Tampilkan postingan dengan label rakyat 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 7. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

rakyat 7

dah  merasai kesakitan pada bagian-
bagian badan yang tersekat oleh tali. 
“Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh memasuki Lao 
Sam di waktu perang?” orang itu bertanya lagi. 
“Tahu, tahu betul.” 
“Mengapa berani-berani masuk kemari?” 
“Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian.” 
Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di 
kepala  nya turun, membuat  kakinya jadi semutan. Mereka 
mengancamnya dengan senjatanya, 
“Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong.” 
“Aku datang untuk mencari Babah shinoda Han.” 
“Ha! Siapa kau ini?” 
Pada mulai berdiri, menjawab: “Siapa? Apa kalian tidak 
kenal aku? Aku anak angkat Babah Liem.” 
“Tidak kenal.” 
“Kalau begitu kalian orang baru di campa  ini.” 
Dan benar, mereka memang pendatang baru. Sesudah  
pajang bintoro  menyerbu kediri , ratusan orang Tionghoa 
didatangkan ke campa  dari jenggala -jenggala lain, terutama 
dari Semarang, untuk melindungi perjanjian Semarang-
pajang bintoro  dan Ceng He-kerajaan jenggala  Dua macam perjanjian 
yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu 
mereka rasai sedang terancam sesudah  pajang bintoro  berada dalam 
kekuasaan Trenggono. 
Mereka tidak mengenal Pada. 
namun   mendengar korbannya ingin menemui shinoda 
Han mereka melepaskannya dari ikatan dan menggiringnya 
di bawah ancaman tiga trisula menuju ke tengah-tengah 
kota campa . 
Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah 
dikenalnya -rumah Babah Cia Mie An. Ia disuruh duduk di 
atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah 
seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada 
pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam 
bahasa Tionghoa. 
Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu 
membawa lampu tambahan. Pada mengocok matanya. 
Tidak salah. Ia mengenal dua orang wanita itu. Dan mereka 
nampak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak 
menegurnya, namun  Coa Mie An kebetulan sedang masuk, 
dan mereka pergi menghindar. 
“Ah, sahabat Pada mpu  jayamuseswa ,” tegur tuan 
rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan 
menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh. 
“Sahabat mau menemui Babah Liem, aku dengar.” 
Pada menggangguk. Pikirannya masih tetap terpaut pada 
wanita lesbian -wanita lesbian  itu. Malah matanya masih 
terpancang pada pintu ke mana mereka tadi menghilang. 
“Nampaknya sahabat memiliki  perhatian pada mereka. 
Atau suka barangkali?” 
Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la 
menggeleng. 
“Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lain-
lain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk 
diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin memiliki  anak. 
namun  kalau sahabat menghendaki. ..” 
Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar 
Pinjung dan Nyi Ayu Campa. 
“Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah membeli 
mereka?” 
“Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang.”  
“Perwira mana? pajang bintoro  atau kediri ?”  
“kediri .” 
“syang  hyang Widhi ,” sebut Pada. “Bukankah Babah tahu 
mereka selir-selir Sang adiputro ? Bukankah yang seorang itu 
Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa?” 
“Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang adiputro  sendiri 
yang menjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut” 
Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar 
dari mulutnya: “Aku datang dari jayamahanaya …’  
“Ya, aku tahu, sahabat.” “Untuk bertemu dengan Babah 
Liem.” 
“Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan 
Tionghoa bergabung? Dan pasukan Semenanjung sendiri? 
Dan pasukan pajang bintoro ?”  
“Seorang pun tak ada,” Pada menggeleng. 
“Sudah aku duga. Dalam catatan dinamakan kan, Pasukan 
Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang. 
Mereka juga diperlukan  di perairan Manado dan 
Kalimantan. Maaf, kami tak bisa berbuat sesuatu.”  
“Biar aku mencari Babah Liem’ 
“Koh… Gouw Eng Cu sudah berkali-kali 
memberitahukan pada yang pang pang agar jangan 
menyampaikan janji pada siapa pun. Rupanya dia sudah  
sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan Gouw 
Eng Cu sebelum berangkat ke jayamahanaya ?”  
‘Tidak.” 
“Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang 
dia sudah  meninggal, pada hari pertama pajang bintoro  masuk. 
Memang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa 
dihindari. Perang, sahabat.”  
“Dibunuh?”  
“Ya.” 
Mereka terdiam. lalu  Coa Mie An meneruskan: 
“sebab  Babah Liem toh sudah menyampaikan pada 
sahabat, aku merasa perlu untuk meminta maaf pada 
panembahan senapati ki ageng  melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.” 
Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: “Melihat 
penyerbuan pajang bintoro  kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak 
mengirimkan seorang pun ke jayamahanaya .” 
“Biar aku temui Babah Liem sendiri.” 
“Nanti dahulu . Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah 
dilayani wanita-wanita tadi?” 
‘Tidak, aku sungguh terburu-buru.” 
“Lebih baik sampaikan saja padaku, sebab  akulah 
sekarang penggantinya.” 
‘Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan.” 
“Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa 
sebetulnya  sudah  terjadi: ayah angkat sahabat sudah 
tiada.” 
“Mati?” 
“Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan 
pajang bintoro  dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai 
ajalnya.” 
Pada menyebut. 
“Itu belum semua. Sewaktu membunuhnya, mereka 
bersorak-sorak hendak juga menumpas raden panji  gelang-gelang  dan 
seluruh keturunannya. Juga namamu dinamakan -sebut. Kalian 
dianggap bersekongkol melawan pajang bintoro .” 
Pada minta diri. 
“Nanti dahulu , masih banyak yang harus dipercakapkan. 
Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak memiliki  sanak-
keluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang 
tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan….” 
Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan 
terimakasih atas segala yang sudah  diketahuinya. Malam itu 
juga ia tinggalkan campa  kembali ke jurusan tenggara. Ia 
terpaksa balik ke hutan  larangan  untuk membawakan berita 
ancaman itu. 
Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di hutan  
larangan . Ia terpaksa menemui lagi nyi girah  dan menceritakan 
segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih 
ke dalam lagi memasuki daerah kabupaten kahuripan . Di 
sana ia tinggal selama tiga bulan, membantu menyiapkan 
ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan 
pada kebesaran sang yang betari durga  nya ia tak merasa merana lagi sebab  
cintanya. Sebaliknya mpu wungubhumi lah yang memberinya kesulitan. 
Ia selalu mengajak berdebat dan nyi girah  mendengarkan 
dengan diam-diam. Ia tahu nyi girah  takkan berpihak padanya. 
Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu 
kesimpulan. mpu wungubhumi  membenci apa saja yang berbau raja. 
Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelaliman. 
Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat 
diatur tanpa ada seorang raja? 
Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak 
memuaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai 
dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi 
untuk melakukan tugasnya. 
Sekali lagi mpu wungubhumi  mengantarkan sampai ke perbatasan 
kediri . Sebelum perpisahan ia memerlukan bertanya: “Apa 
jawaban emakmu?” 
“Tentang apa, paman?” 
“Anak panembahan senapati ki ageng wilareja  kau ini atau bukan?” 
Ternyata mpu wungubhumi  belum juga memperoleh  jawaban. Dan 
mereka berpisahan. 
Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya 
hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya 
pada dua bilah tombak lempar. Pada pinggangnya sekarang 
tergantung sebilah gada . 
Walau pun ia tak pernah mengalami masa kecenteng an, 
dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih aman. 
Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan 
sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu 
sangat berat. Lebih-lebih lagi sebab  ia tahu prajurit kerajaan  
pajang bintoro  yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di 
luar kekuasaan pajang bintoro . 
Sesudah  sampai waktu harus membelok ke utara, ia 
berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan 
bekas rajanya. Dengan demikian ia selamat sampai di 
suryabuaya  . 
Ia sudah tak memiliki  daya lagi untuk meneruskan 
perjalanan. Ia sudah  biarkan kumis dan jenggotnya dan 
cambangnya melebat pada mukanya. 
Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu 
Aisah. Sama sulitnya dengan menghadap Kala chucky . 
Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo 
rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang 
menegurnya. Maka ia pun memutuskan, bila pada hari 
yang ke tujuh ini tak juga memperoleh  tegur sapa, ia akan 
meneruskan perjalanan ke jayamahanaya . 
sinar matahari  sudah mulai condong dan badannya sudah 
sesiang tadi mandi keringat. 
Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin, 
berkata: “Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau 
bersimpuh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa, 
Paman, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa 
kau ini. Paman?” 
“saya  utusan dari jayamahanaya , Raden, utusan panembahan senapati ki ageng  
raden panji  gelang-gelang , datang untuk menghadap baginda tuanku raja  Ratu.” 
“raden panji  gelang-gelang ,” gadis cilik itu berseru riang. “Aku kenal 
nama itu!” Dengan kekanak-kanakan dan kebersabda an 
Iuarbiasa ia meneruskan, “Kalau begitu akan aku 
sampaikan. Duduk saja di situ, Paman, biar kubisikkan 
pada Nenenda Ratu.” 
Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada 
menghela nafas lega. 
Dan matan sudah mulai tenggelam. Ia masih menunggu. 
Gadis cilik itu keluar lagi membawa sebuah bungkusan dan 
pundi-pundi. 
“Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun,” 
katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. “Ini untuk 
Paman, dinar-dinar mas untuk perjalananmu, dan ini,” ia 
menyerahkan bungkusan, “untuk siapa saja yang mampu 
memakai nya, kata Nenenda. Sekarang Paman buru-
buru saja tinggalkan suryabuaya  . Berlayar sampai Semarang, 
lalu  jalan darat sampai jatikerto  baru lalu  
menyeberang. Begitu pesan nenenda.” 
Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan menyuruhnya 
pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat 
tanpa harga 
Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang 
jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini? Dia pikul 
bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tombak dan 
gada  yang sudah  dibungkuanya dengan daun pisang. 
Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke 
Semarang lalu  berjalan darat memasuki pedalaman. 
Ia menduga, pesan Ratu Aisah memiliki hubungan 
dengan gerakan armada suryabuaya  -pajang bintoro . Maka ia harus 
mematuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan 
demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran. 
la tahu tak mungkin ia turun ke jenggala jatikerto  sesudah  
tempat itu diduduki oleh pajang bintoro , la harus turun ke jenggala 
Sunda kacangtanah . Ia pun sudah mendengar armada suryabuaya  -
pajang bintoro  melakukan garis pengepungan terhadap Selat 
Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau 
tidak. 
Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam 
rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia 
berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap 
cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya 
akan lebih buruk dibandingkan  pajang bintoro  yang arca    atau kediri  
yang setengah arca   . Segala yang pemberontak  pasti buruk. 
Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati 
mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat. 
Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah 
lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu 
Aisah. 
Dengan ragu-ragu ia membukanya, mengetahui bukan 
haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah. 
namun   ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada 
punggawa memeriksanya dan ia tak tahu apa isinya? Pada 
sang yang betari durga  nya juga ia serahkan putusannya. 
Sinar sinar matahari  yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas 
bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak 
keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih 
yang sudah agak tua. Di dalamnya ada pembungkus lagi 
dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning, 
malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar 
beberapa kali, lebih dari dua depa panjang. 
Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik 
bergambar kupu-tarung. 
“Lambang suryabuaya   adiputro  tumenggung dijoyo  almarhum!” pikirnya. 
Kain itu dibukanya dan di dalamnya terdapat destar 
dengan gambar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu, 
katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah 
tilam almarhum. 
Di dalam destar terdapat sebuah pundi-pundi coklat dari 
kulit kepompong berisikan cincin mas dengan gambar itu 
pula, terukir pada bagian depan. Dalam pundi-pundi coklat 
lainnya yang berselang-seling dengan wama jambu, juga 
dari kulit kepompong, hanya lebih besar, terdapat seutas 
kalung dengan pemberat selembar mas berukir dengan 
tengah-tengahnya terdapat lambang itu juga. Gambar kupu-
kupu itu seperti ditempel di atas lembaran mas itu, kaki dan 
belalai-nya dari perak dan matanya dari intan. Selanjutnya 
terdapat dalam bungkusan lain sebuah ikat pinggang dari 
lembaran perak dan mas berselang-seling, berukir indah dan 
pada bagian kepala  nya pun terdapat gambar yang sama. 
Dalam sebuah kasut dari kulit terdapat sebuah bungkusan 
kulit kepompong kuning berisikan sebuah gelas emas 
berukir gambar yang sama. Terakhir adalah gada wesi  yang 
terbungkus kain biru nila. Sarung dan tangkainya terbuat 
dan mas bertatahkan mutu manikam. 
Ia perhatikan barang-barang itu sebuah demi sebuah, 
mengagumi indahnya ukiran. 
Tiba-tiba ia berseri-seri Suatu pikiran datang padanya: ia 
akan memasuki Pajajaran sebagai seorang pangeran. 
“Aku akan kenakan barang-barang kerajaan ini. 
Mengapa tidak? Memang bukan hakku, hak orang yang 
dapat meneruskan cita-cita baginda tuanku raja  adiputro  tumenggung dijoyo . Aku hanya 
akan meminjam agar barang-barang bisa lebih cepat sampai 
pada yang berhak.” 
Ia kemasi semua dan dengan girang meneruskan 
perjalanan, terus seorang diri. 
Di pinggiran desa Baleugbak di tepi Ctbwung, ia mulai 
mengubah din-nya jadi seorang pangeran. Mula-mula ia 
mandi bersih-bersih. Ia gosok badannya dengan pasir kali, 
mengeringkan badan, dan memakai  semua pakaian 
kerajaan itu. Memang agak pendek dan longgar, namun  apa 
salahnya. Seorang pangeran takkan dilihat dengan sebelah 
mata sebab  pakaiannya kependekan dan kelonggaran Dan 
ia harus berjalan hati-hati, kasut itu tidak cocok untuk 
kakinya yang tak pernah beralas, kekecilan. 
Dari kejauhan dilihatnya orang-orang desa sedang 
mengangkuti panen. 
“Bismillah,” bisiknya, dan dalam pakaian adiputro  tumenggung dijoyo  
ia mengangkat sedikit kainnya dengan tangan kiri sambil 
menjinjing bungkusan, dan dengan tangan kanan 
berlenggang bergaya raja. Bungkusan itu ia sembunyikan 
dalam sebuah rumpun semak di pinggir kali. 
Ia tahu betul gaya ningrat bila berjalan. Baginya tak ada 
sesuatu kesulitan. Dengan tabah, menyerahkan segalanya 
pada sang hyang Widhi  ia berjalan melenggang dengan tangan kanan, 
meninjau ke sana-sini seakan sedang memeriksa sawah 
sendiri. 
Orang pertama yang dipapasinya adalah seorang gadis 
yang mencari kejauhan untuk buang air. Anak itu cepat-
cepat menyingkir, meletakkan bakulnya di tanah, berlutut 
dan bersujud . Dan Pada mengetahui benar anak itu 
sudah tak dapat menahan desakan perutnya. la lambaikan 
tangan dan meneruskan jalannya, berlenggang bangsawan 
dan bergaya, lambat-lambat berwibawa. 
Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu 
sudah  lari dari pandangan orang. Ia berhenti di bawah pohon 
sambil tersenyum-senyum mengagumi keindahan dirinya 
sendiri yang bukan dirinya sendiri lagi. 
Beginilah rasanya jadi pangeran. Belum-belum sudah 
dapat satu sembah. 
namun   gadis itu terlalu lama belum juga muncul, ia mulai 
memanggil-manggilnya. Anak itu muncul juga dengan kain 
basah. Ia merunduk-runduk mendekat dan bersujud  
lagi. 
Dua sembah, senyum Pada alias mpu  jayamuseswa . 
“Hai, Upik!” perintahnya, “pergi kau memperoleh kan 
kepala   desamu. Sampaikan Sang Pangeran adiputro  Pada 
agar dijemput.” 
Ia tak percaya  gadis itu dapat menangkap kata-kata 
Sundanya, namun ia segera bersujud  dan lari 
meninggalkan keranjangnya. Dan Pada menunggu di 
tengah jalan dengan satu tangan bertolak pinggang dan 
tangan lain memegangi ujung kainnya. 
Sawah-sawah di kiri-kanan jalan hampir seluruhnya 
sudah  terpaneni, jalan itu sendiri diapit oleh saluran air yang 
mengalirkan air jernih tanpa putus-putusnya. Selama hidup 
di daerah utara Jawa Tengah dan Umur ia tak pernah 
melihat tanah sesubur itu, kaya akan air yang terkendali. 
Jelas daerah ini jauh lebih baik dibandingkan  kediri , suryabuaya   atau 
pajang bintoro . Udaranya sejuk dan nyaman. 
Dari kejauhan terdengar olehnya kentongan ditabuh 
bertalu-talu, dan tampak olehnya orang berlarian gugup. 
Sebentar ia ragu-ragu adakah itu kentongan bahaya yang 
mencurigai dirinya, ataukah kentong suka untuk 
menyambut kedatangan Pangeran adiputro  Pada. 
Ia tersenyum bahagia melihat orang berbondong-
bondong datang tanpa membawa senjata. Dan ia mengucap 
syukur. 
Orang-orang berpakaian lebih baik dibandingkan  umumnya 
penduduk negerinya sendiri. Kulit mereka langsat. Cara 
memakai  destar pun berlainan, lebih ke bawah dan tak 
ada nampak sudut-sudut datar yang dikakukan dengan 
kanji, semua jatuh layu di bawah tengkuk. 
Laki-laki  dan wanita lesbian  datang bersama-sama seperti 
biasa terjadi di desa-desa pedalaman. Dan wajah mereka 
berseri-seri, mungkin sebab  panen yang berhasil, mungkin 
pula sebab  kedatangannya. 
Tidak, bantahnya sesudah  teringat pada kata-kata mpu wungubhumi , 
tak ada orang desa berseri-seri ikhlas sebab  kedatangan 
seorang pangeran. Jangan bohongi dirimu. 
Seorang Laki-laki  setengah tua berpakaian lebih baik, satu-
satunya yang menyelitkan kens pada punggungnya, 
bersujud nya sekali, lalu  menyila kannya berjalan 
lebih dahulu . 
Dan Pangeran adiputro  Pada pun berjalan dengan satu 
tangan berlenggang besar, tangan lain mengangkat kain. 
Seseorang membawakan barang-barangnya. Dan semua 
orang mengiringkan di belakangnya. 
Pelataran kepala   desa hampir-hampir penuh dengan 
tumpukan padi sebagaimana halnya di pelataran lain. 
Wanita-wanita berlutut di antara tumpukan-tumpukan itu 
dan menyambutnya dengan sembah. 
Melalui tumpukan padi pula ia diiringkan memasuki 
rumah. 
Juga di tangga rumah anggota-anggota keluarga kepala   
desa berlutut bersujud . anak anak bersimpuh di 
tanah, juga bersujud . 
Selamat, pikir Pada, semua takluk di bawah kekuasaan 
Sang Pangeran, insya sang hyang Widhi . 
la naiki tangga dan masuki pendopo yang digeladaki 
dengan pecahan kayu sadang yang mengkilat hitam. Sebuah 
meja rendah disiapkan untuk kedudukan Sang Pangeran. 
Tak ada bangku di seluruh desa itu. Dan semua orang, baik 
di geladak ataupun tanah, menghadap padanya seakan 
mereka punggawa pada hari penghadapan. 
“Betapa sukacita sekalian bawahan  di sini memperoleh  
kunjungan baginda tuanku raja  Pangeran..” 
“Pangeran adiputro  Pada!” Pada membantunya sambil 
mengangkat lengan memamerkan gelang masnya. 
“Dari manakah gerangan baginda tuanku raja  Pangeran adiputro  maka 
datang ke desa Baleugbak tanpa pengiring?” 
Pada mengumpulkan kata-kata Sunda yang 
diperlukan nya, namun  ia tak mengerti betul apakah tepat 
untuk keperluan resmi sejenis  ini. Ia menjawab sejadi-
jadinya: “Kami datang dari jauh, dari timur sana. Dari 
suryabuaya  .” 
“suryabuaya  !” seru beberapa mulut. 
Orang tak memperhatikan keanehan kata dan 
kalimatnya. Orang tersentak sebab  suryabuaya  . 
“Bagaimana mungkin, baginda tuanku raja  Pangeran, sedang armada 
baginda tuanku raja  sedang menerjang jenggala Sunda kacangtanah ….” 
Pada menggeragap. la menyesal sudah  memakai  kata 
suryabuaya  . Mengapa ia tak memakai  tempat lain? 
Mengapa mesti suryabuaya  ? Nama yang sedang dibenci di 
mana-mana. Ia tabah dadanya untuk memperoleh kan 
ketabahannya kembali. Ia tak boleh lebih lama gugup. Ia 
harus segera menjawab. Dibukanya senyum manis dan 
berkata mepercaya kan, lebih pada diri sendiri: “Ketahuilah, 
kau. kepala   Desa, kami Pangeran adiputro  suryabuaya   tidak 
setuju armada suryabuaya  -pajang bintoro  melanggar Sunda kacangtanah . 
Maka itulah sebabnya kami berselisih dengan kanjeng sinuhun  
Trenggono pajang bintoro , saudara kami, juga dengan Panglima-
Laksamana-Gubernur Fathillah.” 
Ia hampir-hampir kehabisan kata. Sedang kata-kata yang 
terhambur pun belum tentu betul. Waktu ia belajar bahasa 
Tionghoa, yang pang pang mengatakan padanya: kalau kau 
sudah bisa menipu dengan bahasa ini, kau benar-benar 
sudah pandai Tionghoa. Dan sekarang ia sedang menipu 
dalam bahasa Sunda, dan ia tahu benar sama sekali tidak 
pandai Sunda. 
Semua orang menunggu kata-katanya selanjutnya. Dan 
ia meneruskan tersendat-sendat: “Jadi larilah kami kemari 
untuk mengabdi di bawah duli Sri Baginda Prabu Sedah. 
Barangkali diterima dan diluluskan untuk dapat 
menghadapi Panglima-Laksamana-Gubemur Fathillah.” 
Pada diam dan menebarkan pandang pada semua orang 
di hadapannya. Ia tahu bahasanya menubruk-nubruk, tak 
ada jalan lain yang dapat ditempuhnya. 
Belum lagi kepala   desa membuka suara ia menggeragap 
lagi, menyedari bahaya baru yang mungkin menimpa 
dirinya dengan serbuan Fathillah terhadap Sunda kacangtanah . 
Ia bermaksud hendak menerobos kepungan pajang bintoro  dari 
Sunda kacangtanah , sekarang jenggala ini justru jatuh ke tangan 
pajang bintoro . Dengan menantang Fathillah hanya sebab  hendak 
berkelakar ia akan terjatuh dalam kesulitan yang lebih 
parah. 
“patih  semua di sini bergagama Hindu, baginda tuanku raja , sedang 
baginda tuanku raja  arca   . Orang-orang arca   lah yang menyerbu negeri 
kami dari laut, sedang baginda tuanku raja  memasuki negeri kami dari 
darat.” 
Ia sepenuhnya mengerti ketidak-percayaan kepala   desa 
itu. Dan sekali dimulai dengan kebohongan, kebohongan 
lain harus membantunya. Celaka. Cepat-cepat ia 
menerangkan: “Ketahuilah, Pangeran adiputro  suryabuaya   ini 
masuk dari darat tanpa membawa prajurit kerajaan . Ia datang 
sebagai pelarian.” 
“Kalau begitu soalnya, baginda tuanku raja  akan patih  kirimkan utusan 
untuk mempersembahkan kedatangan baginda tuanku raja  Pangeran 
kepada baginda tuanku raja  Patih di Ibukota.” 
Pada menjadi pucat. Dan kata-katanya tak juga mau 
datang ke otaknya. Ia gerak-gerakkan lengan untuk 
menutupi kegugupannya. Dan keluar saja dari mulutnya: 
“Ketahuilah, kami akan menghadap sendiri. Sediakan 
untuk kami pengiring secukupnya, sediakan untuk kami 
penginapan untuk beberapa hari….” 
wah 
 
Armada suryabuaya  -pajang bintoro  memblokade jenggala Sunda 
kacangtanah  dari laut dan darat. Perdagangan dan kesibukan 
jenggala jatuh. Perahu-perahu kecil dari pantat jauh dari 
jenggala , juga dari jenggala kedua Pajajaran, Cimanuk, 
berbondong-bondong menerobos ke Panjang di ujung 
selatan Sumatra, meloloskan diri dari blokade. 
Armada Fathillah tak mampu mengatasi penerobosan di 
jarak sejauh itu, Maka ia jatuhkan perintah untuk 
menguasai sama sekali Sunda kacangtanah . 
Pendaratan serentak dimulai. Pertempuran yang tidak 
begitu berarti terjadi. Mula-mula di daerah sekitar jenggala , 
lalu  meluas ke daerah rawa-rawa di peluaran jenggala . 
Kekuatan Pajajaran di Sunda kacangtanah  terlalu kecil dan 
lemah dibandingkan dengan belasan ribu prajurit kerajaan  
penyerbu. Pangeran Sunda kacangtanah  sendiri yang memimpin 
pertahanan. Dalam hanya satu hari pertempuran 
pertahanan Sunda kacangtanah  dadal, pasukan Pajajaran 
terdesak mundur sampai ke pedalaman. 
Pangeran Sunda kacangtanah  ditemukan tewas di tengah-
tengah empat orang perwira yang hendak 
menyelamatkannya. 
Fathillah, yang sendiri memimpin pendaratan, ikut 
melakukan penghalauan dan pembersihan terhadap daerah 
jenggala . Ia temukan tugu perjanjian kanjuruhan -Pajajaran yang 
berdiri di atas sebidang tanah, yang dicadangkan untuk 
kantor dagang kanjuruhan . 
Ia memerintahkan untuk merobohkannya dan 
menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa sesuatu 
upacara. 
Keesokan harinya Fathillah memperoleh  serangan 
pembalasan. Pajajaran menurunkan prajurit kerajaan  besar untuk 
menguasai kembali Sunda kacangtanah . Pertempuran baru segera 
terjadi di rawa-rawa, riuh-rendah ditingkah sorak-sorak dan 
canang dari kedua belah pihak. 
pajang bintoro  memakai  cetbang buatan  pandai 
Blambangan. Dan Pajajaran tak pernah mengenal senjata 
ledak yang melumpuhkan syaraf ini. Mereka terhalau 
meninggalkan rawa-rawa dan naik ke darat dalam 
pengejaran peluru cetbang. 
Melihat prajurit kerajaan  Pajajaran menarik diri Fathillah 
memerintahkan penghentian pengejaran. Seluruh jenggala 
jatuh ke tangan pajang bintoro . Perlawanan Pajajaran patah dan 
Sunda kacangtanah  terpaksa dilepaskan. 
Walaupun Trenggono-Fathillah berkokok-kokok untuk 
menumpas kerajaan Hindu di sebelah barat ini, namun 
Fathillah tidak bermaksud menguasai pedalaman. Tanpa 
jenggala , katanya pada suatu kali di dalam khotbahnya, 
Pajajaran akan jatuh dengan sendirinya tanpa arti. Maka 
jenggala nya yang kedua, Cimanuk, juga harus direbut. 
Seluruh pesisir harus dikawal. 
Dan itulah yang akan dikenakannya. 
Ia kerahkan penduduk Sunda kacangtanah  yang sudah  
beragama arca   , dipilihnya yang muda-muda, dilatih dan 
dipersenjatai, lalu  dinaikkan ke kapal dan dikirimkan 
ke Cimanuk 
Pasukan kaki pajang bintoro  ditinggalkan di Sunda kacangtanah  
sebagai para bala tentara  pendudukan. Ia sendiri sekarang tinggal di 
Sunda kacangtanah  sebagai Panglima Laksamana Gubernur 
jatikerto  dan Sunda kacangtanah . 
Penduduk Sunda kacangtanah  tidaklah banyak. Dalam banyak 
hal jenggala ini tak mampu melawan jenggala jatikerto . Daerah 
jenggala nya sendiri pada umumnya ditinggali oleh pelarian 
dari Semenanjung, terutama jayamahanaya . Orang Pajajaran 
sendiri segan tinggal di sini sebab  hebatnya penyakit 
demam-pembunuh. Pendatang-pendatang itu seluruhnya 
beragama arca   . Mereka lebih berpihak pada pajang bintoro  yang 
arca    dibandingkan  Pajajaran. Apalagi pajang bintoro lah satu-satunya 
kekuatan yang dengan sunguh-sungguh berusaha mengusir 
nyi kanjeng blora dari negeri kelahiran mereka. Maka jatuhnya 
Sunda kacangtanah  ke tangan pajang bintoro  terlalu mudah. 
Fathillah tak menghadapi sesuatu kesulitan dalam 
mengatur kembali kehidupan. Bahkan perintahnya untuk 
mendirikan tempat ibadah  kemenangan di wilayah jenggala 
disambut dengan bersemangat oleh penduduk. O-rang-
orang Hindu yang sedikit, yang tak dapat menenggang kerja 
untuk desa lain dan untuk menguasai lain pada 
membangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta 
benda dan kampung-halaman. Mereka menghilang di balik-
balik perbukitan pedalaman. Yang tertinggal lalu  
ditangkapi dan ditindas dengan kerja paksa. Tak ada tempat 
lagi di bawah kekuasaan Fathillah untuk mereka yang 
beragama Hindu. 
Selama pembicaraan di pendopo Pada dapat melihat 
hadirnya seorang gadis yang selalu memperhatikan gerak-
gerik dan bahasanya yang aneh, kaku dan dipaksa-
paksakan. Dialah satu-satunya yang tidak menunduk 
Matanya laksana sepasang bulan kembar, bulat, dengan 
bulu mata panjang dan lengkung. Nampaknya ia bersimpati 
pada tamu agung yang jelas berada dalam kesulitan dan 
sedang mencoba sekuat daya untuk keluar dibandingkan nya. 
Ia adalah Sabarani, anak kepala   desa. 
Ia jatuh kasihan. Baginya tamu itu sama sekali bukan 
tamu agung, bukan seorang pangeran, hanya manusia biasa 
yang memerlukan  pertolongan. Dalam gambarannya, 
pasukan Pajajaran yang dibakar oleh dendam pada suryabuaya  -
pajang bintoro  akan merejamnya tanpa ampun. Dan gambarannya 
itu pasti akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ini. 
Ia mendengarkan suara hatinya yang memanggil-
manggil untuk menolongnya. namun  bagaimana? Ia belum 
lagi tahu. Ia harus menolongnya. Bagaimana? Sedang 
dirinya sendiri pun memerlukan  pertolongan? 
Ia sendiri harus melarikan diri dari desanya. Seorang 
ningrat Pakuan dalam beberapa bulan mendatang akan 
merenggutkannya dari desanya. 
Ia akan diselir olehnya. Orang tuanya tak dapat berbuat 
sesuatu. Seluruh desa pun tidak. 
Ia menunduk waktu orangtuanya menyatakan 
bersenanghati menerima Pangeran itu sebagai tamunya, 
sudi menyediakan penginapan, dan berjanji akan 
mengirimkan utusan ke Pakuan. 
Sesudah  pertemuan selesai, di ruang belakang ibunya 
berkata padanya: “Kau, Sabarini, putri berbangsa, hanya 
kau saja yang patut melayani baginda tuanku raja  Pangeran.” 
Dengan demikian ia mulai melayani tamu agungnya, 
mencuci kakinya dengan air hangat, merapikan tempat 
tidur dan menyediakan makan dan minumnya. Simpati 
memicu  ia merasa lebih dekat pada orang asing ini 
dibandingkan  seluruh penduduk desa. 
Mungkin perpaduan antara kesulitan pribadi dan 
kesulitan tamu itu dapat menghasilkan satu penyelesaian 
bagi mereka berdua. 
Selama ini tak ada pemuda sedesa berani menyatakan 
kasih-sayang pada seorang calon selir ningrat. Untuk itu 
jiwa bisa jadi tebusannya. Maka sebagai seorang gadis ia 
tumbuh seorang diri dalam kesepian. Ia hanya dapat 
menyaksikan teman-temannya ria bergembira menikmati 
keremajaannya. Dengan diam-diam ia berjanji dalam hati 
untuk membantu tamu itu melarikan diri, dan ia akan 
mengikutinya kapan saja dan ke mana saja, asal tidak 
menjadi selir saudaranya sendiri. 
Dari cerita ibunya ia dan seluruh penduduk desa sendiri 
pun tahu, pada suatu kali dalam perburuan kerajaan, Patih 
Narogol memperoleh  penginapan di rumah kepala   desa. Oleh 
ayahnya, ibunya disediakan untuk Sang Patih buat jadi 
pelayannya selama persinggahan. Sejak itu sang ibu tidak 
digauli oleh ayahnya, sampai si bayi dilahirkan. Dan si bayi 
itu dinamai Sabarini. Seluruh desa menganggapnya sebagai 
putri Sang Patih. Dan tak ada seorang pun berani 
mempersembahkannya pada Narogol. 
Lima belas tahun lalu  suatu perburuan singgah lagi 
di desa Baleugbak. Putra Narogol yang melihat Sabarini 
sekaligus tertarik pada kecantikannya dan meminta pada 
kepala   desa untuk menyelimya. Ia akan mengambilnya 
barang tiga tahun lalu . Ditinggalkan olehnya 
sebentuk cincin pada keluarga itu dan selembar destar 
sebagai tanda pengikat. Tak ada yang dapat mematahkan 
ikatan ini kecuali Sri Baginda sendiri atau Sang Patih. 
Pelanggaran berarti tebusan jiwa. 
Sesudah  beberapa hari menginap, dan sawah sudah  dituai 
seluruhnya, pesta panen untuk memuliakan Dewi Sri. 
Upacara-upacara sudah  selesai sedang pesta menunggu 
sesudah  itu. 
Sebuah kalangan dibuka untuk mengalahkan juara tahun 
lalu. Mula-mula diadakan pertunjukan demonstrasi 
perkelahian kanak-kanak yang ditingkah dengan gamelan 
sederhana, gendang kemong dan banyak suling. Waktu 
gamelan berhenti, anak-anak keluar dari kalangan. Muncul 
sang juara dengan sebilah tongkat bambu mengkilat seperti 
sudah  lama di ganggang di atas api dan digosok berminggu-
minggu. Beberapa orang penantang mengeroyoknya 
berbareng. Pertarungan sengit terjadi, juara itu melompat 
dan menerjang, berpaling dan bergulung-gulung seperti 
baling-baling lepas. 
Penonton bersorak-sorak gegap-gempita dalam sinar 
cempor-cempor besar di empat penjuru. 
Baik juara maupun para penantang berkilau-kilau 
bermandi keringat dan debu. Dan sesudah  agak lama 
pertunjukan berjalan, senjata seorang penantang terungkit 
lepas oleh tongkat bambu sang juara, melambung ke atas 
dan ditangkap oleh penantang lain. Penantang yang 
kehilangan senjata keluar dari kalangan dalam iringan sorak 
pujian untuk sang juara. 
Selang beberapa bentar sebuah senjata lagi terungkit 
lepas lagi. Dan demikian seterusnya sehingga para 
pengeroyok terpaksa meninggalkan kalangan. 
Sang juara mempertahankan kejuaraan desanya. 
“Demikianlah kebiasaan di desa patih  sejak nenek-
moyangnya,” kepala   desa menerangkan pada tamu-
agungnya. 
Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang 
kediri  dan pes tatah unannya. Satu kesedaran, bahwa ia 
seorang pangeran suryabuaya  , mematikan rangsangan. Ia 
mengangguk dan menggarami: “Bagus. Calon-calon centeng  
ulung.” 
“Bukan calon centeng , baginda tuanku raja . Perang soal lain lagi. Yang 
pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula 
negeri kami tak pernah berperang seperti negeri baginda tuanku raja . 
Kami lebih suka hidup dalam kedamaian.” 
Pada menggeragap. Ia tahu sudah  salah menanggapi. Dan 
ia merasa beruntung kepala   desa itu tidak melanjutkan 
persoalan. 
Gamelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau 
memanggil juara baru. Dan tak terkirakan heran Pada 
melihat seorang gadis tampil ke gelanggang membawa dua 
batang bambu kecil sepanjang lengan. Kainnya dilipat 
sedemikian rupa sehingga menjadi cawat, dan rambutnya 
terkondai ramping seperti destar. 
Dan gadis itu adalah Sabarini. 
“Juara?” Pada bertanya. 
“Juara, baginda tuanku raja ,” jawab kepala   desa yang duduk di bawah 
sebelah samping. Matanya berkilau-kilau bangga. 
Sabarini memutar-mutarkan dua bilah tongkat pendek itu 
ke udara dan menangkapnya kembali, melontarkan dan 
menangkapnya lagi. Tongkat-tongkat itu berputar seperti 
kitiran. Dan Pada baru sekali akan melihat perkelahian 
dengan dua tongkat pendek. 
Seorang gadis lain melompat ke gelanggang dengan 
sebilah parang dan langsung menyerang. Orang bersorak-
sorak, lalu  terdiam melihat hebatnya serangan. 
Hantaman-hantaman parang itu tertangkis oleh bambu-
bambu pendek yang melindungi lengan. 
Pada melihat, dengan bambu-bambu pendek itu Sabarini 
ternyata juga bisa menyerang. Satu di antara bambu itu 
melesit berputar mengenai tangan si penyerang. Parang itu 
meleset ke samping, dan dengan bambu yang lain gadis itu 
memukul tangan berparang sehingga senjata itu jatuh ke 
tanah tanpa daya. 
Orang bersorak-sorak riang. Penantang meninggalkan 
gelanggang. Sabarini melontar-lontarkan bambunya ke 
udara lagi sebagai undangan untuk penantang baru. 
Tak seorang pun tampil ke depan. 
“baginda tuanku raja  Pangeran!” seseorang berteriak. 
“Ya-ya, baginda tuanku raja  Pangeran,” yang lain-lain membenarkan. 
“baginda tuanku raja ,” kepala   desa itu memohon, “itulah adat desa 
kami. baginda tuanku raja  dipersilakan turun ke gelanggang.” 
“Kami!?” tanya Pada tak percaya. Peluh dingin mulai 
membasahi tubuhnya. 
Seumur hidup ia tak pernah berlatih berkelahi. Sekarang! 
Sekarang akan terbongkar belangnya. Mana ada seorang 
pangeran tak pernah berlatih kecenteng an dan berkelahi? 
Mana ada? Haruskah diri dipermalukan di depan umum 
oleh seorang gadis pula? Gadis desa Baleugbag? Betapa 
dunia akan mentertawakan ningrat suryabuaya   di lalu  
hari. 
“Silakan baginda tuanku raja  Pangeran adiputro  suryabuaya  !” 
Dan Pada mengerahkan pikiran untuk menemukan akal. 
Lambat-lambat ia berjalan memasuki gelanggang. Memang 
tak ada jalan lain untuk menyelamatkan muka. 
Sabarini berlutut. Dua potong bambu pendek itu 
digeletakkannya di hadapan Sang Pangeran, dan ia 
bersujud . 
Aku hanya pernah belajar bicara, pilar Pada, itu pun 
belum tentu dapat dan bisa mepercaya kan orang…. 
Langkahnya gontai dan kakinya berat. Ia ambil dua bilah 
dari bambu di hadapannya dan pura-pura mengagumi. 
Buat para penonton perbuatannya terlalu lama. Orang 
sudah tak sabar. namun  akal belum juga datang pada Pada. 
Sekarang ia pura-pura mengagumi Sabarini, ikut pula 
berlutut seakan-akan sedang mengikuti adat gelanggang, 
namun   bibirnya menggeletar berbisik: “Sabarini, ah, 
Sabarini.” 
Sabarini bersujud  lagi, juga berbisik: “baginda tuanku raja  
Pangeran, patih  di sini, baginda tuanku raja ,” suaranya lunak, bening dan 
bernyanyi, menyirapkan darah Pada. 
Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini 
juga berdiri sesudah  mengambil jarak. Pada mengembalikan 
bambu pada yang memiliki . Sambil berpaling pada kepala   
desa ia berkata dengan nada protes: ‘Tak pernah di tempat 
kami bambu begini dipakai  untuk berkelahi.”  
“Ambilkan dua bilah gada .” seseorang berteriak. 
Celaka, raung Pada dalam hatinya, dari bilah bambu 
beralih ke gada . Akal! Hei, kau, akal, mengapa kau tak 
juga datang hei akal? 
Seseorang masuk ke gelanggang membawa dua bilah 
gada  lebar namun  pendek. Dan badan Pada sudah  basah 
kuyup oleh keringat dingin sendiri. 
Pembawa gada  itu berjongkok bersujud , lalu  
mempersembahkan dua-dua senjata itu untuk dipilih mana 
yang lebih cocok Dan Pada menerima dua-duanya dan 
menimang-nimang. Berdoalah ia di dalam hati memohon 
perlindungan dan petunjuk dari sang yang betari durga  nya. Keadaan ini 
harus diatasi. Dan doa itu memberinya ketenangan barang 
sedikit. Keluar lagi kata-kata bernada protes dari mulutnya: 
‘Tidak ada cara di negeri kami seorang kesatria raja  menghadapi 
wanita dalam gelanggang sejenis  ini/’ 
“Kang Acep, kau tampil, kang,” seseorang berseru. 
Celaka, sekarang juara Laki-laki  yang akan tampil. 
Menghadapi Sabarini sekarang harus dianggapnya sebagai 
kesempatan baik   sebaik-baiknya. Ia tak memprotes lagi. 
Dengan membawa dua-dua gada  ia menghampiri 
Sabarini dan menyerahkan semua. Cepat-cepat ia berbisik 
“Lebih baik kuperistri kau dibandingkan  aku hancur kan, 
Sabarini, manis.” 
Sabarini mengangkat mata dan memandangnya. 
Tangannya salah menerima gada  dan senjata itu jatuh ke 
tanah. Dan Sabarini tak juga segera memungutnya. 
Orang-orang terdiam, heran melihat seseorang juara 
luput menerima senjata. 
Gamelan berhenti mengejut. Suling-suling membisu. 
“Bagaimana, Sabarini?” bisik Pada. 
“gada  itu jatuh, baginda tuanku raja , dan tak ada kekuatan pada 
patih  untuk memungutnya,” Sabarini berbisik menjawab. 
Pada memperoleh  kepribadiannya kembali dan berseru: 
“Ambillah gada mu, Sabarini!” 
Orang melihat gadis itu gemetar. Sabarini membungkuk, 
tangannya layu mengambil gada nya, namun  badan itu 
lambat sekali tegaknya. Dan belum lagi badan itu berdiri 
lurus, lututnya lalu  tertekuk, gada  tergelincir dan 
nampak tak ada niat padanya untuk memungutnya.  
“Sabarini!” terdengar beberapa wanita berseru-seru. 
Sekarang gamelan berbunyi lagi, pelan-pelan, tanpa suling. 
kepala   desa masuk ke gelanggang, bersujud  Pada 
dan menghampiri anaknya, bertanya: “Mengapa kau, 
anakku?” dan berpaling pada Pada. 
“Dia sudah  menyerah, kepala   Desa, menyerah.” 
Gamelan berhenti sama sekali. 
kepala   desa membantu anaknya berdiri. 
Sabarini mengangkat sembah lagi pada tamu agung, 
menerima tangan bapaknya dan berdiri dengan susah-
payah, berjalan gemetar keluar gelanggang. 
Pesta malam itu bubar dengan keheranan semua 
penduduk. 
wah 
 
Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan 
lalu  bersembahyang di dalam bilik, mengucapkan 
syukur yang sebesar-besar-nya atas rahmat dan petunjuk 
yang diterimanya. Selesai bersembahyang ia lihat, 
sebagaimana biasa sebelum tidur, Sabarini masuk ke dalam 
bilik membawa air hangat pencuci kaki. 
Ia turun dari ambin dan menyerahkan kakinya. 
“baginda tuanku raja ,” bisik Sabarini, “benarkah yang patih  dengar di 
gelanggang tadi?” 
“Mengapa, Sabarini?” 
“sebab , baginda tuanku raja , ternyata orangtua patih  sudah  
mengirimkan utusan ke Pakuan begitu panen dan upacara 
panen selesai. Pastilah para bala tentara  Pajajaran akan segera 
datang. Larilah, baginda tuanku raja , dan bawalah patih .” 
Suara ribut terdengar di luar rumah: “kepala   desa! Mana 
itu Pangeran adiputro  suryabuaya  ?” 
“Mereka sudah  mulai datang, baginda tuanku raja , mari patih  antarkan 
lari, mari….” 
Sabarini menarik tangan Pada dan yang ditarik 
menyambar bungkusan-bungkusan bawaan. Mereka lari 
sesudah  memadamkan pelita, ke belakang, langsung 
menuruni tangga belakang, melintasi ladang, lalu  
sawah, sampai ke pinggir Ciliwung. 
“Naik, baginda tuanku raja , naik ke atas rakit ini.” 
Sabarini menarik tali rakit, dan rakit itu meminggir. 
Mereka berdua melompat ke atasnya, dan Sabarini 
mengetengahkannya dengan sorongan galah. Tanpa bicara 
gadis itu meluncurkan dan mengemudikan rakitnya menuju 
ke hilir. 
Pada sendiri masih terlongok-longok, kurang semangat, 
belum juga sembuh dari terkejutnya, 
Dunia apakah semua ini, ya sang yang betari durga  , tanyanya pada 
sang yang betari durga  nya. Dan ia tak memperoleh  jawaban. Ia menongkrong 
di atas rakit bambu, menenggelamkan kepala   di antara dua 
belah lutut. Dan Sabarini, terus juga berjalan mondar-
mandir menyorong rakit yang laju dibawa air deras. 
“Sudah jauh, Sabarini, berhentilah kau.” 
“Belum, baginda tuanku raja , mereka masih bisa memburu dengan 
perahu ,” dan ia bekerja terus. 
Pada berdiri, menghampiri gadis itu, ragu-ragu sebentar, 
lalu  berkata: “Sini, Sabarini, biar aku gantikan. Kau 
lelah.” 
“Biarlah, baginda tuanku raja . patih  biasa membawa rakit begini 
Sedang baginda tuanku raja  tidak pernah.” 
“Aku biasa mendayung perahu.” 
“Rakit bukan perahu, baginda tuanku raja , lain.” 
“Air cukup deras begini, dia akan berjalan sendiri.” 
“Kalau tidak dikemudikan akan menubruk-nubruk, 
baginda tuanku raja . patih  kenal riam-riam Ciliwung ini.” 
Sabarini tak dapat dihampirinya. Ia terus juga mondar-
mandir mendorong rakit dengan galahnya. 
Pada tidak tahu sesuatu tentang rakit. Ia ingin membuka 
pembicaraan. 
“Sudahlah, biar rakit berjalan sendiri.” 
“Nanti berputar-putar. baginda tuanku raja .” 
“Biar berputar-putar,” dan ditangkapnya tangan gadis 
itu. Ia rasai tangan itu gemetar. “Ke mana kau akan pergi 
malam-malam begini?” 
“Ke mana saja asal baginda tuanku raja  selamat.” Pada melepaskan 
tangan itu. Sejak kanak-kanak ia sudah terbiasa bergaul 
dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang 
mereka inginkan. namun  gadis seorang ini menerbitkan 
hormat dalam hatinya. Ia tidak inginkan sesuatu 
dibandingkan nya. Ia hanya ingin menyelamatkannya. 
“Dan kalau aku sudah selamat kau akan ke mana lagi?” 
“Ke mana saja baginda tuanku raja  pergi.” 
“Sabarini!” dan gadis itu tak menyahut. “Terimakasih. 
terimakasih atas pertolonganmu. Nampaknya 
keselamatanku menjadi kepentinganmu benar.” 
“Bukankah baginda tuanku raja  sudah mengucapkan kata-kata itu? 
Bukankah baginda tuanku raja  seorang kesatria raja , sekalipun arca   ?” 
Malam itu gelap. Dan Pada tidak mengerti bagaimana 
gadis pendekar ini dapat mengendalikan rakit tanpa 
petunjuk jalan. Nampaknya ia sudah mengenal alur 
Ciliwung. Ia perhatikan arus kali permukaan air dan air-
muka Sabarini dalam kegelapan. Dan ia tak mampu 
menduga. Ia tunggu gadis itu menyatakan sesuatu, dan 
Sabarini tidak membuka mulut. 
Jauh di sebelah timur sana ada seorang wanita yang 
membangkitkan kekaguman dan hormatnya, menyemaikan 
cintanya yang tulus. Orang itu adalah nyi girah . Di Pajajaran 
ini ada juga seorang. Dan dia adalah Sabarini. Benarkah 
langkahku, ya sang yang betari durga  ? Adalah gadis asing ini Kau 
pertemukan padaku dengan cara seperti ini untuk jadi 
teman-hidupku yang tulus? 
Dan ia tak memperoleh  jawaban dari sang yang betari durga  nya. namun   
dari lubuk hatinya sendiri terdengar suara lantang: Kau 
dungu kalau tetap bermimpi kan Istri seorang sahabat, ibu 
dari anak-anaknya. Sabarini cukup baik untukmu. Suara 
dari lubuk hatinya tak berulang lagi. Dan ia sendiri merasa 
memang sudah  memerlukan  seorang istri. 
“Sampai di mana kalau terus menghilir?” ia bertanya. 
“Sunda kacangtanah , baginda tuanku raja .” 
“Sunda kacangtanah ”, untuk ke sekian kalinya Pada 
menggeragap. Mereka akan tangkap dirinya, juga Sabarini. 
Ia merasa tak patut terlalu sering menggeragap begini. Ia 
merasa kepercayaannya pada sang yang betari durga  nya belum cukup 
sempurna. Seorang yang beriman tidak akan sering 
menggeragap, sebab  ada iman padanya, sebab  ada 
kepercayaan pada sang yang betari durga   dan kekuasaanNya. 
“Ya, Sabarini. Kita akan sampai ke Sunda kacangtanah , 
memasuki daerah pendudukan pajang bintoro . Mereka akan paksa 
kau masuk arca   . Bagaimana kau?” 
“Semua terserah pada baginda tuanku raja . patih  hanya mengikuti 
baginda tuanku raja !” 
”Tidakkah kau akan takut pada hukuman dari dewa-
dewamu?” 
“Barangtentu baginda tuanku raja  cukup bijaksana untuk memilihkan 
yang baik untuk patih ,” jawab gadis itu sambil terus 
mendorong rakit dengan galahnya. 
“Baik. Jadi kau sudah sedia jadi istriku.” 
Sabarini tak menjawab. Sorongan pada rakitnya 
bertambah keras, dan mondar-mandirnya semakin cepat. 
“Kau diam saja, Sabarini.” 
Waktu melewatinya Pada mendengar nafas gadis itu 
yang terengah-engah sebab  mendorong sekuat tenaga 
dengan galahnya. Bahkan dalam kegelapan ia mengetahui 
Sabarini sama sekali tidak menengok padanya. Matanya 
tertuju pada permukaan air yang samar-samar. 
“Kita akan kawin di Sunda kacangtanah  secara arca   , 
Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku.” Ia menunggu 
agak lama dan tetap tak memperoleh  jawaban. “Kau diam 
saja.” 
“Apalah yang harus patih  katakan lagi, baginda tuanku raja ? Semua 
baginda tuanku raja  yang menentukan. Kebijaksanaan baginda tuanku raja  tidak akan 
patih  ragukan, baginda tuanku raja .” 
“Baiklah. Jadi kau akan jadi istri-tunggalku.” 
“Bagaimanakah dengan selir-selir baginda tuanku raja ?” 
“Selir? Seorang pun aku tak memiliki . Kaulah calon istriku 
pertama-tama, calon istri-tunggal.” 
Dan Sabarini tak menanggapi. Ia hanya menjalankan 
rakit, tanpa pernah menengok pada Pada. 
Menjelang subuh rakit dihentikan di sebuah tempat 
persinggahan. Gadis itu melompat turun ke darat dan 
mencancang rakit pada sebatang pohon ketapang. Galah ia 
letakkan baik-baik di atas rakit, lalu  diulurkan 
tangannya pada Pada untuk membantunya turun. 
Dua orang itu bergandengan mendaki tebing, menuju ke 
sebuah bangsal bambu pada tubir tebing. 
Bangsal itu luas dan menjadi penginapan mereka yang 
pulang-balik melalui Citarum. Tak ada penjaga khusus. 
Perawatannya diserahkan pada setiap perakit atau pemilik 
perahu. 
Dan pada subuh itu dalam bangsal sudah  ada sebuah 
keluarga pelarian dari Sunda kacangtanah . Dari percakapan 
antara mereka dengan Sabarini Pada dapat mengetahui, 
Sunda kacangtanah  benar-benar sudah  jatuh ke tangan prajurit kerajaan  
pajang bintoro . 
“Mereka begitu berangsangan,” salah seorang 
memberikan komentarnya, “seperti orang tak pernah 
bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami 
lari naik kemari. Juga orang arca    sendiri tidak aman. 
Semua dipaksa menyerahkan batang bakau-bakau buat 
perbentengan. Jangan turun, lebih baik naik kembali.” 
Pada mendengarkan dengan diam-diam dari luar bangsal 
sambil menggambarkan tingkah-laku centeng -centeng  
pajang bintoro  yang dikatakan berangsangan itu. Ia belum berani 
bertemu dengan orang, la masih berpakaian pangeran. 
“Masih mungkinkah turun ke sana dengan rakit?” 
Sabarini terdengar bertanya. Suaranya bening, merdu dan 
menyanyi. 
‘Tentu saja dapat. Mengapa tak dapat? namun  buat apa? 
Salah-salah jiwa tebusannya. Paling tidak orang akan 
terbongkok-bongkok mengangkuti bakau-bakau setiap hari 
sampai mati kena demam rawa.’ 
Pada mengherani apa sebabnya prajurit kerajaan  pajang bintoro  
hendak mendirikan perbentengan. Seakan-akan mereka 
sedang bersiap-siap menunggu datangnya musuh. Dan 
musuh dari mana? Mungkinkah nyi kanjeng blora akan membantu 
Pajajaran sebagaimana pernah diperbincangkan orang? Dan 
apa keuntungan nyi kanjeng blora dengan bantuannya? 
Tidak mungkin. nyi kanjeng blora takkan membantu siapa pun 
tanpa memperoleh  keuntungan. Boleh jadi Fathillah 
membentengi dirinya sendiri dari serangan pajang bintoro . Dia 
akan membangkang dan berdiri sendiri jadi raja. 
Ia tak dengar percakapan selanjurnya antara Sabarini 
dengan keluarga pelarian itu. Hari sudah  terang tanah. 
Burung-burung dari hutan sekitar menyanyi ria menyambut 
datangnya sang matahari . Pagi itu ia tidak bersembahyang, 
hanya mengucapkan doa selamat. 
Tak lama lalu  Sabarini keluar dari bangsal, 
bersujud  dan berbisik padanya: “Lepaskan semua 
pakaian baginda tuanku raja , dan kenakan pakaian tani.” Pada 
menggeleng-geleng menyedari betapa kikuk ia selama 
memainkan peranan adiputro  suryabuaya  . Ia mengakui memang 
tidak pandai menjadi seorang penipu. Dilepasnya semua 
pakaian Pangeran adiputro  
Uitus dan dikenakannya pakaian sendiri, pakaian dayang . 
Waktu ia hendak lepas kasut kerajaan itu, tahulah ia barang 
itu masih tertinggal di rumah orangtua Sabarini. 
Mendung yang menutup puncak pegunungan itu kini 
berubah jadi hujan deras dan membekukan darah. Keluarga 
pelarian itu menyalakan pediangan penghangat lalu  
naik ke ambin pelupuh dan meneruskan tidurnya. 
Pada dan Sabarini pun naik ke ambin, menggolekkan 
badan berdampingan dan tertidur dalam kelelahan dan 
kantuk. 
Hujan makin deras dan makin deras. 
Dan waktu sinar matahari  dengan lemahnya mewarnai langit, 
dan silhuet puncak pegunungan dan tajuk pepohonan mulai 
muncul, hujan masih juga turun. Ciliwung sudah  meluap 
sejadi-jadinya. 
wah 
 
Ciliwung adalah jalanan utama yang menghubungkan 
Pakuan dengan Sunda kacangtanah . Hasil bumi dari pegunungan 
turun ke jenggala melalui kali ini pula. Sebaliknya barang-
barang dari laut naik ke pegunungan melalui kali ini pula. 
namun  kali ini kini sunyi. Rakit dan perahu nampak segan 
meluncur di atasnya sesudah  Sunda kacangtanah  jatuh. 
Waktu Pada terbangun hujan belum juga berhenti. Ia 
lihat Sabarini sudah tak ada di tempat. Penginap-pengmap 
dari Sunda kacangtanah  sudah  berangkat meneruskan pemudikan. 
Ia turun ke kali dan dilihatnya Sabarini dalam keadaan 
telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini 
sudah berada di tengah-tengah. Pohon ketapang tempat 
mencancang berada barang sepuluh depa dari tepi air. Ia 
lihat gadis itu menyelam untuk memperoleh kan tali pada 
batang ketapang. lalu  ia muncul lagi dengan 
membawa tali menarik rakit sambil berpegangan batang 
kayu itu, lalu  melompat ke atasnya dan 
mendorongnya ke tepian. 
Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebut-
nyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: “syang  hyang Widhi … 
sang hyang Widhi  Maha Besar… Kau karuniakan keindahan sejenis  
itu kepadaku, ya sang yang betari durga  , kepada hamba-Mu yang justru 
tidak mencari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya sang yang betari durga  ’ 
Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini sudah  
berubah kuning berlumpur. Sinar sinar matahari  yang jatuh ke bumi 
sesudah  menerobosi mendung hanya samar-samar 
menerawang. Namun kesamaran itu tidak membatalkan 
pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh 
cantik, indah, gesit   tubuh seorang wanita yang belum lagi 
jadi istrinya. 
Ia perhatikan gadis itu memakai  pakaiannya yang 
disangkutkan pada cabang batang gempol, dan dengan 
pandangnya mengikutinya naik ke tebing. Dengan 
membawa bungkusan ia keluar dari persembunyian dan 
turun ke atas rakit. Dan sekali lagi ia mengagumi 
keberuntungannya dalam kepercayaan pada keagungan dan 
kemurahan sang yang betari durga  nya. 
Ia mulai periksa rakit. Sebentar-sebentar ia meninjau ke 
atas mencari-cari Sabarini. namun  gadis itu belum juga 
nampak. Ia berteriak-teriak memanggil, lalu  ia lihat 
gadis itu lari menuruni tebing. Wajah merah dan nafasnya 
terengah-engah. Tanpa bicara ia turun ke rakit, melompat 
lagi ke pantai dan melepaskan tali pencancang, lompat lagi 
ke rakit, mengambil galah dan mulai mendorong. 
“Kita belum lagi makan pagi, Sabarini.” 
Ia tak menjawab. 
Dan Pada mencoba merebut galah, dan Sabarini tidak 
mengijinkan. 
“patih  tidak mengenal air sejak dari sini sampai ke Sunda 
kacangtanah , baginda tuanku raja , apalagi baginda tuanku raja  sendiri. Biar patih  yang 
mengemudikan sendiri-lebih baik baginda tuanku raja  ikat bungkusan itu 
agar tak terlempar kalau ada apa-apa.” 
Pada merasa malu sudah  kalah wibawa, ia merasa dirinya 
menjadi begitu bodoh di dekat gadis luarbiasa ini. Biasanya 
ia merasa cerdas dan dapat memecahkan banyak perkara 
yang pelik-pelik. Ia menguasai persoalan neraka dan sorga, 
ia dapat menghafal nama 30  nabi, ajaran dan 
mukjizatnya. namun  di dekat gadis ini ia seperti seorang tua 
yang pikun. Saking gemasnya pada kepikunannya sendiri 
akhirnya ia menongkrong di buritan rakit Pada sebuah 
celah batang bambu ia lihat sebutir lada terjepit sendirian 
tanpa kawan. Ia korek dengan kuku, memungut dan 
menggigitnya. Memang lada. Rakit hanya dipakai  
sekali ke Sunda kacangtanah . Sampai di sana dijual atau 
ditinggal. Tentu sebelum ia dan Sabarini memakai nya, 
orang pernah berdagang  lada di sini, lalu  di 
bongkar lagi dan lada di daratkan kembali, tak jadi turun ke 
Sunda kacangtanah . 
Ia lihat air berkecibak di belakang rakit. Seekor kakap 
melompat ke atas air, berenang lari ke hulu. Di belakangnya 
nampak sirip hiu martil  cucut yang memburu, membentuk garis 
lurus membelah air. 
“Di sini ada hiu martil , Sabarini?” 
“Kalau kali banjir, baginda tuanku raja , kadang-kadang ada juga.” 
Kalau kali banjir, kata Sabarini. Mengapa kali ini banjir 
sebelum datang musim penghujan? Dan mengapa di sini 
sudah mulai turun hujan? Dan mengapa di Semenanjung 
sana lain pula jatuhnya musim penghujan? 
“baginda tuanku raja !” terdengar Sabarini memekik 
Belum sampai ia sempat menengok rakit sudah  menubruk 
sesuatu. Pada jatuh dari cangkungannya, tertelentang pada 
geladak rakit. Dan belum lagi ia dapat berdiri gadis itu 
datang padanya dan menolongnya berdiri. 
“Ampun, baginda tuanku raja , patih  tak lihat ada tonggak di bawah 
air.” 
”Tidak apa, Sabarini.” 
”Tidakkah baginda tuanku raja  terluka?” 
”Tidak.” 
“Rakit harus meminggir. baginda tuanku raja . Tali bagian depan 
putus.” 
Gadis itu mengambil lagi galahnya dan 
meminggirkannya. Dengan cekatan ia melompat ke darat, 
mengambil sebuah batu tajam, dan menariki kulit pohon 
warn. 
Pada tak tahu apa sedang diperbuat gadis itu. Ia berdiri 
di dekatnya, bertanya: “membuat  tali?” 
“Ya, baginda tuanku raja .” 
“Sini, barangkali aku lebih pandai dibandingkan  kau.” 
”Tidak, baginda tuanku raja , sebaiknya baginda tuanku raja  lihat-lihat kalau ada 
perahu prajurit kerajaan  Pajajaran memburu kita.” 
Jengkel sebab  kekikukannya Pada menjauh, mencari 
pohon yang sekiranya dapat ia panjat. namun   pepohonan 
hutan itu tak ada sebuah pun yang dapat dipanjat. Semua 
besar-besar. 
”Tak usah naik, baginda tuanku raja ,” seru Sabarini. “Semua pohon 
menjadi licin habis hujan begini. Lihat-lihat di dekat patih  
sini saja, baginda tuanku raja .” 
Dan Pada menjadi malu pada dirinya sendiri. Betapa 
gadis yang belum dikenalnya itu mengutamakan 
keselamatannya   keselamatan seorang asing yang 
mukanya penuh jenggot dan kumis dan cambang bauk. 
Tentunya seorang gadis dengan pendidikan baik. 
sinar matahari  berada di atas kepala   waktu tali-tali itu habis 
terpilin. Mereka berdua mengikat bagian depan rakit dan 
mengencangkan tali-temali dengan pasak bambu. 
“Kita teruskan mengilir, baginda tuanku raja .” 
Dan rakit meneruskan pelayarannya. 
wah 
 
Dengan seruan assalamualaikum pada penjagaan setiap 
tikungan kali rakit itu memasuki Sunda kacangtanah . centeng -
centeng  pajang bintoro  membiarkan mereka lewat. 
Dan apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata 
benar. Orang-orang sibuk memikuli batang bakau-bakau 
yang berat itu dari rawa-rawa ke jenggala . Di sepanjang 
jenggala orang mendirikan tonggak-tonggak untuk 
perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan 
menimbun tanggul untuk menjadi dermaga dan benteng 
sekaligus. Juga ribuan prajurit kerajaan  pajang bintoro  bekerja 
mengangkuti batu. Dari kejauhan mereka nampak seperti 
serumpun semut yang sedang menggalang perumahannya 
sendiri. 
Mereka berdua mendarat di tepi muara tanpa memperoleh  
gangguan. 
Cukup hanya dengan assalamu alaikum. Dan mereka 
tidak tahu, bahwa Fathillah menghendaki agar orang-orang 
pedalaman turun sebanyak-banyaknya ke Sunda kacangtanah , 
bukan saja untuk bertaubat, juga agar jumlah penduduk 
yang terlalu sedikit itu bertambah tiga sampai empat kali 
lipat Dengan penduduk terlalu sedikit ia tak banyak dapat 
berbuat. Maka setiap pendatang dari pedalaman untuk 
sementara tidak dikenakannya peraturan apa pun. 
Dan pendatang-pendatang baru memang ada, walaupun 
tidak banyak. Sebagian terbesar dari yang tidak banyak 
datang dari sebelah barat Sunda kacangtanah . Mereka adalah 
orang-orang jatikerto  yang bermaksud mencari perlindungan 
dari Pajajaran sesudah  masuknya suryabuaya  -pajang bintoro  ke sana. 
Serentak mereka mengetahui Sunda kacangtanah  juga sudah  
dikuasai Fathillah, mereka melarikan diri ke barat kembali 
atau naik memasuki pedalaman Pajajaran. Sebagian kecil 
dari mereka   orang tua-tua dan kanak-kanak yang tak 
mampu meneruskan perjalanan   terpaksa tertinggal. Di 
antaranya terdapat juga wanita-wanita dengan bayinya. 
Fathillah memberi mereka tempat di bedeng-bedeng jenggala 
yang paling jauh. Bedeng-bedeng terdekat dipakai  
oleh balai   centeng -centeng nya. 
Pendatang dari selatan adalah laksana tetesan air, tidak 
semakin banyak, malah semakin tiada. Pada dan Sabarini 
adalah pendatang terakhir dari selatan. 
Mereka melangsungkan perkawinan di tempat ibadah , dengan 
dalih mengulangi perkawinan mereka yang sudah  mereka 
lakukan secara Hindu. Sabarini bertaubat masuk arca    dan 
Pada bertaubat untuk kedua kalinya. 
Apabila mereka tinggal sampai sebulan, Pada akan 
terkena wajib kerja seperti yang lain-lain. Bukan maksudnya 
untuk jadi penduduk Sunda kacangtanah . Ia berada dalam 
perjalanan tugas. Ia harus segera meninggalkan tempat ini. 
Ia sempat menyaksikan selesainya tanggul yang sangat 
panjang itu. Ia ikut menghadiri pesta pembukaan kembali 
jenggala . Fathillah sudah  menyatakan Sunda kacangtanah  sudah  
siap untuk menerima lalulintas laut. namun   sebagaimana 
halnya dengan jenggala jatikerto , perdagangan lada ditentukan 
olehnya. Harga yang menjadi lebih tinggi sebab  tingginya 
pajak memicu  para saudagar enggan singgah baik di 
jatikerto  ataupun Sunda kacangtanah . Sebaliknya sumber lada 
kedua, Sumatra terselatan. Kini berubah jadi betari i. jenggala 
Panjang tiba-tiba menjadi betari i dan penting. 
Di sekitar tempat ibadah  orang pada membicarakan peraturan-
peraturan yang berlebih-lebihan dari Fathillah. Maka Pada 
dapat mengetahui, perkembangan tidak berjalan 
sebagaimana dikehendaki Sang Panglima-Laksamana-
Gubemur itu. Orang sudah  mendengar ancaman sudah  
dinyatakannya untuk menghancurkan jenggala Panjang. 
Untuk keperluan itu ia sudah  batalkan persiapannya untuk 
meneruskan penyerangan dari Cimanuk ke Cirebon. 
Ancaman itu tak jadi dilaksanakan sebab  tersusul 
datangnya utusan dari Trenggono yang tidak membenarkan 
maksudnya, sebab  itu menyalahi persekutuan militer 
Trenggono-Fathillah. 
0odwo0 
 
36. Blambangan 
jenggala jatikerto  dan Sunda kacangtanah  tetap sunyi. jenggala 
Panjang di ujung selatan Sumatra menjadi meriah. 
Mengetahui akan kekeliruannya Fathillah bermaksud 
membuka kembali Sunda kacangtanah  jadi pelabuhan bebas. 
Pada hari ketentuan itu dikeluarkan, Pada dengan 
terburu-buru membeli sebuah perahu layar kecil dengan 
dinar pemberian Ratu Aisah. Dipunggahnya perbekalan 
dalam perahu itu bersama dengan Sabarini. Keesokan 
harinya pengantin baru itu berlayar menuju Panjang. 
Armada suryabuaya  -pajang bintoro  yang melakukan penjagaan itu 
tidak terlalu jauh dari pantai. Perahu layar kecil itu hanya 
sekali ditahan lalu  diperkenankan meneruskan 
pelayaran. 
Dan mereka berlayar tenang meninggalkan pulau Jawa 
yang sedang kacau-balau. Meninggalkan Sunda kacangtanah  bagi 
Pada berarti juga meninggalkan keadaan yang penuh 
kekacauan pertama-tama yang pernah ada dalam sepanjang 
sejarah Jawa. 
la gembira. Dan Sabarini tak kurang gembiranya, 
berlayar dengan seorang suami yang adalah untuk dirinya 
sendiri. Namun ia tetap membisu bila tak ditanyai…. 
Begitu mendengar prajurit kerajaan  pajang bintoro  sudah  sampai di 
selatan campa , raden  sanggabuana  bumikerta  dengan 
bantuan para pekerja jenggala mengangkuti harta-bendanya 
ke atas sebuah kapal Bali yang kebetulan sedang mencari 
dagangan lada. Munculnya kapal itu sungguh-sungguh 
suatu kebetulan Bila tidak ia akan terpaksa menyewa 
perahu layar. 
Tak ia tinggalkan sesuatu pun pada Nyi kembang  Kati 
kecuali kata-kata ini: “Nyi kembang  Kati, maafkan aku selama 
ini kita sudah tidak saling menegur. Sang adiputro  sudah 
tidak dapat menyatakan sesuatu. Pendengarannya sudah 
begitu merosotnya, maka semua kata yang dipersembahkan 
sia-sia saja… Sekarang ini aku harus pergi untuk sementara 
dari kediri . Tinggsang hyang Widhi  kau di sini dalam lindungan sang hyang Widhi  
Yang Maha Pengasih.” 
“Ke manakah Tuan, biar saya  tahu di mana tempat 
Tuan.” 
Ia tak memberi jawaban, turun ke perahu dan belayar ke 
jurusan timur. Tujuan: Pasuruan, jenggala Blambangan 
Hindu untuk perdagangannya dengan panarukan . 
Nakhoda menasihatinya agar ia langsung saja ke 
Panarukan, sebab  jenggala itu tidak terlalu sunyi, sebab  
perdagangannya dengan parahyangan  tetap berjalan baik. 
Pelabuhan Pasuruan sendiri hampir saja nasibnya dengan 
pasuruan  atau kediri . Memang Panarukan lebih kecil 
dibandingkan  Pasuruan, namun   adanya perdagangan yang 
terpelihara memicu  kehidupan jauh lebih baik. 
“Barangkali ada baiknya aku ikuti nasihat Tuan,” 
jawabnya. 
Dan demikian ia tidak mendarat di Pasuruan Sejak 
mancai dari kediri  sebenarnya ia bermaksud ke Panarukan 
Ia hanya hendak menyesatkan nakhoda. 
patih wirabuana  Panarukan ternyata bukan palawa , juga bukan 
Benggala, bukan Koja dan bukan Keling, namun   Pribumi 
sendiri, yang berbahasa Jawa, Bali, jawadwipa  dan sedikit 
palawa . Ia tetap beragama Hindu, la disambut dengan bahasa 
palawa . Aturan jenggala lebih longgar dibandingkan  kediri ; 
patih wirabuana  memiliki wewenang memberikan ijin tinggal 
di dalam ataupun luar wilayah jenggala tanpa menghadap 
bupati atau raja. 
Sesudah  memperoleh  ijin tinggal dan membayar bea untuk 
barang-barangnya, ia kawal gerobak pengangkut harta-
bendanya menuju ke kantor dagang kanjuruhan  yang sedang 
dalam pembangunan. Untuk menghadapi pertemuan itu ia 
berpakaian kanjuruhan  dengan tetap bertarbus dan bertongkat. 
Tubuhnya sudah lebih bongkok dibandingkan  tahun-tahun 
sebelumnya. kepala  nya tak henti-hentinya menengok ke 
kiri dan kanan, memperhatikan pagar-pagar dari suadipati  
batu karang, dan arca-arca kayu di pojokan perempatan 
jalan, berdiri megah di dalam bangunan persegi, seakan-
akan barang-barang dengan mata besar itu sedang 
mengawasi perempatan. Gapura-gapura juga menarik 
perhatiannya, terbuat dibandingkan  batu merah, dan kadang 
dihiasi dengan relief. Pada pagar batu itu kadang-kadang 
terdapat ceruk berisi arca pula. Dan kadang ia menindas 
tawanya sendiri melihat bentuk matanya yang seperti mata 
peda. 
Berbeda dengan di kediri  atau jayamahanaya , pagar di sini 
memicu  rumah-rumah hanya kelihatan sirap atau 
ijuknya. Dan tajuk nyiur selamanya menaungi pelataran 
depan dan belakang setiap rumah. 
Gedung kantor dagang itu belum lagi selesai 
sepenuhnya. Pagarnya terbuat dibandingkan  tembok batu tinggi, 
namun   gedung itu terbuat dari kayu dengan nampak batu. 
Hampir semua tukang adalah kanjuruhan . Di tempat mana 
pun mereka bekerja, penduduk dewasa, Laki-laki  atau wanita, 
berkerumun memperhatikan. 
Seorang kanjuruhan  yang berperawakan tinggi besar 
mengawasinya sejak grobaknya memasuki pelataran. Dan 
raden  dapat melihat orang itu menunjukkan tak 
senanghatinya akan kedatangan dan kermunculannya. 
“Oh, Tuan raden  sanggabuana  bumikerta ,” tegurnya dalam 
kanjuruhan , “tahu-tahu Tuan sudah ada di sini. Mengapa tak 
kabar lebih dahulu?” 
“Rupa-rupanya Tuan kurang senang memperoleh  
kunjungan ini.” 
“Suatu kehormatan,” jawabnya dengan muka masam. 
”Kebetulan sekali ada kamar yang baru saja siap. Tuan bisa 
segera masuk.” 
“Apakah aku perlu memperlihatkan suratku?” sambut 
raden  menantang. 
“Tidak, Tuan, bukan maksudku hendak menguji surat 
dari jayamahanaya  itu. Siapa tidak mengenal Tuan?” katanya lagi 
mencoba agak bersabda . “Mari aku antarkan.” 
Kamar itu baru saja selesai dibersihkan. Lantainya masih 
kotor. Seorang Laki-laki  Pribumi yang masih muda datang 
membawa sapu lidi dan membersihkannya, lalu  
memasukkan barang-barangnya dan menumpuknya di 
sebuah pojokan. raden  sanggabuana  sendiri memberi petunjuk 
bagaimana harus berbenah. 
Sebuah peti berukir dipisahkan dari yang lain-lain dan 
selalu berada di dekat bantal. 
patih wirabuana  kediri  itu sama sekali tak heran melihat 
Martinique sengaja memperlihatkan tak senanghatinya. Ia 
sudah terbiasa melihat pembesar kanjuruhan  yang 
mencemburui kedudukannya,   suatu kedudukan tanpa 
pengawasan, selalu memperoleh kan nafkah pokok dari 
kanjuruhan  dan memperoleh  tambahan pula dari sangkut-
pautnya. Lagi pula di dalam kawasan kanjuruhan  ia harus 
diperlakukan dengan baik, sekalipun di luar itu ia berada di 
bawah setiap orang kanjuruhan . Sekarang ia memakai  
haknya untuk dilayani sebaik-baiknya. Tidak mau bisa 
mendatangkan kesulitan. 
Dari dalam kamarnya yang masih berbau kapur itu ia 
sudah dapat melihat roda kesibukan mulai berputar. Dan 
semua disebabkan sebab  kedatangannya. Ia sengaja 
berlama-lama di kamar untuk memberikan kesempatan 
pada Martinique menyiapkan ruang-tamu yang patut. Dari 
jendela ia dapat melihat kesibukan di dapur. Dan taman 
yang belum lagi siap itu sekarang dikerjakan dengan tenaga 
Pribumi tambahan. 
Ia tersenyum-senyum puas. 
Ia lepas sepatu dan mulai bertiduran, lalu  
merancang-rancang apa yang harus ia kerjakan. Tetaplah 
sudah niatnya hendak kembali ke jayamahanaya  dan mengakui 
kegagalan kanjuruhan  di kediri : bukan sebab  kesalahannya 
pribadi namun  sebab  kelengahan kanjuruhan  sendiri, tak juga 
datang pada waktu terbaik sebagaimana ia pernah sarankan. 
Sekarang jatuhnya kediri  ke tangan pajang bintoro  sudah  
melenyapkan arti jenggala itu untuk mengukuhkan 
kekuasaan jalan laut di bagian selatan Nusantara. Tak ada 
yang dapat menyalahkan bila ia tinggalkan kediri . Dengan 
berkuasanya pajang bintoro  di sana tempat itu kehilangan artinya 
bagi kanjuruhan . Pada pihak lain gerakan penguasaan atas 
seluruh Jawa oleh Trenggono sudah  membantu kanjuruhan  
dalam menguasai jalan laut di sebelah utara Jawa: 
hubungan antar Jawa dengan panarukan  akan putus sama 
sekali dan rempah-rempah panarukan  akan lebih sedikit 
datang ke Jawa. 
Bukan salah dirinya kalau tak berhasil. Perkembangan 
sudah  bergerak ke jurusan yang lebih menguntungkan bagi 
kanjuruhan  tanpa bantuannya. Pada akhirnya ia akan bisa 
pulang ke Ispanya dan menghabiskan hari-tuanya di 
Andalusia sebagai orang berada tanpa kekurangan suatu 
apa, kecuali, bila antara kanjuruhan  dan Ispanya terjadi 
pertikaian berdarah lagi. Dan di Andalusia, sebagai seorang 
Moro, ia takkan dan tak pernah mengalami kesulitan 
selama ia mengikuti segala yang berlaku di lingkungan 
hidupnya. Memang ia harus membayar pajak lebih tinggi, 
memang banyak, terlalu banyak yang menghinakannya 
hanya sebab  ia seorang Moro, namun  apa salahnya kalau ia 
bisa bertenang-tenang pada hari tuanya? 
Sebagai orang muda ia sudah  tinggalkan semenanjung 
lberia. Ia sudah  tinggalkan anak dan istrinya. Dan ia akan 
kembali sebagai orang tua yang sudah  menyelesaikan tugas 
membantu kebesaran yang sedang berkembang dan 
membantu menenggelamkan kekerdilan yang sedang 
menghilang. Itulah yang dinamainya tindakan peneracaan 
sejarah pada masanya. 
Waktu pelayan orang kanjuruhan  datang ke kamarnya 
dengan muka memberengut, memberitakan tuan 
Martinique sudah menunggu di ruang duduk, ia pun 
kenakan pakaian kanjuruhan  terbaik. Terompah ia ganti 
dengan sepatu. Celananya putih dan bajunya pun putih, 
dengan kemeja berenda-renda kecil pada lehernya, namun 
ia tetap bertarbus dan bertongkat. 
Ia pandangi tubuhnya sendiri pada cermin sambil 
memberengut juga, memprotes ketuaannya, menegakkan 
bongkok, lalu  tersenyum senang, bahwa tanpa 
bongkok ia kelihatan lebih muda. dan berjanji takkan 
membiarkan dirinya membengkok lagi Ah, berapa tahun 
sudah diri tak bertemu cermin! Maka dengan badan tegak ia 
kunci kamar dari luar dan berjalan menuju ke ruang duduk 
Martinique sudah  menunggunya sambil menghisap 
segelintir kecil tembakau yang segera dimasukkan ke dalam 
kantong lagi. 
“Nampaknya Tuan ada keperluan penting,” Martinique 
memulai, dan memperlihatkan wajah cerah. 
“Bukan hanya penting, bahkan tak dapat ditangguhkan.” 
‘Tentu saja. Barangkali ada yang dapat kuperbantukan ?” 
“Pasti Tuan akan dapat membantu aku dengan sebuah 
tempat yang sebaik-baiknya, di kapal yang pertama-tama 
menuju ke jayamahanaya .” 
Tentu itu suatu hal yang mudah, asal Tuan sudi 
mengatakan dengan kapal kanjuruhan  atau bukan.” ia 
kelihatan lega mendengar itu, “Hanya soal tempat di kapal 
itu saja, Tuan?” 
“Untuk sementara.” 
“Kalau begitu Tuan memiliki  tugas lain.” 
patih wirabuana  kediri  itu tertawa mengancam. 
“Kalau begitu bersenang-senanglah Tuan di Panarukan 
ini. Dalam beberapa hari ini mungkin akan tiba kapal dari 
Timor untuk terus ke jayamahanaya ,” ia menajamkan 
kewaspadaan. Bertanya lagi, “Kata orang pajang bintoro  terus 
mendesak ke timur. Benarkah itu. Tuan?” 
“Kira-kira berita itu ada benarnya.” 
“Mungkin kediri  akan jatuh?” 
”Terlalu sulit untuk bisa menjatuhkan kediri . Kalau 
kediri  mau. pajang bintoro  bisa dipukul dalam beberapa minggu.” 
“Oh.” 
“Jadi Tuan menduga aku datang ke mari sebab  
melarikan diri? Suatu dugaan yang jahat.” 
“Tak ada aku memiliki  dugaan seperti itu.” 
Mata tua raden  menembusi mata bening tuan rumah 
dan mencoba menyusupi otaknya. 
“Seperti sinar matahari  yang tenggelam sekarang ini, demikian 
juga pajang bintoro  akan tenggelam di sebelah barat sana. Tuan 
Martinique. Boleh jadi kediri  dalam pertempuran akan bisa 
terdesak sementara belum dapat menemukan bentuk 
pertahanan yang tepat, namun  sesudah itu kekuatannya akan 
jadi berlipat ganda dan tak dapat dibendung lagi.” 
“Sekiranya yang sebaliknya yang terjadi?” 
“Maksud Tuan kalau betari lanku meleset?” 
“Bukan meleset, Tuan raden . Tentu betari lan Tuan pasti 
tepat. namun  sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru 
tidak menanggapi  betari lan Tuan? Kalau kediri  yang 
jatuh?” 
“Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya kediri  
berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan 
kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga 
selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa 
akan tertutup bagi kanjuruhan ,” raden  tertawa menggigit. 
“Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya memiliki  
pikiran membuka kantor di sini?” 
‘Tentu ada,” jawab tuanrumah gelisah, “aku hanya 
menjalankan perintah.” 
“Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun memiliki  tenaga di 
kerajaan Blambangan ini. Berdasarkan keterangan dia sudah  
aku sarankan ke jayamahanaya , agar pekerjaan di sini tidak 
diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan 
laut parahyangan , sedang untuk itu cukup di Timor. 
Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat membenkan 
saran pada jayamahanaya ?” 
“Apakah artinya aku ini?” 
“Jawablah Tuan, itu menunjukkan Tuan ada 
kepentingan pribadi dengan Panarukan.” 
“Itu tidak benar.” 
“Boleh jadi, namun   aku akan bikin penyelidikan yang 
teliti. Tuan Martinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya 
istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang 
mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan 
bertenang di sini di luar segala pengawasan.” 
“Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali 
di sebelah sini.” 
“Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang 
hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih 
sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang 
lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan 
usulkan pada jayamahanaya ?” 
”Tiada sesuatu.” 
“Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke 
jayamahanaya , juga ke Luboa!” 
“Itu terserahlah pada Tuan raden  sendiri.” 
“Jangan Tuan marah.” 
“Pastilah setiap orang kanjuruhan  akan marah bila merasa 
disinggung kebesaran negerinya.” 
“Apalah gunanya marah sebab  merasa kebesaran 
negerinya tersinggung, sementara itu membiarkan din 
dungu dalam mengurus    kebesaran itu? Untuk apa marah 
kalau hanya hendak mencari jalan membalas dendam?” 
“Apalah gunanya kita bertengkaran begini? Aku akan 
berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari 
dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya 
seorang Moro.” 
Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan 
pejabat-pe-jabat kanjuruhan  di perairan selatan, bahwa Moro 
yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang 
bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan 
pejabat, tak ada yang menguntungkan. Sedang jayamahanaya  juga 
memerlukan  dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya 
di darat tidak lengah sebab  kemakmuran dan kesenangan 
sebab  dimanjakan oleh raja-raja Pribumi. 
“Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih 
mengetahui kebusang yang betari durga   kanjuruhan . Dia dapat melihat dan 
mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya membuat  
kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini? Tentu Tuan 
pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa 
bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda kacangtanah  dari Barat!” 
“Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku. 
Tuan tidak memiliki  wewenang untuk memeriksa pribadiku. 
Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro. 
Terlalu banyak orang kanjuruhan  yang pandai, seratus kali 
dibandingkan  Tuan.” 
“Tentu saja. namun  apa yang Tuan katakan padaku juga 
penting untuk jayamahanaya .” 
“Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di 
jayamahanaya  sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak 
suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.” 
”Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku 
tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara 
hanya tentang kepentingan kanjuruhan . Sebagai orang kanjuruhan  
tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan kanjuruhan , 
malah orang Moro begini, memiliki  pikiran dan usaha untuk 
kebaikan kanjuruhan .” 
Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang 
penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia memang tak 
dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro kepercayaan 
jayamahanaya  ini. Justru sebab  dia bukan kanjuruhan , kata-katanya 
didengarkan oleh jayamahanaya , keselamatannya dijaga dan 
permintaannya dikabulkan, biar pun hanya berupa lima 
atau sepuluh ons kopi. 
Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya. 
Mudah untuk melakukannya. namun   orang bisa takkan 
melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat 
pepohonan lagi. Ia tak dapat melakukan sesuatu kekasaran. 
Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di 
Panarukan. 
Martinique sendiri memang memiliki  banyak kelemahan di 
hadapan raden  sanggabuana  bumikerta . Di pojok pulau Jawa 
yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang 
laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja 
Blambangan Giri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara 
ia memiliki hubungan baik. Di sini, dapat sedikit 
menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan. 
Tak ada orang kanjuruhan  lain yang lebih tinggi 
kedudukannya. Dari Sri Baginda Girindra Wardhana yang 
sudah  tua itu, ia memperoleh  bantuan 400  orang untuk 
pekerjaan membakar kapur dan batu bata dan membantu 
pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan 
dalam nilai uang, dan jayamahanaya  harus membayarnya. 
Keluarganya di negeri kanjuruhan  sana terjamin. Dan benar 
sekali kata raden  sanggabuana  tak ada pengawasan terhadap 
dirinya di sini. Dan justru sebab  semua itu ia tersinggung. 
raden  ini pasti akan bersuara di jayamahanaya  sana. Ia pasti 
akan ditarik dan Panarukan dan kembali memasuki dinas 
lama. Mungkin seorang baru akan datang 
menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan 
sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia membenarkan 
cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel, 
gelisah, marah dan ingin membunuh si hidung bengkung 
ini, namun  tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu 
terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak 
malu-malu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual 
jasa terbaik bagi nyi kanjeng blora. Dan jayamahanaya  dan Goa memang 
mengakui jasa-jasanya dalam membangunkan kekuasaan 
atas jalan laut dan dalam membangunkan monopoli 
perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan, 
persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la 
termasuk salah seorang perancangnya. 
Martinique sudah  mempersiapkan jalan untuk melakukan 
pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia 
akan kaget! tamunya ini dengan dendamnya. raden  takkan 
mungkin akan bisa membalas. 
Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tamunya dengan 
baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke jayamahanaya  adalah 
suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui 
lalulintas kapal-kapal kanjuruhan , dan raden  pun terkenal 
memiliki  kebiasaan menempuh banyak jalan untuk 
menghubungi jayamahanaya , surat-surat, utusan atau kunjungan 
pribadi. Dan bila ia ke jayamahanaya  bukan tidak berarti jalan-
jalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa 
kali bila toh hendak memhancur kannya di laut, sebab  
suaranya toh akan datang juga ke jayamahanaya . 
‘Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi 
Saudara Cortez?” pada suatu hari Martinique membuka 
perangkapnya. “Ia sudah  berhasil membuka rumah 
perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut 
ditempuh untuk berjalan-jalan.” 
patih wirabuana  kediri  itu sama sekali tidak memiliki 
kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas 
dunia ini. Perhatian pun ia tak memiliki , la tak menanggapi. 
“Barangkali ada juga baiknya,” Martinique menyarani. 
“Tuan mengenal baik penywise, bukan?” 
Mata raden  sanggabuana  bumikerta  yang besar itu 
memancarkan pandang curiga pada tuanrumah. 
“Tentu ada baiknya,” Martinique menemukan, “bukan 
saja sebab  penywise, rumah perawatan itu patut juga 
dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman penywise.” 
“penywise yang mana?” 
“Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu? Tuan justru yang 
lebih mengenalnya.” 
‘Tidak, aku tak kenal.” 
“Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan 
sendiri yang menyuruh mpu jahalodang membawanya ke kapal 
dalam keadaan terbius dan terikat?” Ia pura-pura tak 
melihat tamunya nampak agak gugup dan membetulkan 
letak tarbusnya. “Mungkin Tuan bisa memberinya sedikit 
keterangan tentang penywise. Ia dipesan oleh adiknya, ibu 
si pelarian itu.” 
Tamu yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia 
menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia 
tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique 
mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat 
tamunya agak ragu-ragu, ia memberanikan: “Tak ada yang 
perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blambangan ini 
sama aman, mungkin lebih aman dibandingkan  Lisboa atau 
Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah arca    sana. 
Malahan di sini tak pernah ada pasukan  patroli penjaga , tak ada 
hermandad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa 
berjalan senang dan aman sampai ke luar kota sana ” 
patih wirabuana  kediri  itu berjalan, tertindih oleh 
bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang 
jalan, pagar dari suadipati  batu karang itu juga yang 
kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat. 
Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap 
tak tahu namanya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia 
memerlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap 
ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak 
tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian 
bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok 
umpak. 
Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di 
pedalaman kediri  sana. Anak-anak kecil berlarian di jalan-
jalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua 
Laki-laki  bertelanjang dada dengan gada wesi  tersandang pada 
pinggang. 
Nampaknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya 
yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang 
bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya 
yang berat. 
Apa saja yang pernah dilihat orang Blambangan ini 
dalam hidupnya, pikirnya. 
Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang 
pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya. 
Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang 
kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit. 
Dengan pandang sekilas ia dapat membedakan mana 
ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang 
dada. Antara kesatria raja  dengan petani terdapat perbedaan sikap 
dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani 
betapa perbedaan bisa terjadi hanya sebab  kelainan tempat 
dilahirkan dan dikandungkan. Perbedaan yang 
menggelikan. 
Sangat sedikit orang bisa jawadwipa  di sini dibandingkan 
dengan di kediri . Dan pada umumnya orang tertawa 
mendengarkan ia berbahasa Jawa kediri . namun   ia tidak 
peduli dan meneruskan jalannya. 
Rumah perawatan yang dimaksudkan sudah  nampak dari 
jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu 
depan dipasangi dengan cakra besar dari kuningan, 
mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan 
kepala  nya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya 
selalu tertutup. Orang luar tak dapat melihat ke dalamnya. 
Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah 
orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya 
seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor 
dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha. 
Wajahnya kemerah-merahan oleh kelelahan. Ia mundur 
beberapa langkah. Dan wanita itu tak mempedulikannya, 
lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi 
serombongan kecil orang memburunya sambil berseru-seru 
dalam bahasa Jawa setempat “Pogoh! Balik! Pulang1 
Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!” 
Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan 
melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para 
pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka 
sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa 
orang di antaranya sudah mulai tak mampu lari lagi. Semua 
lebih tua dibandingkan  wanita lesbian  menggendong yang dipanggil 
Pogoh, laki dan wanita lesbian . 
la lihat Pogoh masuk ke pelataran rumah perawatan, 
langsung menuju ke pintu bercakra kuningan, berteriak-
teriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya. 
Pada salah seorang pengejar patih wirabuana  itu bertanya 
dalam Jawa: “Ada apa ini?” 
Seorang Laki-laki  menghampiri dan membuang i mukanya: 
“Kalian orang nyi kanjeng blora busuk, di mana-mana mengganggu 
kami!” tuduhnya. 
la berhenti menghadapi raden . Dan raden  menyeka 
mukanya dengan selembar setangan putih. 
“Jangan keliru!” raung raden , dan mengangkat tongkat. 
“Aku pendatang baru.” 
“Baru atau lama semua nyi kanjeng blora sama saja!” ia membuang   
lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri 
pada yang lain-lain. 
“Keparat!” patih wirabuana  memekik, mengamangkan 
tongkat dan menyeka mukanya. 
Di sana pintu bercakra itu terbuka. Seorang Laki-laki  
kanjuruhan  berpakaian pelaut memunculkan kepala   dari 
kiraian pintu, melihat pada Pogoh, lalu  melihat pada 
para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengembangkan 
kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan 
para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung 
orang kanjuruhan . 
Para pengejar tak berani menangkap wanita lesbian  itu. 
raden  sanggabuana  mempercepat jalan, dan tak lama 
lalu  juga sampai di depan pintu bercakra itu. 
“Jangan sentuh dia, Pogoh,” kata  para pengejar itu di 
hadapan orang kanjuruhan  itu.  
“Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan!” kata  
seorang wanita setengah baya. 
patih wirabuana  berdiri di belakang para pengejar itu, 
terengah-engah. 
“Lindungi saya , Bapa,” kata  Pogoh dari belakang 
punggung kanjuruhan  berpakaian pelaut itu. 
“Masuk cepat ke dalam,” perintah kanjuruhan  itu sambil 
sedikit menengok padanya. 
namun   Pogoh tak berani masuk. kanjuruhan  itu 
mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu. 
”Ugh”  
“Kembalikan Pogoh kami. Bapa,” wanita setengah baya 
itu meratap. 
Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu 
bercakra itu. Bahkan melalui kanjuruhan  yang seorang itu pun 
tak berani. 
“saya  bapaknya, Bapa, saya  berwenang 
menyelamatkan dia,” Laki-laki  yang membuang i raden  itu 
membela haknya. 
“Kau takkan selamatkan dia,” bantah kanjuruhan  itu dalam 
Jawa setempat. “Kau dan kalian hanya akan aniaya dan 
bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku. 
Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin 
dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian 
sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang 
bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri 
juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.” 
“Pogoh, Bapa,” wanita itu mengulangi ratapannya. 
“Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam 
keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.” 
“Anak saya . Bapa,” wanita itu merengek, “juga cucu 
saya . Bapa.” 
“Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda 
mengetahui ini dan menghukum kalian,” ancam kanjuruhan  
itu. 
Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan 
pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat raden  berdiri di 
situ orang Laki-laki  setengah baya itu membuang i lagi ditambah 
dengan sumpahan. 
patih wirabuana  mengayunkan tongkat dan si pepukul  tidak 
menggubrisnya, malahan membuang inya lagi. Sekali ini ke 
tanah. Dan sekali lagi raden  terpaksa mengeluarkan 
setangan dan menyeka muka. 
kanjuruhan  berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan 
pintu di bawah cakra kuningan waktu patih wirabuana  itu datang 
padanya dan mengulurkan tangan. 
“Selamat pagi, saudara Cortez,” katanya dalam kanjuruhan . 
Cortez mengawasi kanjuruhan  kehitaman itu sejenak, 
mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum 
terpaksa berkata: “Selamat pagi. Siapakah yang aku 
hadapi?” 
“patih wirabuana  kediri , Saudara Cortez.” 
“O-ya, Tuan patih wirabuana  kediri . Sudah beberapa hari ini 
aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke jayamahanaya . 
Mari masuk.” 
Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti 
berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai, 
sedang anaknya sedang merangkak-rangkak. 
“Lindungi saya , Bapa.” 
“Apakah semua ini, Saudara?” tanya patih wirabuana  dalam 
kanjuruhan . 
“Hanya kejadian sehari-hari,” lalu  dalam Jawa 
pada Pogoh: “Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini. 
Pogoh namamu, bukan?” 
patih wirabuana  menebarkan pandang selintas. Ruangan 
besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa 
orang wanita sedang bekerja membersihkan lantai dan 
dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat 
wanita dan hanya wanita atau bayi. 
“Semua wanita lesbian ,” katanya lalu . 
“Bangunlah kau, Pogoh,” kata Cortez dalam kanjuruhan . 
Pogoh yang menengadahkan muka itu nampak bermandi 
airmata. 
“Bangun, kau!” raden  sanggabuana  bumikerta  menjawakan. 
“Makhluk celaka di negerimu sendiri ini,” kata Cortez 
dalam Jawa pada raden  sanggabuana . “Seperti Pogoh ini,” Ia 
menuding pada wanita itu. “Lari dari bangsanya sendiri. 
Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suami meninggal dan 
sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.” 
“Bukan saya  menolak mengikuti suami saya ,” 
Pogoh memprotes. 
“Bangsa pemberontak , jahil celaka,” kata patih wirabuana  dalam 
kanjuruhan . 
“Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua,” kata 
Cortez dalam Jawa. “sang hyang Widhi  Bapa, melindungi.” 
“saya  tidak bunting, Bapa,” protes Pogoh. 
“Bangkit kau berdiri.” perintah Cortez pada Pogoh 
dalam kanjuruhan . 
Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya 
dan menangis minta dada. 
Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia 
berdiri membungkuk, mengawasi lantai dan memprotes 
dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun 
patih wirabuana  mencangkung untuk dapat menangkap: 
“Bukan saya  kurang atau tidak berbakti pada suami. 
Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada saya . 
Cuma saya  tak ada keberanian melompat ke dalam api, 
meliuk-liuk dan menyeringai, lalu  jadi arang dan 
debu kelabu tiada bentuk. saya  selalu ingat pada anak 
saya  yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan 
merawatnya.” 
‘Takkan ada orang akan mengambil kau dari sini tanpa 
semaumu sendiri,” Cortez mepercaya kan. Kau berada di 
tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan 
bekerja dengan mereka.” 
“Anak saya , Bapa.” 
“Anakmu juga selamat di sini.” 
“saya  lari dari api sebab  anak ini.” 
“Beristirahat kau barang dua-tiga hari. Tenang-
tenangkan hatimu.” 
“Kau masih akan memiliki  anak lagi,” kata patih wirabuana . 
Cortez memandangi patih wirabuana  untuk mencegahnya 
ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan 
meneruskan: “Dan seorang lagi, dan seorang lagi….” 
“saya  orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak 
dan beranak saya  larikan diri dari suami-dewa saya .” 
“Diamlah Tuan,” kata Cortez dalam Jawa pada 
patih wirabuana . 
“Diamlah kau,” kata raden  dalam Jawa pada Pogoh. 
Cortez nampak tak bersenang hati melihat campur-
tangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh 
menyuruhnya masuk ke dalam. lalu  pintu dalam itu 
ia tutup. 
“Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini,” 
patih wirabuana  memulai. 
“Bukan, Tuan patih wirabuana , kami baru membuka ladang. 
Menyebar benih pun belum.” 
“Bagaimana rencana Tuan dengan mereka?” 
“Ummat Nasrani makin lama makin banyak datang dari 
segala pojok dunia untuk melihat  Panarukan. Kapal-
kapal kanjuruhan  mengarungi semua samudra. Pada suatu kali 
barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan 
berangkat dengan mereka sebagai domba yang maha pencipta . Anak-
anak yang dibesarkan di sini akan mengembarai bumi 
tumpah darahnya membawa terang pada bangsanya….” 
Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan 
wanita-wanita pekerja itu sudah  masuk semua ke dalam. 
patih wirabuana  membelokkan percakapan pada maksud 
kedatangannya. 
“Adapun tentang penywise, kemenakan Saudara 
Cortez, para bala tentara  kediri  sudah  membunuhnya. Mayatnya 
dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku 
beritakan dengan dukacita kepada Saudara.” 
“Yesus Maria!” sebut Cortez dan membuat cakra dengan 
jarinya. “Benarkah Tuan ini?” 
‘Tidak ada yang lebih benar dibandingkan  itu, Saudara.” 
“Tuan mengetahui betul?” 
‘sudah  aku bikin penyelidikan yang teliti.” 
‘Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar. 
Tuan. Di blora sana orang mengabarkan bukan para bala tentara  
kediri  yang membunuhnya, walau pun dia dan temannya 
memang dijatuhi hukuman mati. Jelas para bala tentara  kediri  
memang akan membunuhnya,” ia pandangi patih wirabuana  itu 
seakan baru saja dilihatnya. “Tuan patih wirabuana  kediri , 
bukan?” 
“Tidak keliru, Saudara.” 
“pakanewon  Habibullah Al-Masawa, bukan?” 
“Benar, Saudara Cortez, pakanewon  Habibullah Al-Masawa.” 
“Alias pakanewon  adipati  Al-Badaiwi, bukan?” 
patih wirabuana  kediri  ragu-ragu. Matanya mengerjap-
ngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya 
diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya 
mengandung maksud buruk. 
“Alias raden  sanggabuana  bumikerta , bukan?” Cortez 
meneruskan. “Ya, itulah kata orang di blora sana, orang-
orang kanjuruhan , maksudku. Mengapa Tuan diam saja?” 
Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiap-
siap hendak melakukan sesuatu, ia mebersabda kan wajah dan 
tersenyum ikhlas meneruskan: “Melalui nakhoda kapal 
Lisboa   tentu Tuan masih ingat kapal itu, bukan?   melalui 
nakhodanya, jayamahanaya  sudah  menebus pada Tuan untuk harga 
kemenakanku dan temannya bernama fredy krueger . Benar 
begitu, bukan?” 
Nafas raden  sanggabuana  terengah-engah seperti habis 
mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembang-
kempis seperti insang ikan di darat. 
“Mengapa Tuan diam saja? Yesus Maria! Beginilah 
macamnya seorang pembunuh? Keluar! Mengotori tempat 
ini dengan kehadiranmu? Penjahat paling hina yang pernah 
ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!” 
Dan patih wirabuana  itu masih kehilangan kepribadiannya. 
Matanya kelap-kelip memandangi penuduhnya yang 
kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan 
masuk ke dalam melalui pintu dalam. 
“Astagafirullah!” sebut raden  lalu . Dengan 
perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan 
dan langsung pulang ke kantor dagang kanjuruhan . 
Sampai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran. 
Perkara itu nampaknya sudah  diketahui oleh orang-orang 
nyi kanjeng blora di blora, dan barang tentu di jayamahanaya  juga, di Goa 
dan tumapel , di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga 
kira-kira di panarukan : raden  sanggabuana  bumikerta  sudah  
menerima uang tebusan buat dua orang kanjuruhan  pelarian, 
lalu  ia sendiri yang membunuhnya. Memang benar 
ada saksi yang menyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi 
juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja 
mungkin belum begitu. namun  berita ia sudah  membunuh 
mereka? Membunuh orang kanjuruhan    Moro membunuh 
orang kanjuruhan ? sekaligus dua? 
Dan sekarang ia merasa menyesal tidak membantah 
Saudara Cortez berdepan-depan. 
Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui. 
Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku sebab  
sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan 
jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan 
bekas kebakaran. 
Ia dengar-dengar suara betari i di depan kamarnya. Tak 
salah: suara Martinique. Dan ia merasa lelah  untuk keluar. 
Kalau semua orang kanjuruhan  tahu siapa pembunuh mereka, 
negeri kanjuruhan  dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat 
diinjaknya. Dengan senang hati baik gada  nyi kanjeng blora 
maupun Ispanya akan berjasang yang betari durga   pada tubuh seorang Moro 
terbenci. 
Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua? 
Ia merasa Martinique memang sengaja mondar-mandir 
di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke 
luar. Ia akan bertahan, Bertahan! 
“Aa, Tuan raden  sanggabuana !” seru Martinique dengan 
suara bernada kemenangan. “Mari duduk-duduk. Hari ini 
ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit 
macan dari raja Klungkung di Bali sana,” ia menuding ke 
arah pulau Bali. “Aku ada rencana untuk jayamahanaya , Tuan. 
Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai permadani 
bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda 
dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa 
berpermadani kulit macan. Bayangkan, Tuan.” 
“Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana 
Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika 
dengan kepala   utuh sudah dipakai  untuk lapik 
bercengkebetari , berdeklamasi, berbicara tentang obat-
obatan baru…” 
“Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina.” 
raden  sanggabuana  tertawa meremehkan. Martinique 
menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan 
baru: ‘Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara 
Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu 
betul tentang nasib penywise dan temannya itu. Siapa pula 
namanya? O, ya, fredy krueger . Aneh, orang-orang kanjuruhan  
dengan nama blambangan . Ah-ya, mungkin saja.” 
“Aku tak tahu tentang itu.” 
“Mengapa Tuan terburu-buru ke rumah Saudara Cortez 
seperti memperoleh  panggilan dari seorang kekasih? Dan 
mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu 
macan?” 
patih wirabuana  kediri  megap-megap sebentar. Ia raba 
dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai 
begini lemahnya. 
“Baiklah kalau Tuan tak suka membicarakan soal 
pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin 
mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari 
aku yang mengurus    pelarian-pelarian itu waktu diserahkan 
oleh mpu jahalodang ke kapal.” Tiba-tiba ia mengalihkan 
pembicaraan. “Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan 
berangkat pada hari itu juga. jayamahanaya  akan bersorak-sorai 
menyambut Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang 
hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang 
kanjuruhan !” 
“Seorang pengabdi kanjuruhan  takkan membunuh 
kanjuruhan ,” bantah raden . 
“Sia-sia, Tuan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di 
dermaga kediri ? Ada seorang saksi ketika kilat memancar 
dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu,” ia menuding pada 
hulu gading tongkat tamunya, “pada salah seorang di dalam 
krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil?” 
‘Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi!” 
bantah raden . 
Martinique tertawa terbahak. Dan raden  menjadi pucat 
sesudah  ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui 
tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya 
yang sudah  jadi begitu lemah. 
“jadi betul Tuan ada di dermaga waktu itu. Dan Tuan 
mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat? sebab  
jayamahanaya  sudah  menunggu Tuan? Dengan tiang gantungan?” 
“Coba Tuan terangkan’ patih wirabuana  itu berlunak-lunak, 
“bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku membunuh 
mereka?” 
“Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di jayamahanaya  
sana. Pasti Tuan akan merasa puas.” 
“Baik!” jawabnya untuk memutuskan persoalan yang tak 
menyenangkan itu. “Bersama dengan kulit macan dari Bali 
itu.” 
namun   Martinique belum lagi puas dalam membalaskan 
dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya: 
“Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di jenggala kediri  
yang bernama… ah, siapa pula namanya itu, oh, ya, 
mpu jahalodang,… bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarian-
pelarian itu di kapalku dahulu ? Ya-ya, mpu jahalodang namanya. 
Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali 
melihat warungnya. Dia berdayung memantai dari timur, 
sampai di dermaga naik, kilat menyambar, dan melihat 
Tuan, tidak lain dari Tuan patih wirabuana  kediri  bermain 
pisau tongkat…. Itulah dia si mpu jahalodang pelarian. Dan tongkat 
di tangan Tuan itulah yang Tuan mainkan. Berani bertaruh, 
dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,” 
“Semua orang tahu, pewarung arak selalu menipu.” 
“Dan Tuan selalu bersedia membayar tipuannya, bukan? 
Aku juga membeli dari dia seperti Tuan.” 
“Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang 
itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita 
cedera pada pedalaman dirinya. “Siapkan kulit-kulit macan 
Tuan, biar aku kawal ke jayamahanaya .” 
Ia melangkah ke arah biliknya kembali. 
Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah 
penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar 
aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu 
menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke jayamahanaya .” 
Dan sebetulnya  ia takut juga. 
wah 
 
Pada hari yang sudah  ditentukan Martinique 
mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan 
sudah  dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang raden  
sanggabuana  masih menumpuk di dermaga. 
patih wirabuana  itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya 
cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambat-
lambat seakan bongkoknya, menjadi 30  kali lebih 
berat. 
Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambat-
lambat ia berjalan mendekati bersama Martinique. 
Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi 
yang bicara lantang pada para pendengarnya: “Pada hari ke 
dua, teman-teman. ki glodog ireng  dari pasukan kuda 
kediri  menghalau pajang bintoro  dari kediri . Ia tidak rela 
pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main ki glodog 
ireng . pajang bintoro  mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti 
air banjir membongkar tanggul ki glodog ireng  terdesak ke 
timur. namun   sebelum sampai ke kota. Kala chucky  Patih 
kediri  Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya 
memotong dari selatan. Air banjir pajang bintoro  patah di tengah 
seperti saluran kejasang yang betari durga   sekaten. Pasukan pengawal kediri  
menceburkan diri di dalam kancah. lalu  pasukan 
kaki kediri  memukul dari luar kediri . Hampir-hampir 
Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki. 
Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang 
menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat 
benar kediri ! ki glodog ireng ! Kala chucky ! Rangkum! dan 
Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke kediri  hari ini. Hari 
ini juga. Siapa ikut boleh turut!” 
“Aku ikut!” seru patih wirabuana  kediri . “Pindahkan 
barang-barang ke dalam perahumu!” perintahnya. 
‘Tuan tidak jadi ke jayamahanaya ?” tanya Martinique. 
raden  sanggabuana  bumikerta  tak menjawab, dan orang 
mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu 
layar kediri . 
“Bedebah!” maki Martinique. 
patih wirabuana  kediri  buru-buru turun ke perahu kediri . 
0odwo0 
 
37. Panjang   Jayakarta 
Bulan Juli 1527 
Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran 
melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar 
antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan 
keduanya mendayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di 
daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari 
armada suryabuaya  -pajang bintoro . 
Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau 
Sumatra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau 
Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar matahari  dari sebelah barat. 
Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru 
dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada 
permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara 
sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang 
dipasangi dengan baling-baling bulu ayam putih 
menghasilkan layur. 
Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah 
pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang 
pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau 
kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata. 
Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya 
hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara 
hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa 
diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh. 
Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau 
dilewati. “Mengapa kau tak pernah bercerita?” 
Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan 
tangan, memandanginya sambil tersenyum dan membuang 
muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerah-
merahan seperti buah tomat menjelang matang. 
“Tentu sebab  ingat pada rumah,” desak Pada. “Mereka 
sekarang tak ada di rumah lagi, baginda tuanku raja ,” jawabnya dengan 
suara dan lagu menyanyi bening itu. “Mereka semua sudah  
melarikan diri masuk ke hutan-hutan.” 
“Ya, baginda tuanku raja , sebab  kita lari. Mereka akan menerima 
hukuman dari Sri Baginda. sebab  patih  lari. Mereka akan 
dihukum oleh Sang Patih Narogol.” 
“Mereka akan dapat menangkap kasut kami.” 
Sabarini mendengus tertawa. 
“Betapa besar dosaku pada mereka.” 
Sabarini mengayuh cepat-cepat. 
“Bagaimana harus kutebus dosa kita?” Pada bertanya. 
“Tidak perlu. baginda tuanku raja . Bapak saya  sendiri yang bersalah. 
Jangan jadi fikiran, baginda tuanku raja . Mereka akan lari ke hutan-hutan, 
berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup   
tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda. 
Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali mereka 
akan turun ke Sunda kacangtanah .” 
“Nampaknya kau tak berprihatin.” 
“Bukankah sudah cukup lama patih  berprihatin?” 
“Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.” 
“Ya baginda tuanku raja ,” Sabarini mulai suka bicara. “Di desa kami 
gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat 
muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut 
kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan 
dibawa ke Pakuan. patih  sendiri tumbuh jadi gadis tua 
sebab  ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak 
berani melamar patih . Orang memandang patih  dengan 
belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk 
seorang selir.” 
Pada mendengarkan suara bening istrinya yang 
bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara 
sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk memberanikan. 
Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih 
indah dibandingkan  kebenaran yang terkandung di dalamnya: 
“Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita, 
baginda tuanku raja . Janganlah baginda tuanku raja  menjadi risau. Semua akan 
bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan 
seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia 
membantu dan melindungi dan berkorban   tahu mereka 
bakal mati di ujung tombak. baginda tuanku raja  sama sekali tak berdosa 
pada mereka.” 
“Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak 
suka bicara seperti orang-orang lain?” 
Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum. 
lalu  menunduk malu. 
“Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di 
tengah laut tanpa saksi begini?” 
“Ah, baginda tuanku raja , baginda tuanku raja  tidak tahu bagaimana perasaan patih . 
Bagaimanakah patih  harus lewatkan kebahagiaan ini 
dengan hanya bicara?” 
“Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku baginda tuanku raja .” 
Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. “Sekarang 
ceritakan tentang kebahagiaanmu.” 
Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal 
kelahirannya, dan tentang kepala   desa dan seluruh 
penduduk desa yang tak berani mempersembahkan duduk-
perkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia 
menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia 
bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang 
yang berani membela dan melindunginya, ia akan membela 
dan melindungi dirinya sendiri. 
“Apabila patih  berhasil dalam usaha patih ,” Sabarini 
meneruskan, “patih  akan mengembara jauh, jauh entah ke 
mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. patih  lulus, 
lalu  datang seorang pangeran dari suryabuaya  , yang 
sekarang memperistri patih . Pangeran itu harus lari dari 
kejaran para bala tentara  Pajajaran. patih  pun akan jadi orang 
kejaran. Mengapalah patih  takkan lari dengannya?” 
Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di 
mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus 
diambil. Dan keputusan itu juga diambil secara tepat Dan 
tidak lain dari Sabarini yang berjasa. 
“Begitulah sang hyang Widhi  mempertemukan kita. Segala puji-
pujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia 
bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu patih . 
Terganggu perasaanku mendengar itu. “Aku sama sekali 
bukan seorang pangeran”. 
Pada memperhatikan perubahan pada airmuka istrinya. 
Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran, 
dianggapnya wanita lesbian  itu tak begitu mendengarkan. 
“Aku sama sekali bukan seorang pangeran,” ia 
mengulangi. 
“Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak? 
Seorang pangeran takkan menanggapi  istrinya 
sebagaimana suamiku menanggapi  diriku’ 
Pada agak kecewa melihat Sabarini tidak terkejut 
“Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani 
biasa, sebab  seorang petani hanya sederhana, tidak 
ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu 
tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak 
bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula 
kulihat, tamu agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang 
orang biasa dalam pakaian kebesaran.” 
“Sabarini!” gumam Pada sesudah  mendengar begitu 
banyak kata tercurah. “lihat, jenggala Panjang sudah mulai 
nampak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi 
Sumatra.” 
sinar matahari  mulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal 
muncul dari balik-balik gunung di daratan Sumatra. Angin 
kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut 
raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah 
mengancam. resi h mengaum dari kejauhan dan kilat sam-
bar-menyambar di cakrawala. 
Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan 
terpancari sisa sinar sinar matahari  nampak di kejauhan, di tentang 
kaki langit. 
“Armada nyi kanjeng blora,” gumam Pada. “ayolah , dayung 
cepat.” 
Mereka mendayung cepat-cepat memasuki pelabuhan 
Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai 
mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur 
angin seperti langsung dilemparkan dari langit. 
Sesudah  mencancang perahu pengantin baru itu dengan 
membawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke 
dalam sebuah bedeng yang sudah  penuh dengan tumpukan 
kranjang lada. 
Seorang penjaga memberi tempat berteduh pada mereka 
di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari 
angin dan air. 
Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada 
sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak 
kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan 
nampak belum lagi lama didirikan. 
Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal nyi kanjeng blora 
akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di 
panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan 
jatikerto  sesudah  lolos dari blokade armada suryabuaya  -pajang bintoro . 
Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak 
jadi jenggala betari i. Saudagar dari Sunda kacangtanah , jatikerto  dan 
Cimanuk berlomba-lomba memindahkan kegiatannya di 
sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan 
rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam 
kurang dari setahun Panjang akan sudah  sangat berubah. 
Kemakmuran sudah  menarik orang-orang dari pedalaman 
untuk bekerja di jenggala sehingga pedalaman kekurangan 
tenaga untuk mengurus  pertanian dan panen lada. Beras 
pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan 
minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga 
yang tinggi. 
Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa 
kemakmuran bisa berpindah-pindah dari jenggala yang satu 
ke yang lain. Dan bila armada suryabuaya  -pajang bintoro  terus-menerus 
menindas jenggala -jenggala lain dan membuat nya jadi jenggala 
tak bebas, Panjang bisa menggantikan jayamahanaya  atau blora. 
Sesudah  berunding dengan istrinya mereka bersepakat 
menunda pelayaran ke jayamahanaya  untuk melihat-lihat Panjang 
lebih lama. 
wah 
 
Armada kanjuruhan  itu tak mau berkisar dari tujuan 
semula, menolak berlindung di jenggala Panjang. 
ki ageng argomerta , pemimpin armada, adalah seorang 
muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan 
bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat 
dengan cepat dari kelasi menjadi kepala   setting, jurumudi, 
wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin 
armada. 
Menurut perintah yang diterima ia harus memulai 
pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda 
kacangtanah  selama setengah tahun dengan menurunkan para bala tentara  
dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke 
jayamahanaya  membawa lada dari Panjang. 
namun   ia juga memiliki  rencana pribadi. Ia akan selesaikan 
pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda kacangtanah . Yang tiga 
bulan lagi akan dipakai nya untuk membangun 
kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk 
kanjuruhan . Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa 
jadi pemimpin kanjuruhan  di Asia yang berkedudukan di 
jayamahanaya . 
Ia tak menanggapi  kekuatiran anak buahnya 
sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun 
semakin menggunung. Satu mata taufan sudah  menerjang 
armada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan 
tenggara. Beberapa tiang kapal sudah  patah dengan layar 
compang-camping. Laut yang ditekan taufan itu 
menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulung-
bergulung. Beberapa kapal sudah  patah kemudi, dan tanpa 
daya diseret terus dalam cengkebetari n gelombang. 
Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut, 
menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau 
dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar  muncul  dari 
balik puncak ombak. Dengan tenggelamnya matahari  alam pun 
menjadi kelabu hitam. Curah hujan memicu  orang tak 
bisa lagi melihat ke depan. 
Semua layar sudah  digulung, namun   deras angin 
menghalau mereka ke selatan. 
Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan 
adanya manusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lentera-
lentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari 
ki ageng argomerta  pada kapal-kapalnya yang tak 
terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantam-
hantamkan kaki pada geladak, memaki dan menyumpah. 
Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal 
curahnya dan kilat sabung-menyabung merajai alam. 
Bagi ki ageng argomerta  hanya peristiwa yang sekali ini saja 
ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila 
sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan 
runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu 
kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di 
waktu dekat mendatang. 
Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda kacangtanah ! 
Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi namun  
atas nama kanjuruhan : pembalasan dendam atas kediri  yang 
sudah  berani menghina beberapa tahun yang lalu. 
Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan 
dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho 
sudah  menyelonong paling depan, kadang berputar dalam 
mata taufan, kadang mendorong permukaan laut, lalu  
meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas 
kemudinya sudah  patah dan tak ada satu tiang pun utuh. 
Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas, 
lalu  dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke 
dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal 
berapungan  muncul -tenggelam di puncak-puncak ombak. 
Petir menyambar. Sebuah kapal pecah, miring, 
lalu  tenggelam. 
“Jesus Maria!” sebutnya. “Pantang mundur! Maju terus! 
Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.” 
di kuil rat-di kuil ratnya memerintahkan: Maju terus! 
wah 
 
Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat 
keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar 
kucing kapal itu lalu  terangkat ke udara dan terbang 
dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia 
menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar 
ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, lalu  
jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan 
pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas 
kapal menancap pada dasarnya. 
Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah 
berentakan, Manusia di dalamnya kehabisan daya, adalah 
laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami 
cedera, itu pun hanya sebab  kebetulan. 
Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan 
lengan patah. Namun ia masih mampu memberikan 
perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah: 
“Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!” 
Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran 
melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya 
hanya semak-semak rawa. 
“Terdampar jauh di darat!” seorang di antaranya berseru. 
“Sayang kapal sebagus ini.” 
Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan 
mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi 
mengembalikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke 
jurusan tenggara. 
“Terdampar jauh di darat!” kata  kelasi itu. 
Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. sinar matahari  
baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan 
melemparkannya ke tanah. lalu  ia berdiri di atas 
batang pohon kacangtanah  rebah dengan akar-akarnya jadi 
pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon 
lain. 
‘Terdampar di tengah-tengah rawa!” serunya ke atas. 
Juga tak ada sambutan. 
Mereka naik lagi ke atas, langsung memperoleh kan Duarte 
Coelho yang pingsan tak sadarkan diri. 
wah 
 
centeng -centeng  pajang bintoro  yang bertugas menjaga 
perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di 
belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan 
mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti. 
Daerah itu tak pernah dimasuki orang selama ini. Orang 
gentar pada demam rawa yang membunuh. Maka ia lari 
memperoleh kan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu. 
Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawa-
rawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik 
di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak 
berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila 
yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang 
lalu  masuk berbareng dengan tombak di tangan dan 
gada  di pinggang. Dan mereka memperoleh kan kapal 
kanjuruhan  yang sudah  compang-camping tanpa tiang tanpa 
layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal 
sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya 
seorang kanjuruhan  ia lihat bergerak di dalam kapal itu. 
lalu  seorang lagi. 
Monyet pada memekik-mekik dan burung-burung 
bernyanyi seperti lima ratus tahun yang lalu. Tak ada buaya 
nampak di sekitar. 
Mula-mula para centeng  berunding berbisik-bisik, 
lalu  mendengar-dengar kan lagi. namun  di atas kapal itu 
sunyi saja. Seorang centeng  mengambil batu dan 
melembarkan pada kapal Seorang kanjuruhan  muncul dan 
melihat  ke bawah, lalu  pergi lagi. 
Peratus memerintahkan menyerbu. Mereka turun ke air, 
langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik, 
semua mendongakkan kepala   ke atas. 
Barisan centeng  di belakang datang membawa batang-
batang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik. 
Dua orang kanjuruhan  dengan gada  di tangan menghantam 
setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu. 
Dan melihat semakin banyak orang datang membawa 
batang, mereka pun memakai  musket dan menembaki. 
Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang 
nyi kanjeng blora itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya 
menukik dari atas dan kepala  nya menancap pada lumpur 
dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air. 
Seseorang menghantamkan gada nya, dan tubuh itu 
lalu  rebah. 
Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik 
ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah 
dengan tombak dan gada  terhtumenggung dijoyo . Yang mereka 
dapatkan hanya tubuh-tubuh nyi kanjeng blora yang 
bergelimpangan tanpa daya. 
Tombak dan gada  menghabisi mereka tanpa 
perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte 
Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba memberikan 
perlawanan. Pertarungan dengan gada  sebentar berlaku. 
Baja beradu baja berdentingan sebentar lalu  padam 
sama sekali. Sebilah tombak sudah  melumpuhkan Duarte 
Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar. 
centeng  pajang bintoro  bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai 
bergelimpangan. 
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte 
Coelho masih sempat bicara dalam jawadwipa : “Kami datang 
untuk bersahabat.” 
Ia sudah tak mendengar lagi waktu centeng  pajang bintoro  
menjawabinya. 
Tak antara lama seratus centeng  lagi datang. Seluruh 
kapal compang-camping itu diperiksa. Semua benda 
dikumpulkan di geladak termasuk 9  pucuk gada rujakpolo , 
peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas 
tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat 
kebaktian, patung dan cakra milik pribadi awak kapal. 
Peratus itu memerintahkan menurunkan semua dan 
mempersembahkan pada Fathillah. Demikian mereka 
mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak 
yang baru diretas. 
Sebagian dari para centeng  memperoleh  perintah membuat  
jembatan untuk menurunkan gada rujakpolo  dan barang-barang 
berat lain. Sebagian memperoleh  perintah membuat  tali. namun  
sebagian besar melakukan pengangkutan. 
Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini 
riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan 
melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan 
air minum dan makan siang. 
Tengah hari Fathillah sendiri memerlukan datang dan 
melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai 
pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam 
renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak 
dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan 
tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke jenggala . 
Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari 
penanggulan pesisir jenggala yang menghalangi pasang-surut 
air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak memiliki  dugaan 
sesuatu, mabok memperoleh  jarahan. 
Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang centeng  
tambahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan 
melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barang-
barang besar. 
Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi 
menghadapi tanah lapang. 
Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rumah ini. 
Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk 
melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya. 
Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya 
menunggu datangnya gada rujakpolo -gada rujakpolo  rampasan. namun   
barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa 
melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran 
luruhan dedaunan. 
Waktu musket-musket datang ia keluar dari markas dan 
memerintahkan membongkarnya dari ikatan. 
Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan 
membagi-bagikannya pada mereka, lalu  sendiri 
memberikan petunjuk bagaimana memakai nya. Dua 
ratus pucuk sudah  dirampas pada hari itu. 
Seorang centeng  mempersembahkan padanya sebuah 
bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki 
dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti 
pada kaki seorang centeng , tanpa jagang. 
centeng , yang menduga bola itu barang sihir, melompat 
lelah . Ketakutan memicu  wajahnya nampak jadi 
ungu. 
‘Tendang!” perintah Fathillah. 
Bola itu ditendang oleh centeng  lain lagi, menggelinding 
dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh 
ke laut benda itu sudah  penyek. 
Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh 
Fathillah. Ia memeriksanya sebentar lalu  
memakai nya untuk meneropong laut lepas. Benda itu 
ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya. 
Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu 
diperiksanya, lalu  dipendek-panjangkan. Meneropong 
lagi ke laut lepas. lalu  melihat dengan mata telanjang 
pada ke jauhan dan meneropong lagi. 
Ia berpikir sebentar. lalu  bertanya pada pengiring 
yang berdiri di belakangnya; dalam jawadwipa : “Coba lihat 
sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk 
ini?” 
“Ada patih  lihat, baginda tuanku raja , namun  tidak jelas,” jawab pengiring 
itu, juga dalam jawadwipa . 
“Apa yang kau lihat?” 
“Beberapa titik putih. baginda tuanku raja .” 
“Coba dengan ini.” 
Pengiring itu memakai  teropong, melepas dan 
memakai nya kembali, melepas dan memeriksa kaca-
kaca teropong, lalu  meninjau dengan mata telanjang 
dan memakai nya lagi. 
“Apa kau lihat?” 
“Tiga kapal asing, baginda tuanku raja , dengan teropong ini.” 
Fathillah mengambil teropong itu dan memakai nya. 
lalu  dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya 
melihat ke kejauhan, sesudah  itu disuruhnya dengan 
teropong. 
“Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, baginda tuanku raja , 
sedang menuju ke Sunda kacangtanah .” 
“Pengangkutan gada rujakpolo  supaya lebih cepat!” perintahnya 
pada yang lain. 
Dan gada rujakpolo  yang sudah ada ia perintahkan dipasang di 
belakang bentengan kayu bakau-bakau. 
“Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus 
centeng  lagi untuk mengangkut!” perintahnya pada seorang 
peratus pajang bintoro . 
Orang itu lari untuk menjalankan perintah. 
Lima pucuk gada rujakpolo  sudah  terpasang di balik bentengan. 
Fathillah sendiri memberi petunjuk cara memakai  
sebagaimana pernah didengar-dengamya dari palawa ia dan 
Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke 
tangan. 
Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa 
perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat 
merampas semua kapal kanjuruhan  yang datang dan 
merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus 
depa. 
“Hentikan pengangkutan!” seorang peratus meneruskan 
perintah Fathillah. “Siapkan gada  dan tombak.” 
Moncong-moncong gada rujakpolo  rampasan sudah  ditujukan 
pada sisa armada ki ageng argomerta  yang mendatangi. Semua 
terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua 
orang berbesar hati dengan adanya gada rujakpolo . 
Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan 
pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki. 
Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal 
itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya 
tumpas. 
Panglima-Laksamana-Gubernur meneropong dan 
meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu 
semakin lama semakin membesar. Juga nyamuk semakin 
giat menyerang mereka yang bersiaga dalam keadaan diam. 
Betapa lama. Dan memang lama. 
Kapal-kapal itu ternyata tidak memasuki muara 
Ciliwung. Tiga-tiganya membuang sauh jauh dari darat. 
Lama, lama sekali rasanya, baru lalu  mereka 
menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani gada rujakpolo  
tanpa pernah berlatih sudah  gatal tangan untuk segera 
menembak. Mereka yang memperoleh  pembagian musket juga 
tanpa pernah berlatih sudah  gelisah. Setidak-tidaknya 
prajurit kerajaan  suryabuaya  -pajang bintoro  sedang dalam semangat tinggi. 
Kapal-kapal mulai menuangkan centeng nya ke semua 
sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara 
Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang. 
Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke 
atas, lebih tinggi dari kepala   mereka. Dari tempatnya yang 
terlindung Fathillah meneropong. “Mereka turun ke sekoci 
dengan tangga tali’ ia memperingatkan. “Hati-hati. Mereka 
kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. nyi kanjeng blora tetap 
nyi kanjeng blora. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi. 
Mereka lebih suka tewas dibandingkan  bertekuk lutut. Jangan 
gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya’ 
para bala tentara -para bala tentara  kanjuruhan  itu diturunkan di tepian muara 
Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk 
meneruskan pendaratan. 
“Awasi setiap gerak-geraknya,” Fathillah menekan 
kekecewaan sebab  yang turun mendarat seluruhnya hanya 
berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu 
tetap terjaga dari dalam. 
Dari teropongnya ia melihat gada rujakpolo -gada rujakpolo  kapal 
ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya 
tembak cetbang. 
“Mereka yang mendarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya 
lalu  ditembaki, tenggelam atau lan tersapu.” 
Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak 
bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya 
dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya 
terhias selempang merah Itulah ki ageng argomerta . 
para bala tentara -para bala tentara  yang sudah  turun mulai dibariskan. 
ki ageng argomerta  berjalan dalam iringan tiga orang. 
lalu  seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka 
menuju ke lapangan jenggala . Dan bansan itu berhenti. 
ki ageng argomerta  berhenti, meninjau ke segala penjuru. 
Nampaknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada 
orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu 
sama sekali Sunda kacangtanah  sudah jatuh dan tangan Pajajaran 
pada pajang bintoro , la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke 
samping, lalu  kembali ke barisan. 
Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung, 
ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang 
tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya 
tercancang rapi seperti suadipati  ikan. Semua tanpa manusia. 
la kembali lagi pada barisan. 
Seorang pengiring memberikan pikiran padanya, 
mungkin penduduk Sunda kacangtanah  masih ketakutan pada 
taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa 
membantah, sebab  bukan adat pelaut lari dari angin. 
Mungkin sedang merayakan pesta di pedalaman. 
Seorang pengiring lain menyarankan untuk membawa 
naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau 
kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa memberikan 
jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu 
dengan Pangeran Sunda kacangtanah , Gubernur jenggala , untuk 
segera bisa memulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak 
mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan 
Sang Gubernur. 
Dan di mana pula patih wirabuana ? 
Dari pengalaman di kediri  ia mengerti, bila seorang 
patih wirabuana  tak datang menyambut sewaktu kanjuruhan  
datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres. 
Di mana patih wirabuana ? 
Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun 
tinggal lengang tak bermanusia. 
Tak tahan terkepung oleh kesenyapan ki ageng argomerta  
menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor 
patih wirabuana  dan berteriak kencang; tangan dicorongkan 
pada mulut: “patih wirabuana ! patih wirabuana !” 
Hanya deburan laut jua yang menjawab. 
Ia memberikan perintah agar pasukannya bergerak maju. 
Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke 
tempat kantor patih wirabuana , lalu  membelok ke kanan 
menuju ke tempat tugu perjanjian kanjuruhan -Pajajaran. 
ki ageng argomerta  menjadi murka melihat tugu itu sudah  
hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi 
empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan 
mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan 
senjata sudah  dilakukan oleh orang: suatu kekuatan sudah  
menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap 
tempur. 
Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong 
rampasan. 
Pasukan kecil kanjuruhan  itu bersiap-siap untuk balik ke 
laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan 
menuju ke tempat sekoci. 
ki ageng argomerta  menarik pandang tinggi, memekik. 
Dari balik semak-semak pasukan pajang bintoro  bersorak-sorak 
sambil melemparkan tombak. Musket pajang bintoro  tak ada 
sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan 
oleh Fathillah ternyata tidak kena. 
centeng -centeng  kanjuruhan  memencar barisan. 
Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu, 
lalu  bergelombang-gelombang. Semburan pelurunya 
beterbangan dan berjasang yang betari durga   menjadi hujan logam. 
gada rujakpolo  rampasan mulai berdentaman dari balik semak-
semak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapal-
kapal kanjuruhan . Tangan-tangan tak terlatih itu 
menghamburkan peluru tanpa mengenai sasaran. 
centeng -centeng  pajang bintoro  sudah mulai bergelimpangan. 
Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan 
menguntungkan kanjuruhan . Dengan jarak dekat mereka 
takkan segera dapat menyiapkan senjatanya. Ia perintahkan 
pelemparan tombak terus-menerus sambil menerjang maju. 
Dengan gada  di tangan ia pimpin sendiri penyergapan. 
Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar 
dalam puputan angin seperti melambai-lambai pada 
barisannya. 
Pasukan kanjuruhan  menyelamatkan ki ageng argomerta  di 
tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan 
Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya 
terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring, 
keras, dan dengan gada  dilambai-lambaikan ke udara. 
Mereka yang roboh terkena tombak ditinggalkan dalam 
gerakan mundur. Tak seorang pun korban mereka bawa. 
Dari seberang Ciliwung para bala tentara  pajang bintoro  mulai bersorak-
sorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda 
pasukan kanjuruhan  melepaskan tembakan sekali lagi dan 
buyar berebut dahulu  turun ke sekoci masing-masing. Yang 
tak memperoleh  tempat melompat dalam perahu  dan perahu 
penduduk. 
Dari seberang para bala tentara  pajang bintoro  mulai menaiki biduk juga 
dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan 
anak panah. kanjuruhan  membalas dengan tembakan-
tembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan 
tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan. 
Tak sebuah pun sekoci kanjuruhan  tertinggal. Mereka 
mendayung berpencaran melalui peluru gada rujakpolo  pajang bintoro  
yang berjasang yang betari durga   di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu 
sudah  mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan 
penumpangnya berlompatan ke laut. 
Dari teropongnya Fathillah melihat ki ageng argomerta  tetap 
berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu gada  dan 
matanya terpaku pada Sunda kacangtanah . Wajahnya merah 
padam sebab  murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa 
harus diperbuatnya. 
gada rujakpolo -gada rujakpolo  kapal tak dapat leluasa menembak, 
takut mengenai teman-temannya sendiri. 
ki ageng argomerta  mengetahui usahanya gagal, la tak 
berani mendaratkan pasukannya. 
 
22 Juni 1527 
Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan, 
seakan sudah seia dengan raden panji  gelang-gelang : “Mereka takkan 
datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.” 
Biduk-biduk itu sudah  sampai di kapal masing-masing. 
Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang 
mengherankan sudah  terjadi: kanjuruhan  tak melepaskan satu 
peluru pun dari gada rujakpolo -gada rujakpolo nya. 
Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa 
armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah 
itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa. 
para bala tentara  suryabuaya  -pajang bintoro  bersorak-sorai dalam 
keredupan nya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun 
sudah  pernah menghadapi nyi kanjeng blora le-lananging jagad 
dalam suatu pertempuran sebetulnya . Perasaan rendah 
takut pada nyi kanjeng blora yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi 
pudar nyi kanjeng blora ternyata memang hanya manusia biasa yang 
dapat juga dihalau. 
Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah 
mengumumkan: “Dengan nama sang hyang Widhi  yang Maha Pemurah 
dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang 
dilimpahkan-Nya pada kita, kita sudah  halau nyi kanjeng blora ke 
laut. Insya sang hyang Widhi  mereka takkan menginjakkan kaki lagi di 
bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku 
nyatakan jenggala ini berganti nama, dan menjadilah 
Jayakarta. Jaya pada awal dan lalu nya, karta untuk 
selama-lamanya.” 
Berita penghalauan kanjuruhan  dari Sunda kacangtanah  dan 
terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di 
Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang 
membicarakannya dengan bersemangat. 
namun   saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka 
tetap tertumpuk di bedeng-bedeng. 
Untuk dapat memberitakan pada raden panji  gelang-gelang  dengan 
lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda 
keberangkatannya ke jayamahanaya . Dan istrinya menyambut 
putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari 
ia bergelandangan di jenggala kecil yang mendadak 
kehilangan keredupan nya itu. 
Berita kanjuruhan  akan mengambil lada tak terdengar lagi. 
Berita lain datang menyusul: sisa armada kanjuruhan  itu 
berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap 
pertemuan dengan armada suryabuaya  -pajang bintoro . 
Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapal-
kapal Parsi, palawa , Benggala, yang masih ragu-ragu hendak 
meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh, 
berebut cepat memperoleh kan lada di Panjang. 
Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya 
sedapat ia jual. 
Pada dan Sabarini bekerja berdagang  lada untuk 
penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi 
biasanya. Mungkin juga nyi kanjeng blora berjanji hendak 
mengambilnya dengan harga lebih mahal. 
Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu 
banyak tumpukan lada yang belum terjual. jenggala kembali 
jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli 
sisa itu dan mengangkutnya ke blora atau jayamahanaya . Dengan 
lada jenggala -jenggala dalam kekuasaan kanjuruhan  selalu 
terbuka. 
Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng, 
kembali Pada dan Sabarini tak memiliki suatu pekerjaan 
tertentu. Berdua mereka tinggal di jenggala dengan kegiatan 
hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam 
kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari 
Madura, membawa berita, bahwa jenggala jatikerto  dan 
Jayakarta untuk ke dua kalinya sudah  dinyatakan sebagai 
jenggala bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai 
berdatangan, namun   tidak untuk berdagang, hanya untuk 
memperoleh kan air dan beras dan sayuran. 
Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan jenggala 
Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil 
melompat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap, 
belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana. 
Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh 
para bala tentara -para bala tentara  itu.” 
Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: “Tidak 
bertemu dengan armada nyi kanjeng blora?” 
“Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat 
menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah 
terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang 
dari kediri  dan pajang bintoro  dan suryabuaya   dibunuh,” Nakhoda 
Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal. 
“Di mana bertemu dengan mereka?” 
“Di atas Juana.” 
“Jadi mereka tak mendarat di suryabuaya  ?” 
“Tidak. Sesudah  Juana mereka mulai mendekati pantai. 
namun  mereka terus ke jurusan timur.” 
“Ke Blambangan barangkali?” 
“Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah pajang bintoro  
mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum 
tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus 
menunggu. 
Kapal-kapal dari negeri dongeng  berdatangan lagi melalui 
barat Sumatra. Dan kanjuruhan  tak kunjung tiba. Lada yang 
didatangkan oleh para penyelundup dari luar jenggala -jenggala 
dalam kekuasaan pajang bintoro  memang terus berdatangan, namun   
jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan. 
Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan 
sangat cepat, persediaan habis, namun   keadaan tidak 
menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan 
perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan jatikerto  sendiri. 
Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan 
jenggala -jenggala nya. Kapal-kapal negeri dongeng  mulai tersedot 
ke sana. Akibatnya jenggala Panjang surut menjadi sepi 
seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja jenggala 
tak memiliki  pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke 
pedalaman untuk mengurus    lada. Pada dan Sabarini ikut 
saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari 
penghidupan seperti yang lain-lain. 
Sebuah berita hebat sudah  pecah, mengabarkan kanjuruhan  
akan datang mengambil lada yang sudah  dijanjikan. Orang 
pun berbondong-bondong turun ke jenggala Panjang. 
Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barang-
barangnya untuk melarikan diri dari jenggala . Tiadanya 
persediaan lada akan memicu  kanjuruhan  bakal 
melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh jenggala . 
Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi. 
Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan 
adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera 
dirubung orang untuk memperoleh kan beritanya. 
“Kami takkan dapatkan lada di kediri ,” katanya. “Ke 
Jayakarta dan jatikerto  kami takut. Kami bukan arca   . Maka 
kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di 
sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.” 
Mendengar kediri  dinamakan -sebut Pada mendesak ke 
depan dan bertanya: “Apakah nyi kanjeng blora tidak mendarat di 
kediri ?” 
“Takkan diperoleh  sesuatu di kediri . Mereka mendarat 
dan mengamuk di sana.” 
“Siapa mereka? Maksudmu nyi kanjeng blora?”  
“Siapa lagi kalau bukan nyi kanjeng blora?”  
“Bukankah kediri  sudah jadi daerah pajang bintoro ?”  
‘Tidak. Hanya sehari pajang bintoro  memasuki kediri . Mereka 
diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke 
tangan prajurit kerajaan  kediri . Pada waktu itulah nyi kanjeng blora 
masuk.”  
“Jelas nyi kanjeng blora sudah menguasai kediri ?”  
“Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.”  
“Jadi bagaimana halnya dengan prajurit kerajaan  kediri  dan 
pajang bintoro ?”  
“kediri  mengundurkan diri ke luar kota. pajang bintoro  tidak 
meneruskan serangannya ke kediri .”  
“Jadi kediri  kena keroyok?”  
“Boleh jadi begitu jadinya.” 
Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi. 
Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam 
mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah 
lama tiada mereka memakai . 
“Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini. 
Kita akan teruskan pelayaran.” 
“sebab  berita-berita itu?”  
“sebab  berita-berita itu, Sabarini.”  
“Bukankah belum tentu semua itu benar?”  
“Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak 
dia akan jadi tertawaan di setiap jenggala , penghidupannya 
akan mati.” 
0od-w-o0 
 
38. Yang Lola di Semenanjung 
Hari itu Hang Wira berkunjung ke kampung-kampung 
penduduk. lalu  juga memasuki kampung-kampung 
para  centeng  kediri  dan Bugis, yang kini sudah  menjadi 
petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka sudah  belajar 
melupakan negeri kelahiran masing-masing. 
Dan dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya, 
dengan wanita setempat yang kini jadi istrinya, pergulatan 
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari sudah  menggantikan 
perjuangan bersenjata. Perdagangan dan pertukaran barang 
sudah  mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan centeng . 
Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat 
menanam lima belas pohon pisang, sesudah  membabat 
semak dan menebang hutan, berarti mereka sudah  
menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun 
yang akan datang. Dan bila mereka berhasil menanam 
jagung selebar 30  depa persegi setiap hari, mereka 
sudah  menyimpan sepuluh hari makanan sehari untuk empat 
bulan mendatang, justru pada waktu pengantin baru mereka 
harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir 
atas nama mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami 
saja. 
raden panji  gelang-gelang  tahu, ia tak mampu mengatasi 
kemerosotan centeng -centeng . Dan dalam bicara dengan 
mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya, 
apalagi bila menghadapi istri-istri mereka. 
Dan di mana-mana suara mereka sama saja: “Apakah 
yang bisa diharapkan lagi di Jawa? Kami dapat mati sia-sia 
untuk mengabdi tidak menentu. Ampuni kami, 
panembahan senapati ki ageng wilareja .” 
Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih 
berhak dibandingkan  Trenggono ataupun Sang adiputro . Sesudah  
kanjeng sinuhun  pajang bintoro  meneruskan usahanya untuk menguasai 
Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan 
jayamahanaya  bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah 
sudah  jadi lelucon yang mengibakan. 
raden panji  gelang-gelang  menghargai perasaan mereka. Ia tak 
memiliki kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah 
kemerosotan. 
Kegiatan kepara bala tentara an tinggal hanya kesibukan 
pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula 
kanjuruhan  tidak lagi meronda keluar perbatasan kota jayamahanaya . 
Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa 
persetujuan tanpa perjanjian. 
Dan semua itu membuat  hati raden panji  gelang-gelang  menjadi 
lengang, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik 
dibandingkan  masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun 
untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan 
kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan. 
Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya 
kekosongan yang menganga, bolong dan melompong. 
Dalam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar 
kata-kata ini: “panembahan senapati ki ageng wilareja , apa sebetulnya  yang kita 
kehendaki? Toh bukan kematian yang percuma?” 
Demikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari 
kampung ke kampung. Di mana-mana pisang dalam 
pertumbuhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon 
turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus. 
Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda, 
dan setiap bekas centeng  memiliki jauh lebih luas dibandingkan  
penduduk asli. Beberapa orang malah mulai membuka 
kebun kacangtanah , cengkeh dan barus. 
Kelengangan di dalam hati itu mencopoti kekuatannya 
untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap 
kali ia mencoba memperoleh kan pegangan baru, setiap kali 
pula luput. Gapaian tinggal gapaian, dan pikirannya 
membuncah murka bila teringat pada pengkhianatan dari 
segala penjuru yang nampaknya dicurahkan pada dirinya 
seorang. Dan kemerosotan anak buahnya meluncur terus ke 
bawah. 
Dengan seorang istri orang sudah bertekad menetap di 
Semenanjung ini, pikirnya. Mereka sudah  memperoleh kan 
segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rumah, ladang, anak, 
kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau 
kanjeng sinuhun . Tanah di sini lebih subur dibandingkan  kediri , pajang bintoro  
ataupun suryabuaya  . Air mencukupi. Dan raja-raja di Jawa sana 
hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas 
nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan 
dirinya sendiri. 
Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum 
lagi teratur, memasuki kampung-kampung yang lebih baru. 
Dan setiap keluarga me nyambutnya dengan bersabda . Itulah 
satu-satunya penghibur dirinya. Dari seorang panembahan senapati ki ageng  dan 
Panglima pasukan gabungan ia berubah jadi seorang kepala  
bagi mereka. Dan apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah 
ada tambahan bayi sebagai tambahan warganya? Bayi 
kelahiran Semenanjung? Tak mengenal kediri  dan Jawa? 
Memang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan 
kecenteng an me luncur terus menuju ke titik terdalam. 
Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli. 
Seorang wanita berlutut di hadapannya, bersujud  dan 
menangis: “Hang Wira, ampunilah saya , tolonglah 
saya .” 
lalu  datang juga suaminya, berdiri angkuh 
memegangi hulu parang dan menatapnya dengan 
pandangan mengancam. Tak lama lalu  seluruh 
penduduk kampung dari beberapa rumah itu datang 
merubung. 
“Apa aku bisa tolongkan. wanita lesbian ?” 
“Anak saya , Hang Wira, seorang kediri  sudah  
menculiknya, anak perawan saya . Kembalikan dia pada 
saya .” 
“Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin 
rusuh!” terdengar suara parau suaminya yang masih juga 
memegangi hulu parang. “Kembalikan anakku!” 
“Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, wanita lesbian . 
Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang centeng  
kediri  dijatuhi hukuman mati sebab  perkosaan?” 
“Kembalikan anakku!” suara parau suaminya semakin 
mengancam. “Tak bisa kami diperlakukan begini lebih 
lama.” 
“Hai, wanita lesbian , anak itu anakmu ataukah anak Laki-laki  
ini?” 
“Anak saya  sendiri.” 
“Maksudmu orang ini bapak-tirinya?” 
“Betul, Hang Wira.” 
“Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan 
memperoleh kan menantu yang baik. Apakah lamarannya 
pernah kau tolak?” 
“Suami saya  yang menolaknya, Hang wira.” 
“Anak itu kubesarkan sejak kecil,” gumam sang suami 
sambil menghampiri raden panji  gelang-gelang , “patutkah menerima 
pinangan seorang petualang? Kembalikan dia, atau kami 
akan perangi semua petualang kediri  di sini.” 
Rubungan orang itu bubar melihat perkelahian akan 
terjadi. 
“Jangan, Bang, jangan,” tegah wanita lesbian  itu pada 
suaminya sambil memegangi tangannya. namun   Laki-laki  itu 
mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih 
tetap menegah: “Jangan, jangan!” melihat suaminya mulai 
menarik parang. 
raden panji  gelang-gelang  melangkah ke samping dan menegah: 
“Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakmu. Mengapa kau 
yang marah; sedang berhak tidak?” 
Dan Laki-laki  itu menjawab dengan ayunan parang, 
memekik: “Rasakan parang Semenanjung!” 
raden panji  gelang-gelang  melompat dan melompat. Dan Laki-laki  itu 
menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada 
suatu kesempatan panembahan senapati ki ageng  dapat menyambar potongan 
bambu untuk penangkis. Dan bunyi parang beradu dengan 
bambu itu mendebarkan orang yang menyaksikan. 
“Jangan, Bang, jangaaaan,” teriak istrinya. 
“Sudah, sudah cukup!” tegah Hang Wira. 
Laki-laki  itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan sudah  
memancar dan pandangannya, sehingga bola-bola matanya 
nampak seperti terbalik 
Melihat itu raden panji  gelang-gelang  mulai memekik menyerang 
dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia serampang 
kaki lawannya sehingga terkata  dan terpincang-pincang 
mengendorkan serangan. Namun ia masih juga menyerang. 
Dengan hantaman luarbiasa keras Hang Wira 
menyerampang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu 
terkata  dan jatuh terduduk lalu  mengerang-ngerang. 
Matanya melotot gusar. 
“Bukan maksudku hendak menganiaya,” kata Hang 
Wira. Ia tinggal berdiri menunggui Laki-laki  itu kalau-kalau 
masih hendak menyerang juga. 
Laki-laki  itu sudah  kehilangan gairah. Dan ia tetap juga 
duduk meraba-raba tulang-keringnya. Mulurnya berkomat-
kamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia 
lemparkan parang pada raden panji  gelang-gelang , menyerempet pada 
betis, jatuh menancap ke tanah. 
Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak 
melukai, sebab  bukan mata parang yang sudah  mengenai. 
Kembali orang datang merubung. Istrinya mencabut 
parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain. 
lalu  ia menolong suaminya berdiri dan memapahnya 
masuk ke rumah. 
Juga raden panji  gelang-gelang  ikut masuk. Ia duduk diam-diam. 
“Tidak. Kaki itu tidak aku patahkan. wanita lesbian , biarlah 
aku pergi mencari menantumu itu. Dan kalian, penduduk 
kampung, janganlah mencari-cari sengketa. Kami tak 
pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada 
anakbuahku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun 
ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita 
urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan 
hanya sekedar teman dan tetangga; mereka sudah  mulai jadi 
saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalamu….” 
Ia keluar dari rumah, berjalan murung pulang ke markas, 
la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk 
berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengusir 
nyi kanjeng blora. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. Dan 
permusuhan dari penduduk adalah satu kutukan. Ia harus 
dapat mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan 
nyi kanjeng blora… 
Dan ia mengakui, persoalan wanita memang jadi 
masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang 
anakbuahnya ada yang sudah  membuat  perahu dan hanya 
untuk membajak wanita di kampung-kampung nelayan 
untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenanjung. 
Lebih enam ratus Laki-laki ! Dan Laki-laki  memang dilahirkan oleh 
wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia 
menduga akan menghadapi masalah ini la datang untuk 
berperang. Dan kini semua sudah  berkisar menjurus ke arah 
yang sama sekali berlainan. 
Ia berhenti waktu mendengar jerit seorang bayi. 
“Kelahiran baru,” ia membelok ke sebuah pondok, 
melihat  ke dalam. 
“Laki-laki !” seseorang terdengar berseru girang. 
raden panji  gelang-gelang  berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu 
tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar, 
mungkin kanjuruhan  bukan musuh dan bukan persoalannya. 
Bukankah orangtuanya sendiri sudah memunggungi 
persoalan itu sebab  kekecewaan pada raja-rajanya sendiri? 
Ia menarik nafas panjang, memenuhi paru-parunya 
dengan udara malam yang segar. 
Ya, aku sudah  dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang 
sudah  membebaskan aku…. 
Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk 
bersama seorang wanita muda cantik, bermata bulat dengan 
bulu mata panjang. Dua-duanya sudah nampak lelah dan 
mengantuk, namun   bertekad menunggu sampai ia datang. 
Waktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang 
tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka 
membuka mata. 
“Kau datang, Pada,” tegur Hang Wira. 
Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menangis 
gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini 
mengangkat sembah dari tempatnya dan memperhatikan 
dua orang Laki-laki  yang berangkulan seperti bocah itu. 
“Ampuni aku bila terlalu lama.” 
“Sudah tak ada bedanya lama atau tidak. Pada. Kau baik 
dan selamat. Itu sudah cukup.” 
“Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya 
seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang raden gelang-gelang , 
abangku.” 
Hang Wira tertawa senang melihat Sabarini yang 
menunduk dan mengangkat sembah: “Anak dari mana kau, 
Upik?” tanyanya dalam jawa. 
“Bukan jawa, Kang.” 
“Aceh? pekajan , Minang?” 
“Sunda,” jawab Sabarini dengan suaranya yang 
menyanyi. 
raden panji  gelang-gelang  mengangkat tangan memberikan restu. 
Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan 
gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap 
kepala  : “Syukur pada sang Hyang betari durga  , restu untuk kalian, 
semoga keksang hyang Widhi  perkawinan ini dan dikaruniai 
kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi 
hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilang-
gemilang. Berdirilah kalian.” 
Mereka berdua berdiri dan masih bersujud  dada dan 
menunduk. 
“Pada, bawalah istrimu beristirahat.” 
Mereka berdua bergerak meninggalkannya. Dari sinar 
lampu panembahan senapati ki ageng  itu melihat kilau airmata bahagia mereka 
berdua. 
“Ya, berbahagialah kalian.” 
la segera tenggelam dalam kenangan pada 
perkawinannya yang gilang-gemilang dahulu . Ia tersenyum 
sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar sejenis  itu, 
penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut 
merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan nyi girah  
sebagai Kamaratih. lalu  tandunya jatuh. Sebagai 
pengantin ia dan istrinya terjerembab di tanah. 
Terjerembab! Mungkin perlambang kejasang yang betari durga  nya selama 
irii. Tahyul! kata nya menolak gagasan tentang perlambang 
itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang memang 
gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan 
pernah gagal. 
Kegagalan yang berisikan penyesalan   banyak 
penyesalan. Sang Patih kediri  sudah  tewas sebab  tangan 
dan gada wesi nya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang 
majikan dan seorang resi  sekaligus! Dan patih  di pasuruan  itu 
  banyak namanya pun ia tak tahu. Dan adipati kelabangwungu   dayang  
terpandai itu. Tiga orang yang sudah  tewas sebab  
tangannya   dan tidak sebab  perang! 
Ia tinggalkan markas dan memasuki malam. 
Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung 
memantai pesisir timur Sumatra Pada sudah  berpikir keras 
untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. Dan 
ternyata tak semudah itu ia dapat mengikuti kejadian-
kejadian yang simpang siur seperti benang kacau itu. 
Ratu Aisah   mengapa wanita tua itu berkunci diri di 
dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas 
adiputro  tumenggung dijoyo ? yang pang pang mengapa pula dibunuh oleh 
para bala tentara  pajang bintoro ? Dan mengapa pula keluarga raden panji  gelang-gelang  
terancam kehancur an? Mengapa panembahan senapati ki ageng  dituduh 
bersengkongkol menentang pajang bintoro ? Dan mengapa pula 
dirinya sendiri disangkut-pautkan dengan semua itu? 
Ia tak dapat menjawab. 
Gerakan Trenggono ke jurusan timur dan barat pajang bintoro , 
penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas 
jatikerto , Sunda kacangtanah  dan Cimanuk   semua pelabuhan 
penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah 
Trenggono sudah bertekad menguasai semua jenggala di 
Jawa sebagai kerajaan yang pada mulanya tak memiliki  
jenggala ? Adakah hanya kediri  memperoleh kan jenggala suryabuaya   
maka Trenggono bernafsu menggagahi banyak jenggala lain? 
Dan mengapa lawan-lawan kanjeng sinuhun  pajang bintoro  tak ada yang 
mampu menahan gelombang prajurit kerajaan nya? Mengapa 
pula kediri  yang beratus tahun jadi andal-andal kerajaan jenggala  
dapat ditangannya, bahkan sudah  terjamah ibukotanya? Lagi 
pula apa sebabnya prajurit kerajaan  kediri  mencoba terus 
menghalau musuhnya sekalipun Sang adiputro  sudah  
mangkat. Dan mengapa pula nyi kanjeng blora langsung masuk ke 
kediri  sesudah  kegagalannya di Sunda kacangtanah ? Seakan-akan 
semua itu berputar untuk keuntungan nyi kanjeng blora? 
Dan di Jayakarta dan jatikerto  untuk kedua kalinya 
Fathillah menyatakan dua jenggala itu jadi jenggala bebas. 
Dan mengapa armada suryabuaya  -pajang bintoro  mengakhiri 
blokadenya? Dan mengapa prajurit kerajaan  armada itu tak 
meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman? Dan 
mengapa bukan jatikerto  dan Jayakarta sebagai jenggala bebas 
dengan sekali pukul sudah  mematikan jenggala Panjang? 
Benang yang kacau itu semakin kacau. 
Yang paling memusingkannya adalah: Mengapa 
Trenggono menyia-nyiakan kekhalifahan ayahandanya 
almarhum. Sudah selesaikah riwayat kerajaan arca    
pertama-tama di Jawa, dan terjatuh jadi kerajaan pemberontak  
sebagai semula? 
Mengapa justru raden panji  gelang-gelang  yang harus 
mengusahakan pembebasan jayamahanaya  dengan sekutu-sekutu 
yang ditarik kembali dan yang tidak ada? Mengapa ia 
memperoleh kan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung? 
Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan gada rujakpolo  
nyi kanjeng blora? Bahkan tak boleh dengan cetbang? Dan bukankah 
raden panji  gelang-gelang  itu sendiri yang sudah  merampas senjata 
ampuh itu. Dan mengapa panembahan senapati ki ageng  yang paling berjasa pada 
kediri  itu justru diusir dari kediri ? Dan mengapa ia 
sekarang harus menduduki jabatan sebagai panglima pula? 
Dalam pelayaran kembali ke jayamahanaya  ia menjadi kurus 
dan nampak lebih jangkung dibandingkan  sebetulnya . 
Ia tak mampu keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih 
memusingkan baginya adalah masalah kediri . Untuk siapa 
prajurit kerajaan  kediri  berkelahi mati-matian melawan pajang bintoro ? 
Dan mengapa kediri  begitu mudah dimasuki kanjuruhan ? 
Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut 
peristiwa yang susul-menyusul begitu cepat. Ia merasa diri 
semakin jadi bodoh. Mungkin, pikirnya memaafkan diri 
sendiri, sebab  sedang dalam suasana pengantin baru maka 
diri menjadi bebal. 
Waktu memasuki Pati ternyata tak ada gangguan dari 
pihak kanjuruhan . Mereka memang nampak kasar dan tidak 
tahu adat, namun   tak selembar pun barang-barangnya 
mereka rampas, apalagi perahu layarnya. 
Juga perahu-perahu lain tiada mengalami sesuatu 
kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya 
segera dibeli oleh nyi kanjeng blora dengan uang perak. Dan ia tak 
melihat adanya permusuhan tertuju padanya. 
Ia pun dapat meninggalkan jenggala tanpa dicurigai. 
Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya. 
Mengapa nyi kanjeng blora-nyi kanjeng blora itu nampak begitu damai? Dan 
jarang di antara mereka membawa senjata? Dan mengapa 
di kediri  justru sebaliknya? 
Waktu berjalan memikul beban menuju ke markas 
raden panji  gelang-gelang  sedang istrinya menggendong pada 
punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia 
takan mampu menyusun laporan untuk panglimanya. Dan 
ia merasa akan menderita aib sekiranya raden panji  gelang-gelang  
menuduhnya hanya mengurus  soal bini semata dan tidak 
melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang 
bersabda  dan tidak menuding, bahkan merestui 
perkawinannya, melenyapkan seluruh gada wesi auannya. 
raden gelang-gelang  yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai 
seorang abang yang pemurah dan bijaksana. 
Keesokan harinya ia sudah  berniat hendak 
menyampaikan berita-berita sebagaimana adanya. Ternyata 
ia tidak mampu menyusunnya. 
Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di 
sebuah bangku kebun di belakang markas. Nampaknya 
Panglima sedang berpikir keras. Matanya suram. 
Pelahan-pelahan ia duduk di dekatnya. Dan di luar 
dugaannya ternyata ia ditegur lebih dahulu dengan suara 
lunak: “Coba ceritakan bagaimana kau memperoleh kan 
istrimu,” ia tersenyum. 
Ketegangan Pada hilang sama sekali 
Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebut-
nyebut dan bertepuk-tepuk kegirangan seperti dua orang 
bocah yang belum mengenal dunia di sebuah dusun 
terpencil, aman dan damai. 
“Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran.” 
“Mungkin begitu juga rasanya anak-anak dewa di atas 
dunia ini, Kang.” 
“Di mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak 
menduga dengan begitu mudah ia memperoleh kan jalan untuk 
menyampaikan segala yang sudah  dilihat dan didengarnya 
sendiri di kediri , campa , suryabuaya  , Pajajaran, Sunda 
kacangtanah  dan Panjang, malah juga di blora. Pengalamannya 
dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. Dan: “Seminggu 
tepat aku duduk di depan pendopo dalam terik matan 
dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau para bala tentara  pajang bintoro  
menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang 
gadis kecil menyampaikan sebuah bungkusan. Aku tahu 
bungkusan itu untuk Kang raden gelang-gelang . Ampunilah aku sebab  
sudah  kukenakan untuk memperoleh kan sedikit kesenangan 
sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan 
itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala   desa 
Baleugbag, desa Sabarini, istriku.” 
“Semua ketakutan dan kelelahanmu sudah  ditebus. Kau 
sudah  memperoleh kan seorang istri yang tiada duanya. Belum 
pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan 
menarik seakan hanya keluar dari mulut bidadari, bukan 
manusia.”  
“Kau melebih-lebihkan, Kang.” 
“Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura 
dungu. ayolah , teruskan ceritamu.” 
Pada meneruskan ceritanya tentang jatuhnya jatikerto  dan 
Sunda kacangtanah  ke tangan pajang bintoro . Bahwa Sunda kacangtanah  
sudah  diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk lalu  
juga diseibu oleh armada suryabuaya  -pajang bintoro . Dan sesudah  itu 
armada bergerak dengan bantuan tenaga setempat 
menduduki Cirebon. 
raden panji  gelang-gelang  diam termenung mendengar bagaimana 
Fathillah menghalau kanjuruhan  dan kapal-kapalnya. Dan 
armada itu meninggalkan Sunda kacangtanah  tanpa melepaskan 
sebutir pun peluru gada rujakpolo . “Apakah kau tidak keliru. 
Pada?” 
‘Tidak. kanjuruhan  tidak menembak. Mereka terus berlayar 
ke timur, terus ke timur.” 
“Dan memasuki kediri .”  
“Ya, dan memasuki kediri .” 
“Mungkin mereka hendak selamatkan pelurunya untuk 
kediri .” Hang Wira menerangkan. “Mungkin sebab  itu 
mereka dapat menusuk kediri  dengan mudah. Jadi kau tak 
dapat menemui Kala chucky ?” 
‘Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku 
ceritakan: Sang adiputro  mangkat waktu pajang bintoro  masuk.” 
raden panji  gelang-gelang  seperti tersengat kalajengking. 
Dipandanginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya. 
Melihat airmuka Pada tidak berubah, ia berbalik dan 
berjalan tanpa menoleh. 
Pada yang masih juga duduk menunggu akhirnya berdiri 
juga dan mencarinya. Didapatinya panembahan senapati ki ageng  sedang berdiri 
merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya 
bertahan pada sebatang kayu. “Kau sudah  terbebas dari 
sumpah. Kang.”  
“Apakah hanya itu saja yang penting?” 
“Memang tidak. Ada yang lebih penting: prajurit kerajaan  
kediri  berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka 
berperang?” 
“Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama mati, 
raja baru tidak ada. Dan tak ada anak desa tampil marak 
menobatkan dirinya sendiri. Ada suatu jaman di mana 
seorang anak desa dapat tampil demikian. Tiga ratus tahun 
yang lalu. Pada.” 
“Kau sudah terlalu sering menceritakannya: Ken Arok 
Rajasanagara.”  
“Betul, Pada. Dan jaman itu takkan berulang. kediri  
tidak melahirkan Ken Arok. Kala chucky  sebetulnya  bisa 
marak, atau ki glodog ireng . Mereka takkan bakal ada 
keberanian untuk itu Mereka memang lain dari Ken Arok. 
Dia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan. 
kepala  -kepala   pasukan kediri  tidak. Mereka berlandaskan 
gengsi kepara bala tentara an semata.” 
Mereka berdua terdiam, masing-masing sedang 
mengerahkan otak untuk membuat penilaian. Dan memang 
mereka percaya  Kala chucky  dan ki glodog ireng  tak ada 
keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah 
Jawa akan berubah. 
“Kang,” tiba-tiba Pada mengganggu, “kau sendiri 
sebenarnya bisa, Kang’ 
“Husy. Kau masih juga tidak mengerti raden gelang-gelang  ini”  
“Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang 
mengenal dan mengasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang.”  
“Kau keliru.” 
“Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita 
tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba 
haridepan….” 
“Bukan untukku, Pada. Bodohnya kau jadi petani tanpa 
tidak lebih dari nyi girah , hanya menginginkan jadi petani 
tanpa gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun… 
itulah yang justru membuat  aku menyasar-nyasar begini, 
melalui jadi patih wirabuana -muda sampai panembahan senapati ki ageng  dan 
Panglima gabungan yang kapiran sekarang ini” Sabarini 
muncul dan menyilakan Hang Wira makan.  
“Aah, adikku Sabarini,” tegur panembahan senapati ki ageng  dalam bahasa 
jawadwipa . “Aku senang memperoleh kan seorang saudari seperti 
engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan 
semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa 
kebun yang indah seperti di negerimu.” 
“saya  akan tetap senang selama tidak ditinggalkan 
oleh suami saya ,” jawab Sabarini dengan suaranya yang 
menyanyi.  
“Nah, kau dengar sendiri itu, Pada.” 
“Ya, Kang raden gelang-gelang . Selama aku tak mengabdi pada 
seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.” 
“Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu 
ini. Dia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu 
besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dungu 
seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah 
yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selama 
dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dapat 
mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau, 
barangkali juga dialah yang mengikuti kau.” 
 Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir. 
raden panji  gelang-gelang  tersenyum senang melihatnya dan berseru: 
“Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padanya. 
Aku tak salahkan kau.” 
‘Tidak bisa, Kang,” bantah Pada, “dialah yang tergila-
gila padaku.” 
“Benar, Sabarini?” 
Dan Sabarini lari tersipu meninggalkan mereka. 
“Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu 
harem! Anak itu sangat baik untukmu. Dia adalah laksana 
bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun 
dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau 
bertingkah dan balik jadi kutu seperti dahulu , selesailah 
riwayatmu.”‘ 
“Mengapa begitu, Kang?” 
“Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu. 
Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya 
tingkah-lakunya dan kecantikannya. Dengan mata tertutup 
aku akan dapat mengetahui dari suaranya saja, dia seorang 
wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.” 
“Kang.” 
“Apalagi kau bertaubat.” 
“Sudah lama aku bertaubat.” 
“Mari makan.” 
Dalam berjalan kembali raden panji  gelang-gelang  tenggelam dalam 
pikirannya. Baginya pun kediri  merupakan teka-teki. Atau 
barangkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh 
betari  resi  ? Datangnya memanggil kejayaan dan 
kebesaran itu? 
betari  resi   keliru. Dua-duanya tak dapat dipanggil 
datang ke kediri . Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah 
arti kediri  tanpa jayamahanaya ? kediri  adalah negeri 
kelahirannya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan 
perdagangan rempah-rempah. betari  resi   keliru. Untuk 
menguasai kembali jalan laut dan perdagangan jayamahanaya  
harus dibebaskan. Dan jayamahanaya  tak dapat dibebaskan sebab  
kurangnya persatuan antara raja-raja jenggala . Atau harus 
 muncul  kerajaan jenggala  kedua yang sama sekali menguasai 
jayamahanaya . Dan itu tidak mungkin. Untuk menguasai seluruh 
Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil. 
Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru 
orang berhasil. Dan cetbang pun sekarang sudah  dikalahkan 
oleh gada rujakpolo . Senjata itu harus lebih ampuh dari gada rujakpolo . 
“Bagaimana, Kang?” 
”ayolah  makan.” 
Dan malam itu panembahan senapati ki ageng  kediri  berjalan ke ladang untuk 
bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mulai 
menyalakan api unggun, namun   para penjaga belum juga 
datang. Yang datang justru Pada membawa bungkusan. 
“Mengapa kau tinggalkan istrimu?” 
“Sudah tidur. Kang. Bukankah aku boleh 
meninggalkannya?” 
“Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu 
tidak patut Apa kau bawa itu?” 
“Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat 
kusampaikan padamu bingkisan ini: dari baginda tuanku raja  Ratu 
Aisah.” 
”Hmm. Pakaian pangeran itukah, yang memicu  
kau memperoleh kan Sabarini?” 
“Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah 
aku ceritakan,” ia mulai membongkarnya. 
Yang pertama keluar adalah kain batik bergambar kupu-
tarung. Seperti kena kejang raden panji  gelang-gelang  mencengkam 
kain itu lalu  meletakkan pada dadanya: “Aku pernah 
melihat bendera dengan lambang ini. adiputro  tumenggung dijoyo  suryabuaya  . 
Pulang membawa luka dan kekalahan dan jayamahanaya . Seorang 
pamong desa !” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk 
menguasai perasaannya sendiri, lalu , “Dahulu aku 
mencurigainya, tidak mempercayainya. Hampir lima belas 
tahun yang lalu. Waktu itu aku masih terlalu muda, sangat 
mengagungkan baginda tuanku raja  adiputro  kediri . Aku pernah 
menjalankan tugas untuk memata-matainya. Aku pernah 
laporkan semua yang aku ketahui pada baginda tuanku raja  adiputro  
kediri . Aku pernah ikut mengkhianatinya waktu 
menyerang jayamahanaya . Dan ternyata hanya baginda tuanku raja  Kanjeng 
adiputro  tumenggung dijoyo  yang benar. Betapa aku menyesal sudah  
pernah mencurigai, memata-matai dan mengkhianatinya.” 
“Semua itu sudah lewat sekarang, kang.” 
“Lewat saja tiada mengapa, Pada, namun   lewat dengan 
segala ketidakberesan begini.” 
“Kang raden gelang-gelang , Raden Ajeng cilik yang menyerahkan 
bingkisan padaku itu menyampaikan pesan baginda tuanku raja  Ratu 
Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu 
memakai nya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada 
orang lain. Kala chucky  tidak, ki glodog ireng  pun tidak. Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.” 
raden panji  gelang-gelang  masih tenggelam dalam emosinya, pada 
masa lalu dan pada cita-cita adiputro  tumenggung dijoyo . 
“Bungkus kembali!” katanya pelahan dan parau. 
la berjalan dan hilang di dalam kegelapan. mpu  
jayamuseswa  mencoba mengikutinya dari belakang dan 
menemukannya sedang berdiri di bawah sebatang pohon 
dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu. 
“Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang.” 
‘Temani istrimu. Pada.” 
“Bagaimanakah aku dapat meringankan dukaritamu. 
Kang.” 
“Pergilah kau, jangan ganggu aku.” 
“Aku akan tetap di belakang. Kang.” 
“Pergilah kau. Pada,” ia diam sebentar. “Aku katakan 
sudah untuk kedua katinya.” 
“Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di 
belakangmu, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau 
kalah untuk kedua katinya untuk merebut jayamahanaya . Semua 
orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu, 
Kang.” 
Lama raden panji  gelang-gelang  tak bicara. lalu  mulai ia 
bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: “Hampir-hampir aku 
tak dapat menahan perasaanku, Pada. Aku hanya si anak 
desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya. 
Hampir lima belas tahun yang lalu semestinya nyi kanjeng blora 
sudah  terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita 
lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci 
dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, kanjeng sinuhun  
pajang bintoro . Ia sudah  jerumuskan Jawa dalam peperangan 
melawan yang bukan musuh, dan membiarkan musuh 
semakin kuat begini. Ia sudah  perhamba orang-orang 
serumah sendiri sedang di luarnya orang sudah  merampas 
dan menguasai sumber kehidupan.” 
“Ya, Kang, kemenangan di Sunda kacangtanah  memang 
tanpa makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.” 
“Semua kemenangan atas nyi kanjeng blora tanpa mereka terusir 
dari jayamahanaya  hanya omong kosong, Pada.” 
“Betul, Kang, hanya omong kosong.” 
“Dan bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nama untuk 
jaman kemerosotan ini.” 
“Ya, Kang untuk jaman kemerosotan ini.” 
“Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan 
gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa 
kalau pajang bintoro  tak memukul semangat kita. Ditariknya 
pasukan Aceh mungkin juga tidak seberapa. namun  
Trenggono, betapa beda kau dari abangmu.” 
“Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.” 
“Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk 
menyerang. Dan menyerang apa? Untuk apa? Mengabdi 
pada apa aku ini? Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak 
banyak yang kukata  dalam hidup ini. Barangkali sama 
dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali. 
Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, musuh di 
mana-mana. Kehidupan macam apa ini?” 
“Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. sang hyang Widhi  
juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya.” 
“Hiburan sejenis  itu aku tak butuhkan. Pada. Murid-
muridmu mungkin memerlukan lebih dari dirimu sendiri. 
Bagiku lain. Bagimu aku seorang pemberontak , dan aku senang 
dalam kepemberontak anku. Aku tak memerlukan  kata-kata 
hiburan,” suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati 
oleh pergulatan batin, “biarlah hati ini patah sebab  sarat 
dengan beban, dan biarlah dia meledak sebab  ketegangan. 
Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang 
mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan 
hanya sekedar membasuh kaki, sebagaimana Sabarini 
membasuh kakimu. Memang menyegarkan, namun  tiada arti. 
Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan 
untukmu sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada 
titik inilah kita berpisah.” 
Ia berjalan lagi memasuki kegelapan dan hilang. 
Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak diduga-
duganya Ia tahu sahabatnya di dera  oleh kekecewaan 
dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar 
kekuasaannya, di luar kekuatannya. Dan itulah kekecewaan 
dan dukacita itu sendiri. 
Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada 
sang yang betari durga  nya, memohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk 
si pemberontak  sahabatnya yang keras kepala   itu. lalu  ia 
pulang ke markas membawa bungkusan. 
wah 
 
Panglima itu sedang menemui pemimpin kesatuan Bugis-
Makasar di pondoknya. 
Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang 
terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu 
merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya 
pada raden panji  gelang-gelang . 
Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua memutuskan 
untuk membuat pertemuan bersama: pada minggu 
mendatang. 
Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan 
tenang seperti dahulu. namun  Pada dapat melihat bagaimana 
hatinya menggeletar, sebab  si pemberontak  itu enggan 
menyerahkan kesulitannya pada Yang Maha Kuasa. Dan ia 
sudah  jarang berkhotbah di hadapannya. 
“Kau suka tinggal di Semananjung sini, Sabarini?” tiba-
tiba ia bertanya. 
“Kalau Kang Pada suka, saya  pun demikian.” 
“Jangan dengan sahay a-saya an,” ia melirik pada 
Pada, “nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik, 
baik, selama orang sudah mulai berdamai dengan tempat 
tinggalnya yang baru,” ia tak bicara lagi dan pergi. 
Dalam pertemuan seminggu lalu  ia menyatakan, 
pasukan gabungan kediri -Bugis-Makasar dalam keadaan 
lola tanpa batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke 
negerinya masing-masing kesempatan diberikan. 
Barangsiapa lebih suka tinggal, juga diperkenankan. Di 
depan pertemuan itu juga ia menyatakan sudah  melepaskan 
kepanglimaannya, bukan lagi atasan mereka, hanya 
sebagian dari mereka. Ia jelaskan tentang pengkhianatan 
kanjeng sinuhun  Trenggono yang memicu  semua terdampar 
sebagai centeng  di sini, namun   untuk sebahagian toh 
memperoleh kan kebahagiaannya sebagai petani dan nelayan, 
terutama sebagai suami di tengah-tengah alam yang indah 
dan subur. 
”Negeriku, kediri , sekarang diduduki oleh nyi kanjeng blora. 
Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali menghadapi 
mereka di sana, sebab  kediri  negeriku. Aku tak memaksa 
kalian ikut. Hanya mereka yang ikutserta  kembali 
denganku untuk mengusir nyi kanjeng blora akan kuterima dengan 
segala senang bati.” 
Hanya 30  lima orang yang menyatakan hendak 
kembali. “Aku meninggalkan kediri  membawa lima ratus 
orang dan akan kembali dengan hanya 30  lima. 
adiputro  tumenggung dijoyo  sudah  gagal. Beberapa belas tahun lalu  
juga raden panji  gelang-gelang  gagal. sebab  kegagalan ini disebabkan 
oleh Trenggono, kalau kalian menyetujui, sebelum 
keberangkatanku, namailah daerah tinggal kalian ini 
dengan nama itu pula: Trenggono.” 
Pada hari yang sudah  ditentukan, raden panji  gelang-gelang  bersama 
dengan 30  lima orang pengikutnya diiringkan 
bebetari i-betari i ke pantai.  
“Janganlah gusar kalau aku memilih tinggal di sini. Kang 
raden gelang-gelang .”  
“Kau berhak, Pada.” 
“Bagiku Jawa hanya tumpukan kekacauan yang tiada 
habis-habisnya.” 
“Selama jayamahanaya , Selat ini, berada di tangan mereka. 
Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.” 
“Nampaknya mereka akan tetap menguasainya, Kang ”  
“Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau 
kecewakan Sabarini Dan kau, Sabarini, aku masih ingin 
melihat anakmu lagalah kesehatanmu. Kirimkan anakmu 
kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih memiliki  leluhur.” 
0odwo0 
 
39. kediri  Jadi Kancah Perang 
Kali ini untuk pertama terjadi raden  sanggabuana  bumikerta  
tidak mengawasi barang-barangnya. Orang-orang 
mengangkutinya ke gedung kesayahjenggala an dari dermaga, 
dan ia berjalan seorang diri mendahului. 
Begitu naik ke dermaga kediri  ia bersujud, mencakup 
tanah berpasir hancuran batu karang, menciumnya. Tak 
pernah ia mencintai kediri  sebagaimana halnya dengan 
sekarang. 
Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya 
mengucapkan syukur sebab  tidak terbawa oleh kapal 
kanjuruhan  ke jayamahanaya . Tempat yang indah dahulu  itu kini bisa 
menjadi kuburannya sesudah  penganiayaan berat akan 
mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan 
kanjuruhan  bila terbukti pernah membunuh seorang Nasrani 
baik Ispanya ataupun kanjuruhan , sekalipun yang dibunuhnya 
hanya seorang petualang tanpa arti. Ia sudah  menyedari 
haridepannya di Andalusia sudah  musnah. Semenanjung 
Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk 
haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan 
kanjuruhan  dan Ispanya kini tak lain dari sebuah 
penggorengan besar bagi dirinya. 
Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh 
mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula. 
Akhir-akhirnya jabatan patih wirabuana  kediri  sudah cukup 
baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang 
penghasilan. Di kediri  sini ia akan hidup tenang dan 
senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk 
memperbaiki kelakuannya dan bertekad hendak membalas 
budi pada semua orang yang sudah  berbuat kebajikan 
padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi kembang  Kati, dan 
akan menempatkannya sebagai wanita yang semulia-
mulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan 
membantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan 
ambil mpu wungubhumi  sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan 
dirinya pada raden panji  gelang-gelang  bila ia sudah balik dari jayamahanaya . 
Dan ia akan urus jenggala kediri  sebaik-baiknya. Ia akan 
panggil anak-istrinya yang ada di Goa untuk menemani di 
harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk 
dikuburkan di Bumi kediri . 
Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di 
belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya. 
Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna 
merahnya. Pakaian kanjuruhan  sudah  ditanggalkannya di 
perahu, dan kini ia memakai  pakaian patih wirabuana  yang 
lama. Kakinya pun kembali berterompah. 
Mendekati kepatih wirabuana an ia berhenti, membiarkan 
para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka, 
leher dan lengan dengan setangan, lalu  menjentik-
jentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi kembang  
Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia 
tak ambil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar 
yang sudah  runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut 
merusakkan kediri , pikirnya. Tak ada tanggungan dalam 
nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah 
mulai ditumbuhi rumput dan pepohonan yang mati sebab  
terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja 
barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan 
membangun kembali jenggala ini dalam waktu pendek. Ia 
memerlukan  kepercayaan dari semua orang. Sambil 
berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui 
Nyi kembang  Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera 
minta ampun pada saat itu juga.  Para pengangkut itu sudah  
memasuki pelataran kepatih wirabuana an. Paman Merta tak 
nampak dan taman depan rumah sudah  kehilangan 
 Keindahannya yang dahulu . Juga itu akan ia bangun kembali. 
Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu 
depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan 
perbaiki. 
“Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya 
melihat Kepatih wirabuana an dijaga oleh centeng -centeng  
pengawal, Seorang centeng  berlarian datang padanya dan 
memberi tahukan dengan cepat-cepat: ‘Tuan patih wirabuana  
kediri ? Segera tinggalkan tempat ini” 
“Inilah patih wirabuana  kediri  baru tiba.”   
“Segera tinggalkan tempat ini.” 
“Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih 
tertumpuk di tepi jalanan taman di depan rumah. Para 
pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah 
ada patih wirabuana  lainkah sebab  aku pergi tanpa minta diri 
tanpa ijin? Semua yang direncanakan goyah. 
Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa: 
waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali 
bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran 
kepatih wirabuana an dan para pengangkut mulai mengangkati 
barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang 
berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang centeng  
datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia 
tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali 
oleh praja kediri . Segala-galanya akan jadi baik kembali 
seperti dahulu . 
Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku 
kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah 
orang yang berkumis dan berjenggot itu? 
Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertombak, 
melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak 
berikat kepala  . Rambut panjangnya yang ikal jatuh 
bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian 
malah menutupi mukanya. 
‘Tuan patih wirabuana ,” tegurnya bersabda  tanpa 
menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku. 
raden  sanggabuana  bumikerta  mendekat, lalu  berhenti 
dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini? Ia 
tak mengenalnya lagi Orang pajang bintoro kah gerangan? pajang bintoro ? 
Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia 
hanya dapat membungkuk menghormat dan dengan tangan 
kanan bertekuk di depan dada. 
Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa 
menggerakkan badan atau kepala   ataupun tangan. 
kepala  nya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya 
tertutup rambut memandang tajam padanya.  
“Jadi Tuan pakanewon  Habibullah Almasawa datang lagi.”  
Barulah raden  sanggabuana  tahu ia sedang berhadapan 
dengan Patih kediri  Kala chucky  Sang Wirabumi. 
“Tugas saya  sebagai patih wirabuana  kediri  memanggil, 
baginda tuanku raja  Patih,” jawabnya. 
Ia lihat tangan Kala chucky  bergerak. Telunjuknya 
menuding ke arah muka patih wirabuana , dan suaranya 
terdengar pelahan dan parau: “Lihatlah dia, hei kalian, 
terpanggil kembali oleh tugasnya.” 
“Demikianlah yang ditugaskan oleh baginda tuanku raja  adiputro  kediri  
pada saya .” 
Kala chucky  menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia 
kelihatan sangat lelah. kepala  nya tetap tak bergerak. Dan 
patih wirabuana  itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa 
Sang Patih berada di gedung kepatih wirabuana annya. 
“Pengawal!” kata Sang Patih. Suaranya lelah.  
“Masukkan dia ke dalam krangkeng.”  
“Krangkeng?” kata  raden  sanggabuana .  
“Ya, krangkeng orang-orang nyi kanjeng blora dahulu :” Dan dua 
orang pengawal itu menangkapnya.  
“Apa dosa saya . baginda tuanku raja ?” 
“Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya. 
nyi kanjeng blora biar tahu, kediri  tetap pada sikapnya.” 
“saya  Moro, baginda tuanku raja , bukan nyi kanjeng blora.” 
Dengan suara dan tenaga tuanya raden  sanggabuana  
meronta dan membangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang 
kepatih wirabuana an dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi, 
dikunci dari luar. 
Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan. 
Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar 
berpendaran ke mana-mana. Dan tak ada dilihatnya Nyi 
kembang  Kati. Paman Marta pun tidak. Yang ada hanya 
centeng -centeng  pengawal. 
Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke 
dermaga. Ia berseru-seru gila, memanggil-manggil Sang 
adiputro , Nyi kembang  Kati, Paman Merta, bahkan juga 
raden panji  gelang-gelang . Suaranya gemetar seiring   dengan geletaran 
krangkeng yang disorong. 
Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan 
menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh. 
“Sudah, jangan ribut-ribut,” nasihat pengawal itu.”Nyi 
kembang  Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di 
sini.”  
“baginda tuanku raja  adiputro —,” ia berteriak .  
“Apa yang kau raungkan? Dia sudah lama mati.”  
patih wirabuana  itu berhenti berteriak . Ia menggigil. Tak ada 
lagi kekuatan yang sekarang akan melindunginya. Sang 
adiputro  sudah  lama mati, katanya. Seorang centeng  takkan 
berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang adiputro  
memang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat 
dibandingkan  yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulang-
tulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia 
berlayar ke jayamahanaya , pastilah tiada akan begini jadinya. 
Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawal-
pengawal itu sudah  pergi. Ia pandangi laut dengan perahu-
perahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal 
pasukan laut kediri  yang nampak. 
Apalah arti hidup sejenis  ini? Laut itu pun sudah 
kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan 
panasnya sengangar. Semua manusia hanya memusuhinya. 
Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun 
terdengar canang dipukul bertalu-talu memanggil orang 
untuk mendengarkan pengumuman. Orang pun mulai 
berduyun-duyun berlarian, berebut dahulu  untuk dapat 
melihat patih wirabuana  kediri  dalam krangkeng. Orang 
bersorak-sorak 
patih wirabuana  itu membuang muka terhadap bondongan 
orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang 
sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan 
tak dapat berbuat sesuatu pun sebab  perlindungan Sang 
adiputro . Ya, sang hyang Widhi  apa lagikah yang akan menimpa diriku 
ini? Belum cukupkah ketakutanku selama ini, yang sudah  
Kau berikan jalan keluar? Tidakkah aku Kau selamatkan 
dari orang sebanyak itu? 
la sudah  dengar langkah kaki berlarian menghampiri. Dan 
ia tahu tak dapat membela diri. Tak ada penolong dalam 
bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya 
sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya 
sampai pecah sebab  itu. 
Matanya mengembara dari ruji ke ruji, lalu  
dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa manusia. 
namun   ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia sudah  
membunuh fredy krueger  dan penywise, membuat  bulu 
badannya menggermang. Ia melihat jeruji atas di mana dahulu  
salah seorang di antara korbannya menggelantung 
mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu 
kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung 
oleh tulang, dan tubuh itu jatuh berkembang -buk di tempat ia 
duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu. 
Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang membuang i, 
lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas 
pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam. 
Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki 
langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak, 
tidak ada saksi! namun  apa pula artinya saksi dalam 
pengurus an hukum Pribumi di kediri ? Mati. Mati juga 
yang akan dihadapinya. 
Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak 
itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik 
itu… mungkinkah seorang manusia harus mati dalam 
keadaan sehina ini? Tidak! Tidak layak! Hanya orang 
dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina. 
Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam 
waktu pendek ia sudah  mandi air pukul  dan keringat sendiri, 
basah-kuyup. Seluruh badannya berbau amis. Ia tak tahu 
tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng. 
sebab  tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba 
mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama 
sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk 
memakai  pisau tongkat dan mengamuk. namun  ia masih 
mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak 
berani. 
Ia tak dapat membela diri apa lagi melawan orang 
sebanyak itu, sekalipun mereka hanya membuang   dan 
menyumpah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi 
tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan 
bahunya, tepat seperti dialami fredy krueger  dan Rodrigeuz dahulu . 
Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang, 
duduk membungkuk memeluk lutut, menenggelamkan 
muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi. 
Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan 
untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, mpu jahalodang harus 
datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan 
datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya 
sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan 
membunuh aku, presis seperti aku sendiri sudah  lakukan 
terhadap penywise dan fredy krueger . Dia memiliki  alasan, mpu jahalodang 
terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan 
Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan 
mau membayarnya dengan uang   uang apa saja, asal emas 
atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang? Pantas dia 
jarang kelihatan lagi. 
Hujan pukul  terus berlangsung. Suara bising 
melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya 
bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya. 
Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir dermaga 
yang sebentar tadi sudah  diciumnya dengan penuh 
pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya mengernyit dan 
mengancam, meringis dan merongos, membelalak dim 
mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, berteriak  
dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong 
dan menjebik. 
Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menari-
nari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri 
dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol, 
dan kekuasaan ada padaku kembali… kalian akan remuk di 
dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu 
seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian 
hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul 
semua kalian akan hancur . 
Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya 
semakin basah. pukul  itu bukan lagi menempel pada 
pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan 
menetes. Dan udara pengap dan bau amis itu -betapa 
bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak 
henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh 
ratusan, ribuan orang yang mengepungnya. 
Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka 
mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan 
penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak 
membawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi 
berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka 
mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, namun  tetap tak 
jelas. 
sinar matahari  tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut 
kini menjadi jelas mencapai pendengarannya. 
Tidak, mpu jahalodang, kau tak perlu datang, apa lagi malam-
malam begini. 
Barulah ia mengangkat kepala  . Dan segera ia menunduk 
lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan 
berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya 
seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang 
seperti yang lain-lain? Anjing yang seekor ini? 
Jantungnya yang selama ini meriut kecil sekarang 
berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah 
kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam 
krangkeng maut ini? 
‘Tuan patih wirabuana !” ia dengar panggilan pelahan. 
raden  sanggabuana  berdiri bangun dan menubruk penonton 
yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu sebab  
semutan. 
“Kati, Kati! Nyi kembang !” desaunya, “istriku yang setia. 
Aku tahu kau akan datang.” 
“Bagaimana, Tuan patih wirabuana , mengapa jadi begini?” 
“Bagaimana? Bagaimana aku tahu? Hanya kaulah yang 
bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!” 
“Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu baginda tuanku raja  sudah  
mangkat?” 
patih wirabuana  itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata 
orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi kembang , 
berbisik: “Menghadaplah pada Sang Patih.” 
“saya  akan menghadap. Tuan.” 
“Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang 
berani, yang mulia. Kati, Nyi kembang  Kati….” 
“Mengapakah-Tuan kembali ke kediri ?” 
Semangat raden  mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini 
ia merasa menjadi kuat. Dengan suara berkepercaya an dalam 
kegugupan ia menjawab: “sang hyang Widhi  mengirimkan aku kemari 
dan sang hyang Widhi lah yang akan menghukum orang-orang zalim itu. 
sang hyang Widhi  sudah  membisikkan padaku untuk mengambil dan 
memelihara istrinya sebaik-baiknya…” 
“saya  bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah. 
Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan 
dalam keadaan seperti ini. namun  Tuan harus makan, dan 
minumlah banyak-banyak, sebab  hari besok akan memiliki  
kemungkinan lain.” 
Ia sorongkan lodong bambu berisi air. 
patih wirabuana  itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit, 
dan Nyi kembang  pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata. 
Mengetahui suaminya hanya mau makan dari 
kirimannya Nyi kembang  Kati mengusahakan datang ke 
krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada. 
Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi 
seperti ini: “Orang datang padaku hanya untuk mengejek, 
mencemooh dan membuang i aku, Kati,” raden  mengadu. 
“Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada 
larangan mungkin mereka sudah  bunuh aku. Hanya kau, 
istriku yang setia, yang memeliharakan aku. sang hyang Widhi  akan 
membalas semua kebajikanmu. Ampunilah segala 
perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi 
sang hyang Widhi , bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati.” 
“Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, saya  adalah istri 
Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini? saya  
sudah menghadap Sang Patih.” 
“Ya-ya, bagaimana hasilnya?” raden  menyambar 
dengan rakus. 
“Nanti, nanti! kata baginda tuanku raja  Patih, dan cuma itu. Tuan.” 
patih wirabuana  kediri  melengos dan menghembuskan nafas 
panjang lalu  duduk tanpa daya. 
“Ya sang hyang Widhi ,” keluhnya, “siang panas dan malam dingin, 
terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa 
ini   sampai kapankah berakhir?” 
“Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada 
akhirnya juga.” Lama suami-istri itu berdiam diri. raden  
menunduk dan istrinya mengawasinya dengan dukacita. 
“Ampunilah saya  tak dapat berusaha lebih baik.” 
patih wirabuana  mengangkat muka dengan harapan amat 
sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: “Cobalah 
menghadap kepala  -kepala   pasukan, Kati.” 
“Semua sudah  saya  usahakan. Tuan.” 
patih wirabuana  menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya 
akan kesulitan Nyi kembang  dan bertanya: “Bagaimana 
hidupmu. Kati, istriku?” 
“Seperti yang lain-lain. Tuan-” 
“Tiadakah kau memperoleh kan kesulitan dari mereka?”,  
“Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suami yang sedang 
menderita?” 
“Betapa mulia hatimu. Nyi kembang . Mengapa baru aku 
ketahui sekarang? Betapa bodohnya aku ini.” 
“Syukur kepada sang hyang Widhi , Tuan, bahwa akhirnya Tuan 
mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia. 
saya  berbahagia mengetahui itu, Tuan.” 
Dan pergilah wanita itu pulang sesudah  menyorongkan 
beberapa lodong bambu air untuk mandi suaminya. 
Ia menuju ke gubuknya di daerah jenggala , sebuah 
pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua 
terbuat dari daun kacangtanah , bekas tempat tinggal wanita 
gelandangan. 
Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak mengikutinya. 
Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di 
belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia 
anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk mengurus    
suaminya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah 
dan sabar. 
“Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua 
ini,” ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka. 
Anak-anak berseru-seru riang setiap ia 
memperdengarkan suaranya. 
“Mengapa cuma kau yang mau mengurus  Almasawa?” 
“Hanya orang gila mau melayani dia!” yang lain 
menambahi. 
“Kau gila, Nek?” 
“Ya, ya, gila dia. dahulu  di gedung bagus, sekarang di 
gubuk. Bagaimana takkan gila.” 
Nyi kembang  Kati membuka pintu, disambut oleh kegelapan 
di dalam dan menyilakan anak-anak itu masuk. 
Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang 
yang membawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya. 
Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu 
terbawa dan Nyi kembang  melepas kembali. Anak itu jatuh 
terduduk. Yang lain-lain semakin betari i bersorak-sorak 
Kalau aku memiliki  anak, pikir Nyi kembang , mungkin ada dia 
di antara mereka. Ia tersenyum. 
“Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang 
di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.” 
Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul. 
lalu  pada batang kayu berbelerang. Waktu api sudah  
jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: “ayolah  masuk, di dalam 
sini masih ada sedikit makanan.” 
Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang 
paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundur-
mundur dengan pandang memancarkan ketakutan. 
“Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk.” 
“Mengapa kau urus si Almasawa?” seorang yang 
terbesar memberanikan diri bertanya. 
“Mengapa? Dia suamiku.” 
“Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di 
krangkeng.” 
“Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus mengurus   nya, 
bukan? Walau dia penjahat?” 
“Tidak bisa!” kata  anak paling besar itu. ‘Tidak 
mungkin bapakku seperti dia!” 
“Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib?” 
namun  anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu. 
la ambil batu dan melemparkannya pada Nyi kembang . Wanita 
itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai 
menghujani pondok daun kacangtanah  itu dengan kerikil dan 
kerakal. 
Seminggu raden  sanggabuana  bumikerta  alias pakanewon  
adipati  prawetan  alias pakanewon  Habibullah Almasawa 
dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi kebetari ian. 
Tontonan baru sudah  terjadi untuk penduduk kediri  Kota: 
mpu jahalodang, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam 
pengawalan centeng -centeng . 
“Semua begundal nyi kanjeng blora tertangkap!” seorang centeng  
berteriak mengumumkan.  
“dahulu  dibiarkan merajalela.” 
Pengumuman itu seperti sambaran petir dalam dada 
patih wirabuana . Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus 
bersiap-siap menghadapi persoalan itu. 
Orang berbondong-bondong turun ke dermaga, tak 
menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepat-
cepat atau lari ke jurusan kepatih wirabuana an. Larangan masuk 
ke pelataran rumahnya sudah tidak berlaku lagi. 
Dari kejauhan ia melihat mpu jahalodang terikat dalam giringan. 
Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan 
segera dibuka. Ia sudah  dapat mengambil sikap: ia akan 
lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam. 
Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selamatkan aku, 
ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. mpu jahalodang tak 
kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali 
ini. 
Dan ia lihat mpu jahalodang dibawa masuk ke kepatih wirabuana an. Ia 
menunggu sampai sore hari. 
Seorang centeng  pengawal datang padanya. raden  
menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan 
dimulai? Apa? centeng  itu tidak membukakan pintu 
krangkeng. Senyum bersabda nya untuk minta keterangan 
dijawab dengan seringai oleh centeng  itu. Dan seringaian itu 
mematahkan senyumnya. 
centeng -centeng  lain pada berdatangan. lalu  
bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang 
baru datang menudingnya dengan muka merah oleh murka: 
“Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda 
nyi kanjeng blora di kediri ? Bedebah!” 
“Tidak benar,” bantah raden . 
“Dan mpu jahalodang akan jadi patihmu!”   
”Bohong!” kata  patih wirabuana , menduga begitulah 
pengadilan atas perkaranya mulai dipertemuan kan. 
“Kau kirimkan gada rujakpolo  pada si brandal patih  Benggala 
buat tumbangkan kediri . Semua bawahan  kediri , dengarkan 
jawabannya.” 
Kepercayaan diri patih wirabuana  mulai goncang. 
Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya? 
Bagaimana kediri  atas diri dan perkaraku? Inikah 
macamnya? Bagaimana aku mesti membela diri di depan 
pengadilan sejenis  ini? Siapa sebetulnya  penuduh dan 
siapa pula hakimnya? 
“Kau suruh orang mengambil gada rujakpolo -gada rujakpolo  dari kapal 
nyi kanjeng blora sambil mengantarkan dua orang nyi kanjeng blora itu 
dalam keadaan terbelenggu dan terbius.” 
“Bohong! Tidak benar! Fitnah!” raung raden  sanggabuana  
dalam kegugupannya. 
“mpu jahalodang dan gerombolannya yang kau suruh.” 
“mpu jahalodang keparat!” kata  tahanan itu. Ia tetap kehilangan 
keseimbangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah 
krangkeng dengan memegangi tongkat. Semua yang sudah  
dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada 
sesuatu pun yang bakal menolongnya. sang yang betari durga   tidak, 
kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya 
tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan 
putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga 
yang keluar  
“mpu jahalodang keparat! mpu jahalodang keparat!” 
“Raja-muda kediri !” orang-orang mulai bersorak 
menuduh. 
“patih wirabuana ! patih wirabuana ! patih wirabuana ! patih wirabuana !” ia 
memekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora sorak-
sorai menuduh. 
Matanya membeliak tanpa melihat keluar, namun  ke dalam 
batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk 
membela nyawa sendiri. 
“patih  Benggala berkirim surat padamu melalui 
raden panji  gelang-gelang .” 
“Tidak! Tidak benar. raden panji  gelang-gelang  keliru!” kata nya, 
lalu  mendesau-desau, “raden panji  gelang-gelang  keliru!” 
kata nya, “sungguh-sungguh sesat, keliru.” 
“Kau bunuh fredy krueger .” 
“Tidak, tidak, bukan aku membunuhnya. Bukan. 
Bukan.” 
Krangkeng itu sudah  dilingkari oleh padatan manusia. 
Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang 
mengancamnya. 
“Siapa yang membunuh dia?” 
“Bukan aku. mpu jahalodang!” 
“Pembohong!” kata  orang itu. 
Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya, 
mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara 
itu bergalau menjadi satu. patih wirabuana  tak dengar kata-kata 
mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang 
terkandung di dalamnya. 
“Kau bunuh penywise!” 
“Tidak. Tidak. Bukan aku. mpu jahalodang yang membunuhnya.” 
“Pembohong.” 
“Betul. Betul bukan aku. Bukan.” 
“Kau khianati kanjeng sinuhun  adipati  Syah jayamahanaya .” 
“Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. mpu jahalodang yang 
mengkhianati.” 
“Kau racuni gajah-gajah kanjeng sinuhun  adipati  Syah.” 
“Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu.” 
Panas sinar matahari  tak tertahankan oleh semua orang. Baik 
para centeng  maupun rombongan penonton sudah  menipis 
meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya, 
dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: “Kau 
bius nyi girah !” 
‘Tidak benar!” ia berteriak  melolong. ‘Tak pernah aku 
bius nyi girah  atau siapa pun. Dan mpu wungubhumi  bukan anakku. Benar, 
tidak, tidak, tidaaaaaak!” 
“Kau nasihati patih  Benggala untuk menculik nyi girah  anak-
beranak,” desau angin meneruskan tuduhannya. 
“Bohong! Semua bohong! patih  Benggala yang menculik 
Nyi kembang  nyi girah . Bukan aku.” 
“Kau tipu baginda tuanku raja  adiputro  dengan cerita-cerita bohong.” 
“Aku orang suci!” raung raden  putus-akal. 
Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air 
dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan 
pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya, 
la mengeluh dan menangisi ketidakmampuannya sendiri. 
Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, sang hyang Widhi , Kau hukum 
aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku membela 
diri. Kau sudah  tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau sudah  
rampas keseimbanganku. Kau sudah  bikin aku jadi gila dan 
hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin 
pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku 
ini? 
la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang 
lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang 
datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan makian, hinaan 
dan pukul nya. Bebetari i-betari i mereka mendorong 
krangkeng beroda itu meninggalkan dermaga. Badan raden  
menggeletar sebab  geletaran krangkeng dan berayun-ayun 
mempertahankan keseimbangan. 
“Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut!” 
seseorang berseru. 
“Besok, Ulasawa, Raja-muda nyi kanjeng blora, besok!” yang lain 
menambahi dengan gemasnya. 
Dan besok selesailah apa yang dinamai hidup ini. 
Kiamat pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini. 
Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana 
krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali. 
Mendadak perhatiannya beralih pada rombongan lain 
yang menyoraki mpu jahalodang, menuju ke arah krangkengnya 
yang sudah  berhenti di tengah-tengah lapangan jenggala . 
Ia lihat mpu jahalodang berhenti di dekatnya, lalu  orang 
mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari 
krangkengnya. Suatu padat-an manusia sudah  melingkar 
lebar. 
“Nah, katakan semua tadi, mpu jahalodang!” 
“Dia itulah,” mpu jahalodang memulai dengan menuding 
patih wirabuana  kediri  dengan dagunya, “dia itulah biangkeladi 
segala-segalanya. saya  sekedar menjalankan perintahnya 
sebagai bawahan.” 
raden  sanggabuana  bumikerta  sengaja berdiam diri. Ia 
berusaha memulihkan kemampuan dan nilai-nilai 
pribadinya. namun   tuduhan mpu jahalodang lebih kuat dibandingkan  
usahanya. Separah dari semua tuduhan mpu jahalodang tertangkap 
olehnya dan seperempat dari usahanya memperoleh kan hasil. 
Sesudah  orang mendesak dan memaksa-maksa untuk 
menjawab, keluar juga kata-katanya: “Demi sang hyang Widhi . Orang 
itu hanya penipu. sudah  kujelajahi jenggala -jenggala di dunia 
ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak 
pernah ada seorang pewarung arak dipercayai 
omongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh baginda tuanku raja  
adiputro  kediri  yang bijaksana itu? Aku ataukah dia?” ia 
tertawa menghinakan.  
“Siapa yang jadi patih wirabuana  kediri ? Aku ataukah dia?” 
Ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi patih wirabuana  
kediri ? Aku ataukah dia? Katakan, kau, mpu jahalodang, kau bukan 
penipu. ayolah , buktikan.” 
Sekarang mpu jahalodanglah yang tak mau bicara, Ia hanya 
menunduk, seseorang sudah  mengambilkan kopiahnya dan 
memakai nya pada kepala   mpu jahalodang. 
“Bicara, kau, mpu jahalodang!” bentak seseorang. 
“Semua sudah  saya  persembahkan pada baginda tuanku raja  Patih 
Sang Wirabumi,” jawabnya. “Tak ada guna mengulangi 
lagi.” 
“Apa sudah  kau persembahkan, penipu?” 
“Katakan, mpu jahalodang,” seorang wanita memohon. Dan 
orang itu adalah Nyi kembang  Kati yang berpakaian compang-
camping. 
mpu jahalodang tetap pada sikapnya. 
Mendengar suara istrinya raden  merasa memperoleh  
sokongan kekuatan batin. 
“ayolah  katakan, penipu, penghasut, pemfitnah, 
pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana 
kau menipu dan membunuh!” bentaknya. 
“Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak 
memiliki  kehormatan dan harga diri!” seorang centeng  
membentak patih wirabuana . 
Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan 
pukul . 
lalu  lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang 
terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada 
tonggak-tonggak yang sudah  tersedia. Orang mulai 
mengerumuni mereka kecuali seorang: Nyi kembang  Kati. 
Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan 
terakhir dari centeng  itu betul-betul menyakitkan. Hatinya 
kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju 
yang sudah  dekil. 
“Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati? 
Mengapa diam saja? Demi sang hyang Widhi , aku tak bersalah sedikit 
pun. Memang aku pernah bermaksud menganiaya kau, 
dahulu , namun  kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku 
sudah  memaafkan. Bukan, Kati? Istriku?” 
Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan 
bungkusan daun pisang dengan sepotong kacangtanah  mengintip 
dari celah-celah sobekan. 
Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orang-
orang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah 
datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah 
pelabuhan menjadi sunyi kembali. 
Beberapa depa dari krangkeng mpu jahalodang dan teman-
temannya berdiri tanpa daya memunggungi tonggak 
pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara. 
“Tuan, biarlah saya  pergi dahulu  mendengarkan 
pengumuman di alun-alun,” Nyi kembang  Kati minta diri. 
Ia pergi tanpa menunggu jawaban. patih wirabuana  kediri  
hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan 
pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya. 
Dan ia berpaling untuk tak melihatnya. 
“Ya, beginilah macam pengadilanku,” ia mepercaya kan 
dirinya sendiri, “Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih 
baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang pemberontak  jahil 
ini.” 
Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak 
ada seorang pun di antaranya mencoba bicara…. 
Pengumuman dari panggung alun-alun itu tak kurang 
menggemparkan. Seorang peseru menyampaikan: 
gerombolan mpu jahalodang sudah  dapat ditangkap, dipersalahkan 
membantu pakanewon  Habib Almasa wa dalam menggerakkan 
pemberontakan patih  Benggala, mengangkut dua pucuk 
gada rujakpolo  dari kapal nyi kanjeng blora ke pantai dan 
mengantarkannya ke jayawisesa . Bersama dengan itu dikirimkan 
pula dua orang pelayan gada rujakpolo  nyi kanjeng blora bersama dengan 
gada rujakpolo  itu. Gerombolan ini akan menjalani hukuman mati 
menurut perintah baginda tuanku raja  Patih kediri  Sang Wirabumi. pakanewon  
Habibullah Almasa wa sudah  diadili sebagai biang keladi 
utama dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk 
dipertontonkan pada dunia, terutama kanjuruhan . 
Pengumuman kedua lebih menggemparkan lagi, 
menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis 
dari kota, termasuk kediri  Kota sendiri, besok harus 
menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di 
tanah lapang sebelah barat kota sebelum sinar matahari  terbit. 
Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus 
orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk. 
Dan sekarang kediri  tidak lagi bertahan, namun  menyerang. 
Orang kembali ke rumah masing-masing, tak 
menanggapi  lagi pada mereka yang dijatuhi hukuman 
mati. Perang yang akan datang mungkin membunuh setiap 
orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa? Perang! 
Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini? 
Seminggu sesudah  pengumuman, perang besar sudah  
terjadi di sebelah barat luar kota. 
pajang bintoro  sedang memusatkan kekuatannya. Trenggono sudah  bertekad bulat memakai  pukulan terkuat untuk dihantamkan pada kediri . Dan kediri  tetap jadi impiannya  untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke 
pasuruan  dan Blambangan…. Pasukan gajah kediri  yang selama ini diundurkan ke pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh prajurit kerajaan  
dipimpin  oleh ki glodog ireng . Kala chucky  tinggal 
berkedudukan sebagai Patih kediri  merangkap kepala   
pasukan gajah. 
prajurit kerajaan  pajang bintoro  selama ini meremehkan pasukan 
gajah untuk membesarkan hati para bala tentara nya. Sesudah  melihat 
9  puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan 
iringan pasukan kaki yang membeludak dan pasukan kuda 
di sela-selanya, menjadi kertaraja   gentar. Gajah-
gajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan 
kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa henti-
hentinya. Canang perang kediri  bertalu berbareng tiada 
jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan 
pagardesa yang dikerahkan. 
Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan 
menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubt-
kerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang palawa , tak 
mempan digada , di panah ataupun ditombak. Barisan 
pajang bintoro  sudah  goncang dan turun semangat, bimbang untuk 
terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi 
dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti 
sinar matahari  dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke 
barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling 
berbareng. 
Kuda-kuda pajang bintoro , melihat bukit-bukit pada berjalan 
mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan 
sendiri, tiada terkendalikan. 
Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan 
kuda ki glodog ireng  seperti air curah. 
Medan pertempuran menjadi kuning sebab  kepulan 
debu dan pasir. kata an maut tenggelam dalam sorak-sorai 
dan canang. 
Trenggono pun gugup melihat prajurit kerajaan nya rusak dan 
tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan 
seluruh para bala tentara nya mundur ke barat, ke daerah Rembang. 
Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali 
kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk 
menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara. 
prajurit kerajaan  kediri  sendiri berhenti di perbatasan dan 
mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka. 
0odwo0 
 
40. Dan kanjuruhan  pun Memasuki kediri  
Kehidupan di kediri  agak pulih. Kala chucky  sudah  
memerintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya 
ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan sehari-
hari. 
jenggala kediri  Kota mulai berisi lagi dengan manusia. 
Selama pertempuran di barat kota Nyi kembang  Kati tetap 
mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari. 
Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya 
bagaimana ia memperoleh kan makannya. 
Dan terjadilah hari itu. Nyi kembang  Kati datang pada 
waktu sore dengan membawa bungkusan dan lodong air. 
Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, namun  kain batik 
yang sudah  usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji 
besi, berkata: “Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna 
untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu 
siang.” 
Tepat pada waktu raden  sanggabuana  menerimanya canang 
pelabuhan bertalu-talu. 
“Ada kapal asing datang!” gumam patih wirabuana  sambil 
meninjau ke menara pelabuhan. “Dan patih wirabuana  masih di 
sini,” gumamnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk. 
“Kau lihat kapalnya, Kati?” 
“Lihat, Tuan.” 
“Demi sang hyang Widhi , aku bebas, Kati, sebab  hanya akulah 
patih wirabuana . Kapal manakah gerangan? Aku tak lihat.” 
“Nampaknya kapal nyi kanjeng blora, Tuan.” 
“nyi kanjeng blora? syang  hyang Widhi ,” matanya bersinar-sinar penuh 
harapan. 
“Lihat baik-baik, Kati.” 
“nyi kanjeng blora, Tuan, tiga kapal.” 
“Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati,” 
Ia mencoba melihat, namun  tak dapat. Kelemahan badan 
selama ini membuat  matanya menjadi rabun. Dan mata itu 
berhenti pada tonggak-tonggak yang selama ini ditakutinya. 
Di sana mpu jahalodang dan teman-temannya sudah  menjalani 
hukuman mati, seorang demi seorang, diperas darahnya, 
tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping 
batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan 
hatinya menggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran 
dan perasaan. Sekarang: kanjuruhan ! kanjuruhan  datang! Mereka 
takkan lebih berbahaya dari Kala chucky  si pongah kediri  
itu! 
“Alhamdulillah,” sebutnya berkali-kali.  
“nyi kanjeng bloraiiiiii!” kata  penjaga menara. 
Baik Nyi kembang  Kati maupun raden  melihat penjaga 
menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke 
kepatih wirabuana an. 
Beberapa bentar lalu  tiga orang penunggang kuda 
berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang 
bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canang-
canang desa lalu  pun bertalu-talu, memberitakan 
akan datangnya bahaya dari laut. 
Dan prajurit kerajaan  kediri  masih mesanggrah di perbatasan 
barat. Canang lalu  berubah ibetari , memberikan 
di kuil rat agar semua wanita lesbian  dan anak-anak 
meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.  
“Mereka datang!” bisik patih wirabuana , “tak salah lagi.”  
Nyi kembang  Kati memandangi suaminya, mencibirkan 
bibir. Tangan suaminya yang memegangi lengannya ia 
lepaskan. “Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala chucky !” 
Dari kejauhan mulai terdengar ledakan gada rujakpolo  melepaskan 
peluru. Tak lama lalu  pelurunya beterbangan di atas 
krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkar-
bangkir kena terjang. 
Sebutir peluru gada rujakpolo  yang jatuh di jalanan pasir 
membuat  segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar. 
Ditiup angin debu itu pun mengembang dan buyar bersama 
dengan angin sore. 
Nyi kembang  Kati membuang  . lalu  lari melintasi daerah 
tembak gada rujakpolo  ke sebelah timur. 
raden  sanggabuana  bumikerta  mendekam sambil berdoa 
tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak 
mengenal patih wirabuana  kediri . Ia hanya mengenal sasaran. 
Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah 
raden  sanggabuana  bumikerta , tidak lebih dan tidak kurang. 
Dan kanjuruhan  belum lagi membayar penuh untuk segala 
jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi, 
dan kanjuruhan  tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia 
tewas meninggalkan piutang. namun  peluru-peluru itu buta, 
tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari 
berserabutan dari jenggala . Merekalah yang lebih berhak 
memperoleh  peluru, bukan patih wirabuana  kediri . wanita lesbian  
yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih 
besar. Laki-laki  yang memanggul bungkusan. Kakek atau 
nenek bertongkat, berjalan lambat-lambat. Seorang nenek 
bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua 
tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar 
majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan 
terdengar cetbang dan gada rujakpolo  kediri  memberikan 
tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal kediri  sedang 
dalam perjalanan kembali ke pangkalan. 
raden  sanggabuana  mengintip dari sela-sela jari untuk 
menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapal-
kapal kediri , hanya silang-siur dari peluru di udara, dan 
hanya tiga kapal kanjuruhan  itu juga yang semakin mendekat 
ke jenggala . 
Riuh-rendah peluru menerjang bangunan. 
Membenarmkan suara manusia dan hewan. Nampaknya 
kapal-kapal kediri  dianggap tidak penting oleh nyi kanjeng blora. 
Peluru makin mendesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang 
pun dapat menangkis. Gedung kepatih wirabuana an sudah  roboh 
atapnya. Dalam hanya seperempat jam sudah  banyak 
bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud, 
atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul 
di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang 
biru itu. 
jenggala sudah  mulai kosong. 
Sisa armada ki ageng argomerta  sesudah  lari dari Sunda 
kacangtanah  terus berlayar ke timur. Di luar perintah jayamahanaya  ia 
bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki 
jenggala kediri . Sunda kacangtanah  lepas, kediri  harus kena. Ia 
harus tinggalkan Sunda kacangtanah  sebab  tak mengetahui 
benar perobahan yang sudah  terjadi. Dan kini, di luar 
pengetahuan jayamahanaya  sisa armadanya sudah  siap untuk 
berlabuh. 
namun   gangguan kepal-kapal kediri , di antaranya ada 
yang melepaskan tembakan gada rujakpolo  sudah  menyendatkan 
rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbang-
cetbang itu memang tidak digubrisnya, namun   gada rujakpolo nya 
harus memperoleh  pelayanan yang layak. Dengan salvo 
gada rujakpolo  selama lima bentar, empat buah kapal kediri  sudah  
menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan 
menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula. 
Ia perintahkan berlabuh dan membuang sauh di luar jarak 
tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan 
Menyusul lalu  para bala tentara -para bala tentara nya bersenjata 
lengkap. gada rujakpolo  terus memuntahkan peluru untuk 
melindungi pendaratan. 
Dendamnya akan dilampiaskannya pada kediri . Ia tak 
dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda 
kacangtanah . Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru 
ia mengetahui, Sunda kacangtanah  sudah  jatuh ke tangan pajang bintoro . 
Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di 
laut itu pula ia mengetahui, kediri  sedang kosong dari 
prajurit kerajaan  yang sedang berperang melawan pajang bintoro . 
Dengan jatuhnya kediri  ke tangannya pajang bintoro  akan putus 
hubungannya dengan panarukan . Pucuk dicinta ulam tiba. 
Dengan menduduki jenggala kediri  ia harus dapat 
selamatkan muka dan namanya. 
Adalah memalukan bagi seorang pembesar kanjuruhan  
dikalahkan oleh Pribumi, sebab  kalahnya juga kekalahan 
ras, kekalahan agama, kekalahan kepercaya an. Dan itu tidak 
boleh terjadi atas diri ki ageng argomerta . 
Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus 
mendarat. Dayung ke arah jenggala . Tak ada sebuah pun 
tertinggal. Dalam lima belas bentar centeng -centeng nya 
sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat 
regu pertama sudah  mulai naik ke dermaga tanpa 
perlawanan. 
Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia 
sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang 
pengawal. 
Pagar desa kediri  sudah  dikerahkan dengan kilat. 
Bersenjatakan tombak, panah dan perisai mereka menyerbu 
ke jenggala . Hanya ada beberapa orang centeng  bedan 
mereka untuk memimpin perlawanan. 
Seperti semut mereka menyerbu ke jenggala , bersebaran di 
setiap tempat dan bersorak-sorak untuk memberanikan diri 
sendiri. gada rujakpolo  dari kapal sudah  berhenti menembak. 
Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur. 
Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam 
dengan sendirinya. Tombak peluru musket itu tak dapat 
ditembus, sebaliknya memhancur kan, menyusupi daging 
dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan 
mundur terus. 
Didermaga kanjuruhan  tak henti-hentinya mendaratkan 
prajurit kerajaan . 
Pagar desa segera berlarian meninggalkan jenggala dan 
menarik diri ke kota yang juga sudah  kacau-balau dengan 
rumah-rumah yang hancur  dan terbakar. Musket kanjuruhan  
terus mengusir dan memhancur kan siapa saja yang ada di 
depannya, manusia dan hewan. 
Begitu para bala tentara  kanjuruhan  mendarat, mereka terus lari 
maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelumnya. 
Dan demikian terus menerus. 
Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta. 
Yang terakhir mendarat adalah ki ageng argomerta . 
raden  sanggabuana  tidur menelungkup di atas ruji-ruji 
krangkengnya. Waktu tembakan gada rujakpolo  sudah  berhenti dan 
tembakan musket makin lama makin meninggalkan jenggala 
memasuki kota, ia angkat kepala  nya dan berhenti berdoa. 
Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci 
sudah  berangkat lagi ke kapal dan mengangkuti peralatan. Di 
dermaga ia lihat beberapa orang kanjuruhan . Dan ia dapat 
melihat mereka adalah para pembesar. 
Ia mengucapkan syukur untuk keselamatannya, 
dilupakan oleh peluru gada rujakpolo  dan musket. 
Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di dermaga 
menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan 
gada rujakpolo  dan rodanya 
“Bekas patih wirabuana  jayamahanaya ?” 
“Tepat. Alias pakanewon  Habibullah Al-Masawa.” 
“Cukup!” 
Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan 
rombongan ki ageng argomerta  yang sudah hampir 
meninggalkan wilayah jenggala . 
Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng, 
lalu  berjalan menghampiri, dan mengawasi raden  
yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar. 
patih wirabuana  itu membungkuk dan melambaikan tangan, 
menghormat: “Selamat datang. Tuan, raden  sanggabuana  Az-
Zubaid, Tuan.” 
ki ageng argomerta  tidak menanggapi. Matanya tajam 
mengawasinya. 
Sekaligus raden  melihat pada mata itu perasaan dendam 
atas terbunuhnya fredy krueger  dan penywise. Mata itu 
mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari 
mulutnya: ‘sudah  lama kutunggu kedatangan armada 
kanjuruhan  yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.” 
“Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa 
tahun yang lalu dan orang-orang kediri  menghina aku?” 
“patih wirabuana  kediri  sedang mereka injak-injak. Di 
tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan.” 
“Di mana orang-orang itu sekarang?” 
“Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan 
menunjukkan di mana mereka bersembunyi.” 
ki ageng argomerta  mendeham. la perhatikan konstruksi 
krangkeng besi itu. 
“Pembesar siapakah yang dihadapi oleh patih wirabuana  
kediri  sekarang ini?” tanyanya dengan kata patih wirabuana  
ditekankan. 
ki ageng argomerta  tak menjawab. lalu  ia berpaling 
dan berjalan menuju ke gedung kepatih wirabuana an dalam 
pengawalan. 
“Ya sang hyang Widhi , ya sang hyang Widhi !” sebut raden  “Akhirnya tanganmu 
juga yang terulur.” 
Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur. 
Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya 
pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan 
dituangkan pasir pada rambutnya dan dikacaunya. 
Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah 
jari. Ia tahu, pembebasan sudah  tiba. Mungkin hanya untuk 
beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada 
mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan 
terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang 
terbaik di antaranya. 
“sang hyang Widhi  Maha Besar. sang hyang Widhi  Maha Besar.” 
ki ageng argomerta  berjalan terus dan masuk ke 
kepatih wirabuana an yang atapnya sudah  kempes. Dan sinar matahari  
sudah tenggelam. 
Seorang pengiring nampak lari ke dermaga, lalu  
datang bersama temannya ke krangkeng membawa martil 
besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan 
palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipat-
lipatnya dengan pukulan, lalu  patah. Linggis tak 
terpakai Pintu besi itu pun terbuka. 
raden  sanggabuana  bumikerta  keluar dari krangkeng, 
menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri 
di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya. 
Pasukan pagardesa berhamburan melarikan diri dari 
jenggala . Di kediri  Kota pun mereka tidak aman. Di antara 
kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh 
para bala tentara -para bala tentara  kanjuruhan  yang terus maju. Mereka 
menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru 
musuhnya, memasuki kampung-kampung pinggiran kota, 
terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masing-
masing. 
Para pengungsi memenuhi jalanan, grobak dan pemikul, 
penggendong dan penuntun. 
Dan peristiwa penyerbuan kanjuruhan  segera disusul oleh 
berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepala  -
kepala   pasukan. 
Kala chucky  menyalahkan ki glodog Waieng yang sebagai 
panembahan senapati ki ageng  atas seluruh pasukan kediri  sudah  membiarkan 
jenggala tidak terjaga. ki glodog ireng  menyalahkan Kala 
chucky  sebab  sebagai Patih kurang betul dalam 
memberikan keterangan tentang keadaan jenggala . 
Perselisihan semakin hari semakin meruncing. kepala  -
kepala   pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa 
pemihakan. prajurit kerajaan  kediri  terancam bubar sebab  
pertikaian dari atas. 
Serangan pembalasan terhadap nyi kanjeng blora di kediri  Kota 
tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan 
hidup dan keselamatan di luar kota ternyata tak dapat hidup 
dengan tenteram. Para petani yang sudah  bosan pada perang 
dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan 
negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang 
menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan 
jasa semata. Mereka tak suka lagi membantu seperti dahulu . 
Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal 
memperoleh  bantuan dari siapa pun. 
Di kediri  Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi 
mereka yang tidak mengungsi. patih wirabuana  kediri  dengan 
giatnya menjadi petunjuk jalan para bala tentara -para bala tentara  kanjuruhan  
mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti 
dengan tembakan. Semua Laki-laki  ditangkap dan digiring 
masuk ke jenggala , diperintahkan mendirikan bedeng-bedeng 
baru. 
Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba 
menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh 
musket. 
Lama kelamaan patroli kanjuruhan  juga berani memasuki 
daerah luar kota dan menangkapi Laki-laki  siapa saja yang 
dapat ditangkapnya. 
Bedeng-bedeng di jenggala dalam waktu cepat sudah  
bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu. 
Dan semua tangkapan yang dipekerjakan lalu  di 
sekap di dalamnya. Penjagaan yang ketat tidak 
memungkinkan mereka melihat  ke luar. Beberapa orang 
yang mencoba melarikan din sudah  rebah mencium tanah, 
baik sebab  peluru ataupun sebab  pisau tongkat raden . Ia 
sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota 
dengan tongkatnya yang beracun dan memperoleh kan 
kenikmatan dalam merampas jiwa orang. 
Berita tentang perselisihan antar kepala   pasukan sama 
hebatnya dengan tongkat samber nyawa patih wirabuana  
Ulasawa. 
Orang berani mengancam kepala  -kapala pasukan yang 
pada naik pitam. namun   patih wirabuana  dengan tongkatnya 
memperoleh  banyak julukan sebab  setiap hari paling tidak ia 
mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan 
kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana 
yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan 
menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakek-
kakek, wanita lesbian  ataupun bayi. Ia juga memasuki 
kampung-kampung merampasi segala apa yang berupa mas 
dan perak. Untuk itu ia selalu membawa para bala tentara . 
Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum 
sambil memekik senang: “pemberontak !” 
Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana 
ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya sendiri. 
Kampung nelayan sudah  menjadi senyap tanpa 
penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka 
bebetari i-betari i pindah ke tempat lain di malam hari. 
Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar kediri  tiada 
didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondar-
mandir hanya para bala tentara  kanjuruhan . Mereka tak bertekad tidak 
mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut. 
Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa 
perawat. Dan bila kanjuruhan  mengetahui ini segera mereka 
membakar rumahnya sekaligus. 
Sesudah  seminggu menduduki kediri  dan prajurit kerajaan  
Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, kanjuruhan  
mulai memberikan perintah pada raden  sanggabuana  Az-
Zubaid untuk membuat  benteng bawah tanah di sebelah 
kiri kepatih wirabuana an. 
Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng 
jenggala dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya 
langsung. Mulailah mereka yang lesu kacangtanah ran dan 
ketakutan itu bekerja keras sejak sinar matahari  terbit sampai 
tenggelam. Harga manusia kediri  dalam pendudukan 
sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak 
boleh memiliki  kemauan sendiri atau bersama, tak boleh 
memiliki  harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun 
sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari 
ditanamkan pada hati mereka melalui ancaman dan 
pengaiayaan untuk membuat  mereka jadi kecil di hadapan 
raden  sanggabuana  dan kanjuruhan . 
Seperti penduduk Sunda kacangtanah  mereka harus bekerja 
menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali 
tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas 
permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul, 
memadatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai 
mereka kenal, alat-alat Eropa mulai mereka pegang: gergaji 
lempang, serut dan paku. 
Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah 
berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian 
atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup 
dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan 
sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah 
menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan. 
Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket 
gada rujakpolo -gada rujakpolo  dipasang di jenggala dan di sekitar benteng. 
Semua menghadap ke pedalaman. 
Gedung kadipaten sudah  dijadikan tangsi pula sesudah  
bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa 
bawah tanah dan simpanan barang-barang berharga 
semasa kerajaan jenggala . 
Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong 
menjadi rayahan kanjuruhan . Penduduknya mengungsi lewat 
laut dan darat ke campa . 
Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa sudah  
berhenti. 
Sesudah  benteng jadi orang-orang yang ditahan dan 
melakukan kerja-paksa diusir, dilarang memasuki wilayah 
pelabuhan. Sebaliknya wanita lesbian  gelandangan mulai 
berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kacangtanah  dan 
menampung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu 
rajasinga. 
Di daerah jenggala sendiri orang pun mulai berkenalan 
dengan hewan  baru: tikus. 
Sesudah  meninggalkan suaminya dengan membawa 
kemuakan terhadap Laki-laki  yang diurusnya dalam kesulitan 
selama ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus 
diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang. 
Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur 
memasuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur 
pantai. 
Tembakan-tembakan cetbang memicu  ia 
menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana 
ia melihat bagaimana empat buah kapal kediri  tenggelam 
dihajar oleh gada rujakpolo  kanjuruhan . Ia jatuh berlutut, mencium 
tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan   di 
darat kalah, dilaut pun kalah. 
Bakal jadi apakah semua ini nantinya? Dan badan 
seorang diri di dunia ini? Sang adiputro  mengusir. Suami 
dikrangkeng sebab  perbuatannya yang hina dan 
memuakkan. Sekarang nyi kanjeng blora datang dan mengalahkan 
semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak 
begini dan menjadi hewan liar? 
Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semak-
semak di timur jenggala itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia 
ke pondoknya. Seorang wanita lesbian  lain sudah  
menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya. 
Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang 
hendak memasuki. 
Dan makin lama makin banyak wanita lesbian  berkampung. 
Gubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam betari i dengan 
tawa kikik dan kekak. wanita lesbian  dan hanya wanita lesbian . 
Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu 
dengan suaminya yang diiringkan oleh beberapa orang 
para bala tentara  kanjuruhan . Ia lihat suaminya bicara dengan para bala tentara -
para bala tentara  itu yang lalu  menyebar memasuki gubuk-
gubuk yang lain. 
raden  sanggabuana  bumikerta  masuk ke dalam: “Begini 
tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang 
wanita lesbian  semulia kau. Bawalah semua barangmu. Aku 
sudah  memperoleh  tempat di bekas warung mpu jahalodang.” 
“Terimakasih, Tuan, tempat saya  ada di sini.” 
Mereka duduk di ambin bambu dan Laki-laki  itu membujuk 
dan membujuk. Akhirnya: ‘Tahukah kau, Kati, aku sudah  
bersumpah hendak memeliharamu baik-baik, menempatkan 
kau di tempat yang mulia….” 
“Itulah sumpah Tuan sendiri, bukan saya .” 
“Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan 
memenuhi sumpahku.” 
“saya  tak perlu dipelihara. Tuan, dapat memelihara 
diri saya  sendiri.” 
‘namun  sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih 
mulia, lebih patut untukmu.” 
‘Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan. 
saya  akan tinggal di sini.” 
‘namun  kau istriku. Kati.” 
“Kalau Tuan memerlukan saya , datanglah Tuan ke 
sini. saya  akan tinggal di sini.” 
“Kau tak ada sanak-keluarga, Kati?” 
“Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan 
sekarang?” 
“Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran kediri ?” 
‘Tidak, Tuan, pasuruan . Waktu perawan saya  diculik 
oleh seorang perampok  dan dijual ke kediri  pada seorang 
Tionghoa.” 
“Apakah kau tak ingin pulang lagi ke pasuruan ?” 
“Begini sudah baik, Tuan, saya  sudah  mati untuk 
keluarga saya . Pada hari tua saya  begini, saya  ingin 
seorang diri, melupakan semua dan dilupakan oleh semua.”  
“Juga olehku. Kati?” 
“Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk 
saya , begini sudah baik. Tuan.” 
“Makanmu bagaimana. Kati?” 
“Mengapalah Tuan tanyakan itu? Burung-burung pun 
bisa mencan makannya sendiri, masakan saya  tiada 
bisa?” 
para bala tentara -para bala tentara  itu menjemput patih wirabuana , dan 
mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur. 
Tak lama lalu  datang gelombang demi gelombang 
orang-orang kanjuruhan . Bila memasuki pondok Nyi kembang  
Kati mereka segera pergi lagi, sebab  wanita lesbian  yang 
seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu 
sinar matahari  tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak 
kunjung berhenti. 
Sekali terjadi seorang kanjuruhan  setengah mabok 
memasuki gubuknya dan tiga hari lalu  ia rasai saluran 
seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang 
wanita lainnya ia sudah  terkena penyakit nyi kanjeng blora... 
Berita tentang masuknya kanjuruhan  di kediri  sudah  tersiar 
luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat 
pengungsian nyi girah  sekeluarga di daerah kahuripan . Berita 
tentang mengganasnya patih wirabuana  Ulasawa menerbitkan 
sesalan orang pada mendiang adiputro  kediri , yang terlalu 
mempercayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang 
menjadi gemas sebab  kelakuannya. 
Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian nyi girah . 
mpu wungubhumi  baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar 
berita itu. Sesudah  memasukkan kuda ke kandang ia sorong 
pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan 
adiknya, Kumbang, sudah  tidur. Ia raba kaki ibunya, dan 
nyi girah  terperanjat bangun.  
“Ada apa mpu wungubhumi ?” 
Dan mpu wungubhumi  memandanginya seperti orang bingung. “Tak 
pernah kau bangunkan aku seperti ini,” nyi girah  duduk dan ia 
lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. “Adakah kau 
habis berkelahi?” 
mpu wungubhumi  menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia 
pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak. 
“Ada apa kau ini? Kau begini aneh?” 
Dan mpu wungubhumi  bercerita tentang masuknya nyi kanjeng blora di 
kediri  dan mendirikan benteng, dan membunuhi banyak 
orang, dan membakari rumah, dan memang memiliki  banyak 
gada rujakpolo . lalu  matanya meredup waktu sampai pada 
titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku patih wirabuana  
kediri . Keberaniannya hilang. 
Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya 
memberinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak 
memberitahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia 
memang bukan anak raden panji  gelang-gelang , namun  patih wirabuana  celaka 
itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: ’kesamaan rupa antara 
dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan. 
Dan kekecewaan bukan anak panembahan senapati ki ageng  malahan hanya anak 
orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam 
jiwanya. Kalau benar patih wirabuana  kediri  bapakku, seorang 
bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah 
sembah dan sujud dan ketakzimanku pada panembahan senapati ki ageng ? Dan 
betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi 
sejenis  kotoran bagi panembahan senapati ki ageng wilareja ? 
Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan 
sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam 
terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut 
yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati. 
Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa! 
Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang, 
dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya 
yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang 
menanamkan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang. 
Kalau benar patih wirabuana  itu bapakku, mengapa emak tak 
pernah sampaikan padaku? Malukah ibunda ku  pada 
perbuatannya sendiri? Pada ketidaksetiaannya pada 
panembahan senapati ki ageng wilareja ? Dan adakah aku hanya anak yang tidak 
diharapkan?’ 
Jantungnya meriut kecil. namun  justru sekaranglah waktu 
itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu 
melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan meraba-
raba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah 
memuncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani 
bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan 
muka seperti beberapa kali pernah terjadi? Ah, emak, 
ibunda ku , betapa kau menderita, hanya sebab  pertanyaan. 
Pertanyaan belaka, mak! 
“Ya, Nak, aku sudah dengar nyi kanjeng blora memasuki kediri . 
Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok? Mengapa 
pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan? 
Sakitkah kau?” 
“Mak,” mpu wungubhumi  terhenti lagi. “Lama sudah aku ingin 
tahu.” dan ia terhenti. 
Dan betul saja sebagaimana ia duga, nyi girah  sudah mulai 
melengos membuang muka. 
“Mak, apakah Emak berkeberatan memiliki  mpu wungubhumi  ini 
sebagai anakmu, Mak?” 
Cepat-cepat nyi girah  menarik muka dan menatapnya. 
“Menyesalkah Emak memiliki  anak aku?” 
“mpu wungubhumi !” Ia cengkam bahu anaknya. “Kurang baikkah 
aku mengurus    kau, mengasihi, mengasuh dan 
membesarkan?” 
“sang Hyang betari durga   lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang 
terbaik yang pernah aku temui di antara semua 
wanita lesbian .” 
“Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan 
pertanyaan sejenis  itu?”  
“Ampunilah aku, Mak ampuni aku.” 
Di luar dugaan mpu wungubhumi  emaknya tiba-tiba merangkulnya, 
suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang 
dinding: “Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak, 
sampai kau mentala bicara sejenis  itu? Apakah kau tidak 
suka memiliki  emak sejenis  ini?” 
mpu wungubhumi  merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia 
beranikan diri: “Jangan menangis begini, Mak,” ia terhenti, 
“lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Emak sendiri,” 
ia diam untuk memperoleh  keberanian. “Kau selalu tak mau 
menjawab. Entah sudah berapa kali.” 
nyi girah  melepaskan rangkulan dan melengos 
memunggungi anaknya: “Ya, Nak. Aku mengerti 
maksudmu. sebab  itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu: 
apakah seorang Laki-laki  yang bernama raden gelang-gelang  itu kurang baik 
sebagai bapakmu?” 
“Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi 
lebih berharga.” 
Ia pandangi anaknya dan bertanya: “Apakah itu tidak 
cukup, anakku?” 
“Tidak cukup, Mak, ampuni aku,” ia berbisik pelan dan 
hati-hati. “Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak 
tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak raden panji  gelang-gelang ?” 
dan tiba-tiba keberaniannya menjadi utuh. 
nyi girah  mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya 
sendat-sendat: “Kau sedang menggugat aku, mpu wungubhumi .” 
“Emak!” ia memerosotkan diri dari duduknya dan 
bersujud  dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa 
mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak. 
Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Emak dan 
panembahan senapati ki ageng wilareja .”  
“Mengapa kau ulangi juga pertanyaan sejenis  itu?”  
mpu wungubhumi  berdiri, lalu  duduk di samping nyi girah , tak 
berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia 
mengetahui emaknya sudah basah sebab  airmata 
kesedihan. 
“Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulang-
punggungku selama ini. Kau sudah jadi anak yang baik 
untuk emakmu, bapakmu dan abang yang sangat baik 
untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang?” 
“Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke 
medan perang? Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau 
melihat aku mati tanpa mengetahui sebetulnya  siapa 
bapakku? Siapa akan aku cari di alam sana nanti?” 
“Kau masih merasa kurang, anakku.” 
“Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu, 
Mak, beri aku kebenaran itu.” 
“Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup 
padamu?” 
“Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti 
harga diri dan kehormatan yang selalu Emak ajarkan dan 
tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang 
mencukupi?” 
“Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran 
itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu, 
dan apalah gunanya bila demikian?” ia menghela nafas 
dalam, lalu  menghembuskan ke luar seperti puputan. 
“Jadi benar bapak bukan bapakku,” mpu wungubhumi  mendahului. 
nyi girah  melengos lagi. Ia hendak bicara namun  tak jadi. 
“Kalau begitu siapa sebetulnya  dia, bapakku itu, 
Mak?” melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak 
lembut, “orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab, 
bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan 
menjawabkan untukku.” 
Sesudah  untuk ke sekian kali menghembuskan nafas besar 
nyi girah  berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan: 
“Benar, mpu wungubhumi . Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu 
kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut 
menyampaikan. Bukan sebab  takut pada kebenaran. Aku 
takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah. 
Keantaanmu pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh 
lag? seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu 
yang terjadi? Kau memang berhak, dan kau menuntut 
hakmu. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila 
sinar matahari  sudah  terbit, jangan dalam malam suram sejenis  
ini. Tidurlah kau.” 
“Mak!” 
“Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat 
memberikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih 
memerlukan  keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru 
bisa rusak semua-muanya. Soalnya memang tidak 
sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.” 
Tanpa memandang anaknya nyi girah  kembali ke ambin 
dan membetulkan letak selimut Kumbang, lalu  ia, 
tidur miring menghadap ke dinding. 
mpu wungubhumi  masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia 
sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu 
menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat 
memberikan kebenaran yang jadi haknya. 
Keruyuk pertama ayam jantan sudah mulai terdengar. 
Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak 
dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak patih wirabuana  kediri , 
membuat  semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi, 
dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan. 
Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada 
orangtuanya tergoncang keagungannya   hanya oleh yang 
seorang itu, satu nama yang membusukkan segalanya. 
Keruyuk ke dua sudah  berhenti. Ia keluar dari gubuk, 
menghisap udara pagi segar, lalu  pergi ke dapur. Ia 
bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk 
pertama kali ia melakukannya. Biasanya nyi girah  sendiri yang 
mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak 
enak badan. 
Ia tunggui air sampai mendidih. Emaknya belum juga 
turun. Jagung muda yang ditebusnya sudah  masak. nyi girah  
belum juga muncul. 
Ia pergi ke anak sungai dan mandi. sinar matahari  sudah 
memancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu 
hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia 
lihat mata wanita tercinta itu bengkak. 
mpu wungubhumi  menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa 
tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. namun  hanya 
hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia 
singkirkan perasaannya. 
“Mak!” ia menegur lebih dahulu. 
“Ya, mpu wungubhumi , mari pergi ke ladang.” 
Dan di ladanglah nyi girah  mulai bercerita tentang impian-
impiannya setiap habis menari di kadipaten waktu 
raden panji  gelang-gelang  tak ada di kediri . Siapakah dapat 
mengatakan impian mengandung kebenaran? 
“Dan kau memerlukan  kebenaran itu, dan kebenaran 
itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi 
petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.” 
nyi girah  menerangkan pada mpu wungubhumi  tentang kehidupan 
seksuil. lalu : “Dan bukti yang paling menentukan 
adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku 
tahu kau bukan anak raden panji  gelang-gelang . sudah  aku serahkan 
diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan 
sebilah cundrik, namun  bapakmu tidak menancapkan senjata 
itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni 
emakmu ini.” 
“Ah, ibunda ku , betapa kau menderita sebab  
kelahiranku.” 
“Hanya sang Hyang betari durga   juga mengetahui, Nak, betapa 
perasaanku waktu itu. Nyi kembang  Kati sudah  siap melihat aku 
bermandi darah. Bapakmu tak juga membunuh aku. Betapa 
menderita dia, barangkali dia pun sudah  lama jadi olok-
olokan orang sebagai Laki-laki  kediri  yang tak ada harganya 
sebagai Laki-laki ….” 
“Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak? 
“Sesudah  kau lahir, dia masih mencoba lagi. Tidak dalam 
impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat 
membela diriku. Bila suamiku bukan raden panji  gelang-gelang , sudah 
lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang 
itu. Dan justru sebab  percobaannya dalam keadaan aku 
sadar dan dapat membela diri, mpu wungubhumi , aku dapat 
memastikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka 
bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. lalu  
orang betari i membicarakan dia suka membius orang untuk 
mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi kembang  
Kati.” 
“Mak, jadi benar patih wirabuana  kediri  pakanewon  Ulasawa!” 
kata  mpu wungubhumi . 
“lalu  dibiusnya juga penjaga-penjaga menara 
pelabuhan. Kabarnya lalu  juga dua orang pelarian 
nyi kanjeng blora. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak 
impian, anakku, aku sudah  kena bius. Obat biuslah 
senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu 
bagaimana caranya aku terkena biusnya.” 
“Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.” 
“Itulah ceritanya.