Tampilkan postingan dengan label kedatangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kedatangan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Desember 2022

kedatangan


aku tidak habis mengerti mengapa aku 
sampai berada dalam posisi yang demikian terjepit. 
Tibatiba saja aku sudah  melayanglayang di udara. 
Awan kelabu bergumpalgumpal mengepung diriku. Langit kelam. Tidak ada pesawat. Tidak ada 
prachute yang terikat di kedua pundak. Aku ter
umbangambing kian kemari. Ringan, seperti kapas. namun  udara hampa tanpa angin dengan kejam menghempaskan tubuhku jatuh kian ke bawah, kepermukaan bumi yang tampak berlubang
lubang. Tidak ada laut untuk terjun. Tidak ada 
lapangan untuk mendarat. Dengan mata terbelalak, 
aku hanya bisa menyadari kalau  buah jurang 
terjal menganga menanti tubuhku. “Ya tuhan !” do'aku dengan mata terpejam dan jantung yang menciut ngeri. “Tolonglah hambaMu yang malang ini!” Dan … tibatiba aku pun terhembus. 
Tiada rasa sakit sama sekali. Hanya pegal
pegal membuat sekujur tubuhku ngilu dan kebas. 
Tubuhku masih utuh. Tidak hancur berkeping
keping. Tidak berlumur darah merah, melainkan 
basah oleh keringat dingin yang memancar keluar 
dari seluruh poripori kulit. Ta'jub, mata kubuka dengan perasaan bimbang. Aku terlentang  bukan di atas batubatu cadas yang membatasi ketiga jurangjurang menganga itu. Tubuhku yang lesu dan lelah, terbaring diam di atas tempat tidur lebar, dalam ruangan kamar yang samarsamar diterangi oleh sebuah lampu violet bervoltase kecil dekat toilet di pojok. 
“Alhamdulillah!” aku mengucap puji dan 
syukur Sesudah  sadar dari impian buruk yang 
mencemaskanj itu. Selintas terbayang apa yang 
kulihat tadi siang di lapangan sempit Diponegoro, 
hanya beberapa belas meter di depan Gedung Sate. 
Sembilan orang calon mahasiswa Angkatan Udara 
sedang melakukan demonstrasi terjun disaksikan 
ribuan mata penonton. Penerjun kesepuluh, sang 
instruktur, baru membuka prachute hanya kirakira 
 meter sebelum mencapai lapangan 
berumput sehingga mengundang jerit dan nafas 
tertahan semua penonton. Seseorang 
mencengkeram lenganku kuat sekali waktu itu. 
Meskipun sang instruktur selamat dan berjalan 
tenangtenang diiringi tepuk tangan yang riuh 
rendah ke arah punggung, namun desis halus di 
sampingku masih diliputi rasa takut: 
“chucky  terlalu! Bersalto di udara, okeylah. 
namun  baru membuka parasut  Sesudah  hampir...,”  ia gelenggeleng kepala, sehingga rambutnya yang panjang bergerai ditiup angin. “Sudah berapa kali kubilang agar ia selalu  ingat pada anaknya yang sudah setengah losin. Dasar lakilaki, keluar dari rumah sudah tak perduli anak isteri. Hem!” 
Aku tersenyum. Menoleh ke samping. Kosong. Sprei dingin waktu kuraba. Dahiku mengernyit. sambil   menghela nafas, aku meluncur turun dari tempat tidur. Letak piama kubetulkan. Lalu berjalan ke pintu. Ku buka pelanpelan. Dan aku melihatnya. 
Anggun seperti patung. martini  duduk di atas sofa. 
Membelakangi kamar tidur darimana aku lalu  
berjingkatjingkat keluar. martini  tidak menoleh. 
Tubuhnya tidak bergerakgerak sama sekali. Kukira 
ia tidur dalam posisi duduk sedemikian rupa. sambil  gelenggeleng kepala, pundaknya hampir kutepuk.  namun  tidak jadi. Aku justru tertegun sendiri melihat bagaimana wajah martini  terpaut lurus ke layar  televisi, sebentarsebentar hilang, ditambah  suara keresakkeresek. Jam antik di tembok menunjuk  angka dua belas. Tepat. Jadi siaran sudah  berakhir semenjak hampir satu jam yang lalu. Hatihati, aku bergerak ke arah televisi. 
lalu  memutar stop kontak. Mati. Hatihati pula, aku memutar tubuh. Menghadap martini  yang masih duduk mematung di atas sofa. Wajahnya pucat. 
Dan matanya berkacakaca. Aku bersimpuh dengan hati yang luluh di depan sofa, mengelus lututnya. 
“martini  ... sayangku,” aku berbisik. 
Mata itu terpejam. Dan bibir yang indah itu, 
merapat tergigit. Cepat tubuhnya kupeluk. Wajah 
kubenamkan di dadanya. Gelembung payudara 
yang penuh itu terguncangguncang keras. 
lalu  telingaku menangkap suara isak tangis. 
Tersedusedu. la balas memelukku. Erat. Bagai tak 
akan ia lepaskan biar apapun jua yang akan terjadi. 
Terharu, aku berbisik: 
...” sudah waktunya tidur, sayangku.”  la menggeleng. “Aku tak bisa. Aku tak bisa. fredy krueger ku!” 
“namun  martini  ...” 
“O, fredy krueger ku terkasih!” kedua telapak 
tangannya yang hangat, menekap wajahku, 
mengangkatnya sedikit sehingga aku menengadah . Di balik kebeningan air yang mengabuti matanya, 
tampak ketakutan yang teramat sangat. “Kau 
menyukai aku, bukan? fredy krueger , kau masih tetap menyukai aku, bukan?” 
Kucoba tersenyum. jawab ku: 
“Suka? Justru aku teramat mencintaimu!” 
“Jangan! Jangan ucapkan katakata cinta. 
Perkataan itu terlalu agung. Terlalu indah. Terlalu 
suci. Dan orang tidak bisa selamanya bersikap 
agung, berhati dan berpikiran suci. Katakanlah, 
fredy krueger . Kau menyukai aku seperti aku 
menyukaimu.” 
“Aku menyukai engkau, martini ku sayang. 
Seperti kau menyukai diriku.” 
“Dan ... dan kau akan pergi besok!” 
“Ya,” aku menelan ludah. “Besok, aku akan pergi.” 
...” meninggalkan aku, fredy krueger . Meninggalkanku!” 
“Aku toh segera akan kembali, sayangku” 
“Aku tahu. Aku tahu,” ia memelukku semakin 
rapat, sehingga wajah terbenam rapat di dadanya, 
dan sejenak membuatku sesak nafas. “Aku tahu kau  akan kembali, suamiku, kekasihku, pujaanku. Aku tahu itu. namun  aku juga tahu, bila nanti kau 
kembali, kau bukanlah lagi fredy krueger  yang besok kulepas pergi ...!”   “martini , kau ...” 
“Naluriku mengatakannya, fredy krueger !” 
“Naluri, Bah. wanita lesbian  terlalu berpegang 
pada naluri, bukan pada akal sehatnya,” aku bangkit  tanpa melepaskan pelukannya. terseok seok  kami berdiri lalu  melangkah berdampingan ke kamar tidur. “Percayalah, martini ku. Bila Aku 
kembali nanti, maka yang kembali itu adalah aku 
yang sekarang. Jangan lagi mengadaada. Larut 
sudah, kasihku. Kau harus tidur...”  Dan Sesudah  berbaring di atas ranjang, aku tertawa kecil. 
“Masih ingat apa yang kita saksikan tadi siang 
di Lapangan Diponegoro, martini ?” ia manggut
manggut. Lesu. “Kau cemas memandang kelakuan kakakmu, chucky . O, martini ku,” aku tersenyum sambil  memandangi wajahnya yang mulai kemerah
merahan kembali. “Aku juga pernah terjun. Tanpa 
parasut . martini . Dan aku ternyata lebih hebat dari instruktur jagoanmu itu!” 
Pelanpelan, bibirnyapun tersenyum katanya, lirih: 
“Masa iya!” 
“Sungguh mati,” dan kutekankan: “Berani 
sumpah!” 
“Oh. Kapan?” 
“Tadi!” 
“Tadi?” 
“Ya. Dalam mimpi!” 
la tertawa tersendatsendat. Tawa yang tidak 
ikhlas, namun bagaimanapun pelukan hangat yang 
ia berikan sambil  tertawa itu, teramat ikhlas, 
teramat menggairahkan, sehingga mau tak mau 
bibirku bergerakgerak liar mencari bibirnya. Waktu 
bertemu, pagutan dua pasang bibir itu seperti 
perpaduan bensin dengan api. Membakar. Panas. 
Meledakledak. Selimut sampai terlontar dari 
tempat tidur. Menggelimpang malang di atas lantai. 
Namun baik aku maupun martini  tidak berminat 
sama sekali untuk memungut nya. sebab , tidak 
saja selimut, piyama di tubuhku dan kimono di 
tubuh martini , di saat saat berikutnya ikut 
melayanglayang untuk lalu  terhampar diam 
di kaki tempat tidur. 
Lukisan kereta kuda yang melekat di tembok 
kamar, seperti hidup tibatiba. roda   kereta 
terlonjaklonjak, dan kudakuda itu lari, berpacu, 
dengan nafas menggebugebu. Demikian cepatnya, 
sehingga tiba di sebuah tikungan kereta itu tidak 
tertahan lagi. Terlontar ke awangawang dengan 
roda   yang masih berputarputar, lemah. Dan 
sang kuda, terhempas di tanah. Terbaring diam, 
dengan nafas yang tersengalsengal. Letih ... 
begitu taxi  yang kami carter meninggalkan pintu gerbang surabaya  di sidoarjo , martini  jatuh tertidur di sampingku. Pada sopir taxi di depan aku nyeletuk dengan suara perlahan: 
“pelan  saja. Bung. Masih banyak waktu” 
Sopir melirik ke kaca spion. Kukira ia mengerti, sebab  perlahanlahan ia mengangguk. Lari mobil ia kurangi, namun tidak terlalu banyak. Meskipun begitu, professinya sebagai seorang sopir 
berpengalaman ternyata tidak mengecewakan, la 
memanfaatkan rem dan versnelling secara halus 
tiap kali berganti gigi, menyiap kendaraan
kendaraan lain di depan kami tanpa tergesagesa 
dan mengambil tikungantikungan tajam sepanjang 
Citatah dengan manis sekali. Tidur martini  yang 
lelap dalam pelukanku, sama sekali tidak terusik 
oleh kendaraan yang toh oleh sopir dikebut juga 
akhirnya. Lewat pasuruan . martini  tampah gelisah dalam tidurnya. Beberapa kali ia seperti mengerang. Halus. lalu  bibirnya menggerimit, mengucapkan 
katakata yang tidak begitu jelas kudengar. Kukira ia 
tengah bermimpi, biarpun udara pagi yang cerah 
bersinap terang membuat sawah di kiri kanan 
berwarna hijaur gemerlapan. Kubiarkan martini  
dalam keadaan serupa itu, sebab  ingat tadi malam 
ia sama sekali tidak bisa tertidur.  Baru Sesudah  tiba di Cipanas, martini  kubangunkan. la menggosokgosok matanya, seperti terheranheran. lalu  menatapku. Tajam. Dan lama. Matanya memandangiku seperti memandang seseorang yang asing dan waktu ia tibatiba memelukku dengar wajah didekapkan ke dadaku, aku menarik nafas panjang. Berat. Dan terharu.Aku menyuruh sopir singgah di Rumah Makan “padang .” 
Kuharap udara pegunungan yang sejuk di antara 
gigitan matahari yang lembut bisa menggugah 
martini  untuk bersikap sedikit gembira.  
namun , nyatanya siasia. la makan tak bernafsu. Aku sendiri, hanya menghabiskan nasi setengah piring, sekerat ayam panggang, sedikit sup panas dan secangkir kopi susu. Biasanya aku makan tiga kali lipat dari jumlah  itu tiap kali kami berkesempatan singgah untuk makan di tempat ini dalam perjalanan pulang pergi surabaya surabaya . Aku masih tetap siraja makan seperti yang sering disindirkan saudarasaudaraku waktu aku masih di gresik , bahkan kukira Sesudah  beberapa tahun aku terbiasa hidup sederhana di surabaya . namun  tidak hari ini! Masuk kembali ke taxi, martini  hanya berdiam diri. Aku tahu apa yang ia pikirkan, dan ingin memprotes bahwa pikirannya terlalu jauh, dan bayangannya hanya yang bukanbukan. namun  
kekakuan yang sangat terasa menggantung bagai 
tabir di antara kami, membuat aku hanya bisa ikut 
berdiam diri, Kualihkan perhatianku pada 
panorama indah di kiri kanan jalan. Suasana alam 
Puncak berlerenglereng hijau di selangseling villa 
dan  bungalowbungalow megah menjepit rumah
rumah penduduk yang miskin dan terlantar. Kabut 
baru saja pergi, dan jalan aspal di depan roda   
mobil tampak hitam legam. Tak ubahnya ular ganas yang tanpa suatu sebab sekonyongkonyong 
terbaring diam, pasrah namun  gelisah. 
“ ... fredy krueger ?” 
“Ngg?” aku terjengah, menoleh ke samping. 
martini  menatap lurus ke depan, namun  aku tahu 
sinar matanya teramat kosong. 
...” aku tertidur barusan.” 
“Heeh. Syukurlah. Tadi malam kau kan tak tidur.” 
“Dan aku bermimpi.” 
“Wah. Itu biasa!” 
“namun  mimpiku, fredy krueger  …” 
“Hanya bungabunga tidur, sayangku,” aku 
cepatcepat mengomentari , melihat kulit wajahnya yang 
berubah kepucatpucatan dan  sinar matanya yang 
ketakutan. “Apakah impianmu tadi malam, cuma 
sekedar bungabunga juga fredy krueger ?” 
“Heeh. sebab  aku masih berada di bawah 
Pengaruh tontonan yang kita saksikan siang 
harinya.” 
“Ya. Ya. Mudahmudahan begitu.” 
”Kenapa rupanya. martini ?” aku jadi berminat. 
“Tadi... tadi juga aku bermimpi.” 
“Terjun?” aku tertawa. “Tanpa parasut ?”  
la tertawa. Malah terbungkam. Lama 
lalu : 
...” aku tidak terjun, namun  seperti kau, aku 
juga melihat jurang. Bukan tiga. Melainkan satu. 
Aku … fredy krueger .” suaranya tersenggap, seperti suara orang yang hampir terbenam dalam air yang dalam, 
“… aku berada di tengahtengah jurang itu, fredy krueger . Sendirian. Kesepian. Dan nun jauh di atas … aku lihat bayangan samarsamar seorang berdiri 
menghadap ke bawah. Melihatiku. Kutajamkan 
pandangan mataku. Dan kulihat, kaulah orang itu. 
Terpaku di bibir jurang. Diam, terpanggang 
matahari. Matahari yang garang, fredy krueger , dan kau kulihat terhuyunghuyung. Kukira kau akan jatuh ... namun  kau justru terhuyung menjauhi jurang itu. Mengertikah kau maknanya, fredy krueger ?” “Aku bukan seorang ahli nujum,” keluhku, agak gugup. 
“Bukan makna mimpi itu, fredy krueger . namun  
makna kau menjauhi jurang itu.” 
“Tidakkah itu tindakan yang tepat?” kucoba 
tersenyum. “Aku terhuyung, namun  tidak jatuh 
jurang, melainkan menjauhi ...” “Artinya, kau menjauhi diriku juga, fredy krueger !  Kau meninggalkan aku sendirian terperangkap 
dalam jurang yang mengerikan itu!” 
Reflex, aku menoleh. Mataku yang gugup, beradu dengan mata  martini  yang hampa. Lama kami saling bertatapan, sampai lalu  aku merasa sesak nafas lantas mengeluh:  
...” kau sudah dikuasai naluri 
kewanita lesbian anmu kembali, martini . Sudah 
berapa kali kubilang, aku hanya pulang untuk 
menjenguk ibu yang sakit payah. O, bukankah 
sudah pernah kuceritakan? Mereka di gresik , 
terlalu memikirkan studi dan keselamatanku 
sampai saat  suatu waktu aku akan menempuh uji 
Sarjana Muda, kuterima surat yang mengatakan 
mereka semua baikbaik dan mereka semua berdoa 
untuk kesuksesanku. Aku sukses, pulang ke gresik  
dengan kebahagiaan yang meluap, dan 
menemukan ayahku yang sudah terbaring di liang 
lahat. la meninggal satu hari sebelum aku ujian, dan  sudah  menderita sakit payah sewaktu mereka 
menulis surat yang mengatakan mereka semua 
sehat wal'afiat...,” aku menarik nafas berulang
ulang. Lelah, dan sakit. Lalu. “Beberapa hari yang 
lalu kita terima surat mengatakan ibu sakit payah. 
Mereka tak lagi berdusta, dan mereka pasti tengah 
menantiku. Kuharap, ibu sembuh dan baikbaik saja 
Sesudah  aku nanti di gresik , sehingga aku bisa 
kembali keharibaanmu. Sederhana bukan, 
martini ?” la menggelengkan kepala. 
“Tidak,” bisiknya, tajam. “Tak sedikit kudengar kisahkisah usang yang sama. Seorang 
anak dipanggil pulang dengan dalih orangtua sakit. 
Tiba di kampung, sang orangtua ternyata segar 
bugar. namun , seorang calon isteri sudah  siap sedia menanti si anak pulang. fredy krueger !” ia mencengkeram lenganku kuatkuat. “Akan kawinkah kau di gresik , fredy krueger ? Akan menikahkah kau di sana?” “martini !” protesku. Keras. 
Sopir Taxi menoleh ke belakang. Sekilas. 
namun  lalu  tak acuh. Kuturunkan Volume suaraku:
“Dengarkan, martini . Ibu sakit payah. Aku 
harus mendampinginya, dan kau sudah  setuju itu 
kulakukan. Jadi, diamlah sekarang. Demi Tuhan, 
buang pikiran buruk jauhjauh dari kepalamu. 
Pikirkanlah hanya tentang dirimu dan diriku saja. 
Do'akanlah ibuku cepat sembuh, sehingga aku 
segera pulang. Itu saja!” 
“Aku tak tahu, apakah aku mampu berbuat 
begitu. namun  fredy krueger , setidaktidaknya jawab lah pertanyaanku yang ini secara jujur: akankah kau tetap setia?” 
“Apaan ini?” rungutku. Marah. 
“Maafkan aku sayangku,” ujarnya, lirih sambil  
merebahkan wajah di lenganku. “Aku percaya kau 
tetap setia dan akan kembali pada wanita lesbian mu yang 
malang ini. Maafkan aku fredy krueger . Maafkan aku, kekasih ...!” 
Air mata martini  menitik waktu taxi 
meluncur memasuki pelataran airport Kemayoran. 
Udara surabaya  yang panas gersang yang membuat 
air mata itu bercampur dengan keringat yang 
membercik di poripori kulit wajah martini  yang 
pucat, la berjalan seperti mengambang waktu 
memasuki airport. Lengannya memagut lenganku 
tanpa lepaslepas sementara aku melapor kebagian 
cheking tiket penumpang, mengurus bawaanku 
yang cuma sebuah koper kecil berisi pakaian, 
menerima carik bagasi lalu  berjalan ke ruang 
tunggu. Di pintu, kami bertengkar sedikit dengan 
penjaga sebab  selain penumpang tidak boleh 
masuk ke dalam. Sesudah  menyelipkan selembar 
uang kertas lima ratusan di tangan penjaga itu 
waktu kami berjabatan, barulah martini  
diperbolehkan ikut masuk ke dalam. 
Kami tak berkatakata sepatah pun juga 
selama penungguan yang lima menit lebih sebelum 
penumpang dipersilahkan masuk ke pesawat yang 
sudah siap untuk takeoff. Baru saat  kami berdua 
berada di pinggir landasan, martini  sekonyong
konyong memelukku sambil  menangis. Riuh 
rendahnya mesin pesawat yang naik turun dan  
menyemutnya manusia di sekeliling kami menelan 
suara isak tangis martini  yang tersendatsendat. 
Aku setengah berteriak di telinganya saat  kami 
berjabat tangan dibatasi oleh pagar: 
“Jaga dirimu baikbaik, sayangku”  
“Cepat kembali, kekasih,” balasnya.  
“Aku akan ...” 
“Pergilah! Pergilah! Pergilah ...!” lantas ia 
membalikkan tubuh membelakangiku sambil  
menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. 
Beberapa saat aku termangumangu, sampai 
seorang crew menjentik bahuku sambil  menunjuk 
ke arah tangga pesawat yang sedang dinaiki 
penumpang terakhir sebelum diriku. Seorang 
stewardess menatap ke pinggir landasan, dan 
dengan perasaan terpaksa aku memutar tubuh, 
lalu  bergegas menuju pesawat. Diundak 
tangga terakhir, aku masih sempat menoleh dan 
melihat martini  tengah berdiri sambil  berpegangan 
pada pagar dengan wajah yang pucat memandang 
ke arahku. Aku ingin melambai, namun  tanganku 
bagai lumpuh. Dan, martini  juga tidak melambaikan tangan. 
“Silahkan, saudara ...,” kata stewardess. 
Aku cepat masuk, Sesudah  mana tangga 
dinaikkan. Kebetulan nomor kursi yang lalu  
kududuki berada di samping jendela kaca kecil, 
darimana aku bisa memandang ke arah ruang 
tunggu. Aku tidak tertarik pada seorang pramugari 
yang membacakan pengumuman lewat pengeras 
suara yang halus tentang tata tertib dan 
keteranganketerangan tentang penggunaan 
pelampung udara bila pesawat dalam keadaan 
darurat. Perhatianku tercurah sepenuhnya ke 
manusia yang menyemut di pinggir landasan, ke 
arah martini  yang berdiri paling pinggir dengan 
tangan masih berpegangan pada bibir pagar, dan 
aku merasa pasti dengan wajah pucat basah oleh air  mata. Baru saat  lampu di pinggir pintu cockpit 
menyala merah dan penumpangpenumpang 
dipersilahkan mengenakan tali pinggang kursi, aku 
menarik nafas lalu  dengan perlahanlahan 
memerintah itu. Tanganku gemetar, dan jari 
jemariku seperti kaku rasanya. Uap dingin bagai 
menyelinap masuk ke ulu hati waktu pesawat mulai 
takeoff.  Sekali lagi aku mengintai lewat jendela kaca. Di sana, kulihat martini , melambai. Ya, ia 
melambai! 
Aku membalas lambaian itu, masih dengan 
tangan gemetar, menahan perasaan sedih yang 
menggugah hati dengan tibatiba. Aku tidak tahu 
apakah ia juga melihat lambaianku, namun  aku 
yakin, mata hatinya, cintanya dan jiwanya melihat 
diriku sepenuhnya. martini  tampak kecil di antara 
manusiamanusia yang menyemut, dan semakin 
kecil lenyap sama sekali Sesudah  pesawat 
mengapung tinggi dii udara. 
Namun di antara awan putih perak yang tak 
lama lalu  seperti menggantung di sayap 
pesawat, titiktitik halus dari balik awan itu seperti 
muncul menerawangi langit yang biru jernih. Titik
titik yang kian membesar, di antara titiktitik lain 
yang menyemut dan juga kian membesar. Di antara 
rasa kehilangan sewaktu berpisah dengan martini , 
terselip sebuah bayangan di antara banyak 
bayanganbayangan lain yang bermunculan seperti 
tak mau ketinggalan. Orangorang memang tidak 
menyemut, namun  jumlahnya cukup banyak juga 
waktu berkumpul di depan fakultas. Di sanasini 
terdengar teriakanteriakan memerintah, suara
suara mencemooh, tertawa yang berkakakan, suit 
menyuit dan bisik yang riuh rendah. 
Gerombolan itu lalu  terlihat berjalan di 
jalan setapak, di tengahtengah sawah, 
berpancaran di kakikaki bukit, beriringiringan 
mendaki. Langit tengah bersenang hati, dan 
matahari tengah bergembira ria. Banyak rekan
rekan yang menyanyinyanyi selama cjessica s country 
yang diadakan oleh fakultas itu berjalan tertib, 
lantas lama kelamaan mulai tidak teratur. Di 
tengahtengah sebuah hutan, gerombolan itu 
berpecahpecah dalam kelompokkelompok yang 
susulmenyusul. Kelompokkelompok itu semakin 
jauh semakin kecil semakin berpencarpencar. 
Teriakan marah panitia lewat speaker siasia saja. 
lalu  lenyap ditelan kesepian hutan yang 
mencengkeram bukit landai yang tengah didaki. 
Terengahengah, aku berjalan menyusul 
seorang wanita lesbian  yang berlarilari jauh di depan. Sekali 
ia terbanting jatuh ke atas tanah berumput, 
terpekik halus, bangkit kembali dan aku sudah  
berhasil menyusulnya. Namun begitu aku coba 
menjangkau, ia cepatcepat menghindar lalu  
lari lagi. “martini !” teriakku parau. “Kita makin jauh 
meninggalkan kawankawan lain.” 
“Biar!” sahutnya. Lantas menghilang di 
sebuah kelokan yang ditumbuhi semak belukar. 
“Apakah memang dari sini jalannya ke 
Cisarua,” tanyaku sambil  mata mencaricari. 
Dari dalam semak belukar, terdengar sahutan: 
“Entahlah. Aku tak tahu!” 
“Nanti kita tersesat, martini .” 
“Biarin!” 
“martini , aku sudah capek. Marilah berhenti 
dahulu  barang sejenak dan ...,” dan aku tidak melihat 
jalan menurun di bawah lindungan semak. Sesaat  
tubuhku terguIingguIing, lalu  terhempas di 
dekat sebatang pohon tumbang yang sudah  mulai 
lapuk. Mataku berkunangkunang sesaat. 
Lalu aku melihatnya. martini , terbaring diam 
di sampingku, dengan mulut yang melepas tawa 
renyai. “Seingatku,” aku berujar dengan suara 
terputusputus, menatap kilau matahari yang 
mengintip dari sela rimbunan dedaunan. Pohon
pohon yang menjulang tinggi, bagai membentuk 
kerucut dengan lingkaram lembut di tengah
tengahnya. Ada burung bernyai dan beberapa ekor 
tupai berloncatan dari dahan ki dahan. Seekor kera 
menyeringai ke arah kami, lalu  lari waktu 
kulempar dengan sebuah batu kecil. 
“Untung tak kena. Kalau tidak...” sungut 
martini . 
“Kalau tidak, mengapa rupanya?” 
“Bisa celaka.” 
“Eh, kok?” 
“Kau dianggap melempar nenek moyangmu 
sendiri!” ia tertawa. 
“Apa? nenek moyangku kau bilang kera?” 
“Darwin yang bilang!” 
“Hih, kau!” aku mencubitnya, la mengelak 
sedikit, sehingga arah tanganku melenceng ke arah 
dadanya. Aku terjengah. martini  terjengah. Tangan 
tak juga kutarik dari tempatnya hinggap, lembut, 
hangat dan bergetar. martini  tidak pula 
menolakkannya. Matanya memandang sayu ke 
mataku. Bibirnya setengah terbuka. Basah. 
Menantang. saat  aku menciumnya, tubuh 
martini  terguncangguncang, la memagut bibirku 
dengan keras, menggigitnya. namun  tiada rasa sakit. 
Tiada, sama sekali. Yang ada ham lah… 
Seekor cerpelai, rupanya jatuh dari ranting 
sebua pohon, lalu  berlari terburuburu, 
menyelinap antara semak belukar. Matahari sudah  
condong ke barat. Langit masih membiru, namun  
dari kerucut puncak pohonpohon berdaun rimbun 
seperti lentera yang sudah kehabisan minyak. 
Bersinar lemah, kelam dan gelepar beberapa ekor 
burung berpindah tempat terdengar ribut waktu 
martini  bangkit sambil  mengenakan pakaiannya 
kembali. saat  lalu  ia duduk bersimpuh di 
hadapanku, bibirnya tersenyum. Manis sekali. 
“Aku kira tadinya kau tak lagi seorang wanita lesbian ,” 
bisikku, bergetar. 
“Dan kau, menurutku, bukan lagi seorang 
perjaka!” balasnya, bergetar. 
“Kau ... kau tidak menyesal. Bahkan kau ... 
kau tidak menangis!” 
“Menangis?” ia tersenyum. Lembut. “Apa 
yang harus kutangisi? Suatu saat, seorang 
wanita lesbian  toh akan kehilangan kewanita lesbian annya. Aku 
baru menangis bila kau menjawab  tidak atas 
pertanyaanku ini...,” ia genggam kedua belah 
pipiku, lalu: 
“Kau suka padaku, fredy krueger ?” 
Aku mengangguk. “Itu sudah cukup,” katanya, menarikku berdiri. “Marilah kita pulang!”  
“Pulang? Dan kawankawan?” 
“Kalau mau pilih mereka, pergilah. Kalau mau 
pilih aku…” “Aku memilih martini . Dan itulah 
permulaannya!”  “tali pinggangnya, saudara?”  
Aku tersentak dari lamunan yang membisu 
itu. Seorang pramugari berdiri di sebelah tempat 
dudukku, setengah membungkuk sambil  tersenyum manis. “Ya?” 
“Tali pinggangnya. Kita akan segera turun...!” 
ulangnya tanpa melepaskan senyuman manis 
dibibir.  
Tidak ada yang menyambutku di airport. 
Memang aku pulang tanpa memberitahu keluarga. 
sebab  begitu surat mereka kuterima, begitu aku 
membooking tiket pesawat. Kalau kukirim surat, 
pastilah kehadiranku akan mendahului tibanya 
surat itu di alamat yang dituju. Orang setengah baya 
yang gagah tadi mengajakku ikut naik Merzedez 
yang menantinya di luar airport. Aku menolak 
dengan halus. Tak ingin berhutang budi pada orang 
yang tidak kukenali meskipun sekarang aku berada 
di kampung halamanku sendiri. Aku lalu  
mencarter sebuah Foat  yang sudah agak 
rongsokan. 
“Jalan Pimpinan,” kataku pada sopir. “Cepat 
sedikit!” lanjutku, ingat pengalaman dua tahun 
yang lampau waktu aku pulang untuk pertama kali 
ke kota ini. Waktu itu, aku tiba di rumah yang suram 
oleb suasana berkabung dan ribut oleh isak tangis. 
Kata mereka, ayah masih menanyakan aku sesaat 
sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kini, aku 
tidak ingin ibu menanyakan diriku bahkan aku sama  sekali tidak berharap ibu dalam keadaan sakit payah 
sehingga mereka begitu merasa penting untuk 
menyuruhku pulang. Kerinduan pada keluarga 
terasa menyentuhnyentuh di ulu hati, menekan 
dalam perasaan waswas kalau aku sampai 
mengalami hal buruk yang sama sampai dua kali. 
Dan, ternyata ibuku sehat wal'afiat. Tidak 
kurangi suatu apa! 
la duduk di kursi malas, agak gemetar Sesudah  
mengetahui siapa yang bersimpuh lalu  
mencium punggung tangannya yang keriputan dan 
tergeletak lemah di atas kedua lututnya yang kurus, 
la tertawa kecil matanya yang sudah agak rabun 
berusaha meneliti wajahku yang lalu  ia 
pertegas denganmeraba wajahku mempergunakan 
tangantangannya yang tinggal kulit berbalut 
tulang. Tangantangan itu gemetar dan suara yang 
keluar dari mulutnya juga gemetar: 
“… kau tak bilangbilang mau pulang,” 
katanya terharu. 
Rumah yang sepi itu mendadak ramai pada 
sore harinya. Semua anak dan cucucucu ibunda 
berkumpul Sesudah  saling hubung menghubungi. 
Kedua orang saudarasaudaraku, kakak wanita lesbian  
dan kakak laki-laki , bergantian memeluk sambil  
tertawa riang gembira. Tidak ada suasana duka 
yang kubayangkan, tidak ada kekhawatiran yang 
kucemaskan. 
“Kalian membohongiku,” aku agak menuntut 
pada tiger . “Dalam suratmu, abang berkata kalau 
ibu sakit.” 
nyi girah  kakak wanita lesbian ku, mengomentari : 
“Memang ibu sakitsakitan belakangan ini. 
Tak ada salahnya kita kumpulkumpul sebelum 
terjadi apa yang tidak kita samasama kehendaki, 
bukan?” “Ah, kalian berdua! Rupanya ingin ibu cepat
cepat mati ya?” 
“Husy, apa yang kau percakapkan?” bentak tiger . 
Dan suasana riang gembira itu, atas 
kehendak Tuhan, malam harinya berubah jadi 
suasana kaku yang mencekam. Ruang tengah sepi 
menyentak. Kemanakankemanakanku sudah pada 
tidur. Yang tinggal hanya aku, ibu yang duduk di 
kursi malas yang sama seperti tadi siang, tiger  
bedan  istrinya dan nyi girah  bersama suaminya. 
Sesudah  berbasabasi ke sana kemari, hampir
hampir tanpa tujuan sehingga membuat aku curiga, 
akhirnya ibu berkata dengan suara memalas: 
“Kami tahu waktumu di kota ini tak banyak,” 
katanya, disusul oleh suara batukbatuk yang 
kering. Sesudah  batuknya reda, ia lalu  
melanjutkan:  
“itulah sebabnya, kuminta kalian semua 
berkumpul malam ini. Tadinya kita tak yakin fredy krueger  akan pulang. namun  ibu sudah bilang, ia anak baik. 
Si bungsu yang tahu menjaga hati orang tua ... 
sekarang ia sudah  berada di tengahtengah kita. 
Sudah waktunya kita beritahu pada si bungsu, la kita panggil pulang, sebab  keluarga calon isterinya 
sudah tak sabar menunggu!” 
Selama beberapa detik, suara yang meluncur 
deras dari selasela bibir ibu, tak ubahnya ribuan 
tawon yang keluar berbondongbondong dari 
dalam sarangnya. Terbang di udara dengan suara 
berdengungdengung. Lama berlalu sampai suara 
berdengung itu menghilang dan aku tersadar 
dengan rasa sakit yang ditinggalkan oleh sengatan 
tawon yang tidak mengenal belas kasihan itu. 
nyi girah  mendehem halus. Suaminya menarik 
nafas. tiger  memandang tajam ke mataku. Dan 
isterinya mengalihkan muka ke arah lain. Kawin! 
Tersirap darah di sekujur tubuhku. Kawin! 
Dan martini  di surabaya ! martini ku sayang! 
“... bagaimana?” ibu bertanya tibatiba 
memecah kesepian yang menganga dalam ruangan itu. Ruang tengah yang tadinya sejuk dan kini terasa gersang menyesakkan. Aku terdiam. Yang lainlain terdiam. Ruang tengah ikut terdiam. 
Ibu terbatukbatuk. Kering, la urut dadanya. 
Perlahan. Dan hatiku terenyuh. tiger  di sampingku 
mengeluh. “jawab lah!” bisiknya, parau. “fredy krueger ?” desak ibu. Aku memandang tiger . Matanya mengutara kan permintaan yang sama. Aku alihkan pandanganku ke wajah kak nyi girah , suaminya, dan 
isteri tiger  yang juga kini tengah memperhatikan 
wajahku, menanti kata apa yang terucap dari 
mulutku. 
“namun ...” 
Suaraku yang tersendat hampirhampir tak 
terdengar itu, dihentikan oleh sodokan yang keras 
dari tangan tiger  di punggungku. 
“Jangan berkata tidak,” bisiknya, tajam. 
“namun , bang…” 
“Tak ada namun namun !” 
“Bang tiger !” 
Suara ibu yang serak bergaung di antara kami: 
“Apa yang kalian pertengkarkan, anakanakku?” 
nyi girah  membasahi bibirnya yang pucat, lalu 
berkata dengan suara yang diramahramahkan: 
“fredy krueger  masih malumalu, ibu” 
Ibu tertawa. Halus. Matanya yang rabun, 
bersinarsinar. Sinar yang tinggal sisasisa. Seakan 
ingin menerangi dunianya yang semenjak ditinggal 
mati oleh ayah sudah  berubah kelam dan gelap 
gulita. 
Dengan rasa sayang seorang ibu, ia berujar: 
“Ah, si bungsu yang nakal. Masa sudah 
seumur begini…” 
“Bukan itu soalnya, bu,” cepat aku mengomentari .  
“Ya?” 
“Bukan…” 
“fredy krueger !” tiger  menyodok punggungku lagi. 
“Jangan berbelitbelit...,” dan waktu ia lihat apa 
yang tersirat dibenakku, cepatcepat ia lanjutkan: 
“Dan jangan berkata tidak!” 
“Ini paksaan!” aku menjerit, dalam hati tapi. 
Dan di mulut: “Bu berilah anakmu ini waktu untuk 
berpikir.” 
Ibu manggutmanggut. 
“sebetulnya  itu tak perlu, anakku. namun  ... 
ah, aku tahu perasaan hatimu. Ayahmu juga. dahulu  
begitu waktu ditanya oleh kakek kalian. Ayahmu 
minta waktu, padahal ia sudah tak sabar untuk 
menjawab  menyatakan rasa senang hatinya, la 
pemalu seperti kau. Baiklah, fredy krueger . Asal kau rasa 
cukupi waktumu. Bagaimana. Boleh aku tahu kapan 
kau nyatakan persetujuanmu?” 
Nada pertanyaan ibu begitu pasti. Persetujuan yang 
ia harapkan begitu ia percayai . 
Aku bagai terlandai, terkapar diamuk badai. 
Sebelum aku menjawab , ibu sudah memutuskan: 
“Sudahlah. Besok malam kita berkumpul
kumpul lagi, dan ibu harap kita sudah bisa 
memberikan jawab an pada keluarga calon istrimu, 
kapan waktunya yang tepat pernikahan kita 
langsungkan. Ah, kudengar kau mengeluh, fredy krueger . 
Apa yang kau keluhkan? Menyesal mengulur waktu, 
padahal kau sudah setuju?” ibu tersenyumsenyum. 
“Sabar, anakku. Sabar... kata sudah diucapkan, 
jangan ditarik kembali. Lagipula, kau belum lihat 
bagaimana keadaan anna michele  sekarang... oh! la 
bukan lagi anak kecil seperti waktu kau tinggalkan, 
la sudah berubah benar, nak. Baik perilakunya, 
cantik rupanya dan ...”  Dan aku terhuyunghuyung keluar dari ruangan yang semakin pengap itu! 
Di terras, aku duduk di sebuah kursi rotan 
yang sudah retasretas. Dadaku bergemuruh. 
Bergoncang. Dahsyat. Dan belakang kepalaku 
berdenyutdenyut. Menyakitkan. Aku men. 
Langit kelabu. Dari bulan tampak teramat pucat, 
mengintai dari selasela gumpalan awan yang 
berarak seperti sebaris pasukan yang sudah siap 
untuk bertempur. Bulan mundur teratur, dan aku 
tenggelam dalam kegelapan yang mengerikan, tak 
kuasa untuk melarikan diri. Aku duduk di situ, tak 
ubahnya seorang pengemis hina yang terlunta
lunta, tiada yang memandang walau sebelah mata 
pun jua. Udara malam kota gresik  yang gersang, 
menyesakkan nafasku. Keringat jatuh membanjir. 
Tubuhku tenggelam dalam genangan keringat itu, 
tersobeksobek jadi gumpalangumpalan daging 
yang siap untuk dijagal. 
“martini , martini ku yang malang. martini ku 
sayang...,” tak sabar, aku merintih sambil  menekap 
dada yang menyempit. Luka.  
Seorang menepuk pundakku.  
Aku menoleh. Kaget. 
Seperti langit, wajah tiger  yang tautau sudah  
berdiri di sampingku, tampak kelabu. Juga wajah 
nyi girah  yang ikut mendampinginya. 
“Jadi itulah sebabnya,” kata  tiger  sambil  
duduk di bibir terras. la menatap ke pekarangan 
yang ditumbuhi bungabunga yang terawat apik di 
antara kerikilkerikil yang tersusun rapih. “Apakah 
martini  nama wanita lesbian  yang kau tinggalkan di  surabaya ?” 
Aku terpekur. 
Menyahut pelan, dengan suara yang runtuh: “Ya” 
“la tentunya wanita lesbian  yang beruntung.”  
Terdorong oleh nada sympathi yang 
tersembunyi dibalik katakatanya, semangatku 
yang sempat hilang perlahanlahan kembali 
menyelinap dalam dada. 
“Akulah sebetulnya  yang beruntung, bang. 
martini  bukan saja seorang wanita lesbian  yang baik. la juga 
seorang yang sangat pengasih, dilimpahi rasa 
sayang yang seperti tak akan pernah habis, la tak 
pernah berpikir panjang untuk berkorban bila saja 
aku menghendaki sesuatu. Dan ia ...”  
“fredy krueger ...”  
“Ya, Bang?” 
“Kau lihat pekarangan ini? Rapih, bukan?” 
Aku mengangguk. 
“Kau sudah lihat suasana perabotan di 
rumah. Manis. Dapur selalu  tampak bersih. Tak 
setitik debu pun boleh menjejakkan kaki di rumah 
kita. Tidak secerah warna muram boleh bertingkah 
di dekat ibu. Kau pikir, siapa yang melakukan semua 
itu, fredy krueger ? Siapa kau kira?” 
Aku angkat bahu. Acuh tak acuh. 
tiger  tertawa kecut. Katanya: 
“anna michele , fredy krueger . Anna lah satusatunya 
orang yang masih memperhatikan rumah ini seperti 
ia memperhatikan rumahnya sendiri. Anna jualah 
orangnya yang mengurus ibu kita, seperti ia 
mengurus ibunya sendiri. Adakah kau kira wanita lesbian  lain 
yang lebih baik, lebih pengasih dan lebih sudi 
berkorban selain dari pada anna michele ?” 
Mengertilah aku tujuan katakatanya. 
Maklumlah aku, sympathinya hanya purapura. 
Darahku sesaat  naik kepala. Gemetar, aku 
berkata: 
“Kalian seperti menuntutku. Memojokkan 
aku ke sudut, seorang diri. Kalian tonjoltonjolkan 
perilaku Anna. namun  sadarkah kalian, bahwa tugas
tugas itu sebaiknya kalian sendirilah yang 
melakukan? Kalian memperbabu Anna, kalian 
memperbudaknya. Dan kini, kalian mau 
menjejalkan budak yang kalian perbabu itu ke 
dalam diriku. Aku jadi berpikir. Saudarasaudaraku 
yang penuh kasih sayangkah kalian ini? Atau hanya 
sekedar robotrobot yang tidak tahu harga dirinya 
sendiri sebab  terlalu memikirkan untuk menekan 
harga diri orang lain, eh?” 
WAJAH tiger  jadi merah dadu. nyi girah  
tersadar ke tembok, dengan wajah yang pucat dan 
mulut ternganga. 
Aku tertawa. Pahit. 
“Bagus benar,” rungutku. Marah. “Bagus 
benar perbuatan kalian. Selama ini aku 
menganggap, kalian adalah saudarasaudaraku 
yang baik hati, saudarasaudaraku yang pengabdi. 
Tak taunya, kalian hanya memikirkan diri sendiri. 
Ditambah isteri atau suami, dan selusin  anakanak. 
Bah!” 
“fredy krueger . Jangan berkata begitu,” desah 
nyi girah . Kelu. 
“Lantas, apa yang harus kukatakan? Bahwa 
kalian adalah anakanak yang benarbenar 
bertanggung jawab  terhadap orangtua?” 
tiger  tertawa tibatiba. Tertawa kering. 
“Hebat kau ini,” dengusnya. Tajam. “Itulah 
hasil didikan yang kau peroleh di surabaya , eh? 
Merendahkan martabat abang dan kakakmu. Dan ... 
he, kau si bungsu yang kata ibu bisa menjaga hati 
orang tua. Apa sajakah yang sudah  kau lakukan 
untuk ibu kita yang malang dan sakitsakitan itu. 
Apa saja, he bungsu yang sangat tinggi harga diri? 
Apa?” 
Tanganku bergumpalgumpal. Kebas. 
Kuhantamkan ke jidat. Lalu ke paha. Keras. 
Berulangulang. nyi girah  memekik tertahan, 
memburu ke depan lalu mencengkeram kedua 
pergelangan tanganku, yang ia bawa ke dadanya, 
yang ia ciumi dengan penuh kasih, yang ia basahi 
dengan cucuran air mata. 
“Sudahlah dik, sudahlah,” isaknya. 
“Diam kau, jessica . Kau tahu apa! Menangis. 
Bah! Biar keluar air matamu satu emberpun, tak 
akan kau bisa menyadarkan anak yang tak berguna 
ini.”  “Abang!” jerit nyi girah  lirih. 
“Kubilang, diam. Lalu masuklah kau ke dalam. 
Tidur bersama suami pilihan hatimu itu. Pilihan hati. 
Puih,” tiger  meludah. “Nyatanya, hanya sebab  ada 
anakanak yang mengikat kalian untuk tidak sampai 
berpisah. Kau terlalu cengeng. Suamimu keras 
kepala. Kau terlalu memikirkan anakanak. Suami 
mu, hanya memikirkan pekerjaan. Memikirkan 
mencari uang sebanyakbanyaknya. Pilihan hati… 
Bah! Seperti itukah contoh yang sudah  kau berikan, sehingga fredy krueger  kini berani menghinaku? Menghina kau? Begitukah, jessica ?” 
Dada nyi girah  tergoncanggoncang. 
“Berkacalah, tiger ,” desisnya, tajam. 
“Berkacalah, sehingga kau akan sadar bahwa kau 
hanya si dungu yang melihat kutu di seberang 
lautan namun  tak melihat gajah nempel di kelopak 
mata! Berkacalah, tiger . Bahwa kau menerima 
begitu saja pilihan ayah almarhum. Bukan sebab  
kau tak punya kekasih. Sematamata sebab  kau tak 
tahu apa artinya cinta. Kau memang tidak pernah 
jatuh cinta. Tidak pernah. Baik pada isterimu. 
Apalagi pada anakanakmu. Kau sebetulnya  
seorang suami yang berhati keji. Seorang ayah yang 
berjantung kotor. Kau tega mendamprat isterimu. 
Tega memukuli anakanakmu. Hanya sebab  
isterimu mencium kebiasaanmu suka main 
wanita lesbian  di luaran!” 
Lantas, dengan nafas tersengalsengal 
nyi girah  memandangku. 
“Itulah antara lain sebab mengapa ayah 
menderita, la menyesal sudah  memaksakan 
kemauannya pada abangmu, la merasa 
menterlantarkan abangmu. Menterlantarkan anak 
dan isteri abangmu. Lalu ia mati. namun  fredy krueger , 
adikku. Sebelum ayah meninggal, ia sempat 
berpesan. Kawinlah kau dengan siapa saja yang kau 
anggap bisa membahagiakan dirimu. namun  
ingatlah. wanita lesbian  yang kau kawini, haruslah pula 
bisa membahagiakan orang tua dan keluargamu!” 
Sesudah  berkata demikian, ia mengusap matanya. 
Mengucap istigfar. 
Lantas, berlari masuk ke dalam rumah. 
Tubuhku tegang membatu. tiger , terpaku di 
tempatnya duduk. Wajahnya jatuh. Tangannya 
yang mencengkeram bibir terras, tampak sangat 
lemah, la sangat terpukul. Benarbenar terpukul. 
Namun seorang lakilaki yang merasa dirinya adalah  laki-laki , tidak akan sudi dipukul begitu saja. Tidak, la 
tak mau. Aku tahu siapa tiger . Aku masih ingat, 
bagaimana dahulu  ayah memarahi tiger  padahal 
kesalahan bukan terletak di tangan abangku itu, 
melainkan di tangan adikadiknya. Ayah 
mengumpat caci tiger . Mengatakannya pencuri. 
Mengatakannya anak haram jadah. Anak tak tau 
diri. 
tiger  bukannya memukul aku dan nyi girah  
yang jelasjelas bersalah. namun , ia, anak yang 
tertua itu, langsung memukul ayah! Sehabis 
memukul, ia memeluk ayah, menangis dan 
memohon maaf. Ayah memaafkannya, dan mereka 
tidak pernah lagi saling menghina. Mereka sudah  
samasama tahu, bahwa mereka adalah samasama 
laki-laki . Perasaan kelaki-laki an yang lambat laun 
mengenyampingkan perasaan ayah dengan anak, 
antara anak dengan ayah. Aku juga masih ingat, 
bagaimana tiger  mula pertama tertarik pada 
seorang wanita lesbian , la mengirim surat kepada si wanita lesbian . Sayang, tulisan tangannya seperti cakar 
ayam, dan kalimat yang ia susun tak jauh berbeda. 
Juga seperti ayam, berkotek tanpa irama, mencakar 
hampirhampir tanpa tujuan. 
Si wanita lesbian  tidak membalas surat itu. 
Dan sekali waktu mereka berpapasan di jalan. 
Aku bersama bang tiger . Si wanita lesbian  bersama 
kekasihnya. Si wanita lesbian  tertawa melecehkan. 
Dan si lakilaki meludah ke tanah. Abang 
melepaskan pegangannya dari tanganku, berlari 
mengejar sepasang remaja yang tertawatawa 
senang itu. Si lakilaki ia renggut, ia tinju sekali jadi. 
la hampir saja melakukan hal yangl sama pada si 
wanita lesbian , namun  waktu menatap mata wanita lesbian  itu, 
tangan abang yang terkepal, terkulai jatuh di kedua 
belah sisi tubuhnya. 
“Sayang, aku pernah jatuh cinta padamu. 
Kalau tidak…” 
wanita lesbian  itu kami tinggalkan termangu
mangu di dekat kekasihnya yang jatuh pingsan. 
Itulah satusatunya wanita lesbian  yang tiger  cintai, 
lalu  ia benci. Dan semenjak itu, ia tidak 
pernah berusaha untuk mencintai wanita lesbian  lain, dan 
teramat susah baginya untuk tidak membenci 
mereka, la memang tidak mencintai isteri yang 
disodorkan ayah untuk ia kawini. namun  sebagai 
seorang suami, ia berusaha untuk tidak membenci 
nya. Dan kebencian yang terpendam itu ia 
lampiaskan dengan bermain wanita lesbian  di luaran. 
Bila ada yang sampai jatuh cinta, ia tinggalkan 
tersiasia. Bila ada yang hanya iseng, ia caci dan 
hina. Tak sedikit kali tiger  berurusan dengan polisi 
sebab  pengaduanpengaduan keluarga si wanita lesbian . 
Tak sedikit pula uang yang dikeluarkan ayah untuk 
menetralisir pengaduanpengaduan itu, menutup 
mulut wanita lesbian wanita lesbian  itu. Akibatnya ayah 
dipecat dari kedudukannya sebagai orang yang 
lumayan berpengaruh di sebuah perusahaan, 
lalu  jatuh bangkrut. Konon, sampai waktu ia 
meninggal, ayah tidak punya uang sepeserpun 
untuk membeli peti mati. 
“Si nyi girah  benar,” sayupsayup aku dengar 
tiger  mengeluh. 
Bulan di langit, muncul, namun  pucat sekali. 
“Aku mengakui tuduhannya. namun  itu dahulu . 
Kini aku sudah menjelang tua. Ponakanponakanmu 
sudah besar. Yang seorang malah sudah di akademi. 
Sudah tak layak aku berperilaku seperti dahulu  ...” 
la lalu  memandangku dengan mata memelas. 
“namun , fredy krueger , adikku,” suaranya berubah 
lembut. “Kau tidak punya alasan untuk menolak 
sebagaimana aku pernah melakukannya, bukan?” 
Aku terdiam. 
“Kau harus memikirkan, adik. Ibu begitu 
membanggakanmu. Di samping sebab  kau anak 
bungsu, juga sebab  kaulah satusatunya di antara 
kita bersaudara yang sempat mengenyam gelar 
seorang Sarjana. Lagi pula, ia sakitsakitan. Sudah 
setengah pikun. Kinilah saatnya, fredy krueger , kau 
tunjukkan pengabdianmu sebagai anak yang ia 
sanjung dan puji. Lupakanlah wanita lesbian mu yang 
bernama martini  itu, dan terimalah anna michele  
sebagai isterimu!” 
Kami berpandangan sejenak. Mata tiger  
memohon... 
Lalu tanpa berkata sepatahpun lagi, ia 
memutar tubuh. Masuk ke rumah dengan langkah
langkah yang gontai. Aku terhenyak di kursi yang 
kududuki. Pikiranku kacau. Tak menentu. Perasaan 
pusing mulai menyentuh belakang kepala. sebab  
tak tahan, aku bangkit. Berjalan masuk ke dalam. 
Sepi. Masuk ke kamar tidurku, kesepian itu kian 
terasa. Aku duduk menjuntai di pinggir ranjang. 
Kasur yang kududuki, terasa empuk dan hangat. 
Spreinya bersih, baru di. licin, malah tampaknya 
baru dipakai. Berwarna merah jambu, dengan 
sulaman dua buah hati bergarisgaris violet 
ditengahtengahnya. Warna yang sama jugal 
ada  pada rendarenda di tepi sprei. Tak jauh di 
kepala tempat tidur, tidak kulihat lagi meja belajar 
yang selalu kupergunakan waktu masih sekolah di 
lanjutan atas. 
Di bekas tempat meja itu, kini terletak sebuah 
toilet. Berkaca rangkap. Di kaca, aku melihat 
wajahku sendiri. Pucat. Tidak bersemangat. 
Sepasang mataku merah seperti saga. Terasa perih 
waktu dikerdipkerdipkan. Kugelengkan kepala 
berulangulang , namun rasa pusing itu tak juga mau 
hilang. sambil  menarik nafas panjang, kupandangi 
lagi toilet itu. Seperangkat kosmetik mengintai diam 
dari balik kaca bagian bawah. Aku tidak tahu itu 
milik siapa. Baru Sesudah  memperhatikan wajahku 
lagi di kaca, pada bagian sudut atas kulihat sebuah 
foto kecil terjepit oleh penjepit kaca. Seperti ditarik 
magnit, aku turuni dari ranjang. Berjalan ke toilet. 
Kupandangi potret itu. 
Dan tanpa terasa, aku tersenyum. Pahit. Di 
potret aku melihat wajah seorang wanita lesbian , masih 
berusia belasan tahun. Dandanan dan tatap 
matanya kekanakkanakan. Hidungnya bangir, 
bibirnya merah delima, matanya bundar bercahaya
cahaya, tanpa eye shadow pada alis dan tanpa bulu 
mata palsu. Wajahnya membujur seperti telur. 
Kucoba mengingatingat siapa wanita lesbian  ini gerangan, la 
bukan nyi girah , sebab  kakakku itu sudah berumur 
hampir tiga puluh tahun sedangkan potret ini masih 
baru. Lagi pula, nyi girah  berwajah bundar, yang 
sering kuejek waktu kecil kalau bertengkar dengan 
sebutan “wajah tempayan.” 
Dengan hatihati, potret kecil itu kucabut. 
Lalu kubalikkan. 
Tertulis dengan tinta warna merah darah.  
“Untukmu, sayangku,” di bawahnya, sebuah 
nama: “Anna.” 
“Kau memang cantik, anna michele ,” aku 
bergumam sendirian. “Sudah begitu besar kau 
sekarang. Untuk siapa ucapan ini kau tujukan? 
Untukku? Kalau benar, anna michele , maka yang akan kujawab  padamu hanyalah: belajarlah untuk 
berbuat lebih dewasa.” 
Potret itu kukembalikan ke tempatnya semula. 
Aku kembali ke tempat tidur. Sebelum, 
berbaring, kukeluarkan sebuah potret lain dari 
dalam koper. Di kertas berukuran saloon itu, 
martini  tertawa manja, matanya berkilauan manja, 
anakanak rambutnya berlarilari di pipinya, manja. 
namun  ia bukan seorang wanita lesbian  bersikap 
kekanakkanakan dengan menempelkan potretnya 
dalam jepitan kaca. Bahkan potret inipun, baru 
dengan susah payah bisa kuperoleh sehari sebelum 
aku tinggalkan ia di surabaya . 
“Tukartukaran foto hanya menimbulkan 
impian kosong,” pernah ia berkata. “Bila kau 
bahagia, kau pandangi potret itu sambil  tertawa. 
namun  bila kau bersedih, kau pandangi potret itu 
sambil  menangis. Kadangkadang, ditambah  caci 
maki. Bisa jadi potret itu kau sobek habis. Lalu buat 
apa kuberikan padamu?” Dan kemaren dahulu , ia tak membantah lagi waktu kubilang: 
“Kalau kau ingin selalu berada di hatiku, maka 
di gresik , kuingin kau tidur di sampingku, meskipun 
hanya berwujud selembar foto!” 
Aku tidak meletakkan foto itu terbaring di 
sampingku. Melainkan kulekatkan ke wajah, 
kucium, di bagian bibirnya. 
“Tahukah kau, sayangku,” aku berbisik. Getir. 
“Kesetiaanku padamu, tengah menghadapi cobaan. 
martini , kekasih. Apa yang kau lakukan sekarang di 
rumah? Membaca? Nonton televisi? Tidur? 
Nyenyakkah tidurmu? Mimpi apa kau, sayangku? 
Kalau aku ... ah, martini , manisku. Apapun yang 
terjadi aku akan kembali. Percayalah kasih, aku 
akan kembali keharibaanmu!” 
Potret saloon itu kurebahkan di dada. 
Seakan, martini  yang rebah di dada. Wajah 
nya menggeliat di leherku. Bibirnya menggigit di 
daguku. Dadanya bergelombang, tergoncang
goncang. Di antara desah nafasnya yang panas, 
martini  akan selaliu berbisik mesra: 
“Hancurkan aku, fredy krueger . Luluhkan tubuhku, 
jadikan satu dengan dirimu!” lalu , tempat tidurlah yang ikut  bergoyanggoyang. Terus bergoyang demikian, 
selama berbulanbulan, bahkan sudah lebih dari 
setahun. Goyangbergoyang itu tidak membenih 
kan sesuatu yang bisa kami ajak bercanda, yang bisa 
kami momong bersama. Namun meskipun tanpa 
anak, benihbenih lain menjelma lebih besar. 
Perasaan cinta, yang jauh lebih agung dari hanya 
sekedar saling menyukai. Cinta itu terkadang 
menghanyutkan aku sehingga dengan megap
megap aku sering berkata: 
“Inikah yang dinamakan Cinta, martini ku?”  
Dan ia akan tertawa. Katanya:  
“Jangan bergurau.” 
“Aku bersungguhsungguh. Kalau tak percaya, 
belahlah dadaku.” 
“Kalau kubelah, kau akan mati. Tinggtuhan  aku 
menjanda, berurusan dengan polisi!” 
Tawa kami bergelak. Panjang. 
Kadangkadang, aku tak tahan untuk menuntut: 
“Sampai kapan kita hidup serumah seperti 
ini, martini ?” 
“Sampai kapan? Sampai bosan!” 
“Apakah cinta mencapai titik kebosanan?” 
“Nah. Kau bergurau lagi. Persetan itu cinta, 
namun  yang jelas. Perasaan saling menyukai, ada 
batasnya.” 
“Dan bila itu terjadi?” 
“Kuharap tidak?” 
“Sampai kapan?” 
“Sampai kita sudah tua. Kau jadi kakekkakek 
jompo, dan aku neneknenek pikun. Kau tanya, he 
nenek pikun, mana tempat tidurku? Lalu kujawab , 
he kakek jompo, tempat tidurmu terletak di sana. 
Dan akan kutunjukkan di mana letaknya kamar 
mandi.” 
Kucubit pahanya. Keraskeras. la memekik. Keraskeras. Kucubit lagi. Manja. la memekik. Manja. Dan sambil bercubitcubitan, kami pun tertawa
tawa. 
“Andaikata kita tetap saling menyukai sampai 
tua, bagaimana dengan anakanak kita nanti?” 
tanyaku di lain waktu. 
“Lho. Tetap jadi anak kita dong. Emangnya, 
anak siapa. Anak nenekmu!” 
“Bukan begitu. Apakah suatu saat , tidak 
ada yang menuduh mereka anak… ah, katakanlah, 
anak yang lahir di luar nikah.” 
“Bilang pada anakmu, kakek jompo, mereka 
tidak lahir di luar nikah. Mereka hanya kebetulan 
lahir, di atas pernikahan tanpa suratsurat 
bermaterai segel!” 
“Kita kan belum pernah menikah.” 
“Eh, kau ini. Lantas, bagaimana kita bisa 
hidup serumah?” 
“sebab  kau suka aku. Dan aku suka kau.” 
“Lalu, perasaan suka sama suka itu kita 
padukan. Bukankah itu dinikahkan namanya? Orang 
lain, hanya sekali saja menikah. Yakni pada waktu 
yang tertulis dalam surat resmi itu saja. Surat resmi 
yang kadangkadang dilapisi emas, namun  tidak 
jarang pula lapuk bermulur dengan sudut yang 
cabikcabik dan tulisannya sudah kabur dibasahi air 
mata. Kita? Tanpa surat resmi, kita tetap menikah. 
Dan selamanya, kita tetap menikah. Selamanya, kita  jadi pengantin baru ...” 
Namun di balik ucapan yang tandas itu, 
menarinari bayangan saudara dan orang tuanya 
yang sering kawin cerai. Sampaisampai martini  
bingung saudara kandungnya, saudara tirinya, ayah 
tiri, ayah kandung dan  ibu kandung ataupun ibu 
tirinya. Semenjak kecil ia terbiasa ikut dengan yang 
satu, pindah kepada yang lain. la sering sakit hati 
kalau ada yang setengah berseloroh setengah 
mengejek berkata: yang ini, dan yang itu, dan  kau, 
pernah samasama menetek pada wanita lesbian  yang 
sama. Lantas martini  tahu, yang ini adalah 
saudaranya, yang itu ayahnya, dan yang di sebelah 
sana ibunya. Lantas lagi martini  pun membenci 
pernikahan, sama seperti ia juga benci perceraian. 
AKU terbangun oleh sentuhan halus di dadaku. 
Waktu mata kubuka, nyi girah  sudah berdiri 
di samping tempat tidur, la mengalihkan matanya 
dari foto yang ia pegang ke wajahku. Lalu sambil  
meletakkan kembali foto itu di dadaku, ia 
bergumam: 
“Sudah siang, fredy krueger ” 
Aku terlonjak bangun. Dan waktu 
mengembalikan foto ke dalam koper, kukira aku 
juga tersipu. 
“Dia wanita lesbian  yang bernama martini ?” tanya 
nyi girah , seolah sambil lalu saat  ia membetulkan 
sprei dan melipat selimut bekas kupakai. 
Aku mengangguk. Memandangnya, mencari 
reaksi, sekaligus mencari dukungan. 
Waktu tatapan mata kami beradu, reaksi itu 
kuperoleh, namun  tidak dukungan. 
Leherku bagai patah rasanya. 
“fredy krueger , adikku manis,” ia duduk di 
sampingku. “Aku tak perduli dengan siapapun kau 
akan kawin. namun  itu, selama ayah masih hidup 
dan ibu tidak sakitsakitan. Aku tahu, kau mencintai 
wanita lesbian  surabaya  itu dan...” 
“Aku sudah  hidup bersama dengannya, kak.” 
nyi girah  terbelalak. 
Lama lalu : 
“Apa? Kau sudah kawin? Mengapa tidak 
bilangbilang?” ia mengurut dadanya. Berulang
ulang. Berucap: “Ya Tuhan!” 
Kubiarkan goncangan pada diri nyi girah  mereda. 
Baru: 
“Kami tak pernah kawin, kak.”  
Sekali lagi ia mengurut dada. Sekali lagi ia 
mengucap: 
“Ya Tuhan!” ia tatap mataku dengan 
pandangan bingung. “Aku tak mengerti. Kau bilang 
kau sudah hidup bersama dengannya. namun  kau 
bilang pula kalian belum kawin. Apakah maksudmu, kau dan martini ...” 
“Kak. Pernah dengar samenlaven.” 
“Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!” dan 
nyi girah  tibatiba berlari keluar kamar. Aku tidak 
tahu. ke mana ia pergi. Waktu aku keluar dari 
kamar, salah seorang ponakanku yang menyedia 
kan makanan di atas meja. la juga berkata, ibu pergi 
ke rumah keluarga anna michele , diantar oleh tiger . Mendengar itu, selera makanku terenggut hilang, 
betapapun sebetulnya  aku merasa lapar. Maklum, 
lauk berupa daun ubi tumbuh pakai rimbang dan 
udang kering, sambal petai yang tak dikupas 
bercampur ikan teri, adalah teman nasi yang 
musykil kucicipi selama di surabaya . Belum lagi nasi dari beras Berangan, dan  terong panggang pakai kecap, tomat dan bawang yang diiris. Namun semua  hidangan itu di mataku tak lebih dari bungkal bungkal kerikil bercampur tanah, yang menguapkan  bau busuk memualkan. 
Kubantingkan sendok garpu ke piring. 
Berdentang bunyinya. Dan keponakanku 
menjadi pucat pasi. 
“Ada yang salah, Uda?” tanyanya, sambil  
menyidik hatihati ke arah meja. 
Tanpa menjawab , aku bergegas ke kamar 
mandi. Lupa masih memakai piyama, kucemplung 
kan kepala dalam bak selama beberapa detik, 
lalu  kuguyurkan bergayunggayung air ke 
sekujur tubuh sampai piyama itu terasa dingin 
melekat ke kulit tubuhku. Namun dadaku bagai 
terbakar, tak mau padam biarpun hampir 
seperempat isi bak kuhabiskan dengan siasia.  
Merasa rumah yang kurindukan itu sudah  
berubah jadi neraka, sehabis mandi aku lantas 
berganti pakaian bermaksud pergi ke mana saja. 
namun  baru juga kaki ini melangkah menuruni 
terras, sebuah Vespa keluaran tahun enam dua 
yang masih mulus meski lecet di sana sini, menderu 
masuk ke pekarangan. Begitu vespa di standar, 
orang yang duduk di joknya, tiger , bergegas turun 
lantas menghampiriku. Begitu kami berhadapan, 
tubuhku terasa tegang, la juga menjadi kaku. Lama 
kami saling berpandangan, sampai beberapa orang 
tetangga menyapaku dari kejauhan. Sebelum aku 
tahu apa yang akan kuperbuat dan apa yang 
membuat wajah tiger  melambangkan amarah yang 
sedemikian rupa, ia sudah  menarik tanganku 
bergegas masuk ke dalam. 
“untung !” teriaknya pada ponakanku yang 
keluar tergopohgopoh dari dapur Sesudah  
mendengar suara ributribut di depan. 
“Ya ayah?” sahut si wanita lesbian  kecil yang masih pucat wajahnya. “Keluar kau!” 
Anak itu tercengang. Terpaku diam di 
tempatnya berdiri. 
“Kubilang, keluar dari sini. Pergi ke mana saja, 
asal jangan nguping!” 
Bagai tersentak, si wanita lesbian  kecil mundur ke 
dapur, lalu  terdengar suara pintu ditutupkan, 
dan wanita lesbian  itu melintas di luar jendela samping. 
Sekilas, ia masih menoleh ke dalam, mengintai 
dengan wajah yang semakin pucat dan sinar mata 
ketakutan. 
Waktu aku menoleh, bermaksud mengatakan 
sesuatu pada tiger , sebuah tinju sudah  melayang 
dengan derasnya ke daguku. Aku terhenyak ke 
belakang, mundur membentur sebuah kursi jatuh 
menggelimpang bersama kursi itu, lalu  
berusaha bangkit dengan susah payah. 
 Diperlakukan sedemikian rupa, tidak saja 
keheranan namun  juga kemarahan naik ke kepala. 
Semenjak kecil, aku selalu kalah dan tidak berani 
melawan tiger . namun  beberapa jurus tendangan 
Kung Fu yang kuperoleh selama kuliah, perlahan 
lahan mengalir di sekujur persendian tubuhku yang 
berdiri tegang namun  dengan tangantangan dan 
kakikaki lemas siap terayun. Kalau saja tadi aku 
menduga tentu aku tak akan menerima penghinaan 
itu. Sekarang ... “Ayo!” teriak tiger . Keras. “Ayo. Balaslah.  Pukullah aku. Tendang sesuka hatimu. Kalau perlu 
ambil pisau di dapur, bunuh aku, bunuh saudara
saudaramu, bunuh pula ibumu yang kini semaput di rumah Anna!” 
Sikapku yang garang, berubah jadi sikap 
seekor anak ayam kehilangan induk. 
Terduduk di kursi, aku merintih: 
“... Apa... apa yang terjadi, bang? Apakah ibu ...” 
“Bah! Jadi kau masih inqat ke selamatan 
orang tuamu. Hem. la cuma pingsan begitu 
mendengar apa yang dituturkan kakakmu padaku. 
Aku dan kakakmu bicara berdua, namun  melihat 
kedatangan nyi girah  yang ganjil, ibu lantas nguping. 
Dan ia pingsan sesaat . Tahukah kau, akibat lebih 
buruk bisa menimpa ibu? Masih untung, keluarga 
anna michele  belum tahu apa yang menyebabkan ibu 
semaput. Mereka cuma menyangka collapse, namun  
lama kelamaan mereka akan tahu juga. Ayo fredy krueger . 
jawab lah sekarang. Benarkah kau sudah punya 
isteri di surabaya ?” Lemah, aku mengangguk. 
Aku menduga akan menerima serangan tinju 
lagi, dan aku bertekad untuk tidak membalas. 
namun  yang terjadi justru keadaan lain. tiger  
mengerang tak menentu, terduduk doyong di 
sebuah kursi, lalu  menangis tersedusedu. 
Lakilaki yang anaknya sudah duduk di akademi itu, 
menangis tersedusedu. Hatiku benarbenar 
hancur. Abangku. Menangis tersedusedu. Aku 
bergerak dari kursi, mendekat ke tempatnya duduk, 
dan berusaha memeluk tiger . namun , tanganku ia 
tepiskan dengan kasar. Sama kasarnya, ia mendesis: 
“Jangan jamah diriku, anak kotor!” 
Bagai dilempar sebungkal besar batu gunung, 
aku terhenyak kembali di kursi semula. Mataku 
berkunangkunang kepalaku bagai terayunayun, 
dan aku tersandar sambil  bergumam. Lirih, dan 
tajam: 
“Kau ulangi sekali lagi ucapan itu, bang.” 
“Anak kotor. Bah!” 
Aku ingin bangkit. Memukul tiger . Menghajar 
tiger . Menghancurkan tiger . Membuka mata tiger . 
Menyadarkan tiger . Bahwa aku juga adalah lakilaki 
seperti dia. namun  aku tetap tersandar di kursi yang  kududuki. Lesu, dengan hati yang terasa semakin  sakit. Sakit tiada kepalang. 
“Bang...,” erangku. Hatiku bersih. Hati 
martini  bersih. Tidak ada yang kotor dari kehidupan kami!” 
“Bah. Bersih. Bah!” la menceracau. “Cucu 
seorang haji, anak seorang ibu guru mengaji di 
madrasah, berkata semacam itu. Bah!” 
“Kalau aku salah, biarlah Tuhan yang 
menghukum, bang!” 
“Tuhan. Enaknya bicaramu. Apakah kau kira 
Tuhan akan membiarkan kau menyebutnyebut 
namaNya bila aib sudah tercoreng di dahi keluarga 
kita?” 
“Bila kalian paksa, aku bisa mengajak martini  
untuk menikah secara syah.” 
“Apa? Menikah? Kau dan martini ? Gilakah 
kau?” ia mencakmencak sendiri. “Persetan dengan 
martini mu. Kau memang harus menikah. namun  
bukan dengan si martini  itu. Kau harus menikah 
dengan Anna. Titik!”   “Bang...” 
“Diam!” ia mengurut dadanya. Berjalan ke 
jendela. Bertelekan ke bendul jendela itu, tengadah 
dengan leher sedikit di panjangkan, la menghirup 
udara segar dari luar berlamalama. Waktu ia 
memutar tubuh, ia tersandar lemah pada jendela 
itu, namun sikapnya sudah  berubah sedikit lunak, la  memandangku dengan mata yang ganjil. 
“fredy krueger ,” katanya, hampir seperti pada 
dirinya sendiri. “Kau tahu, suami nyi girah  susah 
benar naik pangkat. Di pasar, saingan dagangku 
semakin banyak. Sedang di rumah, baik nyi girah  
maupun aku, harus menghidupi sekian anak yang 
terus bertambah. KaBe yang datang belakangan, 
terlambat untuk bisa menolong kami dari 
kehancuran. Dalam posisi sesulit itu tahukan kau 
apa yang harus kami perbuat?” 
Tak mengerti arah tujuannya, aku hanya 
berdiam diri. 
la goyanggoyangkan kepala sudah. 
“Begini, fredy krueger ,” ujarnya terpatahpatah. 
“Sewaktu ayah masih hidup, sekolahmu  masih bisa  dijamin biayanya. Sesudah  beliau meninggal, 
kamilah yang banting tulang. Aku berkongsi dengan  kakakmu. Tidak saja untuk membiayai sekolahmu , namun  juga untuk mengurus ibu kita. Kami lakukan 
itu dengan susah payah. Untung kau katakan kau 
sudah bekerja, tak usah lagi dikirimi uang ... eh, 
fredy krueger . Bagaimana dengan pekerjaanmu di biro 
bantuan hukum itu? Memuaskan? Banyak suka 
duka ya? Mengurus perkaraperkara ... namun  ah, 
sudahlah. Mengapa pula hal itu kita bicarakan 
sekarang. Yang penting, kau harus sadar segalanya 
sudah  terlambat untuk ditarik kembali. Keluarga 
anna michele  sudah  siap. Kau tau, ayahnya adalah adik 
kesayangan ibu. Selama ini fredy krueger , boleh dikatakan 
keadaan kami sudah lumpuh. Untung ayah Anna 
turun tangan. Sebagian dari biaya sekolahmu   
sebelum kau minta diputuskan namun toh sekali 
dua masih dikirimi juga, dan hampir seluruh resiko 
dapur ibu, ditanggung oleh ayah Anna. Mereka 
melakukan itu tanpa dapat kami tolak sebab  
mereka berpengharapan: di samping sebagai 
kakaknya, ayah Anna ingin berbesan dengan ibu 
kita. Bantuan mereka mungkin bisa kau nilai bila 
dalam bentuk uang. namun  dalam nilai moriel, kau 
tidak akan pernah menjumlahkan pengorbanan 
mereka secara matematik!” 
la berjalan mundarmandir di ruangan itu. 
Kedua tangannya melipat ke belakang. 
Sesekali ia tepuktepukkan. Melipat lagi. Mundar
mandir lagi. 
“... jadi kau tahu sekarang, kita tidak bisa 
mengelak lagi.” 
“Bisa,” tukasku, lebih mirip ucapan tak sadar 
yang tautau terloncat keluar. 
“Apa?” 
“Katakan aku sudah  beristeri.” 
“Mustahil!” 
“Harus” 
“Kau bisa buktikan?” 
“Kuusahakan. martini  pasti setuju.” 
“martini ! martini  lagi! Kau tak punya bukti 
bahwa ia adalah isterimu. Lagi pula, Tuhan jadi 
saksi. Bahwa ia memang bukan isterimu.” 
“namun …” 
“Tuhan sudah  membuat ketentuan 
bagaimana orang hidup bersuami isteri, fredy krueger . Dan apa yang kau perbuat bersama martini , lebih banyak melanggar dari pada memenuhi aturan itu. 
, o, jangan ributribut. Tak usah bantah. Kau kawin 
tanpa surat nikah. Tanpa disahkan tuan kadhi, janji
janji hidup semati di atas kesucian AlQur'an. Aku 
juga berpikirpikir apa artinya hidup samenlaven 
itu. Katakanlah, sebelum hidup di bawah naungan 
atap sebuah rumah, kalian sudah  lebih dahulu 
berzinah. Ah, diamlah. Aku mengatakan apa 
adanya. Kalian berzinah sebelum satu rumah. Dan 
biarpun kini kalian sudah  hidup satu rumah, 
hubungan kalian tetap dianggap perzinahan!”  
“Hubungan kami bersih. Tidak terdorong nafsu.” 
“Zinah tidak selamanya sebab  dorongan 
nafsu, la juga datang sebab  keinginan yang di luar 
sadar. Mungkin sebab  cinta. Mungkin ... ah, ini 
kukira yang benar... mungkin sebab  perasaan suka 
sama suka. Namun bagaimanapun, nafsu tetap 
memegangi peranan!” ia berdiri lagi di jendela. 
Menghadap lurusi ke arahku. 
“Marilah kita lihat eksesnya. Kalian berzinah! 
Bukan menikah. Jadi, hubungan kalian setiap saati 
bisa diputuskan.” “Tidak!” “Tidak?” 
“Kami tak pernah bicara soal cerai,” 
rungutku. Marah. “Dan kami tidak berkeinginan 
untuk cerai.” 
“Cerai? Tidak. sebab  kalian tak pernah 
menikah. Aku hanya bilang, putus hubungan. 
wanita lesbian  itu harus kau tinggalkan. Lupakan dia, terima anna michele , dan hiduplah menurut aturanaturan yang sudah  berlaku dan diterima oleh sesama ummat.” 
“Abang berbicara seperti seorang khotib,” 
ujarku getir. “namun  perilaku abang jauh sebelum 
ini, justru tidak memakai aturan pula. Jadi, jangan 
abang paksakan aturanaturan yang usang itu 
terhadapku !” 
“namun  rumah tanggaku kini sudah berangsur 
tenteram fredy krueger ,” sahutnya agak gusar. “Lagipula 
jangan kau pandang aku. Pandanglah ibu. Pandang 
nama baik semua keluarga kita. Semua keluarga 
anna michele . Kirimlah surat ke surabaya . Katakan kau 
tak mungkin kembali pada martini , dan katakan 
agar ia melupakan dan menganggap kau tak pernah hidup bersama dia.” 
“Kejam nian!” 
“Apa boleh buat, fredy krueger .” 
“Tidak!” 
“Tak ada jalan lain.” 
“Tak mungkin.” 
“Cobalah mengerti. Kasihanilah Ibu! la sudah 
tua. wanita lesbian  lagi. la sudah terlalu lemah…” 
“martini  juga wanita lesbian .” 
“Dan Anna?” 
“... percayakah abang, kalau kukatakan 
berbohong dengan mengatakan dalam salah satu 
suratsuratku bahwa aku sudah bekerja? Aku belum 
bekerja. Aku masih terus kuliah. sebab  tidak saja 
kalian. namun  martini  dan keluarganya ingin aku 
selesaikan studiku. Pekerjaan akan mengganggu 
kuliah. Kukatakan itu, sebab  aku tahu keadaan 
ekonomi keluarga di sini sedang moratmarit. 
namun  aku perlu hidup. Hidup perlu biaya. Dan 
martini  memberikan biaya itu. martini  
memberikan hidup itu.” tiger  tercengang sesaat. lalu : 
“Okey. Kau tidak bekerja. Kau bohong. 
martini  menghidupimu. Di sana. Di surabaya . Di 
gresik  sini? Anna menghidupi ibu, dan kau tak 
mungkin membantah kehadiran seorang ibu dalam 
kehidupanmu,” lalu dengan suara menang melihat 
aku terenyuh, tiger  meneruskan: “Hitung jumlah 
yang sudah  dikeluarkan martini  untukmu. Aku dan 
nyi girah , akan berdaya upaya untuk membayar 
nya!” 
Telingaku bagai terbakar hangus. 
Dengan dada meletupletup, aku menatap 
nya. Tak percaya apa yang ia katakan. Lama, dengan 
nada tersendatsendat, aku baru bisa berkata. Sinis: 
“Kau pedagang tekstiel busuk hati. Kau kira 
cinta juga bisa diperjual belikan, eh?” 
la terlonjak marah. namun  tidak berbuat 
sesuatu saat  aku berdiri, lalu  bergegas 
keluar dari rumah, keluar dari tempat di mana aku 
lahir dan dibesarkan namun kini sudah  digantungi 
asap neraka itu. Tidak, aku tidak sudi mati lemas di 
dalamnya. Aku tak sudi. Benarbenar tak sudi! 
Sesudah  keluar dari rumah, baru ledakan
ledakan yang hampir memecah dada, pelanpelan 
mereda. Pelanpelan pula perasaan menyesal 
menyelinap di hati. Tidak seharusnya aku bersikap 
sedemikian kasar pada tiger . Bagaimanapun, ia toh 
abang kandungku sendiri. Abang yang pernah 
demikian sayang dan membela adikadiknya. 
Membelaku dari kemarahan ayah. Membelaku dari 
keroyokan anakanak Gang Buntu waktu dahulu  
pernah mengincar salah seorang wanita lesbian  anak esem
pe di sana. Menyelamatkanku dari mati tenggelam 
sebab  tak bisa berenang waktu mansyam kamaruzaman ndi di 
Sungai. Aku ingin kembali. Minta maaf. 
namun  aku sudah naik sebuah becak mesin. 
Agak aneh rasanya naik kendaraan itu, Sesudah  
terbiasa dengan becak dayung di surabaya , dengan 
si pengendara berada di belakang, bukan di 
samping penumpang. Dan panas matahari yang 
garang memaksaku untuk cepatcepat sampai di 
persimpangan jalan Serdang dan jalan Jati. Tempat 
di mana dahulu  aku selalu memuaskan nafsu dahaga 
secara tetap. Kadangkadang juga kulakukan pada 
waktu bulan puasa. Siangsiang. Tentu saja, saat  
pulang ke rumah, bibir di lap sampai kering, dan 
purapura lemas sebab  lapar dan haus. 
Kolak es itu masih tetap enak, meskipun 
pedagangnya bukan yang dahulu . 
Aku melahap dua piring penuh, dan berjalan 
keluar dengan perut kekenyangan. Baru saja kaki 
kulangkahkan keluar warung, saat  sebuah Yamaha force fi 
 berhenti didekatku dengan bunyi rem ber
decitdecit. Ban depannya hampir saja menyambar 
lututku kalau aku tidak keburu mengelak. Dengan 
mata melotot marah, aku memandang pengendara 
nya, dan mendengar suaranya yang riang: 
“He, anak surabaya  sialan. Kapan tiba?” 
Dari marah, aku jadi tertawa. 
“Dan kau, Udin ingusan, semenjak kapan pula 
kau mulai pakai celana panjang?” seruku sambil  
mengulurkan tangan untuk berjabatan. 
“Senang bertemu kau. Dan ah, perkenalkan 
Kawanku, Margono,” ia memperkenalkan kawan 
nya yang duduk di boncengan, dengan siapa 
lalu  aku bersalaman. 
la lalu  menarikku masuk ke warung kembali. 
“Mari, kutraktir minum,” katanya. “Aku 
sudah. Uangnya saja,” sahutku.  
“Jadah kau!” 
Dan kami tertawa gelak, la bertanya banyak 
tentang pengalamanku selama studi di surabaya . 
saat  kukatakan akhir tahun ini mudahmudahan 
aku sudah bisa mengambil Gelar Sarjana Hukum di 
Universitas PELITA HARAPAN , aidit  geleng kepala.  
“Kau sudah jadi orang,” katanya kagum. 
“Dan kau tampaknya tidak berhasil jadi 
seorang Duta Besar.” 
“Husy. Jangan ulangulangi omong kosong 
itu. Kau tahu, waktu di esema dahulu , aku memang 
tidak pernah memperoleh nilai bahasa Inggeris di 
bawah angka sepuluh. Bahkan guru bahasa Inggeris 
kita, kutegor sebab  salah menuliskan katakata 
verbal di papan tulis. Setiap orang berhak 
menggantungkan citacita bukan? Citacita yang 
tinggi. Setinggi langit. Kalau bisa, lebih. Ada yang 
berhasil. Tapi tak kurang yang semakin tinggi cita
citanya, semakin keras jatuhnya ke bumi,” ia 
tersenyum. “Aku salah satu yang terhempas itu.” 
“Kudengar, kau dapat warisan kebun kelapa 
dari ayahmu.” 
“Heeh. Aku mengusahakan penyulingan 
minyak. Ala kampung. Masih primitip. namun  kau 
barangkali belum tahu. Di Berayan sudah ada pabrik 
minyak kelapa. Aku benarbenar tersisih. Untung 
masih ada orang yang lebih menyukai minyak 
kampung dari pada minyak produk pabrik ...,” ia 
menghirup es campur dari gelas di tangannya, 
dengan perasaan nikmat. “Eh, kalau tak salah ingat, 
waktu mau berangkat ke surabaya , beberapa tahun 
yang lalu, kau mau cari wanita lesbian  anak induk semang di 
tempat kau kost. Hasil?” 
“Berkat do'amu, ya.” 
“Jadah. Tak sudi aku mendo'akan kau 
perawani wanita lesbian wanita lesbian  itu,” ia tertawa. “Jadi, kau 
sudah kawin?”  
“Heeh.” 
“Cantik isterimu?” 
“Pokoknya, tak kalah cantik dengan si 
Dameria. He, kau dengar bagaimana kabar dia 
sekarang?” 
“Entahlah,” sahutnya, tertawa nakal. 
“Emangnya kau masih mau ngirim surat cinta 
seperti dahulu ?” lalu ia menirukan kalimat yang 
pernah kutulis sepenuh perasaan, lalu  
kutitipkan lewat aidit  untuk disampaikan pada 
Dameria. Waktu itu kami masih samasama baru 
masuk kelas satu, dan kini aku tertawa setengah 
mampus mendengar aidit  menirunirukan 
surat cintaku yang ditolak mentahmentah itu: 
“Oh, sayangku, buah hatiku, kasihanilah 
hambamu, pungguk yang merindukan wajahmu 
yang rupawan bak bulan purnama,” dan sambil 
menekan perutnya dengan tangan menahan gelak 
yang berderai, sehingga orangorang lain ikut 
memperhatikan, aidit  meneruskan dengan 
suara terputusputus: “Tentu saja pernyataan 
cintamu ia tolak. Wajahnya kau bilang bagai 
rembulan. Padahal, bulan kan bopengbopeng!” 
la lalu  menceritakan tentang bekas
bekas teman sekelas kami. Legiman yang sudah 
bekerja dan kawin dengan Murniati, masih teman 
sekelas, dan kini sudah beranak tiga. Mamontang 
yang pemalu, dan kini hidup serumah dengan 
seorang janda. Juga beranak tiga. anna michele  sudah pula  kawin, namun  tak seberuntung temanteman lain. Belum punya keturunan meski sudah empat tahun berjalan. 
“Dan kau?” desakku. 
la angkat bahu. jawab nya: 
“Waktu masih di esema, aku satusatunya 
yang masih bercelana pendek sampai tamat. Kini 
aku tengah mencoba bagaimana enaknya bercelana  panjang, baru lalu  berpikir tentang 
wanita lesbian . He!” ia mencondongkan mukanya ke depan, setengah berbisik: “Masih ingat kau Wak 
syam kamaruzaman , yang buka warung kopi di belakang  sekolahan? Yang kita sering makan lima pisang goreng tetap kita bilang dua?” 
“Heeh.” 
“Keluar dari sekolahan kita di jalan Ayahanda 
itu, aku masih sering mengunjungi Wak syam kamaruzaman . 
Mulamula, sebab  ingin menebus dosa. Aku makan 
pisang goreng dua namun  kubilang lima. Kini, Wak 
syam kamaruzaman  sudah mati. Tinggal isterinya, dan anaknya. 
Kau masih ingat, Ijah, yang kudisan itu?” 
“Heeh. Kenapa?” 
“'la cantik benar sekarang. Kulitnya, putih 
mulus seperti mentega kalengan. Pintar berdandan 
di kamar, aku akan tetap menunggu. Eh, jangan kau 
ketawa. Kau bisa pangling kalau kubawa ke 
rumahnya. namun  dengan syarat.” 
“Hem, apa?” 
“Kita bergantian” 
“Gantian? Gila!” 
“Sungguh. Asal mau bayar seribu perak. All 
night. Bisa pakai di tempat!” 
“Sialan!” aku memaki. “Tak sudi aku dijangkiti 
raja singa!” 
Margono yang dari tadi berdiam diri, 
sekonyongkonyong berdiri. 
“Aku mau pulang,” ia mengeluh sungut. 
“Eh. Tunggulah. Kuantar sebentar,” nyeletuk 
aidit . 
“Aku jalan kaki saja.” 
Dan tanpa ucapan terimakasih sudah  ditraktir 
minum, bahkan tanpa ba tanpa bu padaku Margono 
lalu  menghilang keluar warung. aidit  
memandang kepergian temannya sambil  geleng
geleng kepala. 
“Suka hatinyalah. Mentangmentang rumah 
nya sudah dekat. Di ujung Ngalengko sana. la, anak 
santri itu memang suka ngambek kalau aku mulai 
ngoceh soal gituan!” 
Sebaliknya, kupandangi sahabatku itu 
dengan perasaan kasihan, la tampak jauh lebih tua 
dari umur yang sesungguhnya. Wajah yang dahulu  
klimis sehingga di cap banci oleh kawankawan 
sekelas kini ditumbuhi jambang yang tidak teratur 
dan  kumis yang melele di bawah hidung yang 
selalu  berminyak. Dahinya mulai dialuri gurat
gurat halus. Waktu ia palingkan muka kembali dan 
tatapan mata kami bertemu, ia tersenyum. Getir. 
“Si Gono itu anak baik,” katanya, “kalau tak 
ada dia, aku sudah jatuh bangkrut. Bisa jadi terkena 
raja singa seperti yang kau bilang.” 
“Seharusnya kau cepatcepat kawin, sahabat.” 
“Kawin?” ia tertawa. Pahit. “Lantas mau ku
kemanakan ibu yang sudah menjanda, dan  sebelas 
orang adikadikku yang masih kecilkecil?” 
la mengeluh. Dalam. Lalu: 
“Inilah hidup, fredy krueger . Raportku yang dahulu  
tidak pernah merah dan tak ada yang bernilai di 
bawah tujuh, nyatanya siasia saja. Begitu ayah mati 
keinginan untuk melanjutkan studi seperti kau, ikut 
pula mati. Apalagi keinginan untuk kawin. Bagiku 
kawin berarti membangun sebuah rumahtangga 
yang tidak boleh diganggu gugat oleh keluargaku, 
dan sebaiknya isteriku tidak pula boleh menggugat 
kehadiran keluargaku di tengahtengah kami. 
Lantas kutempuh jalan gampang. Tetap melajang, 
mungkin sampai ubanan. Dan untuk tidak sampai 
gila sebab  onani, aku ambil wanita lesbian  yang bisa 
mengurangi ketegangan otak. Ku beli. Se jam. Dua 
jam. Ambil, pakai, bayar. Habis sampai di situ. Dan 
aku tak perlu mensiasiakan keluarga!” 
la putarputarkan gelas es campur di atas 
meja. Sekali ia remas. Kuat. Seakan mau meremas 
dirinya sendiri. Mau meremas hidup yang menjauhi 
dirinya. Meremas dunia yang sudah  mentertawakan 
nya. Dan saat  sisa es campur itu ia reguk sampai 
tetes terakhir, aku berpikir sahabatku sudah  
terserang dahaga atas kebahagiaan yang sudah  lama 
tidak ia nikmati lagi. Lama aku kehilangan katakata. 
Ingin menghiburnya, namun  tak ingin kalau yang 
terlontar dari mulutku hanya katakata kosong yang 
tidak ada gunanya. Tak ubah dengan katakata 
menyabarkan seorang dokter terhadap pasien yang 
sedang mengerangerang oleh serangan sakit gigi 
yang dahsyat. Tak mau jadi dokter yang gagal 
seperti itu, aku cepatcepat berkata: 
“Eh, Din. Mengapa kita tidak jalanjalan saja?” 
la mencoba tersenyum. 
“Okey. Pertemuan ini memang patut kita 
rayakan. Kau pilih mana? Percut? Gedung Johor? 
Sembahe? Berastagi?” 
“Kupilih yang terakhir...” 
“Hem. Aku mengerti. Kau ingin mengingat 
udara sejuk kota surabaya  di kota yang gersang ini, bukan? Hayo, pantatkupun sudah semutan duduk 
terusterusan di sini!” 
Keluar dari warung, ia bertanya: 
“Kau di depan?” 
Aku mengangguk setuju. Kunci Yamaha force fi 
kuambil dari tangannya. Motor kustater. la sudah 
mau duduk di boncengan waktu tibatiba aidit  
teringat sesuatu: 
“Hai. Tunggu sebentar. Kacamataku 
tertinggal di warung!” 
la bergegas lagi masuk ke dalam. Sebuah 
Vespa  mau parkir. sebab  terhalang oleh 
Yamaha force fiku yang memalang jalan, pengendara Vespa 
memandangku dengan penuh harap. Demi 
toleransi, Yamaha force fi ku majukan. namun  sebab  
tergesagesa, saat  akan berhenti di pinggir jalan 
aku bukannya menginjak rem melainkan 
versnelling. Mesin mati. namun  sebelum mati masih 
sempat melonjakkan motor kedepan, hampir saja 
menyambar sebuah becak berpenumpang seorang 
wanita lesbian  tua dan dua orang anakanak kecil. 
Becak buruburu menyingkir agak ke tengah jalan. 
namun  sebuah mobil yang melaju dengan 
kecepatan penuh dari arah Serdang, rupanya 
menjadi gugup oleh perubahan jalur yang diambil 
abang becak. Mobil banting stir untuk menghindari 
tabrakan dengan becak itu, namun  arahnya justru 
tertuju tepat ke Yamaha force fi yang kunaiki. Sekejap, aku 
masih ingat untuk mengelak. Kedua kaki yang 
menjejak tanah ku tekan kuat untuk mendorong 
motor maju. Malang, aku lupa gigi masuk. Motor itu 
tetap diam. Tak ayal lagi, terasa benturan yang 
keras menerpa bagian belakang motor. Stang 
berputar. Tanganku terlepas. Aku terlompat. 
Terbang di udara. Yamaha force fi terbanting ke tanah 
dengan suara berderak. Tak ingin kepalaku ikut 
berderak, kuusahakan koprol sebelum jatuh. 
Namun tak urung lututku membentur pinggir 
sebuah kios rokok. 
Akibatnya, aku terbanting ke tanah dengan 
kerasnya. 
Sebuah hantaman menggodam wajahku. 
Entah dari mana datangnya, ribuan bintangbintang 
berwarnawarni berlarilarian di sekitarku, 
lalu  menarinari mengelilingi diriku. Tarian 
yang gila itu membuat kepalaku pening alang
kepalang, dan waktu ribuan bintangbintang itu 
lalu  berhenti berputarputar, aku sudah tidak 
ingat apaapa lagi. 
 martini  menangis terisakisak sambil  
membersihkan kotoran di permukaan lukaluka 
lecet sekitar tangan dan lututku. Aku meringis 
menahan sakit yang tidak kepalang, berusaha 
menggigit bibir keraskeras untuk tidak sampai 
mengeluh. Lukaluka lecet itu lalu  ia balut 
dengan yodium lantas ditutup pakai ban aid. 
Kugerakgerakkan tangan dan kakiku, lalu  
meloncat dari tempat tidur. Sekujur persendian 
tubuhku terasa sakit, namun  hatiku lebih sakit lagi: 
“Cina sialan itu!” makiku dengan bernafsu. 
“Sudah tahu lampu merah, masih terus nyerobot. 
Babi. Jadah!” lantas aku bergegas keluar kamar. 
“Mau kemana kau?” tanya martini  dengan 
tangis tersendat. 
“Kemana? Ke Cina itu, kemana lagi? la harus 
mengganti biaya servis Vespa yang rusak. Kau kan 
tahu Vespa itu punya si Dudung. Dari mana aku mau 
ganti? Lagipula, hem. Lukaluka lecet dan sakit 
hatiku harus dibayar mahal olehnya. Akan kuperas 
habis dia. Biar tahu rasa!” 
Dalam mobil yang disetiri oleh martini  
menuju ke rumah sakit Rancabadak, wanita lesbian ku masih 
berusaha menahan maksudku. 
“Sudahlah,” katanya. “Toh Suzuki bebek si 
Cina itu ringsek.” 
“Perduli!” 
“Kau cuma lecetlecet kecil. namun  ia?”  
Di Rancabadak, Si Cina masih belum sadar. 
Salah satu kakinya tergantung pada langitlangit 
tempat tidur. Dokter tengah melakukan transfusi 
darah, dan seorang perawat yang akan keluar dari 
kamar dengan enggan menjawab  pertanyaanku: 
“Tulang keringnya patah.”  
“Patah?” 
“Tepatnya, remuk. Harus dipotong. Kalau pun 
tak dipotong, ia akan pincang seumur hidupnya.” 
Aku terjengah. Namun belum putus harapan. 
Segera kudatangi rumah keluarga Si Cina. Di sana, di 
sebuah rumah kecil dan terjepit di antara dua buah, 
gedung besar dan megah ... yang kuharap tadinya 
salah satu tempat kediaman yang kutuju ..., aku 
disambut oleh isak tangis keluarganya. Ayah 
pemuda Cina yang suratsurat keterangan, SIM 
dan  Suzuki bebeknya masih ditahan oleh polisi itu, 
mohon dengan nada menyesal: 
“Anakku habis bertengkar dengan pacarnya, 
la kebingungan waktu pulang. Mungkin ia tak 
melihat lampu merah dan … ” 
Dan tiba di rumah kembali, martini  tersenyum. 
“Bagaimana sekarang?” tanyanya. 
“Apa boleh buat,” kataku getir. “Cabut saja 
perkara tabrakan itu. Tapi apa si Dudung yang pelit 
itu mau mencabut biaya servis dari tanganku?” 
“Biar kutanggung, sayangku,” martini  
tersenyum semakin lebar, lalu  memeluk 
dengan hangat. “Tapi lain kali, ingat. Jangan sekali
sekali ngebut!” 
“Okey deh. Tak akan sekalisekali. Aku akan 
ngebut dua tiga kali!” martini  mencubitku. Manja. 
 “... bang? Bang fredy krueger !” 
Suara yang sayupsayup itu dekat sekali di 
telinga. Waktu mata ku buka, aku merasa heran. 
Bagaimana aku sampai berada dalam sebuah kamar 
yang mirip dengan kamar si pemuda Cina dahulu  
dirawat? Dan mengapa lututku sakit sekali? Dan 
wajahku! Sebagian wajahku terbalut, dan  terasa 
amat perih! Aku meringis. Dan seseorang terisak
isak di samping tempat tidurku: 
“Aduh, bang. Syukurlah kau sudah  sadar!” 
martini  tak pernah memanggilku abang. 
Waktu aku menoleh, aku memang tidak melihat 
martini . Aku melihat seorang wanita lesbian  lain. Ku coba 
mengingatingat. 
“ ... kau Anna?” 
wanita lesbian  itu menyeka air mata yang membasahi 
pipinya. Lantas tersenyum. Manis sekali. Wajahnya 
bersemu merah. Lama ia tergagap, sampai akhirnya 
bisa menyahut: 
“Aku senang abang masih mengenalku,” 
katanya. Gemetar. Dan wajahnya semakin merah. 
Kutahan rasa sakit yang menyentaknyentak di 
sekujur tubuh. lalu  bergumam seenaknya 
saja: 
“Aku pernah lihat kau sebelum ini.” 
“Ah. Masa,” dengan susah payah ia mencoba 
memandang wajahku, namun  lalu  cepatcepat 
berpaling sambil  tersenyum tersipusipu.” 
“Sungguh!” 
“Iyalah. Kan dahulu  abang pernah mencet hidungku.” 
Ganti aku kini yang berkata: “Ah. Masa!” 
“Iya. Waktu itu bang bilang: He, boru 
tulangku yang jelek. Kau isi apa perutmu sampai 
buncit begitu?” ia tertawa. Polos, dan suaranya 
benarbenar enak di dengar. “Waktu itu aku lagi 
cacingan. Selesma lagi. Sampaisampai waktu abang 
oleskan ke pipiku sambil  mengeluh sungut...” 
Mendengar itu, aku ikut pula tertawa. 
Tarikan mulutku waktu tertawa menarik pula luka
luka di balik pembalut yang menutup sebagian 
wajahku. Terasa perih namun  tidak begitu benar lagi. 
Cerita anna michele  yang mengingatkan masamasa 
yang sudah  lama berselang, membuatku merasa 
senang. Malah kuingat juga akibat perbuatanku 
dahulu  itu. Ayah anna michele  menceritakan kejadian itu 
sambil  tertawatawa dengan kakak wanita lesbian nya. 
Ibuku. Lantas ibu mengusapusap kepalaku, dan 
sempat berkata: 
“... Jangan gitu nak. Siapa tau, anak cacingan 
itu bakal jadi isterimu.” 
“Bang?” 
“Ya?” aku terjengah. Memandang wanita lesbian  itu, yang juga tengah memandangiku. Tampak ia 
memberaniberanikan diri untuk tidak sampai 
berpaling lagi. 
“Apakah perutku masih buncit?” 
Lantas, ia berdiri. Memperlihatkan perutnya 
yan rata di bagian pinggang yang ramping, di bawah 
dada yang mulai tumbuh dengan subur. Dada itu 
bergelombang. Lembut. 
“Eh, Abang kok lihat yang lain,” ia mengeluh 
sungut sambil  menutupi dadanya dengan kedua 
tangan. 
Aku tersenyum. 
“Dan kau tentu tak ingusan lagi,” ujarku.  
la mencondongkan wajah, memperlihatkan 
hidung yang bangir. Hendusan nafas yang panas 
terasa menyapu wajahku. 
“Ada bulu di lubang hidungmu.” 
la tarik wajahnya cepatcepat. Bergumam malu. 
“Oh ya? Biar nanti ku gunting di rumah.” 
“Apa?” aku berlagak terkejut. “Hidungmu 
mau kau gunting?” 
la tertawa. Terpingkelpingkel. 
namun  segera menahan tawanya waktu 
beberapa orang masuk ke dalam. Aku melihat ibu, 
bang tiger , kak jessica  dan  suaminya, lalu kedua 
orangtua anna michele . Juga beberapa orang 
keponakanku yang semuanya mengerubungi 
sekeliling tempat tidur sehingga aku mengeluh: 
“Kenapa engga mengundang seluruh 
penduduk gresik  untuk membesuk?” 
Mereka pada tertawa. Termasuk ibuku yang 
begitu masuk sudah mulai berurai air mata. sambil  
mengusap kedua belah pipinya yang pucat ibu 
berkata: 
“Nak, tadinya dunia kukira sudah kiamat 
waktu kawanmu aidit  tergopohgopoh ke 
rumah memberi tahu kau masuk rumahsakit.” 
“Di mana dia sekarang?” 
“Di bengkel,” jawab  bang tiger . “Yamaha force finya 
sudah engga berbentuk lagi.” 
“Wah…” 
“Tak usah cemas. Si Udin boleh memiliki sisa
sisa Yamaha force fi itu, biarpun orang yang menabrakmu 
sudah menjanjikan akan membeli sebuah Yamaha force fi 
baru untuknya.” “Dan orang itu?” “Yang menabrak?” 
“Heeh.” 
“la baikbaik saja. Mobilnyapun cuma lecet 
sedikit, la bersama keluarganya sudah datang ke 
rumah untuk minta maaf.” 
“Ooo…” “Nak.” 
Aku terjengah sendiri. Menoleh pada kedua 
orang tua anna michele  yang tersenyum ramah. 
Kuulurkan tanganku yang disambut mereka dengan 
jabatan erat dan hangat. Malah, bukan saja jabatan 
tangan mata ayah anna michele , aku melihat tersirat 
adanya jabatan hati. Sesuatu yang punya makna. 
Sesuatu yang minta dimengerti. Dan minta 
disetujui. Aku menghela nafas panjang, 
memejamkan mata untuk menyembunyikan 
perasaan tidak enak yang tergejola dalam dada. 
Rupanya perbuatan itu salah ditafsirkan sehingga 
kak jessica  buruburu berkata: 
“Biarlah si fredy krueger  istirahat saja dahulu .” 
Mereka lalu  pamit tanpa lupa 
mengucapkan do'ado'a untuk keselamatanku. Ada 
dua orang yang enggan untuk meninggalkan 
ruangan. Yang Pertama, anna michele . la 
memandangiku dengan mata yang berkedip. 
Mulutnya bergemit mau mengutarakan sesuatu, 
namun  tidak jadi. Dan tangannya keburu ditarik 
ayahnya keluar dari kamar. Tinggal ibu, yang 
mengusapusap tanganku dengan penuh kasih. 
Tanpa suatu tekanan pada katakatanya, ia 
lalu  mengutarakan apa yang sama sekali tidak 
pernah kuduga begitu aku tadi tersandar dan 
melihat anna michele  ada d samping tempat tidurku. 
“… aku senang melihat kalian intim, anakku. 
Tahukah kau, bagaimana Anna bersikeras untukl 
menjagamu semenjak kemarin di kamar ini?” 
“Ah!” 
“Bersyukurlah, anakku. Belum juga ia jadi 
isterimu, Anna sudah memperlihatkan pengabdian 
seorang wanita lesbian  terhadap lakilaki yang dicintai 
nya.” 
Sesudah  berkata demikian, ibu lalu  
keluar menyusul yang lainlain. Lama aku termangu
mangu memikirkan kenyataan yang buat semua 
keluarga kami merupakan sesuatu yang sangat 
dibanggakan namun bagiku tak lain berarti 
semacam kekuatan tersembunyi yang berusaha 
menyudutkan diriku agar tak sempat lari dari 
kenyataan yang harus kuhadapi. Sampai dokter dan 
seorang perawat masuk untuk memeriksa 
keadaanku, menghiburku dengan katakata bahwa 
aku akan segera diperkenankan pulang, lantas 
lalu  bersamasama memindahkan aku ke 
dalam sebuah zaal yang kebetulan pasiennya tidak 
begitu banyak. Waktu besuk sudah  lama habis, 
saat  di pintu zaal muncul seorang yang masih 
asing bagiku namun  jelas menuju berjalan ke arah di mana aku terbaring. Langkahlangkah orang itu tampak amat  gemulai di atas sepatu berchaak tinggi yang hampir tenggelam di ujung celana bushjean biru tua yang ketat di bagian pinggulnya yang padat. Pinggangnya seperti melekuk enggan di bawah dada yang bidang  dan  bagian depan tertonjol ke depan seakanakan 
mau menembus blous hijau lumut yang tipis 
berleher rendah memperlihatkan lekukan manis 
dari dua buah gumpalan daging yang lembut 
berwarna putih ke kuningan dan  terlindung oleh 
sebuah liontine bermata berlian yang gemerlapan 
dijilat cahaya matahari yang masih bersisa di 
jendela dekat kepala tempat tidurku. la tersenyum dengan sedikit anggukan kepala 
pada pasienpasien yang ia lewati dan kebetulan 
memperhatikan kehadirannya. Tiba di dekatku, ia 
gerakkan kepala sedikit untuk menyingkirkan anak
anak rambut yang menutupi salah satu bola 
matanya yang bundar bersinarsinar di atas pipi 
yang penuh. 
Gendewa bibirnya yang berbentuk lukisan 
stiker dengan tulisan “Don't kiss” yang banyak 
tertempel di buntut banyak kendaraan agak 
melebar waktu ia lahirkan seulas senyum yang 
membuatku benarbenar ta'jub. Senyuman khas 
itu, khusus ditujukan untuk diriku. Apa artinya 
segala perih dan sakit yang sedang mendera baik di tubuh, maupun di hati?  
“Hai, sapanya.”  “... hai!”  
“Kau baikbaik saja?” 
“Seperti Anda lihat.” 
“Ah. Tak usah ber Andaanda. Panggil saja 
nama ku. nyi kembang ,” lantas ia ulurkan lengannya yang 
penuh dan licin seperti lilin. Lima buah jari jemari 
lentik segera tergenggam di telapak tanganku yang 
kasar. Ada getaran pada jabatan itu. Dan aku sendiri sukar untuk menebak. Mana yang bergetar itu. Jari 
jemarinyakah? Atau telapak tanganku? 
“Nama yang indah. Seperti orangnya,” 
gumamku dengan tulus. 
“Pujian usang,” sambutnya. “Kau belum 
mengenalkan namamu.” “Oh...” 
namun  belum sempat aku mengatakan sesuatu 
wanita lesbian  itu sudah  mendahului: 
“Sudahlah. Aku sudah tahu namamu. 
Kawanmu yang mengatakan.” 
“Kawan...?” 
“aidit  nama lakilaki yang berkumis lele 
itu, bukan? la mengatakan siapa kau padaku, waktu 
membantu menaikkan kau ke dalam mobilku 
tempat kecelakaan itu” 
“Oh,” lagi. 
“Apakah kau marah?” 
“Marah?” aku tercengang. “Marah pada siapa?” 
“Aku.” 
“Eh. Pasalnya?” 
“Membuat lututmu bengkak dan tulang 
pipimu mungkin akan cacat seumur hidup ...” 
“Kau ... kau maksud ...,” aku semakin tercengang. 
“Ya. Akulah orang yang menabrakmu kemarin.” 
Terpana. Aku terpana. Benarbenar terpana. Lama. 
“Marahilah aku!” 
Kubasahi bibirku yang kering. Rungutku, pelan: 
“dahulu  aku pernah tabrakan juga.” 
“Hem. Di mana?”  
“Di surabaya .” 
“o, jadi kau sengaja pulang kampung, untuk 
dihantam oleh mobilku,” ia mencoba tersenyum. 
Getir. 
Mendengar itu, aku tertawa kecil. “Kalau 
begitu, aku benarbenar beruntung pulang tahun 
ini.” 
“Eeh, kok?” 
“Kalau tidak, mana aku bisa berkenalan 
dengan wanita lesbian  sejelita kau?” 
“Ini orang gimana sih. Disuruh marah, malah 
memujimuji.” 
“Memuji itu pahala. Marah itu berdosa.” 
“Lagaknya kau!” senyumnya cerah kini. 
Matanya, lebihlebih lagi. Renyai. 
“Mengapa tidak mengunjungi pada waktu bezuk?” 
la duduk di atas kursi di pinggir tempat 
tidurku dengan wajah yang berubah sendu. 
Sahutnya: 
“... Aku malu pada keluargamu. Takut 
bentrok dengan mereka.” 
“Keluargaku bukan tukang makan orang.” 
“namun  mobilku sudah  memakan anak 
tersayang mereka,” 
“Aku tak ingin celaka. Kau pun tentu tidak 
bermaksud mencelakai orang. Lagipula, kau dari 
keluargamu kudengar sudah  datang ke rumah. Itu 
sudah lebih dari cukup.” la terdiam. 
Akupun, ikut pula diam. sebab  terlalu lama 
diam, aku menatap ke matanya. Enggan. Pada saaj 
yang bersamaan, ia pun menatap ke mataku. 
Enggan. Bersamaan pula, kami menghindari 
pandangan mata itu. Enggan. Ah. Mengapa hati ini 
begitu keras untuk tetap memperhatikan wajah 
nya? Mengapa ada denyutandenyutan ganjil pada 
jantung? Denyutan yang memukulmukul. Keras, 
sehingga aku terengahengah sendiri. 
“... sakit?” tanyanya tibatiba. 
“Eh, apanya?” 
“Nafasmu sesak barusan.” 
“Oh ya. Ya. Agak sakit.” 
“Maafkan aku.” 
“Eh. Apaan lagi? Maaf untuk apa?” 
“Aku membuat kau sakit.” 
“Sudah kubilang kau tentu tidak bermaksud ...” 
“Memang tidak. namun  toh nyatanya maksud 
mu untuk bersenangsenang, pulang kampung, jadi 
terganggu ...” 
“Bersenangsenang?” hatiku terenyuh.  
Bersenangsenang, katanya. sambil  tertawa 
kecut, aku bergumam:  
“Justru pikiranku sedang gundah saat  aku 
keluar rumah bertemu sahabat lama dan lalu  
kau terbangkan ke udara ..  
“Persoalan keluarga?”  
“Ngg,… ya” 
Wajahnya kian sendu. sambil  mempermain
mainkan jarijemarinya pada pinggir sprei tempat 
tidur, ia mengeluh: 
“Sebelum menabrakmu, aku juga barusan 
bentrok dengan keluarga.” 
“Oh ya? Boleh aku tahu?” 
la memandangku. Tajam. Lantas aku sadar, 
aku bukan apaapanya sehingga berhak untuk 
mengetahui. namun  ia lalu  tersenyum. 
Katanya: 
“Nanti juga kau akan tahu.” 
“Nanti?” 
“Emangnya, kau lebih suka kalau kita 
berpisah sampai di sini saja?” sepasang bola 
matanya yang bundar, bersinar ganjil. “Kalau 
begitu, kau memang marah dan tidak menyukai 
diriku.” 
Lantas ia bergegas. Bangkit. 
“Hey, tunggu dahulu .” 
la memandangku sejurus. Matanya renyuh. 
“Jadi kita akan bertemu lagi?” 
Mendengar itu, aku beruntung lagi memperoleh 
senyuman manis dibibirnya. 
  “Selama kau menerima maafku,” jawab nya. 
“Berapa keranjang kau mau?” 
wanita lesbian  itu tertawa. Cerah. Dan tawanya 
membuat aku lupa segalagalanya. Aku bangkit 
duduk, la terkejut, menoleh ke arah lututku. Cemas, 
Lutut itu kugerakgerakan. Sakit memang. namun  
aku lakilaki. Dan kebanyakan lakilaki memang 
senang memperlihatkan gengsi. 
“Kau lihat?” ujarku dengan bangga. “Lututku 
tak apaapa. Kepalaku pun ...,” dan kepala yang 
berbalut kuketukketuk dengan buku jari telunjuk 
berkalikali. “Tak terasa apaapa. Kehadiranmu 
rupanya lebih mujarab dari segala kemampuan 
medis yang sudah  dikerahkan dokter rumah sakit 
ini!” 
“Jangan jual lagak. Sakitmu bisa payah,” 
katanya cepatcepat sambil  menekan dadaku 
dengan jari telunjuknya, sehingga mau tak mau aku 
terbaring kembali di tempat tidur. “Beristirahatlah. 
Sehingga kalau nanti kita bertemu lagi, rumah sakit 
tidak tertimpa rugi sebab  terpaksa mengganti 
kasur yang sudah kempes terusterusan kau tiduri, 
Nah. Sudah ya? Aku pergi.” 
Dan saat  ia pergi, benarbenar pergi, aku 
tidak saja merasa kehilangan sesuatu yang teramat 
berharga dalam hidupku. namun  aku juga merasa 
kesakitan yang amat sangat di lututku yang 
bengkak, dan  perih yang tak tertahankan di 
balutan kepala. Aku ingin menjerit. Dan saat  
seorang suster buruburu datang Sesudah  tombol di 
kepala tempat tidur kupijit berulangulang, aku 
benarbenar pula menjerit: 
“Kalian apakan lututku, ha? Di rebus!” 
TULANG lututku yang sambungannya agak 
tergeser sebab  terhantam ke kios rokok sudah  
mulai bekerja dengan normal waktu aidit  
membimbingku jalanjalan di halaman samping 
rumah sakit. Kami duduk di sebuah bangku kayu 
yang sudah reyot, berhadapan lurus dengan jalan 
Sena yang lengang. saat  terlihat bangunan 
sekolah dasar nun di kejauhan, tanpa sadar jari 
telunjuk menyelinap di selasela bibirku yang 
setengah terbuka. Menyentuh tempat kosong di 
dekat rahang. 
“Perlu tusuk gigi?” celetuk aidit  sambil  
menyodorkan kotak korek api. 
Aku ambil kotak korek api itu. 
Menunggu. 
aidit  melongo. 
“Apa lagi?” 
“Nenekmu,” aku memaki. “Ngasi korek api 
kok tanpa rokok!” 
la terbahak, lantas mengeluarkan sebungkus 
“Gudang Garam” kesenanganku. Kuambil sebatang. 
Lantas menyulutnya dengan nikmat. Memandang 
depan lagi. Ke arah bangunan sekolah dasar di 
kejauhan. 
“Din” 
“Hem?” 
“Siapa sekarang direktur sekolah kita di sari itu?” 
“Entah. Kenapa rupanya?” 
“Aku ingat direkturnya dahulu , adalah guru 
kelas kita pula ...” 
“Hem. Aku juga ingat. Malah tak akan pernah 
kulupakan seumur hidup bagaimana pak nyoto  
pernah menempeleng aku. Rasanya seperti baru 
terjadi kemarin... ia pilin ujung kumis lelenya. 
Waktu itu baru habis hujan, ingat? Lapangan 
rumput basah. Sehelai rumput layu dan busuk, kau 
jemput dari tanah. Kau kasihkan ke tanganku, lantas 
kau bisikkan di telingaku: kau tau si nyi girah ? kujawab  ya. Kau bisikkan lagi: ia paling takut sama lintah. Oh ya, ya ujarku mulai mengerti. Lakukanlah sekarang, katamu sambil  tersenyum. Aku berlari ke si nyi girah , membentak sambil  melemparkan rumput busuk, 
licin dan basah berwarna coklat itu ke betisnya. Si 
Neli menjerit, lantas jatuh pingsan. Sialnya, cuma 
aku saja yang digampar pak nyoto . Padahal kau yang punya ide.” 
Aku tertawa. Sahutku:  
“Hukumanku toh sudah  kuterima, Din 
seminggu Sesudah nya. Bukan oleh pak nyoto , namun  si 
tiny . Yang dagunya lancip itu, ingat? Nah, 
seminggu Sesudah  kejadian yang sial bagimu itu, aku kebagian yang lebih sial lagi. Aku berkelahi dengan si Lumban garagara waktu main kelereng ia curang. Jengkel, kelereng kulemparkan ke mukanya. Kena di  hidung. la menjerit. Lantas menangis. Kakaknya si  tiny  yang sekelas dengan kita, balas 
melemparku. Bukan dengan kelereng. namun  pakai 
batu. Kena di sini... aku menunjuk ke arah gigiku 
yang ompong dekat geraham. 
aidit  kini yang tertawa. Bergelak. 
“Lantas kau ngacir pulang ke rumah. 
Mengadu pada ibumu. Melihat mulut berdarah dan 
gigimu sebuah diambil setan, ibumu berlarilarian 
ke sekolah, masuk ke kelas dan mencakmencak di 
hadapan semua murid…” 
“Dan pak nyoto  yang galak itu, diam tak 
berkutik,” sambungku. “Coba bayangkan, kalau itu 
terjadi sekarang. Wah, malunya bukan main!” 
“Kalau sekarang, ibumu kan tak bisa mencak
mencak lagi. Kau pun tak pantas lagi dibela... 
pantasnya di...,” ia tibatiba memandangku dengan 
wajah penuh tanda tanya. Yang lalu  ia 
lemparkan lewat mulutnya: “Benarkah kau akan 
dikawinkan dengan anak dari adik lakilaki ibumu 
itu?” 
Ulu hatiku terasa melilit. 
“Celakanya, begitulah,” keluhku. Sakit. 
“Kau beruntung kalau begitu.” 
“Nenekmu!” 
“Eh, kau senang menyebutnyebut nenekku, 
la sudah almarhum, fredy krueger . Kalaupun ia masih 
hidup, ia tak pantas disandingkan dengan kau. 
Hehe. fredy krueger , mengapa kau tolak kemauan 
keluargamu? Waktu membezuk tadi, sempat 
kuperhatikan anna michele . Menang agak kekanak
kenakkan. Kau bilang ia baru kelas satu esema 
bukan? Jadi kirakira umurnya sekarang enam belas 
tahun. dahulu  umur segitu masih terhitung anak 
bawang. Sekarang jamannya lain. Mana anna michele  
senang padamu. Cantik pula lagi. 
“Dibayar berapa kau oleh keluargaku untuk 
mengatakan itu?” 
“Aku bersungguhsungguh, kawan.” 
“Dan aku tak bercanda mengatakan bahwa 
aku sudah  kawin di surabaya .” 
“fredy krueger ,” ia tatap mataku. Dalam. Bersahabat. 
“Di surabaya  sana, samen leven yang kau lakukan 
mungkin sesuatu yang tak menghebohkan lagi. 
namun  di sini? Memang kota ini sudah  semakin jauh 
berkembang. namun  adat? Adat tetap pada 
bentuknya semula. Tidak berkembang sama sekali, 
meskipun sudah menciut di sana sini. Sukar bagimu 
untuk mengelak, kawan.” 
Aku terdiam. Kusut benakku. Kemelut. 
“Terima saja kehadiran wanita lesbian  itu, fredy krueger . 
Setidaktidaknya, ia sudah  berbuat baik cukup 
banyak demi ibumu. Bahkan demi kau ...” 
“Segampang itu benarkah?” rungutku.  
“Orang kawin harus ditambah  cinta.” 
“Cintakah kau pada martini mu yang di surabaya .” 
“Kukira begitu” 
“Kau kira?” 
“... kami selalu menghindari persoalan cinta. 
Selama kami hidup bersama, kami merasa diikat 
oleh perasaan suka satu sama lain. Aku sendiripun 
kadangkadang bingung. Mana yang lebih kuat 
pengaruhnya di antara cinta dengan suka. Perasaan 
suka bisa melahirkan cinta. Sebaliknya, perasaan 
cinta selalu  mendatangkan kesukaan pula. 
Mungkin cinta itu adalah suka. Atau suka itu adalah 
cinta. Sukar membedakan keduanya. Setidak
tidaknya, dalam persoalan yang kuhadapi bersama 
martini . Cinta atau tidak, yang jelas kami saling 
menyukai. Denga modal itu kami hidup di bawah 
naungan satu atap rumah. Sepiring semangkok, 
setempat tidur seselimut …” 
“Itu zinah namanya.” 
Aku tertawa. Pahit. 
“Apa yang kau lakukan, membeli wanita lesbian  
sejam dua jam, bukan zinah?” 
“Jual beli itu ada transaksinya. Syah.” 
“Sama seperti orang menikah, bukan? Ada 
transaksi, di atas kartu nikah. Jadi, orang kawin pun 
melakukan jual beli, kalau begitu. Hayo!” 
“Ada bedanya, kawan.” 
“Apa?” 
“Yang satu terhormat. Yang lain tercela! 
Mungkin itu pandangan manusia bisa berobah. 
namun  Tuhan tidak, bila kau masih merasa dirimu 
orang beragama!” 
martini  juga orang beragama. Malah ia 
sering mendampratku kalau ia lihat aku lalai 
mengerjakan sembahyang. Lantas aku bersujut. 
Menghadap Tuhan. Bertanya dengan perasaan 
gundah: 
“Apakah yang kulakukan ini tidak munafik?” 
Dan martini  akan memelukku. Berbisik lembut, 
penuh kasih: 
“Tergantung isi hatimu, sayangku!” 
“namun , martini . Perkawinan serupa ini dikutuk 
Tuhan.” 
la tersenyum. Tabah. 
jawab nya: 
“Katakanlah kita, menikah secara syah di 
depan penghulu. Lantas sebab  macammacam hal 
yang tidak bisa kita elakkan sebagai manusia yang 
lemah di depan penghulu yang sama kita bercerai, 
itupun dikutuk Tuhan, sayangku. Sedang dalam 
posisi kita sekarang, bila kita berpisah, kutuk itu 
tidak akan terjadi...” 
“Tak ada yang bisa memisahkan kita, martini .” 
“fredy krueger ku, kekasih. Aku sependapat dengan 
kau. namun  jangan lupa, bila Tuhan menghendaki 
sesuatu akan terjadi, maka sesuatu itu pada 
waktunya bisa terjadi!” 
Itukah sebabnya, mengapa wanita lesbian  yang 
begitu teguh dan kukuh pendiriannya, dan  tabah 
hatinya toh menangis dan  tidak terpejam matanya 
sesaatpun pada malam sebelum aku berangkat 
meninggalkan surabaya ? Apakah martini  sudah  
merasakan, bahwa Tuhan mulai memperlihatkan 
kekuasaan untuk memisahkan kami? Tidak. Itu tak 
akan terjadi. Betapa aku merindukan martini , kini. 
Tak akan terjadi. Minimal, tidak akan dari pihak 
anna michele . la boleh menjadi dewi penolong bagi 
keluargaku namun  bagiku ia tidak lebih dari Supraba 
yang penggoda. 
Lalu bagaimana aku harus menentukan sikap 
di, depan ibu, sebagai anak bungsu yang di matanya 
merupakan anaknya yang paling baik? 
“… fredy krueger .” 
“Heh?” aku tersentak. 
“Itu ada yang melambai.” 
Aku mengikuti arah telunjuknya. Sebuah 
mobi melesat dengan manis di luar pagar sepanjang 
jala Thamrin. Mobil yang mengirimkan aku ke 
rumah sakit selama beberapa hari. Sebuah tangan 
yang mulus dan putih menghilang di balik jendela 
depan mobil yang terus meluncur. Tanpa sadar aku 
terseok seok  ke pinggir pagar, mobil tadi membelok 
perempatan jalan Thamrin dan Serdang, dan aku 
merasa hati ini berbungabunga waktu melihat 
kendaraan itu memasuki halaman parkir.  
aidit  melongo. 
Lalu, gelenggeleng kepala. Tak mengerti. 
“Heran,” katanya.” Wajahmu yang barusan 
kusut, berubah cerah Sesudah  melihat wanita lesbian  tadi. 
Apakah kau sadar kau berada di banyak 
persimpangan jalan, kawanku?” 
Pertanyaan yang menjurus itu, membuatku 
terbungkam. 
“Udin, kau...” 
la memilinmilin ujung kumisnya 
Dengan wajah muram, lalu  ia bergumam: 
“Aku tidak menuduh, kawan. Aku hanya 
melihat, bahwa perasaan suka yang kau sebut
sebut tampaknya akan berjangkit ke alamat lain.” 
“Eh, nanti dahulu ,” kataku dengan gusar. 
“Bagiku nyi kembang  tak lebih dari seorang sahabat. Aku 
menyukainya, seperti aku menyukai engkau ...” 
“Alah, jangan berputarputar. Kita kan sama
sama laki-laki !” 
Lantas, Sesudah  berkata demikian, ia menyalamiku. 
“Semoga lekas sembuh, fredy krueger . Sehingga 
maksud kita jalanjalan ke Berastagi yang tertunda 
itu, bisa teruskan.” 
“Mau ke mana kau?” 
“Kemana? Menyingkir, tentu.” 
“Lho!” 
la berjalan menjauh. 
“Kehadiranku akan mengganggu,” katanya.  
“Jangan begitu. Apa kata nyi kembang  nanti?”  
aidit  tersenyum. Getir.  
“Percayalah, nyi kembang  lebih senang melihat aku 
tidak berada di antara kalian,” 
namun  kawanku yang perasa itu terlambat 
nyi kembang  sudah  muncul di korridor samping, bergegas ke 
arah kami berdiri dengan wajah kemerahmerahan 
di panggang matahari dan butirbutir keringat di 
ujung hidung sebab  baru habis berlarilari. Aku 
sempat melihat hal itu lewat jendela tembus 
ruangan zaal, meskipun Sesudah  berada di dekat 
kami nyi kembang  tampak berjalan melenggang. 
“Apa kabar bung aidit ?” Sapanya sambil  
menjabat tangan kawanku. “Senang bertemu kau di 
sini.” 
“Ah. Yang benar,” sambut kawanku, sambil  
menatap sekujur tubuh wanita lesbian  yang menjabat 
tangannya. Tatapan mata laki-laki , gelitik hatiku: 
“Sungguh lho. Kebetulan aku baru dari toko. 
Tadinya bermaksud mau terus ke rumahmu 
sepulang dari sini.” 
“Baru dari toko? Mau ke rumahku? Apa artinya ini?” 
“Artinya, sebuah Yamaha force fi  yang betul
betul baru dan masih mulus, akan segera 
berkenalan dengar pantatmu yang kempes itu,” 
kata nyi kembang  sambil  tertawa bergelak. “Nih kwitansinya 
ambil untuk kau bawa ke toko di mana motor itu 
sudah tersedia ...” 
sebab  kwitansi itu tak juga diterima 
aidit , nyi kembang  ikut pula bingung. 
“Ambillah,” katanya. 
“Apaapaan ini?” rungut kawanku. Gusar. 
“Lho, bukankah beberapa hari yang lalu ...” 
“Benar, waktu itu kau kutuntut untuk 
mengganl kerugianku. namun  tahukah kau, bahwa 
waktu itu aku sedang marah besar bukan sebab  
Yamaha force fi rusak, melainkan sebab  rencanaku untuk 
piknik bersama fredy krueger  ke Beraetagi jadi tertunda?” 
“Sejitu?” sepasang bola mata nyi kembang  membesar. 
“Segera Sesudah  sahabatmu sembuh, kita bisa piknik 
bersama ke mana kalian suka.” 
“Kita?” tercengang lagi aidit . 
“Apakah wanita lesbian  jelek dan hina dina ini 
mau disingkirkan begitu saja?” 
aidit  menjadi murung. 
“Mengapa dengan kau?” aku mencoba memartini ahi. 
Sahabatku itu memandangku dengan mata 
layu. “Kalau begitu, kita tak jadi piknik, kawan”  
“Eh, melantur kau!”  
“Tidak...”  
“Sebabnya?” 
la Menelan ludah. Ujungujung kumis lelenya; 
terkulai jatuh. 
“sebab ...,” lagilagi ia menelan ludah, 
membasahi bibirnya yang kering. ''Kalau aku ikut, 
maka... aku akan sendirian.” 
“Sendiri bagaimana. Kau jangan mengadaada ah!” 
“Iya. Kan kau dengan nyi kembang . Lantas aku dengan 
siapa?” 
“Oooo,” nyi kembang  mengomentari . “Gampang, kalau 
begitu. Tipe bagaimana yang kau sukai ? akan 
kucarikan seorang untuk menemanimu.” 
Aku jadi menekap tangan ke mulut untuk 
tidak sampai tertawa bergelak. 
“Kau toh bukan makelar,” guman kawanku, gugup. 
“Makelar atau tidak, kau tak usah 
membayar,” aku menyeletuk. 
aidit  mendelik ke arahku. 
“Sorry,” ucapku, “Sorry nenekmu.” 
“Nah, kini kau yang mulai latah menyebut
nyebut nenekku, la masih hidup, tahu? Apakah kau 
ingin nenekku yang kuundang untuk ikut menemani  mu piknik?” 
“Apa yang kalian pertengkarkan?” tanya nyi kembang   sambil  menahan tawa. la lalu  menyelinapkan 
kwitansi pembelian sepeda motor langsung ke saku kemeja aidit . 
Kawanku memprotes dan mau mengembalikannya. 
namun  nyi kembang  menolak. “Kau kembalikan itu, berarti 
kau dendam padaku.” 
“Ah ...” 
“Untuk aku saja. kalau kau tak mau,” 
ancamku sambil  bertindak seolaholah mau 
merampas kwitansi di tangan aidit . la 
mendelik lagi. Aku jadi mundur. Tak ingin kena 
pukul, sebab  aku lihat diamdiam salah satu 
tangannya mengepal. 
“Kalau dipaksa, apa boleh buat,” katanya 
dengan suara rendah.” Tampaknya aku disogok 
untuk tidak buka mulut.” 
“Buka mulut tentang apa?” aku bertanya heran. 
“Ah. Diamlah kau,” bentaknya sambil  
tersenyum dan ekor matanya silih berganti 
menatapku dan menatap nyi kembang . Si wanita lesbian  jadi tersipu 
dengan wajah kemerahmerahan, lalu  
melambai pada aidit  yang berjalan meninggal 
kan kami. Begitu menginjakkan kaki di korridor, 
aidit  setengah berseru: 
“Harap kalian ingat. Ini di rumahsakit. Bukan 
taman bunga. Dan ... persetan sama kau, fredy krueger !” 
Lama sudah aidit  menghilang. 
namun  baik aku maupun nyi kembang , belum 
mengucapkan sepatah katapun jua. Saling pandang 
pun tidak, la terus menekuri tanah berumput di 
ujung sepatunya, sedang aku tak tahu apa yang 
kucari di korridor Idi mana barusan aidit  
menghilang. Sampai lalu : 
“ ... ia sebetulnya  pemuda tampan,” gumam nyi kembang . 
“Udin?” 
“Ya...” 
“Kau tertarik?” 
Barulah ia menatapku. Aku tidak mengelak. 
Lama kedua pasang mata kami saling berpagutan, 
dan teramat sukar untuk menghindarkan pagutan 
yang teramat berbisa itu. Ada getaran lembut di 
jantung, dan  elusan hangat di dalam dada. 
“Sayang agak kumal, bukan?” 
“Apanya?”  
“Kawanmu itu.” 
“Oo. la terlalu memikirkan keluarganya, 
sehingga mengabaikan dirinya sendiri.” 
Suara nyi kembang  terenyuh waktu berkata: 
“Apakah setiap keluarga selalu ditumpuki 
persoalan yang membuat dunia ini semakin sempit 
untuk brang bisa bernafas?”  
Aku mencoba tersenyum. Tanyaku:  
“Apakah kita akan terus berdiri di sini 
dipandangi orangorang yang lewat di jalan, atau 
bersediakah kau duduk di bangku reot itu?” aku 
menunjuk ke bangku kayu yang tadi kududuki 
dengan aidit  sebelum nyi kembang  lewat dengan 
mobilnya di jalan. 
“Di mejamu tadi sempat kusimpan oleholeh 
lewat jendela. Jeruk segar dan buah appel. 
Kuambilkan?” 
“Ah, biarlah kita ke sana saja. Mentari tampak 
tidak suka melihat semua makhluk berkeliaran 
bawah kakinya.” 
Kami berjalan berdampingan meninggalkan 
halaman rumah sakit, melangkah tanpa tergesa
gesa sepanjang korridor, mengangguk pada suster 
yang kebetulan berpapasan, lalu  masuk ke 
dalam zaal. Pasien yang mulamula aku masuk 
jumlahnya ada tujuh orang, kini tinggal empat, 
termasuk aku sendiri. Zaal itu lengang, sebab  tiga 
pasien lainnya rupanya sedang tidur. 
“Di surabaya  sana,” ujarku pelan Sesudah  
duduk di pinggir tempat tidur. “Rumah sakit tak 
pernah kosong. Pulang satu, datang dua. Seolah
olah mengikuti semboyan pasukan Siliwangi. Esa 
hilang, dua terbilang ...” 
la memandangiku dengan mata yang bulat penuh. 
“...kapan plester di tulang pipimu akan di buka?” 
“Kata dokter, sore nanti.” 
“Parahkah?” 
“Sedikit jahitan. Tentu saja akan meninggal 
kan bekas ...” 
“Aku menyesal!” 
“Eh, nyi kembang . Jangan ulangi katakata sentimentil 
itu Lagipula, cacat kecil ini kan lumayan buat oleh
oleh kubawa pulang ke surabaya .” 
saat  menyebutkan kata surabaya , hatiku 
jadi tergugah. surabaya , berarti kembali 
kepangkuan martini . Kerinduan itu tibatiba 
datang. Kerinduan yang tidak sebesar, sebelum nyi kembang  
kini berada di sampingku. Wahai, apa yang terjadi 
dengan diriku? Apakah banyak persimpangan jalan 
itu sudah  berada di depan mataku untuk kutempuh 
seperti yang tadi disindirkan aidit ?  
Persimpangan jalan? Mengapa bersimpang? 
Bukankah aku akan kembali ke martini , tetap 
memiliki dia dan ia miliki? nyi kembang  toh hanya sekedar 
teman dari suatu peristiwa yang samasama tidak 
kami kehendaki dan lalu  menimbulkan 
jalinan persahabatan. Persahabatan? Apakah 
perasaan yang tengah berkecamuk dalam diriku, 
hanya sekedar perasaan bersahabat. 
Lantas, mengapa waktu kutatap wajah nyi kembang , hati ini bergetar? 
Si wanita lesbian  tidak mengelakkan tatapan mataku. 
Dan mata yang indah itu, teramat sendu waktu 
kuucapkan kalimat “pulang ke surabaya .” 
Mengapa? Mengapa matanya jadi sendu, kalau aku 
pulang ke surabaya ? Apakah sebab  akan 
kehilangan seorang sahabat? Hanya seorang 
sahabat? 
“... kapan kau pulang?” tanyanya sekonyong
konyong, seolaholah menegaskan kekacauan yang 
tengah berkecamuk di benakku. 
“Ke rumah? Besok pagi.” 
“Maksudku, ke surabaya .” 
Aku terdiam, la menanti. Sambil menanti, ia 
ambilkan sebuah jeruk yang besar dan segar, la 
kupas kulitnya, la beset satu persatu, ia serahkan 
pula ke tanganku satu persatu, yang lalu  
kumasukkan ke mulut, satu persatu. Setengah dari 
jeruk itu sudah  habis kumakan, waktu aku teringat 
untuk memberitahunya: 
“Mengapa tak kau makan?” 
“Ini untukmu,” katanya, tersenyum. 
“Sebegini banyak? Bagaimana aku akan 
menghabiskannya?” 
“Terserah. Boleh kau berikan pasienpasien 
lain. Boleh dibawa pulang ponakanponakanmu 
kalau mereka bezuk. namun , semua ini kubawa 
untukmu Hanya untukmu seorang.”  
Aku menatap matanya. 
Dan ia menerima tatapan itu, dengan kilatan 
ganjil di matanya. 
“Makanlah ... ,” bisikku. 
“Nanti saja. Kau dahulu .” 
Kuulurkan irisan jeruk di tanganku, langsung 
ke mulutnya, la terjengah sesaat, lalu di saat 
berikutnya mulutnya yang bagus terbuka sedikit. 
Irisan jeruk kuselinapkan di antara dua baris giginya 
yang putih gemerlapan. saat  meninggalkan mulut 
itu, jari telunjukku sempat menyentuh tepi bibirnya. 
Bibir itu tergetar, dan terasa panas bagai kobaran 
api. Belum lagi tanganku menjauh, ia sudah 
memegangnya. Erat Kami bertatapan lagi. 
Berpagut. Seorang pasien batukbatuk di ujung zaal. 
Pasien itu menggeliat di bawah selimut. Batuk lagi, 
Lantas mendengkur. 
nyi kembang  tersadar. Cepatcepat ia tarik tangannya, 
Wajahnya merah padam. 
“Aku pulang saja,” bisiknya dengan suara berat. 
Lalu berdiri. 
“nyi kembang ...” 
la tertegun. Memandangku. Matanya 
berlinang. Ia menggigit bibir, memutar tubuh lantas 
berlarilari kecil keluar zaal. 
sampai kutinggalkan rumah sakit keesokan 
harinya, wanita lesbian  itu tidak pernah kelihatan lagi. Aku 
dijemput oleh ibu, kak jessica  dan suaminya. Tidak 
kulihat seorang keluarga anna michele . namun  kak jessica  
sempat membisikkan, mobil yang di jalankan 
suaminya menuju pulang ke rumah, adalah mobil 
adik lakilaki ibuku itu. Pulang. Bisikan mana ia 
tambahkan dengan katakata: 
“... mereka agak tersinggung saat  akan 
membayar rekening rumah sakit.”  
“Kenapa?” 
“Biaya perawatanmu sudah  dibayar orang lain 
lebih dahulu .” 
“Siapa?” tanyaku ingin tahu, meskipun aku 
sudah bisa mengirangira siapa orangnya gerangan 
yang begitu baik hati untuk mengeluarkan jumlah 
uang yang cukup banyak itu.  
“nyi kembang .” 
“nyi kembang ?” kutahan goncangan aneh yang terasa menyentuh jantungku. Bukan sebab  ia sudah  bayar  rekeningku, melainkan sebab  kudengar namanya  disebutsebut. 
“Kau tak kenal?” tanya kakakku dengan mata 
penuh selidik. 
“... tidak.” 
“la orang yang menabrakmu.” 
“Oh!” 
“Apakah ia tak pernah membezuk selama kau 
dirawat?” 
Hampir saja kukatakan ya, kalau tidak ingat 
ibl di sampingku, dan lebihlebih sebab  teringat 
dibayarkan rekening rumah sakit saja keluarga 
anna michele  sudah  merasa dilampaui apalagi kalau 
mengetahui betapa wanita lesbian  itu menunjukkan 
perasaan yaang berlebihan terhadap diriku. 
Berlebihan? Mengapa aku tega mengatakan 
demikian? Tidak. Tidak pasti berlebihan! Mungkin 
sikapnya demikian, ia perlihatkan untuk menebus 
kesalahannya sudah  menciderai diriku. namun  
benarkah cuma sebegitu? Seseorang bisa berpura
pura lewat sikapsikapnya, namun  tidak bisa 
berdusta lewat matanya. 
“Hem. Terlalu benar!” kata  kak jessica .  
“Ya kak?” 
“wanita lesbian  itu. Tak membezuk. Hem. Pikirnya, 
dengan datang ke rumah ditemani ayah dan ibunya 
sudah cukup. Ditambah dengan membayar biaya 
perawatan. Betulbetul terlalu ...!” 
Ibu yang dari tadi diam saja, menyela: “Ah, 
nak. Tak usah diributkan. Datang pada kita sudah 
bisa dianggap datang pada fredy krueger . Masih syukur 
mereka unjuk muka. Orang lain, belum tentu. 
Jangankan muka. Punggung pun kalau perlu, 
disembunyikan.” 
“namun  ibu…” 
“Sudahlah, jessica ,” mengomentari  suaminya dari 
depan. “Apa yang dikatakan ibu benar adanya. 
Jangan pula kau mengadaada sehingga bisa 
menimbulkan kesan tak baik di mata fredy krueger . Yang 
penting, ia sudah sembuh dan selamat sebagai 
mana kita kehendaki, bukan?” 
namun  apa yang jauh lebih penting, kuhadapi 
malam harinya di rumah. Di luar setahuku, hampir 
semua sanak keluarga dari pihak ibu maupun 
almarhum ayah, berkumpul di rumah. Umumnya 
yang sudah berkeluarga, dan kebanyakan di 
antaranya adalah orangorang tua yang baik 
menurut sopan santun apalagi menurut ketentuan 
adat, harus kuhormati dan kalau perlu kupatuhi 
katakatanya tanpa membantah. 
Sesudah  makan malam seadanya selesai dan 
perangkat bekas hidangan sudah  dibersihkan 
sehingga di ruang tengah yang tak begitu luas 
tinggal orangorang yang dianggap tetua keluarga, 
barulah bang tiger  mengucapkan terimakasih atas 
kehadiran mereka semua. Pembicara selanjutnya ia 
serahkan pada suami kak jessica  yang terbatabata 
saat  mengutarakan maksud berkumpulkumpul 
itu. 
“Di samping silaturrachmi sebab  tidak selalu 
kita samasama berkumpul seperti ini, juga 
membicarakan tentang maksud keluarga di sini 
untuk memperkuat tali perbesanan di antara 
keluarga kita semua.” 
Aku menggenggam tangan kak jessica . 
Digenggam erat begitu, ia memandangku, 
dan serbisik dengan suara tajam: 
“Jaga tingkah dan tutur katamu.” 
Dan apa yang dibicarakan mereka semua, 
sampai kepada keputusan bahwa paman dan  
suami kak jessica  merupakan utusan yang ditunjuk 
untuk menghubungi secara adat keluarga anna michele  
dan  tugas bang tiger  mengatur peralatan 
perkawinan apa adanya dan mengundang orang
orang yang dianggap perlu, bagiku tak lebih dari 
dentumandentuman meriam dan ledakanledakan 
mortir yang dengan kejam menghancur luluhkan 
tidak saja jasadku, namun  juga jiwaku. Aku terduduk 
dengan tubuh kaku kejang di tempat dudukku, 
sampai ruangan itu kosong dan tinggal aku bertiga 
dengan kak jessica  dan bang tiger  saja yang masih 
belum beranjak dari tempat masingmasing. 
Dengan penuh perasaan kasih, kak jessica  melap 
keringat dingin yang membasahi wajahku dengan 
saputangannya. 
“… kau kegerahan,” katanya. “Udara gresik  
memang jauh berbeda dengan udara surabaya , 
namun  kan kau juga orang sini dahulu nya.” 
Ucapan yang setengah bergurau itu tidak 
membuat terhibur sama sekali. Malah ucapannya 
mengingatkan aku tentang surabaya , dan surabaya  bagiku berarti martini . Lututku yang sudah 
sembuh, baru saja dibuka, seperti merekah lagi. 
Lebar. Menganga. Dan... 
Jurang itu! Jurang itu menganga! Jurang yang 
kulihat dalam impianku sebelum meninggalkan 
martini . Jurang yang juga ia lihat dalam impiannya 
waktu martini  tertidur di mobil sementara melaju 
ke surabaya . Jurang itu sekarang terbentang di 
hadapank Dalam. Gelap. Suram. Terjal. Mengerikan. Aku kehilangan pegangan untuk terjun dengan 
selamat Dengan deras aku terhempas ke bawah, 
tanpa mendapat kesempatan untuk berpikir. 
Akhirnya, sebab  aku terusterusan 
bungkam, bang tiger  buka mulut: 
“Kau sudah siap, bukan?”  
Aku terjengah. 
Untuk pertama kali selama berjamjam 
bahkan rasanya selama berabadabad yang lengang 
dan menakutkan, aku tergagap: 
“... apa, ... bang...?” 
“Kubilang, apakah kau sudah siap?” 
“Siap? Siap untuk apa?” 
“He. Kau kemanakan telingamu? Apakah 
selama orangorang tua tadi membicarakan dirimu, 
kau membutakan mata dan menulikan telinga?” 
“Aku ... aku …” 
“Sudah! Aku tak mau dengar alasan apapun 
lagi dari mulutmu!” 
“Bang, pelan sedikit....”, membujuk nyi girah . 
“Diam kau. Tak kau lihatkah, bagaimana anak 
ini mau coba bertingkah?” 
“Biarkanlah dahulu  ia menenangkan perasaan, bang.” 
“Tak ada waktu lagi, utusan besok akan 
dikirim, dan jawab an sudah bisa diduga. Dan jangan 
lupa. Keluarga anna michele  sudah  lebih dahulu 
memberitahu keluargakeluarga pihak mereka. 
Bahkan wanita lesbian  itu jauhjauh sudah  memberitahu dan 
mengundang temanteman dekatnya…” 
“Apa?” aku terjengah. “Anna sudah …” 
Bang tiger  tersenyum. Bangga. 
“la mencintaimu, fredy krueger . sudah  lama ia 
mencintaimu. Kata putus belum diambil, namun  ia 
sudah  yakin bahwa cintanya tidak akan kita sia
siakan. Benar begitu, fredy krueger ?” 
“Benar ... benar apanya, bang?” 
“Bodoh! Cinta Anna tak akan kau siasiakan, 
bukan?!” 
“Cinta,” mulutku bergerimit. “Kalian 
menjejalkan cinta seorang wanita lesbian  ke mulutku, 
semenara cinta wanita lesbian  lainnya yang juga kucintai, 
kalian abaikan begitu saja!” 
“Itu kau namakan cinta, hah? Sudah berapa 
kali kubilang, itu cuma Zinah? Zinah! Zinah!” bang 
tiger  memukulmukulkan tangannya ke lantai, 
sampai ia meringis sendiri, kesakitan. Mukanya 
yang membara, seperti mau menghanguskan diriku 
dengan buasnya. “Masih untung tetuatetua yang 
hadir tadi tidak tahu apa yang kau lakukan di 
surabaya  sana. Kalau mereka sempat dengar... 
wahai, kiamatlah dunia!” 
“Bah!” aku memaki. 
“Bah apanya?” teriak bang tiger  sambil  
merentak berdiri. Dari kamar terdengar ibu batuk
batuk kecil. Kak jessica  tergopohgopoh memegangi 
bang tiger , berusaha menyabarkannya. 
“Jangan memicu  ribut tengah malam begini. Apa 
nanti kata tetangga kalau ada yang dengar?” 
“Jadah!” sungut bang tiger , duduk kembali. 
“Cabut katakatamu itu, bang,” tantangku. 
“Jadah!” ulangnya.  
Dan lebih keras lagi: “Jadaaaah!” 
Tahutahu saja, sebelah kakiku sudah  menari 
di udara. Lembut dan gemulai. namun  sewaktu 
mendarat, tepitepi telapak kakiku itu sudah  
berubah sekeras batu. Tak sampai satu detik 
berikutnya, bang tiger  terangkat dari duduknya, 
lalu  terlempar jauh membentur tembok. Kak 
jessica  memekik tertahan. 
la berlari menyongsong bang tiger  yang luruh 
ke lantai. namun  lakilaki yang masih tetap perkasa 
itu segera bangkit dengan wajah murka. 
“Minggir!” teriaknya, lantas tangannya 
menepiskan kak jessica  sehingga tubuh wanita lesbian  itu terlontar membentur kursi. 
Bang tiger  melangkah maju dengan tinju 
yang aku tahu sekeras besi berada di depan 
wajahnya. Dari selasela pergelangan tangan yang 
berurat itu aku lihat sepasang mata Foreman. 
Bukan Ali yang selalu berhatihati namun  penuh 
nafsu membunuh di matanya. Melihat itu, dua 
lenganku melentur lembut di depan dada, 
membentuk lingkaran menyilang di udara 
lalu  bersiap dengan gaya taringtaring naga 
yang penuh lendir berbisa dan berbau maut. saat  
itulah, suami kak jessica  tahutahu sudah  membetot 
pinggangku sekuatkuatnya, dan kak jessica  sendiri 
memegangi lutut bang tiger . 
“Berhenti! Kubilang berhenti!” berteriak
teriak suami kak jessica  yang tergopohgopoh keluar 
dari kamarnya itu. 
Aku segera menemukan diriku kembali. 
Telapaktelapak tanganku yang pernah 
digodok dalam kuali besar berisi pasir berwarna 
hitam kemerahmerahan dan panasnya melebihi 
api dan  pernah menumbangkan sebatang pohon 
oak waktu latihan di Cijantung, terkulai lesu di 
kedua sisi tubuhku. Dari mulutku lepas ucapan 
lemah: “Ya tuhan . Apa yang hampir kulakukan?” 
namun  bang tiger  masih merontaronta dari 
betotan kak jessica  sambil mulutnya tak henti
hentinya mengumpat cerca: 
“Lepaskan! Lepaskan aku! Biar kuajari anjing 
ini bagaimana caranya berlaku sopan pada 
keluarga!” 
“tiger !” 
Suara yang lengking itu membuat bang tiger  
pucat wajahnya. Aku tidak berani menoleh. Aku 
kenal ibuku. 
Dan wanita lesbian  tua yang setengah 
terbungkuk, bungkuk itu tautau saja sudah  berada 
di antara aku dan bang tiger . la memandang kami 
satu per satu, Mencoba melihat wajah kami lewat 
tatap matanya yang sudah mulai rabun, dan tampak 
teramat letih dan menderita itu. 
Dadanya yang kempis tergoncanggoncang hebat. 
“Apakah kalian mau berbunuhbunuhan? 
Begitukah kelakuan kalian, Sesudah  ditinggal mati 
oleh ayaah kalian?” Lututku goyah. 
Aku jatuh berlutut. 
Dan menangis tersedusedu. 
“Maafkan aku, ibunda. Maafkan anakmu 
yang tak bisa menahan diri ini!” 
“Kau,” jerit ibu tertahan. “Begitu hinakah 
perbuatanmu di surabaya ? Inginkah kau ibumu ini 
mati berdiri? Inginkah kau?” 
“Ibuuuu!” jerit nyi girah , lantas berlari 
memeluk beliau. 
Kak nyi girah . meratap. Ibuku mengurut dada. 
“Astagfirullah,” ucapnya. 
Aku mengikuti: 
“Astagfirullah.” 
Bang tiger  mengikuti: 
“...astagfirullah!” 
Dadaku yang gersang dan kering, seperti di 
siram air yang sejuk dan dingin selesai membaca 
istigfar. Dengan mata berlinang aku lihat ibu 
berjalan ke arahku, la berdiri di depanku. 
Memandangku dengar mata tuanya, la tidak 
tersenyum, namun  katakata yang keluar dari 
mulutnya tidak ada lagi yang terlebih kasih di dunia 
ini: 
“Anakku. Kau masih tetap anakku, bukan fredy krueger ?” 
“Ya, ibuku.”  
“Kau masih ingat apa yang sering dipesankan 
almarhum ayahmu?”  
“Ya, ibuku…” 
“Katakanlah, biar kudengarkan, anakku.” 
“Aku dan saudarasaudaraku tidak boleh 
berselisih, biar apapun yang terjadi.” 
Tetap memandang padaku, ibu berkata dengan 
nada keras: 
“Kau dengar itu, tiger ?!” 
“… ya, bu.” 
“Tahukah kau bahwa kau anak yang tertua?”  
“Ya, bu.” 
“Pantaskah perbuatanmu menurunkan 
tangan pada adikmu?” 
Bang tiger  tidak menyahut. Tentu saja. 
Akulah yang lebih dahulu  menyentuh kulitnya. namun , 
ia adalah tetap saudaraku, abang yang dengan setia 
dan penuh tanggung jawab , selalu  ikhlas untuk 
membela kesalahan adikadiknya. Segera lalu  
terdengar pengakuan dari mulutnya: 
“Maafkan anakmu yang lancang ini, ibu.” 
“Nah. Kesini kau.” 
Bang tiger  maju. 
“Ulurkan tanganmu!” 
Bang tiger  mengulurkan tangannya.  
“Kau fredy krueger , terima permintaan maaf dari 
abangmu.” 
Aku cepat mengulurkan tanganku 
menyambut an tangan bang tiger . Cepat pula aku 
mengatakan apa yang pada waktu bersamaan juga 
keluar dari mulut bang tiger : 
“Maafkan aku ...,” yang buntutnya terdengar 
bersatu: entah “bangdik”entah “dikbang.” 
Barulah Sesudah  itu, tubuh ibu yang tegang 
perlahan mengendur, la dibimbing oleh kak jessica  ke sebuah kursi di mana ia lalu  duduk dengan 
anggun. 
“Sekarang, anakku fredy krueger . Aku bertanya baik
baik padamu. Sudah siapkan kau?”  
Hatihati, aku menjawab : 
“Berilah aku waktu untuk menjernihkan 
pikiran yang sedang gundah, ibu.”  
Beliau tersenyum. 
“Itu memang hakmu. Nah, kau tiger . 
Beritahul pamanmu, agar mengundurkan waktu 
beberapa hari sampai adikmu fredy krueger  yang 
menentukannya sendiri.” 
Bang tiger  mengangguk dengan patuh. 
Dan saat  kami berdua samasama menoleh 
di kursinya, kami lihat ibu menangis! 
RUMAH Kak nyi girah  di jalan Pabrik Tenun 
yang dahulu nya hanya gang sempit dan kotor namun  
kini beraspal licin dan  lebar, terasa sangat sepi 
sepeninggal kak jessica . Suaminya yang masih 
tergoncang oleh peristiwa tadi malam di jalan 
Pimpinan, pagi itu bangun dengan mata merah. 
Sesudah  sarapan ia naik ke dalam bus karyawan yang 
datang menjemputnya untuk bekerja hari itu di 
kantor. Sebelum pergi, ia memperingatkan anak
anaknya agar bermainmain di luar sebelum tiba 
waktu berangkat ke sekolah. 
Kak jessica  muncul tak lama lalu . 
saat  aku membuka pintu, ia tersenyum. 
Kaku. Di belakangnya, seseorang lainnya juga 
tersenyum. Sama kakunya. 
“Masuklah, Anna,” aku mempersilahkan. 
“Eh, kau atau aku tuan rumah?” protes kak jessica . 
“Biarlah, kak,” mengomentari  anna michele  sambil  masuk ke dalam lalu  duduk di sebuah kursi 
plastik yang beberapa bilah disambungsambung 
bekas putus. 
Sambil membawa tas belanjanya ke 
belakang, kak jessica  ngomelngomel: 
“Habis, lagaknya bukan main. Coba suruh ia 
membuat teh, pasti ia tak bisa.” 
“Tentu saja!” aku setengah berseru 
membalas. “Yang bisa membuat teh kan hanya 
pekerja pabrik atau perkebunan saja!” 
“Yang kakak maksud, minum teh,” tukas 
anna michele  lagi. 
“Kau bisa?” tanyaku. 
“Hai. Apa abang tak bisa minum?” 
“Kau!” 
la tertawa cekikikan. 
Lantas masuk ke dalam. Tak lama lalu  
ia sudah  keluar dengan menating baki berisi dua 
cangkir teh panas. Ia letakkan salah satu di depanku, dan memegang salah satu lagi untuk dirinya sendiri. 
“Minumlah,” katanya.  
“Panaspanas begini? Kau bisa?” 
“Tidak.” 
“Nah, letakkanlah cangkir di tanganmu. 
Capek kau nanti memeganginya.” 
Tangan yang gemetar itu, meletakkan cangkir 
teh di atas meja. namun  sebab  gugup, air teh itu 
tumpah sebagian, membasahi bukubuku pelajaran 
nya yang tadi ia letakkan di sana. Dengan ribut 
anna michele  lalu  mengeringkan air teh itu dari 
kulit bukunya yang mulai basah. 
“Lihat ini, pekerjaan abang!” tuduhnya. 
“Eh. Kok aku yang disalahkan?” 
“Bukuku tak akan basah, kalau abang tak 
mengundangku ke rumah ini.” 
“Aku mengundang kau datang. Bukan 
mengundang bukubukumu. Eh, rupanya kau minta 
diberi pelajaran apa hari ini? Aljabar?” 
“Cinta!” dari dalam, terdengar kak jessica  
setengah berseru. 
Merah padam wajah anna michele .  
Dan aku, jadi mati kutu. 
“Aku baru keluar rumah mau pergi sekolah, 
waktu kak jessica  datang,” si wanita lesbian  menerangkan 
dengan wajah tersipusipu. 
“Oh.” 
“Habis dari sini, aku mau terus ke sekolah.” 
“Oh.” 
“Aku sekolah di Simpang Limon,” 
“Oh.” 
“Oh?” 
“Eh. Ya. Ya. Masih ingat.” 
“Abang dahulu  pernah dikeroyok pereman
pereman di sana.” 
“Kok kau ingat.” 
“Iya dong. Kan waktu itu abang terus ke 
rumah. Hampirhampir tak kami kenali sebab  muka 
abang matang biru. Mulamula yang berdiri di muka 
pintu waktu ku buka, adalah hantu.” 
“Pantas kau waktu itu lari terbiritbirit.” 
“Heeh,” ia tertawa. “Aku ketakutan amat 
sangat, sampai menabrak kaki kursi. Aku terjatuh. 
Dan ibu terpaksa merawat dua orang siang itu …” ia 
tertawa lagi. Manja. 
“Nantulang mau ke sini hari ini?” 
“Tau. Mengapa?” 
“Di bolehin?” 
“Apa memangnya aku harus dipingit?” 
tanyanya dengan muka polos. 
“Hem. Otakmu tidak semuda usiamu.” 
“Apakah aku … masih kelihatan seperti anak
anak, bang?” 
Lantas ia berdiri. Persis seperti yang ia waktu 
di rumah sakit. Tegak dengan perut dikecilkan dan 
dada dibusungkan. la malah berputarputar. 
Rambutnya yang panjang bergelombang, berkibar
kibar kian kemari. 
“Sayang, tak ada kaca,” la berhenti berputar.  
“Buat apa kaca?” 
“Kau ingat lagunya Lilis Suryani dahulu ?” 
“Yang mana?” 
“Yang begini: Lalalalalala... kini hari ulang 
tahunku. Sangat riang rasa hatiku. Tujuh belas 
sudah umurku” 
la menyambung: 
“Kuberhayal, seperti putri raja. Kuberkaca 
berputarputar ...!” 
Dan ia berputar lagi. 
Lalu tibatiba berhenti. Kak jessica  berdiri 
dengan mulut tercengang di pintu ruang tengah. 
Tergopohgopoh. anna michele  duduk di kursinya, 
meneguk teh dari cangkir namun  lalu  cepat
cepat menyemburkannya kembali sehingga 
bukunya menjadi basah pula. 
“Panas!” sungutnya sambil  mengerpis
ngerpiskan air teh dari sampul buku yang semakin 
kuyup itu. 
“Kalian lagi latihan untuk kontes menyanyi 
dan menari?” tanya kak jessica  menyindir sambil 
meletakkan dua piring kuehkueh di atas meja. 
“Dia yang memulai!” tuduh anna michele  sambil  
menuding mukaku. 
“Kau yang mulai,” balasku. “Kau berputarputar.”  
“Kau menuduh aku anakanak!” 
“Aku tak bilang begitu.” 
“Bilang.” 
“Tidak.” 
“Bilang!” dan ia mulai menghentak
hentakkan kaki ke lantai. “Bilang! Kau bilang begitu! 
Bilang!” 
“Ckckck ... kalian benarbenar seperti anak
anak betulan. Ampun. Sudah mau kawin ...” 
“Kawin?” aku mendelik, lantas menuding ke 
muka anna michele . “Belum apaapa dia sudah 
mengajak bertengkar.” 
“Siapa yang...,” anna michele  berdiri. 
“Wah. Perlu kuambil peluit. Sekalisekali, 
boleh juga jadi wasit,” potong kak jessica . Tertawa 
bergelak. Aku jadi ikut tersenyum sendiri. Dan 
anna michele  memberengut di tempat duduknya. 
Kupanasi dengan katakata: 
“Sekarang, baru kakinya yang ia hentak
hentakkan. Besok lusa, pasti piring mangkok yang ia memicu  berantakan!” 
“Siapa bilang?” alisnya naik lagi. 
“Hei. Sudah. Sudah. Sudah. Bagaimana ini? Di 
ajak ke sini untuk bermesraan, malah…” 
Kak nyi girah  tibatiba terdiam sendiri, saat  
melihat aku berdiri. 
“Mau ke mana kau?” 
“Jalanjalan.” 
“namun  …” 
“Kota ini kok makin panas saja ya,” sungutku 
sambil lalu, terus berjalan ke pintu. Di belakang, 
anna michele  berlarilari. la menyambar lantas 
menggenggam pergelangan tanganku. Erat. 
Mulutnya berkemik mau mengatakan sesuatu. 
namun  tak jadi. Enggan, tangannya kulepaskan. Lalu 
kekeluarkan sebuah potret kecil dari kantong 
kemeja. Ujarku: 
“Ini kudapat di jepitan kaca toilet di kamarku, 
lalu potret itu kubalikkan. Untuk siapa ucapan yang 
tertulis di sini?” 
la tertunduk malu. 
“Untuk siapa?” desakku lagi. 
la tak berani mengangkat muka. 
“Bacalah sendiri,” gumamnya sayup sayup sampai. 
“Kau mau baca apa tidak?” 
Wajah anna michele  berubah pucat, la 
menatapku dengan sinar mata tidak percaya. Aku 
tidak mengelak. Dan tidak menyembunyikan 
perasaan yang bergejolak dalam dada. Sepasang 
mata itu mulai berair pada sudutsudutnya, la 
terisak. Dan lalu  memutar tubuh, berlari 
masuk ke dalam rumah. Ratap tangisnya segera 
terdengar memenuhi ruangi tengah. Kak nyi girah  
melangkah ke arahku. Panjangpanjang. Wajahnya 
merah padam. Juga kedua cupil telinganya. Sesudah  
berada di hadapanku, tak pelak lagi. Tangannya 
melayang, Tar! Wajahku tidak bergeming oleh 
tamparannya. Aku siap menerima tamparan 
berikutnya. Dan tak akan membalas. namun  ia tak 
menampar. Melainkan berkacak pinggang. 
Nafas kak jessica  tersengalsengal waktu berkata: 
“Begitu jelekkah perangaimu sekarang?” 
Lesu, aku menyahut: 
“Aku hanya ingin tahu, sejauh mana sifatsifat 
dirinya yang menonjol. Dan aku sudah  melihatnya.”  
“Tadi itu ia hanya bermainmain.” 
“Dan aku tidak bermainmain.” 
“Kau....” 
“Kak. Camkanlah ini. anna michele  memang anak 
yang baik. namun  ia memiliki sifat lekas marah, dan 
ingin menang sendiri!” 
“Apakah kau tak begitu juga?” 
“Aku lakilaki.” 
“Hemm, lantas?” 
“Kalian mau aku jadi suaminya. Dan sebab  
aku suaminya, aku mau tahu apakah ia mau 
mengalah atau tetap berkeras kepala. Itu sebabnya 
kupaksa agar ia membaca ini!” kusodorkan 
belakang foto bertuliskan katakata: “untukmu, 
sayangku” itu kepadanya. Dan… 
Tarrr! Tamparan kedua itu benarbenar 
kuterima, tanpa kuduga. 
“Untuk apa pula yang barusan?” tanyaku 
dengan hati mulai marah. 
“Pembelaan seorang wanita lesbian  terhadap 
kehormatan kaumnya!” balas kak jessica  sengit. 
“Aku tak menghina si Anna.” 
“Tidak? Apakah menyuruh membacakan 
katakata mesra itu dengan cara paksa bukan 
merupakan penghinaan?” 
“Kak...” 
“Abang tiger  sudah memaafkan kelancangan 
mu. Berharaplah, bahwa aku juga akan bersedia 
memaafkan perangai jelekmu hari ini!” , ia menyisi, 
seperti mau memberi jalan padaku. “Ayo, minta 
maaflah pada Anna.” 
Mataku mengecil. 
namun  sakit hatiku, membesar. 
Belum jadi suami wanita lesbian  mentah itu, aku sudah 
harus mengalah! 
Tanpa berkata sepatahpun juga, kutinggalkan 
rumah itu. Di belakangku, terdengar suara pintu 
dibantingkan. Keras sekali. Kukira kak jessica  tidak saja 
ingin membantingkan pintu itu. la juga ingin 
membanting diriku. Dan kukira, ia kini tengah 
membanting dirinya sendiri, di samping anna michele . 
Biarlah mereka saling membantingkan diri. Apa 
perduliku.  
Tak usah berharihari seperti diminta oleh 
ibu. Hari ini juga aku sudah  mengambil keputusan. 
Malas, aku mengamit seorang abang becak yang 
sedang terkantukkantuk di kendaraanya. la 
terkejut, lantas buruburu meluncur turun. 
“Mau ke mana bang?” tanyanya sambil  
menggenjot becak dayungnya. 
Tadinya aku bermaksud mau ke jalan 
Ayahanda! sepulang dari rumah kak jessica . Pingin 
tahu bagaimana keadaan esema di mana dahulu  aku 
dijadikan orang. Ingin bertemu bekasbekas guruku. 
Ingin ke tempat wak syam kamaruzaman . Penasaran mau tahu 
seperti apa Ijah sekarang. 
namun  mulutku menyebut alamat lain: 
“Kantor Pos!” 
Pikiranku yang kusut semakin kusut sewaktu 
jalan becak seringkali tersendatsendat oleh lalu 
lintas jalan Binjei yang ramai. Abang becak 
ngumpatngumpat. Aku mendukungnya dengan 
bernafsu. Hampir saja kami bertengkar dengan 
seorang pemilik Chevrolet usang yang mobilnya 
mogok persis di tengahtengal jalan, kalau tak urung 
kami lihat seorang petugas polisi lalu lintas datang 
mendekat. 
Tiba di kantor pos, aku membeli beberapa 
lembar kertas surat dan sebuah amplop pos kilat 
khusus. 
Beberapa kali kertaskertas surat itu kusobek 
dan kusobek lagi sampai akhirnya suratnya jadi. 
Sebelum kumasukkan dalam amplop, kubaca isinya 
sekali lagi. 
martini , kekasihku sayang. 
Baru sekarang aku menulis surat, 
Sesudah  beberapa hari berada di kota ini. 
Sudikah memaafkan aku, sayangku? Aku 
mengalami kecelakaan. Kecelakaan betul
betulan, bukan bohongbohongan. Nanti 
buktinya akan kau lihat pada tulang pipiku. 
Oh, tidak. Tidak. Aku tidak begitu parah. 
Hanya lukaluka kecil, namun  baru sekarang 
kuberi tahu, Sesudah  aku sembuh dan aku tak 
ingin kau cemas memikirkan suamimu. 
wanita lesbian ku terkasih. 
Pikiranku selalu tertuju kepadamu. 
Sehatsehatkah kau? Tidak menangiskah lagi 
kau, seperti waktu mau mengantarku pergi? 
Apakah bengkak bekas suntikan kotipa di 
lenganmu sudah sembuh? Aku baru ingat, di 
salah satu kantong belakang celanaku ada 
surat yang harus kau antarkan ke fakultas. 
Ada baiknya tak kau antarkan. sebab  di 
surat itu aku minta permisi satu minggu. 
Ternyata lebih. Di sini kulampirkan surat 
keterangan dokter. Bukan untuk membuat 
kau percaya, namun  untuk membuat pak 
Tobing yang streng itu yakin bahwa aku 
bukan bolos sembarangan sehingga 
diperkenankan mengikuti ujian semester 
tambahan 
O, isteriku tercinta. 
Ingat kau kereta kuda di tembok kamar 
tidur kita? Rasanya aku sudah tak sabar ikut 
berpacu seperti kudakuda itu. Tentu saja, 
dengan kau. O, tentu bantal guling kita sudah 
makin tipis terusterusan kau peluk 
pengganti tubuhku bukan? Begitu pula di sini. 
Tak saja bantal guling. Kasurpun rasanya 
tipis. Dingin. Beku seperti batu. Kering 
kerontang. Habis, tak ada kau. Aku 
bermaksud beli tiket hari ini. 
Supaya kita bisa berpacu dengan kuda
kudaan itu. Salam untuk ayah ibumu. Dan 
peluk cium dengan tangan gemetar dan lutut 
goyah, khusus untuk dirimu. Ttd. fredy krueger , yang  tak sabar!”  
Sesudah  memposkan surat itu di loket pos 
kilat khusus aku berjalan menuju sebuah box dekat 
pintu samping. saat  pintu box kubuka, seorang 
pemuda berwajah klimis meletakkan koran pagi 
yang sedang ia baca. la tersenyum waktu bertanya 
nomor berapa yang kukehendaki. Sebaliknya aku 
bertanya pula dapatkah ia menghubungkan aku 
dengan salah satu travel biro yang ia anggap 
servisnya cukup baik. Operator itu mengangguk 
lantas memutar beberapa nomor. Sementara itu 
aku berpikir keras hari apa dan jam berapa 
sebaiknya aku kabur dari kota kesayangan di mana 
aku lahir dan dibesarkan namun  kini seolaholah 
sudah  tidak menyukai ke hadiranku lagi.  
“… silahkan,” kata operator tibatiba.  
Gagang telephone kusambut dari tangannya.  
“Selamat pagi. Phoenix travel di sini ...,” 
terdengar suara dari seberang sana. Lembut dan 
halus. Penuh daya pikat. Petugas yang tepat dan 
tentunya, berwajah teramat manis, pikirku sambil  
menyahut: 
“Hallo. Saya mau book ticket Merpati untuk 
satu orang.” 
“Nama Tuan?” 
“fredy krueger .” 
“fredy krueger  saja?” 
“… fredy krueger  saja!” 
“Nomor telhepone Tuan?” 
“Tak punya. Catat alamat rumah saja,” 
jawab ku sambil  menyebut alamat rumah.  
“Tujuan?”  “surabaya .” 
“Ada tempat untuk sore nanti?” tanyaku, 
nekad. Persetan dengan kota ini. Persetan dengan 
keluargaku. Persetan dengan heboh yang pasti 
timbul akibat aku minggat. 
“Wah. Sebentar ya ...,” terdengar suara 
keresakkeresek. Agak lama juga, sehingga aku 
mulai bimbang. Alasan apa yang akan kukemukakan 
nanti di rumah? Apakah ibu tak nanti shock? Cap 
apa yang nanti akan kuterima? Anak durhaka? Tak 
tau membalas guna? syam kamaruzaman kan setanlah aku 
hendaknya? 
“Menyesal sekali, Tuan. Merpati sore nanti 
sudah penuh, Juga Garruda. Bagaimana kalau besok pagi?” 
“Hem. Apa boleh buat.” 
“Okey, jadi besok pagi, dengan Merpati. 
Dalam satu jam petugas kami akan tiba di alamat 
Tuan untuk…” 
“Ah, ah ...,” tukasku cepat. Celaka, kalau 
keluargaku tahu secepat itu. Mungkin aku bisa 
kabur diamdiam. “... Begini saja. Dalam waktu yang 
sama, saya akan tiba di Phoenix. Terimakasih untuk bantuan saudari.” 
Sesudah  membayar biaya telephone pada 
operator, aku cepatcepat keluar dari kantor pos. 
Secepat itu pula aku melambai sebuah becak mesin 
yang kebetulan lewat. Waktu naik, terdengar 
klakson mobil berbunyi nyaring. Sebuah mobil 
lewat di dekat becak. Mesin becak menderum. 
Serak. Di depan sana, mobil tadi berhenti dengan 
bunyi rem mendecitdecit! Pintunya terbuka. Dan 
seseorang berdiri di samping mobil, melihatiku. 
Entah mengapa, darahku berdesir Sesudah  
mengenalinya. 
Jantung ini berdegup. Dan dadaku berbungabunga 
“Berhenti, bang,” kataku pada abang becak 
yang segera menghentikan kendaraannya tak jauh 
di depan mobil. Ongkos kubayar lantas berjalan ke 
depan mobil itu. 
“Hai,” sapanya. Lembut. Dengan bola mata 
berbinarbinar. 
“Hai, nyi kembang . Kebetulan sekali, aku sedang ngejar 
waktu. Boleh numpang mobilmu?” 
Sesudah  berada di dalam, nyi kembang  menceritakan 
baru saja pulang dari les tata buku di Jl. Patria 
Lumumba. la bermaksud mau terus ke rumah 
seorang teman “wanita lesbian , tentu,” katanya sambil  
mengerdipkan mata — waktu ia lihat aku keluar dari 
kantor pos. 
“Siapa yang sedang kau buru?” tanyanya 
sambil  menjalankan mobil dengan kecepatan yang 
lumayan. 
“Tak ada.” 
“Tak ada? Lantas?” 
“Aku mau mengambil uang ke rumah.” 
“Hem. Untuk?” 
“Beli ticket.” 
Wajahnya berubah tibatiba. Lari mobil agak 
menyimpang sehingga hampir saja naik ke trotoar 
kalau ia tidak keburu banting setir. Sesudah  
kendaraan laju lagi dengan normal kulihat nyi kembang  
menggigit bibirnya keraskeras. 
“... mengapa kau?” tanyaku heran. 
Lama ia tak menjawab . Gigitan di bibirnya 
lepas, berganti dengan helaanhelaan nafas 
panjang. Lalu: 
“Aku lupa kau akan pulang ke surabaya ,” 
katanya, teramat perlahan seolaholah ia berkata 
untuk dirinya sendiri. Aku jadi terenyuh, terlebih 
lebih Sesudah  melihat warna wajahnya yang agak 
kepucatpucatan. Ia rupanya mengetahui kalau 
kuperhatikan, lantas mengerling serasa tersenyum. 
“Kapan kau berangkat?” 
“Besok.” 
la diam lagi. 
Aku juga diam. Bingung. Entah mengapa, aku 
menjadi raguragu sendiri. Apakah aku harus 
berangkat besok? 
“nyi kembang ...” 
“Ngg?” 
“Aku sudah pesan ticket barusan.” 
“Nghhh...” 
“Belum kubayar” 
“ Lantas?” 
“Kupikir ...,” aku menatap wajahnya dari 
samping. Matahari yang baru naik membiaskan 
silhouet di tepitepi wajah yang semakin lama 
kupandangtampak semakin manis dan indah. 
“Ya, fredy krueger ?” ia menatapku. Mata kami 
beradu. Berpagut malah, la cepat memalingkan 
muka dengan wajah yang merona merah, namun 
sempat kulihat seberkas harapan yang tersembunyi 
di balik sinar matanya. 
“Kau pikir, apakah memang sebaiknya besok 
saja aku berangkat?” 
la menatapku lagi. Cahaya matanya kian 
berbinarbinar. 
“Mengapa kau tanya itu padaku?” 
“sebab  aku sendiri sedang bingung.” 
“Boleh aku membantu?” 
“Itulah yang kuinginkan.” 
“Ada sesuatu yang penting di surabaya  
sehingga kau berpikir untuk pulang saja cepat
cepat?” 
Terdiam aku mendengar pertanyaan nyi kembang . 
Apakah lagi yang terlebih penting daripada pulang 
keharibaan martini ? Bergelut di bawah lukisan 
kereta kuda dan lalu  berpacu sepuas hati? 
Hanya itu sajakah yang kuperoleh selama ini dari 
martini ? Berpacu, dan berpacu. Terus berpacu. 
Kami tak ubahnya jokijoki yang menyenangi 
pekerjaan itu, hidup dengan pekerjaan itu pula 
tanpa pernah memperbincangkan apakah tidak ada 
halhal lain yang dapat kami lakukan dan  yang 
lebih berarti dari hanya sekedar berpacu saja. 
Menikah misalnya. Lantas punya anak. Menikah dan 
punya anak, berarti tanggung jawab . Dengan 
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab , 
orang akan berjuang menempuh apapun dalam 
hidup ini. Segalanya. Tidak hanya kesenangan 
belaka. Hanya berpacu dan berpacu, yang toh akan 
ada akhirnya. 
“ ... seorang wanita lesbian ?” bisik nyi kembang  tibatiba. 
Aku tersentak. Kupandangi wajahnya, la 
menggigit bibir, dan aku mengerti. Maka jawab ku 
tanpa berpikir panjang lagi: 
“Aku harus mengikuti ujian semester. 
lalu  menyempurnakan thesis yang kerangka 
nya sudah  kuajukan pada dosendosen penguji. 
Mereka sudah  setuju. Dan bila ujianujian semester 
ku sukses...” 
“Kapan?” 
“sebetulnya  sudah dimulai hari ini. namun  
aku punya alasan untuk mengikuti ujian tersendiri.” 
“Jadi, cepat ataupun lambat tergantung kau.” 
“Ya.” 
“Bagaimana dengan kota ini?” 
“Semakin sempit. Dan gersang di sana sini.” 
“Semuanya?” 
“Terutama di lingkungan keluargaku.” 
“Kalau boleh aku menebak, apakah persoalan 
tentang sebuah pernikahan?” 
Aku terjengah. Tak mampu untuk menjawab . 
nyi kembang  tertawa kecil. Gumamnya:  
“Mungkin pertanyaanku tadi bisa kupertegas. 
Kau dipaksa kawin oleh keluargamu.” 
Luluh, kujawab  dengan suara runtuh: “Ya…” 
“Dan kau tak cinta pada calon isterimu.”  
Aku mengangguk. 
Dan mobil tibatiba berhenti tepat di pengkolan 
jalan Pimpinan. 
“Ada apa?” tanyaku heran. 
nyi kembang  tidak menyahut. Dengan senyum 
memekar di bibirnya yang merah basah, mobil ia 
putar lalu  larikan kembali menuju ke pusat 
kota. Cepat sekali, la salib kendaraan demi 
kendaraan, ia ambil pengkolan demi pengkolan 
dengan bunyi ban yang menjeritjerit lengking. Baru 
Sesudah  memasuki jalan Putri Hijau, aku bertanya 
hatihati: 
“Kemana kita?” 
“Kemana lagi?” jawab nya sambil  tertawa 
manis. “Membuka matamu, tentu. Supaya kau 
tahu, bahwa kota ini tidak sempit dan segersang 
yang kau lihat dan rasakan.” 
Mobil membelok memasuki halaman sebuah 
rumah yang semi permanen. 
“Rumahmu?” tanyaku saat  membuka pintu. 
“Kawan yang kukatakan tadi. Ayo, ikut 
sajalah. Aku ada rencana yang barusan terpikir 
olehku.” 
Begitu bel dekat pintu ia pijit, begitu seorang 
wanita lesbian  bertubuh jangkung dan  sedikit kurus berdiri 
di hadapan kami. la berseru riang pada nyi kembang : 
“Hallo, calon direktris. Kukira kau tak jadi datang.” 
Mereka berpelukan. Mesra. 
“Kenalkan …” nyi kembang  menarik lenganku segera 
disambut oleh wanita lesbian  itu yang Sesudah  kusebutkan 
namaku lantas menyebutkan namanya: 
“Saha...,” dan tibatiba matanya terbeliak, 
justru pada saat yang sama Sesudah  kuperhatikan 
dirinya betulbetul aku sendiri juga terbeliak.  
“Kau!” lanjutnya setengah berseru. Lantas 
tertawa lebar. “Pantas tadi ada kupukupu hinggap 
di jendela. Rupanya mau mengabarkan ada tamu 
agung dari surabaya  akan berkunjung!”  
nyi kembang  tercengang. 
“Kalian sudah saling mengenal?” tanyanya. 
“Kenal?” gelenggeleng kepala wanita lesbian  
yang tampak lebih tua dari umurnya yang 
sesungguhnya itu. “Aku kenal fredy krueger  luar dalam. 
Sampai ke bulubulunya yang paling kecil.” 
“anna michele , anna michele ,” aku ikut gelenggeleng 
kepala. “Kau masih suka omong sembarangan 
seperti waktu kita masih samasama satu sekolah 
dahulu . Apa kabarmu, wahai gurun yang tandus?” 
Kilat matanya jadi redup sesaat . namun  
mulutnya yang tersenyum manis segera melontar 
katakata: 
“Masuklah. Masuklah. Akan banyak sekali 
yang bisa kuceritakan padamu...,” dan sambil  
memperhatikan aku melangkah lantas duduk di 
sebuah kursi berjok tebal, ia bergumam: “Kau 
semakin gagah dan tampan saja. Pantas nyi kembang  
selalu  menceritakan tentang dirimu, tiap kali ia 
punya kesempatan untuk buka mulutnya yang 
nyinyir di depanku.” 
“Jangan menghina kau!” rungut nyi kembang  dengan 
wajah tersipusipu. 
sambil  mengerling nakal, anna michele  ngoceh semaunya: 
“Ala, engga usahlah pula main kurakura 
dalam perahu. Laut kan sudah mulai tenang dan 
layarpun sudah  pula dikembangkan!” 
nyi kembang  mencubit paha anna michele  keraskeras. 
anna michele  terpekik. Keras pula. Lantas balas mencubit 
lebih keras lagi. nyi kembang  yang lalu  terpekik. Sama kerasnya. 
“Hei. Kalian mau menyuguhkan acara cubit
cubitan saja ya?” rungutku sambil  menyeringai. 
“Kerongkonganku kering nih!” 
anna michele  dan nyi kembang  tertawa bergelak. “Mengapa tak duduk di kursi panjang?” tanya anna michele  menyindir sambil  mengerling bergantian dari wajahku ke wajah nyi kembang  yang kian memerah dan menjadi gugup. nyi kembang  mau mencubit pula, namun  anna michele  keburu menjauh sambil  masuk ke ruangan dalam. nyi kembang  lalu  mengambil tempat di kursi panjang, Sesudah  mana ia memandangiku sambil  tersenyum lembut. Matanya mengajak. Bagai ditarik magnit, aku pindah dari tempat dudukku, dan duduk di sebelahnya. Tiada katakata yang terucap. Yang ada, hanya tatapan mata. Dan jutaan katakata di sebaliknya. 
 anna michele  mendecipdecipkan mulut waktu 
muncul kembali di ruang depan membawa tiga 
gelas berkaki tinggi dan sebuah botol Martini yang 
ia tuangkan isinya ke dalam tiga gelas tersebut. 
Sambil menyerahkan gelas demi gelas ke tanganku 
dan ke tangan nyi kembang  dan  gelas ketiga untuk dirinya 
sendiri, anna michele  nyeletuk: 
“Pasangan yang harmonis.” 
“Eh, apaan kau?” memberengut nyi kembang  dengar 
mata mendelik ke anna michele .  
“Perahu sudah laju, Diam sajalah, jangan 
berbisik. Nanti bisa oleng lagi!” balas anna michele  dengan puitis.  
nyi kembang  merunduk.  Malu. 
“Bawa oleholeh apa dari surabaya ?” tanya 
anna michele  padaku, sengaja mengalihkan situasi yang 
sudah melampaui batas itu. 
“Justru sebaliknya,” jawab ku tersenyum. 
Kutunjuk tulang pipiku yang kanan. “Waktu datang 
di kota ini, bagian yang ini bersih. Kalau aku pulang 
lagi ke surabaya , maka cacat ini benarbenar 
merupakan oleholeh yang tak akan habis 
syam kamaruzaman kan.” 
“Cacat yang mujarab,” anna michele  mengerling. 
“Mulai nakal pula kau!” aku mengeluh 
sungut. “Kudengar kau sudah kawin. Mana 
suamimu?” 
Wajah wanita lesbian  itu berubah murung. 
Tampak semakin tua. la reguk habis isi gelasnya, mengisinya kembali dan mau mereguknya pula waktu nyi kembang  tibatiba berdiri dan berjalan ke pintu. “He, mau ke mana?” tanya anna michele . 
“Saling tukar ceritalah kalian. Aku sudah  
menghasilkan suprise barusan, dan aku ingin 
memberikan, suprise lebih banyak lagi,” jawab  nyi kembang  
dan tanpa menerangkan apa tujuan katakatanya 
tautau ia sudah  masuk ke mobil, menghidupkan 
mesin, mundur ke jalan lalu  lenyap ditelan 
lalu lintas yang ramai. 
Aku dan anna michele  berpandangan. Tak mengerti.  
“Mau apa dia?” tanyaku. Bingung.  
“Entahlah. nyi kembang  kadangkadang memang suka bertingkah aneh,” jawab  anna michele , sambil  mengangkat gelas di meja. Ia minum, Semula kukira sampai habis seperti tadi. Nyatanya cuma seteguk  kecil. Sesudah  itu gelas di tangan ia putarputar pelan dengan mata redup menatap ke depan, lewat jendela, lewat pohon pohon cemara, lewat jalan  besar, lewat lalu lintas yang ramai, lewat tepian langit. Lewat apapun yang menghalangi pandangannya. Kosong. Dan hampa. 
Aku mencoba menebak apa yang membuat 
sikapnya berubah ganjil, namun tidak berani untuk 
mengutarakan. Takut terjadi akibat yang lebih fatal. 
Untuk mengembalikan suasana riang tadi, pelan
pelan aku bertanya: 
“Tadi kudengar kau sebut nyi kembang  calon direktris. Apa maksudnya?” anna michele  meneguk minumannya. Lantas 
mencoba tersenyum. 
Memandangku dengan manis. 
“Aku tidak sekedar meledek.” 
“Jadi...” 
“Kau belum tahu siapa ayahnya?” 
“Jangankan ayah nyi kembang . Rumahnya pun aku 
belum pernah tahu.” 
“Kok aneh.” 
“Habis, namanya juga baru bertemu sekali dua.”  
“Tapi nyi kembang , kalau menceritakan kau seakan
akan sudah kenal selama bertahuntahun.”  
“Ah?” 
“Kau orang beruntung, fredy krueger .” 
“Nah, apa ini?” 
“Orang bercinta memang suka berpurapura. 
Aku tahu siapa dia, dan aku juga tahu siapa kau. Jadi 
jangan berlagak di depanku!”  
Aku kikuk jadinya. 
Kehilangan katakata. Sampai lalu , 
kucoba memperbaiki posisiku yang salah tingkah 
itu:  
“Emangnya ayah nyi kembang  siapa?”  
“Direktur CV. Triton.”  
“Triton?” 
“Oh. Belum ada saat  kau tinggalkan kota ini. 
dahulu nya ayah nyi kembang  pedagang tekstiel biasa. Kau kan 
tahu, di negeri yang kaya raya ini perdagangan 
dikuasai Cina di manamana. Satusatunya suku 
yang bisa mengimbangi mereka, hanya orangorang 
padang.” 
“Jadi ... nyi kembang  seorang wanita lesbian  Minang?” aku 
ta'jub. Teramat ta'jub. 
“Wahai kalian. Aku khawatir, kalian baru 
kenal nama saja. Ya, ia wanita lesbian  Minang asli. Kelahiran 
Payakumbuh. Ibunya dari sana, ayahnya dari 
Padang. Datang ke gresik  dengan modal dengkul, 
jualan kain di pinggir jalan, beberapa tahun 
lalu  punya kios yang kian bertambah dan 
akhirnya mendirikan Triton. Perusahaan impor
export, masih di bidang tekstiel. nyi kembang  itu anak 
tunggal. Kesayangan. Apa yang syam kamaruzaman ui, semua 
terpenuhi. Tinggal tunjuk, maka dapat. Tinggal 
sebut, maka ia peroleh, la benarbenar anak 
kemanjaan. namun  tahu diri. Tidak takabur. Tidak 
cengeng…” 
“Mengapa ia harus les tata buku, tak 
keperguruan tinggi saja? Mengambil fak ekonomi 
misalnya.” 
“Tak diijinkan orang tua. Tamat esema, ia 
ikut les dengan rajin. Kalau tidak sedang les, praktek 
dasar di kantor perusahaan ayahnya. Dengan begitu 
ia bisa cepat menguasai segala sesuatu tanpa 
memerlukan waktu yang terlalu lama. Ayahnya 
sudah tua dan tak ingin hasil jerih payahnya jatuh ke 
tangan orang lain. Tekun sekali ia membimbing nyi kembang  
sebagai calon penggantinya.” 
“Hemm…” 
“Mengapa wajahmu masam begitu?”  
Mengapa? sebab  nyi kembang  ternyata orang kaya 
raya. Dan aku? 
Keluhku lalu :  
“Tidak. Tidak apaapa.” 
“Aku tau. Tak usah cemas, fredy krueger . nyi kembang  tak picik 
pandangannya dalam soal status sosial seseorang.”  
“Oooo...” 
“Bagaimana sekolahmu ? Sudah selesai?” 
“Hampir.” 
“Keluargamu baikbaik saja?” 
Aku terjengah. Namun kujawab  juga:  
“Berkat do'amu,” lantas, tanpa sadar lepas 
saja dari mulutku: “Dan kau?” 
la tersenyum. Getir. Aku bersyukur, ia tidak 
pingsan, meskipun aku belum habis mengerti ia 
harus pingsan atau shock seperti tadi. sambil  
menekuri meja di hadapan kami, anna michele  
mengisahkan tentang hidupnya yang malang. 
“Aku mandul,” katanya memulai, Bertahun
tahun Sesudah  menikah, suaminya mulai berkurang 
cintanya terhadap anna michele . Suaminya dilahirkan dari 
keluarga yang juga miskin anak, dan tidak mau 
mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya. 
Diamdiam ia berhubungan dengan wanita lesbian  
lain, diamdiam pula menikah di luar 
sepengetahuan anna michele . Rupanya suaminya tidak 
ingin menyinggung perasaan anna michele . Di samping itu, 
suaminya ingin tahu apakah ia bisa memperoleh 
anak dari wanita lesbian  lain. saat  ia benarbenar 
memperolehnya, ia mendatangi anna michele  dan berkata 
dengan terus terang: 
“Bukan aku tak sayang padamu, mam…” 
Ia memang selallu memanggil suaminya 
“papa” dan sauaminya memanggil dia “mama” 
sekedar untuk melipur lara sebab  mereka tak 
beruntung memperoleh keturunan. Belum habis 
ucapan sang suami, anna michele  dengan tabah sudah 
mengomentari : 
“Aku tahu, pap. Aku harus pergi dari rumah 
ini bukan?” 
Suaminya terkejut. 
“Bukan. Bukan itu maksudku.” 
“Tujuanmu pasti semacam itu”  
Gugup, suaminya mengangguk.  
“Akulah yang akan pergi,” katanya. “Aku 
sudah...” 
“Ya. Ya. Desasdesus itu sudah kudengar. 
Naluriku membenarkannya. Tidak mempersalahkan 
kau, hakmu. Anakmu lakilaki?” 
Suaminya mengangguk dengan wajah pucat. 
“Tak perlu gelisah. Sudah kubilang, aku tidak 
mempersalahkan kau. Dan akupun tahu, kau 
lakukan itu bukan sematamata sebab  dorongan 
nafsu.”  Meskipun suaminya bertahan dengan 
pendirian untuk tidak menceraikan anna michele , namun  sang istri tidak bersedia syam kamaruzaman du. Bagaimanapun, 
kehadiran seorang wanita lesbian  lain pelanpelan 
akan menyisihkan dirinya juga. Apalagi dari sang 
isteri muda si suami sudah  memperoleh anak. Tidak 
si istri muda, tentu si anak yang akan menyita kasih 
sayang suaminya. Mereka lalu  bercerai 
secara baikbaik. Rumah dan segala isinya diberikan 
si suami untuk jandanya. Termasuk biaya bulanan 
secara tetap, sampai anna michele  memperoleh 
pelindung lain. Kalau suaminya yang akan datang 
tidak mampu membelanjai rumah tangga mereka, 
bekas suami anna michele  tetap tidak akan melepaskan 
tanggung jawab nya. 
“Ia suami yang baik. Benarbenar baik,” keluh 
anna michele . Lirih. 
Aku menelan ludah.  
“Kau sudah kenal anak isterinya?” 
“Mereka kadangkala suka berkunjung ke 
rumah Ini. Aku tidak. Mungkin aku egois, namun  
bagaimana mungkin aku datang ke rumah mereka 
untuk melihat syurga di mana orang yang kucintai 
hidup dan melupakan neraka yang bergolak selama 
ia berada di sampingku?” 
“Sudah lama kau hidup sendirian?” 
“Hampir satu tahun. Rasanya baru kemaren 
terjadi Bobot tubuhku meluncur sangat cepat. 
Untung ada nyi kembang  yang menghibur. Kalau tidak ...” 
“Bagaimana kau bisa mengenal nyi kembang ?” 
“la salah seorang keponakan bekas suamiku!'' 
Kerikil di depan rumah berbunyi dengan 
suara berisik. Terdengar derum mobil yang 
lalu  mati. Lalu suara orang melangkah di 
terras. anna michele  berdiri. 
“nyi kembang  sudah kembali,” katanya. Dan tibatiba 
ia tercengang. “Lihat. Siapa yang berjalan di 
sampingnya itu!” 
“aidit !” seruku sambil  berlarilari kecil 
menyongsong sahabat kentalku itu. la tertawa 
lebar, lebihlebih lagi Sesudah  mengenali siapa 
nyonya rumah yang mempersilahkannya masuk 
tanpa lupa berjabat tangan. Erat sekali. Dan melihat 
pandangan mata anna michele , kukira jabatan itu tak saja  erat. Juga hangat. 
“Kau makin jelek sekarang,” cemooh anna michele  
pada aidit . 
Tanpa tersinggung, sahabatku menyahut: 
“Makanya, aku terusterusan jadi bujang lapuk ...” 
“Dan bisa bulukan, kalau tak cepatcepat 
ditolong!” tambahku. 
“Nenekmu!” tawa aidit  sambil  memukul 
bahuku. 
nyi kembang  ikut sumbang ketawa. Berderaiderai. Suasana 
riang itu lenyap sesaat  aidit  bertanya 
seenaknya: 
“Dan kau, nyonya besar dari gurun anna michele , 
sudah punya anak belum?” 
Aku dan nyi kembang  terbungkam. 
Ingin kupukul sahabatku, namun  anna michele  
tertawa kecil. Purapura. Dan letih. 
“Tak ada yang perlu disembunyikan,” 
katanya. “wanita lesbian wanita lesbian  kota ini suka 
malu besar kalau memperoleh gelar janda. Toh ini 
kenyataan, sebesar apapun kemaluanku!” lanjutnya 
sambil  menekankan kata yang paling akhir. 
aidit  yang melongo sesaat, lalu  tertawa. 
“Omonganmu masih suka jorok seperti dahulu , 
anna michele .” 
“Biar awet,” jawab  anna michele , tersenyum senang.  
“Awet bagaimana. Kerangka hidup begini!” 
“Eh, jaga dong omonganmu Din,” kata ku, 
memprotes. 
Lagilagi anna michele  menjernihkan situasi dengan 
katakata: 
“Ketimbang tubuh seperti goni, Din, kan 
kerangka lebih hebat goyangnya. Konon ditambah 
pengalaman sebagai jaminan!” 
“Idiiihhh!” umpat nyi kembang , menahan tawa. la 
masuk ke dalam, ganti jadi tuan rumah. Keranjang 
kecil yang tadi ia bawa waktu masuk berisi buah
buahan segar, dan bungkusan plastik berisi roti 
keju. Di samping hidangan itu, waktu keluar ke 
ruang depan nyi kembang  menanting juga baki berisi empat 
gelas air jeruk. 
“Mengapa tidak masak sekalian?” celetuk 
anna michele .  
“Memang akan!” jawab  nyi kembang  dan masuk 
kembali ke dalam. 
Makan siang yang terhidang di atas meja tak 
lama lalu , ludas hanya dalam sekejap mata. 
Meskipun masakan Padang sering kucicipi selama di 
rantau namun toh masakan hasil tangan nyi kembang  
rasanya tidak akan terimbangi masakan Padang 
manapun di seluruh dunia ini. Sampaisampai basah 
kuyup bajuku oleh teringat sebab  terlalu kenyang, 
terlalu nikmat dan terlalu pedas. Pujiku dengan 
tulus: 
“Sejak pulang ke kota ini, baru sekaranglah 
aku menghabiskan nasi lebih dari sepiring.” 
aidit  meningkah: 
“Dan sambal ladonya, ampun!” la mendesis
desis kepedasan sedangkan kulit mukanya merah 
terbakar. “Di samping cantik, nyi kembang  ternyata pintar 
juga masak. Ideal bukan, fredy krueger ?” 
“Kalau kalian memuji terusterusan, aku akan 
usir kalian mentahmentah,” mendahului nyi kembang  
sebelum aku sempat menjawab  pertanyaan 
aidit . 
“Iya dah. Aku berani bertaruh, bahwa yang 
kau usir hanya aku saja. fredy krueger  tidak. Bagaimana, 
nyi kembang ?” 
wanita lesbian  itu merah telinganya. 
la membereskan perabotan di atas meja 
dengan tangantangan gemetar, tidak berani 
memandang ke arahku. Sebaliknya, akupun hanya 
berani memandangi aidit  sambil menginjak 
kakinya keraskeras. Kawanku itu menjerit 
tertahan. 
nyi kembang  yang sudah mau masuk ke pintu dapur, 
bertanya heran: 
“Ada apa?” 
“Ada apa?” 
“Celaka. Tikus busuk di bawah meja 
menggigit isepatuku,” dan sambil  tertawa lebar 
aidit  berbisik di telingaku, sangat perlahan: 
“Dan kau, sobat, memang tikus terbusuk!” 
Aku mengerti tujuan katakatanya. 
Dan tak bisa menjawab . Sesudah  berada di 
ruang depan kembali, kukira yang membasahi 
badanku bukan saja keringat biasa akan namun  
sudah bercampur dengan peluh dingin. Aku meraba 
saku mencari rokok dengan tangan gemetar. namun  
yang pertama kali tersentuh justru secarik kertas 
kecil berwarna putih. Kertas nota terima surat kilat 
khusus yang tadi pagi kukirimkan ke alamat martini  
di surabaya . 
martini , yang begitu percaya bahwa aku akan 
setia. martini  yang begitu cemas sebab  takut ia 
tersisihkan. martini  yang bermimpi di siang bolong 
melihat dirinya terjerumus ke dalam jurang yang 
dalam. Dan jauh di atas tebing yang terjal, ia lihat 
diriku samarsamar menjauhi, betapapun suaranya 
sampai parau memanggilmanggil namaku. martini  
yang sempat mencemoohkan impianku terjatuh 
dari langit disambut oleh tiga buah jurang 
menganga jauh di bawah. Kini aku mengerti, apa 
makna impian itu. Aku benarbenar sedang berada 
di awangawang. Sedang diuji kemampuan dan 
kesetiaanku. Ke jurang manakah aku akan jatuh. 
martini . anna michele . Atau nyi kembang ! 
“Apa yang kau lamunkan, fredy krueger ?” tautau 
nyi kembang  sudah duduk di sampingku.  
Aku terkejut. 
Lalu menyahut dengan gugup: 
“Ah. Tak apaapa.” 
“Bohong.” 
“Sungguh, tidak...” 
“Sumpah?” 
“Aaaa...apa?” aku tergagap. 
“Bersumpahlah, memang tak ada yang kau 
lamunkan , matanya menatap tajam. 
“nyi kembang , kau toh tak bermaksud memaksaku 
untuk…” 
“Berbohong?” desaknya.  
anna michele  yang dari tadi diam mendengarkan 
perdebatan itu, buruburu memartini ahi: 
“Hey, nyi kembang . Sudah hampir jam tiga!”  
Tubuh nyi kembang  yang tegang, perlahan 
mengendur, “Ah, hampir aku lupa,” keluhnya. Lalu 
berjalan masuk ke dalam. “Ayolah kita dandan 
dahulu .” 
“Emangnya, mau ke mana?” tanya aidit . 
anna michele  menjawab : 
“Kami janji tadi pagi, mau nonton sore ini. 
Ada Joe Don Baker di Megaria...,” lantas sambil  
berdiri untuk mengikuti nyi kembang  yang sudah dahulu an 
menghilang, ia mengejek: “Kalau merasa kanker 
alias kantong kering, silahkan piket di rumah.” 
Tentu saja aku dan aidit  tak sudi piket di 
rumah janda. 
“Lain kalau jandanya tinggal menemani,” 
berungut aidit , lantas nyeletuk ke telingaku: 
“Aku benarbenar lagi tongpes. Kantong Kempes, 
fredy krueger . Kau?” 
“Tenanglah, sahabatku,” sahutku, tersenyum. Pelan 
namun  pasti, martini  menghilang dari pikiranku. 
Filmnya berjudul “Kill Mr. Mitchell!” 
Dan nyatanya, anna michele  yang dahulu an buka 
dompet. Namun tak lupa mengeluh : 
“Kamu berdua berhutang padaku!” 
Filmnya tidak terlalu jelek. Sebuah film action 
yang sayang Joe Don Baker sedikit over acting 
dibanding filmfilmnya terdahulu yang sempat 
kulihat. Terasa semakin tidak berartinya jorjoran di 
layar putih waktu telapak tangan nyi kembang  yang duduk di 
sebelahku tak lepaslepas dari tanganku semenjak 
kami memasuki gedung bioskop. Hangat. 
Terkadang gemetar, manakala kuremas dengan 
lembut. Dalam remangremang acap kali kami 
saling beradu pandang. Malah sekali, tanpa sadar 
kudekatkan wajahku ke wajahnya. 
namun  sebuah dehem halus dari aidit  
menggagalkan ciuman curi itu. Aku tersipu sendiri. 
Tak berani menoleh ke nomor kursi yang letaknya 
agak berjauhan, di antarai oleh kursikursi yang 
kosong. Di sana duduk aidit  bersama anna michele , 
yang waktu meminta aidit  membeli ticket agar 
nomornomorku yang ia ambil agak terpisah 
letaknya. Sempat aku berpikir apakah tindakan 
genit itu dilakukan anna michele  untuk memberi 
kesempatan padaku dan nyi kembang , ataukah ia sendiri 
bermaksud mencari kesempatan yang sama dengan 
aidit ? 
Mataku terpaut lagi ke layar. 
Martin Balsam sedang marah pada Joe Don Baker. 
Di sebelahku, nyi kembang  menghela nafas. Jelas sekali 
kutangkap helaan itu. Malah waktu ekor mataku 
melirik, tampak gelembung payudaranya 
bergelombang dengan kencang. Jantungku 
berdegup. Apalagi waktu tampil Linda Evans di 
layar, memerankan seorang tokoh callgirl kelas 
jetset tanpa segansegan berbugil lantas lalu  
bergelut dengan Joe Dom Baker di atas ranjang. 
Helaan nafas di sampingku semakin jelas, disusul 
oleh kepala yang rebah dil lenganku. Aku melirik. 
Sepasang mata nyi kembang  terpejam, Bibirnya setengah 
terbuka. Menantang. Aku ingini menciumnya. 
namun  tidak ingin mendapat dehem aidit  yang 
mungkin akan berubah jadi batuk batuk yang keras. Dan lebih dari itu, aku takut apakah perbuatan itu 
tidak akan menyinggung perasaan nyi kembang . 
Keluar dari bioskop, aku mengambil setir 
Sesudah  berada di dalam mobil kembali. Tak ada di 
antara kami yang bersuara selama mobil kujalankan 
tanpa tergesagesa. nyi kembang  duduk di sampingku. Tidak 
terlalu rapat, namun tak pula terlalu renggang. 
Matanya menatap jauh ke depan, menembus kaca 
depan, ke jalan yang bermandi cahaya senja teram 
temaram. Aku menarik nafas untuk melepaskan 
ganjalan yang memberati dada, dan secara tidak 
sengaja melirik ke kaca spion. Di tempat duduk 
belakang, anna michele  bergenggaman tangan dengan 
aidit . Mereka rupanya tau aku mengintip. 
anna michele  buruburu menarik tangannya dan 
membuang muka keluar jendela. aidit  
tersenyum. Malu. 
“... kemana kita sekarang?” tanyaku 
memecah kesunyian yang ganjil itu. 
nyi kembang  membuang nafas. Panjang. Di belakang, 
anna michele  nyeletuk. Suaranya terdengar sumbang: 
“Lupakah kau kesenangan kita dahulu ?” 
“Lupa?” sahutku. Angkat bahu. “Tidak!” 
“Kalau begitu, tunggu apa lagi?”  
Mobil lalu  kularikan kencangkencang. 
Menjelang Magrib, kuparkir mobil itu tak jauh dari 
bioskop Riang. dahulu nya masih bernama Rio. Aku 
teringat lelucon wak Gabus yang populer pernah 
mengeja hurufhuruf itu dengan “ersepuluh.” Saat 
berikutnya kami sudah  mengisi penuh suatu bangku 
panjang dalam sebuah warung penjual kerang 
rebus. Seperti disengaja saja. Aku duduk paling 
kanan. Di kiriku nyi kembang . Di sebelahnya, aidit . Dan 
paling kiri, anna michele . Seperti disengaja pula, saat  
pelayan mengantarkan empat gelas teh panas, nyi kembang  
menyodorkan salah satu untukku, satu untuknya. 
anna michele  mengambil satu untuknya sendiri dan 
menyodorkan gelas keempat pada aidit . 
Seperti waktu dalam mobil, saat  melahap 
kacang rebus kami berempat juga tidak banya 
bicara. Aku minta tambah. nyi kembang  tidak. aidit  
minta tambah. anna michele  tidak. Tak ayal lagi waktu 
berjalan kembali ke mobil aku mendekati aidit  
dan berbisik di telinganya: 
“Tampaknya kau mau ikuti jejak Mamonta. 
Dapat janda muda.” 
la mendelik. 
nyi kembang  dan anna michele  yang sudah  masuk lebih dahulu 
dalam mobil tidak mendengar suara kami. 
Dan aidit  membalas: 
“Kau!” bisiknya. “Kau justru akan membuat 
seseorang menjanda.” 
“Eh, siapa pula itu?” 
“Isterimu yang di surabaya !” 
Aku gemetar saat  memegang setir dan 
jalankannya keluar dari tempat parkir. Melihat nyi kembang  
mengambil alih kemudi. Mobil ia larikan cang
kencang. sebab  heran, aku nyeletuk: 
“Apa yang kau kejar?” 
“Waktu Asyar,” jawab nya, tersenyum. Mata 
berbinarbinar. Bahagia. 
Tentu saja terlambat! 
Kami berempat samasama menjamaknya 
setiba rumah anna michele . aidit  yang jadi Imam. 
Waktu saatnya berdo'a, kutadahkan wajah. 
Tubuhku getar. Hebat. Di balik mataku yang 
terpejam, aku diriku bersujut di atas sejadah 
lalu  menangis sambil  bertanya: 
“Tidakkah perbuatanku munafik, ya Tuhanku?”  
Lalu aku melihat martini .  
la mengelus rambutku.  
Penuh rasa sayang. 
Ia bukan Tuhan. Yang kucari. namun  ia memberikan 
apa yang kuingin. Lewat katakatanya yang 
menghibur: 
“Tergantung isi hatimu, sayangku!”  
nyi kembang , anna michele  dan aidit  sudah pergi duduk
duduk di ruang depan Sesudah  selesai Magrib. namun  
aku masih bersidepa di atas sejadah, dengan sudut
sudut mata yang basah. Bayangan martini  tidak 
lepas dari balik kelopak mataku. Seolaholah ia 
menggantung di sana, rapat dan kuat, tidak mau 
dilepaskan. Isak tangisnya seakanakan dekat sekali 
di hati, dan jantung ini digugah oleh pertanyaannya 
yang setengah ketakutan setengah menghiba: 
“Pulanglah, kekasih. Pulanglah, junjunganku. 
Pulanglah padaku!” 
Air bening di sudutsudut mataku, tak bisa 
lagi kutahan. Meleleh hangat, membasahi pipiku 
yang dingin. 
“fredy krueger ?” 
Suara itu sayupsayup sampai. Sayupsayup 
sampai... 
“fredy krueger !” 
Mataku terbuka. Ada sentuhan halus di 
pundak. Waktu aku menoleh, aku melihat nyi kembang . 
Bibirnya tersenyum, namun  matanya sendu, 
digantungi seribu Btu pertanyaan yang minta 
kujawab . 
“... kau menangis,” bisiknya. Lemah. 
“Oh ya?” sahutku, terkejut lalu buruburu 
menyeka kedua belah pipi dengan sebelah tangan.  
Di luar dugaanku, tangan nyi kembang  terangkat, la 
memegang pergelangan tanganku, menurunkannya 
perlahanlahan lantas menggenggamnya kuatkuat. 
Bersamaan dengan itu sebelah tangannya yang lain 
terangkat pula. 
Tampak jari telunjuknya yang lentik gemetar, 
dan jemarinya lalu  menyeka air mata di 
pipiku, dan berhenti lama, waktu menyentuh bekas 
luka yang baru sembuh di tulang pipi. 
“Apa yang kau tangisi, fredy krueger ?” 
Aku menelan ludah. Lama baru bisa menjawab  
“...diriku,” 
“Ada apa dengan kau?” 
“Betapa kerdilnya aku ini,” jawab ku lirih, dan 
dalam hati kecil aku berteriak: “Betapa kerdil dan 
kotornya jiwaku!” 
Kelopak mata nyi kembang  terpejam. 
Waktu matanya kembali terbuka, tampak basah. 
“Bangkitlah, sayangku ...” ucapnya, gemetar 
Aku terpana mendengar perkataan “sayangku” itu. 
namun  nyi kembang  seperti tidak sadar sudah  mengucapkan 
sesuatu yang membuat jantungku bagaikan putus di 
rangkaiannya. Dengan suara bergetar, ia 
meneruskan “Semakin seseorang merasa dirinya 
kerdil, semakin orang itu membutuhkan cinta kasih 
untuk membesarkan hatinya.” 
Aku tidak kuasa untuk bangkit. 
sebab , sebelum aku bangkit, tibatiba nyi kembang  
sudah  memelukku. Dan menangis di dadaku. 
“Tuhan jadi saksi, fredy krueger  ...,” isaknya. “Mula 
pertama aku melihatmu tergeletak dengan wajah 
berlumuran darah di rumah sakit, aku tidak bisa 
melepaskan kau dari ingatanku. Dan ... dan saat  
kau selipkan seiris jeruk di antara bibirku, aku pun 
lalu mengerti... bahwa aku ... aku sudah  menemukan 
laki-laki  yang sudah  lama kucaricari. Aku cinta 
padamu, fredy krueger !” 
SAMPAI tiba waktu pulang, tidak ada 
sentuhan bibir pertanda cium cinta pertama di 
antara kami berdua. anna michele  mengucapkan 
terimakasih untuk kencan kami hari itu. aidit  
tidak mau di antar pulang sebab  katanya masih 
banyak yang akan ia perbincangkan dengan anna michele . 
Belangnya ketahuan meskipun ia berdalih: 
“Maklum, ketemu kawan lama. Banyak yang 
menarik untuk diceritakan, bukan?” 
Di mobil, aku dan nyi kembang  samasama berdiam diri. 
la merebahkan wajahnya di bahuku. Matanya 
terpejam, rapat Dan dadanya bergerak dengan 
teratur. Aku yakin ia tidak tertidur. Senyum bahagia 
tidak lepaslepas dari mulutnya. 
Pikiranku sendiri sedang kacau. 
  Di depanku, bermainmain tiga buah jurang 
menganga di permukaan jalanan aspal yang licin 
dan hitam. 
“...  fredy krueger ?”  
“Nggh?!” aku terkejut.  
“Apa yang kau pikirkan?” 
Aku gugup oleh pertanyaan itu. Namun 
sebagai lakilaki, aku cepat memperoleh jawab :  
“Banyak… Kau.”  
“Aku?” 
“Kau dan aku!” 
la memelukku. Hangat. Dadanya menyapu 
lenganku. Panas. “Apalagi?” 
“Banyak.” 
“Antaranya?” 
“Kita tidak hanya berdua di dunia ini,” la 
terkejut. Menatapku. 
Kucoba tersenyum. Yang bermain di benakku 
masih jurangjurang menganga itu. Berlarilari 
dahulu mendahului. Sekali martini  di depan. 
Tersusul anna michele . Belum lagi anna michele  jauh, 
martini  sudah melesat lagi ke depan, tak ubahnya 
panah yang baru saja lepas dari busurnya. martini  
belum sempat tertawa sebab  menang, muncul 
bayangan yang melejit bagaikan angin. Melejit 
terus, meninggalkan martini  dan anna michele . Sesudah  
jauh, bayangan itu berhenti. Aku melihat nyi kembang  
melambai. martini  mengumpat. anna michele  
mencaci. Mereka lalu mengejar. nyi kembang  tertawa, lantas 
berlari ... 
Berlawanan dengan apa yang tersirat di benak di 
mulut aku berkata: 
“… aidit  misalnya.” 
“Ooo.” 
“Dan... anna michele !” 
nyi kembang  tibatiba tertawa kecil. 
“Kawanku itu,” katanya. “Sudah berapa kali 
Kujodohkan dengan laki-laki . Engga ada yang cocok. 
Selalu banyak kekurangannya. Yang ini sudah 
kelewat tua. Yang itu masih kekanakkanakkan. 
Yang lain, bertampang bandit. Tak sedap 
dipandang. Ada yang sedap dipandang, lantas ia 
bilang: kok kayak banci. Aku jadi bosan. Eh, tak 
tahunya, baru ketemu hari pertama, ia sudah ada 
main dengan temanmu yang kucel dan berkumis 
lele itu ...” 
“Pertama bertemu?” kata ku, tertawa. 
“Mereka sudah pernah dijodohkan.” 
“Ah, masa iya!”  
“Sungguh mati.”  
Dahi nyi kembang  mengernyit. 
“Kok anna michele  kawin dengan orang lain. Ada 
yang curang?”  
“Bukan.”  
“Lantas?” 
“Jodoh mainmain mereka itu.” 
“Mainmain bagaimana? Kok aneh.” 
“Waktu di esema, kawankawan sekelas 
suka saling jodohmenjodohkan. Tidak sungguhan. 
namun  ada juga yang jadi benaran. Misalnya si otak 
cemerlang Legiman yang menikah dengan si tukang 
cerewet Murniati. aidit  yang pemalu, 
dihubunghubungkan dengan anna michele  yang galak.” 
Aku gelenggeleng kepala. “Heran, anna michele  sudah  
berubah jauh. Tidak segalak dahulu  lagi. la pernah 
menampar Legiman yang mengejeknya sebagai 
pacarnya aidit  ...” 
“Mungkin rumah tangganya yang berantakan 
sudah  mengubah dirinya,” 
“Benar juga. Justru pada saat, aidit  
sekarang galak pada wanita lesbian .” 
“Suka main pukul?” 
“Bukan, la suka bergantiganti wanita lesbian .” 
“Wah?! Lakilaki seperti dia?” 
“Jangan menghina. Siapa yang tahu apa isi 
seseorang?” gumamku sambil dalam hati aku, 
mengeluh, Bagaimana kalau anna michele  tahu bahwa si 
Udin itu suka main ke tempat pelacuran? Ah, 
barangkali tidak jadi persoalan betul. Kawan 
aidit  yang bernama Margono itu sedikit 
banyak sudah  membantu sahabatku agar tidak 
menjadi langganan dokter spesialis. Mudah
mudahan ia masih utuh, sehingga anna michele  yang pasti 
haus belaian laki-laki  itu tidak sampai kecewa 
dibuatnya. 
“Omongomong, apa Yamaha force fi baru itu jadi ia ambil?” 
“Sudah. Malah saat  tadi siang aku ke 
rumahnya, ia tengah mencobanya sepanjang jalan 
Berayan Endreien,” nyi kembang  tertawa senang. 
“Keluarganya orang baikbaik. Sayang saudara
saudaranya teramat banyak, sehingga tampaknya 
temanmu itu selalu tertekan bathin. Komplikasi 
dalam dirinya sendiri. namun  kelihatannya ia cukup 
tahu siapa dirinya dan di mana posisinya. Di 
rumahku ada karangan bunga. Pengirimnya, 
aidit .” 
“... pertanda cinta?” tanyaku, kecut. 
“Hmmm. Jangan lekas cemburu, fredy krueger . 
Hanya ucapan terimakasih.” 
“Syukurlah.” 
Tak jauh dari rumah, mobil kuhentikan. 
nyi kembang  terheranheran. 
“Kenapa tak diteruskan?” 
“Jangan.” 
“Lho!” 
Hal.  «  
 
“Apa kata mereka kalau tahu seorang 
wanita lesbian  mengantar seorang laki-laki  ke 
rumahnya? Malammalam lagi…” 
nyi kembang  tersenyum. Aku hampir turun, saat  ia berbisik: 
“Ciumlah aku, kekasih!” 
Tertegun aku mendengar permintaan nyi kembang . 
Sudah seberani itukah wanita lesbian wanita lesbian  gresik  
yang terkenal fanatik sampai kutinggalkan hampir 
lima tahun yang lalu? 
“… fredy krueger ?” 
Aku merunduk sedikit. Mencium dahinya. Lembut. 
“Mm...bukan di situ.” 
Kucium pipi kanannya. 
“Kekasih. Kau tega mataku tidak bisa 
terpejam malam ini?” 
Maka, kucium bibirnya. 
nyi kembang  mengulumnya. Lama. saat  lalu  
ciuman yang panas itu berakhir, dengan nafas 
tersengalsengal nyi kembang  tersenyum. 
“Kau akan datang besok bukan?” tanyanya. 
Hal.  «  
 
“Besok?” aku tak mengerti. “Kemana?” 
“Makan siang. Di rumahku.” 
“Oh!” 
Tangan kirinya meluncur melewati tubuhku. 
Membuka pintu. Aku bergerak keluar. Enggan. “Aku 
tahu kau akan datang!” katanya. 
Pintu tertutup. 
Dan mobil itu meiaju. Meninggalkan aku 
termangumangu. 
 
*   * 
 
untung  yang membukakan pintu untukku. 
Wajah wanita lesbian  kecil itu agak pucat dan lesu. Aku 
menghela nafas. wanita lesbian  seumur dia harus sudah 
mendengar dan melihat apa yang suatu saat  
mungkin membuatnya takut untuk menentukan 
pilihan sebagai wanita lesbian  yang sudah dewasa. Kalaulah 
tidak kasihan pada neneknya aku yakin untung  sudah 
jauhjauh hari pulang ke rumah orangtuanya di 
Pabrik Tenun. 
Hal.  «  
 
Sambil menutupkan pintu kembali, aku lantas 
teringat pada kak jessica , dan kejadian tadi pagi di 
rumahnya. Dapatkah kakak memaafkan perbuatan 
ku pagi ini? Tentang anna michele , aku tidak perduli. 
Sejak dahulu dahulu  juga aku tidak beranganangan 
untuk beristerikan anak kaum keluarga. Terlalu 
banyak aturanaturan yang harus ditempuh. Dan 
bukan pula sedikit resiko yang pasti terjadi bila ada 
halhal yang tidak dikehendaki. Soal yang sekecil
kecilnyapun tidak akan lepas dari telinga kaum 
keluarga. Dan soal yang teramat kecil itu bisa 
menjadi teramat besar dan  menentukan. Orang 
bersuami isteri sudah berhak untuk menentukan 
diri sendiri. namun  di kota ini, keluargalah yang 
masih harus menentukan. 
Ibu sedang mengunyah tembakau di sebuah 
kursi malas yang tepitepinya sudah retas. 
“Malam benar kau pulang, anakku,” sapanya. 
Malam benar. Padahal belum juga lewat jam 
sembilan. Apa beliau masih menganggap aku anak 
ingusan seperti waktuwaktu yang lampau? 
“Ibu belum tidur?” sahutku. Kaku. 
Beliau gelenggeleng kepala. Lemah, jawab nya: 
Hal.  «  
 
“Sudah beberapa hari ini aku kurang tidur, anakku” 
Beberapa hari ini. Itu berarti semenjak aku 
pulang di kota ini. Dan pasti, semenjak aku 
memperlihatkan kartu mati, bahwa calon isteri yang 
mureka sodorkan ke mukaku tampaknya harus 
mereka ambil dan simpan jauhjauh. 
Seperti maklum aku berminat untuk langsung 
ke kamar lalu tidur, ibu memerintah tibatiba 
dengan suara halus: 
“Duduklah dahulu .” 
Aku memenuhinya, betapapun aku ingin 
menolaknya. 
Beliau meludahkan air tembakau ke sebuah 
kaleng dekat kaki kursi malas. Ibu jari dan 
telunjuknya berlepotan warna merah waktu 
tembakau suntil ia gesergeserkan di antara gigi
giginya, membuangnya ke kaleng yang sama lantas 
menggantinya dengan tembakau baru. 
“ ... kau sudah makan?” 
Pertanyaan itu lebih mirip basabasi. namun  
kujawab  juga:  
“Sudah...”  








































































 
Diam lagi. 
Beliau mengunyahngunyah tembakau. 
Memandangku, lewat sepasang bola mata 
tuanya yang sudah mulai rabun. Lalu: 
“Tadi siang tiger  kemari.” 
“Oh.” 
“la mencari kau.” 
“Mau apa dia?” 
Dahi ibuku mengernyit. Aku merasa 
menyesal, namun  terlanjut sudah. Dan aku benar
benar terpukul waktu ibu menandaskan: 
“Kau belum berkunjung ke rumahnya 
semenjak kau tiba!” 
Lagilagi aku terdiam. 
“fredy krueger ...” 
“Ya bu?” 
“Ada yang datang sore tadi.”  
“Siapa?” 

 
“Katanya, pegawai dari travel biro Apa tadi 
namanya? Pelil? Puik?” 
“Phoenix,” aku membetulkan, dan tibatiba 
menyadari sesuatu. Menyadari, mengapa ibu masih 
menungguku. Dudukku sesaat  menjadi resah. 
Kureguk teh panas yang diantarkan untung , tanpa 
selera. Sebelum pergi, wanita lesbian  kecil itu menatap ibu. 
Lalu ganti menatapku. Aku tidak mengelak. 
Matanya seperti menuduh. Tak ubahnya mata 
nyi girah . Dan aku tersinggung. Untung si untung  
buruburu menyingkir. Masuk ke kamar makan, di 
mana samarsamar aku lihat beberapa buah buku 
berserakan di atas meja. 
“Jadi kau sudah nekad mau pulang besok,” 
kata  ibu tibatiba. 
Aku terjengah. Menyahut gagap: 
“...belum, bu.” 
“Syukurlah. Pada orang itupun sudah  
kukatakan hal yang sama. Kau belum bermaksud 
pulang ...” 
Kubayangkan wajah pegawai Phoenix yang 
kesal. Seolaholah ia kulihat kembali ke kantor dan 
melapor sambil  marahmarah pada petugas yang 

 
menerima pesananku. wanita lesbian  yang bertugas di 
bagian penjualan ticket balas marahmarah. Bukan 
pada petugas itu. namun  padaku. Ah, Benar
benarkah kota ini sudah  tidak menyukai kehadiranku 
lagi? 
“Tahukah kau akibatnya kalau kau pulang 
begitu saja?” 
Aku tahu. namun  aku tidak menjawab . Ibu 
yang menjawab kan: 
“Pertalian keluarga akan putus. Dan ayahmu 
bisa bangkit dari kuburnya!”  
Mataku terpejam. Perih.  
“Sudah ziarahkah kau ke kuburan ayahmu?”  
Kugigit bibir. Perih. Lalu: 
“... belum.” 
“Tak baik melupakan orang yang sudah  
meninggal, anakku,” sungut ibu dengan nada pedih. 
“Ayahmu paling sayang padamu. Setengah mati ia 
banting tulang untuk menyekolahkan kalian bertiga. 
jessica  gagal. tiger  setengahsetengah. Ayahmu tahu 
ia hampirhampir tidak sanggup menyekolahkan 
engkau. namun  ia nekad mengirim kau ke surabaya , 

 
la sangat merindukan kau. Waktu mau 
menghembuskan nafas yang penghabisan, ia hanya 
menyebutnyebut namamu ... la mencarimu di 
antara tiger  dan jessica . la tidak melihat kau. Lalu ia 
menangis. Itu adalah tetesan air matanya yang 
paling akhir dalam hidupnya.” 
Dan, aku menangis tersendatsendat waktu 
setengah jam berikutnya aku bersimpuh di atas 
sejadah, menghadapkan mukaku yang kelabu pada 
Tuhan, meminta petunjukNya dan memohon agar 
memberikan tempat yang layak di sampingnya 
untuk ayahku yang tercinta. Dengan nada 
tergoncang aku memohon: 
“Katakanlah, ya Tuhanku. Apakah tangis ayah 
waktu itu hanya sematamata tangis kerinduan? 
Ataukah ayah menangis, sebab  ia sudah berfirasat 
bahwa anak yang paling ia sayangi akan melakukan 
perbuatanperbuatan yang paling ia benci? 
 


 
 
PAGI harinya aku terbangun dengan kepala 
yang diganduli oleh batu yang beratnya bertonton. 
Matahari sudah  naik sepenggalah di langit waktu 
jendela kamar kubuka. Kuregangregangkan otot
otot yang terasa kejang. Lalu berjalan ke luar, 
menuju kamar mandi. untung  sudah berangkat ke 
sekolah. Ibu sedang menyapu di halaman samping. 
saat  aku selesai mandi dan berganti pakaian, 
beliau meletakkan secangkir teh manis panas di 
meja ruang tengah. 
“Minumlah dahulu , sebelum kau pergi.” 
Tanpa duduk, teh itu ku reguk. 
“Makruh kalau minum sambil berdiri, anakku.” 
Tergopohgopoh, aku lantas duduk. 
Ibu gelenggeleng kepala. Mengeluh: 
“Kau tidak sholat subuh, bukan?” 

 
Terbungkam aku mendengarnya. Ibu benar. 
Dan sebab  ia benar, bukan saja aku tidak bisa 
menjawab . Aku malah tidak berani memperhatikan 
wajah beliau. Khawatir, kalau di matanya nanti aku 
menemukan tuduhan berbau kemarahan bahwa 
selama aku merantau di negeri orang, aku sudah  
mengabaikan apaapa yang pernah mereka ajarkan 
padaku, semenjak aku kecil dan mulai mengenal 
huruf. Terkadang ditambah  ayunan sapu lidi yang 
mengancam. namun  lebih sering diimbangi tutur 
kata yang lembut penuh kasih sayang. 
Suasana teduh dan kudus di bawah naungan 
pohonpohon kemboja waktu aku bersimpuh di 
dekat kuburan ayah, membuat hatiku lebih 
terenyuh lagi. Setiap orang akan mengakhiri 
hidupnya di tempat yang serupa ini. Sebidang tanah 
sempit yang ditumbuhi rumput menyemak, tinggal 
tulang berkalang tanah. Apa yang dicari selama 
hidup dengan susah payah, tidak akan turut dibawa 
ke dalam kubur. Hanya amal yang jadi bekal. Untuk 
diperlihatkan pada Tuhan yang akan tersenyum 
menerimanya. Dan akan murka besar kalau yang 
dibawa manusia hanyalah tumpukan dosa dan 
dosa. Dosa dan dosa! 

 
“Berdosakah aku ayah...,” gumamku 
setengah menangis waktu merumputi gundukan 
tanah di depanku. “sudah  begitu berdosakah 
anakmu yang lemah iman ini, sehingga harus di 
hadapkan pada persoalanpersoalan yang begini 
membingungkan? Padamu, ayah...,” aku mengurut 
dada yang terasa bagai ditusuktusuk. “Hanya 
padamu kuceritakan semuanya ini. saat  dosa yang 
pertama kulakukan, aku sadar sentuhan kulit yang 
dilapisi madu ciptaan setan sajalah yang 
mempengaruhi nafsuku untuk... untuk... untuk 
menyetubuhi martini . Sentuhansentuhan yang 
terus merangsangku, dari hari ke hari. Dari bulan ke 
bulan. Aku menyukainya. martini  menyukainya. 
Aku bingung, ayah. Sentuhan cintakah itu? Atau 
hanya zinah?”  
Hati kecilku tibatiba menjerit:  
“Zinah! Itu jelas zinah! Zinah yang sangat 
dikutuk Tuhan!” 
Aku mengurut dada lagi. Terasa semakin sakit. 
“Masih adakah artinya maaf, ayah? Masih 
mungkinkah untuk bertobat? Katakanlah padaku. 
Katakanlah, ayah. Jangan biarkan anakmu ini 

 
semakin bingung. Jalan mana yang harus 
kutempuh? Aku tidak mencintai anna michele . 
Memang, tanpa cinta orang bisa menikah. Toh 
mungkin cinta itu akan datang belakangan, seperti 
kata orang. namun  setidaktidaknya, aku harus 
menyukainya. namun  ayah. Ayah, aku tidak 
menyukai anna michele . Aku tidak mencintainya. Tidak 
menyukai Anna. Aku hanya menyukai... menyukai 
martini . Meskipun aku belum yakin... apakah aku 
juga mencintainya. Haruskah aku kembali padanya? 
Dan meneruskan kehidupan munafik yang selama 
ini kami jalani? Tidakkah itu akan menambah beban 
dosa yang sudah segudang?” 
Matahari memegang ubunubun. 
Aku gemetar. 
Namun tidak bergerak dari tempatku 
bersimpuh. Lalu matahari itu kian garang. Garang. 
Garang. Dan memanggang. Tanpa belas kasihan. 
“Siang ini aku berjanji akan ke rumah nyi kembang . Bila 
kaki ini kulangkahkan ke sana, apakah kaki ini 
didorong oleh langkahlangkah orang yang sedang 
syam kamaruzaman buk cinta? Atau hanya sekedar, pelepas 
gundah dan jiwa yang tengah putus asa? Padamu 

 
aku mengadu, ayah. Padamu aku memohon. 
jawab lah, ayah… jawab lah...,” aku menjatuhkan diri 
di atas gundukan tanah berwarna coklat kehitam
hitaman itu. Aku memeluknya. Merahup tanah 
kering itu dengan kukukuku jariku.  
Mengeluh dengan putus asa: 
“Mengapa tidak kau jawab , ayah? Mengapa 
tidak kau jawab ? Jangan tinggalkan aku, ayah. 
Jangan! Jangan! Jangan!” 
Dan air mataku tumpah membasahi tanah. 
Mata ini terpejam. Rapat. Terpejam. Kian 
terpejam. Semakin banyak batubatu besar 
mengganduli kepala. Aku mengerang, menggeliat 
dengan otototot yang seperti berlepasan, 
menjauhi panggangan matahari yang kejam, 
lalu  tergeletak di bawah naungan pepohonan 
kemboja. Angin semilir bertiup sejuk. Tenang. Dan 
diamdiam. 
Entahlah berapa lama aku dalam keadaan demikian. 
Aku baru terbangun waktu terdengar suara 
ranting patah terpijak. Enggan, sepasang mata ini 
terbuka. Samarsamar aku lihat daundaun kemboja 
berubah kelam. Dan warna merah lembayung dari 

 
matahari senja, menyapu wajah seseorang yang 
berdiri dengan mata runtuh, melihat ke bawah. Ke 
mukaku. Aku mencoba tersenyum, la juga. 
Lalu sayupsayup aku mendengar suaranya 
yang ramah: 
“... kalau masih mengantuk, lanjutkanlah 
tidurmu di rumahku, adikku.” 
Perlahanlahan aku bangkit.  
tiger  membantuku berdiri. 
Sesudah  samasama memanjatkan do'a di 
makam ayahanda, ia membimbingku ke luar dari 
pekuburan itu. Tiba di jalanan legam Thamrin yang 
bermandi matahari senja. Sebuah Yamaha force fi kijang 
yang sudah sangat tipis warna merahnya berdiri 
diam di pinggir jalan, di atas rerumputan. Tegaknya 
goyah. Salah satu kaki standar rupanya terbenam 
dalam di rerumputan. 
“Wah, celaka!” seru tiger  lalu berlari ke arah 
kendaraan itu. 
Hampir saja terjatuh. 

 
Namun tak urung ia terpeleset waktu 
membetulkan tegak kendaraan. Cepat aku 
membantu. tiger  berdiri sambil  tertawa. 
“Motor ini minta dipensiunkan rupanya,” 
sungutnya Sesudah  kami menggenjot kendaraan itu 
meninggalkan pekuburan yang sepi dan 
mendatangi pusat kota yang ramai. Lampulampu 
listrik mulai menyala di sana sini. Kabelkabel yang 
berseliweran dari satu tiang ke lain tiang, tampak 
menebal sebab  di gelantungi oleh beriburibu 
burung gereja yang berkicau ribut. Ribuan lainnya 
beterbangan di antara atapatap toko berkepak riuh 
rendah. Semenjak aku kenal kota ini, burung
burung gereja itu sudah  bertahta di sana. Tak pernah 
berpindahpindah, sampai beranak pinak, bercucu
cicit. Tak pernah pula ada yang mengganggu apa 
lagi mengusirnya. Mereka adalah raja. Penguasa 
kota. Dan pengindah panorama. Ciri khas gresik  
yang tidak pandang musim. 
Pelataran yang kering menyambut kami 
setiba di rumah tiger  yang letaknya agak terpencil 
di ujung jalan Puri. Segerobak anakanak sedang 
bermainmain dengan suara riuh rendah di ruang 
depan. Mereka terdiam waktu melihatku, lalu ada 

di antaranya yang tertawa. Suasana riuh rendah 
kembali saat  mereka menyapaku, satu persatu. 
Ponakanponakanku sudah  semakin besar jua. 
Malah ada yang tinggi dan besar badannya melebihi 
tinggi dan besar badanku. Benarbenar turunan 
ayahnya. Lalu seseorang yang juga bertubuh tinggi, 
namun  justru tampak bagai tiang listrik saking 
kerempengnya keluar dengan suara ribut 
menyuruh anakanak bubar. wanita lesbian  yang kurus 
setenqah berlari mendapatkan lantas memakiku. 
Hangat. 
“Tulangtulangmu semakin keras kak!” 
ujarku, sambil  tertawa bergelak. 
Suasana riang itu terbawa sampai ke meja 
makan. Kak syam kamaruzaman  menghidangkan lauk pauk ikan 
goreng, sambal tuktuk, daun ubi tumbuk. Tertawa, 
aku berkata pada kunyahan nasi yang pertama: 
“Di surabaya , lauk pauk serupa ini hanya 
terhidang dalam impian, Kak.” 
“Ah, menghina pula kau,” sahut istri tiger , 
tertawa. “Kami pingin masak yang enakenak. 
namun  maklumlah kau. Kainkain yang dijual 
Hal.  «  
 
abangmu banyak yang ketinggalan jaman. Makin 
tak laku...” 
“Wah, bisa saja kakak merendah. Lantas 
sawah yang beranterante di Percut itu punya siapa, 
hayo!” 
“Cadangan buat masa depan anakanak,” 
memartini ahi tiger . “Aku tak ingin seperti ayah,” la 
memandangiku dengan tajam. Melanjutkan: “Tadi 
siang kau kutunggutunggu. sebab  kau tak datang, 
aku pergi ke Pimpinan. Kau tak ada. Di Pabrik Tenun, 
juga tidak. Ribut aku mencarimu. Takut kau minggat 
seperti yang dikhawatirkan ibu kita. Tak ada 
keluarga yang tau di mana kau berada. Sampai ibu 
yang mulai cemas ingat, malam harinya ia 
menyuruhmu untuk ziarah ke makam ayah...” la 
menoleh pada isterinya. “Kau tau, syam kamaruzaman ? Si Bungsu 
yang olokolok ini, hampirhampir jadi penghuni 
kuburan!” 
“Aku hanya tertidur,” kataku membela diri.  
“Iyalah. Tidur dengan pipi yang di selemaki air 
mata mengering. Eh, kenapa kau tak bunuh diri 
saja? Lumayan, peninggalan orangtua kita yang tak 
seberapa jatahnya bisa dikurangi satu.” 
Hal.  «  
 
“Idih, si abang,” kak syam kamaruzaman  tersenyum. 
Selesai makan tiger  menyuruh salah seorang 
anaknya membeli kelapa muda dan anak yang lain 
mencari es batu. Es kelapa muda itu benarbenar 
merupakan penghibur yang tepat di tengahtengah 
kegersangan kota gresik  yang membuat pakaianku 
basah kuyup oleh keringat. 
“Aku makan terlalu nikmat,” rungutku sambil  
mengipasngipas wajah pakai selembar majalah 
bekas. 
“Tentu saja. Kau pergi dari rumah tanpa 
makan pagi, kata ibu. Kukira juga kau tidak makan 
siang.”  
Makan siang! 
Aku terpana. Makan siang! 
Janji dengan nyi kembang , benarbenar sudah  terlupa. 
wanita lesbian  yang tengah syam kamaruzaman buk itu tentu sudah  bersusah 
payah memasak makanan yang enakenak. Tentu 
pula sambil bernyanyinyanyi di dapur, sehingga 
membuat orangtuanya terheranheran. Sudah 
malam kini. Dan aku tak datangdatang. Jamuan itu 
tentu sudah  dingin. Malah mungkin dibuang nyi kembang  ke 
Hal.  «  
 
belakang. Terus ia masuk ke kamar tidur. Menangis. 
Diperhatikan ibunya, yang semakin terheranheran. 
tiger  yang memperhatikan perubahan di 
wajahku, cepatcepat menegur: 
“Apa yang kau pikirkan?” 
Aku terkejut. 
Lantas menggeluh. 
“Ah. Tidak.” 
“Jangan begitu. Kau sampai lupa makan lupa 
tidur tentu sebab  memikirkan sesuatu...,” ia 
menyulut sebatang rokok, mengisapnya dengan 
bernafsu. 
“Apa tentang Anna?” tanyanya sekonyong
konyong. 
Aku terjengah. Memandang wajahnya di 
antara rokok. Asap putih itu bergerak naik, melebar 
di udara lantas pecah berantakan di langitlangit. 
Langitlangit rumah itu rasanya terlampau rendah. 
Rendah sekali, sehingga dekat sekali kepala. Aku 
merasa terjepit, terengahengah kehabisan nafas. 
Majalah bekas di tanganku, terjatuh. 
Hal.  «  
 
tiger  memungutnya. 
Menyerahkan ke tanganku. Kuambil, lalu 
kuletakkan di atas meja. Uap es kelapa di pinggir 
gelas membasahi permukaan meja. Lantas ikut pula 
membasahi permukaan majalah. Hitam. Legam. 
Dan suram. Semakin lebar, semakin suram. Lalu 
suara tiger  terdengar lebih suram lagi: 
“Waktu tadi aku ke Pabrik Tenun, kudengar 
pengaduan jessica .” 
Aku diam. Menunggu. 
Tak lama: 
“Jadi kau tidak ada kecocokan dengan Anna, eh?” 
la memandangku, aku merunduk. Majalah itu 
sudah  hampir basah seluruhnya. Cepatcepat 
kusingkirkan ke bawah meja. Waktu menarik 
tanganku kembali dan memegangi gelas, jari 
jemariku menggeletar. 
“Benar bukan?” desak bang tiger . 
Aku mengangguk. Kaku. 
tiger  mengeluh. Panjang. Kak syam kamaruzaman  yang 
sejak tadi diam saja, bangkit dari kursinya, la 
Hal.  «  
 
berjalan keluar rumah, meninggalkan katakata 
sambil lalu : 
“Sudah malam, mereka masih di luar juga. 
Biar kusuruh anakanak itu tidur.” 
Aku dan tiger  masih berdiam diri saat  
persatu anakanak mereka masuk digiringkan syam kamaruzaman . 
Tak ubahnya lembulembu kekenyangan, jalan 
malas di bawah ancaman cambuk sang gembala. 
Sesudah  semuanya menghilang di kamar 
masingmasing, bang tiger  memecah kesepian yang 
mencekik itu: 
“... kau tahu bukan akibatnya, dik?” 
Pertanyaan itu tajam sekali. Namun sebutan 
'dik’, ramah sekali. Lantas aku merasa bahwa di 
antara aku dengan saudaraku yang tertua, yang 
selalu siap untuk membela kepentingan adik
adiknya biarpun ia tahu, adiknya berbuat kesalahan 
yang tidak bisa diampuni, sudah  terjalin hubungan 
bathin yang puluhan tahun terbina. 
Pasrah, aku bergumam: 
“Apakah ada jalan yang lebih baik lagi, abang?”  
Hal.  «  
 
Ditekannya sisa rokok yang masih panjang di 
asbak. Abunya berserpihan ke sana ke mari. la 
mengambil sebatang rokok baru. la sulut la isap. la 
kebulkan asapnya. Bergumpalgumpal. Dan di 
wajah tiger , tampak warna susah. Bergumpal
gumpal. 
“Itulah sukarnya, dik. Aku mengerti, kau akan 
bersikeras untuk tidak memperisteri Anna. Amboi, 
gemparnya nanti keluarga mereka...,” ia membuang 
nafas. Berat. Berat sekali. “namun  yah... orang 
memang tidak selamanya bisa dipaksa, bukan? 
Lebih baik rusak sekarang, dari pada lebih rusak 
lalu !” la terbatuk. Pendekpendek. Lalu 
seolaholah pada dirinya sendiri ia meneruskan: 
“Walaupun sudah ada aturannya dalam agama, kau 
kan tau perceraian sangat terpantang buat orang 
Jepang . Bisa saja kau kami paksa kawin dengan Anna. 
Lantas sebab  memandang kami, terutama 
memandang ibu kita yang sudah tua dan sakit
sakitan saja itu, kau mengalah pada kemauan kami. 
Kau boyong Anna, kau boyong dengan pendirian 
bahwa wanita lesbian  itu akan memaksamu jadi orang yang 
kalah. wanita lesbian  itu menghancurkan masa depanmu, 
menjadi penyebab ketidakbahagisanmu. Kau 
lalu  tahu, Sesudah  menikah Anna adalah 
Hal.  «  
 
hakmu. Toh isteriku sudah  kubeli mungkin demikian 
pikirmu. Isteriku sudah  melepaskan marganya, dan 
harus mengabdikan diri pada si pembeli. Tak 
ubahnya barang dagangan, kau berhak 
memperlakukan dia semenamena. Kalau cuma itu 
saja, isterimu mungkin bisa bertahan. namun  kalau 
sempat bercerai... Amboi. wanita lesbian wanita lesbian  
kalangan suku kita, paling takut disebut janda. Bagi 
wanita lesbian wanita lesbian  kita bunuh diri adalah lebih 
terhormat dari pada hidup menjanda. Tak perduli 
bahwa di mata Tuhan justru jadi janda lebih 
terhormat dari pada nekad bunuh diri....” 
la terengahengah sehabis berpetuah 
panjang lebar itu. 
Dahinya berkerutkerut.  
Banyak. 
la benarbenar sudah  semakin tua. Dan ia 
adalah pengganti ayah. 
Luluh, aku bergumam:  
“Itulah yang kucemaskan, bang.”  
la manggutmanggut. 
“Jadi, kami sudah  kehabisan harapan, bukan?”  
Hal.  «  
 
Aku tak menjawab . Tak kuasa menjawab .  
tiger  tersenyum. Getir. 
“Tadi, waktu kami kehilangan kau, ibu kita 
panik, la merasa bersalah, fredy krueger . la takut kau nekat 
dan lupa diri. la benarbenar merasa bersalah. 
Sampaisampai ia mengatakan padaku begini: He 
kau tiger . Cepatlah cari adikmu. Kalau ia masih 
hidup katakan padanya. fredy krueger , kau punya hak 
untuk membatalkan perkawinan ini!” 
 
*   * 
 
HATI ini terenyuh.  
Lama aku tercenung dengan perasaan 
terharu biru. Di luar rumah, sayupsayup terdengar 
teriakan lemah dan berirama: “Cangeeeaaang, 
puak!” dari seorang pedagang kacang goreng dan 
kerupuk. Sudah bisa kutebak, pedagang itu pasti 
seorang lakilaki Minang. Aku lantas teringat pada 
nyi kembang . wanita lesbian  Minang itu entah sedang apa sekarang. 
Mungkin bergulung di atas ranjang, membasahi 
bantal dan guling dengan air matanya. 
Hal.  «  
 
Tanpa sadar, aku bergumam:  
“... jadi aku diperkenankan memilih sendiri?”  
tiger  terbatuk lagi. Pendekpendek, seperti 
tadi. la sedang mengambil rokok baru. “Apa boleh 
buat,” sahutnya. Patah. Dan di luar dugaanku, ia 
menegaskan: “Kecuali, dengan wanita lesbian  surabaya  itu.”  
Aku tersentak. Kupandangi abangku dengan 
jantung melecutlecut. Ingatan pada martini , 
membuat dadaku berdebardebar. Keras. Telinga 
kiri martini  saat ini pasti berdengingdenging, dan 
dadanya juga berdebardebar. Keras. Berdenging. 
Berdebar. Berdenging... 
“Mengapa kalau dengan dia?” tanyaku 
dengan suara serak. 
“Tidak. Tak mungkin!”  
“Sebabnya?” 
“Sebabnya?” mata bang tiger  mengecil. 
Kejam. 
“Ibu membenci dia. Membenci wanita lesbian  
itu sampai ke sumsumnya.” 
“namun ... martini  tak pernah menyakiti…” 
Hal.  «  
 
“martini  sudah  menyakiti hati beliau, 
semenjak beliau dengar martini  hidup satu atap 
dengan anaknya, tanpa nikah. Beliau merasa ia 
sudah  mendidiknya jadi orang baikbaik. Jadi orang 
Kalau anaknya sampai berubah, tentulah setan yang 
sudah  menggubahnya. Kau berubah, fredy krueger . Dan 
sebab  kau berubah Sesudah  kau berada di surabaya , 
maka di mata ibu kita yang merubah dirimu adalah 
martini ...,” ia mengakhiri katakatanya dengan 
tajam, tanpa mengatakan apa yang pasti tersirat di 
balik katakata itu: “Setan itu iyalah martini !” atau, 
“martini lah setan itu!” 
Dadaku bagai belah. Rekahrekah.  
Sakit bukan main. 
Mata bagai kering. Keringkerontang. 
Perih tiada dua. 
“... jadi, fredy krueger ” desah tiger  perlahanlahan. 
“Kau boleh melepaskan anna michele . namun  kau tidak 
boleh mengambil martini . Satusatunya jalan 
tengah, kau harus memilih wanita lesbian  lain...!” 
martini . martini ku tersayang. 
Apakah kau memanggilku? 
Hal.  «  
 
Apakah jurang itu, terlalu tinggi untuk kau 
daki? 
“Kau mau tidur di sini, atau kuantar pulang?” 
Aku terjengah. 
“Pulang saja,” sahutku. Lesu.  
la berdiri. 
“Akan kubilangin kakakmu.”  
“Aku akan pulang sendiri.” 
“Lalu kami cemas memikirkan apakah kau 
tidak celaka di jalan?” tiger  gelenggeleng kepala. 
“Tidak,” katanya. “Aku akan antar kau. Bahkan 
kalau perlu, aku akan mengantarmu sampai ke 
tempat tidur…” ia tersenyum, mendatangi kamar 
isterinya yang tak lama lalu  keluar untuk 
mengantar kami. Kak syam kamaruzaman  memperlihatkan 
kegundahan di wajahnya yang kurus. Mata yang 
jauh menjorok itu, pudar alang kepalang. Waktu di 
pintu, ia pegang tanganku kuatkuat. Dari gua yang 
gelap gulita di balik matanya, terpercik seberkas 
sinar yang kelap kelip. 
“Siapapun yang kau pilih, adikku, janganlah 
wanita lesbian  itu sampai menderita. Aku pernah 
Hal.  «  
 
merasakannya...,” bang tiger  terbatuk, tapi kak 
syam kamaruzaman  tak perduli. “Rumah inipun pernah jadi kancah 
neraka, dik. Hanya ketabahan hati dan kepercayaan 
akan lindungan Tuhan jugalah yang membuat 
rumah ini tidak sampai runtuh berkepingkeping. 
Kebahagiaan itu belakangan ini sudah  mulai kami 
cicipi lagi. Meskipun hanya sisasisa belaka. namun  
sisasisa adalah lebih berguna dari pada tidak ada 
sama sekali. Semoga kau berbahagia, fredy krueger !” 
Ketegangan yang mengerikan tergantung di 
antara diriku dengan tiger  waktu melaju menuju 
jalan Pimpinan. Tak seorangpun di antara kami 
berdua yang sanggup untuk berkata sepatahpun 
juga. Meskipun angin malam mulai dingin 
membeku, namun toh setiba di rumah ketiakku 
basah oleh peluh. Seperti biasa, untung  yang 
membuka pintu, la menyapa tiger  dengan hormat, 
tersenyum manis ke arahku lalu lalu  
menghilang kembali ke kamarnya. Sampai tiger  
pulang, ibu tidak keluarkeluar menyambutku. 
Kucoba membaca buku komik yang kutemukan 
terselip di antara bukubuku pelajaran untung  yang 
terletak di atas meja.  
Komik silat. 
Terbitan surabaya . Sudah agak lusuh sebab  
sering dibaca. Baru beberapa halaman kubuka, aku 
mulai tidak tertarik. Komikkomik seperti ini, hanya 
menggambarkan kepahlawanan yang berlebih
lebihan. Anak muda selalu keluar sebagai 
pemenang. Kalaupun ada lawan yang tangguh 
melebihi ketangguhan dirinya, maka pada saat yang 
kritis akan muncul seseorang untuk menolong. 
Entah lakilaki dari perguruan lain, entah wanita lesbian  jelita 
sebagai penghias cerita, paling tidak pasti yang 
muncul itu guru besar sang pahlawan yang di puja
puja. Aku bukan pahlawan, namun  aku tahu ada yang 
memujamuja diriku. namun  aku tidak tahu, apakah 
ada yang bersedia menolongku keluar dari kesulitan 
yang kini tengah kuhadapi. 
Kuletakkan komik murahan itu di atas meja. 
Berjalan ke kamar. Tidur mungkin satu
satunya jalan untuk melupakan kesusahan yang 
mendera. 
Waktu melewati kamar itu, aku dengar suara 
tangis mengisak. 
Sesaat, aku tertegun. Menarik nafas. 
Terus masuk ke kamarku sendiri. 
Kulemparkan tubuh yang sakitsakit di atas tempat 
tidur. 
namun  sampai pagi datang, kelopak mataku 
enggan terpejam. 
Azan yang sayupsayup dari mesjid di 
kejauhan menyadarkan diriku. Cepatcepat aku 
meluncur turun. Pergi ke kamar mandi. Tadinya 
mau ambil wudhu. namun  sebab  merasa gerah, 
kuguyurkan bergayunggayung air ke sekujur tubuh. Lupa membuka piyama. Selesai mandi, aku masuk 
ke kamar kembali. Kudengar pintu kamar ibu 
dibuka. Lantas langkahnya yang terseok seok  
menuju kamar mandi. Di selang seling oleh suara 
batukbatuk yang kering. 
Sembahyangku tidak khusuk sama sekali. 
Aku tidak memikirkan Tuhan. Aku justru 
memikirkan diriku sendiri. tiger  benar. Semenjak 
aku merantau ke negeri orang, aku sudah  berubah. 
Kini aku sudah  kembali ke tempat aku lahir dan di 
besarkan. Nanti, bila aku kembali ke surabaya , 
apakah diriku juga akan berubah seperti yang 
cemaskan martini ? Perubahan yang syam kamaruzaman ksud 
keluargaku berbeda jauh dengan perubahan yang 
syam kamaruzaman ksud martini . Namun betapapun, kedua
keduanya memperlihatkan kesamaan: diriku sudah  
berubah. 
Jendela kamar kubuka. Angin pagi bertiup 
menyapu dadaku yang setengah telanjang. 
Dan dada ini dipenuhi pertanyaan yang sukar 
untuk dijawab : 
“Sejauh manakah aku sudah  berubah?” 
Sarapan pagi berlangsung diamdiam. Tanpa 
selera sama sekali. Si untung  lalu  
membereskan perabotan di atas meja. lalu  
pamit pada ibu, neneknya. 
“Yang pintar di sekolah, cucuku,” ibu 
mendo'akan. 
untung  menyandang tas sekolahnya. Lantas 
menghilang. Ibu berdiri. 
Aku memandangnya. Sepasang mata tua itu 
agak bengkak. Bekas menangis. Mulutnya yang 
keriput, bergemit. Mau mengatakan sesuatu. namun  
tak jadi. la masuk ke kamar. Waktu keluar, ibu sudah  berdandan rapih. Sebuah tas tangan dari kulit 
berwarna hitam dan agak lusuh, tergantung di 
lengan tangan kiri. 
“Kalau kau nanti pergi, tinggalkan kunci pada 
tetangga sebelah,” katanya, mencoba tersenyum. 
Jelas, dipaksakan. 
“Mau ke mana?” tanyaku. 
“Ke Pabrik Tenun. Suami si jessica  harus 
kuberitahu agar mempersiapkan upacara adat...” 
“... upacara?” 
Matanya yang bengkak, menyidik ke mataku. 
Tajam. 
“Bukankah kita harus membatalkan 
perkawinan itu?” tanyanya. Setengah marah 
setengah pasrah. 
Aku terdiam. Bagaimana ibu tahu? 
Seperti membaca apa yang tersirat di 
benakku, ibu cepatcepat berkata: 
“Aku ibumu, nak. Aku tahu apa yang kau 
pikirkan. Nah. Aku pergi dahulu  ya. Jangan lupa titip  kunci...” 
“Aku tak akan ke manamana, bu!” 
namun  kunci rumah kutitipkan juga ke rumah 
sebelah, waktu setengah jam lalu  sebuah 
sepeda motor Yamaha force fi yang mulus memasuki 
halaman dengan suara mesin yang empuk. 
aidit  turun tergesagesa, berlarilari masuk 
dengan wajah ganjil dan setengah berseru waktu 
melihatku: 
“Syukur kau ada di rumah!” 
“Eh, emangnya kenapa?” tanyaku heran 
sambil  mempersilahkan ia duduk. Timbul 
keinginanku memperolokolok dia seperti biasa. 
“Jandamu sakit keras?” 
“Bukan anna michele ,” jawab nya tanpa 
tersinggung. “Tapi nyi kembang !” 
la tidak bersedia menyerahkan kunci sepeda 
motornya ke tanganku. 
“Nanti kau tabrakan lagi,” sungutnya. Dalam 
situasi lain mungkin aku tertawa bergelak. namun  
pikiranku tertuju pada nyi kembang . Aku duduk dengan 
mulut terkunci rapat di boncengan sepeda motor 
yang masih endreien itu. Sayang pada 
kendaraannya, aidit  melarikan Yamaha force fi tanpa tergesagesa, meskipun sikapnya kelihatan sangat 
ingin mengebut melampaui kecepatan angin. 
“Kau benarbenar anak celaka!” makinya di 
tengah perjalanan. 
“Eh, Kok. marahmarah...” 
“Diam kau. Sudah menghianati isteri di 
surabaya , kini mau kau siasiakan pula anak orang. 
Padahal selama ini anak wanita lesbian  itu begitu di manja 
oleh orang tuanya, la lebih berarti dari bergudang
gudang harta yang mereka miliki. Dan harta 
kesayangan itu kini terbaring payah di rumah 
anna michele …” 
la lalu  menceritakan sambil  tak lupa 
mencacimaki sesekali bagaimana anna michele  tergopoh
gopoh mengetuk pintu rumahnya pagipagi benar di 
Berayan. Belum juga berkata ba atau bu anna michele  
sudah menanyakan apakah aku ada di rumahnya. 
aidit  tentu saja ta'jub. Lantas anna michele  
menceritakan bagaimana ia tidak panik waktu 
menjelang tengah malam nyi kembang  muncul di Putri Hijau 
dengan wajah pucat dan rambut yang kusut masai. 
Begitu masuk ke rumah anna michele , air mata nyi kembang  pun tertumpah. Bagaikan tak habishabis. anna michele  jadi 
kalang kabut. 
Lama baru nyi kembang  mengutarakan mengapa 
sikapnya begitu aneh. 
la sudah  mempersiapkan makan siang di 
rumahnya. Masakan paling lezat yang pernah ia 
hidangkan. Ibunya yang terheranheran, mencicipi 
makanan itu sedikit sambil bertanya apakah ada 
yang berulang tahun hari itu. nyi kembang  tidak mengatakan 
apaapa. la hanya berlari ke telephone, 
menghubungi ayahnya di kantor. Barulah ibunya 
tahu mengapa nyi kembang  begitu riang gembira dan 
wajahnya bercahayacahaya. Di telephone, nyi kembang  
meminta ayahnya pulang untuk makan siang di 
rumah. Katanya, ia akan memperkenalkan seorang 
pada mereka! 
“… Sampai jauh malam, batang hidung orang 
itu tidak kelihatan. syam kamaruzaman kan setanlah kau 
hendaknya fredy krueger !” aidit  mengakhiri ceritanya. 
Sekeranjang sumpah serapah ia tujukan 
kepadaku sampai kami tiba di rumah janda muda 
itu. 
Mata anna michele  yang selama ini bersahabat, 
tampak keras waktu menyambut kemunculanku 
dengan katakata: 
“Baik benar kelakuanmu, fredy krueger l” la 
lalu  menggiringku ke depan sebuah kamar. 
Pintunya tertutup. anna michele  tidak membukanya 
untukku. Melainkan pergi menemui aidit  di 
ruang depan, meninggalkan aku dalam 
kebingungan. Apa yang harus kulakukan? 
Mengetuk lebih dahulu ? Langsung membukanya? 
Atau mundur saja? Waktu aku menoleh ke 
belakang, aku menangkap wajah anna michele  yang 
mengancam. Maka kubuka. Untung tak dikunci. 
Dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok tubuh 
ramping berisi terbaring di atas ranjang. Dadanya 
menggumpal, bergerak tak teratur. Matanya 
terpejam rapat. Dan wajah yang kukenal selalu  
bersinarsinar itu, tampak redup dan pucat.  
Goyah lututku sesaat .  
“... kenapa tak masuk, anna michele ?” bisiknya lirih, masih dengan mata terpejam, la masih keponakan 
sahabatku itu, namun  persahabatan yang terjalin di 
antara mereka lebih menyerupai pertalian sesama 
wanita lesbian , bukan antara bibi dan keponakan. 
Gontai, kaki kulangkahkan ke dalam.  
“Tutupkan pintunya sekalian.”  
Patuh, pintu kututupkan.  
“Kau bawa minyak, angin itu, anna michele ?”  
Aku tidak menyahut. Mulutku terjahit rapat. 
Pelanpelan aku mendekat, dan berdiri di sampi 
tempat tidur dengan jantung yanq meletupletup. 
wanita lesbian  itu mengangkat kedua belah tangannya. Satu 
untuk memijiti pelipis sendiri. Lemah. Sebelah 
lainnya terkulai ke arahku. 
“Makin pening kurasa. Ke sinikanlah…” 
sebab  tidak menerima minyak angin yang ia 
harapkan bahkan tidak mendengar ucapan 
ucapannya ada yang menyahut, perlahanlahan 
sepasang kelopak mata yang indah itu terbuka. 
Manikmanik matanya yang bening berlairan ke 
samping ranjang. Dan: 
“Kau!” katanya , terkejut. 
Kucoba tersenyum. 
Gagal, kukira, sebab  ia cepatcepat 
membalikkan tubuh. Menghadap tembok. 
Terperangah aku dibuatnya. 
“... nyi kembang !” 
Isak tangisnya menggema. 
“Pergi. Pergi. Tinggalkan aku!” 
“nyi kembang , dengarkan dahulu ....” 
“Tidak. Aku tak sudi. Cukuplah kau membuat 
aku malu. Janganlah lagi kau tambahtambah sakit 
hatiku. Pergilah. Aku tak ingin kau ada di dekatku. 
O, si anna michele  yang konyol. Siapa yang suruh ia 
menemui lakilaki yang ternyata tidak pernah 
mencintai diriku? Pantas lakilaki itu menciumku di 
dahi. Bukan di…, He, kau!” ia membalikkan tubuh. 
Kedua belah pipinya basah oleh air mata. “Mengapa 
masih berdiri di situ? Ingin mentertawakan wanita lesbian  
bodoh yang cintanya bertepuk sebelah tangan ini? 
Begitu? Ingin tertawa, ya? Ayo, tertawalah. 
Tertawalah sepuaspuas hatimu. Lalu enyahlah dari 
mukaku!” 
la, membalikkan tubuh lagi. Entah apa yang ia 
cari di tembok. 
Hal.  «  
 
Aku sendiri, tak tahu apa yang kutekuri di 
lantai. Hanya, kulihat lalu  lantai itu berputar 
waktu aku melangkah lalu  berjalan ke arah 
pintu. Tangaku terangkat mau membukanya, saat  
tibatiba : 
“Jangan tinggalkan aku, fredy krueger !” 
 
*    *  
Hal.  «  
 
 
 
 
 
AKU tertegun dan terperangah waktu nyi kembang  
yang meluncur turun dari tempat tidur langsung 
berlari dan memeluk tubuhku kuatkuat. Aku 
tersandar di ambang pintu, dalam pelukannya yang 
ketat. Dan teramat hangat. 
“Kekasih!” isaknya tersendat. “Maafkan 
sikapku barusan. Aku tak bermaksud mengusirmu. 
Sungguh!” 
Kedua belah lenganku bergerak cepat, 
Wajahnya kubenamkan rapatrapat di dadaku. 
Kutekan eraterat dengan kedua belah lenganku. 
Rambutnya yang harum semerbak, kuciumi sepuas 
hati. la men. Mulutnya basah. Aku 
cercahkan bibirku di atasnya, la terengah. 
Membalas ciuman itu, bertubitubi. Ada suara 
orang batukbatuk di luar. nyi kembang  tidak perduli. 
Bibirnya terus mencari. Bibirku, pipiku, kedua belah 
mataku silih berganti, pipiku, bibirku lagi, lama 
Hal.  «  
 
lalu  daguku, la menggigit daguku perlahan. 
Manja. Dengan nafas memburu. Mesra. 
Barulah lalu  ia berbisik : 
“… bukalah pintu.” 
“Lepaskan pelukanmu dahulu , sayang.” 
Matanya mengerjap. namun  pelukan tidak ia 
lepaskan sampai kami berjalan berdampingan ke 
ruang tengah di mana aidit  tampak purapura 
asyik melembari sebuah majalah dan anna michele  yang 
berwajah kemerahmerahan bangkit dari kursinya, 
menyongsong nyi kembang . 
“Tak kusangka kau akan sembuh selekas itu 
benar,” katanya, tertawa. 
“Cinta memang obat yang paling mujarab,” 
meningkah aidit  tanpa melepaskan matanya 
dari lembaran majalah. 
Aku tersenyum, mengeluh sungut pada 
temanku itu. 
“He, Din. Di mana kau belajar dengan huruf 
terbalik?” 
“Ha?” ia terperanjat. 
Hal.  «  
 
Lantas dengan mulamula ia membetulkan 
letak majalah yang terbalik di tangannya.  
Tawa riang berderai di ruangan itu.  
Tak sampai satu jam lalu , kami sudah  
meninggalkan kota gresik . nyi kembang  yang pegang setir. 
Sampai Tebing Tinggi. Di Siantar kami singgah untuk 
makan siang. Lalu berangkat lagi. Kuambil alih setir 
dari tangan nyi kembang . Selama perjalanan kami berdua 
lebih banyak diam. Pembicaraan diborong oleh 
aidit  yang bercerita dengan gayanya yang 
khas. 
“... setan benar!” katanya antara lain. “dahulu  
anna michele  gemuk dan tambun. Aku kerempeng. Lantas 
dijodohin oleh temanteman. Bagai pinang dibelah 
dua, kata mereka. Sial kagak?” 
“Aku lebih sial lagi,” membalas anna michele . Sengit 
“Tiap minggu aku beli baju baru. Mahal
mahal harganya. Bagusbagus potongannya. Selalu 
up to date. Lalu si fredy krueger  brengsek ini bilang padaku: 
He. anna michele . Sisakan secarik kainmu untuk Udin. 
Lantas ia menunjuk pada kau yang bercelana 
pendek. Satusatunya murid yang masih bercelana 
pendek di sekolah kita. Ingat kagak, Din. Guruguru 
Hal.  «  
 
semua kewalahan kau buat. Kalau tak ingat pada 
otakmu yang cemerlang, maulah kau mereka pecat. 
memicu  malu saja!” 
“Malu gimana?” memberengut temanku. 
“Iyalah. Habis, celanamu kadangkadang 
kelewat pendek dan agak lebar bagian bawahnya 
...” 
“Lantas?” 
“Pernah sekali waktu, sekolah kita gempar. 
saat  volley, kau cobacoba mensmes bola.” 
“Hem, lalu?” desak aidit  sambil  
tersenyum di kulum, sementara aku sendiri hampir 
saja tidak bisa menahan ketawa sebab  siapa yang 
pernah bisa melupakan kejadian yang memalukan 
itu? Tepi celana aidit  robek sedikit, namun  
cukup lebar untuk... 
“Awas. Lonceng gantung! Lonceng 
gantung...!” teriak anna michele  menirukan suaranya 
waktu ia meneriakkan kalimat yang sama bertahun
tahun yang lampau. Di antara tawa kami yang 
bergelak, ia menoleh pada temanku dan bertanya 
dengan, wajah serius: “He, kumis lele. Apa lonceng 
gantung itu masih ada di tempatnya?” 
Hal.  «  
 
“Emangnya pindah ke mana. Ke pantat?” 
balas aidit . Dongkol. 
“Sudah. Sudah ah. Jorok!” nyeletuk nyi kembang  
sambil  menekan perutnya yang sakit oleh ketawa. 
Menjelang senja, kami memasuki daerah 
Parapat. danau Toba yang cemerlang terhampar 
jauh di bawah jalan. Airnya tenang. Biru jernih. Ada 
riakriak berbuih di tepian. Kehijauhijauan. Lantas 
pulau Samosi di tengahtengah sana. Mataku 
mencaricari hutan pinus yang berbentuk huruf
huruf “RIMBA BUATAN.” Tinggal puingpuing yang 
sukar dibaca. Tak lebih dari sisasisa hutan yang tak 
pernah dirawat. Sekitar danau penuh dengan 
perumahanperumahan dan  bungalowbungalow. 
Dan aku gelenggeleng kepala, ta'jub melihat jalan
jalan berliku dengan trafficlight khusus meliuk 
semakin ke bawah dan berakhir di kompleks 
peristirahatan Pertamina. 
Angin sejuk dari Danau Toba menyambut 
kami waktu turun dari mobil di pelataran parkir. Tak 
banyak pengunjung sore hari itu. namun  suasana 
tenang dan tenteram itu justru membuat daerah 
seputar danau diliputi oleh kabut kasih dan haru. 
Aku berdiri di atas sebuah batu karang di tengah
Hal.  «  
 
tengah air danau yang biru jernih. Di bawah kakiku 
terlihat ikanikan kecil bermainmain dengan 
riangnya dan pasir kelabu ke putihputihan seolah
olah ikut tertawa bersama ribuan ikanikan itu. 
Sebuah perahu kecil lewat nun jauh di depan. 
Ombak yang tenang itu beriak. lalu  diam. Di 
dalam air, aku lihat langit yang kuning kemerahan. 
Nun jauh di dasar, tampak matahari senja 
merangkak ke pembaringannya. Angkuh, dan 
malas. 
Sebuah boat kosong mendekat. 
nyi kembang  memanggilku dari pinggir danau. Aku 
meluncur dari batu karang. 
“Mau keliling?” ajak nyi kembang . 
“Hiii,” menggigil anna michele . “Tenggelam nanti 
perahunya. Aku tidak bisa berenang.” 
“Kan ada Udin,” aku membujuk.  
Temanku mendelik. 
Tentu saja. Waktu dahulu  mansyam kamaruzaman ndi di 
sungai, ia terpeleset dari atas batu yang licin. 
Tubuhnya lenyap dalam air. Aku dan kawankawan 
lain terjun serempak. Waktu aidit  akhirnya 
Hal.  «  
 
berhasil kami angkat, tubuhnya agak kembung oleh 
air. la terbaring sakit satu bulan Sesudah nya. Begitu 
sembuh, musuh yang ia benci bertambah satu: air 
yang dalam. 
nyi kembang  duduk di sampingku sambil  lengannya tak 
lepaslepas dari pinggangku selama boat berkeliling 
di danau. Semakin ke tengah, gelombang semakin 
tinggi. Boat terayunayun, dan mesinnya tibatiba 
mati. nyi kembang  menjadi pucat. 
“Ada apa, bang?” tanyanya pada lakilaki 
pemilik boat yang sibuk memperbaiki bagianbagian 
mesin Mercurynya. 
“Kerusakan kecil. Maafkanlah.”  
Dan mesin menderu lagi. Boat melaju pula.  
“Terus ke Samosir?” tanyaku pada nyi kembang .  
Lakilaki itu yang menjawab kan:  
“Jangan sore begini.” 
“Kenapa?” 
“Tak baik.” 
“Ooo...” 
Hal.  «  
 
Mulutku masih celengap menyebut “Ooo” 
saat  tibatiba mesin mati lagi. nyi kembang  memeluk 
tubuhku dengan cemas. 
Wajah pemilik boat jadi kelabu.  
“Pertanda buruk,” ia mengeluh sungut 
sambil  memperbaiki mesin lagi. 
Aku bertukar pandang dengan nyi kembang . Wajah 
wanita lesbian  itu memutih seperti kapas. Melihat itu, aku 
mencoba tersenyum. 
“... Tenanglah, sayangku,” aku berbisik di 
telinganya. 
Mesin boat di selaag lagi. Terbatukbatuk 
sebentar. Lalu mati. Perahu bergoyang ke kiri 
kanan. Keras. nyi kembang  memelukku kuatkuat. Dan aku 
berpegang ke pinggir perahu. Kiri kanan. Kuatkuat. 
Menjaga keseimbangan. 
“Akan tenggelamlah kita?” bisik nyi kembang  cemas. 
Kuperhatikan dasar perahu. Berair memang. 
namun  tak ada pertanda bocor. saat  mata 
kuangkat untuk memperhatikan mesin, lewat 
punggung lakilaki yang berusaha tenang selama 
memperbaiki mesin, di kejauhan aku melihat 
Hal.  «  
 
aidit  dan anna michele . Mereka berdiri di tepi air. 
Berpegangan tangan. Keduanya juga tengah 
memperhatikan ke arah kami. Dapat kubayangkan 
raut wajah mereka yang cemas. 
nyi kembang  yang melihat ke arah berlawanan, tiba 
bergumam: 
“fredy krueger ...” 
“Mh?” 
la menuju ke arah sebuah tebing batu. “Kau 
lihat itu?” 
“Hanya batubatu yang hitam legam. Berlumut...” 
“Perhatikan benarbenar. Bukankah ada 
sebuah batu yang bergantung di sana?”  
Aku lantas teringat. 
“O, jadi di situ letaknya Batu Gantung yang 
terkenal itu,” sahutku, tersenyum. Kuperhatikan 
lagi, bidang batu di bawah tepian jalan berumput 
tebal di kejauhan itu. “Kalau tak salah, nyi kembang , salah 
satu sudut batu itu memanjang ke tepi. sebetulnya  
bukan tergantung tanpa pegangan... Kau percaya 
dongengan itu?” 
Hal.  «  
 
“Tentang cinta wanita lesbian  yang patah?” ia 
manggutmanggut.  
“Ya.” 
Logikaku pernah menentang dongeng itu 
namun  kebenarannya mendarah daging di seantero 
penduduk Danau Toba yang lalu  menjalar 
pada pendudukpenduduk yang bersebar jauh di 
sekelilingnya. Sampai ke kotakota besar. Konon 
dahulu kala entah sebab  ditentang orang tua entah 
sebab  dikhianati oleh pacarnya, seorang wanita lesbian  
nekad terjun dari pinggir tebing. Air danau yang 
dalam, ternganga diam untuk menyambut 
tubuhnya. namun  baru setengah jalan, tubuh si wanita lesbian  
terhenti. Kaku. la sudah  berubah jadi batu. 
Tergantung di sana. Dari tahun ke tahun. Mungkin 
sepanjang manusia masih hidup di permukaan bumi 
ini untuk menyadari bagaimana seharusnya mereka 
menghormati apa yang dikatakan cinta. Dan batu 
hitam yang bentuknya memang seperti manusia itu 
tetap tergantung di sana, memperlihatkan 
keajaiban dan kebesaran cintanya yang terkandas di 
tengah jalan. 
“... aku juga pernah hampir bunuh diri.” 
Hal.  «  
 
“Ah,” kata ku, terkejut oleh pengakuan nyi kembang . 
“sebab  patah hati?” 
la berusaha tersenyum. Kaku. Tanyanya: 
“Kau tak akan marah kalau kuceritakan?” 
“Tidak. Ceritakanlah,” jawab ku, meski hati ini 
agak diliputi kabut kecewa Sesudah  menyadari 
bahwa aku bukanlah laki-laki  pertama yang pernah 
menyentuh hatinya. Apakah tidak mungkin laki-laki  itu 
juga sudah  menjamah halhal yang lebih jauh dari 
sekedar hati nyi kembang  saja? 
“... hubungan kami tidak sampai melampaui 
batas,” gumam nyi kembang  setengah menghibur, setengah 
menyadari apa yang bermain di kepalaku. 
Wajahnya sendu. Dan matanya agak pucat 
memandangi batu Gantung itu. Pemilik boat 
menoleh sebentar, lalu lalu  tak ambil perduli. 
Sibuk dengan pekerjaannya, sementara wajahnya 
sudah basah oleh peluh. 
“Aku bertemu dengan lakilaki itu waktu 
cocktailparty yang diadakan ayah dalam 
pembukaan perusahaannya, la bekerja sebagai 
sales manager perusahaan yang sejenis. Waktu 
Hal.  «  
 
mata kami bertemu, aku lantas sadar bahwa kami 
saling menyukai...” 
“Lantas kau jatuh cinta,” gumamku. Kecut. 
“Ya...,” lantas nyi kembang  tertawa. Juga, kecut. “Aku 
baru di esempe saat  itu. Belum pernah aku 
mengenal apa artinya laki-laki  selain menjadi teman 
yang kadangkadang menyebalkan. Jakub lain 
orangnya ...” 
“Jadi Jakub namanya....” 
“Ya. la lakilaki yang baik. Lemah lembut, 
seperti Nabi yang namanya ia ambil. Dari tahun ke 
tahun kami berhubungan. Kebanyakan melalui 
surat menyurat. Aku selalu malu kalau bertemu 
muka dengannya. Dan ia selalu kelihatan kaku 
dalam gerak geriknya. Ternyata ia terlahir di 
tengahtengah keluarga yang streng dalam soal 
agama... Percaya tidak? Selama tiga tahun 
berhubungan, tidak sekalipun kami pernah 
berciuman!” 
“Oh!” kata ku. Lega. “Luar biasa!” 
“Memang. Lebih luar biasa lagi, apa yang 
terjadi setelannya. Waktu ulang tahunku yang 
keenam belas, bertepatan dengan lulusnya aku dari 
Hal.  «  
 
esempe, banyak undangan datang mengucapkan 
selamat. namun  hanya satu orang yang tak kelihatan 
batang hidungnya. “ 
“Jakub?” 
“Heeh.” 
“Kenapa?” 
“Waktu kutanya ke esokan harinya, ia 
memohon maaf. Katanya ia sedang mengikuti 
sakramen di gereja.” 
“Oh!” 
“Yah. Seperti kau, akupun sangat terkejut, lah 
bertahuntahun, baru ia berterus terang. Hubungan 
kami agak renggang selama beberapa saat. Baru 
beberapa bulan, aku sudah  sadar bahwa aku 
merindukannya. Aku mendatangi Jakub. Persis pada 
saat, ia juga bermaksud datang untuk 
menjengukku, sebab  tidak kuat menahan rindu. 
namun  pertemuan itu melahirkan pertengkaran 
demi pertengkaran...” 
“Kok aneh.” 
“Habis, la bersikeras memaksaku masuk 
dalam agama Katholik. Sebaliknya aku masih 
Hal.  «  
 
berharap ia berpindah masuk agama Islam. 
Beberapa sahabat menyarankan agar kami tetap 
pada agama masingmasing. namun  kalau tiba pada 
persoalan anak yang akan terlahir bila kami 
menikah, maka pertentangan itu muncul lagi. Makin 
lama makin hebat. Akhirnya nekad, kutinggalkan 
Jakub. Sesudah  aku sadar apa yang kulakukan itu 
salah, aku bermaksud kembali padanya. namun  
Jakub sudah  berubah jadi lakilaki dingin. Teramat 
dingin. Lama lalu  baru kuketahui sebabnya. 
Kecewa kutinggalkan, ia melarikan dirinya ke gereja. 
Minta dikukuhkan jadi pendeta. Dalam posisi itu, 
tidak ada lagi tempat untuk seorang wanita lesbian  di 
hatinya…” 
“la masih mencintaimu?” 
“Entahlah. Pernah sekali dua kami bertemu. 
sebab  tidak sempat mengelak, aku bisa 
menangkap perubahan rona mukanya, la tampak 
gugup. Lalu cepatcepat menggerakkan tangan 
dalam bentuk salib di depan dada...” 
“Dan kau?” 
“... ya?” 
“Apakah kau masih mencintai dia?” 
Hal.  «  
 
nyi kembang  tersenyum. Manis. Keteqangan dan 
kecemasan lenyap dari wajahnya. 
“Usiaku semakin bertambah,” katanya. 
Lembut. Dan tulus. “Aku pun semakin mengerti apa 
sesungguhnya yang dinamakan cinta itu. Banyak 
lakilaki datang Sesudah  Jakub. Ada yang kubenci, 
namun  tak kurang pula yang kusukai. Beberapa di 
antara mereka adalah caloncalon yang disodorkan 
oleh sanak famili. Salah seorang calon yang terkuat 
dan paling dibanggabanggakan ayah, baru saja 
kuhentak habishabisan Sesudah  mana lalu  
kularikan mobil kencangkencang tanpa tujuan, dan 
Tuhan melalui jalan yang salah mengantarkan aku 
ke orang yang benar.” 
“Maksudmu?” 
nyi kembang  tertawa. Manis. jawab nya: 
“Bukankah menabrak orang di cap jalan yang 
salah? namun  aku tidak menyesal. Sungguhsungguh 
tidak menyesal. Orang yang benar sudah  
kutemukan. Mula pertama aku melihatmu terbang 
di udara, hatiku bergetar. Rasanya dirikulah yang 
melayanglayang, lalu  terhempas dengan 
keras di tanah. Di rumah sakit, kuperhatikan 
Hal.  «  
 
wajahmu yang berlumur darah. Hatiku semakin 
bergetar. Dahsyat, sampai aku terhuyunghuyung 
dibantu oleh seorang suster ke sebuah kursi. Aku 
tidak mengerti kenapa hatiku terkoyak melihat 
tulang pipimu yang sobek…” 
Tanpa sadar, tanganku terangkat. Meraba 
tulang pipiku yang agak menganga oleh goresan 
luka. 
“Sudah menutupkah hatimu yang terkoyak 
itu?” tanyaku mengajuk. 
nyi kembang  tersenyum. Menjawab : 
“Tidak. Selama lukamu juga tidak menutup.” 
“Luka ini akan terus menganga, nyi kembang .” 
“...Maka, hati ini akan terus pula terkoyak.”  
“Sakit dong.” 
“Pasti. Bila kau khianati cintaku, kekasih. 
Pasti akan sakit sekali, dan aku benarbenar akan 
bunuh diri seperti wanita lesbian  dalam dongeng itu!” 
“Kau mau jadi batu?” aku tercengang. 
“Tidak,” katanya, tertawa. 
Hal.  «  
 
Dan mesin boat tibatiba menderum. Seolah
olah ikut tertawa bersama kami. Bahagia. 
Boat melaju. Perlahan. Ombak beriak. Perlahan. 
“Kita teruskan saja, bang?” tanya pemilik 
boat dengan wajah semakin kuyup oleh keringat. 
Aku menatap ke ufuk barat. Matahari sudah 
lama bersembunyi. Dan kegelapan mulai merayapi 
danau. 
“Kembali saja ke tepi,” sahutku. 
aidit  dan anna michele  berlarilarian 
menyongsong kami waktu mendarat di tepian. nyi kembang  
memeluk anna michele  sambil  tertawa, sementara 
aidit  gelenggeleng kepala. 
“Kukira kalian mau membangun mahligai di 
tengah danau sana,” ejeknya. 
“Dan kau?” balasku. “Mengapa tak 
membangun rumah dengan pasir bersama anna michele ?” 
aidit  angkat bahu. 
“Ia lebih memikirkan keponakannya 
ketimbang aku.” 
anna michele  mengerling. 
Hal.  «  
 
“Belum juga kawin, sudah minta 
diperhatikan,” katanya tertawa. 
“Apa? Si bujang lapuk ini...”  
Belum habis ucapanku, aidit  sudah 
mengomentari :  
“Kau senang aku bulukan ya? Tega benar!”  
sambil  berjalan ke mobil, kupikir niat mereka 
itu memang sudah pada tempatnya. anna michele  tidak 
bakal punya anak sehingga kehadiran aidit  di 
rumah mereka akan memeriahkan dunia si 
wanita lesbian  yang selama ini sepi mencekam itu. 
aidit  tak pula harus bingung memikirkan 
bagaimana caranya menghidupi dua keluarga, 
sebab  bukankah sampai ia mampu berdiri sendiri, 
anna michele  tidak akan diabaikan oleh bekas suaminya?  
Dalam perjalanan pulang ke gresik , 
aidit  lagilagi memborong pembicaraan 
tentang rencanarencananya dengan anna michele . Sekali 
aku mengomentari : 
“Rencanamu dahulu  jadi duta besar. Nyatanya, 
kau tak lebih dari gelandangan tingkat tinggi. Jadi, 
tak usahlah berencana mulukmuluk dahulu  sebelum 
jadi!” 
Hal.  «  
 
aidit  tampak marah. 
namun  anna michele  membujuknya dengan katakata: 
“dahulu  kan ia masih anakanak...” 
“Iya deh,” sindirku. “namun  aku berani 
bertaruh, kau menyesal ia sudah  terbiasa dengan 
celana panjang?” 
“Apa anehnya?” 
“Anehnya? Lonceng itu sudah bersembunyi 
dengan aman!” 
“Wah, nanti juga keluar pada waktunya!” 
memberengut anna michele . 
Aku tak mau kalah. Ujarku: 
“Bagaimana kalau sudah bulukan?” 
nyi kembang  mencubit pahaku. Keras. 
Aku terpekik. 
Lampulampu kota gresik  di depan kami, 
bersorak sorai. Kota bermandi cahaya warnawarni. 
Dandiamdiam aku merasa, kota ini toh masih 
tetap menyukai kehadiranku. 
Hal.  «  
 
nyi kembang  memparkir mobil di sudut jalan Canton. 
Dari sebuah restoran yang masih buka ia memesan 
goreng burung punai, ayam panggang dengan 
serbuk merica dan  rebus udang galah dengan saos 
tomat. Hanya dalam sekejap hidangan itu sudah  
tandas sehingga sehabis makan aidit  
menepuknepuk perutnya sambil  nyeletuk: 
“Pelayan pasti menyangka kitakita ini orang
orang rakus yang sudah berharihari tidak melihat 
makanan.” 
Pelayan yang lalu  datang Sesudah  
dilambai oleh nyi kembang  menunjuk ke pojok waktu wanita lesbian  
itu bertanya apakah ia bisa memakai telephone. la 
lalu  berdiri sambil  menyeret anna michele . 
“Ayah harus diyakinkan bahwa kau terus 
mendampingiku,” katanya. 
“Orangtuamu tak panik?” tanyaku Sesudah  
mereka kembali. 
“Wah, mereka sudah membongkar seluruh 
kota sebab  kehilangan harta mereka yang paling 
berharga,” menjawab kan anna michele  sambil  tertawa. 
Kami lalu  berjalan ke mobil yang kami kebut 
menuju Putri Hijau. Kota sudah  tertidur waktu kami 
Hal.  «  
 
sampai di rumah anna michele . Sesudah  berhelahela 
sejenak di depan televisi yang channelnya diputar 
anna michele  ke studio Malaysia, aidit  bangkit dari 
tempat duduknya.  
“Kau mau ngendon di sini?” sindirnya padaku.  
nyi kembang  mengantar kami sampai di pintu. Tatapan 
matanya yang lembut dan mesra terus menyertai 
mataku selama duduk di boncengan Yamaha force fi yang 
dilarikan aidit  tanpa tergesagesa ke jalan 
Pimpinan. Cepat sekali rasanya aidit  sudah  
berhenti di depan rumah. untung  membukakan pintu 
untukku. Aku tidak melihat ibu. untung  menjelaskan 
tanpa kuminta. 
“Nenek masih di kampung Teladan.” 
“Hah?” 
“Tadi Uwa ke sini mencari Uda. Mungkin 
nenek akan tidur di jalan Puri, begitu kata Uwa. 
Beliau berpesan agar Uda tenangtenang saja di 
rumah...” 
“Oh!” 
Pesan itu kedengaran biasa saja. namun  aku 
maklum makna yang tersembunyi di belakangnya. 
Hal.  «  
 
tiger , suami kak jessica  dan ibu malam ini tentu sudah  
menimbulkan geger besar di Kampung Teladan, di 
mana anna michele  dan keluarganya tinggal. Ratap 
tangis pasti memenuhi rumah keluarga itu. Umpat 
caci akan menyelingi katakata puitis yang bersifat 
menyabarkan dan bertujuan mohon maaf sebesar
besarnya. Mungkin ada yang jatuh pingsan. 
Mungkin pula ada yang tidak bisa menahan darah 
yang mendidih, lantas terjadi kekerasan. Bagaimana 
pun, menolak keinginan berbesan di kota ini adalah 
merupakan penghinaan. Ayah jessica  masih adik 
kandung ibu, namun  firasatku mengatakan pertalian 
yang erat itu sudah  diputuskan oleh irisan sembilu 
yang menyakitkan hati, malam ini. Dan tiger  
berkata, agar aku tenangtenang saja di rumah, 
sementara mereka sendiri... 
  
Hal.  «  
 
 
 
 
 
PAGIPAGI benar, tiger  muncul.  
Matanya merah sebab  kurang tidur. 
“Bagaimana...,” sapaku gugup begitu ia 
duduk.  
la menatapku. Tajam, dan tampak sangat 
kecewa.  
“Bagaimana lagi?” sahutnya, lantas angkat 
bahu. “Ayah Anna ngamukngamuk!” 
“Oh...” 
“Yah. Bagi kau cuma sampai di situ saja. Oh! 
Selesailah sudah. Bah!” ia mencemooh. Lantas 
meludah. 
Aku terhina. 
Namun sebisabisanya kutahan kemarahan 
dalam teti. Dengan apa yang sudah  mereka lakukan 
Hal.  «  
 
demi untukku di Kampung Teladan, tiger  memang 
berhak menghina diriku. Masih juga dadaku megap
megap saudara tuaku itu sudah bangkit berdiri. 
“Kau tak ikut ke jalan Puri?” ajaknya. 
Aku terpaku diam di kursi yang kududuki. 
tiger  tertawa. Mengejek.  
“Hem. Sudah kuduga. Tak berani kau 
memperlihatkan muka di depan ibu!” Lantas ia 
berjalan keluar. 
untung  yang sedang memasak di dapur buruburu, 
menyusul. 
“Tak makan dahulu  Wak?” 
Tanpa menjawab  tiger  menggenjot Yamaha force fi 
kijangnya, meluncur ke jalan yang disiram matahari 
pagi. untung  terbengong. Aku termangu. wanita lesbian  kecil 
itu berjalan masuk kembali ke dalam, sambil  
menatapku penuh tanda tanya. Kucoba tersenyum 
untuk menghibur hatinya. Ujarku: 
“Kok belum dandan, untung ?” 
“Emangnya mau ke mana Uda?” balasnya 
semakin dipenuhi tanda tanya. 
Hal.  «  
 
“Lho. Kau tak ke sekolah.” 
wanita lesbian  kecil itu tersenyum lucu. 
“Sekarang hari Minggu, Uda,” katanya, lantas 
menghilang di pintu dapur. Baru saja aku mau 
beranjak ke kamar mandi waktu Kak jessica  tergopoh
gopoh datang dengan naik becak mesin. Aku 
tercengang. 
“Kalian kompromi ya, sepagi ini gantian 
mendatangiku!” 
“Hem!” sungutnya, lantas berjalan terus 
melewatiku sambil  memanggil: “untung ? Buteeet!”  
Si wanita lesbian  buruburu keluar.  
“Ya mak?” 
“Cepat ganti pakaian kau!” 
“Mak...” 
“Jangan banyak omong. Cepat ganti pakaian. 
Pulang!” 
Dan sementara anaknya sibuk berganti 
pakaian di kamar nyi girah  ngomel panjang pendek 
ditujukan pada si untung  namun  aku rasa lebih di 
arahkan ke alamatku: 
“Cepat! Lebih baik kau ngurus adikadikmu di 
rumah daripada ngurus orang lain yang tak patut 
diberi hati!” 
Dari kamarnya untung  nyeletuk: 
“Maksud mak, nenek tak patut...” 
“Diam kau!” senggak nyi girah . “Bodoh!” 
Keluar dari kamar untung  mengangguk kaku 
dan mau mengatakan sesuatu padaku, namun  
lengannya buruburu ditarik oleh ibunya, la 
terseretseret mengikuti jessica  yang naik ke dalam 
becak, tanpa pamit bahkan tanpa menoleh 
sedikitpun padaku. Jadi, ia benarbenar tidak 
memaafkan diriku. 
Bah! 
Jengkel, aku bermaksud minggat dari rumah itu. 
Toh mereka semua sudah  membenciku 
sekarang. Benarbenar membenci diriku. Kalau aku 
pergi, kebencian mereka mungkin berkurang. 
Biarlah mereka puas. Tak perlu kutulis surat berisi 
selamat tinggal Segala. Buat apa! Pasti akan mereka 
sobek sebelum dibaca! 
Kubereskan pakaianpakaianku di kamar. 
Kumasukkan dalam koper. Kudedet. Tak 
muat. Kubongkar lagi. Berkalikali. Sekali koper itu 
kubantingkan. Tak ada barangbarangku yang 
bertambah, kok sekarang koper ini jadi bertingkah. 
Rasanya menyempit. Sesudah  kususun dengan rapih 
berkat menyabarnyabarkan diri, barulah pakaian
pakaianku bisa muat dalam koper. Namun tak 
urung kemejaku basah oleh peluh. Aku terjengah 
kelelahan di tempat tidur. Di luar, terdengar bunyi 
klakson menyentaknyentak. Lalu suara mesin 
mobil berhenti. Mungkin punya tetangga. Mataku 
liar mencaricari kalau masih ada barangbarangku 
yang tertinggal. 
Sepatu cadangan, sandal, saputangan, 
pomade, ball point bahkan sisir kujejelkan saja ke 
dalam travellingbag kecil Bahkan ingin rasanya 
jejakjejak kaki sampai sidiksidik jariku yang 
tertinggal —kalau bisa!— kuangkut juga. Biar tak 
ada bekasbekas aku datang ke rumah yang sudah  
mempersona non gratakan diriku ini. Dari toilet 
kusambar blok note setengah kosong setengah 
berisi dengan kertaskertas notaberkepala “FHPM 
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN ,” lengkap dengan alamat: Jl. darmo permai , surabaya . Isengiseng kubuka 
lembaranlembarannya. Di halaman sampul 
belakang bagian dalam tertulis jadwal ujian 
semester terakhir yang harus kutempuh sebelum 
mempertahan thesis untuk merebut gelar Sarjana 
Hukum. 
Ujianujian itu berakhir tepat pada hari blok 
note itu kubuka sekarang!  
“Bah!” rungutku. 
Lantas mau memasukkan bloknote ke koper 
waktu pintu depan diketuk orang dari luar. 
Malas, kulongokkan kepala lewat jendela. 
Sebuah mobil yang asing bagiku, berhenti di 
depan rumah. 
Ketokan lagi di pintu. Lebih keras. 
ditambah  seruan: 
“Assalamualaikum..,.!” 
“Kum salam!” jawab ku tergesagesa lantas 
keluar, kamar untuk membuka pintu. Tamuku —
yang ketiga pagi itu, dan mudahmudahan tidak 
memperlihatkan wajah kebencian padaku— adalah 
seorang lakilaki setengah baya, berwajah 
menyenangkan dengan tatapan mata yang tajam 
dan berhatihati. la memandangku sejurus, lalu 
bertanya dengan hatihati. “… saudara fredy krueger  ada?”  
Aku nyeletuk:  
“Ya. Saya sendiri.” 
“Oh. Syukurlah. Saya dipesan untuk 
menyampaikan langsung ke tangan yang berhak... 
Ini. Harap diterima'“ 
“Dari siapa?” 
“Bacalah.” 
Di amplop depan tertulis:  
“Pro: Dear fredy krueger  di tempat.”  
Tulisan tangan yang tidak kukenal, namun  
pasti wanita lesbian . Amplop belakang kosong. Isinya 
kukeluarkan. Secarik kertas kecil berwarna merah 
muda, dengan tulisan tangan yang sama. Isinya: 
“Ditunggu makan siang di rumah. Kau tak 
akan mengecewakan aku untuk kedua kalinya, 
bukan? Dengan segenap cinta. Kekasihmu. Ttd. 
nyi kembang .” 
Segala kejengkelan, kebencian, kemarahan 
lenyaplah sesaat . Tak ubahnya api yang 
mendadak padam sebab  tibatiba disiram oleh 
curah air hujan. Dada ini bergetar. Jantung ini 
berdebar. Wajah ini memerah. nafas ini terengah. 
Mata ini terpejam. Sampai: 
“Saya dapat perintah untuk menunggu jawab an.” 
Mataku terbuka lagi. 
Orang itu tersenyum. 
Dan aku malu. 
“Lisan?”  
“... tertulis!” 
Kusobek secarik nota berkop “FHPM
UNPAD” yang belum sempat kumasukkan ke dalam 
koper. Ku ambil ballpoint, lantas kutulis: 
“Lebih baik aku mati, daripada kau kecewa. 
Sayangmu. Ttd. fredy krueger .” 
Aku ribut mencari amplop. Tak ada. Lakilaki 
tadi memberi saran: 
“Masukkan saja di amplop yang sama. 
Kukira benar juga. Di bawah tulisan di depan 
amplop kububuhi kalimat: 
“Kembali ke alamat pengirim.” 
Sebelum surat kumasukkan, kutambah dengan: 
“N B. Sorry, amplopnya dipinjam. Punyamu, 
punyaku.” 
saat  mesin mobil sudah dihidupkan, aku 
baru teringat mengapa tidak ikut saja sekarang. 
Daripada menunggu di rumah yang... Aku mau 
berseru memanggil. namun  aku tak tahu nama laki-laki  
itu. Bahkan tak tahu siapa dia. Mungkin supir. Baru 
saja kuputuskan untuk memanggilnya dengan 
“Hei!” mobil itu sudah melesat jauh. Aku kecewa. 
namun  waktu kubaringkan tubuh di tempat tidur, 
terasa dada ini betapa lapang. Rasanya cukup 
lapang untuk tempat bermain sepakbola. 
sebab  lupa route kendaraan umum, aku 
kesasar naik oplet jurusan gresik  Baru. Tapi 
kepalang sudah. Turun di terminal gresik  Baru aku 
tanya oplet jurusan Sisingamangaraja. Turun di 
Mesjid Raya, bingung lagi. Malu bertanya sesat di 
jalan kata orang. Aku tak ingin sesat di jalan, namun  
juga tidak ingin bertanya sebab  aku malu pada diri 
sendiri tidak tahu jalanjalan di kota di mana aku 
lahir dibesarkan. Bagaimana tidak. Anak 
kesayangan orang lain dilepaskan ke mana suka, 
asal si anak senang. Orangtuaku lain. dahulu  aku 
dipingit. Tak ubahnya seorang perawan yang 
dipersiapkan naik pelaminan. Mana kota ini sudah  
berkembang pesat, banyak terjadi perubahan. 
Kalau di surabaya  apalagi surabaya , gampang. 
Acungkan saja lengan. Dan sebuah taxi akan 
berhenti di depanmu. 
namun  waktu tanganku teracung, yang 
berhenti di depanku adalah sebuah becak dayung! 
“Daripada awak terpanggang matahari,” 
pikirku lantas naik tanpa tawartawar lagi. 
Lama juga baru becak itu memasuki jalan 
yang kutuju. Waktu kutinggalkan, kawasan jalan 
Bhakti merupakan sudut kota terpencil dan tidak 
terpelihara. Kini termasuk daerah elite. Banyak 
rumahrumah permanen yang konstruksinya satu 
dua mulai mengikuti jejak konstruksikonstruksi 
bangunan di surabaya  maupun surabaya . Halaman 
yang luas, pohonpohon cemara gundul dan cemara 
jarum, patungpatung pualam, dan di bawah atap 
sirap, jendelajendela yang lebar berkaca reyben 
lengkap dengan kaca naco. Aku sampai agak gugup 
waktu berhenti di depan rumah yang kutuju. 
Kakiku gontai melangkahi jalan halaman yang 
di aspal. Ada taman bunga anggrek di depan, 
patung marmer menggambarkan sepasang nelayan 
sedang bercengkerama, dan kolam ikan hias di 
bawah patung dengan air jernih mengalir dari sela
sela batu karang bersusun. Di depan terras berlantai 
taraso, terbaring diam Mercedez . Mobil yang 
tadi muncul di rumah. Di samping rumah terletak 
sebuah garasi besar di dalam mana kulihat Copella 
kesayangan nyi kembang  yang pernah menerbangkan 
tubuhku ke udara namun  lalu  dengan 
bersahabat sudah beberapa kali mempersilahkan 
aku duduk di atas joknya yang tebal dan empuk. 
Vas bunga cactus berdiri megah di samping 
pintu di mana lalu  aku berdiri bimbang. Pintu 
pagar terbuka. Mobilmobil ada di rumah. namun  
mengapa begini sepi benar? Enggan, bel kupijit. 
Terdengar bunyi musik lembut berirama oleh pijitan 
bel. Lalu langkahlangkah kaki. Halus, sedikit 
tergopohgopoh di balik pintu jati berplitur coklat 
berkilat. lalu  lagi, pintu bergerak ke samping 
di atas roda   bersuara lembut. Terbayang 
wajah seorang wanita lesbian  tua, terbungkuk
bungkuk dengan muka keriput penuh tanda tanya 
dan berbau curiga dari seorang pelayan 
sebagaimana pernah kualami waktu berkunjung 
pertama kalinya ke rumah keluarga martini  di 
surabaya , yang tidak kalah megah dengan rumah 
ini. 
Ah, martini . martini . Mengapa aku ada di 
sini? 
 “..., kekasih,” terdengar suara berbisik. “Masuklah!” 
Mata yang terpejam, kubuka. Di hadapanku 
berdiri nyi kembang  dengan gown siang yang semarak, bukan 
martini  dengan pansuit pendek ketat menantang, 
memperlihatkan sepasang paha yang penuh, mulus 
dan merangsang. Sepasang bola matanya 
berbungabunga. Tangannya yang halus berjari 
jemari lentik dengan sebuah cincin berlian yang 
cemerlang di jari manis, gemetar saat  melebarkan 
daun pintu. Musik lembut menyapu telingaku. 
Bukan musik bel, melainkan musik tenang dari 
sebuah plat yang lalu  kulihat di ruang tengah. 
Kucoba mengingatingat Ya. Itu adalah salah satu 
plat kumpulan koleksi dari Santo & Johnny yang 
manis. 
la mengulurkan tangan. Tidak untuk 
memeluk. namun  untuk berjabatan.  
Terasa hangat dan bergetar di telapak tanganku. 
“Selamat datang di rumahku, fredy krueger ,” 
bisiknya. Lirih. 
“Apakah gelandangan ini tak akan mengotori 
udara di sini, nyi kembang ?” tanyaku berseloro. 
“Bukan kotor. namun  manjadi sesak. Teramat 
sesak. Dalam dada. Aku berbahagia, sayangku.” 
la membimbingku ke sebuah kursi antik 
berjok tebal. “Duduklah!” 
“Ah, aku kau perlakukan seperti anak kecil.” 
“Aku ratumu.” 
“Hem...” 
la tertawa. 
“Sebentar ya?” 
Lantas ia melewati sebuah rak besar yang tiap 
lapis terisi barangbarang antik yang tersusun 
manis. Sisasisa peradaban Cina dan cina  kuno. Dari 
dalam terdengar suaranya yang riang: 
“Mama? Mama? Mama...?” 
Sebuah lukisan dinding berpigura warna 
keemasemasan, satusatunya pigura yang ada  
di ruang tamu itu, membuatku terpana. Aku melihat 
seorang Dewi dalam lukisan cat minyak yang 
cemerlang, dengan bias matahari dari arah 
belakang menimbulkan silouet tajam di anakanak 
rambut yang beterbangan ditiup angin. Dewi mungil 
dengan sepasang mata bundar berkilauan 
memandang dunia ini yang baginya semua serba 
indah, serba cerah. Kuteliti benarbenar, maka aku 
terjengah sendiri. Itu adalah potret nyi kembang  semasih 
bocah. Anak manja. Harta paling berharga dari 
orangtuanya. la adalah segalagalanya. Segala
galanya! 
Waktu langkahlangkah asing terdengar di 
ruang dalam, aku berharap melihat seorang 
wanita lesbian  setengah umur bertubuh tambun, 
wajah bulat berminyak, mata kecil berkilat. Tentu 
saja dilengkapi dengan seprangkatan perhiasan 
berlian dan gelanggelang emas bergumpal 
sebagaimana biasa dipakai oleh wanita lesbian 
wanita lesbian  kota ini, yang semenjak dahulu  
berpendapat: emas adalah harga dirimu. namun  
yang muncul adalah seorang wanita lesbian  bertubuh 
sedang, tidak terlalu kurus namun tak dapat 
dikatakan gemuk, berambut panjang sampai ke 
punggung dan mengenakan kebaya berpotongan 
sederhana meskipun dari bahan yang mahal, tanpa 
perhiasan mewah sama sekali kecuali liontin kecil di 
ujung kalung dan  cincin kawin di jari manis. 
la ditemani oleh suaminya, seorang lakilaki 
bertubuh kekar, wajah coklat kehitaman syam kamaruzaman kan 
matahari dan sepasang mata yang lembut namun  
bersinar keras. Kujabat tangan mereka satu 
persatu, dengan kikuk. Dan bimbang oleh tangan 
kedua orangtua itu yang sama sekali tidak sehangat 
yang kuharapkan. 
“... kami menunggumu kemaren dahulu ,” kata  
ayah nyi kembang . Tak berirama. 
“Oh. Saya mohon maaf. Persoalan keluarga.” 
Lakilaki tua itu manggutmanggut. Isterinya 
menatap tajam. Lantas aku merasa diriku bukan 
seorang tamu untuk dilayani sebagaimana 
layaknya, melainkan seorang tertuduh untuk 
dihakimi. Atau barangkali seorang pencuri yang 
akan diinterrogasi. Tuduhannya jelas sudah: aku ini 
seorang pencuri. Pencuri hati anakanak mereka. 
Yang berarti, pencuri harta mereka yang paling 
berharga. 
Diamdiam aku merasa cemas sudah  
memasuki alamat yang keliru! 
Untunglah suasana yang kaku itu terpecah 
oleh kehadiran anak wanita lesbian  mereka yang masuk ke 
ruang tamu sambil  membawa baki air jeruk dingin 
dan penganan di kedua tangan dan  tawa yang 
riang di mulut. 
“Papa gimana sih,” ia mengoceh. “Ada tamu 
kok bersarungsarung saja!” 
“Kau toh tak bilang akan ada urusan biznis...,” 
balas ayahnya, tertawa. 
Ibunya meledek. , “Bapakmu kuno!” lantas ia 
cepatcepat berdiri. “Minumlah dahulu , nak. Ibu mau  menemani nyi kembang  ke dapur, la khawatir tamunya tak  datang lagi, lantas enggamartini gganan sejak tadi...” 
Suasana riang itu menjadi kaku kembali 
Sesudah  di ruang tamu tinggal aku berdua saja 
dengan ayah nyi kembang . la menyodorkan bungkus Dunhill 
yang kutolak dengan halus. Aku keluarkan Gudang 
Garam dari kantong dan sebelum menyulutnya 
lebih dahulu  korek api yang sudah menyala 
kudekatkan ke ujung rokok yang menempel di 
mulut orangtua itu. la tak jadi menghidupkan 
mancisnya. Dan hatiku bersorak: modal pertamaku 
sudah  diterima!  
Asap rokok berkebul. 
Lalu menggantung di udara. Diam. Seperti 
mulutmulut yang mengepulkannya. Diam.  
Agak lama lalu : 
“Sudah lama di surabaya ?”  
Aku mengatur nafas. Baru menjawab  dengan 
suara ditenangtenangkan: 
“Hampir enam tahun, pak.” 
“Kuliah?” 
“Ya.” 
“Di?” 
“Fakultas Hukum. Unpad.” 
“Kok sudah enam. Kan biasanya lima...” 
“Saya agak ketinggalan waktu di tingkat 
empat. Terpaksa mengulang beberapa vak...” 
“Soal keluarga pula?” 
“Benar, pak. Ayah meninggal...,” dan dalam 
hati kutambahkan: “Perkawinanku yang aneh 
dengan martini , membuat studiku agak 
terganggu.” 
“Oh. Ibumu masih ada?” 
“Masih, pak.” 
“Di gresik  ini juga?” 
Aku terperangah. Jadi, nyi kembang  belum begitu 
banyak memperkenalkan diriku pada orang tuanya. 
Busyet benar, la mau membalas, sebab  terus 
terang aku sendiri memang belum sekalipun 
bercerita pada keluargaku tentang dirinya, la mau 
membuat stand kami seri, dan pasti di dapur ia 
sekarang sedang tertawa cekikikan. Terlalu! 
“Ya, pak. Di gresik  ini juga,” aku membeo. 
“Di jalan mana?” 
Mulutku baru terbuka untuk menjawab , 
waktu telephone berdering. Orang tua itu bangkit 
sambil  menggerutu: 
“Pasti si Husin lagi!” 
la minta maaf sebentar, lalu berjalan masuk 
ke dalam. Aku dengar dengan jelas pembicaraannya 
di telephone: 
“… hallo, ya, dengan aku. Tandatangani saja 
surat suratnya, lalu berikan padanya. Apa? O, bilang 
agar mereka ke kantorku saja. Ini kan hari Minggu!” 
Diam sebentar. 
Lalu orang tua itu tertawa. 
“Pardomuan kau bilang? la ada di gresik ? 
Kapan pulang dari Tokyo? la... Tentu. Tentu. 
Katakan aku senang sekali. Mengapa ia tak 
menelphone atau datang ke sini saja? Oh, begitu..., 
Hem. Boleh juga. Jadi nanti sore di Tuntungan? 
Okey, okey. Bilang aku akan menjemputnya!” 
Telephone berderak lembut waktu diletak 
kan kembali di tempatnya. 
Langkahlangkah kaki lagi. Dan wajah yang 
lebih riang dari tadi.  
“… wah. Seorang sahabat lama yang sudah 
bertahuntahun tidak bertemu, menantangku main 
golf hari ini di Tuntungan. Boleh. Boleh ia coba. 
Hem. la mau balas kekalahannya rupanya...”  
“Bapak pernah mempecundangi beliau?” 
tanyaku. 
“Menpecundangi? Aku seorang ahli,” dan 
orang tua itu tertawa. Bangga. Modalku yang 
kedua, pikirku, ialah cepatcepat memasukkan 
versnelling kepersoalan yang paling ia gemari. 
Maka, meskipun aku bukan orang yang tahu seluk 
beluk olahraga kalangan atas itu, aku mengomentari  juga: 
“Saya dengar Tuntungan memiliki kondisi 
lapangan yang paling ideal di Asia...” 
“Benar. Benar sekali. Aku salah seorang 
anggotanya. Malah di Parapat, sedang di upgrade 
lapangan baru yang ...” 
Dan ia bercerita panjang lebar tentang 
lapangan golf, tehniktehnik bermain yang paling 
jitu —tentu menurut dia— yang kuiyakan saja 
sebab  dalam masalah itu aku memang buta. 
Fasilitas peralatan yang semakin super modern. 
Pertandinganpertandingannya melawan pegolf 
luar negeri. Dan beberapa nama bintangbintang 
asing yang ia hafal riwayat hidupnya miskipun 
bintang lapangan itu baru sekali berkunjung ke 
Indonesia bahkan belum sempat ia coba 
keampuhan stick golf orang asing itu. 
Tak pelak lagi, suasana rilex itu berlanjut 
sampai ke meja makan. 
nyi kembang  tidak menghidangkan masakan Padang 
yang khas sebagaimana kubayangkan semula. 
Sebelum makan yang sesungguhnya, terlebih 
dahulu kami mencicipi soup sarang burung, roti keju 
pakai mentega, seladah dengan udang galah dan  
kepiting yang diasap, minuman anggur sesloki kecil, 
baru lalu  hidangan biasa. Tentu saja dengan 
ciri khas: serba pedas, serba merah oleh cabe giling 
yang lumat seperti tepung. Selesai makan, maulah 
aku mendecipdecipkan mulut kepedasan kalau tak 
malu pada tuan rumah. Terutama sebab  aku harus 
menghormati jari jemari kaki nyi kembang , yang dengan 
nakal menggelitiki bulubulu betis di balik celana 
panjangku, di bawah meja. Gelitikan yang 
terkadang membuat aku terbatuk dan sambal 
memasuki hidung sehingga susah payah bisa juga 
aku menahan agar tidak sampai bersin keras! 
nyi kembang  terpingkelpingkel melihat tampangku 
yang rusak oleh kelakuannya. 
Ibunya yang tampak senang, menggerutu halus: 
“Sopan sedikit, anakku!” 
Selesai makan siang kami duduk di terras 
dalam, berhadapan dengan taman bunga di antara 
batubatu kerikil dan kulitkulit kerang putih yang 
berserakan. 
nyi kembang  mengantarkan iris pepaya dan apel Korea 
yang Kulitnya berwarna merah hati. Peluh 
membasahi sekujur tubuhku. Sukar memang 
membiasakan diri dengan udara panas kota di mana 
aku pernah di lahirkan namun  sudah diseling oleh 
udara surabaya  yang sejuk, merupakan thema 
pembicaraan kami di terras itu. 
Pelayan ribut membereskan meja di ruang makan. 
Lalu ayah nyi kembang  memanggil lakilaki yang tadi 
pagi muncul di rumahku. 
“Siapkan mobil, syam kamaruzaman . Kita berangkat 
sebentar lagi.” 
“Sudah, pak. Di luar.” 
“Hah. Kenapa tak bilangbilang dari tadi!” 
“Bapak tak tanyatanyai” 
Ibu nyi kembang  tertawa. 
“Kau makin pikun,” kata isterinya. nyi kembang  
membumbui: 
“Malah pernah sekali terjadi, fredy krueger ,” katanya 
ditujukan padaku. “Papa sudah siap di lapangan, 
baru teringat peralatannya tertinggal di rumah, la 
lupa mengajak syam kamaruzaman !” 
Tawa bergelak memecah halaman dalam itu. 
Aku. nyi kembang . Dan ibunya. namun , ayahnya, tidak. 
Semula kukira ia tersinggung. Baru lalu  
kuketahui sebabnya, Sesudah  tibatiba ia bertanya 
dengan hatilati: 
“... fredy krueger ? Jadi namamu fredy krueger ?” 
Aku ingin marah pada nyi kembang , namun  sambil  
mengikik wanita lesbian  itu kabur ke dalam rumah. Disusul 
oleh ibunya seperti tadi. Seakanakan disengaja. 
Dan aku belum sempat menjawab , dan untung 
tidak. sebab  jawab anku memang tidak diperlukan. 
Lakilaki berumur itu memandangku dengan sinar 
matanya yang keras. 
“Goresan di tulang pipimu. Kaukah orang 
yang ditabrak nyi kembang  dahulu ?” 
Aku terjengah, mengangguk dengan bingung. 
Anggukanku disambung oleh helaan nafas ayah nyi kembang . 
Wajahnya tampak kelabu, yang segera ia tutupi 
dengan kedua belah tangan. Dan tangantangan 
keriput yang masih kukuh itu... gemetar! Sayup
sayup kudengar keluhan dari sela jari jemarinya: 
“... nyi kembang , anakku. Mengapa...! Mengapa harus 
orang Jepang ?” 
PUCAT wajahku sesaat . 
Mengapa harus orang Jepang , keluhnya. Sakit! 
Aku tersandar lesu di tempat dudukku. Mengapa 
harus orang Jepang ! Lututku gemetar. Mulut 
terkunci, gagu. Dan orangtua itu berdiri. Gontai. 
Kedua lengannya terkulai. Lemah. Wajahnya 
kelabu. Dan sepasang mata tua yang keras itu, 
berair. Memandangku seperti baru melihat suatu 
benda yang teramat ganjil dan menakutkan 
baginya. Aku merunduk. Tak kuat membalas 
tatapan mata yang digantungi guillotine tajam yang 
memenggal putus talitali jantungku dengan 
kejamnya! 
Waktu dagu kuangkat, orangtua itu sudah 
tidak ada di dekatku lagi. Ada suara ributribut di 
dalam. Kuurut dada. Sakit sekali. Langkahlangkah 
bergegas keluar. Mataku terpejam. Perih. 
“... fredy krueger ?” 
Sukar mata ini kubuka. 
“fredy krueger . Apa yang terjadi?”  
Aku tengadah. Dan aku lihat wajah nyi kembang  yang 
pucat pasi. 
Perlukah kujawab ? 
Tidak, aku memutuskan. Tidak. Maka aku 
berdiri. 
“Aku pulang saja, nyi kembang ., ..”  
“Hei,” ia mencengkeram lenganku. 
“Mengapa pula kau?”  
“Pening.”  
“Bohong!” 
“nyi kembang , demi Tuhan kuminta...” 
“Dan Demi Tuhan, katakanlah apa yang 
terjadi sehingga ayah tibatiba masuk ke kamar dan 
terhempas di tempat tidur dengan mulut 
menceracau seperti orang mengigau. Kalian 
bertengkar?” 
“Tidak.” 
“Lantas?” 
“Biarkan aku pulang, nyi kembang . Ini mungkin jalan 
yang terbaik...” 
“Tidak. Tidak. Kau tak boleh...”  
“nyi kembang !” 
wanita lesbian  setengah baya berwajah lembut 
dan ke ibuan itu, berdiri di ambang pintu masuk 
dengan wajah tegang. nyi kembang  menoleh. 
“Ya.., mama?” 
“Tak baik menghalangi keinginan orang!”  
“namun  mama...” 
wanita lesbian  itu tersenyum padaku. Manis. 
Dibuatbuat, jelas sekali. Dibuatbuat. 
“syam kamaruzaman  akan mengantarkanmu, nak.” 
“Mamaaaa!” jerit nyi kembang , berlari memeluk 
ibunya. Bahu wanita lesbian  itu ia goncanggoncang 
sambil  terus menjeritjerit histeri: “Mamaaa. 
Mengapa. Mama. , mengapaaa...!” 
Supir itu segera muncul. “Ya bu?” 
“Antarkan tamu kita ke rumahnya.”  
“Jangan!” jerit nyi kembang  sambil  berlari 
menghalangi syam kamaruzaman . namun  ibunya menghardik:  
“nyi kembang !” 
wanita lesbian  itu jatuh bersimpuh. 
Air matanya bercucuran, membasahi lantai. 
Aku merasa hati ini hancur berkepingkeping. Ingin 
memeluknya, namun  tak kuasa melangkahkan kaki. Bagai kerbau dicucuk hidung kuikutkan syam kamaruzaman  yang 
membetot lenganku, kuat sekali. Diriku terasa 
ringan. Melayanglayang seperti kapas. Sampai 
mobil sudah  laju menjauhi rumah kesekian yang 
tidak menyukai kehadiranku itu, aku masih belum 
sadar di mana sebetulnya  aku berada. 
“... saya lahir di sini, bung fredy krueger ,” pelan
pelan syam kamaruzaman  bergumam. Berbungbung pula 
sekarang. Huh! “Ayah dan ibu saya dahulu nya kuli 
kontrak. Dari cina .” 
Aku tak minta ia bicara. Tak pula 
bersemangat melayani. Sekujur tubuhku dingin. 
Dingin. Menges. 
“Biarpun turunan kuli,” lanjut syam kamaruzaman . “… aku 
bersyukur terlahir sebagai orang cina .” 
Malas, aku nyeletuk: 
“Apa perduliku?” 
“Orang cina  tak rasialis. Tak seperti orang 
kulit putih misalnya. Mengapa Negro, tanya 
mereka. Orang Jerman, bertanya: mengapa Jahudi. 
Dan di rumah tadi pun begitu: mengapa Jepang !” 
“Kau nguping!” rungutku sambil  tertawa. 
Kecut “Emangnya kau tau apa sih tentang orang 
Jepang ?” 
“Tak banyak. Itupun dapat dengar sana sini. 
termasuk orangtua nyi kembang  Bicaranya selalu terbuka. 
Biarpun aku cuma supirnya.” 
“Hem! Sejauh mana pandangan orangtua itu?” 
“Konon di Tapanuli sana, kaum laki-laki  
menghabiskan waktu di kedai tuak. Judi. Mabuk
mabukkan. Lha, wanita lesbian wanita lesbian nya 
banting tulang setengah mampus di rumah. 
Numbuk padi dengan alu di tangan kanan dan anak 
di gendongan tangan kiri.” 
“Bah. Pemeo nenek moyang. Kuno!” 
“Heeh. Tapi kan bekasnya masih terasa. 
Kalau kawin dengan orang Sumatera Barat, non nyi kembang  
itu akan jadi ratu. Berkuasa. Menentukan. Dengan 
Jepang ? la akan dibeli melalui apa yang dinamakan 
perkawinan. Dibeli untuk kerja keras. Ngurus anak. 
Melayani suami. Jadi babu mertua. Salah dikit, 
syam kamaruzaman ki. Masih untung tak ditambah  sepakan di 
pantat. Lha, kalau si wanita lesbian  udah bangkotan, 
tenaganya dianggap tak dibutuhkan lagi. la jadi 
pengemis yang hanya berhak dapat belas kasihan 
suami, bahkan anakanaknya sendiri!” 
“Menghina kau!” rungutku, tersinggung. 
“Terserah anggapanmu. Buktinya, ayah nyi kembang  
semaput di kamarnya.” 
“Bah. Lantas kalian orang cina ...,” aku ingin 
balas. “Apa tak sering bertanya: mengapa Sunda? 
Hayo!” 
la terdiam. 
Dan aku tertawa. Memang. Lantas ngoceh, 
senang campur jengkel: 
“Kalian juga picik. Hanya garagara raja kalian 
gagal mempersunting puteri Diah Pitaloka dari 
PELITA HARAPAN , kalian berbunuhbunuhan. Tambah lagi. 
kalian di jajah Belanda kelewat lama. Dan pikiran 
picik kalian syam kamaruzaman nfaatkan bulebule itu. Benar 
engga, cina  Sunda bermusuhmusuhan!” 
“Tak semua...,” desahnya.  
“Dan tak semua orang Jepang  seperti yang kau 
gambarkan,” rungutku.  
la menoleh. Tersenyum. 
Aku merasa berdekatan dengan sahabat yang 
aneh dari kelas yang tersendiri. Maka tanpa segan
segan, saat  di rumah kuminta ia menunggu. Koper 
dan tas kumasukkan dalam bagasi. Kunci rumah 
kuserahkan pada tetangga. Masuk lagi ke mobil dan 
pada syam kamaruzaman  yang terheranheran aku berkata 
setengah memerintah: 
“Terus saja ke airport!” 
martini , pikirku, sementara mobil melaju ke 
Polonia. Hanya martini  seorang yang akan 
menerimaku dengan tangan terkembang lebar. Tak 
perduli siapa aku adanya. Ya. Pada martini lah aku 
mesti pergi! 
syam kamaruzaman  menurunkan aku di Polonia. Sebelum 
pergi ia mengucapkan: 
“Selamat jalan. Semoga kita bertemu lagi.”  
kujawab  dengan umpatan: 
“Bertemu lagi? Setanpun tak akan mampu 
mengusahakannya!” 
la tersenyum. Lalu menghilang ke dalam 
mobil. Aku langsung menuju desk penerimaan 
penumpang. Seorang petugas menyambutku 
dengan tersenyum ramah. Senyum komersiel, 
rungutku dalam hati. Lantas bertanya apakah ada 
pesawat yang berangkat sekarang juga. Petugas itu 
terheranheran memandangiku. Lalu sejurus 
lalu  berkata: 
“Garuda baru saja takeoff. namun  dalam satu 
jam. Seulawah akan....” 
“Ya. Seulawah saja. Tolong catatkan.” 
“Tiket Tuan?” 
Nah. Aku terbengong sampai di situ. Tidak 
Teringat sama sekali. Kalau saja petugas Phoenix 
dahulu  mengetahui kebingunganku sekarang, pastilah 
ia tertawa puas. Sedang aku berpikir mencari jawab , petugas tadi sudah menawarkan: 
“Akan saya cek ke bagian pembukuan ticket. 
Kalau ada yang masih kosong. Tuan bisa saya 
hubungkan dengan sebuah travel yang akan 
melayani tuan dengan segera.” 
la memutar telephone. 
Dan Sesudah  meletakkannya kembali, ia 
mendatangiku dengan seruan riang yang ditahan: 
“Tuan beruntung!” 
Lantas ia menggamit salah seorang 
temannya. “Antarkan Tuan ini ke Sphynk...” Salah 
dengar, aku berkata dengan terperanjat:  
“Apa? Phoenix?”  
Petugas itu tersenyum. 
“Sphynk,” ia mengulangi, agak ditekan 
suaranya. “Traveltravel di sini memang senang 
dengan nama yang ganjil. namun  percayalah, 
Sphynk tidak akan mengecewakan Tuan!” 
Sesudah  menitipkan koper dan tasku pada 
petugas itu agar langsung saja ditimbang, kuikuti 
temannya keluar dari airport. saat  aku akhirnya 
berhasil memperoleh ticket, tidak saja kukeluarkan 
ongkos pesawat. namun  juga ongkos taxi pulang 
pergi, dan  tip yang lumayan untuk orang yang 
menemaniku. Kembali ke airport, aku tidak punya 
uang barang sepeserpun juga. Mudahmudahan 
bagasi yang kubawa tidak dikenakan biaya extra, 
aku berdo'a dalam hati. Tiba di surabaya , tak ada 
persoalan. Tinggal panggil taxi, carter lantas bayar 
di surabaya . Tentu saja dengan resiko haus dan 
kelaparan sepanjang jalan surabaya  surabaya  yang 
akan memakan waktu sekitar empat jam. 
Kubayangkan martini  yang berlarilari 
menyongsongku. 
“Apa? Dari gresik  ke surabaya  kau tak punya 
uang meskipun cuma recehan? Begitu bokekkah 
kau sekarang, suamiku sayang” 
Di ruang tunggu, aku tersenyum sendiri. Berbisik: 
“Ini aku datang, isteriku yang manis. Sudah 
kau siapkan kudakuda kita untuk berpacu?” 
Satu jam sudah berlalu, pengeras suara 
belum juga menyebutnyebut tentang penumpang
penumpang pesawat Seulawah. Kesal menunggu 
kudatangi petugas yang tadi dan memperoleh 
jawab an bernada menyesal: 
“Sabarlah. Ada gangguan cuaca sehingga 
pesawat terlambat mendarat.”  
Aku tercengang. 
“Apa? Harus menunggu pesawat dari...” 
Belum habis ucapanku, pengeras suara tiba
tiba memberitahu Seulawah dari surabaya  akan 
segera mendarat. Petugas itu tertawa lebar. 
“Apa kubilang?” katanya. 
mengeluh sungut aku kembali ke ruang 
tunggu. Meskipun ada ase namun toh aku 
berkeringat juga dan kerongkongan teramat kering 
rasanya. Tanpa sadar aku berjalan ke kantin dan 
hampir saja memesan minuman saat  mendadak 
teringat kantongku kosong. Benarbenar kosong. 
Sial benar. Belum juga apaapa, haus sudah 
menggoda. Lapar bisa ditahan. namun  
kerongkongan yang kering? sambil  lidah 
membasahi bibir yang kering melihat orangorang 
lain tertawatawa senang minum di kantin, aku 
kembali ke tempat duduk semula. 
Kuhibur diri dengan memperhatikan pesawat 
yang sudah landing. 
Kini, selangkanganku yang tak sabar 
menunggu. Bergegas aku ke kamar kecil. Buang air. sebab  tak tahan, tanpa malumalu lagi air leiding 
yang mengucur di kamar kecil itu kutampung 
dengan telapak tangan. Aku minum sepuas hati. 
Lucu juga. Dari bawah keluar. Dari atas masuk. Bau 
pesing menyerang hidung. Kuacuhkan saja. Terus 
kencing. Terus minum. Sampai selangkanganku 
terasa ringan. Dan kerongkonganku terasa lapang. 
saat  celana kukancingkan, samarsamar 
aku dengar panggilan di pengeras suara: 
“... tuan fredy krueger ? Tuan fredy krueger  yang akan 
berangkat dengan pesawat Seulawah dengan 
tujuan surabaya ...” 
“Ha! Aku ketinggalan pesawat!” seruku 
setengah berteriak di kamar kecil. 
Seseorang menyahut dari luar: “Ada apa, bung?” 
Bergegas aku keluar, sambil membetulkan letak ikat 
pinggang. Orang yang sudah menunggu dari tadi 
tanpa setahuku, menoleh dengan wajah malas. Aku 
tersenyum ke arahnya. Lantas berlarilari ke ruang 
tunggu. Di sana panggilan itu terdengar lagi: 
“... tuan fredy krueger  diharap datang ke 
resepsionist! Ada yang menunggu!” 
Seulawah masih menurunkan barangbarang 
penumpang dari surabaya . Hah! Hah! Hah! 
Terangahengah aku berjalan ke bagian 
resepsionist. 
Belum lagi aku sampai di sana, pintunya 
sudah terbuka. Lalu seseorang yang bermuka pucat 
menerobos keluar, lantas berlarilari ke arahku 
dengan kedua tangan terkembang sambil  menjerit 
lirih.  
“fredy krueger , kekasihku!” 
Aku terpana. Membatu bagai patung. 
Mematung bagai batu. Diam. Bisu seribu kata. 
Kubiarkan bibirnya dengan liar mencaricari bibirku, 
la menemukannya, dengan mata terpejam berurai 
butirbutir air bening. Dan mataku yang nyalang 
terbuka memperhatikan bagaimana puluhan 
pasang mata melihat ke arah yang sama. Aku yang 
termangu, dan nyi kembang  yang lupa diri. 
Masih di bawah pandangan mata banyak 
orang, nyi kembang  berjalan ke bagian penerimaan penumpang. 
“Tolong keluarkan bagasi kekasihku...” 
“namun , nona,” petugas yang ramah itu, 
terlepas dari pesona yang barusan dilihatnya. 
“Sudah...” 
“Keluarkanlah cepat. Kekasihku tak jadi 
berangkat hari ini!” 
Tak lama lalu  kami berdua sudah  berada 
dalam Copella yang meluncur keluar dari pelataran 
parkir airport. nyi kembang  tak melepaskan pelukannya di 
pinggangku dengan kepala rebah di bahuku, 
sehingga setir yang kupegang sesekali membuat 
mobil berzigtag. Masih untung jalanan sepi. 
Barulah Sesudah  di Usat kota yang ramai, jalan mobil 
stabil kembali, telukan nyi kembang  merenggang, dan ia tidak 
menangis lagi. 
“... waktu kudengar syam kamaruzaman  mengantarmu ke 
airport, aku bagai gila rasanya!” ia menerangkan 
dengan suara terisakisak. 
“Bagaimana kau bisa lolos dari ayahmu yang 
fanatik itu?” 
“Lolos?” nyi kembang  tersenyum. Bahagia. Hatiku 
terenyuh. Dan semakin terenyuh waktu ia 
menceritakan apa yang terjadi lalu : 
“Aku bersikeras menyusulmu. Papa marah. Ia 
mengambil senjata berburu dan mengancam akan 
menembakku. Ibu jatuh pingsan. Aku tak perduli. 
Tenangtenang aku berjalan melewati papa, masuk 
ke mobil ini, lalu  kabur dari rumah. Tak ada 
suara tembakan sama sekali!” lantas ia memelukku 
lagi. “Papa sebetulnya  orang yang baik. la takut 
kehilangan aku. Takut kehilangan generasi yang 
akan meneruskan keturunannya. Fanatik memang, 
namun ia tetap seorang ayah yang baik. Sudikah kau 
maafkan dia, kekasih?” 
Kekasih. Di hadapan semua orang: kekasihku! 
Aku mengeluh. Mengangguk pelanpelan. nyi kembang  
menciumiku, dan martini  minggat tibatiba dari 
dalam dada, terbang keluar lewat jendela mobil, 
lenyap, dibawa angin yang menderuderu... 
“KAU mau menolongku?” tanyaku sambil  
menghentikan mobil di pinggir jalan. 
“Ya?” nyi kembang  terheranheran. 
Aku menelan ludah. Dan menunjuk ke sebuah 
warung es campur di depan mana mobil berhenti. 
“Kasihan!” nyi kembang  gelenggeleng kepala sambil  tertawa. “Ayolah!” 
Tawanya semakin keras waktu kuceritakan 
bagaimana aku meluluh air leiding di kamar kecil 
airport saking tak kuat menahan haus. Untunglah 
kebetulan hanya kami berdua saja di warung itu. 
Sambil minum kami menyusun rencana. Kubilang 
aku ia antarkan saja ke rumah aidit . la jawab  
aidit  sekarang lebih senang tinggal di rumah 
anna michele ! 
“Okay. Kalau begitu, antarkan aku ke sana.” 
“Tidak. Aku tak setuju. Benarbenar tak 
setuju?” 
“Sebabnya?” 
la mengerdipkan mata. Lalu mengemukakan alasan. “Pertama. Aku takut, malam nanti janda 
muda itu kesasar masuk kamar tidurmu. Yang 
kedua, dan ini yang lebih penting. Tak baik di mata 
keluargamu!”  Dengan keputusan itu, kami naik lagi ke mobil. 
“Kau tak takut?” tanyaku waktu hampir 
sampai di Pimpinan. 
“Kau bilang rumahmu kosong.” 
“Kalau ada isinya?” 
“Kuharap, yang membuka pintu bukan 
seekor harimau!” 
Kami tertawa. 
Dan yang membuka pintu, adalah tiger ! 
la memandangku dengan tajam dan wajah 
yang keras pertanda sangat marah. namun  perasaan 
itu ia tekan sekuatkuatnya Sesudah  melihat siapa 
orang terdiri di sampingku. Kaku, ia mengangguk. 
“Tumben, zus nyi kembang !” 
Mereka berjabatan tangan. 
“Apa kabar?” sahut nyi kembang  dengan tersenyum 
riang. “Baikbaik saja keluarga abang?” 
tiger  membantu memasukkan koperku 
kembali ke kamar. 
“Yah, beginilah,” ka mengeluh sungut. 
“Waktu kami datang, pikiran ibu sudah kembali 
tenang. namun  waktu melihat kamar anak ini kosong  melompong, beliau sangat terpukul. Ibu boleh  kehilangan saudara lakilakinya. namun  ia tak boleh 
kehilangan anak bungsu kesayangannya… 
Dari kamar ibu keluar seorang laki-laki  
berkacamata terseragam putih menjinjing tas kulit 
yang besar diiringkan kak syam kamaruzaman . Sementara mata 
isteri abang bertaut tajam ke mataku, telingaku 
menangkap suara lakilaki berkacamata itu yang 
ditujukan pada tiger :  
“... ibumu sudah tidur. Tak usah cemas, la 
akan segera sembuh. Ini resep yang bisa saudara 
tukar dengan obat di apotheek!” 
“Terimakasih, dok!” 
Sepi, Sesudah  dokter itu pergi. 
Aku memaksa mau masuk ke kamar ibu. 
namun  dicegah oleh kak syam kamaruzaman . 
“Kau dengar apa kata dokter? Biarkan beliau 
istirahat!” 
nyi kembang  yang merasa kehadirannya membuat 
suasana menjadi agak kaku, cepatcepat berdiri 
betapapun kak syam kamaruzaman  mencegah. Sesudah  berjabatan tangan dengan, tiger  dan  isterinya, nyi kembang  lalu  
memeluk dan mencium kedua belah pipiku, lantas 
bergegas masuk ke dalam mobil yang ia kebut 
meninggalkan debudebu beterbangan dan... wajah 
tiger  yang pucat, dan  mulut kak syam kamaruzaman  yang 
menganga! 
“... JADI, wanita lesbian  itu yang berhasil menyeretmu 
lari dari Polonia!” rungut bang tiger .  
Perlahan. Dan gusar. 
Aku mengangguk. Memandangi jalan di mana 
mobil nyi kembang  baru menghilang. Debudebu itu masih 
beterbangan. 
“Coba kutebak. Diakah calon pengganti Mariann?” 
Sekali lagi, aku mengangguk. 
Dan tiger  tibatiba membentak: 
“Tahukah kau, wanita lesbian  itu orang Padang?!” 
Kak syam kamaruzaman  memegang lengan suaminya. 
“Ssst. Jangan terlalu keras. Nanti beliau...,” ia 
gelengkan kepala ke kamar tidur ibu. tiger  terduduk di kursi. 
Mukanya hitam legam. Daun telinganya 
merah dadu. la usap wajahnya berkalikali. Setiap 
kali, semakin hitam juga. Setiap kali, semakin keras 
membatu. 
Lalu terdengar keluhannya yang runtuh:  
“Ditinggal mati oleh ayah, rasanya tidak 
saparah didatangi oleh orang surabaya  yang 
mengerikan ini!” 
“Bang!” protes isterinya. “Tahanlah mulutmu.”  
“Diam!” bentak tiger . 
Ada suara terbatuk di kamar. tiger  menelan 
ludah. Kak syam kamaruzaman  mengintai lewat kisikisi kawat 
ambang pintu kamar. Lantas bernafas lega. la 
pandangi kami bergantian. Terus berjalan ke dapur. 
Dan di sana, kudengar ia menangis terisakisak. 
tiger  tersandar di kursi. 
Wajahnya tengadah. Menatap langitlangit 
kamar. Kosong. Hampa. 
“... kalau abang tak suka, aku tak menyesal 
membawa koperku keluar dari rumah ini lagi,” aku 
bergumam. Sakit hati. la tertawa. Getir. 
“Lakukanlah. Dan jangan harap kami kirimi 
kau kabar tentang kematian ibumu!” 
Akulah yang kini tertunduk. Lemas. 
Lamatlamat kudengar gerutuan saudaraku: 
“... lupakah kau pengalaman Paman 
Maraiman? Bukan saja anakanaknya tak berhak 
memakai marganya, la dibeli. Dengar? Bukan kau 
yang membeli isterimu. namun  isterimulah yang 
akan membeli dirimu. Membeli garis turunanmu. 
Membeli jiwamu, harta bendamu, cucuran 
keringatmu. Apa yang tak dimiliki paman Maraiman 
Sesudah  menikah dengan wanita lesbian  Padang itu? 
Anak, banyak. Rumah, gedong mewah. Perabotan, 
kelas satu. Kendaraan, Holden produksi terbaru. 
Tabungan? Berlimpahlimpah di Bank Bumi Daya. 
namun  saat  akhirnya mereka bercerai sebab  yang 
lakilaki ingin berkuasa dan yang wanita lesbian  ingin 
lebih menentukan, apa yang dibawa pulang oleh 
paman? Anak? Diambil orang. Harta? Hanya 
selembar pakaian yang melekat di badan. Yang ada 
di saku kemejanya, bukan lembaran uang, namun  tak lebih dari sehelai kartu penduduk! Puih!” 
“nyi kembang  bukan...” 
“Yeah. Aku tau kau mau bilang nyi kembang  bukan 
wanita lesbian  semacam isteri paman. namun  kuharap 
kau tak lupa, biar bagaimanapun nyi kembang  tetap orang 
Padang. Dan kau, biarpun sudah  sangat berubah 
Sesudah  mengenyam pendidikan di surabaya , namun  
orang Jepang !” 
“Kalian terlalu egois. Terlalu sukuisme!” 
“Mungkin kami egois. namun  bukan sukuist. 
Ini fakta!” 
Dengan kepala yang berdenyutdenyut aku 
bangkit lalu dengan kaki yang gontai masuk ke 
kamar, tidak ke kamarku sendiri. Melainkan ke 
kamar ibu. Beliau masih tertidur. Pulas. Guratgurat 
penderitaan pmpak di sudutsudut matanya yang 
sudah tua, hatihati kuseret sebuah bangku ke 
dekat beliau, hati ini menjadi teramat dingin. 
Gumpalangumpalan batu yang mengganjal dada 
itu sudah  terbuang habis. 
Pelanpelan, tangan ibu yang terletak di 
perutnya, kusentuh. 
lalu , aku merunduk. Kurebahkan wajah 
di punggung tangan keriput itu. Hati ini semakin 
dingin. Dingin. Di luar kudengar tiger  menyumpah
nyumpah. Kupejamkan mata. Berbisik dengan lirih: 
“Maafkan anakmu, ibunda!” 
Dan mata ini terus terpejam. Terpejam. Ada 
suara otor di luar. Yamaha force fi kijang melaju pergi. Lalu 
suara kakikaki kak syam kamaruzaman  berlarilari dari dapur ke 
halaman. Mata semakin berat juga. Kak syam kamaruzaman  masuk 
kembali. Menutupkan pintu. Aku mengharap 
mendengar suara orang menangis. namun  yang 
terdengar hanya helaan nafasku sendiri. Dan 
hendusan ibu, yang teratur. Entah berapa lama aku 
dalam keadaan demikian, aku tidak tahu. Waktu 
aku terbangun, ibu tengah mengusapusap 
rambutku. Aku menoleh. Dan mataku bertemu 
dengan matanya. Bening. Dan teduh. Bibir tipis dan 
kering itu menggurat seulas senyum. Bening. Dan 
teduh. 
“… mengapa tidak tidur di kamarmu, 
anakku?” katanya. Lembut. 
Aku tegak kembali dalam dudukku. 
Tersipu. 
“Bagaimana perasaan ibunda?” 
“Obatobat yang dibawakan tiger  tak ada 
artinya dibanding dengan dirimu, anakku...” Pintu 
terkuak. 
Kak syam kamaruzaman  masuk, la tersenyum pada ibu. 
Memegang pergelangan tangan beliau. Dan 
tersenyum lebih puas. 
“Makan malam sudah dingin, fredy krueger ,” desah 
kak syam kamaruzaman . 
“Pergilah,” bisik ibu. 
“Ibu tak ikut makan?” 
“… makanlah kalian.” 
“Kubuatkan bubur?” tanya kak syam kamaruzaman . Ibu mengangguk. Lemah. 
Kuikutkan kak syam kamaruzaman  ke kamar makan 
merangkap dapur. Makan malam tampaknya masih 
hangat. namun  wajah tiger  yang sudah menanti di 
sebuah kursi, kelihatan dingin. Kami berdua makan 
diamdiam sementara kak syam kamaruzaman  sibuk membuatkan 
bubur untuk ibu. Selesai makan tiger  minta 
dibuatkan kopi, 
“Jangan terlalu kental!” katanya. 
Lalu berjalan ke terras depan. Ada suatu 
dorongan yang menyebabkan aku mengikuti 
langkahlangkahnya. Bintang gumintang di langit 
yang biru jernih menyapa kami dengan ramah. tiger  
menghela nafas. Berulangulang. Lama Sesudah  kami 
lagilagi berbungkam diri, baru ia memulai: 
“... kapan ujianmu selesai?” 
Basabasi. namun  aku menjawab  juga: 
“Akhirnya tahun ini, kalau tak ada halangan.” 
“Jangan perdulikan halangan,” ia menoleh. 
Tersenyum ke arahku. Sejuk terasa dada ini. “Kau 
harus tamatkan sekolahmu . Dari keluarga kakek, 
hanya kau seorang yang beruntung menginjak 
bangku perguruan tinggi. Harapan semua keluarga 
tertumpah padamu.” 
“soebandrio  kan sudah di akademi.” 
“Ah. la dari generasi yang berikut... dan aku 
khawatir anak itu tidak akan menyelesaikan 
studinya, la lebih cenderung jadi pedagang. Maka 
kubelikan sebuah kios. Dan eh, tahukah kau?” 
Aku tak menjawab , la yang menjawab nya sendiri: 
“Ternyata usaha soebandrio  lebih maju dari aku!” 
Lantas ia tertawa. 
Tak lama lalu  kak syam kamaruzaman  keluar. “Dasar 
ibumu!” ia mengoceh. “Minta dibuatkan bubur. 
Sesudah  masak, eh, tidur pula dia!”  
Tawa tiger  semakin keras.  
Dan kukira, aku toh layak untuk ikut tertawa. 
Malam harinya aku bermimpi. Ada gumpalan 
batu besar menggelinding dari puncak sebuah 
gunung. Seorang berlari pontang panting 
mengelakkan lindaian batu itu. namun  di pinggir 
sebuah surup, besar yang sedang banjir, orang itu 
tidak melihat jalan lain lagi. Batu gunung yang 
mengerikan itu menggelinding semakin dekat. 
Orang itu menoleh. Barulah aku kenali siapa dia. Tak 
lain tak bukan, diriku sendiri. Dengan jantung didera 
rasa ngeri dan wajah ditempa , warna putus asa, 
kulihat bagaimana batu itu semakin dekat dan 
semakin besar juga. Semakin dekat. Semakin besar. Bunyinya seperti guruh yang mengguntur. Hancur 
setiap benda yang dilandanya. Aku mundur. namun  terlambat. Batu besar yang dahsyat itu sudah  
melanda.  Lepas jeritan keras dari mulutku. 
Kubuka mata lebarlebar. Gelap gulita. 
Seseorang tergopohgopoh masuk. Lampu ia 
nyalakan. Terang benderang. 
“Ada apa?” tanyanya. 
“Oh...,” aku mengurut dada yang sesak. 
“Kau bermimpi?” 
“Ya. Buruk sekali.” 
tiger  tertawa. 
“Kalau kau bermimpi lagi, jangan terlalu keras 
berteriak. Bangun orang sekampung nanti!” 
la lalu  meninggalkan aku termangumangu. 
Dan sampai pagi, mataku tidak bisa terpejam, 
Kudengar ibu terbatuk. Keluar dari kamar. Terus kej 
kamar mandi. Masuk lagi ke kamar tidur. Tentu ia 
lalu sembahyang subuh. Adzan mengalun dari 
mesjidj Tenang. Syahdu. Pintu kamar lain terbuka. 
Juga orang itu berbatuk. Khas suara kak syam kamaruzaman . Aku berbaring lagi. Dan kukira aku tertidur, sebab  
waktu mata kubuka, lewat ventilasi jendela masuk 
cahaya matahari ke dalam.  
Kami baru saja selesai sarapan, waktu sebuah 
mobil berhenti di depan rumah. Kak syam kamaruzaman  keluar 
menyongsong tamu yang mengetuk pintu. Waktu ia 
kembali, wajahnya tampak diliputi tanda tanya.  
“Ada tamu.” 
Aku sudah tahu. namun  ucapan itu ditujukan 
padaku, dan tekanannya lain. Heran, aku keluar. 
Di ruang depan, aku melihat seseorang, la 
berdiri dari kursinya waktu melihat aku datang. 
Tidak ada senyuman di bibir orang itu. namun  bukan 
itu yang terutama membuatku sangat terkejut. Apa 
yang menyebabkan impian tadi malam bermain lagi 
di depan mata, adalah kehadirannya. Orang yang 
tidak pernah kubayangkan akan muncul di kota ini, 
langsung pula ke rumah tanpa berkirim kabar 
terlebih dahulu. 
“Apakah aku kelihatan aneh, fredy krueger ?” sapanya. 
Mulutku tergagap: 
“Tid... tiddd... aaakk!” 
“Kau sakit?” “lyy... eh, tidak.” 
Bang tiger  yang segera menyusul, mengernyitkan 
dahi melihat sikapku. 
“Hallo,” sapa tamu itu. 
“Hallo. Dari mana?” 
“surabaya ,” orang itu mengulurkan 
tangannya. Disambut oleh tiger  yang terjengah 
sesaat. “Nama saya chucky . Kakak tertua dari 
martini !” 
Sesaat  tiger  terbungkam. 
chucky  agak kikuk oleh sambutan yang aneh 
itu. Lantas mencoba tertawa. Parau. Katanya: 
“Senang berkenalan dengan kalian.” 
Bang tiger  tersadar. 
“Oh, ya. Ya. Ya..,” sahutnya. “Duduklah. Du
toklah. , .” 
ulah yang terlebih dahulu duduk, tfdifc menahan 
lutut yang goyah. Kedua orang lakilaki yang sebaya 
itu memandangiku serentak. chucky  nyeletuk: 
“Kudengar yang sakit bukan fredy krueger , namun  ibu kita. 
“Ibu kita?” kata  tiger . “Oh, ya. Ya. Ibu... 
Memang beliau sedang sakit.” 
“Oh. Boleh saya menjenguk?” 
tiger  menoleh padaku. 
“He, kau. Coba lihat apa ibu sudah bangun.” 
Aku tak mampu berdiri. tiger lah yang berdiri, 
la melongok ke dalam kamar tidur ibu sebentar, lalu 
bergumam pelan: 
“Masih...” 
“Ah, biarlah. Jangan diganggu!” potong 
chucky , ramah, la memperhatikan kak syam kamaruzaman  yang 
keluar dengan cangkircangkir kopi panas. tiger  
memperkenalkan chucky  pada isterinya. Kak syam kamaruzaman  
melongo. Lupa mengulurkan tangan. namun  chucky  
mengangguk ramah sambil  menarik mundur 
kembali tangannya yang teracung, la menyapa: 
“Senang bertemu dengan kakak,” ia duduk 
kembali. “Konon anakanaknya banyak. Saya juga. 
Kok tak kelihatan barang sepotong?” 
“Mereka di... di... Puri?” 
“Puri?” dahi chucky  mengernyit. “Di kota ini 
ada puri?” 
Kak syam kamaruzaman  menarik nafas. Lantas tersenyum. 
“Maksud saya jalan Puri. Rumah kami di sana.” 
“Ooo!” dan chucky  tertawa lagi. Ramah. 
Polos. Tanpa maksudmaksud tersembunyi. Ciri 
khas orangorang di daerahnya. Sunda. 
“Kapan tiba?” tanya kak syam kamaruzaman . 
“Tadi malam. Dengan Garuda,”  
“Lho. Di mana nginap?”  
“Dirga Surya.”  
“Oh...” 
la meneguk kopi di depannya, lantas melirik 
ke jam tangan. Dengan suara menyesal ia berkata 
pada kak syam kamaruzaman  dan bang tiger : 
“Wah. Waktu saya agak mendesak.” 
“Eh, kok cepat amat,” desah kak syam kamaruzaman . 
“Habis... eh. Kok saya pelupa!” lantas ia 
jergegas keluar. Seorang lakilaki yang berdiri di luar 
pintu mobil cepatcepat membuka bagasi. 
Berkeranjang buahan, dodol garut, oncom 
goreng lalu  tersusun di ruang tamu. chucky  
juga meletakkan lebuah koper kecil yang masih 
baru. saat  ia buka, isinya bermacammacam 
bahan pakaian dari harga yang mahalmahal. 
“Untuk keluarga di sini,” katanya, 
mengangguk aan tersenyum ramah. Sesudah  itu, 
barulah ia melihatku. Gelenggeleng kepala, dengan 
sorot mata tajam berkilat.  
“Boleh aku bicara sebentar dengan fredy krueger ?” 
Aku keluar dengan chucky  ke depan. Duduk di bibir 
terras. 
“Kenapa kau bungkam saja dari tadi? Kukira 
tak ada hantu di sini,” katanya. Tertawa. Namun 
matanya, mengejek. “Aku membawa ini untukmu,” 
ia menyodorkan sepucuk surat. Baru juga kulihat 
amplopnya, aku sudah mengenali tulisan martini . 
Isinya dibuat dengan tergesagesa: 
Suamiku.  
Aku tahu keluargamu teramat membenciku. 
Suratmu yang kuterima sudah  didahului oleh 
sepucuk surat lain dari kakakmu, nyi girah . 
Seharusnya aku senang menerima surat dari 
keluargamu. Sayang surat itu penuh dengan 
kata yang tidak kumengerti. Zinah. Zinah. 
Zinah! Lalu seorang wanita lesbian  lain bernama Anna, 
katanya harus berkorban untuk perzinahan 
yang terjadi di antara kita. Kuterima semua 
tuduhan itu, sayangku. Kuterima dengan hati 
yang lapang dan jantung yang tenang. 
sebab  surat itu membuktikan satu hal yang 
sangat ingin kuketahui: bahwa kau tidak 
memandang sebelah matapun pada wanita lesbian  
bernama Anna itu. fredy krueger ku, kekasih. Sudah 
sembuh benarkah sakitmu? Dan ibunda, 
bagaimana, sudah sehatkah? Aku berdo'a 
untuk kalian. Aku bermaksud menunggumu 
dangan sabar. namun  waktu surat kak jessica 
mu datang kebetulan chucky  sedang di 
rumah. Tentu saja Sesudah  membaca isinya, 
sukar bagiku untuk bersikap tenang 
sebagaimana harusnya. 
la sangat marah. Aku berhasil 
menyabarkannya. namun  tidak berhasil 
menahan keinginannya untuk menjemputmu 
langsung ke gresik . 
Salamku pada keluargamu. Cium cinta dari 
isterimu. Ttd. martini  yang rindu. 
Di bawahnya tertulis nota pendek yang 
kelihatannya sambil lalu: 
“N.B. Kemaren aku ke dokter. Kau kan tahu, 
sudah dua bulan menstruasiku terlambat. 
Dokter bilang, positif. Wass.” 
 Aku tersandar ke tembok.  
Gigiku terhunjam dalam di bibir. Dalam. 
Semakin dalam. Sama sekali tidak sakit, meskipun 
aku ingin merasakan kesakitan itu. martini . martini  yang malang. 
“... bagaimana?'., desak chucky . 
Apakah kukatakan saja terus terang, 
kehadiran martini  biar bagaimanapun tidak akan 
diterima oleh keluargaku? 
“Yang kuinginkan jawab anmu. Bukan orang 
lain,” ia seakan menebak jalan pikiranku.  
“yah...” 
“Cepatlah berganti pakaian.”  
Aku terperanjat.  
“Maksudmu...” 
“Kita pulang bersamasama. Bukankah begitu 
dikatakan martini  dalam suratnya?” suara chucky  
berubah tajam. 
Aku terloncat. Tegak dengan tubuh tegang. 
“Tidak mungkin...” 
“Eh, apa pula itu?” 
“Berilah aku waktu untuk...” 
“Sorry, terlambat sudah!” 
“Ini soal keluargaku. Kuharap padamu, 
chucky !“  
“Apakah martini  bagimu tidak termasuk 
keluarga?!” 
“Jangan memaksaku!” 
“Apa boleh buat!” katanya . Ketus. “Kalau 
Perlu, aku bisa bertindak keras!”  
“Kau... kau...” 
la tertawa. Ramah, namun suara yang keluar 
dari mulutnya, menusuk: 
“Cobalah, bung. Aku tau kau pernah 
menumbangkan pohon oak di Cijantung. Juga 
menghancurkan bungkalbungkal es dengan sekali 
pukul. namun  semua itu hanya benda mati. Yang 
tidak akan melawan biar dibagaimanakanpun juga. 
Aku bukan batang kayu. Bukan balok es. Camkanlah 
itu!”  
Aku mencamkannya. 
Mencamkan, ia adalah salah seorang guruku 
di bidang tumbang menumbangkan dan hancur 
menghancurkan itu. la murka. namun  ia tidak 
menyerang, la tetap seorang guru. Yang selalu 
mengingatkan pada anak didiknya:  
“Tahan emosi. Pergunakan keakhlianmu, 
hanya untuk membela diri!” 
Terenyuh, aku masuk ke dalam. 
Ibu rupanya sudah terbangun, la keluar 
dibimbing kak syam kamaruzaman . chucky  setengah 
membungkuk waktu mencium punggung tangan 
ibuku. Ciri khas daerahnya lagi. Mata ibu tampak 
keras. Kak syam kamaruzaman  tentu sudah  menceritakan siapa 
tamu kami hari itu. 
Dalam mobil yang melaju dengan kecepatan 
penuh meninggalkan rumah, aku menggerutu: 
“Kau lihat. Ibu tak tega melepas aku pergi. 
Artinya, kehadiran adikmu akan semakin tidak 
disukai!” aku mengeluh. Panjang pendek. “Padahal 
kau bisa bersabar, bersikap lebih bersahabat dan 
memberi waktu barang sebentar.” 
chucky  menyahut datar: 
“Aku lebih mementingkan adikku. Lagipula 
aku tak punya waktu. Besok aku harus sudah di 
surabaya  lagi. Kau kan tahu aku harus siapsiap 
menjalankan tugas praktek di Cape Kennedy!” 
“Bah!” 
la angkat bahu. 
Di jalan Serdang, mataku sempat melihat 
Copella meluncur ke arah yang berlawanan. 
Kulongokkan kepala lewat jendela. Dan mengenali 
siapa yang duduk santai di belakang setir. 
“nyi kembang !” aku memanggil.  
namun  mobil itu sudah  menjauh. Lalu 
membelok ke jalan Sado. Jadi, ia bermaksud ke jalan Pimpinan untuk... 
“Masukkan kepalamu kembali,” rungut 
chucky . “Aku berjanji membawa kau dalam 
keadaan utuh ke pangkuan martini . Bukan dengan 
kepala yang buntung!” 
“Berhentilah dahulu . Putar kembali ke rumah,” 
mohonku. “Aku harus...” 
“Tak ada waktu. Beberapa belas menit lagi 
pesawat akan takeoff. Sudah kubooking tempat 
untuk dua orang.” 
“Tunda saja!” 
“Tidak bisa.” 
“Tunda!” 
la menatapku. Tajam. Lantas mendesis: 
“Siapa gerangan wanita lesbian  dalam Copella itu?”  Aku terhenyak. 
“Diakah yang bernama Anna?” 
Kupejamkan mata. 
“... ya,” sahutku, seenaknya. 
“Barusan kau panggil dia nyi kembang ,” 
“Nama lengkapnya jessica liana. Orangtuanya 
memanggil dia Anna. Kupanggil dia nyi kembang . Supaya tak 
aneh di lidah orang Sunda.” 
chucky  tertawa. Hambar. 
Dan dalam hati, aku menangis! 
Sesudah  membayar sewa taxi yang ia carter 
selama di kota ini, chucky  setengah menyeretku 
memasuki airport. Kami adalah penumpang 
terakhir yang koperkopernya belum syam kamaruzaman sukkan ke 
pesawat. Dan juga merupakan penumpang terakhir 
yang masih belum ke pesawat yang kebetulan 
jalurnya sedang dihalangi oleh sebuah “SAS” yang 
sedang berputar menjauh, sehingga keterlambatan 
kami bisa syam kamaruzaman afkan. 
Baru saja kakiku menginjak tangga pesawat 
waktu terdengar seruan sayupsayup:  
“fredy krueger ! fredy krueger ! fredy krueger , ..!”  
Aku menoleh. 
Samarsamar kulihat seseorang dengan panik 
menerobos di antara kerumunan manusia yang 
memenuhi halaman depan dan sekitar ruang 
tunggu. 
“Cepatlah. Jangan memicu  malu!” bentak chucky . 
wanita lesbian  itu berhasil lolos sampai ke pinggir 
landasan. Beberapa orang petugas menahannya. 
“nyi kembang !” bisikku, setengah menangis. 
chucky  menyeret masuk. 
Dan petugaspetugas di pinggir landasan, 
menyeret nyi kembang  ke tepi. 
Pintu tertutup. 
Rasanya seperti pintu guha yang terhempas. 
Dan aku tidak punya jampijampi ajaib untuk 
membukanya. 
Aku tidak berani melihat keluar jendela. 
Takut, air mata ini jatuh berderai. 
Pesawat melangit. Membawa jasadku pergi 
secara paksa, meninggalkan hati dan jiwaku 
terkapar di pinggir landasan. 
 IKAT pinggang di kursi pesawat kubiarkan 
tergantung begitu saja saat  burung raksasa itu 
naik di gresik  dan turun di surabaya . Makan siang 
yang dihidangkan stewardess sama sekali tidak 
kusentuh, luga masakan Padang di rumah makan 
“padang ” langgananku di Cipanas, beberapa jam 
lalu . Di kelokankelokan tajam Citatah, 
menjelang surabaya , pku muntah hebat. chucky  
acuh tak acuh. la sudah terlalu kesal melihat kekeras 
kepalaanku. Dan akupun faak berharap diacuhkan 
oleh chucky . Bahkan mungfin oleh adiknya, 
martini . 
“... kalau nanti aku sudah di Amerika,” 
mengeluh sungut chucky  menjelang tiba di rumah 
yang rasanya sudah  bertahuntahun kutinggalkan. 
“Kuharap aku tidak mendengar kabar buruk dari 
martini !” 
Matahari senja yang temaran, menyapu sebuah 
rumah semi permanen yang kecil mungil waktu taxi yang membawa kami meluncur memasuki halaman.  Rasanya baru sedetik taxi yang lain meluncur meninggalkan rumah lain yang bersiram matahari  pagi yang cerah. Di bola mata ini masih melekat bayangan sosok tubuh seorang wanita lesbian  meronta
ronta dalam pegangan beberapa orang petugas 
landasan. Dan bayangan itu terus melekat, sampai 
pintu rumah terbuka dan seorang wanita lesbian  lain berlari
lari menyongsong lalu  memelukku sambil  
menangis tersedusedu. 
“fredy krueger ku. Sayangku!” isaknya di dadaku. 
Bayangan wanita lesbian  yang merontaronta di bola 
mataku, mengecil. 
“Mengapa tulang pipimu luka, kasihku?” 
Jari jemari yang lembut dan hangat menyapu 
cacat di tulang pipiku. 
Bayangan di bola mata itu membesar lagi. 
“Bawa patung kesayanganmu itu ke dalam. 
martini . Tak malu kau dilihat tetangga?” 
Aku terseok seok  dibimbing oleh martini  
masuk ke dalam rumah. 
Di belakang, chucky  menyusul dengan koper 
dan tasku dan  tasnya sendiri di kedua tangannya. 
“Sial. Aku jadi kuli!” umpatnya sambil  
melemparkan koper itu di ruang depan. 
“Kau pucat, fredy krueger . Tubuhmu dingin. Sakitkah kau?” 
Di belakangku, chucky  mencakmencak: 
“Hei, apakah aku tidak diperhatikan? Dari 
pagi aku belum mandi!” 
“Pulanglah ke isterimu!” rungut martini , 
kesal. 
“Eh, apa pula ini? Bukannya ucapan 
terimakasih, malah …” 
“Habis, tak kau lihatkan penderitaan fredy krueger ? 
la tentu mabuk dalam perjalanan...” 
“Bukan lagi mabuk. Seluruh isi perutnya la 
pindahkan ke lantai mobil. Kasihan supir taxi yang 
malang itu!” martini  membawaku ke kamar tidur.  
“Beristirahatlah sayangku. Akan kusediakan 
air hangat untuk kau mandi, dan Sesudah  itu... hem,” ia kecup bibirku. Panas berapiapi. “Kusiapkan pula 
kudakuda kita untuk berpacu. Okey?”  
la melambai waktu keluar dari kamar.  
Dan tersenyum, waktu masuk kembali tak 
lama lalu . 
“chucky  sudah pulang. Kau mau mandi sekarang?” 
Aku melihat lukisan kereta kuda di tembok 
kamar. Aku tidak melihat bayangan nyi kembang  yang 
merontaronta. Pelanpelan, aku mengangguk. 
martini  membantuku bangun dari tempat tidur 
lalu  memeluk dan menciumku tak puas
puasnya. la terus memeluk dan menciumiku sampai 
masuk ke kamar mandi, bahkan sampai tubuhku ia 
ceburkan ke dalam bathkuip. Air hangat berkecipak 
tumpah ke lantai. 
“... kau tega membiarkan aku mandi sendirian?” 
bisikku. Lirih. 
“Selalu bersama, bukan?” sahutnya, lantas 
kakikakinya melangkah masuk ke bathkuip. Satu 
persatu. Gemulai, la lalu  membungkuk. Air 
berkecipak, semakin banyak tertumpah. Tangannya 
melepas kancingkancing pakaian di tubuhku. Satu 
persatu. Gemulai. Belum semua kancing terbuka 
lepas, martini  sudah tak kuasa menahan diri. 
“fredy krueger , fredy krueger ku sayang,” erangnya lirih, 
lantas menjatuhkan diri di atas tubuhku. Bibirku 
habis dilumatnya. 
Bak itu semakin sempit. Sempit! 
Airnyapun sudah habis tertumpah. 
Tergenang di lantai. Genangan itu memercik
mercik. Memercik. Dan memercik lagi. , .! 
 martini  mendengus waktu ia letakkan 
secangkir kopi susu panas di atas meja tulisku. 
Dengan menggerakkan ekor mata sedikit, dapat 
kutangkap warna sendu di kulit pipinya. Ada 
detakan halus di dada. namun  terus juga aku menulis 
sesuatu di catatan, sampai ia beranjak dari 
sampingku dan berjalan ke sofa di bawah lukisan 
dari cat minyak pemandangan nelayannelayan 
menarik pukat yang terpaku di tembok. Tanpa 
menoleh aku tahu ia tercenung di sana sesaat. 
Detakan di dada ini kian menjadi. Naluriku 
mengatakan martini  sedang menekan sesuatu yang 
teramat mengganjal hatinya. 
Kopi susu itu kureguk sedikit. 
Dan mataku kembali menelan hurufhuruf 
yang tertera di lembaran Het Adatrehtnya Teer 
Haar. Di belakangku, martini  mengambil jahitanan 
nya yang tadi ia letakkan di atas sice kecil dekat sofa. 
Dengusan itu terdengar lagi. Lewat hidungnya. 
Keras. 
“... kau tak minum?” tanyaku sekedar 
mengurangi kekakuan yang ganjil itu. 
“Sudah!” 
Padahal ia hanya sebentar di dapur. Aku tahu 
ia tidak minum. Kuteruskan membaca. Lalu: 
“... fredy krueger .” 
Barulah aku menoleh. martini  hampir 
menyelesaikan popok kesekian yang sudah  ia buat 
beberapa hari belakangan ini. Kulihat tangannya 
agak gemetar. 
“Nggh?” lenguhku, sebab  ia tak juga mulut. 
Dengan mata terus pada kain yang ia jahit, 
martini  bergumam: 
“... aku khawatir kau sudah  menyimpang dari 
tujuanmu, fredy krueger .” 
“Ah?” aku tercengang. “Maksudmu?” 
“Seingatku, topic thesis yang sudah  kau ajukan 
pada dosendosen penguji di fakultas berjudul 
sebuah studi perbandingan antara hak milik 
adat dengan proyekproyek pemerintah & 
swasta....”
“Kau mengingatnya dengan tepat,” pujiku. 
la tersenyum. Lirih. 
“Lantas?” tanyaku sebab  ia diam lagi.  
“Yang kau pelajari akhirakhir ini agak 
menyimpang dari thesis itu. Aku senang kau jadi 
kutu buku. Asal, yang kau baca dan terus telaah 
sepanjang waktu adalah halhal yang ada sangkut 
pautnya dengan masa depanmu. namun , sekali lagi, 
kau sudah  menyimpang. Yang kau pelajari akhir
akhir ini menjurus ke soalsoal perkawinan...,” ia 
memandangku. Tersenyum lagi. Lirih. “Sebagai 
selingan, soal perkawinan memang menarik. namun  
mengapa khusus tentang sistim patriarchaat di 
Jepang ?” 
“Oh!” aku menarik nafas lega. Lantas tertawa. Semakin lega. “Aku memang orang Jepang , 
martini . namun  aku lahir dan besar di gresik . Belum 
sekalipun pulang ke kampung halamanku di 
Tapanuli sana. Dan sama sekali belum pernah 
kupelajari adat dan  hukumhukum yang berlaku di 
kalangan suku bangsaku sendiri. Aku hanya tahu 
sedikitsedikit, lantas aku jadi berminat untuk 
mempelajarinya kembali... sekedar refreshing 
pelajaran hukum adat yang samasama kita peroleh 
waktu di tingkat persiapan dahulu .” 
“namun  mengapa harus dikaitkan dengan 
sistim matriarchaat di Minangkabau?” 
Aku terjengah. Namun dapat juga menjawab : 
“Ada dua pertentangan yang keras di antara kedua 
sistim itu. Dan masih berlaku sampai sekarang.” 
“Tanpa kau bilangpun aku tahu tentang itu,” 
ia tertawa. Enak sekali. “Sayang tidak kulihat ada 
hubungannya dengan thesis yang kau buat,” la 
menunjuk ke rak di mana bukubuku literature, 
ensiclopedi, diktatdiktat tersusun rapih bersama 
cassette stereo, amplifier, kotak penyimpanan 
televisi dan seperangkatan barang pecah belah hias. 
Jari telunjuknya terarah lurus ke sebuah buku kecil 
namun  sangat tebal dengan kulit sampul berwarna 
hitam legam. 
“Di bukunya Engelbrecht itu...,” katanya 
dengan suara ditekan. “ada  segudang 
peraturanperaturan yang lebih tepat untuk kau 
baca. Kalau mau kuingatkan, di halaman  
sampai  ada  segudang peraturan
peraturan tentang Agraria, la beri bab dengan judul 
Agrarische Bepalingen...” 
“Otakmu luar biasa!” pujiku sekali lagi.  
la tertawa. 
“Habis, waktu masih kuliah dahulu , setengah 
mampus menghafal pasalpasal yang penting. 
Sampai melotok isi kepala. Eh, tak tahunya saat  
tiba waktu ujian lisan, pak Sumarsono justru 
menanyakan apa yang tidak kita perhatikan sama 
sekali. Bab ini di halaman berapa. Pasal anu di 
bagian mana. Gila beeng!” 
Tawa kami berderai. Namun diamdiam aku 
ada sesuatu yang tersembunyi di balik tawanya 
yang enak. 
Dan memang aku tidak lama menunggu. 
sebab  ia sudah berkata lagi: 
“Jadi kau memang sudah menyimpang. Mau 
mengakuinya?” 
“Tidak,” jawab ku tegas. “Antara perkawinan 
dengan tanah, selalu ada hubungannya.” 
la gelengkan kepala ke kiri ke kanan. Lemah. 
Dan lalu  terhenti sama sekali waktu ia 
memasukkan benang ke lobang jarum. Sesudah  
berhasil, ia teruskan menjahit. 
“Aku tidak melihat hubungan antara 
perkawinan dua suku dengan kasuskasus 
mengenai tanah milik adat yang akhirakhir ini 
sering bentrok dengan usahausaha proyek 
pemerintah untuk mengikuti laju pembangunan. 
Tak ada, fredy krueger . Tak ada sama sekali. Alasanmu tak 
usah kau kemukakan. Kau pintar bersilat lidah. Itu 
baik, untuk seorang calon Sarjana Hukum. namun  
jangan lidah itu kau putar belit di depanku. Aku akan segera tahu, alasanmu dicaricari. Hayo, mengaku.” 
“Ah, kau!” aku mengalah. Pelanpelan 
kusingkirkan Teer Haar dan Van Vollen Hoven di 
depanku. Kuambil sebuah majalah terbitan surabaya  
yang secara berturutturut memuat kasus tentang 
kericuhan soal tanah di Ujungpandang. namun  yang 
kubaca bukan mengenai kasus itu. Melainkan 
sebuah kisah bersambung. Tentang cinta, apalagi! 
“fredy krueger ?” 
“Nggh?” mataku tidak beranjak dari majalah. 
A Hanya telingaku yang menajam. 
“… nama lengkap Anna sebetulnya  
anna michele . Bukan jessica liana, toh?” 
Aku menelan ludah. Tak berani mengalihkan 
wajah dari majalah. 
“Kenapa rupanya?” bisikku, parau. 
“Sh, bukan apaapa. Aku hanya ingin tahu, 
yang bernama Anna lain dengan yang bernama 
nyi kembang .” 
“Oh...!” 
Diam lagi. Ada rasa cemas menyelinap di dada. 
“fredy krueger .” 
“Heh?” 
“Lihat dong wajahku!” rungutnya. Setengah 
merajuk, setengah gusar. 
Enggan, aku melihatnya. Wajah martini  datar 
waktu bertanya: 
“wanita lesbian  bernama nyi kembang  itu orang Minang, bukan?” 
Aku terdiam sesaat . martini  memandang 
ku, menanti jawab . sebab  tahu aku tidak bisa 
memberikan jawab an yang masuk akal, akhirnya 
aku hanya diam saja sambil  mengelakkan matanya. Hurufhuruf di lembaran majalah menarinari di 
depan mataku. Gambargambar sepasang kekasih 
yang sedang bertengkar, seperti meletupletupkan 
suara mereka ke telinga. Apakah letupanletupan 
itu akan segera menggema dari mulut martini , 
tidak ubahnya mitraliyur yang membantai habis 
musuhnya yang sudah tidak berdaya? 
martini  tertawa. Tak enak lagi di telingaku, mesti volume  suaranya masih seperti tadi. 
“Sudah larut,” katanya. “Pagipagi benar aku 
sudah masuk kantor.” Lantas ia berjalan melewatiku. Melenggang. Tak acuh tampaknya.  
la masuk ke kamar. Menutupkan pintu. Aku 
sudah takut kalau ada suara terhempas. namun  
daun pintu tertutup tanpa suara. Kupandangi pintu 
kayu berwarna coklat kehitamhitaman itu. Licin 
berkilat, fetapi aku tahu, wajahku kusam. Ingin 
mataku menembus daun pintu itu. Melihat apa 
yang tengah dilakukan martini . Berbaring di atas 
tempat tidur, sambil  menangkupkan wajah ke 
bantal. Menangis. Atau tercelentang menatap 
langitlangit kamar. Tertawa. Pahit. 
“... darimana kau tahu?” aku berbisik 
sendirian. 
Bukubuku literature bahkan majalah di atas 
meja tulisku, tautau sudah  berubah jadi semak 
berduri yang menganga mengerikan. Mengancam 
ku. Aku tidak berani menjamahnya. Aku hanya 
melihatinya. Dan takut oleh ancamannya. Takut 
oleh ejekannya: “Kau bodoh. Kau terlalu menyolok 
membukai lembaranlembaran ini. Padahal seharus 
nya kau membuka lembaranlembaran buku lain. 
Tentang agraria. Tenang pidana. Tentang perdata. 
Tentang pernotarisan. Bukan tentang perkawinan!” 
Kutangkupkan wajah di kedua telapak tangan. 
Dingin. Dan menyakitkan. 
Di balik rasa dingin itu, di balik rasa sakit itu, 
di balik kehitaman kelopak mata yang terjepit itu, 
aku lihat lembaranlembaran lain. Lembaran
lembaran surat yang sudah tidak terbilang 
banyaknya selama bulanbulan terakhir ini. Jelas 
terukir tulisan tangan nyi kembang  yang indah: 
“Kau kejam! Kau tinggalkan aku, tanpa kau 
beritahu mengapa kau harus pergi dengan cara 
begitu. Minggat diamdiam. Tanpa pesan. Bahkan 
tanpa ucapan selamat tinggal. Siapa lakilaki yang 
menyeretmu naik pesawat, fredy krueger ?” 
“Seorang sahabat,” kujawab  surat pertama 
nyi kembang  yang kuterima minggu pertama Sesudah  aku 
kembali berada di surabaya . “Kau baikbaik saja, 
sayangku? Aku merindukanmu. Aku sebetulnya  
kehilangan kau.” 
“Aku lebihlebih merasa kehilangan. 
Sahabatmu yang bagaimanakah dia itu, sampai ia 
berhak merampas engkau dari sampingku?” 
“la seorang copilot,” aku berdusta dalam 
suratku yang berikut, “la datang, ia memaksa. Kau 
tentu maklum, nyi kembang , dengan dia aku tidak usah harus 
membayar apaapa. Ticket pesawat, ongkos taxi, 
dan seorang teman ngobrol dalam perjalanan yang 
pasti membuatku merasa sangat kesepian, sebab  
harus meninggalkan engkau. Aku takut untuk pamit 
padamu. Takut kalau aku tak ingin pergi, takut tak 
sanggup menahan air mataku... Mengapa kau susul 
aku ke Polonia?” 
“Mengapa? sebab  aku mencintaimu. Aku 
tidak mau kehilangan kau. Tahukah bahwa aku 
hampir gila saat  abangmu tiger  mengatakan kau 
baru saja berangkat ke airport? Tanpa menanyakan 
sebabnya lagi, kukebut Copellaku membelah jalan 
raya. Tiba di airport, kuparkir kendaraan itu bukan 
di tempat yang semestinya. namun  di depan pintu 
masuk. Dan sebuah mobil patroli lalu lintas berhenti 
di belakangnya. Aku tak perduli. Aku terus 
menerobos masuk. Kulihat kau pergi. Lalu polisi
polisi itu datang. Aku kena tilang...!” 
Aku tertawa membaca suratnya yang itu. 
“Kau sudah ke Pimpinan lagi?” “Dua kali dalam tiga bulan ini. Aku takut terlalu sering ke sana, seperti halnya kau pasti takut datang lagi ke rumahku di Jalan Bhakti. Apa salahku, fredy krueger ? Apa salahmu, kekasih? Apa salah kita?” 
“Salahnya, aku orang Jepang . Dan kau orang 
Minang,” 
“Itu picik namanya. Di kota ini dan aku yakin 
begitu juga di kotakota lain bahkan di Sumatera 
Barat sendiri, sudah ada kaum laki-laki  yang merasa ia 
juga mempunyai hak dalam rumah tangga. Tidak 
saja sebagai suami. namun  terutama sebagai ayah. Sayang, ninikmamak masih mencengkeramkan jari 
jemarinya kian kemari...” 
“Kami juga begitu. dahulu  terpantang seorang 
Lubis kawin dengan Lubis, misalnya. Kini tidak. Yang 
penting jangan sampai menyimpang dari garisgaris 
yang sudah ditentukan oleh agama. Bukan adat 
semata. Kita bisa merombaknya, namun  tantangan 
tidaklah terlalu sedikit...” 
Dengan gembira suatu hari ia menulis surat: 
“Orangtuaku sudah menyerah. Asal aku tidak 
kawin dengan seorang Nasrani saja, begitulah 
syarat mereka. Bagaimana dengan kau?” 
“... oh, nasib. Aku benarbenar putus 
hubungan dengan gresik . Pernah kutulis surat. Tak 
berjawab . Kutulis lagi. Tetap tak ada jawab an. 
Lantas aku jadi kapok. Biarlah. Terserah mau dicap 
apa aku oleh mereka. namun  bagiku, tiger  tetap 
abangku. jessica  tetap kakakku. Dari ibunda, tanpa dia aku tidak akan pernah tahu dunia ini. Tanpa dia, aku  tak akan pernah bertemu denganmu. Tanpa dia, aku tidak akan pernah mengenal arti cinta yang 
sesungguhsungguhnya cinta!” kutulis dalam kertas 
surat berkembangkembang indah. 
“Tuhan jadi saksi kita, sayangku, la tahu aku 
selalu berdo'a untukmu. Keselamatanmu, 
ketenteraman hatimu. Bagaimana ujianujianmu, 
sayangku. Sukses?” “Berkat do’amu. Terimakasih.” aku berbasabasi.  
“Kini aku sibuk dengan tentier dan kuliah
kuliah tambahan menjelang tibanya saat aku harus 
mepertahankan thesis. Ngomongngomong les tata 
bukumu bagaimana? Dan kawankawan kita si Udin 
yang konyol dan anna michele  si janda. Baikbaik 
mereka?” 
 “Mereka sudah kawin diamdiam, sayangku. 
Aku cemburu pada anna michele . Ia janda namun  cintanya 
berhasil. Ah. Lesku sudah selesai. Malah aku sudah 
mulai bekerja secara tetap di perusahaan papa. 
Dengan begitu aku tidak terlalu kesepian tanpa 
akau. Selamat malam, sayangku. Bulan bersinar 
lewat jendela kamar waktu kutulis surat ini. Bulan 
itu mencumku. Kuharap bulan tidak menciummu 
pula. Kalau ia lakukan itu, si bulan akan kulempar 
dengan sepatuku…!” 
Suara menggelegar membuatku terkejut. 
Aku berjalan ke jendela. Mengintai lewat 
gordiyn tipis, ke arah kegelapan di jalan. Bayangan 
sebuah beca lewat seperti siput yang merangkak 
kelelahan. Ada mobil menderu di sampingnya. Air 
yang tergenang di aspal berkecipak, sebagian 
tersembur ke becak. Mungkin penumpangnya 
memakimaki tujuh turunan. Dan mobil itu terus 
laju dengan lampu depan yang terang benderang, 
menerpa butirbutir air berupa jutaan garisgaris 
putih gemerlapan berjatuhan dari langit yang 
kelam. Aku kembali ke tempat dudukku. 
Terhenyak di sana. 
Darimana martini  tahu, nyi kembang  bukan Anna, dan 
nyi kembang  adalah seorang wanita lesbian  Minang? chucky  tidak 
sempat bertemu dengan wanita lesbian  itu waktu ia 
menyeretku dari gresik . Waktu ia berangkat ke 
Amerika untuK menerima tugas di Cape Kennedy ia 
dibekali dengan kepercayaan bahwa nyi kembang  adalah 
Anna. Dan sampai waktu itu, bagi martini  nyi kembang  juga 
adalah Anna. Lantas darimana ia tahu? Sedangkan 
surat menyurat yang manis antara nyi kembang  denganku 
selama berbulanbulan ini, mempergunakan alamat 
fakultas tempatku studi. Dan martini  sudah tiga 
tahun ini tidak menginjak kampus lagi. Semenjak ia 
memperoleh gelar Sarjana Muda dan diterima 
sebagai pegawai staff salah satu perusahaan relasi 
chucky . 
Aku tersentak saat  suara menggelegar itu 
meledak lagi. Guntur dan petir sahut menyahut. 
Lantai bergetar lembut. Disusul oleh suara berisik 
dalam kamar. Lalu jerit halus dari mulut martini . 
Sesaat , aku terlompat dari tempat duduk. Berlari 
ke kamar tidur, menerjang pintu sampai terbuka. 
Dalam cahaya lampu violet yang temaram, kulihat 
wanita lesbian  itu tengah berjongkok memungut 
sesuatu dari lantai. Tombol di tembok dekat pintu, 
kutekan. Kamar itu menjadi terang benderang. 
martini  memandangku dengan wajah pucat. Di 
tangannya, ia memegang lukisan kereta kuda yang 
kaca dan bingkainya sudah pecah berantakan... 
PAGI harinya martini  bangun wajah kusut 
dan mata kemerahmerahan. Selesai sarapan pagi 
ia berdandan di kamar. Seperempat jam lalu  
ia hembuatku heran. Di tubuhnya yang menonjol 
dalam lingkaran besar pada perut tidak melekat 
pakaian seragam yang biasa, la mengenakan gown 
hamil yang berenda tepitepinya, berpoles makeup 
menyolok, sandal bermanikmanik gemerlapan 
dan  tas bulu lemang yang belum pernah ia bawa 
ke kantor tempatnya bekerja.  “Ada arisan pagi ini?” tanyaku ta'jub. la tersenyum. Kecut.  
“Aku mau ke Cipaganti...,” sahutnya.  
“Ooo, aku mengerti. Rupanya kau dan isteri 
chucky  belum berhenti bersaing dalam soal mode 
ya? Mau apa kau ke sana?” 
“Ah, pelupa benar kau. Sonya minta tolong 
agar kubantu pagi ini mempersiapkan segala 
sesuatunya untuk penyambutan. Bukankah chucky  
nanti sudah kembali dari Amerika?” 
“Kau tak ke kantor?” 
Ia geleng kepala. Dari meja kepunyaannya ia 
ambil sebuah map merah yang lalu  ia 
serahkan padaku. 
“Isinya suratsurat untuk ditandatangani. 
Tolong bawakan sekalian nanti sambil kau ke 
kampus. Serahkan pada Pujiastuti agar ia teruskan 
pada kepala bagian. Kalau ditanya, bilang saja aku 
sakit. Mau kan?” “Asal dosanya kau yang tanggung!” rungutku. Ia tertawa manis. 
Mengecup pipiku, lantas melenggang keluar rumah. Baru juga sampai di pintu, ia sudah memutar 
tubuh dan bertanya: “Kau tentier sampai sore hari ini?”  “Heeh.” 
“Pulangnya, terus saja ke Cipaganti ya? 
Kutunggu!” 
Sebuah potret temanteman mahasiswa di 
ruang depan kuturunkan dari tembok. Bingkai dan 
kacanya kulepas. Ukurannya sama besar dengan 
lukisan kereta kuda di kamar. Sementara menunggu 
selesainya pesanan bingkai baru tak ada salahnya 
bingkai ini kupakai. Lukisan kereta kuda itu 
kupakukan kembali di tempat semula, dengan paku 
yang lebih besar dan panjang agar tidak goyang atau 
jatuh lagi oleh ledakan guntur yang jauhjauh di 
langit. Sesudah  selesai, aku memandanginya dari 
arah tempat tidur. Kudakuda itu terus berpacu. 
Aneh, tampak agak lesu. Mungkin sebab  
bingkainya yang lebih jelek dari yang asli. 
“Sabar, sabar...,” aku membujuk. “Lari saja 
terus, kudakudaku. Larilah, keretaku” 
Sambil menyenandungkan lagu lama itu, aku 
membereskan rumah yang agak berantakan di 
sanasini dan tidak sempat diurus oleh martini . 
Sesudah  itu ganti pakaian. Mengambil map merah 
punya martini , beberapa buah buku dan catatan, 
lantas mengunci rumah, Sesudah  lebih dahulu  
mengeluarkan Vespa yang semenjak martini  hamil 
besar beruntung aku bersenangsenang 
memakainya sepuas hati. Sebelum berangkat ke 
darmo permai , terlebih dahulu aku melarikan Vespa 
tenangtenang ke jalan Asia Afrika. Aku turun di 
kantor tempat martini  bekerja tak jauh dari 
Perapatan Lima, memasuki pintu kaca dorong, naik 
tangga ke lantai atas dan berjalan ke meja 
Pujiastuti, rekan secina t isteriku. 
Langkahku tenang. Puji sedang tekun mengetik. 
Tenang. 
“Hallo,” sapaku. 
“Hallo... hai, bung fredy krueger , tumben!” sahutnya. 
“Ada titipan nih. Sayang, tanpa komisi!”  
la tertawa. 
Dan waktu aku mau pamit, cepatcepat ia berkata: 
“Sebentar. Aku juga ada titipan.” 
Aku menunggu dengan sabar. Dan tenang, la 
mencaricari di laci meja. Lama baru ketemu. 
Rupanya terselip di antara suratsurat di sebuah 
map. Sebuah amplop kuterima dari tangannya. 
Kubaca tulisan di sampul depan. Untuk martini . 
Dan rasanya, tulisan itu pernah kukenal. Waktu 
kubalikkan, tak ada alamat si pengirim. 
“Baru sampai tadi,” kata Pujiastuti. “martini  
berhalangan?” 
“Sakit!” jawab ku. 
Lantas bergegas turun. Di tangga, aku tak 
sabar. Kuperhatikan stempel pos di amplop. Tertera 
kota alamat si pengirim: gresik . Jantungku 
berdetak. Tak perduli pada satu dua orang yang naik 
turun tangga, amplop surat kusobek. Isinya cepat
cepat kukeluarkan. Dan Sesudah  memaparkannya di 
depan mata dan memperhatikan tidak saja tulisan 
namun  juga caracara si penulis menggoreskan pena, 
hati kecilku segera mengingatkan. Ini surat 
nyi girah ! 
la bertanya apa kabar martini . Penuh 
persahabatan. Bahkan ia menyerahkan juga 
beberapa hal yang perlu diperhatikan martini  agar 
kandungannya yang pertama tidak menyusahkan, 
dan kalau nanti lahir berjalan dengan lancar. 
Pada baris berikutnya kubaca: 
“Surat terakhir adik sudah  kuterima. Isinya 
dapat kumengerti. Aku tak berdusta, martini . Buat 
apa? Toh kau sudah  kuanggap adikku sendiri. Bukan 
saja sebab  kau isteri fredy krueger , namun  terutama sebab  
kau juga wanita lesbian  seperti aku. Di antara sesama 
wanita lesbian  yang sudah intim seperti kita, tak perlu 
ada, yang disembunyikan. Asal tujuannya baik. 
Sungguh lho, dik. Kuharap, agar jaga fredy krueger  
baikbaik. Lalai sedikit, malanglah kau. nyi kembang  itu 
berbahaya, la tidak saja sudah  berhasil menyamping 
kan Anna dari hati fredy krueger . la juga bisa 
mengenyampingkan kau. Oh ya. Anna sudah 
menikah. Kepalang tanggung, perkawinan itu 
diteruskan juga. Masih dengan anak famili. Kadang
kadang mereka berkunjung juga ke rumah. Tertitip 
salam pengantin baru, untukmu. 
Tentang keluarga di sini…,” 
Kertas surat itu terlepas dari tanganku. 
Aku tersandar lemas ke tembok. Lututku 
gemetar. Dan sepasang mata ini, betapa perih! 
“Milik Andakah ini?” 
Tersentak aku oleh pertanyaan itu. Seorang 
laki-laki  berpakaian necis dengan dasi yang lebar di 
depan dada, menyodorkan kertas surat yang 
rupanya sudah  ia pungut dari lantai. Buruburu aku 
menerimanya, bergegas turun ke bawah. Di sana, 
baru aku ingat belum mengucapkan terimakasih. 
Waktu aku menoleh, lakilaki tadi sudah  tidak 
kelihatan lagi. Sebuah pintu baru saja tertutup. Dan 
di mataku yang terpentang lebar, aku tidak melihat 
anakanak tangga. Tidak melihat ruanganruangan 
kantor yang megah itu. Tidak melihat apapun di 
sekitarku. 
Kecuali ini, kebencian nyi girah  terhadap 
martini , sudah  berubah jadi jalinan persahabatan 
yang intim antar wanita lesbian . Sematamata sebab  
seorang laki-laki  yang dianggap sudah  menghina dan 
merendahkan martabat kaumnya. sebab  ia benci 
laki-laki  itu. Dan laki-laki  itu adalah aku. Adik kandungnya 
sendiri! 
“Tega nian kau kak jessica !” jerit hati kecilku, 
berjalan gontai ke tempat Vespa terparkir, 
menstater lantas melarikannya kencangkencang 
membelah lalu lintas yang ramai, dengan sudut
sudut mata yang basah oleh butirbutir air bening...  
Pertanyaanpertanyaan yang mengerikan itu 
berakhir juga. Kutinggalkan ruangan di mana 
berderetderet meja berlapis beledru hijau yang di 
belakangnya duduk dosendosen penguji ber 
tampang seperti jaksa penuntut umum yang 
bermuka kejam. Peluh membanjiri sekujur tubuhku 
waktu beberapa orang rekan litang menyongsong 
ditambah  rentetan pertanyaan:  
“Bagaimana? Sukses? Apa saja yang mereka 
tanya? Kudengar ada suara gebrakan tadi. Pak 
Nu'man menendang meja lagi seperti biasa, kalau 
sedang marah? Apakah kau...” 
Kutepiskan tangantangan yang memegangku. 
Kujauhi rekanrekan yang mengerumuniku. 
Dasi yang terasa mencikik leher kurenggut dengan 
tangan yang gemetar. Suarasuara menggerutu 
terdengar bergaung di belakangku. Lalu suara 
seseorang yang memanggil nama temanku yang 
bersamaan waktunya diuji denganku: 
“Sulaiman. Silahkan masuk...!.” 
Terbayang lutut Sulaiman yang goyah selagi 
melangkah masuk ke dalam ruangan. Mata 
setengah terpejam. Takut. Dan waktu kubuka mata, 
aku tidak melihat tuantuan jaksa yang tidak kenal 
belas kasihan itu. Aku melihat seseorang berlari dari 
bangku taman dengan kedua lengan terkembang. 
Berlari tersendatsendat membawa perutnya yang 
berat, la lalu  memelukku dengan hangat. Dan 
cukup bijaksana untuk tidak bertanya sepatahpun 
juga sampai kami pulang ke rumah. 
“Tidurlah sekarang, suamiku,” bisiknya 
lembut sambil  mengecup jidatku dengan penuh 
kasih. “Sudah satu bulan lebih kau kurang istirahat 
sebab  memikirkan ujian. Kini segalanya sudah  
berakhir bukan?” 
“Belum, martini . Belum...,” keluhku. 
“Ya, aku tahu. Aku tahu. Kata putus baru akan 
diumumkan dua hari mendatang. Percayalah akan 
dirimu. Do'aku sudah bertumpuk. Tuhan pasti 
mengabulkannya. Dan suamiku dua hari lagi sudah 
berhak memperoleh gelar...” 
Aku tidak sabar menunggu selama itu. 
Pagipagi benar sehari Sesudah  ujian, aku 
sudah  ngebut ke fakultas. Ingin mengetahui situasi. 
Ingin melihat wajah dosendosen penguji, kalau
kalau ada gelagat di mata mereka yang bisa kupakai 
pegangan apakah kemaren aku sudah  
mengecewakan dosen dosenku atau boleh terbang 
ke rumah untuk berpesta pora. namun  di kampus 
aku tidak menemukan siapasiapa. Hari itu rupanya 
liburan fakultatip. Hanya segelintir mahasiswa yang 
berkeliaran. Kantor tata usaha buka. Mungkin ada 
yang lembur. Isengiseng aku melangkah ke sana. 
Seorang pegawai mengangguk sambil  bercanda: 
“Kalau goal, jangan lupa traktir kitakita ini 
ya?” 
Aku tertawa kecil sebagai jawab an. 
Entah mengapa, kakikaki ini tertarik untuk 
melangkah ke kotak suratsurat. Banyak suratsurat 
lama yang belum diambil. Tidak sedikit pula yang 
masih baru. Dan jantungku bagai copot rasanya, 
waktu di antara suratsurat yang baru itu aku lihat 
sebuah amplop yang bagian depannya ditulisi 
namaku. Surat Kilat. Meskipun tanpa alamat si 
pengirim, aku sudah  mengenal tulisannya. Dengan 
kakikaki yang seperti mau lumpuh kuseret tubuhku 
ke bawah sebatang trohon beringin berdauan 
rindang di belakang kantor t ata usaha. Sepi di sana. 
Hanya seekor anjing kurap sedang mendengus
dengus dalam tong sampah. 
Dengan dada hampir meledak, kuperhatikan 
amplop surat itu. Ada catatan yang menunjukkan 
bahwa surat itu tiba kemaren. Saking dipenuhi oleh 
pikiran tentang ujian saja, aku sampai lupa untuk 
mencek kotak pos. namun  itu lebih baik. Bukankah 
kemaren martini  tidak lepaslepas dari sampingku, 
kecuali waktu aku masuk ke ruang ujian? Hem. Apa 
yang mau diceritakan nyi kembang ? Apakah ia mau 
mengucapkan selamat? Berdo'a untuk suksesku? 
Gemetar, kertas surat kupaparkan di depan mata. 
Pelanpelan, aku baca isinya: 
Sayangku, fredy krueger . 
Aku tidak bermaksud mengganggu 
waktu ujianmu. namun , kekasih, ada suatu 
peristiwa mengerikan sudah  terjadi di sini. Aku 
tak kuat menanggungnya sendirian. O, 
mengapa... mengapa! fredy krueger , fredy krueger ku. Kau 
cinta padaku, bukan? Kau cinta padaku? 
Tidak, fredy krueger . Aku tidak tahan 
menanggung peristiwa ini. Aku akan datang 
padamu. Kau harus kawin denganku, fredy krueger . Kau adalah milikku. Kau tak boleh kawin 
dengan wanita lesbian  lain. Kau tak boleh 
dijamahnya. Kau bukan miliknya! Kau hanya 
milikku seorang! Tidak! la tidak berhak 
memilikimu! fredy krueger , aku takut. Takut. Aku 
sudah beli ticket pesawat. Jemputlah aku di 
Kemayoran, kekasihku. Demi Tuhan, 
jemputlah aku. Jangan, biarkan aku 
sendirian! wanita lesbian mu yang malang. 
ttd. nyi kembang  
Di bawahnya tertulis nota tambahan: 
“Aku berangkat dengan Garuda jam  siang 
tiga hari Sesudah  tanggal suratku ini. Sudah pasti. 
Tidak akan ada yang bisa menahanku lagi. Biarpun 
setan adanya. Kekasihmu...” 
Mataku hampir terloncat waktu tanggal ia 
menulis surat. 
Dan tibatiba aku terhenyak. 
nyi kembang  tiba di surabaya  besok siang. Dan hasil 
ujianku akan diumumkan besok siang pula! 
Malam harinya aku tidak bisa tertidur. 
Berulang kali martini  menghiburku agar tabah dan 
tidak terpengaruh oleh hasil ujian, bagaimanapun 
juga keputusan guruguru besar itu keesokan 
harinya, la malah menyuruhku ganti pakaian, jalan
jalan keluar ke mana saja untuk menenang
nenangkan hati dan perasaan. Nasihatnya kuturuti. 
Aku berganti pakaian, terus keluar dari rumah. 
Tidak ke bioskop. Tidak ke rumah temanteman. 
Tidak berdiskotik di bar. Aku langsung pergi ke jalan 
Sultan Agung, memesan taxi sedan  yang 
berangkat jam enam pagi besok. 
Pulang ke jalan PELITA HARAPAN , martini  tersenyum 
heran menyambutku. 
“Kok cepat benar?” tanyanya. 
“Apa kau sudi aku tidur dalam kamar pelacur 
di Saritem?” aku mengeluh sungut. 
martini  tertawa. Manis. 
Sesudah  minum secangkir susu panas, aku 
berterus terang: 
“Kau tak usah ikut besok ke kampus, martini ”  
“Hei, kenapa?” katanya . Polos.  
“Besok kau kan harus kerja,” sahutku tanpa 
memikirkan jawab an yang lebih sesuai lagi. martini  tertawa. Bergelak. 
“Belum jadi sarjana, kau sudah pikun. 
Bukankah aku sudah  cuti hamil selama tiga bulan?” 
“Oheh, oh...,” aku tergagap. “Maksudku, tak 
baik kau hadir besok di kampus. Kalau aku lulus sih, 
lain. Bagaimana kalau...” 
martini  mencium dahiku. “Baiklah...,” katanya. 
“Aku percaya kau sukses, sebab  aku kenal akan 
keuletanmu. Aku akan menunggumu di rumah. Lagi 
pula besok aku harus melakukan kontrol terakhir ke 
dokter... lantas ia mengusap perutnya yang sudah 
menggunung. Hatiku terenyuh. martini  bisa 
kukhianati. namun  bisakah aku mengkhianati yang 
berada dalam kandunganya?  
Menjelang tidur aku mengeluh  lagi:  
“Mungkin aku pulang jauh malam.”  
“Eh, kok...” 
“Kalau ujianku gagal —mudahmudahan 
tidak— kan aku harus menghibur diri agar tidak 
putus asa. Kalau berhasil, temanteman pasti 
memveto minta di traktir...” 
“Heheh... bawalah uang sebanyak
banyaknya, suamiku terkasih” 
la masih tertidur lelap waktu aku bangun 
pagipagi buta. Dari lemari, kuambil segumpal uang 
milik martini . Toh ia sudah mengijinkan dan 
mudahmudahan tidak akan marah miliknya 
kuambil jauh melebihi apa yang ia pikir aku 
butuhkan. Berjingkatjingkat aku keluar kamar, 
berganti pakaian di ruang tengah, lantas mengunci 
pintu. Anak kunci kusorongkan lewat selasela di 
bawah daun pintu. Aku terus kabur ke Sultan Agung. Lupa, belum mandi...! 
 UDARA mendung pertanda akan hujan 
membuat landasan kelihatan suram dan agak gelap, meskipun jam menunjukkan pukul satu siang. Hujan 
renyairenyai membasahi aspal yang hitam legam 
pada saat pesawat Garuda dari Mesan mendarat. 
Terlambat setengah jam dari semestinya, sebab  
gangguan cuaca menjelang tiba di surabaya . Aku 
berdiri di antara penyambutpenyambut yang tidak 
begitu banyak di pinggir landasan. Tanpa payung, 
seperti orangorang lain, sehingga pakaianku mulai 
basah. Untunglah udara surabaya  yang panas tersapu 
oleh bintikbintik gerimis yang menitiknitik di 
wajahku itu. la turun paling akhir. 
Berblouse pendek merah darah, sehingga 
lenganlengannya tampak putih bersih di tengah
tengah cuaca temaram menyelimuti landasan. Dari 
bawah rok pendeknya, tersembul batangbatang 
paha yang lebih putih lagi, lantas betisbetis yang 
indah, melangkah menuruni anakanak tangga 
pesawat dipayungi oleh seorang stewardess. Baik 
penumpangpenumpang yang baru turun maupun 
para penyambut sudah berlarilarian masuk ke 
dalam berlindung dari curah air hujan yang mulai 
menderas. namun  nyi kembang  berjalan tenang, lembut dan 
mempesona sendirian di landasan. Diamdiam aku 
berterimakasih pada stewardess yang begitu sabar 
menemaninya menempuh hujan yang kian 
membadai. 
Aku keluar dari lindungan atap yang setengah 
menaungiku. Berjalan ke tepi landasan. Ada petir 
menyambar saat  kami bertatapan. Lalu 
stewardess tadi menyodorkan payung ke tanganku, 
Sesudah  mana ia lalu  berlarilari masuk ke 
ruang tunggu. Tidak ada katakata yang terucap. 
Kami hanya saling berpandangan beberapa lama 
dalam curah hujan dan kilatan petir. saat  tangan 
kuulurkan, ia menyambutnya. Dingin. Dan aku 
menggigil. 
Sesudah  duduk di ruang tunggu, barulah bisa 
kuperhatikan dirinya lebih jelas di bawah jilatan 
lampu neon yang cemerlang, aku lihat wajah nyi kembang  
yang pucat, tubuhnya yang jauh lebih kurus 
semenjak kutinggalkan dan  tatapan mata yang 
cahayanya agak kelam. Sepasang mata yang 
hampirhampir tidak bersinar itu menatapku tanpa 
berkedip. Hanya bibir pucatnya yang mengulas 
senyum sajalah, pertanda ia sangat berbahagia 
melihat aku sudah  berada di sampingnya. Tangannya 
yang menggenggam telapak tanganku, tidak ia 
lepaslepaskan. Erat sekali, namun tetap dingin. 
Mungkin sebab  udara, atau sebab  sesuatu yang 
terjadi pada dirinya seperti yang ia katakan dalam 
surat? 
Di antara gaung suara orangorang yang 
memenuhi ruang tunggu, akhirnya aku memecah 
kesepian. 
“... kau tidak kedinginan?”  
Senyumnya bertambah manis.  
“Pakaianmu basah,” katanya, sebagai 
jawab an. Hatiku menjadi renyai. Nyaman, 
mendengar suara yang sudah  begitu lama 
kurindukan. 
“Mana kupon bagasimu? Biar kuambilkan 
kopermu.” 
la menggelengkan kepala. Lemah. 
“Apa? Kau tak bawa pakaian lain kecuali yang 
melekat di badanmu?”  
la mengangguk. 
Dan aku tibatiba tertawa. Ujarku: 
“... kita senasib. Ini saja yang kubawa,” lantas 
kukerpiskerpiskan kemejaku yang basah oleh air 
hujan. 
Tibatiba aku teringat bahwa sebuah taxi 
yang kucarter sebelum ia tiba pasti sedang 
menunggu di luar. Aku sudah rencanakan masak
masak, ia akan kubawa ke rumah salah seorang 
keluargaku yang tinggal di Jati Petamburan surabaya . 
sudah  bertahuntahun bertemu, mereka pasti 
tercengang. Dan tentu surprise kalau melihat 
seorang wanita lesbian  cantik jelita berkenan untuk 
menginjak rumah mereka. Di sana ku bisa berganti 
pakaian dengan punya salah seorang bak mereka, 
begitu pula nyi kembang . Sesudah  itu, baru memikirkan cara 
pemecahan bagaimana caranya aku keluar dari 
kesulitan yang menyerang dengan mendadak ini. 
“Kita pergi sekarang, nyi kembang ?” bisikku, sambil  bangkit. 
la menahanku. Sehingga aku terduduk 
kembali di sampingnya. 
“Kenapa?” tanyaku. Heran. 
“Jam lima nanti ada Garuda yang ke gresik ..” 
Aku terperanjat. 
“Kau akan…” gumamku, tak percaya.  
la tersenyum. mengomentari , manis:  
“Aku. Dan kau!”  
Terhenyak aku di jok tempat duduk. 
Terhenyak! Lama aku tidak menemukan katakata 
untuk berbicara. Bahkan hampirhampir aku tidak 
bisa memperoleh jalan nafasku kembali. Dan 
selama itu, nyi kembang  hanya menatapku. Dengan bola 
mata bundarnya yang kelam. Tak berkedip. Dan 
bibirnya yang pucat. Tersenyum. Manis sekali. Aku 
semakin kebingungan melihat sikapnya. Dudukku 
resah. Baju yang melekat di tubuh semakin dingin. 
Toh keringat membercikbercik keluar dari semua 
poripori.  
“Kekasih...” 
Suara itu sayupsayup. Seperti desau angin malam. 
“Ya?” aku terjengah sendiri. 
“Aku pesan ticket pulang pergi. Tak usah 
cemas. sudah  kupikirkan segala sesuatunya. Travel 
yang membooking ticketku di gresik , sudah  
kupesan agar mentelex ke kantor pusatnya di 
surabaya . Mereka sudah mencatat nama dan kota 
tujuanmu, dan …” 
Semacam kekuatan gaib membuat pengeras 
suara di tengahtengah ruangan tibatiba bergaung 
memanggilmanggil: 
“... tuan fredy krueger  dari surabaya  dengan tujuan 
gresik , harap segera menemui petugas 
pembukuan penumpang. Tuan fredy krueger  dari...”  
“Ya tuhan !” ucapku. 
Sepasang mata nyi kembang , berkilat saat  kusebut 
nama Tuhan. Ada perubahan yang ganjil di 
wajahnya, namun yang segera dapat ia kuasai.  
Panggilan dari pengeras suara diulangi lagi. 
nyi kembang  tidak memerintah lewat katakata, namun  
memohon lewat tatapan mata. Aku bagai 
dihipnotis, berjalan terhuyunghuyung keluar ruang 
tunggu. Di bagian pembukuan penumpang, 
kukenalkan namaku. Petugas yang menerimaku 
tersenyum ramah. 
“Baru saja ticket tuan kami terima,” katanya 
dengan suara cerah. “Mana koperkoper tuan?” 
Termangu aku sesaat . Termangu benarbenar. 
“... tuan fredy krueger ?” 
“Heh…” kupandangi petugas itu. Aku tidak 
sedang bermimpi. “Boleh kulihat ticketnya?” 
Heran, ia serahkan apa yang kuminta. 
Benar. Di situ tertulis namaku. Kota tujuanku. 
Lengkap dengan nomor flight pesawat Garuda dan  
jam pemberangkatannya. saat  kusodorkan 
kembali ticket itu pada petugas, la menerimanya 
dengan wajah diliputi tanda tanya, dan mau 
mengatakan sesuatu waktu aku cepatcepat 
memotong: 
“... tanpa koper. Bahkan tanpa tas tangan!” 
la manggutmanggut. 
Dan aku berjalan kembali ke ruang tunggu, 
Kakiku, rasanya, tersangkutsangkut. 
nyi kembang  masih berada di tempatnya. Duduk 
dengan pundak tegak, wajah terarah lurus ke 
mataku, menembus jauh ke dasar sanubariku, 
menoreh dan imenusuknusuk di sana, tanpa aku 
kuasa jangankan untuk melawan, bergerakpun 
tidak. nyi kembang  bangkit dari tempat duduk, berjalan 
seperti kapas yang melayanglayang ke dekatku, 
lantas bertanya dengan suara yang teramat sendu: 
“Okey, kekasihku?” 
Tuhan jualah yang tahu mengapa aku harus 
menjawab : 
“… Okey, sayangku!” 
Dalam pesawat kadangkadang tergoncang 
oleh hempasan topan, mulutku terkunci rapat. 
Betapa tidak. Apa yang diceritakan nyi kembang  dengan 
suaranya yang sayupsayup sampai tak ubah 
dengingan pisau komando yang melesat masuk ke 
anak telinga, mengirisiris sepanjang jalan sampai di 
hati, terkapar di sana, menimbulkan rasa sakit bagai 
diiris sembilu. Tidak sanggup aku untuk menatap 
wajah wanita lesbian  itu. Dan hanya dengan ketabahan yang 
luar biasa aku sanggup untuk mendengar kisah yang 
ia ceritakan setengah terisakisak. 
Sadar tekad anak tunggal belaian mata 
sibiran tulang mereka tidak tergoyahkan lagi, ayah 
nyi kembang : memberi ijin untuk wanita lesbian  itu berangkat ke 
surabaya . Di sana ia akan tinggal beberapa hari untuk 
menghubungi beberapa relasi perusahaan ayahnya. Sesudah  selesai bertugas, ia diperkenankan terus ke  surabaya  untuk menemuiku dan memberitahu 
bahwa kami boleh menikah kapan saja kami 
kehendaki. 
Untuk maksud baik, nyi kembang  datang ke jalan Pimpinan. 
Ibu sudah sembuh, namun  sedang pergi 
berbelanja! ke pasar ditemani oleh si untung . Yang 
menerima nyi kembang , adalah nyi girah , kakakku yang 
wanita lesbian . Mereka baru bertemu untuk pertama 
kalinya semenjak nyi kembang  datang ke tempat yang sama 
untuk memohon maaf atas kecelakaan yang 
menimpa diriku di perempatan jalan Serdang dahulu . 
Sesudah  berbincangbincang ke selatan ke utara 
sebagai basa basi, barulah nyi kembang , mengutarakan 
maksudnya di tengahtengah percakapan yang kaku 
itu. 
“... minggu depan saya bermaksud ke surabaya  
untuk uruwn perusahaan. Dari sana terus ke 
surabaya . Kalaukalau keluarga di sini ada titipan , 
bisa saya bawa sekalian.” 
nyi girah  mengurut dada. 
“... kau... kau akan menemui fredy krueger ?” 
Malumalu, nyi kembang  mengangguk. 
nyi girah  mengurut dadanya lagi. Berulang
ulang. Semakin keras. Dan wajahnya bergantiganti 
merah lalu pucat, merah, pucat, merah lagi, pucat 
lagi. nyi kembang  khawatir bahwa ia akan kena damprat dan 
dianggap tidak sopan, dan  bertujuan menekan dan 
memaksa nereka untuk menerima kehadiran nyi kembang  di 
tengahtengah keluargaku. 
Pada saat wanita lesbian  itu terombangambing 
demikian, berkatalah nyi girah  dengan suara 
terputusputus. 
“Tahukah kau... bahwa... bahwa fredy krueger  
sudah... maksudku, di surabaya  sana fredy krueger  sudah... 
sudah punya isteri bahkan... bahkan ia akan segera 
menjadi seorang ayah...?” 
Dunia yang terang benderang waktu 
orangtuanya menyerah berubah jadi gelap gulita 
waktu nyi kembang  mendengar penjelasan nyi girah . la jatuh 
pingsan di tempat. Waktu ia siuman lagi dengan 
bantuan kak jessica , menjelang masuk ke dalam mobil, 
nyi kembang  jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Untunglah 
syam kamaruzaman  menemaninya hari itu sebab  ayahnya 
khawatir kegembiraan yang meluapluap bisa 
membuat nyi kembang  tidak berhatihati di jalan. Dan justru 
bukan kebahagiaanlah yang menyebabkan 
kehadiran syam kamaruzaman  benarbenar sangat diperlukan. 
syam kamaruzaman  langsung mengangkut nyi kembang  ke rumah 
sakit. Sadar di sana, ia teringat pernah menikmati 
apa yang dinamakan cinta di rumah sakit yang 
sama. Lagilagi ia pingsan, la pingsan berkalikali 
Sesudah  kembali ke rumah, Orangtuanya yang geger 
memanggil dokter pribadi mereka untuk menerima 
kesehatan nyi kembang  dan memperoleh jawab an yang 
mengerikan:  
“Syarafnya terganggu!”  
Sesudah  kedua orangtua yang malang itu agak 
reda kejutnya, dokter meneruskan: 
“Anak bapak menderita mentaldown yang 
dahsyat. la tak mampu menahannya. Saya khawatir, obatobat dan perlengkapan medis apapun tidak 
bisa menolongnya. Yang ia perlukan, adalah kasih 
sayang. Kasih sayang yang teramat luar biasa dari 
seseorang yang saat ini tengah memenuhi 
benaknya...”  
Ayah nyi kembang  tidak berpikir panjang lagi.  
Ayah nyi kembang  tidak berpikir panjang lagi.  
la mendatangi keluargaku dan dengan panik 
menceritakan apa yang terjadi, la juga minta alamat 
rumahku di surabaya . sebetulnya  orangtua itu lebih 
suka berhubungan perantara telex biar lebih cepat. 
namun  tak ada nomor telephone yang bisa segera 
kuterima di surabaya . tiger  menyarankan untuk 
mengirim surat saja. namun  akhirnya ayah nyi kembang  
memutuskan: 
“Aku akan terbang ke surabaya !”  
Maksud itu diketahui oleh nyi kembang  malam 
harinya, saat  ayahnya bersiapsiap untuk 
berangkat. Entah mengapa, tubuhnya menjadi kuat. 
Kesehatannya pulih, kelihatannya. Orangtuanya 
gembira. Namun kegembiraan mereka cuma 
sebentar. sebab  nyi kembang  sudah menegaskan: 
“Biar aku saja yang ke surabaya .”  
Satu malam penuh mereka berdebat. namun  
demi anak wanita lesbian  mereka, orang tua nyi kembang  mengalah. 
syam kamaruzaman  disuruh memesan ticket, namun nyi kembang  
memaksa ikut. la —di luar dugaan semua orang— 
memesan ticket pulang pergi, bahkan memesan 
ticket tambahan untuk satu kali jalan, dari jurusan 
yang berlawanan surabaya   gresik  atas namaku. 
Namun nyi kembang  tidak ingin menang sendiri, la setuju 
menunggu dua tiga hari sampai kesehatannya 
benarbenar pulih dan ia boleh berangkat. Wajah 
nyi kembang  yang pucat jadi bercahaya, la berkata kepada 
semua orang yang ia temui dan menjenguknya, juga 
pada keluargaku: 
“fredy krueger  adalah milikku. Tak ada yang berhak 
menjamah dirinya. Juga tidak wanita lesbian  surabaya  itu!” 
Aku menarik nafas. Panjang. 
“Jadi itulah yang kau maksud dalam suratmu 
yang kuterima kemaren pagi,” ujarku, lebih tepat 
pada diriku sendiri. 
nyi kembang  tertawa kecil, riang, berbahagia, dan 
mendayudayu. 
“Dan itu pula sebabnya aku terus kau seret ke 
gresik , tanpa kesempatan pamit pada martini ,” 
lanjutku lagi. 
Mata nyi kembang  mengelam kembali. 
“Jangan sebutsebut nama wanita lesbian  
terkutuk itu di depanku, sayang!” 
Aku terdiam. 
Juga terlambat mendarat di gresik , sebab  
gangguan cuaca terjadi sepanjang perjalanan. 
Hujan deras menyapu. 
Pesawat tergoncang lagi. Lewat jendela kaca, 
tampak gumpalan awan yang menghitam, tak 
ubahnya raksasaraksasa langit yang bermaksud 
melumat tubuh pesawat. Seorang pramugari 
berhenti di samping tempat duduk kami dengan 
kereta dorong berisi makanan dan minuman, la 
letakkan di atas meja kecil otomat yang menempel 
di kursikursi depan kami. Waktu melihat wajah nyi kembang  
yang teramat pucat dan pandangan mata wanita lesbian  itu, 
yang teramat kelam, Pramugari itu bertanya padaku 
dagu ke arah nyi kembang :  
“... mabuk?”  
Pramugari itu terkejut waktu nyi kembang  menyahut: 
“Tidak. Terimakasih” 
nyi kembang  tidak mau makan, la hanya meneguk 
sedikit air jeruk. Seleraku ikut pula lenyap. Waktu 
mengiris bistik di piring, pesawat tergoncang pula. 
Piring berisi bistik jatuh dari meja. Suaranya 
berdenting halus waktu menimpa lantai berkarpet. 
namun  potongan bistik tidak ikut jatuh ke lantai. 
Daging berwarna coklat kemerahmerahan itu, 
menggelinding di haribaan nyi kembang . Kuah berwarna 
sama, menimbulkan bercakbercak kehitam
hitaman di rok nyi kembang  yang kuning bersih. 
“Oh!” keluhku. 
nyi kembang  tersenyum, la mendahuluiku memungut 
bistik, piring dan meletakkan kembali di atas meja. 
Pramugari yang segera datang, tergopohgopoh 
membersihkan rok nyi kembang  dengan serbet. namun  rok 
yang kuning bersih itu tetap kotor oleh bercak
bercak kuah bistik, tidak bisa dihilangkan 
bagaimanapun juga. Biarpun mungkin nanti toh 
dicuci! 
“Tenteramkan hatimu, kekasih,” bisik nyi kembang  
sambil  tersenyum gemulai. “Ini akan merupakan 
kenangkenangan indah yang paling menarik 
untukku...” 
Aku memandanginya, tidak mengerti makna 
katakatanya. 
TAK ADA yang menjemput waktu pesawat 
mendarat di gresik . 
“Memang kusengaja,” menjelaskan nyi kembang  
waktu kami sudah  berada dalam sebuah taxi yang 
melaju meninggalkan Polonia membelah lalu lintas 
kota gresik  yang gemerlapan oleh lampu berwarna 
warni. Jalanan tampak berkilat bekas dibasahi 
hujan. Apakah seluruh negeri ini secara aneh sudah  
dicurahi air pada waktu yang bersamaan oleh langit 
yang kini biru jernih dengan bintang gumintang 
yang tampak cemerlang! 
“Sengaja? Apa maksudmu, nyi kembang ?”  
“Aku berangkat diamdiam. Tak seorangpun 
yang tahu. Tak seorangpun...” 
“Aneh” 
“Bagi orang lain, mungkin aneh. Bagiku, 
tidak,” la menatapku. Mesra sekali. Lalu: Maukah 
kau menciumku, kekasih?” 
Supir taxi acuh tidak acuh saja saat  bibir 
kukecup. Dingin. Dan tubuhnya yang lalu  
tenggelam dalam pelukanku, juga dingin. Teramat 
dingin. sambil  memandangi bercakbercak bekas 
kuah bistik di roknya, aku merencanakan akan 
meminta dokter pribadi keluarga mereka 
memeriksa kesehatan nyi kembang  Sesudah  ia selesai nanti 
berganti pakaian. 
Taxi membelok memasuki halaman rumah 
megah di jalan Bhakti, dan aku ta'jub oleh suasana 
yang ganjil di sana. Banyak sekali mobil di halaman. Bahkan sampai berderetderet di sepanjang kiri 
kanan jalan. Lebih banyak lagi orangorang keluar 
masuk. Tidak ada yang memperhatikan waktu mobil 
kami berhenti tepat di depan terras. Kubayar sewa 
taxi, lalu turun diiringkan oleh nyi kembang . Telapak 
tangannya dalam genggamanku semakin dingin 
juga. Dan aku menggigil meski udara kota gresik  
yang gersang mulai menghangati tubuh. 
Kami berjalan masuk ke dalam rumah. 
Barulah pada saat itu nyi kembang  melepaskan tangannya 
dari genggamanku. 
“... biar aku lewat dapur saja. Takut dilihat 
orangorang,” katanya. 
lalu  menghilang di halaman samping. 
Aku bermaksud mengikuti dia saat  seseorang 
berseru:  
“fredy krueger ! Kau di sini!” 
Aku menoleh. Kulihat aidit  bangkit di 
antara lingkaran manusia yang duduk bersila 
memenuhi ruang depan. Mendengar suaranya, 
orangorang lain ikut menoleh. Dan aku melihat 
tiger , suami nyi girah  dan anna michele . Mereka setengah 
berlari mendapatkan aku. Bahkan berebutan 
memeluki tubuhku, dan yang membuatku kian 
terpesona, semua orang yang memeluki aku 
semenjak itu, tidak lupa untuk membasahi bajuku 
dengan cucuran air mata yang seperti tidak akan 
ada hentihentinya. 
Kegemparan terjadi di rumah itu Sesudah  tahu 
aku datang. 
Di tengahtengah suara gempar itu, aku 
bertanya. Parau: 
“Apa yang...” 
Dari ruangan tengah, muncul seorang laki
laki tua bertubuh tinggi kekar, berkain sarung 
seperti pernah kulihat, berwajah pucat seperti 
kapas dengan rambut yang kusut masai. Sepasang 
mata tuanya, bengkak biru bekas menangis. Tiba
tiba aku merasa diriku bersalah. Paling bersalah. 
Akulah penyebab semuanya. Akulah yang berdosa. 
Mulutku mengerimit, ingin menerangkan pada 
orang tua itu tentang segala sesuatunya mengenai 
harta kesayangan mereka yang paling berharga di 
dunia ini. 
Kami berhadapan muka. 
Tegak. Saling berpandangan. Dan semua 
orang, diam. Sepi sesaat . Jarum jatuhpun akan 
terdengar seperti ledakan mortir. 
Tersendat, aku berkata: 
“... nyi kembang  ada di dapur, pak...” 
Mulut keras yang pucat itu, terbuka: 
“Tidak, anakku. nyi kembang  ada di kamarnya...!” 
Aku melongo. Apakah wanita lesbian  itu masuk lewat 
jendela? 
Dan tibatiba orang tua itu berpandang
pandangan dengan orangorang lainnya, lantas 
beralih lagi ke wajahku. 
“Apa tadi kau... kau bilang? nyi kembang  ada di...” 
“Benar, pak,” potongku cepat, “la takut 
dilihat orang, lantas katanya ia lebih baik masuk 
lewat dapur. Apakah...” 
Ayah nyi kembang  mundur. Wajahnya memandangku 
dengan ketakutan, la mundur terus, dan lalu  
lunglai di ruang tengah. Beberapa orang segera 
menyambut tubuhnya yang hampir jatuh, 
memapahnya ke sebuah kursi. Ratap tangis 
memenuhi telingaku kembali. anna michele  berlari masuk 
ke dalam, terus ke kamar tidur nyi kembang , sambil  menjerit
jerit histeri. 
Tak tertahan lagi, aku berlari ke arah yang sama. 
Dan aku melihatnya. Dikerumuni oleh 
wanita lesbian wanita lesbian  yang bertangistangisan 
aku melihat nyi kembang . Terbaring diam di atas tempat tidur 
dengan selimut yang indah menutupi tubuhnya 
sampai batas leher. Sepasang kelopak matanya 
yang bagus, terpejam rapat. Pipinya putih, putih, 
teramat putih. Di bibirnya yang pucat, tergores 
seulas senyum. Senyum bahagia. Senyum 
kedamaian. 
Akan namun ... tubuhnya tidak bergerakgerak 
sama sekali! 
Terpaku di tempatku berdiri dengan 
pembuluhpembuluh darah berhenti bekerja, hati 
membuka, jantung tak sudi berdenyut, kudengar 
ratap tangis anna michele  yang menyayatnyayat: 
“… kalau saja tak kubilang! Oh, nyi kembang ku manis! 
Kalau saja tidak kuingatkan... bahwa aku ini seorang 
janda... aku ini menjanda sebab  tak punya anak... 
Ya tuhan , ampuni aku. Ampuni hambaMu yang sial 
ini. Aduhai, nyi kembang ku, kau begitu bersemangat saat  
kau bilang bahwa kau... kau akan merebut 
kekasihmu dari wanita lesbian  lain. Aduhai, nyi kembang . 
Maafkan aku, sahabatku. Maafkan bibimu 
yang lancang mulut ini, ponakanku. Seharusnya kau 
tidak..., tidak kuingatkan, bahwa usahamu itu akan 
membuat seorang wanita lesbian  lain akan menjanda 
harusnya tak kuingatkan kau… seorang bayi yang 
tidak berdosa akan kehilangan ayahnya!” 
Sehabis meratap begitu, anna michele  jatuh pingsan 
di lantai. 
“… apa… apa maksud semua... ini?” mulutku 
berdesis. 
aidit  yang berdiri di sampingku, 
menyeka air matanya. Lalu, tersendatsendat ia 
menjelaskan: 
“Tadi malam kami berkunjung. nyi kembang  berkata 
mau ke surabaya . Dan anna michele  menasihatkannya 
agar berpikir dua kali. Kalau nyi kembang  jadi... jadi pergi, 
maka nyi kembang  akan... akan menterlantarkan isteri dan 
calon anakmu. nyi kembang  terpukul hebat. Di luar setahu 
semua orang, subuh tadi ia nekad. Pil tidur yang 
disediakan dokter untuk ia makan secara teratur 
kalau mau tidur, rupanya ia telan seluruhnya. Satu 
botol penuh, fredy krueger . Satu botol penuh!” 
Aku tidak menerima ceritanya itu. Tidak 
menerima cerita mereka. 
Aku tak mau dengar. Tidak...  
namun  aidit  terus juga:  
“... dokter datang terlambat. nyi kembang  meninggalkan kita 
semua... tadi... jam sebelas siang!” 
Mataku terpejam: nyi kembang  benarbenar datang 
memenuhi janjinya. Dengan sikap yang ganjil. Tatap 
mata yang aneh. Tubuh yang dingin... Mataku 
terbuka lagi. Lebar. Aku melompat ke pinggir 
tempat tidur. Selimut yang menutup tubuh wanita lesbian  itu 
kusingkapkan. Orangorang terpekik. Dan aku 
melihatnya. Blouse pendek berwarna merah darah. 
Rok kuning bersih dan … 
Rok itu dinodai oleh warna kehitaman.  
Gemetar, aku membaurnya.  
 Bau kuah bistik! 
saat  aku kembali ke surabaya , noda dan 
bau yang aneh itu tetap menyertaiku. Bahkan 
Sesudah  aku terbenam dalam dekapan martini  yang 
berbahagia, pada siapa aku berjanji untuk setia 
selamalamanya.