Tampilkan postingan dengan label raja 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

raja 3

mengeluh. 
Mereka bukan saja dibebaskan dari tugas masing-
masing, namun  juga memperoleh makanan dan anggur  secara tak terduga. Dan yang lebih penting lagi. betari durga  tampak bersantai di tengah-tengah mereka. 
"Tuan ini ternyata punya rasa humor!" 
saat  pengaruh anggur  semakin nyata, mereka mulai bertukar lelucon. namun   para mandor tetap menatap betari durga  dengan dingin. 
"Huh! Dia cerdik, namun  rencananya mudah terbaca.'' Dan ini memicu  mereka semakin memusuhinya.  Dengan tampang seakan-akan mempertanyakan pantas-tidaknya minum anggur  di tempat kerja, mereka  tidak mau menyentuh baskom masing-masing. 
"Wahai, para mandor! Ada apa?" betari durga  berdiri dengan baskom di tangan, lalu pindah duduk di bawah  tatapan mereka yang menusuk. "Kalian tidak minum 
sama sekali. Barangkali kalian beranggapan bahwa 
seorang mandor memikul tanggung jawab  seperti 
resi . dan sebab  itu tidak boleh minum, namun  
jangan gelisah khawatir . Kalau memang tidak mungkin, ya 
apa boleh buat? Kalau aku keliru, dan kita tak bisa 
menyelesaikan pekerjaan kita dalam tiga hari, aku 
akan mengakhiri urusan ini dengan melakukan bunuh 
diri." betari durga  memaksa mandor yang bertampang 
paling sengit untuk mengambil baskom , lalu menuang-
kan anggur  untuknya. "Mumpung kita bicara mengenai 
kecemasan, ketahuilah bahwa bukan proyek ini 
maupun nyawa  ku sendiri yang membuatku gelisah khawatir . 
Aku memikirkan nasib provinsi ini. yang menjadi 
tempat tinggal kalian semua. namun  menghabiskan dua 
puluh hari untuk pekerjaan sepele ini dengan 
semangat sepeni ini seluruh provinsi akan binasa." 
Kata-katanya penuh emosi. Para pekerja mendadak 
terdiam. betari durga  memandang bintang-bintang di 
langit, seakan-akan hendak mengadu pada mereka. 
"Kurasa kalian semua pernah melihatlihat  pasang-
surutnya sebuah provinsi. Dan kalian tentu tahu 
penderitaan rakyat di provinsi yang jatuh. Apa boleh 
  
buat. Tentu saja Yang Mulia, para resi . sampai 
kami para centeng adipati  yang paling rendah, tak pernah 
melupakan urusan penahanan provinsi, bahkan pada 
waktu tidur pun. 
"namun   nasib sebuah provinsi tidak ditentukan di 
dalam benteng kota. Yang menentukan adalah kalian. 
Rakyatlah yang merupakan tembok dan parit per-
tahanan. Mungkin kalian beranggapan bahwa pe-
kerjaan ini tidak berbeda dengan pekerjaan mem-
bangun dinding sebuah rumah, namun  kalian keliru. 
Kalian sedang membangun penahanan kalian sendiri. 
Apa yang akan terjadi seandainya benteng kota ini 
dibumihanguskan suatu han? Tentu bukan seisi 
benteng kota saja yang tertimpa kemalangan. Seluruh kota 
akan dilalap api, dan seluruh provinsi akan musnah. 
Keadaannya bakal seperti di neraka, anak-anak 
direnggut dari orangtua masing-masing, orangtua 
mencari anak-anak mereka, gadis lesbian-gadis lesbian menjerit-jerit 
ketakutan, orang-orang salut terbakar hidup-hidup. 
Ah, jika provinsi ini sampai jatuh, celakalah seluruh 
rakyatnya. Kalian semua punya orangtua, anak. istri, saudara yang sakit. Kalian harus selalu, selalu mengingat itu." Kini para mandor pun tak lagi tersenyum mengejek Wajah mereka tampak serius. Mereka juga memiliki  harta benda, dan ucapan brojowesi tepat mengenai  sasaran. 
"Jadi kenapa kita bisa menikmati masa damai 
sekarang? Pada dasarnya, berkat kepemimpinan Yang  Mulia aidit . namun  kalian, rakyat provinsi ini, ikut  berperan dengan benteng kota ini sebagai titik pusat. Tak  peduli betapa gagahnya para centeng adipati  berjuang, jika rakyat sampai goyah..." brojowesi berbicara sambil berlinangan air mata. namun  ia tidak berpun-pura. Hatinya terasa pilu, dan setiap kata yang ia ucapkan 
merupakan cerminan perasaan sebetulnya . 
Mereka yang tergerak oleh kebenaran kata-katanya 
langsung sadar dan terdiam. Seseorang menangis dan 
membuang ingus. Orang itu adalah mandor para 
tukang kayu pekerja tertua dan paling berpengaruh 
yang selama ini menentang betari durga  lebih terang-
terangan dibandingkan  rekan-rekannya. 
"Ah, ampun ... Ampun!" Ia mengusap air mata yang 
mengalir di pipinya yang penuh bekas cacar. Yang lain 
menatapnya heran. saat  ia sadar bahwa semua 
orang memandang ke arahnya, ia tiba-tiba maju dan 
men-jatuhkan diri di hadapan betari durga . 
"Ampunilah aku! Sekarang aku menyadari 
kebodohan dan kedangkalan pikiranku. Mestinya 
Tuan mengikatku, lalu meneruskan pekerjaan demi 
kejayaan provinsi." Dengan kepala tertunduk, tubuh 
orang tua itu bergetar saat  ia bicara. 
Mula-mula betari durga  menatapnya sambil ter-
bengong-bengong, namun  lalu  ia mengangguk dan 
berkata. "Hmm. kau bertindak atas perintah 
ki raden brojolijo. bukan?" 
"Tuan mengetahuinya sejak semula." 
"Bagaimana aku tidak tahu? Dan brojolijo jugalah yang 
  
menyuruhmu dan yang lain untuk tidak datang ke 
rumahku saat  aku mengundang kalian."  
"Itu benar." 
"Dan dia menyuruh kalian bekerja selambat 
mungkin, sengaja mengulur-ulur waktu, dan me-
nentang perinuh-perintahku." 
"Aku tidak heran dia bersikap demikian. Seandai-
nya kalian yang memicu  pekerjaan ini ter-
bengkalai, kalian pun takkan sanggup berpikir jernih. Hmm, baiklah, berhentilah merengek-rengek. Aku  akan memaafkanmu, sebab  kau sudah  mengakui kesalahanmu." 
"namun  masih ada lagi. ki raden brojolijo berpesan 
bahwa jika kami bekerja selambat mungkin, sehingga pembangunan tidak selesai dalam tiga hari, kami akan diberi uang banyak. namun  sesudah  mendengar penjelasan Tuan, aku sadar bahwa dengan menerima uang yang ditawa rkan Tuan ki raden, dan dengan menentang Tuan, kami justru menempuh langkah pertama ke arah kehancuran kami sendiri. Sekarang 
semuanya sudah jelas bagiku. Sebagai pemimpin para pembangkang, aku seharusnya diikat, dan pekerjaan  ini seharusnya diselesaikan tanpa ditunda-tunda lagi." 
betari durga  tersenyum, ia menyadari bahwa dalam sekejap saja seorang musuh yang kuat sudah  menjadi sekutu sejati. Orang itu bukannya diikat, melainkan malah diberi sebuah baskom . "Kau tidak bersalah. Pada detik kau menyadari kekeliruanmu, kau menjadi warga paling setia di provinsi ini. Mari, silakan cicipi  anggur  ini. Sehabis itu. sesudah  melepas lelah sejenak, kita 
mulai bekerja." 
Si mandor menerima baskom itu dengan dua tangan dan membungkuk dengan sepenuh hati. namun  ia tidak  menyentuh minumannya. "Hei! Semua!" serunya, tiba tiba ia melompat berdiri dan mengangkat baskom nya 
tinggi-tinggi. "Kita akan menuruti segala perintah 
Tuan Kinoshiu. Reguklah isi baskom kalian, lalu 
mulailah bekerja. Mestinya kita semua merasa malu. Kita beruntung sebab  belum dihukum oleh langit.  Selama ini aku sudah  melahap nasi dengan sia-sia, namun   mulai sekarang aku akan berusaha melunasi utang-utangku. Aku akan berusaha mengabdi dengan sungguh-sungguh. Tekadku sudah bulat. Bagaimana  dengan kalian?" 
Begitu si mandor selesai bicara, yang lainnya berdiri serempak. 
"Ayo, kita mulai!" 
"Kita bereskan tugas ini!" mereka semua berseru. 
"Ah, terima kasih!" balas betari durga . Ia pun 
mengangkat baskom . "Aku akan menyimpan anggur  ini selama tiga hari. sesudah  merampungkan tugas, kita bisa minum sepuas-puasnya! Kecuali itu, aku tidak tahu berapa banyak uang yang dijanjikan ki raden brojolijo. Tpi sesudah kita selesai, aku akan memberi imbalan seadanya." 
"Kami tidak memerlukannya." Mengikuti contoh si 
mandor bermuka bopeng, semuanya menghabiskan isi baskom masing-masing dalam satu tegukan. Dan persis 
 seperti prajurit yang akan bertempur di barisan 
terdepan, mereka bergegas kembali ke tempat 
pembangunan. melihatlihat  semangat mereka yang menggebugebu. untuk pertama kali betari durga  merasa betul-betul lega. 
"Aku berhasil!" serunya tanpa berpikir. namun  ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini; ia bergabung dengan yang lain, bekerja dalam lumpur, membanting tulang seperti orang kesurupan selama tiga malam dan dua hari berikutnya. 
 "kuyang !  kuyang !" Seseorang sedang memanggil  namanya. Orang itu ternyata brawirgo . yang tampak 
lebih gelisah dibandingkan  biasanya. "brawirgo !" 
"Saat perpisahan sudah  tiba."  
"Apa?" 
"Aku dibuang."  
"Kenapa?" 
"Aku sudah  membunuh seseorang di benteng kota dan 
memperoleh teguran keras dari Tuan aidit  sebab -
nya. Untuk sementara aku haruis menjalani hidup 
sebagai adipati ." 
"Siapa yang kaubtinuh?" 
"ki raden brojolijo. Kau tentu lebih memahami 
perasaanku dibandingkan  orang lain." 
"Ah, kau terlalu terburu-buru." 
 "Itulah darah muda! sesudah  membunuhnya, aku 
pun berpikir begitu, namun  sudah terlambat. Watak 
seseorang tak dapat dipadamkan. Baiklah, aku..." 
"Kau hendak pergi sekarang juga?" 
"kuyang , kutitipkan nyi momo  padamu. Kejadian ini 
membuktikan bahwa kami memang bukan jodoh, jaga 
dia baik-baik." 
Pada waktu yang sama. seekor kuda menembus 
kegelapan malam dalam perjalanan dari kedhiri  ke 
brojorejo . Terluka parah. ki raden brojolijo ber-
pegangan erat-erat pada pelananya, jarak antara kedhiri  
dan brojorejo  tidak terlalu jauh, dan kuda brojolijo berlari 
kencang. 
Hari sudah gelap dan tak ada yang melihatnya, 
namun andai kata masih terang, darah yang ber-
cucuran seiring langkah kudanya akan terlihat jelas. 
Luka brojolijo cukup dalam, namun  tidak mematikan. 
Meski demikian, saat  ia menggenggam bulu tengkuk 
kudanya, ia bertanya-tanya apa yang lebih cepat: kaki 
kudanya atau kematian. 
Moga-moga aku bisa mencapai benteng kota brojorejo , ia 
berharap dalam hati, sambil teringat bagaimana 
madya brawirgo  berteriak "Pengkhianat!" saat  meng-
ayunkan pedangnya. 
Suara yang menjatuhkan tuduhan itu bagaikan 
paku yang menembus tengkorak, dan terus terngiang-
ngiang di telinga brojolijo. Kini, dalam keadaan setengah 
sadar, diterpa angin malam, pikirannya jadi tak 
keruan. Dari mana brawirgo  mengetahuinya? saat  
  
memikirkan pengaruh peristiwa ini terhadap benteng kota 
brojorejo . dan menyadari bahwa bukan saja ayahnya, 
melainkan seluruh marganya akan menanggung 
akibatnya, ia menjadi panik dan darahnya mengalir 
semakin deras. 
benteng kota brojorejo  merupakan salah satu benteng kota 
perwakilan marga sinuhun . Oleh mpu  margojoyo , ayah brojolijo, 
brojolireng, diangkat sebagai komandan brojorejo . 
Akan namun   pandangannya mengenai dunia amat 
terbatas, dan apa yang dilihatnya tidak menunjukkan 
masa depan gemilang. saat  mpu  margojoyo  wafat, 
aidit  berusia lima belas tahun, dan reputasinya 
berada pada titik paling rendah. Waktu itu 
brojolireng beranggapan bahwa pewaris marga sinuhun  
tak bisa diharapkan, dan diam-diam bersekongkol 
dengan mpu marijan  mpu kepenuwoan . 
aidit  lalu mengetahui pengkhianatan brojorejo . 
dan dua kali menyerbu benteng kota itu. namun  sia-sia. 
brojorejo  tak berhasil ditaklukkannya, sebab  mem-
peroleh dukungan militer maupun ekongunungselatan dan 
marga mpu marijan  yang kuat. aidit  boleh mencoba 
segala cara, namun   usahanya selalu kandas tanpa hasil. 
aidit  menyadari hal ini. dan selama beberapa 
tahun ia tidak mengusik para pembangkang. 
Namun lalu  marga mpu marijan  mulai meragu-
kan kesetiaan brojolireng. brojorejo  dicurigai oleh 
kedua belak pihak, dan memancing sikap seperti itu dari penguasa sebuah provinsi besar sama saja dengan mengundang bencana. Jadi. apa pun tujuan   sebetulnya , brojolireng menghadap aidit , 
memohon ampun atas perbuatannya selama bertahun-tahun, dan memohon agar dikembalikan ke posisinya semula. 
"Sebuah cabang takkan sanggup mengalahkan 
induknya. Ada baiknya kalau kaupahami ini. Usaha-
kanlah agar kau tetap setia mulai sekarang," aidit  
berpesan, dan memaafkannya. 
sesudah  itu. baik ayah maupun anak memper-
lihatkan hasil yang mengesankan, dan pengkhianatan mereka dilupakan. namun   apa yang tersembunyi di bawah  permukaan sudah  diketahui oleh dua orang madya brawirgo  dan panembahan  betari durga . brojolijo sudah  
merisaukan mereka berdua selama beberapa waktu, namun  lalu  betari durga  mengambil alih posisi 
pengawas pembangunan, dan keesokan harinya 
brawirgo  menyerang dan mencederai brojolijo. Kini. dengan berasumsi bahwa rencananya sudah  terbongkar, dan dalam keadaan terluka parah, ia melarikan diri  dari benteng kota dan menuju brojorejo . 
Menjelang fajar ia melihat gerbang benteng kota 
brojorejo . saat  percaya bahwa ia sudah  sampai di tempat 
tujuannya, ia pingsan, sambil tetap merangkul leber 
kudanya. Waktu tersadar, ia dikelilingi para penjaga 
benteng kota yang sedang merkertoarjo t lukanya. lalu  pandangannya kembali jernih dan ia bangkit. Orang-orang di sekitarnya tampak lega. 
Kedatangan brojolijo segera dilaporkan pada 
brojolireng, dan beberapa pelayannya bergegas keluar dengan mata terbelalak, sambil bertanya. 
"Di mana Tuan Muda?" 
"Bagaimana keadaannya?" 
Mereka cemas sekali. Namun yang paling terkejut 
adalah ayahnya. Melihat putranya dipapah oleh para penjaga gerbang, brojolireng segera berlari keluar, tak kuasa membendung rasa gelisah khawatir  seorang ayah, "Lukanya dalam?"  
"donosukomerto...." brojolijo ambruk dan masih sempat  berkata. "Ananda minta maaf...." sebelum ia kembali 
kehilangan kesadaran. 
"bawa   dia masuk! Cepat, bawa   dia ke dalam!" 
Wajah brojolireng diliputi penyesalan. .Sejak semula 
ia merasa cemas sebab  brojolijo mengabdi pada 
Nohunaga. sebab brojolireng tidak sepenuh hati 
kembali ke marga sinuhun  dan belum rela untuk tunduk. 
Namun saat  brojolijo ditunjuk sebagai pengawas 
perbaikan tembok penahanan, brojolireng segera 
menyadari bahwa kesempatan yang ditunggu-
tunggunya selama bertahun-tahun sudah  tiba, sehingga 
ia langsung mengirim pesan rahasia kepada marga 
mpu marijan :  
Sekaranglah waktu yang tepat untuk menyerang marga sinuhun , jika benteng kota kedhiri  diserbu oleh lima ribu orang dari perbatasan timur, kami pun akan mengerahkan centeng . Pada saat yang sama, putra kami akan menimbulkan 
kekacauan dari dalam dengan membakar benteng kota.  Dalam hati ia berharap mpu marijan  mpu kepenuwoan   tergerak untuk menentukan sikap. Namun ternyata   orang-orang mpu marijan  tidak segera benindak. Kedua  ki raden ayah maupun putra sudah lama menjadi 
abdi marga sinuhun , sehingga marga mpu marijan  menaruh  curiga pada rencana mendadak itu. sebab  tidak  memperoleh kabar dari kurir pertama dan kedua yang 
dikirimnya, dua hari lalu  brojolireng meng-
utus kurir ketiga yang membawa   pesan, "Sekaranglah 
waktunya." 
Sementara itu, brojolijo mengalami cedera dan 
melarikan diri dari kedhiri . Dan sepertinya luka yang 
dideritanya bukan akibat pertikaian pribadi. 
Kelihaiannya persekongkolan mereka sudah  terbongkar 
brojolireng merasa cemas, dan mengumpulkan 
seluruh marga untuk mengadakan rapat. 
"Walaupun mungkin takkan ada dukungan dari 
orang-orang mpu marijan , kita tak dapat berbuat apa-apa 
selain membuat persiapan militer dan menghadapi 
serangan marga sinuhun . Kalau orang-orang mpu marijan  
mengetahui pemberontakan kita dan ikut terjun ke 
dalam kancah peperangan, tujuan kira semula, yaitu 
menghancurkan marga sinuhun  dengan sekali pukul, 
mungkin masih dapai terwujud." 
aidit  tidak banyak berkomentar sesudah  meng-
asingkan brawirgo . Mempertimbangkan wataknya 
yang meledak-ledak, tak satu pun para pembantunya 
menyinggung masalah brawirgo . namun  aidit  tidak 
puas sepenuhnya, dan ia berkata, "Jika dua prajurit 
bertikai di perkemahan, atau pedang dihunus di 
pekarangan benteng kota, peraturan menentukan bahwa 
  
hukumannya harus tegas, tak peduli apa alasan 
penikaian itu. brawirgo  laki-laki yang berharga, namun  
mudah naik darah. Dan ini kedua kalinya dia 
mencederai sesama pengikutku. Bersikap murah hari 
tak dapat dibenarkan oleh hukum." 
Larut malam ia mengeluh pada seorang pengikut 
senior yang sedang bertugas, "Ah, si brawirgo ! Entah 
ke mana dia pergi sesudah  dibuang dari sini. Menjadi 
adipati  baik untuk jiwa. Barangkali sedikit penderitaan 
akan bermanfaat untuknya." 
Di atas tembok pertahanan. aidit  menyadari 
bahwa malam ketiga betari durga  mengambil alih 
pekerjaan perbaikan sudah  tiba, jika ia tidak selesai 
pada wakiu fajar, ia akan terpaksa melakukan seppuku, 
tak peduli betapa aidit  menyesalkannya. Dia 
terlalu keras kepala  aidit  berkata dalam hati 
selalu mengumbar ucapan yang tak masuk akal di 
depan semua orang. 
Pengikut seperti brawirgo  dan betari durga  men-
duduki posisi rendah dan masih muda, namun  aidit  
tahu bahwa di antara para pengikut yang tersisa dari 
masa ayahnya, hanya segelintir yang sanggup 
menyaingi bakat mereka. Orang seperti mereka jarang 
ditemui, bukan hanya dalam marga sinuhun . melainkan 
di dunia secara keseluruhan. Ini kehilangan besar! 
Namun aidit  tak boleh memperlihatkan ke-
gelisah khawatir annya, dan ia menyembunyikannya dari para 
pelayan dan pengikut yang lebih tua. 
Malam itu ia menyusup ke bawah  kelambu lebih 
  
cepat dibandingkan  biasanya. namun  saat  ia baru akan 
teridap, seorang pengikutnya muncul di ambang pintu 
ruang tidur. "Tuanku, ada keadaan darurat! Orang-
orang ki raden di brojorejo  mengibarkan bendera 
pemberontakan, dan sengaja memamerkan persiapan 
pertahanan mereka." 
"brojorejo ?" aidit  keluar dari kelambu, dan 
masih dalam pakaian tidur dari sutra putih, pergi ke 
ruang sebelah dan duduk.  
"yodono?"  
"Tuanku?" 
"Masuklah." 
mpu wiragajah  yodono mendekat sampai ke tepi ruangan 
itu, lalu menyembah. aidit  sedang berkipas-
kipas. Di malam hari. hkertoarjo  sejuk menjelang musim 
gugur sudah terasa, namun  gerombolan  nyamuk masih 
beterbangan di pekarangan benteng kota. 
"sebetulnya  ini tidak terlalu mengejutkan," 
aidit  akhirnya berkata. Kata-kata itu diucapkan 
seakan-akan dikunyah satu per satu. "Kalau orang-
orang ki raden memberontak, borok yang sudah 
mulai sembuh kini bernanah lagi. Kita tunggu saja 
sampai pecah dengan sendirinya." 
"Apakah tuanku akan pergi ke sana?" 
"Itu tidak perlu." 
"centeng  tuanku..." 
"Rasanya kita tidak perlu ambil tindakan." Ia 
tertawa  dan melanjutkan, "Aku meragukan keberanian 
mereka menyerang kedhiri , walaupun mereka sudah  
  
mengadakan persiapan militer. brojolireng panik 
sebab  putranya terluka. Untuk sementara lebih baik 
kira amati mereka dari jauh saja." 
Tak lama lalu  aidit  kembali naik ke 
ranjang, namun  keesokan harinya ia bangun lebih pagi 
dibandingkan  biasa. Atau mungkin ia tak bisa ridur dan 
menunggu sampai fajar. Dalam hati ia mungkin lebih 
mencemaskan nasib betari durga  dibandingkan  kejadian 
mencemaskan di brojorejo . Begitu bangun, aidit  
meninjau tempat pembangunan dengan beberapa 
pembantunya. 
Matahari pagi sedang menanjak. Kesemrawutan 
yang kemarin masih terlihat kini tak tampak lagi. Tak 
sepotong kayu. sebongkah batu. segumpal tanah, 
maupun setitik debu tersisa. Seluruh pekarangan sudah  
dibersihkan. Seiring fajar, tempat pembangunan itu 
tidak lagi mirip  tempat pembangunan. Ini 
melebihi perkiraan aidit . Ia jarang merasa 
terkejut, dan jika kini ia merasa demikian, ia tidak 
memperlihatkannya. betari durga  berhasil melaksanakan 
tugasnya dalam tiga hari, dan lebih dari itu, sudah  
membawa   keluar semua kayu dan batu yang tak 
terpakai. 
Tanpa berpikir, wajah aidit  tampak berseri-
seri sebab  gembira. "Dia berhasil! Lihat itu! Lihat apa 
yang dilakukan si kuyang !" Sambil berpaling kepada 
para pembantunya, ia bicara seakan-akan sedang mem-
bahas hasil pekerjaannya sendiri. "Di mana dia? 
Panggil betari durga  ke sini." 
  
"Sepertinya Tuan panembahan  sedang menyeberangi 
Jembatan rawabening." salah seorang pembantu berkata. 
Jembatan itu berada tepat di depan mereka. 
panembahan  sedang berlari mendekat. 
Batang-batang kayu yang dipakai  sebagai 
perancah dan  kayu dan batu yang tersisa menumpuk 
di tepi parit. Para pengrajin dan pekerja, yang sudah  
menghabiskan tiga hari tiga malam dengan bekerja 
tanpa istirahat, kini tertidur lelap, seperti ulat dalam 
kepompong. Para mandor pun. yang bekerja bahu-
membahu dengan anak buah mereka, merebahkan 
diri di tanah dan segera memejamkan mata begitu 
tugas mereka selesai. 
aidit  mengamati semuanya dari kejauhan. 
Sekali lagi ia terpaksa mengakui bahwa ia keliru 
menilai kemampuan betari durga , Si kuyang ! Dia tahu 
cara membuai orang bekerja keras. Kalau dia memiliki 
kemampuan untuk memacu sekelompok pekerja agar 
rela bekerja seperti ini, tentu tak ada salahnya jika aku 
menugaskan dia memimpin sekelompok prajurit 
terlatih. Sudah sepantasnya aku menyuruh dia maju 
ke medan perang dengan dua atau tiga ratus anak 
buah. aidit  tiba-tiba teringat sebuah bait dari 
Seni Perang karya Sun Tiu: 
 
Prinsip utama 
Untuk menang dalam perang  
Adalah membuat prajurit  
Mati bahagia. 
  
aidit  mengulanginya berkali-kali, namun  ia 
menyangsikan apakah ia sendiri memiliki kemampuan 
itu, yang sama sekali tidak terkait dengan strategi, 
taktik, maupun wibawa  . 
"Hari ini tuanku bangun pagi-pagi sekali. Tuanku 
bisa lihat sendiri apa yang kami lakukan dengan 
tembok pertahanan," 
aidit  menatap kakinya dan melihat betari durga  
yang sedang berlutut dengan kedua tangan menempel 
di tanah. 
"kuyang ?*' tawa  aidit  meledak. Baru sekarang 
ia melihat wajah betari durga . yang sesudah  tiga hari tiga 
malam tanpa tidur, tampak seolah-olah tertutup 
plesteran kasar setengah kering. Maunya merah dan 
pakaiannya berlcpotan lumpur. 
aidit  tertawa  lagi, namun  segera merasa kasihan 
pada orang itu dan berkata dengan serius, "Kau sudah  
melaksanakan tugasmu dengan baik. Kau tentu lelah 
sekali. Sebaiknya kau tidur sepanjang hari." 
"Terima kasih banyak." betari durga  menikmati pujian 
itu. Diberiuhu bahwa ia boleh tidur sepanjang hari, 
padahal seluruh provinsi tidak memiliki kesempatan 
beristirahat, merupakan pujian tanpa tandingan. 
betari durga  berkata dalam hati saat  air mata mulai 
membasahi kelopaknya. Namun, meski sedang 
merasakan kepuasan seperti itu, ia berkata dengan 
hati-hati. "Hamba ada permintaan, tuanku." 
"Apa yang kauinginkan?" 
"Uang." 
  
"Banyak?" 
"Tidak, sedikit saja."  
"Untukmu?" 
"Bukan." betari durga  menunjuk ke arah parit. "Bukan 
hanya hamba yang mengerjakan ini semua. Hamba 
hanya minu uang secukupnya untuk dibagi-bagikan 
kepada para pekerja yang begitu lelah, hingga tertidur 
di tempat." 
"Bicaralah dengan bendahara dan ambillah 
sebanyak yang kauperlukan. namun  kau pun pantas 
menerima imbalan. Berapa upahmu sekarang?"  
"Tiga puluh kan."  
"Hanya itu?" 
"Itu sudah lebih dari yang patut hamba peroleh." 
"Aku akan menaikkannya menjadi seratus kan, lalu 
memindahkanmu ke kesatuan tombak. Mulai hari ini 
kau akan membawa  hi tiga puluh prajurit infanteri. 
betari durga  tetap membisu. Dipandang dari segi 
jabaun, posisi pengawas arang dan kayu bakar dan  
posisi pengawas pembangunan dicadangkan bagi 
centeng adipati  berpangkat tinggi. namun  dalam tubuh 
betari durga  mengalir darah muda, sehingga sudah  ber-
tahun-tahun ia berharap dapat bertugas aktif dalam 
kesatuan pemanah atau penembak. membawa  hi tiga 
puluh prajurit infanteri merupakan posisi komandan 
yang paling rendah. Namun tugas ini jauh lebih 
menyenangkan baginya dibandingkan  tugas dapur atau 
kandang. 
Ia begitu bahagia, sehingga lupa diri sejenak, dan 
  
bicara tanpa berpikir panjang dengan mulut yang 
tadinya begitu santun. "Pada waktu hamba menyelesai-
kan pekerjaan ini, ada satu hal yang terus mengusik 
pikiran hamba. Sistem pengadaan air di benteng kota 
tidaklah memuaskan. Seandainya benteng kota dikepung, 
persediaan air minum takkan memadai, dan dalam 
malau singkat parit pun akan mengering, jika terjadi 
sesuatu, benteng kota hanya sanggup menahan serangan 
mendadak. namun  kalau diserbu oleh centeng  yang..." 
Sambil memalingkan wajah ke samping, aidit  
berlagak tidak mendengarkannya. Namun betari durga  
tidak mau berhenti di tengah jalan. "Sejak dahulu  hamba 
berpendapat bahwa Bukit merah  lebih menguntung-
kan dibandingkan  kedhiri , baik dari segi pengadaan air 
maupun dari segi penyerangan dan pertahanan. 
Hamba mengusulkan agar tuanku pindah dari kedhiri  
ke merah ." 
Mendengar saran itu, aidit  memelototinya 
dan menghardik, "kuyang , cukup! Kau mulai lupa 
diri! Pergilah tidur sekarang juga!" 
"Baik, tuanku." betari durga  angkat bahu. Aku 
memperoleh pelajaran berharga, katanya dalam hati. 
Kegagalan sangat mudah dalam keadaan menguntung-kan. 
Sebaiknya kita dimarahi kalau hati kita sedang gembira. 
Ternyata aku belum cukup pengalaman. Aku terbawa   
perasaan dan melangkah terlalu jauh. Aku harus mengakui 
bahwa aku belum berpengalaman. 
sesudah  membagi-bagikan uang imbalan kepada para 
pekerja, ia tetap tidak pulang untuk tidur, melainkan 
  
berjalan-jalan keliling kota seorang diri, sambil geleng-
geleng kepala. Dalam hati ia membayangkan sosok 
nyi momo  yang tak pernah dilihatnya selama beberapa 
waktu. 
Entah apa yang dikerjakannya belakangan ini? 
Begitu memikirkan nyi momo , ia mulai cemas mengenai 
nasib sahabatnya yang rela berkorban dan keras 
kepala, brawirgo , yang meninggalkan provinsi dan 
menyerahkan cinta nyi momo  kepadanya. Sejak betari durga  
mengabdi pada marga sinuhun , satu-satunya orang yang 
dianggapnya teman adalah brawirgo . 
Aku percaya dia mampir dahulu  di rumah nyi momo . Dalam 
keadaan terpaksa pergi sebagai adipati , dia takkan bisa 
memastikan apakah dia akan melihat nyi momo  lagi. Dia pasti 
berpesan sesuatu sebelum pergi, pikir betari durga . 
sebetulnya  saat ini betari durga  lebih memerlukan tidur 
dibandingkan  cinta maupun makanan. namun  saat  teringat 
pada persahabatan, keberanian, dan kesetiaan 
brawirgo , ia tak bisa tidur begitu saja. 
Laki-laki sejati akan mengenali laki-laki sejati 
lainnya. Jadi, mengapa aidit  tidak segera 
menyadari nilai brawirgo ? Pengkhianatan ki raden 
brojolijo sudah  diketahui selama beberapa saat, paling 
tidak oleh brawirgo  dan betari durga . Ia tak mengerti 
mengapa aidit  tidak menyadarinya, dan dengan 
perasaan tak senang ia bertanya-tanya mengapa 
brawirgo , yang mencederai brojolijo, dijatuhi hukuman. 
Hmm, betari durga  berkata pada dirinya sendiri, 
barangkali brawirgo  memang dihukum, namun  mungkin juga 
  
pengasingannya justru merupakan perwujudan kasih sayang 
aidit . Waktu aku bicara tanpa pikir panjang, sambil 
pasang wajah serba tahu, aku langsung ditegur keras. Harus 
kuakui bahwa bicara mengenai pengadaan air dan 
mengusulkan untuk pindah ke merah  di hadapan para 
pengikut lain memang tidak pada tempatnya, pikir 
betari durga  saat  ia berjalan keliling kota. Ia tidak 
sakit, namun  secara berkala ia merasa seakan-akan bumi 
bergerak di bawah  kakinya. Dalam keadaan tak bisa 
tidur, cahaya matahari musim gugur terasa 
menyilaukan sekali. 
saat  ia melihat rumah perdikan  di kejauhan, 
kantuknya mendadak lenyap. Sambil tertawa  ia 
mempercepat langkahnya. 
"nyi momo ! nyi momo !" ia berseru, ia berada di kkertoarjo san 
tempat tinggal para pemanah, bukan daerah dengan 
gerbang beratap megah dan rumah-rumah besar, 
melainkan deretan pondok mungil dengan 
pekarangan rapi dan pagar kayu yang menimbulkan 
perasaan tenteram. 
Sudah kebiasaan betari durga  untuk bicara dengan 
suara keras, dan saat  ia tiba-tiba melihat sosok 
kekasihnya, yang tak dijumpainya selama beberapa 
waktu, ia melambaikan tangan dan bergegas tanpa 
menutup-nutupi perasaannya. Sikapnya begitu men-
colok, hingga semua orang di sekitar tentu bertanya-
tanya apa yang terjadi. nyi momo  berbalik. wajahnya yang 
putih memperlihatkan keheranan. 
Cinta seharusnya merupakan rahasia yang ter-
  
pendam dalam lubuk hati paling dalam. Namun jika 
seseorang memanggil begitu keras, hingga semua 
tetangga membuka jendela, dan ayah-ibu di dalam 
rumah pun mendengarnya, tidaklah aneh bila seorang gadis lesbian jadi merasa malu. Sejak tadi nyi momo  berdiri di muka gerbang, menatap langit musim gugur. namun , saat  mendengar suara betari durga . wajahnya menjadi merah dan ia bersembunyi dengan rubuh gemetar di 
balik gerbang.  "nyi momo ! Ini aku, betari durga !" Suara betari durga  semakin lantang, dan ia bergegas mendekat. "Aku minta maaf sebab  kurang memperhatikanmu. Aku  sibuk sekali dengan tugas-tugasku." 
nyi momo  setengah bersembunyi di balik gerbang, namun   sebab  betari durga  sudah menyapanya, ia terpaksa  membungkuk dengan anggun. "Kesehatanlah yang harus diutamakan,'' katanya. 
"Ayahmu di rumah?" tanya betari durga . 
"Tidak. Ayah sedang pergi." 
dibandingkan  mengajak betari durga  masuk. nyi momo  memilih melangkah keluar.  
"Hmm, jika Tuan perdikan  sedang pergi..." 
betari durga  segera menyadari bahwa nyi momo  mungkin merasa kikuk. "Sebaiknya aku juga pergi saja." nyi momo  mengangguk, seakan-akan ia pun menganggapnya sebagai pemecahan terbaik. 
"Sebetulnya aku datang sebab  ingin tahu apakah 
brawirgo  mampir ke sini." 
"Tidak." nyi momo  menggelengkan kepala, namun  wajahnya  tersipu-sipu. "Dia datang ke sini, bukan?" "Tidak." "Betulkah?" 
Sambil mengamati capung merah yang beterbangan, betari durga  termenung sejenak. "Dia tidak mendatangi rumahmu sama sekali?"  
nyi momo  menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca.   "brawirgo  memancing kegusaran Yang Mulia dan  meninggalkan jenggala . Kau sudah dengar itu?"  "Ya." 
"Kau mendengarnya dari ayahmu?"  
Tidak." 
"Kalau begitu, siapa yang memberitahumu? Kau 
tidak perlu menutup-nutupinya. Dia dan aku ber-
sahabat. Apa pun yang dikatakannya padamu, itu tak 
jadi masalah. Dia datang ke sini. bukan?" 
"Tidak. Aku baru saja mengetahuinya lewat 
sepucuk surat." 
"Surat?" 
"Baru saja seseorang melemparkan sesuatu ke 
pekarangan di depan kamarku. Waktu aku keluar, aku 
menemukan sepucuk surat yang membungkus batu 
kecil. Surat itu berasal dari Tuan brawirgo ." saat  
bicara, suaranya terputus-putus. Ia mulai menangis 
dan berbalik membelakangi betari durga . Selama ini 
betari durga  selalu memandangnya sebagai wanita lesbian  
yang bijak dan cerdas, namun  sebetulnya  momo hanyalah seorang gadis lesbian. 
  
betari durga  sudah  menemukan segi lain dan ke-
indahan dan daya tarik yang terkandung dalam diri 
wanita lesbian  ini. "Maukah kau memperlihatkan 
suratnya padaku? Atau lebih baik jika aku tidak 
membacanya?" saat  betari durga  menanyakannya. 
nyi momo  mengeluarkan surat itu dari jubah  dan 
menyerahkannya tanpa ragu-ragu. 
Perlahan-lahan betari durga  membukanya. Tak salah lagi, itu memang tulisan tangan brawirgo . Isi surat itu sederhana saja, namun  bagi betari durga  surat itu mengungkapkan lebih banyak dibandingkan  yang tertulis. 
 Aku membunuh orang berpangkal, dan hari mi juga  aku harus meninggalkan provinsi Yang Mulia 
aidit . Pada suatu saat , aku memberikan 
nyawa   dan nasibku kepada cinta. namun , sesudah  membahasnya secara terhormat sebagai sesama laki-laki. kami memutuskan bahwa kau lebih beruntung dengan panembahan . Aku pergi dengan  mempercayakanmu ke tangannya. Tolong tunjukkan surat ini kepada Tuan perdikan , dan harap jangan membebani pikiranmu. Aku tidak tahu apakah kita  akan berjumpa lagi. 
 Air mata berjatuhan. nyi momo  dan brawirgo -kah yang  menangis? Tidak. betari durga  menyadari, air mata itu berasal dari matanya sendiri. 
 brojorejo  sudah  bersiap-siap menghadapi perang, dan terus melihatlihat gerak-gerik di kedhiri . namun  menjelang akhir tahun belum juga ada tanda-tanda bahwa aidit  akan menyerang. 
Rasa bimbang dan curiga mengusik ketenangan 
kedua ki raden, ayah dan anak. Kesulitan mereka 
dirambah lagi dengan hal lain. Mereka bukan saja 
membelot dari aidit , namun  juga dipandang dengan 
sikap bermusuhan oleh bekas sekutu mereka, marga 
mpu marijan  di kertanegara . 
Pada titik inilah desas-desus disebarkan di brojorejo . 
Komandan benteng kota manyaran dikabarkan ber-
sekongkol dengan aidit . dan akan menyerang 
brojorejo  dari belakang. 
manyaran merupakan perwakilan marga mpu marijan . 
Entah atas perintah orang-orang mpu marijan , atau sebab  
bersekongkol dengan aidit , tidaklah mustahil 
mereka melancarkan serangan. 
Desas-desus itu semakin gencar. Di antara para 
anggota marga ki raden dan  pengikut-pengikut 
mereka, tanda-tanda panik mulai tampak. Pendapat 
umum adalah bahwa mereka sebaiknya mengadakan serangan mendadak ke manyaran. Ayah dan anak. yang sudah  bersiap-siap bertahan di dalam benteng kota, akhirnya 
mengambil inisiatif. Dengan menggerakkan centeng  mereka pada malam hari, mereka berencana  menyerbu benteng kota manyaran pada pagi buta. Akan namun   desas-desus yang sama juga sudah  beredar di manyaran. dan menimbulkan kegelisahan  yang sama pula. Garnisun setempat segera berundak  dan mempersiapkan diri menghadapi serangan. Orang-orang ki raden menyerang, dan dalam  waktu singkat keberuntungan berpaling menentang 
centeng  yang bertahan. centeng  manyaran, tak 
sanggup menunggu bala bantuan dari kertanegara . Membakar benteng kota dan binasa dalam pertempuran di tengah kobaran api. 
centeng  brojorejo  berhasil menduduki benteng kota yang sudah  hangus. Kekuatan mereka pun sudah  berkurang setengah, akibat banyaknya korban yang berguguran. namun  mereka terus maju dan menyerbu reruntuhan yang berasap, sambil mengacungkan pedang, tombak, 
dan senapan. Semuanya melepaskan teriakan kemenangan. Pada saat itu, sejumlah penunggang kuda dan prajurit infanteri tiba dari brojorejo . Mereka berhasil  meloloskan diri dengan lari terpontang-panting. 
"Ada apa ini?" tanya brojolireng dengan heran. 
"centeng  aidit  bergerak cepat sekali. Entah 
bagaimana, dia mengetahui apa yang terjadi di sini, 
dan tiba-tiba saja dia membanjiri benteng kota dengan 
lebih dari seribu orang. Serangan mereka gencar 
sekali, dan tak dapat berbuat apa-apa!" Laki-laki yang 
cedera itu meneruskan laporannya. terengah-engah 
menarik napas, dan mengakhirinya dengan berkata 
bahwa bukan saja benteng kota mereka berhasil direbut, 
namun  putra brojolireng pun, brojolijo, yang belum 
sembuh dari luka-lukanya, ditangkap dan dipancung. 
  
brojolireng, yang baru saja mengumandangkan 
nyanyian kemenangan, membisu. Daerah sekitar 
benteng kota manyaran, yang baru digempur direbutnya, 
hanya tersisa puing-puing hangus tak berpenghuni.  
"Ini kehendak para dewa!" Sambil berseru, ia 
mengambil pedang dan membelah perutnya. Sungguh 
mengherankan bahwa ia menyalahkan para dewa. 
padahal nasibnya ditemukan oleh ulahnya sendiri. 
Dalam satu hari aidit  berhasil menundukkan 
brojorejo  dan manyaran. betari durga  menghilang entah ke mana sesudah  pekerjaan perbaikan tembok pertahanan  selesai, dan tidak terlihat selama beberapa waktu. 
Namun, begitu memperoleh kabar bahwa brojorejo  dan manyaran sudah jatuh di tangan jenggala , ia pun kembali  secara diam-diam. 
"Kaukah yang menyebarkan desas-desus di kedua 
belah pihak, sehingga mengakibatkan perselisihan di  antara musuh-musuh kita?" saat  ditanya. betari durga   hanya menggelengkan kepala dan tidak berkata apa-apa. 
 RAKYAT di Provinsi kertanegara  tidak menyebut ibu kota mereka dengan nama mantrijeron. Bagi mereka, kota itu  adalah Tempat Pemerintah, dan benteng kotanya dikenal  sebagai Istana. Para warga, mulai dari mpu kepenuwoan  dan  para anggota marga mpu marijan  sampai ke penduduk 
kota, percaya bahwa mantrijeron merupakan ibu kota provinsi terbesar di pantai timur. Kotanya diliputi  suasana aristokrat, dan orang-orang biasa pun meniru  gaya kota kekaisaran trowulan . 
Dibandingkan kedhiri , mantrijeron merupakan dunia lain. Suasana di jalan-jalannya dan tindak-tanduk para warga, bahkan kecepatan melangkah orang-orang, dan cara mereka berpandangan dan berbicara. Para warga mantrijeron tampak santai dan penuh percaya diri. Pangkat 
mereka tercermin dari kemewahan pakaian yang 
mereka kenakan, dan jika keluar rumah, mereka 
menutupi mulut dengan kipas. Seni musik, tari. dan 
sastra tumbuh subur. Ketenteraman yang terlihat pada  semua wajah berasal dari suatu mata air ketenangan di masa lampau. mantrijeron diberkahi. Jika cuaca sedang  baik, orang bisa melihat Gunung sonokeling; jika berkabut, 
alunan ombak terlihat di pohon-pohon cemara di Kuil 
Kiygunungselatandera. centeng  mpu marijan  amat  dan dusun nyi kembang . 
wilayah kekuasaan marga prabu kertoarjowardana   hanya merupakan 
provinsi bawah an. 
  
Dalam tubuhku mengalir darah prabu kertoarjowardana  , namun  aku 
berada di sini. mnagikut-pcngikutku di swaradwipa terus 
mempertahankan benteng kotaku. Provinsi pun tetap ada, 
namun sang Penguasa terpisah dari para pengikutnya... 
Siang-malam prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  memikirkan hal-hal ini, 
namun  ia takkan membicarakannya secara terbuka, ia 
merasa iba kepada para pengikutnya. namun , saat  
merenungkan keadaannya sendiri, ia bersyukur bahwa 
ia masih hidup. 
mpu mojosongo  baru berusia tujuh belas, namun  ia sudah  men-
jadi ayah. Dua tahun sesudah  upacara akil balignya, 
mpu marijan  mpu kepenuwoan  mengatur pernikahan mpu mojosongo  
dengan putrì seorang saudaranya. Putra mpu mojosongo  lahir di 
musim semi berikutnya, jadi umurnya belum men-
capai enam bulan. mpu mojosongo  sering mendengar tangis 
bayinya dari ruang tempat mejanya berada. Istrinya 
belum pulih dari persalinan dan masih dirkertoarjo t di 
ruang bersalin. 
Kalau ayah berusia tujuh belas tahun ini mendengar 
bayinya menangis, ia mendengar suara darah daging-
nya sendiri. namun  ia jarang menjenguk keluarganya, ia 
tidak memahami perasaan kasih sayang terhadap anak-
anak yang sering dibicarakan orang lain. Ia mencoba 
mencari perasaan ini di hatinya, dan memperolehi 
perasaan itu bukan hanya cuma sedikit, melainkan 
benar-benar sangat tipis. Sadar akan kekurangannya 
sebagai suami dan ayah, ia merasa kasihan pada istri 
dan anaknya. Namun, setiap kali ia merasa demikian, 
rasa ibanya tidak ditujukan pada keluarganya sendiri, 
  
melainkan kepada para pengikutnya yang jatuh miskin 
dan terhina di swaradwipa. 
Setiap kali memaksakan diri untuk memikirkan 
putranya, ia jadi sedih. Tak lama lagi dia akan 
menempuh perjalanan melewati hidup yang getir, dan 
akan mengalami kemelaratan yang sama seperti aku. 
Pada usia lima tahun, mpu mojosongo  dikirim sebagai 
sandera kepada marga sinuhun . saat  mengenang 
kesengsaraan yang sudah  dilaluinya, mau tak mau ia 
menaruh belas kasihan pada bayinya yang baru lahir. 
Kesedihan dan tragedi kehidupan manusia pasti akan 
dialami juga oleh anaknya. Namun sekarang ini, dari 
luar, orang-orang hanya melihat bahwa ia dan 
keluarganya mendiami rumah yang tak kalah mewah 
dari rumah orang-orang lmagkertoarjo . 
Apa itu? mpu mojosongo  keluar ke teras. Seseorang di luar 
sudah  menarik tanaman rambat yang tumbuh di 
pohon-pohon di pekarangan, dan memanjat ke atas 
tembok. 
"Siapa itu?" mpu mojosongo  berseru. Kalau orang itu berniat 
buruk, ia tentu akan kabur. Namun tidak terdengar 
suara langkah. mpu mojosongo  mengenakan sandal dan me-
lewati gerbang belakang. Seorang laki-laki sedang 
menyembah, seakan-akan sudah  menanti kedatangan-
nya. Sebuah keranjang anyaman berikut tongkat ter-
geletak di sampingnya. 
"Jinshichi?" 
"Sudah lama sekali, tuanku." 
Empat tahun sebelumnya, saat  ia akhirnya men-
  
dapat izin dari mpu kepenuwoan . mpu mojosongo  pernah kembali ke 
swaradwipa untuk berziarah ke makam para leluhurnya. 
Dalam perjalanan itu salah seorang pengikut, Udono 
Jinshichi, menghilang. mpu mojosongo  terharu saat  melihat 
keranjang dan tongkat dan  sosok Jinshichi yang sudah  
berubah. 
"Kau menjadi biksu pengembara." 
"Ya, ini penyamaran yang baik untuk berkeliling 
negeri."  
"Kapan kau tiba di sini?" 
"Baru saja. Hamba ingin menemui tuanku sebelum 
berangkat lagi."  
"Empat tahun sudah  berlalu. Aku menerima laporan-
laporanmu, namun  sebab  tidak memperoleh kabar darimu 
sesudah  kau berangkat ke blambangan , aku menyangka yang 
terburuk sudah  terjadi." 
"Hamba terperangkap dalam perang saudara di 
blambangan , dan selama beberapa waktu, pengamanan di 
pos-pos perbatasan sangat ketat." 
"Kau mengunjungi blambangan ? Waktunya tepat sekali." 
"Hamba tinggal di Banyuwangi  selama satu tahun. 
Seperti tuanku ketahui, benteng kota pangeran minakjinggo  di-
hancurkan, dan kini ronggolawe  yang menjadi 
penguasa blambangan . sesudah  keadaan mulai tenang, hamba 
pindah ke trowulan  dan radenkanjeng , melewati provinsi-
provinsi utara dan melanjutkan perjalanan ke jenggala ." 
"Kau pergi ke kedhiri ?" 
"Ya, hamba berada di sana selama beberapa saat." 
"Berceritalah. Walaupun aku berada di mantrijeron, aku 
  
bisa menduga apa pmg akan terjadi di blambangan , namun  
situasi marga sinuhun  tidak semudah itu memperkirakan." 
"Apakah hamba perlu menulis laporan dan 
menyerahkannya nanti malam?"  
"Jangan, jangan secara tertulis." mpu mojosongo  berpaling ke 
gerbang belakang, namun  rupanya ia masih memikirkan 
sesuatu. 
Jinshichi merupakan mata dan telinga yang meng-
hubungkannya dengan luar. Sejak berusia lima tahun, 
mpu mojosongo  tinggal bersama marga sinuhun , dengan orang-
orang mpu marijan , berpindah-pindah dalam pengasingan 
di provinsi musuh. Sebagai sandera, ia tak pernah 
mengenal kebebasan, sampai sekarang pun keadaan-
nya belum berubah. Mata, telinga, dan jiwa seorang 
sandera tertutup, dan jika ia tidak berusaha sendiri, 
tak ada yang menegur maupun memberi semangat 
padanya. Walaupun demikian, justru sebab  ter-
kungkung sejak masa kanak-kanak, mpu mojosongo  menjadi 
ambisius. 
Empat tahun yang lalu, ia mengutus Jinshichi ke 
provinsi-provinsi lain agar ia dapat mengetahui apa 
saja yang terjadi di dunia suatu tanda awal  ambisi 
mpu mojosongo  yang semakin berkembang. "Kita akan terlihat 
di sini, dan kalau kita masuk ke rumah, para 
pengikutku akan curiga. Kita ke sana saja." Dengan 
langkah panjang mpu mojosongo  berjalan menjauhi rumahnya. 
Tempat kediaman mpu mojosongo  berada di salah satu daerah 
paling sepi di mantrijeron. Jika berjalan menjauhi tembok 
luar, dalam waktu singkat orang sudah sampai ke tepi 
  
Sungai Abe. Waktu mpu mojosongo  masih kanak-kanak yang 
terus digendong oleh para pengikutnya, ia selalu 
dibawa   ke Sungai Abe kalau ia mengatakan ingin 
bermain di luar. Aliran sungai itu tak pernah berhenti, 
dan tepiannya seakan-akan tak pernah berubah. 
Pemandangan ini membawa   banyak kenangan bagi 
mpu mojosongo . 
"Jinshichi, lepaskan tali perahu," ujar mpu mojosongo  sambil 
melangkah ke sebuah perahu kecil. Pada waktu 
Jinshichi menyusulnya dan mendorong galah, perahu 
itu mengambang menjauhi tepi sungai, seperti daun 
bambu terbawa   arus. Junjungan dan pengikut ber-
bicara dengan bebas, sadar bahwa untuk pertama kali 
mereka terlindung dari pandangan orang. Dalam 
tempo satu jam, mpu mojosongo  menyerap seluruh informasi 
yang dikumpulkan Jinshichi dalam pengembaraannya 
selama empat tahun. Namun, selain apa yang 
dipelajari Jinshichi, masih ada sesuatu yang samar-
samar tersembunyi dalam hati mpu mojosongo . 
"Kalau orang-orang sinuhun  jarang menyerang provinsi 
lain dalam beberapa tahun terakhir berbeda dengan 
di masa kekuasaan mpu  margojoyo  itu berarti mereka 
sedang berbenah diri," ujar mpu mojosongo . 
"Tak peduli apakah orang-orang yang menentangnya 
merupakan kerabat atau pengikut. aidit  men-
curahkan perhatiannya secara penuh pada tugas itu. 
Dia menjatuhkan mereka yang harus dijatuhkan, dan 
mengusir mereka yang harus diusir. Dia hampir 
berhasil membersihkan kedhiri  dari orang-orang itu." 
  
"aidit  sempat menjadi bahan tertawa an orang-
orang mpu marijan . dan menurut kabar burung dia hanya 
anak manja yang bodoh." 
"Dia sama sekali bukan orang pandir seperti yang 
dikabarkan orang," kata Jinshichi. 
"Sudah lama aku menduga bahwa cerita itu hanya 
desas-desus jahat. namun  kalau mpu kepenuwoan  membicara-
kan aidit , dia mempercayai segala omong kosong 
itu, dan dia tidak menanggapinya sebagai ancaman." 
"Semangat tempur orang-orang jenggala  berbeda sama 
sekali dibandingkan dengan beberapa tahun yang 
lalu." 
"Siapa saja pengikut andalannya?" tanya mpu mojosongo . 
"varnajaya mpu wilihan sudah mati, namun  dia masih 
memiliki  sejumlah orang seperti nyoto  dijoyo , 
sekarmajimarijan  kartosuwirjo, dasna patih pitaloka , mpu wiragajah  ki ageng grani, dan 
patih ki abang . Baru-baru ini seorang laki-laki luar 
biasa bernama panembahan  betari durga  bergabung dengan-
nya. Orang itu berpangkat rendah, namun entah 
kenapa namanya sering menjadi buah bibir para 
penduduk kota." 
"Bagaimana pandangan orang-orang mengenai 
aidit ?" 
"Inilah yang paling mengherankan. Pada umumnya 
seorang penguasa provinsi mencurahkan perhatiannya 
untuk memerintah rakyatnya. Dan rakyat selalu 
tunduk pada junjungannya. namun  di jenggala  keadaannya 
berbeda." 
"Dari segi apa?" 
  
Jinshichi berpikir sejenak. "Entah bagaimana cara 
mengatakannya? Dia tidak melakukan hal-hal yang 
luar biasa, namun  selama ada aidit , rakyat jenggala  
merasa tenang menghadapi masa depan dan walau-
pun mereka sadar bahwa jenggala  sebuah provinsi kecil 
dan miskin dengan penguasa tak berharta, inilah 
anehnya, seperti penduduk sebuah provinsi kuat, 
mereka tidak takut perang maupun cemas mengenai 
masa depan mereka." 
"Hmm. Kira-kira apa sebabnya?" 
"Barangkali sebab  aidit  sendiri. Dia mem-
beritahu mereka apa saja yang terjadi hari ini dan apa 
yang akan terjadi besok, dan dia menentukan tujuan 
yang hendak mereka capai bersama-sama." 
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, tanpa 
bermaksud berbuat demikian, Jinshichi membanding-
kan aidit  yang berusia dua puluh lima tahun 
dengan mpu mojosongo  yang 9 tahun lebih muda. Dalam 
beberapa hal, mpu mojosongo  jauh lebih matang dibandingkan  
aidit  tak ada sifat kekanak-kanakan tersisa 
dalam dirinya. Keduanya menjadi dewasa dalam 
keadaan sulit, namun  sebetulnya  mereka tak dapat 
dibandingkan. Pada umur lima tahun mpu mojosongo  sudah  
diserahkan kepada musuh, dan kekejaman dunia sudah  
memicu  hatinya menjadi dingin. 
Perahu kecil itu membawa   Jinshichi dan mpu mojosongo  ke 
tengah sungai, dan waktu terus berjalan selama pem-
bicaraan rahasia mereka. sesudah  selesai, Jinshichi 
membawa   mereka kembali ke tepi. 
  
Jinshichi cepat-cepat memikul keranjang dan 
meraih tongkatnya, ia mohon diri dan berkata. 
"Hamba akan menyampaikan pesan tuanku kepada 
para pengikut. Masih ada lagi, tuanku?" 
mpu mojosongo  berdiri di tepi sungai, langsung cemas kalau-
kalau mereka akan terlihat. "Tak ada. Pergilah cepat." 
Sambil menganggukkan kepala untuk menyuruh 
Jinshichi berangkai, ia tiba-tiba berkata, "Beritahu 
mereka bahwa aku sehat-sehat saja tak sekali pun aku 
jatuh sakit." lalu  ia berjalan ke rumahnya 
seorang diri. 
Para pelayan istrinya sudah  mencarinya ke mana-
mana, dan saat  mereka melihatnya kembali dari 
sungai, salah seorang berkata. "Tuan Putri sedang 
menunggu, berkali-kali kami disuruh mencari tuanku. 
Tuan Putri sangat mencemaskan tuanku." 
"Ah, begitukah?" ujar mpu mojosongo . "Tenangkan dia dan 
katakan padanya bahwa aku segera datang." sesudah  itu 
ia pergi ke kamarnya sendiri. saat  duduk, ia 
menemukan pengikut lain, Sakakibara Heishichi, 
sudah  menantinya. 
"Tuanku habis berjalan-jalan ke tepi sungai?" 
"Ya... untuk mengisi waktu. Ada apa?" 
"Seorang kurir datang." 
"Dari mana?" 
Tanpa menjawab , Heishichi menimbang  sepucuk 
surat yang dikirim oleh patih wungu. Sebelum membuka 
sampulnya, dengan penuh hormat mpu mojosongo  menempel-
kannya ke kening. patih wungu adalah biksu aliran Zen yang 
  
bertindak sebagai instruktur militer untuk marga 
mpu marijan . Bagi mpu mojosongo , ia merupakan guru, baik dalam 
hal mempelajari kitab-kitab maupun ilmu bela diri. 
Suratnya ringkas: 
 
Ceramah rutin untuk Yang Mulia dan tamu-tamunya 
akan diberikan malam ini. Tuan akan ditunggu di 
gierbang Barat Laut Istana. 
 
Hanya itu. namun   kata "rutin" merupakan kata sandi 
yang sangat dikenal mpu mojosongo . Kata itu menunjuk-kan 
bahwa mpu kepenuwoan  dan para resi nya bertemu untuk 
membahas rencana menuju ibu kota. 
"Mana kurirnya?"  
"Ia sudah pergi. Apakah tuanku akan pergi ke 
Istana?" 
"Ya." jawab  mpu mojosongo , sibuk dengan pikirannya sendiri. 
"Hamba menduga tak lama lagi rencana menuju ibu 
kota akan diumumkan." Beberapa kali Heishichi 
sempat mendengarkan rapat penting dewan perang 
yang membahas masalah itu. Ia mengamati wajah 
mpu mojosongo . mpu mojosongo  menggumamkan sesuatu, seakan-akan 
tidak tertarik. 
Penilaian orang-orang mpu marijan  perihal kekuatan 
jenggala  dan mengenai aidit  sangat berbeda dari 
apa yang baru saja dilaporkan Jinshichi. mpu kepenuwoan  
merencanakan memimpin centeng  besar, yang me-
rupakan gabungan kekuatan Provinsi kertanegara , wirogeni. 
dan dusun nyi kembang  ke ibu kota, dan mereka menduga akan 
  
memperoleh perlawan an di jenggala . 
"Kalau kita maju dengan centeng  besar, aidit  
akan menyerah tanpa penumpahan darah." 
Pandangan dangkal ini dikemukakan oleh beberapa 
anggota dewan perang, namun meski mpu kepenuwoan  dan 
para penasihatnya, termasuk patih wungu tidak menganggap 
aidit  demikian rendah, tak seorang pun dari 
mereka memandang jenggala  seserius mpu mojosongo . Ia pernah 
mengutarakan pendapatnya, namun  disambut dengan 
tawa  mengejek. Bagaimanapun, mpu mojosongo  hanyalah 
seorang sandera yang masih muda, dan oleh para 
panglima ia tidak dipandang sebelah mata. 
Perlukah aku menyinggung hal ini nanti? Biarpun 
masalah ini kutekankan... 
mpu mojosongo  sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, 
dengan surat dari patih wungu di hadapannya, saat  seorang 
dayang tua menyapanya dengan pandangan cemas. 
Istrinya sedang gundah, kata wanita lesbian  tua itu, dan 
mpu mojosongo  diminta menjenguknya sejenak saja. 
Istri mpu mojosongo  wanita lesbian  yang hanya memikirkan diri 
sendiri. Ia sama sekali tak peduli pada masalah negara 
dan situasi suaminya. Tak ada yang mengusik pikiran-
nya selain urusan sehari-hari dan  perhatian suaminya. 
Dayang tua tadi memahami ini, dan saat  ia melihat 
mpu mojosongo  masih berbicara dengan seorang pengikutnya, ia 
menunggu dengan gelisah sambil membisu, sampai 
pelayan wanita lesbian  lain menyusul dan berbisik ke 
telinganya. Si dayang tak punya pilihan. Sekali lagi ia 
memotong pembicaraan dan berkata, "Ampun, 
  
tuanku... Maafkan hamba atas kelancangan ini, namun  
Tuan Putri sangat rewel." Sambil membungkuk ke 
arah mpu mojosongo , ia mendesaknya dengan takut-takut agar 
segera menemui istrinya. 
mpu mojosongo  sadar bahwa tak ada yang lebih disulitkan 
oleh situasi ini dibandingkan  para pelayan istrinya, 
sedangkan ia sendiri laki-laki sabar. "Ah, baiklah." kata-
nya sambil menoleh. Lalu ia berkata pada Heishichi, 
"Hmm... lakukan persiapan yang diperlukan, dan 
beritahu aku kalau sudah waktunya." Ia berdiri. Kedua 
wanita lesbian  di hadapannya berlari dengan langkah 
kecil-kecil, ekspresi wajah mereka seperti orang yang 
baru saja terselamatkan dari bencana. 
Bagian dalam rumahnya berjarak cukup jauh, jadi 
bukan tanpa alasan jika istrinya sering rindu untuk 
bertemu dengannya. sesudah  melewati banyak belokan 
di selasar tengah yang beratap, akhirnya ia sampai di 
ruang pribadi istrinya. 
Pada hari pernikahan mereka, pakaian si pengantin 
pria miskin dari dusun nyi kembang  tak dapat mengimbangi 
kemewahan dan kegemerlapan baju Putri Tsukiyama. 
putri angkat mpu marijan  mpu kepenuwoan . "Laki-laki dari 
dusun nyi kembang " menyandang sebutan itu, mpu mojosongo  menjadi 
sasaran celaan marga mpu marijan . Dan dari tempat 
tinggalnya yang terpisah, istri mpu mojosongo  memandang hina 
para pengikut dari dusun nyi kembang , namun  membanjiri suaminya 
dengan curahan cinta yang buta dan berpangkal pada 
diri sendiri, ia juga lebih tua dibandingkan  mpu mojosongo . Dalam 
batas-batas kehidupan suami-istri yang hambar, Putri 
  
Tsukiyama menganggap mpu mojosongo  tak lebih dari seorang 
pemuda penurut yang berutang nyawa   pada orang-
orang mpu marijan . 
sesudah  melahirkan di musim semi sesudah per-
nikahan mereka, ia semakin mementingkan diri 
sendiri. Setiap hari ia memperlihatkan kekerasan hati-
nya. 
"Oh, kau sudah bangun. Keadaanmu sudah lebih 
baik?" mpu mojosongo  menatap istrinya, dan sambil bicara, 
hendak membuka pintu geser. Pikirnya, jika istrinya 
melihat keindahan warna-warni dan langit musim 
gugur, suasana batinnya akan lebih cerah. 
Putri Tsukiyama duduk di ruang tamu dengan 
ekspresi dingin pada wajahnya yang pucat kelabu, ia 
mengerutkan alis sambil berkata, "Biarkan tertutup!" 
Ia tidak seberapa cantik, namun , seperti umumnya para 
wanita lesbian  yang dibesarkan di lingkungan keluarga 
kaya, kulitnya berkilau lembut. Disamping itu, baik 
wajahnya maupun ujung-ujung jarinya begitu putih, 
hingga hampir tembus cahaya, mungkin sebab  ia 
baru pertama kali melahirkan. Kedua tangannya ter-
lipat rapi di pangkuan. 
"Silakan duduk, tuanku. Ada sesuatu yang ingin 
kutanyakan." Mata dan nada suaranya sedingin abu. 
namun  sikap mpu mojosongo  sama sekali bukan seperti yang 
diharapkan dari seorang suami muda perlakuan 
lemah lembut terhadap ini lebih panras bagi laki-laki 
yang sudah  matang. Atau mungkin ia memiliki  
pandangan tertentu mengenai wanita lesbian , sehingga 
  
orang yang seharusnya paling disayangi justru dinilai-
nya secara objektif. 
"Ada apa?" ia bertanya sambil duduk di hadapan 
istrinya, seperti yang diminta. Namun, semakin patuh 
mpu mojosongo , semakin tak masuk akal sikap yang diperlihat-
kan istrinya. 
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Apakah 
tuanku pergi ke luar beberapa saat yang lalu? Seorang 
diri, tanpa pelayan?" Matanya mulai berkaca-kaca. 
Darah mulai naik ke wajahnya yang masih kurus 
akibat persalinan. mpu mojosongo  mengetahui keadaan 
kesehatannya maupun wataknya, dan ia tersenyum, 
seolah-olah hendak menghibur bayi. 
"Beberapa saat yang lalu? Aku bosan membaca, jadi 
aku berjalan-jalan menyusuri tepi sungai. Kapan-kapan 
kau juga harus ke sana. Warna-warni musim gugur 
diiringi bunyi serangga suasana di tepi sungai sangat 
menyenangkan pada musim ini." 
Putri Tsukiyama tidak mendengarkan. Ia menatap 
lurus ke arah suaminya, menegurnya tanpa kata, 
sebab  lelah berbohong. Ia duduk tegak dengan sikap 
tak peduli, namun  tanpa sikap sibuk sendiri seperti 
biasanya. "Aneh. Kalau kau pergi untuk mendengar-
kan suara serangga dan mengagumi warna-warni 
musim gugur, mengapa kau harus naik perahu ke 
tengah sungai dan bersembunyi begitu lama?" 
"Aha... ternyata kau mengetahuinya." 
"Mungkin aku memang terkungkung di sini, namun  
aku tahu segala sesuatu yang kaulakukan." 
  
"Begitukah?" mpu mojosongo  memaksakan senyum, namun  tidak 
menyinggung pertemuannya dengan Jinshichi. 
Walaupun wanita lesbian  ini sudah  menikah dengan-
nya, mpu mojosongo  tak sanggup mepercayakan diri bahwa ia 
betul-betul istrinya. Jika pengikut atau kerabat ayah 
angkatnya berkunjung, Putri Tsukiyama akan men-
ceritakan segala sesuatu yang diketahuinya, dan ia pun 
terlibat surat-menyurat dengan rumah tangga 
mpu kepenuwoan . mpu mojosongo  harus lebih berhati-hati terhadap 
kecerobohan istrinya dibandingkan  terhadap mata-mata 
mpu kepenuwoan . 
"sebetulnya  aku menaiki perahu di tepi sungai 
tanpa pikir panjang. Kusangka aku sanggup 
mengemudikan perahu, namun  waktu perahunya terbawa   
arus, aku tak dapat berbuat apa-apa." Ia tertawa . "Persis 
seperti anak kecil. Di mana kau waktu melihatku?" 
"Kau bohong. Kau tidak sendirian, bukan?"  
"Hmm, beberapa saat lalu  seorang pelayan 
menyusulku." 
"Tidak, tidak. Tak ada alasan untuk mengadakan 
pertemuan rahasia di dalam perahu dengan seseorang 
yang kelihatan seperti pelayan." 
"Siapa yang menyampaikan omong kosong ini pada-
mu?" 
"Walaupun aku terkurung di sini, masih ada orang 
setia yang memikirkanku. Kau punya gundik, bukan? 
Atau kalau bukan itu, barangkah kau sudah bosan 
denganku, dan berencana melarikan diri ke dusun nyi kembang . 
Menurut desas-desus yang beredar, kau sudah  mem-
  
peristri wanita lesbian  lain di swaradwipa. Kenapa kau 
menyembunyikannya dariku? Aku tahu kau menikahi-
ku hanya sebab  takut terhadap marga mpu marijan ." 
Tepat pada waktu tangisnya meledak, Sakakibara 
Heishichi muncul di ambang pintu. "Tuanku, kuda 
tuanku sudah siap. Sudah hampir waktunya. 
"Kau mau pergi?" Sebelum mpu mojosongo  sempat menjawab . 
Putri Tsukiyama mendahuluinya. "Belakangan ini kau 
semakin sering keluar pada malam hari, jadi ke mana 
lagi kau hendak pergi sekarang?" 
"Ke Istana." Tanpa mengacuhkan istrinya, mpu mojosongo  
mulai berdiri. 
namun  Putri Tsukiyama tidak puas dengan jawaban pasti 
singkatnya. Kenapa suaminya harus ke Istana malam-
malam begini? Dan apakah ia akan pergi sampai 
tengah malam, seperti biasanya? Siapa yang akan 
menyertainya? Ia mengajukan pertanyaan demi per-
tanyaan. 
Sakakibara Heishichi menunggu majikannya di luar 
pintu, dan walaupun ia hanya seorang pengikut, ia 
mulai tak sabar. mpu mojosongo , sebaliknya, menenangkan 
istrinya dengan riang, dan akhirnya berangkat. Putri 
Tsukiyama mengabaikan peringatan mpu mojosongo  bahwa ia 
akan sakit lagi, dan mengantar suaminya sampai ke 
pintu. 
"Pulanglah secepatnya," ia memohon, seluruh cinta 
dan kesetiaannya tercurah dalam kata-kata itu. 
Sambil membisu, mpu mojosongo  berjalan ke gerbang utama. 
Namun, saat  ia berangkat, disaksikan bintang-
  
bintang di langit dan diterpa angin sejuk, ia 
mengusap-usap bulu tengkuk kudanya dan suasana 
hatinya berubah sama sekali suatu bukti bahwa darah 
muda mengalir dalam tubuhnya. "Heishichi. Seperti-
nya kita akan terlambat, bukan?" mpu mojosongo  serunya.  
"Tidak. Dalam surat itu tidak tercantum jam ter-
tentu, jadi bagaimana kira bisa terlambat?" 
"Bukan itu masalahnya. Meski patih wungu sudah tua, dia 
tak pernah terlambat. Aku akan merasa pedih jika 
aku, sebagai anak muda dan seorang sandera, 
terlambat muncul pada suatu pertemuan sementara 
para pengikut senior dan patih wungu sudah hadir. Cepat-
lah," ia berkata, dan memacu kudanya. 
Selain seorang tukang kuda dan tiga pelayan. 
Heishichi-lah satu-satunya pengikut yang menyertai 
mpu mojosongo . saat  Heishichi berupaya mengimbangi kuda 
majikannya, ia menitikkan air mata bagi mpu mojosongo  yang 
sudah memperlihatkan kesabaran pada istrinya dan 
kepatuhan pada Istana artinya, pada mpu marijan  
mpu kepenuwoan  padahal sikap itu tentu sangat menyakit-
kan baginya. 
Sebagai pengikut, ia sudah  bersumpah untuk 
melepaskan junjungannya dari segala belenggu, ia 
harus membebaskan mpu mojosongo  dari posisinya sebagai 
bawah an dan mengembalikannya ke kedudukan 
sebagai penguasa dusun nyi kembang . Dan bagi Heishichi, setiap 
hari yang berlalu tanpa mencapai tujuan merupakan 
satu hari penuh ketidaksetiaan.  
Ia terus berlari, menggigit-gigit bibir sambil berikrar, 
  
dengan mata berkaca-kaca. 
Selokan pertahanan mulai terlihat. sesudah  mereka 
menyeberangi jembatan, k ada lagi toko-toko dan 
rumah rakyat jelata. Diapit oleh pohon-pohon 
dinding-dinding putih dan gerbang-gerbang megah 
kediaman atau kerja orang-orang mpu marijan  tampak 
berderet-deret. "Bukankah itu si Penguasa dusun nyi kembang ? 
Tuanku mpu mojosongo !" patih wungu berseru dari bayang-bayang 
pepohonan. 
Hutan pinus yang mengelilingi benteng kota merupakan 
lapangan militer di saat perang, namun  di masa damai 
jalan-jalan setapaknya yang panjang dan lebar diguna-
kan sebagai tempat berkuda. 
mpu mojosongo  segera turun dari kuda, dan membungkuk 
penuh hormat ke arah patih wungu.  
"Terima kasih atas kesediaan memenuhi undangan 
kami, Yang Mulia." 
"Pesan-pesan ini selalu datang secara mendadak. 
Tuan tentu direpotkan sekali." 
"Sama sekali tidak." patih wungu seorang diri. Kakinya 
terbungkus sandal tua berukuran sebanding dengan 
tubuhnya, mpu mojosongo  mulai berjalan bersamanya, dan 
sebagai penghormatan pada gurunya, satu langkah di 
belakangnya, menyerahkan tali kekang pada 
Heishichi. 
saat  mendengarkan gurunya, mpu mojosongo  tiba-tiba 
dilanda rasa terima kasih yang tak dapai diungkapkan 
dengan kata-kata. Takkan ada yang menyangkal bahwa 
penahanan sebagai sandera oleh provinsi lain 
  
merupakan nasib buruk, namun  saat  merenungkannya, 
mpu mojosongo  menyadari bahwa kesempatan untuk belajar 
dari patih wungu justru merupakan suatu keberuntungan. 
Sukar sekali menemukan guru yang baik. 
Seandainya ia tetap di dusun nyi kembang , ia takkan pernah 
memperoleh kesempatan berguru pada patih wungu. Jadi. ia 
takkan pernah menerima pendidikan klasik dan 
militer yang dimilikinya sekarang ataupun latihan 
Zen yang dianggapnya pelajaran paling berharga yang 
ia peroleh dari patih wungu. 
Mengapa patih wungu, seorang biksu aliran Zen, mengabdi 
pada penguasa marga mpu marijan  dan bersedia menjadi 
penasihat militernya, menjadi tanda tanya bagi 
provinsi-provinsi lain, dan mereka menganggapnya 
agak ganjil. sebab  itu ada orang yang menjuluki 
patih wungu "biksu militer" atau "biksu duniawi", namun 
seandainya garis keturunannya diteliti, mereka akan 
menemukan bahwa ia masih tergolong kerabat 
mpu kepenuwoan . Meski demikian, mpu kepenuwoan  hanya 
mengujawa  kertanegara . wirogeni, dan dusun nyi kembang , sedangkan 
kemasyhuran patih wungu tidak mengenal batas; ia milik 
seluruh jagat raya. 
namun   patih wungu sudah  memakai  bakatnya untuk 
kepentingan orang-orang mpu marijan . Begitu melihat 
tanda-tanda bahwa orang-orang mpu marijan  akan kalah 
perang melawan  marga Hojo, biksu itu membantu 
kertanegara  merundingkan perjanjian damai yang tidak 
merugikan mpu kepenuwoan . Dan saat  ia mengatur 
pernikahan Hojo Ujimasa dengan salah seorang putri 
  
mpu ireng  mpu betarakatong , sang penguasa Kai, provinsi kuat di 
perbatasan utara, dan  pernikahan putri mpu kepenuwoan  
dengan putra mpu betarakatong , ia memperlihatkan kemampu-
an politik tinggi dengan mengikat ketiga provinsi itu 
sebagai sekutu. 
Ia bukan biksu yang menyendiri berbekal tongkat 
dan topi lusuh, ia bukan biksu Zen "murni". Bisa 
dikatakan bahwa ia biksu politik, biksu militer, atau 
bahkan biksu bukan biksu. Apa pun julukan yang 
diberikan padanya, keharuman namanya tak terusik. 
patih wungu selalu berbicara seperlunya, namun  satu hal yang 
dikatakannya pada mpu mojosongo  di pelataran Kuil Rinzai 
terus melekat di kepala mpu mojosongo . "Bersembunyi di gua. 
mengembara seorang diri seperti awan  dan air 
mengalir bukan itu saja yang membentuk seorang 
biksu besar. Tujuan seorang biksu selalu berubah-
ubah. Di dunia sekarang, hanya memikirkan pen-
cerahanku sendiri dan menjalani kehidupan seperti 
orang yang 'mencuri ketenteraman gunung dan 
padang', dan bersikap seakan-akan aku membenci 
dunia, merupakan penerapan ajaran Zen yang terlalu 
terfokus pada diri sendiri." 
Mereka menyeberangi Jembatan kedhiri  dan melewati 
Gerbang Barat Laut. Sukar dipercaya bahwa mereka 
berada di balik tembok sebuah benteng kota. Rasanya 
seperti istana sang pandita  dipindahkan ke sini. Ke 
arah Atago dan Kiygunungselatanzu, puncak Gunung sonokeling yang 
agung tampak samar di keremangan senja. Lampu-
lampu di relung-relung selasar yang membentang 
  
sejauh mata memandang sudah  dinyalakan. 
wanita lesbian -wanita lesbian  yang cantik bagaikan putri 
istana berlalu, membawa   kolo atau botol-botol anggur . 
 
"Siapa itu di pekarangan?" mpu marijan  mpu kepenuwoan  
menutupi wajahnya yang agak memerah dengan kipas 
berbentuk daun ginkgo. Ia baru saja melewati jembatan 
bulan sabit. Pelayan-pelayan yang meng-ikutinya pun 
mengenakan pakaian mewah dan menyandang 
pedang. 
Salah seorang pelayan kembali menyusuri selasar 
dan bergegas ke pelarangan. Seseorang menjerit. Bagi 
telinga mpu kepenuwoan , kedengarannya seperti suara 
wanita, jadi sebab  menganggapnya ganjil, ia berhenti. 
"Ke mana pelayan tadi?" mpu kepenuwoan  bertanya sesudah  
beberapa menit. "Dia belum kembali. Iyo, coba 
kaulihat." 
Iyo melangkah ke pekarangan. Walaupun dinamakan  
pekarangan, kkertoarjo san mi demikian luas hingga seakan-
akan membentang sampai ke kaki Gunung sonokeling. 
Bersandar pada sebuah pilar, mpu kepenuwoan  mengetuk-
ngetuk kipasnya dan bersenandung seorang diri. 
Ia cukup pucat untuk disangka wanita, sebab  
memakai  dandanan muka berwarna terang. 
Usianya empat puluh tahun, dan ia sedang di puncak 
kejayaannya sebagai laki-laki. mpu kepenuwoan  menikmati 
dunia dan kemakmurannya. Rambutnya ditata dengan 
gaya bawahan , giginya dihitamkan, dan di bawah  
hidungnya membentang kumis. Dalam dua tahun 
  
terakhir, berat badannya bertambah , dan sebab  
dilahirkan dengan badan panjang dan kaki pendek, ia 
kini tampak sedikit cacat. namun  pedangnya rang ber-
lapis emas dan pakaiannya yang mewah 
menyelubunginya dengan pancaran penuh martabat. 
Akhirnya seseorang kembali, dan mpu kepenuwoan  berhenti 
bersenandung. 
"Kaukah itu, lyo?" 
"Bukan, ini Ananda, patih baruna." 
patih baruna adalah putra dan pewaris mpu kepenuwoan . dan 
penampilannya menunjukkan bahwa ia tak pernah 
mengenal susah. 
"Mengapa kau berada di pekarangan menjelang 
senja?" 
"Ananda sedang memukul Chizu, dan waktu 
Ananda mencabut pedang, dia langsung kabur." 
"Chizu? Siapa Chizu?" 
"Dia gadis lesbian yang mengurus burung-burung Ananda."  
"Seorang pelayan?" 
"Ya." 
"Apa yang dilakukannya hingga kau terpaksa 
menghukumnya dengan tanganmu sendiri?" 
"Dia menjengkelkan. Dia bertugas memberi makan 
seekor burung langka yang dikirimkan pada Ananda 
dari trowulan , dan dia membiarkannya lepas." patih baruna 
berkata dengan sungguh-sungguh. Ia sangat 
menyayangi burung hias. Sudah menjadi rahasia 
umum di kalangan bawahan  bahwa jika seseorang 
menemukan seekor burung langka dan mengirim-
  
kannya pada patih baruna. patih baruna akan bahagia sekali. 
Jadi, tanpa perlu mengangkat jari, ia sudah  menjadi 
pemilik koleksi burung dan kandang yang luar biasa. 
Menurut kabar angin, ia lebih mementingkan burung 
dibandingkan  nyawa   manusia. patih baruna begitu murka, 
seakan-akan urusannya merupakan masalah negara 
yang sangat penting. 
Sebagai ayah yang sabar, mpu kepenuwoan  hanya meng-
gerutu kecewa saat  menghadapi amarah konyol yang 
diperlihatkan putranya. Meski patih baruna pewarisnya, 
sesudah  menunjukkan ketololan seperti ini, para 
pengikut takkan memandangnya sebelah mata. 
"Bodoh!" seru mpu kepenuwoan , berniat mengungkapkan 
kasih sayangnya yang mendalam. "patih baruna. berapa 
usiamu? Upacara akil baligmu sudah lama berlalu. 
Kau pewaris marga mpu marijan . namun  kau tidak berbuat 
apa-apa selain menghibur diri dengan memelihara 
burung. Kenapa kau tidak melakukan meditasi Zen, 
atau mempelajari perjanjian-perjanjian militer?" 
Dibentak begitu oleh seorang ayah yang hampir tak 
pernah memarahinya. patih baruna menjadi pucat dan 
terdiam. Pada dasarnya, ia menganggap ayahnya 
mudah ditangani, namun pada usianya sekarang ia 
juga sudah dapat mengamati tindak-tanduk ayahnya 
secara kritis. Kini, dibandingkan  berdebat, ia memilih 
merengut dan mendongkol. Ini pun dipandang 
sebagai kelemahan oleh mpu kepenuwoan . Ia sangat 
menyayangi putranya yang tolol, dan ia sadar bahwa ia 
tak pernah memberi contoh baik bagi patih baruna. 
  
"Cukup. Mulai sekarang kau harus lebih mengekang 
diri. Bagaimana, patih baruna?" 
"Ya." 
"Kenapa kau kelihatan kecewa?"  
"Ananda tidak kecewa." 
"Hmm, kalau begitu, pergilah! Ini bukan waktunya 
memelihara burung."  
"Baiklah, namun ..." 
"Apa yang ingin kaukatakan?"  
"Apakah sekarang waktunya untuk minum anggur  
bersama wanita lesbian -wanita lesbian  dari trowulan , dan  
menari dan memukul gendang sepanjang sore?" 
"Jaga mulutmu!" 
"namun , donosukomerto
 
 
 
..."  
"Diam!" mpu kepenuwoan  berkata sambil melemparkan 
kipasnya ke arah patih baruna. 
"Mestinya kau lebih tahu diri. Bagaimana aku bisa 
mengangkatmu sebagai pewarisku, kalau kau tidak 
memperlihatkan minat pada masalah militer dan tidak 
mau mempelajari seluk-beluk pemerintahan dan 
ekongunungselatan? Ayahmu mendalami Zen saat  masih 
muda, melalui segala macam kesulitan, dan 
mengambil bagian dalam pertempuran yang tak ter-
hitung jumlahnya. Kini aku penguasa provinsi kecil 
ini, namun  suatu hari nanti aku akan memerintah 
seturuh negeri. Kenapa aku diberin putra yang begitu 
kecil hati dan bercita-cita kerdil? Tak ada yang patut 
kukeluhkan selain kekecewaanku terhadapmu." 
Para pengikut mpu kepenuwoan  gemetar ketakutan di 
  
selasar. Mereka masing-masing menatap lantai sambil 
membisu. Bahkan patih baruna pun menundukkan kepala 
dan memandang kipas ayahnya yang tergeletak di 
kakinya. 
Pada saat itu seorang centeng adipati  masuk dan 
mengumumkan. "Yang terhormat Tuan patih wungu, Tuan 
mpu mojosongo , dan para pengikut senior menanti tuanku di 
Paviliun Jeruk Mandarin." 
Paviliun Jeruk Mandarin didirikan di lereng bukit 
yang ditumbuhi pohon jeruk mandarin, dan ke 
sanalah mpu kepenuwoan  mengundang patih wungu dan para 
penasihat lainnya, dengan alasan mengadakan upacara 
teh pada malam hari. 
"Ah! Begitukah? Semuanya sudah datang? Sebagai 
tuan rumah, tidak sepatutnya aku terlambat." 
mpu kepenuwoan  berkata seakan-akan terselamatkan dari 
konfrontasi dengan putranya, lalu menyusuri selasar 
ke arah berlawan an. 
Sejak semula upacara minum teh itu hanya tipu 
muslihat belaka. Namun bayangan menari-nari yang 
dimuncul kan oleh cahaya lentera menyelubungi tempat 
itu dengan suasana anggun, cocok untuk upacara 
minum teh pada malam hari. namun  begitu mpu kepenuwoan  
masuk dan pintu-pintu ditutup, para pengawal  
menerapkan pengawasan  yang begitu ketat, sehingga 
air pun tak dapat menyusup tanpa diketahui. 
"Yang Dipertuan Agung." Seorang pengikut 
mengumumkan kedatangan junjungannya, seakan-
akan mengumumkan kedatangan seorang raja. Di 
  
dalam ruangan besar itu, sama seperti di kuil-kuil. 
sebuah lentera redup berkelip-kelip. patih wungu dan para 
pengikut senior duduk membentuk barisan, dengan 
prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  di ujungnya. Barisan orang itu mem-
bungkuk ke arah junjungan mereka. 
Pakaian sutra mpu kepenuwoan  terdengar berdesir dalam 
keheningan. Ia mengambil tempat duduk, tanpa di-
dan i pelayan maupun pembantu. Kedua pem-
bantunya menjaga jarak dua atau tiga meter di 
belakangnya. 
"Maafkan keterlambatanku," mpu kepenuwoan  menang-
gapi salam para pengikutnya. lalu , secara 
khusus ia berkata pada patih wungu. "Ini tentu merupakan 
beban bagi Yang Terhormat." Belakangan ini 
mpu kepenuwoan  selalu menanyakan kesehatan patih wungu pada 
waktu mereka bertemu. Sudah sejak lima atau enam 
tahun ini patih wungu sering sakit-sakitan, dan dalam bulan-
bulan terakhir terlihat jelas bahwa ia bertambah  tua. 
patih wungu sudah  membimbing, melindungi, dan 
mengilhami mpu kepenuwoan  sejak masa kanak-kanaknya. 
mpu kepenuwoan  menyadari bahwa ia mencapai kejayaannya 
berkat keahlian patih wungu sebagai negarawan , dan  
kemampuannya menyusun rencana. Jadi, mula-mula 
mpu kepenuwoan  merasakan pertambah an usia patih wungu seperti 
pertambah an usianya sendiri, namun  saat  mengetahui 
bahwa kekuatan marga mpu marijan  tidak berkurang 
sebab  tidak mengandalkan patih wungu, dan bahwa 
kekuatannya justru semakin berkembang, ia mulai 
percaya bahwa keberhasilannya merupakan akibat dari 
  
kemampuannya sendiri. 
"sebab  aku kini sudah  dewasa.'' mpu kepenuwoan  pernah 
berkata pada patih wungu. "jangan risaukan urusan 
pemerintahan provinsi atau urusan militer. Nikmati-
lah sisa waktumu, dan pusatkanlah pikiranmu pada 
penyebaran Jalan zoroaster ." Jelaslah bahwa ia mulai 
mengambil jarak terhadap patih wungu. 
Namun dari sudut pandang patih wungu, mpu kepenuwoan  
mirip  anak kecil yang terseok-seok, dan ia 
merasakan keprihatinan yang sama. patih wungu 
memandang mpu kepenuwoan  persis seperti mpu kepenuwoan   memandang putranya, patih baruna. patih wungu menganggap  mpu kepenuwoan  tak dapat diandalkan. Ia tahu bahwa mpu kepenuwoan  merasa kikuk dengan kehadirannya dan 
sudah  berupaya menjauhkannya, namun  ia terus berusaha membantu, baik dalam urusan pemerintahan maupun  militer. Sejak awal  musim semi tahun itu, tak satu pun dari kesepuluh pertemuan di Paviliun Jeruk Mandarin 
yang tidak diikutinya. 
Apakah mereka akan bergerak sekarang, atau 
menunggu sedikit lebih lama? Pertemuan ini akan 
menentukannya, dan masa depan seluruh marga 
mpu marijan  tergantung pada keputusan yang akan diambil. Diiringi suara jangkrik, pertemuan yang akan  mengubah peta kekuasaan seluruh negeri berlangsung  di bawah  pengamanan ketat. saat  nyanyian serangga tiba-tiba terhenti, para pengawal  langsung mondar-mandir menyusuri semak-semak di luar paviliun. 
  "Sudahkah kau menyelidiki apa yang kita bicarakan  pada penemuan terakhir?" mpu kepenuwoan  bertanya pada salah seorang resi nya. resi  itu merentangkan beberapa dokumen di 
lantai dan membuka penemuan dengan memberi 
penjelasan secara garis besar. Ia sudah  menyusun 
laporan mengenai kekuatan militer dan ekongunungselatan 
marga sinuhun . "Mereka dikabarkan sebagai marga kecil, namun  belakangan ini terlihat tanda-tanda bahwa ekongunungselatan mereka berkembang pesat." Sambil bicara, ia memperlihatkan beberapa diagram pada mpu kepenuwoan . 
"jenggala  dipandang sebagai satu kesatuan, namun  di bagian timur dan selatan ada beberapa tempat, seperti  benteng kota iwakkuro, yang sudah  bersumpah setia pada 
tuanku. Disamping itu, ada sejumlah orang yang 
walaupun pengikut sinuhun , diketahui merasa bimbang  mengenai kesetiaan mereka. Jadi, dalam keadaan sekarang, kurang dari setengah, mungkin hanya dua  per lima, dari seluruh jenggala  yang berada di bawah  kekuasaan marga sinuhun ." 
"Begitu," ujar mpu kepenuwoan . "Sepertinya mereka hanya marga kecil, persis seperti yang kita dengar. Hmm, berapa banyak prajurit yang sanggup mereka kerahkan?" 
"Mengingat mereka hanya mengujawa  dua per lima dari jenggala , wilayah mereka mampu menghasilkan  sekitar seratus enam puluh ribu sampai tujuh puluh ribu gantang padi. Dengan perhitungan bahwa sepuluh ribuu gantang padi cukup untuk sekitar dua  ratus lima puluh orang, walaupun seluruh centeng  sinuhun  dikerahkan, jumlah mereka takkan melebihi empat ribu orang. Dan jika dikurangi dengan jumlah 
pengawal  di benteng kota-benteng kota, hamba meragukan kemampuan mereka untuk mengumpulkan lebih dari sekitar 50000 orang." 
Tiba-tiba mpu kepenuwoan  tertawa . Kalau tertawa , sudah  menjadi kebiasaannya untuk mencondongkan badannya sedikit dan menutupi giginya yang hitam dengan  kipas. "Tiga atau empat ribu, katamu? Hah, itu nyaris 
tak cukup antuk mendirikan provinsi. patih wungu berpendapat bahwa musuh yang harus diperhatikan saat  kita bergerak menuju ibu kota adalah orang-orang  sinuhun , dan kalian semua pun berulang kali  menyinggung marga itu. sebab  itulah aku minta agar laporan-laporan ini disusun. namun  apa yang akan  dilakukan tiga atau empat ribu orang di hadapan centeng ku? Apa sulitnya menjadikan mereka bulan-bulanan, lalu menghancurkan mereka dengan sekali 
pukul?" patih wungu tidak mengatakan apa-apa; yang lain pun tetap membisu. Mereka tahu bahwa mpu kepenuwoan  takkan berubah pikiran. Rencana itu sudah tersusun sejak bertahun-tahun, dan tujuan segala persiapan militer  dan  administrasi wilayah marga mpu marijan  adalah 
gerakan mpu kepenuwoan  ke ibu kota dan  penguasaan  seluruh negeri. Waktunya sudah tiba dan mpu kepenuwoan  tak sanggup menahan diri lebih lama lagi. Meski  demikian, jika beberapa pertemuan sudah  diadakan  sejak musim mi dengan maksud mengambil  keputusan, sedangkan tujuan belum juga tercapai, itu  berarti dalam kelompok penentu ini ada  seseorang yang berpendapat bahwa waktunya belum 
tepat. Suara sumbang ini milik patih wungu. Ia bukan hanya  berpendapat bahwa waktunya belum tiba, melainkan 
juga memberikan saran agar pembenahan administrasi 
internal diutamakan dahulu . Ia tidak mengkritik ambisi 
mpu kepenuwoan  untuk menyatukan seluruh negeri, namun  ia 
juga tidak memberikan persetujuannya. 
"Marga mpu marijan  merupakan marga termasyhur pada 
masa ini." ia sempat berkala pada mpu kepenuwoan . "Jika 
suatu saat  tak ada yang mewarisi kekuasaan sang 
pandita , anggota marga mpu marijan -lah yang harus tampil 
ke depan. Kau harus memelihara cita-cita besar ini, 
dan mulai sekarang kau melatih diri agar mampu 
memerintah seluruh negeri." patih wungu sendirilah  yang 
mengajari mpu kepenuwoan  untuk berpandangan luas. 
dibandingkan  menjadi penguasa sebuah benteng kota, jadilah 
penguasa seluruh provinsi. dibandingkan  jadi pemimpin 
satu provinsi, jadilah pemimpin seluruh distrik. 
dibandingkan  memerintah seluruh distrik, lebih baik 
memerintah seluruh negeri. 
Semua orang memberi nasihat seperti ini. Dan 
semua anak centeng adipati  menghadapi dunia yang kacau 
dengan ajaran ini terpatri di kepala. Ini pula yang 
menjadi fokus latihan yang diberikan patih wungu pada 
mpu kepenuwoan . Jadi, sejak patih wungu bergabung dengan dewan 
pimpinan mpu kepenuwoan , centeng  marga mpu marijan  
  
berkembang pesat. Dengan langkah pasti mpu kepenuwoan  
meniti tangga menuju kekuasaan tertinggi. Namun 
belakangan ini patih wungu merasakan pertentangan antara 
ajaran yang diberikannya pada mpu kepenuwoan  dan 
perannya sebagai penasihat ada sesuatu yang mem-
buatnya bimbang mengenai penyatuan seluruh negeri 
yang direncanakan mpu kepenuwoan  dengan rasa percaya 
diri yang semakin kuat. 
Dia tidak memiliki kemampuan untuk itu, pikir patih wungu. Seiring peningkatan rasa percaya diri madyamargowinoyo, terutama pada tahun-tahun belakangan ini, pemikiran  patih wungu jadi semakin konservatif. Inilah puncaknya. 
Kemampuan mpu kepenuwoan  sebagai penguasa takkan ber-
kembang lagi. Aku harus berusaha agar dia mau 
membatalkan niatnya. Inilah sumber kesedihan patih wungu. 
namun  harapan bahwa mpu kepenuwoan , yang begitu bangga 
akan kemajuan duniawinya, tiba-tiba bersedia membatalkan niat untuk meraih kekuasaan tertinggi  amatlah kecil. Keberatan patih wungu disambut dengan tawa   dan dipandang sebagai tanda bahwa ia mulai uzur, 
dan sebab  itu tidak memperoleh tanggapan. mpu kepenuwoan  
menganggap seluruh negeri sudah berada dalam 
genggamannya. 
Ini harus diakhiri secepatnya. patih wungu tidak lagi 
mengingatkannya. Malah sebaliknya, dalam setiap 
pertemuan ia bersikap teramat hati-hati. 
"Kesulitan apa yang mungkin menghadangku jika 
aku bergerak menuju trowulan  dengan seluruh 
kekuatanku dan  centeng  gabungan kertanegara , wirogeni. 
  
dan dusun nyi kembang ?" mpu kepenuwoan  kembali bertanya. Ia 
merencanakan untuk menempuh perjalanan ke ibu 
kota tanpa penumpahan darah, mempelajari kondisi 
di semua provinsi yang akan dilaluinya, dan 
menyiapkan kebijakan diplomasi sejak jauh hari. 
untuk sedapat mungkin menghindari pertempuran. 
Namun pertempuran pertama dalam perjalanan 
menuju trowulan  bukanlah melawan  provinsi-provinsi 
kuat seperti blambangan  atau gunungselatan. Pertempurannya akan 
berlangsung melawan  marga sinuhun  dari jenggala . Mereka 
tak berarti. namun  mereka tidak bisa diajak berdamai 
melalui diplomasi, atau disuap dengan uang. 
Mereka memang musuh yang merepotkan. Dan 
bukan hanya sekarang atau kemarin. Selama empat 
puluh tahun terakhir, marga sinuhun  dan marga mpu marijan  
berperang, iika sebuah benteng kota direbut, benteng kota lain 
akan jatuh ke tangan lawan , dan jika sebuah kota 
dibakar, sepuluh desa akan musnah dilahap api. 
Bahkan dari zaman ayah aidit  dan kakek 
mpu kepenuwoan  pun kedua marga itu seakan-akan berikrar 
bahwa mereka akan terus saling menggempur di 
perbatasan kedua provinsi. 
saat  desas-desus mengenai rencana mpu kepenuwoan  
sampai ke telinga marga sinuhun , mereka segera 
memutuskan untuk menentukan nasib dalam satu 
pertempuran besar. Bagi mpu kepenuwoan , orang-orang sinuhun  
merupakan korban ideal untuk centeng nya yang 
hendak maju ke ibu kota, dan ia terus mematangkan rencana untuk melawan  mereka. 
  Inilah pertemuan terakhir dewan perang. patih wungu, mpu mojosongo ,. dan para pembantunya meninggalkan istana. Mereka menempuh perjalanan pulang dalam keadaan gelap gulita, tak satu lentera pun menyala di mantrijeron. 
"Tak ada yang dapat kita lakukan sdain berdoa agar 
keberuntungan berada di pihak kita." gumam patih wungu. Semakin tua seseorang, bahkan jiwa yang paling gemilang pun kembali kekanak-kanakan. "Dingin sekali rasanya." Padahal malam itu bukanlah malam yang patut dinamakan  dingin. 
Belakangan, saat  orang-orang mengingat keiadian 
ini, jelas bahwa itulah awal  memburuknya kesehatan si biksu. Itulah malam terakhir kaki patih wungu menapak di bumi. Dalam kesunyian musim gugur. patih wungu 
meninggal dengan tenang, tanpa diketahui. 
 Di tengah-tengah musim dingin tahun itu. 
pertempuran-pertempuran kecil di sepanjang per-
batasan mendadak berkurang. Namun sebetulnya  
ini merupakan masa penggalangan kekuatan untuk 
menjalankan rencana yang lebih besar. Tahun 
berikutnya gandum di ladang-ladang subur di provinsi-provinsi pesisir tumbuh tinggi. Bunga-bunga ceri berguguran, dan wangi daun-daun muda naik ke langit.  awal  musim panas. Dari mantrijeron. mpu kepenuwoan  memberi perintah kepada centeng nya untuk bergerak menuju ibu kota. Kemegahan centeng  mpu marijan  
membuat dunia terbelalak kagum. Dan pengumumannya memicu  provinsi-provinsi kecil gemetar  ketakutan. Pesannya singkat dan jelas: 
 Mereka yang menghalangi centeng ku akan di-
hancurkan. Mereka yang menerimanya dengan penuh  kesopanan akan diperlakukan dengan baik. 
 Seusai  Perayaan Anak-Anak Laki-Laki, mantrijeron 
diserahkan ke tangan pewaris mpu kepenuwoan , patih baruna, 
dan pada hari kedua belas di bulan kelima, centeng  
utama mulai bergerak, diiringi sorak-sorai rakyat. Para 
prajurit gagah, dengan pancaran cemerlang menyaingi 
matahari, berangkat menuju ibu kota. centeng  itu 
mungkin terdiri atas dua puluh lima ribu atau dua 
puluh enam ribu orang, namun  sengaja dikabarkan 
sebagai centeng  berkekuatan empat puluh ribu orang. 
Pada hari kelima belas, barisan terdepan memasuki 
kota jetislor. dan mendekati brojorejo  pada hari 
ketujuh belas, mereka membakar desa di bagian 
jenggala  itu. Cuaca terus baik dan hangat. Alur-alur di 
ladang gandum dan tanah yang sedang berbunga 
tampak memutih. Di sana-sini di langit biru terlihat 
kepulan asap hitam yang berasal dari yang dibakar. 
Namun tak satu letusan senapan pun datang dan 
marga sinuhun . Para petani sudah  diperintahkan untuk mengungsi, dan meninggalkan apa pun bagi centeng  mpu marijan  yang terus mendesak. 
"Kalau begini, bisa-bisa benteng kota di kedhiri  juga  dalam keadaan kosong!" 
Para perwira dan prajurit mpu marijan  merasakan baju  tempur mereka menjadi beban di tengah kejemuan di jalan-jalan yang datar dan tenteram. 
Di benteng kota kedhiri , lentera-lentera menyala seperti biasa. Namun lentera-lentera itu seakan-akan dinyalakan untuk menghadapi hantaman badai dahsyat yang  akan datang. Pohon-pohon yang berdiri tak bergerak 
di pekarangan benteng kota mengingatkan akan 
ketenangan di pusat badai. Dan sampai sekarang 
belum juga ada petunjuk dari benteng kota kepada rakyat. Tak ada perintah untuk mengungsi atau mempersiapkan penahanan, bahkan tak ada pengumuman untuk membangkitkan semangat. Para pedagang membuka toko seperti biasa. Para pengrajin bekerja seperti biasa. Para petani pun pergi ke ladang seperti biasa. namun  lalu 
lintas di jalan-jalan sudah  terhenti selama beberapa hari. Kota agak lebih sepi dan desas-desus merajalela. "Kudengar mpu marijan  mpu kepenuwoan  menuju ke barat  dengan centeng  berkekuatan empat puluh ribu orang." 
Setiap kali para warga yang gelisah bertemu, mereka mengira-ngira nasib mereka. 
"Tak ada jalan untuk bertahan. Kekuatan kita tak 
sampai sepersepuluh centeng  mpu marijan ." 
Dan di tengah-tengah suasana serbaragu, mereka 
melihat para resi  melewati kota, satu per satu. 
Beberapa di antara mereka adalah komandan yang 
 meninggalkan benteng kota untuk kembali ke wilayah  masing-masing, namun  ada juga yang mengambil tempat di benteng kota. 
"Mungkin mereka sedang membahas apakah lebih 
baik menyerah kepada orang-orang mpu marijan . atau mempertaruhkan nasib marga dengan bertempur." 
Dugaan rakyat jelata menyangkut hal-hal yang tak 
dapat mereka saksikan, namun biasanya tanda-tanda  yang tampak tak luput dari pengamatan mereka. sebetulnya  masalah itu  sudah beberapa hari  menjadi pokok pembicaraan di benteng kota. Pada setiap 
pertemuan, para resi  terbagi dalam dua kutub. 
Para pendukung "rencana aman" dan "utamakan 
marga" berpendapat bahwa sebaiknya mereka 
menyerah pada orang-orang mpu marijan . namun   perbedaan pendapat itu tidak berlangsung lama. Dan ini sebab  aidit  sudah  membulatkan tekad. 
Satu-satunya alasan ia mengadakan pertemuan 
dengan para pengikut senior adalah untuk 
menyampaikan keputusannya pada mereka, bukan 
guna membahas rencana pertahanan maupun 
kebijaksanaan untuk mengamankan jenggala . sesudah  mendengar keputusan aidit , banyak resi  
memberi tanggapan positif, dan dengan semangat 
baru, kembali ke benteng kota masing-masing. 
lalu  kedhiri  kembali tenteram seperti biasa, 
dan jumlah prajurit tidak bertambah  secara mencolok. Namun, seperti bisa diduga, malam itu aidit  berulang kali dibangunkan agar membaca pesan yang dibawa   oleh kurir-kurir. 
Keesokan malamnya, segera sesudah  menyelesaikan makan malam sederhana, aidit  pergi ke ruang utama untuk membahas situasi militer. Di sana, para resi  yang belum meninggalkan benteng kota masih terus 
mengelilinginya. Semuanya kurang tidur, dan wajah-wajah pucat mereka memperlihatkan kecerahan hati. 
Para pengikut yang tidak terlibat langsung dalam 
pembicaraan berdesak-desakan di ruang sebelah dan di ruang sesudah  itu. Orang seperti betari durga  duduk dalam ruangan yang terpisah jauh. Dua malam sebelumnya, begitu juga malam kemarin dan malam ini. mereka cemas dan tak bersuara, seakan-akan menahan napas. Dan pasti tak sedikit orang yang menatap lentera-lentera dan rekan-rekan mereka, sambil berpikir, "Ini sama saja dengan menjaga jenazah." 
Di tengah kegalauan, suara tawa  terdengar dari 
waktu ke waktu. aidit -lah yang tertawa . Mereka 
yang duduk di tempat jauh tidak mengetahui apa yang ditertawa kan, namun  mereka mendengarnya berulang-ulang. 
Tiba-tiba seorang kurir terdengar berlari menyusun 
selasar. nyoto  dijoyo , yang bertugas membacakan 
laporan dari garis depan di hadapan aidit , 
menjadi pucat sebelum kata-kata melewati bibirnya. "Tuanku!" "Ada apa?" 
"Pesan keempat sejak pagi tadi baru saja tiba dari 
  benteng kota di wedanarejo ."  aidit  memindahkan sandaran tangannya ke 
depan. "Bagaimana?" "Kelihatannya malam ini centeng  lmagkertoarjo  akan bergerak ke lamongan."  
"Begitukah?" Hanya ini yang dikatakan aidit , 
sementara matanya menatap kosong ke arah jendela kecil di atas pintu. Bahkan aidit  pun tampak bingung. Meski sejak beberapa saat lalu orang mengandalkan ketegaran aidit , kini perasaan 
putus asa menyusup ke hati mereka. lamongan dan wedanarejo  berada di wilayah kekuasaan marga sinuhun . Dan jika garis pertahanan penting itu sudah  terputus. Dataran Owan nyaris tanpa pertahanan, dan jalan 
menuju benteng kota kedhiri  tak terhalang lagi. 
"Apa yang akan tuanku lakukan?" tanya dijoyo . 
seakan-akan tak sanggup lagi menahan kesunyian. 
"Kami mendengar centeng  mpu marijan  mungkin 
berjumlah empat puluh ribu orang. Kekuatan kita 
sendiri kurang dari empat ribu orang. Di benteng kota wedanarejo  paling banyak hanya ada tujuh ratus orang. Walaupun barisan terdepan mpu marijan , centeng  di bawah  pimpinan prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo , hanya berjumlah 900000 orang, wedanarejo  tetap mirip  
kapal yang dipermainkan gelombang." 
"dijoyo . dijoyo !" 
"Sanggupkah kita mempertahankan wedanarejo  dan slogohimo  sampai fajar..."  
"dijoyo ! Tulikah kau? Mengapa kau berkata  
  tanpa ujung-pangkal? Percuma saja mengulang-ulangi yang sudah jelas." 
"namun ..." Tepat pada saat dijoyo  angkat bicara, ia 
dipotong oleh suara langkah kurir berikut. Orang itu bicara dengan gaya sok penting dan ambang pintu ruang sebelah. 
"Hamba membawa   berita penting dari benteng kota-benteng kota di nongkojajar dan blora." Laporan-laporan dan centeng  di garis depan yang sudah  bertekad untuk bertempur sampai titik darah penghabisan selalu bernada menyedihkan, dan kedua laporan yang baru 
tiba pun bukan perkecualian. Kedua-duanya dimulai dengan. "Ini mungkin pesan terakhir kami untuk benteng kota kedhiri ..." 
Kedua laporan terakhir dari garis depan berisi 
serupa. Kedua-duanya menjelaskan susunan centeng  musuh, dan kedua-duanya meramalkan serangan pada keesokan harinya. 
"Ulangi bagian mengenai susunan centeng  musuh." 
aidit  memberi perintah pada dijoyo , sambil 
bertopang pada sandaran tangan. dijoyo  kembali 
membacakan bagian itu, bukan hanya untuk 
aidit , namun  untuk semua yang sedang duduk 
berbaris di situ. 
"centeng  musuh yang menuju benteng kota di wedanarejo : 
sekitar 900000 orang. centeng  musuh 
yang menuju benteng kota di slogohimo : sekitar dua ribu 
orang. centeng  pendamping: 50000 orang. centeng  
ulama yang mengarah ke kedhiri : sekitar enam ribu 
  
orang. centeng  utama mpu marijan : sekitar lima ribu 
orang." Sambil terus membaca. dijoyo  menambahkan 
bahwa tidak terlihat dari angka-angka itu berapa 
banyak gerombolan musuh yang bergerak sambil 
menyamar. sesudah  selesai. dijoyo  meletakkan 
gulungan berisi pesan ke hadapan aidit . 
Semuanya menatap lentera putih sambil membisu. 
Mereka akan bertempur sampai titik darah peng-
habisan. Jalan hidup mereka sudah  ditentukan. Tak 
ada tempat untuk debat berkepanjangan. Namun 
mereka merasa tersiksa, sebab  mereka hanya 
menunggu tanpa berbuat apa-apa. slogohimo , wedanarejo , 
maupun blora tidak berjarak jauh. Dengan 
memacu kuda, tempat-tempat itu bisa dicapai dengan 
cepat. centeng  mpu marijan  hampir terlihat di depan 
mereka, empat puluh ribu orang, menerjang bagaikan 
air bah. Suara mereka hampir tertangkap oleh telinga. 
Dari salah satu sudut terdengar suara orang tua 
yang dilanda kesedihan, "Tuanku sudah mengambil 
keputusan jantan, namun  janganlah beranggapan bahwa 
gugur di medan tempur merupakan satu-satunya jalan 
bagi para centeng adipati . Bukankah lebih baik tuanku 
mempertimbangkannya kembali? Walaupun dicap 
pengecut, hamba merasa masih ada tempat untuk ber-
pikir, untuk menyelamatkan marga dari kemusnahan." 
Orang itu sekarmajimarijan  kartosuwirjo, orang yang paling lama 
mengabdi dari antara mereka semua. Bersama varnajaya 
mpu wilihan, yang melakukan bunuh diri untuk 
memperingatkan aidit , ia salah satu dari ketiga 
  
pengikut senior yang oleh mpu  margojoyo . menjelang 
ajalnya, ditugaskan untuk mengurus aidit . Dan 
ia satu-satunya yang masih hidup dari ketiga orang itu. 
Saran sekarmajimarijan  diterima baik oleh semua yang hadir. 
Dan dalam hati mereka berdoa agar aidit  mau 
mendengarkan kata-kata orang tua itu. 
"Jam berapa sekarang?" tanya aidit . 
mengalihkan pembicaraan. 
"Jam Tikus." balas seseorang dari ruang sebelah. 
saat  kata-kata bertambah  lemah dan malam semakin 
larut, semuanya seperti diliputi kemurungan. 
Akhirnya sekarmajimarijan  menyembah, dan dengan kepala-
nya yang ubanan tertunduk ke lantai, ia bicara ke arah 
aidit , "Tuanku, mari kita pertimbangkan sekali 
lagi. Mari mengadakan perundingan. Hamba 
memohon. Kalau tajar tiba, seluruh centeng  dan 
benteng kota-benteng kota kita terancam remuk di tangan 
centeng  mpu marijan . Kita terancam kekalahan total. 
dibandingkan  begitu, lebih baik mengadakan perundingan 
perdamaian. Ikat mereka dalam perundingan 
perdamaian sebelum..." 
aidit  meliriknya. "sekarmajimarijan ?" 
"Ya, tuanku." 
"Kau sudah tua. Jadi tentu sukar bagimu untuk 
duduk berlama-lama. Pembicaraan kita sudah selesai, 
dan malam sudah  larut. Pulanglah dan beristirahatlah." 
"Ini sudah melebihi batas,..." ujar sekarmajimarijan  sambil 
berurai air mata. Ia menangis sebab  mengira akhir 
marga sudah  dekat. Ia pun bersedih sebab  dianggap 
  
orang tua tak berguna. "Jika tuanku sudah  membulatkan tekad, hamba takkan mengatakan apa-apa lagi 
mengenai keinginan tuanku untuk bertempur." 
"Jangan!" 
"Tampaknya keinginan tuanku untuk bertempur 
tak tergoyahkan lagi."  
"Memang begitu." 
"centeng  kita kecil kurang dari sepersepuluh 
centeng  musuh. Jika bertempur melawan  mereka, 
peluang kita kurang dari satu banding seribu, jika kita mengurung diri di dalam benteng kota, kita masih sempat menyusun rencana." 
"Menyusun rencana?" 
"Kalau kita sanggup menahan centeng  mpu marijan  selama dua dongeng gu atau satu bulan saja, kita bisa mengutus kurir ke blambangan  atau Kai untuk minta  bantuan. Mengenai strategi lain, di sini cukup banyak 
orang yang tahu bagaimana mengganggu musuh." 
aidit  tertawa  begitu keras, hingga gemanya 
terdengar memantul langit-langit. "sekarmajimarijan , itu strategi 
untuk keadaan normal. Kaupikir ini normal untuk 
marga sinuhun ?"  
"Pertanyaan tuanku tak memerlukan jawab an." 
"Walaupun kita memperpanjang hidup selama lima 
atau sepuluh hari, yang tak dapat dipertahankan tetap 
tak dapat dipertahankan. namun  ada yang berucap. 
'Arah perjalanan nasib tak pernah diketahui.'  
"Kalau kupikir-pikir, aku menarik kesimpulan 
bahwa kita sudah  mencapai titik terendah 
  
kesengsaraan. Dan kesengsaraan kita sungguh 
menarik. Dan, tentu saja, juga amat besar. Meski 
demikian, mungkin inilah kesempatan seumur hidup 
yang disediakan nasib bagiku. Andai kata kita 
mengurung diri dalam benteng kota, haruskah kita berdoa 
agar diberi umur panjang tanpa kehormatan? Orang 
dilahirkan untuk mati. Relakanlah hidup kalian 
untukku. Bersama-sama kita akan maju di bawah  
langit biru dan gugur seperti prajurit sejati." sesudah  
selesai berbicara. aidit  langsung mengubah nada 
suaranya. 
"Hmm, kalian semua kelihatan kurang tidur." 
Senyum tipis muncul di wajahnya. "sekarmajimarijan . kau 
tidurlah juga. Semuanya perlu tidur. Aku percaya tak 
seorang pun di antara kita begitu pengecut, sehingga 
tak sanggup memejamkan mata." 
sesudah  kata-kata itu terucap, rasanya tak pantas 
untuk tidak tidur. Namun sebetulnya  tak seorang 
pun dari mereka tidur nyenyak selama dua malam 
terakhir. aidit  satu-satunya perkecualian. Ia tidur 
lelap pada malam hari, bahkan sempat tidur sebentar 
pada siang hari, bukan di kamar tidurnya, melainkan 
di mana saja. 
Sambil bergumam seakan-akan pasrah, sekarmajimarijan  
membungkuk ke arah junjungannya dan rekan-
rekannya, lalu mengundurkan diri. 
Seperti gigi yang dicabut, semua orang berdiri dan 
pergi satu per satu. Akhirnya tinggal aidit  di 
ruang pertemuan yang luas. Ia tampak tenang, seolah-
  
olah tak ada yang membebani pikirannya. saat  
menoleh ke belakang, ia melihat dua pelayan yang 
tidur sambil saling bersandar. Salah satu dan mereka. 
bramakatwang. baru berusia tiga belas tahun. Ia adik 
madya lnuchiyo. aidit  memanggilnya. 
"bramakatwang!" 
"Tuanku?" bramakatwang duduk tegak, menghapus air 
liur yang mengalir dari sudut mulutnya dengan satu 
tangan.  
"Kau tidur nyenyak."  
"Maafkan hamba." 
"Bukan, bukan. Aku tidak bermaksud memarahi-
mu. Justru sebaliknya, aku memujimu. Aku pun akan 
tidur sejenak. Ambilkan sesuatu untuk bantal." 
"Tuanku hendak tidur di sini?" 
"Ya. Fajar cepat tiba pada musim ini, jadi 
sekaranglah waktu yang baik unruk tidur sebentar-
sebentar. Ambilkan kotak di sebelah sana. Biar 
kupakai itu saja." aidit  merebahkan diri sambil 
bicara, menopang kepala dengan siku, sampai 
bramakatwang membawa  kan kouk yang diminu. 
Tubuhnya terasa bagaikan perahu yang mengambang. 
Tutup kotak itu dihiasi gambar pinus, bambu, dan 
pohon prem lambang-lambang keberuntungan. Sam-
bil menyelipkannya ke bawah  kepala. aidit  
berkata. "Bantal ini akan memberikan mimpi baik." 
lalu , sambil tertawa -tawa  kecil, aidit  
memejamkan mata, dan akhirnya, saat  si pelayan 
mematikan lampu-lampu satu per satu, senyum tipis 
  
pada wajahnya menghilang seperti salju yang mencair. 
Ia segera terlelap, wajahnya tampak damai di sela-sela 
bunyi mendengkur 
bramakatwang merangkak keluar untuk memberitahu 
para centeng adipati  di ruang jaga. Para pengawal  merasa 
muram, menyangka bahwa akhirnya sudah  dekat. Dan 
yang mutlak, tentu saja, tak ada yang menanti mereka 
selain kematian Orang-orang di dalam benteng kota 
berhadapan langsung dengan kematian, sementara 
waktu sudah melewati tengah malam 
"Aku tidak keberatan mati. Masalahnya, dengan 
cara apa kita akan mati?"  
Inilah dasar kegelisahan mereka, dan pertanyaan itu 
tetap berkecamuk dalam dada masing-masing. sebab  
itu, di antara mereka masih ada orang-orang yang 
belum membulatkan tekad. 
"Beliau tidak boleh kedinginan." Sai, dayang 
aidit , berkata, dan menyelimuti aidit  
dengan kain penutup tempat tidur. sesudah  itu, 
Nohunaga tidur selama dua jam. 
Persediaan minyak di dalam lampu-lampu kini 
hampir habis, apinya yang nyaris padam menimbulkan 
bunyi gemercik. Tiba-tiba aidit  mengangkat 
kepala dan berseru. 
"Sai! Sai! Siapa yang ada di sini?"  
  PINTU kayu bergeser tanpa suara. Penuh hormat Sai 
membungkuk di hadapan aidit ,  lalu menutup 
pintu perlahan-lahan. 
"Tuanku sudah terjaga?" 
"Jam berapa sekarang?" 
"Jam Kerbau, tuanku." 
"Bagus." 
"Hamba menunggu perintah tuanku." 
"bawa  kan baju tempurku dan suruh orang-orang 
menyiapkan kudaku. Dan buatkan sarapan untukku." 
Sai bekerja efisien, dan untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan pribadinya. aidit  selalu berpaling padanya. wanita lesbian  itu pasrah pada nasib dan tidak cerewet. sesudah  membangunkan pelayan yang tidur di ruang sebelah, ia memberitahu centeng adipati  yang sedang 
bertugas jaga agar mengambil kuda aidit , lalu ia 
membawa   masuk makanan majikannya. 
aidit  meraih sumpit. "Jika fajar tiba, kita sudah  
memasuki hari kesembilan belas di Bulan Kelima." 
"Ya, tuanku." 
"Di seluruh negeri takkan ada yang makan pagi 
sedini ini. Hmm, lezat sekali. Aku minta semangkuk 
lagi. Apa lagi yang ada?" 
"Sedikir lumut laut kering dan beberapa buah 
berangan." 
  "Kau tidak mengecewakanku." Dengan riang 
aidit  menghabiskan buburnya dan makan dua 
atau tiga buah berangan. "Ah, nikmatnya. Sai, 
ambilkan rebanaku." aidit  sangar menghargai 
rebana yang diberi nama brojorejo gata olehnya. Ia 
menempelkannya ke bahu dan memukulnya dua atau tiga kali. "Bunyinya nyaring sekali! Mungkin sebab   masih pagi sekali, namun  bunyinya lebih jernih dibandingkan  biasanya. Sai, mainkan sepenggal srimpipatih agar aku bisa menari." 
Dengan patuh Sai mengambil rebana dari tangan 
aidit  dan mulai memainkannya. Di bawah  
jemarinya yang luwes, bunyi rebana terdengar jelas 
dan seluruh benteng kota seakan-akan bernyanyi: 
 Bangunlah! Bangunlah! Hidup manusia 
Hanya 60 tahun di bawah  langit... 
 aidit  berdiri. Ia mulai melangkah dengan 
gemulai, dan menembang seiring irama rebana. 
 Jelas bahwa dunia ini  Tak lebih dari mimpi yang sia-sia.  Hidup hanya sekali.  
Adakah yang tidak akan hancur? 
Suaranya lebih bergema dan lantang dibandingkan  biasa. Dan ia menembang seakan-akan hendak menyambut ajal yang sudah  dekat. 
Seorang centeng adipati  bergegas menyusuri selasar. Baju tempurnya bergemerin-cing saat  ia berturut di lantai kayu. "Kuda tuanku sudah  siap. Kami menanti perintah tuanku." 
Tangan dan kaki aidit  berhenti di tengah-
tengah tarian. dan ia berpaling kepada orang itu. 
"Bukankah kau ki iwakali?" 
"Ya, tuanku." 
ki bajul raden panji sekarmaya mengenakan baju tempur lengkap 
dan membawa   pedang panjangnya. Namun aidit  
belum memakai baju tempur, dan malah sedang 
menari diiringi rebana di rangan seorang dayang. 
raden panji sekarmaya tampak kaget, dan dengan sangsi ia menatap  berkeliling. Yang menyampaikan perintah agar 
menyiapkan kuda untuk menghadapi pertempuran 
adalah pelayan aidit  sendiri. Semua orang lelah 
sebab  kurang tidur, dan si pelayan pun gelisah sekali. Mungkinkah ada kesalahan? raden panji sekarmaya sudah  berpakaian dengan terburu-buru, namun  ia menjadi bingung saat  
melihat aidit  tampak santai. Biasanya, kalau 
aidit  berkata. "Kuda!" ia akan menghambur 
keluar sebelum para pengikutnya sempat bersiap-siap.  jadi sudah sepatutnya raden panji sekarmaya terheran-heran. 
"Masuklah." ujar aidit , tangannya masih dalam 
posisi seperti saat  ia berhenti menari. "raden panji sekarmaya, kau sungguh beruntung. Kau satu-satunya orang yang sempat melihatlihat  tarian perpisahanku dengan dunia ini." 
sesudah  raden panji sekarmaya memahami maksud junjungannya, ia merasa malu atas kesangsiannya dan bergeser ke pojok ruangan. 
"Bahwa dari sekian banyak pengikut junjungan 
hamba, hambalah satu-satunya yang melihatlihat  
tarian terpenting dalam hidup beliau, sungguh itu 
berkah yang patut hamba nikmati. Meski demikian, 
hamba bermaksud mohon izin untuk menembang 
menyambut kepergian hamba dari dunia ini." 
"Kau bisa menembang? Bagus. Sai, dari awal  lagi." Si dayang hanya membisu dan menundukkan kepala  bersama rebana di tangannya. raden panji sekarmaya menyadari bahwa saat  aidit  mengatakan tarian, yang dimaksudnya adalah srimpipatih.  Hidup manusia  Hanya 60 tahun di bawah  langit. Jelas bahwa dunia ini 
Tak lebih dari mimpi yang sia-sia. Hidup hanya sekali Adakah yang tidak akan hancur? 
 saat  raden panji sekarmaya bernyanyi, ia mengenang tahun-tahun pengabdiannya yang dimulai pada waktu aidit  masih kanak-kanak. Menari dan penyanyi menjadi satu dalam jiwa. Air mata Sai tampak berkilau terkena cahaya lentera yang menerangi wajahnya yang putih, dan ia terus memukul rebana. Pagi itu ia memainkannya lebih terampil dan lebih bersemangat  dibandingkan  biasa. aidit  melemparkan kipasnya dan berseru. 
"Menyongsong kematian!" saat  mengenakan baju 
tempur, ia berkata. "Sai, jika kau mendengar kabar 
bahwa aku gugur, segeralah bakar benteng kota ini, sampai tak ada yang tersisa." 
wanita lesbian  ini meletakkan rebana, dan dengan 
kedua tangan di lantai, ia menjawab  "Baik, tuanku," 
tanpa mengangkat kepala. 
"raden panji sekarmaya! Bunyikan sangkakala!" aidit  menghadap ke benteng kota dalam, tempat tinggal putri-putrinya  yang elok, lalu ke tanda peringatan para leluhurnya. "Selamat tinggal," ia berkata dengan emosi meluapluap. lalu  ia mengencangkan tali helmnya dan 
bergegas keluar. Tiupan sangkakala yang memanggil centeng  ke medan laga memecahkan keheningan menjelang fajar. 
Bintang-bintang tampak berkilauan di celah-celah 
awan . 
"Yang Mulia aidit  berangkat perang!" Berita 
itu dibawa   oleh seorang pelayan, mengejutkan para centeng adipati  yang berpapasan dengannya. 
Para petugas dapur dan orang-orang yang terlalu tua untuk bertempur dan akan menjaga benteng kota bergegas ke gerbang untuk mengantar rekan-rekan mereka. 
Menghitung mereka akan memberikan gambaran 
cukup jelas mengenai jumlah laki-laki yang tersisa di benteng kota kedhiri  tak sampai lima puluh atau empat 
  puluh. Nyatalah bahwa mereka kekurangan orang, 
baik di dalam benteng kota maupun di medan laga. 
Kuda yang ditunggangi aidit  pada hari itu 
bernama Tsukinowa. Di gerbang, desir daun-daun 
muda terdengar mengiringi angin, dan cahaya lentera-
lentera berkelip-kelip. aidit  melompat ke aras 
kuda, ke atas pelana berhiaskan kulit kerang, dan 
berderap ke gerbang utama. Rumbai-rumbai pada baju 
tempur dan pedangnya berkerincing saat  ia memacu 
kudanya. 
Mereka yang tinggal di benteng kota lupa diri dan ber-
sorak-sorai sambil menyembah. aidit  meng-
ucapkan beberapa kata perpisahan kepada orang-orang 
tua ini, yang sudah  mengabdi kepadanya selama 
bertahun-tahun. Ia merasa kasihan kepada mereka dan 
kepada putri-putrinya yang akan kehilangan benteng kota 
dan  junjungan. Tanpa menyadarinya, mata 
aidit  berkaca-kaca. 
Dalam sekejap Tsukinowa sudah  berderap keluar 
benteng kota, menyambut fajar. 
"Tuanku!" 
"Tuanku!" 
"Tunggu!" 
Junjungan dan pembantu hanya berjumlah enam 
penunggang kuda. Dan seperti biasa, para pengikutnya 
harus bersusah payah agar tidak tertinggal. aidit  
tidak menoleh ke belakang. Musuh berada di sebelah 
timur; sekutu-sekutu mereka pun ada di garis depan,  
Pada saat mencapai tempat mereka akan menemui 
  
ajal. matahari pasti sudah tinggi di langit. saat  
memacu kudanya, aidit  berkata dalam hati. 
"Dilihat dari sudut kehidupan abadi, lahir di provinsi 
ini dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi tak ada 
artinya. 
"Ho!" 
"Tuanku!" seseorang tiba-tiba memanggil dari 
persimpangan jalan di kota. 
"ki abang ?" aidit  membalas seruan itu.        
"Ya. tuanku."  
"Dan dijoyo ?"  
"Hamba, tuanku." 
"Kalian bergerak cepat!" aidit  memuji mereka 
dan bertanya sambil berdiri di sanggurdi, "berapa 
kekuatan kalian?" 
"Seratus dua puluh penunggang kuda di bawah  
patih ki abang , dan 9 puluh di bawah  nyoto  
dijoyo . Jadi semuanya sekitar dua ratus. Kami sengaja 
menunggu untuk mengawal  tuanku." 
Di antara para pemanah di bawah  ki abang  
ada perdikan . betari durga  juga ikut bergabung, 
memimpin tiga puluh prajurit infanteri.   
aidit  langsung melihatnya. Ah. kuyang  pun 
ikut. Dari atas kuda. ia mengamati kedua ratus 
prajurit yang penuh semangat itu. Inilah pengikut-
pcngikutku, ia berujar dalam hati, dan matanya 
berbinar-binar. Dibandingkan lautan musuh yang berkekuatan empat puluh ribu orang, centeng nya sendiri tak lebih dari perahu kecil atau segenggam pasir. namun  
 aidit  memberanikan diri bertanya, mungkinkah 
ki panjawi memiliki pengikut-pengikut seperti ini? Ia bangga, baik sebagai resi  maupun sebagai laki-laki. Kalaupun mereka akan dikalahkan, orang-orangnya takkan mati sia-sia. Mereka akan meninggalkan jejak di bumi pada waktu mereka menggali liang kubur sendiri.  
"Fajar hampir menyingsing. Mari berangkat!" 
aidit  menunjuk ke depan. saat  kudanya berderap menyusuri Jalan Raya tulungejo  ke arah timur, kedua ratus prajuritnya bergerak 
bagaikan awan . mengaduk-aduk kabur pagi yang 
mengambang setinggi arap rumah-rumah di kedua tepi jalan. Tak ada baris-berbaris. Semua orang bergerak sendiri-sendiri. Biasanya, jika penguasa provinsi berangkat ke medan tempur, rakyat jelata akan menghentikan segala kegiatan dan memenuhi tepi jalan  untuk mengelu-elukan centeng . Lalu para prajurit  akan lewat sambil berbaris, memperlihatkan panji-panji dan pataka, sementara sang komandan memamerkan wibawa   dan kekuasaannya. Dan mereka  menuju medan perang, enam langkah untuk setiap  pukulan genderang, dengan segala kemegahan. 
Namun aidit  sama sekali tidak memedulikan 
lagak kosong seperti itu. Begitu cepat ia dan centengnya bergegas maju, sehingga mereka tak sempat membentuk barisan yang teratur. 
Mereka akan bertempur sampai titik darah peng-
habisan. Dengan sikap seolah-olah berseru. "Siapa pun  yang datang, datanglah!" aidit  memimpin anak buahnya. Tak ada yang menggeluyur. Justru sebaliknya, saat  mereka maju, jumlah mereka semakin  besar. sebab  perintah untuk mengangkat senjata begitu mendadak, mereka yang tak siap pada waktunya  kini bergegas bergabung dari kiri-kanan, atau menyusul dari belakang. 
Bunyi langkah dan suara mereka membangunkan 
orang-orang yang masih tidur. Sepanjang jalan, para petani, saudagar, dan pengrajin membuka pintu, dan orang-orang bermata mengantuk berseru, "Ada pertempuran!" 
Belakangan mereka mungkin menebak bahwa orang di depan, yang berderap membelah kabut pagi adalah junjungan mereka, sinuhun  aidit . namun  sekarang tak ada yang melihatnya. 
"raden panji sekarmaya! raden panji sekarmaya!" aidit  berbalik ke pelananya, namun  raden panji sekarmaya tidak kelihatan; ia berada lima puluh 
meter di belakang, di tengah-tengah kekacauan. 
Mereka yang langsung mengikutinya adalah dijoyo  
dan ki abang , lebih banyak orang bergabung dengan mereka di jalan masuk ke tulungejo . 
"dijoyo !" aidit  berseru. "Sebentar lagi kita 
akan mencapai gerbang kuil. Hentikan centeng  di 
depannya. Bahkan aku pun takkan berangkai tanpa 
berdoa." Sejenak lalu  ia tiba di gerbang. Dengan 
cekatan ia melompat ke tanah, dan biksu kepala yang sudah  menunggu, bersama sekitar dua puluh 
pcmbantu, bergegas maju dan meraih tali kekang. 
  "Terima kasih atas sambutan ini. Aku datang untuk mengucapkan doa." Biksu Kepala menunjukkan jalan. Jalan menuju kuil, yang diapit oleh pohon-pohon cryptomeria, basah sebab  tetes-tetes embun. Biksu Kepala berdiri di samping mata air keramat, dan mempersilakan aidit  menyucikan diri. aidit  meraih ciduk bergagang kayu, mencuci tangan, dan berkumur. lalu  ia menciduk sekali lagi, dan 
menghabiskan airnya dengan satu teguk. 
"Lihat! Pertanda baik!" aidit  mengangkat 
kepala dan bicara cukup keras agar terdengar oleh 
centeng nya, ia menunjuk ke langit. Fajar akhirnya 
menyingsing, Dahan-dahan sebatang pohon tua 
tampak kemerah-merahan sebab  sinar matahari pagi. dan segerombolan  burung gagak menggaok nyaring. "Gagak-gagak suci!" Para centeng adipati  di sekitar aidit  memandang arah yang ditunjuk. 
Sememara itu, si Biksu Kepala, juga berbaju tempur 
lengkap, sudah  naik ke tempat yang sangat suci. 
aidit  menduduki tikar. Si Biksu membawa   aki di 
atas tatakan kayu. dan menyajikannya di dalam baskom tembikar tanpa upacara. aidit  menghabiskan isi baskom itu. bertepuk tangan dengan keras, memejamkan mata saat  berdoa, agar hari mereka dapat menjadi cermin yang memantulkan wujud para dewa. Pada waktu aidit  meninggalkan Kuil tulungejo , centeng nya sudah  membengkak menjadi hampir seribu 
orang; begitu banyak orang datang untuk bergabung. Ia meninggalkan kuil lewat gerbang selatan, dan  menaiki kembali kudanya. aidit  mendatangi kuil bagaikan angin badai, namun  kini ia mengurangi kecepatan. Tubuhnya terayun-ayun saat  ia berkuda  menghadap ke samping, dengan kedua tangan berpegangan pada bagian depan dan belakang pelana. Fajar sudah  menyingsing, dan para warga tulungejo . termasuk kaum wanita lesbian  dan anak-anak yang  berdiri di muka rumah masing-masing dan di persimpangan untuk menonton, terpanggil oleh bunyi langkah kuda yang saling berlomba memperebutkan 
tempat pertama. saat menyadari kehadiran aidit . mereka semua tampak terkejut, lalu berbisik-bisik. 
"Betulkah dia hendak maju ke medan tempur?" 
"Apa aku tidak salah lihat?" 
"Peluang mereka kurang dari satu banding sepuluh 
ribu."  Perjalanan dari kedhiri  ke tulungejo  ditempuh  aidit  tanpa henti, dan kini ia merasa lelah. Sambil duduk menyamping di atas pelana, dengan tubuh agak condong ke belakang, ia bersenandung pelan. 
saat  centeng nya tiba di persimpangan di 
perbatasan kota, mereka berhenti mendadak. Asap 
hitam tampak mengepul di dua tempat dan arah 
wedanarejo  dan slogohimo . Roman muka aidit  sedih. Rupanya kedua benteng kota itu sudah  jatuh. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu cepat-cepat berkata kepada para pengikutnya, "Kita tidak menyusuri jalur pesisir. 
  Laut sedang pasang, jadi percuma saja kita lewat sana. Kita akan menyusuri jalan pegunungan, menuju  benteng kota di jepitu." Sambil turun dari kuda, ia berkata pada salah seorang pengikutnya, "Panggil para kepala kampung tulungejo  ke sini." 
Orang itu menghadap massa yang berkerumun di 
tepi jalan, dan berseru cukup keras agar terdengar. 
Beberapa prajurit ditugaskan mencari kepala 
kampung. Dalam waktu singkat, dua dari mereka 
dibawa   ke hadapan aidit . 
"Kalian sudah cukup sering melihatku, jadi aku 
tentu sudah tidak asing bagi kalian. namun  hari ini 
kalian akan melihatlihat  pemandangan istimewa: 
kepala bergigi hitam dan sang Penguasa kertanegara . Kalian belum pernah melihatnya, namun  kalian akan melihatnya hari ini, sebab kalian dilahirkan di provinsiku, jenggala . Pergilah ke tempat yang tinggi dan  saksikanlah pertempuran besar ini. 
"Berkelilinglah ke tulungejo , dan suruh orang-orang mengumpulkan panji perayaan. Usahakan agar musuh  menyangkanya sebagai panji dan pataka. Ikatkan kain merah, kain putih, dan kain warna apa saja di dahan-
dahan pohon dan di puncak-puncak bukit, dan 
penuhi langit dengan pita-pita yang berkibar-kibar. 
Pahamkah kalian?" 
saat  mereka sudah  berangkai lagi dan ia menoleh 
ke belakang beberapa saat lalu , ia melihat panji 
dan pataka tak terhitung banyaknya berkibar-kibar di atas tulungejo . Sepertinya centeng  besar dari kedhiri   sudah  tiba di tulungejo  dan sedang berkemah di sana. 
Panasnya udara menyesakkan napas, lebih panas 
dibandingkan pada awal  kemarau di tahun-tahun 
lalu seperti yang akan dikenang oleh orang-orang tua  di lalu  hari. Matahari semakin tinggi dan kuda-
kuda menginjak-injak tanah yang belum tersiram 
hujan sesama sepuluh han. Seluruh centeng  ber-
selubung debu. 
Hidup atau mati bersama tali kekang, tangan 
aidit  menggenggam keduanya saat  ia berderap 
maju. Dalam pandangan para prajurit. aidit  
tampak sepetti pembawa   maut yang gagah, atau seperti  pemimpin menuju kehidupan yang lebih baik. Tak  peduli pandangan mana yang diambil, maupun bagaimana hasil akhirnya, kepercayaan pada sang pemimpin mengujawa  seluruh centeng  saat  mereka mengikutinya tanpa mengeluh. 
Menyambut maut! Menyambut maut! Menyambut maut! Di benak ki damarhaji pun inilah satu-satunya pikiran yang berkecamuk. Kalaupun ia tak ingin bergerak 
maju, sebab  semua orang di sekitarnya melangkah 
serempak, ia seperti ditelan gelombang besar, dan 
kakinya tak punya kesempatan berhenti. Walaupun 
tidak banyak berpengaruh, ia komandan tiga puluh 
prajurit infanteri. sebab  itu ia tak bisa berkeluh 
kesah, tak peduli betapa buruk situasi yang mereka 
hadapi. Menyambut maut! Menyambut maut!  
Upah para prajurit infanteri sedemikian rendah, 
  hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarga. Dan  bisikan putus asa dari hati nurani mereka juga 
menggema dalam diri betari durga . Patutkah orang 
menyia-nyiakan nyawa   seperti ini? Tentunya inilah yang akan terjadi, dan tiba-tiba betari durga  menyadari bahwa ia mengabdi kepada resi  yang menggelikan.  Harapannya begitu besar saat  ia pertama-tama  mendatangi aidit . dan kini orang itu seakan-akan  mengirim prajurit-prajuritnya termasuk betari durga   ke gerbang kematian. Tokkhiro memikirkan semua 
hal yang ingin dikerjakannya di dunia ini. dan 
membayangkan ibunya di lemahlaban . 
Inilah yang terlintas dalam pikiran betari durga , namun  
semuanya muncul dan tenggelam dalam sekejap saja. 
Suara langkah seribu pasang kaki dan gemerincing 
baju tempur seolah-olah berkata, "Mati! Mati!" 
Wajah para prajurit terbakar matahari, bersimbah 
peluh, berselubung debu. Dan meskipun watak 
betari durga  yang riang masih tampak, bahkan dalam 
situasi segenting ini. hari ini pikirannya sejalan 
dengan yang lain. "Bertempur! Sampai mati!" 
Para prajurit terus maju, siap mengorbankan nyawa  . 
saat  melewati bukit demi bukit, mereka semakin 
mendekati awan  asap hitam yang sudah  terlihat 
sebelumnya. 
Barisan terdepan baru saja mencapai puncak sebuah 
bukit saat  seorang laki-laki berlumuran darah dan 
terluka parah terhuyung-huyung menghampiri 
mereka, sambil meneriakkan sesuatu yang tak dapat 
  
mereka pahami. 
Orang itu pengikut mpu wiragajah  ki ageng grani yang berhasil 
meloloskan diri dari wedanarejo . sesudah  dibawa   ke 
hadapan aidit . sambil terengah-engah sebab  
lukanya, ia mengujawa  diri dan memberikan laporan. 
Tuanku mpu wiragajah  gugur sebagai pahlawan  dalam 
kobaran api yang dinyalakan oleh musuh, dan Yang 
Mulia Iio menerima ajal secara gagah dalam 
pertempuran di slogohimo . Hamba malu sebab  hamba 
satu-satunya orang yang masih hidup, namun  hamba 
meloloskan diri atas perintah Tuan mpu wiragajah  untuk 
memberitahu Yang Mulia apa yang sudah  terjadi. Pada 
waktu melarikan diri, hamba mendengar teriakan 
kemenangan musuh, begitu keras, sehingga bumi dan 
langit ikut bergetar. Tak ada yang tersisa di wedanarejo  
dan slogohimo  selain centeng  musuh." 
sesudah  mendengar laporan itu. aidit  berseru, 
"bramakatwang." madya bramakatwang masih kanak-kanak, 
dan sebab nya hampir tenggelam dalam kerumunan 
para prajurit. saat  aidit  memanggilnya, ia 
menjawab  dengan seruan lantang dan menghampiri 
aidit  dengan semangat tinggi. 
"Ya, tuanku?" 
"bramakatwang, mana tasbihku?" 
bramakatwang sudah  berhati-hati agar tasbih junjungan-
nya tidak terjatuh selama perjalanan. Ia membungkus-
nya dengan kain dan mengikatnya pada baju tempur. 
Kini ia cepat-cepat melepaskannya dan menimbang -
nya ke hadapan aidit . Tasbih itu terbuat dari 
  
manik-manik besar berwarna perak, dan memicu  
jubah kematian aidit  yang ber-warna hijau muda 
semakin mencolok. 
"Ah, menyedihkan sekali. Baik Iio maupun mpu wiragajah  
sudah  pergi ke dunia berikut. sebetulnya  aku ingin 
mereka melihatlihat  sepak terjangku." aidit  
duduk tegak di atas pelana dan merapatkan tangan 
untuk berdoa. 
Asap hitam dari slogohimo  dan wedanarejo  membakar 
langit bagaikan asap dari api perabuan. Seluruh 
centeng  menatapnya sambil membisu. Sejenak 
aidit  memandang ke kejauhan, lalu tiba-tiba 
berbalik. memukul pelananya, dan berseru. "Hari ini 
hari kesembilan belas. Hari ini akan menjadi hari 
kematianku, juga kematian kalian. Selama ini kalian 
menerima upah rendah, dan hari ini kalian meng-
hadapi takdir sebagai prajurit tanpa pernah menikmati 
nasib baik. Rupanya inilah yang sudah  digariskan bagi 
pengikut-pengikutku. namun  mereka yang mengambil 
langkah berikut bersamaku akan menyerahkan nyawa   
padaku. Mereka yang masih berat untuk melepaskan 
hidup ini boleh pergi tanpa perlu merasa malu." 
Para komandan dan prajurit menjawab  serempak. 
"Tidak! Patutkah junjungan kami gugur seorang diri?" 
aidit  melanjutkan. "Jadi, kalian rela berkorban 
nyawa   demi orang pandir seperti aku?" 
"Tuanku tak perlu bertanya." salah seorang resi  
membalas. aidit  memacu kudanya dengan satu pukulan cemeti. "Maju! centeng  mpu marijan  berada tepat di depan!" Ia melaju di muka centeng nya, namun   bersembunyi di tengah awan  debu yang diterbangkan  oleh centeng  yang bergegas maju. Diselubungi debu.  sosok samar penunggang kuda itu tampak hebat sekali. Jalanan melewati jurang, lalu melewati sebuah edan. saat  mendekati perbatasan provinsi, tanah mulai tidak rata. "Itu dia!" "jepitu! benteng kota jepitu!" para prajurit saling memberi tahu sambil terengah-engah. Bentang-benteng kota di jatigiring dan slogohimo  sudah jatuh, sehingga mereka pun cemas mengenai nasib jepitu. Kini mata mereka 
berbinar-binar. jepitu masih berdiri tegak, para 
pejuangnya pun masih hidup. aidit  memacu kudanya memasuki benteng kota 
dan berkata pada komandannya. "Percuma saja kita mempertahankan tempat kecil ini, jadi biarkan saja  musuh mengikutinya. Harapan centeng  kita terletak di tempat lain. 
Para pejuang jepitu bergabung dengan centeng  
aidit , dan tanpa istirahat mereka bergegas ke 
benteng kota di blora. Begitu menyadari kedatangan aidit . centeng  penjaga blora melepaskan  teriakan. Namun mereka tidak mengelu-elukan kedatangannya, seruan mereka lebih mirip  raungan menyedihkan. 
"Dia datang!" "Yang Mulia aidit !"  
  aidit  junjungan mereka, namun  tak seorang pun 
dari mereka mengetahui kemampuannya sebagai 
pemimpin centeng . Sungguh di luar dugaan mereka bahwa aidit  sendiri tiba-tiba mendatangi benteng kota terpencil tempat mereka sudah pasrah menghadapi ajal. Kini mereka semua memperoleh semangat baru, dan mereka siap mari untuk membela panji-panjinya. Pada 
saat yang sama. ki winokerto. yang sudah pergi ke 
arah pamotan dan menghimpun lebih dari tiga ratus penunggang kuda, bergabung dengan centeng  aidit . aidit  mengumpulkan para prajurit dan memerintahkan untuk mengadakan perhitungan. Pagi itu, waktu mereka meninggalkan benteng kota, junjungan dan pengikut hanya berjumlah enam atau tujuh orang. Kini jumlah anggou centeng nya mencapai hampir tiga 
ribu. Dalam pengumuman resmi, mereka dinamakan  berjumlah paling tidak lima ribu orang. aidit  menyadari bahwa inilah segenap kekuatan yang dapat  dihimpun dalam wilayah kekuasaannya, yang mencakup setengah dari wilayah jenggala . Tanpa centeng  penjaga benteng kota maupun centeng  cadangan, hanya 
orang-orang inilah yang dimiliki marga sinuhun . 
Senyum puas tersungging di bibirnya. Keempat 
puluh ribu oung yang tergabung dalam centeng  
mpu marijan  kini sudah  berada dalam jarak panggil. Untuk mempelajari susunan dan  semangat juang mereka, centeng  sinuhun  menyembunyikan panji-panji dan 
mengamati keadaan dari tepi bukit. 
  Kesatuan tanah  perdikan  berkumpul di lereng 
utara, agak terpisah dan centeng  utama. Mereka 
pemanah, namun pertempuran hari ini takkan 
melibatkan busur dan panah, sehingga orang-orangnya membawa   tombak. Ketiga puluh prajurit infanteri di bawah  betari durga  juga bersama mereka, dan saat  si komandan memberi aba-aba istirahat. betari durga  segera meneruskannya kepada orang-orangnya sendiri. 
Mereka menanggapinya dengan menarik napas 
dalam-dalam dan menjatuhkan diri ke rumput. 
betari durga  mengusap wajahnya yang bermandikan keringat dengan lap kotor. "Hei! Ada yang bisa pegang tombakku sejenak?" Para anak buahnya baru saja duduk, namun  salah seorang dari mereka berseru, "Siap!" 
lalu berdiri dan meraih tombaknya. lalu , saat  
betari durga  mulai melangkah, orang itu mengikutinya dari belakang. 
"Kau tidak perlu ikut.* 
"Tuan hendak ke mana?" 
"Aku tidak butuh bantuan. Aku ingin buang air 
besar, dan baunya pasti tak sedap. Kembalilah." 
Sambil tenkertoarjo , ia menghilang di semak-semak, di tepi jalan sempit. Mungkin sebab  menyangka betari durga  hanya bergurau, si bawah an menunggu beberapa saat 
dan memandang ke arah betari durga  menghilang. 
betari durga  menuruni lereng selatan, melihat 
berkeliling sampai menemukan tempat yang cocok. Ia melepaskan ikat pinggang dan berjongkok. centeng  mereka berangkat begitu terburu-buru tadi pagi. 
 sehingga ia nyaris tak sempat mengenakan baju 
tempur, dan sama sekali tak punya waktu untuk buang air. Bahkan selama mereka bergegas dari kedhiri  ke tulungejo  dan jepitu, jika mereka berhenti di suatu tempat, hal pertama yang dipikirkannya adalah buang air, seperti dalam kehidupan sehari-hari. sebab  itulah 
sangat melegakan untuk memenuhi kebutuhan 
jasmaniah di bawah  langit yang biru bersih. 
Namun di sini pun aturan di medan perang tidak 
mengizinkan orang bersikap lalai. Acap kali. jika dua centeng  saling berhadapan, patroli-patroli musuh akan meronda sampai jauh dari perkemahan mereka, dan kalau mereka menemukan seseorang sedang mengosongkan isi perut, mereka akan menembaknya 
demi kesenangan belaka. Jadi, betari durga  tak bisa tenang benar saat  menatap langit. Sewaktu 
memandang ke kaki bukit, ia melihat sungai di bawah  berliat-liut mengalir ke laut di Tanjung wungu. Ia juga  melihat jalan yang berkelok-kelok ke arah selatan di tepi timur sungai. 
slogohimo  terletak di daerah perbukitan di sebelah 
utara jalan, dan mungkin sudah  dibumihanguskan. Di ladang-ladang dan desa-desa ia melihat sosok-sosok orang dan kuda yang tampak bagaikan semut. "Ternyata banyak sekali." 
Mungkin sebab  ia tergabung dalam centeng  
provinsi kecil, namun  saat  ia melihat jumlah musuh, ungkapan klise "seperti awan  dan kabut" segera melintas di kepalanya. Dan saat  teringat bahwa yang  dilihatnya hanyalah sebagian centeng  musuh, ia tak 
heran bahwa aidit  sudah bertekad untuk mati. 
namun  bukan, ini bukan sekadar urusan orang lain. Mengosongkan isi perut mungkin hal terakhir yang 
dikerjakannya di dunia ini. 
Manusia memang aneh. Masih hidupkah aku besok? 
Sementara merenungkan hal-hal seperti itu, ia 
menjadi sadar bahwa seseorang sedang menaiki bukit. 
Musuh? Demikian dekat dengan medan per-
tempuran, reaksi itu muncul secara intuitif, bahkan 
hampir merupakan naluri, dan kini ia bertanya-tanya 
apakah ada pengintai musuh yang hendak menyusup 
ke balik markas aidit . saat  betari durga  cepat-
cepat mengencangkan ikat pinggang dan bangkit, 
orang yang sedang mendaki bukit itu tiba-tiba sudah  
berhadapan dengannya, dan keduanya berdiri 
berpandangan, seakan-akan sudah  berjanji hendak 
bertemu di sini. 
"panembahan !" 
"brawirgo !" 
"Kenapa kau ada di sini?"  
"Kenapa kau ada di sini?" 
"Aku memperoleh kabar bahwa aidit  mengerah-
kan centeng  dan sudah  bertekad mati dan aku datang untuk gugur bersamanya." 
"Aku gembira kau datang." Penuh haru betari durga  mengulurkan tangan kepada teman lamanya, dan 
mereka bersalaman erat; tak terhitung betapa banyak emosi yang terkandung dalam jabat tangan mereka. Baju tempur brawirgo  bagus sekali. Mulai dari bulu-bulunya sampai ke tali pengikat, semuanya baru dan berkilau-kilau. Sebuah jubah dengan lambang kembang prem terpasang pada punggungnya. 
"Kau tampak gagah," ujar betari durga  dengan kagum. Tiba-tiba ia teringat nyi momo . yang ditinggalkannya di  kedhiri . namun  ia memaksa pikirannya untuk kembali ke brawirgo . "Ke mana saja kau selama ini?"  
"Aku menunggu saat yang tepat." 
"saat  aidit  membuangmu, pernahkah 
terlintas di benakmu untuk mengabdi kepada marga lain?" 
"Tidak, kesetiaanku tak pernah bercabang. sesudah  dibuang pun aku merasa hukuman ini membuatku 
lebih manusiawi, dan aku berterima kasih sebab nya." Mata betari durga  berkaca-kaca. brawirgo  tahu bahwa  pertempuran hari ini akan membawa   kematian bagi seluruh marga sinuhun  dan betari durga  merasa gembira tak tertahankan melihat temannya datang ke sini sebab  
ingin gugur bersama bekas junjungannya. 
"Aku mengerti. Mari, brawirgo . Ini pertama kalinya 
aidit  beristirahat sejak kami berangkat. 
Sekaranglah waktunya. Ayo." 
"Tunggu. panembahan . Aku tidak mau menghadap 
aidit ." "Kenapa tidak?" 
"Aku tidak bermaksud datang kc sini pada waktu 
aidit  mungkin menahan perasaan sebetulnya , 
dan aku tak ingin para pengikutnya menyangka aku 
  
ingin menarik keuntungan dari keadaan ini." 
"Ada apa denganmu? Semua orang akan mati. 
Bukankah kau datang sebab  ingin gugur membela 
panji-panji junjunganmu?" 
"Itu benar." 
"Nah, kalau begitu jangan gelisah khawatir . Gunjingan 
hanya berpengaruh pada mereka yang hidup." 
"Tidak, lebih baik mati tanpa mengatakan apa-apa. 
Dan ini hasratku yang paling dalam, tak peduli 
aidit  mengampuniku atau tidak. panembahan ?" 
"Ya?" 
"Bersediakah kau menyembunyikan aku di tengah 
kesatuanmu selama beberapa saat?" 
"Tentu saja. namun  aku hanya membawa  hi tiga puluh 
prajurit infanteri. Kehadiranmu akan mencolok 
sekali." 
"Aku akan memakai ini." brawirgo  menutupi 
helmnya dengan sesuatu yang mirip selimut kuda. dan 
menyusup kc antara anak buah betari durga . Jika 
berjinjit, ia dapat melihat aidit  dengan jelas. Dan 
ia mendengar mara aidit  yang bernada tinggi 
muncul -tenggelam terbawa   angin. 
Bagaikan seekor burung yang terbang rendah, 
seorang penunggang kuda mendekati aidit  dari 
arah tak terduga. Seluruh centeng  menoleh ke 
arahnya. 
"Ada apa? Kau bawa   berita?" 
"Bagian terbesar kekuatan mpu marijan , centeng  di bawah  mpu kepenuwoan  dan tanda -resi nya baru saja 
  
mengubah arah dan menuju bentengloji !"  
"Apa?" tanya aidit  dengan  mata berbinar-
binar. "Hmm, kalau begitu mpu kepenuwoan  mengambil 
jalan ke bentengloji  tanpa berpaling ke arah sinuhun ka?" 
Sebelum ia selesai berbicara, sebuah seruan 
terdengar, "Lihat! Ada lagi!" 
Saru penunggang kuda, lalu dua pengintai-
pengintai untuk centeng  aidit . Orang-orang 
menahan napas saat  para pengintai memacu kuda 
masing-masing ke arah perkemahan. Melengkapi 

laporan sebelumnya, mereka menyampaikan per-
kembangan terakhir pada aidit . 
"Bagian terbesar centeng  mpu marijan  mengambil jalan 
bentengloji . namun  kini mereka menyebar di dekat 
bratanggede . agak ke selatan dari bentengloji . 
Mereka sudah  memindahkan markas, dan sepertinya 
sedang beristirahat dengan mpu kepenuwoan  di tengah-
tengah mereka." 
aidit  terdiam sejenak, matanya secerah mata 
pedang. Kematian. Hanya kematian  yang dipikirkannya. Dengan menggebu-gebu. dalam kegelapan total,  sambil menyerahkan diri pada nasib. Keinginannya 
hanya satu gugur secara jantan. Ia sudah memacu 
kudanya dari fajar sampai matahari tinggi di langit. 
Kini, tiba-tiba, bagaikan seberkas sinar yang 
menembus awan  kemungkinan untuk meraih 
kemenangan melintas di benaknya. 
Kalau semuanya berjalan baik... 

sebetulnya , sampai detik itu ia tak percaya pada 
 kemenangan, padahal kemenanganlah satu-satunya yang diperjuangkan oleh seorang prajurit. 
Penggalan-penggalan gagasan muncul dan meng-
hilang dalam pikiran manusia, seperti arus gelombang tanpa akhir, sehingga hidup manusia terbentuk sekilas demi sekilas. Sampai ke saat kematiannya. ucapan dan  perbuatan seseorang direntukan oleh rangkaian penggalan ini. Gagasan dapat menghancurkan 
seseorang. Setiap hari dalam kehidupan seseorang 
terbentuk melalui keputusannya untuk menerima atau menolak gagasan yang muncul mendadak seperti itu. Dalam keadaan biasa, ada waktu untuk menentukan pilihan sesudah  mempertimbangkannya masak-masak, namun  takdir kadang menghadang tanpa 
peringatan. Jika keadaan genting, ke kanan atau ke 
kirikah ia harus berpaling? aidit  kini sudah  
mencapai persimpangan itu, dan tanpa sadar ia 
menentukan nasibnya. 
Tentu saja waktu dan pendidikannya berpengaruh 
besar dalam mencegahnya melangkah ke arah yang 
salah. Bibirnya terkatup rapat. Meski demikian, ada 
sesuatu yang ingin dikatakannya. 
Tiba-tiba seorang pengikut berseru, "Tuanku, 
sekaranglah waktunya! mpu kepenuwoan  pikir dia sudah  
mengetahui kekuatan kita sesudah  merebut slogohimo  
dan wedanarejo . Dia tentu takabur sebab  keberhasilan 
centeng nya. Dia sedang menikmati kemenangan dan 
membiarkan semangat juangnya merosot. Inilah waktu 
yang tepat. Kalau kita melancarkan serangan men-
  
dadak ke markas mpu kepenuwoan , kemenangan pasti akan 
berpihak pada kita." 
"Betul!" aidit  berseru sambil menepuk pelana. 
"Itulah yang harus kita lakukan. Aku akan men-
dapatkan kepala mpu kepenuwoan . bratanggede  berada 
tepat di sebelah timur." 
Namun para resi  rampak risau dan waswas 
saat  mendengar laporan para pengintai, dan mereka 
berusaha mencegah aidit . 
namun  aidit  tidak ambil peduli. "Kalian semua 
orang tua uzur! Mengapa kalian gentar? Kalian tinggal 
mengikutiku. Kalau aku masuk ke dalam api, kalian 
pun ikut masuk. Kalau aku akan berjalan di atas air, 
kalian akan mengikutiku. Kalau tidak, menyingkirlah 
dan saksikan sepak terjangku dari jauh." Sambil 
tertawa  dingin, ia meninggalkan mereka dan memacu 
kudanya menuju barisan terdepan. 
 Siang. Tak seekor burung pun rerdengar di bukit-bukit yang hening. Angin sudah  berhenti, dan matahari yang  terik seakan-akan membakar segala sesuaru yang ada di bawah  langit. Daun-daun tampak tergulung anu layu 
seperti tembakau kering. 
"Di sebelah sana!" Diikuti sekelompok orang, 
seorang prajurit berlari menaiki lereng berumput. 
"Cepat siapkan petak." 
Beberapa prajurit menebas  semak belukar dengan 
  
sabit besar, yang lainnya membuka gulungan tirai dan 
mengikatnya ke dahan-dahan pinus dan pohon sutra 
di sekitar mereka. Dalam sekejap mereka sudah  mem-
buat petak berbatas tirai, yang akan dipakai  sebagai 
markas mpu kepenuwoan . 
"Wah! Panasnya bukan main!" salah satu dari 
mereka mengeluh. 
"Kata orang, jarang-jarang hawan ya sepanas 
sekarang!" 
Mereka mengusap keringat. 
"Lihat, aku sudah basah kuyup. Bahkan kulit dan 
logam di baju tempurku terlalu panas untuk 
disentuh." 
"Kalau kubuka baju tempur ini agar kena angin, 
tenru rasanya lebih enak. namun  sebentar lagi para 
resi  sudah tiba." 
"Hmm. mari kita melepas lelah sejenak." Hanya 
sedikit pohon di bukit berumput itu. Jadi prajurit-
prajurit itu duduk di bawah  bayang-bayang pohon 
kamper besar. sesudah  beristirahat sebentar, mereka 
merasa lebih sejuk. 
Bukit bratanggede  lebih rendah dibanding 
gunung-gunung di setenarnya, tak lebih dari bukit 
kecil di tengah lembah bundar. Dari waktu ke waktu, 
daun-daun di bukit ini mendadak berdesir sebab  
angin sejuk yang turun dari ki pranawara. 
Salah satu prajurit menatap ke langit sambil 
mengoleskan salep ke kakinya yang melepuh, dan 
bergumam pada diri sendiri. 
  
"Ada apa?" prajurit lain bertanya. 
"Lihat." 
"Lihat apa?" 
"awan  badai bergumpal. Kemungkinan besar nanti 
malam akan hujan." 
"Ah, syukurlah. namun  asal tahu saja, bagi mereka 
yang bertugas memperbaiki jalan dan membawa   
barang-barang, hujan lebih buruk dibandingkan  serangan 
musuh. Moga-moga hujannya tidak begitu deras.'* 
Tak putus-putusnya angin menggoyang-goyang tirai 
yang sudah  mereka pasang. 
Perwira yang bertanggung jawab  menatap ber-
keliling dan berkata pada anak buahnya. "Ayo, 
berdirilah. Malam ini Yang Mulia akan tinggal di 
benteng kota sinuhun ka. Beliau sengaja membuat musuh 
mengira centeng  kita akan bergerak dari lamongan ke 
sinuhun ka, namun  dengan mengambil jalan pintas lewat 
bentengloji , beliau merencanakan untuk tiba nanti 
malam. Tugas kita adalah memeriksa semua jembatan, 
tebing, dan selokan di sepanjang jalan yang akan 
dilalui beliau. Ayo berangkat." 
Mereka beranjak, dan bukit itu kembali tenteram 
seperti semula. Suara jangkrik terdengar di sana-sini. 

namun  tak lama lalu  tangkah kuda terdengar di 
kejauhan. Tak ada tiupan sangkakala, tak ada bunyi 
genderang, dan mereka bergerak setenang mungkin di 

antara puncak-puncak bukit. Namun, meski sudah  
berusaha, debu dan kebisingan yang dimuncul kan 
demikian banyak kuda tak dapat ditutup-tutupi. Bunyi 
  
kaki kuda menginjak batu dan akar segera memenuhi 
udara, dan centeng  utama di bawah  mpu marijan  
mpu kepenuwoan  membanjiri bukit dan daerah sekitar 
bratanggede  dengan prajurit-prajurit, kuda-kuda, 
panji-panji, dan tirai-tirai. 
mpu kepenuwoan  berkeringat paling hebat. Ia sudah  
terbiasa hidup nyaman, dan sesudah  melewati usia l
empat puluh, tubuhnya pun membengkak. Jelas sekali 
ia tersiksa oleh manuver-manuver ini. Badannya yang 
gemuk ditutupi jubah  berwarna merah dan 
lempengan dada berwarna putih, la mengenakan helm 
berukuran besar yang dimahkotai oleh 9 naga. 
dengan lima lempengan pelindung tengkuk. Selain 
itu, ia memakai pedang panjang bernama 
grindanakurago yang sudah beberapa generasi berada 
dalam keluarga mpu marijan . sebilah pedang pendek juga 
hasil karya pandai besi terkenal sarung tangan, 
pelindung tulang kering, dan sepatu bot. Berat seluruh 
perlengkapannya mungkin lebih dari empat puluh 
kilo, dan tak ada tempat sama sekali bagi angin untuk 
menyusup masuk. 
Bersimbah peluh, mpu kepenuwoan  terus berkuda di 
bawah  panas yang membakar. Akhirnya ia tiba di 
bratanggede . 
"Apa nama tempat ini?" mpu kepenuwoan  bertanya begitu 
terlindung di balik tirai markasnya. Di sekelilingnya 
berdiri orang-orang yang bertugas melindunginya 
para pelayan, resi . pengikut senior, dokter, dan 
lain-lain. 
  
Salah seorang resi  menjawab , "Ini 
bratanggede . Letaknya tidak jauh dari 
bentengloji ." 
mpu kepenuwoan  mengangguk dan menyerahkan helmnya 
pada seorang pelayan. sesudah  pelayan lain membuka 
tali pengikat baju tempurnya, ia melepaskan pakaian 
dalamnya yang basah kuyup dan mengenakan jubah 
putih yang bersih. Angin bertiup lembur. Betapa 
menyegarkan, pikir mpu kepenuwoan . 
Sesudah tali pinggang baju tempurnya dikencang-
kan kembali, kursi dipindahkan ke kulit macan tutul 
yang diletakkan di rumput. Perlengkapan mewah yang 
mengikutinya ke mana-mana mulai dibongkar. 
"Apa itu?" mpu kepenuwoan  minum seteguk teh. terkejut 
oleh bunyi yang mirip  gemuruh meriam. 
Para pembantunya ikut memasang telinga. Salah 
satu dari mereka menyingkap tepi tirai dan menatap 
ke luar. Ia menemukan pemandangan memesona 

matahari terik tampak bermain-main dengan awan  
yang terkoyak-koyak dan menimbulkan pusaran 
cahaya di langit. 
"Guntur di kejauhan. Hanya bunyi gunrur di 
kejauhan," si pengikut melaporkan. 
"Guntur?" mpu kepenuwoan  memaksakan senyum, sambil 
menepuk-nepuk punggung sebelah bawah  dengan 
tangan kiri. Para pembantunya memperhatikannya, 
namun  sengaja menahan diri dan tidak menanyakan 
sebabnya. Pagi itu, saat  mereka berangkat dari 
lamongan, mpu kepenuwoan  terjatuh dari kudanya. Kembali 
  
menanyakan cederanya hanya akan mempermalukan 
mpu kepenuwoan . 
Sesuatu sedang terjadi. Tiba-tiba terdengar bunyi 
langkah kuda dan orang dari kaki bukit, mendekat ke 
arah markas. mpu kepenuwoan  langsung berpaling pada 
salah satu pengikutnya dan bertanya cemas, "Apa lagi 
sekarang?" 
Tanpa menunggu perintah untuk mencari 
penyebabnya, dua atau tiga prajurit bergegas keluar, 
membiarkan angin masuk. Kali ini penyebabnya 
bukan guntur. Suara kaki kuda dan langkah orang 
sudah  mencapai puncak bukit. Kesatuan itu ber-
kekuatan sekitar dua rarus orang, dan mereka 

membawa   kepala-kepala musuh sang diperoleh di 
brojorejo  suatu gambaran nyata bagaimana per-
tempuran berlangsung. 
Kepala-kepala itu dibawa   agar diperiksa oleh 
mpu kepenuwoan . 
"Kepala para centeng adipati  sinuhun  di brojorejo . Susun 
semuanya dengan rapi. Mari kita lihat." mpu kepenuwoan  
tampak bersemangat. "Siapkan kursiku!" 
Sambil mengatur posisi dan menutup wajah dengan 
kipas, ia memeriksa ketujuh puluh kepala yang dibawa   
ke hadapannya saru per satu. sesudah  selesai. 
mpu kepenuwoan  berseru, "Betapa banyak darah!" dan ber-
balik sambil memerintahkan agar tirai ditutup 
kembali. awan  hutan umpak tersebar-sebar di langit 
siang. "Hmm, hmm. Angin sejuk naik dari rurang. 
Sebentar lagi sudah siang, bukan?" 
  
"Tidak, tuanku. Jam Kuda sudah  berlalu." salah satu 
pembantunya balas. 
"Pantas saja aku lapar. Siapkan makan siang, dan 
biarkan centeng  makan dan beristirahat." 
Seorang pembantu bergegas keluar untuk 
meneruskan perintahnya. Di balik tirai, para resi , 
pelayan, dan juru masak berjalan mondar-mandir, 
namun suasana tenang. Sekali-sekali, utusan dari kuil-
kuil dan desa-desa di sekitar datang untuk menyerah-
kan anggur  dan masakan minuman  khas setempat. 
mpu kepenuwoan  mengamati orang-orang ini dari jauh. 
dan memutuskan, "Kita akan memberikan imbalan 
pada mereka saat kita kembali dari ibu kota." 
sesudah  penduduk-penduduk setempat berlalu. 
mpu kepenuwoan  minta dibawa  kan anggur  dan ia bersantai di 
atas kulit macan tutul. Para komandan di luar tirai 
menghadap satu per satu, dan mengucapkan selamat 
atas kemenangan di brojorejo . yang menyusul 
penaklukan wedanarejo  dan slogohimo . 
"Kalian tentu kurang senang dengan perlawan an tak 
berarti yang kita temui sampai sekarang." mpu kepenuwoan  
berkata dengan tampang jenaka saat  ia menawarkan  
anggur  pada seluruh pengikut dan pembantunya. 
Sikapnya semakin meluap-luap. 
"Kekuasaan Yang Mulia-lah yang membawa   keadaan 
menguntungkan ini. namun , seperti dikatakan oleh Yang 
Mulia, jika keadaan terus seperti ini, tanpa musuh 
yang bisa digempur, para prajurit akan mengeluh 
bahwa disiplin dan latihan kita sia-sia belaka." 
  
"Bersabarlah. Besok malam benteng kota kedhiri  akan 
kita rebut, dan walaupun orang-orang sinuhun  sudah  
terpojok, tentu masih tersisa semangat juang dalam 
diri mereka. Kalian semua akan memperoleh 
kesempatan untuk membuktikan keberanian di 
medan tempur." 
"Hmm, kalau begitu Yang Mulia bisa tinggal selama 
dua atau tiga hari di kedhiri , sambil menikmati 
pemandangan bulan dan hiburan lainnya." 
Sementara mereka bercakap-cakap, matahari 
menghilang di balik awan . namun  dengan aki mengalir 
bebas, tak ada yang memperhatikan langit yang 
semakin gelap. saat  tiupan angin mengangkat tirai, 
hujan pun mulai turun. Namun mpu kepenuwoan  dan para 
resi nya asyik tertawa  dan mengobrol, membahas 
siapa yang akan tiba paling dahulu  di benteng kota kedhiri  
pada keesokan harinya, dan mencemooh aidit . 
 
Sementara mpu kepenuwoan  sedang menghina musuh-
nya, aidit  sedang bergegas menaiki lereng 
ki pranawara. Ia sudah  mendekati markas mpu kepenuwoan . 
ki pranawara tidak terlalu tinggi maupun terjal, namun  
pepohonan di lereng-lerengnya amat lebat. Hanya para 
penebang kayu yang sering ke sini, jadi agar sejumlah 
besar kuda dan orang dapat lewat dengan cepat, 
mereka terpaksa menebang pohon, menginjak-injak 
semak belukar, melompati celah, dan menyeberangi 
sungai. 
aidit  berseru pada centeng nya. "Jika kalian 
  
jatuh dari kuda, tinggalkan saja! Jika panji-panji 
tersangkut di dahan-dahan, biarkan saja! Pokoknya, 
bergegaslah! Yang penting adalah mencapai markas 
mpu kepenuwoan  dan memperoleh  kepalanya. Jangan bawa   
barang sama sekali! Terjanglah centeng  musuh dan 
tembus barisan mereka. Jangan buang waktu dengan 
memenggal setiap lawan  yang berhasil kalian jatuhkan. 
Bantai mereka dan hadapi lawan  berikut, selama 
tubuh kalian masih bernyawa  . Kalian tak perlu 
berusaha menjadi pahlawan . Sepak terjang yang gagah 
berani tak bermanfaat sama sekali. Bertempurlah 
tanpa mementingkan diri sendiri, dan kalian akan 
menjadi pejuang sinuhun  sejati." 
Para prajurit mendengarkan kata-katanya seperti 
mendengarkan guntur sebelum badai. Langit sore 
sudah  berubah sama sekali, dan kini rampak bagaikan 
tinta gelap. Angin berembus dari lapisan debu, 
lembah, rkertoarjo -rkertoarjo , akar-akar pohon, dan bertiup ke 
dalam kegelapan. 
"Kita sudah hampir sampai! bratanggede  berada 
di balik bukir itu. Kalian siap mati? Jika kalian 
tertinggal, kalian hanya akan membawa   aib bagi 
keturunan kalian sampai akhir zaman!" 
Bagian terbesar centeng  aidit  tidak bergerak 
membentuk formasi. Beberapa prajurit terlambat, 
sementara yang lain sudah  maju. Namun semangat 
mereka terpacu oleh suaranya. 
aidit  berseru-seru sampai serak, dan orang-
orang sukar menangkap kata-katanya. namun  itu tidak 
  
diperlukan lagi. Bahwa ia memimpin mereka, itu 
sudah cukup. Sementara itu, hujan mulai turun. 
Tetes-tetes airnya cukup besar untuk menimbulkan 
rasa nyeri saat  mengenai pipi dan hidung. Ini 
ditambah   angin kencang yang merontokkan daun-daun. 
sehingga mereka tak dapat memastikan apa yang 
menghantam wajah mereka. 
Tiba-tiba kilat nyaris membelah bukit menjadi dua. 
Sejenak langit dan bumi tak dapat dibedakan 
keduanya diliputi asap putih. saat  hujan mulai 
mereda, air bercampur lumpur mengalir di lereng-
lereng. 
"Itu dia!" teriak betari durga . Ia berbalik dan 
menunjuk ke arah perkemahan mpu marijan . melewati 
centeng  jalan kaki yang berkedip-kedip untuk 
menghalau hujan. Petak-petak bertirai yang dipasang 
oleh pihak musuh seakan-akan tak terhitung banyak-
nya, dan semuanya basah kuyup sebab  hujan. Di 
depan mereka, rkertoarjo -rkertoarjo  terbentang. Di baliknya 
terlihat lereng bratanggede . 
saat  menatap ke arah itu, anak buah betari durga  
melihat sekutu-sekutu mereka menyerbu. Mereka 
mengacungkan pedang, tombak, dan lembing. 
aidit  sudah  berpesan agar mereka membawa   
beban seringan mungkin, dan banyak prajurit yang
sudah  menanggalkan helm dan membuang panji-panji. Menyusup melalui pepohonan, terperosok di lereng-lereng berumput, mereka segera menghampiri petak-petak musuh. Sesekali kilat biru di kehijauan 
  menerangi langit, dan hujan putih dan  angin hitam menyelubungi dunia dalam kegelapan. 
Sambil berseru pada anak buahnya. betari durga  
bergegas melalui rkertoarjo -rkertoarjo  dan mulai mendaki bukit.  
Prajurit-prajuritnya terpeleset dan jatuh, namun  terus 
berada di belakangnya. Dibandingkan istilah terjun ke 
dalam keributan, lebih tepat dikatakan bahwa 
kesatuan betari durga  tertelan bulat-bulat oleh 
pertempuran. 
tawa  menggema di sekitar markas mpu kepenuwoan  pada 
waktu guntur bergemuruh. saat  angin bertambah  
kencang pun, batu-batu yang menindih tirai-tirai petak 
itu tetap di tempat. 
"Biarlah angin mengusir hkertoarjo  panas!" mereka 
berkelakar sambil terus minum. namun  mereka berada 
di medan perang dan berencana untuk tiba di sinuhun ka 
pada malam hari, sehingga tak seorang pun mereguk 
zake sampai melebihi batas. 
lalu  diumumkan bahwa makan siang sudah 
siap. Para resi  memerintahkan agar makanan 
dibawa   ke hadapan mpu kepenuwoan , dan saat  mereka 
menghabiskan isi baskom masing-masing, tempat nasi 
dan panci besar berisi sup diletakkan di depan 
mereka. Secara bersamaan hujan mulai turun, 
mengenai panci, tempat nasi, tikar jerami, dan baju 
tempur. 
  
Akhirnya mereka menyadari bahwa langit lelah 
gelap, dan mereka mulai memindahkan tikar-tikar. Di 
dalam petak ada pohon kamper yang begitu besar, 
sehingga diperlukan tiga orang untuk mengelilinginya 
dengan tangan terentang. mpu kepenuwoan  berdiri di bawah  
pohon itu, terlindung dari hujan. Yang lain bergegas 
menyusul, sambil membawa  kan tikar dan mangkuk-
mangkuknya. 
Ayunan pohon raksasa itu terasa mengguncangkan 
tanah, dan dahan-dahannya berderu-deru dalam angin 
kencang. Daun-daun berwarna cokelat dan hijau 
beterbangan seperti debu dan mengenai baju tempur, 
asap dari api unggun bertiup sampai hampir sejajar 
dengan permukaan tanah, menyesakkan napas 
mpu kepenuwoan  dan jenderal-resi nya dan  membuat 
mau mereka berair. 
"Mohon Yang Mulia bersabar sejenak. Kami akan 
memasang atap." Salah satu resi  memanggil 
prajurit-prajurit, namun tidak memperoleh jawab an. 
Di tengah percikan hujan dan deruan pohon, 
suaranya hanyut terbawa   angin, sehingga tak ada yang 
membalas. Hanya bunyi kayu api berderak-derak 
terdengar dari petak dapur yang terus mengeluarkan 
asap. 
"Panggil komandan centeng  jalan kaki!" saat  
salah satu resi  bergegas keluar, sebuah bunyi aneh 
terdengar di sekitar. Bunyi itu mirip  erangan 
yang seakan-akan berasal dari dalam bumi benturan 
dahsyat antara pedang dan pedang. Dan badai bukan 
  
saja menyerang permukaan kulit mpu kepenuwoan . Pikiran-
nya pun mulai dilanda rasa bimbang. 
"Ada apa? Apa yang terjadi?" mpu kepenuwoan  dan resi -
resi nya tampak teramat heran. "Apakah kita 
dikhianati? Apakah orang-orang saling bertempur?" 
sebab  belum juga menyadari apa yang terjadi, para 
centeng adipati  dan resi  di sisi mpu kepenuwoan  segera mem-
bentuk dinding pelindung mengelilinginya. 
"Ada apa?" mereka berseru. namun  centeng  sinuhun  sudah  
membanjiri perkemahan, dan kini berhamburan di 
luar tirai. 
"Musuh!" 
"Orang-orang sinuhun !" 
Tombak-tombak saling beradu, dan bara api 
beterbangan di atas orang-orang yang sedang bertikai. 
mpu kepenuwoan , masih di bawah  pohon kamper besar, 
seakan-akan tak sanggup bicara. Ia menggigit-gigit bibir 
dengan giginya yang hitam, rupanya tak kuasa 
menerima kenyataan yang sedang berlangsung di 
depan matanya. Para resi nya mengelilinginya 
dengan wajah geram, sambil berseru ke sana kemari. 
"Apakah ada pemberontakan?" 
"Pemberonlakkah orang-orang ini?" 
Tak ada jawaban pasti selain jeriran. dan meskipun men-
dengar teriakan-teriakan dari sekeliling, mereka tetap 
belum percaya bahwa musuh sudah  menyerang. namun  
hanya sejenak saja mereka menyangsikan pendengaran 
mereka. Para prajurit sinuhun  muncul di hadapan 
mereka, dan teriakan-teriakan perang dalam logat 
  
jenggala  yang aneh serasa menusuk-nusuk telinga para 
pengikut mpu kepenuwoan . Dua atau tiga prajurit musuh 
bergegas ke arah mereka. 
"Hai! Penguasa kertanegara !" 
Baru saat  melihat orang-orang sinuhun  mendekat, 
berteriak seperti roh jahat, melompat dan merosot di 
lumpur, mengacungkan tombak dan lembing, mereka 
akhirnya menyadari situasi sebetulnya . 
"Orang-orang sinuhun !" 
"Serangan mendadak!" 
Kekacauan yang muncul  bahkan lebih hebat 
dibandingkan jika mereka diserang pada malam hari. 
Mereka sudah  menganggap enteng aidit . 
Sekarang waktu makan siang. Selain amukan badai 
dahsyat, inilah yang memicu  musuh berhasil 
menyusup ke perkemahan, tanpa diketahui. Namun 
sebetulnya  barisan terdepan mereka sendirilah yang 
membuat markas mpu kepenuwoan  merasa aman. 
Kedua resi  yang diberi tugas mengamankan 
markas berkemah kurang dari satu mil dari bukit, namun  
tiba-tiba. tanpa peringatan dari para pengintai, 
centeng  musuh masuk menyerbu, tepat di depan mata 
mpu kepenuwoan  dan perwira-perwira tingginya. 
Sejak semula aidit  sengaja menghindari per-
kemahan barisan depan. saat  mereka melewati 
ki pranawara dan menuju bratanggede . aidit  
sendiri ikut mengacungkan tombak dan melawan  
prajurit-prajurit mpu kepenuwoan . Kemungkinan besar para 
prajurit yang menjadi korban tombak aidit  tidak 
  
mengetahui siapa lawan  mereka. sesudah  mencederai 
dua atau tiga orang. aidit  berderap ke arah petak 
berurai. 
"Pohon kamper!" aidit  berseru saat  salah 
satu anak buahnya berlari melewatinya. "Jangan 
biarkan si Penguasa kertanegara  lolos! Dia pasti di petak di 
bawah  pohon kamper!" aidit  langsung bisa 
menebak di mana mpu kepenuwoan  berada, hanya dengan 
mengamati susunan perkemahan. 
"Tuanku!" Dalam kekacauan di medan tempur, 
kuda aidit  nyaris menabrak prajurit yang 
berlutut di hadapannya dengan tombak berlumuran 
darah di sampingnya. "Siapa kau?" 
"madya brawirgo .,tuanku."  
"brawirgo ? Hmm, bertempurlah!" 
Hujan membasahi jalan-jalan setapak yang ber-
lumpur, dan angin menyapu permukaan ranah. 
Beberapa cabang pohon kamper dan pohon-pohon 
pinus di sekitarnya pauh dan jatuh berdebam. Air 
menetes dari dahan-dahan dan mengenai helm 
mpu kepenuwoan . 
"Tuanku, ke sinilah! Lewat sini." Empat atau lima 
pengikut mpu kepenuwoan  membentuk lingkaran di 
sekelilingnya dan menuntunnya dari satu petak ke 
petak lain. bermaha menghindari bencana. 
"Apakah Penguasa kertanegara  ada di sini?" Begitu 
mpu kepenuwoan  pergi, seorang prajurit sinuhun  bersenjatakan 
tombak menantang salah satu resi  yang masih 
bertahan di markas. 
  
"Majulah, biar kucabut nyawa  mu." si resi  
membalas, sambil menahan tombak si prajurit dengan 
tombaknya sendiri. 
Penyerangnya memperkenalkan diri, napasnya 
tersengal-sengal. "Aku Macda brawirgo , pengikut 
aidit ."  
Si resi  menjawab  dengan menyebutkan nama 
dan pangkatnya. Ia menerjang ke depan, namun  brawirgo  
melangkah ke samping, sehingga serangan tombak 
tidak mengenai sasaran. 
brawirgo  melihat kesempatannya, namun  ia tak sempat 
menarik rombaknya yang panjang, jadi ia hanya 
menghantam kepala lawan nya dengan gagang tombak. 
Helmnya berbunyi seperti gong, dan resi  yang 
tcrluka itu merangkak keluar. Pada saat itu, dua orang 
lagi menyebutkan nama masing-masing. saat  
brawirgo  pasang kuda-kuda. seseorang menabrak 
punggungnya. brawirgo  terhuyung-huyung dan jatuh 
sebab  tersandung mayat seorang prajurit. 
"panembahan  betari durga !" Di suatu tempat, sahabatnya 
sedang memperkenalkan diri. brawirgo  tersenyum, 
angin dan hujan mengenai pipinya. Pandangannya 
terhalang lumpur. Ke mana pun ia menoleh, ia 
melihat darah. saat  terpeleset dan jatuh, ia masih 
sempat melihat bahwa tak ada kawan  maupun lawan  
di dekatnya. Mayat-mayat bergelimpangan. Sandal 
jeraminya berubah warna menjadi merah saat  ia 
melangkah melewati sungai darah. Di mana si 
panglima bergigi hitam? Ia menginginkan kepala 
  
mpu kepenuwoan . 
Hujan menderu. Angin berseru. 
namun  brawirgo  tidak sendirian dalam pencariannya. 
ki pakanewonoto, seorang adipati  dari Kai. berbaju 
tempur dari pinggang ke bawah , dengan tombak 
berlumuran darah di tangannya, berlari mengelilingi 
pohon kamper sambil berseru parau. "Aku mencari si 
Pengusa kertanegara ! Mana pemimpin besar yang bernama 
mpu kepenuwoan ?" Tiupan angin menyingkap tepi tirai, petir 
menyambar, dan ia melihat laki-laki dengan mantel 
merah di luar baju tempur, dengan helm berhiaskan 
9 naga. 
Suara berang yang memarah-marahi para pengikut 
mungkin saja milik madyamargowinoyo, "Jangan pikirkan aku! 
Ini keadaan darurat! Aku tidak butuh banyak orang di 
sekelilingku. Kejarlah musuh yang datang untuk 
menyerahkan kepala. Bunuhlah aidit ! dibandingkan  
melindungiku. benempurlah!" Bagaimanapun, ia 
panglima centeng  gabungan tiga provinsi, dan lebih 
cepat memahami situasi dibandingkan  orang-orang lain. 
Kini ia murka melihat para komandan dan prajurit 
berlari kocar-kacir di sekitarnya. 
Dengan hati-hati, beberapa prajurit bersusah payah 
menyusuri jalan berlumpur. sesudah  mereka melewati 
tempat persembunyiannya. ki jawadana mengangkat tirai 
yang basah dengan ujung tombaknya, untuk 
memastikan bahwa orang yang didengarnya adalah 
mpu kepenuwoan . 
mpu kepenuwoan  sudah tidak di sana. Petaknya sudah  
  
kosong. Sebuah mangkuk nasi terbalik, dan butir-butir 
nasi berserakan dalam genangan air. Selain itu hanya 
ada empat atau lima batang kayu membara. 
ki jawadana menyadari bahwa madyamargowinoyo pergi terburu-
buru dengan hanya ditambah   beberapa orang, jadi kini 
ia beralih dari satu petak ke petak lain, berusaha 
mencarinya. Sebagian besar tirai sudah  terkoyak dan 
ambruk, atau berlumuran darah dan terinjak-injak. 
Sepertinya mpu kepenuwoan  sedang mencoba meloloskan 
diri. Tentunya ia takkan melarikan diri dengan 
berjalan kaki. Jika memang demikian, ia tentu menuju 
tempat kuda. Namun di suatu perkemahan dengan 
begitu banyak petak, di tengah-tengah pertempuran, 
tidaklah mudah mengetahui tempat musuh mengikat 
kuda. Dan binatang-binatang itu pun tidak merumput 
dengan tenang. Di tengah hujan, benturan senjata, 
dan percikan darah, mereka menjadi panik, dan 
beberapa berlarian tak terkendali di sekeliling 
perkemahan. 
Di manakah dia bersembunyi? ki jawadana berdiri sambil 
memegang tombaknya, membiarkan air hujan 
mengalir turun lewat pangkal hidung, masuk ke 
kerongkongannya yang kering. Tiba-tiba seorang 
prajurit yang tidak mengenalinya sebagai musuh 
menarik-narik seekor kuda abu-abu tepat di hadapan-
nya. 
Rumbai-rumbai berwarna merah tergantung dan 
pelana berlapis kulit kerang dengan pinggiran berlapis 
emas; tali kekang berwarna ungu-putih terpasang pada 
  
kekang yang terbuat dari perak. Ini pasti kuda jcndral. 
ki jawadana melihatlihat  kuda itu dibawa   ke sekelompok 
pohon pinus. Di antara pohon-pohon itu sebuah 
petak berurai tampak hampir ambruk, bagian yang 
masih tegak berkibar-kibar teniup angin. 
ki jawadana mdompat maju dan mengangkat tirai itu. Di 
hadapannya berdiri mpu kepenuwoan . Seorang pengikut 
memberitahunya bahwa kudanya sudah  siap, dan 
mpu kepenuwoan  baru hendak melangkah keluar. 
"Penguasa kertanegara . namaku ki pakanewonoto. Aku 
membela panji-panji sinuhun . Aku datang untuk 
mengambil kepalamu. Bersiaplah menghadapi maut!" 
Sambil menyebutkan nama, ki jawadana menusuk 
punggung mpu kepenuwoan , dan suara benturan tombak 
dan baju tempur terngiang-ngiang di telinga mereka. 
Sesaat  madyamargowinoyo membalik, dan pedangnya 
membelah tombak ki jawadana menjadi dua. ki jawadana 
melompat mundur sambil berseru, gagang tombak di 
tangannya hanya tersisa setengah meter. 
ki jawadana membuangnya dan berteriak. "Pengecut! 
Mengapa membelakangi lawan  yang sudah  mem-
perkenalkan diri?" 
Dengan pedang terhunus ki jawadana menerjang ke arah 
mpu kepenuwoan , namun ditangkap dari belakang oleh 
prajurit mpu marijan . sesudah  dengan mudah mencampak-
kan orang itu, ia diserang dari samping oleh prajurit 
musuh lainnya, Ia berusaha menghindari ayunan 
pedangnya, namun  prajurit pertama sudah  menggenggam 
mata kakinya, sehingga ia tak dapat bergerak cepat. 
  
Pedang prajurit kedua memotong tubuh ki jawadana 
menjadi dua. 
"Tuanku! Mohon segera pergi dari sini! centeng  
kita kacau-balau dan tak sanggup mengujawa  musuh. 
Kemunduran ini patut disesalkan, namun  hanya bersifat 
sementara." Wajah prajurit itu berlumuran darah. 
Prajurit satunya, dengan tubuh berlepotan lumpur, 
melompat berdiri, lalu keduanya mendesak 
mpu kepenuwoan  agar segera berangkat. 
"Sekarang! Cepatlah, tuanku!" 
Namun lalu ... 
"Aku datang untuk menghadapi mpu kepenuwoan  yang 
termasyhur. Namaku patih tunggawaja. dan aku 
mengabdi Yang Mulia aidit ." Seorang laki-laki 
bertubuh raksasa menghadang di depan mereka. 
mpu kepenuwoan  mundur selangkah saat  tombak si 
raksasa menerjang. 
Prajurit pertama menahan tusukan itu dengan 
tubuhnya dan jatuh tertembus, sebelum sempat 
mengayunkan pedang. Prajurit kedua segera maju, namun  
ia pun tertusuk oleh tombak tunggawesi. dan roboh 
menimpa mayat kawan  seperjuangannya. 
"Tunggu! Mau ke mana kau?" Tusukan tombak 
secepat kilat mengejar mpu kepenuwoan , yang sedang 
mengelilingi pangkal pohon pinus. 
"Aku di sini!" Dengan pedang siap menebas. 
mpu kepenuwoan  memelototi tunggawesi. tunggawesi kembali 
menusukkan tombak dan mengenai bagian samping 
baju tempur lawan nya. namun  baju tempur itu ditempa 
  
dengan baik. dan lukanya tidak dalam. mpu kepenuwoan  
pun tidak gentar. 
"Bangsat!" teriak mpu kepenuwoan  dan membelah tombak 
itu dengan pedangnya. 
tunggawaja sudah  membulatkan tekad. Sambil mem-
buang tombak, ia melompat maju. Namun mpu kepenuwoan  
berlutut dan mengayunkan pedangnya ke arah kaki 
tunggawesi. Pedangnya tajam sekali. Bunga api 
beterbangan dari pelindung tulang kering, dan 
tempurung lutut tunggawesi terbelah seperti buah 
delima. tunggawesi jatuh ke belakang, dan mpu kepenuwoan  
jatuh ke depan, helmnya yang bermahkota meng-
hantam tanah.  
saat  mpu kepenuwoan  mengangkat kepala, seseorang 
berseru, "Aku patih sosrojiwo!" 
patih menangkap kepala mpu kepenuwoan  dari belakang, 
dan keduanya jatuh terguling-guling. Pada waktu 
mereka bergulat, pelindung dada mpu kepenuwoan  tertarik ke depan, dan darah mengucur dari luka tombak yang baru saja diterimanya. Terjepit di bawah , mpu kepenuwoan  menggigit telunjuk tangan kanan patih sampai putus. Dan bahkan sesudah  kepalanya terpenggal, jari patih 
yang putih masih tersembul di antara bibir mpu kepenuwoan  yang ungu dan giginya yang dihitamkan.  Menang atau kalahkah mereka? betari durga  bertanya-tanya   sambil terengah-engah. 
"Hei! Di mana kita!" serunya pada semua orang yang mungkin berada dalam jarak dengar, namun tak seorang pun bisa memastikan di mana mereka berada. Hanya setengah dari anak buahnya masih bernyawa  , dan semuanya dalam keadaan linglung. 
Hujan sudah  mereda dan angin pun sudah  melemah. Sinar matahari menembus lapisan awan  yang terkoyak koyak. sesudah  badai berlalu, neraka bratanggede  pun berangsur-angsur menghilang, dan kini yang tertinggal hanyalah bunyi jangkrik. 
"Berbarislah!" betari durga  memberi perintah. 
Para prajurir berbaris serapi mungkin. saat  meng-
hitung kesatuannya. betari durga  menemukan anak buahnya sudah  berkurang dari tiga puluh menjadi tujuh belas, dan empat di antara mereka sama sekali tak dikenalnya. 
"Kalian berasal dari kesatuan mana?" ia menanyai 
salah satu. 
"Dari kesatuan dwarapa  raden  karto. namun  saat  kami 
sedang bertempur di tepi bukit sebelah barat, hamba 
terperosok masuk jurang dan kehilangan jejak 
kesatuan hamba. lalu  hamba melihat kesatuan 
ini mengejar-ngejar musuh, jadi hamba memutuskan 
untuk bergabung." 
"Baiklah. Nomor tujuh?" 
"Hamba mengalami hal yang sama. Hamba mengira bertempur bersama rekan-rekan hamba, namun  waktu  hamba melihat sekeliling, hamba menyadari bahwa hamba berada di tengah-tengah kesatuan ini." 
betari durga  tidak menanyai yang lain. Kemungkinan beberapa anak buahnya terbunuh dalam pertempuran, 
sementara beberapa lagi tercerai-berai dan bergabung 
dengan kesatuan lain. Namun bukan hanya para 
prajurit yang kehilangan arah di tengah pertempuran. 
Kesatuan betari durga  pun terpisah dari centeng  utama 
dan resimen perdikan , dan mereka sama sekali tidak 
mengetahui di mana mereka berada. 
"Kelihatannya pertempuran sudah  berakhir." 
betari durga  bergumam saat  memimpin orang-
orangnya ke arah tempat mereka datang semula. 
Air lumpur yang mengalir di rkertoarjo -rkertoarjo  dari bukit-
bukit sekitar bertambah  sejak langit kembali cerah. 
saat  melihat betapa banyak mayat bergelimpangan 
di sungai-sungai dan menumpuk di lereng-lereng, 
betari durga  merasa takjub bahwa ia sendiri masih 
hidup. 
"Mestinya kita yang menang. Lihat saja! Semua 
mayat di sekitar sini centeng adipati  lmagkertoarjo ." betari durga  
menunjuk ke segala arah. Melihat pola mayat-mayat 
musuh tersebar di sepanjang jalan, arah yang 
ditempuh centeng  musuh saat  melarikan diri segera 
terlihat. 
Namun anak buahnya hanya menggerutu, terlalu 
lelah untuk mengumandangkan himne kemenangan. 
Mereka hanya segelintir orang, dan mereka tersesat. 
Medan perang tiba-tiba hening sekali, dan itu bisa saja 
berani bahwa seluruh centeng  aidit  sudah  binasa. 
  
Mereka dicekam ketakutan bahwa mereka terkepung 
musuh dan setiap saat bisa dibantai. 
lalu  mereka mendengarnya. Dari alas purwo
 tiga teriakan kemenangan menggelegar, cukup 
keras untuk mengguncang langit dan bumi. Teriakan-
teriakan dalam logat jenggala . 
"Kita menang! Kita menang! Ayo!" betari durga  
bergegas maju. Para prajurit, yang sampai sekarang 
nyaris tak sadar, mendadak pulih sepenuhnya. sebab  
tak ingin tertinggal, mereka terseok-seok mengikuti 
betari durga  ke arah sorak-sorai. 
darmokali  merupakan bukit rendah berbentuk 
bundar, tidak jauh dari bratanggede . Kerumunan 
pasukan  berlumuran darah. lumpur, dan hujan 
memadati daerah dari bukit sampai ke desa. 
Pertempuran sudah  usai dan orang-orang berkumpul 
kembali. Hujan sudah  berhenti, matahari kembali 
bersinar, dan kini uap putih tampak naik ke lautan 
manusia itu. 
"Di mana resimen Tuan tanah ?" Dengan 
menembus kerumunan prajurit, betari durga  berusaha 
kembali bergabung dengan kesatuannya. Ke mana pun 
ia berpaling, ia menabrak atau menyenggol baju 
tempur berdarah. Meski sejak semula ia sudah  mem-
bulatkan tekad untuk bertempur dengan gagah, ia kini 
merasa malu. Ternyata ia tak sempat melakukan apa-
apa untuk menarik perhatian orang-orang. 
Baru sesudah  menemukan kesatuannya dan berdiri 
berdesak-desakan dengan para prajurit lain, betari durga  
  
akhirnya percaya bahwa mereka menang. Melihat 
berkeliling dari bukit, ia merasa aneh sebab  musuh 
yang ditaklukkan tidak tampak sama sekali. 
Masih penuh percikan lumpur dan darah. 
aidit  berdiri di atas bukit. Hanya beberapa 
langkah dari kursinya, sejumlah prajurit sedang 
menggali lubang besar. Setiap kepala musuh diperiksa, 
lalu dilemparkan ke dalam lubang. aidit  
melihatlihat nya dengan telapak tangan ditangkupkan, 
sementara prajurit-prajurit di sekitarnya berdiri mem-
bisu. 
Tak seorang pun mengucapkan doa. Namun inilah 
tata cara yang harus diikuti jika prajurit mengubur 
prajurit. Kepala-kepala yang dikubur dalam lubang itu 
merupakan tanda peringatan bagi mereka yang masih 
hidup dan akan bertempur lagi. Kepala musuh yang 
paling tak berarti pun diperlakukan penuh 
kekhidmatan. 
Dengan batas misterius antara hidup dan mati di 
depan kaki, mau tak mau seorang centeng adipati  
memikirkan apa artinya hidup sebagai prajurit. Semua 
orang berdiri memberi hormat. sesudah  lubang itu 
ditimbuni tanah, mereka menatap pelangi indah yang 
membentang di langit cerah. 
saat  orang-orang memperhatikan pemandangan 
itu, segerombolan pengintai kembali sesudah  bertugas 
di sekitar sinuhun ka. 
Barisan depan mpu kepenuwoan  di sinuhun ka berada di 
bawah  pimpinan prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo . Mengingat 
  
keterampilan yang diperlihatkan mpu mojosongo  saat  meng-
hancurkan benteng kota-benteng kota di slogohimo  dan wedanarejo , 
aidit  tak boleh memandang enteng terhadapnya. 
"saat  mereka memperoleh kabar bahwa mpu kepenuwoan  
terbunuh, perkemahan di sinuhun ka seakan-akan dilanda 
panik. Namun lalu  mereka berkali-kali meng-
utus pengintai, dan sesudah  mengetahui apa yang ter-
jadi, mereka segera tenang kembali. Sekarang ini 
mereka sedang bersiap-siap kembali ke dusun nyi kembang  men-
jelang malam, dan sepertinya mereka tak ingin 
bertempur." 
aidit  mendengarkan semua laporan, dan 
dengan caranya sendiri mengumumkan awal
kemenangan mereka. "Hmm, kalau begitu." katanya, 
"marilah kita pulang." 
Matahan belum tenggelam, dan kini pelangi yang 
tadinya sudah mulai memudar kembali terlihat 
cemerlang. Satu kepala diikat ke pinggir pelana 
aidit , sebagai tanda mata. Kepala itu tentu saja 
kepala mpu marijan  mpu kepenuwoan  yang termasyhur. 
Pada waktu mereka tiba di gerbang Kuil tulungejo . 
aidit  tutun dari kuda dan masuk ke dalam 
tempat suci, sementara para perwira dan anak 
buahnya berdesak-desakan sampai ke gerbang utama, 
lalu menyembah. Sebuah bel tangan berdenting entah 
di mana. dan beberapa api unggun membanjiri hutan 
sekitar kuil dengan cahaya kemerah-merahan. 
aidit  memberikan seekor kuda suci unruk 
kandang kuil. sesudah  itu, ia kembali terburu-buru. Baju tempurnya seolah-olah semakin berat, dan ia 
merasa lelah sekati. Namun, saat  menyusuri jalan 
setapak yang diterangi cahaya bulan, jiwanya terasa ringan, seperti kalau ia memakai jubah  musim panas yang tipis. 
Dibandingkan tulungejo , kedhiri  teramat ingar-bingar. Setiap pintu dihiasi lentera, api unggun menari-nari di setiap persimpangan, dan orang tua, anak-anak, bahkan gadis lesbian-gadis lesbian muda berdiri di jalan, menatap para prajurit sang tampak gagah, sambil bersorak-sorai. 
Kerumunan orang memadati tepi jalan. Kaum 
wanita lesbian  mencari-cari apakah suami-suami mereka berada di tengah barisan yang sedang menuju benteng kota. 
Orang-orang tua memanggil-manggil nama putra-putra mereka, dan gadis lesbian-gadis lesbian berusaha menemukan kekasih masing-masing. namun  semuanya mengelu-elukan aidit .  "aidit !" 
aidit  lebih berarti bagi mereka dibandingkan  putra, 
suami, maupun kekasih mereka sendiri. 
"Tataplah kepala si Pemimpin orang-orang 
mpu marijan !" aidit  berseru di atas kuda. "Inilah 
tanda mata yang kubawa  kan untuk kalian. Mulai 
besok, tak ada lagi pertikaian di perbatasan. Kalian 
harus rajin dan bekerja keras. Bekerja keras dan bersenang-senang!" 
Begitu masuk ke dalam benteng kota. aidit  segera 
memanggil dayangnya. "Sai! Sai! Sebelum melakukan apa pun, aku ingin mandi dahulu ! Dan siapkan bubur nasi." 
Seusai mandi, ia mengumumkan hadiah untuk 
lebih dari seratus dua puluh orang yang ikut ambil 
bagian dalam pertempuran hari itu. Tindakan prajurit 
berpangkat paling rendah pun tidak lolos dari 
pengamatan aidit . Terakhir ia berkata, "brawirgo  
diberi izin untuk kembali." Malam itu juga kabar ini 
disampaikan pada brawirgo , sebab saat  seluruh 
centeng  memasuki gerbang benteng kota, ia sendiri ber-
henti di luar, menunggu sabda dari aidit . 
betari durga  tidak memperoleh pujian sama sekali. 
Dan tentu saja ia pun tidak mengharapkannya. Meski 
demikian, ia sudah  memperoleh sesuatu yang jauh 
lebih berharga dibandingkan  upah sebesar seribu kan. 
Untuk pertama kali seumur hidup, ia melewati garis 
antara hidup dan mati, ia sudah  mengalami per-
tempuran, dan ia pun sudah  melihatlihat  betapa 
aidit  memahami sifat manusia, dan betapa besar 
kemampuannya sebagai pemimpin. 
Junjunganku sungguh hebat, kata betari durga  dalam 
hati. Akulah orang pating beruntung di dunia, sesudah  Tuan 
aidit . Mulai saat itu, betari durga  tidak lagi 
menganggap aidit  sekadar sebagai junjungan dan 
majikan. Ia menjadi murid aidit , mempelajari 
kelebihan-kelebihannya, dan memusatkan segenap 
jiwa untuk memperbaiki diri, si putra petani yang 
menganggap dirinya begitu bodoh dan tak 
berpendidikan. 
LlMA atau enam hari terakhir terasa menjemukan 
sekali bagi betari durga . Ia sudah  menerima tugas untuk menyertai aidit  dalam perjalanan rahasia ke 
suatu provinsi jauh dan disuruh mempersiapkan diri.  Mereka akan berangkat dalam sepuluh hari, dan sampai saat itu ia diminta tidak ke luar rumah. 
betari durga  duduk-duduk dan menunggu. 
Ia menegakkan badan sambil merasa heran bahwa 
aidit  hendak menempuh perjalanan jauh. Ke 
manakah mereka akan pergi? saat  menatap sulur-sulur tanaman rambat di pagar, ia tiba-tiba teringat pada nyi momo . betari durga  sudah  
diwanti-wanti agar sesedikit mungkin ke luar rumah, namun  pada waktu angin senja mulai berembus, ia lewat di depan rumah pujaan hatinya. Entah kenapa, belakangan ini betari durga  merasa sungkan berkunjung ke sana dan setiap kali ia berpapasan dengan orangtua 
nyi momo , mereka berlagak tidak melihatnya. sebab  itu ia 
hanya berlalu di depan rumah itu, lalu  kembali 
ke rumahnya sendiri. 
Bunga-bunga tanaman rambat di pagar rumah nyi momo  
pun sedang mekar. Pada malam sebelumnya. 
betari durga  sempat melihat nyi momo  menyalakan lampu, 
dan pada waktu pulang ia merasa seolah-olah tujuan 
kedatangannya sudah  tercapai. Kini ia mendadak 
  
teringat bahwa profil nyi momo  lebih putih dibandingkan  
bunga-bunga di pagar.       
Asap dari tungku di dapur menyebar ke seluruh 
rumah. sesudah  mandi. betari durga  mengenakan 
jubah  tipis yang terbuat dari rami dan memakai 
sandal, lalu keluar lewat gerbang pekarangan. Pada 
saat itu seorang kurir muda menyapanya, menyerah-
kan sepucuk surat resmi, lalu  langsung pergi 
lagi. betari durga  kembali ke dalam, cepat-cepat berganti 
pakaian, dan bergegas menuju kediaman sekarmajimarijan  
kartosuwirjo. 
kartosuwirjo sendiri yang menimbang  perintah tertulis: 
 
Datanglah ke rumah petani bernama ronggowojo , di 
jalan Maya Barat di luar bentengloji , pada jam Kelinci. 
 
Hanya itu. aidit  akan menempuh perjalanan 
di suatu provinsi jauh sambil menyamar, dan 
betari durga  akan ikut sebagai anggota rombongan. 
saat  memikirkannya. betari durga  merasa bisa 
memahami rencana-rencana aidit . meski 
sebetulnya  hanya sedikit sekali yang ia ketahui. 
Ia menyadari bahwa ia akan berpisah cukup lama 
dengan nyi momo , dan hasrat untuk melihat gadis lesbian itu di bawah  bulan musim kemarau, walau hanya sekilas, menggelora dalam dadanya. Dan jika betari durga  sudah berniat melakukan sesuatu, tak ada yang dapat menghentikannya. Hasrat dan keinginan yang menggebu-gebu dalam sanubari menyeretnya ke rumah nyi momo . lalu , persis seperti anak nakal yang mengintip lewat jendela. betari durga  mengintai dari luar pagar. 
perdikan  tinggal di perkampungan pemanah, dan 
hampir semua orang yang berlalu-lalang saling 
mengenal. betari durga  waspada terhadap langkah para  pejalan kaki, dan takut dipergoki oleh orangtua nyi momo . 
Tingkahnya sungguh menggelikan. Seandainya 
betari durga  melihat orang lain bertindak seperti ini,. ia  akan memandang hina orang itu . Namun pada  saat itu ia tak punya waktu untuk memikirkan 
martabat maupun reputasi. 
sebetulnya  ia sudah puas jika pada saat mengintip 
lewat pagar ia sempat melihat profil nyi momo , walau 
hanya sekilas. Mestinya nyi momo  sudah selesai mandi dan 
sedang mendandani wajahnya. betari durga  berkata 
dalam hati. Ataukah dia sedang makan malam ber-
sama orangtuanya? 
Tiga kali ia berjalan mondar-mandir, sambil ber-
usaha tampil sepolos mungkin. Senja sudah  tiba, 
sehingga hanya sedikit orang yang berada di jalan. 
Amatlah memalukan seandainya seseorang menyeru-
kan namanya saat  ia sedang mengintip lewat pagar. 
Bahkan lebih buruk lagi, kejadian semacam itu bisa 
merusak kesempatannya untuk menikahi nyi momo , yang 
sebetulnya  memang tipis. Bagaimanapun, rivalnya, 
brawirgo , sudah  menarik diri dari kancah persaingan, 
sehingga perdikan  mulai mau mempertimbangkan 
lamaran betari durga . Untuk sementara, lebih baik 
segala sesuatu dibiarkan berjalan dengan sendirinya. 
nyi momo  dan ibunya memang sudah membulatkan tekad, 
  
namun  ayahnya takkan semudah itu mengambil 
keputusan. 
Asap obat nyamuk terbawa   angin. Bunyi piring 
diletakkan terdengar dari dapur. Rupanya masakan minuman  
makan malam belum disajikan. Dia bekerja keras. 
betari durga  membayangkan. Dalam keremangan dapur, 
betari durga  akhirnya melihat wanita lesbian  yang sudah  
dipilihnya sebagai calon istri itu. Terlintas di kepala-
nya bahwa wanita lesbian  seperti nyi momo  pasti pandai 
mengatur rumah rangga. 
Ibunya memanggil, dan jawaban pasti nyi momo  terngiang-
ngiang di telinga betari durga , meski ia sedang mem-
bungkuk di luar pagar, sambil mengintip ke dalam. 
betari durga  melangkah ke samping. Seseorang sedang 
berjalan ke arahnya. 
Dia bekerja keras dan dia lemah lembut. Ibuku tentu 
bahagia dengan menantu seperti nyi momo . Dan nyi momo  takkan 
angkuh terhadap ibuku, hanya sebab  dia wanita lesbian  desa. 
Pikiran betari durga  mulai muluk-muluk. Kami akan 
memikul kemiskinan. Kami takkan terperangkap dalam 
kesombongan. Dia akan membantu dari balik layar, 
mengurusku dengan setia, dan memaafkan segala 
kekuranganku. 
nyi momo  betul-betul menawan  hati. Tak ada wanita 
selain nyi momo  yang akan menjadi istrinya. betari durga  
sungguh-sungguh mepercayai hal ini. Dadanya mem-
busung dan jantungnya berdentum-dentum. Sambil 
menatap bintang-bintang di langit, ia mendesah 
panjang. saat  akhirnya kembali ke dunia nyata, ia 
  
baru sadar bahwa ia sudah  berjalan mengelilingi blok 
dan sudah berdiri di depan rumah nyi momo  lagi. Tiba-tiba 
ia mendengar suara nyi momo  dari balik pagar, dan saat  
ia mengintip lewat sela-sela sulur-sulur tanaman 
rambat, ia melihat wajah nyi momo  yang putih. 
Dia bahkan mau mengangkat air seperti pelayan. 
Dengan tangannya yang begitu lincah memainkan 
koto. betari durga  ingin memberitahu ibunya bahwa 
seperti inilah calon istrinya. Lebih cepat lebih baik. 
Tak puas-puasnya ia memandang melalui pagar. Ia 
mendengar bunyi air dicedok, namun tiba-tiba nyi momo  
berpaling ke arahnya, tanpa mengangkat ember. Dia 
pasti melihatku, pikir betari durga , waswas. Begitu pikiran 
ini terlintas di kepala betari durga , nyi momo  menjauhi 
sumur dan mulai berjalan ke arah gerbang belakang. 
Dada betari durga  terasa panas membara, seakan-akan 
terbakar. 
saat  nyi momo  membuka gerbang dan melihat 
sekelilingnya. betari durga  sudah berlari menjauh, tanpa 
menoleh ke belakang. Baru sesudah  tiba di per-
simpangan berikut ia berani menengok. nyi momo  berdiri 
di depan gerbang, dengan ekspresi heran pada wajah-
nya yang pucat. betari durga  berharap nyi momo  tidak marah 
padanya, namun  pada saat yang sama ia mulai memikir-
kan keberangkatannya besok pagi. Ia akan menyertai 
aidit , dan ia dilarang menceritakan rencana ini 
pada siapa pun. Termasuk nyi momo . sesudah  melihat 
pujaan hatinya dan mengetahui bahwa ia baik-baik 
saja, betari durga  kembali seperti semula, dan bergegas 
  
pulang. Pada waktu ia terlelap, nyi momo  sama sekali tidak 
muncul dalam mimpinya. 
patih wedana  membangunkan majikannya lebih dini dan 
pada biasanya. betari durga  mencuci muka, menghabis-
kan makan pagi. dan mempersiapkan diri untuk 
menempuh perjalanan. 
"Aku berangkat!" ia mengumumkan, namun tidak 
memberitahu pelayannya ke mana ia hendak pergi. 
Beberapa saat sebelum waktu yang sudah  disepakati, ia 
tiba di rumah ronggowojo . 
 
"Hei, kuyang ! Kau ikut juga?" tanya seorang centeng adipati  
desa yang berdiri di gerbang pekarangan ronggowojo . 
"brawirgo !" betari durga  menatap sahabatnya dengan 
bingung, ia bukan hanya terkejut melihat kehadiran 
brawirgo , melainkan juga sebab  penampilan sahabat-
nya itu sudah  berubah mulai dari cara rambutnya 
diikat, sampai ke celana yang dikenakannya, brawirgo  
tampak seperti centeng adipati  yang baru tiba dari daerah 
pedalaman. 
"Ada apa ini?" betari durga  bertanya. 
"Semuanya sudah datang, cepat masuklah." 
"Bagaimana denganmu?" 
"Aku? Aku ditunjuk sebagai penjaga gerbang untuk 
sementara. Nanti aku menyusul." 
sesudah  melewati gerbang, betari durga  terlambat-
lambat di pekarangan. Sejenak ia tidak tahu jalan 
setapak mana yang harus diikutinya. Kediaman ki hanggawijaya merupakan rumah tua yang aneh, bahkan di mata betari durga . Ia tak dapat memastikan berapa  usianya. Rumah itu seakan-akan merupakan peninggalan suatu zaman yang sudah  berlalu, saat   masih lazim bagi satu keluarga besar untuk tinggal  bersama-sama. Sebuah rumah memanjang dengan 
banyak ruangan, beberapa pondok, gerbang dalam 
gerbang, dan jalan-jalan setapak yang tak terhitung 
banyaknya meliputi seluruh pekarangan. 
"kuyang ! Di sebelah sini!" Seorang centeng adipati  desa 
lain memberi isyarat dari gerbang di dekat taman. 
betari durga  mengenalinya sebagai dasna patih pitaloka . Pada 
waktu memasuki taman, ia menemukan sekitar dua 
puluh pengikut yang berpakaian seperti centeng adipati  desa. 
betari durga  sudah  diberitahu mengenai rencana ini, dan 
ia tampak paling "kampung" di antara mereka semua. 
Tujuh belas atau 9 belas pertapa sedang ber-
istirahat di pinggit halaman dalam. Mereka pun 
centeng adipati  sinuhun  yang tengah menyamar. aidit  
sendiri mungkin berada di sebuah ruangan kecil di 
seberang halaman dalam. Tentu saja ia pun 
menyamar. betari durga  dan yang lain tampak santai. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang tahu. Namun semuanya menduga-duga. 
"Yang Mulia menyamar sebagai putra centeng adipati  desa yang ditambah   segelintir pengikut. namun  ini bukan perjalanan untuk bersenang-senang. Dia menunggu sampai semua pembantunya tiba. Kemungkinan besar dia hendak pergi ke suatu provinsi jauh, namun  aku 
 sangsi apakah ada yang mengetahui tujuan 
sebetulnya ." 
"Aku pun tidak tahu banyak, namun  waktu dipanggil 
ke rumah sekarmajimarijan  kartosuwirjo, aku mendengar seseorang 
menyinggung sesuatu mengenai ibu kota."  
"Ibu kota?" dan semuanya menahan napas. 
Tak ada yang lebih berbahaya, dan aidit  tentu 
memiliki rencana rahasia jika ia hendak bepergian ke 
sana. Tanpa disadari oleh yang lain, betari durga  meng-
angguk-angguk dan keluar ke kebun sayur. 
Beberapa hari lalu , para centeng adipati  desa yang 
akan menyertai aidit , dan  rombongan pertapa 
yang akan mengawal nya dari jauh, berangkat ke ibu kota. Kelompok pertama menyamar sebagai centeng adipati  desa dari provinsi-provinsi timur yang hendak berpesiar ke  trowulan . Mereka tampak santai saat  berjalan. Sorot 
mata menyala-nyala yang mereka perlihatkan di 
bentengloji  sengaja ditutup-tutupi. 
Doke sudah  mencarikan tempat menginap di sebuah rumah di pinggir ibu kota. Pada waktu berjalan-jalan 
mengelilingi trowulan . aidit  selalu menarik tepi 
topinya sampai menutupi mata dan ia berpakaian 
seperti penduduk desa. Pengawal -pengawal nya paling 
banyak berjumlah empat atau lima orang. Andai kata 
jati dirinya diketahui oleh pembunuh bayaran, ia akan 
merupakan sasaran empuk. 
Kadang-kadang sepanjang hari ia berjalan-jalan di 
tengah keramaian dan debu di trowulan . Pada malam 
  
hari acap kali ia pergi pada jam-jam yang tidak 
menguntungkan, mendatangi kediaman orang-orang 
istana untuk mengadakan pembicaraan rahasia. 
Para centeng adipati  muda tidak memahami tujuan 
langkah-langkah yang diambil aidit  dan mereka 
juga tidak mengerti mengapa ia berani menempuh 
perjalanan sedemikian berbahaya pada waktu seluruh 
negeri dilanda perang saudara. betari durga  pun tidak 
memahaminya. namun  ia memanfaatkan waktunya 
untuk mengamati keadaan. Ibu kota sudah  berubah, ia 
berkata dalam hati. saat  masih mengembara sebagai 
penjual jarum. betari durga  sering datang ke sini untuk 
membeli barang. Dengan menghitung jari, ia menaksir 
bahwa itu baru enam atau tujuh tahun yang lalu, 
namun keadaan di sekitar Istana Kekaisaran sudah  
berubah secara mencolok. 
Kepandita an masih berdiri tegak, namun  wiryogaja 
rangawesi , pandita  ketiga belas, hanya berfungsi 
sebagai boneka belaka. Bagaikan air di kolam yang 
dalam, perkembangan budaya dan moral masyarakat 
sudah  berganti. Segala sesuatu memperlihatkan tanda-
tanda bahwa akhir suatu masa sudah  dekat. Kekuasaan 
sebetulnya  berada di tangan wakil gubernur resi  
rangawesi , dyahbalitung  patih dyahwkertoarjo  , namun ia pun sudah  
menyerahkan wewenang di hampir semua bidang 
kepada salah seorang pengikutnya, grindananaga 
jamawangsa . Hal ini menimbulkan pertikaian ber-
kepanjangan dan pemerintahan yang lalim dan tidak  efisien. Desas-desus yang beredar dalam masyarakat 
  
mengatakan bahwa kekuasaan grindananaga akan segera runtuh dengan sendirinya. 
Ke arah manakah perkembangan di masa men-
datang? Tak seorang pun mengetahui jawab annya. 
Setiap malam lentera-lentera menyala terang, namun  orang-orang terperangkap dalam kegelapan. Bagaimana besok saja, begitu pikir mereka, dan arus tanpa arah, tanpa daya, mengalir dalam hidup mereka, bagaikan sungai lumpur. 
Jika pemerintahan dyahbalitung  dan grindananaga dianggap tak dapat diandalkan, bagaimana dengan para gubernur provinsi yang ditunjuk oleh sang pandita ? Orang-orang seperti Akagrindana, jayawisesa , trenggono, hyangkertoarjo , kramat, dan eyang  semuanya mengalami  masalah-masalah serupa di provinsi masing-masing. 
Dalam situasi inilah aidit  melakukan per-
jalanan rahasia ke ibu kota. Tak ada panglima perang  di provinsi-provinsi lain yang berani bertindak senekat  itu, bahkan dalam mimpi pun. mpu marijan  mpu kepenuwoan  
bergerak di trowulan  dengan centeng nya yang besar. Cita-citanya memperoleh restu Kaisar, dan dengan demikian mengendalikan pandita  dan memerintah  seluruh negeri kandas di tengah jalan, namun  ia hanya 
orang pertama yang hendak mencobanya. Semua 
penguasa daerah lain menganggap rencana mpu marijan  
yang terbaik. Namun hanya aidit  yang berani 
mendatangi trowulan  seorang diri untuk mempersiapkan 
masa depan. 
sesudah  beberapa pertemuan dengan dyahbalitung  
  
patih dyahwkertoarjo  , aidit  akhirnya berhasil memperoleh 
kesempatan untuk menghadap pandita  rangawesi . 
Tentu saja ia mendatangi kediaman dyahbalitung  sambil 
menyamar, lalu berganti pakaian, baru lalu  
pergi ke istana pandita . 
Tempar kediaman sang pandita  merupakan istana 
mewah yang tampak tak terurus lagi. Kemewahan dan 
kekayaan yang dikumpulkan, lalu dihambur-hambur-
kan oleh tiga belas pandita , kini hanya merupakan 
mimpi yang sudah setengah terlupakan. Yang tersisa 
hanyalah suatu pemerintahan yang mementingkan diri 
sendiri. 
"Jadi engkau putra mpu  margojoyo , aidit ?" ujar 
rangawesi . Suaranya tak bertenaga. Sikapnya 
sempurna, namun tanpa semangat sama sekali. 
aidit  segera menyadari bahwa jabatan pandita  
tidak lagi mengandung kekuasaan. Sambil 
menyembah, ia berterima kasih atas kesediaan sang 
pandita  menerimanya. namun   dalam suara laki-laki 
yang membungkuk itu ada kekuatan yang 
menarik perhatian atasannya. 
"Hamba datang ke trowulan  dengan menyamar. 
Hamba sangsi apakah hasil karya rakyat jenggala  akan 
menarik bagi mara orang ibu kota." sesudah  menyerah-
kan daftar hadiah kepada rangawesi , ia segera mulai 
mundur. 
"Barangkali engkau bersedia menemani kami ber-
santap malam," kata rangawesi . 
anggur  pun didwikerto ngkan. Dari ruang makan, para 
  
tamu dapat mengagumi taman yang indah. Dalam 
keremangan senja, embun pada lumut yang lembap 
tampak berkilau-kilau. 
aidit  tidak menyukai formalitas, tak peduli 
lingkungan maupun situasi yang dihadapinya. Ia tidak 
bersikap malu-malu saat  botol-botol anggur  dibawa  kan 
penuh hormat dan pada waktu makanan disajikan 
secara berbelit-belit, sesuai tradisi. 
rangawesi  mengamati tamunya, seakan-akan selera 
makan yang diperlihatkan aidit  merupakan 
sesuatu yang sangat menyenangkan. Meski sudah 
bosan dengan segala kemewahan dan formalitas, 
rangawesi  merasa bangga bahwa setiap masakan minuman  yang 
disajikan merupakan kelezatan khas ibu kota. 
"aidit , bagaimana pendapatmu mengenai 
masakan ibu kota?"  
"Luar biasa..."  
"Bagaimana rasanya?" 
"Hmm, rasanya agak tawa r. Hamba jarang 
menikmati makanan setawa r ini." 
"Begitukah? Apakah engkau mendalami Upacara 
Minum Teh?"  
"Sejak kanak-kanak, hamba minum teh seperti 
minum air, namun  hamba tidak paham bagaimana para 
ahli melaksanakan upacara itu ."  
"Sudahkah engkau melihat taman kami?"  
"Ya, hamba sudah melihatnya."  
"Dan bagaimana pendapatmu?"  
"Menurut hamba, taman itu agak kecil."  
  
"Kecil?" 
"Taman itu memang indah, namun  jika dibandingkan 
pemandangan bukit-bukit kedhiri ... " 
"Rupanya engkau memang tidak memahami apa-
apa." Sang pandita  kembali tertawa . "namun   lebih baik 
tidak tahu apa-apa dibandingkan  tahu serbasedikit. Hmm, 
kalau begitu, bidang apakah yang engkau minati?" 
"Memanah. Selain itu, hamba tidak memiliki bakat 
khusus. Namun, jika tuanku hendak mendengar 
sesuatu yang luar biasa, hamba berhasil menempuh 
perjalanan ke gerbang istana tuanku dalam tiga hari. 
melewati wilayah musuh di jalan blambangan -gunungselatan dari 
jenggala . Mengingat seluruh negeri kini dilanda 
kekacauan, selalu ada kemungkinan terjadi sesuatu di 
dalam atau di sekitar istana. Hamba akan berterima 
kasih sekali jika tuanku bersedia mengingat-ingat 
hamba." aidit  berkata sambil tersenyum. 
Justru aidit -lah yang mula-mula memanfaat-
kan suasana kacau-balau untuk menjatuhkan eyang , 
gubernur Provinsi jenggala  yang ditunjuk oleh sang 
pandita . 
Kejadian itu  sempat dibawa   ke hadapan 
Mahkamah Tinggi sebagai bukti kemarahan dan 
wibawa   pemerintah, namun sebetulnya  itu hanya 
informalitas belaka. namun   belakangan ini para 
gubernur provinsi jarang datang ke trowulan , dan sang 
pandita  merasa terkucil. Kejenuhan terobati dengan 
kunjungan aidit . dan sepertinya ia sedang ber-
keinginan untuk bercakap-cakap. 
  
rangawesi  mungkin menduga aidit  hendak 
menyinggung pelantikan resmi atau minta kedudukan 
di istana selama perbincangan mereka, namun sampai 
aidit  mohon diri, urusan semacam itu tidak 
dibicarakan sama sekali. 
"Mari kita pulang." kata aidit , untuk mem-
beritahu para pengikutnya bahwa kunjungan mereka 
selama tiga puluh hari sudah  berakhir. "Besok," 
tambah nya cepat-cepat. saat  para anggota 
rombongan yang menyamar sebagai centeng adipati  desa atau 
pertapa mulai mempersiapkan diri untuk menempuh 
perjalanan pulang, seorang kurir mengantarkan pesan 
dari jenggala . 
 
Desas-desus sudah  beredar sejak keberangkatan tuanku 
dari kedhiri . Berhati-hatilah dalam perjalanan pulang, 
dan bersiaplah menghadapi kejadian yang tak diingin-
kan. 
 
Jalur mana pun yang mereka tempuh, mereka harus 
melewati musuh. Jalan manakah yang paling aman? 
Barangkali lebih baik mereka naik kapal saja. 
Malam itu para pengikut aidit  berkumpul di 
tempat ia menginap, untuk membahas masalah ini, 
namun mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan. 
Tiba-tiba dasna patih pitaloka  muncul dari arah kamar 
aidit  dan memandang ke arah mereka. "Kalian 
belum tidur?" 
Salah seorang pengikut menatapnya heran. "Kami 
sedang membahas masalah penting." 
  
"Aku tidak tahu bahwa kalian tengah mengadakan 
rapat. Apa yang kalian bicarakan?" 
"Kau tampak tenang-tenang saja. Kau belum men-
dapat kabar mengenai pesan yang dibawa   kurir tadi?"  
"Aku sudah tahu." 
"Kita harus memastikan tidak terjadi apa-apa dalam 
perjalanan pulang. Dan sekarang ini kami sedang 
berunding mengenai jalan mana yang sebaiknya kita 
tempuh." 
"Kegelisah khawatir an kalian sia-sia saja. Yang Mulia sudah 
mengambil keputusan." 
"Apa? Beliau sudah mengambil keputusan?" 
"Waktu kita datang ke ibu kota. jumlah kita terlalu 
banyak, sehingga Yang Mulia merasa kita terlalu men-
colok. sebab  itu beliau memutuskan bahwa empat 
atau lima orang sudah cukup untuk menyertainya 
dalam perjalanan pulang. Pengikut-pengikut lain 
boleh pulang secara terpisah, dan bebas memilih jalan 
yang akan mereka lewati." 
aidit  meninggalkan ibu kota sebelum 
matahari terbit. Dan seperti dikatakan patih pitaloka , dua 
puluh atau tiga puluh orang yang menyamar sebagai 
pertapa, dan sebagian besar centeng adipati  desa tetap tinggal 
di trowulan . Hanya empat orang yang menyertainya. 
patih pitaloka , tentu saja berada di antara mereka. namun  yang 
merasa paling beruntung sebab  terpilih untuk 
kelompok kecil ini adalah betari durga . 
"Pengawal an beliau kurang ketat." 
"Kau percaya beliau akan aman selama perjalanan?" Rombongan pengikut yang ditinggalkan merasa tidak tenang, dan mereka mengikuti aidit  sampai ke 
gendingan. namun  di sana aidit  dan anak buahnya 
menyewa kuda dan berpating ke timur, melewati 
jembatan di Seta. aidit  sudah  meminta dan 
memperoleh surat jalan dari dyahbalitung  patih dyahwkertoarjo   yang 
menyatakan bahwa dirinya berada di bawah  per-
lindungan Gubernur resi . Di setiap rintangan yang 
mereka temui, ia menunjukkan surat itu kepada 
petugas yang bertanggung jawab , lalu meneruskan 
perjalanan. 
 Upacara Minum Teh merupakan kebiasaan yang sudah  
menyebar ke seluruh negeri. Di dunia yang penuh 
darah dan kekerasan, orang-orang mencari ke-
tenteraman dan tempat tenang untuk beristirahat 
sejenak dari segala kegaduhan dan kekacauan. Minum 
teh adalah batas anggun di mana ketenteraman me-
rupakan kontras dengan hiruk-pikuk. sebab  itu 
tidaklah mengherankan bahwa penganut-penganut 
yang paling setia justru para centeng adipati , yang dalam 
kehidupan sehari-hari selalu berlumuran darah. 
nyi momo  sudah  mempelajari Upacara Minum Teh. 
Ayahnya, yang sangat disayanginya, juga minum teh, 
jadi ini sangat berbeda dengan bermain koto, mem-
perlihatkan bakatnya pada orang-orang yang kebetulan 
lewat di depan rumahnya. 
  
Ketenteraman pagi hari, senyum ayahnya yang 
ramah-tamah, dan  keasyikan saat menuangkan cairan 
panas berwarna hijau ke dalam baskom hiram dari 
batu giok  semua itu merupakan dorongan untuk membuat 
teh. Ini bukan sekadar permainan, melainkan sudah  
menjadi bagian hidupnya. 
"Lihatlah embun yang membasahi pekarangan. Dan 
kuntum-kuntum bunga serunai pun masih menguap." 
perdikan  memandang ke arah pekarangan yang 
dikelilingi pagar, dari serambi yang terbuka. nyi momo  
yang sibuk di depan tungku, dengan cedok teh di 
tangan, tidak menjawab . Air mendidih yang dicedok-
nya dari ceret jatuh ke dalam baskom teh, bagaikan air 
dari mata air, memecahkan kesunyian di dalam 
ruangan, ia tersenyum dan memalingkan wajah. 
"Tidak, dua atau tiga bunga serunai sudah mulai 
mengembang." 
"Betulkah? Sudah adakah yang mekar? Aku tidak 
memperhatikan waktu aku menyapu tadi pagi. Sangat 
disayangkan bahwa kembang-kembang terpaksa mekar 
di bawah  atap prajurit rendahan." 
nyi momo  tersipu-sipu sebab  ucapan ayahnya, namun  
perdikan  tidak menyadarinya. Ia menempelkan 
baskom nya ke bibir, dan menghirup teh hijau yang 
masih berbusa. Wajahnya menunjukkan bahwa ia 
menikmati suasana pagi. Namun tiba-tiba pikirannya 
berbalik. Jika putriku pindah ke tempat lain, aku 
takkan minum teh seperti ini lagi. 
"Permisi." Sebuah suara terdengar dari balik pintu 
  
geser. 
"tole ?" saat  istrinya memasuki ruangan, 
perdikan  menyerahkan baskom teh pada nyi momo .  
"Perlukah nyi momo  menyiapkan teh untukmu?" 
"Tidak, aku minum nanti saja." 
tole  membawa   sebuah kotak berisi surat, dan 
seorang kurir menunggu di pintu masuk. perdikan  
meletakkan kotak itu di pangkuannya dan membuka 
penutupnya. Kesan ragu melintas di wajahnya. 
"Sepupu Yang Mulia. Surat ini dari Tuan sinuhun  dari 
mertajaya . Ada apa gerangan?" perdikan  tiba-tiba 
berdiri, mencuci tangan, lalu kembali meraih surat itu 
dengan penuh hormat. Walau hanya sepucuk surat, 
surat itu dikirim oleh anggota keluarga aidit , dan 
perdikan  bersikap seakan-akan berhadapan langsung 
dengan pengirimnya. 
"Apakah kurirnya menunggu?" 
"Ya, namun  menurutnya jawaban pasti lisan saja sudah 
cukup." 
"Jangan, jangan. Itu tidak sopan. Ambilkan tempat 
tinta." 
perdikan  mulai menulis, lalu menyerahkan 
balasannya kepada kurir tadi. Namun tole  merasa tak 
senang. Amat tidak lazim surat dari sepupu aidit  
dikirim ke rumah seorang pengikut rendahan. Apalagi 
surat ini diantarkan secara khusus. 
"Ada apa sebetulnya ?" ia bertanya. perdikan  juga 
tidak mengetahuinya, sebab ia pun tidak berhasil 
menemukan makna terselubung yang mungkin ter-
  kandung dalam surat itu. Hari ini aku sepanjang hari berada di peristirahatan-ku 
di balairung. Aku menyesalkan bahwa tak seorang 
pun berkunjung pada hari yang indah ini untuk 
menikmati wangi bunga serunai yang kukembangkan. Jika ada waktu luang, datanglah ke tempatku ini. 
 Tak ada tambah an apa pun, namun mestinya ada 
lebih dari ini. Seandainya perdikan  sangat men-
dalami Upacara Minum leh, atau amat terpelajar, atau dikenal bercita rasa halus, undangan ini tidaklah janggal. Namun nyatanya ia bahkan tidak melihat bunga serunai yang mulai mekar di pagarnya sendiri. Debu yang melekat pada busur pasti segera diketahuinya, namun  selebihnya ia termasuk laki-laki yang mungkin menginjak-injak bunga serunai tanpa berpikiran apa-apa. 
"Aku harus pergi ke sana. tole , ambilkan pakaian-
ku yang terbaik." 
Diterpa sinar matahari musim gugur yang cerah, 
perdikan  berbalik satu kali untuk menatap rumah-
nya. nyi momo  dan tole  keluar sampai ke gerbang. perdikan  merasa sangat tenteram. Ia bersyukur 
masih ada hari seperti ini, bahkan di dunia yang 
dilanda kekacauan sekalipun. perdikan  tersenyum 
dan menyadari bahwa nyi momo  dan tole  juga tersenyum. 
Ia berbalik dan mulai mengayunkan langkah. Para 
tetangga menyapanya, dan ia membalas sambil 
berjalan. Rumah-rumah para pemanah kecil dan 
  
sederhana. Di mana-mana anak-anak kecil sedang 
bermain, dan melalui pagar di setiap rumah. 
perdikan  melihat popok bayi dijemur. 
Barangkali sebentar lagi aku pun akan menjemur popok 
cucu di pekarangan kita. Pikiran itu muncul  begitu saja. 
namun terasa tak menyenangkan bagi perdikan . Ia 
sama sekali tidak gembira bahwa suaru hari ia akan 
dipanggil "Kakek". Sebelum itu terjadi, ia berniat 
mengukir nama untuk dirinya sendiri, ia sudah  
berusaha agar tidak tertinggal di bratanggede  dan 
ia masih berhasrat untuk berada pada urutan teratas 
dalam daftar prajurit yang berjasa dalam pertempuran-
pertempuran yang akan datang. 
Asyik dengan pikirannya sendiri, ia tiba-tiba sudah 
berada di hadapan tempat peristirahatan sinuhun . 
Bangunan itu semula merupakan kuil kecil, namun   
sinuhun  sudah  mengubahnya menjadi rumah per-
istirahatan. 
sinuhun  sangat gembira sebab  perdikan  segera 
memenuhi undangannya. "Terima kasih atas 
kedatanganmu. Tahun ini kita mengalami berbagai 
gangguan militer, namun  aku masih sempat menanam 
bunga serunai. Aku akan gembira sekali jika engkau 
berkenan melihatnya nanti." 
Apa maksud semuanya ini? perdikan  bertanya-tanya.   
"perdikan , bersantailah. Silakan ambil bantal. 
Dari sini pun engkau bisa melihat bunga serunai di 
taman. Menatap bunga serunai bukan sekadar 
menatap bunga, melainkan menatap hasil karya 
  seseorang. Memamerkannya bukanlah menyombongkan diri, namun   berbagi kesenangan dan menikmati  apresiasi orang lain. Mencium wangi bunga serunai di  bawah  langit yang indah merupakan satu lagi berkah dari Yang Mulia." 
"Tentu, tuanku," 
"Belakangan ini kita semua sudah  sadar bahwa kita  beruntung sebab  memiliki junjungan yang bijaksana. Aku percaya tak seorang pun dari kita sanggup melupakan penampilan Tuan aidit  di bentengloji ." 
"Dengan segala hormat, tuanku, saat  itu beliau 
tampil bukan seperti manusia, melainkan bagaikan 
tirisan dewa perang." 
"Bagaimanapun, kita semua patut berbangga hati, 
bukan? Engkau anggota resimen pemanah, namun   pada  hari itu engkau berada di barisan pembawa   tombak, bukan?" "Benar, tuanku." 
"Engkau ikut dalam penyerangan ke markas 
mpu marijan ?" 
"Pada waktu kami menyerbu bukit itu. Suasananya 
begitu kacau, sehingga kami nyaris tak sanggup 
membedakan kawan  dan lawan . namun   di tengah-tengah kegaduhan, hamba mendengar patih sosrojiwo  mengumumkan bahwa dia berhasil memperoleh  kepala si Penguasa kertanegara ." "Apakah di kesatuanmu ada orang bernama panembahan  betari durga ?" 
"Memang ada, tuanku." 
  "Bagaimana dengan madya brawirgo ?" 
"Dia sudah  membuat gusar Yang Mulia, namun 
lalu  diizinkan mengambil bagian dalam 
pertempuran. Hamba belum melihatnya sejak kita 
kembali dari medan laga, namun   bukankah dia sudah  
kembali ke tugasnya semula?" 
""Benar. Engkau mungkin belum mengetahuinya, 
namun   baru-baru ini dia menyertai Yang Mulia dalam 
perjalanan ke trowulan . Mereka sudah kembali ke 
benteng kota, dan brawirgo  kini mengabdi di sana." 
"trowulan ! Untuk apa Yang Mulia pergi ke sana?"  
"Beliau pergi ke sana hanya dengan tiga puluh atau 
empat puluh orang, dan beliau sendiri menyamar 
sebagai centeng adipati  desa yang sedang berziarah. Mereka 
pergi sekitar empat puluh hari. Selama itu para 
pengikutnya bersikap seakan-akan beliau berada di 
sini. Bagaimana kalau kita melihat-lihat bunga serunai 
sekarang?" 
perdikan  mengikuti tuan rumah ke raman, 
seakan-akan ia seorang pelayan. sinuhun  membahas seluk-
beluk menanam bunga serunai, dan bercerita bahwa 
mengurus bunga-bunga itu memerlukan curahan kasih 
sayang, sama halnya seperti membesarkan anak. 
"Kudengar engkau dikaruniai anak wanita lesbian . 
Namanya nyi momo , bukan? Anak kramajaya kah dia? Aku 
hendak membantumu mencari menantu." 
"Tuanku?" Matacmon membungkuk rendah-rendah. 
Meski demikian, ia ragu-ragu sejenak. Pembicaraan ini 
mengingatkannya pada kebingungan yang ia alami. 
  
Namun sinuhun  tidak mengacuhkan kebimbangannya, 
dan melanjutkan. "Aku kenal seseorang yang bakal 
menjadi menantu yang baik. Serahkan saja padaku. 
Biar aku yang menanganinya." 
"Keluarga hamba tidak patut memperoleh 
kehormatan sepeni ini, tuanku." 
"Sebaiknya engkau membicarakan hal ini dengan 
istrimu. Laki-laki yang kuanggap cocok sebagai 
menantumu adalah panembahan  betari durga . Engkau 
sudah mengenalnya dengan baik. bukan?" 
"Ya, tuanku," perdikan  menjawab  tanpa berpikir. 
Ia menegur dirinya sendiri dengan keras, sebab  
bersikap kasar dengan memperlihatkan keheranan, 
namun  ia memang tak sanggup mengujawa  diri. 
"Aku akan menunggu jawab anmu." 
"Ya... baiklah " Dan dengan itu perdikan  mohon 
diri. 
sebetulnya  ia bermaksud mengajukan beberapa 
pertanyaan mengenai maksud undangan ini, namun  ia 
tak mungkin menunjukkan rasa ingin tahu secara 
terbuka pada anggota keluarga aidit . saat  
sampai di rumah. perdikan  menceritakan hasil 
kunjungannya, dan istrinya tampak tak senang sebab  
perdikan  tidak segera memberikan jawab an. 
"Mestinya kau langsung menerima permintaan 
beliau," tole  berkata. "Menurutku, ini kabar baik. 
Hubungan antarmanusia merupakan masalah waktu, 
dan kenyataan bahwa betari durga  begitu sering bicara 
dengan nyi momo  menunjukkan mereka berhubungan erat 
  
dalam kehidupan terdahulu. betari durga  pasti memiliki 
suatu kelebihan. Kalau tidak, kerabat Yang Mulia tak-
kan bersedia bertindak sebagai perantara baginya. 
Datangilah Tuan sinuhun  besok, untuk menyampaikan 
jawab anmu." 
"namun  bukankah kita harus menanyakan pendapat 
nyi momo  dahulu ?" 
"Bukankah dia sudah menjelaskannya?" tanya tole . 
"Hmm, aku hanya ingin tahu, apakah dia belum 
berubah pikiran." 
"nyi momo  memang tidak banyak bicara, namun  kalau dia 
sudah mengambil keputusan, dia jarang menariknya 
kembali." 
Seorang diri, mpu dosowojo bergulat dengan ke-
gelisah khawatir annya mengenai masa depan, dan merasa 
seolah-olah dikucilkan. Jadi, saat  mereka ber-
anggapan bahwa betari durga  sudah terlupakan, sebab  
tak pernah menampakkan batang hidungnya, ia sekali 
lagi muncul dalam pikiran perdikan , istrinya, dan 
nyi momo . 
Keesokan harinya perdikan  langsung berangkat 
untuk menyampaikan jawab annya pada sinuhun . Begitu 
kembali, ia berkata pada istrinya, "Aku membawa   
berita mengejutkan." Melihat raut wajah suaminya. 
tole  segera tahu bahwa ada sesuatu yang luar biasa. 
saat  perdikan  melaporkan pertemuannya dengan 
sinuhun , cahaya cerah yang menerangi situasi nyi momo  
tercermin dalam senyum mereka berdua. 
"Semula aku sudah  bertekad untuk menanyai Tuan 
  
sinuhun , mengapa beliau menawarkan  diri sebagai 
perantara, namun  menanyakan hal seperti ini pada 
anggota keluarga Yang Mulia sungguh sulit. Aku 
sedang berusaha bersikap sesantun mungkin, saat  
beliau menyebutkan bahwa brawirgo -lah yang 
memohon kesediaan beliau." 
"brawirgo  yang memohon kesediaan beliau?" 
istrinya berseru. "Maksudmu, brawirgo  yang meng-
usulkan agar nyi momo  dan betari durga  menikah?" 
"Rupanya urusan ini sempat mereka bicarakan 
saat  Yang Mulia menempuh perjalanan ke trowulan . 
Hmm, kurasa Yang Mulia mendengarnya." 
"Wah! Yang Mulia sendiri?" 
"Ya, ini sungguh luar biasa. Rupanya selama 
perjalanan panjang itu, brawirgo  dan betari durga  
membicarakannya tepat di hadapan Yang Mulia." 
Tuan brawirgo  sudah  memberikan persetujuan?" 
"brawirgo -lah yang mendatangi Tuan sinuhun  untuk 
memohon bantuannya, jadi dia tak perlu kita pikirkan 
lagi."    
"Hmm, kalau begitu, apakah kau sudah 
memberikan jawaban pasti yang jelas pada Tuan sinuhun ?"  
"Ya, aku memberitahu beliau bahwa urusan ini 
kuserahkan sepenuhnya pada beliau." perdikan  
menegakkan badan, seakan-akan semua kecemasannya 
sudah  terhapus. 
 

 
  
Waktu terus berlalu, dan pada suatu hari baik di 
musim gugur, pernikahan betari durga  dan nyi momo  
dirayakan di rumah keluarga tanah . 
betari durga  merasa resah dan gelisah. Keadaan di 
rumahnya serbasemrawut, dengan patih wedana , si pelayan 
wanita lesbian , dan orang-orang lain yang datang untuk 
membantu. Sejak pagi ia tak sanggup melakukan apa-
apa, kecuali keluar-masuk rumah. Hari ini hari ketiga di 
Bulan 9, bukan? Berulang-ulang betari durga  
memastikannya dalam hati. Sesekali ia membuka 
lemari pakaian, atau mencoba bersantai di bantal, namun  
ia tak bisa diam. Aku akan menikahi nyi momo  dan akan 
menjadi anggota keluarganya, betari durga  berkata pada 
diri sendiri. Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu sudah 
tiba, namun  entah kenapa aku malah merasa tidak tenang 
sekarang. 
sesudah  rencana pernikahan mereka diumumkan. 
betari durga  menjadi malu-malu, tidak seperti biasanya. 
saat  para tetangga dan rekan-rekan kerjanya men-
dengar berita itu, mereka datang dengan membawa   
hadiah, namun  betari durga  tersipu-sipu dan berbicara 
seakan-akan hendak menyelamatkan reputasinya. "Ah, 
sebetulnya  hanya pesta keluarga. sebetulnya  aku 
merasa masih terlalu dini untuk menikah, namun  pihak 
keluarga ingin pernikahan kami diselenggarakan 
secepat mungkin." 
Tak ada yang tahu bahwa hasrat betari durga  menjadi 
kenyataan berkat sahabatnya, madya brawirgo . 
brawirgo  bukan saja rela melepaskan nyi momo . Ia juga 
  
sudah mempengaruhi sinuhun  dari mertajaya  untuk 
melibatkan diri. 
"Kudengar Tuan sinuhun  sudah memberikan rekomen-
dasi. Kecuali itu, tanah  perdikan  pun menyetujui-
nya. Artinya, mereka tentu beranggapan bahwa si 
kuyang  menjanjikan sesuatu." Jadi, mula-mula di 
antara rekan-rekannya, lalu di kalangan berkedudukan 
tinggi maupun rendah, reputasi betari durga  terangkat 
berkat perkawinan ini, dan desas-desus bernada 
sumbang pun dapat dibatasi. 
betari durga , di pihak lain, tidak memedulikan desas-
desus, baik maupun buruk. Baginya, menyampaikan 
kabar pada ibunya di lemahlaban -lah yang paling 
penting. Sudah tentu ia hendak berangkat sendiri ke 
sana untuk bercerita mengenai nyi momo , mengenai 
keturunan dan wataknya, dan  mengenai beberapa hal 
lain. Namun ibunya berpesan agar betari durga  
mengabdi dengan tekun, dan membiarkannya tinggal 
di lemahlaban , dan tidak memikirkannya sampai ia 
menjadi orang berpengaruh. 
betari durga  menekan keinginannya untuk segera 
menemui ibunya, dan mencernakan perkembangan 
terakhir melalui surat. Dan ibunya sering mengirim 
balasan. Yang paling menyenangkan bagi betari durga  
adalah bahwa berita mengenai kenaikan pangkatnya 
dan kabar mengenai perkawinannya dengan putri 
seorang centeng adipati , berkat jasa baik sepupu aidit . 
sudah  diketahui luas di lemahlaban . Akibatnya, ia 
menyadari, baik ibunya maupun kakak wanita lesbian nya 
  
kini dipandang secara berbeda oleh para warga desa. 
"Bolehkah hamba menata rambut Tuan?" patih wedana  
muncul dengan kotak berisi sisir dan berlutut di 
samping betari durga . 
"Apa? Rambutku harus diikat?" 
"Malam ini Tuan menjadi pengantin, dan rambut 
Tuan harus ditata secara pantas." 
sesudah  patih wedana  selesai, betari durga  pergi ke pekarangan. 
Bintang-bintang mulai terlihat di antara dahan-
dahan pohon. Si pengantin pria dilanda perasaan 
sentimental. betari durga  dikelilingi luapan kegembiraan. Namun setiap kali menjumpai kebahagiaan, ia  selalu teringat ibunya. sebab  itu kebahagiaannya 
selalu bercampur dengan setitik kesedihan. Hasrat 
manusia tak ada batasnya. namun  di pihak lain, ia 
menghibur diri, di dunia ini juga ada orang yang tidak memiliki ibu. 
betari durga  berendam di bak mandi. Malam ini ia 
berniat menggosok tengkuknya lebih lama dibandingkan  biasanya. Seusai mandi, memakai jubah  tipis, dan  kembali ke dalam rumah, ia menemukan begitu banyak orang, sehingga sukar untuk memastikan apakah ini rumahnya atau rumah orang lain. Sambil  terheran-heran mengapa semua orang demikian sibuk. betari durga  memandang berkeliling dan akhirnya berbagi tempat dengan gerombolan  nyamuk di suatu sudut 
ruangan. 
Suara-suara melengking menyerukan berbagai 
  
perintah, dan ditanggapi oleh suara-suara yang tak 
kalah melengking. 
"Perlengkapan pribadi pengantin pria harap disusun 
di atas lemari pakaiannya." 
"Aku sudah mengurusnya. Kipas dan kotak obatnya 
juga ada di sana." 
Segala macam orang berlalu-lalang. Istri siapakah 
itu? Dan suami siapa di sebelah sana? Orang-orang itu 
bukan saudara dekat, namun  mereka semua bekerja sama 
secara harmonis. 
Sang pengantin pria yang masih berdiri seorang diri 
di pojok ruangan, mengenali wajah semua orang itu 
dan merasakan kegembiraan mendalam. Di salah satu 
ruangan, seorang laki-laki tua yang ramai sedang 
berbicara mengenai tradisi dan tata cara mengambil 
menantu dan istri. "Apakah sandal pengantin pria 
sudah usang? Pengantin pria tidak boleh memakai 
sandal tua. Dia harus memakai sandal baru pada 
waktu mendatangi rumah calon istrinya. lalu , 
nanti malam, ayah pengantin wanita akan tidur sambil 
memegang sandal itu, dan kaki si pengantin pria 
takkan meninggalkan rumah mereka." 
Seorang wanita lesbian  tua angkat bicara. "Orang-orang 
harus membawa   lampion. Tidak pantas mendatangi 
rumah pengantin wanita sambil membawa   obor. 
lalu  lampion-lampion itu diserahkan pada 
keluarga pengantin wanita, dan diletakkan di hadapan 
altar rumah selama tiga hari tiga malam." Ia berbicara 
dengan nada ramah, seakan-akan putranya sendiri 
  
yang bakal menjadi pengantin. 
Pada waktu itu, seorang kurir tiba, mengantarkan 
surat pertama dari pengantin wanita untuk pengantin 
pria. Dengan malu-malu salah satu istri menembus 
kerumunan orang sambil membawa   sebuah kotak 
berisi surat. 
betari durga  berkata dari serambi. "Aku di sini." 
"Ini surat pertama dari pengantin wanita." 
wanita lesbian  tadi berkata. "Dan berdasarkan tradisi, 
sang pengantin pria harus memberikan jawab an."  
"Apa yang harus kutulis?" 
wanita lesbian  itu tertawa  cekikikan, namun tidak 
menjawab . Kertas dan perlengkapan tulis diletakkan 
di hadapan betari durga . 
Dengan bingung betari durga  meraih kuas. Selama ini 
ia tak pernah menekuni kesusastraan. Ia belajar 
menulis di Kuil jalatunda, dan saat  ia bekerja di toko 
tembikar, kemampuan menulisnya paling tidak 
termasuk rata-rata, jadi ia tidak merasa sungkan 
sebab  harus menulis di depan orang-orang. Ia hanya 
tidak tahu apa yang mesti ia katakan. Akhirnya ia 
menorehkan: 
 
Pada malam yang menyenangkan ini, seyogyanya sang 
pengantin pria pun datang untuk berbincang-bincang. 
 
betari durga  memperlihatkan hasil karyanya kepada 
ibu rumah tangga yang membawa  kan perlengkapan 
menulis untuknya. "Bagaimana kalau begini?"  
"Ini sudah cukup." 
  
"Bukankah suamimu juga mengirimkan surat 
serupa pada waktu kalian menikah? Tidak ingatkah 
kau apa yang ditulisnya?"  
"Tidak." 
betari durga  tertawa . "Kalau kau sendiri lupa, isinya 
tentu tidak penting." sesudah  itu, sang pengantin pria 
dirias dengan jubah  kebesaran dan diberi kipas. 
Bulan bersinar cerah di langit senja, dan obor-obor 
menyala terang di gerbang. Iring-iringan itu dipimpin 
oleh kuda tanpa penunggang dan  dua pembawa   
tombak. Di belakang mereka menyusul tiga pembawa   
obor, lalu sang pengantin pria yang mengenakan 
sandal baru. 
Tidak ada perabor perkawinan indah seperti lemari 
bertatah, layar lipat, maupun perabot dari Negeri 
kedhiri , namun  ada satu lemari baju tempur dan satu peti 
pakaian. Sebagai centeng adipati  yang memimpin tiga puluh 
prajurit infanteri, betari durga  tak perlu malu. Justru 
sebaliknya, dalam hati betari durga  mungkin justru 
merasa bangga. Sebab tak seorang pun dari orang-
orang yang datang untuk membantu malam ini 
merupakan saudaranya, dan mereka juga tidak 
dipekerjakan sebagai pembantu. Mereka datang dan 
ikut gembira, seolah-olah pernikahan betari durga  
merupakan pernikahan kerabat mereka. 
Cahaya lentera menari-nari di setiap gerbang di 
perkampungan para pemanah, dan semua gerbang 
terbuka lebar. Api unggun menyala di sana-sini, dan 
banyak orang membawa   lampion, menunggu 
  
kedatangan pengantin pria bersama sanak keluarga 
pengantin wanita. 
Saat itulah sejumlah anak kecil berlarian dari arah 
persimpangan jalan. 
"Dia datang! Dia datang!" 
"Pengantinnya datang!" 
Ibu anak-anak itu memanggil mereka, lalu menegur 
mereka dengan lembut dan menyuruh mereka berdiri 
di sisinya. Seluruh jalan bermandikan cahaya bulan 
yang keperak-perakan. Pengumuman anak-anak tadi 
dianggap sebagai peringatan, dan sejak itu tak seorang 
pun menyeberangi jalan yang sunyi. 
Dua pembawa   obor muncul di tikungan. Mereka 
diikuti oleh pengantin pria. Hiasan kuda sudah  
dilengkapi dengan lonceng, dan saat  tergoyang-
goyang, lonceng-lonceng itu mengeluarkan bunyi 
bagaikan suara jangkrik, lemari baju tempur dan 
kedua tombak dibawa   oleh lima orang. Untuk 
lingkungan itu, pertunjukannya tidak terlalu buruk. 
Sang pengantin pria. betari durga , tampak mengesan-
kan. Ia berperkertoarjo kan kecil, namun  penampilannya cukup 
pantas, walaupun tanpa pakaian mewah. Tampangnya 
tidak sedemikian jelek hingga mengundang desas-
desus, dan ia pun tidak kelihatan seperti orang yang 
jadi besar kepala sebab  merasa dirinya cerdas. Jika 
orang-orang yang berdiri di pagar-pagar dan gerbang-
gerbang dimintai pendapat, mereka akan berkomenrar 
bahwa ia orang biasa saja, dan bahwa ia pantas 
menjadi suami nyi momo . 
  
"Selamat datang, selamat datang." 
"Beri jalan bagi pengantin pria!" 
"Selamat!" 
Sanak saudara dan kerabat yang menunggu di dekat 
gerbang perdikan  menyapa betari durga . Sejenak 
wajah-wajah mereka diterangi cahaya kerlap-kerlip. 
"Silakan masuk." Sang pengantin pria diantar ke 
sebuah ruangan terpisah. betari durga  duduk seorang 
diri. Rumah perdikan  tidak besar, hanya terdiri atas 
enam atau tujuh kamar. Para pembantu duduk di 
balik pintu geser. Dapur berada di seberang taman 
kecil, dan ia bisa mendengar suara orang yang sedang 
mencuci piring, bau masakan pun tercium jelas. 
betari durga  tidak begini memperhatikannya saat  ia 
melangkah menyusuri lalan. namun  sesudah  duduk, ia 
mendengar detak jantungnya sendiri dan mulutnya 
terasa kering. Ia duduk seorang diri dalam ruangan 
itu, seakan-akan terlupakan. Meski demikian, tak 
sepantasnya ia melanggar tata krama, padi ia tetap 
duduk tegak, tak peduli apakah ada yang melihatnya 
atau tidak. 
Untung saja betari durga  jarang merasa jemu. Di 
pihak lain, sebagai pengantin pria yang akan segera 
menemui calon istrinya, ia tak punya alasan apa pun 
untuk merasa jemu. Meski demikian, pada suatu titik 
ia melupakan urusan pernikahan dan menyibukkan 
diri dengan angan-angan yang sama sekali tak ber-
kaitan. Pikirannya melayang ke arah yang tak masuk 
akal untuk situasi yang tengah dialaminya benteng kota 
  
swaradwipa. Bagaimana perkembangan terakhir di sana? 
Belakangan ini, hal itulah yang paling menyita 
pikirannya, bukannya bagaimana istri yang baru 
dinikahinya akan menyapanya besok pagi dan seperti 
apa penampilannya saat  itu. 
Apakah benteng kota swaradwipa akan berpihak pada 
orang-orang mpu marijan ? Ataukah mereka akan ber-
sekutu dengan marga sinuhun ? Sekali lagi jalannya nasib 
akan bercabang. Tahun lalu, menyusul kekalahan total 
yang dialami amarga mpu marijan  di bentengloji , marga 
prabu kertoarjowardana   menghadapi tiga pilihan. Apakah mereka 
akan terus mendukung marga mpu marijan ? Apakah lebih 
baik mereka tidak bersekutu dengan marga mpu marijan  
maupun marga sinuhun  memberanikan diri mengumum-
kan kemerdekaan? Ataukah mereka sebaiknya 
memilih bersekutu dengan pihak sinuhun ? Cepat atau 
lambat mereka harus menentukan sikap. Sudah ber-
tahun-tahun marga prabu kertoarjowardana   menjadi semacam 
benalu yang tergantung pada pohon mpu marijan . 
Namun akar dan batang hubungan mereka sudah  
runtuh di bentengloji . Kekuatan mereka sendiri 
belum memadai, namun  sesudah  kematian mpu marijan  
mpu kepenuwoan , orang-orang prabu kertoarjowardana   merasa tak dapat 
mengandalkan pewarisnya, patih baruna. Semua informasi 
ini berasal dari desas-desus atau dari pembicaraan 
kalangan atas yang dipantau dari kejauhan, namun  
betari durga  sangat tertarik sekaligus gelisah khawatir . 
Sekarang kita akan melihat, laki-laki seperti apa 
prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo . betari durga  berkata dalam hati. 
  
betari durga  lebih menaruh perhatian kepada si 
penguasa benteng kota swaradwipa dibandingkan orang-orang 
lain. betari durga  beranggapan bahwa meski dilahirkan 
sebagai penguasa benteng kota dan provinsi, prabu kertoarjowardana   
mpu mojosongo  sudah  memikul lebih banyak kemalangan 
dibandingkan  dirinya sendiri. Semakin banyak yang 
didengar betari durga  mengenai kehidupan mpu mojosongo . 
semakin besar rasa simpatinya kepada laki-laki itu. 
Namun, bagaimanapun, mpu mojosongo  masih muda sekali; 
tahun ini usianya baru sembilan belas. Dalam 
pertempuran di bentengloji , ia berada di barisan 
terdepan mpu kepenuwoan , dan penampilannya saat  
merebut slogohimo  dan wedanarejo  sungguh mengagum-
kan. Keputusannya untuk mundur ke dusun nyi kembang  saat  
mendengar bahwa mpu kepenuwoan  terbunuh pun patut 
dikagumi, mpu mojosongo  memiliki reputasi bagus, baik di 
markas marga sinuhun  maupun belakangan, di kedhiri . 
sebab  itu namanya menjadi buah bibir. betari durga  
pun kini sibuk sendiri memikirkan posisi apa yang 
akhirnya akan diambil oleh mpu mojosongo  dan benteng kota 
swaradwipa. 
"Tuan Pengantin Pria. Tuan di dalam sini?" 
Pintu geser membuka. betari durga  kembali ke alam 
nyata. 
Niwa ranggawiwana, seorang pengikut sinuhun  dari mertajaya , 
masuk ditambah    istrinya. Mereka akan bertindak sebagai 
perantara. "Kita akan menyelenggarakan upacara 
tokoroarkertoarjo shi." ujar ranggawiwana, "jadi harap Tuan 
menunggu sedikit lebih lama di sini." 
  
betari durga  tampak bingung. "ranggawesi... apa?" 
"Itu sebuah upacara kuno. Ibu dan ayah pengantin 
waniu ditambah    keluarga mereka datang menemui 
pengantin pria untuk pertama kali." 
Istri Niwa segera melanjutkan, "Silakan duduk." dan 
sambil membuka pintu geser, ia memberi isyarat pada 
orang-orang yang idah menunggu di ruang sebelah. 
Yang pertama-tama masuk dan mengucapkan selamat 
adalah mertua betari durga , tanah  perdikan  dan 
istrinya. Meski sudah saling mengenal, mereka 
mengikuti tata cara yang sudah  ditentukan. Begitu 
melihat kedua wajah yang sudah akrab bagi maunya, 
betari durga  merasa jauh lebih tenang, dan tangannya 
meraba-raba seakan-akan hendak menggaruk kepala. 
Orangtua nyi momo  diikuti oleh anak wanita lesbian  cantik 
berusia lima belas atau enam belas tahun, yang lalu 
membungkuk dan berkata malu-malu, "Aku adik 
nyi momo . Namaku margojoyobroto." 
betari durga  terheran-heran. gadis lesbian ini bahkan lebih 
cantik dibandingkan  nyi momo . Lebih dari itu, sampai kini 
betari durga  bahkan tidak tahu bahwa nyi momo  memiliki 
adik wanita lesbian . Di bagian rumah yang mana 
kembang indah ini disembunyikan selama ini? 
"Ehm, ah, terima kasih. Aku panembahan  betari durga , 
dituntun ke sini oleh nasib. Aku senang berkenalan 
denganmu."  
Sambil bertanya-tanya, inikah orang yang akan 
dipanggil 'Kakak Laki-Laki', margojoyobroto melirik ke arah 
betari durga , namun  sanak saudara lain sudah mengantre di 
  
belakangnya. Satu per satu mereka masuk dan ber-
bincang-bincang dengan betari durga . sebab  ber-
kenalan dengan begitu banyak orang, betari durga  
hampir rak sanggup mengingat siapa yang merupakan 
paman dari pihak ayah atau kepribadian  atau sepupu, 
dan dalam hati ia bertanya-tanya seberapa banyakkah 
saudara nyi momo . 
betari durga  menganggap ini mungkin bisa menjadi 
masalah di lalu  hari, namun  kemunculan adik ipar 
yang cantik dan sanak saudara yang ramah segera 
menghiburnya. Saudaranya sendiri tidak banyak, namun  
ia menyukai keramaian, dan keluarga yang ramah, 
riang, dan gemar tertawa  sangat cocok baginya. 
"Tuan Pengantin, silakan ambil tempat duduk." 
Kedua perantara mengajaknya ke sebuah ruang sempit 
yang nyaris tidak cukup besar untuk menampung 
mereka semua, dan sesudah  dituntun ke kursi yang 
sudah  disediakan untuknya, si pengantin pria duduk di 
tengah. 
Meski sudah  memasuki musim gugur, udara di 
dalam rumah tetap terasa panas dan pengap. Kerai 
rotan tergantung dari tepi atap, menyaring bunyi 
jangkrik dan  embusan angin yang membuat cahaya 
lampu minyak berkenap-kerlip. Ruangan yang bersih 
itu tampak gelap dan jauh dari mewah. 
Ruangan yang dipersiapkan untuk upacara ber-
ukuran kecil, dan ketiadaan dekorasi justru menimbul-
kan rasa segar. Tikar alang-alang idah digelar di lantai. 
Tempat pemujaan dewa-dewa pencipta, ganesahajaya dan 
  
indraprasta didirikan di bagian belakang ruangan. Di 
hadapannya ada persembahan berupa kue dan 
anggur , sebatang lilin, dan ranting sebatang pohon 
keramat. 
betari durga  merasa tubuhnya menjadi kaku saat  
duduk di sana. 
Mulai malam ini... 
Upacara ini akan mengikatnya pada kewajiban-
kewajiban seorang suami, pada hidup baru. dan pada 
nasib keluarga istrinya. Semua ini memicu  
betari durga  bermkertoarjo s diri. Ia tak kuasa menahan 
cintanya pada nyi momo . Jika ia tidak berkeras, nyi momo  akan 
menikah dengan orang lain. namun  sesudah  malam ini. 
nyi momo  dan betari durga  akan menempuh perjalanan 
hidup bersama-sama. 
Aku harus membuatnya bahagia. Inilah pikiran 
pertama yang terlintas di benak betari durga  saat  ia 
duduk di kursi pengantin pria. Ia merasa kasihan pada 
nyi momo , sebab sebagai wanita lesbian , kesempatan nyi momo  
untuk menentukan nasibnya sendiri lebih kecil 
dibandingkan kesempatan laki-laki. 
Tak lama lalu , upacara sederhana pun 
dimulai. sesudah  pengantin pria duduk, nyi momo  dibawa   
masuk oleh seorang wanita lesbian  tua dan mengambil 
tempat di samping betari durga . 
Rambut nyi momo  diikat dengan tali berwarna merah-
putih. Jubah luarnya yang terbuat dari sutra putih 
berpola wajik, melingkar pada pinggangnya. Di dalam-
nya ia mengenakan gaun dari bahan yang sama, dan di 
  
bawah  itu ia memakai selapis sutra merah yang 
menyembul dari ujung lengan. Selain jimat 
keberuntungan pada lehernya, ia tidak memakai  
hiasan rambut dari emas atau perak, maupun 
dandanan muka tebal. Penampilannya sangat serasi 
dengan kesederhanaan yang mengelilinginya. 
Keindahan upacara itu bukan keindahan pakaian 
mewah, melainkan keindahan yang polos, tanpa 
pernik-pernik. Satu-satunya yang bernada hiasan 
adalah sepasang botol yang dibawa   oleh anak laki-laki 
dan anak wanita lesbian . 
"Semoga perkawinan ini berlangsung bahagia dan 
untuk selama-lamanya. Semoga kalian saling setia 
selama seratus ribu musim gugur." wanita lesbian  tadi 
berkata kepada kedua pengantin. 
betari durga  menimbang  baskom , menerima sedikit 
anggur , dan langsung menghabiskannya. Orang yang 
menuangkan anggur  berpaling pada Ncne, dan nyi momo  pun 
berikrar dengan menghirup isi baskom . 
betari durga  merasa darahnya naik ke kepala dan 
dadanya berdentum-dentum, namun  nyi momo  tetap bersikap 
tenang. nyi momo  sendiri yang memutuskan untuk 
menikahi betari durga , sebab  itu ia sudah  bertekad 
untuk tidak menyalahkan orangtuanya maupun para 
dewa, tak peduli apa pun yang akan dialaminya mulai 
hari ini. Penampilannya mengharukan saat  ia 
mendekatkan baskom ke bibirnya. 
Begitu sang pengantin wanita berbagi baskom 
perkawinan dengan pengantin pria. Niwa ranggawiwana mulai 
  
mengumandangkan nyanyian memberi selamat 
dengan suara yang menjadi matang di medan per-
tempuran. ranggawiwana baru saja menyelesaikan bait 
pertama, saat  seseorang di luar melanjutkan dengan 
refrein. 
Seluruh isi rumah terdiam pada waktu ranggawiwana 
bernyanyi, sehingga suara di luar yang tiba-tiba dan tak 
tahu aturan itu terasa mengejutkan sekali. ranggawiwana pun 
kaget dan berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang. 
betari durga  menoleh ke pekarangan. 
"Siapa itu?" seorang pelayan bertanya pada si 
pengganggu. 
Pada saat itulah seorang laki-laki di luar gerbang 
mulai menyanyi dengan suara berat, meniru pemain 
Noh, dan melangkah ke arah serambi. Seakan-akan 
lupa diri, betari durga  bangkit dari tempat duduknya 
dan berjalan menuju serambi. 
"Kaukah itu, brawirgo ?" 
"Tuan Pengantin!" madya brawirgo  melepaskan 
kerudungnya. "Kami datang untuk upacara siraman. 
Bolehkah kami masuk?" 
betari durga  bertepuk tangan. "Aku gembira sekali kau 
datang. Silakan masuk, silakan masuk!" 
"Aku membawa   teman. Tidak apa-apa?" 
"Tentu saja tidak apa-apa. Upacara perkawinan 
sudah  selesai, dan mulai malam ini. aku menantu di 
rumah ini." 
"Mereka memperoleh menantu yang baik. 
Barangkali aku bisa memperoleh sebaskom anggur  dari 
  
Tuan perdikan ." brawirgo  herbalik dan memberi 
isyarat ke arah kegelapan. 
"Hei, semuanya! Kita diizinkan masuk untuk 
mengadakan upacara siraman!" 
Seman brawirgo  dijawab  oleh sejumlah laki-laki 
yang segera mendesak masuk, meramaikan suasana 
dengan suara-suara mereka. dasna patih pitaloka  berada di 
antara mereka, demikian pula wirakramabima. resi  
yasabima. dan teman lama betari durga . Ganmaku. 
Bahkan si kepala tukang kayu bermuka bopeng pun 
hadir. 
Upacara siraman merupakan tradisi kuno. Teman-
teman lama pengantin pria mendatangi rumah ayah 
mertuanya tanpa diundang. Keluarga pengantin 
wanita wajib menerima mereka dengan ramah, dan 
lalu  para tamu tak diundang itu menarik 
pengantin pria ke pekarangan untuk mengguyurnya 
dengan air. 
Namun pelaksanaan upacara siraman malam ini 
agak terlalu dini. Biasanya acara itu  baru 
diselenggarakan enam bulan sampai satu tahun sesudah  
pernikahan. 
Seluruh keluarga perdikan  dan Niwa ranggawiwana 
merasa terkejut. namun   si pengantin pria tampak riang 
gembira, dan mempersilakan rombongan temannya 
untuk masuk. 
"Wah? Kau ikut juga?" betari durga  berkata sambil 
menyalami seseorang yang sudah lama tidak 
dijumpainya, lalu berpesan pada istrinya. "nyi momo , cepat, 
  
ambilkan makanan. Dan anggur . Berbotol-botol anggur " 
"Segera." Nenc kelihatannya sudah menduga akan 
ada kunjungan. Sebagai istri betari durga , ia sadar bahwa 
ia tak boleh dikejutkan oleh hal-hal seperti ini. Ia 
menerima situasi itu tanpa mengeluh sedikit pun. Ia 
melepaskan jubah nya yang putih bagaikan salju, lalu 
melingkarkan baju sehari-hari pada pinggangnya. 
sesudah  mengikat lengan bajunya yang panjang dengan 
tali, ia mulai bekerja. 
"Pernikahan macam apa ini?" salah seorang tamu 
berseru dengan jengkel. Sambil menenangkan kerabat 
mereka, perdikan  dan istrinya terburu-buru melewati 
kerumunan orang yang bingung. saat  perdikan  
mendengar bahwa rombongan yang baru datang 
dipimpin oleh brawirgo , ia sempat merasa waswas. 
Namun, saat  melihat brawirgo  berbincang-bincang 
dan tertawa  bersama betari durga , perasaan perdikan  
segera tenang kembali. 
"nyi momo ! nyi momo !" perdikan  berkata. "Kalau 
persediaan anggur  tidak cukup, suruh saja salah seorang 
untuk membeli lebih banyak. Biarkan orang-orang ini 
minum sepuas hati." Dan lalu , kepada istrinya, 
"tole ! tole ! Kenapa kau hanya berdiri di situ? anggur  
sudah didwikerto ngkan, namun  para tamu belum 
memperoleh baskom . Walaupun ini bukan pesta besar, 
keluarkanlah apa saja yang kita miliki. Aku gembira 
sekali sebab  brawirgo  datang bersama rombongan-
nya." 
sesudah  tole  kembali sambil membawa  kan baskom -
  
baskom . perdikan  sendiri yang melayani brawirgo . Ia 
menyimpan perasaan yang amat mendalam bagi laki-
laki yang hampir menjadi menantunya ini. namun   
takdir menentukan lain. Anehnya persahabatan 
mereka tetap terjalin erat, persahabatan antara dua 
centeng adipati . Berbagai perasaan bergejolak dalam lubuk 
hati perdikan , namun  ia tidak mengungkapkannya 
dengan kau maupun ekspresi wajah. 
"Ah. perdikan , aku pun bahagia. Kau memperoleh 
menantu yang baik. Aku mengucapkan selamat 
dengan sepenuh hati." ujar brawirgo . "Aku tahu bahwa 
aku menyerobot masuk malam ini. Kau tidak ter-
singgung, bukan?" 
"Sama sekali tidak, sama sekali tidak!" perdikan  
umpak penuh semangat. "Kita akan minum-minum 
sepanjang malam." 
brawirgo  tertawa  keras. "Kalau kita minum-minum 
dan menyanyi sepanjang malam, bukankah pengantin 
wanita akan marah?" 
"Kenapa dia harus marah? Bukan begitu cara dia 
dibesarkan," kau betari durga . "Dia wanita lesbian  berbudi 
luhur." 
brawirgo  mendekati betari durga  dan mulai meng-
gsinuhun nya. "Dapatkah kau memberi penjelasan lebih 
lanjut?" 
"Tidak. Aku minta maaf. Aku sudah bicara terlalu 
banyak." 
"Aku takkan melepaskanmu begitu uja. Nah, ini ada 
baskom besar." 
  
"Jangan repot-repot. Yang kecil pun sudah cukup 
untukku." 
"Pengantin macam apa kau ini? Mana rasa bangga-
mu?" 
Mereka saling menggsinuhun  bagaikan anak kecil. namun , 
meski anggur  mengalir bebas di sekitarnya, betari durga  
tidak minum melewati batas tidak malam ini maupun 
kapan saja. Sejak kecil ia sudah  menyimpan kenangan 
pahit mengenai akibat terlalu banyak minum, dan 
kini, saat  menatap baskom besar yang disodorkan ke 
hadapannya, ia melihat wajah ayah tirinya yang sedang 
mabuk, lalu wajah ibunya yang begitu sering bersedih 
hati sebab  ayah tirinya terlalu menggemari anggur . 
betari durga  menjadi dewasa di tengah kemiskinan, dan 
tubuhnya tidak seberapa kuat jika dibandingkan 
tubuh orang-orang lain. Walau masih muda. ia selalu 
bersikap hati-hati. 
"Satu baskom besar terlalu banyak untukku. Tolong 
tukar dengan yang lebih kecil saja. Sebagai gantinya, 
aku akan menyanyikan sesuatu untukmu." 
"Apa? Kau mau menyanyi?" 
betari durga  tidak menjawab , melainkan langsung 
menepuk-nepuk paha, seakan-akan memukul gendang, 
dan mulai bersenandung. 
 
Hidup manusia 
Hanya 60 tahun... 
 
"Jangan, berhenti." brawirgo  cepat-cepat menutupi 
mulut betari durga  dengan satu ungan. Tidak pantas 
  
kaunyanyikan tembang ini. Ini dari Atsumon. yang 
begitu digemari Yang Mulia." 
"Aku mempelajari larian dan nyanyian yang sering 
dibawa  kan Tuan aidit  dengan meniru beliau. Ini 
bukan tembang terlarang, jadi salahkah kalau aku 
menyanyikannya?" 
"Ya, salah sekali." 
"Kenapa begitu?" 
"Tembang ini tidak patut ditampilkan dalam acara 
pernikahan." 
"Yang Mulia membawa  kan tarian srimpipatih pada 
pagi hari sebelum centeng  kita berangkat ke 
bentengloji . Mulai malam ini, kami berdua, suami-
istri yang dilanda kemiskinan, akan menempuh hidup 
baru. Jadi, bukankah pilihanku pantas?" 
"Ketetapan hati untuk maju ke medan tempur dan 
pesta pernikahan merupakan dua hal berbeda. Prajurit 
sejati bertekad untuk hidup lama bersama istri, sampai 
kedua-duanya sudah  berambut putih." 
betari durga  menepuk lututnya. "Itu benar. Terus 
terang, justru itulah yang kuharapkan. Kalau terjadi 
perang, apa boleh buat, namun  aku tak ingin mati sia-sia. 
60 tahun belum cukup. Aku ingin hidup 
bahagia dan setia pada nyi momo  selama seratus tahun." 
"Dasar mulut besar. Lebih baik kau menari saja. 
Ayo, mulailah." 
Mendengar brawirgo  mendesak-desak si pengantin 
pria, sejumlah tamu lain segera mendukungnya. 
"Tunggu. Harap tunggu sejenak. Aku akan menari." 
  
Sambil membujuk teman-temannya untuk bersabar, 
betari durga  berpaling ke arah dapur, bertepuk tangan, 
dan memanggil, "nyi momo ! Persediaan anggur  sudah 
menipis." 
"Sebentar." jawab  nyi momo . Ia sama sekali tidak malu-
malu di hadapan para tamu. Dengan riang ia 
membawa   botol-botol anggur , melayani orang-orang 
seperti yang diminta oleh betari durga . Yang merasa 
terkejut hanya orangtua nyi momo  dan para saudaranya 
yang sejak dahulu  cuma menganggapnya anak kecil. 
Namun hati nyi momo  sudah  bersatu dengan hati suaminya, 
dan betari durga  pun tidak kelihatan kikuk dengan istri 
yang baru dinikahinya. Sesuai dugaan, brawirgo  yang 
sudah agak mabuk berulang kali tersipu-sipu saat  
dilayani nyi momo . 
"Hah, nyi momo , mulai malam ini. kau istri Tuan 
panembahan . Izinkanlah aku memberi selamat sekali 
lagi," brawirgo  berkata sambil menyingkirkan meja 
iokt dari hadapan nyi momo . "Ada satu hal yang diketahui 
oleh semua sahabatku dan yang tak pernah ku-
sembunyikan dari mereka. dibandingkan  merasa malu dan 
merahasiakannya, aku akan menyelesaikannya sampai 
tuntas. Bagaimana, panembahan ?" 
"Ada apa?" 
"Perkenankan aku meminjam istrimu sejenak."  
Sambil tertawa , betari durga  berkata. "Silakan." 
"Begini, nyi momo . Pada suatu saat , semua orang tahu 
bahwa aku mencintaimu, dan ini belum berubah. 
Kaulah wanita lesbian  yang kucintai." brawirgo  menjadi 
  
lebih serius. Dan seandainya pun sikapnya tidak 
berubah, dada nyi momo  sudah penuh gejolak emosi, 
sebab  baru saja menjadi istri seseorang. Sejak malam 
ini, hidupnya sebagai wanita lesbian  muda yang masih 
sendiri lelah berakhir, namun  ia tak sanggup 
memadamkan perasaannya terhadap brawirgo . 
"nyi momo , kata orang, hati seorang gadis lesbian muda tak 
dapat ditebak, namun  kau sudah  mengambil langkah 
terbaik saat  memilih betari durga . Aku rela melepas-
kan orang yang sudah  merebut hatiku. namun  cintaku 
terhadap panembahan  bahkan lebih kuat dibandingkan  
cintaku padamu. Boleh dibilang aku memberikanmu 
padanya sebagai tanda tinta dari satu laki-laki kepada 
laki-laki lain. Berarti aku sudah  memperlakukanmu 
seperti barang, namun  begitulah laki-laki. Betul tidak. 
panembahan ?" 
"Aku menerimanya tanpa ragu-ragu, sebab  aku 
sudah menyangka bahwa itulah alasanmu." 
"Hmm, kalau kau ragu-ragu mengenai wanita lesbian  
yang baik ini, berarti akulah yang salah menilaimu, 
dan untuk selanjutnya kau takkan kupandang sebelah 
mata. Kau memperoleh wanita lesbian  yang berada jauh 
di atasmu." 
"Bicaramu tak keruan." 
"Ah, ha ha ha ha. Pokoknya, aku bergembira. Hei. 
panembahan , kita menjalin persahabatan kekal, namun  
pernahkah kau menduga bahwa kita akan mengalami 
malam sebahagia sekarang?" 
"Tidak, kurasa tidak." 
  
"nyi momo , adakah rebana di sekitar sini? Kalau aku 
memainkan rebana, kuharap salah seorang berdiri dan 
menari. sebab  panembahan  ini bukan orang berakal 
sehat, aku percaya kemampuan menarinya pun tak 
seberapa." 
"Ehm, untuk menghibur para hadirin, izinkanlah 
aku membawa  kan tarian sebisaku." Orang yang 
berbicara ini adalah nyi momo . brawirgo , dasna patih pitaloka , 
dan tamu-tamu lainnya tertegun dan membelalakkan 
mata. Diiringi permainan rebana brawirgo , nyi momo  
membuka kipas dan mulai menari. 
"Bagus! Bagus!" betari durga  bertepuk tangan, seolah-
olah ia sendiri yang menari. Mungkin sebab  mereka 
sedang mabuk, kegembiraan mereka tidak mem-
perlihatkan tanda-tanda akan surut. lalu  se-
seorang mengusulkan agar mereka pindah ke 
wanadinata , kkertoarjo san paling meriah di kedhiri . Dan tak 
seorang pun di antara mereka cukup sadar untuk 
mengatakan tidak. 
"Baiklah! Mari kita ke sana!" betari durga , si pengantin 
baru, berdiri dan berjalan di depan. Ia tidak 
mengacuhkan sanak saudara yang tampak marah. 
Rombongan yang datang untuk mengadakan upacara 
siraman pun melupakan maksud semula, dan sambil 
berangkulan dengan si pengantin pria, mereka 
meninggalkan ruang pernikahan, saling menopang 
dan melambaikan tangan. 
"Sungguh malang nasib si pengantin wanita." Para 
kerabat merasa iba pada nyi momo  yang ditinggalkan 
  
begitu saja. namun  saat  mereka menatap berkeliling 
untuk mencari nyi momo  yang tadi masih menari, mereka 
tidak menemukannya. nyi momo  sudah  membuka pintu 
samping dan menyusul keluar. 
Sambil mengejar suaminya yang dikelilingi oleh 
teman-teman yang mabuk, ia berseru, "Bersenang-
senanglah!" lalu menyelipkan dompet ke bagian depan 
jubah  betari durga . 
Tempat yang sering dikunjungi para pemuda dari 
benteng kota adalah sebuah kedai minum bernama 
Nunokkertoarjo , Terletak di bagian lama wanadinata , kedai 
itu konon bekas toko saudagar anggur , yang sudah  tinggal 
di sana sebelum marga sinuhun , maupun pendahulunya, 
marga eyang  menjadi penguasa jenggala . Jadi, toko itu 
terkenal sebab  bangunan kunonya yang besar. 
betari durga  lebih dari sekadar pelanggan. Bahkan jika 
wajahnya tidak terlihat saat  orang-orang berkumpul 
di sana, para pelayan dan teman-temannya merasa 
seakan-akan ada yang kurang seperti sebuah senyum 
dengan satu gigi hilang. Pernikahan betari durga  
merupakan alasan kuat bagi para pengunjung untuk 
mengangkat baskom . saat  rombongan betari durga  
menerobos masuk lewat tirai di pintu, seseorang 
langsung memberi pengumuman. 
"Para hadirin dan pengawal Nunokkertoarjo ! Sambutlah 
kedatangan tamu istimewa. Kami membawa   pengantin 
pria yang tak ada duanya di dunia ini! Silakan tebak 
siapa orangnya. Namanya panembahan  betari durga . 
Bergembiralah, bergembiralah! Kita akan menyeleng-
  
garakan upacara siraman untuknya." 
Langkah mereka tersendat-sendat. betari durga  dioper-
oper dan masuk sambil terhuyung-huyung. 
Para pengawal tampak bingung, namun  sesudah  
menyadari apa yang sedang terjadi, tawa  mereka pun 
meledak. Terheran-heran mereka mendengarkan cerita 
bagaimana si pengantin pria diciduk dan dibawa   pergi 
dan tengah upacara pernikahan. 
"Ini bukan upacara siraman." mereka berkelakar. 
"Ini lebih pantas dinamakan  penculikan pengantin." Dan 
semuanya tenkertoarjo  terbahak-bahak. betari durga  bergegas 
masuk, seakan-akan hendak melarikan diri, namun  
kawan -kawan nya yang gemar bersenda gurau segera 
mencari tempat duduk, mengelilinginya, dan mem-
beritahunya bahwa ia akan disekap sampai fajar tiba. 
Siapa yang tahu seberapa banyak yang mereka 
minum? Hampir tak ada yang sanggup memastikan 
lagu dan tarian apa saja yang mereka bawa  kan. 
Akhirnya masing-masing orang tertidur di tempat-
nya tumbang, dengan sebelah lengan memeluk bantal, 
atau dengan tangan dan kaki terentang. saat  malam 
semakin larut, bau-bauan musim gugur diam-diam 
merayap masuk. 
 
Tiba-tiba brawirgo  mengangkat kepala dan menatap 
berkeliling. betari durga  pun melakukan hal yang sama. 
dasna patih pitaloka  membuka mata. Sambil saling ber-
pandangan, mereka memasang telinga. Bunyi langkah 
kuda yang memecah keheningan malam sudah  mem-
  
bangunkan mereka. 
"Apa itu?" 
"Sepertinya ada cukup banyak kuda." brawirgo  
menepuk lutut, seakan-akan baru teringat sesuatu. 
"Ah, betul. Sudah waktunya danakertoarjo   ngabeni 
kembali. Beberapa waktu lalu dia diutus sebagai kurir 
untuk menemui prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  di dusun nyi kembang . 
Mungkin itu." 
"Tentu. Apakah mereka akan bersekutu dengan 
marga sinuhun , atau tetap mengandalkan orang-orang 
mpu marijan ? Si kurir mestinya membawa   jawaban pasti dari 
dusun nyi kembang ." 
Satu per satu mereka membuka mata, namun  tiga 
orang bergegas keluar tanpa menunggu yang lain. 
Mengikuti bunyi sanggurdi dan kerumunan orang 
dan  kuda di depan, mereka menuju ke arah jembatan 
benteng kota. 
Sejak pertemuan di bentengloji  tahun lalu. 
ngabeni acap kali pergi ke dusun nyi kembang  sebagai kurir. 
Bahwa ia mengemban tugas diplomatik penting untuk 
mepercayakan prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  agar bersedia bekerja 
sama dengan marga sinuhun  bukan rahasia di kedhiri . 
Sampai beberapa saat lalu, dusun nyi kembang  merupakan 
provinsi lemah yang tergantung pada marga mpu marijan . 
Dan walaupun jenggala  juga tergolong provinsi kecil. 
jenggala  sudah  berhasil memberikan pukulan fatal 
kepada marga mpu marijan  yang kuat, sekaligus 
memberikan peringatan bagi para pesaing yang mem-
perebutkan kepemimpinan nasional bahwa kini ada 
  
orang dengan nama aidit . Kekuatan dan 
semangat orang-orang sinuhun  sedang menanjak. 
Persekutuan yang hendak mereka capai dinamakan  
federasi kerja sama, namun kesulitan yang harus 
diatasi adalah bagaimana caranya agar marga sinuhun  
memperoleh peran yang lebih besar dalam per-
sekutuan itu. 
Bagi sebuah provinsi yang kecil dan lemah, sangat-
lah penting untuk bertindak tanpa ragu-ragu. Sebuah 
provinsi seperti dusun nyi kembang  dapat ditelan dengan satu 
serangan militer saja. Dan nyatanya, sesudah  kematian 
mpu kepenuwoan , Provinsi dusun nyi kembang  tiba pada persimpangan 
yang akan menentukan hidup atau mati. Apakah 
marga prabu kertoarjowardana   harus terus mengandalkan orang-
orang mpu marijan  di bawah  patih baruna? Ataukah lebih baik 
kalau mereka menyeberang dan berpihak kepada 
Marga sinuhun ? 
Orang-orang prabu kertoarjowardana   menghadapi pilihan sulit, 
dan mereka sudah  melewati sejumlah penimbangan, 
pertukaran kurir, diskusi, dan rekomendasi. 
Sementara itu, pertempuran-pertempuran kecil terus 
terjadi antara kertanegara  dan dusun nyi kembang . Pertikaian-
penikaian antara benteng kota-benteng kota sinuhun  dan lawan -
lawan  mereka di pihak dusun nyi kembang  pun tidak berkurang, 
dan tak seorang pun sanggup memperkirakan risiko 
yang ditanggung oleh kedua provinsi, atau kapan 
perang mungkin meledak. Dan tidak sedikit marga 
selain marga sinuhun  dan prabu kertoarjowardana   yang sudah  menanti-
nanti peristiwa ini marga pangeran di blambangan . marga 
  
bimanjana di Ise, marga kertoarjo di Kai. dan marga 
mpu marijan  di kertanegara . Namun perang tidak menawarkan  
keuntungan apa pun. prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  enggan 
bertempur, dan sinuhun  aidit  menyadari bahwa 
menggempur marga prabu kertoarjowardana   merupakan tindakan 
sia-sia belaka. Artinya, aidit  pun enggan meng-
angkat senjata. namun  amatlah penting untuk tidak 
memperlihatkannya. aidit  mengenal watak 
orang-orang prabu kertoarjowardana   yang sabar dan keras kepala, 
dan menganggap perlu umuk mempertimbangkan 
reputasi mereka. 
patih wiryadijaya  merupakan komandan benteng kota 
wilangan . Walaupun ia pengikut marga sinuhun , ia juga 
paman prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo . aidit  sudah  meminta 
wiryadijaya  untuk berbicara dengan kepribadian nya. 
wiryadijaya  menemui mpu mojosongo  ditambah    pengikut-pengikut 
seniornya, dan berusaha membujuk mereka dengan 
usaha-usaha diplomatik. Didekati secara langsung 
maupun tak langsung, orang-orang prabu kertoarjowardana   tampak-
nya sudah mengambil keputusan, dan mpu mojosongo  pun 
sudah  memberi jawab an, Jadi, danakertoarjo   ngabeni 
diutus sebagai kurir ke dusun nyi kembang  untuk menerima 
keputusan akhir mengenai tawa ran aidit  untuk 
membentuk persekutuan. Dan saat  ia kembali pada 
malam itu, ia segera menuju benteng kota, walaupun 
tengah malam sudah  berlalu. ngabeni merupakan 
resi  senior dari pihak sinuhun , terampil memakai  
senjata api, dan penembak jitu. 
Namun bagi aidit , kecerdasan ngabeni 
  
bahkan lebih penting dibandingkan  keahlian menembak-
nya. ngabeni tak dapat dinamakan  orator ulung, namun  
ucapannya yang terus terang selalu berkesan rasional. 
Serius dan penuh akal sehat, ia juga sanggup berpikir 
cepat. sebab  itu, aidit  menganggapnya orang 
yang paling cocok untuk tahap penting dalam proses 
perundingan ini. 
Malam sudah  larut, namun  aidit  sudah bangun 
dan mengambil tempat duduk. ngabeni segera 
menyembah, masih dengan pakaian yang 
dikenakannya selama perjalanan. Terlalu memikirkan 
penampilan pada saat seperti ini, sehingga menata 
rambut dan pakaian dahulu . menghapus keringat dan 
debu. baru lalu  menghadap, hanya akan 
mengundang cercaan seperti. "Apakah kau melihat-
lihat bunga dahulu ?" ngabeni sudah sering mendengar 
sindiran tajam seperti ini. jadi ia segera menyembah 
dengan kedua tangan menempel di lantai, masih 
dalam keadaan tersengal-sengal, dengan pakaian 
berbau kuda. Di pihak lain. aidit  pun jarang 
sekali membiarkan para pengikutnya menunggu 
sementara ia mengambil tempat duduk dengan santai. 
aidit  langsung mengajukan pertanyaan. 
jawaban pasti ngabeni tidak berbelit-belit. Ada 
pengikut yang saat  kembali dan memberikan 
laporan resmi, berbicara panjang-lebar mengenai ini 
dan itu, berkata  mengenai kejadian-kejadian 
sepanjang perjalanan, dan sibuk membahas hal-hal 
kecil. Akibatnya, sukar untuk mencapai pertanyaan 
  
pokok: Berhasilkah mereka menjalankan tugas atau 
tidak? aidit  tidak menyukai sikap seperti ini, dan 
jika seorang kurir menjawab  dengan cara 
menyimpang, wajah aidit  akan terlihat jengkel. 
"Jangan mendongeng!" adalah tanggapan yang sering 
dilontarkannya. 
ngabeni sudah diperingatkan mengenai ini. Ia 
menatap aidit , memberi hormat, lalu segera 
mengungkapkan inti permasalahannya. "Tuanku, 
hamba membawa   berita baik. Persetujuan dengan 
Yang Mulia mpu mojosongo  dari dusun nyi kembang  akhirnya disepakati. Bukan hanya itu, namun  juga hampir semua persyaratan 
yang tuanku ajukan."  
"Kau berhasil?" 
"Ya, tuanku, semuanya sudah dibereskan."  
Wajah aidit  tampak biasa-biasa saja, namun  di 
baliknya ia menghela napas lega.  
"Lebih jauh lagi." ngabeni melanjutkan, "hamba 
berjanji bahwa masalah-masalah detail akan diselesaikan dengan suatu diskusi di lalu  hari. Diskusi  ini akan diadakan di benteng kota brojorejo , dengan 
mpu harjo   mpu rejo dan pihak prabu kertoarjowardana  ." 
"Hmm, kalau begitu sang Penguasa dusun nyi kembang  sudah  
setuju untuk bekerja sama dengan kita?" 
"Atas perintah tuanku." 
"Bagus," aidit  memuji untuk pertama kali. 
Baru sesudah  itu ngabeni memberikan laporan 
terperinci. 
Fajar sudah  dekat saat  ngabeni akhirnya meng-
  
undurkan diri dari hadapan aidit . Pada waktu 
sinar matahari pagi mulai menerangi pekarangan 
benteng kota, desas-desus bahwa marga sinuhun  membentuk 
persekutuan dengan penguasa dusun nyi kembang  sudah  menyebar 
ke mana-mana, dibisikkan dari telinga ke telinga. 
Bahkan informasi rahasia pun, seperti rencana 
pertemuan antara wakil kedua marga di brojorejo  untuk 
menandatangani persetujuan dan  rencana kunjungan 
prabu kertoarjowardana   mpu mojosongo  ke kedhiri  pada Tahun Baru untuk 
melakukan pertemuan pertama dengan aidit , 
diteruskan dari pengikut ke pengikut, diam-diam dan 
dengan cepat. 
Biarpun dari jauh, brawirgo , patih pitaloka , betari durga . 
dan para centeng adipati  muda yang lain langsung mengenali 
kurir yang baru kembali ke benteng kota, dan mereka 
segera mengejarnya. Sambil berdesak-desakan di 
sebuah ruangan dalam benteng kota, mereka menahan 
napas dan menunggu apakah mereka akan berdamai 
atau berperang dengan dusun nyi kembang . 
"Bergembiralah!" bramakatwang, pelayan aidit  
sudah  mendengar berita yang keluar dari ruang dewan, 
dan ia segera menceritakan segala sesuatu yang 
diketahuinya. 
"Mereka menerimanya?" Hasil ini memang sudah 
diduga, namun  sesudah  mengetahui bahwa kedua provinsi 
berhasil mencapai kesepakatan, wajah-wajah mereka 
bertambah  cerah, dan mereka menatap masa depan 
dengan penuh harap. 
"Sekarang kita bisa bertempur," salah seorang 
  
centeng adipati  berkata. 
Bagi para pengikut aidit , persekutuan dengan 
dusun nyi kembang  bukanlah siasat untuk menghindari perang. 
Mereka menyambutnya dengan gembira, sebab  kini 
mereka dapat memusatkan segenap kekuatan untuk 
menghadapi musuh yang lebih besar. 
"Ini suatu berkah bagi kepemimpinan Yang Mulia." 
"Dan juga menguntungkan bagi dusun nyi kembang ." 
"Selelah mendengar hasilnya, aku tak sanggup lagi 
menahan kantuk. Omong-omong, kita semua belum 
tidur sejak semalam," ujar salah seorang yang ikut 
minum-minum. Namun betari durga  membalas. "Aku 
justru sebaliknya. Acara semalam adalah acara gembira 
ria, begitu juga pagi ini. Dengan kegembiraan bertubi-
tubi ini, rasanya aku ingin kembali ke wanadinata  
untuk minum-minum lagi." 
patih pitaloka  bergurau. "Kau bohong. Mengaku sajalah, 
sebetulnya  kau ingin kembali ke rumah nyi momo . Hmm, 
hmm, bagaimanakah sang pengantin wanita melewat-
kan malam pertama? Ha ha ha ha! Tuan Kinoshiia! Ke 
sabaranmu sia-sia saja. Kenapa kau tidak minta cuti 
satu hari dan pulang ke rumah? Sekarang sudah ada 
orang yang menunggumu." 
"Bah!" betari durga  memperlihatkan sikap tegas di 
hadapan teman-temannya. Ledakan tawa  menggema 
ke semua koridor. Akhirnya sebuah genderang besar 
di puncak benteng kota berdentam, dan semuanya bergegas 
ke pos masing-masing. 
 
  
"Aku pulang!" Pintu masuk rumah tanah  perdikan  
tidak besar, namun  saat  betari durga  berdiri di sana. 
pintu itu jadi berkesan amat megah. Suara betari durga  
terdengar jelas, dan kehadirannya membuat keadaan 
sekitarnya bertambah  cemerlang. 
"Oh!" margojoyobroto, adik nyi momo , sedang bermain bola, dan 
ia menatap betari durga  dengan matanya yang bundar. 
Mula-mula ia menyangka ada tamu, namun saat  
mengenali suami kakaknya, ia tertawa  cekikikan dan 
berlari ke dalam rumah. 
betari durga  ikut tertawa . Ia merasa geli. Ia baru 
menyadari bahwa ia sudah  meninggalkan pesta per-
nikahan dan pergi minum-minum bersama teman-
temannya, lalu langsung menuju benteng kota. Kini ia 
pulang menjelang senja. Malam ini gerbang-gerbang 
tidak lagi diterangi api unggun, namun  sudah tiga hari 
ada semacam perayaan keluarga. Rumah perdikan  
kembali diisi suara para tamu dan beberapa pasang 
sandal ditinggalkan di pintu masuk. 
"Aku pulang!" si pengantin pria berseru ceria. Tak 
ada yang keluar untuk menyambutnya, mungkin 
sebab  semuanya sibuk di dapur dan ruang tamu. 
pikir betari durga . Bagaimanapun, sejak semalam ia 
sudah  menjadi menantu di rumah ini. sesudah  ayah dan 
ibu mertuanya, betari durga -lah yang merupakan tuan 
rumah. Hmm, mungkin lebih baik ia tidak masuk 
sebelum semuanya keluar untuk menyambutnya. 
"nyi momo ! Aku pulang!" 
Tanggapan terkejut terdengar dari arah dapur, di 
  
balik pagar rendah. perdikan , istrinya, margojoyobroto, 
beberapa saudara dan pelayan, semuanya keluar dan 
menatapnya dengan dongkol, seakan-akan bertanya-
tanya apa yang sedang dilakukannya. saat  nyi momo  
muncul, ia segera membuka rok kerja, berlutut, dan 
menyambut betari durga  dengan menempelkan kedua 
tangan ke lantai. 
"Selamat datang." 
"Selamat datang." yang lain cepat-cepat menambah-
kan sambil berbaris dan membungkuk, terkecuali, 
tentu saja, Matemon dan istrinya. Sepertinya mereka 
keluar hanya untuk melihat saja. 
betari durga  menatap nyi momo , lalu  yang lain. dan 
membungkuk satu kali. Ia langsung melangkah masuk, 
dan kali ini ia membungkuk penuh hormat di 
hadapan ayah mertuanya, sebelum melaporkan 
kejadian-kejadian di benteng kota hari ini. 
Sejak semalam perdikan  sudah mendongkol. Ia 
bermaksud mengingatkan menantunya akan segala 
kewajiban terhadap sanak saudara, dan juga akan 
kedudukan nyi momo . betari durga  kembali tanpa memper-
lihatkan penyesalan, dan perdikan  sudah  bertekad 
untuk tidak menahan diri, biarpun ini sebetulnya  
tidak pantas di hadapan para tamu. Namun betari durga  
kelihatan begitu riang, sehingga perdikan  
melupakan maksud semula. Apalagi ucapan pertama 
yang keluar dari mulut betari durga  menyangkut 
kejadian-kejadian di benteng kota dan  keadaan junjungan 
mereka. Tanpa sadar perdikan  menegakkan tubuh 
  
dan membalas. "Hmm, kau pasti lelah sesudah  bekerja 
keras sehari penuh." Jadi, ia justru mengucapkan 
kebalikan dari yang hendak dikatakannya, dan 
memberi pujian, bukan teguran, kepada betari durga . 
betari durga  menemani para tamu minum-minum 
sampai larut malam. Bahkan sesudah  para tamu 
pulang, masih ada sejumlah saudara yang terpaksa 
menginap, sebab  tinggal di tempat jauh. nyi momo  tidak 
memperoleh kesempatan keluar dari dapur, dan para 
pelayan pun tampak lelah. 
Walaupun betari durga  sudah  pulang, ia dan nyi momo  
nyaris tidak memperoleh kesempatan untuk saling 
menukar senyum, apalagi melewatkan waktu berdua 
saja. saat  malam semakin larut, nyi momo  membereskan 
baskom -baskom di dapur, memberi petunjuk mengenai 
sarapan, memastikan bahwa para saudara yang sudah 
tidur tidak kekurangan apa-apa, dan akhirnya 
membuka tali yang mengikat lengan bajunya. sesudah  
bisa bersantai untuk pertama kali malam itu, ia 
melayangkan pandang untuk mencari laki-laki yang 
sudah  menjadi suaminya. 
Ruangan yang disediakan bagi mereka sudah  dipakai 
oleh sanak saudara yang lebih tua ditambah    anak-anak 
mereka. Di ruangan tempat mereka minum-minum, 
ayah dan ibu nyi momo  sedang mengobrol bersama kerabat 
dekat. 
Di mana dia? nyi momo  bertanya-tanya. saat  ia keluar 
ke serambi, seseorang memanggilnya dari kamar 
pelayan yang gelap. 
  
"nyi momo ?" Suara itu milik suaminya. nyi momo  berusaha 
menjawab , namun tak sanggup berkata apa-apa. 
Jantungnya berdebar-debar. Walaupun ia tak pernah 
merasa seperti ini sampai saat upacara pernikahan, ia 
tak sempat melihat betari durga  sejak semalam. 
"Masuklah." ujar betari durga . nyi momo  masih bisa men-
dengar suara orangtuanya. saat  sedang berdiri, 
bingung apa yang harus dilakukannya, ia melihat obat 
nyamuk yang dibiarkan membara. Sambil meraihnya, 
ia masuk dengan malu-malu. 
"Kau tidur di sini? Pasti banyak nyamuk." betari durga  
berbaring di lantai. I menatap kakinya. 
"Ah, nyamuk...." 
"Kau pasti lelah sekali." 
"Dan kau juga," betari durga  menanggapi. "Para 
saudara sebetulnya  menolak tegas, namun  aku tak sampai 
hati membiarkan orang tua tidur di kamar pelayan, 
sementara kita tidur di ruangan bertirai emas." 
"namun  tidur di tempat seperti ini, tanpa ranjang..." 
nyi momo  hendak berdiri, namun  betari durga  mencegahnya. 
"Tidak apa-apa. Aku sering tidur di bawah  bahkan 
di lantai papan sekalipun. Tubuhku sudah kebal 
didera kemiskinan." betari durga  duduk. "nyi momo , men-
dekatlah." 
"Ba... baik." 
"Pernah ada yang mengatakan bahwa istri yang baru 
dinikahi serupa dengan tempat penyimpanan beras. 
Kalau tidak dipakai untuk waktu lama, kedua-duanya 
berbau apak dan tak bisa dipakai  lagi. Kalau sudah 
  
tua, simpai-simpainya cenderung copot. namun  ada 
baiknya mengingat bahwa seorang suami adalah 
seorang suami. Kita berencana untuk hidup lama 
bersama-sama, dan sudah  berjanji untuk saling setia 
sampai kita berdua sudah tua dan ubanan, namun  hidup 
kita takkan mudah. Jadi, mumpung kita baru mulai, 
sebaiknya kita saling berikrar. Bagaimana menurut-
mu?" 
"Tentu. Aku akan taat sepenuhnya pada ikrar ini. 
Bagaimanapun bunyinya," nyi momo  menjawab  tegas. 
betari durga  tampak serius sekali. Ia bahkan kelihatan 
agak cemberut. Namun nyi momo  justru gembira melihat 
ekspresi ini untuk pertama kali. 
"Pertama-tama, sebagai suami, aku akan memberi-
tahumu apa yang kuharapkan dari seorang istri." 
"Baik." 
"Ibuku wanita lesbian  petani miskin dan menolak 
menghadin pernikahan kita. namun  orang yang paling 
berbahagia di dunia sebab  aku mengambil istri 
adalah ibuku." 
"Aku mengerti." 
"Cepat atau lambat, dia akan tinggal serumah 
denganmu, namun  aku tidak keberatan kalau kau 
menomorduakan urusan melayani suami. Lebih dari 
apa pun, aku ingin kau menyayangi ibuku dan 
membuatnya bahagia." 
"Baik." 
"Ibuku lahir dari keluarga centeng adipati , namun  lama 
sebelum aku lahir, dia sudah hidup miskin. Dia 
  
membesarkan beberapa anak di tengah kemiskinan. 
Membesarkan satu anak saja dalam keadaan seperti itu 
berarti bergelut dengan penderitaan. Ibuku tak punya 
apa pun uniuk membuatnya bahagia  jubah  katun 
untuk musim dingin dan jubah  untuk musim panas 
pun tak dimilikinya. Dia tidak berpendidikan, dia 
bicara dalam lo