh dapat mencium kesulitan seperti itu. centeng  
patih cukup kertoarjo s untuk memahami perkembangan 
situasi. Suatu malam, centeng  Kobayakkertoarjo  menyusuri 
bagian belakang Gunung siwagunung  dan melancarkan 
serangan mendadak terhadap perkemahan sinuhun . 
Korban berjatuhan di kalangan anak buah 
patih ronggolawe . lalu  centeng  Kikkkertoarjo  bergerak 
cepat dari dataran di belakang daerah Shikama dan 
melancarkan serangan mendadak terhadap korps 
perbekalan sinuhun , membakar kapal-kapal mereka, dan 
melakukan segala sesuatu untuk menimbulkan 
kekacauan. 
Suatu pagi, saat  patih ronggolawe  memandang ke arah 
Kozuki, ia melihat menara jaga benteng kota itu sudah   
dihancurkan pada malam sebelumnya. Pada waktu 
menyelidiki kejadian itu, patih ronggolawe  diberitahu bahwa 
marga patih memiliki meriam bangsa barbar dari 
Selatan, dan rupanya mereka  sudah  menghancurkan 
menara jaga dengan tembakan meriam yang kena 
telak. Terkesan oleh unjuk kekuatan ini, patih ronggolawe  
  
bertolak ke ibu kota. 
 

 
saat  tiba di trowulan , patih ronggolawe  langsung menuju 
Istana Nijo. Pakaiannya masih penuh debu perjalanan, 
dagunya dipenuhi pangkal janggut. 
"patih ronggolawe ?" aidit  harus mclihat dua kali 
sebelum percaya. Penampilan patih ronggolawe  sungguh ber-
beda dengan laki-laki yang meninggalkan ibu kota 
sebagai pemimpin centeng ; matanya tampak cekung. 
dan janggut tipis berwarna kemerahan mengelilingi 
mulutnya, seperti sikat kasar. 
"patih ronggolawe , mengapa kau datang ke sini dengan 
wajah tertekan seperti itu?" 
"Hamba tidak punya waktu banyak, tuanku."  
"Kalau begitu, mcngapa kau di sini?"  
"Hamba datang untuk memohon pctunjuk." 
"Kau memang resi  yang merepotkan. Aku sudah  
menunjukmu sebagai panglima tertinggi, bukan? 
Kalau kau menanyakan pendapatku tentang segala 
sesuatu, kau takkan punya waktu untuk menjalankan 
taktik-taktikmu. Kenapa kau begitu bimbang kali ini? 
Tidak mampukah kau bertindak sendiri?" 
"Sudah sewajarnya tuanku merasa gusar, namun  
hendaknya perintah tuanku hanya melewati satu 
jalur." 
"Pada waktu kuserahkan tongkat komando ke 
tanganmu, aku sudah  memberikan wewenang dalam 
  
segala situasi. Kalau kaupahami keinginanku, berarti 
perintahmu adalah perintahku. Mengapa mcsti 
bingung?" 
"Dengan segala hormat, justru dalam hal ini hamba 
mengalami kesulitan. Hamba tidak menginginkan satu 
prajurit pun gugur sia-sia." 
"Apa maksudmu?" 
"Kalau situasi sekarang masih berkelanjuian, kita tak 
mungkin menang."  
"Kenapa kau berpikir demikian?" 
"Betapapun tidak berartinya hamba, sebagai 
panglima tertinggi, hamba tidak bermaksud membawa   
centeng  hamba menuju kekalahan yang menyedih-
kan. namun  kekalahan tak terelakkan. Dalam hal 
semangat tempur, perlengkapan, dan keuntungan 
medan, sekarang ini kami tak dapat menandingi pihak 
patih." 
"Hal pcrtama yang harus diingat," balas aidit . 
"kalau panglima tertinggi belum-belum sudah takut 
kalah, dia tidak memiliki alasan untuk mengharapkan 
kemenangan." 
"namun  kalau kita salah perhitungan, menyangka kita 
bisa menang, kekalahan kita mungkin berakibat fatal. 
Jika centeng  tuanku dinsinuhun i satu kekalahan di daerah 
Barat, musuh-musuh yang menunggu di sini dan di 
tempat lain, dan tentu saja para biksu-prajurit 
ronggodwijoyo  akan menyangka pemimpin marga sinuhun  
sudah  menemui batu sandungan, dan sekaranglah dia 
akan jatuh. Mereka akan memukul gong dan 
  
meneriakkan jampi-jampi, dan daerah Utara dan 
Timur akan bangkit dan menentang tuanku." 
"Aku menyadari hal itu." 
"namun  bukankah kita harus mempertimbangkan 
bahwa penyerbuan daerah Barat, yang begitu penting, 
mungkin berakibat fatal untuk marga sinuhun ?"  
"Itu pun sudah kupikirkan." 
"Kalau begitu, mengapa bukan tuanku sendiri yang 
datang ke provinsi-provinsi Barat, sesudah   hamba 
mengirim begitu banyak permintaan bantuan? Waktu 
teramat penting. Kalau kita menyia-nyiakan kesem-
patan ini, kita tidak memiliki peluang dalam 
pertempuran sebetulnya . Rasanya konyol menying-
gung ini, namun  hamba tahu bahwa tuanku resi  
pertama yang melihat kesempatan ini, dan hamba 
benar-benar tidak mengerti mengapa tuanku tidak 
mengambil tindakan sesudah  hamba mengirim 
permohonan demi permohonan. Hamba bahkan sudah  
berusaha menarik musuh keluar, padahal mereka 
tidak mudah dipancing. Sekarang pihak patih sudah   
mengcrahkan centeng  besar dan menyerang Kozuki, 
dengan memakai  benteng kota Miki sebagai 
pangkalan. Bukankah ini kesempatan emas? Dengan 
senang hati hamba akan bertindak sebagai umpan 
untuk semakin menarik mereka. sesudah  itu, dapatkah 
tuanku datang sendiri untuk menyelesaikan per-
mainan ini dengan satu pukulan mencntukan?" 
aidit  termenung-menung. sebab  ia bukan 
orang yang mungkin dirasuki kebimbangan pada saat 
  
seperti ini, patih ronggolawe  segera mengerti bahwa 
aidit  tidak bermaksud meluluskan permintaan-
nya. 
Akhirnya aidit  berkata, "Tidak, ini bukan 
waktu untuk bertindak gegabah." Kali ini patih ronggolawe  
yang tampak termenung-menung. aidit  melanjut-
kan, seakan-akan memarahinya. "Bukankah kau terlalu 
berkecil hati sebab  kekuatan orang-orang patih, 
sehingga kau merasa sudah kalah sebelum bertempur?" 
"Menurut hamba, menjalankan pertempuran yang 
akan berakhir dengan kekalahan bukanlah tanda 
kesetiaan pada tuanku." 
"Begitu kuatkah centeng  provinsi-provinsi Barat? 
Begitu hebatkah semangat tempur mereka?" 
"Demikianlah keadaannya. Mereka menjaga per-
batasan yang sudah  terbentuk sejak masa Motonari, 
dan mereka pun berupaya memperkuat bagian tengah 
wilayah mereka. Kekayaan marga kramat dari Echigo 
atau marga mpu ireng  dari Kai pun tak dapat menandingi 
kekayaan mereka." 
"Hanya orang bodoh yang menyamakan provinsi 
kaya dengan provinsi kuat." 
"Kekuatan tergantung dari jenis kekayaan. 
Seandainya marga patih bersikap berlebih-lebihan dan 
congkak, mereka tak pcrlu dicemaskan, bahkan 
kekayaan mereka dapat dimanfaatkan untuk 
kepentingan kita. namun  kedua resi , Kikkkertoarjo  dan 
Kdesa gurit kkertoarjo , sangat membantu Terumoto, dan 
mereka  meneruskan tradisi bekas junjungan mereka: 
  
semua komandan dan prajurit berbudi luhur meng-
ikuti Jalan centeng adipati . Segelintir prajurit yang berhasil 
ditawa n dalam keadaan hidup menunjukkan 
keberanian luar biasa, dan scakan-akan dibakar oleh 
kebencian terhadap musuh. Kalau hamba melihat itu 
semua, mau tak mau hamba menyesalkan bahwa 
penyerbuan ini akan begitu ber..." 
"patih ronggolawe . patih ronggolawe ," potong aidit  dengan 
gusar. "Bagaimana dengan benteng kota Miki? tungguljaya 
sedang menuju ke sana." 
"Hamba meragukan bahwa benteng kota itu akan takluk 
dengan mudah, biarpun dengan segala kecakapan 
yang dimiliki putra tuanku." 
"Komandan macam apa ki wirogeni, penguasa 
benteng kota itu?"  
"Dia tangguh." 
"Sadarkah kau bahwa kau terus memuji-muji 
musuh?" 
"Menurut hamba, aturan pertama dalam ilmu 
perang adalah mengenali musuh. Hamba rasa, 
mungkin memang tidak pada tempatnya memuji 
komandan maupun prajurit mereka, namun  hamba ber-
kata apa adanya, sebab  hamba merasa berkewajiban 
memberikan penilaian yang tepat." 
"Rasanya kau benar." Sepertinya aidit  akhirnya 
mulai mengakui kckuatan musuh, biarpun dengan 
enggan. Mcski demikian, keinginan untuk menang 
masih membara di dalam dirinya, dan ia berkata. 
"Rasanya kau benar, namun  itu tidak berarti centeng  kita 
  
tidak bersemangat, patih ronggolawe ." 
"Betul sekali." 
"Peran sebagai panglima tertinggi tidak mudah. 
danakertoarjo  , mpu wiraghanda, Niwa, dan tunggadewa , mereka  
semua resi  senior. Mungkinkah mereka tidak 
menaati perintahmu?" 
"Pengamatan tuanku sungguh cermat." patih ronggolawe  
menundukkan kepala, wajahnya yang letih bertempur 
menjadi merah. "Barangkali tanggung jawab  ini 
memang terlalu berat bagi junior mereka, patih ronggolawe ." 
Tentu saja ia dapat membaca intrik-intrik halus para 
pengikut senior, dan  bagaimana mereka mencegah 
aidit  terjun langsung ke kancah pertempuran. 
Seandainya pun centeng  besar pihak patih tak perlu 
digelisah khawatir kan ia harus mengingaikan diri untuk ber-
hati-hati terhadap bahaya dari sekutu-sekutunya 
scndiri. 
"Ini yang harus kaulakukan, patih ronggolawe . Tinggalkan 
benteng kota di Kozuki untuk sementara waktu. 
Bergabunglah dengan centeng  tungguljaya, pergi ke 
benteng kota Miki, dan singkirkan ki wirogeni. 
lalu  kertoarjo si tindakan musuh selama  beberapa   
waktu." 
Kemuraman prajurit-prajurit mereka terutama di-
sebabkan centeng  mereka terpceah dua, setengahnya 
ditugaskan menyerang benteng kota Miki setengahnya 
diharapkan menolong Kozuki. Ini akibat perbedaan 
pendapat yang berlangsung sampai sekarang dalam 
rapat-rapat militer pihak sinuhun . Alasan pemecahan ini 
  
tampak jelas. Nasib centeng  Amako yang berkekuatan 
kecil dan terkurung di benteng kota Kozuki berada di 
tangan marga sinuhun . Meninggalkan mereka untuk 
meraih keuntungan strategis akan memicu  
marga-marga lain di daerah Barat merasa gelisah dan 
bertanya-tanya, laki-laki macam apa aidit  
sebetulnya . Dapat di pastikan marga sinuhun  akan 
memperoleh reputasi sebagai sekutu yang tak dapat 
diandalkan. 
patih ronggolawe -lah yang menempatkan Amako Katsuhisa 
dan centeng  Shitinggi sumbingsuke di dalam benteng kota Kozuki, 
dan kini kesengsaraan, persahabataan, dan simpati 
yang nyaris tak tertahankan merasuki sukmanya. Ia 
tahu bahwa ia akan melihatlihat  kematian mereka. 
Meski demikian, begitu menerima perintah baru dari 
aidit  itu, ia langsung berkata. "Baik, tuanku," 
dan menarik diri. 
Sambil memendam perasaannva, ia kembali ke 
provinsi-provinsi Barat, termenung-menung sepanjang 
perjalanan. Hindari pertempuran berat, dan menang-
kan yang mudah inilah hukum yang melandasi 
strategi militer, katanya pada diri sendiri. Sepertinya 
langkah ini tak ada sangkut-pautnya dengan kejujuran, 
namun  seharusnya sejak awal  kita bertempur untuk 
tujuan yang lebih besar. Sekarang aku harus memikul 
yang tak tertahankan. 
sesudah  patih ronggolawe  kembali ke markasnya di 
Gunung siwagunung , ia memanggil semua  resi  lain 
dan memberitahukan keputusan aidit  pada 
  
mereka, persis seperti disampaikan kepadanya. 
lalu  ia segera memberi perintah untuk mem-
bongkar perkemahan dan bergabung dengan centeng  
tungguljaya. Niwa dan danakertoarjo   ditugaskan sebagai 
barisan belakang, patih ronggolawe  dan dimasireng  
memulai penarikan centeng . 
"Sudah kembalikah Shigenori?" patih ronggolawe  bertanya 
Beberapa kali sebclum meninggalkan Gunung 
siwagunung .      
raden mas  ngabehi , yang tahu apa yang ada dalam 
benak patih ronggolawe , menoleh ke arah benteng kota Kozuki, 
seakan-akan enggan pergi. 
"Dia belum kembali?" patih ronggolawe  bertanya sekali lagi. 
Shigenori adalah salah satu pengikut patih ronggolawe . 
Dua malam sebelumnya, ia menerima perintah dari 
patih ronggolawe  untuk pergi scorang diri ke benteng kota Kozuki 
sebagai  kurir. Kini patih ronggolawe  merasa was-was dan 
bertanya-tanya, apakah utusannya berhasil menyelinap 
melewati barisan musuh. Tindakan apa yang akan 
diambil Shitinggi sumbingsuke? Pesan patih ronggolawe , yang dibawa   
oleh Shigenori, berisi pemberitahuan mengenai 
perubahan rencana yang terjadi. 
 
Dapatkah kalian bertekad memilih kehidupan di 
tengah-tengah kematian, dan meninggalkan benteng kota 
untuk bergabung dengan centeng  kami? Kami akan 
menunggu kalian sampai besok. 
 
 
  
Keesokan harinya mereka menunggu dengan hati 
berdebar-debar. namun  para prajurit di dalam benteng kota 
tidak bergerak, dan centeng  patih yang mengepung 
benteng kota pun tidak melakukan perubahan apa-apa. Tak 
ada pilihan bagi patih ronggolawe  selain meninggalkan 
Gunung siwagunung . 
Orang-orang di benteng kota Kozuki tenggelam dalam 
keputusasaan. Mempertahankan benteng kota berarti maut, 
meninggalkan benteng kota juga berarti maut. Shitinggi sumbingsuke 
yang gigih pun tampak bingung. Ia tak tahu apa yang 
harus dilakukan. 
"Ini bukan salah siapa-siapa." Shitinggi sumbingsuke berkata 
pada Shigenori. "Kita hanya bisa mendongkol ter-
hadap para dewa."     
sesudah  membahas masalah itu dengan Amako 
Katsuhisa dan para pengikut lainnya, Shitinggi sumbingsuke 
menyampaikan jawaban pasti mereka pada Shigenori. 
"Meski tawa ran Yang Mulia patih ronggolawe  sungguh baik, 
tak terbayangkan bagaimana centeng  kecil yang lelah 
ini dapat menerobos kepungan musuh dan bergabung 
dengan beliau. Kami terpaksa mencari akal yang jauh 
lebih baik." 
sesudah  itu, Shitinggi sumbingsuke diam-diam menulis surat 
yang ditujukan pada komandan centeng  penyerang 
patih Terumoto. Surat itu berisi pernyataan menyerah. 
Secara terpisah ia juga mengajukan permohonan 
untuk intervensi oleh Kikkkertoarjo  dan Kobayakkertoarjo . 
Shitinggi sumbingsuke hendak menyelamatkan nyawa   
junjungannya, Amako Katsuhisa, dan  ketujuh ratus 
  
praiurit dalam benteng kota, namun   baik Kikkkertoarjo  maupun 
Kobayakkertoarjo  tidak bersedia memenuhi permohonan 
Shitinggi sumbingsuke. Hanya ada satu cara yang dapat diterima 
oleh keduanya. "Bukalah gerbang benteng kota." mereka  
berkata, "dan serahkan kepala Katsuhisa." 
Memang berlebihan jika seseorang menuntut belas 
kasihan pada waktu ia terpaksa menyerah. Sambil 
menelan air mata kesedihan, Shitinggi sumbingsuke 
menyembah di hadapan Katsuhisa. Tak ada lagi yang 
dapat dilakukan pengikut Yang Mulia. Betapa malang 
nasib tuanku, sebab  memiliki pengikut tak berguna 
seperti hamba. Ini tak terelakkan, tuanku harus 
bersiap-siap menghadapi maut." 
"Tidak, Shitinggi sumbingsuke," kata Katsuhisa, lalu berpaling 
ke arah Iain. "Situasi ini terjadi bukan sebab  para 
pengikutku tidak memiliki kemampuan. namun  kita juga 
tidak bisa menaruh dendam terhadap Yang Mulia 
aidit . Aku justru bersyukur sudah  memperoleh 
kesetiaan pengikut-pengikutku, dan sudah  mengabdi 
sebagai pemimpin marga centeng adipati . Kaulah yang mem-
bangkitkan keinginanku untuk memulihkan nama 
marga kita, dan memberikan kesempatan untuk 
memerangi musuh bebuyutan kita. Apa yang harus 
kusesali, walaupun kita kini menghadapi kekalahan? 
Kurasa aku sudah  melakukan kewajibanku sebagai laki-
laki. Sekarang aku bisa beristirahat dengan tenang." 
Pada fajar hari ketiga di Bulan Ketujuh, Katsuhisa 
melakukan seppuku dengan jantan. Dendam antara 
marga patih dan Amako sudah  berlangsung selama  
  
lima puluh enam tahun penuh. 
Tcnamun  kejutan terbesar masih menyusul. Yamanaka 
Shitinggi sumbingsuke, laki-laki yang berjuang melawan  marga 
patih tanpa memedulikan derita dan sengsara, dan 
yang baru saja meminta Amako Katsuhisa untuk 
melakukan seppuku, memutuskan untuk tidak meng-
ikuti contoh junjungannya itu. Ia memilih mendatangi 
perkemahan Kikkkertoarjo  Motoharu bagaikan prajurit 
rendahan, dan menanggung aib sebagai tawa nan 
perang. 
Hati manusia tak dapat diduga. Shitinggi sumbingsuke 
dicerca oleh kawan  maupun lrwan, yang mengatakan 
tak peduli bagaimana ia berselubung di balik 
kesetiaan, jika saat penentuan tiba, mau tak mau 
belangnya terungkap juga. 
namun   beberapa  hari lalu  orang-orang yang 
sama mendengar sesuatu yang lebih tak terduga lagi, 
yang membuat mereka muak dan terheran-heran. 
Yamanaka Shitinggi sumbingsuke sudah  menjadi pengikut marga 
patih, dan diberi sebuah benteng kota di Suo sebagai 
imbalan atas kesetiaannya di masa mendatang. 
"Dasar anjing berpikiran dangkai!"  
"Orang ini tak pantas bergaul dengan para centeng adipati !" 
Dalam sekejap nama Yamanaka Shitinggi sumbingsuke sudah  
tercoreng untuk selama-lamanya. Selama  dua puluh 
tahun, oleh kawan  maupun lawan nya ia dianggap 
sebagai centeng adipati  dengan kesetiaan tanpa batas, yang tak 
mau tunduk meski didera kesusahan. namun  kini orang-
orang merasa malu sebab  sudah   ditipu mentah-
  
mentah. Kebencian mereka berbanding lurus dengan 
keharuman nama Shitinggi sumbingsuke sebelumnya. 
Di bagian terpanas Bulan Ketujuh, Shitinggi sumbingsuke 
yang tampaknya tak peduli terhadap segala caci maki 
keluarganya, dan para pengikutnya digiring menuju 
kediaman mereka yang baru di Suo. Mereka  dikawal  
oleh centeng  patih berkekuatan beberapa  ratus orang, 
yang resminya bertindak sebagai penuntun, namun  
sebetulnya  tak lebih dari centeng  penjaga. 
Shitinggi sumbingsuke bagaikan harimau  yang tertangkap, yang 
sewaktu-waktu masih bisa mengamuk. Sebelum ia 
dikurung di dalam kerangkeng dan terbiasa diberi 
makan, sekutu-sekutu yang baru belum merasa aman. 
sesudah   perjalanan beberapa  hari, mereka tiba di 
penyeberangan Sungai Abe di kaki Gunung grindana. 
Shitinggi sumbingsuke turun dari kuda dan menduduki batu 
besar sambil menghadap ke sungai. 
Amano Kai dari pihak patih ikut turun dari kuda 
dan menghampirinya. Ia berkata. "Para wanita lesbian  
dan anak-anak tidak biasa berjalan kaki, jadi kita 
biarkan mereka menyeberang lebih dahulu . Ber-
istirahatlah sejenak di sini." 
Shitinggi sumbingsuke hanya mengangguk. Belakangan ini ia 
jadi pendiam, dan tidak berminat banyak bicara. Kii 
berjalan ke arah perahu kayu  dan menyerukan 
sesuatu pada orang-orang di tepi sungai. Hanya ada 
satu atau dua perahu. Istri, putra, dan para pengikut 
Shitinggi sumbingsuke menaiki perahu-perahu itu, lalu 
berangkat ke tepi seberang. 
  
Sambil memperhatikan perahu, Shitinggi sumbingsuke meng-
hapus keringat dari wajah dan meminta pelayannya 
mencelupkan sepotong kain ke dalam air sungai yang 
dingin bagaikan es. Satu-satunya pelayannya yang lain 
membawa   kudanya ke arah hilir, untuk diberi minum. 
gerombolan  serangga bersayap hijau terbang di 
sekeliling Shitinggi sumbingsuke. Bulan berwarna pucat meng-
ambang di langit senja. Rumput liar yang sedang 
berbunga menjalar di tanah. 
"Shinza! banaspati ! Ini kesemparan kalian!" bisik 
putra sulung Kii, Motoaki, pada dua laki-laki yang 
berdiri di bayang-bayang pohon tempat sekitar 
sepuluh kuda diikat. Shitinggi sumbingsuke tidak mengetahui 
kehadiran mereka. Perahu yang membawa   keluarganya 
sudah berada di tengah sungai. 
Angin sungai mengisi dadanya, dan pemandangan 
sekitar memesona matanya yang berkaca-kaca. Betapa 
menyedihkan, ia berkeluh kesah. Sebagai suami dan 
ayah, hatinya serasa diiris-iris saat  ia memikirkan 
nasib keluarganya yang kini menjadi gelandangan. 
Prajurit tergagah pun memiliki perasaan, dan 
Shitinggi sumbingsuke konon lebih sentimental dibandingkan  
kebanyakan orang. Keberanian dan jiwa ksatrianya 
membara dalam matanya, melebihi terik matahari. Ia 
sudah  ditinggalkan oleh aidit ; ia sudah  memutus-
kan hubungan dengan patih ronggolawe ; ia sudah  menyerah-
kan benteng kota Kozuki; dan lalu  ia menimbang  
kepala junjungannya pada musuh-musuhnya. 
Dan sckarang ia masih ada di sini, enggan 
  
melepaskan kehidupan. Harapan apakah yang 
digenggamnya? Masih adakah kehormatan yang 
dimilikinya? Caci maki dunia mirip  suara 
jangkrik yang kini mcngelilinginya. namun , saat  ia 
mendengarkannya di tengah angin sejuk yang 
mengenai dadanya, ia tak peduli. 
 
Satu ketusahati 
Bertumpuk pada yang lain 
Menguji kekuatanku sampai ke batasnya. 
 
Sajak itu ditulisnya bertahun-tahun yang lalu. Kini 
ia membacanya di dalam hati. Ia teringat sumpah yang 
diucapkannya di hadapan ibunya, di hadapan bekas 
junjungannya, di hadapan dewa-dewa, dan di hadapan 
bulan muda di langit kosong sebelum ia maju ke 
medan tempur: Berikan segala rintangan bagiku! 
Ia berhasil mengatasi setiap rintangan satu per satu, 
sampai sekarang. Shitinggi sumbingsuke menganggapnya sebagai 
kesenangan paling besar bagi manusia, dan kepuasan 
terbesar dalam hidupnya. 
Pada hakikatnya, seratus rintangan pun bukan 
alasan untuk bersedih hati. Dengan berpegang pada 
kepercayaan ini saat  mengarungi kehidupan, 
Shitinggi sumbingsuke sempat mencicipi kegembiraan besar di 
tengah segala penderitaannya. Ia tetap mempertahan-
kan sikap ini saat  utusan patih ronggolawe  memberi-
tahunya bahwa aidit  mengubah strategi. 
Memang benar, untuk sementara waktu ia berkecil 
hati, namun  ia tidak menaruh dendam pada siapa pun. Ia 
  
juga tidak bersedih. Tak pernah, bahkan sekarang 
pun, saat ia tenggelam dalam keputusasaan dan 
berpikir. "Inilah akhir segalanya." Malah sebaliknya, 
harapannya tetap membara. Aku masih hidup, dan 
akan terus hidup selama  aku bernapas! Ia menyimpan 
satu harapan besar mendekati musuh bebuyutannya, 
Kikkkertoarjo  Motoharu, dan mati saat  menikamnya 
sampai tewas. sesudah   merenggut nyawa   Kikkkertoarjo . 
dengan sukacata ia akan menemui arwah bekas 
junjungannya di akhirat.  
Walaupun Shitinggi sumbingsuke sudah  menyerah, Kikkkertoarjo  
tak mau mengambil risiko dengan bertatap muka. 
Dengan santun ia menganugerahkan sebuah benteng kota 
dan menyuruh Shitinggi sumbingsuke pergi ke sana. Kini 
Shitinggi sumbingsuke bergundah gulana, sambil bertanya-tanya 
kapan ia akan memperoleh kesempatan. 
Perahu yang membawa   keluarga dan pengikutnya 
merapat di tepi seberang. Sesaat perhatian 
Shitinggi sumbingsuke beralih pada keluarganya yang sedang 
turun dari perahu, di tengah-tengah kerumunan 
orang. 
Tanpa suara, sebilah pedang terhunus menyambar 
di belakang Shitinggi sumbingsuke dan mengenai bahunya. 
Pada saat yang sama, pedang lain menghantam baju 
yang didudukinya, mengakibatkan bunga api 
beterbangan. Orang seperti Shitinggi sumbingsuke pun bisa 
dikejutkan oleh serangan mendadak. Walaupun 
lukanya cukup dalam, Shitinggi sumbingsuke melompai bangun 
dan menjambak rambut calon pembunuhnya. 
  
"Pengecut!" teriaknya. 
Ia sudah  terluka, dan penyerangnya ada dua orang. 
Melihat rekannya dalam kesulitan, orang kedua 
menyerang Shitinggi sumbingsuke sambil mengacungkan 
pedang dan berseru. "Bersiaplah untuk mati! Ini 
perintah junjungan kami." 
"Keparat!" Shitinggi sumbingsuke membalas dengan marah. Ia 
mendorong penyerang pertama ke arah rekannya. 
sehingga keduanya berjatuhan. Shitinggi sumbingsuke 
memantaatkan kesempatan itu untuk berlari ke dalam 
sungai. Air bercipratan ke segala arah. 
"Jangan biarkan dia lolos!" seorang perwira patih 
berseru, lalu mulai berlari. Dengan segenap tenaga ia 
melemparkan rombaknya dari tepi sungai. Tombak itu 
menancap di punggung Shitinggi sumbingsuke, membuatnya 
terjerembap ke dalam sungai. Gagang tombak tampak 
tegak dalam air yang mulai memerah, seperti harpun 
yang menancap di tubuh ikan paus. 
Kedua pembunuh melangkah mendekat. Mereka  
menyeret Shitinggi sumbingsuke yang terluka parah ke pinggir 
dengan memegang kakinya, lalu memenggal 
kepalanya. Darah mengalir di celah-celah batu di tepi 
sungai, sementara ombak Sungai Abe kelihatan bagai 
terbakar. Secara bersamaan icrdcngar orang beneriak-
teriak dari arah hulu. 
"Tuanku!" 
"Yang Mulia!" 
Kedua pembantu Shitinggi sumbingsuke berlari ke arahnya. 
namun  kemungkinan itu pun sudah  diperhitungkan oleh 
  
orang-orang patih. Begitu keduanya mulai berteriak-
teriak, mereka sudah  dikelilingi oleh kerangkeng baja 
dan tidak dapat maju lebih jauh. saat  menyadari 
bahwa majikan mereka sudah  menemui ajalnya, mereka  
bertempur dengan gagah berani, sampai mereka 
menyusul Shitinggi sumbingsuke ke akhirat. 
Tubuh manusia tak dapat hidup selama-lamanya. 
namun  kesetiaan yang tak tergoyahkan dan  kesadaran 
tentang kewajiban akan seterusnya tercatat dalam 
sejarah perang. Setiap kali mereka  memandang ke 
atas dan melihat bulan muda di langit malam, para 
centeng adipati  di lalu  hari akan terkenang pada 
kegigihan Yamanaka Shitinggi sumbingsuke dan dirasuki 
perasaan hormat. Dalam hati mereka, Shitinggi sumbingsuke 
akan hidup untuk selama-lamanya. 
Pedang dan kotak teh "Samudra Luas" milik 
Shitinggi sumbingsuke dikirim kepada Kikkkertoarjo  Motoharu 
ditambah    kepalanya. 
"Jika kami tidak menyingkirkanmu." ujar Kikkkertoarjo  
saat  memandang kepala itu, "suatu hari kau akan 
memandang kepalaku seperti ini. Itulah Jalan 
centeng adipati . sesudah  segala keberhasilanmu, kau 
sebaiknya berusaha mencari kedamaian di akhirat." 
 

 
saat  ketujuh ribu lima ratus prajurit patih ronggolawe  
meninggalkan Kozuki, sepertinya mereka hendak 
menuju Tajima, namun  tiba-tiba mereka  membelok ke 
  
arah Kakwilangan  di sumberdadi , dan bergabung dengan 
centeng  tungguljaya yang berkekuatan tiga puluh ribu 
orang. Akhir musim panas sudah  tiba. 
Diserang oleh centeng  besar ini, baik benteng kota di 
Kanki maupun di Shikau takluk dalam waktu singkat. 
Kini tinggal benteng kota Miki, kubu utama marga Bessho. 
Pertempuran-pertempuran centeng  sinuhun  saat  
mereka  maju ke benteng kota Miki seolah-olah terasa 
ringan, namun  sebetulnya  penaklukan benteng kota-
benteng kota pada garis pertahanan terdepan pihak patih 
memakan banyak korban. centeng  gabungan sinuhun  ber-
kekuatan tiga puluh 9 ribu orang, namun  tak perlu 
diragukan bahwa musuh akan memberikan per-
lawan an gigih. 
Salah satu sebab operasi militer ini membutuhkan 
waktu lama adalah bahwa di samping kemajuan 
persenjataan juga terjadi perubahan besar-besaran 
dalam taktik-taktik tempur. Pada umumnya, per-
senjataan centeng  provinsi-provinsi Barat lebih maju 
dibandingkan  persenjataan musuh-musuh marga sinuhun  di 
radenkanjeng  maupun Kai. 
Ini pertama kalinya prajurit-prajurit sinuhun  ber-
hadapan dengan mesiu dan meriam yang demikian 
hebat. patih ronggolawe  merasa bisa belajar banyak dari 
musuh ini. Kemungkinan besar keraton  yang melaku-
kan pembelian, namun  patih ronggolawe -lah yang pertama-tama 
meninggalkan meriam-meriam kedhiri  yang kuno dan 
melengkapi diri dengan meriam buatan bangsa barbar 
dari Selatan, yang ditempatkan di puncak sebuah 
  
menara pengintai. saat  para resi  sinuhun  yang lain 
melihat ini, mereka  pun bergegas untuk memperoleh 
meriam terbaru. 
Sewaktu memperoleh kabar mengenai pertempuran di 
provinsi-provinsi Barat, banyak pedagang senjata ber-
datangan dari Hirado dan Hakau di Kyushu, meng-
hindari armada patih dengan mempertaruhkan nyawa   
dan mencari pelabuhan-pclabuhan di pesisir sumberdadi . 
patih ronggolawe  membantu orang-orang ini dengan ber-
tindak sebagai pcranrara. Ia menyarankan agar para 
resi  lain membeli senjata-senjau baru, tanpa 
memedulikan biaya. 
benteng kota Kanki menjadi sasaran pertama dalam 
rangka uji coba kekuatan meriam-meriam baru ini. 
Orang-orang sinuhun  membuat bukit kecil yang meng-
hadap ke sasaran, lalu mendirikan menara pengintai 
dan kayu di atasnya. lalu  sebuah meriam besar 
ditempatkan di puncak menara dan ditembakkan ke 
benteng kota. Tembok dan gerbang benteng kota dengan 
mudah berhasil dihancurkan. namun  sasaran sesungguh-
nya adalah menara-menara dan benteng kota dalam. 
Namun pihak musuh juga memiliki artileri, begitu 
pula senapan dan mesiu terbaru. Beberapa kali 
menara pengintai hancur lebur dan terbakar habis, 
hanya untuk dibangun dan dihancurkan kembali. 
Selama pertempuran sengit itu, korps zeni 
patih ronggolawe  menguruk parit pertahanan dan mendesak 
maju sampai ke tembok baru, sementara para tukang 
gali menggali terowongan untuk meruntuhkan 
  
tembok. Pekerjaan itu berlangsung siang-malam. 
hampir tanpa henti, dan tanpa memberi kesempatan 
kepada para prajurit di dalam benteng kota untuk mem-
perbaiki kerusakannya. Strategi semacam itu akhirnya 
membawa   kekalahan bagi benteng kota-benteng kota musuh. 
sebab  kemenangan atas benteng kota-benteng kota kecil di 
Shikata dan Kanki saja sudah memerlukan usaha 
sedemikian besar, serangan terhadap benteng kota utama 
di Miki tampaknya lebih  sukar lagi. 
Di suatu tempat bernama Bukit tengkorak ada 
daerah yang agak tinggi berjarak kira-kira satu setengah 
mil dari benteng kota. Di sanalah patih ronggolawe  mendirikan 
perkemahan dan menempatkan 9 ribu prajurit 
di daerah sekitarnya. 
Suatu hari tungguljaya mengunjungi Bukit tengkorak, dan 
mereka berdua pergi mengamati posisi-posisi musuh. 
Di selatan musuh ada gunung-gunung dan bukit-
bukit yang merupakan bagian dari daerah pegunungan 
di sumberdadi  bagian barat. Sungai Miki mengalir di 
sebelah utara. Di sebelah timur terlihat rumpun-
rumpun bambu, tanah pertanian, dan semak belukar. 
Sejumlah kubu pertahanan pada bukit-bukit sekitar 
mengelilingi tembok benteng kota pada tiga sisi. Tembok 
itu mengelilingi benteng kota pertama, kedua, dan satu 
benteng kota lagi. 
"Rasanya berat menaklukkannya dengan cepat," ujar 
tungguljaya sambil mengamati benteng kota Miki. 
"Hamba meragukan benteng kota itu bisa direbut 
dengan cepat. benteng kota itu seperti gigi busuk dengan 
  
akar yang dalam." 
"Gigi busuk?" tanpa sengaja tungguljaya tersenyum 
saat  mendengar perumpamaan patih ronggolawe . Sudah 
empat atau lima hari tungguljaya menderita sakit gigi 
parah. sebab  bengkak, wajahnya tampak agak 
berubah. Kini ia memegang pipinya dan tertawa . 
Persamaan antara benteng kota Miki dan giginya yang 
busuk terdengar lucu sekaligus menyakitkan. 
"Begitu. Persis seperti gigi busuk. Untuk mencabut-
nya dibutuhkan kesabaran." 
"Ini memang hanya satu gigi, namun  pengaruhnya 
terasa di seluruh tubuh. ki wirogeni membuat 
orang-orang kita mendcrita. Belum cukup kalau dia 
disamakan dengan gigi busuk. namun  kalau kita 
mengalah pada kejengkelan kita dan berusaha 
menundukkan benteng kota itu secara gegabah, bukan gusi 
saja yang mungkin rusak, akibatnya bisa gatal untuk 
seluruh tubuh." 
"Hmm, apa yang harus kita lakukan kalau begitu? 
Apa strategimu?" 
"Nasib gigi ini sudah jelas. Biarkan akarnya mem-
busuk dengan sendirinya. Bagaimana kalau kita 
memutuskan jalan penghubung dan menggoyang-
goyangkan giginya dari waktu ke waktu?" 
"Ayahku, aidit , menyuruhku mundur ke padalarang  
jika serangan cepat tak dapat dilakukan. Kau boleh 
mengatur semuanya; aku kembali ke padalarang ." 
"Tuanku tak perlu gelisah khawatir ." 
Keesokan harinya tungguljaya menarik diri dari 
  
medan pertempuran bersama para resi  lain. 
patih ronggolawe  menempatkan ke9 ribu prajuritnya 
di sekitar benteng kota Miki, menugaskan seorang 
komandan korps di masing-masing posisi, dan men-
dirikan pagar kayu runcing. Ia menempatkan penjaga-
penjaga dan memutuskan semua  jalan yang menuju 
benteng kota. Perhatian khusus diberikan pada korps 
observasi yang menjaga jalan di sebelah selatan 
benteng kota. Jika jalan itu diikuti sejauh kurang-lebih dua 
belas mil ke arah barat, orang akan tiba di tepi