ani kau katakan
perbuatanku tidak patut?"
Leher Raden hanggareksa bergerak. Terdengar nafas sesak tak berkeputusan.
"Apakah patut. perbuatan Rukmana? Ia memperkosa aku. Kalian dengar? Ia memperkosa aku. Di
depan mata ayahku sendiri!"
Lurah hutan larangan mengucap istigfar.
Eyang Wijaya bertanya getir: "Kapan terjadinya peristiwa terkutuk itu. Anakku?"
"Malam itu. Sudah lima belas tahun berlalu! Dan umurku pun saat itu persis lima belas tahun
pula. Ia datang ke rumah. Menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Ia... ia mengingatkan ayah pada
hutang-hutang kami yang belum terlunasi. Dengan bunganya sekalian. Sedang sawah dan rumah
kami sudah lebih dulu dirampasnya. Lalu ia bilang, aku akan dinikahinya, sebagai pembayar hutang
ayah. Demi ayahku, aku setuju... hi. aku setuju. Malu aku mengakuinya. Demi ayahku.. namun dia... si
lintah darat jahanam itu. Dia marah sekali sesudah mendengar penolakan ayah. Ayahku bilang. lebih
baik ia mati berkalang tanah daripada melihat putri kesayangannya dinodai makhluk terkutuk macam
Rukmana
Bajuku dipretelinya!
Aku berusaha melawan. namun sia sia. Aku baru 15 tahun. Miskin, kurang makan. Lemah sebab
hampir tak pernah tidur demi mengurus ayahku yang terlantar. Aku tak berdaya... Lalu ayahku yang
lumpuh, tiba-tiba bangkit! Hebat dia. bukan? Demi aku, anaknya, ia bangkit dari lumpuhnya
lalu "
Suara Nurjanah melemah, berubah jadi rintihan pilu:
"lalu ... ayah terjerembab kembali di dipan. Itulah gerakan terakhir yang ia lakukan. Ia
mati."
Lurah hutan larangan merasakan punggung eyang terguncang. '
Sayang, Lurah hutan larangan berdiri di belakang si kunis kecil tua bangka itu. Kalau ia panjangkan leher
untuk melihat, ia akan tahu kalau Eyang Wijaya mengucurkan air mata.
"Anak malang...." desah Eyang Wijaya terbata-bata.
Melalui pundak Raden hanggareksa ia lihat cahaya terang-terang ayam mulai masuk melalui jendela kuburan . Entah
sejak kapan, hujan reda.
"Apa yang lalu kau lakukan. Anakku?"
"Menangisi ayah. apalagi!" jawab Nurjanah. Kasar.
"Ia meninggal. Baiklah. namun mengapa kau menghilang?" .
"Siapa bilang aku menghilang?" teriak Nurjanah.
Lalu suaranya merendah lagi. Getir dan sakit:
"Aku... aku bangun sesudah Rukmana pergi. Tahu ayahku mati aku tak punya apa-apa lagi, tak
punya siapa-siapa... aku berlari keluar. Kuikat badanku dengan tali. Ujung tali yang lain kuikatkan
pula ke batubatu besar. Tahu sajalah. Takut megap megap dan aku berteriak minta tolong, maka
kupergunakan batu-batu itu. Supaya aku terbenam sekaligus. Mati. Menyusul roh ayah. Roh ibu."
"Terbenam. Di mana?"
"Di mana lagi. Di sumur. tentu. Sumur yang terletak di depan rumah kami!"
Lalu sepasang mata Raden hanggareksa terpejam. Dari mulutnya terdengar suara megap-megap. suara
mengerang merintih dan kutukan-kutukan semoga arwah ayah dan arwah ibunya membantu Nunjanah
untuk membalaskan dendam.
"Oh. ayah dan ibu. Oh, setan yang diusir dari syurga. yang menghuni neraka. Biarkan aku hirup
darahnya, darah turunannya, darah...."
Suara lirih mengerikan itu, terdiam tiba-tiba.
Jam dinding di ruang duduk berdentang lima kali. Mata Raden hanggareksa terpentang lagi. Desah nafasnya
terkejut, saat ia tidak melihat Eyang Wijaya . Yang ia lihat cuma Lurah hutan larangan seorang, tengah
sibuk menggeser kursi besar dan berat ke pintu, lantas menghenyakkan pantat di situ. Duduk
mematung. bagaikan ranjau penghalang. namun dengan kepala dan dada dipenuhi ketakutan.
namun ini perintah.
Perintah Eyang Wijaya agar ia menahan Raden hanggareksa selama ia mampu. Lurah hutan larangan mencoba
santai di kursi. Berlagak berani, sambil mengumpat bekas gurunya yang menghilang entah ke mana.
Eyang pengecut, pasti Lurah hutan larangan memaki, kalau tak sadar tentulah eyangnya telah pergi ke
sumur yang dimaksud Nurjanah. namun astaga.
Tahukah eyang bahwa Sumur itu telah ditimbun?
Ketakutan kian menjadi-jadi menghantui Lurah hutan larangan .
Lebih-lebih saat kelopak mata Raden hanggareksa terbuka menampakkan bola mata kelabu, disusul Suara
rintihan marah: "Mengapa kau menghalangi jalanku?"
Lurah hutan larangan mengumpulkan keberaniannya.
Menjawab, bukan main! Seenak perut;
"Emangnya kau mau ke mana, Nurjanah?"
"Pulang!"
"Pulang ke mana?"
"Rumahku."
"Ini juga rumah. Mengapa tidak tinggal di sini. Hangat pula."
"Aku merindukan kelembaban dasar sumur itu. Merindukan kesejukan dan persahabatan abadi
yang telah ia berikan selama lima belas tahun. Ayo menyingkirlah. Hari sudah pagi. Aku tak dapat
menunggu lama-lama."
"Pergilah. namun tinggalkan Raden hanggareksa di sini."
"Tidak!"
"Apa susahnya?"
Lurah hutan larangan makin berani. Tak percuma ia pernah berguru pada Eyang Wijaya .
"Tanpa tubuh ini aku tak dapat pergi. Aku melihat garam mentah. Aku mencium bau laut. Dengan
mempergunakan tubuh ini, aku akan mampu melaluinya...."
Lalu membentak tiba-tiba:
"Minggir!"
Kaget, Lurah hutan larangan menciut di kursi.
"Tunggu. Masih ada yang ingin kutanyakan."
Tubuh Raden hanggareksa dengan roh Nurjanah di dalamnya. emoh menunggu. Hanya tiga kali lompatan
tangkas dan cepat. Disusul gerakan membungkuk yang lebih cepat lagi. Tahu-tahu saja kursi di mana
Lurah hutan larangan duduk telah terangkat tinggi melayang sebentar dan lalu terhempas di lantai kamar
duduk.
Lurah hutan larangan terguling.
Pingsan.
Raden hanggareksa beranjak keluar. Tergetar sebentar menyambut datangnya pagi yang berkabut. lalu
melangkah pasti ke jalan. Beberapa orang tetangga berpapasan dengannya. Mereka menyapa lalu
mereka tercengang. Raden hanggareksa tak menyahuti, melirik pun tak sudi.
"Pasti kesurupan." bisik seseorang.
Raden hanggareksa lebih dari sekedar kesurupan!
****
NYI girah telah menguasai dirinya kembali. Ia ingin menjerit. Ingin menangis meraung raung. Namun
yang mampu ia keluarkan adalah desah cemas, kuatir. Seakan tidak menyadari kehadiran Rosida di
sebelahnya. mobil langsung dikebut.
"Bang Raden hanggareksa . Bang Raden hanggareksa . Ia pasti sedang dilanda dukacita yang menyedihkan...."
Hanya itu yang ada di benak NYI girah .
Tiba di rumah keluarga Raden hanggareksa , NYI girah menghambur turun dari mobil. Berlari-larian masuk, dan
waktu keluar ia tampak malu sekali. lalu masuk ke mobil, sekilas ia menampak Rosida duduk
dengan wajah menekuri sepatu.
NYI girah tak perduli.
Rosida begitu tak berperasaan tadi.
NYI girah pun bisa!
Setengah gila ia memacu kendaraan di jalan sempit berlubang-lubang itu menuju rumah TribuanaTunggadewi .
Mereka terhanting-banting dalam mobil. NYI girah tidak merasakannya. Dan aneh, Rosida pun diam saja.
Lalu NYI girah melihatnya.
Jalan yang ditempuh mobil NYI girah terletak lebih tinggi dari desa di bawah sana. Menepi sejenak ke
pinggir tebing terbuka, NYI girah sudah dapat melihat rumah TribuanaTunggadewi . Tampak menyolok di antara
rumah-rumah lainnya. sebab modelnya yang mutakhir dan atap asbes-nya yang berwarna hijau tua.
Seseorang baru saja keluar dari dalam rumah itu. Samar-samar memang, sebab udara pagi masih
diselaputi kabut tipis.
NYI girah segera mengenalinya. Mengenali perawakan tinggi besar dan cara berjalannya yang gagah.
setengah tak acuh.
"Raden hanggareksa . Pasti dia.
Bukan begitu. Kak Ida?" tanya NYI girah lirih sambil memacu mobil kembali menempuh jalan menurun
dan berbelok panjang.
Rosida yang tetap duduk menekuri sepatu, tak menyahut sepatah pun. Melirik sekilas, NYI girah
melihat wajah ratu lesbi itu berubah pucat dengan cepat, dan tampak agak kering.
"Tuhanku, aku telah membuat dia ini sakit!"
NYI girah menjerit dalam hatinya lantas mengeluh:
"Aku tidak sebiadab yang kau duga, Kak ida. Selagi Bang Raden hanggareksa menetapkan ia tetap akan
menikahimu, aku akan segera berlalu...."
Berlalu.
Ke mana?
Pada siapa?
Sumarna telah mati.
Apakah papa dan mama masih mau memaafkan NYI girah ?
Memasuki mulut desa, sejumlah anak kecil sudah mulai bermain main di jalan, campur baut
dengan ternak yang berkeliaran. Kecepatan mobil ia turunkan sedikit demi sedikit. Lalu mendadak ia
berhenti. Pas di ujung jalan yang dipotong jalan membujur ke kiri ke kanan. Simpang tiga siku siku.
Dan di seberang, berhadapan lurus dengan mobil, tegak rumah Raden hanggareksa yang hampir jadi Itu.
Rumah itu tidak selengang biasa .
Tampak beberapa orang lelaki bertubuh kekar tengah sibuk membersihkan pekarangan.
Menyingkirkan segala macam bekas reruntuhan lama. potongan-potongan balok kayu dan
berteriak-teriak pula menyuruh sekelompok anak-anak yang ingin ikut ambil bagian agar enyah
sejauh mereka dapat. Disertai umpatan-umpatan kotor dan kasar sehingga kelompok anak-anak itu
ngacir serabutan. Halaman depan yang tadinya acak-acakan itu sebentar saja sudah tampak jauh
lebih luas dan bersih lapang.
Mau apa mereka itu?
Dan siapa laki-laki tua bangka bertubuh kurus kecil yang ribut memerintah ini itu. sambil tak
henti hentinya menaburkan bubuk putih yang aneh di pintu masuk dan di seputar halaman?
Tak puas tampaknya. orang tua itu lalu mengangkat sebuah jeriken besar dibantu salah
seorang laki-laki kekar itu. Lalu menumpahkan isinya mengitari pojok kanan pekarangan.
"Kau tahu siapa mereka itu, Kak Ida?"
NYI girah nyeletuk. Bingung.
Rosida mengangkat muka. Ikut memperhatikan. Jawab yang keluar dari bibirnya tidak relevan.
"Aku mencium bau busuk"
Lantas ia terpekur lagi.
"Perhatikan baik-baik, Kak Ida. Beberapa dari mereka kukenali sebagai tetangga Kak Ronggolawe . Aku
lihat pula dua orang kerabat Bang Raden hanggareksa . lalu... ah, kalau tak salah yang sedang membawa ember
ember itu adalah tangan kanan pak lurah. Orang tua kurus itu, asing buatku. Kau kenal, Kak Ida?"
Desah Rosida semakin getir:
"Busuk. Aku mencium bau busuk,"
Lalu Rosida tampak gemetar dan semakin pucat.
"Kak Ida mungkin betul. namun sebaiknya kudatangi saja mereka itu...." gumam NYI girah tanpa
memahami nada suara Rosida.
NYI girah baru saja akan membuka pintu mobil saat dari simpang kanan, datang berlari-larian
seorang laki-laki lain. Mereka berbicara cepat. Menunjuk-nunjuk ke arah lelaki itu barusan datang.
Sikap mereka segera berubah. Kesibukan terhenti. Digantikan wajah wajah gelisah sambil saling
berbisik-bisik.
NYI girah segera tahu apa sebabnya. . Dari arah orang terakhir tadi muncul. tampak sejumlah orang
pula datang bergegas. Mereka semua bergabung di tengah halaman dan memperlihatkan sikap tengah
menunggu sesuatu.
lalu , Raden hanggareksa muncul.
NYI girah tersentak. Dan kerumunan orang di halaman, semakin gelisah. NYI girah turun dari mobil.
Ragu-ragu. lalu berjalan mendekat. Paman Raden hanggareksa yang ada di tengah kerumunan orang itu,
melihatnya lantas bergegas mendatangi:
"Pergilah. Mau apa kau di sini, Nak?"
Ia melirik ke mobil.
"Ah. Dengan si ida pula lagi. Wah!"
Paman Raden hanggareksa tampak cemas dan ketakutan.
NYI girah tak mau pergi.
"Aku mau bertemu Bang Raden hanggareksa ," gumamnya. keras kepala.
"Raden hanggareksa , Anakku? Kau kira Raden hanggareksa yang muncul di depan kita itu?"
NYI girah menatap paman Raden hanggareksa dengan bingung.
Ia mau bertanya. Tak jadi. Perhatiannya keburu tertarik pada orangtua bangka tadi, yang dengan
langkah-langkah tenang menyongsong kedatangan Raden hanggareksa .
"Siapa dia, Paman?"
"Eyang Wijaya . Dan ia akan menyelamatkan Raden hanggareksa ."
"Ia akan apa?"
"Ssstt!'
Kabut tipis sudah menghilang. Matahari belum muncul, namun NYI girah dengan takjub menyaksikan
Raden hanggareksa terus saja memasuki pekarangan tanpa mengacuhkan semua orang yang ada di situ. Ia
langsung bergerak kesebelah kanan pekarangan. Melewati Eyang Wijaya yang lalu merasa
tersinggung dan berteriak membentak:
"Berhenti kau di situ, Anakku!"
Raden hanggareksa tertegun. Tubuhnya tetap membelakangi Eyang Wijaya . namun kepalanya!
Kepalanya berputar 90 derajat. Menghadap lurus pada eyang itu.
NYI girah membelalak Ngeri.
"... kau mempecundangi aku, Kakek tua!"
Terdengar suara lirih. tajam bermusuhan. Dan itu bukan suara serak parau laki-laki melainkan
suara seorang ratu lesbi . .
Bulu roma NYI girah berdiri tegak .
Tangannya menggapai ke samping. sesudah menemukan tangan paman Raden hanggareksa tanpa malu malu
lagi ia langsung merangkulnya kuat-kuat.
Kepala Heman berputar lagi. Bukan kembali. namun berputar terus mengikuti putaran semula.
berhenti sesaat mengawasi sejumlah laki-laki yang berkumpul ketakutan di depannya.
"Kau mempecundangi aku. Kakek tua,"
Suara mengerikan itu mengulangi kata-kata tadi. "Mengapa membawa begitu banyak orang?"
Eyang Wijaya bergerak ke depan, menghadapi Raden hanggareksa .
"Kau pun mempecundangi aku, Anakku,"
Suaranya lebih lembut. Bersahabat.
"Dengan caramu yang lihai, kau kentuti rintangan rintangan yang kupasang di rumah itu.
Mengenai orang-orang ini, Lurah hutan larangan yang memberi perintah .Sebelum kau menyatroni kamar mandi
TribuanaTunggadewi , lurah telah menyuruh orang-orangnya berjaga-jaga di sekeliling rumah."
"Kalian bermaksud menjebakku?"
Terdengar tawa meringkik.
"Air lautmu tidak lagi membuatku mabuk. Kakek tua. Dengan mempergunakan tubuh ini, aku
malah akan mengencinginya!"
"Aku tahu. Bubuk garam itu pekerjaan sia-sia saja,"
Eyang Wijaya mengakui, pelan. Lalu:
"Kumohon, Nurjanah. Kumohon. pergilah dengan cara baik-baik. Aku bermaksud menolongmu,
bukan mencelakakan engkau. Pergilah. Tinggalkan jasad yang tak berdosa ini!"
"Menyingkir dari jalanku, Tua bangka!"
Mulut kaku Raden hanggareksa megap-megap mengeluarkan suara jerit lengking Nurjanah
"Aku akan tetap menguasai jasad ini. Membawanya ke tempatku berkubang. Menyingkirlah!"
"Sekali lagi kumohon. Nurjanah. Atau kau terpaksa harus enyah dengan penuh kesengsaraan!"
Suara Eyang Wijaya meninggi.
Marah.
Mulut Raden hanggareksa terbuka lebar.
Mengeluarkan ringkik kematian. Sambil meringkik, tangannya menjangkau ke depan. Eyang
Wijaya tidak keburu berkelit. Tubuhnya yang kecil tahu-tahu saja sudah terangkat tinggi di atas
kepala Raden hanggareksa . Tidak seorang pun mampu membuka mulut, apalagi untuk bergerak menolong tubuh
kecil yang memelaskan hati itu. Malah ada yang jatuh pingsan sesaat itu juga.
Terdengar suara angin bersiul.
Tangan Raden hanggareksa yang terangkat tegak lurus ke atas, bagaikan batang asa baling-baling
helikopter, berputar cepat di persendiannya. Dengan tubuh kecil kurus dan peot itu, sebagai pengganti
baling-baling. Makin lama makin cepat, sampai bayangan tubuh Eyang Wijaya tinggal bayangan
samar belaka.
Putaran itu menyebabkan angin bertiup lebih keras.
NYI girah menggigil dengan pegangan paman Raden hanggareksa , lantas menjerit-jerit histeris:
"Raden hanggareksa . Abang Raden hanggareksa . Jangaaaaan!"
Raden hanggareksa tidak berpaling.
Pamannya yang berdiri rapat di samping NYI girah . kumat kamit membaca ayat-ayat kitab suci.
Dengan wajah dibanjiri peluh dingin. Entah sebab do'a suci itu, entah sebab jerit histeris NYI girah , atau
sebab memang sudah puas mempermainkan mangsanya. putaran baling-baling di atas kepala
Raden hanggareksa melemah, melemah dan bayangan tubuh Eyang Wijaya semakin jelas dan jelas. Lalu
tibatiba dilontarkan begitu saja. Langsung ke tempat kelompok laki-laki kekar yang telah menciut
hatinya itu. Mereka semua jatuh tunggang langgang ditimpa tubuh Eyang Wijaya yang hinggap
tanpa pemberitahuan itu.
Terdengar lagi suara meringkik.
Seram.
Lalu acuh tak acuh Raden hanggareksa melangkah panjang menuju pojok. Ia menuju bekas sumur tua yang
sudah ditimbuni segala macam sampah itu. Tertegun sejenak.
Mencium-cium.
"Bau apa... ini?"
Nurjanah menceracau, bingung
Eyang Wijaya bergerak bangkit. Terhuyung-huyung. Limbung. Yang lain mengikuti. Orang tua
itu berteriak terputus-putus: "A... yooo. Bakar. Bakar!"
Kaum lelaki itu mulai bertindak.
Dua tiga buah batu bensin dan korek api menyala sesaat .Dilemparkan susul menyusul. Tanah di
sekitar sumur tua itu lembab becek. namun di situ sebelumnya telah mereka taburkan sampah sampah
kering. Telah pula disirami bensin.
Huuuuuppp...!
Api menjilati sampah berbau bensin. Mula mula kecil dan lemah saja. namun dengan segera Sudah
berkobar menyala-nyala. membentuk lingkaran api dengan tubuh Raden hanggareksa terperangkap di
tengah-tengahnya.
Terdengar jerit kaget dari mulut Raden hanggareksa .
"Neraka! Api neraka! Tidak. tidak, tidaaak."
Raden hanggareksa berputar-putar dalam lingkaran api berusaha mencari lubang untuk lolos. Tampak salah
seorang dari kerumunan lelaki itu mengambil jeriken dan menumpahkan bensin yang masih tersisa ke
kobaran api yang segera saja tambah bernyala-nyala.
NYI girah menjerit lagi. Menjerit dan menjerit:
"Jangaaaan! Ya Tuhan,"
Ia meronta-ronta dari pegangan paman Raden hanggareksa yang membetotnya kuat-kuat.
"Oh kalian akan membunuh Raden hanggareksa ku. Kalian membakar kekasihku!"
NYI girah menangis meraung raung.
Dari kobaran api, terdengar suara tangis lain.
Tangisan perih, menyayat hati.
lalu tubuh Raden hanggareksa samar-samar tampak limbung. Jatuh terkulai di tanah lembab basah.
Sebelah kakinya tergeletak tak jauh dari lidah api.
"Air. Air. Air...."
Entah siapa yang berteriak
Lalu ember-ember tadi memperlihatkan kegunaannya. Dari ember ember itu. setiap orang yang
memeganginya dengan tergopoh-gopoh dan kacau balau menyiramkan air sebanyak mungkin.
Sebagian disiramkan ke api. Sebagian lain ke tengah lingkaran api itu, langsung membasah kuyupkan
Raden hanggareksa .
Belum lagi api padam. NYI girah sudah berhasil lepas.
Ia menghambur tanpa dapat dicegah. Menghambur ke pekarangan, melompati sisa-sisa kobaran
api yang kian mengecil lalu memeluk tubuh Raden hanggareksa yang basah kuyup oleh air dan lumpur. Meraung
lagi:
"Bangunlah, Raden hanggareksa . Bangunlah! Katakanlah kau masih hidup. Ayo Raden hanggareksa . Sayangku!"
Raden hanggareksa menggeliat.
Mengaduh.
Setengah gila.
NYI girah mengangkat wajah Raden hanggareksa yang tertelungkup. Ia melihat kelopak mata Raden hanggareksa terbuka.
Mendengar suara Raden hanggareksa merintih:
"Apa yang... siapa."
Suara Raden hanggareksa . Raden hanggareksa yang sesungguh sungguhnya.
Saking Sukacita. NYI girah menciumi Raden hanggareksa . Menciumi wajah berselemak lumpur itu bertubi tubi.
Matahari mulai bersinar di ufuk Timur. Satu dua orang yang baru saja terlepas dari pengaruh gaib
yang mengerikan itu, berpaling menyaksikan pemandangan yang jauh berbeda. Bibir NYI girah masih terus
mengulum bibir Raden hanggareksa .
lalu orang-orang itu berpaling ke arah lain. Berlagak tidak melihat apa-apa.
Mereka maklum.
Hati mereka semua memang masih tergoncang oleh peristiwa sebelumnya.
Coba, kalau mereka berpikir sedikit lebih jernih. Maka mereka akan terperanjat: NYI girah yang
tadinya mereka kenal sebagai calon istri Sumarna, menciumi Raden hanggareksa . Dan Rosida yang mereka
ketahui sebagai calon istri Raden hanggareksa , duduk diam-diam saja di dalam mobil.
Coba, kalau mereka juga mengawasi Rosida dengan seksama.
Perhatikan sinar matanya.
Mata itu merah. Berapi-api.
Hanya satu orang saja yang melihat nyala api di mata Rosida. Orang itu adalah Eyang Wijaya .
Masih mabok sebab sempat dijadikan baling baling bernyawa, ia sangat berharap seseorang datang
menawarkan obat sakit kepala .Syukur syukur diberi obat gosok sekalian. sebab tulang tulangnya
pun masih terasa linu.
namun tidak seorang pun memperdulikan Eyang Wijaya . Semua orang yang ada di tempat itu
berkumpul dalam beberapa kelompok dan ribut menceritakan perasaan, pengalaman dan malah ada
juga kehebatan dirinya menumpas roh jahat penghuni api neraka itu. NYI girah dan Raden hanggareksa jangan dikata
lagi. Kedua anak muda itu punya kesibukan tersendiri.
Kecewa, Eyang Wijaya memandang berkeliling.
Ah. itu sebuah mobil. Biasanya di mobil bagus seperti itu ada tersedia kotak obat. lalu Eyang
Wijaya bertindak maju. Dua tiga langkah cuma lalu berhenti. Sekujur tubuhnya tegang lagi.
Lewat kaca depan mobil, di dalam ia lihat seraut wajah yang asing baginya. namun sinar mata
itu....
Sinar mata itu pernah dilihatnya .
*****
Empat belas
Rosida memperhatikan wajahnya di cermin.
"Aku masih tetap muda dan cantik,"
Ia bergumam, mengagumi diri sendiri. Namun tanpa nada kebahagiaan. Malah sebaliknya.
Gumaman itu pedih.
Menderita.
Gadis itu mendekatkan bibir ke kaca.
Parit di bawah hidungnya semakin menggurat nyata. namun lekuk sebelah dalam, masih belum
sempurna. Kurang dalam.
Gusi bengkak?
Ia tersenyum, pahit. Sampai kapan ia selalu mengemukakan omong kosong yang sama: gusi
bengkak!
Dirabanya lekukan tipis itu.
Terasa keras.
Dan panas menggigit. Bibirnya yang atas. tetap saja masih mencuat ganjil. Benar, tidak
semenonjol hari-hari sebelumnya. Namun toh tetap tampak tidak menarik dan jelas merusak
keindahan wajahnya yang elok.
"Biarlah. Tak lama lagi,"
Kembali Rosida bergumam.
"Besok atau lusa, akan elok lagi. Aku pun bertambah cantik. Bertambah muda Hem. hem. Berapa
ya usiaku sekarang?"
Rosida mereka-reka.
Lantas ia mengalah pada diri sendiri. Buat apa dihitung hitung. Dari dulu juga tidak. Rosida tak
pernah takut pada ketuaan. sebab tiap kali parit bibirnya lenyap lalu muncul kembali. ia
merasa jauh bertambah muda saja.
Dan Raden hanggareksa , hanya satu dari sekian ratus orang.
Raden hanggareksa tak perlu mengkuatirkan Rosida bakal jadi perawan tua.Raden hanggareksa tak perlu berdo'a semoga
Rosida dapat jodoh yang lebih sesuai dan lebih bertanggungjawab atas perbuatannya. Suatu saat
kelak, bila roh-roh nenek moyang sudah memberi ijin, Rosida tertawa kecil. jodohnya akan datang
sendiri. Seorang lakilaki yang sepadan dengannya. Seketurunan dengannya. Dan mereka akan
melahirkan keturunan-keturunan yang lebih baik.
Sungguh tolol si Raden hanggareksa .
Berpura-pura menyesal, saat ia menelpon tadi siang.
Ah apa saja pembicaraan mereka tadi?
"... luka-luka bakar di tubuhku belum sembuh benar, Ida. Maaf. aku belum sempat datang
langsung."
Begitu antara lain kata Raden hanggareksa di telepon. Luka-luka bakar.
Hem. Rosida tahu benar. Tak lebih dari luka lecet belaka. Dan sudah hilang berkat rawatan
telaten dan kuatir tangan tangan halus NYI girah .
"Kau baik-baik saja, Ida?" tanya Raden hanggareksa pula.
"Ah. Biasa"
Ia jawab.
"Bagaimana gusimu?"
"Infeksinya sudah hilang."
"Syukurlah. Dan eh. Ida...."
"Mmh?"
"jadi pulang kampung?"
Itulah semuanya. Raden hanggareksa telah membuka belangnya Sendiri. Raden hanggareksa yang belum lama berselang,
mati matian menahannya.
Oh, Raden hanggareksa -ku yang baik hati!
"Kukira aku akan tetap pulang, Raden hanggareksa ."
"Kau akan kuantar,"
Suara Raden hanggareksa terdengar mengambang.
"Ah. Terimakasih. namun lebih baik jangan!"
"Kenapa?"
'Tidak pantas. Kau masih dalam suasana berkabung. Biarlah segala sesuatunya berjalan lancar
dan senang. Baru pikirkan hal hal lainnya,"
Ia dorong pemuda itu supaya enyah jauh jauh dari sisinya.
"Kau penuh pengertian. Ida."
Terdengarnya sih penuh haru, pernyataan Raden hanggareksa itu.
"Selalu begitu, bukan?" jawab Rosida, kalem.
Sudah berapa kali ia mengutarakan pengertian itu. Sekali aku mengerti. kenapa kau tidak mau
mendekati ayahmu. Lain kali aku mengerti. kenapa kau tidak sehebat adik-adikmu. Lain kali lagi aku
mengerti, betapa sedihnya orang masuk bui. Dan kemaren dulu itu. saat ia melihat NYI girah menciumi
Raden hanggareksa . Rosida pun, telah berusaha mengerti.
"Ida?"
"Mmh?"
"Segera sesudah aku sembuh benar...."
"Aku tahu," potong Rosida, memperdengarkan tertawa menggembirakan.
"Aku tahu, kau akan datang. namun ah, tidak usahlah hiraukan betul diriku ini. Aku sudah dewasa,
Raden hanggareksa . Aku dapat menjaga diri."
"Apa maksudmu?"
Raden hanggareksa terkejut. Pura pura, jelas.
"Sudahlah. Kirim saja salamku pada NYI girah ,"
Suara Rosida datar-datar saja.
"Ida, aku.... Ah. Bagaimana aku harus mengatakannya padamu. Aku telah... dan aku tidak...?"
"Tak usah gugup, Sayang. Apa yang telah kita perbuat selama hubungan kita yang manis, sudah
biasa dilakukan orang-orang lain bukan? Nah. Mereka akhirnya dapat berpisah baik-baik. Mengapa
kita tidak?"
Lama, baru Raden hanggareksa membuka mulutnya.
"Betapa mulia hatimu. ida."
"Semoga!"
Rosida mengangguk sendiri.
Sepi lagi.
Rosida tak suka dengan kesepian itu. Lalu:
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Baik. Sehari yang lalu. jenasah TribuanaTunggadewi sudah dikuburkan. Juga tulang belulang Nurjanah, yang
ditemukan di dasar sumur tua itu. Tulang belulangnya telah dikuburkan semestinya. dengan upacara
semestinya pula. Rohnya tidak lagi...!"
"Hehhh!"
Rosida mendengus.
Seram.
"Jangan bicara soal roh macam itu lagi, Raden hanggareksa . Kau tahu."
Rosida tercekat.
"Aku tak tahan!"
Dan itu sesungguhnyalah, memang benar.
"Kita obrolkan saja tentang mereka yang masih hidup."
Raden hanggareksa bergumam setuju. Riang gembira ia memberitahu:
"Oh ya. Noni sudah pulang. Kini ia bersamaku. Di rumah TribuanaTunggadewi . Kau tahu? Ia lebih segar bugar
sekarang...!"
Rosida meletakkan cerminnya.
Parit bibir di bawah hidungnya terasa panas lagi. Perih menggigit. Bagai ditusuk beribu-ribu
jarum. Ia sudah lupa apalagi yang tadi siang diomongkan Raden hanggareksa di telepon. Tersengal-sengal ia
berjalan ke tempat tidur. Darahnya menggelegak.
Ia mulai menyusun bantal dan guling. Serapih mungkin.
****
Hari itu Kamis Kliwon. Angin musim penghujan minggu ketiga bulan Januari bertiup basah.
Ramalan Eyang Wijaya mengenai curah hujan, rupanya mirip ramalam jawatan meteorologi
sering-sering meleset. langit yang menutupi pedesaan di pinggir kota tampak biru jernih. Ribuan
bintang berkontes, siapa yang paling cemerlang.
Hanya rembulan saja yang tampak menyendiri. Berwajah suram. Barangkali cemas melihat
gumpalan awan pekat masih mengancam dari beberapa jurusan. Atau barangkali juga, sebab berpikir
prihatin: mengapa sepanjang umur bumi, rembulan tidak pernah memperoleh pasangan.
Dari masjid. terdengar suara orang mengaji.
Bergaung ramai. Maklum, malam Jumat. Mana Sekalian tahlilan untuk mendo'akan sejumlah
arwah yang belum lama berangkat dengan sengsara dari desa mereka. .
Rumah TribuanaTunggadewi tampak tenang dari luar.
Tak ada kesibukan yang menyolok. mpu Ronggolawe telah menyapu bersih garam dapur dari tubuhnya.
namun sesudah Eyang Wijaya minta disediakan semangkok penuh bawang putih yang sudah
diiris-iris halus, mpu Ronggolawe kembali repot lagi. sesudah memenuhi permintaan tamu mereka, mpu Ronggolawe
cepat-cepat mengunci diri. Ke kamar tidurnya ia bawa batu penggilingan dan seonggok bawang putih.
Bawang putih digiling sampai lumat. Dioleskan ke setiap sudut tubuhnya.
Lalu ia berbaring ketakutan di dipan.
Tak ayal lagi, sampai pagi esoknya ia tidak dapat terpejam. Selain sebab perasaan takutnya.
juga sebab polesan bawang putih yang luar biasa melebihi ukuran itu membuat sekujur tubuhnya
bagai terpanggang dalam bara api.
Di tengah rumah, tiga orang lain sibuk bekerja. Raden hanggareksa , Eyang Wijaya dan Lurah hutan larangan . Lurah
hutan larangan sesekali mengeluh. Sambil melirik dongkol pada Raden hanggareksa , tentu. Sakit pinggangnya masih terasa
linu. Habis dibanting Raden hanggareksa dua malam yang lalu.
"... aku masih belum memahami satu hal, Aki Udin." gumam Raden hanggareksa seraya menaburkan hati hati
sejumput irisan bawang putih di tempat tempat mana sebelumnya Eyang Wijaya pernah
menaburkan garam mentah.
"Katakan saja. Tak usah malu-malu." sahut Eyang Wijaya sopan.
Orangtua itu tengah sibuk menggantungkan beberapa helai benang benang hitam di bagian
dalam pintu kamar mandi yang terbuka. Agak curiga, melirik juga si kecil kurus itu ke bak mandi.
Siapa tahu dari lubang pembuangan yang sudah licin dibersihkan itu ia kena dipecundangi lagi.
"Mengapa Aki menduga dia orangnya yang kita tunggu?"
"Berkat pengalaman, Anakku. Pengalaman sepanjang hidupku yang sudah 80.an tahun ini."
"Itu bukan jawaban," rungut Raden hanggareksa , kecil hati.
Melirik ke tempat tidur di mana Noni tertidur pulas. Si kecil itu sebenarnya belum sembuh benar.
Memang wajahnya sudah kemerah merahan lagi. namun kulit tubuhnya masih mengelupas kering di
beberapa tempat. Terbayang di matanya wajah dokter yang menahan marah sebab Noni diambil dari
rumah sakit .
Jam dinding berdentang dua belas kali.
Dan Eyang Wijaya mematikan lampu kamar mandi, sehingga gelap gulita sesaat di tempat
itu.
"Kau dengar aku, hutan larangan ?"
Orangtua itu berbisik .
Lurah hutan larangan yang tengah mengurut pinggang di kamar duduk, menjawab tersengal:
"Ya, Eyang."
"Sudah waktunya!" .
Lurah hutan larangan dengan enggan berjalan keluar rumah. Menyusuri kegelapan di sepanjang tembok
lalu duduk diam diam di balik lindungan rumpun mawar. Angin malam melecut wajahnya.
Nyamuk datang pula menggigit. Dan bawang putih di telapak tangannya, benar-benar membuatnya
mau muntah.
"Selalu aku yang kebagian sialnya,"
Ia menggerutu pelan, seraya menengadah mengawasi langit biru temaram, mengawasi sekeliling
atap mengawasi pepohonan rambutan.
Apakah nanti ia bakal terkencing lagi di celana?
Bergidik.
Lurah hutan larangan mengintai ke jendela kuburan kamar tidur TribuanaTunggadewi .
Serupa apa kali ini, yang akan muncul?
Lurah hutan larangan seterusnya menekuri rerumputan di sekitarnya. Rerumputan basah itu tampak
kecoklatan dijilat rembulan. Lurah hutan larangan melotot:
jangan-jangan itu bukan rumput!
Betapa sunyi sepinya desa itu sekarang.
Ronda malam pun, sudah tak berani keluar. Biar dibayar berapapun juga. Lantas mengapa Lurah
hutan larangan mau disiksa serupa ini?
Tanggungjawab?
Bukan.
Ia harap roh itu muncul dan Eyang Wijaya memusnahkannya. Dengan begitu, Lurah hutan larangan tidak
perlu lagi mencemaskan keselamatan Legoh.
"Aki?"
Raden hanggareksa berbisik pelan di dalam kegelapan kamar mandi TribuanaTunggadewi .
"Heh?"
"Benang-benang ini. Untuk apa?"
"Menyerap pengaruh sihir yang mungkin membuatku kau tertidur tanpa kau sadari."
"Aki?"
"Mengapa tidak kau tutup saja mulutmu? Biarkan aku berdo'a dengan tenang!" rungut Eyang
Wijaya , hilang sabar.
Raden hanggareksa terdiam. Tadi ia sudah diberitahukan mengenai semua itu. namun sebab gelisah, ia ingin
saja membuka mulut. Ia begitu letih. Raden hanggareksa telah melalui hari-hari yang tidak saja melelahkan
namun juga menakutkan .
Ketakutan itu pun menjalarinya kini. Dalam bentuk lain.
Ia tidak takut menghadapi kematian. Sudah terlalu banyak ia saksikan.rsi Kertajaya , ibunya, Sumarna
lalu TribuanaTunggadewi .
Hantu?
Hantu berupa apapun tidak pula membuatnya cemas sekarang. Ia telah kebal semanjak ia
terkesima memandangi mayat TribuanaTunggadewi di kamar mandi ini dengan makhluk terkutuk di haribaan
adiknya, tegak menatap lurus ke mata Raden hanggareksa . Makhluk itu. ditambah ribuan lagi yang menggempur
di sekelilingnya, merupakan puncak kecerahan yang pernah dialami Raden hanggareksa . Keseraman itu tidak
terasa melecut malam ini. Selain kebal, juga sebab ia sudah tahu.
Yang ditakutkan Raden hanggareksa cuma satu. Sarafnya.
Ia ingin semua ini cuma mimpi buruk yang terus menerus menteror. Dan begitu ia sadar semua
ini memang kenyataan. barulah Raden hanggareksa merasakannya. Merasakan takut. Takut. ia telah gila.
Buktinya ada di depan biji mata. Tubuh Noni kecil malang. Noni yang sudah yatim piatu. Kalau
Raden hanggareksa masih waras, ia tidak akan mengambil Noni dengan paksa dari tangan dokter yang
merawatnya .
Bukan seperti sekarang merelakan Noni sebagai umpan.
Raden hanggareksa merintih. Ngeri membayangkan rsi Kertajaya dan TribuanaTunggadewi menggeliat marah di kubur mereka.
Hampir putus asa pula, Raden hanggareksa mengamati di kegelapan kamar mandi ke tangan Eyang
Wijaya yang mengepal sesuatu hati-hati. Tidak tampak jelas. namun Raden hanggareksa sudah melihatnya
sebelum lampu di situ dipadamkan. Ngilu tulang tulangnya mengetahui sebilah kulit tipis dari bambu.
Sembilu itu mau rasanya ia rampas. sebab sadar untuk apa dan siapa dipergunakan.
lalu ia menyesal dengan niat buruk itu.
sesudah ia melihat apa yang mereka tunggu, muncul pada saat Eyang Wijaya memperlihatkan
perasaan kecewa sebab waktu terus berlalu tanpa ada pertanda apa apa.
"Lihat!"
Eyang Wijaya berbisik rapat ke telinga Raden hanggareksa .
Sesuatu berkelebat di luar jendela kuburan kaca.
Apakah itu Lurah hutan larangan ?
Ah. Bukan.
Itu adalah seraut wajah samar-samar yang mengintip ke dalam kamar. Wajah pucat sepucat
mayat. Menempel kuat di jendela kuburan , seolah ingin mendobraknya.
Bau busuk memasuki kamar tidur.
Noni menggeliat.
Resah.
Dan Raden hanggareksa semakin gelisah dan panik.
Ia biarkankah Noni sengsara dalam tidurnya?
Mengapa ia tidak menyerbu saja sekarang.
Menyerbu langsung ke jendela kuburan !
Bayangan wajah itu menghilang dari kaca.
"Ke...."
Raden hanggareksa mau bertanya, ke mana makhluk itu?
namun mulutnya lekas lekas ditutupi telapak tangan Eyang Wijaya . Raden hanggareksa tercekat. Bukan
disebab kan nafasnya tersumhat telapak tangan kurus kecil itu. Raden hanggareksa tercekat, waktu bau busuk
menyerang semakin hebat, mendesak isi perut, mendatangkan mual yang amat sangat. Lalu sesuatu
muncul melalui ventilasi jendela kuburan . Sesuatu yang bentuknya pipih dan lebar.
Namun sesudah lolos dari lubang ventilasi bentuk pipih lebar itu kembali pada bentuknya semula.
Wajah yang tadi mengintip di jendela kuburan .
Wajah pucat. keriput mengerikan, dengan sepasang mata memancarkan titik api melayang
mengitari kamar tidur, tertegun sebentar di depan pintu kamar mandi.
Menatap curiga. Lantas menyeringai seram.
Raden hanggareksa merungkut di belakang tubuh Eyang Wijaya .
namun disertai rambutnya yang panjang berkibar-kibar, bayangan itu melesat dengan cepat
menuju tempat tidur. Hinggap di dada Noni yang mulai merengek. Raden hanggareksa tidak kuasa menahan diri.
Bukannya maju menyerbu ke tempat tidur. Tubuhnya malah lunglai, jatuh terkulai ke lantai sebelum
Eyang Wijaya sempat menahannya. Raden hanggareksa terkulai, begitu melihat wajah yang barusan
menyeringai ke arahnya. Biar pucat dan kisut mengeriput. ia dapat mengenalinya samar samar.
Betapa tidak.
Ia telah mengenal pemilik wajah itu dalam rupa yang lebih halus dan elok. Mengenalnya luar
dalam!
Suara berisik di kamar mandi membuat makhluk tanpa tubuh itu bangkit sesaat dari tempatnya
hinggap, meninggalkan Noni merengek semakin kuat. Terdengar rintihan tajam menusuk. Dari mulut
yang menyeringai itu keluar uap busuk yang membius.
Eyang Wijaya mengumpat.
Ia poles hidung dengan irisan bawang putih, lantas melompat keluar. Makhluk itu lebih cepat lagi.
Meringkik liar, makhluk itu melayang ke arah pintu. Irisan bawang putih merintangi jalannya
Bagaikan kilat makhluk itu melayang ke jendela kuburan , darimana tadi ia masuk .namun sambil berteriak
teriak seperti orang gila saking ketakutan, di luar sana lurah hutan larangan telah pula menaburkan bawang
putih ke kaca jendela kuburan dan ventilasi di atasnya .
"Hiii...!"
Melengking keras suara pilu. Kepala ratu lesbi tanpa tubuh itu menggelepar-gelepar di lantai,
menggelinding kian ke mari dan dengan cepat terbang berpindah pindah arah untuk menghindari
serbuan tangan Eyang Wijaya yang memegang sembilu.
Suatu saat yang mencekam, kepala itu merapat ke langit langit. Tubuh kurus kecil di bawahnya,
mau tak mau harus melompat-lompat ke atas untuk mencapai sasarannya. Malang, tak kesampaian
juga dan akhirnya Eyang Wijaya terpeleset dan jatuh terjerembab di lantai.
Tiba-tiba ada suara berderak pelan.
Dari kamar mandi, setengah sadar setengah mimpi Raden hanggareksa menyaksikan bagaimana makhluk
terkutuk itu mendorong ke atas. Berusaha memecahkan langit-langit yang terbuat dari teak-wood.
Suara berderak yang semakin keras membuat Eyang Wijaya juga terdongak, lalu berusaha bangkit
dengan sebelah kaki keseleo.
Ia tidak akan sesusah payah itu, kalau Raden hanggareksa tidak membikin ribut. Ia dapat melontarkan
senjatanya dengan tenang dan hatihati dari kamar mandi bilamana wajah itu masih melekat di dada
Noni. Sekarang, ia terpaksa untung-untungan. Kalau semula ia bermaksud menembus ubun ubun
makhluk terkutuk itu, maka sasarannya kini ditujukan ke bagian bawah kepala makhluk itu.
Bagian yang tampak kemerahan memperlihatkan seonggok daging bergelimang darah. bagian itu
saja yang tertinggal sebab selebihnya sudah menerobos langit-langit.
Eyang Wijaya mengucap Bismillah.
Lalu melontarkan sembilunya, dengan gerakan berputar. Hanya untung untungan. namun sembilu
itu melayang dan berputar dengan gerakan mengiris pada bagian bawah kepala itu. Terdengar suara
jerit kesakitan yang memelas. Lalu suara berdetak yang keras waktu makhluk itu terus melesat ke
atas. menghantam kaso-kaso, mendobrak atap genteng dan lalu suara itu menghilang semakin
jauh dan jauh lalu tak terdengar lagi sama sekali.
Lurah hutan larangan menghambur masuk.
"Kau baik baik saja, Eyang?"
"Baik nenekmu. Lihat kakiku!"
Eyang Wijaya memijiti kakinya yang keseleo, membengkak. Tak jauh dari tempat Eyang
Wijaya duduk terhenyak kesakitan, tergelimpang sembilu miliknya.
Sembilu itu berlumur darah.
"Bangunkan si Raden hanggareksa dari kegilaannya!" rungut Eyang Wijaya .
"Ayo kita lihat apakah kita berhasil atau gagal."
Noni dititipkan pada istri Lurah hutan larangan .
Bertiga mereka lalu naik mobil yang dilarikan Raden hanggareksa dengan pikiran kacau balau.
Aku telah menikmati sedikit kebahagiaan dari gadis itu, ia mengerang, dan apa yang kuberikan
sebagai imbalannya?
"Sudah pastikah eyang, dia orangnya?"
Bertanya Lurah hutan larangan .
"Sepasti bahwa kau ini muridku paling bebal."
"Sewot lagi,"
Memberengut Lurah hutan larangan .
"namun bagaimana sampai eyang mengetahuinya? Dan... tolong jangan bilang, berkat pengalaman
80-an tahun."
"Ingat saat beberapa malam yang lalu aku menaburkan garam mentah ke sekeliling rumah
TribuanaTunggadewi ? saat itu aku mencium bau tak sedap. Datangnya dari rimbunan pohon rambutan. Aku terus
saja bekerja, namun mengintip dari celah ketiak. Kulihat sepasang titik api. Cuma elang. atau kalong.
Begitu aku berpikir. Kalong yang sedang menyantap mangsa,"
Eyang Wijaya bersungut-sungut menyesali ketololannya.
"Habis,"
Ia melanjutkan
"Waktu itu ingatanku hanya terpusat pada makhluk berupa pacat dan lintah. Mahluk yang mundul
dari dalam tanah. Bukan dari langit...."
Eyang Wijaya meringis lagi menahan sakit di kakinya. Bernafas cepat sebentar. menghirup
udara segar yang masuk lewat jendela kuburan , lalu desah nafasnya kembali normal. "Sudah baikan."
Ia pijit kakinya.
"Begitulah. Waktu aku dihempaskan Raden hanggareksa di depan rumahnya, aku begitu kesakitan. saat
mencari apa yang dapat mengobati sakitku, kulihat mobil NYI girah ..."
"NYI girah ?"
Lurah hutan larangan terperanjat
"Kubilang, mobilnya. Dan di mobil itu, muridku yang berotak budek dan bebal. aku lihat sepasang
titik api yang sama...."
Mereka tiba di rumah yang dituju.
Rumah besar dan kuno itu terang benderang .Penghuni rumah induk tampak tengah
menggedor-gedor pintu masuk pavilyun. Di dalam gelap sekali. Waktu melihat Raden hanggareksa , pemilik rumah
datang menyongsong,
"Syukurlah kau muncul, Nak Raden hanggareksa ," katanya.
"Barusan tadi kami dengar suara-suara ribut yang menakutkan di pavilyun. namun Rosida tak juga
mau membuka pintu."
"Boleh kudobrak?"
"Separah itu benarkah, Nak Raden hanggareksa ?"
"Aku akan membayar ganti rugi," kata Raden hanggareksa .
Dan dengan kepala dipenuhi kepenasaran, ia hantam pintu sampai tanggal dari engselnya. Suara
menggempur itu sunyi sepi sesaat . Pemilik rumah menyalakan lampu depan pavilyun. Memanggil:
"Nak ida?" .
Tetap sunyi sepi.
Lampu dihidupkan lagi. Kali ini, di dalam kamar tidur gadis itu. Di ranjang, hanya ada bantal dan
guling terbungkus selimut. lalu , genangan darah merembes di lantai, membasahi ujung sprei.
Pucat dan gemetar, pemilik rumah menyingkap sprei itu.
Beralas sehelai tikar, Rosida tampak berbaring di kolong ranjang. Lebih banyak darah tergenang.
Mengalir keluar dari leher Rosida yang menganga. Wajahnya yang muda dan elok rupawan, dipenuhi
goresan luka. Tampak serpihan teak-wood terhunjam pada pipi, dan bubuk genteng melekat di untaian
rambutnya.
NYI girah terbelalak.
Blouse dan kutangnya terasa hangat, basah kuyup. Noni kecil merem-melek di pelukannya.
lantas, seraya membuka mata lebar lebar menatap wajah NYI girah , Noni kecil tersenyum puas. Dengan
suara bocahnya, ia bertanya:
"Aa... gggiii...'nte?"
'Apa dia bilang?"
NYI girah berpaling pada Raden hanggareksa yang sedang asyik mencorat coret di sehelai kertas. Menyusun
daftar undangan.
"Dia bilang," sahut Raden hanggareksa tanpa menoleh.
"Apa kau mau lagi?"
"Dikencingi?"
Raden hanggareksa berpaling kaget.
"Astaga," katanya dengan nada menyesali. "Dia memipisimu? Di mana?"
"Ini...." NYI girah memperlihatkan dadanya.
"Oh. Oh. Oh. Kasihan. Mari kubuka."
NYI girah mengulurkan Noni kecil ke depan. namun Raden hanggareksa melampauinya dengan kalem. Tangannya
terus terjulur. Ke tempat yang basah.
NYI girah terpekik. ***
Dan dari kamar kerjanya, Hakim mpu nalanda mengeluh:
"Ada apa lagi, NYI girah ?"
"Ada tangan gentayangan. Papa-'
"Bilang pada yang empunya tangan,'
Terdengar suara Hakim mpu nalanda mengancam:
"Dia harus tunggu sampai bulan April. Atau. ia akan kulemparkan kembali ke dalam bui!"
Dan sekarang baru hari pertama Februari.
Dingin lagi.
"Mertua sadis!"
Raden hanggareksa memberengut.
Dan terpaksa harus menunggu.
April.
Ah. Lama benar!
Mana hujan terus berderai-derai di luar rumah. Berdesah lirih. Meniupkan bisikan halus dari alam
gaib.
lalu .
Sesuatu tampak menggeliat di rerumputan yang basah.
Seekor lintah.











.jpeg)
.jpeg)
