Tampilkan postingan dengan label kudeta 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kudeta 2. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Desember 2022

kudeta 2








 mengetahui  sejak tahun  1948 Untung dekat dengan PKI,  katanya.  Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para  jenderal untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno.  Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,  jawab Untung.  
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya 
dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman  lah yang paling berperanserta  dalam pergerakan  ini . Kepercaya an itu muncul saat  pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan pergerakan  30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru 
Pono dan Sjam lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih 
banyak diam.   Saya tidak melihat peranserta  Untung dalam memimpin rangkaian pergerakan  atau operasi ini (G 30 S),  kata Heru saat ditemui Tempo.  Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of negara kita ‘s Second President, pernah  mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel 
Latif maupun Untung. namun  ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada 
kaitannya dengan rencana kudeta.  Itu tak masuk akal, kata Soeharto.  Saya mengenal Untung 
sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya percaya  PKI berada di belakang 
pergerakan  Letkol Untung, katanya kepada Retnowati.  Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. namun  perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.  Tjakrabirawa, Dul Arief dan „Madura Connection‟ Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal yaitu   komunitas Madura , yang di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950 an. laki laki  tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai.  
Sudah 6 bulan ini Boengkoes, nama laki laki  82 tahun  itu, terbaring lemah di tempat tidur. 
Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah 
anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas dipan besi.  
Boengkoes yaitu  salah seorang pelaku dalam tragedi 30 September 1965. laki-laki  berdarah 
Madura, yang saat itu berpangkat sersan mayor, ini bekerja   menjemput Mayor Jenderal M.T. 
Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dalam sebuah wawancara dengan 
Tempo sesudah  bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan misi nya itu 
dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00.  Dalam briefing itu dikatakan 
ada sekelompok jenderal yang akan 'menggerakan gerakan ' sukarno , yang disebut Dewan Jenderal. 
Wah, ini gawat, berdasar keterangan saksi  saya.   
Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan sesudah  5 Oktober 1965. Namun, pada pukul 
08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan 
harinya, kata Boengkoes, komandan komandan pasukan berkumpul lagi.  Lalu, pasukan Tjakra 
dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih mengetahui  sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T. 
Harjono,  kata  Boengkoes. Boengkoes lalu  berhasil menembak M.T. Harjono.  sesudah  
sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul Arief.   Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson, dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke negara kita  menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant Mayor 
Bungkus, yang dimuat di Jurnal negara kita  Nomor 78, Oktober 2004.  Paper ini, berdasar keterangan saksi  Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966   setahun  sesudah  peristiwa berdarah  bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan yaitu  orang orang Jawa. Anggapan ini berubah sesudah  Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang dipekerjakan  menculik berdarah Madura. Pimpinan 
lapangannya juga berdarah Madura.  Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, yaitu  Dul Arief. Dul Arief yaitu  serdadu berdarah Madura. Nah, berdasar keterangan saksi  Ben, Dul Arief yaitu  orang yang pernah dekat  
dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi 
Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950 an.  mengenai  apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba memeriksa  kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan:  Dul Arief itu  anak angkat Ali Moertopo,  kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.  Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura yaitu  Djahurup. Ini pun  informasi  menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM 
(Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), yaitu  orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, namun  dihadang , Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes sudah  mengenal akrab Dul Arief sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di Bondowoso. Boengkoes memulai  karier saat  revolusi di Batalion Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo. sesudah  Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu. Sebagian besar personel Andjing Laut yaitu  orangorang setempat keturunan Madura.  
Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di beberapa  daerah, seperti di 
Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah  bekerja   di Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya,  melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.  Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut  tetap mereka pertahankan. lalu  Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir seluruh personelnya berdarah Madura.   Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro,  kata Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan lagi:  Komandannya waktu itu Kolonel Latief,  kata Heru.  Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal para eksekutor Tjakrabirawa sejak dahulu . sesudah  menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum yaitu  gabungan pasukan Garuda I dan II yang baru pulang  bekerja   di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yaitu  baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi  yang mengagetkan lagi: 
komandan baret hijau di Srondol saat itu, berdasar keterangan saksi  Boengkoes, yaitu  Untung!  
saat  bekerja   di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di 
Magelang. Tak lama lalu  ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan 
Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu 
dengan Untung saat  sudah di Jakarta.  Saya belum kenal dia waktu di Srondol,  tuturnya.  
Boengkoes tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes 
menderita wasir dan disentri.  Penyakit itu saya sudah katakan. namun  besoknya, saya diberitahu   bahwa saya sehat. Jadi saya senang.   Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi.  Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup   untuk membentuk satu kompi,  kata  Boengkoes. misi  mereka menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.  Kepada Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup semati. Keduanya sering  berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu dia dan Dul Arief pergi jalan jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan 
namanya tertulis  Dawet Pasuruan . Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang 
cendol itu.   Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. namun  kok mereka lalu  tersenyum senyum. Saya mulai curiga,  kata  Boengkoes. Ternyata lalu , pemilik 
warung ini  mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Dan kedua gadis ini  mengerti bahasa Madura.  Wah, mati aku,  kata  Boengkoes.  
Yang aneh, berdasar keterangan saksi  Ben Anderson, sesudah  tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. berdasar keterangan saksi  Heru, beberapa hari sesudah  G 30 S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka.  Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan ke 60 orang ini  mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon sebab  tidak membawa bawa  bekal makanan. Salah satu prajurit di asrama ini  berinisiatif melapor kepadanya.  Saya perintahkan mereka untuk ditahan dahulu . Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput,  kata Maulwi.  namun  Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono, bawahan Dul Arief, yang lalu  disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal ini .   Dul Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub),  kata Heru. Apakah keduanya  diamankan  Ali Moertopo,  Entahlah.Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel 
Di mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung yaitu  seorang prajurit cerdas. Sadali, yang 
sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu. Untung, kata Sadali, 
memulai dinas militernya di Heiho pada 1943.  
sesudah  Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia  . Kariernya 
mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel, 
dekat Semarang, Jawa Tengah. Pada 1961, pangkatnya sudah mayor.  Ada satu melati putih di pangkatnya.   Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya,  Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.  
Dari mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak umum . sesudah  diterjunkan di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota kota. Sebaliknya hutan hutan 
dibuatnya benderang.  Belanda tertipu,  kata Sadali.  Untung bersama pasukannya berhasil 
masuk ke kota kota.  Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.  
Prestasi di Irian Barat memicu  Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang 
Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya yaitu  
Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus 
diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa.  Hingga dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun, bagi 
warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat sekaligus. Dengan 
takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung.  
 Jenderal Untung dikenal karismatis,  Mashud Efendi, 69 tahun , yang tinggal berdekatan 
dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya 
Jenderal Untung.  Paling tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat,  kata  Asibun, 40 tahun .  Mereka bukannya tak mengetahui  soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat. namun  mereka tidak terlalu peduli.  Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui  keterlibatan Untung dalam peristiwa G  30 S melalui radio. Massa yang marah sempat menjadi  rumah Sukendar sebagai sasaran.   Sekitar seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov,  kata Syukur, yang kini 71 tahun . Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah.  Kendati Syukur mendengar Untung terlibat G 30 S, ia tak percaya laki-laki  itu bersalah.  Dia hanya alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto.  Sebaliknya, ia percaya  Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab. Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang 
menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat.  
Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun , yang masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya 
warga kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada tengah malam  kejadian, kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin sekarang.  Yang lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah.  Ia menjadi kasepuhan atau paranormal,  kata orang yang tak pernah  bertemu dengan Untung itu. Di Kebumen, Soeharto datang menghadiri  pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien yang mendadak memicu  tuan rumah kebingungan menyambutnya. Dusun yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas menyengat saat  Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. dahulu , daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945 1950.  
orang  Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang 
taat. Tua muda rajin beribadah dan mendaras Al Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran 
Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar 
atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.  
Dari percakapan dengan penduduk setempat, Tempo memperoleh  informasi  Untung tak memiliki  darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma hanya sekedar  tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.  Meski cuma hanya sekedar  buruh, Mukri dinamakan penakluk wanita. Ia kawin cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri.  Ibunya pemain wayang orang desa kami,  kata Sadali, 71 tahun , tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama wanita  yang minggat, menikah dengan laki laki  lain saat  Untung masih 10 tahun , itu.  Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak memiliki  anak. sebab  itu,  Dia lebih dinamakan Untung bin Samsuri,  kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III.  Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan. Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo.  
mungkin  sebab  Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat 
Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat 
sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yaitu  saat  
Jepang masuk ke negara kita . Sejak itu ia terus berkarier di militer.  Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah  lagi pulang  ke Kedung Bajul. Sekitar 1957 1958, berdasar keterangan saksi  Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata Sadali, pulang  ke rumah Samsuri saban bulan saat  masih berdinas di  kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.  Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati.  Sesama orang Kebumen di perantauan  harus saling membantu.   Selebihnya, orang  Kedung Bajul tak mengetahui  lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan 
Hartati digelar megah pada 1963, setahun  sesudah  kepulanganya dari Irian Barat.  Pesta paling meriah waktu itu,  kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun , tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen. 
Untung menikahi Hartati sesudah  bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga.  Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung,  kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen.  Hartati yaitu  anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan 
terpandang.  Dia memiliki  banyak kuli,  kata  Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen yaitu  
hasil karyanya.  Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati  Untung yang digelar siang hari dibuat  megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.  
Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. sesudah  itu ia 
mengenakan pakaian kebesaran militer.  
Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto 
dan Tien Soeharto pun datang.  Soeharto datang mendadak, memicu  tuan rumah sedikit 
kebingungan menyambut kedatangannya,  kata Syukur, yang sempat dipenjara 6 tahun  
sebab  dituduh terlibat G 30 S.  Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak.  Mungkin sebab  ia sudah menjadi orang besar,  kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang.  sesudah  menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang  masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung memperoleh  seorang anak laki laki , Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.  
Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil 
di Bandung.,  Idul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden. Ia di saf terdepan. Tiba tiba seorang laki-laki  di saf keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik  Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itu meninggal setahun  lalu .  
Sudah berkali kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah  digranat, dibidik pesawat MIG, namun  
insiden Hari Raya korban  inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan 
di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam.  
sebab  itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan 
Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan pengawal 
presiden. sebetulnya  itu bukan gagasan baru, namun  selalu ditolak Soekarno. Namun, kali ini 
Nasution berhasil mempercayakan  Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu umum  di semua 
negara.  sebab  tak ada waktu untuk menyeleksi personel kesatuan baru itu, Nasution memerintahkan setiap angkatan menyetorkan pasukan khususnya. Masing masing satu batalion. Kepolisian menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan Laut memberikan Korps Komando (KKO), dan Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak Tjepat.  Angkatan Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). L.B. Moerdani  waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD  sudah digadang gadang sebagai komandan di kesatuan itu. Namun, pasukan elite ini menolak misi  ini  dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai pasukan tempur. Sebagai gantinya, mereka memberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari  Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders.  
Batalion ini sebetulnya  memiliki  catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari 
Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. saat  pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun, sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua.  
namun  soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi 
PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang dekat 
dengan Soekarno, dahulu  dari batalion ini.  
Pada hari ulang tahun nya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu. Ia memberi nama 
Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia 
juga lah yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap.  
Setahun  lalu , pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih. 
Maklum, pasukan ini memperoleh  anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan dari kantong ABRI.  Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa sesudah  itu cuma hanya sekedar  berisi tragedi.  sebetulnya  cuma hanya sekedar  dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1 Oktober 1965, kata  Suhardi kepada Tempo, ia  saat itu kapten  menemukan, di markasnya di Wisma Kala Hitam hanya ada kompi Jawa Barat dan Jawa Timur.  Harusnya ada empat. Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua duanya tidak ada.   Belakangan, sebagian anggota kompi itu tertangkap di Cirebon. Rupanya, sesudah  aksi makarnya gagal, mereka melakukan long march ke pangkalannya di Srondol, Semarang, di  bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di Kota Udang, pasukan ini kehabisan ransum. Berdasarkan pemeriksaan di Cirebon oleh Mayor Soetardjo, diketahui  bahwa yang terlibat pergerakan  Untung hanya 86 orang.  namun  ada versi lain. berdasar keterangan saksi  Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada banyak Tjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan Soekarno ke Halim sehari sebelum 30 September.  Ini dibantah Kolonel Maulwi Saelan. berdasar keterangan saksi  Maulwi, langkah mengungsikan Soekarno ke Halim diambil semata mata agar dia dekat dengan pesawat kepresidenan Jet Star, yang mangkal di sana.  Tudingan terhadap Tjakra juga dilontarkan pengamat politik militer Australia, Ulf Sundhaussen. Dia mengatakan, pada 3 Oktober Saelan memimpin Tjakrabirawa pergi ke Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak penculikan atas perintah Soekarno.   Itu menutup diri  yang menjijikkan,  kata  Maulwi.  Seperti laporan Soetardjo, yang terlibat hanya 86 orang.   
Ia memang ke Lubang Buaya bersama pasukannya. namun  ini berkat informasi  dari agen polisi Sukitman, yang terculik bersama para jenderal dan lalu  ditemukan oleh pasukannya. 
saat  memeriksa lokasi yang disebut Sukitman  yang sudah mereka serahkan ke Kostrad  
pasukannya menemukan sumur tempat para jenderal itu dibuang.  Gara gara aksi Untung, resimen ini bahkan coreng moreng oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Pada 1996, contohnya , Tjakra dituduh menembak mahasiswa Universitas Indonesia  , Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalam bukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, menulis, penembaknya sebetulnya anggota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun.  Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret 1966.  misi  kalian sudah selesai,  kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para petinggi resimen ini di Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggota Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik angkatan), kembali ke kesatuannya.  
Enam hari sesudah nya, Saboer menyerahkan pengawalan presiden kepada Polisi Militer 
Angkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak 
berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer.  Memang banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulang kan ke kesatuan lamanya. Namun, berdasar keterangan saksi  Maulwi, di kesatuannya, mereka rata rata disisihkan.  Kami yang diperintahkan setia kepada Presiden dianggap kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan,  kata  Maulwi.  Saya kasihan pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang namun  berada di posisi salah.    Tjakra seperti bertukar nasib dengan Tjaduad,  Maulwi menambahkan.  Tjaduad hanya tempat untuk tentara yang sudah masuk kotak... seperti Soeharto, yang akan dipensiunkan.    Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba raba dinding. Tiba tiba ada bayangan putih lari. Anak buah saya berteriak, 'Pak, ada bayangan putih.' Saya mengangkat senjata dan dor....   Hernawati baru saja menyiapkan makan siang untuk ayahnya. Menunya: nasi putih dan telur mata sapi. Meski rapuh, laki laki  tua itu menolak disuapi. Ia berkeras makan dengan tangannya sendiri.  Sambil melatih tangan,  kata Hernawati, 50 tahun .  laki laki  yang kini berusia 82 tahun  itu yaitu  Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Pangkat  terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun  di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, yaitu  sersan mayor.  berdasar keterangan saksi  Hernawati, anak kedua Boengkoes, sudah 6 bulan ini ayahnya tergolek lemah  sebab  stroke. Ia susah berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini terbaring di rumah anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan rumah Hernawati  di Jalan PG Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur.  Hernawati tak mengizinkan Tempo menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet 
Wagiyanto, 30 tahun , anak keduanya, untuk memotret sang kakek.  Percuma hanya sekedar , Bapak tidak bisa bicara dan ingat apa pun,  kata  Hernawati.  Boengkoes tinggal di Situbondo sesudah  memperoleh  grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25 Maret 1999. Di kota inilah istri dan anak anaknya tinggal sesudah  Boengkoes masuk bui. Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia menikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun ) dan dianugerahi 6 anak.  Hernawati berkata kata , sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan berukuran 10 x 15 meter itu, Boengkoes merawat 10 ayam kampung dan suka menanam pisang.  Ayamnya sekarang tinggal 3 ekor sebab  nggak ada yang ngerawat lagi,  kata Hernawati.  Hobi lain laki laki  kelahiran Desa Buduan, Besuki, itu yaitu  menyanyikan lagu keroncong. Lagu favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. berdasar keterangan saksi  Hernawati, hanya itulah kegiatan Boengkoes sesudah  bebas dari bui. Ia tak aktif di kegiatan kampung. Boengkoes juga tak pernah  bertemu dengan temantemannya sesama mantan tahanan politik. Kepada anak anaknya pun ia tak pernah  bercerita mengenai  pengalamannya di dalam penjara atau saat berdinas di Tjakrabirawa.  
Hernawati mengatakan ayahnya tak mau menambah beban keluarganya. dahulu , setiap tahun  beban itu terasa makin berat saat  televisi memutar film Pengkhianatan G 30  S/PKI. Saat film itu diputar, keluarganya tak pernah  berani keluar dari rumah. Hampir seisi kampung mengetahui Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal. Namun, sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap percaya  ayahnya tak bersalah.  Ayah cuma hanya sekedar  bawahan yang menjalankan perintah atasan,  tuturnya. Boengkoes pada  1999, selepas keluar dari penjara, dalam sebuah kesempatan wawancara, mengatakan hal yang sama,  Nggak ada, tentara kok merasa bersalah, mana ada....   Boengkoes kini terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik detik saat  masuk mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada bayangan putih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak berdaya. Peluru menembus tubuhnya dari punggung sampai perut. 
 Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan  saksi Perwira Rudhito Kusnadi 
Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat Dewan Jenderal. Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal. Turun dari panser, laki laki  cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil ketakutan. Kepalanya menunduk, takut menatap ratusan orang yang tak henti menghujatnya. Bekas Komandan Batalion I Tjakrabirawa  itu juga ragu-ragu  saat  akan menembus barikade massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia  , yang menyemut di pelataran parkir gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.  saat itu, Rabu, 23 Februari 1966, pukul 9 pagi. Di lantai 2 gedung di Jalan Taman Suropati Nomor 2 itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung, 40 tahun , bekas  Ketua Dewan Revolusi Indonesia  , dengan tuduhan makar. Saat akan memasuki gedung itulah Untung terus memperoleh  hujatan dan cemoohan massa.  Letnan I Dra Sri Hartani, yang saat itu menjadi protokoler atau seperti  pembawa acara sidang, ingat intimidasi massa ini  memicu  nyali Untung ciut.  Untung terlihat takut dan tidak terlihat seperti ABRI. Padahal jika  ABRI tidak begitu,  kata Sri, kini 69 tahun , kepada 
Tempo di rumahnya di Jakarta Pusat pada pertengahan September lalu.  Sri menyatakan Untung menjadi orang kedua sesudah  Njono, tokoh Partai Komunis  Indonesia  , yang diperiksa dan diadili di Mahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub, Untung sangat percaya  bahwa Dewan Jenderal itu ada. berdasar keterangan saksi  Untung, ia mendengar adanya Dewan Jenderal dari Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah Staf Umum Tentara Nasional 
negara kita  Angkatan Darat 6. Untung mengatakan, kepada dirinya, Rudhito mengaku 
mendengar rekaman tape hasil rapat Dewan Jenderal pada 21 September 1965 di gedung 
Akademi Hukum Militer (AHM), Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta. Rekaman itu berisi  pembicaraan mengenai  kudeta dan susunan kabinet sesudah  kudeta. Itu sebabnya, Untung bersikeras  menghadirkan  Rudhito sebagai saksi dalam persidangan.  Rudhito lalu  dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam kesaksiannya, seperti dapat kita baca dalam buku proses mahmilub Untung (1966), Rudhito memang mengaku pernah  melihat tape rekaman ini  dan sudah melaporkannya kepada Presiden Soekarno.  Rudhito menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan mengenai  
isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front Nasional. Dia menerima bukti 
itu dari 4 orang, yaitu  Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari Nahdlatul 
Ulama, plus Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang dari IP KI.  berdasar keterangan saksi  Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan rencana rencana Dewan Jenderal. Mereka mengajak sebab  kapasitasnya selaku Ketua Umum Ormas Central 
Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia  . Rencana Dewan Jenderal itu  yaitu  mengudeta Soekarno seperti cara cara di luar negeri. contohnya  Soekarno akan disingkirkan seperti matinya Presiden Republik Korea Selatan Sihgman Ree.  Selanjutnya, tutur Rudhito, jika belum berhasil, akan dibuat seperti hilangnya Presiden Bhao  dari Vietnam Selatan.  jika  masih tidak bisa juga, Soekarno akan 'di bela‘,  laki-laki  
berusia 40 tahun  ini menjelaskan isi rekaman di depan Mahkamah.  Di bela  maksudnya yaitu  dikudeta dengan cara seperti Jenderal Boumedienne terhadap Presiden Aljazair bernama Ahmad Ben Bella.  Lebih jauh rekaman ini , berdasar keterangan saksi  Rudhito, juga berisi pembicaraan mengenai siapa nanti yang duduk dalam kabinet jika  kudeta sukses dijalankan. Ada nama Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai calon perdana menteri, Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri I merangkap menteri pertahanan dan keamanan, Letnan Jenderal Ruslan Abdul Gani sebagai wakil perdana menteri II merangkap menteri penerangan, dan Mayor Jenderal S. Parman sebagai menteri jaksa agung dan  masih ada beberapa nama lagi.  Dalam rekaman, saya ingat almarhum Jenderal S. Parman yang membacakan susunan kabinet itu,  kata  Rudhito.  Bukti manuscript  manuscript  Dewan Jenderal, berdasar keterangan saksi  Rudhito, sebagian besar ada pada Brigadir 
Jenderal Supardjo. manuscript  itu juga sudah sampai di tangan Presiden Soekarno, Komando 
Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi dan Departemen Kejaksaan Agung.  Nah, dari manuscript  yang dipegang Supardjo itu sebetulnya  terendus ada uang cek penerimaan 
dari luar negeri untuk anggota Dewan Jenderal yang aktif.  jika  tidak salah hal itu sudah  dipidatokan Presiden Soekarno bahwa uang Rp 150 juta itu merupakan suatu fondsen atau 
dana pensiun bagi masing masing anggota Dewan Jenderal yang aktif,  tutur Rudhito
Hanya, Rudhito  mengaku di Mahmilub   tak menyimpan tape rekaman itu. Dan hal itu dinilai 
oleh Mahkamah sebagai unus testis nullus testis, yang berarti keterangan saksi sama sekali tak 
diperkuat alat alat bukti lainnya, sehingga tak memiliki  kekuatan bukti sama sekali.  
Selain itu, apa yang dikemukakan Rudhito, berdasar keterangan saksi  Mahkamah, sama sekali tak benar. Rapat Dewan Jenderal yang diadakan di gedung AHM pada 21 September 1965 nyatanya cuma hanya sekedar  suatu 
commander's call Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat  berdasarkan surat bukti 
hasil rapat ini  yang didapat Mahkamah.  Mahkamah berpendapat, Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta ternyata baru 
merupakan kabar  yang bersumber dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono   utusan Ketua CC PKI 
D.N. Aidit  yang tak terbukti kebenarannya.  
Berdasarkan itu, Mahkamah memvonis Untung bersalah sebab  melakukan kejahatan makar, 
pemberontakan bersenjata, samen spanning atau konspirasi jahat, dan dengan sengaja menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan yang direncanakan.  Ahad, 6 Maret 1966, Mahkamah memutuskan menghukum Untung dengan hukuman mati. Saat 
itu yang bertindak sebagai hakim ketua yaitu  Letnan Kolonel Soedjono Wirjohatmojo, SH, 
dengan oditur Letnan Kolonel Iskandar, SH, dan panitera Kapten Hamsil Rusli. Dan tak lama 
berselang Untung dikabarkan meregang nyawa di depan regu tembak. Cornell Paper , yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey sesudah  meletus pergerakan  30 September, mengesankan bahwa pergerakan  itu merupakan peristiwa internal Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu saja pandangan ini  merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.  sesudah  tiga dekade di penjara, soebandrio  , Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama sama berasal dari  Diponegoro, ada  trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo).  Dari dua trio itu terlihat bahwa baik pelaku pergerakan  maupun pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama, yaitu  Kodam Diponegoro. Itu juga  yang menjelaskan bahwa pergerakan  ini  tampil hanya di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang dipakai  kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang diculik: ia dianggap  kawan , minimal  bukan musuh . Soeharto dan Latief sama sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang lalu  dijadikan hari sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru.  Pada tengah malam  30 September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief bersama istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Walau tidak sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Kabarnya, saat  Untung menikah di Kebumen, Soeharto menghadiri nya. Di jalur yang lain, hubungan Yoga Soegama dan Ali Moertopo terbina saat  mereka melakukan serangkaian manuver untuk mendukung Soeharto menjadi Komandan Teritorium IV, yang lalu  menjadi Kodam Diponegoro.  saat  pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, ada  satu batalion Angkatan Darat. Sejak Mei 1965, batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang sebab  keberaniannya dalam operasi Tritura memperoleh  Bintang Sakti. Ada informasi  yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang  mengajak  Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden. Rochadi yaitu  anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi negara kita  ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu terhalang pulang . Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar (meninggal pada 2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochadi berasal dari batalion yang pernah  dipimpin Letnan Kolonel Untung di Kodam Diponegoro.  Ben Anderson memulai analisa nya dengan mengutarakan karakter  Jawa  dari Divisi 
Diponegoro yang Panglima Kodamnya sejak awal sampai 1965 berasal dari  Yogya Banyumas 
Kedu . Sulit dibayangkan seorang Batak atau Minahasa menjadi Panglima Kodam Diponegoro, 
seperti yang terjadi pada Kodam Siliwangi. Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang  sangat padat penduduk, pangan tidak seimbang, dan  berpaham komunisme dan sentimen anti aristokrat cukup   kuat. Ketidakpuasan muncul di kalangan perwira Diponegoro, seperti 
Kolonel Suherman, Kolonel Marjono, dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto (dan di Jakarta 
ada  Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung) terhadap para perwira tinggi yang dinilai 
hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara.  Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya manuscript  Gilchrist dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalion militer dalam pasukan yang misi nya mengamankan presiden, Untung  terpanggil  untuk menyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal ini  dengan  mendahului  mereka melalui pergerakan  30 September.  
Walaupun namanya tertulis sebagai komandan pergerakan  ini , fakta  di lapangan 
memperlihatkan bahwa Untung bukanlah pemimpin utama aksi ini, sebab  berbagai hal 
ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro khusus sentral  PKI. saat  banyak persiapan (tank, 
senjata, logistik, dan personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi 
ini. Mereka lebih mendengar Sjam, yang berkata ,  jika  mau revolusi saat  masih muda, 
jangan tunggu sampai tua,  dan  saat  awal revolusi banyak yang takut, namun   saat  revolusi 
berhasil semua ikut.   pergerakan  30 September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari. manuscript  Supardjo  dianggap cukup   sahih  memperlihatkan bahwa kelemahan utama pergerakan  30 September yaitu  tidak adanya satu komando. ada  dua kelompok pimpinan, yaitu  kalangan militer (Untung, Latief, dan Sudjono) dan pihak Biro khusus sentral  PKI (Sjam, Pono, dan Bono). Sjam memegang peranserta  sentral sebab  ia berada dalam posisi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun, saat  usaha  ini tidak memperoleh  dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta agar dihentikan, kebingungan terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedang  Biro khusus sentral  melanjutkan.  
Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan kedua dan  ketiga ada  
selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam usaha  kudeta merupakan kesalahan besar. 
Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalam kondisi  selamat. sedang  
pengumuman berikutnya pada siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi 
dan pembubaran kabinet). Jadi, dalam tempo lima jam, operasi  penyelamatan Presiden Soekarno  berubah 180 derajat menjadi  percobaan makar melalui radio .  Uraian di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untung bukanlah komandan pergerakan  30 September yang sebetulnya . Ia bisa diatur oleh Sjam Kamaruzzaman. Untung dieksekusi pada 1969. Sebelumnya, di penjara Cimahi, ia menuturkan kepada Heru Atmodjo (Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo pada 1965 menjabat Asisten Direktur Intelijen AURI) bahwa ia tidak percaya akan ditembak mati sebab  hubungan baiknya dengan Jenderal Soeharto. Namun, Untung memang tidak beruntung. Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Tertinggi Angkatan perang  Republik Indonesia   No. 211/PLT/1962 tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan perang  Republik Indonesia   ditambah    keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan.  Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas usaha  pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962 saat Presiden bersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks Istana Merdeka, Jakarta.  Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu kesatuan militer yang memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawancara dengan Benedict Anderson dan Arief Djati (negara kita  No. 78, Oktober 2004), mantan komandan peleton Tjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.  Tidak seperti pembentukan kesatuan kesatuan baru lainnya yang sekadar mengandalkan penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk membentuk satu batalion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan kumpulan  anggotanya  yang berhasil lulus dari rangkaian tes seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya 3 4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider atau paratrooper atau airborne yang memperoleh  panggilan untuk mengikuti tes seleksi.  Letnan Kolonel Untung, yang berperanserta  sebagai pimpinan militer pergerakan  30 September, contohnya , dari 1954 sampai 1965 bekerja   di Batalion 454 Banteng Raiders yang memiliki  kualifikasi paratroop airborne. Pada 1961, Untung memimpin salah satu kompi relawan dalam Operasi Naga yang memulai  tahap infiltrasi penyerbuan Irian Barat di bawah pimpinan Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto.  Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani sebagai pimpinan  kompi relawan lainnya, memperoleh  penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung, yang saat itu menjabat Komandan Batalion 454 Banteng Raiders, dipromosikan menjadi Komandan Batalion I Tjakrabirawa.  
Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadi  Tjakrabirawa suatu 
kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di 
bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untuk 
melaksanakan operasi penculikan para jenderal sebab  kesatuan ini berada langsung di bawah 
Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakan operasi tidak akan 
memicu  kecurigaan dari para jenderal TNI AD.  
Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung, yang memiliki rekam jejak 
militer yang memungkinkannya membangun jejaring militer dengan kesatuan kesatuan AD 
lainnya yang bergabung dalam pergerakan  30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530, dan 
Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan ini memperkuat Pasukan Pasopati. Batalion 
454 dan 530 juga digelar untuk melakukan pengamanan Istana dan kantor RRI.  Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 sudah  dibangun sejak 1954. Saat pergerakan  30 
September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil 
komandan batalion saat Letkol Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol 
Untung dengan Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperanserta  dalam 
pergerakan  30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan ke Jakarta pada 1963, 
Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas 
di Ungaran, dekat dengan markas Batalion 454.  
Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk mengurai keterlibatan kesatuan 
kesatuan AD dalam pergerakan  30 September, pusat jejaring pergerakan  ini bisa dilacak dari 
Batalion 454 Banteng Raiders. Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titik 
akhir pergerakan  30 September yaitu  Batalion 454.  Karier militer cemerlang Letkol Untung yang membawa bawa nya ke jabatan Komandan Batalion I Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan Kompi Tjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul Arif, juga pernah  bekerja   di Banteng Raiders langsung di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo. Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat Banteng Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan bergabung dalam pergerakan  Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah Jawa Barat.  Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani pada Juni 1952. Sebagai  komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian barat, Kolonel Ahmad Yani memiliki ide  membentuk kesatuan khusus yang dapat diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam. Kesatuan Banteng Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi Batalion 454. 
Pada 1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yang dipimpin oleh 
Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yang dibentuk oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution ini ditingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963.  Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengundang Batalion 454 (dan Batalion 
530) untuk berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober 1965. Sebagai Panglima Kostrad, Mayor 
Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasi 
penumpasan pergerakan  30 September. Dalam operasi penumpasan ini, Panglima Kostrad 
memerintahkan pasukan baret merah RPKAD menghentikan petualangan militer pasukan baret 
hijau Batalion 454.  Sejarah  mencatat bahwa penumpasan pergerakan  30 September berakhir dengan gelar operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang juga alumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadi awal kelahiran Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politik militer Orde Baru.   IA berbeda dari orang komunis biasanya . Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu  pro rakyat  dan menggelorakan  semangat perjuangan . Ia menghapus The Old 
Man and the Sea film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway dari daftar film Barat 
yang diharamkan Partai Komunis  Indonesia  . Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, namun  tak menganggap yang  kapitalis  harus selalu dimusuhi.  Ia yaitu  Njoto yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah 
pergerakan  30 September 1965. Kecuali buku buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI , Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat  dengan Soekarno.   namun  sejarah  resmi  1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang  setengah  berdosa  dan  berdosa penuh . Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya 
ada komunis atau bukan komunis. sebab  itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya  tak terlacak.  Menulis Njoto, sesudah  44 tahun  tragedi 1965, yaitu  ikhtiar untuk tak terseret logika tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda.  
tujuh puluh tahun  silam. Njoto kecil terpesona pada sepatu roda, mainan yang tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung Jawa Timur.  Kulo nyuwun dipundhutke sepatu roda,  kira kira begitu permintaan Njoto kepada ibunya, Masalmah. Sengaja si bocah tak mengajukan permintaan kepada ayahanda, Raden 
Sosro Hartono, seorang keturunan ningrat Solo yang disegani sebab  perbawanya. Njoto memang lebih dekat kepada sang ibu.  Saat itu sebetulnya  Njoto memiliki  sepeda baru, hadiah dari bapaknya. Dengan sepeda itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini saban pagi berangkat ke 
sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School, setaraf sekolah dasar) di Jember. namun  mengayuh sepeda saja belum cukup  . Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember dengan sepatu ajaib beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu.  Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga Raden Sosro. Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini mengabulkan permintaan  Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara khusus memerintahkan dua penjaga  Yosobusono, toko batik milik keluarga Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat  belajar meluncur dengan sepatu roda.  
Walhasil, saban sore sesudah  toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua karyawan toko yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk bergerak. Mereka berjaga di sisi  kanan dan kiri Njoto yang limbung ke sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh jatuh.  Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda.  Dalam sehari saja ia sudah bisa,  kata Sri  Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun  umurnya dengan sang kakak. Sri tinggal di Medan, bersama keluarga Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun .  
laki laki  blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah kakeknya, Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga di Jember. Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran.  
Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut dan . Ini sebab  Raden Sosro ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih teratur 
kurikulumnya, dibandingkan  sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 
30 kilometer utara Jember.  Sepulang  sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari rumah kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu roda. Masa kecil yang riang.  Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri Windarti, dia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo. Waktu belajar 
plus ini mulai pukul lima sore hingga delapan tengah malam .  Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga 
menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis.  Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, contohnya , dia merasa tak nyaman melihat  suasana feodal Jawa itu di rumah orang tuanya di Bondowoso. saat  sanak kerabat dan para pekerja 
batik sowan menghadap Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan 
nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini.  Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uiebreid Lager Onderwijs (MULO), seperti  sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa dimasukinya tanpa tes. Namun, saat  tentara pendudukan Jepang datang, sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah  kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.  Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini 0men jadi tempat 
membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung batik, kain panjang, kemben,  blangkon.  
Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat, pernah  satu 
sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan Njoto, seingatnya, cukup   rapi dan terawat.  Dia pakai celana panjang,  kata Sabar,  sedang  saya pakai celana pendek sebab  miskin.  Di sini ia tetap bersepeda saat  pergi pulang  sekolah.  Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua kelas. Bakatnya di bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga.  Suatu saat  Njoto memicu  karangan mengenai  para penjudi sepak bola yang kecewa. Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir lapangan siap melihat  pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun dan pertandingan langsung  bubar. Para penjudi kecewa sebab  batal bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa karangan Njoto lainnya, dibacakan guru di depan kelas.  Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati musik klasik, bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu.  Dia sendiri tidak menyanyi. Saya yang disuruh menyanyi,  kata Windarti.  Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja putri yang salah satunya yaitu  Windarti. Mereka berlatih bernyanyi sambil diiringi petikan gitar Njoto. 
Salah satunya lagu Wanita Asia, yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo 
dan belakangan direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran wanita  Asia plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. sesudah  Jepang hengkang pada 1945, lagu ini dilarang.  Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto 
menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di Jalan Empu Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya yang cokelat tertutup rapat. Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran itu berwarna putih dan kusam. Seorang  wanita  yang membuka pintu mengatakan,  Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos  di sini.  Pintu gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang.  Sri Honing, 74 tahun , warga asli Kemlayan, berkata kata  kepada Tempo. Honing masih  ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto.  Dia bersekolah di sini,  kata  Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah kost  tadi. Njoto, berdasar keterangan saksi  Honing, tidak lama tinggal di Kemlayan, hanya sekitar tiga tahun Kemlayan dinamakan kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung itu, 
Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para penabuh gamelan  Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini. 
Tempo lalu  menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu sudah  berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam kelas dan 203  siswa. Sebuah prasasti bertahun  1924 tampil di halaman.  Saya tidak mengetahui  dahulu  sekolah  apa pada zaman Belanda,  kata Nanik Setiawati, salah satu guru.  
Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman, Bondowoso, juga tertinggal samar. Rumah itu sudah  berubah menjadi rumah toko yang sudah tak lagi  beroperasi. berdasar keterangan saksi  Umi, salah satu kerabat keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki 
seorang pedagang Tionghoa dan sudah lama tutup.  Itu dahulu  rumah ayah Lek Njot,  kata 
dia menunjuk ke seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada 
di depan rumah.  Bapak saya yang menyewa sejak setahun  lalu,  kata Titut, penjual pecel.  Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah sunyi.  Pemiliknya, orang Situbondo, pulang  kampung sebab  sakit,  kata Saenal, Ketua RW. Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan dengan makam seorang tokoh  lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi.  Jupri Ahmari, 74 tahun , sesepuh di Kampung Tempean, bertutur mengenai  asal mula 
nama kampung.  dahulu , banyak orang memicu  tempe, maka disebut Tempean,  katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960. Kini, jejak itu memudar  seiring dengan berkembangnya sebuah taman pendidikan Al Quran.   dalam bayangan anak anaknya, laki-laki  itu bertubuh tinggi, tegap, berkulit gelap, dan 
sering  memakai blangkon. Sosok yang disiplin, mencintai buku, dan gemar bermain bola. 
Dia Sosro Hartono, pedagang batik tulis asal Solo keturunan bangsawan.  Menikah dengan Masalmah, anak Raden Marjono, anemer dari Jember, Jawa Timur, Sosro memiliki tiga anak: Njoto, Sri Windarti, dan Iramani. Njoto lahir pada 1927, dua tahun  lebih tua dibandingkan  Windarti dan 18 tahun  lebih tua dibandingkan  Iramani.  
Sosro mendidik anaknya dengan keras, tegas, dan disiplin. Adapun Masalmah santun, dengan tutur kata halus.  namun  Bapak tak pernah  main pukul,  kata Windarti.  sesudah  menikah, Sosro menyewa bangunan dari pedagang Cina di Bondowoso. Ia 
mendirikan toko batik Solo dan jamu Jawa. Sosro memberi nama toko itu Yosobusono, artinya memicu  pakaian dalam bahasa Jawa. Di toko ini tersedia sarung dan kain batik, kemben, dan blangkon.  Yosobusono bukan toko biasa. Ia juga tempat mangkal aktivis kemerdekaan. Sosro 
menyokong mereka secara materi. Setiap hari ada saja pertemuan dan rapat pejuang, termasuk yang pernah  dibuang ke Digul.  Para om Digul itu suka ngobrol dan nengok saya dan  Njoto,  kata  Windarti.  Sosro sering meluangkan waktu bersama anaknya meski sibuk dengan urusan toko dan para pejuang. Ia selalu menanyakan pelajaran dan cita cita kepada Njoto dan Windarti. 
Sosro juga sering menemani dan melatih Njoto bermain bola. Sosro dan Njoto sama sama hobi bermain bola.  Ayah itu senangnya bisnis,  kata Iramani.  Bisnis yaitu  bisnis, keluarga yaitu  keluarga.   Sosro juga tak pernah  melarang anaknya bermain. Ia hanya meminta anaknya 
menomorsatukan sekolah, belajar, dan membaca. Sosro tak pernah  mengarahkan anaknya membaca buku komunis.  Ayah saya pembela Republik,  kata Iramani.  Keluarga Sosro dan Masalmah termasuk ningrat Jawa yang menganggap pendidikan sangat penting bagi anaknya. Mereka mengirim anak anak sekolah sampai ke Solo. Di kota inilah, Sosro membeli rumah yang menjadi pusat produksi batik, sekaligus tempat tinggal Njoto dan Windarti.  
Suatu hari, saat  sedang berjalan pulang  di pinggir rel, Windarti tiba tiba diberitahu   bahwa ayahnya ditangkap Belanda. namun  tak ada penjelasan mengenai sebab musababnya. Windarti lalu  mencari pamannya, Maskan, yang lalu  mengajaknya menemui Njoto di Yogyakarta. Waktu itu, Njoto sudah menjadi anggota 
Komite Nasional Indonesia   Pusat, wakil Partai Komunis  Indonesia   Banyuwangi.  Di Yogyakarta itu, Windarti dan Njoto baru memperoleh  penjelasan lebih lengkap mengenai penangkapan sang ayah. Belanda ternyata mengendus kegiatan di Yosobusono yang sering menjadi tempat berkumpul pejuang.  Sosro semula ditahan di penjara Bondowoso, namun  dipindah ke penjara Kalisosok, Surabaya. Sekitar seratus orang, termasuk Sosro, diangkut dengan kereta, dengan gerbong tanpa ventilasi. Perjalanan hampir 15 jam dari Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya, tanpa memperoleh  udara segar.  Insiden yang terkenal dengan Gerbong Maut itu memakan korban puluhan orang. Sosro selamat tiba di Stasiun Wonokromo sebab  seorang penumpang memecahkan kaca kecil di gerbong. namun  kondisinya lemah. Ia dipulang kan ke Bondowoso dan dirawat oleh Dokter Koesnadi di rumah. Dan akhirnya Sosro mengembuskan napas terakhir tanpa disaksikan anak anaknya. Kami mengetahui  satu bulan sesudah  Bapak meninggal,  kata 
Windarti.  Njoto awalnya tak menunjukkan paras sedih begitu mendengar ayahnya meninggal. 
namun  begitu pulang  ke Solo, Njoto langsung ke kamar dan menumpahkan air mata.  Njoto nangis macam anak kecil,  kata  Windarti.  Sosro dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Tegal Ampel, Bondowoso. Istrinya, Masalmah, yang meninggal pada 1968, juga dimakamkan di tempat yang sama.  KARL Marx, Stalin, Lenin. Nama nama itu akrab sejak Njoto belia. Buku buku karya 
tokoh revolusioner itu menjadi santapan sehari hari. Padahal ia masih duduk di bangku 
Meer Uiebreid Lager Onderwijs (MULO), seperti  sekolah menengah pertama di Solo, Jawa Tengah. Buku koleksinya ada yang setebal telapak tangan.  
 Buku buku berat berbahasa asing itu dipilih atas kemauannya sendiri, tidak ada yang mengarahkan,  kata Sri Windarti, adik kandung Njoto, awal September lalu. Buku buku tokoh kiri itu dibaca Njoto sehabis belajar.  Budaya membaca kuat tertanam di keluarga itu. Ayahnya, Raden Sosro Hartono, membiasakan anak anaknya gemar membaca dari kecil. Mereka bebas membaca apa 
saja, asalkan urusan belajar dan sekolah tidak terbengkalai. Njoto bahkan memiliki  kebiasaan membaca di mana mana, meski tengah kumpul bersama keluarga. Selalu saja ada buku atau koran yang ia pegang.  Ketertarikan Njoto akan buku ideologi pergerakan   bisa jadi mekar jauh sebelum itu. Sebelum Njoto meneruskan sekolah ke Solo, toko milik Raden Sosro Hartono di 
Bondowoso, Jawa Timur, sering  kedatangan tamu eks Digulis aktivis pergerakan  politik 
yang dibuang Belanda ke Boven Digul, Papua. Raden Sosro sering mengadakan rapat dengan mereka di situ.  Om om bekas tahanan Digul itu suka menengok saya dan Njoto, lalu mengajak ngobrol,  kata Windarti, kini 80 tahun .  Namun, baik kepada Windarti maupun teman temannya, Njoto tertutup dalam urusan politik. berdasar keterangan saksi  dia, Njoto belajar politik secara sembunyi sembunyi. Pada masa itu Jepang melarang masyarakat bicara mengenai  politik. Alhasil, Njoto tidak pernah terlihat seperti aktivis.  Dia tidak pernah mendiskusikan pergerakan  politik,  kata Sabar Anantaguna, teman sekelasnya di Solo, yang di sekolah duduk persis di belakang Njoto.  Sabar masih ingat, Njoto tiba tiba menghilang pada saat naik kelas dua. Kepada 
Windarti, ia pamit pulang  ke rumah orang tua di Jember, Jawa Timur. namun  tidak pernah 
kembali ke Solo. Usut memiliki  usut, dia malah pergi ke Surabaya, saat  api revolusi perjuangan tengah membara.  Mungkin saat  itu ia merasa kemampuan berpolitiknya sudah cukup  ,  kata  Windarti. Njoto terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember.  
Hingga lalu  menyembul sepucuk berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat  (KNIP) di Yogyakarta, wakil PKI Banyuwangi. Usianya 16 tahun , namun  ia 
mencatut umur lebih tua dua tahun .  Saya dengar sendiri, saat itu ia masih di bawah umur,  kata almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, saat  diskusi di kantor Tempo, Agustus lalu.  
Ia tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro, bersama beberapa  menteri. Kantor  Komite Nasional letaknya tak jauh dari situ. Kabinet Sjahrir baru saja dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Dari Solo, Windarti sempat menemuinya di Yogya. Njoto sering  mengajaknya makan siang.  
Di kota ini satu tahun  lalu  Njoto bertemu Aidit dan M.H. Lukman.  Saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit, berkat bimbingan Alimin, yang baru pulang  dari Uni Soviet, menjadi anggota Comite Central dalam Kongres PKI 
Januari 1947. Aidit dan Lukman keduanya sudah bertemu sejak 1943 di Menteng 31, sarang pemuda aktivis kemerdekaan lalu  tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah.  Sejak itu Aidit, Njoto, Lukman menjadi akrab. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja 
KNIP.  Foto Njoto berpidato di Malang terpampang di sebuah koran. Sabar terkejut .  Saya baru sadar bahwa ia seorang pemimpin,  kata Sabar, yang belakangan bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). laki-laki  82 tahun  itu lalu  teringat cerita Sudarnanto, kawan sekolah di Solo, yang pernah  melihat  bahwa di kamar Njoto 
terpampang foto tokoh komunis. Darah aktivis pemuda berkacamata tebal itu, kata Sabar, menetes dari ayahnya.  Karakter Njoto kebetulan sama seperti Ayah,  Windarti menambahkan.  
Njoto bersama Aidit dan Lukman lalu  masuk Komisi Penterjemah PKI pada awal  1948, yang misi nya menerjemahkan Manifes Partai Komunis, karya Karl Marx dan Frederich Engels.  
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama sama jadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus bidang agraria, Lukman di Sekretariat Agitasi dan Propaganda, sedang  Njoto menjalin relasi dengan badan badan perwakilan.  Hingga pecahlah geger Madiun, 19 September 1948.  
Partai limbung, tercerai berai. Aidit, Njoto, Lukman bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai dan bisa memicu  partai lebih besar. Mereka lalu  dinamakan trisula PKI.  
Aidit sempat tertangkap, namun  dibebaskan sebab  tak ada yang mengenalnya. Ibarruri 
Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan bahwa ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan 
menyamar menjadi pedagang Cina. Njoto dan Lukman lalu  menyusul ke Jakarta. Papan nama PKI dari kayu jati mereka boyong dari Yogya ke Jakarta.  Di Jakarta trio Aidit, Lukman, Njoto menyantap asam garam pergerakan  . Mereka 
menggodok orientasi partai. Terbunuhnya banyak kader dalam peristiwa Madiun  memicu  mereka mandiri.  Mereka jadi independen sebab  tak memiliki  lagi tempat  bertanya,  kata almarhum Murad Aidit, dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.  
Tiga serangkai diam diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem  komisariat di komite sentral. Situasinya sulit sebab  hampir setiap kabinet alergi komunisme.  Sampai sampai trio Aidit Lukman Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah  disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang berkata  sebetulnya  mereka ke Medan. Ada 
yang berkata  ke Jakarta.  Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran,  tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai pada tahun  1950.  Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka menerbitkan  stensilan Suara Rakyat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung pada Januari 1951.  
Dua tahun  lalu  tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit  menjadi Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).  Usia mereka saat itu jauh lebih muda dari pimpinan partai lain di negara kita , bahkan setengah usia dibandingkan  pemimpin partai komunis negara lain. Bambang Sindhu dalam  Harian Minggu terbitan Mei 1954 menulis, kondisi lah yang menghendaki tenaga tenaga muda yang militan tampil ke permukaan.  Orang orang tua, pemimpin tua, biarlah di samping saja,  tulis Bambang.  Bila perlu, malah ditinggal di belakang....   Sebagai ketua, Aidit bertanggung jawab terhadap politik secara umum. Lukman memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda diemban Njoto. Tak cuma hanya sekedar  
organisasi, untuk meluaskan jaringan mereka juga mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.  Usaha itu berbuah. Dalam Pemilihan Umum 1955, Partai Komu nis menduduki urutan 
keempat.  Persahabatan ketiganya berlanjut hingga Njoto menempati rumah di Jalan Malang, 
Menteng, Jakarta. Aidit dan Lukman sering datang dan mengadakan rapat di rumah itu.  Kadang ngobrol di ruang tamu, kadang masuk ke kamar kerja liat liat koleksi buku,  kata Windarti. Tempe goreng dan nasi rawon yaitu  hidangan yang biasa disajikan Soetarni, istri Njoto.  Tiga serangkai itu juga pergi bersama sama bila ada pameran lukisan. Lukman selalu lebih dahulu  menjemput Njoto.  Saya hanya ikut, tidak mengerti mereka ngomong apa,  kata  Windarti.  Aidit dan Njoto, kata Windarti, tipikal sosok yang serius, terutama dalam urusan pekerjaan. sedang  Lukman lebih supel dan suka guyon. Lukman, kata Iramani adik 
bungsu Njoto bahkan suka menawarinya pisang goreng.  BOGOR, 6 Oktober 1965. Hampir sepekan sesudah  peristiwa penculikan enam jenderal 
Tentara Nasional Indonesia   Angkatan Darat menggegerkan Jakarta. Presiden Soekarno 
memanggil semua menteri Kabinet Dwikora dan menggelar rapat mendadak di Istana Bogor.  
Sekitar empat puluh menteri hadir pula  saat  itu. Hampir semuanya berpakaian putih putih 
seragam para pembantu Presiden kala itu. Pengamanan mereka amat ketat, sebagian 
datang dengan dikawal panser tentara.  
Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani yang  belakangan dipenjara sebab  dituduh terlibat pergerakan  30 September tampak hadir pula . Adapun Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tak ada. Dia salah satu target operasi Cakrabirawa yang lolos sepekan sebelumnya. Ketua Comite Central Partai Komunis  Indonesia   Dipa Nusantara Aidit juga tidak kelihatan di antara Anggota   rapat. sedang  Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto justru 
muncul. Suasana tegang. Setiap orang tampak waswas dan curiga satu sama lain.  Soekarno lalu membuka sidang. Pada kesempatan pertama, dia meminta Menteri Negara dan Wakil Ketua II Comite Central PKI Njoto bicara.  Saudara Njoto, kamu memiliki  pernyataan  untuk disampaikan,  Silakan,  kata Soekarno, seperti dikutip Menteri 
Transmigrasi Mochamad Achadi kepada Tempo pada 2003. Ia yaitu  salah satu Anggota   rapat.  
Njoto mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan dan mulai bicara.  PKI tidak 
bertanggung jawab atas peristiwa G30S,  katanya tegas.  Kejadian itu yaitu  masalah internal Angkatan Darat.  Pernyataannya singkat saja.  
Soekarno lalu bicara. Sang Bung Besar menegaskan bahwa peristiwa 30 September itu 
yaitu  hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa.  Selalu ada peruncingan peruncingan kekuatan. jika  Darul Islam merupakan peruncingan kanan, 
PRRI/Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri,  kata Soekarno.  Presiden juga menyebut bahwa peristiwa G30S hanyalah tonggak kecil dalam perjalanan revolusi negara kita .   een rimpeltje in de oceaan...,  katanya. Hanya sebuah riak di tengah samudra.  
PAGI sebelum rapat, M.H. Lukman, Menteri Negara dan Wakil Ketua I Comite Central 
PKI, menjemput Njoto di rumahnya, Jalan Malang 22, Menteng, Jakarta Pusat. Njoto bergegas menyongsong kameradnya, yang baru keluar dari mobil dinas menteri bermerek Dodge Dart, dan langsung bertanya,  Apa sebetulnya yang terjadi,   Lukman menggeleng,  Saya juga tak mengetahui .  
Pada saat insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal terjadi enam hari  sebelumnya, Njoto sedang berada di Medan, Sumatera Utara, ikut kunjungan kerja Wakil Perdana Menteri I soebandrio  . Hal pertama yang dia lakukan setibanya kembali ke Ibu Kota yaitu  mengungsikan keluarganya keluar dari rumah dinas di Menteng.  pergerakan  30 September memang direncanakan tanpa sepengetahuan  Njoto. John Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada, dalam bukunya, Dalih 
Pembunuhan Massal, menulis bagaimana Pemimpin Redaksi Harian Rakjat itu sudah 
lama dijauhkan dari pengambilan keputusan penting di dalam Politbiro PKI.  Dia mengutip catatan yang dibuat panitera Politbiro PKI, Iskandar Subekti.  Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutdan kan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis,  ia mencatat. Aidit, berdasar keterangan saksi  Subekti, menganggap Njoto lebih Soekarnois dibandingkan  komunis. Catatan lain menyebutkan bahwa Njoto saat itu lebih condong pada poros komunis Uni Soviet, bertentangan  dengan Aidit yang merapat pada poros Peking.  Dalam sebuah wawancara dengan koran Jepang, Asahi Shimbun, pada 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar logika pergerakan  30 September.  Apakah premis Letkol Untung mengenai  adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup 
d'etat,   katanya.  Tidak hanya Njoto, umumnya anggota Comite Central PKI juga tidak mengetahui  pergerakan  30 September. Dalam pleidoinya di Mahkamah Militer Luar Biasa yang dibacakan pada 1972, Iskandar Subekti menjelaskan bahwa rapat Politbiro PKI pada Agustus 1965 hanya memutuskan akan memberikan  dukungan politis  kepada sebuah aksi militer yang dirancang  beberapa  perwira progresif . Pada akhir Agustus, keputusan Politbiro itu disampaikan kepada Comite Central PKI. Aidit memimpin sendiri rapat itu.  Tidak ada diskusi,  kata Subekti.  Dalam pleidoinya, Subekti menjelaskan partai tidak pernah memberikan dukungan fisik atas pergerakan  30 September. Partai hanya akan membela perjuangan itu melalui pemberitaan pers dan sidang sidang pemerintah.  Itu sikap politik yang wajar dan biasa, berhubungan dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI saat itu,  tulisnya.  Garis politik itulah yang diikuti Harian Rakjat, edisi Sabtu, 2 Oktober 1965. Koran yang dipimpin Njoto itu terbit sehari sesudah  Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Mayor 
Jenderal Umar Wirahadikusumah melarang semua media terbit, kecuali harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha dua koran yang berafiliasi dengan TNI AD. Judul kepala berita Harian Rakjat dicetak besar besar,  Letkol Untung, Komandan Bataljon Tjakrabirawa, Menjelamatkan Presiden dan RI dari gerakan gerakan  Dewan Djendral . Di bawahnya, ada subjudul:  pergerakan  30 September Semata mata pergerakan  dalam AD .  Meski mendukung, Tajuk Rencana Harian Rakjat hari itu justru mengambil jarak dengan 
pergerakan  30 September.  Kita rakyat memahami betul apa yang dikemukakan oleh 
Letkol Untung dalam melakukan pergerakan nya yang patriotik itu,  tulis editorial harian itu. 
 namun  bagaimanapun juga persoalan ini  yaitu  persoalan intern AD.   Meski terkesan hati hati, pernyataan itu terasa menantang sebab  dirilis pada saat tentara sudah melarang penerbitan semua media. Apalagi, saat itu pasukan TNI AD 
sudah mengepung Halim Perdanakusuma dan melumpuhkan pasukan pendukung pergerakan  30 September yang tersisa. Njoto dan redaksi Harian Rakjat tampaknya tidak paham dan tidak menduga akan ada perkembangan politik yang amat drastis pada hari hari pertama sesudah  pergerakan  30 September.  Ada satu hal lagi yang menguatkan dugaan Njoto tidak terlibat pergerakan  30 September. Dalam sebuah diskusi di Tempo, akhir Agustus lalu, kawan dekat Njoto, bekas Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Joesoef Isak, membeberkan fakta bahwa Njoto sejak 1964 sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partainya.  Dia diam saja, semua dia pikul, seakan akan dia ikut (pergerakan  30 September),  kata Joesoef.  Rapat Kabinet Dwikora di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Seusai sidang, semua menteri  bergegas pulang . Jurnalis Harian Rakjat, Amarzan Ismail Hamid, yang hadir pula  saat itu, mengaku melihat Presiden Soekarno berbincang sebentar dengan Njoto, sebelum 
masuk ke Istana.  Itulah terakhir kali saya melihat Bung Njoto,  katanya pekan lalu.  Di halaman Istana, seorang Menteri Negara, Kolonel Polisi Boegi Sumpeno, sempat mengajak Njoto pulang  bersama ke Jakarta, dikawal panser.  Ikut rombongan saya saja,  kata Boegi menawarkan. Njoto tersenyum dan menolak.  joesoef Isak mengetahui  rahasia sahabatnya, Njoto, dari sumber tak terduga. saat   itu, pada 1968, mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka itu ditahan di Blok R Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Suatu hari, tahanan politik di blok sebelah melemparkan 
buku kecil ke selnya.  Tetangga sebelah itu, Sugi, yaitu  mantan anggota Comite Central Partai Komunis Indonesia  . Rupanya Sugi dengan tekun menjahit kertas rokok menjadi buku kecil. Di 
buku itu dia menuliskan kisah  pengadilan  Njoto oleh pimpinan kolektif PKI, pada 1964.  
Sebagai anggota CC, Sugi turut mengadili Njoto. Di sidang itu, Njoto, yang menjabat Wakil Ketua II CC PKI, diputuskan bersalah dan dijatuhi sanksi skorsing. Semua  jabatannya di partai dilucuti.  
Sugi, saat itu 70 tahun , memaksakan diri memanjat pohon ceri agar   bisa memberikan 
buku itu kepada Joesoef.  Saya tanya, 'Kenapa Pak Sugi menyampaikan ini pada saya, ',  Joesoef bercerita.  Dia berkata , ini harus ditulis, dan dia memilih saya sebab  saya wartawan.   sebab  itulah Joesoef percaya , Njoto tak mengetahui  pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat oleh pergerakan  30 September. Sebetulnya, Njoto bisa lepas tangan dari pergerakan  lantaran tak lagi menjabat posisi strategis di partai.  namun  dia memikul semua, seolah olah ikut dan ,  kata  Joesoef.  saat  diwawancarai Risuke Hayashi dan Takehiko Tadokoro, koresponden harian Jepang, Asahi Shimbun, di Jakarta, dua pekan sebelum hilang, Njoto masih gigih membela partainya. berdasar keterangan saksi  Njoto, pimpinan Partai Komunis sama sekali tak mengetahui  soal pergerakan  30 September. Dia mengatakan, di mata partainya, pergerakan  itu merupakan masalah internal tentara.  Bahkan, kata Njoto, saat  peristiwa pembunuhan para petinggi TNI Angkatan Darat itu terjadi, dia sedang bersama Wakil Perdana Menteri I soebandrio   dan beberapa  petinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian berkeliling Sumatera. Mereka baru mengetahui  soal pergerakan  itu saat  berada di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.  Kami sama 
sama terenyak,  katanya kepada Asahi Shimbun.  
  DI antara empat tokoh kunci PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman Njoto paling muda. Pada usia 19 tahun , dia sudah mewakili PKI Banyuwangi di Komite Nasional negara kita  Pusat. Tak terang benar, sejak kapan sebetulnya  Njoto bergabung dengan Partai Komunis, dan siapa yang mempengaruhinya.  Dia belajar diam diam,  kata Sri Windarti, adik Njoto.  Tokoh tokoh muda di Partai Komunis saat  itu berhasil menggusur pemimpin sepuh, seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman Hardjosubroto, dan  mengambil alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat Ketua, Lukman menduduki posisi Wakil Ketua I, Njoto sebagai Wakil Ketua II, dan Sudisman mengisi kursi Sekretaris Jenderal.  
Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas Departemen Agitasi dan Propaganda. Lewat Harian Rakjat dan majalah teori Bintang Merah, Njoto  menghajar  lawan lawan politiknya. Sebaliknya, lewat kolom  Catatan Seorang Publisis  di Harian Rakjat, Iramani nama pena Njoto tampil lebih lembut dan  sastrawi .  Salah satu polemik paling keras terjadi antara Harian Rakjat melawan Merdeka pada Juni hingga Juli 1964. Harian Rakjat, contohnya , memuat tulisan panjang bertajuk  Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah . Lewat tulisannya itu, Harian 
Rakjat menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya  kaum rebelli . Silat pena itu 
baru berakhir sesudah  Jaksa Agung Soeprapto turun tangan.    wanita  itu bernama Rita. Anak Rusia ini penerjemah untuk tokoh tokoh PKI yang sedang melawat ke Negeri Beruang Merah ini . Sedemikian serius kisah asmara Njoto dengan Rita, hingga hampir berujung ke ranjang pengantin. Padahal, saat  itu  Njoto sudah beristrikan Soetarni.  Niat Njoto meninggalkan Soetarni tentulah memicu  Partai gerah. Comite Central PKI, berdasar keterangan saksi  Semaun, sebetulnya  sudah berkali kali memperingatkan Njoto, agar   
memutuskan hubungan dengan Rita.  Hubungan mereka bisa mencemarkan citra Partai,  kata  Semaun.  Selain soal citra, mantan anggota Comite Central PKI, Rewang, mengatakan pimpinan PKI curiga Rita merupakan agen Partai Komunis Uni Soviet, sehingga hubungan itu bisa 
membahayakan partai. Sidang partai akhirnya digelar untuk membahas masalah ini .  Njoto dicecar dari berbagai penjuru.  Suasana sidang itu panas sekali,  kata Joesoef Isak. Dia memperoleh  cerita dari Sugi, anggota Comite Central yang hadir pula  dalam rapat itu.  namun  Njoto sangat terbuka. Semua pertanyaan dia jawab.  D.N. Aidit akhirnya turun tangan, meminta waktu berbicara empat mata dengan Njoto.  Hampir 2 jam mereka berbicara dan membiarkan Anggota   sidang menunggu. Njoto, yang semula bersikeras , akhirnya bersedia mengubur niatnya. Aidit dan Njoto berpelukan. Namun keputusan sidang soal disiplin partai tetap tak bisa ditawar. Njoto dijatuhi skorsing dan sementara melepaskan berbagai jabatannya di partai. Sanksi ini rencananya akan disahkan dalam Kongres Partai pada 1965.   namun  hubungan Njoto dengan Aidit sama sekali tidak berubah,  kata Rewang. Njoto tetap aktif mengikuti pertemuan partai, termasuk rapat rapat menjelang September 1965. Bahkan Njoto juga lah yang membawa bawa  surat Aidit dan membacakannya di sidang kabinet beberapa hari sesudah  peristiwa pembunuhan enam jenderal.  Menjelang tumbangnya PKI, memang santer beredar kabar perbedaan jalan di antara pucuk pimpinan PKI, yaitu  D.N. Aidit, Njoto, dan Sudisman. Haluan politik Aidit semakin dekat dengan Partai Komunis Cina dibandingkan  ke Uni Soviet.  Dalam pleidoi di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dan juga otokritiknya terhadap partai (keduanya ditulis sesudah  pergerakan  30 September), Sudisman menilai Aidit sudah menyeret partai pada petualangan atau avonturisme. Dukungan pemimpin partai terhadap pergerakan  30 September, berdasar keterangan saksi  Sudisman, tidak didasari kesadaran dan kepercayaan massa. Njoto dianggap sudah kelewat dekat dengan Soekarno. saat  berpidato di Palembang, pada 1964, isi pidatonya dianggap lebih Soekarnois dibandingkan  Marxis.  Itu titik awal Njoto dianggap memiliki  jalan sendiri,  kata  seorang mantan wartawan Harian Rakjat.Rewang, mantan anggota Comite Central PKI, mengakui perbedaan sikap antara Aidit, Njoto, dan Sudisman. Namun Semaun Utomo, mantan Ketua Lembaga Sejarah Comite Central PKI, meragukan kabar ini . Pimpinan partai, kata Semaun, hanya berbeda 
pendapat, namun  tidak sampai pecah.  Kabar itu omong kosong,  kata Joesoef Isak.  Njoto 
mengagumi Aidit, dan Aidit mencintai Njoto hingga saat saat terakhir.    Soekarnoisme dan wanita  Rusia  DI Istana Tampaksiring, Bali, Presiden Soekarno tampak gelisah. Njoto, menteri negara yang menjadi penulis pidato Presiden, tak ketahuan berada di mana. Padahal upacara kenegaraan 17 Agustus 1965 tinggal sepekan.  Njoto, yang juga Wakil Ketua II Comite Central Partai Komunis  Indonesia  , yaitu  
penulis andalan si Bung untuk pidato pidatonya yang membakar itu. Dua penulis lain soebandrio   dan Ruslan Abdoelgani sejak 1960 mulai jarang dipakai.   sukarno  merasa pemikirannya cocok dengan Njoto,  kata Joesoef Isak, sahabat 
Njoto sekaligus teman dekat sukarno , sehari sebelum wafat, pertengahan Agustus lalu. Wakil Perdana Menteri soebandrio   lalu  memberitahu   sukarno , Njoto sedang di Amsterdam, Belanda, bersama Joesoef, menegosiasi pembelian pesawat terbang Fokker.  sesudah  berkeliling Afrika, sebab  Konferensi Asia Afrika ke 2 batal di Aljazair akibat kudeta di negeri itu, Njoto ngelencer ke Belanda, lalu ke Rusia, untuk menghadiri  
Konferensi Tingkat Tinggi Partai Komunis. Njoto segera pulang  begitu menerima kawat bahwa Presiden mencarinya. Padahal di Moskow ia sedang melawat bersama Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit.  Menjelang akhir kekuasaannya itu, hubungan Soekarno dan Njoto memang berbentuk   rapat dan unik. sukarno  yaitu  pendiri Partai Nasional negara kita  yang pamornya 
sedang meredup, sementara PKI sedang berjaya di seluruh negeri. Dan Njoto, 38 tahun , yaitu  tokohnya yang paling menonjol .berdasar keterangan saksi  Joesoef, keduanya saling mengagumi, saling menyukai. sukarno  menyukai Njoto sebab  ia satu satunya pentolan PKI yang  liberal , pragmatis, dan tak dogmatis. Selain selalu tampil rapi dan dandy, menteri negara ini menyukai musik klasik, jazz, bisa memainkan hampir semua alat musik, menulis, dan  menyukai puisi dan seni rupa.  Kedekatan itu tak hanya dalam urusan kerja, namun menyangkut hal hal pribadi. berdasar keterangan saksi  Koneksi  Njoto di Harian Rakjat, sukarno  memanggil laki laki yang terpaut usia 26 tahun  itu dengan sebutan  Dik .  Ini panggilan tak umum  di kalangan pejabat dan aktivis politik waktu itu,  katanya.  Umumnya sesama pejabat memanggil 'Bung'.   Njoto sering terlihat dalam pesta lenso yang digelar di Istana Negara. Sehabis upacara upacara resmi, sukarno  biasanya menggelar pesta dengan mengundang penyanyi top Ibu Kota macam Titiek Puspa, Rima Melati, atau Suzanna.  sesudah  tamu negara pulang , pasukan Cakrabirawa dengan sigap menyiapkan  panggung hiburan . Para pejabat negara, wartawan, atau siapa pun yang hadir pula  
bergiliran menyanyi dan menari. Njoto tak pernah  ketinggalan menyumbang suara.  Suatu saat , berdasar keterangan saksi  sumber Tempo,  Dik Njoto  naik panggung dan siap menyumbangkan suara, sukarno  menghampiri lalu merapikan kerah jas Njoto yang terlipat.  Seperti itulah hubungan mereka, dekat sekali.   Selain sama sama doyan pesta, Njoto orator ulung seperti sukarno . Sabar Anantaguna, teman SMP Njoto di Solo, Jawa Tengah, bersaksi bahwa sejak remaja laki laki berkacamata ini jagoan podium.  jika  berpidato, dia seperti dalang, semua orang 
terpukau,  katanya.  Sama seperti Soekarno, Njoto juga menguasai beberapa bahasa asing dan puluhan bahasa daerah. Ia juga penerjemah Marxisme yang mumpuni. sukarno  pernah  
menjuluki Njoto  Marhaenis sejati  merujuk pada ideologi kerakyatan yang dipelopori  Soekarno.  Sebaliknya, Njoto yaitu  orang pertama yang menelurkan istilah  Soekarnoisme . Istilah 
yang dilontarkannya dalam sebuah pidato di Palembang pada April 1964 itu lalu  dipakai oleh kawan sekaligus musuh sukarno . Kelompok anti PKI malah mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme pada September 1964.  Mereka khawatir panglima tertinggi itu makin jatuh ke pelukan PKI, apalagi sukarno  sudah mencetuskan poros Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom), sebagai asas front persatuan nasional. Sebaliknya, kubu PKI terutama D.N. Aidit

4

 menyangka Njoto sudah  dipakai Soekarno untuk melemahkan  PKI.  Njoto dianggap berkhianat dengan memicu  istilah baru dalam wacana ideologi. Sebab, bagaimanapun, asas PKI yaitu  Marxisme Leninisme. Soekarnoisme dianggap lema baru yang bisa merongrong komunisme.  
Dan Njoto memang serius dengan istilah barunya itu. berdasar keterangan saksi  sumber Tempo, 
pemimpin umum koran PKI itu menganggap Marxisme terlalu asing bagi petani dan borjuis kecil yang ingin digarap PKI menjadi basis massa ideologinya.  sedang  Soekarnoisme itu lebih jelas, dan orangnya juga masih hidup.   Sikap Njoto inilah, antara lain, yang memicu  para pemimpin PKI hilang kepercayaan kepadanya. Aidit sampai menerbitkan harian Kebudajaan Baru sebagai  pesaing  Harian Rakjat, sebab memecat Njoto sebagai pemimpin Harian Rakjat akan memicu  konflik menjadi terbuka dan sama sekali tak akan menguntungkan PKI.  Aidit akhirnya melepaskan Njoto dari jabatan Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI. namun , berdasar keterangan saksi  Joesoef Isak, alasan utama skorsing itu yaitu  urusan wanita . Waktu itu Njoto dianggap  terlibat hubungan gelap dengan seorang wanita  Rusia. Aidit memaksa Njoto memutuskan cinta terlarang itu.  PKI memang tegas dalam soal ini. Aidit, yang antipoligami, mengeluarkan aturan menerapkan skorsing bagi siapa saja yang ketahuan berselingkuh. berdasar keterangan saksi  almarhum Oey Hay Djoen, anggota DPR dari PKI, waktu itu banyak anggota yang kena skorsing akibat ketahuan menjalin affair dengan wanita , berdasar keterangan saksi  sumber Tempo,  skorsing  inilah yang mendorong sukarno  meminta Njoto mendirikan partai baru, dengan nama sementara  Partai Rakyat negara kita   dengan asas Soekarnoisme. sukarno  menganggap Soekarnoisme yaitu penyempurnaan Marhaenisme. namun  ide itu tak pernah  kesampaian sebab  polemik kedua kubu keburu pecah.  Badan Pendukung Soekarnoisme menyerang sikap Njoto dan PKI di Harian Merdeka 
milik B.M. Diah. Njoto menangkisnya di Harian Rakjat. Berhari hari polemik itu ramai, meruncing hampir berujung bentrokan. sukarno  akhirnya turun tangan dengan melarang pemakaian istilah Soekarnoisme dalam polemik.  namun  hubungan Soekarno Njoto tetap ketat hingga senja kala kekuasaan  Pemimpin Besar Revolusi  itu. Puncaknya yaitu  tengah malam  30 September 1965, saat  Tanah Air melihat  perubahan nasib dan arah sejarah zaman yang bergolak.  
 sungguhpun Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong resmi Partai Komunis  Indonesia   ini . Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914 1981), wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota Konstituante, pendiri Baperki, 
organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang lalu  dilarang sesudah  G30S.  Pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat, Harian Rakjat memiliki jargon nyaring:  Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat.  Giok Tjhan memimpin Harian Rakjat dua tahun  pertama, lalu  digantikan Njoto hingga akhir 
hayat.  Di tangan Njoto, yang lalu  diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan 
Propaganda, HR dengan oplah yang diklaim sebesar 60 ribu eksemplar yaitu  pendukung kebijakan partai. Harian Rakjat tak ubahnya pamflet; tak ada edisi yang muncul tanpa kata  rakjat  dan dukungan pada Manifesto Politik Soekarno. Bahasa yang dipakai , seperti dibahas penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian Rakjat, yaitu  bahasa yang  hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka Marxisme/Leninisme.   Dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan  pidato Njoto saat ulang tahun  Harian 
Rakjat 1956 1958, Njoto membandingkan surat kabar itu dengan Pravda, koran partai komunis Uni Soviet. Harian Rakjat disebutnya memiliki keunggulan utama, yaitu  para  korespondennya yang lahir dari tengah tengah massa . Artinya, setiap buruh, setiap pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden.  Dalam periode 1950 an itu Harian Rakjat memberikan ruang luas bagi karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan Njoto dan dua petinggi PKI D.N. 
Aidit dan A.S. Dharta dan  seorang tokoh Murba, M.S. Ashar. Lekra lahir pada tahun  yang sama dengan Harian Rakjat, saat  dirasakan gemuruh semangat revolusi mulai mengendur.  Bahwa Rakjat yaitu  satu satunja pentjipta kebudajaan dan bahwa pembangunan kebudajaan negara kita  baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat,  begitu 
tertulis dalam Mukadimah Lekra.  Njoto, yang biasa menulis esai dan puisi, berdansa waltz dan foxtrot, dan  meniup saksofon, sangat piawai memainkan peranserta  utama di dua entitas kiri itu. Di Harian Rakjat, salah satu misi nya sebagai pemimpin redaksi yaitu  menulis editorial koran. berdasar keterangan saksi  Martin Aleida, wartawan Harian Rakjat yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, kadang ia menulis di kantor, meski sering menitipkannya lewat kurir. Njoto juga sering membantu merumuskan sudut pandang  bagi artikel Harian Rakjat.  sedang  di Lekra, berdasar keterangan saksi  Sabar Anantaguna, teman sekolah Njoto di Jember yang 
lalu  menjadi pengurus Lekra pusat, Njoto mengetahui  bagaimana melayani seniman yang 
tak mau diatur dan dikomando. Dia sering hadir pula  dalam rapat Lekra, meski tak banyak 
bicara. jika  setuju, kata Anantaguna, Njoto diam. jika  kurang setuju, Njoto baru angkat bicara dan selalu berkata ,  Apa itu sudah percaya ,  Coba dipikir lagi,  Anantaguna menirukan Njoto.  
Njoto pun hati hati menjaga keseimbangan ideologis di kalangan seniman. Meski ia 
pendukung Manifestasi Politik sejati Njoto melahirkan prinsip  politik sebagai panglima  
dan giat memobilisasi perlawanan terhadap para seniman non komunis pendukung humanisme universal Njoto tak setuju dengan usaha  memerahkan Lekra sepenuhnya, seperti yang diinginkan rekan rekannya di Politbiro. Anggota Lekra tidak semuanya komunis, dan ia ingin mempertahankannya begitu.   manipulasi  (akronim ejekan untuk Manifesto Kebudayaan) yaitu  sebuah konsep pemikiran. Konsep tidak bisa ditiadakan oleh tanda tangan di atas kertas,  kata Joesoef Isak, menirukan Njoto, sahabatnya. saat  lalu  Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan, Njoto tidak bersorak seperti kebanyakan pendukung komunis yang mengucap syukur.  Dalam ingatan Martin, Njoto juga  yang menghapus nama Ernest Hemingway yang ia 
kenal personal dan film The Old Man and The Sea dari daftar film Amerika yang haram ditonton. Demikian kuat karisma Njoto hingga ada lelucon sendiri. Di kalangan penghuni Jalan Cidurian 19, rumah Oey Hay Djoen, kantor pusat Lekra, bila Njoto datang, para penghuni berdiri.  jika  Aidit yang datang, mereka tak mau melakukannya,  kata Martin.  Iwan Simatupang, sastrawan antikomunis asal Sibolga, pernah  mencemaskan pengaruh Njoto yang dianggapnya lebih berbahaya dibandingkan  Lukman atau Aidit sebab  kuatnya  inteligensi orang yang disebutnya  sok intelek dan sok filosofis  itu. berdasar keterangan saksi  dia, seniman besar seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi simpatisan komunis sebab  pengaruh Njoto.  Masa masa keemasan Njoto sebagai pemimpin agitasi dan propaganda melemah saat  
konflik ideologis antara Njoto dan Aidit memuncak. Saat itu PKI sudah mengklaim memiliki  anggota lebih dari 4 juta. sesudah  MPRS menetapkan  Soekarno sebagai presiden seumur hidup, Njoto didaulat sebagai menteri. Kedekatannya dengan Soekarno Njoto yaitu  penulis pidatonya mengancam posisinya di partai (baca  Njoto dan 
Soekarnoisme  Red). Puncaknya pada 1964, seperti keterangan Joesoef Isak, saat  Njoto diskors dari seluruh jabatannya di partai, termasuk posisi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda. Penggantinya, Oloan Hutapea, loyalis Aidit.  Konflik Njoto dan Aidit merembet sampai ke Harian Rakjat. Martin ingat, bulan bulan 
terakhir menjelang G30S, Njoto sudah tak aktif lagi memimpin. namun  konflik internal Harian Rakjat memanas. Mereka yang dari Sumatera dimusuhi awak redaksi yang berlatar belakang Pemuda Rakyat sebab  dianggap anak emas Njoto.  Padahal sebab  kami lebih biasa berbahasa Melayu. Selain itu, Pemuda Rakyat tak begitu senang kepada seniman Lekra yang tak bisa diatur. Pemuda Rakyat lebih militan,  katanya.  
namun  demikian lekatnya Harian Rakjat dengan sosok Njoto, Aidit tak berusaha  mencopotnya. Partai memicu  harian umum baru, Kebudajaan Baru. berdasar keterangan saksi  Martin, 
koran baru ini muncul hanya 1 2 bulan menjelang G30S, sehingga tak banyak petinggi partai yang mengetahui . Pemimpin redaksinya Muslimin Jasin, anggota Comite Central asal Nusa Tenggara.  Seorang pemimpin PKI di daerah yang diwawancarai Saskia Eleonora Wieringa dalam 
buku Penghancuran pergerakan  wanita  di negara kita  mengaku jadi bagian dewan redaksi Kebudajaan Baru, yang dibuat untuk menandingi Harian Rakjat.  tengah malam  sebelum gerakan gerakan  kami mengadakan rapat redaksi. Aidit datang dan mengatakan,  Sekarang  saya akan memulai sesuatu yang banyak kawan kita mungkin tidak suka. namun  ini merupakan jalan pintas cita cita kita,  katanya.  Sejarah mencatat,  jalan pintas  Aiditlah yang mengubur dalam dalam bukan cuma hanya sekedar  partai, namun  juga Lekra dan Harian Rakjat sekaligus. HR menerbitkan edisi penghabisan pada Sabtu, 2 Oktober 1965, dan Harian Rakjat Minggu (HRM) melakukannya sehari lalu . Nomor buncit lembar seni budaya itu memuat nama Banda Harahap sebagai pimpinan dewan redaksi, dengan penanggung jawab M. Naibaho dan beranggotakan sastrawan Zubir A.A, Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara putra bungsu Ki Hajar Dewantara. Seperti dikutip Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya, ada beberapa  petunjuk di edisi itu akan situasi genting sesudah  G30S, namun yang paling menarik yaitu  puisi  Wong Tjilik  (yang berdasar keterangan saksi  salah satu redaktur HRM, yaitu  karya Njoto) di pojok Tjabe Rawit, halaman tiga:  
Makan tak enak, tidur tak nyenyak  
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri  Siang jadi angan angan, tengah malam  jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri  Bukan salah bunda mengandung, salah anak buruk pinta  
Sudahlah nasib akan digantung, jadi si laknat setan kota....  suasana Jakarta mencekam pada hari itu, 2 Oktober 1965. Dua hari sudah lewat sesudah  pembunuhan 6 jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia   dituduh bertanggung jawab dan para aktivisnya segera menjadi target penangkapan.  Njoto, Ketua II Comite Central Partai Komunis  Indonesia   dan salah satu menteri Kabinet Dwikora I baru pulang  dari kunjungan dinas. Dia mendampingi Perdana Menteri I soebandrio   dalam tour  ke Sumatera Utara. tengah malam  sudah  tiba saat  ia tiba di rumahnya, Jalan Malang, Menteng Nomor 22, Jakarta Pusat. Tak sempat istirahat, ia segera mengajak istri yang sedang hamil dan 6 anaknya meninggalkan rumah.  Keluarga ini mendatangi rumah para kerabat, mencari tempat mengungsi. Tak ada yang berani menampung mereka. Seorang teman di daerah Kebayoran yang justru bersedia memberi mereka tempat tinggal. Njoto hanya menitipkan istrinya, Soetarni, dan 6 anaknya. Ia bergegas pergi lagi.  Kami cari tempat sendiri sendiri,  kata Soetarni.  Soetarni dan anak anaknya tak lama di satu rumah. Mereka berpindah pindah. Pada suatu saat , mereka menetap di Asrama Mahasiswa Concentratie pergerakan  Mahasiswa Indonesia   di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Soetarni mengingat, pada akhir 1965, dua kali suaminya datang menjenguk.  Sekali tengah tengah malam , sekali siang,  kata nya.  Soetarni mengatakan tidak pernah mengetahui  tempat persembunyian suaminya. Ia menduga, Njoto masih tinggal di rumah mereka di Menteng. Bisa jadi dugaannya benar, paling tidak pada awal awal pelarian Njoto.  
Amarzan Ismail Hamid, wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia  , mengatakan bertemu Njoto pada 6 Oktober pagi di Jalan Menteng. saat  itu Njoto hendak berangkat ke Sidang Kabinet di Istana Bogor bersama M.H. Lukman, menteri negara yang juga Wakil Ketua I Comite Central Partai Komunis  Indonesia  .  Njoto dan Lukman sempat berdiskusi sebelum menuju Bogor.  jika  hasil sidang jelek, kita ke Bandung. jika  bagus, kita tetap di Jakarta,  kata Amarzan menirukan 
pembicaraan keduanya. Ternyata, sesudah  sidang, mereka menganggap Soekarno 
masih menguasai kondisi . Mereka pun kembali ke Jakarta.  berdasar keterangan saksi  buku pergerakan  30 September/PKI Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, Njoto hadir pula  di sidang atas perintah Ketua Umum D.N. Aidit dari pelariannya di Jawa Tengah. Melalui anggota Biro Khusus, Bono, ia mengirim pesan kepada Sudisman, Sekretaris Comite Central. Isinya, agar 
anggota Comite Central yang masih di Jakarta segera melakukan usaha  penyelamatan 
partai. Ia juga meminta Njoto mewakilinya dalam Sidang Kabinet di Bogor.  Seorang kerabat M.H. Lukman mengisahkan, pada 5 Oktober tengah malam , Njoto, Lukman, dan beberapa  petinggi PKI minus D.N. Aidit sempat berkumpul di rumah  Joesoef Isak, seorang wartawan yang dekat dengan Njoto, di daerah Kebayoran, Jakarta 
Selatan. namun  ia mengaku tak mengetahui  materi pembicaraan.  Mungkin koordinasi 
sebelum ke Bogor,  katanya.  saat  berdiskusi dengan Tempo pada suatu siang sebelum meninggal pada tengah malam  harinya akhir Agustus lalu, Joesoef membenarkan adanya pertemuan para petinggi PKI di rumahnya. namun  ia tak bisa mengingat apakah pertemuan itu berlangsung sebelum atau sesudah 6 Oktober.  
rumah  Joesoef yaitu  salah satu tempat persembunyian favorit Njoto. Joesoef 
menuturkan, suatu saat  tentara sempat menggerebek rumahnya. Mereka melihat Njoto 
namun  membiarkannya dan justru memberi hormat sebab  tidak ada surat perintah 
penangkapan.  Sebelum jam tengah malam  selesai, Njoto kabur,  kata Joesoef.  Seusai sidang kabinet di Bogor, sekelompok tentara membuntuti Njoto dan Lukman. Njoto memutuskan berpindah pindah tempat. Sebagai tokoh PKI, Njoto cukup   berani saat  itu.  Dia masih keluyuran. Mungkin sebab  merasa PKI tidak bersalah,  kata 
Bonnie Triana, peneliti sejarah Universitas Indonesia  .  Sarbi Moehadi, 81 tahun , bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Pekalongan, Jawa Tengah, menyatakan Njoto sempat memimpin rapat konsolidasi di Slawi, Jawa Tengah, beberapa bulan sesudah  peristiwa 30 September. berdasar keterangan saksi  dia, Njoto meminta para pemimpin partai dan pegiat Lekra di daerah ini mempertahankan organisasi. Sarbi 
ditangkap beberapa bulan lalu  dan dipenjara 14 tahun .  Amarzan, kini 68 tahun , meragukan cerita Sarbi. berdasar keterangan saksi  dia, Jakarta paling aman untuk bersembunyi. Ke luar kota sama dengan mencari mati, katanya. Ia percaya , meski berpindah pindah, Njoto tak pernah  lari ke luar Jakarta.  Seperti pelariannya, penangkapan Njoto masih menyisakan misteri. Sri Windarti, adik 
wanita nya, pernah  memperoleh  cerita dari Edi, sopir pribadi Njoto. berdasar keterangan saksi  dia, sang sopir merasa diikuti seseorang saat  mengantar Njoto ke kantor, yang sekarang 
menjadi Sekretariat Negara. Edi sempat bertanya kepada Njoto: pulang nya dijemput di kantor atau di Istana Negara.  Si Mas hanya menjawab: sudah, jangan ditengok,  kata Windarti.  berdasar keterangan saksi  cerita seorang pengawal Istana, kata Windarti, mobil Njoto dicegat dalam 
perjalanan. namun  ia tak memperoleh cerita detail, termasuk waktu dan tempat, mengenai  
peristiwa itu.  Irina Dayasi, anak kelima Njoto, mengatakan ada banyak versi cerita penangkapan. Versi pertama, ayahnya ditangkap dalam perjalanan pulang  dari Sidang Kabinet di 
Bogor pada 6 Oktober. Ia menganggap versi ini paling tidak logis sebab  beberapa  orang 
mengatakan masih bertemu Njoto hingga Desember 1965. Versi kedua, Njoto ditahan 
sesudah  menemui soebandrio  . Versi ketiga, ditangkap dalam perjalanan dari kantor 
Kementerian Negara. Irina memperkirakan, ayahnya ditangkap sekitar Desember.  
berdasar keterangan saksi  Amarzan, Njoto ditangkap dalam perjalanan di Jalan Tosari, Menteng, Jakarta Pusat.  Mobilnya disalip, lalu dicegat. Dia dikeluarkan, dipukul, kacamatanya jatuh. Itu yang saya dengar,  katanya.  Sampai sekarang nasib Njoto tak jelas. Kuburannya, jika ia sudah  meninggal, tak diketahui .  Serba gelap,  kata Irina.  Suatu saat , beberapa tahun  sesudah  peristiwa 30 September, beberapa temannya 
mendatangi seorang paranormal untuk mengetahui  keberadaan Njoto. Sang dukun 
kerasukan dan  menjelma  menjadi Njoto. Ia menulis nama  Njoto  di papan.  Tulisannya agak miring, persis tulisan tangan Njoto,  kata teman Njoto, yang menolak  disebut namanya namun  ikut mendatangi dukun. Menjawab pertanyaan para  kliennya  soal keberadaan Njoto, dukun menjawab:  Ada di Jawa Barat.  Besan Soetarni, bernama Sugeng, yaitu  pensiunan polisi militer. Kepada Soetarni, Sugeng mengatakan pernah  melihat Njoto di tahanan markas militer Guntur, Jakarta  Pusat, saat  piket jaga pada suatu tengah malam . Esoknya Njoto tidak ada lagi di tahanan itu.  berdasar keterangan saksi  Iramani, adik wanita  terkecil Njoto, ada cerita Njoto ditembak di daerah Tanjung Priok. Ia juga memperoleh versi lain, Njoto dibawa dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke daerah Bekasi, Jawa Barat, dan dihabisi di sana pada 13 Desember 1965.  Mana yang betul, saya tidak mengetahui ,  katanya.   Joesoef Isak memperoleh  informasi  bahwa Njoto sempat ditahan selama 2 hari di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Cerita itu didapatnya dari seorang tentara yang 
tinggal di mes rumah tahanan, yang bercerita bahwa Njoto ada di situ.  Saya tanya dia: 
emang kamu mengetahui  Njoto,  Dia berkata  pake kaca mata kan, gaya gaya Cina,  kata 
Joesoef.  berdasar keterangan saksi  Joesoef, ciri ciri yang disebutkan tentara itu memang memiliki  Njoto. namun  Njoto hanya dua tengah malam  di sana. sesudah  itu ia dibawa dua orang tentara entah ke mana.  Itu  informasi  pertama yang saya terima langsung,  kata Joesoef.  berdasar keterangan saksi  Bonnie Triana, sesudah  diambil dari rumah tahanan militer, Njoto dihabisi di 
suatu tempat di Jakarta. Ia menambahkan,  Mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung.   
 ilham Dayawan masih mengingat belasan tentara yang membawa bawa  ibunya, Soetarni, 40 tahun  silam.  Pinjam ibumu sebentar, ya,  kata seorang tentara kepadanya, yang saat  itu bocah 11 tahun . Azan magrib masih terdengar pada hari itu, satu Ahad di bulan Juni.  Ilham, anak kedua pasangan Njoto dan Soetarni, tinggal bersama ibu dan 6 adiknya di rumah di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Kakaknya, Svetlana Dayani, tinggal di 
rumah kerabat mereka di Solo. Ayah mereka dahulu  menjabat Ketua II Comite Central 
Partai Komunis  Indonesia  .  Tentara datang ke rumah itu pada Ahad siang. Adik adik Ilham sedang bermain saat  beberapa jip tentara menderu masuk halaman. Para prajurit yang ditemani pejabat kabupaten menyerbu masuk. Mereka menggeledah seluruh rumah yang sebetulnya  memiliki  kakak Soetarni. Semua perabotan dikeluarkan. Tempat tidur, kursi, meja, lemari, kasur, dan barang pecah belah dilempar ke halaman. Menjelang azan magrib, mereka 
baru berhenti.  Soetarni diangkut ke kantor Balai Kota Solo. Di sana ia diinterogasi dan lalu  
dijebloskan ke Rumah Tahanan wanita  Bulu di Semarang. Ia dituduh mengikuti rapat politik. Padahal ia mengatakan hanya menghadiri  pesta pernikahan kerabat di Solo, beberapa hari sebelum aparat mendatangi rumah rumah nya.  Ini penahanan Soetarni yang kedua. Kurang dari dua tahun  sebelumnya, ia dibebaskan sesudah  delapan bulan mendekam di Rumah Tahanan Budi Kemuliaan, Jakarta. Tujuh anaknya, termasuk bayi yang baru lahir, ikut ditahan sejak pertengahan 1966. Seorang anaknya lolos sebab  saat  tentara datang, sedang diajak pamannya ke luar rumah. 
Adapun Njoto ditangkap aparat pada Desember, tiga bulan sesudah  pergerakan  30  September.  
Keluar dari Budi Kemuliaan, Soetarni dan anak anaknya tinggal di Baturetno. Kedatangan aparat yang membawa bawa  kembali Soetarni memicu  kerabat kerabatnya  panik. Seorang kakak kandungnya yang tinggal di Solo lalu menemui Nyonya Tien Soeharto, meminta pembebasannya. Keluarga ini memang memiliki hubungan 
kekerabatan dengan Tien Soeharto. Ibu Soetarni keturunan trah Mangkunegaran, sepupu orang tua Tien.   Lobi  itu tak mempan. Soetarni tetap dihukum.  namun  saya tak pernah  sekali pun 
dipukul, apalagi disiksa,  kata Soetarni kepada Tempo pada pertengahan September lalu. Kini, usianya 81 tahun .   Begitu PKI dianggap bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, Soetarni segera meninggalkan rumah di Jalan Malang Nomor 22, Jakarta Pusat. Berbekal koper pakaian, ia mengungsi bersama 
tujuh anaknya semuanya berusia di bawah 10 tahun .  Soetarni terakhir bertemu dengan Njoto saat  mengungsi di Asrama Central pergerakan  
Mahasiswa Indonesia  , Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pada akhir 1965. sesudah  itu 
tak ada lagi kabar dari sang suami. wanita  kelahiran Solo, 10 Juni 1928, ini berpindah pindah, ditemani sopir bernama Kunli. Kadang ia tinggal di rumah kawan, lain  kali di rumah  kerabat.  Kami menginap paling lama tiga hari sebab  risikonya sangat besar,  kata Ilham.  Kawan dan kerabat keluarga Njoto selalu memberi bantuan. Jane Luyke, istri Oey Hay Djoen, meminjamkan sedan putihnya. Kawan lain turut meminjami mobil. berdasar keterangan saksi  Jane, mobil yang dipakai  Soetarni berganti ganti untuk menutupi jejak. Pada saat  penangkapan di masa pelarian 1966 di Gunung Sahari, Soetarni dan anak anak sedang meminjam mobil milik Jane. Mobil ini pun disita tentara.  sesudah  ditangkap kedua kalinya, Soetarni ditahan di Penjara Komando Distrik Militer, lalu Penjara Bulu (Semarang), Bukit Duri (Jakarta). Terakhir, dia dipindahkan ke 
Plantungan (Jawa Tengah). Total masa penahanannya 11 tahun .  Selama Soetarni dipenjara, jarang sekali anak anaknya bisa menjenguk. Mereka tinggal di rumah saudara saudara kandung Soetarni. Hanya anak bungsunya, Esti Dayati, diasuh dalam penjara hingga usia empat tahun . Tujuh anak itu tinggal bersama adik wanita  Soetarni di Solo selama dua tahun . Suami adik wanita  Soetarni 
seorang arsitek dan pemborong bangunan sehingga kondisi ekonominya bagus. namun  
begitu ia meninggal, anak anak Soetarni harus hidup berpisah pisah, dibagi ke kerabat 
lain.  Anak pertama dan keempat, yaitu  Svetlana Dayani dan Risalina Dayana, tinggal bersama kakak laki laki  Soetarni di Jakarta. Anak kedua dan kelima, Ilham Dayawan dan Irina Dayasi, diboyong ke Palembang oleh kakak wanita  Soetarni. Anak ketiga dan keenam tinggal di Medan.  Njoto memberi nama belakang tujuh anaknya  daya . Ini diambil dari nama lain Njoto, 
Kusumo Dikdoyo. Dikdoyo dalam bahasa Jawa berarti daya. Untuk anak pertamanya, 
Njoto memberi nama berbahasa Rusia, yaitu  Svetlana yang berarti cahaya. Sejak prahara 1965, Svetlana tak lagi memakai  namanya. Dia hanya memakai  nama belakangnya, Dayani. Nama yang berbau Rusia dengan mudah dicap sebagai 
PKI saat  itu.  Saya baru kembali memasang nama itu pada 1987. Saya lelah berbohong dan bersembunyi,  katanya.  Sebelum reformasi 1998, anak anak Njoto tak berani membeberkan latar belakang keluarga mereka. Tak sekali pun mereka memakai  nama bapaknya dalam urusan 
administrasi kependudukan. Mereka memakai nama paman atau bibi yang menanggung 
mereka.  Irina mengaku masa masa berpisah dengan keluarga yaitu  masa sulit dalam 
hidupnya. Ia mengingat di masa kecil mesti membantu keluarga pamannya mengurus 
kebutuhan anak kos.  Hampir tak memiliki  kawan sebab  hidup antara rumah dan  sekolah,    
Lulus sekolah menengah atas, Irina kembali ke Jakarta. Awalnya ia bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar swasta. Bekerja hampir tiga tahun , ia dipecat.  Tanpa alasan jelas. Ada kemungkinan sebab  mereka mengetahui  rahasia keluarga kami,  katanya.  Irina diajak bergabung dengan organisasi lembaga swadaya masyarakat di bidang penegakan hak asasi manusia. Dia bekerja berpindah pindah organisasi demi memupuk pengalaman. Namun teman temannya selalu melarang dia turun ke jalan saat 
demonstrasi di masa Orde Baru.  Mereka takut jika pemerintah mengetahui  latar belakang saya, organisasi mereka terancam,  kata nya.  
Soetarni keluar dari penjara pada 1979. Keluarga yang nyaris tak pernah  berhubungan  kembali bersatu oleh kehadiran sang ibu. Svetlana yang sudah bekerja mengajak ibunya tinggal di rumah kontrakan di Jati Pisang, Jakarta Timur. Anak anaknya yang lain dan sudah  menyebar memutuskan tinggal di dekat ibunya di sekitar Jakarta bersama keluarga masing masing.  
Ia tak pernah  menceritakan sejarah Njoto kepada anak anaknya. Ia baru bercerita sesudah  masa reformasi. Namun Irina bisa memahami latar belakang keluarganya berbekal ingatan masa kecil dan pelajaran sejarah.  Fidelia dan Esti, adik Irina, bahkan baru mengetahui  orang tua mereka yang sebetulnya  saat  keduanya duduk di SMA. Esti awalnya mengira sang tante yang merawatnya di 
Yogyakarta yaitu  ibunya. Begitu mengetahui  latar belakang keluarganya, Fidelia tak berani mendaftar menjadi pegawai negeri sipil. Lulus dari sekolah keperawatan, ia batal masuk Departemen Kesehatan.  Soetarni masih terlihat tegar dalam usianya kini, 81 tahun . Rambutnya sebahu, sudah 
seputih asap. Wajahnya yang ramah tak menunjukkan kepedihan. Dia bahkan tak pernah  menangis. Ilham mengingat,  Kami hanya sekali saja melihatnya menangis: saat kehilangan bapaknya. Itu sebelum peristiwa 1965.   DERING telepon terdengar di tengah pesta ulang tahun  Umila, 1 Oktober 1965. Tari, sang ibu, bergegas menyambar telepon itu.  Soetarni ada,   suara di seberang telepon bertanya.  Ada,  Tari menjawab.  Lekas suruh pulang ,  suara di seberang. Itu yaitu  
suara Harto, ipar Tari, yang berpangkat kolonel, memberi perintah.  Soetarni, istri Njoto, kala itu tengah berada di rumah Tari di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Tari, adik Soetarni, tengah menggelar pesta ulang tahun  anak kelimanya, Umila. Soetarni datang bersama keenam anaknya. Njoto saat itu tengah berada di Medan.  Begitu menerima pesan Tari, Soetarni bergegas membawa bawa  anak anaknya pulang  ke 
rumah mereka di Jalan Malang Nomor 22, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sepanjang 
jalan yang mereka lalui suasana tampak lengang tak seperti biasa. Kunli, sopir Soetarni, membisiki majikannya, ada peristiwa penculikan jenderal jenderal yang dikabarkan  didalangi Partai Komunis  Indonesia  .  Esok tengah malam nya, begitu pulang  dari Medan, Njoto langsung mengungsikan keluarganya ke sebuah tempat persembunyian. Dua adiknya, Iramani dan Sri Windarti, yang tinggal bersama mereka selama ini, dipulang kan ke kampung mereka, Surabaya. Sejak tengah malam  2 Oktober itulah keluarga ini tak pernah  lagi menginjakkan kaki mereka di rumah di Jalan Malang itu.  Soetarni mengenang rumah mereka di Jalan Malang itu sebagai rumah yang penuh  kebahagiaan. Bersama Njoto ia tinggal di sana selama 9 tahun . Empat anaknya 
juga lahir di rumah itu.  Rumah itu memiliki  arti penting bagi kami,  kata Soetarni, kini 81 
tahun , kepada Tempo.  Kini, rumah seluas 800 meter persegi itu menjadi wisma para pastor Gereja Santo Ignatius. Sebelumnya, sepeninggal Njoto, rumah itu sempat ditempati penghuni liar, 
sebelum lalu  diambil alih tentara. Pada 1968, seorang pendeta Belanda dari Gereja Santo Ignatius, Pastor Groos, membeli bangunan ini . Sejak itulah rumah ini  mengalami berkali kali renovasi hingga  wajah  aslinya hilang.  Saat dibeli, kondisinya tidak layak ditempati,  kata Subagyo, mantan pengurus wisma itu.  Soetarni sendiri tidak mengetahui  pemilik rumah ini  sebelumnya.  Saya tidak pernah  tanya, bagaimana suami dapat rumah itu,  katanya. Keluarga Njoto pindah ke sana pada 1956. Saat itu Njoto baru memiliki  dua anak, Indah Svetlana Dayani, 3 tahun , dan Ilham 
Dayawan, 1 tahun .  Saat Njoto masuk ke rumah ini , rumah itu masih ditempati seorang guru balet 
Belanda, Ludwieg Willner. Willner tinggal bersama istri dan dua anaknya. Selama setahun , keluarga Njoto hidup serumah dengan orang Belanda itu. Masing masing keluarga menempati satu kamar besar.  Kami hidup akur,  kata Soetarni.  
Kendati serumah dengan guru balet, Svetlana, puri sulung Njoto, tak sempat belajar menari balet. Guru Belanda itu keburu pindah ke Selandia Baru. Sepeninggal keluarga Belanda itu, Njoto lalu merombak ruang dalamnya. Ia menyekat ruang tengah dengan tripleks dan menjadi nya ruang kerja. Di sana ia menyimpan semua buku dan alat 
musiknya, seperti akordeon, piano, saksofon, dan klarinet. Inilah ruang favorit Njoto. Di sini ia sering  menghabiskan waktunya dengan membaca atau bermain musik.  Bapak membuang bosannya di sana,  kata Svet.  Njoto di mata Svet yaitu  ayah yang baik. Tak pernah  marah, apalagi memukul mundur  anak anaknya. berdasar keterangan saksi  Svet, kadang ia dan adik adiknya bermain kuda kudaan dengan ayahnya. Di waktu senggang, Njoto sering  mengajak keluarganya berlibur naik trem. Akhir pekan, kadang keluarga ini piknik  ke pantai.  Svet mengingat, jika tidak sibuk membaca, biasanya ayahnya memainkan alat alat 
musik yang ada di ruang kerjanya. Beragam alat musik itu bisa dimainkan Njoto. Teman 
teman sehobinya dalam soal musik kala itu, antara lain Jack Lesmana, salah satu musisi 
terkenal di republik ini.  Di rumah, saat tak menerima tamu, Njoto biasanya hanya memakai celana pendek, berkaus singlet, atau bersarung. Ia hobi makan camilan tempe goreng. Makanan ini 
juga , dengan segelas teh hangat, yang sering  menemaninya jika berada di ruang kerjanya. Iramani, adik Njoto, mengingat, ia sering  melihat  kakaknya membaca buku 
buku  kiri .  Bukunya banyak,  kata Iramani.  
Rumah ini sering  disambangi dua pemimpin PKI lainnya, D.N. Aidit dan M.H. Lukman. berdasar keterangan saksi  Soetarni, dua orang ini tiga kali sepekan biasanya datang ke rumahnya. 
Bersama dua tamunya itu, Njoto berdiskusi masalah politik.  Suatu saat , Njoto dan istrinya jatuh sakit. Keduanya tergolek di tempat tidur. lalu  
datanglah Aidit dan Lukman menjenguk.  namun  tetap saja mereka bicara politik di kamar 
tidur,  kata Soetarni.   Secuil Asmara Khong Guan Biscuit  tengah malam  sebentar lagi datang menjelang pada pertengahan 1963. Di rumahnya di Jalan Malang, Jakarta, Soetarni, ibu lima anak yang saat  itu berusia 35 tahun , gundah. 
Njoto, sang suami, baru saja tiba dari Moskow, Uni Soviet, sehari sebelumnya. Selintas, 
Njoto bercerita mengenai  penerjemah wanita  bernama Rita yang menemaninya selama di sana.  Saya tidak mengetahui  politik, namun  naluri saya mengatakan sesuatu sedang tumbuh di hati Bapak,  kata wanita  yang kini berusia 81 tahun  itu.  
Njoto, kata Soetarni, memang menceritakan banyak hal mengenai  Rita kepadanya.  Kata 
Bapak, Rita cantik, ramah, dan pintar.  Gadis Rusia itu mahasiswi sastra negara kita  di sebuah universitas di Moskow. Setiap kali Njoto ke sana, Ritalah yang menemaninya. Sebagai Ketua II Comite Central PKI, Njoto memang sering dipekerjakan  berkomunikasi dengan partai komunis internasional di Uni Soviet. Soetarni hanya heran, mengapa  penerjemahnya harus wanita .  Kegundahan Tarni membuncah saat  pada akhir 1964 terbetik kabar suaminya akan 
menikahi Rita. Namun dia tak pernah  menanyakannya langsung ke Njoto. Dia cuma hanya sekedar  membatin,  Apakah Rita hamil,  Atau jangan jangan Bapak dijebak, dipasangi 
wanita  itu untuk tujuan politik. Saat itu PKI sedang krisis,  kata Tarni. Meski hanya dipendam dalam hati, Tarni sudah bertekad, jika benar benar menikahi Rita, ia akan mengusir Njoto dari rumah.  
Apalagi saat itu dia sedang hamil anak keenam, yang kelak diberi nama Fidelia Dayatun.  Apa dia tega meninggalkan anak anaknya yang masih kecil,   kata Tarni. Fidelia, yang diilhami nama pemimpin Kuba Fidel Castro, lahir sebelum pecah peristiwa 30 September 1965. Pada akhirnya kabar itu memang tak menjadi fakta . Njoto 
tetap menjadi suami Soetarni.  sesudah  peristiwa itu, Tarni masih melahirkan putri ketu juhnya di dalam penjara. Si bungsu dengan nama panggilan Butet itu langsung diadopsi adik Njoto, Sri Windarti. Hal itu dilakukan sebab  Soetarni dan anak anaknya dipenjara rezim Orde Baru di bawah 
kekuasaan Soeharto. Fidelia dan Butet tak pernah  melihat wajah ayahnya.  Siapa sejatinya Rita,  Joesoef Isak, wartawan yang dekat dengan Njoto, mengisahkan peristiwa yang dia pendam puluhan tahun  itu.  Bung Njoto manusia biasa, bisa 
mencintai Bu Tarni sekaligus jatuh cinta pada Rita,  kata Joesoef di kantor Tempo, di hadapan istri Njoto, 14 Agustus 2009, sehari sebelum Joesoef wafat. Berkali kali Joesoef mohon maaf kepada Tarni, selama ini ia memendam kisah itu.  Saya mohon Njoto dilihat sebagai manusia biasa. Jangan kaitkan dengan PKI, entah agamanya apa,  tutur Joesoef, bercucuran air mata.  berdasar keterangan saksi  Joesoef, hubungan asmara Njoto Rita bisa menjelaskan salah kaprah 
keterlibatan Njoto dalam peristiwa 30 September 1965. Juga bisa meluruskan kabar mengenai  kerasnya konflik Aidit dan Njoto.  Aidit diberkata  komunis pro Peking, Njoto pro Moskow,  kata Joesoef.  Itu omong kosong. Njoto mengagumi Aidit dan Aidit mencintai Njoto sampai saat terakhir.   Namun kedekatan kedua elite PKI itu toh tak bisa menghalangi pencopotan semua jabatan Njoto dalam sidang Politbiro 1964. Njoto dianggap bersalah menjalin asmara dengan Rita dan hendak menceraikan istrinya. Aidit berniat menuntaskan skandal Rita ke Moskow. Sayang, niat belum kesampaian, peristiwa 30 September 1965 pecah.  Atas izin Bu Tarni, saya berikan kesaksian ini,  kata Joesoef.  Joesoef, yang mengenal Rita, mengatakan,  Pandangan subyektif saya, Bu Tarni lebih cantik. namun  Rita wanita intelek bagi Njoto.  Joesoef menggambarkan Rita sebagai gadis  jinak jinak merpati. Enak diajak ngobrol, juga tak menampik diajak ke tempat tidur. 
Belakangan diketahui  Rita bukan hanya melayani Njoto. wanita  berambut pirang itu sering  tidur dengan banyak mahasiswa asal negara kita  lainnya.  Perilaku binal Rita itu tak diketahui  Njoto.
Rita sendiri tak pernah  sekali pun ke Jakarta. namun  ia fasih berbahasa negara kita , bahkan 
dengan memakai  logat Betawi. Kadang mendadak berbahasa Jawa.  Pertemuan 
Njoto Rita selalu dilakukan di Moskow,  kata Joesoef.  Kebinalan Rita itulah yang memicu  hubungan Njoto dan gadis itu terendus petinggi 
Politbiro PKI di Jakarta. Para Mahasiswa Indonesia   bebas keluar masuk kamar Rita. 
Mereka sesukanya membuka laci, hingga menemukan surat surat cinta Njoto.  Surat 
surat itu lalu dikirim ke negara kita , diperbincangkan berbagai kalangan,  kata Joesoef.
Sumber Tempo yang sempat dibuang ke pulau  Buru oleh rezim Soeharto percaya , Rita 
agen  Khong Guan Biscuit , kata sandi untuk menyebut KGB, dinas rahasia Uni Soviet. 
Di negerinya, Rita ke mana mana suka pakai baju batik dengan rok.  sering  tak pakai 
celana dalam.  Di mata para Mahasiswa Indonesia  , Rita sangat menarik meskipun tak 
begitu cantik.  Saat itu jarang orang negara kita  pacaran dengan bule. Tentu saja Rita 
menjadi idola.   Rita menjadi penerjemah pejabat negara kita  dan mahasiswa yang berkunjung ke Uni Soviet sejak awal 1960 an.  Pertautan cinta Njoto Rita terjadi pada awal 1963, berlanjut 
melalui surat menyurat,  kata sang sumber. Kepercaya an Rita agen KGB juga dari analisa  
situasi saat itu. Siapa pun yang berkunjung ke negeri komunis, pasti didampingi intelijen. 
 jika  ke Uni Soviet, pasti didampingi KGB,  katanya.  Dia menduga, surat cinta Njoto sengaja disebarkan Rita kepada para mahasiswa 
negara kita  agar sampai ke tangan Aidit.  Saya termasuk yang ditawari membaca surat 
cinta Njoto yang sudah digandakan dan disebarluaskan, namun  saya tolak sebab  itu 
privasi orang.   Terpuruknya Njoto dipercaya  akibat hubungan asmaranya dengan Rita. namun  situasi partai komunis di berbagai negara saat itu sedang krisis. Sikap PKI dianggap tak jelas, ikut 
poros Peking atau Moskow. Juga konflik antara PKI dan Angkatan Darat, konflik PKI dan 
komunis internasional, dan  konflik Presiden Soekarno Angkatan Darat.  Kondisinya 
sangat gawat. Skandal Njoto Rita turut memperparah,  kata dia.  Iramani, adik Njoto, membenarkan keributan skandal itu. namun  dia baru mengetahui  belakangan dari koran terbitan tahun  1965 1966.  Disebutkan, Bung Njoto memiliki  gendak (wanita  simpanan),  kata Iramani.  Katanya mahasiswi sastra negara kita , 
penerjemah tamu negara kita  di Uni Soviet.   
Namun, bagi Tarni, kesetiaan Njoto sudah  teruji. Apa pun kata orang mengenai  elegi cinta 
Njoto Rita, baginya itu hanyalah dongeng. Pada masa kelam, saat  dia dipenjara selama 11 tahun , tercerai berai, berpisah dengan suami dan anak anak yang tak tentu rimbanya, dia percaya  Njoto yaitu  kekasihnya yang dahulu . Njoto tetaplah laki laki  pemujanya, yang mengiriminya berlaksa laksa surat hingga mereka menikah dan dikaruniai tujuh anak.  Tarni mengenang, dalam su ratnya saat  mereka berpacaran, Njoto berjanji akan 
menjadi suami dan bapak yang baik.  Janji itu sudah  ditepatinya hingga dia diambil paksa 
kekuasaan, yang tak mengetahui  kasih sayang bapak kepada anaknya dan cinta suami kepada 
istrinya.   cincin emas itu masih melingkar di jari manisnya yang sudah  keriput. Di sisi dalam 
lingkaran terukir nama sang pemilik, Soetarni, dalam huruf italik. Inilah satu satunya tanda cinta Njoto yang tetap menemaninya lebih dari setengah abad.  Njoto memberikan cincin tiga gram itu kepada Soetarni sebagai maskawin dalam perhelatan di Solo pada Mei 1955.  Selain cincin, tak ada lagi yang tersisa,  kata Soetarni di Jakarta tiga pekan lalu. Di usianya yang senja, ningrat Mangkunegaran itu masih cukup   jernih menuturkan masa lalunya.  Soetarni mengenal salah satu pemimpin Partai Komunis  Indonesia   itu sepuluh tahun  sebelum perkawinannya. saat  itu ia siswa Sekolah Susteran, seperti  sekolah 
kepandaian putri setingkat SMP di Mangkunegaran, Solo. Di antara teman 
seangkatannya ada Sri Windarti, adik Njoto.  
Satu hari, Windarti dan Njoto yang tinggal di Kemlayan, tak jauh dari Keraton Mangkunegaran, bersepeda ke Desa Palur, sekitar 10 kilometer di timur Solo. Ayah mereka menyuruh mengantar surat ke rekan bisnisnya, Nyai Nami Kesuma Darmojo. sesudah  menjalankan misi , kakak adik itu mampir ke rumah Widna Harjono, seorang 
kerabat di Palur.  Pada waktu bersamaan, Soetarni dan adiknya, Soetarti, juga bertandang ke rumah  Widna. Mereka akhirnya kumpul bareng di gubuk belakang rumah. Disuguhi rujak dan 
hamparan sawah nan luas, obrolan mengalir renyah. Widna sempat meledek bahwa 
Soetarnilah jodoh Njoto.  Eh, beneran,  kata Soetarni.  Pertemuan Palur berlanjut. Bila ada waktu senggang, Windarti bertamu ke rumah 
Soetarni di depan Stasiun Solo Balapan. Pun sebaliknya. Bila main ke Kemalayan, wanita  kelahiran 10 Juni 1928 itu sering  melihat  Njoto tengah bermain musik. Ia  bisa memainkan gitar, juga drum.  Walau jarang bertemu, kata Soetarni, Njoto sering bersikap sok akrab. Kadang usilnya keluar, sebuah cubitan sering  mendarat di kulit Soetarni.  Biar dikejar,  katanya dengan 
tawa berderai. Bila tak sempat tatap muka, pemuda itu sesekali berkirim surat, tanda 
hati rindu berat.  Saat saat berbunga itu tak lama. saat  pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta pada awal 1946, Njoto juga hijrah ke kota pendidikan itu sesudah  masuk Komite Nasional 
negara kita  Pusat. Sejak itu, tak ada surat ataupun selentingan kabar mengenai  Njoto.  
Kisah dua sejoli ini berjalan sendiri sendiri. Selain sekolah, Soetarni aktif di tim olahraga Solo. Ia mewakili kota batik itu dalam pekan olahraga nasional untuk ckakak  bola keranjang, olahraga seperti  basket. Raden ajeng itu sempat beralih menjadi atlet anggar. Keterampilan ini ia peroleh dari ayahnya, Raden Mas Sumo Sutargio.  
Dalam periode itu, Soetarni sempat dekat dengan seorang tentara. Namun hubungan itu 
tak sempat beranjak ke pelaminan.  berdasar keterangan saksi  Soetarni, Njoto yang sudah aktif di PKI sempat menjalin asmara dengan 
beberapa gadis. sesudah  tragedi Madiun 1948, Njoto pindah ke Jakarta. Di sana ia tinggal bersama keluarga Cina. Njoto jadi anak kesayangan dan memperoleh  nama fam 
keluarga itu. Anak gadisnya juga jatuh hati. Sekali dua mereka nonton film bareng.  Di Jember, Jawa Timur, Njoto juga memiliki  tambatan hati. Namun, sebab  lama tak ada kejelasan, ibu si gadis meminta hubungan keduanya disudahi. Ia memberikan ultimatum, bila dalam satu bulan Njoto tak juga mengajukan pinangan, anaknya akan dikawinkan dengan laki-laki  lain. Kekasih Jembernya itu menemui Njoto di Yogyakarta, dan 
ia dipersilakan mengikuti kehendak ibunya.  
Berbarengan dengan itu, Njoto terus bergelut di partai, bergerak dari Jakarta ke Yogyakarta atau kota yang lain. Pada awal 1955, ia meninggalkan Batavia menuju Jember memakai  kereta api untuk menengok kakeknya yang sakit. Dia 
menyempatkan diri singgah di Solo barang seharmal.  Sepucuk surat ia berikan kepada Iramani. Adik bungsunya itu memperoleh  misi  
menyampaikannya ke Soetarni. Di pekarang rumah, ia melihat  Soetarni sedang 
menyapu halaman. Wajahnya merona begitu membaca surat yang berlembar lembar 
itu.  Melalui surat yang panjang tadi, Njoto meminang Soetarni. Gadis itu tak kuasa menolak 
permintaan mantan kekasihnya. Deretan kata kata dalam lembaran kertas ini  memicu nya takluk. Di antaranya ada janji setia sehidup semati.  Juga, janji menjadi suami yang baik,  kata Soetarni.  
Hasrat berumah tangga itu diutarakan Njoto ke Windarti seusai Kongres Partai Komunis 
di Solo. Dalam santap tengah malam  yang ditemani Mula Naibaho, teman temanya  di Harian Rakjat, Njoto mengatakan akan melamar seorang raden ajeng.  Tak mengira sama teman 
saya,  kata Windarti.  Tak berselang lama, datanglah keluarga Jember. Di antaranya ada Masalmah, ibu Njoto, dan  kakeknya. Rombongan itu menginap di rumah Soetarminah, kakak Soetarni, yang juga tak jauh dari Stasiun Solo Balapan.  Acaranya tengah malam ,  kata Iramani.  
Sebulan lalu , pesta digelar. Hampir semua kerabat Mangkunegaran hadir pula . Raden 
Mas Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti, orang tua Siti Hartinah Soeharto, menjadi pendamping kedua mempelai dalam resepsi adat Jawa itu. berdasar keterangan saksi  Iramani, 
kendurian itu menjadi spesial lantaran tamu undangan dihibur band teman teman Njoto.  
Pesta syukuran kembali digelar di Jember. sesudah  itu, keduanya berbulan madu ke 
Surabaya, Bondowoso, lalu Bali. Sebulan lebih bertamasya, mereka lalu  tinggal di Jakarta.  
Rumah di Jalan Bluntas, Jakarta Pusat belakang Rumah Sakit St. Carolus menjadi rumah  pertama. Dua anaknya lahir di sini. sesudah  Njoto menjabat menteri negara dan Wakil Ketua Comite Central PKI, mereka pindah ke Jalan Malang 22, Menteng. Di sini mereka kembali dikarunai lima anak.  Soetarni merasa janji Njoto menjadi suami yang baik terpenuhi. Walau sibuk mengurus 
partai dan pemerintahan, perhatian Njoto tak berkurang. Kadang, pekerjaan dibawa pulang  agar berkumpul dengan keluarga. Bila capai, ada saja idenya. Ia sering mengajak jalan jalan sekadar mencari rujak atau jajanan lain. Jika sopir kedapatan sedang istirahat, mereka naik becak.  Bapak tak bisa nyopir,  kata Svetlana Dayani, 
anak pertama Njoto.  Gaya supel nan rame Njotolah yang memicu  istrinya nyaman. Sebagai seniman, sikap romantis suaminya pun sering  muncul, yang memicu  Soetarni serasa terbang.  Wah, manis sekali memakai baju ini,  kata Iramani mengingat puji puji kakaknya. Bila tidak 
cocok, Njoto mengatakan dengan pilihan kata yang tetap indah.  Njoto juga tak segan mengajak istrinya menghadiri  kegiatan kenegaraan atau acara informal  lain, seperti melihat pertunjukan wayang atau ludruk. Sesekali mereka ke 
Senayan melihat  pertandingan sepak bola.  
Soetarni juga bebas beraktivitas. Dia masih sering  bermain anggar. Sesekali ikut menceburkan diri ke kolam sambil,  menemani anak anaknya kursus renang. Namun, status sebagai atlet ia tinggalkan. Ia memilih membesarkan buah hatinya.  
berdasar keterangan saksi  Soetarni, suaminya juga pendongeng unggul. Kancil menjadi cerita favorit pengantar tidur anak anaknya.  namun  sering ngawur, cerita mencong mencong, bikin 
sendiri,  katanya. Bila turut ketiduran, Njoto suka mengigau. Kadang sampai tepuk tangan.  jika  saya ceritakan, dia tak percaya.   Namun semua kebahagiaan itu direnggut sesudah  30 September 1965. Sebagai petinggi PKI, Njoto diburu tentara. Sebelum menghilang, Njoto mengungsikan keluarganya ke daerah Kebayoran Baru. Nyatanya, Soetarni dan anak anaknya juga dijebloskan ke 
penjara.  Selama sebelas tahun  Soetarni berada di balik jeruji. Ia dipindah berkali kali, dari 
penjara Wonogiri dan Plantungan di Jawa Tengah, hingga Bukit Duri, Jakarta. Di sel sel itu, sipir selalu menanyakan Njoto.  Justru saya yang mau tanya di mana suami saya,  jawab Soetarni. Ia baru bebas pada 1979.  Walau sebagian hidupnya habis di balik jeruji penjara, Soetarni tak pernah  menyesal menjadi istri Njoto. Ia tak menyalahkan suaminya sebab  masuk PKI. Penjara tak 
melunturkan cintanya. Hanya, selain cincin emas itu, kini tak ada lagi barang kenangan Njoto. Satu per satu hilang atau sengaja dilenyapkan untuk menghindari pengejaran tentara.  jarak yogyakarta Solo dilipat oleh Njoto dengan surat surat panjang, lengkap dengan berbaris baris puisi cintanya. Surat itu sering dikirimnya ke Soetarni, wanita  
keturunan ningrat Keraton Surakarta, yang bermukim di Solo, pada 1950 an.   Itu surat atau koran,   kata ayah Soetarni kala itu. Surat Njoto panjang panjang, bahkan berdasar keterangan saksi  Soetarni, kini 81 tahun , sampai puluhan halaman. Dari lembar lembar itu lahirlah rasa tertarik yang pada akhirnya memicu  dia menerima pinangan pemuda yang lalu  menjadi satu dari tiga serangkai tokoh Partai Komunis  Indonesia   itu. Sayang, surat surat cinta itu turut musnah bersamaan dengan pecahnya peristiwa 30 September 1965 dan kocar kacirnya keluarga Njoto.  Njoto dinamakan politikus yang memiliki minat besar terhadap kesenian, sastra, dan musik.  Dalam hal seni dan budaya, Njoto sangat kental. Setiap terbit buku baru, dia  pasti mencarinya. Dan, dia tidak pernah tidak membaca majalah kebudayaan yang baru terbit,  kata Trikoyo, alumnus sekolah perwira angkatan darat Jepang yang turut membantu Njoto dan Dipa Nusantara Aidit menerbitkan Harian Rakjat dan Bintang 
Merah.  Trikoyo yaitu  putra Kiai Anom Dardiri Suromidjoyo, pemimpin Pondok Pesantren 
Naqsabandiyah di Kutoarjo, Jawa Tengah, yang dibuang pemerintah kolonial Belanda 
ke Boven Digul, Papua, pada 1926. Trikoyo, kini berusia 84 tahun , pernah  10 tahun  mendekam di kamp tahanan pulau  Buru di masa Orde Baru.  
Penulis cerita pendek ini sering mengobrol dengan Njoto, meski ia sudah tak ingat apa saja yang dibicarakannya. Ia cuma hanya sekedar  tak bisa melupakan minat sastra Njoto yang terbentang luas: dari buku karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky, hingga penulis yang ideologinya berseberangan.  Dia juga suka karya H.B. Jassin. Dia juga tidak meremehkan dan selalu memuji tulisan Hamka,  katanya.  
Svetlana Dayani, anak tertua Njoto, bercerita bahwa susunan koleksi buku ayahnya 
sampai ke langit langit ruang kerjanya. Di rumah mereka di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat, ia sering melihat sang ayah memakai  tangga untuk mencapai buku di rak tertinggi.  Bahkan dia suka langsung membacanya di tangga itu,  kata Svetlana, yang baru berusia 9 tahun  saat  kerusuhan politik pecah pada 1965.  Njoto banyak membaca, rajin menulis. jika  memperoleh  ide, kata Trikoyo, ia biasanya langsung menuangkannya lewat mesin ketik, dengan  jurus 11 jari  alias hanya dengan telunjuk kiri dan kanan. Bila dalam perjalanan menulis itu muncul ide lain, dia akan mencabut kertas itu dan menggantinya dengan yang baru.  Tulisan sebelumnya tidak 
dia buang, namun  nanti dia lanjutkan,  katanya.  
Njoto suka memakai  nama pena Iramani dalam tulisannya. Iramani yaitu  adik bungsu Njoto. beberapa  puisi karya Njoto muncul dengan nama Iramani di Harian Rakjat, media resmi Partai Komunis  Indonesia   yang berkantor di Pintu Besar 93, Jakarta. Koran itu dipimpin Mula Naibaho, Njoto, dan Supeno. Itulah koran politik 
terbesar dengan oplah mencapai 23 ribu eksemplar pada 1950 1965.  September tahun  lalu, sembilan puisi Njoto yang pernah  muncul di harian itu diterbitkan kembali dalam sebuah buku. Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950 1965, buku puisi yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan 
itu, berisi puisi Njoto berjudul  tahun  Baru ,  Catatan Peking ,  Jangtoe ,  Shanghai ,  Merah Kesumba ,  Variasi Haiku ,  Variasi Cak , dan  Pertemuan di Paris . Lima dari puisi itu mengangkat soal Cina dan ditulis dari negeri itu. Puisi  Jangtoe  di bawah ini, contohnya , ditulis di Cungking Wunan pada 14 Oktober 1959:  
Jangse mengalir  Kepalku menghilir  Dari Cangking ke Wuhan  Kujelajahi haridepan  
Kujelajahi hari depan Itulah jenis puisi yang, berdasar keterangan saksi  Amarzan Ismail Hamid, redaktur Harian Rakjat Minggu saat itu, lahir dari kekaguman. Kala itu orang negara kita  sulit sekali pergi ke luar negeri, namun  orang  PKI agak gampang sebab  sering diundang pemerintah Cina atau Rusia. Harian Rakjat Minggu diasuh oleh Amarzan, Njoto, Banda Harahap, Basuki Resobowo, Zubir A.A., dan Bambang Sukawati Dewantara. Nama yang terakhir yaitu  putra bungsu Ki Hajar Dewantara.  Meski Njoto yaitu  pemimpin redaksi harian itu, dia tampaknya sangat sibuk mengurusi politik, sehingga jarang muncul di kantor redaksi. Salah seorang redaktur pernah  berkata, selama dua tahun  dia bekerja di sana, Njoto hanya muncul sepuluh kali. Meski begitu, berdasar keterangan saksi  Svetlana dan Iramani, Njoto sering mengajak mereka ke kantor Harian Rakjat untuk melihat proses pencetakan medianya.  jika  tengah malam , pukul 9 sampai pukul 11 berada di kantor Harian Rakjat,  kata Iramani.  Njoto suka berbicara mengenai  sastra namun  tak terlalu serius.  contohnya  ada cerita pendek Rusia yang baru terbit, dia ngomong sebentar, tidak sampai mendalam,  kata Amarzan, yang baru berusia 22 tahun  saat  bergabung di media itu pada Juni 1963.  Harian Rakjat edisi Minggu itu secara rutin memuat sebuah cerita pendek dan beberapa puisi, hasil seleksi kiriman para pengarang kiri dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Dalam seminggu rata rata ada lima pengirim cerita pendek dan 40 pengirim puisi. Setiap orang biasanya mengirim tiga puisi atau lebih, meski sesekali ada yang bahkan mengirim 20 puisi.  Pada masa itu puisi tumbuh subur di Jakarta. Penyair papan atas kala itu termasuk Banda Harahap, Sitor Situmorang, dan Agam Wispi dari kelompok kiri. Di luar itu ada juga  Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Arifin C. Noer, Hartoyo Andangjaya, dan Budiman S. Hartoyo. Amarzan sendiri, dalam buku Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts, disebut sebagai penyair Lekra yang paling penting.  Para penyair kiri umumnya mengirim puisi ke Harian Rakjat Minggu, meski bila dimuat mereka tak memperoleh  honor. Koran setebal empat halaman itu seakan menjadi standar dalam sastra. Puisi yang dimuat biasanya memenuhi dua aspek istilah mereka, dua tinggi yaitu tinggi ideologinya dan tinggi estetikanya. Di antara karya penyair Lekra, puisi Njoto tidak boleh dikata   bagus, meski bukan puisi yang buruk. Kualitasnya rata rata.  Sebagian besar puisi karya penyair Lekra itu berupa propaganda, slogan, atau yang  disebut sajak poster. Kebanyakan, aspek ideologi dalam sajak mereka, kata Amarzan, masih mentah, asal menyerang tuan tanah, kapitalis birokrat, atau Amerika.  Sajak sajak Njoto itu tinggi ideologi, namun  tidak berkibar kibar. jika  dibuat pemeringkatan di Lekra, dia pasti tidak masuk peringkat satu. Saya kira paling tinggi peringkat dua,  katanya.  Namun puisi Njoto lebih baik dibandingkan  sajak Aidit.  Sajak Aidit itu jelek benar, sajak sajak maksa,  kata sosok yang pernah  memicu  marah Aidit sebab  menolak memuat puisi karya pimpinan tertinggi PKI itu.  Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit, menilai Njoto benar benar menguasai bidang yang digelutinya, termasuk sastra, terutama esai.  Hal itu bukan otomatis begitu saja, namun  Njoto yaitu  juga seorang otodidak besar yang memiliki  banyak perhatian dan banyak studi, termasuk di bidang sastra. Dia menguasai sebab  dia juga banyak studi, banyak membaca, dan dia memiliki  otak yang cerdas dan  apresiasi sastra yang tinggi,  katanya melalui surat elektronik.  Aroma pamflet memang terasa dalam puisi seperti  Catatan Peking  ini:  Alangkah hebat   di hati alangkah dekat!  kaum tani mengolah besi   kaum buruh di sawah berpeluh  bajak dan baja tukar bertukar  
mahasiswa pada pekerja  kaum pekerja menjadi siswa  berjuta milisia angkut senjata   siapa berani serang Sosialisme,  Njoto yaitu  orang yang menyusun piagam Lekra dan memperkenalkan slogan  politik  sebagai panglima .  Tanpa politik sebagai panglima, perkembangan kebudayaan biasanya  dan sastra pada khususnya tidak bakal mengetahui  misi  dan garis yang harus ditempuh, bisa terjadi demam kegiatan, namun  fakta nya akan merupakan pergerakan  tanpa kemajuan,  kata dia di hadapan Anggota   Kongres Nasional Lekra pada 1951.  Namun, seperti kata Asahan, estetika Njoto tidak berhenti pada estetika pamflet atau pernyataan. Dia sudah  melampaui batas batas yang dikurung oleh Lekra sendiri.  Njoto yaitu  Lekra modern yang lebih universil di bidang kebudayaan, termasuk sastra. Sastra Njoto lebih demokratis dan lebih estetis dan  lebih universil,  katanya. Hal ini tampak dalam sikap Njoto dalam tuduhan plagiarisme terhadap Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Hamka. Njoto yaitu  orang yang menyarankan agar Lekra tidak  menghancurkan  Hamka.  sidang otokritik di kantor Harian Rakjat itu masih lekat di ingatan Amarzan Ismail Hamid. Kala itu dia harus menghadapi seluruh jajaran redaksi lantaran menyalahi aturan kantor sebab  melampaui batas cuti untuk pulang  ke Medan pada September 1964. Cuti yang diajukan dua minggu diatasi nya hingga dua bulan.  Saya harus mengakui kesalahan,  kata mantan wartawan Harian Rakjat itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.  Toh, Pemimpin Redaksi Njoto tak peduli terhadap sidang yang baru dijalani Amarzan. Dia malah mengirim Amarzan ke Tiongkok untuk memenuhi undangan liputan Perayaan 15 tahun  Republik Rakyat Cina.  jika  dia (Njoto) sudah sayang, aturan bisa dilangkahi,  kata Amarzan.  Padahal delegasi yang dikirim ke Tiongkok bukanlah delegasi biasa sebab  inilah delegasi pertama dan terakhir dari Harian Rakjat. Mereka yang berangkat menghadiri  perayaan itu merupakan orang  terpilih, seperti Wakil Ketua Harian Rakjat M. Naibaho, Redaktur Luar Negeri Juliarso, Redaktur Dalam Negeri Samtiar, dan Redaktur Olahraga Baroto.  Dia memang orang yang pilih kasih,  kata Amarzan.  saat  digelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo) ajang olahraga tandingan Olimpiade ciptaan Presiden Soekarno redaksi membentuk tim untuk meliputnya. Ternyata yang meliput harus mengenakan dasi dan jas. Tak ada yang memiliki  dasi. Walhasil, redaksi meminta Njoto meminjamkan dasinya. Tak berapa lama datanglah Hardono, pengawal Njoto, yang menyerahkan beberapa dasi kepada tim redaksi. Tiba tiba Hardono memanggil Amarzan dan memberinya satu ikat dasi.  Untuk Bung,  kata Ardono,  khusus dipilih Bung Njoto.  Dasi itu buatan Italia, sedang  yang lain bermerek Shanghai.  Yang seperti saputangan,  kata Amarzan tertawa.  Perlakuan istimewa juga pernah  dirasakan Umar Said. saat  menjadi wartawan Harian Rakjat, dia pernah  ditawari Njoto untuk memimpin sebuah surat kabar di Padang, Sumatera Barat, pada 1956. saat  itu sedang terjadi ketegangan politik menentang 
berbagai kebijakan pemerintah pusat hingga memunculkan suara suara anti Bung Karno dan anti Partai Komunis  Indonesia  .  Padahal pengalaman saya menjadi wartawan baru lima tahun ,  kata Umar, yang saat itu berusia 26 tahun  dan belum  menikah.   berdasar keterangan saksi  mantan Pemimpin Harian Ekonomi Nasional ini, tak mudah  memasuki  daerah Minangkabau, sebab  sebelumnya dia bekerja di Harian Rakjat, organ sentral PKI. Ditambah lagi dia berasal dari Jawa Timur, yang merupakan  orang luar  bagi masyarakat Minang. Rupanya Njoto sudah mengantisipasi kekhawatiran Umar. Dia  menyarankan Umar bertemu dengan Bachtarudin, anggota Comite Central PKI yang terkenal di Sumatera Barat sebab  perjuangannya di zaman revolusi 1945. sebab   nasihat itu, Umar dapat memimpin Harian Penerangan sampai 1960.  Sikap pilih kasih, berdasar keterangan saksi  Amarzan, menjadi salah satu kelemahan Njoto.  Ini  memicu  iri hati,  katanya.  namun  saya tidak mengetahui  adakah orang yang dia benci,   katanya. Namun, berdasar keterangan saksi  Jane Luyke, tidak ada masalah dengan sikap Njoto yang pilih  kasih ini.  jika  soal pilih pilih teman, bukan Njoto saja,  kata  istri Oey Hay Djoen ini.  Kita juga begitu (pilih pilih teman).   
Bagi Jane, mengenal Njoto memicu  sebuah kekaguman tersendiri.  Dia itu  serbabisa dan serba mengetahui ,  katanya. Senada dengan Jane, orang  yang pernah  dekat dengan Njoto, seperti Amarzan, Umar Said, Joesoef Isak, dan Oey Hay 
Djoen, juga menangkap kesan yang sama. Buat mereka, Njoto ahli di berbagai bidang,  mulai urusan politik, seni, olahraga, hingga tempat tempat yang menyajikan makanan  lezat.  
Nama Njoto, berdasar keterangan saksi  Amarzan, tidak mencerminkan penampilannya. Mulanya, Amarzan tak percaya bahwa Njoto yaitu  orang yang pintar.  Soalnya, ini nama Jawa yang paling 
jelek,  katanya. Foto Njoto saat  itu, berdasar keterangan saksi  dia, juga tak menggambarkan orang yang camera face. Ternyata, sesudah  bertemu langsung dengan Njoto pada 1962 dalam 
Konferensi Nasional Lekra di Bali, barulah Amarzan mengaguminya.  Ternyata orangnya mengetahui  banyak hal,  katanya.  Dan lebih ganteng dari fotonya.   Tak hanya berpengetahuan  luas, bagi Joesoef Isak, prestasi Njoto pun sangat 
mengagumkan. Kepiawaiannya di bidang politik sudah tecermin sejak muda. contohnya , 
saat  masih berusia 16 tahun , Njoto sudah bergabung dengan Komite Nasional  negara kita  Pusat. Di usia itu juga  dia didapuk menjadi Ketua Fraksi PKI di parlemen. Padahal syarat menjadi ketua fraksi minimal berusia 18 tahun .  Dia itu jenius,  kata  pendiri penerbit Hasta Mitra itu.  
Joesoef menyayangkan cerita mengenai  Njoto yang simpang siur sesudah  1965.  Jangan 
gambarkan Njoto itu PKI yang keras kepala dan doktriner,  kata  Joesoef.  Dia sangat manusiawi sekali.   Joesoef mencontohkan, sebelum 1965, semua orang berebut kuota naik haji sebab  saat  itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekkah, walau memiliki  uang. Teman Joesoef, Tom Anwar, wartawan Bintang Timur,mengatakan ibunya yang berusia 60 tahun  ingin naik haji namun  tak juga dapat. Tanpa sengaja Tom menyampaikan keluh kesahnya kepada Njoto. Njoto lalu  mengusahakan satu jatah untuk ibu Tom. Berkat usaha  Njoto, ibunda Tom bisa naik haji.  Hal senada juga dikatakan Amarzan. berdasar keterangan saksi  dia, Njoto seperti bukan orang PKI.  sebab  hidupnya borjuis,  kata nya. sedang  anggota PKI kebanyakan yaitu  
puritan, contohnya  tidak minum Bir dan tidak pacaran.  Dia merepresentasikan PKI yang 
sama sekali berbeda,  katanya.  Pada saat tulisan Joesoef mengenai  Mozart memperoleh  pujian Njoto, Joesoef lalu  berniat mengetes pengetahuan  Njoto mengenai  musik. saat  mereka bertemu dalam sebuah resepsi di Kedutaan Ceko, Joesoef banyak bertanya kepada Njoto mengenai  Mozart.  Dia menjelaskan kepada saya jauh dari pengetahuan  saya,  kata Joesoef kagum.  Dia betul betul mengerti soal musik.   Bukan saja mengetahui  banyak hal mengenai  syair dan komponis, Njoto piawai juga  memainkan alat musik. Joesoef mengatakan, saat  mereka masuk ke sebuah toko musik di Amsterdam, Belanda, ada penemuan baru berupa saksofon pada 1965. Njoto 
lalu  meminjam ritme kepada seorang penjaga toko dan memainkan saksofon itu. Di tempat yang sama, Njoto memainkan lagu keroncong dengan gitar listrik.  Penjaga dan pengunjung toko terdiam melihat dia main,  kata Joesoef.  berdasar keterangan saksi  Joesoef, Njoto orang yang suka humor. contohnya , saat  mampir di sebuah toko 
buku di Amsterdam, Njoto memilih membeli tiga buku lelucon miring yang setengah porno. lalu  dia membagikan buku itu,  Ini satu untuk Bung, satu untuk saya, dan satu untuk sukarno .  Perbedaan sikap Njoto dengan anggota PKI lainnya diakui Jane. Sementara aktivis partai yang lain sibuk rapat dan meninggalkan istri dan  anaknya di rumah, Njoto malah sering membawa bawa  istri dan anaknya ke mana mana, contohnya  saat  Njoto mengikuti diskusi atau melihat latihan drama di pusat kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta Pusat.  agar   setengah rekreasi,  kata Jane menirukan 
ucapan Njoto. Setiap Ahad, Njoto sering mengajak keluarganya rekreasi ke Puncak, Jawa Barat.  Sepulang  dari jalan jalan, dia bawa oleh oleh sayur sayuran,  kata Jane mengenang. Saking seringnya berekreasi, berdasar keterangan saksi  dia, Njoto dijuluki Orang Kaya Baru.  namun  apakah orang PKI tidak boleh jalan jalan ke Puncak,   Jane balik bertanya.  Jasa Njoto juga sangat terasa bagi suami Jane, Oey Hay Djoen.  Aku dipungut lagi oleh Njoto,  kata Oey dalam video essay Mengenang Oey Hay Djoen, Juli 2008. Pada saat itu Oey kehilangan arah sebab  ditinggalkan teman temannya lantaran baru dibebaskan dari penjara Lowok Waru, Malang, 1947. Dia ditahan Belanda sebab  dianggap 
ekstremis.  Njotolah yang membesarkan Oey,  kata Jane. Njoto mengajak Oey menjadi pengurus Lekra dan anggota parlemen.  Njoto memberikan tempat bagi Oey untuk berkarya,  kata  Jane.  
Selain piawai di bidang politik, seni, dan olahraga, Njoto paham betul soal makanan. Tak hanya rasa, dia mengetahui  di mana dan kapan tepatnya menyantap makanan tertentu. Njoto sering mengajak teman temannya makan ayam goreng di Jalan Blora, bubur ayam di Senen, nasi gulai kambing di Jalan Gondangdia Lama, dan bakmi di Jalan Krekot, Jakarta Pusat. Adapun tempat makan yang dipilih Njoto untuk tamu resmi, yaitu  Restoran Red Table di kawasan Glodok, Jakarta Barat.  pernah  satu kali Amarzan makan bersama Njoto di sebuah restoran di Jalan Pintu Besi, Jakarta Pusat. Di situ, mereka memesan menu merpati goreng. Sambil menunggu pesanan, Njoto menjawil Amarzan dan mengatakan bahwa makan merpati itu paling enak di Shanghai.  Saya tidak mengetahui , saya tidak pernah ke Shanghai,  jawab Amarzan. Mendengar itu, dengan enteng Njoto berkata,  jika  begitu, besok kau pergi ke Shanghai.  Adapun menu sup burung merpati, berdasar keterangan saksi  Njoto, tidak cocok disantap pada siang hari.  Sup itu cocok untuk makan tengah malam , sebelum hidangan pokok,  kata Njoto.   Sjam Kamaruzaman, Anak Tuban dalam Halimun G30S  Ia datang bagai hantu: tiba tiba, tak tentu asal. Sjam Kamaruzaman: tak banyak orang mengenal nama itu. Dua tahun  sesudah  aksi berdarah pergerakan  30 September, ia baru muncul di depan publik. saat  itu, Juli 1967, ia menjadi saksi dalam pengadilan Sudisman, Sekretaris Jenderal Partai Komunis  Indonesia  .  
Sebelumnya ia hanya bayang dalam halimun: keberadaannya setengah dipercaya, setengah tidak. Biro khusus sentral , badan rahasia PKI yang dipimpinnya, semula diduga hanya khayalan tentara untuk memudahkan Soeharto memusnahkan partai komunis itu.  namun  Sjam malah membenarkan semua tudingan. Ia mengaku memimpin Biro khusus sentral  
dan merencanakan aksi rahasia G30S. Ia menyatakan berniat menculik bekas wakil 
presiden Mohammad Hatta dan Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, selain tujuh jenderal, pada subuh berdarah itu.  Sebagai orang yang bekerja   mempengaruhi anggota tentara agar mendukung PKI, ia memiliki  akses ke lembaga lembaga militer. Di dalam penjara, sementara tahanan politik lain bergidik setiap kali sesi pemeriksaan datang, Sjam menghadapinya dengan senyuman.  Hubungannya dengan aparat militer memang bagai  teman lama . Seorang putranya mengenang bagaimana di penjara, Sjam menempati sel yang besar dan  diizinkan 
memiliki uang satu tas penuh untuk memenuhi segala kebutuhan.  Ia seperti intel dalam film Hollywood. Anak anaknya hanya mengenal sang bapak sebagai pengusaha, pemilik perusahaan genting, bengkel, dan batu kapur. Istrinya, 
aktivis buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia  , organisasi sayap PKI, dimintanya berhenti agar menyempurnakan penyamaran.  Siapakah Sjam, laki laki  dengan lima nama alias itu,  Siapakah anak Tuban, Jawa Timur, yang ateis namun  dikenal pandai membaca Al Quran itu,  Adakah ia agen ganda atau sekadar penganut setia Ketua PKI D.N. Aidit,   Tragedi G30S yaitu  misteri yang tabirnya tak pernah  sempurna terungkap. Sjam 
Kamaruzaman yaitu  mozaik penting dalam prahara yang dipercaya sudah  membunuh 
setidaknya 1 juta orang itu.  
 pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, 30 September 1965, tengah tengah malam . 3 jam lagi, operasi penculikan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat akan dimulai. Ketegangan menggantung di udara. Beberapa laki laki  tampak bergegas masuk gedung Pemetaan Nasional, Divisi Pengamat Udara TNI Angkatan Udara, tak jauh dari sudut barat laut Halim.  
Lima pemimpin operasi penculikan menggelar rapat persiapan terakhir. Sjam  Kamaruzaman (Ketua Biro khusus sentral  Partai Komunis  Indonesia  ), Supono Marsudidjojo (Asisten Sjam di Biro khusus sentral ), Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan  Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim) duduk mengitari meja rapat. Wajah mereka letih. Seharusnya operasi penculikan sudah 
bergerak pukul 11 tengah malam . Rencana dengan terpaksa  diubah sebab  tim inti terlambat 
berkumpul.  Sjam membuka rapat. Duduknya sembarangan, satu kakinya diangkat. Di bibirnya, 
sebatang rokok terselip, mengepulkan asap. Saat itu, laporan dari pasukan pasukan di daerah sudah masuk. Banyak yang belum siap bergerak ke Jakarta. Ketegangan makin memuncak.  
Tak jauh dari sana, di Lubang Buaya, pasukan G30S sudah bersiaga. Namun, rantai komando tujuh regu penculik belum disetujui . Pembagian sasaran juga kacau. 2 tim penculik yang sebagian besar beranggotakan Pemuda Rakyat organisasi pemuda sayap PKI yang baru belajar menembak, malah diserahi misi  mengambil target kakap: 
Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution dan Panglima TNI Angkatan Darat 
Letnan Jenderal Ahmad Yani. Target ditukar lagi dengan tergesa gesa.  Brigadir Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga yang tiga hari sebelumnya baru tiba dari Kalimantan untuk bergabung dengan tim 
pemimpin, tengah malam  itu masyang ul melihat buruknya persiapan. Apalagi,  Ternyata, sesudah  
diteliti, kekuatan positif di pihak kita hanya satu kompi Cakrabirawa.   Keraguan mulai menjalar. Melihat tanda tanya di mata para Anggota   rapat, Sjam menghardik keras,  Ya, Bung. jika  mau revolusi, banyak yang mundur. namun  jika  
sudah menang, banyak yang mau ikut.  Sjam berkeras, kekurangan apa pun tak bisa 
membatalkan rencana.  Apa boleh buat. Kita tidak bisa mundur lagi,  katanya pendek. Rapat ditutup. Pukul 03.15, tim penculik bergerak.   Inisiatif operasi penculikan dini hari itu datang dari Ketua Umum Comite Central PKI, Dipa Nusantara Aidit. Pada awal Agustus 1965, sepulang  dari kunjungannya ke Cina, Aidit menghubungi tangan kanannya, Sjam Kamaruzaman.  Dari ucapan Sjam, terkesan Aidit galau. Dia mengaku pulang  mendadak ke negara kita  sesudah  mendengar Soekarno jatuh sakit.  jika  sakitnya terulang, Presiden bisa  meninggal dunia,  katanya. Aidit khawatir kematian Soekarno dimanfaatkan pimpinan TNI Angkatan Darat untuk merebut Istana dan menghentikan aksi  PKI.   PKI sekarang harus memilih: didahului atau mendahului,  kata Aidit. Dan tengah malam  itu, sang ketua tampaknya sudah memutuskan. Sjam diminta segera memeriksa barisan Biro khusus sentral , dan memicu  konsep  untuk mengadakan suatu pergerakan  yang bersifat terbatas .  Sjam bergerak cepat. Dua hari sesudah  bertemu dengan Aidit, dia mengumpulkan dua asistennya, Pono dan Bono, di rumahnya di Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Tiga perwira menengah TNI menjadi kandidat utama pelaksana  operasi terbatas  Aidit. Mereka yaitu  Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Soejono.   Ketiganya anggota PKI,  kata Sjam memastikan. Pernyataan ini ada di berita acara pemeriksaan Sjam oleh Polisi Militer.  sebab  ini misi  partai, tenaga pelaksana pokoknya harus berasal dari anggota partai,  katanya lagi.  Sjam juga mengirim telegram ke semua jaringan Biro khusus sentral  di daerah. Begitu rencana aksi terbatas sukses, mereka harus menguasai jawatan penting di daerah, dan mengajak pejabat setempat mendukung Dewan Revolusi. Dengan cara itu diharapkan sebuah aksi  kecil  di Jakarta bisa memicu pergerakan  massa yang meluas di seluruh Nusantara.  Rapat persiapan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti ganti: rumah Sjam, Kolonel Latief, atau rumah  Kapten Wahyudi. Sasaran operasi terbatas PKI baru 
ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh antikomunis yang harus  diamankan . Selain tujuh nama jenderal TNI Angkatan Darat yang sudah umum diketahui , Sjam mengusulkan penculikan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan Jenderal Soekendro. 
Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.  
 Sehari hari, di mata keluarganya, Sjam jauh dari kesan misterius. Dia cepat akrab dengan orang. Pembawaannya tenang.  namun , jika  sudah bicara, bisa terus saja tanpa berhenti,  kata putra sulung Sjam, Maksum bukan nama sebetulnya . Pada saat G30S terjadi, Sjam berusia 41 tahun .  
Empat dari lima anak Sjam yang ditemui Tempo memiliki  kenangan yang sama mengenai  
ayah mereka.  Kami amat dekat satu sama lain,  kata Maksum, kini 54 tahun . Dia ingat, 
sering diajak ayahnya menonton pertandingan sepak bola.  Kami sekeluarga juga sering 
bertamasya melihat matahari tenggelam di Pantai Sampur, dekat Cilincing, Jakarta Utara,  kata Maksum.  Di rumah, Sjam ringan tangan.  Setiap pagi, Bapak sibuk memperbaiki ini dan itu di 
rumah, entah pompa air, entah apa lagi,  tutur Maksum, yang sempat bersekolah di sebuah pesantren di Jawa Timur. sesudah  semua beres, Sjam biasanya duduk santai sambil merokok. Merek rokok favoritnya Commodore.  Kepada anak anaknya, Sjam mengaku menjadi pengusaha.  Kami tidak mengetahui  dia orang partai,  kata Kelana bukan nama sebetulnya  anak kedua Sjam, kini 47 tahun . Dia sempat bingung saat  diajak ayahnya bertandang ke rumah Pono, asisten Sjam di Biro Chusus PKI.  Di sana, anak anak Pono memanggil Bapak 'Oom Djimin'. Saya heran, 
kok Bapak dipanggil Djimin,  katanya. Namun rasa heran itu dia simpan dalam hati.  Polisi Militer mencatat setidaknya ada lima nama alias Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. saat  menulis surat perpisahan untuk adiknya, Latifah, setahun  sebelum dieksekusi pada 1986, Sjam menandatangani surat itu dengan nama Rusman.  Pada saat PKI merayakan hari jadinya secara besar besaran di Istora Senayan, Mei 1965, Sjam hanya menonton parade partai yang dicintainya dari kejauhan.  Bapak bawa teropong sendiri untuk melihat sukarno  berpidato,  kata Maksum mengenang.  Keluarga Sjam berasal dari Tuban, Jawa Timur. Ayahnya seorang khatib di dinas jawatan agama setempat. Dia anak kedua dari delapan bersaudara. Sejak muda, Sjam sudah bersimpati pada pergerakan  kiri, bergaul rapat dengan kelompok pemuda Pathuk yang rata rata beraliran sosialis di Yogyakarta, dan  aktif dalam perang  melawan 
Belanda dan Jepang.  Hubungan Aidit dan Sjam memiliki  sejarah panjang. Keduanya sudah saling kenal sejak 1949, saat  Sjam aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta. 
Keluarga keduanya juga dekat. Maksum ingat keluarga mereka pernah  berlibur bareng 
di rumah peristirahatan Aidit di Cisarua, Jawa Barat.  Waktu itu Pak Abdullah, ayah Aidit, 
juga ikut,  katanya saat  berkunjung ke kantor Tempo, akhir Oktober lalu.  Meninggalnya istri Sjam, Enok Jutianah, pada 1963 akibat tifus berkepanjangan, memicu  Aidit makin percaya pada loyalitas Sjam. Enok, wanita  Sunda aktivis buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia  , meninggalkan 
semua kegiatannya untuk menunjang penyamaran Sjam sebagai intel PKI.   Dia tidak puas, 'Masak saya jadi aktivis revolusioner kok begini,  Di rumah saja. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Menulis saja tidak boleh.' Makanya dia berontak, sampai 
meninggal sebab  sakit,  kata seorang petinggi PKI menjelaskan kepada Enok. Keterangan ini dikutip John Roosa, sejarawan Universitas British Colombia, Kanada, dalam buku Dalih Pembunuhan Massal. berdasar keterangan saksi  Maksum, ibunya sempat diam diam menulis laporan perjalanan wisata di majalah wanita, namun  dengan nama samaran.  sebab  itulah, Aidit amat percaya pada Sjam. Namun dia tidak mengetahui , laporan Sjam sering  tidak akurat. Para perwira siap melaksanakan rencana, sebab  mengira Aidit menghendaki rencana itu berlanjut. Adapun Aidit berketetapan meneruskan rencana 
sebab  mengira para perwira sudah  siap. Dengan tidak terbuka pada kedua pihak, Sjam sang perantara  memindahkan nasib G30S ke tangannya sendiri. Dia menahbiskan 
dirinya menjadi tokoh pusat pergerakan  itu.  
lubang Buaya, 1 Oktober 1965, pukul 05.30. Tim penculik Pasopati kembali ke markas dengan kabar buruk. 3 jenderal tewas tertembak, termasuk sasaran utama, Ahmad Yani. Target kakap lainnya, Nasution, lolos.  Kami semua terdiam,  kata Sjam.  
Semula Aidit bermaksud membawa bawa  para jenderal ke hadapan Presiden Soekarno hidup 
hidup dan meminta mereka membatalkan rencana gerakan gerakan  Dewan Jenderal. Sekarang, 
rencana itu gagal.  Sejak itu, seperti rumah kartu, operasi Biro khusus sentral  PKI perlahan lahan runtuh. Satu batalion Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara, yang direncanakan datang, tak 
pernah  muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun 
tak pernah  ada.  Di tengah serangan balik kubu TNI, pukulan terakhir datang dari Presiden Soekarno. Kepada Brigjen Supardjo yang menemuinya di Halim, Jumat siang 1 Oktober, Bung Besar itu memberikan perintah tegas,  Jangan lanjutkan pertumpahan darah.  Moral 
mereka langsung jatuh.  Tepat pukul 7 tengah malam , suara bariton Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mengudara.  pergerakan  30 September yaitu  kontrarevolusioner,  katanya. saat  itulah Sjam sadar, mereka sudah kalah.  Pada 2 Oktober pukul 1 siang, sehari sesudah  operasi dipastikan gagal, Sjam meninggalkan Halim dan pulang  ke rumahnya di Jalan Pramuka Jati, Jakarta Pusat. 
Sepekan lalu , tanpa pamit kepada anak anaknya, dia lari ke Bandung.  diperlukan  satu setengah tahun  bagi tentara untuk menemukan Sjam kembali. Pada 9 Maret 1967, saat  bersembunyi di Cimahi, Jawa Barat, di rumah Letnan Dua 
Suparman, tentara yang bersimpati pada PKI, ia ditangkap. sesudah  itu, aparat menguras informasi  dari Sjam mengenai  G30S dan Partai Komunis  Indonesia  . Sjam, yang  semula mengesankan dirinya pejuang komunisme yang kukuh, di penjara menjadi  lunglai . Ia dimusuhi bahkan oleh tahanan politik PKI sendiri sebab  dinilai terlalu mudah  bernyanyi  kepada penyidik. 19 tahun  dipelihara sebagai  pembocor , riwayat Sjam tamat di ujung senapan . September 1986, ia dieksekusi mati.   tugas   Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu tiba tiba mencabut 
televisi hitam putih. Benda hiburan penting para tahanan ini  diangkut. Mereka juga 
memelontosi penghuni sel. Semua gara gara para pendatang baru: rombongan mahasiswa yang dijebloskan sesudah  peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Peristiwa Malari.  Mahasiswa mahasiswa itu dinyatakan bersalah sebab  mengalahkan para sipir penjara 
dalam pertandingan badminton. Pada pertengahan 1970 an itu, tahanan politik Partai 
Komunis  Indonesia   penghuni tahanan biasa mengalah kepada sipir.  Para penjaga 
marah. Tahanan PKI menyalahkan kami,  tutur Yopie Lasut, tahanan Malari yang bebas 
akhir 1975.  Di tengah ketegangan, berdasar keterangan saksi  Yopie, seorang laki-laki  datang melerai.  Ini bagus buat menyadarkan kita bahwa kita ada di Rumah Tahanan Militer, bukan di surga. Masak cuma hanya sekedar  soal TV, kita harus memusuhi mahasiswa.  Yopie mengenal laki-laki  itu yaitu  Sjam Kamaruzaman, tokoh PKI yang menghuni rumah tahanan sejak 1967.  Yopie menghuni blok III tahanan, bersama dua rekannya, Salim Hutajulu dan John Pangemanan. Ada 30 an tahanan di blok itu, termasuk Sjam dan Soejono Pradigdo, Ketua Komite Daerah Besar Jakarta Raya. Soejono yaitu  teman sekamar dan 
 asisten  Sjam. Aktivis Malari, Marsillam Simandjuntak, Hariman Siregar, Syahrir, dan 
Rahman Tolleng, menghuni blok lain.  Salim melihat Sjam mirip  god father  dan  penguasa yang disegani bahkan ditakuti para tahanan . Tahanan sipil ataupun militer, ia mengatakan, sering kali minta nasihat dan perlindungan kepada Sjam. Forum  konsultasi  itu biasanya digelar saat bermain gaple di kamar Sjam.  Sjam juga diperlakukan istimewa. Meski ditahan, dia bisa keluyuran keluar masuk sel. Berbeda dengan tahanan lain yang ketakutan jika  dipanggil tugas  , Sjam justru santai dan bisa senyum senyum.  Yang lain takut sebab  jika  dipanggil, pasti disiksa, kata Salim.  berdasar keterangan saksi  cerita Oei Tjoe Tat dalam bukunya , Sjam terkadang  dilepas  berkeliaran di halaman tahanan untuk mengenali para tahanan yang lain. Siapa mengetahui  mereka salah satu dari tentara  binaan  nya. Tak mengherankan jika tahanan lain tidak tenteram 
sebab  nasib mereka bisa ditentukan oleh  nyanyian  Sjam.  Salim menguatkan cerita itu. Mungkin sebab  takutnya,  Semua datang, kulo nuwun. jika  Sjam nyebut nyebut (nama), orang kan jadi susah.  Ia juga mengenang, Sjam 
memiliki  hobi bercocok tanam. Bersama beberapa temannya, ia menyulap halaman rumah 
tahanan menjadi kebun sayur dan pepaya.  
berdasar keterangan saksi  Salim, di antara tahanan Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dikenal adanya orang  yang  dipelihara  jaksa. Mereka diminta mencari informasi  tahanan lainnya. Bahkan ada orang PKI diberi fasilitas untuk menjadi informan . orang  itu ikut 
menginterogasi teman teman mereka.  Mungkin Sjam juga dipakai. namun  saya percaya  dia 
pintar mengambil manfaat untuk kepentingan sendiri,  kata Salim.  Pada 1982 Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dibongkar. Sjam dipindahkan ke penjara  Cipinang, Jakarta Timur. Ia pun dijauhi tahanan lain, terutama tahanan politik  non Biro 
Chusus . Mereka menganggap Sjam terlalu banyak membocorkan adanya perwira perwira di dalam militer, kata Hamim, anggota Biro khusus sentral , kepada Tempo. Sjam hanya bisa akrab dengan sesama eks Biro khusus sentral , seperti Hamim, Pono, dan Bono. Ada juga  kawan lamanya di Serikat Organisasi Buruh Seluruh negara kita , Munir.  Kolonel Sugondo, perwira Team Pemeriksa Pusat interogator Sjam dalam wawancaranya dengan wartawan senior Atmadji Sumarkidjo, mengakui adanya perlakuan khusus itu. Sjam yaitu  kunci yang membuka misteri Biro khusus sentral  sesuatu  yang menghubungkan organ resmi PKI dengan Untung, Komandan Pasukan Cakrabirawa yang berperanserta  penting pada pergerakan  30 September.  Sjam juga  menggigit  beberapa  tentara binaan Biro khusus sentral . contohnya , ia menyebut nama Sumbodo di Jawa Timur; Herman, Diro, Usman di Jawa Tengah; Saplin dan Gani di Jawa Barat; dan  Suganda dan Sidik di Jakarta.  mengenai  pangkat orang  ini , saya tidak ingat lagi,  kata Sjam dalam berita acara pemeriksaan.  Nama Sidik belakangan diketahui  sebagai Kolonel Muhammad Sidik Kardi, seorang penuntut untuk Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia ditangkap beberapa pekan lalu , pada Agustus 1967, sesudah  kesaksian Sjam. Sidik dipenjara 12 tahun .  berdasar keterangan saksi  Sugondo, pendekatan khusus kepada Sjam dilakukan secara intensif. Ia diperlakukan dengan baik. Soalnya, selama pemeriksaan awal sejak tertangkap pada 
Maret 1967, Sjam melakukan aksi tutup mulut. Kebiasaan interogator memeriksa dengan kekerasan tidak mempan membuka mulutnya.  
berdasar keterangan saksi  Maksum, anak pertama Sjam yang nama aslinya tak ingin disebutkan, ayahnya memiliki  ilmu kebal.  Saat ditangkap dan diinterogasi, Kopassus memaksa Bapak mengaku dengan kekerasan fisik. Malah mereka mental. Sejak itu, tidak ada lagi yang 
mencobanya,  katanya.  Sugondo berhasil memperoleh  banyak informasi  dari Sjam dengan pendekatan personal. Ia datang tidak sebagai interogator. Obrolan santai juga sering dilakukan di kantor Sugondo. Setiap hari Sjam hanya diajak ngobrol, berdiskusi mengenai  berbagai hal, 
ditemani kopi dan roti atau pisang goreng.  
Sjam pada awalnya jaga jarak, hanya bicara terbatas. Dalam obrolan santai itu, Sugondo membiarkan Sjam bicara dan menyampaikan pikirannya tanpa diinterupsi. Sugondo juga tidak pernah mencatat agar Sjam tidak mengerem omongan. Ia mengandalkan ingatan. sesudah  sampai di rumah, barulah Sugondo menuliskan semua yang diperoleh dari Sjam.  Hasil laporan Sugondo dipakai  Tim Pemeriksa Pusat sebagai data intelijen. Data ini dilaporkan kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto sekaligus disusun menjadi berita acara pemeriksaan untuk penuntutan di Mahkamah Militer Luar Biasa. sepucuk surat kawat tiba di meja Brigadir Jenderal Supardjo. Akhir September 1965, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga ini berada di Kalimantan Barat, dekat perbatasan negara kita  Malaysia. Konfrontasi kedua negara memang sedang panas panasnya. Isi surat: meminta Supardjo segera pulang . Sang pengirim: istri  tercinta di Jakarta.  yaitu  Ketua Biro khusus sentral  Partai Komunis  Indonesia  , Sjam Kamaruzaman, yang  meminta Supardjo pulang . Pekan ketiga September 1965, istri Supardjo berkunjung ke rumah Sjam. Kesempatan ini saya pergunakan (untuk meminta) dia mengirim kawat ke Supardjo,  kata Sjam kepada Tim Pemeriksa Pusat, Agustus 1967.  Setiba di Jakarta, dua tengah malam  sebelum pecah G30S, Supardjo langsung ke rumah Sjam. Saat itulah, kata Sjam, Supardjo ia diberitahu   rencana pergerakan . Sjam meminta Supardjo pada 30 September tengah malam  datang ke rumahnya.  Belakangan, ada yang menyebut Supardjo yaitu  jenderal pemimpin pergerakan  itu. Memang, masih ada debat soal peranserta  Supardjo ini. namun  kedekatan Sjam dan Supardjo sudah menjadi rahasia umum. Supardjo yaitu  contoh sukses reputasi Sjam dalam mempengaruhi militer.  berdasar keterangan saksi  Suryoputro, nama samaran, 81 tahun , kedekatan Sjam dengan militer sudah  dimulai saat  Sjam menjadi anggota Kelompok Pathuk pada masa revolusi. Pathuk yaitu  kumpulan  diskusi anak muda yang dipimpin Djohan Sjahroezah dan Dayino, aktivis Partai Sosialis negara kita , di kampung Pathuk, Yogyakarta. Teman teman Pathuk yang masuk tentara inilah yang lalu  dijadikan Sjam sebagai bagian dari jaringan rahasianya.  A.M. Hanafi Duta Besar negara kita  di Kuba pada 1965 dalam bukunya AM Hanafi  Menggugat bercerita bahwa ia mengenal Sjam sejak 1946 di Yogyakarta. Hanafi mengenal persis Kelompok Pathuk. Kelompok inilah yang mendorong Sultan Hamengku Buwono IX mengajak tentara di bawah Soeharto berdiplomasi dengan Jepang agar menyerahkan senjata, sesudah  kalah digempur Sekutu. Di antara pemuda itu terseliplah Sjamsul Qomar Mubaidah atau Sjam.  Soeharto mengenal Sjam sejak awal kemerdekaan,  katanya.  Anggota tim Mahkamah Militer Luar Biasa, Subono Mantovani, dalam AM Hanafi Menggugat, mengaku pernah  melihat foto Sjam saat  masih di Yogyakarta. Sjam, kata Subono, yaitu  intel di Resimen 22 Brigade 10 Divisi Diponegoro berpangkat letnan satu. Subono saat itu juga berpangkat letnan satu dan bersama Sjam dan Soeharto ikut dalam Kelompok Pathuk. Sekitar 1949, Sjam berkenalan dengan Aidit, yang lalu  mengajaknya masuk Pemuda Tani organisasi yang berafiliasi pada Barisan Tani Indonesia  , organisasi sayap PKI.  dalam berita acara pemeriksaan Agustus 1967, Sjam mengatakan Biro khusus sentral  PKI  dibentuk akhir 1964. Partai, kata Sjam, melihat sejak 1950 banyak tentara masuk PKI. Mereka  diorganisasi oleh komite partai di daerah, namun  peranserta nya tak maksimal.  Sjam lalu memperoleh  misi  dari Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit, untuk mempelajari dan mengorganisasi secara tepat para tentara itu. Ia bersama Pono dan Bono, dua 
orang inti Biro khusus sentral  lain, lalu   menggarap  tentara. Kehebatan ketiganya dalam 
 menembus  militer ditandai dengan peranserta  mereka sebagai intel tentara. Posisi ini  memicu  mereka leluasa keluar masuk markas militer.  Mereka memiliki  kontak jenderal, kolonel, kapten, hingga prajurit di lapis bawah,  kata Hasan, nama samaran, seorang  sumber John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal.  Hubungan antara Sjam dan militer ini saling menguntungkan. Relasi Sjam dan Supardjo  bisa dijadikan contoh. Supardjo contohnya  pernah  menjadi komandan tentara untuk daerah Garut, Jawa Barat, dalam memberantas Darul Islam. Supardjo dengan bantuan kader kader PKI militan memakai  taktik pagar betis pada awal 1960 an untuk 
memadamkan pemberontakan ini. Sjam bekerja   memasok informasi  seputar Darul Islam dan jaringannya.  Supardjo, yang sukses menghancurkan Darul Islam, memperoleh  dukungan Sjam, melalui koneksi militernya, untuk naik pangkat. sesudah  penghancuran Darul Islam, Supardjo diangkat menjadi Panglima Pasukan Gabungan di sepanjang perbatasan negara kita  
Malaysia di Kalimantan. Pangkatnya naik dari kolonel menjadi brigadir jenderal.  Supardjo merasa berutang budi kepada Sjam,  kata Hasan. Dalam persidangannya sesudah  G30S, Supardjo membenarkan kedekatannya dengan Sjam. Ia contohnya  memakai  Sjam sebagai sumber intelijen. Di mata Supardjo, Sjam orang yang 
memiliki  banyak koneksi dan informasi  mengenai  politik dan militer.  berdasar keterangan saksi  Sjam dalam kesaksiannya kepada penyidik, pemimpin Biro khusus sentral  berusaha 
membantu kenaikan pangkat anggota anggotanya. Kolonel Latief, contohnya , yang semula bekerja   di Jawa Tengah, bisa dipindahkan ke Kodam Jaya sebab  bantuan seorang perwira yang memiliki kontak dengan Biro khusus sentral . Sjam menyatakan tidak kenal perwira ini. namun  perwira tadi berkolaborasi dengan Kolonel Pranoto, yang bekerja di bagian personalia Staf Umum Angkatan Darat.  Latief, seperti juga letnan Kolonel Untung dan Mayor Sujono, yaitu   binaan  Pono. Latief digarap sejak menjadi Komandan Brigade Infanteri Angkatan Darat Kodam V 
Jakarta Raya, Untung sejak bekerja   di Cakrabirawa, dan Sujono sejak 1963. Kapten 
Wahyudi dan Mayor Agus Sigit dididik Pono sejak 1963. Latief, Untung, dan Sujono  yaitu  tentara yang sudah menjadi anggota PKI.  Yang lain belum saya pastikan, namun  yang jelas mereka simpatisan partai,  kata Sjam.  Kepada penyidik, Sjam mengaku memiliki banyak pengikut di tubuh militer. Sebelum G30S, Sjam sudah  merekrut dua peleton Brigade 1 Kodam Jaya, satu kompi Batalion 1 Cakrabirawa, lima kompi Batalion 454 Diponegoro Jawa Tengah, lima kompi Batalion 
530 Brawijaya Jawa Timur, dan satu batalion Angkatan Udara. namun , sebab  tak dirancang dengan saksama, pengikut itu tak berdaya di hari puncak aksi G30S.  desember 1964, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh bertikai hebat dengan Menteri Negara Dipa Nusantara Aidit dalam sebuah rapat kabinet. Chairul, tokoh Partai 
Murba yang antikomunis, menyodorkan segepok manuscript  dan menuding Ketua Partai 
Komunis  Indonesia   diam diam merencanakan kudeta. Aidit membantah.  Bisa terjadi baku pukul andai Presiden Soekarno tak melerai.  Semua yang dibicarakan di sini tak boleh sampai keluar,  kata Soekarno, keras. Sebuah tim investigasi militer lalu diberi mandat memeriksa kesahihan tudingan Chairul. Hasilnya: Partai Komunis 
negara kita  dinyatakan bersih dan Chairul harus meminta maaf kepada Aidit.  Tak banyak yang mengetahui  bahwa lolosnya Aidit dari tudingan Chairul menjelang peralihan kekuasaan 1965 itu berkat campur tangan sebuah lembaga klandestin bentukan PKI: Biro khusus sentral .  
Cikal bakal Biro khusus sentral  yaitu  badan militer dari Departemen Organisasi PKI. John 
Roosa, sejarawan dari Universitas British Colombia, Kanada, menjelaskan bahwa sayap 
militer partai ini sudah berfungsi sejak 1950 an.  Bagian militer ini tumbuh secara alamiah,  katanya.  berdasar keterangan saksi  Roosa, pada tahun  tahun  pertama Republik, banyak pemuda anggota laskar pejuang yang diterima menjadi tentara reguler. Beberapa di antara mereka bersimpati pada pergerakan  kiri.   saat  perang  berakhir, PKI tidak mau kehilangan kontak dengan para simpatisan ini,  kata Roosa, mengutip sumbernya, seorang tokoh sentral PKI 1960 an. Untuk menjaga  jaringan partai di militer itulah Aidit lalu membentuk badan khusus ini. Pemimpin 
pertamanya yaitu  Karto alias Hadi Bengkring, anggota senior PKI.   Biro khusus sentral  bekerja   mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia   secara ilegal,  kata Iskandar Subekti, panitera Politbiro PKI, dalam catatannya atas peristiwa 30 September 1965.  Pada masa itu, apa yang dilakukan PKI bukanlah sesuatu yang aneh. beberapa  partai lain juga memiliki  organ khusus untuk memelihara kontak mereka dengan tentara. Partai Sosialis negara kita  salah satunya.  Militer negara kita  sesudah kemerdekaan memang penuh dengan klik berdasarkan kecenderungan politik masing masing,  kata Roosa.  Pada 1964, sesudah  kematian Karto, D.N. Aidit menunjuk sahabatnya, Sjam Kamaruzaman, menjadi kepala unit ini. Sejak itulah beberapa  perubahan besar terjadi. Penetrasi PKI ke dalam tubuh militer dilakukan secara lebih sistematis. Kerahasiaan unit ini pun dijaga makin ketat.  Lembaga eksekutif PKI, Politbiro, dan Comite Central dibiarkan tak memperoleh  informasi  apa pun soal pergerakan  bawah tanah ini. Kendali hanya ada di tangan Ketua PKI. sebab  itulah Aidit bisa leluasa meminta bantuan perwira merah di TNI saat  dia dianggap  akan  mengkudeta Soekarno.  
Biro khusus sentral  terdiri atas lima orang agen inti di tingkat pusat dan tiga anggota di setiap 
daerah. Di bawah Sjam sebagai ketua, ada Pono dan Bono dua intel Biro khusus sentral  didikan Hadi Bengkring. Dua anggota staf lain yaitu  Suwandi (bendahara) dan Hamim (pendidikan). Wandi dan Hamim tidak ikut menyusup ke dalam tentara. Untuk memudahkan mereka masuk ke kompleks tentara, Sjam, Pono, dan Bono memiliki  kartu anggota militer dengan jabatan agen intelijen TNI.   Jadi, jika  masuk kompleks militer, mereka tinggal berkata  bahwa mereka itu yaitu  
intelnya si ini atau si anu,  kata John Roosa, merujuk pada kesaksian mantan pemimpin 
elite PKI. sebab  memiliki  kartu anggota TNI itulah para agen merah ini sering dikira agen 
ganda.  Sebagai kedok untuk kerja intelijen, sehari hari Sjam mengaku saudagar pabrik genting 
PT Suseno di Jalan Pintu Air, kawasan Pasar Baru. Bono mengelola bengkel PT Dinamo di Jalan Kebon Jeruk dekat Harmoni, Jakarta Pusat. Pono memiliki  restoran, dan Hamim mengelola satu perusahaan bus.  Biro khusus sentral  juga mengelola usaha kontraktor dan CV Serba Guna, maselesai  jual beli rumah di Gang Sentiong, Kramat, Jakarta Pusat. Dana dari perusahaan perusahaan ini dipakai untuk menunjang operasi Biro khusus sentral .  sebab  itulah para tetangga lima agen ini tidak pernah menduga Sjam dan empat anggota stafnya yaitu  mata mata PKI. Saban hari, setiap pukul enam pagi, seperti 
orang kantoran lain, mereka rutin berangkat ke kantor naik mobil pribadi. Anak anak Sjam sendiri mengira ayahnya hanya pengusaha biasa.  
Penyamaran sempurna agen agen Biro khusus sentral  ini baru terbongkar saat  Soejono 
Pradigdo, salah satu anggota Politbiro PKI yang tertangkap paling awal, membocorkan 
keberadaan Biro pada Desember 1966. Sjam dicokok lima bulan lalu , dan mulai bercerita lebih detail soal unit rahasia ini.   DIA memiliki  satu nama asli dan tiga nama samaran. namun  ia hanya ingin dipanggil Hamim salah satu nama aliasnya.  agar   enggak diketahui   katanya. Soal pentingnya memiliki  nama palsu, ia beralasan agar hidupnya aman.  saat  belajar di sekolah partai di Tiongkok, saya diwajibkan  memakai nama alias,  katanya. Hamim sendiri ia ambil dari nama seorang teman di Tasikmalaya, Jawa Barat.  Sudah meninggal, saya gunakan saja nama itu, tanpa maksud apa apa,  katanya.  Hamim, kini 83 tahun , yaitu  tokoh penting dalam sejarah pergerakan  30 September. Ia yaitu  satu satunya anggota Biro khusus sentral  Partai Komunis  Indonesia   yang tersisa. Biro yaitu  badan rahasia yang dibentuk Ketua PKI D.N. Aidit untuk mempersiapkan aksi berdarah itu. 4 pengurus Biro khusus sentral  lainnya Sjam Kamaruzaman, Pono, Bono, dan Suwandi sudah tak ada. 3 yang pertama dieksekusi aparat pada 1986, sedang  Suwandi meninggal lebih dahulu . Hamim pun divonis mati, namun  bersama beberapa  tahanan politik bebas saat  Soeharto jatuh.  Nama Hamim berkali kali disebut Sjam saat  diperiksa aparat pada 1967. Ia ikut dalam rapat rapat rahasia Biro khusus sentral  menjelang 30 September. saat  aksi itu disikat tentara pada Oktober 1965, Hamim bertahan di Jakarta, sedang  Sjam lari ke Jawa Barat.  Ditemui wartawan Tempo, Ahmad Taufik, Anwar Siswadi, dan fotografer Aditya Herlambang Putra di rumahnya di Tasikmalaya, Ahad dua pekan lalu, Hamim bicara panjang lebar mengenai  Biro khusus sentral  dan peranserta  Sjam