Tampilkan postingan dengan label Popular 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Popular 1. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Popular 1



  popular 



Sinar kuning kemilau tiba-tiba menyergap, garang. 

Hitamnya malam buyar sesaat . Bantalan-bantalan rel 

berderak kaget. arwah mpu sindok  melangkah mundur. Kelopak 

matanya terpejam, menahan silau. Angin keras menampar-

nampar wajahnya. Dingin. Menggigit. Dalam kegelapan 

pandang ia dapat merasakan debu menyengat lubang 

hidung; disertai bau sampah yang bertaburan di sekitarnya. 

Kendang telinganya seakan pecah diledakkan suara hingar-

bingar yang sangat membisingkan. 

saat  semua prahara itu perlahan-lahan berlalu dan 

arwah mpu sindok  membuka kelopak matanya kembali, samar-

samar masih terlihat lampu belakang gerbong terakhir, 

bergoyang lembut seperti penari yang kelelahan. Kian lama 

kian menjauh. Tinggal titik kuning lemah yang kemudian 

 6 

lenyap ditelan kegelapan malam yang kembali mengelam, 

semakin hitam. Namun sayup sampai masih terdengar bunyi 

nafas naga besi itu berdesas-desus teratur; seolah-olah sadar 

bahwa tempat peraduan yang nyaman tetap menanti 

dengan setia. Perjalanan panjang itu akan berakhir di stasiun 

Bandung. 

Dan di halte Cikudapateuh, perjalanan hidup 

segelintir anak manusia justru baru saja dimulai. 

arwah mpu sindok  menyeberangi rel sambil terbatuk-batuk 

sebab  sisa debu masih menempel di lubang hidung. Ia 

memasuki gang sempit yang membelah rumah-rumah liar 

sepanjang rel kereta. Rumah-rumah tanpa beranda, tanpa 

penerangan listrik – bahkan mungkin juga tanpa harapan 

walau hanya sejumput belaka. Dari balik dinding bilik salah 

satu rumah petak yang dilaluinya, terdengar suara cekikik 

perempuan; mirip ringkik kuda binal tengah birahi. Dan suara 

serak seorang lelaki mengumpatkan ucapan kotor 

menyebut-nyebut sesuatu mengenai kemaluan si 

perempuan. 

arwah mpu sindok  bergidik seram. Terus saja melangkahkan 

kaki dalam kegelapan malam. Gang yang dilaluinya 

membelok tidak karuan. Sekali ia hampir saja menabrak 

pintu, tegak bingung lalu kemudian melihat sebuah celah 

sempit di sebelah pintu untuk masuk ke gang berikutnya. 

Baru dua tiga langkah memasuki celah tadi, arwah mpu sindok  

dibuat kaget oleh makian kasar seseorang. 

“Haram jadah! Kau babi busuk!”

arwah mpu sindok  tertegun. Lalu terdengar suara lain 

menimpali: “Aku tak sengaja kang...” 

“Tak sengaja pantatmu. Lihat buku bonku basah 

semua.” 

“Nanti kujemur, kang...” 

“Awas kalau rusak! Kau tahu, malam besok yang 

keluar pasti nomor 35 atau 53. Lihat! Aku pasang 1000 untuk 

35 dan 500 untuk 53. Dan justru kuah sayurmu pas tumpah 

di bon bernomor mahal ini. Sialan! Sini, dekatkan lampu biar 

kuperiksa, apakah...” 

Geleng-geleng kepala arwah mpu sindok  mendengar 

pertengkaran sengit di balik dinding papan yang dilewatinya. 

Teringat, baru tiga hari yang lalu surat kabar di kota ini 

menyiarkan ucapan Walikota Bandung bahwa Bandung 

sudah bebas dari judi buntut. Itu pun sesudah  satu bulan 

penuh diadakan razia besar-besaran oleh polisi dibantu 

Laksusda. Mestinya arwah mpu sindok  mendobrak masuk ke rumah 

barusan, menyita barang bukti yang ada dan cukup 

menangkap para pelaku. namun  daerah ini tidak termasuk 

wilayah hukum kantor dinasnya. Dan ia hadir di sini bukan 

pula sebagai petugas. Melainkan sebagai pribadi. Itupun 

dengan tujuan, yang semakin sedikit orang tahu akan 

semakin baik. 

Akhirnya ia melihat nyala lampu samar-samar di 

depannya. Sebuah pintu tampak menganga terbuka. 

Seseorang tampak menyelinap dari kegelapan di seberang 

pintu. Siap masuk kembali ke dalam rumah. Namun segera 

dia menunggu, saat  melihat ada seorang pendatang tak 

dikenal. 

 8 

 

“Selamat malam... Neng,” sapa arwah mpu sindok  sesudah  

menyimak sebentar orang di depannya. 

Perempuan itu berumur sekitar 25-an, agak pendek. 

namun  dadanya besar, begitu pula pinggulnya. Ia 

mengenakan rok terusan warna gelap, dandanannya tidak 

teratur. “Malam, Oom,” sahutnya seraya menyeringai 

memperlihatkan sebaris gigi yang biar rapi toh tampak agak 

kekuning-kuningan dalam jilatan lampu. “Cari teman tidur, 

ya?” 

Mendadak timbul pikiran iseng arwah mpu sindok . 

Bagaimanapun ia toh seorang laki-laki, masih muda, dan 

bujangan pula. “Lagi kosong?” ia bergumam dengan senyum 

kaku. 

“Yang di dalam,” perempuan itu mengerlingkan 

mata lewat pintu yang terbuka. “Ia sudah selesai denganku.” 

“Aku tak suka bekas orang.” 

“Jangan kuatir, Oom. Aku barusan kencing. Sekalian 

cuci itu-ku...” si perempuan tertawa genit, dibuat-buat. 

“Di situ?” tanya arwah mpu sindok  sambil menuding ke 

saluran air di belakang si perempuan. Saluran itu sebuah got 

pembuangan, yang di bawah siraman rembulan kelihatan 

airnya kehitam-hitaman. Ada sebuah kakus kecil, mungkin 

MCK rumah-rumah sekitar, dan di dekat kakus itu bertumpuk 

segala macam sampah yang menimbulkan bau pesing. 

Menyadari maksud arwah mpu sindok , perempuan itu 

tertawa meringkik. “Aku punya obat pengharum di kamar,” 

ujarnya, sambil menggandeng lengan arwah mpu sindok . “Ayolah 

kita masuk. Kerbau sialan itu begitu memuntahkan laharnya 

 9 

terus saja mendengkur di ranjangku. Kau bantulah aku 

mengusirnya ke luar. Baru sesudah  itu kita...” 

“Biarkan saja dia. Kasihan,” sahut arwah mpu sindok . Segan 

masuk. 

“Oh. Jadi Oom lebih suka kita melantai,” bisik si 

perempuan nakal, sambil mulai menciumi pipi arwah mpu sindok . 

saat  bibir perempuan itu mengarah ke mulutnya, 

arwah mpu sindok  mengelak dan melepaskan lengannya dari 

genggaman si perempuan. 

“Aku bukan mau begituan, Neng. Aku cuma 

numpang tanya. Boleh?” kata arwah mpu sindok , lembut – kuatir 

penolakannya membuat si perempuan tak senang. 

“Nggak masuk dulu?” 

“Ah. Di sini saja deh.” 

“Oom. Di sini, aku paling muda. Paling cakep. 

Paling...” 

“Aku tahu.” 

“Jadi?” 

“Justru aku mau tanya, orang yang paling tua, 

barangkali.” 

“Eh, kok...?” 

“Namanya Tribuana Tunggadewi .” 

Si perempuan membelalak. “Nenek sihir itu? Hii..!” 

ia bergidik seram. “Jadi Oom lebih suka ditemani tidur nenek 

sihir itu? Astaga! Ia akan mengisap Oom sampai habis!” 

matanya kemudian mengawasi arwah mpu sindok  lagi. Dari wajah, 

turun ke dada, turun lagi ke perut, turun lagi sejengkal ke 

bawah – dan berhenti cukup lama di situ. Mulutnya 

menyeringai, genit. Berdesah, “Kalau Oom senang diisap, aku 

 10 

– aku juga bisa. Dan tidak seperti nenek sihir itu – punya Oom 

akan kusisakan sedikit untuk isteri Oom di rumah!” 

Bergemelutukan gigi arwah mpu sindok  mendengarnya. 

Mulutnya membuncah. Ingin meludah. Namun sebelum 

wajahnya diludahi, perempuan tadi cepat menyingkir ke 

pintu gubuknya. Siap untuk membantingkannya di depan 

batang hidung arwah mpu sindok . 

“Aku mencium bau polisi di tubuhmu,” katanya, 

cemas. 

“Neng...” 

“Kau polisi ya?” 

“Dengar, Neng. Aku sendirian. Dan kalaupun 

misalnya aku polisi, aku tak bawa surat tugas. namun  kalau 

kau menutup pintu...” 

Si perempuan membatalkan niatnya membanting 

pintu. Ia malah membukanya semakin lebar. Wajahnya 

sebentar pucat, sebentar memerah, pucat lagi. Lalu: 

“Langgananku yang di dalam, belum bayar. Aku tak punya 

uang. namun  kalau kau mau – dan eh, soal isap-mengisap 

kukira menarik juga. Aku belum pernah, namun ...” 

“Persetan kau pernah atau tidak!” kesabaran 

arwah mpu sindok  mulai hilang. “Aku cuma menginginkan Tribuana Tunggadewi !” 

“Pintu ketiga sesudah  ini. Yang bercat biru!” si 

perempuan menjelaskan buru-buru. Buru-buru pula ia 

menutupkan pintu. Namun belum juga arwah mpu sindok  sempat 

menghela nafas, pintu itu sudah terbuka kembali. Sedikit 

cuma. Cukup untuk meloloskan sebagian wajah pemiliknya, 

yang berkata agak bimbang: “... kusarankan, Oom. Jangan 

malam ini. Ia masih sakit.” 

 11 

“Sakit? Sakit apa?” 

“Entah ya. Mungkin darah tingginya kumat lagi. 

Sudah sepuluh hari ia tidak mau terima tamu. Kerjanya 

berkurung di kamar. Kalaupun kami boleh menengok, ia 

marah-marah melulu. Sepertinya... sarap!” 

Seolah takut oleh ucapannya sendiri, si perempuan 

lekas-lekas menghilang dan kini benar-benar membanting 

pintu. Menguncinya sekaligus. arwah mpu sindok  termangu. 

Bingung, dan mulai gelisah. Jadi ia telah menemui alamat 

yang benar. Masalahnya sekarang, apakah ia orangnya 

benar? Tribuana Tunggadewi  hanyalah sebuah nama. Siapa pun boleh 

memakainya. 

Main isap? 

“Astaga, mustahil dia melakukannya. Ia seorang 

dewa penulis !” arwah mpu sindok  menggigil. Keterangan itu terlalu 

mengejutkan untuk ia terima begitu saja. Langkahnya 

tertegun-tegun. Bimbang. namun  toh sampai juga ia di depan 

pintu biru itu. Pintu yang letaknya miring, mungkin sebab  

salah satu engselnya hampir copot, pegangan platinanya 

berkarat waktu dijamah arwah mpu sindok . “Jangan-jangan Tribuana Tunggadewi  

yang ini, bukan Tribuana Tunggadewi  yang pernah kukenal,” pikirnya. 

Dengan perasaan segan, diketuknya pintu. Selagi 

mengetuk, terbayang saat pertama ia pernah bertemu 

dengan perempuan itu. Sang dewa penulis  duduk di pojok 

sebuah bar di salah satu sudut kota Jakarta. Sesuai dengan 

usia remajanya saat  itu, arwah mpu sindok  sudah berkali-kali jatuh 

cinta. Tiap kali mengencani seorang gadis, ia kemudian 

menyadari bahwa masih ada gadis lain yang lebih cantik. 

namun  saat  melihat perempuan itu, arwah mpu sindok  sangat 

 12 

terpesona. Kecantikannya demikian luar biasa. Ia berpakaian 

gemerlapan, dandanannya bukan main. Tanpa pakaian serta 

dandanan yang hebat itu pun, penampilan si perempuan 

sudah sangat aduhai. Kalau ada orang berkata bahwa hanya 

hasil seni saja yang bisa disebut antik dan artistik, maka 

orang itu seharusnya datang untuk menyaksikan si 

dewa penulis . 

Saking kagum bahna ta’jub arwah mpu sindok  sampai 

tertegak diam, lupa tujuan sebenarnya datang ke bar itu. Ia 

hanya melongo dengan mata tak pernah berkedip; kuatir 

hanya sebab  satu kerdipan saja, bidadari itu akan sirna dari 

depan matanya. 

“... mencari siapa, dik?” terngiang kembali suara 

perempuan itu. Suara yang begitu lunak, begitu basah, yang 

membuat arwah mpu sindok  sempat tergetar sebab  gairah 

remajanya mendadak bangkit. Jiwa remajanya 

memberontak, mengapa wanita itu bukan miliknya, bukan 

kekasih pujaannya... namun  milik ayahnya! 

Ayahnya pulalah yang membebani arwah mpu sindok  tugas 

teramat berat. Sehingga kini ia merasa kesasar ke daerah ini, 

menyelinap di antara rumah-rumah liar sepanjang rel kereta 

api, untuk menemukan Tribuana Tunggadewi . “Kudengar, Tribuana Tunggadewi  kini berada 

di ambang kehancuran,” kata ayahnya. Dan sesudah  

arwah mpu sindok  berdiri di depan pintu biru yang miring itu, ia 

malah lebih kuatir lagi dari ayahnya.  

Pintu ini tak pantas menyembunyikan seorang 

dewa penulis . 


Dan Tribuana Tunggadewi  bukan jenisnya orang yang digambarkan 

pelacuran murahan tadi. Tribuana Tunggadewi  boleh menjadi tua. namun  

tukang isap... 

Sejenak terlintas pikiran untuk mundur dan 

melupakan pintu biru di depan matanya; ini memang Tribuana Tunggadewi , 

namun  bukan Tribuana Tunggadewi  yang ia harus cari dan temukan. namun  

mengapa pula harus mundur? Kepalang basah, ketuk lagi 

pintu itu. Hadapi kenyataan, bagaimanapun pahitnya. Yang 

terpenting, ini menyangkut amanat seseorang. Yang bila 

tidak dilaksanakan, besar kemungkinan membuat arwah 

orang itu akan menggeliat resah di dalam kubur. 

arwah mpu sindok  menghela nafas panjang. Diketuknya lagi 

pintu. Lebih keras. 

 

 

*** 

 

 

Dua 

 

“Siapa?” terdengar suara nyaring di dalam. 

Menyentak. 

“... aku,” sahut arwah mpu sindok . Kecut. Apakah ia akan 

terkesima seperti dulu? Diperolok-olok, bahwa ia salah 

alamat? 

“Aku siapa?” 

“Yanto.” 

 14 

Sepi sejenak. Lalu: “Nama itu tak ada di kampung 

ini!” 

“Aku dari Jakarta...” 

“Jakarta? Kau mau apa?” 

“Nanti kujelaskan. Bukalah pintu.” 

“Buka sendiri!” 

Tadi arwah mpu sindok  sudah menggerakkan pegangan 

pintu. Ia lakukan sekali lagi. “Terkunci,” katanya. 

“Anjing! Orang lagi enak-enak mimpi!” terdengar 

suara memaki, lalu ranjang berderit, sandal yang diseret, lalu 

detak anak kunci yang diputar dengan kasar. Pintu berkeriut 

terbuka. Perempuan yang membukanya kemudian bergerak 

mundur agar tamunya bisa masuk. Di bawah sinar lampu 

listrik 25 watt, penampilan perempuan yang ini memang 

sangat mirip dengan gambaran pelacur muda yang tadi. 

Selain tua, lehernya agak bungkuk. Pipi bergelambir, hidung 

menekuk seperti paruh burung, dagunya bergantung rendah 

pula. Tampaknya, paling sedikit ia berusia 50 tahun, mungkin 

lebih. 

Bukan ini orang yang kucari, pikir arwah mpu sindok  kecewa. 

Mungkin orang ini memang bernama Tribuana Tunggadewi . Mungkin pula ia 

ini seorang nenek sihir. Yang pasti, ia tidak punya tampang 

seorang dewa penulis , tidak punya penampilan seorang wanita 

pujaan yang untuk mencium tangannya saja harus 

membayar mahal. Barangkali memang itulah julukan yang 

pas untuknya: nenek sihir! sebab  matanya yang sesat tadi 

suram menakutkan, sekonyong-konyong bersinar 

mengerikan. Lantas dari sela-sela bibirnya yang tebal 

menggumpal terdengar desahan tajam. 

 15 

“Kau...” mulut perempuan itu ternganga. Matanya 

seakan mengenali arwah mpu sindok . Namun kalimat berikutnya, 

jelas merupakan penolakan pada apa yang ia kira ia sangat 

kenal: “Kau bukan dia.” 

arwah mpu sindok  terengah. “Dia siapa, bu?” 

“Bambang. Tidak. Kau bukan Bambang...” 

arwah mpu sindok  tiba-tiba tersedak. “Memang bukan,” 

ujarnya. Ngeri. 

“Siapa kau?” 

“Anaknya!” 

Perempuan itu terdiam. Kemudian, tubuhnya 

terguncang hebat. Tak satu pun suara keluar dari mulutnya 

yang kering pucat. Pelan-pelan ia mundur, sempoyongan 

menuju sebuah kursi plastik, ke benda mana kemudian 

tubuhnya jatuh menghempas. Jatuhnya begitu ringan. 

sebab  perempuan itu selain kurus, juga tampak kering 

bagaikan pohon tua yang sudah lapuk – berkeriput, 

kehilangan rupanya yang asli. Sepasang mata tuanya 

menatap arwah mpu sindok  seperti seorang nenek sihir menatap 

orang suruhan yang akan mengikatnya ke tiang gantungan 

sebelum tiba waktu pembakaran. 

“Boleh aku masuk?” arwah mpu sindok  bertanya sesopan 

mungkin, sesudah  ia kini sadar siapa perempuan itu. 

sesudah  menunggu dan tak juga dipersilahkan, maka 

arwah mpu sindok  mempersilakan diri sendiri. Kepalanya terantuk 

saat  ia melangkah masuk. Rupanya bendul pintu lebih 

rendah dari ukuran yang lazim. Sesaat, arwah mpu sindok  nanar, 

kepalanya agak pening oleh benturan itu. Untuk menutupi 

kebodohannya ia kemudian menutup pintu dari dalam. 

 16 

saat  ia berbalik, ia segera berhadapan dengan sebuah 

ruangan yang sangat mesum. Ruangan tunggal. Tanpa kamar 

tidur sebab  di pojok ada sebuah dipan dengan kasur tanpa 

seprei. Tanpa dapur sebab  di pojok lainnya ada sebuah 

kompor yang tempat minyaknya mungkin bocor, lantai di 

bawah kompor itu hitam dikotori minyak. 

Kursi plastik yang diduduki perempuan itu jelas 

sudah tidak utuh jalinan tali temalinya. Masih ada sebuah 

kursi lagi. namun  keadaannya demikian meragukan sehingga 

arwah mpu sindok  enggan mendudukinya. Ada meja kecil, sayang 

kakinya tinggal tiga. Kaki satunya lagi pasti pernah patah dan 

belum pernah diganti. Meja itu juga tak mungkin diduduki. 

Apakah ia harus duduk di dipan? Namun sesudah  melihat 

warna kasurnya yang sudah tidak karuan, arwah mpu sindok  

memutuskan untuk tetap berdiri saja. 

“... mengapa kau kemari?” bisik perempuan itu. 

Parau. 

“Aku mengemban amanat,” jawab arwah mpu sindok . 

“Bambang?” 

“Ya.” 

Memercik sinar aneh di mata perempuan itu. 

Sekejap cuma. Sinar itu lantas pudar, sebelum arwah mpu sindok  

sempat menangkap maknanya.  

“Maafkan sambutanku ini...” ujar si perempuan 

lemah. Lemah pula ia bangkit dari duduknya tanpa sempat 

dicegah arwah mpu sindok . Terbungkuk-bungkuk ia berjalan ke arah 

dipan. Sambil lalu ia sambar sebuah kutang tua yang 

tergelimpang di lantai. Kutang itu ia lemparkan seenaknya ke 

ujung dipan. Menggelepar sebentar di sana, kemudian jatuh 

 17 

menggelinding ke tempat kosong di ujung sana dipan. 

arwah mpu sindok  kemudian menangkap bayangan setumpuk 

pakaian lain yang berserakan di bawah dipan itu, bersama 

botol-botol kosong serta berbagai macam rombengan 

campur aduk. 

“Ibu suka minum bir?” arwah mpu sindok  menemukan 

percakapan untuk membuang suasana kaku yang 

menggantung di antara mereka. “Biar kubelikan untukmu,” 

tambahnya, sambil menyesali diri mengapa tidak teringat 

membawa oleh-oleh. 

“Terima kasih. Aku hanya minum kalau seorang 

tamu minta agar aku...” wajah si perempuan memerah 

padam sesaat . “Ayo, kau duduklah. Jangan berdiri di situ. 

Menambah sumpek kamarku saja... Punya rokok?” 

arwah mpu sindok  memberinya sebatang, sekalian 

menyulutnya dengan korek api. Dari tempatnya duduk, ia 

kemudian melihat bagaimana si perempuan menikmati 

isapan rokok di mulutnya yang kering kerontang. Sekilas, 

arwah mpu sindok  membayangkan bagaimana kalau yang diisap 

perempuan itu bukan sebatang rokok, melainkan... 

“Jangan memandangku seperti itu!” rungut si 

perempuan menyentak. 

arwah mpu sindok  terperanjat. “Maaf,” desahnya. 

“Mereka tentunya sudah bercerita banyak mengenai 

aku, ya?” 

“Ah...” 

“Semua itu benar. Apakah kau merasa jijik?” 

“Aku...” 

 18 

“Kau jijik. Bahkan saat  kau menyulut rokokku, aku 

tahu kau menahan nafas. Aku memang bau sekarang. 

Bahkan busuk. Busuk sampai di dalam-dalamnya. namun  aku 

harus hidup. Aku takut menghadapi kematian. Kecuali 

beberapa hari terakhir ini. Betapa inginnya aku dijemput 

malaikat maut, betapapun kejam caranya nyawaku 

direnggut...” 

“Mengapa kau ingin mati?” tanya arwah mpu sindok  hanya 

sekedar berkata saja. Ia belum tahu bagaimana ia harus 

memulai dan bagaimana ia harus mengutarakan maksudnya 

datang. Kalaupun akhirnya maksudnya kesampaian, astaga! 

Pantaskah perempuan ini masuk ke tengah lingkungan 

keluarga mereka? 

“Kau tanya mengapa aku ingin mati?” suara 

perempuan itu berubah kering, mendengking. Tahu-tahu 

saja ia memukuli dadanya. Dada yang sama keringnya. 

Rokoknya dibanting ke lantai. Diinjak-injak sampai hancur. 

“Hatiku terbelah!” katanya tersengal-sengal. Matanya pun 

berubah liar. “Beberapa hari ini aku bermimpi buruk. Kulihat 

tangan-tangan jahat menyayat dan merampas sebelah 

hatiku. Dan aku tahu apa maksudnya!” 

“Apa?” 

“Bahwa kekasihku telah mati!” bisik si perempuan. 

Matanya semakin liar. Ia kini seakan berbicara pada dirinya 

sendiri. “Kekasihku mati. Tanpa memberitahu aku lebih dulu. 

Anjing, babi, dedemit haram jadah! Coba kalau aku tahu 

bahwa ia tak akan pernah lagi datang menemuiku...” 

arwah mpu sindok  sebelumnya telah berbicara dengan 

ayahnya. Ia kemudian mengetahui lebih banyak lagi dari 

 19 

ibunya. Dan ia lalu tahu, siapa yang dimaksud kekasih oleh 

perempuan itu. Pengertian itu membuat mata arwah mpu sindok  

berlinang. Pundaknya tergetar, saat  ia bergumam getir:  

“Ia memang – tak akan datang lagi. Tak akan pernah 

menemuimu kembali.” 

“Jadi dia...” 

“Firasatmu tak salah. Papa sudah mati.” 

Beberapa detik lamanya, perempuan itu terdiam.  

Kemudian, seolah ada tenaga gaib menjelma dalam dirinya – 

ia menerjang meja, melemparkan kursi, membanting-

bantingkan kaki ke lantai, melolong panjang seraya kukunya 

mencakari daun pintu sampai papan pintu itu menggelepar 

lalu berderak retak. Sumpah serapah serta segala macam 

ungkapan kotor lepas dari mulutnya. Sampai ia akhirnya 

kehabisan nafas dan jatuh terjerambab di lantai. 

saat  arwah mpu sindok  tersadar dari kejutan mendadak 

yang menguasai dirinya, ia segera berlari mendapatkan 

perempuan itu. 

“Tribuana Tunggadewi  – Tribuana Tunggadewi , bu Tribuana Tunggadewi !” ia memanggil-manggil. 

Perempuan itu tetap diam. Rupanya tidak sadarkan 

diri lagi. 

 

  

 


 

Pertama kali melihat orang pingsan, arwah mpu sindok  

panik setengah mati. Konon pula yang pingsan itu ibunya 

sendiri. Hari itu, dua jam pelajaran terakhir di sekolah 

dibatalkan sebab  guru matematika sedang mengikuti 

penataran P4. Teman-teman arwah mpu sindok  pada ribut pergi ke 

Parung diajak salah seorang murid yang berulang tahun. 

Orang tua yang merayakan ulang tahun itu punya kebun 

durian di Parung yang kebetulan sedang panen. 

Titik air liur arwah mpu sindok  membayangkan betapa 

asyiknya ramai-ramai makan durian, ‘jatuhan’ pula lagi. 

namun  ia tak mungkin ikut mereka. “Mamaku sakit,” katanya. 

Ia agak terhibur sesudah  kawan-kawannya berjanji. 

“Jangan kuatir. Akan kami sisakan untuk kau dan ibumu.” 

Lezatnya durian itu segera dilupakan arwah mpu sindok  

setiba di rumah. Ibunya ia temukan merayap di lantai kamar, 

mencoba naik ke tempat tidur. Wajah ibunya memuith 

seperti kapas. Suaranya hampir-hampir tak terdengar: 

“Perutku, nak. Ampun, sakitnya...!” Biji mata ibunya 

kemudian terbalik-balik, sebelum mengatup ratap. 

Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian diam tak bergerak-

gerak. 

“Mama mati. Mama mati. Mama...” arwah mpu sindok  

melemparkan tas sekolahnya, mengguncang-guncang tubuh 

ibunya sambil meratap berkepanjangan. Lolongannya 

 21 

menggemparkan para tetangga. Mereka datang berlari-lari. 

Berusaha menarik-narik arwah mpu sindok  yang terus saja 

memeluki ibunya seraya menangis histeris. Ia meronta ingin 

melepaskan diri. namun  mereka terus memeganginya, 

membujuknya dengan kata-kata manis menghibur, 

sementara yang lain berusaha menyadarkan ibunya. 

“Ia cuma pingsan, nak,” kata mereka. 

Salah seorang tetangga pergi mengambil mobil dari 

rumahnya. Ibu arwah mpu sindok  sesaat  itu juga diangkut ke 

rumah sakit. Dalam perjalanan, ibunya sempat menggeliat, 

membuka mata dengan susah payah, lalu mengeluh: 

“Anakku, mana dia?” 

Mengetahui ibunya sadar, arwah mpu sindok  tidak lagi 

menangis. Ia tertawa tanpa malu-malu. 

Di rumah sakit, dokter yang memeriksa ibunya 

memanggil arwah mpu sindok . 

“Nak. Ibumu terpaksa diopname. Mungkin harus 

dibedah,” dokter itu memberitahu. “namun  sebelumnya, 

kami harus memperoleh persetujuan keluarga. Dapat kau 

hubungi ayahmu sekarang juga, nak?” 

Hubungan telepon ke kantor ayahnya sedang sibuk. 

Lalu ia putuskan pergi naik taksi saja. Ternyata ayahnya tidak 

ada di kantor. Sekretarisnya bilang: “Tadi pergi entah 

kemana. Tapi katanya akan kembali.” Pegawai yang lain juga 

tidak tahu kemana perginya ayah arwah mpu sindok . saat  turun 

lagi ke bawah, kebetulan ia lihat mobil ayahnya memasuki 

halaman parkir. Sialnya, yang dicari tak ada di  dalam mobil.  

Supir bilang satu jam sebelumnya pergi mengantar 

majikannya ke Ciputat. “Bapak menyuruhku mengantar 

 22 

beberapa pucuk surat. Selesai itu, aku diperintahkan kembali 

ke sini...” 

“Ia akan lama di sana?” 

“Katanya, mungkin sore baru pulang,” jawab supir. 

arwah mpu sindok  tak sabar menunggu selama itu. Supir itu 

tampak enggan saat  diharuskan kembali ke Ciputat. 

“Macet sekali di jalan,” katanya berdalih. Namun sesudah  ia 

dengar penjelasan bahwa isteri majikannya diangkut ke 

rumah sakit, supir itu lantas tancap gas. Untuk menghindari 

kemacetan, supir itu menjauhi jalan-jalan protokol dan 

memilih jalan-jalan samping yang lebih sepi. Memang makan 

waktu, namun  lebih cepat tiba di tujuan. 

Menjelang pukul dua siang mobil dibelokkan 

memasuki halaman sebuah rumah mungil tapi artistik 

dengan arsitektur gaya Spanyol. Tampaknya daerah 

perumahan yang baru dibuka; suasananya tenang, damai, 

jauh dari kebisingan kota. Pintu dibuka oleh seorang 

perempuan tengah baya yang menyambut arwah mpu sindok  

dengan tatap mata curiga. 

sebab  pikirannya lagi kacau, arwah mpu sindok  lupa 

berbasa-basi. Ia langsung saja menyerbu: “Aku mau ketemu 

papa.” 

“Siapa?” 

“Papa.” 

“Kau salah alamat...” dengus perempuan itu sambil 

akan menutupkan pintu kembali. Tentu saja arwah mpu sindok  tidak 

menerima perlakuan meremehkan itu. Ia menahan daun 

pintu yang hampir tertutup. Memaksa masuk. Untunglah 

Raden Wijaya , supir ayahnya buru-buru datang menengahi.  

 23 

“Maaf, bu,” ujar Raden Wijaya  sopan. “Dia ini anak majikan 

saya. Orang yang tadi saya antarkan ke rumah ini. Bolehkah 

kami bertemu dia sebentar?” 

Perempuan itu ragu-ragu sebentar. Lalu: “Barusan 

pergi,” katanya. “Dengan nyonya.” 

“Nyonya siapa?” tanya Raden Wijaya , sementara 

arwah mpu sindok  agak tersentak mendengar sebutan nyonya itu. 

“Majikan saya.” 

“Ibu tahu mereka pergi kemana?” tanya Raden Wijaya  lagi. 

Si perempuan kembali tampak bimbang. Ia 

mengawasi kedua orang tamunya silih berganti.  

“Istri majikan saya mendadak masuk rumah sakit!” 

Raden Wijaya  menerangkan dengan jengkel.  

Barulah perempuan itu memberitahu: “Kalau tidak 

salah dengar, majikan saya bilang mereka pergi ke Tigapi.” 

“Tigapi?” Raden Wijaya  kebingungan. “Dimana itu?” 

“Di... hm, sebentar ya?” perempuan itu bergumam 

seraya menghilang ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul 

lagi dengan sebuah buku nota telepon. Ia menunjuk salah 

satu halaman, dan Raden Wijaya  membacanya. 

“Tiga V – Vini, Vidi, Vici. Ah, syukur ada nomor 

teleponnya... Boleh pinjam telepon sebentar, bu?” 

arwah mpu sindok  yang dari tadi diam saja, pelan-pelan 

buka suara: “Aku tahu tempatnya,” lalu ia menyeret Raden Wijaya  

masuk kembali ke dalam mobil. 

“Dapat tahu ari mana?” tanya Raden Wijaya  sesudah  

mereka tancap gas lagi. 

arwah mpu sindok  dengan senang hati menceritakan salah 

satu pengalaman paling menarik dalam hidupnya. Suatu hari 

 24 

salah seorang teman gadisnya mengajak arwah mpu sindok  minum 

di sebuah bar. “Tempatnya bukan main. Eksklusif, mirip 

suasana di nite club. Tahu apa yang diminta gadis itu begitu 

kami duduk di pojok bertirai?” 

“Minta apa dia?” 

“Minta cium!” 

Raden Wijaya  sempat tercengang, kemudian tertawa 

bergelak. “Dan kau masih anak SMP. Kau penuhi 

permintaannya?” 

“Jelas dong!” 

“Lantas?” 

“Nggak usah ya. Nanti kau ceritain papa. Bisa 

dipotong uang mingguanku. Lagi pula, yang mau kuceritakan 

bukan soal pacarku. namun  peristiwa lain.” 

Ceritanya, di balik tirai yang ditempati arwah mpu sindok  

dan pacarnya, duduk bercengkrama sepasang sejoli lain. 

Mereka kelihatan begitu asyik sambil sesekali ngomong 

porno. Di tempat berlawanan, tiga orang lelaki perlente 

sedang bersantap siang sambil berbisik-bisik. arwah mpu sindok  

tidak tahu apa yang mereka bisikkan. namun  sebab  salah 

seorang lelaki perlente itu sesekali melirik ke pacar 

arwah mpu sindok  yang memang berpakaian serba ketat menyolok, 

arwah mpu sindok  menduga tingkah lakunya bersama pacarnyalah 

yang mereka pergunjingkan. Hal itu membuat arwah mpu sindok  

tidak senang. 

Ia baru saja mau bangkit sebab  marah, saat  dua 

dari lelaki itu kemudian pergi. Yang tadi meliriki pacar 

arwah mpu sindok  tetap tinggal. Ia kelihatan sibuk membenahi isi 

tasnya, sebuah tas besar yang tak pernah lepas dari 

 25 

pangkuannya. Pada saat itulah, kegiatan dua sejoli di sebelah 

tirai tadi berhenti mendadak. Yang lelaki bangkit bergegas 

meninggalkan pasangannya. Sambil bersiul-siul orang itu 

berjalan ke arah kamar kecil. Namun begitu lewat di dekat si 

perlente bertas besar, orang itu lantas mengeluarkan 

sesuatu dari balik jaketnya seraya membentak tajam. 

“Polisi. Jangan bergerak!” 

Si perlente terperanjat dan mencoba bangkit, 

mungkin untuk melawan atau lari. Gerakannya terhenti 

manakala laras sepucuk pestol menempel di jidatnya. Si 

perlente yang menyakitkan hati arwah mpu sindok  itu terduduk 

pucat, lemas. Dalam sekejap tangannya telah diborgol, dan 

tasnya dirampas. Teman perempuan polisi itu sudah pula 

mendatangi dan segera memeriksa isi tas. arwah mpu sindok  tidak 

tahu apa isi tas itu. Ia hanya melihat perempuan itu 

menganggukkan kepala. Sementara temannya menjaga 

tawanan mereka, si polisi wanita mengeluarkan walkie-talkie 

dan berbicara melalui pesawat itu. Tak lama kemudian 

muncullah dua buah mobil di halaman bar, dari mana 

berhamburan sejumlah polisi berseragam. 

“... aku begitu terkesan dengan permainan polisi 

itu,” gumam arwah mpu sindok  geleng-geleng kepala. “Bukan 

main!” 

“Itu sebanya kau pernah bilang, bercita-cita jadi 

polisi,”cetus Raden Wijaya . arwah mpu sindok  manggut-manggut. “Dan 

bar pencetus cita-citamu itu, adalah Vini Vidi Vici...” 

“Persis!” 

“Sebuah tempat seronok untuk menemui kencan 

rahasia, eh?” desak Raden Wijaya  pula, seakan sambil lalu. 

 26 

arwah mpu sindok  akan menyahut. Tapi mulutnya segera 

terkatup. Ia teringat ayahnya ada di bar itu sekarang. Dengan 

seorang ‘nyonya.’ Nyonya siapa? Mungkinkah nyonya 

ayahnya sendiri? 

Mendadak, dada arwah mpu sindok  penuh sesak... 

 

 

 

Apa mau dikata, ledakan kemarahan arwah mpu sindok  

mendadak terbang ke awang-awang. sesudah  masuk ke bar 

3-V dengan petentang petenteng membuat para pelayan 

berlaku waspada, bertemulah apa yang dicari. Mula-mula 

yang tampak hanya punggung namun ia dapat mengenali 

suara ayahnya, tengah mengatakan sesuatu. Lalu ia melihat 

perempuan itu. 

 

Merasa ada orang memperhatikan dari balik tirai 

manik-manik, si perempuan mengangkat muka. 

arwah mpu sindok  langsung terpana. 

“Amboi, cantiknya!” ia membatin. Kagum.  

Herannya, perempuan itu tidak marah sebab  

diintip. Ia mengawasi arwah mpu sindok  dengan wajah tak berubah. 

Tetap ceria, cemerlang sinar matanya, renyah senyum 

bibirnya sewaktu mendengar ucapan mesra ayah arwah mpu sindok ; 

ia tetap bersikap sama sewaktu menegur si tukang intip. 

 27 

“... mencari siapa, dik?” 

Suaranya, wah! 

arwah mpu sindok  sampai melupakan ibunya yang dalam 

keadaan kritis. Ia hanya ternganga-nganga bengong. Tak 

tahu akan berkata apa. Saat itulah ayahnya berpaling, dan 

tampak sangat terkejut.  

“Eh, Yanto – apa...” 

Barulah arwah mpu sindok  sadar diri. Ia menelan ludah. 

Ditambah satu tarikan nafas panjang. Rugi rasanya saat  ia 

diharuskan berpura-pura tidak melihat si perempuan. 

Terbata-bata ia berkata: “Mama... sakti, papa.” 

“Apa?” ayahnya terlonjak bangkit. 

“Mama di rumah sakit.” 

“Tuhanku!” ayahnya tersentak pucat. “Sakit apa? 

Kapan? Di rumah sakit mana? Mengapa aku tak segera 

diberitahu? Bagaimana keadaannya? Apakah dia – ,“ dan 

sekeranjang lagi ucapan panik terlontar dari mulut ayahnya 

sementara menarik lengan arwah mpu sindok  pergi meninggalkan 

bar dan masuk ke mobil yang masih menunggu di luar. 

sesudah  Raden Wijaya  melarikan kendaraan itu, barulah ayahnya 

menyadari (atau pura-pura lupa, pikir arwah mpu sindok ) bahwa ia 

telah melupakan sesuatu. 

Ia menyuruh Raden Wijaya  menghentikan mobil 

mengambil alih setir, menyuruh Raden Wijaya  keluar dari mobil 

sambil memerintah: “Kembalilah ke bar tadi. Katakan pada 

Tribuana Tunggadewi  aku minta maaf dan isteriku...” Ia membantingkan 

tangan ke setir, menyuruh Raden Wijaya  masuk kembali sambil 

bersungut-sungut: “Biarlah nanti aku sendiri yang 

mengatakan.” 

 28 

Kemudian, mereka ngebut ke rumah sakit. 

Tiba di rumah sakit, ayahnya langsung menyerbu ke 

kamar tempat ibunya dirawat. sesudah  itu konsultasi dengan 

dokter. arwah mpu sindok  tak berani masuk. Ia duduk diam-diam di 

luar. Kalau ia masuk, ia pasti akan berdusta pada ibunya. Kali 

ini, ia tak akan tega. arwah mpu sindok  sering membohongi ibunya 

mengenai harga buku yang ia beli, atau mengenai PR 

kelompok yang katanya harus dikerjakan di rumah teman, 

namun  sebagian waktu itu ia manfaatkan mengajak pacarnya 

pergi ke bioskop. 

Makin sering arwah mpu sindok  berdusta, makin wajar pula 

sikapnya. Polos, seakan tak berdosa. Namun tiap kali ia 

memulai dusta yang baru, ibunya pasti tahu. Nah, kalau ia 

masuk ke kamar tempat ibunya dirawat, pasti muncul 

pertanyaan-pertanyaan.  

“... di kantor?” ia bayangkan ibunya bertanya penuh 

selidik. “Nak, matamu mengatakan kau bertemu papa bukan 

di kantor.” 

 

“Memang bukan,” ia terpaksa harus mengaku. “Papa 

kutemui makan siang di restoran.” 

“Sendirian?” 

“Ya.” 

“Itu bukan kebiasaan papa,” ibunya akan menuduh. 

“Yah – ada temannya juga.” 

“Teman? Siapa?” 

Runyam, kalau ditanya sejauh itu. Bisa habis dia! 

Di luar kamar perawatan, arwah mpu sindok  gelisah alang 

kepalang. Ia duduk, berdiri, duduk lagi, berjalan, dan ingin 

 29 

merokok namun  takut dilihat ayahnya. Ia ingat masih punya 

sebatang di saku celananya. Maka diam-diam ia menyelinap 

cukup jauh dan sesudah  menemukan tempat sepi serta tidak 

ada plakat tanda larangan merokok, isi sakunya dikeluarkan. 

Sesaat  itu juga ia memaki: “Kunyuk sialan!” 

Ternyata rokok sebatang itu sudah patah tiga. Uang 

bekal telah pula habis dipakai tadi untuk bayar ongkos taksi. 

arwah mpu sindok  pening bukan main, dan kembali lagi ke tempat 

semula. Pas muncul NYI girah , kakaknya yang telah 

dijemput Raden Wijaya  dari konservatori. NYI girah  masih 

mengenakan pakaian tari, sehingga meskipun ia menangis, 

penampilannya tampak lucu. Namun arwah mpu sindok  tidak bisa 

tertawa. Malah air matanya ikut keluar waktu mereka 

berpelukan.  

“Mana mama, Yanto?” 

“Di dalam sana. Ranjangnya dekat jendela,” ia 

menjawab, seraya mengingatkan: “Berhentilah menangis. 

Mama belum mati kok...” 

 

sesudah  NYI girah  masuk ke dalam, arwah mpu sindok  

melihat ayahnya keluar dari ruangan dokter. Wajah ayahnya 

tampak murung. Ia gugup saat  melihat arwah mpu sindok . Lantas 

mendatangi. 

“... bagaimana pa?” tanya arwah mpu sindok , sama 

gugupnya. 

“Sore dan malam ini ibumu harus puasa. Operasinya 

besok... kakakmu sudah datang?” 

“Sudah. Ia di dalam dengan mama.” 

“Kalau begitu, kau pulanglah.” 

 30 

“Aku tetap di sini, pa.” 

Ayahnya mencoba tersenyum, seraya menepuk-

nepuk pipi arwah mpu sindok . Lembut. Katanya: “Sementara ini, tak 

ada sesuatu yang dapat kita perbuat untuk ibumu, nak.” 

“Aku akan mendampinginya. Menghiburnya, pa.” 

“Itu tugasku. Kakakmu pun bersama kami. Jadi kau 

pulanglah. Ingat, minggu depan kau harus mengikuti EBTA.” 

“Tapi pa...” 

“Jangan membantah. Pulanglah. Raden Wijaya  akan 

kusuruh menemanimu di rumah. Kalaupun kau kesepian, kau 

boleh memanggil beberapa temanmu untuk nginap...” 

“Boleh aku pamit dulu pada mama?” akhirnya 

arwah mpu sindok  mengalah. 

Ayahnya tersenyum. “Siapa melarangmu?” 

Sambil masuk kamar perawatan, arwah mpu sindok  

berpikir. Kalimat terakhir ayahnya itu sangat 

membingungkan. Apakah ayahnya benar-benar rela, atau 

terpaksa? 

 

Ibunya berbaring di ranjang. Lemah dan pucat. 

namun  sinar kehidupan sudah kembali di matanya. Ia 

tersenyum pada anaknya, berusaha tampak gembira saat  

mengatakan, “Aku baik-baik saja, Yanto,” senang kedua 

pipinya dikecup, sambil menambahkan, “Sebaiknya kau 

pulang saja, anakku.” 

“Kau ambilkan pulalah baju ganti untukku,” 

NYI girah  menimpali. “Suruh Raden Wijaya  mengantarkannya 

kemari.” 

 31 

“Mama tak ingin apa-apa?” tanya arwah mpu sindok  sedih 

sebab  harus berpisah dengan ibunya, walau sementara. 

“Kirimi aku doa, nak.” 

Sambil bermobil ke rumah, arwah mpu sindok  tak henti-

hentinya memanjatkan doa pada Tuhan demi keselamatan 

dan kesehatan ibunya. Di antara doanya, ia sempat 

menyelipkan rintihan hati. “Katakan ya Tuhan, apakah papa 

masih milik kami?” 

sebab  mereka secara kebetulan melewati toko 

bunga, arwah mpu sindok  menyuruh Raden Wijaya  berhenti. Ia kemudian 

memesan satu buket anggrek jingga, mencatatkan nama dan 

alamat tempat ibunya dirawat. Di kartu pengantar ia tulis: 

BUNGA KASIH SAYANG UNTUK MAMA SEORANG. Pada 

pemilik toko ia wanti-wanti: “Antarkan sekarang juga ya?” 

Baru saat  akan membayar, ia lupa tak punya uang. 

Mulanya ia akan meninggalkan arloji sebagai jaminan. namun  

pemilik toko dengan ramah menolak. 

“Boleh bayar besok saja,” katanya. 

 

arwah mpu sindok  sangat berterima kasih. Dan 

mengingatkan Raden Wijaya  agar besok jangan lupa 

memberitahukan kalau ia punya hutang di toko bunga itu. 

Pulang ke rumah, ia segera memilih baju yang kira-kira cukup 

dan cocok dipakai NYI girah  bermalam di rumah sakit. 

Sebelum Raden Wijaya  pergi mengantarkannya, arwah mpu sindok  

mengajak supir mereka itu duduk minum sebentar. 

Agak lama arwah mpu sindok  menimbang-nimbang apakah 

yang ada dalam benaknya patut disampaikan pada orang 

lain; apakah Raden Wijaya  harus ikut dilibatkan. namun  kemudian 

 32 

ia berpikir, persoalan itu terlalu berat untuk ia hadapi 

sendirian. Mana ia harus bersiap-siap menghadapi ujian 

akhir. Wali kelas sudah mengingatkan bahwa arwah mpu sindok  

serta teman-temannya, bahwa mereka harus berprestasi 

tinggi kalau ingin melanjutkan studi ke SMA. Yang anggap 

enteng, atau anggap uang di atas segala-galanya, 

kemungkinan besar terpaksa drop out. 

“Ingat nyonya itu, bang Raden Wijaya ?” 

“Nyonya yang mana?” Raden Wijaya  pura-pura bodoh. 

“Jangan berlagak pilon ah!” 

“Habis?” 

“Yang di Ciputat,” rungut arwah mpu sindok , dongkol. 

“Agaknya kau ingin melindungi papa, ya?” 

“Melindungnya? Aku? Seorang supir?” 

arwah mpu sindok  mulai kesal. “Mau bantu aku tidak?” 

“Dengan senang hati, Yanto,” cepat Raden Wijaya  

menjawab, sambil memandangi minuman di tangannya, 

untuk menutupi kenyataan bahwa ia sesungguhnya tidak 

menyenangi tugas yang dibebankan oleh anak majikannya. 

Tugas itu belum disebut-sebut, namun ia sudah dapat 

menyelami maksudnya. 

“Aku akan mengusulkan agar mama menaikkan gaji 

abang mulai bulan depan,” arwah mpu sindok  membujuk. 

“Yang membayar gajiku, ayahmu,” Raden Wijaya  

mengingatkan. 

“Eh, mau naik gaji tidak?” 

“Yah – siapa pula yang tidak mau?” Raden Wijaya  mencoba 

tertawa. Riang. Dibuat-buat. Sambil terus juga memandangi 

 33 

isi gelasnya, seolah menunggu sesuatu bakal muncul dari 

dalam minuman itu untuk diajaknya berkelahi. 

“Bagus!” ucap arwah mpu sindok  senang. Dengan suara 

sedikit dibuat keren, ia melanjutkan: “Cari tahu siapa 

perempuan itu!” 

“Kok aku.” 

“Itu tugasmu.” 

“Lho. Yang mau jadi polisi ‘kan kau, Yanto.” 

“Hem. Betul juga,” arwah mpu sindok  berpikir-pikir. Lalu: 

“Begini saja. Anggap aku ini Kapten. Dan kau, Sersannya.” 

“Letnan, kalau boleh nawar!” Raden Wijaya  tersenyum 

dikulum. 

“Eh. Belum apa-apa sudah minta naik pangkat,” 

arwah mpu sindok  tertawa. Mendadak ia dirasuki perasaan senang. 

Apa pun yang telah terjadi sepanjang hari itu, pikiran untuk 

menyelidiki siapa gendak ayahnya benar-benar membuat 

arwah mpu sindok  keranjingan. Ia dirangsang melakukan sesuatu. 

Sambil berharap siapa tahu, pekerjaan itu sebagai tantangan 

dalam mencapai cita-citanya kelak di kemudian hari: polisi, 

yang menyamar sebagai gelandangan dan akhirnya berhasil 

membongkar jaringan sindikat narkotik yang 

membahayakan negeri ini. 

“Dapat menemukannya untukku?” tanya 

arwah mpu sindok , sambil melamunkan ia duduk di belakang meja, 

sementara sekian orang anak buahnya siap di depan 

mejanya, menunggu perintah. 

“Menemukan apa?” Raden Wijaya  melongo. 

“Perempuan itu.” 

“Oh.” 

 34 

“Dapat nggak?!” 

 

“Yah. sebab  aku ini pembantu kepercayaan polisi 

tauladan, tentu saja aku dapatkan dia untukmu,” berkata 

begitu, Raden Wijaya  nyengir kuda. Jelas ia mencemooh, namun  

anak majikannya yang sedang dirasuk lamunan selangit, 

tidak memperhatikan. Ingin berpuas diri, Raden Wijaya  malah 

menambahkan: “Kemana nanti ia harus kubawa? Ke hotel? 

Atau langsung ke kamarmu?” 

“Jadah!” arwah mpu sindok  memaki. “Aku tak main-main, 

bang!” 

Raden Wijaya  menenggak habis minumannya. Lalu 

tersedak. “Maaf,” katanya, tersendat. 

“Nah. Pergilah.” 

saat  Raden Wijaya  beranjak ke pintu membawa tas 

pakaian NYI girah , sang anak majikan bertanya: “Perlu 

uang?” 

“Alaa. Bunga saja dihutang,” ledek Raden Wijaya  sambil 

berlalu cepat-cepat kuatir yang diledek, naik pitam. 

sesudah  ia sendirian, arwah mpu sindok  duduk tercenung.  

Tiba-tiba ia dihinggapi perasaan bersalah. Apa haknya 

memata-matai ayahnya? Dan taruhlah perempuan cantik itu 

benar gendak ayahnya. Apakah ia harus melapor pada 

ibunya?  Kemudian, ibu akan meminta tanggung jawab ayah. 

Apakah ayahnya bersedia melepaskan perempuan itu?  

Misalnya bersedia. Beres untuk ibunya. namun  hubungan 

arwah mpu sindok  dengan ayahnya akan retak. 

Andaikata tak bersedia? Gawat: keluarga mereka 

akan pecah berantakan. Ibu dan ayahnya bertengkar, lalu 

 35 

bercerai. arwah mpu sindok  dan NYI girah  kemudian punya ayah 

tiri, punya ibu tiri. Lebih gawat lagi: ibunya putus asa, lantas 

bunuh diri! 

Malam itu, arwah mpu sindok  bagai orang kesurupan. 

Biasanya, paling ia menghabiskan dua batang rokok sehari. 

Malam itu, ia menghabiskan sebelas batang, dan paginya ia 

batuk dan muntah-muntah... 

 

  

 

Hari berikutnya arwah mpu sindok  muncul di rumah sakit 

sekitar pukul sepuluh pagi. Sesaat  itu juga ia kalang kabut. 

Ibunya tidak ada di kamar yang kemarin. NYI girah  tak 

tampak batang hidungnya. Begitu pula ayah mereka. Gugup, 

ia mendatangi suster jaga yang kemudian memberitahu 

bahwa ibu arwah mpu sindok  sudah masuk kamar operasi setengah 

jam sebelumnya. 

“Tahu tempatnya, dik?” suster itu bertanya. 

arwah mpu sindok  menggeleng. “Mari saya antarkan,” ajak suster. 

Di depan kamar operasi, arwah mpu sindok  tidak saja 

melihat kakak serta ayahnya. Ia juga melihat kehadiran tiga 

orang lain yang segera ia kenali sebagai paman serta Oom-

nya dari pihak ayah. Mereka lantas bergegas menyongsong 

arwah mpu sindok , menyalaminya, memeluknya, bahkan 

menangisinya sehingga arwah mpu sindok  semakin kalang kabut. 

 36 

 

“Mama,” ia mengerang ketakutan. 

“Ibumu akan segera baik kembali, nak. Sabar dan 

tenangkan hatimu,” bujuk pamannya. “Kau baru dari sekolah 

ya? Kok cepat pulangnya...?” 

“Tak ada pelajaran, paman. Dan besok kami libur. 

Mana mama? Aku ingin bertemu dengannya.” 

“Nantilah. Kau sudah makan? Ayo, kutemani ke 

kantin. Kau boleh pilih, mau makan apa...” 

“Aku tak lapar. Aku mau mama,” air mata arwah mpu sindok  

berlinang. 

Pamannya menyerah. Ia sendiri sudah tidak dapat 

menahan air mata. Akhirnya ia biarkan anak itu berlari 

mendapatkan kakaknya, dengan siapa arwah mpu sindok  saling 

rangkulan, sesenggukan. NYI girah  menarik adiknya duduk 

di sebuah bangku panjang. Tak jauh dari situ duduk ayah 

mereka dengan bahu turun dan kepala menekur sampai 

dagunya mencapai dada. Ayahnya bagaikan patung, diam tak 

bergerak-gerak, matanya pun hampir tak berkedip.  

“Papa mengapa?” bisik arwah mpu sindok , terbata-bata. 

NYI girah  menyeka air matanya. Menjawab 

terputus-putus: “Rupanya papa – mengalami pukulan batin 

– sangat berat. Sepanjang malam ia tak tidur barang sekejap. 

Tak mau diajak ngobrol. Aku kuatir... papa jatuh sakit pula, 

Yanto.” 

arwah mpu sindok  terkejut mendengarnya. Pasti ada apa-

apa. 

“Mama?” ia mengisak. 

 37 

NYI girah  gemetar. Katanya, serak: “Sebelah ginjal 

mama terpaksa diangkat...” 

 

“Diangkat?” 

Sadar adiknya belum cukup dewasa untuk mengerti, 

NYI girah  menjelaskan: “Diangkat oleh dokter. Lalu 

dibuang!” 

“Segawat itu?” arwah mpu sindok  bergidik. Seram. 

“Yanto. Rupanya selama ini kau kurang 

memperhatikan. Mama suka mengeluh bahwa ia sakit 

pinggang.” 

“namun  kemarin, ia bilang... ia sakit perut.” 

“Untunglah mama mengalami sakit perut. Rupanya 

ia menderita radang ulu hati. Masih bisa disembuhkan. 

Waktu dironsen, baru ketahuan kalau ginjal mama sudah 

busuk sebelah. Andai tak cepat diketahui, ginjal lainnya pasti 

terkena pula...” 

“Mama – tak apa-apa kan?” 

“Mudah-mudahan.” 

“Ia akan tetap hidup ya? Ia akan segera pulang ke 

rumah? Berkumpul dengan kita lagi?” 

“Mari kita do’akan, Yanto.” 

Dan arwah mpu sindok  berdo’a tak putus-putusnya, dengan 

perasaan takut yang aneh menghantui pikirannya. Entah 

mengapa ia dapat merasakan bahwa ia bukan takut 

mengenai ibunya. Ia percaya Ibunya tetap hidup, ibunya 

akan sehat kembali. Apa yang ia takutkan, adalah sesuatu 

yang lain. Sesuatu, yang dapat ia rasakan, namun tak dapat 

ia ketahui maknanya. Entah mengapa pula, secara naluriah ia 

 38 

berpaling melihat ayahnya. Pas saat itu, sang ayah 

memandangnya pula. 

Sinar mata ayahnya, tampak gelap. 

 

*** 

 

Manakala ibunya sadar di kamar perawatan, ucapan 

pertama yang keluar dari bibir kebiru-biruan itu adalah: 

“Mana Yanto?” 

arwah mpu sindok  menggenggam tangan ibunya. “Ini aku, 

mama.” 

Ibunya tersenyum getir. “Oh. Syukur kepada Tuhan. 

Sebelum dibius tadi pagi, aku tak melihatmu anakku.” 

“Aku sekolah, mama.” 

“Bagus. Bagaimana pelajaranmu hari ini?” 

“Nggak ada yang penting, mama. Hanya pengarahan 

dari guru mengenai tata tertib EBTA mendatang. Besok, kami 

mulai libur. Dan minggu depan...” 

“Aku percaya, sepanjang malam tadi kau 

menghapal...” 

“... eh, ya. Aku menghapal sampai larut malam.” 

“Mmmm,” ibunya tersenyum. “Matamu merah. Kau 

tak tidur tadi malam. Kau juga tidak menghapal pelajaranmu. 

Tak apa. sebab  aku mengerti, sepanjang malam kau 

memikirkan mama. Eh – coba ke sinikan tanganmu...” ibunya 

menarik tangan arwah mpu sindok  lebih dekat ke wajahnya. 

Hidungnya membaui sesuatu. “Kau tak mandi tadi pagi ya?” 

“Lupa, mama,” jawab arwah mpu sindok . Malu-malu. 

“Bukan lupa. Malas.” 

 39 

“Ya, mama. Malas.” 

“Sini, mendekat. Ada yang akan mama bisikkan...” 

dan sesudah  arwah mpu sindok  mendekatkan telinga ke bibir ibunya, 

ia jadi bermerah muka. sebab  ibunya berbisik: “Cepat kau 

cuci tanganmu. Jangan sampai papa tahu kau habis 

merokok!” 

arwah mpu sindok  sempat melirikkan ekor mata ke arah 

ayahnya, dan berdenyut sesaat  jantungnya. Untuk tiba-

tiba terdengar rengekan manja kakaknya: “Aku juga ada di 

sini, mama.” 

Senyum ibu merekah melebat. Sesaat berikutnya, 

mengernyitkan dahi menahan sakit. Lalu susah payah 

mencoba lagi tersenyum. Ujarnya: “Kau ini memang selalu 

sirik pada adikmu, Tien.” 

“Aku ingin cium mama. Boleh kan?” dan tanpa 

menunggu persetujuan, NYI girah  lantas sudah 

membungkuk dan menciumi ibunya. Meledaklah tangis di 

kamar perawatan itu. 

arwah mpu sindok  menyingkir diam-diam. Lamat-lamat ia 

dengar ucapan selamat dan semoga sembuh yang ditujukan 

pada ibunya. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu siapa-siapa 

saja yang mengucapkannya. Yang ia tahu, ia ingin pergi ke 

kamar kecil dan mencuci bersih tangannya. Sekali cuci, masih 

tercium bau rokok. Dua kali, masih juga.  

Ia mencucinya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Agar lebih 

yakin tak ada lagi sisa bau rokok di tangannya, arwah mpu sindok  

mencari-cari kalau ada sesuatu yang dapat membantu di 

kamar kecil rumah sakit itu. Potongan sabun, pasta gigi, apa 

saja. Sayang, ia tak menemukan apa yang ia butuhkan. 

 40 

Tapi ia tak habis akal. Ia buka celana. Kemudian, 

tangannya dikencingi... 

 

 

*** 

 

 

 

Enam 

 

Awal bulan berikutnya, arwah mpu sindok  berjingkat 

memasuki dapur. Ibunya tengah asyik bekerja, 

mempersiapkan makan siang. Tanpa bersuara arwah mpu sindok  

terus mendekat dari belakang, lantas sekonyong-konyong ia 

raba pundak ibunya. 

Perempuan itu tentu saja kaget alang kepalang. 

“Dedemit! Hantu...!” jeritnya, sambil menjatuhkan katel dari 

tangannya. Katel itu menggelinding dari meja dapur ke 

lantai, terbuntang-banting menimbulkan suara hingarbingar. 

Ibunya lantas membalikkan tubuh yang gemetar. Tampak 

wajahnya pucat lesi. 

NYI girah  yang tengah menyetrika di ruangan lain, 

berlari-larian masuk ke dapur. Sama kaget dan pucatnya. 

“Ada apa?” ia berteriak. 

arwah mpu sindok  jadi kaku sesaat . “Maaf, mama. Aku tak 

bermaksud mengejutkanmu,” katanya, menyesal.  

“Kau telah mengejutkannya!” jerit NYI girah  seraya 

berkacak pinggang. “Kau mamu mama sakit lagi ya?” Lalu 

 41 

tiba-tiba Suprihati teringat sesuatu. Ia mendeliki adiknya, 

berkata pedas: “Kau tak pergi ke sekolah ya? Tak pergi ya?” 

“Aku baru pulang, kak.” 

“Pulang dari mana, he? Main, ya? Main?!” 

“Ya – dari sekolah, dong,” rungut arwah mpu sindok , keki. 

“Lantas?” suara NYI girah  merendah. Tatapan 

matanya pun meredup. Was was. sebab  arwah mpu sindok  diam 

saja, kakaknya semakin penasaran. Ia pegangi tangan 

adiknya, begitu keras sehingga arwah mpu sindok  meringis. “Apakah 

kau... 

Menahan sakit, arwah mpu sindok  mengerang: “Aku lulus, 

kak...” 

“Puji syukur kepada Tuhan,” sesaat  NYI girah  

memeluknya. “Mengapa tak bilang-bilang dari tadi!” lalu pipi 

sang adik habis diciumi. Hal yang sama kemudian diperbuat 

pula oleh ibu mereka, sehingga arwah mpu sindok  terpaksa harus 

meronta-ronta akan melepaskan diri. 

“Nafasku sesak,” rintihnya. “Lepaskan aku.” 

“Bagus tidak nilaimu, dik?”  

“Jelek!” arwah mpu sindok  bersungut-sungut, 

menyembunyikan hatinya yang kembali diliputi sukacita. 

“Aku cuma rangking keenam di sekolah.” 

“Rangking enam? Bukan main!” jerit kakaknya, 

berjingkrak-jingkrak. 

“Alhamdulillah...” gumam ibunya, dengan air mata 

berlinang. “Segera beritahu papa mengenai kabar gembira 

ini...” 

“Aku sudah dengar!” bergaung suara berat dari 

ruang depan. Langkah-langkah panjang terdengar mendekat 

 42 

ke dapur. Sang ayah tahu-tahu sudah berdiri di depan 

mereka. “Aku gelisah saja di kantor. Tak sabar menunggu 

kabar apakah si jagoan selama ini cuma omong besar, atau ia 

benar-benar anak papa. Maka kuputuskan pulang lebih cepat 

dari biasa...” 

Mata ayahnya berseri-seri gembira. “Anak papa,” 

katanya bangga. Namun toh masih sempat mengomel: 

“Mestinya ranking kesatu, nak!” 

Diomeli begitu, arwah mpu sindok  berubah murung, sedang 

ibunya merengut tak senang. Malah arwah mpu sindok  sudah siap-

siap mencerca ayahnya, manakala orang tua itu tertawa 

lebar. 

“Nah. Minta apa sebagai hadiah, Yanto?” ia 

bertanya, lembut. 

Cerah lagi wajah arwah mpu sindok . Kesempatanku tiba 

sekarang, katanya. Lalu takut-takut, ia menjawab: “Sudah 

lama aku ingin melakukan sesuatu, papa...” 

“Melakukan sesuatu. Bukan ingin sesuatu?” ayahnya 

sangat tertarik. “Apa itu?” 

“Papa tak marah?” 

“Asal yang tidak yang bukan-bukan...” 

“Kalau begitu, tak jadi deh,” arwah mpu sindok  merajuk. 

“Oke. Oke. Papa menyerah. Bilanglah.” 

“Benar papa tak marah?” ulang arwah mpu sindok  lagi, 

harap-harap cemas. 

“Ibu dan kakakmu saksiku. Papa tak marah.” 

arwah mpu sindok  tersenyum kecil. Agak gemetar, ia 

merogoh saku celana. Dari dalam saku celananya itu ia 

keluarkan sebatang rokok yang dengan sigap diselipkan di 

 43 

antara kedua bibirnya. Ia busungkan dada, tengadahkan 

dagu, benar-benar bergaya. Rokok di bibirnya hampir 

terlepas waktu ia coba berbicara sejelas mungkin. “Tolong 

dong pa, sulutkan rokok Yanto.” 

Sesaat wajah ayahnya merah padam. Ibunya 

memandang dengan kuatir, sementara NYI girah  

terbungkuk-bungkuk menahan ketawa. sesudah  tegang 

sejenak, sang ayah akhirnya mengeluarkan mancis dari 

sakunya. “Brengsek!” ia menggerutu. 

“Lho. Tadi bilang tak akan marah,” NYI girah  

mengingatkan.  

Barulah ayahnya tersenyum.  

“Jadilah!” ia berkata lalu menyulut rokok di  bibir 

anaknya, yang oleh arwah mpu sindok  segera dihisap dalam-dalam, 

dinikmati benar-benar. saat  tegak lagi memperhatikan 

gaya anaknya yang berlebihan itu, lelaki yang terpojok itu 

akhirnya bergumam ikhlas: “Tahun ini kau sudah duduk di 

SMA. Papa dapat menjamin. Jadi, sebab  kau sudah anak 

SMA, bolehlah merokok sesekali. namun  ingat. Tidak boleh 

lebih dari dua batang sehari.” 

Lalu sang ayah menyingkir dari dapur seraya geleng-

geleng kepala.  

“Kelakuanmu sangat tidak pantas, Yanto,” sang ibu 

mendengus. 

“Lho. Kalau papa boleh, mengapa aku tidak, ma?” 

“Boleh sih boleh. Cuma belum waktunya. Dan papa 

membeli rokok dari hasil jerih payahnya sendiri.” 

“Aku juga merokok dari hasil jerih payahku,” 

arwah mpu sindok  tidak mau kalah. 

 44 

“Oh ya?” 

“Aku disuruh sekolah. Dipaksa harus rajin belajar...” 

arwah mpu sindok  menerangkan, tenang-tenang. “Untuk 

kepatuhanku, maka aku pun diberi uang jajan. Itu juga mata 

pencaharian, bukan?” 

“Wah, ini anak!” NYI girah  tertawa geli.  

Mau tak mau, ibu mereka ikut tersenyum. Namun 

tak lupa mengingatkan: “Awas ya; Papa sudah bilang. Tak 

lebih dari dua batang sehari.” 

“Itu kan usul papa. Mama lain dong. Mama tahu 

selagi di SMP aku sudah mengisap dua batang sehari. sebab  

kelak aku akan naik SMA, jatahku ikut naik juga dong. Lima 

batang, cukuplah...” 

“Dua!” ibunya bersikeras. 

“Lima,” arwah mpu sindok  bersitegang. 

“Tiga...” ibunya menawar. 

“Empat,” arwah mpu sindok  mendesak. 

“Jangan memaksa, nak. Kau mau mama sakit sebab  

memikirkan kenakalanmu?” sang ibu membujuk. 

“Iya deh. Tiga!” arwah mpu sindok  menyerah. 

Dan besok malamnya, mereka undang para tetangga 

dan sanak famili dekat untuk makan malam bersama di 

rumah mereka. Syukuran sebab  arwah mpu sindok  lulus sekolah. 

Dalam acara itu, arwah mpu sindok  membaca ayat-ayat suci Al 

Qur’an. Sementara di kakus, sebab  takut ketahuan 

ayahnya... diam-diam arwah mpu sindok  menikmati rokok ketiga 

dan terakhir yang boleh ia isap hari itu. 

 

 45 

Waktu itulah arwah mpu sindok  teringat bagaimana ia 

terpaksa mengencingi tangannya demi menghilangkan bau 

rokok. Ingatan itu berkembang ke asal muasal ia sampai 

merokok sedemikian banyak. Apa yang sebelum ini telah ia 

lupakan sebab  terus memikirkan EBTA serta ibunya yang 

sakit keras, mendadak tampil lagi ke permukaan. 

Usai syukuran, ia mengajak Raden Wijaya  pergi berdua 

meninggalkan rumah. “Kutraktir abang makan kambing 

guling di Tomang,” ujarnya. 

Nyatanya, sambil menikmati kambing guling 

arwah mpu sindok  langsung saja mengemukakan isi hatinya. “Sudah 

kau temukan Nyonya itu untukku, bang Raden Wijaya ?” 

Raden Wijaya  agak kaget, namun segera menguasai diri.  

“Sudah,” jawabnya. 

“Dan?” 

“Ia sudah pindah. Kata mereka, pindahnya terburu-

buru...” 

“Pindah?” ganti arwah mpu sindok  yang kaget. “Pindah 

kemana?” 

“Penghuni baru rumah itu bilang, Tribuana Tunggadewi  tidak mau 

memberitahu.” 

“Tribuana Tunggadewi ?” arwah mpu sindok  tertarik. “Abang maksud, 

pelayan judes itu?” 

“Aku tak tahu nama pelayan itu. Yang bernama 

Tribuana Tunggadewi , majikannya. Sang Nyonya...” 

‘Oh, oh. Kok jelek amat. Kontra dengan orangnya.” 

“Apalah artinya nama!” Raden Wijaya  berlagak puitis. 

“Yang penting, orangnya.” 

“Ia punya suami?” 

 46 

“Tidak.” 

“Janda, kalau begitu.” 

“Juga tidak.” 

“Gadis?” arwah mpu sindok  membelalak. “Ia masih gadis?” 

“Aku yakin, tidak.” 

“Bagaimana abang yakin?” 

“sebab  aku telah tanya sana tanya sini. Sumber-

sumberku dapat dipercaya, pak Kapten!” Raden Wijaya  senyum-

senyum. 

“Oke, Sersan!” arwah mpu sindok  balas tersenyum. “Apa 

kata sumbermu?” 

“Tribuana Tunggadewi  kelas atas.” 

“Apa?” 

“Kelas atas. Langganannya pilihan. Taripnya sekali 

pakai, di atas seratus ribu...” 

“Maksud abang, dia...” arwah mpu sindok  tak lagi dapat 

menikmati makanannya. Juga tak mampu meneruskan kata-

katanya. 

Raden Wijaya  yang meneruskan: “Tribuana Tunggadewi  itu seorang 

wanita panggilan. Jelasnya, Tribuana Tunggadewi  itu pelacur!” 

arwah mpu sindok  menenggak minumannya. Berucap: 

“Syukur!” 

“Lho. Kok malah bersyukur?” 

Jawab arwah mpu sindok  puas: “Tadinya, kukira ia itu isteri 

muda papaku...” Lantas menambahkan: “Aneh ya. Kok dia 

buru-buru pindah?” 

 

*** 

 

 47 

Tujuh 

 

“Apanya yang aneh?”  

Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan, yang 

diucapkan acuh tak acuh. arwah mpu sindok  berhenti menulis. Diam 

mendengarkan. Rupanya televisi telah dimatikan. Dari 

arlojinya arwah mpu sindok  menyadari malam telah larut. 

“Mama tak pernah menaruh curiga ya?” Ia dengar 

suara NYI girah , kakaknya.  

Lalu suara ibunya lagi menjawab: “Mengapa pula aku 

harus mencurigai ayah kalian, nak?” 

“Coba pikir mama. Dulu, semenjak mama keluar dari 

rumah sakit. Paling cuma lima bulan papa betah bersama 

kita. Sekali sebulan, mengajak kita sekeluarga piknik. Tiap 

akhir pekan, membawa mama jalan-jalan atau mengunjungi 

sanak famili. Selalu pulang kantor pada waktunya untuk 

makan siang di rumah...” NYI girah  menjelaskan panjang 

lebar. Lanjutnya: “Lima bulan cuma. Yah, taruhlah tujuh 

bulan – sebab  dua bulan berikutnya kelakuan papa belum 

kita perhatikan benar. Dan sesudah  itu? Papa kembali dengan 

kebiasaannya yang lama.” 

“Ayahmu seorang kepala bagian di kantornya, nak. Ia 

orang sibuk.” 

“Bagaimana yang lima bulan itu? Kok papa tidak 

sibuk?” 

“sebab  aku belum sembuh benar, nak. Ayahmu 

ingin agar aku betul-betul sudah cukup sehat, sehingga ia...” 

“Mama membuat kesalahan besar!” potong 

NYI girah  pedas. 

 48 

 

“Lho. Kok lantas aku yang disalahkan, NYI girah ?” 

“Mama sih. Kurang taktik!” 

“Kurang taktik bagaimana?” 

“Mestinya mama dapat mempertahankan keadaan 

yang menyenangkan itu. Mempertahankan, agar papa betah 

di rumah.” 

“Caranya?” 

“Mama pura-pura masih sakit.” 

Ibu tertawa berderai. Katanya: “Kau ini macam-

macam saja, nak. Aku ‘kan bukan anak kecil. Lagipula ayahmu 

tak pantas dibohongi. Dan...” 

arwah mpu sindok  tercenung, menatap meja belajarnya. 

Percakapan kakak dan ibunya di ruang tengah, tidak lagi 

menarik perhatiannya. Terngiang ucapan NYI girah  

barusan: pura-pura sakit! Terngiang pula ucapan Handini... 

pacarnya yang kedua sejak duduk di bangku kelas satu SMA: 

“Bawa aku lari. Sehari dua hari, seminggu, kalau perlu 

sebulan. Kemudian kita pulang. Dan berpura-pura, bahwa 

aku telah hamil!” 

Pura-pura hamil! Alangkah nekadnya Handini. 

Rupanya gadis itu tidak tahan, terus dimarahi ayahnya 

semenjak menjalin hubungan cinta dengan arwah mpu sindok . 

Alasan orang tua itu, sebab  puterinya dan arwah mpu sindok  masih 

kelas satu SMA. Belum waktunya menikah. Belum pantas 

memikirkan cinta! namun  menurut apa yang sempat didengar 

Handini dari ibunya, gadis itu sudah dijodohkan dengan 

Sofyan, putera kesayangan Uwa perempuan  Handini. 

Softyan masih melanjutkan studi di Jerman. Tiga tahun 

 49 

mendatang, studi Sofyan diharapkan sudah selesai. Ia akan 

pulang ke Indonesia. Pekerjaan menarik sudah menantinya 

di perusahaan milik keluarga. Handini pun diharapkan sudah 

tamat SMA, dan sudah pantas untuk dikawinkan. 

Handini belum pernah bertemu muka dengan 

Sofyan. namun  pemuda itu sering berkirim fotonya, juga 

bingkisan hadiah-hadiah menarik dari Jerman. “Aku sedikit 

pun tidak tertarik pada Sofyan,” kata Handini. “Aku hanya 

mencintai kau seorang, Yanto... Apa pun akan kukorbankan, 

demi cintaku padamu.” 

Handini tidak begitu cantik. namun  ia punya dada 

besar, punya pinggul besar – tipe kegemaran arwah mpu sindok . Ia 

juga bukan sekedar omong di mulut. Pernah mereka berdua 

piknik ke Pelabuhan Ratu. saat  hari sudah sore, Handini 

enggan pulang ke Jakarta. Gadis itu mengajak arwah mpu sindok  

nginap satu malam di hotel. “Aku yang bayar. Uangku 

banyak,” kata gadis itu bersemangat. 

Mereka kemudian mendaftar di sebuah hotel. 

Handini minta satu kamar untuk mereka berdua. Penerima 

tamu memandangi mereka sebentar, lalu berbisik-bisik 

dengan seorang temannya. Orang kedua itu mendatangi 

arwah mpu sindok , menanyakan apakah mereka punya KTP. Tentu 

saja mereka tidak punya. Petugas itu kemudian memandangi 

pakaian yang dikenakan arwah mpu sindok ; astaga, ia masih 

mengenakan seragam sekolah. Habis, tak ada rencana 

tadinya untuk piknik, apalagi nginap. Ajakan Handini begitu 

mendadak. Anehnya, dalam tas sekolah Handini tersedia 

pakaian ganti. Rupanya sudah ada rencana sebelumnya. 

 50 

“Dik...” kata petugas hotel itu, sopan. “Pulanglah. 

Dan jangan biasakan bolos dari sekolah.” 

arwah mpu sindok  malu sekali.  

Ia langsung menarik Handini pergi, memaksa gadis 

itu pulang saja ke Jakarta. Mulanya Handini menolak. Kita ke 

hotel lain saja, katanya marah. Gadis itu malah menuduh 

arwah mpu sindok  pengecut, mau diperhinakan oleh pelayan hotel. 

arwah mpu sindok  pun ikut-ikutan marah mendengar ucapan 

Handini. Baru sesudah  menyadari arwah mpu sindok  juga marah, 

Handini minta maaf dan bersedia pulang ke Jakarta. Air 

matanya bahkan berlinang. Hukumlah aku sebab  aku salah, 

kata gadis itu terisak-isak. arwah mpu sindok  tersenyum. Air mata 

gadis itu sesaat  mencairkan amarahnya. 

Orang tua Handini lah yang marah bukan main. 

Menyangka Handini sakit, teman sebangku gadis itu 

berkunjung ke rumah Handini sepulang sekolah. 

Ketahuanlah bahwa Handini bolos. Lebih parah lagi, Handini 

baru pulang lewat pukul sepuluh malam. Gadis itu kena 

tampar dan arwah mpu sindok  diusir. 

“Enyah! Sekali tampangmu kulihat lagi di rumahku, 

kepalamu kubikin perkedel!” maki ayah Handini, naik pitam. 

Untunglah arwah mpu sindok  sabar. Ia sadar ia telah 

bersalah. sebab  dia, Handini kena tampar. Ia merasa iba 

pada pacarnya itu, dan berjanji dalam hati akan meminta 

maaf pada Handini dan lain kali akan menjaga agar gadisnya 

itu tidak ditampar ayahnya lagi. 

Sial, niatnya itu tidak pernah kesampaian. Sejak hari 

itu Handini tidak diperkenankan masuk sekolah oleh orang 

tuanya. Suatu hari, teman sebangku Handini memberitahu 

 51 

bahwa gadis itu akan dikirimkan orang tuanya ke Padang, 

meneruskan sekolah di sana di bawah pengawasan 

neneknya. Hastuti, teman sebangku Handini itu menyatakan 

sebenarnya dia yang bersalah; tidak tanya-tanya dulu 

sebelum bertindak sehingga Handini dihukum keluarganya. 

Ia telah berkunjung lagi ke rumah Handini. Kebetulan ayah 

Handini tidak di rumah dan Hastuti dititipi surat untuk 

diteruskan pada arwah mpu sindok .  

“... aku tak sudi ditransmigrasi ke Padang,” begitu 

antara lain isi surat Handini. “Kau pun tak akan 

membiarkannya, bukan? Aku cinta padamu, Yanto. Tanpa 

kau, hidup ini bagaikan terminal tanpa bis. Bagaikan bis 

tanpa penumpang. Kosong melompong. Lama-lama, 

karatan. Aku tak mau karatan, Yanto. Lebih baik aku bunuh 

diri ketimbang jadi bis reot terdampar di sebuah terminal 

tua. Jawablah suratku ini, Yanto, kalau tidak aku benar-benar 

akan gantung diri.” 

Lewat Hastuti, surat itu dijawab arwah mpu sindok . Ia 

mengakui terus terang: “Apa yang harus kuperbuat, Dini?” 

Tiga hari kemudian, datang balasannya. Surat 

Handini itu diantarkan oleh salah seorang pembantu rumah 

tangga si gadis. arwah mpu sindok  tersentak membaca isi surat 

Handini: “Kita harus minggat. Bawa aku lari...” dan 

seterusnya. 

 

 

*** 

 

 52 

“Sudah kau periksa pintu dan jendela, NYI girah ?” 

terdengar suara ibunya yang tengah berbenah di ruang 

tengah. 

“Aman, mama.” 

“Nah, mari kita tidur. Mama sudah ngantuk.” 

“Lho, tidak menunggu papa pulang?” 

“Astaga, apakah aku lupa memberitahu kalian? 

Ayahmu lusa baru pulang. Ia ke Palembang. Mewakili 

pimpinan untuk menghadiri rapat di kantor cabang...” 

“Rapat, mama?” 

“Eh! Apa pula maksud ucapanmu yang sinis itu, 

NYI girah ?” 

“Nggak kok ma...” jawab NYI girah , terkejut 

mendengar hardikan ibunya. 

saat  menuju kamar tidurnya, NYI girah  melewati 

kamar arwah mpu sindok . Terdengar ia menggerutu panjang-

pendek: “Rapat! Rapat! Hem... paling juga ngendon di rumah 

bini muda!” 

“Tien?” 

Langkah NYI girah  tertegun di depan pintu kamar 

arwah mpu sindok . “Ya, mama?” 

“Coba lihat adikmu. Kalau tidur ia suka buka baju. 

Selimuti dia baik-baik...” 

arwah mpu sindok  terperanjat. Reflek ia melirik ke pintu 

kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit. Cepat-cepat ia 

padamkan lampu, dan bersijingkat ke tempat tidur. 

NYI girah  masuk ke kamarnya. Berbisik pelan: “Sudah tidur, 

anak nakal?” 

arwah mpu sindok  balas berbisik: “Sudah...” 

 53 

NYI girah  tertawa kecil. “Lagi mikirin pacar ya?” ia 

balik bertanya. 

“Nggak!” 

“Bohong...” 

“Perduli!” 

“Pasti barusan kau sedang menulis surat pada 

pacarmu!” 

“Nggak!” 

“Hem. Coba, kuhidupkan lampu...” NYI girah  

mengancam. 

“Iya deh. Iya deh. Nulis surat!” cepat arwah mpu sindok  

mencegah. “Jangan baca, kak.” 

“Tak boleh?” 

“Tidak.” 

“Kalau aku memaksa?” 

arwah mpu sindok  berpikir sejenak. Lalu katanya: “Kukasih 

tahu papa, kalau kakak masih suka nyelundup ke rumah bang 

Parlaungan!” 

NYI girah  terdiam. Lalu menarik nafas panjang. 

Terus berjalan keluar, menutup pintu, dan menghilang ke 

kamar tidurnya sendiri. Dalam kegelapan kamar, arwah mpu sindok  

tiba-tiba menyesal. Tak semestinya ia menyakiti hati 

kakaknya. Tentunya NYI girah  saat ini menangis terisak-

isak. Hatinya perih, teringat ancaman ayah mereka agar 

NYI girah  memutuskan segera hubungannya dengan 

Parlaungan, apabila NYI girah  masih ingin dianggap anak 

papa. 

Hei, bukankah itu juga yang kini harus diderita 

Handini 

 54 

Ia teringat lagi surat gadis itu. Handini bilang, lusa ia 

harus sudah naik pesawat ke Padang. Handini katanya 

hampir gila memikirkan kekejaman ayahnya. Dalam suratnya 

itu Handini menulis rencana yang katanya sudah dipikirkan 

matang-matang. Besok, pagi-pagi benar Handini pura-pura 

sibuk membantu ibunya masak di dapur. Lebih dulu ia telah 

menumpahkan ke kloset semua garam yang ada. Biasanya 

Handini yang disuruh ibunya pergi ke warung membeli 

persediaan dapur. Kesempatan itu akan dipergunakan 

Handini untuk kabur. 

“Kutunggu kau di terminal bis Rawamangun,” tulis 

Handini. “Pukul tujuh, persis di depan jongko sop kaki 

kambing pak Jenggot, langganan kita itu. Tolonglah 

kekasihmu yang malang ini, Yanto. Kalau pukul tujuh pagi kau 

tak muncul, aku akan lari menyongsong bis pertama yang 

memasuki termina. Aku takut mati, Yanto-ku. namun  lebih 

baik mati daripada harus berpisah dengan engkau...” 

Lamunan arwah mpu sindok  terus menerawang. Sesuai 

dengan rencana Handini, dari terminal Rawamangun mereka 

akan kabur keluar kota. Mungkin ke Plered, Purwakarta. Di 

sana ada seorang bibi Handini yang pasti bersedia menolong. 

Mereka dapat juga mengambil bis jurusan Banjar, dari sana 

terus ke Pangandaran, kalau perlu ke Cilacap sehingga 

mereka akan sulit ditemukan. Bila dicari, mereka lari, 

sembunyi, lari, sembunyi lagi. Benar-benar sebuah 

petualangan menarik. Rencana Handini itu tampak 

sederhana, masuk akal, juga tak sulit melaksanakannya. 

Tidak sulit? Tidak, kalau yang mencari hanya 

keluarga Handini saja. namun  bagaimana kalau mereka lantas 

 55 

melapor pada polisi? Dilaporkan, Handini minggat. 

Dilaporkan, sesudah  diselidiki, Handini ternyata dilarikan oleh 

arwah mpu sindok . Bunyi laporannya pasti hebat: Handini diculik! 

Polisi akan mengerahkan anggota-anggota terlatih dan 

terpercaya untuk mencari, menemukan, menangkap 

mereka. Teringat kenangan berkesan dulu di bar Vini-Vidi-

Vici itu, arwah mpu sindok  percaya polisi akhirnya toh akan 

menemukan mereka juga. Siapa tahu, seorang pengrajin 

keramik di Plered selagi menawarkan kendi, tahu-tahu 

mengeluarkan sepucuk pistol. Atau seorang tukang perahu 

di perkampungan nelayan Cilacap, mendadak punya borgol... 

Astaga! Ia arwah mpu sindok  bin Bambang Prakoso, seorang 

calon polisi, ditangkap polisi. 

Tidak. Hal itu tidak boleh sampai terjadi. arwah mpu sindok  

menggeliat di ranjangnya. Gelisah. 

 

 

*** 

 

 

Delapan 

 

LIMA menit kurang pukul tujuh pagi, arwah mpu sindok  

melangkah dengan hati waswas ke jongko Pak Jenggot di 

sudut terminal Rawamangun. Ternyata Handini sudah tiba 

lebih dulu. Dari jauh tampak gadis itu berlari-lari 

menyongsong. Wajahnya pucat, matanya ketakutan, 

senyumnya menyedihkan. Dua langkah sebelum lengannya 

yang terkembang siap memeluk sang kekasih pujaan, 

 56 

Handini tertegun. Lengannya lunglai di sisi tubuhnya yang 

seronok bentuknya itu. 

Kata-katanya bernada kuatir: “Tak bawa tas?” 

arwah mpu sindok  berusaha keras agar tetap dapat tenang. 

“Cukuplah pakaian yang melekat di badan saja,” jawabnya. 

Air mata Handini melelehi pipi. Ia sangat kecewa. 

Terbukti dari tuduhannya: “Kau tak mau pergi denganku!” 

arwah mpu sindok  memegang tangan gadis itu. “Mana 

tasmu?” ia sendiri mulai ketakutan. Takut gadis itu saking 

kecewa lantas menjerit-jerit, lari menghambur ke bis-bis 

besar yang memasuki terminal tanpa mengurangi 

kecepatan. namun  gadis itu terlalu kecewa, terlalu lemah 

untuk memberontak. Ia hanya mampu menggerakkan dagu 

ke arah jongko. Tanpa melepaskan Handini dari cekalan 

tangannya, arwah mpu sindok  mengambil tas gadis itu. Tak ada 

tanda-tanda Handini baru makan atau minum, jadi tak ada 

yang perlu dibayar. Sambil manggut pada si empunya jongko, 

arwah mpu sindok  kemudian menyeret kekasihnya keluar dari 

terminal. “Tak baik kita bicara di sini. Siapa tahu ada yang 

melihat...” ujarnya. 

Ia merasakan ketegangan lengan Handini dalam 

pegangannya. Juga betapa tegangnya suara gadis itu. “Kau 

tak cinta lagi padaku. Kau lebih cinta Fitri...!” 

“Fitri masih anak-anak. Mata duitan lagi. Untuk kau, 

ia telah kulepaskan bukan?” 

“Lalu, mengapa...” 

sesudah  mencari-cari, akhirnya arwah mpu sindok  melihat 

sebuah warung es tak jauh dari pintu masuk terminal. Tak 

ada yang minum es sepagi itu. Sepi di dalam, tertutup lagi. 

 57 

arwah mpu sindok  menarik gadisnya masuk dan kepada pemilik 

warung yang baru saja siap-siap menyusun bakal 

dagangannya, arwah mpu sindok  minta dibuatkan segelas kopi 

untuknya dan coklat susu untuk Handini. Pemilik warung 

terheran-heran sebentar, lalu kemudian pergi ke warung 

kopi di sebelahnya untuk mengambil pesanan arwah mpu sindok . 

“Kau tak mau pergi!” sekujur tubuh Handini 

bergetar. Wajahnya semakin pucat saja. 

“Aku tak bilang aku tak mau pergi.” 

“Lantas, mengapa...” 

“Kita harus berpikir tenang, Dini. Bukan dengan cara 

begini kita meruntuhkan benteng pertahanan keluargamu. 

Masih ada...” 

“Dalih!” Handini mulai terisak. 

“Janganlah menangis. Malu dilihat orang.” 

“Kau tak cinta lagi padaku, Yanto.” 

“Aku cinta.” 

“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Janganlah sikap 

ayahku kau buat alasan...” 

“He, pernahkah aku cerita padamu, bahwa kelak aku 

ingin jadi polisi?” tanya arwah mpu sindok  sambil tersenyum. sebab  

Handini tidak menyahut, malah isaknya makin jadi, 

arwah mpu sindok  meneruskan sendiri: “Kalau aku ingin jadi polisi, 

Dini, catatan riwayat hidupku kelak harus bersih. Dan...” 

Pemilik warung masuk membawa pesanan tamunya. 

namun  bukan itu yang menyebabkan arwah mpu sindok  

menghentikan pembicaraannya. Lewat pintu masuk warung, 

ia melihat sebuah mobil yang akan memasuki terminal, 

 58 

berhenti sebentar sebab  terhalang oleh sebuah bis di 

depannya. Mobil itu disupiri oleh ayahnya! 

arwah mpu sindok  merungkut di tempatnya duduk. Ia 

merendahkan kepala, takut terlihat. Kepalanya baru 

diangkat sesudah  mobil itu masuk ke dalam terminal lalu 

berhenti di pelataran parkir khusus pegawai. arwah mpu sindok  

mendongakkan kepala, mengintip lewat tabir atas jongko 

dan melihat seorang perempuan kurus berkebaya turun dari 

mobil. Rasanya arwah mpu sindok  agak ingat-ingat lupa siapa 

perempuan tua itu. Namun ia tak akan pernah melupakan 

perempuan lain, yang menyusul turun lalu berjalan dengan 

langkah gemulai mengiringi si perempuan berkebaya menuju 

sebuah bis antar kota. Ia segera mengenali perempuan yang 

begitu turun dari mobil begitu jadi pusat perhatian orang-

orang di sekitar tempat ia lewat. Betapa tidak. Sudah 

berwajah cantik, tubuhnya pun berbalut blus ketat sehingga 

payudaranya semakin menggembung padat. Jin-nya juga 

ketat, memperlihatkan pinggul yang padat berisi dengan 

goyangannya yang teramat aduhai. 

Demikian kuat daya tarik perempuan itu sehingga 

arwah mpu sindok  segera melupakan Handini. Tanpa sadar ia 

bangkit dan menyelinap ke luar dari warung. sesudah  itu 

menyelinap pula di antara kerumunan orang yang keluar 

masuk terminal, sambil berusaha sejauh mungkin terlindung 

dari pandangan ayahnya yang duduk menanti dalam mobil. 

Sungguh kebetulan, ayahnya sambil menunggu lantas 

membuka surat kabar. Terlindung oleh sebuah mikrolet, 

arwah mpu sindok  dapat melihat perempuan cantik itu lebih dekat. 

Sekarang arwah mpu sindok  benar-benar yakin. 

 59 

Tak syak lagi. Perempuan itu adalah Tribuana Tunggadewi , yang oleh 

Raden Wijaya  disebutkan ‘bertarif seratus ribu rupiah sekali pakai,’ 

seorang pelacur yang tidak sembarangan memilih 

langganan. Itu untuk ‘sekali pakai’. Kalau ‘all-night’ tarifnya 

bisa lipat ganda dua tiga kali lipat. Melihat penampilan 

perempuan itu sedekat sekarang, sempat pula terlintas 

dalam benak kelelakian arwah mpu sindok : “Andai aku punya uang, 

setengah juga pun aku berani!” 

Sebelum perempuan berkebaya yang ternyata 

pelayannya naik ke dalam bis, Tribuana Tunggadewi  terdengar berpesan: 

“Jangan berlama-lama di Tasik bi Ijah. Aku bisa sakit perut 

kalau harus masak sendiri.” 

“Cuma menjenguk orang sakit kok, Non,” jawab si 

pelayan. 

“Cepat kembali ya?” 

“Saya, Non,” lalu perempuan itu naik ke dalam bis. 

Sebentar Tribuana Tunggadewi  memperhatikan. Kelihatannya kuatir 

pelayannya tidak mendapatkan tempat duduk yang enak, 

baru sesudah  itu melambai dan kembali ke mobil yang masih 

menunggu; kembali pula jadi pusat perhatian, bahkan ada 

yang bersuit-suit nakal. 

Mobil itu kemudian meluncur menuju pintu keluar. 

“arwah mpu sindok  tidak berpikir panjang lagi. Ia kembali 

menyelinap dari belakang, naik ke sebuah taksi yang 

kebetulan kosong. Pada supirnya, arwah mpu sindok  berkata gugup.  

“Ikuti Volvo merah hati yang di depan itu, bang. 

Jangan terlalu dekat...” 

Haa! Dia benar-benar jadi polisi sekarang. Ia akan 

menguntit ayahnya, membuktikan bahwa kecurigaannya 

 60 

selama ini benar yakin, ayahnya berbini muda. Raden Wijaya  jelas 

keliru mengatakan perempuan itu seorang pelacur. sebab  

untuk seorang pelacur, ayahnya tidak perlu memberi dalih 

pada ibunya bahwa ia harus pergi beberapa hari ke 

Palembang. Ya, ya, Raden Wijaya  pasti keliru. namun  arwah mpu sindok  

dapat mengerti. Bukankah Raden Wijaya  hanya Sersan-nya, sedang 

ia sendiri adalah Kaptennya? Seorang Kapten, harus lebih 

tahu, lebih efektif ketimbang anak buahnya. Dan ia akan 

membuktikannya sekarang juga... 

Ia bayangkan mobil yang dikuntitnya masuk ke 

sebuah rumah entah di mana. Ia kemudian akan menelepon 

ke rumahnya sendiri, meminta ibunya datang secepat ibunya 

bisa, tak peduli ibu sedang berak. Ayahnya akan mati kutu. 

Ayahnya tak akan lagi melarang NYI girah  pacaran dengan 

Parlaungan. Ayahnya juga tak akan lagi berani ngomong 

padanya, begini: “Buang kebiasaanmu gonta-ganti pacar, 

Yanto. Selain berbahaya, itu juga bukan perbuatan laki-laki 

terhormat.” 

Supir taksi yang dinaiki arwah mpu sindok , sudah berumur. 

namun  hal itu tak perlu dikuatirkan. sebab  mobil yang 

mereka kuntit lajunya pun santai-santai saja. Ayahnya 

memang bukan tukang ngebut, lagi pula jalan yang mereka 

lalui lumayan macet. Supir taksi kebetulan pula