Tampilkan postingan dengan label Darah. 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Darah. 4. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2025

Darah. 4

 



ani kau katakan

perbuatanku tidak patut?" 

     Leher Raden hanggareksa  bergerak. Terdengar nafas sesak tak berkeputusan. 


     "Apakah patut. perbuatan Rukmana? Ia memperkosa aku. Kalian dengar? Ia memperkosa aku. Di

depan mata ayahku sendiri!" 

     Lurah hutan larangan  mengucap istigfar. 

     Eyang Wijaya  bertanya getir: "Kapan terjadinya peristiwa terkutuk itu. Anakku?" 

     "Malam itu. Sudah lima belas tahun berlalu! Dan umurku pun saat  itu persis lima belas tahun

pula. Ia datang ke rumah. Menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Ia... ia mengingatkan ayah pada

hutang-hutang kami yang belum terlunasi. Dengan bunganya sekalian. Sedang sawah dan rumah

kami sudah lebih dulu dirampasnya. Lalu ia bilang, aku akan dinikahinya, sebagai pembayar hutang

ayah. Demi ayahku, aku setuju... hi. aku setuju. Malu aku mengakuinya. Demi ayahku.. namun  dia... si

lintah darat jahanam itu. Dia marah sekali sesudah  mendengar penolakan ayah. Ayahku bilang. lebih

baik ia mati berkalang tanah daripada melihat putri kesayangannya dinodai makhluk terkutuk macam

Rukmana 

     Bajuku dipretelinya! 

     Aku berusaha melawan. namun  sia sia. Aku baru 15 tahun. Miskin, kurang makan. Lemah sebab 

hampir tak pernah tidur demi mengurus ayahku yang terlantar. Aku tak berdaya... Lalu ayahku yang

lumpuh, tiba-tiba bangkit! Hebat dia. bukan? Demi aku, anaknya, ia bangkit dari  lumpuhnya

lalu " 

     Suara Nurjanah melemah, berubah jadi rintihan pilu: 

     "lalu ... ayah terjerembab kembali di dipan. Itulah gerakan terakhir yang ia lakukan. Ia

mati." 

     Lurah hutan larangan  merasakan punggung eyang terguncang. ' 

     Sayang, Lurah hutan larangan  berdiri di belakang si kunis kecil tua bangka itu. Kalau ia panjangkan leher

untuk  melihat, ia akan tahu kalau Eyang Wijaya  mengucurkan air mata. 

     "Anak malang...." desah Eyang Wijaya  terbata-bata. 

     Melalui pundak Raden hanggareksa  ia lihat cahaya terang-terang ayam mulai masuk melalui jendela kuburan . Entah

sejak kapan, hujan reda. 

     "Apa yang lalu  kau lakukan. Anakku?" 

     "Menangisi ayah. apalagi!" jawab Nurjanah. Kasar. 

     "Ia meninggal. Baiklah. namun  mengapa kau menghilang?" . 

     "Siapa bilang aku menghilang?" teriak Nurjanah. 

     Lalu suaranya merendah lagi. Getir dan sakit: 

     "Aku... aku bangun sesudah  Rukmana pergi. Tahu ayahku mati aku tak punya apa-apa lagi, tak

punya siapa-siapa... aku berlari keluar. Kuikat badanku dengan tali. Ujung tali yang lain kuikatkan

pula ke batubatu besar. Tahu sajalah. Takut megap megap dan aku berteriak minta tolong, maka

kupergunakan batu-batu itu. Supaya aku terbenam sekaligus. Mati. Menyusul roh ayah. Roh ibu." 


     "Terbenam. Di mana?" 

     "Di mana lagi. Di sumur. tentu. Sumur yang terletak di depan rumah kami!" 

     Lalu sepasang mata Raden hanggareksa  terpejam. Dari mulutnya terdengar suara megap-megap. suara

mengerang merintih dan kutukan-kutukan semoga arwah ayah dan arwah ibunya membantu Nunjanah

untuk membalaskan dendam. 

     "Oh. ayah dan ibu. Oh, setan yang diusir dari syurga. yang menghuni neraka. Biarkan aku hirup

darahnya, darah turunannya, darah...." 

     Suara lirih mengerikan itu, terdiam tiba-tiba. 

     Jam dinding di ruang duduk berdentang lima kali. Mata Raden hanggareksa  terpentang lagi. Desah nafasnya

terkejut, saat  ia tidak melihat Eyang Wijaya . Yang ia lihat cuma Lurah hutan larangan  seorang, tengah

sibuk menggeser kursi besar dan berat ke pintu, lantas menghenyakkan pantat di situ. Duduk

mematung. bagaikan ranjau penghalang. namun  dengan kepala dan dada dipenuhi ketakutan. 

     namun  ini perintah. 

     Perintah Eyang Wijaya  agar ia menahan Raden hanggareksa  selama ia mampu. Lurah hutan larangan  mencoba

santai di kursi. Berlagak berani, sambil mengumpat bekas gurunya yang menghilang entah ke mana. 

     Eyang pengecut, pasti Lurah hutan larangan  memaki, kalau tak sadar tentulah eyangnya telah pergi ke

sumur yang dimaksud Nurjanah. namun  astaga. 

     Tahukah eyang bahwa Sumur itu telah ditimbun? 

     Ketakutan kian menjadi-jadi menghantui Lurah hutan larangan . 

     Lebih-lebih saat  kelopak mata Raden hanggareksa  terbuka  menampakkan bola mata kelabu, disusul Suara

rintihan marah: "Mengapa kau menghalangi jalanku?" 

     Lurah hutan larangan  mengumpulkan keberaniannya. 

     Menjawab, bukan main! Seenak perut; 

     "Emangnya kau mau ke mana, Nurjanah?" 

     "Pulang!" 

     "Pulang ke mana?" 

     "Rumahku." 

     "Ini juga rumah. Mengapa tidak tinggal di sini. Hangat pula." 

     "Aku merindukan kelembaban dasar sumur itu. Merindukan kesejukan dan persahabatan abadi

yang telah ia berikan selama lima belas tahun. Ayo menyingkirlah. Hari sudah pagi. Aku tak dapat

menunggu lama-lama." 

     "Pergilah. namun  tinggalkan Raden hanggareksa  di sini." 

     "Tidak!" 

     "Apa susahnya?" 

     Lurah hutan larangan  makin berani. Tak percuma ia pernah berguru pada Eyang Wijaya . 


     "Tanpa tubuh ini aku tak dapat pergi. Aku melihat garam mentah. Aku mencium bau laut. Dengan

mempergunakan tubuh ini, aku akan mampu melaluinya...." 

     Lalu membentak tiba-tiba: 

     "Minggir!" 

     Kaget, Lurah hutan larangan  menciut di kursi. 

     "Tunggu. Masih ada yang ingin kutanyakan." 

     Tubuh Raden hanggareksa  dengan roh Nurjanah di dalamnya. emoh menunggu. Hanya tiga kali lompatan

tangkas dan cepat. Disusul gerakan membungkuk yang lebih cepat lagi. Tahu-tahu saja kursi di mana

Lurah hutan larangan  duduk telah terangkat tinggi  melayang sebentar dan lalu  terhempas di lantai kamar

duduk. 

     Lurah hutan larangan  terguling. 

     Pingsan. 

     Raden hanggareksa  beranjak keluar. Tergetar sebentar menyambut datangnya pagi yang berkabut. lalu 

melangkah pasti ke jalan. Beberapa orang tetangga berpapasan dengannya. Mereka menyapa lalu

mereka tercengang. Raden hanggareksa  tak menyahuti, melirik pun tak sudi. 

     "Pasti kesurupan." bisik seseorang. 

     Raden hanggareksa  lebih dari sekedar kesurupan! 

     

     **** 

     

     NYI girah  telah menguasai dirinya kembali. Ia ingin menjerit. Ingin menangis meraung raung. Namun

yang mampu ia keluarkan adalah desah cemas, kuatir. Seakan tidak menyadari kehadiran Rosida di

sebelahnya. mobil langsung dikebut. 

     "Bang Raden hanggareksa . Bang Raden hanggareksa . Ia pasti sedang dilanda dukacita yang menyedihkan...." 

     Hanya itu yang ada di benak NYI girah . 

     Tiba di rumah keluarga Raden hanggareksa , NYI girah  menghambur turun dari mobil. Berlari-larian masuk, dan

waktu keluar ia tampak malu sekali. lalu  masuk ke mobil, sekilas ia menampak Rosida duduk

dengan wajah menekuri sepatu. 

     NYI girah  tak perduli. 

     Rosida begitu tak berperasaan tadi. 

     NYI girah  pun bisa! 

     Setengah gila ia memacu kendaraan di jalan sempit berlubang-lubang itu menuju rumah TribuanaTunggadewi .

Mereka terhanting-banting dalam mobil. NYI girah  tidak merasakannya. Dan aneh, Rosida pun diam saja. 

     Lalu NYI girah  melihatnya. 

     Jalan yang ditempuh mobil NYI girah  terletak lebih tinggi dari desa di bawah sana. Menepi sejenak ke


pinggir tebing terbuka, NYI girah  sudah dapat melihat rumah TribuanaTunggadewi . Tampak menyolok di antara

rumah-rumah lainnya. sebab  modelnya yang mutakhir dan atap asbes-nya yang berwarna hijau tua.

Seseorang baru saja keluar dari dalam rumah itu. Samar-samar memang, sebab  udara pagi masih

diselaputi kabut tipis. 

     NYI girah  segera mengenalinya. Mengenali perawakan tinggi besar dan cara berjalannya yang gagah.

setengah tak acuh. 

     "Raden hanggareksa . Pasti dia. 

     Bukan begitu. Kak Ida?" tanya NYI girah  lirih sambil memacu mobil kembali menempuh jalan menurun

dan berbelok panjang. 

     Rosida yang tetap duduk menekuri sepatu, tak menyahut sepatah pun. Melirik sekilas, NYI girah 

melihat wajah ratu lesbi  itu berubah pucat dengan cepat, dan tampak agak kering. 

     "Tuhanku, aku telah membuat dia ini sakit!" 

     NYI girah  menjerit dalam hatinya lantas mengeluh: 

     "Aku tidak sebiadab yang kau duga, Kak ida. Selagi Bang Raden hanggareksa  menetapkan ia tetap akan

menikahimu, aku akan segera berlalu...." 

     Berlalu. 

     Ke mana? 

     Pada siapa? 

     Sumarna telah mati. 

     Apakah papa dan mama masih mau memaafkan NYI girah ? 

     Memasuki mulut desa, sejumlah anak kecil sudah mulai bermain main di jalan, campur baut

dengan ternak yang berkeliaran. Kecepatan mobil ia turunkan sedikit demi sedikit. Lalu mendadak ia

berhenti. Pas di ujung jalan yang dipotong jalan membujur ke kiri ke kanan. Simpang tiga siku siku.

Dan di seberang, berhadapan lurus dengan mobil, tegak rumah Raden hanggareksa  yang hampir jadi Itu. 

     Rumah itu tidak selengang biasa . 

     Tampak beberapa orang lelaki bertubuh kekar tengah sibuk membersihkan pekarangan.

Menyingkirkan segala macam bekas reruntuhan lama. potongan-potongan balok kayu dan

berteriak-teriak pula menyuruh sekelompok anak-anak yang ingin ikut ambil bagian agar enyah

sejauh mereka dapat. Disertai umpatan-umpatan kotor dan kasar sehingga kelompok anak-anak itu

ngacir serabutan. Halaman depan yang tadinya acak-acakan itu sebentar saja sudah tampak jauh

lebih luas dan bersih lapang. 

     Mau apa mereka itu? 

     Dan siapa laki-laki tua bangka bertubuh kurus kecil yang ribut memerintah ini itu. sambil tak

henti hentinya menaburkan bubuk putih yang aneh di pintu masuk dan di seputar halaman? 

     Tak puas tampaknya. orang tua itu lalu  mengangkat sebuah jeriken besar dibantu salah


seorang laki-laki kekar itu. Lalu menumpahkan isinya mengitari pojok kanan pekarangan. 

     "Kau tahu siapa mereka itu, Kak Ida?" 

     NYI girah  nyeletuk. Bingung. 

     Rosida mengangkat muka. Ikut memperhatikan. Jawab yang keluar dari bibirnya tidak relevan. 

     "Aku mencium bau busuk" 

     Lantas ia terpekur lagi. 

     "Perhatikan baik-baik, Kak Ida. Beberapa dari mereka kukenali sebagai tetangga Kak Ronggolawe . Aku

lihat pula dua orang kerabat Bang Raden hanggareksa . lalu... ah, kalau tak salah yang sedang membawa ember

ember itu adalah tangan kanan pak lurah. Orang tua kurus itu, asing buatku. Kau kenal, Kak Ida?" 

     Desah Rosida semakin getir: 

     "Busuk. Aku mencium bau busuk," 

     Lalu Rosida tampak gemetar dan semakin pucat. 

     "Kak Ida mungkin betul. namun  sebaiknya kudatangi saja mereka itu...." gumam NYI girah  tanpa

memahami nada suara Rosida. 

     NYI girah  baru saja akan membuka pintu mobil saat  dari simpang kanan, datang berlari-larian

seorang laki-laki lain. Mereka berbicara cepat. Menunjuk-nunjuk ke arah lelaki itu barusan datang.

Sikap mereka segera berubah. Kesibukan terhenti. Digantikan wajah wajah gelisah sambil saling

berbisik-bisik. 

     NYI girah  segera tahu apa sebabnya. . Dari arah orang terakhir tadi muncul. tampak sejumlah orang

pula datang bergegas. Mereka semua bergabung di tengah halaman dan memperlihatkan sikap tengah

menunggu sesuatu. 

     lalu , Raden hanggareksa  muncul. 

     NYI girah  tersentak. Dan kerumunan orang di halaman, semakin gelisah. NYI girah  turun dari mobil.

Ragu-ragu. lalu  berjalan mendekat. Paman Raden hanggareksa  yang ada di tengah kerumunan orang itu,

melihatnya lantas bergegas mendatangi: 

     "Pergilah. Mau apa kau di sini, Nak?" 

     Ia melirik ke mobil. 

     "Ah. Dengan si ida pula lagi. Wah!" 

     Paman Raden hanggareksa  tampak cemas dan ketakutan. 

     NYI girah  tak mau pergi. 

     "Aku mau bertemu Bang Raden hanggareksa ," gumamnya. keras kepala. 

     "Raden hanggareksa , Anakku? Kau kira Raden hanggareksa  yang muncul di depan kita itu?" 

     NYI girah  menatap paman Raden hanggareksa  dengan bingung. 

     Ia mau bertanya. Tak jadi. Perhatiannya keburu tertarik pada orangtua bangka tadi, yang dengan

langkah-langkah tenang menyongsong kedatangan Raden hanggareksa . 


     "Siapa dia, Paman?" 

     "Eyang Wijaya . Dan ia akan menyelamatkan Raden hanggareksa ." 

     "Ia akan apa?" 

     "Ssstt!' 

     Kabut tipis sudah menghilang. Matahari belum muncul, namun NYI girah  dengan takjub menyaksikan

Raden hanggareksa  terus saja memasuki pekarangan tanpa mengacuhkan semua orang yang ada di situ. Ia

langsung bergerak kesebelah kanan pekarangan. Melewati Eyang Wijaya  yang lalu  merasa

tersinggung dan berteriak membentak: 

     "Berhenti kau di situ, Anakku!" 

     Raden hanggareksa  tertegun. Tubuhnya tetap membelakangi Eyang Wijaya . namun  kepalanya! 

     Kepalanya berputar 90 derajat. Menghadap lurus pada eyang itu. 

     NYI girah  membelalak Ngeri. 

     "... kau mempecundangi aku, Kakek tua!" 

     Terdengar suara lirih. tajam bermusuhan. Dan itu bukan suara serak parau laki-laki melainkan

suara seorang ratu lesbi . . 

     Bulu roma NYI girah  berdiri tegak . 

     Tangannya menggapai ke samping. sesudah  menemukan tangan paman Raden hanggareksa  tanpa malu malu

lagi ia langsung merangkulnya kuat-kuat. 

     Kepala Heman berputar lagi. Bukan kembali. namun  berputar terus mengikuti putaran semula.

berhenti sesaat mengawasi sejumlah laki-laki yang berkumpul ketakutan di depannya. 

     "Kau mempecundangi aku. Kakek tua," 

     Suara mengerikan itu mengulangi kata-kata tadi. "Mengapa membawa begitu banyak orang?" 

     Eyang Wijaya  bergerak ke depan, menghadapi Raden hanggareksa . 

     "Kau pun mempecundangi aku, Anakku," 

     Suaranya lebih lembut. Bersahabat. 

     "Dengan caramu yang lihai, kau kentuti rintangan rintangan yang kupasang di rumah itu.

Mengenai orang-orang ini, Lurah hutan larangan  yang memberi perintah .Sebelum kau menyatroni kamar mandi

TribuanaTunggadewi , lurah telah menyuruh orang-orangnya berjaga-jaga di sekeliling rumah." 

     "Kalian bermaksud menjebakku?" 

     Terdengar tawa meringkik. 

     "Air lautmu tidak lagi membuatku mabuk. Kakek tua. Dengan mempergunakan tubuh ini, aku

malah akan mengencinginya!" 

     "Aku tahu. Bubuk garam itu pekerjaan sia-sia saja," 

     Eyang Wijaya  mengakui, pelan. Lalu: 

     "Kumohon, Nurjanah. Kumohon. pergilah dengan cara baik-baik. Aku bermaksud menolongmu,


bukan mencelakakan engkau. Pergilah. Tinggalkan jasad yang tak berdosa ini!" 

     "Menyingkir dari jalanku, Tua bangka!" 

     Mulut kaku Raden hanggareksa  megap-megap mengeluarkan suara jerit lengking Nurjanah 

     "Aku akan tetap menguasai jasad ini. Membawanya ke tempatku berkubang. Menyingkirlah!" 

     "Sekali lagi kumohon. Nurjanah. Atau kau terpaksa harus enyah dengan penuh kesengsaraan!" 

     Suara Eyang Wijaya  meninggi. 

     Marah. 

     Mulut Raden hanggareksa  terbuka lebar. 

     Mengeluarkan ringkik kematian. Sambil meringkik, tangannya menjangkau ke depan. Eyang

Wijaya  tidak keburu berkelit. Tubuhnya yang kecil tahu-tahu saja sudah terangkat tinggi di atas

kepala Raden hanggareksa . Tidak seorang pun mampu membuka mulut, apalagi untuk bergerak menolong tubuh

kecil yang memelaskan hati itu. Malah ada yang jatuh pingsan sesaat  itu juga. 

     Terdengar suara angin bersiul. 

     Tangan Raden hanggareksa  yang terangkat tegak lurus ke atas, bagaikan batang asa baling-baling

helikopter, berputar cepat di persendiannya. Dengan tubuh kecil kurus dan peot itu, sebagai pengganti

baling-baling. Makin lama makin cepat, sampai bayangan tubuh Eyang Wijaya  tinggal bayangan

samar belaka. 

     Putaran itu menyebabkan angin bertiup lebih keras. 

     NYI girah  menggigil dengan pegangan paman Raden hanggareksa , lantas menjerit-jerit histeris: 

     "Raden hanggareksa . Abang Raden hanggareksa . Jangaaaaan!" 

     Raden hanggareksa  tidak berpaling. 

     Pamannya yang berdiri rapat di samping NYI girah . kumat kamit membaca ayat-ayat kitab suci.

Dengan wajah dibanjiri peluh dingin. Entah sebab  do'a suci itu, entah sebab  jerit histeris NYI girah , atau

sebab  memang sudah puas mempermainkan mangsanya. putaran baling-baling di atas kepala

Raden hanggareksa  melemah, melemah dan bayangan tubuh Eyang Wijaya   semakin jelas dan jelas. Lalu

tibatiba dilontarkan begitu saja. Langsung ke tempat kelompok laki-laki kekar yang telah menciut

hatinya itu. Mereka semua jatuh tunggang langgang ditimpa tubuh Eyang Wijaya  yang hinggap

tanpa pemberitahuan itu. 

     Terdengar lagi suara meringkik. 

     Seram. 

     Lalu acuh tak acuh Raden hanggareksa  melangkah panjang menuju pojok. Ia menuju bekas sumur tua yang

sudah ditimbuni segala macam sampah itu. Tertegun sejenak. 

     Mencium-cium. 

     "Bau apa... ini?" 

     Nurjanah menceracau, bingung 


     Eyang Wijaya  bergerak bangkit. Terhuyung-huyung. Limbung. Yang lain mengikuti. Orang tua

itu berteriak terputus-putus: "A... yooo. Bakar. Bakar!" 

     Kaum lelaki itu mulai bertindak. 

     Dua tiga buah batu bensin dan korek api menyala sesaat  .Dilemparkan susul menyusul. Tanah di

sekitar sumur tua itu lembab becek. namun  di situ sebelumnya telah mereka taburkan sampah sampah

kering. Telah pula disirami bensin. 

     Huuuuuppp...! 

     Api menjilati sampah berbau bensin. Mula mula kecil dan lemah saja. namun  dengan segera Sudah

berkobar menyala-nyala. membentuk lingkaran api dengan tubuh Raden hanggareksa  terperangkap di

tengah-tengahnya. 

     Terdengar jerit kaget dari mulut Raden hanggareksa . 

     "Neraka! Api neraka! Tidak. tidak, tidaaak." 

     Raden hanggareksa  berputar-putar dalam lingkaran api berusaha mencari lubang untuk lolos. Tampak salah

seorang dari kerumunan lelaki itu mengambil jeriken dan menumpahkan bensin yang masih tersisa ke

kobaran api yang segera saja tambah bernyala-nyala. 

     NYI girah  menjerit lagi. Menjerit dan menjerit: 

     "Jangaaaan! Ya Tuhan," 

     Ia meronta-ronta dari pegangan paman Raden hanggareksa  yang membetotnya kuat-kuat. 

     "Oh kalian akan membunuh Raden hanggareksa ku. Kalian membakar kekasihku!" 

     NYI girah  menangis meraung raung. 

     Dari kobaran api, terdengar suara tangis lain. 

     Tangisan perih, menyayat hati. 

     lalu  tubuh Raden hanggareksa  samar-samar tampak limbung. Jatuh terkulai di tanah lembab basah.

Sebelah kakinya tergeletak tak jauh dari lidah api. 

     "Air. Air. Air...." 

     Entah siapa yang berteriak 

     Lalu ember-ember tadi memperlihatkan kegunaannya. Dari ember ember itu. setiap orang yang

memeganginya dengan tergopoh-gopoh dan kacau balau menyiramkan air sebanyak mungkin.

Sebagian disiramkan ke api. Sebagian lain ke tengah lingkaran api itu, langsung membasah kuyupkan

Raden hanggareksa . 

     Belum lagi api padam. NYI girah  sudah berhasil lepas. 

     Ia menghambur tanpa dapat dicegah. Menghambur ke pekarangan, melompati sisa-sisa kobaran

api yang kian mengecil lalu memeluk tubuh Raden hanggareksa  yang basah kuyup oleh air dan lumpur. Meraung

lagi: 

     "Bangunlah, Raden hanggareksa . Bangunlah! Katakanlah kau masih hidup. Ayo Raden hanggareksa . Sayangku!" 


     Raden hanggareksa  menggeliat. 

     Mengaduh. 

     Setengah gila. 

     NYI girah  mengangkat wajah Raden hanggareksa  yang tertelungkup. Ia melihat kelopak mata Raden hanggareksa  terbuka.

Mendengar suara Raden hanggareksa  merintih: 

     "Apa yang... siapa." 

     Suara Raden hanggareksa . Raden hanggareksa  yang sesungguh sungguhnya. 

     Saking Sukacita. NYI girah  menciumi Raden hanggareksa . Menciumi wajah berselemak lumpur itu bertubi tubi. 

     Matahari mulai bersinar di ufuk Timur. Satu dua orang yang baru saja terlepas dari pengaruh gaib

yang mengerikan itu, berpaling menyaksikan pemandangan yang jauh berbeda. Bibir NYI girah  masih terus

mengulum bibir Raden hanggareksa . 

     lalu  orang-orang itu berpaling ke arah lain. Berlagak tidak melihat apa-apa. 

     Mereka maklum. 

     Hati mereka semua memang masih tergoncang oleh peristiwa sebelumnya. 

     Coba, kalau mereka berpikir sedikit lebih jernih. Maka mereka akan terperanjat: NYI girah  yang

tadinya mereka kenal sebagai calon istri Sumarna, menciumi Raden hanggareksa . Dan Rosida yang mereka

ketahui sebagai calon istri Raden hanggareksa , duduk diam-diam saja di dalam mobil. 

     Coba, kalau mereka juga mengawasi Rosida dengan seksama. 

     Perhatikan sinar matanya. 

     Mata itu merah. Berapi-api. 

     Hanya satu orang saja yang melihat nyala api di mata Rosida. Orang itu adalah Eyang Wijaya .

Masih mabok sebab  sempat dijadikan baling baling bernyawa, ia sangat berharap seseorang datang

menawarkan obat sakit kepala .Syukur syukur diberi obat gosok sekalian. sebab  tulang tulangnya

pun masih terasa linu. 

     namun  tidak seorang pun memperdulikan Eyang Wijaya . Semua orang yang ada di tempat itu

berkumpul dalam beberapa kelompok dan ribut menceritakan perasaan, pengalaman dan malah ada

juga kehebatan dirinya menumpas roh jahat penghuni api neraka itu. NYI girah  dan Raden hanggareksa  jangan dikata

lagi. Kedua anak muda itu punya kesibukan tersendiri. 

     Kecewa, Eyang Wijaya  memandang berkeliling. 

     Ah. itu sebuah mobil. Biasanya di mobil bagus seperti itu ada tersedia kotak obat. lalu Eyang

Wijaya  bertindak maju. Dua tiga langkah cuma lalu  berhenti. Sekujur tubuhnya tegang lagi. 

     Lewat kaca depan mobil, di dalam ia lihat seraut wajah yang asing baginya. namun  sinar mata

itu.... 

     Sinar mata itu pernah dilihatnya . 

     


     ***** 

     

     Empat belas 

     

     

     Rosida memperhatikan wajahnya di cermin. 

     "Aku masih tetap muda dan cantik," 

     Ia bergumam, mengagumi diri sendiri. Namun tanpa nada kebahagiaan. Malah sebaliknya.

Gumaman itu pedih. 

     Menderita. 

     Gadis itu mendekatkan bibir ke kaca. 

     Parit di bawah hidungnya semakin menggurat nyata. namun  lekuk sebelah dalam, masih belum

sempurna. Kurang dalam. 

     Gusi bengkak? 

     Ia tersenyum, pahit. Sampai kapan ia selalu mengemukakan omong kosong yang sama: gusi

bengkak! 

     Dirabanya lekukan tipis itu. 

     Terasa keras. 

     Dan panas menggigit. Bibirnya yang atas. tetap saja masih mencuat ganjil. Benar, tidak

semenonjol hari-hari sebelumnya. Namun toh tetap tampak tidak menarik dan jelas merusak

keindahan wajahnya yang elok. 

     "Biarlah. Tak lama lagi," 

     Kembali Rosida bergumam. 

     "Besok atau lusa, akan elok lagi. Aku pun bertambah cantik. Bertambah muda Hem. hem. Berapa

ya usiaku sekarang?" 

     Rosida mereka-reka. 

     Lantas ia mengalah pada diri sendiri. Buat apa dihitung hitung. Dari dulu juga tidak. Rosida tak

pernah takut pada ketuaan. sebab  tiap kali parit bibirnya lenyap lalu  muncul kembali. ia

merasa jauh bertambah muda saja. 

     Dan Raden hanggareksa , hanya satu dari sekian ratus orang. 

     Raden hanggareksa  tak perlu mengkuatirkan Rosida bakal jadi perawan tua.Raden hanggareksa  tak perlu berdo'a semoga

Rosida dapat jodoh yang lebih sesuai dan lebih bertanggungjawab atas perbuatannya. Suatu saat 

kelak, bila roh-roh nenek moyang sudah memberi ijin, Rosida tertawa kecil. jodohnya akan datang

sendiri. Seorang lakilaki yang sepadan dengannya. Seketurunan dengannya. Dan mereka akan

melahirkan keturunan-keturunan yang lebih baik. 


     Sungguh tolol si Raden hanggareksa . 

     Berpura-pura menyesal, saat  ia menelpon tadi siang. 

     Ah apa saja pembicaraan mereka tadi? 

     "... luka-luka bakar di tubuhku belum sembuh benar, Ida. Maaf. aku belum sempat datang

langsung." 

     Begitu antara lain kata Raden hanggareksa  di telepon. Luka-luka bakar. 

     Hem. Rosida tahu benar. Tak lebih dari luka lecet belaka. Dan sudah hilang berkat rawatan

telaten dan kuatir tangan tangan halus NYI girah . 

     "Kau baik-baik saja, Ida?" tanya Raden hanggareksa  pula. 

     "Ah. Biasa" 

     Ia jawab. 

     "Bagaimana gusimu?" 

     "Infeksinya sudah hilang." 

     "Syukurlah. Dan eh. Ida...." 

     "Mmh?" 

     "jadi pulang kampung?" 

     Itulah semuanya. Raden hanggareksa  telah membuka belangnya  Sendiri. Raden hanggareksa  yang belum lama berselang,

mati matian menahannya. 

     Oh, Raden hanggareksa -ku yang baik hati! 

     "Kukira aku akan tetap  pulang, Raden hanggareksa ." 

     "Kau akan kuantar," 

     Suara Raden hanggareksa  terdengar mengambang. 

     "Ah. Terimakasih. namun  lebih baik jangan!" 

     "Kenapa?" 

     'Tidak pantas. Kau masih dalam suasana berkabung. Biarlah segala sesuatunya berjalan lancar

dan senang. Baru pikirkan hal hal lainnya," 

     Ia dorong pemuda itu supaya enyah jauh jauh dari sisinya. 

     "Kau penuh pengertian. Ida." 

     Terdengarnya sih penuh haru, pernyataan Raden hanggareksa  itu. 

     "Selalu begitu, bukan?" jawab Rosida, kalem. 

     Sudah berapa kali ia mengutarakan pengertian itu. Sekali aku mengerti. kenapa kau tidak mau

mendekati ayahmu. Lain kali aku mengerti. kenapa kau tidak sehebat adik-adikmu. Lain kali lagi aku

mengerti, betapa sedihnya orang masuk bui. Dan kemaren dulu itu. saat  ia melihat NYI girah  menciumi

Raden hanggareksa . Rosida pun, telah berusaha mengerti. 

     "Ida?" 


     "Mmh?" 

     "Segera sesudah  aku sembuh benar...." 

     "Aku tahu," potong Rosida, memperdengarkan tertawa menggembirakan. 

     "Aku tahu, kau akan datang. namun  ah, tidak usahlah hiraukan betul diriku ini. Aku sudah dewasa,

Raden hanggareksa . Aku dapat menjaga diri." 

     "Apa maksudmu?" 

     Raden hanggareksa  terkejut. Pura pura, jelas. 

     "Sudahlah. Kirim saja salamku pada NYI girah ," 

     Suara Rosida datar-datar saja. 

     "Ida, aku.... Ah. Bagaimana aku harus mengatakannya padamu. Aku telah... dan aku tidak...?" 

     "Tak usah gugup, Sayang. Apa yang telah kita perbuat selama hubungan kita yang manis, sudah

biasa dilakukan orang-orang lain bukan? Nah. Mereka akhirnya dapat berpisah baik-baik. Mengapa

kita tidak?" 

     Lama, baru Raden hanggareksa  membuka mulutnya. 

     "Betapa mulia hatimu. ida." 

     "Semoga!" 

     Rosida mengangguk sendiri. 

     Sepi lagi. 

     Rosida tak suka dengan kesepian itu. Lalu: 

     "Bagaimana keadaan di sana?" 

     "Baik. Sehari yang lalu. jenasah TribuanaTunggadewi  sudah dikuburkan. Juga tulang belulang Nurjanah, yang

ditemukan di dasar sumur tua itu. Tulang belulangnya telah dikuburkan semestinya. dengan upacara

semestinya pula. Rohnya tidak lagi...!" 

     "Hehhh!" 

     Rosida mendengus. 

     Seram. 

     "Jangan bicara soal roh macam itu lagi, Raden hanggareksa . Kau tahu." 

     Rosida tercekat. 

     "Aku tak tahan!" 

     Dan itu sesungguhnyalah, memang benar. 

     "Kita obrolkan saja tentang mereka yang masih hidup." 

     Raden hanggareksa  bergumam setuju. Riang gembira ia memberitahu: 

     "Oh ya. Noni sudah pulang. Kini ia bersamaku. Di rumah TribuanaTunggadewi . Kau tahu? Ia lebih segar bugar

sekarang...!" 

     Rosida meletakkan cerminnya. 


     Parit bibir di bawah hidungnya  terasa panas lagi. Perih menggigit. Bagai ditusuk beribu-ribu

jarum. Ia sudah lupa apalagi yang tadi siang diomongkan Raden hanggareksa  di telepon. Tersengal-sengal ia

berjalan ke tempat tidur. Darahnya menggelegak. 

     Ia mulai menyusun bantal dan guling. Serapih mungkin. 

     

     **** 

     

     Hari itu Kamis Kliwon. Angin musim penghujan minggu ketiga bulan Januari bertiup basah.

Ramalan Eyang Wijaya  mengenai curah hujan, rupanya mirip ramalam jawatan meteorologi 

sering-sering meleset. langit yang menutupi pedesaan di pinggir kota tampak biru jernih. Ribuan

bintang berkontes, siapa yang paling cemerlang. 

     Hanya rembulan saja yang tampak menyendiri. Berwajah suram. Barangkali cemas melihat

gumpalan awan pekat masih mengancam dari beberapa jurusan. Atau barangkali juga, sebab  berpikir

prihatin: mengapa sepanjang umur bumi, rembulan tidak pernah memperoleh pasangan. 

     Dari masjid. terdengar suara orang mengaji. 

     Bergaung ramai. Maklum, malam Jumat. Mana Sekalian tahlilan untuk mendo'akan sejumlah

arwah yang belum lama berangkat dengan sengsara dari desa mereka. . 

     Rumah TribuanaTunggadewi  tampak tenang dari luar. 

     Tak ada kesibukan yang menyolok. mpu  Ronggolawe  telah menyapu bersih garam dapur dari tubuhnya.

namun  sesudah  Eyang Wijaya  minta disediakan semangkok penuh bawang putih yang sudah

diiris-iris halus, mpu  Ronggolawe  kembali repot lagi. sesudah  memenuhi permintaan tamu mereka, mpu  Ronggolawe 

cepat-cepat mengunci diri. Ke kamar tidurnya ia bawa batu penggilingan dan seonggok bawang putih.

Bawang putih digiling sampai lumat. Dioleskan ke setiap sudut tubuhnya. 

     Lalu ia berbaring ketakutan di dipan. 

     Tak ayal lagi, sampai pagi esoknya ia tidak dapat terpejam. Selain sebab  perasaan takutnya.

juga sebab  polesan bawang putih yang luar biasa melebihi ukuran itu membuat sekujur tubuhnya

bagai terpanggang dalam bara api. 

     Di tengah rumah, tiga orang lain sibuk bekerja. Raden hanggareksa , Eyang Wijaya  dan Lurah hutan larangan . Lurah

hutan larangan  sesekali mengeluh. Sambil melirik dongkol pada Raden hanggareksa , tentu. Sakit pinggangnya masih terasa

linu. Habis dibanting Raden hanggareksa  dua malam yang lalu. 

     "... aku masih belum memahami satu hal, Aki Udin." gumam Raden hanggareksa  seraya menaburkan hati hati

sejumput irisan bawang putih di tempat tempat mana sebelumnya Eyang Wijaya  pernah

menaburkan garam mentah. 

     "Katakan saja. Tak usah malu-malu." sahut Eyang Wijaya  sopan. 

     Orangtua itu tengah sibuk menggantungkan beberapa helai benang benang hitam di bagian


dalam pintu kamar mandi yang terbuka. Agak curiga, melirik juga si kecil kurus itu ke bak mandi.

Siapa tahu dari lubang pembuangan yang sudah licin dibersihkan itu ia kena dipecundangi lagi. 

     "Mengapa Aki menduga dia orangnya yang kita tunggu?" 

     "Berkat pengalaman, Anakku. Pengalaman sepanjang hidupku yang sudah 80.an tahun ini." 

     "Itu bukan jawaban," rungut Raden hanggareksa , kecil hati. 

     Melirik ke tempat tidur di mana Noni tertidur pulas. Si kecil itu sebenarnya belum sembuh benar.

Memang wajahnya sudah kemerah merahan lagi. namun  kulit tubuhnya masih mengelupas kering di

beberapa tempat. Terbayang di matanya wajah dokter yang menahan marah sebab  Noni diambil dari

rumah sakit . 

     Jam dinding berdentang dua belas kali. 

     Dan Eyang Wijaya  mematikan lampu kamar mandi, sehingga gelap gulita sesaat  di tempat

itu. 

     "Kau dengar aku, hutan larangan ?" 

     Orangtua itu berbisik . 

     Lurah hutan larangan  yang tengah mengurut pinggang di kamar duduk, menjawab tersengal: 

     "Ya, Eyang." 

     "Sudah waktunya!" . 

     Lurah hutan larangan  dengan enggan berjalan keluar rumah. Menyusuri  kegelapan di sepanjang tembok

lalu  duduk diam diam di balik lindungan rumpun mawar. Angin malam melecut wajahnya.

Nyamuk datang pula menggigit. Dan bawang putih di telapak tangannya, benar-benar membuatnya

mau muntah. 

     "Selalu aku yang kebagian sialnya," 

     Ia menggerutu pelan, seraya menengadah mengawasi langit biru temaram, mengawasi sekeliling

atap mengawasi pepohonan rambutan. 

     Apakah nanti ia bakal terkencing lagi di celana? 

     Bergidik. 

     Lurah hutan larangan  mengintai ke jendela kuburan  kamar tidur TribuanaTunggadewi . 

     Serupa apa kali ini, yang akan muncul? 

     Lurah hutan larangan  seterusnya menekuri rerumputan di sekitarnya. Rerumputan basah itu tampak

kecoklatan dijilat rembulan. Lurah hutan larangan  melotot: 

     jangan-jangan itu bukan rumput! 

     Betapa sunyi sepinya desa itu sekarang. 

     Ronda malam pun, sudah tak berani keluar. Biar dibayar berapapun juga. Lantas mengapa Lurah

hutan larangan  mau disiksa serupa ini? 

     Tanggungjawab? 


     Bukan. 

     Ia harap roh itu muncul dan Eyang Wijaya  memusnahkannya. Dengan begitu, Lurah hutan larangan  tidak

perlu lagi mencemaskan keselamatan Legoh. 

     "Aki?" 

     Raden hanggareksa  berbisik pelan di dalam kegelapan kamar mandi TribuanaTunggadewi . 

     "Heh?" 

     "Benang-benang ini. Untuk apa?" 

     "Menyerap pengaruh sihir yang mungkin membuatku kau tertidur tanpa kau sadari." 

     "Aki?" 

     "Mengapa tidak kau tutup saja mulutmu? Biarkan aku berdo'a dengan tenang!" rungut Eyang

Wijaya , hilang sabar. 

     Raden hanggareksa  terdiam. Tadi ia sudah diberitahukan mengenai semua itu. namun  sebab  gelisah, ia ingin

saja membuka mulut. Ia begitu letih. Raden hanggareksa  telah melalui hari-hari yang tidak saja melelahkan

namun  juga menakutkan . 

     Ketakutan itu pun menjalarinya kini. Dalam bentuk lain. 

     Ia tidak takut menghadapi kematian. Sudah terlalu banyak ia saksikan.rsi Kertajaya , ibunya, Sumarna

lalu TribuanaTunggadewi . 

     Hantu? 

     Hantu berupa apapun tidak pula membuatnya cemas sekarang. Ia telah kebal semanjak ia

terkesima memandangi mayat TribuanaTunggadewi  di kamar mandi ini dengan makhluk terkutuk di haribaan

adiknya, tegak menatap lurus ke mata Raden hanggareksa . Makhluk itu. ditambah ribuan lagi yang menggempur

di sekelilingnya, merupakan puncak kecerahan yang pernah dialami Raden hanggareksa . Keseraman itu tidak

terasa melecut malam ini. Selain kebal, juga sebab  ia sudah tahu. 

     Yang ditakutkan Raden hanggareksa  cuma satu. Sarafnya. 

     Ia ingin semua ini cuma mimpi buruk yang terus menerus menteror. Dan begitu ia sadar semua

ini memang kenyataan. barulah Raden hanggareksa  merasakannya. Merasakan takut. Takut. ia telah gila.

Buktinya ada di depan biji mata. Tubuh Noni kecil malang. Noni yang sudah yatim piatu. Kalau

Raden hanggareksa  masih waras, ia tidak akan mengambil Noni dengan paksa dari tangan dokter yang

merawatnya . 

     Bukan seperti sekarang  merelakan Noni sebagai umpan. 

     Raden hanggareksa  merintih. Ngeri membayangkan rsi Kertajaya  dan TribuanaTunggadewi  menggeliat marah di kubur mereka. 

     Hampir putus asa pula, Raden hanggareksa  mengamati di kegelapan kamar mandi ke tangan Eyang

Wijaya  yang mengepal sesuatu hati-hati. Tidak tampak jelas. namun  Raden hanggareksa  sudah melihatnya

sebelum lampu di situ dipadamkan. Ngilu tulang tulangnya mengetahui sebilah kulit tipis dari bambu.

Sembilu itu mau rasanya ia rampas. sebab  sadar untuk apa dan siapa dipergunakan. 


     lalu  ia menyesal dengan niat  buruk itu. 

     sesudah  ia melihat apa yang mereka tunggu, muncul pada saat Eyang Wijaya  memperlihatkan

perasaan kecewa sebab  waktu terus berlalu tanpa ada pertanda apa apa. 

     "Lihat!" 

     Eyang Wijaya  berbisik rapat ke telinga Raden hanggareksa . 

     Sesuatu berkelebat di luar jendela kuburan  kaca. 

     Apakah itu Lurah hutan larangan ? 

     Ah. Bukan. 

     Itu adalah seraut wajah samar-samar yang mengintip ke dalam kamar. Wajah pucat sepucat

mayat. Menempel kuat di jendela kuburan , seolah ingin mendobraknya. 

     Bau busuk memasuki kamar tidur. 

     Noni menggeliat. 

     Resah. 

     Dan Raden hanggareksa  semakin gelisah dan panik. 

     Ia biarkankah Noni sengsara dalam tidurnya? 

     Mengapa ia tidak menyerbu saja sekarang. 

     Menyerbu langsung ke jendela kuburan ! 

     Bayangan wajah itu menghilang dari kaca. 

     "Ke...." 

     Raden hanggareksa  mau bertanya, ke mana makhluk itu? 

     namun  mulutnya lekas lekas ditutupi telapak tangan Eyang Wijaya . Raden hanggareksa  tercekat. Bukan

disebab kan nafasnya tersumhat telapak tangan kurus kecil itu. Raden hanggareksa  tercekat, waktu bau busuk

menyerang semakin hebat, mendesak isi perut, mendatangkan mual yang amat sangat. Lalu sesuatu

muncul melalui ventilasi jendela kuburan . Sesuatu yang bentuknya pipih dan lebar. 

     Namun sesudah lolos dari lubang ventilasi bentuk pipih lebar itu kembali pada bentuknya semula. 

     Wajah yang tadi mengintip di jendela kuburan . 

     Wajah pucat. keriput mengerikan, dengan sepasang mata memancarkan titik api melayang

mengitari kamar tidur, tertegun sebentar di depan pintu kamar mandi. 

     Menatap curiga. Lantas menyeringai seram. 

     Raden hanggareksa  merungkut di belakang tubuh Eyang Wijaya . 

     namun  disertai rambutnya yang panjang berkibar-kibar, bayangan itu melesat dengan cepat

menuju tempat tidur. Hinggap di dada Noni yang mulai merengek. Raden hanggareksa  tidak kuasa menahan diri.

Bukannya maju menyerbu ke tempat tidur. Tubuhnya malah lunglai, jatuh terkulai ke lantai sebelum

Eyang Wijaya  sempat menahannya. Raden hanggareksa  terkulai, begitu melihat wajah yang barusan

menyeringai ke arahnya. Biar pucat dan kisut mengeriput. ia dapat mengenalinya samar samar. 


     Betapa tidak. 

     Ia telah mengenal pemilik wajah itu dalam rupa yang lebih halus dan elok. Mengenalnya luar

dalam! 

     Suara berisik di kamar mandi membuat makhluk tanpa tubuh itu bangkit sesaat  dari tempatnya

hinggap, meninggalkan Noni merengek semakin kuat. Terdengar rintihan tajam menusuk. Dari mulut

yang menyeringai itu keluar uap busuk yang membius. 

     Eyang Wijaya  mengumpat. 

     Ia poles hidung dengan irisan bawang putih, lantas melompat keluar. Makhluk itu lebih cepat lagi.

Meringkik liar, makhluk itu melayang ke arah pintu. Irisan bawang putih merintangi jalannya

Bagaikan kilat makhluk itu melayang ke jendela kuburan , darimana tadi ia masuk .namun  sambil berteriak

teriak seperti orang gila saking ketakutan, di luar sana lurah hutan larangan  telah pula menaburkan bawang

putih ke kaca jendela kuburan  dan ventilasi di atasnya . 

     "Hiii...!" 

     Melengking keras suara pilu. Kepala ratu lesbi  tanpa tubuh itu menggelepar-gelepar di lantai,

menggelinding kian ke mari dan dengan cepat terbang berpindah pindah arah untuk menghindari

serbuan tangan Eyang Wijaya  yang memegang sembilu. 

     Suatu saat yang mencekam, kepala itu merapat ke langit langit. Tubuh kurus kecil di bawahnya,

mau tak mau harus melompat-lompat ke atas untuk mencapai sasarannya. Malang, tak kesampaian

juga dan akhirnya Eyang Wijaya  terpeleset dan jatuh terjerembab di lantai. 

     Tiba-tiba ada suara berderak pelan. 

     Dari kamar mandi, setengah sadar setengah mimpi Raden hanggareksa  menyaksikan bagaimana makhluk

terkutuk itu mendorong ke atas. Berusaha memecahkan langit-langit yang terbuat dari teak-wood.

Suara berderak yang semakin keras membuat Eyang Wijaya  juga terdongak, lalu berusaha bangkit

dengan sebelah kaki keseleo. 

     Ia tidak akan sesusah payah itu, kalau Raden hanggareksa  tidak membikin ribut. Ia dapat melontarkan

senjatanya dengan tenang dan hatihati dari kamar mandi bilamana wajah itu masih melekat di dada

Noni. Sekarang, ia terpaksa untung-untungan. Kalau semula ia bermaksud menembus ubun ubun

makhluk terkutuk itu, maka sasarannya kini ditujukan ke bagian bawah kepala makhluk itu. 

     Bagian yang tampak kemerahan memperlihatkan seonggok daging bergelimang darah. bagian itu

saja yang tertinggal sebab  selebihnya sudah menerobos langit-langit. 

     Eyang Wijaya  mengucap Bismillah. 

     Lalu melontarkan sembilunya, dengan gerakan berputar. Hanya untung untungan. namun  sembilu

itu melayang dan berputar dengan gerakan mengiris pada bagian bawah kepala itu. Terdengar suara

jerit kesakitan yang memelas. Lalu suara berdetak yang keras waktu makhluk itu terus melesat ke

atas. menghantam kaso-kaso, mendobrak atap genteng dan lalu  suara itu menghilang semakin


jauh dan jauh lalu tak terdengar lagi sama sekali. 

     Lurah hutan larangan  menghambur masuk. 

     "Kau baik baik saja, Eyang?" 

     "Baik nenekmu. Lihat kakiku!" 

     Eyang Wijaya  memijiti kakinya yang keseleo, membengkak. Tak jauh dari tempat Eyang

Wijaya  duduk terhenyak kesakitan, tergelimpang sembilu miliknya. 

     Sembilu itu berlumur darah. 

     "Bangunkan si Raden hanggareksa  dari kegilaannya!" rungut Eyang Wijaya . 

     "Ayo kita lihat apakah kita berhasil atau gagal." 

     Noni dititipkan pada istri Lurah hutan larangan . 

     Bertiga mereka lalu  naik mobil yang dilarikan Raden hanggareksa  dengan pikiran kacau balau. 

     Aku telah menikmati sedikit kebahagiaan dari gadis itu, ia mengerang, dan apa yang kuberikan

sebagai imbalannya? 

     "Sudah pastikah eyang, dia orangnya?" 

     Bertanya Lurah hutan larangan . 

     "Sepasti bahwa kau ini muridku paling bebal." 

     "Sewot lagi," 

     Memberengut Lurah hutan larangan . 

     "namun  bagaimana sampai eyang mengetahuinya? Dan... tolong jangan bilang, berkat pengalaman

80-an tahun." 

     "Ingat saat  beberapa malam yang lalu aku menaburkan garam mentah ke sekeliling rumah

TribuanaTunggadewi ? saat  itu aku mencium bau tak sedap. Datangnya dari rimbunan pohon rambutan. Aku terus

saja bekerja, namun  mengintip dari celah ketiak. Kulihat sepasang titik api. Cuma elang. atau kalong.

Begitu aku berpikir. Kalong yang sedang menyantap mangsa," 

     Eyang Wijaya  bersungut-sungut menyesali ketololannya. 

     "Habis," 

     Ia melanjutkan 

     "Waktu itu ingatanku hanya terpusat pada makhluk berupa pacat dan lintah. Mahluk yang mundul

dari dalam tanah. Bukan dari langit...." 

     Eyang Wijaya  meringis lagi menahan sakit di kakinya. Bernafas cepat sebentar. menghirup

udara segar yang masuk lewat jendela kuburan , lalu desah nafasnya  kembali normal. "Sudah baikan." 

     Ia pijit  kakinya. 

     "Begitulah. Waktu aku dihempaskan Raden hanggareksa  di depan rumahnya, aku begitu kesakitan. saat 

mencari apa yang dapat mengobati sakitku, kulihat mobil NYI girah ..." 

     "NYI girah ?" 


     Lurah hutan larangan  terperanjat 

     "Kubilang, mobilnya. Dan di mobil itu, muridku yang berotak budek dan bebal. aku lihat sepasang

titik api yang sama...." 

     Mereka tiba di rumah yang dituju. 

     Rumah besar dan kuno itu terang benderang .Penghuni rumah induk tampak tengah

menggedor-gedor pintu masuk pavilyun. Di dalam gelap sekali. Waktu melihat Raden hanggareksa , pemilik rumah

datang menyongsong, 

     "Syukurlah kau muncul, Nak Raden hanggareksa ," katanya. 

     "Barusan tadi kami dengar suara-suara ribut yang menakutkan di pavilyun. namun  Rosida tak juga

mau membuka pintu." 

     "Boleh kudobrak?" 

     "Separah itu benarkah, Nak Raden hanggareksa ?" 

     "Aku akan membayar ganti rugi," kata Raden hanggareksa . 

     Dan dengan kepala dipenuhi kepenasaran, ia hantam pintu sampai tanggal dari engselnya. Suara

menggempur itu sunyi sepi sesaat . Pemilik rumah menyalakan lampu depan pavilyun. Memanggil: 

     "Nak ida?" . 

     Tetap sunyi sepi. 

     Lampu dihidupkan lagi. Kali ini, di dalam kamar tidur gadis itu. Di ranjang, hanya ada bantal dan

guling terbungkus selimut. lalu , genangan darah merembes di lantai, membasahi ujung sprei.

Pucat dan gemetar, pemilik rumah menyingkap sprei itu. 

     Beralas sehelai tikar, Rosida tampak berbaring di kolong ranjang. Lebih banyak darah tergenang.

Mengalir keluar dari leher Rosida yang menganga. Wajahnya yang muda dan elok rupawan, dipenuhi

goresan luka. Tampak serpihan teak-wood terhunjam pada pipi, dan bubuk genteng melekat di untaian

rambutnya. 

     

     

     

     

     NYI girah  terbelalak. 

     Blouse dan kutangnya terasa hangat, basah kuyup. Noni kecil merem-melek di pelukannya.

lantas, seraya membuka mata lebar lebar menatap wajah NYI girah , Noni kecil tersenyum puas. Dengan

suara bocahnya, ia bertanya: 

     "Aa... gggiii...'nte?" 

     'Apa dia bilang?" 


     NYI girah  berpaling pada Raden hanggareksa  yang sedang asyik mencorat coret di sehelai kertas. Menyusun

daftar undangan. 

     "Dia bilang," sahut Raden hanggareksa  tanpa menoleh. 

     "Apa kau mau lagi?" 

     "Dikencingi?" 

     Raden hanggareksa  berpaling kaget. 

     "Astaga," katanya dengan nada menyesali. "Dia memipisimu? Di mana?" 

     "Ini...." NYI girah  memperlihatkan dadanya. 

     "Oh. Oh. Oh. Kasihan. Mari kubuka." 

     NYI girah  mengulurkan Noni kecil ke depan. namun  Raden hanggareksa  melampauinya dengan kalem. Tangannya

terus terjulur. Ke tempat yang basah. 

     NYI girah  terpekik. *** 

     Dan dari kamar kerjanya, Hakim mpu nalanda  mengeluh: 

     "Ada apa lagi, NYI girah ?" 

     "Ada tangan gentayangan. Papa-' 

     "Bilang pada yang empunya tangan,' 

     Terdengar suara Hakim mpu nalanda  mengancam: 

     "Dia harus tunggu sampai bulan April. Atau. ia akan kulemparkan kembali ke dalam bui!" 

     Dan sekarang baru hari pertama Februari. 

     Dingin lagi. 

     "Mertua sadis!" 

     Raden hanggareksa  memberengut. 

     Dan terpaksa harus menunggu. 

     April. 

     Ah. Lama benar! 

     Mana hujan terus berderai-derai di luar rumah. Berdesah lirih. Meniupkan bisikan halus dari alam

gaib. 

     lalu . 

     Sesuatu tampak menggeliat di rerumputan yang basah. 

     Seekor lintah.